e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 202–206 202 hubungan berat badan dan kadar kolesterol darah tikus putih (rattus norvegicus) setelah diberikan diet tinggi lemak (the correlation of weight and blood cholesterol levels of white rat (rattus norvegicus) with high-fat diet) thatit nurmawati program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: dhyas_tha@yahoo.com abstract: cholesterol is an essential substance for the body. the role of cholesterol as material hormones, cell membranare needed by the body. this conditionchanges into a distrubtion if the cholesterol levels in the blood increase. weight becomes one of this trigger. the consumption of high-fat foods increase weight which resulting in the increase of cholesterol cases. the purpose of this study was to determine the level of correlations between weight and cholesterol levels after being given a high-fat diet.the study used rats (rattus norvegicus) sex male, 16 rats with age between 1-2 months. rats weight range between 100-150 gr and in healthy conditions. the giving of high-fat diet were in the form of chicken feed, duck eggs, goat oil, lard and flour for 8 weeks. the data measurement done by scales and measuringcholesterol levels through the end of the tail by means of easy touch. the data analysis were done to understand level of correlation between variables. the presentation of the data used tables. the results showed body weight of rats did not change after administration of a high-fat diet. the cholesterols levels of the subjects were high. theadministration of high-fat diet from egg yolk dan goat oilcould increase the level of cholesterol. there was a correlation between weight and cholesterol levels after being given a high-fat diet (p <0.5). it was needed to repeatthe measurements to determine changes in cholesterol levels and other factors that affect thigh blood to cholesterol levels. keywords: weight, cholesterol, high-fat diet, rats abstrak: kolesterol merupakan zat essensial bagi tubuh. peran kolesterol sebagai bahan pembuat hormon, membran sel sangat dibutuhkan tubuh. namun kondisi berubah menjadi gangguan bila kadar kolesterol dalam darah meningkat. berat badan menjadi salat satu pemicunya. konsumsi makanan tinggi lemak mencetuskan berat badan yang meningkat sehingga berakibat pada peningkatan kasus kolesterol. tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat hubungan anatara berta badan dengan kadar kolesterol setelah diberikan diet tinggi lemak. penelitian menggunakan hewan coba tikus putih (rattus norvegicus) berjenis kelamin jantan, sebanayak 16 ekor dengan usia antar 1-2 bulan. kisaran berat tikus antara 100-150 gr dengn kondisi tikus yang sehat. pemberian diet tinggi lemak berupa pakan ayam, telur bebek, minyak kambing, minyak babi dan terigu selama 8 minggu.pengumpulan data dengan pengukuran berat badan dengan timbangan dan kadar kolesterol melalui ujung ekor dengan alat easy touch. analisi data dengan korelasi untuk mngetahui tingkat hubungan antar variabel. penyajian data menggunakan tabel. hasil penelitian menunjukkan berat badan tikus tidak berubah setelah pemberian diet tinggi lemak. kadar kolesterol pada masing-masing subyek perlakuan tinggi. pemberian diet tinggi lemak mampu meningkatkan kadar kolesterol dari kuning telu dan minyak kambing. terdapat hubungan antara berat badan dengan kadar kolesterol tiikus setelah diberikan diet tinggi lemak (p<0,5). perlu dilakuan pengukuran berulang untuk mengetahui terjadinya perubahan kadar kolesterol dan faktor lain yang mentukan tingginya kadar kolesterol darah. kata kunci: berat badan, kolesterol, diet tinggi lemak, tikus acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p202-206 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 203nurmawati, hubungan berat badan dan ... kolesterol merupakan suatu zat lemak yang beredar dalam darah, diproduksi di hati dari lemak makanan. kolesterol berperan sebagai zat esseensial untuk membran sel, bahan pembentuk garam empedu, sebagai produk pembuat hormon steroid. kolesterol juga sebagai komponen gizi untuk sumber energi paling tinggi (nurwahyuni, 2006). kolesterol dalam tubuh harus berada dalam keadaan seimbangs antara sintesa dengan metabolismenya. peningkatan kolesterol dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor makanan. namun kolesterol berlebihan (hiperkolesterolemia) menimbulkan berbagai gangguan. prevalensi tertinggi kasus kolesterol berada di wilayah eropa, diikuti amerika untuk semua jenis kelamin (who, 2008). kasus kolesterol di indonesia sebesar 13,4% untuk wanita dan 11,4% untuk pria. namun meningkat menjadi 16,2% untuk wanita dan 14% untuk pria (linawati, 2011). kadar kolesterol darah dipengaruhi konsumsi dan latihan fisik. kadar kolesterol dipengaruhi asupan lemak, karbohidrat dan protein (davison, 2012). perkembangan budaya manusia semakin pesat. hal ini berdampak kepada gaya hidup dan pola hidup. manusia cenderung memilih gaya hidup yang praktis, dan cepat. dalam mengkonsumsi makanan, pemilihan makanan cepat saji sering menjadi pilihan dengan alasan menghemat waktu. pemilihan makan yang salah seperti makan melebihi kebutuhan, makan tidak seimbang akan berdampak terhadap kesehatan, salah satunya berat badan. berat badan menjadi tolak ukur utama untuk menggambarkan kondisi seseorang. berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral. berat badan berlebih (obesitas) dianggap sebagai faktor resiko terjadinya hiperkolesterolemia (kumar, et al., 2007). berdasarkan hasil penelitian menunjukkan peningkatan asupan protein dan lemak mengakibatkan peningkatan kadar kolesterol darah di negara jepang (adachi, et al., 2011). namun ada protein bersifat hipokolesterolemik atau tidak berpengaruh terhadap kolesterol (hosomi, et al., 2011). karbohidrat sederhana memiliki pengaruh lebih tinggi terhadap kolesterol darah daripada karbohidrat komplek bahan dan metode bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus, alkohol 70%, kapas, alat yang dibutuhkan timbangan, silet steril, easy touch, gelas ukur, kandang tikus, wadah pakan dan minum. tikus pada penelitian ini jenis wistar (rattus norvegicus) sebanyak 16 ekor. umur tikus 2-3 bulan dengan berat 100-250gr, berjenis kelamin jantan. kondisi tikus sehat ditandai dengan gerak aktif, bulu tebal dan putih. kriteria eksklusi pada tikus yang tidak mau makan dan tikus yang mengalami penurunan fisik atau mati. tehnik sampling dengan purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti. peneliti memilah tikus sebanyak 16 ekor secara random. kandang dibersihkan setiap 2 hari sekali. variabel bebas dalam penelitian ini adalah berat badan tikus, sedangkan variabel terikatnya kadar kolesterol. hewan coba terlebih dahulu diaklimatisasi selama 7 hari untuk memberikan kesempatan bagi hewan coba beradaptasi dengan lingkungan baru. tikus diberikan diit tinggi lemak berupa pakan ayam jenis 511, tepung terigu, telur bebek, minyak babi dan minyak kambing selama 60 hari (wilde, 2009). perbandingan jumlah makan yang berikan adalah pakan ayam: terigu: telur bebek: minyak babi: minyak kambing adalah 200gr:100gr1 butir: 20 ml: 20 ml. minuman tikus hanya diberikan air putih tanpa penambahan bahan. pengumpulan data untuk berat badan tikus diperoleh dengan menimbang berat badan menggunakan timbangan. data kolesterol diperoleh dari mengambil sampel darah tikus melalui ujung ekor. ujung ekor terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% untuk mengurangi kotoran yang masuk. kemudian darah ditampung langsung ke alat easy touch/gcu. analisis data menggunakan korelasipada program spss versi 16.0. penyajian data berat badan dan kadar kolesterol dalam bentuk tabel. untuk menyatakan hubungan berat badan dengan kadar kolesterol dengan uji korelasi bivarial (p<5%). hasil penelitian penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih (rattus norvegicus) jantan berumur 2-3 bulan. penggunaan hewan coba tikus didasarkan kesamaan fisiologi, anatomi, nutrisi, patologi, metabolisme dengan manusia, selain itu tikus sering digunakan untuk mengetahui kadar kolesterol darah. sebelum diberikan diet tinggi kolesterol tikus dilakukan aklimatisasi untuk adaptasi terhadap lingkungan baru selama 7 hari. pada saat aklimatisasi tikus hanya diberikan diit ad-libitum dan air 204 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 202–206 minum. selama penelitian berat badan tikus mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan tikus dalam kondisi sehat. karakteristik berat badan tikussetelah diberikan diit tinggi lemak deviasi 33,45. berat tikus pada usia 1-2 bulan dalam rentan 100-150 gr. maka terlihat diit tinggi lemak tidak berpengaruh terhadap berat badan. sedangkan kadar kolesterol rata-rata 164 dengan standart deviasi 30,1. rata-rata kadar kolesterol cukup tinggi. bahkan ditemukan juga tikus dengan kadar kolesterol melebihi 200 mg/dl. nilai terendah dari pengukuran sebesar 117mg/dl. sedangkan nilai tertinggi mencapai 218 mg/dl. namun ada beberapa hewan coba memiliki berat badan dan kadar kolesterol yang linear, nilai berat badan sama dengan nilai kadar kolesterol. maka berdarkan tabel diatas berat badan tidak selalu berhubungan dengan peningkatan kadar kolesterol. namun hasil uji statistik pada penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara berat badan dengan kadar kolesterol tikus setelah diberikan diet tinggi lemak yang singnificant (p<0,5). pada saat perlakuan tikus diberikan diet tinggi lemak selama 60. pada saat dilakukan tes kadar kolesterol terlihat nilai kolesterol tikus cukup tinggi. tikus memiliki kadar kolesterol total normal dengan nilai 10-54mg/dl (harini, 2009). hasil perlakuan menunjukkan semua kadar kolesterol berada di atas 10-54 mg/dl. hubungan berat badan dengan kadar kolesterol tikus putih (rattus norvegicus) setelah diberikan diet tinggi lemak hasil analisis dengan menggunakan pearson menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan nilai p=0,03. pembahasan pemilihan tikus sebagai subyek penelitian dilakukan secara random dengan tingkat homogenitas yang tinggi. keadaan ini sesuai dengan syarat penelitian untuk upaya memiliki kesempatan yang sama menjadi hewan coba. sebelum diberikan diit tinggi lemak, tikus diberikan diit normal. pengukuran berat badan dilakukan sebelum perlakuan dan setiap seminggu sekali. salah satu pengaruh dari pemberian diet tinggi lemak adalah peningkatan berat badan. hasil pengukuran berat badan tikus setelah diberikan diit tinggi lemak menunjukkan bahwa sebanyak 60% berat tikus tidak mengalami perubahan. berat tikus dalam kisaran 100150 gr. menurut baraas (2003) mengatakan bahwa diet tinggi lemak akan menyebabkan peningkatan jumlah lemak yang terdeposit dalam jaringan adiposa. setiap lemak yang tersimpan tidak langsung digunakan sebagai sumber energi tetapi disimpan dalam bentuk trigliserida. pada saat akan dibutuhkan tabel 1. karakteristik berat badan tikus setelah diberikan diit tinggi lemak berat badan (g r) f % 100-150 10 60 151-200 3 20 201-250 3 20 total 16 100 berdasarkan tabel diatas sebagian besar berat badan tikus tidak bertambah sebanyak 60% meskipun sudah diberikan diit tinggi lemak. berdasarkan perhitungan rata-rata berat badan tikus sebelum diberikan diit tinggi lemak sebesar 157,6 gr. sedangkan pertambahan berat paling tinggi pada kisaran 201-250 gr sebanyak 20%. karakteristik kolesteroltikus putih (rattus norvegicus) setelah diberikan diet tinggi lemak tabel 2. berat badan dan kadar kolesterol tikus putih (rattus norvegicus) setelah diberikan diet tinggi lemak berat badan (gr) kolesterol (mg/dl) 150 159 160 139 150 169 200 144 140 176 120 161 120 127 125 199 162 162 150 150 218 218 150 150 117 117 145 145 209 209 207 207 157± 33,458 164±30.082 berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa berat rata-rata tikus adalah 157 gr dengan standart 205nurmawati, hubungan berat badan dan ... trigliserida baru akan dihidrolisis menjadi asam lemak bebas dan gliserol. asam lemak bebas yang akan menjadi energi. pemberian diet tinggi lemak pada penelitian ini dapat memicu penurunan nafsu makan pada tikus karema masih adanya ketersedian energi sehingga tidak terjadi peningkatan berat badan tikus. aktifitas tikus yang tinggi juga diduga sebagai salah satu faktor tidak bertambahnya berat badan. penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian marwati dan retty, 2011 yang menunjukkan bahwa pemberian diet tinggi lemak tidak meningkatkan pertambahan berat badan. asupan makanan tinggi lemak tidak selalu meningkatkan berat badan dikarena lemak yang disimpan tidak selalu langsung digunakan sebgai sumber energi. cadangan energi yang banyak akan mengurangi nafsu makan. kolesterol menjadi dampak sang sangat terlihat pada saat tubuh menerima asupan makanan diet tinggi lemak. kebutuhan kolesterol sangat penting bagi tubuh.kolesterol berada pada semua jaringan dan lipoprotein plasma, terdapat sebagai kolesterol bebas maupun gabungan. berdasarkan tabel di atas (tabel 2) menunjukkan bahwa kadar kolesterol pada penelitian ini cukup tinggi, masih diatas nilai normal kadar kolesterol untuk tikus. hasil penelitina ini juga sejalan dengan hasil penelitian tubagus (2015) pada pemberian pakan anterogenik bagi tikus selama 2 minggu. kadar kolesterol darah selalu berubah-ubah, banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya stress, perubahan pola makan (masrufi, 2009). peningkatan kadar kolesterol dapat disebabkan asupan makanan diet tinggi lemak oleh hewan coba. kuning telur dan minyak kambing menjadi sumber kolesterol hewan dan lemak yang dapat meningkatkan kadar kolesterolkarena tinggi kolesterol dan asam lemak jenuh (murray, et al., 200). kuning telur memiliki kandungan lemak tertinggi (sirait, 1986). kadar kolesterol pada penelitian ini cukup tinggi dengan nilai tertinggi 218 mg/dl. menurut murray 2003 mengatakan bahwa setiap konsumsi lemak jenuh sebanyak 1% dari total energi sehari diduga dapat meningkatkan kadar kolesterol sampai 2,7mg/ dl. pemberian diet tinggi lemak pada penelitian ini sampai 8 minggu sehingga tingginya kadar kolesterol karena asupan diiet lemak yang lama. stres merupakan respon yang tidak spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang diterima. stres bisa juga dialami oleh tikus terutama stres dari lingkungan seperti kapasitas kandang dan kompetisi antar tikus. pada penelitian ini kompetisi antar tikus terjadi pada saat aklimatisasi sedangkan saat perlakuan tikus sudah menempati kandang masingmasing. stress mampu mengaktifkan sekresi hormon adrecocorticotropik (acth) dan sekresi kortisol. kortisol mampu menstimulasi glukoneogenesis dan metabolisme lipid dan protein. adanya stress akan meningkatkan pelepasan asam lemak menuju darah kemudian asam lemak di esterifikasi menjadi triasilgliserol (tg). tg diangkut kilomikron dan vldl (very low density lipoprotein). vldl sendiri merupakan prekusor idl (intermediet density lipoprotein). sedangkan idl menjadi prekusor ldl (low density lipoprotein). gabungan antara hdl, ldl dan tg berupa kolesterol. peningkatan sintesis ketiga produk asam lemak tersebut menunjukkan peningkatan produk kolesterol dalam darah (soeharto, 2004; tjahjono, 2000). kadar kolesterol yang tinggi dipengaruhi oleh pola asupan tinggi lemak terutama dari kuning telur, minyak kambing, minyak babi. kondisi stres lingkungan juga mampu menjadi pemicu tingginya kadar kolesterol dalam darah. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang significant antara berat badan dan kadar kolesterol tikus setelah diberikan diet tinggi lemak(p<0,5). saran perlu dilakukan pengulangan pengukuran berat badan dan kadar kolesterol secara teratur untuk mengetahui dinamika perubahannya. pada penelitian ini tidak mengukur sisa asupan makanan sehingga jumlah makanan yang telah dikonsumsi tidak bisa terukur. daftar rujukan adachi, h., hirai, y., satoshi, s., enomoto, m., fukami, a., kumaga, e., esaki, e., & imaizumi, t. 2011. trends in dietary intakes and serum cholesterol levels over 50 years in tanushimaru in japanese men. j food nutr sci, 2, 476–481. faisal baraas. 2003. mencegah serangan penyakit jantung dengan menekan kolesterol. jakarta: kardia iqratama. 206 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 202–206 davison, k.m., & kaplan, b.j. 2012. food intake and blood cholesterol levels of community-based adult with mood disorders. bmc psychiatry, 12, 10. ecol , j. 2008. a study of correlation between lipid profile and body mass index (bmi) in patients with diabetes mellitus. http://www.krepublishers. com/02-journals/ harini, m., d.a., okid. 2009. blood cholesterol level of hypercholesterolemia rat (rattus norvegicus) after vco treatment. journal bioscience vol 1 no 2 : 53-58. hosomi, r., fukunaga, k., arai, h., kanda, s., nishiyama, t., & yoshida, m. 2011. effect of simultaneous intake of fish protein and fish oil on cholesterol metabolism in rats fed high-cholesterol diets. open nutraceuticals j, 4, 12–19. kumar, v., cottran, ramzi, s., robins, stanley, l. 2007. buku ajar patologi robbins, diterjemahkan oleh brahm u. jakarta: pendit, egc. linawati, sienny. 2011. perbandingan marker inflamasi antara sindroma koroner akut dan non sindroma koroner akut. etd.ugm.ac.id/index. php?mod=download&sub.act. sirait, c.h. 1986. telur dan pengolahannya. pusat penelitian pengembangan peternakan, bogor. soeharto, i. 2004. penyakit jantung koroner dan serangan jantung, edisi kedua. jakarta: pt gramedia pustaka. tjah jono, k. 2000. li pi d di ge st i absorbsi dan metabolisme, fk undip. world health organisation (who). 2008. global health observatory. http:// www.who.int/gho/ncd/risk_ factors/cholesterol_text/en/ 84 pengaruh terapi okupasi terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial (effect of occupatioal therapy on social skill in schizofrenia with social isolation) rendra sukmana dan nawang wulandari stikes patria husada blitar e-mail: na_wul23@yahoo.co.id abstract: occupational therapy is a healing effort against someone who is experiencing mental and physical disorders by giving liveliness job. the purpose of the study to determine the effect of occupational therapy on social skills in schizophrenia with social isolation, using quasy control group pre-test posttest design. sampel used in this experiments were 10 respondents that are divided into 2 groups: treatment and control. the treatment group was given occupational therapy 2 times a week for 3 weeks. observations by 12 questions was conducted to determine the level of social skills of respondents. the results of this study showed no increase on the level of social skills before and after given granted occupational therapy. the level of social capability of 5 respondents in the treatment group before given an occupational therapy were 7 and while after given an occupational therapy were 10.2. this result have contrast to the control group which showed level of social capability were 7 . statistic analized using wilcoxon sign rank test showed significant is 0.0205 in the group between pre and post treatment, while the treatment and control group comparisons with mann whitney u test showed 0.029 ≤ 0.05. with these results occupational therapy can improve social skills clients with social isolation. keywords: social skills, social isolation, occupational therapy. perkembangan kebudayaan masyarakat banyak membawa perubahan dalam segala segi kehidupan manusia. setiap perubahan situasi kehidupan individu baik yang sifatnya positif atau negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental dan sosial atau status kesehatan seseorang. sejalan dengan perkembangan teknologi, dapat dikatakan semakin banyak masalah yang harus dihadapi dan diatasi seseorang serta sulit tercapainya kesejahteraan hidup. keadaan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien skizofrenia (maramis, 1998). skizofrenia merupakan penyakit jiwa yang paling banyak terjadi dibandingkan penyakit jiwa lainya, pada umumnya penyakit ini menyebabkan kemunduran kepribadian. biasanya mulai tampak pada masa puber dan paling banyak penderitanya berumur 15-30 tahun (drajat, 2001). skizofrenia biasanya disebabkan dari faktor genetik dan faktor lingkungan yang memerankan perkembangannya (hawari, 2003). berdasarkan jenisnya skizofrenia diklasifikasikan menjadi skizofrenia simplex, hibefrenik, katatonik, dan paranoid. pada setiap jenis kasus skizofrenia gejala yang di timbulkan berbeda beda, skizofrenia jenis simplek pasien mengalami kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. hibefrenik pasien cenderung terganggu proses berfikirnya. pada katatonik pasien cenderung tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya. sedangkan pada jenis paranoid pasien cenderung mengalami isolasi sosial: menarik diri dengan orang lain (maramis, 1998). tingkat skizofrenia seumur hidup hampir mencapai 1%, sedangkan insidennya setiap tahunnya mencapai sekitar 10-15% per 100.000 orang (turner, 2009). prevalensi penderita skizofrenia di indonesia mencapai 0,3 sampai 1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang baru menginjak umur 11 sampai 12 tahun sudah mengalami skizofrenia. apabila penduduk mailto:na_wul23@yahoo.co.id acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p081-086 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ sukmana dan wulandari, pengaruh terapi okupasi …85 indonesia sekitar 200 juta jiwa maka diperkirakan 2 juta jiwa penduduk indonesia menderita skizofrenia (hawari, 2003). dari hasil studi pendahuluan di wilayah puskesmas kademangan di dapatkan data pasien keseluruhan yang mengalami skizofrenia berjumlah 30 orang, dengan isolasi sosial lebih banyak ditemukan dengan jumlah 10 orang. dan di sana masih belum pernah dilakukan penelitian tentang terapi okupasi terhadap klien skizofrenia dengan isolasi sosial. di sini peneliti tertarik melakukan psikoterapi dengan memberikan terapi okupasi yang diharapkan pasien skizofrenia dengan isolasi sosial dapat meningkatkan kemampuan sosialnya. perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain (rawlins, 1993). individu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya hubungan dengan lingkungan sosial, oleh karena itu individu perlu membina hubungan interpersonal yang memuaskan. sedangkan kepuasan hubungan dapat dicapai jika individu terlibat secara aktif dalam proses berhubungan pada klien menarik diri kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, ragu, takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain. keadaan ini dapat menimbulkan perilaku untuk tidak berkomunikasi dengan orang lain, dan lebih menyukai berdiam diri, sehingga klien skizofrenia dengan menarik diri sangat perlu dilakukan perubahan misalnya dengan memberikan psikoterapi (keliat, 1998). psikoterapi ialah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang terlatih dalam hubungan professional secara suka rela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada (maramis,1998). tujuan psikoterapi adalah mengembangkan intelektual, emosi dan kreatifitas. berdasarkan keliat, (1998) terapi untuk skizofrenia yang dapat diterapkan meliputi : terapi aktivitas kelompok, terapi keluarga, terapi lingkungan, terapi okupasi (stuart dan sundeen, 1991). pada penelitian ini, peneliti akan melakukan psikoterapi dengan menggunakan terapi okupasi pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial. pemilihan terapi okupasi didasarkan karena masih kurang banyak yang diterapkan pada kasus skizofrenia dengan masalah keperawatan isolasi sosial. terapi itu sendiri mempunyai banyak jenis diantaranya aktifitas latihan fisik untuk meningkatkan kesehatan jiwa, aktifitas dengan pendekatan kognitif, aktifitas untuk memacu kretifitas, training ketrampilan dan terapi bermain (keliat, 1998). training ketrampilan dengan kerajinan tangan dapat diterapkan pada kasus pasien isolasi sosial untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam merawat diri, melakukan aktivitas sehari-hari, menyelesaikan tugas dan beradaptasi terhadap lingkungan dalam maupun luar dirinya serta pada prinsipnya saat menjalani treatment atau terapi okupasi tidak memerlukan alat atau media yang cukup berarti. semua media bisa digunakan, yang penting adalah tujuan terapinya. berdasarkan uraian diatas tentang perlunya terapi okupasi pada kasus skizofrenia dengan isolasi sosial maka peneliti akan melihat pengaruh terapi okupasi terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial di wilayah puskesmas kademangan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh terapi okupasi terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial di wilayah puskesmas kademangan. tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh terapi okupasi terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial. sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kemampuan sosial klien skizofrenia dengan isolasi sosial sebelum di berikan terapi okupasi 2) mengidentifikasi kemampuan sosial klien skizofrenia dengan isolasi sosial setelah di lakukan terapi okupasi 3) menganalisa pengaruh terapi okupasi terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial. bahan dan metode desain penelitiannya quasy experimental dengan control group pre-test posttest design. sampel dalam penelitian ini adalah 10 orang skizofrenia dengan isolasi sosial di wilayah kerja puskesmas kademangan blitar yang dipilih dengan teknik total sampling. variabel bebasnya adalah terapi okupasi dan variabel tergantungnya adalah perkembangan sosial. perlakuan dilaksanakan 86 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 84 91 setelah diidentifikasi kemampuan sosial pada kelompok perlakuan dengan pre-test dan posttest, analisis menggunakan wilcoxon sign rank test. sedangkan post-test kelompok kontrol dan perlakuan menggunakan mann whitney u test dengan tingkat kemaknaan ≤ 0,05. hasil penelitian karakteristik klien skizofrenia dengan isolasi sosial pada kelompok perlakuan disajikan pada tabel 1. tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden pada kelompok perlakuan no karakteristik f % 1 usia 15-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-45 tahun 3 2 60 40 2 jenis kelamin perempuan laki-laki 2 3 40 60 3 pendidikan sd sltp slta pt 2 2 1 40 40 20 4 pekerjaan buruh swasta wiraswasta pns tidak bekerja 2 1 2 40 20 40 5 status perkawinan tidak kawin 4 1 80 20 no karakteristik f % kawin janda/ duda karakteristik klien skizofrenia dengan isolasi sosial pada kelompok kontrol disajikan pada tabel 2. tabel 2 distribusi frekuensi karakteristik responden pada kelompok kontrol no karakteristik f % 1 usia 15-20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-45 tahun 2 2 1 40 40 20 2 jenis kelamin perempuan laki-laki 4 1 80 20 3 pendidikan sd sltp slta pt 1 2 2 20 40 40 4 pekerjaan buruh swasta wiraswasta pns tidak bekerja 1 2 2 20 40 40 5 status perkawinan tidak kawin kawin janda/ duda 3 2 60 40 tabel 3 perkembangan kemampuan sosial responden pada kelompok perlakuan kemampuan sosial pre test post test f % f % baik cukup 1 20 4 80 kurang 4 80 1 20 wilcoxon signed rank test α: 0,0205 tabel 3 di atas menunjukkan bahwa ada peningkatan perkembangan kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial setelah diberikan terapi okupasi (kerajinan tangan). hasil uji wilcoxon signed rank test diperoleh α = 0,0205, hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perkembangan kemampuan sosial responden sebelum dan sesudah diberikan terapi okupasi tabel 4 perkembangan kemampuan sosial responden pada kelompok kontrol kemampuan sosial post test f % baik cukup 2 40 kurang 3 60 sukmana dan wulandari, pengaruh terapi okupasi …87 tabel 4 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol dengan isolasi sosial, 60% menunjukkan perkembangan kemampuan sosial yang kurang dan sisanya 40% memiliki perkembangan kemampuan sosial yang cukup. tabel 5 perbedaan perkembangan kemampuan sosial pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol kemampuan sosial post test post test f % f % baik cukup 4 80 2 40 kurang 1 20 3 60 mann whitney u test α: 0,029 tabel 5 di atas menunjukkan bahwa hasil uji manny whitney u test didapatkan p = 0,029 yang berarti ada perbedaan kemampuan sosial pada kelompok yang diberikan terapi okupasi dan kelompok yang tidak diberikan terapi okupasi. sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi okupasi terhadap perkembangan kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial pembahasan perkembangan kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial sebelum dilakukan terapi okupasi (kerajinan tangan) adalah kurang hal ini terbukti dari kontak mata mereka yang kurang, ekspresi wajah atau muka tampak sedih, acuh terhadap lingkungan disekitarnya serta menolak berhubungan dengan orang lain. hal ini terlihat dari seluruh jumlah responden, 80% mengalami perkembangan kemampuan sosial kurang dan responden 20% responden mengalami perkembangan kemampuan sosial cukup. hasil ini berdasarkan dari hasil lembar observasi yang diperoleh sebelum dilakukan terapi okupasi. banyaknya kasus dengan perkembangan sosial yang kurang pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial di wilayah puskesmas kademangan dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya kurangnya aktifitas. hal ini sesuai dengan data demografi hasil penelitian yang menunjukkan bahwa profesi buruh mencapai 40%, bahkan prosentase sama terdapat pada responden dengan profesi tidak bekerja. kurangnya aktivitas sangat mempengaruhi seseorang sehingga menjadi tidak produktif bahkan membuat orang tersebut semakin mengisolasi diri (kusnanto, 2003). faktor lain yang juga mempengaruhi adalah tingkat pendidikan (hawari, 1998). berdasarkan tingkat pendidikan responden hanya memiliki pendidikan terakhir sampai sltp dengan nilai sebesar 40%, prosentase yang sama juga terlihat pada responden dengan pendidikan terakhir sd. disini pada tingkat pendidikan sangat berpengaruh yaitu dalam pola pikir seseorang yang cenderung pasif atau tidak berwawasan luas. perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain dan menghindari hubungan atau komunikasi dengan orang lain (rawlins, 1993). terjadinya menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor presipitasi. faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri. kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya dengan orang lain, ragu takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain dan merasa tertekan. kondisi tersebut menyebabkan pasien skizofrenia dengan isolasi sosial: menarik diri semakin parah dan sama sekali tidak mau bersosialisasi kepada orang didekatnya terutama pada keluarga terdekat. perkembangan kemampuan sosial setelah dilakukan terapi okupasi (kerajinan tangan) dengan frekuensi 2x dalam seminggu selama 3 minggu memperoleh hasil yang cukup. hal ini terbukti dari 5 responden pada kelompok perlakuan menunjukkan 80% diantaranya telah memperlihatkan perkembangan kemampuan sosial yang cukup. peningkatan kemampuan sosial yang hanya mencapai 80% kemungkinan dikarenakan karena responden yang telah lama mengidap skizofrenia rata-rata 2 tahun, dan ditambah dengan pengobatan yang tidak teratur. peningkatan kemampuan sosial pada klien skizofrenia isolasi sosial terlihat melalui usaha pasien melakukan kontak mata dengan terapis, ekspresi wajah tidak murung atau tidak sedih, asupan makanan tidak terganggu, serta komunikasi dengan terapis berjalan 88 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 84 91 cukup baik. menurut soetjinigsih (1995), perkembangan sosial merupakan perkembangan perilaku dimana seseorang dapat mengekspresikan pengetahuannya secara utuh dan belajar secara bertahap dalam meningkatkan kemampuannya untuk mandiri, bekerja sama dengan orang lain dan bertanggung jawab dengan kelompoknya. terapi okupasi adalah usaha penyembuhan terhadap seseorang yang mengalami kelainan mental dan fisik dengan jalan memberikan keaktifan kerja, keaktifan itu menggurangi penderitaan seseorang yang akhirnya menimbulkan rasa bahagia, dan mengurangi rasa rendah diri (kusnanto, 2003). hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan rata-rata sebelumnya responden tidak bekerja, belum menikah, serta berpendidikan rendah sehingga dapat meningkatkan kemampuan sosialnya. selain itu menurut peneliti klien dengan gangguan skizofrenia dengan isolasi sosial juga memerlukan dorongan dan motivasi dari pihak keluarga atau orang terdekat untuk memberikan pengobatan psikoterapi dengan cara memberikan kesibukan, sehingga diharapkan dengan kesibukan klien menjadi lebih produktif dan kemampuan sosialnya menjadi meningkat. hal ini didukung oleh peryataan (hawari, 1998) yang menyatakan orang dengan skizofrenia dengan isolasi sosial memerlukan dukungan keluarga dan orang terdekat untuk proses penyembuhannya. berdasarkan hasil uji statistik wilcoxon signed rank test terhadap nilai observasi kemampuan sosial menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan p = 0,0205 dari jumlah 5 responden pada observasi pre dan post pada kelompok perlakuan. nilai observasi kemampuan sosial juga di tunjukkan pada tabel 4.14. kemudian dari uji statistik mann whitney u test antara kelompok perlakuan post dengan kelompok kontrol menunjukkan hasil dengan tingkat signifikan p = 0,029 dari jumlah responden 5 orang. dengan demikian hipotesa diterima, hal ini menunjukkan adanya pengaruh terapi okupasi terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial. pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan jumlah responden sama yaitu 5 orang ada perbedaan perubahan yang cukup signifikan. hasil observasi menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol dari 3 responden (60%) menunjukkan perkembangan kemampuan sosial yang kurang dan 2 responden (40%) menunjukkan perkembangan kemampuan sosial yang cukup. kemudian pada kelompok perlakuan dari 4 responden (80%) menunjukkan cukup dan selebihnya 1 responden (20%) menunjukkan kurang. kegagalan anak dalam berhubungan dengan lingkungan disertai respon keluarga yang negative akan mengakibatkan anak menjadi tidak mampu mengontrol diri, tidak mandiri (tergantung), ragu, menarik diri dari lingkungan, kurang percaya diri, pesimis, takut perilakunya salah (haber, 1997). dengan terapi okupasi dapat menyembuhkan seseorang yang mengalami kelainan mental dan fisik dengan jalan memberikan keaktifan kerja, keaktifan itu menggurangi penderitaan seseorang yang akhirnya menimbulkan rasa bahagia, dan mengurangi rasa rendah diri (kusnanto. 2003). setelah penerapan terapi okupasi (kerajinan tangan) selama 2x selama 3 minggu, dari hasil observasi didapatkan peningkatan perkembangan kemampuan sosial pada pasien skizofrenia. penelitian ini membuktikan bahwa ada pengaruh pemberian terapi okupasi (kerajinan tangan), terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial perubahan terjadi melalui pengukuran tingkat kemaknaan yang terjadi antara pretest dan postest yang dilakukan pada responden dan menunjukkan hasil peningkatan yang positif. simpulan dan saran simpulan terapi okupasi (kerajinan tangan) berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial di wilayah puskesmas kademangan dengan nilai signifikansi α: 0,0205. saran perawat atau petugas rumah sakit khususnya petugas puskesmas kademangan yang menjadi wilayah penelitian, dapat menerapkan psikoterapi yaitu dengan terapi okupasi dalam proses penyembuhan pada klien skizofrenia dengan masalah isolasi sukmana dan wulandari, pengaruh terapi okupasi …89 sosial. bagi orang tua yang memiliki anggota keluarga yang mengalami skizofrenia dengan isolasi sosial diharapkan dapat menerapkan terapi okupasi kepada anggota keluarganya sehingga mempercepat proses penyembuhan dan kemampuan sosialnya akan semakin meningkat. sedangkan untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih lanjut meneliti tentang pengaruh terapi okupasi terhadap kemampuan sosial pada klien skizofrenia dengan isolasi sosial dengan menambah frekuwensinya yaitu lebih dari 2 x selama 3 minggu. daftar pustaka arikunto, s. (2002). presedur penelitian suatu pendekatan edisi revisi keempat. jakarta: rineka cipta. budi anna keliat (1998). asuhan klien gangguan hubungan sosial: menarik diri. fikui boony danuatmaja (2003). terapi anak autis. jakarta: puspa swara. carpenito. l.j (2001). buku saku diagnosa keperawatan jiwa. jakarta: egc hawari, dadang ( 1998). pendekatan holistik pada gangguan jiwa. fkui davies dan craig. ( 2009 ). kesehatan mental jakarta: egc. departemen pendidikan nasional. ( 2003). standar kompetensi mata pelajaran kerajinan tangan dan kesenian. jakarta : depdiknas hidayat aziz alimul (2007). metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data. jakarta: salemba. jeffrey s. nevid, spencer a. rathus, beverly greene. (2005). psikologi abnormal. edisi kelima. surabaya: airlangga. maramis. w.f. (1998). catatan ilmu kedokteran jiwa. surabaya: airlangga university. nursalam. (2003). konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis dan instrument penelitian keperawatan. jakarta: salemba medika notoatmodjo, s. (2005). metode penelitian kesehatan. (edisi revisi ketiga). jakarta : rineka cipta stuart dan sundeen. (1998). keperawatan jiawa. jakarta: egc. stuat, gail w. (2006). buku saku keperawatan jiwa. jakarta: egc. stuart, g.w.dan laraia, m (1998). principles and practice of psychiatric nursing. st. louis: mosby year book. willand dan spackman (2008). occupational therapy is art and science: lippincott qilliams & wilkins. zakiyah daradjat. (2001). kesehatan mental. jakarta: gunung agung. 111ulum, upaya keluarga mencegah pemasungan... 111 upaya keluarga mencegah pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa di kota blitar (family efforts to prevent confinement of mental disorder people in blitar city) mohamad miftachul ulum d3 keperawatan blitar, poltekkes kemenkes malang jl.dr. sutomo 56 blitar email: miftachululumpromkes@gmail.com abstract: physical confinement is an act of restraint, isolation, and neglect that accompanies such activities. the number of people with physical confinement in the blitar city in 2015 reached 16 people and in 2016 reached 9 people. the family has an important role in the prevention of the physical confinement because it is one of the preventive efforts to reduce the number of the illegal physical confinement. the purpose of this study was to find out how was the family efforts in preventing illegal physical confinement to people with mental disorders. method: the research method used descriptive design, with a family population having the family member with a severe mental disorder. the data collection used questionnaires with 30 sample taken using quota sampling technique. result: the efforts to study people with mental disorders are 60% less, the family was largely unable to identify how personal hygiene was met, the procedure for taking medication and especially not able to recognize the signs and symptoms of people with mental disorders who experienced a raging attack; family efforts in planning actions were still found to be 30% less; family efforts in caring for people with mental disorders were 30% less; family efforts in modifying the environment around people with mental disorders were 46.7% less; family efforts in utilizing health facilities were 10% less. public health care of kepanjen kidul is expected to awake the community through the improvement of health education activities for people with mental disorder treatment in the family without any physical confinement. keywords: family effort, prevention of physical confinement, people with mental disorder abstrak: pasung merupakan tindakan pengekangan, pengisolasian dan penelantaran yang menyertai tindakan tersebut. jumlah orang dengan gangguan jiwa (odgj) yang dipasung di kota blitar tahun 2015 mencapai 16 orang dan tahun 2016 mencapai 9 orang. keluarga memiliki peranan penting dalam pencegahan tindakan pasung, karena merupakan salah satu upaya preventif yang bertujuan untuk menurunkan angka pasung. tujuan penelitian ini untuk mengetahui upaya keluarga dalam pencegahan tindakan pasung pada odgj. metodologi: metode penelitian menggunakan rancangan deskriptif, dengan populasi keluarga yang mempunyai anggota keluarga mengalami gangguan jiwa berat. pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan sampel sebanyak 30 responden, diambil menggunakan teknik quota sampling. hasil : hasil penelitian upaya dalam melakukan pengkajian terhadap odgj adalah 60% kurang; upaya keluarga dalam merencanakan tindakan masih ditemukan 30% kurang; upaya keluarga dalam merawat odgj 30% kurang; upaya keluarga dalam memodifikasi lingkungan sekitar odgj 46,7% kurang; upaya keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan 10% kurang. diskusi : uptd kesehatan kecamatan kepanjen kidul diharapkan dapat menyadarkan masyarakat melalui peningkatan kegiatan penyuluhan kesehatan tentang perawatan odgj dalam keluarga tanpa pasung. kata kunci: upaya keluarga, pencegahan tindakan pasung, odgj jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p111–116 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 112 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 111–116 pendahuluan orang dengan gangguan jiwa (odgj) adalah orang yang mengaklami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. masalah odgj menimbulkan beban besar terhadap keluarga, teman, masyarakat, maupun pemerintah. undang-undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86 setiap oprang yang sengaja melakukan pemasungan, penelataran, kekerasaan/ atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan penelantaran, kekerasan terhadap orang dengan masalah kejiwaan (odmk) dan (odgj), dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. sedangkan di kota blitar gangguan jiwa mencapai 447 orang pada tahun 2014. banyaknya odgj di masyarakat, menimbulkan dampak atau kecenderungan pada keluarga untuk melakukan tindakan pasung. hasil riskesdas (2013) didapatkan odgj berat yang pernah dipasung dihitung dari 1.655 rumah tangga, meliputi 14.3% anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa berat, dan 18.2% terjadi pada penduduk yang tinggal di perdesaan. serta 19.5% terjadi pada kelompok penduduk dengan ekonomi rendah. kota blitar pada tahun 2015 odgj yang dipasung mencapai 16 orang dan pada tahun 2016 mencapai 9 orang. odgj yang dipasung dari tiga uptd kesehatan di kota blitar yaitu: uptd kesehatan kecamatan sukorejo terdapat 2 orang masih dipasung dan paska pasung sejumlah 4 orang. uptd kesehatan kecamatan kepanjen kidul terdapat 3 orang masih dipasung dan paska pasung sejumlah 10 orang, uptd kesehatan kecamatan sanawetan terdapat 1 orang masih dipasung dan paska pasung sebanyak 3 orang. jadi total dari seluruh odgj yang masih dipasung maupun paska pasung sebanyak 23 orang. metode pemasungan tidak terbatas pada pemasungan secara tradisional yaitu menggunakan kayu atau rantai pada kaki, tetapi termasuk tindakan pengekangan lain yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk mengurung, dan penelantaran yang menyertai salah satu metode pemasungan. sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada odgj berat di indonesia. salah satu upaya pemerintah melalui kementrian kesehatan adalah menjadikan indonesia bebas pasung. (riskesdas, 2013). dengan melihat kondisi masalah kesehatan jiwa lebih besar maka dalam laporan “kesahatan mental: pemahaman baru, harapan baru”. mengatakan bahwa pendekatan kesehatan masyarakat terutama keluarga dalam penanganan kesehatan mental memiliki peranan penting, pemahaman keluarga menjadi hal utama dalam mendukung kesembuhan odgj (walujani, 2001). selain itu keluarga juga semestinya memiliki upaya antara lain dalam memberikan dan mengawasi saat minum obat, kontrol ke pelayanan kesehatan secara teratur, memenuhi kebutuhan dasar manusia, serta memberdayakan potensi odgj agar tetap produktif dan bermakna didalam keluarga atau masyarakat. hasil studi pendahuluan tanggal 13 oktober 2016 pada 5 odgj diperoleh hasil, yaitu sebanyak 40% keluarga tidak mengetahui tentang prosedur memperoleh pengobatan, dan 40% keluarga besedia untuk melepaskan pemasungan, serta 20% keluarga mengajak masyarakat untuk melak-sanakan pembebasan pasung. penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan upaya keluarga dalam pencegahan tindakan pasung yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan pengembangan program kesehatan jiwa uptd kesehatan kecamatan kepanjen kidul. bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif untuk mengetahui upaya keluarga dalam pencegahan tindakan pasung. populasi dalam penelitian ini adalah salah satu anggota keluarga yang mempunyai anggota keluarga odgj di uptd kesehatan kecamatan kepanjen kidul kota blitar.sampel sebanyak 30 responden yang dipilih secara quota sampling, dengan kriteria yaitu anggota keluarga yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan yang mempunyai anggota keluarga odgj dan merepotkan keluarga antara lain gaduh, gelisah, mengamuk, defisit per awatan diri ya ng bera da diwilayah uptd kesehatan kecamatan kepanjen kidul kota blitar. variable dalam penelitian ini adalah upaya keluarga dalam pencegahan tindakan pasung. instrumen penelitian menggunakan angket tertutup berstruktur yang telah diujicobakan pada 7 responden uji coba, dan dibuat sedemikian rupa sehingga 113ulum, upaya keluarga mencegah pemasungan... responden hanya tinggal memilih beberapa pilihan jawaban yang tersedia. analisa data menggunakan univariat. hasil penelitian karakteristik responden penelitian dilaksanakan di wilayah uptd kesehatan kecamatan kepanjen-kidul kota blitar. data karakteristik responden terdiri dari jenis kelamin, umur, hubungan dengan odgj, pendidikan, pekerjaan, informasi, dan sumber informasi. hasil penelitian menunjukkan karakteristik responden, yaitu jenis kelamin sebagian besar 60% perempuan, usia responden sebagian besar (50%) > 50 tahun, hubungan responden dengan odgj 30% orang tua, pendidikan terakhir 37% sd, pekerjaan 30% buruh, informasi yang didapat responden 70% tidak pernah mendapatkan, dan sumber informasi 20% (6 orang) bersumber dari tenaga kesehatan. upaya f % baik 8 26.7 cukup 4 13.3 kurang 18 60 total 30 100 tabel 1 distribusi upaya keluarga dalam mengkaji kondisi odgj dari tabel 1 diketahui sebagian besar 60% keluarga dalam upaya melakukan pengkajian terhadap kodisi odgj adalah kurang. tabel 2 distribusi upaya perencanaan tindakan keluarga terhadap odgj upaya f % baik 3 10 cukup 18 60 kurang 9 30 total 30 100 dari tabel 2 diketahui sebagian besar 30% dalam melakukan perencanaan tindakan keluarga terhadap odgj adalah kurang. dari tabel 3 diketahui sebagaian besar 30% upaya keluar ga dalam melakukan perawatan terhadap odgj masih kurang baik. upaya f % baik 14 46.7 cukup 7 23.3 kurang 9 30 total 30 100 tabel 3 distribusi upaya keluarga dalam merawat odgj di uptd kesehatan upaya f % baik 14 46.7 cukup 7 23.3 kurang 9 30 total 30 100 tabel 4 distribusi upaya keluarga dalam memodifikasi lingkungan sekitar odgj dari tabel 4 diketahui 30% upaya keluarga dalam upaya melakukan modifikasi lingkungan sekitar adalah kurang. upaya f % baik 14 46.7 cukup 7 23.3 kurang 9 30 total 30 100 tabel 5 distribusi upaya keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan dari tabel 5 diketahui sebgaian besar 30% upaya keluarga didalam memanfaatkan fasilitas kesehatan adalah kurang. pembahasan upaya keluarga dalam mengkaji kondisi odgj pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga didalam upaya untuk melakukan pengkajian kondisi odgj sebagian besar 60% adalah keluarga dalam upaya melakukan pengkajian terhadap odgj kurang karena sebagian besar keluarga belum mampu mengidentifikasi bagaiman pemenuhan personal hygiene, prosedur minum obat dan terutama keluarga belum bisa mengenal tanda dan gejala kondisi odgj yang akan mengalami serangan amuk. 114 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 111–116 hasil tabulasi silang antara pendidikan terakhir dengan upaya keluarga yang kur ang ma mpu melakukan pengkajian terhadap kondisi odgj 30% berpendidikan sd. hal ini menunjukkan bahwa pendidikan responden yang rendah, dapat menghambat proses kesadaran dalam merespon informasi, sehingga ada kecenderungan kurang memperhatikan kondisi odgj terkait tanda dan gejala adanya risiko amuk. menurut mubarak (2007) bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah untuk merespon informasi. menurut peneliti semakin rendah pendidikan yang dimiliki seseorang maka semakin sulit dalam merespon informasi. upaya keluarga dalam merencanakan tindakan terhadap odgj hasil penelitian upaya keluarga dalam merencanakan tindakan terhadap odgj sebagian besar 30% kurang yaitu sebagian keluarga belum bisa merencanakan memberikan minum obat, memanggil petugas ketika terjadi amuk bahkan akan melakukan pemasungan. sikap adalah pandangan atau perasaan yang dikuti kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objektif. sikap seseorang dicerminkan dalam bentuk tendensi atau kecenderungan perilaku. kecenderungan bertindak merupakan modal dasar sebuah perencanaan. kecenderungan sangat dipengaruhi oleh orang lain yang dianggap penting. menurut peneliti upaya perencanaan tindakan keluarga terhadap odgj dapat dipengaruhi oleh sumber informasi yang didapat. sesuai hasil tabulasi silang antara sumber informasi dengan upaya keluarga dalam merencanakan tindakan terhadap odgj bersumber dari tenaga kesehatan sebagian besar 60% cukup. pada umumnya petugas kesehatan mempunyai pengaruh besar dalam memberikan informasi, namun terkadang keluarga tidak selalu melaksanaka n informasi yang dida pat tersebut. upaya keluarga dalam merawat odgj berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 30% kurang dapat melakukan merawat odgj. dimana sebagian keluarga masih belum bisa rutin memberikan obat, memberikan pemenuhan makan dan minum serta merawat kebersihan diri. upaya yang baik ini didukung salah satu tugas keluarga di bidang kesehatan yaitu merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan perlu memperoleh tindakan lanjutan di institusi pelayanan kesehatan atau dirumah. menurut mubarak (2007) semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima informasi khususnya tentang pencegahan merawat odgj. menurut peneliti semakin banyak pengetahuan yang dimiliki sesorang maka semakin mudah untuk merawat odgj, sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat penerimaan informasi. sesuai hasil tabulasi silang antara pendidikan dan upaya keluarga dalam merawat odgj, diperoleh responden yang berpendidikan sma sebesar 23.3% upaya baik. menurut peneliti, pendidikan mempengaruhi upaya keluarga dalam merawat odgj, karena pendidikan yang tinggi mempengaruhi daya tangkap informasi yang didapat keluarga, selain itu pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan. pendidikan bisa dihubungakan dengan pekerjaan, karena pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan, hal ini didukung oleh pendapat notoatmodjo (2010) bahwa pekerjaan merupakanperbuatan yang dilakukan tidak terputus, jelas dan dalam kedudukan tertentu. pekerjaan berkaitan dengan dunia kerja di masyarakat. lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik tentang pencegahan tindakan pemasungan pada odgj langsung maupun tidak langsung. sesuai hasil tabulasi silang antara pekerjaan dan upaya keluarga dalam merawat odgj diperoleh wiraswasta sebesar 10% dengan upaya yang baik. peneliti berpendapat bahwa pendidikan dan pekerjaan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi upaya seseorang karena pendidikan seseorang yang tinggi bisa mendapatkan pekerjaan. keluarga yang sering bertemu dengan masyarakat dapat menambah pengetahuan keluarga khususnya informasi tentang pencegahan tindakan pemasungan pada odgj. wiraswasta adalah pekerjaan yang sering berinteraksi dengan masyarakat sehingga dapat meningkatkan pengetahuan keluarga. upaya keluarga dalam memodifikasi lingkungan sekitar odgj berdasarkan hasil penelitian upaya keluarga dalam memodifikasi lingkungan sekitar odgj 46.7% adalah kurang, masih terdapat angka yang cukup tinggi dinamana keluarga msih belum mampu melakukan modifikasi lingkungan sekitar, bagaimana 115ulum, upaya keluarga mencegah pemasungan... cara membuat lingkungan aman, belum mampu memberikan sosialisasi dan mengontrol diri sebagai upaya preventif terhadap resiko amuk dimasyarakat. upaya yang kurang ini salah satunya dipengaruhi oleh usia, hal ini didukung oleh pendapat notoadmojo (2010) bahwa bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan fisik dan psikologis. sesuai tabulasi silang antara umur responden dan upaya keluarga dalam memodifikasi lingkungan sekitar odgj didapatkan hasil dari usia >50 tahun sebesar 33.3% kurang. menurut peneliti, usia >50 tahun mengalami penurunan fisik sehingga pada usia tersebut sudah tidak kuasa untuk melindungi sendiri, dengan demikian keluarga lebih memilih odgj dipasung. umur, pekerjaan juga berpengaruh dalam keluarga memodifikasi lingkungan sekitar odgj. pekerjaan ibu rumah tangga menuntut untuk selalu berada dirumah dan memiliki banyak waktu mengurus, memperhatikan dalam urusan rumah tangga khususnya dalam mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan. sesuai tabulasi silang antara pekerjaan dengan keluarga dalam memodifikasi lingkungan disekitar odgj adalah irt (ibu rumah tangga) kurang sebesar 16.7%. menurut peneliti, kegiatan irt bukan hanya memodifikasi lingkungan sekitar odgj saja, melainkan juga harus dikerjakan seperti memasak untuk keluarganya dan mengurus rumah tangga, sehingga irt kurang mampu untuk memelihara lingkungan odgj. berdasarkan hasil wawancara dari keluarga didapatkan hasil 43.3% kurang dalam upaya. hal ini dapat dikaitkan dengan irt bahwa kegiatan irt disibukan dengan kegiatan rumah tangga sehingga kurang mendapatkan informasi dari media cetak atau dari masyarakat. upaya keluarga dalam memanfaat-kan fasilitas kesehatan berdasarkan hasil penelitian ini upaya keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan didapatkan hasil 10% kurang, beberapa keluarga masih belum bisa secara teratur memanfaatkan dengan mengantar odgj ke fasiltas kesehatan, belum bisa melakukan rujukan dan belum sepenuhnya percaya terhadap fasilitas kesehatan. menurut niven (2012) menyatakan bahwa keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.keluarga juga memberi dukungan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit. sesuai dengan tabulasi silang antara hubungan keluarga dengan keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan adalah orang tua sebesar 6.7% cukup. menurut peneliti keluarga khususnya orang tua pada umumnya lebih berpengaruh pada gangguan jiwa karena adanya ikatan batin antara anak dan orang tua. selain itu cara orang tua yang memberikan keyakinan pada penderita juga berpengaruh pada pemanfaatan fasilitas kesehatan, misalnya mengajak gangguan jiwa untuk berobat secara rutin di puskesmas. simpulan dan saran simpulan tingkat kecemasan pada lansia di secara umum upaya keluarga dalam pencegahan tindakan pemasungan pada odgj di uptd puskesmas kecamatan kepanjen 50% kurang. upaya pencegahan tindakan pemasungan tersebut didukung oleh beberapa tugas keluarga yaitu; (1) upaya dalam mengkaji kondisi odgj sebesar 60% kurang. (2) upaya perencanaan tindakan keluarga terhadap odgj diperoleh 60% cukup. upaya perawatan odgj hanya 46.7% baik. upaya keluarga dalam memodifikasi lingkungan sekitar odgj sebesar 46.7% kurang. upaya keluarga dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan sebesar 56.7% cukup. saran uptd puskesmas kecamatan kepanjen kidul diharapkan dapat menyadarkan masyarakat melalui peningkatan kegiatan penyuluhan kesehatan tentang perawatan odgj dalam keluarga tanpa pasung dengan memberikan beberapa keterampilan yang menyangkut tugas keluarga dalam pemeliharaan kesehatan odgj tanpa pasung. hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian intervensi berkaitan dengan upaya keluarga dalam pencegahan tindakan pemasungan pada odgj (orang dengan gangguan jiwa). daftar rujukan badan penelitian dan pengembangan kesehatan. riset kesehatan dasar (riskesdas). 2013. kementrian kesehatan republik indonesia: jakarta. mubarak, wahid i. & chayatin, n. 2007. buku ajar 116 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 111–116 kebutuhan dasar manusia teori & aplikasi dalam praktik. : jakarta: egc. niven, n. 2012. psikologi kesehatan pengantar untuk perawat dan profesional kesehatan lain. jakarta: egc. notoatmodjo s. ilmu perilaku kesehatan. rineka cipta. jakarta. 2010. walujani. 2001. kesehatan jiwa, pemahaman baru harapan baru. dibuka pada http://www.kompas 109 hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu (relationship between pregnancy exercise with pain contraction in labour) eka purnama sari dan laily prima monica stikes patria husada blitar e-mail: prima.monica@yahoo.com abstract : childbirth is a physiological process that is experienced by pregnant women in which the baby, placenta and membranes comes out of the mother's uterus. in the birthing process, there is the pain of labor contractions which can be overcome by doing pregnancy exercise. method: the research design was correlational design. the research sample 13 mother in labour at bps sriwahyuni jatinom village, kanigoro subdistric, blitar regency. it was choosen using total sampling. the data was collected using questionnaire. the data was analysed using spearman rank. result : the results showed by spearman rank correlation (rho) that the r value = 0,864 and p value = 0,000. discussion : by doing pregnancy exercise on the first active phase of inpartu mother, it was expected to increase mother knowledge dan skills so that could reduce the pain of contraction. keywords : pregnancy exercise, pain contraction, labour persalinan adalah proses fisiologis yang harus dialami oleh setiap wanita yang hamil dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu. nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (yuni, 2008 : 120). estrogen dan progesteron terdapat dalam keseimbangan sehingga kehamilan dapat dipertahankan. perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron menyebabkan oksitosin yang dikeluarkan oleh hipofise parst posterior dapat menimbulkan kontraksi dalam bentuk braxton hicks. kontraksi braxton hicks akan menjadi kekuatan dominan saat mulainya persalinan. oleh karena itu makin tua frekuensi kontraksi makin sering. oksitosin diduga bekerja bersama atau melalui prostaglandin yang makin meningkat mulai dari umur kehamilan minggu ke-15. di samping itu faktor gizi ibu hamil dan ketegangan otot rahim dapat memberikan pengaruh penting untuk dimulainya kontraksi rahim (hakimi, 2010). perasaan sakit ini dapat dikurangi dengan cara nonmedikamentosa yaitu memberi penjelasan apa yang terjadi / akan terjadi, pendampingan selama persalinan yang kontinyu dan agar proses persalinan berjalan lancar dan baik serta tidak berkembang menjadi keadaan yang patologis dapat dikurangi salah satunya adalah senam hamil. senam hamil merupakan salah satu kegiatan dalam pelayanan selama kehamilan ( prenatal care ) dan senam hamil akan memberikan suatu hasil produk kehamilan atau persalinan yang lebih baik dibandingkan mailto:prima.monica@yahoo.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p104-107 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ sari dan monica, hubungan senam hamil…110 pada ibu-ibu hamil yang tidak melakukan senam hamil (sumarah, 2008 : 291). setelah melakukan studi pendahuluan pada tanggal 6 januari – 30 april 2013 diketahui jumlah ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sriwahyuni desa jatinom sebanyak 37 orang. dari 37 ibu tersebut 13 ibu inpartu yang mengetahui manfaat senam hamil untuk mengatasi nyeri pada saat persalinan. maka dari latar belakang tersebut penulis ingin meneliti tentang “ hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sri wahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar ”. rumusan masalahnya adalah adakah hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar. tujuan umumnya adalah mengetahui hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi senam hamil pada ibu inpartu kala 1 fase aktif., (2) mengidentifikasi nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif, (3) menganalisa hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif. manfaat penelitian bagi petugas kesehatan adalah dapat digunakan sebagai masukan dalam meningkatkan pelayanan dan penyuluhan kesehatan khususnya mengenai senam hamil yang berhubungan dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif serta sebagai data yang akurat guna mengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan status kesehatan. manfaat bagi instansi pendidikan adalah dapat menambah kepustakaan dan bahan acuan serta perbandingan dalam melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif. bahan dan metode desain penelitian korelasional dengan jenis penelitian dengan mengobservasi variabel independen terlebih dahulu kemudian diikuti sampai waktu tertentu untuk melihat terjadinya pengaruh variabel dependen. subyek penelitian ini sebanyak 13 ibu inpartu kala 1 fase aktif yang fisiologis di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar. subyek penelitian ini dipilih secara total sampling. variabel bebasnya adalah senam hamil pada ibu inpartu kala 1 fase aktif. variabel terikatnya adalah nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif.. skor yang diperoleh diubah menjadi kategori senam hamil dan kategori nyeri kontraksi, dan untuk mengetahui hubungan variable independent dan dependen menggunakan analisis uji korelasi sperman rank. hasil penelitian karakteristik ibu inpartu di bps sri wahyuni desa jatinom tertera pada tabel di bawah. tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f % 1 umur < 20 tahun 4 30,8 21 29 tahun 30 – 39 tahun 5 3 38,5 23,1 > 40 tahun 1 7,7 2 pendidikan sd 4 30,8 smp 4 30,8 sma 5 38,5 3 pekerjaan irt 8 61,8 swasta 5 38,5 111 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 109-113 tabel 2. senam hamil no sikap f % 1 baik 6 46,2 2 cukup 4 30,8 3 buruk 3 23,1 tabel 3. nyeri kontraksi no nyeri kontraksi f % 1 nyeri ringan 22 75,9 2 nyeri sedang 7 24,1 berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 13 responden, 46,2% atau 6 responden yang melakukan senam hamil dengan baik, mengalami nyeri kontraksi ringan (46,2%) atau sejumlah 6 responden. sedangkan 30,8% atau 4 responden yang melakukan senam hamil dengan cukup, responden yang mengalami nyeri kontraksi ringan sebanyak 1 responden (7,7%) dan yang mengalami kontraksi sedang sebanyak 3 responden (23,1%). sedangkan 23,1% atau 3 responden yang melakukan senam hamil dengan buruk, mengalami nyeri kontraksi sedang (23,1%) atau sejumlah 3 responden. berdasarkan uji statistik spearman rank didapatkan nilai sig = 0,000. hal ini menunjukkan 0,000 < 0,05 bahwa adanya hubungan antara senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar. nilai signifikansi didapatkan sebesar 0,000 dapat diartikan bahwa antara senam hamil dengan nyeri kontraksi terdapat hubungan yang sangat kuat dan positif sehingga dengan semakin baiknya praktik senam hamil maka nyeri kontraksi akan semakin berkurang. pembahasan senam hamil hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 13 responden, 46,2% atau 6 responden melakukan senam hamil dengan baik, 30,8% atau 4 responden melakukan senam hamil dengan cukup, dan 23,1% atau 3 responden mengalami senam hamil dengan buruk. senam hamil adalah latihan fisik berupa beberapa gerakan tertentu yang dilakukan khusus untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil. senam hamil dimulai pada umur kehamilan setelah 22 minggu (mandriwati, 2007: 171). adanya kecenderungan senam hamil yang baik ini merupakan aktulisasi dari perilaku ibu hamil dalam melakukan senam hamil. notoatmodjo (2005) menjelaskan bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, termasuk tentang melakukan senam hamil. beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang, antara lain meliputi (1) tingkat pendidikan, berdasarkan hasil penelitian didapatkan 30,8% atau 8 responden berpendidikan sd dan smp, 38,5% atau 5 responden berpendidikan sma. seseorang yang mempengaruhi penerimaan informasi pendidikan formal berfungsi untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengembangkan daya intelektual, dan memudahkan dalam menerima atau mengadopsi perilaku yang positif. (2) faktor usia, berdasarkan hasil penelitian didapatkan 30,8% atau 4 responden berusia < 20 tahun, 38,5% atau 5 responden berusia 21-29 tahun, 23,1% atau 3 responden berusia 30-39 tahun, 7,7% atau 1 responden berusia > 40 tahun usia responden yang tergolong pada usia muda dan produktif mengakibatkan responden sangat aktif dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan untuk ibu hamil khususnya melakukan senam hamil. responden juga mengikuti kelas ibu hamil yang mengajarkan tahapan-tahapan senam hamil secara baik sehingga responden mampu memahami dan mempraktekkan senam hamil tersebut dengan baik pula. (3) pekerjaan, berdasarkan hasil penelitian didapatkan 38,5% atau 5 responden ibu bekerja swasta, 61,5% atau 8 responden ibu rumah tangga. ibu rumah tangga akan memiliki waktu luang yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan ibu yang memiliki pekerjaan. dengan adanya waktu luang ini, responden tentunya akan memanfaatkan waktunya untuk melakukan senam hamil yang tentunya akan memperbaiki kondisi kehamilannya. pelaksanaan senam hamil yang baik ini diduga dipengaruhi oleh umur, pendidikan dan pekerjaan responden. sari dan monica, hubungan senam hamil…112 nyeri kontraksi responden data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 13 responden, 0% atau 0 responden tidak mengalami nyeri kontraksi, 53,8% atau 7 responden mengalami nyeri kontraksi ringan, 46,2% atau 6 responden mengalami nyeri kontraksi sedang, 0% atau 0 responden mengalami nyeri kontraksi berat, dan 0% atau 0 responden mengalami nyeri kontraksi sangat berat. nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya. munculnya nyeri sangat berkaitan dengan reseptor dan adanya rangsangan. reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khusunya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kantong empedu. reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau rangsangan (yuni, 2008). beberapa faktor yang dapat menyebabkan rasa nyeri pada responden adalah arti nyeri, toleransi nyeri dan reaksi terhadap nyeri. hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 13 responden, 46,2% atau 6 responden yang melakukan senam hamil dengan baik, mengalami nyeri kontraksi ringan (46,2%) atau sejumlah 6 responden. sedangkan 30,8% atau 4 responden yang melakukan senam hamil dengan cukup, responden yang mengalami nyeri kontraksi ringan sebanyak 1 responden (7,7%) dan yang mengalami kontraksi sedang sebanyak 3 responden (23,1%). sedangkan 23,1% atau 3 responden yang melakukan senam hamil dengan buruk, mengalami nyeri kontraksi sedang (23,1%) atau sejumlah 3 responden. berdasarkan uji statistik spearman rank didapatkan nilai sig = 0,000. hal ini menunjukkan 0,000 < 0,05 bahwa adanya hubungan antara senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar. nilai signifikansi didapatkan sebesar 0,000 dapat diartikan bahwa antara senam hamil dengan nyeri kontraksi terdapat hubungan yang sangat kuat dan positif sehingga dengan semakin baiknya praktik senam hamil maka nyeri kontraksi akan semakin berkurang. adanya hubungan ini mengindikasikan bahwa senam hamil merupakan salah satu jalan untuk memperlancar proses persalinan yang akan dihadapi. tujuan dari senam hamil adalah memperkuat dan mempertahankan elastisitas otot-otot didnding perut, ligament-ligamen, otot dasar panggul yang berhubungan dengan proses persalinan. selain itu diperlukan untuk untuk memperoleh relaksasi tubuh yang sempurna sehari-hari, juga untuk memperoleh sikap tubuh yang relaks dan ketenangan selama melahirkan. senam hamil harus dilakukan secara teratur dan disiplin dalam batas-batas kemampuan fisik ibu dan juga dibawah pimpinan instruktur senam hamil (mandriwati, 2007). apabila melakukan senam hamil dengan baik tentunya secara fisik dan mental seorang ibu hamil akan memiliki perasaan yang nyaman sehingga akan memberikan kelancaran pada saat persalinan. bidan perlu melakukan penyuluhan kepada ibu hamil agar proaktif memeriksakan kesehatan mereka dan mencegah sekecil mungkin resiko sebelum melahirkan, dengan harapan dapat melakukan senam hamil secara teratur. namun, hal ini juga bergantung dari banyak faktor, diantaranya (1) tingkat pendidikan, hasil penelitian menunjukkan sebagian kecil ibu inpartu berpendidikan sd yaitu 30,8% atau 4 responden. seseorang yang mempengaruhi penerimaan informasi pendidikan formal berfungsi untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengembangkan daya intelektual, dan memudahkan dalam menerima atau mengadopsi perilaku yang positif. misalnya: ibu inpartu ketika merasakan ada kontraksi ibu tersebut menjerit-menjerit atau berbicara keras. (2) dukungan sosial, dimana kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau buruk. namun tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat mengikat menjadi adat istiadat yang terlalu mengikat. ibu inpartu yang didampingi suami atau tanpa didampingi suami itu beda karena ibu tersebut dengan penuh kasih sayang merasakan betapa besarnya pengorbanan untuk melahirkan bayi sehingga hal itu akan menyebabkan para ibu akan cenderung mempunyai pandangan dan sikap yang lebih 113 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 109-113 positif dalam melakukan senam hamil secara baik dan teratur untuk mengurangi nyeri kontraksi persalinan (notoatmodjo,2005). simpulan dan saran simpulan senam hamil pada ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar dalam kategori baik yaitu sebesar 46,2% atau 6 orang. nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar dalam kategori nyeri ringan yaitu sebesar 53,8% atau 7 orang. ada hubungan senam hamil dengan nyeri kontraksi pada ibu inpartu kala 1 fase aktif di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar ditandai dengan taraf signifikansi 0,000 dan r = 0,864 yang menunjukkan bahwa antara senam hamil dengan nyeri kontraksi terdapat hubungan yang sangat kuat dan positif sehingga dengan semakin baik praktik senam hamil maka nyeri kontraksi akan semakin berkurang. saran petugas kesehatan yang ada di bps sriwahyuni desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar untuk selalu memberikan motivasi ibu hamil melakukan senam hamil secara teratur dan memberikan pendidikan kesehatan yang berkesinambungan mengenai senam hamil. diharapkan pada responden meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam melakukan senam hamil sehingga dapat mewujudkan persalinan yang lebih baik. profesi kesehatan khususnya kebidanan hendaknya lebih giat dan aktif dalam memberikan konseling, informasi, dan edukasi tentang senam hamil di lingkungan pendidikan secara berkala setiap bulan dan berkesinambungan sesuai kebutuhan dan keadaan. diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi penelitian selanjutnya sehingga penelitian dalam bidang kebidanan dapat semakin berkembang. daftar rujukan hakimi. 2010. ilmu kebidanan : patologi dan fisiologi persalinan. yogyakarta: c.v andi offset kusmiyati, yuni. 2008. perawatan ibu hamil (asuhan ibu hamil). yogyakarta: fitramaya mandriwati. 2007. penuntun belajar asuhan kebidanan ibu hamil. jakarta : egc notoatmodjo. soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta sumarah,dkk. 2008. perawatan ibu bersalin (asuhan kebidanan pada ibu bersalin). yogyakarta: fitramaya e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 253prayogi, peer group support ... 253 peer group support untuk menurunkan tingkat depresi pada lansia di upt pslu blitar (peer group support to decrease the depression level of elderly at upt pslu blitar) bisepta prayogi stikes patria husada blitar email: bisepta87@gmail.com abstract: indonesia has entered an era where the population structure is elderly and estimated that in 2020 the number of elderly reach 28.8 million (11.34%) peoples with a life expectancy of 71.1 years old. as people getting old, aging and physical changes are unavoidable. this changes can lead to mental disorders. depression is one of the many common mental disorders in the elderly due to aging. based on data in canada, 5-10% of elderly living in the community are depressed, while those living in the institutional environment of 30-40% have depression and anxiety. one effort that can be done to deal with depression in the elderly is to use intervention peer group support. methods: this research used pre-experiment with the one group pre-post test design. the total sample was 30 respondents taken by purposive sampling. the data were analyzed by paired t test,with significance value of 0.05. results:based on test result of the paired t test, there was differences in level of depression before and after peer group support (p=0,001). discussion:with the provision of peer group support interventions,it could reduce the level of depression in the elderly at upt pslu blitar. keywords: elderly, depression, peer group support abstrak: indonesia saat ini telah memasuki era di mana struktur penduduk tua dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia adalah sebesar 28,8 juta (11,34%) orang dengan harapan hidup berusia 71,1 tahun. seiring bertambahnya usia, penuaan dan perubahan fisik yang tidak dapat dihindari. perubahan ini dapat menyebabkan gangguan mental. depresi adalah salah satu dari banyak gangguan mental yang umum pada orang tua karena penuaan. berdasarkan data di kanada, 5-10% hidup lansia di masyarakat mengalami depresi, sementara mereka yang tinggal di lingkungan kelembagaan 30-40% mengalami depresi dan kecemasan. salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi depresi pada orang tua adalah dengan menggunakan intervensi sebaya kelompok dukungan. metode: penelitian ini menggunakan studi pra-eksperimen dengan satu kelompok desain pre-post test. jumlah sampel adalah 30 responden diperoleh dengan purposive sampling. data dianalisis dengan paired t test, dengan nilai signifikansi 0,05. hasil: berdasarkan hasil uji t pasangan, ada perbedaan tingkat depresi sebelum dan sesudah dukungan kelompok sebaya (p = 0,001). diskusi: dengan pemberian intervensi dukungan kelompok sebaya, dapat mengurangi tingkat depresi pada lansia di upt pslu blitar. kata kunci: lansia, depresi, rekan grup dukungan perkembangan ilmu dan teknlogi di bidang kesehatan yang pesat saat ini dan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan membuat angka harapan hidup masyarakat juga ikut meningkat. meningkatnya usia harapan hidup menyebabkan golongan penduduk lanjut usia (lansia) juga ikut meningkat. pada tahun 2005 jumlah populasi lansia di negara-negara maju sebesar 20% dari total populasi negara tersebut. tahun 2005 populasi lansia di dunia sekitar 1,3% dan diperkirakan pada tahun acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p253-256 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 254 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 253–256 2050 akan meningkat menjadi 4,4% (united nation, 2007). indonesia saat ini telah memasuki era dimana penduduknya memiliki struktur lansia. hal ini dikarenakan pada tahun 2009 jumlah penduduk lansia sekitar 7,18%. daerah di indonesia yang memiliki jumlah lansia terbesar yaitu sekitar 7% dari total populasi berada di pulau jawa dan bali. pada tahun 2006 jumlah penduduk lansia kurang lebih 19 juta lansia, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, sehingga jumlah lansia pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (menkokesra, 2009). seiring bertambahnya usia, penuaan tidakdapat dihindarkan dan terjadi perubahan keadaan fisik; selain itu para lansia mulai kehilangan pekerjaan, kehilangan tujuan hidup, kehilangan teman, risiko terkena penyakit, terisolasi dari lingkungan, dan kesepian. hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan mental. depresi merupakan salah satu gangguan mental yang banyak dijumpai pada lansia akibat proses penuaan. berdasarkan data di canada, 5-10% lansia yang hidup dalam komunitas mengalami depresi, sedangkan yang hidup dalam lingkungan institusi 30-40% mengalami depresi dan cemas (mood disorders society of canada, 2010). dari studi pendahuluan yang dilakukan di upt pslu pada tanggal 12 oktober tahun 2016 didapatkan data lansia yang mengalami depresi sebanyak 32 lansia. tingkat depresi yang dialami lansia berada di tingkat ringan sebanyak 17 lansia dan depresi tingkat sedang sebanyak 15 lansia. depresi menurut who (world health organization) merupakan suatu gangguan mental umum yang ditandai dengan mood tertekan, kehilangan kesenangan atau minat, perasaan bersalah atau harga diri rendah, gangguan makan atau tidur, kurang energi, dan konsentrasi yang rendah. 5,6 masalah inidapat akut atau kronik dan menyebabkangangguan kemampuan individu untuk beraktivitas sehari-hari. pada kasus parah, depresi dapat menyebabkan bunuh diri. sekitar 80% lansia depresi yang menjalani pengobatan dapat sembuh sempurna danmenikmati kehidupan mereka, akan tetapi 90% mereka yang depresi mengabaikan dan menolak pengobatan gangguan mental tersebut (mood disorders society of canada, 2010). salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi depresi pada lansia adalah dengan menggunakan intervensi peer group support. hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (somar, 2001) bahwa individu yang sedang memiliki masalah kesehatan, memerlukan dukungan dari teman sebaya (peer group support) yang seringkali sulit mereka dapatkan. oleh karena itu dengan adanya peer group support diharapakan dapat menurunkan tingkat depresi pada lansia. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah preexperiment dengan rancangan one grouppre-post test design. populasi pada penelitian ini para lansia yang tinggal di upt pslu blitar. teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan sampel 30 responden. variabel independen adalah peer group support, sedangkan variabel dependen adalah tingkat depresi lansia. instrumen yang digunakan: 1) kuesioner untuk mengumpulkan data demografi meliputi jenis kelamin responden, usia, riwayat pendidikan, agama, 2) kuesioner untukmengukur tingkat depresi pada lansia. data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik paired t test, dengan derajat kemaknaan p dd 0,05. hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin tabel 1. karakteristik lansia berdasarkan jenis kelamin di upt pslu blitar pada bulan november 2016 no. jenis kelamin jumlah presentase 1 laki-laki 10 33% 2 perempuan 20 67% tota l 30 100% sebagian besar jumlah lansia adalah perempuan sebanyak 20 orang lansia (67%) dari 30 responden secara keseluruhan karakteristik responden berdasarkan usia tabel 2. karakteristik lansia berdasarkan usia di upt pslu blitar pada bulan november 2016 no. usia jumlah presentase 1 60-74 tahun (lanjut usia ) 13 43 % 2 75-90 tahun (lanjut usia tua) 17 57 % tota l 30 100% 255prayogi, peer group support ... jumlah responden yang paling banyak adalah kelompok umur 75-90 tahun yaitu sebanyak 17 orang lansia (57%) dari 30 responden secara keseluruhan. karakteristik responden berdasarkan agama pembahasan peer group support untuk menurunkan tingkat depresi pada lansia di upt pslu blitar sebagian besar responden sebanyak 16 responden (53%) sebelum intervensi peer group support memiliki tingkat depresi sedang. kemudian setelah intervensi peer group support responden paling banyak memiliki tingkat depresi ringan sebanyak 23 responden (77%). berdasarkan jumlah tersebut terjadi penurunan tingkat depresi sebelum dan sesudah dilakukan intervensi peer group support. hal ini diperkuat dengan hasil uji statistik menggunakan uji paired t test yang menunjukkan p= 0,001 (p<0,05). hasil tersebut menyatakan bahwa ada perbedaan tingkat depresi pada lansia sebelum dan setelah diberikan intervensi peer group support. pada penelitian ini sebelum diberikan intervensi peer group support lansia sebagian besar memiliki tingkat depresi sedang. hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh mood disorders society of canada (2010) bahwa lansia yang tinggal di sebuah institusi memiliki kemungkinan 30-40 % mengalami depresi. di upt pslu blitar sebagian besar lansia sudah tidak memiliki keluarga sehingga banyak lansia yang merasa kesepian. penelitian ini menunjukkan adaperbedaan tingkat depresi yang signifikan pada lansia di upt pslu blitar setelah diberikan peer group support. peer group support merupakan kegiatan di ma na sekelompok orang yang jumlah setiap kelompoknya kurang dari 8 orang yang berkumpul dengan membawa berbagai permasalahan, mereka bertemu secara reguler pada waktu yang telah disetujui bersama, dengan saling mendengarkan satu sama lain dan dari berbagi kesulitan tersebut dicari solusinya secara bersama-sama. sebagai konsekuensi, anggota dapat merasakan dukungan satu sama lain dan akan mencoba mengungkapkan setiap permasalahan yang ada untuk diselesaikan secara bersamasama (leedennis dalam ekasari, 2013). pada penelitian ini lansia yang ikut dalam kegiatan peer group support memiliki antusias yang tinggi. pada kegiatan ini para lansia mengungkapkan bahwa mereka sedih karena ditinggal oleh keluarga atau kerabat. namun setelah berjalannya kegiatan peer group support lansia mengungkapkan bahwa kesedihan dan perasaan kesepian mereka telah berkurang. hal ini dikarenakan adanya pertemuan yang reguler dengan para lansia yang lain. pertemuan ini tabel 3. karakteristik lansia berdasarkan agama di upt pslu blitar pada bulan november 2016 no . agama jumlah presentase 1 islam 28 94% 2 kristen 1 3% 3 katolik 1 3% total 30 100% responden yang paling banyak adalah beragama islam yaitu sebanyak 28 orang lansia (94%) dari 30 responden secara keseluruhan. karakteristik responden berdasarkan riwayat pendidikan tabel 4. karakteristik lansia berdasarkan pendidikan di upt pslu blitar pada bulan november 2016 no . status jumlah presentase 1 sd 8 27% 2 smp 7 23% 3 tidak sekolah 15 50% total 30 100% jumlah responden yang paling banyak adalah tidak sekolah yaitu sebanyak 15 orang lansia (50%) dari 30 jumlah responden secara keseluruhan. hasil peer group support untuk menurunkan tingkat depresi pada lansia tabel 5. hasil peer group support untuk menurunkan tingkat depresi pada lansia responden pretest posttest n sd mean 3 0 1,814 8,47 30 1 ,660 7,73 paired t test p=0,0 01 hasil uji dengan uji paired t test didapatkan hasil p=0,001 yang menunjukkan ada perbedaan tingkat depresi sebelum dan sesudah pemberian peer group support, lihat tabel 5). 256 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 253–256 memunculkan kembali rasa kekeluargaan diantara para lansia. hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh goldman (2010). goldman menjelaskan bahwa peer group support dapat diberikan sebagai layanan untuk orang yang memiliki suatu permasalahan yang memungkinkan mereka untuk memberdayakan strategi-strategi yang efektif untuk menjalani hidup yang berkualitas. sebagai konsekuensi, anggota kelompok tersebut dapat merasakan dukungan satu sama lain, motivasi dan akan mencoba mengungkapkan setiap permasalahan yang ada untuk diselesaikan bersama-sama. sehingga pemberian intervensi peer group support sangat cocok bila diterapkan secara reguler di upt pslu blitar. simpulan dan saran simpulan tingkat depresi pada lansia di upt pslu blitar sebelum diberikan intervensi peer group support sebagian besar berada pada tingkat sedang sebanyak 16 lansia (53%). sedangkan setelah diberikan intervensi peer group support tingkat depresi lansia sebagian besar berada pada tingkat depresi ringan sebanyak 23 lansia (77%). tingkat depresi pada lansia di upt pslu blitar dapat menurun melalui pemberian intervensi peer group support. saran bagi perawat dapat dijadikan kajian untuk mempertimbangkan peer group support sebagai alternatif intervensi dalam menurunkan tingkat depresi pada lansia. bagi upt pslu diharapakan untuk bekerjasama dengan tim kesehatan dalam memantau kondisi lansia yang tinggal di upt pslu blitar, dan memberikan dukungan yang optimal kepada lansia yang memiliki masalah baik fisik maupun psikologinya. daftar rujukan alimul, a. 2003. riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba medika. united nations. 2007. department of economic and social aff airs population division. world population prospects: the 2006 revision, highlights. new york: united nation. menkokesra. 2009. lansia masa kini dan mendatang. kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat. mood disorders society of canada. 2010. depression in elderly. consumer and family support. kuntjoro, z.s. 2014. dukungan sosial pada lansia.http:// www.psychoshare.com/file-625/psikologi-lansia/ dukungan-sosial-pada-lansia.html diakses 07 maret 2016 jam 19.45. goldman, linda, dkk. 2010. massachusetts department of publichealthbureauof infectious disease of ficeofhiv/aids and boston public health commission infectious disease bureau hiv/ aids services division. http://www.bphc.org/ whatwedo/infectious-diseases/ryan-whitehiv-aidsservices/documents/peer% 20support% 20guidelines.pdf diakses 8 maret 2016 jam 16.45 dahlan, sopiyudin. 2011. statistika untuk kedokteran dan kesehatan. jakarta: salemba medika. somar, l. 2001. rehabilitasi pecandu narkoba. jakarta: pt gramedia widiasarana indonesia. 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 150–153 150 the effectiveness of moringa leaves extract and cancunpoint massage towards breast milk volume on breastfeeding mothers nevy norma renityas patria husada blitar school of health science email: nevy_syai@yahoo.com abstract: insufficiency of fulfillment asi as the main reason a mother to stop breastfeeding early, she felt asi owned did not affect the growth of the baby’s weight (binns, 2002). so to help smooth expenditure done with the breast milk of moringa leaf extract and acupressure on cancung point (cv 17). the purpose of this study was to analyze the effectiveness of moringa leaf extract and cancung point massage to increase breast milk volume in breastfeeding mothers. the design of this research is pretest and posttest group design. the population of this research is breastfeeding mother in sanan wetan area. the population is 20 people. the sample of this research is breastfeeding mother in sanan wetan area as many as 20 people. sampling in this research use purposive sampling. the treatment in this study using moringa leaf extract at a dose of 800 mg and a massage at the point cancung. treatment was done 2x in a day for 1 month.the results showed an increase in points between before and after is 375 points, and there is influence between the consumption of moringa leaves and massaging at point cancung to the increase in volume of breast milk with p = 0.000. the results showed that about 17 respondents had> 400ml breast milk. one way to increase the volume of breast milk is by giving the extract of moringa leaf and massage at the point of cancung. health workers, especially midwives in order to consider complementary therapies that moringa leaf extract and massaging at point cancung to increase the volume of milk so that achievement can be increased breastfeeding mothers. keywords: moringa leaf extract, cancung point, breast milk, breastfeeding mother jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p150–153 introduction fulfilling the need for nutrition in infants aged 0-6 months must be provided by the mother. onis and onyango revealed that efforts to improve nutritional needs in infants aged 0-6 months based on under-nutrition at age less than 2 years will have an impact on the decrease of physical growth, brain development, intelligence, and productivity of this impact is largely irreversible (irreversible) (onis & onyango, 2008). inadequate fulfillment of breast milk as the main reason for a mother to stop breastfeeding early, i feel that breast milk does not affect the growth of baby’s weight.breast milk insufficiency can cause the mother to become stressed.therefore, breast-feeding mothers to add milk formula instead of breast milk, whereas breast milk is needed by the baby’s future growth and development process involving the hypothalamus, pituitary and breast, which have begun at the time of the fetus until the time of labor.breastfeeding exclusively for 6 months and continued until the age of 2 yea r s in a ddition to the pr ovision of complementary feedingadequately shown to be one effective intervention can decrease the infant mortality rate (imr). lactation is an integral part of the reproductive process that feeds the baby ideally and naturally and is the biological and psychological basis needed for growth. breast milk is an ideal food for baby growth. some components contained in breast milk as a source of nutrients for growth and the first protection against infection. some components contained in breast milk as a source of nutrients for growth and the first protection against infection. the process of milk formation is a complex. it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 151renityas, the effectiveness of moringa leaves extract... according to the ministry of health (2014). that the percentage of breastfeeding pattern of infant aged 0 months is 39,8%, breastfeeding predominant equal to 51%, and partial feeding equal to 55,1%. exclusive breastfeeding 0-6 months of 2016 in east java of 31.3%, this is very far from the government program on sdg’s 2030 that is breastfeeding up to 2 years of 100%. decreased milk production in the first days after delivery can be caused by a lack of stimulation of prolactin and oxytocin hormones that play a role in the smooth production of breast milk. a study conducted by blair (2003) showed that in 95 postpartum mothers who breastfed their babies found their milk production decreased if the baby’s suction stimula tion decreased or decr eased. similarly, research conducted by pace (2001) shows that the decrease in infant suction also decreases the stimulation of prolactin and oxytocin hormones. so to help launch the expenditure of breast milk done by giving moringa leaf extract and acupressure at the point can cung (cv 17)moringa leaf extract is a local food that has the potential to be developed in culinary breastfeeding mothers, because it contains phytosterol compounds that function to improve and facilitate the production of breast milk (lactagogum effect). theoretically, the compounds that have the effect of lactagogum include sterol. sterol is a steroid group compound (nurmalasari, 2010). while acupressure at cancung point (cv17) can stimulate cutaneus which is expected to increase patient comfort, stimulate oxytocin release, resulting in increased milk production. methods the design of this research is pretest and posttest group design. the population of this research is breastfeeding mother in sanan wetan area. the population is 20 people. the sample of this research is breastfeeding mother in sanan wetan area as many as 20 people. if at the time of the research the respondent was not there, then excluded from this research. sampling in this resear ch use pur posive sampling. dependent variables in this study were moringa leaf extract a nd a cupr essur e point cancung (cv17). the independent variable is the volume of breast milk.moringa leaves are green dry extracted using 80% ethanol, maceration for 24 hours, rotavapor extract at a temperature of 500 c for 2x24 hours. the result is freezedried for 2x24 hours. the extract was mixed with moringa flour with a ratio of 1: 4 then put into one moringa extract capsule weighing 800mg. each moringa extract capsule contains 0.10g protein, 0.15g fat, vitamin a 2.5ìg, vitamin e 11.72mg, vitamin c 10.25mg, and iron 0.08mg; and moringa flour capsules contain 0.22g protein, 0.02g fat, vitamin a 0.13ìg, vitamin e 0.90mg, vitamin c 0.14mg, and 0.28mg of iron. the researcher gave 2x acupressure treatment and 2 mg capsule extract per month, before treatment was given, the respondents observed their breast milk volume and after 2 treatment of acupressure and 2 capsules per day for 1 month visit in observation of breast milk volume. different test of 2 result of measurement in same group, if normal distributed data used paired t-test, if not normal distribution used wilcoxon test. result table 1 totalvolumeofbreast milk before and after massage at can cung point and moringa leaf germination variable total production of breast milk (ml) <200 200-400 >400 before 8 7 5 after 0 3 17 univariate analysis based on the above table states that before the treatment there are 8 respondents have> 200ml volume of breast milk. and after treatment there are 17 respondents have> 400 ml milk. table 2 the numerical results of paired sample t-test mean std deviation t sig, 2 tailed before 290.000 108.458 15.463 0.000 after 665.000 bivariate analysis in the table above proves that there is a rise of points between before and after that is 375 points, and there is influence between the consumption of moringa leaf and massage at the point can cung to increase the volume of breast milk. 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 150–153 discussion before treatment moringa leaf extract and massaging at point cancung in the first days of a baby’s birth, when sucking the nipple is adequate, it will be produced gradually 10-100 ml of milk. breast milk production will be optimal after 10-14 days of infant age. a healthy baby will consume 700-800 ml / day. breastfeeding production begins to decrease from 500 to 700 ml after the first 6 months, 400-600 in the second 6 months of infancy, and will be 300-500 ml in the second year of childhood. (wiji, 2013). the results showed that before treatment there were 8 respondents who had the volume of milk> 200 ml per 24 hours. judging from the volume, the average is still quite a bit of it can happen due to the efforts of nursing mothers in overcoming problems in her breast milk and nursing mothers have not been optimally used as respondents claimed to have never done breast care or massage. but in some mothers there may be difficulties in the expenditure of breast milk because more mothers are affected myths so that mothers are not sure to give milk to their babies. uncertain mother’s feelings of breastfeeding her baby will cause a decrease in the hormone oxytocin so that breast milk can not come out immediately after delivery and eventually the mother decides to give formula milk. the volume of breast milk produced and released by the breast glands may differ based on the factors that affect it. breastmilk production that mother will produce on her breast gland is not the same every time. it is said that the volume of milk will decrease over time. (wiji, 2013). after treatment kelor leaf extract and massage at cancung point. the results showed that about 17 respondents had> 400ml breast milk. one way to increase the volume of breast milk is by giving the extract of moringa leaf and massage at the point of cancung. in the physiological state of lactation, women’s nutritional needs increase due to the need to produce milk. rahayu research results stated that dietary factors significantly influence milk production in addition to psychological factors and the baby’s sucking. moringa oleifera (moringa oleifera) is a local food that has the potential to be developed in culinary breastfeeding mothers, because it contains phytosterol compounds that function to improve and facilitate the production of breast milk (lactagogum effect). theoretically, the compounds that have the effect of lactagogum include sterol. sterol is a steroid group compound (nurmalasari, 2008). massage at the point of cancung is between the two breasts can provide a stimulus to increase milk production is the provision of stimulation of the mother’s breast muscles, by sorting or massase is expected to provide stimulation to the mother’s milk glands in order to produce milk (wulandari, 2011) . becker did research at the neonatal unit, this study explained that the volume of water to produce more milk, breastfeeding mothers will have to be in a relaxed state psychologically. in addition, massage can also be done while emptying or pumping. by paying attention to these techniques, the feeding process becomes more effective. analysis of the effectiveness of moringa leaf extract and cancung point to increased breastfeeding breast milk is a complex liquid that contains many important elements, namely carbohydrates, proteins, fats, water soluble vitamins, fat soluble vitamins, minerals, and epithelial cells.18 generally, high levels of breast milk nutrition at birth and will decrease during the lactation period. iron content in mature milk is 0.2-0.9 mg / l, and according to almatsier s the average iron content of breast milk is 0.3 mg / l. the use of moringa leaves as a nutritional supplement is increasingly widespread, as evidenced by the increasing number of reports of its use in various places both in animals try or humans. moringa leaf extract contains micro-nutrient multiply, (content per 100g) such as: 6.8 mg beta carotene, 0.21 mg thiamin (b1), 0.05 mg riboflavin (b2), 0.8 mg niacin (b3) , 440 mg of calcium, 7 mg of iron, 70 mg of phosphorus, 24 mg magnesium, 137 mg zinc, 220 mg vitamin c, so as to increase the volume of breast milk in breastfeeding mothers. pearls concluded that moringa leaves are food ingr edients tha t can incr ease mother ’s milk production. the results showed that there were significant differences before and after treatment with kelor lea f extr a ct and ma ssage a t ca ncung point. reinforced with the results of a study from pearl (2011), indicating that giving kelor leaf flour can significa ntly incr ea se r a t milk pr oduction 153renityas, the effectiveness of moringa leaves extract... significantly. administration of doses starting at 42 mg / kg bw can significantly increase the secretion of white mouse milk and increase the weight of the rats increases with increasing doses. research from zakaria et al (2016), there was an increase in the volume of br ea st milk before a nd a fter the intervention (giving kelor leaf extract) in both groups was significa ntly differ ent (p <0.001). the difference in the increase in breast milk volume between the higher inter vention gr oups was significantly different (p = 0.040). in addition to giving kelor leaf extract, to maximize the increase in the volume of breast milk then with a massage at the point cancung. this massage provides a relaxing effect that can reduce complaints such as headaches, vertigo, migraine, increase concentration, regulate appetite and drink, blood circulation (wong, 2011). massage at the point cancung can stimulate the release of the hormone oxytocin in the mammary gland, this is because when the mother feels comfortable, mendapaat enough touch, enough temperature and no stress or mother in a relaxed condition. becker (2015), conducted a study in the neonatal unit, the study explains that to produce more milk volume, breastfeeding mothers should be in a psychologically relaxed state. this is also supported by a study from moberg, 1998 which says that oytosin is excr eted when the mother feels comfortable, achieves enough touch, enough temperature and no stress or the mother is in a relax state. conclusion and suggestion conclusion based on the result of research and discussion, it can be concluded that the effectiveness of kelor leaf extract and massage at cancung point can increase the significant milk volume in breastfeeding mothers. suggestion hea lth wor ker s, especia lly midwives to consider complementary therapies that are giving kelor leaf extract and massage at the point cancung to increase the volume of breast milk so that the achievement of breastfeeding mothers can increase and the baby can avoid low weight because nutrition from breast milk has been met. references becker ge, smith ha, cooney f. methods of milk expression for lactating women. cochrane database systematic review [serial on the internet]. 2015 [cited 2015 june 21]; 7: 12. available from: http:// www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed /22161398 nurmalasari md, 2008, isolasi kandungan senyawa sauropus androgynus (l.) merr (isolat fraksi nheksana : etil asetat=80:20). undergraduate thesisi of airlangga university. 2008. p. 4–6. onis m de, onyango a. who child growth standards. 2008, available from: http://cdrwww.who.int/entity/ childgrowth/publications/ca_symposium_ com parison /en/. diakses tanggal 2 desember 2017 wiji, rizki, n. 2013. asi dan panduan ibu menyusui. yogyakarta wulandari, setyo, r & sri, h. 2011. asuhan kebidanan ibu masa nifas. yogyakarta wong, ferry ,2011, acuyoga kombinasi akupresure dan yoga. penebar plus. jakarta. zakaria, ven, l, suryani, a, & burhanuddin, b. 2016. effect of extract moringa oleifera on quantity and quality of breastmilk in lactating mothers, infants 0-6 month. jurnak mkmi, vol.12, no.3, hh.161-169. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 1suprajitno, upaya keluarga mencegah penularan ... 1 upaya keluarga mencegah penularan tuberkulosis (the family effort to prevention transmission of tuberkulosis) suprajitno1, sri mugianti1, umi albaqiyatus sholikhah2 1jurusan keperawatan poltekkes malang, 2praktisi keperawatan bedonku@yahoo.co.id abstract: tubercolusis is an infection disease that can prevented through the family effort. the study purpose was to describe the family effort to prevent transmission of tuberculosis. this study was descriptive. the study population was all of family who have family members suffering of tuberculosis was record in uptd kesehatan kota blitar as many as 36 families. the sample used total population. collecting data using questionnaires. the questionnaire filled in by family members who care for and assist the patient every day. the results showed 6% of the family effort of prevention were better category, 36% of the family effort of prevention were enough category, and 58% of the family effort of prevention were less category. less family efforts prevention showed were that do not shut your mouth when coughing, coughing does not turn heads, discard sputum by not hoarded, not given a sputum container with liquid soap (disinfectant), and sputum container is not closed. the family efforts not supported to prevent were not drying mattress least once a week, family members not consume healthy foods, and a little consume of vitamin c. recommended were uptd kesehatan kota blitar to provide health education of transmission tuberculosis in the family and the improved health status of the family. keywords: family, tuberculosis, prevention abstrak: tuberkulosis merupakan penyakit menular yang dapat dicegah melalui upaya keluarga. tujuan penelitian ini adalah menggambarkan upaya keluarga mencegah penularan tuberculosis. desain penelitian ini adalah deskriptif. populasi penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita tuberkulosis yang tercatat di uptd kesehatan se-kota blitar sebanyak 36 keluarga. sampel penelitian yang digunakan total population. pengumpulan data menggunakan kuesioner. kuesioner diisi oleh anggota keluarga yang merawat dan mendampingi penderita setiap hari. hasil penelitian menunjukkan 6% upaya pencegahan keluarga katagori baik, 36% upaya pencegahan keluarga katagori cukup, dan 58% upaya pencegahan keluarga katagori kurang. upaya pencegahan keluarga katagori kurang ditampakkan dari perilaku penderita yaitu tidak menutup mulut saat batuk, saat batuk tidak memalingkan kepala, membuang dahak dengan cara tidak ditimbun, penampung dahak tidak diberikan cairan sabun (disinfektan), dan penampung dahak tidak ditutup. upaya keluarga lain yang tidak mendukung pencegahan penularan adalah tidak menjemur kasur minimal seminggu sekali, anggota keluarga tidak konsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna, dan sedikit konsumsi vitamin c. upaya yang perlu dilakukan oleh uptd kesehatan se-kota blitar adalah memberikan pendidikan kesehatan tentang pencegahan penularan tuberkulosis di keluarga dan peningkatan status kesehatan keluarga. kata kunci: keluarga, tuberculosis, upaya pencegahan tuberculosis (tb) merupakan masalah kesehatan yang serius di dunia, bahkan sebagai penyebab kematian terbanyak dibanding infeksi lain. laporan who (2009) menggambarkan peringkat indonesia turun posisi kelima dengan jumlah penderita tb sebanyak 429 ribu orang. prevalensi tb tertinggi terjadi pada kelompok di atas usia 54 tahun sebanyak 3.593 per 100.000. prevalensi tb paling acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p001-005 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 1–5 banyak terjadi pada laki-laki yaitu 819 per 100.000 penduduk, penduduk yang tinggal di desa 750 per 100.000 penduduk, kelompok pendidikan yang tidak sekolah 1.041 per 100.000 penduduk, sebagai petani/ nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk, dan penduduk dengan tingkat pengeluaran kuintil 4 sebesar 607 per 100.000 penduduk (riskesdas, 2010). provinsi jawa timur menempati urutan kedua di indonesia dalam jumlah penderita tb, bta positif kasus baru di bawah provinsi jawa barat, sedangkan untuk semua tipe menduduki peringkat ketiga setelah jawa barat dan jawa tengah. jumlah seluruh kasus tb tahun 2010 sebanyak 37.226 kasus termasuk 23.223 kasus tb paru bta positif. angka penemuan kasus baru bta positif tahun 2010 di jawa timur sebesar 58,2%. penularan tuberculosis dapat terjadi saat penderita tuberculosis berbicara, meludah, bersin, atau batuk (laban, 2008:22). upaya mencegah peningkatan jumlah penderita dan masalah yang ditimbulkan oleh penyakit tb paru yaitu dilakukan pencegahan dini di lingkungan keluarga. penyakit tb dapat menular ke anggota keluarga lain. keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (depkes ri, 2011). prevalensi penyakit tb khususnya di negara sedang berkembang disebabkan oleh pengetahuan keluarga tentang penyakit tuberculosis yang rendah. akhirnya, keluarga tidak mampu mencegah penularan tuberculosis antar anggota keluarga (depkes ri, 2007). upaya keluarga dalam pencegahan tuberculosis antara lain dapat dilakukan dengan menjaga dan mempertahankan personal hygiene, kebersihan lingkungan rumah, peningkatan gizi keluarga, dan pemberian imunisasi bacilli calmette-guerin (bcg) saat bayi (depkes ri, 2007). hasil studi pendahuluan tentang jumlah penderita tb di kota blitar bulan januari–mei 2014 yang tercatat di 3 puskesmas kota blitar sebanyak 36 orang. penyebaran penderita tuberkulosis di wilayah sananwetan sebanyak 15 orang, kepanjen kidul sebanyak 8 orang, dan sukorejo sebanyak 13 orang. hasil wawancara dari 15 penderita tuberculosis yang berobat di uptd kesehatan kecamatan sananwetan, kepanjenkidul, dan sukorejo bulan juni 2014 menunjukkan 5 penderita tuberculosis tidur sekamar dengan anggota keluarga yang sehat, 10 keluarga tidak menjemur kasur setiap satu minggu sekali, 11 anggota keluarga penderita tuberculosis mengkonsumsi rokok, 7 keluarga tidak menyediakan tempat buang dahak, dan 7 orang meludah di sembarang tempat. berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian tentang upaya keluarga mencegah penularan tuberculosis. metode penelitian desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif. populasinya adalah keluarga yang salah satu anggota keluarganya menderita tuberkulosis yang tercatat di uptd kesehatan se-kota blitar sebanyak 36 orang. sampel yang dipilih ditetapkan dengan metode total population. pengumpulan data di rumah keluarga penderita tuberkulosis yang tercatat di uptd kesehatan kecamatan kepanjenkidul, sukorejo, dan sananwetan se-kota blitar pada tanggal 1–7 juli 2014. instrumen penelitian menggunakan kuesioner yang dikembangkan berdasarkan tinjauan kajian teori, jumlah pertanyaan sebanyak 15 butir. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum, keluarga yang merawat penderita tuberkulosis di 3 uptd kesehatan kota blitar seperti dalam tabel 1 di bawah. tabel 1. karakteristik keluarga yang merawat penderita tuberkulosis di 3 uptd kesehatan kota blitar bulan juni 2014 (n=36) no. karakteristik f % 1 jenis kelamin: laki-laki perempuan 13 23 36,1 63,9 2 hubungan keluarga: suami / istri anak orang tua menantu / adik 12 11 6 7 33,3 30,5 16,7 19,4 3 umur: 21 – 40 tahun 41 – 60 tahun > 61 tahun 16 17 3 44,4 47,2 8,4 4 kebiasaan merokok: ya tidak 30 6 83,3 16,7 5 pendidikan: dasar (sd & smp) menengah (sma) tinggi 15 17 4 41,7 47,2 11,1 3suprajitno, upaya keluarga mencegah penularan ... upaya keluarga mencegah penularan tuberkulosis ditunjukkan dalam tabel 2. cairan sabun, menggunakan saputangan dari kertas/ tisu, saat batuk dihadapkan pada salah satu sudut rumah, membuang dahak di tempat tertentu (kaleng tertutup), keluarga selalu memantau keluarga yang akan berobat secara teratur, keluarga mengantar berobat anggota keluarga yang sakit (entjang, 2000). berdasarkan pendidikan yang diperoleh upaya pencegahan penularan tuberculosis sebesar 72,2% memiliki pendidikan yang kurang, meliputi keluarga tidak menutup mulut saat batuk, keluarga tidak membuang dahak dengan cara ditimbun, keluarga tidak membuang dahak dengan cara diberikan cairan sabun, keluarga saat batuk tidak menghadapkan pada salah satu sudut rumah dan keluarga tidak membuang dahak di kaleng tertutup. keluarga tabel 2. upaya keluarga mencegah penularan tuberkulosis saat merawat penderita tuberkulosis yang terregister di 3 uptd kesehatan kota blitar bulan juni 2014 (n=36) n o. u paya pencegahan f % 1. baik 2 5,6 2. cukup 13 36,1 3. kurang 21 58,3 upaya keluarga mencegah penularan tuberkulosis berdasarkan faktor yang mempengaruhi penularan tuberkulosis ditabelkan dalam tabel 3. n o faktor u paya pencegaha n baik cukup kurang f % f % f % 1 pendidikan pencegahan secara langsung dan pengetahuan pengobatan 2 5,6 8 22,2 26 72,2 2 menjaga kebersihan lingkungan 27 75,0 0 0 9 25,0 3 meng kon su msi makanan yang sehat yang dapat mempertinggi daya tahan tubuh 6 16,7 0 0 30 83,3 4 pember ian vaksin bcg 33 91,7 0 0 3 8,3 tabel 3. tabulasi silang antara upaya pencegahan oleh keluarga dengan faktor yang mempengaruhi penularan tuberkulosis bagi penderita tuberkulosis yang tercatat di 3 uptd kesehatan kota blitar bulan juni 2014 pembahasan kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit tuberculosis, makin rendah pengetahuan tentang bahaya penyakit tuberculosis, makin besar pulalah bahaya bagi lingkungannya, keadaan socialekonomi sehingga makin jelek nilai gizi dan hygiene lingkungan akan menyebabkan daya tahan tubuh rendah, sehingga memudahkan sakit. gizi yang jelek, selain mempersulit penyembuhan juga memudahkan kambuhnya kembali tbc yang sudah reda (entjang, 2000). berdasarkan hasil penelitian responden sebesar 58% memiliki upaya keluarga mencegah penularan tuberculosis kurang, 36% upaya keluarga mencegah penularan tuberculosis cukup. peneliti berpendapat bahwa pengetahuan tentang pencegahan penularan tuberculosis sangat kurang karena keluarga kurang pengetahuan sehingga perlu diberikan penyuluhan tentang pencegahan penularan tuberculosis. keluarga diberikan pendidikan untuk membiasakan menutup mulut saat batuk dan bersin menggunakan saputangan, membuang dahak dengan cara ditimbun, membuang dahak dengan cara diberikan penderita tuberculosis sudah banyak menggunakan kertas tisu dari kertas. peneliti berpendapat pendidikan dan pengetahuan keluarga sangat menentukan upaya keluarga mencegah penularan tuberculosis. semakin rendah pengetahuan keluarga maka upaya untuk mencegah penularan tuberculosis dalam keluarga kurang. keluarga tidak tahu upaya apa yang harus dilakukan untuk mencegah penularan tuberculosis. keluarga diberi penjelasan tentang pentingnya kebersihan rumah dan lingkungan, serta kebersihan diri sendiri. desinfeksi alat-alat, menjemur kasur, kebersihan ruangan, penjelasan pentingnya cahaya matahari untuk membunuh basil-basil tbc (sjamsunir, 1982). berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh kebersihan lingkungan keluarga di wilayah uptd kesehatan se-kota blitar didapatkan 25% memiliki kebersihan lingkungan yang kurang karena keluarga tidak menjemur kasur minimal seminggu sekali, dan 75% kebersihan lingkungan keluarga baik karena keluarga menyapu lantai setiap hari, keluarga selalu membuka jendela agar matahari masuk ke dalam rumah dan keluarga masing-masing menggunakan 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 1–5 satu sikat gigi. peneliti berpendapat bahwa kurangnya kebersihan diri menyebabkan daya tahan tubuh menjadi rendah dan mudah menjadi sakit. status gizi merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberculosis. keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk tuberculosis paru (hiswani, 2009). berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh konsumsi makanan sehat keluarga di wilayah uptd kesehatan se-kota blitar didapatkan 83,3% kurang mengkonsumsi makanan sehat karena kurangnya mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna dan kurangnya mengkonsumsi vitamin c yang kurang. peneliti berpendapat bahwa status gizi sangat berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. jika status gizi seseorang baik maka daya tahan tubuh juga baik. sebaliknya jika status gizi kurang maka daya tahan tubuh seseorang akan jelek dan mudah terserang penyakit. pemberian vaksin bcg sebagai pencegahan (sjamsunir, 1982). berdasarkan hasil penelitian di wilayah uptd kesehatan se-kota blitar didapatkan 8,3% tidak melakukan pemberian vaksin bcg dan 91,7% keluarga sudah memberikan vaksin bcg. peneliti berpendapat jika seseorang tidak diberikan vaksin bcg maka kekebalan tubuhnya terhadap bakteri tuberculosis juga kurang. seseorang yang tidak diberikan imunisasi bcg akan lebih mudah terserang tuberculosis, dibandingakan dengan orang yang mendapatkan vaksin bcg. berdasarkan hasil tabulasi silang, upaya keluarga menjaga kebersihan lingkungan antara lain keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi yang buruk dapat memudahkan penularan tuberculosis (hiswani, 2009). sebesar 36,1% tipe keluarga bukan inti memiliki upaya pencegahan penularan tuberculosis yang kurang. peneliti berpendapat bahwa tipe keluarga bukan inti memiliki resiko tertular yang lebih besar dibandingkan keluarga dengan tipe keluarga inti. dalam satu rumah harus ditempati oleh jumlah anggota keluarga yang ideal. ventilasi dan pencahayaan yang cukup dan kebersihan lingkungan merupakan upaya mencegah penularan tuberculosis. berdasarkan tabulasi silang antara konsumsi makanan sehat dan upaya keluarga mencegah penularan tuberculosis bahwa status gizi merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberkulosis. keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk tuberculosis paru. keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anakanak (hiswani, 2009). sebesar 11,2% keluarga memiliki upaya pencegahan penularan tuberculosis kurang memiliki kekurangan berat badan kurang. peneliti berpendapat bahwa upaya pencegahan penularan tuberculosis bisa dilihat melalui imt keluarga penderita tuberculosis. orang yang memiliki bb kurang akan akan menyebabkan rendahnya daya tahan tubuh selain mempersulit penyembuhan juga memudahkan tertular penyakit tuberculosis. berdasarkan hasil tabulasi silang antara pendidikan keluarga yang merawat penderita tuberculosis yaitu makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit tbc untuk dirinya, keluarga dan masyarakat di sekitarnya, makin besar pulalah bahaya si penderita sebagai sumber penularan, baik di rumah maupun ditempat pekerjaannya, untuk keluarga dan orang-orang di sekitarnya. sebaiknya pengetahuan yang baik tentang penyakit ini, akan menolong masyarakat dalam menghindarinya (entjang, 2000). keluarga memliki pendidikan yang kurang. pendidikan responden paling banyak lulusan sma/sederajat sebanyak 47,2% dan smp/ sederajat sebanyak 30,6%. peneliti berpendapat semakin rendah pendidikan keluarga penderita tuberkulosis semakin kurang tindakan upaya pencegahan yang dilakukan untuk mencegah penularan di lingkungan keluarga. keluarga tidak tahu bagaimana cara mencegah penularan tuberkulosis. berdasarkan hasil tabulasi silang antara penghasilan keluarga yang merawat penderita tuberculosis yaitu keadaan ekonomi sangat erat kaitannya dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan penularan tuberculosis. pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan tuberculosis, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi syaratsyarat kesehatan (hiswani, 2009). keluarga ratarata memiliki penghasilan yang kurang sebanyak 30,6 % dengan penghasilan kurang dari rp 1.000.000,00 per bulan. peneliti berpendapat semakin rendah pendapatan keluarga penderita tuberculosis semakin kurang upaya pencegahan yang dilakukan untuk mencegah penularan karena keluarga kurang memenuhi asupan gizi dan lingkungan 5suprajitno, upaya keluarga mencegah penularan ... rumah yang memadai sehingga penderita mudah terjangkit dan tertular penyakit tuberculosis. simpulan dan saran simpulan simpulan hasil penelitian yaitu sebesar 6% upaya pencegahan keluarga katagori baik, 36% upaya pencegahan keluarga katagori cukup, dan 58% upaya pencegahan keluarga katagori kurang. kurangnya upaya keluarga mencegah penularan tuberculosis ditunjukkan dengan perilaku tidak menutup mulut saat batuk, tidak menimbun dahak, penampung dahak tidak diberikan cairan sabun (disinfektan), saat batuk tidak memalingkan kepala, dan tidak menyediakan penampung dahak kaleng tertutup, serta satu rumah tidak ditempati dengan jumlah anggota keluarga yang ideal. perilaku keluarga yang mendukung penularan penyakit tuberculosis yaitu tidak menjemur kasur minimal seminggu sekali, kurang mengkonsumsi makanan sehat, dan konsumsi vitamin c kurang. keluarga yang memiliki upaya pencegahan katagori baik, kecil kemungkinan tertular dan perilaku keluarga yang ditampakkan adalah melakukan pola hidup bersih, sehat, konsumsi makanan bergizi, dan menerapkan upaya pencegahan. saran saran bagi (1) keluarga penderita tuberculosis agar membiasakan pola hidup sehat, pengobatan yang teratur jangan terputus, menjaga kebersihan lingkungan, konsumsi makanan bergizi untuk daya tahan tubuh, dan memberikan vaksin bcg sebagai pencegahan dan (2) uptd kesehatan kota blitar agar melakukan gerakan genting kaca. daftar rujukan depkes ri. 2007. pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis edisi 2. entjang, i. 2000. ilmu kesehatan masyarakat. citra aditya bakti. kementerian kesehatan republik indonesia. 2011. strategi nasional pengendalian tb di indonesia 2010-2014. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. riskesdas. 2010. riset kesehatan dasar 2010. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan ri. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 189machsun, pengaruh penyuluhan ... 189 pengaruh penyuluhan tentang ciri seks sekunder terhadap pengetahuan remaja putri kelas v di sdn campurejo kota kediri (the effectiveness of education on secondary sex characteristics to the knowledge of teenagers (female) in v grade of sdn campurejo city kediri) machsun akademi kebidanan medika wiyata email: machsun_s@yahoo.com abstract: the secondary sex characteristics are physical characteristics that differentiate males and females evolve according to patterns that can be predicted, but at the end of puberty these patterns are already mature or approaching maturity level. with the development of this period, the appearance of boys men and women are increasingly different. with the change in the majority of teenagers are not able to accept his physical state. objective: the aim of this study was to determine the effectiveness of education to the knowledge of teenagers (female). the research was pre experiment with the approach of one group pre post test desaigh. the population was the entire young women and the sample was v grade students, 26 respondents taken with total sampling technique. the data education knowledge of secondary sex characteristics was collected by questionnaire, which were categorized in ordinal scale and analyzed by wilcoxon. the results of this study was 16 respondents (61.5%) were in good criteria, 8 respondents was in sufficient criteria (30.8%), and 2 respondents were in less criteria (7.7%). the data analysis obtained in the manual calculation results showed the arithmetic value of z = -4.346 15 %. dari hasil penelitian ditemukan remaja putri dengan anemia defisiensi besi di bogor 57,1 % (skrt,1995), dan di bandung 40-41 %. dari penelitian spmfa (2004) di jawa timur terdapat anemia defisiensi besi sebesar 80,2%. sedangkan data survei anemia defisiensi besi dinas kesehatan kota kediri menyebutkan prevalensi anemia defisiensi besi sebesar 14,33 % (rekap kajian data anemia dinas kesehatan kota kediri 18-20 agustus 2004). sedangkan data dari dinas kesehatan kabupaten blitar menunjukkan jumlah anemia pada remaja putri adalah 76 remaja putri (dinas kesehatan kabupaten blitar, 2011) , padahal penyuluhan tentang anemia gizi besi sudah dilakukan. dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya di program studi kebidanan kediri tahun 2006 menunjukkan pengetahuan remaja putri tentang anemia defisiensi besi didapatkan hasil 90,48 % berpengetahuan baik dan motivasi remaja putri untuk mengkonsumsi tablet besi saat menstruasi memiliki motivasi yang tinggi 54,42 %. (aminin, 2006 : 47).sedangkan yang diperoleh saat dilakukan studi pendahuluan di diii kebidanan stikes patria husada blitar pada tanggal 19 april 2012 dari 35 remaja putri memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang tablet zat besi, 7 dari 8 remaja putri yang dilakukan pemeriksaan hb sahli menderita anemia defisiensi besi dengan kadar hb kurang dari 12 gr% sahli. hal ini menunjukkan karakteristik yang hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, bahwa remaja putri memiliki pengetahuan dan motivasi yang baik, namun kejadiaan anemia masih meningkat. faktor intern yang memegang peranan didalam pembentukan perilaku berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. motivasi merupakan dorongan untuk bertindak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. hasil dari dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku (notoatmodjo, 2003 : 132). dengan pengetahuan dan motivasi yang baik diharapkan remaja putri juga memiliki perilaku yang baik dalam meminum tablet zat besi. dari uraian di atas peneliti tertarik untuk melanjutkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya tentang hubungan antara perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin di program studi d-3 kebidanan stikes patria husada blitar. rumusan masalah dalam penelitian ini ada hubungan antara perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin di program studi d-3 kebidanan stikes patria husada blitar. tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku minum program studi d-3 kebidanan tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin. tujuan khusus (1) mengidentifikasi perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri(2) mengide ntifikasi kadar hemoglobin setelah pemberian tablet zat besi (3) menganalisis hubungan antara perilaku minum tablet zat besi dengan kadar hemoglobin. manfaat praktis penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dan wawasan tentang perilaku minum jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin 59 tablet zat besi pada remaja putri terhadap kadar hemoglobin, melatih berfikir dan bersikap kreatif mencari pemecahan masalah mengenai perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dan mencari pemecahan masalah anemia defisiensi besi yang terjadi pada remaja putri. manfaat teoritis memperbanyak referensi tentang hubungan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri terhadap kadar hemoglobin. bahan dan metode desain penelitiannya quasi eksperiment dengan one shot case study yaitu melakukan observasi selama perlakuan pemberian zat besi dan melakukan mengecekan kadar hemoglobin. sampel penelitian ini adalah 19 orang pada tanggal 24 mei – 22 juni 2012 di program studi d-3 kebidanan stikes patria husada kota blitar yang dipilih dengan teknik purposive sampling. variabel bebasnya adalah perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dan variabel terikatnya adalah kadar haemoglobin. perlakuan dilaksanakan 4 minggu dengan memberikan tablet zat besi sebanyak 10 tablet kemudian dilakukan tes haemoglobin. analisis menggunakan uji korelasi spearman rank (rho) dengan tingkat kemaknaan 0,05. hasil penelitian tabel 1 perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin perilaku kadar hb jumlah % anemia ringan sekali % anemia ringan % anemia sedang % baik cukup kurang tidak baik 3 1 2 0 15,8 5,3 10,5 0 0 1 4 5 0 5,3 21,1 26,3 0 1 0 2 0 5,3 0 10,5 3 3 6 7 15,8 15,8 31,6 36,8 signifikasi hubungan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin ditunjukkan oleh nilai p-value 0,009. pembahasan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri di program studi d-3 kebidanan stikes patria husada blitar perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri, hampir setengah responden berperilaku tidak baik yaitu 7 remaja putri (36,8 %). perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. sehingga yang dimaksud perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, bicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya (notoatmodjo, 2003 : 114). menurut suryani (2003) yang diacu dari beberapa buku, perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi dan hubungan dengan lingkungannya. perubahan perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. secara teori perubahan perilaku baru melalui 3 tahap pengetahuan, sikap dan tindakan (notoatmodjo, 2003 : 128). perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. hasil dari dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam perilaku (notoatmodjo, 2003 : 132). dalam penelitian ini responden memiliki perilaku tidak baik dalam minum tablet zat besi. hal ini disebabkan karena meskipun semua responden memiliki pengetahuan yang baik yang diperoleh dari media elektronik, media cetak dan penyuluhan kesehatan, namun hal tersebut tidak secara otomatis dapat merubah perilaku seseorang. diperlukan teknis dan strategi serta inovasi dalam ery susanti, maria ulfa jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 60 menumbuhkan perilaku minum tablet zat besi. sesuai dengan teori bahwa perilaku dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah pengamatan, perhatian, tanggapan, fantasi, ingatan berfikir dan motif. kurangnya dukungan dan motivasi juga mempunyai pengaruh yang sangat besar. sehingga masih memerlukan pendampingan dalam memfokuskan perhatian, fantasi maupun motivasi dalam minum tablet zat besi. anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun, kebutuhan besi meningkat. faktor nutrisi akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi yang tidak baik ( makanan banyak mengandung serat, rendah vitamin c, dan rendah daging). menurut soetjiningsih (2004) gadis yang menstruasi membutuhkan tambahan zat besi yang lebih tinggi. kadar hemoglobin menurut sunita (2002) kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar tehadap absorbsi besi. kekurangan zat besi pada umumnya menyebabkan pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan. menurunnya kebugaran tubuh, menurunnya kemampuan kerja. begitupula yang terjadi di program studi d-3 kebidanan stikes patria husada blitar sebagian besar (52,6 % ) responden memiliki kadar hb anemia ringan. hal ini dikarenakan kurangnya nutrisi dalam makanan yang dikonsumsi, pengeluaran darah karena menstruasi, serta kebutuhan zat besi tiap individu yang tidak sama sehingga mempengaruhi absorbsi zat besi dalam tubuh. akibat kekurangan zat besi ini ditunjukkan dengan keluhan pusing, mudah lelah. sehingga untuk mengantisipasi defisiensi zat besi perlu dilakukan suplementasi zat besi oleh remaja putri. untuk mengatasi anemia ringan maka remaja putri minum tablet zat besi 1 kali setiap minggu sampai dengan diperoleh kadar hemoglobin normal. hubungan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin di program studi d-3 kebidanan stikes patria husada blitar. pada tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar (26,3 %) responden memiliki perilaku tidak baik dengan kadar hemoglobin anemia ringan. signifikasi hubungan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin ditunjukkan oleh nilai pvalue sebesar 0,009. karena nilai p-value < α yang ditetapkan yaitu 5 % maka ada hubungan antara perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin di program studi d-3 kebidanan stikes patria husada blitar. menurut notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa meskipun perilaku adalah totalitas respons, sangat tergantung pada karakteristik individual. sedangkan arisman (2004) anemia defisiensi besi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin, hematokrit dan sel darah merah lebih rendah dari normal, sebagai akibat defisiensi besi. sesungguhnya masalah defisiensi zat besi cukup diterapi dengan pemberian makanan yang cukup mengandung zat besi. namun jika anemia sudah terjadi atau kebutuhan zat besi tubuh meningkat, tubuh tidak akan mungkin menyerap zat besi dalam jumlah besar dan dalam waktu yang singkat ( hanya 5 %-10 % atau 1-2 mg zat besi yang dapat diserap oleh makanan), karena itu digunakan suplemen zat besi. hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah (26,3 %) responden memiliki perilaku tidak baik dengan kadar hemoglobin anemia ringan. hal ini menunjukkan bahwa erat hubungannya antara perilaku minum tablet zat besi dengan kadar hemoglobin. perilaku yang tidak baik dalam suplementasi tablet zat besi yang kurang, asupan makanan yang kurang mengandung zat besi, serta absorbsi zat besi dalam tubuh yang tidak sama. sedangkan anemia ringan adalah kondisi dimana kadar hemoglobin kurang dari normal (8 %-9,9 %) yang disebabkan karena faktor nutrisi akibat kurangnya jumlah besi total jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin 61 dalam makanan, perdarahan menahun, kebutuhan besi meningkat. sehingga apabila perilaku minum tablet zat besi tidak baik sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang sehingga terjadilah anemia dimana kadar hemoglobin kurang dari normal. simpulan dan saran simpulan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri cenderung tidak baik yaitu sekitar 36,8 %, kadar hemoglobin pada remaja putri cenderung anemia ringan yaitu sekitar 52,6 %, signifikasi hubungan perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin ditunjukkan oleh nilai pvalue sebesar 0,009, dengan p-value < α yang ditetapkan yaitu 5 % maka ada hubungan antara perilaku minum tablet zat besi pada remaja putri dengan kadar hemoglobin. saran berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa perilaku minum tablet zat besi tidak baik. untuk itu perlu diadakan pembiasaan dalam mengkonsumsi tablet zat besi, serta gambar-gambar tentang pentingnya zat besi ditiap ruangan perkuliahan sehingga mahasiswi memiliki perhatian, ingatan, imajinasi dan termotifasi sehingga perilaku minum tablet zat besi menjadi lebih baik. diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan dalam memberikan penyuluhan mengenai pentingnya suplementasi zat besi serta dengan mengadakan program bulan fe yang difasilitasi oleh organisasi kemahasiswaan yang ada. hal ini dikarenakan apabila pada remaja putrid mengalami anemia defisiensi besi akan mempengaruhi konsentrasi dalam belajar. referensi almatsier, s 2004, prinsip dasar ilmu gizi, gramedia, jakarta. aminin, f 2006, ‘hubungan pengetahuan remaja putri tentang anemia defisiensi besi dengan motivasi mengkonsumsi tablet besi saat menstruasi’, karya tulis ilmiah, program studi kebidanan, kediri. arisman 2004, gizi dalam daur kehidupan, egc, jakarta. dinas kesehatan kabupaten blitar 2011. handayani, w 2008, asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan, sistem hematologi, salemba medika, jakarta. kusmiran, e 2002, kesehatan reproduksi remaja dan wanita, salemba medika, jakarta. notoatmodjo, s 2003, pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta. pieter, hz dan namora 2010, pengantar psikolog untuk kebidanan, kencana, jakarta. santrock, jw 2003, adolescence perkembangan remaja, erlangga, jakarta. soe, j 2003, farmakologi kebidanan, egc jakarta. soetjiningsih 2004, tumbuh kembang remaja dan permasalahannya, sagung seto, jakarta e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 89sunarti, winarni, dan andre, gambaran sikap ibu hamil ... 89 gambaran sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran (the description of attitude of pregnancy women to prevent miscarriage) sunarti, sri winarni, andre w. jurusan keperawatan, poltekkes kemenkes malang email: s.kepsunarti@yahoo.co.id abstract: miscarriage incident allegedly had an effect on the next pregnancy , either at the onset of complications of pregnancy and the outcome of pregnancy itself . women with a history of miscarriage have a higher risk for preterm labor , recurrent miscarriage and low birth weight . the purpose of the research was to illustrates the attitude of pregnant women to prevent miscarriage with descriptive method . the population included all pregnant women who perform routine checks on public health service uptd sananwetan blitar during the period march 27 to 27 april 2014. the sample was 30 pregnant women first and second trimester with purposive sampling technique. the result was 53.3 % have a positive attitude , and 46.7 % have a negative attitude. it showed the attitude of pregnant women were lack in preventing miscarriage. there should be a more intensive outreach activities on the prevention of miscarriage by health employee to provide more detailed information, complete, and accurate. keywords: attitude, pregnant women, prevention of miscarriage abstrak: kejadian keguguran diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. wanita dengan riwayat keguguran mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, keguguran berulang, dan berat badan lahir rendah. tujuan penelitian menggambarkan sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran dengan metode dekriptif. populasi meliputi semua ibu hamil yang melakukan pemeriksaan rutin di uptd kesehatan sananwetan kota blitar selama periode 27 maret sampai dengan 27 april 2014. sample sebanyak 30 ibu hamil trimester i dan ii dengan teknik sampling purposive. hasilnya 53,3% memiliki sikap positif, dan 46,7% memiliki sikap negatif, hal tersebut menunjukan sikap ibu hamil masih kurang dalam mencegah keguguran. sebaiknya diadakan kegiatan penyuluhan yang lebih intensif mengenai pencegahan keguguran oleh petugas kesehatan untuk memberikan informasi secara lebih detail, lengkap, dan akurat. kata kunci: sikap, ibu hamil, pencegahan keguguran masalah kesehatan merupakan masalah penting yang tengah dihadapi oleh masyarakat saat ini, apalagi yang tengah menimpa kaum wanita. kesehatan reproduksi wanita adalah hal yang sangat perlu diperhatikan menimbang bahwa wanita adalah makhluk yang unik.wanita dalam siklus hidupnya mengalami tahap-tahap kehidupan, diantaranya dapat hamil dan melahirkan. kehamilan merupakan suatu proses hasil dari bertemunya sel telur dari perempuan dengan sel sperma dari laki. selanjutnya akan membentuk janin yang berkembang dan terus berkembang sampai dilahirkan menjadi seorang bayi. kehamilan merupakan hal-hal yang ditunggutunggu oleh pasangan sua mi istr i yang baru menikah, kedatangan buah hati dalam pernikahan merupakan suatu hal yang sangat mengembirakan. sehingga perlu untuk menjaga agar kehamilan tersebut dapat terus berkembang hingga janin dapat dilahirkan dengan selamat. namun semua kehamilan tidak selalu berjalan lancar, terjadi berbagai acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p089-094 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 90 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 89–94 permasalahan timbul pada awal kehamilan yang terkadang tidak diketahui dan menyebabkan kematian janin atau disebut keguguran.angka keguguran ialah jumlah keguguran dalam setiap 1000 kelahiran hidup.menurut data who persentase kemungkinan terjadinya keguguran sekitar 15–40% angka kejadian, diketahui pada ibu yang sudah dinyatakan positif hamil, dan 60–75% angka keguguran terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu. diperkirakan frekuensi keguguran spontan berkisar antara 10–15%. namun demikian, frekuensi seluruh keguguran yang pasti sukar ditentukan, karena keguguran buatan banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila telah terjadi komplikasi. juga karena sebagian keguguran spontan hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga wanita tidak datang ke dokter atau rumah sakit (mochtar, 1998). di indonesia, diperkirakan sekitar 2–2,5% dari angka kelahiran juga mengalami keguguran setiap tahun, sehingga secara nyata dapat menurunkan angka kelahiran menjadi 1,7 pertahunnya (manuaba, 2001). dari data persiapan persalinan di poli kia uptd kesehatan sanan wetan kota blitar periode 2013 dari 145 ibu hamil trimester iii yang akan melakukan persalinan di uptd kesehatan 37 diantaranya pernah mengalami keguguran pada masa kehamilan sebelumnya, ini berarti 25% dari ibu hamil trimester iii yang akan melakukan persalinan di uptd kesehatan pernah mengalami keguguran pada kehamilan sebelumnya. bedasarkan studi pendahuluan yang dilakukan kepada 5 ibu hamil yang pernah keguguran di wilayah uptd kesehatan sananwetan 3 kejadian diantaranya terjadi karena terjadi trauma pada abdomen akibat kecelakaan, 1 kejadian akibat kebanyakan mengkonsumsi buah duren atau kata lain mengkonsumsi makanan mengandung alkohol berlebih dan 1 kejadian akibat terlalu banyak mengalami stress fisik dan pikiran. menurut prawirohardjo (2007) resiko keguguran dipengaruhi oleh usia pasangan dan apakah mereka sebelumnya telah mengalami kehamilan dengan sukses. apabila terdapat riwayat keguguran maka kemungkinan keguguran pada kehamilan berikutnya akan meningkat. wanita yang merokok mempunyai angka keguguran spontan yang lebih tinggi. alkohol juga dipersalahkan sebagai penyebab naiknya risiko keguguran. trauma kecelakaan atau pembedahan besar dikaitkan dengan meningkatnya keguguran spontan. banyak wanita mempersalahkan gangguan emosi dan stress sebagai penyebab keguguran spontan. pada waktu kehamilan gugur, janin kemungkinan telah meninggal selama beberapa minggu. jaringan telah berubah, dan hanya sedikit atau tidak ada yang dapat dilakukan untuk menentukan penyebab keguguran tersebut. temuan yang paling umum pada keguguran dini adalah abnormalitas dari perkembangan embrio tahap awal. kadang kala disebut telur rusak (blighted ovum), kajian mengindikasikan lebih dari setengah keguguran ini mempunyai kelainan kromosom. banyak faktor dapat mempengaruhi embrio dan lingkungannya, termasuk radiasi, bahan kimia (obatobatan) dan infeksi. faktor-faktor ini dapat menyebabkan keguguran atau malformasi. beberapa faktor maternal dipercaya penting artinya pada keguguran. infeksi yang luar biasa, seperti literia, toksoplasma dan sifilis, menyebabkan keguguran spontan (glade curtis, 1999). kejadian keguguran diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. wanita dengan riwayat keguguran mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, keguguran berulang, dan berat badan lahir rendah (bblr). ada pula komplikasi keguguran antara lain perdarahan, perforasi, infeksi, tetanus dan syok akibat perdarahan yang sangat banyak.sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimuli atau obyek. manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu (notoatmodjo, 2007). penjelasan singkat di atas mulai dari kehamilan, kejadian keguguran dan penyebab keguguran yang dapat disebabkan oleh pola aktivitas maupun perilaku ibu. mendorong peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran di uptd kesehatan kota blitar. rumusan masalahberdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: “bagaimanakah gambaran sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran di wilayah uptd kesehatan kota blitar.?”. bahan dan metode desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena yang ditemukan, baik berupa faktor risiko, maupun efek atau hasil (arikunto, 1998). pada penelitian ini peneliti ingin mendeskripsikan 91sunarti, winarni, dan andre, gambaran sikap ibu hamil ... gambaran sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran. populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang melakukan pemeriksaan rutin di uptd kesehatan sananwetan kota blitar sebanyak 684 ibu hamil selama periode bulan agustus 2013–januari 2014. sampel merupakan bagian populasi yang diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi. pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah ibu hamil trimester pertama yang melakukan pemeriksaan rutin di poli kia uptd kesehatan sananwetan kota blitar sebanyak 30 ibu hamil trimester i dan ii selama periode bulan maret–april 2014. penelitan ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan tujuan atau masalah yang dikehendaki peneliti dalam penelitian (nursalam, 2008). penelitian telah dilakukan di wilayah uptd kesehatan sananwetan kota blitar di pusat dan pembantu uptd kesehatan bulan maret sampai dengan april 2013. variabel dalam penelitian ini gambaran sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran. analisa data dalam penelitian ini data yang dianalisa adalah sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran.nilai responden diubah menjadi skor t, skor t merupakan skor standart yang total responden (dari keseluruhan pertanyaan) pada skala sikap menjadi skor t. setelah skor responden pada skala sikap diubah menjadi skor t kemudian dibandingkan dengan mean t = 50. setelah itu dikelompokkan menjadi sikap positif dan sikap negatif.apabila skor t responden didapatkan skor > 50 maka responden dikatakan memiliki sikap positif. sedangkan apabila skor t responden didapatkan skor < 50 maka responden dikatakan memiliki sikap yang negatif. hasil penelitian data umum data umum responden ini terdiri dari: berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa umur ibu hamil terbanyak adalah berumur antara 20–30 tahun, yaitu sebanyak 68% (22 responden). tabel 1. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia ibu hamil no usia frekuensi (%) 1 < 20 thn 1 3 2 20-30 thn 20 68 3 31-40 thn 6 19 4 41-50 thn 3 10 tot al 30 1 00 tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan no pendidikan frekuensi (%) 1 sd 0 0 2 smp 7 22 3 sma 22 72 4 pt 1 5 total 30 100 berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa pendidikan terakhir ibu hamil terbanyak adalah berpendidikan terakhir slta, yaitu sebanyak 73% (17 responden). tabel 3. distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan no pekerjaan frekuensi prosentase (%) 1 irt 16 53 2 swasta 8 27 3 pns 6 20 total 30 100 berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa pekerjaan ibu hamil terbanyak adalah ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 53% (16 responden). tabel 4. distribusi frekuensi responden berdasarkan pernah mendapat informasi tentang cara pencegahan keguguran no informasi frekuensi prosentase (%) 1 sudah 23 76 2 belum 7 24 total 30 100 berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa informasi pencegahan keguguran ibu hamil terbanyak adalah pernah, yaitu sebanyak 76% (20 responden). tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan jumlah kehamilan ibu hamil (parietas) no parietas frekuensi (%) 1 1 17 57 2 2 9 30 3 >2 4 13 total 30 100 92 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 89–94 berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa jumlah kehamilan ibu hamil terbanyak adalah kehamilan yang pertama, yaitu sebanyak 57% (17 responden). berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa sikap ibu hamil dala m mencega h kegugur an terbanyak adalah positif, yaitu sebanyak 53,3% (16 responden), dan 46,7% (14 responden) memiliki sikap negatif. pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap 30 ibu hamil mengenai sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran sikap ibu hamil terbanyak adalah positif, yaitu sebesar 53,3% (16 responden), dan 46,7% (14 responden) memiliki sikap negatif. menurut niven (2002) sikap positif adalah sikap yang menunjukkan ata u memperta hanka n, menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku di mana individu itu berada. sedangkan sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan, memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada. berdasarkan fakta dan teori di atas sikap positif ibu meskipun sebagian besar ibu belum pernah mendapat informasi mencegah keguguran tetapi sikap itu muncul dikarenakan ibu menginginkan kelahiran dari kehamilannya dan upaya dalam mencegah keguguran. dari hasil penelitian sikap negatif muncul dikarenakan ketidaktahuan ibu terhadap halhal yang bisa menyebabkan keguguran dan pencegahannya. berdasarkan hasil data khusus penelitian terhadap 30 ibu hamil mengenai kehamilan yang diharapkan, 100% (30 responden) menjawab “ya”. ini dapat diartikan semua ibu yang melakukan pemeriksaan di poli kia mengharapkan kehamilannya yang sekarang. jika hal tersebut ditabulasi silangkan dengan sikap ibu dalam mencegah keguguran maka sikap ibu hamil terbanyak adalah positif, yaitu sebesar 53,3% (16 responden), dan 46,7% (14 responden) memiliki sikap negatif. menurut notoatmodjo (2007) sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek. manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. berdasarkan fakta dan teori di atas semua ibu hamil yang melakukan pemeriksaan di poli kia merupakan ibu yang menginginkan kelahiran dari kehamilannya yang sekarang. sehingga ibu hamil sudah memiliki kesiapan atau kesediaan untuk mencegah keguguran, namun tabel 6. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia kehamilan pada ibu hamil no uk frekuensi (%) 1 1-3 8 27 2 3-4 12 40 3 4-5 7 23 4 >5 3 10 tot al 30 100 berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa usia kehamilan ibu hamil terbanyak adalah usia kehamilan 3–4 bulan, yaitu sebanyak 40% (12 responden). tabel 7. distribusi frekuensi responden berdasarkan kehamilan yang diharapkan no diharapkan frekuensi (%) 1 ya 30 100 2 tidak 0 0 total 30 100 berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa kehamilan ibu hamil ini seluruhnya diharapkan, yaitu sebanyak 100% (30 responden). tabel 8. distribusi frekuensi responden berdasarkan pernah mengalami keguguran pada kehamilan ibu sebelumnya no riwayat keguguran frekuensi (%) 1 ya 7 23 2 tidak 23 77 total 30 100 berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa keha mila n sebelumnya per na h menga la mi keguguran, yaitu sebanyak 23 % (7 responden). data khusus sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran tabel 9. distribusi frekuensi sikap ibu hamil dalam mencegah keguguran no sikap frekuensi (%) 1 positif 1 6 53,3 2 negatif 1 4 46,7 total 3 0 100 93sunarti, winarni, dan andre, gambaran sikap ibu hamil ... dari tabulasi silang masih belum sepenuhnya sikap ibu yang sekarang mencerminkan sikap positif. seharusnya kesiapan atau kesediaan ibu di berikan feedback berupa penjelasan lebih dalam mengenai proses-proses kehamilan agar ibu memiliki kesiapan untuk menghadapi periode kehamilan berikutnya. hasil penelitian ini menunjukan bahwa sikap positif dan negatif selisih 6,6% hal tersebut berarti sikap negatif ibu hampir sama dengan sikap positif. menurut tjandra (2004) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi sikap yaitu: lingkungan, pengalaman dan pendidikan. berdasarkan fakta dan teori diatas sikap ibu hamil akan berbeda jika di tinjau dari faktor yang mempengaruhi dan membentuk sikap itu sendiri. ibu rumah tangga pasti akan memiliki sikap yang berbeda dengan ibu yang memiliki pekerjaan begitu pula dengan ibu yang memiliki pengalaman serta pengetahuan tentang pencegahan keguguran. berdasarkan hasil tabulasi silang antara sikap dengan pekerjaan ibu hamil, 57,1% (8 responden) dari 14 ibu yang memiliki pekerjaan sudah memiliki sikap positif, dan 50% (8 responden) dari 16 ibu rumah tangga juga sudah memiliki sikap positif. menurut skinner (dalam, azwar 2005) menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk kepribadian seseorang. kepribadian tidak lain daripada pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang dimiliki. pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain. berdasarkan fakta dan teori di atas kebudayaan masa lalu wanita hanya sebagai ibu rumah tangga yang sekarang menjadi wanita berkarir tidak berpengaruh besar dalam pembentukan sikap ibu dalam mencegah keguguran. hal tersebut dikarenakan walaupun sebagai wanita berkarir seorang ibu tetap akan memiliki naluri seorang wanita yang akan menjaga kehamilannya. seharusnya dalam lingkungan bekerja dalam masa kehamilan lebih diperhatikan dengan adanya pemberian cuti waktu hamil, akan memudahkan ibu lebih memperhatikan masa kehamilannya. berdasarkan hasil tabulasi silang antara sikap dengan pengalaman keguguran, dari 7 ibu hamil yang pernah mengalami keguguran sebesar 57,14% (4 responden) yang pernah mengalami keguguran memiliki sikap negatif, dan 42,86% (3 responden) yang pernah mengalami keguguran memiliki sikap positif. menurut niven (2002) sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan, memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku di mana individu itu berada. bedasarkan fakta dan teori diatas ibu yang pernah mengalami keguguran sebelumnya sikap negatif ditimbulkan karena ibu masih melakukan penolakan atau tidak menyetujui terhadap hal-hal pencegahan keguguran, terlihat dari pengisian pernyataan ibu dari kuestioner yang diberikan mengisi tidak setuju terhadap hal yang benar atau setuju terhadap hal yang salah. seharusnya ibu yang pernah mengalami keguguran lebih diperhatikan dan diberikan informasi pencegahan keguguran secara benar agar sikap positif ibu lebih maksimal.hasil tabulasi silang antara sikap dengan pengalaman memperoleh informasi mengenai pencegahan keguguran, dari 10 ibu hamil yang pernah mendapat informasi tentang pencegahan keguguran sebesar 60% (6 responden) memiliki sikap positif terhadap pencegahan keguguran, dan 40% (4 responden) yang pernah mendapatkan informasi tentang pencegahan keguguran tetapi sikapnya masih negatif terhadap pencegahan keguguran. menurut notoatmodjo (2008), bahwa semakin banyak informasi dapat mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang dan dengan pengetahuan menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. bedasarkan fakta dan teori di atas semakin banyak informasi yang diterima oleh seseorang meskipun seseorang itu memiliki pendidikan rendah tetapi informasi yang diterima semakin banyak dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. seharusnya informasi yang diperoleh oleh ibu hamil ini harus secara detail, menyeluruh, dan ada umpan baliknya, sehingga pengetahuan yang didapat pun akan maksimal. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian terhadap ibu hamil mengenai sikap dalam mencegah keguguran pada ibu hamil yang melakukan pemeriksaan rutin di uptd kesehatan sananwetan kota blitar sebanyak 53,3% memiliki sikap positif, dan 46,7% memiliki sikap negatif. sikap positif ibu dalam mencegah keguguran di pengaruhi oleh pengalaman ibu dalam mendapat informasi pencegahan kuguguran serta sebagian ibu yang pernah mengalami keguguran memiliki sikap negatif yang dikarenakan kurang pengetahuan tentang mencegah keguguran. 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 89–94 saran bagi petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pemberian kie tentang pencegahan keguguran khususnya mengenai tanda dan gejala, serta pemeriksaan resiko keguguran kepada ibu hamil. daftar rujukan arikunto, s. 1998. prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. azwar, s. 2002. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. azwar, s. 2006. metode penelitian. yogyakarta: pustaka pelajar. azwa r, s. 2010. peny usunan sk ala psi k ol ogi . yogyakarta: pustaka pelajar. azwar, s. 2005. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. mochtar, r. 1998. sinopsis obstetri edisi 2. jakarta: egc. nadesul, h. 2001. cara sehat selama hamil. surabaya: puspa swara. niven, n. 2002. ilmu kebidanan. jakarta: ybpsp. notoatmodjo, s. 2003 pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2005. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan pedoman skripsi, tesis, dan instrument penelitian keperawatan. jakarta: salemba medika. prawirohardjo, s. 2007. ilmu kebidanan. jakarta: ybpsp. wiknjosastro, h. 2006, ilmu kebidanan. edisi ketiga. jakarta: ybp-sp. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 59kristiana dan rahayu, hubungan antara senam zilgrei ... 59 hubungan antara senam zilgrei dengan lama inpartu kala ii pada primigravida (the correlation of zilgrei gymnastic and second stages of labor primigravida) agnis sabat kristiana dan riskhiana rahayu program studi diii kebidanan stikes maharani malang email:agnis2k@gmail.com abstract: the second stage of labor is one of the stages of labor that starts from the complete opening (10 cm) until the baby is born, and at primigravidas lasts 1 hour. prolonged labor amounted to 5% of all causes of maternal death. one of method to restrain the prolonged labor is to do zilgrei gymnastics. this study purposed to find the correlation of gymnastics zilgrei and long inpartu of second stage in primigravida. the design of this study was observational analytic with cross sectional approach. the population in this study was inpartu primigravida maternity who do zilgrei gymnastics in january 2014– march 2015 in bps ny “s” tunggulwulung village malang with 40 respondents and the sample of 40 respondents using total sampling techniques. the instrument used a data collection sheet from the book documentation of labor bps ny “s”.the results showed spearman correlation test at 5% error level and p value = 0.0001 <0.05. this means that ho was rejected and ha accepted and there was a significant correlation between zilgrei gymnastics with inpartu on second stage. the suggestion of this research was for health employee to socialize the implementation of zilgrei gymnastics as well as the benefits for the labor, so that the second stage of labor does not take a long time. keywords: long inpartu second stage, primigravidae, zilgrei gymnastic abstrak: persalinan kala ii merupakan salah satu tahap persalinan yang dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir, dan pada primigravida berlangsung 1 jam. partus lama merupakan 5% dari seluruh penyebab kematian ibu. salah satu metode untuk mencegah persalinan lama yaitu dengan melakukan senam zilgrei. penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara senam zilgrei dengan lama inpartu kala ii pada primigravida. desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah ibu inpartu primigravida yang melaksanakan senam zilgrei pada bulan januari 2014–maret 2015 di bps ny “s” kelurahan tunggulwulung kota malang sebanyak 40 responden dan sampel yang sebanyak 40 responden dengan teknik pengambilan sampel total sampling. instrumen yang digunakan adalah lembar pengumpul data dari buku dokumentasi persalinan bps ny “s”. hasil analisa dengan menggunakan uji korelasi spearmen pada taraf kesalahan 5% didapatkan nilai p=0,0001 < 0,05. hal ini berarti bahwa ho ditolak dan ha diterima dan terdapat korelasi yang bermakna antara senam zilgrei dengan lama inpartu kala ii dengan kekuatan korelasi cukup. terdapat hubungan antara senam zilgrei dengan lama inpartu kala ii. hendaknya instansi terkait untuk lebih mensosialisasikan tentang pelaksanaan senam zilgrei serta manfaatnya pada persalinan, sehingga lama persalinan kala ii tidak membutuhkan waktu yang lama. kata kunci: lama inpartu kala ii, primigravida, senam zilgrei persalinan/inpartu merupakan proses pengeluaran janin yang dimulai sejak adanya tanda-tanda persalinan atau sejak adanya pembukaan pada serviks sampai dengan lahirnya plasenta. kala dua persalinan dimulai ketika dilatasi serviks sudah lengkap dan berakhir ketika janin sudah lahir atau disebut acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p059-062 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 60 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 59–62 juga dengan stadium ekspulsi janin, lama persalinan kala dua pada primigravida normalnya maksimal berlangsung selama 60 menit (prawirohardjo, 2009). trend angka kematian ibu mengalami peningkatan pada tahun 2007 dan 2012 dari 228/100.000 kelahiran hidup menjadi 359/100.000 kelahiran hidup.dan jauh dari target mgd’s (millenium development goals). penyebab dari kematian ibu pada tahun 2010–2013 berdasarkan data direktorat kesehatan ibu adalah perdarahan, hipertensi, infeksi, partus lama, abortus, dan sebab-sebab lain. kelima kejadian ini erat kaitannya dengan proses per sa lina n (bkkbn, bps da n kementer ia n kesehatan, 2012). hambatan atau penyulit pada persalinan kala ii salah satunya adalah partus lama. menurut sofian (2011) ada tiga faktor penyebab partus lama yaitu, tenaga (kekuatan kontraksi dan usaha maternal), jalan lahir (bentuk pelvis maternal dan jaringan lunak) dan janin (posisi, ukuran, dan letak terendah janin) (sofian, 2011). partus lama merupakan 8% penyebab kematian ibu secara global. komplikasi yang dapat terjadi adalah fistula vesikovaginalis dan/atau rektovaginalis, sepsis, dan rupture uteri yang akhirnya dapat mengakibatkan perdarahan dan syok, bahkan kematian ibu (prawirohardjo, 2009). upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan lama adalah dengan melakukan senam zilgrei. senam zilgrei merupakan bagian dari senam hamil. senam zilgrei adalah perpaduan latihan pernapasan dengan gerakan tertentu. senam zilgrei sangat bermanfaat pada ibu hamil terutama saat proses persalinan. postur tubuh tegak dan mobilitas pada kala satu persalinan telah terbukti meningkatkan efisiensi kontraksi dan menurunkan kebutuhan akan pereda nyeri farmakologis, selain itu hal ini juga akan memperpendek kala dua dan mengurangi kejadian nyeri hebat (scoth dan judy priest, 2008). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama persalinan kala ii pada ibu inpartu primigravida yang melaksanakan senam zilgrei. bahan dan metode desain penelitian ini menggunakan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. populasi dari penelitian ini adalah ibu inpartu primigravida yang melaksanakan senam zilgrei pada bulan januari 2014–maret 2015 di bps ny “s” kelurahan tunggulwulung kota malang yang telah memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 40 responden. teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling yaitu total sampling dengan kriteria inklusi: ibu inpartu primigravida kala i, ibu inpartu yang tidak mengalami ketuban pecah dini, komplikasi, atau resiko tinggi, ibu yang melaksanakan senam zilgrei pada masa inpartu kala i, ibu yang datanya tercatat lengkap pada dokumentasi persalinan. penelitian ini dilakukan di bps ny “s” kelurahan tunggulwulung kota malang. variabel independen dalam penelitian ini adalah senam zilgrei dan variabel dependen adalah lama persalinan kala ii. pengumpulan data menggunakan data sekunder sekunder/dokumentasi persalinan pada bulan januari 2014–april 2015. analisis data pada penelitian ini yaitu: 1) analisis deskriptif yang berupa presentase dari setiap variabel, 2) analisis bivariat untuk melihat pengaruh variabel independen dengan variabel dependen denga n mengguna ka n uji spearman rank. corelation. hasil penelitian pada tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar responden berusia 20–35 tahun yaitu sebanyak 28 resonden (70%). sedangkan pendidikan hampir seluruh responden berpendidikan sma yaitu 85% tabel 1. karakteristik umum responden paramet er frekuensi persentase (%) usia (tahun) <20 20-35 12 28 30 70 pendidikan smp sma pt 4 34 2 10 85 5 pekerjaan di dalam rumah di luar rumah 27 13 67,5 32,5 61kristiana dan rahayu, hubungan antara senam zilgrei ... dan sebagian besar responden adalah bekerja di dalam rumah yaitu sebanyak 67,5%. faktor penolong persalinan. hal ini sangat penting, mengingat beberapa kasus kematian ibu dan bayi tabel 2. pelaksaan senam zilgrei dan lama kala ii parameter frekuensi persentase (%) pelaksanaan senam zilgrei latihan k urang (< 10 kali) latihan cukup ( = 10 kali) 14 26 35 65 lama k ala ii n ormal (> 30-60 menit) cep at ( = 30 menit) 18 22 45 55 berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa sebagian besar ibu inpartu yang melaksanakan senam zilgrei pada kala i sebanyak 65%. sedangkan lama persalinan kala ii sebagian besar berlangsung  30 menit (cepat) yaitu sebanyak 55%. dari hasil analisis bivariat didapatkan bahwa: tabel 3. tabulasi silang p elaksanaan senam zilgrei la ma inpartu kala ii jumlah normal cepat frekuensi persentase (%) f rekuensi p ersentase (%) frekuensi persentase (%) kurang 13 32,5 1 32,5 1 4 35 cukup 5 12,5 21 52,5 2 6 65 jumlah 18 45 22 55 4 0 100 berdasarkan tabel 3 sebagian besar responden melakukan senam zilgrei latihan cukup (  10 kali latihan) dan lama inpartu kala ii nya berlangsung cepat (  30 menit) yaitu sebanyak 21 responden (52,5%), dan hampir setengahnya yang melakukan senam zilgrei dengan kategori kurang (< 10 kali latihan) lama inpartu kala ii nya berlangsung normal (> 30-60 menit) yaitu sebanyak 13 responden (32,5%). analisis hubungan antara senam zilgrei dengan lama inpartu kala ii pada primigravida dengan uji spearman rank didapatkan nilai r sebesar -0,791, p 0,0001. dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kekuatan korelasi dalam kategori cukup dan ada hubungan antara senam zilgrei dan lama inpartu kala ii (0,0001 < 0,005). sedangkan hubungan bersifat negatif yang berarti semakin cukup latihan senam zilgrei maka lama kala ii semakin cepat pada primigravida. pembahasan keberhasilan proses persalinan di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ibu (power, passage, psikologis), faktor janin (plasenta), dan di sebabkan oleh tidak terdeteksiya secara dini adanya salah satu dari faktor faktor tersebut (scoth dan judy priest, 2008). partus lama disebabkan oleh lima macam faktor (kelainan 5p) yaitu: power (kekuatan yang mendorong janin keluar), passenger (kelainan janin itu sendiri), passage (kelainan ukuran maupun bentuk panggul/jalan lahir), psikologis ibu bersalin dan penolong persalinan. selain lima macam faktor tersebut, faktor psikis ibu bersalin sangat berpengaruh dari dukungan suami dan anggota keluarga yang lain untuk mendampingi ibu selama bersalin dan kelahiran, akan sangat membantu kenyamanan ibu (rukiyah, a.y., dkk., 2009). sebagian besar responden melakukan senam zilgrei latihan cukup (  10 kali latihan) dan lama inpartu kala ii nya berlangsung cepat (  30 menit) yaitu sebanyak 21 responden (52,5%), dan hampir setengahnya yang melakukan senam zilgrei dengan kategori kurang (< 10 kali latihan) lama inpartu kala ii nya berlangsung normal (> 30–60 menit) yaitu sebanyak 13 responden (32,5 %). senam zilgrei adalah salah satu cara alternatif untuk membantu mewujudkan persalinan normal. pelaksanaan senam zilgrei saat inpartu kala i dapat memberikan kontribusi pada kala ii, yaitu waktu yang dibutuhkan pada persalinan kala ii berlangsung tidak terlalu lama sehingga tidak melebihi batas waktu (tidak lebih dari 60 menit) untuk dilakukan rujukan (sulistyawati, 2010). 62 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 59–62 dengan melakukan latihan pernapasan pada senam zilgrei dapat melatih peregangan tulang rusuk dan punggung serta mengumpulkan tenaga untuk mendorong janin. metode zilgrei selain membuat otot-otot panggul menjadi selaras juga dapat mengurangi rasa sakit saat persalinan. selain itu tiga landasan zilgrei yaitu latihan pernafasan, gerakan dan posisi tubuh merupakan kunci kelenturan otot dan tenaga pendorong (danuatmaja, 2008). dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa kekuatan korelasi dalam kategori cukup dan terdapat hubungan antara senam zilgrei dan lama inpartu kala ii (0,0001 < 0,005). sedangkan hubungan bersifat negatif yang berarti semakin cukup latihan senam zilgrei maka lama kala ii semakin cepat. dalam gerakan senam juga dipadukan dengan latihan pernapasan. latihan pernafasan ini berfungsi untuk mensuplai oksigen ke otak dan disalurkan ke janin sehingga mengurangi hipoksia pada janin, selain itu teknik pernapasan juga berfungsi sebagai salah satu alternatif mengalihkan rasa nyeri, sehingga pada saat his saat inpartu dapat membantu mengurangi rasa nyeri. adanya latihan pernapasan dimungkinkan terdapat cadangan o2 yang sangat diperlukan untuk terjadinya kontraksi. energi yang dibutuhkan selama his berasal dari adenosine-trifosfat (atp) dan adenosine-difosfat (adp) hasil pengolahan dari metabolisme glucose atau glycogen menjadi co2 dan h2o, proses metabolisme tersebut membutuhkan o2. his yang adekuat akan menghasilkan tenaga untuk mendorong janin ke jalan lahir (sulistyawati, 2010). selain itu, proses persalinan juga dipengaruhi oleh psikologi ibu. semakin lama waktu persalinan akan menyebabkan kelelahan serta meningkatkan kecemasan dan rasa nyeri pada ibu bersalin, cemas dan takut menyebabkan peningkatan tegangan otot dan gangguan aliran darah menuju otak maupun otot. ketegangan yang lama akan menurunkan kemampuan ibu untuk mengontrol rasa nyeri. sehingga hal tersebut dapat memperlambat proses persalinan kala ii (yuliatun, 2008), dengan melaksanakan senam zilgrei diharapkan dapat mengurangi angka kejadian infeksi, kehabisan tenaga, dan dehidrasi pada ibu, serta mengurangi angka kejadian hipoksia pada bayi. simpulan dan saran simpulan ada hubungan senam zilgrei dengan lama inpartu kala ii pada primigravida di bps ny “s” kelurahan tunggulwulung kota malang dengan kekuatan hubungan cukup dan arah korelasi negatif yang artinya semakin cukup latihan senam zilgrei dilakukan maka lama kala ii semakin cepat. saran diharapkan untuk memberikan konseling pada ibu inpartu mulai pada saat kehamilan trimester iii tentang pelaksanaan senam zilgrei serta manfaatnya pada kehamilan dan persalinan, serta juga memberikan asuhan sayang ibu. daftar rujukan prawirohardjo, s. 2009. ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka. sofian, a. 2011. sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi. jakarta: egc. badan kependudukan dan keluarga berencana nasional badan pusat statistik kementerian kesehatan. 2012. survei demografi kesehatan indonesia 2012. jakarta: bkkbn, bps dan kementerian kesehatan. scoth dan judy, p. 2008. kelas antenatal. jakarta: egc. sulistyawati, a. 2010. asuhan kebidanan pada ibu bersalin. jakarta: salemba medika. suprapti. 2006. pengaruh metode zilgrei terhadap durasi persalinan kala ii pada ibu inpartu di bidan praktek swasta (bps) sukemi malang. kti tidak diterbitkan. malang: program studi diploma iii kebidanan politeknik kesehatan malang. rukiyah, a.y., dkk. 2009. asuhan kebidanan ii persalinan. jakarta: trans info media. danuatmaja, b. 2008. persalinan normal tanpa rasa sakit. jakarta: puspa swara. yuliatun, l. 2008. penanganan nyeri persalinan dengan metode nonfarmakologi. malang: bayumedia. saifuddin, a.b., dkk. 2012. buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. jaka r ta : ya ya sa n bi n a pusta ka sa r won o prawirohardjo. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 262 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 262–265 262 hubungan jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada lansia di puskesmas nglegok kabupaten blitar (the correlation of sexes and hypertention of elderly in nglegok public health centre kabupaten blitar) abstract: until now, hypertension still become a major challenge in indonesia, because hypertension is a condition that is often found in primary health care. gender is one of the factors that influence blood pressure that cannot be changed. male have higher rates of hypertension than women. aging also resulted in the increase of blood pressure. the purpose of this study was to determine the correlation of sexes and hypertension of elderly in nglegok public health center kabupaten blitar. this research was descriptive analytic by using cross sectional design. the population in this study was 54 people while the sample was 29 people. the data collection obtained from a medical record and analyzed by the spearman rank test. the results showed that there was no correlation between the sexes and hypertension of elderly in nglegok public health center kabupaten blitar with the sig. 0.130. this was likely due to factors that affect hypertension was not only gender, but also age and physical activity, so that the elderly need to be stimulated to actively participate in elderly posyandu in each region, so that the activities of the elderly will increase keywords: gender, elderly, hypertension abstrak: sampai saat ini, hipertensi merupakan tantangan besar di indonesia, karena hipertensi adalah kondisi yang sering ditemukan dalam perawatan kesehatan primer. gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah yang tidak dapat diubah. laki-laki memiliki tarif lebih tinggi hipertensi dibanding wanita. peningkatan usia juga mengakibatkan peningkatan tekanan darah. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan hipertensi pada orang tua di nglegok puskesmas kabupaten blitar. penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan desain cross sectional. populasi dalam penelitian ini berjumlah 54 orang. sedangkan sampel sebanyak 29 orang. pengumpulan data diperoleh dari rekam medis dan dianalisis menggunakan uji spearman rank. hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada orang tua di nglegok public health center kabupaten blitar dengan sig. 0.130. hal ini mungkin disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi tidak hanya jenis kelamin, tetapi juga usia dan aktivitas fisik. sehingga kebutuhan lansia untuk dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam posyandu lansia di masing-masing daerah, sehingga kegiatan lansia meningkat kata kunci: gender, lansia, hipertensi sampai saat ini hipertensi merupakan tatangan yang besar di indonesia, karena hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. berdasarkan data riskesdas tahun 2013 hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang sangat tinggi, yaitu sebesar 25,8%. gambaran di tahun 2013 dengan menggunakan unit analisis individu menunjukkan bahwa secara nasional 25,8% penduduk indonesia menderita penyakit hipertensi (kemenkes ri, 2016). yeni kartika sari, evi tri susanti program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: kartikasariyeni84@gmail.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p262-265 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 263wulandari, pengaruh yoga ... hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmhg dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mhg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang, (kemenkes ri, 2016). world health organization (who) memperkirakan akan terjadi peningkatan proporsi lansia di dunia dari 7% pada tahun 2020 smpai 23% pda tahun 2025. bertambahnya umur akan mengakibatkan tekanan darah meningkat, karena peningkatan ketebalan arteri dan disfungsi jaringan endotel juga meningkat seiring dengan meningkatnya usia. keadaan ini akan berkibat pada penumpukan zat kolagen pada lapisan otot pembuluh darah sehingga perlahan lahan pembuluh darah akan menyempit dan menjadi tidak elastis lagi. hipertensi pada lansia berhubungan dengan peningkatan sensitifitas natrium, hipertensi sistolik terisolasi dan hipertensi “white coat”. data dari puskesmas nglegok kabupaten blitar didapatkan bahwa hipertensi menmpati urutan ke 3 setelah gastritis dan penyakit kulit akibat alergi dengan jumlah kasus 875 kasus. pada bulan oktober 2016 lansia yang mengalami hipertensi sebanyak 55 orang, bulan nopember 2016 sebanyak 54 orang dan bulan desember 2016 sebanyak 54 orang. sedangkan data dari dinas kesehatan kabupaten blitr tahun 2013 jumlah penderita hipertensi adalah sebanyak 5404 orang. hipertensi di kabupaten blitar juga masuk dalam 10 besar penyakit terbanyak pada tahun tersebut. penyakit hipertensi perlu untuk dideteksi secara dini dengan cara pemeriksaan tekann darah secara berkala. hal ini dikarenakan hipertensi merupakan faktor pencetus kematian akibat penyakit serebrovaskuler dan kardiovaskuler, (ezzati, et al., 2008). peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten), tidak terdeteksi secara dini, dan mendapatkan pengobatan yang memadai dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (stroke). selain itu hipetensi juga dapat menyebabkan kebutan dan gangguan kognitif (who, 2015). faktor faktor yang mempengruhi hipertensi diantaranya adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik, kebiasaan merokok, konsusmsi garam, konsumsi lemak jenuh, konsumsi minuman beralkuhol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stress dan pengunaan estrogen. jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat diubah. jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah yang tidak dapat diubah. penelitian yang dilakukan oleh everett dan zajacova tahun 2015 menunjukkan bahwa laki laki memiliki tingkat hipertensi yang lebih tinggi daripada wanita namun memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih rendah terhadap penyakit hipertensi daripada wanita. akan tetapi penelitian lain yang dilakukan oleh wahyuni dan eksanoto (2013) menunjukkan bahwa wanita cenderung menderita hipertensi daripada laki laki. pada penelitian tersebut sebanyak 27,5% wanita mengalami hipertensi, sedangkan untuk laki laki hanya sebesar 58%. wanita akan mengalami peningkatan resiko tekanan darah tinggi setelah menopause yaitu usia di atas 45 tahun. karena wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormone esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar high density lipoprotein (hdl). kadar hdl yang rendah dan ldl yang tinggi akan mempengar uhi terja dinya proses aterosklerosis dan mengakibatkan tekanan darah tnggi, (anggraini, dkk., 2009). adanya perbedaan inilah maka peneliti ingin melakukan penelitian hubungan jenis kelamin dengan tekanan darah lansia di puskesmas nglegok kabupaten blitar. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan hipertensi pada lansia di puskesmas nglegok kabupaten blitar metode penelitian penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross sectional, yaitu pengumpulan data variabel bebas dan variabel terikat dinilai secara simultan pada satu waktu. penelitian ini dilaksanakan pada bulan agustus 2016 di puskesmas nglegok kabupaten blitar provinsi jawa timur. populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia yang mengalami hipertensi di puskesma nglegok kabupaten blitar selama bulan agustus 2016 sebanyak 54 orang. sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi yang memenuhi kriteria iklusi yaitu lansia yang berumur lebih dari 60 tahun sebanyak 29 orang. pengumpulan data diperoleh dari catatan rekam medik dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik spearman rank test. hasil penelitian jenis kelamin responden dalam penelitian hamper merata antara laki laki dan wanita yaitu berjumlah 14 dan 15 (48% dan 52%). pekerjaan responden pada penelitian ini mayoritas adalah ibu 264 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 262–265 rumah tangga yaitu sebanyak 13 orang (45%). sedangkan pada responden laki laki mayoritas sudah tidak bekerja lagi (31%). agama responden penelitia n ma yoritas a dalah bera gama isla m ya itu sebanyak 23 responden (79%) telah mengalami menopause memiliki kadar esterogen yang rendah. padahal esterogen ini berfungsi meningkatkan kadar hdl yang sangat berperan dalam menjaga kesehatan pembuluh darah. sehingga pada wanita menopause, kadar esterogen yang menurun juga akan diikuti dengan penurunan kadar hdl jika tidak diikuti dengan gaya hidup yang baik pula. responden pada penelitian ini dimungkinkan juga mengalami dampak penurunan esterogen yang diikuti dengan penurunan kadar hdl. karena hdl yang rendah dan ldl yang tinggi akan mempengaruhi terjadinya atherosclerosis sehingga tekanan darah akan tinggi. berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 setelah data dianalisis menggunakan spearman rank tampak bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada lansia di puskesmas nglegok kabupaten blitar bulan agustus 2016 dengan nilai sig. 0.130. jenis kelamin memng merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah. penelitian yang dilakukan oleh rosta, 2011 juga mengatakan demikian. penelitian yang dilakukan oleh wahyuni dan eksanoto (2013) mendukung penelitian dari rosta (2011) tersebut yaitu wanita cenderung menderita hipertensi daripada laki-laki. meskipun jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi tingginya tekanan darah, (rosta, 2011). hal ini kemungkinan disebabkan karena banyak sekali faktor yang mempengaruhi tekanan darah terutama lansia, selain jenis kelamin, seperti umur dan aktifitas fisik. umur berkaitan dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). semakin tua seseorang maka semakin besar resiko terserang hipertensi (khomsan, 2003). pada usia tersebut arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah (sigarlaki, 2006). aktifitas fisik yang kurang bersiko menderita hipertensi karena meningkatnya risiko kelebihan berat badan. berdasarkan tabel 1 dapat kita lihat bahwa 13 lansia adalah ibu rumah tangga dan 9 lansia tidak bekerja. sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas lansia aktifitasnya kurang. orang yang kurang melakukan aktiftas fisik juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. semakin keras dan sering otot jantung harus memompa, semakin besar tabel 1. karakteristik responden di puskesmas nglegok kabupaten blitar, agustus 2016 no krakteristik f % jenis kelamin 1 laki laki 14 48 2 wanita 15 52 total 29 100 pekerjaan 1 tidak bekerja 9 31 2 petani 3 10 3 pedagang 4 14 4 irt 13 45 total 29 100 agama 1 islam 23 79 2 katolik 1 3 3 protestan 5 18 total 29 100 tabel 2. tabulasi silang jenis kelamin dengan hipertensi di puskesmas nglegok kabupaten blitar, agustus 2016 jenis kelamin hipertensi t ring an sedang berat f % f % f % laki laki 4 14 9 31 0 0 16 wanita 4 14 9 31 3 10 13 total 8 28 18 62 3 10 29 sig 0.130 dari tabel di atas tampak bahwa lansia yang menderita hipertensi berat didominasi oleh wanita sebanyak (100%), sedangkan sisanya untuk hipertensi ringan dan sedang memiliki jumlah yang sama. pembahasan hubungan jenis kelamin dengan hipertensi di puskesmas nglegok kabupaten blitar, agustus 2016 berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 tampak bahwa lansia yang menderita hipertensi didominasi oleh wanita dibandingkan dengan laki laki yaitu sebanyak 55%. responden yang menderita hipertensi berat juga 100% dialami oleh wanita. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh wahyuni dan eksanoto (2013); bahwa wanita akan mengalami peningkaan risiko hipertensi setelah menopause yaitu usia diatas 45 tahun. wanita yang 265wulandari, pengaruh yoga ... tekanan yang dibebankan pada arteri, (anggara dan prayitno, 2013). berdasarkan penelitian lewa, dkk. (2010), secara umum lansia yang tidak melakukan aktivitas fisik berhubungan dengan kejadian hst (hipertensi sistolik terisolasi) yaitu dengan angka kejadian sebesar 2,336 kali beresiko terkena hipertensi. hipertensi sistolik terisolasi yaitu hipertensi yang terjadi ketika tekanan sistolik mencapai 140 mmhg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmhg. jadi tekanan diastolic masih dalam kisaran normal sedangkn tekanan sistolik cenderung tinggi simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada lansia di puskesmas nglegok kabupaten blitar dengan nilai sig. 0.130. hal ini kemungkinan karena faktor yang mempengaruhi hipertensi tidak hanya jenis kelamin, namun juga umur dan aktifitas fisik saran berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa: lansia perlu distimulasi untuk berperan aktif dalam posyandu lansia di masing masing wilayahnya, sehingga aktifitas lansia semakin meningkat, pada penelitian selanjutnya dapat dilanjutkan dengan meneliti lagi faktor faktor lain yang dapat meningkatkan resiko hipertensi dan memperbanyak jumlah sampelnya daftar rujukan anggraini, a.d., waren, s., situmorang, e., asputra, h., dan siahaan, s.s. 2009. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada pasien yang berobat di poliklinik dewasa pusk e smas b angk i nang pe ri ode januari sampai juni 2008. fakultas kesehatan. universitas riau. files of drsmed-fk unri: 1-41 everett, b., and anna zajacova. 2015. gender differences in hypertension and hypertension awareness among young adult. https://www.ncbi.nlm.nih. gov/pmc/articles/pmc4896734/. diakses tanggal 1 desember 2016. ezzati, m., oza, s., danaei, g., murray, c.j.l. trends and cardiovascular mortality effects of state-level blood pressure and uncontrolled hypertension in the united states. circulation. 2008;117(7):905– 914. diakses tanggal 1 desember 2016. kemenkes ri. 2016. pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri. jakarta selatan. google book. diakses tanggal 1 desember 2016. khomsan, a. 2003. pangan dan gizi untuk kesehatan. pt. rajagrafindo persada. jakarta: 95. rosta, j. 2011. hubungan asupan energi, protein, lemak dengan status gizi dan tekanan darah geriatri di panti wredha surakarta. skripsi. universitas muhammadiyah surakarta. surakarta. sigarlaki, h.j.o. 2006. karakteristik dan faktor berhubungan dengan hipertensi di desa bocor, kec amat an bul us pe santre n, kabupate n kebumen, jawa tengah, tahun 2006. makara, kesehatan.10 (2): 78-88. stokes, gordon steward. 2009. management of hypertension in the elderly patient. https://www. ncbi. nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2762362/. diakses tanggal 1 desember 2016. wahyuni, dan eksanoto, d. 2013. hubungan tingkat pendidikan dan jenis kelamin dengan kejadian hipertensi di kelurahan jagalan di wilayah kerja puskesmas pucang sawit surakarta. jurnal ilmu keperawatan indonesia. 1 (1): 79-85. who. 2015. question and answer on hypertension. http:// www.who.int/features/qa/82/en/. diakses tanggal 1 desember 2016. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 42 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 42–45 42 beban keluarga penderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rumah sakit jiwa propinsi jambi (family burden of schizophrenia patient who check at psychiatric polyclinic of psychiatric hospital of jambi province) rusmimpong, daryanto, netha damayantie dosen jurusan keperawatan, politeknik kesehatan jambi email: nethafauzi1996@gmail.com abstract: family has a role in the caring of schizophrenia patient at home. schizophrenia patient have a clinical condition which can be the factors to be hospitalized or at home. the family ability was also a burden for the patients care. the purpose of this study was to know of the correlation of the clinical conditions of schizophrenic’s patient and the family burden who has family members with schizophrenia at psychiatric polyclinic of asylum of jambi province. the design used cross sectional. the sample size was 95 families who have family members with schizophrenia and selected by purposive sampling. the variables were characteristic of schizophrenia patient, patient clinical condition, and the family burden. the collected data of family burden used zarit burden interview (zbi). the data were collected on july 23 until august 12, 2015. the data analyses used correlation. family burden correlated with frequent of inpatient psychiatric hospital (r = 0.30) and positive and negative symptoms of schizophrenia patients (r = 0.26), but not correlated with the sick duration of schizophrenia patient (p = 0.475). thus, nurses were expected to provide health education which was aimed to improve the knowledge and ability of the family to care the patients at home. keywords: schizophrenia, family burden abstrak: keluarga memiliki peran untuk mengasuh penderita skizofrenia di rumah. penderita skizofrenia memiliki keadaan klinis yang dapat menjadi faktor perlu dirawat di rumah sakit atau di rumah. kemampuan keluarga merawat juga merupakan beban tersendiri untuk mengasuh penderita. tujuan yang diharapkan adalah mengetahui hubungan antara keadaan klinis penderita skizofrenia dengan beban keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rs jiwa daerah provinsi jambi. desain yang digunakan adalah cross sectional. sampelnya sebanyak 95 keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rs jiwa daerah provinsi jambi yang dipilih dengan metode sampling purposif. variabelnya adalah karaktersitik penderita skizofrenia, keadaan klinis penderita, dan beban keluarga. pengumpulan data beban keluarga menggunakan zarit burden interview (zbi). pengumpulan data dilakukan tanggal 23 juli 2015 sampai dengan 12 agustus 2015. analisis data menggunakan korelasi. beban keluarga berhubungan dengan jumlah masuk rumah sakit jiwa (r=0,30) dan gejala positif dan negatif penderita skizofrenia (r=0,26), tetapi tidak berhubungan dengan durasi sakit menderita skizofrenia (p=0,475). sehingga, diharapkan perawat memberikan pendidikan kesehatan yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga merawat pasien di rumah. kata kunci: skizofrenia, beban keluarga maramis (2001) menulis bahwa angka gangguan jiwa berat penduduk dunia sebesar 2–3% dan penderita skizofrenia 0,2–0,8%. prevalensi skizofrenia di dunia sekitar 1% dan umumnya sama antara lakilaki maupun perempuan (schultz, north, dan shields, 2007). jika penduduk indonesia sekitar 240 juta jiwa diperkirakan sekitar 2,4 juta jiwa menderita skizofrenia. permasalahan perawatan penderita skizofrenia acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p042-045 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 43rusmimpong, daryanto dan damayantie, beban keluarga penderita ... adalah kambuh. angka kekambuhan bervariasi antara 50–92% yang mirip antara negara maju dan berkembang meski mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa yang baik (fallon, 2007). sekitar 61,8% penderita skizofrenia mengalami kambuh sekurangkurangnya sekali. skizofrenia berlangsung kronis dan seringkali kambuh sehingga dapat menimbulkan beban keluarga. keluarga berperan dalam mengasuh penderita skizofrenia selama di rumah. keberhasilan perawatan di rumah sakit jiwa yang tidak diteruskan di rumah dapat mengakibatkan kambuh sehingga harus dirawat ulang di rumah sakit. menurut stroup (2005) peran serta keluarga dalam perawatan penderita gangguan jiwa yaitu (1) keluarga merupakan tempat memulai hubungan interpersonal dengan lingkungan, (2) keluarga sebagai suatu sistem sehingga maka masalah salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi sistem, (3) pelayanan kesehatan jiwa sebagai fasilitas yang membantu penderita dan keluarga mencegah terjadi masalah, menanggulangi masalah, dan mempertahankan keadaan adaptif, dan (4) kekambuhan penderita disebabkan keluarga yang tidak tahu cara menangani penderita di rumah. tindakan pengkajian tentang beban keluarga dalam merawat penderita skizofrenia belum pernah dilakukan termasuk upaya pendidikan kesehatan yang terencana dan berkesinambungan juga tidak dilakukan. survei awal yang dilakukan bulan februari 2015 di poliklinik rumah sakit jiwa daerah jambi didapatkan hanya keluarga yang meminta obat tanpa kehadiran penderita skizofrenia atau penderita skizofrenia datang berobat jika mengalami kekambuhan. keadaan tersebut menggambarkan beban keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita skizofrenia. tujuan penulisan di atas untuk mengetahui hubungan antara keadaan klinis penderita skizofrenia dengan beban keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rs jiwa daerah provinsi jambi. bahan dan metode desain yang digunakan adalah cross sectional. sampelnya adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rs jiwa daerah provinsi jambi sebanyak 95 orang yang dipilih dengan metode sampling purposif. variabel yang dikumpulkan datanya adalah karaktersitik penderita skizofrenia, keadaan klinis penderita, dan beban keluarga. pengumpulan data beban keluarga menggunakan zarit burden interview (zbi). pengumpulan data dilakukan tanggal 23 juli 2015 sampai dengan 12 agustus 2015. analisis data menggunakan korelasi. desain yang digunakan adalah cross sectional. sampelnya adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rs jiwa daerah provinsi jambi sebanyak 95 orang yang dipilih dengan metode sampling purposif. variabel yang dikumpulkan datanya adalah karaktersitik penderita skizofrenia, keadaan klinis penderita, dan beban keluarga. pengumpulan data beban keluarga menggunakan zarit burden interview (zbi). pengumpulan data dilakukan tanggal 23 juli 2015 sampai dengan 12 agustus 2015. analisis data menggunakan korelasi. hasil penelitian karakteristik dan gambaran klinis penderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rs jiwa daerah provinsi jambi seperti tabel 1 dan 2. tabel 1. karakterikstik penderita skizofrenia (n=95) no karakteristik kategori f % 1. jenis kelamin 1. laki-laki 2. perempua n 61 34 64,2 35,8 2. pekerjaan 1. tida k bekerja 2. bekerja 66 29 69,5 30,5 tabel 2. keadaan klinis penderita (n=95) no keadaan klinis rerata sd minmaks 95 % ci 1. gejala positif dan negatif 5,31 2,048 2 9 4,8 9 – 5,72 2. jumlah masuk rsj (kali) 2,79 3,028 0 20 2,1 7 – 3,41 3. lama sakit (tahun) 6,97 5,899 0 29 5,7 7 – 8,17 beban keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia yang periksa di poliklinik jiwa rs jiwa daerah provinsi jambi seperti tabel 3. hubungan antara karakteristik dan keadaan klinis penderita skizofrenia dengan beban keluarga dituliskan dalam tabel 4. 44 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 42–45 pembahasan gambaran beban keluarga skor beban beluarga terendah 22 dan tertinggi 73 dengan nilai rata-rata sebesar 48,75 dan simpangan baku 11,015. keadaan ini menggambarkan bahwa rata-rata beban keluarga terkategori sedang dimana beban subyektif dan objektif masih dalam kondisi dapat dirasakan. beban keluarga (family burden) dalam melakukan perawatan kepada penderita skizofrenia (gangguan jiwa) meliputi berbagai permasalahan, kesulitan, dan dampak yang dialami keluarga selama merawat penderita (mohr, 2006). saunder dalam suwardiman (2011) mengidentifikasi adanya beban subyektif berupa distress psikologis keluarga yang merawat anggota keluarga penderita skizofrenia, dimana keluarga akan mengalami reaksi emosi terhadap gangguan dan stigma sosial yang timbul. who (2008) menyatakan keluarga merupakan pihak utama yang menanggung beban fisik, emosional, dan finansial karena adanya salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. dampak langsung meliputi penolakan, pengucilan oleh teman, tetangga, dan komunitas yang dapat mengakibatkan anggota keluarga cenderung mengisolasi diri, membatasi diri dari kehidupan sosial yang normal. menurut videbeck (2008) mereka yang terdiagnosis skizofrenia digambarkan sebagai individu yang mengalami masalah emosional atau psikologis yang tidak terkendali dan memperlihatkan perilaku yang aneh dan amarah. saat ini, tenaga kesehatan hanya mencurahkan perhatian kepada pasien skizofrenia, sehingga caregiver kepada keluarga yang merawat pasien terabaikan. tenaga kesehatan cenderung melupakan aspek kronis dari penyakit skizofrenia, serta mungkin lebih memperhatikan keadaan gawat pada saat pasien dibawa berobat dan dalam keadaan dekompensasi. padahal, keluarga sebagai caregiver, memerlukan dukungan dalam menghadapi fase kronis penyakit, seperti mendampingi aktivitas sehari-hari yang dilakukan pasien skizofrenia. hubungan keadaan klinis (frekuensi masuk rsj, gejala positif negatif, lama sakit) dengan beban keluarga. hasil analisis menunjukkan ada hubungan antara jumlah masuk rs jiwa dengan beban keluarga (p = 0,003) dengan nilai 0,30 dapat diartikan bahwa seberapa sering penderita mendapat perawatan di rs jiwa akan mempengaruhi beban keluarga. menurut rafiyah dan sutharangsee (2011); adeosun (2013) bahwa jumlah keseringan penderita masuk rs merupakan salah satu faktor klinis yang turut mempengaruhi beban keluarga. keada an ini, mengurus anggota keluarga penderita skizofrenia (gangguan jiwa) yang kambuh dan dirawat beberapa kali di rs jiwa akan membutuhkan beberapa penyesuaian yang menyangkut sumber daya tenaga, biaya, dan waktu untuk mengurus anggota keluarga yang sakit. penyesuaian yang dilakukan seringkali menimbulkan stress bagi keluarga sehingga menjadi hal yang memberatkan beban keluarga secara subyektif dan obyektif. perawat perlu membantu keluarga dalam menghadapi penyesuaian yang harus dilalukan ketika penderita skizofrenia menjalani perawatan di rs jiwa. bantuan perawat yaitu menciptakan suasana kondusif dan menyediakan waktu untuk bimbingan dan konsultasi bagi keluarga penderita, termasuk melibatkan keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan. hubungan antara gejala positif dan negatif dengan beban keluarga (p value = 0,010) sebesar 0,26 menunjukkan bahwa seberapa tinggi skor gejala penderita akan mempengaruhi beban keluarga. menurut rafiyah dan sutharangsee (2011) dan adeosun (2013) bahwa gejala positif dan negatif merupakan salah satu faktor klinis pasien yang turut mempengaruhi beban keluarga. peneliti berpendapat tinggi atau rendahnya skor gejala yang dialami akan menentukan parah atau ringan gejala penyakit yang dialami penderita. gejala suatu penyakit yang dialami penderita terkategori ringan maka dapat mempengaruhi beban keluarga. jika skor gejala suatu penyakit yang dialami penderita terkategori tinggi maka beban keluarga menjadi berat. perawat sebagai pengasuh bagi pasien dan keluarga perlu mengetahui skor tabel 3. beban keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia (n=95) variabel rerata sd minmaks 95% ci beban keluarga 48,7 5 1 1, 015 22 – 73 46,50 – 50,99 tabel 4. hasil analisis hubungan antara keadaan klinis penderita skizofrenia dengan beban keluarga (n=95) no. keadaan klinis nilai p r 1 gejala positif dan negatif 0,010 0,2 6 2 jumlah masuk rsj 0,003 0,3 0 3 durasi sakit 0,475 0,0 7 45rusmimpong, daryanto dan damayantie, beban keluarga penderita ... gejala yang dialami pasien, sehingga perawat tahu bantuan yang harus diberikan kepada keluarga penderita. juga, perawat perlu mengedukasi keluarga tentang cara mengatasi gejala yang dialami penderita yaitu halusinasi, waham, perilaku kekerasan, dan sebagainya. hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara durasi lama sakit dengan beban keluarga (p value = 0,475). keadaan ini tidak sesuai dengan temuan rafiyah dan sutharangsee (2011) dan adeosun (2013) yang menjelaskan bahwa lama sakit sebagai salah satu faktor klinis pasien yang turut mempengaruhi beban keluarga. menurut analisis penulis, jika keluarga telah lama menghadapi perilaku pasien maka keluarga sudah terbiasa dan beradaptasi dengan perubahan yang dialami penderita. dimungkinkan juga, lama waktu keluarga beradaptasi terhadap perilaku penderita sehingga tidak dirasakan sebagai beban keluarga. simpulan dan saran simpulan beban keluarga dipengaruhi oleh jumlah masuk rumah sakit jiwa dan gejala positif dan negatif penderita skizofrenia, tetapi tidak dipengaruhi durasi sakit anggota keluarga yang menderita skizofrenia. saran perawat diharapkan memberikan pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kemampuan keluarga merawat penderita skizofrenia di rumah dan mengatasi ketegangan keluarga. keluarga diharapkan mengikuti kegiatan pemberdayaan selama pasien berobat jalan di poli rs jiwa yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan merawat pasien di rumah. daftar rujukan adeosun, i.i. 2013. correlates of caregiver burden among family members of patients with schizophrenia in lagos, nigeria. hindawi publishing corporation schizophrenia research and treatment. volume 2013. fal lon. 2007. sc hizophre nia. htt p:// www. worl dschizophrenia.org. diperoleh tanggal 6 maret 2007. fontaine, k.l. 2009. mental health nursing. 5th edition. new jersey: pearson education, inc. maramis, w.e. 2001. ilmu kedokteran jiwa. surabaya: airlangga press. mohr, w.k. 2006. psychiatric mental health nursing. 6th edition. philadelphia: lippincott. rafiyah, i., & sutharangsee, w. 2011. review: burden on family caregivers caring for patients with schizophrenia and its related factors. nurse media. journal of nursing 1, 1. januari 2011. pages: 29-41. schultz, j.m. 2007. psychiatric nursing care plans. 5th edition. philadelphia: lippincott. stroup, s., et al. 2005. correlates of family burden under medicaid manage mental health care 1. http://www.springerling.com. diperoleh tanggal 14 juni 2007. suwardiman, d. 2011. hubungan antara dukungan keluarga dengan beban keluarga untuk mengikuti regimen terapeutik pada klien halusinasi di rsud serang tahun 2011. tesis. fik-ui, depok. videbeck, s.l. 2001. psychiatric mental health nursing. philadelphia: lippincott. who. 2008. investing in mental health. www:who.int/ mental_health. diperoleh tanggal 10 september 2015. 111amalia, hubungan tingkat pengetahuan bidan tentang bls (basic life support)... 111 hubungan tingkat pengetahuan bidan tentang bls (basic life support) dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien di ird obgyn rsud dr. soetomo surabaya (the correlation of midwife’s knowledge about bls (basic life support) and emergency service response time on patients in ird obgyn rsud dr. soetomo surabaya) rizki amalia program studi diii kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya email: amaliastikesyarsis@gmail.com abstract: the emergency service principle is time saving is life saving, primarily on the priority 1 patients. the lack of midwife knowledge about bls is one of factors that can decrease the response time in treating of priority 1 patient, thus the risk of imperfection and mortality will be increasingly high. the purpose of this research was to know the correlation of midwife knowledge about bls and the emergency service response time on the priority 1 patients at the emergency unit of rsud dr soetomo surabaya. method: design of this research used observational analytical method with the time series approach. the population used nurses of emergency unit of rsud dr soetomo surabaya, on may 2017. the samples were 21 respondents by total sampling technique. the data collection was done by using questionnaire and observation sheets. after data were tabulated, then they were analyzed using the statistical test of spearman’s rho correlation with   0.05. result: the results indicated that almost half (42.9%) of respondents had good knowledge level and more than half (61.9%) of respondents had the fast response time. the statistical test obtained results that there was correlation of the midwife knowledge level about bls and the emergency service response time with  = 0.000. based on the results of this research, it could be concluded that the better knowledge level about bls the faster the emergency service response time. it was needed to improve midwife knowledge about bls by means the training and workshop so that the midwife response time increasingly fast. keywords: knowledge, behavior, breast self-examination abstrak: prinsip pelayanan gawat darurat adalah time saving is life saving, terutama pada pasien prioritas 1 di rsud dr soetomo surabaya . kurangnya tingkat pengetahuan bidan tentang bls merupakan salah satu faktor yang dapat memperlambat waktu tanggap bidan dalam menangani pasien prioritas 1 sehingga resiko terjadinya kecacatan dan kematian akan semakin tinggi. tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang bls dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien prioritas 1 di rsud dr soetomo surabaya. metodologi: desain penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan time series. populasi yang digunakan yaitu bidan kamar terima igd obgyn rsud dr soetomo surabaya, pada bulan mei 2017. sampel diambil sebesar 21 responden dengan teknik total sampling. pengambilan data dilakukan menggunakan kuesioner dan lembar observasi. setelah data ditabulasi, kemudian dianalisis menggunakan uji statistik spearman’s rho correlation dengan   0,05. hasil: penelitian menunjukkan bahwa hampir sebagian (42,9%) responden memiliki tingkat pengetahuan baik dan sebagian besar (61,9%) responden memiliki waktu tanggap cepat. berdasarkan hasil uji statistik diperoleh hasil ada hubungan tingkat pengetahuan bidan tentang bls dengan waktu acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p111-114 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 112 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 111–114 tanggap pelayanan gawat darurat dengan  = 0,000. melihat hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan bidan tentang bls maka semakin cepat waktu tanggap pelayanan gawat daruratnya. perlu adanya usaha peningkatan pengetahuan bidan tentang bls melalui pelatihan dan workshop agar waktu tanggap bidan semakin cepat. kata kunci: pengetahuan, basic life support, waktu tanggap, pelayanan gawat darurat, triase prioritas 1 bls (basic life support) adalah suatu pertolongan pertama yang harus segera dilakukan agar tidak terjadi kerusakan organ vital yang membuat pasien tidak tertolong. bls dalam unit gawat darurat diperlukan terutama untuk pasien yang termasuk dalam golongan prioritas satu (p1). mengingat bahwa prinsip pelayanan gawat darurat adalah time saving is life saving, terutama pada pasien gawat darurat, tindakan yang cepat dan tepat perlu dilakukan oleh bidan untuk menyelamatkan jiwa pasien. menurut data yang ada di kamar terima unit gawat darurat rs dr soetomo surabaya tentang jumlah pasien prioritas satu (p1) selama bulan oktober – desember 2016, terdapat 297 pasien pada bulan oktober 2016, 321 pasien pada bulan november 2016, dan 234 pasien pada bulan desember 2016. jumlah pasien prioritas satu (p1) selama bulan oktober – desember 2016 adalah 852 pasien dengan rata-rata 284 pasien tiap bulan (nunuk. 2008) data lain menunjukkan bahwa pasien prioritas satu (p1) yang dilayani dengan waktu tanggap cepat atau tidak lebih dari 1 menit di kamar terima unit gawat darurat rs dr soetomo surabaya sebanyak 75% atau 223 pasien dari 297 pasien pada bulan oktober 2016, 82% atau 263 pasien dari 321 pasien pada bulan november 2016, dan 78% atau 183 pasien dari 234 pasien pada bulan desember 2016. jumlah pasien prioritas satu (p1) selama bulan oktober – desember 2016 yang dilayani dengan waktu tanggap cepat atau tidak lebih dari 1 menit adalah 669 pasien dengan rata-rata 223 pasien tiap bulan. data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat pelayanan gawat darurat pada pasien prioritas satu (p1) dengan waktu tanggap yang lambat atau lebih dari 1 menit. adapun jumlah perawat di kamar terima unit rs dr. soetomo surabaya yang tercatat hingga bulan desember 2016 sebanyak 22 orang. jumlah yang mempunyai perbandingan yang sangat jauh dengan jumlah pasien prioritas satu (p1). indikator keberhasilan tindakan medik dalam penanganan pasien prioritas satu (p1) yang dilakukan oleh bidan di unit gawat darurat adalah waktu tanggap. tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang bls dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pasien prioritas satu (p1) di kamar terima unit gawat darurat rs dr soetomo surabaya. pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif diantaranya: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation). gawat darurat adalah waktu tanggap. tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang bls dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pasien prioritas satu (p1) di kamar terima unit gawat darurat rs dr soetomo surabaya. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional dimana dalam penelitian ini, populasi dalam penelitian ini adalah semua bidan yang bertugas di kamar terima obgyn unit gawat darurat rs dr. soetomo surabaya sebesar 22 orang. penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1-30 mei 2017 di kamar terima unit gawat darurat rs dr. soetomo surabaya. sampel dalam penelitian ini adalah seluruh bidan yang bertugas di kamar terima unit gawat darurat rs dr. soetomo surabaya yang memenuhi kriteria, kriteria inklusi adalah bidan yang bertugas di kamar terima obgyn unit gawat darurat rs dr. soetomo surabaya yang bersedia menjadi responden. kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah bidan yang bertugas di kamar terima obgyn unit gawat darurat rs dr soetomo surabaya namun saat ini sedang menjalankan tugas dinas ke luar atau sedang cuti. besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 21 orang, kuesioner berisi 20 pertanyaan tentang bls (basic life support), terdiri dari 2 pertanyaan tentang pengertian bls (basic life support) pada pertanyaan nomor 1 dan 2, 5 per 113amalia, hubungan tingkat pengetahuan bidan tentang bls (basic life support)... tanyaan tentang prinsip dasar bls (basic life support) pada pertanyaan nomor 3 sampai 7, 14 pertanyaan tentang penatalaksanaan bls (basic life support) pada pertanyaan nomor 8 sampai 21, dan 4 pertanyaan tentang waktu tanggap dalam bls (basic life support) pada pertanyaan nomor 22 sampai 25, diperiksa, diolah dan di analisis secara statistik nonparametrik berdasarkan uji statistik spearman’s rho correlation menggunakan spss 16.0 for windows dengan derajat kemaknaan  < 0,05. artinya bila hasil uji statistik menunjukkan  < 0,05 maka h0 ditolak dan h1 diterima, artinya ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan perawat tentang bls (basic life support) dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien prioritas satu (p1) di kamar terima obgyn unit gawat darurat rs dr.soetomo surabaya. hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi spearman’s rho correlation untuk mengetahui apakah ada hubungan diantara dua variabel yaitu tingkat pengetahuan perawat tentang bls dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien p1 didapatkan  = 0,000. hal ini menunjukkan bahwa   0,05 berarti h0 ditolak yang berarti terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang bls dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien p1 di kamar terima obgyn unit gawat darurat rs dr soetomo surabaya. hasil penelitian (42,9 %) responden memiliki tingkat pengetahuan baik dan seluruhnya mempunyai waktu tanggap cepat. sebagian kecil (33,3 %) responden memiliki tingkat pengetahuan cukup, sebagian besar diantaranya (57,1%) mempunyai waktu tanggap dan sisanya (42,9%) mempunyai waktu tanggap lambat. sisa responden (23,8 %) lainnya memiliki tingkat pengetahuan kurang dan seluruhnya (100%) mempunyai waktu tanggap lambat. pembahasan ha sil a na lisa da ta denga n uji sta tistik spearman’s rho correlation diperoleh hasil  = 0,000. dimana   0,05 maka h0 ditolak. artinya ada hubungan antara tingkat pengetahuan perawat tentang bls dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien (p1). hal ini membuktikan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan perawat tentang bls maka semakin cepat waktu tanggap pelayanan gawat darurat yang diperlukan untuk menangani pasien (p1). berdasarkan data hasil penelitian, dari 21 responden yang ada didapatkan hampir sebagian (42,9 %) responden memiliki tingkat pengetahuan baik dan seluruhnya mempunyai waktu tanggap cepat. sebagian kecil (33,3%) responden memiliki tingkat pengetahuan cukup, sebagian besar diantaranya (57,1%) mempunyai waktu tanggap dan sisanya (42,9%) mempunyai waktu tanggap lambat. sisa responden (23,8%) lainnya memiliki tingkat pengetahuan kurang dan seluruhnya (100%) mempunyai waktu tanggap lambat. menurut moewardi (2003) dapat dipahami bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan waktu tanggap sangat tergantung kepada kualitas tim medis dan tim perawat untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kecacatan. oleh karena itu kualitas tim perawat dalam memberikan pelayanan gawat darurat pada pasien p1 di kamar terima unit gawat darurat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan perawat tentang bls. artinya semakin baik tingkat pengetahuan perawat tentang bls maka akan semakin cepat pula waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien (p1). sehingga kemungkinan terjadi kecacatan (morbidity) atau bahkan kematian (mortality) pada pasien akan semakin kecil. dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (notoadmodjo, 2003) dan yang dimaksud perilaku disini adalah no pengetahuan f % 1 baik 9 42,9 2 cukup 7 33 3 kurang 5 23,8 total 21 100 tabel 1 tabulasi silang pengetahuan bidan tentang bls no waktu tanggap f % 1 cepat 12 57,1 2 lambat 9 42,9 total 21 100 tabel 2 tabulasi silang waktu tanggap pelayanan gawat darurat berdasarkan data hasil penelitian, dari 21 responden yang ada didapatkan hampir sebagian 114 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 111–114 waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien p1 yang dilakukan oleh perawat. banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang bls dan waktu tanggap pelayanan gawat darurat oleh perawat. antara lain, mengikuti pelatihan dan workshop keperawatan dengan tema bls yang diadakan oleh pihak rumah sakit tempat perawat bekerja maupun pihak lain. simpulan dan saran simpulan terdapat hubungan tingkat pengetahuan bidan tentang bls (basic life support) dengan waktu tanggap pelayanan gawat darurat pada pasien di ird obgyn rsud dr soetomo surabaya. saran bagi tenaga kesehatan khususnya bidan agar lebih mengoptimalisasikan pengetahuan dan keterampilan tentang basic life support (bls) sehingga waktu tanggap pelayanan gawat darurat semakin cepat dan pelayanan semakin efektif. daftar rujukan moewardi. 2003. materi pelatihan ppgd. surakarta. notoatmodjo, soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta : rineka cipta. hal: 114, 120, 121, 122, 124, 125, 126, 127. notoatmodjo, soekidjo. 2002. metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta. hal: 10. nunuk dan agus. 2008. perbedaan waktu tanggap tindakan keperawatan pasien cedera kepala kategori i – v di instalasi gawat darurat rsud dr. moewardi berita ilmu keperawatan. vol 1. no. 2. juni 2008. hal. 69–74. 98 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 98–103 98 efektifitas acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu hamil trimester iii di masyarakat agriculture traditional di wilayah kerja puskesmas ngancar kabupaten kediri (the effectiveness of acuyoga to the insomnia complaints of pregnant women in trimester iii in agriculture traditional community in puskesmas ngancar kediri) nevy norma renityas, levi tina sari, wahyu wibisono program studi d3 kebidanan, stikes patria husada blitar email: tinasari.levi@gmail.com abstract: pregnant mother in the 3rd trimester usually experience sleep disorder caused by discomfort of pain on waist due to the enlargement of uterus to the anterior position.the decline of sleep duration of pregnant mother can also make their condition and concentration decreased, experience fatigue, body feels stiff, mood swing, and tend to be emotional. this condition makes the pregnancy becomes more severe than before (bambang br, 2004). therefore, acuyoga technique is applied in order toreduce insomnia. acuyoga consists of breathing exercises, meditation, relaxation, and using meridian points in the body to cope with stress and back pain that can cause insomnia in pregnant women. the purpose of this study was to determine the effectiveness of acuyoga techniques to insomnia complaints of 3rd trimester of pregnant women in traditional agricultural communities. the research method used pretest-posttest design with consecutive sampling technique and the number of samples was 40 mothers divided into 4 groups, each group was given treatment 4times in 2 weeks. the measuring tool used the questionnaire and the isi scale then analyzed by paired sample t-test. the results of the study showed there were an effect of acuyoga technique to insomnia in pregnant women with t count = 13.397 with ttable = 0.021. it was expected that acuyoga technique could be one of the techniques to reduce insomnia in pregnant women since it could relax the muscles in the body so that pregnant women felt comfortable. keywords: acuyoga, insomnia, trimester 3 pregnant women abstrak: ibu hamil trimester 3 mengalami gangguan pola tidur hal ini desebabkan karena ketidaknyamanan rasa nyeri pada pinggang akibat dari pembesaran uterus ke posisi anterior. penurunan durasi tidur pada ibu hamil dapat membuat kondisi ibu hamil menurun, konsentrasi berkurang, mudah lelah, badan terasa pegal, tidak mood bekerja, dan cenderung emosional.hal ini dapat membuat beban kehamilan menjadi semakin berat (bambang br, 2004).oleh karena itu, di terapi dengan teknik acuyoga yang diharapkan dapat menurunkan insomnia. acuyoga terdiri dari latihan pernafasan, meditasi, relaksasi dan menggunakan titik meridian dalam tubuh untuk mengatasi stress dan nyeri punggung yang bisa menyebabkan insomnia pada ibu hamil.tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas tehnik acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu hamil trimester 3 di masyarakat agricultural traditional. metode penelitian yang digunakan adalah pretest-posttest design dengan tehnik consecutive sampling dan jumlah sampel sebesar 40 org di bagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok diberikan perlakuan sebanyak 4x dalam 2 minggu. alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dan skala isi kemudian dianalisis dengan paired sample t-test. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan terdapat efektifitas tehnik acuyoga terhadap insomnia pada ibu hamil dengan thitung = 13.397 dengan ttabel =0.021. diharapkan tehnik acuyoga dapat acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p098-103 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 99renityas, sari, wibisono, efektifitas acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu hamil ... perubahan anatomi dan fisiologi pada perempuan hamil sebagian besar sudah terjadi segera setelah fertilisasi dan terus berlanjut selama kehamilan, kebanyakan perubahan ini merupakan respons terhadap janin. perubahan anatomi fisiologi ini memberikan masalah pada ibu hamil terutama gangguan tidur (insomnia). gangguan tidur yang sering dialami oleh ibu hamil adalah penurunan durasi tidur (field et al., 2007). sebagian besar wanita hamil mengalami gangguan tidur dan hanya 1,9% saja wanita yang tidak terbangun pada malam hari selama kehamilan trimester ketiga. gangguan tidur pada wanita hamil bisa berupa penurunan presentase gelombang tidur yang lamban dan tidur rem yang mungkin meningkat pada stadium satu. gangguan tidur pada wanita hamil terjadi pada trimester pertama, trimester kedua dan juga trimester ketiga. gangguan tidur lebih banyak dikeluhkan pada trimester ketiga (field et al, 2006). pada trimester tiga jumlah gangguan tidur ini lebih tinggi, karena adanya ketidaknyamanan seperti nyeri pinggang hal ini disebabkan karena kompensasi dari pembesaran uterus ke posisi anterior, lordosis menggeser pusat daya berat ke belakang kearah dua tungkai. sendi sakroiliaka, sakrokoksigis dan pubis akan meningkat mobilitasnya, yang diperkirakan karena pengaruh hormonal, hal ini menyebabkan perasaan tidak enak pada bagian bawah punggung terutama pada akhir kehamilan. (prawirohardjo, 2008) banyak buang air kecil, dan spontan bangun dari tidur. gerakan janin, nyeri ulu hati (hurtburn), kram pada tungkai, kelelahan dan kesulitan memulai tidur atau sulit tidur sampai pagi (grace et al, 2004). penurunan durasi tidur pada ibu hamil dapat membuat kondisi ibu hamil menurun, konsentrasi berkurang, mudah lelah, badan terasa pegal, tidak mood bekerja, dan cenderung emosional. hal ini dapat membuat beban kehamilan menjadi semakin berat (bambang br, 2004). gangguan tidur menimbulkan depresi dan stres yang berpengaruh pada janin yang dikandungnya. stres ringan menyebabkan janin mengalami peningkatan denyut jantung, tetapi stres yang berat dan lama akan membuat janin menjadi hiperaktif. akibat lanjut dari gangguan tidur ini adalah depresi dan bayi yang dilahirkan memiliki sedikit waktu tidur yang dalam (field et al, 2007). kesulitan tidur pada ibu hamil disebabkan oleh adanya rasa cemas dan panik yang berkaitan dengan perubahan tanggung jawab sebagai orang tua.gangguan tidur selama kehamilan terjadi selama trimester 1 (13%80%) dan trimester ketiga (66%-97%). upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan tidur ini antara lain dengan olah raga, mengkonsumsi obat-obatan yang aman bagi ibu hamil, hipnoterapi, edukasi tidur (sleeping education) dan latihan relaksasi (hegard, hanke k, 2010). salah satu latihan relaksasi yaitu dengan cara acuyoga. acuyoga dapat meredakan keluhan insomnia yang disebabkan karena nyeri punggung, stress dll.acuyoga terdiri dari latihan pernafasan, meditasi, relaksasi dan menggunakan titik meridian dalam tubuh untuk mengatasi stress dan nyeri punggung yang bisa menyebabkan insomnia pada ibu hamil. penerapan acuyoga diterapkan dalam masyarakat tradisional dimana kebanyakan mata pencaharian masyarakatnya adalah petani, dan masih menganut adat istiadat yang kuat yang ada di dalam lingkungannya. kehidupan disana masih statis,belum terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang ada. acuyoga dalam masyarakat tersebut, masih awam tetapi mereka sedikit mengenal tentang pemijatan tradisional. menurut penelitian mediarti (2014), menunjukan hasil uji statistik p = 0,0005, dimana terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada keluhan ibu hamil sebelum dilakukan yoga antenatal dan setelah dilakukan yoga antenatal. pada penelitian wahyuni dan layinatun ni’mah (2013) disebutkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa senam hamil berpengaruh dalam peningkatan durasi tidur ibu hamil pada trimester ketiga, ditunjukkan dengan nilai p = 0,004 (p<0,005). hal ini disebabkan karena senam hamil akan memberikan efek relaksasi pada ibu hamil yang bisa berpengaruh terhadap peningkatan durasi tidur bagi ibu hamil. berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan, bagaimanakah efektifitas acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu hamil trimester iii di masyarakat agriculture traditional kecamatan ngancar kabupaten kediri? masyarakat dengan traditional agrikultur mempunyai suatu budaya yang unik dalam hal kesehatan. mereka selalu menggunakan ramuan-ramuan herbal untuk mengmenjadi salah satu tehnik untuk mengurangi insomnia pada ibu hamil karena tehnik ini dapat merelaksasi otot-otot tubuh sehingga ibu hamil terasa nyaman. kata kunci: acuyoga, insomnia, ibu hamil trimester 3 100 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 98–103 berdasarkan tabel 3 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak ada insomnia yang signifikan secara klinis sebesar 36 responden. atasi masalah kesehatan khususnya insomnia. oleh karena itu peneliti menginginkan penelitian di masyarakat tersebut, selain mengenalkan teknik acuyoga juga dapat memeberikan mereka masukan untuk hidup sehat dan bahagia selama kehamilan. bahan dan metode jenis penelitian adalah pre test-post test design. sampel diambil dengan tehnik consecutive sampling dengan 40 responden yang terbagi menjadi 4 kelompok masing-masing kelompok sebanyak 10 responden yang diberikan perlakuan selama 4x dalam 2 minggu. variabel dependen adalah teknik acuyoga dan variabel independen adalah penurunan insomnia pada ibuhamil trimester 3. alat ukur yang digunakan adalah kuesioner untuk data umum antara lain usia, pekerjaan, pendidikan responden. untuk mengukur insomnia pada ibu hamil trimester 3 menggunakan skala isi (insomnia severity index). analisis data menggunakan uji statistik paired sample t-test dengan signifikasi 0,05. hasil penelitian data umum tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden di wilayah kerja puskesmas ngancar kabupaten kediri tahun 2017 (n=40) no kriteria karakteristik f responden 1 usia 20 23 14 24 – 26 11 27 – 29 11 30 -32 4 2 pendidikan sd 6 smp 10 sma 18 pt 6 3 pekerjaan irt 18 buruh tani 8 swasta 8 pns 4 4 riwayat kehaprimi milan gravida 40 berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa usia responden sebagian besar berusia 20-23 tahun. jenjang pendidikan responden sebanyak 18 responden berpendidikan sma. serta sebagian besar adalah ibu rumah tangga (irt) sebanyak 18 responden. riwayat kehamilan semuanya merupakan primi gravida. data khusus tabel 2 distribusi frekuensi kategori insomnia sebelum dilakukan intervensi di wilayah kerja puskesmas ngancar kabupaten kediri tahun 2017 (n=40) no kategori insomnia f 1 tidak ada insomnia yang signifikan secara klinis 14 2 subthreshold insomnia 24 3 insomnia klinis (keparahan sedang) 2 4 insomnia klinis (parah) 0 berdasarkan tabel 2 diatas menunjukkan ba hwa sebagia n besar responden mengala mi subthreshold insomnia sebesar 24 responden. tabel 3 distribusi frekuensi kategori insomnia sesudah dilakukan intervensi di wilayah kerja puskesmas ngancar kabupaten kediri tahun 2017 (n=40) no kategori insomnia f 1 tidak ada insomnia yang signifikan secara klinis 36 2 subthreshold insomnia 4 3 insomnia klinis (keparahan sedang) 0 4 insomnia klinis (parah) 0 n rata-rata simpangan baku rata-rata ± simpangan baku p sebelum intervensi 40 9,4000 3,521 6,125 ± 2,747 < 0,001 sesudah intervensi 40 3,2750 1,894 tabel 4 nilai numerik deskriptif dan uji paired t-test dari responden sebelum intervensi dan sesudah intervensi 101renityas, sari, wibisono, efektifitas acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu hamil ... berdasarkan tabel 4 diatas menunjukkan bahwa terjadi kenaikan rata-rata pada sebelum dan sesudah intervensi sebesar 6.125 poin. hasil uji paired sample t-test didapatkan nilai  <  berarti terdapat perbedaan yang signifikan insomnia r esponden sebelum inter vensi da n sesuda h intervensi. pembahasan sebelum dilakukan intervensi acuyoga wanita hamil trimester 3 akan mengalami peubahan baik fisiologis maupun psikologis. perubahan fisiologis antara lain sakit pinggang akibat karena meningkatnya berat badan bayi dalam kandungan, keluarnya colostrum pada payudara, konstipasi karena rahim yang membesar kedaerah usus selain peningkatan hormon progesteron, susah bernafas diakibatkan oleh tekanan bayi yang berada dibawah diagfragma yang menekan paru ibu, sering bak karena kepala bayi yang turun ke rongga panggul akan menekan kandung kemih, insomnia yang diakibatkan karena gerakan janin pada malam hari (dewi et al, 2011) berdasarkan hasil penelitian sebelum dilakukan intervensi berupa acuyoga menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami insomnia pada level subthreshold insomnia, dan hanya 2 responden yang mengalami insomnia klinis (keparahan sedang). hal ini di karenakan oleh tingkat pendidikan responden, dimana responden yang berpendidikan tinggi cenderung terkena insomnia, baik dari gerakan janin bahkan karena tingkat kecemasan saat persalinan. selain itu, posisi tidur tidak nyaman dan insomnia yang dirasakan ibu hamil trimester iii disebabkan oleh tekanan darah dalam tubuh meningkat dan jantung memompakan darah dengan cepat. seiring dengan perut yang semakin membesar, gerakan janin dalam uterus dan rasa tidak enak di ulu hati (bobak, 2005). menurut varney (2002) menyebutkan, ibu hamil yang berolah raga secara teratur, tingkat laporan mengalami ketidaknyamanan selama proses kehamilan lebih rendah, dan penyembuhan lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak berolahraga selama kehamilan. bagi yang giat berolahraga, membutuhan sedikit intervensi sectio caesarea (sc) dan dapat memperpendek kala i dan ii persalinan dibandingkan dengan yang tidak berolah raga. usia juga dapat mempengaruhi kualitas tidur ibu hamil, hal ini dikarenakan usia muda mempunyai stamina yang lebih bagus dari pada hamil pada usia resiko tinggi (karger,2009). selain itu, demografi lokasi penelitian pegunungan berapi yang masih aktiv serta pada tahun 2014 terjadi erupsi gunung berapi terbesar yang menyebabkan kerusakan dalam radius 10 km, sehingga berdampak pada ekonomi masyarakat berupa kerusakan pada rumah dan lahan pertanian serta kesehatan. oleh karena itu, masyarakat wilayah kerja pkm ngancar saat penelitian berlangsung sedang menaikkan ekonomi keluarga, hal ini berdampak pada beberapa ibu hamil sehingga mengalami insomnia karena memikirkan kandungan serta ekonomi keluarga ditambahkan lagi rasa percaya diri dan keyakinan terhadap diri sendiri dan kehamilannya masih kurang, hal ini terlihat saat proses penelitian berlangsung banyak dari responden yang kurang tahu tentang kehamilan dan pentingnya olahraga dalam menjaga kehamilan khususnya pada trimester 3. sesudah dilakukan intervensi acuyoga kebutuhan fisiologis dasar manusia terdiri atas hygiene, nutrisi, tidur, kenyamanan, oksigenasi, dan eliminasi (potter & perry, 2006). kebutuhan dasar yang paling mudah terpenuhi adalah kebutuhan akan tidur, istirahat dan tidur sama pentingnya dengan kebutuhan dasar lain. tidur merupakan hal yang esensial bagi kesehatan (perni, 2009). manfaat tidur akan terasa ketika seseorang mencapai tidur yang berkualitas. kualitas tidur seseorang akan menghasilkan kesegaran dan kebugaran disaat terbangun. tidur yang tidak adekuat danberkualitas buruk dapat menyebabkan gangguan keseimbangan fisiologis danpsikologis. agar ibu hamil trimester 3 beradaptasi dengan beberapa perubahan, maka salah satunya dengan terapi acuyoga. menurut hasil penelitian setelah dilakukan terapi acuyoga selama 4 kali dalam 2 minggu didapatkan bahwa hampir semuanya pada level tidak ada insomnia yang signifikan secara klinis. hal ini dikarenakan karena ibu hamil yang melakukan terapi acuyoga membantu ibu lebih rileks sehingga kualitas tidur terpenuhi. acuyogakombinasi dari acupresure dan yoga. dimana, pada penelitian ini melakukan acupresure yang merupakan pijatan pijatan yang halus di titiktitik non merdian yang berfungsu untuk menormalkan mekanisme dan respon homeostatik dan mekanisme ditubuh responden. teoristres selye dalam atika (2013), menjelaskan efektifitas fisiologi dari massage merupakan respon terpadu yang berasal dari hipotalamus yang mengarah kenaikan atau 102 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 98–103 penurunan gairah dari sistem saraf pusat. back massage dapat memproduksi endomorfin dengan mengurangi ketegangan otot adalah kebalikan dari respon stres. hal ini diperkuat dengan penelitian oleh atika (2013), bahwa pemberian interverensi back massage dalam peningkatan kualitas tidur pada ibu hamil trimester tiga di puskesmas batang ii di dapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh back massage terhadap kualitas tidur pada ibu hamil trimester tiga dimana dala m pelaksanaannya menggunakan pengukuran dengan kuisioner the pittsburgh sleep quality index (psqi). sedangkan yoga dalam penelitian ini menggunakan gerakan surya namaskar dimana, gerakan ini dilakukan secara perlahan dan teratur, pernafasan yang teratur serta meditasi yang diiringi musik klasik, sehingga dapat membuat responden menjadi rileks bahkan tertidur saat meditasi. dr. vivek narendran dari ciccinnati children’s hospitality medical center di ohio amerika serikat mengatakan latihan yoga dapat membantu memperlancar aliran darah ke plasenta, menurunkan transfer hormon stres ibu ke tubuh janin, menurunkan pelepasan hormon yang memicu terjadinya kelahiran sehingga memperkecil kemungkinan kelahiran prematur. selain itu, yoga juga dapat menurunkan tingkat kecemasan ibu hamil trimester 3. menurut penelitian dari hariyanto (2015), terdapat pengaruh senam yoga terhadap tingkat kecemasan ibu hamil trimester iii di praktik bidan mandiri kabupaten boyolali pada kelompok perlakuan. di perkuat juga oleh penelitian wagey (2011), menunjukkan bahwa perlakuan senam hamil pada wanita hamil yang usia kehamilannya memasuki umur 20 minggu memberikan peningkatan antioksidan enzimatik sod, gshpx, dan cat dan penurunan mda dan 8-ohdg lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan senam hamil. efektivitas acuyoga terhadap insomnia pada ibu hamil trimester 3 hormon yang meningkat selama kehamilan adalah hormon adrenalin.hormon adrenalin dapat menimbulkan disregulasi biokimia tubuh sehingga muncul ketegangan fisik pada ibu hamil seperti mudah marah, gelisah, tidak mampu memusatkan pikiran, ragu-ragu bahkan mungkin ingin lari dari kenyataan hidup (dariyo, 1997 dalam wulandari, 2006). menurut pieter dan lubis, (2010) ibu hamil akan mengalami bentuk-bentuk perubahan psikis yaitu perubahan emosional, cenderung malas, sensitif, gampang cemburu, minta perhatian lebih, perasaan tidak nyaman, depresi, stress dan cemas dan insomnia, begitu juga menurut maya (2008) bahwa penurunan jumlah tidur (terjadi karena ibu susah untuk tidur (insomnia), hal ini dirasakan sebagai akibat dari meningkatnya kecemasan atau kekhawatiran dan ketidaknyamanan fisik. menurut hasil penelitian yang dilakukan dalam 4 kali pertemuan selama 2 minggu menunjukkan bahwa, terdapat perbedaan yang signifikan penurunan insomnia responden sebelum intervensi dan sesudah intervensi. acupresure pada penelitian ini setelah melakukan yoga dan meditasi. pijatan-pijatan pada titiktitik pai hui, yin tang, ting kung, tay yang, teu wei, i fung, i fung ce. masing-masing titik ini dilakukan penekanan, pengetukan dan pijatan yang lembut selama 1-5 menit, sehingga dapat memberikan efek relaksasi yaitu dapat mengurang keluhan seperti sakit kepala, vertigo, migrain, meningkatkan konsentrasi, mengatur nafsu makan dan minum, melancarkan peredaran darah (wong,2011). menurut penelitian dari richard (2000), menunjukkan bahwa massage dapat membantu menyelesaikan permasalahan seperti kecemasan, depresi, stres, nyeri dan insomnia dengan mengurangi ketegangan otot. di perkuat juga oleh penelitian yang dilakukan oleh hollenbach, broker, herley, dan stuber (2013) mengatakan bahwa dari intervensi non farmakologi terapi masase dapat meningkatkan kualitas tidur pada ibu hamil. menurut penelitian adams (2010) tentang managemen nyeri menjelaskan terapi masase dapat mengurangi nyeri, menurunkan emosional, relaksasi, dan kemampuan untuk tidur. yoga dengan gerakan suryanamaskar yang terdiri dari 12 gerakan, dimana 12 gerakan ini merupakan gerakan yang dinamis dan berenergi dengan pernapasan yang teratur setiap gerakan selama 1-2 menit dan diakhiri dengan meditasi sehingga dapat membantu menenangkan pikiran.berdasarkan beberapa penelitian, dinyatakan bahwa yoga dapat membantu memberikan ketenangan jiwa dan pikiran karena dapat dijadikan sebagai salah satu coping stress (bribiscas, 2013; williams-orlando, 2013; khalsa, butzer, shorter, reinhardt, & cope, 2013; bala, 2012) dan meningkatkan self-efficacy (williamorlando, 2013; khalsa, butzer, shorter, reinhardt, & cope, 2013). yoga juga memberikan beberapa mafaat seperti meredakan nyeri pada beberapa anggota tubuh, mengatur ritme nafas untuk mencapai kondisi relaks, 103renityas, sari, wibisono, efektifitas acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu hamil ... mengatur ritme jantung, serta memperbaiki kualitas tidur (bala, 2012). oleh karena itu, terapi acupresure dan yoga sangat diperlukan bagi ibu hamil trimester 3 selain untuk meningkatkan stamina juga sebagai salah satu cara untuk mengurangi insomnia. gerakan yoga yang lembut, pernafasan dan pemijatan yang perlahan akan memberikan rasa nyaman pada ibu hamil trimester 3. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian diatas didadaptkan bahwa pelaksanaan terapy acuyoga berjalan dengan lancar dan baik. hasil evaluasi sebelum dilakukan acuyoga menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami subthreshold insomnia sebesar 24 responden. sesudah di lakukan acuyoga sebagian besar responden tidak ada insomnia yang signifikan secara klinis sebesar 36 responden. hasil uji paired sample t-test didapatkan nilai  <  berarti terdapat perbedaan yang signifikan insomnia responden sebelum intervensi dan sesudah intervensi. saran terapi acuyoga perlu dilalukan 2 kali selama 1 minggu saat ibu hamil memasuki trimester 3, dan diharapkan ibu hamil serta petugas kesehatan dapat memotivasi agar ibu hamil melakukan acuyoga untuk kelancaran dan kesehatan pada saat persalinan. ibu hamil yang melakukan terapi acuyoga diperlukan kesungguhan dan serta rasa tertarik agar lebih dapat mendapatkan manfaat secara fisiologis dan psikologis serta instruktur memberikan informasi secara konsisten untuk menunjang rasa percaya diri dan rasa yakin pada ibu hamil, khususnya primigravida. daftar rujukan adams, w. k & wieman, c. e. 2010. development and validation of instruments to measure learning of expert-like thinking. international journal of science education, 33 (9), 1-24 astuti, maya. 2010. buku pintar kehamilan.jakarta : egc: 16. atika, anna fita. 2013. pengaruh back massage terhadap ibu hamil trimester tiga.program studi diploma iv fisioterapi. fakultas ilmu kesehatan. universitas muhammadiyah surakarta. bala, k. 2012. pregnancy & yoga.retrieved 2017, from www.midwiferytoday.com. bobak, i.m., lowdermilk, d. & jensen, m.d. 2005. keperawatan maternitas. alih bahasa. wijayarini, m.a. & anugerah, p.i. edisi 4. jakarta: egc. bribiescas, s. 2013. yoga in pregnancy. international journal of childbirth education, 99-102. dewi, vivian nanny lia; sunarsih, tri. 2011. asuhan kebidanan ibu nifas. jakarta : salemba medika field et al. 2006. sleep disturbansces in depressed pregnant women and their newborns. infant behavior and development. grace, pierce a & borley neil r. 2006. at a glance ilmu bedah. surabaya: erlangga. hariyanto. 2015. pengaruh senam yoga terhadap tingkat kecemasan ibu hamil trimester iii di praktek bidan mandiri kabupaten boyolali. program studi s1 fisioterapi. fakultas ilmu kesehatan. universitas muhamadiyah surakarta. hegard, hanne dan hanke. 2010. experience of physical activity during pregnancyin danish nulliparous women with a physically active life before pregnancy, a qualitative study. bmc pregnancy and childbirth. helen varney. 2002. buku saku bidan. jakarta khalsa, s. b., butzer, b., shorter, s., reinhardt, k., & cope, s. 2013 (mar/apr). yoga reduces performance anxiety in adolescent musicians. alternative therapies, 19, 34–44. karger, s.a.g. 2009. sleep and vigilance disorders in pregnancy. di akses tanggal 1 agustus 2017 dari http://content.karger.com mediarti, devi, sulaiman, rosnani, jawiah. 2014. pengaruh yoga antenatal terhadap pengurangan keluhan ibu hamil trimester iii. jurnal kedikteran, vol 1, oktober 2014: 47-53. politeknik kesehatan kemenkes ri palembang jurusan keperawatan. pieter, h.z. & lubis, n.l. 2010. pengantar psikologi dalam keperawatan.kencana. jakarta. stewart, d.e., robertson, e., dennis, l.c., grace, s.l., wallington, t. 2003. postpartum depression: literature review of risk factors and interventions. university health network womens health program. wagey. 2011. senam hamil meningkatkan antioksidan e nzi mat i k, kek uat an ot ot panggul , kualitas jasmani dan menurunkan kerusakan oksidatif pada wanita hamil. program pasca sarjana universitas udayana denpasar. wahyuni dan ni‘mah, layinatun. 2013. manfaat senam hamil untuk meningkatkan durasi tidur ibu hamil. surakarta: universitas muhammadiyah surakarta. wulandari, primatia yogi. 2006. efektivitas senam hamil sebagai pelayanan prenatal dalam menurunkan kecemasan menghadapi persalinan pertama. insan. vol. 8 no. 2 wong, ferry. 2011. acuyoga kombinasi akupresure dan yoga. penebar plus. jakarta. d:\set 2017\set nanik juni 2017 47tarmidi, korelasi jumlah beban yang diangkat... 47 korelasi jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram (the correlation of amount of lifting burden with fatigue levels of the workers in bulog warehouse at dasan cermen mataram) mulya tarmidi prodi ilmu kesehatan masyarakat pascasarjana universitas sebelas maret email: mulya120292@gmail.com abstract : every worker lift burden differently due to physical condition and age of the workers so the researchers wanted to see whether there was a correlation between the amount of weight lifted with the level of fatigue of the workers. the research purposes was to identify the correlation between the amount of weight lifted and the level of fatigue in workers in the warehouse bulog dasan cermen mataram 2015. this research was analytic survey research, cross sectional want to raise the amount of weight lifted relationship with the level of fatigue of the worker carried out once the observations within a specified period or one time. the study population was all worker of bulog warehouse as many as 35 people. based on the test tool pearson chi-square was obtained was obtained p = 0.005 < 0.05 (significant). the total weight appointed with fatigue level workers in bulog warehouse at dasan cermen mataram had significant correlation. with the value of the odds ratio = 7.778, which meant someone who had a heavy burden had seven times greater risk of causing fatigue. keyword : total expenses, level of fatigue, worker abstrak : setiap buruh mengangkat beban yang berbeda beda antara yang satu dengan yang lainnya dikarenakan kondisi fisik serta umur para buruh sehingga peneliti ingin melihat apakah ada hubungan jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh. tujuan penelitian mengetahui hubungan jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015.penelitian ini adalah penelitian survei analitik,cross sectional ingin mengangkat hubungan jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh dilaksanakan sekali pengamatan dalam jangka waktu tertentu atau satu saat. populasi penelitian adalah seluruhn buruh yang bekerja di gudang bulog sebanyak 35 orang.berdasarkan alat uji pearson chi-square di peroleh diperoleh nilai p= 0,005 < 0,05 (signifikan) jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram memiliki hubungan (corelasi) yang signifikan. dengan nilai odd ratio = 7,778 yang artinya seseorang yang mengakat beban yang berat memiliki risiko 7 kali lebih besar menyebabkan kelelahan. kata kunci : jumlah beban, tingkat kelelahan, buruh kesehatan kerja merupakan upaya kelima dari 15 upaya kesehatan yang tercantum dalam undangundang no. 23 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 23. selanjutnya dalam pasal 23 dinyatakan bahwa “kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja. kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja. upaya kesehatan kerja pada hakekatnya merupakan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p047-050 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 48 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 47–50 penyesuaian kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja” (depkes ri, 2009). beban kerja dan lingkungan kerja yang tidak higiene, dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, penyakit dan kecelakaan. lingkungan kerja dalam hal ini dapat bersifat mekanis, fisik, kejiwaan, sosial ekonomi, cultural dan mungkin politis (suma’mur, 2010). setiap pekerjaan merupakan beban bagi pelakunya. beban yang dimaksudkan dapat berupa fisik sosial atau mental yang dirasakan oleh pekerja dalam melakukan pekerjaannya. kemampuan pekerja dapat menyebabkan gangguan kesehatan. hal ini dapat juga berpengaruh pada prilaku dan hasil kerjanya. oleh karena itu beban kerja disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental pekerja (depkes ri, 2009). berdasarkan hasil survei awal di peroleh gambaran cara kerja yang tidak ergonomi dapat terlihat ketika proses pekerjaan berlangsung, dimana para buruh mengangkat beban yang langsung di taruh di pundak secara bersusun, sedangkan berdasarkan pengamatan langsung diketahui bahwa setiap buruh pada saat proses bongkar muat memiliki jumlah beban yang diangkat sama antara satu dengan yang lainnya karena berdasarkan jumlah beban inilah buruh di bayar atau mendapat upah berdasarkan jumlah beban yang diangkat oleh masing-masing buruh dan berdasarkan wawancara singkat kepada 3 orang buruh dari 35 orang diketahui, total berat beban yang diangkat kadang berbeda yang satu dengan yang lainnya dikarenakan atas kekuatan fisik yang berbeda, sedangkan secara teori dengan mengangkat beban yang lebih dari 40 kg terus menerus akan menyebabkan kelelahan fisik, dan hasil wawancara kepada 3 orang buruh memang sejalan dengan teori tersebut dimana para buruh sering merasa lelah dan tidak mampu mengakat beban lagi dan harus beristirahat atau pun mengurangi jumlah beban yang diangkat (suma’mur, 2010) pengumpulan data dilakukan antara lain dengan mengamati dan menghitung langsung berat beban yang diangkat dan sekaligus akan menguji respon time terhadap stimulasi cahaya yang akan dipancarkan oleh alat uji kelelahan kerja. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian survei analitik yaitu peneliti mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan ini terjadi kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena efek dan risiko dengan pendekatan cross sectional karena dilaksanakan sekali pengamatan dalam jangka waktu tertentu atau satu saat (notoatmodjo, 2010). total populasi buruh yang berjumlah 35 orang (seluruhnya diteliti). penelitian dilaksanakan pada akhir bulan juni 2015. dengan variabel bebas jumlah beban yang diangkat dan variabel terikat tingkat kelelahan. dan dianalisis menggunakan alat uji pearson chi-square. hasil penelitian jumlah beban yang diangkat berikut merupakan distribusi responden berdasarkan jumlah beban yang diangkat di gudang bulog dasan cermen mataram sebagaimana terlihat pada tabel 1 berikut: tabel 1 distribusi responden menurut jumlah beban yang diangkat di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015 no jumlah beban f prosentase 1 berat 15 42,9 2 tidak berat 20 57,1 total 35 100 berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa responden yang jumlah beban yang diangktanya masuk kategori berat berjumlah 15 orang (42,9%), sedangkan yang kategorinya tidak berat berjumlah 20 orang (57,1%). tingkat kelelahan berikut merupakan distribusi responden berdasarkan tingkat kelelahan di gudang bulog dasan cermen mataram sebagaimana terlihat pada tabel 2 berikut: tabel 2 distribusi responden menurut tingkat kelelahan di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015 no jumlah beban f prosentase 1 normal 21 60,0 2 ringan 14 40,0 3 sedang 4 berat total 35 100 49tarmidi, korelasi jumlah beban yang diangkat... berdasarkan alat uji pearson chi-square di peroleh diperoleh nilai p= 0,005 <  0,05 (signifikan) jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram memiliki hubungan (corelasi) yang signifikan. dengan nilai odd ratio = 7,778 yang artinya seseorang yang mengakat beban yang berat memiliki risiko 7 kali lebih besar menyebabkan kelelahan. pembahasan hal tersebut disebabkan karena di gudang bulog dasan cermen pada saat pemasukan atau pengeluaran beras atau aktifitas bongkar muat beras, dalam satu hari harus memenuhi target yang telah ditentukan oleh pihak gudang, sehingga para buruh pada saat mengangkut beban kebanyakan melebihi aturan yang sebenarnya.beban yang terlalu berat dapat menimbulkan kelelahan, dimana faktor usia atau umur sorang pekerja juga memiliki hubungan yang linier terhadap kelelahan, dimana pada saat usia yang tidak lagi produktif maka kekuatan fisik khususnya otot dan tulang telah mengalami penurunan kekuatan sebesar 25%, dan di tunjang dengan pengankatan beban yang melebihi ambang batasmaka dapat dipastikan kelelahan akan dapat segera dirasakan oleh tenaga kerja(suma’mur, 2010). tingkat kelelahan di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015 kelelahan yang dialami oleh buruh dimana kelelahan normal berjumlah 21 (60%) orang dan kelelahan ringan 14 (40%) orang. hal tersebut disebabkan karena selain faktor usia buruh yang kebanyakan berusia tua > 40 tahun dan berat beban yang di angkut oleh buruh rata-rata melebihi aturan yang berlaku sehingga responden sangat beresiko mengalami kelelahan. jika pekerja mengalami kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor kelelahan, maka akan berdampak langsung pada tingkat produktivitas kerjanya. jadi faktor manusia sangatlah berpengaruh terhadap tingkat produktivitas kerja, seperti masalah tidur, kebutuhan biologis, dan juga kelelahan kerja, bahkan diutarakan bahwa penurunanproduktivitas tenaga kerja di lapangan sebagian besar disebabkan oleh kelelahan kerja (sedarmayanti, 2009). kelelahan kerja merupakan suatu kelompok gejala yang berhubungan dengan adanya penurunan efisiensi kerja, keterampilan serta peningkatan kecemasan atau kebosanan (hasibuan, 2010). tujuan akhir dari kesehatan kerja yaitu untuk menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. tujuan ini dapat tercapai apabila didukung oleh lingkungan kerja yang memenuhi syarat kesehatan. salah satu tujuan dari pelaksanaan kesehatan kerja dalam bentuk operasional adalah pencegahan kelelahan kerja dan meningkatkan kegairahan serta kenikmatan kerja (natoatmodjo, 2007). korelasi jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015 berdasarkan hasil perhitungan tabulasi silang santar variabel jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram di peroleh gambaran sebagai berikut: 1. responden yang jumlah beban yang diangkat masuk kategori berat berjumlah 15 orang, dimana yang tingkat kelelahannya normal berjumlah 5 orang dan yang kelelahan ringan berjumlah 10 orang. 2. responden yang jumlah beban yang diangkat masuk dalam kategori berat berjumlah 20 orang, dimana tingkat kelelahannya normal berjumlah kelelahan yang dialami oleh buruh dimana kelelahan normal berjumlah 21 (60%) orang dan kelelahan ringan 14 (40%) orang. hasil analisis tabulasi silang (crosstabs) antar variabel berikut merupakan distribusi responden berdasarkan analisis tabulasi silang (crosstabs) antar variabel jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015 sebagaimana terlihat pada tabel 3 berikut: f % f % f % 1 berat 5 33,3 10 66,7 15 100 2 tidak 16 80 4 20 20 100 berat total 21 60 14 40 35 100 tabel 3 distribusi responden berdasarkan jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram tahun 2015 no beban tingkat kekelahan normal kelelahan ringan total 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 47–50 16 orang dan yang kelelahan ringan berjumlah 4 orang 3. berdasarkan alat uji pearson chi-square di peroleh diperoleh nilai p= 0,005 <  0,05 (signifikan) jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram memiliki hubungan (corelasi) yang signifikan. dengan nilai odd ratio = 7,778 yang artinya . seseorang yang mengakat beban yang berat memiliki risiko 7 kali lebih besar menyebabkan kelelahan. simpulan dan saran simpulan responden yang jumlah beban yang diangkatnya masuk kategori berat berjumlah 15 orang (42,9%), sedangkan yang kategorinya tidak berat berjumlah 20 orang (57,1%). responden yang tingkat kelelahannya normal berjumlah 21 orang (60%), yang tingkat kelelahannya ringam berjumlah 14 orang (40%), sedangkan untuk kelelahan sedang dan berat tidak di temukan pada saat penelitian. berdasarkan alat uji pearson chi-square di peroleh diperoleh nilai p= 0,005 <  0,05 (signifikan) jumlah beban yang diangkat dengan tingkat kelelahan pada buruh di gudang bulog dasan cermen mataram memiliki hubungan (corelasi) yang signifikan. dengan nilai odd ratio = 7,778 yang artinya seseorang yang mengakat beban yang berat memiliki risiko 7 kali lebih besar menyebabkan kelelahan. saran kepada kepala gudang bulog dasan cermen hendaknya memperhatikan pola pengangkutan dan beban yang ideal yang harus diangkat oleh buruh untuk mengurangi dampak kelelahan yang dialami oleh buruh serta sebisa mungkin untuk memyediakan asupan yang bergizi untuk mengambalikan kebugaran buruh agar dapat produktif saat melakukan aktifitas bongkar muat. kepada buruh yang berkerja di gudang bolog dasan cermen untuk memperhatikan kapasitas dan kemampuan agar jangan sampai mengankat beban yang melebihi ketentuan yang telah ada dan sebisa mungkin untuk memaksimalkan waktu istirahat untuk mengurangi kelalahan yang di alami. daftar rujukan depkes ri. 2009. undang-undang ri nomor 39 tahun 2008 te nt ang ke sehatan ke rj a. ja ka rt a : depkes ri. hasibuan. 2010. manajemen sumber daya manusia. jakarta: bumi aksara notoatmodjo. 2007. kesehatan masyarakat: ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. sedarmayanti. 2009. tata kerja dan produktivitas kerja. jakarta: cv mandar maju suma’mur, 2010. hygiene perusahaan dan keselamatan kerja. jakarta: gunung agung. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 198–201 198 pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan ibu hamil trimester iii tentang nocturia di bps ny. emy desa mangunrejo kecamatan ngadiluwih kabupaten kediri tahun 2015 (the effectiveness of counseling to the knowledge of pregnant women about nocturia in trimester iii in bps ny emy mangunrejo village ngadiluwih district kediri 2015) resmita ardiansyah akademi kebidanan medika wiyata email: machsun_s@yahoo.com abstract: pregnancy involves emotional and physical changes of the mother as well as the social changes in the family. at 28 weeks gestation, fetal head began to descend into the pelvis so that pressing the bladder and cause frequent urination. the purpose of this study was to determine the effectiveness of counseling to the extension of the third trimester pregnant women knowledge about nocturia. the design of the study used a pre-experimental design approach one group pre-post test design. the population was the entire third trimester pregnant women with the sample of 22 respondents taken by total sampling technique. the data collected by questionnaire and tested with paired sample t test. respondents with a good knowledge criteria was 21 respondents (95.5%), respondents with sufficient knowledge criteria was 1 respondent (4.5%). comparisons in this research was t 65 tahun 11 11 4. pendidikan tidak sekolah 3 3 sd 33 32 smp 46 45 sma 20 20 5 pekerjaan irt 16 16 wiraswasta 36 35 swasta 10 10 buruh 40 39 tabel 2. kategori tingkat pengetahuan keluarga yang tetap melakukan bab di sungai, kota blitar, agustus 2015 (n=102) kategori pendidikan f % baik 5 2 51 cukup 5 0 49 kurang 0 0 jumlah 102 100 tabel 3. kategori tingkat kebiasaan keluarga yang tetap melakukan bab di sungai, kota blitar, agustus 2015 (n=102) tingkat kebiasaan f % kurang 69 67,6 cukup 23 22,5 baik 10 9,9 jumlah 102 100 tabel 4. kategori tingkat sarana prasarana yang tersedia disekitar lingkungan keluarga yang tetap melakukan bab di sungai, kota blitar, agustus 2015 (n=102) kategori f % baik 1 1,0 cukup 5 4,9 kurang 96 94,1 jumlah 102 100 tabel 5. kategori tingkat dukungan sosial dari petugas ataupun pemerintah terhadap keluarga yang tetap melakukan bab di sungai, kota blitar, agustus 2015 (n=102) kategori dukungan sosial f % baik 89 87,3 cukup 0 0 kurang 13 12,7 jumlah 102 100 239novikasari, gambaran faktor ... tidak mampu menjawab pertanyaan mengenai tehnik pembuangan tinja yang benar. peneliti berpendapat bahwa pengetahuan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menjawab suatu pertanyaan yang diberikan mengenai suatu hal. menurut notoatmodjo (2003) pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tau seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya). berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar keluarga dengan pendidikan sma memiliki tingkat pengetahuan yang baik. hal ini dibuktikan dengan hasil tabulasi silang antara pendidikan dengan pengetahuan dan didapatkan datapendidikan sma sebesar 13,7% (14 keluarga) memiliki tingkat pengetahuan baik dan 5,9% (6 keluarga) memiliki tingkat pengetahuan cukup. pendidikan smp 22,5% (23 keluarga) pengetahuan baik dan 22,5% (23 keluarga) pengetahuan cukup. pendidikan sd 13,7% (14 keluarga) memiliki pengetahuan baik dan 18,6% (19 keluarga) berpengetahuan cukup. sedangkan keluarga yang tidak bersekolah sebanyak 1% (1 keluarga) berpengetahuan baik dan 2% (2 keluarga) berpengetahuan cukup. peneliti berpendapat bahwa pendidikan dan pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat. pendidikan sd termasuk tingkat pendidikan yang cukup rendah, sehingga keluarga belum bisa mengembangkan atau meningkatkan pengetahuannya karena keluarga hanya memperoleh pembelajaran yang masih dasar. tetapi tingkat pengetahuan tidak ada kaitannya dengan kebiasaan. kebiasaan seseorang tidak dipengaruhi oleh tingkatan pendidikan yang dimiliki oleh orang tersebut. kebiasaan berdasarkan hasil penelitian tentang kebiasaan keluarga didapatkan hasil 67,6% (69 keluarga) mempunyai kebiasaan yang kurang. keluarga yang sudah memiliki jamban tetap melakukan bab di sungai. sebagian besar keluarga tetap melakukan bab di sungai karena beberapa alasan diantaranya alasan karena dekat dengan rumah, ataupun karena nyaman. keluarga beralasan mereka tetap melakukan bab di sungai karena mereka sudah terbiasa walaupun mereka sudah memiliki jamban pribadi di rumah. kebiasaan dilakukan secara berulang-ulang yang menjadi respon dari suatu perilaku. jika kebiasaan adalah respon dari perilaku maka respon yang didapatkan dari perbuatan yang sama tidak akan sama karena perbuatan manusia dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman hidupnya. menurut asih (2010:38) kebiasaan adalah perbuatan sehari-hari yang dilakukan secara berulang-ulang dalam hal yang sama, sehingga menjadi adat kebiasaan dan ditaati oleh masyarakat. manusia dapat menyimpulkan hal baru bahwa kebiasaan bisa berbentuk pribadi karena dilakukan hanya oleh individu tersebut. menurut joko (2008:24) kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulangulang dalam hal yang sama. sedangkan menurut sayid (2006:347) kebiasaan adalah pengulangan sesuatu secara terus-menerus atau dalam sebagian besar waktu dengan cara yang sama dan tanpa hubungan akal, atau dia adalah sesuatu yang tertanam di dalam jiwa dari hal-hal yang berulang kali terjadi dan diterima tabiat. manusia bisa menyimpulkan bahwa manusia melakukan kebiasaan tanpa berpikir karena hal tersebut telah tertanam dalam jiwa manusia dan menjadi tabiat manusia. peneliti berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan setiap hari akan membentuk perilaku. apabila keluarga mempunyai kebiasaan yang buruk maka secara tidak langsung perilaku mereka juga akan buruk. berdasarkan hasil tabulasi silang antara sarana prasarana dan kebiasaan disapatkan 64.7% (66 keluarga) memiliki sarana prasarana yang kurang dan mempunyai kebiasaan yang kurang pula. dengan demikian dapat disimpukan bahwa sarana prasarana dan kebiasaan mempunyai hubungan yang sangat erat. apabila sarana prasarana tidak tersedia dengan baik maka kebiasaan seseorang tidak akan berubah menjadi lebih baik pula. sarana prasarana berdasarkan hasil penelitian tentang sarana prasarana yang tersedia dilingkungan sekitar rumah keluarga yang masih melakukan bab di sungai didapatkan data sebesar 94,1% (96 keluarga) mengatakan sarana prasarana disekitar lingkungan rumah kurang. keluarga tidak memiliki jamban pribadi di rumah dan disekitar lingkungan masyarakat tidak ada toilet umum. hal ini dikarenakan tidak adanya lahan yang akan dibangun jamban maupun toilet umum. sebagian besar rumah warga berada ditempat yang dekat dengan sumber air, sehingga pembangunan jamban menjadi terhambat. menurut notoatmodjo (2010) sarana prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, posyandu, tempat pembuangan 240 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 236–241 air, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja dan seba ga inya . menur ut gr een dala m notoadmodjo (2003) faktor pendukung (enabling factor) yang mempengaruhi seseorang dalam melaksanakan sesuatu adalah sarana dan prasarana. menurut depkes (2009) jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia, yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung), yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya. soeparman dan suparmin (2001) mengemukakan syarat jamban sehat antara lain jarak antara sumber air minum dengan resapan jamban lebih dari 10 meter, tidak berbau, tidak mencemari tanah disekitarnya, saluran pembuangan tidak bocor. peneliti berpendapat bahwa sarana prasarana sangat berpengaruh dengan perilaku keluarga. tidak adanya sarana prasarana yang mendukung seperti jamban pribadi ataupun toilet umum yang menyebabkan keluarga-keluarga tetap melakukan bab di sungai. pembangunan sarana prasarana tidak akan tercapi jika tidak ada lahan yang mendukung. dukungan sosial berdasarkan hasil penelitian tingkat dukungan sosial baik didapatkan data sebesar 87,3% (89 keluarga) dan sebesar 12,7% (13 keluarga) berpendapat dukungan sosial dari petugas kesehatan maupun pemerintah. menurut responden petugas kesehatan sudah memberikan penyuluhan kepada keluarga-keluarga yaang masih tetap melakukan bab di sungai di kota blitar. dinas kesehatan kota blitar secara bergantian melakukan program penyuluhan atau pemicuan terhadap keluarga-keluarga di kota blitar untuk tidak melakukan bab di sungai lagi. menurut house dan khan (1985), thoits (1982) dalam friedman (1998) dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, seperti kalau orang-orang memberi pinjaman kepada orang atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stress dan memberi bantuan untuk pembangunan bangunan bagi keluarga yang kurang mampu. dukungan informative, mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, atau umpan balik. peneliti berpendapat bahwa dukungan dari petugas kesehatan ataupun dari pemerintah sangat membantu bagi keluarga-keluarga yang masih melakukan bab di sungai di kota blitar. dukungan dari petugas kesehatan agar keluarga-keluarga dapat merubah perilakunya pada saat ini, kemudian dukungan dari pemerintah yang dapat membantu keluarga-keluarga supaya mempunyai tempat untuk melakukan buang air besar secara saniter. hal ini akan sangat mengurangi jumlah keluarga yang masih melakukan bab di sungai di kota blitar. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam aspek sarana prasarana sebesar 94,1% (96 keluarga) dengan sarana prasarana kurang. sarana prasarana kurang meliputi keluarga tidak memiliki jamban pribadi di rumah dan tidak tersedianya toilet umum di sekitar lingkungan rumah. aspek kebiasaan sebesar 67,6% (68 keluarga) memiliki kebiasaan kurang. kebiasaan kurang karena keluarga sudah terbiasa untuk bab di sungai dengan berbagai alasan, salah satunya karena dekat rumah dan melakukan bab di sungai lebih nyaman. dalam aspek tingkat pengetahuan didapatkan hasil sebesar 51% (52 keluarga) memiliki tingkat pengetahuan baik. dan petugas kesehatan telah melakukan penyuluhan kepada semua keluarga yang masih tetap melakukan bab di sungai. sebesar 87,3% (89 keluarga) mengatakan bahwa dukungan sosial dari petugas kesehatan maupun pemerintah dalam kategori baik. saran bagi pemerintah kota blitar, diharapkan melakukan pendekatan pada keluarga yang tetap melakukan bab di sungai. salah satu upaya yaitu memberi bantuan jamban di setiap rumah yang belum memiliki atau membangun toilet umum di tempat yang strategis di lahan milik pemerintah (bukan milik warga). dengan demikian akan merubah perilaku keluarga yang masih tetap melakukan bab di sungai menjadi lebih baik. daftar rujukan kementerian kesehatan. 2009. buku saku seri perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga: menggunakan jamban sehat. pusat promosi kesehatan, jakarta. notoatmodjo, soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, soekidjo. 2005. promosi kesehatan teori dan aplikasinya. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, soekidjo. 2010.promosi kesehatan teori & aplikasi. jakarta: pt rineka cipta. 241novikasari, gambaran faktor ... sunaryo. 2004. psikologi untuk keperawatan. jakarta: egc. soeparman dan suparmin. 2001. pembuangan tinja & limbah cair. jakarta: egc. suprajitno. 2004. asuhan keperawatan keluarga aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. setiadi, 2008. konsep dan proses keperawatan keluarga. jakarta: graha ilmu. 239monica, the effectiveness of health promotion... 239 the effectiveness of health promotion to the pregnant woman’s attitude in prevention of mother to child hiv tranmission examination laily prima monica institute of health science patria husada blitar email: lailyprima06@gmail.com abstract: pmtct examination is part of the effort to control hiv and aids. the ultimate goal is the babies born to mother with hiv liberated from hiv, maternal and infant alive and healthy. pmtct general policy in line with the policy of the mch progam with national program to control hiv, other aids (ministry of health, 2014). the purpose of this study was to determine the effectiveness of health promotion of the attitude of pregnant woman in pmtct examination. the research design was pre exsperimental with the approach one group pretest postest design. the sample was 15 pregnant’s woman, choosen by total sampling technique at bpm lilik, sst sawentar. the result showed that there was an increase in percentage of attitude before and after the treatment with positife attitude from 4 people or 26,7% to 9 people or 60%. based on stastical test wilcoxon sign rank test obtained p value (0,025) <0,05, it could be concluded that there were an effect of health promotion to the pregnant woman’s attitude in pmtct examination. based the research resulth expectable of pregnant woman more active to increase knowledge by obtaining information about the type of pregnant woman examination, especially about pmtct examination until it can influence their attitude and increase their conscious to make do pmtct. keywords: health promotion, attitude, pmtct examination acquired immunodeficiency syndrome (aids) was first recognized in 1981 and is caused by human immunodeficiency virus (hiv). aids is a set of symptoms/clinical signs in people living with hiv due to infection (opportunistic) because of the decline in the immune system. hiv sufferers are easily infected with various diseases because of the immunity of the body is very weak, so the body failed to fight germs that usually do not cause disease. these opportunistic infections can be caused by various viruses, fungi, bacteria and parasites and can attack various organs, including skin, gastrointestinal tract, lungs and brain (ministri of health science ri, 2014). hiv cases by 2012, cases of hiv/aids have spread across 345 out of 497 (69.4%) districts across the province of indonesia. the number of new hiv cases each year has reached about 20,000 cases. in 2012 there were 21,511 new cases, of which 57.1% were 20–39. years old. the highest source of transmission (58.7%) occurs through unsafe sex on heterosexual couples. in 2012 recorded the largest cases of aids in the group of housewives (18.1%) who, when pregnant, have the potential to transmit hiv infection to their babies. in 2012 also, of 43,624 pregnant women who counseled and tested hiv there were 1,329 (3.05%) mothers with hiv infection (ministri of health science ri, 2014). east java health service said, until 2015 east java ranks second most hiv sufferers in indonesia with the number of patients 26,235 where 16,051 hiv and aids 10184. while blitar regency there are 927 people with gandusari district has the highest hiv patient in blitar. more than 90% of infected infants are infected from hiv positive mothers. transmission can occur dur ing pr egna ncy, dur ing la bor a nd dur ing breastfeeding. hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p239-243 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 240 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 239–243 prevention of mother-to-child hiv transmission (ppia) is a very effective intervention to prevent transmission (ministri of health science ri , 2014). ppia is part of a series of hiv and aids control efforts. the ultimate goal is that infants born to mothers with hiv are released from hiv, and mothers and infants remain alive and well. the ppia’s general policy is in line with the national program policies on hiv / aids and other sti control, as well as the kia program policy (ministri of health science ri, 2014). most of pregnant women do not understand about pmtct examination and the function of the examination, they do the examination by order of midwife and not pregnant woman’s own wishes. preliminary study conducted by researchers in february at bpm lilik m, s.st by taking 10 pregnant women, obtained the results of 5 people do not understand the disease hiv / aids and not ready to carry out hiv / aids, 2 people understand about hiv / aids but not ready to do hiv / aids examination, and 3 people understand and ready to do hiv / aids check. based on the preliminary study above, the researcher wanted to conduct a research entitled “the influence of health counseling on attitudes of pregnant women in the examination of pmtct in bpm lilik m sawentar village kanigoro subdistrict, blitar regency” research methods in this research, the researcher uses pre experimental research design with pre test-post test design a ppr oa ch. t his r esea r ch is done by conducting initial observation (pre test) first before giving intervention, after the intervention is done by final observation (post test). so, this research will seek the influence of health education on the attitude of pregnant women in pmtct examination in bpm lilik m sawentar village kanigoro sub-district, blitar regency the population in this study were all pregnant women in bpm lilik sawentar village kanigoro district, blitar regency, which amounted to 15 people. the sampling technique used in this study is the total sampling of sampling technique where the number of samples equals the population. data collection techniques used in this study is to provide health education about hiv and pmtct examination. in this study the instrument used is the evangelical events unit on hiv disease and pmtct examination and questionnaire sheet which contains questions related to the examination of pmtct. the statistical test used in this study is wilcoxon sign rank test, is a data analysis technique where not only marks are noticed but also the difference (x-y) to determine whether or not the influence. result characteristics of respondents the research was conducted at pm lilik m, s.st in sawentar village, kanigoro district, blitar district. characteristics of respondents in this study include gender, age, education, occupation, husband work, and pregnancy. the results show that almost half (46.7%) of pregnant women aged 26-30 years, more than half (53.3%) of mothers have last education that is junior high school, most (80%) pregnant women have job as housewife, half (53.3%) husband employed by self-employed pregnant women, and more than half (53.3%) were 2nd pregnancies. pre-treatment attitudes no category f % 1 positive 4 26,7 2 negative 11 73,3 total 15 100 table 1 identify the attitudes of pregnant women before treatment based on table 1 shows that most (73.3%) attitude of pregnant women before treatment with health counseling about examination of pmtct in negative category. post-treatment attitudes no category f % 1 positive 9 60 2 negative 6 40 total 15 100 table 2 identification of pregnant women’s post-treatment attitudes based on table 2 shows that most (60%) attitude of pregnant woman after treatment with health counseling about examination of pmtct in positive category. 241monica, the effectiveness of health promotion... based on statistical test wlicoxon signed rank test got p value = 0,025, so p value = 0,025 < = 0,05 which means showing the influence of health education about examination of pmtct to attitude of pregnant mother. discussion attitude of respondents before health counseling about pmtct examination the results showed that from 15 respondents, 73.3% of respondents before doing health education have a negative attitude about pmtct examination. a person’s attitude toward an object is a favorable or favorable feeling or an unfavorable feeling to the object. factors that influence attitudes include internal factors that are factors that are in the person concer ned such a s selectivity and per sona l experience and external factors that are outside the human or environmental factors (azwar, 2011). negative attitude here means there is no awareness or desire of respondents to conduct pmtct examination. respondents tend to agree not to carry out the examination for fear that it may harm him and consider the examination only necessary for risky pregnant women only. this negative attitude of the respondent is allegedly influenced by the environment and the work of the respondents, which makes the expectant mother susceptible to the views of others who do not like the examination. based on the results of the study found that 80% of respondents are housewives. the formation of an attitude depends on the culture in which the individual is brought up. the environment provides the first social influence for a person, where one can learn good things, also bad things depending on the nature of the group (azwar, 2011). should be a housewife has a loose time so it can take time to learn things that are good for him. however, respondents also have a social environment that is family and also neighbors around the dwelling. respondents see that their former neighbors during pregnancy did not conduct pmtct examinations so they were also affected not to conduct pmtct examinations for fear that such checks could harm themselves. the environment is a social influence for a person, where one can learn good things as well as bad things depending on the nature of the group. in the environment, one will gain experience that will affect the way of thinking. in addition, the negative attitudes of these respondents were also supported by a strong respondent’s tendency in the cognitive component, thus a ffecting the a ffective a nd cona tive components owned by the respondents. attitude is as a certain order in terms of feeling (affective), thinking (cognitive), and predisposing a person’s (konatif) action to an aspect in the surrounding envir onment (azwa r, 2011). t he cognitive component contains a person’s beliefs about what applies or what is right about the object of attitude. the affective component involves one’s subjective emotional problem of an attitude object. behavioral component or conative component in attitude structure shows how behavior or tendency to behave that exists in a person related to the object of his attitude. respondents have a poor belief in pmtct examination because they consider the examination unimportant and self-defeating so that it affects the feelings and also the respondent’s behavior for not conducting the pmtct examination. attitude of respondents after health counseling about pmtct examination the results showed that from 15 respondents, 60% of respondents have a positive attitude in pmtct examination. changes in attitude can occur slowly with increasing information and experience gained. t he infor ma tion comes fr om hea lth counseling, health education is a process of improving public knowledge about health, accompanied by efforts to facilitate behavior change and is a health program designed to bring improvement or change the influence of health education about pmtct examination on pregnant woman attitude based on table 3 shows that the increase of percentage of attitude of pregnant women before and after treatment with health counseling about pmtct examination is attitude with positive category from 26,7% to 60% no category pre test post test 1 positive 4 26,7% 9 60% 2 negative 11 73,3% 6 40% total 15 100% 15 100% wilcoxon sign rank test p value: 0,025 table 3 distribution of pregnant women’s attitude frequency before and after health counseling about pmtct examination 242 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 239–243 in individuals, communities and the environment. this is in accordance with azwar (2011) that the formation of attitudes can be influenced by several factors namely education, experience, influence of others who are considered important, emotional factors and mass media. based on the results of the study found that 53.3% of respondents have junior high school education. education is an activity or learning process to develop or improve certain skills so that the target of education can stand alone. the level of education also determines whether or not someone absorbs and understands the information they get. education means the guidance given by a person towards the development of others toward a particular goal. the understanding of good and bad, wrong or right, that determines one’s belief system to play a role in determining one’s attitude (azwar, 2011). by having adequate education, respondents will more easily receive information so that they can understand and have the confidence to conduct pmtct examination. based on the results of the study found 46.7% of respondents aged 26-30 years. in order to form the basis for attitude formation, personal experience must leave a strong impression. therefore attitude will be easily formed. personal experience will shape and influence one’s appreciation of social stimuli (azwar, 2011). with the maturity of the age of respondents will further improve the experience of someone in doing something that is best for him. provision of health education is one thing that can leave a strong impression to the respondent, so that respondents will be able to conduct pmtct examination of self-awareness. attitudes of respondents in this study after being given a health education is still negative. one characteristic of attitude is spontaneity, which concerns the extent to which individual readiness to express his attitude spontaneously (azwar, 2011). providing health education that only a few minutes certainly can not grow a positive attitude to the respondents who previously had a negative attitude spontaneously when the measurement of attitude done in this study. to change a person’s attitude takes a short time. provision of health education will improve a person’s understanding of pmtct examination appropriately. this negative attitude is supported by the cognitive, affective and conative components that exist in the respondent’s self regarding the pmtct examination. influence between health counseling on attitude based on the results of the study found that 73.3% of respondents were negative before the health counseling and 60% of respondents positive attitude after health education about pmtct examination. there is a change of attitude of respondents from negative attitude to positive attitude 33,3%. based on wilcoxon statistical test obtained sig value = 0,025. this shows that there is influence of health education about pmtct examination to respondent attitude. but there are still 40% of respondents who still have negative attitude after health counseling, this is caused by work, ligkungan and acceptance in health education about pmtct examination conducted by researcher. health education is an attempt to motivate or coordinate goals so that they behave in accordance with the guidance of health values (notoatmodjo, 2011). the success of a health counseling may be influenced by extension, targeting and counseling processes. a good health counseling will certainly be able to change a person’s behavior to do the best for hea lth. however, in the pmt ct examination it is necessary to have the nearest service facility providing the service so as not to burden the pregnant mother in conducting pmtct examination. conclusions and suggestions conclusions based on the results of research conducted it can be drawn conclusions as follows: 1) the attitude of respondents before health counseling about pmtct examination showed most (73,3%) have negative attitude and 26,7% have positive attitude; 2) attitude of respondents after health counseling about pmtct examination showed most (60%) have positive attitude and 40% have negative attitude; 3) there is influence of health education about examination of pmtct on attitude of respondent with p value equal to 0,025 suggestions in accordance with the conclusions that have been proposed, researchers want to give some suggestions as follows: 1) for researchers, it is expected to add insight and experience of the author in applying the science of pmtct examination that 243monica, the effectiveness of health promotion... has been obtained during the education at stikes patria husada blitar majoring in midwifery; 2) for educational institutions, it is hoped that the results of this research can be used as documentation of the library, provide additional information to complement the library materials, and for other students who want to know more clearly about the pmtct examination; 3) for research sites, it is expected to be an information and input for the community, especially pregnant women so they become aware and willing to conduct pmtct examination based on his own desire references azwar. 2011. pengukuran sikap. jakarta: rineka cipta kemenkes ri. 2014. pedoman pelaksanaan pencegahan penularan hiv dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. jakarta: kemenkes ri. notoatmodjo, s. 2011. promosi kesehatan teori & aplikasi. jakarta: rineka cipta. 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 154–158 154 faktor-faktor yang mempengaruhi lama waktu tunggu pendaftaran pasien rumah sakit umum x (factors affecting waiting time patient registration for general hospital x) 1fajar juli nursanti, 1 tita hariyanti, 2 nofita dwi harjayanti 1program studi magister manajemen rumah sakit fakultas kedokteran universitas brawijaya malang 2rumah sakit umum x malang abstract: waiting time is an important component in the service of the hospital and is the first gate that plays an important role in providing a good first impression for patients. queuing at long and long registration booths causes ineffective overall patient care and makes patients uncomfortable, ultimately patient satisfaction will be low. this study aims to identify the factors that cause the waiting time for registration services at rsu x malang. the study was conducted from september 2017 to october 2017.data was collected with a literature study, observations with observation sheets and interviews with the registration section, poly nurses, emergency nurses and public relations departments. the data shows that the waiting time of general x hospital registration services is quite long. matters affecting the waiting time include the absence of standard operating procedures; the patient must fill in the registration form, the registration desk job officer is still duplicate, the room is limited; patient files are incomplete; limited amount of power; no queuing machine; printers sometimes have problems. to shorten the waiting time for services, it is necessary to develop a patient registration system at general hospital x malang by making clear paths and information for patients, adding energy to the information section and providing standard operatin procedures (spo) for patient registration. keywords: waiting time, registration serviceof patient abstrak: waktu tunggu merupakan komponen penting dalam pelayanan si rumah sakit dan merupakan pintu gerbang pertama yang berperan penting dalam memberikan kesan pertama yang baik bagi pasien. antrian di loket pendaftaran yang panjang dan lama menyebabkan tidak efektifnya pelayanan pasien secara keseluruhan dan membuat pasien tidak nyaman, pada akhirnya kepuasan pasien akan rendah. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan lamanya waktu tunggu pelayanan pendaftaran di rsu x malang. penelitian dilakukan mulai september 2017 sampai dengan oktober 2017.data dikumpulkan dengan study literature, pengamatan dengan lembar observasi dan wawancara dengan bagian pendaftaran, perawat poli, perawat igd dan bagian humas. data menunjukkan bahwa waktu tunggu pelayanan pendaftaran rumah sakit umum x tergolong lama. hal yang mempengaruhi waktu tunggu antara lain belum adanya standar prosedur operasional; pasien harus mengisi formulir pendaftaran, job desk petugas pendaftaran masih rangkap, keterbatasan luas ruangan; berkas pasien tidak lengkap; jumlah tenaga terbatas; tidak ada mesin antrian; printer kadang bermasalah. untuk mempersingkat waktu tunggu pelayanan perlu dilakukan pengembangan sistem pendaftaran pasien di rumah sakit umum x malang dengan membuat alur dan informasi yang jelas bagi pasien, menambah tenaga di bagian informasi dan menyediakan standar prosedur operasional (spo) pendaftaran pasien. kata kunci: waktu tunggu, pelayanan pendaftaran pasien jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p154–158 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 155nursanti, hariyanti, harjayanti, faktor-faktor yang mempengaruhi... pendahuluan waktu tunggu merupakan masalah yang penting bagi penyedia pelayanan. beberapa penelitian menunjukkan adanya efek negatif waktu tunggu terhadap kepuasan pasien, namun kepuasan pelanggan tidak cukup menciptakan pelanggan untuk tetap loyal (bielen dan demoulin, 2007) apabila pelanggan puas terhadap produk atau layanan yang di berikan, maka akan menimbulkan kesetiaan pelanggan sehingga membuat pelanggan melakukan pembelian ulang (repurchase), menurunkan elastisitas harga, menghambat pesaing menarik pelanggan karena pelanggan enggan berpindah (switching). kepuasan pelanggan juga akan menurunkan biaya dan waktu transaksi berikutnya yaitu dengan menurunnya biaya penanganan ketidaksesuaian produk/jasa, biaya pencarian pelanggan baru karena pelanggan akan cenderung menginformasikan kepada calon pelanggan lainnya. apabila perusahaan memiliki produk dan layanan yang memuaskan, maka reputasi perusahaan turut terangkat (bayhaqi, 2006). bagi sebuah rumah sakit, waktu tunggu pelayanan merupakan salah satu dimensi mutu pelayanan kesehatan. waktu tunggu di pelayanan pendaftaran rumah sakit merupakan pelayanan pertama, sebagai pintu gerbang rumah sakit yang berperan penting memberikan kesan pertama yang baik bagi pasien. antrian di loket yang terlalu panjang dan lama dapat menyebabkan tidak efektifnya pelayanan kesehatan. selain tidak efektif, antrian yang lama akan sangat membuat pasien tidak nyaman dan pada akhirnya tidak memuaskan pasien. beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara waktu tunggu pendaftaran dengan kepuasan pasien (dewi, 2015). waktu tunggu yang dianggap lama yaitu lebih dari 10 menit (dwi, 2013). sedangkan pada penelitian lain, waktu tunggu dalam antrian pada jam sibuk pelayanan di loket pendaftaran tertinggi mencapai 58,2 menit (fuansari dan wigati, 2014). rumah sakit umum (rsu) x merupakan rsu tipe d berdasarkan sk menkes: hk.02.03/i/0192/ 2013. rsu x merupakan rumah sakit swasta penuh milik sebuah pt danpada tahun 2016 rsu x sudah mendapatkan sertifikat lulus akreditasi tingkat perdana dengan sertifikat nomor: kars-sert/ 89/iv/2016 (profil rumah sakit, 2017) rsu x berlokasi di kabupaten malang yang berdiri diatas lahan seluas 2476 m2 dengan luas bangunan 1243 m2 untuk 2 lantai dengan kapasitas tempat tidur 72 tempat tidur (tt). rsu x berdiri sejak tanggal 15 november 2010. diperkirakan rumah sakit ini dapat menjangkau pelayanan dengan radius kurang lebih 30 – 40 km, mengingat lokasinya strategis dengan tingkat komunikasi dan transportasi yang baik serta ditunjang oleh mobilitas penduduk di wilayah kabupaten malang di bagian timurselatan yang cenderung menuju ke pusat kota malang melewati rsu x (profil rumah sakit, 2017). melalui kotak saran dan kuesioner kepuasan pasien yang disebar ke pasien di rsu x ada beberapa kali keluhan pelanggan tentang waktu tunggu antrian pendaftaran pasien. menilik hal-hal tersebut, rsu x perlu mempertimbangkan peningkatan pelayanan pendaftaran pasien agar tetap eksis dalam era persaingan yang semakin ketat. bahan dan metode untuk mengidentifikasi penyebab lamanya pelayanan pendaftaran serta untuk mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam setiap proses pendaftaran di rsu x dilakukan dilakukan beberapa metode yaitu study literature, observasi dan wawancara. study literature dilakukan dengan mempelajari literature-literature terkait waktu tunggu, selain itu dengan mempelajari data-data di rsu x.wawancara dilakukan dengan bagian pendaftaran, perawat poli dan perawat igd serta bagian humas untuk menanyakan alur antrian dan proses di bagian pendaftaran serta untuk mengetahui keluhan-keluhan yang ditulis pasien dalam kuesioner kepuasan pasien. identifikasi alur dan lama waktu tunggu pelayanan pendaftaran dilakukan dengan melakukan observasi pada dua pasien rawat jalan. pengamatan dilakukan pada tanggal tanggal 12 september 2017 pukul 14.00 s/d 16.00 di bagian pendaftaran mulai dari pasien datang hingga selesai dilayani di bagian pendaftaran. hasil penelitian dari study literature pada jadwal jaga petugas pendaftaran didapatkan data bahwa pendaftaran pasien rsu x buka 24 jam dibagi menjadi 3 shift kerja. dari data kunjungan pasien didapatkan bahwa kedatangan terbanyak pendaftar adalah pada hari senin pagi dan sore, selasa sore, kamis pagi dan sore dan jumat sore.rata-rata jumlah kunjungan per hari mulai 37 sampai dengan 194 orang. dari observasi di ruang pendaftaran didapatkan bahwa loket pendaftaran dibuka dengan 1 sampai 156 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 154–158 dengan 3 antrian ditambah 1 orang di meja informasi yang bertugas memberikan nomor antrian pendaftaran, verifikasi berkas-berkas pendaftaran, memberikan informasi kepada pengunjung rumah sakit yang menanyakan kamar tempat pasien dirawat. selain sebagai petugas pendaftaran, petugas juga merangkap sebagi petugas informasi, operator telepon, dan menangani komplain. dari wawancara dengan petugas pendaftaran didapatkan bahwa pasien yang mendaftar berasal dari pasien rawat jalan poli, pasien dari igd, pasien igd dan poli yang akan rawat inap. alur pasien rawat jalan poli dimulai dari pasien datang kemudian pasien menuju ke bagian informasi. di bagian informasi pasien akan ditanyakan tujuan poli,pasien baru atau lama, pasien umum atau bpjs. apabila pasien baru akan diberi blangko yang diisi oleh pasien. setelah itu diberi nomor antrian pendaftaran. apabila pasien bpjs maka di bagian informasi akan dicek kelengkapan berkas pasien bpjs. apabila belum lengkap, pasien dipersilahkan melengkapi terlebih dahulu. pasien diberi nomor antrian pendaftaran kemudian dipersilahkan menunggu dipanggil bagian pendaftaran. di bagian pendaftaran, blangko isian pasien baru diterima, kemudian petugas membuatkan kartu berobat pasien selanjutnya pasien dipersilahkan menuju tempat yang dituju. di bagian pendaftaran, pasien bpjs menyerahkan berkas pendaftaran, kemudian petugas memeriksa aktif tidaknya rujukan, setelah itu petugas membuat resume dan sep, selanjutnya pasien menuju tempat yang dituju. dari observasi di meja informasi didapatkan data bahwa di meja informasi, pendaftar berdiri di sekeliling meja informasi bahkan sampai mengular di saat jam sibuk. apabila karena suatu hal petugas di meja ini meninggalkan meja, berkas-berkas pasien dari pasien yang baru datang diletakkan oleh pasien/ keluarga pasien sendiri di meja, hal ini kadang menimbulkan masalah karena ada pendaftar yang merasa datang dulu tetapi tidak didahulukan dibanding yang datang belakangan. petugas pendaftar tidak bisa menengahi karena tidak tahu pendaftar yang datang dulu ataupun sebaliknya. dari wawancaradengan petugas pendaftaran dan bagian humas beberapa kendala yang terjadi dalam penerapan model antrian ini adalah: (1).dari kuesioner kepuasan pasien, didapatkan keluhan bahwa pasien mengantri lama di pendaftaran sampai lebih dari 1 jam. (2).keluarga pasien igd dan rawat inap mengeluh lama karena harus antri bersama dengan pasien rawat jalan, sedangkan pasien menunggu di igd atau di poli sebelum masuk ruangan. (3). komplain dari petugas igd karena pendaftaran lama. (4). komplain dari dokter dan petugas poli karena pasien masih antri di pendaftaran sementara jam poli hampir tutup. (5).petugas pendaftar merasa tergesa-gesa karena mengejar waktu tutup poli. (6). pasien tidak tahu bahwa setelah dari meja informasi kemudian antri ke pendaftaran sehingga pasien langsung ke poli. berdasarkan pengamatan langsung dengan lembar observasi pada 2 orang pedaftar, terdapat perbedaan waktu pada pasien bpjs dengan pasien umum sebagai berikut: no aktifitas waktu yang dibutuhkan p 1 (bpjs) p 2 (umum) 1 pelanggan datang dari pintu masuk s/d kontak dengan petugas nomor antrian 11.04 06.24 2 pasien kontak dengan petugas nomor antrian s/d mendapat no antrian 01.01 00.49 3 menunggu dipanggil bagian pendaftar01.01 01.38 4 kontak dengan bagian pendaftar s/d selesai didaftar 02.29 01.02 total waktu yang dibutuhkan 15.35 9.13 tabel 1 waktu yang dibutuhkan dalam proses pendaftaran sumber: hasil observasi tanggal 12 september 2017 pukul 14.00 s/d 16.00 pembahasan menurut standart pelayanan minimal rumah sakit, lama waktu tunggu di instalasi rawat jalan adalah sejak pasien mendaftar sampai dilayani oleh dokter (kepmenkes, 2008). apabila waktu tunggu di pendaftaran lama akan mempengaruhi lama waktu pelayanan medis pasien keseluruhan dan selanjutnya akan mempengaruhi kepuasan pasien. 157nursanti, hariyanti, harjayanti, faktor-faktor yang mempengaruhi... waktu tunggu lebih lama pada pasien bpjs dibandingkan pasien umum. hal tersebut disebabkan karena petugas harus memverifikasi berkas pasien bpjs.pada pasien baru biasanya belum memahami berkas-berkas persyaratan pasien bpjs sehingga petugas perlu menjelaskan kepada pasien. pada pasien yang belum lengkap berkasnya waktu pendaftaran lebih lama lagi. sebagai contoh : pasien bpjs yang belum memfotokopi berkasnya, harus memfoto kopi terlebih dahulu di tempat lain kemudian datang lagi di tempat pendaftaran. hal ini membuat waktu yang dibutuhkan untuk pendaftaran pasien bpjs lebih lama dibanding pasien umum. loket pendaftaran pasien bpjs dan umum tidak dibedakan, sehingga hal tersebut juga menambah keruwetan antrian pendaftaran. beberapa akar masalah penyebab lama waktu tunggu pelayanan pendaftaran di rsu x yaitu :tidak jelasnya alur pendaftaran bagi pasien karena tidak ada alur yang bisa dibaca atau dilihat pasien; tidak adanya petugas yang mengarahkan pasien; pasien tidak tahu berkas-berkas persyaratan pasien bpjs; pasien baru mengisi identitas pasien yang memakan waktu; jumlah petugas di meja informasi kurang. penelitian yang dilakukan bustani juga menunjukkan bahwa waktu tunggu pelayanan pasien yang lama disebabkan jumlah pasien banyak, kurangnya petugas di loket pendaftaran dan bpjs, keterbatasan ruangan dan keterbatasan sdm (bustani dkk, 2015). ketidakjelasan alur pendaftaran pasien dan kurangnya informasi berpotensi menimbulkan kebingungan pasien. menurut teori, kebingungan pelanggan bisa dukurangi dengan memberikan alur yang jelas, misalnya dimana harus masuk, berapa lama waktu yang dibutuhkan dan apa yang dibutuhkan (norman, 2008) kurangnya sdm di bagian informasi menyebabkan antrian yang panjang, hal ini sesuai teori bahwa antrian terjadi apabila tingkat kedatangan lebih besar dari tingkat pelayanan. besarnya antrian dapat terjadi apabila kapasitas pada suatu sistem pelayanan dimasuki input dan respon pada sistem lebih lambat dibanding input (kepmenkes,2008). antrian di bagian informasi menjadi panjang karena hanya ada satu tenaga yang melayani pelanggan dan menangani beberapa tugas yaitu verifikasi berkas-berkas pendaftaran, memberikan informasi kepada pengunjung rumah sakit yang menanyakan kamar tempat pasien dirawat, operator telepon, dan menangani komplain. simpulan dan saran simpulan faktor-faktor yang menyebabkan lamanya waktu tunggu pelayanan pendaftaran di rsu x malang antara lain: faktor metode: belum mempunyai spo; pasien harus mengisi formulir pendaftaran yang membutuhkan waktu banyak; job desk masih tercampur. pada faktor material : keterbatasan ruangan; berkas pasien kurang lengkap; formulir pendaftaran yang rumit. pada faktor manusia; petugas pendaftaran merangkap informasi, operator telepon, dan menangani komplin. pada faktor mesin: printer kadang bermasalah dan tidak ada mesin antrian. saran usulan yang dapat diberikan dalam permasalahan ini adalah: untuk mengurangi kebingungan pasien dengan penyediaan papan alur pendaftaran pasien dan informasi berkas persyaratanyang harus dipenuhi pasien bpjs. papan alur dan infomasi tersebut harus dapat dilihat pasien dengan jelas, hal ini penting dilakukan karena kejelasan alur akan mengurangi potensi kebingungan dan memotong waktu yang terbuang akibat salah alur. informasi yang jelas tentang berkas persyaratan yang harus dipenuhi pasien bpjs akan mempersingkat pelayanan karena pertugas tidak perlu terus-menerus menjelaskan kepada pasien. rumah sakit juga perlu mengembangan spo yang mengatur pendaftaran pasien umum dan pasien bpjs.spo berguna sebagai acuan kerja bagi staf, menghindari inefisiensi dan duplikasi dan memperjelas alur kerja petugas. daftar rujukan bayhaqi y. analisis pengaruh kualitas layanan, dan keunggulan produk terhadap kepuasan pelanggan dan dampaknya pada minat membeli ulang (studi kasus: pada auto bridal semarang) thesis]. tidak diterbitkan. program pasca sarjana universitas diponegoro. 2006. bielen f, & demoulin n. 2007. waiting time influence on the satisfaction-loyalty relationship in services. managing service quality: an international journal 17(2):174-193. bustani nm & rattu aj, saerang js. 2007. analisis lama waktu tunggu pelayanan pasien rawat jalan di balai kesehatan mata masyarakat propinsi sulawesi utara. jurnal e-biomedik. 2015; 3(3). dewi ua. 2015. hubungan waktu tunggu pendaftaran dengan kepuasaan pasien di tempat pendaftaran pasien rawat jalan (tpprj) rsud sukoharjo 158 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 154–158 thesis]. tidak diterbitkan. universitas muhammadiyah surakarta. dwi fh. 2013.deskripsi faktor-faktor yang mempengaruhi waktu tunggu pendaftaran di tpprj rsud tugurejo. semarang. skripsi, fakultas kesehatan. fuanasri as, & a. wigati,pa. 2014. analisis alur pelayanan dan antrian di loket pendaftaran pasien rawat jalan. semarang. kepmenkes ri nomor 129/menkes/ sk/ii/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit k norman d. the psychology of waiting lines. online.; 2008 [updated. http://www.jnd.org/ms/norman %20the%20psychology%20of%20waiting%20lines.pdf [diakses 27 september 2017]. profil rumah sakit x tahun 2017. malang: rumah sakit x; 2017. 116 pengaruh program parenting terhadap pengetahuan dan sikap orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini (the effect of parenting program towards knowledge and attitude of parents for giving fundamental needs of children in early age) triana setijaningsih dan wiwin martiningsih poltekes kemenkes malang prodi d-3 keperawatan blitar e-mail: martini2271@gmail.com abstract: parenting program is a program that allows the alignment between sustainability and education conducted in educational institutions and is done at home. the purpose of research was to analyze the effect of parenting program toward knowledge and attitude of parent for giving fundamental needs of children in early age. method: research was pre-post test design. the population and sample was one of the parents paud sabana blitar that lead to inclusion criteria as many as 43 respondents with a purposive sampling technique. data was analyzed by descriptive and inferential using the wilcoxon signed rank test and mcnemar test with spss 17 for window, the level of significance (p ≤ 0.05). result: the result of research got the value of p = 0.000 (wilcoxon signed rank test), which means there was effect of parenting program toward parent’s knowledge, and p = 0.016 (mcnemar test) which means that there was effect of parenting program for parent’s attitude. discussion: parenting program is perceived very beneficial by parents as a complement of parenting in paud and at home, it is necessary to proceed more intensive and varied. keywords: parenting program, knowledge, attitude kebijakan pembangunan pendidikan nasional tahun 2010-2014 menekankan pada penguatan layanan pendidikan yang relevan, berkualitas dan berdaya saing dalam rangka mempersiapkan insan indonesia yang cerdas komprehensif. layanan pendidikan ini dilakukan sejak usia dini, dimana usia dini merupakan masa emas perkembangan, terjadi lonjakan luar biasa pada perkembangan anak yang tidak terjadi pada pereode berikutnya. para ahli menyebutnya sebagai usia emas perkembangan (golden age), sekaligus merupakan periode yang sangat kritis dalam tahap perkembangan manusia. hasil penelitian mengungkapkan bahwa sampai usia 4 tahun tingkat kapabilitas kecerdasan anak mencapai 50%. pada usia 8 tahun mencapai 80%, dan sisanya sekitar 20% diperoleh pada saat anak berusia 8 tahun keatas. untuk mengembangkan potensi anak, sangat diperlukan pemenuhan kebutuhan dasar secara optimal berupa asupan gizi seimbang, perlindungan kesehatan, asuhan penuh kasih sayang dan rangsangan pendidikan yang sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan masing-masing anak. secara naluri, keluarga (orang tua) merupakan pendidik yang pertama dan utama ketika anak dilahirkan, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. pemberian rangsangan pendidikan ini hendaknya dilakukan secara bertahap, berulang, konsisten dan tuntas, untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal, dengan demikian peran keluarga sangat penting dalam memberikan rangsangan (stimulasi) terhadap perkembangan anak. seiring bertambahnya usia, anak membutuhkan rangsangan pendidikan yang lebih lengkap, baik yang dilakukan dirumah (home base) maupun dilakukan diluar rumah acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p129-134 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 117 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm.122-128 (center base), yang selaras dan saling mendukung, sehingga diperoleh manfaat yang optimal. salah satu bentuk layanan pendidikan tersebut, adalah program pendidikan anak usia dini (paud), yaitu suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. fenomena yang terjadi di masyarakat, hal ini kurang difahami sehingga banyak orang tua dan masyarakat yang menganggap bahwa pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak sekolah / lembaga pendidikan. disisi lain tidak sedikit orang tua yang menumpu harapan terlalu tinggi pada lembaga pendidikan, sehingga banyak orang tua yang berani membayar mahal biaya pendidikan anaknya, padahal lembaga paud hanya memberikan layanan kepada anak dalam jangka waktu yang sangat terbatas, oleh sebab itu diperlukan adanya suatu program yang memungkinkan terjadinya keberlanjutan dan keselarasan antara pendidikan yang dilakukan di lembaga pendidikan dan yang dilakukan dirumah. untuk menjawab fenomena tersebut banyak cara yang dapat dilakukan, salah satunya, program paud berbasis keluarga/program parenting yaitu bentuk kegiatan informal yang dilakukan untuk menyelaraskan kegiatan-kegiatan pengasuhan dan pendidikan anak, antara lembaga pendidikan dengan dirumah, ditujukan kepada para orang tua, pengasuh dan anggota keluarga lain yang berperan secara langsung dalam pengasuhan anak. tujuan pragram parenting adalah 1) meningkatkan kesadaran orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama 2) meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan orang tua/keluarga dalam melakukan perawatan, perlindungan, pengasuhan dan pendidikan anak usia dini 3) meningkatkan dukungan orang tua/keluarga dalam proses pendidikan anak anak usia dini dilenmbaga paud maupun di lingkungan masyarakat. dukungan pemerintah terhadap kegiatan program perenting ini sangat jelas, dengan adanya undang-undang no 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional yang juga membahas tentang pendidikan informal, undang-undang no 23/2002 tentang perlindungan anak serta konvensi anak sedunia. mengingat pentingnya pendidikan anak usia dini, beberapa upaya telah dilakukan pemerintah kota blitar untuk meningkatkan kualitas paud diantaranya yang sekarang sedang digalakkan, mengadakan sosialisasi paud berbasis keluarga di sekitar 65 lembaga paud, kepada sekitar 100 pengasuh paud dengan harapan, pasca mendapatkan sosialisasi, para pengasuh paud dapat mensosialisasikannya kembali pada para wali murid, selanjutnya dapat diterapkan dalam mendidik dan memenuhi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan berkembang optimal dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pembelajaran di lembaga pendidikan (center base) dengan di rumah (home base) keduanya berjalan selaras dan saling melengkapi. pada tahun ini pemerintah kota blitar menjadi salah satu pilot project dalam pelaksanaan program parenting di paud. namun demikian sudah beberapa kali program parenting ini dilaksanakan di kota blitar tetapi belum pernah dilakukan evaluasi keberhasilan program. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah pengaruh program parenting terhadap pengetahuan dan sikap orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini, sedangkan tujuannya adalah: 1) menganalisis pengaruh program parenting terhadap pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak usia dini dalam memenuhi kebutuhan dasar anak dan 2) menganalisis pengaruh program parenting terhadap sikap orang tua tentang pendidikan anak usia dini dalam memenuhi kebutuhan dasar anak. harapan yang diinginkan dari penelitian ini: 1) sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program parenting sehingga menjadi pilihan dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini, 2) adanya keajegan/rutinitas kegiatan program parenting dengan berbagai inovasi kegiatan, terutama pada keluarga baru, 3) motivasi bagi pengasuh paud, perawat, bidan dalam pengembangan peran sebagai educator untuk meningkatkan layanan pengasuhan anak usia dini. bahan dan metode penelitian ini menggunakan pre post test design, dengan jumlah sampel 43 responden (salah satu orang tua paud yang mengikuti program parenting) yang memiliki kriteria inklusi: 1) mengikuti pelatihan program parenting secara terus menerus sebanyak 3 kali pertemuan 2) mengikuti pre test dan pos test. setijaningsih dan martiningsih, pengaruh program parenting….118 sampel diambil dengan tehnik purposive sampling. penelitian ini dilaksanakan di paud sabana kota blitar, jalan simpang supriyadi no. 8 gedog blitar, pada bulan juli – nopember 2012. variabel bebas adalah program parenting dan variabel terikatnya pengetahuan dan sikap orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak. pengumpulan data dilakukan sebelum dilakukan pelatihan parenting dan setelah dilakukan 3 kali pertemuan. hasil penelitian usia responden terbanyak adalah 30–40 tahun (49 %), hanya 2% yang berusia < 20 tahun, jenis kelamin terbanyak adalah perempuan (88 %), pendidikan terbanyak adalah slta (49%), terdapat 12 % responden yang berpendidikan sd. pekerjaan responden sangat bervariasi wiraswasta (30 %) sedang sebagai ibu rumah tangga (16%), 72 % responden menyatakan belum pernah mengikuti pelatihan program parenting, 63 % menyatakan belum pernah mendapat informasi tentang program parenting, hanya 26 % responden yang menyatakan bahwa sumber informasi didapatkan dari pengelola paud sedangkan 70% dari sumber lain-lain. yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar anak adalah ibu (72%) dan terdapat 2 % pembantu, 51 % responden menyatakan yang dominan dalam mengambil keputusan adalah ayah. tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden terbanyak (39,5%) berada pada kategori cukup untuk pre test dan pada post test terbanyak (60,5%) pada kategori baik. dari data diatas menunjukkan pula bahwa ada peningkatan jumlah dari katagori pengetahuan baik antara pre test dengan post test dan terjadi penurunan jumlah dari kategori pengetahuan sedang dan kurang. dari uji wilcoxon sign rank test didapatkan nilai p = 0,000 artinya ada pengaruh pelatihan program parenting terhadap pengetahuan orang tua tentang pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini. table 2 menunjukkan bahwa nilai sikap responden terbanyak (53,5%) pada katagori positif untuk pre test. nilai post test terbanyak (69.8%) pada kategori positif. dari hasil tabulasi silang nampak adanya kenaikan nilai sikap pada kategori positif antara pre test dan post test, dan terdapat penurunan jumlah nilai sikap pada kategori negatif dari pre test ke post test. berdasar mcnemar test didapatkan nilai p = 0.016 artinya bahwa ada pengaruh pelatihan program parenting terhadap sikap orang tua tentang pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini. tabel 1. pengetahuan orang tua sebelum dan sesudah pelatihan program parenting di paud sabana kota blitar bulan oktober 2012 tabel 2.sikap orang tua sebelum dan sesudah pelatihan program parenting di paud sabana kota blitar bulan oktober 2012 pembahasan pengaruh program parenting terhadap pengetahuan orang tua. program parenting/program paud berbasis keluarga merupakan program dukungan yang ditujukan kepada para orang tua atau anggota keluarga lain agar semakin memiliki kemampuan dalam mengasuh, merawat, melindungi dan mendidik anaknya dirumah sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai usia dan tahap perkembangannya. program ini dilakukan untuk menyelaraskan kegiatan-kegiatan pendidikan anak dilembaga pendidikan dengan dirumah. pada penelitian ini program parenting education merupakan bentuk intervensi yang diberikan pada responden. dikemas dalam bentuk pelatihan, sebanyak 3 kali pertemuan dengan tema pola asuh anak dalam memenuhi kebutuhan dasar anak usia dini untuk proses tumbuh kembang. menurut priyatna (2010) mengartikan pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir. para peserta pengetahuan pre test post test f % f % baik 14 32.6 26 60,5 cukup 17 39.5 12 27.9 kurang 12 27.9 5 11.6 jumlah 43 100 43 100 wilcoxon sign rank test p = 0,000 sikap pre test post test f % f % positif 23 53.5 30 69.8 negatif 20 46,5 13 30.2 jumlah 43 100 43 100 mcnemar test p = 0,016 119 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm.122-128 pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. sedangkan menurut notoatmodjo (2003) pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dan dengan metoda yang lebih mengutamakan praktek dari teori. pada umumnya pelatihan ini diperuntukkan sasaran pendidikan yang sudah dewasa dalam rangka mempersiapkan mereka untuk memasuki lapangan kerja. oleh karena itu pelatihan juga merupakan salah satu bentuk pendidikan orang dewasa, yang mampu merubah perilaku seseorang meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan. berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan responden tentang pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini menunjukan adanya peningkatan nilai pengetahuan antara sebelum dan sesudah diberi perlakuan pelatihan program parenting. dari hasil uji wilcoxon sign rank test didapatkan nilai p = 0,000, artinya ada pengaruh pelatihan program parenting terhadap pengetahuan responden. menurut notoatmodjo, 2007 pengetahuan adalah merupakan hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. penginderaan terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. pelatihan program parenting dapat berpengaruh terhadap pengetahuan responden dimungkinkan dapat dipengaruhi oleh faktor bisa dari proses pelatihan itu sendiri, bisa juga dari individu peserta pelatihan. dari faktor pelatihan kemungkinan disebabkan karena: 1) tempat pelaksanaan pelatihan dilaksanakan di paud sabana di ruangan yang cukup luas, bersih, tenang dan ber ac. kondiri ini cukup kondusif, dapat memberikan rasa aman dan nyaman peserta pelatihan sehingga dapat berkonsentrasi dan antusias dalam mengikuti kegiatan. keadaan ini memudahkan peserta pelatihan menangkap/memahami materi yang diberikan, 2) metode yang digunakan dalam kegitan pelatihan parenting meliputi curah pendapat, diskusi kelompok, simulasi dan demonstrasi. metode tersebut biasa digunakan pada pelatihan partisipatori. metode ini dapat mengaktifkan peserta latihan untuk berperan serta secara aktif dalam kegiatan pelatihan. peserta pelatihan dapat leluasa saling memberi dan menerima pengalaman-pengalaman yang dimiliki sesuai tema yang sedang dibahas. menurut notoatmodjo (2003) pemilihan dan penggunaan metode-metode yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi dalam kegiatan pelatihan mampu untuk memperbaiki keseluruhan proses pembelajaran baik cara belajar, mengajar, cara berinteraksi diantara fasilitator dan peserta pelatihan dsb. dengan menerapkan metode afektif pada peserta pelatihan, maka peserta pelatihan yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap topik yang akan dibahas maka akan membuat peserta pelatihan merasa senang mempelajarinya, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap obyek. sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. selain dari faktor proses pelatihan, karakteristik responden juga dapat berpengaruh antara lain: 1) usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. alasan ini sesuai dengan usia responden yang mayoritas adalah kelompok usia madya. 2) pendidikan. pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. berdasarkan data hasil penelitian didapatkan mayoritas pendidikan responden berada pada tingkat pendidikan menengah keatas dan pt, dan tidak ada yang buta huruf. dari data crosstabulation antara pendidikan dengan pengetahuan dapat dilihat bahwa katagori pengetahuan baik dan cukup terbanyak pada responden dengan pendidikan slta dan perguruan tinggi. pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang setijaningsih dan martiningsih, pengaruh program parenting….120 tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. namun perlu ditekankan bahwa seorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. pengetahuan seseorang tentang sesuatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut. 3) informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan orang. berdasarkan data hasil penelitian dididapatkan bahwa 28% responden pernah mengikuti program pelatihan parenting dan 37% responden pernah mendapatkan informasi dari berbagai sumber. hasil tabulasi silang menunjukkan responden yang pernah mengikuti pelatihan program parenting dan pernah mendapat informasi tingkat pengetahuan lebih baik dari yang belum pernah. adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. selain faktor proses diatas, dari pelaksanaan pelatihan program parenting yang diberikan pada responden juga ada beberapa yang berpengaruh. pengaruh program parenting terhadap sikap orang tua sikap merupakan suatu kencenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga ada kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapanharapan untuk masa yang akan datang. sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (azwar, 2007). selanjutnya azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu. dari mcnemar test didapatkan hasil nilai p = 0,016 artinya bahwa ada pengaruh pelatihan program parenting terhadap sikap orang tua tentang pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini. hal ini disebabkan karena: 1) pengalaman pribadi untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor emosional. dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman, akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. situasi yang melibatkan emosi akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas. dilihat dari hasil penelitian mayoritas responden mimiliki anak lebih dari 1 orang. jumlah anak yang dimiliki responden akan banyak memberikan pengalaman pribadi yang cukup bervariasi dalam pola pengasuhan anak. pada dasarnya anak-anak tersebut semua tinggal bersama orang tua, sehingga semua kebutuhan dan perawatan anak menjadi tanggung jawab orang tua. 2. orang lain yang dianggap penting. pada umumnya, individu bersikap konformis atau searah dengan sikap orang orang yang dianggapnya penting. kecenderungan ini antara 121 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm.122-128 lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. data hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang dominan dalam mengambil keputusan adalah ibu dan ayah. sesuai adat budaya jawa orang tua itu harus dihormati dan dituruti nasehatnya dan selalu ikut berperan dalam urusan rumah tangga, terutama berkaitan dengan masalah mendidik anak. menurut pendapat burrhus frederic skinner, seperti yang dikutip azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami. kebudayaan juga akan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah. simpulan dan saran simpulan ada pengaruh program parenting terhadap pengetahuan orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini berdasar wilcoxon sign rank test dengan nilai p = 0,000 dan ada pengaruh program parenting terhadap sikap orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak usia dini berdasar mcnemar test dengan nilai p = 0,016. saran perlunya peningkatan kualitas dan efektifitas dari pendidikan program parenting di lembaga paud sabana dan penyebar luasan pelaksaan program di paud wilayah kota blitar. bagi orang tua murid paud yang telah mengikuti kegiatan pelatihan program parenting, diharapkan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. daftar rujukan notoatmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta ___________.2007. promosi kesehatan teori dan aplikasi, rineka cipta, jakarta priyatna, andri. 2010. parenting untuk orang tua sibuk. jakarta: pt elek. jakarta. media komputindo saifuddin, azwar. 1995. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta : pustaka pelajar offset . 254 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 254–259 254 overview of ankle brachial index (abi) values on diabetes mellitus type 2 in blitar ulfa husnul fata nursing study program, stikes patria husada blitar email: ulfaners@gmail.com abstract: examination of foot vascularization often used for patients with dm who have perypheral arterial disease (pad) is to measure the value of ankle brachial index (abi). abi examination is a noninvasive gold standard measurement to detect vascular disorders of the peripheral arteries and is recommended as part of the assessment process to help formulate the diagnosis in at-risk individuals. the purpose of this study was to provide an overview of the value of abi in people with diabetes mellitus type 2 in village ofkepanjenkidul and village karangsariblitar city. the method in this research was descriptive with respondent of type 2 diabetes mellitus as much as 32 respondents. methods of data collection with check list and abi score. the results of this study indicated that the value of abi in people with type 2 diabetes with abi value right and left extremities borderline and abnormal categories at most are female gender, abnormal value many in diabetics who do not routinely consume anti diabetic drugs, abnormal abi value many in patients who do not exercise regularly, abnormally abnormal abi values in patients who have never performed foot therapy, and abnormal abi values are many in patients who do not implement the diet. therefore, foot examination was very important to be done regularly to reduce the risk of foot ulcers in patients with diabetes mellitus. keywords: ankle brachial index, abi, diabetes mellitus type 2 diabetes mellitus is a group pf metabolic diseases cha r a cter ized by eleva ted blood glucose (hyperglycemia) as a result of abnormalities of insulin secretion, insulin activity or both (american diabetes association/ada, 2009; smeltzer, et al, 2010). diabetes mellitus has become a major health problem because its complications are short-term and long term. one form of chronic somplications that often occur in people with diabetes mellitus is diabetic foot ulcer (prompers et al, 2008). an injury occurrence in the legsof patients with diabetes mellitus is a defect in the integument system of basic structure that can lead to damage to skin integrity and disturbance in physiological function of the network (carville, 2007). research conducted in the united states about 85% cases of lower limb amputation caused by diabetes mellitus that begins the foot ulceration. the occurrence of leg a mputa tion ever y 20 seconds due to complications of diabetes mellitus (boulton et al, 2008). leg ulcers affect approximately 70% of these ulcer s a r e pr imed by chr onic venous insufficiency (cvi), with 20% to 25% being attributed to arterial or mixed disease (nelson and bradley, 2003; bryant & nix, 2007: 258). it is difficult to a ccura tely deter mine the pr eva lence a nd incidence of these ulcers and separately (nelzen, bergqvist, and lindhagen, 1996; bryant and nix, 2007: 258) most cases of diabetic foot ulcers are the ultimate manifestation of peripheral neuropathy, vascular abnormalities or a combination of both because of poor blood sugar control conditions (br ownr igg, 2012). exa mina tion of foot vascularization often used for patients with dm who have peripheral arterial disease (pad) is to measure the value of ankle brachial index (abi) (potier, et al. 2011), using doppler ultrasound. doppler ultrasound is used to measure blood flow in both arteries and veins. measurement helps to hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p254-259 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 255fata, overview of ankle brachial index (abi) values... determine the degree of arterial or venous disease in the leg (carville, 2007). abi examination is a non-invasive gold standard measurement to detect vascular disorders from peripheral arteries and is recommended as part of the assessment process to help formulate diagnoses in at-risk individuals (migliacci, 2008). inappropriateness in diagnosing pad results in serious considerations such as functiona l ca pacity aba tement, amputa tions, depression and quality of life. doppler ultrasound is a tool for translating arterial and venous blood flow. this checks for prevention of arterial or venous blood vessels. examination is very helpful in establishing a proper nursing diagnosis process.under normal conditions, the systolic pressure on the foot is equal to the hand or slightly higher. in the event of disturbance in the a r ea of the foot, either venous or a r ter ia l disturbances, it will produce different systolic pressure. accurate examination results may help diagnostically lead to venous or arterial disorders, so management of care is also different (gitarja, 2008). in addition to abi examination, foot care is the primary prevention of injury to the diabetic foot. measures to be performed on foot care for early foot abnormalities, proper nail cutting, good footwear usage, keeping foot and foot rest. things that should not be done is to cope alone when there is a problem in the foot or with the use of sharp tools or objects. patients need to know the care of diabetic feet well so that the incidence of gangrenous ulcers and amputations can be avoided (tambunan, 2011). based on the description above, researchers a r e inter ested to conduct r esea r ch entitled “overview of ankle brachial index in type 2 diabetes mellitus in sananwetan and sukorejo community health center blitarcity”. research methods this research was a descriptive research. the sample in this research was diabetes mellitus type 2 in work area of sananwetan and sukorejo public health center of blitar city in june 2017 with sample size 32. sampling methode with purposive sampling according to inclusions and exclusions criteria. sample inclusion criteria include: (1) patients with diabetes type 2, (2) long suvering with diabetes mellitus more than 1 year, (3) patient age above 40 years. while the exclusion criteria is patients with leg ulcers. data collection was conducted at kepanjen kidul and karangsari village, blitar city. the researcher intifies the prospective respondents by conducting interviews and checks that are adjusted to the inclusion and exclusion criteria. after given informed consent, then filling the data collection sheet followed by abi exa mination on ea ch respondent. univariate analysis includes abi score, age, gender, random blood sugar, long diabetes, oral antidiabetic drug (anti diabetic drugs), exercise, smoking history, foot therapy, and diet. data analysis was done to find out the abi values in diabetes mellitus type 2 patients. result variable mean median sd min – max age 56.66 56 8,015 42 73 blood 289.91 291 64,593 182 – 410 glucose levels table 1 distribution of respondents by age and blood glucose levels in the village of kepanjen kidul and karangsari, blitar city, june 2017 (n = 32) table 1 describe the results of the analysis of the mean age analysis of respondent in this study was 56,66 ± 8,015 years with the age range of 42 – 73 years. while the average level of blood glucose analysis was 289,91 ± 64,593 with the range 182 – 410 mg/dl. variable frequency persentage gender male 12 37,5 female 20 62,5 anti diabetic drugs consumtion never 7 21,9 not a routine 17 53,1 routine 8 25 table 2 distribution of respondents by gender and diabetic drugs consumtion in the village of kepanjen kidul and karangsari, blitar city, june 2017 (n = 32) table 2 describe the distribution of respondents that the majority of respondents were female that a re 20 respondents (62. 5%), as well a s the 256 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 254–259 table 3 describe the frequency distribution indicating that the majority of respondent were not active in exercise of 19 repondents (59.4%). almost all respondents never did not foot therapy as much as 31 respondents (96.9%). the results of smoking history analysis showed that the majority of respondents never smoked of 25 respondents (78.1%), and the most respondents dit not implement diabetes mellitus diet as much as 23 respondents (71.9%). table 4 showed that the value of abi in right extremity is almost half abnormal of 13 respondents (40.6%). likewise with the left extremity that almost half of the respondent with abi values in the abnormal category of 14 respondents (43.8%). distribution of respondents by consumtion of the diabetic drugs most respondents did not routine consume diabetic drugs 17 respondents (53.1%.) variable frequency persentage physical exercise never 7 21,9 not a routine 19 59,4 routine 6 18,8 foot therapy no 31 96,9 yes 1 3,1 smoking history never 25 78,1 past 3 9,4 active 4 12,5 diet no 23 71,9 yes 9 28,1 table 3 distribution of respondents by physical exercise, foot therapy, smoke history, and diet in the village of kepanjen kidul and karangsari, blitar city, june 2017 (n = 32) variable frequency persentage abi right extremity normal 8 25 borderline 11 34,4 abnormal 13 40,6 abi left extremity normal 9 28,1 borderline 9 28,1 abnormal 14 43,8 table 4 distribution of respondents by abi values in the village of kepanjen kidul and karangsari, blitar city, june 2017 (n = 32)  %  %  % gender male 3 25 2 16.7 7 58,3 female 5 25 9 45 6 30 anti diabetic drugs consumtion never 2 28.6 2 28.6 3 42.8 not a routine 4 23.5 6 35.3 7 41.2 routine 2 25 3 37.5 3 37.5 physical exercise never 1 14.2 3 42.9 3 42.9 not a routine 7 36.8 4 21.1 8 42.1 routine 0 0 4 66.7 2 33.3 terapi kaki yes 0 0 1 100 0 0 no 8 25.8 10 32.3 13 41.9 riwayat merokok never 8 32 9 36 8 32 pas 0 0 1 33.3 2 66.7 active 0 0 1 25 3 75 diet yes 1 11.2 4 44.4 4 44.4 no 7 30.4 7 30.4 9 39.2 table 5 cross tabulation of abi values in right extremity by gender, anti diabetic drugs consumtion, exercise, smoking history, foot therapy, and diet in village of kepanjen kidul and karangsari, blitar city, june 2017 (32) variabel abi right extremity normal borderline abnormal table 5 indicates that type 2 diabetics with abi values of the right extremity categories borderline and abnormal are female gender, abnormal values are high in diabetics who do not routinely consume anti diabetic drugs, abnormal abi values are many in patients who do not exercise regularly, abnormal abi values are many in patients who have never performed foot therapy, and abnormal abi values are high in patients who do not carry out diet. 257fata, overview of ankle brachial index (abi) values... 11 peoples (34.4%) and abnormal 13 peoples (40, 6%). while the value of abi on left extremities in normal category 9 peoples (28.1%), borderline 9 peoples (28.1%) and abnormal 14 peoples (43.8%). dia betic foot with ulcer is a fr equent complication of diabetes. diabetic foot ulcers are caused by the process of peripheral neuropathy, peripheral arterial disease, or a combination of both. thus increasing morbidity, mortality, and reducing the quality of life of patients (perkeni, 2015). therefore, in diabetesmellitus needs to be done vascular examination of the foot or commonly called abi examination.ankle brachial index is a noninvasive vascular screening test for identifying large blood vessels, peripher al a rter ial disease by comparing cytologic blood pressure in the ankle to systolic pressure in the brachialis performed using doppler vascular. the goal of abi examination is to support the diagnosis of vascular disease by providing an objective indicator of arterial perfusion to the lower extremities. abnormal abi values reflect atherosclerosis. (wocn wound commite, 2012). peripheral vascular damage in the hands and feet, called peripheral vascular disease (pvd), can occur earlier and the process is faster in people with diabetes mellitus than those who do not have diabetes mellitus. the pulse of the blood vessels in the leg feels weak or does not feel at all. if diabetes lasts for more than 10 years, a third of men and women may develop the disorder (ndraha, 2014). hyperglycaemia that occurs due to excessive carbohydrate input, reduced glucose consumption in the tissues, increased liver glucose production, long-lasting insulin defects will initiate various forms of abnormalities such as neuropathy and peripheral arterial disease (pad) (criqui, 2011). the presence of this pad will reduce arterial perfusion to the lower extremities. this decrease of perfusion is usually characterized by the loss of peripheral pulsation and the presence of clinical manifestations such as claudication intermittent (pain of walking time, and improved at rest), will facilitate the development of infection, ulceration and wound healing, can even lead to gangrene which leads to amputation foot (creager, 2012). cross-tabulation of abi values by gender, anti diabetic drugs consumtions, exercise, smoking history, foot therapy, and diet cross-rabulation result of abi of right and left extremities by sex, anti diabetic drugs consumtions, exercise, smoing history, foot therapy and diet in table 6 cross tabulation of abi values in left extremity by gender, anti diabetic drugs consumtion, exercise, smoking history, foot therapy, and diet in village of kepanjen kidul and karangsari, blitar city, june 2017 (32)  %  %  % gender male 2 16.7 2 16.7 8 66.6 femele 7 35 7 35 6 30 anti diabetic drugs consumtion never 3 42.9 1 14.3 3 42.9 not a routine 4 23.5 6 35.3 7 41.2 routine 2 25 2 24 4 50 physical exercise never 3 42.9 1 14.3 3 42.9 not a routine 5 26.3 5 26.3 9 47.4 routine 1 16.7 3 50 2 33.3 terapi kaki yes 1 100 0 0 0 0 no 8 25.8 9 29 14 45.2 riwayat merokok never 8 32 8 32 9 36 past 1 33.3 0 0 2 66.7 active 0 0 1 25 3 75 diet yes 1 11.2 4 44.4 4 43.4 no 8 34.8 5 21.7 10 44.5 variabel abi left extremity normal borderline abnormal table 6 indicates that type 2 diabetics with abi values of the right extremity categories borderline and abnormal are female gender, abnormal values are high in diabetics who do not routinely consume anti diabetic drugs, abnormal abi values are many in patients who do not exercise regularly, abnormal abi values are many in patients who have never performed foot therapy, and abnormal abi values are high in patients who do not carry out diet. discussion description of abi values in patients with diabetes mellitus the results of this study indicate that the abi values of right extremity in type 2 diabetes mellitus in village of kepanjenkidul and karangsari in normal category are 8 peoples (25%), borderline 258 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 254–259 people with diabetes mellitus is no significant difference. half of the respondents were male. increased risk of pad in men is likely due to previous smoking history. the data obtained as many as 3 respondents (9.4%) never smoked and now they have stopped smoking, and 4 respondents (12.5%) are active smokers. cigarette smoke is known to cause vascular endothelial dysfunction, increase the concentration of fibrinogen, decrease fibrinolytic activity and increase platelet aggregation. smokers a r e thr ee times higher r isk for inter mittent claudication and show symptoms 10 years earlier than nonsmokers. (o’donnell et al, 2011). a tota l of 7 (41. 2%) r espondents with abnormal abi values on right extremity were respondents with non-routine categories consuming anti diabetic drugs, as did the left limb. number of respondents with abnormal abi score on right exercise non-exercise routine as many as 8 (42.1%) respondents, while abnormal abi score on left extremity in non-routine respondents exercised as many as 9 (47.4%) respondents. the number of respondents with abnormal abi values on the right extremity who had never performed foot therapy were 13 (41.9%) respondents. while respondents with abnormal abi values on the left extremity who never performed foot therapy as much as 14 (45.2%) respondents. number of respondents with abnormal abi value on right extremity who did not implement diabetes diet as many as 9 (39.2%) respondents. while a number of respondents with abnormal abi value on left extremity that did not implement diet of diabetes mellitus counted 10 (44.5%) of respondents. approximately 70% of cases of foot ulcers are the main causes of chronic vein insufficiency (cvi), and about 20% to 25% with arterial or mixed diseases (nelson and bradley, 2003; brayant& nix 2007). risk factors for venous blood disorders in patients with diabetes mellitus include age over 50 years, more women than men, heart problems, obesity, and others (scemons&elston, 2009). key str a tegies for consider ing venous insufficiency a nd hyper tension, ther a py, management; additional actions. for body health, pharmacological agents, and routine leg elevation (brayant& nix 2007) conclusions and suggestions conclusion the result of the research have shown that the most of the respondents who have been done abi examination results are abnormal on the left and right extremities. additional data showed that some respondents did not adhere to diet, did not do foot therapy, did not exercise regulary, and did not routinely consume diabetic drugs. suggestion based on the research that has been done, obtained abi examination results in people with diabetes mellitus mostly in the category of borderline and abnormal. some factors that may affect the results include lack of adherence in the diet, not exercise routine, never do foot therapy, and not r outinely in consuming a nti dia betic dr ugs. therefore, for nurse specially nurse specialist of medical nursing of surgical and wound care is expected to conduct comprehensive study in order to formulate a comprehensive action plan which of course to overcome the problem that happened in diabetesmellitus. reference boulton aj. et al.2008. comprehensive foot examination andrisk assessment. diabetes care. 31: 167985. brayant, ra. & nix, dp. 2007. acute & chronic wounds. current management concepts. third edition. united states of america: mosby elsevier. brownrigg jr. et al. 2012. the association of ulceration of the foot with cardiovascular and all-cause mortality in patients with diabetes: a metaanalysis. diabetalogia. 55 (11): 2906-12. carville, k. 2007. wound care manual. 5th edition. western australia: silver chain foundation. creager, m.a. 2012. peripheral artery disease a text book of cardiovascular medicine. 9th ed. philadelphia, usa: elsevier saunders. pp 1338-56 criqui, mh., 2011. peripheral arterial-disease-epidemiological aspects.vasc med. 6: 3–7. migliacci, r. et al. 2008. ankle-brachial index measured by palpation for the diagnosis of peripheral arterial disease. fam pract. 25:228–232 ndraha , s. 2014. di abe tes mel itus tipe 2 dan tatalaksana terkini. midicinus vol. 27, no. 2. o’donnell me., et al. 2011. optimal management of peripheral arterial disease for the non specialist.ulster med j. ; 80(1): 33–41. 259fata, overview of ankle brachial index (abi) values... perkeni. 2015. pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. jakarta: perkeni potier, l., et al. 2011. use and utility of akle brachial index in patients with diabetes. eur j vasc endovasc surg. 41(1): 110-16. prompers, l. et al. 2008. resource utilisation and cost associated with the treatment of diabetic foot ulcers. diabetologia. 51: 1826 – 34. smeltzer, et al. 2010. brunner &suddarth’s textbook of medical surgical nursing. 12th ed. philadelphia: lippincott, 1197. wocn wound commite. 2012. ankle brachial index. quick reference guide for clinicians. j wound ostomy continence nurs. 39(2s): s21-s29. 74 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 74–78 74 the effectiveness of health education of breasfeeding preparation on primigravida mother’s motivation to provide exclusivation ika agustina midwifery department, patria husada blitar school of health science email: ikapatria45@gmail.com abstract: exclusive breastfeeding is the pure one without additional fluids, either formula, water orange juice or other supplementary foods before reaching the age of six month. giving breasfeeding is very benefical for baby, mother, family, and country. the purpose of this study was to analyze the effect of health education on breasfeeding preparation of mother’s motivation to provide exclusive breasfeeding. the type of the study used pre-experimental design. the populastion used in this study was 15 primigravida mother’s. the sample was 15 respondents taken by consecutive sampling technique. the instrumen used questionnaire sheet. the statistical test used paired sample t test. the results showed that the motivation of mother primigravida after being given health education become strong motivation equal to 40%. the resulth of analysis using paired sample t test test showed the value of p value=0,000, so p value=0,000 <0,05 or significant, it meant that there was an effect of health education of breasfeeding preparation to motivate primigravida mothers to give exclusive breasfeeding. based on the results of the study is expected to primigravida mothers’s to improve health education in the preparation of breasfeeding and to health workers further increase the primigravida mother’s mitigation to provide exclusive ation to achieve exclusive ation success. keywords: motivation, exclusive breastfeeding, benefits introduction lactation is the whole process of breastfeeding from breast milk is produced through the process of the baby sucking and swallowing milk. lactation period has the purpose of improving exclusive breastfeeding and continue breastfeeding until 2 years old children properly and correctly and children get natural immunity (wiji, 2013). exclusive br eastfeeding is brea stfeeding without food or drink companion (including water, honey, sugar water), which began in newborns up to the age of 6 months (sulistyawati, 2009). while breast milk is not the same as the formula one of them that colostrum is a viscous liquid with a yellowish color that contain more protein and can provide protection for up to 6 months, and the factor of bifidus that promote the growth of good bacteria in the intestines of infants against growth of pathogenic bacteria so the risk of experiencing diarrhea is lower. primigravida are women who are pregnant for the first time. this period of pregnancy starts from conception until the birth of the fetus. primigravida’s mother was a woman who first became pregnant. furthermore, pregnancy occurs when there is a meeting between the egg (ovum) and semen (spermatozoa) (prawirohardjo, 2009). breastfeeding problems to the mother one of them because the channel of milk is clogged, human milk glands have 15-20 breast milk channels. one or more of these channels can be blocked due to finger pressure while breast-feeding mother, the baby or bra that is too tight, so most do not drain the milk ducts. blockages can also occur because of the milk in the channel is not immediately released because there is swelling (wiji, 2013). jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p074–078 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 75agustina, the effectiveness of health education of breasfeeding... due to lack of information, many mothers who consider formula milk as good, even better than breast milk. this causes mothers to give formula milk faster if they feel less milk. in addition, the mother is also less aware of how to breastfeed effectively and what are the benefits that can be obtained by the mother if the mother gives exclusive breastfeeding to her baby (wiji, 2013). pr epa r a tion br ea stfeeding conducted simultaneously with the pregnancy, the breasts more dense because of the retention of fat, and the development of breast glands felt tense and sore. immediately after pregnancy occurs, the corpus luteum continues to grow and secrete estrogen and progesterone to prepare the breast so that in time can give milk (sitti, 2009). according to riskesdas 2013, the process of starting breastfeeding most occurred at 1-6 hours after delivery (35.2%) and less than 1 hour by 34.5%. while the lowest breastfeeding process occurs at 7-23 hours after birth is 3.7%. referring to the 2014 strategic plan target of 39%, the nationwide coverage of exclusive breastfeeding for infants aged less than six months was 55.7%. according to east java province, the range of process category coverage started breastfeeding in infants <1 hour (imd) 33.3%, breastfeeding category 1-6 hours 33.5%, 7-23 hours 3.3%, 24-47 hours 15.3%, and> 48 hours 14.7%. while data obtained from the central statistical agency (bps) blitar district in 2016 as many as 40% of mothers who failed to provide exclusive breastfeeding due to breast milk has not come out, nipple drown so that mothers can not prepare to provide exclusive breast milk. as a result of not exclusive breastfeeding so that the composition obtained is not in accordance with the needs of infants so that protective / antibody protective against disease has a risk 17 times higher for diarrhea and three to four times more likely to get respiratory infection compared with breastfed babies. with the existence of these problems, the authors are interested in conducting a study entitled “effect of health education about breastfeeding preparation against primigravida motivation to give exclusive breastfeeding” method t he design used in this study wa s preexperimental design with pretest-posttest design approach. t he popula tion in this study wer e 15 primigravida trimester iii pregnant women at sri sulikah private midwifery practionary in gogodeso village kanigoro sub-district, blitar regency. samples taken from this research are pregnant women primigravida trimester iii in sri sulikah private midwifery practionary in gogodeso village, kanigoro district blitar who has the criteria of inclusion and exclusion. sampling in this study using non probability sampling that is consecutive sampling. the instruments used are checklist with the model strongly agree, agree, disagree, strongly disagree. chek list or checklist in the form of a list that contains lists and questions to be observed and respondents provide answers by providing answers chek (“ ) in a ccor da nce with the r esults of observation. analysis of the influence of health education of breastfeeding preparation on mother primigravida motivation to give exclusive breastfeeding after the data obtained is processed and tabulated then the data of motivation before and after health education is analyzed using paired sample t test that is parametik test used in hypothesis testing with two paired samples. result responden characteristic the research was conducted in gogodeso villa ge, ka nigor o distr ict, blita r distr ict. characteristics of respondents in this study include age, education, employment and information. the results showed that most (66.7%) of primigravida mothers aged 20-30 years, most (53.3%) of primigravida mothers with junior high school education, most (73.3%) of primigravid mothers were housewives, and most (53.3%) of primigravid mothers ever received information about breastfeeding preparations. no motivation f % 1 strong 0 0 2 midle 6 40 3 weak 9 60 totally 15 100 table 1 distribution of primigravid mother motivational frequencies in exclusive breastfeeding prior to health education 76 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 74–78 ba sed on ta ble 2 shows most (66. 7%) primigravida mothers have a strong motivation in giving exclusive breastfeeding after being given health education. effect of health education about breastfeeding preparation on the motivation primigravida in exclusive breastfeeding t he r esults showed a n incr ea se in the percentage of motivation primigravida to the preparation of breastfeeding before and after administration of health education is of motivation is becoming a strong motivation for 40%. statistical test paired sample t test was obtained p value = 0.000, so the p value = 0.000 <á = 0.05, indicating the influence of brea stfeeding on the health education preparation primigravida motivation for exclusive breastfeeding in the gogodeso village kanigoro district of blitar. discussion motivation of mother primigavida in giving exclusive breastfeeding before given health education ba sed on ta ble 1 shows most (60%) primigavida mothers have a weak motivation in giving exclusive breastfeeding before being given health education. motivation is an impulse arising from the stimulation of the inside and outside of self so that someone wants to make a change of behavior or certain activities better than the previous situation (hamzah, 2011). based on the results of research conducted on 24 june 2017 in polindes gogodeso kanigoro district blitar district on the respondents who have not provided health education for breastfeeding preparation of primigravida mother’s motivation to provide exclusive breastfeeding is known mostly 9 respondents (60%) primigravida mothers are included in the category of weak motivation because poor mother ’s knowledge of br ea stfeeding preparations so that the preparation of primigravida mother’s breastfeeding for exclusive breastfeeding is not strong yet. the results showed most (66.7%) primigravida mothers aged 20-30 years and all were primigravida mothers. education is important because as the higher level of education, the openness and awareness of the acceptance of information will be different from the lower level of education. based on the general tabulation of data we can know that the level of education of primigravida mothers is low tend to have weak motivation because of weak mother’s knowledge to prepare breastfeeding befor e given health education preparation of breastfeeding to motivation of mother primigravida to give exclusive breastfeeding. the results showed most (73.3%) primigravida mother is housewife. primigravida mothers who do not work or at home usually will be busy with the work of home care. based on general tabulation data we can see that primigravida mothers have a moder a te motiva tion to ma ke br ea stfeeding preparations before being given a health education. however, as many as 8 respondents (53.3%) never r eceived infor ma tion a bout br ea stfeeding preparation for primigravida mother’s motivation to give exclusive breastfeeding. the lack of motivation of primigravid mothers who do not work for breastfeeding preparation is due to the lack of information resources acquired, making it difficult to alter the assumptions they believe so far. primigavida maternal motivation in exclusive breastfeeding after being given health education based on the results of the research on the respondents after given health education it is known that most (66,7%) as many as 10 respondents primigavida mothers have strong motivation in giving motivation of mother primigavida in giving exclusive breastfeeding before given health education based on table 1 shows most (60%) primigavida mothers have a weak motivation in giving exclusive breastfeeding before being given health education. primigavida maternal motivation in providing exclusive breastfeeding after being given health education table 2 distribution of primigravid mother motivational frequencies in exclusive breastfeeding after health education no motivation f % 1 strong 10 66,7 2 midle 5 33,3 3 weak 0 0 totally 15 100 77agustina, the effectiveness of health education of breasfeeding... exclusive breastfeeding after given health education while (33,3%) as many as 5 respondents primigravida mother have medium motivation. respondents did not make preparations for breastfeeding because prepregnant breastfeeding health education for primigravida mothers to provide exclusive breastfeeding is still low, so the motivation of primigravida mother in preparing breastfeeding to provide exclusive breastfeeding before and after being given health education changes. health education becomes an intrinsic factor that a person possesses because information can give someone a push to do something. health education is a form of intervention or effort directed to behavior, so that the behavior is conducive to health (notoadmodjo,2010). the increased health of respondents will be able to understand the preparation of breastfeeding so that primigravida mothers have a strong motivation and can provide exclusive breast milk well and correctly. this study are given health education on the effect of health educa tion on the motivation primigravida for exclusive breastfeeding in the form of a presentation and asked questions about matters concerning the preparation of breastfeeding to primigravida. with an effective lecture and questionand-answer methodology in the delivery and delivery of breastfeeding preparation and raising the motivation of primigravid mother to provide exclusive breast milk. no respondents have weak motivation after being given health education. the tendency of acceptance and understanding of the information provided by the researchers on the preparation of breastfeeding on maternal motivation primigravid for exclusive breastfeeding in a language that requires more penalatan will have an impact on the motivation of respondents. motivation is an impulse arising from the stimuli from within the self and from outside the self so that someone wants to make a change of behavior or a certain activity better than the previous situation. one’s tendency to act depends on the power of motivation and attraction of the self within oneself. effect of health education about breastfeeding preparation on the motivation primigravida in exclusive breastfeeding based on the results of the study showed that the increase of the percentage of primigravida mother motiva tion to the pr epa r a tion of breastfeeding before and after being given health education that is from moderate motivation become strong motivation by 40%. based on statistical test of pairet sample t test obtained p value = 0,000 so p value = 0,000 <  = 0,05 which means showing influence of health education of breastfeeding pr epara tion towar d motiva tion of mother of primigravida to give exclusive breastfeeding in gogodeso village kanigoro sub-district, blitar regency. the results indicate that health education is one of the motivating factors of primigravida mother in giving exclusive breastfeeding through good and correct breastfeeding preparation. based on the research results we can know that the influence of health education is very diverse, the difference is caused by the differences in age, education level, and work. because the older age, the lower the curiosity, the influence is also greater. similarly with the level of education, the higher the level of information receiving education the better. the low motivation of primigravida mother in polindes of gogodeso village, kanigoro sub-district, blitar regency is caused by the lack of public knowledge about the importance of giving exclusive breast milk, proved in the research result that 53. 3% of pr imigr a vida mother s never got information about exclusive breast milk. changes can happen to every individual as a result of influence, in this research the influence given is health education. health education is an attempt to influence or invite others, whether individua ls, groups or communities. hea lth education is in fact a dynamically changing process of development, in which a person accepts or rejects information aimed at a healthy life. the end r esult of this counseling is the motivation of primigravida mothers to give exclusive breastfeeding increases, so they are not afraid to make breastfeeding preparations. in this study most of the motiva tions of pr imigr a vida mother s experienced a change in improvement, and no decrease from before a nd after given health education. from the results of the study we can see that there are still primigravida mothers who have moderate motivation 33.3% as many as 5 respondents. where after given health education all motivation of mother of primigravida can increase without exception, this is because education level, low level of education will make the individual more difficult to receive information to make change, 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 74–78 besides that factor there are other factors that have an important influence to the increase of motivation that is activeness and ask at a time when health education is taking place, because by actively asking primigravida mothers can get answers or solutions of problems that make them not give exclusive breast milk. activity itself can be influenced by the desire that cause curiosity, that is the cause of the existence of primigravida mothers who have moderate motivation in this study. conclusion and suggestion conclusion based on the results of research conducted it can be concluded as follows: the motivation of the primigravida mother before being given a health education gave exclusive breastfeeding in the weak categor y of 60% (9 pr imigr avida mother s), motivation of primigravida mother after being given health education gave exclusive breastfeeding in the strong category of 66.7% (10 primigravida mothers), there is an influence of health education on breastfeeding preparation of primigravida mother’s motivation to provide exclusive breastfeeding with p value = 0,000. suggestion expected to use material about lactation management as one of the material in counseling to patient or in a learning activity on midwifery it is expected that in the class of pregnant women ca n impr ove the health education of breastfeeding preparation, especially to primigravida mothers in order to achieve exclusive asi success. references hamzah b. 2011. teori motivasi dan pengukurannya. jakarta: bumi aksara notoadmodjo, soekidjo.2010. kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta prawirohardjo.2009.ilmu kebidanan. jakarta: bina pustaka. sitti, saleha. 2009. asuhan kebidanan pada masa nifas. jakarta: salemba medika sulistyawati, ari. 2009. buku ajar asuhan kebidanan pada ibu nifas. yogyakarta: andi wiji, r.n. 2013.asi panduan ibu menyusui. yogyakarta: nuha medika e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 131oktavia dan ulfa, pengaruh konsumsi dark chocolate ... 131 pengaruh konsumsi dark chocolate terhadap kecemasan pada ibu post sectio caesarea (the effectiveness of dark chocolate consumption toward anxienty of post sectio caesaraea mother) laily wahidatul oktavia dan maria ulfa stikes patria husada blitar email: ulfamaria845@gmail.com abstract: the consumption of dark chocolate on the second day of mother post section caesarea can reduce anxiety, since the asetosal substance can stimulate the limbic system of hypothalamus to suppress the anxiety. method: the research design was a quasy experimental. the research sample was 8 mother post sectio caesarea in ngudi waluyo hospital cempaka wlingi at august 14th, up to september 14th, 2015, it was chosen using accidental sampling. the data analyzed by wilcoxon rank test. result: showed a decrease in the percentage of anxiety scale before and after eating dark chocolate in which the anxiety scale of 87.5% to 20%. based on statistical analysis showed wlicoxon signed rank test p value = 0,008, so p value = 0.008 < = 0.05. discussion: relaxed condition was needed in the process of recovery condition after partum mothers, especially post surgery. psychological factors like family support also needed to optimize all of the action taken. keywords: consumption of dark chocolate to emergency abstrak: konsumsi coklat hitam memberikan ibu post section sesarea hari kedua dapat menurunkan kecemasan, kandungan asetosalnya dapat menstimulasi sistem limbic hipotalamus untuk menekan kecemasan. metodologi: penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi eksperimen. sample penelitiannya adalah 8 ibu post section caesarea di rsu ngudi waluyo wlingi di ruang cempaka dengan menggunakan teknik sampling accidental sampling. data dianalisis menggunakan wilcoxon rank test. hasil: hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan prosentase skala kecemasan sebelum dan sesudah mengkonsumsi coklat hitam dimana skala kecemasan dari 87,5% ke 20%. berdasarkan analisis statistic menunjukkan bahwa wilcoxon signed rank test dengan p value = 0,008. kondisi rileks sangat dibutuhkan dalam proses kondisi pemulihan setelah proses persalinan, khususnya post sectio caesarea. faktor psikologi yaitu dukungan keluarga juga dibutuhkan untuk mengoptimaliasi semua penatalksanaan yang diberikan. kata kunci: coklat hitam, kecemasan, post section caesarea kecemasan merupakan hal normal dan wajar ketika menghadapi suatu masalah. namun rasa cemas menjadi tidak wajar apabila cemas terhadap halhal yang sebenarnya bukan objek penelitian khusus, ketidak mampuan untuk menyesuaikan masalah dan selalu menganggap masalahnya tidak realistis. cemas yang lama menyebabkan gangguan fisik dan psikologi. sectio caesarea atau persalinan sesaria adalah prosedur pembedahan untuk melahirkan janin melalui sayatan perut dan dinding rahim. operasi ini semakin meningkat sebagai tindakan akhir dari berbagai kesulitan persalinan. indikasi yang banyak dikemukakan adalah persalinan lama sampai persalinan macet, ruptura uteri iminens, gawat janin, janin besar, dan perdarahan antepartum. namun sekarang banyak operasi tidak pada indikasinya, kenyataannya banyak operasi saat ini dilakukan atas permintaan pasien meskipun tanpa alasan medis. mereka umumnya memilih melakukan operasi acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p131-135 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 132 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 131–135 karena takut kesakitan saat melahirkan secara normal. alasan lain adalah mereka lebih mudah menentukan tanggal dan waktu kelahiran bayinya. selain itu, mereka juga ketakutan organ kelaminnya rusak setelah persalinan normal (wiknjosastro, 2005). dark chocolate merupakan salah satu jenis dari olahan coklat murni yang kaya akan manfaat. makanan yang digemari oleh sebagian besar penduduk dunia dan sudah dikenal sejak dahulu kala ini memiliki berbagai efek seperti meningkatkan kewaspadaan, bekerja sebagai opiat alami sehingga bisa mengurangi rasa sakit, pereda batuk, dan menimbulkan rasa senang sehinngga kecemasan menurun. selain itu konsumsi coklat 1 ½ oz (43 gr) per hari dapat menurunkan stres pada orang yang sehat. produk coklat dibagi menjadi coklat hitam (dark chocolate), coklat susu (milk chocolate), dan coklat putih (whitechocolate). beberapa kandungan dalam coklat seperti kafein, teobromin, tiramin & teobromin menstimulasi otak dengan menghambat penyerapan adenosin, sedangkan pea dan flavanol meningkatkan aliran darah ke otak menyebabkan lebih banyak oksigen yang masuk ke dalam otak, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan serta omega 3 yang mengandung senyawa kimia anti nyeri. jenis coklat yang memiliki kandungan kimia tersebut paling tinggi adalah coklat hitam. menurut penelitian terdahulu, mengkonsumsi produk coklat dapat mengurangi rasa nyeri kognitif selama 1-2 jam. permasalahan yang ditemukan peneliti dilahan adalah banyaknya ibu post sectio caesarea mengalami rasa cemas karena nyeri yang dialami, sehingga pada hasil studi pendahuluan yg dilakukan pada bulan februari di rsud ngudi waluyo wlingi terdapat 11 orang ibu post sectio caesarea baik primi maupun multi mengalami kecemasan karena rasa sakit yang dialami. dari permasalahan yang ditemukan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “pengaruh konsumsi dark chocolateterhadap kecemasan pada ibupost section caesarea”. bahan dan metode pada penelitian ini menggunakan pra-eksperimental dengan pendekatan quasy eksperimental design. populasi dalam penelitian ini adalah ibu post operasi sectio caesarea hari ke 2 setelah pembedahan section caesarea di rsud ngudi waluyo wlingi sebanyak 8 responden pada 14 agustus sampai dengan 14 september 2015. teknik sampling yang digunakan a dala h accidental sampling dengan kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu yang bersedia untuk diteliti dan ibu yang tidak mengalami komplikasi setelah pembedahan dilakukan dan kriteria eksklusi dalam penelitan ini adalah ibu dengan post sectio caesarea yang meninggal dunia dan pasien yang pulang paksa. variabel bebas penelitian ini adalah dark chocolate sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah kecemasan pada ibu post section caesarea. untuk pengukuran kecemasan pada ibu post section caesarea menggunakan kuisioner (hars) hamilton scale for anciety. untuk analisis data menggunakan uji wilcoxon (wilcoxon sign rank test). hasil penelitian hasil penelitian meliputi karakteristik balita dan data khusus penelitian. tabel 1. distribusi karakteristik responden di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi pada tanggal 14 agustus s/d 14 september 2015 n o karakteristik f (%) 1 umur < 20 21-30 31-40 >40 1 2 4 1 12,5 25 50 12,5 2 pendidikan smp sma 6 2 75 25 3 pekerjaan irt buruh 6 2 75 25 4 informasi tentang dark chocolate. pernah tidak pernah 4 4 50 50 5 sumber informasi med ia masa tidak pernah 4 4 50 50 6 jumlah parietas 1 2 3 4 1 4 2 1 12,5 50 25 12,5 tabel 2. identifikasi tingkat kecemasan responden sebelum mengkonsumsi dark chocolate di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi pada tanggal 14 agustus s/d 14 september 2015 no status gizi f (%) 1 ringan 1 12,5 2 sedang 7 87,5 3 berat 0 0 133oktavia dan ulfa, pengaruh konsumsi dark chocolate ... pembahasan kecemasan responden sebelum mengkosumsi dark chocolate berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa hampir seluruh 87,5% responden memiliki kecemasan sedang sebelum mengkonsumsi dark chocolate sedangkan 12,5% memiliki tingkat kecemasann ringan sebelum mengkonsumsi dark chocolate. hal tersebut menunjukkan bahwa responden memiliki kecemasan sedang sebelum mengkonsumsi dark chocolate sehingga kecemasan yang dialami oleh responden adalah suatu kondisi yang dialami individu karena medapatkan rasa kurang nyaman setelah pembedahan sectio caesarea, kecemasan juga dapat diketahui melalui tanda-tanda vital yang dapat dilihat dari perubahan denyut nadi,dan tekanan darah. hal ini ditunjang berdasarkan sumber teori pieter, 2010 yang menyatakan bahwa kecemasan adalah respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. seseorang bisa menjadi cemas karena tidak mampu mengatasi stresor yang dihadapinya. dalam operasi section caesarea yang dilakukan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus (sarwono, 2009) tentu akan menimbulkan rasa cemas tersendiri dikarenakan ibu takut terhadap komplikasi-kompliksi lain atau bekas luka jahitan yang tidak kunjung kering, ketakutan-ketakutan inilah yang membuat ibu merasakan kecemasan. berdasarkan umur ibu diketahui setengah dari responden (49%) berumur 31–40 tahun mengalami kecemasan sedang. umur yang sudah cenderung tua lebih mudah untuk mengatasi keadaan emosionalnya sehingga ibu tidak mudah mengalami stress dan kecemasan. hal ini sesuai dengan pendapat muchtar, 2007. semakin cukup tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang pula dalam pemikirannya. hasil penelitian menunjukkan bahwa setegah dari responden (50%) pernah mendapatkan informasi tentang dark chocolate. pernah tidaknya seseorang mendapatkan informasi juga mempengaruhi tingkat pemahaman ibu terhadap hubungan konsumsi dark chocolate dengan kecemasan pada ibu post sectio caesarea. hal ini sesuai dengan pendapat santrock yang menyatakan adanya informasi yang kurang lengkap yang diterima seseorang akan mengurangi pemahaman seseorang terhadap informasi tersebut. berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (62,5%) berpendidikan smp. adanya variasi pendidikan dari responden mengakibatkan kemampuan seseorang terhadap pemahaman sesuatu juga akan berbeda. hal ini sesuai dengan pendapat mubarok 2007 yang menyatakan bahwa tidak selalu pendidikan tinggi dapat mendukung secara langsung tentang pemahaman, kemampuan dan aplikasi seseorang ter hadap sesuatu. kecemasan responden setelah konsumsi dark chocolate berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa seluruh 100% responden memiliki kecemasan ringan pada post sectio caesarea setelah mengkonsumsi dark chocolate. kecemasan yang dialami ibu setelah mengkonsumsi dark chocolate mengalami penurunan 87,5% hal ini dikarenakan nutrisi yang ada dalam dark chocolate sudah dipecah dan dimetabolisme dalam tubuh sehingga system saraf dapat mengelola dan menurunkan kecemasan. menurut pandangan psikoanalisis sumber kecemasan adalah konflik yang tidak disadari oleh seseorang, dan menurut pandangan kognitif-behavioral adalah proses pikir seseorang yang menyimpang. perempuan lebih banyak mengalami deprisi dan tabel 3. identifikasi tingkat kecemasan responden sesudah mengkonsumsi dark chocolate di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi pada tanggal 14 agustus s/d 14 september 2015 no p erkembangan f (%) 1 ringan 8 100 2 sedang 0 0 3 berat 0 0 tabel 4. pengaruh konsumsi dark chocolate terhadap kecemasan pada ibu post sectio caesarea di ruang cempaka rsud ngudi waluyo pada tanggal 14 agustus s/d 14 september 2015 kecemasan post total ringan kecemasan pre ringan f 1 1 % 12.5% 12.5% sed ang f 7 7 % 87.5% 87.5% total f 8 8 % 100.0% 100 .0% 134 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 131–135 kecemasan. perempuan tampak lebih cemas dibandingkan laki-laki ketika menghadapi suatu kejadian, hal ini dikarenakan seorang perempuan terkadang lebih sering menggunakan perasaan daipada pemikiran, sehingga menyebabkan seorang perempuan belum mampu memendang susuatu permaslahan secara realistis yang akhirnya menimbulkan suatu kecemasan yang berlebihan. kecemasan juga dipengaruhi oleh umur. umur ibu diketahui berdasarkan tabel 4.2 bahwa sebagian besar responden (25%) berusia 21-30 kecemasan ringan. umur yang lebih muda lebih mudah mengalami stres daripada yang tua karena secara emosional belum matang. hal ini menunjukkkan bahwa semakin muda usia seseorang, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialalmi hal yang demikian dikarenakan belum matangnya emosional seseorang. apalagi responden belum pernah mengalami hal yang buruk mengenai kejadian pasca operasi sectio caesarea. berdasarkan table 2 menunjukkan responden dengan pendidikan sma memiliki kecemasan ringan pada post sectio caesarea sma 37,5 %, smp 62,5% dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah atau yang tidak berpendidikan. dengan pendidikan yang baik tentunya menjadikan responden lebih mengerti dan memahami resiko yang akan didapatkan jika mengkonsumsi dark chocolate. pendidikan ibu juga akan berperan dalam proses penerimaan informasi. apabila informasi yang disampaikan sudah benar tetapi dalam penerimaan informasi ibu tidak meerima informasi itu dengan baik,maka penurunan kecemasa pada ibu juga akan terhambat. dalam penelitian ini didapatkan responden berjumlah 12,5% menga lami kecemasan ringan dikarenakan ibu sudah pernah menglami persalinan dengan metode operasi section caesarea. trauma ibu di persalinan yang lalu juga mengakibatkan beberapa responden tenang dalam menghdapi persalinan sc. selain beberapa hal di atas, faktor psikologi juga dapa t mempenga r uhi kecema sa n responden. bentuk-bentuk perubahan psikis ibu post sc yang menyebabbkan kecemasan adalah kekwatiran dan emosional,cenderung sensitif dan ketidaknyamanan pada sesuatu (oxorn, 2010). pengaruh konsumsi dark chocolate terhadap kecemasan pada ibu post sectio caesarea berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden sebelum mengkonsumsi dark chocolate mendapati 87,5% kecemasan sedang, sedangkan responden yang telah mengkonsumsi dar k chocolate adala h 100% dan mengalami kecemasan ringan. hasil uji wilcoxon = 0,008 yang artinya bahwa ho diterima sehingga ada hubungan konsumsi dark chocolate dengan kecemasan pada ibu post sectio caesarea yang artinya dengan ibu mengkonsumsi dark chocolate dapat menurunkan tingkat kecemasan pada ibu post sectio caesarea. proses pembedahan yang dialami responden membuatnya merasa tidak nyaman dan merasakan kecemasan akibat luka bekas jahitan pada operasi yang dirasa sakit dan nyeri. setiap individu memiliki tingkat kecemasan yang berbeda-beda hal ini dikarenakan oleh faktor umur,jenis kelamin, pendidikan dan trauma persalinan. dalam hal ini banyak sekali metode yang digunakan untuk pengalihan atau untuk mengurangi kecemasan diataranya ada dengan terapi hypno, terapi musik dan berbagai metode lainnya. namun disini peneliti mencoba untuk memberikan dark chocolate yang dipercaya dapat menurunkan tingkat kecemasan. dalam hasil penelitian ini dengan memberikan dark chocolate kepada respoden untuk dikonsumsi bahwa terdapat penurunan pada tingkat kecemasan respoden. pernah tidaknya seseorang mendapatkan informasi juga berperan penting utuk mengurangi kecemasan dan mempengaruhi cara pandang serta sugesti seseorang,sehingga tubuh ibu merespon baik dengan diberikan dark chocolate ini karena ibu menerima informasi tentang manfaat dark chocolate ini degan baik. perlu diperhatikan dari mana dan dari siapa sumber informasi yang didapatkan oleh ibu, karena jika informasi yang didapat merupakan dari sumber informasi yang benar dan dari seseorang yang sudah memahami, maka akan merubah cara pandang ibu menjadi lebih baik begitu juga sebaliknya. pendidikan ibu juga akan berperan dalam proses penerimaan informasi. apabila informasi yang disampaikan sudah benar tetapi dalam penerimaan informasi ibu tidak meerima informasi itu dengan baik,maka penurunan kecemasa pada ibu juga akan terhambat. 135oktavia dan ulfa, pengaruh konsumsi dark chocolate ... mengkonsumsi dark chocolate dipercaya baik untuk kesehatan dan untuk menurunkan tingkat stress dan depresi seseorang, tentunya harus mengetahui hal-hal ataupun larangan pada seseorang yang tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsinya. simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini adalah adanya tersebut menunjukkan bahwa ada pengaruh konsumsi dark chocolate terhadap kecemasan ibu post sectio caesarea di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi. selain itu, terdapat hubungan positif yang kuat antara konsumsi dark chocolate dengan kecemasan pada ibu post sectio caesarea yang ditunjukkan dengan uji statistik uji wicoxon menunjukkan nilai p value = 0,008, sehingga nilai p value 0,008 <  = 0,05. saran saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah ketenangan dan rasa nyaman bagi ibu post partum terutama post sc sangat berguna dalam proses pemulihan, sehingga bagi tenaga medis maupun keluarga hendaknya memberikan sepenuhnya perhatian yang lebih, sehingga proses pemulihan ibu post parum akan lebih cepat dan tanpa komplikasi. daftar rujukan mochtar, rustam. 2007. edisi 2. sinopsis obstetri. jakarta: egc. oxorn, harry & forte, william, r. 2010. ilmu kebidanan patologi dan fisiologi persalinan. yogyakarta: yem. prawirohardjo, sarwono. 2009. ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. wiknjosastro. 2005. ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. d:\set 2017\set nanik juni 2017 17monica, hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil ... 17 hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt (the correlation of knowledge and attitude of pregnant mother’s in tetanus toxoid immunization) laily prima monica prodi d3 kebidanan, stikes patria husada blitar email: lailyprima06@gmail.com abstract: tt immunization program of pregnant mother in indonesia usually given twice, because it is not yet fully immunized (5 times). the fertile women existed today are the generation who have not undergone a complete immunization of tetanus yet. the purpose of the study was to know the correlation of knowledge and the attitude of pregnant in completing tt immunization at bpm sri sulikah gogodeso village kanigoro district blitar regency. this study used a corrective analytic with cross sectional approach. the population in this study was pregnant mothers at bpm sri sulikah gogodeso village of blitar regency. the sample was 17 respondents. this study used purposive sampling. the correlation test used chi square. the result of the research was mother knowledge was in good category as much as 6 respondents (35,3%), 11 respondents (64,7%) fair category, and the attitude of immunization tt implementation on pregnant mother have positive attitude as many as 10 respondents (58,8%) and 7 respondents (41,2% ) have a negative attitude. the result of chi square correlation test showed that  = 0,011 ( = 0,05) so it could be concluded that there was a correlation of immunization tt knowledge and attitude of immunization tt implementation of pregnant mother in bpm sri sulikah gogodeso village blitar regency. with the results of this study, it was expected that mothers were more active in improving the understanding the tt immunization and could establish good cooperation between clients, especially pregnant women and midwives. keywords: knowledge, tt immunization, attitude abstrak: program imunisasi tt pada wanita hamil di indonesia, biasanya diberikan 2 kali, karena dianggap belum terimunisasi secara sempurna (5 kali). wanita usia subur yang sekarang ada adalah generasi yang belum menjalani imunisasi lengkap tetanus. tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar. penelitian ini menggunakan analitik koresional dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil di bpm sri sulikah desa gogodeso kabupaten blitar. jumlah sampel penelitian 17 responden. penelitian ini menggunakan purposive sampling. uji korelasi menggunakan chi square. hasil penelitian didapatkan pengetahuan ibu baik sebanyak responden (35,3%), responden (64,7%) pengetahuan cukup, dan sikap pelaksanaan imunisasi tt pada ibu hamil mempunyai sikap positif responden (58,8%) dan responden (41,2%) mempunyai sikap negative. hasil dari uji korelasi chi square menunjukkan  = 0,011 (=0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan imunisasi tt dengan sikap pelaksanaan imunisasi tt pada ibu hamil di bpm sri sulikah desa gogodeso kabupaten blitar. dengan adanya hasil penelitian ini , diharapkan pada ibu lebih aktif dalam meningkatkan pemahaman imunisasi tt dan dapat menjalin kerjasama yang baik antara klien khususnya ibu hamil dan bidan. kata kunci: pengetahuan, imunisasi tt, sikap acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p017-022 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 18 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 17–22 penyakit tetanus merupakan masalah yang serius dan dapat berakibat pada kematian.penyakit ini dapat mengenai semua umur, tetapi lebih sering terjadi pada bayi baru lahir atau disebut tetanusneonatorum. tetanus masih merupakan penyebab kematian dan kesakitan maternal dan neonatal. permasalahan utama yang dihadapi adalah rendahnya kualitas kesehatan penduduk yang antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi, anak balita, dan ibu maternal, serta tingginya proporsi balita yang menderita gizi kurang; penanganan tetanus neonatorum memang tidak mudah, sehingga yang terpenting adalah usaha pencegahan, yaitu pertolongan persalinan yang higienis ditunjang dengan imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil. (depkes ri, 2010). berdasarkan profil data kesehatan indonesia 2011, cakupan imunisasi tt di propinsi jawa timur, pada tahun 2011, tt1 sebanyak 328.274 jiwa (4,48%), tt2 sebanyak 267.332 jiwa (3,65%) dari total 6.332.651 ibu hamil.berdasarkan laporan dari kabupaten/kota blitar, pada tahun 2012 terdapat 30 kasus tetanus dan 11 kasus tetanus neonatorum. (kemenkes ri, 2012). selama kehamilan seorang ibu mengalami perubahan fisik dan juga rentan terhadap komplikasi pada kehamilanya. pengetahuansangat diperlukan bagi seseorangterutama bagi ibu hamil untuk mengetahui kondisi kehamilannya.apabila seorang ibu tidak memiliki pengetahuan yang baik dan akan memberikan efek negatif pada ibu dan bayi serta efek paling buruk adalah kematian ibu dan bayi. ibu hamil merupakan wanita yang mengandung janin dalam rahimnya karena mengalami pembuhan oleh sel telur dan spermatozoa. ibu hamil adalah seorang perempuan yang sedang mengandung. kehamilan adalah suatu masa di mana seorang wanita membawa embrio atau fetus di dalam tubuhnya. dalam kehamilan dapat terjadi banyak gestasi, misalnya dalam kasus kembar, atau triplet. kehamilan merupakan impian setiap wanita dan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan seorang ibu. proses ini diawali dengan adanya pembuahan (konsepsi), masa pembentukan bayi dalam rahim, dan diakhiri oleh lahirnya sang bayi (prawirohardjo, 2009). berdasarkan catatan pembukuan kohort ibu hamil di bidan sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tahun 2015 tercatat dari bulan januari-nopember tahun 2015, ada 33 persalinan dan 25 ibu telah mendapatkan imunisasi tt lengkap dan 7 ibu belum mendapatkan imunisasi tt lengkap. berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik mengambil judul hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar. berdasarkan profil data kesehatan indonesia 2011, cakupan imunisasi tt di propinsi jawa timur, pada tahun 2011, tt1 sebanyak 328.274 jiwa (4,48%),tt2 sebanyak 267.332 jiwa (3,65%) dari total 6.332.651 ibu hamil. berdasarkan laporan dari kabupaten/kota blitar, pada tahun 2012 terdapat 30 kasus tetanus dan 11 kasus tetanus neonatorum. (kemenkes ri, 2012). penyakit tetanus merupakan masalah yang serius dan dapat berakibat pada kematian.penyakit ini dapat mengenai semua umur, tetapi lebih sering terjadi pada bayi baru lahir atau disebut tetanusneonatorum. tetanus masih merupakan penyebab kematian dan kesakitan maternal dan neonatal. permasalahan utama yang dihadapi adalah rendahnya kualitas kesehatan penduduk yang antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian bayi, anak balita, dan ibu maternal, serta tingginya proporsi balita yang menderita gizi kurang; penanganan tetanus neonatorum memang tidak mudah, sehingga yang terpenting adalah usaha pencegahan, yaitu pertolongan persalinan yang higienis ditunjang dengan imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil. (depkes ri, 2010). selama kehamilan seorang ibu mengalami perubahan fisik dan juga rentan terhadap komplikasi pada kehamilanya. pengetahuansangat diperlukan bagi seseorangterutama bagi ibu hamil untuk mengetahui kondisi kehamilannya.apabila seorang ibu tidak memiliki pengetahuan yang baik dan akan memberikan efek negatif pada ibu dan bayi serta efek paling buruk adalah kematian ibu dan bayi. ibu hamil merupakan wanita yang mengandung janin dalam rahimnya karena mengalami pembuhan oleh sel telur dan spermatozoa. ibu hamil adalah seorang perempuan yang sedang mengandung. kehamilan adalah suatu masa di mana seorang wanita membawa embrio atau fetus di dalam tubuhnya. dalam kehamilan dapat terjadi banyak gestasi, misalnya dalam kasus kembar, atau triplet. kehamilan merupakan impian setiap wanita dan merupakan salah satu cara untuk mencapai kesempurnaan seorang ibu.proses ini diawali dengan adanya pembuahan (konsepsi), masa pembentukan bayi dalam rahim, dan diakhiri oleh lahirnya sang bayi (prawirohardjo, 2009). 19monica, hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil ... berdasarkan catatan pembukuan kohort ibu hamil di bidan sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tahun 2015 tercatat dari bulan januari-nopember tahun 2015, ada 33 persalinan dan 25 ibu telah mendapatkan imunisasi tt lengkap dan 7 ibu belum mendapatkan imunisasi tt lengkap. berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik mengambil judul hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar. tujuan dalam penelitian ini adalah: 1) untuk mengidentifikasi pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar, 2) mengidentifikasi sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro, 3) menganalisis hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar. bahan dan metode pada penelitian ini merupakan penelitian analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu pengetahuan ibu hamil dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua ibu hamilyang ada di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 16-20 november 2015. sampel merupakan bagian populasi yang akan di teliti atau sebagian jumlah dari karateristik yang di miliki oleh populasi (hidayat, 2012). adapun sampel dalam penelitian ini adalah ibu hamil sebanyak 17 orang di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar dan pernah diberikan imunisasi tt. teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling. total sampling adalah teknik pengambilan sampel sesuai dengan kriteria (sugiyono, 2007). instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner berupa pertanyaan tertutup, sesuai dengan variabel yang diukur. untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar. digunakan uji kolerasi chi square dengan tingkat kemaknaan = 0,05 dengan menggunakan spss versi 21 for windows. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. pembahasan pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar dari hasil penelitian yang dilaksanakan di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar didapatkan menunjukkan bahwa sebagian besar responden (64,7%) berpengetahuan cukup tentang imunisasi tt. tabel 2 sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro no pengetahuan f prosentase 1 positif 10 58,8 2 negatif 7 41,2 jumlah 17 100 tabel 1 pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar no pengetahuan f prosentase 1 baik 6 35,3 2 cukup 11 64,7 3 kurang 0 0,0 jumlah 17 100 tabel 3 tabulasi silang hubungan pe ngetahun dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro f % f % f % baik 6 35,3 0 0,04 6 35,3 cukup 4 24,5 7 1,2 11 64,7 kurang 0 0,0 0 0,0 0 0,0 total 10 58,8 7 35,0 17 100,0 pengetahuan sikap totalpositif negatif 20 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 17–22 berdasarkan hasil penelitian menunjukkan seperempat responden (35,3%) berumur >35 tahun. responden memiliki kematangan dalam berpikir dan sudah mampu memahami atau mengerti tentang imunisasi tt. semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh umur, dengan bertambahnya umur seseorang akan berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya. semakin tua umur seseorang maka proses-proses per kemba nga n menta lnya ber ta mba h ba ik (notoadmodjo, 2005). responden semakin dikuatkan dengan status paritas yang ibu miliki, dari hasil penelitian terdapat (29,4%) responden sudah memiliki anak kedua, sehingga sebagian sudah mendapatkan informasi tentang imunisasi tt. responden berdasarkan pendidikan terakhir ibu hamil sebagian besar adalah berpendidikan terakhir sma, yaitu responden (58,8%). meskipun pendidikan terakhir ibu sebagian besar sma,tetapi pendidikan kesehatan tentang imunisasi tt yang benar tidak diberikan pada saat sma, tetapi banyaknya ketersediaan sumber-sumber dan fasilitas yang mudah diakses untuk mengetahui tentang imunisasi tt yang benar. responden berdasarkan informasi tentang imunisasi tt yang benar terdapat (94,1%) mendapat informasi dari petugas kesehatan, (5,9%) dari media informasi, (0,0%) mendapat informasi dari teman, (0,0%) mendapatkan informasi dari keluarga dan (0,0%) belum pernah mendapatkan informasi. hal ini dikarenakan ibu hamil sudah mempunyai pengalaman sebelumnya pada waktu persalinan pertama sehingga responden kebanyakan mendapatkan informasi dari petugas kesehatan. dari hasil penelitian yang ada, ibu hamil yang ada di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada saat penelitian didapatkan bahwa pengetahuan ibu tentang imunisasi tt sudah banyak yang benar karena ibu sudah mendapatkan informasi dari pengalaman ibunya sendiri yang didapat dari petugas kesahatan, teman, media informasi dan keluarga. sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro dari hasil penelitian yang dilaksanakan di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 16 20 november 2015 didapatkan menunjukkan bahwa sebagian besar responden (58,8%) mempunyai sikap positif tentang imunisasi tt. sikap merupakan suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. faktor-faktor yang mempengaruhi sikap antara lain faktor internal yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan seperti selektivitas dan pengalaman pribadi serta faktor eksternal yang merupakan faktor diluar manusia atau lingkungan (azwar,2011). sikap positif berarti sudah ada kemajuan pada ibu dalam melakukan kelengkapan imunisasi tt dalam sikap positif ini dipengaruhi juga oleh lingkungan. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden (64,7%) merupakan ibu rumah tangga (irt). pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan. lingkungan memberikan pengaruh sosial pertama bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik, juga hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya (azwar,2011). ibu rumah tangga (irt) memiliki waktu yang longgar sehingga dapat menggunakan waktunya untuk mempelajari tentang imunisasi tt. namun ibu juga memiliki lingkungan sosial yaitu keluarga dan teman yang sama-sama saling memberikan informasi mengenai imunisasi tt. lingkungan merupakan pengaruh sosial bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung sifat seseorangnya sendiri.dalam lingkungan, seorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh terhadap cara berfikir. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar dari responden (94,1%) mendapatkan informasi melalui petugas kesehatan tentang imunisasi tt. salah satu faktor yang mempengaruhi sikap adalah semakin bertambahnya informasi semakin bertambahnya pula pengetahuan yang didapat. semakin banyak pengetahuan akan mempengaruhi responden dalam berfikir dan bersikap mengenai imunisasi tt. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden (58,8%) berpendidikan sma. dengan memiliki pendidikan yang cukup, responden akan memahami tentang imunisasi tt. hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh azwar (2011) bahwa pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, pengalaman, 21monica, hubungan pengetahuan dengan sikap ibu hamil ... pengaruh orang lain yang dianggap penting, faktor emosi dan media massa. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa setengah responden (11,8%) berumur < 20 tahun. untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. karena itu sikap akan mudah terbentuk. pengalaman pribadi akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial (azwar,2011). dengan semakin matangnya umur akan semakin meningkatkan pengalaman seseorang dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya sendiri. hubungan antara pengetahun dengan sikap ibu hamil dalam melengkapi imunisasi tt di bpm sri sulikah gogodeso kecamatan kanigoro berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa setengah lebih responden (64,7%) berpengetahuan cukup dan berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa sebagian besar responden (58,8%) bersikap positif. berdasarkan uji statistik chi square didapatkan value = 0,013. hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan pengetahuan tentang imunisasi tt dengan sikap pelaksanaan imunisasi tt pada ibu hamil. namun ada terdapat (35,3%) responden sudah berpengetahuan baik dan (41,2%) yang mempunyai sikap negatif, hal ini disebabkan oleh perbedaan umur, kecerdasan dan penerimaan. ada hubungan antara sikap dengan pengetahuan ibu hamil ini mengindikasikan adanya pengaruh pengetahuan dalam mewujudkan sebuah sikap seseorang. hubungan yang konsisten antara komponen afektif dengan komponen kognitif memberi arti bila seorang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek maka indek kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya. pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dalam menentukan sikap (azwar,2011). pengetahuan yang cukup memberikan kecenderungan ibu hamil yang memiliki sikap negatif atau cenderung tidak menganggap penting adanya imunisasi tt. pengetahuan yang dimiliki ibu hamil adalah baik tentang imunisasi tt. ada hubungan yang konsisten antara komponen afektif dengan kognitif. ini berarti bila seseorang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek maka indek kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya (azwar,2011). semakin bertambah usia, maka proses-proses perkembangan mentalnya makin bertambah baik, akan tetapi pada umur-umur tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak seperti ketika umur belasan. bahkan pada usia yang sangat lanjut, prosesproses perkembangan (bukan dalam arti perubahan) praktis sudah tidak ada. jadi bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada penambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu akan menjelang lanjut kemampuan mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. (azwar, 2011). sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang ber sifat emosiona l ter hada p stimulus sosia l (notoatmodjo, 2010). sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon (azwar, 2011). jadi dari hasil yang sudah ada dan diteliti responden sudah mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan maupun dengan social media untuk mengetahui lebih lanjut mengenai imunisasi tt secara keseluruhan dan bersikap kritis untuk kesehatan ibu dan anak. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut ini: 1) pengetahuan ibu hamil tentang imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar hampir seluruh responden (64,7%) dalam kategori cukup, 2) sikap pelaksanaan ibu hamil tentang imunisasi tt di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar sebagian besar responden (58,8%) memiliki sikap positif, 3) dari hasil analisa dengan uji chi square didapatkan hasil  value = 0,013 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan pengetahuan imunisasi tt dengan sikap pelaksanaan imunisasi tt pada 22 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 17–22 ibu hamil di bpm sri sulikah desa gogodeso kecamatan kanigoro kabupaten blitar. saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin memberikan saran sebagai berikut : a) bagi tempat penelitian, dapat menjalin kerja sama yang baik antara responden khususnya pada ibu ha mil da n bida n hendaknya da pa t memberikan dan meningkatkan fasilitas kepada ibu hamil dalam hal pengetahuan dan sikap tentang imunisasi tt. b) bagi responden, diharapkan dengan penelitian ini, ibu bermotivasi lebih aktif dalam meningkatkan pemahaman tentang imunisasi tt melalui tempat kesehatan terdekat seperti bpm, puskesmas ataupun melalui media massa maupun media elektronik sehingga ibu dapat meningkatkan kemampuan.c) bagi institusi kesehatan, profesi kesehatan yang terutama pada bidang kebidanan hendaknya lebih meningkatkan kerjasama dan aktif dalam memberikan konseling, informasi dan edukasi tentang imunisasi tt dilingkungan pendidikan secara berkala. disarankan agar menjadikan hasil penelitian ini sebagai tambahan referensi dan wacana dilingkungan pendidikan serta sebagai bahan kajian lebih lanjut khususnya untuk penelitian yang sejenis. diharapkan institusi lebih banyak menyediakan referensi tentang motivasi sehingga dapat mempermudah pada penelitian selanjutnya yang ingin melanjutkan penelitian tentang topic karya tulis ilmiah ini. d) bagi peneliti selanjutnya kesempurnaan penelitian terkait topik tingkat kehadiran dan motivasi ibu yang mempengaruhinya, hendaknya peneliti lanjutkan dengan melakukan uji coba terlebih dahulu terhadap instrumen penelitian agar validitas dan releabilitasnya dapat diterima sehingga hasilnya bisa representative serta diharapkan peneliti selanjutnya bisa mengembangkan penelitian ini dengan meneliti hubungan faktor lain dengan hubungan pengetahuan dan sikap. daftar rujukan arikunto, suharsimi.2010. prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. jakarta: pt. rineka cipta. azwar. 2011. sikap manusia. yogyakarta: pustaka pelajar. depkes ri. 2006. panduan imunisasi tt. jakarta: direktorat bina imunisasi. depkes ri. 2008. cakupan imunisasi tt. http://www. depkes ri. go. id/ di akses tanggal 8 juli 2015. depkes ri. 2010. imunisasi tt. http://www.depkes ri.go. id/ di akses pada tanggal 8 juli 2015. hi da ya t, az is ali mul .2009. me tode penel it ian kebidanan dan teknik analisis data. jakarta: salemba medika. kemenkes ri. 2013. profil data kesehatan indonesia 2011. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. korompis, grace e.c.2014. biostastistika untuk keperawatan. jakarta: egc. mochtar, r.1998. sinopsis obstetri fisiologi patologi edisi2. jakarta: buku kedokteran egc. notoatmodjo, s.2005. metode penelitian kebidanan dan teknik analisis kesehatan.yogyakarta: andi offset. not oatm odjo, s. 2012. promosi kesehat an dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam.2011. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 42 tahun 2013 tentang penyelenggaraan imunisasi. prawirohardjo, s. 2009. ilmu kebidanan edisi 4. jakarta: buku kedokteran egc. ranuh, i.g.n., soeyitno,h., hadinegoro & kartasamita, c (2005). pedoman imunisasi di indonesia. jakarta: satgas imunisasi ikatan dokter anak indonesia. sugiyono. 2011. statistika untuk penelitian. bandung: alfabeta 126 hubungan jenjang pendidikan ibu dengan kebiasaan memberikan mp-asi (relationship between educational level with the habbit to give mp-asi) endang maryani dan intin ananingsih stikes patria husada blitar e-mail: intin_ananingsih@yahoo.com abstract: the process of giving of mp-asi is one diet that formed by person's eating habits and culture. in the process of giving mp-asi, education level takes an important role on it. method: the research design was correlational design. the research sample was 20 mothers in posyandu dayu village, nglegok subdistric, blitar. it was choosen using total sampling. the data was collected using questionnaire. the data was analysed using spearman rank test. result : the results showed by spearman rank correlation (rho) that the p value = 0,006. discussion : based on the results of the research it could be expected that mothers with 6-9 months baby more active to increase their knowledge in mp-asi from electronic and mass media so that they could increase their capability of providing mp-asi in the baby 6-9 months. . keywords : education level, mp-asi makanan utama untuk bayi adalah air susu ibu (asi). asi mempunyai keunggulan yang tak tergantikan oleh makanan dan minuman apapun. namun, setelah bayi berumur 6 bulan, pemberian asi saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi yang aktifitasnya sudah cukup banyak. pada umur 6 bulan, berat badan bayi yang normal sudah mencapai 2-3 kali berat badan saat lahir. pesatnya pertumbuhan bayi perlu dibarengi dengan pemberian kalori dan gizi yang cukup. oleh karena itu, selain asi, bayi pada umur 6 bulan juga perlu diberi makanan tambahan disesuaikan dengan kemampuan lambung bayi untuk mencerna makanan (prabantini, 2010:2). pemberian makanan pendamping asi (mp-asi) plus asi hingga bayi berumur 2 tahun sangatlah penting bagi bayi. beberapa riset belakangan ini menghasilkan banyak hal yang menegaskan bahwa mp-asi sebaiknya di berikan setelah bayi berumur 6 bulan. setelah 6 bulan, pemberian asi saja hanya memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan bayi. dengan kata lain, bayi membutuhkan makanan pendamping asi (mp-asi). selain itu, bila mp-asi tidak segera diberikan, masa kritis untuk mengenalkan makanan padat yang memerlukan keterampilan mengunyah (6-7 bulan) dikhawatirkan akan terlewati. bila ini terjadi, di kemudian hari bayi akan mengalami kesulitan untuk menelan makanan, atau akan menolak makanan bila di beri makanan padat (aminati, 2013:48) berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di posyandu balita desa dayu kecamatan nglegok pada 9 ibu yang mempunyai bayi berusia 6-9 bulan, dengan teknik wawancara diperoleh hasil bahwa ada 7 orang ibu yang memberikan mpasi pada bayinya meskipun umurnya masih belum mencapai 6 bulan. padahal apabila pemberian makanan pendamping asi yang terlalu dini mailto:intin_ananingsih@yahoo.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p118-122 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ maryani dan ananingsih, hubungan jenjang pendidikan ibu…127 yaitu dibawah usia 6 bulan akan berdampak buruk bagi kesehatan bayi terutama sistem pencernaannya (prabantini, 2010:7). selain itu ada 2 orang ibu yang tidak memberikan mpasi kepada anaknya meskipun usia anak sudah lebih dari 6 bulan dengan alasan asinya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya. pemberian mp-asi merupakan salah satu pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan kebiasaan makan seseorang. dalam pemberian mp-asi pendidikan seseorang sangatlah berpengaruh, seseorang yang pendidikannya rendah cenderung memiliki prinsip dalam memberikan makanan yang penting mengenyangkan, sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lain. sedangkan seseorang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain (sulistyoningsih, 2011:5254). selain itu pemberian mp-asi juga dipengaruhi oleh jumlah anak. ibu yang baru memiliki anak pertama, mereka cenderung memberikan mp-asi anaknya tidak sesuai dengan usinya, teksturnya, dan banyaknya mpasi yang diberikan dengan alasan tidak tahu, karena disuruh orang tua, dan belum berpengalaman. sedangkan untuk ibu yang memiliki anak lebih dari satu dan masih kecil, mereka cenderung memberikan mp-asi kepada anaknya asal diberi, yang terpenting anak kenyang dan tidak rewel dikarenakan repot dan harus mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. berdasarkan masalah diatas tersebut menunjukkan bahwa pemberian mp-asi masih belum sesuai diberikan kepada anak. melihat fenomena yang terjadi di masyarakat maka penulis tertarik meneliti mengenai hubungan jenjang pedidikan ibu dengan kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan. rumusan masalahnya adalah adakah hubungan jenjang pedidikan ibu dengan kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan di posyandu balita desa dayu kecamatan nglegok kabupaten blitar. tujuan umumnya adalah mengetahui hubungan jenjang pedidikan ibu dengan kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi jenjang pendidikan ibu, (2) mengidentifikasi kebiasaan memberikan mpasi umur 6-9 bulan, (3) menganalisa hubungan jenjang pendidikan ibu dengan kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan. manfaat penelitian secara praktis adalah dapat digunakan sebagai masukan dalam umumnya mengetahui pentingnya pemberian mp-asi yang sesuai dengan usia anak, sehingga dapat mendeteksi dini pertumbuhan dan perkembangan anaknya. manfaat penelitian secara teoritis adalah dapat menambah pengetahuan dan sebagai pengalaman nyata dalam menyelesaikan tugas karya ilmiah, selain itu peneliti dapat menerapkan ilmu dan teori yang didapat selama proses perkuliahan serta menambah wawasan baru mengenai suatu permasalahan dan mencari pemecahan masalah melalui kerangka pikir yang bersifat ilmiah. bahan dan metode desain penelitian analitik korelasional dengan menggunakan rancangan cross sectional yang merupakan rancangan penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara factorfaktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. subyek penelitian ini keseluruhan dari populasi ibu yang mempunyai bayi mulai umur 6-9 bulan di posyandu balita desa dayu kecamatan nglegok kabupaten blitar sejumlah 21 orang yang memiliki kriteria inklusi dan eksklusi. subyek penelitian ini dipilih secara total sampling. variabel bebasnya adalah jenjang pendidikan ibu. variabel terikatnya adalah kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan. skor yang diperoleh diubah menjadi kategori jenjang pendidikan dan kategori kebiasaan memberikan mp-asi, dan untuk mengetahui pengaruh variable independent dan 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.126-131 dependen menggunakan analisis uji korelasi sperman rank. hasil penelitian karakteristik ibu yang memiliki bayi usia 6-9 bulan. tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f % 1 umur < 20 tahun 6 28,6 20 – 35 tahun > 35 tahun 11 4 52,4 19,0 2 jumlah anak satu 12 57,1 dua 8 38,1 sma 1 4,8 3 pekerjaan irt 16 76,2 swasta wiraswasta 4 19,0 4,8 4 informasi 1 ya 21 100 tidak 0 0 5 sumber informasi petugas kesehatan 17 81 media cetak keluarga / teman 1 3 4,8 14,3 tabel 2. jenjang pendidikan no jenjang pendidikan f % 1 tinggi 1 4,8 2 menengah 11 52,4 3 dasar 9 42,9 tabel 3. kebiasaan memberikan mp-asi no kebiasaan mp-asi f % 1 baik 4 19,0 2 3 3 cukup kurang 12 57,1 3 kurang 5 23,8 berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa ibu yang memiliki jenjang pendidikan menengah dan kebiasaan cukup dalam memberikan mp-asi sebesar 42,9%. hasil uji spearman rank menunjukkan nilai p value = 0,006, sehingga nilai p value 0,006 < 0,05 atau signifikan artinya adanya hubungan antara jenjang pendidikan dengan kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan. selain itu, terdapat hubungan positif yang kuat antara jenjang pendidikan dengan kebiasaan memberikan mp-asi ditandai dengan nilai korelasi r = 0,579. pembahasan jenjang pendidikan ibu berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 52,4% ibu memiliki jenjang pendidikan menengah. jenjang pendidikan menengah ibu ini adalah pendidikan yang setara dengan pendidikan sma. pendidikan ialah segala usaha dari orang tua terhadap anak-anak dengan maksud menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki bertumbuhnya segala kekuatan rohani dan jasmani, yang ada pada anak-anak karena kodrat iradatnya sendiri (notoatmodjo, 2003). adanya pendidikan ibu yang tergolong dalam jenjang pendidikan menengah ini merupakan bentuk dari kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dalam kehidupan. dengan pendidikan yang baik tentunya akan meningkatkan daya nalar, pemahaman mengenai sesuatu dan status ekonomi ibu. pendidikan merupakan suatu upaya dalam mempersiapkan sumber daya manusia (human resource) yang memiliki keahlian dan keterampilan sesuai tuntutan pembangunan bangsa. pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (notoatmodjo, 2003). pendidikan menengah yang dimiliki ibu yang memiliki anak umur 6-9 bulan tentunya mampu mendorong seseorang dalam bertindak dalam hal yang menguntungkan atau merugikan bagi diri sendiri dan keluarganya khususnya dalam hal kesehatan. faktor pendidikan juga menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang diperoleh. seseorang dengan pendidikan tinggi akan mudah menerima informasi kesehatan dari berbagai media dan biasanya ingin selalu berusaha untuk mencari info mengenai hal yang berguna baginya. maryani dan ananingsih, hubungan jenjang pendidikan ibu…129 pendidikan pada jenjang yang menengah ini juga dapat menunjang ibu yang memiliki anak umur 6-9 bulan dalam meningkatkan status ekonomi keluarganya. status ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur status ekonomi keluarga harus melalui variabelvariabel pendapatan keluarga, tingkat pendidikan dan pekerjaan. pendapatan mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan (notoatmodjo, 2005). sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal sehingga mereka akan lebih sulit untuk beraktifitas dan berkreatifitas untuk menambah pendapatan. akan tetapi, dalam data pekerjaan sebagian besar sebagai ibu rumah tangga sehingga mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan dan merawat anaknya untuk mencapai kesehatan yang optimal. kebiasaan memberikan mp-asi berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 57,1% ibu yang memiliki anak umur 6-9 bulan memiliki kebiasaan cukup dalam memberikan mp-asi. kebiasaan merupakan tindakan atau perilaku yang diambil oleh seseorang. notoadmdjo (2003) mengungkapkan perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). adanya kecenderungan kebiasaan yang cukup ini merupakan aktulisasi dari perilaku ibu dalam memberikan mp-asi kepada anaknya. perilaku dipengaruhi oleh 3 factor utama, yaitu:. faktor–faktor predisposisi (predisposing factor), faktor–faktor pemungkin (enabling factor), dan faktor–faktor penguat (reinforcing factor). adanya kebiasaan cukup ini diduga dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu pengalaman, sosial budaya dan status ekonomi responden. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 57,1% ibu yang memiliki anak umur 6-9 bulan memiliki satu anak dan 33,3% memiliki kebiasaan cukup dalam memberikan mp-asi. pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan (notoadmdjo, 2003). responden yang memiliki satu anak tentunya belum memiliki pengalaman dalam menerapkan atau mempraktekkan apa yang belum pernah mereka ketahui dan lakukan. ibu yang memiliki anak umur 6-9 bulan belum memiliki ketrampilan dalam mempersiapkan mp-asi sesuai dengan umur anaknya. kebiasaan ibu tidak memberikan makanan pendamping asi kepada anak dengan porsi 1 sendok teh, secara bertahap diperbanyak saat usia anak 6 bulan. selain itu, tidak memberikan setiap hari makanan pendamping asi 1-2 kali sehari dan 1 kali camilan (buah halus) saat usia anak 6 bulan. hal ini dibuktikan dengan hasil jawaban ibu pada pertanyaan mengenai kedua hal tersebut. hasil jawaban ibu yang memiliki anak umur 6-9 bulan untuk masing-masing pertanyaan didapatkan jawaban yang memberikan keduanya hanya sebesar 33% dan 38%. sosial budaya, dimana kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau buruk. namun tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat yang mengikat menjadi adat istiadat yang terlalu mengikat (notoadmdjo, 2003). meskipun ibu yang mempunyai anak umur 6-9 bulan memiliki kebiasaan yang cukup dalam memberikan mp-asi tetapi budaya sangatlah mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya, serta untuk siapa, dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi. kebiasaan yang muncul pada ibu yang mempunyai anak umur 6-9 bulan merupakan cerminan dari kebiasaan yang telah muncul di masyarakat dan secara turun temurun dilakukan oleh generasi penerusnya. hal ini dibuktikan dengan jawaban ibu yang memiliki anak umur 6-9 bulan dalam kuesioner yang diberikan bahwa sebagian ibu memberikan mp-asi kepada anaknya tanpa memenuhi status gizinya dan tidak sesuai usia anak, hal ini menjadi perhatian bahwa dalam pemberian mp-asi belum mencukupi. selain faktor pengalaman dan sosial budaya, faktor pendapatan diduga juga turut mempengaruhi kebiasaan ibu dalam memberikan mp-asi. namun, tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi. bayi yang berumur 0-6 bulan diperbolehkan diberikan mp-asi bubur sebanyak 100 gr/hari selama 90 hari, kemudian setelah berumur 6-24 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.126-131 bulan akan mendapat mp-asi biskuit sebanyak 120 gr/hari. namun, untuk penyediaan mp-asi juga turut didorong oleh faktor selera makan keluarga, sehingga secara tidak langsung keluarga hanya menyediakan jenis makanan yang diinginkan keluarga. hubungan jenjang pendidikan dengan kebiasaan memberikan mp-asi berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa ibu yang mempunyai anak umur 6-9 bulan memiliki jenjang pendidikan menengah dan kebiasaan cukup dalam memberikan mp-asi sebesar 42,9%. hasil uji spearman rank menunjukkan nilai p value = 0,006, sehingga nilai p value 0,006 < 0,05 atau signifikan artinya adanya hubungan antara jenjang pendidikan dengan kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan. selain itu, terdapat hubungan positif yang kuat antara jenjang pendidikan dengan kebiasaan memberikan mp-asi ditandai dengan nilai korelasi r = 0,579. hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula kebiasaan seseorang dalam memberikan mp-asi. tingkat pendidikan seseorang yang mempengaruhi penerimaan informasi pendidikan formal berfungsi untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengembangkan daya intelektual, dan memudahkan dalam menerima atau mengadopsi perilaku yang positif (notoatmodjo, 2003). dengan adanya informasi yang tepat dan akurat mengenai pemberian mp-asi yang sesuai dengan usia bayi akan dapat memunculkan kebiasaan ibu yang mempunyai anak umur 6-9 bulan yang lebih baik, meskipun tidak dapat mengubah kebiasaan tersebut secara singkat. pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan, akan berpengaruh dalam pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. seseorang yang pendidikannya rendah cenderung memiliki prinsip dalam memberikan makanan yang penting mengenyangkan, sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan kelompok bahan makanan lain. sedangkan seseorang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain (sulistyoningsih, 2011). namun dalam pemberian makanan dipengaruhi pula oleh faktor ekonomi yaitu meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara kualitas maupun kuantitas. namun tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari (paath, 2005). hal ini di buktikan dengan jawaban ibu yang mempunyai anak umur 6-9 bulan bahwa seseorang yang menempuh jenjang pendidikan dasar tidak selalu memiliki kebiasaan kurang dalam memberikan mp-asi dan ibu yang mempunyai anak umur 6-9 bulan yang menempuh jenjang pendidian menegah tidak selalu memiliki kebiasaan cukup dan kebiasaan baik dalam memberikan mp-asi karena hal itu di pengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor ekonomi, mereka yang berpenghasilan menengah kebawah dan berjenjang pendidikan dasar cenderung memberikan mp-asi kepada anaknya yaitu mp-asi rumahan sedangkan mereka yang berpenghasilan menengah keatas dan berjenjang pendidikan menengah cenderung memberian mp-asi pabrikan. namun hal ini tidak sematamata dipengaruhi oleh factor ekonomi saja, tetapi faktor pengalaman, pengetahuan, lingkungan, sosial budaya, dan faktor keluarga turut mempengaruhi dalam kebiasaan memberikan mp-asi. agar kebiasaan seseorang menjadi baik, kebiasaan akan dapat dirubah dengan memberikan pendidikan kesehatan secara berkesinambungan. pendidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk memotivasi atau mengoordinasikan sasaran agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntunan nilai-nilai kesehatan (notoatmodjo, 2011). keberhasilan suatu pendidikan kesehatan dapat dipengaruhi oleh faktor penyuluhan, sasaran dan proses dalam penyuluhan. pendidikan kesehatan yang baik tentu akan mampu merubah perilaku seseorang untuk berbuat yang terbaik bagi kesehatan. namun, dalam pemberian mp-asi diperlukan adanya biaya untuk mendapatkan bahan dan proses waktu dalam pembuatannya. hal ini tentu menjadi pemikiran tersendiri bagaimana memberikan mp-asi yang berkualitas dengan biaya dan waktu yang efektif sehingga tidak membebani seorang ibu. maryani dan ananingsih, hubungan jenjang pendidikan ibu…131 simpulan dan saran simpulan jenjang pendidikan ibu di posyandu balita desa dayu kecamatan nglegok kabupaten blitar adalah jenjang pendidikan menengah sebesar 52.4% (11 responden). kebiasaan ibu memberikan mp-asi umur 6-9 bulan di posyandu balita desa dayu kecamatan nglegok kabupaten blitar adalah kebiasaan cukup sebesar 57.1% (12 responden). ada hubungan jenjang pendidikan ibu dengan kebiasaan memberikan mp-asi umur 6-9 bulan di posyandu balita desa dayu kecamatan nglegok kabupaten blitar ditandai dengan taraf signifikansi 0,006 dan hubungan r=0.579. saran 1. peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan desain penelitian yang berbeda. misalnya menggunakan penelitian pra eksperimen dengan memberikan pendidikan kesehatan, sehingga bisa diketahui kebiasaan memberikan mp-asi sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan. diharapkan pada responden meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam melakukan senam hamil sehingga dapat mewujudkan persalinan yang lebih baik 2. bidan hendaknya memberikan penyuluhan tentang variasi menu sesuai usia kepada masyarakat khususnya kepada ibu dalam hal pembuatan mp-asi, sehingga dapat meningkatkan ketrampilan sesuai umur dan dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan bayi. 3. responden harus lebih aktif lagi dalam meningkatkan pemahaman tentang mp-asi baik melalui media massa maupun elektronik sehingga responden dapat meningkatkan kemampuan dalam pemberian mp-asi pada anak usia 6-9 bulan. daftar rujukan aminati, dini. 2013. cara bijak merawat bayi dan balita. yogyakarta: brilliant books. notoatmodjo, soekidjo. 2003. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: pt. rineka cipta. notoatmodjo, soekidjo. 2005. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: pt. rineka cipta. paath, erna francin, dkk. 2005. gizi dalam kesehatan reproduksi. jakarta: penerbit buku kedokteran egc. prabantini, dwi. 2010. a to z makanan pedamping asi. yogyakarta: penerbit andi sulistyoningsih, hariyani. 2011. gizi untuk kesehatan ibu dan anak. yogyakarta: graha ilmu. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 159setiyorini, gambaran karakteristik ... 159 gambaran karakteristik yang mempengaruhi tingkat depresi lansia di uptd pslu blitar (the description of characteristics affecting depression level on elderly at uptd pslu blitar) erni setiyorini program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com abstract: the indicators of health of a nation is the increasing life expectancy, as shown by an increase in the proportion of the elderly population. the prevalence of elderly with depression has increased and characteristic factors are among the factors triggering the onset of depression in the elderly. the purpose of this research was to determine the characteristics of the elderly in uptd pslu blitar, determine the level of elderly depression and to identify the characteristics of the elderly which affects the rate of depression in the elderly in uptd pslu blitar. the design of this research was descriptive. the population in this study was elderly who live in upt pslu much as 52 people. the sample was 28 people taken by purposive sampling. the research instrument used gds (geriatric depression scale). the results of the research could be concluded that elderly in upt pslu blitar depressed in probability depressed category 42.7% and average depressed category was 14.2%. based on the age, the highest proportion of probability depression in the elderly aged 60-74 years 21.42%, according to the gender distribution of the largest depression in women is 35.71% probability depression, based on marital status as much as 14.28% of elderly depressed being, based level of education, elderly people who are not in school most experienced probability depression that is 28.57%. for further research this study could be a baseline for future studies, for upt pslu the research data could be used as an input to provide appropriate interventions for depression in the elderly. keywords: elderly, level of depression, factors affecting depression abstrak: indikator kesehatan suatu bangsa salah satunya adalah meningkatnya angka harapan hidup, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan proporsi populasi lanjut usia. prevalensi lansia yang mengalami depresi semakin meningkat dan faktor karakteristik merupakan salah satu faktor pemicu timbulnya depresi pada lansia. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik lansia di uptd pslu blitar, mengetahui tingkat depresi lansia dan untuk mengidentifikasi karakteristik lansia yang mempengaruhi tingkat depresi pada lansia di uptd pslu blitar. desain dalam penelitian ini adalah deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang tinggal di upt pslu sebanyak 52 orang.teknik sampling purposif dengan jumlah sampel 28 orang.. instrumen penelitian menggunakan gds (geriatric depression scale). hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa lansia di upt pslu blitar mengalami depresi dengan kategori kemungkinan depresi 42,7% dan depresi 14,2%. berdasarkan usia, proporsi terbanyak depresi ringan pada lansia berusia 60-74 tahun yaitu 21,42%, menurut jenis kelamin sebaran depresi terbanyak pada perempuan yaitu kemungkinan depresi 35,71%, berdasarkan status pernikahan sebanyak 14,28% lansia mengalami depresi, berdasarkan tingkat pendidikan, lansia yang tidak bersekolah terbanyak mengalami kemungkianan depresi yaitu 28,57%. bagi peneliti selanjutnya penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya, untuk upt pslu data penelitian dapat dijadikan sebagai masukan dalam memberikan intervensi yang tepat untuk mengatasi depresi pada lansia. kata kunci: lansia, tingkat depresi, faktor yang mempengaruhi depresi acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p159-163 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 160 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 159–163 indikator kesehatan suatu bangsa salah satunya adalah meningkatnya angka harapan hidup, hal ini ditunjukkan dengan peningkatan proporsi populasi lanjut usia. menurut badan pusat statistik (bps) pada tahun 2007 penduduk lansia di indonesia sebanyak 18,96 juta (8,42%) dengan komposisi 9,04% perempuan dan 7,80% laki-laki. bps juga menunjukkan hasil proyeksi jumlah penduduk indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat, yaitu 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035. diperkirakan jawa timur menduduki urutan kedua dari 5 provinsi dengan persentase penduduk lansia terbesar setelah jawa tengah (14,9%), jawa timur (14,1%), diy (14%), bali (12,1%) dan sulawesi utara (12%) (badan pusat statistik, 2013). pada proses penuaan, lansia mengalami perubahan fisiologis pada kondisi fisik, psikologis dan dari segi sosial dan hal ini dapat mempengaruhi status kesehatan lansia secara umum. data statistik dari bps jawa timur tahun 2014 menunjukkan bahwa lansia di kabupaten blitar memiliki status kesehatan baik 45,7%, cukup 46,7% dan kurang sehat 7,6%. lansia dimulai saat seseorang mulai memasuki usia 60 tahun, berbagai permasalahan yang terkait dengan kondisi lansia, perubahan peran dalam keluarga, sosial, ekonomi maupun sosial masyarakat mengakibatkan kemunduran dalam beradaptasi dengan lingkungan dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan hal ini dapat memicu timbulnya depresi. depresi pada lansia ditandai dengan perasaan sedih, tidak bahagia, sering menangis, merasa kesepian, tidur terganggu, pikiran dan gerakan tubuh lamban, cepat lelah dan menurunnya aktifitas, selera makan menurun, berat badan berkurang, daya ingat menurun, sulit memusatkan pikiran dan perhatian, minat berkurang, kesenangan yang biasanya dinikmati berkurang, menyusahkan orang lain, merasa rendah diri, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, muncul perasaan bersalah dan tidak berguna, tidak ingin hidup lagi dan bahkan mau bunuh diri (mas’ud, 2009). prevalensi depresi pada lansia di dunia sekitar 8–15% dengan perbandingan wanita dengan pria 14,1: 8,6 (dharmono, 2008). prevalensi depresi lansia yang dirawat di rumah sakit dan panti perawatan sebesar 30-45%. jumlah lansia di indonesia pada tahun 2005 berjumlah 15.814.511 jiwa atau 7,2% dan diperkirakan akan bertambah menjadi 11,34% pada tahun 2020. pada tahun tersebut depresi akan menduduki peringkat teratas penyakit yang dialami lanjut usia di negara berkembang termasuk indonesia (cahyono, 2012). berdasarkan studi-studi yang dilakukan sebelumnya, faktor resiko terjadinya depresi pada lansia dapat dikelompokkan menjadi beberapa faktor antara lain faktor psikososial, faktor biologis, karakteristik personal, faktor medikasi dan faktor sosiodemografi. selain itu status sosioekonomi rendah, latar belakang pendidikan yang rendah, status pernikahan merupakan beberapa faktor sosiodemografi yang turut berperan dalam terjadinya depresi (bhayu, rateb dan westa, 2014). berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang gambaran karakteristik yang mempengaruhi tingkat depresi lansia di uptd pslu blitar. tujuan dari penelitian ini adalah :1) untuk mengetahui karakteristik lansia di uptd pslu blitar, 2) mengetahui tingkat depresi lansia 3) mengidentifikasi karakteristik lansia yang mempengaruhi tingkat depresi pada lansia di uptd pslu blitar. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan rancangan cross sectional. variabel dalam penelitian ini adalah karakteristik lansia (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan) dan tingkat depresi lansia. populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di uptd pslu blitar sebanyak 52 orang. sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, sampel sebanyak 28 lansia yang memenuhi kriteria inklusi. penelitian dilaksanakan tanggal 22 nopember 2014. pengumpula n da ta mengguna ka n kuesioner penelitian dan data tingkat depresi menggunakan kuesioner gds (geriatric depression scale). data disa ja kan dala m bentuk distr ibusi frekuensi. hasil penelitian data umum data umum responden ini menguraikan tentang distribusi frekuensi responden yang meliputi: distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin tabel 1. distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di uptd pslu blitar berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa karakteristik responden di uptd pslu blitar terbanyak adalah perempuan yaitu 20 orang (71,4%). 161setiyorini, gambaran karakteristik ... distribusi frekuensi responden berdasarkan usia tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia lansia di uptd pslu blitar berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa usia lansia terbanyak 60–74 tahun sebanyak 17 orang (60,7%). distribusi frekuensi responden berdasarkan status perkawinan tabel 3. distribusi frekuensi responden berdasarkan status perkawinan berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa status perkawinan terbanyak pada lansia adalah duda/janda yaitu 23 orang (82,1%). distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan tabel 4. distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan lansia berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan pada lansia yang terbanyak adalah tidak sekolah yaitu 13 orang (46,1%). data khusus distribusi responden berdasarkan depresi yang dialami lansia tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan depresi yang dialami lansia berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa terbanyak adalah normal dan kemungkinan depresi masing-masing sebanyak 12 orang (42,9%). tingkat depresi lansia berdasarkan karakteristik lansia di upt pslu blitar tabel 6. tingkat depresi lansia berdasarkan karakteristik lansia di upt pslu blitar pembahasan berdasarkan karakteristik jenis kelamin, sebagian besar lansia berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 orang (71,4%). lansia yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 orang (35,71%) mengalami depresi ringan. hasil penelitian sejalan dengan penelitian onya dan nailil (2013) yang mendapatkan bahwa proporsi depresi yang terbanyak terjadi pada lansia dengan jenis kelamin perempuan dan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian depresi dengan p-value masing-masing p=0,002 dan p=0,034. hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, salah satunya karena dalam menghadapi persoalan perempuan lebih sensitif dibandingkan dengan lakilaki. selain itu dapat terjadi akibat pengaruh perubahan fisiologis, misalnya early onset of menopause atau post menopause (das, et al., 2014). penelitian tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan wulandari (2011) yang menyatakan bahwa lansia perempuan yang tinggal di panti werdha memiliki kemauan berpartisipasi sosial dengan baik. pada hasil penelitian didapatkan bahwa lansia perempuan sebanyak 10 orang (35,71%) kemungkinan depresi, sedangkan amir (2005) menyatakan bahwa depresi lebih sering terjadi pada wanita, karena wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan dan mbangnya terhadap stressor lebih rendah bila dibandingkan dengan pria. berdasarkan usia, lansia yang tinggal di upt pslu blitar sebagian besar berusia 60–74 tahun yaitu sebanyak 17 orang (60,7%), usia 75–90 tahun sebanyak 10 orang (35,7%) dan yang berusia diatas 90 tahun sebanyak 1 orang (3,6%). seiring bertambahnya usia, lansia akan mengalami berbagai kemunduran, baik dari fisik maupun mental. kemunduran fisik ini dapat berpengaruh terhadap kemampuan lansia dalam melakukan aktifitas sehari-hari. berdasarkan hasil penelitian sebagian besar lansia yang berusia 60–74 tahun, masih berada dalam kondisi normal/tidak depresi. hal ini didukung oleh hasil pengkajian yang menunjukkan bahwa 80% lansia masih dapat beraktifitas mandiri dalam melakukan aktifitas sehari-hari. keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari dapat memicu stress yang berdampak pada kejadian depresi. steffens, et.al (2000) yang mengatakan bahwa tidak ada pengaruh usia terhadap prevalensi depresi. demikian juga wulandari (2011) dalam penelitiannya tentang depresi lansia di panti wherdha dan komunitas yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan depresi pada lansia (p=0,763). berdasarkan status pernikahan, sebagian besar lansia sebanyak 23 orang (82,1%) berstatus janda/ duda. sesuai dengan tugas perkembangannya lansia mengalami kehilangan pasang hidup dan jika lansia dapat melewati proses kehilangan maka lansia dapat 162 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 159–163 beradaptasi dengan proses penuaan. beberapa literatur menyatakan bahwa depresi pada umumnya dialami oleh orang yang tidak mempunyai hubungan interpersonal yang erat atau pada orang yang bercerai/berpisah, akan tetapi pada penelitian didapatkan bahwa lansia yang berstatus janda/duda tidak mengalami depresi sebanyak 10 orang (35,71%). penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh marta (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan tingkat depresi (p=1,000). hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain, sebagaimana data yang diperoleh dari petugas upt pslu dan dari hasil observasi selama penelitian, lansia memiliki jadwal kegiatan yang padat, diantaranya yaitu bimbingan sosial, keterampilan, pengajian/bimbingan rohani, pemeriksaan kesehatan, kunjungan keluarga/kegiatan santai. selain itu, selama ada mahasiswa yang praktik di upt pslu, lansia selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan, diantaranya adalah kegiatan penyuluhan, terapi aktifitas kelompok, brain gym dan olahraga. berbagai kegiatan tersebut merupakan distraksi bagi lansia sehingga tidak mengalami depresi. berdasarkan tingkat pendidikan, hampir sebagian besar lansia tidak bersekolah sebanyak 13 orang (46,4%). hal ini sesuai dengan darmojo (2006) pendidikan dari golongan lanjut usia di indonesia yang umumnya sekitar 71,2% belum mengenal pendidikan formal, sehingga lansia sudah bisa menyesuaikan diri sejak dahulu dengan tingkat pendidikannya sehingga tidak mempengaruhi keadaan mood, perasaan dan harapan hidupnya. pada penelitian menunjukkan 8 orang (28,57%) lansia yang tidak bersekolah mengalami kemungkinan depresi. penelitian ini sesuai dengan penelitian marta (2012), walaupun derajat depresi berbeda, hasill penelitiannya menunjukkan bahwa lansia yang tidak bersekolah mengalami depresi sedang sebanyak 19 orang. akan tetapi uji statistik pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan depresi pada lansia. prevalensi tingkat depresi pada lansia di upt pslu blitar terdistribusi pada kategori kemungkinan depresi 42,9% dan depresi sebanyak 14,2%. angka ini menunjukkan lebih dari setangah dari jumlah sampel mengalami kemungkinan depresi dan depresi, walaupun 42,9% dari lansia dalam kategori normal. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh bhayu, ratep dan westa (2014) yang mendapatkan hasil bahwa prevalensi lansia yang mengalami depresi di wilayah kerja puskesmas kubu ii, kecamatan kubu, kabupaten karangasem sebesar 45,2% yang terdistribusi menjadi depresi ringan 30,9% dan depresi berat sebanyak 14,3%. penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebesar di panti sosial tresna werdha budi mulia 4 jakarta selatan juga ditemukan lansia yang mengalami depresi 41,3% dan yang tidak mengalami depresi sebesar 58,7% (marta, 2012). berbagai faktor menjadi salah satu penyebab yang memicu munculnya depresi pada lansia. menurut kaplan dan sadock (1997) dalam ayuni (2014) faktor resiko dari depresi dipengaruhi oleh: umur, jenis kelamin, status perkawinan, status fungsional baru, kondisi sosial ekonomi yang buruk, pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai pekerjaan. sedangkan menurut suparyanto (2010) depresi pada lansia dipengaruhi oleh faktor fisik, mental dan psikososial. interaksi dari ketiga faktor tersebut menjadi penyebab munculnya stress dalam kehidupan sehari hari dan menjadi awal mula depresi. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa lansia di upt pslu blitar dengan mengalami depresi pada kategori kemungkinan depresi 42,7% dan depresi 14,2%. berdasarkan usia, proporsi terbanyak depresi ringan pada lansia berusia 60-74 tahun yaitu 21,42%, menurut jenis kelamin sebaran depresi terbanyak pada perempuan yaitu kemungkinan depresi 35,71%, berdasarkan status pernikahan sebanyak 14,28% lansia mengalami depresi, berdasarkan tingkat pendidikan, lansia yang tidak bersekolah terbanyak mengalami kemungkinan depresi yaitu 28,57%. saran bagi peneliti selanjutnya penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya, untuk upt pslu blitar data penelitian dapat dijadikan sebagai masukan dalam memberikan intervensi yang tepat untuk mengatasi depresi pada lansia. bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pengkayaan bahan kajian mata kuliah keperawatan gerontik. daftar rujukan amir, n. 2005. depresi: aspek neurobiologi, diagnosis, dan tata laksana. jakarta: balai penerbit fk ui. 163setiyorini, gambaran karakteristik ... ayuni, n.h., dan asnindari, l.n. 2014. perbedaan kejadian depresi pada lansia mandiri dan ketergantungan dalam activity of daily living (adl) di pstw yogyakarta unit abiyoso pakem sleman. skripsi. program studi ilmu keperawatan sekolah tinggi ilmu kesehatan ‘aisyiyah yogyakarta. badan pusat statistik. 2007. jumlah lansia di indonesia, bps. jakarta. badan pusat statistik. 2013. data perkembangan lansia di indonesia. bhayu, ratep dan westa.2014. gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat depresi pada lanjut usia di wilayah kerja puskesmas kubu ii januari– februari 2014. cahyono, a.n. 2012. hubungan spiritualitas dengan depresi pada lansia di upt pelayanan sosial lanjut usia magetan. jurnal unair juni 2012. darmojo dan martono.2006. ilmu kesehatan usia lanjut. cetakan ke-2. jakarta: fkui. dharmono, s. 2008. waspadai depresi pada lansia. diakses dari http://www.klikdokter.com dibuka tanggal 1 juni 2016. das, j., farzana, f.d., ferdous, f., ahmed, s., dkk. factors associated with elderly depression among rural bangladhesi individuals. american journal of psychiatry and neuroscience volume 2, issue 1, january 2014, pages 1-7. marta, o.f.d. 2012. determinn tingkat depresi pada lansia di panti osial tresna werdha budi mulia 4 jakarta selatan.skripsi. universitas indonesia. mas’ud, a.r. 2009.pembinaan keagamaan lanjut usia. jurnal multikultural dan multireligius. maret 2009, vol 8. no 29. http://www. sciencepublishinggroup. com/journal/paperinfo.aspx?journalid= 653&doi= 10.11648/j.ajpn.20140201.11 dibuka tanggal 1 juni 2016. nailil, a., purnomo. 2013. hubungan antara karakteristik dengan kejadian depresi pada lansia di panti werda pelkris pengayoman kota semarang. stikes telogorejo semarang. onya on, stanley pc.risk factors for depressive illness among elderly popd attendees at upth.iosr journal of dental and medical sciences. volume 5, issue 2 (mar-apr 2013.pages 77-86. steffens, d.c., et al.2000.prevalence of depression and its treatment in a elderly population. arch gen psychiatry, 57, 601-607. http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/10839339 dibuka tanggal 1 juni 2016. wulandari, a.f.s. 2011. kejadian dan tingkat depresi pada usia lanjut usia: studi perbandingan di panti wreda dan komunitas. karya tulis ilmiah. fakultas kedokteran universitas diponegoro. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 118 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 118–122 118 kualitas hidup pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis (the quality life of renal failure patient undergo hemodialysis) rizky firman, sri mugianti, imam sunarno, sri winarni jurusan keperawatan poltekkes kemenkes malang email: sri.mugianti@gmail.com abstract: chronic renal failure (crf) is a public health problem in the world and is now recognized as common diseases with risk of hemodialysis therapy. hemodialysis can have an impact to the patient quality of life. the aim of the research was to describe the patient quality of life with renal failure underg hemodialysis at mardi waluyo blitar hospital. the research used a descriptive research design. the population was all patients with renal failure which registered in hemodialysis of mardi waluyo blitar hospital on october-december 2014 as many as 84 patients. the sample was 34 patients selected by accidental sampling. the data collection was conducted on march 30th – april 4th, 2015. the data collecting used questionnaires of the world health organization quality of life (qol who) which described physical health, psychological, social relationships, and environment. in general the quality life of renal failure patient underrgo hemodialysis in bad category was 55.9% (19 patients). this condition was due to a chronic disease and its complications potentially stressors including renal failure patient. stressors that arise caused by environmental conditions, psychological state, and physical health. the study recommended that health services were expected to provide comfortability, improve maintenance functions, improve interpersonal relationships, and counseling. keywords: quality of life, renal failure, hemodialysis. abstrak: gagal ginjal kronik (ggk) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan kini diakui kini diakui sebagai penyakit umum yang berrisiko memerlukan terapi hemodialisis. tindakan hemodialisis dapat berdampak pada kualitas hidup penderita. tujuan penelitian menggambarkan kualitas hidup pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis di rumah sakit mardi waluyo kota blitar. desain penelitian menggunakan rancangan deskriptif. populasi adalah seluruh penderita gagal ginjal yang tercatat di register kunjungan pasien di ruang hemodialisis rsd mardi waluyo kota blitar pada bulan oktober-desember 2014 sebanyak 84 orang. besar sampel sebanyak 34 penderita yang dipilih menggunakan teknik sampling aksidental. pengumpulan data dilakukan 30 maret – 4 april 2015. pengumpulan data menggunakan kuisioner the word health organization quality of life (who qol) yang mengambarkan kesehatan fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan. secara umum kualitas hidup penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis dalam kategori buruk sebanyak 55,9% (19 penderita). keadaan ini karena penyakit kronis dan komplikasinya berpotensi menimbulkan stressor termasuk pasien gagal ginjal. stressor yang muncul disebabkan oleh kondisi lingkungan, keadaan psikologis, dan kesehatan fisik. rekomendasi penelitian ini yaitu pelayanan kesehatan diharapkan memberikan kenyamanan, meningkatkan fungsi perawatan, meningkatkan hubungan interpersonal, dan konseling. kata kunci: kualitas hidup, gagal ginjal, hemodialisis gagal ginjal adalah sebuah penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p118-122 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 119budianto, gambaran peran orang tua ... sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urine (colvy, 2010:35). gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, dan asam basa. gagal ginjal merupakan penyakit siskemik dan merupakan jalur yang paling umum dari berbagai traktus urinarius dan ginjal (brunner & suddarrth, 2001:1443). perjalanan penyakit gagal ginjal kronik (ggk) membutuhkan waktu bertahun-tahun (tapan, 2004:25). menurut colvy (2010:36) sifatn ggk tidak dapat disembuhkan. memburuknya fungsi ginjal dapat dihambat jika penderita melakukan pengobtan secara teratur. penyebabnya ggk ini beragam seperti diabetes mellitus, hipertensi, batu ginjal, obatobatan dan penyakit glomerulonephritis kronik. menurut wijaya & putri (2013:231) klasifikasi gagal ginjal kronik dibagi tiga stadium yaitu: a) stadium 1: penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik, b) stadium 2: insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan telah rusak, blood urea nitrogen (bun) meningkat, dan kreatinin serum meningkat, c) stadium 3: gagal ginjal stadium akhir atau uremia. gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahapakhir (esrd) merupakan gangguan fungsi renal progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen dalam darah). ini disebabkan oleh penyakit siskemik seperti diabetes mellitus; glomerulonephritis kronis; pielonefritis; hipertensi yang tidak dapat dikontrol; obstruksi traktus urinarius; lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik; gangguan vascular; infeksi; medikasi; atau agen toksik. lingkungan dan agen berbahaya yang mempengaruhi gagal ginjal kronis mencakup timah, cadmium, merkuri, dan kromium. dialisis atau transpalasi ginjal kadang-kadang diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien (brunner & suddarrth, 2001:1448). ggk adalah kerusakan ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan yang mengakibatkan laju filtrasi glomerulus <60 ml/menit/1,73m². definisi gagal ginjal terminal/ggt (end-stage renal disease) pada orang dewasa adalah filtrasi glomerulus <10 ml/ menit/1,73m² atau kreatinin serum >8 mg/dl (unos, 1994). tujuan terapi penggantian ginjal/ renal replacement therapy berupa hemodialisis, dialisis peritoneum atau transpalasi ginjal adalah untuk memperpanjang harapan hidup dan menjaga kualita s hidup pa sien gaga l ginja l ter mina l (sjamsuhidayat & de jong, 2010:924). gagal ginjal kronik (ggk) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan kini diakui sebagai suatu kondisi umum yang dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit dan ggk. berdasarkan estimasi badan kesehatan dunia (who), secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik. sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah (hemodialisis). berdasarkan pusat data & informasi perhimpunan rumah sakit seluruh indonesia, jumlah pasien gagal ginjal kronik diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60%nya adalah usia dewasa dan usia lanjut. menurut depkes ri 2009, pada peringatan hari ginjal sedunia bahwa hingga saat ini di indonesia terdapat sekitar 70 ribu orang pasien gagal ginjal kronik yang memerlukan penanganan terapi cuci darah dan hanya 7.000 pasien gagal ginjal kronik atau 10% yang dapat melakukan cuci darah yang dibiayai program gakin dan pt askes (ratnawati, 2014). berdasarkan data dari persatuan nefrologi indonesia (perneftri) (2011) diperkirakan ada 25.249 penderita gagal ginjal kronik di indonesia dan pasien baru pada tahun 2011 menjalani hemodialisis berjumlah 15.353 penderita dan pasien lama berjumlah 6951 penderita. hemodialisis (hd) adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialyzer yang berfungsi sebagai “ginjal buatan”. pada proses ini darah dipompa keluar tubuh, masuk dalam mesin dialiser. di dalam mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat racun melalui proses difusi dan ultra filtrasi oleh dialisat (satuan cairan khusus untuk dialysis), lalu setelah darah selesai dibersihkan, darah kembalikan dalam tubuh. proses ini dilakukan 1-3 seminggu di rumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan waktu 2-4 jam (colvy, 2010:59). terapi hemodialisis menggantikan fungsi ginjal sehingga membersihkan darah memang dapat diambil alih oleh mesin hemodialysis, namun memiliki efek samping bagi tubuh selain biaya proses cuci darah (setidaknya memerlukan rp. 500.000,per terapi). terapi cuci darah tidak menyebabkan fungsi ginjal menjadi baik, orang yang melakukan terapi akan memiliki ketergantunagn pada mesin hemodialisis. 120 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 118–122 terapi hemodialisis membuat aktivitas penderita menjadi terbatas (colvy, 2010:60). hemodialisis akan mencegah kematian, namun tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilakukan ginjal dan berdampak terhadap kualitas hidup pasien (brunner & suddarth, 2001:1398). kualitas hidup adalah konsep yang multidimensional meliputi dimensi fisik, psikologis, social, dan terapi yang dijalaninya. kualitas hidup itu sangat subyektif, sebagaimana yang didefinisikan oleh setiap orang dimana kualitas hidup sangat berkaitan dengan pengalaman tersebut serta mendefinisikan bagaimana kesehatan seseorang berdampak pada kemampuan fisik secara normal dan juga aktifitas sosial (young, 2009). pengukuran kualitas hidup menggunakan instrumen yang disusun who yaitu who qol-bref yang terdiri dari 26 item. tujuan penelitian untuk menggambarkan kualitas hidup pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. bahan dan metode desain yang digunakan adalah deskriptif. populasinya adalah seluruh penderita gagal ginjal yang terregister di unit hemodialisis rsd mardi waluyo kota blitar pada bulan oktober – desember 2014 sebanyak 81 orang. besar sampel sebanyak 34 orang yang dipilih dengan teknik sampling aksidental yang dilakukan tanggal 30 maret – 4 april 2015. instrumen yang digunakan yaitu who qol (world health organization quality of life) yang berisi 26 pertanyaan yang terdiri dari empat domain yaitu kesehatan fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan. pengukuran kualitas hidup menggunakan skala likert dengan 5 alternatif jawaban dan setiap jawaban sudah tersedia nilainya. dalam pernyataan nilai skor adalah sangat memuaskan: 5; memuaskan: 4; biasa-biasa saja: 3; tidak memuaskan: 2; dan sangat tidak memuaskan: 1. selanjutnya diubah menjadi skor t yang dikelompokkan dalam kategori kualitas hidup baik buruk. hasil penelitian karakteristik penderita gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis data karakteristik pasien terdiri dari jenis kelamin, umur, status perkawinan, pendidikan terakhir, merasakan sakit, lama hemodialisis, frekuensi hemodialisis, penyakit penyerta, dan jaminan kesehatan yang dipakai. penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis lebih dari separuh yaitu 56% (19 penderita) adalah perempuan, sebanyak 50% (17 penderita) berumur 51 60 tahun, hampir semua penderita yaitu 82% (28 penderita) memiliki status pekawinan menikah, separuh penderita sebanyak 59% (20 penderita) berpendidikan terakhir sma, sebanyak 88% (30 penderita) merasakan sakit, lebih dari separuh sebanyak 65% (22 penderita) adalah dengan lama dilakukan hemodialisis 0-4 tahun, semua penderita melakukan terapi hemodialisis 2 kali seminggu, hampir separuh yaitu sebanyak 47% (16 penderita) memiliki penyakit penyerta pasien hipertensi, dan hampir semua sebanyak 94% (32 penderita) memakai jaminan kesehatan bpjs. kualitas hidup penderita gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis tabel 1. kualitas hidup penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di rsd mardi waluyo blitar, maret-april 2015, (n=34) kualitas hidup frekuensi % baik 15 44,1 buruk 19 55,9 jumlah 34 100,0 kualitas hidup penderita gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis berdasarkan domain pembahasan berdasarkan data kualitas hidup penderita gagal ginjal yang menjadi pasien di rumah sakit mardi waluyo kota blitar dari 34 penderita, sebesar 56% (19 pasien) masuk dalam kategori kualitas hidup buruk, dan sebesar 44% (15 pasien) memiliki kualitas hidup baik. the word health organization quality of life (who qol) (2004) menyatakan kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu tersebut hidup dengan memiliki tujuan harapan serta keinginan. hal ini merupakan suatu konsep yang dipadukan dengan berbagai cara seseorang untuk mendapatkan kesehatan fisik, keadaan psikologis, hubungan sosial dan hubungan dengan lingkungan sekitarnya. 121budianto, gambaran peran orang tua ... menurut tomasz & piotr 2003 dalam rianto (2011) kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis di domain fisik, hubungan sosial, lingkungan dan juga dalam aspek nyeri dan ketidaknyamanan, energi dan kelelahan, perasaan positif, mobilitas, aktivitas hidup sehari-hari, kapasitas kerja, hubungan pribadi, aktivitas seksual dan transportasi mengalami penurunan atau lebih rendah dibandingkan kesehatan orang pada umumnya. sebagian besar penderita gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis di rumah sakit mardi waluyo kota blitar mengalami penurunan diantaranya pada kesehatan fisik, psikologi, dan juga lingkungan, dibuktikan dengan 53% (18 orang) penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis merasakan kesehatan fisik yang menurun, 56% (19 orang) penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis merasakan kondisi psikologis yang memburuk, 44% (15 orang) merasakan dukungan sosial yang rendah akibat dari kuranganya interaksi baik dari keluarga, perawat, dan teman kerabatnya, dan 63% (21 orang) merasakan ketidak nyamanan, dan ketidak tentraman di lingkungan sekitarnya. menurut rianto (2011) lingkungan yang dapat memfasilitasi kebutuhan dan kesejahteraan pasien ketika beraktivitas akan menciptakan suasana damai dan tentram yang mampu menyokong kualitas hidup seseorang. kondisi finansial yang tidak mencukupi, kebutuhan sehari-hari, kondisi lingkungan rumah yang tidak nyaman, serta kurangnya perhatian perawat dapat memperburuk kualitas hidup seseorang. peneliti berpendapat, hal ini disebabkan karena keadaan penyakit kronis dan komplikasinya diantaranya sebesar 47,1% (16 penderita) memiliki penyakit penyerta hipertensi, 5,9% (2 penderita) memiliki penyakit penyerta asma, sebesar 23,5% (8 penderita) memiliki penyakit penyerta diabetes mellitus dan sebesar 2,9% (1 penderita) memliki penyakit penyerta anemia. hal ini berpotensi menimbulkan stressor yang sifatnya kronis bagi pasien gagal ginjal. kondisi ini akan mempengaruhi kesehatan fisik, keadaan psikologis, serta mempengaruhi kondisi lingkungan penderita, sehingga penderita merasakan kelemahan dari penyakit yang dialaminya, membebani kehidupannya sehari-hari, menimbulkan kecemasan, dan hal ini akan berdampak pada kondisi lingkungan pasien dalam kebutuhan rasa aman, nyaman dan ketentraman. secara nyata perempuan menunjukkan kualitas hidup yang lebih rendah dibanding laki-laki (satvik, et al 2008). hal ini sesuai dengan jenis kelamin perempuan 36,3% (12 orang) memiliki kualitas hidup buruk dan 20,6% (7 orang) memiliki kualitas hidup baik. penderita laki-laki sebanyak 20,6% (7 pasien) memiliki kualitas hidup buruk dan 23,5% (8 penderita) memiliki kualitas hidup baik. keadaan ini disebabkan karena laki-laki memiliki pemikiran lebih positif untuk memenuhi kelangsungan hidup, kemampuan untuk secara mandiri melakukan kegiatan sehari-hari, sedangkan pada perempuan tidak menerima penyakit yang dialaminya sehingga menimbulkan rasa cemas dan malu kepada orang lain karena perubahan bentuk tubuh yang terjadi. secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan yang berpendidikan lebih rendah. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, cenderung berperilaku positif karena pendidikan yang diperoleh dapat meletakkan dasar-dasar pengertian dalam diri (azwar, 1995 dalam rianto, 2011). hal ini sesuai yaitu pasien yang berpendidikan sd sebanyak 20,6% (7 pasien) memiliki kualitas hidup buruk dan 2,9% (1 pasien) memiliki kualitas hidup baik; berpendidikan smp sebanyak 8,8% (3 pasien) memiliki kualitas hidup buruk dan 8,8% (3 pasien) memiliki kualitas hidup baik, berpendidikan sma sebanyak11,8 % (4 pasien) memiliki kualitas hidup buruk dan 8,8 (3 pasien) memiliki kualitas hidup baik; dan berpendidikan perguruan tinggi 14,7% (5 pasien) memiliki kualitas hidup buruk dan 23,5% (8 pasien) memiliki kualitas hidup baik. dapat diartikan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencari perawatan dan pengobatan penyakit yang dideritanya, serta memilih dan memutuskan tindakan yang akan dan harus dijalani untuk mengatasi masalah kesehatan. tabel 2. kualitas hidup penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di rsud mardi waluyo blitar, maret-april 2015, (n=34) kualitas hidup kesehatan fisik p sikologis hubungan sosial lingkungan f % f % f % f % baik 1 6 47,1 15 44,1 19 55,9 13 3 8,2 buruk 1 8 52,9 19 55,9 15 44,1 21 6 1,8 jumlah 3 4 100,0 34 100,0 34 100,0 34 100,0 122 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 118–122 simpulan dan saran simpulan kualitas hidup penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis dalam kategori buruk sebesar 55,9% (19 penderita) dan 44,1% (15 penderita) memiliki kualitas hidup baik, kualitas hidup buruk penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis berdasarkan domain lingkungan sebanyak 63% (21 penderita), psikologi sebanyak 56% (19 penderita), kesehatan fisik sebanyak 53% (18 penderita), dan dukungan sosial sebanyak 44% (15 penderita). saran bagi pihak rumah sakit dapatnya memberikan kenyamanan fisik, mental, sosial, meningkatkan fungsi perawatan, meningkatkan hubungan interpersonal, dan konseling, menambahkan kurikulum yang berkaitan dengan praktik pada penderita gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis, dilakukan penelitian tentang faktor penyebab menurunnya kualitas hidup pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. daftar rujukan azwar, s. 2010. sikap manusia dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka belajar bakewell, a.b., higgins, r.m., & edmunds, m. 2001. kydney international. 8 november 2014. http:// www.nature.com/ki/journal/v61/n1/full/4492725 a.html bakta, i, m & suastika, k, m. 1999. gawat darurat di bidang penyakit dalam. jakarta: egc. betz, l.c., & sowden, l.a. 2009. buku saku keperawatan pediatri. jakarta: egc brunner & suddarth. 2000. keperawatan medikal bedah: buku saku. jakarta: egc. broker c. 2008. ensiklopedia keperawatan. jakarta: egc. colvy, j. 2010. gagal ginjal tips cerdas mengenali & mencegah gagal ginjal. yogyakarta: dafa publishing. doengos, m, e. moorhouse, m, f. geissler, a.c. 2000. rencana asuhan keperawatan pedoman untuk pere ncanaan dan pendokume nt asian perawatan pasien. jakarta: egc. ferrans, c.e. & powers, m. description of the quality of life index (qli). 8 november 2014. https://www. uic.edu/orgs/qli ibrahim, k. 2009. kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. 8 november 2014. http://www.mkb-online.org notoadmodjo. 2010. ilmu kesehatan masyarakat prinsipprinsip dasar. jakarta: rineka cipta. sathvik, b.s., parnathasarathi, g., nahari, m.g., gunder, k.c. 2008. an assessment of the quality of life in hemodialysis patients using the who qolbref questionnaire. 8 november 2014. http:// www.indianjnephrol.org sjamsuhidayat, r., & jong, w.d. 2010. buku ajar medikal bedah. jakarta: egc. tapan, e, m. 2004. penyakit ginjal dan hipertensi. jakarta: pt gramedia. who. 1993. quality of life –bref. 8 november 2014. http://who.int/substance_abuse/research_tools? whoqolbref/en wijaya, a.s & putri, y.m. 2013. kmb 1 keperawatan medi k al b edah ke perawat an de wasa . yogyakarta: nuha medika. young, s. 2009. rethinking and integrating nephrology palliative care: a nephrology nursing perspective. 8 november 2014. http://www.proquest. umi.com 218 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 218–223 218 perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata di smkn 3 kota blitar (the behavior of adolescents with contact lens (soft lens) in the eye health care in smkn 3 blitar city) sunarti, wahyu setianingsih poltekkes kemenkes malang prodi keperawatan blitar email: s.kepsunarti@yahoo.co.id abstract: contacts lens could be supporting the appeal and appearance of a person to be more stylish and different. in the opinion of one ophthalmologist in dr soetomo there are 50% of patients with eye disorders contact lens contaminated by amoebas and 1% of patients experienced a severe disorder that causes permanent blindness. the use of contact lenses requires secure the right under the guidelines. the aim of the research was to study the behavior of adolescent with contact lenses (soft contact lens) in the eye health care in smk n 3 of blitar. the population was students of class xi and the sample was class xi students who used contact lenses. this research used purposive sampling technique. the data collection used a checklist and interview. the results showed 37.1% behave properly according to the sop 45.7% in using contact lenses, but 62.9% showed improper behavior according to sop in the cleaning of contact lenses. this was due to adolescents do not get used to the consultation eye health workers. recommendations of this study were expected to educational institutions in collaboration with health care providers in improving the uks program for health promotion in particular about the behavior in the use and cleaning of contact lenses in accordance with the sop. keywords: behavior, adolescent, eye health care, soft lens abstrak: lensa kontak bisa menjadi penunjang daya tarik dan penampilan seseorang menjadi lebih gaya dan berbeda. menurut pendapat salah satu dokter spesialis mata di rsud dr soetomo terdapat 50% pasien yang mengalami gangguan mata karena lensa kontak terkontaminasi oleh amoeba sedangkan 1% pasien mengalami gangguan berat sehingga menyebabkan kebutaan permanen. penggunaan lensa kontak memerlukan penjagaan yang benar berdasarkan panduan. tujuan penelitian untuk mengetahui perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata di smk n 3 kota blitar. populasi penelitian adalah siswa kelas xi dan sampel yang diteliti siswa kelas xi yang memakai lensa kontak, menggunakan tehnik purposive sampling. pengumpulan data dengan cara ceklist dan wawancara. hasil penelitian menunjukkan sebanyak 37,1% berperilaku sesuai sop sebesar 45,7% dalam penggunaan lensa kontak, namun sebanyak 62,9% menunjukkan perilaku tidak sesuai sop dalam pembersihan lensa kontak. hal ini disebabkan remaja tidak membiasakan konsultasi mata ulang ke petugas kesehatan. rekomendasi penelitian ini diharapkan institusi pendidikan bekerjasama dengan petugas kesehatan dalam meningkatkan program uks untuk melakukan promosi kesehatan khususnya tentang perilaku dalam penggunaan dan pembersihan lensa kontak sesuai dengan sop. kata kunci: perilaku, remaja, perawatan kesehatan mata. masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. masa ini merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p218-223 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 219sunarti, setianingsih, perilaku remaja pengguna lensa kotak (soft lens) perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dan berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan. (cahyaningsih, 2011) seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan jaman di era modern ini banyak remaja terutama kaum hawa yang ingin memperindah atau mempercantik dirinya dengan berbagai cara. salah satunya dengan mengganti kacamata dengan lensa kontak, semakin lama semakin meningkat karena lebih praktis penggunaannya dan tidak berat saat memakai. lensa kontak memiliki banyak warna yang bisa dipilih sesuai keinginan. lensa kontak ini bisa menjadi penunjang daya tarik dan penampilan seseorang menjadi lebih gaya dan berbeda. namun dalam penggunaannya masih sering mengabaikan kebersihan lensa kontak (softlens). sangat dianjurkan bagi yang menggunakan lensa kontak (soflens) untuk selalu menjaga kebersihan. karena jika kurang memperhatikan kebersihan lensa kontak (soflens) dapat mengakibatkan gangguan mata yang cukup serius seperti mata kering, penglihatan menjadi kabur, gatal hingga kebutaan. lensa kontak adalah lensa yang dipasang menempel pada jaringan anterior kornea dan sklera untuk memperbaiki tajam penglihatan dan kosmetik. (kemenkes, 2008) pengguna lensa kontak memang berpotensi terinfeksi bakteri, jamur, atau mikroba lainnya apabila digunakan tanpa memperhatikan aspek kebersihan dan petunjuk penggunaan. kasus keluhan paling banyak terjadi adalah konjungtivitis akibat ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan lensa kontak. menurut salah satu dokter spesialis mata dari graha amerta rsud dr soetomo, dari hendrian d. soebagyo., spm mengaku, khusus untuk pasien yang ditanganinya sedikitnya terdapat 50% pasien yang mengalami gangguan mata karena lensa kontaknya terkontaminasi oleh amoeba. sedang 1% pasien mengalami gangguan berat hingga menyebabkan kebutaan permanen. (prestiwati, 2015). berdasarkan data ncbi dari jurnal bagian ilmu kesehatan mata fakultas kedokteran universitas sam ratulangi manado, secara keseluruhan pengguna lensa kontak di dunia mencapai 140 juta orang, baik lensa kontak untuk kepentingan koreksi ataupun untuk kosmetik. pengguna terbanyak terdapat di benua asia dan amerika, dimana 38 juta pengguna berasal dari amerika utara kemudian 24 juta pengguna berasal dari asia dan 20 juta pengguna berasal dari eropa. untuk lama pemakaian, sekitar 60% pengguna lensa kontak menggunakan extended wear contact-lens, dan 40% pengguna lensa kontak menggunakan daily wear contact-lens. dari data di atas, lensa kontak lebih menjadi pilihan masyarakat dalam menangani gangguan mata, khususnya dalam hal kelainan refraksi. menurut stanler, sekitar 80.000 pengguna lensa kontak menderita penyakit mata, khususnya gangguan pada konjungtiva, kornea dan kalenjar air mata. kesehatan mata merupakan suatu aspek yang penting dan harus dijaga demi memperoleh informasi yang diperlukan. namun, banyak manusia yang mengabaikan bahkan tidak peduli pada kesehatan mata, sehingga dapat menimbulkan gangguan pada mata. salah satunya adalah cara perawatan pengguna lensa kontak (soft lens) dalam menjaga kebersihan lensa kontak. mata adalah sistem optik yang memfokuskan berkas cahaya pada fotoreseptor, yang mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf (sloane, 2004) data dari rumah sakit mardi waluyo kota blitar bagian poli mata disebutkan bahwa yang mengalami gangguan mata seperti mata merah dan berair yang disebabkan penggunaan lensa kontak (soft lens) tahun 2015 ada 4 pasien. penulis juga melakukan studi pendahuluan di salah satu optik kota blitar mengenai penjualan kacamata maupun lensa kontak, penjualan yang lebih pesat mengalami peningkatan yang sangat drastis salah satunya penjualan lensa kontak yang dipilih oleh remaja. hasil dari observasi teman satu kampus beberapa mahasiswa yang menggunakan lensa kontak (soft lens) jarang melakukan tindakan sesuai prosedur dalam perawatan dan pembersihan lensa kontak (soft lens). peneliti juga melakukan wawancara dari 10 siswa siswi di smk 3 kota blitar yang memakai lensa kontak pernah mengalami gangguan mata seperti matanya merah dan berair waktu pemakaian lensa kontak dan setelah selesai pemakaian. dan waktu pemakaiannya mereka mengaku jarang membersihkannya terlebih dahulu. mereka membiarkan mata mereka merah ataupun berair karena alasan dapat pulih kembali dan bisa dipakai lagi lain waktu saat mereka membutuhkan lensa tersebut untuk kepentingan sebuah acara. mereka tidak sama sekali memeriksakan ke dokter mata atau apapun di pelayanan kesehatan. padahal jika dibiarkan dapat berbahaya bagi kesehatan mata. jadi mata adalah panca indera manusia yang sangat penting atau esensial. dapat dibayangkan jika kita mengalami kerusakan mata atau kebutaan, kita tidak dapat menikmati dan merasakan betapa indahnya alam semesta ini. 220 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 218–223 berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pentingnya memelihara kesehatan mata dan menjaga kebersihan lensa kontak sangat kurang, maka dari itu penulis tertarik melakukan penelitian perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas xi smkn 3 kota blitar yang menggunakan lensa kontak (softlens) sebanyak 35 siswa dengan teknik purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan ceklist dan wawancara. pengumpulan data dilakukan di smkn 3 kota blitar pada 28 juli 2016. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum, perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata di smkn 3 kota blitar seperti dalam tabel 1 di bawah. no. karakteristik f % 1 umur: 16 tahun 12 34 17 tahun 23 66 2 jenis kelamin: laki-laki 1 3 perempuan 34 97 3 lama pakai lensa kontak: 6 bulan 7 20 lebih dari 6 bulan 28 80 4 tujuan pakai lensa kontak: terapi mata 8 23 kosmetik 27 77 5 reaksi selama pemakaian lensa kontak: mata merah 26 74 mata berair 8 23 mata pedas 1 3 6 riwayat penyakit mata: ya 6 17 tidak 29 83 7 informasi ya 32 91 tidak 3 9 tabel 1 karakteristik perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata di smkn 3 kota blitar, juli 2016, (n=35) 8 sumber informasi yang diperoleh: petugas kesehatan 10 29 media cetak 6 17 media elektronik 12 34 petugas optik 4 11 9 teman sharing apabila ada masalah gangguan pada mata: teman 24 69 petugas kesehatan 6 17 dokter 4 11 tidak sharing 1 3 10 pemeriksaan mata rutin: 1 bulan sekali 6 17 2 bulan sekali 2 6 3 bulan sekali 15 43 tidak pernah 12 34 no. karakteristik f % perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata di smk negeri 3 kota blitar ditunjukkan dalam tabel 2. kategori f % 1 sesuai sop 13 37.1 2 tidak sesuai sop 22 62.9 tabel 2 data perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata di smk negeri 3 kota blitar, juli 2016, (n=35) perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan matano perilaku remaja dalam penggunaan lensa kontak (soft lens) di smk negeri 3 blitar kota blitar ditunjukkan dalam tabel 3. kategori f % 1 sesuai sop 16 45.7 2 tidak sesuai sop 19 54.3 tabel 3 data perilaku remaja dalam penggunaan lensa kontak (soft lens) di smk negeri 3 blitar kota blitar, juli 2016, (n=35) perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens)no perilaku remaja dalam pembersihan lensa kontak (soft lens) di smk negeri 3 blitar kota blitar ditunjukkan dalam tabel 4. 221sunarti, setianingsih, perilaku remaja pengguna lensa kotak (soft lens) pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari 35 siswa yang menggunakan lensa kontak diperoleh data perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) dalam perawatan kesehatan mata di smkn 3 kota blitar diketahui sebanyak 37,1% (13 siswa) berperilaku sesuai sop. faktanya, sebanyak 45,7% (16 siswa) menggunakan lensa kontak sesuai sop. sedangkan 62,9% (22 siswa) tidak berperilaku sesuai sop lensa kontak dalam pembersihan lensa kontak. perilaku remaja dalam menggunakan lensa kontak sesuai sop sebesar 45,7% (16 siswa) dan 54,3% (19 siswa) menggunakan lensa kontak tidak sesuai sop. selain itu, perilaku siswa dalam melakukan pembersihan lensa kontak sesuai sop sebesar 37,1% (13 siswa) dan 62,9% (22 siswa) melakukan pembersihan lensa kontak tidak sesuai sop. dari penelitian ini dapat disimpulkan siswa cenderung tidak mematuhi sop dalam pembersihan lensa kontak sebesar 62,9% (22 siswa). menurut taufik (2016), sop (standard operating procedures) adalah panduan hasil kerja yang diinginkan serta proses kerja yang harus dilaksanakan. sop dibuat dan di dokumentasikan secara tertulis yang memuat prosedur (alur proses) kerja secara rinci dan sistematis. alur kerja (prosedur) tersebut haruslah mudah dipahami dan dapat di implementasikan dengan baik dan konsisten oleh pelaku. usa food and drug administration mengatakan bahwa cosmetic use juga disebut dengan decorative contac lense (lensa kontak hias) yang tidak memperbaiki mata dengan baik. peneliti berpendapat bahwa siswa banyak yang mengabaikan kesehatan mata terutama pengguna lensa kontak (soft lens) karena dalam pembersihannya tidak sesuai standar operational prosedur sehingga kalau tidak dirawat secara rutin akan menimbulkan kuman atau bakteri yang akan merusak mata maka perlu adanya perawatan lensa kontak yang sesuai sop. berdasarkan hasil penelitian perilaku remaja dalam penggunaan lensa kontak (soft lens) di smkn 3 kota blitar, diperoleh data yang menunjukkan bahwa sebanyak 45,7% (16 siswa) melakukan penggunaan lensa kontak sesuai sop. dari ceklist sop yang paling menonjol siswa menjawab “ya” sebanyak 86% yaitu siswa sebelum memakai lensa kontak mencuci tangan dahulu dengan sabun sesuai dengan sop penggunaan lensa kontak. menurut kemenkes ri 2014, cuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen pembawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain, baik dengan kontak langsung maupun tidak langsung (menggunakan permukaan-permukaan lain seperti handuk,gelas). tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia maupun binatang, ataupun cairan tubuh seperti ingus, dan makanan/minuman yang terkontaminasi saat tidak dicuci dengan sabun dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang tidak sadar bahwa dirinya sedang ditularkan. maka dari itu setiap memasang ataupun melepas lensa kontak sangat dianjurkan cuci tangan terlebih dahulu supaya tidak terjadi seperti mata merah, pedas, berair dan segala macam penyakit yang berhubungan dengan mata. berdasarkan hasil penelitian sebanyak 54,3% (19 siswa) melakukan penggunaan kontak lensa tidak sesuai sop. dari ceklist sop yang paling menonjol siswa menjawab “tidak” sebanyak 49%, siswa tidak membiasakan memakai lensa kontak dari mata kanan sesuai dengan sop penggunaan lensa kontak yang aman. menurut american optometric association (2010) menggunakan lensa kontak harus membiasakan dari mata sebelah kanan agar tidak tertukar karena jika ada pengguna lensa kontak untuk tujuan terapi mata hal ini harus diperhatikan supaya manakah mata yang bermasalah berbeda dengan mata yang satunya, prosedur diberlakukan untuk semua para pengguna lensa kontak dan tidak memandang untuk mengoreksi kelainan refraksi, kelainan akomodasi, terapi dan kosmetik. faktanya bahwa berdasarkan hasil penelitian pada tujuan pemakaian lensa kontak sebesar 77,1% (27 siswa) memakai lensa kontak karena faktor kosmetik atau penampilan. dari hal tersebut kita tahu bahwa lensa kontak yang digunakan untuk kosmetik, lensa bagian kanan dan bagian kiri apabila dipasang tabel 4 data perilaku remaja dalam pembersihan lensa kontak (soft lens) di smk negeri 3 blitar kota blitar, juli 2016, (n=35) kategori f % 1 sesuai sop 13 37.1 2 tidak sesuai sop 22 62.9 perilaku remaja dalam pembersihan lensa kontak (soft lens)no 222 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 218–223 pada mata tidak memiliki efek penglihatan pada mata, berbeda dengan lensa kontak yang digunakan untuk terapi kesehatan mata, misalnya untuk terapi pada mata minus, akan memberikan pengaruh pada penglihatan jika penempatan lensa pada mata tertukar. hal inilah yang menyebabkan siswa tidak memperhatikan penempatan lensa kontak bagian kanan dan kiri pada mata, dan sebanyak 43% siswa tidak melakukan semua petunjuk dan saran pemakaian lensa kontak dari produsen, optician dan dokter sesuai dengan sop penggunaan lensa kontak yang aman. american optometric association mengatakan bahwa semua petunjuk dan saran pemakaian lensa kontak dari produsen, optician, dan dokter harus dilakukan karena pengguna awal harus tau bahwa apa yang diinginkan harus diperiksa dulu kondisi mata sebelum pakai supaya tidak fatal akibatnya. peneliti berpendapat bahwa remaja pengguna lensa kontak mendapatkan informasi tentang petunjuk penggunaan tidak hanya dari produsen, optician dan dokter melainkan dari media elektronik. faktanya sebanyak 34,3% (12 siswa) dari 32 siswa yang pernah mendapatkan informasi tentang penggunaan dan pembersihan lensa kontak mendapatkan informasi dari media elektronik. sehingga hal ini yang menyebabkan remaja tidak mengikuti semua petunjuk produsen, optik dan dokter. selain itu, lama pakai dari penggunaan lensa kontak juga mempengaruhi kepatuhan remaja dalam melakukan petunjuk sesuai sop yang benar. faktanya bahwa 48,6% (17 remaja) dari 28 remaja yang memakai lensa kontak lebih dari 6 bulan, dengan lama pakai yang lebih lama maka pengalaman yang mereka dapatkan dalam melakukan penggunaan dan pembersihan lensa kontak akan mempengaruhi mereka dalam melakukan penggunaan dan pembersihan lensa kontak sesuai sop yang benar. diperoleh data yang menunjukkan bahwa sebanyak 37,1% (13 siswa) melakukan pembersihan lensa kontak sesuai sop. dari ceklist sop yang paling menonjol siswa menjawab “ya” sebanyak 91% yaitu siswa sebelum berenang harus melepas lensa kontak sesuai dengan sop. berenang menggunakan lensa kontak beresiko mengumpulkan jutaan parasit dari air yang kotor yang dapat menyebabkan infeksi hingga kebutaan permanen pada mata. menurut peneliti tidak sewaktu berenang saja melepas lensa kontak, dalam waktu tidurpun juga harus dilepas karena sangat beresiko terjepit pada celah bola mata sehingga sulit dikeluarkan sehingga perlu bantuan medis dan bila mata ditutup lensa kontak bisa berpangaruh terhadap kadar oksigen di dalamnya. saat mata kehabisan oksigen maka berisiko bakteri masuk ke dalam mata dan menyebabkan iritasi. seringkali tidur pakai softlens bisa mengalami komplikasi pada mata. karena kornea mata akan tertutup terus dengan lensa kontaknya lalu oksigennya menjadi berkurang, tidak cukup, bisa mengakibatkan kornea bengkak itu bisa karena bakteri yang kemudian menyebabkan iritasi, infeksi juga. dari hasil penelitian sebanyak 62,9% (22 siswa) melakukan pembersihan kontak lensa tidak sesuai sop. dari ceklist sop yang paling menonjol siswa menjawab “tidak” sebanyak 89% siswa tidak melakukan pemeriksaan mata ulang ke dokter sesuai sop pembersihan lensa kontak. menurut american optometric association pengguna lensa kontak harus menemui dokter secara rutin minimal 6 bulan sekali untuk melakukan pemeriksaan ulang agar kesehatan mata tetap terkontrol. periksa mata secara rutin tidak kalah pentingnya karena seiring bertambahnya usia penglihatan kita dapat mengalami kemunduran. peneliti berpendapat bahwa pengguna lensa kontak sebagian besar menganggap bahwa jika mata tidak memiliki keluhan tidak melakukan pemeriksaan mata ke dokter dan apabila mata tidak ada keluhan mereka menganggap bahwa mata mereka sehat dan sebanyak 49% siswa tidak menyimpan wadah di tempat yang tidak lembab terlindung da ri sengatan sinar ma tahar i dan mengganti wadah penyimpanan sesuai dengan sop tehnik pember siha n lensa konta k. menur ut american optometric association wadah lensa kontak harus disimpan di tempat yang tidak lembab dan harus mengganti wadah penyimpanan lensa konta k ma ksima l 3 bula n seka li ka r ena acanthamoeba pada umumnya ditemukan di tanah, air dan wilayah yang lembab. beberapa spesies jenis acanthamoeba mengonsumsi bakteri dan dapat menyebabka n infeksi ba gi ma nusia . infeksi acanthamoeba biasa disebut dengan amoebic keratitis yang menyerang mata manusia. dan terlindungi dari sengatan sinar matahari langsung peneliti berpendapat bahwa apabila dilihat secara kasat mata wadah tampak bersih, para pengguna lensa kontak beranggapan bahwa wadahnya baik-baik saja padahal bakteri yang masuk tidak dapat dilihat dari kasat mata. 223sunarti, setianingsih, perilaku remaja pengguna lensa kotak (soft lens) simpulan dan saran simpulan perilaku remaja pengguna lensa kontak (soft lens) da la m pera wa ta n kesehatan mata di smkn 3 blitar kota blitar diketahui sebanyak 37,1% (13 siswa) berperilaku sesuai sop. faktanya, sebanyak 45,7% (16 siswa) menggunakan lensa kontak sesuai sop. sedangkan 62,9% (22 siswa) tidak berperilaku sesuai sop lensa kontak dalam pembersihan lensa kontak. perilaku remaja dalam penggunaan lensa kontak (soft lens) di smk negeri 3 blitar kota blitar diperoleh data sebanyak 45,7% (16 siswa) melakukan penggunaan lensa kontak sesuai sop. jawaban “ya” yang paling menonjol pada sop tentang sebelum memakai lensa kontak mencuci tangan dahulu sebanyak 86% siswa dan seba nya k 54, 3% (19 siswa ) melakuka n penggunaan lensa kontak tidak sesuai sop. jawaban “tidak” yang paling menonjol pada sop tentang membiasakan memakai lensa kontak dari mata kanan 49%, siswa. faktor yang mendukung adalah lama pemakaian lebih dari 6 bulan 80,0% (28 siswa), tujuan pemakaian kosmetik 77,1% (27 siswa), dan informasi 91.4% (32 siswa) dari sumber informasi yang diperoleh dari media elektronik 34,3% (12 siswa). perilaku remaja dalam pembersihan lensa kontak di smkn 3 kota blitar diperoleh data sebanyak 37,1% (13 siswa) melakukan pembersihan lensa kontak sesuai sop . jawaban “ya” yang paling menonjol pada sop tentang sebelum berenang harus melepas lensa kontak sebanyak 91%, siswa dan sebanyak 62,9% (22 siswa) melakukan pembersihan kontak lensa tidak sesuai sop. jawaban “tidak” yang paling menonjol pada sop tentang melakukan pemeriksaan mata ulang ke dokter sebanyak 89% siswa. faktor yang mendukung adalah lama pemakaian lebih dari 6 bulan 80,0% (28 siswa), tujuan pemakaian kosmetik 77,1% (27 siswa), dan informasi 91.4% (32 siswa) dari sumber informasi yang diperoleh dari media elektronik 34,3% ( 12 siswa). saran saran (1) bagi peneliti lain diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman untuk meningkatkan perawatan mata dalam tehnik penggunaan dan pembersihan lensa kontak (soft lens) di smkn 3 kota blitar, (2) bagi institusi pendidikan diharapkan institusi pendidikan bekerjasama dengan petugas kesehatan dalam meningkatkan program uks smkn 3 kota blitar untuk melakukan promosi kesehatan khususnya tentang perilaku dalam penggunaan dan pembersihan lensa kontak yang sesuai dengan sop, (3) bagi peneliti lain diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan penggunaan dan pembersihan lensa kontak. daftar rujukan american optometric assosiation. 2016. contact. jakarta: cv. trans info media. kementrian kesehatan republik indonesia. 2008. standar profesi refraksionis optisien. (online) (diakses tanggal 27 juni 2016 pukul 22.17). kemenkes ri. 2014. pusat data dan informasi. (online). (diakses tanggal 1 september 2016 pukul 11.33 wib) cahyaningsih, d,s. 2011. pertumbuhan perkembangan anak & remajaoka, p.n. 1993. ilmu perawatan mata. surabaya: airlangga university press e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 175wulandari dan setiyorini, aplikasi sosiodrama dan case study ... 175 aplikasi sosiodrama dan case study terhadap pembentukan sikap dalam pencegahan penularan hiv/ aids calon tenaga kerja indonesia (tki) (the implementation of sociodrama and case study toward preventive attitude of hiv/aids transmission of indonesian migrant workers) ning arti wulandari dan erni setiyorini program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar email:ningarti83@gmail.com abstract: infectious diseases hiv / aids is a disease with a high mortality rate. indonesia ranks first in the transmission of hiv / aids in southeast asia. the number of people living with hiv / aids in blitar on january-july 2013 reached 66 people and 26 died. from that numbers, many cases contributed by the group of indonesian blue collar workers (migrant workers) (arif, 2013). the purpose of this study was to determine the effectiveness of sociodrama and a case study on the knowledge and attitude of prevention of transmission of hiv / aids .the design of the study was quasy experiment with pretest and posttest control group with the sample of 50 people, who were divided into 25 groups of control and treatment. the sampling technique was purposive sampling techniques. the treatment group received treatment of sociodrama and case study whereas the control group getting a lecture. both groups were measured on the knowledge and preventive attitude of transmission of hiv / aids. the study was conducted on may-june 2016. the data was collected using a questionnaire. the level of knowledge and attitude on the treatment and control groups increased. different test level of knowledge between the treatment and control groups using the mann whitney, p = 0.016, which means that there was differences in knowledge in the treatment group and the control, whereas test different attitudes using t test , p = 0.739, which means there was no difference in attitude between the treatment groups and control. the results of this study were expected to be the input for the department of labor and the health department of blitar, komisi pemberantasan aids (kpa) in blitar, pjtki (perusahaan jasa tenaga kerja indonesia). keywords: sociodrama and case study, hiv / aids, labor indonesia abstrak: penyakit infeksi hiv/ aids merupakan penyakit dengan angka kematian yang tinggi. indonesia menempati urutan pertama dalam penularan hiv/aids di asia tenggara. jumlah penderita hiv/aids di kabupaten blitar terhitung januari-juli 2013 mencapai 66 jiwa, 26 di antaranya meninggal dunia. dari kuantitas tersebut, tidak sedikit angka kasus disumbang dari kelompok tenaga kerja indonesia (buruh migran) (arif, 2013). tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sosiodrama dan case study terhadap pengetahuan dan sikap pencegahan penularan hiv/aids. desain penelitian ini adalah quasy eksperiment pre test and post test control group dengan sampel 50 orang, yang dibagi menjadi 25 kelompok kotrol dan 25 kelompok perlakuan. teknik purposive sampling. kelompok perlakuan mendapatkan perlakuan sosiodrama dan case study sedangkan kelompok kontrol mendapatkan metode ceramah. penelitian dilaksanakan pada bulan mei – juni 2016. pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. tingkat pengetahuan dan sikap pada kelompok perlakuan dan kontrol mengalami peningkatan. uji beda tingkat pengetahuan antara kelompok perlakuan dan kontrol menggunakan mann whitney dengan p=0,016, yang berarti terdapat perbedaan pengetahuan pada kelompok perlakuan dan kontrol, sedangkan uji beda sikap menggunakan t-test dengan p=0,739, yang berarti tidak ada perbedaan sikap antara kelompok perlakuan dan kontrol. hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi dinas tenaga kerja dan dinas acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p175-181 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 176 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 169–175 kesehatan kabupaten blitar, komisi pemberantasan aids (kpa) kabupaten blitar, para pengelola pjtki (perusahaan jasa tenaga kerja indonesia). kata kunci: sosiodrama dan case study, hiv/aids, tenaga kerja indonesia penyakit infeksi hiv/aids merupakan penyakit dengan angka kematian yang tinggi. indonesia menempati urutan pertama dalam penularan hiv/ aids di asia tenggara. prestasi ini bukanlah sebuah kebanggaan, melainkan sebuah musibah. data kementerian kesehatan per juni 2011 menunjukkan jumlah pengidap aids mencapai 26.400 orang dan lebih dari 66.600 orang telah terinfeksi hiv positif. totalnya sebanyak 93.000 orang (mujiyanto, 2012). jumlah penderita hiv/aids di kabupaten blitar terhitung januari-juli 2013 mencapai 66 jiwa, 26 di antaranya meninggal dunia. dari kuantitas tersebut, tidak sedikit angka kasus disumbang dari kelompok tenaga kerja indonesia (buruh migran). karenanya disimpulkan bahwa tki masih termasuk kelompok masyarakat yang beresiko tinggi (arif, 2013). berdasarkan data upt-p3tki surabaya tahun 2013, dikatakan bahwa di jawa timur terdapat sebanyak dari 39 daerah kabupaten/kota yang berkontribusi terhadap pengiriman tki ke luar negeri. setelah kabupaten malang, daerah yang paling banyak menyumbang jumlah tki dari jatim adalah kabupaten blitar sebanyak 5.179 orang. tenaga kerja indonesia merupakan salah satu kelompok resiko hiv/aids, meskipun saat ini datanya belum jelas jumlah secara total, namun ada indikasi jumlah penderita hiv/aids di kalangan eks tki/ tkw terus bertambah. berdasarkan data dari dinas kesehatan kabupaten blitar dari tahun 2011 sampai tahun 2012 tenaga kerja indonesia (tki) yang pulang dari luar negeri 5 orang yang mengidap hiv/ aids. berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 5 orang mantan tki. pada umumnya mereka mengatakan bahwa bekerja sebagai tki di luar negeri membawa konsekuensi yang sangat berat, yakni jauh dari keluarga dalam waktu yang cukup lama. namun pengaruh budaya dari negara yang mereka tinggali sangat berpengaruh. tki yang tinggal di negara timur, risiko melakukan seks bebas sangat kecil, karena berbagai aturan ketat yang diterapkan pemerintah setempat. berbeda dengan tki yang tinggal di negara barat lebih rentan untuk berperilaku seks bebas, hal ini dikarenakan kebebasan yang ada di negara tersebut. banyak alasan yang menjadikan mereka berubah drastis, didukung adanya tekanan hidup yang tinggi, dan ketidak mampuan menerima kenyataan, menyebabkan mereka lari pada hal yang mampu membuatnya bahagia dan melupakan beban derita, salah satunya dengan seks bebas. selain pengaruh perkembangan teknologi informasi, aturan dan budaya minimnya informasi dan pengetahuan tentang faktor-faktor risiko dan kerentanan yang dihadapi di negara tujuan menjadi pendorong dari prilaku seks bebas para tki. perilaku seks bebas sangat rentan terhadap penularan hiv/aids. berdasarkan teori lawrence green beberapa faktor predisposisi terbentuknya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi (notoadmodjo, 2010). dengan pengetahuan yang baik maka akan membentuk sikap yang kuat yang dapat mendasari seseorang dalam berperilaku. oleh sebab itu perlu dilakukan pendidikan kesehatan untuk mempersiapkan para calon tenaga kerja indonesia yang akan diberangkatkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja indonesia guna meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga dapat menjaga perilaku seksnya saat jauh dari keluarga. beberapa metode untuk metode pembelajaran dalam melakukan pendidikan kesehatan antara lain small group discussion, role play dan simulasi termasuk sosiodr ama, case study, problem based learning, cooperative learning dan sebangainya (anitah, 2009). sosiodrama merupakan salah satu tehnik dalam membimbing kelompok yaitu bermain peran. sosiodrama dipergunakan sebagai salah satu tehnik untuk memecahkan masalah sosial dengan mendramatisasi persoalan-persoalan yang dapat timbul dalam pergaulan sosial (wingkel, 2004). sedangkan studi kasus merupakan adalah pembelajaran induktif dimana peserta dengan menggunakan kasus nyata dan kemudian dianalisis sebagai upaya memecahkan masalah atau pengambilan keputusan melalui diskusi sehingga peserta mempunyai pengalaman praktek yang berbasis teori (lkpm unhas, 2007). oleh sebab itu peneliti ingin mengaplikasikan sosiodrama dan studi kasus untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap calon tki tentang hiv/aids sebagai bekal menghadapi tantangan di negara lain. tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penerapan sosiodrama dan case study 177wulandari dan setiyorini, aplikasi sosiodrama dan case study ... terhadap peningkatan sikap calon tenaga kerja indonesia (tki) tentang pencegahan penularan hiv/aids di kabupaten blitar. bahan dan metode rancangan penelitian yang digunakan adalah quasy experiment dengan desain pre test and post test control group. populasi dalam penelitian ini adalah calon tki (tenaga kerja indonesia) yang ada di tempat penampungan pt.arni family yang berjumlah 50 orang. sampel dalam penelitian ini adalah calon tki (tenaga kerja indonesia) yang ada di tempat penampungan pt. arni family yang berjumlah 50 orang. dan jika ketika dilakukan penelitian calon tki sedang pulang kerumah maka calon tki tersebut akan di eksklusikan dari penelitian ini. pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling. penelitian dilaksanakan pada bulan april – mei 2016. variabel dependen dalam penelitian ini adalah pelaksanaan sosiodrama dan case study, sedangkan varibel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penularan hiv/aids. instrumen dalam penelitian ini adalah booklet dan kuesioner pengetahuan dan sikap calon tenaga kerja indonesia. analisis data dengan independent t-test untuk data yang berdistribusi normal, sedangkan yang tidak berdistribusi normal dengan mann withney test.uji beda dari 2 hasil pengukuran pada kelompok yang sama, jika data normal digunakan uji paired t-test, jika tidak berdistribusi normal digunakan wilcoxon test. hasil penelitian data umum karakteristik calon tenaga kerja indonesia di pt. arny family tabel 1. karakteristik calon tenaga kerja indonesia di pt. arny family karakteristik perlakuan kontrol frekuensi persentase (%) frekuensi persentase (%) usia 20 -30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 9 10 6 36 40 24 14 7 4 56 28 16 status pernikahan belum menikah menikah janda 3 19 3 12 76 12 5 16 4 20 64 16 pendidikan terakhir sd sltp slta 0 12 13 0 48 52 5 13 7 20 52 28 pernah ke luar negeri belum pernah 9 16 36 64 17 8 68 32 lama di luar negeri tidak pernah 1-4 tahun 5-8 tahun >9 tahun 9 12 3 1 36 48 12 4 17 4 4 0 68 16 16 0 informasi tentang hiv/aids belum pernah sudah pernah 13 12 52 48 9 16 36 64 asal informasi belum mendapat informasi petugas kesehatan dinas kesehatan bp3tki televisi 8 3 12 2 0 32 12 48 8 0 9 1 11 3 1 36 4 44 12 4 178 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 169–175 berdasarkan karakteristik usia, lebih dari separuh kelompok perlakuan berusia 31-40 tahun sebanyak 10 orang (40%), status pernikahan menikah 19 orang (76%), pendidikan terakhir slta 13 orang (52%), pernah keluar negeri 16 orang (64%), lama diluar negeri 1-4 tahun sebanyak 12 orang (48%), sebanyak 13 orang (52%) belum pernah mendapatkan informasi tentang hiv/aids, sebagian besar mendapatkan informasi dari dinas kesehatan sebanyak 12 orang (48%). sedangkan pada kelompok kontrol usia terbanyak 20-30 tahun 14 orang (56%), status pernikahan menikah 16 orang (64%), pendidikan terakhir sltp 13 orang (52%), belum pernah keluar negeri 17 orang (68%), sebanyak 16 orang (64%) pernah mendapatkan informasi tentang hiv/aids, sebagian besar mendapatkan informasi dari dinas kesehatan sebanyak 11 orang (44%). data khusus p=0,000 yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. sedangkan pengetahuan pada kelompok kontrol pre test dan post test dengan uji statistik wilcoxon signed rank test p=0,001 yang berarti terdapat perbedaan antara pre test dan post test. uji beda tingkat pengetahuan antara kelompok perlakuan dan kontrol menggunakan mann whitney dengan p=0,016, yang berarti terdapat perbedaan pengetahuan terhadap pengetahuan pencegahan hiv/aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt.arny family pada post test antara kelompok perlakuan dan kontrol. pengaruh sosiodrama dan case study terhadap pengetahuan pencegahan hiv/aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny famuly pada kelompok perlakuan sikap berdidtribusi normal, sehingga iji statistik yang digunakan paired sample test dengan p=0,000 yang berarti terdapat perbedaan sikap sebelum dan sesudah perlakuan. pada kelompok kontrol uji statistik dengan paired sample test dengan p=0,004, yang berarti terdapat perbedaan sikap antara pre test dan post test. uji beda sikap antara kelompok perlakuan dan kontrol menggunakan t-test dengan p=0,739, yang ber a r ti tida k a da perbedaa n sikap ter ha da p pencegahan hiv/aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny family pada post test antara kelompok perlakuan dan kontrol. pembahasan pengaruh sosiodrama dan case study terhadap tingkat pengetahuan tentang pencegahan penularan hiv/ aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny family tingkat pengetahuan pada kelompok perlakuan sebelum da n sesuda h per la kua n menga la mi peningkatan lebih bedar dibandingkan dengan kelopok kontrol. pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang diperoleh dari penginderaan terhadap objek tertentu. menurut teori berubah, perubahan yang paling mudah adalah pengetahuan. pengetahuan merupakan domain kognitif yang berperan penting dalam pembentukan tindakan seseorang (notoatmodjo, 2003). berbagai faktor mempengaruhi pengetahuan seseorang, terutama terbagi menjadi faktor internal dan eksternal. faktor internal meliputi usia, intelegensia, pemahaman, keyakinan, sedangkan faktor eksternal meliputi pendidikan, pergaulan, lingkungan sosial, tabel 2. tingkat pengetahuan dalam pencegahan penularan hiv/ aids calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny family tingkat pengetahuan kelompok perlakuan kelompok kontrol rata – rata rata – rata sebelum 28 26,08 sesudah 33,08 27,96 selisih rata-rata tingkat pengetahuan pada kelompok perlakuan sebesar 5,08, sedangkan selisih pengetahuan pada kelompok kontrol sebesar 2,44. tabel 3. sikap dalam pencegahan penularan hiv/ aids calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny family sikap kelompok perlakuan kelompok kontrol rata – rata rata – rata sebelum 29,88 27,64 sesudah 32,32 29,36 selisih rata-rata sikap pada kelompok perlakuan sebesar 1,88, sedangkan pada kelompok kontrol 1,72. pengaruh sosiodrama dan case study terhadap pengetahuan pencegahan hiv/aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny family pada kelompok perlakuan data tingkat pengetahuan tidak berdistribusi normal sehingga analisa data sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan menggunakan wilcoxon signed rank test dengan nilai 179wulandari dan setiyorini, aplikasi sosiodrama dan case study ... sarana informasi, sosial, ekonomi, budaya, latar belakang pendidikan keluarga. faktor usia turut berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan, usia terbanyak 31-40 tahun pada kelompok perlakuan dan 21-30 tahun pada kelompok kontrol tergolong pada usia produktif yang merupakan salah satu persyaratan yang tercantum dalam undang-undang no.39 tahun 2004 tentang sistem penempatan kerja luar negeri, bahwa untuk persyaratan usia sekurang-kurangnya 18 tahun kecuali bagi calon tki yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 tahun (aisyaroh, dkk., 2011). semakin bertambahnya usia seseorang, maka pengalamannya akan semakin banyak dan mempengaruhi daya tangkap dan pola pikirnya. notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa tingkat pendidikan menentukan mudah tidaknya menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh dan pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin baik pengetahuannya. sebagian besar pada kelompok perlakuan berpendidikan slta, sehingga mudah menerima informasi tentang pencegahan penularan hiv/aids. selain itu, sebagian calon tki sudah pernah bekerja di luar negeri dan sudah terpapar informasi tentang hiv/ aids. selain faktor diatas, faktor yang berpengaruh dalam pengetahuan yaitu media/ sumber informasi. metode yang diaplikasikan dalam penelitian ini menggunakan metode sosiodrama dan case study. metode sosiodrama merupakan salah satu metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada peserta didik tentang suatu permasalahan dengan tujuan untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. menurut wiryawan (2000) bahwa metode sosiodrama merupakan metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada siswa tentang masalahmasalah, caranya dengan mempertunjukkan kepada siswa masalah bimbingan hubungan sosial tersebut didramatisirkan siswa dibawah bimbingan guru. seda ngka n metode case study mer upa ka n rangkuman pengalaman pembelajaran yang ditulis oleh pengajar dalam praktik pembelajaran dikelas (ha nda ya ni, 2013). penga la ma n ter sebut memberikan contoh nyata tentang suatu topik permasalahan kepada peserta didik. gabungan antara metode belajar sosiodrama dan case study yang diterapkan pada topik pencegahan penularan hiv/ aids lebih efektif dibandingkan dengan metode lain. berdasarkan teori tentang proses belajar orang dewasa, daya ingat dan metode belajar , metode belajar yang hanya pendengaran memiliki memori 20%, penglihatan 30%, penglihatan dan pendengaran 50%, penglihatan, pendengaran dan diskusi 70%. sesuai dengan teori tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa gabungan antara sosiodrama dan case study dengan melibatkan beberapa indera, sehingga memori dapat mencapai 70%. hal ini sesuai dengan hasil penelitian, bahwa pada kelompok perlakuan peningkatan rata-rata tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah perlakuan lebih besar daripada kelompok kontrol. pengaruh sosiodrama dan case study terhadap pengetahuan pencegahan hiv/aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny famuly hasil penelitian pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa terdapat peningkatan sikap sebelum dan sesudah perlakuan, akan tetapi pada uji beda tidak terdapat perbedaan sikap antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. sikap merupakan tanggapan seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. komponen sikap terdiri dari kepercayaan (keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan, emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. sikap dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang, sikap mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi melibatkan faktor emosi. hasil perubahan sikap pada kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan rata-rata lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol. teknik sosiodrama yang diterapkan dalam penelitian ini menghadirkan cerita yang dapat membangkitkan emosi, sehingga penerimaan pesan dalam cerita tersebut lebih mendalam. gerungan (2000) mendefenisikan sikap sebagai suatu kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, positif atau negatif terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, situasi, ide, konsep dan sebagainya. menurut manstead, 1996; strickland, 2001 terdapat tiga komponen sikap, tiga komponen sikap itu adalah komponen respons evaluatif kognitif, komponen respons evaluatif afektif, dan komponen respons evaluatif perilaku. ketiga komponen itu secara bersama merupakan penentu bagi jumlah keseluruhan sikap seseorang (nurhayati, 2013). pada komponen respon evaluatif kognitif calon tki mempersepsikan peristiwa yang ditampilkan pada sosiodrama sebagai sasaran sikap. informasi yang masuk ke dalam otak manusia melalui proses analisis, sintesis dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru 180 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 169–175 yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada. nilai-nilai baru yang diyakini benar pada akhirnya dapat mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. komponen respon evaluatif efektif adalah perasaan atau emosi yang dihubungkan dengan objek sikap. perasaan meliputi kecemasan, kasihan, benci, marah, cemburu atau suka. pada sosiodrama yang ditampilkan menggambarkan cerita tentang tki yang bekerja di luar negeri dan mengalami berbagai peristiwa sampai akhirnya terkena hiv/aids dapat membangkitkan emosi dari calon tki yang menyaksikan. sedangkan pada respon evaluatif perilaku adalah tendensi untuk berperilaku pada cara-cara terhadap objek sikap. manifestasi sikap terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap obyek atau subyek. dampak dari pembelajaran menggunakan gabungan metode sosiodrama dan case study tentang pencegahan penularan hiv/aids pada calon tki dapat dievalusi dengan membandingkan antara sikap sebelum dan sesudah perlakuan. hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan sikap yang bermakna pada kelompok perlakuan dan kontrol. hal ini dapat terjadi karena sikap juga dipengaruhi oleh faktor internal yang ada pada diri pribadi individu sendiri yaitu selektifitas (gerungan, 2002). selektifitas ini menyebabkan daya pilih atau minat calon tki untuk bersikap positif terhadap pencegahan penularan hiv/ aids tidak serta merta menerima pengaruh dari sosiodrama dan case study yang diterapkan, akan tetapi akan ditimbang-timbang terlebih dahulu sesuai dengan minat atau yang menarik perhatian atau tidak. b.f skinner dalam azwar (2003) juga menekankan pengaruh lingkungan termasuk kebudayaan dalam membentuk kepribadian seseorang. simpulan dan saran simpulan tingkat pengetahuan pada kelompok perlakuan mengalami peningkatan sebesar 5,08, sikap dengan peningkatan rata-rata 1,88, sedangkan pada kelompok kontrol peningakatan pengetahuan 2,44 dan sikap 1,72. uji beda tingkat pengetahuan antara kelompok perlakuan dan kontrol menggunakan mann whitney dengan p=0,016, yang berarti terdapat perbedaan pengetahuan terhadap pengetahuan pencegahan hiv/aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt. arny family pada post test antara kelompok perlakuan dan kontrol. uji beda sikap antara kelompok perlakuan dan kontrol menggunakan t-test dengan p=0,739, yang berarti tidak ada perbedaan sikap terhadap pencegahan hiv/aids pada calon tenaga kerja indonesia (tki) di pt.arny family pada post test antara kelompok perlakuan dan kontrol. saran data penelitian ini dapat menjadi data dasar pada penelitian selanjutnya, untuk lahan diharapkan dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang hiv/aids pada pengelola pjtki sehingga dapat mensosialisasikan kepada calon tki. untuk institusi pendidikan diharapkan dapat memberikan pengkayaan materi mata kuliah keperawatan komunitas. hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi dinas tenaga kerja dan dinas kesehatan kabupaten blitar, komisi pemberantasan aids (kpa) kabupaten blitar terkait dengan program pencegahan penularan hiv/aids. daftar rujukan aisyaroh n, suryoputro a, shaluhiyah s. 2011. niat tenaga kerja indonesia (tki) di jawa tengah dalam upaya mencegah tertular hiv dan aids. jurnal promosi kesehatan indonesia vol 6 nomor 1 januari 2011. arif, solichan. 2013. tki beresiko tinggi tertular hiv. http://daerah.sindonews.com/read/790040/23/tkiberesiko-tinggi-tertular-hiv-aids-1380714792. anitah, s. 2009. teknologi pembelajaran. surakarta: yuma pustaka. azwar, s. 2003. sikap manusia, teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. depdiknas. 2008. strategi pembelajaran dan pemilihannya. jakarta: direktorat tenaga kependidikan direktorat jenderal. gerungan w. 2002. psikologi sosial. bandung: refika aditama. handayani, puji. 2013. model-model pembelajaran. http:// jhe-handayani.blogspot.co.id/2013/09/modelmodel-pembelajaran.html dibuka tanggal 1 juni 2016. husniah, nur aqlia. 2011. penerapan metode sosiodrama untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran sejarah kebudayaan islam (ski) kelas iv b madrasah ibtidaiyah islamiyah sukun malang penerapan metode sosiodrama untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran sejarah kebudayaan islam (ski) kelas iv b madrasah ibtidaiyah islamiyah sukun malang. malang: skripsi uin maulana malik ibrahim. 181wulandari dan setiyorini, aplikasi sosiodrama dan case study ... notoatmodjo, soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. rineka cipta. jakarta. nurhayati, l. 2013. psikologi sosial tentang sikap. http:/ /lalisnurhayatiii.blogspot.co.id/2013/05/psikologisosial-tentang-sikap.html dibuka juni 2016. prabowo, irfan. 2012. teknik sosiodrama. http:// irvanhavefun.blogspot.com /2012/03/tekniksosiodrama.html dibuka tanggal 20 april 2015. zakaria. 2009. case study dalam pembelajaran. http:// zakaria71.blogspot.com/2009/08/case-studydalam-pembelajaran.html. dibuka tanggal 20 april 2015. wingkel. 2004. bimbingan dan konseling di institusi pendidikan. jakarta: pt. gramedia. kellerman, peter felix. 2007. sociodrama and collective trauma. london: jessica kingsley publishers. 103 hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas (relationship between parents role with teen’s attitude about free sex) dian lutfianawati dan intin ananingsih stikes patria husada blitar e-mail: ananingsihintin@yahoo.co.id abstract: teenagers are the transition from children into adults whose duration varies depends on the social and cultural factors. parents take an important role to improve the general knowledge of child and adolescent reproductive health in particular. method: the research design was correlational design. the research sample was 30 student xi class in man wlingi, blitar regency. it was choosen using purposive sampling. the data was collected using questionnaire. the data was analysed using chi square test. result: the results showed by chi square correlation (rho) that the p value = 0,001. discussion: based on the results of the research, it was recommended that parents not fully apply the authoritarian role to the teenagers. keywords : parents role, attitude, free sex perilaku seks di kalangan remaja saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, sehingga berdampak pada persoalan ktd, aborsi dan kejadian hiv dan aids semakin tahun semakin meningkat. hal ini juga dipengaruhi adanya pergeseran sikap yang lebih permisif pada hubungan seksual. remaja indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang sangat cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah normanorma, nilai-nilai dan gaya hidup mereka. remaja merupakan masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial dan budaya. cirinya adalah alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul, intelegensi mencapai puncak perkembangannya, emosi sangat labil, kesetiakawanan yang kuat terhadap teman sebaya dan belum menikah. kondisi yang belum menikah menyebabkan remaja secara sosial budaya termasuk agama dianggap belum berhak atas informasi dan edukasi apalagi pelayanan medis untuk kesehatan reproduksi. terjerumusnya remaja ke dalam dunia hubungan sosial yang luas maka mereka tidak saja harus mulai adaptasi dengan norma perilaku sosial tetapi juga sekaligus dihadapkan dengan munculnya perasaan dan keinginan seksual (dianawati, 2003). remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi dan modernisasi. menurut teori ecological model of youtn development, keluarga (orang tua) memiliki kekuatan yang paling besar di dalam mempengaruhi kehidupan remaja termasuk perilaku seksualnya. orangtua memegang peranan penting untuk meningkatkan pengetahuan anak remaja secara umum dan khususnya kesehatan reproduksi. karena orangtua merupakan lingkungan primer dalam hubungan antar manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. bilamana orang tua mampu mengkomunikasikan mengenai perilaku seks (pendidikan seks) kepada anak remajanya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. dan sebaliknya jika orang tua tidak mampu mengkomunikasikan mengenai pendidikan seks maka akan berdampak pada perilaku seksual yang berisiko. sistem kekerabatan dalam keluarga yang berhubungan dengan orang tua sebagai pusat kekuasaan dalam mengawasi remaja. komunikasi orang tua dengan anak memegang peranan penting dalam membina hubungan keduanya. orang tua yang kurang bias berkomunikasi dengan anaknya akan menimbulkan konflik hubungan sehingga dapat berdampak pada acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p098-103 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ lutfianingsing dan ananingsih, hubungan peran.. 104 perilaku seksual remaja. orang tua mencegah terjadinya perilaku berisiko yaitu penggunaan alcohol, aktivitas seksual, kenakalan dan perbuatan yang amoral lainnya (wilis, 2006) . remaja mempunyai karakter khas yang penuh gejolak dengan perkembangan emosi yang belum stabil menjadikan remaja lebih rentan mengalami gejolak sosial. fakta telah membuktikan bahwa keteledoran orang tua dalam mengawasi dan berkomunikasi dengan anaknya berkontribusi dalam peningkatan perilaku seksual berisiko, problem-problem sosial dan perbuatan kriminal. peran orang tua mempengaruhi pergaulan bagi remaja. peran orang tua meliputi peran demokratis, peran otoriter, dan peran permisif. peran otoriter merupakan peran dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan cara ketat dan disiplin. peran otoriter meliputi dua konsep yaitu konsep positif dan konsep negative. konsep positif dapat terjadi di pendidikan dan bimbingan yang lebih menekankan pada disiplin diri dan pengendalian diri. sedangkan konsep negatif dijelaskan bahwa disiplin dalam diri berarti pengendalian dengan kekuatan dari luar diri, hal ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan (wilis, 2006). who (world healht organation) memperkirakan dengan rata-rata 100% seluruh remaja yang ada di dunia, diperkirakan 47% nya telah terlibat dalam prilaku seks bebas. angka ini juga sangat berkaitan dengan tingginya jumlah angka penderita hiv/aids (human irnmunodeviciency virus/aquared immuno deficiency virus) yang terus menerus meningkat setiap tahunnya. terbukti pada tahun 2002 jumlah penderita diperkirakan 90.000 hingga 160.000¬an kasus. angka ini semakin meningkat ditahun 2006, antara 169.000 hingga 216.000, data akhir di bulan september menjukan angka 6.987 dengan kasus baru (dianawati, 2003). pergaulan seks bebas di kalangan remaja indonesia saat ini memang sangatlah memprihatinkan. berdasarkan beberapa data, di antaranya dari komisi perlindungan anak indonesia (kpai) menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kotakota besar antara lain jakarta, surabaya, dan bandung pernah berhubungan seks. hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja kehilangan perawan saat masih duduk di bangku smp, dan bahkan 21,2 persen di antaranya berbuat ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. aborsi dilakukan sebagai jalan keluar dari akibat dari perilaku seks bebas. bahkan penelitian lsm sahabat anak dan remaja indonesia (sahara) bandung antara tahun 2000-2002, remaja yang melakukan seks pra nikah, 72,9% hamil, dan 91,5% di antaranya mengaku telah melakukan aborsi lebih dari satu kali. data ini didukung beberapa hasil penelitian bahwa terdapat 98% mahasiswi yogyakarta yang melakukan seks pra nikah mengaku pernah melakukan aborsi. secara kumulatif, aborsi di indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta kasus per tahun. setengah dari jumlah itu dilakukan oleh wanita yang belum menikah, sekitar 10-30% adalah para remaja. artinya, ada 230 ribu sampai 575 ribu remaja putri yang diperkirakan melakukan aborsi setiap tahunnya. sumber lain juga menyebutkankan, tiap hari 100 remaja melakukan aborsi dan jumlah kehamilan yang tidak diinginkan (ktd) pada remaja meningkat antara 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahun. selain itu survei yang dilakukan bkkbn pada akhir 2008 menyatakan, 63 persen remaja di beberapa kota besar di indonesia melakukan seks pranikah. dan, para pelaku seks dini itu menyakini, berhubungan seksual satu kali tidak menyebabkan kehamilan. hubungan perilaku seks bebas menunjukkan 41% responden remaja menyatakan alasan melakukan hubungan seksual karena cinta (suka sama suka) dan merupakan kebutuhan biologis, sedangkan 54% menyatakan bahwa aktivitas seksual tersebut terjadi karena kurangnya perhatian orang tua atau retaknya komunikasi antara orang tua dan anak khususnya remaja. penelitian terhadap remaja usia 17-19 tahun yang melakukan hubungan seks pranikah di enam kota di jawa timur menempatkan kota malang diurutan kedua (15%) setelah kota banyuwangi (19%). angka ini lebih besar diabandingkan dengan kejadian di kota surabaya yang hanya 15%. tingginya angka remaja melakukan hubungan seks pranikah di kota malang yang melebihi kota surabaya semestinya perilaku seks pranikah remaja juga lebih rendah (mufida, 2008). data dinas kesehatan kabupaten blitar dapat dihasilkan 10% remaja pernah melakukan seks bebas seperti melakukan hubungan seks bebas diluar nikah. berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada siswa kelas xi di man wlingi kabupaten blitar sebanyak 272 siswa didapatkan hasil yaitu 74 % siswa mengetahui secara tepat 105 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 103-109 tentang seks bebas, 16% siswa sudah mengerti tentang kesehatan reproduksi, 12 % siswa berpandangan bahwa berpacaran dengan berpegangan tangan, berciuman itu boleh-boleh saja dan 8% siswa tidak pernah berpacaran. berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk membuat penelitian dengan judul: "hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas pada siswa kelas xi di man wlingi kabupaten blitar.” rumusan masalahnya adalah adakah hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas pada siswa kelas xi di man wlingi kabupaten blitar. tujuan umumnya adalah mengetahui tentang hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi peran orang tua pada remaja tentang seks bebas, (2) mengidentifikasi sikap remaja tentang seks bebas, (3) menganalisa hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas. manfaat teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi dalam bidang pergaulan seks bebas. menambah pengetahuan tentang peran orang tua dalam pendidikan remaja. manfaat praktis dalam penelitian ini adalah dapat meningkatkan pengetahuan dan peran orang tua dalam memberikan pendidikan remaja tentang perilaku seks bebas dan memberi masukan kepada institusi pendidikan tentang hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan analitik korelasi dengan menggunkan pendekatan cross sectional. subyek penelitian ini sebanyak 30 siswa yang diambil sesuai dengan tekhnik sampling yang telah ditentukan. subyek penelitian ini dipilih secara purposive sampling. variabel bebasnya adalah peran orang tua. variabel terikatnya adalah sikap remaja tentang seks bebas. skor yang diperoleh diubah menjadi kategori peran orang tua dan kategori sikap remaja, dan untuk mengetahui hubungan variable independent dan dependen menggunakan analisis uji korelasi chi square. hasil penelitian karakteristik remaja kelas xi di man wlingi kabupaten blitar sebanyak 30 siswa seperti dalam table 1 dibawah ini. tabel 1. karakteristik remaja kelas xi di man wlingi kabupaten blitar no karakteristik f % 1 umur 16 tahun 5 16,7 17 tahun 18 tahun 24 1 80,0 3,3 2 pendidikan ibu sd 8 26,7 sltp 13 43,3 slta sarjana 8 1 26,7 3,3 3 pendidikan ayah sd 10 33,3 sltp 13 43,3 no karakteristik f % slta 7 23,3 4 pekerjaan ibu petani 2 6,7 pedagang 3 10 swasta 2 6,7 wiraswasta 5 16,7 irt 18 60 5 pekerjaan ayah petani 10 33,3 pedagang 5 16,7 swasta 7 23,3 wiraswasta 8 26,7 berdasarkan tabel 4.1 dapat di ketahui bahwa dari jumlah 30 responden, orang tua, orang tua yang menerapkan peran otoriter sebanyak 17 responden (56,7%), 14 responden diantaranya memberika dampak sikap negatif, pada remaja (46,7%), sedangkan 3 responden lainnya memberikan dampak positif (10%). orang tua yang menerapkan peran didik tidak otoriter sebanyak 13 responden (43,3%), 2 responden memiliki dampak sikap negatif (6,7%) dan pada 11 responden yang memiliki dampak sikap positif (36,7%). jumlah responden yang bersikap negatif sebanyak 16 responden (53,3%) diantaranya 14 responden (46,7%) dengan peran didik otoriter, 2 responden (6,7%) dengan peran didik orang tua yang tidak otoriter dengan jumlah responden yang bersikap positif 14 responden (46,7%) diantaranya 3 responden (10%) dengan peran didik orang tua otoriter dan 11 responden (36,7%) dengan peran orang tua tidak otoriter. lutfianingsing dan ananingsih, hubungan peran.. 106 berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan uji chi square menunjukkan nilai p value = 0,001 sehingga nilai 0,001 < 0,01. nilai χ2 = 13,274, χ2 tabel = 6,635 sehingga χ2 hitung > χ2 tabel artinya signifikan yakni ada hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas. pembahasan tabel 2. peran orang tua no peran orang tua f % 1 otoriter 17 56,7 2 tidak otoriter 13 43,3 tabel 3. sikap remaja no sikap remaja f % 1 negatif 16 53,3 2 positif 14 46,7 peran orang tua hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 responden yang memiliki peran orang tua otoriter dengan jumlah responden sebesar 17 responden (56,7%) dan sebesar 13 responden (43,3%) mempunyai peran orang tua tidak otoriter. peran orang tua meliputi: mengetahui aktifitas responden ketika keluar rumah, keberadaan responden tidak diketahui ketika keluar rumah, aktifitas setelah pulang sekolah, peran orang tua dalam hal tidak mengijinkan remaja tidak berpacaran dan memberitahukan kegiatan remaja diluar rumah, komunikasi orang tua dalam membicarakan kesehatan reproduksi atau pendidikan seksual, mengkonsumsikan halhal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan mendiskusikan tentang program yang ditonton remaja. peran otoriter adalah peranan orang tua dimana semua kekuasaan ada pada orang tua, semua keaktifan anak ditentukan olehnya. anak sama sekali tidak mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat, anak dianggap sebagai anak kecil terus menerus, anak tidak pernah dapat perhatian yang layak sehingga semua keinginan dan cita-citanya tidak mendapatkan perhatian. dilihat dari segi pendidikan sebagian besar (43,3%) pendidikan orang tua ayah dan ibu responden adalah sltp. dan dilihat dari segi pekerjaan orang tua responden yauitu ibu sebagian besar (60,0%) menunjukan pekerjaannya adlah ibu rumah tangga (irt), sedangkan ayah responden sebagian besar (33,3%) menunjukan sebagai petani. tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atau individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam tingkah laku, fikiran dan sikap. informasi, pengetahuan dan pengalaman saseorang bisa didapatkan selain dari orang tua,media massa atau lembaga-lembaga lain juga dari teman sebaya dan lingkungan. teman sebaya lebih dapat mengerti tentang isi hati dan masalah yang didalami. lingkungan memberikan pengaruh sosial pertama bagi seseorang dimana seseorang dapat mmpelajari hal-hal yang baik dan juga halhal yang buruk tergantung pada sifat elompok dan lingkungannya. sikap responden tentang seks bebas hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap responden dengan jumlah 30 responden yang memiliki sikap negatif tentang seks bebas sebesar 16 responden (53,3%) dan sebesar 14 responden (46,7%) menunjukkan sikap yang positif tentang seks bebas. perubahan sikap dapat terjadi perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya usia responden, pengetahuan, peran orang tua yang otoriter dan irnformasi. hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh azwar (2009) bahwa pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh faktor yaitu pengalaman pribadi,kebudayaan,pengaruh orang lain yang dianggap penting,media massa ,institusi atau lembaga agama, serta faktor emosi yang membentuk sikap. sikap negatif disini berarti adanya peran orng tua yang otoriter dan pergaulan didalam sekolah antara laki-laki dan perempuan tidak ada jarak untuk berteman. peran orang tua dalam berkomunikasi dan juga pengetahuan responden sangat penting. orang lain (teman sebaya,orang tua dan lingkungan) disekitar responden merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap responden. responden memiliki pola sikap dan perilaku tertentu dikarenakan mendapat penguatan dari masyarakat untuk sikap dan perilaku tersebut bukan untuk sikap dan perilaku lain. pengaruh media massa sangat besar bagi responden untuk 107 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 103-109 mendapatkan diplomasi atau pengetahuan tentang seks bebas. lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidak mengherankan jika konsep tersebut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal. dari hasil penelitian didapatkan sikap responden yang mempunyai sikap negatif yang lebih besar tentang seks bebas dari pada sikap positif. sikap negatif responden menunjukkan bahwa responden mendapatkan perlakuan dari orang lain dengan cara dimana keakttifan ditentukan oleh orang tuanya sehingga sikap responden menjadi negatif. sedangkan yang mempunyai sikap positif menunjukkan bahwa responden segala keaktifannya dibebaskan tanpa ada paksaan dari orang tuanya. komponen sikap yang utuh yakni kepercayaan (keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu objek kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek dan yang ke 3 adalah kecenderungan untuk bertindak. ke 3 komponen sikap ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). dalam penentuan sikap utuh ini peran orang tua, pengetahuan,berfikir dan emosi memegang peranan penting. oleh karena itu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan terutama bagi orang tua responden yang masih menerapkan peran yang otoriter. dan bagi responden menambah informasi positif dalam menyikapi hal-hal yang negatif. hubungan peran orang tua terhadap sikap tentang seks bebas hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 17 responden yang memiliki orang tua dengan peran otoriter memberikan dampak sikap negatif terhadap responden sebesar 14 responden (46,7%) dan sebesar 3 responden (10%) memberikan dampak sikap positif. dan dari 13 responden yang memiliki orang tua dengan peran yang tidak otoriter memberikan dampak sikap negatif terhadap responden sebesar 2 responden (6,7%) dan sebesar 11 responden (36,7%) memberikan dampak sikap positif. hasil uji chi square menunjukan nilai p value = 0,001 sehingga nilai 0,001 < 0,01. nilai χ2 = 13,274 χ2 tabel = 6,635 sehingga χ2 hitung > χ2 tabel artinya signifikan yakni ada hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas. orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengantarkan anak-anaknya ke alam dewasa. ayah dan ibu menjadi sumber utama, informasi mengenai pengetahuan tentang pubertas kepada ramaja secara benar dan terpercaya (dianawati,2008). masa remaja adalah masa perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. masa ini merupakan periode transisi dari masa anak ke masa dewasa yang ditandai dengan kecepatan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,emosional serta sosial. proses pertumbuhan merupaka proses berkesinambungan yang dipengaruhi oleh faktor genetik (ras,keluarga) dan faktor lingkungan biopsokososial mulai dari konsepsi sampai dewasa (sugiyono, 2011). berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini menunjukan peran orang tua banyak yang otoriter, sehingga mengakibatkan sikap remaja menjadi negativ berupa pembangkangan seperti pembohongan pada orang tua, tidak diijinkan berpacaran tapi mereka diam-diam berpacaran, dan meraka saat berpacaran dengan selalu berciuman yang menyebabkan pola perilaku berpacaran yang bebas karena tidak adanya kontrol orang tua. dan meraka mendapatkan informasi dari media yang paling banyak dan mudah didapat adalah dari internet yang sangat mudah mendapatkan situs yang berbau porno, mengakibatkan keinginan remaja untuk meniru. hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan hormon seks yang mempengaruhi perempuan adala esterogen dan progesteron yang diproduksi di indung telur, edangkan laki-laki diproduksi oleh testis dan dinamakan testosterone. hormonhormon tersebut ada didalam darah dan mempengaruhi alat-alat dalam tubuh. senam hamil harus dilakukan secara teratur dan disiplin dalam batas-batas kemampuan fisik ibu dan juga dibawah pimpinan instruktur senam hamil (mufida, 2008). apabila melakukan senam hamil dengan baik tentunya secara fisik dan mental seorang ibu hamil akan memiliki perasaan yang nyaman sehingga akan memberikan kelancaran pada saat persalinan. bidan perlu melakukan penyuluhan kepada ibu hamil agar proaktif memeriksakan kesehatan mereka dan mencegah sekecil mungkin resiko sebelum melahirkan, dengan harapan dapat melakukan senam hamil secara teratur. namun, hal ini juga bergantung dari banyak faktor, diantaranya (1) tingkat pendidikan, hasil lutfianingsing dan ananingsih, hubungan peran.. 108 penelitian menunjukkan sebagian kecil ibu inpartu berpendidikan sd yaitu 30,8% atau 4 responden. seseorang yang mempengaruhi penerimaan informasi pendidikan formal berfungsi untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengembangkan daya intelektual, dan memudahkan dalam menerima atau mengadopsi perilaku yang positif. misalnya : ibu inpartu ketika merasakan ada kontraksi ibu tersebut menjerit-menjerit atau berbicara keras. (2) dukungan sosial, dimana kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau buruk. namun tata kelakuan yang kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat mengikat menjadi adat istiadat yang terlalu mengikat. ibu inpartu yang didampingi suami atau tanpa didampingi suami itu beda karena ibu tersebut dengan penuh kasih sayang merasakan betapa besarnya pengorbanan untuk melahirkan bayi sehingga hal itu akan menyebabkan para ibu akan cenderung mempunyai pandangan dan sikap yang lebih positif dalam melakukan senam hamil secara baik dan teratur untuk mengurangi nyeri kontraksi persalinan (notoatmodjo,2005). simpulan dan saran simpulan peran orang tua pada siswa kelas xi man wlingi menunjukkan hampir sebagian besar (56,7%) mempunyai peranan yang otoriter pada responden. sikap remaja tentang seks bebas pada siswa kelas xi man wlingi menunjukkan sebagian besar responden (53,3%) memiliki sikap yang negatif tentang seks bebas. ada hubungan peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas pada siswa kelas xi man wlingi ditandai dengan hasil uji chi square menunjukkan nilai p value = 0,001 dan χ2 =13,274. saran saran bagi orang tua, hasil penelitian didapatkan bahwa peran orang tua yang otoriter sebagian besar mempunyai dampak sikap yang negatif bagi remaja, sehingga diharapkan sekolah dapat memberikan penyuluhan tentang peran orang tua yang tidak otoriter bagi wali murid. dan juga sebagai informasi tentang peran orang tua remaja dan sikap remajanya, bagi profesi kesehatan khususnya kebidanan hendaknya lebih giat dan aktif dalam memberikan konseling, informasi, dan edukasi tentang senam hamil di lingkungan pendidikan secara berkala setiap bulan dan berkesinambungan sesuai kebutuhan dan keadaan, bagi responden, diharapkan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang peran orang tua dengan sikap remaja tentang seks bebas. sebagai bahan referensi bagi mahasiswa-mahasiswi lain yang berkaitan tentang peran orang tua yang otoriter atau tidak dengan sikap remaja tentang seks bebas. daftar rujukan azwar, syaifuddin. 2009. sikap manusia dan teori pengukurannya. edisi ke-2. jakarta: pustaka pelajar. dianawati, ajeng. 2003. pendidikan seks untuk remaja. cetakan ketiga. jakarta: kawan pustaka. marzuki. 2002. peranan keluarga memandu anak. jakarta: cv. rajawali. mufida, alia. 2008. peran pola asuh orang tua dalam memotivasi belajar, ps psikologi fakultas kedokteran universitas sumatera utara, diakses pada tanggal 17 juli 2013. notoatmodjo, s. 2005. promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. sugiyono. 2011. statistika untuk penelitian. bandung: alfabeta. wilis, s. 2006. problema remaja dan pemecahannnya. bandung: angkasa. 181anam, nohan, sikap orang tua dalam penanganan anak... 181 sikap orang tua dalam penanganan anak retardasi mental di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar (the description of the attitude of parents in handling the mental retardation child in sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul, blitar city) agus khoirul anam¹, nohan2 ¹jurusan keperawatan, poltekkes kemenkes malang, ²praktisi keperawatan email: aguskhoirulanam@gmail.com abstract: mental retardation is a condition of mental development that has stopped or is not complete. in most children’s mental retardation, many problems can be to concern the parents. the objective of this research was to describe the attitude of parents in handling the mental retardation child in sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul, blitar city. the design of the research was descriptive research. the population of the research was the whole of the parents of children with mental retardation in sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul, blitar city in academic year of 2015–2016, the sample was 58 parents by using total samplingtechnique. the data collection was carried out by giving the questionnaire. the time of data retrieval was performed on 13 june until 13 july 2016. the results showed that of 55.2% or 32 parents who have a positive attitude in handling the child’s mental retardation and 44.8% or 26 parents being negative attitude in the handling of child mental retardation. the factors that support were age, number of children, and responsibility. the recommendations of this research were expected that the results of this research could provide input for the place of the research for involving parents in the treatment of mental retardation in a comprehensive manner. keywords: attitude, mental retardation, parent. abstrak: retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap. pada kebanyakan anak retardasi mental, banyak masalah yang dapat merisaukan orang tua. tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan sikap orang tua dalam penanganan anak retardasi mental di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar. penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah seluruh orang tua dari anak retardasi mental yang bersekolah di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar tahun ajaran 2015–2016, besar sampel sebanyak 58 orang tua dengan teknik total sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada 13 juni–13 juli 2016. hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 55,2% atau 32 orang tua bersikap positif dalam penanganan anak retardasi mental dan 44,8% atau 26 orang tua bersikap negatif dalam penanganan anak retardasi mental. faktor yang mendukung adalah usia, jumlah anak, tanggungjawab. rekomendasi penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan pada tempat penelitian untuk melibatkan orang tua dalam penanganan anak retardasi mental secara komprehensif. kata kunci: sikap, retardasi mental, orang tua. hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p181-185 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 182 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 181–185 anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan fisik, psikologis, sosial dan spiritual (hidayat, 2009:6). anak mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. pertumbuhan dilihat dari bertambahnya ukuran fisik anak. sedangkan perkembangan dilihat dari kognitif anak.dalam masa perkembangan, jika anak memiliki gangguan perkembangan yang ditandai dengan iq yang rendah maka anak itu mengalami retardasi mental. retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya hendaya (impairment) ketrampilan (kecakapan, skills) selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. retardasi mental dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan mental atau fisik lainnya (who geneva, 1992 dalam lumbantobing 2001:2). pada kebanyakan anak retardasi mental, masalah yang merisaukan atau menyusahkan orang tua ialah perilaku mencederai diri (self mutilating), mengantukkan kepalanya, menggigit jarinya, perilaku agresif dan mengamuk dan gangguan tidur.tidak jarang pula orang tua menyatakan bahwa anaknya suka berkelahi, namun ada pula anak yang terlalu pemalu, takut sekolah, tidak hati-hati. untuk menangani gangguan perilaku ini perlu diminta bantuan ahli mendidik, psikolog atau psikiater yang dapat antara lain memberikan latihan modifikasi perilaku (lumbantobing, 2001). anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. penanganan anak berkebutuhan khusus adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-hak anak berkebutuhan khusus agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan (peraturan menteri negara pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak republik indonesia no 10 pasal 1 tahun 2011) orang tua adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan atau ibu tiri, atau ayah dan atau ibu angkat (uu ri nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak).orang tua memiliki tugas dalam mengasuh anak. dalam proses pengasuhan anak, orang tua memiliki gaya pengasuhan yang berbedabeda antara lain gaya pengasuhan dari dimensi arahan, yaitu gaya pengasuhan authoritative (demokratis), gaya pengasuhan authoritarian (otoriter) dan gaya pengasuhan permisif (serba membolehkan) (sunarti, 2004:117). sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (notoatmodjo, 2007).menurut azwar (2012:5) sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. sikap orang tua dalam mengasuh anak retardasi mental yaitu sikap yang positif atau sikap negatif. sikap ini ditunjukkan orang tua dalam proses pengasuhan sehari-hari kepada anak retardasi mental. sikap positif orang tua dalam mengasuh anak retardasi mental antara lain adanya kerja sama dengan tenaga kesehatan untuk memeriksa fisik anak, mengobati penyakit atau kelainan yang ada pada anak retardasi mental, adanya keluarga yang mengerti kondisi dalam mengasuh anak retardasi mental, tidak mengucilkan anak retardasi mental, dukungan keluarga dalam mengajarkan disiplin, mengajarkan perilaku yang baik dan buruknya suatu tindakan, keluarga memberikan nutrisi yang perlu diperhatikan. sedangkan sikap negatif orang tua alam mengasuh anak retardasi mental antara lain tidak mau mengakui anaknya yang retardasi mental, mengucilkan anak retardasi mental, menyembunyikan anak dari masyarakat karena merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental, menolak kehadiran anaknya yang tidak normal/cacat dan tidak mandiri, menganggap anaknya itu merepotkan dan menyusahkan kehidupannya, menganggap anak retardasi mental itu sebagai beban karena membutuhkan biaya yang lebih besar untuk kesehariannya, merasa tidak bahagia dan menganggap anaknya yang retardasi mental sebagai aib keluarga. dalam penanganan anak retardasi mental, orang tua harus memenuhi tiga aspek yaitu kesehatan, pendidikan dan sosial.aspek pendidikan salah satunya dilakukan dengan menyekolahkan anak di sekolah luar biasa.sekolah luar biasa (slb) adalah sekolah bagi anak berkebutuhan khusus yaitu salah satu jenis sekolah yang bertanggungjawab melaksanakan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (kemenkes ri, 2010).di sdlb negeri 183anam, nohan, sikap orang tua dalam penanganan anak... blitar tahun ajaran 2015–2016.besar sampel pada penelitian ini adalah 58 orang tua anak retardasi mental. instrumen penelitian menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh peneliti sendiri berdasarkan kajian teori yang ada dengan menggunakan kuesioner terbuka dan tertutup. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum, karakteristik orang tua dalam penanganan anak retardasi mental seperti dalam tabel 1 di bawah. bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar masih belum ada kegiatan parenting khusus untuk penanganan anak retardasi mental.pihak sekolah hanya memberikan pemberitahuan kepada orang tua anak jika anak melakukan kesalahan atau tidak mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah seperti biasanya. selain itu, wali kelas menemui orang tua apabila anak mengalami penurunan dan masalah saat belajar di kelas. pertemuan dengan orang tua anak dilakukan hanya pada saat penerimaan hasil belajar/raport di akhir semester. berdasarkan data kementerian pendidikan dan kebudayaan tahun 2015 di jawa timur jumlah siswa yang bersekolah di sdlb negeri dan swasta sebanyak 4.715 siswa. sedangkan di kota blitar jumlah siswa yang bersekolah di sdlb sebanyak 242 siswa. jumlah siswa retardasi mental di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar sebanyak 58 siswa. dari studi pendahuluan yang pernah dilakukan tanggal 9 november 2015 pada 6 orang tua anak retardasi mental di sdlb negeri bendo dengan memberikan pertanyaan tentang sikap dalam penanganan anak retardasi mental didapatkan bahwa 2 orang tua bersikap positif yaitu tidak merasa malu dan menyesal mempunyai anak retardasi mental, menerima kondisi anak, membantu anak belajar dirumah. sedangkan 4 orang tua bersikap negatif yaitu masih merasa malu dan terbebani dengan kondisi anak yang retardasi mental, membiarkan anak untuk melakukan aktivitas semaunya karena anak sulit untuk diasuh, kurang membantu anak dalam belajar di rumah. berdasarkan kondisi dan fakta diatas peneliti tertarik melakukan penelitian guna mendalami sikap orang tua yang menerima maupun menolak dengan anak retardasi mental dengan judul gambaran sikap orang tua dalam penanganan anak retardasi mental di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif. populasinya adalah seluruh orang tua dari anak retardasi mental yang bersekolah di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar tahun ajaran 2015–2016 berjumlah 58 orang tua anak retardasi mental. sampel yang dipilih ditetapkan adalah salah satu orang tua (ayah/ibu) dari anak retardasi mental yang bersekolah di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota no. karakteristik f % 1. jenis kelamin laki-laki 23 40 perempuan 35 60 2. usia: 21–40 tahun 32 55 41–60 tahun 19 33 diatas 61 tahun 7 12 3. pendidikan: sd 5 9 smp 11 19 sma 31 54 pt 11 19 4. pekerjaan : pns 8 14 wiraswasta 27 47 tani 3 5 irt 6 10 pedagang 14 3 5. jumlah anak: 1 anak 15 26 2 anak 31 53 3 anak 7 12 > 3 anak 5 9 6. urutan anak yang bersekolah: 1 anak 35 60 2 anak 18 31 3 anak 3 5 > 3 anak 2 4 7. usia anak yang bersekolah: < 7 tahun 9 15.5 7-12 tahun 40 69 > 12 tahun 9 15.5 8. yang bertanggungjawab dalam perawatan anak: ayah 22 38 ibu 36 62 tabel 1 karakteristik orang tua dalam penanganan anak retardasi mental 184 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 181–185 pembahasan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa sebesar 55,2% (32 orang tua) bersikap positif dalam penanganan anak retardasi mental dan 44,8% (26 orang tua) bersikap negatif dalam penanganan anak retardasi mental.retardasi mental adalah keadaan yang penting secara klinis ma upun sosia l. kela ina n ini dita nda i oleh keterbatasan kemampuan yang diakibatkan oleh gangguan yang bermakna dalam inteligensi terukur dan perilaku penyesuaian diri (adaptif) dan mencakup status sosial (behrman, 1999:161).sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek (notoatmodjo, 2007:147). sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), bertanggungjawab (responsible). orang tua adalah ayah dan atau ibu kandung, atau ayah dan atau ibu tiri, atau ayah dan atau ibu angkat (uu ri nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak).menurut peneliti orang tua yang memiliki sikap positif yaitu orang tua yang menunjukkan menerima perilaku anak retardasi mental, lambat untuk berfikir, dan keterbatasan berkomunikasi, sedangkan orang tua yang menunjukkan sikap negatif yaitu orang tua yang menunjukkan tidak menerima atau tidak menyetujui tentang kondisi anaknya yang mengalami retardasi mental. berdasarkan data tabulasi silang antara usia 21–40 tahun dengan sikap orang tua dalam penanganan anak retardasi mental menunjukkan bahwa dari 55,2% (32 orang tua), yang bersikap positif pada usia 21–40 tahun 37,9% (22 orang tua) dan bersikap negatif pada usia 21–40 tahun 17,2% (10 orang tua). menurut ahmadi (1991) mengemukakan bahwa memori atau daya ingat seseorang salah satunya dipengaruhi oleh umur, akan tetapi pada umur tertentu atau menjelang lanjut usia kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu pengetahuan akan berkurang termasuk menentukan persepsi. menurut peneliti, usia 21–40 tahun penerimaan atau pengetahuan orang tua semakin bagus, orang tua mampu menanggapi, berdiskusi, dan mengajak orang tua dalam mengatasi a na k r etar dasi menta l da n memantau perkembangan anak retardasi mental. orang tua dari anak retardasi mental bersikap positif 37,9% (22 orang tua) berusia 21-40 tahun, menunjukkan orang tua sangat berperan penting dalam mengajarkan anak retardasi mental orang tua sangat berperan penting dalam mengajarkan anak retardasi mental bagaimana belajar dari lingkungan yang normal, bagaimana merespons lingkungan, dan mengajarkan perilaku yang sesuai agar anak dapat membedakan berbagai hal tertentu dari berbagai macam stimulus. sedangkan orang tua yang bersikap negatif pada usia > 61 tahun 12,1% (7 orang tua) karena usia tersebut termasuk usia lanjut, dimana cara berfikir dan kondisi fisik seseorang mulai berkurang untuk memperhatikan pola asuh anak, sehingga orang tua cenderung bersikap negatif. berdasarkan data tabulasi silang antara jumlah anak yang dimiliki dengan sikap orang tua dalam penanganan anak retardasi mental menunjukkan bahwa dari 53,4% (31 orang tua) memiliki 2 anak, yang bersikap positif 34,5% (20 orang tua), dan yang bersikap negatif 19,0% (11 orang tua). menurut azwar (2012) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. menurut pendapat peneliti, 34,5% (20 orang tua) yang memiliki anak kedua lebih pengalaman dalam mengasuh anak dari pada anak yang pertama, karena orang tua yang memiliki anak kedua sudah mempunyai gambaran dalam mengasuh anak dari anak yang pertama. sehingga orang tua cenderung bersikap positif dalam mengasuh anak yang kedua.dan orang tua yang memiliki 1 anak memiliki sikap negatif 13,8% (8 orang tua) dikarenakan orang tua belum memiliki pengalaman dalam mengasuh anak, orang tua mengalami kesulitan dalam mengasuh anak disetiap harinya. sedangkan orang tua yang memiliki >3 anak memiliki sikap negatif 6,9% (4 orang tua) disebabkan karena orang tua tidak memikirkan dan berfokus pada satu anak, sehingga orang tua cenderung kurang memberikan kasih sayang dan perhatian pada anak-anaknya. berdasarkan penelitian ditinjau dari data tabulasi silang antara sikap orang tua dengan yang bertanggungjawab dalam perawatan anak retardasi tabel 2 distribusi frekuensi sikaporang tua dalam penanganan anak retardasi mental di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar, juni 2016 (n=58) no sikap f % 1 positif 32 52.2 2 negatif 26 44.8 185anam, nohan, sikap orang tua dalam penanganan anak... mental 62,1% (36 ibu), menunjukkan bahwa orang tua memiliki sikap dalam kategori positif 43,1% (25 ibu)dan orang tua memiliki sikap dalam kategori negatif 19% (11 ibu). menurut setiadi (2008:13) ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai masyarakat kelompok sosial tertentu. menurut pendapat peneliti, hasil penelitian di peroleh positif 62,1% (36 ibu) karena dalam sebuah keluarga yang bertanggungjawab dalam mengasuh anak adalah ayah dan ibu. tetapi yang memilki peran utama dalam mengasuh anak adalah seorang ibu. hal tersebut disebabkan seringkali anak cenderung lebih dekat dengan ibunya, sehingga anak lebih nyaman berada di dekatnya.taggungjawab orang tua dalam merawat dan mengawasi perkembangan anak retardasi mental sangat dibutuhkan untuk mengubah perilaku anak retardasi mental. sedangkan ayah bersikap negatif 25,9% (15 ayah) dikarenakan ayah merupakan seseorang yang menjadi pemimpin keluarga, pencari nafkah, dan sebagian besar orang tua bekerja sebagai wiraswasta. oleh karena itu ayah cenderung tidak berada dirumah sibuk dengan pekerjaannya sebagai pencari nafkah dalam keluarga. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di sdlb negeri bendo kecamatan kepanjenkidul kota blitar didapatkan bahwa sebesar 55,2% atau 32 orang tua bersikap positif dalam penanganan anak retardasi mental dan 44,8% atau 26 orang tua bersikap negatif dalam penanganan anak retardasi mental. orang tua yang memiliki sikap positif yaitu orang tua yang menunjukkan menerima perilaku anak retardasi mental, lambat untuk berfikir, dan keterbatasan berkomunikasi, sedangkan orang tua yang menunjukkan sikap negatif yaitu orang tua yang menunjukkan tidak menerima atau tidak menyetujui tentang kondisi anaknya yang mengalami retardasi mental. saran bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data tambahan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang upaya orang tua dalam penanganan anak retardasi mental. bagi institusi pendidikan keperawatan diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan jurnal pembelajaran bagi mahasiswa pendidikan keperawatan. bagi dinas pendidikan diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan program pendidikan untuk penanganan anak dengan retardasi mental di institusi pendidikan luar biasa. bagi dinas kesehatan diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan program untuk penanganan anak dengan retardasi mental dan untuk mensosialisasikan deteksi dini tumbuh kembang anak usia sekolah agar orang tua ikut terlibat dalam memonitor pertumbuhan dan perkembangan anak. bagi tempat penelitian diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan pada pihak sekolah. daftar rujukan azwar, s. 2012. sikap manusia teori dan pengukurannya edisi 2. yogyakarta: pustaka pelajar. behrman, e.r, kliegman, m.r & arvin, m.a. 1999.ilmu kesehatan anak nelson. vol 1. jakarta: egc. hidayat, a. 2009.pengantar keperawatan anak 1. jakarta: salemba medika. lumbantobing, s.m. 2001. anak dengan mental terbelakang. jakarta: balai penerbit fkui. notoatmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat: ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. peraturan menteri negara pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak republik indonesia nomor 10 tahun 2011. setiadi. 2008. konsep dan proses keperawatan keluarga. yogyakarta: graha ilmu. sunarti, e. 2004.mengasuh dengan hati tantangan yang menyenangkan. jakarta: pt elex media komputindo. undang-undang ri nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 304 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 304–309 304 gambaran tumbuh kembang anak bawah dua tahun (baduta) yang memiliki ibu bekerja atau tidak bekerja di kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar (the description of growth and development under two years children who have a working mother or not working) qurrotu ‘ainii program studi d-3 keperawatan blitar politeknik kesehatan kementrian kesehatan malang email: qurrotu@gmail.com abstract: in a child’s life there are two processes that continue operating in growth and development, this process takes place interdependency which depend on each other.experts say infant is a golden period, especially the age of 0-2 years old to reach 80% of the brain development. lack affection of mother-first year of life have a negative impact on the upbringing of children. the purpose of this study was to determine the picture of the development-growing children under 2 years old who have working mothers or not working at the village bendogerit sananwetan district of blitar. method :this study was a descriptive study. the samples were taken with quota sampling technique using pre-screening questionnaire instrument development and anthropometric assessment. result : from the research, the growth of children under 2 years old with the mother does not work 100% had appropriate growth and growth of children under 2 years old 93.75% of working mothers have the appropriate growth. while the development of the child under 2 years old with the mother does not work 93.75% had appropriate growth and development of children under 2 years old 87.5% of working mothers have the appropriate development. discussion: thus, the conclusion drawn growing up baduta in village bendogerit , sananwetan district of blitar with the mother did not work better than the development of the child baduta with working mothers. in accordance with the conclusions that had been raised, researchers gave suggestions to further research to better focus on the factors that affect growth and development in the mother works, as well as advice for the child’s mother always bring kms and always filled by officers. keywords: growth, development, children under two years old, mother, working, not working abstrak: dalam kehidupan seorang anak ada dua proses yang terus beroperasi dalam pertumbuhan dan perkembangan, proses ini berlangsung interdepedentcy yang bergantung satu sama lain, para ahli mengatakan bayi merupakan masa emas, terutama usia 0-2 tahun untuk mencapai 80% dari otak pengembangan. kurangnya kasih sayang tahun ibu-pertama kehidupan memiliki dampak negatif pada pendidikan anakanak. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perkembangan anak yang tumbuh di bawah 2 tahun yang ibunya bekerja atau tidak bekerja di sananwetan desa bendogerit blitar. metode: penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. sampel diambil dengan teknik quota sampling menggunakan pre-screening pengembangan instrumen kuesioner dan penilaian antropometri. hasil: dari penelitian, pertumbuhan anak di bawah 2 tahun dengan ibu tidak bekerja 100% memiliki pertumbuhan yang tepat dan pertumbuhan anak di bawah 2 tahun 93,75% dari ibu yang bekerja memiliki pertumbuhan yang sesuai. sementara perkembangan anak berusia di bawah dengan ibu 2 tahun tidak bekerja 93,75% memiliki pertumbuhan yang tepat dan perkembangan anak di bawah 2 tahun 87,5% dari ibu yang bekerja memiliki pembangunan yang tepat. diskusi: dengan demikian, kesimpulan yang ditarik tumbuh baduta di desa acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p304-309 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 305ainii, gambaran tumbuh kembang ... bendogerit, sananwetan kabupaten blitar dengan ibu tidak bekerja lebih baik daripada perkembangan baduta anak dengan ibu yang bekerja. sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan, peneliti memberikan saran untuk penelitian lebih lanjut untuk lebih fokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada ibu bekerja, serta saran bagi ibu anak selalu membawa kms dan selalu diisi oleh petugas. kata kunci: pertumbuhan, perkembangan, anak di bawah dua tahun, ibu, bekerja, tidak bekerja dalam kehidupan anak ada dua proses yang beroperasi secara continue yakni pertumbuhan dan perkembangan, kedua proses ini berlangsung secara interdepedensi yakni saling bergantung satu sama lainnya. pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitaif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis sedangkan perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosial psikologi manusia pada posisi yang harmonis didalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks (hidayat, 2005). istilah tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. sedangkan pengertian dari pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran, atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (sentimeter, meter) umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi natrium dan nitrogen tubuh). perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat di deferensisasikan dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (soetjiningsih, 1995). masa di bawah usia lima tahun (balita) merupakan periode paling kritis dalam menentukan kualitas sumber daya manusia, pada lima tahun pertama proses tumbuh kembang berjalan dengan cepat, para ahli mengatakan bahwa masa balita tersebut sebagai masa emas (“golden age period”) khususnya pada usia 0-2 tahun perkembangan otak mencapai 80%, apabila pada masa tersebut anak balita tidak dibina secara baik, maka anak tersebut akan mengalami gangguan perkembangan baik emosi, sosial, mental, intelektual dan moral yang akan sangat menentukan sikap serta nilai pola perilaku seseorang dikemudian hari (wahyuni, 2013). dalam tumbuh kembang anak tidak sedikit peranan ibu dalam ekologi anak yaitu peran ibu sebagai “para genetik faktor” yaitu pengaruh biologisnya terhadap pertumbuhan janin dan pengaruh psikobiologinya terhadap pertumbuhan post natal dan perkembangan kepribadian (soetjiningsih, 1995). semakin meningkat jumlah ibu bekerja (terutama di kota besar), semakin kompleks pula dinamika kehidupan seperti tuntutan finansial dan biaya pendidikan anak. para ibu menjadi pekerja keras untuk dapat membantu memenuhi kebutuha n hidup keluarganya. padahal, menurut teori kebutuhan dasar anak titi dalam soetjiningsih 1995 secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar yaitu asuh, asih, dan asah, dalam teori asih yaitu kebutuhan emosi atau kasih sayang pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. berperannya dan kehadiran ibu sedini dan selanggeng mungkin akan menjalin rasa aman bagi bayinya. ini di wujudkan dengan kontak fisik (kulit, mata) dan psikis sedini mungkin, misalnya dengan menyusu bayi secepat mungkin segera setelah lahir. kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-pertama kehidupan mempunyai dampak negatif pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi, yang disebut “sindrom deprivasi mental” berdasarkan penelitian dari “the institute of science and technology journal’s” menunjukkan bahwa perempuan indonesia telah bekerja saat berusia 22 tahun (belum menikah). hanya sebagian kecil dari mereka yang berhenti bekerja setelah menikah dan memiliki anak. selain itu, di indonesia terdapat lebih dari 40% perempuan menjalankan fungsi ganda, yaitu membesarkan anak sambil bekerja. institute for social and economic research dari essex university juga mengadakan penelitian. ibu yang kembali bekerja pada tiga tahun pertama pertumbuhan anak berdampak pada pertumbuhan anak yang lamban bahkan, studi yang digelar unicef pada 2008 merekomendasikan, sebaiknya ibu tetap 306 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 304–309 berada di rumah pasca melahirkan, hingga satu tahun. hal ini menunjukkan bahwa aktifitas ibu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak (wardah, 2010). hasil wawancara pada 6 orang ibu bekerja dan 6 orang ibu yang tidak bekerja didapatkan pada penilaian perkembangan menggunakan denver salah satu ibu yang bekerja mempunyai anak 7 bulan yang seharusnya sudah dapat menopang dada saat tengkurap ternyata belum dapat melakukan sedangkan anak yang berumur 8 bulan dengan ibu yang bekerja berat badan anak tersebut berada di bawah garis merah pada grafik berat badan kms. berdasarkan data dan kondisi yang dikemukakan diatas yaitu gambaran keterlambatan tumbuh kembang anak pada ibu bekerja dan tidak bekerja, maka peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran tumbuh kembang anak baduta yang memiliki ibu bekerja atau tidak bekerja di kelurahan bendogerit kota blitar. tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tumbuh-kembang anak baduta yang memiliki ibu bekerja, tidak bekerja di kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. penelitian deskriptif ialah bertujuan untuk mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa urgen yang terjadi pada masa kini (nursalam, 2003). penelitian ini menggambarkan tumbuh kembang baduta yang mempunyai ibu bekerja atau tidak bekerja di kelurahan bendogerit, kecamatan sananwetan, kota blitar. sampel diambil dengan teknik quota sampling menggunakan instrumen kuisioner pra-skrining perkembangan, penilaian antropometri. pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh baduta se kelurahan bendogerit yang terdaftar di posyandu sebanyak 217 baduta. dalam penelitian ini sampel yang diperlukan sebanyak 32 baduta, terdiri dari baduta yang memiliki ibu bekerja sebanyak 16 dan ibu tidak bekerja sebanyak 16 orang. adapun kriteria inklusi sampel yaitu anak baduta dengan ibu bekerja atau tidak bekerja yang tinggal satu rumah dengan ibunya. pengambilan data dilaksanakan di posyandu di kelurahan bendogerit kecamatan sanan wetan, kota blitar dan di laksanakan pada bulan april 2015. variabel dalam penelitian ini adalah pertumbuhan dan perkembangan baduta yang memiliki ibu bekerja dan tidak bekerja. pada penelitian ini analisa data akan ditampilkan dalam bentuk interpretasi kpsp dalam penilaian perkembangan baduta adalah dengan menghitung berapa jumlah jawaban “ya”. jawaban “ya” bila ibu menjawab: anak bisa, atau pernah atau sering atau kadang kadang melakukannya. jawaban “tidak” bila ibu menjawab anak belum pernah melakukan atau tidak pernah atau tidak tahu. jika jumlah “ya” 9 atau 10 perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembanganya (s), jika jawaban “ya” 6, 7 atau 8 perkembangan anak meragukan (m), jika jawaban “ya” 5 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (p). untuk jawaban tidak perlu dirinci jumlah jawaban “tidak” menurut jenis keterlambatan pada sektor yang mana. sedangkan pada interpretasi penilaian antropometri adalah penilaian pada berat badan dan tinggi badan dengan melihat kolom pada tabel berat badan/tinggi badan direktorat gizi masyarakat 2002. sedangkan ukuran lingkar kepala interpretasinya: bila ukuran lingkar kepala anak berada dalam “jalur hijau” maka lingkaran kepala anak normal, bila ukuran lingkaran kepala anak berada di luar “jalur hijau” maka lingkaran kepala anak tidak normal yaitu makrosefal jika berada di atas ‘jalur hijau” dan mikrosefal bila berada di bawah “jalur hijau”. kemudian hasil pengolahan data diintrperstasikan kedalam skala kuantitatif dalam bentuk tabel untuk dianalisa secara deskriptif. hasil penelitian data umum data umum menyajikan tentang karakteristik responen berdasarkan umur, jenis kelamin, dan pekerjaan ibu. berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa umur yang paling banyak dari anak baduta adalah kisaran umur 10-12 bulan dengan jumlah 21,9% atau 7 anak dan jumlah umur paling kecil adalah umur anak baduta 16-18 bulan dengan jumlah 3,1% atau 1 anak baduta, dan umur 22-24 bulan berjumlah 3,1% atau 1 anak baduta. berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan dengan jumlah 53,1% atau 17 anak baduta. 307ainii, gambaran tumbuh kembang ... data khusus data khusus menyajikan tantang pertumbuhan dan perkembangan anak baduta pada ibu bekerja dan tidak bekerja di posyandu balita se-kelurahan bendogerit kota blitar pada bulan april 2015. berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa pertumbuhan responden pada ibu tidak bekerja sejumlah 16 anak memiliki pertumbuhan yang sesuai atau normal, sedangkan pertumbuhan responden pada ibu bekerja sejumlah 93,75% atau 15 anak baduta memiliki pertumbuhan yang sesuai atau normal dan 6,25% atau 1 anak baduta memiliki pertumbuhan yang tidak sesuai atau tidak normal dan dapat menyebabkan obesitas. selain itu pemenuhan kebutuhan pokok pada tahap awal perkembangan balita seperti pemberian asi, imunisasi, pemenuhan sandang, dan kesegaran jasmani rekreasi dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang pada anak. berdasarkan tabel 4 didapatkan data bahwa pada ibu yang tidak bekerja hanya ada 3,1% atau 1 anak baduta yang memiliki perkembangan meragukan sedangkan pada ibu bekerja terdapat 3,1% atau 1 anak baduta yang memiliki perkembangan meragukan dan 3,1% atau 1 anak baduta memiliki perkembangan yang menyimpang dari usianya pembahasan berdasarkan hasil penelitian, diperoleh pertumbuhan anak baduta dengan ibu bekerja 100% memiliki pertumbuhan normal, sedangkan pertumbuhan anak baduta dengan ibu bekerja 93,75% memiliki pertumbuhan yang sesuai, dan 1 anak baduta berumur 15 bulan dengan ibu bekerja memiliki berat badan dan tinggi badan tidak sesuai yang seharusnya anak tersebut memiliki berat badan 6,9-11,5kg tetapi, anak tersebut memilki berat badan 8,7 kg sehingga anak tersebut memiliki perktumbuhan yang tidak sesuai. tabel 1. umur anak baduta di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada bulan april tahun 2015 (n=32) um ur frek % 0-3 bulan 6 18,8 4-6 bulan 3 9,4 7-9 bulan 5 15,6 10-12 bulan 7 21,9 13-15 bulan 6 18,8 16-18 bulan 1 3,1 19-21 bulan 3 9,4 22-24 bulan 1 3,1 jum lah 32 100 tabel 2. jenis kelamin anak baduta di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sanwetan kota blitar pada bulan april, 2015 (n=32) jenis kela min f rekuensi prosentase laki laki 15 46,9% perempuan 17 53,1 % jumlah 32 1 00% tabel 3. kategori pertumbuhan anak baduta berdasarkan pekerjaan ibu di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada bulan april 2015 (n=32) pertumbuhan pekerjaan ibu jumlah tidak bekerja bekerja f % f % f % normal 16 50 15 46,9 31 96,9 tidak normal 0 0 1 3,1 1 3,1 jumlah 16 50 16 50 32 100 tabel 4. kategori perkembangan anak baduta berdasarkan pekerjaan ibu di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada bulan april 2015 (n=32) perkembangan pekerjaan ibu jumlah tida k bekerja bekerja f % f % f % sesuai 15 46,9 14 43,8 29 90,6 meragukan 1 3,1 1 3,1 2 6,2 menyimpang 0 0 1 3,1 1 3,1 j umlah 16 50 16 50 32 10 0 308 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 304–309 menurut soetjiningsih (1995), pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua peristiwa yang terjadi secara sinkron pada setiap individu. tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. tercapainya potensi biologik seseorang merupakan hasil interaksi beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan-bio-psiko-sosial dan perilaku. proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda yang memberikan ciri tersendiri pada setiap anak. menurut hurlock (1997), seorang anak yang memperoleh perawatan yang memadai, biasanya akan tumbuh dengan cepat dan anak yang kurang memperoleh perawatan kesehatan dan gizi yang memadai, akan mengalami keterlambatan pertumbuhannya. menurut peneliti, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa tercapainya pertumbuhan yang sesuai didapat dari terpenuhinya perawatan kesehatan dan gizi yang memadai dari ibu yang tidak bekerja yang memiliki lebih banyak waktu bersama dengan anaknya. selain itu,menurut soetjiningsih (1995) dapat diketahui bahwa tercapainya pertumbuhan yang optimal dipengaruhi oleh kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang yaitu asuh, asah, asih. kebutuhan fisik-biomedis (asuh), meliputi pemenuhan kebutuhan pangan atau gizi. kebutuhan gizi merupakan kebutuhan terpentingpada masa pertumbuhan balita yang erat kaitannya dengan pertumbuhan anak baduta. kekurangan makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan baduta. makanan yang berlebihan juga tidak baik, karena dapat menyebabkan obesitas. selain itu pemenuhan kebutuhan pokok pada tahap awal perkembangan balita seperti pemberian asi, imunisasi, pemenuhan sandang, dan kesegaran jasmani rekreasi dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang pada anak. selain data tentang pertumbuhan dalam penelitian ini juga memaparkan tentang hasil perkembangan dari anak baduta dengan ibu bekerja dan juga perkembangan anak baduta dengan ibu tidak bekerja didapatkan hasil bahwa 93,25% atau 15 anak baduta dari 16 anak baduta dengan ibu tidak bekerja memiliki pekembangan yang sesuai dengan umurnya sedangkan 1 orang anak baduta dengan ibu tidak bekerja yang berumur 15 bulan memiliki perkembangan yang meragukan, pada kpsp anak tersebut pertanyaan no 6 yaitu apakah anak bisa berdiri selama 30 detik tanpa berpegangan ternyata a na k ter sebut belum da pa t mela kuka nnya , pertanyaan no 7 apakah anak dapat membungkuk untuk mengambil mainanya ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya sehingga perkembangan dari anka tersebut meragukan. selain itu, 87,5% atau 14 anak baduta dengan ibu bekerja dari 16 anak baduta memiliki perkembangan yang sesuai 6,25% atau 1 orang anak baduta berumur 23 bulan pada kpsp pertanyaan no 4 yaitu apakah anak dapat berjalan mundur atau tidak ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya, pertanyaan no 6 apakah anak tersebut dapat berjalan naik tangga sendiri ternyata anak tersebut belum dapat melakukkannya sehingga perkembangan anak tersebut meragukan, dan 6,25% atau 1 anak baduta berumur 6 bulan pada kpsp pertanyaan no 2 apakah anak dapat mempertahankan posisi kepalanya dengan stabil atau belum ternyata anak belum dapat melakukkannya, pertanyaan no 4 apakah bayi dapat telungkup di tempat datar dan dapat menyangga dadanya ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya, pertanyaan no 6 pernahkah bayi berbalik sedikitnya 2x dengan terlentang dan tengkurap ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya karena belum bisa tengkurap, pertanyaan no 9 dapatkah bayi meraih mainan yang jauh dari jangkauan tangannya ternyata belum dapat melakkuakan dan pada pertanyaan no 10 apakah bayi dapat mempertahankan lehernya saat kedua jarinya diangkat dengan tangan ternyata bayi tersebut belum dapat melakukan sehingga bayi tersebut memiliki perkembangan menyimpang. menurut soetjiningsih (1995) kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar yaitu asuh, asih dan asah, dari paparan di atas kebutuhan kedua yaitu asih atau kebutuhan emosi atau kasih sayang yaitu, pada tahun tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat mesra dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. berperannya dan kehadiran ibu sedini dan selanggeng mungkin, akan menjadi rasa aman bagi bayinya. ini diwujudkan dengan kontak fisik (kulit/ mata) dan pskis sedini mungkin, misalnya dengan menyusu bayi secepat mungkin segera setelah lahir. kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-pertama kehidupan mempunyai dampak negatif pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi, yang disebut “sindrom deprivasi mental”. 309ainii, gambaran tumbuh kembang ... kebutuhan tumbuh kembang yang ketiga yaitu asah stimulasi mental merupakan cikal bakal dan proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. stimulasi mental (asah) ini mengembangkan perkembangan mental psikososial: kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral-etika, produktivitas dan sebagainya. hal ini juga seharusnya dapat didukung dengan keberadaan dari sosok ibu dari anak tersebut sehingga jika kehadiran ibu ataupun tingkat intensitas pertemuan antara anak dengan ibu kurang maka akan didapatkan kemungkinan dari penyimpangan proses perkembangan ataupun pertumbuhan dari anak tersebut. menurut peneliti, gangguan perkembangan yang dialami oleh 2 anak baduta dengan ibu bekerja merupakan sebuah fenomena yang dapat disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dari seorang ibu dikarenakan ibu yang seharusnya memberikan waktu yang lebih untuk anaknya akan berkurang di karenakan pekerjaan yang dimilikinya sehingga waktu yang digunakan untuk menstimulasi perkembangan pada anak tersebut kurang, atau tidak mendapatkan hasil yang optimal. dari hasil penelitian dapat diketahui hampir tidak tampak perbedaan pada pertumbuhan dan perkembangan anak baik dengan ibu yang bekerja maupun tidak bekerja, ini dapat dikarenakan karena ibu yang bekerja tidak semuanya mengabaikan anaknya tetapi ada juga yang memberikan kasih sayang yang baik dan didikan yang baik kepada anaknya sehingga anak tersebut memiliki tumbuh kembang yang sesuai. dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (asuh, asih, asah) sangat dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa tumbuh kembang anak baduta di posyandu se-kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada ibu tidak bekerja lebih baik dari pada tumbuh kembang anak baduta dengan ibu bekerja. saran faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (asuh, asih, asah) sangat dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal daftar rujukan hidayat, a. 2005. pengantar ilmu keperawatan anak. jakarta: salemba medika. hurlock, e.b. 1997. psikologi perkembangan. edisi kelima. jakarta: erlangga. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. soetjiningsih. 1995. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. soetjiningsih. 2001. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. wahyuni. 2014. dampak program bina keluarga balita (bkb) terhadap tumbuh kembang anak balita (0-24 bulan). ejurnal pustaka kesehatan ,vol 2 (no 1) januari 2014. wardah, f. 2010. kapan sebaiknya ibu kembali bekerja setelah melahirkan?. http;//female.kompas. com/read/2010/09/20/16103380/kapan. sebaiknya. kembali.bekerja.setelah.melahirkan.diakses tanggal 21 september 2014. 20 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 20–28 20 pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm) pada penderita hipertensi (utilization of integrated posted cooperation (posbindu) of non-communicable disease of patients with hypertension) dina zakiyyatul fuadah, naning furi rahayu prodi s1 keperawatan stikes karya husada kediri email: dinazakiyya@gmail.com abstract: non-communicable disease is one of the undetected diseases because it does not have indication and lamentation. it is usually found in intermediate phase so it is difficult to cure and end by physical defect or early die. to decrease these numbers the goverment already has a program named posbindu ptm. the research goal was to analysis the correlation of knowledge of hypertension (abnormally high blood pressure) sufferer by using of integrated establishment (posbindu) noncommunicable disease (ptm) in public health center banaran. the research design used correlation by cross-sectional approach. the population was hypertension (abnormally high blood pressure) sufferer in posbindu ptm program in public health center banaran 30 hypertensions (abnormally high blood pressure). the sampling technique used total sampling. the data analysis of this research used rho spearman statistic by the level of mistake =0,05 or significant level is 95%. the result showed the significant score (p value) 0,004 < 0,005, so h1 was accepted. the research showedthat it had strong correlations of knowledge of hypertension (abnormally high blood pressure) sufferer about posbindu ptm. the research showed that the level of hypertension (abnormally high blood pressure) sufferer posbindu ptm was in fair category. it is hoped that respondents always use posbindu ptm service in their area to increase health standard while for health staff assistant, they are hoped to promote more about posbindu ptm to the society as specially to uninfected disease sufferer. keywords: knowledge, hypertension, the usage of posbindu ptm service abstrak: penyakit tidak menular (ptm) merupakan penyakit yang tidak terdeteksi karena tidak bergejala dan tidak ada keluhan. biasanya ditemukan dalam tahap lanjut sehingga sulit disembuhkan dan berakhir dengan kecacatan atau kematian dini. untuk mencegah angka tersebut maka pemerintah mencanangkan program posbindu ptm. tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan penderita hipertensi dengan pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu) ptm di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman. desain penelitian ini menggunakan desain penelitian studi korelasi, dengan metode pendekatan cross sectional. populasinya adalah penderita hipertensi yang masuk sebagai anggota program posbindu ptm di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman sebanyak 30 orang. sampel diambil dengan menggunakan teknik total sampling. hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan penderita hipertensi tentang posbindu ptm dalam kategori cukup. pemanfaatan posbindu ptm oleh responden memiliki kategori cukup. analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik rho spearman dengan tingkat kesalahan = 0,05didapatkan nilai signifikan (p value) 0,004 < 0,05, sehingga terdapat hubungan pengetahuan penderita hipertensi dengan pemanfaatan posbindu ptm. peningkatan derajat kesehatan dapat diupayakan melalui peningkatan pemanfaatan pelayanan posbindu ptm di setiap wilayah binaan puskesmas, selain itu peran serta tenaga kesehatan serta kader sangat diperlukan jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p020–028 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 21fuadah, rahayu, pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu)... pendahuluan penyakit tidak menular (ptm) merupakan penyakit yang seringkali tidak terdeteksi karena tidak ber geja la da n tida k a da keluha n. bia sa nya ditemukan dalam tahap lanjut sehingga sulit disembuhkan dan berakhir dengan kecacatan atau kematian dini. keadaan ini menimbulkan beban pembiayaan yang besar bagi penderita, keluarga dan negara.ptm ini dapat dicegah melalui pengendalian faktor risiko, yaitu merokok, kurang aktifitas fisik, diet yang tidak sehat, dan konsumsi alkohol. peningkatan kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap faktor risiko ptm sangat penting dalam pengendalian ptm (kemenkes ri, 2009). insiden dan prevalensi ptmdiperkirakanterjadi peningkatan secara cepat pada abad ke-21. ini merupakan tantangan utama masalah kesehatan di masa yang akan datang.pada tahun 2020 ptm akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. salah satu ptm yang menjadi masalah kesehatan yang sangat serius saat ini adalah hipertensiworld health organization (who). hipertensi merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah di atas nilai normal, dengan nilai sistolik >140 mmhg dan diastolik > 90 mmhg (kriteria join national committee) (jnc vii, 2007). menurut who (worldhealthorganization ) da n ish (the international society of hypertension) tahun 2012, terdapat 800 jutapenderita hipertensi di seluruh dunia, dan 4 juta di antaranya meninggal setiap tahunnya. tujuh dari setiap 10 penderita hipertensi tidak mendapatkanpengobatan yang memenuhi. berda sar ka n hasil riskesdas ta hun 2013 prevalensi penyakit hipertensi di indonesia adalah sebesar 26,5% dan cakupan diagnosa hipertensi oleh tenaga kesehatan mencapai 36,8% atau dengan kata lain sebagian besar hipertensi dalam masyarakat belum terdiagnosa 63,2%. hasil skrt (survei kesehatan rumah tangga ta hun 2010), menyebutka n ba hwa penya kit kardiovaskuler merupakan penyakit nomor satu penyebabnya sekitar 20–35% dari kematian tersebut disebabkan oleh hipertensi dengan persentase jumlah penderita sebanyak 27,5%. penelitian epidemiologi oleh (darmojo, 2009) membuktikan bahwa hipertensi berhubungan secara linear dengan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. sehingga diperlukan pemberdayaan dan peran serta masyarakat yang dikenal dengan pos pembinaan terpadu (posbindu) ptm. pelaksanaan posbindu ptm memerlukan pedoman sebagai acuan bagi para pemangku kepentingan maupun pengelola program di berbagai tingkatan administrasi untuk memfasilitasi terselenggaranya posbindu ptm di masyarakat (kemenkes ri, 2012). berdasarkan data pola 10 besar penyakit terbanyak di indonesia tahun2010, jumlah kasus hipertensi sebanyak 8.423 pada laki-laki dan 11.45 pada perempuan. penyakit ini termasuk dalam kategori penyakit dengan angka kematian tertinggi setelah pneumonia yaitu 4,81% (kemenkes ri, 2011). berdasarkan data penyakit terbanyak di seluruh rumah sakit provinsi jawa timur 2010 terjadi 4,89% kasus hipertensi esensial dan 1,08% kasus hipertensi sekunder. menurut stp (surveilans terpadu penyakit) puskesmas di jawa timur total penderita hipertensi di jawa timur tahun 2011 sebanyak 285.724 pasien. jumlah tersebut terhitung mulai bulan januari hingga bulan september 2011. jumlah penderita tertinggi pada bulan mei 2011 sebanyak 46.626 pasien (dinkes jatim, 2011). dari data posbindu ptm desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman terhitung bulan juni 2016 sampai januari 2017terdapat 240 orang menderita ptm, dan penderita hipertensi sebanyak 86 (35,5%) penderita, dan sisanya 154 menderita penyakit tidak menular lainnya. pos pembinaan terpadu (posbindu) ptm adalah peran serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan monitoring terhadap faktor risiko ptm serta tindak lanjutnya yang dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan periodik. pelaksanaan tindak lanjutnya dalam bentuk konseling dan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar. upaya pengembangan program posbindu ptm sedang gencar dilakukan, dan harapan ke depan posbindu ptm dapat dijadikan “kendaraan program” pengendalian penyakit tidak menular di masyarakat. agar upaya ini dapat berjalan dengan baik, benar, untuk lebih mensosialisasikan tentang posbindu ptm ke masyarakat khususnya penderita penyakit tidak menular. kata kunci: pengetahuan, hipertensi, pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm). 22 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 20–28 dan tepat sasaran perlu disusun satu pedoman untuk melaksanakannya sehingga implementasi dari posbindu ptm mempunyai daya ungkit dalam pengendalian faktor risiko ptm, (panduan posbindu ptm, kemenkes 2012). bagi penderita yang sudah mengikuti posbindu ptmsudahdi berikan pengobatan rutin. dari posbindu ptm di puskesmas kauman sudah berjalan meskipun belum dilakukan secara menyeluruh di kecamatan kauman, sedangkan dari pengetahuan perawat tentang posbindu ptm sudah sangat memadai, begitu juga dengan kader posbindu, dikarenakan kader mendapat pembinaan dari puskesmas kauman. namun masyarakat di desa banaranmaupun masyarakat di desa-desa lainnya di kecamatan kauman, belum begitu memanfatkan dilihat dari kehadiran penderita yang hanya 60 orang ke program posbindu ptm tersebut, 32 diantaranya yaitu menderita hipertensi dan 28 orang menderita ptm lainnya. ini dikarenakan kurang meratanya program posbindu ptm, sedangkan dari penderita hipertensi sendiri, pengetahuan tentang penyakitnya belum begitu memahami dengan jelas seperti mereka tetap mengkonsumsi makanan-makanan yang tidak diperbolehkan, kurang aktivitas fisik, dan masih menganggap penyakit hipertensi tidak berbahaya. hal ini terjadi karena penderita tidak aktif mengikuti program posbindu ptm. faktor penyebab penderita tidak hadir diantaranya faktor pekerjaan, pendidikan penderita hipertensi juga masih rendah menjadikan penderita tidak begitu memahami tentang posbindu ptm, begitu pula informasi dari pihak puskesmas kauman sendiri belum memberikan informasi tentang posbindu ptm yang lebih luas. sedangkan kegiatan posbinduptm di desa banaran di lakukan pada malam hari yaitu pukul 19.00 sehingga lebih banyaknya orang yang beristirahat pada waktu tersebut. berdasarkan survei awal di puskesmas kauman didapatkan data kegiatan posbindu ptm yang belum berjalan diantaranya ialah: kegiatan pemeriksaan fungsi paru, pemeriksaan iva, dan pemeriksaan kadar alkohol. berdasarkan penjelasan diatas, bahwa pentingnya pemahaman tentang penyakit dan penanganan penyakit dari dini itu sangat penting. maka sangat perlu diadakannya penyuluhan kesehatan dan pendampingan masyarakat tentang penyakit-penyaki tidak menular di setiap layanan kesehatan dan di masyarakat secara luas. sebaiknya penderita memahami tentang pentingnya kegiatanyang dapat menunjang kesehatan, seperti pada desa banaran adanya program pemerintah posbindu ptm. namun yang terjadi sebaliknya tidak semua penderita hipertensi di kecamatan kauman hadir dan ikut serta dalam program tersebut. sementara peran posbindu ptm sebagai pengawas dan pemantau kesehatan di masyarakat sangat di butuhkan. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian studi korelasi (hubungan/asosiasi), dimana peneliti ingin menghubungkan antara pengetahuan penderita hipertensi dengan pemanfaatan posbindu ptm. penelitian dilaksanakan dengan pendekatan cross sectional. subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja yaitu pada tanggal 27 bulan maret 2017 dan pengukuran dilakukan terhadap variabel independen tentang pengetahuan penderita hipertensi dan variabel independen yaitu pemanfaaatan posbindu ptm (notoatmodjo, 2010). peneliti melakukan studi pendahuluan di desa banaranwilayah kerja puskesmas kauman, kabupaten tulungagung dengan mencari data penderita hipertensi dan mengikuti kegiatan posbindu ptm selanjutnya peneliti mengumpulkan data beserta alamat responden penderita hipertensi di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman. peneliti melakukan penelitian di posbindu ptm desa banaran. memberikan lembar informed consentdan menjelaskan tentang prosedur penelitian. memberikan surat permohonan menjadi responden. memberikan surat menjadi responden dan responden menandatangani dengan didampingi saksi seluruh pesera posbindu ptm. peneliti mencatat absen kehadiran dari responden yang mengikuti posbindu ptm. meminta responden mengisi kuosiner yang sudah disediakan. responden mengisi cek list dengan cara apa saja kegiatan yang sudah dila ksa na kan oleh r esponden di posbindu ptm. hasil penelitian gambaran tempat penelitian desa banaran berada di kecamatan kauman kabupatentulungagung. desain ini merupakan salah satu wilayah kerja puskesmas kauman. puskesmas kauman memiliki posbindu ptm diwilayah desa banaran pada tiap bulannya posbindu ptm dilakukan 2 kali dalam satu bulan. 23fuadah, rahayu, pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu)... posbindu ptm ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan arisan ibu-ibu sehingga dapat dilaksanakan pada pukul 19.00 wib. kegiatan dilaksanakan di balai desa dan selalu dihadiri oleh ibu kepala desa. ibu-ibu dari desa banaran mendapatkan informasi tentang posbindu ptm dari puskesmas kauman, kader-kader posbindu ptm itu sendiri, dan dari bidan desa pada polindes. posbindu ptm di desa banaran ini mempunyai 5 kader untuk membantu proses terlaksananya posbindu ptm tersebut. di desa banaran ini ada 4 rw dan 16 rt dimana tiap 4 rt masuk dalam 1rw. hasil penelitian data umum distribusi frekuensi responden berdasarkan usia usia f % 40-49 tahun 22 73,3 50-59 tahun 7 23,3 >60 tahun 1 0,3 total 30 100 tabel 1 distribusi frekuensi berdasarkan usia di pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm) di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman, kab. tulungagung 2017 distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan tabel 2 distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan di pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm) di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman, kab. tulungagung 2017 pendidikan f % sd 2 0,6 smp 7 23,3 smk/ sma 10 33,3 pt 11 36,6 total 30 100 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan tabel 3 distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan di pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm) di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman, kab. tulungagung 2017 pekerjaan f % guru 11 36,6 wiraswasta 8 26,6 karyawan 4 13,3 ibu rumah tangga 7 23,3 total 30 100 distribusi frekuensi responden berdasarkan sumber informasi sumber informasi f % kader 17 56,6 puskesmas 5 16,6 bidan desa 8 26,6 total 30 100 tabel 4 distribusi frekuensi berdasarkan sumber i nfor masi di pos pe mbi naan te r padu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm) di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman, kab. tulungagung 2017 data khusus distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan penderita hipertensi no kriteria f % 1 baik 4 13,3 2 cukup 21 70,0 3 kurang 5 16,7 total 30 100 tabel 5 distribusi frekuensi berdasarkan pengetahuan penderita hipertensi tentang pemanfaatan pelayanan posbindu penyakit tidak menular (ptm) di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman kab. tulungagung 24 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 20–28 analisis hubungan pengetahuan penderita hipertensi dengan pemanfaatan pelayanan posbindu (ptm) berdasarkan pada perhitungan analisa statistik spearman rank corelation didapatkan sig (p)= 0,004 = 0,05, sig(p) < maka h1 diterima, ini menyatakan bahwa ada hubungan antara kedua variable dengan nilai r = 0,513 maka hubungan atara kedua variabel adalah positif ini berarti makin tinggi pengetahuan, maka makin tinggi pula pemanfaatan pelayanan posbindu ptm, dengan kekuatan hubungan sedang. pembahasan pengetahuan penderita hipertensi tentang pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm) di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman. hasil penelitian yang telah dilakukan pada penderita hipertensi, yaitu pengetahuan tentang pemanfaatan pelayanan posbindu ptm pada responden berusia mulai dari 40 >60 tahun. dengan kategori baik, cukup, dan kurang. pengetahuan dengan nilai tertinggi yaitu 95 dengan kategori baik,di dapatkan oleh usia 42 tahun dan paling rendahnilai 40 dengan kategori kurang oleh responden berusia 56 tahun. sebagian besar responden (70%) atau 21 responden dikategorikan cukup. pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (notoatmodjo, 2011). faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dikutip oleh (hendra, 2008), yaitu umur, pendidikan dan informasi. umur menurut singgih (2007), beliau mengemukakan bahwa makin tua umur seseorang maka proses– proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat ketika berumur belasan tahun. menurut peneliti, pengetahuan seseorang akan dipengaruhi oleh usia. bahwa semakin dewasa umur seseorang maka akan semakin mudah untuk menerima pengetahuan. semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. dari penelitian didapatkan bahwa responden berusia 40-49 tahun memiliki pengetahuan yang lebih baik. hal ini sependapat dengan abu ahmadi (2009) bahwa daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh usia. bertambahnya usia seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada usia-usia tertentu atau menjelang usia lanjut kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. menurut maryam (2011) yang menyatakan bahwa pada lansia mengalami kemunduran kemampuan kognitif antara lain berupa berkurangnya ingatan (suka lupa). tingkat pendidikan responden dengan pendidikan perguruan tinggi memiliki nilai pengetahuan baik dalam mengisi kiesioner, untuk pendidikan sma, responden dapat mengisi kuesioner dengan kategori baik dan cukup. sedangkan pendidikan smp, responden dapat mengisi kuesioner dengan kategori cukup dan kurang, sedangkan pendidikan sd, responden memiliki nilai kurang. menurut notoatmodjo (2007), pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. menurut wied hary a, 2006, menyebutkan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah atau tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang makin baik pula pengetahuannya. pendidikan responden mempengaruhi hasil nilai dari pengetahuan distribusi frekuensi berdasarkan pemanfaatan pelayanan posbindu penyakit tidak menular (ptm) tabel 6 distribusi frekuensi berdasarkan pemanfaatan pelayanan posbindu penyakittidak menular (ptm) bagi penderita hipertensi di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman kab. tulungagung 2017 no kriteria f % 1 baik 7 23,3 2 cukup 19 63,3 3 kurang 4 13,3 total 30 100 25fuadah, rahayu, pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu)... responden. pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan di mana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya tetapi selain dari pendidikan formal, pengetahuan tersebut juga dapat diperoleh dari pendidikan informal. pernyataan ini sesuai dengan wawan. a dan dewi. m (2010), pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. pendidikan diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan, misalnya halhal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kalitas hidup. pada umumnya makin tinggi pendidikan seseorang akan makin mudah seseorang menerima pengetahuan. sumber informasi sumber informasi responden penderita hipertensi dengan nilai tertinggi didapatkan dari kader posbindu ptm sebanyak 56%. informasi dari bidan desa sebanyak 37% dan pegawai puskesmas juga ikut terlibat dalam pemberian informasi sebanyak 17% pada responden. informasi menurut wied hary a (2007), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik dari berbagai media misalnya televisi, radio atau surat kabar, atau orang-orang disekililingnya. maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.informasi sangat berperan penting untuk seseorang mengetahui pengetahuan tertentu. semakin banyak seseorang memperoleh informasi maka semakin baik pula pengetahuan seseorang. informasi itu sendiri sebagai pemberitahuan seorang adanya informasi baru mengenai suatu halyang dianggap penting.sesuai dengan suryani (2007), informasi adalah salah organ pembentuk pengetahuan dan memegang per anan besar dalam memba ngun pengetahuan. semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin baik pula pengetahuannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka semakin kurang pengetahuannya. pemanfaatan pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular (posbindu ptm). pemanfaatan posbindu merupakan peran serta masyarakat dalam melakukan kegiatan deteksi dini dan pemantauan faktor risiko ptm utama yang dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan periodik. kelompok posbindu ptm utama adalah hipertensi, hipotensi, diabetes melitus (dm), kanker, penyakit jantung dan pembuluh darah (pjpd), penyakit paru obstruktif kronis (ppok), dan gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan (rahajeng, 2012). pengetahuan penderita hipertensi dalam memanfaatkan pelayanan posbindu penyakit tidak menular (ptm) sangatlah penting dalam mengatasai dan mencegah kambuhnya penyakit hipertensi pada penderita hipertensi. pelayanan posbindu ptm tidak melayani penyakit menular, untuk itu penderita hipertensi tidak perlu khawatir tertular penyakit lain. sehingga dapat memanfaatkan pelayanan posbindu ptm secara optimal. hasil penelitian yang telah dilakukan tentang pemanfaatan pelayanan posbindu ptm bagi penderita hipertensi di desa banaran wilayah kerja puskesmas kauman yang berusia mulai dari 40>60 tahun dengan jumlah 30 orang yang dijadikan sampel, semuanya memiliki nilai pemanfaatan dengan kategori baik, cukup kurang. nilai tertinggi kategori baik yaitu dengan nilai 92,3 dan kategori kurang dengan nilai 38,4. sebagian besar (63,7%) atau 19 responden dikategorikan cukup. hasil penelitian didapatkan usia 40-49 tahun lebih banyak dalam pemanfaatan posbindu ptm. pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok. menurut notoatmodjo (2007), perilaku pencari pengobatan adalah perilaku individu maupun kelompok atau penduduk untuk melakukan atau mencari pengobatan. perilaku pencarian pengobatan di masyarakat terutama di negara sedang berkembang sangat bervariasi. pemanfaatan pelayanan posbindu ptm pada penderita hipertensi sangatlah berguna dalam mengatasai dan mencegah kambuhnya penyakit hipertensi, oleh karena itu pada penderita hipertensi perlu ditingkatkan dalam memanfaatkan pelayanan posbindu penyakit tidak menular (ptm) dalam proses meningkatkan taraf kesehatan seseorang, hal ini diharapkan bahwa seseorang sadar akan pentingnya pemanfaatan pelayanan posbindu guna meningkatkan kesehatan. sehinga pemanfaatan pelayanan posbindu ptm dapat di gunakan sebaik baiknya oleh masyarakat dalam mengatasi suatu penyakit terutama pada penderita hipertensi atau pada penderita penyakit tidak menular (ptm). faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh anderson (1974) dalam notoadmodjo (2010) adalah usia, pekerjaan. faktor 26 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 20–28 usia, juga akan mempengaruhi dari pemanfaatan dimana seseorang berusia 40-50 tahun akan memanfaat pelayanan kesehatan dibandingkan dengan berusia lanjut/60 tahuun. sebenarnya pada usia 4060 tahun seseorang akan memiliki ketahanan fisik yang semakin menurun sehingga lebih rentan terpapar suatu penyakit. tetapi perbedaannya pada usia 40-50 tahun responden lebih berfikir pentingnya pelayanan kesehatan. supaya aktivitas mereka tidak terganggu dan tidak menghambat dalam mencari nafkah. tetapi pada usia lanjut kebanyakan seseorang akan melakukan pemeriksaan setelah sakit, dan kalau sudah sakit mereka akan memeriksakan dan memanfaatkan pada unit pelayanan kesehatan yang lebih besar. sesuai dengan pendapat wirick yang dikutip oleh sopar (2009). faktor usia merupakan dasar penggunaan kesehatan yang utama, umur tidak hanya berhubungan dengan tingkat pelayanan melainkan juga jenis pelayanan dan penerimaan pelayanan. faktor pekerjaan, responden penderita hipertensi dengan nilai tertinggi didapatkan sebanyak 37% adalah guru/pns, 27% responden bekerja sebagai wiraswasta, 23% sebagai karyawan swasta dan 13% sebagai ibu rumah tangga. menurut anderson (1974) dalam notoadmodjo (2010) pekerjaan memang secara tidak langsung turut andil dalam seseorang dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. tetapi pekerjaan berhubungan erat dengan faktor interaksi sosial. semakin seseorang dengan pekerjan tinggi atau pns itu cenderung lebih memanfaat pelayanan kesehatan, dikarenakan banyaknya dorongan dari faktor eksternal, misalnya teman bekerja yang memberikan informasi. berbeda dengan orang yang bekerja dirumah atau tidak bekerja (ibu rumah tangga), mereka lebih sedikit informasinya tentang sesuatu pela yana n kesehata n.individu dalam masyarakat sebagaimana diukur melalui karakteristik seperti pekerjaan, bagaimana gaya hidup individu, yang akan menghubungkan dengan pemanfaatan layanan kesehatan. hubungan pengetahuan penderita hipertensi denganpemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm). berdasarkan pada perhitungan analisa statistik spearman rank corelation didapatkan sig(p)= 0,004 = 0,05, sig(p) < maka h0 ditolak,ini menyatakan bahwa ada hubungan antara kedua variabel. nilai r = 0,513 maka hubungan atara kedua variabel adalah positif ini berarti makin tinggi pengetahuan, maka makin tinggi pula pemanfaatan pelayanan posbindu ptm, dengan kekuatan hubungan sedang. penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberikan gejala berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia (armilawaty, 2007). dalam hal ini, pengetahuan seseorang tentang penyakit hipertensi perlu ditingkatan terutama pada penderita hipertensi sangat dibutuhkan untuk dapat mencegah terjadinya hipertensi dan dapat memanfaatkan pelayanan posbindu ptm dengan baiksaat hipertensi kambuh. pemanfaatan pelayanan posbindu ptm dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, faktor usia, dan pekerjaan. ber da sa r ka n da ta umum mengena i usia responden, menyatakan bahwa hampir seluruhnya berusia lebih dari 40 tahun yang menderita hipetensi. progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 3050 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun (sharma, 2008). menurut anderson (1974) dalam notoadmodjo (2010), karakteristik untuk menggambarkan kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. sebagian besar responden menempuh pendidikan smp,sma hingga perguruan tinggi. tingkat pendidikan responden sangat berpengaruh dalam pemberian dukungan keluarga, responden dengan pendidikan menengah keatas mempunyai tingkat dukungan yang lebih tinggi (friedman 1998 dalam silvitasari 2013). pendidikan responden sangat berpengaruh besar terhadap cara berfikirnya, ilmu-ilmu yang responden dapatkan dari jenjang pendidikannya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama tentang bagaimana memperlakukan bila terjadi kekambuhan penyakit hipertensi, responden dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi biasanya lebih berfikir maju dan memahami bagaimana memberikan solusi untuk pengobatan hipertensinya. berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil yang menyatakan bahwa sebagian besar responden telah bekerja, pekerjaan responden meliputi guru/pns, karyawan swasta, wiraswasta 27fuadah, rahayu, pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu)... dan ibu rumah tangga. responden dengan pendidikan tinggi akan sadar akan pentingnya menjaga kesehatan tubuh, sehingga pengetahuan tentang pemanfaatan pelayanan posbindu ptm akan dilaksanakan sebaik baiknya. hasil penelitiandi posbidu ptm desa banaran kecamatan kauman kabupaten tulungagung, didapatkan pengeta hua n responden terhadap posbindu ptmsebanyak (70%) atau 21 orang dengan kategori cukup. namun ada pula responden yang belum memahami pengetahuan pelaksanaan pelayanan posbindu ptm tepatnya pada pertanyan koesioner tetang jenis pemerikasan pada meja per meja dikarenakan di posbindu ptm desa banaran tidak di pasang nomor urutan meja pemeriksaan. sedangkan pemahaman responden tentang peranan dan tanggungjawab kader dan petugas puskesmas masih sangat kurang dikarenakan kurangnya sosialisasi dari kader dan petugas puskesmas. pada usia 59 tahun cenderung kurang bisa mengerjakan kuisioner dengan benar dikarenakan keterbatasan peneglihatan dan kemampuan untuk mengingat informasi sedangkan pemanfaatan pelayanan posbindu ptm desa banaran sebanyak (63,3%) atau 19 orang dengan kategori cukup.walaupun penderita hiper tensi masih belum memanfatkan semua pelayanan. seperti pada responden tidak melakukan wawancara/penggalian informasi pada kader, responden tidak melakukuran pengukuran indeks masa tubuh, tidak melakukan cek kolestrol dan responden tidak melakukan edukasi, itu semua dikarenakan responden beranggapan kenapa melakukan cek tersebut kalau tidak ada manfaat buat penyakitnya. untuk pemberian nomor urut tidak dilakukan dikarenakan di posbindu ptm tersebut tidak ada. berdasarkan penelitian ini, menjelaskan bahwa adanya arah hubungan yang positif antara kedua variabel. proses penggunaan atau pemanfaatan sarana kesehatan oleh masyarakat atau konsumen yang baik akan dimulai dari pengetahuan yang baik pula. pentingnya manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit. pernyataan tersebut semakin menegaskan bahwa usia, tingkat pendidikan dan informasi seseorang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang tentang posbindu pt m dan dala m mema nfa atkan pelayanan posbindu ptm, dipengaruhi oleh usia, dan pekerjaaan. sehingga seseorang berpeluang besar dalam memanfaatkan pelayanan posbindu ptm dengan optimal. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan pengeta huan penderita hiper tensi dengan pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidak menular (ptm) di desa ba nar an wilaya h kerja puskesma s kauman kabupaten tulungagung tahun 2016 dengan menggunakan ujisparmenrank, maka dapat disimpulkan bahwa:1) sebagian besar penderita hipertensi di posbindu ptm desa banar an memiliki pengetahuan tentang posbindu ptm dalam kategori cukup, 2) sebagian besar penderita hipertensi di posbindu ptm desa banaran memiliki pemanfaatan terhadap posbindu ptm dalam kategori cukup, 3) terdapat hubungan antara pengetahuan penderita hipertensi dengan pemanfaatan pos pembinaan terpadu (posbindu) penyakit tidakmenular (ptm). saran bagi puskesmas, diharapkan bagi instansi pelayanan kesehatan khusunya pihak puskesmas sebaiknya tetap melaksanakan posbindu ptm dan program penyuluhan pada masyarakat khususnya penderita hipertensi dan perawatannya secara rutin sehingga dapat meningkatkan pengetahuan penderita hipertensi. bagi institusi, hasil penelitian ini dapat dikembangkan dengan member ika n infor masi da n menambah pengetahuan, pemahaman kepada mahasiswa keperawatan tentang pengetahuan seseorang akan mempengaruhi daripemanfaatan program kesehatanmisalnya posbindu ptm. bagi responden, pasien hipertensi dan keluarga, diharapkan mempunyai semangat tinggi untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hipertensi dan perawatannya agar dapat melakukan perawatan mandiri sehingga tekanan darah dapat dikendalikan. bagi peneliti selanjutnya, bagi peneliti selanjutnya dapat menjadikan penelitian ini sebagai data dasar untuk melakukan penelitian yang terkait, dan kelemahan dari penelitian ini tidak banyak dilakukan observasi, melainkan penilaian dilakukan berdasarkan kejujuran dari responden untuk menjawab koesioner, untuk selanjutnya alangkah baiknya jika 28 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 20–28 penelitian ini dilakukan dengan observasi dengan jumlah responden yang lebih banyak. daftar rujukan ahmadi, a. 2009. psikologi sosial. jakarta: rineka cipta. armilawati, amalia, h. amirudin r. 2007. hipertensi dan faktor resikonya dalam kajian epidemologi. fkm unhas. available from: http://www.cermin dunia kedokteran.com (accessed 15 march 2010). apriadji. 2007.pengetahuan perilaku. jakarta: pt penebar swadaya. badan pengendalian penyakit tidak menular.2012. pedoman pe nyelanggaraan posbindu ptm. jakarta: pustaka indonesia. bustan, m.n. 2007. epidemiologi penyakit tudak menular. rineka cipta. jakarta depkes ri, 2009. hipertensi penyebab kematian nomor tiga. kementerian kesehatan ri. jakarta.-http:// www.depkes.go.id/index.php/-berita/press-release/ 810-hipertensi-penebab-kematian-nomor-tiga.html dinas kesehatan provinsi jawa timur. 2010. profil kesehatan provinsi jawa timur. surabaya: dinas kesehatan provinsi jawa timur. rahajeng, s. m. 2012. petunjuk teknis pos pembinaan te rpadu pe ny ak it ti dak me nular. jakar ta : kementerian kesehatan ri. hendra, aw. 2008. faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan. avaible: http://ajang-berkarya. wordpress.com/2008/06/07/konsep pengetahuan/ 17/05/2011. jnc vii. 2007. the sevent report of the joint national committee on prevention detection. evaluation, and t re at me nt of hi gh bl ood pre ssure : hypertension 42:1206-52, http//:hyper.ahajournals. org/content/42/6/1206. maryam, r. siti, dkk. 2011. mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta: salemba medika. notoatmodjo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta rianto, a. notoadmodjo. 2011. ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta riske sdas. pr eva l ensi hiper ten si. 2013. http:pkmsungaiyak.wordpress.com/2014/10/25/ hindari-hipertensi/ sharma s, et al. hypertension. last update august 8. 2008. http//:www.emedience.com singgih, d.g. 2007. psikologi untuk membimbing. jakarta: pt. bpk. gunung mulia. suryani. 2007. psikolog kognitif. surabaya: dakwah digital press. world health organization. 2011. hypertension fact sheet. department of sustainable development and hea l t hy e nvi r on m ent s sept em ber 2011. h t t p : / / w w w. s e a r o . w h o . i n t / l i n k f i l e s / non_communicable_diseases_hipertension-fs.pdf. 114 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan (effect of education on health nursing mothers attitude mp-asi in giving the baby age 0-6 months) anis sa’diyah dan ika agustina stikes patria husada blitar e-mail: erieikaa@yahoo.co.id abstract : the first solid food given after pulverized to form liquid but more filling than milk. breastfed babies do not need solid foods before they are 6 months old. if baby food other than breastmilk companion early on (before the age of 6 months) it will increase the risk of diarrheal diseases and other infections. method : research design was preexperimental one-group pre-test-post test design. research sample 28 respondents at children care district sanankulon regency village bendowulung blitar, its choosed with total sampling. data collected by questionnaire. analysis using wilcoxon. result : the results showed berdasarkan uji statistik wilcoxon didapatkan nilai sig = 0,005. discussion : based on the results of these studies are expected to respondents to be more active in improving the understanding of complementary feeding through electronic mass media and so respondents can improve the provision of complementary feeding in children aged 0-6 months. keywords : health education, attitude, mp-asi pemberian makanan pendamping selain asi (mp-asi) mulai dilakukan setelah bayi berusia 6 bulan (sulistyoningsih, h., 2011: p.173). setelah bayi berusia 6 bulan, asi hanya mampu memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan gizi bayi. keterampilan makanan bayi pun sudah berkembang. pada usia ini, bayi sudah memperlihatkan minat dan ketertarikannya pada makanan lain selain asi. pertumbuhan bayi justru akan terganggu jika ia tidak mendapatkan makanan pendamping setelah usia 6 bulan karena tidak terpenuhinya gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan (riksani ria, 2011: p.59). beberapa alasan yang menguatkan pendapat mengapa bayi tidak bisa diberi makan tambahan selain asi hingga usia 6 bulan yaitu saat bayi berumur 0-6 bulan, organ-organ pencernaannya belum berkembang dengan sempurna dan sistem pencernaannya pun belum siap menerima makanan lain selain asi. organ pencernaan akan kelebihan beban kerja jika sebelum berusia 6 bulan bayi sudah mendapatkan mp-asi. selain itu, enzim pemecah protein (asam lambung, pepsin, lipase, amilase dan sebagainya) saat itu belum diproduksi secara sempurna. perkembangan secara sempurna pada organ dan enzim pencernaan tersebut akan terjadi ketika bayi berusia 6 bulan. selanjutnya, dapat meningkatkan risiko alergi, pada usia 6 bulan, bayi memproduksi antibodi yang cukup untuk melawan alergen. saat bayi berumur kurang dari 6 bulan, sel-sel disekitar usus belum siap menerima kandungan dari makanan sehingga makanan yang masuk akan menimbulkan reaksi imun dan menyebabkan terjadinya alergi pada bayi. saat bayi berumur 6 bulan, sistem pencernaanya relatif lebih siap menerima makanan selain asi. meningkatkan resiko infeksi, hal ini disebabkan sistem kekebalan tubuh bayi yang berusia kurang dari 6 bulan belum optimal. dengan pemberian makanan selain asi, sama saja dengan memberikan peluang bagi bakteri untuk menyerang dan menginfeksi tubuh bayi. apalagi, jika kebersihan dalam penyajian makanan tidak terjamin. maka hal diberikan itu akan memperbesar acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p108-112 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ sa’diyah dan agustina, pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ...115 kemungkinan timbulnya penyakit dan infeksi. hasil riset menunjukkan bahwa bayi yang diberikan makanan sebelum berusia 6 bulan lebih sering terserang diare, sembelit, batuk pilek, dan demam, dibanding bayi yang hanya diberi asi ekslusif. sulit dan berantakan, bayi cenderung mendorong makanan keluar daripada menelannya dan mereka tidak dapat duduk sendiri. bayi akan terhindar dari bahaya obesitas jika pemberian mp-asi ditunda hingga ia berusia 6 bulan. hasil analisis susenas tahun 2001 menunjukkan bahwa pemberian asi eksklusif pada bayi umur kurang 4 bulan sebesar 49,2%. pemberian asi eksklusif di daerah perkotaan lebih rendah (44,3%) dibandingkan perdesaan (52,9%). ibu-ibu di jawa-bali lebih rendah memberikan asi eksklusif dibanding di kawasan timur indonesia (60%) dan sumatera (55%) (sulistyoningsih, 2011: p.165). jika bayi mendapatkan makanan pendamping selain asi terlalu dini (sebelum usia 6 bulan) maka akan meningkatkan risiko penyakit diare serta infeksi lainnya. selain itu juga akan menyebabkan jumlah asi yang diterima bayi berkurang, padahal komposisi gizi asi pada 6 bulan pertama sangat cocok untuk kebutuhan bayi, akibatnya pertumbuhan bayi akan terganggu. sebaliknya jika makanan pendamping diberikan terlambat (melewati usia 6 bulan) maka bayi akan mengalami kekurangan zat gizi terutama energi dan protein juga zat besi. akibatnya akan menyebabkan pertumbuhan bayi terhambat, bayi mengalami anemia, atau defisiensi zat gizi yang lainnya (sulistyoningsih, 2011: p.165). dari studi pendahuluan yang dilakukan pada hari selasa tanggal 04 juni 2013 pukul 09.00 wib, di posyandu desa bendowulung terbagi menjadi 4 dukuh yaitu bendowulung, cepoko, kumprit, pangkru. pada saat posyandu di dukuh pangkru, 3 dari 10 ibu mengatakan telah memberikan mpasi pada bayi sebelum usia 6 bulan dengan alasan bayinya belum kenyang dan rewel apabila hanya diberi asi saja. sehingga mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan di posyandu desa bendowulung kecamatan sanankulon kabupaten blitar. rumusan masalah dalam penelitian ini ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan di posyandu desa bendowulung kecamatan sanankulon kabupaten blitar. tujuan umum penelitian adalah mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan. tujuan khusus (1) mengidentifikasi sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan sebelum pendidikan kesehatan (2) mengidentifikasi sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan sesudah pendidikan kesehatan (3) menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan. manfaat praktis penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dan wawasan tentang pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan, melatih berfikir dan sikap kreatif mencari pemecahan masalah mengenai pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan. manfaat teoritis memperbanyak referensi tentang pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan bahan dan metode desain penelitian pre-experimental dengan one-group pre-test-post test design dengan cara penelitian yang dilakukan dengan cara memberikan pretest terlebih dahulu sebelum diberi pendidikan kesehatan, setelah itu diberikan pendidikan kesehatan tentang sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi, kemudian dilakukan posttest. sampel penelitian ini adalah 28 ibu pada tanggal 18 juli 2013 di posyandu desa bendowulung kecamatan sanankulon kabupaten blitar yang dipilih dengan teknik total sampling. variabel bebasnya adalah pendidikan kesehatan tentang mp-asi pada ibu yang memiliki bayi usia 0-6 bulan dan variabel terikatnya sikap ibu dalam pemberian mp-asi. perlakuan dilaksanakan sehari pertama dengan memberikan pretest kemudian diberikan pendidikan kesehatan tentang mp-asi selanjutnya dilakukan posttest. analisis menggunakan uji statistik wilcoxon. 116 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 114-119 hasil penelitian karakteristik ibu menyusui di posyandu desa bendowulung tertera pada tabel di bawah. tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f % 1 umur < 20 tahun 20 – 35 tahun > 35 tahun 3 21 4 10,7 75 14,3 2 pendidikan sd sltp slta pt 7 19 2 25 67,9 7,1 3 pekerjaan petani pns swasta irt 3 1 2 22 10,7 3,6 7,1 78,6 no karakteristik f % 4 penghasilan < 500.000 500.00 – 1.000.000 > 1.000.000 1 25 2 3,6 89,3 7,1 5 informasi kesehatan tidak pernah petugas kesehatan media cetak/elektronik guru/teman/ortu 6 18 2 2 21,4 64,3 7,1 7,1 tabel 2. sikap responden sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang mp-asi no kategori sikap sikap pre test sikap post test f % f % 1 positif 13 46,4 21 75 2 negatif 15 53,6 7 25 pembahasan sikap sebelum pendidikan kesehatan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 28 responden, 53,6% responden sebelum dilakukan pendidikan kesehatan memiliki sikap negatif tentang pemberian mp-asi. sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavorable) pada objek tersebut. faktor-faktor yang mempengaruhi sikap antara lain faktor intern yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan seperti selektifitas dan pengalaman pribadi serta faktor ekstern yang merupakan faktor diluar manusia atau lingkungan (azwar, 2011). sikap negatif disini berarti belum ada kemampuan responden dalam memberikan mp-asi kepada anaknya. sikap negatif reponden ini diduga dipengaruhi oleh lingkungan dan penghasilan responden. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 78,6% responden merupakan ibu rumah tangga dan 46,4% memiliki sikap negatif. pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan. lingkungan memberikan pengaruh sosial pertama bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik, juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya (azwar, 2011). seharusnya menjadi ibu rumah tangga memiliki waktu yang longgar sehingga dapat menggunakan waktu untuk mempelajari hal-hal yang baik untuk anak. namun, responden juga memiliki lingkungan sosial yaitu keluarga dan juga tetangga di sekitar tempat tinggal. responden melihat bahwa anak-anak tetangga tidak diberi mp-asi sehingga mereka juga terpengaruh tidak memberikan mp-asi karena menambah biaya hidup. lingkungan merupakan pengaruh sosial bagi seseorang, dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. dalam lingkungan, seorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh terhadap cara berfikirnya. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 89,3% responden memiliki penghasilan antara rp. 500.000 – 1.000.000,dan 46,4% memiliki sikap negatif dalam pemberian mp-asi. faktorfaktor yang mempengaruhi sikap antara lain faktor intern yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan seperti selektifitas dan pengalaman pribadi serta faktor ekstern yang merupakan faktor diluar manusia atau lingkungan (azwar, 2011). faktor selektifitas yaitu pemenuhan kebutuhan seharisa’diyah dan agustina, pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ...117 hari menjadi hal yang utama. pendapatan keluarga mempengaruhi daya beli keluarga akan bahan makanan yang bergizi karena penghasilan atau pendapatan menentukan jenis pangan yang akan dibeli. keluarga yang kurang mampu untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anaknya masih belum merupakan prioritas utama didalam kehidupan keluarganya. keluarga dengan pendapatan terbatas besar kemungkinan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang diperlukan tubuh. responden perlu diberikan pemahaman tentang pemberian mp-asi dengan menu yang memiliki biaya tidak memberatkan tetapi tetap berkualitas. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 78,6% responden pernah mendapatkan informasi tentang mp-asi dan 64,3% responden mendapatkan informasi tersebut dari petugas kesehatan. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sikap adalah pengetahuan. semakin bertambahnya informasi semakin bertambah pula pengetahuan yang didapat. semakin banyak pengetahuan akan mempengaruhi responden dalam berfikir dan bersikap dalam hal pemberian mp-asi. namun, informasi yang diperoleh responden adalah informasi mengenai pengertian mp-asi saja belum menyentuh kepada pembuatan mp-asi yang sesuai dengan pendapatan responden. selain itu, sikap yang negatif responden ini juga didukung oleh kecenderungan responden yang kuat dalam komponen kognitif, sedangkan komponen afektif dan konatif kurang dimiliki oleh responden. sikap adalah sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afektif), pemikiran (kognitif), dan predisposisi tindakan (konatif) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya (azwar, 2011). komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar mengenai obyek sikap. komponen afektif menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. responden memiliki kepercayaan yang baik terhadap mp-asi namun responden belum memberikan mp-asi kepada anaknya dengan baik. sikap setelah pendidikan kesehatan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 28 responden, 75% responden memiliki sikap positif dalam pemberian mp-asi. perubahan sikap dapat terjadi perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya pengetahuan, informasi dan pengalaman yang didapatkan. hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh azwar (2011) bahwa pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, pengalaman, pengaruh orang lain yang dianggap penting, faktor emosi dan media massa. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 67,9% responden berpendidikan sma dan 57,1% memiliki sikap positif dalam pemberian mp-asi. pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami informasi yang mereka peroleh. pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju arah suatu cita-cita tertentu. pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang (azwar, 2011). dengan memiliki pendidikan yang cukup, responden akan lebih mudah menerima informasi sehingga dapat memahami dan memiliki kepercayaan untuk memberikan mpasi kepada anaknya. berdasarkan hasil penelitian didapatkan 75% responden berumur 20-35 tahun dan 60,7% memiliki sikap positif dalam pemberian mp-asi sedudah dilakukan pendidikan kesehatan. untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. karena itu sikap akan mudah terbentuk. pengalaman pribadi akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial (azwar, 2011). dengan semakin matangnya umur responden akan semakin meningkatkan pengalaman seseorang dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi anaknya. pemberian pendidikan kesehatan merupakan salah satu hal yang dapat meninggalkan kesan yang kuat kepada responden, sehingga responden akan mampu melakukan pemberian mp-asi kepada anaknya dengan baik dan benar sesuai usia anak. 118 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 114-119 berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ada perubahan sikap responden antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan yaitu dari sikap negatif menjadi sikap positif sebanyak 28,6%. keberhasilan suatu pendidikan kesehatan dapat dipengaruhi oleh faktor pendidikan kesehatan, sasaran dan proses dalam pendidikan kesehatan (notoatmodjo, 2003). oleh karena itu digunakan metode ceramah yang efektif dalam penyampaian sehingga responden dapat mengerti dan memahami isi pendidikan kesehatan. metode pendidikan kesehatan yang digunakan oleh peneliti adalah dengan memberikan materi pemberian mp-asi melalui presentasi, pemberian leaflet dan juga memberikan contoh atau praktek dalam pembuatan menu mp-asi. sikap responden pada penelitian ini setelah diberikan pendidikan kesehatan masih ada yang negatif. salah satu karakteristik sikap adalah spontanitasnya, yaitu menyangkut sejauh mana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan (azwar, 2011). pemberian pendidikan kesehatan yang hanya beberapa menit tentunya belum dapat menumbuhkan sikap positif kepada responden yang sebelumnya memiliki sikap negatif secara spontan saat pengukuran sikap dilakukan pada penelitian ini. untuk merubah sikap seseorang diperlukan waktu yang tidak singkat. pemberian pendidikan kesehatan ini akan meningkatkan pemahaman seseorang terhadap pemberian mpasi dengan tepat. sikap yang negatif ini didukung oleh komponen afektif dan konatif yang ada pada diri responden mengenai pemberian mp-asi. pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu hamil berdasarkan uji statistik wilcoxon didapatkan nilai sig = 0,005. hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh pendidikan kesehatan tentang pemberian mpasi terhadap sikap responden. berdasarkan evaluasi pendidikan kesehatan yang diberikan oleh peneliti didapatkan bahwa pada semua kriteria evaluasi penyuluhan yang diukur didapatkan nilai yang baik pada setiap kategori. nilai yang paling tinggi dengan nilai baik yaitu sebesar 64,3% terdapat pada kriteria peserta aktif dalam memberikan pertanyaan kepada panitia. responden sangat aktif dalam menerima pendidikan kesehatan yang diberikan terutama pada saat memberikan praktek dalam pembuatan mp-asi. dengan adanya keaktifan ini diharapkan untuk selanjutnya responden mampu menindaklanjutinya dengan membuat mp-asi dirumah sesuai dengan apa yang disampaikan pada saat pendidikan kesehatan. hasil ini sesuai dangan pendapat azwar (2011) bahwa struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif yang berisikan persepsi atau kepercayaan, komponen efektif yang berhubungan dengan masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. komponen kognitif atau perilaku yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan sikap yang dihadapinya. keberhasilan suatu pendidikan kesehatan dapat dipengaruhi oleh faktor penyuluhan, sasaran dan proses dalam penyuluhan. pendidikan kesehatan yang baik tentu akan mampu merubah perilaku seseorang untuk berbuat yang terbaik bagi kesehatan. namun, dalam pemberian mp-asi diperlukan adanya biaya untuk mendapatkan bahan dan proses waktu dalam pembuatannya. hal ini tentu menjadi pemeikiran tersendiri bagaimana memberikan mp-asi yang berkualitas dengan biaya dan waktu yang efektif sehingga tidak membebani seorang ibu. simpulan dan saran simpulan penilaian sikap ibu sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang pemberian mp-asi adalah pada penilaian sikap positif 46,4% dan pada sikap negatif 53,6%. sedangkan penilaian sikap ibu sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang pemberian mp-asi adalah pada penilaian sikap positif 75% dan pada sikap negatif 25%. terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menyusui dalam pemberian mp-asi pada bayi usia 0-6 bulan di posyandu desa bendowulung kecamatan sanankulon kabupaten blitar. saran petugas kesehatan khususnya bidan memberikan pelayanan yang dapat diwujudkan dalam pemberian pendidikan sa’diyah dan agustina, pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ...119 kesehatan rutin setiap bulan tentang mp-asi dan cara pembuatannya dengan biaya dan waktu yang efisien untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. para ibu diharapkan lebih aktif lagi dalam meningkatkan pemahaman tentang mp-asi baik melalui media massa maupun elektronik sehingga ibu dapat meningkatkan kemampuan dalam pemberian mp-asi daftar rujukan azwar, saifuddin. 2011. sikap manusia: teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. notoatmodjo. soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. riksani, ria. 2012. keajiban asi. jakarta: dunia sehat. sulistyoningsih, hariani. 2011. gizi untuk kesehatan ibu dan anak. yogyakarta: graha ilmu e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 298 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 298–303 298 tingkat kecemasan remaja putri yang mengalami masa pubertas di smp negeri 1 selorejo kabupaten blitar (the anxiety level of adolescent on puberty at smp negeri 1 selorejo district blitar) fenika aulia permatasari saputri program studi d iii keperawatan politeknik kesehatan kementrian kesehatan malang email: fenikasaputri@gmail.com abstract: the anxiety occurred in adolescents one of whom are the result of physical changes. besides, emotional and social chages also affected the psychology of adolescents who experience puberty. the purposeof this study was to determine the level of anxiety of young women who experience puberty at smpn 1 selorejo district blitar. method: the research method used descriptive design. the entire population was female students (early teens) vii grade in smp negeri 1 selorejo blitar in accordance with the inclusion criteria 53 students.the sample was 53 students used purposive sampling technique.the data collection used the instruments of the zung self-rating anxiety scale (sas/sars) modified researchers to support this research. the data was taken on 13 april 2015. changes at puberty of adolescent girls were menstruating on early age of 12 years in category of mild anxiety. recommendations from this study were expected that the school was able to maintain a state of anxiety with the effectiveness of uks and other facilities for adolescent girls to exchange opinions in order to reduce the anxiety and able to cope with mild anxiety from getting to a higher level keywords: anxiety, adolescents, puberty abstrak: kecemasan yang terjadi pada remaja salah satunya adalah hasil dari perubahan fisik. selain itu, chages emosional dan sosial juga mempengaruhi psikologi remaja yang mengalami pubertas. tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kecemasan ibu muda yang mengalami pubertas di smpn 1 kecamatan selorejo blitar. metode: metode penelitian yang digunakan desain deskriptif. seluruh penduduk siswa perempuan (remaja awal) kelas vii di smp negeri 1 selorejo blitar sesuai dengan kriteria inklusi 53 siswa, sampel besar dari 53 siswa menggunakan teknik purposive sampling. pengumpulan data dengan instrumen dari zung self-rating scale anxiety (sas/sars) yang dimodifikasi peneliti untuk mendukung penelitian ini. data diambil 13 april 2015. perubahan yang dialami pada masa pubertas remaja perempuan sedang menstruasi usia dini dari 12 tahun mengalami kecemasan ringan. rekomendasi dari penelitian ini diharapkan di lokasi penelitian mampu mempertahankan keadaan kecemasan dengan efektivitas uks dan fasilitas lainnya untuk remaja perempuan untuk bertukar pendapat sehingga dapat mengurangi kecemasan dan mampu mengatasi kecemasan ringan dari mendapatkan ke tingkat yang lebih tinggi kata kunci: kecemasan, remaja, pubertas masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang diawali dengan pubertas. pada masa ini, terjadi berbagai perubahan, baik dari segi fisik, sosial, maupun emosional, yang diawali oleh datangnya haid (perempuan) dan mimpi basah pertama (lakilaki). menentukan masa awal remaja tidaklah mudah. remaja (adolesence) berasal dari bahasa acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p298-303 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 299sagita, gambaran pengetahuan ... latin yang berarti tumbuh kearah kematangan (muss dalam irianti, 2010:90). kematangan ini bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga sosial dan emosional (psikologis) (irianti, 2010:90). masa remaja terdiri dari masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja pertengahan (15-16 tahun), dan masa remaja akhir (17-19 tahun) (sumiati, 2009:10). perubahan fisik dan kejiwaan terjadi begitu cepat, sehingga dapat mengganggu perkembangan diri yang sebelumnya sudah tercapai. secara biologis kemampuan remaja sama dengan orang dewasa, namun secara psikososial belum dapat dipergunakan. mereka dianggap tidak pantas berperilaku seperti anak-anak, tetapi lingkungan juga tidak memberi kesempatan untuk berperilaku sebagai orang dewasa (dalami, 2010:61). masa remaja terjadi ketika seseorang mengalami perubahan struktur tubuh dari anak-anak menjadi dewasa (pubertas). pada masa ini terjadi suatu perubahan fisik yang cepat disertai banyak perubahan, termasuk di dalamnya pertumbuhan organ-organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan yang ditunjukkan dengan kemampuan melaksanakan fungsi reproduksi (kumalasari, 2012:16). remaja yang berada pada masa pubertas akan mengalami berbagai perubahan fisik. menurut sujianti (2012:32) ciri seks primer adalah organ-organ tubuh yang diperlukan untuk reproduksi. karakteristik ciri seks sekunder adalah tanda-tanda fisik dari kematangan seksual yang tidak secara langsung mempengaruhi proses reproduksi. seperti pertumbuhan payudara, perubahan suara, dan tumbuhnya rambut di ketiak serta kemaluan. perubahan-perubahan yang berkaitan dengan kejiwaan pada remaja salah satunya adalah perubahan emosi. sensitif: perubahan-perubahan kebutuhan, konflik nilai antara keluarga dengan lingkungan dan perubahan fisik menyebabkan remaja sangat sensitif misalnya mudah menangis, cemas, frustasi, dan sebaliknya bisa tertawa tanpa alasan yang jelas. utamanya sering terjadi pada remaja putri, terlebih sebelum menstruasi (kumalasari, 2012:18). kecemasan yang terjadi pada remaja salah satunya merupakan akibat dari perubahan fisik. selain itu, perubahan emosional dan sosial juga berpengaruh pada psikologi remaja yang mengalami masa pubertas. dalami (2009:65) menjelaskan bahwa kecemasan adalah merupakan respon emosional terhadap penilaian individu yang subjektif, yang dipengaruhi alam bawah sadar dan tidak diketahui secara khusus penyebabnya. kecemasan merupakan istilah yang sangat akrab dengan kehidupan seharihari yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan fisik. keadaan tersebut dapat terjadi atau menyertai kondisi situasi kehidupan dan berbagai gangguan kesehatan. dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 27 september 2014 kepada 10 remaja putri di smpn 1 selorejo, 9 (90%) remaja putri mengatakan cemas saat bagian payudara mulai membesar dan bingung dalam memilih pakaian untuk menutupi bagian payudara yang mulai membesar. sementara 1 (10%) remaja putri mengatakan tidak cemas saat bagian payudara mulai membesar dan tidak bingung dalam memilih pakaian untuk menutupi bagian payudara yang mulai membesar. ada 7 (70%) remaja putri yang merasa bosan melakukan kegiatan saat menstruasi, sedangkan 3 (30%) remaja putri lain mengatakan tidak bosan melakukan kegiatan saat menstruasi. peneliti juga melakukan studi pendahuluan pada tanggal 4 oktober 2014 di sdn sumberagung 01 pada siswa kelas v dan vi, dari 28 remaja putri di kelas v dan vi ada 9 (32,1%) remaja putri yang baru mengalami menstruasi, sementara 19 (67,8%) remaja putri belum mengalami menstruasi, sehingga diasumsikan remaja putri tersebut lebih banyak mengalami masa pubertas pada saat smp. tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan remaja putri yang mengalami masa pubertas. bahan dan metode dalam penelitian ini peneliti menggunakan rancangan penelitian deskriptif yang bertujuan mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kini. deskripsi peristiwa dilakukan secara sistematis dan lebih menekankan pada data faktual daripada penyimpulan. fenomena disajikan secara apa adanya tanpa manipulasi (nursalam, 2013:160). sampling pada penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu pengambilan sampel didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (notoatmodjo, 2010:124). 300 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 298–303 hasil penelitian pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di smp negeri 1 selorejo kabupaten blitar menunjukkan 60.4% (32 siswa) tidak mengalami kecemasan, 37.7% (20 siswa) mengalami cemas ringan, 1.9% (1 siswa) mengalami cemas sedang, dan tidak terdapat remaja putri yang mengalami cemas berat. menurut hasil tersebut membuktikan bahwa sebagian besar remaja putri tidak mengalami kecemasan dan dapat mengatasi ketika ada beberapa hal yang menimbulkan perasaan tidak tenang, namun sebagian lagi mengalami cemas ringan yang dapat menimbulkan perasaan tidak tenang pada dirinya. sumiati (2009:21) menjelaskan bahwa semua tugas-tugas perkembangan masa remaja terfokus pada bagaimana melalui sikap dan pola perilaku kanak-kanak dan mempersiapkan sikap dan perilaku orang dewasa. rincian tugas-tugas pada masa remaja ini adalah sebagai berikut: mencapai relasi yang lebih matang dengan teman seusia dari kedua jenis kelamin; mencapai peran sosial feminim atau maskulin; menerima fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif; meminta, menerima, dan mencapai perilaku bertanggung jawab secara sosial; mencapai kemandirian secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya; mempersiapkan untuk karir ekonomi; mempersiapkan untuk menikah dan berkeluarga; dan memperoleh suatu set nilai dan sistem etis untuk mengarahkan perilaku. sedangkan menurut sujianti (2012:38) ada lima tugas perkembangan remaja, yaitu: perkembangan aspek-aspek biologik, menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri, mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa yang lain, mendapatkan pandangan hidup sendiri, dan realisasi suatu identitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri. menurut peneliti remaja putri yang tidak mengala mi kecemasa n ketika ma sa pubertas dapat dipengaruhi oleh keterbukaan remaja kepada teman sebaya dan saling bertukar informasi tentang masa pubertas. remaja putri menyikapai masa pubertas lebih santai karena informasi dari teman sebaya dapat mengurangi bahkan menghilangkan rasa cemas. selain itu, adanya uks (unit kesehatan sekolah) pada sekolah dapat membantu memberikan berbagai informasi dan konseling tentang kesehatan. peran uks (unit kesehatan sekolah) sangat penting bagi siswa khususnya remaja putri, tabel 1. distribusi karakteristik tingkat kecemasan di smpn 1 selorejo blitar no. tingkat kecemasan frekuensi 1. tidak cemas 60,4 2. ringan 37,7 3. sedang 1,9 4. berat 0 berdasarkan tabel 1. menunjukkan 60.4% (32 siswa) tidak mengalami kecemasan, 37.7% (20 siswa) mengalami cemas ringan, 1.9% (1 siswa) mengalami cemas sedang, dan tidak terdapat remaja putri yang mengalami cemas berat. tabel 2. distribusi frekuensi usia responden yang mengalami mentruasi pertama di smpn 1 selorejo blitar no. usia pertama m enstruasi frekuensi 1. 10 tahun 6 % 2. 11 tahun 17 % 3. 12 tahun 45 % 4. 13 tahun 26 % 5. 14 tahun 6 % dari 53 (100%) responden, 24 (45%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 12 tahun. sementara itu, 14 (26%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 13 tahun. sebagian lagi 9 (17%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 11 tahun, 3 (6%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 10 tahun, dan responden yang sama yaitu 3 (6%) mengalami menstruasi awal pada usia 14 tahun. tabel 3. distribusi frekuensi responden yang mengalami kecemasan saat menstruasi pada saat pubertas di smpn 1 selorejo blitar (n=20) no. tanda-tanda pubertas responden 1. tumbuhnya rambut ketiak dan kemaluan 11 2. rasa malas saat belajar 5 3. payudara membesar 4 berdasar tabel di atas terdapat 11 (21%) responden mencemaskan mulai tumbuhnya rambut di ketiak dan kemaluan, 5 (9%) responden mencemaskan saat menstruasi mengalami rasa malas untuk belajar, dan 4 (8%) responden mencemaskan ketika payudara mulai membesar. 301sagita, gambaran pengetahuan ... dengan berbagai informasi tersebut dapat digunakan sebagai mekanisme koping yang adaptif sehingga tidak terjadi kecemasan pada remaja putri yang mengalami masa pubertas. dari 53 (100%) responden, 60.4% (32 siswa) tidak mengalami kecemasan, 37.7% (20 siswa) mengalami cemas ringan, 1.9% (1 siswa) mengalami cemas sedang, dan tidak terdapat remaja putri yang mengalami cemas berat. dari 53 (100%) responden, 33 (62%) responden mencemaskan menstruasi pada masa pubertas, sementara itu ada 11 (21%) responden mencemaskan mulai tumbuhnya rambut di ketiak dan kemaluan, 5 (9%) responden mencemaskan saat menstruasi mengalami rasa malas untuk belajar, dan 4 (8%) responden mencemaskan ketika payudara mulai membesar. menurut sumiati (2009:14) remaja mengalami beberapa perubahan pada masa pubertas, yaitu: perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofise menjadi ma sak da n mengelua rka n beber apa hormone, seperti hormon gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat pematangan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosterone, estrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (monks dkk dalam sumiati, 2009:14). perubahan emosional, pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang. perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (hurlock dalam sumiati, 2009: 20). bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan emosi secara ekstrem dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (hurlock dalam sumiati, 2009:20). perubahan sosial, perubahan fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan remaja, monks, dkk., dalam sumiati (2009:21) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan, dan perilaku. menurut peneliti meskipun banyak remaja putri yang tidak mengalami kecemasan, namun masa pubertas ini merupakan suatu hal yang baru dalam kehidupannya. hal baru tersebut merupakan stressor remaja yang bisa saja membuat remaja mengalami kecemasan. remaja putri lebih mencemaskan menstruasi saat mengalami masa pubertas. pada masa pubertas terjadi perubahan fisik seperti mulai tumbuhnya rambut di ketiak dan kemaluan, payudara yang mulai membesar, dan mengalami menstruasi. selain perubahan fisik, pada masa pubertas juga terjadi perubahan emosional dan sosial, seperti frekuensi mencurahkan isi hati untuk meluapkan emosional remaja lebih banyak dilakukan kepada teman sebaya. perubahan fisik, emosional, dan sosial saling berkaitan satu sama lain. remaja putri mengalami mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan, yaitu yang bersifat adaptif dan maladaptif. mencurahkan isi hati kepada teman sebaya merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan remaja putri untuk mengatasi kecemasan supaya tidak mengarah ke koping maladaptif. dari 53 (100%) responden, 24 (45%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 12 tahun. sementara itu, 14 (26%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 13 tahun. sebagian lagi 9 (17%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 11 tahun, 3 (6%) responden mengalami menstruasi awal pada usia 10 tahun, dan responden yang sama yaitu 3 (6%) mengalami menstruasi awal pada usia 14 tahun. berdasarkan tabulasi silang antara kecemasan dengan usia remaja ketika mengalami menstruasi awal yaitu 26.4 % (14 siswa) yang tidak mengalami kecemasan berusia 12 tahun, 18.9% (10 siswa) yang mengalami cemas ringan berusia 12 tahun, dan 1.9% (1 siswa) yang mengalami cemas sedang berusia 10 tahun. menurut sibagariang (2010:69) pada bab hormon dalam menstruasi terdapat beberapa siklus, sebagai berikut: siklus hormonal, pada masa pubertas anak tumbuh dengan cepat dan mendapatkan bentuk tubuh yang khas bagi jenisnya. pubertas (akil baliq) terjadi perubahan dalam ovaria yang mengakibatkan 302 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 298–303 perubahan besar pada seluruh tubuh wanita. pubertas terjadi pada usia 12-16 tahun, dipengaruhi keturunan, bangsa, iklim dan lingkungan. haid pertama kali disebut menarche dengan gejala yang lambat, paling awal adalah pertumbuhan payudara (thelarche) disusul rambut di ketiak. setelah menarche haid datang secara siklik dari uterus sebagai tanda bahwa alat kandungan menunaikan faalnya. siklus haid, anak-anak perempuan biasanya mulai mendapat haid yang membuktikan seorang remaja telah berubah menjadi wanita dewasa. datangnya haid ini pun menandakan bahwa fungsi tubuhnya berjalan dengan normal dan baik. selama masa pubertas, otak melepaskan hormon yang menstimulasi indung telur (ovarium) untuk memproduksi hormon estrogen dan progesteron. kedua hormon ini yang akan mematangkan sel telur sehingga terjadi menstruasi atau kehamilan jika ada pembuahan. menstruasi adalah pelepasan dinding rahim (endometrium) yang disertai dengan pendarahan dan terjadi setiap bulannya kecuali pada saat kehamilan. menstruasi yang terjadi setiap bulannya disebut sebagai siklus menstruasi. menstruasi biasanya terjadi pada usia 11 tahun dan berlangsung hingga menopause (biasanya terjadi sekitar usia 45-55 tahun). menurut peneliti, kecemasan remaja ketika pertama kali menstruasi atau menstruasi awal dapat dipengaruhi oleh usia. usia menentukan tingkat kedewasaan seseorang, semakin tinggi usia dan pengalaman seseorang maka semakin rendah tingkat kecemasannya. sebaliknya, semakin rendah usia dan pengalamannya maka semakin tinggi kecemasan ya ng dia laminya. kecemasa n tersebut dapat dikurangi dengan mendapatkan informasi-informasi mengenai masa pubertas, khususnya menstruasi. dari 53 (100%) responden, 33 (62%) responden mencemaskan menstruasi pada masa pubertas, sementara itu ada 11 (21%) responden mencemaskan mulai tumbuhnya rambut di ketiak dan kemaluan, 5 (9%) responden mencemaskan saat menstruasi mengalami rasa malas untuk belajar, dan 4 (8%) responden mencemaskan ketika payudara mulai membesar. berdasarkan tabulasi silang antara kecemasan dengan perubahan yang paling dicemaskan ketika mengalami pubertas yaitu 34.0% (18 siswa ) tida k menga la mi kecema sa n ketika mengalami menstruasi awal, 26.4 % (14 siswa) mengalami cemas ringan ketika mengalami mentruasi awal, dan 1.9% (1 siswa) mengalami cemas sedang ketika mengalami menstruasi awal. menurut kartini (1995) dalam sujianti (2012), peristiwa penting pada masa pubertas anak gadis adalah gejala menstruasi atau haid yang menjadi pertanda biologis dari kematangan seksual. secara normal menstruasi berlangsung kurang lebih pada usia 11-16 tahun. gejala yang sering terjadi dan sangat mencolok pada peristiwa haid pertama adalah kecemasan atau ketakutan diperkuat oleh keinginan untuk menolak proses fisiologis tersebut. sewaktu haid pertama itu kadang muncul anggapan yang keliru sehingga timbul rasa malu, rasa diri tidak bersih atau tidak suci, merasa diri kotor bernoda, dan diliputi emosi negatif lainnya. menurut dalami (2009:72) ketika mengalami ansietas, individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya. dalam bentuk ringan ansietas dapat diatasi dengan menangis, tertawa, tidur, olah raga atau merokok. bila terjadi ansietas berat sampai panik akan terjadi ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan penyebab utama perilaku yang patologis, individu akan menggunakan energi yang lebih besar untuk dapat mengatasi ancaman tersebut. sujianti (2012:14) menjelaskan ada dua tahap proses mekanisme koping, yaitu adaptif dan maladaptif. adaptif, menurut kelly (1978), patton (1986), reynolds (1987) perilaku adaptif merupakan kematangan diri dan sosial seseorang dalam melakukan kegiatan umum sehari-hari sesuai dengan keadaan umur dan berkaitan dengan budaya kelompok. beberapa konsep perilaku adaptif adalah: perilaku adaptif fokus pada perilaku sehari-hari, pemenuhan harapan masyarakat dimana individu tersebut tinggal, kemampuan mengatasi secara efektif keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat yang berhubungan dengan penyesuaian diri. sedangkan perilaku maladaptif merupakan perilaku yang merugikan lingkungan sekitar. beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya perilaku maladaptif pada seseorang adalah: sensitif terhadap kritik. individu kurang dapat atau bahkan tidak bisa merespon secara positif terhadap koreksi juga tidak dapat mengkritisi diri sendiri, tidak mampu berkompetisi. individu hanya mau berkompetisi dengan lawan yang jelas dapat dikalahkan. menurut peneliti, remaja putri lebih mencemaskan menstruasi pada saat mengalami masa pubertas, yaitu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. pengetahuan dan keterbukaan remaja dapat mempengaruhi psikologi remaja yang menyebabkan kecemasan. berdasarkan anamnesa, remaja putri 303sagita, gambaran pengetahuan ... lebih mencemaskan menstruasi karena belum mengetahui secara mendalam tentang menstruasi, yaitu tanda dan gejala datangnya menstruasi, hal yang harus dilakukan untuk mempersiapkan pra menstruasi, cara untuk mengatasi kebocoran saat menstruasi. pengetahuan yang baik tentang menstruasi pada remaja putri akan dapat mengurangi kecemasan yang dialaminya. keterbukaan remaja untuk bercerita kepada teman ataupun orang tua khususnya ibu tentang menstruasi dapat mengurangi kecemasan yang dialami remaja. hal tersebut merupakan koping adaptif yang digunakan remaja untuk mengatasi kecemasan yang dialami. kecemasan yang ringan dapat diatasi dengan koping-koping seperti tersebut. jika kecemasan meningkat dapat mempengaruhi pergaulan remaja ke arah menyimpang, karena tidak mengetahui cara yang digunakan untuk mengatasi kecemasan tersebut. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 60,4% remaja putri tidak mengalami kecemasan pada masa pubertas, sedangkan 39,6% mengalami cemas ringan dan sedang. saran aplikasi hasil penelitian dpat dimanfaatkan sebagai acuan memberikan pengetahuan dan konseling kepada remaja awal (putri) tentang masa pubertas dan menjadikan uks (unit kesehatan sekolah) lebih efektif untuk memberikan informasi kepada siswa khususnya remaja putri yang mengalami masa pubertas. selain itu, pihak sekolah dapat memberikan ijin kepada siswa untuk mengakses internet menggunakan wifi sekolah sebagai sarana mengakses berbagai informasi yang bermanfaat dan bersifat positif khususnya tentang masa pubertas. hasil penelitian dalam bentuk kecemasan dapat digunakan sebagai referensi untuk proses pembelajaran mengenai kecemasan pada remaja putri yang mengalami masa pubertas. untuk peneliti selanjutnya hasil penelitiandapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan kecemasan remaja putri yang mengalami masa pubertas dan diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti tentang 1) upaya remaja putri dalam mengatasi kecemasan pada masa pubertas, 2) faktorfaktor yang mempengaruhi kecemasan remaja putri pada masa pubertas, 3) hubungan antara pergaulan dengan kecemasan remaja putri yang mengalami masa pubertas. daftar rujukan dalami, e., suliswati., farida, p., rochimah. & banon, e. 2010. konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. jakarta: trans info media. irianti, i. & herlina, n. 2010. buku ajar psikologi untuk mahasiswa kebidanan. jakarta: egc. kumalasari, i. & andhyantoro, i. 2012. kesehatan reproduksi untuk mahasiswa kebidanan dan keperawatan. jakarta: salemba medika. not oadmodjo, s. 2010. met odol ogi pe nel i t ian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nur sa la m . 2013. me todologi pe nel i t ian il mu keperawatan: pendekatan praktis edisi 3. jakarta: salemba medika. sibagariang, e. e., pusmaika, r., & rismalinda. 2010. kesehatan reproduksi wanita. jakarta: trans info media. sujianti. & dhamayanti, c. a. 2012. buku ajar psikologi kebidanan. jakarta: trans info media. sumiati., dinarti., nurhaeni, h. & aryani, r. 2009. kesehatan jiwa remaja dan konseling. jakarta: trans info media. d:\set 2017\set nanik juni 2017 70 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–78 70 gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kecamatan panggungrejo kabupaten blitar (the description of clean and healthy living of families who experience drought in the balerejo village of panggungrejo blitar) adinda putri lestari praktisi keperawatan email: dindap44@gmail.com abstract: drought has impacts especially to the impairment of health. to avoid the health problem it is expected to implement clean and healthy living when drought. the purpose of this research was to describe the clean and healthy living of families who experience drought in balerejo village in panggungrejo blitar. this research design used descriptive design. the populations in this research was 620 families. this research used quota sampling technique with the sample from 62 families in balerejo village in panggungrejo blitar. the data collected by filling out of the questionnaires. the data was taken on february 27th to march 31st 2016. the result showed that clean and healthy living of families who have drought in strata 3 or less 59.7 % (37 families). from the thirteenth indicators that had category less was the using of clean water, using of privy health and eat fruits and vegetables every day. this influenced by a factor of age, education, environmental and cultural. recommendations of the research was expected could give contributions in clean water supply and improvement and execution of the clean and healthy living in of families that experienced the drought. keyword: behaviors clean healthy living, family, drought abstrak: kekeringan berdampak terutama pada penurunan kesehatan. untuk menghindari dari berbagai masalah kesehatan diharapkan bisa menerapkan hidup bersih dan sehat saat musim kering. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan keluarga bersih dan sehat keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo di kecamatan panggungrejo blitar. desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah 620 keluarga. penelitian ini menggunakan teknik quota sampling dengan sampel dari 62 keluarga di desa balerejo di kecamatan panggungrejo blitar. data dikumpulkan dengan mengisi kuesioner. data tersebut dilakukan pada tanggal 27 februari sampai 31 maret 2016. hasilnya menunjukkan bahwa keluarga bersih dan sehat keluarga yang mengalami kekeringan strata 3 atau kurang 59,7% (37 keluarga). dari ketigabelas indikator yang memiliki kategori kurang yaitu penggunaan air bersih, penggunaan kesehatan rahasia dan makan buah dan sayuran setiap hari. hal ini dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, lingkungan dan budaya. rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penyediaan air bersih dan perbaikan serta pelaksanaan hidup bersih dan sehat keluarga yang mengalami kekeringan. kata kunci: perilaku bersih hidup sehat, keluarga, kekeringan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p070-078 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 71lestari, gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (phbs)... saat ini indonesia mengalami ancaman bencana kekeringan akibat musim kemarau serta imbas badai el-nino di wilayah asia pasifik. bencana kekeringan diperkirakan terjadi mulai akhir juli hingga oktober mendatang (www.cnnindonesia.com diakses pada tanggal 16 september 2015). kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan (bakornas bp, 2007). kekeringan menimbulkan berbagai dampak salah satunya adalah gangguan kesehatan. gangguan kesehatan yang dimaksud yaitu timbulnya berbagai macam penyakit. ada beberapa jenis penyakit saluran pencernaan yang sering muncul dimusim kemarau, diantaranya diare dan kolera. kualitas air yang tidak bersih disertai makanan yang tercemar dapat memicu timbulnya penyakit saluran pencernaan. untuk mencegahnya perlu menjaga kebersihan lingkungan dan apa yang dikonsumsi, dimulai dari hal kecil mencuci tangan sebelum makan dan tidak jajan sembarangan. gangguan kesehatan lainnya seperti penyakit kulit. musim kemarau dapat menyebabkan stock air terbatas dan tercemar, sehingga tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan pencernaan tetapi juga kulit. infeksi kulit seperti gatal-gatal yang jika berlarut dapat menjadi bisul dan bisul bisa berakhir menjadi borok. dan gangguan kesehatan lainnya seperti infeksi saluran kemih, radang rongga hidung dan sesak nafas, dan penyakit mata merah (www. dampakkekeringan.com diakses pada tanggal 16 september 2015). dari data yang ada, tercatat jumlah mata air di wilayah hutan lindung terus menyusut dibeberapa wilayah seperti di jombang, lumajang, tulungagung, trenggalek, malang, mojokerto, dan blitar (http:// news.detik.com/berita-jawa-timur diakses pada tanggal 17 september 2015). berdasarkan data dari pmi kabupaten blitar, tercatat beberapa daerah di kabupaten blitar mengalami kekeringan salah satunya di desa balerejo kecamatan panggungrejo. selain kekeringan, di desa tersebut memiliki tingkat perilaku hidup bersih yang kurang, didapatkan angka kasus bab sembarangan tertinggi di desa balerejo dengan angka 12.03% serta banyak anggota keluarga yang mengalami infesi saluran pernapasan atas (ispa) dan diare. saat ini pmi kabupaten blitar sedang melakukan program wash (water, hygiene and sanitation) di desa tersebut yang meliputi kegiatan mengenai pendistribusian air bersih, pembangunan jamban, promosi kesehatan tentang cuci tangan dan phbs. untuk terhindar dari berbagai macam penyakit saat terjadi kekeringan, masyarakat harus sadar mengenai pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat. perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. phbs dibagi menjadi lima tatanan, yaitu tatanan rumah tangga, tatanan institusi pendidikan, tatanan tempat kerja, tatanan tempat umum dan tatanan fasilitas kesehatan (kementrian kesehatan ri, 2011). di rumah tangga atau keluarga, perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) mencakup 13 indikator, yaitu: 1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, 2) memberi bayi asi eksklusif, 3) menimbang balita setiap bulan, 4) menggunakan air bersih, 5) mencuci tangan dengan air bersih dan mengalir menggunakan sabun, 6) pengelolaan air minum di rumah tangga, 7) menggunakan jamban sehat, 8) pengelolaan limbah cair di rumah tangga, 9) membuang sampah di tempat sampah, 10) memberantas jentik nyamuk, 11) makan sayur dan buah setiap hari, 12) melakukan aktvitas fisik setiap hari, dan 13) tidak merokok di dalam rumah (buku pedoman kementrian kesehatan ri, 2011). di daerah yang mengalami kekeringan, menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan air sabun, dan menggunakan jamban sehat merupakan hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan. menurut suprajitno (2004), keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan, meliputi: 1) mengenal masalah kesehatan yang ada, 2) memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, 3) merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, 4) memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga, 5) memanfaatkan fasilitas kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. berdasarkan hal tersebut anggota keluarga harus mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) agar terhidar dari berbagai macam penyakit. berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 27 september 2015 di desa balerejo kecamatan panggungrejo, dari 14 responden yang dipilih secara acak ketika diwawancarai mengenai perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) saat kekeringan, terdapat 14 keluarga menyatakan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, 72 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–78 7 dari 14 keluarga menyatakan bahwa memberi bayi asi eksklusif dan sisanya diberikan susu formula, 9 dari 14 keluarga mengatakan mengikuti posyandu balita, 8 dari 14 keluarga kesulitan mendapatkan air bersih, 6 dari 14 keluarga memahami tentang mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, 10 dari 14 keluarga mengolah air minum dengan cara memanaskan lalu disaring, 8 dari 14 keluarga mengatakan menggunakan jamban sehat, 14 keluarga mengolah air limbah dengan cara irigasi, 9 dari 14 keluarga membuang sampah ditempat sampah dan mengolah sampah dengan cara dibakar sisanya dengan cara ditimbun, 10 dari 14 keluarga memiliki kebiasaan menguras kamar mandi serta membersihkan jentik seminggu sekali dan sisanya menguras kamar mandi apabila sudah terlihat kotor, 9 dari 14 keluarga mengatakan mereka mengkonsumsi sayur setiap hari, tetapi hanya 6 dari 14 keluarga yang mengkonsumsi buah setiap hari, 14 keluarga mengatakan melakukan aktivitas fisik setiap hari seperti berkebun dan bertani, kemudian untuk masalah rokok, 10 dari 14 keluarga adalah seorang perokok aktif. keluarga mengatakan belum pernah diberikan penyuluhan kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat. berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kecamatan panggungrejo kabupaten blitar. bahan dan metode desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kecamatan panggungrejo yang berjumlah 620 kepala keluarga. sampel yang dipilih ditetapkan 10% dari populasi sehingga sampel ditetapkan sebesar 62 kepala keluarga dengan kriteria inklusi sampel adalah (a) keluarga yang mengalami kekeringan, (b) keluarga yang bersedia menjadi responden dan (c) keluarga yang terdiri dari ayah/ ibu/anak (anak berumur minimal 20 tahun). sampling yang digunakan menggunakan teknik quota sampling. pengambilan data dilakukan pada 27 februari sampai dengan 30 maret 2016 di desa balerejo kecamatan panggungrejo kabupaten blitar. instrumen penelitian menggunakan kuesioner pilihan ganda yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan studi pustaka. analisa data secara deskriptif ditampilan persentase. penentuan tingkat perilaku kepala keluarga berdasarkan hasil penelitian dikonversikan kedalam kategori sebagai berikut (kemenkes ri, 2011). 1. baik : 80 – 100 % 2. cukup : 60 – 79 % 3. kurang : 40 – 59 % 4. buruk : 0 – 39 % hasil penelitian no karakteristik f prosentase 1 usia a. 20 tahun 2 3 b. 21-40 tahun 35 56 c. 41-60 tahun 16 26 d. > 60 tahun 9 15 2 jenis kelamin a. laki-laki 22 35 b. perempuan 40 65 3 pendidikan a. tidak sekolah 8 13 b. sekolah dasar 19 31 c. smp 24 39 d. sma 8 13 e. perguruan tinggi 3 5 4 pekerjaan a. pns 3 5 b. swasta 8 13 c. buruh 7 11 d. petani 24 39 e. ibu rumah tangga 20 32 f. lainnya 0 0 5 mengalami kekeringan a. ya 62 100 b. tidak 0 0 6 informasi a. ya 32 52 b. tidak 30 48 7 sumber informasi a. petugas kesehatan 25 40 b. kader 5 8 c. internet 2 3 d. surat kabar /tv 0 0 e. tidak mendapat 30 48 8 kepemilikan sumur a. ya 17 27 b. tidak 45 73 9 kepemilikan jamban a. ya 50 81 b. tidak 12 19 10 kepemilikan tempat sampah a. ya 52 84 b. tidak 10 16 tabel 1 karakteristik kepala keluarga 73lestari, gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (phbs)... no karakteristik f prosentase 11 kepeilikan bayi/ balita a. ya 27 44 b. tidak 35 56 12 kebersihan rumah a. bersih 18 29 b. cukup bersih 19 31 c. kurang bersih 25 40 indikator pertolongan persalinan memberi bayi asi ekslusif menimbang bayi setiap bulan menggunakan air bersih mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun pengelolaan air minum di rumah tangga menggunakan jamban sehat pengelolaan limbah cair di rumah tangga membuang sampah pada tempat sampah memberantas jentik nyamuk 100% 69% 77% 42% 89% 21% 84% 23% 45% 37% 34% 82% 89% 35% 37% 58% 66% 60% 73% 61% 21% 35% baik cukup cukup kurang buruk baik kurang cukup cukup buruk 100% 69% 77% 59% 35% 85% 49% 60% 67% 28% gambaran phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo % pelaksaanaan tiap pertanyaan % ratarata tiap indikator kategori (kemenkes, 2011) indikator makan buah dan sayur setiap hari melakukan aktivitas fisik setiap hari tidak merokok 55% 68% 21% kurang cukup buruk 55% 68% 21% gambaran phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo % pelaksaanaan tiap pertanyaan % ratarata tiap indikator kategori (kemenkes, 2011) tabel 2 menunjukkan bahwa phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kabupaten blitar adalah 59 % dengan kategori kurang tabel 2 phbs keluarga yang mengalami kekeringan berdasarkan indikator di desa balerejo, maret 2016 (n=62) 1 baik 7 11.3% 2 cukup 11 17.7% 3 kurang 37 59.7% 4 buruk 7 11.3% jumlah 62 100% tabel 3 gambar an phbs pada kel uarga yang mengalami kekeringan. di desa balerejo, maret 2016 (n=62) no gambaran phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kategori frekuensi prosentase tabel 3 menunjukkan bahwa gambaran phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kabupaten blitar tergolong baik 7 keluarga (11.3%), cukup 11 keluarga (17.7%), kurang 37 keluarga (59,7%) dan buruk 7 keluarga (11.3%). pembahasan indikator perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) yang terkait dengan kekeringan berdasarkan hasil penelitian gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kecamatan panggungrejo kabupaten blitar dari 62 keluarga yaitu 37 keluarga (59.7%) memiliki kategori kurang. dengan rata-rata pelaksanaan phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kabupaten blitar adalah 59% dengan kategori kurang. 74 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–78 penggunaan air bersih berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 4 masuk dalam kategori kurang yaitu 59% keluarga menggunakan air bersih untuk kegiatan sehari-hari dengan rincian (42%) 26 keluarga menggunakan air yang tidak keruh, (89%) 55 keluarga mendapatkan air dari sumber yang tidak tercemar, (21%) 13 keluarga menggunakan air bersih yang mengalir saat kegiatan mandi, mencuci dan buang air, (84%) 52 keluarga berpendapat jika menggunakan air bersih dapat terhidar dari berbagai macam penyakit saat terjadi kekeringan. air adalah kebutuhan dasar yang dipergunakan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur, mencuci pakaian, dan sebagainya, agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari sakit (syafrudin dkk, 2011). syarat-syarat air bersih menurut depkes ri (2008) yaitu air tidak berwarna harus bening/jernih, air tidak keruh, air tidak berasa, dan air tidak berbau. di wilayah yang mengalami kekeringan, keluarga memiliki budaya untuk menggunakan air seadanya dan terbiasa menggunakan air yang sedikit keruh dan harus saling berbagi air dengan keluarga lain. namun sebaiknya untuk terhindar dari penyakit seperti penyakit kulit, diare, kolera seharusnya keluarga tetap menggunakan air yang bersih dan memperhatikan bagaimana keadaan air yang layak untuk digunakan. menurut pendapat peneliti, dengan banyaknya keluarga yaitu 45 keluarga yang tidak memiliki sumur, sebaiknya keluarga lebih sadar untuk ikut serta dalam kelompok pengadaan air bersih agar dapat mengelola air yang ada menjadi air bersih yang aman untuk digunakan. mencuci tangan dengan air bersih dan mengalir menggunakan sabun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 5 masuk dalam kategori buruk yaitu 35% keluarga mencuci tangan dengan air bersih dan mengalir menggunakan sabun, dengan rincian (23%) 14 keluarga menggunakan air mengalir untuk mencuci tangan, (45%) 28 keluarga mencuci tangan dengan membersihkan daerah tangan dan jemari, (37%) 23 keluarga menggunakan sabun cuci tangan saat mencuci tangan dan (34%) 21 keluarga selalu mencuci tangan sebelum makan. air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri penyebab penyakit. bila digunakan, kuman berpindah ke tangan. pada saat makan, kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh, yang bisa menimbulkan penyakit. sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman, karena tanpa sabun kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. indikasi mencuci tangan yaitu setiap kali tangan kita kotor, setelah buang air besar, setelah menceboki bayi atau anak, sebelum makan dan menyuapi anak, sebelum memegang makanan dan sebelum menyusui bayi (depkes ri, 2008). di wilayah yang mengalami kekeringan, keluarga memiliki budaya mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun yang tergolong buruk. mereka hanya mencuci tangan ketika selesai melakukan aktifitas seperti bertani. namun keluarga jarang untuk mencuci tangan sebelum makan. hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan air serta kurangnya kesadaran keluarga untuk mencuci tangan menggunakan air bersih dan menggunakan sabun. menurut pendapat peneliti, mencuci tangan menggunakan air bersih dan menggunakan sabun memiliki manfaat untuk mencegah penularan penyakit. khususnya penyakit yang sering terjadi saat kekeringan seperti diare, kolera disentri, typhus, cacingan, penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan akut (ispa). walaupun air bersih sulit untuk didapatkan, sebaiknya keluarga tetap mencuci tangan menggunakan sabun agar kotoran dan kuman tidak tertinggal di tangan. pengelolaan air minum di rumah tangga berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 6 masuk dalam kategori baik yaitu 85% keluarga melaksanakan pengelolaan air minum di rumah tangga dengan baik, dengan rincian (82%) 51 keluarga minum air yang sudah dimasak dan (89%) 55 keluarga mengolah air minum dengan cara memanaskan sampai mendidih. cara pengolahan air minum menurut notoadmojo (2003) yaitu pengolahan secara alamiah, pengolahan air dengan menyaring, pengolahan air dengan menambahkan zat kimia, pengolahan air dengan mengalirkan udara, dan pengolahan air dengan memanaskan sampai mendidih. pengolahan air dengan memanaskan sampai mendidih lebih tepat hanya untuk konsumsi kecil misalnya untuk kebutuhan rumah tangga. di daerah yang mengalami kekeringan dengan kondisi air di daerah tersebut yang mengandung kapur, keluarga lebih memilih memanaskan air terlebih dahulu sebelum diminum karena untuk terhidar dari penyakit dan cara tersebut lebih praktis untuk menghemat biaya. 75lestari, gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (phbs)... penggunaan jamban sehat berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 7 masuk dalam kategori kurang yaitu 49% keluarga menggunakan jamban sehat, dengan rincian (35%) 22 keluarga memiliki jamban sehat, (37%) 23 keluarga rutin membersihkan jamban, (58%) 36 keluarga menyatakan jika tidak terdapat serangga (kecoa) pada jamban miliknya, (66%) 41 keluarga tidak membuang putung rokok atau pembalut pada jamban. penggunaan jamban sehat adalah anggota rumah tangga yang menggunakan jamban leher angsa dengan tangki septik atau lubang penampungan kotoran sebagai pembuangan akhir dan terpelihara kebersihannya (kemenkes ri, 2011). syarat jamban sehat yaitu tidak mencemari sumber air minum, tidak berbau, kotoran tidak dapat dijamah serangga dan tikus, tidak mencemari tanah sekitar, aman dan mudah dibersihkan, dilengkapi dinding dan atap, penerangan dan ventilasi cukup, lantai kedap air dan luas ruangan memadai, tersedia air, sabun dan alat pembersih (kemenkes ri, 2014). di wilayah yang mengalami kekeringan, keluarga memiliki budaya menggunakan jamban cemplung untuk menghemat air, namun banyak jamban yang jauh dari kategori jamban sehat. banyak jamban yang tidak terawat, tidak memiliki atap dan terlihat kotor. selain itu pada 12 keluarga menyatakan tidak memiliki jamban dan biasa buang air besar di sungai atau meminjam pada tetangganya. padahal kegiatan tersebut harus dihentikan agar tidak mencemari sungai dan tidak terjadi penularan penyakit. menurut pendapat peneliti, jamban cemplung yang dimiliki keluarga harus tertutup, lantai kokoh atau tidak mudah rapuh, terdapat atap, penerangan dan tidak menimbulkan bau. pengelolaan limbah cair di rumah tangga berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 8 masuk dalam kategori cukup yaitu 60% keluarga yang melaksanakan pengelolaan limbah cair di rumah tangga, dengan rincian 37 keluarga mengolah air limbah dengan cara dialirkan ke parit-parit kecil yang dapat merembes ke dalam tanah. air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya. pengelolaan air limbah digunakan untuk melindungi lingkungan hidup terhadap pencemaran air limbah tersebut. cara pengelolaan air limbah secara sederhana yaitu dengan cara pengenceran, kolam oksidasi dan irigasi. irigasi yaitu air limbah dialirkan kedalam parit-parit terbuka yang digali, dan air akan merembes masuk kedalam tanah melalui dasar dan dinding parit-parit tersebut (notoadmojo, 2007). di daerah daerah desa yang mengalami kekeringan, keluarga mengolah air limbah di rumah tangga dengan menggunakan cara irigasi karena lebih efektif sehingga tanah yang kering dapat dibasahi menggunakan air limbah tersebut. membuang sampah di tempat sampah berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 9 masuk dalam kategori cukup yaitu 67% keluarga melaksanakan indikator membuang sampah di tempat sampah, dengan rincian (73%) 45 keluarga tidak membuang sampah sembarangan dan (61%) 38 keluarga mengolah sampah dengan cara ditimbun atau dibakar. sampah adalah sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang. pengolahan sampah dapat dilakukan dengan cara ditanam, dibakar dan dijadikan pupuk (notoadmojo, 2007). di daerah yang mengalami kekeringan terutama daerah pedesaan lebih efektif mengolah sampah dengan cara membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan lubang selanjutnya sampah dibakar atau ditimbun hal ini dikarenakan di desa tidak memiliki tempat pembuangan akhir seperti di daerah kota. memberantas jentik nyamuk berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 10 masuk dalam kategori buruk yaitu 28% keluarga melaksanakan kegiatan memberantas jentik nyamuk dengan rincian yaitu (21%) 13 keluarga rutin membersihkan tempat penampungan air di kamar mandi dan (35%) 22 keluarga memberantas jentik nyamuk sengan cara 3m: menguras, menutup, mengubur. memberantas jentik nyamuk adalah rumah tangga melakukan pemberantasan jentik nyamuk di dalam atau di luar rumah seminggu sekali dengan cara 3m plus/ abatisasi/ ikanisasi atau cara lain yang dianjurkan (kemenkes ri, 2011). di daerah yang kekeringan, keluraga tidak rutin membersihkan penampungan air di kamar mandi dan tidak memberantas jentik nyamuk dikarenakan malas untuk melakukan kegiatan tersebut. di dapatkan keadaan pada tempat penampungan air yaitu kotor 76 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–78 dengan kondisi air sedikit dan terdapat jentik. menurut pendapat peneliti, walaupun di daerah yang kekeringan dengan kondisi air yang minim seharusnya tetap memberantas jentik seminggu sekali agar dapat mencegah terjadinya penyakit demam berdarah dan tempat penampungan air terjaga kebersihannya. indikator perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) yang tidak terkait dengan kekeringan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 1 masuk dalam kategori baik yaitu (100%) 62 keluarga dalam proses persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, baik dari bidan, puskesmas, dokter, maupun rumah sakit. persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan adalah ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memliki kompetensi kebidanan (dokter kandungan dan kebidanan, dokter umum dan bidan) (kemenkes ri, 2011). menurut peneliti, di daerah yang mengalami kekeringan dengan wilayah yang jauh dari akses kesehatan, keluarga di desa tersebut tetap memiliki kesadaran untuk memeriksakan kehamilan dan melahirkan di tolong oleh tenaga kesehatan agar terjamin keselamatan ibu dan bayi. pemberian asi eksklusif bagi bayi berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 2 masuk dalam kategori cukup yaitu (69%) 43 keluarga memberikan asi eksklusif pada bayi. pemberian asi eksklusif adalah bayi usia 0-6 bulan mendapat asi saja sejak lahir sampai usia 6 bulan (kemenkes ri, 2011). manfaat memberikan asi yaitu bayi lebih sehat, lincah, tidak cengeng, dan bayi tidak sering sakit (depkes ri, 2008). menurut peneliti, di daerah yang mengalami kekeringan, keluarga harus tetap memperhatikan untuk memberi bayi asi eksklusif agar bayi sehat dan terhindar dari penyakit. namun pada beberapa keluarga menyatakan jika tidak memberikan bayinya asi selama 6 bulan karena asi tidak keluar. menimbang balita setiap bulan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 3 masuk dalam kategori cukup yaitu (77%) 48 keluarga menimbang balita setiap bulan. menimbang bayi setiap bulan adalah balita (umur 12-60 bulan) ditimbang setiap bulan dan tercatat di kms atau buku kia (kemenkes ri, 2011). manfaat yang didapatkan diantaranya mengetahui apakah balita tumbuh sehat, mencegah gangguan pertumbuhan balita, mengetahui balita sakit, berat badan dibawah garis merah, gizi buruk, kelengkapan imunisasi, penyuluhan gizi (depkes ri, 2008). menurut peneliti, di daerah yang mengalami kekeringan, akan sering muncul berbagai macam masalah kesehatan, untuk memantau perkembangan dan kesehatan balita harus dibawa ke posyandu setiap bulan. namun untuk keluarga yang tidak membawa balita ke posyandu dikarenakan sibuk bekerja atau lupa untuk menimbangkan balitanya ke posyandu. makan buah dan sayur setiap hari berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 11 masuk dalam kategori cukup yaitu 55% keluarga setiap hari makan buah dan sayur, dengan rincian yaitu 34 keluarga rutin mengkonsumsi buah dan sayuran hijau setiap hari. makan buah dan sayur setiap hari adalah anggota rumah tangga umur 10 tahun ke atas yang mengkonsumsi minimal 2 porsi sayur dan 3 porsi buah atau sebaliknya setiap hari (kemenkes ri, 2011). di wilayah kekeringan, keluarga tidak biasa makan buah setiap hari dan makan sayur seadanya. keluarga lebih terbiasa makan ubi-ubian. padahal makan buah dan sayur setiap hari khususnya di daerah yang kekeringan memiliki manfaat terhindar dari penyakit, melancarkan buang air besar, dan membantu pembersihan racun dalam tubuh. menurut pendapat peneliti, sebaiknya keluarga menanam sayuran yang dapat tumbuh saat kekeringan seperti daun ketela dan kecipir sehingga keluarga dapat makan sayur setiap hari. melakukan aktivitas fisik setiap hari berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 12 masuk dalam kategori kurang yaitu 68% keluarga melakukan aktivitas fisik setiap hari. dengan rincian yaitu 42 keluarga rutin melakukan aktivitas fisik seperti olahraga ringan, berkebun, mencuci pakaian dll. menurut kemenkes ri (2014) yaitu aktivitas fisik yang dilakukan sedikitnya 30 menit setiap hari berupa pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga yang penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik, mental, dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar sepanjang hari. jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan menurut depkes ri (2008) yaitu bisa berupa kegiatan sehari-hari, yaitu: berjalan kaki, berkebun, kerja di taman, mencuci pakaian, mencuci mobil, mengepel lantai, naik turun tangga, membawa 77lestari, gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (phbs)... belanjaan dan bisa berupa olah raga, yaitu: push-up, lari ringan, bermain bola, berenang, senam, bermain tenis, yoga, fitness, angkat beban/berat. di daerah yang mengalami kekeringan, keluarga tetap melakukan aktifitas fisik setiap hari seperti bertani, berkebun dan berjalan untuk mendapatkan air. keluarga tidak malas untuk beraktifitas walaupun keadaan cuaca saat kekeringan sangat panas. tidak merokok berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator nomor 13 masuk dalam kategori buruk yaitu hanya 21% (13 keluarga) yang tidak merokok. tidak merokok di dalam rumah adalah penduduk/ anggota rumah tangga umur 10 tahun ke atas tidak merokok di dalam rumah ketika berada bersama anggota keluarga lainnya (kemenkes ri, 2011). di daerah yang mengalami kekeringan dengan keadaan udara yang panas, asap rokok dapat menambah polusi udara. namun rata-rata keluarga di desa tersebut merupakan seorang perokok dan terbiasa merokok di dalam rumah, padahal merokok dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kecamatn panggungrejo kabupaten blitar secara umum untuk gambaran phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan dari 62 keluarga yaitu 7 keluarga (11.3%) dalam kategori baik, 11 keluarga (17.7%) memiliki kategori cukup, 37 keluarga (59.7%) memiliki kategori kurang, dan 7 keluarga (11.3%) memiliki kategori buruk. hal yang mempengaruhi dalam pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) dalam kategori baik adalah faktor pendidikan. menurut sunaryo (2004) mengemukakan bahwa secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal maupun informal. proses dan kegiatan pendidikan pada dasarnya melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok. di desa tersebut ada beberapa keluarga yang memiliki pendidikan terakhir perguruan tinggi. dengan pendidikan yang tinggi keluarga lebih memiliki kesadaran untuk melaksanakan phbs saat kekeringan. hal yang mempengaruhi dalam pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) dalam kategori cukup adalah jenis kelamin. menurut sunaryo (2004) mengemukakan bahwa perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian dan melakukan pekerjaan sehari-hari. pria berperilaku atas dasar pertimbangan rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional atau perasaan. jenis kelamin keluarga di desa balerejo terbanyak adalah perempuan, dimana perempuan lebih banyak melakukan kegiatan di dalam rumah, selain itu perempuan lebih memperhatikan hal-hal kecil yang terjadi di dalam keluarganya termasuk dalam pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat. hal yang mempengaruhi dalam pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) dalam kategori kurang adalah faktor dari lingkungan. menurut sunaryo (2004) mengemukakan bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku individu karena lingkungan merupakan lahan untuk perkembangan perilaku. di desa balerejo merupakan daerah yang mengalami kekeringan, selain itu keluarga di desa tersebut banyak yang tidak memiliki sumur, keluarga kesulitan mendapatkan air bersih yang mengalir, sehingga terbiasa menggunakan air yang sedikit keruh. hal yang mempengaruhi dalam pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) dalam kategori buruk adalah faktor budaya. menurut sunaryo (2004) mengemukakan bahwa hasil kebudayaan manusia akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri. di desa balerejo memiliki budaya menggunakan jamban cemplung, namun banyak jamban yang jauh dari kategori jamban sehat. jamban cemplung di desa tersebut banyak yang tidak memiliki atap dan terlihat kotor. selain itu masih ada keluarga yang tidak memiliki jamban, untuk keluarga yang tidak memiliki jamban masih biasa buang air besar di sungai. menurut pendapat peneliti, faktor informasi tentang phbs juga mempengaruhi perilaku keluarga. sebaiknya memberikan informasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) dengan cara penyuluhan seperti penyuluhan mengenai cara mengolah air bersih dan penyakit yang disebabkan kekeringan harus lebih sering dilakukan untuk menyadarkan keluarga mengenai pentingnya melaksanakan phbs. selain itu harus ada kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah, sehingga tercapai tujuan dari pemerintah mengenai program perilaku hidup bersih dan sehat khususnya di daerah yang mengalami kekeringan. 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–78 simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) pada keluarga yang mengalami kekeringan di desa balerejo kecamatan panggungrejo kabupaten blitar yaitu 11.3% (7 keluarga) memiliki kategori baik, 17.7% (11 keluarga) memiliki kategori cukup, 59.7% (37 keluarga) memiliki kategori kurang dan 11.3% (7 keluarga) memiliki kategori buruk. dengan ratarata pelaksanaan pada indikator phbs adalah 59% atau bila dikategorikan menurut strata kemenkes ri (2011) adalah strata 3 yaitu kurang. pelaksanaan indikator phbs pada keluarga yang mengalami kekeringan dari 13 indikator yang memiliki hasil paling baik yaitu pertolongan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. kemudian pelaksanaan indikator phbs yang memiliki hasil paling buruk yaitu perilaku tidak merokok. saran saran kepada; (1) peneliti lain melaksanakan penelitian selanjutnya yang lebih sempurna dengan melakukan metode observasi secara langsung dan wawancara terkait dengan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) pada keluarga saat mengalami kekeringan, (2) pemerintah melaksanakan pendistribusian air bersih serta melakukan pembangunan jamban pada keluarga yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi. selain itu melakukan kerjasama dengan petugas kesehatan untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya merokok untuk mengurangi angka perilaku merokok di desa balerejo, (3) kelompok pengelola air bersih melakukan pengelolaan air bersih dengan menggerakkan keluarga untuk ikut serta dalam mengelola air yang mengandung kapur menjadi air bersih yang aman agar semua keluarga di desa balerejo dapat menggunakan air bersih. selain itu untuk melatih keluarga agar mampu mengolah air secara mandiri dan (4) pos kesehatan desa (poskesdes) melaksanakan program penyuluhan terkait pendidikan kesehatan, dan pembuatan media seperti leaflet, benner tentang perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) saat kekeringan secara rutin. daftar rujukan badan koordinasi nasional penanganan bencana. 2007. pengenalan karakteristik bencana dan upaya mitigasinya di indonesia. jakarta. departemen kesehatan ri. 2008. rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat. jawa timur. kementrian kesehatan ri. 2011. panduan pembinaan dan penilaian perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga melalui tim penggerak pkk. jakarta. kementrian kesesehatan ri. 2011. pedoman pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs). jakarta. kementrian kesesehatan ri. profil kesehatan indonesia 2013. jakarta notoadmojo, s. 2007. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. suprajitno. 2004. asuhan keperawatan keluarga: aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. sunaryo. 2004. psikologi untuk keperawatan. jakarta: penerbit buku kedokteran egc. syafrudin., damayanti, a.d., & delmaifanis. 2011. himpunan penyuluhan kesehatan (pada remaja, keluarga, lansia dan masyarakat ). jakarta: trans info media. http://www.cnnindonesia.com diakses pada tanggal 16 september 2015. *) praktisi bidan, **) stikes patria husada blitar 50 pengaruh penyuluhan terhadap sikap ibu menangani febris pasca imunisasi dpt (the effect of health education to the mother’s attitude in handling febrille post dpt immunization) lia rahmawati* ) , wahyu wibisono** ) stikes patria husada blitar e-mail: wahyu_kuromon@yahoo.com abstract introduction: dpt is an attempt to get immunity against the disease diphtheria , pertussis , tetanus by entering the germs of diphtheria , pertussis , tetanus that have been weakened and turned off into the body so that the body can produce antibodies that will be used for the the body to fight the germs or the three of the disease ( markum , 2005). the aim of this study was to determine the effectiveness health promotion to the mother’s attitudes post dpt immunization on the 3-5 months infants. method: research design was pre-experimental design using pre post test approach. research sample was 19 mothers with infants aged 3-5 months at pustu slorok district of garum at june 25 th until june 27 th ,2012, its choosed with total sampling. data collected by questionaire. analysis using wilcoxon sign rank test, with ≤0.05 significant level. result: the results showed that there was an effect of health promotion to the mother’s attitudes in handling in febrile post dpt , with p value of 0.046. discussion: based on the results of the research,it was expected for the respondents to be more active in improving knowledge by emphasizing on information about febrile post dpt immunization either electronic nor mass media so respondents could improve the attitude in handling the febrile post dpt and minimize the occurrence of kipi ( genesis infection post immunization ). keywords : attitudes , febrile post dpt immunization pendahuluan imunisasi dpt (diphteri, pertusis dan tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri. imunisasi dpt ini merupakan vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi masih dapat merangsang pembentukkan zat anti (toksoid). frekuensi pemberian imunisasi dpt adalah tiga kali, dengan maksud pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan organorgan tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup (alimul, 2008). salah satu upaya agar anak-anak jangan sampai menderita suatu penyakit adalah dengan jalan memberikan imunisasi. dengan imunisasi ini tubuh akan membuat zat anti dalam jumlah banyak, sehingga anak tersebut kebal terhadap penyakit. jadi tujuan imunisasi dpt adalah membuat anak kebal terhadap penyakit difteri, pertusis, tetanus (markum, 2005). secara alamiah sampai batas tertentu tubuh juga memiliki cara membuat kekebalan tubuh sendiri dengan masuknya kuman-kuman kedalam tubuh. namun bila jumlah yang masuk cukup banyak dan ganas, bayi akan sakit. dengan semakin berkembangnya teknologi dunia kedokteran, sakit berat masih bisaditanggulangi dengan obatobatan. namun bagaimanapun juga pencegahan adalah jauh lebih baik dari pada pengobatan (markum, 2005). kirakira pada separuh penerima dpt akan terjadi kemerahan, bengkak dan nyeri jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p041-046 mailto:wahyu_kuromon@yahoo.com it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ lia rahmawati, wahyu wibisono jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 51 pada lokasi injeksi dan demam. efek samping pada dpt mempunyai efek ringan dan efek berat, efek ringan seperti pembengkakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan demam, sedangkan efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock (alimul, 2008). menurut youssef et al, bahwa 95% ibu khawatir bila anaknya demam. alasan ibu karena demam pada anak dapat menyebabkan kejang (69%), kerusakan otak (16%), koma (14%), gejala dari penyakit yang berat (11%), bahkan demam bisa menyebabkan kematian. kekhawatiran ibu tersebut terkadang sangat berlebihan dan juga tidak realistik, seperti selalu memanggil petugas kesehatan walaupun demamnya tidak tinggi (youssef et al, 2002). ibu merupakan salah satu bagian yang dapat menunjang pencegahan demam pada anak. dari segi usia, pendidikan, pekerjaan, pengalaman merawat anak akan memperhatikan bagaimana pencegahan demam. begitu juga ketika anak mengalami demam, ibu harus mempunyai sikap yang tepat untuk menghadapinya. sikap merupakan suatu pengetahuan yang disertai kesediaan kecenderungan bertindak. sikap seorang ibu dalam menghadapi demam akan sangat mempengaruhi apakah demam akan menurun atau meningkat. ibu yang mengetahui demam dan memiliki sikap yang baik dalam memberikan perawatan dapat mencegah dampak negatif demam yang tidak diatasi dengan benar (harjaningrum, 2004). dilihat dari peran ibu yang begitu besar dalan merawat serta memantau tumbuh kembang anak maka penyuluhan tantang imunisasi dpt serta dampaknya dirasa perlu dilakukan agar ibu tahu cara menangani demam yang terjadi pasca imunisasi secara tepat. selain itu juga penyuluhan perlu dilakukan karena masih ada ibu yang khawatir berlebihan bila terjadi demam pasca imunisasi dpt. menurut studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 20 mei 2013 di wilayah kerja pustu slorok kecamatan garum pada bulan april jumlah ibu yang memiliki bayi usia 3-5 bulan sebanyak 27 ibu. pada wilayah tersebut didapatkan laporan sekitar lebih dari 50 % ibu masih khawatir dengan adanya efek samping demam pasca imunisasi dpt. setelah diadakannya penyuluhan diharapkan ibu akan dapat memiliki sikap yang tepat dalam menangani dampak panas yang di timbulkan oleh imunisasi dpt. berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh penyuluhan imunisasi dpt terhadap sikap ibu dalam menangani febris pada bayi usia 3-5 bulan pasca imunisasi dpt di pustu slorok kecamatan garum. rumusan masalahnya adalah adakah pengaruh penyuluhan imunisasi dpt terhadap sikap ibu dalam menangani febris pada bayi usia 3-5 bulan pasca imunisasi dpt di pustu slorok kecamatan garum. tujuan umumnya adalah mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap sikap ibu menangani febris pasca imunisasi dpt pada bayi usia 3-5 bulan di pustu slorok kecamatan garum. sedangkan tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi sikap ibu sebelum diberikan penyuluhan, 2) mengidentifikasi sikap ibu setelah diberi penyuluhan, 3) menganalisis pengaruh penyuluhan terhadap sikap ibu dalam menangani febris pada bayi usia 3-5 bulan pasca imunisasi dpt di pustu slorok kecamatan garum. manfaat penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar masukan atau informasi terutama bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan imunisasi pada balita serta sebagai referensi bagi mahasiswa dalam pengkajian dan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh penyuluhan imunisasi dpt terhadap sikap ibu dalam menangani febris pada bayi usia 3-5 bulan pasca imunisasi. bahan dan metode desain penelitian ini adalah preexperiment design dengan pendekatan prepost test design dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap sikap ibu menangani febris pasca imunisasi dpt pada bayi usia 3-5 bulan. penelitian dilakukan di pustu slorok kecamatan garum, karena berdasarkan survey yang dilakukan peneliti bahwa ibu jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menangani febris paska imunisasi dpt 52 yang memiliki bayi usia 3-5 bulan masih memiliki tingkat kecemasan yang tinggi bila terjadi febris pasca imunisasi dpt. sampel dalam penelitian ini adalah 19 ibu yang memiliki bayi usia 3-5 bulan di pustu slorok kecamatan garum pada 25 – 27 juni 2013, yang dipilih dengan teknik sampling jenuh atau total sampling. variabel bebasnya adalah penyuluhan tentang imunisasi dpt. variabel tergantungnya adalah sikap ibu dalam menghadapi febris pasca imunisasi dpt pada bayi usia 3-5 bulan. pegumpulan data penelitian dilakukan dengan kuesioner yang diberikan pada ibu yang memiliki bayi usia 3-5 bulan, diberikan dengan cara pre test dan post test kemudian dikumpulkan dan dianalisis dengan wilcoxon sign rank test. hasilpenelitian tabel 1 karakteristik responden no karakteristik f % 1 umur : 15 – 20 th 21 – 25 th 26 – 30 th >30 th 3 3 8 5 15,8 15,8 42,1 26,3 2 pendidikan : sd sltp slta pt 3 7 9 0 15,8 36,8 47,4 0 3 pekerjaan : irt petani wiraswasta pns 7 3 7 2 35 15 40 10 4 informasi imunisasi pernah tidak pernah 13 6 68,4 31,6 5 sumber informasi imunisasi petugas kesehatan tidak pernah 13 6 68,4 31,6 tabel 2. distribusi frekuensi sikap sebelum penyuluhan dan sikap sesudah penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt. kategori sikap % sikap pre test % sikap post test positif 47,4 68,4 negatif 52,6 31,6 wilcoxon sign rank test: p = 0,046 kategori sikap positif pre test 47,4% post test 68,4% dan sikap negatif pre test 52,6% post test 31,6%. wilcoxon sign rank test: p = 0,046 hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh antara penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt terhadap sikap responden. pembahasan sikap ibu sebelum dilakukan penyuluhan sikap responden sebelum dilakukan penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt menunjukkan bahwa 52,6% responden bersikap negatif. sikap adalah sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (avektif), pemikiran (kognitif), dan predisposisi tindakan (konatif) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya. sikap negatif disini berarti belum ada kemauan atau kemampuan responden dalam memberikan penanganan febris pasca imunisasi dpt. faktor-faktor yang mempengaruhi sikap antara lain faktor intern yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan seperti selektifitas dan pengalaman pribadi serta faktor ekstern yang merupakan faktor diluar manusia atau lingkungan (azwar, 2011). faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut azwar (2011) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan tempat tinggal, orang lain yang dianggap penting, media massa (informasi). sikap negatif reponden ini diduga dipengaruhi oleh informasi dan pengalaman pribadi responden. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar dari responden (68,4%) sudah pernah mendapatkan informasi tentang imunisasi. selain itu semua informasi yang didapatkan berasal dari petugas kesehatan. semakin lia rahmawati, wahyu wibisono jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 53 bertambahnya informasi semakin bertambah pula pengetahuan yang didapat. semakin banyak pengetahuan akan mempengaruhi responden dalam berfikir dan bersikap dalam hal imunisasi. namun informasi yang diperoleh responden adalah informasi mengenai imunisasi secara umum saja seperti pengertian imunisasi serta tujuan atau manfaat imunisasi. tetapi untuk pengetahuan mengenai imunisasi dpt secara rinci dan khusus belum didapatkan oleh responden. hal ini berakibat pada masih adanya ibu yang bersikap negatif dalam penanganan febris pasca imunisasi dpt meskipun ibu tersebut sudah pernah mendapat informasi tentang imunisasi secara umum dari petugas kesehatan. sikap negatif responden juga dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya adalah pengalaman pribadi responden tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt. azwar (2011) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek cenderung akan membentuk sikap yang negatif terhadap objek tersebut. untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. karena itu sikap akan mudah terbentuk. pengalaman pribadi akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial. dalam hal ini, responden belum pernah memberikan penanganan yang baik terhadap febris yang terjadi setelah imunisasi dpt. imunisasi dpt diberikan kepada bayi tidak hanya sekali saja, sehingga kejadian febris setelah imunisasi dpt sudah berulang terjadi namun mereka memberikan penanganan yang salah misalnya dengan memberikan kompres dingin. hal ini disebabkan kurangnya informasi tentang imunisasi dpt secara khusus yang diperoleh ibu. dari hasil penelitian didapatkan sikap responden sebelum dilakukan penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt sebagian mempunyai sikap negatif yang lebih besar daripada sikap positif. sikap responden yang negatif menunjukkan bahwa responden mendukung terhadap obyek sikap dengan indikator banyaknya jawaban setuju dan sangat setuju pada pernyataan-pernyataan negatif, sedangkan sedikit yang mempunyai sikap positif yang menunjukkan bahwa responden menolak terhadap obyek sikap, dimana ada yang setuju dan sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan positif. sikap ibu setelah dilakukan penyuluhan sikap responden sesudah dilakukan penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt menunjukkan bahwa 68,4% responden bersikap positif. perubahan sikap dapat terjadi perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya pengetahuan, informasi dan pengalaman yang didapatkan. hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh azwar (2011) bahwa pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, pengalaman, pengaruh orang lain yang dianggap penting, faktor emosi dan media massa. selain itu, responden juga memiliki domain sikap, yaitu: 1) menerima, yaitu bahwa responden mau memperhatikan stimulus yang diberikan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt 2) merespon yaitu memberi jawaban dengan baik terhadap pertanyaanpertanyaan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt 3) menghargai, yaitu memberikan arahan kepada sesama responden dalam hal berpartisipasi dalam penangan febris pasca imunisasi dpt bertanggung jawab yaitu merasa bahwa responden perlu bertangggung jawab terhadap penanganan febris pasca imunisasi dpt. berdasarkan penelitian hampir setengah responden (47,4%) berpendidikan sma. pendidikan yang cukup mempengaruhi pengetahuan seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan sumber informasi yang diperoleh. bila memiliki pemahaman yang baik membuat seseorang dapat berfikir kritis untuk melakukakan penanganan yang tepat saat anak mengalami febris. ini sesuai dengan teori yang menyebutkan pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menangani febris paska imunisasi dpt 54 pendidikan itu dapat berdiri sendiri. tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuanya (lukman 2008). dalam hal ini, responden dapat dengan lebih mudah menyerap materi penyuluhan yang diberikan pada saat penelitian. hasil penelitian didapatkan sikap responden setelah dilakukan penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt sebagian mempunyai sikap positif yang lebih besar daripada sikap negatif. sikap responden yang positif menunjukkan bahwa responden mendukung terhadap obyek sikap dengan indikator banyaknya jawaban setuju dan sangat setuju pada pernyataan-pernyataan positif, sedangkan sedikit yang mempunyai sikap negatif yang menunjukkan bahwa responden mendukung terhadap obyek sikap, dimana ada yang setuju dan sangat setuju dengan pernyataan-pernyataan negatif. pernyataan sikap berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai objek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada objek sikap, pernyataan sikap juga berisi hal hal yang negative mengenai objek sikap, yaitu bersikap tidak mendukung ataupun kontra terhadap objek sikap yang hendak diungkap (azwar, 2011). keberhasilan suatu penyuluhan dapat dipengaruhi oleh factor penyuluhan, sasaran dan proses dalam penyuluhan (effendi, 2003). oleh karena itu digunakan metode ceramah yang efektif dalam penyampaian sehingga responden dapat mengerti dan memahami isi penyuluhan. metode penyuluhan yang digunakan oleh peneliti adalah dengan memberikan materi penanganan febris setelah imunisasi dpt melalui presentasi yang menarik, pemberian leaflet dan juga memberikan souvenir kepada responden agar memiliki semangat dalam mengikuti penyuluhan. oleh karena itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan bidan sebagai ujung tombak pertama dapat memberikan informasi dan wawasan yang lebih, khususnya pada responden tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt sehingga responden mampu bersikap berubah ke arah yang lebih positif dalam kehidupan sehari-hari. sikap responden pada penelitian ini setelah diberikan penyuluhan masih ada yang negatif. untuk merubah sikap seseorang diperlukan waktu yang tidak singkat. pemberian penyuluhan ini akan meningkatkan pemahaman seseorang terhadap penanganan febris pasca imunisasi dpt dengan tepat. sikap yang negatif ini dimiliki oleh responden yang belum mengganggap febris adalah sesuatu yang perlu ditangani dengan tepat. selain itu sikap responden setelah dilakukan penyuluhan masih ada yang negatif seperti pada responden nomor 8, 11, 14, 16, 18, dan 19 bisa dikarenakan tingkat pendidikan yang berbeda sehingga tingkat pemahaman setiap orang juga berbeda. bisa juga dikarenakan ketika diberikan penyuluhan ibu berada pada tempat paling belakang dan sibuk mengurus anaknya sehingga informasi yang disampaikan tidak dapat diterima dengan maksimal, ditambah dengan keadaan lingkungan yang ramai pada saat penyuluhan dilakukan. sedangkan terjadi perubahan sikap dari negatif ke positif seperti pada responden nomor 10, 12, 13, dan 15 bisa dikarenakan responden benar-benar memahami apa yang disampaikan pada saat penyuluhan, dapat pula karena responden berada pada tempat duduk paling depan sehingga informasi yang disampaikan dapat diserap secara maksimal dan tidak terganggu oleh keramaian yang ada pada lingkungan saat penyuluhan dilakukan. pengaruh penyuluhan terhadap sikap ibu menangani febris paska imunisasi dpt berdasarkan hasil cross tabulasi menunjukkan bahwa 47,4% responden bersikap positif sebelum dilakukan penyuluhan dan 68,4% responden bersikap positif setelah dilakukan penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt. dari hasil analisa data dengan menggunakan uji statistik wilcoxon, didapatkan nilai signifikansi dengan taraf 0,046. dengan demikian antara penyuluhan dengan sikap responden mempunyai pengaruh yang lia rahmawati, wahyu wibisono jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 55 signifikan. namun terdapat 31,6% responden yang masih mempunyai sikap negative setelah dilakukan penyuluhan, hal ini disebabkan oleh perbedaan umur, kecerdasan, dan penyuluhan yang dilakukan oleh peneliti yaitu mengenai bayi diberikan pakaian tipis tanpa selimut, pemberian obat penurun panas atau penghilang rasa nyeri, dan banyak minum asi atau air buah yang belum dilakukan dengan baik. hasil ini sesuai dangan pendapat azwar (2011) bahwa struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif yang berisikan persepsi atau kepercayaan, komponen efektif yang berhubungan dengan masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. komponen kognitif atau perilaku yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan sikap yang dihadapinya. penyuluhan merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku) mereka dalam merubah sikap yang lebih baik (notoatmodjo, 2003). jadi dapat disimpulkan bahwa penyuluhan kesehatan dapat mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan sikap itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, meskipun berbagai informasi telah didapatkan belum tentu dia akan bersikap positif. dengan didapatkannya pengaruh antara penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt dengan sikap responden diharapkan adanya informasi yang telah diberikan melalui penyuluhan dapat meningkatkan sikap responden lebih positif dalam menghadapi masalah sebelum febris pasca imunisasi dpt. responden harus mengetahui secara menyeluruh mengenai imunisasi dpt sehingga akan mampu mengerti dan memahami kemungkinan yang terjadi setelah dilakukan imunisasi dpt. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut: sikap responden sebelum dilakukan penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt adalah penilaian sikap negatif 47,4%. sikap responden setelah dilakukan penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt adalah penilaian sikap positif 68,4%. ada pengaruh penyuluhan tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt terhadap sikap responden dengan taraf signifikansi 0,046. saran untuk tempat penelitian, diharapkan dapat menjalin kerja sama yang baik antara klien dan pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kesehatan yang optimal kepada anak 3-5 tahun. untuk responden diharapkan pada responden lebih aktif lagi dalam meningkatkan pengetahuan dengan memperbanyak informasi tentang penanganan febris pasca imunisasi dpt. untuk institusi kesehatan bidan hendaknya lebih giat dan aktif dalam memberikan konseling, informasi, dan edukasi tentang imunisasi dpt khususnya penanganan febris pasca imunisasi dpt di lingkungan pendidikan secara berkala setiap bulan dan berkesinambungan. kepada peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi penelitian selanjutnya. referensi azwar, s 2011, sikap manusia teori dan pengukursannya, pustaka pelajar offset, yogyakarta. fitriani, s 2011, promosi kesehatan, graha ilmu, yogyakarta. hidayat, a a 2008, ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan, salemba medika, jakarta. hidayat, aa 2012, metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data, salemba medika, jakarta. notoatmodjo, s 2010, promosi kesehatan teori dan aplikasi, rineka cipta, jakarta. nursalam 2011, konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan, salemba medika, jakarta. muslihatun, wn 2010, asuhan neonatus bayi dan balita, diakses tanggal jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu menangani febris paska imunisasi dpt 56 15 april 2013, . markum 2005, imunisasi dpt, diakses 15 april 2013, . depkes ri 2005, jadwal pemberian imunisasi, diakses 15april 2013, . http://coretansidjeck.blogspot/ http://www.blogger.com/ 186 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 186–191 186 upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan (leprosy patients’ efforts to prevent the increasing degrees of disability) arif mulyadi, tri cahyo sepdianto, eva mitayasari poltekkes kemenkes malang jurusan keperawatan email: arif.mly@gmail.com abstract: leprosy is a chronic disease that mainly affects the skin and peripheral nerves and leads to ulceration of mutilations and deformities that can cause social, psychological, and economic problems. the purpose of this research was to know the efforts of leprosy patients in preventing the increase of leprosy disability. the method used in this research was descriptive. the population was all leprosy patients who follow kpd activity at puskesmas sutojayan and ponggok district of blitar. the sample was 26 people taken by total sample technique. the data was collected by questionnaires and observation. the result of this research stated that the effort done by leprosy patients in preventing the increase of leprosy degree was 42.3% in good category, 50% in fair category, and the rest 7.7% in less category.it’s because there were still leprosy patients who don’t exercise legs and fingers to prevent stiffness of that area. it was expected role of health center and health worker to increase support and motivation to leprosy patient in doing effort to prevent degree of disability. keywords: effort, leprosy, disability abstrak: kusta adalah penyakit kronik yang terutama menyerang kulit dan saraf tepi serta mengakibatkan ulserasi mutilasi dan deformitassehingga dapat menimbulkan masalah sosial, psikologis, dan ekonomis.. tujuan penelitian ini mengetahui upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan. metode penelitian ini adalah deskriptif dengan populasi seluruh penderita kusta yang mengikuti kelompok perawatan diri (kpd) di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar. jumlah sampel sebanyak 26 orang diambil dengan teknik sampling jenuh. pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner dan observasi. hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan penderita kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta meliputi 42.3% kategori baik, 50% kategori cukup, dan sisanya 7.7% dalam kategori kurang. upaya pencegahan kecacatan akibat kusta yang kurang dilakukan adalah senam kaki maupun jari tangan untuk mencegah kekakuan pada bagian tersebut. rekomendasi penelitian ini diharapkan peran puskesmas dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan dukungan dan motivasi kepada penderita kusta dalam melakukan upaya pencegahan derajat kecacatannya. kata kunci: upaya, kusta, kecacatan jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p186–191 penyakit kusta merupakan penyakit kronis disebabkan oleh micobacterium lepraeyang terutama menyerang kulit dan saraf tepi (fungsi sensoris, motoris dan otonom). daya tahan hidup kuman kusta mencapai 7 hari di luar tubuh manusia dengan suhu yang bervariasi dan 46 hari pada suhu kamar. kuman kusta memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun (kemenkes ri, 2015). kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena adanya ulserasi mutilasi, dan deformitas yang disebabkannya sehingga hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p186-191 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 187mulyadi, sepdianto, mitayasari, upaya penderita kusta... menimbulkan masalah sosial, psikologis, dan ekonomis. penyakit kusta terdiri dari dua tipe yaitu paucibasillary (pb) dan multibacillary (mb). sumber penularan penyakit kusta adalah penderita kusta tipe mb.penyakit kusta ditularkan melalui kontak langsung melalui kulit dan saluran pernapasan secara berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama (kosasih, 2001). penyakit kusta menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh indonesia karena jumlahnya masih cukup tinggi. menurut world health organization (who) weekly epidemiological report mengenai kusta tahun 2013, dari sejumlah negara yang melaporkan prevalensi penyakit kusta di dunia tercatat indonesia sebagai peringkat tiga setelah india, dan brazil. di kawasan asean, indonesia menduduki tempat teratas.myanmar berada di urutan kedua dengan 3.082 kasus, filipina ketiga 2.936.dua negara tetangga indonesia, yaitu malaysia hanya punya 216 kasus dan singapura 11 kasus. pada tahun 2014 di indonesia dilaporkan 17.025 kasus baru kusta dengan 83,5% kasus di antaranya merupakan tipe multi basiler (mb). sedangkan pada tahun 2015 dilaporkan sebanyak 17.202 kasus baru kusta dengan 84,5% merupakan tipe multi basiler (mb) (kemenkes ri, 2015). jawa timur merupakan provinsi yang memberikan kontribusi terbesar terhadap jumlah kasus kusta di indonesia. pada tahun 2013 kasus kusta baru di jawa timur mencapai 4.681 orang dengan rincian tipe pb sebanyak 328 orang dan tipe mb 4.353 orang (dinas kesehatan provinsi jawa timur, 2014). salah satu tujuan dari pengobatan ini adalah untuk mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan (kemenkes ri, 2012). pengobatan kusta dimulai pada tahun 1949 dengan menggunakan dds (duamino diphenyl suffone). kekurangan monoterapi dds adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persistersserta terjadinya pasien defaulter.pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap dds.oleh sebab itu pada tahun 1982 who merekomendasikan pengobatan kusta dengan multi drug therapy (mdt) untuk tipe pb dan mb. bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi resiten atau kebal terhadap mdt, sehingga gejala penyakit menetap, bahkan memburuk. gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf. keterlibatan dan kerusakan saraf dapat menimbulkan cacat dan kelumpuhan tangan, kaki dan mata (irianto, 2014). karena sifat kusta yang menyerang bagian saraf tepi sehingga menimbulkan kematian sensorik pada saraf tersebut. semakin panjang waktu penundaan dari saat pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya pengobatan, makin besar resiko timbulnya kecacatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. alasan inilah maka diagnosis dini dan pengobatan harusnya dapat mencegah terjadinya komplikasi jangka panjang. terdapat tiga tingkat cacat menurut who. cacat tingkat 0 adalah cacat yang tidak menunjukkan kelainan akibat kusta, cacat tingkat i adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensori yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki. cacat tingkat ii berarti cacat atau kerusakan yang terlihat (kemenkes ri, 2012). berdasarkan data dari kementrian kesehatan ri, di indonesia angka kecacatan tingkat ii pada tahun 2014 sebesar 6,33 per 1 juta penduduk. angka cacat tingkat ii pada tahun 2015 sebesar 6,60 per 1 juta penduduk. jumlah penderita kusta di indonesia tersebar hampir di setiap provinsi. pada tahun 2015 provinsi sulawesi utara memiliki proporsi cacat tingkat ii tertinggi dan provinsi jawa timur memiliki proporsi cacat tingkat ii sebesar 12,66% (kemenkes ri, 2016). kecacatan pada penyakit kusta sendiri sebenarnya dapat dicegah dengan diagnosis dini dan pengobatan secara teratur dan akurat dengan multi drug therapy (mdt). walaupun demikian kecacatan pada kusta bisa terjadi juga selama pengobatan mdt dan sesudah selesai pengobatan. upaya-upaya pencegahan cacat dapat dilakukan baik di rumah, puskesmas maupun unit pelayanan rujukan seperti rumah sakit umum atau rumah sakit rujukan. prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya pada dasarnya adalah memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur; melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik; dan merawat diri (kemenkes ri, 2012). berdasarkan data dinas kesehatan kabupaten blitar jumlah kasus baru yang ditemukan dari tahun 2015 sebanyak 17 orang, tahun 2016 sampai bulan november sebanyak 10 orang. penderita kusta tersebut tersebar di beberapa kecamatan di kabupaten blitar. angka tertinggi penemuan kasus baru kusta tahun 2016 berada di puskesmas ponggok. terdapat dua kelompok perawatan diri di kabupaten blitar yang memiliki sekretariat di puskesmas sutojayan dan puskesmas ponggok. kelompok perawatan diri (kpd) yaitu suatu kelompok yang beranggotakan 188 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 186–191 mantan dan penderita kusta yang berkumpul untuk saling memberi dukungan satu sama lain terutama dalam usaha mencegah dan mengurangi kecacatan serta mencari solusi bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi setiap hari akibat kusta (kemenkes ri, 2005). kegiatan yang mereka lakukan saat berkumpul di dalam kpd yaitu merendam kaki atau tangan sekitar 20 menit dalam air, menggosok kulit tebal dan kemudian mengoles kulit yang masih basah dengan minyak. berdasarkan informasi dari petugas puskesmas pemegang program kusta, sambil merendam kaki atau tangan para anggota dan kader biasanya berbagi cerita tentang permasalahan dan kesulitan yang dialami semenjak menderita kusta. jumlah anggota dari 2 kelompok perawatan diri tersebut sebanyak 26 orang. dari hasil wawancara yang dilakukan pada 5 penderita kusta yang mengalami cacat tingkat ii. semua penderita mengatakan tidak melakukan perawatan diri seperti memeriksa, melindungi dan merawat di rumah dan hanya melakukannya saat kegiatan kpd yang dilaksanakan setiap satu bulan sekali dan hanya melakukan pengobatan rutin di puskesmas. berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi yang digunakan adalah penderita kusta yang mengikuti kelompok perawatan diri di kecamatan sutojayan dan ponggok kabupaten blitar sebanyak 26 orang pada tahun 2016 dengan teknik sampel jenuh. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. pengumpulan data dilaksanakan di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blita r pa da sa a t kegia tan kpd. pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 22 dan 25 maret 2017. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum, upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok seperti dalam tabel di bawah. no. kategori f % 1 21–40 tahun 7 27 2 41–65 tahun 16 62 3 > 65 tahun 3 11% jumlah 26 100% tabel 1 distribusi usia penderita kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) tabel 2 distribusi data jenis kelamin penderita kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 perempuan 9 35 2 laki-laki 17 65 jumlah 26 100 tabel 3 distribusi data pendidikan terakhir penderita kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 sd 10 38.5 2 smp 10 38.5 3 sma 4 15 4 tidak sekolah 2 8 jumlah 26 100 tabel 4 distribusi data pekerjaan penderita kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 buruh 9 34.6 2 swasta 13 50 3 tidak bekerja 4 15 jumlah 26 100 tabel 5 distribusi data lama menderita penderita kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 < 4 tahun 12 46 2 > 4 tahun 14 54 jumlah 26 100 189mulyadi, sepdianto, mitayasari, upaya penderita kusta... pembahasan menurut notoatmodjo (2013) upaya adalah suatu usaha, ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya). ruang lingkup upaya kesehatan melalui prinsip promosi kesehatan meliputi aspek peningkatan kesehatan (promotif), aspek pencegahan penyakit (preventif), aspek pengobatan (kuratif) dan aspek pemulihan kesehatan (rehabilitative). penderita kusta memerlukan aspek rehabilitative untuk mencegah peningkatkan kecacatan akibat kusta.aspek pemulihan kesehatan (rehabilitative) adalah usaha yang ditujukan pada penderita yang baru pulih dari penyakitnya.usaha pemulihan dilakukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan fisik, mental, dan sosial pasien akibat dari penyakit, dan latihan terprogram dapat dilakukan. berdasarkan hasil penelitian dari 26 penderita kusta yang melakukan upaya pencegahan peningkatan derajat kecacatan kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar sebesar 50% (13 orang) memiliki upaya cukup. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh fatimah (2013) yang menyatakan bahwa penderita kusta memiliki upaya baik dalam melakukan perawatan diri yaitu sebesar 66%. menurut notoatmodjo (2013), informasi atau pendidikan kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan dan peningkatan pengetahuan akan berpengaruh terhadap perilaku. menurut notoadmojo (2013), faktor yang memengaruhi perilaku salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling)yang mencakup lingkungan fisik. faktor ini mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta, dan sebagainya.menurut peneliti lingkungan fisik yang berkaitan dengan upaya pencegahan peningkatan kecacatan kusta adalah adanya fasilitas pelayanan kesehatan khusus penderita kusta di kabupaten blitar yaitu kelompok perawatan diri (kpd). melalui kegiatan kpd, para penderita kusta dapat mendapatkan informasi dari petugas kesehatan tentang pencegah peningkatan kecacatan akibat kusta. berdasarkan penelitian diperoleh hasil sebesar 100% penderika kusta pernah mendapatkan informasi tentang pencegahan peningkatan derajat kecacatan kusta dan 96% (25 orang) diantaranya mendapatkan informasi dari petugas kesehatan. selain menyediakan fasilitas untuk perawatan, petugas juga mengajarkan bagaimana cara merawat diri untuk mencegah berlanjutnya cacat ke tingkat yang lebih berat. beberapa peran petugas antara lain mengobati dan follow-up reksi kusta, dan memberikan pendidikan tentang perawatan luka kepada penderita (kemenkes ri, 2012). menurut notoadmodjo (2013), dalam suatu proses pendidikan kesehatan yaitu pemberian informasi/edukasi yang menuju tercapainya tujuan pendidikan yakni perubahan perilaku dipengaruhi banyak faktor. faktortabel 6 distribusi data informasi penderita kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 pernah 26 100 2 tidak pernah 0 0 jumlah 26 100 tabel 7 distribusi data sumber informasi penderita kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 petugas kesehatan 25 96 2 koran 0 0 3 internet 1 4 4 televisi 0 0 5 kader 0 0 jumlah 26 100 tabel 8 distrusi data derajat kecacatan kusta menurut kemenkes ri (2012) di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 derajat 0 10 39 2 derajat i 4 15 3 derajat ii 12 46 jumlah 26 100 tabel 9 distribusi frekuensi upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan derjat kecacatan kusta di puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar, maret 2017 (n=26) no. kategori f % 1 baik 11 42,3 2 cukup 413 50 3 kurang 122 7,7 jumlah 26 100 190 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 186–191 faktor yang mempengaruhi diantaranya metode, materi atau pesannya, petugas yang melakukan dan alat bantu peraga. agar dicapai hasil yang optimal, maka faktor tersebut harus dapat diselaraskan. hal ini berarti bahwa materi harus disesuaikan dengan sasaran, demikian juga alat bantu pendidikan juga harus disesuaikan. menurut peneliti upaya pencegahan cacat akibat kusta sudah baik dikarenakan semua responden sudah pernah mendapatkan informasi tentang pencegahan peningkatan derajat kecacatan kusta. selain itu, petugas kesehatan sudah menjalankan perannya dengan baik salah satunya adalah melakukan edukasi untuk mencegah bertambahnya cacat ke tingkat yang lebih berat. berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa petugas kesehatan langsung memberikan edukasi cara perawatan diri untuk mencegah cacat akibat kusta saat penderita kusta pertama kali didiagnosa menderita kusta. penderita kusta juga mengatakan bahwa setiap bulan saat kegiatan kpd berlangsung, petugas kesehatan juga mengingatkan kembali tentang cara perawatan diri untuk mencegah cacat kusta. berdasarkan hasil penelitian dari 26 penderita kusta yang mengikuti kpd didapatkan bahwa upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan kecacatan kusta dalam memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur dalam kategori baik sebesar 77% (20 orang), melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik dalam kategori baik sebesar 38.5% (10 orang) dan merawat diri dalam kategori baik sebesar 46.1% (12 orang). menurut fatimah (2013) penderita kusta harus bisa melakukan perawatan diri dengan teratur agar kecacatan yang sudah terlanjur terjadi tidak bertambah parah. menurut peneliti penderita kusta harus mengerti bahwa pengobatan mdt dapat membunuh kuman kusta, tetapi cacat pada mata, tangan atau kaki yang terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidup, sehingga harus melakukan perawatan diri dengan rajin agar cacatnya tidak bertambah berat pada parameter ketiga yaitu merawat diri memiliki kategori kurang terbesar yaitu 38.5% (10 orang). hal tersebut dikarenakan pada pernyataan latihan menggunakan kain panjang atau sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki kemudian menariknya kearah tubuh diperoleh hasil sebesar 27% (7 orang) yang melakukannya. pada pernyataan latihan dengan cara mengikat karet (dari ban dalam) pada tiang atau kaki meja, dan menarik tali karet itu dengan punggung kaki, lalu menahan beberapa menit diperoleh hasil sebesar 15% (4 orang) yang melakukannya. hasil tersebut didukung juga oleh lembar observasi yaitu pada pernyataan dapat melakukan latihan menggunakan kain panjang atau sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki kemudian menariknya kearah tubuh diperoleh hasil sebesar 46% (12 orang) yang melakukannya dengan benar. pada pernyataan dapat melakukan latihan dengan cara mengikat karet (dari ban dalam) pada tiang atau kaki meja, dan menarik tali karet itu dengan punggung kaki, lalu menahan beberapa menit diperoleh hasil sebesar 42% (11 orang) yang melakukannya dengan benar. perawatan diri kusta sangat diperlukan untuk mencegah kecacatan baru dan kerusakan fisik penderita serta dapat mengurangi keparahan kecacatan fisik yang sudah ada sehingga produktivitas penderita kusta tetap terjaga (kemenkes ri, 2007). berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di puskesmas jepara ditemukan bahwa sebesar 65% telah melakukan perawatan diri (estiningsih, 2006). menurut kenenkes ri (2012) menyatakan bahwa latihan menggunakan kain panjang atau sarung yang disangkutkan pada bagian depan kaki itu dan tarik kearah tubuh dan menggunakan karet (dari ban dalam) yang diikatkan pada tiang atau kaki meja, dan tarik tali karet itu dengan punggung kaki, lalu tahan beberapa saat, kemudian ulangi beberapa saat dan kemudian ulangi beberapa kali dapat mencegah terjadinya kelemahan pada otot kaki. menurut peneliti senam kaki dapat mencegah terjadinya kelemahan pada otot. ketika otot-otot tidak digunakan maka akan terjadi kelemahan otot, sehingga penderita kusta perlu melakukan senam kaki. peneliti berpendapat bahwa penderita tidak bisa mempraktikkan car melakukan senam kaki dikarenakan penderita kusta hanya melakukan latihan senam kaki saat kegiatan kpd saja yaitu satu bulan sekali dan tidak melakukannya secara rutin di rumah. hal tersebut didukung oleh wawancara yang dilakukan peneliti kepada penderita kusta yang menyatakan bahwa meraka hanya melakukan latihan senam kaki saat kegiatan kpd saja. sehingga, penderita kusta tidak bisa mempraktikkannya dengan benar sesuai instruksi dari peneliti. peneliti berpendapat bahwa upaya cukup pada penderita kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta salah satunya dipengaruhi oleh lama sakit yang dialami oleh responden. 191mulyadi, sepdianto, mitayasari, upaya penderita kusta... berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner, jumlah responden dengan lama menderita kusta < 4 tahun yaitu 46.2% (12 responden) dan lama menderita kusta > 4 tahun yaitu 53.8% (14 responden). berdasarkan hasil tabulasi silang kuesioner diperoleh upaya cukup sebesar 11 orang, 6 orang termasuk ke dalam penderita kusta yang mengalami sakit < 4 tahun. hasil tersebut berbeda dengan hasil tabulasi silang pada observasi, yaitu 12 orang dalam kategori upaya baik, 7 orang termasuk ke dalam penderita kusta dengan lama sakit > 4 tahun. pengalaman merupakan keseluruhan yang didapat seseorang dari peristiwa yang dilaluinya, artinya pengalaman seseorang dapat memengaruhi perilaku dalam kehidupannya. pengalaman merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pengetahuan. semakin banyak pengalaman seseorang terhadap suatu hal, maka akan semakin bertambah pula pengetahuan seseorang akan hal tersebut (notoatmodjo, 2010). stevens (2000) menyatakan bahwa melalui pengalaman di masa lalu seseorang dapat belajar untuk merawat diri. sehingga, semakin lama cacat seseorang maka pengalaman yang diperolehnya semakin banyak memungkinkan seseorang untuk meningkatkan perawatan diri. menurut peneliti penderita kusta yang mengalami sakit > 4 tahun memiliki pengalaman terhadap upaya untuk merawat dirinya. sehingga penderita kusta tersebut dapat memilih pengobatan yang terbaik berdasarkan pengalamannya terdahulu tentang penyakit kusta. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa upaya penderita kusta dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta sebesar 50% dalam kategori cukup. saran saran bagi (1) diharapkan petugas puskesmas sutojayan dan ponggok kabupaten blitar utamanya pemegang program kusta untuk memberikan informasi dan motivasi tentang senam kaki guna mencegah kelemahan otot. (2) diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam pembelajaran. (3) diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya yang dilakukan keluarga dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta dan faktor yang mempengaruhi keluarga dalam mencegah peningkatan derajat kecacatan kusta. daftar rujukan dinas kesesatan provinsi jawa timur. 2014. provil kesehatan provinsi jawa timur 2014. http:// www.depkes.go.id. diakses tanggal 8 oktober 2016 pukul 10.00. estiningsih. 2006. faktor-faktor yang berhubungan dengan pe rawatan di ri dal am upay a pencegahan kecacatan penderita kusta di puskesmas kalinyamatan kabupaten jepara. http://eprints.undip.ac.id. diakses 18 juni 2017 pukul 10.00. fatimah, s. 2013. faktor yang berhubungan dengan perawatan diri pada penderita kusta di rs dr. tadj uddi n chal i d makassar . h t t p: / / respository.ac.id.diakses 18 juni 2017 pukul 10.00. kementrian kesehatan ri. 2005. pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. jakarta: kementrian kesehatan ri direktorat jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan kementrian kesehatan ri. 2012. pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. jakarta: kementrian kesehatan ri direktorat jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. kementrian kesehatan ri. 2015. infodatin 2015. http:// www.depkes.go.id. diakses tanggal 8 oktober 2016 pukul 10.00. kosasih, a. 2001.kusta. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. notoatmodjo. 2010. metodology penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo. 2013. kesehatan masyarakat ilmu dan seni.jakarta: rineka cipta. stevens. 2000. new aspects of motion perception: selective neural encoding of apparent human movements. http://citeseerx.ist.psu.edu. diakses tanggal 18 juni 2017 pukul 10.00. 228 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 228–234 228 perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro kabupaten blitar (family behavior of nurture mental disorders in kanigoro blitar) naura nabina fairuzahida praktisi keperawatan email: nauheng@gmail.com abstract: family behavior of nurture mental disorders is the act of family who nurture mental disorders. the purpose of this study is to describe the behavior of family in nurture mental disorders in kanigoro blitar town which include medical treatment, fulfill activity daily living and psychosocial control mental disorders. the design uses a descriptive quantitative. the population in this study is family who has mental disorders amounting to 99. the sample is 33 family taken using purposive sampling technique. instrument in this study is using a questionnaire made by the researcher. time data collection was done on february 2–28, 2016. the result showed that 49% family behavior of nurture is lack, 61% family behavior of medical treatment is lack, 64% family behavior of fulfill activity daily living is good and 46% family behavior of psychosocial control is good. family behavior of nurture in particular medical treatment is lack cause of low economic and education factors. recommendation to puskesmas kanigoro is doing socialiszation medical treatment of mental disorders and doing early detection of mental disorders with making cadre of soul. keywords: behavior, family, nurture, mental disorders abstrak: perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa adalah tindakan dari keluarga dalam mengasuh orang dengan gangguan jiwa.tujuan penelitian adalah menggambarkan perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro kabupaten blitar meliputi pengobatan, pemenuhan activity daily living dan pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa.desain penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif.populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa berjumlah 99.besar sampel penelitian adalah 33 dengan teknik purposive sampling.instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti.waktu pengumpulan data dilakukan pada 2–28 februari 2016.hasil penelitian sebesar 49% perilaku pengasuhan kurang, 61% perilaku pengobatan kurang, 64% perilaku pemenuhan activity daily living baik dan 46% perilaku pengontrolan kondisi psikososial baik.perilaku keluarga dalam pengasuhan khusunya untuk pengobatan kurang karena faktor ekonomi dan pendidikan yang rendah.rekomendasi penelitian ini diharapkan puskesmas kanigoro mensosialisasikan mekanisme pengobatan orang dengan gangguan jiwadan melakukan penjaringan serta deteksi dini penderita dengan membentuk kader kesehatan jiwa. kata kunci: perilaku, keluarga, pengasuhan, orang dengan gangguan jiwa kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (uu ri nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa). orang yang mengalami gangguan pada kesehatan jiwanya dibagi menjadi dua yaitu orang dengan masalah kejiwaan (odmk) dan orang dengan hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi 10.26699jnk.v4i3.art.p228-234 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 229fairuzahida, perilaku keluarga dalam pengasuhan orang... gangguan jiwa (odgj). menurut uu ri nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, orang dengan masalah kejiwaan yang selanjutnya disingkat odmk adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. sedangkan orang dengan gangguan jiwa yang selanjutnya disingkat odgj adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. gangguan jiwa menurut ppdgj iii adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (maramis, 2010 dalam yusuf, 2015). keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota keluarga (duval, 1972 dalam setiadi, 2008). tugastugas keluarga dalam bidang kesehatan yaitu mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan, merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan. perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup: berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya. bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia (notoatmodjo, 2007). perilaku keluarga dalam pengasuhan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa antara lain dalam hal pengobatan seperti mengantarkan ke pelayanan kesehatan (klinik kesehatan, puskesmas, rumah sakit) atau ke yayasan pengobatan jiwa (kyai, pesantren, pengobatan penyakit mental); mengambilkan obat rutin ke pelayanan kesehatan; memberikan dan mengawasi konsumsi obat rutin, pemenuhan activity daily living (adl) seperti memerhatikan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari (makan, minum, kebersihan diri), mengontrol kondisi psikososial dengan memberikan kegiatan atau keterampilan di rumah; ikutsertakan orang dengan gangguan jiwa dalam kegiatan rumah tangga; mengajak komunikasi orang dengan gangguan jiwa. akan tetapi beberapa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa masih kurang baik dalam pengasuhan di rumah. ini disebabkan karena orang dengan gangguan jiwa masih mendapat stigma dan diskriminasi dari masyarakat sehingga banyak keluarga merasa malu, takut dan berusaha untuk menutupi atau menyembunyikan kondisi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dengan cara mengucilkan, mengusir, tidak menganggap, menelantarkan bahkan melakukan tindakan pemasungan kepada orang dengan gangguan jiwa. berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013 menyatakan bahwa penduduk indonesia yang mengalami gangguan mental berat (skizofrenia) 0,17% atau secara absolute terdapat 400.000 jiwa lebih penduduk indonesia. berdasarkan jumlah tersebut, ternyata 14,3% diantaranya atau sekitar 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. angka pemasungan di pedesaan adalah 18.2%. angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7%. prevalensi tertinggi terdapat di provinsi jogjakarta dan aceh sedangkan terendah di provinsi kalimantan barat. provinsi jawa timur jumlah absolute penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat sebanyak 63.483 orang (pusat komunikasi publik sekretariat jenderal kementerian kesehatan ri, 2014). di kabupaten blitar jumlah penderita gangguan jiwa pada tahun 2014 sebesar 747 jiwa. dari 22 kecamatan yang ada di wilayah kabupaten blitar, kecamatan kanigoro memiliki jumlah orang dengan gangguan jiwa terbesar yaitu 99 jiwa. dari studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 29 oktober 2015 di 10 keluarga orang dengan gangguan jiwa wilayah kecamatan kanigoro kabupaten blitar, didapatkan bahwa 60% keluarga kurang dalam pengobatan orang dengan gangguan jiwa, 40% keluarga kurang dalam pemenuhan activity daily living (adl) orang dengan gangguan jiwa, 60% keluarga kurang mampu mengontrol kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa. ini dibuktikan dengan kondisi orang dengan gangguan 230 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 228–234 jiwa (odgj) yaitu kurus, memakai baju yang kotor, rambut kusam, kuku panjang, tubuh tampak kotor, makan dan minum meminta orang lain, suka melamun, pandangan mata kosong, berbicara sendiri, sebagian orang dengan gangguan jiwa berkeliaran dijalan tanpa memakai alas kaki dan sebagian hanya di dalam rumah saja. dari 99 orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro yang melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan sebanyak 33 jiwa dan 1 orang dengan gangguan jiwa dipasung. hal ini menunjukkan bahwa perilaku keluarga dalam perawatan orang dengan gangguan jiwa masih kurang. berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro kabupaten blitar. metode penelitian penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah semua keluarga dengan anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro kabupaten blitar, besar sampel sebanyak 33 orang diambil dengan teknik purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada 1–28 februari 2016. hasil penelitian secara umum, perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro kabupaten blitar sebagai berikut. no. perilaku f % 1. baik 13 39 2. cukup 4 12 3. kurang 16 49 jumlah 33 100 tabel 1 distribusi frekuensi perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro februari 2016 (n=33) dengan hasil dari masing-masing sub variabel yaitu sebagai berikut. no. perilaku pengobatan f % 1. baik 12 36 2. cukup 1 3 3. kurang 20 61 jumlah 33 100 tabel 2 distribusi frekuensi perilaku keluarga dalam pengasuhan tentang pengobatan orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro februari 2016 (n=33) no. perilaku pemenuhan adl f % 1. baik 21 64 2. cukup 11 33 3. kurang 1 3 jumlah 33 100 tabel 3 distribusi frekuensi perilaku keluarga dalam pengasuhan tentang pemenuhan activity daily living (adl) orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro februari 2016 (n=33) pembahasan perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup: berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia (notoatmodjo, 2007). menurut green (dalam notoatmodjo, 2003) menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni: faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor pemungkin no. perilaku pengontrolan f %psikososial 1. baik 15 46 2. cukup 11 33 3. kurang 7 21 jumlah 33 100 tabel 4 distribusi frekuensi perilaku keluarga dalam pengasuhan tentang pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa di kecamatan kanigoro februari 2016 (n=33) 231fairuzahida, perilaku keluarga dalam pengasuhan orang... (enambling factors) dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors). keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan dasar langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien, keluarga juga merupakan suatu unit pelayanan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dan masyarakat. berdasarkan hasil penelitian perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa sebanyak 16 keluarga (49%) berperilaku kurang dalam pengasuhan orang dengan gangguan iiwa, 13 keluarga (39%) berperilaku baik dan sisanya 4 keluarga (12%) berperilaku cukup. menurut peneliti, perilaku keluarga yang baik cukup banyak akan tetapi perilaku dalam masingmasing tindakan khusus tidak memiliki hasil yang sama. ada tindakan yang keluarga mampu penuhi dengan baik akan tetapi tindakan lainnya tidak mampu mereka lakukan. sehingga perilaku dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa menjadi kurang baik. ini dilihat dari indikator yaitu hasil pengobatan orang dengan gangguan jiwa (61%) kurang, tetapi untuk pemenuhan activity daily living/adl (64%) baik dan pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa (46%) baik. dari hasil tabulasi silang antara pengobatan dan perilaku pengasuhan didapatkan bahwa 48.5% pengobatan yang kurang maka perilaku keluarga dalam pengasuhan juga kurang. ini terjadi karena banyak hal yang memengaruhi seperti tingkat pendidikan dan pengalaman keluarga dalam pengobatan orang dengan gangguan jiwa. selain itu juga faktor sosial ekonomi dari keluarga dalam pembiayaan pengobatan juga kurang, pemahaman dari keluarga untuk berobat ke pelayanan kesehatan masih kurang baik. pihak pemberi pelayanan juga kurang dalam sosialisasi ke masyarakat untuk mekanisme pengobatan dan pembiayaan pengobatan. dilihat dari hasil tabulasi silang antara pemenuhan activity daily living dengan perilaku keluarga dalam pengasuhan didapatkan bahwa 33.3% pemenuhan activity daily living baik memiliki perilaku pengasuhan yang baik pula, namun 27.3% cukup dalam pemenuhan activity daily living memiliki perilaku pengasuhan yang kurang. ini terjadi karena keluarga pengasuh paling banyak perempuan sehingga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat lebih sabar, merawat dengan penuh kasih saying dan telaten. namun, saat orang dengan gangguan jiwa sedang tidak stabil emosionalnya seperti menolak untuk melakukan kegiatan seharihari maka keluarga hanya menyiapkan dan mengingatkan saja karena perempuan juga takut apabila penderita mengamuk. ini yang menyebabkan perilaku sebagian keluarga kurang. dilihat dari hasil tabulasi silang antara pengontrolan kondisi psikososial dengan perilaku keluarga dalam pengasuhan didapatkan bahwa 33.3% pengontrolan kondisi psikososial baik maka perilaku keluarga dalam pengasuhan baik namun 24.2% pengontrolan kondisi psikososial cukup memiliki perilaku pengasuhan yang kurang. ini terjadi karena dari data umum perempuan dan tidak bekerja yang paling banyak mengasuh orang dengan gangguan jiwa. dalam mengasuh maka perempuan memiliki perhatian yang lebih, telaten, mengajak berkomunikasi dengan baik, mau mengajak penderita untuk bercerita-cerita dan memiliki banyak waktu luang untuk bisa bersama dengan penderita gangguan jiwa. akan tetapi saat emosional tidak stabil maka perempuan menjadi kurang berani untuk mengajak berkomunikasi penderita. sehingga inilah yang menyebabkan perilaku dalam pengontrolan kondisi psikososial kurang. perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa tentang pengobatan orang dengan gangguan jiwa dalam pengobatan orang dengan gangguan jiwa menurut keliat (2011) keluarga berperan dalam mengawasi dan memerhatikan terapi obat orang dengan gangguan jiwa yang meliputi mengecek nama pasien ditempat obat, menyebutkan nama obat pasien, menyebutkan dosis obat pasien, menyebutkan cara minum obat pasien, menyebutkan waktu minum obat pasien, menyebutkan efek obat pasien, menyebutkan akibat bila tidak minum obat dan kontrol ke puskesmas jika obat habis. hasil penelitian menunjukkan masih banyak keluarga yang berperilaku kurang dalam pengobatan ora ng denga n ga ngguan jiwa . denga n ha sil sebanyak 20 keluarga (61%) kurang untuk pengobatan orang dengan gangguan jiwa, 12 keluarga (36%) baik dan sisanya 1 keluarga (3%) cukup. menurut peneliti, perilaku keluarga tentang pengobatan orang dengan gangguan jiwa ini keluarga kurang baik. berdasarkan teori, perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposisi seperti tingkat pendidikan, sosial ekonomi, tradisi dan kepercayaan masyarakat dan sebagainya. dilihat dari tingkat pendidikan yaitu 79% pendidikan sd sehingga berpengaruh dalam perilaku pengobatan orang dengan gangguan jiwa. dan hasil tabulasi silang antara 232 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 228–234 pendidikan dengan pengobatan 48.5% pendidikan sd dengan perilaku pengobatan kurang, akan tetapi 27.3 % pendidikan sd dengan perilaku pengobatan baik. dengan tingkat pendidikan yang rendah maka dapat menjadi faktor yang menyebabkan perilaku kurang baik karena kurangnya pemahaman dan kepatuhan dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan untuk pengobatan orang dengan gangguan jiwa, tingkat pengalaman keluarga dalam pengobatan. selain itu, sosial perekonomian menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga dalam pengobatan yaitu untuk biaya dalam pengobatan menjadi kendala keluarga. dilihat dari pekerjaan keluarga 33% petani dan untuk tabulasi silang antara pekerjaan dan perilaku pengobatan 24.2% keluarga tidak bekerja dengan perilaku pengobatan kurang. karena tidak bekerja maka untuk perekonomian rendah, membuat keluarga merasa tidak mampu mengobatkan orang dengan gangguan jiwa. sehingga bantuan untuk pengobatan bagi warga tidak mampu dalam pengobatan bisa lebih disosialisasikan. namun, pada sebagian keluarga yang sudah pernah mengantar anggota keluarga yang sakit jiwa berobat ke pelayanan kesehatan merasa apabila sudah lelah untuk mengantar berobat lagi, karena biaya yang dikeluarkan juga besar dan perkembangannya membaik saat berobat saja tetapi setelah itu cepat kambuh kembali. sehingga banyak keluarga yang membiarkan anggota keluarga yang sakit untuk tidak diajak berobat, dan putus obat bagi sebagian penderita. selain itu, dari pihak pelayanan kesehatan juga masih kurang dalam melaksanakan penanganan kesehatan jiwa seperti belum adanya dokter spesialis jiwa, perawat yang berkompeten di bidang kejiwaan dan kader kesehatan jiwa. sehingga dalam penanganan kesehatan jiwa belum bisa dilakukan dengan maksimal. inilah yang membuat perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa yang kurang baik. perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa tentang pemenuhan activity daily living (adl) orang dengan gangguan jiwa dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari maka orang dengan gangguan jiwa memerlukan bantuan orang lai. bantuan ini bisa secara total,sebagian dan mandiri yang dapat diberikan dengan memerhatikan, mengingatkan, bahkan membantu dalam pelaksanaannya. menurut keliat (2011) cara keluarga merawat pasien dengan defisit perawatan diri adalah 1. melatih pasien tentang cara merawat kebersihan diri. 2. melatih pasien tentang cara berhias/berdandan. 3. melatih pasien tentang cara makan. 4. mengajarkan pasien untuk melakuakan bab/bak. hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku keluarga dalam pemenuhan activity daily living (adl) orang dengan gangguan jiwa sudah baik yaitu sejumlah 21 keluarga (64%) baik, 11 keluarga (33%) cukup dan sisanya 1 keluarga (3%) kurang. menurut peneliti, perilaku keluarga dalam pemenuhan activity daily living (adl) orang dengan ganguan jiwa sudah baik. berdasarkan teori pemenuhan kebutuhan sehari-hari maka sebagian keluarga sudah melakukannya seperti menyiapkan peralatan mandi, berhias, makan/minum, mengingatkan anggota keluarga yang sakit. dilihat dari data umum, keluarga yang mengasuh 61% perempuan, dan dari hasil tabulasi silang 39.4% perempuan dengan perilaku pemenuhan adl orang dengan gangguan jiwa baik akan tetapi masih 3% yang kurang. dalam proses mengasuh perempuan lebih sabar, penuh kasih sayang, perhatian dan telaten. selain itu, dari tingkat pekerjaan juga berpengaruh dalam pemenuhan adl orang dengan gangguan jiwa. dilihat dari tabulasi silang pekerjaan dan perilaku pemenuhan adl orang dengan ganggun jiwa 24.2% petani, 18.2% tidak bekerja dengan perilaku pemenuhan adl baik. karena petani yang tidak setiap saat ke sawah dan tidak bekerja maka keluarga memiliki banyak waktu untuk mengasuh orang dengan gangguan jiwa. sehingga untuk kegiatan sehari-hari lebih bisa untuk memperhatikan, menyiapkan dan membantu orang dengan gangguan jiwa. akan tetapi, sebagian orang dengan gangguan jiwa ada yang menolak untuk mandi, berpakaian dan mereka tidak menganggap juga memarahi keluarga yang mengingatkan atau membantu dalam memenuhi aktivitas sehari-hari. sehingga sebagian keluarga memilih untuk membiarkan dan hanya menyiapkan semua kebutuhan anggota keluarga yang sakit berharap jika mereka mau maka akan melakukannya sendiri. perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa tentang pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa dalam upaya mengontrol kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa dapat dilakukan dengan membantu memulihkan perasaan sedih dan kehilangan penderita, peka terhadap kemungkinan 233fairuzahida, perilaku keluarga dalam pengasuhan orang... rea ksi emosional penderita, mengembangkan harapan realistis, memberi pujian terhadap semua perila ku pasien yang baik, tidak membantah halusinasi pasien (pada pasien halusinasi), mengajak komunikasi penderita, melibatkan penderita dalam berhubungan sosial, menurut keliat (2011) cara keluarga merawat pasien dengan halusinasi dan isolasi sosial. hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku keluarga dalam pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa sudah baik yaitu sejumlah 15 keluarga (46%) baik, 11 keluarga (33%) cukup dan sisanya 7 keluarga (21%) kurang. menurut peneliti, perilaku keluarga dalam pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa sebagian besar baik namun ini masih perlu ditingkatkan. kesadaran keluarga untuk mengajak komunikasi orang dengan gangguan jiwa sudah ada namun terkadang pembicaraan kurang jelas, keluarga juga tidak mengikuti halusinasi yang ditunjukkan oleh orang dengan gangguan jiwa. itu sudah sesuai dengan teori perawatan orang dengan gangguan jiwa. walaupun orang dengan gangguan jiwa sering marah-mara h dan bicara sendiri, sebagian keluarga tetap merawatnya dengan sabar, mengikuti kemauan orang dengan gangguan jiwa dan ada sebagian keluarga yang memarahi dan melarang mereka berbuat kerusakan dirumah. dilihat dari data umum, keluarga yang mengasuh 61% perempuan, dan dari hasil tabulasi silang 27.3% perempuan dengan perilaku pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa baik akan tetapi masih 12.1% yang kurang. dalam proses mengasuh perempuan lebih sabar, penuh kasih sayang, perhatian, telaten, mampu mengajak berkomunikasi dengan lembut sehingga orang dengan gangguan jiwa merasa lebih nyaman apabila bercerita dengan perempuan. dilihat dari tabulasi silang pekerjaan dan perilaku pengontrolan kondisi psikososial orang dengan ganggun jiwa 21.2% petani, 12.1% tidak bekerja dengan perilaku pengontrolan kondisi psikososial baik. karena petani yang tidak setiap saat ke sawah dan tidak bekerja maka keluarga memiliki banyak waktu untuk mengasuh orang dengan gangguan jiwa. simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini 1) perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa secara umum dalam kategori kurang sebesar 49% keluarga 2) perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa tentang pengobatan orang dengan gangguan jiwa sebagian besar dalam kategori kurang sebesar 61% keluarga 3) perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa tentang pemenuhan activity daily living (adl) orang dengan gangguan jiwa sebagian besar dalam kategori baik sebesar 64% keluarga 4) perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa tentang pengontrolan kondisi psikososial orang dengan gangguan jiwa sebagian besar dalam kategori baik sebesar 46% keluarga. saran peneliti selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan perilaku keluarga dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa dengan judul antara lain faktor-faktor yang mempengaruhi pendampingan pengobatan orang dengan gangguan jiwa, upaya-upaya petugas kesehatan dalam menghilangkan stigma masyarakat terhadap kondisi orang dengan gangguan jiwa dan fa ktor -faktor yang mempengar uhi pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat; institusi pendidikan kesehatan, diharapkan institusi pendidikan kesehatan dapat ikut bekerjasama dengan pihak terkait dalam pengasuhan orang dengan gangguan jiwa melalui pembentukan kader kesehatan jiwa dan pelatihan kepada kader kesehatan jiwa; institusi pelayanan kesehatan puskesmas kanigoro, diharapkan petugas kesehatan di puskesmas kanigoro meningkatkan penjaringan penderita gangguan jiwa dan deteksi dini gangguan kesehatan jiwa dengan membentuk kader kesehatan jiwa, menambah tenaga kesehatan dalam penanganan kesehatan jiwa yang memiliki kompetensi di bidang jiwa seperti dokter spesialis jiwa, perawat spesialis jiwa dan mensosialisasikan mekanisme pengobatan orang dengan gangguan jiwa di pelayanan kesehatan serta mensosialisasikan biaya kesehatan atau program asuransi yang bisa digunakan untuk pengobatan. daftar rujukan keliat, b,. akemat,. helena, c.d & nurhaeni, h. 2011. keperawatan kesehatan jiwa komunitas: cmhn (intermediate course). jakarta: egc keliat, b,. helena, n & farida, p. 2011. manajemen keperawatan psikososial dan kader kesehatan jiwa: cmhn (basic course). jakarta: egc 234 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 228–234 keliat, b,. wiyono, a.p & susanti, h. 2011. manajemen kasus gangguan jiwa: cmhn (intermediate course). jakarta: egc. notoatmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat: ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. riset kesehatan dasar kementerian kesehatan ri tahun 2013. setiadi. 2008. konsep dan proses keperawatan keluarga. yogyakarta: graha ilmu. undang-undang ri nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa. yusuf, ah., fitryasari, r & nihayati, h. 2015. buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. jakarta: salemba medika. 44 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 044–049 email: laillytprima06@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p044–049 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 44 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of the perception of early detection cervical cancer with attitude to do visual inspection with acetic acid article information history article: received, 15/05/2019 accepted, 19/07/2019 published, 05/04/2020 keywords: perception, attitude, cervical cancer, iva test abstract cervical cancer is a malignant tumor that grows in the uterus/ cervix which is the lowest part of the uterine core and is attached to the top of the vagina. the high incidence of cervical cancer in indonesia is due to a lack of knowledge and perception of women to prevent the development of cervical cancer. the incomprehensive information about iva test exposure is as the cause of the women didn’t want to do the test. lack of knowledge about the process of iva test, feel fear and shame including feeling against to religion principles as the inhibitor factors to do test. the research design used correlational design with a cross-sectional approach. the study population is 30 respondents and the sample consisted of 27 respondents using purposive sampling technique. data were analyzed using spearman rank. the research data showed that there was a relationship between the level of perception of mothers about cervical cancer and the attitude of mothers to carry out the iva test (visual inspection with acetic acid) p value = 0,000, so the p value = 0,000 <0.05 while r = 0.678. the relationship of perception with attitude shows that more than half of the respondents 66% have a positive perception in early detection of cervical cancer and they are positive about iva (visual inspection with acetic acid). © 2020 jurnal ners dan kebidanan laily prima monica1, maria ulfa2 1,2prodi kebidanan, stikes patria husada blitar correspondence address: stikes patria husada blitar east java, indonesia p-issn : 2355-052x http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p044-049&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 mailto:laillytprima06@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 45monica, ulfa, the correlation of the perception of early detection cervical cancer with... introduction cervical cancer is the number two cause of death in the world in women. for that reason, early detection of cervical cancer is important for women as a form of anticipation. the iva method is an alterna tive for ear ly detection tha t ha s been proclaimed by the government for free for wus. however, the iva examination participation rate is still very low, around 8.1% (suwiyoga 2014). the results of research from susi (2015) showed all five informants perceived cervical ca ncer a s a ma ligna nt disea se. they found themselves at risk for cervical cancer as well. four of 5 informants said they would seek immediate preventive measures, but only two of them had made prevention efforts. one informant who, despite believing cervical cancer as a malignant disease and aware of the risks of this disease, and knowing there were efforts that could be done to avoid cervical cancer stated she would not make any prevention efforts.the high incidence of cervical cancer in indonesia is due to a lack of perception and awareness of women to prevent the development of cervical cancer. the low level of public perception about the importance of early detection of cervical cancer in indonesia is largely due to the lack of maturity levels of the community towards cervical cancer and information toward prevention and detection methods. in an effort to fight cervical cancer in the community, many obstacles are encountered. the problem in attempting to examine cervical cancer with the iva (visual inspection with acetic acid) test is the reluctance of women to be examined is because they feel shame. other causes such as uncertainty about the importance of theivatest, the negative perceptions about the importance of the iva test, ignorance at the test, and fear of feeling sick during test. perception can be obtained from experience that comes from various sources of information so that it can form a belief for someone. this belief will affect one’s attitude and this is one of the good factors to get new perception and hopefully can be applied in life. according the research from nonik, 2018, that a positive attitude towards early detection of cervical cancer was 96.3%. 80.3% believed that cervical cancer would heal if it was found early. ta king a n iva test is pa r t of women’s reproductive health awareness. mothers’ attitude play important role in the formation of mothers’ behavior in iva examination. it is important to determine attitude aspect of perception, aspects of thinking, beliefs and emotions. from various aspects that mentioned above, the perception factor is one of the factor that plays a role in determining attitudes. in forming an action in this case an iva examination, a positive attitude is needed because negative perceptions of cervical cancer can affect maternal attitudes toward iva examination in an effort to prevent cervical cancer (marmi, 2013) prevention of cervica l cancer is crucial, because of that understanding will arise awareness of the importance of maintaining quality of life and avoiding the dangers of cervical cancer. early prevention is better because it will spendlower cost. prevention should not only be done by menopause women who clearly have a greater risk, but young adulthood also necessary. based on preliminary studies conducted by researchers at the kia polyclinic at the kepanjen kidul community health center in blitar city, it was found that there were no clear data regarding cervical cancer, however, the data showed that the number of efa in 2018 was 22,319 people. of these, only 70 people took the iva test. from the results of the examination 1 person tested positive for cervical cancer symptoms and 70% tested positive for stis. in addition, based on interviews with 7 kia visitors, all said they did not know about the iva test and its benefits and did not feel the need for the examination. in order to find out the relationship between the levelperception of mothers about cervical cancer and the attitude of the mother to do an iva test (visual inspection with acetic acid). the specific objectives of this study include: 1) identifying the level of perception of mothers about cervical cancer. 2) identifying the attitude of the mother to do the iva test (visual inspection with acetic acid). 3) analyzing the relationship between the level perception of mothers about cervical cancer and the attitude toward iva tests (visual inspection with acetic acid). method the research method used is a correlational design with cr oss-sectiona l a ppr oa ch. t he population in this study were all mothers who doing gynecological examinations at the kia poly of the kepanjenkidul health center in blitar city with a 46 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 044–049 total of 30 respondents. determined by sampling purposive sampling technique, inclusion criteria for the study sample were mothers under the age of 20 consist of 27 respondent. the data was collected at kia polyclinic at the kepanjenkidul community health center in blitar city on january 2019. the instrument used in this research is questionnaire with 30 item. data analysis technique with spearman rank rho. analysis of attitude score data shows p value 0,000 where p <0.678 then ho is rejected. the conclusion of this research is that there is a correlation between the perception of early detection of cervical cancer and the attitude of the mother to do an iva test. result no age f % 1 15-24 4 14,8 2 25-34 15 55,6 3 35-44 5 18,5 4 45-55 3 11,1 total 27 100 table 1 distribution of characteristics of respondents based on age no education f % 1 junior high school 5 18,5 2 high school 12 44,4 3 bachelor 10 37 total 27 100 table 2 distribution of characteristics of respondents based on education no job f % 1 housewife 14 51,9 2 laborer 1 3,7 3 private 8 29,6 4 civil servant 2 7,4 5 entrepreneur 1 3,7 6 etc 1 3,7 total 27 100,0 table 3 distribution of characteristics of respondents based on work no number of children f % 1 1 15 55,6 2 2 9 33,3 3 3 3 11,1 total 27 100 table 4 distribution of characteristics of the number of children t he da ta a bove shows that ma jor ity of respondents have age 25-34 years. the data above shows that less than half of respondents have high school education. the data above shows that more than half of respondents are housewives. the data above shows that more than half of respondents have 1 child. no information f % 1 never 14 51,9 2 ever 13 48,1 total 27 100 table 5 information distribution the data above shows that more than half of respondents had received about cervical cancer and iva test. no perceptions f % 1 positive 18 66 2 negative 9 34 total 27 100,0 table 6 distribution of perception of early detection of cervical cancer t he da ta a bove shows that ma jor ity of respondents have positive perceptions about kanker cerviks. no attitude f (%) 1 positive 21 77,8 2 negative 6 22,2 total 27 100,0 table 7 distribution of attitudes of conducting iva tests t he da ta a bove shows that ma jor ity of respondents have positive attitudes about conducting iva test 47monica, ulfa, the correlation of the perception of early detection cervical cancer with... discussion perception of early detection of cervical cancer and how to prevent it based the result on research from rio and eunike (2017), mentioned that there are correlation between attitudes, beliefs and early detection of cervical cancer. knowledge of cervical cancer was mostly in the low category (97.4%). a positive attitude towards early detection of cervical cancer was 96.3%. 80.3% believed that cervical cancer would heal if it was found early. 92.3% respondents didn’t do via test in the last 3 years. factors related to early detection of cervical cancer are knowledge (p-value = 0.005). this is line with this research that based on the results of the study, it was found that more than half of respondents around 66% have positive perceptions of early detection of cervical cancer and how to prevent it. the variation in the mothers’ level of perception about cervical cancer and how to prevent is caused by the differences in the characteristics of respondents, namely the age difference, which in this study most of the 55.6% of respondents are 25-34 years old, which allows the perception of respondents in sufficient category. in addition to age factors, there are variations in the level of perception of mothers about cervical cancer and how to prevent it, also due to factors in educa tion level. in this study most of the respondents’ education was high school, which was 44.4%. so as to allow most of the perceptions of respondents in sufficient categories. education also determines the ease with which someone absorbs and understands the perceptions they get. the higher the education of a person, the better the perception. in addition to these two factors, the variation in perception is also caused by the information obtained. in this study almost half of the respondents had received information about cervical cancer and iva test (visual inspection with acetic acid) which was 48.1%. they obtained information about cervical cancer and iva (visual inspection with acetic acid) tests through mass media such as television, radio, internet or magazines. perception is strongly influenced by internal factors, namely age and intelligence, and external factors, namely education, experience and environment (mass media and electronic media) are greatly influence the level of one’s perception. a good perception about prevention of cervical cancer as a redisposing factor for a woman’s attitude and action in preventing cervical cancer, especially in iva (visual inspection with acetic acid) are required. the perception factor that most underlies wus is not willing to do an iva test based on the health belief model theory is the perception of obstacles (perceived barrier). the greater the inhibiting factor that is felt, the more difficult it is to carry out the test. the perceived obstacle is a potential negative consequence to reduce the desires that arise when taking certain actions in accordance with the hbm theory developed by glanz, rimer and viswanath (wahyu, 2016) wus’s obstacle perception in conducting iva tests occurred because of the lack of information obta ined by wus both a bout the benefits, disadvantages, iva test process and the impact if not the test. more negative perceptions in wus’s mind in conducting iva tests, such as pain, if detected pain will become a burden of thought, shame because it is done in a sensitive area and fear will be contrary to religious principles. in addition, the busyness of wus in working or taking care of children and their households has made the barriers to testing become even greater. mother’s attitude to conduct iva examination (visual inspection with acetic acid) based on the results of the study it was found that the attitude of mothers to conduct iva (visual inspection with acetic acid) examination showed that almost all (77.8%) had a positive attitude towards iva examination (visual inspection with acetic acid). while 22.2% had a negative attitude table 8 correlation of perception and attitudes no perception/attitudes positive negative total 1 positive 14 7 21 2 negative 4 2 6 total 18 9 27 48 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 044–049 towards iva (visual inspection with acetic acid) test, most of the correspondents stated that they often did not carry out iva test because they felt it is not important, other than that they only conducted a test if there get symptoms. the change of the attitude can occur slowly along with the change in perception, information and experience gained. the attitude formation can be influenced by several factors, namely education, experience, the influence of other people who are considered important, emotional factors and the mass media. attitude is a constellation of cognitive, affective, a nd cona tive components tha t inter a ct in understanding, feeling, and behaving towards an object. attitude as a certain order in terms of feeling (affection), thought (cognition) and predisposing action someone to an aspect in the surrounding environment. the tendency of the mother’s attitude towards the examination of iva (visual inspection with acetic acid) varies due to several factors (azwar, 2011). the first factor is perception, in determining the attitude aspects of perception, aspects of thinking, beliefs and emotions play an important role. from the various aspects above, perception factors are one of the factors that play a role in determining attitudes. this opinion is not excessive, because perception is one of the main components of an attitude. once trust is formed, it will become the basis of one’s perception of what can be expected from the object of attitude. so the mother ’s perception of cervical cancer is very influential in the formation of the mother’s attitude towards iva test (visual inspection with acetic acid). in addition to the perception factor, the variation in the attitude of the mother towards the examination of iva (visual inspection with acetic acid) was also caused by several sources of attitudes. the first source of attitude is personal experience, namely the experience of information obtained. in this study almost half of all respondents 44.4% had received information about iva (visual inspection with acetic acid) so that this become the reason why the attitude of almost half of the respondents is positive. the results of this study are in line with wulandari’s research (2018), which showed a significant relationship between attitudes and behaviors of iva examination. the results of this study are not in line with situmorang et al. (2016), namely the results of statistical tests with yates correction (p-value = 0.061) indicate that there is no significant relationship between attitude and behavior of early detection in patients with cervical cancer in rsup dr. kariadi semarang in 2015. the results of this study are also in line with the research of sri et al (2013) which stated that the tendency of wus to have a good attitude tended to conduct iva examinations rather than wus whose attitude was lacking. attitudes can be the result of pleasant or painful experiences with objects of attitude. so the correct information factor about cervical cancer has an impact on the formation of the mother’s attitude towards the iva examination. if the information obtained is accurate, it indirectly affects the cognition element of themothers’ attitude of the in the iva examination. while other factors that cause variations in attitudes are social influences, namely parents or other people who are considered important, peers and mass media. in this study the source of infor ma tion (socia l influence) obta ined by respondents varied, thus causing variations in respondents’ attitudes. mothers’ attitude towards iva (visua l inspection with acetic acid) examination is very important for the formation of maternal behavior in iva examination (visual inspection with acetic acid). a positive mother’s attitude strongly supports future maternal behavior in realizing a good form of behavior in iva examination (visual inspection with acetic acid). attitudes will always influence the behavior of mothers in iva examination (visual inspection with acetic acid) this is beca use a ttitude is a predisposing factor for a fairly strong behavior. good perception without being followed by a positive attitude in iva examination (visual inspection with acetic acid) then the behavior of iva (visual inspection with acetic acid) examination will not be formed. relationship between mother perception levels of cervical cancer and the attitude of mothers to conduct iva tests (visual inspection with acetic acid) the relationship of perception with attitude shows that more than half of the respondents 66% have a perception of early detection of cervical cancer and are positive about iva (visual inspection with acetic acid). the results of the spearman rho test showed a p value = 0,000, so that the p value = 49monica, ulfa, the correlation of the perception of early detection cervical cancer with... 0,000 <0,05 or significant, which means there is a relationship between the level of perception of mothers about cervical cancer and the attitude of mothers to perform iva tests (visual inspection with acetic acid). in addition, there is a strong positive relationship between perceptions and a ttitudes of r espondents char a cterized by a correlation value r = 0.678. based on the description, this study shows that the majority of respondents 66% have positive perceptions and positive attitude. this negative attitude towards the examination of iva (visual inspection with acetic acid) arises because the respondents stated that they felt it was not important to carry out the examination, in addition, they only conducted an examination if there were complaints. while the positive attitude of respondents will arise if the respondent gets a stimulus or stimulus that is in the form of perception. respondents who have good perceptions will tend to have a positive attitude. conver sely, r espondents who ha ve minima l perceptions tend to be negative. the negative attitude of respondents can result in not wanting to do iva examination (visual inspection with acetic acid). this situation will cause respondents to have a greater risk of cervical cancer.  this shows that the attitude of mothers about iva examination (visual inspection with acetic acid) has a relationship with the perception of cer vica l ca ncer. the existence of the above correlation in accordance with the statement in determining the attitude of an aspect of perception because perception is one of the main components of an attitude. a perception will generate a belief which is the basis for the formation of an idea about the general nature or characteristics of an object of attitude. once trust is formed, it will become the basis of one’s perception of what can be expected from the object of attitude. conclusion most of the respondent have positive level of perception of early detection of cervical cancer. most of the mother ’s attitude to test iva (visual inspection with acetic acid) is positive there is a relationship between the level of perception of mothers about cervical cancer with the attitude of mothers to do iva (visual inspection with acetic acid) p value = 0,000, so the p value = 0,000 <0.05 while r = 0.678. suggestion it is expected that health workers should be more focus to provide information about cervical cancer and how to prevent it to the community, especially to mothers (married women), which can be done through simple print media (leaflets) or increase counseling in posyandu, pkk, training, and meetingsroutine village meetings involving community leaders, local religious leaders. references azwar, s. (2011).sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar marmi. (2013). kesehatan reproduksi. yogyakarta: pustaka pelajar. nonik, a dan indrayani, n. (2018). deteksi dini kanker serviks dan inspeksi visual asam asetat (iva). jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 027–034 rio, s dan eunike, s. (2017). persepsi tentang kanker serviks dan upaya prevensinya pada perempuan yang memiliki keluarga dengan riwayat kanker. jurnal kesehatan reproduksi, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 159-169 situmorang, m dkk.(2016). hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku deteksi dini pada penderita kanker serviks di rsup dr. kariadi semarang tahun 2015. jurnal kesehatan masyarakat universitas diponegoro semarang volume 4 nomor 1 tahun 2016 sri, d, dkk. (2013). hubungan tingkat pengetahuan dan sikap wanita usia subur (wus) dengan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (iva) di puskesmas buleleng i. jurnal magister kedokteran keluarga vol 1, no 1, 2013 (hal 57-66) suwi yoga , k, dkk. (2014). pen at a l aksa na a n adenookarsino ma in situ serviks pada kehamilan. journal of chemical information and modeling. wahyu, p. (2016). analisis jalur dengan health belief model tentang penggunaan skrining inspeksi visual asam asetat untuk deteksi dini kanker serviks pada wanita usia subur di kota kediri. uns. wulandari, a. (2018). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (iva) pada wanita usia subur (wus) di puskesmas sukmajaya tahun 2016. jk unila volume 2 nomor 2 juli 2018. 160 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 160–167 160 pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara anak usia 0–3 tahun dalam keluarga di posyandu seruni kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar (the implementation of language development and speak stimulation to child age 0-3 years in the family at posyandu seruni bendogerit sanan wetan blitar) triana setijaningsih, winda noviana program studi d3 keperawatan blitar, poltekkes kemenkes malang email : triana_setijaningsih@yahoo.com abstract: stimulation is an activity to stimulate the basic ability of children so that children grow and develop optimally especially in language and speech development because it is an indicator of the whole development of children. the purpose of the study was to find out the description of the implementation of stimulation of language development and talking children in the family. it used descriptive research method. as a family population with children aged 0–3 years registered at posyandu seruni kelurahan bendogerit kota blitar as much as 35 families, the sample was one parent (father or mother) dominant in parenting every day as much as 35 using total sampling technique. the data collection was done by observation and interview. the results showed that the implementation of stimulation of language development and speech in the family of 20% execution is precisely influenced by the dominant mother in child care, 57.1% of the implementation was quite appropriate because all families have ape and 22.9% less precise implementation due to information factors less . recommendations for the health department provide training on posyandu cadres on stimulation and early detection of child growth, which will be applied to infants at posyandu with involving parents of children under five in order to provide stimulation to their children in everyday life correctly. keywords: implementation, stimulation of language development and speech, family. abstrak: stimulasi merupakan kegiatan merangsang kemampuan dasar anak agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal khusunya dalam perkembangan bahasa dan bicara karena merupakan indikator dari seluruh perkembangan anak. tujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara anak dalam keluarga. metode penelitian deskriptif. sebagai populasi keluarga yang mempunyai anak usia 0–3 tahun terdaftar di posyandu seruni kelurahan bendogerit kota blitar berjumlah 35 keluarga, sampelnya adalah salah satu orang tua (ayah atau ibu) yang dominan dalam mengasuh anak setiap hari sebanyak 35 dengan menggunakan teknik total sampling. pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara dalam keluarga 20% pelaksanaan tepat dipengaruhi oleh ibu yang dominan dalam mengasuh anak, 57,1% pelaksanaan cukup tepat karena semua keluarga memiliki ape dan 22,9% pelaksanaan kurang tepat karena faktor informasi yang kurang. rekomendasi untuk dinas kesehatan memberikan pelatihan pada kader posyandu tentang stimulasi dan deteksi dini tumbuh kembang anak, yang akan diterapkan pada balita saat posyandu dengan melibatkan orang tua balita agar bisa memberikan stimulasi pada anak balitanya dalam kehidupan sehari-hari dengan benar. kata kunci: pelaksanaan, stimulasi perkembangan bahasa dan bicara, keluarga. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p160-167 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 161setijaningsih, noviana, pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa... pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih di dalam kandungan. sesuai dengan isi pasal 4 uu no23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. mengingat jumlah balita di indonesia sangat besar yaitu sekitar 10% dari seluruh populasi, maka sebagai calon generasi penerus bangsa, kualitas tumbuh kembang balita di indonesia perlu mendapat perhatian serius. upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih di dalam kandungan sampai lima tahun pertama kehidupanya, ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya (kemenkes ri, 2012). pembinaan tumbuh kembang anak secara komprehensif dan berkualitas diselenggarakan melalui kegiatan stimulasi, deteksi dan intervensi dini. stimulasi yang memadai artinya rangsangan otak balita sehingga perkembangan kemampuan gerak, bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian pada balita berlangsung secara optimal sesuai dengan umur anak. stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak umur 0–6 tahun agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal. dalam melakukan stimulasi ada delapan prinsip dasar yang perlu diperhatikan (kemenkes ri, 2012). stimulasi bicara dan bahasa merupakan hal yang penting, kemampuan berbahasa dan bicara merupakan indikator seluruh perkembangan anak. periode kritis bagi perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa adalah periode antara 9–24 bulan awal kehidupan. karena kemampuan berbicara dan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem lainya, sebab melibatkan kemampuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan lingkungan disekitar anak. seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan dari lingkungannya (soetjiningsih, 1995:237). menurut dzulkifli, 2005 bahwa anak terus belajar berbicara karena dirangsang oleh dorongan meniru suara-suara yang didengarnya diucapkan orang lain. lingkungan hidup turut mempengaruhi perkembangan bahasa. sedangkan menurut berko gleason (santrock, j.w. 2007:375–376), para peneliti menemukan bahwa kuantitas percakapan orangtua kepa da a na k ber hubunga n langsung denga n pertumbuhan kosakata anak. bayi-bayi yang ibunya berbicara lebih sering kepada mereka memiliki kosakata yang lebih banyak. pada tahun kedua, perbedaan-perbedaan kosakata menjadi amat besar. stimulasi perkembangan dapat dilakukan oleh semua orang yang terlibat dengan anak yaitu oleh ibu dan ayah yang merupakan orang terdekat dengan anak, pengganti ibu atau pengasuh anak, angota keluarga lain dan kelompok masyarakat di lingkungan rumah tangga masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. anak sangat membutuhkan lingkungan keluarga, rasa aman yang diperoleh dari ibu dan rasa terlindung dari ayah merupakan syarat bagi kelancaran proses perkembangan anak (gunarsa, 2008:25). penyebab dan efek pada perkembangan bicara adalah bermacam-macam, penyebab dari lingkungan yang mengalami sosial ekonomi kurang menyebabkan terlambat bicara, tekanan keluarga kepada anak menyebabkan anak gagap bicara, keluarga bisu meyebabkan anak terlambat pemerolehan bahasa, dirumah menggunakan bahasa bilingual menyebabkan anak terlambat pemerolehan struktur bahasa. menurut nchs, berdasarkan laporan orang tua (diluar gangguan pendengaran serta celah pada palatum), maka angka kejadiannya adalah 0,9% pada anak dibawah umur 5 tahun. dari hasil evaluasi langsung terhadap anak usia sekolah, angka kejadiannya 3,8 kali lebih tinggi dari yang berdasarkan hasil wawancara. berdasarkan hal ini, diperkirakan gangguan bicara dan bahasa anak adalah sekitar 4–5% (soetjiningsih, 1995). menurut data hasil ddtk pada tanggal 7 juli 2014 yang diperoleh dari posyandu seruni kelurahan bendogerit, dari 10 anak yang dilakukan ddtk didapatkan hasil 70% anak perkembangan sesuai dan 3% anak mengalami perkembangan menyimpang baik dari gerak halus, gerak kasar, gangguan bicara, dan sosial kemandirian. berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 21 januari 2015 di posyandu kenanga rw xi kelurahan bendogerit, menggunakan teknik wawancara dan observasi dengan sampel diambil secara acak yaitu ibu yang memiliki anak batita, dari 8 ibu didapatkan 62,5% atau 5 ibu memberikan stimulasi perkembangan dengan mengajak anak bicara, dikenalkan berbagai gambar dan benda-benda semampu anak yang dila162 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 160–167 kukan setiap hari dan 37,5% atau 3 ibu yang tidak memberikan rangsangan bicara dan bahasa kepada anaknya dengan alasan bahwa anak akan bisa berkembang berbicara sendiri apabila sudah waktunya tanpa dirangsang. bahan dan metode desain penelitian menggunakan deskriptif, sampel dalam penelitian ini salah satu orang tua (ayah atau ibu) yang dominan dalam mengasuh anak setiap hari. besar sampel sebanyak 35 keluarga, dengan metode total sampling. penelitian dilakukan pada 12–19 juni 2015 dan tempat penelitian di wilayah posyandu seruni kelurahan bendogerit kota blitar. berdasarkan latar belakang diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara anak usai 0–3 tahun dalam keluarga. hasil penelitian data umum berdasarkan tabel 5 diatas bahwa pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara seluruhnya 100% adalam mempunyai ape untuk stimulasi. data khusus tabel 1 dominan mengasuh anak dominan f % ayah 1 2,9 ibu 34 97,1 total 35 100 berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara hampir seluruhnya 97,1% adalah ibu yang dominan dalam mengasuh anak. tabel 2 pekerjaan pekerjaan f % pns 4 11,4 swasta 6 17,1 wiraswasta 3 8,6 buruh 2 5,7 irt 20 57,1 total 35 100 berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara lebih dari separuh 57,1% adalah sebagai ibu rumah tangga. tabel 3 informasi informasi f % posyandu/pelayanan.kes 9 25,7 med.sos/internet 6 17,1 buku kia 1 2,9 belum pernah 19 54,3 total 35 100 berdasarkan tabel 3 diatas bahwa pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara lebih dari separuh 54,3% adalah belum pernah mendapatkan informasi. berdasarkan tabel 4 diatas bahwa pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara seluruhnya 100% adalah memberikan stimulasi setiap waktu. tabel 4 waktu waktu f % setiap waktu 35 100 total 35 100 tabel 5 ape ape f % ada 35 100 total 35 100 tabel 6 pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara anak usia 0–3 tahun di posyandu seruni kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar, juni 2015 (n=35) 1. tepat 7 20.0 2. cukup tepat 20 57.1 3. kurang tepat 8 22.9 total 35 100.0 no pelaksanaan stimulasi keluarga kategori f % 163setijaningsih, noviana, pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa... berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa jumlah keluarga yang melaksanakan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara dengan kategori tepat 20% (7 keluarga), cukup tepat 57,1% (20 keluarga) dan 22,9% (8 keluarga) melaksanakan stimulasi dengan kategori kurang tepat. pembahasan berdasarkan hasil penelitian tentang pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara anak usia 0–3 tahun dalam keluarga di posyandu seruni kelurahan bendogerit, didapatkan data dari 35 keluarga bahwa pelaksanaan stimulasi terbagi menjadi 3 kategori pelaksanaan keluarga yaitu berjumlah 20% atau 7 keluarga dengan kategori pelaksanaan tepat, 57,1% atau 20 keluarga dengan kategori pelaksanaan cukup tepat dan 22,9% atau 8 keluarga dengan kategori pelaksanaan kurang tepat. pelaksanaan kurang tepat dari hasil penelitian pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara anak usia 0–3 tahun didapatkan data 22,9% atau 8 keluarga pelaksanaanya kurang tepat, ditunjukkan dari pernyataan yang banyak tidak dilaksanakan oleh keluarga antara lain pada keluarga yang mempunyai anak usia 3–6 bulan dari jumlah 6 keluarga, bahwa 83,3% atau 5 keluarga tidak mengenalkan berbagai bunyi kepada anak. menurut. menurut kemenkes ri (2012) bahwa untuk melaksanakan stimulasi ada prinsip dasar yang diperhatikan salah satunya prinsip nomor 6, gunakan alat bantu atau permainan yang sederhana, aman dan ada disekitar anak dan untuk bayi 3–6 bulan harus diberikan stimulasi lanjutan berupa mengenali berbagai suara, dengan cara buatlah suara dari kerincingan, mainan yang dipencet atau bel. keluarga tidak mempunyai inisiatif dalam membuatkan suara-suara untuk merangsang perkembangan bahasa dan bicara bayi, merangsang visual bayi berguna untuk melatih bayi mengenali arti dari bunyi. pada keluarga yang mempunyai anak usia 6–9 bulan dari jumlah 2 keluarga semua keluarga 100% tidak menunjuk dan menyebutkan nama gambargambar. menurut kemenkes ri (2012) bahwa untuk melaksanakan stimulasi ada prinsip dasar yang diperhatikan diantaranya prinsip nomor 4 lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman dan untuk bayi 6–9 bulan stimulasi yang harus diberikan adalah menunjuk dan menyebutkan nama gambar-gambar. ajak bayi melihat gambar-gambar, bantu ia menunjukkan gambar yang namanya anda sebutkan. usahakan bayi mau mengulangi kata-kata anda. apabila keluarga melaksanakan dengan menunjukkan gambargambar dan menyebutkan nama pada gambar yang dimilliki dengan tidak memaksakan bayi maka bayi dapat merekam gambar dan nama dari gambar sehingga dapat menambah pengetahuan dan kosa kata bayi walaupun bayi masih belum mengerti arti dari gambar tersebut. pada keluarga yang mempunyai anak usia 9– 12 bulan dari jumlah 4 keluarga semua keluarga 100% tidak membuat bayi mau berbicara kembali dengan boneka mainan. menurut kemenkes ri (2012), sesuai prinsip dasar pelaksanaan stimulasi nomor 4 lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenang kan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman dan untuk bayi usia 9–12 bulan stimulasi yang harus diberikan adalah berpura-pura bahwa boneka berbicara kepada bayi dan buat agar bayi mau berbicara kembali dengan boneka itu dan dihubungkan dengan teori hurlock (1995:186) bahwa semakin banyak anak didorong dengan mengajaknya berbicara dan didorong menanggapinya, akan sema kin awal mereka belajar berbicara dan semakin baik kualitasnya. berdasarkan hal tersebut melatih anak berbicara dapat memanfaatkan boneka mainan untuk diajak komunikasi pada bayi supaya bayi lebih tertarik . pada keluarga yang mempunyai anak usia 12– 15 bulan dari jumlah 2 keluarga 100% tidak menyebutkan nama bagian tubuh bayi. menurut kemenkes ri (2012) bahwa prinsip dasar stimulasi nomor 4 lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman dan usia 12–15 bulan stimulasi yang harus diberikan ketika anda mengenakan pakaian anak, tunjuk dan sebutkan nama bagian tubuh anak. usahakan agar anak mau menyebutkan kembali. pendapat dari peneliti bahwa keluarga dapat melatih anak menyebut nama bagian tubuh dengan lagu kepala, pundak, lutut, kaki sebab bagian tubuh mempunyai fungsi dan manfaat masing-masing sehingga anak perlu dikenalkan sejak anak masih kecil untuk memperkaya kosa kata yang dimiliki anak. pada keluarga yang mempunyai usia 15–18 bulan dari jumlah 2 keluarga semua keluarga 100% tidak menyebut berbagai nama barang. menurut kemenkes ri (2012) bahwa prinsip dasar stimulasi nomor 4 lakukan stimulasi dengan cara mengajak 164 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 160–167 anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman dan usia 15– 18 bulan stimulasi yang harus diberikan adalah ketika anda ke pasar, ajak anak dan sebutkan nama barang-barang yang anda beli. usahakan agar anak mau menyebutkan dulu sebelum anda melakukannya. keluarga dapat meng gunakan waktu saat berbelanja untuk meningkatkan stimulus panca indera anak, dengan membiarkan anak menunjuk dan menanyakan barang yang ada ditoko. pada keluarga yang mempunyai anak usia 18– 24 bulan dari jumlah 4 keluarga hanya 1 keluarga 25% yang membacakan buku pada anak setiap hari. menurut kemenkes ri (2012), bahwa prinsip dasar stimulasi nomor 2 yaitu selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya dan pada usia 18–24 bulan salah satu stimulasi yang harus dilakukan adalah setiap hari anak dibacakan buku. pendapat dari peneliti apabila keluarga membiasakan anaknya dari kecil untuk membacakan buku maka minat anak dalam membaca buku akan meningkat dan anak akan mengikuti dari tindakan membaca yang dilakukan oleh pengasuhnya pada keluarga yang mempunyai anak usia 24– 36 bulan dari jumlah 11 keluarga 82% atau 9 keluarga tidak menjelaskan acara televisi saat anak menonton. menurut kemenkes ri (2012), bahwa prinsip dasar stimulasi nomor 2 yaitu selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya dan pada anak umur 24–36 stimulasi yang harus diberikan adalah acara atau berita di televisi terkadang menakut kan anak, jelaskan pada anak apakah hal itu nyata atau tidak nyata. perlunya pendampingan saat anak menonton dan memilihkan acara televisi yang tepat untuk anak, untuk mencegah terjadinya salah paham anak pada acara yang ada ditelevisi, dan sebagai keluarga harus menjelaskan dengan kejujuran acara ditelevisi apakah yang telah dilihat tersebut fakta atau tidak. dari kategori kurang tepat tersebut usia 15–18 bulan merupakan kelompok usia dengan prosentase terendah yaitu 64% dari kelompok usia yang lain. dan prinsip dasar yang banyak tidak dilaksanakan adalah prinsip dasar nomor 4 yaitu lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman. dari pernyataan diatas merupakan pernyataan yang tidak dilaksanakan keluarga berhubungan dengan faktor keluarga yang kurang pengetahuan mengenai stimulasi sehingga keluarga tidak melak sanakan stimulasi perkembangan sesuai umur anak, dibuktikan dengan jumlah 54% atau 19 keluarga belum pernah mendapatkan informasi mengenai hal tersebut. menurut notoatmojo (2007), pelaksanaan atau kemampuan praktik merupakan bagian dari perilaku. terbentuknya suatu perilaku baru dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya. dengan membe rikan informasi akan meningkatkan pengetahuan masyarakat, selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mere ka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. peneliti berpendapat informasi merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa terlepas untuk meningkatkan pengetahuan keluarga, karena pengetahuan sendiri berpe ngaruh besar terhadap pelaksanaan. keluarga yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai cara pemberian stimulasi, maka tingkat pengetahuan keluarga tentang stimulasi rendah, sehingga keluarga tidak mempunyai kesadaraan untuk merespon dalam memberikan rangsang kepada anak dan akhirnya perilaku keluarga dalam pelaksanaan stimulasi menyebabkan kurang tepat. pelaksanaan cukup tepat dari data hasil penelitian pelaksanaan stimulasi perkembangan paling banyak diantara kategori lain yaitu 57,1% atau 20 keluarga pelaksanaan cukup tepat, ditunjuk kan dengan hampir semua pernya taan sesuai umur anak sudah dilaksanakan oleh keluarga namun belum maksimal. pada stimulasi bahasa dan bicara anak usia 24–36 bulan dengan jumlah 11 keluarga pelaksanaan cukup tepat 91% (10 keluarga) tentang menyata kan suatu benda. menurut kemenkes ri (2012), bahwa stimulasi pada usia 24–36 bulan ketika mengajak anak bicara, gunakan ungkapan yang menyatakan keadaan suatu benda. misal “bolamu yang kuning ada dibawah meja”, “mobil-mobilan yang biru itu ada di dalam laci”. sesuai dengan prinsip ke 6 gunakan alat bantu atau permainan yang sederhana, aman dan ada disekitar anak. stimulasi untuk anak berbicara dapat dengan permainan yang dimilikinya. pada stimulasi bahasa dan bicara anak usia 18– 24 bulan dengan jumlah 4 keluarga pelaksanaan cukup tepat 50% (2 keluarga) tentang bercerita tentang apa yang dilihatnya. menurut kemenkes ri (2012), bahwa stimulasi yang harus diberikan pada 165setijaningsih, noviana, pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa... usia 18–24 bulan adalah perlihatkan sering-sering buku dan majalah. usahakan agar anak mau menceritakan apa yang dilihatnya. sesuai prinsip gunakan alat bantu atau permainan yang sederhana, aman dan ada disekitar anak. menurut peneliti salah satu cara yang tepat untk membuat anak berbicara adalah dengan melihatkan sesuatu yang membuatnya menarik. pada stimulasi bahasa dan bicara anak usia 15– 18 bulan dengan jumlah 2 keluarga pelaksanaa cukup tepat 50% (1 keluarga) tentang membaca kan buku. menurut kemenkes ri (2012), bahwa stimulasi pada anak usia 15–18 bulan yang perlu dilanjutkan adalah tunjukkan kepada anak buku dan bacakan setiap hari. prinsip tentang selalu tunjukkan sikap dan perilaku baik , karena anak akan meniru tingkah laku orang-orang yang terdekat denganya. dengan menunjuk dan membacakan buku anak mendapatkan kosa kata yang didengarnya dan menambah kosa kata yang dimiliki anak. pada stimulasi bahasa dan bicara anak usia 12– 15 bulan dengan jumlah 2 keluarga pelaksanaan cukup tepat 50% (1 keluarga) tentang menunjuk dan menyebut nama gambar. menurut kemenkes ri (2012), bahwa stimulasi yang perlu dilanjut pada usia 12–15 bulan adalah menunjukkan dan menyebutkan gambar yang menarik, sesuai prinsip gunakan alat bantu permainan yang sederhana, aman dan ada disekitar anak. dalam menambah kosa kata anak perlunya ditunjukkan sesuatu yang menarik untuk merekam apa yang dilihatnya dan diubah dalam bentuk ungkapan kata. pada stimulasi usia 9–12 bulan dari jumlah 4 keluarga 75% (3 keluarga) pelaksanaan cukup tepat tentang menirukan kata-kata. menurut kemenkes ri (2012) bahwa pada usia 9–12 bulan stimulasi yang harus diberikan setiap hari bicara kepada bayi. sebutkan kata-kata yang telah diketahui artinya seperti: minum, susu, mandi, kue, dll. dengan melatih berbicara dengan kata mengenai hal yang setiap hari dilakukan bayi untuk memudahkan bayi dalam menghafalkanya. pada stimulasi usia 6–9 bulan dari jumlah 2 keluarga 50% (1 keluarga) pelaksanaan cukup tepat tentang menunjukaan gambar. menurut kemenkes ri (2012), bahwa stimulasi yang harus diberikan dengan prinsip gunakan alat bantu permainan yang sederhana aman dan ada disekitar anak dengan menem pelkan berbagai macam guntingan gambar yang menarik dan berwarna-warni misal: binatang, bunga, buah, kendaraan, dll. banyak cara untuk melatih bayi berbicara dan berbahasa yaitu salah satunya dengan menunjuk kan berbagai macam gambar yang berbeda untuk menambah memori bayi. pada stimulasi usia 3–6 bulan jumlah 6 keluarga pelaksanaan cukup tepat 66,7% (4 keluarga) tentang menirukan kata-kata. menurut kemenkes ri (2012), bahwa ketika berbicara dengan bayi ulangi kata berkal-kali dan usahakan agar bayi menirukanya. yang paling mudah ditirukan oleh bayi adalah kata mama dan papa, walaupun belum mengerti artinya. usia bayi ini merupakan awal dari latihan mengungkapkan dengan kata, sehingga perlu didengarkan sesering mungkin kata yang mudah ditiru oleh bayi. pada usia 0–3 bulan dari 4 keluarga pelaksanaan cukup tepat 75% (3 keluarga) tentang mengenali berbagai suara. menurut kemenkes ri (2012), bahwa gunakan alat bantu permainan yang sederhana, aman dan ada disekitar anak dengan membuat suara dari kerincingan, mainan dipencet atau dibel. dalam merespon bayi perlunya suara-suara yang berlainan supaya bayi mengenali berbagai macam suara. kategori cukup tepat ini didominasi oleh kelompok keluarga yang mempunyai anak usia 18–24 bulan dengan prosentase hasil 80,75% dan prinsip dasar stimulasi yang keenam adalah dominan yaitu gunakan alat bantu permainan yang sederhana, aman dan ada disekitar anak. pelaksanaan cukup tepat oleh keluarga, didukung dengan menggu nakan alat alat permainan yang dimiliki untuk menunjang dalam pemberian stimulasi yaitu 100% atau semua keluarga sudah mempunyai ape da lam menunja ng stimulasi. menur ur t soetjiningsih (1995:109) bahwa untuk menstimulasi perkembangan anak memerlukan alat permainan edukatif (ape) yaitu alat permainan yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak, disesu aikan dengan usianya dan tingkat perkembangannya. alat permainan edukatif tidak perlu bagus dan dibeli di toko, tetapi bisa buatan sendiri asalkan memenuhi syarat. setiap keluarga telah mempunyai alat permaian dalam menunjang dalam pemberian stimulasi kepada anaknya, namun permainan yang dimaksud adalah permainan yang mempunyai manfaat dan syarat dalam perkembangan anak, bukan alat permainan masa kini yang diberikan seperti hp, gadget, dll. sehingga sudah ada 7 keluarga yang melaksanakan stimulasi tepat sesuai umur anak. 166 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 160–167 pelaksanaan tepat berdasarkan data hasil pelaksanaan stimulasi perkembangan tepat ditunjukkan dengan jumlah 20% atau 7 keluarga telah melak sanakan pernyataan sesuai dengan stimulasi yang harus diberikan ber dasarkan umur anak. dari kelompok keluarga yang mempunyai anak usia 0–3 bulan merupakan kelompok keluarga dengan prosentase tertinggi yaitu 95%, menurut soetjiningsih, (1995) bahwa budaya adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tumbuh kembang anak. menurut peneliti dalam kehidupan adanya budaya atau adat yang harus dilaksanakan, dalam budaya jawa orang yang setelah melahirkan sebelum hari ke 40 dilarang untuk keluar rumah dan bayinya harus selalu ditunggu, mka dalam kelompok usia 0–3 bulan meupakan prosentase tertinggi keluarga dalam memebrikan stimulasi kepada bayi sebab masih sangat tersangkut dalam budaya yang melekat. ditunjukkan dengan keluarga melaksanakan pernyataan berbicara setiap hari, bicara dengan sesering mungkin, gunakan setiap kesempatan seperti waktu memandikan bayi, menge nakan pakainya, memberi makan, ditempat tidur ketika anda sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. prinsip dasar dalam memberikan stimulasi dengan kategori tepat adalah prinsip dasar pertama stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang. selain faktor budaya adanya faktor yang mempengaruhi pelaksa naan dalam memberikan stimulasi kepada anak diantaranya adalah dominan dalam mengasuh anak di keluarga adalah ibu sejumlah 97% atau 34 keluarga, untuk waktu keluarga memberikan stimulasi yaitu 100% semua keluarga memberi stimulasi kepada anaknya setiap waktu setiap ada kesempatan. pekerjaan keluarga 57% atau 20 keluarga sebagai ibu rumah tangga. menurut kemenkes ri (2012), bahwa setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesem patan. stimulasi perkembangan anak dilakukan oleh ibu dan ayah yang merupakan orang terdekat dengan anak. stimulasi tidak selalu memerlukan waktu khusus, sehingga dapat dikaitkan sekaligus dengan kegiatan lainnya dan dilakukan setiap hari. dihubungkan dengan teori sebagai ibu mempunyai peran penting dalam perkembangan anaknya yaitu memberi rangsangan dan pelajaran, pendekatan ibu dan percakapan dengan ibu memberi rangsangan bagi perkembangan anak (gunarsa, 2008:34). pelaksanaan tepat berkaitan erat dengan pengasuh anak, ibu mempu nyai naluri yang kuat dalam menga suh anak sebab ibu adalah orang pertama yang berhubungan kontak langsung dan mengerti apa yang dibutuhkan anak dalam masa perkembangannya, sehingga dengan ibu yang berada disisi anak memberi ketenangan dan kenyamanan pada anak. ibu yang mempunyai pekerjaan sebagai ibu rumah memiliki waktu yang lebih banyak dengan anak dibanding dengan ibu yang bekerja. sehingga ibu lebih leluasa dalam memberikan stimulasi kepada anak dan tidak terganggu dengan kesibukanya bekerja, sebab stimulasi perkembangan sendiri harus dilaku kan kapan saja setiap saat setiap waktu dan setiap ada kesempatan dengan anak, tidak ada waktu dan tempat khusus untuk memberikan stimulasi. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa dan bicara anak usia 0–3 tahun dalam keluarga di posyandu seruni kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada tanggal 12–19 juni 2015 dari 35 responden didapatkan data 20% pelaksanaan stimulasi tepat dipengaruhi oleh dominan dalam mengasuh anak adalah ibu, 57,1% pelaksaan stimulasi cukup tepat dipengaruhi oleh ape yang dimiliki sebagai alat bantu dalam memberi stimulasi dan 22,9% pelaksanaan stimulasi kurang tepat dipengaruhi oleh pengetahuan yang kurang karena belum pernah mendapat informasi mengenai cara pemberian stimulasi. saran bagi tempat penelitian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan tambahan informasi bagi kader dan seluruh keluarga di wilayah posyandu seruni kelurahan bendogerit untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan keluarga mengenai cara stimulasi perkembangan bahasa dan bicara yang harus diberikan kepada anak. bagi institusi pendidikan d3 keperawatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan tambahan informasi untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa cara melakukan stimulasi perkembangan anak khususnya stimulasi perkembangan bahasa dan bicara. bagi peneliti selanjutnya, dari hasil penelitian ini keluarga banyak yang belum pernah mendapat 167setijaningsih, noviana, pelaksanaan stimulasi perkembangan bahasa... kan informasi mengenai cara pemberian stimulasi, diharapkan peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian mengenai upaya keluarga dalam memberikan stimulasi kepada anak dengan tepat. daftar rujukan hurlock, e. b. 1995. perkembangan anak jilid i, edisi keenam. jakarta: erlangga. gunarsa, s. d. 2008. psikologi praktis: anak, remaja dan keluarga. jakarta: gunung mulia. kementrian kesehatan ri. 2012. pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak ditingkat pelayanan kesehatan dasar. jakarta: departemen kesehatan ri. notoatmojo, s. 2007. kesehatan masyarakat: ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. santrock, j. w. 2007. perkembangan anak, jilid i, edisi sebelas. jakarta: erlangga. 46 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 46–52 46 perkembangan motorik balita obesitas usia 3-5 tahun (motoric development of 3-5 years old obesity toddler) sri mugianti, triana setijaningsih, karina fransiska poltekkes kemenkes malang prodi keperawatan blitar email: sri.mugianti@gmail.com abstract: motoric development in toddler is the growth process of a child motoric skills. every motion that are done by children are the result of a complex interaction patterns of the various parts and systems in the body that is controlled by brain.this study was done to determine the description development gross motor and fine motor skills of 3-5 years old obesity toddler in district health unit for sukorejo.the method used descriptive design. the population in this study was 3-5 years old obesity toddler with bw / bh> 3 sd in the region of district health unit for sukorejo. the sample was 35 respondents taken by total sampling technique. the data collected was observed by kpsp. the results revealed that 74.3% of respondents showed gross motor development according to age and 25.7% of respondents showed deviation development, then 77.1% of respondents showed that the development of fine motor according to age and 22.9% of respondents showed deviation development. motoric development deviation was influenced by lack of stimulation. recommendations of this study are health institutions expected to teach stimulation of the development of obesity toddler routinely at home. keywords: motoric development, toddler obesity abstrak: perkembangan motorik balita adalah proses tumbuh kembangnya kemampuan gerak seorang anak. setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang komplek dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol dalam otak. tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran perkembangan motorik kasar dan motorik halus pada balita obesitas usia 3-5 tahun di wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo. metode yang digunakan adalah rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah semua balita usia 3-5 tahun dengan bb/tb >3 sd di wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo sebanyak 35 responden, menggunakan teknik total sampling. pengumpulan data dilakukan dengan observasi menggunakan kpsp. hasil penelitian ini diketahui 74,3% responden menunjukkan perkembangan motorik kasar sesuai umur dan 25,7% responden menunjukkan terjadi penyimpangan, kemudian 77,1% responden menunjukkan perkembangan motorik halus sesuai umur dan 22,9% responden menunjukkan terjadi penyimpangan. penyimpangan pada perkembangan motorik dipengaruhi oleh kurangnya stimulasi, sehingga institusi kesehatan diharapkan mengajarkan orang tua untuk melatih stimulasi perkembangan balita obesitas di rumah. kata kunci: perkembangan motorik, balita obesitas. pendahuluan usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak yang merupakan masa pertumbuhan dasar anak. pada usia balita, perkembangan kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensi anak berjalan sangat cepat yang merupakan landasan bagi perkembangan anak selanjutnya (ayu bulan, 2008:10). perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan (soetjiningsih, 1995:1). pada usia balita tumbuh kembang anak secara fisik sangat pesat jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p046–052 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 47mugianti, setijaningsih, fransiska, perkembangan motorik balita obesitas... sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan yang berpengaruh terhadap kesehatan pada masa mendatang. pemberian nutrisi melebihi kapasitas yang dibutuhkan akan menyebabkan kegemukan. anggapan masyarakat bahwa memiliki anak balita montok dan lucu tentu senang sebab menggemaskan, mudah diajak bercanda, dan dicubit. namun, pandangan ini perlu diubah karena jika keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, anak akan bertambah gemuk yang justru akan membawa sejumlah risiko bagi kesehatannya. menurut dr. winick, anak yang menderita obesitas saat berusia 4 tahun berpeluang 80% kembali mengalami obesitas saat dewasa (tuti soenardi, 2011:9). obesitas pada anak memberikan tekanan dan regangan yang lebih besar terutama pada tulang kaki dibandingkan anak dengan berat badan normal. anak obesitas akan mengalami gangguan pada tulang dan sendi seperti kerusakan pada lempeng pertumbuhan (growth plate) tulang kaki, penyempitan sudut sendi, rasa nyeri di daerah lutut dan pinggang (genis, 2009: 50-52). anak yang mengalami obesitas akan mengalami kesulitan dalam melakukan aktifitas fisik sehari-hari seperti kesulitan berdiri, berlari, dan melompat (lia & mardiah, 2006:24). perkembangan motorik adalah proses tumbuh kembangnya kemampuan gerak seorang anak. setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak (zulaehah, 2010:61). perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus. perkembangan motorik kasar adalah perkembangan yang melibatkan otot dan urat syaraf yang luas dan saling terkoordinasi seperti berdiri, berjalan, dan berlari. sedangkan perkembangan motorik halus adalah perkembangan yang melibatkan otot dan urat syaraf yang lebih kecil dan saling terkoordinasi seperti menulis. pada usia 4 atau 5 tahun pertama kehidupan, anak dapat mengendalikan gerakan yang kasar yang melibatkan bagian badan yang luas yang digunakan dalam berjalan, berlari, melompat, berenang (elizabeth, 1995:150). obesitas merupakan permasalahan yang akhirakhir ini muncul di dunia. who menyatakan obesitas pada anak-anak di dunia menjadi epidemik global dan salah satu problem kesehatan di dunia yang harus ditangani serius. prevalensi kelebihan berat dan obesitas anak-anak usia prasekolah di 42 negara mengalami peningkatan. data who pada 2007 menyebutkan, 22 juta anak-anak di bawah 5 tahun mengalami kelebihan berat badan. data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 menunjukkan, prevalensi balita gemuk mencapai 11,9%. berdasarkan hasil survey yang didapatkan di dinas kesehatan kota blitar, pada tahun 2014 dari 3 puskesmas yang berada di kota blitar meliputi puskesmas sukorejo 2,68% balita, puskesmas kepanjenkidul 1,88% balita, dan puskesmas sananwetan 1,24% balita mengalami gizi lebih. dari ketiga puskesmas tersebut didapatkan rata-rata 1,9% dari 7757 balita mengalami gizi lebih. berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh stewart morriso dkk pada tahun 2006 yang melibatkan 44 anak dengan setengah dari jumlah sampel mengalami obesitas, didapatkan bahwa anak yang mengalami obesitas membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyeimbangkan kaki ketika berdiri, berjalan, maupun berlari dibandingkan anak dengan berat badan normal (genis ginanjar, 2009: 51). berdasarkan observasi yang dilakukan pada tanggal 26 desember tahun 2014 di salah satu posyandu di kelurahan sananwetan, di dapatkan 4 balita gemuk, di dapatkan data sebagai berikut: 2 balita usia 49 bulan yang seharusnya sudah bisa memasang dan melepas kancing baju ternyata belum bisa memasang dan melepas kancing baju sendiri. sedangkan 1 balita berusia 38 bulan yang seharusnya sudah bisa mengayuh sepeda roda tiga ternyata belum bisa mengayuh sepeda roda tiga. tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi perkembangan motorik balita obesitas di uptd kesehatan kecamatan sukorejo. bahan dan metode penelitian ini menggunakan deskriptif eksploratif karena bertujuan mengetahui dan menggambarkan perkembangan motorik balita obesitas usia 3-5 tahun di uptd kesehatan kecamatan sukorejo.populasi penelitian ini adalah semua balita usia 3-5 tahun dengan bb/tb >3 sd sejumlah 35 responden. sampel dalam penelitian ini adalah balita usia 3-5 tahun dengan bb/tb >3 sd yang berada di kecamatan sukorejo sejumlah 35 responden dengan teknik pengambilan sampel total sampling. variabel bebas penelitian ini adalah perkembangan motorik danvariabel terikat penelitian ini perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo. 48 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 46–52 untuk mengidentifikasi efektifitas perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo dilakukan uji wilcoxon dengan menggunakan program spss 17 for window dengan tingkat kemaknaan (pd” 0,05). hasil penelitian pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengunjungi rumah-rumah responden pada tanggal 625 april 2015. pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode observasi menggunakan instrumen kpsp yang telah ditetapkan kementerian kesehatan ri tahun 2012 sebagai alat deteksi dini tumbuh kembang anak khusus perkembangan gerak kasar dan gerak halus. berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa, hampir semua jumlah ibu yang memiliki anak balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo bekerja sebagai non pns yaitu sebanyak 94,3% (33 orang), sebagian besar jumlah ibu yang memiliki anak balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo memiliki tingkat pendidikan minimal sma yaitu sebanyak 74,3% (26 orang), lebih dari separuh balita obesitas usia 3-5 di kecamatan sukorejo memiliki rata-rata usia minimal 48 bulan yaitu sebanyak 68,6% (24balita obesitas), lebih dari separuh balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 57,1% (20 balita obesitas), seluruh balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo memiliki status gizi >3 sd, sebagian besar balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo mengalami kelebihan kalori yaitu sebanyak 80% (28 balita obesitas), lebih dari separuh balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo tidak pernah dilakukan pemeriksaan perkembangan secara rutin yaitu sebanyak 51,4% (18 balita obesitas). no. karakteristik f % 1. pekerjaan ibu pns 2 5.7 wiraswasta 3 8.6 pedagang 5 14.3 irt 20 57.11 swasta 5 4.3 2. pendidikan ibu sma 22 62.9 smp 7 20 sd 2 5.7 pt 4 11.4 3. umur balita 36 bulan 7 20 42 bulan 4 11.4 48 bulan 8 28.6 54 bulan 10 22.9 60 bulan 6 17.1 4. jenis kelamin laki laki 20 57.1 perempuan 15 42.9 5 status gizi >3 sd 35 100 6 kalori berlebih 28 80 tidak berlebih 7 20 7 pemeriksaan perkembangan a. rutin 18 51.4 b. tidak rutin 17 48.6 tabel 1 karakteristik responden di kecamatan sukorejo kota blitar, april 2015 (n=35) no. interpretasi kpsp f % 1 perkembangan sesuai umur 26 74,3 2 perkembangan meragukan 0 0 3 terjadi penyimpangan 9 25,7 jumlah 35 100 tabel 2 perkembangan motorik kasar responden di kecamatan sukorejo kota blitar, april 2015 (n=35) berdasarkan tabel 2 di atas sebagian besar balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo menunjukkan perkembangan motorik kasar sesuai umuryaitu sebanyak 74,3% (26 balita obesitas). ditemukan masalah sebagian kecil balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik kasar yaitu sebanyak 25,7% (9 balita obesitas). no interpretasi kpsp f % 1 perkembangan sesuai umur 27 77,1 2 perkembangan meragukan 0 0 3 terjadi penyimpangan 8 22,9 jumlah 35 100 tabel 3 perkembangan motorik halus responden di kecamatan sukorejo kota blitar, april 2015 (n=35) 49mugianti, setijaningsih, fransiska, perkembangan motorik balita obesitas... berdasarkan tabel diatas sebagian besar balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo menunjukkan perkembangan motorik halus sesuai umur yaitu sebanyak 77,1% (27 balita obesitas). ditemukan masalah sebagian kecil balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik halus yaitu sebanyak 22,9% (8 balita obesitas). pembahasan perkembangan motorik adalah proses tumbuh kembangnya kemampuan gerak seorang anak. setiap gerakan yang dilakukan anak merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang dikontrol oleh otak (zulaehah, 2010:61). perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus. berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa 25,7% atau 9 balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik kasar dan 22,9% atau 8 balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik halus. menurut kemenkes ri (2012) salah satu ciriciri perkembangan adalah perkembangan mempunyai pola yang tepat.perkembangan terjadi lebih dahulu di daerah proksimal (gerak kasar) lalu berkembang ke daerah distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (pola proksimodistal). selama 4 atau 5 tahun pertama kehidupan pasca lahir, anak dapat mengendalikan gerakan yang kasar (elizabeth: 1997). menurut peneliti, tidak terdapat kesamaan antara teori dan fakta bahwa pada usia 4-5 tahun perkembangan motorik kasar lebih pesat. berdasarkan penelitian diketahui bahwa perkembangan motorik kasar balita usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo menunjukkan lebih banyak terjadi penyimpangan. bertambahnya usia yang tidak diimbangi dengan pemberian stimulasi secara rutin mengakibatkan anak mengalami keterlambatan perkembangan motorik. perkembangan motorik kasar balita obesitas berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa lebih dari separuh (42,9%) atau 15 balita obesitas berjenis kelamin laki-laki menunjukkan perkembangan motorik kasar sesuai umur dan lebih da ri sepa ruh (14,3%) atau 5 ba lita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan. faktor jenis kelamin juga tidak dapat diabaikan pengaruhnya dalam perkembangan motorik kasar balita.anak laki-laki cenderung senang melakukan aktivitas yang melibatkan keterampilan motorik kasarnya. budaya yang patriarkhi menjadikan anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki lainnya dengan melakukan kegiatan yang sesuai dengan budaya mereka, seperti bermain bola, bermain tembak-tembakan, dan lainnya (ardy: 2014). pada laki-laki terdapat hormon testosteron yang dapat membantu pembentukan jaringan otot yang baik (wibowo: 2008). menurut peneliti terdapat kesamaan antara teori dan fakta bahwa kemampuan motorik kasar anak laki-laki lebih cenderung menonjol.budaya di indonesia yang menyebutkan bahwa anak laki-laki harus bermain dengan anak laki-laki lainnya dan mengharuskan agar anak laki-laki melakukan permainan anak laki-laki saja mengakibatkan keterampilan motorik kasar anak laki-laki lebih dominan, oleh karena itu, orang tua sebagai orang terdekat bagi balitanya sebaiknya tidak membeda-bedakan mainan anak sesuai dengan prinsip dasar stimulasi yaitu berikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan. berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (20,1%) atau 7 balita obesitas berusia minimal 54 bulan menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik kasar. kemudian 5,7% atau 2 balita obesitas usia 60 bulan menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik kasar. keterlambatan keterampilan motorik kasar paling banyak pada poin anak tidak dapat berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan dan anak tidak dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh 3 meter.keterampilan yang paling baik pada poin anak dapat melompati selembar kertas dengan mengangkat kedua kaki secara bersamaan. menurut laura e. berk, semakin anak bertambah dewasa dan kuat tubuhnya, maka gaya geraknya semakin sempurna. hal ini mengakibatkan tumbuhkembang otot semakin membesar dan menguat. dengan membesar dan menguatnya otot tersebut, keterampilan baru selalu bermunculan dan semakin bertambah kompleks. selama 4 atau 5 tahun pertama kehidupan pascalahir, anak dapat mengendalikan gerakan yang kasar (hurlock, 1997). menurut peneliti, tidak terdapat kesamaan antara teori dan fakta bahwa keterampilan motorik kasar balita usia 4-5 tahun akan lebih pesat. dalam penelitian ini masih terdapat balita yang mengalami keterlambatan pada perkembangan motorik kasar. 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 46–52 hal ini dikarenakan balita yang obesitas akan mengalami kesulitan dalam bergerak sehingga anak terkesan kurang lincah. kurangnya stimulasi juga mengakibatkan keterampilan motorik kasar anak kurang terasah, sehingga mengakibatkan keterlambatan pada perkembangan motorik kasar. berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh (42,9%) atau 15 balita obesitas ibunya sebagai ibu rumah tangga menunjukkan perkembangan motorik kasar sesuai umur dan lebih dari separuh (14,2%) atau 5 balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan. faktor lingkungan post-natal yang meliputi faktor keluarga dan adat istiadat (pekerjaan keluarga) juga mempengaruhi perkembangan anak. pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak, baik yang primer maupun yang sekunder (soetjiningsih, 1998). sebagai orang terdekat anak ibu juga berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga pencari nafkah tambahan (setiadi, 2008). tidak semua balita obesitas yang ibunya tidak bekerja mengalami penyimpangan pada perkembangan motorik kasar. hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pekerjaan orang tua yang berpengasilan tinggi tidak berpengaruh pada perkembangan motorik kasar.hal ini dikarenakan ibu balita yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih banyak dengan balitanya. sesuai dengan kebutuhan dasar anak akan emosi/kasih sayang (asih) yaitu kasih sayang dari orang tua (ayah-ibu) akan menciptakan ikatan yang erat (bonding) dan kepercayaan dasar (basic trust). perkembangan motorik halus balita obesitas berdasarkan hasil penelitian, dapat disirnpulkan bahwa sebagian kecil (20%) atau 7 balita obesitas berusia 48 bulan menunjukkan perkembangan motorik halus sesuai umur dan kurang dari separuh (8,6%) atau 3 balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik halus. keterlambatan perkembangan motorik halus paling banyak pada poin anak tidak dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu keatas tanpa menjatuhkannya. keterampilan motorik halus yang paling pada poin anak dapat menggambar lingkaran. faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus adalah kesiapan fisik. pada usia 0-2 tahun perkembangan kemampuan motorik halus seorang anak terlihat dengan pesat dan luar biasa (ardy, 2014). pada tahun ketiga, anak sudah dapat mengoleskan mentega atau manisan pada roti dengan menggunakan pisau.jika diberi bimbingan dan kesempatan berlatih, setahun kemudian sebagian besar anak dapat dapat menyayat daging lunak dengan pisau.setelah berumur 5 tahun, terjadi perkembangan yang besar dalam pengendalian koordinasi yang lebih baik yang melibatkan kelompok otot yang lebih kecil yang digunakan untuk menggenggam, melempar, menangkap bola, menulis, dan menggunakan alat. pada usia 6 tahun sebagian besar anak sudah menguasai semua tugas yang digunakan dalam keterampilan makan sendiri (elizabeth: 1995). menurut peneliti, terdapat kesenjangan pada teori dan fakta bahwa perkembangan motorik halus akan lebih pesat setelah usia 5 tahun. namun pada penelitian ini balita obesitas yang berusia 48 bulan sudah menunjukkan perkembangan motorik halus yang sesuai dan pada usia 60 bulan tidak terdapat balita obesitas yang mengalami penyimpangan. hal ini sangat baik, sebab hampir separuh dari balita obesitas sudah rutin dilakukan pemeriksaan perkembangan secara rutin. selain itu, sebagian besar balita obesitas sudah memiliki alat permainan yang menunjang perkembangan motorik halus di rumah. berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh (57,2%) atau 20 balita obesitas memiliki ibu dengan pendidikan minimal sma/sederajat menunjukkan perkembangan motorik halus sesuai umur dan lebih dari separuh (17,2%) atau 6 balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan. faktor lingkungan post-natal yang meliputi faktor keluarga dan adat istiadat (pendidikan orang tua) juga mempengaruhi perkembangan anak. pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak. karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dan sebagainya (soetjiningsih: 1998). menurut peneliti, terdapat kesamaan antara teori dan fakta. semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka ibu dapat menerima segala informasi tentang perkembangan anak, sehingga perkembangan 51mugianti, setijaningsih, fransiska, perkembangan motorik balita obesitas... anak dapat terpantau dan berkembang sesuai dengan usianya. berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa kurang dari separuh (34,3%) atau 12 balita obesitas tidak rutin dilakukan pemeriksaan perkembangan menunjukkan perkembangan motorik halus sesuai umur dan lebih dari separuh (17,1%) atau 6 balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan. faktor lingkungan post-natal yang meliputi faktor psikososial yang (pemberian stimulasi) juga mempengaruhi perkembangan anak. stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang/tidak mendapat stimulasi. kurangnya stimulasi dapat menyebabkan penyimpangan tumbuh kembang anak bahkan gangguan yang menetap (soetjiningsih: 1998). tidak semua balita obesitas yang tidak dilakukan pemeriksaan perkembangan menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan. hal ini dikarenakan sebagian dari balita obesitas sudah memiliki mainan yang dapat menunjang keterampilan motorik halus. pemeriksaan perkembangan tidak harus dilakukan oleh petugas kesehatan, tetapi stimulasi dapat dilakukan dengan cara mengajak balita bermain, misalnya menggambar, menulis. keterlambatan pada perkembangan motorik balita obesitas dikarenakan kurangnya stimulasi. stimulasi tidak harus dilakukan oleh petugas kesehatan. stimulasi dapat dilakukan oleh orang tua dan dapat dilakukan dengan bermain. kurangnya motivasi pada ibu muda untuk mendampingi balitanya saat bermain mengakibatkan anak mengalami kurang kasih sayang. sesuai dengan kebutuhan dasar anak akan emosi/kasih sayang (asih), kekurangan kasih sayang ibu pada tahun pertama kehidupan mempunyai dampak negatif pada tumbuh kembang anak. penyimpangan pada perkembangan motorik harus segera diatasi dengan terus melakukan stimulasi, jika setelah dilakukan stimulasi perkembangan motorik anak tetap mengalami penyimpangan maka segera rujuk ke rumah sakit dengan menuliskan jenis dan jumlah penyimpangan perkembangan. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian gambaran perkembangan motorik balita obesitas usia 3-5 tahun di uptd kesehatan kecamatan sukorejo, didapatkan data sebagai berikut: sebanyak 74,3% balita obesitas usia 3-5 tahun di kecamatan sukorejo menunjukkan perkembangan motorik kasar sesuai umur dan 25,7% balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembanga n motorik kasar. keterlambatan keterampilan motorik kasar paling banyak pada anak tidak dapat berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan dan anak tidak dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh 3 meter. keterampilan yang paling baik dilakukan adalah anak dapat melompati selembar kertas dengan mengangkat kedua kaki secara bersamaan. sebanyak 77,1% balita obesitas di kecamatan sukorejo menunjukkan perkembangan motorik halus sesuai umur dan 22,9% balita obesitas menunjukkan terjadi penyimpangan pada perkembangan motorik halus. keterlambatan perkembangan motorik halus paling banyak terlihat pada anak tidak dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu keatas tanpa menjatuhkannya. keterampilan motorik halus yang paling baik pada poin anak dapat menggambar lingkaran. keterlambatan pada perkembangan motorik dikarenakan kurangnya stimulasi. stimulasi dapat dilakukan oleh orang tua dengan mengajak balitanya bermain. oleh karena itu, orang tua harus diberikan motivasi untuk dapat mendampingi balitanya saat bermain hal ini sesuai dengan prinsip dasar stimulasi yaitu stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang, dan lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi, bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan dan tidak ada hukuman serta gunakan alat bantu/permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar anak. saran bagi dinas kesehatan, dinas kesehatan dapat memberikan pengarahan pada ibu muda tentang pentingnya stimulasi perkembangan secara rutin yang dapat dilakukan dengan mendampingi dan mengajarkan balitanya bermain dan memberikan penyuluhan tentang gizi pada balita. bagi dinas pendidikan, bagi dinas pendidikan untuk mendirikan paud yang lebih banyak lagi di area pemukiman, setidaknya 8 km. sebab perkembangan balita dapat terdeteksi saat mengikuti paud. bagi peneliti selanjutnya, demi kesempurnaan penyusunan karya tulis ilmiah ini, diharapkan peneliti 52 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 46–52 selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang gambaran pola asuh keluarga dalam menstimulasi perkembangan balita obesitas. daftar rujukan ardy wiyani novan.  2014. psikologi perkembangan anak usia. dini. yogyakarta: gava media bulan, a & zulfito, m. 2008. buku pintar menu balita. jakarta: wahyumedia. ginanjar wahyu, dr. genis. 2009. obesitas pada anak. bandung : mizan media. utama hidayati, z. 2010. anak saya tidak nakal, kok. yogyakarta: b first. hurlock, elizabeth. 1995. psikologi perkembangan. suatu pendekatan. sepanjang rentang kehidupan. terjemahan. jakarta: erlangga. hurlock, elizabeth . 1997. perkembangan anak jilid i. jakarta : erlangga. kementerian kesehatan ri. 2012. pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak ditingkat pelayanan kesehatan dasar. jakarta: departemen kesehatan ri. lia dan mardiah. 2006. makanan tepat untuk balita. jakarta:kawan pustaka. nirwana. 2012. obesitas anak & pencegahannya dilengkapi nutrisi untuk anak. yogyakarta: nuha medika. riskesdas. 2013. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan ri. http:// www.depkes.go.id/resources/download/general/ hasil%20riskesdas%202013.pdf setiadi. 2008.  konsep dan proses keperawatan keluarga /setiadi. edisi pertama. yogyakarta: graha ilmu. soenardi, tuti. 2011. 100 resep makanan sehat untuk anak agar terhindar penyakit degenerative saat dewasa. jakarta: gramedia pustaka utama. soetjiningsih. 1995. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. wibowo, daniel s.  2008.  anatomi tubuh manusia. jakarta: grasindo. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 218 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 218–224 218 pengaruh assertif training therapy terhadap kemampuan mengelola emosi anak sekolah (usia 9-11 tahun) di sdn woromarto 1 (the effectiveness of assertive training therapy to emotional management ablity of school age children in woromarto 1 elementary school) laviana nita l, puput yosie stikes karya husada kediri, program studi s1 keperawatan email: laviananl@gmail.com abstract: assertive training therapy represent a training technique to teach and familiarize individuals behave assertively in relationships with other people, able to control himself, feel free and fun, able to respond to love things and express love and affect people who are very meaningful in their life. the objective of this research was to know the effect of assertive training therapy to the ability to manage emotions of school children (age 9-11 years). the research design used quasy experimental with the population of 32 children with purposive sampling technique. the research instruments used observation and questionnaires with statistical test of mann whitney  <  with result 0,02 < 0,05 that means h0 rejected means there was difference between control group and intervention group, and also the existence of influence on intervention group. based on the data indicated that most of children before conducted intervention had aggressive behavior, but after the giving of intervention of assertive training therapy the children behavior changes becomes assertive. this because during the intervention children taught the way to express feeling correctly by conducted therapy of four sessions. parents and teachers were expected to understand what the child feels in managing emotions to assist children in expressing the desire that the child feels in a way of assertive training therapy that includes 4 sessions. keywords : asertif training therapy, ability to control emotion, children age 9-11 years abstrak: tegas pelatihan terapi mewakili teknik pelatihan untuk mengajar dan membiasakan individu berperilaku tegas dalam hubungan dengan orang lain, orang yang mampu mengendalikan dirinya sendiri, merasa bebas dan menyenangkan, mampu merespon menyukai hal-hal dan mengekspresikan cinta dan mempengaruhi orang-orang yang sangat berarti dalam hidup mereka. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi asertif pelatihan kemampuan untuk mengelola emosi anak-anak sekolah (usia 9-11 tahun). desain penelitian yang digunakan quasy experimental dengan jumlah populasi 32 anak dengan teknik purposive sampling. sebuah alat ukur yang digunakan observasi dan kuesioner dengan uji statistik mann whitney  < dengan hasil 0,02 <0,05 yang berarti h0 ditolak berarti ada perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi, dan juga adanya pengaruh pada kelompok intervensi. berdasarkan data menunjukkan bahwa intervensi yang paling anak-anak sebelum dilakukan memiliki perilaku agresif, tapi setelah pemberian intervensi tegas pelatihan terapi anak-anak perubahan perilaku menjadi asertif. hal ini karena selama anak intervensi diajarkan cara untuk mengungkapkan perasaan benar dengan terapi yang dilakukan empat sesi. orang tua dan guru diharapkan untuk memahami apa yang anak merasa dalam mengelola emosi untuk membantu anak-anak dalam mengekspresikan keinginan bahwa anak merasa dalam cara asertif pelatihan terapi yang mencakup 4 sesi. kata kunci: asertif pelatihan terapi, kemampuan untuk mengendalikan emosi, anak-anak usia 9-11 tahun acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p218-224 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 219nita dan yosie, pengaruh assertif training ... emosi merupakan suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis, psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak (goleman, 2002:411). hal ini sering terjadi pada semua periode termasuk masa anak. masa anak merupakan fase yang signifikan dalam perkembangan kehidupan manusia, karena menentukan tahap perkembangan berikutnya. pada masa ini sering terjadi banyak masalah, baik fisik maupun emosional. emosi anak berkembang dari bayi dalam bentuk sederhana sampai yang kompleks. dengan bertambahnya usia, berbagai reaksi emosional akan menjadi lebih spesifik oleh berbagai stimulus. berdasarkan hasil penelitian longitudinal yang dilakukan oleh eisenbergh, 2003 pada anak usia sekolah diketahui bahwa ekspresi emosi orang tua memiliki hubungan yang signifikan dengan kemampuan pengaturan emosional anak. hal ini diperkuat dengan hasil penelitian fasco g.m (2007) yang meneliti ekspresi emosi anak terhadap konflik yang dialami orang tua. dari hasil penelitian tersebut anak menjadi emosi karena sikap orang tua yang mengabaikan keinginan anak, padahal dia merasa mampu untuk melakukannya. selain itu hasil riskesdas tahun 2007 menunjukkan angka mental emosional sebanyak 11,6% dan remaja sebanyak 40%, fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan tetapi dipengaruhi oleh beberapa kemungkinan seperti tidak terpenuhinya tugas perkembangan pada fase sebelumnya. secara fisiologis anak yang memiliki gangguan emosional cenderung memiliki sifat egosentris. sifat ini muncul karena anak kurang memahami perasaan dan cenderung meniru orang yang ada disekitarnya. selain itu memiliki sifat hiperkinetik yang ditandai oleh aktivitas yang berlebih, kegelisahan dan daya konsentrasi kurang, yang berakibat kekhawatiran orang tua atas segala sesuatu yang anak lakukan. kedua sifat ini bisa mengakibatkan seorang anak mengalami ketidaknyamanan terhadap lingkungan sekitar. sehingga anak cenderung menarik diri dari lingkungannya, dan jika dibiarkan terus menerus dan tidak cepat ditangani akan mengakibatkan anak mengalami isolasi sosial sehingga berdampak gangguan jiwa dikemudian hari (maramis, 2009). orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan emosional anak, tetapi kebanyakan orang tua belum mengetahui tentang perkembangan emosi yang terjadi pada anak. tingkat emosional anak yang tinggi membuat orang tua mereka merasa kesal, ikut emosi bahkan membiarkannya sampai emosi meredam dan bisa di ajak bicara tentang apa yang dirasakan. jika orang tua membiarkan hal ini anak akan menjadi semakin emosional dan emosinya menjadi tidak terkontrol. orang tua harus mencontohkan sikap tenang di depan anak dan memberi contoh peran bagi anak untuk merangsang anak agar produktif. anak yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan lebih cepat menangani ketegangan emosi, karena akan mendukung individu menghadapi dan memecahkan konflik interpersonal dan kehidupan secara efektif. ada bermacam cara untuk mengelola emosi salah satunya melakukan training atau latihan agar anak bisa mengungkapkan perasaannya dan mengelola emosinya melalui media lain jika anak sulit untuk di ajak berkomunikasi secara langsung. mengatasi kesulitan mengelola emosi salah satunya dapat menggunakan teknik asertif training therapy. asertif training therapy sendiri yaitu latihan ketrampilan sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan marahnya dengan benar dan cepat tersinggung. adapun efektifitasnya adalah mendorong seseorang untuk bersikap jujur terhadap dirinya dan jujur pula mengungkapkan ekspresinya, yang penerapannya dilakukan dengan beberapa pelatihan seperti relaksasi, ketika individu lelah dan jenuh dalam berlatih. serta dapat mengajarkan anak untuk berani menyatakan perasaan mereka secara jujur serta mereka berani untuk menyatakan ya atau tidak pada sesuatu (corey, 2007). dari uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ’’pengaruh asertif training therapy terhadap kemampuan mengelola emosi pada anak usia 9-11 tahun di sdn woromarto i’’. bahan dan metode pada penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian quasy experimental pre-post test with control group yaitu penelitian untuk mengetahui sebab akibat antara variabel. kelompok eksperimental diberi perlakuan yaitu dilakukan terapi asertif training therapy. populasi dalam penelitian ini adalah anak yang kurang mampu mengelola emosi di sdn woromarto 1. adapun kriteria yang akan diteliti adalah: (1) anak sd usia 9-11 tahun. (2) anak yang bersedia diteliti. 220 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 218–224 (3) anak yang teridentifikasi memiliki emosi agresif dan pasif. sedangkan kriteria eksklusinya adalah sebagai berikut: (1) anak sd usia 7-8 tahun (2) anak yang bisa berperilaku asertif. tekhnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. adapun variabel independen dalam penelitian ini adalah asertif training therapy. adapun variabel dependen dalam penelitian ini adalah emosi anak. data diolah menggunakan uji mann whitney dengan tingkat kesalahan () sebesar 0,05 dengan p value < 0,05 maka h0 ditolak dan p value > 0,05 maka h0 diterima. hasil penelitian data umum karakteritik responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan usia, jenis kelamin dan kelas. berdasarkan data tabel di atas pada kelompok kontrol sebelum diberikan penyuluhan didapatkan hasil bahwa (61,1%) responden bersikap agresif, dan setelah diberi penyuluhan kesehatan didapatkan hasil bahwa (27,8%) responden bersikap asertif. hasil analisis komparatif menggunakan uji wilxocon pada kelompok intervensi didapatkan zhitung ztabel sehingga -1,96>-1,574 yang berarti, ho dterima artinya berarti tidak ada pengaruh asertif training therapy terhadap kemampuan mengelola emosi anak sekolah usia 9-11 tahun di sdn woromarto1. hasil analisis uji mann-whitney didapatkan hasil  hitung untuk kelompok intervensi dan kontrol didapatkan < dengan hasil 0,02<0,05 yang berarti h0 ditolak yang berarti ada perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. tabel 1. karakteristik responden pada kelompok intervensi dan kontrol berdasarkan usia, jenis kelamin dan kelas karakteristik r esponden intervensi kont rol f % f % u sia 9 tahun 4 22,2 5 27,8 10 tahun 7 38,9 7 38,9 11 tahun 7 38,9 6 33,3 jenis kelam in la kilaki 9 50 8 44,4 perempuan 9 50 10 55,6 kelas 4 9 50 9 0 5 9 50 9 0 berdasarkan data tabel diatas pada kelompok intervensi responden yang berusia 9 tahun (22,2%), 10 tahun dan 11 tahun (38,9%). jenis kelamin lakilaki dan perempuan (50%). kelas 4 dan kelas 5 (50%). sementa r a untuk kelompok kontr ol responden yang berusia 9 tahun (27,8%), 10 tahun (38,9%), 11 tahun (33,3%). jenis kelamin laki-laki (44,4%), perempuan (55,6%). kelas 4 dan kelas 5 (50%). data khusus berdasarkan data tabel diatas pada kelompok intervensi sebelum diberikan perlakuan didapatkan hasil bahwa (61,1%) responden bersikap agresif, tetapi setelah diberi perlakuan berupa asertif training therapy didapatkan hasil bahwa (50,0%) responden bersikap asertif. tabel 2. emosi anak usia (9-11 tahun) berdasarkan hasil observasi sebelum dan setelah dilakukan asertif training theraphy pada kelompok intervensi di sdn woromarto 1 jenis emo si usia (t ahun) jumlah % 9 10 11 pre asertif tr aining therapy agresif 2 3 6 11 61,1 pasif 2 3 2 7 38,9 jumlah 18 100 post asertif tr aining therapy asertif 1 3 5 9 50,0 agresif 3 4 2 9 50,0 pasif 0 0 0 0 0 jumlah 18 100 tabel 3. tabel emosi anak usia (9-11 tahun) berdasarkan hasil kuesioner sebelum dan setelah dilakukan asertif training theraphy pada kelompok kontrol di sdn woromarto 1 jenis emosi usia (tahun) jumla h % 9 10 11 p re agresif 3 5 3 11 61,1 p asif 2 2 3 7 38,9 jumlah 18 100 post asertif 1 2 2 5 27,8 agresif 3 5 4 12 55,5 p asif 1 1 5,6 jumlah 18 100 221nita dan yosie, pengaruh assertif training ... pembahasan identifikasi jenis emosi yang dialami anak tiap sesinya pada kelompok intervensi dari penelitian didapatkan hasil pada kelompok intervensi bahwa anak yang mengikuti asertif training therapy pada sesi 1 yaitu menyampaikan perasaan dan keinginan didapatkan hasil (85%) responden mampu menyebutkan aspek yang dinilai. setelah sesi 1 selesai responden melanjutkan ke sesi 2 yaitu mengekspresikan kemarahan. pada sesi 2 ini (100%) responden mampu mengekspresikan kemarahannya. setelah sesi 2 selesai anak diajarkan ke sesi 3 yaitu berani mengatakan tidak untuk permintaan yang dianggap tidak rasional, pada sesi 3 ini (75%) responden mampu menyebutkan aspek yang dinilai. setelah sesi 1,2,3 selesai responden melanjutkan ke sesi terakhir yaitu sesi 4. disesi 4 ini responden diajarkan tentang keterbukaan untuk membentuk autoritas, pada sesi ini (75%) responden mampu menyebutkan aspek yang dinilai. emosi yang dialami anak ini bisa dilihat dari cara anak bersikap, jika anak memiliki sikap yang cenderung egosentris, pasif, agresif atau permisif ini perlu untuk dilakukan suatu cara untuk merubah sikap dan mengetahui apa yang dirasakan. salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengajarkan asertif training therapy. asertif training therapy ini merupakan suatu cara melatih kemampuan mengungkapkan pendapat, perasaan, sikap hak tanpa disertai rasa cemas serta penyampaiannya secara jujur, tegas, lugas serta tidak adanya paksaan dari orang lain (hopkins, 2005). dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti dengan mengajarkan anak tekhnik asertif training therapy yang terdiri dari 4 sesi ini anak mampu memahami tentang jenis emosi dan cara mengelola emosi yang dirasakan anak agar anak tidak salah dalam mengekspresikan perasaan, keinginan serta pendapat mereka kepada orang lain. identifikasi jenis emosi anak setelah dilakukan asertif training therapy pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. pada kelompok intervensi ini jenis emosi yang ada pada diri anak ini cenderung berubah menjadi asertif yaitu sebesar (55,6%). perubahan ini juga terjadi pada kelompok kontrol yaitu sebesar (55,6%), tetapi perubahan yang ditunjukkan kelompok kontrol ini tidak signifikan. banyak faktor yang mempengaruhi perubahan emosi diantaranya adalah faktor pola asuh dari orang tua, faktor pengetahun. orang tua dalam mendidik anak bervariasi, ada yang memiliki pola asuh otoriter, memanjakan anak, demokratis, kasih sayang bahkan acuh tak acuh (astuti, 2005). sikap demokratis dari orang tua akan membuat anak lebih bisa terbuka dalam mengungkapkan keinginan. selain pola asuh, pengetahuan juga sangat penting bagi perubahan emosi pada anak. dengan didapatkannya pengetahuan yang baik dan benar akan membuat seseorang berfikir untuk memperbaiki perilaku yang ada pada dirinya. dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa pengetahuan akan lebih langgeng jika didasari oleh pengetahuan yang benar (sunaryo, 2004). perilaku baru yang ditunjukkan anak ini merupakan hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, stimulus ini akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus ini akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi. konsekuensi inilah yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku. perubahan emosi anak menjadi asertif ini lebih baik dari pada sebelum dilakukan intervensi. hal ini dikarenakan selama hari penelitian, peneliti mengajarkan cara mengelola emosi anak agar lebih terarah. peneliti menggunakan latihan 4 sesi yang berupa cara menyampaikan perasaan, mengekspresikan kemarahan, mengatakan tidak untuk permintaan yang tidak rasional dan keterbukaan diri untuk membentuk autoritas. asertif merupakan kemampuan untuk berinisiasi dengan memulai, menyambung dan menghentikan percakapan. kemampuan mengekspresikan perasaan suka dan tidak suka. dilihat dari data di atas bahwa ada perubahan emosi anak yang sebelumnya agresif dan pasif bisa berubah menjadi asertif. hal ini dikarenakan dilakukannya pemberian intervensi berupa asertif training therapy. pemberian intervensi ini mampu merubah sikap anak menjadi lebih baik dari sebelumnya. pemberian intervensi ini berupa cara-cara menyampaikan perasaan yang dirasakan oleh anak, mengekspresikan kemarahan, berani berkata tidak untuk hal-hal yang kurang berkenan dihati serta keterbukaan untuk membentuk autoritas pada diri anak. sikap asertif dapat membantu anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik. untuk itu penting dilakukan latihan mengelola emosi pada anak agar anak lebih 222 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 218–224 bisa mengekspresikan keinginan dan berkata sesuai apa yang dirasakannya. hasil yang didapatkan dari kelompok kontrol berbeda dengan hasil dari kelompok intervensi. hal ini dikarenakan pada kelompok kontrol peneliti tidak melakukan intervensi. perubahan yang diperlihatkan anak ini bisa dipengaruhi dari oleh faktor lain yang berupa pengetahuan yang mereka dapat, menurut istiarti (2000) bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber misalnya media cetak, elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, kerabat dekat, bahkan lingkungan. sumber pengetahuan dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama pemegang pemerintahan (notoatmodjo, 2005). dilihat dari data diatas bahwa ada perubahan tentang asertif training therapy yang merubah emosi anak menjadi asertif, tetapi perubahan ini tidak signifikan. hal ini dikarenakan pada kelompok kontrol ini tidak diajarkan cara mengelola emosi serta tidak adanya transfer pengetahuan kognitif dan psikomotor pada anak. perubahan yang diperlihatkan oleh anak bisa terjadi karena faktor pola asuh dari orang tua, pola asuh orang tua yang baik akan membantu anak untuk berperilaku lebih baik dari sebelumnya, faktor paparan dari media yang berupa media cetak dan media elektronik dapat memberikan informasi bagi anak, seseorang yang lebih sering terpapar media (koran, majalah, acara televisi, radio) akan lebih cepat memperoleh informasi dibandingkan anak yang kurang terpapar informasi media. selain dari pola asuh dan media, faktor lingkungan luar juga bisa memberikan pengaruh perubahan sikap anak, lingkungan yang baik dapat membantu anak berubah menjadi lebih baik. pengaruh asertif training therapy terhadap kemampuan mengelola emosi anak sekolah usia 9-11 tahun di sdn woromarto 1 pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol kemampuan mengelola emosi anak yang dilakukan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol memberikan hasil yang berbeda. dari hasil analisis antara kelompok kontrol dan intervensi didapatkan hasil bahwa pada kelompok intervensi terdapat pengaruh asertif training therapy terhadap kemampuan mengelola emosi anak sekolah usi 911 tahun di sdn woromarto 1 dengan hasil uji mann whitney antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi < dengan hasil 0,02<0,05 yang berarti h0 ditolak yang berarti ada perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. perubahan perilaku responden menjadi asertif ini dikarenakan pada kelompok intervensi ini dilakukan tindakan yang berupa transfer pengetahuan kognitif dan psikomotor yang secara intensif dan berulang. cara pemberian intervensi ini peneliti menggunakan teknik pelatihan yang sesuai dengan teori bahwa asertif training therapy dapat mengubah perilaku seseorang melalui 4 tahapan yang meliputi sesi 1 sampai sesi 4. pemberian intervensi ini dilakukan secara tepat, berulang dan intensif, serta dilakukan evaluasi di setiap tahapnya untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada anak. pemberian intervensi berupa pengetahuan yang tepat akan membuat anak lebih memahami apa yang dijelaskan. hal ini tentu dapat membantu anak dalam merubah sifat negatif pada diri mereka karena peneliti mengajarkan pengetahuan mengenai tahapan asertif training therapy yang mampu mengubah sifat anak menjadi lebih baik. menurut notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensori khususnya mata dan telinga terhadap obyek tertentu. pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbetuknya perilaku terbuka (overt behavior). perubahan perilaku yang diperoleh dari penyuluhan atau pengetahuan yang benar akan mempengaruhi lebih lama dibanding perubahan perilaku yang tanpa didasari oleh pengetahuan. sebelum terjadi perubahan perilaku seseorang akan mempunyai persepsi terhadap apa yang akan dijalaninya, munculnya persepsi berhubungan dengan tingkat pengetahuan untuk merubah perilaku, pengetahuan di peroleh dari informasi, dan bila informasi yang diterima kurang jelas dan optimal, maka hal ini akan mempengaruhi persepsi seseorang sehingga perubahan perilaku akan sulit didapatkan. munculnya perilaku baru dari anak dapat membantu memperbaiki perilaku lamanya, seperti penelitian yang dilakukan rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, didalam diri seseorang terjadi proses yang berurutan yaitu, awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadarai dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu, interest (tertarik) yakni orang mulai tertarik kepada stimulus, evolution yaitu menimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, trial yakni orang yang telah mencoba berperilaku baru. pembentukan perilaku baru dari 223nita dan yosie, pengaruh assertif training ... anak akan mengubah cara anak berprilaku baru, sehingga akan mengubah sikap dan emosi anak dalam bertindak. berdasarkan data hasil penelitian menyebutkan bahwa asertif training therapy berpengaruh terhadap kemampuan mengelola emosi pada anak sekolah (usia 9-11 tahun). hal ini relevan dengan pendapat efendi (1995:56) bahwa suatu transfer pengetahuan ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pemateri, sasaran dan proses tindakan. dalam penelitian ini peneliti sudah menyiapkan materi dalam bentuk leaflet dan lembar balik sehingga materi mudah dimengerti oleh responden. peneliti melakukan penelitiannya selama 2 minggu pada kelompok intervensi ini dengan membuat kontrak waktu dengan responden. pemberian evaluasi setiap sesinya membuat responden bisa bertanya apa yang mereka kurang mengerti, serta pemberiannya dilakukan secara bertahap dan berulang. pemberian reaward juga dilakukan peneliti kepada anak yang bisa menjawab pertanyaan dari peneliti sehingga anak bisa lebih bersemangat untuk memahami materi yang disampaikan. adanya asertif training therapy ini dapat mengubah dan berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam mengelola emosinya menjadi lebih baik lagi, hal ini dikaenakan adanya pemberian intervensi yang berupa pengetahuan yang intensif dan berulang serta dilakukannya evaluasi disetiap tahapnya. simpulan dan saran simpulan emosi anak pada kelompok kontrol dan intervensi sebelum asertif training therapy, emosi anak cenderung bersikap agresif. sedangkan pada kelompok kontrol dan intervensi setelah asertif training therapy, emosi anak cenderung bersikap asertif. asertif training therapy ini efektif terhadap perubahan emosi pada anak sekolah (usia 9-11 tahun) pada kelompok intervensi dibandingkan pada kelompok kontrol. saran hasil penelitian ini dapat menjadikan suatu masukan agar diadakan uks jiwa, sehingga mampu mengetahui tentang perkembangan psikologi anak. sebagai bahan pertimbangan untuk menambahkan kurikulum baru tentang asertif training therapy, menambah pengetahuan dan masukan tentang asertif training therapy sebagai cara membentuk perilaku baru bagi anak, sebagai data untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan pengaruh asertif training therapy terhadap kemampuan mengelola emosi anak sekolah, sebagai acuan penelitian lanjutan, karena dalam penelitian ini masih banyak kelemahan jadi diharapkan untuk penelitian selanjutnya sampel yang digunakan diperbanyak dan waktu penelitian yang digunakan diperpanjang sehingga dapat memperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. daftar rujukan arikunto, suharsimi. 2006. prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. astuti. 2005. faktor yang mempengaruhi emosi http:// www.kafeilmu/tema/makalah-faktor yang mempengaruhi emosi. html diakses 20 september 15.15 corey, gerald. 2007. teori dan praktek konseling dan psikoterapi. bandung: refika aditama. fauzan, lutfi. 2007. asertif training: pengembangan pribadi asertif dan transaksi sosial. depdiknas: upt bk um. goleman, daniel. 2002. emotional inteligience. jakarta: nimas multine. gunarsa, singgih. 2008. psikologi perkembangan anak dan remaja. jakarta: gunung mulia. hidayat, alimul azis. 2009. riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba. hurlock, elizabeth, b. 2004. psikologi perkembangan. edisi kelima. jakarta: erlangga. hurlock, elizabeth, b. 2005. perkembangan anak. jilid 1. jakarta: erlangga. maramis, w.f. 2009. catatan ilmu kedokteran jiwa surabaya. airlangga. universitas press. notoatmojo, soekidjo. 2005. methodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. novianti. 2010. pengaruh asertif training therapy terhadap kemampuan orang tua mengelola emosi anak. thesis. fik ui. tidak dipublikasikan. nursalam. 2003. konsep dan penerapan methodologi penelitian ilmu keperawatan pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian keperawatan. jakarta: salemba. nursalam. 2008. konsep dan penerapan methodologi penelitian ilmu keperawatan pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian keperawatan. jakarta : salemba. sarwono, sarlito wirawan. 2000. pengantar umum psikologi. jakarta: bulan bintang. sastroasmoro, sudigdo. 2008. dasar-dasar methodologi penelitian klinis. edisi ketiga. jakarta: sagung seto. rumini, sri, sunandar, siti. 2004. perkembangan anak dan remaja. jakarta: rineka cipta. 224 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 218–224 sudarmaji. 2002. mengatasi gangguan belajar pada anak. jakarta: prestasi putra. sugiyono. 2005. statistik untuk penelitian. bandung: alfabeta. sugiyon o. 2008. me tode pe neli tian kuant itat if kualitatif dan r&d. bandung: alfabeta. sunaryo. 2002. psikologi untuk keperawatan. jakarta: egc. sunaryo. 2004. psikologi untuk keperawatan. jakarta: egc. suriadi. 2006. asuhan keperawatan pada anak. edisi kedua. jakarta: percetakan penebar swadaya. tim. 2011. buku panduan penulisan skripsi. stikes karya husada pare-kediri. wahyuningsih, dyah. 2009. pengaruh assertiveness training terhadap perilaku kekerasan pada klien skizoprenia. thesis. fik ui. diakses 14 september 15.30. yusuf, syamsu. 2008. psikologi perkembangan anak dan remaja. bandung: remaja rosdakarya. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 63wibisino, kurnia, hamidah dan muchlisin, penggunaan gambar berseri ... 63 penggunaan gambar berseri sebagai media untuk meningkatkan ketrampilan menulis teks prosedur pada siswa s1 keperawatan stikes patria husada blitar (using picture series as media to improve writing skill of procedure text to the nursing students of stikes patria husada blitar) wahyu wibisono1, lely indah kurnia2, fitria nur hamidah3, muhammad muchlisin4 1stikes patria husada blitar malang 2stain kediri 4smkn 4 malang email: wahyu_kuromon@yahoo.com abstract: english become the most important things in facing the issue of asean economic community (aec) especially in the health sector since english is one of the international language use in asean. so, preparing medical employees with english become a great issue to be solved. this study was intended to apply picture series as the media to improve students writing skill. the research design used was collaborative classroom action research. the collaboration was done with three english teachers in stikes patria husada blitar. this classroom action research was implemented in one cycle only which involved four stages namely planning, implementation, observation, and reflection. the researcher gained the data in the form of students’ involvement during teaching learning activity and the writing product. to get those data, the researcher used several instruments; those were students writing product and field notes. the finding of this study showed that by using picture series as the media, the students could write procedure text much better than they were taught using traditional grammar translation method. in terms of the students’ individual writing product, in preliminary study, the number of students who passed the minimum passing grade (64) was only 2 students (9.1%). on the other hand, in cycle 1, all of the 22 students (100%) could pass the minimum passing grade (64). the improvement of students’ writing skill was due to the use of picture series as the media in teaching writing which consisted of several activities for the students so that they were enthusiastic in joining the class. in addition, it was suggested for the lecturers and/ or teacher to apply and modify this technique in their classes. keywords: picture series, writing skill abstrak: bahasa inggris menjadi hal yang paling penting dalam menghadapi isu masyarakat ekonomi asean (mea) khususnya di sektor kesehatan karena bahasa inggris adalah salah satu bahasa internasional di asean. jadi, mempersiapkan tenaga medis dengan kemampuan bahasa inggris merupakan masalah besar yang harus diselesaikan. penelitian ini dimaksudkan untuk menggunakan gambar berseri sebagai media untuk meningkatkan keterampilan menulis siswa. desain penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas secara kolaborasi. kolaborasi dilakukan oleh tiga guru bahasa inggris di stikes patria husada blitar. penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam satu siklus yang melibatkan empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. peneliti memperoleh data dalam bentuk keterlibatan siswa selama mengajar kegiatan pembelajaran dan produk menulis. untuk mendapatkan data tersebut, peneliti menggunakan beberapa instrumen; produk tulisan siswa,dan catatan lapangan.temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan gambar berseri sebagai media siswa dapat menulis teks prosedur jauh lebih baik dari ketika menggunakan metode terjemahan tata bahasa tradisional. dalam hal produk tulisan individu siswa, pada studi pendahuluan, jumlah siswa yang lulus standard minimal kelulusan 3politeknik kediri acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p063-069 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 64 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 63–69 (64) hanya 2 siswa (9,1%). setelah itu, dalam siklus 1, semua 22 siswa (100%) bisa lulus standard minimal kelulusan (64). peningkatan kemampuan menulis siswa disebabkan oleh penggunaan gambar seri sebagai media dalam pengajaran menulis yang terdiri dari beberapa kegiatan untuk siswa sehingga meningkatkan antusiasme siswa dalam berpartisipasi di kelas. disarankan untuk dosen dan/atau guru untuk menerapkan dan memodifikasi teknik ini di kelas mereka. kata kunci: gambar berseri, keterampilan menulis bahasa inggris menjadi hal yang penting dalam menghadapi tantangan global masyarakat ekonomi asean (mea) khususnya di sektor kesehatan karena bahasa inggris adalah salah satu dari bahasa internasional yang dipakai di asean. untuk itu, membekali tenaga medis dengan bahasa inggris sedini mungkin akan menjadi cara terbaik untuk menghadapi tantangan tersebut. stikes patria husa da blitar adala h sebua h sekolah tinggi kesehatan yang terletak di jalan. sudanco supriyadi 168 blitar. terdapat dua jurusan di perguruan tinggi ini, yaitu jurusan s1 keperawatan dan d3 kebidanan. menurut buku kurikulum stikes patria husada blitar, bahasa inggris adalah mata pelajaran wajib yang harus diambil oleh siswa. mata kuliah ini ber tujua n untuk membeka li siswa denga n kemampua bahasa inggris, yang difokuskan pada bahasa inggris untuk keperluan akademik (eap), dalam hal ini adalah bahasa inggris kesehatan. (panduan pendidikan ners dan bidan stikes patria husada blitar, 2011). mata kuliah ini berfokus pada keterampilan yang dibutuhkan dalam konteks akademik berbahasa inggris. dalam mata kuliah eap ini, para siswa akan diajarkan tentang kosakata, tata bahasa, dan juga empat keterampilan berbahasa inggr is (memba ca , menulis, ber bicar a , da n menyimak), tapi bahasa inggris akan disesuaikan dalam memenuhi kebutuhan spesifik dari siswa, dalam hal ini adalah bahasa inggris dalam konteks kesehatan. terdapat enam mata kuliah bahasa inggris di jurusan keperawatan dan satu mata kuliah bahasa inggris di jurusan kebidanan (panduan pendidikan ners dan bidan stikes patria husada blitar, 2011). berdasarkan hasil observasi peneliti dalam menangani siswa di stikes patria husada blitar, ditemukan fakta bahwa siswa sering mengalami kesulitan dalam bahasa inggris. diantaranya mereka mengalami kesulitan dalam ketrampilan menulis. berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti sebagai guru mata kuliah bahasa inggris, siswa memiliki motivasi rendah dalam bahasa inggris. mereka merasa bahwa menulis dalam bahasa inggris adalah aktivitas yang sulit. mereka mengalami kesulitan dalam menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan topik. selain itu, siswa juga mengalami masalah dalam memilih kosakata, kurang tepat dalam penggunaan grammar dan struktur kalimat. data dari studi pendahuluan menunjukkan bahwa dari 22 siswa, nilai rata-rata dalam menulis teks prosedur keperawatan masih di bawah tingkat kelulusan minimum, yakni 64. hal ini menandakan bahwa ketuntasan pembelajaran teks prosedur, khususnya, menulis teks prosedur keperawatan, masih belum tercapai. dari 22 orang siswa keperawatan semester 4, hanya 2 orang saja yang mendapat nilai di atas tingkat kelulusan minimum, sedangkan sisanya masih belum mencapai nilai minimum tersebut. hal pertama yang perlu diperbaiki adalah teknik dalam mengajar ketrampilan menulis karena guru memiliki peran penting dalam mengelola kelas sehingga siswa tidak akan bosan serta memiliki semangat didalam kelas menulis. selain itu , proses belajar mengajar di kelas harus diubah menjadi suasana yang lebih kooperatif antara guru dan siswa, serta antar siswa itu sendiri. dalam penelitian ini, peneliti yang tertarik menggunakan gambar berseri sebagai media dalam guruan ketrampilan menulis karena gambar berseri dianggap akan lebih efektif dibandingkan teknik lain sebelumnya yang telah digunakan dalam kelas menulis. penggunaan gambar berseri dianggap efektif dalam mengajar ketrampilan menulis siswa keperawatan karena siswa keperawatan sering bersentuhan langsung dengan peralatan medis sehingga pengguna an gambar ber ser i pera latan medis diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa di kelas bahasa inggris. menulis merupaka suatu proses yang kompleks dimana penulis dapat menggali ide dan pikiran untuk dijadikan lebih nyata dan terlihat (ghaitz:2002). oleh karena itu, dapat dipahami jika menulis merupakan sa la h sa tu ketr ampilan ya ng sulit di dala m berbahasa. 65wibisino, kurnia, hamidah dan muchlisin, penggunaan gambar berseri ... gambar dapat menjadi salah satu stimulus yang dapat digunakan oleh guru. gambar merupakan bahasa universal yang dapat dipahami oleh semua orang sekaligus menyenangkan untuk dipelajari. menurut harmer (2001), gambar merupakan alat bantu yang sangat berguna untuk berbagai macam kegiatan dalam berkomunikasi, khususnya jika kegiatan tersebut berisi karakteristik seperti permainan contohnya dalam menggambarkan atau menggambar sesuatu. menurut raimes (1983:20), gambargambar seperti lukisan, foto, poster, slide, kartun, iklan, diagram, grafik, tabel, dan peta merupakan sumber yang sangat berguna dalam mengajar ketrampilan menulis. karena semua orang menyukai gambar-gambar, penggunaan gambar di dalam kelas dapat menstimulasi fokus perhatian siswa. selain itu, gambar dapat membawa dunia luar ke dalam kelas dengan jelas seusai aslinya. selain itu, latuheru (1988:41) juga menyatakan bahwa salah satu cara efektif dalam mengajar ketrampilan menulis adala h denga n menggunaka n media instruksional. guru dapat menggunakan gambargambar sebagai bantuan dalam guruan ketrampilan menulis. hal ini dikarenakan gambar-gambar dapat menterjemahkan sebuah ide abstrak menjadi realistik. sedangkan menurut wright (1989:17) gambar sangat tepat digunakan untuk siswa usia muda karena menarik, mudah disiapkan, dan mudah untuk disusun. oleh karena itu, gambar sering digunakan untuk meningkatkan ketrampilan menulis. gambar berseri adalah sebuah rangkaian gambar yang tersusun secara berurutan. menurut sadiman, gambar berseri adalah gambar yang memadukan beberapa gambar yang berbeda tetapi saling terkait sehingga membentuk suatu tema atau rangkaian cerita tertentu. gambar-gambar tersebut menggambarkan sebuah rangkaian kejadian atau suatu peristiwa dari awal kejadian sampai dengan akhir kejadian. gambar berseri ini digunakan untuk merangsang daya pikir siswa dalam menemukan suatu ide pokok sehingga dapat menuliskannya ke dalam sebuah tulisan teks prosedur kompleks (sadiman, 2003). bahan dan metode desain penelitian menggunakan pendekatan tindakan kelas yang dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah tertentu yang dihadapi oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar. menurut harmer (2001), penelitian tindakan adalah nama yang diberikan untuk serangkaian prosedur yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan aspek guruan mereka, dan untuk mengevaluasi keberhasilan dan kesesuaian kegiatan dan prosedur tertentu. burns (1999) juga menyatakan bahwa fokus utama dari penelitian tindakan kelas adalah pada permasalahan praktis sebenarnya terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu atau masyarakat. berdasarkan pernyataan di atas, penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang diadakan oleh guru di kelas dan sekolah di mana dia mengajar dengan meningkatkan proses dan praktek dalam mengajar. subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa s1 keperawatan semester 4 stikes patria husada blitar. objek penelitian ini adalah proses pembelajaran, peningkatan kemampuan menulis teks prosedur melalui media gambar berseri. desain penelitian tindakan kelas ini cocok sebagai desain penelitian dalam penelitian ini karena peneliti adalah seorang guru bahasa inggris yang sering menemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh siswa dalam proses belajar mengajar., dalam hal ini, para siswa memiliki kesulitan dalam menulis teks prosedur berbahasa inggris dan rendahnya motivasi di dalam kelas. hal ini sejalan dengan titik dasar dari penelitian tindakan kelas yang mengusulkan strategi, teknik, atau media dalam proses belajar mengajar untuk mengatasi masalah siswa dalam menguasai mata pelajaran tertentu. dalam penelitian ini, peneliti menggunakan gambar berseri sebagai media dalam guruan menulis teks prosedur. gambar berseri dianggap cocok dalam penelitian ini karena belum pernah diimplementasikan sebagai media dalam guruan berbicara di perguruan tinggi ini. dalam melakukan penelitian, peneliti bekerja secara kolaboratif dengan tiga kolaborator yang terlibat dari awal hingga akhir proses kegiatan penelitian dalam menyusun rencana pelajaran, materi pembelajaran, mengajar kegiatan belajar, tindakan, dan evaluasi. sebelum memulai kegiatan penelitian, peneliti dan kolaborator membahas semua hal yang berkaitan dengan proses dalam rangka memenuhi persepsi yang sama tentang strategi yang diterapkan, prosedur mengajar dan proses belajar yang dilakukan, bagaimana mengumpulkan data menggunakan instrumen, dan bagaimana untuk mencetak tes siswa menggunakan rubrik penilaian. dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai praktisi yang mengajarkan menulis teks prosedur dengan menggunakan media gambar berseri, sedangkan kolaborator bertindak sebagai pengamat yang mengamati pelaksanaan tindakan di kelas. selama proses pelaksanaan strategi, 66 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 63–69 kolaborator mengamati kegiatan siswa dengan menggunakan checklist observasi dan catatan lapangan. setelah menerapkan strategi, guru dan kolaborator melakukan refleksi atau diskusi. dalam sesi ini, peneliti dan kolaborator yang menganalisis data dari daftar pengamatan, catatan lapangan, dan hasil tes, untuk mengetahui apakah kriteria keberhasilan dalam penggunaan dicapai atau tidak. di tahap akhir, peneliti dan kolaborator menarik kesimpulan dari kegiatan yang telah dilakukan berdasarkan hasil dari kesimpulan tersebut, peneliti dan kolaborator membahas dan memecahkan masalah secara terus menerus sampai mencapai standar yang direncanakan. apabila belum memenuhi kriteria yang ditentukan, rencana yang telah disusun akan direvisi dan akan dirubah menjadi siklus baru sampai kriteria keberhasilan dapat dicapai. sampel dalam penelitian ini adalah 22 siswa jurusan s1 keperawatan stikes patria husada tahun akademik 2013/2014. penelitian ini dilaksanakan pada 6 juni 2013–05 juli 2013. hasil penelitian hasil dari penelitian ini berisi temuan dari pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang meliputi keterlibatan guru dan siswa selama proses belajar mengajar yang meliputi hasil checklist observasi, dan catatan lapangan. untuk mengetahui permasalahan siswa dalam menulis teks prosedur, data dari studi pendahuluan akan disajikan sebelum menyajikan temuan pada siklus 1. hasil menulis siswa pada studi pendahuluan selain itu, setelah dianalisis, berdasarkan tabel 3 peneliti menemukan bahwa hanya ada 2 siswa yang memenuhi kriteria minimum kelulusan bc (64); dan sisanya, yaitu siswa (20 siswa) tidak dapat memenuhi kriteria minimum kelulusan. hasil menulis siswa pada siklus 1 nilai semua siswa untuk setiap aspek dalam menulis dapat dilihat pada tabel 3.14. dalam tabel ini, siswa mengalami kemajuan dibandingkan dengan skor dalam penelitian pendahuluan. tidak ada siswa yang berada pada kategori nilai poor atau kurang. sebagian besar produk tulisan siswa untuk teks prosedur berada di tingkat yang sangat baik. table 1. the level of students ’ writing score in all aspects in preliminary study level content organi zation vocabu lary gramm ar mecha nics excellent very good good fair poor 0 1 3 2 6 0 1 6 12 3 0 1 3 17 1 0 1 4 16 1 0 1 4 15 2 tota l 22 22 22 22 22 pada tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa berada dalam kategori nilai fair atau cukup untuk semua aspek dalam menulis teks prosedur. sedangkan pada tabel 2 menjabarkan bahwa 11 siswa mendapatkan nilai e, 9 siswa mendapatkan nilai d dan hanya 2 anak yang mendapatkan nilai bc. table 2. students’ final score of procedure text in preliminary study grade score number of studens a ab b bc c d e 84-1 00 77-8 3 71-7 6 64-7 0 56-6 3 41-5 5 0-40 0 0 0 2 0 9 11 total 22 table 3. students’ final score of procedure text in correlation with the minimum passing grade in preliminary study score number of students category >64 <64 2 20 pa ssed did not pass total 22 table 4. the level of students ’ writing score in all aspects in cycle 1 level con tent orga nizat io n vocab ulary gramm ar mech anics excellent very good good fair poor 3 1 4 4 1 0 2 16 4 0 0 2 17 3 0 0 0 10 12 0 0 0 3 19 0 0 total 22 22 22 22 22 pada tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa berada dalam kategori nilai very good atau sangat bagus untuk semua aspek dalam menulis teks prosedur. sedangkan tabel 5 menjabarkan bahwa 13 siswa mendapatkan nilai b, 3 siswa mendapatkan 67wibisino, kurnia, hamidah dan muchlisin, penggunaan gambar berseri ... nilai a, 3 siswa mendapatkan nilai ab, dan 3 siswa mendapatkan nilai bc. pembahasan gambar berseri dirancang untuk mencapai tujuan dari guruan menulis teks prosedur. tujuannya adalah siswa mampu menulis sebuah teks prosedur sederhana berdasarkan gambar berseri yang digunakan. dalam hal ini, gambar berseri sangat berguna karena membantu siswa untuk mengatur urutan langkah-langkah tentang cara menggunakan/mengoperasikan sesuatu ke dalam urutan yang benar. hal itu dikonfirmasi oleh banyak ahli, seperti raimes (1983) yang menyatakan bahwa guru dapat menggunakan teknik yang menyenangkan seperti pemetaan pikiran serta menyediakan gambar-gambar agar siswa lebih tertarik untuk membuat tulisan. raimes juga menyatakan bahwa gambar memiliki banyak manfaat ketika digunakan di dalam kelas. gambar memberikan pengalaman untuk berbagi siswa di dalam kelas, yaitu sebuah kegiatan yang merupakan variasi dari kegiatan dalam berbahasa. hal ini didukung oleh wright (1989:17) yang menyatakan bahwa gambar sangat tepat digunakan untuk siswa usia muda karena menarik, mudah disiapkan, dan mudah untuk disusun. oleh karena itu, gambar sering digunakan untuk meningkatkan ketrampilan menulis. wright juga mengatakan bahwa gambar memiliki peran penting dalam pembelajaran speaking dan writing. yang pertama, gambar dapat memotivasi siswa dan menjadikan mereka lebih memperhatikan serta ikut serta dalam pembelajaran. yang kedua, gambar memiliki kontribusi terhadap bahasa yang digunakan. ketiga, gambar dapat dideskripsikan secara objective atau direspon secara subjektif. keempat, gambar dapat memicu respon untuk bertanya atau substitusi melalui latihan yang terkontrol. yang terakhir, gambar dapat menstimulasi dan memberikan informasi yang dapat menjadi acuan dalam percakapan, diskusi dan bercerita. proses guruan menulis disini terdiri dari kegiatan pra-penulisan, menulis, dan kegiatan pascapenulisan. pada tahap prapenulisan, peneliti akan menggali tentang pengetahuan siswa dengan melakukan brainstorming. brainstorming adalah kegiatan yang dapat membantu para siswa untuk mengumpulkan sudut pandang, atau ide-ide yang berhubungan dengan topik yang sedang dibahas. hal ini sejalan dengan raimes (1983) yang menyatakan bahwa brainstorming adalah suatu kegiatan untuk menghasilkan kata-kata, frasa, ide secepat mungkin tanpa memperhatikan untuk kesesuaian, perintah atau akurasi. pada bagian ini, guru meminta siswa untuk menyebutkan alat-alat medis yang biasa table 5. students’ final score of procedure text in cycle 1 grade score number of students a ab b bc c d e 84-100 77-83 71-76 64-70 56-63 41-55 0-40 3 3 13 3 0 0 0 total 22 table 6. students’ final score of procedure text in correlation with the minimum passing grade in cycle 1 score number of students category >64 <64 22 0 passed did not pass secara singkat, dapat dilihat pada tabel 6 menunjukkan bahwa skor akhir siswa dalam siklus 1 bahwa semua siswa atau 100% telah memenuhi kriteria standard kelulusan minimal dari skor 64 (bc). hasil produk menulis siswa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan skor rata-rata menulis siswa pada saat studi pendahuluan. rata-rata nilai pada studi pendahuluan adalah 44,3 dan skor ratarata menulis siswa pada siklus pertama adalah 76,3. ini berarti bahwa ada perbaikan nilai 32 dari nilai rata-rata. dalam penelitian pendahuluan, hanya ada 2 siswa yang memenuhi standar d kelulusa n minimum. sementara itu, di siklus 1, seluruh siswa telah memenuhi standard nilai kelulusan minimum yaitu 64 atau bc. untuk detai peningkatan nilai siswa pada saat studi pendahuluan dan siklus 1 dapat dilihat pada tabel 7 berikut ini. tabel 7. the students’ improvement in each aspect of writing aspect of writing stage p reliminary study cycle 2 me an min score max score me an min scor e max score content 2,11 1,5 4 3,8 9 2,5 5 organizatio n 2,34 1,5 3 4 3,5 5 vocabulary 2.20 1,5 4 4 3,5 5 grammar 2.25 1,5 4 3,6 8 3,5 4,5 mechanics 2.23 1,5 4 3,1 4 3 4 68 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 63–69 mereka gunakan dalam standar operasi prosedur keperawatan. kegiatan ini sangat penting untuk meningkatkan kreativitas serta dapat digunakan untuk mengumpulkan banyak kemungkinan jawaban. setelah siswa mulai terbiasa dengan beberapa peralatan medis, guru memutuskan untuk melanjutkan ke aktivitas berikutnya. guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada siswa terkait dengan bagian dari peralatan medis yang digunakan dalam standar standard operasi prosedur keperawatan. hal ini digunakan untuk membuat siswa terbiasa dengan kosakata dan memberikan kesempatan bagi siswa yang telah mengenal istilah-istilah medis sebelumnya untuk dapat berbagi informasi dengan teman-teman lain. setelah itu, guru mempresentasikan model dari teks prosedur tentang prosedur “bagaimana untuk memeriksa tekanan darah” (lihat lampiran 6). guru menjelaskan model teks prosedur sehingga siswa memahami teks tersebut. dengan menghadirkan teks model, siswa dapat memahami bentuk tulisan sebagai acuan untuk menulis. brown (2001) menyatakan bahwa dengan membaca dan mempelajari berbagai jenis teks yang relevan, siswa dapat memperoleh wawasan informasi baik tentang bagaimana mereka harus menulis dan materi pelajaran yang mereka menjadi topik dalam tulisan mereka. hal ini didukung oleh ide yang dinyatakan oleh eanes (1997) bahwa kegiatan atau strategi dalam tahap prapenulisan harus membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan latar belakang mereka dan menata pola piker mereka. guru dan siswa mendiskusikan teks model secara bersama-sama. melalui diskusi, siswa dapat memahami bentuk tulisan dan menata ide mereka menjadi sebuah tulisan. namun, guru harus memberikan bimbingan dengan mengajukan beberapa pertanyaan sehingga siswa dapat memiliki pemahaman yang baik tentang teks model. oleh karena itu, penyajian teks model menjadi cara yang efektif untuk memfasilitasi siswa untuk mentransfer ideide mereka ke dalam bentuk tulisan dan konten atau isi dari yang akan mereka tulis. kegiatan selanjutnya adalah tugas kelompok. dalam kegiatan ini, guru meminta siswa untuk membuat empat kelompok. tugas mereka adalah; pertama, mengamati gambar berseri yang diberikan. kedua, membuat rancangan teks prosedur tentang cara mengoperasikan peralatan yang ditunjukkan dalam gambar berseri tersebut. kemudian, siswa saling bertukar tulisan mereka dari kelompok 1 ke kelompok lain. setelah itu, mereka harus melakukan revisi. para siswa harus memberikan komentar atau saran untuk menulis teman-teman mereka. hal ini dimaksudkan untuk melatih siswa dalam memberikan umpan balik kepada rancangan tulisan teman mereka dalam hal isi, susunan kalimat, dan tata bahasa. brown (2001) menyatakan “pengeditan oleh teman adalah proses berbagi yang benar”. melalui strategi ini, siswa belajar untuk menjadi penulis yang lebih baik sekaligus menjadi pembaca yang lebih baik. selain itu, hal ini menjadikan siswa untuk memiliki hubungan yang dekat satu sama lain, namun, guru tetap harus memberikan bimbingan intensif. fakta menunjukkan bahwa beberapa siswa enggan untuk meminta bantuan guru meskipun mereka menemukan kesulitan dalam menyelesaikan tugas. jadi, guru harus proaktif dalam membantu siswa tanpa menunggu siswa mengajukan pertanyaan. setelah mendapatkan umpan balik dari teman-teman mereka dan guru, tahap berikutnya adalah menulis ulang. pada tahap ini, siswa merevisi rancangan tulisan mereka berdasarkan masukan dari temanteman mereka dan umpan balik guru. tahap terakhir adalah aktivitas pasca-menulis. pada tahap ini, siswa diberi kesempatan untuk menunjukkan komposisi akhir dari tulisan mereka. kegiatan ini bisa dilakukan dengan meminta siswa untuk membaca tulisan mereka di depan kelas atau dengan meminta siswa untuk membaca tulisan akhir teman-teman mereka. kegiatan ini sejalan dengan kirby dan liner (1981) di vacca & vacca (1998) bahwa menunjukkan hasil kerja adalah suatu bentuk kegiatan yang sangat penting bagi siswa karena memberikan kesempatan bagi mereka untuk berbagi produk tulisan mereka dengan orang lain, teman sekelas mereka dan siswa lain.dalam penelitian ini peneliti menggunakan gambar peralatan medis yang digunakan dalam keperawatan prosedur operasiona l sta nda r seper ti ter mometer, stetoskop, sphygmomanometer, dll. untuk mengetahui apakah proses belajar mengajar telah mencapai tujuan atau tidak, perlu untuk dilakukan evaluasi. hasil evaluasi harus mengarah pada peningkatan kemampuan menulis siswa. dalam studi ini, ada peningkatan yang signifikan pada kemampuan menulis siswa dibandingkan dengan proses belajar mengajar menulis sebelum menerapkan gambar berseri sebagai media. hasil analisis produk akhir tulisan siswa pada penulisan teks prosedur menunjukkan bahwa keterampilan siswa dalam menulis telah meningkat secara signifikan dari awal pada siklus 1. sebelum 69wibisino, kurnia, hamidah dan muchlisin, penggunaan gambar berseri ... aksi dilaksanakan, nilai rata-rata siswa menulis adalah d atau 44,3. setelah strategi penggunaan gambar berseri telah dilaksanakan, nilai rata-rata siswa pada siklus pertama 1 menjadi b atau 76,3. simpulan dan saran simpulan mengacu pada temuan dalam penelitian ini, gambar berseri merupakan sebuah media yang efektif dalam pembelajaran menulis teks prosedur. gambar berseri dapat meningkatkan kemampuan menulis teks prosedur serta dapat lebih memotivasi siswa untuk terlibat dalam proses belajar mengajar. dalam penelitian ini, nilai menulis siswa meningkat secara signifikan pada siklus 1 dibandingkan dengan nilai pada studi pendahuluan. jumlah siswa yang mendapat skor di atas 64 (bc) sebagai standard minimum kelulusan yang ditetapkan oleh peneliti juga meningkat dari studi pendahuluan pada siklus 1. data menunjukkan bahwa partisipasi siswa dalam siklus 1 dikategorikan sangat baik karena sebagian besar siswa yang terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. sebagian besar siswa berpartisipasi secara aktif dalam proses belajar mengajar, seperti: memperhatikan penjelasan guru, menjawab pertanyaan guru, membuat grup, membuat draft, memberikan komentar draft teman-teman mereka‘, merevisi rancangan, menulis teks prosedur, dan mengumpulkan tulisan mereka. saran hasil penelitian ini akan menguntungkan bagi stikes patria husada blitar. seperti yang telah dibahas sebelumnya, penelitian ini memberikan pendekatan alternatif dalam proses belajar mengajar menulis yang dapat digunakan untuk guru dalam memecahkan masalah siswa mereka dalam menulis, khususnya dalam teks prosedur. namun, para guru harus lebih sadar dalam manajemen waktu, terutama dalam menangani konferensi siswa-guru kalau tidak akan menghabiskan banyak waktu. untuk membuat waktu yang efektif, akan jauh lebih baik jika guru bisa mengelola pertemuan kurang dari lima pertemuan. selain itu, karena siswa tidak terbiasa untuk menjadi aktif terlibat dalam kegiatan kelas, guru harus memberikan kegiatan yang dapat merangsang kegotong-royongan dan aktivitas siswa. disarankan bahwa guru bahasa inggris menerapkan strategi ini sebagai strategi alternatif dalam pengajaran bahasa inggris dan membuat instruksi yang berpusat pada siswa. selain itu, dalam menerapkan strategi ini, guru harus aktif dalam memantau siswa dan secara proaktif memberikan bimbingan yang efektif untuk siswa. selanjutnya, guru harus kreatif dalam proses belajar mengajar sehingga siswa tidak akan pernah merasa bosan. selanjutnya, dalam melaksanakan strategi, para guru harus menyadari pertimbangan berikut. pertama, guru harus memberikan petunjuk dan penjelasan lebih karena masih sulit bagi siswa yang bukan berasal dai jurusan bahasa inggris untuk memahami instruksi dalam bahasa inggris. selama proses penulisan, akan lebih baik bagi guru untuk menggunakan pemodelan untuk memberikan contoh bagaimana siswa harus menulis, merevisi, dan mengedit. selain itut guru harus memberikan bimbingan intensif kepada siswa dalam setiap tahap dari proses penulisan. yang terakhir, harus ada jumlah kamus yang cukup di dalam kelas untuk membantu siswa menemukan kata-kata yang tepat yang dapat mereka gunakan dalam tulisan mereka. ini adalah suatu keharusan karena ketidakmampuan siswa untuk mengatur ide-ide tersebut terutama disebabkan oleh kurangnya kosakata yang mereka kuasai. akhirnya, untuk peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian di bidang yang sama, disarankan agar mereka menerapkan strategi ini dengan genre lain dari teks, seperti teks deskriptif, ekspositoris, dll mereka dapat memakai gambar berseri sebagai media untuk membantu proses belajar mengajar. daftar rujukan brown, h.d. 2001. teaching by principles: an interactive approach to language pedagogy. new york: addison wesley longman celce-murcia, m., & hilles, s. 1998. techniques and resources in teaching grammar. hongkong: oxford university press. harmer, j. 2001. the practice of english language teaching. edinburgh, uk: longman. raimes, a. 1983. techniques in teaching writing. new york: oxford university press. rivers, w. 1981. teaching foreign language skills. chicago: the university of chicago press. tim penyusun kurikulum stikes patria husada. 2011. panduan pendidikan ners dan bidan stikes patria husada blitar. blitar: stikes patria husada. wright, a. 1989. pictures for language learning. new york: cambridge university press. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 278 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 278–285 278 gambaran kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi kota blitar (disaster nursing research) (the description of marketeer preparedness of fire disaster management of legi market blitar city, disaster nursing research) agus khoirul anam, sri winarni, linggar handes poltekkes kemenkes malang jurusan keperawatan email: aguskhoirulanam@gmail.com abstract: indonesia has a lot of potential natural and non-natural disasters. non-natural disasters which often happened are fire disasters. one of them was market fire. in january 2015 until april 2015, there was an increasing more than 50 on fire in bigger traditional market and 90 smaller traditional market in all over indonesia. the purpose of this research was to describe the marketeer preparedness of fire disaster management of legi market blitar city. the research method used descriptive design. the population in this research was a marketeer legi kota blitar about 584 marketeer and the sample was 58 marketeer taken by purposive sampling technique. the data collection was conducted by questionnaire. the results showed that the lack of preparedness of marketeer in the fire disaster still less as much as 60.3% (35 marketeer). it was caused by there was no information of manner about the preparedness of fire disaster, no training, didn’t have the telephone number of fire department, no simple fire extinguishers, could not use a fire apar or hydrant, and unable to perform first aid to fire victims. recomendation of bpbd departement necessary gave education and training about fire disaster preparedness, especially in the market so it could decrease the risk of fire disaster in legi market blitar city. keywords: preparedness, marketeer, market, fire abstrak: indonesia memiliki banyak potensi bencana alam maupun non alam. bencana non alam yang sering terjadi adalah bencana kebakaran. salah satunya adalah kebakaran pasar. dari januari 2015 hingga april 2015, telah terjadi peningkatan lebih dari 50 kebakaran pasar tradisional besar dan 90 pasar kecil di seluruh indonesia. tujuan penelitian ini adalah menggambarkan kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi kota blitar. metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi penelitian ini adalah pedagang pasar legi kota blitar sejumlah 584 pedagang pasar dan besar sampel sebanyak 58 pedagang pasar menggunakan teknik purposive sampling. pengumpulan data menggunakan kuesioner. hasil menunjukkan bahwa kesiapsiagaan pedagang pasar secara umum masih kurang dalam penanggulangan bencana kebakaran sebanyak 60,3% (35 pedagang) disebabkan tidak mencari informasi tentang cara penanggulangan kebakaran, tidak mengikuti pelatihan, tidak memiliki nomor telepon pemadam kebakaran, tidak menyediakan alat pemadam kebakaran sederhana, tidak dapat menggunakan apar maupun hidran, dan tidak mampu melakukan pertolongan pertama pada korban kebakaran. rekomendasi dinas bpbd perlu memberikan pendidikan dan pelatihan tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana kebakaran di pasar sehingga menurunkan resiko terjadinya bencana kebakaran yang ada di pasar legi kota blitar. kata kunci: kesiapsiagaan, pedagang, pasar, kebakaran indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p278-285 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 279winarni, anam dan akhiruna, upaya pengurangan risiko ... menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional (bnpb, 2011). bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, keruskan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (bnpb, 2008). salah satu bencana non alam yang paling banyak terjadi dalam kaitannya dengan hal ini adalah kebakaran. menurut ramli (2010:16) kebakaran adalah api yang tidak terkendali artinya diluar kemampuan dan keinginan manusia. api tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan suatu proses kimiawi antara uap bahan bakar dengan oksigen dan bantuan panas. kebakaran sangat banyak terjadi di indonesia mulai dari kebakaran permukiman, hutan, industri dan tempat usaha. dari semua kebakaran yang terjadi salah satunya adalah kebakaran pasar. ikatan pedagang pasar tradisional indonesia (ikappi) menyatakan, kebakaran pasar tradisional dalam 4 bulan terakhir semakin mengkhawatirkan. menurut data ikappi, dalam rentang waktu januari 2015 hingga april 2015, telah terjadi peningkatan lebih dari 50 kebakaran pasar tradisional besar dan 90 pasar kecil di seluruh indonesia. jadi setidaknya total 140 pasar dalam waktu empat bulan. artinya hampir setiap hari ada pasar tradisional di indonesia yang terbakar (www.gatra.com, 4 oktober 2015). kejadian kebakaran pasar di jawa timur pada tahun 2014-2015 meliputi kebakaran pasar di kabupaten bondowoso jawa timur terjadi pada 11 september 2014 kerugian mencapai rp 35 miliar. kebakaran pasar besar di malang pada 2 desember 2014 diperkirakan kerugian mencapai 1 milyar rupiah. kebakaran pasar tradisional pamekasan yang terjadi pada 9 oktober 2015 menyebabkan sebanyak 108 bangunan ludes terbakar perinciannya adalah sebanyak 66 unit los, 17 toko, tiga kios dan 22 lapak permanen. kebakaran pasar sayur magetan sebanyak 15 kios terbakar terjadi pada 21 september 2015 mengakibatkan kerugian ratusan juta rupiah. kebakaran pasar madiun 6 kios hangus terbakar terjadi pada 16 september 2015 mengakibatkan kerugian material ratusan juta rupiah. terjadi kebakaran pasar ngawi menyebabkan belasan kios permanen ludes terbakar terjadi pada 31 juli 2015 yang diduga akibat dari hubungan arus pendek listrik. dari data tersebut pasar menjadi salah satu tempat yang berisiko untuk terjadinya bencana kebakaran. oleh karena itu, pedagang pasar berperan penting dalam kesiapsiagaan terjadinya kebakaran dipasar. kesiapsiagaan adalah serangkaian yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (bnpb, 2008). agar kerugian dapat ditekan seminimal mungkin, perlu dilakukan persiapan menghadapi bencana, terutama terhadap bencana kebakaran. oleh karena itu, perlu adanya kesiapsiagaan yang dilakukan pedagang pasar untuk menanggulangi kebakaran antara lain melakukan langkah pencegahan bencana kebakaran di masing-masing tempat kerja dengan fokus mencegah terjadinya api (ramli, 2010:171). inventarisasi sumber daya pendukung (sarana/ prasarana peralatan) penanggulangan bencana kebakaran harus dipersiapkan seperti menyediakan perlengkapan bantuan pertama seperti karung goni, ember, alat pemadam api ringan (apar) (ramli, 2010:169). kesiapsiagaan juga dapat dilakukan dengan penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu dalam penanggulangan bencana kebakaran, pelatihan dan simulasi/gladi penangguangan bencana kebakaran, dan rencana untuk keadaan darurat bencana menurut lipi unesco/ isdr (2006) seperti merencanakan evakuasi meliputi jalur evakuasi atau jalur keluar yang aman saat terjadi kebakaran. mempersiapkan pertolongan pertama saat terjadi kebakaran seperti tersedianya kotak p3k atau obat-obatan penting untuk pertolongan pertama jika terjadi kebakaran. berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di pasar legi kota blitar pada tanggal 1-8 nopember 2015 dengan wawancara 10 pedagang pasar, didapatkan hasil 10 pedagang pasar mengetahui cara pencegahan agar tidak terjadi kebakaran seperti tidak membuang puntung rokok sembarangan, merawat kabel listrik (selalu memastikan kabel tidak rusak atau terkelupas), selalu mematikan meteran listrik jika sudah tidak digunakan, dan mengontrol kompor gas lpg (liquefied petroleum gas). dari wawancara 10 pedagang pasar tentang persiapan dalam penanggulangan kebakaran, didapatkan hanya 2 pedagang yang sudah melakukan persiapan jika terjadi kebakaran seperti mempersiapkan karung goni dan air di dalam 280 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 278–285 timba yang sudah di taruh di warungnya. namun dari data wawancara 10 pedagang tentang penanganan jika terjadi kebakaran , terdapat 4 pedagang yang tahu tentang penanganan yang harus dilakukan jika terjadi kebakaran seperti menggunakan kain basah untuk mematikan api kecil, menggunakkan apar (alat pemadam api ringan) dan hidran. 6 pedagang pasar yang lainnya hanya tahu tentang penanganan kebakaran dengan menggunakan air tetapi belum tahu tentang apar dan hidran serta penggunaanya. berdasarkan observasi keadaan pasar legi terdapat 13 hidran yang berada di belakang pasar, terdapat apar sebanyak 12 buah. keadaan kabel yang berada di pasar legi terlihat tidak terawat, terlihat kotor dan ada yang terlihat sedikit terkelupas. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah seluruh pedagang pasar legi kota blitar yang berjumlah 584 pedagang pasar, besar sampel sebanyak 58 pedagang pasar dengan teknik purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner (angket) dengan jumlah soal data umum 9 soal dan data khusus yang terdiri dari 14 soal. pengumpulan data dilakukan di pasar legi kota blitar pada tanggal 1 februari-28 februari 2016. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum, kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran seperti pada tabel 1. tabel 1. distribusi prosentase kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi kota blitar, februari (n=58) no. upaya f % 1. 2. 3. baik cukup kurang total 5 18 35 58 8,6 31,0 60,3 100 n o. pernyat aan % 1. saya tidak mendekatkan bahan yang mudah terbakar seperti minyak, kertas, kain, kayu dan plastik dari sumber api. 98 2. saya mengawasi, menata, merawat jalur listrik seperti kabel, lampu yang berpotensi mengakibatkan keb akaran 84 3. saya berusaha menggunakan alat yang ber standar nasio nal seperti p enggunaan peralatan listrik, ko mpor gas, ko mpor minyak.memastikan keamanan saya sebagai penolong. 91 4. saya berupaya untuk memahami cara pemasangan dan pengoperasian kompor lpg, kompor minyak tanah, dan p eralatan listrik dengan benar dan aman. 91 5. saya selalu memeriksa keadaan kios sebelum saya meninggalkan kios contohnya mematikan listrik yang tidak di perlukan. 98 6. saya berusaha mencar i informasi tentang cara penanggulangan kebakaran di pasar. 21 7. saya menyediakan alat pemadam kebakaran sederhana seperti karung goni atau kain tebal, ember, d an pasir. 31 8. saya mampu menggunakan alat pemadam sederhana seper ti karung goni atau kain tebal, ember dan pasir ketika terjadi kebakaran 55 9. saya memiliki nomor telepon pemadam kebakaran sehingga jika terjadi kebakaran segera menghubungi tim tersebut. 17 1 0. saya berusaha mengikuti pelatihan tentang penanggulangan kebakaran. 3 1 1. 1 2. 1 3. 1 4. saya dapat memperagakan penggunaan apar (alat pemadam api ringan), dan hidran dalam penanggulangan kebakaran di p asar. saya mengetahui jalur evakuasi atau jalur keluar yang aman dan tempat berkumpul saat terjadi kebakaran saya menyediakan kotak p3k atau obatobatan penting untuk pertolongan pertama jika terjadi kebakaran. saya mampu melakukan pertolongan pertama pada korban jika ter jadi kebakar an seper ti luka bakar dan keracunan asap . 17 98 33 7 tabel 2. gambaran presentase kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi kota blitar, februari (n=58) presentase kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi kota blitar, februari (n=58). 281winarni, anam dan akhiruna, upaya pengurangan risiko ... pembahasan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti didapatkan data bahwa gambaran kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi kota blitar menunjukkan bahwa sebanyak 60,3% (35 pedagang) melakukan kesiapsiagaan yang kurang dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar, 31% (18 pedagang) melakukan kesiapsiagaan yang cukup dan sisanya 8,6% (5 pedagang) melakukan kesiapsiagaan yang baik dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar. selama ini masih banyak masyarakat yang menggantungkan kesiapsiagaan dan mitigasi kepada pemerintah dengan mengabaikan kesiapsiagaan pribadi masing-masing. tingkatan rendah kesiapsiagaan menunjukan bahwa masyarakat belum terlalu memperhatikan tindakan pengurangan risiko bencana sebelum bencana terjadi (matsuda dan okada, 2006 dalam dodon, 2013). menurut peneliti, kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran masih kurang hal ini dipengaruhi oleh kurangnya pedagang pasar dalam mendapatkan informasi dan pelatihan tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana kebakaran di pasar. selain itu kurangnya kesiapsiagaan dapat dipengaruhi oleh banyaknya pedagang pasar yang berusia lanjut (41-65 tahun), berjenis kelamin perempuan, dan banyak pedagang yang mengetahui posisi hidran dan apar namun tidak bisa menggunakan alat tersebut. berdasarkan hasil penelitian terdapat 7 kesiapsiagaan yang memiliki jawaban dibawah rata-rata. salah satunya memiliki nomor telepon pemadam kebakaran sehingga jika terjadi kebakaran segera menghubungi tim tersebut didapatkan hasil sebanyak 17% pedagang pasar memiliki nomor telepon pemadam kebakaran. untuk mempermudah pelayanan jangkauan penanggulangan bahaya kebakaran,  masyarakat sudah semestinya mampu memaksimalkan layanan call center pemadam kebakaran. sehingga proses penangulangan kebakaran bisa diatasi lebih cepat (http://www.blitarkota.call center damkar menjadi sarana utama menanggulangi bencana kebakaran.go.id/ diakses pada tanggal 12 juli 2016 pukul 14.00) menurut peneliti dari hasil wawancara yang dilakukan pada pedagang pasar sebagian besar tidak memiliki nomor telepon pemadam kebakaran dikarenakan beberapa pedagang pasar tidak memiliki handphone sehingga tidak dapat menyimpan nomor telepon pemadam kebakaran, namun disisi lain banyak pedagang yang memiliki handphone tetapi mereka cenderung tidak menyimpan nomor telepon pemadam kebakaran dikarenakan pedagang pasar kurang mendapatkan sosialisasi tentang pentingnya memiliki nomor telepon pemadam kebakaran. sehingga jika terjadi kebakaran pedagang pasar dapat menghubungi tim pemadam kebakaran yang berguna untuk mempercepat proses penanggulangan kebakaran agar api tidak meluas. kesiapsiagaan pedagang pasar dalam mengikuti pelatihan tentang penanggulangan kebakaran didapatkan hasil sebanyak 3% pedagang pasar mengikuti pelatihan tentang penanggulangan kebakaran. pelatihan sebagai proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir (sumantri, 2000 dalam ramli daud, 2014). menurut peneliti dari hasil wawancara yang dilakukan pada pedagang pasar, didapatkan fakta bahwa tidak pernah diadakannya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi, dan hal ini diperparah dengan sebagian besar pedagang pasar enggan mengikuti pelatihan-pelatihan tentang penanggulangan bencana kebakaran dengan alasan tidak memiliki waktu untuk mengikuti pelatihan. sedangkan dalam pelatihan penanggulangan bencana kebakaran itu sendiri terdapat simulasi penanganan tabel 3. gambaran tabulasi silang antara kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar legi kota blitar dengan adanya organisasi yang didirikan seperti tim penanggulangan bencana kebakaran, februari (n=58) no. organisasi penaggul angan kebakaran kesiapsiagaan total f % f % f % f % 1. ya 1 1,7 0 0 0 0 1 1,7 2. tidak 4 6,9 18 31,0 35 60,3 57 98,3 total 5 8,6 18 31,0 35 60,3 58 100 282 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 278–285 saat terjadi kebakaran yang berguna untuk mempermudah pedagang pasa r da lam memaha mi kesiapsiagaan penanggulangan bencana kebakaran khususnya di pasar. kesiapsiagan pedagang pasar dalam memperagakan penggunaan apar (alat pemadam api ringan) dan hidran dalam penanggulangan kebakaran di pasar didapatkan hasil sebanyak 17% mampu memperagakan penggunaan apar (alat pemadam api ringan) dan hidran dalam penanggulangan kebakaran. menurut ramli (2010) penggunaan apar yaitu sebagai berikut: pull the pin (cabut pin), aim atau (arahkan ke api), squeeze the handle (pijit katup), sweep (kibaskan kekiri dan kekanan). sedangkan hidran merupakan alat penyalur air yang terpasang di beberapa lokasi. menurut peneliti dari hasil wawancara banyak pedagang yang belum mengerti tentang teknik penggunaan apar dan hidran yang benar karena pedagang belum pernah terpapar informasi tentang cara penggunaan apar dan hidran. sehingga perlu adanya pelatihan maupun sosialisasi tentang penggunaan apar dan hidran secara berkala sehingga jika terjadi kebakaran di pasar, pedagang pasar dapat berperan aktif dalam memadamkan api. kesiapsiagaan pedagang pasar dalam melakukan pertolongan pertama pada korban jika terjadi kebakaran seperti keracunan asap dan luka bakar didapatkan hasil sebanyak 7% mampu melakukan pertolongan pertama pada korban jika terjadi kebakaran. pertolongan pertama merupakan aplikasi terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus penyakit yang mendadak dengan menggunakan fasilitas yang tersedia pada saat itu (dinkes, 2014 dalam imam widodo, 2015). pertolongan pertama pada kecelakaan (p3k) ditujukan untuk memberikan perawatan darurat bagi para korban, sebelum pertolongan yang lebih mantap dapat diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan lainnya (sudiatmoko, a, 2011 dalam imam widodo, 2015). peneliti berpendapat pertolongan pertama sangat penting pada korban bencana kebakaran sebelum dibawa ke rumah sakit. seorang korban seharusnya mendapatkan perawatan atau penanganan terlebih dahulu untuk membuat cedera tidak semakin parah. penanganan yang diberikan harus secara cepat dan tepat, namun penanganan yang cepat harus diimbangi dengan tepatnya memberikan penanganan agar tidak berdampak buruk bagi kor ba n. ber da sar ka n ha sil wawanca ra yang didapatkan bahwa sebagian besar pedagang tidak mengetahui tentang pertolongan pertama pada korban kebakaran, dikarenakan pedagang pasar tidak pernah mendapatkan informasi yang berhubungan dengan penanganan pertama pada korban kebakaran. namun ada beberapa pedagang yang sudah mengetahui tentang cara penanganan pada korban kebakaran seperti keracunan asap dan luka bakar tetapi cenderung tidak dapat mengaplikasikannya. kesiapsiagaan pedagang pasar dalam mencari informasi tentang cara penanggulangan kebakaran di pasar didapatkan hasil sebanyak 21% berusaha mencari informasi tentang cara penanggulangan kebakaran yang ada di pasar. menurut mubarak, chayatin, rozikin, dkk. (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang adalah informasi, kemudahan untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. peneliti berpendapat meskipun seseorang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah tetapi jika ia bisa mendapatkan informasi yang cukup dari berbagai media seperti televisi, radio, internet, surat kabar dan mendapat sosialisasi dari pihak pasar tentang kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar maka akan meningkatkan pengetahuan tentang kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran. berdasarkan dari hasil wawancara yang dilakukan pada pedagang pasar, didapatkan bahwa sebagian besar pedagang pasar legi berusia 41-65 tahun kurang mendapat paparan informasi yang biasanya diperoleh dari media massa, internet dan media lainnya yang lebih canggih dan dimana responden yang memiliki usia yang lebih tua sebagian besar tidak bisa mengaplikasikannya. kesiapsiagaan pedagang pasar dalam menyediakan alat pemadam kebakaran sederhana seperti karung goni atau kain tebal, ember, dan pasir didapatkan hasil sebanyak 31% sudah menyediakan alat pemadam kebakaran sederhana seperti karung goni atau kain tebal, ember, dan pasir dalam menanggulangi kebakaran. menurut notoatmodjo (2007) dengan dukungan fasilitas atau sarana prasarana maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku). menurut peneliti tersediaanya sarana prasarana yang mendukung dapat mendorong seseorang untuk melakukan kesiapsiagaan yang baik khususnya dalam penanggulangan bencana kebakaran yang ada di pasar, karena dengan adanya sarana prasarana merupakan syarat dan upaya yang dapat dipakai sebagai alat atau media untuk mencapai suatu tujuan. 283winarni, anam dan akhiruna, upaya pengurangan risiko ... berdasarkan hasil tabulasi silang antara kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran dengan adanya organisasi yang didirikan dipasar seperti tim penanggulangan bencana kebakaran di dapatkan sebanyak 98,3% (57 pedagang) mengatakan tidak terdapat tim penanggulangan bencana kebakaran di pasar. menurut (mudzakir, 1997), lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. lingkungan merupakan pengaruh sosial bagi seseorang yang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompoknya. dalam lingkungan, seseorang akan memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh terhadap cara berfikirnya. peneliti berpendapat jika di pasar didirikan tim penanggulangan bencana kebakaran dan pedagang pasar mengikuti tim tersebut maka pedagang pasar dapat mempelajari cara kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran di pasar secara benar dan tepat. maka organisasi yang didirikan di pasar merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi kesiapsiagaan dalam menanggulangi bencana kebakaran di pasar. berdasarkan hasil tabulasi silang yang dilihat dari jenis kelamin sebagian besar pedagang pasar legi kota blitar memiliki jenis kelamin perempuan. dari hasil tabulasi data responden yang berjenis kelamin perempuan memiliki kesiapsiagaan yang kurang dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar yaitu sebanyak 53,4% (31 pedagang), kesiapsiagaan cukup sebanyak 3,4% (2 pedagang) dan tidak ada pedagang pasar yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kesiapsiagaan yang baik dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar. menurut hurlock (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kemandirian salah satunya yaitu jenis kelamin yang membedakan antara lakilaki dan perempuan, di mana perbedaan mengunggulkan laki-laki karena laki-laki dituntut untuk berkepribadian maskulin, dominan, agresif dan aktif. menurut peneliti dapat disimpulkan bahwa kesiapsiagaan perempuan kurang dibandingkan dengan laki-laki dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar dikarenakan perempuan cenderung melakukan sesuatu dengan perasaan daripada pemikiran sedangkan laki-laki dengan logika. perempuan tampak kurang aktif dan mudah panik dibandingkan laki-laki ketika melakukan kesiapsiagaan bencana kebakaran. disisi lain laki-laki lebih sigap dalam menghadapi bencana kebakaran yang berada di pasar karena dilihat dari fisiknya laki-laki lebih kuat dan tangguh simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kesiapsiagaan pedagang pasar legi kota blitar dalam penanggulangan bencana kebakaran masih kurang. lebih dari setengah (60,3%) pedagang pasar masih kurang dalam melakukan kesiapsiagaan penanggulangan bencana kebakaran. sedangkan 31% pedagang memiliki kesiapsiagaan cukup dan hanya 8,6% pedagang pasar baik dalam kesiapsiagaan penanggulanga n bencana kebakaran. kesiapsiaagaan pedagang pasar kurang disebabkan oleh tidak memiliki nomor telepon pemadam kebakaran, tidak mengikuti pelatihan tentang penanggulangan kebakaran, tidak dapat memperagakan penggunaan apar (alat pemadam api ringan) dan hidran, tidak mampu melakukan pertolongan pertama pada korban jika terjadi kebakaran seperti keracunan asap dan luka bakar, tidak berusaha mencari informasi tentang cara penanggulangan kebakaran di pasar, dan tidak menyediakan alat pemadam kebakaran sederhana seperti karung goni atau kain tebal, ember, dan pasir. hal ini juga ditunjang dengan belum adanya organisasi yang didirikan di pasar seperti tim penanggulangan bencana kebakaran dan sebagian besar pedagang pasar berjenis kelamin perempuan. saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti ingin memberikan saran sebagai berikut: 1) bagi peneliti: hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan masukan dan merupakan pengalaman pengetahuan tentang cara kesiapsiagaan dalam penanggulangan kebakaran yang benar dan tingkat motivasi pedagang yang peduli terhadap penanggulangan bencana kebakaran di pasar. 2) bagi peneliti selanjutnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar. 3) bagi institusi badan penanggulangan bencana daerah, diharapkan sebagai bahan informasi dalam menyusun suatu program yang terkait dengan masalah kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran serta dapat digunakan sebagai masukan untuk selanjutnya 284 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 278–285 dipakai dalam memberikan pendidikan kepada pedagang pasar tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana kebakaran jika memungkinkan memberikan pelatihan khususnya tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana kebakaran di pasar. 4) bagi institusi pendidikan poltekkes kemenkes malang, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wacana pembelajar an serta pendidikan bagi mahasiswa tentang kesiapsiagaan pedagang pasar dalam penanggulangan bencana kebakaran di pasar. 5) bagi tempat penelitian (pasar legi kota blitar), diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi pedagang pasar legi kota blitar tentang kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana kebakaran dan untuk memberikan masukan kepada kepala pasar legi kota blitar untuk menyediakan jalur evakuasi serta memberikan sosialisasi dan pelatihan secara berkala tentang pentingnya kesiapsiagaan meliputi penataan jalur listrik dengan benar, memiliki nomor telepon pemadam kebakaran, cara penggunaan apar dan hidran dengan benar, dan mampu melakukan pertolongan pertama pada korban kebakaran. daftar rujukan ari kun to, s. 2006. prosedur pene li t ian suat u pendekatan praktik. jakarta: pt rineka cipta. bnpb. pedoman penyusunan rencana penanggulangan bencana. 2008. jakarta. bnpb. pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. 2011. jakarta. call center damkar menjadi sarana utama menanggula ngi bencan a kebakara n. ht tp:/ /www. blitarkota.go.id/ diakses pada tanggal 12 juli 2016. daud, r., dkk. 2014. penerapan pelatihan siaga bencana dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan komunitas sma negeri 5 banda aceh. jurnal ilmu kebencanaan (jika) pascasarjana universitas syiah kuala, volume 1, no. 1, hlm. 29. dodon. 2013. indikator dan perilaku kesiapsiagaan masyarakat di perukiman padat penduduk dalam antisipasi berbagai fase bencana banjir. jurnal perencanaan wilayah dan kota, vol. 24 no. 2, hlm.125-140. forum tentor. 2009. bahas tuntas 1001 soal ips sd (forum tentor). jakarta:pustaka widyatama. hidayat, a. a. a. 2008. riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba medika. hidayat, n. 2015. kebakaran pasar tradisional di indonesia. (http://www.gatra.com/nusantara-1/ nasional-1/145926-dalam-4-bulan,-140-pasartradisional-terbakar.html, diakses pada tanggal 4 oktober 2015. hurlock,e.a. 1999. psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentan kehidupan. edisi kelima. jakarta: erlangga. m.t.ritonga, m.t., firdaus, y., & wahono, t. 2007. ekonomi. jakarta: phibeta aneka gama. mubarak, chayatin, rozikin, dkk. 2012. promosi kesehatan. yogyakarta: graha ilmu. mudzakir. 1997. psikologi pendidikan. bandung: pustaka setia notoatmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2010. metedologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2011. konsep dan penerapan metode penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan: pendekatan praktis edisi 3. jakarta: salemba medika. paramesti, a.c. 2011. kesiapsiagaan masyarakat kawasan teluk pelabuhan ratu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. jurnal perencanaan wilayah dan kota, 22(1): 116-119. pedoman manajemen sumber daya manusia (sdm) kesehatan dalam penanggulangan bencana.2006. departemen kesehatan ri. prastyo, d., & malau, f. panduan kampus siaga bencana. palang merah indonesia. ramli, s. 2010. manajemen kebakaran (fire management). jakarta: dian rakyat. saraswati, m., & widaningsih, i. 2006. ilmu pengetahuan sosial (geografi, sejarah. sosiologi, ekonomi). jakarta: grafindo media pratama. sarwiyanto, widyaningtyas, & didang, s. 2008. ilmu pengetahuan sosial. jakarta: kasinus. suprajitno. 2013. panduan penulisan karya tulis ilmiah. pol i t ekn i k keseh a ta n ma l a ng prodi d3 keperawatan blitar. supriatna, n., ruhimat, m., & kosim. 2006. ilmu pe nge t ahuan sosi al (ge ografi , se j arah. sosiologi, ekonomi). jakarta: grafindo media pratama. sutomo. 2011. teknik menyusun kti-skripsi-tesistulisan dalam jurnal bidang kebidanan, keperawatan dan kesehatan. yogyakarta: fitramaya. sutriani, n.m. 2011. karakteritik perkembangan masa dewasa. bali: fpas-unhi. teknis manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan. 2000. jakarta. undang-undang republik indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. jakarta: bakornas pb, 2007. 285winarni, anam dan akhiruna, upaya pengurangan risiko ... widodo, i. 2015. hubungan pengetahuan pertolongan pert ama pada kecel akaan (p3k) de ngan perilaku menolong dewan kerja hizbul wathan (hw) di sma muhammhadiyah gombong. gombong: muhammadiyah gombong. widodo, s. 2008. glosarium undang-undang. jakarta: pt bhuana ilmu populer kelompok gramedia. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 207saputro, faktor yang mempengaruhi ... 207 faktor yang mempengaruhi phbs rumah tangga di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar (factors affecting clean and healthy life behavior at home of rw 03 kelurahan pakunden blitar city) dimas pandi saputro praktisi keperawatan email: dimaspandri94@gmail.com abstract: the application of a clean and healthy life behavior at home is expected to reduce the risk of disease and improve the quality of health in the family. clean and healthy life behavior at home is affected by several factors. the factors affecting clean and healthy life behavior at home consists of predisposing, enabling, and reinforcing. the study was conducted to determine the predisposing factors (knowledge, attitudes) in clean and healthy life behavior at home of rw o3 pakunden sukorejo kota blitar. method: the method used descriptive exploratory with the sample of 30 families using purposive sampling technique. the instrument used a questionnaire. result: the result showed that good knowledge category was 93.3% and 56.7% had negative behaviour. discussion: factors proven that family behaviour tend to had negative effect in clean and healthy life behavior at home, but the good knowledge category of the family was only at the level of c1 (know). recommendations from this study that the resident of rw 03 should make the implementation of all indicators of clean and healthy life behavior at home. keywords: clean and healthy life behavior, household abstrak: penerapan perilaku hidup bersih dan sehat di rumah diharapkan dapat mengurangi risiko penyakit dan meningkatkan kualitas kesehatan dalam keluarga. perilaku hidup bersih dan sehat di rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor. faktor yang mempengaruhi phbs di rumah terdiri dari predisposisi, pemungkin, dan memperkuat. penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor predisposisi (pengetahuan, sikap) di phbs di rumah rw o3 pakunden sukorejo kota blitar. metode: metode yang digunakan adalah deskriptif eksploratif dengan sampel 30 keluarga menggunakan teknik purposive sampling. instrumen yang digunakan kuesioner. hasil: hasil penelitian menunjukkan bahwa kategori pengetahuan yang baik adalah 93,3% dan 56,7% memiliki perilaku negatif. diskusi: faktor terbukti bahwa perilaku keluarga cenderung memiliki efek negatif dalam phbs di rumah, tetapi kategori pengetahuan yang baik dari keluarga itu hanya pada tingkat c1 (tahu). rekomendasi dari penelitian ini bahwa warga rw 03 harus membuat pelaksanaan semua indikator phbs di rumah. kata kunci: perilaku hidup bersih dan sehat, rumah tangga derajat kesehatan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya peningkatan indeks pembangunan manusia bangsa indonesia. sementara itu, derajat kesehatan tidak hanya ditentukan oleh pelayanan kesehatan, tetapi yang lebih dominan justru adalah kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat. upaya untuk mengubah perilaku masyarakat pemerintah melalui kementerian kesehatan untuk mendukung peningkatan derajat kesehatan dilakukan melalui program pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs), walaupun program pembinaan phbs ini sudah berjalan sekitar 15 tahun, tetapi keberhasilannya masih jauh dari harapan (kemenkes ri, 2011). acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p207-212 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 207–212 menurut teori blum, dalam kemenkes ri (2011) bahwa salah satu faktor yang berperan penting dalam menentukan derajat kesehatan adalah perilaku, karena ketiga faktor lain seperti lingkungan, kualitas pelayanan kesehatan maupun genetika kesemuanya masih dapat dipengaruhi oleh perilaku. banyak penyakit yang muncul juga disebabkan karena perilaku yang tidak sehat. untuk itu, upaya promosi kesehatan harus terus dilakukan agar masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat. penerapan perilaku hidup bersih dan sehat harus di mulai dari unit terkecil masyarakat yaitu rumah tangga (kemenkes ri, 2012). perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (kemenkes, 2011). perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) adalah sebagai wujud operasional promosi kesehatan merupakan upaya mengajak, mendorong kemandirian masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat. keluarga/rumah tangga merupakan salah satu sasaran dari program phbs, rumah tangga adalah wahana atau wadah yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anaknya dan anggota keluarga lainnya dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari (ekasari, dkk., 2008). pencapaian phbs pada tahun 2014 kecamatan sukorejo yaitu 37,66% rumah tangga sehat dan melakukan phbs. angka keberhasilan di kelurahan pakunden yaitu 28,24% rumah tangga sehat dan melakukan phbs, yang terdiri dari prosentase keberhasilan setiap indikator adalah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 100%, pemberian asi eksklusif pada bayi sebesar 48,39%, menimbang bayi dan balita setiap bulan sebesar 67,75%, menggunakan air bersih 98,79%, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebesar 100%, menggunakan jamban sehat 99,78%, pemberantasan jentik nyamuk 94,62%, makan sayur dan buah setiap hari 84,40%, melakukan aktivitas fisik 98,13%, dan tidak merokok 33,41%. bahan dan metode desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan desain penelitian deskriptif, dengan metode sampling purposive sampling. sampel diambil sebanyak 30 rumah tangga yaitu rumah tangga di rw 03, rt 01, rt 02, rt 03, kelurahan pakunden kota blitar yang melaksanakan minimal 9 indikator phbs, yang memenuhi kriteria inklusi untuk responden. penelitian dilakukan pada tanggal 02 april–12 mei 2015 dan tempat penelitian ini dilaksanakan di rt 01, rt 02, rt 03, rw 03 kelurahan pakunden kota blitar. variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi phbs rumah tangga. hasil penelitian penerapan phbs rumah tangga oleh keluarga tabel 1. penerapan phbs rumah tangga oleh keluarga pernyataan f % sangat setuju setuju 19 11 63 37 total 30 100 berdasarkan tabel 1 dapat diketahui dalam keluarga telah menerapkan phbs rumah tangga yang terbanyak adalah menyatakan sangat setuju sebanyak 63% (19 keluarga). indikator phbs yang sudah diterapkan oleh keluarga tabel 2. indikator phbs yang sudah diterapkan oleh keluarga indikator phbs rumah t angga f % pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan as i eksklusif menimbang ba yi setiap bulan menyediakan air bersih mencuci tangan dengan air bersih dan sabun menggunakan jamban sehat memberantas jentik nyamuk makan sayur dan buah setiap hari melakukan olahr aga setiap hari tidak merokok 30 27 29 30 30 25 27 27 22 13 12 10 11 12 12 10 10 10 8 5 total 100 berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa keluarga yang menjawab ‘ya’ dari 10 indikator phbs rumah tangga ada 1 indikator yang rendah dan berarti belum dilakukan dalam keluarga yaitu indikator ke 10 tidak merokok sebanyak 5% (13 keluarga). 209saputro, faktor yang mempengaruhi ... pendidikan terakhir keluarga pakunden kota blitar sebesar 28 keluarga (93,3%) adalah pengetahuan baik dan 2 keluarga (6,7%) adalah cukup. sikap keluarga terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) dalam rumah tangga, di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar (n=30), april 2015 tabel 3. pendidikan terakhir keluarga pendidikan terakhir f % sd smp sma perguruan tinggi 4 13 12 1 13 44 40 3 total 30 100 berdasarkan tabel 3 dapat diketahui pendidikan terakhir keluarga yang terbanyak adalah smp 44% (13 keluarga). perolehan informasi tentang phbs rumah tangga tabel 4. perolehan informasi tentang phbs pernyataan f % ya tidak 18 12 60 40 total 30 100 berdasarkan tabel 4 tersebut dapat diketahui bahwa keluarga yang pernah mendapatkan informasi tentang phbs rumah tangga yaitu sebanyak 60% (18 keluarga) dan yang tidak pernah mendapatkan informasi tentang phbs rumah tangga sebanyak 40% (12 keluarga). alasan keluarga melakukan phbs rumah tangga tabel 5. alasan keluarga melakukan phbs alasan keluarga f % untuk mewujudkan anggota rumah tangga menjadi sehat d an tidak mudah sakit 30 100 total 30 100 berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa alasan keluarga perlu adanya keluarga melakukan phbs rumah tangga adalah semua memilih beralasan untuk mewujudkan anggota rumah tangga menjadi sehat dan tidak mudah sakit sebanyak 100% (30 keluarga). tingkat pengetahuan keluarga tentang dalam rumah tangga, di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar (n=30), april 2015 berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa pengetahuan keluarga tentang perilaku hidup bersih dan sehat dalam rumah tangga di rw 03 kelurahan tabel 6. tingkat pengetahuan keluarga tentang dalam rumah tangga, di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar (n=30), april 2015 tingkat pengetahuan f % baik cuk up kurang 28 2 0 93,3 6,7 0 jum lah 30 100 tabel 7. sikap keluarga terhadap perilaku sikap f % positif negatif 13 17 43,3 56,7 jumlah 30 100 berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa sikap keluarga di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar terhadap perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) sebesar 13 keluarga (43,3%) adalah memiliki sikap positif dan sebesar 17 keluarga (56,7%) adalah memiliki sikap negatif. pembahasan pengetahuan keluarga keluarga tentang dalam rumah tangga, di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar pengetahuan keluarga di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar tentang perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) rumah tangga sebesar 93,3% (28 keluarga) adalah baik dan pernah mendapatkan informasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga yaitu sebesar 60% (18 keluarga). dalam kuesioner di dapatkan dari jawaban keluarga mayoritas yang salah dari 10 indikator adalah pertama pada indikator 2 yaitu pemberian asi eksklusif pada bayi 24% (7 keluarga) menjawab pada umur 0-3 bulan, padahal pada teori yang ada memberi bayi asi eksklusif, adalah bayi usia 0-6 bulan mendapat asi sejak lahir sampai usia 6 bulan (kemenkes ri, 2012). kedua pada indikator yang ke 3 yaitu manfaat penimbangan balita setiap bulan di posyandu 50% 210 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 207–212 (15 keluarga) menjawab untuk mengetahui berat badan pada balita dan mengobati balita yang sakit, padahal dalam referensi yang ada manfaat dari penimbangan balita setiap bulan salah satunya adalah untuk mengetahui dan mencegah gangguan pertumbuhan balita (kemenkes, 2008), yang ketiga adalah indikator 9 melakukan aktivitas fisik/olahraga setiap hari, waktu minimal yang dibutuhkan untuk melakukan olahraga setiap hari, 46,67% (14 keluarga) menjawab >30 menit sesuai kemampuan, tetapi pada teori yang ada aktivitas fisik/olahraga minimal 30 menit setiap hari (kemenkes, 2008). menurut mubarak, chayatin, rozikin, dkk, (2012) faktor terbentuknya pengetahuan salah satunya adalah informasi, kemudahan untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. peneliti beranggapan bahwa keluarga banyak yang sudah pernah memperoleh informasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga sehingga tingkat pengetahuan baik tetapi berdasarkan hasil dari kesalahan menjawab pertanyaan ada 3 indikator di atas yang masuk ke dalam tingkatan pengetahuan (c2) memahami, peneliti beranggapan keluarga banyak yang belum “memahami (comprehension)”. menurut notoatmodjo (2007) pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu salah satunya adalah memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintrepestasi materi tersebut secara benar. berdasarkan pendidikan keluarga terdapat 12 keluarga (40%) adalah sma dan ada 1 keluarga (3,3%) adalah pt memiliki tingkat pengetahuan baik. menurut mubarak, chayatin, rozikin, dkk, (2012) pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. peneliti beranggapan faktor yang mempengaruhi terbentuknya tingkat pengetahuan salah satunya adalah tingkat pendidikan keluarga, semakin tinggi tingkat pendidikannya juga akan mempengaruhi tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku hidup bersih dan sehat sampai akhirnya akan terbentuknya perilaku yang baik pula. sikap keluarga keluarga tentang dalam rumah tangga, di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sikap keluarga adalah positif sebesar 43,3% (13 keluarga) dan negatif sebesar 56,7% (17 keluarga). sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu menerima, mer espons, mengha r ga i, berta nggung ja wa b (notoatmodjo, 2007). peneliti beranggapan bahwa hasil penelitian yang hampir seimbang antara sikap positif dan sikap negatif keluarga terhadap 10 indikator perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga, menunjukkan bahwa belum sepenuhnya keluarga menerima, merespons, menghargai, bertanggung jawab untuk melakukan semua indikator perilaku hidup bersih dan sehat dalam rumah tangga. hal ini dapat dibuktikkan dari beberapa pernyataan, pernyataan nomer 17 yang merupakan pernyataan negatif dari indikator ke 2 perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga, bayi usia 1-6 bulan diberikan susu formula walaupun asi dari ibu tetap diberikan sebanyak 17 keluarga memilih menjawab setuju, dalam referensi buku yang ada adalah pemberian asi saja tanpa makanan-minuman lain sampai bayi berusia 6 bulan, kemudian pemberian asi harus tetap dilanjutkan sampai bayi berusia 2 tahun walaupun bayi sudah makan (kemenkes ri, 2012). menurut allport (1954) dalam buku notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yakni: kepercayaan (keyakinan) ide dan konsep dalam suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek, kecenderungan untuk bertindak (trend of behave). peneliti beranggapan bahwa sikap negatif dari indikator ke 2 perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga tentang pemberian asi ekskluif tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh beberapa faktor dari pembentuk sikap saja karena dari beberapa keluarga yang menjawab setuju tersebut sebenarnya juga pernah mendapat informasi, tetapi juga adanya kepercayaan (keyakinan) yang sudah ada di masyarakat atau dari individu dalam keluarga, kecenderungan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan teori yang ada, serta emosi juga berperan penting dalam pembentukan sikap negatif itu terjadi dalam keluarga atau masyarakat. dari hasil penelitian di atas terbukti sikap negatif keluarga terhadap indikator ke 2 phbs rumah tangga tentang pemberian asi eksklusif berdasarkan keluarga yang menjadi sampel dari penelitian ini, yang memiliki bayi masih menyusui yaitu sebesar 40% dari jumlah sampel, dan 60% keluarga tidak memiliki bayi maupun balita ketika peneliti melakukan penelitian ini, karena anak 211saputro, faktor yang mempengaruhi ... anak dalam keluarga tersebut sudah masuk usia sekolah maupun sudah dewasa. dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa keluarga yang pernah mendapatkan informasi kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga sebesar 12 keluarga memiliki sikap positif dan 6 keluarga memiliki sikap negatif, sedangkan yang tidak pernah mendapatkan informasi ada 12 keluarga, ada 11 keluarga memiliki sikap negatif dan ada 1 yang memiliki sikap positif. faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap ada 6 faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, pengaruh faktor emosional (azwar, 2012). peneliti dapat beranggapan bahwa dari beberapa faktor tersebut telah terbukti mempengarui hasil dari sikap seseorang, karena keluarga yang pernah mendapatkan informasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga akan cenderung memiliki sikap yang positif, tetapi didalam terjadinya sebuah perilaku yang baik pula masih banyak faktor yang mempengaruhinya. dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti berdasarkan pada data umum yaitu penerapan perilaku hidup bersih dan sehat didapatkan dari 10 indikator ada 1 indikator yang belum diterapkan dalam semua keluarga yaitu indikator 10 tidak merokok, dari 30 keluarga hanya 43,3% (13 keluarga) dalam keluarga tidak ada yang merokok, hal ini berarti ada 56,7% (17 keluarga) dari jumlah sampel yang diambil peneliti belum menerapkan indikator tersebut. padahal dalam hasil penelitian tingkat pengetahuan keluarga tentang perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga dari 17 keluarga tersebut memiliki tingkat pengetahuan baik 50% (15 keluarga) dan 6,7% (2 keluarga) memiliki tingkat pengetahuan cukup. tetapi jika dibandingkan dari hasil sikap keluarga terhadap perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga yang diukur dari 10 indikator, 17 keluarga tersebut yang belum menerapkan indikator tidak merokok ternyata memiliki sikap negatif 46,7% (14 keluarga) dan sikap positif 10,0% (3 keluarga). menurut allport (1954) dalam buku notoatmodjo (2007) dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berfikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. peneliti beranggapan bahwa dari hasil penelitian di atas membuktikan antara sikap yang merupakan suatu respons yang masih tertutup tersebut jika sikap keluarga terhadap phbs rumah tangga yang masih negatif akan mempengaruhi perilaku atau pelaksanaannya pula. selain itu indikator tidak merokok tersebut dalam keluarga sulit berubah walaupun pengeta huannya sebenar nya sudah baik da n mengerti akan bahaya merokok bagi kesehatan tetapi hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga sehingga perilaku tersebut akan cenderung sulit dihilangkan. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di rw 03 kelurahan pakunden kota blitar adalah pengetahuan keluarga baik sebesar 93,3% (28 keluarga), sikap keluarga negatif sebesar 56,7% (17 keluarga). hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga dipengaruhi beberapa faktor dominan diantaranya adalah pengetahuan dan sikap, pengetahuan yang baik tidak selalu mempengaruhi sikap positif keluarga terhadap perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga, tetapi sikap akan membentuk suatu perilaku dari masyarakat pula jika sikap dari keluarga terhadap semua indikator phbs rumah tangga negatif, juga cenderung perilaku masyarakat akan negatif pula. saran bagi uptd kesehatan kecamatan sukorejo, diharapkan dengan hasil penelitian tentang faktor yang mempengaruhi perilaku hidup bersih dan sehat di tatanan rumah tangga khususnya yaitu pengetahuan dan sikap keluarga, dapat dijadikan bahan masukan data tentang pengetahuan dan sikap keluarga terhadap perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga khususnya di wilayah puskesmas sukorejo. bagi institusi pendidikan, diharapkan dengan adanya hasil penelitian tentang faktor yang mempengaruhi perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga sebagai gambaran atau acuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan keperawatan komunitas, serta meningkatkan pengabdian masyarakat, sehingga perilaku kesehatan di masyarakat cenderung akan meningkat. bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dengan sub variabel yang 212 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 207–212 lebih lengkap, karena faktor yang mempengaruhi masih ada faktor pendorong, dan faktor pendukung, serta dapat pula melakukan pengembangan untuk meneliti hubungan antara sikap dengan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga. daftar rujukan azwa r, s. 2012. si kap manusi a t eori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. ekasari, fatma, mia, dkk. 2008. keperawatan komunitas. jakarta: trans info media. kemenkes ri. 2011. panduan pembinaan dan penilaian phbs rumah tangga melalui tim penggerak pkk. jakarta. kemenkes ri. 2011. pedoman pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs). jakarta. kemenkes ri. 2011. profil kesehatan indonesia tahun 2010. jakarta. mubarak, chayatin, rozikin, dkk. 2012. promosi kesehatan. yogyakarta: graha ilmu. notoatmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. jakarta: pt rineka cipta. 115rahayu, hubungan menstruasi dan kadar hemoglobin... 115 hubungan menstruasi dan kadar hemoglobin dengan motivasi belajar pada mahasiswi d3 kebidanan (the correlation of menstruation and levels of hemoglobin with learning motivation of midwifery student) esty puji rahayu program studi diii kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya email: esty@unusa.ac.id abstract: the nutritional problems in indonesia that still need serious attention are: lack of vitamin a, iodine deficiency disorders, anemia, and growth disorders. factors affecting hb levels in girls are blood loss caused by menstrual bleeding, lack of fe in the food consumed, chronic diseases, change of lifestyle from well to lack organized lifestyle, and imbalance between nutritional intake and activities performed. lack of hb levels is the cause of anemia. lazy, often sleepy and weakness is one of the effects of low hb levels. a student who is anemic, usually less motivated in learning in consequences less achievement. method : the research design used correlational analytic method with cross-sectional approach. the population was all female d3 midwifery program 2nd semester academic year 2015-2016. the sampling technique used simple random sampling. the questionnaire used to measure learning motivation was a validated questionnaire taken from pintrich et.al’s a manual for the use of the motivated strategies for learning questionnaire (mslq) of 30 items. result : data of menstruation correlation with learning motivation using chi square test with result of menstrual correlation with learning motivation with p = 0,003 (p <0,05). the correlation of hb level with learning motivation was analyzed using spearman rank test test with the result of correlation between hb level with learning motivation p = 0,036 (p <0,05) keywords: menstruation, hb, studies motivation abstrak: masalah gizi di idonesia yang masih perlu mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dari semua pihak antara lain: kurangnya vitamin a, gangguan akibat kurang yodium (gaky), anemia gizi besi (agb), dan gangguan pertumbuahn. faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hb pada remaja putri yaitu kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan menstruasi, kurangnya zat besi dalam makanan yang dikonsumsi, penyakit yang kronis, pola hidup remaja putri berubah dari yang semula serba teratur menjadi kurang teratur, ketidakseimbangan antara asupan gizi dan aktifitas yang dilakukan. kekurangan kadar hb merupakan penyebab anemia. malas, sering mengantuk dan lemas merupakan salah dampak dari kadar hb yang rendah. seorang siswa yang mengalami anemia, kurang termotivasi untuk belajar sehingga kurang bisa menghasilkan prestasi yang tinggi. desain penelitian menggunakan metode analitik korelasional dengan pendekatan crosseksional. pada penelitian ini populasinya adalah seluruh mahasiswi d3 kebidanan semester 2 tahun ajaran 2015–2016. pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan simple random samplig. kuesioner yang digunakan untuk mengukur motivasi belajar adalah kuesioner yang sudah tervalidasi diambil dari a manual for the use of the motivated strategies for learning questionnaire (mslq) oleh pintrich et.al berjumlah 30 butir soal. data hubungan menstruasi dengan motivasi belajar menggunakan uji chi square dengan hasil terdapat hubungan menstruasi dengan motivasi belajar dengan p=0,003 (p<0,05). hubungan kadar hb dengan motivasi belajar dianalisa menggunakan uji spearman rank test dengan hasil terdapat hubungan antara kadar hb dengan motivasi belajar p=0,036 (p<0,05) kata kunci: menstruasi, hb, motivasi belajar acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p115-119 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 116 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 115–119 di indonesia terdapat beberapa masalah gizi yang masih perlu mendapat perhatian secara sungguhsungguh dari semua pihak antara lain: kurangnya vitamin a, gangguan akibat kurang yodium (gaky), anemia gizi besi (agb), dan gangguan pertumbuhan. permasalahan tersebut harus ditangani secara sungguh-sungguh karena dampaknya akan mempengaruhi kualitas bahan baku sumber daya manusia indonesia di masa yang akan datang (bappenas, 2007). anemia gizi merupakan masalah gizi yang paling utama di indonesia, yang disebabkan karena kekurangan zat besi. menurut data skrt tahun 2001, prevalensi angka defisiensi besi di indonesia tertinggi pada anak umur 1–2 tahun yang mencapai 61,4 persen, sedangkan pada anak usia 0–5 tahun angkanya 47 persen. pada usia sekolah dan remaja (15–19 tahun) angka prevalensinya 26,5 persen, wanita usia subur baik yang menikah maupun tidak 51,4 persen, dan pada wanita hamil 40 persen. laporan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) nasional tahun 2007 di 440 kota/kabupaten di 33 provinsi di indonesia oleh badan penelitian dan pengembangan kesehatan depkes ri mengungkapkan bahwa secara nasional prevalensi anemia di perkotaan mencapai 14,8 persen. menurut bkkbn tahun 2007, departemen kesehatan ri pada tahun 2001/2002 melakukan penelitian di 2 propinsi yaitu jawa tengah dan jawa timur yakni meliputi 10 kabupaten menemukan bahwa sekitar 82% remaja putri mengalami anemia yaitu kadar hemoglobin (hb) 12 gr%. dampak yang ditimbulkan anemia gizi besi ini, terutama pada anak sekolah antara lain adalah kesakitan dan kematian meningkat, pertumbuhan fisik, perkembangan otak, motorik, mental dan kecerdasan terhambat, daya tangkap belajar menurun, pertumbuhan dan kesegaran fisik menurun serta interaksi sosial kurang. bahkan anemia dapat menurunkan produktivitas kerja hingga 20%. keadaan ini tentu memprihatinkan bila menimpa anak-anak indonesia yang akan menjadi penerus pembangunan (asih, 2005). faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hb pada remaja putri yaitu kehilangan darah yang disebabkan oleh perdarahan menstruasi, kurangnya zat besi dalam makanan yang dikonsumsi, penyakit yang kronis, pola hidup remaja putri berubah dari yang semula serba teratur menjadi kurang teratur, ketidakseimbangan antara asupan gizi dan aktifitas yang dilakukan. kekurangan kadar hb merupakan penyebab anemia. jika anemia terjadi pada remaja dalam usia sekolah, maka akan perpengaruh pada motivasi dan proses belajarnya. keadaan malas, sering mengantuk dan lemas merupakan salah dampak dari kadar hb yang rendah. seorang siswa yang mengalami anemia atau rendahnya kadar hb, kurang termotivasi untuk belajar sehingga kurang bisa menghasilkan prestasi yang tinggi. keadaan peserta didik secara jasmaniah maupun rohaniah akan mem pengaruhi motivasi belajar. kondisi jasmani dan rohani yang sehat akan mendukung pemusatan perhatian dan gairah dalam belajar. sebaliknya jika anak dalam kondisi sakit maka pemusatan perhatian akan menurun. sedangkan faktor lain yang mempengaruhi motivasi belajar yaitu cita-cita, kemampuan, kondisi siswa meliputi keadaan tonus jasmani dan keadaan fungsi jasmani, kondisi lingkungan, unsur-unsur dinamis dalam belajar dan kondisi guru dalam membelajarkan siswa. tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara menstruasi dan kadar hb dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa. tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi hubungan antara menstruasi dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa 2) mengidentifikasi hubungan antara kadar hb dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa, 3) menganalisis hubungan antara mentruasi dan kadar hb dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa. manfaat dari penelitian ini adalah memberikan referensi bahwa menstruasi dan hadar hb berhubungan terhadap motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan. bahan dan metode desain penelitian menggunakan metode analitik korelasional dengan pendekatan crosseksional antara kadar hemoglobin dengan motivasi belajar. pada penelitian ini populasinya adalah seluruh mahasiswi d3 kebidanan semester 2 tahun ajaran 2015–2016. pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan simple random sampling .sampel dari penelitian ini sebanyak 36 mahasiswi. dalam penelitian ini yang menjadi kriteria inklusi adalah mahasiswi semester 2 yang bersedia menjadi responden untuk diteliti dengan menandatangani lembar persetujuan. kriteria eksklusi adalah siswi yang memiliki penyakit kelainan darah diperoleh dari interview dengan siswi yang akan menjadi responden. sebelum mengisi kuesioner 117rahayu, hubungan menstruasi dan kadar hemoglobin... tabel 2 kadar hb mahasiswi d3 kebidanan unusa berdasarkan rentang kadar hb no kadar hb f % 1  12 gr/dl 4 11,1 2 < 12 gr/dl 32 88,9 total 36 100 tabel 1 distribusi frekuensi mahasiswi menurut usia di d3 kebidanan unusa no usia f prosentase 1 18-19th 13 36,2 2 19-20 th 23 63,8 total 36 100 tabel 3 motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa no motivasi f % 1 tinggi 17 47,2 2 sedang 17 47,2 3 rendah 2 5,6 total 36 100 kadar hb  12 gr/dl < 12 gr/dl total motivasi belajar f % f % f % tinggi 4 23,5 13 76,5 17 100 sedang 0 0 17 100 17 100 rendah 0 0 2 100 2 100 total 4 11,1 32 88,9 36 100 tabel 4 motivasi belajar siswi d3 kebidanan unusa responden mengisi lembar inform konsen terlebih dahulu. kuesioner yang digunakan untuk mengukur motivasi belajar adalah kuesioner yang sudah tervalidasi diambil dari a manual for the use of the motivated strategies for learning questionnaire (mslq) oleh pintrich et.al berjumlah 30 butir soal. peneliti mewawancarai responden untuk mendapatkan data menstruasi. pengukuran kadar hb menggunakan alat hb test digital dengan merk easy touch. data yang diperoleh dianalisis menggunakan software spss 16.0. data hubungan menstruasi dengan motivasi belajar menggunakan uji chi square dan hubungan kadar hb dengan motivasi bela ja r dia na lisa mengguna ka n uji sta tistik spearman rank test. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel 1 di bawah. pada tabel 1 menunjukkan mahasiswi paling banyak berusia 19-20 tahun. pada tabel 2 dari keseluruhan responden kadar hb siswi hanya terdapat 4 mahasiswi (11,1%) dengan kadar hb  12 gr/dl. dan selebihnya yaitu 32 siswi (88,9%) memiliki kadar hb < 12 gr/dl dari hasil pengukuran kadar hb dengan menggunakan hb meter digital didapatkan data sebagai berikut. pada tabel 3 dapat diketahui bahwa dari keseluruhan responden pada rentang motivasi tinggi dan sedang memiliki jumlah yang sama yaitu 17 mahasiswi (47,2%) dan masih ada 2 mahasiswi (5,6%) dengan motivasi yang rendah berdasarkan tabel 4 silang di atas dapat di intepretasikan bahwa dari 17 siswi yang memiliki motivasi tinggi terdapat 4 siswi (23,5%) dengan kadar hb yang tinggi pula dan 13 siswi (76,5%) dengan kadar hb yg rendah. pada motivasi sedang 17 siswi (100%) berada pada hb yang rendah (< 12 gr/dl). sedangkan pada motivasi yang rendah terdapat 2 siswi (100%), yang semuanya berada pada rentang hb yang rendah pula. berdasarkan analisa data spearman rank dengan menggunakan computer didapatkan ñ lebih kecil dibanding taraf signifikansi (< 0,05) yaitu 0,036 < 0 yang artinya terdapat hubungan kadar hb dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa 118 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 115–119 dari tabel 5 dapat diketahui bahwa siswi yang sedang menstruasi memiliki motivasi yang tinggi sebanyak 22,2%, motivasi sedang sebanyak 55,6% dan 22,2% adalah dengan motivasi yang rendah. sedangkan siswi yang tidak sedang menstruasi pada saat dilakukan penelitian terdapat 55,6% siswi yang bermotivasi tinggi, 44,4% dengan motivasi sedang, dan tidak ada siswi yang tidak sedang menstruasi memiliki motivasi yang rendah. berdasarkan analisa data chi square dengan menggunakan computer didapatkan ñ lebih kecil dibanding taraf signifikansi p= 0,003 yang artinya terdapat hubungan menstruasi dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa. pembahasan hubungan menstruasi dengan motivasi belajar pada wanita siklus menstruasi rata-rata terjadi sekitar 28 hari, walaupun hal ini berlaku umum tidak semua wanita memiliki siklus menstruasi yang sama, terkadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. sebagian wanita mengalami menstruaasi setiap bulan dan lamanya antara 3–7 hari. jumlah darah yang keluar selama periode menstruasi normal telah dipelajari oleh beberapa kelompok peneliti yang menemukan bahwa jumlah berkisar antara 25 ml sampai 60 ml. pada konsentrasi hemoglobin (hb) normal yaitu 14 gr/dl dan konsentrasi besi hb 3,4 mg/gr, volume darah ini mengandung besi sekitar 12 sampai 29 mg dan mencerminkan pengeluaran darah ekuivalen dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi setiap hari selama siklus, atau dari 150 sampai 400 mg per tahun. karena jumlah besi yang diserap dari makanan biasanya cukup terbatas, maka pengeluaran besi yang tampaknya tidak berarti ini menjadi penting karena ikut menurunkan cadangan besi yang pada sebagian besar wanita sudah rendah. batas kadar hb remaja putri menurut world health organization (who 1997) untuk diagnosis anemia apabila kurang dari 12 gr/dl. akibat dari anemia meliputi pertumbuhan anak akan terhambat, pembentukan sel otot kurang sehingga otot menjadi lemas, daya tahan tubuh akan menurun, prestasi berkurang dan terjadi perubahan perilaku (hamalik, 2005). setelah mengalmi perdarahan yang cepat, maka tubuh akan mengganti cairan plasma dalam waktu 1–3 hari. namun hal ini akan membuat konsentrasi sel darah menjadi rendah (guyton,2001). hal ini sesuai dengan tabel 2 bahwa 9 (28,1%) siswi yang sedang mengalami menstruasi semuanya memiliki kadar hb < 12 gr/dl. siswi ini cenderung lemah, letih lesu dan tampak pucat, namun dia tidak merasa pusing. keadaan menstruasi berpengaruh dengan kadar hb seorang siswi begitu juga dengan motivasi belajarnya. jika siswi tersebut memiliki kadar hb yang rendah maka dia akan lemah, letih dan sering mengantuk bahkan dia akan kehilangan gairah untuk belajar. hal ini sesuai dengan data pada tabel 5 yaitu hanya terdapat 22,2% siswi yang sedang menstruasi dan memiliki motivasi yang tinggi. hal ini sangat disayangkan karena keadaan menstruasi yang berdampak pada rendahnya kadar hb ini sebenarnya bisa daantisipasi sebelumnya misalnya dengan menjaga pola makan, minum tablet fe saat menstruasi dan setelah menstruasi, serta istirahat yang cukup. hubungan kadar hb dengan motivasi belajar rata-rata orang dewasa memiliki jumlah sel darah merah sekitar 5 juta per millimeter kubik, masing masing sel darah merah memiliki siklus hidup sekitar 120 hari (guyton,2001). batas kadar hb untuk wanita tidak hamil usia >14 tahun menurut who adalah 12 gr/dl. mahasiswi d3 kebidanan seluruhnya berada pada usia remaja, banyak sekali perubahan yang mereka alami mulai dari keadaan fisiknya yang berubah dibandingkan masa kanak kanaknya, psikologisnya yang mulai ada ketertarikan dengan lawan jenis, bahkan keadaan sosiologisnya dimana siswi yang tabel 5 hubungan keadaan menstruasi dengan motivasi belajar motivasi belajar tinggi sedang rendah kondisi menstruasi f % f % f % sedang 2 22,2 5 55,6 2 22,2 tidak sedang 15 55,6 12 44,4 0 0 total 17 47,2 17 47,2 2 5,6 119rahayu, hubungan menstruasi dan kadar hemoglobin... berasal dari luar kota yang biasanya tinggal bersama orang tua harus beradaptasi dengan lingkungan baru di surabaya. para remaja tidak pernah merasa bahwa dirinya mengalami anemia yang merupakan sebuah penyakit yang berdampak pada kesehatannya baik sekarang maupun di masa yang akan datang. mereka cenderung tidak peduli dengan apa yang mereka makan setiap hari, tidak peduli bahwa menstruasi yang dialaminya setiap bulan akan mengikis cadangan sel darah merahnya. rasa lemah, letih, sering mengantuk, lesu yang pernah dialaminya sering dianggap remeh. mereka meganggap hal tersebut hanya karena terlalu lelah dan cukup ditangani dengan istirahat saja. padahal sebenarnya banyak hal lain yang mempengaruhi keadaan mereka selain karena kelelahan yang salah satunya adalah karena kurangnya kadar hb dalam sel darah merah. hal di atas dapat berakibat menurunnya gairah belajar remaja, gangguan pemusatan perhatian, menurunnya motivasi belajar sehingga menurunkan prestasi belajar siswa. keadaan peserta didik secara jasmaniah maupun rohaniah akan mempengaruhi motivasi belajar. kondisi jasmani dan rohani yang sehat akan mendukung pemusatan perhatian dan gairah dalam belajar. dan sebaliknya jika remaja dalam kondisi sakit maka pemusatan perhatian akan menurun. sedangkan faktor lain yang mempengaruhi motivasi belajar yaitu cita-cita, kemampuan, kondisi siswa meliputi keadaan tonus jasmani dan keadaan fungsi jasmani, kondisi lingkungan, unsur-unsur dinamis dalam belajar dan kondisi guru dalam membelajarkan siswa. dari hasil analisa data dengan menggunakan spearman rank dan taraf signifikansi 0,05 didapatkan  = 0,036 sehingga  < 0,05 yang artinya terdapat hubungan antara kadar hb dengan motivasi belajar siswa. analisa tersebut terbukti dari tabel 5 yang menyatakan bahwa 100% siswi dengan kadar hb yang rendah semuanya memiliki motivasi yang rendah pula. hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan bahwa keadaan malas, sering mengantuk dan lemas merupakan salah dampak dari kadar hb yang rendah. seorang siswa yang mengalami anemia atau rendahnya kadar hb, kurang termotivasi untuk belajar sehingga kurang bisa menghasilkan prestasi yang tinggi. keadaan peserta didik secara jasmaniah maupun rohaniah akan mempengaruhi motivasi belajar. kondisi jasmani dan rohani yang sehat akan mendukung pemusatan perhatian dan gairah dalam belajar. dan sebaliknya jika anak dalam kondisi sakit maka pemusatan perhatian akan menurun. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut: (1) terdapat hubungan antara menstruasi dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa, (2) terdapat hubungan antara kadar hb dengan motivasi belajar mahasiswi d3 kebidanan unusa saran untuk penelitian selanjutkan diharapkan bisa meneliti lebih dalam lagi tentang menstruasi, kadar hb dan motivasi belajar. hubungan menstruasi dengan mempertimbangkan lama dan siklus haid dengan motivasi belajar juga dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya. prestasi dan status gizi juga belum diteliti dalam penelitian ini, sehingga peneliti selanjutnya bisa menghubungkan status gizi, kadar hb dengan motivasi dan prestasi belajar mahasiswa. daftar rujukan asih, tuti. 2005. pengaruh motivasi belajar mata pelajaran akuntansi antara siswa yang ingin bekerja dan melanjutkan pendidikan terhadap prestasi belajar akuntansi pada siswa kelas iii jurusan akuntansi smk bisnis manajemen sekota tegal tahun ajaran 2004/2005. bappenas. 2007. rencana aksi nasional pangan dan gizi 2006–2010. surabaya: dinkes jatim. guyton, c arthur. 2001. buku ajar fisiologi kedokteran. jakarta: egc. hamalik, o. 2005. kurikulum dan pembelajaran. jakarta: bumi aksara. e:\tita\d\tita\mei 17\jurnal bl 6 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 6–11 6 metode self instructional training untuk menurunkan kadar gula darah pasien dm tipe 2 (self instructional training methods to reduce blood glucose levels type 2 diabetes mellitus) nian afrian nuari program studi s1 ilmu keperawatan stikes karya husada kediri email: nian.afrian@yahoo.co.id abstract: uncontrolled blood glucose levels is a problem that is often found in patients with diabetes mellitus. this condition has an impact on the health of the patient as it would appear some macrovascular and microvascular complications. the number of patients with dm in indonesia has increased by years and only 50% of patients suffering from diabetes who are aware of, and around 30% of them take medication regularly. the purpose of this study was to determine the effectiveness of self instructional training method on blood glucose levels of the patients. the method used pre-experimental design with purposive sampling technique and 16 respondents as the sample. the measuring instrument used glucometers to measure blood glucose levels and analyzed with paired t test. based on the results, the entire blood glucose levels before the intervention above 200 mg /dl. after having self instructional training intervention, the average blood glucose level was 35.75 mg /dl. the highest blood glucose levels was in the post test as 253 mg /dl and the lowest was 197 mg /dl. based on paired t test analysis obtained self instructional training interventions could reduce blood glucose levels of patients with diabetes mellitus type ii (p value = 0.000). diabetes mellitus patients were expected to be able to apply the sit method to perform self-care so that the patient’s blood glucose levels can be controlled. patient could do this methods at home and should be supported by their family and health professionals to treat the diseases. keywords: self, instructional, training, level, glucose, blood, dm abstrak: peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus. hal ini berdampak pada kesehatan pasien karena akan muncul beberapa komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler. jumlah penderita dm di indonesia mengalami peningkatan setiap tahun dan baru 50% penderita yang sadar mengidap dm, dan sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara teratur. tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh metode self instructional training terhadap kadar gula darah pasien. metode penelitian yang digunakan adalah pre eksperimen dengan teknik purposive sampling dan jumlah sampel 16 responden. alat ukur yang digunakan glukometer untuk pengukuran kadar gula darah dan dianalisis dengan uji statistik paired t test. berdasarkan hasil penelitian didapatkan seluruh kadar gula darah sebelum dilakukan intervensi diatas 200 mg/dl. setelah dilakukan intervensi self instructional training rata-rata penurunan kadar gula darah adalah 35,75 mg/dl. kadar gula darah saat post test paling tinggi adalah 253 mg/dl dan paling rendah 197 mg/dl. dari hasil analisis data paired t test didapatkan intervensi self instructional training mampu menurunkan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe ii (p value = 0,000,). diharapkan pasien diabetes mellitus mampu menerapkan metode sit untuk melakukan perawatan diri sehingga kadar gula darah pasien bisa terkontrol. pasien bisa melakukan self instructional training ini dirumah dan diperlukan dukungan serta support dari keluarga dan tenaga kesehatan untuk melakukan perawatan penyakitnya. kata kunci: self, instructional, training, kadar, gula, darah, dm acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p006-011 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 7nuari, metode self instructional training ... diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa maupun lansia. dm tipe 2 adalah suatu bentuk penyakit yang terkait dengan gaya hidup. pola makan, obesitas, kelebihan-gizi, kurangnya latihan fisik, merokok, peminum alkohol, dan gaya hidup stres merupakan perilaku berisiko tinggi untuk terkena dm tipe 2 (departemen kesehatan ri, 2008). menurut international diabetes federation (idf, 2010) terdapat 194 juta orang terkena dm. pada 2030 akan terdapat lebih dari 82 juta orang berumur di atas 64 tahun dengan dm di negara sedang berkembang, sedangkan di negara maju hanya 48 juta orang, dan secara global diperkirakan 333 juta orang menderita dm. data organisasi kesehatan dunia (who), indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita dm di dunia. seiring dengan pola pertambahan penduduk, pada tahun 2005 di indonesia ada 171 juta penduduk berusia di atas 15 tahun dan dengan asumsi prevalensi dm maka terdapat kira-kira 24 juta penyandang dm. pada 2006, jumlah penyandang dm di indonesia mencapai 14 juta orang. dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar mengidap dm, dan sekitar 30% di antaranya melakukan pengobatan secara teratur (idf, 2010). karter (2008) berpendapat bahwa 50% penderita dm tipe 2 belum memahami tentang penyakitnya dan pemahaman tentang penyakit dm tipe 2 sangat penting dalam upaya perawatan. penderita dm tipe 2 mengalami berbagai keterbatasan dalam pengelolaan emosi, keyakinan kemampuan diri, gangguan pengaturan diet dan makanan, gangguan aktivitas fisik, kontrol gula darah, pengobatan dan perawatan kaki. keterbatasan yang dialami penderita dm tipe 2 diperlukan sebuah program training untuk kemandirian penderita dalam upaya kemandiriannya. pentingnya perawatan bagi penderita dm tipe 2 terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari memberi ruang bagi profesi perawat untuk memberikan asuhan keperawatan terhadap penderita dm tipe 2 (song, 2008). rendahnya pengetahuan penderita dm tipe 2 memberikan peluang bagi perawat dalam memberikan peran educative terhadap penderita dm. mcnamara, et al. (2010) intervensi pendidikan sangat membantu dalam menghindari komplikasi pada penderita dm tipe 2. peningkatan self care dapat dilakukan melalui pendidikan kepada penderita dm tipe 2. peran perawat tidak saja memberikan pelayanan medis melainkan dapat memberikan pelayanan edukasi terhadap individu, keluarga dan masyarakat (mersal et al, 2012). penatalaksanaan self instructional training dikembangkan oleh meichenbaum. self instructional training di terapkan di vietnam pada tenaga medis, dokter, perawat, apoteker tentang hiv aids dengan memberikan edukasi tentang hiv/ aids dan penatalaksanaan penggunaan arv di vietnam (garb, m.d., et al., 2009). self instructional training adalah suatu pelatihan yang dilakukan untuk mengubah kognitif seseorang dengan member ika n eduka si sehingga seseora ng ma mpu mengontrol atau memberi instruksi pada dirinya sendiri untuk melakukan perubahan perilaku yang terdiri atas tahap cognitive modelling dan tahap cognitive behavioral rehearseal of self instruction (burns, costance irene, 1984). self instructional training member ika n edukasi kepada pasien dengan melibatkan pasien untuk merubah kognitif pasien sehingga mampu melakukan self care agency untuk mengelola penyakitnya agar kadar gula darahnya bisa terkontrol. kontrol gula darah yang baik akan menghindarkan pasien dm pada masalah komplikasi baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh metode self instructional training terhadap kadar gula darah pasien. tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kadar gula darah sebelum dilakukan self instructional training, 2) mengidentifikasi kadar gula darah setelah dilakukan self instructional training. 3) menganalisis pengaruh self instructional training. bahan dan metode jenis penelitian adalah penelitian pre eksperimen dengan pre post only design. populasi yang diteliti adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 di wilayah puskesmas bendo kediri. sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan 16 responden. variabel penelitian adalah kadar gula darah pasien dm tipe 2. data dikumpulkan menggunakan pengukuran kadar gula darah dengan glukometer. pengumpulan data dilakukan pada bulan februari 2017. analisis data dilakukan dengan uji statistik paired t test dengan signifikansi 0,05 (dahlan, s., 2011). 8 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 6–11 hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (62,5%) yaitu 10 responden memiliki penghasilan rp1.000.0000 – rp 2.000.000. tabel 1. distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin no jenis kelamin frekuensi prosentase 1 laki-laki 2 12,5 2 perempuan 14 87,5 total 16 1 00 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruhnya (87,5%) yaitu 14 responden berjenis kelamin perempuan. tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia no usia f prosentase 1 40 – 50 tahun 2 12,5 2 51 – 60 tahun 9 56,25 3 61 – 70 tahun 5 31,25 total 16 1 00 berdasarkan data diatas didapatkan bahwa sebagian besar (56,25%) yaitu 9 responden berusia 51-60 tahun. tabel 3. distribusi frekuensi responden berdasarkan lama menderita dm no la ma kerja f prosentase 1 1 – 5 tahun 6 37,5 2 6 – 10 tahun 9 56,25 3 11 – 15 tahun 2 12,5 total 16 1 00 berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar (56,25%) yaitu 9 responden menderita dm selama 6-10 tahun. tabel 4. distribusi frekuensi responden berdasarkan penghasilan no penghasilan f prosentase 1 < 1.000.000 5 35,7 2 1.000.000 – 2.000.000 10 62,5 3 2.100.000 – 3.000.000 1 6,25 total 16 100 berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa hampir sebagian besar (43,75%) responden menempuh pendidikan slta. hasil analisis data dengan uji paired t test didapatkan nilai p value = 0,000, : 0,05, h1 diterima. hal ini berarti intervensi self instructional training mampu menurunkan kadar gua darah pasien diabetes mellitus tipe ii. pembahasan berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil seluruh gula darah pasien diats 200 mg/dl. menurut soegondo (2011), diagnosis dm ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. penentuan tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan no pendidikan f pro sentase 1 sd 3 18,75 2 slt p 4 25 3 slt a 7 43,75 4 sarjana 2 12,5 total 16 100 tabel 6. identifikasi kadar gula pasien sebelum diberikan metode self instructional training no kadar gula pasien frekuensi prosentase 1 <200 mg/dl 0 0 2 >200 mg/dl 16 1 00 total 16 1 00 tabel 7. identifikasi kadar gula pasien setelah diberikan metode self instructional training no kadar gula pasien frekuensi prosentase 1 <200 mg/dl 0 0 2 >200 mg/dl 16 1 00 total 16 1 00 mea n std.d ev p value 35,75 1 1,144 0,00 0 tabel 8. hasil analisis uji statistik 9nuari, metode self instructional training ... diagnosis dm, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. penggunaan bahan darah utuh (whileblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh who (world health organization). dm terkait erat dengan proses pengaturan glukosa dalam darah. hormon insulin memiliki peran yang penting dalam pengaturan kadar glukosa darah tersebut. berdasarkan karakteristik jenis kelamin responden menunjukkan hampir seluruhnya (87,5%) yaitu 14 responden berjenis kelamin perempuan. hal ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dm tipe 2 berjenis kelamin perempuan. who (2006) menyatakan, dm merupakan salah satu penyakit dengan angka kejadian tertinggi di indonesia sehingga menjadikan indonesia peringkat ke 6 di dunia. berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian dm pada perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. beberapa faktor resiko seperti obesitas, kurang olah raga, usia dan riwayat dm saat hamil menyebabkan tingginya kejadian dm pada perempuan (nuari, 2014). berdasarkan karakteristik usia responden sebagian besar (56,25%) yaitu 9 responden berusia 51-60 tahun. smeltzer & bare (2004) menyatakan dm tipe 2 merupakan jenis dm yang paling banyak jumlahnya yaitu sekitar 90-95% dari seluruh penderita dm dan banyak dialami oleh usia dewasa diatas 40 tahun. hal ini disebabkan resistensi insulin pada dm tipe 2 cenderung meningkat pada usia lansia (40-65 tahun), disamping adanya riwayat obesitas dan adanya faktor keturunan. umur mempengaruhi risiko dan kejadian dm tipe 2. umur sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar gula darah, sehingga semakin meningkat umur maka prevalensi dm tipe 2 semakin tinggi. who menyatakan setelah usia 30 tahun, maka kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa akan naik 5,6-13 mg/dl pada 2 jam setelah makan (suyono, 2011). hasil penelitian ini sesuai dengan teori tersebut bahwa sebagian besar responden berumur diatas 40 tahun dengan kadar gula darah berfluktuasi. proses menua yang berlangsung dalam tubuh manusia mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia yang akan meningkatkan gangguan toleransi glukosa dan resistensi insulin (nuari, n,a., & katikasari, m., 2015). berdasarkan karakteristik lama menderita dm responden menunjukkan bahwa sebagian besar (56,25%) yaitu 9 responden menderita dm selama 6-10 tahun. lama waktu menderita dm mempengaruhi tingkatt adaptasi yang dimiliki pasien dm dalam melalukan perawatan penyakitnya. lama menderita dm pada pasien selama 6 sampai 10 tahun sehingga memungkinkan pasien mempunyai penga la ma n da la m mela kuka n kontr ol gula darahnya. berdasarkan karakteristik jumlah penghasilan didapatkan sebagian besar (62,5%) yaitu 10 responden memiliki penghasilan rp1.000.0000 – rp 2.000.000. menurut perlin (1999) dalam bangun (2009) mengemukakan bahwa seseorang yang menderita penyakit akan memaksimalkan sumber pendapatnnya untuk melakukan pengobatan dan mengurangi dampak perubahan dari fungsi fisik yang dialaminya. seseorang yang menderita diabetes mellitus harus selalu melakukan pengontrolan gula darah secara kontinue, hal itu memerlukan sumber pendapatan yang cukup agar terapinya bisa terpenuhi. pasien dm bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh puskesmas agar pembiayaan terapinya tidak terlalu berat. pemilihan aktifitas yang harus dilakukan pasien diabetes mellitus harus disesuaikan dengan sumber pendapatannya dan lebih ekonomis. berdasarkan karakteristik pendidikan terakhir menunjukka n bahwa ha mpir seba gian besa r (43,75%) responden menempuh pendidikan slta. menurut azwar (2003) dalam bangun (2009) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan maka sesorang akan lebih berperilaku positif. pengetahuan merupakan doamin perilaku yang sangat penting. apabila pengetahuan pasien bagus diharapkan mampu membentuk perilaku yang positif untuk melakukan self instructional training. kemampuan intelektual yang dimiliki oleh individu akan mempengaruhi kemampuan penerimaan individu terhadap sesuatu. individu akan lebih matang terhadap proses perubahan yang ada dalam dirinya sehingga lebih mudah menerima pengaruh luar yang positif sehingga kesiapan untuk berubah lebih baik (nuari,na, 2016). sejalan dengan pendapat dari notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh pendidikan formal di bidang tertentu. seseorang dengan pendidikan baik, lebih matang terhadap proses perubahan pada dirinya, sehingga lebih mudah menerima 10 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 6–11 pengaruh luar yang positif, obyektif dan terbuka terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesehatan. hal ini dapat diasumsikan bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam memahami penyakit, perawatan diri, pengelolaan dm serta pengontrolan gula darah. pasien dengan pendidikan tinggi akan dapat mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam menghadapi stresor karena pemahaman yang baik terhadap suatu informasi (nuari,na, 2016). self instructional training terdiri dari gabungan elemen social learning theory dan self regulation language theory. self instructional training mempunyai dua komponen yaitu cognitive modeling dan rehearseal self instructional. tahap cognitive modelling meliputi pengetahuan dasar dm meliputi definisi, penyebab, patofisiologi, penatalaksanaan, tanda dan gejala dan komplikasi, perawatan mandiri pasien dm meliputi tes gula darah, diet, obat dan latihan fisik, perawatan kaki. sedangkan tahap cognitive and behavioral rehearseal of self instruction meliputi perawatan kaki dan pencegahan komplikasi akut dan memformulasikan tujuan dan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan oleh responden untuk melakukan perawatan penyakit dm-nya. responden mampu menentukan pilihan solusi untuk mengatasi hambatan/masalah yang dialaminya selama perawatan dm. hasil pengukuran kadar gula darah saat pre test kadar gula acak diatas 200 mg/dl. kadar gula acak paling tinggi saat pre test adalah 301 mg/dl. hasil setelah dilakukan intervensi self instructional training rata-rata penurunan kadar gula darah adalah 35,75 mg/dl. kadar gula darah saat post test paling tinggi adalah 253 mg/dl dan paling rendah 197 mg/dl. dari hasil post test menunjukkan bahwa sebanyak 18,75% yaitu 3 responden mengalami penurunan kadar gula darah diatas 50 mg/dl sedangkan penurunan kadar gula darah pasien sebanyak 6,25% yaitu 1 responden mengalami penurunan sebanyak 19 mg/dl. intervensi self instructional training dilakukan untuk meningkatkan edukasi pasien tentang perawatan diri di rumah melalui edukasi tentang perawatan mandiri pasien dm meliputi tes gula darah, diet, obat dan latihan fisik, perawatan kaki. manfaat metode self instructional training ini adalah membantu seseorang untuk mampu memahami tugas/kebutuhan seseorang, menghasilkan inisiatif seseorang secara spontan dan menggunakan self instruksi sebagai monitor, petunjuk dan mengontrol perilaku (burns, c.i., 1984). simpulan dan saran simpulan berdasarkan penelitian diatas didapatkan data bahwa kadar gula darah sebelum dilakukan intervensi diatas 200 mg/dl. setelah dilakukan intervensi self instructional training rata-rata penurunan kadar gula darah adalah 35,75 mg/dl. kadar gula darah saat post test paling tinggi adalah 253 mg/dl dan paling rendah 197 mg/dl. dari hasil analisis data paired t test didapatkan intervensi self instructional training mampu menurunkan kadar gula darah pasien diabetes mellitus tipe ii. saran pasien diabetes mellitus harus selalu melakukan kontrol kadar gula darah untuk mencegah terjadinya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler melalui metode self instructional training. melalui tahap cognitive modelling dan cognitive and behavioral rehearseal of self instruction ini, perawat dapat memberikan edukasi kepada pasien diabetes mellitus baik melakukan asuhan keperawatan di klinik maupun komunitas. metode ini bisa diterapkan sebagai panduan perawatan pasien dm di rumah. daftar rujukan azwar, s. 2003. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. bangun, argi virgona. 2009. analisis faktor-faktor yang me me pe ngaruhi ke pat uhan pasie n diabets mellitus. thesis. fik ui. burns, costance irene. 1984. self instructional training and stress in oculation training: a review of research. canada: simon fraser university. dahlan, s. 2011. statistik untuk kedokteran dan kesehatan. edisi 5. jakarta: salemba medika. departemen kesehatan ri 2008, hasil riset kesehatan dasar (r iske sdas), direk torat je nderal penge ndal ian pe ny ak i t dan pe nye hatan lingkungan depkes ri. garb, marcia, d., folmsbee, juanita, gerard, my hong. 2009. ‘self instructional training for new medicine dispensers in vietnam. vietnam: scms. gautam,y., sharma, a.k., & agarwal. 2009. ‘a cross sectional study of qol of diabetic patient at tertiary care hospital in delhi’ indian journal of community medicine 34 (4), 346-350. 11nuari, metode self instructional training ... international diabetes federation 2010, diabetes atlas, fifth edition. http/www.idf.org/diabetesatlas/5e/ the-global-burden. diakses 21 desember 2015. karter, a.j., stevens, m.r., gregg, e.w., brown, a.f., tseng, c.w., marrero, d.g., duru, k., gary, t.l., piette, j.d., waitzfelder, b., herman, w.h., beckles, g.l., safford, m.m., and ettner, s.l. 2008. ‘educational disparities in rates of smoking among diabetic adults: the translating research into action for diabetes study, am j public health. 2008;98:365–370. mcnamara, r., robling, m., hood, k., bennert, k., channon, s., cohen, d., crowne, e., hambly, h., hawthorne, k., longo, m., lowes, l., playle, r., rollnick, s., gregory, j.w. 2010. ‘development and evaluation of a psychosocial intervention for children and teenagers experiencing diabetes (depicted).’ bmc health services research 2012, 12:36, http://www.biomedcentral.com/1472-6963/ 10/36al, mersal, f.a., mahday, n.e., mers, n.a. 2012. efficiency of web-based education versus counseling on diabetic patients’ outcomes. life sei j 2012; 9 (3):912-926. (issn: 1097-8135). nuari, nian afrian. 2014. analisis korelasi personal factor, perceived benefit dan perceived barrier dengan pemberdayaan diri pasien diabetes mellitus tipe ii berbasis teori health promotion model. jurnal kesehatan gaster stikes aisyiyah surakarta 2014. http://www.jurnal.stikesaisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/view/76 nuari, nian afrian, & kartikasari, melani. 2015. peningkatan self empowerment dan kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe ii dengan pendekatan dee berbasis health promotion model. jurnal ners unair. http://e-journal.unair. ac.id/index.php/jners/article/view/14 nuari, nian afrian. 2016. pengembangan model peningkatan pemberdayaan diri dan kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe ii. jurnal lentera universitas widya mandala surabaya. http:// journal.wima.ac.id/index.php/ners/article/view/ 878. notoatmojo, s. 2003. metode penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. smeltzer, s.c., bare, b.g., brunner, & sudarth’s. 2004, textbook of medical surgical nursing 10th edition. volume 2. philadelphia: lippincot & wilkins. soegondo, s. 2011. ‘penatalaksanaan dm terpadu.’ diagnosis dan klasifikasi dm terkini. edisi ke2. jakarta: balai penerbit fkui. song, m.k., and lipman, t.h. 2008. concept analysis: self-monitoring in type 2 diabetes mellitus, international journal of nursing studies 45 17001710. suyono, s. 2011, ‘penatalaksanaan dm terpadu.’ patofisiologi dm. edisi ke-2. jakarta: balai penerbit fkui. world health organization. 2000. ‘definition, diagnosis and clasification of diabetus mellitus and its complications.’ report a who consultation. who, geneva. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 193nurhidayah dan ismiaty, hubungan kepuasan ... 193 hubungan kepuasan pelayanan kb suntik denganminat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah (the correlation of satisfactionof birth control program by contraception injection with the entgusiasm to be acceptor in bpm mustardiyah) nurhidayah1 dan emy ismiaty² 1programstudi s1 keperawatan, stikes ganesha husada kediri ²program studi d3 kebidanan, stikes ganesha husada kediri email: nurhida15@gmail.com, emyismiaty@yahoo.com abstract: the cause of drop out in using injection contraceptionn caused by the couple factor, want to have more children, health factor and method of contraception that is the side effectand the cost. besides, another factors that influence the choosing of contraception variation is education level knowledge, family prosperity, religion and support of husband and wife. those factors will be influenced with the success of birth control program. the goal of this research was to identify the correlation of satificationof birth controlprogram by injection with the enthusiasm to be acceptor in bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri. the research was correlational and used crossectional approach. the variable of this research was the satification as independent variable and prosperity as dependent variable. the population were all of birth control acceptor as much as 108 respondents. the sample 52 respondents by simple random sampling. the data analysis used chi quadrat. the result showed that 34 mothers (65,4%) in category of satisfy, and 35 mothers (67,3 %) was enthusiasm to be acceptor from. the analysis of the two variables showed that  value <  = 0,000 < 0,05 h¹ accepted, means that there was correlation between birth controlsatisficationand enthusiasm to be acceptor in bpm mustardiyahmanyaran, banyakan kabupaten kediri. it was suggested for midwife to increase their knowledge to make their service better. keywords: satisfaction on birth control,injection contraception, enthusiasm to be acceptor abstrak: penyebab droup out menggunakan kb suntik disebabkan antara lain karena ingin memiliki anak, faktor kesehatan dan faktor metode kontrasepsi yaitu efektivitas, efek samping, faktor pelayanan dan biaya. selain faktor-faktor tersebut masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi seperti tingkat pendidikan, pengetahuan, kesejahteraan keluarga, agama, dan dukungan suami dari istri. faktor-faktor ini nantinya juga akan mempengaruhi keberhasilan program kb. tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah, manyaran banyakan kabupaten kediri. penelitian ini adalah penelitian korelasional dan berdasarkan waktunya dikategorikan crossectional. variable penelitiannya adalah kepuasan variable bebas dan minat variable tergantung. populasi seluruh akseptor kb suntik sebanyak 108 akseptor dengan menggunakan simple random sampling maka besar sampel sebanyak 52 akseptor. uji statistik yang digunakan adalah chi quadrat. penelitian ini dilakukan pada 52 responden dengan hasil sebagian besar yaitu 34 ibu (65,4%) menyatakan puas, bahwa sebagian besar yaitu 35 ibu (67,3%) berminat. analisis hubungan kedua variable menyatakan  value <  = 0,000 < 0,05 bermakna h¹ diterima, yang berarti ada hubungan kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran bayakan kabupaten kediri. kata kunci: kepuasan pelayanan, kb suntik, minat menjadi akseptor acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p193-197 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 193–197 dalam tiga dasawarsa terakhir kontrasepsi di indonesia ditunjukkan dengan 95% menggunakan cara kontrasepsi modern, yaitu terdiri dari pil kb atau kontrasepsi oral, suntikan atau intravaginal, penggunaan alat dalam saluran reproduksi (kondom, akdr, implan), operasi tubektomi ataupun vasektomi, dengan obat topikal vaginal yang bersifat spermicid. dari sekian banyak alat tersebut penggunaan suntikan merupakan cara yang paling banyak digunakan karena sudah lama dikenal dan efektifitasnya sebagai alat kontrasepsi cukup tinggi kb suntik mempunyai efektifitas 99% bila digunakan secara tepat dan teratur (surinah, 2007). survey angka kegagalan penggunaan kontrasepsi di 15 negara berkembang menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang angka kegagalan tahun pertama untuk kontrasepsi suntik (7,2%) lebih tinggi daripada untuk akdr (4,3%) (hartanto, 2010). di indonesia setiap tahun ada 2,3 juta keguguran di mana 700 ribu disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan, sedangkan 600 ribu disebabkan kegagalan kb (syarif, 2008. kompas.com). sedangkan angka kegagalan secara pridiksi kb suntik adalah 1%, tetapi dalam kenyataannya angka kegagalan tersebut mencapai 4%-6% dari jumlah pengguna suntik (hanafi, 2007). data nasional berdasarkan sdki tahun 2013 pengguna kontrasepsi suntik mencapai 42% dari pengguna kb lainnya (sdki bkkbn, 2013) sedangkan di jawa timur angka pengguna kb suntik mencapai 39% dari total akseptor kb (pemerintah propinsi jatim, 2013). di kabupaten kediri tahun 2013 pengguna kb suntik mencapai 35% dari seluruh akseptor (sbkkbn kabupaten kediri, 2013). sedangkan di data di uptd puskesmas tiron pengguna kb suntik mencapai 2542 akseptor (56%) dari seluruh akseptor kb. sedangkan data droup out pengguna kb suntik untuk wilayah kecamatan banyakan sebanyak 423 akseptor. sedangkan jumlah akseptor kb suntik di bpm mustardiyah sebanyak 108 akseptor dan pada tahun 2014 sampai bulan september terdapat 32 akseptor (32%) yang droup out. dari 32 ibu yang droup out disebabkan karena 17 akseptor (53,2%) kurang puas dengan alat kontrasepsi tersebut, 2 akseptor (6,25%) ibu mengalami hipertensi, 5 akseptor (15,6%) ingin memiliki anak lagi, 8 akseptor (25%) karena timbul hiperpigmentasi atau flek pada wajah. penyebab droup out menggunakan kb suntik disebabkan antara lain karena ingin memiliki anak, faktor pasangan, faktor kesehatan dan faktor metode kontrasepsi yaitu efektivitas, efek samping, faktor pelayanan dan biaya. selain faktor-faktor tersebut masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi seperti tingkat pendidikan, pengetahuan, kesejahteraan keluarga, agama, dan dukungan dari suami atau istri. faktor-faktor ini nantinya juga akan mempengaruhi keberhasilan program kb. hal ini dikarenakan setiap metode atau alat kontrasepsi yang dipilih memiliki efektivitas yang berbeda-bedadan faktor kualitas pelayanan. kepuasan pelayanan tentang kb suntik merupakan penampilan yang pantas atau sesuai dari suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang terdiri dari 5 dimensi yaitu kehandalan (reability), bukti fisik (tangibles), daya tanggap (responsiveness), jaminan (asurance), empaty (kotler, 2009). akibat yang ditimbulkan dari droup out antara lain target kb suntik kurang, timbul kehamilan sehingga meningkatkan jumlah penduduk. pelayanan yang di harapkan oleh masyarakat adalah pelayanan kb yang cepat, pelayanan yang ramah dan dengan teknologi keilmuan yang baru, oleh karena itu mutu pelayanan sangatlah penting untuk dikaji. pengkajian mutu pelayanan kb suntik dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan di bidang kesehatan, sehingga profesionalismenya tidak diragukan. dari hal diatas maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul hubungan kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri. bahan dan metode jenis penelitian ini menggunakan pendekatan crossecsional. sampel dalam penelitian ini adalah 52 akseptor kb suntik dari total populasi 108 akseptor kb suntik yang ada di bpm mustardiyah manyaran banyakan kabupaten kediri yang diambil secara simple random sampling. variable independen dalam penelitian ini adalah kepua sa n pela ya na n kb suntikda n va r ia ble dependennya minat menjadi akseptor kb suntik tetap. sedangkan instrumen yang digunakan berupa kuesioner skala linkert untuk mengetahui kepuasan pelayanan kb suntik dan minat menjadi akseptor kb tetap. analisa data menggunakan chi square dengan tingkat kemaknaan  < 0,05. 195nurhidayah dan ismiaty, hubungan kepuasan ... hasil penelitian kualitas pelayanan kb suntik di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri bulan september 2014 kepuasan pada kategori puas dan berminat menjadi akseptor kb suntik tetap. berdasarkan analisis hubungan yang menggunakan uji chi quadrat dengan teknik penghitungan menggunakan program spss di dapatkan p value =0,000 <  = 0,05 yang berarti ho ditolak sehingga dapat di baca ada hubungan kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri, keeratan hubungan dalam anilisis tersebut mendapat hasil 0,660 yang dapat diartikan terdapat keeratan kuat. sehingga dapat disimpulkan semakin puas ibu maka semakin berminat menggunakan kb suntik tetap. pembahasan kepuasan akseptor kb suntik hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 34 ibu (65,4%) menyatakan puas dengan pelayanan kb suntik.kepuasan pasien terkait dengan berkualitas layanan menurut pemakai jasa pelayanan kesehatan merupakan ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keprihatinan serta keramahan petugas dalam melayani pasien dan kesembuhan pasien, bahwa kualitas pelayanan yang diterima merupakan hasil dari membandingkan kenyataan dengan harapan, dan bila tidak puas maka keinginannya tidak bisa terpenuhi seperti harapannya (saifudin, 2006). setiap orang yang menilai kepuasan pelayanan kesehatan berdasarkan standar atau kriteria karakteristik yang berbeda beda. perbedaan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan dalam latar belakang, pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, pengalaman, lingkungan dan kepentingan (jocobalis, 2006). berdasarkan hasil dan teori di atas bahwa dalam menilai pelayanan karena didasarkan atas kemampuan responden dalam menerima pelayanan tabel 1. distribusi frekuensikualitaspelayanan kb suntik di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri bulan september 2014 no kepuasan pelayanan kb suntik f % 1 sangat puas 4 7,7 2 puas 34 65,4 3 tidak puas 14 26,9 total 52 100 berdasarkan hasil distribusi frekuensi kualitas pelayanan kb suntik pada tabel 1 dapat diintepretasikan bahwa sebagian besar yaitu 34 ibu (65,4%) menyatakan puas minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri bulan september 2014 tabel 2. distribusi frekuensi minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri bulan september 2014 no minat f % 1 tidak berminat 17 32,7 2 berminat 35 67,3 total 66 100 berdasarkan hasil distribusi frekuensi minat menjadi akseptor kb tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri tingkat kepuasan pada tabel 2 dapat diintepretasikan bahwa sebagian besar yaitu 35 ibu (67,3%) berminat. kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupatenkediri bulan september 2014 berdasarkan hasil tabulasi silang kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri dapat diintepretasikan bahwa sebagian besar yaitu 32 ibu (61,5%) menyatakan tabel 3. tabulasi silang kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri bulan september 2014 kepuasan minat tot al tidakberminat berminat σ % σ % σ % sangatpuas 1 1,9 3 5,8 4 7,7 puas 2 3,8 32 61,5 34 65,4 tida kpuas 14 13,3 0 3,3 14 26,9 total 17 32,7 35 67,3 52 100 196 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 193–197 yang diberikan, selain itu subjektifitas penilaian pelayanan juga dapat dinilai oleh responden yang didasarkan atas standart yang responden ketahui. penilaian responden terhadap kepuasan pelayanan dipengaruhi oleh aspek pendidikan responden.hal ini dapat dilihat bahwa yang berpendidikan sd merasa puas dengan pelayanan yang diterimanya sehingga merasakan juga kepuasan yang sesuai dengan pelayanan yang diterimanya, hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi penilaian responden dalam menilai berkualitas pelayanan. semakin tinggi pendidikan responden semakin lebih sensitif dalam menilai kualitas pelayanan sehingga berdampak pada kepuasan yang dirasakannya. pada dasarnya responden yang berpendidikan tinggi lebih bisa menilai berkualitas pelayanan yang dibandingkan dengan standart yang berlaku akan tetapi responden yang berpendidikan rendah akan lebih sulit untuk menilai objektifitas pelayanan yang diberikan. selain itu cara pemberi pelayanan dan kemampuan dari pemberi pelayanan juga ba ik, hal ini kar ena petugas kesehatan melakukan posyandu tergesa gesa dan beralasan bahwa petugas kesehatan segera mau rapat sehingga pelayanan tidak maksimal. minat menjadi akseptor kb tetap hasil penelitian minat menjadi akseptor kb tetap menyatakan bahwa sebagian besar yaitu 35 ibu (67,3%) berminat menjadi akseptor kb tetap. minat adalah suatu yang pribadi dan berhubungan erat dengan sikap. minat dan sikap merupakan dasar dari prasangka, dan minat juga penting dalam mengambil keputusan. minat dapat menyebabkan seseorang giat melakukan sesuatu kegiatan yang telah menarik minatnya. beberapa kondisi yang mempengaruhi minat salah satunya adalah pendidikan. semakin tinggi dan semakin formal tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang maka semakin besar minatnya untuk menjadi akseptor kb tetap (gunarsa, 2008). pendidikan salah satu faktor yang mempengaruhi minat ibu dalam menjadi akseptor kb suntik tetap, hal ini dapat dibuktikan dengan tabulasi silang antara pendidikan dengan minat ibu menjadi akseptor kb tetap bahwa dari 28 ibu yang berpendidikan sd 53,8% berminat menggunakan kb suntik tetap, hal ini disebabkan karena pendidikan sd lebih nurut kepada provider untuk menjalankan apa yang di berikan oleh bidan. selain itu kepuasan ibu dalam merasakan pelayanan yang diberikan akan menjadi tumbuh motivasi serta minat untuk menetapkan pilihan menggunakan kontrasepsi yang aman dan nyaman di gunakan dan kontrsepsi tersebut sudah pernah dipakai dan ibu juga berpengalaman menggunakannya sehingga ibu akan tetap menggunakan kontrasepsi tersebut. hubungan kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri berdasarkan hasil tabulasi silang kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri dapat diintepretasikan bahwa sebagian besar yaitu 32 ibu (61,5%) menyatakan kepuasan pada kategori puas dan berminat menjadi akseptor kb suntik tetap. berdasarkan analisis hubungan yang menggunakan uji chi quadrat dengan teknik penghitungan menggunakan program spss di dapatkan p value =0,000 <  = 0,05, yang berarti ho ditolak sehingga dapat di baca ada hubungan kepuasan pelayanan kb suntik dengan minat menjadi akseptor tetap di bpm mustardiyah manyaran, banyakan kabupaten kediri, keeratan hubungan dalam anilisis tersebut mendapat hasil 0,660 yang dapat diartikan terdapat keeratan kuat. sehingga dapat disimpulkan semakin puas ibu maka semakin berminat menggunakan kb suntik tetap. dimensi kepuasan yang disusun tergantung pada jenis produk yang dikutip pohan (2007) menjelaskan ada dimensi berkualitas pelayanan kesehatan yakni kompetensi teknis, keterjangkauan atau akses, efektifitas, efisiensi, kesinambungan, keamanan, kenyamanan, informasi dan ketepatan waktu pelayanan. menurut tjiptono (2010) mengemukakan 5 (lima) dimensi yang digunakan untuk mengukur berkualitas pelayanan yaitu kehandalan (reliability), daya tanggap (responsivines), jaminan (assurance), empati (empathy) dan bukti fisik (tangible) dari hasil diatas dapat dijelaskan bahwa kepuasan responden secara objektif dipengaruhi oleh faktor berkualitas produk, berkualitas pelayanan, emosional, harga dan biaya. sehingga responden bisa dikatakan puas bila mereka memikirkan lima penilaian tersebut. kepuasan pelayanan sendiri terbagi menjadi lima dimensi yang semuanya jadi bahan pertimbangan responden untuk menilai kualitas pelayanan tersebut. jadi responden yang menyatakan puas pasti akan menilai faktor faktor diatas sebagai 197nurhidayah dan ismiaty, hubungan kepuasan ... alat ukur penilaian mereka. akan tetapi secara dasar responden hanya bisa membandingkan antara harapan dia tentang kualitas dan kenyataan yang dirasakannya. bila responden merasakan bahwa harapan akan kualitas itu didapatkannya maka responden akan menilainya dengan perasaan puas, akan tetapi bila harapannya tidak tercapai maka akan menyatakan tidak puas. kepuasan tersebut akan berpengaruh pada minat dalam menentukan pilihan dan ketetapan yang diingininya sebagai keinginan menjadi akseptor kb suntik tetap. penentuan menjadi akseptor kb suntik tetap maka angka kehamilan menjadi rendah, yang berarti dapat disimpulkan bahwa semakin puas akseptor maka semakin berminat menggunakan kb suntik tetap sehingga angka kehamilan menurun. simpulan dan saran simpulan sebagian besar akseptor yaitu 65,4% menyatakan puas dengan pelayanan kb suntik di bpm mustardiyah manyaran,banyakan kabupaten kediri. sebagian besar akseptor menyatakan berminat menjadi akseptor kb tetap di bpm mustardiyah manyaran,banyakan kabupaten kediri. saran bagi perawat, diharapkan perawat dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap akseptor sehingga minat akseptor dalam mengikuti kb suntik lebih yakin sehingga akseptor yang mengikuti program kb suntik lebih banyak yang mengikuti. daftar rujukan gunarsa. 2008. keaktifan dan minat serta motivasi. jakarta: egc. hanafi, h. 2007. keluarga berencana dan kontrasepsi. jakarta: egc. har t a nt o, h. 2007. ke luarga b ere ncana dan kontrasepsi. jakarta: pustaka sinar harapan. saifuddin, a., dkk. 2006. buku paduan paktis pelayanan kontrasepsi cetakan 2. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. tjiptono, fandy. 2010. strategi pemasaran: ed revisi. yogyakarta: andi. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 148 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 148–153 148 tingkat kecemasan siswa yang mempunyai orangtua tunggal dalam menghadapi ujian (the anxiety level of students who have single parents in dealing with exam) irene cosmalinda agatha praktisi keperawatan email: levitina.40@gmail.com abstract: anxiety is the narrowing of the field of perception but still may be directed to others. this study aimed to identify the anxiety levels of students who have single parents in the exam. method: descriptive research design. the population was 31 students who have single parents. the sample was 31 students. the sampling technique was total sampling. the instrument used hars questionnaires. result: the results showed that 87% students experiencing anxiety in susceptible adaptive anxiety which makes the child’s motivation to achieve the goal. based on the results, there were three things that stand out, namely the onset of anxiety disorders of sleep (not sleep soundly) 30%, impaired intelligence (poor memory, difficulty concentrating) 26%, and anxiety (a bad feeling before the exam) 17%. discussion: it was expected that counseling can determine the level of anxiety felt by the class xii students who have single parents and allows students to uncover the feelings of the problem so that the learning process will increase. keywords: anxiety, single parents, exam abstrak: kecemasan adalah penyempitan bidang persepsi tapi masih dapat diarahkan kepada orang lain. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kecemasan siswa yang memiliki orang tua tunggal dalam ujian. metode: desain penelitian deskriptif. populasi adalah 31 siswa yang memiliki orang tua tunggal. sampel adalah 31 siswa. teknik sampling adalah total sampling. instrumen yang digunakan hars kuesioner. hasil: hasil penelitian menunjukkan bahwa 87% siswa mengalami kecemasan dalam kecemasan adaptif rentan yang membuat motivasi anak untuk mencapai tujuan. berdasarkan hasil, ada tiga hal yang menonjol, yaitu timbulnya gangguan kecemasan tidur (tidur tidak nyenyak) 30%, gangguan kecerdasan (memori miskin, sulit berkonsentrasi) 26%, dan kecemasan (perasaan buruk sebelum ujian ) 17%. diskusi: diharapkan bahwa konseling dapat menentukan tingkat kecemasan yang dirasakan oleh siswa kelas xii yang memiliki orang tua tunggal dan memungkinkan siswa untuk mengungkap perasaan masalah sehingga proses pembelajaran akan meningkat. kata kunci: kecemasan, orang tua tunggal, ujian kecemasan disebut sebagai suatu respons manusia terhadap suatu kejadian yang dianggapnya sebagai suatu hal yang membuatnya tidak merasakan nyaman, kekhawatiran yang tidak menentu sebagai peringatan pada diri sendiri untuk melindungi diri. dalam kehidupan, manusia tidak dapat terhindar dari rasa kecemasan. keluarga merupakan lingkungan terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak, keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif. oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya delinquency itu acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p148-153 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 149agatha, tingkat kecemasan siswa ... sebagian besar juga dari keluarga (sudarsono, 2004: 125). menurut walgito (1982), dalam situasi keluarga yang demikian anak mudah mengalami frustasi, mengalami konflik-konflik psikologis, sehingga keadaan ini juga dapat mudah mendorong anak menjadi delinkuen (sudarsono, 2004:126). penelitian yang dilakukan oleh gerald patterson dan rekan-rekannya dalam santrock (1996) menunjukkan, bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. perselisihan dalam keluarga atau stres yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan (sumiati, dkk., 2009:78-79). menurut santrock (1993), masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. oleh karena itu disebut juga sebagai masa panca roba yang penuh gejolak dan keadaan tak menentu. hal ini terjadi karena di satu pihak, remaja dianggap sudah bukan anak-anak lagi, di lain pihak remaja dianggap belum dewasa, sehingga dapat menyebabkan remaja mengalami krisis identitas. (sumiati, dkk., 2009:2). ekowarni (1993) menyatakan, pada masa transasi ini, kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu (sumiati dkk, 2009:53). pada dasarnya kenakalan remaja yang disebabkan karena broken home maupun quasi broken home dapat diatasi/ditanggulangi dengan cara-cara tertentu. dalam broken home cara mengatasi agar anak tidak menjadi delinquent ialah orang tua yang bertanggung jawab memelihara anak-anaknya hendaklah mampu memberikan kasih sayang sepenuhnya sehingga anak tersebut merasa seolah-olah tidak pernah kehilangan ayah dan ibunya (sudarsono, 2004:126-127). keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian dan keluarga dengan ekonomi kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa remaja (sumiati dkk, 2009:40). keadaan keluarga yang tidak normal “broken homosemu”, (quasi broken home) ialah, kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masingmasing anggota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya (sudarsono, 2004:125-126). kondisi kehidupan keluarga yang damai, penuh kasih sayang serta penuh cita-cita akan mendorong anak untuk belajar lebih giat dan tekun, sebaliknya suasana dan keadaan keluarga yang tidak harmonis dan kurang memiliki perhatian terhadap prestasi akan membuat anak tidak terpacu dan memiliki motivasi belajar (hidayat, 2009:119). dalam studi yang dilakukan oleh kalter dan rembar dalam tugas akhir yang ditulis oleh wati (2010), dari 144 sampel anak dan remaja awal yang orangtuanya bercerai, 56% kemampuan berprestasinya rendah atau dibawah kemampuan yang pernah mereka capai dimasa sebelumnya, 44% melakukan agresi terhadap orangtua. pada hasil studi pendahuluan yang dilakukan di 8 kelas xii smak diponegoro blitar sejumlah 219 siswa, 31 siswa diantaranya mempunyai orangtua tunggal. siswa yang mempunyai orangtua tunggal karena meninggal berjumlah 5 siswa, siswa yang mempunyai orangtua tunggal karena bercerai berjumlah 17 siswa, siswa yang orangtuanya berpisah tempat tinggal karena bekerja berjumlah 9 siswa. 27 dari 31 siswa tidak mempunyai minat untuk meningkatkan belajarnya dan 19 dari 31 siswa tidak membutuhkan orangtua untuk menceritakan masalahnya. berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang tingkat kecemasan siswa yang mempunyai orangtua tunggal dalam menghadapi ujian. metode dan bahan desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif, yang akan mendeskripsikan tingkat kecemasan siswa yang mempunyai orangtua tunggal dalam menghadapi ujian. populasi dalam penelitian ini adalah sampel dalam penelitian adalah siswa kelas xii sma katolik diponegoro blitar tahun ajaran 2014/2015 yang mempunyai orang tua tunggal sebanyak 31 siswa dengan menggunakan teknik total sampling. pengambilan data dilakukan pada tanggal 1213 maret 2015 di kelas xi sma katolik diponegoro blitar. dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner hars. kuesioner berisi data umum dan data khusus, data umum digunakan untuk menggali identitas responden, sedangkan data khusus berisi 14 kisi-kisi point kecemasan. data ditabulasi untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan data umum yang akan disajikan dalam bentuk diagram lingkaran, sedangkan data khusus akan disajikan dalam tabel. 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 148–153 hasil penelitian karakteristik responden penelitian dilaksanakan di sma katolik diponegoro blitar yang terletak di jl. diponegoro no. 28 blitar , telepon (0342) 801226. data umum terdiri dari umur responden, tinggal bersama, penyebab ketidak bersamaan, frekuensi orangtua mendengarkan, sulit konsentrasi belajar dan daya ingat buruk dan data khusus terdiri dari 14 item gejala kecemasan sesuai kuesioner hars. hasil penelitian menunjukkan umur siswa sebanyak 61% berumur 17 tahun, orangtua serumah yang tinggal dengan siswa sebanyak 58% tinggal bersama ibu, penyebab orangtua berpisah sebanyak 55% disebabkan karena perceraian, frekuensi orangtua mendengarkan keluhan sebanyak 13% tidak pernah mendengarkan, frekunsei kesulitan konsentrasi belajar sebanyak 61% mengalami kesulitan dan keadaan daya ingat siswa sebanyak 52% daya ingat siswa buruk. tingkat kecemasan siswa sma katolik diponegoro blitar tabulasi silang kecemasan siswa berdasarkan penyebab orangtua berpisah kriteria tingkat kecemasan j umlah % t idak ada kecemasan 0 0 kecemasan ringan 2 6.5 kecemasan sedang 27 87 kecemasan berat 2 6.5 tota l 31 10 0 tabel 1. tingkat kecemasan siswa kelas xii sma katolik diponegoro blitar yang mempunyai orang tua tunggal dalam menghadapi ujian berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kecemasan yang paling tinggi sebanyak 87% yaitu kecemasan sedang. sedangkan untuk kecemasan berat sebanyak 6,5%. gejala kecemasan siswa sma katolik diponegoro blitar berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa gejala kecemasan yang paling tinggi dialami dari 31 responden mempunyai gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan cemas dan adanya gejala vegetatif/otonom. tabel 2. gejala kecemasan siswa kelas xii sma katolik diponegoro blitar yang mempunyai orang tua tunggal dalam menghadapi ujian gejala kecemasan j umlah % perasaan cemas 12 17 % ketegangan 2 3% ketakutan 3 4% gangguan tidur 22 30 % gangguan kecerdasan 19 26 % perasaan depresi 1 2% gejala somatik 3 4% gejala sendorik 1 1% gejala kardiovaskuler 2 3% gejala pernapasan 1 1% gejala gastrointestinal 1 1% gejala urogenital 0 0% gejala vegetatif/otonom 6 8% perilaku saat ini 0 0% tabel 3. tabulasi silang kecemasan siswa berdasarkan penyebab orangtua berpisah penyeb ab ber pisah kecemasan ringan sedang berat jumlah ber cerai 1 (3%) 15 (49%) 1 (3%) 17 (55%) meninggal 0 (0%) 5 (16%) 0 (0%) 5 (16%) bekerja 1 (3%) 7 (23%) 1 (3%) 9 (29%) jumlah 2 (6%) 27 (88%) 2 (6%) 31 (100%) dari tabel 3 dapat diketahui bahwa penyabab orang tua berpisah adalah bercerai pada responden kecemasan sedang sebanyak 49%. tabulasi silang kecemasan siswa berdasarkan kesulitan konsentrasi belajar tabel 4. tabulasi silang kecemasan siswa berdasarkan kesulitan konsentrasi belajar kesulitan konsentrasi kecemasan ringa n sedang berat jumlah ya 0 (0%) 17 (55%) 2 (7%) 19 (62%) tidak 2 (6%) 10 (32%) 0 (0%) 12 (38%) jumlah 2 (6%) 27 (87%) 2 (7%) 31 (100%) dari tabel 4 dapat diketahui bahwa siswa mengalami kesulitan berkonsentrasi pada responden kecemasan sedang sebanyak 55%. pembahasan penyebab orang tua tidak bersama berdasarkan data yang diperoleh didapatkan sebagian besar sebanyak 58% tinggal bersama salah satu orang 151agatha, tingkat kecemasan siswa ... tuanya yaitu ibu dan 55% penyebab orang tua mereka tidak bersama adalah karena bercerai. penyebab keluarga tidak harmonis dapat dibagi menjadi 3 hal yaitu karena orang tua mengalami perceraian, kematian maupun ditinggal bekerja. karena ada perpecahan itu, anak mengalami permasalahan dalam psikologisnya. menurut willis (2005:105-106), sebuah keluarga dikatakan harmonis apabila struktur keluarga itu utuh dan interaksi diantara anggota keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis diantaranya memuaskan dirasakan oleh setiap anggota keluarga. apabila struktur keluarga tidak utuh lagi, misalnya karena kematian salah satu orang tua atau perceraian, keadaan seperti itu disebut keluarga pecah atau broken home. disamping itu keluarga “broken home” juga bisa terjadi jika ayah dan ibu terlalu sibuk mengurus kepentingannya di luar rumah sehingga jarang sekali berkumpul bersama anak-anak mereka. perasaan kesulitan berkonsentrasi belajar anak berdasarkan data yang diperoleh dari 31 responden sebanyak 61% mengatakan sulit berkonsentrasi belajar. tidak semua anak mempunyai konsentrasi belajar yang baik dan menerima pelajaran dengan mudah. menurut ahmadi & supriyono (2004:77), aktivitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya berlangsung secara wajar. kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. dalam hal semangat terkadang semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. setiap individu memang tidak ada yang sama. perbedaan individual ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar di kalangan anak didik. “dalam keadaan di mana anak didik/siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan “kesulitan belajar”. suasana keluarga yang sangat ramai/ gaduh/suasana tegang tidak mungkin anak dapat belajar dengan baik. anak akan selalu terganggu konsentrasinya sehingga sukar untuk belajar (ahmadi dkk, 2004:87). selain itu, 6,5% mengalami kecemasan ringan. tempat membentuk perkembangan anak selain keluarga yaitu sekolah. selain mendapatkan pendidikan di keluarga, anak juga mendapatkan pendidikan dalam sekolah. anak merasa bahwa kecemasan yang dirasakan merupakan ketegangan yang dialami sehari-hari atau merupakan hal yang biasa dan kecemasan ringan yang bersifat memotivasi anak untuk belajar menjadi lebih baik dan dapat memecahkan permasalahannya secara efektif. sehingga meskipun adanya ujian yang semakin dekat, anak merasa adanya semangat dalam diri untuk menjadi lebih giat dan masalah yang menimpa anak dapat dihadapi sebagai acuan untuk motivasinya. selain itu 87% mengalami kecemasan sedang. kebanyakan siswa kelas xii sma katolik diponegoro blitar mengalami kecemasan sedang dalam menghadapi ujian. dapat disimpulkan bahwa anak belum dapat menfokuska n mengha dapi ujian karena anak terfokus pada pikiran dan perhatiannya selama ini. salah satunya adalah perpecahan dalam keluarga sehingga terjadi penyempitan lapangan persepsi anak meskipun masih dapat diarahkan oleh orang lain. namun kecemasan yang dirasakan anak masih dalam rentang kecemasan adaptif, dimana anak masih dapat mengontrol dan dikontrol oleh arahan orang lain. anak dapat menyesuaikan keadaannya walaupun mempunyai masalah dalam keluarganya. kecemasan yang dirasakan anak merupakan kecemasan yang memacu dan membangkitkan rasa semangatnya untuk menggapai tujuannya. dan sisanya sebanyak 6,5% mengalami kecemasan berat. anak kesulitan dalam membagi perhatiannya antara ujian dan keadaan keluarga sehingga anak mengalami kesulitan berpikir tentang hal-hal lain. perilaku anak perlu adanya banyaknya bimbingan dan arahan agar anak menfokuskan dalam menghadapi ujiannya. dari hasil penelitian yang sudah disusun, terdapat beberapa indikator kecemasan yang menonjok yaitu anak mengalami kesulitan pada gangguan tidur, gangguan kecerdasan dan perasaan cemas. pada gangguan tidur, data yang diperoleh dibuktikan ba hwa da ri hasil penelitian anak mera sakan kesulitan tidur sebanyak 30% seperti tidak pulas, sukar memulai tidur, terbangun malam hari dan mimpi buruk. tidur membuat anak mudah berkonsentrasi belajar dan anak dapat melakukan aktivitas dengan baik. tetapi karena ada masalah dalam keluarga, anak menjadi kesulitan tidur dan terkadang banyak yang mengalami insomnia. sehingga tidur cukup merupakan hal penting bagi anak yang saat ini akan melakukan ujian di sekolahnya.pada gangguan tidur dalam puri, dkk. (2008:269) dijelaskan bahwa jika tidur kurang dari 3 jam dalam 24 jam, manusia akan mudah marah dan cakupan perhatiannya berkurang. kurang tidur dalam waktu lama menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, kemunduran performa umum, mudah terpengaruh. menonjolnya efek psikologis mengisyaratkan bahwa tidur secara spesifik memperbaiki fungsi otak. sedangkan pada gangguan kecerdasan seperti daya ingat buruk, sulit berkonsentrasi didapatkan 26% mengalami gangguan 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 148–153 kecerdasan. jadi gangguan kecerdasan anak dapat timbul karena adanya lingkungan dalam rumah yang tidak mendukung. suasana keluarga yang sangat ramai/gaduh/suasana tegang tidak mungkin anak dapat belajar dengan baik. anak akan selalu terganggu konsentrasinya sehingga sukar untuk belajar (ahmadi dkk, 2004:87). selain itu didapatkan anak mengalami adanya perasaan cemas seperti firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung sebesar 17%. setelah diketahui bahwa anak mengalami kecemasan sehingga mengalami gangguan tidur, gangguan kecerdasan dan gejala vegetatif, dalam hasil penelitian didapatkan juga anak masih dapat mengatasi kecemasannya dengan sangat baik terutama pada gejala sensori dan perilakunya. digejala sensori didapatkan 1% mengatakan mengalami gejala sendiri. gejala sensori atau saraf dapat berupa seperti anak merasa telinga berdengung, penglihatan kabur, muka merah, terasa lemas dan badan seraya ditusuk-tusuk. persepsi sensori yang salah tanpa adanya rangsang eksternal yang nyata dapat disebut dengan halusinasi. halusinasi bisa terjadi pada indera pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan atau somatik (puri dkk, 2008:77). sedangkan pada perilaku didapatkan 0% tidak ada masalah pada perilakunya. anak mungkin memang berada di dalam keluarga yang tidak harmonis khususnya orang tuanya. tetapi masih ada dari saudara maupun kakek/nenek yang dapat mendidik anak dengan baik sehingga anak dapat mengontrol perilaku dan tidak terlalu terbebani dengan masalah keluarganya. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, diperoleh hasil penelitian yaitu kebanyakan siswa mengalami kecemasan sedang sebanyak 87%, sedangkan kecemasan ringan 6,5% dan kecemasan berat 6,5%. kecemasan sedang yang dialami anak merupakan kecemasan rentan adaptif, dimana anak masih dapat diarahkan dan dibimbing dari orang lain. kecemasan sendiri penting untuk anak dimana kecemasan berguna untuk memotivasi dan membangkitkan semangat anak untuk menggapai tujuannya. jika kecemasan anak tidak diarahkan maka bias jadi kecemasan anak semakin menjadi ke rentan maladaptif dimana anak tidak dapat mengontrol perhatiannya dan tidak dapat melakukan apapun meskipun diperintah. pada kecemasan yang dialami siswa, dalam skala hars terdapat 3 hal yang menonjol yang memicu terjadinya kecemasan disebabkan gangguan tidur (tidak tidur pulas, sukar memulai tidur) sebanyak 30%, gangguan kecerdasan (daya ingat buruk, sulit konsentrasi) sebanyak 26% dan perasaan cemas (firasat buruk sebelum ujian, takut akan pikiran sendiri) sebanyak 17%. sedangkan ada beberapa gejala yang tidak dialami siswa yaitu gejala urogenital 0% dan perilaku 0%. saran bagi institusi pendidikan, diharapkan dengan hasil penelitian ini institusi pendidikan khususnya bimbingan konseling dapat mengetahui tingkat kecemasan yang dirasakan siswa kelas xii yang akan menghadapi ujian khususnya mempunyai orang tua tunggal dalam keretakan dalam keluarga sehingga memudahkan siswa mengungkap perasaan masalahnya sehingga proses belajar nya dapat terlaksanakan dengan baik. dan untuk para pendidik informasi di sekolah perlu memahami tentang pemicu munculnya dan penyebab kecemasan pada siswa khususnya yang mempunyai orang tua tunggal dengan memberikan bimbingan dan solusi yang tepat seperti cara mengelola tidur, cara efektif mengatur konsentrasi belajar siswa. bagi siswa, diharapkan siswa kelas xii dapat menghilangkan atau menurunkan kecemasannya dari berat, sedang, ringan menjadi tidak ada kecemasan dengan selalu terbuka dan tidak terlalu membawa permasalahan dalam keluarga sehingga tidak menganggu proses belajar nya dalam menghadapi ujian. bagi peneliti selanjutnya, diharapkan untuk peneliti selanjutnya lebih memilih alat ukur yang tepat khususnya alat ukur kecemasan. sesuaikan dengan subjek atau responden penelitian dengan alat ukur yang digunakan agar lebih sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. misalnya dengan anak remaja dan orang sakit mempunyai alat ukur kecemasan yang berbeda. daftar rujukan ahmadi, h.b & supriyono, w. 2004.psikologi belajar. jakarta: pt rineka cipta. puri. b.k., laking, p.j., & treasaden, i.h. 2008. buku ajar psikiatri. jakarta: egc. sudarsono. 2004. kenakalan remaja. jakarta: pt rineka cipta. 153agatha, tingkat kecemasan siswa ... sumiati., dinarti, nurhaeni, h., & aryani, r. 2009. kesehatan jiwa remaja dan konseling. jakarta: trans info media. wati, t.w.l. 2010. dampak psikologis perceraian orang tua pada remaja awal. semarang: universitas katolik soegijapranata. willis, s.s. 2005. remaja & masalahnya. bandung: pt cv alfabet. *) praktisi bidan, **) stikes patria husada blitar 75 hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah (relationship between authoritarian parenting with independence of pre school age children) zulfa okta asnida *) , apsa madantia **) stikes patria husada blitar e-mail: jurnalstikes@gmail.com abstract introduction: one of the roles of the parents is to make the children independent, which means increasing the children’s ability in fulfilling their needs or with a little help from the others. in general, as common knowledge, parents usually use authoritarian parenting in raising their children. the purpose of this study was to determine the correlation of parents using authoritarian parenting way with the independent of 35 years old preschool children. method: the research designed using cross sectional analytical correlation. the subject of this research was all of the parents who have 3-5 years old preschool children in berlian desa bendorejo district of udanawu collected by total sampling technique and analized using chi square technic result: the results of this research showed that respondents with authoritarian parenting way tend to have children with low self-reliance of 38.9 %. meanwhile, respondents with nonauthoritarian parenting way tend to have children with high self-sufficiency of 38.9 % . the results of chi-square test showed p value = 0.025 . from the data analysis it was obtained the value of the significance level was 0.025. discussion: based on these results it could be concluded that there was a correlation between of parents using authoritarian parenting way with the independent of 3-5 years old preschool children. it was expected that the respondents provided appropriate parenting way for the children in developing their independent. keywords: children independent, authoritarian, pre school children pendahuluan pola asuh merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak yang bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu dan sangat berpengaruh besar dalam pembentukan karateristik anak yang dampaknya akan di rasakan oleh anak baik dari segi positif atau negative. (petranto, 2006). pola asuh orangtua yang positif akan berdampak positif pula pada perkembangan anak, anak-anak yang berkembang dengan kemandirian secara normal akan memiliki kecendrungan positif di masa depan. dalam mengarungi kehidupan, anak mandiri cenderung berprestasi karena dalam menyelesaikan tugas anak tersebut tidak bergantung pada orang lain. pada akhirnya anak merasa mampu menumbuhkan rasa percaya diri. anak mandiri yakin, seandainya ada risiko, ia mampu menyelesaikannya dengan baik, dengan begitu anak akan mampu berfikir serius, yakni senantiasa berusaha untuk merealisasikan sesuatu yang ditargetkan atau yang dimaksudkan, selanjutnya ia akan menjadi anak yang prestatif (wiyani, 2013). pola asuh otoriter merupakan pola pengasuhan anak yang bersifat keras di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang mutlak yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya penerapan pola asuh orang tua sangat penting utamanya adalah seorang ibu karena seorang ibu adalah orang jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p063-068 mailto:nevy_syai@yahoo.com it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah 76 utama bagi anak dan ibu merupakan lingkungan pertama yang di masuki untuk membina sosialisai anak. peran ibu dalam menerapkan pola asuh pada anak merupakan hal yang berpengaruh pada sikap keseharian anak. selain itu dalam keseharian seorang ibu juga menginginkan aktualisasi dirinya melalui bekerja di luar rumah, ibu yang bekerja di luar rumah harus pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada umumnya tugas utama seorang ibu adalah mengatur urusan rumah tangga (handayani, 2006). status ibu bekerja belum tentu mempunya efek negatif dalam mendidik anak-anaknya namun dapat mempunyai hal yang positif juga. peran aktif seorang ibu terhadap perkembangan anak-anaknya sangat diperlukan terutama pada saat mereka masih berada di bawah usia lima tahun (balita). seorang anak yang baru lahir secara mutlak bergantung pada lingkungannya, agar ia dapat melangsungkan kehidupan dan mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya. peran aktif ibu tersebut yang dimaksud adalah usaha langsung terhadap anak dan peran lain yang penting adalah dalam menciptakan lingkungan rumah sebagai lingkungan sosial yang pertama dialami oleh anak (septiari, 2012). salah satu peran orang tua adalah memandirikan anak, yang berarti meningkatkan kemampuan anak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri atau dengan sedikit bimbingan dari orangtua, anggota keluarga atau yang lainnya (laily, 2004). kemandirian harus di kembangkan pada anak agar anak bisa menjalani kehidupan tanpa ketergantungan pada orang lain. efek ketidakmandirian pada anak dapat menimbulkan kerugian pada anak yaitu anak tidak bisa secara optimal mengembangkan kepribadian, kemampuan sosialisasi dan keadaan emosionalnya akan terhambat (handayani, 2006). ada 2 jenis ketidakmandirian pada anak yaitu ketidakmandirian fisik dan psikologis, ketidakmandirian fisik di tandai dengan ketidakmampuan anak dalam mengurus dirinya sendiri. kemandirian anak berperan penting dalam membangun kepercayaan diri dan harga diri pada anak karena kedua hal tersebut berdampak pada kemampuan bersosialisasi, kemauan untuk berprestasi dan daya saing anak di masa depan. sering kita dengar, anak yang ditinggal orang tuanya bekerja akan lebih mandiri. namun ini sebenarnya seperti menyatakan, kemandirian itu timbul karena kondisi.anak dipaksa untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, bertindak menurut kemauannya sendiri, begitu pula dalam menanggung akibatnya. secara umum, kita ketahui beberapa orang tua pada umumnya menggunakan pola asuh orang tua otoriter dalam mengasuh anaknya. sebagian besar menganggap pola asuh ini dapat membuat anak jauh lebih mandiri. namun, tak sepenuhnya anak yang berada dalam asuhan otoriter menjadi mandiri. dari hasil studi pendahuluan yang di lakukan di paud berlian desa bendorejo, terdapat 18 murid dalam 1 kelas. masing – masing anak memiliki pengasuhan yang berbeda, di mana sebagian dari 18 anak tersebut tingkat kemandirian belum sesuai dengan usianya. namun tak jarang di antara mereka berperilaku lebih mandiri jika di lihat berdasarkan usianya. berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah 3-5 tahun di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar “ berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut “adakah hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah 3-5 tahun di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar”. zulfa okta asnida, apsa madantia jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 77 tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia prasekolah 3-5 tahun di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar. sedangkan tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi pola asuh orang tua otoriter di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar, 2) mengidentifikasi kemandirian anak usia pra sekolah 3-5 tahun di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar, 3) menganalisis hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia sekolah pra sekolah 3-5 tahun di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar. manfaat penelitian ini adalah 1) dapat di gunakan sebagai bahan referensi bagi institusi pendidikan tentang hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah 3-5 tahun, 2) menambah pengetahuan dan sebagai pengalaman nyata dalam menyelesaikan tugas karya ilmiah, menambah informasi tentang hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah 3-5 tahun, 3) masyarakat bisa mendapatkan pengetahuan tentang pola asuh orang tua yang tepat dalam membentuk kemandirian anak usia pra sekolah 3-5 tahun. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. subyek penelitian yang digunakan adalah semua orang tua murid yang ada di paud desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar sejumlah 18 orang (sampling jenuh). variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua sedangkan variabel dependennya adalah kemandirian anak usia pra sekolah 3-5 tahun. penelitian ini dilaksanakan di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar pada tanggal 15-16 juli 2013. pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuisioner kepada orang tua untuk menilai pola asuhnya dan lembar observasi bagi anak untuk menentukan kemandiriannya. data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan chi square. hasil penelitian karakteristik responden di paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar juli 2013 tabel 1 karakteristik responden no karakteristik frekuensi % 1 umur <25 tahun 26-30 tahun >30 tahun 4 6 8 22,2% 33,3% 44,4% 2 pendidikan sd smp sma akademi/pt 4 6 6 2 22,2% 33,3% 33,3% 11,1% tabel 2 informasi tentang kemandirian anak no sumber informasi frekuensi % 1 tidak pernah mendapatkan informasi 4 22,2% 2 petugas kesehatan 9 50% 3 keluarga 3 16,7% 4 teman 2 11,1% jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah 78 tabel 3 tabulasi silang pola asuh dengan kemandirian anak kriteria kemandirian anak total tinggi rendah f % f % f % otoriter 3 16,7 7 38,9 10 55,6 non otoriter 7 38,9 1 5,6 8 44,4 jumlah 10 55,6 8 44,4 18 100 χ 2 = 5,951, p value = 0,025, c = 0,498 pembahasan pola asuh responden dari hasil penelitian terhadap 18 responden, diketahui responden yang memiliki pola asuh otoriter sejumlah 10 orang dengan prosentase 55,6%. sedangkan responden yang memiliki pola asuh non otoriter sejumlah 8 orang dengan prosentase 44,4 %. pola asuh orang tua yang di terapkan pada anak yang bersifat relative dan konsisten dari waktu ke waktu. perilaku ini dapat di rasakan oleh anak dari segi negatif maupun positif. pada dasarnya pola asuh dapat di artikan seluruh cara perlakuan orang tua yang di terapkan anak. pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya (shochib, 2010). adanya kecenderungan pola asuh otoriter pada orang tua ini diduga dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu faktor pendidikan dan budaya lingkungan sekitar seperti adanya tradisi turun temurun dari keluarga dalam mengasuh anak. tingkat pendidikan dan pengetahuan serta pengalaman orang tua sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. pendidikan orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. pada responden yang memiliki pendidikan rendah dan kurangnya informasi tentang kemandirian anak, cenderung memiliki pola asuh otoriter dan tingkat kemandirian anak yang rendah. dari hasil penelitian di ketahui, pola asuh orang tua otoriter di miliki responden dengan pendidikan sd sebanyak 16,7%, smp sebanyak 27,8%, sma 11,1% dan perguruan tinggi 0%. sedangkan pola asuh orang tua non otoriter di miliki orang tua dengan pendidikan sd sebanyak 5,6%, smp sebanyak 5,6 %, sma sebanyak 22,2 % dan perguruan tinggi sebanyak 11,1%. hal ini menunjukkan semakin rendah pendiidkan orang tua akan memiliki pola asuh yang otoriter, dan sebaliknya semakin tinggi pendidikan orang tua akan memiliki pola asuh yang non otoriter. faktor umur responden juga berpengaruh pada pola asuh yang di miliki orang tua dalam mengasuh orang tuanya. pola asuh orang tua otoriter di miliki responden dengan usia <25 tahun sebanyak 16,7%, 26-30 tahun sebanyak 11,1% dan >30 tahun sejumlah 27,8%. sedangkan pola asuh non otoriter di miliki responden dengan usia <25 tahun sebanyak 5,6%, 26-30 tahun sebanyak 22,2% dan >30 tahun sebanyak 16,7%. dapat di simpulkan orang tua yang memiliki usia <25 tahun dan >30 tahun cenderung memiliki pola asuh orang tua otoriter, sedangkan yang usia 25-30 tahun memiliki pola asuh non otoriter. dari hasil penelitian dapat di simpulkan karateristik orang tua yang memiliki pola asuh otoriter yaitu pendidikan orang tua yang rendah dan usia orang tua < 25 tahun dan > 30 tahun. sedangkan karateristik responden yang memiliki pola asuh non otoriter yaitu orang tua dengan pendidikan tinggi dan usia orang tua antara 26-30 tahun. ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan zulfa okta asnida, apsa madantia jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 79 antara lain: mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak, menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak dan terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak. pendidikan yang masih tergolong pendidikan dasar akan mengakibatkan pemahaman dan penalaran seseorang dalam hal memberikan pengasuhan kepada anak. lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anaknya. banyak orang tua yang memberikan pengasuhan kepada anaknya dengan cara otoriter di masyarakat lingkungan tempat tinggal. hal yang terjadi di lingkungan sekitar adalah orang tua cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. misalnya kalau tidak mau menuruti apa yang diperintahkan orang tua atau melanggar peraturan yang dibuat orang tua maka tidak akan diberi uang saku. orang tua cenderung memaksa, memerintah, menghukum. apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anaknya. orang tua juga tidak mengenal kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. responden seringkali mengikuti cara-cara yang di lakukan masyarakat dalam mengasuh anak. karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak ke arah kematangan. orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat di terima masyarakat dengan baik. oleh karena itu, kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya. pola asuh orang tua adalah proses pendidikan yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat mempengaruhi sikap tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orang tua. orang tua harus mengetahui tumbuh kembang anak yang normal sesuai dengan usia anak. kemudian orang tua harus memberikan kesempatan, dukungan dan dorongan. oleh karena itu, peran orang tua dan pola pengasuhan yang baik akan menjadikan anak yang mandiri. anak dengan pola asuh otoriter menjadi tergantung, pasif, kurang bisa bersosialisasi, kurang percaya diri, kurang memiliki rasa ingin tahu dan kurang mandiri bahkan anak dapat menjadi agresif. kemandirian anak berdasarkan hasil penelitian dari 18 responden menunjukkan bahwa 55,6% responden memiliki anak dengan kemandirian tinggi sejumlah 10 orang. sedangkan 44,4% responden memiliki kemandirian rendah sejumlah 8 orang. kemandirian anak merupakan kemampuan anak untuk melakukan kegiatan dan tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan anak. faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemandirian antara lain faktor lingkungan, faktor karakteristik sosial, serta faktor keluarga yang meliputi stimulasi dari orang tua, cinta dan kasih sayang, pendidikan orang tua dan faktor orang tua, termasuk didalamnya tentang hubungan orang tua dan anak. kemandirian anak yang tinggi ini tidak lepas dari pengaruh sosialisasi anak di sekolah. dari hasil penelitian menunjukkan kemandirian anak yang tinggi di miliki orang tua yang berusia < 25 tahun sebanyak 5,6%, usia 26-30 tahun sebanyak 27,8%, dan >30 tahun sebanyak 22,2%. sedangkan anak dengan kemandirian rendah di miliki orang tua dengan usia <25 tahun sebanyak 16,7%, usia 26-30 tahun sebanyak 5,6% dan usia > 30 tahun sebanyak 22,2%. faktor pendidikan orang tua juga dapat berpengaruh pada kemandirian jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan pola asuh orang tua otoriter dengan kemandirian anak usia pra sekolah 80 anak. dari hasil penelitian menunjukkan kemandirian tinggi di miliki orang tua dengan pendidikan sd sebanyak 11,1%, pendidikan smp sebanyak 11,1%, pendidikan sma sebanyak 27,8%, dan pendidikan perguruan tinggi sebanyak 5,6%. sedangkan kemadirian rendah di miliki orang tua dengan pendidikan sd sebanyak 11,1%, pendidikan smp sebanyak 22,2%, pendidikan sma sebanyak 5,6%, dan perguruan tinggi sebanyak 5,6%. kemandirian seorang anak diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara anak dengan teman sebaya. melalui hubungan dengan teman sebaya, anak belajar berfikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri. dalam mencapai keinginan untuk mandiri sering kali anak mengalami hambatan–hambatan yang disebabkan oleh masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. paud berlian desa bendorejo kecamatan udanawu kabupaten blitar telah mengajarkan sikap mandiri, sopan santun, baik kepada orang sebaya maupun kepada orang tua, sabar, mengendalikan emosi, menunjukkan kepedulian terhadan sesama dan lingkungan merupaka perilaku yang bisa dibentukpada seseorang sejak usia dini. hal inilah yang mampu menambah kemandirian anak responden karena kemandirian anak dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan terus menerus, latihan terebut berupa pemberian tugas tanpa bantuan. sesuai dengan bertambahnya umur, pertumbuhan dan perkembangan anak akan mengalami peningkatan salah satunya melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua atau belajar untuk mandiri, maka pemahaman dan kesempatan yang diberikan orang tua kepada anak dalam meningkatkan kemandirian amatlah penting. meskipun dunia sekolah juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, keluarga tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam pembentukan anak untuk mandiri hubungan pola asuh otoriter dengan kemandirian anak berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden dengan pola asuh otoriter cenderung memiliki anak dengan kemandirian rendah sebesar 38,9% dan kemandirian tinggi sebanyak 16,7%. sedangkan, responden dengan pola asuh non otoriter cenderung memiliki anak dengan kemandirian tinggi sebesar 38,9% dan kemandirian rendah 5,6%. hasil uji chi square menunjukkan p value = 0,025, sehingga p value 0,025 < 0,05 atau signifikan sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara pola asuh otoriter dengan kemandirian anak usia sekolah pra sekolah 3-5 tahun. adanya hubungan ini mengindikasikan bahwa pola asuh otoriter orang tua akan dapat menentukan kemandirian anak yang rendah dan sebaliknya. hasil penelitian menunjukkan dari responden sejumlah 55,6% dengan pola asuh otoriter terdapat 16,7 anak yang memiliki kemandirian tinggi. hal ini dapat di pengaruhi antara lain dari faktor internal anak itu sendiri yaitu faktor kecerdasan atau intelegensi dan faktor perkembangan. anak yang memiliki intelegensi yang tinggi akan lebih cepat menangkap sesuatu yang membutuhkan kemampuan berfikir. sehingga, anak yang cerdas cenderung cepat untuk bertindak, dibarengi dengan kemampuan menganalisis yang baik terhadap resikoresiko yang akan dihadapi. intelegensi berhubungan dengan tingkat kemandirian anak. artinya, semakin tinggi intelegensi seseorang anak maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya. kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan anak. oleh sebab itu, orang tua perlu mengajarkan kemandirian sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. didalam keluarga, orang tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk menjadi zulfa okta asnida, apsa madantia jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 81 mandiri. masa anak–anak merupakan masa yang paling penting dalam proses perkembangan kemandirian, kemandirian akan memberikan dampak positif bagi perkembangan anak, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuan anak, seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan semakin berkembang menuju kesempurnaan (julianto, 2006). simpulan dan saran simpulan ada hubungan antara pola asuh otoriter dengan kemandirian anak usia sekolah pra sekolah 3-5 tahun, dengan hasil uji chi square menunjukkan p value = 0,025. saran bagi orang tua diharapkan mulai mengubah cara pola asuh yang otoriter, permisif ke pola asuh demokratis atau kombinasi antar ketiganya, dimana hal ini dapat membantu meningkatkan kemandirian yang baik bagi anak. pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak, seperti ia merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang, tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk, kurang berkembangnya rasa sosial, tidak timbul kreatif dan keberanianya untuk mengambil keputusan atau berinisiatif, gemar menetang, suka melanggar norma, kepribadian lemah dan menarik diri. referensi julianto 2006, pendidikan membentuk kemandirian anak, kinza books, jakarta. laily, n dan matulessy, a 2004, pola komunikasi antara orangtua dan anak, jurnal: anima vol. 19.no. 2. 194 – 205. petranto 2006, rasa percaya diri anak adalah pantulan pola asuh orangtuanya,http://dwpptrijen ewa.isuisse.com/buletin/p=3273 &webora/, diakses tanggal 27 mei 2010. shochib, m 2010, pola asuh orang tua dalam membantu anak mengembangkan disiplin anak, rineka cipta, jakarta. septiari, bb 2012, mencetak balita cerdas dan pola asuh orang tua, nuha medika, yogyakarta. wiyani, n 2013, bina karakter anak usia dini, ar-ruzz media, yogyakarta. http://dwpptrijenewa.isuisse.com/buletin/p=3273&webora/ http://dwpptrijenewa.isuisse.com/buletin/p=3273&webora/ http://dwpptrijenewa.isuisse.com/buletin/p=3273&webora/ http://dwpptrijenewa.isuisse.com/buletin/p=3273&webora/ 149ulfa, andestia, the effectiveness of counseling to the ability of... 149 the effectiveness of counseling to the ability of caring of the umbilical cord of post partum primigravida mother maria ulfa, andestia d3 kebidanan stikes patria husada blitar email: ulfamaria845@gmail.com abstract: the high infant mortality rate due to improper umbilical cord caring is increasing. improper umbilical cord caring behavior is still found in postpartum primigravida, so it is necessary to increase the knowledge of the importance of treating the umbilical cord in the right way to prevent infection. this study design was quasy-experimental one group pre-post-test-design. the population of this study was primigravida postpartum mother on 2-7 days in bpm nihayaturrohmah. the sample in this study was 15 respondents by using total sampling. the data analysis used wilcoxon test. the results of the study on the ability of postpartum primigravida mother in caring for the correct umbilical cord before counseling was 6,7% in the able category and after getting counseling there was a 93,3% increase that is 100% in the category of capable. based on the results of the study was expected to respondents more active in increasing information about caring for the correct umbilical cord to prevent the occurrence of infection. . keywords: counseling, caring for the umbilical cord the data of indonesian demographic and health survey (sdki) of newborn mortality rate is 25 per 1000 live birth, the cause of death can be prevented with adequate treatment (moh ri, 2009). case of fatality rate (cfr) is very high in case of untreated tetanus neonaturum is close to 100 percent, especially those with an incubation period of less than seven days. the mortality rate of neonaturum tetanus cases caused by unsterile umbilical cord care, which is hospitalized in indonesia varies between 10.8-55 percent (sarwono, 2009, p.370). in this modern day, it is expected that indonesia can create the quality of human resources, one of them is in the field of infant and child health, so that the role of mother in the care for the baby is needed. most of the community is lack of knowledge in newborn car e, especially the umbilical cord. particularly it occured in the remote areas that still used traditional way of caring for their babies and had low educational and socio-economic. it is also influenced by the lack of knowledge of mother about the importance of neonatal service or newborn (depkes ri, 2009). the postpartum period is the important thing to look for in order to bring down maternal mortality and infant in indonesia, postpartum period is theperiod after the  partus is  finished  and  the returning of body function as before getting pregnant. the length of the period of postpartum is a ppr oxima tely 6-8 of the week (ma nsyur, 2014, p. 4). the time of postpartum in the phase of taking hold taking place between 3-10 days after giving birth, which make the mother will worry the inability of and a sense of responsibility in taking care of a baby especially at primigravida mother. this phase is a good opportunity for the health workers to provide a variety of counseling and health education needed by postpartum period such as how to care for a baby, especially in the caring for the umbilical cord (walyani 2015, p. 79). based on a survey conducted by researchers on february 7, 2017 at bpm nihayaturrohmah, sst of karangsonokanigoro village, blitar, the number of postpartum during january 2016 until january 2017 was 44 people, born in midwife as acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p149-152 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 149–152 many as 31 people and the rest of was born in hospital. from the midwife data, it was found that there was no primigravida postpartum mother who did not care for umbilical cord as much as 19 people. from the data of postpartum primigravida month of january 2016 until january 2017 there were 50% of the umbilical cord infant had infection. based on that problem, the researcher was interested in doing research about the effevtiveness of counseling to the ability of caring of umbilical cord in postpartum primigravida mother in bpm nihayaturrohamahkarangsono village kanigoro sub-district, blitar. the general objective of the research was to know the effectiveness of counseling on the ability of ca r ing for umbilica l cor d in postpa rtum primigravida mother. the specific objectives were (1) identifyingthe primary pregnancy mothers in the care of their umbilical cord before counseling (2) identify postpartum primigravida in treating the baby’s umbilical cord after counseling (3) analyze the effectiveness of counseling ma y help primigravida postpartum in treating the umbilical cord . the benefits of this research were expected to improve the quality of health services for health workers in providing counseling and skills about cord care. method this research used quasy-experimental with one-group pre-post-test-design design. the subjects of this study were 15 postpartum mothers took by using total sampling, by doing direct observation on postpartum on day 2 to 7 on how they care for the umbilical cord. the research subjects were located in the working area of a midwife nihayatur rohmah blitar. the independent variable was counseling about the correct umbilical cord care and the dependent variable was the ability to care for the umbilical cord in the primigravida postpartum, the data analysis used the wilcoxson test. the result the r esult of the study consisted of the characteristics of postpartum mother and specific data of the ressearch no characteristics f (%) 1 age 20 – 25 6 40 26 – 30 5 33,3 31 – 35 3 20 >36 1 6,7 2 education sd 2 13,3 smp 4 26,7 sma 7 46,7 pt 2 13,3 3 job irt 11 73,3 swasta 3 20 guru 1 6,7 4 information of the care of umbilical cord yes 11 73,3 no 4 26,7 5 information sources never 4 50 health employee 6 50 family 2 friend 1 media 2 6 postpartum day 2 – 3 9 60 4 – 5 5 33,3 6 – 7 1 6,7 tabel 1 the frequency distribution of respondents charactericticsof postpartum primigravida mother in the care of umbilical cord on 29 april s/d 11 may 2017 tabel 2 the identification of mothers ability in the caring of umbilical cord before the counseling no ability f % 1. good 1 6,7 2. fair 14 93,3 3. less 0 0 total 15 100 tabel 3 the identification of mothers ability in the caring of umbilical cord after the counseling no ability f % 1. good 15 100 2. fair 0 0 3. less 0 0 total 15 100 151ulfa, andestia, the effectiveness of counseling to the ability of... discussion the ability of the primigravida puerperal mother to care for the baby’s umbilical cord before the counseling from the results of the research obtained the results before the counseling about the proper umbilical cord care showed that almost all (93.3%) of respondents were in the category fair. treatment of the umbilical cord in the newborn is to keep the umbilical cord dry and clean (sarwono, 2008, p.370). before the counseling, umbilical cord care was in fair category. treating the umbilical cord was influenced by several factors: age, pregnancy and occupation. this is in accordance with table 4.1 which shows that nearly half (40%) postpartum aged 2025 years. at that age the maturity of thinking and understanding of an object is still optimal. a person who has matured in a developmental task will perform its role well as it is in society (notoatmodjo, 2003.p.215). young age certainly does not have the skills that are born from the mother’s experience in caring for newborns. they tend to leave it to health workers or people who are considered older and respected. based on the samples taken in the puerperium, a ll of them a r e postpa r tum pr imigr a vida mothers. experience  is  a  way  to gain  truth  in knowledge and skills (notoadmojo, 2003.p.2018). in this case mother does not have experience in performing umbilical cord care since this is thir first birthing process, so caring for the umbilical cord is the first experience for them. in this study according to table 4.3 most of the mother (73,3%) worked as housewive.housewives tend to want to do things themselves such as cleaning the house, washing or preparing food for the family. in this case the family is required to support the mother ’s work during the childbirth period so that mothers can take care of the baby well. the ability to give proper care for the umbilical cord suggests that the mother ha s not fully understood the importance of treating the umbilical cord using the correct procedur e. sufficient management is also suppor ted by a la ck of understanding of the mother about the procedure of action that is must wash hands before and after doing umbilical cord care on the baby. based on the results of the study found that most of the mothers performed wrong procedure of action against these two indicators, in addition to the respondents also experienced confusion in the umbilical cord and also give baby powder and baby oil on the baby’s body. there were still many respondents who give baby powder and baby oil before wrapping the umbilical cord of the baby, so that the umbilical cord looks dirty with oil and baby powder. in that case the counseling of umbilical cord car e is ver y important to incr ea se mother ’s knowledge about the correct umbilical cord care so that the mother is able to perform the correct care according to the procedure. the ability of the primigravida puerperal mother to care for the baby’s umbilical cord afterthe counseling it was obtained after the counseling on how to ca re for the r ight umbilical cor d, 100% of respondents were in good category. counseling is a process of providing objective and complete information aimed at helping a person recognize his current condition, the problem at hand and or overcoming the problem (tyastuti, 2009, p.40). the increased ability of mothers in performing this umbilical cord care was because of respondents gain knowledge and counseling on how to care for the correct umbilical cord that they had not previously have. after the counseling, respondents knew and understoodthe proper way in caring the correct umbilical cord in accordance with the procedure and respondents to understand the importance of caring for the correct umbilical cord. counseling methods used by researchers was to provide umbilical cord care materials through presentation, giving leaflets and also providing examples or practices in umbilical cord care. the success of a counseling or health education could be influenced by health education factors, goals and processes in health education. tabel 4 the analysis of the effectiveness of counseling to the ability of postpartum primigravida mother in the care of the umbilical cord no category % ability % ability pre test post test 1. good 6,7 100 2. fair 93,3 0 3. less 0 0 wilcoxon sign rank test: p = 0,000 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 149–152 therefore, it used an effective lecture method in the delivery so that mother could understand the contents of counseling. after being able to properly perform the respondent has a willingness to apply the care of the umbilical cord correctly in accordance with the pr ocedur es tha t ha ve been ta ught. respondents had a positive response so that the sense of giving proper care of the umbilical cord could be apply. the effectiveness of counseling to the ability of the primigravida postpartummother in the care of umbilical cord from the results of the research results obtained before counseling showed 93.3% of mothers have enough ability in treating baby’s umbilical cord and after being given counseling on how to care for the right umbilical cord 100% are in good category. from result of data analysis by using wilcoxon statistic test, got sig value = 0.000. thus it meant there was an effect of counseling on the ability of mothers primitive women in the care of baby umbilical cord in bpm nihayaturrohmah village karangsonokanigoro district blitar regency. counseling is an interpersonal process, in which one person is assisted by one of the other to improve understanding and ability to find the problem (indrawati, 2008, p.63). this shows that counseling could improve mother’s ability to give proper care for baby’s umbilical cord to provide health for their baby. there were also several factors that could affect the ability of understanding when counseling, the ability of respondents, concentration at the time of counseling and willingness or awareness of respondents to know about how to care for the correct umbilical cord and the importance of treating the umbilical cord for the health of the baby. it could be concludedthat the care of the umbilical cord might affect the ability of caring for the umbilical cord in the primigravida puerperium and the ability itself was influenced by many aspects, although information and counseling have been given not necessarily the umbilical cord could be perform properly and in accordance with the procedure. with this research counseling could improve the ability of respondents to give proper care of umbilical cord. respondents should know the importance of treating the umbilical cord and understand how to give proper care of umbilical cord so that the infant could avoid infection. conclusion and suggestion conclusion the results of the study showed that (1) the mother’s ability to care for umbilical cord before the counseling in the category offair 93,3% (14 respondents) (2) mother’s ability in baby umbilical cord care after the counseling was in good category 100% (3) from the analysis with wilxocon test showed that there was an effect of counseling on how to care for the umbilical cord on the ability of caring for umbilical cord in primigravida nifas mother in bpm nihayaturrokamahkarangsono village kanigoro sub-district, blitar regency with p value = 0,000. suggestion for respondents, especially in bpm nihayatur rokamah need to give motivation to the mother to always do baby umbilical cord care so that baby have good health degree and avoid infection. . references depkesri. 2009. profil kesehatan indonesia. jakarta: diaksesdari http://www.depkes.go.id.tanggal 20 februari 2017. indrawati, tatik. 2008. komunikasi kebidanan. buku kedokteran: egc, jakarta. notoatmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. pt rineka cipta, jakarta. novita, lia. 2011. penuntun praktik asuhan neonatus, bayi, dan balita: egc, jakarta. saifudin, abdul bari. 2009. ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo. pt. bina pustaka sarwono prawirohardjo, jakarta. tyastuti, siti.2009. komunikasi dan konseling dalam pelayanan kebidanan. fitramaya: yogyakarta. walyani, purwoastuti. 2015. asuhan kebidanan masa nifas dan menyusui. pt.pustaka baru, yogyakarta. 207 pengaruh penerapan ayah asi (breastfeeding-father) terhadap produksi dan pengeluaran asi pada ibu postpartum (the efect of breastfeeding father to breastmilk production of postpartum mother) yeni kartika sari, anita rahmawati stikes patria husada blitar e-mail: nurulazkia05@yahoo.co.id abstract: many postpartum mothers in indonesia can not be exclusively breastfed their babies because the breast milk could not be produced smoothly. this is due to postpartum mothers often having experience emotional disturbances which inhibit the release of oxytocin and milk. breasfeeding father is an active role and involvement of the husband to give moral and emotional support in breastfeeding to release chemical reflexes to produce milk. this research aims to find out the effect of the application of breastfeeding-father to breast milk production. this research was one group time series design. the population of this research was all of normal deliveries of postpartum mothers in puerperal room in mardi waluyo blitar hospital. the samples selected based on writers for 30 amount people that will be measured their milk production, breastfeeding and the application of breastfeeding father, then was given counseling about breastfeeding father and asked to implement it. the data was analized using chi-square test to figure out the difference of breastmilk production between groups applying breastfeeding father and the group did not. the results showed there was differences of breast milk production between groups that applying breastfeeding father and the group did not. so the breastfeeding father could apply the breastfeeding postpartum mothers to increase the breast milk production. keywords: breastfeeding father, breast milk production banyak ibu postpartum di indonesia tidak bisa memberikan asi eksklusif kepada bayinya karena asi tidak lancar. berdasarkan penelitian mardiyaningsih tahun 2010 mengungkapkan bahwa 66,7% ibu postpartum asi tidak lancar sedangkan pada penelitian perdana tahun 2013, ada 90% ibu yang asi nya tidak lancar. menurut survey demografi kesehatan indonesia pemberian asi terus mengalami penurunan, tahun 2007 bayi dibawah umur 6 bulan yang mendapat asi eksklusif hanya sebesar 32 % sedangkan penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,8% menjadi 32,5% (selasi, 2009). perubahan fisiologis pada ibu postpartum dan proses transisi menjadi orangtua membutuhkan penyesuaian diri yang besar. 6 % ibu hamil dan 10% ibu postpartum mengalami kecemasan dan kadang berkembang kearah depresi, 15% wanita mengalami depresi setelah melahirkan (post partum support international, 2010). sekitar 80% ibu postpartum akan mengalami periode emosional yaitu ibu akan mengalami perubahan mood, cemas, pusing, serta perasaan sedih (bahiyatun, 2009). perubahan psikologis pada ibu postpartum yaitu kecemasan pada kemampuannya untuk merawat bayinya setelah meninggalkan rs dan rasa takut tidak menarik lagi bagi suaminya (cunningham, 2005). kecemasan ibu postpartum menurunkan pelepasan oksitosin selama menyusui, masalah pada ibu postpartum yang dapat membuat cemas dan depresi akan menekan produksi oksitosin (alison, 2013). acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p205-211 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.207-215 breasfeedingfather merupakan peran dan keterlibatan aktif suami memberi dukungan moral dan emosional dalam pemberian asi. perhatian dan limpahan kasih sayang suami kepada ibu dan bayi turut menentukan kadar emosi kebahagiaan ibu mendorong reflek kimiawi tubuh untuk memproduksi asi (kartika, 2012). ayah adalah orang yang paling berpengaruh terhadap kondisi ibu dan dapat berperan baik sebagai pendukung maupun penghambat proses menyusui (sherriff et al, 2009). terdapat bukti kuat bahwa seorang ayah dapat mempengaruhi inisiasi dan pemeliharaan proses menyusui serta meningkatkan rasa percaya diri ibu di dalam menyusui (earle, 2002). menurut studi februhartanty dalam disertasinya tahun 2008 menunjukkan bahwa proporsi keterlibatan aktif ayah menurun secara drastis pada periode postpartum dari 84% pada anc, 81,7% inc dan 56 % pada pnc. sekitar 75% ayah menyatakan dukungan tidak diperlukan pada periode postpartum karena mereka menganggap para ibu sudah cukup mampu untuk melakukannya sendiri. sebuah penelitian dalam jurnal clinical pediatrics memaparkan dari 115 ibu postpartum, ditemukan bahwa keberhasilan menyusui pada kelompok ayah yang member dukungan adalah 98,1% sebaliknya, pada kelompok yang tidak member dukungan, tingkat keberhasilan itu hanya 26,9%. penerapan “ayah asi atau breastfeeding-father” yang dapat menurunkan tingkat kecemasan ibu yang disebabkan karena faktor adaptasi postpartum sehingga dapat menghilangkan penghambat pelepasan oksitosin yang pada akhirnya pengeluaran asi ibu menjadi lancar. rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh penerapan ayah asi (breastfeeding-father) terhadap produksi dan pengeluaran asi ? sedangkan tujuan umum pada penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh penerapan ayah asi (breastfeeding-father) terhadap peningkatan produksi dan pengeluaran asi. sementara tujuan khususnya adalah (1) menganalisis produksi dan pengeluaran ibu postpartum yang mendapatkan penerapan ayah asi (2) menganalisis produksi dan pengeluaran ibu postpartum yang tidak mendapatkan penerapan ayah asi (3) menganalisis perbedaan produksi dan pengeluaran asi antara yang mendapatkan penerapan ayah asi dan yang tidak mendapatkan penerapan ayah asi manfaat teoritis dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat mengembangkan teori keperawatan mercer khususnya pengembangan aplikasi intervensi peran ayah dalam model becoming a mother pada ibu postpartum. sedangkan manfaat praktisnya adalah sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam post natal care yang dapat diterapkan di rumah sakit maupun dirumah untuk meningkatkan produksi dan kelancaran asi. bahan dan metode rancangan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah post test only control group design dengan populasi semua pasien post partum dengan persalinan normal yang dirawat di r.nifas rs.mardi waluyo blitar dan sampelnya adalah pasien post partum dengan persalinan normal yang memenuhi kriteria. kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah : (1) ibu post partum persalinan normal hari ke-1 tanpa komplikasi (2) ibu dan suami tidak mempunyai riwayat gangguan jiwa (3) ibu tidak bekerja selama masa nifas (4) tinggal serumah dengan bayi dan suami (5) bayi yang dilahirkan cukup bulan (6) pendidikan ayah minimal smp. sedangkan kriteria eksklusinya adalah : (1) ibu post partum dengan penyakit lain (2) ibu post partum mengkonsumsi obat-obatan yang menghambat oksitosin (3) ibu mengkonsumsi alkohol (4) bayi yang dilahirkan mempunyai kelainan/cacat bawaan (5) bayi bblr atau mengalami masalah kesehatan yang mengganggu proses laktasi. cara pengambilan sampel yang digunakan adalah metode consecutive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam waktu 4 minggu, diperoleh 30 responden (sampel). variabel independen dalam penelitian ini adalah penerapan ayah asi (breastfeeding-father) sedangkan variabel dependennya adalah pengeluaran asi. instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah sap untuk mengajarkan cara menjadi ayah asi sedangkan untuk menilai apakah ayah asi telah diterapkan atau belum menggunakan lembar observasi dan wawancara yang dikembangkan peneliti dari peran ayah yang telah diteliti dalam disertasi oleh februhartanty (2008). cara penilaian dengan rahmawati dan kartika sari, penerapan peran ayah asi…209 memberi skor “ya”= 1 dan “tidak”= 0 dengan pengkategorian skor (0-9) berarti tidak ada penerapan ayah asi dan skor (10-19) berarti ayah asi. instrument untuk menilai pengeluaran asi menggunakan lembar observasi dan wawancara produksi dan pengeluaran asi dari nursalam (2013). penilaian dengan “ya” diberi skor 1 dan “tidak” diberi skor 0. data dikumpulkan dengan cara : (1) sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu mengajukan izin kesbangpolinmas, dinas kesehatan kota blitar dan diklat rs mardi waluyo blitar. (2) pemilihan sampel sesuai dengan kriteria inklusi (3) peneliti terlebih dahulu menjelaskan informed consent kepada orang tua bayi, jika setuju, maka diminta menandatangani informed consent. (4) sampel yang memenuhi kriteria dan bersedia menjadi responden kemudian dilakukan pengukuran skore produksi dan pengeluaran asi dan penerapan ayah asi kemudian dilakukan penyuluhan tentang cara menjadi ayah asi dan selanjutnya diminta menerapkannya. (5) setiap hari selama 2 minggu dari awal perlakuan, peneliti melakukan follow-up untuk mengobservasi dan wawancara penerapan ayah asi pada kelompok perlakuan baik via telpon maupun datang langsung ke rumah responden (atau jika sewaktu-waktu responden membutuhkan informasi, responden diminta menelpon peneliti). (6) setiap dua hari sekali peneliti mengukur produksi dan pengeluaran asi dan penerapan ayah asi. data yang terkumpul dianalisis menggunakan chi square test untuk uji beda produksi dan pengeluaran asi antara kelompok yang menerapkan ayah asi dan kelompok yang tidak menerapkan. hasil penelitian karakteristik ibu post partum di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 adalah sebagai berikut: tabel 1 karakteristik ibu post partum di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 karakteristik keterangan f % usia istri 17-22 5 16.7 23-28 9 30.0 karakteristik keterangan f % 29-34 6 20.0 35-40 9 30.0 41-46 1 3.3 usia suami 17-22 2 6.7 23-28 6 20.0 29-34 9 30.0 35-40 9 30.0 41-46 4 13.3 pendidikan sd 4 13.3 istri smp 11 36.7 sma 13 43.3 pt 2 6.7 pendidikan sd 0 0 suami smp 15 50.0 sma 12 40.0 pt 3 10.0 pekerjaan swasta 16 53.3 suami tani 5 16.6 sopir 2 6.7 pns 2 6.7 lain lain 5 16.6 lama kerja 6-7 jam/hr 6 20.0 suami 8-9 jam/hr 17 56.7 10-11 jam/hr 5 16.7 12-13jam/hr 1 3.3 tidak tentu 1 3.3 jumlah ≤ 3 5 16.7 anggota 4-5 18 60.0 keluarga ≥ 6 7 23.3 pendamping susu formula 24 80.0 asi asi eksklusif 6 20.0 berdasarkan tabel 5.1 di atas usia istri paling banyak berusia 23-28 tahun dan 35-40 tahun sedangkan usia suami paling banyak berusia 29-45 dan 35-40 tahun yaitu masingmasing sebanyak 30.0 %, pendidikan istri paling banyak sma yaitu 43,3%, sedangkan suami paling banyak berpendidikan smp yaitu 50 %. pekerjaan suami paling banyak swasta yaitu sebanyak 53,3%, dan lama kerja terbanyak 8-9 jam per hari yaitu 56,7 %. sebagian besar responden tinggal serumah dengan 4-5 orang yaitu sebanyak 60 %, umumnya anggota keluarga tersebut terdiri dari kedua orang tua responden, suami dan 210 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.207-215 bayi yang baru saja dilahirkan responden. tampak pula bahwa sebagian besar responden memberikan susu formula sebagai pendamping asi yaitu sebanyak 80 %. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi digambarkan pada table di bawah ini tabel 2 perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 hari ke ayah asi pengeluaran asi bukan ayah asi pengeluaran asi ∑ % lancar kurang lancar tidak lancar ∑ % lancar kurang lancar tidak lancar ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 5 16.7 4 13.4 1 3.3 0 0 25 83.3 0 0 15 50.0 10 33.3 3 5 16.7 4 13.4 1 3.3 0 0 25 83.3 1 3.3 23 76.7 1 3.3 5 26 86.7 21 70.0 5 16.7 0 0 4 13.3 1 3.3 3 10.0 0 0 7 26 86.7 23 76.7 3 10.0 0 0 4 13.3 0 0 4 13.3 0 0 9 27 90.0 27 90.0 0 0 0 0 3 10.0 0 0 3 10.0 0 0 11 27 90.0 27 90.0 0 0 0 0 3 10.0 1 3.3 2 6.7 0 0 13 28 93.3 28 93.3 0 0 0 0 2 7.7 0 0 2 6.7 0 0 berdasarkan tabel 2 di atas tampak bahwa semakin hari terjadi kenaikan jumlah penerapan ayah asi yang disertai juga dengan peningkatan presentase pengeluaran asi menjadi lebih lancar. sebaliknya presentase bukan ayah asi semakin menurun diikuti juga dengan penurunan presentase kekuranglancaran pengeluaran asi. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-1 tabel 3 perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-1 di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 pengeluaran asi penerapan hari ke-1 ayah asi bukan ayah asi f % f % lancar 4 13.4 0 0 kurang lancar 1 3.3 15 50.0 tidak lancar 0 0 10 33.3 total 5 16.7 25 83.3 chi-square tests asymp. sig (2-sided) = 0.000 berdasarkan tabel 3 di atas tampak bahwa ada perbedaan pengeluaran asi antara ibu postpartum dengan suami yang tergolong ayah asi dan bukan ayah asi. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-3 digambarkan pada table di bawah ini. tabel 4 perbedaan pengeluaran asi pada ibu post partum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-3 di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 pengeluaran asi penerapan hari ke-3 ayah asi bukan ayah asi f % f % lancar 4 13.4 1 3.3 kurang lancar 1 3.3 23 76.7 tidak lancar 0 0 1 3.3 total 5 16.7 25 83.3 chi-square tests asymp. sig (2-sided) = 0.000 rahmawati dan kartika sari, penerapan peran ayah asi…211 berdasarkan tabel 4 di atas tampak bahwa ada perbedaan pengeluaran asi antara ibu postpartum dengan suami yang tergolong ayah asi dan bukan ayah asi. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-5 digambarkan pada tabel 5 di bawah ini: tabel 5 perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-5 di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 pengeluaran asi penerapan hari ke-5 ayah asi bukan ayah asi frekuensi % frekuensi % lancar 21 70.0 1 3.3 kurang lancar 5 16.7 3 10.0 tidak lancar 0 0 0 0 total 26 86.7 4 13.3 chi-square tests exact. sig (2-sided) = 0.048 berdasarkan tabel 5 di atas tampak bahwa ada perbedaan pengeluaran asi antara ibu postpartum dengan suami yang tergolong ayah asi dan bukan ayah asi. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-7 digambarkan pada tabel 6 di bawah ini tabel 6 perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-7 di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 pengeluaran asi penerapan hari ke-7 ayah asi bukan ayah asi frekuensi % frekuensi % lancar 23 76.7 0 0 kurang lancar 3 10.0 4 13.3 tidak lancar 0 0 0 0 total 26 86.7 4 13.3 chi-square tests exact. sig (2-sided) = 0.001 berdasarkan tabel 6 di atas tampak bahwa ada perbedaan pengeluaran asi antara ibu postpartum dengan suami yang tergolong ayah asi dan bukan ayah asi. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-9 digambarkan pada tabel 7 di bawah ini tabel 7 perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-9 di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 pengeluaran asi penerapan hari ke-9 ayah asi bukan ayah asi frekuensi % frekuensi % lancar 27 90.0 0 0 kurang lancar 0 0 3 10.0 tidak lancar 0 0 0 0 total 27 90.0 4 10.0 chi-square tests exact. sig (2-sided) = 0.000 212 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.207-215 berdasarkan tabel 7 di atas tampak bahwa ada perbedaan pengeluaran asi antara ibu postpartum dengan suami yang tergolong ayah asi dan bukan ayah asi. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-11digambarkan pada tabel 8 di bawah ini tabel 8 perbedaan pengeluaran asi pada ibu post partum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-11 di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 pengeluaran asi penerapan hari ke-11 ayah asi bukan ayah asi frekuensi % frekuensi % lancar 27 90.0 1 3.3 kurang lancar 0 0 2 6.7 tidak lancar 0 0 0 0 total 27 90.0 3 10.0 chi-square tests exact. sig (2-sided) = 0.007 berdasarkan tabel 8 di atas tampak bahwa ada perbedaan pengeluaran asi antara ibu postpartum dengan suami yang tergolong ayah asi dan bukan ayah asi. perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-13 digambarkan pada tabel 9 di bawah ini tabel 9 perbedaan pengeluaran asi pada ibu postpartum dengan penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-13 di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 pengeluaran asi penerapan hari ke-13 ayah asi bukan ayah asi frekuensi % frekuensi % lancar 28 93.3 0 0 kurang lancar 0 0 2 6.7 tidak lancar 0 0 0 0 total 28 93.3 2 6.7 chi-square tests exact. sig (2-sided) = 0.002 berdasarkan tabel 9 di atas tampak bahwa ada perbedaan pengeluaran asi antara ibu postpartum dengan suami yang tergolong ayah asi dan bukan ayah asi. perbedaan pengeluaran asi antara penerapan ayah asi dan bukan ayah asi pada hari ke-1 sampai hari ke-13 di gambarkan pada tabel 10 di bawah ini. tabel 10 hasil uji chi-square test perbedaan pengeluaran asi antara penerapan ayah asi dan bukan ayah asi hari ke-1 sampai hari ke-13 pada ibu postpartum di ruang flamboyan rsud mardi waluyo blitar bulan mei-juni 2014 source sig. perbedaan pengeluaran asi antara ayah asi dan bukan ayah asi (hari ke-1 sampai hari ke-13) 0.000 rahmawati dan kartika sari, penerapan peran ayah asi…213 berdasarkan tabel 10 di atas tampak bahwa terdapat perbedaan pengeluaran asi antara penerapan ayah asi dan bukan ayah asi mulai pengukuran hari ke-1 sampai dengan hari ke-13. pembahasan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan pengeluaran asi antara suami yang menerapkan ayah asi dan bukan ayah asi, terlihat dari hasil analisis data gabungan mulai hari ke-1 sampai hari ke-13 diperoleh nilai p= 0,000. penerapan peran sebagai ayah asi dalam penelitian ini meliputi 6 item pokok yaitu mencari informasi mengenai pemberian asi, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai cara pemberian makan bayi, memilih tempat untuk melakukan pemeriksaan pasca melahirkan atau imunisasi, memiliki sikap positif terhadap kehidupan pernikahan dan terlibat dalam berbagai kegiatan perawatan bayi. dari keenam item pokok tersebut, point yang paling sering dilakukan oleh suami adalah memiliki sikap positif terhadap kehidupan pernikahan dan yang paling jarang adalah berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai cara pemberian makan bayi. hampir semua responden (83,3%) merupakan primigravida yang belum berpengalaman sehingga untuk perawatan bayi khususnya tentang pemberian makan bayi umumnya suami tidak berani mengambil keputusan dan orang tua yang mempunyai pengalaman akan mengambil alih tugas ini. hasil studi yang dilakukan oleh jordan dan wall (1993) serta sullivan et al. (2004) dimana kualitas hubungan suami istri merupakan suatu prediktor yang penting terhadap keberhasilan pemberian asi. ketidakharmonisan hubungan suami istri dalam rumah tangga dapat menunjukkan adanya konflik yang signifikan atau juga menunjukkan kurangnya dukungan, yang dapat mengurangi kemampuan ibu untuk menyusui (sullivan et al., 2004). pada hari ke-1 postpartum, sebagian besar (83,3%) suami tidak menerapkan peran sebagai ayah asi dengan pengeluaran asi sebagian besar kurang lancar (53,3 %) dan lainnya tidak lancar (46,7 %). banyak suami tidak menerapkan peran sebagai ayah asi pada hari ke-1 selain karena belum mendapat penyuluhan juga karena para suami tidak mengerti bahwa peran menjadi ayah asi ternyata bermanfaat bagi kesehatan ibu terutama untuk kelancaran asi. pada hari ke-3 frekuensi suami yang menerapkan ayah asi masih tetap sama seperti hari pertama meskipun mereka sudah diberikan penyuluhan tentang pentingnya penerapan ayah asi dan cara menjadi ayah asi, hal ini dimungkinkan karena tingkat pendidikan suami sebagian besar tidak berpendidikan tinggi yaitu 50 % setingkat smp. tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam menyerap dan memahami pengetahuan yang diperoleh. penelitian oleh nursalam (2009) mengatakan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi seseorang dalam memotivasi untuk siap berperan serta dalam membangun kesehatan. sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat sikap seseorang. kesibukan ayah dalam bekerja sebagai upaya mencari nafkah diketahui merupakan salah satu hambatan yang dihadapi ayah untuk lebih dapat terlibat dalam keluarga (st john et al., 2004; nystrom dan ohrling; 2004; pohlman, 2005). namun sepertinya faktor tersebut tidak terlalu menjadi masalah dalam penelitian ini karena dengan adanya follow-up setiap hari via telepon dan 3 hari sekali secara langsung, penerapan peran ayah asi mulai hari ke-5 sampai hari ke-13 terus menunjukkan adanya peningkatan. selain followup, faktor pekerjaan yang sebagian besar adalah swasta (53,3 %) dapat menjadi pendukung penerapan peran ayah asi. pekerjaan swasta biasanya mempunyai jam kerja lebih bisa diatur sefleksibel mungkin. lama kerja suami dalam sehari juga sangat mempengaruhi penerapan peran ayah asi, suami ibu postpartum dalam penelitian ini sebagian besar (56,7 %) bekerja 8-9 jam dalam sehari sehingga masih ada cukup waktu untuk menerapkan peran sebagai ayah asi. menurut penelitian februhartanty, 2009 menunjukkan bahwa penyebab ayah tidak mendukung asi karena ayah tidak memiliki keleluasaan dan otonomi dengan jam kerjanya seiring dengan peningkatan penerapan peran sebagai ayah asi, pengeluaran asi juga mengalami peningkatan, mulai hari ke-5 tidak ada yang dalam kategori tidak lancar, dan lebih dari 50 % dalam kategori lancar. begitu juga dari hasil uji chi-square mulai hari ke-1 sampai hari ke-13 terdapat perbedaan pengeluaran asi yang 214 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.207-215 signifikan antara ibu yang suaminya menerapkan ayah asi dan bukan kategori ayah asi (p < 0,05). hal ini dapat dijelaskan karena dengan penerapan peran sebagai ayah asi menjadi bentuk dukungan emosional ibu postpartum sehingga dapat meningkatkan persepsi dan koping positif dalam merespon adanya stressor dalam masa postpartum. menurut klier, et.al (2007), penurunan cepat tingkat reproduksi hormon yang terjadi setelah melahirkan dapat berkembang menjadi depresi, terutama pada penurunan hormon progesteron mempunyai hubungan signifikan dengan perubahan suasana hati. pada studi lainnya didapatkan peningkatan serum cu yang sejalan dengan terjadinya inflamasi atau disregulasi autoimun, ketika tingkat inflamasi tinggi, penderita akan mengalami gejala depresi seperti lemas dan lesu. inflamasi juga akan meningkatkan level kortisol, dan akhirnya akan menghambat produksi oksitosin (mckena, 2010). persepsi dan koping positif dapat menurunkan kortisol sehingga meningkatkan oksitosin yang berperan dalam peningkatan pengeluaran asi. dari hasil penelitian ternyata sampai hari ke-13 masih ada yang belum menerapkan peran ayah asi meskipun follow-up telah dilakukan. pasangan muda sebagian besar masih tinggal bersama keluarga besarnya terutama orang tua, hal ini dapat menjadi faktor penghambat seorang suami untuk menerapkan peran ayah asi karena orang tua lebih dominan mengatur semua hal yang berkaitan dengan ibu postpartum dan praktik menyusui sehingga suami lebih cenderung untuk tidak terlalu peduli. dalam penelitian ini sebagian besar responden (60%) masih tinggal dengan kedua orang tuanya, dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah antara 4-5 orang. pengeluaran asi sampai hari ke-13 masih ada yang kurang lancar (6,7%). selain karena faktor penerapan ayah asi yang belum seratus persen diterapkan, juga karena faktor yang mempengaruhi produksi dan pengeluaran asi cukup banyak diantaranya faktor kondisi fisik dan psikologis ibu, motivasi ibu, pemberian minuman pendamping asi, dan juga tingkat pengetahuan ibu. dalam penelitian ini hampir semua responden memberikan nutisi selain asi (susu formula) kepada bayinya yaitu 24 orang (80 %) dan ada 4 orang (13,3%) istri yang berpendidikan sd. pemberian asi ibu melahirkan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya, psikologis, fisik ibu, kurangnya petugas kesehatan dan gencarnya promosi susu kaleng (siregar, 2004). simpulan dan saran simpulan terdapat perbedaan produksi dan pengeluaran asi antara yang mendapatkan penerapan ayah asi dan yang tidak mendapatkan penerapan ayah asi saran disarankan untuk ruang nifas rsd mardi waluyo kota blitar untuk menerapkan konseling ayah asi (breastfeeding father) kepada suami ibu post partum untuk memperlancar produksi asi sumber rujukan alison, (2013). unc researchers study ‘love hormon’ ties to breastfeeding, postpartum depression. the journal of women’s health. june 13. national institute of health. bahiyatun. (2009). buku ajar kebidanan asuhan nifas normal. jakarta:egc cunningham. f.g.et.al. (2005). obstetri william edisi (21). jakarta:egc februhartanty, j. strategic roles of fathers in optimizing breastfeeding practice: a study in an urban setting of jakarta. (2008). dissertation. universitas indonesia press jakarta klier, et.al. (2007). the role of estrogen and progesteron in depression after birth. journal of psychiatric, p: 273-279 mc.kena, james. (2008). a breastfeedingfriendly approach to depression in new mothers. mei-juni [diakses 12 januari 2010]; 1[1]:[11 screen]. diunduh dari:url:http://www.nhbreastfeeding taskforce.org nursalam. (2013). metodologi penelitian ilmu keperawatan pendeketan praktis. ed.3. jakarta: salemba medika. hlm. 3-413 nystrom, k. and ohrling, k. (2004). parenthood experiences during the rahmawati dan kartika sari, penerapan peran ayah asi…215 child’s first year: literature review. j advnurs; 46 (3): 319-330. pohlman, s. (2005). the primacy of work and fathering preterm infants: findings from an interpretive phenomenological study. adv neonat care ; 5 (4): 204216. siregar, arifin. (2004). faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian asi oleh ibu melahirkan. bagian gizi kesehatan masyarakat.fakultas kesehatan masyarakat. universitas sumatera utara. http://www.library.usu.ac.id.,diakses tanggal 27 juli 2014 sullivan, m.l., leathers, s.j., and kelley, m.a. (2004). family characteristics associated with duration of breastfeeding during early infancy among primiparas. j hum lact 2004; 20 (2): 196-205 http://www.library.usu.ac.id.,diakses/ 216 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.207-215 90 pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif (the effect of brain gym to the improvement of cognitive function) inosensia amtonis, ulfa husnul fata stikes patria husada blitar e-mail: ulfaners@yahoo.com abstract: the decline of cognitive function is a process of mental decline that include attention, language, memory, orientation capability, calculation and reasoning. cognitive function changed significantly along the trajectories of the aging process. the function of brain gym is important to improve brain function decline of the cognitive function in the elderly. the way of brain gym is to make a balance between the left and right brain functions. the purpose of this study was to determine the effect of brain gym to the enhancement of cognitive function in elderly at upt pslu blitar. method: the research design was one group pre-post test design on december 221 juli 2014. the sampel of the research was 18 elderly at upt pslu blitar, it was chosen using purposive sampling. the data analysis used wilcoxon signed rank test. result: the results showed that the elderly cognitive decline before doing the brain gym were 9 people (50%) in the category of severe, and after doing the brain gym the result were increased in the category of normal. there was significant effect in the catogories of cognitive function with p value 0.00. discussion: it was suggested for nurses that brain gym had an effect to the improvement of cognitive function to elderly. keywords: cognitive function, elderly, and brain gym lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia yang akan dialami setiap individu secara alamiah. menjadi lansia berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa hingga tua. pada fase ini lansia banyak mengalami perubahan baik secara fisik maupun mental khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi tubuh dan kemampuan yang pernah dimilikinya (soejono, 2000). menurut smith (1999), lansia dibagi menjadi tiga yaitu young old (65 – 74 tahun), middle old (75 – 84 tahun), dan old – old (lebih dari 85 tahun) (tamher & noorkasiani, 2011). lansia mengalami penuaan (aging proses) sebagai proses berkurangnya daya tahan tubuh menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh. hal ini terjadi karena lansia mengalami kehilangan jaringan pada otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh lansia mengalami penurunan fungsi (nugroho, 2008). perubahan biologis yang terlihat sebagai gejala kemunduran fisik antara lain kulit yang mulai mengendur, timbul keriput, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan mulai berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul. selain itu, lansia juga mengalami perubahan psikologis misalnya kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, depresi, cemas dan mengalami penurunan daya ingat (maryam, 2008). berdasarkan data dari badan pusat statistik (bps) tahun 2012 menjelaskan bahwa, di indonesia angka pertumbuhan lansia terus meningkat setiap tahun dengan rata – rata populasi usia lanjut adalah 3,9% pertahun. pada tahun 2010 presentase populasi lansia mencapai acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p087-092 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ amtonis dan fata, pengaruh senam otak…91 7,56%. kemudian pada tahun 2011 angka ini meningkat menjadi 7,58%. berdasarkan jenis kelamin, pada tahun 2012 jumlah lansia terbanyak adalah perempuan (perempuan = 8,2% ; laki-laki = 6,9%). menurut organisasi kesehatan dunia (who, 1998) diperkirakan 121 juta lansia mengalami penurunan fungsi kognitif, dari jumlah itu sebanyak 5,8% lansia laki – laki dan 9,5% lansia perempuan (ahmad djojosugito, 2008). penurunan fungsi kognitif atau daya ingat adalah menurunnya kemampuan dalam proses berpikir atau mengingat kembali suatu kejadian atau peristiwa baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang sering terjadi pada lansia. folstein et al, 1975 mengatakan bahwa, penurunan fungsi kognitif pada lansia terdiri dari beberapa aspek, salah satunya yaitu aspek mengingat kembali. hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah sel secara anatomis, kurangnya aktivitas, dan kurangnya asupan nutrisi (maryam, 2008). penurunan fungsi kognitif yang paling ringan adalah mudah lupa (forgetfulness). gejala mudah lupa diperkirakan dikeluhkan oleh 39% lanjut usia yang berusia 50 – 59 tahun, meningkat menjadi lebih dari 85% pada usia lebih dari 80 tahun. masuk pada fase ini seseorang masih bisa berfungsi normal walaupun mulai sulit mengingat kembali informasi yang telah dipelajari. jika penduduk berusia 60 tahun di indonesia berjumlah 7% dari seluruh penduduk, maka keluhan mudah lupa tersebut diderita 3% populasi di indonesia (wreksoatmodjo 2012). gangguan mudah lupa berlanjut dari gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment-mci) sampai ke demensia sebagai bentuk klinis yang paling berat. kondisi tersebut sangat berbahaya karena dapat mengganggu kegiatan sehari – hari lansia (maryam, 2008). berdasarkan data yang didapatkan di upt pslu blitar pada bulan april, didapatkan bahwa lansia yang mengalami gangguan fungsi kognitif ringan sebanyak 15 orang lansia (27%), gangguan fungsi kognitif sedang sebanyak 18 orang (33%), gangguan fungsi kognitif berat sebanyak 4 orang lansia (7%), dan fungsi kognitif baik sebanyak 17 orang (31%) dari 55 lansia secara keseluruhan. gangguan fungsi kognitif yang dialami lansia di upt pslu blitar terbanyak yaitu gangguan fungsi kognitif sedang sebanyak 33%. salah satu upaya untuk meningkatkan fungsi kognitif lansia adalah dengan senam otak (brain gym). verany (2013), telah meneliti bahwa ada pengaruh senam otak (brain gym) terhadap peningkatan fungsi kognitif. jumlah sampel yang di diteliti sebanyak 14 orang, dengan golongan umur 45-90 tahun. senam otak dilakukan 1 kali selama 30 menit. hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari festi (2010), yang mengatakan bahwa ada pengaruh senam otak (brain gym) terhadap peningkatan fungsi kognitif (daya ingat) lansia. jumlah sampel yang diteliti sebanyak 20 orang, terbagi dalam 2 kelompok yaitu 10 responden sebagai kelompok perlakuan dan 10 responden sebagai kelompok kontrol dengan golongan usia 45-59 tahun. senam otak dilakukan 2 kali sehari yakni menjelang dan setelah bangun tidur. dari kedua hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa apabila senam otak (brain gym) sering dilakukan pada lansia maka akan mengalami peningkatan yang jauh lebih baik. supardjiman (2005) mendefinisikan senam otak sebagai rangkaian latihan gerakan sederhana yang dapat memperbaiki konsentrasi, meningkatkan rasa percaya diri, menguatkan motivasi belajar, serta lebih mampu mengendalikan stress. senam ini mendorong keseimbangan aktifitas kedua belahan otak secara bersamaan, memperlancar aliran darah dan oksigen ke otak, serta memperbaiki kemampuan struktur dan fungsi otak agar tetap berkembang karena stimulasi. gerakan senam otak (brain gym) memberikan rangsangan atau stimulasi pada kedua belahan otak yang dikoordinasikan secara fisiologis melalui korpus kolosum, sehingga bisa meningkatkan daya ingat dan fungsi kognitif lainnya (paul, 2004). berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di upt pslu blitar”. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di upt pslu blitar?. tujuan umumnya adalah menjelaskan pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di upt pslu blitar . sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi fungsi kognitif lansia sebelum diberikan senam otak, (2) mengidentifikasi fungsi kognitif lansia setelah 92 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 90 96 diberikan senam otak, (3) menganalisis pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia. manfaat teoritis penelitian ini adalah sebagai bahan dalam penelitian selanjutnya dan menambah referensi pengetahuan dalam ilmu keperawatan gerontik, khususnya tentang pemberian senam otak sebagai alternative untuk mencegah terjadinya penurunan daya ingat yang sering dialami lansia. sedangkan manfaat praktisnya adalah (1) sebagai bahan masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan gerontik melalui senam otak yang dapat meningkatkan fungsi kognitif lansia di upt pslu blitar, (2) sebagai bahan masukan kepada keluarga dan perawat gerontik sehingga dapat berperan dalam kegiatan senam otak. bahan dan metode desain penelitian yaitu pre post test one group design, dimana kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. subyek pada penelitian ini sebanyak 18 yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi yaitu lansia yang bertempat tinggal di upt pslu blitar yang bisa melakukan aktivitas senam, bisa membaca dan menulis, usia 60-74 tahun, tidak mengalami gangguan pendengaran, dan bersedia untuk menjadi subyek penelitian. variabel senam otak merupakan latihan gerakan tubuh yang sederhana untuk meningkatkan fungsi kognitif. gerakan senam otak meliputi: (1) gerakan silang, (2) delapan tidur, (3) coretan ganda, (4) burung hantu, (5) mengaktifkan tangan, (6) lambaian kaki, (7) luncuran gravitasi, (8) pasang kuda-kuda, (9) air, dan (10) saklar otak. alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner minimental state exam (mmse). cara pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pre-test yaitu dengan mengukur fungsi kognitif sebelum dilakukan senam otak. kemudian, responden diberikan intervensi senam otak setiap pagi selama 20 menit. setelah pelaksanaan 3 minggu, kemudian dilakukan post-test dengan melihat fungsi kognitif lansia menggunakan instrumen mmse. analisis data menggunakan uji statistik wilcoxon test. hasil penelitian karakteristik responden di upt pslu blitar sebanyak 18 orang seperti pada tabel 1 di bawah ini. tabel 1. karakteristik responden di upt pslu blitar juni 2014. no karakteristik frekuensi % 1 jenis kelamin laki-laki perempuan 6 12 33 67 2 pendidikan sd smp smu tidak sekolah 7 3 2 6 39 17 11 33 3 pekerjaan pensiunan irt petani wiraswasta 1 6 3 8 6 33 17 44 tabel 2. uji statistik wilcoxon fungsi kognitif lansia sebelum dan setelah dilakukan senam otak di upt pslu blitar juni 2014. fungsi kognitif sebelum senam otak setelah senam otak p frekuensi % frekuensi % baik gangguan ringan gangguan berat 2 7 9 11 39 50 15 3 0 83 17 0 .000 total 18 100 18 100 pembahasan fungsi kognitif lansia sebelum diberikan senam otak pada lansia di upt pslu blitar gambaran fungsi kognitif lansia sebelum diberikan senam otak yang terbanyak tergolong kategori berat yaitu sebanyak 9 responden (50%) sedangkan responden dengan kategori gangguan fungsi kognitif ringan sebanyak 7 orang (39%), dan responden yang tergolong kognitif baik sebanyak 2 orang (11%) dengan umur dari semua responden antara 60 – 74 tahun. seperti yang dikatakan soejono (2000), lansia banyak mengalami perubahan baik secara fisik maupun mental khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi tubuh, salah satunya amtonis dan fata, pengaruh senam otak…93 adalah penurunan fungsi kognitif. dari hasil penelitian sebelum dilakukan senam otak membuktikan bahwa sebagian besar lansia telah mengalami penurunan fungsi kognitif. hal ini diperkuat oleh pramanta, (2009) yang mengatakan bahwa kemampuan kognitif lansia berubah atau menurun secara perlahan bersamaan dengan lajunya proses penuaa. menurut who (1998), prevelensi gangguan kognitif meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, pada usia 60 – 70 tahun terjadi penurunan kurang dari 3% dan menjadi 25% pada usia 85 tahun ke atas. hasil penelitian scanlan et al, 2007 menunjukkan bahwa penurunan fungsi kognitif sebesar 16% pada kelompok umur 65-69 tahun, 21% pada kelompok umur 70-74 tahun, 30% pada umur 75-79 tahun, dan 44% pada umur 80 tahun ke atas. maka terlihat adanya hubungan positif antara usia dan penurunan fungsi kognitif pada lansia. menurut kuczynski (2009), menyebutkan bahwa walaupun tanpa adanya penyakit neurodegeneratif, jelas terdapat perubahan struktur otak manusia seiring bertambahnya usia yang mengakibatkan lansia mengalami penurunan fungsi kognitif. berdasarkan hasil penelitian ini, menunjukan sebanyak 2 orang responden memiliki fungsi kognitif baik. melalui hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa responden tersebut memiliki motivasi hidup yang tinggi. hal ini didukung oleh mariam (2008), yang mengatakan bahwa kurangnya motivasi juga mengakibatkan penurunan fungsi kognitif pada lansia. bahkan menurut pramanta, (2009) mengatakan bahwa 50% dari seluruh populasi lansia menunjukan fungsi kognitif masih baik. berdasarkan data demografi menunjukan bahwa perempuan lebih berisiko mengalami penurunan fungsi kogitif. hal ini terlihat dari hasil pengamatan yang menunjukan bahwa sebagian besar lansia perempuan kurang menjalin hubungan baik antar sesamanya. hal ini memungkinkan lansia banyak berdiam diri karena tidak memiliki banyak teman untuk mengobrol dan mengakibatkan pengalaman dan pikiran lansia pun kurang terasah dengan baik sehingga memudahkan fungsi kognitifnya ikut menurun. diketahui bahwa penurunan hormon estrogen pada wanita menopause meningkatkan resiko mengalami penurunan kognitif, karena hormon ini diketahui memegang peranan penting dalam memelihara fungsi otak (czonkowska, 2003). diketahui pula bahwa lansia yang berpendidikan rendah lebih banyak mengalami penurunan kognitif. semakin tinggi tingkat pendidikan lansia akan semakin luas daya pikirnya sehingga kognitif lansia semakin terampil dalam hal berpikir. terlihat bahwa kebanyakan responden ketika berkomunikasi dengan lawan bicara seringkali tidak memahami isi percakapan dari lawan bicara, serta rasa keingintahuan lansia yang kurang. ini disebabkan karena pengetahuan yang dimiliki lansia juga terbatas sehingga wawasan berpikir pun minim. menurut ramdhani (2012), bahwa tingkat pendidikan yang telah dicapai seseorang secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap fungsi kognitif seseorang terlebih bila tingkat pendidikan yang ditempuh sangat rendah. karena tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu indikator terjadinya penurunan kognitif pada lansia. hal ini juga diperkuat oleh scanlan (2007), bahwa kelompok dengan pendidikan rendah tidak pernah lebih baik dibandingkan kelompok dengan pendidikan lebih tinggi data demografi juga menunjukan pekerjaan lansia terbanyak adalah wiraswasta. searah dengan kemajuan teknologi biasanya orang usia lanjut, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, cenderung bekerja dengan jenis pekerjaan yang belum mengarah ke orientasi kognitif, seperti generasi sesudahnya (hultsch, hammer & small, 1993 dalam fadhia, 2012). hal ini juga menjadi salah satu penyebab lansia mengalami penurunan kognitif. adanya lansia berada di panti maka memudahkan lansia mengalami penurunan kognitif karena aktivitas lansia yang sebelumnya aktif akhirnya harus dibatasi sesuai kemampuan dari setiap individu yang berada di panti. hal ini dikatakan sidiarto (1999), bahwa pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana perbedaan yang terusmenerus melatih kapasitas otak dan dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah terjadinya demensia. dari penjelasan di atas diketahui bahwa ada beberapa faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap fungsi kognitif lansia, diantaranya yaitu faktor pendidikan, jenis kelamin dan pekerjaan seseorang. pernyataan tersebut didukung oleh freidi et al., (1996) yang 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 90 96 mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi kognitif termasuk faktor sosiodemografi seperti usia, pendidikan, pekerjaan dan status menikah. kemampuan otak dapat ditingkatkan dengan memberikan stimulus atau rangsangan ke otak yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif melalui gerakan – gerakan ringan. gerakan yang dapat meningkatkan potensi kerja otak dan meningkatkan kebugaran tubuh secara umum yaitu dengan melakukan gerakan senam otak (markam, 2005). oleh karena itu dengan adanya aktivitas senam otak ini, diharapkan dapat membantu mengatasi atau mengurangi resiko terjadi penurunan konitif yang sering dialami oleh lansia. fungsi kognitif lansia setelah diberikan senam otak pada lansia di upt pslu blitar gambaran fungsi kognitif lansia setelah diberikan senam otak menunjukan bahwa kemampuan kognitif lansia setelah dilakukan senam otak tergolong kategori fungsi kognitif baik yaitu sebanyak 15 orang (83%), sedangkan yang tergolong kategori gangguan fungsi kognitif ringan sebanyak 3 orang (17%). hasil penelitian ini terbukti bahwa aktivitas senam otak dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lansia. hal ini didukung oleh teori dennison (2006), yang mengatakan bahwa gerakan – gerakan pada senam otak dapat memberikan rangsangan atau stimulus pada otak. gerakan yang menimbulkan stimulus inilah yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif (kewaspadaan, konsentrasi, kecepatan, persepsi, belajar, memori, pemecahan masalah dan kreativitas). hal ini terbukti bahwa setelah dilakukan senam otak pada lansia selama tiga minggu setiap hari fungsi kognitif lansia mengalami peningkatan dalam hal pengenalan tempat, waktu, menghitung angka, mengingat, serta atensi. hal ini didukung oleh penelitian verany (2013) dan festi (2010), yang mengatakan bahwa ada pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia. senam otak mempunyai manfaat besar karena dapat menyelaraskan antara anggota gerak dan pernafasan. gerakan pada senam otak cenderung lambat. hal ini sangat berhubungan dengan pernafasan, gerak yang lambat akan diimbangi dengan pernafasan untuk menghirup dan menghembus udara sedalam – dalamnya, sehingga oksigen akan terserap maksimal. serta unsur gerakan utama pada senam otak adalah gerakan menyilang untuk menimbulkan stimulus pada otak. maka senam otak dapat memperbaiki atau bahkan meningkatkan fungsi otak. hal ini didukung oleh teorinya dennison (2006), yang mengatakan bahwa kegiatan senam otak yang dilakukan secara teratur oleh kelompok lansia dapat mencegah dan memperlambat penurunan daya ingat sebagai akibat proses menua. senam otak dapat meningkatkan aktivitas otak melalui gerakan – gerakan sederhana yang dirancang untuk mengaktifkan seluruh bagian otak. proses tersebut akan selalu merangsang pusat otak (brain learning stimulation), yang didalamnya terdapat pusat-pusat yang mengurus berbagai fungsi tubuh. menurut denisson (2004), senam otak mengaktifkan seluruh bagian otak untuk kemampuan akademik, hubungan perilaku, serta sikap karena pada dasarnya otak terbagi menjadi dua belahan yaitu otak kanan dan otak kiri. masing – masing belahan mempunyai fungsi yang berbeda. otak kiri berhubungan dengan potensi dalam kemampuan kebahasaan (verbal), kotruksi objek (teknis dan mekanis), temporal, logis, analitis, rasional dan konsep kegiatan yang terstruktur. sedangkan otak kanan memiliki potensi dalam kemampuan kretivitas (kemampuan berinisiatif dan memunculkan ide), kemampuan visual, potensi intuitif, abstrak dan emosional (berhubungan dengan nilai rasa). pengaruh senam otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia di upt pslu blitar. dari hasil analisa data yang dilakukan dengan spss dan uji statistika menggunakan uji wilcoxon test didapatkan nilai signifikan adalah α = 0,00 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara fungsi kognitif lansia sebelum dilakukan senam otak (pre-test) yang mana gangguan fungsi kognitif berat lebih mendominasi dengan hasilnya 50%, yang mengalami gangguan fungsi kognitif ringan hasilnya 39% dan lansia yang fungsi kognitif masih baik sebanyak 11%, dan setelah diberikan senam otak (post-test) fungsi kognitif lansia yang tergolong kategori gangguan berat berkurang menjadi 0% , kategori gangguan ringan berkurang menjadi 17% dan rata – rata meningkat menjadi kategori kognitif baik sebanyak 83%. amtonis dan fata, pengaruh senam otak…95 hasil penelitian ini sesuai dengan penelitianm yang dilakukan festi ( 2010) dengan uji statistic mcnemar dan chi-square dengan taraf signifikansi α = 0.05 dengan hasil p = 0.016 pada uji mcnemar dan pada uji chi square dengan hasil p = 0,03 didapatkan bahwa setelah dilakukan brain gym selama 2 kali sehari hasilnya menunjukkan ada pengaruh brain gym terhadap fungsi kognitif lansia dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang. sesuai dengan fungsinya brain gym merupakan salah satu metode gerak dan latih otak, yang berguna dalam meningkatkan fungsi kognitif terutama pada lansia. metode ini mengaktifkan dua belah otak dan memadukan fungsi semua bagian otak untuk meningkatkan kemampuan kognitif. hasil penelitian yang ada maka dapat dikatakan bahwa senam otak apabila dilakukan terus menerus secara teratur maka hasilnya akan jauh lebih efektif. ini karena gerakan senam otak dapat mengaktifkan tiga dimensi otak, yang mana dimensi pemusatan dapat meningkatkan aliran darah ke otak, meningkatkan penerimaan oksigen, dimensi lateralis akan menstimulasi koordinasi kedua belahan otak yaitu otak kanan dan kiri, memperbaiki pernafasan, stamina, melepaskan ketegangan serta mengurangi kelelahan. dimensi pemfokusan untuk melepaskan hambatan fokus dari otak yang dapat memperbaiki kurangnya perhatian, kurangnya konsentrasi sehingga dapat menyebabkan fungsi kognitif lansia meningkat. oleh karena itu dapat dikatakan bahwa aktivitas senam otak sangat membantu untuk mengatasi masalah penurunan fungsi kognitif pada lansia (denisson, 2004). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pslu blitar dan tabulasi tentang pengaruh senam otak terhadap fungsi kognitif lansia didapatkan bahwa: (1) fungsi kognitif lansia sebelum dilakukan senam otak dengan kategori gangguan fungsi kgnitif berat sebanyak 9 orang (50%), (2) fungsi kognitif lansia setelah dilakukan senam otak presentasenya meningkat menjadi 0%, (3) hasil uji statistik dengan wilcoxon signed rank test yaitu α = 0,00 menyatakan bahwa ada pengaruh senam otak terhadap peningkatan kognitif lansia di upt pslu blitar. saran bagi praktek keperawatan diharapkan dapat memperhatikan gangguan kognitif lansia dengan meningkatkan terapi senam otak sehingga lansia tidak mengalami resiko terjadinya demensia, bagi institusi dan peneliti lain diharapkan dapat menambah referensi ilmu keperawatan di perpustakaan tentang intervensi yang dapat diberikan kepada lansia dengan gangguan kognitif dan kepada peneliti selanjutnya untuk memperbaharui penelitian yang lebih inovatif tentang cara mengatasi penurunan kognitif yang dialami lansia, dan bagi upt pslu blitar dianjurkan untuk lebih giat dan sering dilakukan senam otak kepada lansia agar mencegah atau mengurangi resiko terjadinya penurunan kognitif pada lansia. daftar rujukan budi riyanto wreksoatmodjo, 2012. hubungan social engagement dengan fungsi kognitif. jakarta, indonesia czlonkowska, a., ciesielka, a. and joniec, h., 2003, influence of estrogen on neurodegenerative processes, med sci monit. 23 juni 2014. scanlan, j.m., binkin, n., michieletto, f., lessig, m., zuhr, e., and borson, s., 2007. cognitive impairmen, chronic disease burden, and functional disability: a population study of older italians. the american journal of geriatric psychiatry, 2007. diakses 24 juni 2014. denisson, p. e & denisson, g. 2006. buku panduan brain gym. jakarta: pt gramedia. djojosugito, ahmad. 2008. kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan menyongsong afta 2010, pusat data dan informasi persi: jakarta. http://www.pdpersi.co.id/?show=detailne ws&kode =665&tbl= artikel (diakses 03 mei 2014). fadhia, dkk., 2012. hubungan fungsi kognitif dengan kemandirian dalam melakukan activities of daily living (adl) pada lansia di upt pslu pasuruan, fakultas keperawatan universitas airlangga surabaya. diakses 8 maret 2014. festi, p., 2010. pengaruh brain gym terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia dikarang werdha peneleh surabaya. 96 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 90 96 jurnal kesehatan (http://www.fik.umsurabaya . ac.id/diakses 8 maret 2014). kuczynski, b, jagust, w, chui, hc., reed, b 2009, “an inverse association of cardiovascular risk and frontal lobe glucose metabolism”, neurology, vol. 72. diakses 24 juni 2014. markam, s. 2005. latihan vitalisasi otak (senam untuk kebugaran fisik dan otak). jakarta: grasindo. maryam, r.s., et al., 2008. mengenal usia lanjut dan perawatnnya. jakarta: salemba medika. martono, hh & pramanta, k (ed.) 2009. buku ajar boedhi-darmojo: geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut), edisi 4, jakarta: balai penerbit fkui. nugroho, w., 2008 keperawatan gerontik dan geriatrik. edisi 3. jakarta: egc. ramdhani n. 2012. gambaran fungsi kognitif dan keseimbangan pada lansia di kota manado. ktis. manado: fk unsrat. s. tamher & noorkasiani, 2011. kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan. jakarta: salemba medika. sidiarto, ld, kusumoputro, s 1999, “mild cognitive impairment (mci) gangguan kognitif ringan”, berkala neurosains, vol. 1 soejono heriawan dkk, 2000. pedoman pengelolaan kesehatan geriatri untuk dokter dan perawat. jakarta: pusat informasi ilmu penyakit dalam fkui. verany, dkk., 2013. pengaruh brain gym terhadap tingkat kognitif lansia di panti sosial tresna werdha warga tama indralaya. diakses: 11 april 2014 69sari, the effectiveness of yoga movement ”suryanamaskar”... 69 effectiveness of yoga movement “suryanamaskar” of dysmenorrhoea pain reduction of adolescent levi tina sari midwifery department, patria husada blitar school of health science email: tinasari.levi@gmail.com abstract: in adolescence, a physical phenomenon associated with puberty is in biological processes that lead to the ability to reproduce years marked by menstruation, some women must have experienced pain during menstruation in the form of pain. the purpose of this research was to analyze the effectiveness of yoga suryanamaskar movement to decrease dysmenorrhea pain of adolescent girls. this research used pre-post design, with 20 respondents of the 27 total population. the research was measured by pain scale 0-10 with data analysis using paired sample t-test. the results showed that there was an average increase before and after the intervention of 3.5 points. test results obtained ñ â á means there was a significant difference between before and after treatment. yoga suryanamaskar combines motion, breathing and relaxation techniques, which aimed to feel comfortable. yoga with body suryanamaskar movement required adequate oxygen intake in order to burn glucose into atp and burn fat in the body, at that time endorphin hormone appears in order to provide pain relief. so it can be recommended to adolescents as training to reduce dysmenorrhea disk. keywords: yoga suryanamaskar, adolescent, dysmenorrhea introduction adolescence, wher e there is a period of transition from childhood to adulthood is a dynamic phase of development in life. according sarwono (2003), that adolescents develop, from secondary sexua l signs, psychologica l a nd pa tter ns of identification of children to adulthood. where there is a physical phenomenon associated with puberty is the biological process that leads to the ability to reproduce. puberty in adolescents generally occurs a t the a ge of 9-15 yea r s cha r a cter ized by menstruation. menstruation is part of a regular process that prepares a woman’s body every month for pregnancy, which is controlled by hormonal interactions issued by the hypothalamus, the pituitary gland, and the ovaries. in gener a l, women exper ience physica l discomfort for several days before the menstrual period comes. some women must have experienced pain during menstrual periods of pain (proverawati & misaroh 2009). pain during menstruation in medical terms is called dysmenorrhea. studies show that the hormone prostaglandin plays an impor ta nt r ole in the etiology of pr ima r y dysmenorrhoea because this hormone plays an important role in the contraction of the myometrium that is useful for shedding the endometrial layer so start the menstrual process followed by mild bleeding. if the hormone prostaglandin is released in large amounts of eating will occur pain and some other effects that are nausea, vomiting, and diarrhea. according to yatim (2001), his statement are dysmenorrhea is a pain in menstrual periods in the pelvic region due to increa sed prostaglandin hormone. it often starts after the first menstruation (menarche). the cause of pain comes from the uterine muscles, as all uterine muscles can contract a nd r ela x. when menstr ua tion is str onger contractions. contractions that occur due to a substance called prostaglandin. prostaglandins are made by the inner lining of the uterus. before menstruation occurs this substance increases and jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p069–073 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 70 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 69–73 as soon as menstruation occurs, prostaglandin levels decrease (kirana, 2011). this dysmenorrhea occurs between the a ges of 15-25 yea r s a nd then disappears in late age in the early 30s. pain usually occurs several hours before the menstrual period and can continue up to 48-72 hours. pain decreases after menstruation. pain during menstruation causes discomfort in daily physical activity. the incidence of primary menstrual pain in indonesia is about 54.89%, while the rest are patients with secondary type. united states is estimated almost 90% of adolescents experience menstrual pain 10-15% of them experience severe menstrual pain, which causes them not able to perform any activity and this will reduce the quality of life in ea ch individua l. t he incidence of dysmenorrhoea in indonesia is 64.25% consisting of 54.89% primary dysmenorrhoea and 9.36% secondary dysmenorrhoea (andira, 2013) according to munandar (2013), his statement are during adolescence there is a typical emotional tension so that this period is called the storm and storm (storm and stress) heightened emotionality, a per iod that descr ibes the emotional sta te in adolescents are erratic, unstable, and explodeexplosive, faced with the search for knowledge of himself, what and where and how about himself. thus, if not immediately addressed will affect the mental and physical function of adolescents, therefore there is action traditional therapy, one of which is using yoga suryanamaskar. yoga suryanama skar is a n a ncient yoga movement which has three aspects namely form, vital energy and rhythm (wong, 2011 cited renityas, 2017). yoga is one of the relaxation techniques that can be used to reduce pain because while doing gymnastics, brain and spinal cord arrangement will produce endorphin, a hormone that serves as a natural sedative and cause a sense of comfort. (akma rawita, 2010). in addition, r elaxation techniques in yoga can stimulate the body to rele ase endogenous opioid that is endorphin and enkephalin (a compound that works to inhibits pain), then with it, yoga is useful when menstruating. the menstr ua l cycle is r ela ted to the hor mona l interconnection chain that occurs in women during menstruation every month, the sequence of events allows the egg (rohimawati, 2011). based on the description above researchers interested to examine the effectiveness of yoga movement sur ya na ma ska r to decr ea se pa in dysmenorrhoea in young women in stikes patria husada blitar. the purpose of this study were (1). knowing dysmenorrhea pain before treatment in young women, (2). knowing dysmenorrhea pain after treatment in young women, (3). analyze the effectiveness of yoga suryanamaskar movement to decrease dysmenorrhea pain in adolescent girls. method research design using experimental pre using one group pre-post design approach that is giving treatment of yoga suryanamaskar movement to the intensity of pain at the time of menstruation then measured pain intensity before and after technique of yoga suryanamaskar movement. the population of this study are young women enrolled husada stikes patria blitar. sampling using purposive sampling with inclusion criteria include young women a ges 18-20 yea r s, pr ima r y dysmenor r hoea experiencing pain, then obtained a sample of 20 respondents out of a total population of 27 young women. measurement of pain response using the scale numeric pain rating scale that ranges from 0-10. dysmenorrhoea pain level will be measured using a numerical scale observation sheet to be filled out by r espondents when exper iencing pa in dysmenorrhoea, then researchers conducted as much as 6x treatment for 2 weeks (one week 3x tr ea tment) a t the end of the tr ea tment the researchers gave a questionnaire containing sheet scale pain to the respondent. the scale of the data used is the scale interval with a value of 0 no pain, 1-4 mild pain, 5-7 moderate pain, severe pain 8-10. analysis of the data used in this study include univariate analysis using frequency distribution and bivariate analysis using paired samples t-test. result general data respondents in this study has the following characteristics: characteristics  % age (year) 18 5 25 19 8 40 20 7 35 table 1 characteristics of respondents 71sari, the effectiveness of yoga movement ”suryanamaskar”... based on the data above states that the greatest age was 19 out and 11 respondents have a regular menstrual history but only 5 respondents who exercise regularly, and age of first menstrual period experienced by those aged > 12 years as many as 8 respondents. general data achievement acuyoga movement on young girls in pain reduction dismenorhea. based on the above table there is an increase on average before and after the intervention by 3.5 points. the test results obtained ñ â á value means there is a significant difference between before and after treatment. discussion analysis of dismenorhea pain before giving a motion of yoga suryanamaskar based on the results of research proves that young women experience dysmenorrheal pain, even to the category of severe pain. menstrual pain is also influenced by several factors: his long periods of time, early menarche age, and sports history and psychology. dysmenor r hea will a ppea r if ther e is a myometrial dysrhythmic contraction featuring one or more symptoms, ranging from mild to severe pain at the bottom, buttocks, and spasmodic pain to the medial side of the thigh (anurogo and wulandari, 20110). then, according to reeder (2013), states that the increase in prostaglandin and its release (pgf2á) from the endometrium during menstruation ca uses uncoor dina ted a nd ir r egula r uter ine contractions that cause pain. during the menarche per iod, r espondents who ha d a histor y of dysmenorrhea had higher intrauterine pressure and had twice the prostaglandin levels. in adolescent girls who experience primary dysmenorrhoea increased levels of vasopressin, causing hypoxia and uterine ischemia. then in adolescent girls who experienced primary dysmenorrhoea but did not increase the level of prostaglandin, then there will be increased activity of 5-lipoksigenase groove. this increases the synthesis of leukotriene, a very strong vasoconstrictor that induces uterine muscle (reeder, 2013). lack of exercise is also one of the factors affected by dysmenorrhea, this is because someone characteristics  % menstrual history regular 11 55 irregular 9 45 history exercising regular 5 25 irregular 15 75 the first menstrual period (year) >12 8 40 12 – 14 7 35 >14 5 25 table 2 frequency distribution of respondents prior treatment guide pain scale  % no pain 0 0 mild pain 5 25 moderate pain 11 55 severe pain 4 20 based on the above table proves that 11 respondents had moderate pain and 4 respondents experiencing severe pain. table 3 frequency distribution of respondents after treatment guide pain scale  % no pain 6 30 mild pain 10 50 moderate pain 4 20 severe pain 0 0 based on the above table proves that 10 r espondents exper ienced mild pa in a nd 6 respondents expressed no pain. treatment n mean mean ± std.  deviasi before 20 5,95 3,500 ± 0.946 0.000 after 20 2,45 table 4 descriptive numerical value and paired sampl e t-test test of effe ctive ne ss of suryanamaskar movement on pain reduction of dismenorrhea 72 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 69–73 who exercise will release the hormone endorphins, endorphins are endogenous peptide opioids that function as neurotransmitters and have the same structure with morphine, so as to relieve pain (rokade, 2011). analysis of pain dysmenorrhea after given yoga surya namaskar movement based on the results that yoga can reduce the pain of dysmenorrhea who do as much as 6x in 2 weeks. this is because the hormone endorphin continuously so as to reduce pain. according akmarawita (2010), yoga is one of the relaxation techniques that can be used to reduce pain because while doing gymnastics, brain and spinal cord arrangement will produce endorphin, a hormone that serves as a natural sedative and cause a sense of comfort. moreover, it also provides benefits to maintain the balance of the abdominal muscles and increase energy thus increases oxygen supply and an impact on the body’s energy. yoga suryanamaskar have movements that can tighten the muscles and joints as well as maintaining the balance of the abdominal muscles so that the oxygen supply is increasing and can reduce pain. yoga suryanamaskar movement analysis to decrease pain dysmenorrhea the results proved that yoga suryanamaskar movement can reduce dismenorhea pain in young women. due to the ongoing training and mentoring of researchers that yoga movements right, it can improve blood circulation throughout the body, increase lung capacity, reduce tension both physical and mental body so that it can reduce pain. besides the conduct yoga regularly can reduce the liquid that has accumulated at the waist so that it can reduce pain dismenorhea (suratini, 2013). yoga sur ya na ma ska r combines motion, breathing and relaxation techniques, which aim to comfort. yoga with suryanamaskar movement of the body needs more oxygen and adequate in order to burn the glucose into atp and burn fat in the body, when the hormone endorphin appears in order to provide pain relief. relaxation techniques in yoga exercises can stimulate the body’s release of endogenous opioids that endorphins and enkephalins (compounds that function to inhibit pain), then by that yoga is beneficial when menstruating. in the peripheral nervous system, producing analgesic endorphins by binding to opioid receptors in both preand post-synaptic nerve terminals. when binding, there will be a cascade of interactions that lead to inhibition of tachycin release, especially p substance involved in pain transmission. in the central nervous system, endorphins endorphins direct their primary action to the presinaptic nerve terminals. however, the endorphins do not inhibit substance p, but inhibits the release of gammaaminobutyric acid (gaba). the inhibition will lead to increased dopamine production associated with pleasure (blum, 2010) the hormone endorphins that are produced when performing yoga movements regularly then flowed throughout the body. endorphin hormone acts as a natural analgesic in the body. endorphins will control the condition returns to normal blood vessels and keep blood stream can flow unimpeded (sormin, 2014). conclusion and suggestion conclusion yoga with body suryanamaskar movement requires adequate oxygen intake in order to burn glucose into atp and burn fat in the body, at that time endorphin hormone appears in order to provide pa in r elief. so it ca n be r ecommended to adolescents as training to reduce dysmenorrhea. suggestion as a health practitioner will consider yoga suryanamaskar as a complementary therapy that can reduce dismenorrhea pain. and respondents can a lso r educe chemica l dr ugs in r educing dysmenorrhea pain. references akmarawita, k. 2010. hormones changes to stress. jurnal ilmiah kedokteran wijaya kusuma vol 2, no 1. hh. 73-85 andira,d. 2010. seluk beluk kesehatan reproduksi wanita. jogjakarta: a plus books anurogo d dan wulandari a. 2011. cara jitu mengatasi nyeri haid. yogyakarta: penerbit andi blum ass, smith g, sugai d, parsa fd. 2010. understanding endorphins and theirimportance in pain management. hawai’imedical journal; 69:7071. kirana, d. 2011. hubungan asupan zat gizi dan pola menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri. artikel penelitian. universitas diponegoro. munandar, u. 2009. pengembangan kreativitas anak berbakat. jakarta: rineka cipta 73sari, the effectiveness of yoga movement ”suryanamaskar”... proverawati, a., dan misaroh, s. 2009. menarche menstruasi pertama penuh. makna. yogyakarta: nuha medika. renityas n, tinasari l. wibisono w. 2017. efektivitas acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu primigravida di masyarakat agriculture. jurnal ners dan kebidanan. vol.4, no.2. hh.98-103 rohimawati, r. 2011. sehat dan bahagia dengan yoga. jakarta: kawan pustaka. rokade pb. 2011. release of endomorphinhormone and its effects on our body admoods : a review. international conferenceon chemical, biological dan enviroment sciences; 2011 dec; bangkok : iccebs sormin nm. 2014. efektivitas senam dismenore dalam mengurangi dismenore pada remaja putri di smp negeri 2 siantan kabupaten pontianak. proners jurnal keperawatan.vol. 1, no.1, hh.1-8. suratini. 2013. panduan praktikum keperawatan keluarga. stikes aisyiah. yogyakarta sarwono sw. (2013). psikologi remaja. edisi revisi. jakarta: pt. raja gravindo. d:\set 2017\set nanik juni 2017 64 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–69 64 penambahan berat badan antara dua waktu hemodialisapada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di rsd mardi waluyo kota blitar (the interdialysis weight gain in chronic kidney disease patients on hemodialysis installation rsd mardi waluyo blitar) tri cahyo sepdianto, suprajitno, erna usmiati poltekkes kemenkes malang jurusan keperawatan email: ernausmiati06@gmail.com abstract: the interdialysis weight gain more than 5 % of weight dry can result in negative towards patients of them hypotension , edema , shortness of breath , lightheaded and can lead to the death .research objectives is to find interdialysis weight gain in chronic kidney disease patients. a method in this research use descriptive design .population in this study all patients of chronic kidney disease who get hemodialisa in installation hemodialisa rsd mardi waluyo blitar are 89 peoples, uses the technique total population. data collection is performed by measuring weight patients after hemodialisa ago and before hemodialisa next .this research result that weight gain between the two time lightweight hemodialysis 60,7%, 12,4% on average, and 26,9% of danger . extra weight category of danger caused because patients do not adhere to diet. recommendations from the study is expected to become an evaluation for installation hemodialisa rsd mardi waluyo blitar to increase intervention on patients who get hemodialisa . keywords: idwg, hemodialisa, chronic kidney diseases. abstrak: penambahan berat badan anatara dua waktu hemodialisa melebihi 5% dari berat badan kering dapat mengakibatkan negatif terhadap pasien diantaranya hipotensi, edema, sesak napas, dan dapat mengakibatkan kematian. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penambahanan berat badan antara dua waktu hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa metode dalam penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian ini semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar sebanyak 89 orang, menggunakan teknik total populasi. pengumpulan data dilakukan dengan mengukur berat badan pasien sesudah hemodialisa dan sebelum hemodialisa selanjutnya. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan berat badan antara dua waktu hemodialisa 60,7% ringan, 12,4% rata-rata dan 26,9% bahaya. penambahan berat badan dengan kategori bahaya disebabkan karena pasien tidak mematuhi diet. rekomendasi dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan evaluasi bagi instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar guna meningkatkan penatalaksanaan pada pasien yang menjalani hemodialisa. kata kunci : idwg, hemodialisa, gagal ginjal kronik. cronic kidney disease (ckd) adalah ketidakmampuan fungsi ginjal mempertahan-kan metabolisme, keseimbangan cairan dan elekrolit yang mengakibatkan destruksi struktur ginjal yang progresif adanya manifestasi penumpukan bahan sisa metabolik seperti toksik uremik didalam darah (muttaqim acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p064-069 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 65sepdianto, dkk., penambahan berat badan antara dua waktu... & sari, 2011 dalam tanujiarso, dkk, 2014). penumpukan zat-zat toksit dalam tubuh yang kemudian dapat menyebabkan sindrom uremia adalah salah satu kegagalan dari fungsi ginjal. bagi penderita gagal ginjal kronik, hemodialisis akan mencegah kematian. di indonesia khususnya di jawa tengah pada tahun 2013, jumlah penderita gagal ginjal mencapai 99.810 pasien (riskesdes, 2013). jumlah prevalensi pasien gagal ginjal kronik semakin meningkat. diperkirakan pada tahun 2025 di mediterania, timur tengah, afrika, dan asia tenggara jumlah penderita gagal ginjal kronik mencapai lebih dari 380 juta orang. hal tersebut dipengaruhi oleh faktor peningkatan proses penuaan, pertumbuhan penduduk, obesitas, urbanisasi dan gaya hidup yang tidak sehat (anonim, 2010 dalam nurchayati 2011). pada akhirnya untuk menyelamatkan/mempertahankan kehidupan pasien perlu dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal (baughman dan hackley, 2000). hemodialisa adalah salah satu terapi pengganti pada pasien ggk dengan tujuan untuk membuang sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan dapat mengurangi gangguan keseimbangan cairan (kamaluddin dan rahayu, 2009). meskipun hemodialisa itu aman dan bermanfaat, tetapi bukan berati hemodialisa sendiri tanpa efek samping, yang sering terjadi komplikasi pada hemodialisa adalah penambahan berat badan di antara dua waktu hemodialisa (interdialitic weight gain=idwg). interdialytic weight gain (idwg) merupakan pertambahan berat badan pasien di antara dua waktu dialisis. penambahan ini dihitung berdasarkan berat badan kering pasien, yaitu berat badan post dialisis setelah sebagian besar cairan yang di buang melalui proses uf (ultrafiltrasi), berat badan paling rendah yang dapat di capai seharusnya tanpa disertai keluhan dan gejala. idwg yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak boleh lebih dari 5% dari berat kering (riyanto, 2011). dilaporkan prevalensi di negara maju, data pasien yang mengalami kenaikan idwg terus mengalami peningkatan. di amerika serikat sekitar 9,7%-49,5% dan di eropa 9,8%-70% (kugler, dkk, 2005 dalam hidayati, 2012). penelitian tersebut juga didukung studi kasus yang dilakukan oleh lolyta (2012) dalam tanujiarso, (2014) menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami peningkatan berat badan lebih dari 5% dari berat badan kering sebanyak 25 responden (52,1%) dan yang tidak lebih dari 5% dari badan kering sebanyak 23 responden (47,1%). peningkatan idwg dapat disebabkan dari berbagai faktor internal seperti usia, jenis kelamin, rasa haus, stress, maupun faktor eksternal yaitu dukungan keluarga dan sosial serta jumlah intake cairan (levea, dkk, 2003 dalam tanujiarso, dkk, 2014). peningkatan penambahan berat badan yang lebih cepat (melebihi 5%), dapat mengakibatkan komplikasi seperti hipotensi, kram otot, hipertensi, sesak napas, mual dan muntah, dan akan dapat mengakibatkan kematian (smeltzer dan bare, 2002). maka perlu dilakukan penatalaksanaan mengenai mempertahankan kenaikan berat badan antara dialisis serta tindak lanjut guna menekan kejadian komplikasi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa (riyanto, 2011). dari hasil survey di rsud mardi waluyo blitar, jumlah pengunjung pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di unit hemodialisa mengalami peningkatan. pada tahun 2013 tercatat 60 penderita, pada tahun 2014 sebanyak 83 penderita, tahun 2015 januari hingga bulan oktober sebanyak 89 penderita. berdasarkan hasil studi pendahuluan tanggal 12 oktober 2015 di dapatkan 6 penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, 4 orang (67%) diantaranya mengalami peningkatan idwg di tandai dengan edema dan sesak napas dengan faktor rasa haus yang berlebih dan 2 orang (33%) tidak mengalami penambahan berat badan < 5%. berdasarkan hasil studi pendahuluan tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui “penambahan berat badan antara dua waktu hemodialisa pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa rsd mardi waluyo blitar”. bahan dan metode metode dalam penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian ini semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar sebanyak 89 orang, menggunakan teknik total populasi. pengumpulan data dilakukan dengan mengukur berat badan pasien sesudah hemodialisa dan sebelum hemodialisa selanjutnya. waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 22 februari-22 maret 2016. hasil penelitian secara umum, pasien ggk yang menjalani hd di rsud mardi waluyo kota blitar seperti dalam tabel 1 di bawah. 66 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–69 hasil analisis didapatkan rata-rata lama menjalani hd pada responden adalah 5 tahun. lama menjalani hd terendah 1 bulan dan lama menjalani hd tertinggi 12 tahun. 53,67 1,1079 20,00-75,00 51,34-56,01 tabel 1 umur pasien yang menjalani hemodialisa di instalasi hemodialisa rsud mardi waluyo kota blitar, februari 2016 (n=89) rata-rata (tahun) sd minimalmaksimal (tahun) 95% ci hasil analisis didapatkan rata-rata umur pasien yang menjalani hemodialisa adalah 53,67 tahun. umur termuda 20 tahun dan umur tertua 75 tahun. tabel 2 lama menjalani hd pasien di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar, februari 2016 (n=89) 60,33 3,6609 1,00-144,00 52,61-68,04 rata-rata (tahun) sd minimalmaksimal (tahun) 95% ci tabel 3 karakteristik responden no karakteristik f prosentase 1 jenis kelamin: laki-laki 46 51.7 perempuan 43 48.3 2 pendidikan terakhir tidak sekolah 1 1.1 sd 17 19.1 smp 18 20.2 sma 23 25.8 pt 30 33.7 3 kepatuhan diet ya 60 67.4 tidak 29 32.6 4 pendidikan kesehatan ya 89 100 tidak 0 0 5 kejadian bengkak kaki ya 24 27 tidak 65 73 6 ketidak patuhan rasa haus yang berlebih 5 17.9 jumlah intake yang berlebih 23 82.1 tabel 4 distribusi frekuensi kenaikan berat badan pada pasi e n g g k yang menjalani hemodialisa di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar, februari 2016 (n=89) no kenaikan berat badan f prosentase 1 ringan 54 60,7 2 rata-rata 11 12,4 3 bahaya 24 26,9 jumlah 89 100 tabel 5 tabulasi silang antara jenis kelamin dengan k enai kan be r at badan di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar, februari 2016 (n=89) f % f % f % f % laki-laki 31 34,8 3 3,4 12 13,5 46 52,7 perempuan 23 25,8 8 9,0 12 13,5 43 48,3 jumlah 54 60,7 11 12,4 24 27 89 100 jenis kelamin kenaikan berat badan jumlahringan ratarata bahaya kenaikan berat badan pada pasien yang menjalani hemodialisa kenaikan berat badan pada pasien ggk setelah hemodialisa yang lalu antara sebelum hemodialisa selanjutnya sebanyak 60,7% responden dengan kenaikan ringan, 12,4% responden dengan kenaikan rata-rata, dan 26.9% responden dengan kenaikan bahaya. berdasarkan tabel 5 dapat diketahui 34,8% (31 pasien) menunjukkan bahwa jenis kelami laki-laki lebih banyak yang mengalami kenaikan berat badan ringan saat hemodialisa. tabel 6 tabulasi silang antara kepatuhan diet dengan kenaikan berat badan di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar, februari 2016 (n=89) f % f % f % f % ya 53 59,6 7 7,9 0 0 60 67,4 tidak 1 1,1 4 4,5 24 27 29 32,6 jumlah 54 60,7 11 12,4 24 27 89 100 kepatuhan diet kenaikan berat badan jumlahringan ratarata bahaya 67sepdianto, dkk., penambahan berat badan antara dua waktu... berdasarkan tabel 6 diatas dapat diketahui 59,6% (53 pasien) menunjukkan bahwa kepatuhan diet lebih banyak dengan kenaikan berat badan ringan saat hemodialisa. tabel 7 tabulasi silang antara kejadian bengkak kaki dengan kenaik an berat badan di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar, februari 2016 (n=89) f % f % f % f % ya 0 0 0 0 24 27 24 27 tidak 54 60,7 11 12,4 0 0 65 73 jumlah 54 60,7 11 12,4 24 27 89 100 kejadian bengkak kaki kenaikan berat badan jumlahringan ratarata bahaya berdasarkan tabel 7 dapat diketahui 60,7% (54 pasien) menunjukkan bahwa yang tidak mengalami kejadian bengkak kaki dengan kenaikan berat badan ringan saat hemodialisa. berdasarkan tabel 8 dapat diketahui 85,7% (24 pasien) menunjukkan ketidakpatuhan diet dengan kenakaikan berat badan bahaya saat hemodialisa pembahasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa berdasarkan hasil penelitian rata-rata umur pasien yang menjalani hemodialisa adalah 53 tahun tabel 8 tabulasi silang antara penyebab ketidakpatuh diet dengan kenaikan berat badan di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar, februari 2016 (n=24) f % f % f % f % rasa haus yang berlebih 0 0 4 14,3 1 3,6 5 17,9 jumlah intake yang berlebih 0 0 0 0 23 85,7 23 82,1 jumlah 0 0 4 14,3 24 85,7 28 100 kenaikan berat badan jumlahringan ratarata bahaya penyebab ketidakpatuhan diet dengan usia termuda 20 tahun dan usia tertua 75 tahun. usia sendiri merupakan salah satu faktor yang menggambarkan kondisi dan juga mempengaruhi kesehatan seseorang. usia semakin tua juga akan mempengaruhi sistem tubuh mengalami penurunn fungsi. smeltzer bare (2008) dalam sulistyangsih (2011), menyebutkan bahwa fungsi renal dan traktus urinarius akan berubah dengan bersamaan pertumbuhan usia. sesudah usia 40 tahun akan juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus secara progresih hingga usia 70 tahun, kurang lebih 50% dari normalnya. fungsi tubuluspun termasuk salah satu kemampuan reabsorsi dan pemekatan berkurang bersamaan dengan peningkatan usia. berdasarkan hasil penelitian ini sesuai dengan teori tersebut dimana rata-rata usia penyakit gagal ginjal kronik adalah 53 tahun. berdasarkan hasil penelitian juga dapat didapatkan bahwa pasien yang mengalami penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa ada juga yang berusia 20 tahun. hal ini juga sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa penyakit gagal ginjal kronik dapat menyerang pada semua usia sesuai dengan penyebabnya. hemodialisa adalah suatu mesin dialyser pengganti dari ginjal (ginjal bantuan) proses ini biasanya dilakukkan 1-3 kali dalam seminggu, setiap proses berjalan selama 2-4 jam (colvy, 2010). berdasarkan hasil penelitian lama menjalani hemodialisa pada pasien yang menjalani hemodialisa adalah 5 tahun. semakin lama pasien menjalani hd akan biasanya pasien semakin patuh untuk menjalani hd karena pasen sudah merasaakan manfaat hd. berdasarkan pengalaman yang disampaikan pasien hari menjelang hd pada umunya mereka mengalami keluhan sesak napas, pusing kepala dan bengkak pada kaki dan juga ditandai dengan peningkata berat badan maka dari itu setiap pasien ingin segera melakukan hd. selain itu semakin lama menjalani hd pada umunya pasien mereka sudah sampai tahap penerimaan terhadap kondisi yang menjadikan hd adalah sebagian salah satu kebutuhan (daugirdas, 2007 dalam sulistyaningsih, 2011). dalam penelitian ini sebagian besar pasien pada kelompok berpendidikan perguruan tinggi adalah 30 pasien. dalam teori tidak dijelaskan keterkaitan antara pendidikan dengan penyakit ginjal kronik. menurut notoatmojo (2003) dalam sulistyaningsih (2011), pendidikan sendiri diperoleh melalui jenjang formal atau merupakan salah satu upaya yang dapat untuk memperoleh suatu pengetahuan. dengan tingginya tingkat pendidikan maka diharapkan akan juga 68 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 64–69 meningkatkan tingkat pengetahuanya dan juga akan menimbulkan kesadaran responden sendiri akan pengobatan dan perawatan akan masalah kesehatannya yang dihadapi. dan tidak lupa pasien akan lebih mudah lagi untuk diberikan informasi tentang salah satu upaya pendidikan kesehatan tentang mematuhi diet cairan terhadap pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. berdasarkan hasil penelitian pada pasien yang menjalani hemodialisa, sebanyak 100% (89 responden) pernah mendapatkan pendidikan kesehatan. menurut alam dan hadibroto (2007) gejala awal gagal ginjal biasanya tidak begitu dirasakan bagi penderita ginjal. biasanya pada pasien dengan gangguan ginjal, saat memeriksakan ginjalnya itu sudah dalam keadaan parah dan tidak mampu dipulihkan lagi. jadi perlu adanya penyuluhan terkait dengan pentingnya fungsi dari ginjal dan bagaimana cara pemeliharaan ginjal itu sendiri. peneliti berpendapat bahwa dengan mengetahui informasi tentang penyakit ginjal, pasien dapat menerapkannya sehingga dapat membantu memperlambat kerusakan yang terjadi pada ginjal. pada pasien yang sudah menjalani hemodialisa yang lama pasti mempunyai informasi yang lebih banyak tentang perawatan pada pasien gagal ginjal dan biasanya pasien tersebut dapat mengontrol jumlah intake cairan agar supaya tidak terjadi keluhan pusing kepala yang biasanya ditandai dengan berat badan yang meningkat. penambahan berat badan diantara dua waktu hemodiaisa berdasarkan tabulasi silang antara jenis kelamin dengan kenaikan berat badan sebanyak 34,8% (31 responden) menunjukkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan kenaikan berat badan kategori ringan. menurut levea, dkk (2003) dalam tanujiarso, dkk (2014), penyebab dari idwg itu sendiri salah satunya adalah dari faktor internal yaitu jenis kelamin, hal tersebut disebabkan konsumsi cairan pada pria lebih besar akibat haus setelah melakukan banyaknya aktifitas dibandingkan perempuan. faktor lain juga mendukung karena laki-laki pada umunya cenderung pekerjaanya lebih berat dibandingkan dengan perempuan hal ini dikarenakan laki-laki merupakan kepala keluarga yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga (sulistyaningsih, 2011). menurut igbokwe & obika (2007) dalam hidayati (2012) bahwa berpendapat ambang haus antara laki-laki dan perempuan, dimana ambang haus laki-laki lebih rendah dari pada perempuan, sehingga pasien laki-laki kurang dapat mengontrol rasa hausnya. berdasarkan tabulasi silang antara mematuhi diet dengan kenaikan berat badan sebanyak 59,6% (53 responden) menunjukkan mematuhi diet hemodialisa dengan kenaikan berat badan kategori ringan. menurut cahyanigsih (2009) dalam hidayati (2012), ketidakpatuhan responden dalam asupan mengurangi cairan dapat mengakibatkan meningkatnya berat badan dan juga memungkinkan berbagai komplikasi yang terjadi seperti hipertensi (pusing keala), sesak napas dan juga dapa mengakibatkan kematian menurut brunner & suddarth (2001) diet merupakan salah satu terapi penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa karena ada efek uremia. diet rendah protein akan dapat mengurangi limbah nitrogen di dalam tubuh. peneliti berpendapat bahwa pasien yang menjalani diet akan meringankan gejala-gejala yang timbul karena tidak terjadi penumpukan limbah nitrogen sehingga dapat mengurangi kerja dari ginjal. di samping itu akan memperlambat kerusakan ginjal. berdasarkan tabulasi silang antara bengkak pada kaki dengan kenaikan berat badan sebanyak 27,0% (24 responden) mengalami bengkak pada kaki dengan kenaikan berat badan bahaya dan 60,7% (54 reponden) tidak mengalami bengkak pada kaki dengan kategori kenaika berat badan ringan. menurut riyanto (2011) karakteristik pasien yang mencapai berat badan kering tidak dijumpai tanda edema. menurut cahyanigsih (2009) dalam hidayati (2012), ketidakpatuhan responden dalam asupan mengurangi cairan dapat mengakibatkan meningkatnya berat badan dan juga memungkinkan berbagai komplikasi yang terjadi seperti sesak napas, pusing kepala dan bengkak, maka dari itu pasien yang mengalami bengkak atau edema juga biasanya ditandai dengan berat badan yang tinggi. berdasarkan tabulasi penyebab tidak melakukan diet dengan kenaikan berat badan sebanyak 14,3% (4 responden) mengalami kenaikan berat badan dengan kategori ringan dengan alasan tidak melakukan diet yang alassanya rasa haus yang berlebih sedangkan 82,1% (23 responden) mengalami kenaikan berat badan dengan kategori bahaya yang alasanya jumlah intake berlebih. menurut levea, dkk (2003) dalam tanujiarso, dkk (2014), penyebab dari peningkatan idwg ada berbagai faktor yaitu faktor internal seperti rasa haus yang berlebih dan faktor eksternal seperti jumlah intake cairan berlebih, dimana garam dan intake cairan selama periode interdialisis adalah faktor penyebab penambahan berat badan antar 69sepdianto, dkk., penambahan berat badan antara dua waktu... dialysis. biasanya, natrium asupan makanan adalah faktor yang mrangsang rasa haus paling banyak. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi hemodialisa rsd mardi waluyo kota blitar menunjukkan penambahan berat badan antara dua waktu hemodialisa sebanyak 60,7% dalam kategori ringan, sebanyak 12,4% dalam kategori rata-rata dan sebanyak 26,9% dalam kategori kenaikan berat badan bahaya. saran bagi instansi pelayanan kesehatan diharapkan dari hasil penelitian ini, instansi pelayanan kesehatan dapat memberikan penyuluhan bagi pasien gagal ginjal kronik khususnya tentang diit ggk. bagi institusi kesehatan diharapkan dari hasil penelitian ini, institusi kesehatan dapat memberikan penyuluhan tentang penerapan diit pada pasien gagal ginjal kronik. bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan penambahan berat badan diantara dua waktu hemodialisa dengan kategori bahaya. daftar rujukan baradero, m., dayrit, m. w., & siswadi, y. 2008. klien gangguan ginjal. egc: jakarta baughman, d.c. & hackley, j. c. 2000. keperawatan medikal-bedah: buku saku untuk brunner dan suddarth. egc: jakarta colvy, j. 2010. gagal ginjal. dafa publishing: yogyakarta dinas kesehatan. 2013. profil kesehatan provinsi j awa ti mur. 8 okt ober 2015. h t t p: / / www.depkes.go.id/index.php?pg=brokenlink. gomes, j, m, l., villaverde, m., jofre, r., benitez, p, r., dan garcia, r, p. 2005. interdialytic weight gain as a marker of blood pressure, nutrition, and survival in hemodialysis patients. madrid:international society of nephrology. hallett, j. w., brewster, d. c., & rasmussen, t. e. 2001. handbook of patient care in vascular diseases. usa: lippincott williams & wilkins. hidayati, s. 2012. efektifitas konseling analisis transaksional tentang diet cairan terhadap penurunan interdialutic weight gain (idwg) pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di rumah sakit umum daerah kardinah tegal. depok:universitas indonesia. isroin, l., istanti, y, p., dan soejono, s, k. 2013. manajemen cairan pada pasien hemodialisis meningkatkan kualitas hidup. ponorogo: universitas muhammadiyah ponorogo. kamaluddin, r. dan rahayu, e. 2009. analisis faktorfakt or y ang me mpe ngaruhi kepat uhan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialysis di rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto. purwokerto: universitas jendral soederman purwokerto. lai, c, t., wu, c, j., chen, h, h., pan, c, f., chiang, c, l., chang, c, y., dan chen, y, w. 2012. absolute interdialytic weight gain is more important than percent weight gain for interdialytic hypotesion in heavy patient. taiwan:asia pasific society of nephrology. nurchayati, s. 2011. analisis faktor-fakor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien peny aki t gi nj al kroni k y ang menj alani hemodialisa di rumah sakit islam fatimah cil acap dan rumah sakit umum dae rah banyumas. universitas indonesia: jakarta reeves, c. j., roux, g. , & lockhar t, r. 2001. keperawatan medikal bedah. jakarta: salemba medika. riyanto, w. 2011. hubungan antara penambahan berat badan di antara dua waktu hemodialisa (interdialysis weight gain = idwg) terhadap kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di unit hemodialisa ip2k rsud fatmawati jakarta. depok:universitas indonesia. sulistyaningsih, d, r. 2011. efktifitas latihan fisik selama hemodialisis terhadap peningkatan kekuatan otot pasien penyakit ginjal kronik di rumah sakit umum daerah kota semarang. depok: universitas indonesia. tanujiarso, b, a., ismonah, dan supriyadi. 2014. efektifitas konseling diet cairan terhadap pe ngontrol an int e rdi al yt i c we i ght gai n (idwg) pasien hemodialisis di rs telogorejo semarang. semarang: stikkes dan poltekkes. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 46 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 46–52 46 post–traumatic stress dissorder pada penyintas erupsi gunung kelud berdasarkan impact of event scale-revised (ies-r) di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar (post-traumatic stress dissorder of kelud mountain’s survivor based on impact of event scale–revised (ies-r) in kali bladak nglegok district blitar regency) agus khoirul anam, wiwin martiningsih, ilus jurusan keperawatan, poltekkes kemenkes malang email: aguskhoirulanam@gmail.com abstract: post–traumatic stress disorder (ptsd) is an individual response to event or a condition that can appear many symptom such as, re-experiencing, avoidance, hyperarousal. survivors pschycologicaly often suffering ptsd, if this disorders wasn’t detected and ignored without handling by experts, the casualties were often psychologically stressfull pasca trauma. if this condition was undetected and be ignored, it would cause medical and pshycological complication, so that ptsd will disturb social aspect of the patients. the aim of this study was to describe post-ttraumatic stress disorder in kelud mountain’s suvivor based on impact of event scale–revised (ies-r) in kali bladak nglegok district blitar regency. this research used descriptive design . the number of samples was 42 people who suffered kelud mountain’s eruption. the result showed that respondents who suffers ptsd was 66,6% which with less until a lot of symptoms and most of the society experienced kelud’s mountain eruption. the writer suggested that health institutions of blitar regency could decrease post traumatic stress disorders symptom from a kelud’s survivor who had many symptoms become no symptoms trough debriefing teraphy in kali bladak village nglegok district blitar regency. keywords: impact of event scale revised, post–traumatic stress disorder, survivor abstrak: post-traumatic stress disorder (ptsd) adalah respon individu terhadap suatu peristiwa/suatu kondisi yang dapat menimbulkan gejala-gejala, berupa re-experiencing (teringat kembali), avoidance (penghindaran), hyperarousal (peningkatan kewaspadaan berlebihan). tujuan penelitian adalah menggambarkan post–traumatic stress disorder pada penyintas erupsi gunung kelud berdasarkan impact of event scale-revised (ies-r) di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar. metode dalam penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian adalah semua penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar sebanyak 280 orang, dan besar sampel yang diambil adalah 42 orang menggunakan teknik simple random sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner ies–r. waktu pengambilan data dilakukan pada 11 maret– 11 april 2015. hasil penelitian di dukuh kali bladak menunjukkan bahwa responden yang mengalami ptsd sebanyak 66,6% mulai dari beberapa hingga banyak gejala, dengan sebagian besar masyarakat pernah mengalami peristiwa erupsi gunung kelud. rekomendasi penelitian ini diharapkan dinas kesehatan/ masyarakat dapat menurunkan gejala post traumatic stress disorders dari seseorang yang menunjukkan banyak gejala menjadi tidak ada gejala pada penyintas erupsi gunung kelud melalui terapi debriefing di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar. kata kunci: impact of event scale revised, post–traumatic stress disorder, penyintas acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p046-052 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 47anam, martiningsih dan ilus, post–traumatic stress dissorder ... indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki lebih dari 17.480 pulau, terletak diantara dua benua dan dua lautan. indonesia berada pada pertemuan 3 lempeng dunia, yang berpotensi menimbulkan gempa bumi apabila lempeng-lempeng tersebut bertumbukan. indonesia juga mempunyai 127 gunung api aktif, 76 diantaranya berbahaya (kardono, 2010). salah satu wilayah rawan bencana di daerah jawa timur adalah kabupaten blitar. aktivitas terakhir terjadi pada tahun 2007 diawali dengan peningkatan aktivitas kegempaan dan diakhiri dengan erupsi efusif pada tanggal 3–4 november 2007 berupa kubah lava di tengah danau kawah dengan volume kubah sebesar 16,2 juta m³. ancaman terbesar bagi warga kabupaten blitar adalah lahar, sebab dari 7 jalur pembuangan lahar gunung kelud diantara melewati blitar. terdapat 16 desa yang terdampak secara langsung dalam radius 5–10 km dari puncak (sumber: laporan tanggap darurat 2014, bpbd kabupaten blitar), yang dihuni oleh lebih dari 115 ribu penduduk. selain itu warga blitar juga mewaspadai ancaman debu vulkanik (nugroho, 2014). korban selamat dari bencana disebut penyintas. adanya trauma pada penyintas erupsi yang tidak segera diatasi tersebut, dapat menimbulkan gangguan yang disebut post-traumatic stress disorder (ptsd) yang sering terlihat pada peristiwa yang langsung mengancam kehidupan dan peristiwa yang bersifat traumatik (jose, juan, dkk, 2005). posttraumatic stress disorder (ptsd) adalah respon individu terhadap suatu peristiwa/suatu kondisi yang dapat menimbulkan gejala-gejala, berupa reexperiencing (teringat kembali), avoidance (penghindaran), hyperarousal (peningkatan kewaspadaan berlebihan) (schiraldi, 2009), yang lebih sering terjadi pada survivor. gejala ptsd dapat diikuti dengan gangguan fisik antara lain, tekanan darah tinggi, peningkatan sensitivitas terhadap sakit, masalah pencernaan, sulit tidur, sulit konsentrasi, maupun gangguan mental antara lain, mudah marah, rasa bersalah yang sangat berlebihan north, et al., dalam (fullerton, et al., 2007). cara mendeteksi ptsd dapat menggunakan impact of event scale-revised (ies-r) yang merupakan salah satu alat ukur baku untuk mendeteksi gangguan ptsd yang disusun berdasarkan kriteria yang ada dalam dsm-iv pada penyintas/survivor bencana pasca erupsi gunung kelud. dengan menggunakan alat ukur impact of event scale-revised (ies-r) diharapkan mempermudah petugas pelayanan kesehatan untuk melakukan deteksi gangguan ptsd pada penyintas bencana pasca erupsi gunung kelud guna mengetahui stress pasca trauma yang diderita. berdasarkan data jurnal pratiwi, 2011 persentase ma sa la h mental post-traumatic stress disorder (ptsd) gunung merapi setelah 1 tahun paska erupsi merapi sebesar ptsd berat 28,13%, ptsd sedang 53,12%, ptsd ringan 18,75%. sedangkan menurut depkes.go.id. 2010, kasus insomnia 20%, ptsd 14,6% ansietas 5,36%, depresi 4,64%, mix ansietas depresi sebesar 1,79%, psikosis 1,79%, skizofrenia 0,17%, gangguan penyesuaian 0,53%, lain-lain 50,54%. korban bencana seringkali secara psikologis terjangkit gangguan stres pasca trauma/bencana yang pada umumnya dalam dunia kesehatan disebut post traumatic stress disorder (ptsd), yang dapat disembuhkan apabila segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat. apabila tidak terdeteksi dan dibiarkan tanpa penanganan, maka dapat mengakibatkan komplikasi medis maupun psikologis yang serius yang bersifat permanen yang akhirnya akan mengganggu kehidupan sosial maupun pekerjaan penderita (flannery, 1999 dalam zuhri, 2011). bahan dan metode penelitian ini menggunakan deskriptif. tujuan penelitian ini mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kini. populasi penelitian ini adalah semua penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar. sampel dalam penelitian ini sejumlah 42 responden dengan teknik pengambilan sampel simple random sampling. kriteria : yaitu penyintas erupsi gunung kelud yang berusia dewasa (21 th–55 th). variabel penelitian ini adalah post-traumatic stress disorders pada penyintas erupsi gunung kelud. post-traumatic stress disorders pada penyintas erupsi gunung kelud dinilai dengan kuesioner impact of event scale revised (weiss & marmar, 1997 ) yang berisi gejala-gejala ptsd meliputi: (a) mengalami kembali (re-experiencing). (b) penghindaran (avoidance). (c) peningkatan kewaspadaan yang berlebihan (hyperarousal). hasil penelitian pelaksanaan penelitian di dukuh kali bladak, dusun paco, desa penataran, kecamatan nglegok, 48 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 46–52 kabupaten blitar yang dilaksanakan pada tanggal 11–20 maret 2015. pelaksanaan penelitian dalam bentuk kunjungan rumah (door to door) pada alamat yang telah terpilih secara acak. berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 4 diketahui ptsd lebih banyak terjadi pada perempuan. sebanyak 28 responden (66,7%) memiliki gejala ptsd yang meliputi, 9 responden (21,5%) terjadi pada laki-laki dan sebanyak 19 responden (45,2%) terjadi pada perempuan. tabel 1. jenis kelamin responden jenis kelamin n % laki-laki 18 43 perempuan 24 57 total 42 100 berdasar tabel 1 di atas jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan sebanyak 24 responden (57%) dan hanya 18 responden (43%) yang berjenis kelamin laki-laki. tabel 2. umur responden umur n % 21-3 0 th 5 12 31-4 0 th 11 26 41-5 5 th 26 62 total 42 100 berdasar tabel 2 di atas umur responden terbanyak antara 41–55 tahun. sebanyak 26 responden (62%). tabel 3. post-traumatic stress disorders responden di dukuh kali bladak pasca 1 tahun bencana erupsi gunung kelud no. kriteria ptsd n % 1 seseorang tidak memiliki gejala pt sd. 14 33,3 2 seseorang memiliki beberapa gejala pt sd. 21 50 3 seseorang memiliki banyak gejala ptsd 7 16,6 to tal 42 100% berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 14 responden (33,3%) tidak memiliki gejala ptsd dan 28 responden (66,6%) memiliki gejala ptsd. tabel 4. tabulasi silang jenis kelamin dengan posttraumatic stress disorder responden di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar, maret 2015 jk post-traumatic stress d isorders total tidak memiliki gejala ptsd memiliki beberapa gejala ptsd memiliki banyak gejala ptsd n % n % n % n % lakilaki 9 21,4 7 16,7 2 4,8 18 42,9 perem p uan 5 11,9 14 33.3 5 11,9 24 57,1 total 14 33,3 21 50,0 7 16,7 42 1 00,0 berdasarkan hasil tabulasi silang pada table 5 diketahui ptsd lebih banyak terjadi pada responden berusia antara 41–55 tahun sebanyak 15 responden (35,7%). tabel 5. tabulasi silang umur dengan post-traumatic stress disorder responden di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar, maret 2015 u mur post-traumatic stress d isorders total tida k memili ki gejala ptsd memiliki beberapa gejala ptsd memiliki banyak geja la ptsd tahun n % n % n % n % 21-30 2 4,8 3 7,1 0 ,0 5 11 ,9 31-40 1 2,4 8 19,0 2 4,8 11 26 ,2 41-55 11 2 6,2 10 23,8 5 11,9 26 61 ,9 total 14 3 3,3 21 50,0 7 16,7 42 100,0 49anam, martiningsih dan ilus, post–traumatic stress dissorder ... berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 6 diketahui ptsd lebih banyak terjadi pada responden denga n pengha s ila n per bula n kur a ng da r i rp 1.000.000,sebanyak 28 responden (66,7%). menurut jose (2005) perempuan memiliki risiko yang lebih besar mengalami distress psikologis, saat terpapar bencana, serta pada dasarnya perempuan rentan ketika terpapar kejadian traumatis, selain itu persepsi atau cara pandang terhadap suatu kejadian antara laki-laki perempuan juga berbeda, perempuan lebih memiliki pandangan secara subjektif terhadap ancaman, bukan dilihat dari sisi objektifnya, hal ini yang membedakan dari laki-laki. menurut peneliti responden peneliti sebagian besar adalah kaum perempuan. perempuan rentan mengalami distress psikologis, salah satunya ptsd. saat terpapar bencana letusan gunung kelud, mereka mempersepsikan bahwa bencana erupsi gunung kelud merupakan suatu kejadian yang menakutkan, selain itu meraka juga memiliki persepsi, serta pikiran terhadap banyak hal misalnya keselamatan anak-anaknya, keluarganya, hal tersebut membuat persepsi perempuan menjadi sempit dan mudah merasa khawatir, persepsi itu yang menyebabkan perempuan mudah mengalami ptsd, dapat dilihat dari data di atas banyak perempuan yang menunjukkan beberapa hingga banyak gejala ptsd. post-traumatic stress disorder berdasarkan penghasilan per bulan pada penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak, kabupaten blitar penghasilan yang rendah merupakan faktor risiko terdampak morbiditas psikososial, salah satunya ptsd. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 (100%) responden. 39 responden (92,9%) memiliki penghasilan kurang dari rp 1.000.000,00 per bulan, 28 responden (66,7%) memiliki gejala ptsd mulai dari beberapa hingga banyak gejala. menurut jose (2005) faktor etnik dan sosioekonomi merupakan faktor risiko yang penting. faktor sosioekonomi sulit untuk dikaji pada beberapa penelitian, karena dampak komunitas yang relative homogen. walaupun demikian, sebagian besar penelitian menyatakan bahwa pendidikan yang rendah dan penghasilan yang rendah merupakan faktor risiko terdampak morbiditas psikososial. individu dapat menganggulangi stress dan kecemasan dengan menggunakan atau mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari sosial, intrapersonal dan interpersonal. sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi, kemampuan memecahkan masalah, dukungan sosial budaya yang diyakini (suliswati, 2005:116). tabel 6. tabulasi silang penghasilan per bulan dengan post-traumatic stress disorder responden di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar, maret 2015 peng hasilan per bulan post-traumatic stress disorders total tidak memiliki gejala ptsd memiliki b eberapa gejala ptsd memiliki banyak gejala ptsd juta n % n % n % n % <1 11 26,2 2 1 50,0 7 16,7 39 92,9 1–2 3 7,1 0 .0 0 .0 3 7,1 total 14 33,3 2 1 50,0 7 16,7 42 100,0 tabel 7. tabulasi silang dukungan sosial dengan posttraumatic stress disorder responden di dukuh kali bladak kecamatan nglegok kabupaten blitar, maret 2015 duku ngan sosial p ost-traumatic stress d isorders total tida k memiliki g ejala p tsd memiliki bebera pa gejala ptsd memiliki banyak g ejala ptsd n % n % n % n % ya 14 3 3,3 5 11,9 1 2,4 20 47,6 tidak 0 ,0 16 38,1 6 14,3 22 52,4 tot al 14 3 3,3 21 50,0 7 16,7 42 100,0 berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 7 diketahui ptsd lebih banyak terjadi pada responden yang tidak memiliki dukungan sosial sebanyak 52,4% (22 responden). pembahasan post-traumatic stress disorder berdasarkan jenis kelamin pada penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak, kabupaten blitar berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 14 responden (33,3%) tidak memiliki gejala ptsd dan 28 responden (66,6%) memiliki gejala ptsd. perempuan mudah mengalami ptsd. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 (100%) responden, 24 responden (57,1%) berjenis kelamin perempuan, 19 responden (45,2%) memiliki gejala ptsd mulai dari beberapa hingga banyak gejala. 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 46–52 menurut peneliti penghasilan yang rendah merupakan pencetus munculnya beban pikiran, yang selanjutnya dapat mengakibatkan morbiditas psikososial pada seseorang. dari data di atas banyak masyarakat yang penghasilannya di bawah rp 1.000.000 mengalami ptsd. dengan penghasilan yang rendah mereka kurang memiliki sumber koping yang efektif, sehingga saat mengalami erupsi gunung kelud, mereka menjadi gampang khawatir dan mengarah pada gangguan ptsd. post-traumatic stress disorder berdasarkan usia pada penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak, kabupaten blitar berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 (100%) responden. 26 responden (61,9%) berusia 41–55 tahun. 15 responden (35,7%) memiliki gejala ptsd mulai dari beberapa hingga banyak gejala. menurut jose (2005) dampak berdasarkan usia menyebutkan bahwa semakin tua usia seseorang memiliki risiko lebih besar menderita dampak morbiditas atas bencana baik fisik maupun psikis. norris et all berpendapat bahwa dewasa usia pertengahan lebih mudah terkena terdampak, alasannya seseorang pada usia pertengahan bertanggung jawab atas beban finansial keluarga. menurut peneliti seseorang dengan usia pertengahan yaitu 45–60 tahun merupakan usia yang memasuki fase pensiun, namun masih bertanggung jawab terhadap finansial keluarga, hal itu dapat menjadikan beban pikiran yang dapat memicu ptsd. ditambah lagi adanya bencana erupsi gunung kelud, yang menumbulkan dapak fisik, seperti kerusakan rumah, kehilangan harta, benda, ternak, menambah beban finansial keluarga. dari data di atas banyak masyarakat yang berusia 41–55 tahun mengalami ptsd. stressor inilah yang menyebabkan seseorang dengan usia pertengahan mudah menderita dampak psikologis atas bencana, yaitu ptsd. post-traumatic stress disorder berdasarkan dukungan sosial pada penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak, kabupaten blitar berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 (100%) responden. 22 responden (52,4%) tidak memiliki dukungan sosial memiliki gejala ptsd mulai dari beberapa hingga banyak gejala. menurut jose (2005) dukungan sosial sering disebutkan sebagai faktor penting yang dapat melindungi individu terhadap paparan bencana. salah satu kesulitan yang timbul dalam mengkaji pertanyaan mengenai dukungan sosial karena terpisahnya dukungan sosial dari persepsi yang adekuat. persepsi terhadap dukungan sosial merupakan hal yang kritikal yang ditentukan oleh kepribadian individu. solomon, et al. (1992), menyatakan bahwa ter sedia nya dukunga n ber hubunga n denga n outcome baik yang sangat membantu bagi individu, terutama kaum perempuan. menurut peneliti dukungan sosial efektif dalam melindungi psikologis individu terhadap paparan bencana. karakteristik etnik perseorangan pada masyarakat kali bladak yang bersifat keras, kurang memiliki kepekaan sosial/empati kepada sesama, menyebabkan tidak adekuatnya dukungan sosial. berdasarkan data di atas banyak masyarakat dengan dukungan yang tidak adekuat mengalami ptsd. dukungan sosial seperti perhatian, membantu memecahkan masalah, pemberian pengahargaan merupakan hal penting yang mampu melindungi individu dari dapak psikologis akibat bencana, khususnya ptsd. post-traumatic stress disorder berdasarkan tingkat pendidikan pada penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak, kabupaten blitar tingkat pendidikan juga dapat memengaruhi strategi koping individu. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 42 (100%) responden. 27 responden (24,3%) memiliki tingkat pendidikan sekolah dasar/sederajat. 18 responden (42,9%) memiliki gejala ptsd memiliki gejala ptsd mulai dari beberapa hingga banyak gejala. menurut malou, dkk. dalam davidson (2006: 227) memiliki intelegensi tinggi tampaknya menjadi faktor protektif, karena hal itu diasosiasikan dengan ketrampilan coping yang lebih baik. menurut peneliti seseorang yang memiliki pendidikan rendah sedikit mendapatkan informasi tentang strategi koping/ketahanan jika terdapat bencana erupsi gunung kelud. dari data di atas banyak masyarakat dengan pendidikan terakhir sekolah dasar yang mengalami ptsd. hal ini disebabkan kurang terampilnya menggunakan mekanisme koping, saat terjadi kehilangan dan berduka akibat terjadinya bencana erupsi gunung kelud. kebanyakan saat bencana mereka panik, dan khawa tir ter ha da p ber ba ga i ha l, ha l ini da pa t mengarahkan kepada koping yang destruktif. 51anam, martiningsih dan ilus, post–traumatic stress dissorder ... sehingga rentan mengalami ptsd bencana erupsi gunung kelud. post–traumatic stress disorder berdasarkan lama tinggal pada penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak, kabupaten blitar lamanya responden tinggal tidak memengaruhi timbulnya gejala ptsd, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 42 (100%) responden dan 36 responden (85,7%) tinggal di dukuh kali bladak lebih dari 16 tahun, 23 responden (54,8%) memiliki gejala ptsd. 5 responden (11,9%) memiliki banyak gejala ptsd. 18 responden (42,9%) memiliki beberapa gejala ptsd. 13 responden (31,0%) tidak memiliki gejala ptsd. menur ut solomon, et al. , da la m jur na l psychotherapeutic treatment of chronic ptsd, 1993, banyaknya trauma yang dialami atau dapat disebut juga trauma yang multipel lebih berisiko menjadi ptsd. prevalensi ptsd juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian traumatik foy, dkk, 1987. trauma multiple yang dialami oleh masyarakat lereng gunungapi merupakan kerentanan yang berkembang seiring dengan lama tinggal dan dekatnya masyarakat dari sumber-sumber ancaman lahar dingin, kurangnya akses yang menghubungkan daerah-daerah rawan dengan daerah yang aman. lama tinggal tidak berpengaruh pada ptsd, kemungkinan lain ptsd dapat dipicu oleh durasi dan banyaknya paparan peristiwa traumatis masa lalu dan belum adanya penanganan ptsd saat erupsi gunung kelud sebelum tahun 2014, sehingga dapat menimbulkan gejala ptsd pada responden di dukuh kali bladak. gejala yang sering muncul post–traumatic stress disorder pada penyintas erupsi gunung kelud di dukuh kali bladak, kabupaten blitar berdasarkan hasil penelitian gejala yang sering muncul diantara responden di dukuh kali bladak antara lain terdapat gejala fisik seperti adanya kelelahan fisik, kesulitan untuk tidur serta adanya gangguan tidur, sangat sensitive perasaan dan ingatannya. gejala emosional yang sering dirasakan adanya perasaan seperti marah, sedih, kaget, bersalah, dan duka mendalam ya ng bercampur a duk, atau sebaliknya menjadi mati rasa/bebal dalam aktivitas sehari-hari, bersikap waspada berlebihan letusan gunung kelud yang mungkin akan terjadi. sedangkan gejala kognitif yang dialami adalah kadang sulit mempercayai informasi, menurunnya penilaian terhadap keadaan dan kemampuan diri, khawatir atau cemas, dan adanya perasaan mudah terganggu oleh pikiran dan ingatan peristiwa erupsi gunung kelud. menurut davidson, 2006 gejala ptsd yang muncul dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis: teringat kembali (re-experience), penghindaran (avoidance), peningkatan kewaspadaan yang berlebihan (hyperarousal). re–experiencing gejalanya antara lain, pikiran yang mengganggu tentang kejadian. mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. avoidance gejalanya antara lain, usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, dan percakapan yang berhubungan dengan trauma. peningkatan kewaspadaan yang berlebihan (hyperarousal). kesulitan untuk memulai tidur atau untuk tetap tidur nyenyak. kewaspadaan berlebihan. respon terkejut yang berlebihan. gejala yang ditunjukkan responden di dukuh kali bladak menunjukkan adanya gejala post– traumatic stress disorder (ptsd) yang disebabkan oleh adanya paparan kejadian traumatis yaitu erupsi gunung kelud. sebagian besar responden di dukuh kali bladak memiliki pengalaman sebagai pengungsi/survivor, ba nyaknya papar an dan kurangnya penangan ptsd pasca bencana inilah yang memicu responden memiliki gejala ptsd. penanganan responden yang memiliki beberapa gejala ptsd, antara lain, terapi debriefing yang bertujuan untuk membantu seseorang, keluarga atau kelompok untuk mengatasi ptsd melalui komunikasi dalam lingkungan yang mendukung dan dipercaya, dapat menggunakan pendekatan kognitif dan behavioral, maupun pendekatan psikoanalisis. sedangkan penatalaksanaan bagi responden yang memiliki banyak gejala ptsd. pengobatan psikiatrik, yaitu terapi koseling duka dan pengobatan menggunakan obat-obat efektif dilakukan bagi penderita gangguan mental serius dan epilepsi, atau dapat disebut juga sebagai pendekatan biologis, melalui penggunaan berbagai obat-obatan psikoaktif untuk para pasien ptsd, termasuk antidepresan, dan tranquilizer. simpulan dan saran simpulan responden yang mengalami ptsd di gunung kelud sebanyak 66,6% mulai dari beberapa hingga banyak gejala, dengan karakteristik etnik perseorangan pada masyarakat kali bladak yang bersifat keras, kurang memiliki kepekaan sosial/empati 52 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 46–52 kepada sesama, memiliki pengalaman erupsi gunung kelud sebelum tahun 2014. gejala yang sering muncul antara lain mudah teringat peristiwa erupsi, karena mendengar sedikit suara letusan, sulit tidur, mudah teringat peristiwa erupsi, padahal tidak ingin mengingatnya, mudah gugup dan terkejut, bersikap waspada berlebihan terhadap letusan gunung kelud yang mungkin akan terjadi, ingatan tentang erupsi yang terbawa mimpi yang menakutkan. saran berikut ini adalah saran-saran yang dapat digunakan untuk memperkuat dan memperbaiki hasil penelitian. bagi dinas kesehatan kabupaten blitar diharapkan dengan hasil penelitian ini uptd kesehatan kecamatan nglegok dan dinas kesehatan kabupaten blitar memberikan penyuluhan kesehatan dan penanganan post-traumatic stress disorders masyarakat kali bladak melalui terapi debriefing dan medikamentosa. bagi masyarakat diharapkan masyarakat bisa mencari informasi ptsd dan mengurangi gejala yang muncul melalui tindakan kesehatan. bagi peneliti selanjutnya diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang faktor-faktor yang menyebabkan posttraumatic stress disorders dan cara-cara penurunan post traumatic stress disorders dari seseorang yang menunjukkan banyak gejala menjadi tidak ada gejala. daftar rujukan administrator bnpb. 2012. letusan gunung berapi. jakarta. badan nasi onal penanggulangan bencana. ari kun to, s. 2006. prosedur pene li t ian suat u pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. bakornas pb. 2007. pengenalan karakteristik bencana dan upaya mitigasinya di indonesia. jakarta. direktorat mitigasi. dahlan, m., sopiyudin. 2011. statistik untuk kedokteran dan kesehatan. jakarta: salemba medika. davidson, g.c., neale, j.m., dan kring, a.m. tanpa tahun. psikologi abnormal. terjemahan oleh noermalasari fajar. (2006). jakarta: rajagrafindo persada. fullerton, et al. 2007. textbook of disaster psychiatry. united kingdom: cambridge university press. hyer, l., dkk. 1993. psychotherapeutic treatment of chronic ptsd. tahun 1993 vol 4 no 2: 1–3. jose, j., dkk. 2005. disasters and mental health. england: wiley. juneman. 2010. psikologi pelay anan penyintas bencana. majalah merupsy, tahun 2010 vol 1 no 2:7 – 9. kardono, p. 2010. data bencana indonesia tahun 2009. jakarta: badan nasional penangulangan bencana. keliat, b.a., dkk. 2014. keperawatan kesehatan jiwa komunitas. jakarta: egc. mustayah, dkk. 2008. buku panduan karya tulis ilmiah ma ha si swa d-iii keper a wat a n jur usa n keperawatan politeknik kesehatan dep. kes. malang. : -. nevid, j.s., rathus, s.a., greene, b. 2003. psikologi abnormal. terjemahan olehtim fakultas psikologi universitas indonesia. 2005. jakarta: erlangga. notoatmojo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. nugroho, s.p. 2014. gema bnpb: ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana. vol.5 no.1: badan nasional penanggulangan bencana. schiraldi, g.r. 2009. the post traumatic stress disorder sourcebook: second edition. usa: the mcgrawhill companies, inc. (ebook). setiadi. 2013. konsep dan praktik penulisan riset keperawatan. ed. 2. yogyakarta: graha ilmu. suliswati, dkk. 2005. konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. jakarta: egc. thompson, r.a. 2004. strategies that work in school and communities: crisis intervention and crisis management. new york: brunner-routledge. zuhri, m. 2011. post traumatic stress disorder (gangguan stress pasca trauma bencana) di jawa tengah. jurnal litbang provinsi jawa tengah. 53ulfa, hasyim, pengaruh family psikoedukasi terhadap peningkatan... 53 pengaruh family psikoedukasi terhadap peningkatan self care dalam merawat anak thalasemia (the effectiveness of psycho-educational family intervention to the increase of the family self care of children with thalasemia) ana farida ulfa, masruroh hasyim fakultas ilmu kesehatan, unipdu jombang email: anafaridaulfa@fik.unipdu.ac.id, maserha@gmail.com abstract: thalasemia is a chronic disease which leads on some problems, involving biological, psychological, social and spiritual aspect. carer plays an important role for advocating family. meanwhile, family acts as a decision maker to maintain the health of the family member. in addition, they have to maintain their members, in term of self care. furthermore, regarding the role of the family in maintaining the health of the members. this research applied pre-experimental design with one group pretestposttest approach. the population was the families with thalassemic children at regional hospital rsud jombang. the total number of sample was 14 families. psycho-educational family intervention was given in five sessions. the first session was a meeting with the families who had children with thalassemia. meanwhile, the fourth and fifth session was used to visit the families. furthermore, the intervention was given in one or two weeks after the visiting. the result of research showed the significant influence of family self-care, measured by family apgar. therefore, it can be recommended that psycho-educational family intervention is one of the intervention used to look for children with a chronic thalasemia. keywords: psycho-educational family intervention, family self-care abstrak: thalasemia adalah penyakit kronis yang mengarah pada beberapa masalah, yang melibatkan aspek biologis, psikologis, sosial dan spiritual. pengasuh memainkan peran penting untuk mengadvokasi keluarga. sementara itu, keluarga bertindak sebagai pengambil keputusan untuk menjaga kesehatan anggota keluarga. selain itu, mereka harus mempertahankan anggota mereka, dalam hal perawatan diri. selanjutnya mengenai peran keluarga dalam menjaga kesehatan para anggota. penelitian ini menggunakan desain preeksperimental dan desain one group pretest-posttest. populasinya adalah keluarga dengan anak thalassemic di rsud daerah jombang. jumlah total sampling adalah 14 keluarga. intervensi keluarga psikopendidikan diberikan dalam lima sesi. sesi pertama adalah pertemuan dengan keluarga yang anaknya menderita thalassemia. sementara itu, sesi keempat dan kelima digunakan untuk mengunjungi keluarga. selanjutnya, intervensi diberikan dalam satu atau dua minggu setelah kunjungan. hasil penelitian menunjukkan pengaruh signifikan perawatan diri keluarga yang diukur oleh keluarga apgar. oleh karena itu, dapat direkomendasikan bahwa intervensi keluarga psiko-pendidikan adalah salah satu intervensi yang digunakan untuk mencari anak-anak dengan thalasemia kronis. kata kunci: intervensi keluarga psiko-pendidikan, perawatan diri keluarga pendahuluan talasemia merupakan penyakit kronis yang menjadi masalah kesehatan masyarakat serius di dunia. kompleksitas permasalahan pada penderita talasemia sepertinya tidak hanya menyangkut aspek biologis tetapi juga aspek psikologis, sosial, jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p053–057 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 54 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 53–57 dan spiritual. karena itu penderita talasemia dituntut memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik agar mampu mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya. hasil wawancara peneliti dengan 5 keluarga dengan anak yang menderita talasemia menggambarkan bahwa mereka mengalami proses berduka yang berulang terkait diagnosa yang talasemia yang dialami anaknya, sering kali keluarga kembali ke tahap penolakan atau denial saat harus membawa anaknya kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan transfusi. selain itu meskipun sudah ada jampertal untuk biaya pengobatan talasemia keluarga masih mengeluhkan biaya yang banyak untuk akomodasi setiap kali transfusi (100 %) . dari aspek kognitif, 4 keluarga (80 %) dalam survey menyatakan belum mampu memberikan perawatan yang baik terhadap anak yang menderita thalasemia, sehingga kondisi anak mudah menurun dan frekwensi untuk transfusi semakin sering. pada aspek sosial sebanyak 5 responden (100%) orang tua mengeluhkan kasian dengan anaknya yang tidak bisa beraktivitas seperti teman sebayanya. perawat anak memiliki peran yang penting dalam mendampingi keluarga, sebagai advokat keluarga. memberikan edukasi kesehatan dan pencegahannya juga merupakan peran perawat sebagai advokat keluarga (hockenberry & wilson,2009). keluarga dikatakan sebagai unit pelayanan yang dirawat, keluarga merupakan suatu kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah kesehatan dalam kelompoknya (freeman, 1981). keluarga berperan sebagai pengambil keputusan dalam memelihara kesehatan para anggotanya. keluarga memiliki peranan penting dalam perawatan keluarga dan anggotanya dalam bentuk self care keluarga. keluarga dalam menjalankan tugas perawatan secara optimal dan berkualitas, maka harus memiliki self care yang baik (freedman,1998). secara konsep psikoedukasi merupakan salah satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. berdasarkan studi literatur review psikoedukasi efektif untuk proses penerimaan keluarga dalam menjalankan fungsinya pada pasien dengan penyakit kronis. dalam penelitian yag dilakukan othman dkk (2009) di oncology clinic of hospital universiti sains malaysia terhadap keluarga dengan anak yang menderita cancer memberikan hasil bahwa setelah dilakukan psikoedukasi program orang tua mengalami penurunan kecemasan dan peningkatan aktivitas dengan anak. berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa pskoedukasi memiliki peranan yang baik untuk meningkatkan self care dengan membantu keluarga mengembangkan life skills, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “pengaruh family psikoedukasi terhadap peningkatan self care keluarga dalam merawat anak talasemia.” bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah pre eksperimental design dengan rancang bangun the one group pretest-posttest design. kelompok atau group dilakukan pretest (01), setelah beberapa waktu dilakukan posttest (02) pada kelompok tersebut (supriyanto, 2011). populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak menderita talasemia di rsud kabupaten jombang. pada penelitian ini terdapat kriteria inklusi pemilihan sampel yaitu: keluarga yang bersedia menjadi responden, keluarga yang memiliki anak menderita talasemia kurang dari 5 tahun, bisa membaca, menulis dan mengguna kan bahasa indonesia. sedangkan kriteria eksklusi pemilihan sampel adalah: keluarga yang memiliki anak menderita talasemia dalam kondisi kritis. tehnik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling, dengan metode pengambilan sampel adalah purposive sampling (supriyanto, 2011). pada penelitian ini didapatkan 14 sampel keluarga dengan anak thalasemia yang memenuhi criteria inklusi. instrument dalam penelitian adalah instrumen penilaian terhadap self care keluarga dalam memberikan perawatan pada anak dengan talasemia diukur dengan apgar keluarga yang berisi tentang adaptasi, partnership (kemitraan), growth (pertumbuhan), afektif (kasih sayang) dan resolve (penyelesaian dan komitmen), dan sudah melalui uji validitas dan realibilitas penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 5 bulan atau 20 minggu yang dimulai dari koordinasi dengan lp3m univesitas, rsud jombang, dan koordinator penderita thalasemia, penelitian dilakukan di kabupten jombang. peneliti menggunakan forum pertemuan keluarga penderita thalasemia sebagai tahap awal (perkenalan) dengan keluarga penderita thalasemia. dalam pertemuan ini peneliti sekaligus melakukan 55ulfa, hasyim, pengaruh family psikoedukasi terhadap peningkatan... tahap 1 dari family psikoedukasi, yaitu mengenal maslah keluarga. selanjutnya peneliti melakukan kontrak dan memberikan informed consent kepada keluarga pasien dengan talasemia yang sesuai dengan kriteria inklusi atas ketersediaannya menjadi responden. tahap selanjutnya responden menjalani pre test terkait self care keluarga dalam merawat anak talasemia dengan mengisi quisioner yang disediakan peneliti. tahap selanjutnya (tahap 4 – 5) peneliti didampingi koordinator keluarga penderita thalasmeia kabupaten jombang memberikan family psikoedukasi dengan melakukan kunjungan ke rumah pasien. kunjungan untuk masing-masing keluarga dengan jarak 1-2 minggu, dengan ketentuan 2 minggu pertama untuk sesi 3 dan 4, selanjutnya sesi 4–5 pada 2 minggu berikutnya. kunjungan keluarga diakhiri dengan post test tentang self care keluarga dalam merawat talasemia untuk melihat pengaruh dari pemberian family psikoedukasi dengan mengisi quisioner. hasil penelitian berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa self care keluarga dalam merawat anak thalasemia sebelum dilakukan kegiatan family psikoedukasi sebagian responden, yaitu 7 keluarga (50%) berada pada partly compensatory system (sedang), 4 responden (28,6%) berada pada kemampuan wolly compensatory system (r enda h). ha nya 3 responden (21,4 % yang berada pada kemampuan supportive educative (baik). sedangkan self care keluarga dalam merawat anak thalasemia setelah dilakukan family psikoeduaksi meningkat sangat signifikan, hampir seluruh responden, 13 keluarga (92,9%) berada pada kemampuan supportive educative. hanya 1 responden (7,1%) yang berada pada kemampuan partly compensatory system, dan tida k a da la gi r esponden yang bera da pada kemampuan wolly compensatory system. pembahasan berdasarkan tabel 2 tentang distribusi responden berdasarkan self care keluarga dalam merawat anak thalasemia di rsud jombang bulan april – juli tahun 2016, dapat terbaca bila ada perubahan self care keluarga dalam merawat pasien thalasemia sebelum dilakukan family psikoedukasi dan sesudah dilakukan family psikoedukasi. dengan menggunakan independent t-test untuk melakukan analisis uji hasil penelitian, didapakan tingkat signifikasi adalah 0,00 (< 0,05) yang artinya h1 diterima bahwa ada pengaruh pemberikan family psikoedukasi dalam meningkatkan self care keluarga dalam merawat pasien thalasemia berdasarkan tabel tersebut tergambar bahwa self care keluarga dalam merawat anak thalasemia sebelum dilakukan family psikoedukasi sebagian besar berada pada wolly compensatory system atau kemampuan keluarga yang rendah dalam merawat thalasemia ) dan partly compensatory system (keluarga masih tergantung dengan bantuan orang lain/petugas kesehatan dalam perawatan anak thalano data demografi f % 1 pendidikan sd 5 35,7 sltp 6 42,9 slta 3 21,4 perguruan tinggi 0 0,00 2 pekerjaan buruh 3 21,4 ibu rumah tangga 1 7,20 swasta 10 71,4 pns 0 0,00 tabel 1 distribusi responden berdasarkan demografi di rsud jombang bulan april-juli tahun 2016 tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang merawat anak dengan talasemia memiliki pendidikan setara dengan pendidikan dasar yaitu sd dan sltp, sebanyak 11 responden atau 78,6. sedangkan untuk jenis pekerjaan menunjukkan bahwa modus pekerjaan orang yang merawat anak ta lasemia adala h swasta, ya itu sebanyak 10 responden atau 71,4%. jenis pekerjaan swasta disini misalnya tukang tambal ban atau petani, kemudian irt sebanyak 1 responden atau 7,2% dan buruh sebanyak 3 responden (21,4%). no apgar ( self care ) pre tes post tes 1 supportive educative 3 13 2 partly compensatory system 7 1 3 wolly compensatory system 4 0 total 14 14 tabel 2 self care dalam merawat anak thalasemia 56 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 53–57 semia) sebanyak 10 keluarga. hal ini mungkin terjadi karena tingkat pengetahuan keluarga dengan anak thalasemia masuk dalam kategori rendah. sesuai dengan tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang merawat anak dengan talasemia memiliki pendidikan setara dengan pendidikan dasar yaitu sd dan sltp, sebanyak 11 responden (78,6 %). menurut notoatmodjo (2003) bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan. keluarga yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki motivasi dan kesempatan untuk meningkatkan pengetahuannya dalam melakukan perawatan pada anggota keluarga yang sakit. setelah dilakukan family psikoedukasi, keluarga memiliki self care yang baik/meningkat, yaitu pada tingkat supportive educatif sebanyak 13 keluarga. dalam tingkat ini keluarga mampu melakukan peran dan fungsi keluarga dalam perawatan anak sakit sesuai dengan apgar keluarga dalam merawat anak, petugas kesehatan hanya sebagai motivator bagi keluarga. family psikoedukasi merupakan program perawatan dengan cara pemberian informasi, edukasi melalui komunikasi yang terapeutik. pada dasarnya konsep family psikoedukasi, awalnya dikembangkan keperawatan jiwa keluarga, yang bertujuan memberikan support kepada keluarga. (stuart and laraia, 2005). dalam psikoedukasi terdapat kerjasama atau kolaborasi antara klinisi (perawat) dengan anggota keluarga pasien yang menderita penyakit. hal inilah yang dilakukan peneliti pada keluarga dengan anak yang menderita thalasemia. hasil survey yang dilakukan peneliti pada tahun 2014 didapatkan dari 5 keluarga dengan anak yang menderita talasemia menggambarkan bahwa mereka mengalami proses berduka yang berulang terkait diagnosa thalasemia yang dialami anaknya, sebanyak 5 responden (100 %) sering kali keluarga kembali ke tahap penolakan atau denial saat harus membawa anaknya kembali ke rumah sakit untuk mendapatkan transfusi. selain itu meskipun sudah ada jampersal untuk biaya pengobatan talasemia keluarga masih mengeluhkan biaya yang banyak untuk akomodasi setiap kali transfusi (100 %). ditinjau dari aspek kognitif, 4 keluarga (80 %) dalam survey menyatakan belum mampu memberikan perawatan yang baik terhadap anak yang menderita talasemia, sehingga kondisi anak mudah menurun dan frekuwensi untuk transfusi semakin sering. dalam penelitian yang dilakukan rahmawati tahun 2012, diperoleh gambaran bahwa family spikoedukasi akan menurunkan tingkat kecemasan orang tua dalam menghadapi anaknya yang sakit thalasemia. keluarga merupakan faktor penting dalam melakukan perawatan, dengan dukungan petugas kesehatan melalui psikoedukasi diharapkan keluarga akan mampu menjalnkan tugas sebagai care giver yang baik bagi anak thalasemia. family psikoedukasi memberikan kesempatan kepada keluarga untuk meningkatkan pengetahuannya tentang thalasemia, mengungkapkan masalah keluarga terkait perawatan pada anak thalasemia, mendapatkan dukungan langsung dari orang lain yang dianggap cukup berperan dalam hidup anak thalasemia (perawat). selama proses psikoedukasi keluarga menunjukkan perilaku yang semakin baik dalam perawatan anak thalasemia, misalnya terkait diit dan aktifitas yang harus dijalani anak thalasemia di rumah. dukungan yang diberikan tenaga kesehatan dan peer group (sesama keluarga penderita thalasemia) efektif untuk menurunkan kecemasan keluarga. proses family psikoedukasi tidak hanya melibatkan orang tua, tetapi juga saudara anak thalasemia dan keluarga lain yang terlibat dalam perawatan thalasemia di rumah, hal ini memberikan dampak dukungan untuk anak tlasemia semakin kuat dari anggota keluarga lainnya. hasil family psikoedukasi yang dilakukan peneliti pada 14 keluarga, memberikan gambaran keluarga memiliki self care yang meningkat signifikan setelah dilakukan family psikoedukasi, 13 keluarga berada pada tingkat supportive educative, hal ini artinya keluarga sudah mampu untuk memberikan perawatan anak thalasemia di rumah dengan baik, keluarga ini hanya memerlukan dukungan dari petugas kesehatan untuk dapat mempertahankan kemampuanya. simpulan dan saran simpulan ada pengaruh yang sangat signifikan pemberian family psikoedukasi dengan peningkatan self care keluarga dalam merawat anak thalasemia. dengan tingkat signifikansi 0.00 menggunakan independent t-test. 57ulfa, hasyim, pengaruh family psikoedukasi terhadap peningkatan... saran konseling dan pendampingan keluarga lebih ditingkatkan frekuensinya untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang berdampak pada kualitas hidup pasien thalasemia. daftar rujukan azwar, s. 2012. reliabilitas dan validitas. pustaka belajar. yogyakarta. kluge,c.r., michael,k., dan werner, k., 2013. frequency and relevance of psychoeducation in psychiatric diagnoses: result of two survey five years apart in german-speakig european countris. bmc psychiatri 13 (170). marilyn m. friedman., bowden, v.r., dan jones. 2010. buku ajar keperawatan keluarga riset teori dan praktik. egc. jakarta. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan pendekatan praktis. salemba medika. jakarta. orem, d.e. 2001. nursing concept of practiced. st. louis: the cv mosby company. rahmawati, d. 2012. pengaruh psikoedukasi terhadap kecemasan dan koping orang tua dalam merawat anak dengan talasemia mayor di rsu kabupaten tangerang banten. tesis. fakultas keperawatan universitas indonesia. jakarta. rani, s., rajagopal, n., dan ankur, b. 2013. effectiveness of group pychoeducation on well-being and depression among breast cancer survivors of malakamalasya. indian journal of palliative care jan – april vol 19. sharif,f,. maryam, s., and arash, m. 2013. effect of psycho-educational intervention for family member on caregiver burdens and psychiatric symptom in patien with schizophrenia in shiraz iran. bmc psychiatry 12:48. struart, g.w., dan laraia, m.t. 2005. the principle and practice of psychiatric nursing. edisi 8. elsevier mosby, st louis. missouri. supratiknya, a. 2011. merancang program dan modul psikoedukasi. universitas sanata darma. yogyakarta. supriyanto,s., djohan, a. 2011. metodologi riset bisnis dan kesehatan. pt grafika wangi kalimantan. kalimantan. tommey, a.m,. dan alligood, m.r. 2006. nursing theory and their work. missouri. mosby. wong, d. l., marilyn, h.e., david, w., marilyn, l w., dan patricia, s. 2009. buku ajar keperawaan pediatrik. volume 1. egc. jakarta jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh pemberian extra virgin olive oil terhadap jumlah sel granulosa dan kadar 17 estradiol tikus yang di papar rhodamin b 1 fera yuli setiyaningsih, 2 pande made dwi jayasa, 3 hidayat sujuti, 4 diah prabawati retnani 1,2 fakultas kedokteran, universitas brawijaya malang 3,4 fakultas kedokteran, stikes insan cendekia medika jombang info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 24/10/2018 disetujui, 28/12/2018 di publikasi, 28/12/2018 kata kunci: pengetahuan, perilaku, luka diabetik, kekambuhan, sel granulosa, 17 estradiol, rhodamin b, stress oksidatif penambahan pewarna tersebut akan berdampak pada kesehatan. penelitian bertujuan untuk mengertahui pengaruh pemberian extra virgin olive oil terhadap jumlah sel granulosa dan kadar 17 estradiol pada rattus novergicus yang dipapar rhodamin b. metode: desain penelitian ini true experimental dengan pendekatan post test control group design. subyek penelitian 30 ekor tikus putih rattus novergicus umur 12 minggu berat rata-rata 220 gram dan kondisi sehat. tikus dibagi dalam 5 kelompok. kelompok kontrol tanpa perlakuan, kontrol positif perlakuan dengan rhodamin b 18 mg/200gr. perla-kuan 1 pemberian rhodamin b 18 mg/200gr dan evoo 1,5 ml/kgbb, perlakuan 2 pemberian rhodamin b 18 mg/200gr dan evoo 3 ml/kgbb, perlakuan 3 pemberian rhodamin b 18 mg/200gr dan evoo 4,5 ml/kgbb. jumlah sel granu-losa ditentukan dengan pewarnaan he, kadar 17 estradiol dengan elisa. data dianalisis menggunakan uji kruskal wallis, rank spearman dan regresi linier sederhana dengan derajat kemaknaan < 0.05. hasil: rata-rata jumlah sel granulosa dan kadar 17 estradiol terendah terdapat pada kelompok kontrol positif dan rata-rata tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan 3. terdapat satu dosis yang bisa secara signifikan bisa meningkatkan sel granulosa dan kadar 17 beta estradiol dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain dengan nilai < 0.05. kesimpulan: pemberian evoo mempengaruhi jumlah sel granulosa ovarium dan kadar 17 estradiol pada tikus yang dipapar rhodamin b.  correspondence address: doi:10.26699/jnk.v5i3.art.p241–248 241 universitas brawijaya malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: fera.yuli@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) fera.yuli@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/277 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 242 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 241–248 abstract the addition of the dye will have an impact on health. the aim of this research was to know the effectiveness of the administration of extra virgin olive oil to the number of granulosa cell and 17â estradiol level of rats exposed by rhodamin b. the design of this study was true experimental with post test approach of group design control. the subject of the study was 30 white mice rattus novergicus in the age of 12 weeks weight average 220 grams and in healthy condition. rats were divided into 5 groups. control group without treatment, positive control treatment with rhodamine b 18 mg / 200gr. treatment 1 administration of rhodamine b 18 mg / 200gr and evoo (extra virgin olive oil) 1.5 ml / kgbb, treatment 2 rhodamine b 18 mg / 200gr and evoo 3 ml / kgbb, treatment 3 rhodamine b 18 mg / 200gr and evoo 4,5 ml / kgbb. the number of granulosa cells was determined by he staining, the level of 17 estradiol with elisa. the data was analyzed by kruskal wallis test, spearman rank and simple linear regression with degree of significance  <0.05. the average number of granulosa cells and the lowest levels of 17 estradiol were found in the positive control group and the highest average was in the treatment group 3. there was one dose that could significantly increase granulosa cells and the beta estradiol levels compared with the treatment group the other with niali  <0.05. the administration of evoo affected the number of granulosa cells and the levels of 17 estradiol in rats exposed by rhodamine b. © 2018 journal of ners and midwifery article information history article: received, 24/10/2018 accepted, 28/12/2018 published, 28/12/2018 keywords: granul osa ce l l s, e stradiol , rhodamin b, oxidative stress the effectiveness of the administration of extra virgin olive oil to the number of granulosa cell and 17 â estradiol level of rats exposed by rhodamin b 243setiyaningsih, jayasa, sujuti, retnani, pengaruh pemberian extra virgin... pendahuluan infertil merupakan suatu hasil biologik suami istri yang tidak menghasilkan kehamilan dan kelahiran bayi (rahmatullah, 2016). frekuensi dan penyebab infertilitas bervariasi, 40%–50% etiologi infertilitas yang sudah diteliti adalah karena penyebab dari perempuan (duckitt, 2003). infertilitas yang disebabkan oleh faktor pria 30%, infertilitas yang disebabkan oleh faktor dari pria dan wanita yaitu 20–30%, infertilitas yang tidak dapat dijelaskan 15% (de cherney et al., 2003). berdasarkan hasil penelitian penyebab infertilitas berhubungan dengan pihak istri adalah tuba, penyebab yang tidak diketahui, masalah yang berhubungan dengan mentruasi, uterus, ovarium dan kelainan seksual (roupa et al., 2008). penyebab infertilitas yang paling sering dilaporkan adalah masalah ovarium (39,7%) (kazemijaliseh et al., 2015). gangguan ovulasi disebabkan oleh gangguan folikulogenesis, folikel tidak berkembang dan mengalami atresia. atresia pada folikel disebabkan oleh adanya apoptosis (karuputhula et al., 2012). apoptosis folikel disebabkan rendahnya kadar estradiol yang mempengaruhi proses ovulasi (djuwantono et al., 2008). peroksida lipid menyebakan terjadinya atresia pada folikel (devine et al., 2012). radikal bebas eksogen berasal dari lingkungan yang tercemar oleh beberapa zat kima misalnya asap kendaraan, limbah, asap rokok, radiasi sinar uv, ozon dan senyawa kimia beracun (yuliarti, 2009). pewarna makanan yang paling banyak digunakan dalam industri makanan adalah r hodamin b. rhodamin b termasuk dalam pewarna sintesis yang mengandung senyawa kimia beracun berbahaya (alsuhendra dan ridawati, 2013). makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak sekolah dasar di kota batu adalah 18,5% dari 27 sampel mengandung rhodamin b (kristianto et al., 2013). dampak rhodamin b pada sistem reproduksi tikus melalui stress oksidatif yang berakibat pada menurunnya jumlah folikel, menurunnya kadar 17 â-estradiol (maryanti, et.al, 2014). sel granulosa sangat peka terhadap spesies oksigen reaktif (ros). h2o2 termasuk dalam ros yang mempunyai peranan penting dalam apoptosis sel granulosa (devine et al, 2012). antioksidan merupakan senyawa yang bisa menghambat proses oksidasi dalam tubuh (handrawan, 2012). zaitun termasuk dari lima makanan yang kaya akan kandungan polifenol yang memiliki manfaat untuk kesehatan (roder, 2016). polifenol dari extra virgin olive oil memberikan efek protektif dan manfaat sebagai antioksidan. efek biologis in vivo dari makanan yang kaya akan fenolat extra virgin olive oil, terutama hydroxytyrosol, dipelajari pada tikus (lopez et al., 2007). polifenol juga telah terbukti mempengaruhi kesuburan, perkembangan seksual dan kesehatan janin (chirstina et al., 2015). extra virgin olive oil mengandung 36 polifenol, evoo mengandung 6 polifenol (morris, 2015). dengan latar belakang ini, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efek protektif evoo sebagai antioksidan pada tikus betina yang diberi paparan rhodamin b. tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh pemberian extra virgin olive oil terhadap jumlah sel granulosa ovarium pada tikus yang dipapar rhodamin b. membuktikan pengaruh pemberian extra virgin olive oil terhadap kadar 17 estradiol pada tikus yang dipapar rhodamin b. membuktikan pengaruh peningkatan dosis extra virgin olive oil terhadap jumlah sel granulosa ovarium pada tikus yang dipapar rhodamin b. membuktikan pengaruh peningkatan dosis extra virgin olive oil terhadap kadar kadar 17  estradiol pada tikus yang dipapar rhodamin b bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain true experimental dengan pendekatan post test control group design. penelitian dilakuakan di laboratorium farmakologi, patologi anatomi dan biomedik fakultas kedokteran universitas brawijaya. subyek penelitian ini adalah tikus putih rattus novergicus usia 12 minggu berat rata-rata 220 gram yang berjumlah 30 ekor yang terbagi dalam 5 kelompok perlakuan (n = 6). aklimatisasi dilakukan selama 15 hari setelah aklimatisasi tikus kemudian di kelompokan secara random. kelompok kontrol tanpa perlakuan apapun, kelompok kontrol positif dengan pemberian rhodamin b dosis 18 mg/200 gr, kelompok perlakuan 1 dengan pemberian rhodamin b 18 mg/200gr dan evoo 1,5 ml/kgbb, kelompok perlakuan 2 dengan pemberian rhodamin b 18 mg/200gr dan evoo 3 ml/ kgbb, kelompok perlakuan 3 dengan pemberian rhodamin b 18 ml/200gr dan evoo 4,5 ml/kgbb. rhodamin b vetectm regent grade yang dibeli dari perusahaan sigma-aldrich. evoo yang digunakan adalah dengan presentase murni 100% minyak zaitun murni merk borges. setelah perlakuan 36 hari dilakukan pemeriksaan apusan vagina untuk menentukan estrus tikus. pembedahan dilaku244 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 241–248 kan pada saat tikus pada fase proestrus. tikus yang akan dibedah terlebih dahulu diinjeksi dengan ketamin dosis 0.2 mg/200 gram secara intra muscular. tikus yang sudah tidak bergerak kemudian dibedah diambil darah sebanyak 3 ml dari bagian jantung dan organ ovarium. darah yang sudah diambil kemudian dikirim ke labolatorium biomedik dan diperiksa kadar 17  estradiol dengan elisa (elisa kit rat 17  estradiol). ovarium dikirim ke labolatorium patologi anatomi untuk proses pewarnaan he. analisa data menggunakan kruskal wallis, mann whitney dan rank sprearman. penelitian ini sudah mendapatkan ijin dari komisi etik universitas brawijaya malang no. 45/ ec/kepk-s2/03/2018. hasil penelitian kn : kelompok negatif kp : kontrol positif p1 : perlakuan 1 pemberian rhodamin b 18mg/ 200gr dan evoo 1,5 ml/kgbb p2 : perlakuan 2 pemberian rhodamin b 18mg/ 200gr dan evoo 3 ml/kgbb p3 : perlakuan 3 pemberian rhodamin b 18mg/ 200gr dan evoo 4,5 ml/kgbb gambar 1 grafik rata-rata jumlah sel granulosa kn : kelompok negatif tanpa paparan apapun kp : kontrol positif pemberian rhodamin b 18 mg/200gr p1 : perlakuan 1 pemberian rhodamin b 18mg/ 200gr dan evoo 1,5 ml/kgbb p2 : perlakuan 2 pemberian rhodamin b 18mg/ 200gr dan evoo 3 ml/kgbb gambar 2 grafik kadar 17  estradiol perlakuan rata-rata standard deviasi notasi kn (tanpa dipapar rhodamin b dan tanpa pemberian evoo) 225.033 35.987 abc kp (dipapar rhodamin b, tanpa pemberian evoo) 198.200 20.658 a p1 (rhodamin b 18 mg/200gr, evoo 1.5 ml/kgbb, lama paparan 36 hr) 244.600 9.556 b p2 (rhodamin b 18 mg/200gr, evoo 3 ml/kgbb, lama paparan 36 hr) 263.350 5.026 c p3 (rhodamin b 18 mg/200gr, evoo 4.5 ml/kgbb, lama paparan 36 hr) 372.467 33.373 d signifikansi normalitas = 0.004 signifikansi homogenitas = 0.001 tabel 1 uji normalitas dan homogenitas jumlah sel granulosa pada tikus yang dipapar rhodamin b dan evoo analisis perbedaan untuk melihat perbedaannya, dilakukan uji lanjut dengan uji mann whitney dengan hasil notasi pada tabel 1 dari kolom notasi tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: 1. perlakuan kn (abc) berbeda nyata dengan perlakuan p3. perlakuan kn tidak berbeda nyata dengan perlakuan kp (a), p1 (b), dan p2 (c). 245setiyaningsih, jayasa, sujuti, retnani, pengaruh pemberian extra virgin... 2. perlakuan kp (a) berbeda nyata dengan p1, p2, dan p3. perlakuan kp tidak berbeda nyata dengan perlakuan kn. 3. perlakuan p1 (b) berbeda nyata dengan kp, p2, dan p3. perlakuan p1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan kn. 4. perlakuan p2 (c) berbeda nyata dengan kp, p1, dan p3. perlakuan p2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan kn. 5. perlakuan p3 (d) berbeda nyata dengan kp, p1, p2, dan p3. perlakuan rata-rata standard deviasi notasi kn (tanpa dipapar rhodamin b dan tanpa pemberian evoo) 56.221 13.346 abc kp (dipapar rhodamin b, tanpa pemberian evoo) 42.310 11.366 a p1 (rhodamin b 18 mg/200gr, evoo 1.5 ml/kgbb, lama paparan 36 hr) 63.354 2.918 b p2 (rhodamin b 18 mg/200gr, evoo 3 ml/kgbb, lama paparan 36 hr) 72.210 4.184 c p3 (rhodamin b 18 mg/200gr, evoo 4.5 ml/kgbb, lama paparan 36 hr) 82.611 4.232 d signifikansi normalitas = 0.313 signifikansi homogenitas = 0.006 tabel 3 tabel uji normalitas dan homogenitas kadar 17â estradiol pada tikus yang dipapar rhodamin b dan evoo untuk melihat perbedaannya, dilakukan uji mann whitney dengan hasil notasi pada tabel 2 dari kolom notasi tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: 1. perlakuan kn (abc) berbeda nyata dengan perlakuan p3. perlakuan kn tidak berbeda nyata dengan perlakuan kp (a), p1 (b), dan p2 (c). 2. perlakuan kp (a) berbeda nyata dengan p1, p2, dan p3. perlakuan kp tidak berbeda nyata dengan perlakuan kn. 3. perlakuan p1 (b) berbeda nyata dengan kp, p2, dan p3. perlakuan p1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan kn. 4. perlakuan p2 (c) berbeda nyata dengan kp, p1, dan p3. perlakuan p2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan kn. 5. perlakuan p3 (d) berbeda nyata dengan kp, p1, p2, dan p3. chi-square signifikansi chi-square kesimpulan hitung tabel 22.585 0.000 9.488 signifikan tabel 2 hasil uji kruskal wallis jumlah sel granulosa pada tikus yang dipapar rhodamin b dan evoo keterangan: jika nilai  < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut adalah signifikan. nilai chi-square hitung > nilai chi-square tabel maka data tersebut signifikan. tabel 4 hasil uji kruskal wallis kadar 17â estradiol pada tikus yang dipapar rhodamin b dan evoo chi-square signifikansi chi-square kesimpulan hitung tabel 23.330 0.000 9.488 signifikan keterangan: jika nilai  < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut adalah signifikan. nilai chi-square hitung > nilai chi-square tabel maka data tersebut signifikan. 246 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 241–248 tabel 6 hasil analisis korelasi rank spearman evoo dan 17  estradiol correlation coefficient signifikansi kesimpulan 0.964 0.000 signifikan keterangan: hubungan searah antara dosis dengan angka konsentrasi estradiol serum pada taraf nyata 5% ditunjukkan dengan nilai correlation yang positif. berdasarkan tabel 1 bisa dijelaskan bahwa rata-rata yang paling tinggi jumlah sel granulosa ter da pa t pa da kelompok per la kua n 3 ya itu 372.467±33.373, dan rata-rata angka jumlah sel granulosa ovarium terendah pada kelompok perlakuan positif (kp) yaitu sebesar 198.200±20.658. gambar 2 menunjukkan bahwa rerata kadar 17  estradiol tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan 3 sebesar 82.611±4.232, dan rata-rata kadar 17  estradiol serum terendah pada kelompok kontrol positif yaitu sebesar 42.310±11.346. hasil uji kruskal wallis nilai < 0.05 bisa disimpulkan bahwa terdapat perbedaan signifikan rerata jumlah sel granulosa dan kadar 17 estradiol pada setiap kelompok perlakuan. rank sperman analisis pengaruh variabel b thitung signifikansi keterangan konstanta 188.422 dosis evoo (x) 36.103 10.267 0.000 signifikan  = 0.050 koefisien determinasi (r2) = 0.827 t tabel (0.05,22) = 2.074 tabel 7 uji regresi linier sederhana evoo dengan jumlah sel granulosa tabel 8 uji regresi linier sederhana extra virgin olive oil dengan kadar 17  estradiol variabel b thitung signifikansi keterangan konstanta 45.657 dosis evoo (x) 8.651 10.087 0.000 signifikan  = 0.050 koefisien determinasi (r2) = 0.822 t tabel (0.05,22) = 2.074 diperoleh nilai < 0.05 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara dosis dengan jumlah sel granulosa dan estradiol serum pada tikus yang dipapar rhodamin b. hubungan searah antara dosis dengan angka konsentrasi estradiol serum dan jumlah sel granulosa pada taraf nyata 5% ditunjukkan dengan nilai correlation yang positif. berdasarkan uji regresi linier sederhana pada tabel 7 variabel x (dosis evoo) memiliki statisitik uji t sebesar 10.267 dengan signifikansi sebesar 0.000. nilai |t hitung| lebih besar dari t tabel, dan nilai signifikan t lebih kecil dari  (0.05). sehingga variabel dosis berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel jumlah sel granulosa. tabel 8 didapatkan bahwa variabel x (dosis evoo) memianalisis hubungan tabel 5 hasil analisis korelasi rank spearman jumlah sel granulosa correlation coefficient signifikansi kesimpulan 0.964 0.000 signifikan keterangan: hubungan searah antara dosis dengan angka jumlah sel granulosa ovarium pada taraf nyata 5% ditunjukkan dengan nilai correlation yang positif. 247setiyaningsih, jayasa, sujuti, retnani, pengaruh pemberian extra virgin... liki statisitik uji t sebesar 10.087 dengan signifikansi sebesar 0.000. nilai |t hitung| lebih besar dari t tabel, dan nilai signifikan t lebih kecil dari  (0.05). variabel dosis berpengaruh positif dan signifikan terhadap kadar 17  estradiol. pembahasan hasil penelitian rhodamin b dan evoo pada kelompok penelitian memiliki perbedaan dimana kelompok positif memiliki jumlah sel granulosa dan kadar 17  estradiol paling rendah dibandingkan dengan kelompok yang lain. jumlah sel granulosa dan kadar 17  estradiol tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan 3. rhodamin b mengandung senyawa kimia klorin yang bersifat reaktif, jika klorin tersebut tertelan maka akan meracuni tubuh (bpom, 2012). rhodamin b yang masuk ke dalam tubuh bisa merusak sel dengan cara menembus sel dan tertimbun di mitokondria sehingga mengakibatkan gangguan sistem pernapasan sel yang pada akhirnya akan meningkatkan ros (mottram et al., 2012). rhodamin b juga meningkatkan terjadinya apoptosis sel di hipothalamus sehingga berdampak pada keseimbangan hormon pada tikus (sulistina et al., 2014). berdasarkan penelitian mariyanti et al (2014), zat kimia yang terkandung dalam rhodamin b menyebabkan terjadinya penurunan kadar 17  estradiol pada kelompok positif dari pada kelompok negatif. berdasarkan penelitian lai, et al (2017) menunjukkan bahwa adanya peningkatan ros pada sel granulosa mempengaruhi apoptosis sel sehingga akan berdampak pada kualitas oosit. liu (2010) menyatakan bahwa adanya peningkatan kadar mda berpengaruh pada apoptosis sel granulosa ovarium. kadar mda merupakan senyawa reaktif sebagai tanda terjadinya stres oksidatif yang terjadi dalam tubuh. evoo mengandung asam lemak tak jenuh tunggal yang tinggi termasuk asam oleat, asam oleat adalah kelompok dari famili minyak yang kaya akan asam lemak tak jenuh polifenol (berrougui et al., 2015. evoo memiliki peran sebagai antioksidan karena mempunyai sifat biologi yang bisa menghambat terjadinya proses oksidasi. olive phenols adalah bagian dari evoo yang berfungsi sebagai penghambat oksidasi, bertindak sebagai pemutus rantai dengan cara menyumbangkan radikal-radikal yang diproduksi oleh oksidasi lipid dan pembentukan turunan stabil selama proses reaksi (servili et al., 2013). evoo kaya biophenol (366 mg / kg) memodulasi keseimbangan antara gsh dan gluthation teroksidasi (gssg). dengan demikian, evoo biophenol memberikan efek antioksidan sebagai bagian dari induksi nrf2 (kouka et al., 2017). pemberian evoo bisa menyebabkan peningkatan rata-rata jumlah sel granulosa dan kadar 17  estradiol pada tikus yang di papar rhodamin b. hal itu disebabkan karena evoo mempunyai sifat sebagai antioksidan yang diperankan oleh olive phenol. adanya antioksidan didalam tubuh akan menghambat atau bahkan bisa mencegah terjadinya stress oksidatif yang disebabkan oleh zat-zat radikal yang bisa merusak fungsi sel. efek antioksidan yang terdapat dalam evoo berperan penting sebagai penghambat terjadinya ros. kesimpulan dan saran kesimpulan pemberian evoo berpengaruh pada jumlah sel granulosa dan kadar 17 estradiol dengan nilai signifikansi. peneliti selanjutnya disaran untuk meneliti pengaruh pemberian evoo dan cvo. saran penelitian ini membuktikan bahwa efek antioksidan yang terdapat dalam evoo berperan penting sebagai penghambat terjadinya ros. sehingga disarankan untuk meneliti ke subyek manusia atau dosis evoo ditambahkan lg pada tikus yang terpapar rhodamin b daftar pustaka alsuhendra dan ridawati (2013). bahan toksik dalam makanan. bandung: pt. remaja rosdakarya. berrougui, h., ikhlef, s. dan khalil, a (2015). extra virgin olive oil polyphenols promote cholesterol efflux and improve hdl functionality. evidence based complementary and alternative medicine. vol. 15. 1-9. bpom. (2012). peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik indonesia nomor hk.03.1.33.12.12.8915 tahun 2012 tentang penerapan pedoman cara pembuatan obat yang baik. jakarta: badan pengawas obat dan makanan. christina, l., lelievre, j.y., ferraro, z.m., arnason, j.t., ferrier, j., dan gruslin, a (2015). the effects of dietary polyphenols on reproductive health and early development. human reproduction update. 21(2). 228-248. decherney (2003). anatomy of the female reproduction system. in: current diagnosis and treatment 248 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 241–248 obstetrics & gynecologist. 10th edition. new york: mcgraw hill companies. devine, p.j., s.d. perreault, and u. luderer. (2012). roles of reactive oxygen species and antioxidant in ovarian toxicity. biology of reproduction journal 86(2):27. duckitt, k. (2003). infertility and subfertility. clin evid. 2044-20733. djuwantono, t., hartanto, b., dan wiryawan, p. (2008). step by step penanganan endokrinologi reproduksi dan fertilitas dalam praktik sehari-hari. jakarta: sagung. handrawan. (2012). keajaiban antioksidan. jakarta : pt. gramedia pustaka utama. karuputhula, n.b., chattopaghyay, r., chakravarty, b., dan chaudhury, k. (2012). oxidative status in granulosa cell of infertile women undergoing ivf. system biology in reproductive medicine. 1-8. kazemijaliseh, h., tehrani, f.r., gandevani, s.b., hosseinpanah, f., khalili, d., dan azizi, f. (2015). the prevalence and causes of primary infertility in iran: a population based study. global journal of health science. 7(6). 206-232. kouka, p. , pri ft i s, a. , sta gos, d., an gel is a. , stathopoulus, p., xinos, n., skaltsounis, a.l., mamoulakis, c., tsatsakis, a., spandidos, d.a. dan kouretas, d. (2017). assessment of the antioksidan activity of an olive oil total polyphenolic fraction and hydroxytyrosol from a greek olea europea variet y in endot helial cel l and myoblasts. international journal of moleculer medicine. 40. 703-712. kristianto, y., riyadi, d.b. dan mustafa, a (2013). faktor determinan pemilihan makanan jajanan pada siswa sekolah dasar. jurnal. lai, q., xiang, w., li, q., zhang, h., li, y., zhu, g., xiong, c. dan jin, l. (2017). oxidative stress in granulosa cells contribute to poor oocyte quality and ivfet out come in women with polycystic ovary syndrome. tronters of medicine. pmid: 29260383. liu, j. dan li, y. (2010). effect oxidative stress and apoptosis in granulosa cells on the outcome of ivf-ef. journal of central south university medical sciences. 35(9). 990-994 lopez, m.j.o., berna, g., carneiro, e.m., serrana, h.l.g., martin, f. dan lopez, c. (2007). an extra-virgin olive oil ri ch in pol yph en oli c compoun ds ha s antioxidant effects in of1 mice. journal of ntrition. 138. 1074-1078. maryanti, s.a., suciati, s., wahyuni, e.s., santoso, s., dan wiyasa, i.w.a. (2014). rhodamin b triggers ovarian toxicity through oxidative stress. cucurova medical journal. 39(3). 451-457. morris, traccy. (2015). fat face off : extra virgin olive oil vs virgin coconat oil. https//blog.fitbit.com/ fat-face-off-olive-oil-vs-coconut-oil. diakses tanggal 7 februari 2018. mottram, laurie, f., forbes, s., ackley, brian, d., and peterson, blake, r. (2012). hidrophobic analogues of rhodamin b and rhodamin 101 : potent flourescent probes of mitochondria in living c. elegans. 8. 2156-2165. rahmatullah, irfan. (2016). 9 bulan dibuat penuh cinta dibuai penuh harap. gramedia pustaka utama. jakarta. roder, susan m.s (2016). 5 foods containing potentially he art -he al thy pol y phe nols. h t tp: / / www.utswmedicine.org/stories/articles/year-2016/ polyphenols.html. diakses tanggal 29 januari 2017. roupa, z., polikandrioti, m., sotiropoulou, p., faros, e., koulouri, a., woznial, g., dan gourni, m. (2008). cause of infertility in women at reproductive age. health science journal. 3. 80-87. servili, m., sordini, b., esposto, s., urbani, s., venezziani, g., maio, di ilona., selvaggini, r., and taticchi., a. (2013). biological activities of phenolic compounds of extra virgin olive oil. antioxidant. 3. 1-23. sulistina, d. r., ratnawati, r., & wiyasa, i. w. a (2014). rhodamine b increases hypothalamic cell apoptosis and disrupts hormonal balance in rats. asian pacific journal of reproduction, 3(3), 180–183. https:// doi.org/10.1016/s2305-0500(14)60023-3. yuliarti, nurheti. (2009). sehat, cantik, bugar dengan herbal dan obat tradisional. yogyakarta : andi yogyakarta. 120 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 120–124 120 pijat oksitosin pada ibu postpartum primipara terhadap produksi asi dan kadar hormon oksitosin (oxytocinmassage on postpartum primipara mother to the breastmilk production andoxytocin hormone level) nove lestari fakultas kesehatan masyarakat, universitas airlangga email: nophetari@yahoo.com abstract: less breastmilk production will interfere the breastfeeding process which is one of the factors causing mothers not to breastfeed exclusively. the purpose of this study was to determine the effectiveness of oxytocin massage on breast milk production and postpartummother’s oxytocin hormone level. the design of this study was quasi experimental design. the population in this study was postpartum primipara mother of 4–11 days lactationin the area of puskesmas bendo. 16 respondents in this study were divided into two groups namely treatment groups and control groups. the sampling technique was probability sampling type simple random sampling. the independent variablewas (oxytocin massage) and dependent variablewas (breastmilk production and oxytocin hormone levels). the data collected by using interview and observation sheet then analyzed by using mann-whitney test test got u value equal to 8.000 with p-value = 0.003 p-value compared = 0.05 then p-value < , in conclusion, h0 was rejected or there was an effect in the production of breast milk and the levels of the hormone oxytocin between the control group and the treatment group. the oxytocin massage was recommended to nurses to be applied in addition to breast care to increase the production of postpartum mothers who have less breastmilk production. keywords: oxytocin massage, milk production, oxytocin and postpartum levels abstrak: produksi asi yang kurang akan mengganggu proses menyusui, yang menjadi salah satu faktor penyebab ibu tidak menyusui secara eksklusif. tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pijat oksitosin terhadap produksi asi dan kadar hormon oksitosin ibu post partum. desain pada penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimen. populasi dalam penelitian ini adalah ibu post partum primipara masa laktasi 4–11 hari di wilayah kerja puskesmas bendo. sebanyak 16 responden dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. teknik pengambilan ampel menggunakan probability sampling tipe simple random sampling. terdapat variabel independen (pijat oksitosin) dan variabel dependen (produksi asi dan kadar hormon oksitosin). pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara dan lembar observasi kemudian dianalisis dengan menggunakan uji mann-whitney test didapatkan nilai u sebesar 8.000dengan p-value = 0.003 p-value tersebut dibandingkan = 0.05 maka p-value<, sehingga disimpulkan bahwa h0 ditolak atau ada perbedaan produksi asi dan kadar hormon oksitosin antara kelompok kontroldengan kelompok perlakuan. pijat oksitosin tersebut direkomendasikan kepada perawat untuk mengaplikasikan selain perawatan payudara untuk meningkatkan produksi asi ibu post partum yang memiliki produksi asi kurang. kata kunci: pijat oksitosin, produksi asi, kadar oksitosin dan postpartum pemberian air susu ibu (asi) sebagai salah satu yang memberikan pengaruh paling besar terhadap kelangsungan hidup anak, pertumbuhan, dan perkembangannya (astutik,2014). banyak dijumpai para ibu melakukan perawatan nifas berdasarkan budaya dan tradisi, termasuk dalam hal menyususi, namun pada sebagian ibu mungkin saja terjadi kesulitan pengeluaran asi karena lebih banyak ibu acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p120-124 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 121lestari, pijat oksitosin pada ibu postpartum primipara... terpengaruh mitos sehingga ibu tidak yakin bisa memberikan asi pada bayi. perasaan ibu yang tidak yakin bisa memberikan asi pada bayi akan menyebabkan penurunan hormon oksitosin sehingga asi tidak dapat keluar segera setelah melahirkan dan akhirnya ibu memutuskan untuk memberikan susu formula. hal ini disebabkan karena ibu tidak memproduksi asi dalam jumlah yang cukup untuk bayi (astutik,2014). berdasarkan hasil riset kesehatan daerah (riskesdas) (2013) pemberian asi ekslusif pada bayi selama enam bulan hanya 40,6% jauh dari target nasional yang mencapai 80%. kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa pada usia 0 bulan presentasi pemberian asi sebesar 82,5%, usia 1 bulan 75,1%, usia 2 bulan 74%, uaia 3 bulan 66,9%, usia 4 bulan 66,8%, dan usia 5 bulan 54,8%. dari hasil data tersebut menunjukkan pemberian asi pada umur 0–5 bulan semakin lama semakin rendah presentasinya. bedasarkan hasil penelitian menunjukan 6 % ibu nifas mengeluh asi tidak keluar pada hari pertama postpartum, 13% ibu nifas mengeluh sedikit mengeluarkan asi dan 64% mengeluh asi tidak lancar mengakibatkan memilih susu formula serta 17% ibu postpartum mengalami perdarahan (nurul, 2015). adanya anggapan bahwa menyusui adalah cara kuno serta alasan ibu bekerja, takut kehilangan kecantikan, tidak disayang suami dan gencarnya susu formula di berbagai media massa merupakan alasan yang dapat mengubah kesepakatan ibu untuk menyusui bayinya sendiri, serta menghambat terlaksananya proses laktasi (ayers, 2000). faktor yang mempengaruhi kegagalan pemberian asi disebabkan kurangnya pengetahuan ibu tentang asi, ibu menghentikan pemberian asi karena produksi asi kurang, gencarnya promosi susu formula, dukungan petugas kesehatan dan faktor keluarga karena orang tua, nenek atau ibu mertua mendesak ibu untuk memberikan susu tambahan (astutik,2014). pada sebagian ibu pengeluaran asi bisa terjadi dari masa kehamilan dan sebagian terjadi setelah persalinan (astutik, 2014). permasalahan kurangnya rangsangan hormon prolaktin dan oksitosin yang sangat berperan dalam kelancaran produksi asi. hal ini dapat dapat mempengaruhi pengeluaran asi memberikan dampak buruk untuk kehidupan bayi dikarenakan nilai gizi pada asi lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula, akan tetapi penggunaan susu formula merupakan alternatif yang dianggap paling tepat untuk mengganti produksi asi yang menurun. berdasarkan studi pendahuluan di puskesmas bendo kabupaten kediri, pada bulan april 2017 terdapat 10 ibu melahirkan pervaginam.diantaranya mereka 1% ibu tidak menyusui, 3% ibu menyusui, 6% ibu tidak menyusui dikarenakan mengeluhkan asi yang tidak keluar. dalam studi pendahulan dilakukan pijat oksitosin dan didapatkan 6 dari 10 ibu tidak menyusui mengalami peningkatan produksi asi yang di observasi melalui frekuensi dan lama menyusui. refleks hormon oksitosin tersebut banyak dipengaruhi oleh stressor yang dialami oleh ibu primipara, sehingga menyebabkan adanya hambatan dalam sekresi oksitosin oleh hipofisis posterior (prime et al., 2009). salah satu upaya yang dapat dilakukan ibu dan keluarga, untuk meningkatkan produksi asi diperlukan hormon oksitosin (bobak, 2005), pada ibu setelah melahirkan dapat melakukan pijat oksitosin. pijat oksitosin merupakan pemijatan sepanjang tulang belakang (tulang vertebrae sampai tulang coste kelima-enam). pijat oksitosin dilakukan pada ibu postpartum dengan durasi 3 menit dan frekuensi pemberian pijatan 2 kali sehari. pijat ini tidak harus dilakukan oleh petugas kesehatan tetapi dapat dilakukan oleh suami atau keluarga yang lain. mekanisme kerja dalam pelaksanaan pijat oksitosin merangsang saraf dikirim keotak sehingga hormon oksitosin dapat dikeluarkan dan mengalir kedalam darah kemudian masuk ke payudara dan menyebabkan otot-otot sekitar alveoli berkontraksi dan membuat asi mengalir. hal ini sesuai dengan anjuran dari pemerintah untuk pemanfaatan alam sekitar atau “back to nature”, (hesti, 2013), budaya pijat masa nifas sudah kenal bagi ibu-ibu masa nifas khususnya pada masyarakat jawa, namun belum diteliti dan difokuskan keuntungan pijat pada ibu pada masa nifas.maka dari hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “apakah pijat oksitosin dapat meningkatkan produksi asi dan kadar hormon oksitosin?” bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan pendekatan pre post test control group design. populasi pada penelitian ini adalah ibu post partum primipara yang tinggal desa darungan. teknik pengambilan sampel penentuan besar sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode pengambilan sampel probability sampling tipe simple random sampling.variabel independen 122 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 120–124 dalam penelitian ini adalah pijat oksitosin. variabel dependen dalam penelitian ini adalah produksi asi dan kadar hormon oksitosin. hasil penelitian hasil penelitian meliputi data produksi asi dan kadar hormon oksitosin responden sebelum dan sesudah pemberian pijat oksitosin. f % f % dipijat 8 50 11 68,7 tidak dipijat 8 50 5 31,3 total 16 100 16 100 mann-whitney u = 8.000 p-value = 0,03, = 0,05 produksi asi pre test post test tabel 1 pijat oksitosinterhadap produksi asi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol responden sebelum dan sesudah intervensi pijat oksitosin pada ibu post partum primipara di wilayah kerja puskesmas bendo f % f % dipijat 9 56,3 11 68,7 tidak dipijat 7 43,7 5 31,3 total 16 100 16 100 mann-whitney u = 12.000 p-value = 0,015, = 0,05 pre test post test tabel 2 distribusi kadar hormon oksitosin pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol responden sebelum dan sesudah intervensi pijat oksitosin pada ibu post partum primipara di wilayah kerja puskesmas bendo kadar hormon oksitosin pembahasan pijat oksitosin terhadap produksi asi responden sebelum dan sesudah pemberian intervensi dari hasil diatas menunjukkan bahwa produksi asi yang dinilai dari frekuensi bayi minum asi pada waktu lahir adalah 8 kali yang meningkat pada minggu pertama dan kedua. bila dilihat secara teori bila bayi cukup mendapatkan nutrisi maka rata-rata frekuensi menyusu bayi antara 8–12 kali dan bayi akan tidur tenang atau nyenyak 2–3 jam setelah menyusu. hal ini menunjukkan bahwa bila bayi menyusu semakin sering maka asi yang di produksi semakin banyak karena semakin tinggi kadar oksitosin pada peredaran darah yang akan merangsang prolaktin untuk terus memproduksi asi. proses menyusui ataupun diperah untuk mengeluarkan asi inhibitor autokrin tetap dikeluarkan sehingga produksi asi terus berlanjut. intensitas yang tinggi pada bayi untuk menyusu maka semakin banyak asi diproduksi, sebaliknya jika semakin jarang bayi untuk menyusu makin sedikit payudara menghasilkan asi. berdasarkan hasil uji statistik proses laktasi merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks antara ransangan mekanik, saraf, dan bermacammacam hormon. hal ini dipengaruhi oleh faktor dari proses laktogenesis iii yang dapat mempengaruhi produksi asi, menyusui setiap dua-tiga jam akan menjaga produksi asi tetap tinggi. untuk wanita pada umumnya, menyusui atau memerah asi delapan kali dalam 24 jam akan menjaga produksi asi tetap tinggi pada masa-masa awal menyusui, khususnya empat bulan pertama. bukanlah hal yang aneh apabila bayi yang baru lahir menyusui lebih sering dari itu, karena rata-ratanya adalah 10-12 kali menyusui tiap 24 jam, atau bahkan 18 kali. menyusui on-demand adalah menyusui kapanpun bayi meminta (artinya akan lebih banyak dari ratarata) adalah cara terbaik untuk menjaga produksi asi tetap tinggi dan bayi tetap kenyang. tetapi perlu diingat, bahwa sebaiknya menyusui dengan durasi yang cukup lama setiap kalinya dan tidak terlalu sebentar, sehingga bayi menerima asupan foremilk dan hindmilk secara seimbang. menurut maryunani, 2012 pemijatan tengkuk dan punggung memberikan kontribusi yang besar bagi ibu nifas yang sedang menyusui. rasa nyaman yang ibu rasakan akan membantu dalam pengeluaran asi sehingga ibu tidak akan merasakan nyeri baik dari hisapan bayi pada payudara maupun kontraksi uterus karena pada pemijatan tengkuk danpunggung mampu mengeluarkan endorfin merupakan senyawa yang menenangkan. dalam keadaan tenang seperti inilah ibu nifas yang sedang menyusui mampu mempertahankan produksi asi yang mencukupi bagi bayinya. hal ini seperti teori sloane (2003), peranan hipofisis adalah mengeluarkan endorfin (endegenous opiates) yang berasal dari dalam tubuh dan efeknya menyerupai heroin dan morfin. zat ini berkaitan dengan penghilang nyeri alamiah (analgesik). peranan selanjutnya mengeluarkan prolaktin yang akan memicu dan mempertahankan sekresi air susu dari kelenjar mammae. sedangkan peranan hipotalamus akan mengeluarkan oksitosin yang berguna untuk 123lestari, pijat oksitosin pada ibu postpartum primipara... menstimulus sel-sel otot polos uterus dan menyebabkan keluarnya air susu dari kelenjar mammae pada ibu menyusui dengan menstimulasi sel-sel mioepitel (kontraktil) di sekitar alveoli kelenjar mammae. pengaruh pijat oksitosin kadar hormon oksitosin responden sebelum dan sesudah intervensi dari hasil uji statistik didapatkan bahwa pijat oksitosin dapat meningkatkan kadar hormon oksitosin. jika kadar hormon oksitosin meningkat juga akan mempengaruhi produksi asi. pijat oksitosin ini dilakukan untuk merangsang refleks oksitosin atau refleks let down. pijat oksitosion ini dilakukan dengan cara memijat pada daerah punggung sepanjang kedua sisi tulang belakang sehingga diharapkan dengan dilakukan pemijatan ini, ibu akan merasa rileks dan kelelahan setelah melahirkan akan hilang. jika ibu rileks dan tidak kelelahan setelah melahirkan dapat membantu merangsang pengeluaran hormon oksitosin. (depkes ri, 2007). faktor yang dapat mempengaruhi produksi asi selain khormon oksitosin adalah dari nutrisi, ketenangan jiwa dan pikiran, alat kontrasepsi, pola istirahat, perawatan payudara, anatomis payudara,faktor fisiologis dan faktor isapan bayi atau frekuensi penyusuan (rizki,2013). hormon oksitosin yang dapat merangsang kontraksi sel mioepitel yang mengelilingi mammae, fungsi fisiologik ini meningkatkan gerakan asi kedalam duktus alveolaris dan memungkinkan terjadinya ejeksi asi (bobak, 2005). hormon oksitosin berada di dalam hipotolamus pada otak. hormon tersebut dikeluarkan oleh kelenjar pituitari yang terletak di dasar otak. menurut penelitian morhenn, 2012 hubungan pemijatan otot tulang belakang dengan peningkatan kadar oksitosin dan menurunkan kadar adrenocorticotropin hormon (acth), nitric oxide (no) dan beta-endorphin (be). perbandingan efek pemijatan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol mempunyai perbedaan yang signifikan p < 0,05. peran oksitosin dalam berbagai tingkah laku manusia, seperti orgasme, kedekatan sosial, dan sikap keibuan. untuk alasan ini, hormon oksitosin terkadang dianggap sebagai hormon cinta. pijat oksitosin merupakan suatu tindakan pemijatan tulang belakang mulai sampai costa ke 5–6 sampai scapula akan mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan perintah ke otak bagian belakang sehingga oksitosin keluar. hasil penelitian young, menjelaskan adanya hubungan pemijatan yang dilakukan di daerah vetebralis terhadap sistem saraf otonom sehingga serum kortisol dan tingkat norepinefrin akan diturunkan dan meningkatkan kadar oksitosin. pijat oksitosin yang dilakukan bertujuan untuk merangsang oksitosin. let down refleks yaitu rangsangan isapan bayi melalui serabut saraf, memacu hipofise bagian belakang untuk mensekresi hormon oksitosin ke dalam darah. oksitosin ini menyebabkan sel-sel myopytel yang mengelilingi alveoli dan duktuli berkontraksi, sehingga asi mengalir dari alveoli ke duktuli menuju sinus dan putting sehingga produksi asi dapat meningkat yang diobservasi melalui frekuensi menyusui dan lama menyusui. pijat merupakan salah satu solusi untuk mengatasi produksi asi. pijat adalah pemijatan pada sepanjang tulang belakang (vertebrae) sampai tulang costae kelima-keenam dan merupakan usaha untuk merangsang hormon prolaktin dan oksitosin setelah melahirkan (yohani, roesli,2009). pijatan ini berfungsi untuk meningkatkan hormon oksitosin yang dapat menenangkan ibu, sehingga asi pun otomatis keluar. pijat oksitosin adalah suatu tindakan pemijatan tulang belakang (servikal vetebrae hingga coste 6) yang akan mempercepat kerja saraf parasimpatis untuk menyampaikan perintah ke otak bagian belakang sehingga oksitosin keluar. simpulan dan saran simpulan kesimpulan hasil penelitian ini bahwa ada perbedaan pijat oksitosin terhadap produksi asi dan kadar hormon oksitosin. saran bagi petugas kesehatan, dapat meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan kepada ibu post partum dan dapat mengajarkan kepada ibu post partum dan keluarga teknik pijat oksitosin. bagi ibu post partum dan keluarga dapat mengaplikasikan pijat oksitosin untuk meningkatkan produksi asi. daftar rujukan astutik, r. 2014. payudara dan laktasi. jakarta: salemba medika. ayers, jf. 2000. ‘the use alternative therapies in the support of breastfeeding’, journal human lactation, no. 16, hal 52–56. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. 2013. riset kesehatan dasar (riskesdas). departemen kesehatan republik indonesia 124 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 120–124 biancuzzo, m 2003, breastfeeding the newborn: clinical strategies for nurses , mosby, st.louis. blair, t. 2003. suckling of lactation mother,http:/ /www.ncbi. nlm. nih.gov/ entrez/quory.fcgi? d b = p u b m e d & c d m = s e a r c h & i t o l = pubmedabstract, dibuka tanggal 1 juni 2017. bobak im, lowdermilk dl, jensen md. 1995. buku ajar keperawatan maternitas (maternity nursing) edisi 4, maria a wijayarti dan peter anugerah (penterjemah). 2005. jakarta: egc. cregan, mml, & hartmann, p 2002, ‘milk prolactin feed volume and duration between feeds in women breastfeeding their full-term infant over a 24 hour period’, exp physiol, hal 207–214. cunningham,f.g, mc donald, p.c.grant, n.f. 2006. obstetriwilliams edisi 21 volume 1. jakarta: egc. 163winta, setiyorini, wulandari, hubungan kada gula darah... 163 hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah pada lansia penderita diabetes tipe 2 (the correlation of blood glucose level and blood pressure of elderly with type 2 diabetes) ayla efyu winta, erni setiyorini, ning arti wulandari stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com; ningarti83@gmail.com abstract: type 2 diabetes is a chronic disease caused by a body that is unable to use insulin effectively. the prevalence of type 2 diabetes increases with age and unhealthy lifestyle. uncontrolled blood sugar levels type 2 diabetes can trigger a variety of complicationssuch as macroangiopati the complications of large blood vessels that affect blood pressure changes. the purpose of this study was to determine the correlation of blood sugar levels and blood pressure of elderly with type 2 diabetes. the design of the study was correlation with cross sectional approach. the population was elderly patient with type 2 diabetes which being treated at internal clinic deseases mardi waluyo blitar hospital as much as 300 respondents. the sample was 75 respondents taken by using accidental sampling technique. the statistical test used spearman rank. the results of the study showed that the normal blood sugar levels was 41 respondents (54.7%) and normal blood pressure was 42 respondents (56%). spearman rank test results indicated there was a significant correlation between blood sugar levels and blood pressure in elderly patients with type 2 diabetes ( = 0.017) with a coefficient of correlation value was 0.274. there was a correlation between blood sugar levels and blood pressure. the controlled blood sugar levels can maintain blood pressure in the normal range, thus preventing the occurrence of hypertension. keywords: blood sugar level, blood pressure, elderly, type 2 diabetes abstrak: diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh tubuh yang tidak mampu menggunakan insulin secara efektif. prevalensi diabetes tipe 2 meningkat seiring dengan usia dan pola hidup yang tidak sehat. kadar gula darah diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol dapat memicu berbagai macam komplikasi pada penderita diabetes tipe 2, salah satunya terjadi makroangiopati yaitu komplikasi pada pembuluh darah besar sehingga mempengaruhi perubahan tekanan darah. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar glukosa darah dengan tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2. desain dalam penelitian ini adalah korelasi dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah lansia penderita diabetes tipe 2 yang berobat di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo blitar sebanyak 300 responden, sampel yang didapatkan sebanyak 75 responden dengan menggunakan teknik accidental sampling. uji statistik menggunakan spearman rank. hasil dari penelitian menunjukkan kadar gula darah normal sebanyak 41 responden (54,7%) dan tekanan darah normal sebanyak 42 responden (56%). hasil uji spearman rank menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan antara kadar gula darah dan tekanan darah pada lansia penderita diabetes tipe 2 ( = 0.017) dengan koefisien nilai korelasi adalah 0.274. terdapat hubungan antara kadar gula darah dengan tekanan darah. kadar gula darah yang terkontrol dapat mempertahankan tekanan darah dalam range normal, sehingga mencegah terjadinya hipertensi. kata kunci: kadar gula darah, tekanan darah, lansia, diabetes tipe 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p163–171 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 164 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 163–171 pendahuluan diabetes melitus (dm) merupakan kumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemi akibat kerusakan sekresi insulin, kinerja insulin, atau keduanya. diabetes melitus tipe 2 adalah kondisi saat gula darah dalam tubuh tidak terkontrol akibat gangguan sensitivitas sel  pankreas untuk menghasilkan hormon insulin (lemone, 2015). insulin berfungsi untuk mengatur keseimbangan kadar gula dalam darah, akan tetapi apabila intake glukosa /karbohidrat terlalu banyak, maka insulin tidak mampu menyeimbangkan kadar gula darah dan terjadi hiperglikemi. penderita yang terdiagnosa penyakit dm membutuhkan terapi pengobatan lama untuk menurunkan kejadian komplikasi (ada, 2017). diabetes tipe 2 merupakan diabetes yang muncul pada usia dewasa dan memiliki proporsi 80% pada diabetes melitus secara keseluruhan. prevalensi diabetes tipe 2 semakin meningkat seiring dengan usia dan perubahan pola hidup yang cenderung tidak sehat. indonesia menempati urutan ke-7 dengan penderita dm sebanyak 8,5 juta (idf, 2015). who memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030, sedangkan badan federasi diabetes internasional (idf) pada tahun 2009 memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030 (persi, 2011). berdasarkan data dari badan pusat statistik (bps) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 ada 20,1 juta penderita diabetes dengan tingkat prevalensi 14,7% untuk daerah urban dan 7,2% di daerah rural (persi, 2011). berdasarkan penelitian khairani (2007) prevalensi dm tipe 2 sebesar 15,8% dan semuanya didapatkan pada kelompok umur 60 – 70 tahun dan tidak didapatkan pada lansia diatas usia 70 tahun. jumlah penderita diabetes di jawa timur pada tahun 2013 berjumlah 28.855.895 jiwa (riskesdas, 2013). ber dasarka n studi pendahulua n ya ng dilakukan di poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar penderita diabetes melitus pada tahun 2016 mencapai 2471 jiwa sedangkan pada tahun 2017 mengalami kenaikan menjadi 2741 jiwa, sebagian besar pasien tersebut adalah diabetes tipe 2 yang berada dalam kelompok usia pra lansia dan lansia yang mengalami komplikasi makroangiaopati salah satunya hipertensi. diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh 2 hal yaitu penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin (resistensi insulin) dan penurunan kemampuan sel â prankeas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. sebagian besar kasus diabetes tipe 2 diawali dengan kegemukan sehingga sel  pankreas merespon dengan mensekresi insulin lebih, sehingga terjadi hiperinsulinemia. insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri dengan menurunkan jumlah reseptor. hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, kondisi hiperinsulinemia ini dapat megakibatkan desensitisasi reseptor. pada resistensi insulin terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa sehingga mengakibatkan hiperglikemi (lemone, 2015). menurut tanto dan hustrini (2014) diabetes melitus yang ditandai dengan adanya hiperglikemia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya hipertensi. berdasarkan ada (2017) dua orang dari 3 orang penderita diabetes melitus memiliki tekanan darah tinggi. cheung et al (2012) menyebutkan bahwa hiperglikemia sering disertai dengan timbulnya sindrom metabolik yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas, disfungsi endotel dan faktor protrombotik yang kesemuanya itu akan memicu dan memperberat komplikasi kardiovaskuler. salah satu komplikasi makroangiopati diabetes dapat terjadi karena perubahan kadar gula darah, gula darah yang tinggi akan menempel pada dinding pembuluh darah. setelah itu terjadi proses oksidasi dimana gula darah bereaksi dengan protein dari dinding pembuluh da r a h ya ng menimbulka n ages. advanced glycosylated endproducts (ages) merupakan zat yang dibentuk dari kelebihan gula dan protein yang saling berikatan. keadaan ini merusak dinding bagian dalam dari pembuluh darah, dan menarik lemak yang jenuh atau kolesterol menempel pada dinding pembuluh darah, sehingga reaksi inflamasi terjadi. sel darah putih (lekosit) dan sel pembekuan darah (trombosit) serta bahan-bahan lain ikut menyatu menjadi satu bekuan plak (plaque), yang membuat dinding pembuluh darah menjadi keras, kaku dan akhirnya timbul penyumbatan yang mengakibatkan perubahan tekanan darah yang dinamakan hipertensi (tandra, 2009). mutmainah (2012) dalam penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara kadar gula darah dengan hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2. 165winta, setiyorini, wulandari, hubungan kada gula darah... sedangkan raphaeli (2017) dalam penelitiannya menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar gula darah sewaktu dengan tekanan dareah sistolik dan tekanan darah diastolik. berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah pada penderita diabetes tipe 2 di poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar”. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentidikasi kadar gula darah lansia penderita diabetes tipe 2, mengidentifikasi tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2 dan menganalisis hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2. bahan dan metode metode penelitian ini menggunakan korelasional dengan pendekatan cross sectional. variabel independen dalam penelitian ini adalah kadar gula darah pada lansia penderita diabetes tipe 2 dan variabel dependen: tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita type 2 diabetes yang datang berobat di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo blitar. jumlah ratarata lansia penderita type 2 diabetes per minggu dibulan januari 2018 sebanyak 300 orang. besar sampel penelitian menggunakan perhitungan rumus isaac & michael sebanyak 75 orang. teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling pada kurun waktu penelitian tanggal 15 – 24 maret 2018. instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar observasi, untuk penilaian kadar gula darah menggunakan alat glukotest dengan darah yang diambil dari pembuluh darah kapiler dan untuk pengukuran tekanan darah menggunakan tensi meter air raksa. uji statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2, dengan menggunakan uji statistik spearman rank. hasil penelitian data umum data umum meliputi jenis kelamin, umur responden, tingkat pendidikan, pekerjaan responden, olah raga yang dilakukan penderita diabetes mellitus, kontrol gula darah, lama menderita diabetes mellitus. data umum lansia penderita diabetes tipe 2 yang berobat di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo blitar. no data umum f % 1 jenis kelamin laki-laki 27 36 perempuan 48 64 2 usia usia pertengahan 29 38,6 lanjut usia 38 50,7 lanjut usia tua 8 10,7 3 pendidikan terakhir sd 23 30,7 sltp 19 25,3 slta 17 22,7 perguruan tinggi 16 21,3 4 pekerjaan bekerja 35 46,7 tidak bekerja 40 53,3 5 olahraga rutin 43 57,3 tidak rutin 32 42,7 6 pemantauan kadar gula darah teratur 55 73,3 tidak teratur 20 26,7 7 lama terdiagnosa dm <1 tahun 3 4 1 – 5 tahun 28 37,3 >5 tahun 44 58,7 8 diet ya 46 61,3 tidak 29 38,7 total 100 100 tabel 1 distribusi frekuensi data umum lansia penderita diabetes tipe 2 yang berobat di poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar ber dasarkan ta bel diatas sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 48 orang (64%), berusia lanjut usia 38 orang (50,7), pendidikan sd 23 orang (30,7%), tidak bekerja 40 orang (53,3%), berolah raga secara rutin 55 responden (73,3%), melakukan pemantauan kadar gula darah secara teratur, 44 orang (58,7%) responden menderita diabetes mellitus >5 tahun, dan 46 orang (61,3%) responden melakukan diet. 166 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 163–171 data khusus kadar gula darah lansia penderita diabetes tipe 2. no kadar gula darah f % 1 hiperglikemi 32 42,6 2 normal 41 54,7 3 hipoglikemi 2 2,7 total 75 100 tabel 2 distribusi frekuensi kadar gula darah lansia penderita diabetes tipe 2 berdasarkan tabel 2 diatas menunjukan 41 orang (54,7%) responden memiliki kadar gula darah yang normal. tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2 tabel 3 distribusi frekuensi tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2 no tekanan darah f % 1 hipertensi 31 41,3 2 normal 42 56 3 hipotensi 2 2,7 total 75 100 berdasarkan tabel 3 diatas menunjukan 42 orang (56%) responden memiliki tekanan darah yang normal. f % f % f % f % hiperglikemia 17 22,6 15 20 0 0 32 42,6 normal 14 18,7 27 36 0 0 41 54,7 hipoglikemia 0 0 0 0 2 2,7 2 2,7 jumlah 31 42,6 42 54,7 2 2,7 75 100 uji korelasi spearman rank  = 0.017, (rs) = 0.274 tabel 4 hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2 kadar gula darah tekanan darah total hipertensi normal hipotensi berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa hasil tertinggi menunjukkan kadar gula normal dengan tekanan darah normal sebanyak 27 orang (36%) dan hasil terendah menunjukkan kadar gula hipoglikemia dengan tekanan darah hipotensi sebanyak 2 orang (2,7%). hasil uji spearmanrank menunjukkan nilai  =0.017, maka nilai = 0.017< 0.05, jadi antar variabel terdapat korelasi yang signifikan antara kadar gula darah dengan tekanan darah pada pasien type 2 diabetes. dari hasil diatas dapat dilihat bahwa koefisien nilai korelasi adalah 0.274, maka nilai ini menandakan hubungan cukup kuat antara kadar gula darah dengan tekanan darah pada pasien diabetes tipe 2. pembahasan kadar gula darah lansia penderita diabetes tipe 2 hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah lansia penderita diabetes tipe 2 berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 41orang (54,7%) responden yang mempunyai kadar gula darah yang normal. responden yang memiliki kadar gula darah yang normal sebanyak 25 orang (33,3%) melakukan diet. perubahan pola makan dan pengaturan makan memegang peranan penting dalam upaya pengendalian kadar gula darah pada pasien diabetes melitus. pada penelitian ini didapatkan prosentase kadar gula darah yang normal lebih banyak, yang mengindikasikan bahwa responden mampu melakukan upaya yang tepat dalam mengendalikan kadar gula darahnya. faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian kadar gula darah yaitu diit, aktifitas fisik, kepatuhan minum obat dan pengetahuan. penderita diabetes melitus dalam menjalankan pengendalian kadar gula darah dengan baik adalah mengatur diit setiap penderita sesuai dengan prinsip 3j yaitu jumlah 167winta, setiyorini, wulandari, hubungan kada gula darah... makanan, jenis dan jadwal makan. salah satu manfaat yang diperoleh penderita dm dalam pengaturan makan adalah dapat meningkatkan sensitifitas reseptor insulin sehingga akhirnya dapat menurunkan kadar glukosa darah (dewi, 2014). responden sebanyak 46 orang (61,3%) yang melakukan diet, 20 orang (26,7%) mengalami hiperglikemi. salah satu merupakan faktor yang berpengaruh penting bagi penyandang diabetes tipe 2 adalah peningkatan hormon stress diproduksi dapat menyebabkan kadar gula darah menjadi meningkat. stress dan diabetes tipe 2 memiliki hubungan yang sangat erat terutama pada penduduk perkotaan, tekanan kehidupan dan ga ya hidup tidak seha t sanga t ber penga ruh, ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan berbagai penyakit yang sedang diderita menyebabkan penurunan kondisi seseorang hingga memicu terjadinya stress (derek dkk, 2017). berdasarkan tabulasi silang data antara kadar gula darah dengan data umum, sebagian besar mengalami hiperglikemi dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 24 orang dan hipoglikemi 1 orang. hasil penelitian jelantik dan haryati (2014) jumlah terbanyak penderita diabetes tipe 2 adalah perempuan. hal ini secara teoritis disebabkan karena kadar lemak pada laki-laki dewasa rata-rata 15-20 % dari berat badan total, sedangkan pada perempuan sekitar 20-25 %. peningkatan kadar lipid darah pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki, sehingga faktor risiko terjadinya diabetes mellitus pada perempuan 3-7 kali lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki yaitu 2-3 kali (haryati dan geria, 2014 dalam aghniya, 2017). tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh rudi dan kwureh (2017) menyebutkan ada hubungan jenis kelamin dengan kadar gula darah puasa, akan tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki dengan kadar gula darah puasa lebih banyak dari perempuan yang mengalami kadar gula darah tidak normal. hasil penelitian menunjukkan sebanyak 41 orang (54,7%) yang mempunyai kadar gula darah yang normal, sebanyak 27 orang (36%) responden yang melakukan kegiatan olah raga secara rutin. aktivitas fisik/olahraga bagi pasien diabetes melitus bertujuan untuk mengendalikan kadar gula darah, karena latihan jasmani yang teratur menyebabkan kontraksi otot meningkat dan resistensi insulin berkurang. aktivitas fisik yang dilakukan merupakan kegiatan olahraga yang disesuaikan dengan usia pasien misalnya jalan kaki dan jogging. dari jumlah 43 orang (57,3%) responden yang melakukan olah raga secara rutin didapatkan 15 (20%) responden memiliki kadar gula darah yang tinggi. aktivitas fisik/ olahraga pada penderita diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif, sehingga secara langsung olahraga dapat menyebabkan penurunan glukosa darah (hariyanto, 2013). tidak semua individu akan melakukan intensitas latihan fisik yang sama, sehingga latihan fisik pun dibagi sesuai intensitasnya. intensitas dalam melakukan aktivitas fisik berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. intensitas ringan pada penderita dm dapat menurunkan glukosa darah, namun tidak signifikan. sementara untuk intensitas sedang secara signifikan dapat menurunkan glukosa darah. namun lain halnya dengan intensitas berat, yang menurut (hariyanto, 2013) bahwa intensitas berat lebih sedikit menurunkan glukosa darah daripada intensitas sedang, hal ini disebabkan peningkatan jumlah hormon katekolamin dan growth hormone yang lebih besar pada intensitas berat, dapat meningkatkan gula darah. sejalan dengan penelitian paramitha (2014) yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktifitas fisik dengan kadar gula darah pada pasien dengan diabetes tipe 2, nilai korelasi sedang berpola negatif, semakin berat aktifitas yang dilakukan, maka semakin rendah kadar gula darah puasanya. ilyas (2011) menyatakan bahwa aktifitas fisik dapat menurunkan resistensi insulin dan akan menurunkan kadar gula darah. pada diabetes tipe 2, masalah terjadi akibat retensi insulin yang berdampak glukosa tidak dapat dimanfaatkan oleh sel. terjadi perbedaan penyerapan glukosa pada jaringan tubuh pada saat instirahat dan pada saat seseorang beraktifitas fisik. pada saat beraktifitas fisik, terjadi peningkatan sensitifitas respon insulin pada otot yang aktif, kontraksi otot akan mempermudah glukosa masuk ke dalam sel. plotnikoff (2006) menyatakan bahwa aktifitas fisik merupakan kunci utama pengendalian kadar gula darah dan menurunkan faktor resiko gangguan kardiovaskuler seperti hiperinsulinemia, peningkatan sensitifitas insulin, menurunkan lemak tubuh dan menurunkan tekanan darah. hasil penelitian menunjukkan sebanyak 41 orang (54,7%) yang mempunyai kadar gula darah yang normal. dari jumlah yang memiliki kadar gula darah yang normal tersebut didapatkan sebanyak 23 orang (30,7%) menderita diabetes mellitus >5 tahun. waktu lamanya seseorang menderita penyakit dapat memberikan gambaran mengenai tingkat 168 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 163–171 patofisiologi penyakit tersebut. dari jumlah sebanyak 44 (58,7%) responden yang >5 tahun menderita diabetes mellitus didapatkan 20 (26,7%) responden memiliki kadar gula darah tinggi (hiperglikemi). komplikasi diabetes melitus dengan penyakit lain terkait dengan lamanya seseorang menderita diabetes mellitus, semakin lama seseorang menderita diabetes mellitus maka komplikasi penyakit diabetes melitus juga akan lebih mudah terjadi (qorratuaeni, 2009). hasil penelitian sejalan dengan dengan penelitian setiyorini dan wulandari (2017) yang menunjukkan 59% lansia penderita diabetes tipe 2 memiliki durasi waktu terdiagnosa dm >5 tahun, akan tetapi 83% lansia tidak mengalami komplikasi. hal ini didukung data sebanyak 32 orang (42,7%) melakukan pemantauan kadar gula darah secara teratur. sebanyak 55 orang (73,3%) yang melakukan pemantauan kadar gula darah secara teratur didapatkan sebanyak 21 (28%) responden memiliki kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemi). terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kadar gula darah, salah satunya adalah stress. tekanan darah lansia penderita type 2 diabet e s hasil penelitian tekanan darah pada lansia penderita diabetes tipe 2 di poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki tekanan darah normal sebanyak 42 orang (56%). kadar gula darah dalam tubuh yang tidak terkontrol dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam komplikasi pada penderita diabetes tipe 2, salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah makroangiopati yaitu komplikasi pada pembuluh darah besar sehingga mempengaruhi perubahan tekanan darah. tekanan darah merujuk kepada tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri darah ketika darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. tekanan sistole adalah nomor atas (120) menunjukkan tekanan ke atas pembuluh arteri akibat denyutan jantung dan tekanan diastole adalah nomor bawah (80) menunjukkan tekanan saat jantung beristirahat di antara pemompaan (townsend, 2010). tekanan darah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, faktor keturunan, faktor demografi. berdasarkan hasil penelitian ini menujukan sebanyak 42 (56%) responden memiliki tekanan darah yang normal. hal ini sejalan dengan penelitian fitrah (2017) yang menunjukkan bahwa prosentase penderita diabetes tipe 2 yang mempunyai normotensi lebih besar dari pada hipertensi. lansia dengan normotensi sebanyak 24 orang (32%) berjenis kelamin perempuan. per beda an gender menentukan perbedaan struktur organ dan hormon yang. pada jenis kelamin perempuan terdapat hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar high density lipoprotein (hdl), seiring dengan pertambahan usia produksi estrogen menurun, oleh karena itu perempuan lebih rentan mengalami hipertensi setelah berusia diatas 45 tahun dan setelah mengalami menopause (sofyan, dkk, 2012). dari jumlah 48 (64%) responden yang berjenis kelamin perempuan didapatkan sebanyak 23 orang (30,7%) dengan hipertensi. perry & potter (2009) menyatakan ba hwa perempua n da pat mengalami tekanan darah tinggi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu pola hidup yang tidak sehat. berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan sebanyak 42 (56%) responden memiliki tekanan darah yang normal dan hasil dari jumlah yang memiliki tekanan darah yang normal tersebut didapatkan sebanyak 22 (29,3%) responden berusia  60 tahun. kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. individu yang berumur diatas 60 tahun, 50 – 60% mempunyai tekanan darah 140/90 mmhg. hal itu merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya. peningkatan usia akan menyebabkan penurunan fungsi organorgan tubuh sehingga jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah agar bisa menggerakkan beban tubuh (zakiyah, 2012). hal ini disebabkan karena tekanan arterial meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, terjadinya regurtasi aorta, serta adanya generatif yang lebih sering pada usia tua. hasil penelitian menunjukkan sebanyak 42 (56%) responden memiliki tekanan darah yang normal dan hasil dari jumlah yang memiliki tekanan darah yang normal didapatkan sebanyak 21 (28%) responden tidak bekerja. stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatetik. adapun stress ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik personal. stres merupakan respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. jika tekanan stres terlampau besar sehingga melampaui daya tahan individu, akan menim 169winta, setiyorini, wulandari, hubungan kada gula darah... bulkan sakit kepala, suka marah, tidak bisa tidur, ataupun timbul hipertensi (zakiyah, 2012). lansia dalam hal ini sudah tidak memiliki pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga mereka tidak memiliki stress dan akhirnya tekanan darah mereka menjadi normal. penderita diabetes mellitus ini sebagian besar telah dicukupi kebutuhannya oleh keluarga dan anak mereka. hasil penelitian menunjukkan sebanyak 42 (56%) responden memiliki tekanan darah yang normal dan hasil dari jumlah yang memiliki tekanan darah yang normal didapatkan sebanyak 22 orang (29,3%) melakukan kegiatan olah raga secara rutin. aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah karena dapat menenangkan sistem saraf simpatik sehingga melambatkan denyut jantung. aktivitas fisik atau olahraga banyak dihubungkan dengan hipertensi, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu (subekti, 2014). dari jumlah 43 (57,3%) responden yang melakukan olah raga secara rutin didapatkan sebanyak 20 (26,7%) responden memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi). hipertensi merupakan faktor risiko vaskuler yang utama pada diabetes usia lanjut (blickle, 2005). tidak hanya dengan olah raga fisik yang dapat mempengaruhi perubahan darah seseorang. ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan darah, yaitu faktor usia, berat badan dan stress (perry & potter, 2009). hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah lansia penderita type 2 diabetes berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hasil tertinggi menunjukkan kadar gula normal dengan tekanan darah normal sebanyak 27 orang (36%) dan hasil dari 42 orang (56%) yang memiliki kadar gula darah dan tekanan darah yang normal, sedangkan nilai terendah menunjukkan kadar gula darah hipoglikemia dengan tekanan darah hipotensi sebanyak 2 orang (2,7%). terdapat 14 responden (18,7%) dengan kadar gula darah normal, akan tetapi mengalami hipertensi. hasil uji spearman rank menunjukkan nilai  = 0.017, maka terdapat korelasi yang signifikan antara kadar gula darah dengan tekanan darah pada pasien diabetes tipe 2. dari hasil diatas dapat dilihat bahwa koefisien nilai korelasi adalah 0.274, maka hubungan cukup kuat antara kadar gula darah dengan tekanan darah pada pasien diabetes tipe 2. hal ini mengindikasikan bahwa kadar gula darah pasien diabetes tipe 2 dapat menyebabkan gejolak tekanan darah. penelitian ini sejalan dengan penelitian mutmainah (2013) yang menunjukkan hubungan antara kadar gula darah dengan hipertensi pada penderita diabetes tipe 2. adanya hubungan tekanan darah dengan kadar gula darah menjadikan pasien harus memperhatikan tekanan dan kadar gula darah dengan cara mengendalikannya pada ambang normal. manfaat dari mengontrol tekanan darah pada pasien-pasien hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes tipe 2. dalam sebuah studi kohort, ditemukan bahwa penurunan tekanan darah sekitar 5-10 mmhg dapat mengurangi risiko kematian terkait diabetes tipe 2 hingga tiga kali lipat, mengurangi risiko terjadinya komplikasi berupa insidens stroke hingga 50% dan mengurangi risiko terjadinya gagal jantung hingga tiga kali dibanding pasien yang tekanan darahnya tidak terkendali (ichsantiarini, 2013). manfaat mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi dengan penyakit penyerta diabetes tipe 2 juga didapatkan lebih signifikan untuk mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular dibandingkan dengan kendali kadar gula darah. manfaat lain yang dapat diperoleh ialah meningkatkan kualitas hidup maupun efektivitas penggunaaan biaya kesehatan. keterkaitan kadar gula darah dengan tekanan darah akibat adanya kesamaan karakteristik faktor resiko penyakit. resistensi insulin dan hiperinsulinemia pada penderita dm diyakini dapat meningkatkan resistensi vaskular perifer dan kontraktilitas otot polos vaskular melalui respons berlebihan terhadap norepinefrin dan angiotensin ii. kondisi tersebut menyebabkan peningkatan tekanan darah melalui mekanisme umpan balik fisiologis maupun sistem reninangiotensin-aldosteron. kondisi hiperglikemia pada penderita dm juga menginduksi over ekspresi fibronektin dan kolagen iv yang memicu disfungsi endotel serta penebalan membran basal glomerulus yang berdampak pada penyakit ginjal (ichsantiarini, 2013). pengendalian kadar gula darah tentunya akan mengendalikan juga tekanan darah pasien. keberadaan penyakit penyerta diabetes tipe 2 sebagai penyakit penyerta merupakan faktor risiko terhadap terjadinya hipertensi tidak terkendali. penelitian ini tidak sejalan dengan raphaeli (2017) yang menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara kadar gula darah sewaktu dengan tekanan darah sistolik dan diastolik. almekinder 170 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 163–171 (2017) menyatakan secara teoritis terjadinya peningkatan tekanan darah akibat perubahan fungsional endotel pada pasien diabetes tipe 2 memerlukan kurun waktu sekitar 0 – 10 tahun. pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar kadar gula darah pada range normal sedangkan pada penelitian tersebut rata-rata hiperglikemia. kadar gula darah yang normal mengindikasikan bahwa pasien memiliki manajemen dm yang baik. simpulan dan saran simpulan kadar gula darah pada penderita diabetes tipe 2 di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo blitar sebanyak 75 responden, memiliki kadar gula darah yang normal sebanyak 41 responden (54,7%). tekanan darah pada penderita diabetes tipe 2 di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo blitar memiliki tekanan darah yang normal sebanyak 42 responden (56%). ada hubungan antara kadar gula darah dengan tekanan darah pada penderita diabetes tipe 2 di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo blitar dengan nilai  = 0.017. saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan, peneliti ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut: untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk melakukan pendidikan kesehatan tentang apa saja yang mempengaruhi kadar gula dan tekanan darah pada penderita diabetes tipe 2, sehingga bisa mengetahui sejak dini hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah untuk melakukan pengontrolan secara rutin. bagi pratek keperawatan, perawat diharapkan memberikan pendidikan kesehatan, kepada pasien dan keluarga penderita dalam usaha pengendalaian diabetes tipe 2 melalui kontrol kadar gula darah dan tekanan darah secara rutin. bagi pasien dan keluarga, diharapkan kepada pasien untuk rutin melakukan pengendalian kadar gula darah secara rutin. sehingga tidak menimbulkan komplikasi pada penderita diabetes tipe 2. daftar rujukan american diabetes association. 2017. high blood pressure. http://www.diabetes.org/are-you-at-risk/ lower-your-risk/bloodpressure.html?referrer=https: //www.google.co.id/ dibuka 6 april 2018. aghniya, r. 2017. hubungan lamanya menderita diabetes melitus dengan terjadinya diabetic peripheral neuropathy (dpn) pada pasien diabetes melitus tipe 2 di grha diabetika surakarta. program studi s1 fisioterapi fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah surakarta.skripsi. cheung, b.m.c & li, c.2012. diabetes and hypertension: is there a common metabolic pathway. pmc. 2012 apr; 14(2): 160–166. published online 2012 jan 27. ht tps: // www.n cbi.n lm .n ih .gov/ pm c/a rt icles/ pmc3314178/ derek, m.i., rottie, j., kallo,v. 2017. hubungan tingkat stres dengan kadar gua darah pada pasien diabetes melitus tipe ii di rumah sakit pancaran kasih gmim manado. jurnal keperawatan, vol 5, no 1. dewi, e. 2014. ‘gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi terkendalinya kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus di puskesmas pakis surabaya’. akper surabaya fitrah, a.2017. ‘hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit umum pusat haji adam malik tahun 2016’. program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran, universitas sumatera utara. skripsi. hariyanto, f. 2013. ‘hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula darah puasa pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di rsd kota cilegon’. fk. jakarta idf, 2009. diabetes atlas fourth edition. international diabetes federation. brussels ichsantiarini, a.p. 2013, ‘hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan kendali tekanan darah pada pasien hipertensi rumah sakit dr. cipto mangunkusumo, universitas indonesia. ilyas, e. i., 2011. olahraga bagi diabetesi dalam: soegondo, s., soewondo, p.,subekti, i., editor. penatalaksanaan diabetes melitus terpadu bagi dok ter maupun edukator di abete s. ja kart a: fakultas kedokteran universitas indonesia jelantik i.m.g., haryati e., 2014. hubungan faktor risiko umur, jenis kelamin, kegemukan dan hipertensi dengan kejadian diabetes mellitus tipe ii di wilayah kerja puskesmas mataram. media bina ilmiah. 8(1):39-44 khairani, r. 2007. prevelensi diabetes mellitus dan hubungannya dengan kualitas hidup lanjut usia di masyarakat. universa medicina. vol 26 no. 1 : 18-26 kozier. erb, berman. snyder. 2010. buku ajar fondamental keperawatan: konsep, proses & pratik volume: 1, edisi: 7, egc: jakarta lemone, priscilla., karen m. burke, gerene bauldoff. 2015. buku ajar keperawatan medikal bedah. jakarta. egc. mutmainah, i. 2013. hubungan kadar gula darah 171winta, setiyorini, wulandari, hubungan kada gula darah... dengan hipertensi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dirumah sakit umum p.i derek karanganyar, fakultas kedokteran unirvesitas muhamadiyah. surakarta. skripsi. paramitha, g.m. 2014. hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 di r umah sak i t umum daerah karanganayar. fakultas kedokteran universitas muhammadiyah surakarta.skripsi. perkeni 2015. konsensus pengelolaan dan penegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. perkeni perry & potter. (2009).dasar dasar ilmiah dalam pratik keperawatan. jakart: egc persi. 2011. ri ranking keempat jumlah penderita diabetes terbanyak dunia www.pdpersi.co.id,17 april 2012. plotnikoff, r. c., 2006. physical activity in the management of diabetes:population-based perspectives and strategies. canadian journal of diabetes.30: 52-62. riset kesehatan dasar (riskesdas). 2013. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri tahun 2013. jakarta. rudi, a dan kwureh, h.n. 2017.faktor risiko yang mempengaruhi kadar gula darah puasa pada pen ggun a la ya na n la bora t ori um .wa wasa n kesehatan, volume 3 nomor 2 januari tahun 2017.pp 33-39. smeltzer, s.c & bare, b.g.2008. buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. alih bahasa agung wluyo. edisi 8. vo 2 jakarta: egc. sofyan, dkk. 2012. hubungan umur, jenis kelamin, dan hipertensi dengan kejadian stroke. fk uho tandra,.h.2009. kiss diabetes goodbye. surabaya: jaring pena. tanto, c & hustrini, n.m. 2014. hipertensi. kapita selekta kedokteran. essentials of medicine. edisi iv. ii. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. townsend, r raymond. 2010. 100 tanya-jawab mengenai tekanan darah tinggi (hipertensi). jakarta: indeks qurratueni, 2009. faktor-faktor yang berhubungan dengan terkendalinya kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus di rumah sakit umum pusat (rsup) fatmawati. jakarta. raphaeli, h.k. 2017. hubungan kadar gula darah sewaktu dengan tekanan darah pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang baru didiagnosis di poliklinik penyakit dalam rsu siti hajar medan tahun 2015-2017. program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas sumatera utara medan. skripsi. setiyorini, e & wulandari,a.n. 2017. hubungan lama menderita dan kejadian komplikasi dengan kualitas hidup lansia penderita diabetes melitus tipe 2. http://research-report.umm.ac.id/index.php/r esearch-report/article/view/1194/1413. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 95erawati, fuadah dan sunaringtyas, pengaruh pendidikan kesehatan ... 95 pengaruh pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan di bpm ny. fy ds. penataran nglegok-blitar (the effect of health education danger signs of pregnancy attitudes of pregnant women danger signs in pregnancy bpm ny. fy penataran village nglegok-blitar) lusi erawati, dina zakiyyatul fuadah, widyasih sunaringtyas s1 keperawatan, stikes karya husada kediri email: dinazakiyya_ichsan@yahoo.co.id abstract: the dangerous signs of pregnancy is a sign that indicates a hazard that occurs during pregnancy or antenatal period which can cause maternal mortality if ureported or undetected. in order to decrease both mother and fetus mortality can be done by increasing knowledge of mother or family by providing health education. objective: the research was to determine the effectiveness of health education about the dangerous sign of pregnancy toward pregnant woman’s attitudes on the dangerous sign of pregnancy. methods: the research design was pre experimental using one-group pre-post test design. the health education was done by using leaflets and powerpoint. the population was 90 pregnant women in bpm of ny. fy in penataran, nglegok, blitar and the sample was 30 respondents by purposive sampling technique. result: wilcoxon test results obtained ñ value = (0.0001) <á=0.05, which means h1 was accepted, so that there was an effect of the dangerous sign of pregnancy toward pregnant woman’s attitudes on the dangerous sign of pregnancy in bpm of ny. fy in penataran, nglegok, blitar. discussion: the successful of health education was determined by age and educational background. age are in line with the responsibility for good attitude, the more age the more responsibility. the higher educational background, the more good response for stimulus from outside. keywords: health education, attitude, pregnant mother, danger sign pregnancy abstrak: tanda bahaya kehamilan adalah tanda yang mengindikasikan adanya bahaya yang terjadi selama kehamilan atau periode antenatal, yang apabila tidak terdeteksi bisa menyebabkan kematian ibu. dalam upaya menurunkan angka kematian ibu maupun janin dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dengan memberikan pendidikan kesehatan. tujuan penelitian: mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan. metode: desain penelitian pre eksperimen menggunakan one group pre-post test design. pendidikan kesehatan dilakukan dengan media leaflet dan powerpoint. populasi yang digunakan sebanyak 90 responden dan sampel 30 responden dengan teknik purposive sampling. hasil: uji wilcoxon didapatkan  value=(0,0001) <=0,05, bahwa h1 diterima, artinya terdapat pengaruh pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan di bpm ny. fy desa penataran, nglegok, blitar. diskusi: keberhasilan pendidikan kesehatan dari faktor usia, tingkat pendidikan. semakin bertambah usia seseorang semakin mengarahkan pada perwujudan sikap yang baik dan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka didapatkan respon yang baik terhadap stimulus dari luar. kesimpulan: pendidikan kesehatan efektif dalam meningkatkan sikap ibu hamil. kata kunci: pendidikan kesehatan, sikap, ibu hamil, tanda bahaya kehamilan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p095-100 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 96 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 95–100 kehamilan merupakan proses alamiah yang akan dialami oleh setiap wanita. lama kehamilan sampai aterm adalah 280 sampai 300 hari atau 39–40 minggu, sehingga selama masa tersebut ibu hamil memerlukan pengawasan yang tepat (manuaba, 2006). pada awalnya kehamilan yang diperkirakan normal dapat berkembang menjadi kehamilan yang pathologi sehingga meningkatkan angka kematian pada ibu hamil. world health organization (who) tahun 2014 mendefinisikan kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil, bersalin atau 42 hari setelah persalinan dengan penyebab yang berhubungan langsung atau tidak langsung terhadap persalinan. angka kematian ibu masih merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, diperkirakan 800 perempuan meninggal setiap harinya akibat komplikasi kehamilan dan proses kelahiran. angka kematian ibu (aki) di indonesia masih cukup tinggi, pada tahun 2012 mencapai 228 kasus per 100.000 kelahiran hidup, yang mana masih dibawah pencapaian target tahun 2014 yaitu 118 kasus per 100.000 kelahiran hidup (dinkes, 2013). kematian ibu terjadi pada perempuan yang terlalu muda dan terlalu tua untuk hamil, jarak kehamilan yang terlalu berdekatan, serta kehamilan yang terlalu sering. selain itu terdapat beberapa kondisi lain seperti anemia usia 15 sampai 24 tahun masih tinggi yaitu sebesar 18,4% (riskesdas, 2013). di jawa timur terjadi 500 kematian atau 90 per 100.000 kelahiran hidup (dinkes jatim, 2010). sedangkan di kabupaten blitar tahun 2006 ada 10 kematian atau 57,7 per 100.000 kelahiran hidup cenderung meningkat bahkan tahun 2008 mencapai 17 kematian atau 99,67 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2011 sampai bulan november sudah 16 kematian. hal ini jauh dari target kabupaten yaitu 10 kematian atau 58/100.000 kelahiran hidup. berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 10 oktober 2015 di desa tumpang, kecamatan talun, kabupaten blitar pada 10 ibu hamil yang sudah dilakukan wawancara, didapatkan ada 3 ibu hamil yang mengetahui tanda bahaya kehamilan dan bersikap positif dalam menghadapi tanda bahaya kehamilan ditunjukkan dengan kesiapan dirinya ketika mengalami salah satu tanda bahaya kehamilan dengan periksa ke bidan yang ada di desanya, dan 7 ibu hamil tidak mengetahui tanda bahaya kehamilan dan bersikap negatif dalam menghadapi tanda bahaya kehamilan tersebut seperti cemas dan tidak tau apa yang seharusnya dilakukan (erawati, 2015). angka kematian yang tinggi pada umumnya mempunyai tiga sebab pokok, yaitu masih kurangnya pengetahuan mengenai sebab pokok yaitu masih kur angnya pengetahua n mengenai sebab dan penanggulangan komplikasi-komplikasi penting dalam kehamilan, persalinan, serta nifas, kurangnya pengertian dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi serta kurang meratanya pelayanan kebidanan yang baik bagi semua ibu hamil (wiknjosastro, 2010). menurut varney (2007) di negara-negara berkembang ada lima penyebab utama kematian ibu, diantaranya adalah perdarahan, sepsis, hipertensi akibat kehamilan, aborsi yang tidak aman dan persalinan macet. penyebab tidak langsung kematian ibu antara lain kurang energy kronik/kek pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%). pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan merupakan hak yang penting untuk diketahui oleh masayarakat, khususnya bagi ibu hamil. hal ini penting karena apabila seorang ibu hamil memiliki pengetahuan yang lebih tentang bahaya kehamilan maka kemungkinan besar ibu akan berpikir untuk menentukan sikap dan perilaku untuk mencegah, menghindari atau mengatasi bahaya kehamilan tersebut. berkaitan dengan hal itu untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil mengenai tanda bahaya kehamilan diperlukan adanya pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan serta meningkatkan mutu dan terjangkaunya pelayanan kesehatan yang semakin merata salah satunya pemeriksaan antenatal (hasugian, 2012). hal ini juga didukung oleh progam pemerintah melalui komitmen bersama tentang tujuan pembanguan milenium development goals (mdgs) pada tahun 2015, mengenai dua sasaran dan indikator yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak yaitu mengurangi angka kematian ibu (aki) dan bayi. target mdgs pada tahun 2015 yaitu menurunkan angka kematian ibu (aki) sampai 124 per 100.000 kelahiran hidup (yohanasari, 2011). memperhatikan kenyataan diatas, dalam rangka menurunkan angka kematian ibu sesuai target mdgs, maka perlu dilakukan pendidikan kesehatan mengenai tanda bahaya kehamilan guna meningkatkan pengetahuan ibu hamil serta sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan. pendidikan kesehatan ini sangat penting karena masih ada ibu hamil yang belum mengetahui tanda bahaya kehamilan. tujuan umum penelitian adalah mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tanda bahaya 97erawati, fuadah dan sunaringtyas, pengaruh pendidikan kesehatan ... kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentandtanda bahaya kehamilandi bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar. tujuan khusus (1) mengidentifikasi sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan sebelum diberikan pendidikan kesehatan (2) mengidentifikasi sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan setelah diberikan pendidikan kesehatan (3) menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan di bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar. manfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan yaitu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan mutu pelayanan keperawatan, khususnya keperawatan maternitas. bahan dan metode dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain “pre-experimental”. penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan di bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar. jenis pre-experimental yang digunakan “one group pra-post test design” dengan cara penelitian yang dilakukan dengan memberikan pretest terlebih dahulu sebelum diberikan pendidikan kesehatan, setelah itu diberikan pendidikan kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan, kemudian setelah dua minggu diberikan posttest. sampel penelitian ini adalah 30 ibu hamil di bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar sebanyak 30 responden, dengan kriteria inklusi yaitu ibu hamil yang kooperatif serta dapat membaca dan menulis, ibu hamil yang berada di wilayah kerja bpm desa penataran kecamatan nglegok. sedangkan kriteria eksklusinya yaitu ibu hamil yang tidak kooperatif dan ibu hamil yang bekerja sebagai tenaga kesehatan. variabel independen penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan dan variabel dependen penelitian ini adalah sikap tentang bahaya kehamilan. analisis menggunakan uji statistic wilcoxon. hasil penelitian karakteristik ibu hamil di bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar tertera pada tabel 1. pembahasan sikap ibu hamil sebelum diberikan pendidikan kesehatan (pre test) berdasarkan fakta hasil penelitian sebelum diberikan pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan dengan menggunakan analisis uji wilcoxon menunjukkan bahwa setengah responden (50%) yaitu 15 orang bersikap unfavourable (negatif). hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh okki (2013) bahwa sebelum diberikan pendidikan kesehatan diketahui terdapat sebagian kecil responden bersikap kurang mendukung. sesuai dengan teori widyatun,t.r, (2009) sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang tabel 1. karakteristik responden n o karakteristik f % 1. umur = 20 tahun 9 30,0 21-35 tahun 21 70,0 = 36 tahun 2. pekerjaan pegawai negeri sip il swasta/wiraswasta 3 10,0 petani 2 6,7 ib u rumah t angga 25 83,3 3. pendidikan dasar (sd/mi) 2 6,7 menengah (smp) 14 46,7 atas (sma/smk/ma) 14 46,7 tinggi (d3, s1, d st) 4. jumlah p aritas 1 18 60,0 2 10 33,3 >2 2 6,7 5 pernah dapat informasi ya 14 46,7 tidak 16 53,3 6. sumber informasi teman televisi 4 13,3 radio kor an petugas kesehatan 8 26,7 internet 2 6,7 tabel 2. sikap responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan no kategori sikap sikap pretest sikap po sttest f % f % 1. positif 1 5 50 30 100 2. negatif 1 5 50 98 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 95–100 diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya. menurut hari purwanto (1998) dalam wawan dan dewi (2010) sifat sikap terbagi atas sikap positif maupun sikap negatif. sikap negatif ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi. diantaranya adalah faktor usia yaitu sebagian besar responden (70%) berusia 21-35 tahun. sependapat dengan teori notoadmojo (2003) usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. semakin bertambah usia seseorang maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. penelitian ini sebenarnya usia ibu hamil sebagian besar sudah tergolong pada rentang usia cukup atau baik dalam kesiapan ibu dalam proses kehamilan maupun persalinan namun dalam usia ini sebagian ibu hamil masih bersikap negatif, mungkin hal ini dikarenakan fator-faktor yang kurang mendukung terjadinya sikap yang positif pada ibu saat proses kehamilan berlangsung. berdasarkan penelitian didapatkan bahwa sebagian besar (60%) jumlah paritas dari ibu hamil adalah 1 anak. paritas menunjukkan pengalaman dalam kehamilan dan persalinan. orang yang pernah hamil akan mempunyai pengetahuan tentang kehamilan yang baik dibandingkan yang belum pernah mengalami kehamilan. pengertian ini diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan. pengalaman pribadi juga dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, dan bisa menjadi dasar pembentukan sikap, dimana pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat, karena sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut dapat terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional (azwar, 2009). sebagian besar ibu hamil memiliki jumlah paritas yaitu 1 anak. disimpulkan bahwa responden dalam penelitian ini tingkat pengalamannya masih rendah. rendahnya pengalaman ibu menimbulkan minat untuk mencari tahu tentang tanda bahaya kehamilan juga rendah. berdasarkan penelitian didapatkan pula bahwa sebagian besar ibu hamil (53,3%) yaitu 16 orang belum mendapatkan informasi. dengan gambaran tersebut, maka mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki ibu hamil kurang. yang mana menurut notoatmodjo (2007), yaitu. dengan mendapat informasi dapat menambah wawasan seseorang, namun dalam penelitian ini responden sebagian besar tidak pernah mendapatkan informasi sehingga sebagian ibu hamil pengetahuan terhadap tanda bahaya kehamilan masih kurang dan dengan pengetahuan yang masih kurang ini sikap dari ibu hamil akan tanda bahaya kehamilan termasuk dalam kategori sikap unfavourable (negatif). sikap ibu hamil sebelum diberikan pendidikan kesehatan (pre test) berdasarkan fakta hasil penelitian setelah diberikan pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan dengan menggunakan analisis uji wilcoxon menunjukkan bahwa seluruh responden (100%) yaitu 30 orang bersikap favourable (positif). sependapat dengan teori notoatmodjo (2003) terhadap tujuan dari pendidikan kesehatan itu sendiri. tujuan pendidikan kesehatan adalah terjadinya perubahan dalam membina individu, keluarga atau masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku dan lingkungan sehat serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatn yang optimal. sesuai dengan fakta dan teori diatas, peneliti berpendapat bahwa setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan seluruh responden (100%) bersikap favourable (positif). sikap postif ini dipengaruhi beberapa faktor salah satunya adalah usia. dari hasil penelitian menunjukkan bahwa usia sebagian besar responden (70%) yaitu berusia 21-35 tahun. sependapat dengan notoadmojo (2003) usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. semakin bertambah usia seseorang maka akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. sesuai dengan fakta diatas peneliti berpendapat bahwa dengan semakin matangnya umur responden akan mampu melakukan sikap yang baik terhadap kehamilannya sehingga tanda bahaya kehamilan dapat diketa hui secara dini dan komplikasi selama kehamilan juga dapat dihindari. penelitian juga menunjukkan bahwa hampir sebagian responden (46,7%) memiliki tingkat pendidikan menengah atas atau sma. hal ini menunjukkan tingkat pendidikan responden cukup baik. tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh pada sikap seseorang. hal ini sesuai dengan teori notoatmodjo (2007) yaitu pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. pendidikan mempengaruhi 99erawati, fuadah dan sunaringtyas, pengaruh pendidikan kesehatan ... proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah seorang tersebut untuk menerima informasi. dengan pendidikan sma ini ibu hamil akan lebih mudah dalam mengakses informasi tentang tanda bahaya kehamilan. hal ini akan berpengaruh terhadap pengetahuan. berdasarkan penelitian didapatkan pula sebagian besar responden (83,3%) adalah ibu rumah tangga atau tidak bekerja. adapun faktor pekerjaan menujukkan seberapa banyak waktu yang dimiliki untuk mencari informasi kesehatan. sebagian besar ibu hamil tidak bekerja yang artinya mereka memiliki waktu yang cukup banyak yang dapat digunakan untuk mencari informasi seputar kehamilan sehingga pengetahuan akan menjadi baik. dengan demikian pada dasarnya pendidikan dan pekerjaan meningkatkan pengaruh faktor informasi terhadap pengetahuan. pengaruh pendidikan kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap terhadap tanda bahaya kehamilan saat sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan. dari hasil analisi menggunakan uji wilcoxon melalui komputerisasi diperoleh p value (0,0001) <=0,05 yang menunjukkan bahwa h1 diterima, yang artinya terdapat pengaruh pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan di bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar. hal ini sesuai dengan penelitian hastuti (2011) pengaruh penyuluhan tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil dalam menghadapi tanda bahaya kehamilan di pondok bersalin puri husada menggung ngemplak boyolali terdapat peningkatan skor sikap setelah diberi pendidikan kesehatan. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang tanda bahaya kehamilan seluruh responden (100%) yaitu 30 orang bersikap favourable (positif). hal ini terlihat dari antusias responden dalam menjawab kuesioner dan telah mendapatkan pendidikan keseha ta n tentang ta nda ba ha ya kehamilan. lawrence green (1984) dalam (notoadmodjo, 2010: 24) merumuskan definisi sebagai berikut: “promosi kesehatan adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan organisasi, yang dirancang untuk memudahkan perubahan perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan”. menurut notoadmojo (2007) dalam perkembangannya, teori bloom untuk pengukuran sikap terbagai beberapa tingkatan yaitu: menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), bertanggung jawab (responsible). melalui upaya pendidkan kesehatan ini maka dapat dilakukan penyadaran tentang betapa pentingnya mengetahui tanda bahaya kehamilan guna untuk menentukan sikap yang positif terhadap tanda bahaya kehamilan dan juga untuk mencegah sedini mungkin terhadap terjadinya komplikasi-komplikasi selama proses kehamilan berlangsung. sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan ini sangat berpengaruh terhadap sikap ibu hamil di bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) sikap ibu hamil tentang bahaya kehamilan sebelum diberikan pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan yaitu setengah responden bersikap unfavourable (negatif) (2) sikap ibu hamil tentang bahaya kehamilan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan keseluruhan bersikap favourable (positif) (3) ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tanda bahaya kehamilan terhadap sikap ibu hamil tentang tanda bahaya kehamilan di bpm ny. fy desa penataran kecamatan nglegok kabupaten blitar. saran bagi peneliti selanjutnya untuk memperbarui materi dalam memberikan informasi tentang tanda bahaya kehamilan serta mengembangkan penelitian dengan menggunakan metode pembelajaran yang baru dan dengan desain penelitian yang berbeda. daftar rujukan azwar, s. 2009. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. dharma, k.k. 2011. metodologi penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. jakarta: trans info media. hidayat, a. aziz, alimul. 2011. metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data. jakarta: salemba medika. hida ya ti , r. 2009. a suhan ke pe rawat an pada kehamilan fisiologis dan patologis. jakarta: salemba medika. 100 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 95–100 manuaba ida bagus. 2006. ilmu kebidanan penyakit kandungan dan keluarga berencana. jakarta: egc. notoadmojo 2010. promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan: pendekatan praktis. jakarta: salemba medika. wawan, a.d. 2010. teori dan pengukuran sikap, dan perilaku manusia. yogyakarta: nuha medika. widyatun, t.r. 2009. ilmu perilaku. jakarta: cv agung seto. wiknjosastro, h. 2010. ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawiroharjo. d:\set 2017\set nanik juni 2017 35fatmawati dan prastiwi, pengaruh yoga pada ibu... 35 pengaruh yoga pada ibu inpartu primigravida terhadap kemajuan persalinan kala i fase aktif (the effectiveness of yoga on the progress of the first stage of labor in the active phase of primigravida) diana noor fatmawati, evi dwi prastiwi program studi d3 kebidanan, stikes maharani malang email: dnf_dee@yahoo.com abstract: the fears, anxiety, and fear both of during pregnancy and delivery or in the face post childbirth are often experienced by primigravida. the increase of maternal psychological burden can cause a variety of complications that can result in the availability and the quality of maternal labor. yoga can help mothers to overcome anxiety when faced with the birth process. this study aimed to determine the progress of primigravida labor difference between the treated yoga and yoga as well as how much yoga affect the progress of primigravida labor. the study design was pre experiment with a static group comparison approach. the population was primigravida in the active phase of the first stage from april to november 2016 in bpm nurul aini as many as 34 people. total samples were 17 people doing yoga and 17 people do not do yoga. the statistical test used wilcoxon mann whitney u test (spss) and linear regression test. the results of the study showed that labor progress on active phase primigravida which given treatment yoga almost half of the normal progress was 6 hours of 8 people (47.1%) and did not give the yoga treatment accelerating progress on the 5 o’clock as many as 1 ( 5.9%). wilcoxon mann whitney u test results in spss p value <0.05, it indicated that there was difference between the labor progress primigravida treated by yoga exercises and did not treated by yoga exercises. to know how far the effectiveness of yoga exercises on the progress of the first stage of labor in the active phase primigravida, it was performed linear regression test and get the value of r2 = 0.383, which meant yoga exercises had an effect by 38.3% against the first stage of labor progress for primiravida active phase. to overcome the anxiety and pain during childbirth, yoga could be disseminated to the public to be done routinely. key words: yoga, primigravidae, progress of labor abstrak: ketakutan, kegelisahan, dan ketakutan baik selama kehamilan, persalinan maupun di wajah setelah melahirkan sering dialami oleh primigravida. meningkatnya beban psikologis ibu dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat berakibat pada ketersediaan dan kualitas persalinan ibu. yoga bisa membantu ibu mengatasi kecemasan saat menghadapi proses persalinan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemajuan selisih primigravida persalinan antara yoga dan yoga yang diobati serta seberapa besar yoga mempengaruhi kemajuan primigravida persalinan. desain penelitian diawali dengan pendekatan perbandingan kelompok statis. populasi primigravida pada fase aktif tahap pertama dari april hingga november 2016 di bpm nurul aini sebanyak 34 orang. total sampel adalah 17 orang yang melakukan yoga dan 17 orang tidak melakukan yoga. uji statistik menggunakan uji wilcoxon mann whitney u test (spss) dan regresi linier. hasil penelitian bahwa kemajuan persalinan pada fase aktif primigravida yang diberikan pengobatan yoga hampir setengah dari kemajuan normal adalah 6 jam dari 8 orang (47,1%) dan tidak diberi pengobatan mempercepat akselerasi yoga pada jam 5 sebanyak 1 (5,9 %). hasil uji wilcoxon mann whitney u dalam nilai spss p <0,05, ini menunjukkan bahwa perbedaan antara kemajuan tenaga kerja dengan latihan yoga primigravida dengan latihan yoga yang tidak. dan kemudian untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh latihan yoga terhadap kemajuan tahap pertama acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p035-039 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 36 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 35–39 konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (prawirohardjo, 2007). salah satu faktor yang berperan penting dalam proses persalinan yaitu kekuatan mendorong janin keluar meliputi his (kekuatan uterus) dan kontraksi otot dinding perut. kondisi psikologis dapat berpengaruh terhadap tenaga ibu dan kelancaran proses persalinan. walaupun 97% persalinan adalah persalinan fisiologis, kecemasan dalam persalinan dapat menimbulkan ketegangan otot-otot polos dan pembuluh darah, sehingga terjadi kekakuan serviks dan hipoksia pada rahim yang menyebabkan impuls nyeri bertambah banyak, impuls nyeri melalui thaloma limbic ke korteks serebri dengan akibat menambah rasa takut, sehingga kontraksi rahim berkurang. hal ini mengakibatkan persalinan butuh waktu yang lama dan mungkin membutuhkan alat bantu bahkan operasi caesar (wahyuni & siswanto, 2010). wanita hamil primigravida hampir semuanya mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan baik selama hamil, saat menghadapi persalinan maupun setelah persalinan. peningkatan beban psikologis ibu dapat menimbulkan permasalahan terhadap kualitas janin yang dikandung dan komplikasi yang menyertai proses persalianan ibu. pencegahan dengan beberapa metode diperlukan untuk meringankan dan mempersiapkan ibu dalam menjaga kehamilan dan proses persalinannya. pencegahan komplikasi persalinan bertujuan untuk membuat ibu dan bayi baru lahir dapat memperoleh derajat kesehatan yang tinggi dan terhindar dari berbagi ancaman dan fungsi reproduksi. oleh karena itu keseimbangan tubuh dan pikiran harus selalu terpelihara untuk menciptakan pikiran tenang dan nyaman serta keduanya bisa bekerja seimbang, sehingga akan mengarah pada kehamilan dan persalinan yang tenang dan membahagiakan. alternatif terapi yang dibutuhkan dalam menghadapi persalinan salah satunya adalah dengan melakukan meditasi/yoga (shindu, 2009). menurut depkes tahun 2004, ibu partus lama yang rawat inap di rumah sakit di indonesia diperoleh proporsi 4,3% yaitu 12.176 dari 281.050 persalinan. partus lama akan menyebabkan infeksi, kehabisan tenaga, dehidrasi pada ibu, kadang dapat terjadi atonia uteri yang dapat mengakibatkan pendarahan postpartum. lamanya waktu yang diperlukan pada kala i dan kala ii akan menambah bahaya kematian janin, sehingga perlu menyelesaikan persalinan dengan tindakan segera baik induksi maupun sectio cesarea. untuk mencegah tindakan lain dalam menolong ibu ataupun bayi agar tidak mengalami hal-hal yang diluar proses waktu normal, salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan yoga, yaitu dengan melatih otot-otot tubuh disertai olah napas. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui selisih kemajuan persalinan primigravida antara perlakuan yoga dan yang tidak diberikan yoga serta seberapa besar yoga mempengaruhi kemajuan persalinan primigravida. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain praeksperimen (pre experiment design) dengan pendekatan perbandingan kelompok statis (static group design), kelompok eksperimen yaitu ibu inpartu primigravida yang diberi metode yoga kemudian dilakukan observasi kemajuan persalinan. hasil observasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan metode yoga dan dilakukan observasi kemajuan persalinan. metode penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kemajuan persalinan ibu primigravida antara yang diberi perlakuan yoga dan tidak yoga serta seberapa besar yoga berpengaruh terhadap kemajuan persalinan ibu primigravida. populasi pada penelitian ini adalah ibu inpartu primigravida kala i fase aktif pada bulan april-november 2016 di bpm nurul aini sebanyak 34 orang. jumlah sampel 17 orang yang melakukan yoga dan 17 orang tidak melakukan yoga. hasil penelitian berdasarkan tabel 1 kemajuan persalinan kala i fase aktif ibu primigravida yang diberikan perpersalinan pada fase aktif primigravida dilakukan uji regresi linier dan mendapatkan nilai r2 = 0,383, yang berarti latihan yoga berpengaruh sebesar 38,3% terhadap tahap pertama. kemajuan persalinan untuk fase aktif primiravida. dalam upaya mengatasi kecemasan dan rasa sakit saat melahirkan, yoga dapat disebarluaskan ke publik untuk dilakukan secara rutin. kata kunci: yoga, primigravida, kemajuan persalinan 37fatmawati dan prastiwi, pengaruh yoga pada ibu... berdasarkan tabel 2 kemajuan persalinan kala i fase aktif ibu primigravida yang tidak diberikan perlakuan senam yoga mengalami kemajuan 6 jam dan 7 jam sebanyak 6 orang (35,3%) dan yang mengalami percepatan kemajuan pada 5 jam yaitu sebanyak 1 orang (5,9%). linier dan di dapatkan nilai r2=0,383 yang artinya senam yoga memiliki pengaruh sebesar 38,3% terhadap kemajuan persalinan kala i fase aktif ibu primiravida. serta didapatkan nilai r sebesar 0,619 yang menunjukkan bahwa antar variabel mempunyai kekuatan korelasi sedang. arah korelasi menunjukkan nilai positif yaitu searah yang berarti semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya pembahasan kemajuan persalinan kala i fase aktif primigravida yang diberikan yoga dari 17 responden didapatkan 8 orang (47,1%) responden mengalami kemajuan persalinan normal yaitu 6 jam, 5 orang (29,4%) responden mengalami kemajuan persalinan selama 4 jam, 3 orang (17,6%) responden mengalami kemajuan persalinan selama 5 jam. dan 1 orang (5,9%) yang mengalami keterlambatan kemajuan persalinan yaitu selama 7 jam. dengan demikian kemajuan persalinan pada ibu primigravida yang melakukan senam yoga lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak melakukan senam yoga. menurut oxorn (1996), kemajuan persalinan dapat lebih cepat dan mengurangi rasa nyeri pada inpartu kala i jika dilakukan relaksasi pada ibu bersalin dengan bernapas dalam saat muncul kontraksi uterus. pernafasan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan tekanan abdomen serta membantu pengeluaran janin. (bobak, 2003). penelitian yang dilakukan oleh astuti (2008) bahwa pembukaan serviks pada kelompok yang diberi teknik napas dalam yaitu 0,86 cm/jam sebanyak 2 orang (20%), pembukaan serviks 0,91 cm/jam sebanyak 1 orang (10%), pembukaan serviks 1 cm/jam sebanyak 4 orang (40%), pembukaan serviks 1,33 cm/jam sebanyak 3 orang (30%). ibu inpartu primigravida yang diberikan perlakuan senam yoga mengalami kemajuan persalinan lebih cepat yaitu 16 orang (94%) mengalami kemajuan persalinan selama 4 – 6 jam. kemajuan persalinan pada ibu inpartu primigravida ini juga disertai dengan cepatnya penurunan kepala pada proses persalinan, sehingga ibu tidak memerlukan waktu banyak dalam menanti proses kelahiran buah hati. selain itu kecemasan ibu dalam proses melahirkan juga dapat diatasi dengan melakukan gerakan yoga. yoga pada ibu hamil merupakan salah satu jenis rangkaian gerakan tubuh yang dipadukan dengan kemajuan persalinan (jam) f prosentase 4 5 29,4 5 3 17,6 6 8 47,1 7 1 5,9 total 17 100 tabel 1 kemajuan persalinan kala i fase aktif primigravida yang diberi yoga lakuan senam yoga hampir setengahnya mengalami kemajuan normal yaitu 6 jam sebanyak 8 orang (47,1%) dan mengalami keterlambatan kemajuan hanya pada 1 orang (5,9%) dengan kemajuan persalinan 7 jam. kemajuan persalinan (jam) f prosentase 5 1 5,9 6 6 35,3 7 6 35,3 8 3 17,6 9 1 5,9 total 17 100 tabel 2 kemajuan persalinan kala i fase aktif primigravida yang tidak diberi yoga analisis n a p r mann whitney u 34 0,05 0,000 0,619 tabel 3 hasil analisis pengaruh yoga pada ibu inpartu primigravida terhadap kemajuan persalinan kala i fase aktif berdasarkan tabel 3 hasil uji mann whitney u dalam spss didapatkan nilai p < 0,05 maka hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan kemajuan persalinan ibu primigravida antara yang diberi perlakuan senam yoga dengan yang tidak senam yoga. selanjutkan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh senam yoga terhadap kemajuan persalinan kala i fase aktif ibu primigravida dilakukan uji regresi 38 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 35–39 rileksasi pikiran dan menguatkan mental dalam menghadapi proses melahirkan. gerakan yoga terdiri dari pernafasan yang dapat digunakan sebagai media rileksasi ibu sehingga dapat merasakan kenyamanan selama proses inpartu. pernafasan yang dilakukan dengan cara nafas secara dalam dapat meningkatkan kontraksi uterus yang dapat menghasilkan tekanan pada dinding uterus, sehingga saat tekanan tersebut disalurkan ke serviks dapat mengakibatkan penipisan dan dilatasi pada serviks. kemajuan persalinan kala i fase aktif primigravida yang tidak diberikan yoga dari 17 responden didapatkan 6 orang (35,3%) responden mengalami kemajuan persalinan selama 6 7 jam, 3 orang (17,6%) responden mengalami kemajuan persalinan selama 8 jam, 1 orang (5,9%) responden mengalami kemajuan persalinan selama 5 jam dan 9 jam. dengan demikian kemajuan persalinan pada ibu primigravida yang tidak melakukan senam yoga lebih lambat dibandingkan dengan yang melakukan senam yoga yaitu sebesar 10 orang (58,8%) yang mengalami kemajuan persalinan selama 7 – 9 jam. menurut simkin (2005), dalam proses persalinan apabila kemajuan persalinan yang terjadi pada ibu mengalami keterlambatan ataupun tidak adanya suatu kemajuan, maka dapat menjadi salah satu pemicu timbulnya komplikasi persalinan yang dapat mengkhawatirkan kesehatan ibu dan janin. pada kala i persalinan mengalami kadar katekolamin yang tinggi di sirkulasi sehingga menyebabkan aliran darah beredar dari rahim dan plasenta berpindah ke organorgan lainnya. oleh karena itu, diperlukan adanya skrining pada penyimpangan yang ada di persalinan normal dengan melakukan pemantauan kemajuan persalinan. penelitian yang dilakukan oleh astuti (2008) pada kelompok tidak diberikan teknik napas dalam dapat dilihat bahwa pembukaan serviks 0,75 cm/ jam sebanyak 1 orang (10%), pembukaan serviks 0,86 cm/jam sebanyak 3 orang (30%), pembukaan serviksnya 1 cm/jam sebanyak 4 orang (40%), pembukaan serviks 1,14 cm/jam sebanyak 2 orang (20%). salah satu penyebab lambatnya kemajuan persalinan pada ibu inpartu primigravida yaitu adanya kecemasan atau gangguan psikologis saat menghadapi persalinan. ibu primigravida yang baru akan memiliki pengalaman melahirkan mengalami stress. stres secara psikologis pada ibu primigravida memiliki efek fisik yang kuat pada saat persalinan yang berpotensi menghambat kemajuan persalinan. selain itu kondisi nyeri yang dirasakan ibu juga dapat mengurangi kemampuan rahim dalam berkontraksi sehingga dapat menghambat kemajuan persalinan. ber dasa rkan penelitia n simamor a da lam apriana (2011), lebih dari 50% ibu bersalin mengalami kecemasan yaitu 65,6% kecemasan sedang terjadi pada ibu primigravida dan 81,3% kecemasan ringan terjadi pada ibu multigravida. pada proses persalinan kala i perasaaan cemas yang dialami ibu bersalin dikarenakan adanya rasa takut saat melahirkan. pengalaman melahirkan pertama kali yang dialami oleh ibu primigravida memberikan perasaan yang beraneka ragam mulai dari rasa bahagia, bersemangat hingga perasaan takut akan apa yang nantinya dirasakan saat proses persalinan. pengaruh yoga pada ibu inpartu primigravida terhadap kemajuan persalinan kala i fase aktif hasil analisis statistik dengan menggunakan uji mann whittney u dengan diperoleh hasil nilai p = 0.000 dengan =0,05 maka hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan kemajuan persalinan ibu primigravida antara yang diberi perlakuan senam yoga dengan yang tidak senam yoga. dan seberapa jauh pengaruh senam yoga terhadap kemajuan persalinan kala i fase aktif ibu primigravida dilakukan uji regresi linier dengan nilai r2=0,383 sehingga senam yoga memiliki pengaruh sebesar 38,3% terhadap kemajuan persalinan kala i fase aktif ibu primiravida. perbedaan kemajuan persalinan pada ibu primigravida salah satunya disebabkan oleh kesiapan ibu dalam menghadapi persalinan. stres yang dialami ibu inpartu dapat menghambat kemajuan persalinan. kecemasan, ketakutan dan rasa nyeri merupakan salah satu perasaan yang dialami ibu inpartu saat memasuki masa persalinan. kecemasan pada ibu hamil dapat terjadi dikarenakan adanya masa panjang dalam menanti proses kelahiran yang tidak pasti serta ditambah dengan adanya perasaan takut saat menghadapi proses persalinan. menurut nurdiana (2012), hormon progesteron merupakan salah satu penyebab perasaan cemas dan cepat lelah yang terjadi pada ibu hamil. perasaan kecemasan dan takut dalam menghadapi persalinan sering terjadipada ibu primigravida. (kartono, 2007) penelitian yang dilakukan oleh wijayanti (2014) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan kecemasan pada hari pertama 39fatmawati dan prastiwi, pengaruh yoga pada ibu... dan hari ketiga sebelum dan sesudah diberikan senam hamil yoga. rasa nyeri pada kala i disebabkan oleh munculnya kontraksi otot – otot uterus, peregangan serviks pada saat membuka, dan peregangan segmen bawah rahim. selama kala i kontraksi uterus yang menyebabkan dilatasi serviks dan iskemia serviks. latihan yoga yang dilakukan diantaranya meliputi berbagai macam gerakan relaksasi, mengatur postur tubuh, melakukan olah napas dan meditasi selama kurang lebih 1 jam dan dilakukan rutin, memperoleh hasil bahwa kemajuan persalinan pada ibu inpartu mengalami percepatan yaitu selama 4 – 6 jam dibandingkan yang tidak melakukan yoga (> 6jam). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diulas dalam penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan kemajuan persalinan pada ibu primigravida antara yang diberi perlakuan yoga dengan yang tidak yang sebagian besar disebabkan oleh adanya gangguan psikologis seperti rasa takut dan cemas pada ibu primigravida saat melahirkan. saran berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan perlu dilakukan penelitian selanjutnya tentang pengaruh yoga terhadap kecemasan pada ibu primigravida daftar rujukan astuti, e. 2013. pengaruh teknik napas dalam te rhadap kemajuan pe rsal inan pada ibu inpartu primigravida kala i fase aktif di rs willian booth. skripsi. stikes william boot. surabaya bobak im, lowdermilk dl & perry se. 2005. buku ajar keperawatan maternitas. alih bahasa: maria a wijayanti. egc. jakarta din a s ke se hatan provi n si ja wa ti m ur. prof i l kesehatan provinsi jawa timur tahun 2010. surabaya: dinkes jatim; 2010. available from: url: ht tp: // www. din kes. ja ti m pr ov. go. id/ dokumen/dokumen.publikasi.html. diakses tanggal 18 november 2016 oxorn harry & william r forte.1996. ilmu kebidanan patologi & fisiologi persalinan (human labor and birth). alih bahasa: mohammad hakim. yayasan essentia medica. jakarta. prawirohardjo, s. 2007. ilmu kebidanan. ybp-sp. jakarta. shindu, pujiastuti. 2014. yoga untuk kehamilan: sehat, bahagia, dan penuh makna. qanita. . bandung. simkin p. 2005. buku saku persalinan. alih bahasa: chrisdiono m achadiat. egc. jakarta: wahyuni,s. siswanto, y. 2010. pengaruh senam hamil terhadap lamanya persalinan kala ii pada ibu hamil primigravida di kabupaten semarang. junal gizi dan kesehatan ngudi waluyo. ungaran semarang widyastuti, c. 2012. hubungan pengetahuan ibu tentang persalinan kala i dengan kecemasa pada ibu bersalin di rsia bahagia semarang. jurnal universitas muhammadiyah semarang. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php. diakses 15 november 2016. sutikno, 2011. hubungan fungsi keluarga dengan kualitas hidup lansia. setyoadi. (2002). perbedaan tingkat kualitas hidup pa da wan i t a la nsi a di kom un it a s da n panti.ejournal umm. diunduh dari ht t p:/ / ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/art i c l e / v i e w f i l e / 6 2 1 / 641_mm_scientific_journal.pdf. sa lama h.(2005). kon disi psiki s da n alternat if penanganan masalah kesejahteraan sosial lansi di panti wredha. jurnalpks, 11, 55 – 61. who. (2004). the world health organization quality of life introduction, administration, scoring and generic version of the assesment (whoqolbref). yenni dan hermawan. (2006). pravalensi penyakit kronis dan kualitas hidup pada lanjut usia. diunduh dari http;//www.univmed.org/2012/04/ yenni.pdf . 244 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 244–247 244 studi respon fisiologis dan kadar gula darah pada tikus putih (rattus norvegicus) yang terpapar streptozotocin (stz) (the study of physiological response and white rats (rattus norvegicus) blood glucose levels exposed by streptozotocin) thatit nurmawati stikes patria husada email: dhyas_tha@yahoo.com abstract: diabetes mellitus (dm) is a metabolic disorder with symptoms of polydipsi, polyuria, polyphagia, weight loss and tingling. the incidence of dm increased with the number of patients with type 2 dm more than type1 dm. insulin resistance and deficiency is characteristic of type 2 diabetes. streptozotocin (stz) as a dm inducer model is better than alloxan by altering the physiological pancreas. the purpose of this study was to determine the physiological response and blood sugar levels of mice after exposure to stz. descriptive research design with the subjects of 16 white wistar strains (rattus norvegicus). stz was given 40mg / kg bw for 3 days. data collection was done in 2 days after stz last gift. blood glucose levels obtained from the end of the tail while the heart rate was measured using a modified stethoscope. data presented in the mean ± sd. the results showed heart rate 500 ± 59.32 / min, weight 292,5 ± 65,26 (gr) and blood glucose content 237 ± 102.5 ml /dl. stz responded to ratts resulting in physiological changes. histologic observation of pancreatic cells was needed to determine the damage caused by stz . it needed longer observation to see the response of ratts further. keywords: stz, dm type 2, physiological response, blood glucose levels, white ratts. abstrak: penyakit diabetes mellitus (dm) merupakan gangguan metabolisme dengan gejala polidipsi, poliuria, polifagia, penurunan berat badan dan kesemutan. kejadian dm semakin meningkat dengan jumlah penderita dm tipe 2 lebih banyak daripada dm tipe1. resistensi dan defisensi insulin menjadi karateristik dm tipe 2. streptozotocin (stz) sebagai model penginduksi dm lebih baik daripada aloksan. dengan mengubah fisiologis pankreas. tujuan penelitian ini untuk mengetahui respon fisiologis dan kadar gula darah tikus setelah terpapar stz. desain penelitian deskriptif dengan subyek penelitian 16 ekor tikus putih galur wistar (rattus norvegicus). stz diberikan 40mg/kg bb selama 3 hari. pengumpulan data dilakukan 2 hari setelah pemberian terakhir stz. kadar gula darah diperoleh dari ujung ekor sedangkan denyut jantung diukur menggunakan stetoskop dimodifikasi. data disajikan dalam rerata± sd. hasil penelitian menunjukkan nilai denyut jantung 500 ± 59.32 kali/menit, berat 292,5 ± 65,26 (gr) dan kadar gula 237±102.5 ml/dl. stz direspon tikus sehingga terjadi perubahan fisiologis. diperlukan pengamatan histologis sel pankreas untuk mengetahui kerusakan akibat stz perlu pengamatan lebih lama untuk melihat respon tikus lebih lanjut. kata kunci: stz, respon fisiologis, kadar gula darah, tikus putih penyakit diabetes mellitus ditandai dengan gangguan metabolisme pada karbohidrat, lemak dan protein dengan kejadian selalu meningkat. gejala yang sering dirasakan pasien berupa polidipsi, piliuria, polifagia, penurunan berat badan, dan kesemutan. berdasarkan who kejadian dm disebabkan oleh factor genetis, gangguan insulin berupa defisiensi atau produksi insulin yang kurang efektif. sebagian hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p244-247 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 245nurmawati, studi respon fisiologis dan kadar gula darah... besar penderita diabetes mellitus adalah diabetes mellitus tipe 2 yang disebabkan resistensi insulin. diabetes mellitus tipe 2 dapat terjadi pada usia muda dengan dipicu obesitas dan gaya hidup tidak sehat mulai usia muda. berdasarkan data perkeni pada tahun 2015 menunjukkan jumlah penderita diabetes di indonesia mencapai 9,1 juta orang dan indonesia menduduki peringkat ke 5 dari peringkat 7 pada sebelumnya. who memperkirakan jumlah penderita diabetes di indonesia mencapai 21,3 juta pada tahun 2013, kondisi tersebut sangat melonjak jika dilihat jumlah pasien diabetes yang mencapai 8,4 juta pada tahun 2000 (perkeni, 2015). penderita diabetes di jawa timur mencapai 605.974 orang pada tahun 2013 da n menduduki per inga ka t 1 di indonesia (riskesdas, 2013). usia penderita diabetes pun kini semakin muda, hasil riskesdas 2013 menujukkan penderita diabetes bisa terjadi pada usia 18 tahun dengan prevalensi tertinggi terjadi pada jenis kelamin perempuan. pada hewan pemberian model dm disebabkan aloksan, streptozotocin, asam urat, asam dehidroaskorbat, asam dialurat. streptozotosin (stz) berasal dari streptomyces achromogenes dapat digunakan sebagai penginduksi dm tipe 1 dan 2 dengan dosis 100 mg/kg bb secara intravena maupun intraperitoneal. stz menembus sel  langerhans mampu pengubah sel  pankreas menjadi rusak melalui proses pembentukan no (nitric oxide) dan anion superoksida yang menghambat siklus krebs serta menurunkan konsumsi oksigen pada mitokondria sel. penurunan produksi atp mitokondria mengakibatkan pengurangan secara drastis nukleotida sel  pankreas yang menyebabkan kerusakan sel  pankreas. stz mempengaruhi sel hidup pada semua siklus sel mamalia (tormo dkk, 2006). stz merupakan salah satu stresor atau rangsangan bagi hewan coba model dm yang lebih baik daripada aloksan karena rentang dosisnya lebih lebar (lenzen, 2008), selain itu tikus bisa mempertahankan hiperglikemia lebih lama. stz dengan pemberian berkala terbukti telah mempengaruhi fisiologis dengan a danya pembengkakan pada kelenjar pankreas (sherwood, 2001) setelah 2–4 hari (akbarzadeh dkk 2007) yang bisa mengakibatkan perubahan produksi insulin atau peningkatan glukosa darah sehingga mengganggu proses fisiologis tikus. adanya respon pada individu terhadap perubahan pada tubuhnya akan dilakukan dengan menjalankan homeostatis atau keseimbangan tubuh sebagai adaptasinya. berat badan dan denyut jantung dapat digunakan sebagai indikator fisiologis tikus yang terpapar stz. maka pada penelitian ini dilakukan studi respon fisiologis dan kadar gula darah tikus setelah terpapar stz bahan dan metode jenis penelitian ini adalah deskriptif untuk mengetahui respon fisiologis dan kadar gula darah setelah tikus putih diberikan stz yang dipelihara di laboratorium biologi stikes patria husada blitar. semua perlakuan subyek penelitian memenuhi standar berdasarkan status kesehatan dan kualitas hewan, pakan, kebersihan kandang, pencahayaan, kualitas udara, kelembapan, perkembangbiakannnya (carlsson, 2008). subyek penelitian 16 ekor tikus jenis wistar (rattus norvegicus) dengan kepala besar dan ekor pendek. berjenis kelamin jantan. berdasarkan hasil penelitian nainggolan dkk (2013) mengatakan jenis kelamin wanita lebih banyak mengalami dm namun tidak ada perbedaan resiko antara jantan dan betina. kriteria inklusi adalah tikus sehat berumur 2–3 bulan, berat 200–300gr. pemilihan tikus sebagai subyek penelitian karena sebagai hewan coba paling populer dalam penelitian yang memiliki kemiripan anatomi dengan manusia. aklimatisasi dilakukan selama 21 hari. berdasarkan fitria dkk (2009) usia mulai 8 minggu untuk stadium dewasa awal (adult, mature) paling sering digunakan pada penelitian fisologis yang dikaitkan dengan fungsi reproduktifnya. tikus diberikan stz dengan dosis 40 mg/kg bb secara intraperitonial selama 3 hari. variabel penelitian: respon fisiologis (denyut jantung, berat badan) dan kadar gula darah. pengumpulan data dilakukan 2 hari setelah perlakuan stz. pengambilan darah dilakukan pada ujung ekor dengan menggunakan easy touch gcu. pengukuran denyut jantung menggunakan stetoskop yang telah dimodifikasi. berat badan dicatat dari neraca digital yang dinyatakan dengan gram. data yang diperoleh ditabulasikan dan ditampilkan sebagai rerata ± sd 246 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 244–247 berdasarkan tabel 2 menujukkan kadar gula darah sewaktu mencapai 237 dengan standart deviasi 102,5. pembahasan gula darah merupakan gula yang terdistribusi dalam darah berasal dari karbohidrat makanan atau dari simpanan glikogen di hati dan otot. penyerapan dari usus dan pemecahan glikogen menjadi sumber gula dara h. ber dasa rka n hasil penelitia n ini menunjukkan terjadi peningkatan kadar gula darah setelah pemberian stz dengan dosis 40 mg/kg bb secara intraperitoneal. peningkatan gula darah setelah pemberian stz menjadi indikasi terjadinya dm tipe 2 ( 150 mg/dl). berdasarkan wolfenshon dan lloyd, (2013) kadar gula darah normal 50–135 mg/dl. model kasus dm tipe 2 pada hewan coba dapat dilakukan dengan dengan beberapa metode seperti: pemberien diet yang memicu terjadinya resistensi insulin, mencari genetik hewan coba dengan kasus dm, pankreatektomi parsial, atau pemberian senyawa diabetogenik seperti aloksan, streptozotocin. dm tipe 2 ditandai dengan penurunan respon jaringan perifer terhadap aksi insulin atau terjadinya malfungsi reseptor insulin, terjadinya penurunan kemampuan sel pada sel  langerhans pankreas sehingga mengakibatkan terganggunya produksi insulin dan pada akhirnya terjadi peningkatan kadar gula darah. pada penelitian berupa induksi stz diduga sudah mampu mempengaruhi terjadinya kerusakan sel beta pankreas setelah 2–4 hari pemberian stz yang ditandai pembengkakan pankreas dan degenerasi sel beta pulau langerhans (akbarzadeh dkk 2007). berbagai rangsangan baik fisik, kimiawi, psikologis, trauma maupun psikososial yang mengganggu dan mengancam kemampuan tubuh untuk mempertahankan homeostatis dapat memicu stress sebagai efek fisiologis tubuh (sherwood, 2001). kelenjar adrenal merespon rangsangan dengan memproduksi salah satunya adalah hormon glukokortikoid (sulistyani dkk, 2007). guyton dan hall, (1997) mengatakan hormon glukokortikoid meningkatkan glukosa melalui mekanisme: 1. mampu merangsang proses glukoneogenesis atau pembentukan glukosa dari pemecahan proteinoleh hati, bahkan sering kali kecepatannya bisa mencapai 6–10 kali. pada proses tersebut terjadi dikarenakan hormon glukokortikoid mengaktifkan transkripsi dna selsel hati kemudian diikuti pembentukan rna messenger untuk menyusun enzim glukoneogenesis sehingga terjadi peningkatan pembentukan glukosa. 2. glukokortikoid mampu menstimulasi pelepasan asam lemak dan gliserol sehingga proses glukoneogenesis memiliki sumber produksi yang banyak. pada waktu penelitian ini suhu lingkungan sangat panas sehingga mengakibatkan tikus mengalami dehidrasi. menurut roussel dkk, 2011 kondisi dehidrasi merangsang pelepasan vasopresin untuk menstimulasi glukoneogenesis dan pelepasan glukoagon sehingga kadar glukosa darah meningkat menurut anwar (2005) peningkatan glukokortikoid yang berlebihan mengakibatkan penimbunan lemak berlebih dikarenakan peningkatan selera makan berkaitan dengan tingginya kadar steroid. peningkatan berat badan diduga karena tikus mengalami kehilangan kalori cukup besar pada kondisi diabetik sehingga meningkatkan asupan makan dan rasa kelaparan (murray, dkk 1999). namun pada penelitian ini peningkatan berat badan tidak tinggi. berdasarkan wolfenshon dan lloyd, (2013) berat tikus jantan mencapai 450gr. diduga tikus pada penelitian ini sudah mengalami polidipsi dan polifagia, hal tersebut terlihat dari jumlah makan dan minum yang diberikan selalu habis sebelum pemberian makan pada frekuensi berikutnya. berdasarkan pengamatan, tikus pada penelitian ini mengamali variabel nilai mean ± sd denyut jantung(k/menit) 500 ± 59.32 berat badan (gr) 292,5 ± 65,26 n = 16 tabel 1 data respon fisiologis tikus putih (rattus norvegicus) setelah terpapar stz hasil penelitian berdasarkan tabel diatas menunjukkkan respon fisiologis tikus setelah diberikan stz, nilai rata-rata denyut jantung 500 dengan standart deviasi 59,32. nilai rata-rata-rata berat badan 292,5 dengan standart deviasi 65,26. variabel nilai mean ± sd kadar gula darah(mg/dl) 237 ± 102.5 n= 16 tabel 2 kadar gula darah tikus putih (ratt us norvegicus) setelah terpapar stz 247nurmawati, studi respon fisiologis dan kadar gula darah... penurunan aktivitas, diduga berkaitan dengan semakin meningkatnya berat badan. hal tersebut sejalan dengan hasil penelitianirianto (2008). bahkan kurangnya aktivitas fisik menjadi faktor resiko terjadinya peningkatan kadar gula darah (ada, 2015). penurunan aktivitas fisik cenderung meningkatkan tekanan darah, mengurangi toleransi glukosa serta mempengaruhi kesehatan jantung. jantung sehat terlihat dari tingkat kestabilan denyut jantungnya. pada penelitian ini denyut jantung tikus setelah mendapat perlakuan stz secara berkala terlihat mengalami peningkatan. berdasarkan wolfenshon dan lloyd, (2013) denyut jantung normal tikus 250– 450 kali/menit simpulan dan saran simpulan stz sebagai model penginduksi dm tipe 2 mampu mengubah fisiologis tikus yang dilihat dari denyut jantung 500 ± 59.32 kali/menit, berat 292,5 ± 65,26 (gr) dan kadar gula 237±102.5 ml/dl. saran diperlukan pengamatan histologis sel pankreas untuk mengetahui kerusakan akibat stz, perlu pengamatan lebih panjang untuk mengetahui respon tikus lebih lama daftar rujukan ada (american diabetes, association, diagnosis and classif i c at i on of dm). 2009. h tt p/ / caredubetesjournalis.org/content/27/suppl.l/ 55.full. akbarzadeh a, norouzian d, mehrabi mr, jamshidi sh, farhangi a, allah verdi a. 2007.induction of diabetes by streptozotocin in rats. indian j clin biochem. 22 (2) : 60–64. an war, r. 2005. fungsi kele njar adrenal dan kelainannya. bandung: subbagian fertilitas dan endokrinologi reproduksi bagian obstetri dan ginekologi fakultas kedokteran unpad. carlsson he. 2008. the use of laboratory animals in biomedical studies. felasa category c-like course. bogor: pusat studi satwa primata institut pertanian bogor (pssp-ipb). fitria l. 2009. profil r eproduksi tikus (rattus norvegicus berkenhout, 1769) stadia juvenil, pradewasa, dan dewasa. laporan penelitian hibah dosen muda. yogyakarta: lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (lppmugm). irianto, djoko pekik. 2008. panduan gizi lengkap keluarga dan olahragawan. yogyakarta: andi offset. lenzen s. 2008.the mechanisms of alloxan and streptozotocin induced diabetes. diabetologia.. 51 : 216–26. perke ni. 2011. konse nsus penge l ol aan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di indonesia. jakarta riskesdas. 2015. riset kesehatan dasar(riskesdas). (2013). badan penelitian dan pengembangan. kesehatan kementerian ri tahun 2013. roussel r, fezeu f, bouby n, balkau b, lantieri o, alhenc-gelas f, marre m, bankir l; d.e.s.i.r. study group. 2011. low water intake and risk f or new-onse t hy pe rgl y c emi a. di a bet es care34(12):2551–4. murray, r.k., d.k. granner, p.a. mayes, and v.w. rodwell. 1999. biokimia harper. edisi 24. penerjemah: hartono, a. jakarta: egc. nainggolan, olwin, a. yudi kristanto, dan hendrik edison. 2013. “determinan diabetes melitus (analisa baseline data studi kohort penyakit tidak menular bogor 2011)”, dalam buletin penelitian sistem kesehatan, volume 16, nomor 3, juli. sherwood, l. 2001. fisiologi manusia;dari sel ke sistem. edisi 2. jakarta; egc. sulistyani, e; barid, i dan isnaini, k. 2007. pengaruh stresor rasa nyeri pada waktu perdarahan tikus wistar jantan. denta jurnal kedokteran gigi fk uht (1) 2 : 81–84. tormo, m.a., gil-exojo, i., romero de tejada a., campillo, j.e., 2006, white bean amylase inhibitor administered orally reduces glycaemia wolfensohn, s., dan lloyd, m., 2013, handbook of laboratory animal. management and welfare, 4th ed., wiley-blackwell, west sussex, 234. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 266 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 266–271 266 pengetahuan masyarakat tentang badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kelurahan sananwetan (the community knowledge on social security administering agency (bpjs) of health in sananwetan village) sunarti, anita putri agustina poltekkes kemenkes malang email:s.kepsunarti@yahoo.co.id abstract: social security administering agency (bpjs) of health is legal entitythat are created to hold the health insurance. the participants of health insurance usually do not care about their health because they do not understand about the bpjs management. in consequence, it created problem and complain and insatisfaction. the purpose of the research was to know the knowledge of people about social security administering agency (bpjs) of health in blitarcity. the design was descriptive. the sample was 100 head of the families using quota sampling technique. data collection was done on 30 mei-30 juni 2016. the result showed 73% had good knowledge, 27% had fair knowledge. this was due to almost all of families participate in bpjs of health could access the information easily, but not experienced in gaining benefit their participaton. a direct or indirect guidance of bpjs management to people were needed to be increasedso that people could get their right and follow the procedure. keywords: knowledge, social security administering agency (bpjs) of health abstrak: badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. peserta asuransi kesehatan kurang peduli dengan kesehatanya karena kurang memahami tentang penyelenggaraan bpjs kesehatan, sehingga terjadi permasalahan dan timbul keluhan yang menjadi sumber ketidakpuasan. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat tentang badan peyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kota blitar. penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 kepala keluarga. tehnik sampel menggunakan tehnik sampling kuota. pengumpulan data dilakukan tanggal 30 mei-30 juni 2016. hasil penelitian menunjukkan 73% kepala keluarga memiliki pengetahuan baik, 27% kepala keluarga memiliki pengetahuan cukup. hal ini dipengaruhi karena hampir seluruhkepala keluargamenjadi peserta bpjs kesehatan dan dengan mudah dapat mengakses informasi, namun belum berpengalaman dalam memanfaatkan kepesertaannya. sosialisai tentang penyelenggaraan bpjs kesehatan kepada masyarakat secara langsung maupun tidak langsung perlu terus ditingkatkan agar masyarakat dapat memanfaatkan haknya dan mengikuti prosedur yang berlaku. kata kunci: pengetahuan, badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) adalah badan hukum yang dibentuk dengan undangundang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (uu no. 40 tahun 2014 pasal 1 angka 6). badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan (kementrian kesehatan ri: 2013). terlaksananya program pemerintah yaitu badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan sudah berlangsung hampir 2 tahun. jaminan kesehatan dalam undang-undang nomor 24 tahun 2011 acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p266-271 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 267sunarti dan agustina, pengetahuan masyarakat ... menjadi prioritas pertama dalam pelaksanaan yang dilaksanakan pada 1 januari 2014. jaminan kesehatan ini berasal dari pt askes menjadi bpjs kesehatan. bpjs kesehatan menyelenggarakan jaminan sosial untuk memberikan kesejahteraan. melalui program bpjs kesehatan ini, masyarakat bisa mendapatkan jaminan pemeliharaan kesehatan. pengesahan undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang bpjs pada november 2011 menjadi satu bekal menuju sistem jaminan sosial bagi masyarakat indonesia. undang-undang tersebut mengamanatkan transformasi empat badan penyelenggara yaitu pt askes (persero) menjadi bpjs kesehatan pada januari 2014, pt jamsostek (persero) bertransformasi menjadi bpjs ketenagakerjaan paling lambat 1 juli 2012. dua bpjs ini memiliki manfaatyang berbeda. bpjs kesehatan memberikan jaminan kesehatan. sementara bpjs ketenagakerjaan memberikan jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. bpjs adalah badan hukum publik dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. bpjs berkedudukan dan berkantor pusat di ibukota negara dengan kemungkinan untuk mendirikan kantor perwakilan di propinsi dan kabupaten/kota (shihab, 2012:182). berdasarkan amanat pada perubahan uud 1945 pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. ditetapkanya uu no. 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (sjns) pada tahun 2004 dan uu no. 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) pada tahun 2011 serta rencana pencapaian universal coverage insurance (uci) pada tahun 2019 yang dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2014 meniscayakan adanya langkah dan upaya yang mencapai target tersebut (profil kesehatan provinsi jawa timur, 2012:75). data yang didapatkan dari bpjs kesehatan (2015) jumlah peserta bpjs kesehatan di indonesia saat ini 153.080.124 jiwa. menurut suarasurabaya (2015) jumlah peserta bpjs kesehatan di jawa timur 17.974.697 jiwa. berdasarkan data dinas kesehatan kota blitar dari tiga kecamatan didapatkan jumlah peserta jamkesmas 25.227 jiwa, dan peserta jamkesda 10.445 jiwa. dari tiga kecamatan tersebut jumlah pemegang kartu terbanyak adalah di wilayah kecamatan sukorejo dan pemegang kartu paling sedikit adalah di wilayah kecamatan kepanjen kidul. dari hasil survei yang dilakukan oleh peneliti dari 6 orang didapatkan 4 orang belum mengetahui tentang pelaksanaan bpjs kesehatan, apa pengertian bpjs kesehatan dan manfaat menjadi peserta bpjs. hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi mengenai bpjs kesehatan. dan menunjukan bahwa sebagian masyarakat indonesia masih bingung dengan pengertian bpjs kesehatan. jika ditanya, apakah mereka sudah ikut bpjs kesehatan. sebagian besar menjawab sudah, dan juga sebagian menjawab belum. pertanyaan selanjutnya untuk yang belum ikut adalah mengapa mereka tidak ikut bpjs. jawabannya sering dikaitkan dengan tidak adanya informasi yang jelas tentang apa itu bpjs kesehatan. kadang mereka yang ikut bpjs kesehatan karena ikut dengan teman, tetangga atau saudara yang punya bpjs kesehatan. namun sayangnya mereka belum jelas pengertian jaminan kesehatan itu apa dan apa manfaatnya (http://www. kompasiana. com/www.inatanaya.com/setahun-bersama-bpjskesehatan-perluas-sosialisasi-bpjs-kesehatan_55c 71cee117b611c090a7343, diakses 24 oktober 2015). selain itu menurut harian republika (2015) dari sisi pelayanan, masih banyak permasalahan yang dialami peserta bpjs kesehatan di rumah sakit (rs), baik rs pemerintah maupun rs swasta yang suda h bekerjasama dengan bpjs keseha tan. pasien kerap kali disuruh membeli obat sendiri, membayar biaya perawatan karena total biaya sudah melebihi paket ina cbgs, bahkan terjadi penolakan rs dengan alasan kamar penuh (http://www. republika.co.id/berita/koran/politik-koran/15/06/24/ nqfssa 4-bpjs-watch-pelaksana an-jkn-banya kmasalah, diakses 24 oktober 2015). program pemerintah ini berkaitan dengan pengetahuan masyarakat tentang penyelenggaraan bpjs kesehatan. pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. sebagian besar penngetahauan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (notoatmojo, 2003:121). berdasarkan uraian tersebut yang menjelaskan bahwa pengetahuan yang ada di masyarakat tentang program pemerintah yaitu badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan saat ini, masyarakat masih belum tahu sepenuhnya. berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk 268 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 266–271 meneliti pengetahuan masyarakat tentang bpjs kesehatan. bahan dan metode penelitian penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah semua kepala keluarga yang ada di kelurahan sananwetan, besar sampel sebanyak 100 orang dengan teknik kuota sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner. pengumpulan data dilakukan secara door to door. waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 30 mei–30 juni 2016. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum, pengetahuan masyarakat tentang badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kelurahan sananwetan seperti dalam tabel 1 di bawah. pengeta hua n ma sya r a kat tenta ng bada n penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kelurahan sananwetan ditunjukkan dalam tabel 2. tabel 1. karakteristik masyarakat tentang badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kelurahan sananwetan, bulan juni 2016 (n=100) no karakt eristik f % 1 usia : 26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun 14 24 49 13 14 24 49 13 2 pendidikan smp sma pergur uan t inggi 15 58 27 15 58 27 3 peker jaan: pns tani swasta lain-lain 24 10 41 25 24 10 41 25 4 peserta bpjs ya tidak 92 8 92 8 5 informasi tetang bpjs ya tidak 97 3 97 3 6 mengikuti asuransi lain: ya tidak 3 97 3 97 7 sumber inf ormasi: media cetak pelayanan kesehatan teman/tetangga lain-lain 34 50 13 3 34 50 13 3 tabel 2. pengetahuan masyarakat tentang badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kelurahan sananwetan, bulan juni 2016 (n=100) no pengetahuan f % 1. baik 73 73 2. cukup 26 26 3. kurang 1 1 pengeta hua n ma sya r a kat tenta ng bada n penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kelurahan sananwetan berdasarkan parameter ditunjukkan dalam tabel. pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan sebesar 73% (73 kepala keluarga) memiliki pengetahuan yang baik, dan sebesar 26% (26 kepala keluarga) memiliki pengetahuan yang cukup. berdasarkan hasil penelitian pada parameter prinsip-prinsip bpjs kesehatan didapatkan bahwa 96% (96 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik tentang aspek prinsip-prinsip bpjs kesehatan yang meliputi, prinsip kegotongroyongan, prinsip nirlaba, prinsip keterbukaan, prinsip kehati-hatian, prinsip akuntabilitas, prinsip portabilitas, prinsip kepesertaan wajib, prinsip dana amanat, dan prinsip pengelolaan dana. menurut (muninjaya, 2012) asuransi kesehatan sosial memegang teguh prinsip bahwa kesehatan adalah sebuah pelayanan sosial. pelayanan kesehatan tidak boleh semata-mata diberikan berdasarkan status sosial masyarakat sehingga semua lapisan masyarakat berhak memperoleh jaminan pelayanan kesehatan. menurut (jaminan kesehatan nasional) sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan undang-undang no.40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional. tujuannya agar semua penduduk indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. menurut peneliti, kepala keluarga mengerti bahwa menjadi peserta adalah bersifat wajib dan semua lapisan masyarakat berhak mendapat jaminan kesehatan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 269sunarti dan agustina, pengetahuan masyarakat ... berdasarkan parameter penyelenggaraan bpjs kesehatan, sebanyak 49% (49 kepala keluarga) memiliki pengetahuan cukup dan 44% (44 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik. jaminan sosial penting bagi masyarakat karena setiap individu memiliki resiko mengalami kerentanan sosial. resiko sosial misalnya sakit, kecelakaan, kematian, pemutusan hubungan kerja, dan lainnyadapat dialami oleh semua masyarakat baik kaya maupun miskin, dengan demikian adanya jaminan sosial merupakan harapan bagi masyarakat. dalam pelaksanaannya, jaminan sosial tidak hanya memiliki batasan bidang yang dijamin, tetapi juga memiliki program, jenis, metode, pembiayaan, jangka waktu, kepesertaan yang berbeda beda sehingga membutuhkan keterpaduan (shihab, 2012). menurut peneliti semua masyarakat memiliki resiko sakit dan adanya bpjs kesehatan merupakan jaminan sosial untuk masyarakat mendapatkan jaminan pemeliharaan kesehatan sehingga diperlukan pemahaman yang sama dari masyarakat agar penyelengaraan bpjs kesehatan dapat berjalan lancar dan sesuai prosedur. sebanyak 57% (57 kepala keluarga) belum mengetahui tentang pelayanan kesehatan yang dijamin. menurut kementrian kesehatan ri (2013) manfaat adalah faedah jaminan yang menjadi hak peserta dan anggota keluarganya. setiap peserta berhak memperoleh manfaat jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencangkup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayaan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. menurut peneliti setiap peserta berhak mendapat jaminan kesehatan, namun masih banyak masyarakat belum mengetahui tentang pelayanan kesehatan yang dijamin, seperti tranfusi darah. transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis merupakan pelayanan kesehatan yang dijamin. masih banyak masyarakat yang kurang peduli karena mereka kurang memahaminya, sehingga ketika sakit dan mendapat perawatan maka tindakan medis dan tindakan keperawatan diterima begitu saja dan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan biaya perawatan yang akhirnya muncul keluhan akibat peningkatan biaya perawatan dan mengakibatkan timbul keluhan dan menjadi sumber ketidakpuasan. sebanyak 73% (73 kepala keluarga) belum mengetahui tentang penghentian pelayanan kesehatan. dilakukan penghentian pelayanan kesehatan menurut (panduan layanan bagi peserta bpjs kesehatan): bagi pekerja penerima upah, jika terjadi keterlambatan pembayaran iuran lebih dari 3 (tiga) bulan, maka pelayanan kesehatan dihentikan sementara. dan bagi pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, jika terjadi keterlambatan pembayaran iuran lebih dari 6 (enam) bulan, maka pela ya na n keseha ta n dihentika n sementa r a . menurut peneliti, di masyarakat masih banyak yang belum mengetahui tentang penghentian pelayanan kesehatan. dimungkinkan ma syara kat belum mengetahui karena penerima bantuan iuran (pbi) yang meliputi fakir miskin dan orang tidak mampu maka iuran dibayar oleh pemerintah. hal yang memengaruhi pengetahuan kepala keluarga tentang bpjs kesehatan adalah keterpaparan informasi. menurut mubarak, dkk. (2007) salah satu faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah informasi. kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. sebanyak 97% (97 kepala keluarga) pernah mendapat informasi tentang bpjs kesehatan, terdiri dari 73% (73 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik, dan 24% (24 kepala keluarga) memiliki pengetahuan cukup. menurut peneliti, informasi merupakan hasil tahu yag didapat seseorang yang terjadi melaui penginderaan dan seseorang yang memperoleh informasi memiliki pegetahuan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak memperoleh informasi, sehingga seseorang yang pernah mendapat informasi tentang bpjs kesehatan lebih mengerti daripada seseorang yang tidak pernah mendapat informasi tentang bpjs kesehatan. faktor lain yang memengaruhi pengetahuan kepala keluarga tentang bpjs kesehatan adalah sumber informasi. menurut notoatmodjo (2003), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan tabel 3. pengetahuan masyarakat tentang badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kelurahan sananwetan berdasarkan parameter, bulan juni 2016 (n=100) no para meter pengetahuan baik cukup kurang f % f % f % 1. prinsip-p rinsip bpjs kesehatan 96 96 4 4 0 0 2. penyelen ggaraan bpjs kesehatan 44 44 49 49 7 7 270 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 266–271 seseorang. sebanyak 50% (50 kepala keluarga) mendapatkan sumber informasi dari pelayanan kesehatan, menurut peneliti, seseorang yang lebih sering mendapat informasi dari berbagai media cetak/elektronik, dan pelayanan kesehatan maka hal itu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. apabila seseorang lebih banyak mendapat informasi maka semakin banyak pula pengetahua yang dimiliki dibandingkan seseorang yang tidak mendapat informasi. sehingga seseorang yang mendapat informasi bpjs kesehatan dari berbagai sumber informasi misalnya pelayanan kesehatan lebih memahami tentang program bpjs ksehatan. pekerjaan yang dimiliki kepala keluarga dapat memengaruhi pengetahuan tentang bpjs kesehatan. pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan, lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (mubarak, dkk., 2007). sebanyak 24% (24 kepala keluarga) memiliki pekerjaan sebagai pns, terdiri dari 22% (22 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik, dan 2% (2 kepala keluarga) memiliki pengetahuan cukup. menurut peneliti, lingkungan pekerjaan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang karena di dalam lingkungan pekerjaan akan mendapat pengalaman, seperti pegawai negri sipil (pns) yang sudah di cover oleh bpjs kesehatan. pns merupakan bukan penerima bantuan iuran yang termasuk dalam pekerja penerima upah. berdasarkan hasil penelitian ditinjau dari kepesertaan. menjadi peserta bpjs kesehatan merupakan kepesertaan wajib. kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi (buku pegangan sosialisasi jaminan kesehatan nasional (jkn) dalam sistem jaminan sosial nasional).sebanyak 92% (92 kepala keluarga) menjadi peserta bpjs kesehatan, terdiri dari 72% (72 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik, dan 20% (20 kepala keluarga) memiliki pengetahuan cukup. kepala keluarga yang tidak menjadi peserta sebanyak 8% (8 kepala keluarga) yang terdiri dari 1% kepala keluarga memiliki pengetahuan baik, dan 7% kepala keluarga memiliki pengetahuan cukup. menurut peneliti, menjadi peserta adalah kewajiban agar seluruh rakyat dapat terjamin kesehatanya dan seseorang yang menjadi peserta bpjs kesehatan memiliki pengetahuan yang lebih baik karena sudah mendapat pengalaman dan tahu tentang program bpjs kesehatan yang dapat diakses dengan mudah, sehingga seseorang yang menjadi peserta bpjs kesehatan memiliki pengetahuan yang baik. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan di kota blitar adalah sebanyak 73% (73 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik, dan 27% (27 kepala keluarga) memiliki pengetahuan cukup. sebanyak 96% (96 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik tentang prinsip-prinsip bpjs kesehatan dan sebanyak 4% (4 kepala keluarga) memiliki pengetahuan cukup. sebanyak 44% (44 kepala keluarga) memiliki pengetahuan baik tentang penyelenggaraan bpjs kesehatan, dan 49% memiliki pengetahuan cukup. saran saran bagi (1) pemegang program bpjs kesehatan diharapkan terus berupaya melakukan sosialisasi secara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat, agar masyarakat dapat memanfaatkan haknya dan mengikuti prosedur yang berlaku. sosialisasi ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat serta mendorong masyarakat untuk terus menjaga kesehatan. (2) peneliti selanjutnya hasil penelitian ini hanya mengetahui pengetahuan tentang tentang bpjs kesehatan, dan dapat dijadikan bahan untuk mengembangkan penelitian lanjutan dengan variable lain yang belum diteliti. diantaranya yaitu tingkat kepuasan pasien bpjs kesehatan dalam menerima pelayanan kesehatan. (3) bagi institusi pendidikan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dan tambahan informasi tentang jaminan sosial. penelitian ini dapat memberikan wacana pembelajaran serta pendidikan bagi mahasiswa tentang jaminan soaial khususnya bpjs kesehatan. daftar rujukan badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs) kesehatan. panduan layanan bagi peserta bpjs kesehatan. (ht tp:/ /www.sdm.depk eu.go.i d/doc/ buku_panduan_ layanan_ bagi_ peserta_ bpjs_kesehatan.pdf). diakses tanggal 2 oktober 2015) 271sunarti dan agustina, pengetahuan masyarakat ... dinas kesehatan provinsi jawa timur. profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2012. (http://www. d e p k e s. g o. i d / r e so ur c e / d o wn l o ad / pr of i l / profil_kes_provinsi_2012/15_profil_ kes.prov.jawatimur_2012.pdf). diakses tanggal 1 oktober 2015. hidayat, aziz alimul. 2008. riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah edisi 2. jakarta: salemba medika. jaminan kesehatan nasional. buku pegangan sosialisasi jaminan kesehatan nasional (jkn) dalam sistem jaminan sosial nasional. (http://www. depkes.go.id/resources/download/jkn/bukupegangan-sosialisasi-jkn.pdf). diakses tanggal 2 oktober 2015. kementrian kesehatan republik indonesia. buku saku faq (frequently asked question) bpjs kesehatan. (http://www.depkes.go.id/resources/download/ jkn/buku-saku-faq.pdf).diakses 2 oktober 2015. mubarak, wahit iqbal, chayatin, nurul, rozikin, khoirul, & supardi. 2007. promosi kesehatan: sebuah pengantar proses belajar mengajar dalam pendidikan. yogyakarta: graha ilmu. muninjaya, gde. 2013. manajemen kesehatan edisi 3. jakarta: egc. notoadmodjo, soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoadmodjo, soekidjo. 2005. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoadmodjo, soekidjo. 2010. metodologi penelitian jakarta: rineka cipta. nursalam. 2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. jakarta: salemba medika. shadily, hassan. 1993. sosiologi untuk masyarakat indonesia. jakarta: rineka cipta. shihab, ahmad nizar. 2012. hadirnya negara di tengah rakyatnya pasca lahirnya undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial. (http:/ /ditje npp. kemenkumham.go.id/files/doc/2289_jli.pdf). diakses tanggal 2 oktober 2015. sutomo, adi, heru, machfoedz, ircham, nurlina, wiwin erni, & yunus, rachmah. 2011. teknik menyusun kti-skripsi-tesis-tulisan ilmia dalam jurnal bidang kebidanan, keperawatan dan kesehatan. yogyakarta: firmaya. syafrudin, & mariam. 2010. sosial budaya dasar untuk mahasiswa kebidanan. jakarta: trans info media. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 123suwella, mugianti, setijaningsih dan suprajitno, upaya prevensi orang tua ... 123 upaya prevensi orang tua mencegah kenakalan remaja (preventive efforts of parents in preventing juvenile delinquency) danis feny suwella, sri mugianti, triana setijaningsih, suprajitno jurusan keperawatan poltekkes kemenkes malang email: sri.mugianti@gmail.com abstract: the research purpose was to describe the preventive efforts of parents in preventing juvenile delinquency. the research design was descriptive and the data was collected with a questionnaire. the population was 251 parents. the sample was 38 respondents taken by using quota sampling technique. the data collection was conducted in march-april 2015. the survey results revealed that the preventive efforts of the parents in preventing juvenile delinquency by 84.2% (32 people) in a good category, 13.2% (5 people) in a sufficient category and 2.6% (1 person) in a bad category. preventive efforts in bad category were in a small percentage, but it would have a negative impact if not being handled. based on the results of the research, it is expected that school provides socialization to the parents about the prevention of juvenile delinquency and make a good cooperation in preventing juvenile delinquency. keywords: preventive efforts, parents, juvenile delinquency abstrak: tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan upaya preventif orang tua dalam mencegah kenakalan remaja. metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan instrumen penelitian berupa kuesioner. populasi dalam penelitian ini berjumlah 251 responden dan diambil sampel sebanyak 38 responden dengan menggunakan teknik quota sampling. waktu pengumpulan data dilaksanakan pada bulan maretapril 2015. hasil penelitian diketahui bahwa upaya preventif orang tua dalam mencegah kenakalan remaja sebanyak 84,2% (32 orang) memiliki kategori baik, 13,2% (5 orang) memiliki kategori cukup dan 2,6% (1 orang) memiliki kategori kurang. upaya preventif dalam kategori kurang memang persentasenya kecil, namun hal ini akan berdampak negatif apabila tidak ditindaklanjuti. berdasarkan hasil penelitian diharapkan pihak sekolah memberikan sosialisasi kepada orang tua siswa tentang pencegahan kenakalan remaja dan terjadi kerjasama yang baik dalam mencegah kenakalan remaja. kata kunci: upaya preventif, orang tua, kenakalan remaja masalah kenakalan remaja dewasa ini semakin dirasakan meresahkan masyarakat, baik di negaranegara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang. dalam kaitan ini, masyarakat indonesia telah mulai pula merasakan keresahan tersebut, terutama mereka yang berdomisili di kota besar. akhir-akhir ini masalah tersebut cenderung menjadi masalah nasional yang dirasa sulit untuk dihindari, ditanggulangi, dan diperbaiki kembali (sudarsono, 2004). masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang diawali dengan pubertas. masa remaja disebut juga masa strum and drang, yaitu masa pancaroba atau transisi. pada masa ini, sering kali timbul konflik batin, frustasi, dan penderitaan. remaja juga sering kali mengalami krisis penyesuaian, mimpi, dan angan-angan tentang cinta, atau perasaan tersisihkan dari kehidupan sosial budaya orang dewasa (irianti, 2010). kenakalan remaja yang terjadi di berbagai kota di indonesia memang sangat memprihatinkan. laporan pemerintah kota blitar (dalam http:// bappeda.blitarkota.go.id, diakses tanggal 30 oktober acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p123-126 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 124 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 123–126 2014) mengatakan bahwa kasus kenakalan remaja di kota blitar dalam 10 bulan di tahun 2013 mengalami peningkatan 16 kasus jika dibandingkan dengan tahun 2012 kemarin. kenaikan jumlah kasus remaja mengundang keprihatinan dan perlu untuk segera disikapi. di sisi lain, pemerintah kota blitar akan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menjaga keharmonisan keluarga masing-masing. mengingat, mayoritas kasus kenakalan remaja berakar dari kondisi keluarga mereka masing-masing yang tidak harmonis dengan berbagai faktor yang melatarbelakangi. kenakalan remaja bisa saja dilakukan oleh remaja yang masih berstatus sebagai pelajar maupun yang tidak berstatus sebagai pelajar dengan berbagai motif yang melatarbelakangi. hasil wawancara dari seorang guru bk smp di kota blitar terkait kenakalan remaja bulan januari–desember 2014 siswa kelas viii tercatat paling banyak melakukan berbagai masalah. berbagai masalah anak smp yaitu 20% siswa sering membolos; 10% siswa sering meninggalkan pelajaran; 14% siswa pernah berkelahi baik dengan teman sekelas, antar kelas, dan antar sekolah; 6% siswa terlibat kasus peredaran narkoba; 10% siswa pernah tergabung dalam geng “punk” anak jalanan hingga terkena razia satuan polisi pamong praja; 4% siswa terlibat pergaulan bebas hingga dikeluarkan dari sekolah; 16% siswa ketahuan merokok di area sekolah; dan 20% siswa memiliki handphone berisi video porno sehingga disita oleh guru. pihak sekolah telah membentuk ruang bk yang sa la h sa tunya untuk pembina a n a na k-a na k bermasalah. pemerintah kota blitar melalui dinas kesehatan dan bappemas kb telah membentuk poli pkpr di puskesmas sananwetan untuk pembinaan remaja bermasalah. pemerintah kota blitar juga menghimbau orang tua melalui media masa untuk lebih aktif dalam berupaya mencegah kenakalan remaja. upaya terpenting orang tua adalah upaya preventif untuk mencegah para remaja agar tidak melakukan kenakalan, karena pada masa ini sangat rawan dengan berbagai masalah yang timbul. tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan upaya prevensi orang tua mencegah kenakalan remaja. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan deskriptif. populasi penelitian ini adalah seluruh orang tua siswa kelas viii smpn v kota blitar sebanyak 251 orang. sampel penelitian ini sebanyak 38 orang yang dipilih dengan teknik sampling kuota. kriteria inklusi sampel yaitu orang tua yang anaknya tidak pernah melanggar kenakalan anak sekolah. variabel penelitian ini adalah upaya prevensi orang tua mencegah kenakalan remaja. pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 23 maret–18 april 2015 menggunakan kuesioner tertutup yang kembangkan dari teori. data dianalisis secara deskriptif dengan kategori upaya baik jika skor 76– 100%, cukup jika skor 56-75%, dan kurang jika skor  55%. hasil penelitian tabel 1. upaya prevensi orang tua mencegah kenakalan remaja di kecamatan sananwetan, maret-april 2015 (n=38) upaya f % baik 32 84,2 cukup 5 13,2 kuran g 1 2,6 total 38 100,0 tabel 2. upaya prevensi orang tua mencegah kenakalan remaja berdasarkan indikator di kecamatan sananwetan, maret-april 2015 (n=38) tabel 3. tabulasi silang antara tingkat pendidikan dan upaya prevensi orang tua mencegah kenakalan remaja di kecamatan sananwetan, maret-april 2015 (n=38) indikator upay a preventif (f / %) baik cukup kurang pendidikan agama 19 (50,0) 16 (42,1) 3 (7,9) kehidupan harmonis 26 (68,4) 6 (15,8) 6 (15,8) kesamaan norma 31 (81,6) 6 (15,8) 1 (2,6) kasih sayang 24 (63,2) 13 (34,2) 1 (2,6) perhatian 26 (68,4) 11 (28,9) 1 (2,6) pengawasan 29 (76,3) 6 (15,8) 3 (7,9) tingkat pendidikan upay a preventif (f / %) baik cukup kurang sd 2 (5,3) 3 (7,9) 0 (0,0) smp 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) sma 16 (42,1) 0 (0,0) 0 (0,0) pt 8 (21,1) 0 (0,0) 0 (0,0) 125suwella, mugianti, setijaningsih dan suprajitno, upaya prevensi orang tua ... pembahasan pendidikan dan pengalaman orang tua mempengaruhi persiapan pengasuhan. kesiapan orang tua menjalankan peran pengasuhan antara lain terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anakanak, dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak (http://repository.usu.ac.id, diakses tanggal 27 juli 2015). orang tua yang memiliki anak lebih dari satu bisa saja lebih telaten dan mengerti tentang mendidik anak agar terhindar dari perilaku menyimpang. willis (2005) membagi sebab-sebab kenakalan remaja menjadi empat faktor, yaitu faktor yang ada di dalam diri anak sendiri, faktor di rumah tangga, faktor di mayarakat, dan faktor yang berasal dari sekolah. salah satu faktor di rumah tangga yaitu keadaan ekonomi orang tua (terutama di desa), menyebabkan tidak mencukupi kebutuhan anakanaknya. menurut sumiati dkk (2009) ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah privilege diperkirakan 50:1, disebabkan remaja dari kelas sosial rendah kurang kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan. kenakalan remaja kota dan desa bukan hanya disebabkan tingkat sosial ekonomi rendah, namun jika orang tua mampu menanamkan nilai-nilai agama, memberikan perhatian dan pendidikan yang baik, dan mengembangkan ketrampilan dengan cara yang positif maka kenakalan remaja dapat dicegah. seorang ibu bahkan memiliki kontribusi yang besar dalam melakukan upaya pencegahan kenakalan remaja, karena ibu memiliki waktu luang yang lebih banyak bersama anak sehingga dapat memberikan pengarahan, bimbingan dan contoh kepada anak dalam berperilaku. kewajiban orang tua melihat dan mengawasi sikap dan perilaku remaja agar tidak terjerumus dalam kenakalan remaja dan tindakan yang merugikan remaja, perlu dilakukan dengan bersahabat dan lemah lembut. sikap orang tua yang penuh curiga, justru akan menciptakan jarak antara anak dan orang tua, serta kehilangan kesempatan untuk melakukan dialog terbuka dengan remaja (http://idai.or.id/publicarticles, diakses tanggal 30 oktober 2014). hal ini dapat diasumsikan bahwa pengaruh teman bergaul sangat berdampak bagi perkembangan remaja. orang tua lebih baik berhati-hati dalam memberikan kebebasan anak dalam bergaul/memilih teman. penting bagi orang tua untuk mengetahui dengan siapa anaknya bergaul, siapa saja yang menjadi teman dekatnya untuk mencegah agar anak tidak ikut berperilaku menyimpang akibat pengaruh dari teman. remaja memiliki social cognition yaitu kemampuan untuk mengenal orang lain dan conformity yaitu kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, dan hobi orang lain (teman sebaya) (irianti, 2010). respons orang tua saat anak mengajak teman bergaul ke rumah adalah senang sebagai upaya prevensi lebih baik agar anak tumbuh menjadi pribadi yang baik. hal yang perlu diawasi orang tua adalah teman bergaul, disiplin waktu, penggunaan uang, dan ketaatan melakukan ibadah. teman bergaul remaja berhubungan dengan berhasil tidaknya upaya orang tua mendidik anak. jika teman bergaul anak baik maka upaya mendidik berhasil baik, sebaliknya jika teman bergaul adalah anak yang nakal maka upaya mendidik anak gagal karena pergaulan yang kurang sehat akan merusak upaya pendidikan (willis, 2005: 132). pola asuh dapat digunakan sebagai upaya prevensi mencegah kenakalan remaja. orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis sebanyak 30 orang (78,9%) dengan cara memperhatikan kebutuhan anak. pola asuh permisif atau tidak memaksakan peraturan dilakukan oleh 2 orang (5,3%) dan selebihnya pola asuh otoriter. baumrind mengkategorikan pola asuh menjadi tiga jenis yaitu: pola asuh otoriter (authoritarian), pola asuh demokratis (authoritative) dan pola asuh permisif (permissive) (fathi, 2011). pola asuh juga berpengaruh terhadap keberhasilan keluarga dalam mentransfer dan menanamkan nilai-nilai agama, kebaikan, dan norma yang berlaku di masyarakat. pola asuh anak meliputi interaksi antara orang tua dan anak dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis. berdasarkan pembahasan apabila diranking dari masing-masing indikator diperoleh hasil: 1) upaya preventif baik dengan adanya kesamaan norma-norma yang dipegang antara ayah, ibu, dan keluarga lainnya di rumah tangga dalam mendidik anak-anak (indikator 3) sebanyak 81,6% (31 orang); 2) upaya preventif baik dengan memberikan pengawasan secara wajar terhadap pergaulan anak remaja di lingkungan masyarakat (indikator 6) sebanyak 76,3% (29 orang); 3) upaya preventif baik dengan 126 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 123–126 menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis (indikator 2) dan upaya preventif baik dengan memberikan perhatian yang memadai terhadap kebutuhan anak-anak (indikator 5) sebanyak 68,4% (26 orang); 4). upaya preventif baik dengan memberikan kasih sayang secara wajar kepada anak-anak (indikator 4) sebanyak 63,2% (24 orang); dan 5) upaya preventif baik dengan menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama (indikator 1), sebanyak 50% (19 orang). simpulan dan saran simpulan upaya prevensi orang tua mencegah kenakalan remaja secara keseluruhan dalam kategori baik 84,2% (32 orang), kategori cukup 13,2% (5 orang) dan kategori kurang 2,6% (1 orang). saran saran untuk guru bk (bimbingan konseling) memberikan sosialisasi tentang kasus kenakalan remaja dan cara pencegahan kenakalan remaja melalui upaya prevensi, karena usia remaja merupakan rawan terjadi perilaku menyimpang, bagi orang tua dan remaja agar menjaga hubungan dan komunikasi saling terbuka dengan orang tua, ada kerjasama antara pihak sekolah, orang tua, dan siswa untuk mencegah kenakalan remaja. daftar rujukan astuti, e. s. 2004. pengaruh pola asuh orang tua terhadap gejala kenakalan anak/remaja dan penanggulangannya. tesis. semarang: universitas diponegoro. bahiyatun. 2010. psikologi ibu & anak: buku ajar bidan. jakarta: egc. bappeda. 10 bulan naik 16 kasus kenakalan remaja, (online) (http://bappeda.blitarkota.go.id, diakses tanggal 30 oktober 2014). cristensen & kenney. 2009. proses keperawatan: aplikasi model konseptual. jakarta: egc. effendy, n. 1998. dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. jakarta: egc. fathi, b. 2011. mendidik anak dengan al-qur’an: sejak janin. bandung: istana oasis. http://health.liputan6.com/read/687598/usia-remajaanak-biasanya-rentanmenjadi-nakal, (online) diakses tanggal 05 maret 2015. http://health.liputan6.com/read/2185660/kenapa-anakbisa-jadi-begal, (online) diakses tanggal 05 maret 2015. http://kamusbahasaindonesia.org/upaya/mirip#ixzz3 ot62zhnu, (online) diakses tanggal 28 desember 2014. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24525/4/ chapter%20ii.pdf, (online) diakses tanggal 27 desember 2014. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34210/3/ chapter ii.pdf, (online) diakses tanggal 27 juli 2015. idai. 2013. overview adolescent health problems and services, (online) (http://idai.or.id/public-articles/ seputar-kesehatan-anak/overview-adolescenthealth-problems-and-services.html, diakses tanggal 30 oktober 2014). irianti, i. 2010. buku ajar psikologi untuk mahasiswa kebidanan. jakarta: egc. jahja, y. 2011. psikologi perkembangan. jakarta: kencana prenada media group. mayangkararadio. 2013. kenakalan remaja bukan hany a tanggung jawab pemerintah te tapi pengawasan orang tua lebih utama, (online) (http://mayangkararadio.com, diakses tanggal 31 oktober 2014). notoatmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. rifai, m.s.s. 1987. psikologi perkembangan remaja dari segi kehidupan sosial. jakarta: pt bina aksara. soekanto, s. 2007. sosiologi suatu pengantar. jakarta: pt raja grafindo persada. soeroso, a. 2008. sosiologi 1. jakarta: yudhistira. soetjiningsih. 1995. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. sudarsono. 2004. kenakalan remaja. jakarta: rineka cipta. sumiati, dkk. 2009. kesehatan jiwa remaja dan konseling. jakarta: tim. wahyuning, dkk. 2003. mengkomunikasikan moral kepada anak. jakarta: pt elex media komputindo. willis, s.s. 2005. remaja & masalahnya: mengupas berbagai kenakalan remaja seperti narkoba, free sex dan pemecahannya. jawa barat: alfabeta. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 322 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 322–327 322 pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa di uptd kesehatan sukorejo kota blitar (empowering families that have mental disorders members of life at uptd sukorejo city blitar) suprajitno dan yuni tanzilla april liani program studi diploma 3 keperawatan blitar politeknik kesehatan kementrian kesehatan malang email: lyanchyzyla@yahoo.co.id abstract: mental illness in indonesia has a prevalence of 6% for ages 15 and over, or about 14 million people. in order to prevent the continued development of health problems related to mental disorders, family members need to be empowered and increased the ability which includes 5 basic tasks in the field of family health. the purpose of this research was to describe the empowerment of families who had a mental disorder member in uptd health sukorejo. the research method used descriptive design. the population in this study was families who had mental disorder member in the district sukorejo as many as 33 families, the sample was 30 families. the sampling technique used purposive sampling and the instrument used fes (family empowerment scale) from koren, et. all. family empowerment said to be optimal if the average of 56.66. the results showed an average of 36.25 ± 6.110 family empowerment means empowerment of the family had not been optimal. this was possible because most of the care for people with mental disorders was maternal age> 50 years, elementary education and did not work and care for people with mental disorders for> 10 years. the study was expected health workers could provide health services in cooperation with various related parties, socializing and management of mental disorders in the community could be optimized. keywords: family, mental disorders, family empowerment abstrak: penyakit gangguan jiwa di indonesia mempunyai prevalensi sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. untuk mencegah terus berkembangnya masalah kesehatan yang berkaitan dengan gangguan jiwa pada anggota keluarga perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan kemampuan keluarga yang meliputi 5 tugas pokok keluarga dalam bidang kesehatan. tujuan dalam penelitian ini adalah menggambarkan pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa di uptd kesehatan sukorejo. metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi pada penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa di wilayah kecamatan sukorejo sebanyak 33 keluarga, dengan menggunakan sampel sebanyak 30 keluarga. teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dan instrumen fes (family empowerment scale) dari koren, et. al. pemberdayaan keluarga dikatakan optimal jika rata-ratanya sebesar 56,66. hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata pemberdayaan keluarga 36,25 ± 6,110 artinya pemberdayaan keluarga belum optimal. hal ini dimungkinkan karena sebagian besar yang merawat penderita gangguan jiwa ibu berumur > 50 tahun, pendidikan sd dan tidak bekerja serta merawat penderita gangguan jiwa selama > 10 tahun. penelitian ini diharapkan petugas kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk kerja sama dengan berbagai pihak terkait, sosialiasi dan penatalaksanaan gangguan jiwa di masyarakat dapat dioptimalkan. kata kunci: keluarga, gangguan jiwa, pemberdayaan keluarga acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p322-327 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 323suprajitno dan liani, pemberdayaan keluarga ... masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi (yosep, 2009). masalah kesehatan jiwa menimbulkan beban besar terhadap odmk (orang dengan masalah kejiwaaan), keluarga, teman, masyarakat, maupun pemerintah, keluarga, dan anak sebagai investasi (suprianto, 2011). untuk menyikapi masalah kesehatan jiwa di indonesia, pemerintah dan masyarakat telah melakukan upaya-upaya, antara lain: 1) menerapkan sistem pelayanan kesehatan jiwa yang komprehensif, terintegrasi, dan berkesinambungan di masyarakat; 2) menyediakan sarana, prasarana, dan sumberdaya yang diperlukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di seluruh wilayah indonesia, termasuk obat, alat kesehatan, dan tenaga kesehatan dan non-kesehatan terlatih; 3) menggerakkan masyarakat untuk melakukan upaya preventif dan promotif serta deteksi dini gangguan jiwa dan melakukan upaya rehabilitasi serta reintegrasi ogdj ke masyarakat. di samping itu, upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah pemberdayaan odgj, yang bertujuan agar dapat hidup mandiri, produktif, dan percaya diri di tengah masyarakat, bebas dari stigma, diskriminasi atau rasa takut, malu serta ragu-ragu. upaya ini sangat ditentukan oleh kepedulian keluarga dan masyarakat di sekitarnya (http://www.depkes.go.id/ article/vie w/201410270011/ stop-stigma-dandiskriminasi-terhadap-orang-dengan-gangguanjiwa-odgj.html diakses 1 desember 2014). menurut who, masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang serius. who (2001) menyatakan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. who memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia ini yang mengalami gangguan kesehatan jiwa (yosep, 2009). hasil studi yang dilakukan di 5 negara eropa (italia, inggris, jerman, portugal, dan yunani) melaporkan bahwa pengasuh anak dengan skizofrenia menghabiskan rata-rata 6-9 jam per hari menyediakan perawatan. survei yang dilakukan inggris menemukan: 95% dari keluarga adalah pengguna jasa, 29% memberikan dukungan dan perawatan selama lebih dari 50 jam per minggu, 90% yang dipengaruhi oleh peran peduli dalam hal kegiatan rekreasi, karir, kemajuan, keadaan ekonomi, dan hubungan keluarga; 60% memiliki kehidupan sosial secara signifikan atau sedang berkurang, 33% merasa bahwa hubungan keluarga yang terkena dampak serius, dan 41% memiliki kesehatan mental dan fisik yang signifikan atau cukup berkurang (who, 2010). penyakit gangguan jiwa di indonesia menurut hasil riset kesehatan daerah (riskesdas) tahun 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejalagejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. sedangkan, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti schizophrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. (http://www.depkes.go. id/article/ligh ting-the-hope-for-schizoprenia.html diakses pada tanggal 28 oktober 2014). hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada hari rabu, tanggal 22 oktober 2014 di uptd sekota blitar, di uptd sananwetan terdapat 116 penderita gangguan jiwa, di uptd kepanjen kidul terdapat 136 penderita gangguan jiwa dan di uptd sukorejo terdapat 176 penderita gangguan jiwa. dari hasil pengamatan dan wawancara dengan keluarga dari seorang penderita gangguan jiwa di uptd kepanjen kidul, setelah keluar dari rumah sakit jiwa, keluarga selalu mengingatkan klien untuk minum obat teratur dari puskesmas, keluarga diajari cara memberikan obat, dan jika tidak diawasi minum obat, klien biasanya tidak minum obat sehingga klien kambuh (mengamuk). untuk mencegah terus berkembangnya masalah kesehatan yang berkaitan dengan gangguan mental psikiatri pada anggota keluarga perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan kemampuan keluarga yang meliputi 5 tugas pokok keluarga dalam bidang kesehatan (rasmun, 2001). pengertian kesehatan di sini sudah lebih diarahkan untuk hidup lebih produktif, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, yang menyebutkan “kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis” (permenkes no. 220/ menkes/sk/iii/2002, 25 maret 2002 diakses 29 oktober 2014). menurut permenkes nomor 220/2002 “kebijakan kesehatan jiwa masyarakat terdapat 4 (empat) perubahan yaitu dari berbasis rumah sakit menjadi berbasis masyarakat, dapat ditangani di semua pelayanan kesehatan yang ada, dahulu rawat inap sekarang mengandalkan pelayanan rawat jalan dan dahulu penderita gangguan jiwa perlu disantuni sekarang dapat diberdayakan”. “pemberdayaan” adalah konsep inti dari visi promosi kesehatan who. mental health declaration for europe dan european 324 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 322–327 pact for mental health mengidentifikasi kesejahteraan pemberdayaan orang dengan masalah kesehatan mental dan peduli kepada mereka sebagai prioritas untuk dekade selanjutnya (who regional office for europe, 2010). dari uraian diatas pemberdayaan keluarga pada odgj (orang dengan gangguan jiwa) sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktifitas dan kemandirian penderita gangguan jiwa. oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa di uptd sukorejo, kota blitar bahan dan metode dalam penelitian ini, desain penelitian yang dipergunakan adalah desain penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa sebanyak 83 di uptd sukorejo, kota blitar. sampel dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa di uptd sukorejo sebanyak 33 keluarga. dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. peneliti melaksanakan kegiatan penelitian secara door to door di rumah keluarga penderita gangguan jiwa yang ada di uptd sukorejo pada bulan maret-april 2015. variabel dalam penelitian ini adalah pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa. hasil penelitian data umum karakteristik berdasarkan umur orang tua penderita gangguan jiwa karakteristik berdasarkan jenis kelamin orang tua tabel 1. karakteristik berdasarkan umur orang tua penderita gangguan jiwa um ur f % 5060 tahun 6 20,0 6170 tahun 16 53,3 7180 tahun 8 26,7 total 30 100,0 berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa lebih dari separo umur orang tua yang merawat penderita gangguan jiwa adalah 61-70 tahun. tabel 2. karakteristik berdasarkan jenis kelamin orang tua jen is kelamin f % perempuan 23 76,7 laki-laki 7 23,3 total 30 100,0 berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar orang tua yang merawat penderita gangguan jiwa berjenis kelamin perempuan. karakteristik berdasarkan pekerjaan orang tua tabel 3. karakteristik berdasarkan pekerjaan orang tua pek er jaan f % tidak bekerja/irt 16 53,3 tani 1 3,3 swasta 13 43,3 total 30 100,0 berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa lebih dari separo orang tua yang merawat penderita gangguan jiwa tidak bekerja/irt. karakteristik berdasarkan pendidikan terakhir orang tua tabel 4. karakteristik berdasarkan pendidikan terakhir orang tua pendidikan f % sd 27 90,0 smp 3 10,0 total 30 100,0 berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa hampir semua orang tua yang merawat penderita gangguan jiwa berpendidikan terakhir sd. karakteristik berdasarkan hubungan orang tua dengan penderita sebagian besar hubungan orang tua yang merawat penderita gangguan jiwa adalah ibu. 325suprajitno dan liani, pemberdayaan keluarga ... karakteristik berdasarkan jenis kelamin penderita gangguan jiwa berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penderita menderita gangguan jiwa selama lebih dari 10 tahun sebanyak 66% (20 orang). kunjungan puskesmas tabel 5. karakteristik berdasarkan hubungan orang tua dengan penderita hubungan f % ayah 7 23,3 ibu 23 76,7 to tal 30 100,0 tabel 6. karakteristik berdasarkan jenis kelamin penderta gangguan jiwa jenis kela min f % pe rempuan 9 30,0 laki-laki 21 70,0 total 30 100,0 berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penderita gangguan jiwa berjenis kelamin laki-laki. karakteristik berdasarkan umur penderita gangguan jiwa tabel 7. karakteristik berdasarkan umur penderita gangguan jiwa umur penderita f % 2030 tahun 5 16,7 3140 tahun 12 40,0 4150 tahun 9 30,0 5160 tahun 4 13,3 total 30 100,0 berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar penderita gangguan jiwa berusia produktif dengan prosentase 70% (21 penderita). karakteristik berdasarkan lama menderita gangguan jiwa tabel 8. karakteristik berdasarkan lama menderita gangguan jiwa lama menderit a f percent 1-10 tahun 10 33,3 11-20 tahun 14 46,7 21-30 tahun 4 13,3 31-40 tahun 1 3,3 41-50 tahun 1 3,3 total 30 100,0 tabel 9. kunjungan puskesmas kunjungan f percent ya 22 73,3 tidak 8 26,7 t otal 30 100,0 berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar ada kunjungan dari puskesmas ke rumah keluarga penderita gangguan jiwa. data khusus pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa di uptd kesehatan sukorejo 20 maret 2015. berdasarkan tabel 10 menunjukkan nilai sub item pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa pada item sosial/politik mempunyai rata-rata lebih rendah dan rata-rata pemberdayaan keluarga lebih dari separo dari rata-rata maksimal pemberdayaan keluarga. pembahasan pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa di wilayah uptd kesehatan sukorejo mempunyai rata-rata 36,25 ± 6,110. rata-rata tersebut hanya lebih dari separo rata-rata maksimal pemberdayaan yaitu 56,66, dengan rata-rata pada masing-masing level pemberdayaan keluarga yaitu (i) keluarga: 39,43 ± 6,157, (ii) pelayanan kesehatan: 38,83 ± 5,867, (iii) sosial/politik: 30,50 ± 6,307 sehingga pemberdayaan keluarga tidak optimal. hal ini dimungkinkan karena sebagian besar yang merawat penderita gangguan jiwa adalah ibu yang berumur lebih dari 50 tahun yang berpendidikan sd dan tidak bekerja sehingga membuat keluarga tidak berdaya dalam merawat penderita yang sebagian besar menderita gangguan jiwa selama lebih dari 10 tahun. menurut gunarsa (2001:37) bahwa makin tua umur seseorang maka proses perkembangan mental akan makin baik sehingga pada usia tersebut sudah matang menerima 326 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 322–327 informasi dan menerapkannya. dengan demikian orang tua yang berusia > 20 tahun dan < 80 tahun seharusnya sudah matang dan mampu mengoptimalkan pemberdayaan keluarga pada penderita gangguan jiwa. menurut caplan lingkungan sosial akan memengaruhi individu, pengalaman seseorang dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, tidak dihargai akan menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku (yosep, 2009:257). dari hasil penelitian nilai terendah rata-rata dari level pemberdayaan adalah level sosial/politik dimungkinkan karena sebanyak 57% (17 keluarga) membiarkan/tidak mengajak penderita gangguan jiwa bersosialisasi di lingkungan masyarakat. hal ini membuat penderita merasa dikucilkan dan akan menyebabkan stress yang menghambat proses penyembuhan penderita gangguan jiwa. ditinjau dari item pernyataan dari masingmasing domain pemberdayaan keluarga kurang mendapatkan informasi untuk memahami kondisi penderita ditunjukkan pada item pernyataan dengan nilai terendah pada domain keluarga sebesar 87, pada domain pelayanan kesehatan dimungkinkan pelayanan kesehatan kurang profesional dalam menentukan layanan yang tepat bagi penderita sehingga nilai terendah sebesar 85, dan pada domain sosial nilai terendah yaitu sebesar 80 dimungkinkan karena keluarga belum tahu akan hak orang tua dan anak yang sesuai dengan undang-undang terkait dengan orang dengan gangguan jiwa sehingga rata-rata pemberdayaan keluarga di wilayah sukorejo belum maksimal. keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (clement dan buchanan, 1982:171 dalam yosep, 2009:319) kunjungan rumah oleh perawat membantu penderita dan keluarga menyesuaikan diri di lingkungan keluarga, dalam hal sosialisasi, perawatan mandiri dan kemampuan memecahkan masalah (yosep, 2009:321). sebanyak 72% (22 keluarga) mendapatkan kunjungan dari pelayanan kesehatan sehingga membantu keluarga dalam perawatan dan pemecahan masalah penderita gangguan jiwa dengan ditunjukkan sebanyak 60% (16 keluarga) memberi kesibukan atau aktivitas penderita untuk meningkatkan kemandirian penderita di rumah. keluarga berfungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi (suprajitno, 2004). dari hasil penelitian sebagian besar keluarga menyatakan bahwa mereka adalah orang tua yang baik dengan ditunjukkan pada item pernyataan ketika ada masalah kesehatan keluarga minta bantuan dari orang lain untuk mengupayakan kesembuhan penderita. pentingnya perawatan di lingkungan keluarga dapat dipandang dari berbagai segi yaitu: keluarga merupakan suatu konteks di mana individu memulai hubungan interpersonal (yosep, 2009:316). salah satu tugas keluarga di bidang kesehatan adalah memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga (suprajitno, 2004). sebagian besar keluarga menyatakan bahwa keluarga mampu bekerja sama dengan lembaga pelayanan kesehatan dan petugas tabel 10. pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa di uptd kesehatan sukorejo 20 maret 2015 no pemberdayaan m in mak s rata simpangan baku 1 keluarga 25 53 39,4 6,157 3 2 pelayanan 28 51 38,8 5,867 kesehatan 3 3 sosial/politik 19 45 30,5 6,307 0 pemberdayaan keluarga 36,2 6,110 5 327suprajitno dan liani, pemberdayaan keluarga ... kesehatan untuk memutuskan pelayanan apa yang dibutuhkan anak saya. hal ini merupakan upaya keluarga dalam memberikan perawatan kesehatan pada penderita di lingkungan keluarga. kebijakan dari pemerintah tentang program peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan swasta diharapkan mampu mendorong kemandirian masyar akat untuk mencapai jiwa yang sehat khususnya dalam hal membantu identifikasi masalah kesehatan jiwa dalam masyarakat dan sumber daya yang ada dalam masyarakat (kepmenkes, 2002). sebagian besar keluarga menyatakan bahwa keluarga berpartisipasi dalam meningkatkan pelayanan bagi penderita di lingkungan masyarakat. hal ini menunjukkan bahwa di wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo keluarga dan masyarakat dapat mandiri dalam mengidentifikasi masalah kesehatan jiwa penderita gangguan jiwa sesuai dengan program pemerintah. simpulan dan saran simpulan berdasarkan penelitian tentang pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga gangguan jiwa yang telah dilaksanakan 9–17 maret 2015 di uptd kesehatan sukorejo kota blitar dapat diambil kesimpulan rata-rata pemberdayaan keluarga yaitu 36,25 ± 6,110. rata-rata tersebut hanya lebih dari separo rata-rata maksimal pemberdayaan yaitu 56,66, dengan rata-rata pada masing-masing level pemberdayaan keluarga yaitu (i) keluarga: 39,43 ± 6,157, (ii) pelayanan kesehatan: 38,83 ± 5,867, (iii) sosial/politik: 30,50 ± 6,307 sehingga pemberdayaan keluarga tidak optimal. hal ini dimungkinkan karena sebagian besar yang merawat penderita gangguan jiwa adalah ibu yang berumur lebih dari 50 tahun yang berpendidikan terakhir sd dan tidak bekerja sehingga membuat keluarga tidak berdaya dalam merawat penderita yang sebagian besar menderita gangguan jiwa selama lebih dari 10 tahun. saran bagi pelayanan kesehatan, hasil penelitian ini, dapat diberikan kepada petugas kesehatan sebagai masukan dalam memberikan pelayanan kesehatan. dalam bentuk kerja sama dengan pihak rt/rw setempat untuk memberikan pengarahan kepada keluarga tentang pentingnya peran lingkungan dan sosialisasi klien dimasyarakat, untuk mendukung kesembuhan klien dan mengurangi stigma pada penderita gangguan jiwa. sehingga keluarga dan masyarakat ikut serta dalam proses penyembuhan klien. bagi peneliti selanjutnya, dapat mengembangkan penelitian ini dengan memperluas pembahasan penelitian tidak hanya mengenai pemberdayaan keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa secara umum saja tetapi dapat dikembangkan dengan melihat dari masing-masing pemberdayaan keluarga pada klasifikasi jenis gangguan jiwa, seperti skizofrenia, retardasi mental, dan sebagainya. daftar rujukan permenkes nomor 220 ri tentang pedoman tim pembina, tim pengarah, tim pelaksana, kesehatan jiwa masyarakat (tp-kjm), (online) (http://www. hukor.depkes.go.i d/up_prod_kepmenkes/kmkn o.220 diakses 02 oktober 2014) suprajitno. 2004. asuhan keperawatan keluarga: aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. yosep, iyus. 2009. keperawatan jiwa edisi revisi. bandung: pt refika aditama. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 164 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 164–169 164 hubungan usia pasien muslim dengan harapan mendapatkan bimbingan spiritual islam (the correlation of moslem patients’ age and the expectation of getting islamic spiritual guidance) yeni kartika sari dan husyam arsyad program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: kartikasariyeni84@gmail.com abstract: nurses have the greatest opportunity to provide comprehensive health services including spiritual needs. in fact nurses give less attention on spiritual aspects of the patient. the purpose of this study was to explain the correlation of muslim patients’ age and expectation of getting islamic spiritual guidance. this study used cross sectional design with a population of patients treated in inpatient hospital of ngudi waluyo wlingi. the sample was 35 respondents selected by accidental sampling technique. the data were analyzed using the wilcoxon signed rank test with a significance level of alpha <0.005. the results showed that there were no correlation between muslim patients’ age and the expectation of getting islamic spiritual guidance in the inpatient hospital ngudi waluyo wlingi with rho value of 0.4 and the number of respondents who expect spiritual guidance as much as 82%, so it is expected that ngudi waluyo wlingi hospitals to develop islamic spiritual guidance to moslem patient keywords: age, spiritual guidance abstrak: perawat mempunyai kesempatan paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif termasuk kebutuhan spiritual. kenyataannya perawat kurang memperhatikan aspek spiritual pasien. tujuan penelirtian ini adalah untuk menjelaskan hubungan antara usia pasien muslim dengan harapan mendapatkan bimbingan spiritual islam. penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional dengan populasi pasien yang dirawat di instakasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi. sampel penelitian dipilih menggunakan teknik accidental sampling sampai diperoleh 35 responden. data yang diperoleh dianalisis menggunakan wilcoxon sign rank test dengan tingkat signifikansi alpha<0,005. hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara usia pasien muslim dengan harapan mendapatkan bimbingan spiritual islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi dengan nilai rho 0,4 dan jumlah responden yang mengharapkan bimbingan spiritual sebanyak 82% , sehingga disarankan sebaiknya walaupun rsud ngudi waluyo wlingi merupakan rumah sakit pemerintah, namun perlu dikembangkan bimbingan rohani islam. kata kunci: usia, bimbingan spiritual kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan tuhan artinya adalah kebutuhan untuk mencari arti tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta untuk memberikan maaf (watson, 2003). perawat berperan untuk membantu memenuhi kebutuhan spiritual klien sebagai bagian dari kebutuhan menyeluruh klien, antara lain dengan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spiritual klien tersebut, walaupun perawat dan klien tidak mempunyai keyakinan spiritual atau keagamaan yang sama. hal ini disebabkan karena perawat sebagai tenaga kesehatan yang professional mempunyai kesempatan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p164-169 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 165sari dan arsyad, hubungan usia pasien ... paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif dengan membantu klien memenuhi kebutuhan dasar yang holistik. perawat memandang klien sebagai makhluk bio-psiko-sosiokultural dan spiritual yang berespon secara holistik dan unik terhadap perubahan kesehatan atau pada keadaan krisis. asuhan keperawatan yang diberikan perawat tidak bisa lepas dari aspek spiritual yang merupakan bagian integral dari integrasi perawat dengan klien, (hamid, 2008 ) kenyataannya, perawat kurang memperhatikan tentang aspek spiritual. hal ini didukung dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh tanjung n & salbiah (2011) di rsud deli serdang lubukpakam diperoleh bahwa belum sempurnanya perawat memenuhi kebutuhan spiritual pasien. untuk itu, disarankan agar perawat lebih memperhatikan kebutuhan spiritual pasien sehingga dapat meningkatkan kepuasan pasien. ada berbagai macam cara pemberian bimbingan spiritual yang dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien, salah satunya yaitu terapi religius doa yang berpengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien. seperti penelitian yang dilakukan budianto (2009) di unit rawat inap rumah sakit mardi rahayu kudus diperoleh hasil bahwa gambaran sebelum dilakukan asuhan keperawatan spiritual berupa terapi religius doa pada pasien pre operasi: tidak ada kecemasan 0, kecemasan ringan 54,29%, kecemasan sedang 34, 29%, kecemasa n berat 11,42% dan panik 0%. setelah dilakukan asuhan keperawatan spiritual berupa terapi religius doa tidak ada kecemasan 94,29 %, kecemasan sedang 0 %, dan panik 0%. hasil yang sama juga diperoleh luluk & joko (2010) yang melakukan penelitian tentang pengaruh bimbingan do’a dan dzikir terhadap kecemasan pasien pre-operasi di rsud swadana pare kediri bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan kecemasan pasien pre-operasi antara pasien yang diberi bimbingan dzikir dan pasien yang tidak diberi bimbingan dzikir, dimana kecemasan pasien pre operasi pada pasien yang tidak diberi bimbingan dzikir lebih tinggi dibanding pasien yang diberi bimbingan dzikir. bimbingan spiritual islam juga efektif dalam penurunan kecemasan dan motivasi hidup pasien terminal. terlihat dari penelitian dengan metode kualitatif yang dilakukan oleh ibrahim, dkk (2002) diperoleh hasil bahwa pemberian bimbingan spiritual efektif untuk menur unka n kecema san segera setelah diberikan bimbingan kepada klien yang mengalami penyakit terminal tetapi setelah tidak dibimbing dua minggu kecemasan klien terminal berangsur-angsur meningkat lagi dan pemberian bimbingan spiritual efektif meningkatkan motivasi hidup bagi klien terminal, baik tentang kesungguhan mencari nafkah, keinginan untuk meningkatkan peningkatan kebutuhan-kebutuhan hidup maupun keajegan dalam bekerja. menurut arifin, 1982, bimbingan spiritual islam dilakukan untuk meningkatkan iman dan taqwa. dengan iman dan taqwanya manusia terlepas dari penyakit mental dalam segala bentuknya, sehingga semua persoalan yang dihadapi dipandang sebagai cobaan yang mengandung hikmah baginya. hidupnya selalu penuh dengan kesadaran dan harapan karena hubungan dengan tuhannya, selalu mendekatkan diri pada-nya dan timbul keyakinan bahwa pertolongan-nya senantiasa siap untuk dianugerahkan kepada siapa saja yang dekat kepada-nya. salah satu materi di bidang syari’ah dalam bimbingan rohani adalah agar pasien beribadah (sholat), berdzikir dan berdoa memohon kesabaran serta kesembuhan. sholat, berdzikir dan berdo’a dilakukan sebagai salah satu bentuk ikhtiar spiritual dalam penyembuhan, korelasinya dengan peningkatan kekebalan tubuh dapat dibuktikan sebagai berikut: sholat, berdzikir dan berdo’a merupakan ibadah sarat muatan psikologis yang mempengaruhi kognisi dengan memperbaiki persepsi; motivasi positif dan coping efektif. pada teori gate control dikatakan bahwa stres dapat dikendalikan oleh biokimiawi juga motivasi-proses kognisi, sehingga dengan sikap optimis, orang akan terjaga dan tetap dalam kondisi homeostasis ( yurisaldi, 2010). dengan melakukan sholat, berdzikir dan berdo’a mendatangkan persepsi positif. amigdala akan mengirimkan informasi kepada locus coeruleus (lc) yang mengaktifkan reaksi syaraf otonom, lewat hipothalamus, mensekresikan neurotransmitter; endorpin dan enkefalin yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit dan pengendali sekresi corticotrophine hipotalamus releasing hormone (crh) secara berlebihan. akibatnya hypotalamic pituitary adrenocortical axis (hpa axis) dalam mensekresi adrenocorticotropic hormone (acth) juga stabil terkendali, begitu juga kortisol; adrenalin dan nor adrenalin serta katekolamin yang mempunyai reseptor alfa (ra) dan beta (rb), sehingga sistem imun menjadi positif (mohamad sholeh, 2009). 166 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 164–169 menurut rahmad, 2010, kebutuhan spiritual dimulai sejak bayi sampai dengan lansia. pada bayi dan toddler kebutuhan spiritual dapat berupa rasa percaya kepada yang mengasuh, termasuk perawat yang merawat. sedangkan pada lansia kebutuhan spiritual dapat berupa menerima sakit dan kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak. dalam memenuhi kebutuhan spiritual pasien , perawat dapat melakukan tindakan antara lain dengan memfasilitasi pasien terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual; sentuhan terapeutik, bimbingan rohani (kusnanto, 2004). rumah sakit umum daerah ngudi waluyo wlingi adalah rumah sakit tipe b non pendidikan milik pemerintah daerah kabupaten blitar dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 250 tempat tidur. pasien rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi mayoritas adalah muslim terbukti dari 146 pasien dewasa yang sedang dirawat pada tanggal 28 september 2014 sebanyak 138 (94,5%) muslim. dari studi pendahuluan didapatkan bahwa dari 7 pasien muslim, 2 pasien sangat mengharapkan bimbingan spiritual islam, 4 pasien cukup mengharapkan bimbingan spiritual islam dan 1 orang kurang mengharapkan bimbingan spiritual islam korelasi antara usia pasien muslim dengan harapan untuk mendapatkan bimbingan spiritual islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi belum dapat dijelaskan sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana hubungan usia pasien muslim dengan harapan untuk mendapatkan bimbingan spiritual islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi. sedangkan tujuan umum pada penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan usia pasien muslim dengan harapan untuk mendapatkan bimbingan spiritual islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi. adapun tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi usia pasien muslim di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi, 2) mengidentifikasi harapan pasien muslim untuk mendapatkan bimbingan spiritual islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi, 3) menganalisis hubungan usia pasien muslim dengan harapan untuk mendapatkan bimbingan spiritual islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi. manfaat penelitian ini secara teoritis adalah sebagai tambahan dalam bidang ilmu keperawatan dasar manusia sehubungan dengan pentingnya kebutuhan spiritual pasien untuk menunjang kesembuhannya. sedangan manfaat praktisnya adalah sebagai bahan acuan pemberian asuhan keperawatan kepada pasien khususnya dalam pemberian bimbingan spiritual pada pasien. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. dengan cara mengidentifikasi melalui questioner pada pasien muslim tentang usianya dan harapan untuk mendapatkan bimbingan spiritual islam, dilakukan pada waktu yang bersamaan pada setiap responden kemudian dianalisis untuk mencari hubungan keduanya. subyek penelitian ini berjumlah 35 orang pasien dewasa yang dirawat di ruang rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi yang dipilih dengan menggunakan teknik convinience sampling (accidental sampling) yang beragama islam. variabel dependen pada penelitian ini adalah usia pasien muslim, sedangkan variabel bebasnya adalah harapan mendapatkan bimbingan spiritual islam. alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner untuk menidentifikasi usia responden dan menkaji harapan untuk mendapatkan bimbingan spiritual islam yang terdiri dari 10 pertanyataan yang berisi tentang: bimbingan aqidah islam 4 pertanyaan, bimbingan syari’ah (ibadah) 6 pertanyaan. pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 8 desember 2014. analisa data menggunakan uji” wilcoxon sign rank test” dengan menggunakan program spss for windows, dengan level signifikan  = 0,05. hasil penelitian data umum karakteristik responden di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi tabel 1. karakteristik responden di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi no karakte ristik frekuensi % 1 2 3 4 umur < 21 tahun 22 – 45 tahun 46 – 55 tahun > 55 tahun jenis k elamin laki-laki perempuan pendidikan tidak seko lah sd smp sma sarjana pekerjaa n tidak bekerja swasta pns pns 1 1 4 7 1 3 1 7 1 8 1 4 9 1 6 5 1 2 5 9 2,9 40 20 37,1 49,9 50,1 2,9 11,4 25,7 45,7 14,3 2,9 71,4 25,7 167sari dan arsyad, hubungan usia pasien ... data khusus tingkat religiusitas responden di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi 46-55 tahun dan >55 tahun. dari mayoritas responden yang berusia 22-45 tahun, 13 responden diantaranya mengharapkan adanya bimbingan spiritual. hal ini disebabkan karena dukungan spiritual sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti, disamping itu pada kondisi stress termasuk akibat sakit, maka individu akan mencari dukungan dari agamanya. karena dengan sembahyang atau berdoa akan membantu memenuhi kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh, (burkhardt, dalam hamid, 2008). berdasarkan hasil penelitian, hanya doa orang responden yang tidak mengharapkan bimbingan spiritual yaitu responden yang berusia, 22 tahun dan >55 tahun. hal ini kemungkinan disebabkan karena mereka telah mendapatkan dukungan dari keluarga sehingga tidak terlalu mengharapkan bimbingan spiritual. dukungan yang diberikan keluarga terlihat dari didampinginya responden selama sakit dan dirawat. hal ini sesuai dengan teori yang mengungkapkan bahwa kelurga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang, (burkhardt, dalam hamid, 2008). harapan responden untuk mendapatkan bimbingan spiritual di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi bimbingan rohani islam adalah pelayanan yang memberikan santunan rohani kepada pasien dan keluarganya dalam bentuk pemberian motivasi agar tabah dan sabar dalam menghadapi cobaan, dengan memberikan tuntunan do’a (dzikir), cara bersuci, shalat, dan amalan ibadah lainya yang dilakukan dalam keadaan sakit, (bukhori, 2005). dari tabel 2 didapatkan responden mayoritas sangat mengharapkan mendapat bimbingan rohani islam yaitu sebanyak 29 responden (82,8%), sedangkan yang kurang mengharapkan bimbingan rohani sebanyak 1 responden (2,9%) dan lainnya yaitu sebanyak 5 responden (14,3%) mengharapkan mendapatkan bimbingan rohani pada tingkat sedang. responden yang kurang mengharapkan bimbingan rohani adalah seorang pria berumur 18 tahun, pendidikan smp dengan nilai rata-rata 2,7 dari rentang nilai 1 sampai 5. hal ini mungkin karena responden merasa masih muda sehingga kurang memerlukan bimbingan rohani dan juga karena emosi yang belum stabil. maka bimbingan rohani yang akan diberikan kepada tabel 2. tingkat religiusitas responden di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi no ting kat religiusitas frekuensi % 1 2 3 tinggi sedang rendah 32 2 1 91,5 5,7 2,8 harapan responden untuk mendapatkan bimbingan rohani islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi tabel 3. harapan responden untuk mendapatkan bimbingan rohani islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi no harapan pasien mendapat bimbingan spiritual islam frekuensi % 1 2 3 sangat mengharapkan mengharapkan kurang mengharapkan 29 5 1 82,8 14,4 2,8 hubungan tingkat religiusitas pasien muslim dengan harapan mendapatkan bimbingan islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi tabel 4. analisa hubungan tingkat religiusitas pasien muslim dengan harapan mendapatkan bimbingan islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi harapan menda patkan bimbingan rohani tot al usia sangat mengharap mengharap tidak mengharap f % f % f % f % <21 0 0 0 0 1 3 1 3 22-45 13 37 1 3 0 0 14 40 46-55 >55 6 10 17 28 1 3 3 9 0 0 0 0 7 13 20 37 total 29 82 5 15 1 3 35 10 0 p value = 0,4 pembahasan usia responden di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa usia responden paling banyak berada pada rentang umur 22-45 tahun yaitu 14 responden (40%), hanya 1 responden yang berumur <21 tahun dan sisanya berumur 168 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 164–169 pasien yang masih muda perlu dipertimbangkan dengan matang dan dengan metode pendekatan yang tepat sebelumnya. dari jawaban responden pada kuesioner harapan mendapatkan bimbingan rohani islam didapatkan pada pertanyaan nomer 6 yaitu perawat membatasi pengujung ketika waktu sholat adalah nilai terendah, dengan nilai rata-rata 3,9 dari rentang nilai 1 sampai 5. namun demikian ada 13 responden (37%) yang sangat setuju dan 12 responden (34%) yang setuju bila perawat membatasi pengunjung bila waktu sholat. maka walaupun mendapatkan nilai rata-rata paling rendah namun perlu dilakukan pembatasan pengunjung bila waktu sholat karena lebih dari 71% responden setuju dengan pembatasan tersebut. adapun nilai paling tinggi ada pada pertanyaan no 4 yaitu ada yang menjelaskan sekaligus memotifasi saya untuk meyakini bahwa hanya dengan pertolongan allah saya bisa sembuh dengan nilai 4,48 dari rentang nilai 1 sampai 5, hal ini menunjukkan bimbingan rohani dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang aqidah islam sangat diharapkan oleh pasien. sebagaimana firman allah dalam surat surat asyu’araa’ ayat 80 yang artinya “dan ketika aku sakit, dia lah (allah) yang menyembuhkan aku”. dengan iman yang kuat diharapkan pasien dapat menerima cobaan sakit sehingga mengurangi stress. hubungan usia responden dengan harapan mendapatkan bimbingan spiritual di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi pada tabel 4 dengan menggunakan wilcoxon sign rank menunjukkan tingkat kemaknaan p (0,4) >  (0,05) yang berarti h1 ditolak artinya tidak ada hubungan umur pasien muslim dengan harapan mendapatkan bimbingan islam di instalasi rawat inap rsud ngudi waluyo wlingi. meskipun menurut burkhardt, dalam hamid, 2008 perkembangan dalam hal ini adalah umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi spiritualitas pasien, namun dalam penelitian ini didapatkan bahwa umur tidak berhubungan dengan harapan pasien untuk mendapatkan bimbingan spiritual. hal ini mungkin disebabkan karena responden yang mengharapkan bimbingan spiritual islam mayoritas berada pada rentang 22-45 tahun. yaitu sebanyak 37% (13 responden). sedangkan pada usia >55 tahun hanya 10 orang yang mengharapkan bimbingan spiritual. hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin dewasa idealnya semakin matang tingkat spiritualitasnya. keadaan ini dimungkinkan karena responden yang berusia antara 22-45 tahun jumlahnya lebih banyak dari pada responden yang berusia lebih dari 45 tahun, sehingga tampak bahwa pada rentang usia tersebut lebih banyak mengharapkan bimbingan spiritual daripada yang berusia lebih dari 45 tahun. disamping itu hampir semua responden mendapatkan dukungan dari keluarga. hal ini tampak dari adanya keluarga yang mendampingi pasien selama penelitian berlangsung. keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan spiritual. allah berfirman dalam qs al-a’la ayat 9 yang artinya “oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat”. dengan peringatan berupa bimbingan rohani islam kepada pasien muslim maka pasien diharapkan akan lebih mendekatkan diri kepada allah. bila dihubungkan dengan komunikasi, salah satu faktor komunikasi adalah persepsi, persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. perbedaan persepsi a ka n menga kiba tka n ha mba ta n komunika si (musliha, 2010). komunikasi perawat dengan klien akan efektif bila ada persamaan persepsi, termasuk dalam bimbingan rohani islam. pasien yang dengan tingkat religiusitas tinggi disinyalir akan mempunyai pandangan yang sama tentang bimbingan rohani islam. bagi seorang muslim, sesungguhnya rasa sakit yang dirasakannya itu adalah sarana yang disediakan oleh allah untuk mendulang pahala yang sebesar-besarnya (ahmad zacky, 2013). dalam sebuah hadits rosulullah bersabda: “tidak menimpa seorang mukmin sakit parah, kelelahan, rasa sakit, sedih dan gelisah yang mengganggunya, kecuali karena itu kesalahannya dilebur” (hr. muttafaq ‘alaih). meskipun tidak terdapat hubungan antara usia dengan pasien, banyaknya pasien yang mengharapkan bimbingan spiritual dapat dipakai sebagai dasar untuk memprediksi harapan pasien untuk mendapatkan bimbingan rohani. maka walaupun rsud ngudi waluyo wlingi merupakan rumah sakit pemerintah perlu dikembangkan bimbingan rohani islam dalam rangka pemenuhan kebutuhan spiritual pasien muslim serta kepuasan mereka. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian didapatkan: 1) sebagian besar pasien muslim berusia 22-45 tahun yaitu 169sari dan arsyad, hubungan usia pasien ... sebanyak 40%, dimana dari jumlah tersebut 13 orang diantaranya mengharapkan bimbingan spiritual, 2) mayoritas pasien muslim sangat mengharapkan untuk mendapat bimbingan rohani islam yaitu sebanyak 82,8%, 3) tidak ada hubungan usia pasien muslim dengan harapan mendapatkan bimbingan islam tingkat kemaknaan 0,4  0,05. saran bagi rsud ngudi waluyo wlingi dapat dijadikan pendorong untuk meningkatkan bimbingan spiritual islam kepada pasien dan memberikan pelatihan kepada perawat terkait dengan bimbingan spiritual kepada pasien. bagi perawat agar lebih memperhatikan kebutuhan rohani pasien dalam bentuk pemberian bimbingan spiritual. bagi penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian yang sama dengan subyek yang lebih besar atau dapat meneliti pengaruh bimbingan rohani terhadap tingkat kecemasan atau kepuasan pasien. daftar rujukan al-qur’an dan terjemahnya. 2005. jakarta: j-art arifin, h.m. 1982. pedoman pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan agama. jakarta: golden tayaran press. budianto m. 2009. pengaruh terapi religious do’a ke se mbuhan terhadap penurunan t ingk at kecemasan pasien pre operasi di ruang rawat inap rs mardi rahayu kudus.universitas diponegoro, skripsi. bukhori, b. 2005. upaya optimalisasi sistem pelayanan kerohanian bagi pasien rawatinap, semarang: walisongo. ibrahim rahmat, risanto, s., dan ike surem. 2002. keefektifan pemberian bimbingan spiritual islam pada klien terminal terhadap kecemasan dan motivasi hidup di rsu pku muhadiyah yogyakarta, skripsi. kusnanto. 2004. pengantar profesi dan praktek keperawatan profesional. jakarta: egc. luluk masluchah dan djoko sutrisno. 2010. pengaruh bimbingan do’a dan dzikir terhadapkecemasan pasien pre operasi. skripsi. sholeh, m. 2009. terapi salat tahajjud: menyembuhkan berbagai penyakit. cetakan xxi. november 2009. bandung: mizan media utama. tanjung, n., dan salbiah. 2011. harapan pasien dalam kepuasan perilaku caring perawat di rsud deli serdang lubuh pakau. skripsi. 62 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 62–65 62 the effectiveness of stimulation to the toilet learning abilities of toddler maria ulfa midwifery department, patria husada blitar school of health science email: ulfamaria845@gmail.com abstract :toilet learning in children is an attempt to train children to be able to control in defecating and urinating. the aim of this research was to determine the effectiveness of stimulation to the toilet learning ability of toddler. the research usedpre-experimental one-group pre-test-post test design. the sampling technique used purposive sampling. the statistical test used wilcoxon signed rank test. the population was 14 toddler of posyandubendowulungkabupatenblitar. the result showed that there was an effect of stimulation to the ability of toilet learning of 1 to 3 years old toddler. the statistical test result using wilcoxon sign rank test obtained p value = 0,000 (<0,05). it is expected to increase knowledge about the implementation of toilet learning stimulation, especially for parents to make their children more independent. keywords: stimulation, toilet learning. introduction children go through growth and development stage since birth until adult. in infant stage the growth and development of children occurs very quickly. the attention given to under five years children will greatly determine the quality of human life in the future. children under the age of five are in their golden per iod since the gr owth a nd development is very fast, so when the toddler exper iencing distur ba nce in gr owth a nd development this stage it will have a major impact on the lives of children itself. (nursalam, et al, 2008). toilet learning in children is an attempt to train children to be able to control the urination or defecation. toilet lear ning in genera l can be implemented on every child who begin to enter the independence stage. this stage usually occurs in children aged 18-21 months. in doing the toilet learning, children need physical, psychological and intellectua l pr epa r a tion. by ha ving those preparations, children can control the defecation and urinate independently (nursalam, et al, 2008). in addition to prevent the occurrence of bedwetting and starting a clean and healthy life behavior of children from an early age, toilet learning can also establish self-reliance and confidence in controlling urination and defecation, practicinggross motoric skills by walking, sitting, squatting, standing and also the ability of fine motoric skill by removing and wearing their own pants after urinating and defecating. it can also train the intellectual ability of the children by imitating the proper behavior such as urinate and defecate in the right place (cahyaningsih, 2011). parents used toddler (1–3 years old) to start toilet learning since at that age almost all of the body functions is mature and stable, have great curiosity, interested in what is done by people around, and the child has entered the anal phase of pleasure center childr en on the behavior of withholding and also the excretion of impurities (cahyaningsih, 2011). generally the instruction of toilet learning done by parents is 31% start to teach at the age of 18-22 month, 27% start at the age of 23-27 months, and 16% at the age of 28 32 months and 22% at the age of more than 32 months. parents wait for children to be ready to be taught toilet learning so that it does not take a long time (warner, 2007). jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p062–065 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 63ulfa, the effectiveness of stimulation to the toilet learning abilities of toddler in preliminary study conducted on 22 february 2016 in bendowulung village researchers found that from 10 mothers as the sample, showed that 70% of parents did not know how to stimulate toilet learning, 20% people fairly understood how to stimulate toilet learning, 10% parents understood about how give toilet learning stimulation. based on the problem of stimulation of toilet learning and the high percentage of children who still experience failure in toilet learning, it is necessary to give special attention to both parents and health workers, so the researchers interested in conducting study with the title the effectiveness of stimulation to the toilet learning abilities of toddler the general objective of the study was to find out the effectiveness of stimulation to the ability of toilet learning in toddler. the specific objective was (1) identifying the ability of toilet learning before being given stimulation (2) identifying the ability of toilet learning after being given stimulation (3) analyze the effectiveness of stimulation to the ability of toilet learning in toddler. the benefits for respondents is it can increase parents’ knowledge about parenting in the implementation of toilet learning and parents are able to apply toilet learning to their children well. the researcher hopes that this study will improve the ability of children in doing toilet learning in accordance with parenting patterns applied by parents. method this study used pre experimental design with one-group pre-test-post test. the subject of this study was 15 children in posyandu bendowulung kabupaten blitar by purposive sampling in 10-15 july 2016. the instrument used an observation sheet prepared by researchers about toilet learning in toddler. the independent variable was stimulation about toilet learning in toddler. the dependent variable was the ability of toilet learning of toddler, while the data analysis used wilcoxon statistic test. result the result of the study included toddler characteristics and specific data of the study no characteristics f % 1 age 1 – 2 year old 7 46,7 2 – 3 year old 8 53,3 2 mothers’ educational background elementary 1 6,7 junior high 7 46,6 senior high 6 40 college 1 6,7 3 mothers’occupation housewife 7 46,6 entrepreneur 7 46,6 state employee 1 6,7 4 siblings 1 2 10 66,7 3 4 4 26,6 > 4 1 6,7 5 environment support 13 86,7 not support 2 13,3 table 1 the distribution of respondents’ characteristics (toddler) no. ability f % 1. good 0 0 2. fair 2 13,3 3. less 13 86,7 total 15 100 table 2 the identification of toddler toilet learning before stimulation table 3 the identification of toddler toilet learning after stimulation no. ability f % 1. good 12 86,7 2. fair 3 13,3 3. less 0 0 total 15 100 no ability % before % after stimulation stimulation 1. good 0 86,7 2. fair 13,3 13,3 3. less 86,7 0 wilcoxon signed rank test: p value = 0,000 table 4 the analysis of the effectiveness of stimulation to the toilet learning of toddler 64 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 62–65 discussion toilet learning ability of toddler before stimulation based on the results conducted at posyandu desa bendowulung blitar, showed that almost all(86,7%) children 1-3 years old had less ability in doing toilet learning before given the stimulation. toilet learning was a learning effort for the child to be able to control defecation and urination so that children did not pee and poop on their pants by emphasing on the physical and mental readiness of the children. the age of toddler is age 1 to 3 years. the task of toddler age development is to establish self-reliance. the task of parents at this age is to support the growth of children’s independence with patience and sensitivity. the less ability of toilet learning in toddler-age children in this study indicated the child did not have independence to urinate and defecate. it was caused by the children age, mother’s educational background, and the number of siblings. the presentation of toilet learning ability was not very high due to the lack of knowledge of the mothers who only introduced the importance of toilet learning and prepared it gradually. uncontrolled condition could be done since in the age of 9 -18 months (nursalam, 2013). it was not well known to the mother to teach and controlled their children to be able to perform their own toilet learning although it’s the right time to teach. children should have physical and mental readiness to perform toilet learning at this age. the result of the study indicated almost half of the mother 46,7% were junior high school graduates. the ability to practice was a part of the behavior. according to the theory of skinner (1938) in notoatmodjo (2005) suggested that behavior was the result of the correlation between stimulus and response. the ability to practice could also be influenced by several things: knowledge as stimulus (stimulus) and family response to do it (response). knowledge was a very important domain for the formation of one’s actions (overt behavior). the higher the level of education was expected to increase the knowledge level of a person making it easier in receiving / adopting good behavior. a person with a very high degree of knowledge would be different from a low educated person. mothers with junior high school educational background did not have the ability to adopt information well or even got nothing about toilet learning in toddler. mother as the closest person to the child must have good knowledge to promote the ability and development of a good child as well. based on the results of the study showed most children 66.7% had1-2 siblings. knowledge was also influenced by the number of children and experience in teaching toilet learning in toddler. mother who had the first child time taught were inexperienced in giving toilet learning to her child. mother inexperience in doing toilet learning in children since they did not know, understand, and analyze about toilet learning in toodler. toilet learning ability of toddler before stimulation based on the results of the study, almost all (80%) of the children had good ability in doing toilet learning after being given stimulation. according to moh ri (2006) stimulation was an activity to stimulate the basic ability of children for children to grow and develop optimally. every child needed to get regular stimulation as early as possible and continuously a t ever y oppor tunity. la ck of stimulation could lead to development and even sedenta r y disor der s. childr en development stimulation could be done by mothers and fathers who are the closest relatives to children, substitutes or caregivers, other family members and community groups in daily life. the ability of good toilet learning after being given stimulation affected by the age of the child, the mother ’s work a nd the child’s environment. toddler age was the golden periodsince they experienced growth and development very quickly, so when the toddler experiencing disturbance in growth and development at this stage it will have a major impact on the lives of children itself. (nursalam, et al, 2008). in this golden period children began to be sensitive to various stimuli, every children individually would have different levels of sensitivity of development (nursalam, 2013). at that age almost all of the body functions were mature and stable, had great curiosity, interested in what the surrounding people do, and the child entered the anal phase of the child’s pleasure center on the stifling behavior as well as the defecation. result of the study showed almost half the mother of the child was a housewife. stimulation of child growth was done by parents who are the closest relative to children, substitute mother or 65ulfa, the effectiveness of stimulation to the toilet learning abilities of toddler nanny, members of other groups and community groups in the household and in daily life (depkes ri, 2006). stimulation was crucial to optimize the growth and development of children with the participation of parents and home environment in order to facilita te the necessary stimulation. housewives had more time and concentration in tea ching things to impr ove the gr owth a nd development of children, especially in teaching toilet learning. the results showed almost all of the children’s environment supported the stimulation of toilet learning. according to notoatmodjo (2006), the environment was one of the factors that affect one’s ability. the environment provided the first social influence for a person, where one could learn good things, also bad things depending on the nature of the group. supportive environment was very good to stimulate children until they were able to do toilet learning independently. toilet learning that was taught continuously was to hold urinating and defecating, to wash hands with soap and running water before come out of the bathroom. the effectiveness of stimulation to the toilet learning ability of toddler based on the result of the study showed that there was an increase of percentage of toilet learning ability in toddler before and after being given stimulation that was less ability become good ability as 66,7% and from fair ability become good ability as 13,3%. based on statistical test of wilcoxon signed rank test obtained p value = 0.000, so p value = 0,000 <á = 0,05 indicated an effect of stimulation to ability of toilet learning at child age toddler at posyandu desa bendowulung blitar. the effect of stimulation on the ability of toilet learning in children toddler indicated that stimulation could help the children to the optimal development, especially the independence of children to do toilet learning. stimulation was a part of children basic needs, namely “asah”. by polishing the ability of children continuously, the ability of children would increase. the stimulation could be done by exercise and play. children who received targeted stimuli would develop fa ster tha n children who wer e less stimulated (nursalam, et al, 2008). stimulation did not always require special time, so it could be linked together with other activities and done every day for example associated with the mother’s activities when doing homework and given when traveling with children, bathing the children, feeding the children, putting the children to sleep, and so on. however, the stimulation should be done according to the basic principles that were needed to be considered, the stimulation was done with the basis of love and affection and always shows good attitude and behavior because the child would imitate the behavior of those closest to him. stimulation in the form of teaching toilet learning, in addition to prevent the occurrence of bedwetting and creating a clean and healthy life behavior in children early, toilet learning would also establish independence and confidence in controlling urination and defecation. conclusion and suggestion conclusion t he r esults showed tha t (1) befor e the stimulation of toilet learning was given to the toddler, showed that 86,7% had less category in doing toilet learning (2) after the stimulation of toilet learning was given to the toddler, showed that 80% had good category in doing toilet learning (3 ) the toilet learning stimulation gives a better and positive effect on the children. sugegestion it was expected that the place of the study increase the education about the stimulation of the development and the provision of health care information to the community, especially for mothers who had children aged 1-3 years by providing counseling and leaflet about the correct growth stimulation based on the age of children, especially toilet learning. references cahyaningsih. d.s. 2011. pertumbuhan perkembangan anak dan remaja. jakarta: cv. trans info media. depkes ri.2006. pedoman pelaksanaan stimulasi deteksi dan interveni dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. notoadmodjo, s. 2006. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rinekacipta. nursalam. 2013. asuhan keperawatan bayi dan anak (untuk perawat & bidan). jakarta: salemba medika. nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. warner, p. 2007. mengajari anak toilet learning. jakarta: pt transmedia. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 242 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 242–246 242 persiapan menyusui menurunkan kejadian putting susu lecet pada ibu nifas di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar (the preparation of breastfeeding lowers the incidence of nipple blisters of postpartum mother in sub-district health centers gandusari kec. gandusari kab. blitar) maria ulfa, irma noviana tisnawati stikes patria husada blitar email:ulfamaria845@gmail.com abstract: breastmilk has advantages and privilages as a source of nutrients compared to other nutrient sources. however, the breastfeeding process often fail. the main cause of the failure is a problem in the breast. one of them are blisters on the nipples. nipple blisters dominantly caused by breast feeding preparationespecially on breast feeding techniques and breastcare. the purpose of this study was to determine how is the preparation of breastfeeding lowers the incidence of nipple blisters of postpartum mother in sub-district health centersgandusari kec.gandusarikab. blitar. methods: with posttest only control group design. the population in this study was 50 postpartum mother in health centers.the sample was 16 respondents by using purposive sampling. the independent variable was the preparation of breastfeeding, the dependent variable was the sore nipple blisters. the instrument used sop. result: the statistical fisher exact probability test showed p=0,003 (a=0,05). it could be concluded that the preparation of brestfeeding could reduce the incidence of nipple blisters postpartum mother in sub-district health centers gandusari. by this research, it was expected the respondents to actively ask, observing carefully about breasfeeding preparation especially breaastfeeding techniques and treatments given. so, breastfeeding in infants couldbe succeed. as for the profession of midwifery results of this study could be used as the input in motivating postpartum mother, so that it could perform the appropriate techniques of breastfeeding and breastcareto avoid nipple blisters. keywords: preparation of breastfeeding, blisters on the nipple abstrak: asi memiliki keunggulan dan keistimewaan sebagai sumber nutrisi dibandingkan sumber nutrisi lainnya. namun, dalam pemberian asi sering kali mengalami kegagalan. penyebab utama kegagalan pemberian asi adalah adanya masalah pada payudara. salah satunya putting susu lecet. penyebab putting lecet yang sangat dominan dengan persiapan menyusui terutama pada teknik menyusui dan perawatan payudara. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah persiapan menyusui menurunkan kejadian putting susu lecet pada ibu nifas di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar. penelitian ini menggunakan desain pre eksperimental dengan posttest only control group design. populasi dalam penelitian ini adalah 50 ibu nifas di puskesmas gandusari dengan menggunakan purposive sampling, sehingga responden yang ada sebanyak 16 responden. variabel independent yaitu persiapan menyusui.variabel dependent yaitu putting susu lecet. instrumen yang digunakan adalah sop. hasil dari uji statistik fisher exact probability test menunjukkan p = 0,003 ( = 0,05). sehingga dapat disimpulkan bahwa persiapan menyusui dapat menurunkan kejadian putting susu lecet pada ibu nifas di puskesmas gandusari. dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan responden lebih aktif bertanya, mengamati dengan seksama tentang persiapan menyusui terutama teknik menyusui serta perawatan payudara yang diberikan, sehingga bisa mengubah persepsi yang sebelumnya salah menjadi benar, sehingga pemberian asi pada bayi dapat berjalan dengan lancar. sedangkan untuk profesi kebidanan hasil penelitian ini dapat acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p242-246 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 243ulfa dan tisnawati, persiapan menyusui ... dijadikan sebagai masukan dalam memotivasi ibu nifas, sehingga dapat melakukan teknik menyusui dan perawatan payudara yang benaragar tidak terjadi putting susu lecet. kata kunci: persiapan menyusui, putting susu lecet asi merupakan makanan yang telah disiapkan untuk calon bayi saat ia mengalami kehamilan (khasanah, 2011:45). asi memiliki keunggulan dan keistimewaan sebagai nutrisi dibandingkan sumber nutrisi lainnya. komponen makro dan mikro yang terkandung dalam asi sangat penting dibutuhkan pada tiap tahap perkembangan bayi. asi juga mengandung antibodi yang disebut dengan iga yang berperan sebagai sistem pertahanan dinding saluran pencernaan terhadap infeksi. telah terbukti bahwa bayi yang diberikan asi eklusif mempunyai kadar antibodi lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapatkan susu formula. oleh karena itu, daya tahan tubuh terhadap infeksi bakteri patogen pada bayi dengan asi lebih besar dibandingkan bayi dengan susu formula (natia, 2013:3-4). namun, dalam pemberian asi sering kali mengalami kegagalan. penyebab utama kegagalan pemberian asi adalah adanya masalah pada payudara. salah satu masalah yang sering dikeluhkan oleh ibu nifas menyusui adalah terjadinya putting susu lecet. putting susu lecet adalah keadaan putting susu yang luka sehingga menimbulkan rasa nyeri dan bahkan putting susu lecet akan mengeluarkan darah (meilita, 2014:1). penyebab putting lecet yang sangat dominan dengan persiapan menyusui terutama pada teknik menyusui yang kurang tepat dan kurangnya perawatan payudara. karena teknik menyusui yang kurang tepat dan payudara yang tidak dirawat dengan baik bisa berakibat tidak baik bagi payudara ibu sendiri dan bagi bayinya. hal ini dapat di cegah dengan memperbaiki posisi menyusui ibu. selain itu juga melakukan perawatan payudara untuk melancarkan produksi asi. perawatan payudara adalah suatu cara yang dilakukan untuk merawat payudara agar air susu keluar dengan lancar, terutama pada masa nifas (mayasari, 2015:1). berdasarkan hasil riset kesehatan (rikesdas) 2010 di indonesia pemberian asi baru mencapai 15%-30%, dan pemberian susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,3% menjadi 32,5%. pemberian asi eklusif pada bayi usia nol hingga enam bulan di indonesia menunjukkan penurunan dari 62,2% pada tahun 2007 menjadi 56,2% pada tahun 2008. sementara cangkupan pemberian asi eksklusif pada bayi sampai enam bulan turun dari 28,6% pada tahun 2007 menjadi 24,3% pada tahun 2008 (bkkbn, 2010). di desa tlogo kecamatan kanigoro kabupaten blitar, bayi berusia 1-3 bulan hanya sebesar 52% yang mendapatkan asi, dan yang berusia 3-6 bulan hanya 42%. selain itu 75,6% ibu yang tidak memberikan asi eksklusif adalah ibu muda yang masih belum tepat dalam menyusui sehingga terjadi nyeri di putting susunya, 13,33% ibu yang masih mengemukakan asi tidak bermanfaat bagi bayinya, serta 23,02% ibu yang masih membuang kolostrumnya (bkkbn, 2010). dan dari hasil survey yang peneliti lakukan di puskesmas gandusari pada 14 februari 2016 didapatkan hasil 78% ibu nifas yang menyusui pernah mengalami putting susu lecet serta 11% ibu yang masih membuang kolostrumnya. dengan adanya masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “persiapan menyusui menurunkan kejadian putting susu lecet pada ibu nifas di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar” tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui persiapan menyusui dapat menurunkan kejadian putting susu lecet pada ibu nifas di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar. tujuan khusus (1) mengidentifikasi kejadian putting susu lecet pada ibu nifas yang termasuk kelompok perlakuan di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar (2) mengidentifikasi kejadian putting susu lecet pada ibu nifas yang termasuk kelompok kontrol di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar (3) menganalisis persiapan menyusui menurunkan kejadian putting susu lecet pada ibu nifas di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar. manfaat bagi responden diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan mengubah perilaku untuk menyusui dengan posisi yang benar dan melakukan perawatan payudara sehingga dapat memberikan asi esklusif pada bayinya. bahan dan metode dalam penelitian ini menggunakan desain “preexperimental”.desain penelitiannya adalah pre eksperimental. subyek penelitian ini sebanyak 16 ibu nifas dengan 8 responden sebagai kelompok 244 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 242–246 perlakuan dan 8 respondek sebagai kelompok kontrol. subyek penelitian ini di pilih secara purposive sampling, dengan melakukan observasi langsung pada persiapan menyusui terutama pada teknik menyusui dan perawatan payudara terhadapa kejadian putting susu lecet, subyek penelitian berada atau di wilayah puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar dengan kriteria inkusinya adalah (a) ibu nifas hari ke-0 sampai dengan hari ke-6 (b) ibu nifas tanpa komplikasi. kriteria eksklusinya adalah ibu nifas yang tidak menyusui dengan alas an tertentu. variabel bebasnya adalah persiapan menyusui dan variabel tergantungnya adalah putting susu lecet pada ibu nifas, analisa data menggunakan uji fisher exact probability test dengan tingkat ke-maknaan 0,05. hasil penelitian kategori ibu nifas menyusui yang tidak mengalami putting susu lecet. pada kelompok perlakuan setelah bayi dilakukan imd, respon den diajari teknik menyusui yang benar dan perawatan payudara, sedangkan pada kelompok control setelah dilakukan imd tidak diajari teknik menyusui yang benar dan perawatan payudara. kelompokinitetapdiobservasiselama 3 hari dengan posisi dan perawatan payudara yang benar. teknik menyusui yang benar adalah cara di mana posisi menyusui ibu dapat membuat ibu dan anak nyaman, selain posisi juga dapat dilihat dari letak atau posisi mulut bayi yaitu apabila areola sedapat mungkin semuanya masuk ke dalam mulut bayi, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan pada ibu yang areolanya besar. untuk ini, maka sudah cukup bila rahang bayi supaya menekan tempat penampungan air susu (sinus laktiferus) yang terletak dipuncak areola di belakang putting susu. teknik salah, yaitu apabila bayi menghisap pada putting saja, karena bayi hanya dapat menghisap susu sedikit dan pihak ibu akan timbul lecet-lecet pada putting susu (kristiyanasari, 2011:44). bagi sebagian ibu, menyusui kerap dihubungkan dengan keindahan payudara. alasan inilah yang tabel 1. karakteristik responden berdasarkan hari massa nifas no. masa nifas f % 1. <7 hari 16 100 2. 7 hari 0 0 total 16 100  tabel 2. identifikasi kejadian putting susu lecet pada kelompok perlakuan ktgr hari 1 hari 2 hari 3 rata-rata f % f % f % f % lecet 0 0 0 0 0 0 0 0 ti dak lecet 8 100 8 100 8 100 0 100 tabel 3. identifikasi kejadian putting susu lecet pada kelompok kontrol ktgr hari 1 hari 2 hari 3 rat a-rata f % f % f % f % lecet 0 0 0 0 0 0 0 0 tidak lecet 8 100 2 25 2 25 2 25 tabel 4. analisis persiapan menyusui menurunkan kejadian putting susu lecet dengan uji fisher exact probability test no katego ri kelompok perlakuan kelompok perlakuan 1. tidak lecet 8 2 2. lecet 0 6 ρ= 0,003 α= 0,05 pembahasan identifikasi kelompok perlakuan dari hasil penelitian terhadap kelompok perlakuan, diketahuai bahwa pada kelompok perlakuan sebesar 100% sebanyak 8 responden termasuk dalam membuat para ibu enggan menyusui. pakar asi dr. utami roesli sp.a dalam sebuah seminar menyebutkan bahwa sesungguhnya bukanlah proses menyusui yang membuat payudara berubah, namun proses kehamilan. olehkarenaitu, dianjurkan para 245ulfa dan tisnawati, persiapan menyusui ... ibu untuk melakukan perawatan payudara agar menghindari terjadinya gangguan payudara terutama pada putting susu (suherni, 2009:41). perawatan payudara adalah usaha yang dilakukan seorang wanita terutama untuk ibu-ibu yang menyusui, halini bertujuan agar tetap menjaga keindahan payudara selama menyusui dan menghindari terjadinya gangguan dalam proses menyusui (dewi, dkk., 2015:1). identifikasi kelompok kontrol pada kelompok kontrol tidak diajari teknik menyusui dan perawatan payudara yang benar, namun tetap dilakukan observasi selama 3 hari seperti kelompok perlakuan. dari hasil penelitian terhadap kelompok kontrol, didapatkan hasil 75% sebanyak 6 responden pada kelompok control masuk dalam kategori ibu nifas menyusui yang mengalami putting susu lecet dan 25% masuk dalam kategori ibu nifas tidak mengalami putting susu lecet. putting susu lecet di mana suatu keadaan putting susu yang mengalami luka sehingga menimbulkan rasa nyeri dan akan mengganggu seorang ibu menyusui dalam proses menyusui (meilita, 2014:1). banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya putting susu lecet, seperti posisi ibu yang kurang tepat, posisi mulut bayi yang kurang tepat, selain itu juga ibu menyusui yang tidak pernah melakukan perawatan payudara.hal ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa sebagian besar areola dapat masuk ke mulut bayi, sehingga putting susu berada di bawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan asi keluar dari tempat penampungan asi yang terletak dibawah areola. apabila bayi hanya menghisap pada putting saja, maka akan mengakibatkan putting lecet (kristiyansari, 2011:44). persiapan menyusui menurunkan kejadian putting susu lecet dari hasil observasi selama 3 minggu, pada kelompok perlakuan kejadian putting susu lecet tidak terjadi pada ibu nifas dan pada kelompok kontrol terjadi putting susu lecet rata-rata lebih banyak terjadi melai massa nifas hari ke-2. dari hasil tersebut membuktikan bahwa persiapan menyusui berupa teknik menyusui dan perawatan payudara yang benar dapat memperpanjang untuk kemungkinan terjadinya putting susu lecet. selain itu, dengan persiapan menyusui berupa teknik menyusui dan perawatan payudara yang benar juga menurunkan kejadian putting susu lecet, terlihat dari tabel identifikasi antar kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang hasilnya di kelompok perlakuan presentase kejadian putting susu lecet menurun, meskipun di kelompok perlakuan responden masih mengalami putting susu lecet. kejadian putting susu lecet pada kelompok perlakuan dikarenakan faktor kepatuhan responden terhadap perlakuan dari hari ke hari menurun. hal ini juga di buktikan dari hasil hasil perolehan tabel 4.4 hasil uji statistik fisher exact probability test antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan bahwa 8 responden (100%) pada kelompok perlakuan tidak mengalami putting susu lecet. sedangkan, 6 responden (37,5%) pada kelompok kontrol mengalami putting susu lecet dan 2 responden tidak mengalami putting susu lecet (12,5%). menurut hasil uji fisher exact probability test didapatkan nilai signifikansi  = 0,003. tingkat kemaknaan yang ditetapkan adalah pada  = 0,05. dari ketentuan tersebut, sehingga pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa persiapan menyusui berupa teknik menyusui dan perawatan payudara yang benar dapat menurunkan kejadian putting susu lecet. keadaan tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan teknik menyusui yang salah dapat mengakibatkan terjadinya puting susu lecet, tetapi puting susu lecet dapat juga disebabkan oleh perawatan payudara yang salah misalnya membasuh payudara terutama putting susu. hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh kristiyanasari (2011:54) yang menyatakan bahwa sebagian besar areola mamme harus sedapat mungkin masuk ke mulut bayi, sehingga puting susu berada di bawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan asi keluar dari tempat penampungan asi yang terletak dibawah areola. apabila bayi hanya menghisap pada puting saja, maka akan mengakibatkan puting susu lecet. ketika ibu nifas mengalami putting susu lecet, maka ibu akan enggan untuk memberikan bayinya asi dan akan beralih menggunakan susu formula. padahal asi sangat penting bagi bayi terutama untuk tumbuh kembang bayinya dan di dalam asi juga mengandung antibodi yang diperlukan bayi untuk melawan penyakit-penyakit yang menyerang. dan juga, pada masa golden period bayi sangat membutuhkan kolostrum yang bermanfaat untuk meningkatkan jalinan kasih sayang antara ibu dan anak. oleh karena itu, sangat lebih baik dari pada susu formula dan apabila ibu enggan memberikan asi pada bayinya 246 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 242–246 maka semakin lama asi akan membendung dan akan menyebabkan terjadinya bendungan asi. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kejadian putting susu lecet pada ibu nifas yang termasuk kelompok perlakuan di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar seluruh responden (100%) tidak mengalami putting susu lecet (2) kejadian putting susu lecet pada ibu nifas yang termasuk kelompok kontrol di puskesmas gandusari kecamatan gandusari kabupaten blitar sebasar 6 responden (75%) tidak mengalami putting susu lecet dan 2 responden (25%) mengalami putting susu lecet (3) persiapan menyusui dapat menurunkan kejadian putting susu lecet. saran bagi responden khususnya di puskesmas gandusari diharapkan lebih aktif bertanya, mengamati dengan seksama tentang teknik menyusui yang benar serta perawatan payudara yang diberikan, sehingga bisa mengubah persepsi yang sebelumnya salah menjadi benar, sehingga pemberian asi pada bayi dapat berjalan dengan lancar. daftar rujukan astutik, reni yuli. 2014. payudara dan laktasi. jakarta: salemba medika. atikah dan eni. 2010. kapita selekta asi dan menyusui. yogyakarta: nuha medika. uli a n a, mel l yna . 2010. pe rawatan ibu pasc a melahirkan. jakarta: puspaswara. khasanah, nur. 2011. asi atau susu formula ya? flash books, yogyakarta. kristiyanasari, weni. 2011. asi, menyusui dan sadari. yogyakarta: nuha medika. maritalia, dewi. 2014. asuhan kebidanan nifas dan menyusui. yogyakarta: pustaka pelajar. natia, rizki. 2013. asi dan panduan ibu menyusui. yogyakarta: nuha medika. saleha, sitti. 2009. asuhan kebidanan pada masa nifas. jakarta: salemba medika wijaya, desy. 2011. tuntutan lengkap cara merawat kese hat an, ke cant ik an, dan ke indahan payudara. yogyakarta: laksana. d:\set 2017\set nanik juni 2017 85rahmawati dan setiyorini, pengaruh 4s’s (swaddling, side, ... 85 pengaruh 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging) terhadap heart rate neonatus paska pengambilan darah vena di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi (the effectiveness of 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging) to the neonates heart rate post venous blood sampling in edelweis ward rsud ngudi waluyo wlingi) husna rahmawati, erni setiyorini pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com abstract : neonates experience changes in all the systems one of the most dramatic changes is the cardiovascular system. neonates born in hospitals wlingi all venous blood should be taken where the effect of this action is definitely cause discomfort which can affect the heart rate of neonates. techniques that can improve the comfort of one of them with techniques 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging) the purpose of this study was to determine the effect on heart rate 4s’s post neonatal venous blood sampling.this research design using posttest only control group. the research was conducted at room edelweiss ngudi waluyo hospital wlingi for 1 month (5-29 november 2014). subjects were neonates who meet the inclusion criteria. the total sample of 34 neonates in the two groups of 17 treatment group and 17 control group. sampling using accidental sampling technique. the collection of data through observation in the treatment group and the control group. data were analyzed by t-test.the results showed heart rate is lower in the treatment group compare the control group. the results of the statistical test showed p-valiu = 0.001 which means that there is an influence on heart rate 4s’s post neonatal venous blood sampling.it is hoped with this study 4s’s technique can be applied by health workers and parents to provide comfort in neonates. keywords : neonates, heart rate, 4s’s, venous blood sampling. abstrak : neonatus mengalami perubahan pada semua sistem salah satu perubahan paling dramatis adalah sistem kardiovaskular. neonatus yang lahir di rumah sakit wlingi semua darah vena harus diambil, salah satu efek dari tindakan ini pastinya menimbulkan ketidaknyamanan yang dapat mempengaruhi denyut jantung neonatus. teknik yang dapat meningkatkan kenyamanan salah satunya dengan teknik 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging) tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pengambilan sampel darah vena neonatal jantung berdarah 4s. desain penelitian ini menggunakan kelompok kontrol post test saja. penelitian dilaksanakan di ruang edelweiss rumah sakit ngudi waluyo wlingi selama 1 bulan (5-29 november 2014). subyek adalah neonatus yang memenuhi kriteria inklusi. sampel total 34 neonatus pada kedua kelompok perlakuan 17 kelompok perlakuan dan 17 kelompok kontrol. pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling. pengumpulan data melalui observasi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. data dianalisis dengan uji t. hasil penelitian menunjukkan bahwa denyut jantung lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. hasil uji statistik menunjukkan p-valiu = 0,001 yang berarti bahwa ada pengaruh pada pengambilan sampel darah vena darah vena denyut jantung 4s. diharapkan dengan teknik penelitian ini 4s dapat diterapkan oleh petugas kesehatan dan orang tua untuk memberikan kenyamanan pada neonatus. kata kunci: neonatus, detak jantung, pengambilan sampel darah vena, 4s. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p085-092 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 86 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 85–92 neonatus adalah bayi dari lahir sampai usia 4 minggu, lahir biasanya dengan usia gestasi 38-42 minggu (wong,2003). neonatus harus memenuhi sejumlah tugas perkembangan untuk memperoleh dan mempertahankan ekstensi fisik secara terpisah dari ibunya. neonatus harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan dari intra uterin ke ekstra uteri. neonatus adalah mulai dari lahir sampai usia atau bulan periode neonatal. neonatus adalah bulan pertama selama periode neonatal bayi mengalami pertumbuhan dan perubahan yang amat menabjubkan (hamilton,1995). perubahan yang di alami bayi terjadi pada semua sistem salah satunya sistem kardiovaskuler. perubahan secara fisiologis pada sistem kardiovaskuler yaitu penutupan foramen ovale pada atrium jantung, penutupan duktus anteriosus antara arteri paru dan aorta dan penutupan duktus venosus, perubahan ini terjadi akibat adanya tekanan pada seluruh sistem pembuluh darah (nelson, 1999). ketidaknyamanan yang di alami pada neonatus yang di rawat di rsud ngudi waluyo wlingi salah satunya disebabkan oleh adanya tindakan pengambilan darah vena merupakan prosedur yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan serta rasa tidak nyaman bagi bayi akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur tersebut di laksanakan (zeltzer & brown 2007). dari beberapa efek dari tindakan pengambilan darah vena adalah ketidaknyamanan yang ditangani ataupun yang tidak di tangani secara fisiologis dan bio kimia menimbulkan gejala sisa salah satunya peningkatan denyut jantung dan tekanan darah (pokela,1994; dalam wong, 2006) di satu sisi sistem kardiovaskuler pada neonatus masih dalam proses adaptasi sistem yang sangat dramatis sehingga bila proses ini tidak bisa maksimal oleh karena adanya gangguan dari fungsi jantung yang di akibatkan oleh salah satu faktor ketidaknyamanan efek dari pengambilan sampel darah yang berkepanjangan bila tidak di atasi segera tentunya akan menimbulkan efek yang kurang baik untuk jantung. sedangkan manajemen nyeri paska pengambilan darah yang di lakukan di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi masih konvensional yakni swaddling (pembedongan) saja, dimana cara ini masih kurang efektif untuk mengurangi ketidaknyamanan/nyeri yang di alami oleh neonatus. beberapa riset menunjukkan bahwa kegagalan dalam mengatasi nyeri pada neonatus akan menyebabkan perubahan permanen pada proses di otak dan perilaku maladaptif selanjutnya (anand, 2000). oleh sebab itu perawat perlu mempertimbangkan bagaimana meminimalkan ketidaknyamanan dan nyeri yang dirasakan oleh bayi (lissaue dan fanaroffr, 2011). bayi mengkomunikasikan ketidaknyamanannya kepada kita dengan cara menangis (babycentre medical advisory board, 2012). penemuan konsep baru bahwa neonatus sampai dengan usia 3 bulan tidak sepenuhnya siap di dunia, sehingga neonatus yang menangis dapat dikondisikan seperti di dalam rahim ibu. dr. karp mengajarkan teknik untuk “mengkondisikan ulang seperti dalam kandungan” agar neonatus tenang dan nyaman, dengan metode 5s’s yang meliputi swaddling (membedong bayi), side posisi miring ke kiri/perut, shushing sound, swinging (gerakan berayun), sucking (mengisap). tehnik tersebut dilakukan karena selama tiga bulan pertama setelah kelahirannya, bayi merindukan sensasi-sensasi nyaman yang mereka alami selama berada dalam rahim. berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh dr.harrington (2010) menyatakan bahwa sebagian besar neonatus yang mendapatkan intervensi fisik 5s’s berhenti menangis dengan 45 detik, sedangkan yang menerima larutan gula masih menangis 2 menit setelah prosedur invasif vaksinasi (gupta, 2012). pada bayi yang diambil darahnya membutuhkan pelayanaan untuk memenuhi kenyamanannya (health care needs). oleh sebab itu peneliti ingin mengaplikasikan metode 4s’s untuk menenangkan bayi setelah dilakukan prosedur pengambilan darah vena, dengan harapan ketidaknyamanan yang dirasakan neonatus berkurang/ hilang dan neonatus dapat merasa tenang dan nyaman, sehingga efek dari ketidaknyamanan yang meningkatkan kerja jantung tidak memberikan dampak yang buruk pada jantung. intervensi yang di lakukan pada penelitian ini adalah 4s’s dengan pertimbangan di rsud ngudi waluyo wlingi untuk tehnik sucking belum bisa diaplikasikan karena dikawatirkan media yang di gunakan yakni niple dot menjadi media masuknya kuman melalui mulut lalu ke saluran pencernaan neonatus yang dapat menimbulkan masalah pada gastro instestinal neonatus dan justru dengan pemberian niple dot ini dapat menimbulkan binggung puting susu ibu pada neonatus dan bertentangan dengan program rs bahwa neonatus harus di beri asi tidak boleh susu formula. 87rahmawati dan setiyorini, pengaruh 4s’s (swaddling, side, ... berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh teknik 4s’s terhadap heart rate neona tus, sehingga petugas kesehata n dapat memberikan intervensi segera terhadap ketidaknyamanan neonatus paska pengambilan darah vena. tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh 4s’s terhadap heart rate neonatus paska pengambilan darah vena di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi tahun 2014. tujuan khususnya adalah 1) mengidentifikasi heart rate neonatus pasca pengambilan darah vena setelah diberikan tehnik 4s’s di ruang edelweis wlingi tahun 2014. 2) mengidentifikasi heart rate neonatus pasca pengambilan darah vena setelah diberikan teknik konvensional di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi tahun 2014. 3) menganalisis pengaruh 4s’s terhadap heart rate neonatus pasca pengambilan darah vena. bahan dan metode desain penelitian ini adalah post test only control group design, dimana populasi dalam penelitian ini adalah neonatus yang dirawat di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi dengan prosedur pengambilan darah pada bulan november 2014 sebanyak 183 neonatus. sampel dalam penelitian ini adalah neonatus yang dirawat di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi dengan prosedur pengambilan darah bulan november 2014 yang memenuhi kriteria inklusi penelitian sebanyak 34 neonatus. sedangkan tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan tehnik accidental sampling. adapun variabel dalam penelitian ini adalah (a) variabel bebas adalah tehnik 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging). (b) variabel tergantung adalah heart rate neonatus dan untuk mengetahui pengaruh va r ia bel beba s da n var ia bel ter ika t denga n menggunakan analisis uji normalitas data dengan menggunakan shapiro-wilk dan analisa data yang dilakukan dengan menggunakan t-test. hasil penelitian hasil penelitian meliputi distribusi karakteristik neonatus kelompok perlakuan dan kontrol dan heart rate neonatus kelompok perlakuan. tabel 1 distribusi karakteristik neonatus kelompok perlakuan dan kontrol di ruang edelweis rsud. ngudi waluyo wlingi tanggal 5 november– 29 november 2014 1 jenis kelamin laki-laki 7 41 9 53 perempuan 10 59 8 47 2 jenis persalinan normal 6 35 4 24 sc 11 65 13 76 3 pengambilan darah ke 1 6 35 5 29 ke 2 8 47 8 47 ke 3 1 6 4 24 ke 4 2 12 0 0 4 usia neonatus 0 – 3 hari 9 53 14 82 4 – 7 hari 6 35 1 6 8 – 14 hari 2 12 2 12 no karakteristik kelompok perlakuan kontrol frekuensi persentase (%) frekuensi persentase (%) 88 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 85–92 dan prosedur pengambilan darah yang terbanyak adalah pengambilan darah yang ke 2 yaitu 8 (47%), usia terbanyak 0 – 3 hari yaitu 9 neonatus (53%), sao2 rata-rata 93,06%. berdasarkan penelitian dyah kanya wati dkk dengan sampel 116 neonatus tidak didapatkan pengaruh jenis persalinan dengan kenyamanan neonatus. pada kelompok perlakuan terdiri 25 neonatus yang dilakukan tindakan 4s,s (swaddling,side,shushing,swingging) paska pengambilan darah vena. dari 25 neonatus hanya 17 neonatus di dapatkan berhenti menangis setelah di lakuka n 4s’s (swaddling, side, shushing, swingging),4 neonatus berhenti menangis pada 2s’s (swaddling, side), 4 neonatus berhenti pada 3s’s (swaddling, side,shushing). dari hasil observasi ini menunjukkan neonatus yang berhenti menangis setelah mendapatkan teknik 4s’s (swaddling, side, shushing, swingging) lebih banyak dibandingkan dengan 8 neonatus yang berhenti menangis pada s’s ke 2 dan 3. dengan 4s’s (swaddling, side, shushing, swingging) neonatus mendapatkan kenyamanan dan min max mean min max mean 1 bb (gram) 2500 3950 3129,4 2500 3950 3014,7 2 sao2 (%) 86 99 93,06 84 98 91,3 tabel 2 distribusi karakteristik neonatus kelompok perlakuan dan kontrol diruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi tanggal 5 november–29 november 2014 no karakteristik kelompok perlakuan kontrol kelompok n mean std. deviation std. error mean heart rate perlakuan 4s’s 17 131,24 12,055 3,166 tabel 3 heart rate neonatus kelompok perlakuan di ruang edelweis rsud. ngudi waluyo wlingi tanggal 5 november– 29 november 2014 kelompok n mean std. deviation std. error mean heart rate kontrol 17 144,88 8,594 2,034 tabel 4 heart rate neonatus kelompok kontrol di ruang edelweis rsud. ngudi waluyo wlingi tanggal 5 november– 29 november 2014 kelompok n mean min max t-test perlakuan 17 131,23 111 156 0,001 kontrol 17 144,8 132 162 tabel 5 heart rate neonatus kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di ruang edelweis rsud. ngudi waluyo wlingi tanggal 5 november–29 november 2014 berdasarkan tabel 1 dan 2 karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin,jenis persalinan, pengambilan darah,usia neonatus, bb, sao2. tabel 3 kelompok perlakuan menunjukkan hasil heart rate rata-rata 131,24 standar deviasi 12,055. tabel 4 kelompok kontrol menunjukkan hasil heart rate rata-rata 144,88 standar deviasi 8,594 sedangkan tabel 5 heart rate rata-rata kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan heart rate rata-rata kelompok kontrol. hasil uji statistik menunjukkan p=0,001 yang berarti ada pengaruh 4s’s terhadap heart rate neonatus paska pengambilan darah vena. pembahasan heart rate neonatus kelompok perlakuan berdasarkan data karakteristik neonatus, sebagian besar neonatus pada kelompok perlakuan berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 neonatus (59%), jenis persalinan terbanyak sc yaitu 11 (65%), 89rahmawati dan setiyorini, pengaruh 4s’s (swaddling, side, ... kesenangan sehingga respon tubuh akan melepaskan endorphin, enkefalin menuju reseptor diameter besar (a beta) sehinga gerbang tertutup dan impuls di hantar ke korteks serebral sehingga kenyamanan dan ketenangan meningkat akhirnya heart rate menurun/ normal. heart rate kelompok perlakuan pada 17 neonatus menunjukkan hasil minimal 111x/mnt maximal 132x/mnt rata-rata 131,23x/mnt menunjukkan dalam batas normal. hasil ini mendukung pendapat harvey karp bahwa intervensi 4s’s dapat menurunkan skala nyeri/ketidaknyamanan akibat dari tindakan invasif. intervensi tindakan dengan 4s’s merupakan salah satu dari penatalaksanaan nyeri/ ketidaknyamanan non farmakologik yaitu metode distraksi. distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden sehingga stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak lebih sedikit. efektifitas teknik distraksi tergantung pada kemampuan individu dalam menerima dan membangkitkan stimuli sensoris selain dari rangsang nyeri yang diterima. penurunan nyeri secara umum dapat optimal dengan melibatkan partisipasi aktif dari individu, keterlibatan modalitas sensoris yang digunakan dan minat individu terhadap stimuli (smeltzer, 2002). stimulasi dengan melibatkan beberapa indera seperti penglihatan, pendengaran, sentuhan lebih efektif dalam menurunkan ketidaknyamanan/nyeri dibandingkan dengan hanya melibatkan satu indera saja. intervensi 4s’s yaitu swaddling, side, shushing, swinging, melibatkan beberapa indera sehingga lebih efektif dalam menurunkan nyeri. sedangkan 8 neonatus yang berhenti menangis di 2s’s dan 3s’s, 4 neonatus di ambil darah ke 1 menunjukkan hasil heart rate minimal 79x/mnt maximal 158x/mnt ratarata 104,75x/mnt, 4 neonatus di ambil darah ke 2 menunjukkan heart rate minimal 139x/mnt maximal 165x/mnt rata-rata 155,5x/mnt. hal ini menunjukkan bahwa heart rate neonatus juga di pengaruhi oleh pengalaman ketidaknyamanan yang di dapatkan sebelumnya, di buktikan rata-rata heart rate pada neonatus pengambilan ke 1 lebih rendah di bandingkan pada neonatus pada tindakan ke 2. hal ini di dukung oleh slater dkk bahwa anatomi dan fisiologi dasar nyeri telah muncul pada neonatus preterm. mekanisme anatomi, fisiologi dan biokimia terhadap nyeri / ketidaknyamanan telah ada sejak awal kehidupan janin didalam kandungan, oleh karena itu neonatus telah dapat merasakan nyeri seperti anak yang lebih besar. namun disisi lain mekanisme inhibisi dalam penghantaran nyeri belum sepenuhmya terbentuk sebagaimana halnya dengan jalur ascenden. neonatus yang dirawat di ruang perinatal sering mendapatkan pengalaman ketidaknyamananan untuk periode waktu yang panjang. neonatus memiliki peningkatan sensasi nyeri dan lebih sensitif terhadap ketidaknyamanan dibandingkan anak-anak dan dewasa., dan rentan terhadap efek nyeri jangka panjang (slater, dkk, 2006). zempsky dkk, menyatakan bahwa neonatus yang baru lahir memiliki pengalaman nyeri/ketidaknyamanan yang lebih sedikit oleh karena sistem persarafan belum sempurna, namun penelitian terakhir mendukung hipotesis bahwa masa perinatal akan terjadi peningkatan sensitifitas terhadap nyeri/ketidaknyamanan. adanya pengalaman terhadap nyeri/ ketidaknyamanan pada masa neonatus dapat meningkatkan risiko efek nyeri bukan hanya dalam jangka pendek seperti iritabilitas, rasa takut terhadap nyeri, gangguan tidur, peningkatan konsumsi oksigen namun juga dalam jangka waktu panjang seperti ingatan terhadap nyeri, retardasi dan perubahan respon terhadap nyeri itu sendiri. berdasarkan teori di atas pengambilan darah ke 2 memberikan pengaruh respon neonatus terhadap ketidaknyamanan/ nyeri yang di alami sehingga memberikan pengaruh terhadap heart rate neonatus. oleh karena itu peneliti hanya meneliti 17 neonatus yang berhenti menangis setelah diberikan tehnik 4s,s (swaddling, side, shushing, swingging) untuk mengeta hui seja uh ma na keefektifan tehnik 4s’s (swaddling, side, shushing, swingging) terhadap heart rate neonatus paska pemgambilan darah vena. heart rate neonatus kelompok kontrol berdasarkan karakteristik neonatus kelompok kontrol jenis kelamin neonatus terbanyak adalah laki-laki sebanyak 9 (53%), jenis persalinan terbanyak sc yaitu 13 (76%), dan prosedur pengambilan darah yang terbanyak adalah pengambilan darah yang ke 2 yaitu 8 (47%), usia terbanyak 0-3 hari yaitu 14 (82%),sao2 rata-rata 91,3%. jumlah sampel kelompok kontrol 17 neonatus yang di uji dari 25 neonatus supaya jumlah neonatus yang di uji sama dengan jumlah kelompok perlakuan sehingga data dapat di uji secara stastistik. hasil observasi heart rate kelompok kontrol minimal 132 x/mnt maximal 162x/mnt, rata-rata 144,8x/mnt ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari kelompok perlakuan. berdasarkan jurnal penelitian dera alfiyanti tahun 2010 yang di aplikasikan pada 2 neonatus dengan penggunaan smart jaket untuk meminimalkan 90 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 85–92 efek traumatik pada neonatus menunjukkan bahwa neonatus yang mendapatkan kenyamanan hasil ekg nya bagus dan gelombang qrs kompleks terlihat lebih jelas dan bagus kualitas gambarnya. parameter fisiologis yang harus dimonitor selama neonatus menjalani perawatan di unit perawatan intensif antara lain adalah: suhu tubuh, sebagai indikator keefektifan termoregulasi, denyut jantung menunjukkan indeks fungsi jantung dan kondisi stress/tidak nyaman pada neonatus, frekuensi pernafasan, sao2 untuk mengkaji efisiensi aktivitas sistem pernafasan secara kontinyu, elektrokardiogram (ecg). pengukuran vital sign sebagai parameter fisiologis juga memberikan indikasi terhadap kondisi umum neonatus. peningkatan heart rate merupakan salah satu indikasi adanya ketidaknyamanan yang terjadi pada neonatus. kelompok kontrol neonatus hanya di lakukan pembedongan (swaddling) saja, yang dirasa masih kurang efektif untuk memberikan kenyamanan pada neonatus paska pengambilan darah vena. pada pembedongan (swaddling) hanya melibatkan indra perasa saja sehingga kenyamanan yang di hantarkan ke otak juga minimal yang mengakibatkan perangsangan hormon endorpin dan enkefalin yang di keluarkan tubuh sedikit yang akhirnya kenyamanan neonatus tidak maksimal dan heart rate cenderung naik walaupun masih dalam batas normal, sao2 pada kelompok kontrol masih dalam batas normal. pada kelompok kontrol ada 2 neonatus yang heart rate menunjukkan hasil paling tinggi yakni 162x/mnt kedua neonatus tersebut di ambil pada tindakan yang ke 2, ini menunjukan bahwa respon neonatus terhadap nyeri/ketidaknyamanan di pengaruhi oleh pengalaman nyeri yang di alami neonatus. perbedaan heart rate neonatus kelompok perlakuan dan kelompok kontrol rata-rata heart rate pada neonatus kelompok perlakuan adalah 131,23 x/mnt dan pada kelompok kontrol 144,8x/mnt. hal ini menunjukkan bahwa heart rate yang dialami oleh kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan pada kelompok kontrol. range normal heart rate antara 100-180x/ mnt, perubahan heart rate disebabkan faktor sistem syaraf yaitu syaraf simpatis dan syaraf parasimpatis. pengambilan darah vena akan menimbulkan kerusakan jaringan area punksi vena yang mengakibatkan ketidaknyamanan/kecemasan pada neonatus. efek dari kecemasan merangsang syaraf simpatis untuk melepaskan norepineprin yang berimbas pada penurunan permeabilitas kapiler pada sa node sehinga meningka tkan pembentuka n potensia l aksi, menurunkan perlambatan nodus av node sehinga meningkatkan kecepatan hantaran impuls, menurunkan permeabilitas ion kalsium pada atrium dan ventrikel sehinga meningkatkan kontraktilitas atrium dan ventrikel. berdasarkan penelitian menunjukkan dengan memberikan teknik menenangkan neonatus yakni 4s’s menunjukkan penurunan heart rate yang signifikan. karena dengan 4s’s respon tubuh akan melepaskan endorphin, enkefalin menuju reseptor diameter besar (a beta) sehinga gerbang tertutup dan impuls di hantar ke korteks serebral sehingga kenyamanan dan ketenangan meningkat akhirnya heart rate menurun/normal. hasil ini mendukung pendapat harvey karp bahwa intervensi 4s’s dapat menurunkan skala nyeri/ ketidaknyamanan akibat dari tindakan invasif. pemberian intervensi 4s’s didasarkan pada konsep bahwa 4 bulan setelah kelahiran, neonatus belum siap sepenuhnya berada di luar rahim, neonatus merindukan sensasi yang nyaman seperti di dalam rahim. di dalam rahim ada simfoni sensasi, gerakan bergoyang yang konstan, bunyi mendesing yang konstan yang merupakan suara aliran darah melalui arteri dan menyentuh konstan terhadap dinding rahim. melalui intervensi 4s’s karp menstimulasi rekondisi dalam rahim. intervensi tindakan dengan 4s’s merupakan salah satu dari penatalak sanaan nyeri/ ketidaknyamanan non farmakologik yaitu metode distraksi. distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden sehingga stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak lebih sedikit. efektifitas teknik distraksi tergantung pada kemampuan individu dalam menerima dan membangkitkan stimuli sensoris selain dari rangsang nyeri yang diterima. penurunan nyeri secara umum dapat optimal dengan melibatkan partisipasi aktif dari individu, keterlibatan modalitas sensoris yang digunakan dan minat individu terhadap stimuli (smeltzer, 2002). stimulasi dengan melibatkan beberapa indera seperti penglihatan, pendengaran, sentuhan lebih efektif dalam menurunkan ketidaknyamanan/nyeri dibandingkan dengan hanya melibatkan satu indera saja. inter vensi 4s’s yaitu swaddling, side, shushing, swinging, melibatkan beberapa indera sehingga lebih efektif dalam menurunkan nyeri. beberapa riset menunjukkan bahwa kegagalan dalam mengatasi nyeri pada neonatus akan menyebabkan perubahan permanen pada proses di otak dan perilaku maladaptif selanjutnya (anand, 2000). 91rahmawati dan setiyorini, pengaruh 4s’s (swaddling, side, ... hasil penelitian menunjukkan kelompok perlakuan hasil heart rate minimal 111x/mnt maximal 156x/mnt sedangkan kelompok kontrol hasil heart rate minimal 132x/mnt maximal 162 x/mnt kelompok perlakuan lebih rendah di bandingkan kelompok kontrol karena pada perlakuan melibatkan banyak panca indra yakni indra peraba/sentuhan, pendengaran, penglihatan jauh lebih efektif di bandingkan dengan menggunakan satu indra saja yaitu sentuhan saja pada kelompok kontrol. dalam pengambilan sampel darah vena tentunya ketrampilan perawat, lingkungan yang tenang, nyaman, neonatus dalam kondisi kenyang sangat mempengaruhi respon neonatus terhadap ketidaknyamanan saat pengambilan darah simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi tahun 2014 tentang “pengaruh 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging) terhadap heart rate neonatus paska pengambilan darah vena diperoleh simpulan sebagai berikut : kelompok perlakuan menunjukkan hasil heart rate minimal 111x/mnt maximal 156x/ mnt, rata-rata 131,23x/mnt. kelompok kontrol menunjukkan hasil heart rate minimal 132x/mnt maximal 162x/mnt, rata-rata 144,8x/mnt. tindakan 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging) dapat mempengaruhi heart rate neonatus. saran diharapkan materi teknik 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging ) ini dapat ditambahkan, khususnya pada mata kuliah sistem reproduksi 2 tentang penatalaksanaan neonatus yang mempengaruhi heart rate neonatus. diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat sop (standart operational procedures) dalam menenangkan neonatus dan dapat mensosialisasikan kepada ibu, bahwa tindakan 4s’s (swaddling, side, shushing, swinging) sangat bermanfaat bagi neonatus dan menjelaskan efek negatif dari ketidaknyamanan yang tidak segara ditangani. diharapkan penelitian ini bisa dilanjutkan dan dikembangkan sehingga nantinya bisa menambah pengetahuan dan meningkatkan kualitas sdm perawat dan disosialisasikan, diterapkan dalam memberikan kenyamanan pada neonatus. daftar rujukan anand k. 2000. pain, plasticity, and premature birth: a prescription for permanent suffering? nature medicine; 6:971–73. anand k, and hickey p. pain and its effects in the human neonate and fetus. new england journal of medicine 1987; 317:1321–29. anand k, and scalzo f. 2000.can adverse neonatal experiences alter brain development and subsequent behavior? biology of the neonate; 77:69–82 babycentre. 2012. seven reasons baby cry and how to soothe them. dibuka tanggal 14 april 2013. dari http://www.babycentre.co.uk/a536698/ seven-reasons-babies-cry-and-how-to-soothethembartocci, m, bergqvist, ll, lagercrantz, h, anand, kj. 2006. pain activates cortical areas in the preterm newborn brain; 122:109. boyse, keyla. 2007. pain and your infant: medical procedures, circumcision and teething. http:/ / www. m e d . u m i c h . e d u/ you r c h i l d / t opi c s / paininf.htm dibuka tanggal 20 nopember 2013. dera alfiyanti. 2010. pendekatan baru dalam monitoring bayi baru lahir di neonatal intensive care unit (nicu) dengan menggunakan wearable sensors: sebuah strategi non-invasif untuk meminimalkan efek traumatik pada bayi. gupta, s. 2012. the 5s’s: easing baby pain after vaccine shots. dibuka tanggal 14 april 2013. dari http://thechart.blogs.cnn.com/2012/04/16/the5-ss-easing-baby-pain-after-vaccine-shots/. harrington, j.w., logan,s.,harwell,c., gardner, j., swingle, j., mcguire, e and santos, r. 2012. effective analgesia using physical interventions for infant immunizations. american academy of pediatrics.http://pediatrics.aappublications.org/ content/early/2012/04/11/peds.2011-1607. abstract harvey, k. 2002. bayi paling bahagia sedunia. jakarta: gramedia. lissauer, t & fanaroff, a.a. 2011. neonatology at glance, 2nd edition.wiley-blackwell,usa. mccarroll, e & faris, m. 2014. crying babies: answeri ng t he cal l of i nfa n t cr ies. h t t p: / / w w w . c h i l d c a r e q u a r t e r l y . c o m / fall10_story2a.html. dibuka tanggal 10 oktober 2014. merkel, s. and others, a. 1997. behavior pain assessment scale . pediatric nurse 23(3), p. 293-297. slater, r, cantarella, a, gallella, s, et al. 2006. cortical pain responses in human infants. j neurosci; 26:3662. bates, c. 2012. swaddle, side, shush, swing and suck: how the ‘5s’s’ really do stop your ne wborn from cry ing. da ri htt p: // 92 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 85–92 www.dailymail.co.uk/health/article-2130576/ how-5-ss-stop-newborn-crying.html, dibuka tanggal 18 april 2013. nelson, behrman, kliegmana arvin.1999. ilmu kesehatan anak, edisi 15, jakarta: egc, halaman 1568. wong, d.l, hockenberry m, wilson,d, winkelstein, m.l, & schwartz, p. 2003. buku ajar keperawatan pediatrik wong, ed 6, vol i.alih bahasa agus sutarna. jakarta: egc. 235prayogi, the correlation of knowledge and self-effication... 235 the correlation of knowledge and self-effication in preventing the spread of pulmonary tuberculosis bisepta prayogi stikes patria husada blitar email: bisepta87@gmail.com abstract: the world health organization (who) has stated that the current situation of tuberculosis (tb) worldwide is getting worse. based on the survey conducted by the ministry of health of the republic of indonesia (2011) on the prevalence of tb in 2009, knowledge shows that 76% of families have heard about tb and 85% know that tb can be cured, but only 26% can mention two signs and symptoms main tb. the mode of transmission of tb is understood by 51% of families and only 19% know that tb drugs are available for free.the purpose of this research was to know the correlation of knowledge and selfefficacy about prevention of transmission in lung tuberculosis patients. methods: the research design used correlational with the cross-sectional approach. the population was lung tb patients in the working area of ponggok puskesmas. the sampling technique used purposive sampling with the sample of 20 respondents. the data collected then processed and analyzed with spearman-rho statistic test with a significance value of 0.05. results: the results showed significance value p = 0,001 (p <0,05). thus there was a corelation of knowledge and self-efficacy about prevention of transmission of pulmonary tuberculosis.discussion: knowledge was one factor that plays a role in the formation of self-efficacy in patients with pulmonary tuberculosis. keywords: knowledge, self-efficacy, pulmonary tb patients. the world health organization (who) has stated that the current situation of tuberculosis (tb) worldwide is getting worse, this is because the number of tb cases continues to increase and the rate of recovery is low. who has launched tb as a global emergency, primarily because of the epidemic of human immunodeficiency virus (hiv / aids) and the case of multidrug resistance (mdr)(kemenkes ri, 2014). according to the global tuberculosis report released by who in 2016, the world’s new tb case by 2015 was 10,400,000 cases, of which 480,000 new tb cases were new cases of mdrtb, with the deaths of 1,400,000 people, of that number 400,000 died of tb-hiv.countries with the highest tb cases of 2015 are india, indonesia, china, nigeria, pakistan and south africa.thus indonesia ranks 2nd largest tb sufferers globally (who, 2016). tuberculosis is also included in the 3 rd sdgs (sustainable development goals) program, which is to ensure a healthy life and promote well-being for all people of all ages with a targeted end to the tuberculosis epidemic by reducing the death rate fr om tuberculosis by 90% and r educing the incidence rate tb by 80% by 2030(amrin, 2016). based on data from the section on disease eradication (p2) in dinas kesehatan kabupaten blitar, in 2015 new cases of tuberculosis patients as many as 632 people and patients who undergoing re-treatment as many as 13 people, so that total tb patient who received oat treatment of 645 people. while in 2016 in blitar district, the number of new tb patient findings as many as 669 people and who undergoing re-treatment as many as 22 people so that the total number of tb patients in blitar district in 2016 as many as 691 people. based on these hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi 10.26699jnk.v4i3.art.p235-238 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 236 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 235–238 data there is an increase in the number of tb patients by 3.3% (dinkes blitar, 2016) based on data from integrated tuberculosis information system (itis), in the work area of puskesmas ponggok kabupaten blitar, the number of tb patients in 2015 was 34 people and in 2016 as many as 33 people. from the results of contact tracing conducted by the researchers obtained data that almost 50% of tb patients who undergo treatment at ponggok puskesmas in 2015 until 2016 ha a history of contact with patients withthe previous tb. based on the survey conducted by the ministry of health of the republic of indonesia (2011) on the prevalence of tb in 2009, knowledge shows that 76% of families have heard about tb and 85% know that tb can be cured, but only 26% can mention two signs and symptoms main tb. the mode of transmission of tb is understood by 51% of families and only 19% know that tb drugs are available for free. the results of preliminary studies a t puskesma s ponggok sta ted tha t 3 of 5 pulmonary tb sufferers have sufficient knowledge and confidence about prevention of transmission of pulmonary tb disease.the purpose of this research is to know the relationship between knowledge and self-efficacy about prevention of transmission in lung tuberculosis patients. research methods the research design used was correlational with cross-sectional approach. the population is lung tb patients in the working area of ponggok puskesmas. sampling technique using purposive sampling with asample of 20 respondents. the independent variable is knowledge, while the dependent variable is self-efficacy. instruments used: 1) questionnaires to collect demographic data include gender of respondent, age, education, occupation, religion, income, 2) questionnaire to measure knowledge and self-efficacy. the data has been collected and then processed and analyzed using spearman-rho statistic test with adegree of significance p=0,05. results results of knowledge of pulmonar y tb responders at puskesmas ponggok blitar regency may 2017 from table 2 shows most respondents have good self-efficacy as much as 12 respondents or by 60%. only a small percentage of respondents who ha ve self self-effica cy a s much a s 8 respondents or by 40%. results of correlation between knowledge and self-efficacy of pulmonary tb responders at puskesmas ponggok blitar district may 2017 knowledge f % good 13 65 enough 7 35 total 20 100 table1 results of knowledge of pulmonary tb responders at puskesmas ponggok blitar regency may 2017 table1 shows that most respondents have good knowledge of 13 respondents or 65%. only a small percentage of respondents who have sufficient knowledge as much as 7 respondents or by 35%. results of self-efficacy of pulmonary tb responders at puskesmas ponggok blitar regency may 2017 self-efficacy f % good 12 60 enough 8 40 total 20 100 tabel 2 results of self-efficacy of pulmonary tb responders at puskesmas ponggok blitar regency may 2017 good 11 2 13 enough 1 6 7 total 12 8 20 spearman’s rhop=0,001 table 3 results of correlation between knowledge and self-efficacy of pulmonary tb responders at puskesmas ponggok blitar district may 2017 knowledge self-efficacy totalgood enough 237prayogi, the correlation of knowledge and self-effication... from table 3 shows the significance value p = 0.001 (p <0.05). thus there is a relationship between knowledge and self-efficacy about prevention of transmission of pulmonary tuberculosis. from the a na lysis results obtained the value of close relationship 0.685 which means there is a strong relationship. the conclusion of the analysis is that there is a strong relationship between knowledge and self-efficacy, where the better the knowledge, the better the self-efficacy of the lung tb patient. discussion the correlation between knowledge and selfefficacy of pulmonary tb responders at puskesmas ponggok blitar district may 2017 ba sed on the r esults of cr oss-tabulation between knowledge and self-efficacy indicates that the average patient of pulmonary tb has good knowledge and self-efficacy, it is characterized by the sufferers of pulmonary tb have a strong belief in its ability to exert all efforts in order not to transmit the disease and can heal completely. the respondent hopes his illness is not transmitted to others, especia lly to his fa mily. t his encour a ges respondents to comply with all care programs. respondents always adhere to the advice given by hea lth worker s, especially on pr evention of pulmonary tb transmission. various attempts were made by respondents to prevent transmission, such as using a mask when talking to others, keeping the environment clean, and throwing sputum into a special container. other results seen there is 1 respondent who is knowledgeable enough but efficacy himself good, this is probably due to patients always get attention from family to keep the behavior so that other family members are not infected. this research shows that knowledge is one of the factors of self-efficacy formation. knowledge can be the basis for the individual to determine his attitude and behavior. knowledge of one’s own knowledge is influenced by several factors such as age, education, job / experience, information / mass media, socio-cultural and economic, environment (mubarak, 2007). providing good information on prevention of tb transmission by health personnel is very important to be done so that knowledge about prevention of transmission of respondents to be increased. the results of this study in accordance with research conducted by prabandari (2014) that the better the level of one’s knowledge the better the motivation of a person is undergoing atreatment program. spearman rho test results obtained p-value = 0.001 with  = 0.05. this means that there is a meaningful relationship between knowledge and self-efficacy of pulmonary tb patients about prevention of transmission of pulmonary tb disease. spearman correlation value 0.685 shows the direction of correlation is positive and have a strong correlation. based on the results of this analysis indicates that knowledge is one factor that plays a role in the formation of self efficacy in patients with pulmonary tuberculosis in pkm ponggok blitar regency, whereas other than knowledge there are other factors that can affect the formation of self efficacy that is the experience of individuals, in this study there are three respondents which a re classified as an old patient, the intended old patient is a patient with a case of relapse, this can affect the beliefs of patients with pulmonar y tb. pulmonary tb sufferers who responded stated that they believed they could prevent transmission of pulmonary tuberculosis because they had been fr equently infor med a bout pr evention of transmission given by health workers. conclusions and suggestions conclusions based on this research, it can be concluded that there is a significant relationship between knowledge with self-efficacy about prevention of transmission of pulmonary tb disease at puskesmas ponggok blitar regency. suggestions for nurses can be used as a study to always pr ovide hea lth educa tion on pr evention of transmission of pulmonary tb disease, so that the self-efficacy of pulmonary tb patients increases. patients with pulmonary tuberculosis are expected to maintain good self-efficacy, so they can heal optimally and not spread to others. for families in the hope always give attention and support to family members who suffer from pulmonary tuberculosis. reference amrin, madolan. 2013. goals (tujuan) dan target sdgs kesehatan, online. www.mitrakesmas.com. diakses tanggal 1 maret 2017. 238 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 235–238 depkes ri. 2009. sistem kesehatan nasional. jakarta: departemen kesehatan republik indonesia. kemenkes ri. 2014. pedoman nasional pengendalian tuberculosis. jakarta: dirjen pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. mubarak, wahid iqbal dkk. 2007. promosi kesehatan sebuah metode pengantar proses belajar mengajar dalam pendidikan. yogyakarta : graha ilmu prabandari, i. 2014. hubungan tingkat pengetahuan dengan motivasi untuk memeriksakan diri pasien hipertensi pada lanjut usia di puskesmas kerjo karanganyar. jurnal keperawatan univ. muhammadiyah surakarta april 2014. who. 2016. global tuberculosis report, online. www.who.int. diakses tanggal 10 maret 2017. 248 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 248–253 248 the correlation of parents’ education level and child care pattern of pre school children/ 3 to 6 years old in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung yeni kartika sari, unifatus zahro stikes patria husada blitar email: kartikasariyeni84@gmail.com abstract: child care pattern is very important in the development of children, especially in overcoming emotional development. the education level of parents is expected to affect the way parents provide for their children’s upbringing. this study aimed to determine the correlation of parents’ education level and child care pattern of pre-school children in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung.this research was an observational analytic research with cross sectional approach. the independent variable in this study was the education level of the parents. while the dependent variable was the child care pattern of pre school children. the population in this study was all parents of pre school children that are 86 people. while the sample was all the population who meet the inclusion criteria as much as 72 respondents. the data would be analyzed by wilcoxon sign rank test with significance value of 0.05. based on the research results obtained value () count of 0.000. because the value of  <0,05, so it could be concluded that there was a significant correlation of parents’ education level and the child care pattern of pre-school children in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. it was suggested to nurse as educator to provide health education about child care pattern and its impact on child growth in preschool education. keywords: child care pattern, parental education parents are the main role takers in raising their children. the occurrence of a relationship crisis involving parents with children is largely due to the discretion of parents in applying parenting to their children. this attitude of parenting is reflected in the child care pattern to different children because parents have certain child care patterns (galih, 2009). parental accompaniment is manifested through the way parents educate their children. the way parents educate their children is referred to as a pattern or specific ways that are considered the best for the child. herein lies some differences in parenting. on the one hand, parents should be able to determine what parenting style is appropriate in considering the needs and situation of the child, on the other hand as a parent also has the desire and hope to form a child into someone who is aspired of better than his parents (jas & rahmadiana, 2004). child care patterns is a pattern of parental behavior applied to children that is relative and consistent from time to time. this pattern of behavior can be felt by children in terms of negative and positive (drey, 2006). it is a big role in children’s development, especially in overcoming emotional development (syamsu, 2007). the parent is the teacher or the first person in providing basic care about all the good developments related to the laying of the moral, psychomotor, language, arts and skills foundations of the child. in digging and developing the potential of children since early, can not be separated from the role of parents in giving parenting to their children. child care patterns that parents give to their children are very different between hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p248-253 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 249sari, zahro, the correlation of parents’ education level... parents one with other parents, both in terms of ways and methods. so the quality of parenting will affect the child differently. how to provide parental pattern to their children not only based on natural factors but also due to background factors education level of their parents. differences in education that parents have will be seen in the quality of the process of giving parenting. education owned by parents will affect the readiness of parents in providing parenting. according to sir godfrey thomson (2004), shows that education is defined as the environmental influence of individuals to produce various changes. such changes may be permanent or permanent in behavioral habits, thoughts, and attitudes. accor ding to dr ey (2006), pa renting is commonly applied to children is the pattern of authoritarian parenting, democratic parenting and permissive parenting. in an authoritarian parenting style, parents tend to set an absolute standard to obey. democratic parenting is a caring parenting that interests children, but does not hesitate to control them. whereas in the permissive child care pattern, parents provide very loose supervision, giving their children the opportunity to do something without enough supervision from him. one of the phenomenon of social-emotional aspects that arise in children due to less precise parenting is temper tantrums. temper tantrums are emotional expressions as well as responses to an individual’s internal or external stimulus (dariyo, 2007). to overcome tempertantrum, parents should have the best parenting strategies that are related to the child’s tantrums so that they do not cause problems of adjustment to the child. (john w santrock, 2007). parents are expected to apply positive parenting that is autoritative. ra tarbiyatus sibyan is one of the pre school education located in the village of tanjung who has the highest number of students in kalidawir subdistrict in comparison with others. based on the preliminary survey conducted by researchers through interviews with several teachers obtained the results of 87 students with the age distribution of learners between 3-6 years. most of the parents’ education is the basic education so that it will affect the pa r enta l pa tter n of child so tha t ea r ly development will gr ea tly a ffect the fur ther development. the behavior of children who often encountered in ra tarbiyatus sibyan tanjung is like fighting, crying until rolling, screaming, or slamming something around him if his wish is not granted his parents as much as ± 35–45%. based on the above description then the formulation of the problem in this study is how the relationship level of parents education with child care patterns in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. the general purpose of this research is to explain the correlation of parent education level with child care pattern in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. while the specific objectives are (1) identify the level of parrent education of students in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. (2) to identify the child care pattern in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung and (3) to analyze the correlation of parents education level with child care pattern in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. research methods the research design used in this research is descriptive correlational with cross sectional approach because this study aims to connect between risk factors with effects by approach, observation at once at one time. dependent variable in this research is child care pattern. while the independent variable in this study is the level of parrent education. instrument used in this research are (1) questionnaire of foster pattern which is a standard questionnaire tracy hogg consisting of 10 items of questions with 3 choices chil care patterns. this questionnaire has been tested for its validity as well as reliability with a (significant level or degr ee of er r or ) 0. 05, n (number of test respondents): 10, and r (valid value in table): 0.632. (2) a general and special data questionnaire containing the ages of parents, age of children, gender, pa r ents’ la st educa tion a nd pa r ent occupa tions. t he da ta wa s collected a t ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung on 17 april 2017. the population in this study were parents of pre-school age children (3–6 years) who numbered 87 students in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. the sample in this study is part of the polls that meet the inclusion criteria, namely (1) parents who have pre-school age children (3–6 years) in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. (2) the child is in good health physically and spiritually. (3) learners are cared for by biological parents. while the exclusion 250 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 248–253 from the table above known that the most students attending school in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung is 6 years old as 31 (43,1%). the level of parent education from the table above known that most of the parents’ education is (basic) junior high as much as 32 people (44.4%). cr iter ia a r e (1) pa r ents ca n not a ttend (2) respondents can not complete the questionnaire. so that the respondents in this study were 72 respondents statistical analysis used in this study is wilcoxon sign rank test because the data used ordinal scale. result the age of students in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung ages of students f % 3 years old 1 1,4 4 years old 13 18,1 5 years old 27 37,5 6 years old 31 43,1 ammount 72 100 table 1 the distribution of students age in ra tarbi yatussi byan tanjung k al i dawi r tulungagung the level of parent education f % (basic) elementary 9 12,5 (basic) junior high 32 44,4 (middle) senior high 24 33.3 (high) diplome 4 5,6 (high) bachelor 3 4,2 ammount 72 100 table 2 the distribution of the level parent education in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung the parrents employment f % merchants 2 2,8 private emplyees 6 8,3 laborers 7 9,7 farmers 9 12,5 housewifes 19 26,4 others 29 40,3 ammount 72 100 table 3 the distribution of parrents employment in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung from the table above known that most of parents employment is others as 29 people (40.3%) the child genders in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung the child genders f % male 45 62,5 female 27 37,5 ammount 72 100 table 4 the distribution of child genders in ra tarbi yatussi byan tanjung k al i dawi r tulungagung from the table above known that most of genders child in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung is male as 45 (62.5%). the child care pattern in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung the child care pattern f % authoritarian 1 1,4 permissive 45 62,5 demokratic 26 36,1 ammount 72 100 table 5 the distribution of child care pattern in ra tarbi yatussi byan tanjung k al i dawi r tulungagung the parrents employment in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung 251sari, zahro, the correlation of parents’ education level... based on table 5 it can be seen that child care pattern applied by parents is permissive that is 45 people (62,5%), while parents applying authoritarian and democratic parenting have 1 person and 26 people (1.4% and 36 , 1%). relationship between the level of parrental education with child care pattern of pre school children in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung basic % middle % high % f % authoritharian 1 1 0 0 0 0 1 1 permissive 26 36 13 18 6 9 45 63 democratics 14 20 11 15 1 1 26 36 ammount 41 57 24 33 7 10 72 100 wilcoxon sign rank test signifikansi () 0,000 table 6 relationship between the level of parrental education with child care pattern of pre school children in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung type of chil care pattern level of parntal education ammount from table 6 above shows that most parents apply permissive parenting as many as 45 people with the highest level of education is basic education that is 41 people (57%). from table 6 above also shows that p of both variables obtained significance value  0,000 meaning that significant significance value because  value <0,05, this matter can be interpreted there is significant relation between between the level of parrental education with child care pattern of pre school children in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung. . discuss according hurlock (2010) the factors that affect child care pattern is the level of education, employment and economic status. the number of permissive parenting tendencies applied by the respondents because it is influenced by the level of education of most respondents that basic education (elementary and junior high school) as much as 32 people (44.4%). it affects the parenting pattern, because the lower one’s education level, the lower the education level of a person, the lower the knowledge of good parenting. according hurlock (2010) that parents who have low educational background in parenting generally do not pay attention to the level of development of children. this is because parents who are still lay and do not know the level of child development. parents usually nurture children in their own style and manner, so it is most likely to use permissive parenting according to the results of the research: 45 mothers (62.5%) use permissive parenting. it is also in the opinion koenjtaraningrat in nursalam (2013) that is with higher education then someone will tend to get information both from other people or from mass media. on the other hand, a low level of education will hamper the development and attitudes of a person towards newly introduced values, leading to one’s ignorance of something such as the adoption of good parenting that is democratic. according to baumrind in yudrik jahja (2011), permissive family parenting does not provide the proper structure and boundaries for their children, this child care pattern is indulgent, overly liberating and less demanding. as for children who cared for this parenting tend to have less independent nature and too dependent on others. parents of this type tend not to rebuke or warn children when children are in danger and very little guidance is given by them. but parents of this type are usually warm, so often liked by children. with this kind of parenting the child gets as much freedom as possible from his family so as to make the children uncontrollable, disobedient and aggressive behavior especially outside the family environment. but in everyday life not infr equently ther e a r e pa r ents who a r e authoritarian by demanding and expecting many from children. according to baumrind in yudrik jahja (2011), parents with this type of parenting tend to force, rule, and punish. if the child does not want to do what is said by the parents, then this type is reluctant to punish the child. according to baumrind in yudrik jahja (2011) parents with democratic parenting in caring for their children have a tendency to prioritize the interests 252 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 248–253 of children, but do not hesitate to control them. parents of this type also be realistic about the ability of children, do not expect an excess that exceeds the ability of children. it also gives children the freedom to recover and take a ction, and the interference to the child is warm. child care pattern that is widely applied in ra tarbiyatussibyan is permissive parenting is possible because it is influenced by the level of education of parents who are mostly basuc school. parents who have little knowledge in parenting and lack of understanding of children’s needs. and there are only a small percentage of parents who adopt democratic parenting that shows that parents are aware of effective childcare patterns for their children. accor ding to pr a setyo (2003), the inappropriateness of the adoption of child care pattern in the life of the child can cause children less able to develop what is in him, even can hamper the process of growth and development of children which can r esult in the delay of growth and development of children become less optimal. the second factor affecting the child care pattern is the type of work. based on table 3 that the majority of respondents have 29 self-employed (40.3%) employment. parents with self-employed jobs are likely to have less time to pay attention to their child’s needs and seek information about new things such as a good child care pattern for children not as much as the information that housewives mothers get. as per mubarak’s opinion (2009), the wor k envir onment ca n ma ke a per son ga in exper ience a nd knowledge both directly a nd indirectly. it is also in accordance with the opinion of notoatmodjo (2005) that with the existence of one’s work will require a lot of time and require a ttention. since most of the students a r e entrepreneurs so that their parents are busy and only have little time to pay attention to the needs of their children so to get the affection and attention of their parents than that because he is busy with his work and has little time to obtain information on appropriate parenting. another factor that influences child care pattern is the economic status. since most of the respondents are self-employed, they will have middle-income. with more income, then parents usually tend to spoil the child with the material. whatever the child asks will always be obeyed, because of the adequate income. so the child care pattern used by the parents is permissive parenting. in accordance with the results of the study found that most of the 45 people (62.5%) have permissive child care patterns. this is in accordance with the opinion hurlock (2010) that parents who middle and upper middle level of the economy in the care usually spoil his son. whatever the child wants will be filled with parents. all the needs of the child can be fulfilled with the wealth of the parents. parenting is mostly only met with material. parental concern and affection is manifested in giving or fulfilling the needs of the child, which is included in the permissive parenting pattern. so a child who is familiar with such permissive parenting patterns, will form a spoiled per sona lity. likewise in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung because of the many jobs of the parents of students are entrepreneurs then the economic status of most middle or upper middle class so that with enough material then the parents will provide love by meeting the needs of his child conclussion and suggestion conclusions the conclusion of this research are: 1) most of the level op pa r ents educa tion in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung is primary education (elementary and junior high) as many as 41 people (57%), 2) most of child care pattern of in ra tarbiyatussibyan tanjung kalidawir tulungagung is permissive as many as 45 people (62.5%). 3) based on the analysis with spearman rank test found that there is a relationship between the level of education parents with child care pattern in ra tar biyatussibya n ta njung ka lidawir tulungagung with a value of 0.00. suggestions suggested to nur se a s educa tor to give counseling about child care pattern and its impact on child growth at place of pre school education, it is recommended for further research to be able to examine the impact of inappropriate child care patterns on early childhood development. bibliography dariyo, agoes. 2007. psikologi perkembangan. bandung. refika aditama. drey, c. edward. 2006. ketika anak sulit diatus: panduan orangtua mengubah masalah perilaku anak. bandung: pt. mizan pustaka. 253sari, zahro, the correlation of parents’ education level... galih. 2009. pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak pada masyarakat desa campurejo kecamatan boja kabupaten kendal. http://one.indoskripsi.com/node/10123. 17 juli 2017 hayes, e. 2003. temper tantrum. surabaya: erlangga hurlock, elizabeth b. 2010. perkembangan anak jilid 2 ; edisi 6, jakarta: erlangga. jas & rahmadiana. 2004. mengkomunikasikan moral pada anak. jakarta: elex komputindo. kharmina, ninik. 2011. hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan orientasi mubarak, w. i., chayatin, n. 2009. ilmu kesehatan masyarakat: teori dan aplikasinya. jakarta : salemba medika not oa tm odjo, s. 2005. me todol ogi pene l i ti an kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan, edisi 3. jakarta: salemba medika. pola asuh anak usia dini. skripsi. http://lib.unnes.ac.id/ 6585/1/7836.pdf. 11 juli 2017 prasetyo, g. tembong. 2003. pola pengasuhan anak. jakarta : aksara baru santrock, j.w. 2007. perkembangan anak. jakarta: erlangga. yudrik, jahja. 2011. psikologi perkembangan. jakarta. kencana. 134 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 134–140 134 analisis faktor yang mempengaruhi produksi air susu ibu (asi) pada ibu menyusui yang bekerja (analysis of factors affecting breastmilk production on breastfeeding working mothers) anita rahmawati, bisepta prayogi program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: anitarahmawati2017@gmail.com abstract: breastfeeding working mothers are at risk of impaired breast milk production. exclusive breastfeeding of breastfeeding working mothers lower than mothers do not work is due to breast milk production tends to decline after the mother began to work actively. the purpose of this study was to explain the factors that affect the breast milk production in breastfeeding working mothers. this study used cross sectional design. 25 breastfeeding working mothers were taken by consecutive sampling. breastmilk production was measured for 7 days using a measuring cup. breast milking used the breast pump on both breasts before the mother breastfeed her baby or 2-3 hours after breastfeeding. the analysis used spearman rank test and multiple linear regression with á = 0,05. there was no relationship maternal age factor, infant age, occupation, education and support of husband or family with milk production (p = 0,513; p = 0,105; p = 0,884; p = 0,176; p = 0,164). there was a strongly significant and opposite relationship between duration of labor and milk production (p = 0.001 rs = -0.643), there was a strongly significant and unidirectional relationship between infant formula addition and milking frequency (p = 0,000 rs = 0.732; p = 0,000 rs = 0.732 ) and between the breastfeeding frequency with milk production there was a significant relationship of moderate and unidirectional (p = 0.044 rs = 0.406). the results of the linear regression test showed all factors related to milk production when tested together (p = 0.000). nurses or other health workers may expected to consider factors that affect breast milk production so that it can determine appropriate interventions in lactation management in breastfeeding working mothers. keywords: breast milk production, breastfeeding working mothers abstrak: ibu menyusui yang bekerja beresiko mengalami gangguan produksi air susu ibu (asi). pemberian asi eksklusif pada ibu menyusui yang bekerja lebih rendah dibandingkan ibu tidak bekerja disebabkan karena produksi asi cenderung menurun setelah ibu mulai aktif bekerja. tujuan penelitian ini untuk menjelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi produksi asi pada ibu menyusui bekerja. rancangan penelitian cross sectional design. sampel diambil secara consecutive sampling didapatkan 25 ibu menyusui yang bekerja. produksi asi merupakan volume asi perah yang diukur selama 7 hari dengan menggunakan gelas ukur. pemerahan menggunakan pompa asi pada kedua payudara sebelum ibu menyusui bayinya atau 2-3 jam setelah penyusuan. analisis menggunakan spearman rank test dan regresi linier berganda dengan á = 0,05. tidak ada hubungan faktor usia ibu, usia bayi, pekerjaan, pendidikan dan dukungan suami/keluarga dengan produksi asi (p= 0,513; p=0,105; p=0,884; p=0,176; p=0,164). ada hubungan signifikan kuat dan berlawanan arah antara lama kerja dengan produksi asi (p=0,001 rs= 0,643), ada hubungan signifikan kuat dan searah antara penambahan susu formula dan frekuensi memerah (p=0,000 rs= 0,732; p=0,000 rs= 0,732) dan antara frekuensi menyusui dengan produksi asi terdapat hubungan signifikan sedang dan searah (p=0,044 rs=0,406). hasil uji regresi linier menunjukkan semua faktor berhubungan dengan produksi asi jika diuji bersama (p=0,000). perawat atau tenaga kesehatan lain acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p134-140 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 135rahmawati, prayogi, analisis faktor yang mempengaruhi produksi asi... diharapkan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi asi sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat dalam manajemen laktasi pada ibu menyusui yang bekerja. kata kunci : produksi air susu ibu (asi), ibu menyusui bekerja menyusui eksklusif merupakan pemberian air susu ibu (asi) tanpa disertai makanan atau minuman selain asi kecuali obat-obatan, vitamin, atau mineral tetes. pemberian asi eksklusif yang disarankan oleh world health organization (who) adalah sampai bayi berumur 6 bulan (badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia, 2013). namun pada kenyataannya beberapa ibu yang bekerja menghentikan pemberian asi eksklusif ketika mulai meninggalkan bayinya untuk aktif bekerja. penelitian sulistiyowati & siswantara (2014) menunjukkan 64,7% ibu menyusui yang bekerja tidak memberikan asi eksklusif. 29,4 % ibu tetap berusaha memproduksi asi saat bekerja dengan cara memompa asi, sedangkan 70,6 % ibu tidak melakukannya dengan alasan malas, takut payudara sakit, dan belum memahami cara memerah asi yang benar. faktor yang mempengaruhi produksi asi berasal dari internal dan eksternal. faktor internal meliputi kondisi fisik, psikologis, pengetahuan ibu dan faktor fisik bayi sedangkan faktor eksternal diantaranya inisiasi menyusui dini (imd) dan frekuensi menyusui (kadir, 2014). kondisi fisik seperti kelainan anatomi fisiologi, usia, paritas, dan asupan nutrisi ibu merupakan faktor internal yang mempengaruhi produksi asi. sebagian besar ibu bekerja telah memiliki intensi untuk memberikan asi eksklusif sejak hamil, namun setelah kembali bekerja produksi asi menjadi sedikit dan tidak mencukupi kebutuhan bayi sehingga ibu memberikan tambahan susu formula (anggraenil, nurdiati & padmawati, 2015). dalam kondisi normal, jumlah produksi asi yang dihasilkan ibu selalu mengikuti kebutuhan bayi. produksi asi optimal tercapai setelah hari ke 1014 setelah kelahiran. pada hari-hari pertama setelah kelahiran produksi asi sekitar 10–100 ml sehari, produksi asi yang efektif akan terus meningkat sampai 6 bulan dengan rata-rata produksi 700-800 ml setiap hari, selanjutnya poduksi asi menurun menjadi 500-700 ml setelah 6 bulan pertama (mulyani, 2013). perasaan ibu menyusui bekerja umumnya tidak tega, merasa berat dan bersalah telah meninggalkan bayinya. hal ini tentu mempengaruhi kondisi psikologis ibu menjadi tidak tenang. beban atau tuntutan tugas yang dalam pekerjaan juga mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis ibu. fasilitas menyusui di tempat kerja yang kurang memadai, dukungan teman kerja kurang dan jarak rumah jauh dari tempat kerja menjadi hambatan ibu bekerja dalam praktik pemberian asi. berbagai hambatan menyusui yang muncul pada ibu bekerja mengharuskan ibu berupaya keras untuk tetap dapat memberikan asi. waktu untuk menyusui pada ibu bekerja secara otomatis berkurang sehingga beberapa ibu memutuskan memberikan susu formula saat bekerja, beberapa ibu memilih memberikan asi perah saat bekerja namun jika jumlahnya tidak mencukupi akan menambah susu formula (rejeki, 2008). tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi produksi asi pada ibu menyusui yang bekerja meliputi usia ibu, usia bayi, pekerjaan, lama kerja, pendidikan, dukungan suami/ keluarga, penambahan susu formula, frekuensi menyusui langsung dan frekuensi memerah asi. bahan dan metode rancangan penelitian menggunakan cross sectional design, dengan populasinya adalah semua ibu menyusui yang bekerja meninggalkan bayinya (minimal 7 jam sehari) di kota blitar. penelitian ini menggunakan metode consecutive sampling didapatkan 25 sampel dengan kriteria ibu menyusui dengan umur bayi > 10 hari dan < 6 bulan, ibu menyusui tidak mengkonsumsi alkohol atau merokok, menyusui 1 bayi, bayi yang disusui dalam kondisi sehat (tidak mempunyai kelainan/cacat bawaan/ mengalami masalah kesehatan yang mengganggu proses laktasi). variabel independen diukur dengan kuesioner meliputi usia ibu, usia bayi, pekerjaan, lama kerja, pendidikan, dukungan suami/keluarga, penambahan susu formula, frekuensi menyusui langsung dan frekuensi memerah asi sedangkan produksi asi merupakan volume asi perah yang diukur selama 7 hari dengan menggunakan gelas ukur. nilai produksi asi diambil berdasarkan nilai rata-rata volume asi perah per hari. pemerahan dengan menggunakan pompa asi dilakukan pada kedua payudara sebelum ibu menyusui bayinya atau 2–3 jam setelah penyusuan. analisis bivariat menggu136 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 134–140 nakan spearman rank test. analisis multivariat dengan regresi linier berganda dengan nilai signifikan  = 0,05. hasil penelitian tabel 1 menunjukkan sebanyak 20% ibu berusia antara 31-35 tahun dan produksi asi antara 101-300 ml/hari. tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia ibu dan produksi asi berdasarkan tabel 2 terlihat ibu yang menyusui bayi berusia > 3–6 bulan dan mempunyai produksi asi antara 101–300 ml/hari sebanyak 24%. tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia bayi dan produksi asi. berdasarkan tabel 3 sebanyak 32 % ibu bekerja sebagai guru/dosen mempunyai produksi asi 101–300 ml/hari. tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dan produksi asi.  %  %  % 21–25 3 12 1 4 1 4 26–30 3 12 2 8 3 12 31–35 0 0 5 20 3 12 36–40 1 4 3 12 0 0 spearman rank tests p=0,513 ; rs=0,137 tabel 1 hubungan usia ibu dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar usia ibu (th) produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 tabel 2 hubungan usia bayi dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % <1 4 16 1 4 1 4 1-3 2 8 4 16 3 12 > 3-6 1 4 6 24 3 spearman rank tests p=0,105 ; rs=0,332 usia bayi (bulan) produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 tabel 3 hubungan jenis pekerjaan dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % guru/dosen 2 8 8 32 3 12 karyawan 5 20 1 4 2 8 tenaga kependidikan 0 0 2 8 2 8 spearman rank tests p=0,884 ; rs=0,031 pekerjaan produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 tabel 4 hubungan lama kerja dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % > 7–8 2 8 10 40 7 28 > 8–10 2 8 1 4 0 0 > 10 3 12 0 0 0 0 spearman rank tests p=0,001 ; rs=-0,643 produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 lama kerja (jam) pada tabel 3 terlihat ibu yang bekerja selama >7–8 jam sehari dan mempunyai produksi asi 101– 300 ml/hari sebanyak 40%. tedapat hubungan yang signifikan dan kuat antara lama kerja dan produksi asi dimana nilai rs bertanda negatif artinya hubungan tersebut berlawanan, jadi semakin lama jam bekerja, produksi asi semakin sedikit. tabel 5 hubungan pendidikan dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % sma 3 12 1 4 2 8 diploma 2 8 1 4 1 4 sarjana 2 8 7 28 3 12 magister 0 0 2 8 1 4 spearman rank tests p=0,176 ; rs=0,401 produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 pendidikan berdasarkan tabel 5, ibu yang memiliki pendidikan terakhir setingkat sarjana dan produksi asi 101–300 ml/hari sebanyal 28%. tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan produksi asi. tabel 6 hubungan dukungan keluarga dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % sedikit 2 8 2 8 0 0 banyak 5 20 9 36 7 28 spearman rank tests p=0,164 ; rs=0,287 produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 dukungan suami/ keluarga 137rahmawati, prayogi, analisis faktor yang mempengaruhi produksi asi... berdasarkan tabel 9 terlihat sebanyak 32% ibu melakukan pemerahan asi 3–4 x/hari dan mempunyai produksi asi 101–300 ml/hari. ada hubungan yang signifikan dan kuat antara frekuensi pemerahan dengan produksi asi. hubungan tersebut searah yang artinya semakin banyak frekuensi pemerahan, jumlah produksi asi semakin meningkat. tabel 7 hubungan penambahan susu formula dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % sedikit 2 8 2 8 0 0 banyak 5 20 9 36 7 28 spearman rank tests p=0,000 ; rs=0,732 produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 penambahan susu formula tabel 6 menunjukkan sebanyak 36 % ibu yang merasa banyak mendapat dukungan dari suami/ keluarga dalam pemberian asi mempunyai produksi asi 101–300 ml/hari. tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami/keluarga dengan produksi asi. berdasarkan tabel 7 terlihat sebanyak 64% pemberian asi yang tidak disertai susu formula mempunyai produksi asi diatas 100 ml/hari. hasil uji spearman rank menunjukkan ada hubungan signifikan kuat antara penambahan susu formula dengan produksi asi dimana produksi asi semakin banyak jika ibu tidak memberikan susu formula. tabel 8 hubungan frekuensi menyusui dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % 3–5 4 16 2 8 0 0 6–8 2 8 8 32 7 28 > 8 1 4 1 4 0 0 spearman rank tests p=0,044 ; rs=0,406 produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 frekuensi menyusui (x/hari) tabel 8 menunjukkan sebanyak 32% ibu menyusui langsung ke bayi antara 6–8 x/hari dan mempunyai produksi asi 101–300 ml/hari. ada hubungan yang signifikan, searah dan kekuatan sedang antara frekuensi menyusui dengan produksi asi. tabel 9 hubungan frekuensi memerah dengan produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar  %  %  % 1–2 7 28 7 28 1 4 3–4 0 0 4 32 3 12 > 4 0 0 0 0 3 12 spearman rank tests p=0,000 ; rs=0,732 produksi asi (ml/hari) <100 101–300 301–500 frekuensi memerah asi (x/hari) uji regresi linier berganda tabel 10 analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi asi ibu menyusui yang bekerja di kota blitar f sig (p) 8.554 p= 0,000 pada tabel 10 menunjukkan hasil uji regresi linier berganda p=0,000 artinya semua faktor (penambahan susu formula, pekerjaan, dukungan keluarga, usia bayi, frekuensi memerah, frekuensi menyusui, lama kerja, pendidikan, usia ibu) berpengaruh signifikan secara bersama-sama terhadap produksi asi. pembahasan hasil penelitian berdasarkan tabel 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara usia ibu dengan produksi asi (p=0,513). sejalan dengan penelitian nurliawati (2010) bahwa usia, paritas, tingkat pendidikan dan pekerjaan tidak berhubungan dengan produksi asi. usia ibu dalam penelitian ini antara 21–40 tahun. rentang usia ideal untuk bereproduksi termasuk memproduksi asi adalah usia 20–35 tahun, namun pada usia 20–25 tahun termasuk dalam usia muda yang kematangan psikologisnya masih kurang sehingga banyak ibu menunjukkan respon takut, bingung, dan gugup saat bayi menangis. ketidaktenangan respon psikologis ibu tersebut dapat mempengaruhi produksi asi karena menghambat 138 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 134–140 reflek prolaktin dan oksitosin. pada usia diatas 35 tahun sudah mulai terjadi penurunan fungsi hormon reproduksi tetapi pada usia tersebut kematangan emosi sudah tercapai dan biasanya ibu sudah mempunyai berbagai pengalaman dalam pemberian asi baik dari diri sendiri maupun orang lain. usia bayi > 10 hari sampai < 6 bulan dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan produksi asi (tabel 2). produksi asi matur merupakan produksi asi setelah hari kesepuluh usia bayi. kandungan asi matur berubah mengikuti perkembangan bayi sampai usia bayi 6 bulan, tetapi jumlah produksinya relatif tetap kecuali dalam kondisi yang tidak normal. setiap jenis pekerjaan mempunyai tingkat beban kerja yang berbeda-beda meskipun semua jenis pekerjaan pasti mempunyai kesulitan dan tuntutan masing-masing. jenis pekerjaan ibu tidak berhubungan dengan produksi asi dalam penelitian ini karena meskipun mempunyai beban kerja yang berbeda tetapi semua jenis pekerjaan tersebut menghasilkan pengaruh yang sama terhadap kondisi fisik dan psikologis ibu. tabel 3 menunjukkan 62% ibu yang bekerja sebagai karyawan mempunyai produksi asi < 100 ml/hari tetapi yang menjadi pengaruh dalam hal ini bukan jenis pekerjaan ibu melainkan lama kerja ibu. karyawan toko dan salon mempunyai waktu kerja melebihi standar waktu kerja full time yaitu lebih dari 9 sampai lebih dari 10 jam per hari. lama kerja dalam penelitian ini diukur termasuk dengan waktu perjalanan yang dibutuhkan ibu untuk berangkat dan pulang dari tempat kerja. menurut tabel 4 terdapat hubungan signifikan antara lama kerja dengan produksi asi (p=0,001). semakin lama ibu bekerja, semakin sedikit kesempatan ibu untuk menyusui bayinya sehingga frekuensi menyusui menjadi kurang. tabel 8 menunjukkan ada hubungan frekuensi menyusui langsung ke bayi dengan produksi asi. semakin sering isapan bayi dengan benar maka produksi asi semakin meningkat (tauriska & umamah, 2015). pengetahuan ibu tentang tehnik menyusui, keterampilan ibu dalam menyusui dan cara memerah asi, penyimpanan asi dan cara pemberian asi perah ke bayi akan mempengaruhi motivasi ibu dan meningkatkan produksi asi. tetapi hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan produksi asi dengan pendidikan ibu (tabel 5). pengetahuan pada era modern seperti sekarang ini tidak hanya dibentuk oleh tingkat pendidikan. akses informasi yang mudah diterima oleh ibu dari berbagai media juga ikut membentuk pengetahuan ibu. ibu bekerja lebih cepat memperoleh informasi kesehatan terbaru karena lebih banyak berinteraksi dengan orang sehingga informasi yang didapat lebih luas dan pengetahuan bertambah (kamariyah, 2014). frekuensi penyusuan yang baik sekitar 10–12 kali per hari. penyusuan merupakan proses pengeluaran asi melibatkan refleks let down oleh oksitosin yang terangsang melalui isapan bayi. pada ibu bekerja penyusuan langsung ke bayi dapat diganti dengan melakukan pemerahan asi. pemerahan asi dapat membantu pengosongan alveoli mammae sehingga memberikan sinyal ke hipotalamus untuk menaikkan sekresi prolaktin. ibu bekerja disarankan untuk memerah atau memompa asi setiap 2–3 jam sekali (novayelinda, 2012). frekuensi memerah yang sering dapat meningkatkan produksi asi dan sebaliknya frekuensi pemerahan yang rendah menjadi penyebab kurangnya volume asi. tabel 9 menunjukkan hubungan signifikan kuat antara frekuensi memerah dan produksi asi. terlihat ibu yang memerah asi lebih dari 4 x/ hari mempunyai produksi asi perah diatas 300 ml/ hari. hal ini sejalan dengan penelitian morton, et al., (2009) dimana produksi asi rata-rata per hari dapat ditingkatkan dengan frekuensi memompa, durasi memompa, dan kombinasi antara memerah dengan pompa dan memerah dengan tangan. frekuensi memerah asi untuk pengosongan payudara secara simultan dan komitmen/keyakinan ibu dapat meningkatkan produksi asi (kent, prime & garbin, 2012). dukungan suami atau keluarga yang sangat dirasakan oleh ibu menyusui seharusnya mampu meningkatkan produksi asi. adanya dukungan keluarga dapat meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri ibu untuk terus menyusui dan juga dapat memberikan ketenangan psikologis ibu sehingga sekresi oksitosin dan prolaktin yang bertanggungjawab terhadap proses produksi dan pengeluaran asi dapat ditingkatkan. namun pada ibu menyusui yang bekerja dukungan suami atau keluarga saja tidak cukup untuk meningkatkan produksi asi. terlihat pada tabel 6 tidak ada hubungan antara dukungan suami/keluarga dengan produksi asi (p=0,164). waktu menyusui bayi pada ibu bekerja telah terkurangi di tempat kerja sehingga ibu bekerja membutuhkan dukungan tidak hanya dari suami atau keluarga tetapi membutuhkan dukungan dari tempat 139rahmawati, prayogi, analisis faktor yang mempengaruhi produksi asi... kerja baik dari teman kerja maupun dari instansi tempat bekerja. beberapa ibu dalam penelitian ini bekerja ditempat yang sama sehingga mereka bisa saling memotivasi dan mengingatkan untuk memerah asi selama bekerja. mereka juga menyampaikan bahwa memompa asi sudah menjadi budaya di tempat kerja karena suasana tempat kerja dan waktu yang cukup mendukung untuk memerah asi. berbeda dengan beberapa ibu yang lain meskipun telah merasa sangat didukung oleh suami dan keluarga tetapi mereka tidak bisa rutin memerah asi selama bekerja karena sulitnya mencari tempat memerah yang nyaman, waktu dan privasi di tempat kerja. keterbatasan waktu memerah asi dan tidak tersedianya fasilitas laktasi merupakan penghambat yang sering terjadi pada wanita pekerja untuk tetap memerah asi selama jam kerja (novayelinda, 2012). penambahan susu formula kepada bayi dilakukan ibu karena merasa produksi asi kurang mencukupi kebutuhan bayi, bahkan susu formula sengaja mulai dikenalkan kepada bayi sejak ibu belum aktif kembali bekerja dengan alasan agar bayi sudah beradaptasi dengan susu formula. permintaan bayi terhadap asi otomatis akan berkurang jika bayi diberikan tambahan susu formula. kondisi tersebut akan menghambat pengosongan alveoli mammae sehingga produksi asi akan menurun. dengan memutuskan untuk memberikan tambahan susu formula juga berdampak melemahnya motivasi ibu untuk berupaya menyediakan produksi asi yang cukup untuk bayi dengan sering melakukan pemerahan asi selama bekerja. sesuai dengan hasil penelitian nuraini, julia & dasuki (2013) bahwa ibu yang mendapat sampel susu formula 4,2 kali lebih besar untuk tidak memberikan asi. pengujian secara bersama-sama terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi asi meliputi penambahan susu formula, pekerjaan, dukungan keluarga, usia bayi, frekuensi memerah, frekuensi menyusui, lama kerja, pendidikan, usia ibu dengan uji regresi linier berganda menunjukkan pengaruh yang signifikan dari semua faktor tersebut dengan produksi asi (tabel 10). faktor usia ibu, usia bayi, pekejaan ibu, pendidikan ibu, dukungan suami/ keluarga tidak berhubungan dengan produksi asi saat diuji secara bivariat, namun secara teori faktor tersebut dapat dijelaskan hubungannya. kondisi yang terjadi dalam penelitian ini diasumsikan bahwa faktor-faktor tersebut mempunyai hubungan tidak langsung dengan produksi asi sehingga saat diuji secara terpisah menunjukkan tidak ada hubungan, dan menunjukkan pengaruhnya jika diuji secara bersamaan. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa faktor penambahan susu formula, frekuensi menyusui, frekuensi memerah dan lama kerja ibu menunjukkan ada hubungan yang signifikan dengan produksi asi. sedangkan faktor usia ibu, usia bayi, pekejaan ibu, pendidikan ibu, dukungan suami/keluarga tidak ada hubungan signifikan dengan produksi asi. semua faktor tersebut menunjukkan hubungan dengan produksi asi saat dilakukan pengujian bersama dengan uji regresi linier berganda. saran ibu menyusui yang bekerja diharapkan dapat memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi asi agar produksi asi selama bekerja dapat dipertahankan atau ditingkatkan. perawat atau tenaga kesehatan lain diharapkan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut sehingga dapat menentukan intervensi yang tepat dalam manajemen laktasi pada ibu menyusui yang bekerja. daftar rujukan anggraenil, i.a., d.s. nurdiati, & r.s. padmawati. 2015. keberhasilan ibu bekerja memberikan asi eksklusif. jurnal gizi dan dietetik indonesia, 3(2), 6976 kadir, n.a. 2014. menelusuri akar masalah rendahnya presentase pemberian asi eksklusif di indonesia. jurnal al hikmah, 15(1), 106–118. kamariyah, n. 2014. kondisi psikologi mempengaruhi produksi asi ibu menyusui di bps aski pakis sido kumpul surabaya. jurnal ilmiah kesehatan, 7(12), 29–36. kent, j.c., d.k. prime, & c.p. garbin. 2012. principles for maintaining or increasing breast milk production. jognn, 41, 114-121. http://jognn.awhonn. org. morton, j., jy. hall, rj. wong, l thairu, we. benitz & wd. rhine. 2009. combining hand technique with electric pumping increases milk production in m ot h er of pr eter m i n fan t s. j ournal of perinatology. 29. 757–764. mulyani, n.s. 2013. asi dan pedoman ibu menyusui. nuha medika. jakarta. 140 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 134–140 novayelinda, r. 2012. telaah literatur: pemberian asi dan ibu bekerja. jurnal ners indonesia.2(2). 177–184. nuraini, t., m. julia., & d. dasuki. 2013. sampel susu formula dan praktik pemberian air susu ibu eksklusif. jurnal kesehatan masyarakat nasional, 7(12), 551–556. nurliawati, e. 2010. faktor-faktor yang berhubungan dengan produksi air susu ibu pada ibu pasca seksio sesarea di wilayah kota dan kabupaten tasikmalaya. tesis. universitas indonesia. jakarta rejeki, s. 2008. studi fenomenologi: pengalaman menyusui eksklusif ibu bekerja di wilayah kendal jawa tengah. media ners. 2(1). 1–44. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan republik indonesia. 2013. riset kesehatan dasar (riskesdas). kementerian kesehatan republik indonesia. jakarta. sulistiyowati, t., & p., siswantoro. 2014. perilaku ibu bekerja dalam memberikan asi eksklusif dikelurahan japanan wilayah kerja puskesmas kemlagimojokerto. jurnal promkes, 2(1), 89–100 tauriska, t.a., & f.umamah. 2015. hubungan antara isapan bayi dengan produksi asi pada ibu menyusui di rumah sakit islam jemursari surabaya. journal of health sciences. 8(1). firdaus, sunarno, suprajitno, family effort in fulfilling personal hygiene for mental disorderpeople 145 family effort in fulfilling personal hygiene for mental disorderpeople suprajitno2, khabibah jannatul firdaus1, imam sunarno2 1nurse practitioner, 2nursing department of poltekkes malang email: bedonku@yahoo.co.id abstract: personal hygiene is a necessity of every person including people with mental disorder. people who are able to fulfill this needs during lives at home is family. the main personal hygiene that needs to be fulfilled is the hygiene of the body and the welfare of the physical and psychological. the purposes of the research was to know the family effort in fulfilling personal hygiene of people with mental disorder. the research design used descriptive. the research population was families who have’s members with mental disorder who were registered at public health center ofkepanjenkidulblitar city. the samplewas 30 fami lies selectedby purposive sampling. the data collection process was on mei 31st until july 30th, 2017. the result showed that the family effort in good category was 24 families (80.0%), fair category was 5 families (16.7%), and less category was 1 family (3.3%).personal hygiene of person with mental disorder are the needs of dress and toilet.it was recommendedto maintain family efforts to fulfill of his personal hygiene need using health education by health provider. keywords: efforts, family, personal hygiene, mental disorder uuri no 18 years 2014 of kesehatan jiwa article 1 paragraph 1, said that: “sanity is the condition whereby an individual can develop physical, mental, spiritual, and social that these individuals plain know how good own, can overcome pressure, can work productively, and contribute to their communities”. life problems getting heavier experienced almost by all the community ranging from a household matter, stress at work, high rate of unemployment and the difficulty of earning a living, these conditions could become the ment al hea lth dis or der as depression and the suicide risk. a mental disorder which is a change on the function of the soul are to cause the presence of a disorder in the function of the soul, who inflict suffering on an individual or impediments in carrying out the role of social (keliat, 2011: 2). indica t or of p r ima r y hea lt h r es ea r ch (riskesdas, 2013) mention that the prevalence of mental disorder heavily on the indonesian population 1.7 per mile.the most number of heavy of mental illness in yogyakarta, aceh, south sulawesi, bali, and central java. the proportion of households that ever stocks household members of a mental disorder heavy 14.3% and greatest percentage in the people that live across the country side (18.2%), and also on groups of with quintile ownership index bottom (19.5%). while in east java the prevalence of mental disorder weigh as much as 0.22% and emotional a mental disorder at 6.5%.data from the district health office of blitar city in 2014 wrote that amount mental disorderas much as 527 people divided in three publichealth centers.the number ever y p la ce that ar e p ublic health center of kepanjenkidul as much as 117 peoples, sukorejo as much as 131 peoples, and sananwetan as much as 100 peoples. p eop le wit h ment a l dis or der ha d t he characteristics like prolongedsad, lousy and tend to lazy, angry without cause, stays, do not know people, talk disorderly, talking to myself, and unable to care for yourself (keliat, 2011: 3). phenomenon actual sign in the community of a mental disorder people are not maintained properly, such as a body of smell, dirty clothes, hair and skin dirty, nails long and dirty, teeth dirty accompanied the mouth, and appearance not neat. 145 mailto:bedonku@yahoo.co.id acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p145-148 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 146 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 145–148 lack of care itself on people with mental disorder occurred as a result of changes in the process of thought so that the ability to perform activities of the care themselves declining.lacking care of themselves seem care for the excessive cleanliness bathroom myself among them, eat and drink autonomously, ornate autonomously, and toileting (damaiyanti& iskandar, 2012: 147). the problem of hygiene themselves will have an impact to the personal health. the example is changes in the skin could lead to a variety of physical and psychological.a physical disturbance occurring can lead to change self-concept. whilepsychological disorder can happen because of their probably diminishes beauty appearance and emotional reaction (doenges, et al in mubarak, 2007: 126). previous studies by interviews atpublic health center of kepanjenkidul conducted on june 29, 2016 describe 6 families made progress in fulfilling cleanliness care for mental disorder people like hair clean, no nails long, and not smell, 3 families make efforts to achieve hygiene care themselves proved by the agency which are still dirty, hair are still dirty, no nails long and odorless, and2 families members were still lack in the treatment of hygiene away with mental disorder proved by the dirty, hair dirty, nails long, and smell. t he research aimed to describethe family efforts in fulfilling personal hygiene for mental disorder people. research methods the research design used descriptive. the population was all of the families with mental dis or der p eop le in p u b lic hea lt h cent er of kepanjenkidul blitar city with 30 respondents. the sample was 30 families selected by purposive sampling technique. the data collection used closed questioner developing based on theory. the data analysis used descriptive. result the families who take part in the research was 22 female, aged between 41-65 years was 18 people, 11 people had junior school educational background, 10 people as housewives, salary between idr 500,000-750,000 per month was 21 people, had received information about fulfilling ofpersonal hygiene for mental disorder people was 16 people, a nd health provider as source of information was 15 people. family efforts in fulfilling personal hygiene for mental disorders people presented in table 1. table 1 family effort to fulfilling of hygiene personal formental disorder people effort to fulfill f % good 24 80.0 enough 5 16.7 less 1 3.3 total 30 100 family efforts to fulfilling of personal hygiene formental disorder people based on the patient needs are presented in table 2. table 2 family efforts in fulfilling of personal hygiene formental disorder people based on the patient needs family effort to fulfill no the needs of mental disorder people done not done f % f % 1 bathing twice a day 29 96.7 1 3.3 2 drying the body 30 100.0 0 0.0 3 picking up the toiletries 29 96.7 1 3.3 4 cleaning the body or limbs 24 80.0 6 20.0 5 shampooing 1-2 times a week 25 83.3 5 16.7 6 cuttingthe hair 28 93.3 2 6.7 7 combing the hair 23 76.7 7 23.3 8 brushing the teeth 19 63.3 11 26.7 9 cut nails once a week 25 83.3 5 16.7 10 wearing clothes 29 96.7 1 3.3 11 changing clothes 24 80.0 6 20.0 12 wearing clothes and releasing the hard part 26 86.7 4 13.3 firdaus, sunarno, suprajitno, family effort in fulfilling personal hygiene for mental disorderpeople 147 13 bribe food from plate to mouth 24 80.0 6 20.0 14 putting the food to the plate 23 76.7 7 23.3 15 taking a cup or a glass 27 90.0 3 10.0 16 going to the restroom or do the elimination activities 30 100.0 0 0.0 17 putting off clothes 30 100.0 0 0.0 18 wearing clothes 29 96.7 1 3.3 19 cleaning up 30 100.0 0 0.0 20 flushing the toilet 30 100.0 0 0.0 dis cuss ion according to yusuf (2015: 154), personal hygiene includes: care cleanliness self, care ornate /dress up, fulfillment of eat and drink, and toileting (urinary and defecate).mubarak &chayatin (2007) wrote personal hygiene was an effort made by individuals in maintaining their hygiene and health both physically and mentally.the observation by researcher from people who suffers from a mental disorder was unkempt, such as body odor, dirty clothes, dirty hair and skin, long and dirty nails, dirty teeth and mouth, and improper appearance. family effort to help fulfilling personal hygiene was by way of invite and train patient to independently fulfill requirement. family effort was to invite people with mental disorders to make-up, wearing clothes to be nice and polite, change clean clothes, keep clean while eating and drinking, take food and drink themselves, and cleanliness when toileting. women have a maternal nature that tends to have a patient attitude in caring for the patient. people with mental disorders experience a change in the function of the soul that can cause suffering to the individual or obstacles to carry out social roles. nursalam (2014: 89) wrote old age is generally more responsible and more thorough than the young age because the young have less experience. age is closely related to one’s maturity. researchers argued that the older the age of a person the more mature one’s attitude in caring for or meet personal hygiene mental disorders. but it was possible old age just tired in doing the activity, so it took the young people to help in the fulfillment of personal hygiene patients with mental disorders. notoatmodjo (1992 in nursalam 2014: 90) that one’s education could increase intellectual maturity so as to make a decision of action. the higher the education level, the easier it receives and develops the knowledge and technology, so it will increase productivity which will ultimately improve the welfare of the family. researchers argued that education was a learning process that could increase knowledge and add insight. the opinion of thomas cited by nursalam (2013 in wawan&dewi, 2010: 17), work is an activity to be done primarily to support his life and family life. work is generally a time-consuming activity. researchers argue that work affects the efforts of families to meet personal hygiene. housewives have the freedom of time so that they will do their utmost to meet the personal hygiene of the sick family members. research shows that families who have received information about personal hygiene fulfillment as much as 53.3% (16 people). notoatmodjo (2014: 91) wrote information is experience, knowledge, and exposure to the media. although someone has a low education if get ting good informa t ion t hen ca n increa s e knowledge. according to researchers the more information about personal hygiene, someone more able to meet personal hygiene of the mental disorder people. personal hygiene like brushing the patient’s teeth was also needed. treating mouth and teeth was a nursing action in patients who were unable to maintain oral and dental hygiene by cleaning and b r u s hing t he t eet h a nd mou t h r egu la r ly (mugianti&suprajitno,2013;isro’in&andarmoyo, 2012). damaiyanti& iskandar (2012: 147) lack of self-care people mental disorders occur due to changes in the process of thinking so that the ability to perform self-care activities decreased. so, the family is expected to meet the primary health needs in order to protect and prevent the disease that may be experienced by the family (suprajitno, 2004: 14). a healthy person wants to meet the needs of his own health, while in the sick mainly in persons with a mental disorder need assistance from that of others especially in his own family.the five family role in health are known the health problems, take the right decision, take care of the sick, modify the environment, and use health 148 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 145–148 service facilities (suprajitno, 2004).researchers argued that one of the goals of personal hygiene was to maintain one’s personal hygiene and disease prevention. therefore, although the patient had limited thinking processes and obstacles to do personal hygiene the family should accompany the patient self-sufficient and had confidence. mubarak &chayatin (2007) wrote personal hygiene was the efforts made by individual in preserving cleanliness and health himself whether physical or mental. while efforts were any activity to maintain and improve health undertaken by governments and or society. this meant that the increase in health, good individual health, group or community attempts should also be made. the pursuit of health was carried out by individual, group, the community, government agencies, or non governmental organizations (ngo) (notoadmojo, 2005: 4). conclusion family efforts in fulfilling personal hygiene for mental disorders people was in good category, especially the fulfillment of body hygiene, oral and oral hygiene, hygiene while eating and drinking, dressing, and toileting. suggestion health provider through home care should provide health education to families who had family members with mental disorders in order to fulfill personal hygiene. reference damaiyanti, m & iskandar. 2012. asuhan keperawatan jiwa. bandung: refika aditama. isro’in, l &andarmoyo, s. 2012. personal hygiene konsep, proses dan aplikasi dalam praktik keperawatan. yogyakarta: grahailmu. kamus besar bahasa indonesia. 2008. jakarta: gramedia pustaka utama. keliat, b. a. 2011. keperawatan kesehatan jiwa komunitas. jakarta: egc. mubarak, w. i &chayatin, n. 2007. buku ajar kebutuhan dasar manusia teori & aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. notoatmodjo, s. 2003. ilmu kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dasar. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2005. promosi kesehatan teoridan aplikasi. jakarta: rineka cipta. kementerian kesehatan ri. 2013. riskesdas (riset kesehatan dasar) tahun 2013. mugianti, sri; suprajitno. 2013. prediction of mental disorders deprived by family. jurnalners, [s.l.], v. 9, n. 1, p. 118-125, jan. 2017. issn 2502 5791. available at: . doi:http:// dx.doi.org/10.20473/jn.v9i1.3260. suprajitno. 2004. asuhan keperawatan keluarga aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. undang-undang republik indonesia nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa. wawan, a &dewi, m. 2010. teori & pengukuran pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. yogyakarta: nuha medika. yusuf, ah. 2015. buku ajar keperawatanjiwa. jakarta: salembamedika. http://e-journal.unair.ac.id/ 105sunarti, sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) 105 sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) di kelompok pik r tahap tegar) (the attitude of teenager about triad krr (sexuality, drugs, hiv/aids) in pik r group tegar stage blitar) sunarti keperawatan poltekkes kemenkes malang email: s.kepsunarti@yahoo.co.oid abstract: in indonesia the number of teenager that suffer triad krr case is still high. teenager that had done free sex was 35,9%; drugs user was 45,04% and infected hiv/aids was 45,9%. the purpose of the study was to describe the attitude of teenager about triad krr (sexuality, drugs, hiv/aids) in pik r group tegar stage blitar. this study used a descriptive design. the population was all teenager in pik r group tegar stage blitar as many 47 teenager. the sample was 47 teenagers taken by using total sampling technique. the data collection was done by using close ended questionaire. the data collection was done in 3 days by classical technic. the result showed that teenager of pik r member tegar stage in blitar had positive attitude about triad krr as 57,4% and negative attitude as 42,6%. the positive factors were influenced by age, information, an activity in pik r. the negative factors were influenced by the duration of participation and usage of pik r program in each place. recomendation of this study can be used as an evaluation program of socialitation that have held from the elder of bapemas and the material to make an advance program about triad krr (sexuality, drugs,hiv/aids). keywords: attitude, teenager, triad krr (sexuality, drugs,hiv/aids) abstrak: di indonesia angka kejadian remaja yang mengalami kasus triad krr masih tinggi. remajapernah melakukan seks bebas sebesar 35,9%; pengguna napza sebesar 45,04% dan terkena hiv/aids sebesar 45,9%. tujuan penelitian ini adalah menggambarkan sikap remaja tentang triad krr (seksualitas,napza,hiv/ aids) di kelompok pik r tahap tegar kota blitar. penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian adalah seluruh remaja kelompok pik r tahap tegar kota blitar sebanyak 47 remaja, dan besar sampel yang diambil adalah 47 orang menggunakan teknik total sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner closed-ended multiple choice questions. waktu pengambilan data dilakukan selama 3 hari dengan teknik klasikal. hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja anggota pik r tahap tegar di kota blitar mempunyai sikap positif tentang triad krr yaitu sebanyak 57,4%dan sikap negatif sebanyak42,6% (20 remaja). sikap positif dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya usia, pernah mendapat informasi tentang triad krr, sumber informasi, kegiatan pik r yang pernah dilakukan. sikap negatif dipengaruhi oleh lama remaja ikut kelompok pik r dan pelaksanaan program pik r di masing-masing tempat. rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi program sosialisasi yang telah diadakan oleh pembina bapemas serta diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menyusun program lebih lanjut yang berkaitan tentang triad krr (seksualitas,napza, hiv/aids). kata kunci: sikap, remaja, triad krr ( seksualitas, napza, hiv/aids ). jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p105–110 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 106 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 105–110 pendahuluan jumlah penduduk indonesia pada kelompok umur 10 – 24 tahun (remaja)sekitar 27,6% atau kurang lebih 64 juta jiwa, dari total penduduk indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah yang banyak ini memerlukan perhatian khusus dari semua pihak, apalagi usia remaja adalah masa pancaroba, masa pencarian jati diri, ditambah lagi dengan arus globalisasi dan informasi yang kian tak terkendali, mengakibatkan perilaku hidup remaja menjadi tidak sehat yang selanjutnya berdampak pada tiga resiko triad krr (direktorat bina ketahanan remaja, 2012). triad krr merupakan tiga risiko yang dihadapi oleh remaja, yaitu risiko-risiko yang berkaitan dengan seksualitas, napza, hiv dan aids (badan pemberdayaan masyarakat dan keluarga berencana daerah kota blitar, 2009). data dari departemen kesehatan tahun 2009 menunjukkan bahwa 35,9% remaja di empat kota besar (medan, jakarta pusat, bandung, dan surabaya) mempunyai teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah dan 6,9% responden telah melakukan hubungan seks pranikah. selain itu, data dari dinas kesehatan kota blitar pada tahun 2014 di puskesmas kepanjen kidul terdapat 1 remaja yang melakukan seks pranikah. untuk kehamilan tidak diinginkan pada tahun 2014 terdapat 7 remaja dari puskesmas sanan wetan dan 3 remaja dari puskesmas kepanjen kidul dan sampai bulan september 2015 terdapat 6 remaja. data dari bnn menunjukkan bahwa jumlah pengguna napza sampai dengan tahun 2008 adalah 115.404 orang dimana 51.986 (45,04%) dari total pengguna adalah mereka yang berusia remaja (usia 16-24tahun). kasus narkoba di kota blitar pada tahun 2014 sampai bulan maret, dari data yang dikutip dari polres blitar kota, telah terjadi 4 kasus narkoba. ditilik dari latar belakang pendidikannya, pengguna narkoba di kota blitar juga berasal dari latar belakang yang beragam. mulai dari sd,smp, hingga sma (bnn kota blitar, 2014). selanjutnya untuk kasus hiv dan aids, menunjukkan bahwa hampir setengahnya (45,9%) dari 26.483 orang berasal dari kelompok usia 20-29 tahun. jika dikaitkan dengan karakteristik aids yang gejalanya baru muncul setelah 3-10 tahun terinfeksi, maka hal ini membuktikan bahwa sebagian besar dari mereka yang terkena aids telah terinfeksi pada usia yang lebih muda. sementara itu, jumlah kasus aids di provinsi jawa timur berdasarkan kelompok umur sampai dengan juni 2014 pada umur 10–14 tahun sebanyak 15, 15–19 tahun sebanyak 139, dan umur 20–24 tahun sebanyak 1002, sedangkan kasus hiv dan aids di kota blitar berdasarkan umur sampai dengan juli 2014 terbanyak adalah pada umur 21–30 tahun sebanyak 27 orang (vidiyanti, 2015) untuk merespon permasalahan tersebut diperlukan suatu program yang dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan penyiapan diri remaja menyongsong kehidupan berkeluarga yang lebih baik, menyiapkan pribadi yang matang dalam membangun keluarga yang harmonis, dan memantapkan perencanaan dalam menata kehidupan untuk keharmonisan keluarga. sebagai implementasi undangundang nomor 52 tahun 2009, tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, pasal 48 ayat 1 (b) yang mengatakan bahwa “peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan tentang kehidupan berkeluarga”, maka bkkbn sebagai salah satu institusi pemerintah harus mewujudkan tercapainya peningkatan kualitas remaja melalui program generasi berencana (program genre) (direktorat bina ketahanan remaja, 2012:1). salah satu arah program generasi berencana (genre) ini adalah melalui pengembangan pik remaja (pik r). tujuan dari pengembangan pik remaja adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan remaja dalam mengelola pik remaja program pkbr (penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja) dalam mewujudkan generasi berencana (genre). pik remaja terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap tumbuh, tegak dan tegar. dalam pik r tahap tegar terdapat materi dan isi pesan yaitu, triad krr, pendewasaan usia perkawinan (pup), keterampilan hidup (life skills) dan keterampilan advokasi. anggota kelompok pik remaja (pik r) tahap tegar di kota blitar terdiri dari 8 remaja dari smpn 4 blitar, 20 remaja dari sman 1 blitar, dan 20 remaja dari sman 3 blitar. kelompok-kelompok tersebut di bentuk oleh bapemas dan keluarga berencana daerah kota blitar melalui kegiatan capacity building yang diselenggarakan pada tanggal 11 sampai 14 bulan november tahun 2014 melalui 8 perwakilan anggota dari masing-masing institusi tersebut. selain kegiatan pembentukan pik remaja (pik r), sebagai program andalannya bapemas dan keluarga berencana daerah kota blitar mengadakan sosialisasi triad krr kepada remaja melalui 107sunarti, sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) beberapa sekolah-sekolah yang berada di kota blitar. sosialisasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para remaja tentang risiko serta pencegahan triad krr. berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada desember 2015 melalui wawancara kepada 7 orang anggota dari masing-masing kelompok pik r diperoleh informasi sebagai berikut. kegiatan yang telah diadakan pik r tahap tegar di smpn 4 blitar, sman 1 blitar dan sman 3 blitar hanya seputar sosialisasi tentang pik r yang dilakukan di dalam kelompok pik r itu sendiri. artinya, mereka belum menggalakkan sosialisasi ke kelompok remaja yang lebih luas. dari studi pendahuluan tersebut juga diperoleh informasi bahwa kegiatan pik r tahap tegar yang ada hubungannya dengan triad krr seperti melakukan pendampingan kepada remaja penyalahguna napza, hamil diluar nikah, dan hiv positif, melakukan pendataan remaja yang mengalami risiko triad (kehamilan tidak diinginkan, penyalahguna napza dan hiv positif) belum direncanakan. sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pik r tahap tegar di kota blitar belum berjalan lancar. hal itu dikarenakan adanya berbagai hambatan misalnya, keterbatasan waktu dan biaya untuk mengadakan kegiatan serta kurangnya koordinasi dengan anggota satu dengan yang lain. selain itu, semenjak kegiatan pembentukan pik r dan sosialisasi triad krr pembina dari bapemas dan keluarga berencana daerah kota blitar juga belum mengadakan evaluasi lebih lanjut di masingmasing kelompok pik r yang sudah dibentuk tersebut. berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) di kelompok pik r tahap tegar kota blitar. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian adalah seluruh remaja kelompok pik r tahap tegar kota blitar sebanyak 47 remaja, dan besar sampel yang diambil adalah 47 ora ng menggunakan teknik totaly sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner closed-ended multiple choice questions. pengumpulan data dilakukan di masing-masing tempat yaitu smpn 4 kota blitar pada 20 februari 2016, sman 3 kota blitar pada 22 februari 2016 dan sman 1 kota blitar pada 27 februari 2016. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum, remaja yang ikut dalam kelompok pik r tahap tegar di kota blitar seperti dalam tabel 1 dibawah. tabel 1 karakteristik remaja yang ikut dalam kelompok pik r tahap tegar kota blitar, tanggal 20,22,27 februari 2016 (n=47) no karakteristik f % 1 usia: remaja awal 10 21,3 remaja tengah 78,7 2 kelas: 8 2 4,3 9 8 17 10 8 17 11 29 61,7 3 lama ikut kelompok pik r: <1 tahun 33 70,2 >1 tahun 14 29,8 4 jabatan: ketua 3 6,4 wakil 3 6,4 sekretaris 3 6,4 bendahara 3 6,4 anggota 35 74,5 5 hubungan dengan anak: orang tua 30 91 kakek/nenek 2 6 lain-lain 1 3 6 informasi tentang triad krr: ya 44 93,6 tidak 3 6,4 7 sumber informasi tentang triad krr: media massa 4 8,5 pembina 24 51,1 bapemas 17 36,2 anggota pik lainnya 2 4,3 8 kegiatan pik r yang pernah dilakukan: sosialisasi 32 66,1 penyuluhan 2 4,3 konseling 13 27,7 9 pelaksanaan kegiatan pik r di masing-masing tempat: kurang lancar 46 97,9 tidak lancar 1 2,1 108 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 105–110 pembahasan berdasarkan hasil penelitian sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) 57,4% (27 remaja) bersikap positif dan 42,6% (20 remaja) bersikap negatif. sikap positif remaja tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya usia, pernah mendapat informasi tentang triad krr, sumber informasi, kegiatan pik r yang pernah dilakukan. sedangkan sikap negatif dipengaruhi oleh lama remaja ikut kelompok pik r dan pelaksanaan program pik r di masing-masing tempat. (a) berikut ini akan dijabarkan pembahasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi remaja memiliki sikap positif. (1) usiaberdasarkan hasil penelitian responden usia 12–15 tahun (remaja awal) memiliki sikap positif tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) yaitu sebanyak 12,8% (6 remaja). responden dengan usia 15–18 tahun (remaja tengah) memiliki memiliki sikap positif tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) yaitu sebanyak 44,7% (21 remaja). sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang berusia 15–18 tahun ( remaja tengah ) lebih memiliki sikap positif tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) dibandingkan remaja awal yang berusia 12–15 tahun tetapi perbedaan tersebut tidak begitu signifikan. menurut setyoso,2013 pada masa remaja awal mengalami perubahan fisik yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat signifikan, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar. pada fase ini, remaja tidak mau dianggap kanakkanak. selain itu, pada masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa. peneliti berpendapat remaja awal memang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mereka mempunyai minat yang besar dalam berorganisasi tetapi emosi mereka belum stabil berbeda dengan remaja tengah yang mulai mempunyai rasa percaya diri. menurut kartono,1990 dalam setyoso, 2013 bahwa remaja tengah masih kekanak-kanakan, tetapi pada masa ini pula telah timbul unsur baru dari dalam diri remaja, yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah. remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal akan mulai hilang dan tergantikan dengan kemantapan pada diri sendiri. rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. selain itu, pada masa ini remaja sudah menemukan jati dirinya. peneliti berpendapat, seorang remaja yang telah menginjak usia pertengahan yaitu usia 15–18 tahun sudah mulai mempunyai pemikiran yang matang sehingga mereka mulai bisa melakukan penilaian tingkah laku hal tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan emosi yang sudah mulai stabil sehingga jati diri remajapun juga sudah mulai terbentuk. terbukti dengan hasil penelitian dari 78,7% (37 remaja tengah) terdapat 44,7% (21 remaja) memiliki sikap positif tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids). informasi berdasarkan hasil penelitian didapatkan data sebanyak 93,6% (44remaja) pernah mendapatkan informasi tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) dan 53,2% (25 remaja) memiliki sikap positif. informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tetapi ia mendapatkan informasi yang banyak dari berbagai media massa seperti majalah, surat kabar, televisi, radio maupun lainnya, maka hal itu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. peneliti berpendapat sikap berawal dari seberapa besar pengetahuan yang dimiliki seseorang dan pengetahuan tersebut diperoleh dari informasi. semakin banyak informasi yang didapat remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) semakin positif pula sikap remaja tersebut. sebaliknya, semakin sedikit informasi yang didapat remaja tentang triad krr (seksualitas,napza,hiv/aids) maka semakin negatif pula sikapnya. informasi diperoleh dari berbagai macam sumber diantaranya media massa, pembina bapemas dan anggota pik yang lain. namun, remaja paling banyak yaitu sebesar 51,1% (24 remaja) mendapatkan sumber informasi dari pembina bapemas dan sebesa r 25, 5% (12 rema ja ) ya ng menda pa t no sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) kategori frekuensi prosentase 1 positif 27 57,4 2 negatif 20 42,6 tabel 2 data sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) di kelompok pik r tahap tegarkota blitar, tanggal 20,22,27 februari 2016 (n=47) 109sunarti, sikap remaja tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) informasi dari pembina bapemas memiliki sikap positif dibandingkan remaja yang mendapat informasi dari sumber lain. selain itu, remaja juga mendapatkan informasi paling banyak dari anggota pik yang lain yaitu sebesar 36,2% (17 remaja) dan sebesar 23,4% (11 remaja) memiliki sikap positif. menurut azwar,2012 menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor yang salah satunya informasi yang diterima individu. peneliti berpendapat bahwa informasi yang telah diterima remaja akan mempengaruhi sikap remaja tersebut apalagi sumber informasi tersebut berasal dari orang yang mereka anggap penting. hal itu dibuktikan dengan pendapat dari azwar, (2012:30) bahwa pengaruh orang lain yang dianggap penting dapat menentukan sikap individu. bahwa pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. peneliti berpendapat remaja menganggap bahwa pembina bapemas dan anggota pik yang lain merupakan orang yang penting dalam hal pemberian materi mengenai triad krr selain itu karena pembina bapemas dan anggota pik yang lain lebih mempunyai wawasan yang luas dalam menyampaikan informasi tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids ). (3) kegiatan pik r yang pernah dilakukan. kegiatan pik r yang pernah dilakukan adalah sosialisasi sebanyak 68,1% (32 remaja) dan konseling sebanyak 27,7% (13 remaja). menurut azwar, (2012:30) bahwa faktor penentu sikap individu yang pertama adalah pengalaman pribadi. untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. menurut peneliti remaja yang telah memiliki pengalaman dari kegiatan sosialisasi, penyuluhan maupun konseling tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids) akan memiliki sikap positif karena tanpa punya pengalaman remaja tidak akan mempunyai pemahaman tentang triad krr (seksualitas, napza, hiv/aids). terbukti dengan hasil penelitian sebesar 36,2% (17 remaja) dan 19,1% (9 remaja) memiliki sikap positif karena telah mempunyai pengalaman melakukan sosialisasi dan konseling. (b) berikut ini akan dijabarkan pembahasan tentang faktor yang mempengaruhi remaja memiliki sikap negatif. (1) lama ikut kelompok pik r. berdasarkan hasil penelitian sebanyak 31,9% (15 remaja) memiliki sikap negatif. seperti dikatakan azwar (2012:30) bahwa faktor penentu sikap individu yang pertama adalah pengalaman pribadi. untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. menurut peneliti, seorang remaja yang kurang dari 1 tahun memiliki sikap negatif karena mereka belum mempunyai banyak pengalaman mengikuti kegiatan dalam pik r. selain itu, seorang remaja belum terbiasa melakukan kegiatan yang berkaitan dengan program pik r sehingga remaja tersebut memiliki sikap negatif. (2) pelaksanaan kegiatan pik r. berdasarkan hasil penelitian 40,4% (19 remaja) memiliki sikap negatif karena pelaksanaan kegiatan pik r di msing-masing tempat kurang lancar. menurut peneliti, hal itu dikarenakanremaja mendapat pengaruh negatif dari kebudayaan asing. sehingga remaja tersebut cenderung untuk meniru budaya dari kebudayaan barat karena mereka tidak ingin dibilang kurang pergaulan, tidak gaul, dan lain sebagainya. hal itu diperkuat oleh pendapat sita (2013) menyatakan bahwa kebudayaan barat yang masuk ke indonesia memiliki dampak negatif bagi remaja. dampak negatif tersebut adalah kebudayaan asing atau barat terhadap kalangan remaja sudah sampai tahap memprihatinkan karena ada kecenderungan para remaja sudah melupakan kebudayaan bangsanya sendiri. budaya ikut-ikutan atau latah terhadap cara berpakaian misalnya. para remaja tidak ingin ingin dikatakan kuno, kampungan kalau tidak mengikuti cara berpakaian ala barat karena dinilai modern, tren dan mengikuti perkembangan zaman meski memperlihatkan auratnya yang dilarangan oleh ajaran agama maupun bertentangan dengan adat istiadat masyarakat secara turun temurun. selain cara berpakaian dan mode, pergaulan bebas dan cara berhura-hura di kalangan remaja yang di lihat sebagai perilaku yang menyimpang baik secara 110 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 105–110 agama maupun sosial juga menjadi masalah bagi kebudayaan di indonesia. umumnya kalangan remaja indonesia berperilaku ikut-ikutan tanpa selektif sesuai dengan nilai-nilai agama yang di anut dan adat kebiasaan yang mereka miliki. para remaja juga merasa bahwa kebudayaan di negerinya sendiri terkesan jauh dari moderenisasi. sehingga para remaja merasa gengsi kalau tidak mengikuti perkembangan zaman meskipun bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama dan budayanya. sehingga pada akhirnya para remaja lebih menyukai kebudayaan barat, dibandingkan dengan kebudayaan kita sendiri. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian sikap remaja tentang triad krr (seksualitas,napza,hiv/aids) 57,4% (27 remaja) bersikap positif dan 42,6% (20 remaja) bersikap negatif. sikap positif dipengaruhi oleh usia, informasi, kegiatan pik r yang pernah dilakukan. sedangkan sikap negatif dipengaruhi oleh kegiatan pik r yang pernah dilakukan dan pelaksanaan kegiatan pik r di masing-masing tempat. saran saran bagi peneliti lain diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan perilakuremaja tentang triad krr (seksualitas,napza,hiv/aids). bagi mahasiswa prodi d3 keperawatan blitar diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan serta bahan evaluasi mengingat di prodi d3 keperawatan blitar juga mempunyai ukm pik r/m tahap tegar. bagi dinas bapemas dan keluarga berencana daerah kota blitar diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan evaluasi program sosialisasi yang telah diadakan oleh pembina bapemas serta diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk menyusun program lebih lanjut yang berkaitan tentang triad krr (seksualitas, napza,hiv/ aids). daftar rujukan .azwar. 2003. sikap manusia. yogyakarta: pustaka belajar. ______. 2012. sikap manusia. yogyakarta: pustaka belajar. badan kependudukan dan keluarga berencana nasional. 2012. pedoman pengelolaan pusat informasi dan konseling remaja dan mahasiswa (pik remaja/ mahasiswa). jakarta: direktorat bina ketahanan remaja. bapemas dan keluarga berencana daerah kota blitar. 2009. panduan pengelolaan pusat informasi dan konseling remaja (pik remaja). jakarta. bnn kota blitar. 2014. siapa bilang pakai narkoba itu keren?. yogyakarta: graha ilmu. sita, p.s. 2013. pengaruh kebudayaan asing terhadap kebudayaan indonesia di kalangan remaja. surabaya: its. setyoso, thomas. 2013 vidiyanti, pd. 2015 . pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids. jurnal ners dan kebidanan,vol.2, no.1, hh 60-66. 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 174–180 174 kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manajemen alat operasi herniotomi hernioraphy (hthr) di instalansi bedah sentral rsud kanjuruhan kepanjen (the performance of scrub nurse in implementing hernioraphy herniotomi operation management (hthr) in central surgical instalance rsud kanjuruhan kepanuren) wahyuningsri, gm. sindarti, irawan poltekkes kemenkes malang, jl besar ijen no 77c malang email: ningsriwahyu06@gmail.com abstract: scrub nurse is professional nursing personnel who is given authority and responsibility in the management of surgical instruments of any type of surgery, has the task of covering before, during, and after surgery action. the absence of sop (standart operationalprocedure) makes every action only based on the experience and habits of each surgical operator. the purpose of this study was to determine the performance of nurses in implementing instrument management tools in a kind of herniotomic herniospheric instrument operation management at central surgical installation of kanjuruhan kepanjen hospital. the research design used descriptive observative. the population was 30 nurses at a central surgical installation. the sample used 10 scrubnurses according to the inclusion criteria in charge in operating room for herniotomic hernioraphy (hthr) surgery. the sampling technique used total sampling. the data collected by observation with checklist. the result of the research on the performance of scrubnurse in implementing the management of herniotomic herniospheric operation tool before and during the 100% surgical action not yet comply with the sop (standart operationalprocedure), the performance of the instrument nurse after surgery is 100% appropriated. further research recommendations were expected to continue research on the performance of nurse instruments on others types of operations for all nurses assigned to operating rooms. keywords: performance, scrub nurse, the task management of herniotomy hernioraphy surgical tool abstrak: perawat instrumen adalah tenaga keperawatan profesional yang diberi wewenang dan tanggung jawab dalam manajemen alat operasi pada setiap jenis pembedahan, mempunyai tugas meliputi sebelum, selama dan sesudah tindakan pembedahan. belum adanya spo ( standar prosedur operasional ) membuat setiap tindakan hanya berdasarkan pengalaman dan kebiasaan masing – masing operator bedah. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manajemen alat pada salah satu jenis operasi herniotomy hernioraphy di instalasi bedah sentral rumah sakit umum daerah kanjuruhan kepanjen. desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif observatif. populasi 30 orang perawat di instalasi bedah sentral, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 10 perawat instrumentsesuai kriteria inklusi yang bertugas di kamar operasi untuk operasi herniotomi hernioraphy (hthr) teknik sampling yang digunakan adalah total sampling.pengambilan data secara observasi menggunakan cek list. hasil penelitian kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manajemen alat operasi herniotomy hernioraphy sebelum dan selama tindakan pembedahan 100 % belum sesuai spo (standar prosedur opersional), kinerja perawat instrumen sesudah tindakan pembedahan adalah 100% sudah sesuai. rekomendasi peneliti selanjutnya diharapkan bisa melanjutkan penelitian mengenai kinerja acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p174-180 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 175wahyuningsri, sindarti, irawan, kinerja perawat instrumen... perawat instrumen pada jenis operasi lainnnya bagi semua perawat yang bertugas di kamar operasi dan tersusunnya standar prosedur operasional yang baku dengan pengesahan dari pimpinan kata kunci: kinerja, perawat instrumen,pelaksanaan manajemen alat operasi herniotomy hernioraphy pembedahan merupakan semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani atau yang sakit melakukan tindakan pembedahan harus di lakukan di kamar operasi. (sjamsuhidayat, 2005). kamar operasi baik, dapat mencapai tujuan untuk kelancaran tindakan operasi dan dan mencegah infeksi, apabila memenuhi syarat: letak, bentuk dan ukuran, sistem ventilasi, suhu dan kelembabannya, penerangan, peralatan, sistem instalasi gas medis, pintu, pembagian area, dan tenaga yang bertugas secara tim (susiatin 2012). tim pembedahan kamar operasi terdiri dari ahli bedah, asisten ahli bedah, perawat instrumen atau scrub nurse, perawat sirkuler dan ahli anastesi atau perawat anastesi (muttaqin dan sari, 2009). setiap anggota tim mempunyai tanggung jawab atau tugas masing-masing dalam setiap operasi. untuk perawat instrumen atau scrub nurse mempunyai uraian tugas atau tanggung jawab sebelum pembedahan, selama pembedahan dan setelah pembedahan. perawat instrumen bertanggung jawab dalam menejemen sirkulasi dan suplai alat-alat instrumen, mengatur alat-alat yang akan dan telah digunakan serta menjaga kelengkapannya, mempertahankan integritas lapangan steril dan berbagai tanggung jawab lainnya dalam sebuah tindakan operasi. salah satu tindakan operasi contohnya operasi hernia, dilihat dari keseriusannya termasuk jenis dalam bedah minor dan bila dilihat dari urgensi termasuk dalam tindakan urgent / gawat. tindakan pembedahan herniotomy hernioraphy (hthr) merupakan suatu intervensi bedah yang mempunyai tujuan melakukan pengangkatan bagian tubuh yang mengalami masalah atau mempunyai penyakit, apabila seorang perawat instrumen tidak atau kurang mengetahui mengenai tugas dan tanggung jawabnya maka akan berakibat terganggunya proses operasi yang beresiko pada kesalahan akan berakibat terjadinya komplikasi pada pasien yang mejalani operasi tersebut. rumah sakit umum daerah “kanjuruhan” kepanjen kabupaten malang dalam periode semester i bulan januari sampai dengan juli 2015operasi bedah umum menempati urutan teratas dalam jumlah pasien yang dioperasi. sedangkan jumlah operasi hernia inguinalis lateralis (hil) dan scrotalis dengan tindakan herniotomy hernioraphy (hthr) sebanyak 123 kasus, namun untuk kasus tersebut belum ada sop yang berkaitan dengan tindakan tersebut dan selama ini sistem kerja dalam operasi ini berdasarkan pengalaman dan kebiasaan masingmasing operator bedah dan tidak ada standarisasi yang baku. masalah kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manejemen alat operasi herniotomy hernioraphy (hthr) apa bila tanpa pedoman standar opersional maka akan mengganggu kelancaran tindakan operasi dan akan timbul risiko infeksi pot operasi tujuan umum penelitian untuk mengetahui kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manejemen alat operasi herniotomy hernioraphy (hthr) di instalasi bedah sentral rumah sakit umum daerah “kanjuruhan” kepanjen.tujuan khususnya mengidentifikasi manejemen alat operasi herniotomy hernioraphy (hthr):(1) kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manejemen alat sebelum operasi,(2) kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manejemen alat selama operasi, (3) kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manejemen alat sesudah operasi kamar operasi adalah suatu unit khusus dirumah sakit, tempat untuk melakukan tindakan pembedahan, baik elektif maupun akut, yang membutuhkan keadaan suci hama (steril) (boedihartono dkk dalam andarias, 2012) bagian kamar operasi: (1)area bebas (un restricted area), petugas dan pasien tidak perlu menggunakan pakaian khusus kamar operasi.(2) area semi ketat (semi restricted area), petugas wajib menggunakan pakaian khusus kamar operasi yang terdiri atas topi, masker, baju dan celana kamar operasi.(3)area ketat atau terbatas (restricted area) petugas wajib menggunakan pakaian khusus kamar operasi lengkap yaitu topi, masker, baju dan celana operasi dan melaksanakan prosedur aseptik. ketenagaan yang bekerja di kamar operasi yaitu: (1) tim bedah terdiri ahli bedah, asisten ahli bedah, perawat instrumen (scrub nurse), perawat 176 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 174–180 sirkuler, ahli/perawat anastesi.(2) staf perawat kamar operasi yaitu perawat kepala kamar operasi dan perawat pelaksana. perawat instrument atau scrub nurse adalah seorang tenaga perawatan professional yang diberi wewenang dan ditugaskan dalam pengelolaan paket alat pembedahan, selama tindakan pembedahan berlangsung). memiliki tanggung jawab terhadap manajemen instrument operasi pada setiap jenis pembedahan. (boedihartono dkk, dalam andarias 2012 tanggung jawab dari perawat instrumen adalah sebagai berikut: a) menjaga kelengkapan alat instrumen steril yang sesuai dengan jenis operasi, b)mengawasi teknik aseptik dan memberikan instrumen kepada ahli bedah sesuai kebutuhan dan menerimanya kembali, c) mengaplikasikan anatomi dasar dan teknik-teknik bedah yang sedang dikerjakan, d) mengawasi prosedur untuk mengantisipasi segala kejadian, e) melakukan manajemen sirkulasi dan suplai alat instrumen operasi., mengatur alat-alat yang akan dan telah digunakan, f) mempertahankan integritas lapangan steril selama pembedahan, g) mengawasi semua aturan keamanan yang terkait benda-benda tajam, terutama skapel harus diletakkan dimeja belakang untuk menghindari kecelakaan dengan kewaspadaan universal, h) memelihara peralatan dan menghindari kesalahan pemakaiannya, i) bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan kepada tim bedah mengenai setiap pelanggaran teknik aseptik atau kontaminasi yang terjadi selama pembedahan, j)menghitung kasa, jarum dan instrumen sebelum pembedahan dimulai dan sebelum ahli bedah menutup luka operasi. kinerja perawat dalam tugas sebagai manajemen sirkulasi dan suplai alat instrumen operasi adalah merupakan suatu jaminan bahwa perawat sebagai individu atau dalam kelompok memahami apa yang di harapkannya dan memfokuskan kepada kinerja yang efektif, mampu mengantisipasi kebutuhan operasi dan menangani situasi kedaruratan di ruang operasi (casio, 2003) salah satu pembedahan yang menjadi obyek penelitian adalah kasus hernia. hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. menurut sifatnya, hernia dapat berupa hernia reponibel atau irreponibel. hernia repobibel merupakan hernia yang hilang timbul karena isi hernia yang dapat kembali ke dalam rongga abdomen, sedangkan hernia irreponibel merupakan hernia dengan isi hernia yang tidak dapat susut kembali ke dalam rongga abdomen, ada yang terjadi hernia inkarserata, hernia strangulata. hernia obstruksi. (henry dan thompson, 2009). terapi untuk hernia ini adalah operasi. manajemen alat operasi herniotomy hernioraphy adalah manajemen sirkulasi dan suplai alat instrumen operasi adalah pengaturan alat-alat yang akan dan telah digunakan berarti manajemen alat operasi adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan alat instrumen operasi yang akan dan telah digunakan. (muttaqin dan sari 2009)set standar operasi herniotomy hernioraphy (hthr) adalah instrumen dan alat tenun yang digunakan untuk tindakan pembedahan tertentu. peralatan perlu distandarisasikan dengan tujuan agar tersedianya alat sesuai dengan jumlah danjumlah dan jenis, kebutuhan untuk memperlancar pelaksanaan tindakan pembedahan serta menciptakan suasana yang harmonis dan kepuasan kerja (boedihartono,dkk.1993). pelaksanaan manajemen sirkulasi dan suplai alat instrumen operasi herniotomy hernioraphy (hthr) adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan alat instrumen operasi yangakan dan telah digunakan dalam operasi herniotomy hernioraphy (hthr). perawat instrumen dalam pelaksanaan manajemen alat instrumen operasi herniotomy hernioraphy (hthr) yang berkualitas dapat dilihat dari kinerjanya. kinerja sebagai perawat instrumen menurut (turkanto, 2005)) meliputi: 1) sebelum pembedahan: (a) menyiapkan ruangan operasi dalam keadaan siap pakai meliputi: kebersihanruangoperasi dan peralatan, meja mayo/instrument, meja operasi lengkap, lampu operasi, suction pump; (b) menyiapkan set instrumen steril sesuai jenis pembedahan, (c) menyiapkan bahan desinfektan dan bahan lainsesuai keperluan pembedahan (d) menyiapkan sarung tangan dan alat tenun steril; 2) saat pembedahan: (a) memperingatkan “tim steril” jika terjadi penyimpangan prosedur aseptic,(b) membantu mengenakan jas steril dan sarung tangan untuk ahli bedah dan asisten, (c) menata instrumen steril di meja mayo sesuaiurutan prosedur pembedahan,(d) memberikan bahan desinfektan kepada operator untuk desinfeksi kulit daerahyang akan disayat, (e) memberikanlaken steril untuk prosedur drapping, (f) memberikan instrumen kepada ahli bedah sesuai urutan prosedur dan kebutuhan tindak 177wahyuningsri, sindarti, irawan, kinerja perawat instrumen... an pembedahan secara tepatdanbenar, (g) memberikan kain steril kepada operator danmengambil kain kasayang telah digunakan dengan memakai alat, (h) menyiapkan benang jahitan sesuai kebutuhan dalam keadaan siap pakai, (i) mempertahankan instrumen selama pembedahandalam keadaan tersusun secara sistematis untuk memudahkan bekerja, (j) membersihkan instrumen dari darah dalam pembedahan untuk mempertahankan sterilitas alat dan meja mayo, (k) menghitung kain kasa, jarum dan instrument, (l) memberitahukan hasil perhitungan jumlah alat, kain kasa dan jarum kepada ahli bedah sebelum luka ditutup lapis demi lapis, (m) menyiapkan cairan untuk mencuci luka, (n) membersihkan kulit sekitar luka setelah lukadijahit, (o) menutup luka dengan kain kasastreril; 3) setelah pembedahan: (a) membersihkan dan memeriksa adanya kerusakan kulit pada daerah yang dipasang electrode, (b) menggantikan alat tenun, baju pasien dan penutup serta memindahkan pasien dari meja opeasi kekereta dorong, (c) memeriksa dan menghitung semua instrumen danmenghitung sebelum dikeluarkan dari kamar operasi, (d) membersihkan instrument bekas pakai dengan cara: pembersihan awal, merendam dengan cairan desinfektan yang mengandung deterjen, menyikat sela-sela instrument, membilas dengan air mengalir, mengeringkan; (e) membungkus instrumen sesuai jenis, macam,bahan, kegunaan dan ukuran. memasang pita autoclave dan membuat label nama alat-alat (set) pada tiap bungkusan instrumen dan selanjutnya siap untuk disterilkan sesuai prosedur yangberlaku, (f) membesihkan kamar operasi setelah tindakanpembedahan selesai agarsiap pakai. hasil dari kinerja dipengaruhi oleh faktor: (1) kemampuan ability yang secara psikologis memiliki potensi, reality knowledge dan skill, (2) motivasi, terhadap situasi kerja . situasi yang dimaksud meliputi hubungan kerja, fasilitas kerja, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. menurut gibson dalam (susiatin 2012) dan menurut keith davis dalam buku anwar prabu manggkunegara bahan dan metode desain penelitian ini deskriptif observatif . populasi dari perawat instrumen yang bertugas dikamar operasi rumah sakit umum daerah “kanjuruhan” kepanjen yang berjumlah 30 orang.untuk semua jenis tindakan operasi .kriteria inklusi sebagai berikut: 1) perawat instrumen yang bekerja di instalasi bedah sentral rsud “kanjuruhan” kepanjen., 2) perawat yangmelakukan instrumentasi operasi (hthr), 3) perawat instrumen yang berpendidikan diii keperawatan, 4) bersedia menjadi responden dengan menanda tangani informed consent. jumlah sampel didapatkan 10 orang perawat. teknik pengumpulan data dengan kuisioner untuk mendapatkan data umum dan lembar observasi untuk data khusus.dengan teknik ini menilai kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manajemen alat operasi herniotomy hernioraphy (hthr) di kamar operasi rumah sakit umum daerah “kanjuruhan” kepanjen, mulai dari sebelum, selama dan sesudah tindakan pembedahan. teknik pengolahan data menggunakan persentase dengan skala kualitatif, bila terdapat hasil kurang 100% diinterpresasikan belum sesuai spo, hasil 100 % sudah sesuai tabel 1 kinerja perawat instrumen tindakan pembedahan hernitomy hernioraphy (hthr) dalam kesesuaian spo di instalasi bedah sentral rsud “kanjuruhan” kepanjen no sebelum % selama % sesudah % 1 sesuai 0 sesuai 0 sesuai 100 2 belum sesuai 100 belum sesuai 100 belum sesuai 0 jumlah 100 100 100 hasil penelitian berdasarkan data diatas bahwa kinerja perawat instrumen tindakan pembedahan sebelum dan selama seluruhnya belum sesuai standar prosedur opersional dan sesudah tindakan seluruhnya sesuai data yang mendukung kinerja perawat instrumen tindakan pembedahan hernitomy hernioraphy (hthr) di instalasi bedah sentral rsud “kanjuruhan” kepanjen 178 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 174–180 pembahasan kinerja perawat instrumen dalam menyelesaikan tugas sebelum tindakan pembedahan herniotomy hernioraphy di instalasi bedah sentral rsud “kanjuruhan” kepanjen menunjukkan bahwa kinerja perawat seluruh responden masih belum sesuai dengan spo karena belum ada spo tetap atau belum ada pengesahan dari pimpinan rumah sakit. standart operasional prosedur yang digunakan penelitian merujuk dari rumah sakit tipe a, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyediaan alat yang sifatnya tambahan (instrumen tambahan), dan belum adanya sosialisasi dan evaluasi dari pelaksanaan spo manajemen alat operasi herniotomy hernioraphy (hthr) sebagai panduan dalam melakukan tindakan. masa kerja yang sudah lama , responden dalam melakukan tindakan hanya berdasarkan paradigma responden, sehingga membentuk suatu keyakinan yang kuat bahwa suatu tahapan yang dilakukan adalah suatu kebenaran. pada pelaksanaan manajemen alat operasi herniotomy hernioraphy (hthr) dapat diketahui bahwa banyak persiapan alat yang tidak lengkap, penggunaan sarana dan prasarana yang tidak tepat dan kurangnya prasarana yang mendukung sehingga membuat hasil kinerja tidak bisa sesuai secara keseluruhan responden. menurut turkanto (2005) perawat instrumen sebaiknya mengetahui dan menyiapkan alat instrumen set mulai dari instrumen dasar sampai instrumen tambahan, sesuai dengan macam dan jenis operasi yang akan dilakukan. suatu tindakan pembedahan di ruang operasi ada dua jenis insrumen atau alat yang digunakan, yaitu instrumen dasar (basic set instrumen) dan instrumen tambahan. perawat instrumen bisa mengusulkan dan menyiapkan instrumen set sesuai kebutuhan operasi yang diperlukan karena sehari sebelumnya sudah mendapatkan informasi dari sosial media whatsapp, sehingga pada saat pelaksanaan tindakan pembedahan semua instrumen sudah siap pakai. kinerja perawat instrumen yang dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan benar selama tindakan pembedahan dalam operasi herniotomy hernioraphy di instalasi bedah sentral rsud “kanjuruhan” kepanjen menunjukkan bahwa semua responden masihbelumsesuai spo, dimana saat draping hanya memakai duk lubang besar untuk demarkasi area operasi, penutupan jaringan kulit yang di insisi menggunakan benang nonabsorbable sedang di spo memakai staples kulit. antara yang di spo dengan dilapangan terdapat ketidak sesuaian namun hal ini biasa terjadi di tiap-tiap kasus pembedahan karena tiap operator mempunyai kebiasaan sendirisendiri sesuai dengan keilmuan yang didapatkannya. kebiasaan sebagai perilaku yang diulangulang berdasarkan pengetahuan yang dimiliki merupakan pengalaman dari suatu kegiatan dan dapat menunjukkan karakter seseorang. terbentuknya suatu perilaku terutama pada orang dewasa dimulai dari tahap kognitif yaitu tahu terlebih dahulu terhadap stimulasi yang berupa materi atau obyek sehingga menimbulkan pengetahuan baru bagi subyek tersebut, dan selanjutnya menimbulkan respon batin yang akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan notoatmodjo (2003). kinerja perawat instrumen sesudah tindakan pembedahan dalam operasi herniotomy hernioraphy di instalasi bedah sentral rsud kanjuruhan kepanjen menunjukkan bahwa seluruhnya responden melakukan kinerja sudah sesuai dengan sop, karena tindakan perawat instrumen setelah operasi sudah terbiasa dan berpengalaman seperti operasi pada umumnya bahwa pembersihan pasien, alat dan instrumen yang telah dipakai selalu dihitung atau di cek kembali jumlah penggunaan dan sisanya, kemu< 3 th 3–5 th > 5 th sesuai 2 2 2 belum sesuai 4 0 0 jumlah 60% 20% 20% tabel 2 masa kerja dengan kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manajemen alat operasi herniotomyhernioraphy (hthr) di instalasi bedah sentral rsud “kanjuruhan” kepanjen kinerja masa kerja di ibs tabel 3 pelatihan dengan kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manajemen alat operasi herniotomyhernioraphy (hthr) di instalasi bedah sentral rsud “kanjuruhan” kepanjen kinerja pelatihan instrumen sudah (%) belum (%) sesuai 60 10 belum sesuai 20 10 jumlah 80 20 179wahyuningsri, sindarti, irawan, kinerja perawat instrumen... dian di sterilkan dan disimpan kembali sehingga sudah siap pakai. seperti pendapat mutaqin, sari, (2005)bahwa peran perawat instrumen sesudah tindakan pembedahan berfokus pada pengecekan kelengkapan alat dan bahan yang dipergunakan, prosedur tetap (protap) pembersihan alat yang dapat dijadikan acuan bagi perawat instrumen dalam pelaksanaan tindakan sesudah pembedahan. pengalaman merupakan sumber pengetahuan, dilakukan mengulang kembali. faktor motivasi juga berpengaruh terhadap kinerja perawat instrumen, dimana seseorang yang bersikap positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka berfikir negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja yang rendah. notoatmodjo (2010).keterampilan psikomotor dan manual seorang perawat instrumen yang telah tersertifikasi dan diakui dalam profesi, menurut gruendemann b. j., fernsebner, b. ­2005 bahwa sertifikat khusus teknik kamar operasi seharusnya dimiliki untuk menjadi seorang perawat instrumen. lamanya pengalaman bertugas dikamar operasi akan memberikan dampak yang besar terhadap kinerja perawat dalam menentukan hasil akhir pembedahan”. meskipun masa kerja dari responden sebagian besar 60% responden memiliki masa kerja di kamar operasi kurang dari 2 tahun , 20% memiliki masa kerja 3 sampai 5 tahun dan 20% lainnya memiliki masa kerja diatas 5 tahun , namun kinerja dalam maajemen alat operasi herniotomy hernioraphy di instalasi bedah sentral rumah sakit umum daerah kanjuruhan kepanjen semua responden menunjukkan kinerja yang benar. faktor yang mempengaruhi kinerja selain pengalaman juga yang secara psikologis memiliki potensi, reality knowledge dan skill, motivasi terhadap situasi kerja. situasi yang dimaksud meliputi hubungan kerja, fasilitas kerja, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja. menurut gibson dalam (susiatin 2012) simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian tentang kinerja perawat instrumen dalam melaksanakan manajemen alat operasi herniotomi hernioraphy di instalansi bedah sentral rsud kanjuruhan kepanjen, maka dapat disimpulkan bahwa: kinerja perawat insrumen pada sebelum dan selama tindakan operasi masih belum sesuai dengan standar perosedur operasional (spo) karena spo rsud kanjuruhan belum ada pengesahan dari pihak manajemen, dan alat ada yang belum lengkap, sementara spo yang dipergunakan penelitian mengacu dari rs tipe a yang dimodifikasi. kinerja setelah tindakan operasi, manajemen alat sudah sesuai hal ini didukung bahwa prinsip kerjanya sama dari beberapa rumah sakit. saran bagi rsud kanjuruhan untuk melengkapi peralatan, menetapkan spo dan dievaluasi implementasinya. bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini sebagai data dasar penelitian selanjutnya. daftar rujukan boedihartono, dkk. 2003. pedoman kerja perawat kamar operasi. jakarta : depkes ri. casio, 2003. http:// www.unikom.ac.id/files/22696-2/ babii.pdfkinerja diakses 23 desember 2015. gibon, 1996. http:// www.unikom.ac.id/files/22696-2/ babii.pdfkinerja diakses 23 desember 2015. gruendemann b. j., fernsebner, b. ­2005. buku ajar keperawatan perioperatif (volume 1). alih bahasa, brahm u. pendit(et al): editor edisi bahasa indonesia, egi komara yudha, siti aminah. jakarta: egc. muttaqin, a., sari, k. 2009. asuhan keperawatan perioperatif (konsep, proses dan aplikasi). jakarta: salemba medika. notoatmodjo, s. 2010. metodelogi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2003. konsep & penerapan metodelogi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian keperawatan. edisi 2. jakarta: salemba medika. nursalam. 2008. konsep & penerapan metodelogi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian keperawatan. edisi 2. jakarta: salemba medika. poerwadarminta, w.j.s. 2006. kamus umum bahasa indonesia. jakarta : balai pustaka. potter & perry. 2006. buku ajar fundamental keperawatan (konsep, proses, dan praktik; edisi 4, volume 2) alih bahasa, ratna komalasari (et al); editor edisi bahasa indonesia, monica ester dkk. jakarta: egc. puruhito & rubingah. 1995. dasar-dasartata kerja dan pengelolaan kamar operasi. surabaya: airlangga university press. sjamsuhidajat, r., jong, w. 2005. buku ajar ilmu bedah, edisi 2. jakarta : egc. 180 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 174–180 setiadi. 2007. konsep dan penulisan riset keperawatan. yogjakarta: graha ilmu. sugiyono. 2012. statistika untuk penelitian. bandung: alfabeta. turkanto, 2005. nstrumen teknik pedoman tetap teknik operasi di kamar bedah. solo: pt media mitra persada. wasis. 2008. pedoman riset praktis untuk profesi perawat. jakarta: egc. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 136 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 136–141 136 edukasi prenatal dalam upaya peningkatan breastfeeding self efficacy (prenatal education as an effort in enhancing breastfeeding self efficacy) ulfa husnul fata, anita rahmawati program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: tata_zic18@yahoo.co.id abstract: the percentage of exclusive breastfeeding will be decreased in line with the raise of baby’s age. the primary factors that make mothers do not give or stopped exclusive breastfeeding are the lack of breastfeeding self efficacy so that mothers feel that they do not have enough breastfeed for their baby. the aim of the research was to find out the effectiveness of asi prenatal education toward breastfeeding self efficacy. the research design was post test only control group design. the population was all pregnant women in the third trimester of puskesmas kepanjen kidul kota blitar. the sample was 40 taken by purposive sampling and divided into treatment group and control group by simple random sampling. the treatment group was given education on asi and lactation on pregnancy period. education was completed by presenting mothers who had been succeed in giving exclusive breastfeeding (giving testimonial) to share their experience in giving breastfeed. after that, all respondents breastfeeding self efficacy level were measured with bses-sf in between the second day until 2 weeks of postpartum. the result showed that the average score of breastfeeding self efficacy of treatment group was 61,15±5,566 and the control group was 49,85±9,438. the data analysis by independent t test showed that there was an effect of prenatal education toward breastfeeding self efficacy(p=0,000, < 0,05). it was expected that prenatal education on lactation which presented the breastfeeding testimonial were given during the pregnancy period in order to enhance mothers’ breastfeeding self efficacy. keywords: prenatal education,breastfeeding self efficacy abstrak: presentase pemberian air susu ibu (asi) eksklusif semakin menurun dengan meningkatnya umur bayi. faktor utama ibu tidak memberikan asi secara eksklusif atau menghentikan pemberian asi sebelum waktunya karena kepercayaan diri menyusui (breastfeeding self efficacy) yang rendah sehingga ibu merasa tidak mempunyai kecukupan produksi asi untuk memenuhi kebutuhan bayi. tujuan penelitian ini untuk menjelaskan pengaruh edukasi asi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy. rancangan penelitian post test only control group design. populasinya adalah semua ibu hamil trimester ketiga yang tercatat di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. 40 sampel diambil dengan purposive sampling dan dibagi menjadi responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan simple random sampling. kelompok intervensi diberikan edukasi laktasi pada masa kehamilan. edukasi dilengkapi dengan mendatangkan ibu yang telah berhasil menyusui eksklusif (pemberi testimoni) untuk berbagi cerita/pengalaman menyusui, selanjutnya semua responden diukur tingkat breastfeeding self efficacy dengan bses-sf pada rentang antara hari kedua sampai dua minggu postpartum. hasil penelitian didapatkan nilai rata-rata breastfeeding self efficacy pada kelompok perlakuan 61,15±5,566 dan pada kelompok kontrol 49,85±9,438. analisa data dengan independent t test menunjukkan ada pengaruh edukasi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy (p=0,000, < 0,05). diharapkan edukasi prenatal tentang laktasi yang menghadirkan pemberi testimoni menyusui selalu diberikan pada masa kehamilan untuk meningkatkan kepercayaan diri menyusui ibu. kata kunci: edukasi prenatal, kepercayaan diri menyusui acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p136-141 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 137fata dan rahmawati, edukasi prenatal ... pemberian air susu ibu (asi) atau menyusui memberikan manfaat besar bagi ibu dan bayinya. pemberian asi eksklusif merupakan strategi utama dalam menurunkan angka kematian neonatal (thulier & mercer, 2009). riset kesehatan dasar (2013) mencatat meskipun telah terbukti asi memberikan banyak manfaat tetapi presentase pemberian asi eksklusif semakin menurun dengan meningkatnya umur bayi. kepercayaan diri (self efficacy) ibu yang merasa tidak mempunyai kecukupan produksi asi untuk memenuhi kebutuhan bayi menjadi faktor utama ibu tidak memberikan asi secara eksklusif atau menghentikan pemberian asi sebelum waktunya. menurut data riskedas tahun 2010, bayi umur 0 bulan mendapatkan asi eksklusif 39,8% dan menurun menjadi 15,3% pada umur 5 bulan. sedangkan pemberian asi parsial 55,1% pada umur 0 bulan dan 83,2% pada umur 5 bulan. self efficacy dalam menyusui merupakan keyakinan ibu untuk menilai diri akan kemampuannya untuk menyusui bayinya. sumber informasi atau faktor pembentuk self efficacy meliputi pencapaian prestasi (performance accomplishment), pengalaman orang lain (vicarious experiences), persuasi verbal (verbal persuasion), dan respon psikologis (physiological responses) (dennis & faux, 1999 dalam wardani, 2012). penelitian kurniawan (2013) menunjukkan keyakinan dan persepsi ibu tentang kepuasan bayi saat menyusu merupakan faktor determinan positif paling kuat yang mempengaruhi keberhasilan pemberian asi eksklusif. terdapat hubungan signifikan antara self efficacy ibu dalam proses pemberian asi dengan persepsi ibu akan kekurangan asi untuk memenuhi kebutuhan bayinya. self efficacy ibu dalam proses pemberian asi berperan untuk menentukan pemilihan tingkah laku, penentu besarnya usaha dalam mengatasi hambatan, memppengaruhi pola pikir dan reaksi emosional dan sebagai prediksi tingkah laku selanjutnya (britton & britton, 2008). peran dan dampak dari self efficacy yang cukup besar terhadap praktik pemberian asi, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan self efficacy ibu untuk menyusui. self efficacy merupakan faktor penentu keberhasilan menyusui yang dapat dimodifikasi melalui intervensi yang tepat seperti edukasi dan dukungan (eidman, 2011). edukasi laktasi dapat diberikan saat prenatal atau postnatal, tetapi edukasi laktasi lebih baik diberikan sejak prenatal karena praktik menyusui harus dilakukan sesegera mungkin setelah bayi lahir, selain itu ibu juga dapat melakukan persiapan menyusui dengan lebih baik. pada masa postnatal, ibu mengalami adaptasi fisik dan psikologis yang dapat mengganggu fokus ibu dalam menerima edukasi. dengan edukasi asi prenatal diharapkan keempat sumber pembentuk self efficacy akan memberikan nilai positif terhadap peningkatan tingkat self efficacy. berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh edukasi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy. tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik responden, 2) mengidentifikasi tingkat breastfeeding self efficacy pada kelompok yang mendapatkan edukasi prenatal, 3) mengidentifikasi tingkat breastfeeding self efficacy pada kelompok yang tidak mendapatkan edukasi asi prenatal, 4) menganalisis perbedaan breastfeeding self efficacy antara kelompok yang mendapatkan edukasi asi prenatal dan yang tidak mendapatkan edukasi prenatal. bahan dan metode rancangan penelitian menggunakan post test only control group design. populasi meliputi semua ibu hamil yang tercatat di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. pengambilan sampel dengan purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi meliputi ibu hamil trimester ketiga dengan pendidikan minimal smp. kriteria eksklusi adalah bayi yang dilahirkan kembar, mempunyai kelainan/ cacat bawaan, bayi berat badan lahir atau mengalami masalah kesehatan yang mengganggu proses laktasi, jenis persalinan tidak spontan pervaginam. besar sampel 40 yang dibagi dengan simple random menjadi 20 kelompok kontrol dan 20 perlakuan. edukasi prenatal berupa ceramah dan tanya jawab selama 90 menit dengan materi inisiasi menyusui dini, manfaat asi, bahaya formula, tehnik menyusui, kunci keberhasilan menyusui dan cerita pengalaman dari orang yang telah berhasil menyusui eksklusif. edukasi juga disertai pemberian booklet. pengukuran breastfeeding self efficacy dilakukan antara hari kedua sampai dua minggu setelah melahirkan dengan menggunakan breastfeeding self efficacyshort form (bses-sf). analisa data menggunakan independent t-test untuk uji beda nilai breastfeeding self efficacy (bse) antara kelompok kontrol dan perlakuan dengan  0,05. 138 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 136–141 hasil penelitian karakteristik ibu dan primigravida (50%) sedangkan kelompok kontrol sebagian besar multigravida (60%). data khusus breastfeeding self efficacy tabel 1. karakteristik ibu hamil di wilayah kerja puskesmas kepanjenkidul kota blitar pada juni-juli 2016 karakteristik perlakuan kontrol ? % ? % usia ibu 21-25 th 0 0 3 15 26-30 th 6 30 3 15 31-35 th 7 35 8 40 36-40 th 7 35 6 30 pekerjaan ibu bekerja di luar rumah 4 20 5 25 bekerja di dalam rumah 5 25 4 20 tidak bekerja/irt 11 55 11 55 pendidikan terakhir smp 5 25 6 30 sma 15 75 13 65 pt 0 0 1 5 pendapatan keluar ga < 1 juta rupiah 8 40 5 25 1-1,5 juta rupiah 9 45 11 55 >1,5 juta rup iah 3 15 4 20 sta tus kehamilan/par itas primigravida 10 50 8 40 multigravida 10 50 12 60 sikap pasangan/keluarga terhadap proses menyusui bersikap acuh 1 5 2 10 t idak mendukung 1 5 1 5 mendukung 17 85 15 75 belum tau/belum ada rencana 1 5 2 10   berdasarkan tabel 1 menunjukkan karakteristik yang hampir sama pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yaitu sebagian besar diatas usia 30 tahun sebanyak 70%, tidak bekerja/ibu rumah tangga sebanyak 55%. pendidikan terakhir sma sebanyak 15 orang (75%) pada kelompok perlakuan dan 13 orang (65%) pada kelompok kontrol sedangkan pendapatan keluarga yang paling dominan antara 1-1,5 juta rupiah, yaitu sebanyak 9 orang (45%) pada kelompok perlakuan dan 11 orang (55%) pada kelompok kontrol. sikap pasangan/keluarga terhadap proses menyusui sebagian besar mendukung yaitu 17 orang (85%) pada kelompok perlakuan dan 15 orang (75%) pada kelompok kontrol. karakteristik yang sedikit berbeda antara kelompok kontrol dan perlakuan ditunjukkan pada status kehamilan dimana kelompok perlakuan terdiri dari multigravida (50%) tabel 2. breastfeeding self efficacy ibu yang mendapatkan edukasi prenatal di wilayah kerja puskesmas kepanjenkidul kota blitar pada juni juli 2016 kategori nilai ? % percaya diri cukup (33 -51) 2 10 percaya diri baik (52-70) 18 90 tabel 2 menunjukkan nilai breastfeeding self efficacy pada kelompok yang mendapatkan edukasi prenatal ada 18 orang (90%) pada kategori percaya diri baik.  tabel 3. breastfeeding self efficacy ibu yang tidak mendapatkan edukasi prenatal di wilayah kerja puskesmas kepanjenkidul kota blitar pada juni juli 2016 ka tegori nilai ? % percaya diri kurang (14-32) percaya diri cukup (33-51) 1 9 5 45 percaya diri baik (52-70) 10 50  tabel 3 menunjukkan nilai breastfeeding self efficacy pada kelompok yang tidak mendapatkan edukasi prenatal ada 10 orang (50%) pada kategori percaya diri baik. tabel 4. pengaruh edukasi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy ibu di wilayah kerja puskesmas kepanjenkidul kota blitar pada juni juli 2016 kelo mpok breastfeeding self efficacy mean min max sd perlakuan 61,15 49 67 5,566 kontrol 49,85 30 65 9,438 independent t-test (α = 0,05) p = 0,000 tabel 4 menunjukkan nilai rata-rata breastfeeding self efficacy pada kelompok perlakuan 61,15±5,566 dan pada kelompok kontrol 49,85±9,438. hasil analisa dengan menggunakan independent t-test diperoleh nilai p = 0,000 artinya ada pengaruh edukasi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy ibu. pembahasan breastfeeding self efficacy pada kelompok yang tidak mandapatkan edukasi prenatal nilai breastfeeding self efficacy yang diukur dengan menggunakan breastfeeding self efficacy 139fata dan rahmawati, edukasi prenatal ... scale short form (bses-sf) mempunyai nilai maksimal 70 dan minimal 14. nilai minimal menunjukkan ibu tidak percaya diri sama sekali sedangkan nilai maksimal bearti ibu sangat percaya diri. jika total nilai dari bses-sf dibuat pengkategorian, maka pada kelompok perlakuan diperoleh ada 2 (10%) responden mempunyai percaya diri cukup (berada pada rentang nilai 33-51), 18 (90%) responden percaya diri baik (berada pada rentang nilai 5270), dan tidak ada responden yang kategori percaya diri kurang (berada pada rentang nilai 14-32). setelah mendapatkan 1 kali edukasi prenatal, hasilnya masih ada 2 (10%) ibu mempunyai kepercayaan diri menyusui cukup dan dilihat dari karakteristiknya kedua responden tersebut berpendidikan smp. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi keinginan dan harapan (loundon dan britta dalam aisah, et al., 2010). peneliti berasumsi pendidikan smp masih tergolong level pendidikan yang rendah sehingga lebih susah dalam memahami dan meningkatkan pengetahuan. pengetahuan dan pemahaman sangat menentukan kepercayaan diri ibu dalam menyusui sesuai dengan hasil penelitian oleh citrawati (2015) menunjukkan ada perbedaan nilai breastfeeding self efficacy pada ibu yang mempunyai pengetahuan berbeda. ibu yang memiliki pengetahuan lebih tinggi akan lebih menunjukkan kepercayaan diri menyusui yang lebih tinggi daripada ibu yang mempunyai pengetahuan yang lebih rendah. jumlah anak atau pengalaman menyusui merupakan faktor yang dominan terhadap self efficacy menyusui (febriana, 2014). multipara telah mempunyai pengalaman dalam menghadapi masalah terkait menyusui sehingga lebih mudah dan cepat tanggap dalam menyelesaikan masalah yang muncul saat menyusui. multipara yang tidak mempunyai pengalaman menyusui atau gagal menyusui tentunya tidak ingin mengulangi kegagalan tersebut sehingga lebih mempunyai persiapan untuk melakukan proses menyusui yang akhirnya berdampak pada kepercayaan diri menyusui menjadi baik. pada penelitian ini, kedua responden yang memiliki breastfeeding self efficacy cukup merupakan primipara (kehamilan pertama). primipara belum mempunyai pengalaman dari diri sendiri secara langsung dalam menyusui sehingga saat muncul masalah dalam proses menyusui akan sangat mengganggu kepercayaaan dirinya. dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan menyusui, dengan dukungan keluarga dapat meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri ibu dalam menyusui (roesli, 2007). dalam penelitian ini dua responden yang mempunyai kepercayaan diri cukup merasa tidak mendapat dukungan dari keluarga/ pasangannya atau cenderung bersikap acuh, sikap membiarkan dan tidak mau terlibat dalam urusan proses menyusui. tanpa dukungan keluarga maka ibu merasa berjuang sendiri dalam menyusui sehingga ibu akan mudah putus asa dan merasa tidak mampu lagi untuk menyusui bayinya apalagi disaat ibu harus menghadapi berbagai masalah yang muncul saat proses menyusui. bses-sf berisi 14 item pertanyaan tentang kepercayaan diri ibu dalam proses menyusui. ibu pada kelompok perlakuan yang memiliki kepercayaan diri belum baik menunjukkan tingkat tidak terlalu percaya diri pada item kepuasan diri dalam pengalaman menyusui dan tingkat kadang-kadang percaya diri pada item kenyakinan diri pada kecukupan bayi mendapat asi dan produksi asi. pada perkembangan zaman dengan persaingan ketat seperti sekarang ini, kualitas manusia dituntut agar mencapai kualitas yang lebih baik sehingga banyak orang cenderung ingin menjadi yang terbaik, tidak mau kalah dengan orang lain dan tidak mudah merasa puas dengan pencapaian yang didapat (efendi & makhfudli, 2009). demikian halnya dalam urusan menyusui, seorang ibu selalu berpikir ingin bayinya mendapat kecukupan nutrisi dan ingin pertumbuhannya menjadi yang terbaik, tidak kalah dengan bayi orang lain. perasaan tersebut justru akan membuat ibu selalu khawatir bayinya kurang cukup nutrisi (asi) dan merasa kurang yakin dengan kecukupan produksi asi ibu. breastfeeding self efficacy pada kelompok yang mendapatkan edukasi prenatal nilai kepercayaan diri menyusui (breastfeeding self efficacy) berdasarkan bses-sf pada kelompok kontrol yaitu kelompok yang tidak mendapatkan edukasi prenatal menunjukkan 10 orang (50%) memiliki kepercayaan diri menyusui baik, 9 orang (45%) kepercayaan diri menyusui cukup dan 1 orang (5%) kepercayaan diri menyusui kurang. separuh ibu menyusui pada kelompok kontrol telah memiliki kepercayaan diri baik meskipun tidak diberikan edukasi prenatal karena dipengaruhi oleh pengalaman menyusui dimana 12 (60%) ibu pada kelompok kontrol merupakan multipara yang telah memiliki pengalaman menyusui baik kesuksesan maupun kegagalan dalam menyusui eksklusif. penelitian ini juga menunjukkan 14 (70%) ibu pada kelompok kontrol memiliki pendidikan dalam kategori 140 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 136–141 tingkat tinggi yaitu sma dan diatasnya (perguruan tinggi). ibu dengan pendidikan formal tinggi berasosiasi dengan lebih mempunyai pengetahuan menyusui yang baik dan lebih mudah menerima informasi tentang menyusui dari berbagai sumber. terlebih lagi di era sekarang ini informasi tentang menyusui dapat diakses dari berbagai media baik cetak maupun elektronik. kepercayaan diri ibu yang baik pada kelompok kontrol juga dipengaruhi oleh pekerjaan ibu dimana 11 (55%) ibu kelompok kontrol tidak bekerja dan 4 (20%) ibu bekerja didalam rumah sehingga kesulitan menyusui karena harus meninggalkan bayinya tidak akan menjadi masalah bagi ibu yang bekerja di rumah atau tidak bekerja. porter dan hsu (2003) dalam saleh, et al. (2009) menemukan bahwa ibu yang memiliki beberapa anak lebih menunjukkan kepercayaan diri daripada ibu yang baru pertama kali mempunyai anak (primigravida). demografi maternal meliputi usia ibu, pekerjaan, pendapatan keluarga, paritas, status kesehatan bayi dan dukungan keluarga mempengaruhi kepercayaan diri ibu dalam menyusui. usia ibu pada kelompok kontrol terlihat 14 (70%) ibu berusia diatas 30 tahun. pada usia tersebut telah memasuki kategori usia dewasa dimana secara teori telah memasuki usia dengan kematangan fisik dan psikologis sehingga lebih punya kepercayaan diri dalam menyusui. dukungan dari keluarga atau pasangan sangat dirasakan oleh 15 (75%) ibu pada kelompok kontrol. dukungan keluarga atau pasangan dapat memotivasi ibu untuk terus percaya diri berusaha menyusui meskipun banyak rintangan yang harus ibu hadapi. penelitian russel (2006) dalam saleh, et al. (2009) menunjukkan kepercayaan diri ibu dipengaruhi oleh dukungan keluarga, tingkat pengetahuan dan pendidikan ibu. semakin dewasa seseorang maka lebih banyak pengalaman dan informasi yang diperoleh, juga lebih matang dalam mengolah informasi tersebut sehingga dapat membangun konsep diri yang baik dan mampu menumbuhkan kepercayaan diri. kepercayaan diri kurang ditunjukkan oleh 1 (5%) ibu pada kelompok kontrol yang mempunyai pekerjaan di luar rumah, primipara dan berusia muda (21 tahun) sehingga pengetahuan dan pengalaman menyusuinya masih kurang. pengetahuan dan pengalaman kurang ditambah harus meninggalkan bayi untuk bekerja menyebabkan kepercayaan diri ibu menjadi kurang. pengaruh edukasi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy ibu nilai rata-rata breastfeeding self efficacy pada kelompok perlakuan 61,15±5,566 dan pada kelompok kontrol 49,85±9,438. hasil analisa dengan menggunakan independent t-test diperoleh nilai p = 0,000 artinya ada pengaruh edukasi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy ibu. edukasi prenatal yang diberikan kepada kelompok perlakuan mampu menunjukkan nilai rata-rata breastfeeding self efficacy lebih tinggi daripada kelompok control yang tidak diberikan edukasi prenatal. sejalan dengan penelitian di tehran,iran oleh nekavand et al. (2014) yang menyimpulkan ada perbedaan signifikan pada kelompok ibu yang diberikan pelatihan/pendidikan tentang asi ekslusif terhadap kepercayaan diri (self efficacy) ibu. edukasi prenatal yang diberikan kepada kelompok perlakuan dilakukan selama 90 menit berupa ceramah dan tanya jawab. pada sesi tanya jawab, peserta edukasi dipersilahkan mengajukan pertanyaan, educator terlebih dahulu akan mempersilahkan ibu yang lain untuk menjawab selanjutnya educator akan menyempurnakan, menegaskan, dan meluruskan jiwa jawaban belum tepat. metode tersebut dapat menstimulasi ibu yang sudah mempunyai pengalaman menyusui untuk berbagi pengalamannya kepada ibu-ibu lain terutama yang belum mempunyai pengalaman menyusui. edukasi prenatal yang diberikan berisi materi inisiasi menyusui dini, manfaat asi, bahaya formula, tehnik menyusui, kunci keberhasilan menyusui dan cerita pengalaman dari orang yang telah berhasil menyusui eksklusif. pengalaman menyusui dari orang yang telah berhasil menyusui eksklusif dapat memberikan inspirasi bagi ibu untuk berjuang menyusui bayinya, tidak mudah menyerah dan meningkatkan motivasi ibu dalam menyusui yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan diri ibu dalam menyusui. sejalan dengan penelitian puspita (2015) menunjukkan dukungan berupa berbagi pengalaman dari ibu yang telah sukses memberikan asi eksklusif yang dihadirkan pada pertemuan di kelas ibu hamil dapat meningkatkan persepsi kontrol diri atau kepercayaan diri ibu untuk memberikan asi eksklusif. pendidikan kesehatan dengan pendekatan modeling oleh perawat efektif dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan praktek dan kepercayaan diri ibu (saleh, et al., 2009). 141fata dan rahmawati, edukasi prenatal ... edukasi prenatal yang diberikan dalam penelitian ini juga disertai dengan pemberian booklet yang berisi materi yang diberikan. booklet bisa dibawa pulang oleh responden sehingga dapat dibaca lagi disaat responden lupa dengan materi yang telah diajarkan atau kapanpun responden membutuhkan. pengetahuan ibu yang baik dapat meningkatkan kepercayaan diri ibu dalam menyusui. dalam penelitian ramawati, et al. (2013) efektifitas penggunaan modul/booklet dalam meningkatkan pengetahuan ibu tentang manajemen laktasi sebesar 75%. booklet dan leaflet sama efektifnya dalam meningkatkan perubahan sikap responden namun booklet lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan responden (punia, 2009). simpulan dan saran simpulan ada pengaruh edukasi prenatal terhadap breastfeeding self efficacy ibu (p=0,000). saran pemegang program kelas ibu hamil agar mempertimbangkan pemberian edukasi prenatal di kelas ibu hamil yang berisi manajemen laktasi dengan mendatangkan pemberi testimoni keberhasilan menyusui eksklusif. peneliti selanjutnya sebaiknya mengkaji kepercayaan diri menyusui pre dan post intervensi. daftar rujukan aisah, s., junaiti s., sutanto p.h. 2010. pengaruh edukasi kelompok sebaya terhadap perubahan perilaku pencegahan anemia gizi besi pad wanita usia subur di kota semarang. prosiding seminar nasional unimus. 119-127. britton, j., & h. britton. 2008. maternal self concept and breastfeeding. journal of human lactation, 24, 431-438. citrawati, n.k. 2015. pengaruh pendidikan kesehatan masyarakat laktasi terhadap tingkat pengetahuan dan self efficacy ibu menyusui. tesis. electronic theses and dissertations gajah mada university. yogjakarta. dennis, c.l. 2003. the breastfeeding self-efficacy scale: psychometric assessment of the short form. jognn, 6, 734-744. efendi, f., & makhfudli. 2009. teori dan praktik dalam keperawatan. jakarta: salemba medika. eidman, c.k. 2011. enhancing breastfeeding self-efficacy through prenatal education. master of art in nursing these, 31. febriana, n.a. 2014. faktor-faktor yang berhubungan denga n self efficacy men yusui di ruang bougenville 2 rsup dr.sardjito yogjakarta. skripsi. electronic theses and dissertations gajah mada university. yogjakarta. kurniawan, b. 2013. determinants keberhasilan pemberian air susu ibu eksklusif. jurnal kedokteran brawijaya, 27(4), 236-240. nekavand, m., hoorsan r., kerami a., zohoor a. 2014. effect of exclusive breast feeding education on breast-feeding self efficacy and maternal stress. research journal of obstetrics and gynecology, 7(1), 1-5. puspita, y.a. 2015. perbedaan persepsi kontrol diri ibu hamil terhadap intensi ibu untuk memberikan asi eksklusif pada kelas ibu hamil plus di puskesmas muara teweh kabupaten barito utara. jurnal edu health, 5(2), 123-130. ramawati, d., lutfatul l., eni r. 2013. efektifitas modul untuk manajemen laktasi pasca melahirkan. journal keperawatan soedirman, 8 (1), 49-55. riset kesehatan dasar (riskesdas). 2013. badan pen elit ian dan pengemba ngan kesehat an kementerian kesehatan republik indonesia. roesli, u. 2007. mengenal asi eksklusif. jakarta: trubus agriwidya. saleh a., nurachman e., as’ad s., hadju v. 2009. pen ga ruh pen didi kan keseh at a n den ga n pendekatan modelling terhadap pengetahuan, kemampuan praktek dan percaya diri ibu dalam menstimulasi tumbuh kembang bayi 0-6 bulan di ka bupa ten ma r os. tesis. un i ver si t a s hasanudin makasar. thulier, d., mercer, j. 2009. variables associated with breastfeeding duration. journal of obstetric, gynecologic and neonatal nursing 38, 259-268. doi: 10.1111/j.1552-6909.2009.01021.x wardani, m.a. 2012. gambaran tingkat self-efficacy untuk menyusui pada ibu primigravida. skripsi. depok: fakultas ilmu keperawatan. [tidak diterbitkan]. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 213suryani, gambaran self stgma ... 213 gambaran self stigma penderita hiv/aids di poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi (self picture stigma of people with hiv aids in polyclinic cendana ngudi waluyo wlingi hospital) endah tri suryani poltekkes kemenkes malang prodi keperawatan blitar email: endahtrisuryani77@gmail.com abstract: the spread of hiv and aids in indonesia over the last five years is quite high. united nations aids (unaids) even dub indonesia as an asia’s country with most spread of hiv/aids. however the fear of stigma and discrimination against plwha (people living with hiv/aids) remains a major obstacle. the purpose of this research was to describe self stigma of hiv/aids in poly cendana ngudi waluyo hospital wlingi based questionnaire ismi (internalized stigma of mental illness) that included a portrait of alienation, acceptance of stereotypes, experience of discrimination, social withdrawal, and rejection of stigma. the samples were 27 people with hiv/aids. the results showed that generally self stigma of hiv/aids were low 44.4% (12 patients). this result, indicated that the motivation of people living with hiv/aids as well as their moral support was instrumental in lowering self-stigma. recommendations from this study were expected for health care to prevent and overcome self stigma of hiv/aids. keywords: self stigma, people with hiv/aids abstrak: penyebaran hiv dan aids di indonesia selama lima tahun terakhir cukup tinggi. pbb aids (unaids) dan bahkan menjuluki indonesia sebagai negara asia dengan sebagian besar penyebaran hiv/ aids. tapi takut stigma dan diskriminasi terhadap odha (orang yang hidup dengan hiv/aids) tetap menjadi hambatan utama. tujuan dari penelitian ini menggambarkan diri stigma hiv/aids di poli cendana ngudi waluyo rumah sakit wlingi kuesioner berdasarkan ismi (stigma penyakit mental) yang mencakup potret keterasingan, penerimaan stereotip, pengalaman diskriminasi, penarikan sosial, dan penolakan stigma. sampel adalah 27 orang dengan hiv/aids. hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum diri stigma hiv/aids adalah stigma diri rendah yang, 44,4% (12 pasien). hasil ini, menunjukkan bahwa motivasi orang yang hidup dengan hiv/aids serta dukungan moral mereka berperan penting dalam menurunkan diri stigma. rekomendasi dari penelitian ini adalah pelayanan kesehatan yang diharapkan untuk mencegah dan mengatasi diri stigma hiv/aids. kata kunci: stigma diri, orang yang hidup dengan hiv/aids penyebaran hiv dan aids di indonesia selama lima tahun terakhir cukup tinggi. united nation aids (unaids) bahkan menjuluki indonesia sebagai negara di asia dengan tingkat penyebaran hiv/aids paling cepat. kementerian kesehatan tahun 2012 mengeluarkan data penderita hiv/aids di indonesia mencapai 31.685 orang dengan pembagian 92.251 pengidap hiv dan 39.434 pengidap aids (lampost, 2013). jawa timur merupakan provinsi penyumbang terbanyak kasus aids ketiga setelah dki jakarta dan papua. sampai bulan desember tahun 2012, kasus aids di jawa timur sebanyak 6900 kasus, sedangkan hiv mencapai 15.681 kasus (dinas kesehatan jawa timur, 2013). menurut data dinas kesehatan kabupaten blitar, di kabupaten blitar tahun 2012 hingga 2014 tercatat 337 odha baru. sedangkan, banyaknya odha yang terdaftar di poli acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p213-217 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 214 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 213–217 cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi sejak tahun 2009 hingga 2014 sebanyak 568 orang. menurut unicef, tahun 2012 di indonesia dalam waktu tiap 25 menit, terdapat satu orang baru terinfeksi hiv. oleh karena itu, diperlukam penanganan sesegera mungkin terhadap penyakit ini. namun ketakutan stigma, dan diskriminasi terhadap odha (orang yang hidup dengan hiv/ aids) masih menjadi hambatan utama. keluarga dan anak-anak yang hidup dengan hiv/aids rentan terhadap stigma dan diskriminasi, yang dapat dilihat dari berkurangnya akses ke layanan, kehilangan martabat dan meningkatnya kemiskinan dan deprivasi. menurut data riset kesehatan dasar tahun 2010 di jawa timur menunjukkan sikap mengucilkan pada odha sebanyak 7,5% dan 20,9% merahasiaka n tenta ng keber a da a n odha. keta kuta n menimbulkan resistansi terhadap tes hiv, rasa malu untuk memulai pengobatan, dan dalam beberapa hal, keengganan untuk menerima pendidikan tentang hiv. semua ini mempersulit pengendalian epidemik (unicef, 2012). stigma-stigma negatif tentang hiv tersebut disebabkan karena penyakit ini identik dengan perilaku-perilaku tidak bermoral, seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan seks sesama jenis (homoseksual), sehingga orang dengan hiv/aids dianggap pantas untuk mendapat hukuman akibat perbuatannya tersebut (flaskerud, 1998, herek, 1999 dalam sarafino, 2006). selain itu, stigma juga muncul karena pemahaman masyarakat yang kurang terhadap penyakit ini. hiv /aids dianggap sebagai penyakit yang mematikan yang mudah sekali menular melalui kontak sosial biasa seperti halnya bersalaman dan lain sebagainya (sarafino, 2006). hal ini mengakibatkan pasien hiv/aids dikucilkan dan mendapat perilaku diskriminatif dari masyarakat. self stigma merupakan internalisasi dari diskriminasi publik yang mengakibatkan sterotip negatif, yang berakibat pada harga diri rendah (corrigan & watson, 2002). bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. populasi penelitian ini adalah klien dewasa yang sudah terdiagnosa hiv/aids, dan terdaftar dalam buku register di poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi dengan jumlah 27 penderita.sampel dalam penelitian ini sebanyak 27 penderita hiv/aids dengan teknik pengambilan sampel accidental sample. hasil penelitian pelaksanaan penelitian di poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi pengambilan data dilaksanakan pada hari kerja tanggal 9-19 maret 2015. pukul 08.00-13.30 wib kecuali hari jum’at pukul 08.00-12.00 wib. tabel 1. self stigma penderita hiv/aids di poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi self stig ma f % rendah 12 44,4 ringan 10 37,0 sed ang 3 11,1 berat 2 7 ,4 total 27 100 berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa hampir separo penderita hiv/aids mengalami self stigma rendah 44.4% (12 penderita), dan 7.4% (2 penderita) menunjukkan self stigma berat. berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa hampir separo usia 18-39 tahun memiliki self stigma rendah sebanyak 40.7% (11 penderita). berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa kurang dari separo penderita hiv/aids bekerja sebagai sopir truk dan tukang ojek memiliki self stigma rendah sebesar 25.9% (7 penderita). berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa kurang dari separo pendidikan terakhir penderita hiv/ aids dengan lulusan smu memilki self stigma rendah dengan jumlah 37.0 % (10 penderita). tabel 2. tabulasi silang self stigma penderita hiv/aids berdasarkan usia di poli usia (tahun) self stig ma rendah self stigma ringan self stigma sedang self stigm a berat total ? % ? % ? % ? % ? % 18-28 3 11,1 3 11,1 0 0 0 0 6 22,2 29-39 8 29,6 6 22,2 2 7,4 0 0 16 59,3 40-50 1 3,7 1 3,7 1 3,7 1 3,7 4 14,8 51-65 0 0 0 0 0 0 1 3,7 1 3,7 total 27 100      215suryani, gambaran self stgma ... berdasarkan tabel tabulasi silang 5 diketahui bahwa kurang dari separo penderita hiv/aids memiliki self stigma rendah sebanyak 25.9% (7 penderita) dengan jenis kelamin laki-laki. (22 responden). pembahasan self stigma penderita hiv/aids berdasar kontrol ke pelayanan kesehatan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan perbedaan dengan beberapa teori ditunjukkan dengan, 27 penderita (100%), 24 penderita (89 %) melakukan pengontrolan rutin ke poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wligi. namun terdapat salah satu penderita mengatakan ia memiliki pekerjaan di luar kota sehingga mengharuskan mereka untuk mengambil obat 2 bulan sekali, namun dalam kunjungan pemberian resep habis dalam dua bulan. selain itu, 26 penderita (96%) rutin dalam pengkonsumsian arv, dan hanya beberapa yang tidak mengkonsumsi arv dengan rutin. menurut hasil tersebut dapat dilihat perbedaan dengan teori bahwa dengan adanya stigma penderita hiv/aids melakukan, penolakan melakukan tes, tindakan pencegahan, dan konseling mengenai hiv. tidak menerima denga n status hiv ya ng dimiliki, menunda pengobatan, perawatan dan dukungan terhadap penyakit hiv (schmader & lickel, dalam stigma and group inequality social psychological perspectives). menurut peneliti, penderita hiv/ aids yang memiliki kunjungan ke poli cendana memiliki kesadaran yang tinggi mengenai penyakit mereka sehingga menggerakkan mereka untuk melakukan pemeriksaan rutin, dan teratur dalam pengkonsumsian pengobatan. self stigma penderita hiv/aids bersadarkan umur, dan jenis kelamin menurut hasil penelitian maret 2015, hampir separo 40.7% (11 penderita) berusia 18-39 tahun memiliki self stigma rendah. penderita hiv/aids laki-laki yang memilki self stigma rendah sebanyak 25.9% (7 penderita). berbeda dengan penelitian, hassan, et al. (2012) mengatakan laki-laki memiliki pengalaman internalisasi stigma yang tinggi. menurut peneliti, tingginya self stigma rendah pada lakilaki dikarenakan laki-laki memiliki penerimaan yang lebih baik daripada perempuan, sebagian besar responden perempuan di poli cendana takut akan menularkan hiv pada pasangannya. tabel 4. self stigma penderita hiv/aids berdasarkan pendidikan di poli cendana tabel 3. self stigma penderita hiv/aids berdasarkan pekerjaan di poli cendana pekerjaan self stigma rendah self stigma ringan self stigma sedang self stigm a berat total ? % ? % ? % ? % ? % irt 4 14,8 3 11,1 1 3,7 0 0 8 29.6 wiraswasta 1 3,7 2 7,4 1 3,7 0 0 4 14,8 lain-lain 7 25,9 5 18,5 1 3,7 2 7,4 15 55,6 total 27 100      pendidikan self stigma rendah self stig ma ringan self stigma sedang self st igm a berat total ? % ? % ? % ? % ? % sd 2 7,4 2 7,4 1 3,7 0 0 5 18,5 smp 0 0 6 22,2 1 3,7 2 7,4 9 33,3 smu 10 37,0 2 7,4 1 3,7 0 0 13 48,1 total 27 100      tabel 5. self stigma penderita hiv/aids berdasarkan jenis kelamin di poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi pendidikan self stigma rendah self stig ma ringan self stigma sedang self stigm a berat total ? % ? % ? % ? % ? % perempuan 5 18,5 4 14,8 1 3,7 0 0 10 37,0 laki-laki 7 25,9 6 22,2 2 7,4 2 7,4 17 63,0 total 27 100      216 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 213–217 self stigma penderita hiv/aids berdasarkan pendidikan terakhir, dan pekerjaan pada penelitian ini pendidikan terakhir smu memiliki self stigma rendah sebanyak 37.0% (10 penderita). menurut peneliti, dengan pendidikan smu penderita hiv/aids memiliki inisiatif yang baik untuk memeriksakan diri, kontrol rutin, menggunakan pengaman saat berhubungan dengan pasangan, serta melakukan pencegahan agar orang disekitarnya tidak tertular. pekerjaan yang digeluti penderita hiv/aids yang memiliki self stigma rendah adalah sopir, dan petani, sebanyak 25.9% (7 penderita) yang penghasilan perbulan < rp. 1.500.000,00 perbulan. dengan penelitian ini membuktikkan keberhasilan sesuai dengan teori dalam mengurangi penyebab dari self stigma pada orang yang didiagnosis menderita gangguan bipolar atau depresi yaitu, pemberdayaan diri, perilaku terdiskriminasi, kontak dengan masyarakat, pekerjaan dan pendidikan (shittu, 2014 etc. dala m correlates and consequences of internalized stigma of mental illness among people living with hiv/aids in nigeria, west africa). menurut peneliti penderita hiv/aids di poli cendana sudah mampu mengurangi penyebab self stigma dengan pendidikan yang cukup tinggi dan pekerjaan penderita hiv/aids dengan hasil mencukupi kebutuhannya dapat mengurangi self stigma penderita hiv/aids. simpulan dan saran simpulan penderita hiv/aids di poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi hampir separo memiliki self stigma rendah dengan angka 44.4% (12 penderita). faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya self stigma adalah motivasi dari penderita hiv/ aids dibuktikan dengan 89% (24 penderita) melakukan kunjungan rutin tiap 1 bulan sekali, pengkonsumsian arv dilakukan rutin oleh penderita hiv/ aids sebanyak 96% (26 penderita), dukungan yang diberikaan kepada penderita hiv/aids secara moral baik dengan adanya dukungan sebaya, dukungan keluarga, konseling sangat efektif dalam penurunan self stigma. adanya pemberian arv secara gratis juga menjadi faktor ekstrinsik atau tambahan dari motivasi penderita hiv/aids agar melakukan pengobatan rutin. peneliti juga menemukan hasil 7.4% penderita hiv/aids memiliki self stigma berat hal ini juga ditunjang oleh beberapa faktor yaitu, motivasi untuk sembuh yang kurang dari penderita hiv/aids ditunjukkan dengan tidak rutin dalam pengkonsumsian obat sebanyak 4% dari penderita hiv/aids, tidak rutin melakukan kunjungan 11% dari penderita hiv/aids. sedangakan hasil dari self stigma rendah yang dimiliki oleh penderita hiv/aids yang melakukan kunjungan ke poli cendana sebanyak 11.1% dari penderita hiv/aids, self stigma ringan sebanyak 37.0% dari penderita hiv/aids. saran berikut ini saran-saran yang diberikan oleh peneliti bagi instasi pelayanan kesehatan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya poli cendana mampu memberikan konseling, serta dukungan kepada penderita hiv/aids yang mengalami self stigma. lalu bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan self stigma penderita hiv/aids di poli cendana rumah sakit ngudi waluyo wlingi dan bagi peneliti lain untuk meneliti tentang efek dari penyakit penyerta penderita hiv/aids dengan self stigma yang dimiliki oleh penderita. daftar rujukan lampost. co. 28 februari, 2013. penyebaran aids di indonesia tercepat di asia. menteri kesehatan repulik indonesia: keputusan menteri kesehatan repulik indonesia nomor 1507/menkes/sk/x/2005 tentang pedoman pelayanan konseling dan testing hiv/aids secara sukarela (voluntary counselling testing) pada tanggal 18 oktober 2005. menteri kesehatan republik indonesia:peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 21 tahun 2013 tentang penanggulangan hiv dan aids. 21 maret 2013. jakarta. profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2012. 2012. surabaya: dinas kesehatan provinsi jawa timur. ringkasan kajian respon terhadap hiv & aids. 2012. jakarta: unicef indonesia. ritscher, et al. 2003. internalized stigma of mental illness: psychometric properties of new measure. psychiatry research rusch, n., corrigan, p.w., et al. 2010. implicit self stigma in people with mental illness. the jornal of nervous and mental illness. sarafino, e.p. 2006. health psychology biopsychosocial interactions fifth edition. united states of america: r.r. donnelley-crawfordsville. 217suryani, gambaran self stgma ... shittu, r.o., et al. 2014. correlates and consequences of internalized stigma of mental illness among people living with hiv/aids in nigeria, west africa. nigeria: academic journals. stevelink, s.a.m., et al. 2012. the psychometric assesment of internalized stigma instrument: a systematic review. taylor, & francis. 2006. stigma and group inequality: social psychological perspective, levin, s., & laar, c.v.(eds). mahwah, new jersey: lawrence erlbaurn associates inc., publishers. unaids. 2007. reducing hiv stigma and discrimination: a critical part of national aids programmes a resource for national stakeholders in the hiv response. *) bidan praktisi, **) stikes patria husada blitar 62 pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi (the effect of health education to baby massage skill ) ajeng mahardika wati *) , nevy norma renityas **) stikes patria husada blitar e-mail: nevy_syai@yahoo.com abstract introduction:massage baby was done to smooth the surface of the skin performed by the hand which aims to produce effects of neurons, the muscles, respiratory systems and circulating blood and limpha.the aim of this research is to find out about babies health is the educational practices massage ain on an infant by the baby. method: research design was pretest-postest without control group designs. research sample was 20 mother who have babies age 0-12 months in the bps kirana, jatinom village, it choosed with purposive sampling. analysis using wilcoxon, with significant level ≤0.05 result: the results showed that health education of baby massage influence baby massage skill, with wilcoxon signed rank test obtained p-value 0,000. discuss: with education about the expected health massage parents babies have knowledge and skills of massage infants it can massaging her baby independently and right. keywords: health education, baby massage practice pendahuluan angka kematian bayi di indonesia paling tinggi di asia tenggara, yang mencapai 32/1.000 kelahiran hidup. tingginya angka kematian anak lebih disebabkan oleh kurangnya stimulus dan nutrisi, bukan karena keberadaan ekonomi kurang ( ronald, 2011 : 208 ). maka dari itu johnson & johnson telah secara aktif memperkenalkan program pijat bayi kepada profesional sejak tahun 1977. johnson & johnson telah bekerjasama dengan profesional kesehatan untuk mentransfer konsep dan pengetahuan tentang pijat bayi kepada masyarakat ( roesli, 2001 : 7 ). pijat bayi adalah pemijatan yang dilakukan dengan usapan-usapan halus pada permukaan kulit bayi, dilakukan dengan menggunakan tangan yang bertujuan untuk menghasilkan efek terhadap syaraf, otot, sistem pernafasan serta sirkulasi darah dan limpha (subakti dan rizky, 2008 : 3 ). kemampuan dan tumbuh kembang anak perlu dirangsang oleh orang tua agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan sesuai umurnya. stimulasi adalah perangsangan yang datang dari lingkungan anak. anak yang mendapat stimulasi yang terarah akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi ( ronald, 2011 : 193 ). studi tentang bayi telah menunjukkan bahwa sentuhan, gerakan dan juga suara akan merangsang jalan syaraf, selain itu juga akan mempercepat pertumbuhan jaringan syaraf. penambahan berat badan akan semakin cepat dan aktifitas sel akan ditingkatkan bersamaan dengan meningkatnya fungsi endokrin ( turner, 2011 : 6 ). sentuhan dan pijat pada bayi setelah kelahiran dapat memberikan jaminan adanya kontak tubuh berkelanjutan yang dapat mempertahankan perasaan aman pada bayi. laporan tertua tentang seni pijat untuk pengobatan tercatat di papyrus ebers, yaitu catatan kedokteran zaman mesir kuno. ayur-veda buku kedokteran tertua di india (sekitar 1800 sm ) yang menuliskan tentang pijat, diet, dan olah jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p052-056 mailto:nevy_syai@yahoo.com it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ ajeng mahardika wati, nevy norma renityas jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 63 raga sebagai cara penyembuhan utamamasa itu. sekitar 5000 tahun yang lalu para dokter di cina dari dinasti tang juga meyakini bahwa pijat adalah salah satu dari 4 teknik pengobatan penting ( roesli, 2009 : 2 ). pemijatan tidak hanya bermanfaat untuk bayi tetapi juga untuk pemberi pijatan, ini adalah alat yang akan membebaskan diri dari stres dan merupakan alat untuk membangun ikatan antar orangtua dan juga ikatan antara orangtua dengan bayi. manfaat lain dari pemijatan pada bayi adalah meningkatnya keyakinan pemberi pijatan dalam mengurus bayi itu (turner, 2011 : 10). ilmu kesehatan modern telah membuktikan secara ilmiah bahwa terapi sentuhan dan pijat pada bayi mempunyai banyak manfaat terutama bila dilakukan sendiri oleh orangtua bayi. penelitian tentang pengaruh pijat bayi terhadap kenaikan berat badan bayi memperoleh hasil bahwa pada kelompok kontrol kenaikan berat badan sebesar 6,16% sedangkan pada kelompok yang dipijat 9,44% ( putri, 2009 : 6 ). setelah melakukan studi pendahuluan pada tanggal 6 juni 2012, di wilayah kanigoro terdapat dua bps yang membuka praktik pijat bayi. sedangkan bps yang paling sering didatangi oleh ibu bayi adalah bps kirana desa jatinom. di bps kirana desa jatinom terdapat 10 ibu yang sedang memijatkan bayinya. dari 10 ibu tersebut masih banyak ibu bayi yang belum mengetahui manfaat lebih jauh dari pijat bayi dan belum memahami bagaimana memijat bayi yang benar sehingga tidak bisa melakukan pemijatan secara mandiri. alasan ibu memijatkan bayinya karena bayi sedang sakit batuk, rewel dan terjatuh. maka, dari latar belakang tersebut penulis ingin meneliti tentang pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat. bayi oleh ibu bayi di bps kirana desa jatinom. berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi oleh ibu bayi di bps kirana desa jatinom. tujuan umumnya adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi oleh ibu bayi. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi kemampuan ibu dalam memijat bayi sebelum diberikan pendidikan kesehatan, (2) mengidentifikasi kemampuan ibu dalam memijat bayi setelah diberikan pendidikan kesehatan, (3) menganalisa pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi oleh ibu bayi. manfaat penelitian bagi institusi diharapkan dapat menambah wacana kepustakaan dan informasi ilmiah tentang pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi oleh ibu bayi. manfaat bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan gambaran dan keterampilan tentang manfaat dari pijat bayi serta cara memijat bayi yang benar sehingga dapat memotivasi orangtua untuk meningkatkan kesehatan bayinya. bahan dan metode desain penelitian dengan pretestpostest without control group design. subyek penelitian ini sebanyak 20 orang ibu yang memiliki bayi usia 0-12 bulan. subyek penelitian ini dipilih dengan purposive sampling. variabel independen yang digunakan adalah pendidikan kesehatan tentang pijat bayi dan variabel dependen yang digunakan adalah praktik pijat bayi oleh ibu bayi. hasil penelitian karakteristik responden di bps kirana jatinom tabel 1 karakteristik responden no karakteristik subjek f % 1 umur ibu ≤20 tahun 2 30 tabel 1 karakteristik responden  21-29 tahun  30-39 tahun  ≥ 40 tahun 9 8 1 40 30 10 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0 – 3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua 64 tabel 1 karakteristik responden 2. pendidikan terakhir ibu  sd  smp  sma  pt/akademi 1 3 12 4 5 15 60 20 3 pekerjaan ibu  irt  pns  swasta 11 1 4 4 55 5 20 20 tabel 1 karakteristik responden  lainnya 4 informasi tentang pijat bayi  tidak pernah  petugas kesehatan  teman/keluarga 10 5 5 50 25 25 tabel 2 karakteristik praktik pijat bayi oleh sampel sebelum dan sesudah penyuluhan nilai pre-test praktik pijat bayi oleh ibu bayi % post-test praktik pijat bayi oleh ibu bayi % f f baik cukup buruk 0 0 20 0 0 100% 7 10 3 35% 50% 15% total 20 100% 20 100% tabel 3. hasil uji statistik pengaruh penyuluhan pijat bayi terhadap praktik pijat bayi uji statistik test statistik z 3,793 signifikansi t-test p=0.000 pembahasan kemampuan ibu dalam memijat bayi sebelum pendidikan kesehatan tentang pijat bayi berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil pretest praktik pijat bayi sebagian besar responden tidak ada sama sekali yang memiliki kemampuan baik. terdapat 20 (100%) responden yang memiliki nilai buruk. pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. tidak dapat dipungkiri semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah pula mereka menerima informasi. pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka akan menghambat sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi, dan nilainilai yang baru diperkenalkan (mubarak, 2009 : 257 ) hal ini berdasarkan pendidikan terakhir ibu bayi yang sebagian besar adalah berpendidikan terakhir sma, yaitu 60% ibu bayi. meskipun pendidikan terakhir ibu sebagian besar sma, tetapi pendidikan kesehatan tentang pijat bayi tidak diberikan pada saat sma. adanya faktor pendukung mencakup ketersediaan sumber-sumber dan fasilitas yang memadai misalkan fasilitas fisik yaitu puskesmas, fasilitas umum yaitu tv, radio, majalah. fasilitas-fasilitas tersebut sangat mendukung untuk merealisasikan tentang pijat bayi kepada masyarakat ( mubarak, 2009 : 255 ) hal ini berdasarkan informasi tentang pijat bayi yang diperoleh ibu masih kurang. terdapat 50% ibu bayi yang tidak pernah mendapatkan informasi tentang adanya pijat bayi. hanya 25% ibu bayi yang mendapatkan informasi pijat bayi dari tenaga kesehatan. hal ini disebabkan karena kurangnya kemauan ibu untuk mencari informasi tentang pijat bayi, serta ajeng mahardika wati, nevy norma renityas jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 65 kurangnya kepedulian ibu terhadap pertumbuhan bayinya. faktor penguat meliputi perilaku petugas kesehatan dan tokoh masyarakat. semua petugas kesehatan dilihat dari jenis dan tingkatnya pada dasarnya adalah pendidik kesehatan. jadi petugas kesehatan dan tokoh masyarakat harus memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan dengan memberi contoh kepada masyarakat.( mubarak, 2009 : 256 ). hal ini berdasarkan data yang menunjukkan bahwa seluruhnya 100% tokoh masyarakat peduli adanya praktik pijat bayi. tokoh masyarakat yang peduli dengan adanya praktik pijat bayi, tetapi tidak didukung adanya partisipasi ibu untuk memijatkan bayinya di petugas kesehatan. sehingga dapat menyebabkan ibu bayi tidak bisa memijat bayinya secara mandiri. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketidak mampuan ibu bayi dalam praktik pijat bayi sebelum pendidikan kesehatan dikarenakan faktor pendukung, yaitu sebagian besar ibu bayi tidak pernah mendapatkan informasi tentang pijat bayi dikarenakan ketidak mauan ibu bayi dalam mencari informasi, serta tidak diajarkannya pendidikan kesehatan tentang pijat bayi di sma. hal ini diperkuat dengan kurangnya minat ibu bayi terhadap pijat bayi di instansi kesehatan. kemampuan ibu memijat bayi setelah pendidikan kesehatan tentang pijat bayi berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai praktik pada tiap ibu bayi yaitu 50% dengan nilai cukup dan 35% dengan nilai baik. sedangkan hanya sebagian kecil ibu bayi yang memiliki nilai buruk, yaitu 15% ibu bayi. sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek dengan sesuatu cara yang menyatakan adanya tanda – tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut ( mubarak, 2009 : 255 ). hal ini berdasarkan data bahwa sikap ibu bayi dalam pemberian pendidikan kesehatan pijat bayi hampir seluruhnya menerima dengan positif yaitu 95%. sikap positif ibu terhadap praktik pijat bayi menyebabkan materi yang diberikan saat pendidikan kesehatan dapat diterima dengan baik oleh ibu bayi. sikap mempunyai komponen yaitu kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap suatu objek. komponen tersebut secara bersama – sama membentuk sikap yang utuh ( mubarak, 2009 : 258 ). hal ini berdasarkan data keyakinan ibu bayi untuk dapat mempraktikan pijat bayi yaitu 50%. ibu bayi sangat yakin untuk dapat mempraktikan pijat bayi sehingga kemauan untuk mempelajari cara memijat bayi sangat besar. kebudayaan lingkungan sekitar atau sosial budaya dimana manusia hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan, maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk menjaga lingkungan. hal ini berdasarkan data sosial budaya disekitar ibu bayi sebagian besar 85% adalah cukup modern. sosial budaya yang cukup modern berpengaruh dalam mengubah sikap dan gaya hidup ibu bayi dalam merawat bayinya. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kenaikan kemampuan praktik pijat bayi oleh ibu bayi disebabkan oleh persepsi ibu bayi yang menunjukkan keyakinan dapat mempraktikan pijat bayi secara mandiri, serta sikap positif ibu dalam menerima praktik pijat bayi. pendidikan kesehatan tentang pijat bayi merupakan aspek penting dalam meningkatkan ketrampilan masyarakat karena dengan melakukan pijat bayi secara rutin akan mendapatkan manfaat yang cukup besar terutama dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0 – 3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua 66 pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil postest lebih baik daripada hasil pretest. sebagian besar ibu bayi mendapatkan nilai cukup yaitu 50% ibu bayi. ibu bayi yang memiliki nilai baik ada 35%. sedangkan sebagian kecil ibu bayi memiliki nilai buruk, yaitu 15% ibu bayi. pendidikan kesehatan adalah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. artinya pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal – hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain (notoadmodjo, 2003 ). hal ini berdasarkan data dari hasil posttest yang meningkat setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang pijat bayi setelah pretest. nilai praktik pijat bayi yang semula seluruhnya buruk 100% naik setengahnya menjadi cukup yaitu 50% dan hampir setengahnya menjadi baik yaitu 35%. setelah seseorang mengalami stimulus atau obyek kesehatan, kemudian orang tersebut mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui dan disikapinya. sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus. setelah mengetahui stimulus tersebut bagaimana ketertarikan dalam stimulasi atau objek yang diberikan. kemudian dilanjutkan dengan menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya ( mubarak, 2005 : 144 ). hasil penelitian menunjukkan masih adanya sebagian kecil ibu bayi yang memiliki nilai buruk yaitu 15%. hal ini menunjukkan bahwa pemberian stimulus masih ditimbang – timbang oleh ibu bayi terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan. disebut media pendidikan kesehatan karena alat – alat tersebut merupakan saluran untuk menyampaikan informasi kesehatan dank arena alat – alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan – pesan kesehatan bagi masyarakat atau klien (notoadmodjo, 2003 : 71 ). hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p-value sebesar 0.000 dan nilai α < 0.005. sehingga pada penelitian dapat disimpulkan ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi oleh ibu bayi. hal ini di dukung oleh metode yang dipakai dalam memberikan pendidikan kesehatan ini menggunakan metode ceramah dan mendemonstrasikan atau mempraktikkan secara langsung langkah memijat bayi yang baik dan benar. materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan responden dan dalam penyampaian pendidikan kesehatan menggunakan alat bantu berupa leaflet dan audio visual berupa rekaman video dalam bentuk compact disc tentang cara memijat bayi yang baik dan benar. simpulan dan saran simpulan kemampuan ibu dalam memijat bayi sebelum dilakukan pendidikan kesehatan seluruhnya memiliki nilai buruk (100%). terdapat peningkatan kemampuan ibu dalam memijat bayi setelah diberikan pendidikan kesehatan setengah dari ibu bayi memiliki nilai cukup (50%), dengan nilai signifikasi nilai p = 0.000 dan lebih kecil dari nilai α (0.005).berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang pijat bayi terhadap praktik pijat bayi oleh ibu bayi. saran untuk institusi kesehatan terkait dapat memberikan ilmu baru tentang cara memijat bayi dengan cara menambah wacana pendidikan kesehatan tentang pijat bayi. masyarakat, khususnya orang tua bayi diharapkan lebih meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tentang pijat ajeng mahardika wati, nevy norma renityas jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 67 bayi sehingga dapat memijat bayinya secara mandiri dan benar. referensi mubarak, wi 2006, ilmu keperawatan komunitas 2, sagung seto, jakarta . mubarak, wi 2009, ilmu keperawatan komunitas, salemba medika, jakarta. notoatmodjo, s 2003, pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta. notoatmodjo, s 2010, metodologi penelitian, rineka cipta, jakarta. putri, a 2009, pijat dan senam untuk bayi & balita, deniua publisher, yogyakarta. roesli. u 2009, pedoman pijat bayi, trubus agriwidya, jakarta. ronald, hs 2011, pedoman & perawatan balita agar tumbuh sehat dan cerdas, nuansa aulia, bandung. turner, r 2010, pedoman praktis pemijatan bayi, kharisma, tangerang. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 304 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 304–309 304 gambaran tumbuh kembang anak bawah dua tahun (baduta) yang memiliki ibu bekerja atau tidak bekerja di kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar (the description of growth and development under two years children who have a working mother or not working) qurrotu ‘ainii program studi d-3 keperawatan blitar politeknik kesehatan kementrian kesehatan malang email: qurrotu@gmail.com abstract: in a child’s life there are two processes that continue operating in growth and development, this process takes place interdependency which depend on each other.experts say infant is a golden period, especially the age of 0-2 years old to reach 80% of the brain development. lack affection of mother-first year of life have a negative impact on the upbringing of children. the purpose of this study was to determine the picture of the development-growing children under 2 years old who have working mothers or not working at the village bendogerit sananwetan district of blitar. method :this study was a descriptive study. the samples were taken with quota sampling technique using pre-screening questionnaire instrument development and anthropometric assessment. result : from the research, the growth of children under 2 years old with the mother does not work 100% had appropriate growth and growth of children under 2 years old 93.75% of working mothers have the appropriate growth. while the development of the child under 2 years old with the mother does not work 93.75% had appropriate growth and development of children under 2 years old 87.5% of working mothers have the appropriate development. discussion: thus, the conclusion drawn growing up baduta in village bendogerit , sananwetan district of blitar with the mother did not work better than the development of the child baduta with working mothers. in accordance with the conclusions that had been raised, researchers gave suggestions to further research to better focus on the factors that affect growth and development in the mother works, as well as advice for the child’s mother always bring kms and always filled by officers. keywords: growth, development, children under two years old, mother, working, not working abstrak: dalam kehidupan seorang anak ada dua proses yang terus beroperasi dalam pertumbuhan dan perkembangan, proses ini berlangsung interdepedentcy yang bergantung satu sama lain, para ahli mengatakan bayi merupakan masa emas, terutama usia 0-2 tahun untuk mencapai 80% dari otak pengembangan. kurangnya kasih sayang tahun ibu-pertama kehidupan memiliki dampak negatif pada pendidikan anakanak. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perkembangan anak yang tumbuh di bawah 2 tahun yang ibunya bekerja atau tidak bekerja di sananwetan desa bendogerit blitar. metode: penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. sampel diambil dengan teknik quota sampling menggunakan pre-screening pengembangan instrumen kuesioner dan penilaian antropometri. hasil: dari penelitian, pertumbuhan anak di bawah 2 tahun dengan ibu tidak bekerja 100% memiliki pertumbuhan yang tepat dan pertumbuhan anak di bawah 2 tahun 93,75% dari ibu yang bekerja memiliki pertumbuhan yang sesuai. sementara perkembangan anak berusia di bawah dengan ibu 2 tahun tidak bekerja 93,75% memiliki pertumbuhan yang tepat dan perkembangan anak di bawah 2 tahun 87,5% dari ibu yang bekerja memiliki pembangunan yang tepat. diskusi: dengan demikian, kesimpulan yang ditarik tumbuh baduta di desa acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p304-309 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 305ainii, gambaran tumbuh kembang ... bendogerit, sananwetan kabupaten blitar dengan ibu tidak bekerja lebih baik daripada perkembangan baduta anak dengan ibu yang bekerja. sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan, peneliti memberikan saran untuk penelitian lebih lanjut untuk lebih fokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada ibu bekerja, serta saran bagi ibu anak selalu membawa kms dan selalu diisi oleh petugas. kata kunci: pertumbuhan, perkembangan, anak di bawah dua tahun, ibu, bekerja, tidak bekerja dalam kehidupan anak ada dua proses yang beroperasi secara continue yakni pertumbuhan dan perkembangan, kedua proses ini berlangsung secara interdepedensi yakni saling bergantung satu sama lainnya. pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitaif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis sedangkan perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosial psikologi manusia pada posisi yang harmonis didalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks (hidayat, 2005). istilah tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. sedangkan pengertian dari pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran, atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (sentimeter, meter) umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi natrium dan nitrogen tubuh). perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat di deferensisasikan dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (soetjiningsih, 1995). masa di bawah usia lima tahun (balita) merupakan periode paling kritis dalam menentukan kualitas sumber daya manusia, pada lima tahun pertama proses tumbuh kembang berjalan dengan cepat, para ahli mengatakan bahwa masa balita tersebut sebagai masa emas (“golden age period”) khususnya pada usia 0-2 tahun perkembangan otak mencapai 80%, apabila pada masa tersebut anak balita tidak dibina secara baik, maka anak tersebut akan mengalami gangguan perkembangan baik emosi, sosial, mental, intelektual dan moral yang akan sangat menentukan sikap serta nilai pola perilaku seseorang dikemudian hari (wahyuni, 2013). dalam tumbuh kembang anak tidak sedikit peranan ibu dalam ekologi anak yaitu peran ibu sebagai “para genetik faktor” yaitu pengaruh biologisnya terhadap pertumbuhan janin dan pengaruh psikobiologinya terhadap pertumbuhan post natal dan perkembangan kepribadian (soetjiningsih, 1995). semakin meningkat jumlah ibu bekerja (terutama di kota besar), semakin kompleks pula dinamika kehidupan seperti tuntutan finansial dan biaya pendidikan anak. para ibu menjadi pekerja keras untuk dapat membantu memenuhi kebutuha n hidup keluarganya. padahal, menurut teori kebutuhan dasar anak titi dalam soetjiningsih 1995 secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar yaitu asuh, asih, dan asah, dalam teori asih yaitu kebutuhan emosi atau kasih sayang pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. berperannya dan kehadiran ibu sedini dan selanggeng mungkin akan menjalin rasa aman bagi bayinya. ini di wujudkan dengan kontak fisik (kulit, mata) dan psikis sedini mungkin, misalnya dengan menyusu bayi secepat mungkin segera setelah lahir. kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-pertama kehidupan mempunyai dampak negatif pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi, yang disebut “sindrom deprivasi mental” berdasarkan penelitian dari “the institute of science and technology journal’s” menunjukkan bahwa perempuan indonesia telah bekerja saat berusia 22 tahun (belum menikah). hanya sebagian kecil dari mereka yang berhenti bekerja setelah menikah dan memiliki anak. selain itu, di indonesia terdapat lebih dari 40% perempuan menjalankan fungsi ganda, yaitu membesarkan anak sambil bekerja. institute for social and economic research dari essex university juga mengadakan penelitian. ibu yang kembali bekerja pada tiga tahun pertama pertumbuhan anak berdampak pada pertumbuhan anak yang lamban bahkan, studi yang digelar unicef pada 2008 merekomendasikan, sebaiknya ibu tetap 306 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 304–309 berada di rumah pasca melahirkan, hingga satu tahun. hal ini menunjukkan bahwa aktifitas ibu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak (wardah, 2010). hasil wawancara pada 6 orang ibu bekerja dan 6 orang ibu yang tidak bekerja didapatkan pada penilaian perkembangan menggunakan denver salah satu ibu yang bekerja mempunyai anak 7 bulan yang seharusnya sudah dapat menopang dada saat tengkurap ternyata belum dapat melakukan sedangkan anak yang berumur 8 bulan dengan ibu yang bekerja berat badan anak tersebut berada di bawah garis merah pada grafik berat badan kms. berdasarkan data dan kondisi yang dikemukakan diatas yaitu gambaran keterlambatan tumbuh kembang anak pada ibu bekerja dan tidak bekerja, maka peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran tumbuh kembang anak baduta yang memiliki ibu bekerja atau tidak bekerja di kelurahan bendogerit kota blitar. tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tumbuh-kembang anak baduta yang memiliki ibu bekerja, tidak bekerja di kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. penelitian deskriptif ialah bertujuan untuk mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa urgen yang terjadi pada masa kini (nursalam, 2003). penelitian ini menggambarkan tumbuh kembang baduta yang mempunyai ibu bekerja atau tidak bekerja di kelurahan bendogerit, kecamatan sananwetan, kota blitar. sampel diambil dengan teknik quota sampling menggunakan instrumen kuisioner pra-skrining perkembangan, penilaian antropometri. pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh baduta se kelurahan bendogerit yang terdaftar di posyandu sebanyak 217 baduta. dalam penelitian ini sampel yang diperlukan sebanyak 32 baduta, terdiri dari baduta yang memiliki ibu bekerja sebanyak 16 dan ibu tidak bekerja sebanyak 16 orang. adapun kriteria inklusi sampel yaitu anak baduta dengan ibu bekerja atau tidak bekerja yang tinggal satu rumah dengan ibunya. pengambilan data dilaksanakan di posyandu di kelurahan bendogerit kecamatan sanan wetan, kota blitar dan di laksanakan pada bulan april 2015. variabel dalam penelitian ini adalah pertumbuhan dan perkembangan baduta yang memiliki ibu bekerja dan tidak bekerja. pada penelitian ini analisa data akan ditampilkan dalam bentuk interpretasi kpsp dalam penilaian perkembangan baduta adalah dengan menghitung berapa jumlah jawaban “ya”. jawaban “ya” bila ibu menjawab: anak bisa, atau pernah atau sering atau kadang kadang melakukannya. jawaban “tidak” bila ibu menjawab anak belum pernah melakukan atau tidak pernah atau tidak tahu. jika jumlah “ya” 9 atau 10 perkembangan anak sesuai dengan tahap perkembanganya (s), jika jawaban “ya” 6, 7 atau 8 perkembangan anak meragukan (m), jika jawaban “ya” 5 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (p). untuk jawaban tidak perlu dirinci jumlah jawaban “tidak” menurut jenis keterlambatan pada sektor yang mana. sedangkan pada interpretasi penilaian antropometri adalah penilaian pada berat badan dan tinggi badan dengan melihat kolom pada tabel berat badan/tinggi badan direktorat gizi masyarakat 2002. sedangkan ukuran lingkar kepala interpretasinya: bila ukuran lingkar kepala anak berada dalam “jalur hijau” maka lingkaran kepala anak normal, bila ukuran lingkaran kepala anak berada di luar “jalur hijau” maka lingkaran kepala anak tidak normal yaitu makrosefal jika berada di atas ‘jalur hijau” dan mikrosefal bila berada di bawah “jalur hijau”. kemudian hasil pengolahan data diintrperstasikan kedalam skala kuantitatif dalam bentuk tabel untuk dianalisa secara deskriptif. hasil penelitian data umum data umum menyajikan tentang karakteristik responen berdasarkan umur, jenis kelamin, dan pekerjaan ibu. berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa umur yang paling banyak dari anak baduta adalah kisaran umur 10-12 bulan dengan jumlah 21,9% atau 7 anak dan jumlah umur paling kecil adalah umur anak baduta 16-18 bulan dengan jumlah 3,1% atau 1 anak baduta, dan umur 22-24 bulan berjumlah 3,1% atau 1 anak baduta. berdasarkan tabel 2 didapatkan bahwa jenis kelamin yang paling banyak adalah perempuan dengan jumlah 53,1% atau 17 anak baduta. 307ainii, gambaran tumbuh kembang ... data khusus data khusus menyajikan tantang pertumbuhan dan perkembangan anak baduta pada ibu bekerja dan tidak bekerja di posyandu balita se-kelurahan bendogerit kota blitar pada bulan april 2015. berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa pertumbuhan responden pada ibu tidak bekerja sejumlah 16 anak memiliki pertumbuhan yang sesuai atau normal, sedangkan pertumbuhan responden pada ibu bekerja sejumlah 93,75% atau 15 anak baduta memiliki pertumbuhan yang sesuai atau normal dan 6,25% atau 1 anak baduta memiliki pertumbuhan yang tidak sesuai atau tidak normal dan dapat menyebabkan obesitas. selain itu pemenuhan kebutuhan pokok pada tahap awal perkembangan balita seperti pemberian asi, imunisasi, pemenuhan sandang, dan kesegaran jasmani rekreasi dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang pada anak. berdasarkan tabel 4 didapatkan data bahwa pada ibu yang tidak bekerja hanya ada 3,1% atau 1 anak baduta yang memiliki perkembangan meragukan sedangkan pada ibu bekerja terdapat 3,1% atau 1 anak baduta yang memiliki perkembangan meragukan dan 3,1% atau 1 anak baduta memiliki perkembangan yang menyimpang dari usianya pembahasan berdasarkan hasil penelitian, diperoleh pertumbuhan anak baduta dengan ibu bekerja 100% memiliki pertumbuhan normal, sedangkan pertumbuhan anak baduta dengan ibu bekerja 93,75% memiliki pertumbuhan yang sesuai, dan 1 anak baduta berumur 15 bulan dengan ibu bekerja memiliki berat badan dan tinggi badan tidak sesuai yang seharusnya anak tersebut memiliki berat badan 6,9-11,5kg tetapi, anak tersebut memilki berat badan 8,7 kg sehingga anak tersebut memiliki perktumbuhan yang tidak sesuai. tabel 1. umur anak baduta di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada bulan april tahun 2015 (n=32) um ur frek % 0-3 bulan 6 18,8 4-6 bulan 3 9,4 7-9 bulan 5 15,6 10-12 bulan 7 21,9 13-15 bulan 6 18,8 16-18 bulan 1 3,1 19-21 bulan 3 9,4 22-24 bulan 1 3,1 jum lah 32 100 tabel 2. jenis kelamin anak baduta di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sanwetan kota blitar pada bulan april, 2015 (n=32) jenis kela min f rekuensi prosentase laki laki 15 46,9% perempuan 17 53,1 % jumlah 32 1 00% tabel 3. kategori pertumbuhan anak baduta berdasarkan pekerjaan ibu di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada bulan april 2015 (n=32) pertumbuhan pekerjaan ibu jumlah tidak bekerja bekerja f % f % f % normal 16 50 15 46,9 31 96,9 tidak normal 0 0 1 3,1 1 3,1 jumlah 16 50 16 50 32 100 tabel 4. kategori perkembangan anak baduta berdasarkan pekerjaan ibu di posyandu kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada bulan april 2015 (n=32) perkembangan pekerjaan ibu jumlah tida k bekerja bekerja f % f % f % sesuai 15 46,9 14 43,8 29 90,6 meragukan 1 3,1 1 3,1 2 6,2 menyimpang 0 0 1 3,1 1 3,1 j umlah 16 50 16 50 32 10 0 308 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 304–309 menurut soetjiningsih (1995), pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua peristiwa yang terjadi secara sinkron pada setiap individu. tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. tercapainya potensi biologik seseorang merupakan hasil interaksi beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan-bio-psiko-sosial dan perilaku. proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda yang memberikan ciri tersendiri pada setiap anak. menurut hurlock (1997), seorang anak yang memperoleh perawatan yang memadai, biasanya akan tumbuh dengan cepat dan anak yang kurang memperoleh perawatan kesehatan dan gizi yang memadai, akan mengalami keterlambatan pertumbuhannya. menurut peneliti, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa tercapainya pertumbuhan yang sesuai didapat dari terpenuhinya perawatan kesehatan dan gizi yang memadai dari ibu yang tidak bekerja yang memiliki lebih banyak waktu bersama dengan anaknya. selain itu,menurut soetjiningsih (1995) dapat diketahui bahwa tercapainya pertumbuhan yang optimal dipengaruhi oleh kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang yaitu asuh, asah, asih. kebutuhan fisik-biomedis (asuh), meliputi pemenuhan kebutuhan pangan atau gizi. kebutuhan gizi merupakan kebutuhan terpentingpada masa pertumbuhan balita yang erat kaitannya dengan pertumbuhan anak baduta. kekurangan makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan baduta. makanan yang berlebihan juga tidak baik, karena dapat menyebabkan obesitas. selain itu pemenuhan kebutuhan pokok pada tahap awal perkembangan balita seperti pemberian asi, imunisasi, pemenuhan sandang, dan kesegaran jasmani rekreasi dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang pada anak. selain data tentang pertumbuhan dalam penelitian ini juga memaparkan tentang hasil perkembangan dari anak baduta dengan ibu bekerja dan juga perkembangan anak baduta dengan ibu tidak bekerja didapatkan hasil bahwa 93,25% atau 15 anak baduta dari 16 anak baduta dengan ibu tidak bekerja memiliki pekembangan yang sesuai dengan umurnya sedangkan 1 orang anak baduta dengan ibu tidak bekerja yang berumur 15 bulan memiliki perkembangan yang meragukan, pada kpsp anak tersebut pertanyaan no 6 yaitu apakah anak bisa berdiri selama 30 detik tanpa berpegangan ternyata a na k ter sebut belum da pa t mela kuka nnya , pertanyaan no 7 apakah anak dapat membungkuk untuk mengambil mainanya ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya sehingga perkembangan dari anka tersebut meragukan. selain itu, 87,5% atau 14 anak baduta dengan ibu bekerja dari 16 anak baduta memiliki perkembangan yang sesuai 6,25% atau 1 orang anak baduta berumur 23 bulan pada kpsp pertanyaan no 4 yaitu apakah anak dapat berjalan mundur atau tidak ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya, pertanyaan no 6 apakah anak tersebut dapat berjalan naik tangga sendiri ternyata anak tersebut belum dapat melakukkannya sehingga perkembangan anak tersebut meragukan, dan 6,25% atau 1 anak baduta berumur 6 bulan pada kpsp pertanyaan no 2 apakah anak dapat mempertahankan posisi kepalanya dengan stabil atau belum ternyata anak belum dapat melakukkannya, pertanyaan no 4 apakah bayi dapat telungkup di tempat datar dan dapat menyangga dadanya ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya, pertanyaan no 6 pernahkah bayi berbalik sedikitnya 2x dengan terlentang dan tengkurap ternyata anak tersebut belum dapat melakukannya karena belum bisa tengkurap, pertanyaan no 9 dapatkah bayi meraih mainan yang jauh dari jangkauan tangannya ternyata belum dapat melakkuakan dan pada pertanyaan no 10 apakah bayi dapat mempertahankan lehernya saat kedua jarinya diangkat dengan tangan ternyata bayi tersebut belum dapat melakukan sehingga bayi tersebut memiliki perkembangan menyimpang. menurut soetjiningsih (1995) kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar yaitu asuh, asih dan asah, dari paparan di atas kebutuhan kedua yaitu asih atau kebutuhan emosi atau kasih sayang yaitu, pada tahun tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat mesra dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. berperannya dan kehadiran ibu sedini dan selanggeng mungkin, akan menjadi rasa aman bagi bayinya. ini diwujudkan dengan kontak fisik (kulit/ mata) dan pskis sedini mungkin, misalnya dengan menyusu bayi secepat mungkin segera setelah lahir. kekurangan kasih sayang ibu pada tahun-pertama kehidupan mempunyai dampak negatif pada tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi, yang disebut “sindrom deprivasi mental”. 309ainii, gambaran tumbuh kembang ... kebutuhan tumbuh kembang yang ketiga yaitu asah stimulasi mental merupakan cikal bakal dan proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. stimulasi mental (asah) ini mengembangkan perkembangan mental psikososial: kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral-etika, produktivitas dan sebagainya. hal ini juga seharusnya dapat didukung dengan keberadaan dari sosok ibu dari anak tersebut sehingga jika kehadiran ibu ataupun tingkat intensitas pertemuan antara anak dengan ibu kurang maka akan didapatkan kemungkinan dari penyimpangan proses perkembangan ataupun pertumbuhan dari anak tersebut. menurut peneliti, gangguan perkembangan yang dialami oleh 2 anak baduta dengan ibu bekerja merupakan sebuah fenomena yang dapat disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dari seorang ibu dikarenakan ibu yang seharusnya memberikan waktu yang lebih untuk anaknya akan berkurang di karenakan pekerjaan yang dimilikinya sehingga waktu yang digunakan untuk menstimulasi perkembangan pada anak tersebut kurang, atau tidak mendapatkan hasil yang optimal. dari hasil penelitian dapat diketahui hampir tidak tampak perbedaan pada pertumbuhan dan perkembangan anak baik dengan ibu yang bekerja maupun tidak bekerja, ini dapat dikarenakan karena ibu yang bekerja tidak semuanya mengabaikan anaknya tetapi ada juga yang memberikan kasih sayang yang baik dan didikan yang baik kepada anaknya sehingga anak tersebut memiliki tumbuh kembang yang sesuai. dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (asuh, asih, asah) sangat dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dapat diambil simpulan bahwa tumbuh kembang anak baduta di posyandu se-kelurahan bendogerit kecamatan sananwetan kota blitar pada ibu tidak bekerja lebih baik dari pada tumbuh kembang anak baduta dengan ibu bekerja. saran faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (asuh, asih, asah) sangat dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal daftar rujukan hidayat, a. 2005. pengantar ilmu keperawatan anak. jakarta: salemba medika. hurlock, e.b. 1997. psikologi perkembangan. edisi kelima. jakarta: erlangga. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. soetjiningsih. 1995. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. soetjiningsih. 2001. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. wahyuni. 2014. dampak program bina keluarga balita (bkb) terhadap tumbuh kembang anak balita (0-24 bulan). ejurnal pustaka kesehatan ,vol 2 (no 1) januari 2014. wardah, f. 2010. kapan sebaiknya ibu kembali bekerja setelah melahirkan?. http;//female.kompas. com/read/2010/09/20/16103380/kapan. sebaiknya. kembali.bekerja.setelah.melahirkan.diakses tanggal 21 september 2014. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 107khotimah, gambaran perilaku ibu ... 107 gambaran perilaku ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar (description of mother behavior to fulfill balanced nutrition in children in posyandu mayang sukorejo villages district sukorejo blitar city) isna khusnul khotimah praktisi keperawatan email: isna_khusnul123@yahoo.com abstract: infants need a balanced nutritional intake in order to achieve optimal growth and development. the behavior of the parents, especially mothers may affect the fulfillment of balanced nutrition in infants. the purpose of this study was to determine the behavior of mothers in the fulfillment of balanced nutrition of infants in posyandu mayang sukorejo villages district sukorejo blitar city. the research design was descriptive. the population was 38 mothers of children under five which were registered in the registration book of posyandu mayang. the sample was 38 mothers used saturation sampling technique. the data was collected by questionnaires. the research was conducted on may 6-10, 2015. the results showed 65.8% had good knowledge, 57.9% had a positive attitude, 60.5% do the appropriate action in fulfillment of balanced nutrition of infants. the good knowledge of mother, a positive attitude and appropriate action may affect the fulfillment of balanced nutrition of infants. it was expected for mothers to increase their infant health by providing balanced nutrition. keywords: behavior, mother, nutrition, children abstrak: balita memerlukan asupan gizi seimbang agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. perilaku orang tua terutama ibu dapat mempengaruhi pemenuhan gizi seimbang pada balita. tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar. metode penelitian menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi pada penelitian ini yaitu semua ibu dari anak balita yang terdaftar dalam buku registrasi posyandu mayang yang berjumlah 38 orang. besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 38 orang dengan menggunakan teknik sampling jenuh. pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. waktu penelitian dilakukan pada tanggal 6-10 mei 2015. hasil penelitian menunjukan 65,8% memiliki pengetahuan baik, 57,9% memiliki sikap positif, 60,5% melakukan tindakan tepat dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. pengetahuan ibu yang baik, sikap yang positif dan tindakan yang tepat dapat mempengaruhi pemenuhan gizi seimbang pada balita. diharapkan setiap ibu meningkatkan kesehatan balita salah satunya dengan cara melakukan pemenuhan gizi seimbang pada balita. kata kunci: perilaku, ibu, gizi, balita masa balita merupakan masa kehidupan yang perlu perhatian serius, karena balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit (adriani, 2012: 205). oleh karena itu dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi, balita harus memperoleh asupan gizi seimbang baik dalam jumlah maupun kandungan gizi. asupan gizi yang dikonsumsi mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan balita (sutomo, 2010:11). jika asupan gizi seimbang maka balita akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. selain itu asupan gizi seimbang juga dapat membantu menjaga sistem imun pada tubuh dan dapat mengoptimalkan fungsi otak balita. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p107-112 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 108 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 107–112 menjaga asupan gizi seimbang merupakan hal penting yang harus selalu dijaga dan diperhatikan oleh orang tua. namun saat ini masih banyak orang tua yang belum mengetahui mengenai asupan gizi yang harus dipenuhi seorang anak, sehingga dapat mengakibatkan gizi kurang pada anak (sibagarriang, 2010:95). gizi kurang pada anak tidak hanya mempengaruhi gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi kualitas kecerdasan dan perkembangan di masa mendatang (adriani, 2012:206). masalah gizi kurang di indonesia masih cukup tinggi. menurut riskesdas tahun 2013, prevalensi berat kurang di indonesia adalah 19,6% terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. terlihat meningkat jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4%) dan tahun 2010 (17,9%). sedangkan pada tahun 2013, bps mencatat 25,95% per seribu kelahiran hidup di jawa timur sebagai penderita gizi buruk. menurut data dinas kesehatan kota blitar pada tahun 2014, di kota blitar tercatat 2,6% balita mengalami bb kurang, 0,5% balita mengalami bb sangat kurang dan 1,9% balita mengalami bb lebih. di kota blitar terdapat 3 kecamatan yaitu kecamatan sananwetan, kepanjen kidul dan sukorejo. dari ketiga kecamatan tersebut yang menduduki angka tertinggi masalah gizi yaitu kecamatan sukorejo dengan prevalensi 3,7% balita mengalami bb kurang, 0,6% balita mengalami bb sangat kurang, 2,5% mengalami bb lebih. di kelurahan sukorejo pada tahun 2014 tercatat 4,7% balita mengalami bb kurang, 0,9% balita mengalami bb sangat kurang, 3,5% mengalami bb lebih. perilaku ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar makanan dapat mempengaruhi status gizi pada balita. perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati oleh pihak luar baik secara langsung maupun tidak langsung (notoatmodjo, 2012:131). benyamin bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya 3 domain (wilayah/ranah), yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), da n psikomotor (psychomotor). berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti melalui wawancara pada tanggal 21 januari 2015 di salah satu posyandu kelurahan sukorejo, 2 dari 10 orang ibu dalam memberikan makanan biasanya hanya menuruti kemauan anak misalnya seperti memberikan jajanan yang manis, 3 orang ibu sering memberikan mie instan, sossis, nugget tanpa memperhatikan kandungan gizi makanan tersebut, 2 orang ibu tidak memberikan sayur dan buah kepada anak dengan alasan anak tidak menyukai sayur dan buah, dan 3 orang ibu selalu memberikan beraneka ragam makanan dengan alasan agar anaknya tumbuh sehat. berdasarkan fenomena diatas maka penulis ingin mengetahui perilaku ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar. bahan dan metode pada penelitian ini desain penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitiaaan deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan mengangkat fakta, keadaan, variabel, dan fenomena yang terjadi selama penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya. penelitian ini menggambarkan tentang perilaku ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar. dalam penelitian ini populasinya adalah semua ibu dari anak balita yang terdaftar dalam buku registrasi posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar yang berjumlah 38 orang. sampel dalam penelitian ini adalah semua populasi ibu dari anak balita yang terdaftar dalam buku registrasi posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar. besar sampel dalam penelitian ini berjumlah 38 orang. teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh, yaitu mengambil semua anggota populasi menjadi sampel (hidayat, 2008: 34). instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. kuesioner ya ng digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu kuesioner karakteristik ibu dan kuesioner tentang perilaku ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. hasil penelitian karakteristik responden penelitian dilaksanakan di di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar. data karakteristik responden terdiri dari usia ibu, agama ibu, pendidikan terakhir ibu, pekerjaan ibu, suku ibu, informasi yang diperoleh ibu tentang pemenuhan gizi seimbang dan sumber informasi tentang pemenuhan gizi seimbang. 109khotimah, gambaran perilaku ibu ... hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu yang memiliki balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar berumur 30-39 tahun yaitu sebanyak 60,5% (23 ibu), setengah dari total ibu yang memiliki balita memiliki pendidikan terakhir sma yaitu sebanyak 50% (19 ibu), ibu yang memiliki balita yang tidak bekerja sebanyak 42,1% (16 ibu), suku bangsa ibu yang memiliki balita seluruhnya adalah suku jawa, ibu yang memiliki balita yang sudah pernah mendapatkan informasi tentang gizi seimbang lebih dari setengah yaitu 63,2% (24 ibu), dan ibu yang memiliki balita paling ba nyak menda patkan informasi kesehatan dari petugas kesehatan yaitu sebanyak 44,7% (17 ibu). pengetahuan ibu dala m pemenuha n gizi seimbang pada balita tindakan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita tabel 1. pengetahuan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita no kategori frekuensi % 1. 2. baik cukup 25 13 65,8% 34,2% ju mlah 38 100 dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa dari 38 ibu balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar sebanyak 65,8% (25 ibu) memiliki pengetahuan baik dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. sikap ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita tabel 2. sikap ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita no ka tegori frekuensi % 1. 2. positif negatif 22 16 57,9% 42,1% jumlah 38 100 dari tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 38 ibu yang memiliki balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar sebanyak 57,9% (22 ibu) memiliki sikap positif dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. tabel 3. tindakan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita no kategori frekuensi % 1. 2. tepat t idak tepat 23 15 60,5% 39,5% jumlah 38 100 dari tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 38 ibu yang memiliki balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar sebanyak 60,5% (23 ibu) memiliki tindakan tepat dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. pembahasan pengetahuan dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita dari hasil penelitian terhadap 38 ibu, didapatkan data pengetahuan yaitu sebanyak 65,8% (25 ibu) memiliki pengetahuan baik dan sebanyak 34,2% (13 ibu) memiliki pengetahuan cukup dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ atau hasil penginderaan manusia, terhadap suatu objek tertentu. sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (notoatmodjo, 2005:49). dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki pengetahuan baik dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. terbentuknya pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, informasi yang diperoleh, lingkungan, pengalaman, usia, sosial budaya dan ekonomi. ibu yang memiliki pengetahuan baik mayoritas berusia 30-39 tahun yaitu sebanyak 44,7% (17 ibu) dari jumlah total 38 ibu. dari hasil penelitian menunjukan bahwa usia dapat mempengaruhi pengetahuan ibu. usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir ibu. sema kin ber ta mbah usia a ka n sema kin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin membaik. namun menurut santoso (2009:49), pada usia lanjut akan mengalami penurunan fungsi kognitif. fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahama n, pengertian, perhatian, sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi lambat seperti terjadi penurunan dalam memproses informasi baru. 110 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 107–112 jadi peneliti dapat menyimpulkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia ibu maka pengetahuan ibu semakin meningkat, akan tetapi pada usia-usia tertentu misalnya pada usia lanjut kemampuan dalam memperhatikan, mempersepsikan, , memahami, mengingat, menerima dan memproses informasi semakin menurun. berdasarkan hasil tabulasi silang antara pendidikan terakhir dan pengetahuan terhadap 38 ibu didapatkan data ibu yang berpendidikan terakhir sma atau sederajat dan memiliki pengetahuan baik yaitu sebanyak 34,2% (13 ibu). dalam arti luas, pendidikan baik formal maupun informal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup (fip-upi, 2007:20). jadi menurut peneliti pendidikan terakhir yang ditempuh ibu dapat mempengaruhi pengetahuan, karena semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin mudah ibu tersebut dalam menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. ibu yang memiliki pengetahuan baik mayoritas sudah pernah mendapatkan informasi tentang pemenuhan gizi seimbang pada balita yaitu sebanyak 55,3% (21 ibu) dari jumlah total 38 ibu. menurut soetjiningsih (1997:78), penyuluhan, siaran radio, televisi/ video, artikel di majalah/surat kabar dapat meningkatkan pengetahuan ibu. peneliti berpendapat bahwa informasi merupakan faktor penting dalam membentuk pengetahuan ibu, meskipun ibu yang tingkat pendidikanya rendah, tetapi ibu tersebut memperoleh informasi yang banyak misalnya dari penyuluhan kesehatan, televisi, radio surat kabar maka ibu tersebut akan memiliki pengetahuan yang baik. dari uraian hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan baik yang dimiliki ibu dapat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu usia, pendidikan dan informasi yang diperoleh. sikap dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita dari hasil penelitian terhadap 38 ibu, sebanyak 57,9% (22 ibu) memiliki sikap positif dan sebanyak 42,1% (16 ibu) memiliki sikap negatif. menurut peneliti hal ini menunjukan bahwa belum sepenuhnya ibu dapat menerima, menanggapi, menghargai dan bertanggung jawab dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatka n faktor pendapat da n emosi ya ng bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya) (notoatmodjo, 2005; 54). menurut azwar (2003:30), sikap dibentuk oleh beberapa faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, faktor emosional, lembaga pendidikan dan agama. dari hasil tabulasi silang antara pekerjaan dan sikap didapatkan data sebanyak 31,6% (12 ibu) yang tidak bekerja memiliki sikap positif. menurut setiawan (2014), pekerjaan merupakan sebuah aktifitas antar manusia untuk saling memenuhi kebutuhan dengan tujuan tertentu, pekerjaan juga dapat digunakan untuk memenuhi suatu tugas agar mendapatkan penghasilan. peneliti berpendapat bahwa ada keterkaitan antara pekerjaan dan sikap, ibu yang tidak bekerja lebih dapat menerima, menanggapi, menghargai dan bertanggung jawab dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita karena ibu yang tidak bekerja lebih memiliki banyak waktu untuk merawat balitanya dengan baik. ibu yang pernah mendapatkan informasi tentang gizi seimbang pada balita sebagian besar bersikap positif. hal ini dapat dibuktikan ibu yang pernah mendapat informasi tentang gizi seimbang dan memiliki sikap positif sebanyak 36,8% (14 ibu). menurut azwar (2003:34), adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. jadi menurut peneliti, informasi tentang gizi seimbang pada balita yang diterima ibu dapat menimbulkan pengaruh positif, karena di dalam informasi tersebut terdapat pesan-pesan yang sugestif sehingga dapat membentuk sikap positif. dari uraian diatas peneliti beranggapan bahwa faktor pembentuk sikap hampir sama dengan faktor pembentuk pengetahuan. berdasarkan hasil tabulasi silang antara pengetahuan dengan sikap terhadap 38 ibu dapat diketahui bahwa sebanyak 26,3% (10 ibu) memiliki pengetahuan baik dan bersikap negatif. pengetahuan memegang peranan penting dalam membentuk sikap. pengetahuan yang dimiliki seseorang mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan yang dapat memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap seseorang (azwar, 2003:34). menurut newcomb dalam notoatmodjo (2005:52), sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak. dari hasil penelitian, peneliti menemukan adanya kesenjangan diantara pengetahuan dan sikap, peneliti beranggapan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan baik selalu memiliki sikap 111khotimah, gambaran perilaku ibu ... positif, namun pada hasil penelitian didapatkan bahwa masih ada ibu yang mempunyai pengetahuan baik namun memiliki sikap negatif. jadi dapat disimpulkan, ibu yang memiliki pengetahuan baik belum tentu memiliki sikap positif karena meskipun seseorang tersebut mengetahui hal yang benar belum tentu ibu tersebut memiliki kesiapan atau kemauan untuk bertindak. tindakan dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita dari hasil penelitian terhadap 38 ibu, didapatkan data tindakan yaitu sebanyak 60,5% (23 ibu) memiliki tindakan tepat, dan sebanyak 39,5% (15 ibu) memiliki tindakan tidak tepat dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. tindakan yang tepat dalam memenuhi gizi seimbang pada balita yaitu dapat menyediakan, menyusun dan menyajiakan makanan sehari yang terdiri dari berbagai ragam bahan makanan yang berkualitas dalam jumlah dan proporsi yang sesuai sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi seseorang untuk pemeliharaan dan perbaikan sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan secara optimal (persagi, 2009:71). agar melakukan tindakan yang tepat dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita, ibu memerlukan berbagai informasi tentang pemenuhan gizi seimbang pada balita untuk meningkatkan pengetahuan. karena semakin tinggi pengetahuan ibu, ibu tersebut semakin mengetahui sesuatu hal yang benar sehingga dapat menghasilkan tindakan yang tepat. hal ini dapat dibuktikan bahwa sebanyak 44,7% (17 ibu) dari 38 ibu yang pernah mendapatkan informasi tentang gizi seimbang pada balita dapat melakukan tindakan tepat. dalam penelitian ini, tindakan ibu juga dipengaruhi oleh pekerjaan, dapat diketahui bahwa sebanyak 31,6% (12 ibu) dari 38 ibu yang tidak bekerja dapat melakukan tindakan tepat. peneliti berpendapat bahwa ibu yang tidak bekerja lebih mempunyai banyak waktu untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya. dari hasil tabulasi silang antar pengetahuan dan tindakan terhadap 38 ibu, sebanyak 52,6% (20 ibu) memiliki pengetahuan baik dan melakukan tindakan tepat, sebanyak 26,3% (10 ibu) memiliki pengetahuan cukup dengan tindakan tidak tepat. menurut notoatmodjo (2007:144), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. peneliti berpendapat sebagian besar ibu yang memiliki pengetahuan baik menimbulkan tindakan tepat, dan sebagian besar ibu yang memiliki pengetahuan cukup menimbulkan tindakan tidak tepat. hasil tabulasi silang antara tindakan dengan sikap terhadap 38 ibu, diperoleh data sebanyak 42,1% (16 ibu) memiliki sikap positif dengan tindakan tepat, sebanyak 23,7% (9 ibu) memiliki sikap negatif dengan tindakan tidak tepat. menurut notoatmodjo (2007:143) pengetahuan yang baru akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap selanjutnya akan menimbulkan respon yang jauh lagi yaitu berupa tindakan. dengan adanya hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu yang memiliki sikap positif sudah melakukan tindakan yang tepat dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita, dan ibu yang memiliki sikap negatif melakukan tindakan yang tidak tepat dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. peneliti menyimpulkan, sikap positif akan menimbulkan tindakan yang tepat, begitu juga sebaliknya sikap negatif akan menimbulkan tindakan yang tidak tepat. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “perilaku ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar” dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar baik yaitu sebesar 65,8% (25 ibu), sikap ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar positif yaitu sebesar 57,9% (22 ibu), tindakan ibu dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar tepat yaitu sebesar 60,5% (23 ibu). saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin memberikan saran sebagai berikut: bagi institusi pendidikan, menambah referensi terbaru yang ada diperpustakaan khususnya tentang pemenuhan gizi seimbang pada balita sehingga dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, bagi uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar agar mengembangkan program pendidikan kesehatan 112 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 107–112 yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan balita, bagi kader di posyandu mayang, diharapkan kader posyandu balita dapat bekerjasama dengan petugas kesehatan di wilayah kecamatan sukorejo dalam melakukan pendidikan kesehatan dengan metode yang interaktif, tidak monoton dan menggunakan alat peraga, seperti benda tiruan makanan bergizi untuk meningkatkan partisipasi ibu balita dalam mengikuti pendidikan kesehatan, bagi ibu balita, diharapkan kepada setiap ibu balita aktif dalam mengikuti kegiatan posyandu dan memanfaatkan posyandu sebagai sarana konsultasi kesehatan balita, bagi peneliti selanjutnya, peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai data dasar dan sumber informasi untuk mengembangkan penelitian tentang pengetahuan ayah dalam pemenuhan gizi seimbang pada balita. daftar rujukan adriani, m. & wirjatmadi, b. 2012. peranan gizi dalam siklus kehidupan jakarta. jakarta: kencana prenanda media group. ari kun to, s. 2006. prosedur pene li t ian suat u pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. ________. 2010 . prose dur pene l i t ian suat u pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. azwa r, s. 2003. si kap manusi a, teori dan pengukurannya edisi ii. yogyakarta: pustaka pelajar. depdiknas. 2007. kamus besar bahasa indonesia. jakarta: balai pustaka. effendy, n. 1998. dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. jakarta: egc. gunarsa, s.d. 2008. psikologi praktis: anak, remaja dan keluarga. jakarta: gunung mulia. hidayat, a.a.a. 2008. ketrampilan dasar praktik klinik untuk kebidanan, edisi 2. jakarta: salemba medika. _________. 2008. riset keperwatan dan teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba medika. narbuko, c & achmadi, h. a. 2010. metodologi penelitian. jakarta: bumi aksara. notoatmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta __________. 2003. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta _________. 2005. promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta __________. 2007. kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta __________. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta _________ .2012. promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2009. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. ________. 2013. metode penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. persagi. 2009. kamus gizi. jakarta: pt kompas media nusantara. purwandari, a. 2008. konsep kebidanan: sejarah & profesionalisme. jakarta: egc. purwanto, h. 1998. pengantar perilaku manusia. jakarta: egc. samsudin & tjokronegoro, a. 1985. gizi dan tumbuh kembang. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. santoso, h & ismail, a. 2009. memahami krisis usia lanjut. jakarta: gunung mulia. setiawan, b. 2014. pengertian pekerjaan profesi dan prefesional, (http://www.seputarpendidikan.com/ 2014/08/pengertian-pekerjaan-profesi dan.html), diakses tanggal 8 agustus 2015 sibagari ang, e.e. 2010. gi zi dalam kesehat an reproduksi. jakarta: cv. trans info media. soetjiningsih. 1997. seri gizi klinik. jakarta: egc. supariasa, i dewa nyoman & bakri, b. & fajar, i. 2012. penilaian status gizi. jakarta: egc. 163 pengaruh relaksasi otot progresif terhadap penurunan ansietas dan peningkatan kualitas tidur pasien neurosa di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar (the effect of progressive muscle relaxation on the anxiety decrease and improving quality of sleep neurosa patients in health center area kepanjen kidul blitar city) nawang wulandari¹, titin andri wihastuti², lilik supriati 2 ¹mahasiswa program studi magister keperawatan fakultas kedokteran universitas brawijaya ²pengajar program magister keperawatan fakultas kedokteran universitas brawijaya email: na_wul23@yahoo.co.id abstract: neurosa a psychic reaction with typical anxiety where clients are in fear that unconsciously displayed in various forms of behavior. anxiety can leads physical imbalance such as increased blood pressure, insomnia, muscle tension and palpitations. muscle tension and sleep difficulties are often experienced anxiety response. some psychotherapy can be given to clients of anxiety one of which is progressive muscle relaxation therapy. the aims of this study was to determine the effect of progressive muscle relaxation therapy to decrease anxiety and improve the quality of sleep in patients neurosa in health center area kepanjen kidul blitar. research design was quasy experimental pre-post test with control group with purposive sampling. number of samples 26 respondents were divided into control and treatment groups. collecting data using questionnaires that have tested the validity and reliability. results of analysis of anxiety and sleep quality was obtained p <0.05 in the treatment group and control before and after treatment, the difference in scores of anxiety and sleep quality of patients neurosa between the treatment group and the control group after a given intervention p <0.05. there is no correlation between the anxiety with the quality of sleep with p> 0.05. therapy progressive muscle relaxation and deep breathing therapy can be used to reduce anxiety and improve sleep quality in patients neurosa. keywords: progressive muscle relaxation, anxiety, sleep quality, neurosa abstrak: neurosa merupakan reaksi psikis dengan ciri khas kecemasan dimana klien berada dalam ketakutan yang secara tidak sadar ditampilkan dalam berbagai bentuk tingkah laku. kecemasan dapat menyebabkan ketidakseimbangan fisik misalnya peningkatan tekanan darah, insomnia, ketegangan otot dan palpitasi. ketegangan otot dan kesulitan tidur adalah respon kecemasan yang sering dialami. beberapa psikoterapi dapat diberikan pada klien kecemasan salah satunya terapi relaksasi otot progresif. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap penurunan kecemasan dan peningkatan kualitas tidur pada pasien neurosa di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. desain penelitian quasy eksperimental pre-post test with control group dengan purposive sampling. jumlah sampel 26 responden dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan. pengumpulan data menggunakan kuesioner yang telah dilakukan uji validitas dan realibilitas. hasil analisis kecemasan dan kualitas tidur didapatkan p<0,05 pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah diberikan terapi, perbedaan skor kecemasan dan kualitas tidur pasien neurosa antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah diberikan intervensi p<0,05. tidak ada hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur dengan p>0,05. terapi relaksasi otot progresif dan terapi nafas dalam dapat digunakan untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas tidur pada pasien neurosa. kata kunci: relaksasi otot progresif, kecemasan, kualitas tidur, neurosa acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p154-163 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 164 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.163-172 neurosa adalah gangguan mental dimana kondisi psikis klien berada dalam ketakutan dan kecemasan yang kronis tetapi daya nilai realitasnya tidak terganggu (arifin, 2009). pada neurosa, individu melakukan tekanan-tekanan terhadap emosi negatif yang dirasakan akibat kesalahan yang telah dilakukan ke alam bawah sadar, dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap perasaan, pikiran, tingkah laku dan kesehatan tubuh seseorang yang mengalaminya. varcarolis (2010) menyatakan bahwa individu yang dalam rentang kehidupannya memiliki pikiran positif terhadap kejadian dalam hidupnya akan mengembangkan respon emosi yang positif. begitu juga sebaliknya, individu yang memiliki pikiran negatif terhadap suatu kejadian yang dialami akan selalu menggunakan pikiran negatif dan irasional bila stressor muncul. hal inilah yang akan berdampak pada kesehatan jasmani dan psikis (keliat et al., 2011) salah satunya neurosa. neurosa merupakan reaksi psikis dengan ciri khas kecemasan yang secara tidak sadar ditampilkan dalam berbagai bentuk tingkah laku. kecemasan dapat menyebabkan ketidakseimbangan fisik misalnya peningkatan tekanan darah, insomnia, ketegangan otot dan palpitasi. sedangkan ketidakseimbangan psikologis yang dapat muncul misalnya sulit berkonsentrasi, bingung, kehilangan kontrol dan ketidakseimbangan sosial (stuart, 2007). berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) penduduk indonesia tahun 2013, prevalensi gangguan emosional sebanyak (6%) sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat 1.7 per mi. diantara berbagai gangguan jiwa, gangguan neurosa (neurosis cemas) merupakan gangguan jiwa yang paling banyak didapati dimasyarakat yaitu 2-4% (hawari, 2001). di kota blitar sendiri khususnya di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar ada 35 klien dengan diagnosa neurosa yang berkunjung setiap bulannya, dan belum pernah ada intervensi lanjutan untuk menanganinya. prevalensi kecemasan meningkat sejalan dengan perjalanan penyakit dan gejala (spiegel & darwis, 2003). kecemasan memiliki dua aspek yaitu aspek sehat dan aspek yang membahayakan dimana hal tersebut tergantung pada tingkat ansietas, lama ansietas yang dialami dan koping individu. kecemasan dapat memberikan tanda dan gejala yang berupa keluhan-keluhan yang diungkapkan secara subyektif ataupun yang dapat diamati dengan observasi yang terdiri dari aspek fisik, aspek kognitif, psikologis sosial dan perilaku. manifestasi klinis yang ditunjukkan seperti kelelahan, tidak dapat beristirahat, tidak dapat berkonsentrasi, mudah terangsang, ketegangan meningkat, dan kehilangan kontrol yang dapat dialami klien sepanjang masa sakitnya. ketegangan otot dan kesulitan tidur adalah respon kecemasan yang sering dialami klien. menurut colten & altevogt (2006) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tidur seperti faktor fisik, psikologis, sosial dan lingkungan. adanya perubahan pada aspek fisik, psikologis, sosial dan lingkungan mengakibatkan berkurangnya waktu tidur. psikoterapi menjadi lebih efektif jika dibandingkan terapi medis dalam evaluasi jangka panjang. hal ini dimungkinkan terjadi karena psikoterapi bertujuan untuk membantu pasien atau keluarga merubah pola kognitif, perilaku yang didasari pemahaman mendalam mengenai masalah yang dialami oleh pasien serta keluarganya (iyus, 2007). beberapa psikoterapi yang dapat diberikan pada klien kecemasan adalah terapi individu seperti terapi kognitif, terapi perilaku, thought stopping, terapi relaksasi otot progresif, terapi kognitif perilaku serta logoterapi individu. terapi relaksasi otot progresif dapat diterapkan pada klien neurosa dengan kecemasan. sebelum terapi relaksasi otot progresif ini diberikan, terlebih dahulu dilakukan terapi relaksasi nafas dalam sebagai terapi dasar. dimana terapi relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan dimana perawat mengajarkan bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. latihan ini dapat menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot yang dapat menghentikan ansietas dan ketegangan otot. latihan relaksasi bertujuan untuk membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi tegang. dengan mengetahui lokasi dan merasakan otot yang tegang maka klien dapat merasakan hilangnya ketegangan sebagai salah satu respon ansietas wulandari, wihastuti dan supriati, pengaruh relaksasi otot.....165 dengan lebih jelas dimana terapi relaksasi otot progresif dapat merangsang pengeluaran zat kimia endorfin dan enkefalin serta merangsang signal otak yang menyebabkan otot rileks dan meningkatkan aliran darah ke otak. relaksasi otot progresif dapat membuat pikiran terasa tenang, rileks dan lebih mudah untuk tidur (conrad & roth, 2007). di indonesia penelitian tentang relaksasi sudah banyak dilakukan. hal ini didukung oleh beberapa penelitian terkait dengan terapi relaksasi otot progresif diantaranya jeong le et al., (2012) bahwa terapi musik dan terapi relaksasi otot progresif dapat menurunkan kecemasan pasien yang menjalani perawatan selama kemoterapi kanker. selain itu menurut tobing (2012) didapatkan hasil bahwa terapi relaksasi otot progresif dan logoterapi direkomendasikan sebagai terapi keperawatan lanjutan dalam merawat klien kanker dengan kecemasan dan depresi. seperti yang telah dijelaskan bahwa kecemasan mencetuskan beberapa sensasi dan perubahan fisik diantaranya peningkatan aliran darah menuju otot, ketegangan otot, mempercepat dan memperlambat pernafasan, meningkatkan denyut jantung dan menurunkan fungsi digestif. jika terapi lanjutan yaitu terapi relaksasi otot progresif tidak diberikan maka jalur umpan balik yang bekerja dengan mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatik dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran tidak dapat dihambat akibatnya sikap positif terhadap rangsangan stress pada hipotamus tidak dapat berkurang (copstead & banasik, 2000) yang dapat mengarahkan individu jatuh pada kondisi gangguan. penanganan masalah psikososial dapat dilakukan dengan pemberian terapi modalitas. berdasarkan uraian dan hasil temuan penelitian yang ada, maka peneliti tertarik untuk menerapkan terapi relaksasi otot progresif terhadap klien dengan neurosa yang mengalami kecemasan dan gangguan tidur di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. bahan dan metode penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain quasy eksperimental pre-post test with control group. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien neurosa di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar sebanyak 35 orang. tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dengan jumlah sampel yang didapatkan 26 responden. setelah diperoleh sampel selanjutnya dilakukan simple random sampling untuk membagi sampel menjadi kelompok perlakuan sebanyak 13 responden dan kelompok kontrol 13 responden. instrumen yang digunakan untuk mengukuran kecemasan menggunakan kuesioner har-s sedangkan instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dengan menggunakan kuesioner psqi (the pittsburgh sleep quality index). dalam pelaksanaan penelitian total membutuhkan waktu 6 minggu. 5 minggu digunakan untuk pelaksanaan terapi baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol, dan satu minggu digunakan untuk evaluasi kecemasan dan kualitas tidur setelah dilakukan terapi analisa ini digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis bivariat dan univariat. dalam ananlisi univariat dengan menggunakan uji statistik paired t-test yang bertujuan untuk menguji perubahan kecemasan dan kualitas tidur sebelum dan sesudah pemberian terapi pada kelompok kontrol dan perlakuan. sedangkan untuk membandingkan hasil post test perubahan kecemasan dan kualitas tidur pada kelompok perlakuan dan kontrol digunakan analisis data dengan independen ttest. untuk melihat hubungan antara kecemasan dan kualitas tidur pasien neurosa yaitu dengan menggunakan pearson. hasil penelitian tabel 1. karakteristik responden berdasarkan usia (n perlakuan = 13, n kontrol = 13) variabel mean sd min mak p value usia (tahun) kelompok perlakuan kelompok kontrol 45,15 45,46 9,998 12,19 31 18 58 60 0,948 tabel 2. karakteristik dan uji kesetaraan responden berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dan status perkawinan (n perlakuan = 13, n kontrol = 13) variabel kategori kel. perlakuan kel. kontrol p value n % n % jenis laki-laki 6 42,9 4 30,8 0,853 166 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.163-172 variabel kategori kel. perlakuan kel. kontrol p value n % n % kelamin perempuan 7 53,8 9 69,2 pekerjaan swasta petani irt tidak bekerja 6 1 5 1 42,9 7,1 35,7 7,1 6 6 1 46,2 46,2 7,7 0,700 status perkawinan menikah belum menikah 11 2 78,6 14,3 11 2 78,6 14,3 0,512 pendidkan sd smp sma 3 6 4 21,4 42,9 28,6 3 5 5 23,1 38,5 38,5 0,156 tabel 3 distribusi kecemasan pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah diberikan intervensi di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar tahun 2015 kelompok interv n mean sd minmax 95% ci perlakuan pre 13 94,31 9,970 79-117 88,28100,33 post 13 67,38 12,593 47-87 59,7774,99 kontrol pre 13 91,62 10,681 78-114 85,1698,07 post 13 83,77 14,681 63-114 74,9092,64 tabel 4 sebaran data kecemasan pasien neurosa pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dalam kelompok n parameter p value perlakuan (pre) 13 shapiro-wilk 0,761 perlakuan (post) 13 shapiro-wilk 0,616 kontrol (pre) 13 shapiro-wilk 0,466 kontrol (post) 13 shapiro-wilk 0,675 perlakuan + kontrol (pre) 26 shapiro-wilk 0,271 perlakuan + kontrol (post) 26 shapiro-wilk 0,764 hasil analisis sebaran data kecemasan pasien neurosa sebelum dan sesudah pada kelompok perlakuan yang diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dalam didapatkan sebaran normal dengan p>0,05. analisis data kecemasan pasien neurosa sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan yang diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dapat dilihat pada gambar 1 gambar 1 kecemasan pasien neurosa pada kelompok perlakuan dan kontro sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dalam di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar tahun 2015 tabel 5 sebaran data kualitas tidur pasien neurosa pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dalam kelompok n parameter p value perlakuan (pre) 13 shapiro-wilk 0,077 perlakuan (post) 13 shapiro-wilk 0,060 kontrol (pre) 13 shapiro-wilk 0,437 kontrol (post) 13 shapiro-wilk 0,297 perlakuan + kontrol (pre) 26 shapiro-wilk 0,012 perlakuan + kontrol (post) 26 shapiro-wilk 0,261 hasil analisis sebaran data kualitas tidur pasien neurosa sebelum dan sesudah pada kelompok perlakuan yang diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dalam didapatkan sebaran normal dengan p>0,05. analisis data kualitas tidur pasien neurosa sebelum dan sesudah pada kelompok perlakuan yang diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dapat dilihat pada gambar 2 p 0,000 independen t-test p 0,005 p 0,013 p 0,000 p 0,082 independen t-test p 0,070 independen t-test p 0,000 independen t-test p 0,513 wulandari, wihastuti dan supriati, pengaruh relaksasi otot.....167 gambar 2 kualitas tidur pasien neurosa pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif dan kelompok kontrol yang diberikan nafas dalam di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar tahun 2015 tabel 6 hubungan kecemasan dengan kualitas tidur pasien neurosa di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar tahun 2015 variabel r p value kecemasan dengan kualitas tidur pasien neurosa sebelum diberikan terapi -0,043 0,836 kecemasan dengan kualitas tidur pasien neurosa sesudah sebelum diberikan terapi 0,281 0,165 pembahasan kecemasan pasien neurosa sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif pada kelompok perlakuan di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kecemasan pasien neurosa pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah diberikan relaksasi otot progresif dengan p 0,000 (p<0,05). terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu intervensi keperawatan yang terbukti efektif untuk mengurangi ansietas dimana berkurangnya kecemasan akan mempengaruhi berbagai gejala fisiologis dan psikologis seseorang. stuart & laraia (2005) menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dari segi fisik seperti tanda-tanda vital, gangguan pola makan, pola tidur dan adanya ketegangan otot. dalam hal ini relaksasi otot progresif bermanfaat untuk menghambat jalur umpan balik dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatik dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat sikap positif sehingga rangsangan stress terhadap hipotamus berkurang (copstead & banasik, 2000). hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh jeong lee, bhattachary et al (2012) bahwa relaksasi otot progresif efektif untuk relaksasi dan munurunkan ansietas pada pasien yang menjalani kemoterapi. dalam pelaksanaannya, terapi ini dilakukan secara individu yang bertempat dirumah masing-masing pasien neurosa. kondisi tersebut memungkinkan pasien untuk mendapat posisi yang nyaman saat dilakukan terapi dan dapat berkonsentrasi karena lingkungan yang tenang. lama terapi 30-45 menit 1 kali seminggu selama 5 minggu. hal tersebut sesuai dengan pendapat gift, 1992; peck 1997 dalam synder & lynquist (2002) bahwa elemen penting yang diperlukan untuk membuat rileks yaitu lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman, sikap yang baik. untuk hasil yang maksimal dianjurkan dilakukan secara rutin selama 2530 menit. agee, burg & grant, (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa gerakan yang dilakukan pada relaksasi otot progresif sebanyak 1 kali/minggu selama 5 minggu dapat menurunkan kecemasan. neurosa merupakan reaksi psikis dengan gejalanya yaitu kecemasan yang secara tidak sadar ditampilkan dalam berbagai bentuk tingkah laku, hal ini dilatarbelakangi oleh tekanan emosi, konflik dan frustasi. kecemasan yang dirasakan secara langsung diubah oleh berbagai mekanisme pertahanan psikologis dan kemudian muncullah gejala-gejala subjektif yang mengganggu (verhaeghe & vanheule, 2005). menurut (videbeck (2008) & stuart (2009) kecemasan merupakan kekhawatiran yang tidak jelas yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. terapi relaksasi otot progresif yang dilakukan yaitu 3 sesi secara langsung dalam satu kali pertemuan. pada sesi satu yaitu mengidentifikasi ketegangan otot yang dirasakan, dilanjutkan ke sesi dua yaitu pelaksanaan relaksasi otot dengan 14 gerakan dan sesi yang ketiga yaitu evaluasi hasil terapi. gerakan yang dilakukan yaitu dengan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu. gerakan mengencangkan dan melemaskan otot ini dilakukan secara berturut-turut dan perhatian klien diarahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi tegang. hal ini sesuai dengan penelitian ramdhani (2008) bahwa relaksasi otot progresif merupakan bagian dari terapi relaksasi yang terdiri dari 3 sesi. terapi ini digunakan sebagai suatu ketrampilan koping yang mengajarkan 168 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.163-172 klien kapan dan bagaimana melakukan relaksasi dan kenyamanan di bawah kondisi yang dapat menimbulkan kecemasan. terapi ini dilakukan dengan gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagian tubuh dalam satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. dengan mengetahui lokasi dan merasakan otot yang tegang maka klien dapat merasakan hilangnya ketegangan sebagai salah satu respon kecemasan. terapi relaksasi otot progresif akan merangsang pengeluaran zat kimia endorphin dan enkefalin serta merangsang signal otak yang dapat menyebabkan otot rileks dan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga dapat membuat pikiran terasa tenang dan rileks. dalam penelitian ini jenis kelamin responden rata-rata pada kelompok perlakuan adalah perempuan. kaplan dan saddock (2005) menyatakan bahwa perempuan 2-3 kali lebih mudah mengalami kecemasan dibandingkan laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan lebih mendahulukan emosi. sehingga pada saat mengalami stres, aspek emosilah yang lebih tersentuh yang berdampak pada kondisi kesehatannya. selain jenis kelamin, pekerjaan juga merupakan sumber eksternal yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan (suliswati, 2005). hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian bahwa rata-rata responden bekerja swasta. pekerjaan berkaitan dengan status ekonomi yang dimiliki yang akan mempengaruhi munculnya stres yang lebih lanjut dapat mencetuskan kecemasan. hal ini sesuai dengan penelitian tarwoto dan wartonah (2008), bahwa terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi kecemasan diantaranya maturitas individu, tipe kepribadian dan pendidikan. terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu bentuk terapi relaksasi yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami ansietas dengan manifestasi adanya ketegangan otot. pada relaksasi otot progresif kontraksi otot akan diikuti dengan relaksasi pada 14 kelompok otot (berstein & borkovec, 1973 dalam kwekkeboom & gretarsdottir, 2006 ; conrad & roth, 2007; supriati, 2010, alini, 2012). latihan relaksasi otot progresif yang rutin akan meningkatkan kemampuan klien untuk melakukan relaksasi yang nantinya akan berkontribusi terhadap penurunan kecemasan. kualitas tidur pasien neurosa sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif pada kelompok perlakuan di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kualitas tidur pasien neurosa pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah diberikan intervensi dengan p 0,000 (α<0,05). dalam penelitian didapatkan hasil bahwa relaksasi otot progresif menunjukkan manfaat dalam mengurangi ketegangan dan ansietas, pasien yang berkonsentrasi penuh saat melakukan terapi merasakan rileksasi maksimal yang membuat pasien tertidur. hal ini sesuai dengan penelitian prayitno (2002) bahwa terapi yang dilakukan dengan baik dan penuh dengan konsentrasi akan memperbaiki berbagai gejala fisiologis dan psikologis seseorang karena dapat menciptakan keadaan yang rileks dan efektif dalam memperbaiki tidur. pendapat lain juga dikemukakan oleh widastra (2009) bahwa beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kebutuhan tidur secara kualitas dan kuantitas adalah metode bootzin dan metode relaksasi, namun pendekatan relaksasi yang paling banyak digunakan adalah relaksasi otot progresif. dalam penelitian didapatkan rata-rata pasien mempunyai kualitas tidur yang tidak baik karena beban psikologis yang dirasakan misalnya kondisi keluarga, hubungan dengan anggota keluarga, kenakalan anak, hubungan dengan pasangan, kehilangan orang yang dicintai dan sebagainya. hal inilah yang membuat pasien susah untuk memulai tidur, mudah terbangun saat malam hari dan tidak mendapatkan kualitas tidur yang baik. hal ini sesuai dengan teori dari stuart & laraia (2005) yang menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dari segi fisik seperti tandatanda vital, gangguan pola makan, pola tidur dan adanya ketegangan otot. relaksasi otot progresif didasari pada mekanisme kerja relaksasi otot progresif dalam mempengaruhi kebutuhan tidur, dimana terjadi respon relaksasi (trophotropic) yang menstimulasi semua fungsi dimana kerjanya berlawanan dengan system saraf simpatis sehingga tercapai keadaan rileks dan tenang. perasaan rileks ini akan diteruskan ke wulandari, wihastuti dan supriati, pengaruh relaksasi otot.....169 hipotalamus untuk menghasilkan corticotropin releasing factor (crf) yang nantinya akan menstimulasi kelenjar pituitary untuk meningkatkan produksi beberapa hormone, seperti β-endorphin, enkefalin dan serotonin (ramdhani, 2008). respon relaksasi terjadi karena terangsangnya aktifitas sistem saraf otonom parasimpatis nuclei rafe sehingga menyebabkan perubahan yang dapat mengontrol aktivitas sistem saraf otonom berupa pengurangan fungsi oksigen, frekuensi nafas, denyut nadi, ketegangan otot, tekanan darah, serta gelombang alfa dalam otak sehingga mudah untuk tertidur (guyton dan hall, 2000). selain itu menurut mccloughan, hanrahan, anderson et al (2014) relaksasi otot progresif merupakan terapi alternatif untuk memenuhi kebutuhan tidur pasien. tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan yang memungkinkan tubuh dan pikiran tetap berfungsi optimal. selama periode tidur otak akan mengolah memori jangka panjang, mengintegrasikan informasi yang baru serta memperbaiki jaringan otak dan sel saraf serta berperan dalam proses biokimia. kualitas tidur yang kurang sangat merugikan dan mempengaruhi kesejahteraan yang berdampak negatif terhadap fungsi fisiologis, psikologis dan pekerjaan seseorang(riegel & weaver, 2009). relaksasi otot progresif dapat membuat pikiran terasa tenang, rileks dan lebih mudah untuk tidur (conrad & roth, 2007). kecemasan pasien neurosa sebelum dan sesudah diberikan terapi nafas dalam pada kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kecemasan pasien neurosa pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan intervensi nafas dalam dengan nilai p 0.013 (α <0,05). dalam penelitian ini antara kelompok kontrol dan perlakuan pasien neurosa samasama dilakukan terapi selama 5 minggu, bentuk tindakan yang dilakukan pada kelompok kontrol ini yaitu mengajarkan bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dengan irama konstan dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. selain itu pasien diminta untuk berkonsentrasi dengan baik saat melakukan nafas dalam ini, sehingga akan memberikan kenyamanan pada pasien yang berdampak pada penurunan kecemasan yang dirasakan. hal ini sesuai dengan teori dari synder & lindquist (2002) yang menyatakan bahwa nafas dalam merupakan salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang mengembangkan metode fisiologis untuk melawan ketegangan dan kecemasan. nafas dalam ini dilakukan dengan frekuensi lambat dan berirama, juga dilakukan dengan cara memejamkan mata dan bernafas secara perlahan dan nyaman. irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan ekshalasi. latihan ini dapat menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot yang dapat menghentikan kecemasan. teknik relaksasi nafas dalam dipercaya juga mampu merangsang tubuh untuk melepaskan endogen yaitu endorphin dan enkefalin (smeltzer & bare, 2002) yang dapat memberikan rasa nyaman selain itu relaksasi yang dilakukan juga dapat mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah yang akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme. kualitas tidur pasien neurosa sebelum dan sesudah diberikan terapi nafas dalam pada kelompok kontrol di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kualitas tidur pasien neurosa pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa nafas dalam dengan nilai p 0.82 (α<0,05). nafas dalam merupakan teknik relaksasi sederhana yang terdiri atas nafas dalam dengan frekuensi lambat, dan berirama. klien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan ekshalasi (synder & lindquist, 2002). smeltzer & bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun 170 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.163-172 emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan. perbedaan kecemasan pasien neurosa sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif (kelompok perlakuan) dan nafas dalam (kelompok kontrol) di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kecemasan pasien neurosa antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah diberikan intervensi dengan nilai p 0,005 dimana p<0,05. respon fisiologis terjadinya ansietas merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin/neurotransmitter serta melibatkan struktur anatomi didalam otak (fontaine, 2009). respon fisiologis fight or fight pada saat seseorang mengalami kejadian potensial berbahaya maka akan terjadi respon sistem saraf simpatis yang akan meningkatkan aktivasi kelenjar adrenal. respon ini mengaktivasi sistem saraf untuk memacu aliran darah ke otot-otot skelet. hal ini juga didukung dengan pendapat dari center for clinical intervention (2008) yang mengatakan bahwa aktivasi sistem saraf sebagai persiapan kejadian berbahaya oleh tubuh juga akan bermanifestasi sebagai ketegangan otot sebagai salah satu tanda fisiologis yang paling sering dari ansietas. pada penelitian ini kelompok perlakuan mendapatkan terapi relaksasi otot progresif yang terdiri dari 3 sesi dimana 3 sesi langsung dilakukan dalam satu kali kunjungan. terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu bentuk terapi relaksasi yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami ansietas dengan manifestasi adanya ketegangan otot. rangkaian sesi tersebut diantaranya adalah mengidentifikasi ketegangan otot-otot tertentu yang dirasakan oleh pasien, melaksanakan tehnik relaksasi pada 14 kelompok otot meliputi tangan, tangan bagian belakang, otot-otot bisep, otot bahu, otot dahi, otot mata, otot mulut, otot rahang, otot leher belakang, otot leher depan, otot punggung, otot dada, otot perut dan otot paha. pada sesi ketiga yaitu mengevaluasi kemampuan klien dalam melakukan latihan relaksasi progresif. evaluasi dilakukan setiap selesai melakukan terapi utnuk menilai kemampuan dan pemahaman pasien dalam melakukan tahapan relaksasi otot, apakah sudah mampu melakukannya secara benar atau belum. hal ini sudah sesuai dengan penelitian bahwa pelaksanann relaksasi otot progresif dapat dilakukan 4 sesi dengan melakukan kontraksi otot yang diikuti dengan relaksasi otot pada 14 kelompok otot yaitu tangan dan lengan, bisep, dahi, pipi atas dan hidung, pipi bawah dan rahang, leher dan tenggorokan, dada dengan bahu dan punggung atas, perut, paha, betis dan kaki (berstein & borkovec, 1973 dalam kwekkeboom & gretarsdottir, 2006 ; conrad & roth, 2007; supriati, 2010, alini, 2012). dalam hal ini relaksasi otot progresif bermanfaat untuk menghambat jalur umpan balik dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatik dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat sikap positif sehingga rangsangan stress terhadap hipotamus berkurang (frisch & frisch, 2006). untuk kelompok kontrol diberikan relaksasi nafas dalam yaitu mengajarkan bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dengan irama konstan dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. selain itu pasien diminta untuk berkonsentrasi dengan baik saat melakukan nafas dalam ini, sehingga akan memberikan kenyamanan pada pasien yang berdampak pada penurunan kecemasan yang dirasakan. hal ini sesuai dengan teori dari synder & lindquist (2002) yang menyatakan bahwa irama yang konstan saat nafas dalam dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan ekshalasi. latihan ini dapat menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot yang dapat menghentikan kecemasan. kusumawati & hartono (2010) memaparkan bahwa ketegangan dalam kehidupan yang dapat menyebabkan kecemasan diantaranya adalah peristiwa traumatik individu baik krisis perkembangan maupun situasional seperti peristiwa bencana, konflik emosional individu yang tidak terselesaikan dengan baik, konsep diri yang terganggu yang akan dapat menimbulkan ketidakmampuan individu berfikir secara realistis, frustasi atau rasa ketidakberdayaaan untuk mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego serta pola meknisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress yang akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik. wulandari, wihastuti dan supriati, pengaruh relaksasi otot.....171 perbedaan kualitas tidur pasien neurosa sesudah diberikan terapi relaksasi otot progresif (kelompok perlakuan) dan nafas dalam (kelompok kontrol) di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skor kualitas tidur pasien neurosa antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah diberikan intervensi dengan nilai p 0,000 dimana p<0,05. dalam penelitian didapatkan rata-rata pasien mengalami penurunan kualitas tidur dikarenakan kecemasan yang dialami misalnya kondisi keluarga, hubungan dengan anggota keluarga, kenakalan anak, hubungan dengan pasangan, kehilangan orang yang dicintai dan sebagainya. hal inii sesuai dengan pendapat kartono (1980) bahwa penyebab neurosa dapat berasal dari individu seperti keterbatasan dan kegagalan individu dalam menghadapi masalahnya. diperkuat dengan pendapat stuart & laraia (2005) bahwa seseorang yang sering mengalami kecemasan dalam kehidupannya akan mudah mengalami ansietas di kemudian hari. terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu bentuk terapi relaksasi yang dapat diberikan pada pasien yang mengalami ansietas dengan manifestasi adanya ketegangan otot. prosedur untuk mendapatkan relaksasi otot melalui dua langkah yaitu dengan memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, menghentikan tegangan tersebut dan memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks dan ketegangan menghilang (richmon, 2007). dampak relaksasi akan menghasilkan efek perasaan tenang dan mengurangi ketegangan. hubungan antara kecemasan dengan kualitas tidur pasien neurosa di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar sebelum dan sesudah diberikan intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kecemasan dengan kualitas tidur pasien neurosa dengan nilai p 0,165 (p value< 0,05) dan nilai r = 0,281 yang menunjukkan kekuatan hubungan lemah. stuart & laraia (2005) menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kecemasan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dari segi fisik seperti tanda-tanda vital, gangguan pola makan, pola tidur dan adanya ketegangan otot. relaksasi otot progresif menunjukkan manfaat dalam mengurangi ketegangan dan ansietas yang akan memperbaiki berbagai gejala fisiologis dan psikologis seseorang. brown (1997 dalam synder & lindquist, 2002) menyebutkan bahwa respon stres adalah bagian dari jalur umpan balik yang tertutup antara otototot dan pikiran. penilaian terhadap stressor mengakibatkan ketegangan otot yang mengirimkan stimulus ke otak dan membuat jalur umpan balik. latihan relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. relaksasi otot akan menghambat jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf parasimpatis dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untuk memperkuat sikap positif sehingga rangsangan stres terhadap hipotalamus menjadi minimal. prinsip yang mendasari penurunan ketegangan oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem syaraf otonom yang merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi, akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri akibat dari ketegangan yang dirasakan. secara fisiologis tubuh akan memproduksi endogen untuk menghambat impuls nyeri yang ditimbulkan oleh ketegangan yang dirasakan. endogen terdiri dari endorfin dan enkefalin, apabila tubuh mengeluarkan substansi-substansi ini maka salah satu efeknya adalah meredakan ketegangan yang dirasakan (smeltzer & bare, 2002). respon relaksasi terjadi karena terangsangnya aktifitas sistem saraf otonom parasimpatis nuclei rafe sehingga menyebabkan perubahan yang dapat mengontrol aktivitas sistem saraf otonom berupa pengurangan fungsi oksigen, frekuensi nafas, denyut nadi, ketegangan otot, tekanan darah, serta 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.163-172 gelombang alfa dalam otak sehingga mudah untuk tertidur (guyton dan hall, 2000). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi relaksasi otot progresif pada kelompok perlakuan dan nafas dalam pada kelompok kontrol terhadap penurunan kecemasan dan peningkatan kualitas tidur pasien neurosa di wilayah kerja puskesmas kepanjen kidul kota blitar. saran bagi perawat psikiatrik dan pemegang program kesehatan jiwa di puskesmas diharapkan dapat menerapkan terapi relaksasi otot progresif untuk menurunkan kecemasan pasien neurosa. daftar pustaka arntz, a. 2003. cognitive therapy versus applied relaxation as treatment of generalized anxiety disorder. journal behaviour research and therapy, 41 (633–646). bussye, d.j., reynolds, c.f., monk, t.h et al. (1989). the pittsburgh sleep quality index (psqi): a new instrument for psychiatric research and practice psychiatry research, 28 (193-213). bephage, g. (2005). promoting quality sleep in order people: the nursing care role. british journal nursing, 14(4). badan penelitian dan pengembangan kesehatan departemen kesehatan ri. 2007. laporan nasional riset kesehatan dasar. www. riskesdas. litbang depkes. go.id. diakses tanggal 2 februari 2015. bebbington, p.e., brugha, s., meltzer, h et al. 2000. neurotic disorders and the receipt of psychiatric treatment. journal psychological medicine, 30(1369-1376). bush, l.a., armento, e.a., weiss.j.b et al. (2012). the pittsburgh sleep quality index in older primary care patients with generalized anxiety disorder: journal psychometrics and outcomes following cognitive behavioral therapy psychiatry research, 199 (24–30). www.elsevier.com/locate/psychres colten, r., harvey., altevogt, m.b. (2006). sleep disorders and sleep deprivation: an unmet public health problem. washington, dc: the national academic press. conrad, a., roth, w.t. 2007. muscle relaxation therapy for anxiety disorders: it works but how?. journal of anxiety disorders, 21 (243–264). dogan, o., ertekin, s., dogan, s. et al. (2005). sleep quality in hospitalized patients. journal of clinical nursing, 14 (107113). frisch, n.c & frisch, l.e. 2006. psychiatric mental health nursing (3th ed). new york: thomson delmar lerning. fontaine, k.l. 2009. mental health nursing (7 th edition). new jersey: pearson education, inc. freeman, d., garety, p.a. 2003. connecting neurosis and psychosis: the direct influence of emotion on delusions and hallucinations. behaviour research and therapy, 41(923–947). hardy, s. (2008). a double bind: disturbed sleep and depression. practice nursing, 9(2). judith, t.r., julie, t.s., and elizabeth, v.w. (2010). managing sleep disorder in elderly. nurse practitioner, 35 5 (30-37). jeong, l.e., bhattacharyab, j., sohnc, c., verresa, r. 2012. monochord sounds and progressive muscle relaxation reduce anxiety and improve relaxation during chemotherapy. journal complementary therapies in medicine, 20(409—416). www.elsevierhealth.com/journals/ctim kaplan & sadock. 2007. sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis jilid 1. jakarta: bina rupa aksara keliat, b.a, akemat. 2010. model praktik keperawatan profesional jiwa. jakarta: egc. kusumawati, f, hartono.y. 2010. buku ajar keperawatan jiwa. jakarta: salemba medika loriz, l.m. (2004). excessive daytime sleepiness: how to help your patient manage. clinical excelelence for nursing practitioners, 8(2). langford , d,j., lee , k., miaskowski, c. (2012). sleep disturbance interventions in oncology patients and family caregivers: a comprehensive review and meta-analysis sleep medicine http://www.elsevier.com/locate/psychres http://www.elsevierhealth.com/journals/ctim wulandari, wihastuti dan supriati, pengaruh relaksasi otot.....173 reviews, 16(397-414). www.elsevier.com/locate/smrv maramis, w.f. 2006. catatan ilmu kedokteran jiwa. surabaya: airlangga university press. notoatmodjo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nishiyama, t., mizuno, t., kojima, m et al. (2014). criterion validity of the pittsburgh sleep quality index and epworth sleepiness scale for the diagnosis of sleep disorders. journal sleep medicine, 15(422–429). patlak, m. (2005). your guide to healthy sleep. u.s. departement of health and human services: nih publication no.065271. ramdhani, n & putra, a.a. 2008. pengembangan multimedia relaksasi. yogyakarta: bagian psikologis klinis fakultas psikologi ugm riegel, b., weaver, t.e. (2009). poor sleep and impaired self-care: toward a comprehensive model linking sleep, cognition, and heart failure outcomes. eur j cardiovasc nurs, 5(337-344). stuart, g.w & laraia, m.t. 2005. principles and practice of psychiatric nursing (7th edition). st. louis: mosby stuart, g.w. 2009. principles and practice of psychiatric nursing (9th edition). st. louis: mosby tarwoto & wartonah. 2003. kebutuhan dasar manusia & proses keperawatan. edisi pertama. jakarta: salemba medika. townsend, c.m. 2005. essentials of psychiatric mental health nursing (3th ed). philadelphia: f.a. davis company. varcolis, e.m. 2006. psychiatric nursing clinical guide: assesment tools and diagnosis. philadelphia. w.b saunders co. videbeck, s.l. 2008. buku ajar keperawatan jiwa. jakarta: egc verhaeghe, p., vanheule , s. 2005. actual neurosis and ptsd. journal the impact of the other psychoanalytic psychology, 22 4(493–507). wilson, s. (2008). a good night”s sleep, part one: normal sleep. nursing & residential care, 10 11 zhao, l., wub, h., zhou , x et al. 2012. effects of progressive muscular relaxation training on anxiety, depression and quality of life of endometriosis patients under gonadotrophin-releasing hormone agonist therapy. european journal of obstetrics & gynecology and reproductive biology, 162(211–215). http://www.elsevier.com/locate/smrv 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.163-172 175 83yuliawati, astutik, hubungan faktor perinatal dan neonatal... 83 hubungan faktor perinatal dan neonatal terhadap kejadian ikterus neonatorum (the relationship between perinatal and neonatal factors on the neonatal jaundice) dwi yuliawati, reni yuli astutik program studi d3 kebidanan stikes karya husada kediri email: reniyuliastutik@ymail.com abstract: neonatal jaundice is the cause of 6.6% of newborns aged 0-8 days in indonesia. jaundice can be physiological and pathological which can cause persistent or death disorders. the aim of the study is to determine the relationship between perinatal and neonatal factors with the incidence of neonatal jaundice in the district hospital of kediri. the research design is a correlation with a retrospective cohort approach. the research sample consisted of 54 respondents using simple random sampling. data collection with medical record in october 2017. data analysis using chi-square test and fisher exact test. test results showed that there was a relationship between birth weight (p = 0.018; por 0.085 95% ci 0.10-0.713), gestational age (p = 0.044; por = 0.202 95% ci 0.049-0.836), perinatal complications (p = 0,031; por = 4,714 95% ci 1,250-17,784) with the incidence of neonatal jaundice and there was no correlation between gender (p = 0,441; por = 0,503 95% ci 0,143-1,767) with the incidence of neonatal jaundice in rsud kediri. the absence of sex relations with the incidence of neonatal jaundice is probably due to other factors that are more influential. conditions of low birth weight, prematurity, male sex, perinatal complications (asphyxia / sepsis / cephalhematom) lead to the occurrence of pathological jaundice in infants.. keywords: birth weight, gestational age, perinatal complications, gender, neonatal jaundice abstrak: ikterus neonatorum adalah penyebab 6,6% bayi baru lahir usia 0-8 hari di indonesia. ikterus dapat bersifat fisiologis dan patologis yang dapat menimbulkan gangguan menetap atau kematian tujuan penelitian yaitu mengetahui hubungan faktor perinatal dan neonatal dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. desain penelitian yaitu korelasi dengan pendekatan kohort retrospektif. sampel penelitian sebanyak 54 responden menggunakan simple random sampling. pengumpulan data dengan rekam medik pada bulan oktober 2017. analisa data menggunakan uji chi-square dan fisher exact test. hasil uji didapatkan terdapat hubungan antara berat lahir (p= 0,018; por 0,085 95% ci 0,10-0,713), usia gestasi (p= 0,044; por= 0,202 95% ci 0,049-0,836), komplikasi perinatal (p= 0,031; por= 4,714 95% ci 1,250-17,784) dengan kejadian ikterus neonatorum dan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin (p=0,441; por=0,503 95% ci 0,143-1,767) dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. tidak adanya hubungan jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum kemungkinan disebabkan adanya faktor lain yang lebih berpengaruh. kondisi bblr, prematuritas, jenis kelamin laki-laki, komplikasi perinatal (asfiksia/sepsis/sefalhematom) mengarah pada terjadinya ikterus patologis pada bayi. kata kunci: berat lahir, usia gestasi, komplikasi perinatal, jenis kelamin, ikterus neonatorum jurn http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ al ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 © 2018 jurnal ners dan kebidanan doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p083–089 this is an open access article under the cc by-sa license ( ) 84 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 83–89 pendahuluan ikterus pada sebagian bayi dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi dengan kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dl. proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direct > 1 mg/dl, juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis (manuaba, 2010). hiperbilirubin adalah salah satu fenomena klinis paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. penyebab kematian bayi baru lahir usia 0-8 hari di indonesia adalah gangguan pernafasan (36,9%), prematuritas (32,4%), sepsis (12%), hipotermi (6,8%), ikterus (6,6%) dan lain-lain. sedangkan penyebab kematian bayi usia 7-28 hari adalah sepsis (20,5%), kelainan kongenital (18,1%), pneumonia (15, 4%), pr ema tur ita s da n bblr (12, 8%) (riskerdas, 2010). di kabupaten kediri, jumlah kematian bayi pada tahun 2015 mencapai 188 bayi, dimana 85,11% kematian bayi terjadi pada masa neonatus yaitu 0-28 hari. sedangkan di rsud ka bupa ten kedir i, a ngka keja dia n ikter us neonatorum mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dikarenakan semakin banyak pula bayi yang mengalami bblr yaitu 44%. (dinas kesehatan kabupaten kediri, 2016). penyebab ikterus pada neonatus dapat disebabkan oleh banyak faktor. menurut zaben b dkk (2010), faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di wilayah asia dan asia tenggara antara lain, inkompatibilitas abo, defisiensi enzim g6pd, bblr, sepsis neonatorum,dan prematuritas. banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram atau < 37 minggu) yang mengalami ikterus pada mingguminggu pertama kehidupannya. terjadinya hiperbillirubin pada bayi baru lahir yaitu 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. (wiknjosastro, 2009). sefalhematoma merupakan faktor risiko mayor dan jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko minor terjadinya hiperbilirubin berat pada bayi usia kehamilan  35 minggu (kosim dkk, 2014). berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan faktor perinatal dan neonatal dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. tujuan penelitian ini adalah: 1) menganalisis hubungan berat lahir bayi dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri, 2) menganalisis hubungan usia gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri, 3) menganalisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri, 4) menganalisis hubungan komplikasi perinatal (asfiksia/ sepsis/ sefalhematom) dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik korelasional dengan pendekatan kohort retrospektif. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi dengan ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri pada bulan januari – desember 2016 berjumlah 61 bayi. sampel dalam penelitian adalah sebagian dari keseluruhan populasi yang memenuhi kriteria inklusi. pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan simple random sampling ya itu 54 sa mpel. ada pun variabel penelitian yaitu berat lahir, usia gestasi, jenis kelamin, komplikasi perinatal (asfiksia/ sepsis/ sefalhematom) dan ikterus neonatorum. data dikumpulkan dengan menggunakan rekam medis untuk mendapatkan data faktor perinatal (komplikasi perinatal), neonatal (berat lahir, usia gestasi, jenis kelamin) dan kadar bilirubin bayi. waktu penelitian adalah bulan oktober 2017 di rsud kabupaten kediri. analisis hubungan antara faktor neonatal (berat lahir, usia gestasi, jenis kelamin) dengan kejadian ikterus neonatorum dilakukan dengan menggunakan uji chi kuadrat, sedangkan analisis hubungan antara faktor perinatal (komplikasi perinatal) dengan kejadian ikterus neonatorum menggunakan fisher’s exact test . hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel dibawah no pendidikan frekuensi (f) persentase (%) 1 dasar 32 59,26 2 menengah 19 35,19 3 tinggi 3 5,55 total 54 100,00 tabel 1 di str i busi fr e kue nsi pe ndi dik an ibu responden 85yuliawati, astutik, hubungan faktor perinatal dan neonatal... berdasarkan tabel 3 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden lahir dengan berat lahir normal yaitu sebanyak 62,96%. berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden berpendidikan dasar (sd,mi,smp,mts) yaitu 59,26 %. no pekerjaan frekuensi (f) persentase (%) 1. irt 41 75,93 2. petani 1 1,85 3. karyawan swasta 7 12,96 4. wiraswasta 4 7,41 5. pns 1 1,85 total 54 100,00 tabel 2 distribusi frekuensi pekerjaan ibu responden no berat lahir frekuensi (f ) persentase (%) 1 bblr 20 37,04 2 normal 34 62,96 total 54 100,00 tabel 3 distribusi frekuensi berat lahir bayi berdasarkan tabel 2 di atas diketahui bahwa sebagian besar ibu responden adalah ibu rumah tangga (irt) yaitu sebanyak 75,93%. no usia gestasi frekuensi (f) persentase (%) 1 prematur 26 48,15 2 aterm 28 51,85 total 54 100,00 tabel 4 distribusi frekuensi usia gestasi berdasarkan tabel 4 di atas diketahui bahwa seba gia n besa r r esponden lahir a ter m ya itu sebanyak 51,85%. no jenis kelamin frekuensi (f) persentase (%) 1 laki-laki 26 48,15 2 perempuan 28 51,85 total 54 100,00 tabel 5 distribusi frekuensi jenis kelamin berdasarkan tabel 5 di atas diketahui bahwa seba gian besa r r esponden per empuan ya itu sebanyak 51,85%. no komplikasi frekuensi persentase perinatal (f ) (%) 1 tidak ada komplikasi 14 25,93 2 ada komplikasi 40 74,07 total 54 100,00 tabel 6 distribusi frekuensi komplikasi perinatal berdasarkan tabel 6 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden ada komplikasi perinatal yaitu sebanyak 74,07%. no ikterus frekuensi (f ) persentase (%) 1 ikterus fisiologis 14 25,93 2 ikterus patologis 40 74,07 total 54 100,00 tabel 7 distribusi frekuensi ikterus neonatorum berdasarkan tabel 7 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden ikterus patologis yaitu sebanyak 74,07%. berdasarkan tabel 8, diketahui bahwa responden dengan bblr, hampir seluruh responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 95,0%. (f) (%) (f) (%) (f) (%) 1 bblr 1 5,0 19 95,0 20 100,0 2 normal 13 8,2 21 61,8 34 100,0 total 14 5,9 40 74,1 54 100,0 tabel 8 hubungan berat lahir bayi dengan kejadian ikterus neonatorum no berat lahir kejadian ikterus neonatorum total ikterus fisiologis ikterus patologis 86 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 83–89 berdasarkan tabel 9 diatas diketahui bahwa responden yang lahir prematur, hampir seluruh responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 88,5%. sedangkan responden yang lahir aterm, sebagian besar responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 60,7% dari uji statistik chi-square dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan p= 0,04; por= 0,202 95% ci: 0,049-0,836 menunjukkan p= 0,04 kurang dari tingkat signifikasi  = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara usia gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. sedangkan responden dengan berat lahir normal, sebagian besar responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 61,8%. dari uji statistik chi-square dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan p= 0,018; por= 0,085 95% ci: 0,10-0,713 menunjukkan p= 0,018 kurang dari tingkat signifikasi  = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara berat lahir bayi dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. tabel 9 hubungan usia gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum (f) (%) (f) (%) (f) (%) 1 prematur 3 11,5 23 88,5 26 100,0 2 aterm 11 39,3 17 60,7 28 100,0 total 14 25,9 40 74,1 54 100,0 no usia gestasi kejadian ikterus neonatorum total ikterus fisiologis ikterus patologis tabel 10 hubungan jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum (f) (%) (f) (%) (f) (%) 1 laki-laki 5 19,2 21 80,8 26 100,0 2 perempuan 9 32,1 19 67,9 28 100,0 total 14 25,9 40 74,1 54 100,0 no jenis kelamin kejadian ikterus neonatorum total ikterus fisiologis ikterus patologis berdasarkan tabel 10 diatas diketahui bahwa responden laki-laki, hampir seluruh responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 80,8%. sedangkan responden perempuan, sebagian besar responden yaitu mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 67,9%. dari uji statistik chi-square dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan p= 0,44; por= 0,503 95% ci 0,143-1,767 menunjukkan bahwa p= 0,44 lebih dari tingkat signifikasi  = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri, meskipun demikian nilai por= 0,503 95% ci 0,143-1,767, artinya neonatus jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko 0,503 kali mengalami ikterus neonatorum dibandingkan dengan neonatus jenis kelamin perempuan. berdasarkan tabel 11, diketahui bahwa responden tanpa komplikasi (asfiksia/sepsis/sefalhematom), setengahnya mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 50,0%. sedangkan responden dengan komplikasi (asfiksia/ sepsis/ sefalhematom), hampir seluruh responden mengalami ikterus patologis yaitu sebanyak 82,5%. dari uji statistik fisher’s exact test dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan p= 0,031; por 4,714 95% ci 1,250-17,784 menunjukkan p= 0,031 kurang dari tingkat signifikasi  = 0,05, maka 87yuliawati, astutik, hubungan faktor perinatal dan neonatal... dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi perinatal (asfiksia/sepsis/ sefalhematom) dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. pembahasan hubungan berat lahir dengan kejadian ikterus neonatorum dari uji statistik chi-square dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan p = 0,018; por = 0,085 95% ci: 0,10-0,713 menunjukkan p = 0,018 kurang dari tingkat signifikasi  = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara berat lahir bayi dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. pada penelitian ini, dari 20 responden dengan bblr, sebagian kecil responden yaitu 1 responden (5,0%) mengalami ikterus fisiologis dan hampir seluruh responden yaitu 19 responden (95,0%) mengalami ikterus patologis. kondisi bblr menyebabkan pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna (sukadi, 2008). proses konjugasi bilirubin yang tidak sempurna ini menyebabkan terjadinya gangguan dalam uptake bilirubin yang menyebabkan bayi mengalami ikterus. hasil penelitian rohani dan rini (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara berat badan lahir bayi dengan kejadian ikterus neonatorum. hal ini mendukung hasil penelitian bahwa kondisi bblr mengarah pada terjadinya ikterus patologis pada bayi. hubungan usia gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum dari uji statistik chi-square dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan p= 0,04; por= 0,202 95% ci: 0,049-0,836 menunjukkan p= 0,04 kurang dari tingkat signifikasi  = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara usia gestasi dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. pada penelitian ini, dari 26 responden lahir prematur, sebagian kecil responden yaitu 3 responden (11,5%) mengalami ikterus fisiologis dan hampir seluruh responden yaitu 23 responden (88,5%) mengalami ikterus patologis. kondisi prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada neonatus. hal ini dapat ditinjau dari aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik yang jelas menurun pada bayi prematur, sehingga konjugasi bilirubin tak terkonjugasi menurun. selain itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah merah yang pendek pada bayi prematur yang menyebabkan bilirubin indirek yang banyak dalam darah (martiza, 2010; aina, 2012). hasil penelitian tazami dkk (2013) menunjukkan bahwa ikterus neonatorum terjadi pada sebagian besar neonatus preterm yaitu sebanyak 51,2%. hal ini didukung oleh penelitian rohani dan rini (2017) yang menunjukkan bahwa usia gestasi paling dominan berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum. penelitian olusanya dkk (2015) juga menunjukkan hasil bahwa kehamilan preterm meningkatkan resiko hiperbilirubin berat atau disfungsi neorologis. hal ini mendukung hasil penelitian bahwa prematuritas mengarah pada terjadinya ikterus patologis pada bayi. hubungan jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum dari uji statistik chi-square dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan = 0,44 lebih dari tingkat signifikasi  = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. hasil penelitian tazami dkk (2013) menunjukkan bahwa ikterus neonatorum terjadi pada sebagian besar neonatus berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 69,8%. hal ini dikarenakan neonatus lakitabel 11 hubungan komplikasi perinatal dengan kejadian ikterus neonatorum (f) (%) (f) (%) (f) (%) 1 tidak ada komplikasi 7 50,0 7 50,0 14 100,0 2 ada komplikasi 7 17,5 33 82,5 40 100,0 total 14 25,9 40 74,1 54 100,0 no komplikasi kejadian ikterus neonatorum total ikterus fisiologis ikterus patologis 88 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 83–89 laki memiliki risiko ikterus lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus perempuan karena dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain : 1) prevalensi sindrom gilbert (kelainan genetik konjugasi bilirubin) dilaporkan lebih dari dua kali lipat ditemukan pada laki-laki (12,4%) dibandingkan pada perempuan (4,8%), 2) defisiensi g6pd yang merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia dan berkaitan dengan kromosom sex (x-linked) yang umumnya hanya bermanifestasi pada laki-laki. berdasarkan data penelitian, dari 26 responden laki-laki, sebagian kecil responden yaitu 5 responden (19,2%) mengalami ikterus fisiologis dan hampir seluruh responden yaitu 21 responden (80,8%) mengalami ikterus patologis, meskipun demikian tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum. tidak adanya hubungan tersebut, kemungkinan bisa disebabkan karena faktor lain yang lebih berpengaruh. menurut kosim dkk, 2014, jenis kelamin laki-laki merupakan salah satu faktor risiko minor hiperbilirubin berat pada bayi usia kehamilan  35 minggu. dari hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat faktor risiko mayor yang lebih berpengaruh terhadap terjadinya ikterus neonatorum. hubungan komplikasi perinatal (asfiksia/sepsis/sefalhematom) dengan ikterus neonatorum dari uji statistik fisher’s exact test dengan tingkat signifikan ( = 0,05) didapatkan p= 0,031 kurang dari tingkat signifikasi á = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi perinatal (asfiksia/sepsis/sefalhematom) dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri. pada penelitian ini, dari 40 responden dengan komplikasi (asfiksia/sepsis/ sefalhematoma), sebagian kecil responden yaitu 7 responden (17,5%) mengalami ikterus fisiologis dan hampir seluruh responden yaitu 40 responden (82,5%) mengalami ikterus patologis. terdapat dua pr oses ya ng melibatkan komplikasi perinatal (asfiksia / sepsis / sefalhematom) dengan risiko terjadinya ikterus neonatorum, yaitu: 1) gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar yang dapat disebabkan oleh hipoksia dan infeksi. sedangkan asfiksia sendiri dapat menyebabkan hipoperfusi hati, yang kemudian akan mengganggu uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit 1) produksi yang berlebihan, dalam hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada perdarahan tertutup dan sepsis (martiza, 2010). hasil penetian tazami dkk (2013), menunjukkan bahwa ikerus neonatorum terjadi pada hampir setengah responden dengan komplikasi perinatal (asfiksia/ sepsis/ sefalhematom) yaitu sebanyak 37,2%. hal ini didukung oleh penelitian rohani dan rini (2017) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara asfiksia dengan kejadian ikterus neonatorum. penelitian olusanya dkk (2015) juga menunjukkan hasil bahwa sepsis pada neonatus meningkatkan resiko hiperbilirubin berat atau disfungsi neorologis. hal ini mendukung hasil penelitian bahwa komplikasi perinatal (asfiksia/sepsis/ sefalhemato) mengarah pada terjadinya ikterus patologis pada bayi. simpulan dan saran simpulan terdapat hubungan antara berat lahir bayi, usia gestasi, komplikasi perinatal (asfiksia/sepsis/ sefalhematom) dengan kejadian ikterus neonatorum dan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ikterus neonatorum di rsud kabupaten kediri, namun neonatus jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko 0,503 kali mengalami ikterus neonatorum dibandingkan dengan neonatus jenis kelamin perempuan. saran hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan penyusunan strategi promosi kesehatan bagi petugas kesehatan rsud kabupaten kediri untuk mensosialisasikan faktor-faktor penyebab terjadinya ikterus dan langkah-langkah pencegahan ikterus dengan cara bimbingan konseling menggunakan media promosi lembar balik dan pembagian leaflet. selain itu bagi peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian lanjutan dan melakukan analisis yang lebih mendalam tentang faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum pada neonatus. daftar rujukan aina yt, omoigberale ai. 2012. risk factors for neonatal jaundice in babies presenting at the university of benin teaching hospital, benin city. niger j paed. 39(4):159-163 dinas kesehatan kabupaten kediri. 2016. profil kesehatan kabupaten kediri tahun 2016. kemenkes, ri. 2010. riset kesehatan dasar 2010. badan penelitian dan pengembangan kesehatan, kemen 89yuliawati, astutik, hubungan faktor perinatal dan neonatal... trian kesehatan ri. http://lontar.ui.ac.id/opac/ themes/gr een/dataidentifier.jsp?id=20298098 diakses pada tanggal 7 agustus 2018 kosim, ms, ari y, rizalya d, gatot is, ali u. 2014. buku ajar neonatologi edisi pertama. jakarta: ikatan dokter anak indonesia. manuaba, ibg . 2010. pengantar kuliah obtetri. jakarta: egc. martiza l.2010. ikterus. jakarta: badan penerbit idai olusanya, bo., osibanjo fb, slusher tm. 2015. risk factors for severe neonatal hyperbilirubinemia in low and middle income countries: a systematic review and meta-analysis. plos one doi: 10. 1371/ journal.phone. 0117229 rohani, s & rini w. 2017. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ikterus pada neonatus. aisyah:jurnal ilmu kesehatan. 2 (1): 75-80. sukadi a. hiperbilirubinemia. dalam: kosim ms, yunanto a, dewi r, sarosa gi, usman a, penyunting. buku ajar neonatologi. jakarta: badan penerbit idai. 2008. 147-69 tazami, rm, mustarim, shalahudden s. 2013. gambaran faktor resiko ikterus neonatorum pada neonatus di ruang perinatologi rsud raden mattaher jambi tahun 2013 https://media.neliti.com/.../70853-idgambaran-faktor-risiko-ikterus-neonatoru.pdf diakses pada tanggal 7 agustus 2018 wiknjosastro. 2009. buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. jakarta: yayasan bina sarwono prawirohardjo. zabeen b, nahar j, nabi n, baki a, tayyeb s, azad k, et al. 2010. risk factors and outcome of neonatal jaundice in a tertiary hospital. ibrahim med coll j. 4(2):70-73 39tanoto, faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam... 39 faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam menjalani terapi pada pasien osteoartritis di wilayah pedesaan (factors associated with patients’ adherence in undergoing treatment of osteoarthritis in rural regions) wahyu tanoto program studi d3 keperawatan stikes karya husada kediri email: wahyu.tanoto.ui@gmail.com abstract: osteoarthritis is a degenerative arthritis in which the cartilage begins to break down. key success of ostoartritis therapy influenced by patient adherence in undergoing therapy program that has been recommended by a professional healthcare. indonesia as an agricultural country, has a characteristic of society as a farmer with a load and a heavy work activity, a high risk of osteoarthritis. this study aimed to determine the factors that affect the adherence of therapy in patients with osteoarthritis of the rural region. the method of this study was descriptive analytic with cross sectional approach. the design of this study was descriptive analytic type using cross sectional approach, with non probability sampling that was consecutive sampling according to inclusion research criteria and involving 71 respondents. the data collecting tool used knowledge, motivation, family support, health service access, and the level of knowledge of the respondents. the results showed factors that associate patient willing to undergo the program was education level (p = 0.043) and family supports (p = 0.001). the most associated factor was family supports, whoose values is or =11.407. these results are expected to evaluate nursing care services as well as an input for the planning strategies and improve patient willing to undergo the therapy program. keywords: osteoarthritis, compliance, rural regions abstrak: osteoartritis merupakan jenis radang sendi atau osteoartritis pada orang dewasa. keberhasilan terapi pada ostoartritis salah satunya dipengaruhi oleh kepatuhan pasien dalam menjalani program terapi yang telah disarankan oleh petugas kesehatan. indonesia sebagai negara dengan daerah pegunungan memiliki ciri khas masyarakat dengan beban kerja berat yang merupakan risiko terjadinya osteoartritis. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan dalam menjalani terapi pada pasien osteoartritis diwilayah pegunungan. metode penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional, desain dalam penelitian ini adalah tipe analitik deskriptif dengan pendekatan cross sectional, dengan non probability sampling yaitu consecutive sampling sesuai kriteria penelitian inklusi dan melibatkan 71 responden, dan alat pengumpulan data menggunakan pengetahuan, motivasi, dukungan keluarga, akses pelayanan kesehatan, dan tingkat pengetahuan responden. hasil penelitian menunjukkan faktor yang memiliki hubungan dengan kepatuhan pasien untuk menjalani program terapi adalah tingkat pendidikan (p = 0.043) dan dukungan keluarga (p = 0.001). faktor yang paling berhubungan dengan kepatuhan adalah dukungan keluarga dengan nilai (or = 11.407). berdasarkan hasil penelitian diharapkan dapat mengevaluasi pelayanan keperawatan serta bahan masukan untuk perencanaan strategi meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi. kata kunci: osteoartritis, kepatuhan, wilayah pedesaan jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p039–045 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 40 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 39–45 pendahuluan osteoartritis (oa) adalah penyakit progresif sendi sinovial umum yang mempengaruhi pinggul dan lutut, dan ditandai dengan degenerasi tulang rawan hialin, penebalan tulang subchondral, dan pembentukan tulang baru. osteoartritis adalah jenis yang paling umum terjadi pada penyakit radang sendi atau arthritits pada orang dewasa dan diyakini bukan lagi sebagai akibat dari penyakit karena faktor penuaan yang berakibat pada keausan sendi (black & hawks, 2014). gejala oa biasanya mencakup onset berbahaya yaitu nyeri sendi, pembengkakan, kekakuan, gerakan jangkauan terbatas dan kelemahan otot (reid, potts, burnett, & konings, 2014). gejala nyeri merupakan keluhan utama dari osteoartritis. keadaan tersebut berhubungan dengan stimulasi serat nyeri kapsuler, mechanoreceptors (peningkatan tekanan intra-artikular karena hipertrofi sinovial), serabut saraf periosteal dan persepsi dari microfractures subchondral atau pada bursae yang menyakitkan. keluhan lainnya adalah kekakuan yang digambarkan sebagai pembentuk gel sendi setelah tidak aktif dalam memulai gerakan. beberapa pasien mungkin mengeluh sendi bengkak dan deformitas serta krepitus yang kasar yang disebabkan karena ketidakteraturan permukaan artikular, pembesaran tulang karena deformitas, ketidakstabilan, kemampuan yang terbatas, remodelling dan osteofit, serta stresor nyeri (mahajan, verma, & tandon, 2005). faktor resiko yang bisa meningkatkan kejadian osteoartritis diantaranya adalah faktor aktivitas yang berat, sering berjongkok, berlutut, dan berjalan jauh dengan membawa beban berat, yang biasa dilakukan oleh masyarakat pedesaan (fransen et al., 2011). masyarakat wilayah pedesaan cenderung beraktivitas sebagai seorang petani dan juga peternak, baik sebagai pemilik ataupun pekerjanya. keadaan tersebut dikarenakan terbatasnya lapangan pekerjaan yang terdapat pada wilayah pedesaan. penanganan penyakit osteoartritis, klien dan keluarga sangat membutuhkan informasi yang akurat terkait dengan penyakit dan bagaimana strategi untuk mengurangi serta meminimalisir dampak negatif dari penyakit. pemberian edukasi yang efektif akan dapat merubah perilaku dan mendorong klien untuk melakukan suatu perubahan positif terkait dengan status kesehatan klien. pemberian edukasi terkait dengan manajemen keperawatan pada pasien osteoartritis yang utama adalah mengajarkan teknik penanganan nyeri, menyeimbangkan antara waktu istirahat dan beraktivitas, mengatur asupan makanan untuk meminimalisir terjadinya peningkatan berat badan, serta pasien mampu melakukan manajemen diri yang baik (black & hawks, 2014). sebagai seorang perawat diharapkan mampu dalam memberikan edukasi terkait dengan program terapi yang diberikan, yaitu dengan mengkombinasikan antara konsumsi obat-obatan dan olahraga secara teratur dengan melakukan program latihan aerobik yang diantaranya dengan senam, berjalan, berenang, bersepeda dan naik turun tangga sangat efektif dalam mempertahankan dan mengembalikan kemampuan fungsi fisik pasien (cooney et al., 2011). keberhasilan dari program terapi pada pasien ostoartritis sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor kepatuhan pasien dalam menjalani program terapi yang telah disarankan oleh petugas kesehatan. hal tersebut sejalan dengan penelitian chan dan can (2010) yang telah menjelaskan bahwa keberhasilan dari banyak protokol pengobatan dan latihan sebagian besar ditentukan oleh tingkat kepatuhan pasien. kepatuhan mempunyai pengertian adalah sejauh mana perilaku seseorang bisa sesuai dengan rekomendasi yang telah disepakati dari penyedia pelayanan kesehatan (who, 2003). menurut gool dan kawan-kawan (2005) kepatuhan bersifat multi faktoral dengan berbagai komponen yang berhubungan dengan pasien, profesional kesehatan, dan organisasi kesehatan yang diyakini mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani terapi. pasien yang patuh terhadap program terapi yang diberikan telah teridentifikasi memiliki hasil dan manfaat yang baik dari pada pasien yang tidak patuh (hayden, tulder, & tomlinson, 2005). pada pasien osteoartritis kegagalan untuk berolahraga secara teratur diakui sebagai perilaku yang tidak patuh, sehingga akan memiliki dampak yang merugikan pada pasien, diantaranya semakin memperparah kondisi pasien, nyeri dan kekakuan sendi akan semakin sering terjadi dan terasa lebih menyakitkan, dan juga akan semakin membebani ekonomi (marwaha, horobin, & mclean, 2010). lebih lanjut lagi menurut middleton (2004) ketidak patuhan dalam menjalan terapi adalah disebabkan karena kondisi penyakit yang bersifat kronis dan tidak bisa disembuhkan, serta kegagalan dalam menjalani terapi secara teratur dari 2/3 populasi pasien osteoartritis dipengaruhi oleh panjang pendeknya/lama tidaknya program terapi yang dilakukan. 41tanoto, faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam... menurut bassett (2003) telah menyebutkan berbagai karekteristik pribadi yang terkait dengan kepatuhan pasien dalam menjalani program terapi diantarnya variabel sosial demografis, motivasi, dukungan sosial, dan tingkat pengetahuan pasien. lebih lanjut menurut chan dan can (2010) telah menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan menjalani terapi diantaranya usia, tingkat pendidikan, kejelasan informasi, motivasi dan dukungan, serta akses pelayanan kesehatan. namun pada penelitian hartigan dan kawan-kawan (2000) menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani terapi. pada penelitian yang dilakukan oleh brewer dan kawan-kawan (2000) telah menyebutkan motivasi dari pasien secara konsisten terkait dengan kepatuhan terhadap program terapi pada pasien cedera muskuloskeletal bagian bawah, sedangkan dukungan sosial dalam mendorong pasien untuk menjalankan program terapi memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap program terapi yang diberikan. pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh marks dan allegrante (2005) telah menyebutkan bahwa orang dengan osteoartritis yang tidak mematuhi atau mengikuti program terapi, dikarenakan oleh ketidak pahaman mereka terhadap program terapi yang akan dilakukan. berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ganasegeran dan kawan-kawan (2014) sebanyak 513 pasien dengan osteoartritis dari 8 negara didapatkan 53,6% memiliki tingkat pengetahuan yang rendah terhadap penyakitnya. keadaan ini yang bisa mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani program terapi. berdasarkan uraian yang telah dijelaskan maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien oa dalam menjalani terapi. bahan dan metode desain penelitian ini berjenis deskriptif analitik menggunakan pendekatan cross sectional, dengan tujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien osteoarthritis dalam program terapi, selanjutnya menganalisis hubungan faktor-faktor tersebut terhadap kepatuhan pasien osteoarthritis dalam menjalani program terapi. populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien osteoartritis yang berada diwilayah kerja puskesmas ka nda ngan, kecama ta n kandanga n, kabupaten kediri. penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel non probability sampling yaitu consecutive sampling dengan mengambil semua calon responden yang datang dan memenuhi kriteria sampel penelitian kemudian dimasukkan ke dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi (sastroasmoro & ismael, 2014). pengambilan sampel secara consecutive sampling dilakukan dengan mengidentifikasi calon responden sesuai dengan kriteria inklusi, selanjutnya diberi nomor urut sesuai dengan urutan tanggal dan waktu saat kuesioner dikembalikan ke peneliti saat setelah proses secara keseluruhan selesai, dan sampai jumlah sampel terpenuhi. dari hasil perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus estimasi proporsi suatu kejadian dari populasi yang diketahui didapatkan jumlah responden secara keseluruhan sebanyak 71 responden, dengan kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: pasien osteoarthritis dengan  4 kriteria klinis acr, minimal telah mengalami gejala  3 bulan, tinggal dan beraktivitas di daerah pegunungan, pasien yang berumur  30 tahun, pasien yang mampu berkomunikasi dengan baik dan kooperatif. variabel independen meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lamanya menderita, tingkat pengetahuan, motivasi, dukungan keluarga dan akses pelayanan kesehatan, serta variabel dependen pada penelitian ini adalah tingkat kepatuhan, dan semuanya diukur menggunakan kuesioner. kuesioner tingkat pengetahuan, motivasi, dukungan keluarga, akses pelayanan kesehatan dan tingkat kepatuhan sebelumnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan mengambil 20 responden kemudian hasilnya seluruh kuesioner valid dan juga reliabel. pengolahan data dilakukan dengan melalui 4 tahapan yaitu editing, coding, processing dan cleaning. analisa data dilakukan dengan tahapan analisis univariat untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel yang akan diteliti. analisis bivariat untuk mendapatkan variabel independen yang memiliki hubungan dengan variabel dependen. uji yang digunakan untuk analisis bivariat pada penelitian ini adalah uji chi square, hal ini untuk menguji hipotesis hubungan yang signifikan antara variabel independen dengan dependen. selanjutnya analisis multivariat berfungsi untuk membuktikan/mendapatkan variabel independen yang paling berhubungan/ paling mempengaruhi terhadap variabel dependen yaitu tingkat kepatuhan pasien osteoartritis dalam menjalani terapi. 42 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 39–45 hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan pasien osteoatritis dalam menjalani terapi menunjukkan bahwa 24 responden (58.5%) tidak pernah sekolah tergolong patuh, terdapat 5 responden (23.8%) berpendidikan sd tergolong patuh dan 4 responden (44.4%) berpendidikan smp yang tergolong patuh dalam menjalani terapi. hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifika n a ntara tingka t pendidikan dengan kepatuhan pasien osteoartritis dalam menjalani terapi (p-value 0.043;  = 0.05). berdasarkan nilai or menunjukkan bahwa responden dengan pendidikan smp mempunyai kemungkinan untuk patuh 0,567 kali dibandingkan dengan responden yang tidak sekolah (95% ci; or: 0.132-2.426). sedangkan hasil penelitian n % n % tingkat pendidikan: ts 17 41,5 24 54,5 41 pembanding 0,043 sd 16 76,2 5 23,8 21 0,221 (0,068-0,721) smp 5 55,6 4 44,4 9 0,567 0,132-2,426 dukungan keluarga: kurang 26 78,8 7 21,2 33 8,048 (2,735-23,676) 0,001 baik 12 31,6 26 68,4 38 tabel 1 hasil uji bivariat yang berhubungan dengan kepatuhan variabel kepatuhan f or95% ci p-valuetidak patuh patuh responden dengan pendidikan sd memiliki kemungkinan untuk patuh 0,221 kali dibandingkan dengan responden yang tidak pernah sekolah (95% ci; or: 0.068-0.721). hubungan antara dukungan keluaraga dengan kepatuhan pasien osteoatritis dalam menjalani terapi menunjukkan bahwa 26 responden (68.4%) memiliki dukungan keluarga yang baik tergolong patuh dan 7 responden (21.2%) mendapatkan dukungan keluarga kurang baik yang tergolong patuh dalam menjalani terapi. hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien osteoatritis dalam menjalani terapi. variabel p-value or 95% ci usia (36-45 tahun) 0.804 usia (46-55 tahun) 0.378 0.293 0.019-4.486 usia (56-65 tahun) 0.550 0.397 0.019-8.212 usia (>65 tahun) 0.822 0.658 0.017-25,260 akses pelayanan kesehatan 0.740 0.758 pendidikan (tidak sekolah) 0.554 0.188-3.282 pendidikan(sd) 0.325 0.365 0.049-2.720 pendidikan(smp) 0.830 0.682 0.021-22.549 lama menderita 0.232 0.255 0.027-2.403 dukungan keluarga 0.004 11.407 2.155-60.393 konstanta 0.907 1.247 tabel 2 pemodelan akhir analisis multivariat pada variabel independen paling berhubungan dengan kepatuhan pasien osteoartritis dalam menjalani terapi telah didapatkan variabel independen yang memiliki hubungan yang paling signifikan dengan kepatuhan adalah variabel dukungan keluarga. kekuatan hubungan bisa dilihat dari nilai or tertinggi yaitu 11.407 (95% ci = 2.155-60.393). hasil ini menunjukkan bahwa pasien osteoartritis yang me 43tanoto, faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam... miliki dukungan keluarga yang baik memiliki peluang untuk patuh menjalani terapi sebesar 11.407 kali (95% ci = 2.155-60.393), dibandingkan dengan pasien osteoartritis yang kurang dalam mendapatkan dukungan keluarga. pembahasan dalam hasil uji statistik di peroleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara tigkat pendidikan dengan kepatuhan pasien osteoartritis dalam menjalani terapi. hal ini dapat diketahui dari hasil p-value yang menunjukkan nilai p-value 0.043. terkait dengan hasil penelitian yang telah menyebutkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kepatuhan dan dalam hal ini ternyata tingkat pendidikan yang rendah tidak mempengaruhi responden untuk tidak patuh terhadap terapi yang dijalani. sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh senior, marteau dan weinman (2004) menjelaskan bahwa pasien yang berpendidikan tinggi lebih memahami terhadap apa yang dibutuhkan oleh tubuhnya, dibandingkan dengan pasien dengan pendidikan yang rendah, sehingga pada pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan mencari tau manfaat yang bisa dirasakan terlebih dan tidak langsung patuh dengan apa yang di sarankan. hal ini berbeda dengan pasien yang memiliki tingkat pendidikan rendah akan cenderung mudah patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh petugas kesehatan. kondisi tersebut bertolak belakang dengan penelitian lain yang dilakukan oleh medina dan kawankawan (2009) telah menyebutkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan tinggi (63%) lebih patuh terhadap program terapi yang diberikan oleh tenaga kesehatan,jika dibandingkan dengan responden yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. sejalan dengan yavuz dan kawan-kawan (2004) yang juga menjelaskan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kepatuhan yang lebih tinggi. hal ini secara intuitif diharapkan bahwa pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi harus memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang penyakit dan terapi yang telah sesuai, dengan begitu akan membuat pasien mampu mencari informasi dan lebih cepat memahami serta akan patuh terhadap tahapan-tahapan dalam menjalani terapi yang diberikan oleh tenaga kesehatan. lebih lanjut brewer dan kawan-kawan (2000) menjelaskan bahwa orang dengan pendidikan yang tinggi cenderung untuk berpikir secara logis terhadap kondisi kesehatannya, serta lebih mampu dalam mencari informasi untuk memahami kondisi kesehatannya dengan mematuhi segala tindakan yang telah disarankan. adapun yang tergolong patuh dalam menjalani terapi adalah lebih besar pada responden yang memiliki dukungan keluarga yang baik dari pada responden yang kurang memiliki dukungan dari keluarga. dalam hasil uji statistik di peroleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien osteoartritis dalam menjalani terapi yang diterangkan dalam nilai p-value 0.001 yang berati ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan. hal ini menunjukkan bahwa responden yang memiliki dukungan keluarga yang baik mempunyai kemungkinan untuk patuh 8.048 kali dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan keluarga yang kurang (95% ci; or: 2.735-23.676). sejalan dengan schneiders dan kawankawan (1998 dalam bassett, 2003) terhadap pasien cedera muskuloskeletal pada bagian bawah telah menjelaskan bahwa orang dengan dukungan keluarga yang baik akan mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam mengikuti program terapi yang dilakukan oleh fisioterapi. berdasarkan asumsi dari peneliti, jika seorang responden mendapat dukungan keluarga yang baik dan disertai dengan kemauan yang tinggi dari dalam diri responden sendiri maka responden akan selalu patuh dan menyadari akan pentingnya dari manfaat terapi yang telah diberikan. hal ini yang menjadi alasan mengapa dukungan keluarga yang baik sangat mempengaruhi tingkat kepatuhan responden dalam menjalani terapi yang telah direncanakan. berdasarkan hasil analisis multivariat pada penelitian ini dari beberapa faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan didapatkan faktor yang paling berhubungan secara signifikan dengan tingkat kepatuhan adalah faktor dukungan keluarga dengan p-value 0.004 dan or 11.407 yang menunjukkan bahwa pasien osteoartritis yang memiliki dukungan keluarga yang baik memiliki peluang untuk patuh menjalani terapi sebesar 11.407 kali (95% ci = 2.155-60.393), dibandingkan dengan pasien osteoartritis yang kurang dalam mendapatkan dukungan keluarga. responden dengan mengalami tanda dan gejala osteoartritis, sebagian besar adalah perempuan yang sudah lansia dengan status sebagai janda, dan tinggal bersama dan juga bergantung dengan anak ataupun 44 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 39–45 keluarga terdekat dari responden. keluarga disini berpera n a ktif dala m member ika n dukungan terhadap segala aktivitas yang dilakukuan oleh responden. sehingga dalam hal ini keluarga sangat mempengaruhi aktivitias yang dilakukan oleh responden. dari kondisi tersebut segala sesuatu yang dilakukan oleh responden, salah satunya adalah kepatuhan responden dalam menjalani terapi sangat dipengaruhi oleh dukungan keluarga yang diberikan oleh anak ataupun sanak saudara yang tinggal serumah dengan responden. semakin peduli keluarga terhadap apa yang telah dilakukan oleh responden dan semakin baik keluarga dalam memberikan dukungan kepada responden terhadap program terapi untuk pasien osteoartritis, maka akan semakin meningkatkan kepatuhan responden terhadap terapi yang telah dijalani. hal ini yang mendukung hasil analisi penelitian yang menunjukkan bahwa dukungan keluarga memiliki hubungan yang paling signifikan dengan tingkat kepatuhan dibandingkan dengan variabel usia, akses pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan dan juga lama menderita. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan faktor yang memiliki hubungan dengan kepatuhan pasien untuk menjalani program terapi adalah tingkat pendidikan (p = 0.043) dan dukungan keluarga (p = 0.001). faktor yang paling berhubungan dengan kepatuhan adalah dukungan keluarga dengan nilai (or = 11.407) saran penelitian ini bisa digunakan untuk meningkatkan derajat kesehatan pada masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan khususnya pada wilayah pegunungan yang mengalami masalah nyeri persendian dalam meningkatkan kepatuhan menjalani terapi. hasil penelitian digunakan untuk mengevaluasi pelayanan keparawatan dan juga untuk melakukan sebuah strategi dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani terapi. hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan masukan atau sebagai informasi tambahan untuk penelitian selanjutnya bisa menggunakan variabel dukungan keluarga dalam mempengaruhi aktivitas lansia terhadap kegiatan sehari-hari. daftar rujukan bassett, s.f. 2003. the assessment of patient adherence to physiotherapy rehabilitation. new zealand journal of physiotherapy, 31(2), pp.60–66. bennell, k.l. et al. 2015. patient knowledge and beliefs about knee osteoarthritis after acl injury and reconstruction. american college of rheumatology, 7(3), pp.35–47. black, j. m. & hawks, j. h. 2014. keperawatan medikal be dah, manaje men kl inis unt uk hasil yang diharapkan. edisi 8. buku 1. singapore pte ltd: elsevier brewer b w, van raalte j l, cornelius a e, petitpas a j, sklar j h, pohlman m h, krushell r j & ditmar t d. 2000. psychological factors rehabilitation adherence and rehabilitation outcome after anterior cruciate ligament reconstruction. journal of rehabilitation psychology, 45(3), 20-37. http://doi.org/13.6741/ rp.2000.73 chan, d. & can, f. 2010. patients ’ adherence/compliance to physical therapy home exercises. fizyoterapi rehabilitasyon, 21(3), pp.132–139. cooney, j.k. et al. 2011. benefits of exercise in osteoarthritis. journal of aging research, 2011, pp.1–14. fransen, m. et al. 2011. the epidemiology of osteoarthritis in asia. international journal of rheumatic diseases; 14: pp.113–121. ganasegeran, k. et al., 2014. level and determinants of knowledge of symptomatic knee osteoarthritis 8 among railway workers in malaysia. biomed research international, 2014(19 february), pp.1–9. gool, c.h.v.a.n. et al. 2005. effects of exercise adh er en ce on ph ysica l fun ct i on am on g overweight older adults with knee osteoarthritis. american college of rheumatology, 53(1), pp.24– 32. hartigan c, rainville j, sobel j b & hipona m. 2000. long-term exercise adherence after intensive rehabilitation forchronic low back pain. medicine and science in sports and exercise 32: 551-557. mahajan, a., verma, s. & tandon, v. 2005. osteoarthritis. 53(july), pp.634–641. available at: www.japi.org. marks, r. & allegrante, j.p. 2005. chronic osteoarthritis and adherence to exercise: a review of the literature. journal of aging and physical activity, 13(434), pp.434–460. marwaha, k., horobin, h. & mclean, s. 2010. indian physiotherapists’ perceptions of factors that influence the adherence of indian patients to ph ysi oth er apy tr ea tm en t r ecom en da t i on s. int e rnat i onal j ournal of phy siot herapy & rehabilitation, 13(9), pp.1–11. medina, m. f., escolar, r. p., gascon, c. j.j., montilla, h. j., & collins, s.m. 2009. personal characteristics 45tanoto, faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam... influencing patients adherence to home exercise during chronic pain: a qualitative study. journal of rehabilitation medicine, 41(5);347 -352. middleton, a. 2004. chronic low back pain: patient compliance with physiotherapy advice and exercise, perceived barriers and motivation. physical therapy reviews, 9;153-160. reid, d.a. et al. 2014. physiotherapy management of knee and hip osteoarthritis: a survey of patient and medical practitioners ’ expectations , experiences and perceptions of effectiveness of treatment. journal of physiotherapy, 2(1), pp.118–125. sastroasmoro, s. & ismael, s. 2014. dasar-dasar metodologi penelitian klinis (edisi ke-5). jakarta: sagung seto. senior, v., marteau, t.m., & weinman, j. 2004. selfreport ed adh eren ce to chol esterol -loweri ng medication in patients with familial hypercholesterolaemia: the role of illness perceptions. cardiovasc drugs therapy.18:475–81 world health organization. 2003. adherence to longterm therapies; evidence for action. geneva switzerland: world health organization. e:\tita\d\tita\mei 17\jurnal bl 1pujianto dan agustin, peran keluarga dan masyarakat ... 1 tutut pujianto, retno ardanari agustin stikes karya husada kediri email: noanpujianto@gmail.com keywords: role, family, society, nursing, patient mental disorders abstrak: kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan, dan merupakan kondisi yang mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal. gangguan jiwa adalah gangguan dalam: cara berpikir (cognitive), kemauan (volition, emosi (affective), tindakan (psychomotor). gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. ketidaknormalan tersebut dibagi ke dalam dua golongan yaitu: gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). gangguan jiwa disebabkan oleh beberapa penyebab di atas secara bersamaan mempengaruhi atau kebetulan terjadi. tujuan penelitian ini adalah meningkatkan peran keluarga dan masyarakat dalam perawatan pasien gangguan jiwa, sehingga dapat mengurangi jumlah pasien gangguan jiwa. penelitian ini menggunakan desain obsevasional dengan analisis deskriptif. subyek penelitian adalah anggota keluarga yang merawat pasien gangguan jiwa sebanyak 16 responden. pengambilan data dilakukan pada bulan oktober tahun 2012, data peran keluarga dikelompokkan menjadi sesuai dan tidak sesuai. hasil penelitian didapatkan bahwa peran keluarga dalam kategori tidak sesuai sebanyak 11 orang (68,75%), sesuai 5 orang (31,25%), dengan rata-rata peran keluarga sebesar 63.19%. tingginya peran keluarga yang tidak sesuai karena 9 orang responden (56,25%) berusia lansia (>50 tahun). kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk p the role of family and community in the treatment of mental disorder patients eran keluarga dan masyarakat dalam perawatan pasien gangguan jiwa ( ) abstract: mental health is an integral part of health, and a condition that affects the physical, mental, and social development of the individual optimally. mental disorder is disturbances in: cognitive, volition, emotion (affective), and actions (psychomotor). mental disorder is a collection of abnormal circumstances, whether physically related, or mentally. it is divided into two groups, namely: mental disorder (neurosis) and mental illness (psychosis). mental disorder is caused by some of the above causes affected simultaneously or coincidence occurs. the purpose of this study was to increase the role of family and society in the treatment of mental disorder patients which was consequently could reduce the number of mental disorders patients this research used obsevational design with descriptive analysis. the subjects were family members who treat mental disorder patients as much as 16 respondents. the data collection was done in october 2012. the family role data grouped into appropriate and inappropriate category. the research found that 11 people (68.75%) in the category of inappropriate, and appropriate by 5 people (31.25%), with average family role of 63.19%. the higher of inappropriate category was because 9 respondents (56.25%) in the age of elderly (> 50 years). this condition caused a decrease in the ability to perform daily activities, including health treatment. there were 4 patients who have been treated for 7-14 years, so the family feels accustomed to the condition of the patient. there were 8 people (50%) in productive age treated the patients, so it could not be done continuously. based on these conditions, there should be efforts to increase knowledge and willingness of the patients and families, in caring for patients with mental disorders. the examples of such activities were to consult with the nearest health employees, and report to the health worker if there is a risky condition immediately. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p001-005 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 1–5 tindakan kesehatan. ada 4 pasien yang telah berobat selama 7-14 tahun, sehingga keluarga merasa sudah terbiasa dengan kondisi pasien. terdapat 8 orang (50%) keluarga yang merawat pasien berusia produktif, sehingga waktu untuk merawat/mengawasi pasien tidak terus menerus. berdasarkan kondisi tersebut, perlu adanya upaya peningkatkan pengetahuan dan kemauan pasien dan keluarga, dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa. contoh kegiatan tersebut adalah berkonsultasi kepada tenaga kesehatan terdekat, dan segera melaporkan ke petugas kesehatan jika terdapat kejadian yang berisiko. kata kunci: peran, keluarga, masyarakat, perawatan, pasien gangguan jiwa kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal. gangguan jiwa adalah gangguan dalam: cara berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan (psychomotor). dari berbagai penelitian dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. ketidaknormalan tersebut dibagi ke dalam dua golongan yaitu : gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). ketidaknormalan dapat terlihat dalam berbagai macam gejala diantaranya adalah: ketegangan (tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatanperbuatan yang terpaksa (convulsive), hysteria, rasa lemah, tidak mampu mencapai tujuan, takut pikiran-pikiran buruk dan sebagainya. banyak sekali jenis gangguan dalam cara berpikir (cognitive). untuk memudahkan memahaminya para ahli mengelompokan kognisi menjadi 6 bagian seperti sensasi persepsi, perhatian, ingatan, asosiasi pikiran kesadaran. masing-masing memiliki kelainan yang beraneka ragam. manusia bereaksi secara keseluruhan (holistic), dengan melibatkan unsur organobioliologis, psychoeducative, sosiocultural. dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka ketiga unsur ini harus diperhatikan. yang mengalami sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya. hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku manusia ialah keturunan, umur, jenis kelamin, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan, kehamilan, kehilangan dan kematian orang yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antar amanusia, dan sebagainya. walaupun gejala umum atau gejala yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya dapat berasal dari badan (organobiologis), di lingkungan sosial (sociokultural) ataupun psikologis dan pendidikan (psychoeducative). penyebab diatas secara bersama-sama. mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan dalam mengakibatkan gangguan jiwa. data dari dusun darungan desa punjul wilayah puskesmas pranggang kecamatan plosoklaten pada bulan oktober 2012, diketahui bahwa terdapat 12 keluarga mengalami isolasi sosial/hubungan sosial dengan lingkungan sekitar, karena ada salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa. kondisi tersebut perlu mendapat perhatian, karena sudah banyak upaya yang dilakukan oleh keluarga dalam upaya mendapatkan kesembuhan, seperti berkonsultasi ke puskesmas maupun berobat ke rumah sakit jiwa. berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta keluarga dan masyarakat dalam perawatan pasien gangguan jiwa, yang akhirnya dapat menekan dan mengurangi jumlah pasien gangguan jiwa. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain observasional dengan analisis deskriptif. sebagai populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien isolasi sosial/hubungan sosial dengan lingkungan sekitar, karena salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa. besar sampelnya adala 16 orang, yaitu anggota keluarga yang mengasuh pasien gangguan jiwa. dalam pengolahan data, peran keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu sesuai dan tidak sesuai. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel 1. berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa, usia pasien 51-60 tahun sejumlah 6 orang (37,5%), lama berobat 1-2 tahun sejumlah 10 orang (62,5%), keterarturan berobat sejumlah 7 orang (43,75%) berobat tidak teratur, tempat berobat di puskesmas dan yang merawat pasien adalah keluarga masing 3pujianto dan agustin, peran keluarga dan masyarakat ... masing 100%, serta keluarga sebagai pemantau minum obat sejumlah 15 orang (93,75%). dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. perilaku sakit (illness behavior) adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan/atau terkena masalah kesehatan pada dirinya atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan atau untuk mengatasi masalah kesehatan yang lainnya. pada saat orang sakit, ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul, yaitu didiamkan, melakukan tindakan ataupun mencari penyembuhan. didiamkan saja (no action), artinya sakit tersebut diabaikan dan tetap menjalankan kegiatan seharihari. mengambil tindakan dapat dilakukan dengan melakukan pengobatan sendiri (self treatment atau self medication). mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yakni ke fasilitas pelayanan kesehatan. perilaku peran orang sakit (the sick role behavior). dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran (roles), yang mencakup hakhaknya (rights) dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation). menurut becker, hak dan kewajiban orang sedang sakit adalah merupakan perilaku peran orang sakit (the sick role behavior). perilaku peran orang sakit ini antara lain: tindakan untuk memperoleh kesembuhan. tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan. melakukan kewajiban sebagai pasien antara lain mematuhi nasihat-nasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya. tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhannya. melakukan kewajiban agar tidak kambuh penyakitnya. sikap terhadap kesehatan (health attitude) merupakan faktor yang juga harus diperhatikan yang dapat mempengaruhi keadaan sakit. sikap terhadap kesehatan adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, yang mencakup sekurang-kurangnya 4 variabel, yaitu: sikap terhadap penyakit menular dan tidak menular. sikap terhadap faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi kesehatan. sikap tentang fasilitas kesehatan yang profesional maupun tradisional. sikap untuk menghindari kecelakaan, baik kecelakaan lalu lintas, rumah tangga maupun tempat-tempat umum. menurut snehandu b. karr, terdapat 5 determinan perilaku, yaitu: adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan obyek atau stimulus di luar dirinya. adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support) di dalam kehidupan seseorang di masyarakat perilaku orang tabel 1. karakteristik responden karakteristik f p rosentase usia pasien <30 th 30-40 t h 41-50th 51-60th 61-70th >70th 1 4 2 6 2 1 6,25 25 12,5 37,5 12,5 6,25 lama berobat <1 th 1-2th >2th 2 10 4 12,5 62,5 25 keteraturan berobat tidak t eratur kuran g teratur teratur 7 2 7 43,75 12,5 43,75 tempat berobat puskesmas 16 100 pemantau minum obat keluarga petugas kesh 15 1 93,75 6,25 perawat pasien keluarga 16 100 tabel 2. peran keluarga dalam merawat pasien dengan gangguan jiwa peran keluarga dalam peraw atan pasien f prosentase sesuai tidak sesuai 5 11 31,25 68,75 pembahasan peran keluarga dalam perawatan pasien dengan gangguan jiwa lebih dari setengah tidak sesuai sebanyak 11 orang (68,75%) dengan mean sebesar 63.19 dan standart deviasi 4,183. perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (notoadmodjo, 2005:46). perilaku kesehatan menurut becker (1979) yang dikutip notoadmojo (2005:47), dibagi menjadi 3 yaitu: perilaku sehat (healthy behavior) yaitu perilakuperilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 1–5 tersebut cenderung memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya. apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak “nyaman”. terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasiinformasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang. adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan. adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). untuk bertindak apapun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat. kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas termasuk, ketersediaan fasilitas dan kemampuan yang ada. tim kerja pendidikan kesehatan dari who (2000) merumuskan determinan perilaku anta ra lain pemikiran dan per asaan (thoughts and feeling). hasil pemikiran-pemikiran dan perasaan seseorang atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap obyek atau stimulus, merupa kan modal awal untuk bertindak atau berperilaku. adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercaya (personal references), serta sumber daya (resources) yang tersedia, merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. dalam teori lawgreen keadaan ini sama dengan enabling factors. (notoadmodjo, 2005:59). pera n kelua rga da lam per awata n pa sien dengan gangguan jiwa lebih dari setengah tidak sesuai 11 orang (69%) dengan mean sebesar 63.19 dengan standart deviasi 4,183. data tersebut diperoleh dari orang tua pasien 10 orang (62,5%), saudara pasien 5 orang (31,3%) dan pasien sendiri 1 orang (6,2%). peran keluarga dalam perawatan pasien termasuk dalam kategori tidak sesuai lebih dari setengahnya, keadaan ini dapat dilihat dari keluarga yang menjadi responden 9 orang (56,25%) berusia lansia >50 tahun. seorang lansia secara teori banyak menga la mi penur una n kema mpua n da la m melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan seharihari termasuk tindakan kesehatan, khususnya peran dalam perawatan pasien dengan gangguan jiwa. sehingga peran keluarga dalam perawatan salah satu anggotanya yang menderita gangguan kurang maksimal. selain itu 4 pasien yang berobat lebih dari 5 tahun (7-14 tahun). pasien yang terdiagnosa lebih dari 5 tahun menyebabkan keluarga merasa suda h ter bia sa dengan kondisi pasien, tidak memahami jika peran yang dilakukan ada yang kurang tepat, misalnya membiarkan pasien dengan aktivitas sesuai kemampuan dan kemauan pasien, termasuk membatasi sosialisasi dan kegiatan pasien sehari-hari dengan masyarakat sekitar rumahnya, selama aktivitas pasien tidak merugikan orang lain. terdapat satu or ang ter diagnosa menga la mi gangguan jiwa baru 3 bulan yang lalu, keluarga belum terbiasa dengan kondisi pasien dan memerlukan bimbingan dan arahan dari petugas kesehatan. sebagian keluarga yang merawat pasien berusia produktif 8 orang (50%), kegiatan sebagai pencari nafkah (utama maupun membantu), sehingga waktu untuk merawat/mengawasi pasien tidak terus menerus. stressor yang ada di sekitar pasien dapat terjadi secara tiba-tiba sehingga perlu adanya pengawasan yang lebih dari seluruh anggota untuk mencegah perilaku yang tidak tepat. keluarga berpendapat sudah menjalankan perawatan dengan benar selama perilaku pasien tidak merugikan orang lain, teratur minum obat serta masyarakat tidak melaporkan keluhan sehubungan dengan adanya pasien gangguan jiwa di sekitar tempat tinggal mereka. hasil lainnya adalah peran keluarga dalam perawatan pasien dengan gangguan jiwa sesuai dilakukan oleh 5 orang responden (31,25%). keadaan ini karena ada 4 pasien pernah dirawat di rumah sakit jiwa (rsj), sehingga keluarga pernah mendapat contoh perlakuan perawatan pada pasien gangguan jiwa di rumah sakit yang dapat dilakukan di rumah. terdapat tiga orang responden yang merupakan kader kesehatan, sehingga lebih sering melakukan konsultasi dengan petugas kesehatan, tentang peran yang sesuai dalam perawatan pasien dengan gangguan jiwa. beberapa faktor yang dapat mendukung dalam peningkatan peran keluarga dalam perawatan pasien dengan gangguan jiwa di wilayah puskesmas pranggang adalah sikap dan nilai-nilai tradisi yang baik dari lingkungan sekitar, dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support), terjangkaunya informasi (accessibility of information), melalui kegiatan kunjungan keluarga oleh petugas puskesmas (dokter dan perawat) dan aparat desa. adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation) untuk bertindak pada suatu kondisi dan situasi yang tepat, misalnya akses yang mudah menghubungi petugas atau fasilitas pelayanan kesehatan. 5pujianto dan agustin, peran keluarga dan masyarakat ... simpulan dan saran simpulan dari hasil pembahasan dapat disimpulan bahwa peran serta keluarga dan masyarakat dalam perawatan pasien dengan gangguan jiwa lebih dari setengahnya tidak sesuai. keluarga dan masyarakat hendaknya mau meningkatkan pengetahuan tentang gangguan jiwa dan perawatannya dengan cara sering berkonsultasi dengan petugas kesehatan. saran peran keluarga dalam perawatan pasien dengan gangguan jiwa bukan hanya memberikan dan mengawasi menelan obat yang diberikan. peran keluarga juga perlu melatih pasien dengan kegiatan sehari-hari/activity daily living, keterampilan yang bisa dilakukan pasien untuk memberikan aktivitas sehingga pasien menjadi terbiasa dengan kegiatan tersebut. melatih dan membiasakan pasien beraktivitas, dapat menjadi suatu stimulus munculnya kegiatan yang kurang tepat dan dapat menghambat proses terapi. pemahaman keluarga dan kemauan untuk belajar merawat pasien dengan benar perlu ditingkatkan. peran petugas juga sangat diperlukan dalam mencapai tujuan tersebut. daftar rujukan notoadmodjo, s. 2005. promosi kesehatan teori dan alikasi. jakarta: rineka cipta. world health organization.2000. ‘definition, diagnosis and clasification of diabetus mellitus and its complications.’ report a who consultation. who, geneva. 104 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 104–107 104 pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian konstipasi pada ibu postpartum (the effectiveness of early ambulation to constipation on postpartum mother) lailatul khusnul rizki program studi diii kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya email: lailarizki91@gmail.com abstract: constipation is one of the problems during the initial parturition which relates to the early ambulation. in tanah kalikedinding village, there are many postpartum mothers who still cannot do defecation more than three days. the purpose of this research was to know the effectiveness of early ambulation with the incidence of constipation of postpartum mother in tanah kalikedinding village surabaya. this research used analytical research with cross sectional approach. the population was the entire postpartum mother > 3 days in tanah kalikedinding village as much as 28 people. the sample was 26 respondents taken by “simple random sampling”. the random sampling source obtained from the questionnaire. the independent variable was the early ambulation while the dependent variable was the incidence of constipation. the analysis used fisher test with á = 0,05. the results showed that 26 respondents obtained most of the 15 (57,7%) of respondents experiencing constipation. the statistic chi-square test obtained with 2 cells (50%) ef < 5. therefore, exact test values obtained by exact fisher and p = 1 and a = 0,05 it meant p > a the table then h0 was accepted means there was no effect of early ambulation with the incidence of constipation in the postpartum mother. the summary of the research was there were no effect of early ambulation with the incidence of constipation on postpartum mothers. we recommend that health workers should provide counseling to prevent constipation. keywords: early ambulation, constipation, mother childbirth abstrak: konstipasi merupakan salah satu masalah pada masa nifas awal yang erat kaitannya dengan ambulasi dini. di kelurahan tanah kalikedinding ternyata masih banyak ibu postpartum yang belum bisa bab lebih dari tiga hari. tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian konstipasi pada ibu post partum di kelurahan tanah kalikedinding. jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. populasinya adalah seluruh ibu nifas >3 hari di kelurahan tanah kalikedinding sebanyak 28 orang. besar sample 26 responden yang diambil secara “simple random sampling” .sumber penelitian ini didapatkan dari kuisioner. variabel independen adalah ambulasi dini sedangkan variable dependen adalah kejadian konstipasi. analisis menggunakan uji fisher dengan á = 0,05. hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 26 responden didapatkan sebagian besar 15 (57,7%) responden mengalami konstipasi. uji statistic dengan chi-square didapatkan 2 sel (50%) mempunyai ef < 5. oleh karena itu dilakukan uji exact fisher dan didapatkan nilai p = 1 dan a = 0,05, berarti p > a tabel maka h0 diterima berarti tidak ada pengaruh artinya tidak ada pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian konstipasi pada ibu post partum. simpulan dari penelitian ini adalah tidak ada pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian konstipasi pada ibu postpartum. sebaiknya petugas kesehatan memberikan konseling untuk mencegah terjadinya konstipasi. kata kunci: ambulasi dini, konstipasi, ibu nifas acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p104-107 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 105rizki, pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian konstipasi pada ibu postpartum masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran placenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (prawirohardjo, 2005). masa nifas berlangsung selama kirakira 6–8 minggu, untuk itu sangat diperlukan latihanlatihan ringan guna memfasilitasi penyembuhan otototot, terutama otot rahim yang telah meregang selama kehamilan. dengan latihan fisik sederhana secara bertahap dan terus-menerus akan mengantarkan ibu dalam proses pemulihan yang membantu memperoleh kembali kebugaran ibu secara sempurna setelah persalinan ibu postpartum harus menghadapi berbagai masalah. salah satunya masalah pencernaan yang harus dihadapi adalah kesulitan buang air besar. (saleha, 2009). untuk membantu pengeluaran bab dapat dilakukan dengan ambulasi dini. karena kurangnya ambulasi dini atau akibat terbaring yang terlalu lama mengakibatkan konstipasi (pola eliminasi), dan otot sangat lemah sehingga proses penyembuhan terganggu. namun pada kenyataannya, sekarang dimasyarakat masih banyak ibu postpartum yang belum melakukan ambulasi dini, hal ini dikarenakan ibu masih mengalami nyeri pada luka jahitan sehingga dapat mengakibatkan ibu merasa takut dalam melakukan ambulasi dini. (manuaba, 2010). berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan maret 2015 di kelurahan tanah kalikedinding surabaya melalui wawancara kepada 12 ibu nifas didapatkan bahwa, 8 (66,7%) ibu nifas belum bab lebih dari 3 hari. dan 4 (33,3%) ibu nifas sudah bisa bab kurang dari 3 hari setelah melahirkan. dari 8 ibu nifas yang belum bab, 3 diantaranya merasakan belum ingin bab. aktivitas yang dilakukan, duduk dan berbaring ditempat tidur. dan 5 lainnya masih takut untuk bab karena merasakan sakit dibagian luka jahitan. aktivitas yang dilakukan, berjalan disekitar tempat tidur. tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian konstipasi pada ibu post partum. manfaat dari penelitian ini adalah memberikan referensi bahwa ambulasi dini berpengaruh terhadap kejadian konstipasi pada ibu post partum. bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah quasi experiment dengan design one group pre-test and post-test untuk mempelajari pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan umur f % 20 – 25 23 63,88 26 – 30 12 33,33 31 – 35 1 2,79 jumlah 36 100 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di bidan praktek mandiri atik kategori f % sd 1 2,77 smp 7 19,44 sma 24 66,68 pt 4 11,11 total 36 100 tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenjang pendidikan di bidan praktek mandiri atik pekerjaan f % irt 20 55,57 swasta 11 30,55 pns 3 8,33 guru 2 5.55 total 36 100 tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di bidan praktek mandiri atik tabel 4 hasil skor rata-rata (mean) pre test dan post test pengetahuan tentang kehamilan pada primigravida dalam menghadapi persalinan penyuluhan mean t p sebelum 73,52 -8,501 0,000 sesudah 83,60 terhadap tingkat pengetahuan primigravida dalam menghadapi persalinan. populasi pada penelitian ini adalah semua ibu post partum fisiologis > 3 hari yang berada di kelurahan tanah kalikedinding dari bulan februari – maret 2016 sebanyak 28 orang. sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu post partum fisiologis > 3 hari yang berada di bps istiqomah, kelurahan tanah kalikedinding kecamatan surabaya. teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling yang merupakan jenis probabilitas yang paling sederhana. hasil penelitian 106 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 104–107 hasil penelitian di kelurahan tanah kalikedinding surabaya didapatkan hampir seluruhnya 23 responden (88,5%) ibu nifas aktif dalam ambulasi dini. aktifitas ambulasi dini yang terjadi pada ibu nifas di kelurahan tanah kalikedinding surabaya sudah baik, karena dari 26 responden didapatkan 21 (80,8%) responden berusia reproduktif. diusia yang reproduktif aktivitas yang dilakukan ibu nifas lebih aktif, dan lebih sedikit faktor-faktor resiko yang terjadi pada ibu nifas diusia reproduktif. antara usia 20 sampai dengan 35 tahun, adalah kurun waktu yang sehat bagi seorang ibu untuk hamil dan melahirkan. sedangkan dari 26 responden didapatkan sebagai kecil dari 3 (11,5%) ibu nifas pasif dalam ambulasi dini. ibu nifas yang masih pasif dalam ambulasi dini kebanyakan disebabkan karena rasa nyeri dan kekhawatiran pada luka jahitan sehingga membuat ibu nifas tidak melakukan ambulasi dini setelah melahirkan. proses adapatasi psikologi sudah terjadi selama kehamilan,menjelang proses kehamilan maupun setelah persalinan. pada periode tersebut kecemasan seorang wanita dapat bertambah. berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa dari 26 responden setengah dari responden 13 (50%) responden belum bisa bab lebih dari tiga hari setelah melahirkan. pada ibu nifas yang takut akan luka jahitannya sehingga menyebabkan rasa malas untuk bergerak dan mencoba untuk menahan agar tidak bab serta nafsu makan yang menurun menyebabkan proses pencernaan terganggu. kurangnya gerak (ambulasi dini) dan asupan nutrisi menyebabkan fases keras dan proses pencernaan bab terganggu. secara khas, penurunan tonus dan motilitas ke keadaan normal, bab secara spontan bisa tertunda selama tiga hari sampai empat hari setelah ibu melahirkan. keadaan ini bisa disebabkan karena tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan pada awal masa pascapartum, enema sebelum melahirkan, kurang makan atau dehidrasi (bahiyatun, 2009). sebagian besar 15 (57,7%) responden mengalami konstipasi. didapatkan bahwa hampir setengah 11 (42,3%) responden mengejan dengan keras saat bab. terlalu sering menahan bab juga dapat menyebabkan fases keras sehingga saat bab membutuhkan mengejan lebih kuat lagi. kelainan pada system pencernaan dimana seseorang manusia (atau mungkin juga pada hewan) mengalami pengerasan fases atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya disebut konstipasi atau sembelit. dan hampir setengah dari 11 (42,3%) responden merasakan tidak tuntas saat bab dikarenakan mengejan yang terlalu keras pada saat bab sehingga menyebabkan terasa seperti ada sensasi mengganjal dan keadaan ini biasanya akan menimbulkan suatu kesan bahwa belum selesai saat bab. konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran fases yang lama atau keras dan kering. pembahasan ambulasi dini berdasarkan hasil penelitian di kelurahan tanah kalikedinding surabaya didapatkan hampir seluruhnya 23 responden (88,5%) ibu nifas aktif dalam ambulasi dini. aktifitas ambulasi dini yang terjadi pada ibu nifas di kelurahan tanah kalikedinding wrimgin anom gresik sudah baik, karena dari 26 responden didapatkan 21 (80,8%) responden berusia reproduktif. diusia yang reproduktif aktivitas yang dilakukan ibu nifas lebih aktif , dan lebih sedikit faktor-faktor resiko yang terjadi pada ibu nifas diusia reproduktif. antara usia 20 sampai dengan 35 tahun, adalah kurun waktu yang sehat bagi seorang ibu untuk hamil dan melahirkan (bkkbn, 2008). menurut diana (2009) ibu nifas diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan dalam waktu 0–24 jam (puerperium dini), dan kepulihan alat-alat genetalia yang lamanya 6–8 minggu (puerperium intermediate). ambulasi dini dilakukan secara bertahap, pada 6 jam pertama ibu nifas harus tirah baring dulu. ambulasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki. setelah 6-10 jam, ibu diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan untuk mencegah trombosis dan trombo emboli, setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk duduk dan berjalan. simpulan dan saran simpulan ibu nifas di kelurahan tanah kalikedinding surabaya hampir seluruhnya ambulasi dininya aktif, ibu nifas di kelurahan tanah kalikedinding surabaya sebagian besar mengalami konstipasi, tidak ada pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian 107rizki, pengaruh ambulasi dini terhadap kejadian konstipasi pada ibu postpartum konstipasi pada ibu post partum di kelurahan tanah kalikedinding surabaya. saran tenaga kesehatan hendaknya berupaya memberikan penyuluhan dan konseling tentang pentingnya mobilisasi dini serta mengajarkan mobilisasi dini sesuai kebutuha n ibu nifas untuk mencegah konstipasi. memberikan he tentang pencegahan terjadinya konstipasi dan menjelaskan tanda-tanda konstipasi serta apa saja yang harus dilakukan bila mengalami konstipasi. bagi ibu, hendaknya setiap ibu mencari informasi pada petugas kesehatan atau orang yang lebih berpengalaman dan membaca buku kesehatan untuk mengatasi atau mencegah konstipasi pada ibu nifas. bagi institusi pendidikan, diharapkan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang mobilisasi dini dan mengadakan senam nifas untuk mencegah konstipasi pada ibu nifas. daftar rujukan bahiyatun. 2009. buku ajar asuhan kebidanan nifas normal. jakarta : egc. ida diana, (2009), mobilisasi dini pada ibu post partum www.digilib.unimus.ac.id, 15 januari 2015. jakarta: media assculapius. manuaba, ida ayu c. 2008. buku ajar patologi obstetri untuk mahasiswa kebidanan. jakarta: egc. manuaba, ida bagus g. 2001. kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri ginekologi dan kb. jakarta: egc. notoatmodjo. 2005. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. prawirohardjo, sarwono. 2007. ilmu kebidanan. ybpsp. saleha, siti. 2009. asuhan kebidanan pada masa nifas. jakarta: salemba medika. 201winarni, pengetahuan perawatan tentang bantuan hidup dasar... 201 pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha tahun 2015 di uptd puskesmas kota blitar (nurse knowledge about basic life support based on aha 2015 at uptd puskesmas kota blitar) sri winarni poltekkes kemenkes malang email: swinkhamaisya@gmail.com abstract: nurses should be able to perform emergency obedient actions with knowledge base, in blitar city nurses must have certificate of basic life support competence that is still valid, nurses must follow the training if the certificate has expired, in blitar city there are nurses who do not know the basic life support procedure will affect a service quality. the purpose of this research was to know the nurse’s knowledge about basic life support based on aha 2015 at uptd puskesmas kota blitar. the research method used descriptive research design, the population was 59 nurses of uptd puskesmas kota blitar, the sample was 30 nurses taken by purposive sampling technique. the data were collected by questionnaire. the result of the research showed 26,7% good knowledge, 70% fair,and 3.3% less. knowledge is sufficient but needs to be upgraded to good in terms of indications of dismissal of basic life support, basic life support arrangements, and an indication of the success of basic life support. suggestions for research were to conduct competence audits on nurses, and provide opportunities for training and basic life support update information. keywords: knowledge, nurse, basic life support abstrak: perawat harus mampu melakukan tindakan kegawatdaruratan sesuai kompetensi dengan dasar pengetahuan, di kota blitar perawat harus memiliki sertifikat kompetensi bantuan hidup dasar yang masih berlaku, harus mengikuti pelatihan ketika masa berlaku habis, di kota blitar ada perawat yang tidak mengetahui prosedur bantuan hidup dasar yang akan mempengaruhi suatu kualitas pelayanan. tujuan penelitian ini mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha 2015 di uptd puskesmas kota blitar. metode penelitian menggunakan desain penelitian deskriptif, populasi 59 perawat yang ada di uptd puskesmas kota blitar, sampel 30 perawat dengan teknik purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan kuisioner. hasil penelitian 26,7% pengetahuan baik. 70% cukup. 3,3% kurang. sebagian besar perawat memiliki pengetahuan cukup namun perlu ditingkatkan menjadi baik dalam hal yang berkaitan dengan indikasi pemberhentian bantuan hidup dasar, tata laksana bantuan hidup dasar, dan indikasi keberhasilan bantuan hidup dasar. saran untuk lahan penelitian untuk melakukan audit kompetensi pada perawat dan memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan serta update informasi bantuan hidup dasar. kata kunci: pengetahuan, perawat, bantuan hidup dasar. bantuan hidup dasar (bhd) merupakan tindakan dini yang dilakukan pada seseorang dengan keadaan gawat darurat, apabila tidak dilakukan bhd dengan segera dapat menyebabkan kematian biologis (bachtiar, 2016). indikasi bhd menurut american heart association (aha) 2015 adalah henti jantung dan sumbatan jalan nafas. henti jantung adalah saat dimana jantung kehilangan aktivitas mekanik dan hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p201-205 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 201–205 kelistrikanya dan di tandai dengan hilangnya tanda sirkulasi. (brady, charlton, lawner, sutherland, & mattu, 2012). menurut aha 2015, dalam kejadian henti jantung di luar rumah sakit keberhasilan resusitasi membutuhkan koordinasi yang tepat atau chain of survival yang berupa pengaktifan sistem layanan darurat medis, rjp dini, defibrilasi secepatnya, bantuan pendukung kehidupan, dan perawatan paska henti jantung (bachtiar, 2016). fakta di masyarakat ketika terjadi henti jantung atau lebih dikenal dengan angin duduk, masyarakat cenderung bersikap panik daripada memberikan bhd, mengaktifkan sistem layanan darurat medis, atau segera merujuk ke pelayanan kesehatan terdekat, adapun ketika dirujuk ke pelayanan kesehatan terdekat korban tiba dengan keadaan telah meninggal secara klinis. tingkat penyelamatan korban lebih tinggi ketika resusitasi dini dilakukan kurang dari 8 menit setelah kejadian, dan pengaktifan pelayanan medis darurat dilakukan kurang dari 4 menit setelah kejadian serta pemberian defribilasi kurang dari 6 sampai 11 menit pertama (brady, charlton, lawner, sutherland, & mattu, 2012). perhitungan waktu tersebut masuk kedalam rantai kelangsungan hidup yang mempengaruhi pemulihan melalui tindakan dini (bachtiar, 2016). rantai kelangsungan hidup ini perlu dikuasai untuk tenaga medis khususnya perawat. menimbang perawat yang memiliki tugas meningkatkan derajat kesehatan, paling mudah dicapai oleh masyarakat, dan dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama sesuai ayat 1 pasal 35 dalam uu ri no. 38 tahun 2014 tentang keperawatan. dengan acuan tersebut, perawat berperan penting dalam meningkatkan kesehatan dan mencegah sakit dan kematian di masyarakat, seperti studi pendahuluan yang dilakukan di kecamatan sukorejo dari 10 pasien yang memiliki diagnosa medis gagal jantung 3 diantaranya telah meninggal karena henti jantung, dan 1 korban tanpa diagnosa juga telah meninggal karena henti jantung dalam kurun waktu 3 bulan terakir. data lain yang di dapatkan dari hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 dan info pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri tahun 2014, jawa timur memiliki prevalensi 0,19% atau sekitar 54.826 orang dari total penyakit gagal jantung di indonesia dan total di indonesia sendiri 0,13% atau sekitar 229.696 orang dari seluruh penyakit yang ada, dari info pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri tahun 2013 tersebut juga mengungkapkan bahwa penyebab kematian nomor satu di indonesia adalah karena penyakit jantung yang diantaranya adalah gagal jantung sekitar 17,3 juta dari seluruh penduduk indonesia. sedangkan data dari rumah sakit lokal di kota blitar yang dirangkum di laporan dinas kesehatan kota blitar tahun 2015 menunjukkan angka sakit jantung sejumlah 50 pasien mengikuti rawat jalan, 224 pasien rawat inap dan 33 dari pasien rawat inap dinyatakan meninggal, diantaranya meninggal karena komplikasi dan henti jantung. menurut aha 2015, kejadian henti jantung tersebut ada yang terjadi di dalam pelayanan kesehatan (ihca) dan di luar pelayanan kesehatan (ohca). kejadian yang terjadi di luar pelayanan kesehatan bisa disebabkan karena keterlambatan dalam pemberian bhd, tetapi kejadian di sekitar atau didalam pelayanan kesehatan bisa disebabkan oleh tenaga medis termasuk perawat yang dalam pertolongannya tidak mengetahui prosedur dengan benar, atau memang belum memiliki kompetensi bhd. hasil dari studi penelitian yang dilakukan, dari 10 perawat yang di berikan pertanyaan definisi dan acuan bhd yang terbaru secara acak, didapatkan 3 perawat tidak tahu sop bhd yang terbaru, dan 1 perawat tidak mengetahui panduan terbaru bhd yaitu aha 2015. kompetensi tersebut harus difahami dan diperbarui karena beberapa kejadian henti jantung tidak dapat diprediksi oleh medis sehingga bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, perawat harus siap dan tanggap dengan kejadian tesebut. perawat harus memperhatikan rantai kelangsungan hidup kejadian henti jantung di dalam rumah sakit (ihca) untuk kejadian di lingkup pelayanan kesehatan, yaitu pengawasan dan pencegahan terjadinya henti jantung, pengenalan dan pengaktifan sistem tanggap darurat atau kode biru, cpr berkualitas tinggi, pemberian defibrilasi secara cepat, serta pemberian bantuan hidup lanjut dan perawatan paska serangan jantung. perawat yang memperhatikan rantai kelangsungan hidup tersebut seharusnya sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman seputar bhd dan mampu dalam aplikasinya pada suatu kejadian serta mampu menganalisis situasi dan tindakan yang harus diberikan, sehingga dengan menggabungkan analisis yang ada perawat mampu mengevaluasi keadaan yang terjadi, sehingga rantai kelangsungan hidup dapat berjalan dengan sempurna. bedasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran pengetahuan perawat tentang 203winarni, pengetahuan perawatan tentang bantuan hidup dasar... pembahasan sesuai tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui gambaran pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha 2015 di uptd puskesmas kota blitar, telah dilakukan analisa data dan menunjukan; gambaran pengetahuan yang baik adalah 26,7% (8 perawat), gambaran pengetahuan yang cukup, 70% (21 perawat), dan gambaran pengetahuan yang kurang adalah 3,3% (1 perawat). dari analisa tersebut, didapatkan informasi bahwa gambaran pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha 2015 di uptd puskesmas kota blitar adalah cukup, hasil tersebut dikategorikan menurut setiadi (2007) yaitu; baik jika 76–100%, cukup jika 56–75%, kurang jika 40–55% atau dibawahnya. mengingat ayat 1 pasal 35 dalam uu ri no. 38 tahun 2014 tentang keperawatan yang dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, seharusnya seluruh perawat memiliki pengetahuan yang baik sehingga diakui kompetensinya dan mampu memberikan pelayanan dengan baik dalam keadaan darurat. par a meter r a nta i keberha sila n 80% (24 perawat), hampir seluruh perawat telah mengetahui rantai keberhasilan bantuan hidup dasar, perawat mampu menanggapi pembahasan kuisioner. pada indikasi keberhasilan 66,67% (20 perawat), sebagian besar perawat mengetahui indikasi tindakan bantuan hidup dasar telah berhasil dilakukan. pada indikasi pemberhentian 60% (18 perawat), perawat kurang memahami kapan harus menghentikan tindakan bantuan hidup dasar, tindakan yang dilakukan tanpa dasar pengetahuan dan dilakukan terus menerus tanpa tahu kapan harus berhenti dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. pada tata laksana 46,67% (14 perawat), sebagian perawat faham dengan tata laksana bantuan hidup dasar, penting untuk difahami tentang tata laksana yang benar karena sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup korban. sebagai perawat yang memiliki kompetensi, pengetahuan adalah dasar yang harus dimiliki dimana di dalam pengetahuan terdapat beberapa tingkatan salah satunya adalah mengerti dan faham tentang suatu hal (notoadmodjo, 2007) seperti tata laksana bantuan hidup dasar, parameter yang tidak mampu ditanggapi oleh perawat, seluruhnya disebabkan oleh pengetahuan perawat yang mulai memudar karena kurang kesadaran untuk memperbarui informasi. gambaran pengetahuan yang masuk dalam kategori baik adalah 26,7% (8 perawat). perawat yang mampu menanggapi pernyataan, sebagian mengatakan bahwa tetap aktif ­update informasi melalui jurnal online dan sebagian yang lain selama mengikuti pelatihan, perawat bersungguh sungguh mengikuti dan memperhatikan materi yang disampaikan, ini membuktikan bahwa perawat memiliki minat untuk mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan yang dimiliki. minat adalah suatu penunjang yang diperlukan dalam pencapaian tujuan yang diperlukan oleh seseorang agar dapat lebih memahami dan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. dari alasan yang diberikan dan olahan data hasil tersebut menunjukan perawat mampu mengolah informasi menjadi pengetahuan dengan baik, hal ini juga penting karena tingkat perubahan suatu pengetahuan terjadi begitu cepat dari apa yang dipelajari pada suatu masa, sehingga bisa jadi di masa akan datang pengetahuan tersebut sudah tidak akurat dan relevan (hasugian, 2008). kategori f % baik 8 26,7 cukup 21 70 kurang 1 3,3 jumlah 29 100 tabel 1 gambaran pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha 2015 di uptd puskesmas kota blitar, maret 2017 (n=30) bhd berdasarkan aha 2015 di uptd puskesmas kota blitar. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah perawat yang ada di uptd puskesmas kota blitar. besar populasi sebanyak 59 peawat, besar sampel sebanyak 30 perawat dengan teknik purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuisioner, waktu pengambilan data dilakukan pada bulan maret 2017. hasil penelitian secara umum, gambaran pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha tahun 2015 di uptd puskesmas kota blitar adalah sebagai berikut. 204 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 201–205 namun semasa mendapatkan informasi perawat mampu mengolah dan menjadikan informasi sebagai pengetahauan yang baik sehingga ketika di lihat gambaran pengetahuanya akan menunjukan hasil yang baik. mengingat sedikitnya pelatihan tentang bantuan hidup dasar, perawat harus memiliki inisiatif, seperti update informasi melalui jurnal atau yang lain, agar pengetahuan perawat yang tetap dapat dipertahankan. pengetahuan perawat yang masuk dalam kategori baik, dibuktikan dengan perawat mampu menanggapi seluruh pernyataan tentang parameter yang ada. hasil analisa, gambaran pengetahuan yang masuk dalam kategori cukup adalah 70% (21 perawat). ada parameter yang lepas dari pengetahuan perawat sehingga mempengaruhi gambaran pengetahuan perawat tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha di uptd puskesmas kota blitar. dalam hal kegawatdaruratan seharusnya perawat memiliki pengetahuan yang baik, dimana dengan pengetahuan yang baik akan menunjakan tindakan yang baik pula. tetapi ada parameter yang memiliki prosentase rendah yang seharusnya dalam hal kegawatdaruratan semua materi harus dikuasai perawat. dalam hasil analisa, parameter indikasi pemberhentian bhd memiliki prosentasi 44,6%. dalam parameter tersebut membahas materi tentang kapan saat menghentikan bantuan hidup dasar yang didalamnya menyebutkan bahwa ketika muncul tanda kematian (medriasis maksimum) dan tetap memberikan bantuan hidup dasar adalah hal yang percuma, apabila tidak didasari pengetahuan yang cukup dan tetap melanjutkan tindakan maka hal tersebut akan membuang waktu dan tenaga yang tentusaja memberikan dampak merugikan, materi lain seperti menolong orang yang tidak dikenal yang dicurigai henti jantung perlu diperhatikan gambaran kejadian, pada kasusnya bisa saja setelah ditolong malah membahayakan penolong, hal ini juga harus didasarkan pengetahauan yang cukup membedakan korban karena henti jantung, korban tidak sadar diri (pingsan), korban memang bertingkah seolah tidak sadar (gangguan jiwa), sehingga menolong memang benar untuk menyelamatkan jiwa dan tidak membahayakan diri sendiri. apabila melihat gambaran pengetahuan perawat tentang indikasi pemberhentian, maka dapat disimpulkan gambaran pengetahuan perawat adalah kurang. meninjau perameter yang lain; rantai keberhasilan, indikasi keberhasilan, indikasi pemberhentian, dan tata laksana bhd secara keseluruhan, kefahaman atau gambaran pengetahuan perawat adalah cukup baik. ketika pembahasan kuisioner bersama perawat, beberapa hal atau materi yang dimiliki perawat tidak sesuai dengan teori yang ada, alasan terbanyak adalah perawat telah lupa, pada dasarnya perawat mengerti dengan teori yang benar, namun karena kurang penerapan di lingkungan, pengetahuan perawat tersebut perlahan memudar, ini adalah salah satu faktor eksternal yang diungkapkan nursalam (2003) dimana kejadian atau kondisi lingkungan yang ada disekitar manusia dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku, faktor ini adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan, meskipun telah mengikuti pelatihan dan memperoleh pengetahuan, tanpa adanya penerapan pengetahuan tersebut akan memudar dan hilang. selain dari penerapan pada lingkungan seharusnya pengetahuan tetap bisa dipertahankan dengan update informasi melalui jurnal, namun kurangnya minat menghambat perawat untuk mempertahankan pengetahuan. tidak hanya minat melakukan update informasi atau materi, minat saat mengikuti pelatihan juga penting untuk mempertahankan pengetahuan, karena saat mengikuti pelatihan dengan cukup minat informasi yang di sampakan saat pelatihan akan mampu diserap dan diingat, namun apabila minat perawat dalam mengikuti pelatihan kurang maka informasi yang didapatkan tidak akan diserap dengan baik, minat adalah suatu penunjang yang diperlukan dalam pencapaian tujuan yang diperlukan oleh seseorang agar dapat lebih memahami dan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. hasil analisa, gambaran pengetahuan yang masuk dalam kategori kurang adalah 3,3% (1 perawat), saat pembahasan kuisioner bersama perawat, didapatkan informasi bahwa pengetahuan yang dimiliki perawat tidak sesuai dengan teori yang ada. informasi yang dimiliki perawat telah kadaluarsa dan tidak diperbarui, alasan lain adalah perawat telah lupa materi yang pernah disampaikan saat mengikuti pelatihan. selama pengisian kuisioner perawat juga tidak teliti dan tidak memahami, pengetahuan yang kurang menunjukan pengetahuan tidak dapat dipertahankan, karena pengetahuan adalah bukti seseorang memiliki kompetensi yang didalamnya terdapat komponen pengetahuaan terhadap fakta-fakta yang ada di sekitar, prosedur yang paten dan pengalaman, (febriani dalam nizarul, 2006:6). seharusnya pengetahuan tersebut harus dipertahankan, karena pengetahuan tersebut adalah bukti seorang perawat berkompeten, pada suatu instansi tentunya dengan kompetensi yang baik akan menunjang pelayanan menjadi baik pula, sehingga ini 205winarni, pengetahuan perawatan tentang bantuan hidup dasar... adalah penting untuk memulai memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan. pengetahuan perawat yang masuk dalam kategori kurang dibuktikan dengan ketidakmampuan perawat menanggapi pernyataan di parameter indikasi pembehentian dan tata laksana bantuan hidup dasar, diantaranya tentang; pemberian tindakan pertama kali ketika bertemu korban di suatu tempat, kapan dan bagaimana harus menghentikan tindakan apabila korban tetap tidak sadar atau pulih, dan runtutan tindakan yang harus diberikan dengan benar sesuatu standar prosedur operasional. simpulan dan saran simpulan uptd puskesmas (puskesmas) kota blitar berada dibawah naungan dinas kesehatan kota blitar dan memberikan pelayanan setiap hari senin sampai sabtu kecuali libur nasional dan hari minggu, ugd dan instalasi rawat inap tetap memberikan pelayanan selama 24 jam. setiap pegawai khususnya di ugd wajib memiliki kompetensi bantuan hidup dasar masih berlaku. mekanisme pengadaan pelatihan bantuan hidup dasar berasal dari dinas kesehatan atau instansi lain mengirimkan undangan pelatiahan melalui unit tata usaha di setiap uptd puskesmas dan disebarkan melalui apel dan papan pengumuman. ga mbar an umum pera wa t ya ng menja di responden penelitian 57% (17perawat) adalah perempuan, 73% (22 perawat) dengan rentan umum 20–40 tahun, 47% (14 perawat) bekerja di ugd, 100% (30 perawat) mendapatkan informasi dari pelatihan resmi, 50% (15 perawat) berpendidikan tera kir d3 kepera watan, 93% (28 pera wa t) menerapkan prosedur aha 2015. gambaran pengetahuan perawat di uptd puskesmas kota blitar 70% (21 perawat) adalah cukup, dengan kategori setiap parameter adalah baik pada rantai keberhasilan (80,67%), baik pada indikasi keberhasilan(78%), kurang pada indikasi pembehentian(44,67%), dan cukup pada tata laksana bantuan hidup dasar (75,11%). saran bagi program studi d3 keperawatan blitar, program studi d3 keperawatan blitar berdasarkan tridharma perguruan tinggi diharapkan mampu memberikan pendidikan pengajaran dan pengabdian masyarakat berupa pelatihan bantuan hidup dasar kepada perawat di uptd puskesmas kota blitar setiap satu tahun sekali; bagi peneliti selanjutnya, melakukan pengembangan penelitian berupa faktor yang mempengaruhi minat perawat dalam mengikuti pelatihan atau sikap perawat dalam mempertahankan pengetahuan tentang bantuan hidup dasar berdasarkan aha 2015 di uptd puskesmas kota blitar; bagi uptd puskesmas kota blitar, masingmasing lahan melakukan audit kompetensi rutin setiap 3 bulan untuk menjaga kualitas perawat di masing-masing uptd puskesmas di kota blitar, menganjurkan dan memfasilitasi perawat untuk tetap update materi keperawatan setiap kali ada kesempatan melalui media terpercaya seperti jurnal, memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti pelatihan kepada perawat yang belum mengikuti pelatihan agar kompetensi perawat di masingmasing uptd dapat merata. daftar rujukan bachtiar, a. 2016. modul basic cardiac life support. malang: politeknik kesehatan kementerian kesehatan kota malang. brady, w. j., charlton, n. p., lawner, b. j., sutherland, s. f., & mattu, a. 2012. emergency medicine clinics of north america. new york: elsevier. febriani. 2013. pengaruh pengetahuan audit, akuntabilitas, dan independensi terhadap kualitas hasil kerja auditor. studi empiris pada auditor bpk-ri perwakilan wilayah sumbar, 23. hasugian, j. 2008. urgensi literasi informasi dalam kurikulum berbasis kompetensi di perguruan tinggi. jurnal studi perpustakaan dan informasi, vol. 4, no. 2, 34–44. notoatmodjo, s. 2012. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2014. metodologi penelitan ilmu keperawatan pendekatan praktis. jakarta: salemba medika. 8 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 8–14 8 perilaku orangtua dalam pencegahan obesitas anak prasekolah berbasis theory of planned behaviour (tpb) (parent’s behavior in preventing obesity of pre-school children based on theory of planned behaviour) wiwit dwi nurbadriyah stikes kepanjen email: wiwit_dwi@stikeskepanjen-pemkabmalang.ac.id abstract: children obesity is a problem to be watch out for because the incidence rates tend to increase. obesity has an impact on child development both physical and psychosocial aspects as well as having high risk of becoming obese in adulthood and potentially experiencing various illness and death. treatment of obesity is difficulty so the prevention in the become the main priority in maintaining a healthy diet and activity. parents, especially mothers, plays an important role in the fulfillment of family nutrition because mother is person who responsible at home including what is eaten by their children. planned behavior in the prevention of obesity can be identified with the approach of planned behavior theory. this study used descriptive explorative design with a sample of 25 respondents that was the mother of pre-school children in tk wonokerso pakisaji malang through purposive sampling technique. data collection used instruments. the data taken were demographic and spesific data such as attitude, subjective norm, perceived behavior control (pbc), intention. parent’s behavior in children obesity prevention was 64% good. subjective norms: perceptions of social support was 52% good, perception of control (pbc) that was easy or difficult belief about obesity prevention was 68% good, desire intention / parental intention was 52% good. health workers are expected to conduct health education with topics of obesity prevention in children, eating habits, commonly consumed foodstuffs, eating frequency, food portion, feed intake, dietary restrictions, history of physical activity. keywords: prevention behavior, child obesity, theory of planned behavior abstrak: obesitas anak merupakan masalah yang perlu diwaspadai karena angka kejadian cenderung meningkat. obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak dalam aspek fisik dan psikososial serta berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi mengalami berbagai penyebab kesakitan dan kematian. sulitnya tatalaksanan obesitas menyebabkan pencegahan menjadi prioritas utama dengan pendekatan keluarga dalam menjaga pola makan dan aktivitas yang sehat. orang tua terutama ibu memegang peranan penting terhadap pemenuhan gizi keluarga karena ibu bertanggung jawab di rumah termasuk apa yang dimakan oleh anak. perilaku terencana dalam pencegahan obesitas dapat diidentifikasi dengan pendekatan theory of planned behavior (tpb). rancangan penelitian deskriptif eksploratif dengan sampel 25 responden yaitu ibu dari anak prasekolah di tk wonokerso pakisaji malang melalui teknik sampling purposive. pengumpulan data menggunakan instrumen. data yang diambil yaitu demografi dan data khusus yaitu sikap, norma subyektif, perceived behavior control (pbc), intensi. sikap keyakinan orangtua dalam pencegahan obesitas anak 64% baik. subyektive norms persepsi dukungan sosial yang dirasakan 52% baik, persepsi terhadap pengendalian (pbc) yaitu keyakinan mudah atau sulit tentang pencegahan obesitas 68% baik, intensi keinginan/ niat orangtua 52% baik. tenaga kesehatan diharapkan melakukan pendidikan kesehatan dengan topik pencegahan obesitas pada anak, kebiasaan makan, jenis jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p008–014 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 9nurbadriyah, perilaku orangtua dalam pencegahan obesitas anak prasekolah... bahan makan yang biasa dikonsumsi, frekuensi makan, porsi makan, asupan makan, pantangan makan, riwayat aktivitas fisik. kata kunci: perilaku pencegahan, obesitas anak, theory of planned behavior pendahuluan pemenuhan gizi seorang anak sangat dipengaruhi oleh orang tua. perilaku orang tua seperti memakan makanan hingga habis dan mencuci tangan sebelum makan merupakan salah satu perilaku pemenuhan gizi yang dapat di contoh oleh anak. peran orang tua sangat mempengaruhi pola makan anak. hubunga n a nta r keluarga juga sangat mempengaruhi aktivitas anak terutama pola makan anak. jika keluarga memberikan pola asuh sesuai dengan tahap perkembangan anak maka diharapkan pemenuhan gizi anak tercapai secara optimal (mirayanti, 2012). orang tua terutama ibu memegang peranan penting terhadap pemenuhan gizi keluarganya, karena ibu bertanggung jawab di rumah, ibu bertanggung jawab terhadap apa yang dimakan oleh keluarganya (aprilia, 2011). penelitian (anggraini, 2008) di bogor anak yang mengalami obesitas sebesar 11,94%. anak laki-laki 58,7% dan perempuan 37,9%. kemudian anak yang lahir dengan berat badan lebih saat ini mengalami obesitas sebanyak 66,7%. sama halnya di inggris, anak laki-laki (17%) dan anak perempuan (15%) usia 2-15 tahun mengalami obesitas (devi, 2014). pada penelitian selanjutnya yang dilakukan (sartika, 2011) didapatkan hasil obesitas pada anak usia 5-15 tahun sebesar 8,3%. pada artikel yang dimuat oleh (american heart association american stroke association, 2011) hampir 14% anak-anak prasekolah usia 2-5 tahun yang kelebihan berat badan tahun 2014, naik 10% dari tahun 2000. selain itu untuk anak-anak usia 2-5 tahun, prevalensi kegemukan meningkat 5,0-10,4 % sedangkan usia 6-11, prevalensi meningkat dari 4,0 ke 19,6%. hasil studi pendahuluan yang dilakukan di beberapa desa di kecamatan turen yang dilakukan dengan cara wawancara pada orang tua sebanyak 5 orang tua, didapatkan hasil bahwa sebanyak 2 ibu dari anak bekerja dan 3 ibu tidak bekerja, 5 ibu mengatakan kesediaan makanan untuk anaknya cukup, 5 ibu mengatakan tidak mengetahui tentang obesitas, sedangkan dari 5 anak berdasarkan berat badan menurut umur mengalami obesitas. obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak terutama dalam aspek organik dan psikososial. obesitas pada anak berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi mengalami berbagai penyebab kesakitan dan kematian, antara lain penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. obesitas pada anak juga dapat mengakibatkan kelainan metabolik, misalnya atherogenesis, resistensi insulin, gangguan trombogenesis dan karsinogenesis (dhayanaputri, hartini, & kristina, 2011). obesitas pada masa anak dapat meningkatkan kejadian dm tipe 2, juga berisiko menjadi obesitas saat dewasa serta berpotensi gangguan metabolisme glukosa dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah dan lain-lain. selain itu, obesitas pada anak usia 6-7 tahun juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat badan (dhayanaputri, hartini, & kristina, 2011). bahan dan metode pada penelitian ini sampel yang diambil adalah sebagian orang tua yang memiliki anak usia prasekolah. penentuan sampel berdasar kriteria inklusi: keluarga inti, anak tinggal bersama orangtua, keluarga yang dapat membaca menulis, bersedia berpartisipasi dalam penelitian, ibu sebagai food handler utama. sedangkan kriteria eksklusi: terdapat keterbatasan baik fisik atau mental yang dapat mengganggu penelitian (contoh: buta, gangguan pendengaran (tuli), dan dimensia. penelitian ini jumlah sampel adalah 24 orang tua dengan anak prasekolah di tk wonokerso pakisaji malang. teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini secara purposive sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kuisioner data umum: data demografi terdiri dari data orang tua (ibu) dan data anak, data orang tua meliputi: nama, jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan. data anak meliputi nama anak, usia. serta kuisioner berbasis teori planned of behavior (tpb) yaitu sikap orangtua dalam pen10 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 8–14 cegahan obesitas, norma subyetif, perceived behavioral control, intensi orangtua dalam pencegahan obesitas anak prasekolah. hasil penelitian data umum responden mayoritas berusia 2040 tahun, yaitu 20 (80 %) orang. usia rata-rata 30 tahun dan semua responden 25 orang (100%) berasal dari suku jawa. pendidikan 44% lulusan smu. sedangkan data khusus didapatkan lebih dari 50% responden memiliki sikap yang positif dalam pencegahan obesitas anak usia prasekolah, yaitu sebanyak 16 responden (64%). meskipun terdapat 9 (36%) responden yang memiliki sikap negatif terhadap pencegahan obesitas. sikap diartikan sebagai perasaan yang mendukung atau memihak (favorableness) atau perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorableness) terhadap suatu objek dalam hal ini pencegahan obesitas. nor ma subyektif seba gia n besa r da la m pencegahan obesitas anak usia prasekolah yaitu sebanyak 13 (52%) orang. norma subyektif diartikan persepsi dari individu terhadap tekanan sosial atau sejumlah orang yang dianggap penting dalam menganjurkan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku pencegahan obesitas pada anak prasekolah dan berkeinginan untuk mematuhi anjuran atau larangan tersebut. lebih dari 50% responden memiliki persepsi yang baik (perceived behavior control) dalam pencegahan obesitas anak usia prasekolah yaitu sebanyak 17 (68%) orang. bahwa lebih 50% responden memiliki intensi yang baik dalam pencegahan obesitas anak usia prasekolah. pembahasan sikap orangtua dalam pemenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan obesitas sikap merupakan keyakinan orangtua dalam pencegahan obesitas terdiri dari: kebiasaan makan, jenis bahan makan yang biasa dikonsumsi, frekuensi makan, porsi makan, asupan makan, pantangan makan, riwayat aktivitas fisik anak (kemenkes ri, 2012). kejadian obesitas pada anak dipengaruhi oleh diet sehari-hari, terutama diet tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak masukan energi yang lebih besar dari pada yang digunakan. sekarang ini sering dijumpai anak prasekolah mengkonsumsi makanan cepat saji (fast food dan junk food), yang umumnya mengandung energi tinggi karena 40-50% berasal dari lemak (syarief, 2002 dalam budiyati, 2012). kebiasaan lain adalah mengkonsumsi makanan camilan yang banyak mengandung gula sambil menonton televisi. camilan yang dipilih bisa dipengaruhi iklan, hal ini bisa meningkatkan resiko jumlah konsumsi makanan sehingga asupan energi juga meningkat (wilkinson, 2008 dalam budiyati, 2012). porsi makan atau asupan gizi yang tidak seimbang bisa meningkatkan resiko obesitas anak. tidak membiasakan sarapan pagi dapat mengakibatkan makan berlebihan pada siang hari sehingga kelebihan asupanya disimpan dalam bentuk lemak. makanan lain yang tinggi kalori namun rendah gizi juga menunjang penimbunan lemak (anggraini, 2008) kurangnya aktivitas fisik menyebabkan kurangnya pembakaran energi oleh tubuh sehingga kelebihan energi dalam tubuh akan dismpan dalam bentuk lemak sehingga mengakibatkan obesitas. pola makan yang tidak seimbang yaitu konsumsi kalori berlebih daripada kalori yang keluar untuk aktivitas fisik mengakibatkan ketidakseimbangan energi (suraoka, 2012 dalam musralianti, 2016). theory of planned behavior menyampaikan bahwa sikap yang dimiliki seseorang terhadap suatu tingkah laku dilandasi oleh belief seseorang terhadap konsekuensi (outcome) yang akan dihasilkan jika tingkah laku tersebut dilakukan (outcome evaluation) dan kekuatan terhadap belief tersebut (belief strong) (fishbein & ajzen, 2010). intensi yang baik cenderung dipengaruhi oleh sikap positif ibu dalam pencegahan obesitas. menurut theory of planed behavior perilaku individu dipengaruhi oleh niat individu itu (behavioral intention) terhadap perilaku tertentu. tpb didasarkan pada prinsip logis bahwa orang akan mengevaluasi konsekuensi sebelum melakukan tindakan tertentu (sharifirad et al, 2015). menurut tpb, tindakan manusia dipandu salah satunya oleh sikap yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil dari perilaku dan evaluasi dari hasil (javadi m et al, 2013). sikap dianggap sebagai penyebab pertama dari intensi perilaku tertentu, dalam hal ini perilaku pencegahan obesitas pada anak prasekolah. seorang individu akan berniat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu ketika ia menilainya secara positif. orangtua akan berniat (memiliki intensi yang baik) untuk menampilkan perilaku pencegahan obesitas ketika menilai secara positif (bersikap positif). sikap ditentukan oleh kepercayaan individu mengenai konsekuensi dari suatu perilaku dan 11nurbadriyah, perilaku orangtua dalam pencegahan obesitas anak prasekolah... berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya. sikap tersebut dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap intensi berperilaku. keyakinan orangtua da lam pencegahan obesitas tentang kebiasaan makan, jenis bahan makan yang biasa dikonsumsi, frekuensi makan, porsi makan, asupan makan, pantangan makan, riwayat aktivitas fisik norma subyektif orangtua dalam pemenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan obesitas persepsi dukungan sosial yang dirasakan oleh orangtua dalam pencegahan obesitas tentang: kebiasaan makan, jenis bahan makan yang biasa dikonsumsi, frekuensi makan, porsi makan, asupan makan, pantangan makan, riwayat aktivitas fisik. berdasarkan saran dari: keluarga inti, keluarga besar, lingkungan (kemenkes ri 2012). tahap tumbuh kembang anak perlu variasi nutrisi dengan porsi tertentu sesuai pedoman gizi. akan tetapi selain nutrisi dalam menu makanan, pola makan anak juga harus dibentuk sedini mungkin. makanan yang biasa dikonsumsi anak prasekolah tergantung dari makanan yang disediakan orangtuanya. jika anak tidak diperkenalkan dengan ikan atau sayuran, bisa jadi saat dewasa anak kurang menyukai makanan tersebut. peran orangtua sangat penting untuk memberi contoh makanan bergizi cukup dan seimbang karena kebiasaan dalam keluarga mempengaruhi pola makan anak (karomah, 2013). pola makan anak bisa dibentuk oleh ibu dengan memperhatikan jumlah, jenis dan jadwal. jumlah makanan sesuai kebutuhan kalori, tidak kurang atau lebih dengan jenis meliputi karbohidrat, protein, buah, sayur, lemak serta susu. agar bervariasi, menu makanan anak disamakan dengan menu keluarga agar tidak cepat bosan. jadwal makan bisa dibuat teratur, tiga kali makan utama dan 2 kali snack serta membiasakan untuk sarapan sebagai persiapan energy sebelum aktivitas (irfan dkk, 2013). faktor lain yang mempengaruhi norma subyektif orangtua dalam pencegahan obesitas anak prasekolah yaitu dukungan lingkungan sosial. orang cenderung bersama sesuai kelompok sosialnya misal umur, jenis kelamin, hobi dan pekerjaan yang sama. seseorang cenderung bertindak dan berperilaku seperti anggota dari kelompok tersebut. pada penelitian kusumadewi (2012) didapatkan hubungan positif antara dukungan sosial peer group dengan kebiasaan dalam berperilaku. lingkungan yang melakukan kebiasaan baik akan membuat yang lain menjadi baik. demikian sebaliknya, lingkungan yang cenderung melakukan kebiasaan sekedarnya dalam pencegahan obesitas pada anak akan mempengaruhi orang lain di lingkungan tersebut. seseorang cenderung berperilaku sama dalam lingkungan sosialnya (peer group). norma subyektif adalah pihak-pihak yang dianggap berperan dalam perilaku seseorang dan memiliki harapan pada orang tersebut, dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan tersebut (ismail dan zain, 2008). norma subyektif yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain (normative beliefs) dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (motivation to comply) (fishbein & ajzen, 2010). azwar (2010) menyampaikan bahwa orang lain disekitar kita merupakan salah satu komponen sosial yang ikut mempengaruhi keyakinan. seseorang yang dianggap penting, seseorang yang diharapkan persertujuannya bagi setiap tingkah laku dan pendapat kita, seseorang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang mempengaruhi pembentukan sikap dan keyakinan terhadap sesuatu. pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap atau keyakinan yang konformis atau searah dengan orang yang dianggapnya penting. kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk mengindari konflik dengan orang yang dianggap penting. penelitian ini menunjukkan orang atau kelompok yang dianggap memberi dukungan terhadap orantua dalam pencegahan obesitas adalah keluarga inti, keluarga dan lingkungan. perceived behavioral control orangtua dalam pemenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan obesitas anak keyakinan mudah atau sulit tentang pencegahan obesitas: terdiri dari pola hidup sehat cegah obesitas (kemenkes ri, 2012) yaitu: konsumsi buah dan sayur, membatasi menonton tv, bermain komputer, game/playstation, tidak menyediakan tv di kamar anak, mengurangi makanan dan minuman ma nis, mengur a ngi ma ka na n ber lema k da n gorengan, kurangi makan diluar, biasakan makan pagi dan membawa makanan bekal ke sekolah, biasakan makan bersama keluarga 1x sehari, makanlah makanan sesuai dengan waktunya, tingkatkan aktifitas fisik minimal 1 jam/ hari, melibatkan keluarga untuk perbaikan gaya hidup untuk pencegahan gizi lebih 12 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 8–14 pada usia prasekolah merupakan peralihan dari balita ke usia sekolah.. periode ini merupakan periode kritis dalam pemeliharaan makan, karena anak belajar memilih makanan dan belum mengerti makanan yang bergizi sehingga butuh peran orangtua dalam memilih atau menentukan makanan yang diinginkan (vertikal, 2012). menurut emirza (2012), bahwa pengetahuan kesehatan dan pembinaan gizi tentang pentingnya sarapan dan membawa bekal, sanitasi dan jajanan yang sehat berhubungan dengan status gizi anak. peran orangtua sangat penting dalam memperhatikan pola jajan anaknya yaitu dengan membiasakan anak sarapan pagi dan menyiapkan bekal agar mengurangi jajan di sekolah. kebiasaan konsumsi sayur dan buah perlu diperhatikan. sayur dan buah merupakan serat yang penting bagi anak dalam masa pertumbuhan. anak overweight dan obesitas butuh makanan tinggi serat. berdasar pugs (pedoman umum gizi seimbang) konsumsi sayur buah minimal 3 porsi/hari. pola penduduk indonesia cenderung lebih rendah daripada jumlah yang dianjurkan. hal ini sesuai dengan penelitian irfan (2013) bahwa frekuensi konsumsi sayur 98,3% jarang mengkonsumsi sayur dan 100% kategori jarang. perilaku sedentary (aktivitas fisik yang rendah seperti menonton tv dan bermain games) mempunyai hubungan dengan kejadian gizi lebih. (vertikal, 2012). penelitian musthtaq et al, 2011 dalam vertikal, 2012 pada anak usia 5-12 tahun di lahore pakistan perilaku sedentary lebih dri 1 jam/hari mempunyai kemungkinan lebih besar menjadi gizi lebih. diet mempunyai peran besar dalam kejadian obesitas pada anak, terutama tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak. makanan cepat saji (fast food dan junk food) mempunyai energy tinggi karena 40-50% dari lemak. masukan energy lebih besar dari eneri yang digunakan (syarief, 2002 dalam budiyati, 2011). penelitian di iran oleh maddah dan nikooyeh, 2009 dalam budiyati, 2011 menyebutkan bahwa melewatkan makan pagi pada anak dapat meningkatkna resiko berat badan lebih dan obesitas. pada anak yang melewatkan makan pagi dapat meningkatkan resiko berat badan lebih sebanyak 17%. melewatkan makan pagi berhubungan dengan konsumsi makanan tinggi kalori selama di sekolah karena rasa lapar sehingga cenderung makan camilan yang manis. sebagian besar ibu tidak membawakan bekal makanan ke sekolah. makanan bekal dapat menjadi tambahan makan pagi anak sebagai kebutuhan gizi anak yang meningkat selama masa pertumbuhan. selain itu membawa bekal sendiri juga bisa menghindarkan penggunaan zat kimia berbahaya dalam makanan jajanan seperti pewarna, penyedap rasa dan pengawet yang perlu diwaspadai. kesibukan orangtua (terutama ibu) yang bekerja juga membatasi mereka dalam meyiapkan dan menyajikan bekal untuk anak. menurut karomah, 2013 kebiasaan membawa bekal merupakan salah satu faktor pemudah yang mendorong terwujudnya pemilihan makanan jajanan yang baik dan sebagai salah satu upaya mencegah obesitas pada anak. rekomendasai aktifitas fisik pada anak untuk mencegah kegemukan antara lain: a. aktivitas fisik di sekolah dilakukan melalui kurikulum intra dan ekstrakurikuler 3-4 jam dalam seminggu dan memanfaatkan waktu istirahat dengan bermain di halaman sekolah. b). aktivitas fisik di rumah dilakukan bersama keluarga dan teman bermain. c). latihan fisik untuk melatih kemampuan gerak dasar, fleksibilitas, kekuatan otot dan keseimbangan (kemenkes ri, 2012). var iabel perceived behavional control diasumsikan merefleksi pengalaman masa lalu, dan mengantisipasi halangan yang mungkin terjadi atau perceived behavional control adalah persepsi seseorang tentang kemudahan atau kesulitan untuk berper ilaku ter tentu. perceived behavional control diasumsikan memiliki pengaruh motivasional terhadap intensi. individu yang menyakini bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk berperilaku, tidak akan memiliki intensi yang kuat, meskipun ia bersikap positif dan didukung oleh referents (orang-orang disekitarnya) (fishbein & ajzen, 2010). perceived behavional control ini dihasilkan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku pendokumentasian. perceived behavional control ini sangat penting ketika rasa percaya diri seseorang cukup dalam berada dalam kondisi yang lemah, karena perceived behavional control meningkatkan motivasi. hasil penelitian menunjukkan bahwa intensi yang baik dihasilkan oleh pbc yang baik. intensi orangtua dalam pencegahan obesitas anak usia prasekolah keinginan/niat orangtua dalam tentang pencegahan obesitas: terdiri dari pola hidup sehat cegah 13nurbadriyah, perilaku orangtua dalam pencegahan obesitas anak prasekolah... obesitas (kemenkes ri, 2012). konsumsi buah dan sayur, membatasi menonton tv, bermain komputer, game/playstation, tidak menyediakan tv di kamar anak, mengurangi makanan dan minuman manis, mengurangi makanan berlemak dan gorengan, kurangi makan diluar, biasakan makan pagi dan membawa makanan bekal ke sekolah, biasakan makan bersama keluarga 1x sehari, makanlah makanan sesuai dengan waktunya, tingkatkan aktifitas fisik minimal 1 jam/ hari, melibatkan keluarga untuk perbaikan gaya hidup untuk pencegahan gizi lebih. faktor intensi perilaku merupakan inti dari perilaku terencana, namun penyebab intensi tidak hanya dua (sikap terhadap perilaku pendokumentasian asuhan keperawatan dan norma subyektif) melainkan tiga dengan diikutsertakan aspek kontrol perilaku (perceived behavional control). ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan dalam hal ini perilaku pendokumentasin asuhan keperawatan akan dilakukan atau tidak (azwar,2010). ajzen menyatakan bahwa niat seseorang melakukan perilaku akan menentukan dilakukan atau tidak dilakukan perilaku tersebut (ajzen, albarracin, & hornik, 2010). intensi merupakan faktor motivasional yang memiliki pengaruh pada perilaku, sehingga orang dapat mengharapkan orang lain berbuat sesuatu berdasarkan intensinya. pada umumnya, intensi memiliki kolerasi yang tinggi dengan perilaku, oleh karena itu dapat digunakan untuk meramalkan perilaku. intensi diukur dengan sebuah prosedur yang menempatkan subyek di dimensi probabilitas subyektif yang melibatkan suatu hubungan antara dirinya dengan tindakkan (fishbein & ajzen, 2010). intensi juga merupakan faktor penentu apakah perilaku yang bersangkutan dalam hal ini perilaku pendokumentasian asuhan kepera watan akan dilakukan atau tidak (azwar, 2010). simpulan dan saran simpulan perilaku ibu dalam pencegahan obesitas anak pr a sekola h ber ba sis theory of planned bahaviour di tk wonokerso pakisaji kabupaten malang adalah: sikap orangtua dalam pemenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan obesitas anak 64% baik, subyektive norms/norma subyektif orangtua dalam pemenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan obesitas anak 52% baik, perceived behavior control (pbc) orangtua dalam pemenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan obesitas anak 68% baik, intensi orangtua dalam pemenuhan gizi anak sebagai upaya pencegahan obesitas anak 52% baik. saran bagi petugas kesehatan setempat: perlu meningkatkan pendidikan kesehatan dengan topik pencegahan obesitas pada anak, kebiasaan makan, jenis bahan makan yang biasa dikonsumsi, frekuensi makan, porsi makan, asupan makan, pantangan makan, riwayat aktivitas fisik, bagi ibu dengan anak prasekolah, diharapkan meningkatkan pemahaman tentang pola hidup sehat cegah obesitas seperti konsumsi buah dan sayur, membatasi menonton tv/ game/playstation, mengurangi makanan manis dan berlemak, melalui pencarian informasi secara mandiri melalui internet. daftar rujukan ajzen, albarracin, & hornik. 2010. prediction and change of he alth behavior. a ppliying the reasoned action research. new jersey: lea publisher. american heart association american stroke association. 2011. understanding chilhood obesity. anggraini, s. 2008. ‘faktor resiko obesitas pada anak taman kanakkanak di kota bogor’. skripsi. institut pertanian bogor (tidak dipublikasikan) aprilia, a. bondika. 2011. ‘faktor yang berhubungan dengan pemilihan makanan pada anak sekolah dasar’. skipsi, universitas diponegoro (tidak dipublikasikan) azwa r, s. 2010. si kap manusia, teori dan pengukuranya. jogjakarta: pustaka pelajar budiyati. 2011. ‘analisis faktor penyebab obesitas pada anak usia sekolah di sd islam al azhar 14 semarang’, skripsi, universitas indonesia (tidak dipublikasikan) dhayanaputri, i. s., hartini, t. n. s., & kristina, s. a. 2011. ‘persepsi ibu, guru dan tenaga kesehatan tentang obesitas pada anak taman kanak-kanak’. berita kedokteran masyarakat, vol 27, no.1, hal. 32–40. emirza, p. 2012. ‘hubungan asupan makanan dan faktor lainya terhadap kejadian kelebihan berat badan’, skripsi, universitas indonesia (tidak dipublikasikan) fishbein & ajzen. 2010. predicting and changing behavior. the reasoned action approach, new york: psychology press 14 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 8–14 irfan, dkk. 2013. ‘pola konsumsi sayur, buah dan aktivitas sedentari mahasiswa obesitas’, skripsi, universitas hasanuddin (tidak dipublikasikan) ismail, v.y dan zain, e. 2008. ‘peranan sikap, norma subyektif dan perceived bahavior control terhadap intensi pelajar slta untuk memilih fakultas ekonomi’, jurnal ekonomi dan bisnis, vol 5, no 3 hal 237-257 javadi, m., kadkhodaee, m., yaghoubi, m., marofi, m., dan sham. 2013. appliying theory of planned behavior in predicting of patient safety behaviors of nurses. mater sociomed. karomah, a. 2013. ‘faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada anak pra sekolah di tk salman itb ciputat’, skripsi, uin syarif hidayatullah(tidak dipublikasikan) kementerian kesehatan republik indonesia. 2012. pedoman pencegahan dan penanggulangan kegemukan dan obesitas. jakarta: direktorat jenderal bina gizi dan kesehatan ibu dan anak mirayanti, n. k. 2012. hubungan pola asuh pemenuhan nutrisi dalam keluarga dengan status gizi balita di kelurahan pasir gunung selatan kecamatan cimanggis kota depok. retrieved from http:// perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/3558.pdf kusumadewi. 2012. hubungan dukungan sosial peer group dan kontrol diri dengan kepatuhan terhadap peraturan pada remaja putri. retrieved from http://candrajiwa.psikologi.fk.uns.ac.id/ index.php/candrawijaya/article/view/25/15 musralianti, f dkk. 2016. hubungan antara aktivitas fisik dan pola makan dengan kejadian obesitas pada siswa smp kristen eben haizar i manado. skripsi universitas sam ratulangi (tidak dipublikasikan) sartika, r. a. d. 2011. ‘faktor risiko obesitas pada anak 5-15 tahun di indonesia’, makanan kesehatan, vol.15, no.1, hal 37–43. sharifirad, g., mostafavi, f., reisi, m., mahaki, b, javadzade, heydarabadi dan esfahani, m. 2015. predictors of nurses intention and behavior in using health literacy strategies in patient education based on the theory of planned behavior. mater sociomed. vertikal, l. 2012. ‘aktivitas fisik, asupan energi, asupan lemak hubunganya dengan gizi lebih pada siswa sd pondok cina i’, tesis, universitas indonesia (tidak dipublikasikan). d:\set 2017\set nanik juni 2017 56 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 56–63 56 konsep diri keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung di kota blitar (self concept of the family with mental disorder member and restrain history in blitar town) aprilla wulan gupitasari cahyono praktisi keperawatan email: aprillawulan63@gmail.com abstract: in indonesia, there was 20.000 to 30.000 people with mental disorder which restrained. there was 14,3% family or about 237 from 1655 families had a member with heavy mental disorder restrained. the purpose of the research was to identify self concept of the family with mental disorder member with restrained history. the population in this research was 30 families which had member with mental disorder restrained history in blitar town. the sample size in this research was 30 people taken by using total sampling. the data collection was conducted by questionnaire. the data collection was done on 28 march 10 may 2016. the result of the research showed that 73,1% (19 families) had positive self concept, then 26,9% (7 families) had negative self concept. the recommendation of this research was it should get specific attention from health employees to give motivation, guidance, and give health education to the family with mental disorder member and restrained history to keep or increase positive self concept and change the negative self concept be positive especially in role component and personal identity. keywords: self concept, family, people with psychology disorder, restrained history abstrak: di seluruh indonesia terdapat 20.000 hingga 30.000 penderita gangguan jiwa yang dipasung. ada 14,3 persen rt atau sekitar 237 rt dari 1. 655 rt yang memiliki anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat yang dipasung. tujuan penelitian untuk mengidentifikasi tentang konsep diri keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung. populasi dalam penelitian adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung di kota blitar sebanyak 26 keluarga, dan besar sampel yang diambil adalah sebanyak 26 orang menggunakan teknik total sampling. pengumpulan data dilakukan dengan lembar kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada 28 maret–10 mei 2016. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 73,1% (19 keluarga) memiliki konsep diri positif, sedangkan 26,9% (7 keluarga) memiliki konsep diri negatif. rekomendasi dari penelitian ini diharapkan adanya perhatian khusus dari petugas kesehatan untuk membantu memotivasi, membimbing, dan memberikan kie pada keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung agar mempertahankan atau meningkatkan konsep dirinya yang positif dan merubah konsep diri yang negatif menjadi positif terutama pada komponen peran dan identitas diri. kata kunci: konsep diri, keluarga, orang dengan gangguan jiwa, riwayat pasung gangguan jiwa menurut ppdgj iii, maslim dan maramis adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) didalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p056-063 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 57cahyono, konsepsi diri keluarga yang memiliki... dan gangguan itu tidak hanya terletak didalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (yusuf, dkk: 2015) sekarang ada stigma tentang gangguan jiwa, yaitu orang dengan masalah kejiwaan (odmk) disetiap jajaran atau tingkatan yang tidak ditangani kemudian menjadi orang dengan gangguan jiwa (odgj). dalam undang-undang ri nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa: ”orang dengan gangguan jiwa yang selanjutnya disingkat odgj adalah seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia”. salah satu kasus odgj adalah kasus orang dengan marah-marah, amuk, yang bahkan mengarah ke perilaku kekerasan. kasus seperti itu biasanya ditinda k dengan pemasungan oleh keluar ga . friedman dalam suprajitno (2004) menyatakan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masingmasing yang merupakan bagian dari keluarga. keluarga merupakan pemberi perawatan utama dalam mencapai pemenuhan kebutuhan dasar dan mengoptimalkan ketenangan jiwa bagi pasien. gangguan jiwa mungkin memerlukan terapi yang cukup lama, sehingga pengertian dan kerjasama keluarga sangat penting artinya dalam pengobatan (lestari, dkk: 2014). pemasungan merupakan suatu tindakan yang menggunakan cara pengikatan atau pengisolasian. pengikatan yaitu semua cara manual dengan menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh dan membuat tidak bisa bergerak dengan mudah atau membatasi kebebasan dalam menggerakkan tangan, kaki ataupun kepala. pengisolasian adalah tindakan mengurung sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan ruangan/area tersebut (dinkes, 2014). di seluruh indonesia terdapat 20.000 hingga 30.000 penderita gangguan jiwa yang dipasung (purwoko dalam lestari & wardhani, 2014). riskesdas 2013 menunjukkan bahwa ada 14,3 persen rt atau sekitar 237 rt dari 1. 655 rt yang memiliki anggota rumah tangga yang mengalami gangguan jiwa berat yang dipasung (lestari & wardhani, 2014). dari 3 kecamatan di wilayah kota blitar terdapat 30 orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung. kecamatan sananwetan 17 orang, kepanjenkidul 6 orang, dan sukorejo 7 orang. pada tahun 2011 menteri kesehatan ri sudah mencanangkan program indonesia bebas pasung pada tahun 2014. namun sampai dengan tahun 2014 belum terlihat penanganan yang signifikan dan komprehensif dalam penanganan dini penderita gangguan jiwa. program indonesia bebas pasung 2014 saat ini direvisi menjadi program indonesia bebas pasung 2019, sehingga indonesia dalam menentukan ketercapaian target masih ada 5 tahun lagi atau bahkan lebih cepat karena proses ini masih berlangsung berkesinambungan dengan adanya komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kota/kabupaten (yud dalam lestari & wardhani, 2014). orang yang di pasung dimasyarakat dipandang memiliki imej yang tidak baik (stigma). menurut kbbi (1997) stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. dinas kesehatan provinsi jatim (2014) menyatakan bahwa stigmatisasi yaitu mendeskriditkan (memberi tanda negatif) pada seseorang secara sosial berdasarkan karakteristik personalnya yang mengakibatkan dampak sosial yang negatif. stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya tidak hanya menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi juga bagi anggota keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi (djatmiko dalam sari, 2009). sedangkan dalam peraturan gubernur diy pasal 3, pemerintah daerah bertugas: “mencegah timbulnya stigmatisasi dan diskriminasi bagi odgj”. tetapi kenyataannya di masyarakat masih ada stigmatisasi dan diskriminasi bagi odgj dan keluarganya. tanggal 10 oktober 2014 dr. nafsiah mboi, sp.a, mph, menyatakan bahwa ia merasa prihatin saat mendengar berbagai stigmatisasi dan diskriminasi yang masih sering dialami oleh anggota masyarakat yang dinilai berbeda dengan masyarakat pada umumnya, termasuk orang dengan gangguan jiwa (odgj), antara lain dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga ditelantarkan oleh keluarga, bahkan dipasung, serta dirampas harta bendanya (kemenkes ri). dampak dari stigma di masyarakat tersebut akan mempengaruhi konsep diri keluarga yang memiliki 58 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 56–63 anggota keluarga odgj. keluarga merasa malu, merasa harga dirinya rendah, dan perannya di masyarakat menjadi kurang karena stigma tersebut. konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (yusuf, dkk: 2015). konsep diri ini terdiri dari 5 komponen yaitu, citra tubuh, ideal diri, harga diri, peran dan identitas diri. berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 25 september 2015 di kota blitar, melakukan kunjungan ke 5 keluarga yang memiliki anggota keluarga odgj yang di pasung. 60% keluarga mempunyai konsep diri yang negatif dan 40% keluarga mempunyai konsep diri yang positif dilingkungannya karena memiliki anggota keluarga yang di pasung. dengan demikan masih banyak anggota keluarga odgj yang di pasung yang memiliki konsep diri negatif. berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “bagaimanakah gambaran konsep diri keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung di kota blitar”. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung di kota blitar, besar sampel sebanyak 26 orang diambil dengan teknik total sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada 28 maret – 10 mei 2016. hasil penelitian secara umum, keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung kota blitar seperti dalam tabel 1 di bawah. no karakteristik f prosentase 2 jenis kelamin: laki-laki 13 50 perempuan 13 50 3 lama anggota keluarga menderita gangguan jiwa: <10 tahun 7 26.9 10-25 tahun 12 46.2 26-35 tahun 2 7.7 36-45 tahun 3 12.5 >45 tahun 2 7.7 4 hubungan dengan klien: ayah 3 11.5 ibu 1 3.8 istri 2 7.7 anak 6 23.1 saudara 14 53.8 5 tindakan saat ini: pasung 12 46.2 tidak dipasung 14 53.8 6 lama dipasung: tidak dipasung 14 53.8 <1 tahun 3 11.5 1-10 tahun 7 26.9 11-20 tahun 1 3.8 >20 tahun 1 3.8 7 lama pasung dilepaskan: dipasung 12 46.2 <1 tahun 2 7.7 1-10 tahun 8 30.8 11-20 tahun 3 11.5 >20 tahun 1 3.8 8 alasan penderita odgj dipasung: tidak dipasung 14 53.8 pasien putus obat 1 3.8 tidak punya biaya untuk berobat 1 3.8 keluarga merasa terganggu 3 11.5 menganggu orang di sekitar nya 2 7.7 membahayakan diri sendiri 1 3.8 keluarga tidak tahu harus 3 11.5 berbuat apa keluarga merasa malu 1 3.8 no karakteristik f prosentase 1 usia: 15-25 tahun 2 7.7 26-45 tahun 11 42.3 46-65 tahun 8 30.8 >65 tahun 5 19.2 tabel 1 karakteri stik keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan jiwa riwayat pasung kota blitar, 28 maret10 mei 2016 (n=26). konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung berdasarkan citra tubuh ditunjukkan dalam tabel 2. no konsep diri f prosentase 1 ideal diri positif 24 76.9 2 ideal diri negatif 6 23.1 tabel 2 data citra tubuh keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret–10 mei 2016 (n=26) 59cahyono, konsepsi diri keluarga yang memiliki... konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung berdasarkan harga diri ditunjukkan dalam tabel 4. tabulasi silang antara usia keluarga dengan konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di ditunjukkan dalam tabel 8. konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung berdasarkan ideal diri ditunjukkan dalam tabel 3. tabel 3 data ideal diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret – 10 mei 2016 (n=26) no konsep diri f prosentase 1 ideal diri positif 24 92.3 2 ideal diri negatif 2 7.7 tabel 4 data harga diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret – 10 mei 2016 (n=26) no konsep diri f prosentase 1 harga diri tinggi 22 84.6 2 harga diri rendah 4 15.4 konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung berdasarkan peran ditunjukkan dalam tabel 5. tabel 5 data pe r an k e luar ga yang me mi li k i penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret – 10 mei 2016 (n=26) no konsep diri f prosentase 1 peran memuaskan 19 73.1 2 peran tidak memuaskan 7 26.9 konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung identitas diri ditunjukkan dalam tabel 6. tabel 6 data identitas diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret – 10 mei 2016 (n=26) no konsep diri f prosentase 1 identitas diri positif 19 73.1 2 identitas diri negatif 7 26.9 konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung ditunjukkan dalam tabel 7. tabel 7 data konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret – 10 mei 2016 (n=26) no konsep diri f prosentase 1 konsep diri positif 19 73.1 2 konsep diri negatif 7 26.9 f % f % f % 15-25 tahun 1 3.8 1 3.8 2 7.7 26-45 tahun 7 26.9 4 15.4 11 42.3 46-65 tahun 8 30.8 0 0.0 8 30.8 >65 tahun 3 11.5 2 7.7 5 19.2 tabel 8 data tabulasi silang antara usia keluarga dengan konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret – 10 mei 2016 (n=26) konsep diri usia positif negatif jumlah tabulasi silang antara alasan keluarga memasung penderita odgj dengan konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung ditunjukkan dalam tabel 9. tabel 9 data tabulasi silang antara alasan keluarga memasung penderita odgj dengan konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar, 28 maret – 10 mei 2016 (n=26) konsep diri lama dipasung positif negatif jumlah f % f % f % tidak dipasung 12 46.2 2 7.7 14 53.8 pasien putus obat 0 0.0 1 3.8 1 3.8 tidak punya biaya untuk berobat 0 0.0 1 3.8 1 3.8 keluarga merasa terganggu 3 11.5 0 0.0 3 11.5 mengang gu orang di sekitarnya 1 3.8 1 3.8 2 7.7 membah ayakan diri sendiri 1 3.8 0 0.0 1 3.8 tahu harus berbuat apa 2 7.7 1 3.8 3 11.5 keluarga merasa malu 0 0.0 1 3.8 1 3.8 60 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 56–63 pembahasan dari hasil penelitian dijelaskan secara rinci setiap komponen konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar memperoleh hasil konsep diri positif sebesar 73,1% (19 keluarga) dan 26,9% (7 keluarga) mempunyai konsep diri yang negatif. konsep diri yang positif yaitu individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahannya secara jujur dan dalam menilai suatu masalah individu berpikir secara positif dan realistik (suliswati:2005). individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif dan dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual, dan penguasaan lingkungan. sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial terganggu (bahari, dkk:2012). sesuai teori diatas keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar mempunyai konsep diri positif, mereka tetap percaya diri terhadap dirinya dan keadaan anggota keluarga, mampu menyesuaikan diri dan tetap diterima di lingkungannya. konsep diri positif di dapatkan dari rincian data hasil penelitian berdasarkan komponen konsep diri. konsep diri berdasarkan citra tubuh keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar mempunyai citra tubuh yang positif sebesar 76,9% (20 keluarga) dan 23,1% (6 keluarga) mempunyai citra tubuh yang negatif. citra tubuh harus realistis karena semakin dapat menerima dan menyukai tubuhnya individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan. individu yang menerima tubuhnya apa adanya biasanya memiliki harga diri tinggi daripada individu yang tidak menyukai tubuhnya (suliswati, dkk:2005). orang yang memiliki citra tubuh yang positif akan dapat menilai diri sendiri secara positif, mempunyai rasa percaya diri yang penuh, merasa puas dengan penampilan fisik, menghargai diri seadanya, memiliki kepedulian terhadap kondisi badan dan kesehatan, serta memiliki penerimaan yang tinggi terhadap jati dirinya (bahari, dkk:2012). sebagian besar keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar mempunyai citra tubuh yang positif. hal ini dibuktikan dengan menjawab kuesioner walaupun ada anggota keluarga riwayat pasung masih banyak yang mempunyai rasa percaya diri yang penuh, kepedulian terhadap kondisi badan, kesehatan diri sendiri serta anggota keluarganya. tetapi masih ada keluarga yang mempunyai citra tubuh negatif, seperti penjelasan dalam teori (bahari, dkk:2012) orang yang mempunyai citra tubuh yang negatif maka akan menilai dirinya sendiri secara negatif, tidak menerima diri sendiri seadanya, tidak pernah puas dengan apa yang dilakukan, memiliki ketaukan dan kecemasan yang berlebihan, mudah putus asa dan tidak mempunyai mekanisme koping untuk menghadapi banyaknya stressor. konsep diri berdasarkan ideal diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar mempunyai ideal diri yang tinggi sebesar 92,3% (24 keluarga) dan 7,7% (2 keluarga) mempunyai ideal diri yang rendah. menurut suliswati (2005) ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut serta samar-samar atau kabur. ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu mempertahankan kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung. ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental. ideal diri tinggi keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar di buktikan dengan menjawab kuesioner walaupun ada anggota keluarga riwayat pasung masih banyak yang ingin tetap di sukai semua orang, masih disukai dilingkungan tempat tinggal, dan dapat menyesuaikan diri dilingkungannya. konsep diri berdasarkan harga diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar mempunyai harga diri yang tinggi sebesar 84,6% (22 keluarga) dan 15,4% (4 keluarga) mempunyai harga diri yang rendah. menurut yusuf, fitriyasari, dan nihayati, (2015:92) yang menyebutkan bahwa individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan, sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima di lingkungan. harga diri tinggi dibuktikan dengan kebanyakan keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar menjawab kuesioner walaupun ada anggota keluarga riwayat pasung, namun masih dapat menghargai diri sendiri, dan merasa tidak rendah diri karena kurang di terima di lingkungannya. konsep diri berdasarkan peran keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita odgj riwayat pasung di kota blitar mempunyai peran yang memuaskan sebesar 73,1% (19 keluarga) dan 26,9% (7 keluarga) mempunyai peran yang tidak memuas 61cahyono, konsepsi diri keluarga yang memiliki... kan. peran yang memuaskan yaitu individu mampu menjalankan peran yang berfungsi dengan baik dilingkungan masyarakat dan sekitar, melakukan peran sesuai dengan harapan, memiliki tanggung jawab (bahari, dkk:2012). gangguan penampilan peran adalah berubahnya atau berhentinya fungsi peran yang disebabkan oleh penyakit, proses menua, putus sekolah, dan putus hubungan kerja (dalami, dkk: 2009). teori dari (bahari, dkk:2012) dan dalami (2009) meskipun ada gangguan peran karena memiliki penderita odgj riwayat pasung, keluarga tetap menjalankan perannya dengan baik. hal tersebut dibuktikan dengan kebanyakan menjawab kuesioner dengan adanya anggota keluarga riwayat pasung tetapi tetap merasa tidak malu, tetap bertanggung jawab pada anggota keluarga, merasa tidak terbebani, tetap tidak dijauhi teman, tidak di kucilkan tetangga saat membeli/membangun rumah dilingkungan, senang merawat anggota keluarga riwayat pasung, dan tidak malu membawa/menemani anggota keluarga riwayat pasung ke fasilitas kesehatan. konsep diri berdasarkan identitas diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar mempunyai identitas diri yang positif sebesar 73,1% (19 keluarga) dan 26,9% (7 keluarga) mempunyai identitas diri yang negatif. menurut (dalami:2009) ciri-ciri identitas diri yang positif yaitu mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang lain, mengakui jenis kelamin sendiri, memandang perlu aspek diri sebagai suatu kelarasan, menilai diri sesuai dengan penilaian masyarakat, menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang, mempunyai tujuan dan nilai yang disadari. gangguan identitas diri adalah kekaburan atau ketidakpastian memandangdiri sendiri, penuh dengan keraguan, sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan (dalami:2009). teori tersebut sesuai dengan identitas diri positif keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung di kota blitar terbukti dengan kebanyakan menjawab kuesioner walaupun ada penderita odgj riwayat pasung dengan kesenangan khusus, tidak di anggap sebagai orang aneh, dan suka tinggal satu rumah dengan penderita odgj riwayat pasung. dilihat dari data umum, usia keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung 26-45 tahun sebesar 42,3% (11 keluarga) dan dari hasil tabulasi silang 26.9% keluarga dengan konsep diri positif akan tetapi masih ada 15.4% yang memiliki konsep diri negatif. usia merupakan salah satu domain penting yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang dalam hidupnya. semakin tua seseorang maka akan semakin banyak pengalaman yang dijalani orang tersebut. semakin cukup usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa dipercaya dari orang yang belum tinggi kedewasaannya. hal ini akan sebagai dari pengalaman dan kematangan jiwa (notoatmodjo dalam saragih, dkk: 2013). pengalaman dalam keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena keluarga dapat memberikan perasaan mampu dan tidak mampu, perasaan diterima atau ditolak dan dalam keluarga individu mempunyai kesempatan untuk mengidentifikasi dan meniru perilaku orang lain yang diinginkannya serta merupakan pendorong kuat agar individu mencapai tujuan yang sesuai atau pengharapan yang pantas (suliswati,2005). dalam penelitian ini responden berusia 26-45 tahun mempunyai konsep diri yang positif karena sudah masuk usia dewasa, sehingga sudah banyak pengalaman, cara berpikirnya sudah dewasa dan juga lebih matang untuk menerima serta mau merawat anggota keluarga odgj riwayat pasung. dilihat dari tabulasi silang antara alasan keluarga memasung penderita odgj dengan konsep diri keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung bahwa 11,5% (3 keluarga) memasung penderita odgj karena keluarga merasa terganggu mempunyai konsep diri yang positif, dan 11.5% memasung penderita odgj karena tidak tahu harus berbuat apa mempunyai konsep diri positif sebesar 7.7% (2 keluarga), serta konsep diri yang negatif sebesar 3.8% (1 keluarga). selama pengumpulan data, ada keluarga yang pernah menyampaikan beberapa alasan memasung penderita odgj, yaitu keluarga merasa terganggu dengan penderita odgj karena penderita pernah mengungkapkan ada suara-suara yang mempengaruhinya untuk membunuh salah satu keluarganya. dari data tersebut dapat di katakan bahwa penderita odgj yang di pasung ini mengalami gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran. menurut yosep (2009) halusinasi pendengaran dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau kalimat yang bermakna. suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat, bahkan mungkin suara datang dari tiap bagian tubuh62 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 56–63 nya sendiri. suara bisa menyenangkan, menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman, mengejek, memaki atau bahkan yang menakutkan dan kadang-kadang mendesak/memerintah untuk berbuat sesuatu seperti membunuh dan merusak. ada keluarga yang menyampaikan memasung penderita odgj karena keluarga tidak tahu harus berbuat apa. wardani, dkk (2014) dan tyas (2008) menemukan bahwa penderita diduga menderita gangguan jiwa yang dipasung lebih banyak dilakukan oleh anggota keluarga sebagai alternatif terakhir untuk penanganan gangguan jiwa, setelah segala upaya pengobatan medis dilakukan keluarga. namun ketidaktahuan keluarga dan masyarakat sekitar atas deteksi dini dan penanganan paska pengobatan di rumah sakit jiwa menyebabkan penderita tidak tertangani dengan baik. hanya cara budaya yang dketahui keluarga untuk menanganinya yaitu pemasungan supaya mencegah penderita gangguan jiwa berat membahayakan diri dan orang lain. selain sebagai cara keluarga supaya bisa mengawasi penderita gangguan jiwa berat dari dekat (di lingkungan rumah keluarga). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di wilayah kota blitar, dapat disimpulkan bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga odgj riwayat pasung mempunyai konsep diri positif berdasarkan citra tubuh, ideal diri, harga diri, peran, dan identitas diri sebesar 73,1% (19 keluarga) sedangkan keluarga yang memiliki anggota keluarga odgj riwayat pasung mempunyai konsep diri yang negatif sebesar 26,9% (7 keluarga). saran bagi peneliti lain, diharapkan bagi peneliti lanjutan untuk memperkuat kuesioner agar lebih sempurna dan lebih terfokus untuk memunculkan konsep diri keluarga yang memiliki anggota keluarga odgj riwayat pasung di kota blitar.rekomendasi judul untuk peneliti selanjutnya: faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri keluarga yang memiliki anggota keluarga odgj riwayat pasung di kota blitar, upaya keluarga dalam merawat anggota keluarga odgj riwayat pasung di kota blitar, hubungan konsep diri dan stigma keluarga yang memiliki anggota keluarga odgj riwayat pasung di kota blitar. bagi responden, diharapkan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga odgj riwayat pasung di kota blitar untuk lebih aktif dalam kegiatan di masyarakat agar konsep diri positif yang dimiliki dapat dipertahankan atau ditingkatkan. untuk yang memiliki konsep diri negatif diharapkan mampu menerapkan motivasi, bimbingan dan kie yang diberikan oleh tenaga kesehatan agar konsep diri negatif yang dimiliki menjadi positif. bagi tempat penelitian, diharapkan bagi uptd puskesmas kecamatan sananwetan, uptd puskesmas kecamatan sukorejo dan uptd puskesmas kecamatan kepanjenkidul kota blitar dapat membantu memotivasi, membimbing, dan memberikan kie pada keluarga yang memiliki penderita odgj riwayat pasung. hal ini diberikan dengan maksud keluarga dapat mempertahankan atau meningkatkan konsep dirinya yang positif dan merubah konsep diri yang negatif menjadi positif terutama pada komponen peran dan identitas diri agar bisa hidup berdampingan dengan baik di masyarakat. daftar rujukan bahari, k., halis, f. dk., & utami, n. w. 2012. modul pembelajaran konsep diri. malang: tidak dipublikasikan. dalami, e., suliswati., farida, p., rochimah., & banon, e. 2009. asuhan keperawatan jiwa dengan masalah psikososial. trans info media: jakarta damaiyanti, m., & iskandar. 2012. asuhan keperawatan jiwa. refika aditama:.bandung dinas kesehatan provinsi jawa timur. 2014. pedoman teknis pembebasan pasien pasung. hidayat, a. a. a. 2006. pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan buku i. salemba medika: jakarta iskandar, s., mardiningsih, d., sunjaya, d. k., istiqomah, a. n., & hidayat, t. 2013. menuju jawa barat bebas pasung: komitmen bersama 5 kabupaten kota. (http://pustaka.unpad.ac.id), di akses pada 27 september 2015. kementrian kesehatan ri. 2014. stop stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa (odgj). (http://www.depkes.go.id), di akses pada 27 september 2015. lestari, p., choiriyyah, z., & mathafi. 2014. kecenderungan sikap keluarga penderita gangguan jiwa terhadap tindakan pasung (studi kasus di rsj amino gondho hutomo semarang). (http://ppnijateng.org), di akses pada 27 september 2015. lestari, w., & wardhani, y. f. 2014. stigma dan penanganan penderita gangguan jiwa berat 63cahyono, konsepsi diri keluarga yang memiliki... yang di pasung. (http: //oaji.net/art icles), diakses 27 september 2015. peraturan gubernur diy nomor 81 tahun 2014 tentang pedoman penanggulangan pemasungan. saragih, s., jumaini & indriati, g. 2013. gambaran tingkat pengetahuan dan sikap keluarga tentang perawatan pasien resiko perilaku kekerasan di rumah. (http://jom.unri.ac.id/), di akses pada 15 mei 2016. sari, h. 2009. pengaruh family psychoeducation therapy terhadap beban dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di kabupate n bi re ue n nanggoe ac e h darussalam. (http://lib.ui.ac.id), di akses pada 27 september 2015. sudiharto. 2007. asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan keperawatan transkultural. jakarta: egc. suprajitno. 2004. asuhan keperawatan keluarga: aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. tim penyusun kamus pembinaan dan pengembangan bahasa. 1997. kamus besar bahasa indonesia ed 2. jakarta: balai pustaka. undang-undang ri nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa. (http://binfar.kemkes.go.id), di akses pada 27 september 2015. widyartono, d. 2014. bahasa indonesia riset. malang: ub press. wiyono, j., & saranggih, l. 2012. modul pembelajaran konsep keluarga. malang: tidak dipublikasikan. yosep, i. 2009. keperawatan jiwa (edisi revisi). bandung: refika aditama. yusuf, ah., fitryasari, r. pk., & nihayati, h. e. 2015. buku ajar keperawatan jiwa. jakarta: salemba medika. jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p058–061 perception of supervisor taking medicine about the side effect of tuberculosis medication for patients suprajitno 1 , imam sunarno1, oky aditya ardiansah2 1 nursing department of poltekkes malang 2 nurse practioner at public health center of blitar city email: bedonku@yahoo.co.id , oky.aditya72@gmail.com abstract: dots strategy is a short-term treatment guide with direct supervision by supervisor taking medicine for tuberculosis patients. supervisors should know, understand, and be able to distinguish between mild and severe side effects of anti-tuberculosis drugs. the failure of tb treatment depends on supervisor taking medicine. currently, never been known the perception of supervisor taking medicine about tuberculosis medication side effect. the purpose of the study to know the perception of the supervisor taking medicine about side effects for clients tb treatment program in blitar city. the research design used a descriptive. these result studies show the perception supervisor taking medicine about the side effects as much as 54.5% is the right category and as much as 45.5% is the wrong category. the right category perception may be the supervisor taking medicine ever receive information of tuberculosis medication side effect at the public health center while take a drug. recommendations for health workers are providing appropriate information to the supervisor taking medicine can be improved with technique counseling and training so that improve knowledge and expertise in the management of medication side effects. keywords: perceptions, supervisor taking medicine, tuberculosis introduction tuberculosis is a disease caused by mycobacterium tuberculosis, which is usually transmitted by droplets from one individual to others and forms colonization in the alveoli. according to millennium development goals (mdgs), tb currently impacts to around 582,000 people. every year about 100,000 people die from tuberculosis as the third cause of death. one person can infect around 10 to 15 people by releasing tuberculosis germ into the air that can be inhaled others each year (www.undp.org accessed on september 18, 2016). germs can also enter the body through the gastrointestinal tract, through ingestion of unpasteurized tainted milk, or skin lesions (crowin, 2009: 545). 58 tuberculosis is a disease of global concern. various control measures so that incidence and death tuberculosis decreased, but tuberculosis is estimated to still affect 9.6 million people and cause 1.2 million deaths by 2014 (who, global tuberculosis report, 2015). according to ministry of health of ri (2016) the number of cases of tuberculosis as much as 330,910 cases, increased when compared in 2014 which amounted to 324,539 cases. the case highest number is found in the province with large populations that is west java, east java, and central java. tuberculosis cases in these three provinces accounted for 38% of all new cases in indonesia. the tuberculosis patient in east java ranks second in indonesia as much as 21,036 cases (dinas kesehatan mailto:bedonku@yahoo.co.id mailto:oky.aditya72@gmail.com https://orcid.org/0000-0001-8529-8720 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ suprajitno, sunarno, ardiansah, perception of supervisor taking medicine about...............59 provinsi jawa timur, 2014:13). the new tuberculosis patient in blitar city in 2014 as much as 205 cases, of which 70 of them are the bacil acid-resistant (+) (dinas kesehatan kota blitar, 2015). irregular treatment, inadequate use of anti-tuberculosis drugs, or intermittent treatment causing resistant germs. tuberculosis patients be a source of transmission of germs in the community. one effort to control the failure of tuberculosis treatment in early 1990 who developed a tb control strategy known as the dots strategy (directly observed treatment short). who recommended the dots as a tb control strategy since 1995. the main focus of dots is the discovery and cure of patients, a priority given to infectious type tb patients as a strategy will break the chain of transmission and reduce the incidence of tb in the community. finding and curing patients is the best way to prevent tb transmission (kemenkes, 2014: 4). to ensure regularity of treatment required the supervisor taking medicine (bahasa: pengawas minum obat / pmo). pmo may come from health cadres, teachers, the woman leader, community leaders, or family members. the task of pmo is to monitor the tb patients to take medication regularly until the completion of treatment, giving encouragement to the patient to get regular medication, remind the patient to check the sputum at a scheduled time, and provide counseling to family members who have symptoms of tb to go to the public health center (kemenkes, 2014: 31). a preliminary study to supervisor taking medicine (pmo) for tb patient who registered at public health center of blitar city on october 12-16, 2016 that 6 of 10 pmo said to know some side effects of anti tuberculosis drugs such as nausea, no appetite, and reddish urine, but, they have not been able to distinguish between mild and severe side effects of anti tuberculosis drugs. based on descriptions, interested to describe of the perceptions of supervisor taking medicine about the side effects of tuberculosis medication for tb patients. methods this research design used a descriptive. the research subject was the supervisor of taking medicine who registered at public health center of blitar city as much as 44 peoples selected using the saturated sampling method. data collection was done by filling out questionnaires which are developed based on the knowledge of supervisor taking medicine in the subject home on june 2 10, 2017. data analysis was descriptive. result table 1 general characteristic of supervisor taking medicine who registered at the public health center of blitar city, june 2017 (n = 44) no. charactersitic f % 1 age  17-27 y.o. 9 20.5  28 -38 y.o. 12 27.3  > 38 y.o. 23 52.2 2 sex  male 21 47.7  female 23 52.3 3 education  junior school 18 40.9  senior school 20 45.5  college 6 13.6 4 occupation  farmers 7 15.9  enterpreneur 27 61.4  government 4 9.1  other 6 13.6 5 get the information  yes 37 84.1  no 7 15.9 60 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 58–61 table 2 perception of supervisor taking medicine about mild and severe side effects of medication for tb who registered at the public health center of blitar city, june 2017 (n = 44) perseption side effects total 44 100.0 44 100.0 discussion the correct perception of supervisor taking medicine about side effects the correct perception of supervisor taking medication possible are the mature aged (89.5% is more than 28 years old), has senior school and undergraduate education (59.1%), have enough income (70.5% as entrepreneur and government employee), and get information about drug side effects (84.1%) (table 1). the correct perception is the ability of the supervisor taking medicine to choose a correct alternative answer about the side effects mentioned in the questionnaire. perception is a cognitive process used by a person to interpret and understand the world around him (gybson, et al, 1995: 56). some mild side effects of anti-tuberculosis drugs namely no appetite, nausea, abdominal pain, joint pain, tingling to burning on the feet or hands, redness in urine, influenza syndrome (fever, chills, weakness, headache, bone pain) (kementerian kesehatan, 2014). supervisor taking medicine chosen the answer of the reddish color of the urine as the mild side effects of anti-tuberculosis drugs and a statement stating that is a mild side effect of the anti tuberculosis drug. he has a correct perception because has knowledge about medication side effect for tb patients. the right perception that is owned after receiving information from health workers at the puskesmas when taking medication. the perceptions of supervisor taking medicine as a family effort to prevent transmission to other family members (suprajitno, mugianti, & sholikhah, 2015) and improve healing. as many as 61.4% and 59.1% (table 2) of supervisor taking medicine have the correct perception. the correct perception is influenced by a selective factor. selective is the ability to choose stimuli or information that benefit or support his action and ignore the harm (hidayat, 2009: 71-72). the correct perception to show his role as the supervisor taking medicine. the role is knowing a side effect in order to be able to act reasonably against the complaints of patients and overcome the side effects during home sufferers. the wrong perception of supervisor taking medicine about side effects the supervisors taking medication that have wrong perceptions about mild side effects of 38.6% and severe side-effects of 40.9% (table 2). the wrong perception may be due to immature age (20.5% aged 17 27 years old), junior school (40.9%), have a small income (29.5% as farmers and others), and have not get information about side effects (15.9%) (table 1). the wrong perception of the reddish color of the urine as the natural side effects of in a treatment. whereas, reddish in the urine as a sign of commencement of kidney damage. the severe side effects of antituberculosis drugs such as rash with or without itching, hearing loss (without cerumen), balance disorder, icterus without causes, nausea vomiting (suspected liver dysfunction if accompanied by jaundice), visual impairment, acute renal failure, decreased urine production (kementerian kesehatan, 2014). the decrease of urine production in tb patient is a severe side effect of medication of anti-tuberculosis drugs and the renal failure is the wrong perception. the wrong perception possible because the health workers only explain the mild side effects that often occur and rarely explain the severe side-effects. so, the f % f % 1. correct 27 61.4 26 59.1 2. wrong 17 38.6 18 40.9 no mild severe category suprajitno, sunarno, ardiansah, perception of supervisor taking medicine about...............61 supervisor taking medicine less know the severe side effects. the factor a cause of the wrong perception is a stereotype. a stereotype is generalizing, simplifying, and apprehend from the self-angle the example is age (hidayat, 2009: 71-72). the opinion of notoadmodjo (2007) that the increase of one's age will occur physical and psychological changes. the physical change occurs due enhancement of organ functions. the psychological change marked of a person's thinking level matures and matures, but occurs a physical decline and one's memory. supervisor taking medicine who aged 17-27 years old possible have not been able to think mature so that has the wrong perception although had received information from health workers at public health center about side effects of anti-tuberculosis drugs. also, the level of maturity on this aged is still lacking which is possible still in productive age so that more focused on work. conclusions the perception of supervisor taking medication about the side effects of antituberculosis drugs for tuberculosis patients in the correct category as much as 60% and wrong category as much as 40%. factors that can influence the perception of the supervisor taking medicine that is age, education, income, and information ever obtained. suggestion the knowledge as the basis of the perception of supervisor taking medication about the side effects of anti-tuberculosis drugs should be owned and improved by a way of health education and counseling while drug taking at public health center. so, health workers are providing appropriate information to the supervisor taking medicine can be improved with technique counseling and training so that improve knowledge and expertise in the management of medication side effects. bibliography corwin, j.e. 2009. buku saku patofisiologi. jakarta: egc departemen kesehatan ri. 2009. buku saku kader program penanggulangan tb. direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. dinas kesehatan kota blitar. 2015. profil kesehatan kota blitar 2014. dinas kesehatan provinsi jawa timur. 2014. profil kesehatan provinsi jawa timur 2014. gibson, ivancevich & donnelly. 1995. organisasi perilaku, struktur, proses. jakarta: erlangga. hidayat, d.r. 2009. ilmu perilaku manusia pengantar psikologi untuk tenaga kesehatan. jakarta: trans info media. kementerian kesehatan ri. 2014. pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. kementerian kesehatan ri. 2016. profil kesehatan indonesia 2015. sekertariat jenderal profil kesehatan indonesia 2015. jakarta: kemeterian kesehatan ri. notoatmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. perhimpunan dokter paru indonesia (pdpi). 2006. tuberkulosis pedoman diagnosis & penatalaksanaan di indonesia. rakhmat, j. 2005. psikologi komunikasi. bandung: pt remaja rosdakarya. sobur, a. 2009. psikologi umum 0dalam lintasan sejarah. bandung: cv pustaka setia. sunaryo. 2004. psikologi untuk keperawatan. jakarta: egc. suprajitno, s., mugianti, s., & sholikhah, u. (2015). the family effort to prevention transmission of tuberkulosis. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 2(1), 001-005. doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v2i1.a rt.p001-005 https://doi.org/10.26699/jnk.v2i1.art.p001-005 https://doi.org/10.26699/jnk.v2i1.art.p001-005 1kusumaningroh, susilowati, wulandari, hubungan aktivitas fisik dan ... 1 hubungan aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru (the correlation of physical activity and treatment phase with nutritional status on patients of lungs tuberculosis) dina kusumaningroh, tri susilowati, riyani wulandari sekolah tinggi ilmu kesehatan ‘aisyiyah surakarta email: kusumadyna8@gmail.com abstract: tuberculosis is an infection diseases caused by mycobacterium tuberculosis,the highest cases of tuberculosis in surakarta is found in health lungs clinic surakarta with 319 cases (62,35%).the infection of tuberculosis may affect the nutritional status, where the patients looks thin, the patients requiring a treatmet of tuberculosis (intensif and intermitten), sufficient activity to advance nutrition status. the aim of this study was to know the correlation of physical activity and treatment phase of lungs tuberculosis with nutrition status on lungs tuberculosis patient at health lung clinic surakarta. the study used analytic-correlational design and cross-sectional appoarch, there were 92 lungs tuberculosis patients as samples taken by purposive and quota sampling. the instrument used questionaries ipaq and observation. analytical techniqueused spearman rank correlation,chi square and regression logistic(95%). the result of spearman rank correlation showed that there was a correlation between physical activity with nutritional status (= 0,029<0,05), and the result of chi-square test explained that there was a correlation between a treatment of lungs tuberculosis with nutrition status (= 0,009<0,05). the result of regression logistic test explained that risk of treatment phase of lungs tuberculosis was 0,382 bigger than physical activity to influence the nutritional status. there was a correlation between physical activity and a treatment phase of lung tuberculosis with nutritional status on lungs tuberculosis patients at health lung clinic surakarta. nurses are expected to provide education about diet and nutritional needs for lungs tuberculosis patients and patients maintain or regulate physical activity and adequate nutritional intake in order to improve nutritional status. keywords: physical activity, treatment phase of lungs tuberculosis and nutritional status abstrak: tuberkulosis adalah penyakit yang menjadi perhatian global. penyakit ini disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, kasus tb terbanyak di rs di surakarta terdapat di bbkpm surakarta. infeksi tb ini akan mempengaruhi status gizi pada penderita, dimana penderita akan tampak kurus sehingga diperlukan pengobatan oat (tahap awal dan lanjutan) dan aktivitas yang cukup untuk meningkatkan status gizi. tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta. jenis penelitian adalah analitik dengan rancangan cross sectional, sampel dalam penelitian ini sebanyak 92 pasien. teknik sampling menggunakan purposive dan quota sampling. instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar observasi. analisa data menggunakan teknik analisa spearman rank correlation, chi-square dan regression logistic pada taraf signifikansi 95%. hasil uji bivariat dengan spearman rank correlation menyatakan ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status gizi (= 0,029 < 0,05), hasil uji bivariat chi-square membuktikan adanya hubungan fase pengobatan tb dengan status gizi (= 0,009 < 0,05). sedangkan hasil uji regresi logistik menyatakan bahwa fase pengobatan tb berpeluang 0,382 kali lebih besar dibandingkan aktivitas fisik untuk mempengaruhi status gizi. ada hubungan aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta. diharapkan perawat dapat jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p001–007 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 1–7 memberikan edukasi tentang pola makan dan kebutuhan nutrisi untuk pasien tb paru dan pasien menjaga atau mengatur aktivitas fisik serta mencukupi asupan nutrisi agar dapat meningkatkan status gizi. kata kunci: aktivitas fisik, fase pengobatan tb dan status gizi pendahuluan tuberkulosis (tb) merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. menurut who (world health organization) (2015), global tuberculosis report melaporkan bahwa insiden dan kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberkulosis diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. indonesia adalah negara dengan penderita tuberkulosis terbanyak setelah india dan china. prosentasi sebesar 23% (india), 10% (indonesia) dan 10% (china) dari seluruh penderita di dunia. pada tahun 2015, jumlah kasus tuberkulosis di indonesia sebanyak 330.910 kasus. jumlah kasus tertinggi berada di provinsi yang berjumlah penduduk besar yaitu jawa barat, jawa timur dan jawa tengah. kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus baru di indonesia (depkes ri, 2015). penemuan kasus baru bta positif di jawa tengah tahun 2015 sebesar 115,17/100.000 penduduk. kota surakarta menjadi urutan ke 3 untuk penemuan kasus tb bta (+) tertinggi yaitu sebanyak 347,32/100.000 penduduk setelah kota magelang sebanyak 761,72/100.000 penduduk dan kota tegal sebanyak 478,7/100.000 penduduk (dinas kesehatan jawa tengah, 2015). berdasarkan data dinas kesehatan kota surakarta (2014), angka penemuan kasus penderita tb paru di surakarta dengan bta (+) pada tahun 2014 sebesar 319 kasus (62,3%). jika dibandingkan angka penemuan pada tahun 2013 (53,74%) terjadi sedikit peningkatan namun belum mencapai target renstra kota surakarta yang ditetapkan yaitu sebesar 80%. pada semua penderita tb paru yang ditemukan, telah dilakukan pengobatan. dari yang diobati, maka angka kesembuhan penyakit tb paru tahun 2013 sebesar 89,05%. pada tahun 2014, mengalami penurunan menjadi 87,36%. rumah sakit yang melayani pengobatan tb dengan jumlah penemuan kasus tuberkulosis bta (+) tertinggi adalah di bbkpm surakarta dengan jumlah 73 kasus, sedangkan yang terendah di rs dr. oen sebanyak 3 kasus. menurut naga (2014) tuberkulosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, pencegahan penyakit tb seperti melakukan desinfeksi (cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian khusus terhadap muntahan/ludah anggota keluarga yang terjangkit tb, ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup) dan lingkungan. dan faktor yang mempengaruhi status gizi menurut supariasa, bakri & fajar (2008) adalah umur, jenis kelamin, lingkungan (fisik, biologi, sosial), ekonomi, budaya, aktivitas fisik serta keadaan imunologis (adanya penyakit infeksi). pengobatan tb menurut kemenkes ri (2014), menggunakan strategi dots (directly observed treatment short-course) dengan melakukan pmo (pengawas minum obat). sedangkan untuk pengobatannya sendiri dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap awal (fase intensif) yang diberikan selama 2 bulan dan tahap lanjutan (fase intermitten) yang diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama setelah tahap awal. hasil penelitian prayitami, dewiyanti & rohmani (2011), menjelaskan bahwa dari 117 penderita tuberkulosis anak, fase pengobatan terbanyak pada fase lanjutan sebanyak 64 anak (54,7%), sedangkan fase awal yaitu sebanyak 53 anak (45,3%). dan dari 117 penderita tuberkulosis anak, diperoleh bahwa dari 42 penderita memiliki gizi kurang/buruk, ada 15 (35,7%) penderita yang pengobatannya masuk dalam fase lanjutan dan 27 (64,3%) penderita pengobatannya masuk dalam fase awal. dari 75 penderita yang memiliki gizi normal/lebih, ada 26 (34,7%) penderita yang pengobatannya masuk dalam fase awal dan 49 (65,3%) penderita yang pengobatanya masuk dalam fase lanjutan. dari sini dapat disimpulkan bahwa penderita dengan gizi buruk/kurang cenderung didapati pada pengobatan fase awal dan penderita dengan gizi normal/lebih cenderung didapati pada pengobatan fase lanjutan. hasil penelitian nadimin (2011), menyatakan bahwa dari 50 sampel pegawai yang beraktivitas fisik tinggi sebanyak 6 (27%) berstatus gizi normal dan 6 (22%) dengan status gizi gemuk. pegawai yang beraktivitas fisik sedang, ada 11 (50%) berstatus gizi normal dan 11 (39%) berstatus gizi gemuk sedangkan pegawai yang beraktivitas fisik ringan, terdapat 5 (23%) yang berstatus gizi normal dan 11 (39%) dengan status gizi gemuk. hal ini menunjuk 3kusumaningroh, susilowati, wulandari, hubungan aktivitas fisik dan ... kan rata-rata pegawai yang beraktivitas sedang mempunyai status gizi normal. hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di bbkpm surakarta didapatkan hasil bahwa laporan kasus baru tb paru bta (+) pada tahun 2015 sebesar 353 kasus dan tb paru bta (-) pada tahun 2015 sebesar 189 kasus. lalu pada triwulan 1 tahun 2016 (jan-mar) yaitu 73 kasus dan pada triwulan 1 tahun 2016 (jan-mar) yaitu 46 kasus. untuk status gizi pada pasien tb paru tahun 2016, paling banyak brstatus gizi baik (365 pasien) dan yang berstatus gizi kurang (187 pasien). dan untuk aktivitas fisik dari wawancara dengan 13 pasien di poli tb, didapatkan hasil bahwa 4 pasien dalam fase pengobatan awal (2 pasien beraktivitas fisik ringan dan 2 pasien beraktivitas sedang), kemudian 9 pasien dalam pengobatan lanjutan (2 pasien beraktivitas fisik ringan, 3 beraktivitas fisik sedang dan 4 pasien beraktivitas fisik berat). untuk status gizi dari 13 pasien, 4 pasien di tahap awal (1 orang (gizi baik) dan 3 orang (gizi kurang/kurus) dan 9 pasien yang berada di tahap lanjutan (3 orang (gizi kurang/kurus), 5 orang (gizi baik) dan 1 orang (gemuk)). bahan dan metode jenis penelitian ini adalah analitik koreasional dengan rancangan ‘cross sectional’. penelitian ini dilakukan di bbkpm surakarta pada bulan junijuli 2017. populasi pada penelitian sebanyak 119 pasien tb bta (+) dan (-) dan sampelnya sebanyak 92 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara ‘purposive dan quota sampling’. pengumpulan data menggunakan data primer dan sekunder. data primer diperoleh dari responden menggunakan kuisioner dan observasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari data atau laporan di poli tb bbkpm surakarta. instrumen yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu kuisioner untuk pengukuran aktivitas fisik menurut ipaq (internatinal physical activity quistionnare) dan lembar observasi untuk fase pengobatan tb dan pengukuran status gizi (dengan hasil perhitungan imt). analisa data pada penelitian ini menggunakan analisa univariat, bivariat dan multivariat. hasil penelitian analisis univariat distribusi frekuensi aktivitas fisik pada pasien tb paru tabel 1 menunjukkan bahwa dari 92 pasien yang diteliti, sebagian besar pasien tb paru mempunyai aktivitas fisik sedang sebanyak 50 pasien (54,3%). distribusi frekuensi fase pengobatan tb pada pasien tb paru no aktivitas fisik f % 1 rendah 11 12,0 2 sedang 50 54,3 3 berat 31 33,7 jumlah 92 100 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat aktivitas fisik pada pasien tb paru di bbkpm surakarta bulan juni-juli 2017 no fase pengobatan tb f % 1 awal/intensif 31 33,7 2 lanjutan/intermitten 61 66,3 jumlah 92 100 tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan fase pengobatan tb pada pasien tb paru di bbkpm surakarta bulan juni-juli 2017 tabel 2 menunjukkan bahwa dari 92 pasien yang diteliti, sebagian besar pasien tb paru berada pada fase pengobatan tb lanjutan/intermitten sebanyak 61 pasien (66,3%). distribusi frekuensi status gizi pada pasien tb paru no status gizi pasien tb f % 1 sangat kurus 22 23,9 2 kurus 17 18,5 3 normal 53 57,6 jumlah 92 100 tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta bulan juni-juli 2017 tabel 3 menunjukkan bahwa dari 92 pasien yang diteliti, sebagian besar pasien tb paru berada pada fase pengobatan tb lanjutan/intermitten sebanyak 61 pasien (66,3%). 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 1–7 tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status gizi dengan diperoleh nilai signifikansi 0,026, dimana p value 0,026 < 0,05 serta didapatkan juga bahwa nilai zhitung adalah 0,699 (zhitung > z tabel, dimana ztabel untuk taraf signifikansi 5% = 0,475). nilai korelasi spearman sebesar 0,233 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah. analisis bivariat hubungan aktivitas fisik dengan status gizi pada pasien tb paru p r (koefisien n (jumlah value korelasi) sampel) aktivitas fisik 0,026 0,233 92 tabel 4 hubungan aktivitas fisik dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta bulan juni-juli 2017 f % f % f % awal/intensif 19 61,3 12 38,7 31 100,0 0.009 3,246 1 6,838 1,321 7,975 lanjutan/inter-mitten 20 32,8 41 67,2 61 100,0 total 39 42,4 53 57,6 92 100,0 tabel 5 hubungan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta bulan juni-juli 2017 fase pengobatan tb status gizi total value dfor x2 ci 95% sangat kurus/ kurus normal lower upper hubungan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru tabel 5 menunjukkan bahwa dari 92 responden yang diteliti, pasien dengan fase pengobatan tb yang mempunyai status gizi sangat kurus/kurus sebanyak 39 pasien (42,4%) da n selebihnya mempunyai status gizi normal 53 pasien (57,6%). kemudian diperoleh hasil p value 0,009 dimana nilai signifikansi <0,05 sedangkan nilai c2 adalah 6,838 (c2 hitung >ctabel, dimana df 1=3.841) yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta. dan didapatkan nilai or (odd ratio) sebesar 3,246 artinya pasien yang berada pada fase pengobatan tb awal/intensif berisiko 3,246 kali lebih besar untuk mempunyai status gizi sangat kurus/kurus. analisis multivariat hubungan aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pasien tb paru tabel 6 hubungan aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta bulan juni-juli 2017 variabel b  value exp () / or ci 95% lower upper aktivitas fisik -1,677 0,041 0,187 0,037 0,936 fase pengobatan tb -1,045 0,033 0,352 0,134 0,921 tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta, dengan diperoleh p value 5kusumaningroh, susilowati, wulandari, hubungan aktivitas fisik dan ... <0,05, yakni aktivitas fisik (p value = 0,041<0,005), fase pengobatan tb (p value = 0,033<0,005). dan diperoleh nilai or (exp (b)) paling besar adalah variabel fase pengobatan tb yaitu 0,352, yang artinya variabel fase pengobatan tb lebih berisiko 0,352 kali lebih besar dari variabel aktivitas fisik untuk mempengaruhi status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta. pembahasan aktivitas fisik pada pasien tb paru di bbkpm surakarta aktivitas fisik dalam penelitian ini diambil berdasarkan kuisioner menurut ipaq (internal physical activity quistionnare) yang mengelompokkan aktivitas fisik menjadi 3 kategori, yaitu aktivitas fisik ringan (<600 mets menit/minggu), sedang (>600 mets menit/minggu) dan berat (>3000 mets menit/minggu). pada penelitian ini aktivitas fisik sedang yang sering dilakukan oleh 50 pasien tb paru di bbkpm surakarta disebabkan oleh jenis kegiatan mereka seperti melakukan kegiatan rumah tangga, berkebun, bersepeda santai, merawat ternak ayam, menjaga anak, jualan/jaga toko. pekerjaan responden sebagai karyawan swasta, swasta dan mahasiswa/pelajar (yang pekerjaannya banyak duduk) juga membuat aktivitas responden banyak yang sedang. selain itu, disebabkan juga oleh gejala yang dialami pasien seperti batuk, sesak napas, nyeri dada dan lemah yang membuat pasien terbatasi aktivitasnya karena harus beristirahat. hal ini sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik, yaitu sosial ekonomi, kebiasaan berolahraga, adanya pengaruh dukungan masyarakat, umur, jenis kelamin, kondisi suhu dan geografis serta pengetahuan (welis dan rifki, 2013). fase pengobatan tb pada pasien tb paru di bbkpm surakarta dalam penelitian ini pasien yang menjalani pengobatan tb paling banyak berada pada fase lanjutan/intermitten, hal ini disebabkan pada saat pelaksanaan penelitian, banyak pasien yang datang berobat di bbkpm surakarta berada dalam fase pengobatan lanjutan yaitu pada bulan ke 3/lebih, selain itu sesuai dengan program strategi dots (directly observed treatment short-course) yang salah satu komponennya adalah panduan pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung dalam bentuk pmo (pengawas minum obat), pmo ini mengingatkan dan mengawasi pasien tb untuk menelan obat dan memotivasi pasien agar tidak berputus asa dalam pengobatan yang jangka waktunya lama, sehingga pasien bisa rutin datang berobat. hal inilah yang menyebabkan pasien di bbkpm surakarta banyak yang berada pada tahap lanjutan, dimana mereka sudah melewati tahap awal/ intensif yang berjalan selama 2 bulan pertama masa pengobatan. hal ini sesuai dengan pengobatan tb menurut kemenkes ri (2014), dibagi menjadi 2 tahap, yaitu tahap awal (fase intensif) yang diberikan selama 2 bulan pertama dan tahap lanjutan (fase intermitten) diberikan dalam jangka waktu yang lebih lama setelah tahap awal. menurut widiyanto dan triwibowo (2013), menjelaskan bahwa pengobatan tb bertujuan untuk menyembuhkan, memperbaiki kualitas hidup, meningkatka n produktivita s, mencegah resistensi kuman terhadap oat, mencegah kekambuhan dan kematian serta memutus rantai penularan kuman tb. status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta pada penelitian ini menunjukkan bahwa pasien tb paru di bbkpm surakarta banyak yang status gizinya normal, hal ini dikarenakan adanya progam pmt (pember ia n ma ka na n ta mba han) da n konseling gizi yang wajib diikuti oleh pasien selama masa pengobatan yaitu 3x konseling gizi pada tahap awal (2x) dan lanjutan (1x pada bulan ke 5), kemudian pmt diberikan 10x selama masa pengobatan (baik tahap awal/lanjutan), diberikan saat pasien datang ke poli konseling gizi dan dimakan ketika masih berada di rs, biasanya dimakan saat pasien menunggu untuk diperiksa di poli tb. pmt ini ditujukan untuk perbaikan gizi pasien. adanya anjuran dokter untuk banyak beristirahat, dan adanya adaptasi dari pasien dengan penyakit tb yang diderita dan obat-obat oat yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama dan berlangsung secara bertahap membuat pasien menjadi harus terbiasa dengan kondisinya, pendapat ini sesuai dengan teori adaptasi yang dikemukakan oleh sister callista roy, dimana manusia sebagai sistem, beinteraksi dengan lingkungan melalui mekanisme adaptasi bio-psiko-sosial harus mampu mempertahankan homeostasis, integritas dirinya dan selalu beradaptasi secara menyeluruh. seperti pada pasien yang menderita tb, maka dia harus mampu beradaptasi dengan kondisi fisiologisnya yang sakit, harus menerima pengobatan 6 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 1–7 dan berusaha untuk meningkatkan status kesehatannya, sehingga pasien mampu membiasakan diri untuk mengkonsumsi obat oat dan makanan yang bernutrisi guna meningkatkan status gizinya. hubungan aktivitas fisik dengan status gizi pada pasien tb paru berdasarka n teori menurut ibdioversitas (2016), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. faktor internal meliputi usia, kondisi fisik, adanya infeksi. untuk faktor eksternal meliputi pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan budaya. berat badan berkaitan erat dengan pengeluaran energi oleh tubuh, pada saat berolahraga kalori akan terbakar, semakin banyak berolahraga makan semakin banyak kalori yang hilang. apabila aktivitas fisik kurang maka akan terjadi penurunan pembakaran energi dalam tubuh, sehingga energi akan disimpan tubuh sebagai cadangan makanan yang akan menyebabkan peningkatan berat badan dan mempengaruhi status gizi seseorang. pada penelitian ini aktifitas fisik yang sedang mampu menyebabkan status gizi normal disebabkan oleh jenis pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan responden banyak beraktivitas sedang dan diimbangi dengan asupan makanan/nutrisi (adanya progam pmt) yang cukup perbaikan status gizi pasien sehingga status gizi pasien banyak yang normal. hal ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan nadimin (2011), menunjukkan bahwa aktivitas fisik mempengaruhi status gizi. dimana dijelaskan bahwa sebagian besar sampel yang mempunyai aktivitas fisik sedang atau tinggi mempunyai status gizi normal dan pada responden yang gemuk, mempunyai aktivitas fisik yang rendah. selain itu sependapat juga dengan penelitian inggrid (2012), yang menjelaskan terdapat hubungan yang bermakna antara intensitas aktivitas fisik dengan status gizi, dimana semakin ringan intensitas aktivitas fisik yang dilakukan maka berpengaruh terhadap status gizi lebih bahkan obesitas. penelitian ini juga sependapat dengan penelitian suharsa dan sahnaz (2014) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih. hubungan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru dengan adanya infeksi tb ini, menyebabkan energi didalam tubuh akan digunakan untuk melawan infeksi, sehingga energi cadangan dalam tubuh terkuras, dan jika tidak diimbangi dengan asupan nutrisi yang cukup maka pasien akan tampak kurus dan lemah. pengobatan tb disini berkaitan dengan status gizi disebabkan oleh obat yang diberikan pada tahap awal/intensif yaitu tablet 4fdc (fixed dose combination) yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol dan 4fdc diberikan harian untuk tahap intensif. sedangkan pada fase lanjutan/intermitten obat yang diberikan adalah tablet 2fdc (fixed dose combination) yang terdiri dari isoniasid dan rifampisin, dan 2fdc diberikan untuk pengobatan 3 kali seminggu selama tahap lanjutan. obat-obat ini juga menimbulkan efek samping yaitu gangguan gastrointestinal seperti rasa mual, muntah sehingga berakibat pada penurunan nafsu makan. selain itu obat-obat yang diberikan bersifat bakteriostatik dan bakterisidal yang berfungi untuk membunuh bakteri tuberkulosis, sehingga dengan diberikannya pengobatan tb ini, kebutuhan nutrisi yang digunakan untuk melawan kuman bisa digunakan untuk proses pemulihan dan peningkatan status gizi. penelitian ini juga sependapat dengan penelitian prayitami, dewiyanti & rohmani (2011), yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara fase pengobatan dengan status gizi tuberkulosis anak. dimana penderita dengan status gizi kurang/ buruk cenderung didapati pada pengobatan fase awal dan penderita dengan gizi normal/lebih cenderung didapati pengobatan pada fase lanjutan. selain itu sependapat dengan penelitian oktaviani dan kartini (2011), yang menyatakan bahwa subyek yang sudah berada pada fase lanjutan memiliki status gizi yang lebih baik jika dibandingkan dengan subyek yang masih berada pada fase intensif. hubungan aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pasien tb paru pada penelitian ini aktivitas fisik dan fase pengobatan tb sama-sama berpengaruh dengan status gizi pasien tb paru, dikarenakan untuk meningkatkan status gizi pada pasien tb paru diperlukan istirahat yang cukup, asupan nutrisi yang cukup untuk meningkatkan dan menjaga status gizi tubuh agar tetap baik. untuk variabel yang lebih berpengaruh terhadap status gizi pada pasien tb paru adalah fase pengobatan tb, karena responden di bbkpm surakarta banyak yang berada pada fase lanjutan/intermitten dimana pasien banyak yang datang berobat pada bulan ke 3/lebih dan status 7kusumaningroh, susilowati, wulandari, hubungan aktivitas fisik dan ... gizinya banyak yang normal. hal ini dikarenakan dengan adanya infeksi dan gejala yang dirasakan akibat penyakit tuberkulosis, tubuh akan menggunakan energi untuk pertahanan guna melawan infeksi, namun jika energi tidak tercukupi maka cadangan energi didalam tubuh pun akan digunakan sehingga status gizi menurun. untuk itu diperlukan banyak asupan energi untuk tubuh agar kebutuhan tercukupi sehingga status gizi meningkat, selain itu di bbkpm surakarta terdapat program pemberian makanan tambahan (pmt) sebanyak 10x dan konseling gizi sebanyak 3x diberikan pada pasien tb yang sedang menjalani pengobatan baik pada tahap awal dan lanjutan. sehingga pada pasien yang berada pada tahap lanjutan, banyak dijumpai pasien berstatus gizi normal. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pada pasien tb paru di bbkpm surakarta paling banyak beraktivitas sedang, berada pada fase pengobatan lanjutan dan berstatus gizi normal. terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dan fase pengobatan tb dengan status gizi pada pasien tb paru di bbkpm surakarta. serta didapatkan hasil bahwa variabel fase pengobatan tb lebih berisiko untuk mempengaruhi status gizi. saran saran yang dapat diberikan peneliti dengan hasil penelitian ini untuk pasien yaitu agar pasien menjaga atau mengatur aktivitas fisik serta mencukupi asupan nutrisi agar dapat meningkatkan status gizi, bagi perawat yakni agar perawat membantu pasien untuk mengingatkan pasien menjaga pola makan dan kebutuhan nutrisi agar tercukupi. bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengembangkan penelitian ini, misalnya dengan menambah atau menggunakan variabel lain yang dapat mempengaruhi status gizi seperti ekomoni, lingkungan dan gaya hidup. bagi bbkpm surakarta yaitu agar bbkpm dapat meningkatkan pelayanan kesehatannya terhadap pasien, terutama pasien tb paru dalam hal peningkatan status gizi. daftar rujukan departemen kesehatan ri. 2015. profil kesehatan indonesia tahun 2015. jakarta. dinas kesehatan provinsi jawa tengah. 2015. profil kesehatan provinsi jawa tengah tahun 2015. semarang. dinas kesehatan kota surakarta. 2014. profil kesehatan kota surakarta tahun 2014. surakarta. idbiodiversitas (dunia biologi dan ilmu kesehatan). 2016. penilaian status gizi secara langsung. http:// www.idbiodiversitas.com/2016/04/penilaian-statusgizi-secara-langsung.html. diakses pada tanggal 15 juli 2017 (11.20). inggrid, c. 2012. hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi pelajar smp frater don bosco manado. jurnal kesehatan masyarakat vol. 2 no. 2 hh 1-5. ipaq. 2016. the international physical activity quistionnare. http://www.ipaq.ki.se/. diakses pada tanggal 18 maret 2017 (09.16). kementrian kesehatan ri. 2014. pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. direktorat jenderal pen genda l ia n pen yaki t da n pen yeh a ta n lingkungan. jakarta. nadimin. 2011. pola makan, aktivitas fisik dan status gizi pegawai dinas kesehatan sulawesi selatan. jurnal media gizi pangan vol. xi no. 1 hh 1-6. naga, s. s. 2014. buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. diva press (angota ikapi). jogyakarta. oktaviani, d. dan a. kartini. 2011. hubungan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis dengan status gizi anak penderita tuberkulosis paru. jurnal gizi vol. 2 no. 1 hh 1-11. prayitami, s. p., l. dewiyanti dan a. rohmani. 2012. hubungan fase pengobatan dengan status gizi tuberkulosis anak di rumah sakit umum daerah dr. h. soewondo kendal periode januari 2011september 2011. jurnal kedokteran vol. 1 no. 1 hh. 20-24. suharsa, h. dan sahnaz. 2014. status gizi lebih dan faktor-faktor lain yang berhubungan pada siswa sekolah dasar islam tirtayasa kelas iv dan v di kot a ser a ng tah un 2014. j urnal li ngk ar widyaiswara vol. 3 no. 1 hh 53-76. supariasa, i. d. n., b. bakri dan i. fajar. 2008. penilaian status gizi. egc. jakarta. welis, w. dan m. s. rifki. 2013. gizi untuk aktivitas fisik dan kebugaran. sukabina press. padang. widyanto, f.s. dan c. triwibowo. 2013. trend disease ‘trend penyakit saat ini’. cv. trans info media. jakarta. d:\set 2017\set nanik juni 2017 51agtikasari, hubungan pengetahuan tentang pernikahan... 51 hubungan pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini di sma negeri 2 banguntapan tahun 2015 (the correlation of knowledge about early marriage and students’ attitude towards early marriage in sma negeri 2 banguntapan 2015) nurhayati agtikasari prodi ilmu kesehatan masyarakat pascasarjana universitas sebelas maret email: agtikasari2@gmail.com abstract: the data in indonesia (2010) showed that the prevalence of first marriage age between 15-19 years was 41.9%. the data in yogyakarta (2013) showed that the earliest age marriages were in bantul district with 119 people. one of the factors that encourage adolescent attitudes towards marriage was the knowledge factor. the research objective was to identify the correlation of knowledge about early marriage and students’ attitude towards early marriage in sma negeri 2 banguntapan 2015.the correlation study used cross sectional method. the research population were the students of grade x and xi in sma negeri 2 banguntapan. the respondents were 127 students taken by quota sampling technique. the results of the analysis with chi square test obtained significancy p value of 0.042. the majority of respondents had a good knowledge of early marriage as 74.8% (95), the respondents who had negative attitude were 55.9% (71) and the respondents who had a good knowledge and also had negative attitude were 44,9% (57). there was a significant correlation between early marriage knowledge and the students’ attitudes towards early marriage based on the value of asymp sig. p : 0.042. keyword: knowledge, attitude, early age marriage abstrak: data riskesdas 2010 menunjukan prevalensi umur pernikahan pertama antara 15-19 tahun sebanyak 41,9 %. data di provinsi di yogyakarta (2013) pernikahan usia dini terbanyak di kabupaten bantul yaitu berjumlah 119 orang. pernikahan usia dini menjadi isu penting kesehatan reproduksi remaja saat ini. faktor yang mendorong sikap remaja terhadap pernikahan dinisalah satunya adalah faktor pengetahuan. tujuan mengetahui hubungan pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini di sma negeri 2 banguntapan tahun 2015. studi kolerasi ini menggunakan metode cross sectional. populasi populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas x dan xi sma negeri 2 banguntapan bantul. responden sebanyak 127 siswa dengan teknik kuota sampling. hasil uji analisis dengan chi square didapatkan nilai significancy p sebesar 0,042. sebagian besar responden mempunyai pengetahuan yang baik sebesar 74,8% (95), yang memiliki sikap tidak mendukung yaitu sebanyak 55,9% (71) dan yang memiliki pengetahuan baik serta sikap tidak mendukung 44,9% (57). kesimpulan ada hubungan bermakna antara pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini didapatkan nilai asymp sig. p sebesar 0,042. kata kunci : pengetahuan, sikap, pernikahan usia dini angka pernikahan di usia dini pada kalangan remaja di indonesia saat ini yang menjadi isu penting untuk dikaji menurut bkkbn. data dari bkkbn menyebutkan bahwa indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi kedua di asean setelah kamboja. data riskesdas it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) it typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p051-055 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 52 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 51–55 2010 menunjukan bahwa prevalensi umur pernikahan pertama antara 15-19 tahun sebanyak 41,9% (bkkbn, 2011). berdasarkan data pilah gender dan anak provinsi di yogyakarta (2012), bahwa pernikahan remaja usia di bawah usia 16 tahun di di yogyakarta yaitu pada tahun 2011 berjumlah 387 orang dengan jumlah di kabupaten bantul (145 orang), pada tahun 2012 berjumlah 447 orang dengan jumlah di kabupaten bantul (147 orang). berdasarkan data pilah gender dan anak provinsi di yogyakarta (2013) berjumlah 491 orang dengan jumlah di kabupaten kabupaten bantul yaitu berjumlah 119 orang. menurut data dari kementerian agama kabupaten bantul (2013) didapatkan bahwa kecamatan banguntapan memiliki presentase pernikahan dini terbanyak yaitu 20 kasus dari 119 kasus pernikahan dini (16,8%). pernikahan usia dini akan memberikan beberapa dampak dalam bidang kesehatan yang akan ditimbulkan yaitu meningkatnya angka kematian ibu dan angka kematian bayi. aki dan akb yang meningkat dapat terjadi karena pernikahan usia dini memberi risiko yang lebih besar pada remaja perempuan khususnya pa da a spek kesehata n r eproduksi (fadlyana, 2009). faktor-faktor yang mendorong sikap remaja untuk melakukan pernikahan usia dini yaitu, faktor ekonomi, dengan harapan akan tercapainya keamanan keuangan setelah menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini. faktor pengetahuan tentang kesehatan reproduksi terutama pernikahan usia dini yang dimiliki oleh setiap individu mempengaruhipernikahan usiadini kini masih dilaksanakan. faktor budaya yang mendorong terjadinya kawin muda adalah lingkungan, dilingkungan tersebut sudah biasa menikah pada usia 14-16 tahun, lebih tua dari 17 tahun dianggap perawan tua. faktor pendidikan, pada umumnya mereka hanya tamat sd, sltp,atau slta, dengan kondisi tersebut dari pada menjadi beban keluarga akhirnya orang tua menganjurkan anaknya segera menikah terutama pada anak perempuan (bkkbn, 2011). menurut hasil studi pendahuluan yang dilakukan di sma negeri 2 banguntapan didapatkan hasil bahwa pada tahun 2013 terdapat satu siswi yang mengundurkan diri dari sekolah karena melakukan pernikahan dini akibat kehamilan tidak diinginkan dan pada desember ada satu siswi yang mengundurkan diri karena kehamilan tidak diinginkan. berdasarkan latar belakang maka peneliti akan melakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini di sma negeri 2 banguntapan bantul. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan cross sectional. metode penelitian ini adalah analitik kuantitatif untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang pernikahan dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini, yang dilakukan pengukuran variabel satu kali dalam satu waktu. lokasi penelitian di sma negeri 2 banguntapan, bantul. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa dan siswi kelas x dan xi sma n 2 banguntapan sebanyak 423. sampel yang digunakan sebanyak 30% populasi yaitu 127 responden dengan teknik pengambilan sampel quota sampling. instrumen yang digunakan berupa lembar kuisioner. data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.teknik analisa penelitian menggunakan teknik analisa univariat dan analisa bivariat dengan uji chi square. hasil penelitian pengetahuan pernikahan usia dini no kategori f prosentase 1 kurang 13 10,2 2 cukup 19 15,0 3 baik 95 74,8 tabel 1 distribusi frekuensi pengetahuan responden terhadap pernikahan usia dini di sma negeri 2 banguntapan bantul berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 127 responden sebanyak 95 responden (74,8%) memiliki pengetahuan baik tentang pernikahan usia dini sikap pernikahan usia dini no kategori f prosentase 1 mendukung 56 44,1 2 tidak mendukung 71 55,9 total 127 100 tabel 2 distribusi frekuensi sikap responden terhadap pernikahan usia dini di sma negeri 2 banguntapan bantul 53agtikasari, hubungan pengetahuan tentang pernikahan... berdasarkan tabel 3 di atas menunjukkan bahwa jumlah responden yang memiliki pengetahuan baik dan memiliki sikap tidak mendukung dengan jumlah terbanyak yaitu 57 orang (44,9%). berdasarkan analisis menggunakan uji korelasi tersebut didapatkan hasil nilai p yaitu 0,042. pembahasan pengetahuan tentang pernikahan usia dini berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pengetahuan siswa tentang pernikahan usia dini di sma n 2 banguntapan dengan katagori pengetahuan baik memiliki jumlah tertinggi yaitu sebanyak 95 orang atau (74,8%), dan jumlah terendah pada kategori pengetahuan kurang yaitu sebanyak 10 orang atau (10,2%). menurut hasil analisa data menunjukkan bahwa jumlah terbanyak adalah responden dengan pengetahuan baik. faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan selain informasi menurut notoatmodjo (2007) yaitu pengalaman yang berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan yang tinggi maka pengalaman akan luas, sedangkan semakin tua umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak. keterpaparan seseorang terhadap informasi dapat merubah pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimiliki seseorang. semakin banyak sumber informasi yang didapat semakin baik pula pengetahuan. secara keseluruhan berdasarkan hal di atas menunjukkan bahwa pengetahuan siswa sudah baik yang salah satunya dipengaruhi faktor informasi yang telah didapatkan oleh para siswa baik secara mandiri maupun melalui sumber informasi yang lain. sikap siswa terhadap pernikahan usia dini berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa siswa yang memiliki sikap mendukung terhadap pernikahan usia dini yaitu sebanyak 56 orang atau (44,1%) sedangkan yang memiliki sikap tidak mendukung terhadap pernikahan usia dini yaitu sebanyak 71 orang atau (55,9%). hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap tidak mendukung. menurut azwar (2008) sikap seseorang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta emosional. hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 71 orang yang tidak mendukung terdapat 61 (48%) orang pernah mendapatkan informasi tentang pernikahan usia dini. berdasarkan hasil penelitian juga dapat dilihat bahwa meskipun jumlah tertinggi pada kategori sikap tidak mendukung, namun jumlah responden yang memiliki sikap mendukung juga berjumlah banyak yaitu 56 orang atau (44,1%). hal tersebut akan memberikan dampak pada perilaku siswa terhadap pernikahan usia dini, dengan sikap yang mendukung maka seseorang akan cenderung menerima adanya pernikahan usia dini dan dapat mendorong adanya perilaku untuk melakukan pernikahan usia dini. hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh khilmiyah (2014) tentang pandangan berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 127 responden sebanyak 71 responden (55,9 %) memiliki sikap tidak mendukung terhadap pernikahan usia dini. f % f % f % kurang 10 7,9 3 2,4 13 10,2 0,042 cukup 8 6,3 11 8,7 19 15,0 baik 38 29,9 57 44,9 95 74,8 jumlah 56 44,1 71 55,9 100 100 tabel 3 hubungan pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini di sma negeri 2 banguntapan bantul pengatahuan tentang pud sikap siswa terhadap pud jumlah asymp.sig (2-sided)mendukung tidak mendukung analisa bivariat hubungan pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini di sma negeri 2 banguntapan bantul 54 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 51–55 remaja dan orang tua terhadap pernikahan dini dalam membangun keluarga di kabupaten bantul. penelitian tersebut menyatakan bahwa dari 40 pelaku pernikahan usia dini yang menjadi responden didapatkan hasil untuk perempuan, usia 13-14 tahun 29,41% dan 14,1-15,9 tahun 70,59%. untuk lakilaki usia dibawah 16 tahun 4,35%, 16-17 tahun 56,52% dan 17,1-18,9 tahun 39,13%. menurut hasil penelitian khilmiyah (2014) juga menyatakan bahwa faktor penyebab remaja nikah dini adalah perilaku seksual dan kehamilan yang tidak direncanakan, dorongan ingin menikah, ekonomi, dan rendahnya pendidikan orang tua. sebagian besar remaja memandang nikah dini sebagai wujud tanggung jawab dari perbuatan yang telah dilakukan, bukan sebagai cita-cita yang diinginkan, sebagian kecil remaja memandang nikah sebagai hal yang biasa karena sudah menemukan jodohnya. orang tua memandang nikah dini sebagai sebuah keterpaksaan karena kecelakaan dan diterima sebagai proses alamiah. hasil penelitian yang menunjukkann bahwa jumlah siswa yang memiliki sikap mendukung juga banyak yaitu 44,1%, dan didukung dari adanya 2 kasus yang telah terjadi maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan sikap positif siswa terhadap pernikahan usia dini. salah satu upaya yang dapat dilakukan sesuai dengan program pemerintah yaitu dibentuknya pik-r (pusat informasi dan konseling remaja) sebagai sarana untuk prmbentukkan sikap siswa. hubungan pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini di sma n 2 banguntapan berdasarkan hasil penilitian dapat diketahui bahwa siswa dengan kategori pengetahuan baik dan memiliki sikap tidak mendukung yaitu sebanyak 57 orang (44,9%), pada kategori pengetahuan cukup dan memiliki sikap tidak mendukung yaitu sebanyak 11 orang (8,7%), dan pada kategori pengetahuan kurang dan memiliki sikap tidak mendukung yaitu sebanyak 3 orang (2,4%). berdasarkan hasil uji kolerasi pearson chi square didapatkan bahwa nilai asymp. sig (2-sided) p sebesar 0,042. karena nilai p < 0,05 maka ho ditolak dan ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini di sma n 2 banguntapan tahun 2015. menurut azwar (2008), struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang salah satunya yaitu komponen kognitif yang merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap yang berkaitan dengan pandangan, pengetahuan, dan keyakinan. komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontroversial. teori tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh puspita (2014) tentang hubungan pengetahuan remaja putri dengan sikap remaja putri terhadap pernikahanusia dini di desa kesesi kecamatan kesesi kabupaten pekalongan dengan didapatkan hasil  value 0,014. hal tersebut disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan remaja putri dengan sikap remaja putri terhadap pernikahanusia dini. hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan remaja putri tentang pernikahan usia dini, maka akan semakin baik pula sikap remaja putri terhadap pernikahan usia dini. sebaliknya semakin kurang pengetahuan remaja putri tentang pernikahan usia dini, maka semakin kurang juga sikap remaja putri terhadap pernikahan usia dini. simpulan dan saran simpulan ada hubungan antara pengetahuan tentang pernikahan usia dini dengan sikap siswa terhadap pernikahan usia dini saran diharapkan adanya penyuluhan tentang kesehatan reproduksi remaja termasuk diantaranya pernikahan usia dini melalui pembentukkan pik-r (pusat informasi dan konseling remaja). daftar rujukan azwar, s. 2008. sikap manusia teori dan pengukurannnya. yogyakarta: pustaka belajar badan pemberdayaan perempuan dan masryarakat. 2012. data terpilah gender tahun 2012 badan pemberdayaan perempuan dan masyarakat. 2013. data terpilah gender tahun 2013 bkkbn. 2011. perkawinan muda dikalangan perempuan. pusat penelitian dan pengembangan kependudukan badan kependudukan dan keluarga berencana nasional tersedia dalam www. bkkbn.go.id (diakses tanggal 15 desember 2014) 55agtikasari, hubungan pengetahuan tentang pernikahan... bkkbn.2011. kajian profil penduduk siswa. pusat penelitian dan pengembangan kependudukan badan kependudukan dan keluarga berencana nasional tersedia dalam www.bkkbn.go.id (diakses tanggal 15 desember 2014) fadl a ya n a. 2009. pe rni k ahan usi a di ni dan permasalahannya. jakarta: gramedia. tersedia dalam http://saripediatri.idai.or.id (diakses tanggal 21 januari 2015) khilmiyah, a. 2014. pandangan siswa dan orangtua terhadap pernikahan dini dalam membangun keluarga di kabupaten bantul. lp3m umy malehah, s. 2010. dampak psikologis pernikahan dini dan solusinya dalam perspektif bimbingan konseling islam tersedia dalam http: //library. walisongo.ac.id (diakses tanggal 2 februari 2015). mardiya. 2013. saatnya tahu dan peduli terhadap masalah siswa. tersedia di www.kulonprogokab.go.id (diakses 18 maret 2015) notoadmodjo, s. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. puspita, r. 2014. hubungan pengetahuan siswa putri dengan sikap siswa putri terhadap perkawinan usia dini di desa kesesi tersedia dalam: h t t p: / / www. e-skr i psi . st i kesm uh -pkj. a c. i d (diakses 17 januari 2015). survei demografi dan kesehatan indonesia. 2012. kesehatan reproduksi siswa badan pusat statistik. jakarta. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 225widyaningtyas, gambaran pengetahuan ... 225 gambaran pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana di kampus d-iii keperawatan blitar (the description of students’ knowledgeon disaster risk reduction in campus d-iii nursing blitar) kiki widyaningtyas d-iii keperawatanpoliteknik kesehatan kemenkes malang email: kikiwidyaning83@gmail.com abstract: disaster risk reduction is a concept and practice of reducing disaster risk through systematic efforts to analyze and manage disaster factors. the research objective was to describe the knowledge of students in campus d iii nursing blitar on disaster risk reduction. this research method used descriptive design. the population of this study were all students at campus d iii nursing blitar as much as 290 students. the sample in this study were all students of level 1 as much as 91 students. the sampling technique used quota sampling. the data collection was done by questionnaire. the data collected on may 12, 2015. the results showed 85.7% (78 respondents) had a good knowledge and 14.3% (13 respondents) had fair knowledge. the recomendation of this study was institution had to conduct an evaluation and educational policy in programming related to disaster risk reduction and disaster management, as well as students were given the opportunity to develop skills and experience in disaster response both within the institution and outside the institution. keywords: knowledge, disaster risk reduction abstrak: pengurangan risiko bencana adalah konsep dan praktik mengurangi risiko-risiko bencana melalui upaya-upaya sistematis untukmenganalisis dan mengelola faktor-faktor penyebab bencana. tujuan penelitian untuk menggambarkan pengetahuan mahasiswa di kampus d iii keperawatan blitar tentang pengurangan risiko bencana. metode penelitian ini menggunakan rancangan dekriptif. polulasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa di kampus d iii keperawatan blitarsejumlah 290 mahasiswa. sampel dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat 1 sejumlah 91 mahasiswa. teknik pengambilan sampel menggunakan quota sampling. pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 12 mei 2015. hasil penelitian menunjukan sebesar 85,7% (78 responden) memiliki pengetahuan baik,dan sebesar 14,3% (13 responden)memiliki pengetahuan cukup. rekomendasi dari penelitian ini adalah institusi pendidikan mengadakan evaluasi dan mengambil kebijakan dalam penyusunan program terkait pengurangan risiko bencana dan manajemen penanggulangan bencana, serta mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan dan pengalaman dalam hal penanggulangan bencana baik di dalam institusi maupun di luar institusi. kata kunci: pengetahuan, pengurangan risiko bencana indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mencakup 17.508 pulau tersebar di lintas garis khatulistiwa, berada di antara dua benua, asia dan australia, serta dua samudra, hindia dan pasifik, dan terletak pada pertemuan tiga lempeng kerak bumi yaitu eurasia, indo-australia, dan lempeng pasifik. secara geografis, hal ini memungkinkan indonesia mempunya berbagai macam budaya, sumberdaya alam yang beragam, dan persebaran penduduk yang menempatkan indonesia sebagai acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p225-229 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 226 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 225–229 salah satu negara terpadat di dunia. di sisi lain, kondisi ini juga memunculkan risiko bencana alam seperti letusan gunung api, banjir, gempa bumi, longsor, hingga masalah kesehatan (pmi. 2012: 2). menurut badan koordinasi nasional penanggulangan bencana (bakornas pb), dalam kurun waktu antara tahun 2002 sampai 2005 tercatat 2.184 kejadian bencana di indonesia. sebagian dari kejadian tersebut (53,3%) merupakan bencana hidrometeorologi. dari total bencana hidrometeorologi yang paling sering terjadi adalah banjir sebanyak 743 kejadian (35%), selanjutnya kekeringan 615 kejadian (28%), tanah longsor 222 kejadian (10%), kebakaran 217 kejadian (9,9%), dan sisanya 17% kejadian yang meliputi seperti gempa bumi, kerusuhan sosial dan kegagalan teknologi. keadaan tersebut terus meningkat hingga 2.323 kejadian pada tahun 2010. dari data terakhir yang dilaporkan oleh bnpb (badan nasional penanggulangan bencana) jumlah kejadian bencana pada tahun 2014 di provinsi jawa timur mencapai angka 250 kejadian. konferensi dunia untuk pengurangan risiko bencana (world conference on disaster reduction) diselenggarakan di kobe, jepang pada tahun 2005. dari konferensi lintas-negara ini disusun dan disepakati kerangka kerja aksi bersama untuk pengurangan risiko bencana hingga tahun 2015. kesepakatan tentang misi membangun ketahanan negara dan masyarakat terhadap bencana tersebut dikenal sebagai platform global untuk pengurangan risiko bencana dengan kerangka kerja hyogo 2005-2015 (hyogo framework for action/hfa 2005-2015). kerangka aksi itu merekomendasikan 5 prioritas tindakan untuk dilakukan oleh suatu negara yakni: (1) meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat; (2) mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini; (3) memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat; (4) mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana; dan (5) memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif. pengetahuan merupakan domain terendah dalam perubahan sikap dan praktik. menurut roger, (1974 dalam notoadmodjo, 2003) sikap dan praktik yang tidak didasari oleh pengetahuan yang adekuat tidak akan bertahan lama pada kehidupan seseorang. pada pengurangan risiko bencana, meningkatkan pengetahuan merupakan salah satu kerangka aksi yang harus dilakukan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat. kampus merupakan salah satu area pembentukan bagi para agen perubahan yang berkarakter dan professional. dalam konteks pengurangan risiko bencana, tri dharma perguruan tinggi dilaksanakan untuk mendorong terciptanya kampus dan masyarakat yang aman dan tangguh terhadap bencana. mahasiswa dan warga kampus sebagai agen perubahan, dapat berperan aktif di lingkungan internal kampus dan masyarakat untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana secara terpadu dan berkelanjutan (pmi, 2012:6). peran kampus dalam pengurangan risiko bencana, juga sejalan dengan peran kampus dalam pencapaian millenium development goals (mdgs). upaya mahasiswa yang tertuang dalam deklarasi youth millenium drive pada tanggal 24 oktober 2011, yang isinya antara lain memasyakatkan pola hidup sehat sedini mungkin, menyeimbangkan peranan pria dan wanita dalam masyarakat dan pemerintahan, membantu memaksimalkan fungsi puskesmas, serta meningkatkan mutu pendidikan bagi generasi muda bangsa indonesia, akan memberikan kontribusi dan bersinergi dengan upaya pengurangan risiko bencana. sasaran primer dalam upaya pengurangan risiko bencana dalam lingkup perguruan tinggi adalah mahasiswa, karena sebagai agen perubahan pengurangan risiko bencana di dalam kampus maupun di lingkungan masyarakat. mahasiswa dalam hal ini harus mengikuti pendidikan dasar siaga bencana yaitu ukm ksr dari pmi. mahasiswa wajib mengikuti diklat sesuai standar kurikulum dan alur yang telah ditetapkan pmi (pmi, 2012:24). dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada mahasiswa tingkat 1 di kampus diii keperawatan blitar, pada tanggal 13 november 2014 dengan wawancara didapatkan 7 dari 10 mahasiswa masih belum mengetahui tentang pengurangan risiko bencana. sesuai dengan visi kampus yaitu menjadi program studi penghasil tenaga keperawatan vokasi bertaraf global yang kompeten dan kompetitif, unggul dalam manajemen penanggulangan bencana pada tahun 2020, pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana sangat penting untuk dilakukan penelitian. hal ini 227widyaningtyas, gambaran pengetahuan ... yang mendasari peneliti untuk mengetahui gambaran pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana di kampus d-iii keperawatan blitar. bahan dan metode dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain “deskriptif.”. penelitian dilakukan untuk menggambarkan pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana di kampus d-iii keperawatan blitar. sampel penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat 1 di kampus d-iii keperawatan blitarsebanyak 91 mahasiswa, dengan syarat telah mendapat materi kampus siaga bencana. sampling dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik quota sampling. analisis menggunakan uji distribusi frekuensi. hasil penelitian karakteristik mahasiswa tingkat 1 tentang pengurangan risiko bencana kategori cukup sebesar 14,3 % (13mahasiswa), dan kategori kurang sebesar 0% (0 mahasiswa) dari total 91 mahasiswa. hasil pengolahan data dalam penelitian ini menunjukkan sebesar 85,7% (78 mahasiswa) dari total 91 mahasiswa termasuk ke dalam kategori pengetahuan baik. berdasarkan tabulasi silang data antara pengetahuan dan informasi tentang pengurangan risiko bencana didapatkan prosentase mahasiswa yang pernah mendapat informasi tentang risiko bencana sebesar 85,7% (78 mahasiswa) dan sebesar 36,3% (33 mahasiswa) mendapat informasi dari media cetak/elektronik. keberadaan ukm ksr-pmi dan mata kuliah kampus siaga bencana juga sangat mendukung tingkat pengetahuan mahasiswa di prodi d iii keperawatan blitar, sesuai dengan visi dan misi kampus tersebut. menurut notoatmodjo (2003), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapat informasi yang baik dari berbagai media misalnya: tv, radio, surat kabar maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. selanjutnya, dari hasil pengolahan data didapatkan 14,3% (13 mahasiswa) pernah mengikuti diklat kebencanaan selain diklat ksr-pmi di kampus d iii keperawatan blitar dan 8,8% (8 mahasiswa) pernah menjadi relawan saat terjadi bencana. hal tersebut juga mempengaruhi tingkat pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana. menurut notoatmodjo (2003), pendidikan adalah suatu kegiatan dan proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan pengetahuan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya, sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin kurang baik tingkat pengetahuannya, sehingga kesimpulannya bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan karena didalam proses pendidikan terdapat proses belajar terhadap sesuatu hal. pada penelitian ini didapatkan bahwa pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana kampus d iii keperawatan blitar dalam kategori cukup sebesar 14,3 % (13 mahasiswa). berdasarkan tabulasi silang dataantara pengetahuan dan pengalaman didapatkan prosentase mahasiswa yang tidak pernah mengikuti diklat kebencanaan mencapai 13,2% (12 mahasiswa) dan sebesar 11% (10 mahasiswa) tidak pernah menjadi relawan saat tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f % 1. umur 19 tahun 59 64,8 20 tahun 16 17,6 2. mengikuti diklat keb encanaan pernah 14 15,4 tidak 77 84,6 3. memperoleh informasi ya 91 100 tidak 0 0 4. sumber informasi elektro nik /cetak 39 42,9 dosen 35 38,5 relawan 17 18,6 tabel 2. pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana tingkat pengetahuan f % baik cukup kurang 78 13 0 85,7 14,3 0 jumlah 91 100 pembahasan pada penelitian ini didapatkan bahwa pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana kampus diii keperawatan blitar dalam kategori baik yaitu sebesar 85,7% (78 mahasiswa), 228 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 225–229 terjadi bencana. menurut notoatmodjo (2010:13), pengalaman merupakan guru terbaik, pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sehingga pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. peneliti berpendapat bahwa mahasiswa yang tidak pernah mengikuti diklat kebencanaan dan tidak pernah menjadi relawan saat terjadi bencana akan memperoleh informasi yang minimum tentang pengurangan risiko bencana. hasil pengolahan data dalam penelitian ini menunjukkan sebesar 40% kurangnya pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana terletak pada indikator tentang menyediakan informasi risiko dan pilihan perlindungan bencana yang mudah dipahami terutama untuk masyarakat di daerah berisiko tinggi. dalam buku rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana tahun 2006 yang diterbitkan oleh kementerian negara perencanaan pembangunan nasional atau badan perencanaan pembangunan nasional dengan badan koordinasi nasional penanganan bencana, setiap tahun pemerintah menyusun rkp yang memuat semua program kegiatan yang akan dilaksanakan oleh setiap. dalam undang-undang nomor 13 tahun 2005 tentang anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2006, kegiatan pengurangan risiko bencana dialokasikan pada arah kebijakan penanggulangan bencana alam yang dampaknya mengimbas terhadap keselamatan bangsa melalui peningkatan mitigasi bencana alam dan prakiraan iklim, penyusunan tata ruang dan zonasi perlindungan sumber daya alam termasuk kawasan rawan bencana di pesisir dan laut serta pengembangan sistem penanggulangan bencana alam dan sistem deteksi dini. dalam rkp tahun 2007 yang telah diundangkan melalui peraturan presiden nomor 19 tahun 2006, mitigasi dan penanggulangan bencana merupakan salah satu prioritas dari sembilan prioritas pembangunan yang harus dilaksanakan. sasaran yang akan dicapai dalam prioritas mitigasi dan penanggulangan bencana pada tahun 2007 adalah meningkatnya kesiapan kelembagaan dan masyarakat dalam mencegah, menghadapi dan menanggulangi benca na a la m ya ng a ka n ter ja di. upa ya pengurangan risiko bencana saat ini dilaksanakan adalah (1) meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat; (2) mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini; (3) memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat; (4) mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana; dan (5) memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif. rencana aksi ini antara lain disusun untuk mempermudah identifikasi semua kegiatan yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana di setiap departemen/lembaga terkait. selanjutnya hasil pengolahan data dalam penelitian ini menunjukkan sebesar 38% kurangnya pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana terletak pada indikator tentang mekanisme pendanaan risiko bencana. dalam buku rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana tahun 2006 yang diterbitkan oleh kementerian negara perencanaan pembangunan nasional atau badan perencanaan pembangunan nasiona l dengan badan koordinasi nasional penanganan bencana, sumber pendanaan pelaksanaan rancangan aksi nasional pengurangan risiko bencana (ranprb) diperoleh dari anggaran pendapatan dan belanja negara (apbn), anggaran pendapatan dan belanja daerah (apbd), dukungan swasta dan lembaga donor regional maupun internasional. anggaran yang berasal dari dana apbn dan apbd dialokasikan secara rutin setiap tahun anggaran untuk menjamin agar upaya pengurangan risiko bencana dapat berjalan secara konsisten dan berkesinambungan. dengan mempertimbangkan kondisi pendanaan pemerintah yang terbatas, masyarakat dan pihak swasta diharapkan berperan lebih besar dalam mendukung pendanaan upaya pengurangan risiko bencana. di samping itu, dukungan pendanaan dari donor regional maupun internasional juga merupakan komponen yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam upaya pengurangan risiko bencana pada lingkup yang lebih luas. daerah yang menyandarkan diri pada industri ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan diharapkan melakukan investasi yang seimbang untuk upaya mitigasi, kesiapan, respon dan pemulihan dari dampak bencana yang sudah atau mungkin ditimbulkan dari kegiatan tersebut. 229widyaningtyas, gambaran pengetahuan ... simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan mahasiswa tentang pengurangan risiko bencana dalam kategori baik yaitu sebesar 85,7% (78 mahasiswa), dan kategori cukup sebesar 14,3% (13 mahasiswa) dari total 91 mahasiswa. saran bagi tempat penelitian diharapkan dosen dan tenaga kependidikan dapat mengambil kebijakan dalam penyusunan program terkait pengurangan risiko bencana dan manajemen penanggulangan bencana sesuai dengan visi kampus d-iii keperawatan blitar, serta mengadakan evaluasi terkait kurangnya pemahaman mahasiswa terkait 5 indikator kerangka kerja aksi pengurangan risiko bencana. selain itu, seharusnya mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan dan pengalaman dalam hal penanggulangan bencana baik di dalam institusi maupun di luar institusi. selain itu, institusi pendidikan harus menerapkan upaya mitigasi sesuai standart untuk mendukung aksi pengurangan risiko bencana di kampus, misalnya diadakan diklat atau simulasi bencana setiap tahun, serta disediakan sarana prasarana pendukung upaya mitigasi tersebut, contohnya sirine tanggap bencana dan jalur evakuasi. daftar rujukan kementerian negara perencanaan pembangunan nasional. 2006. rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana. jakarta: perum percetakan. notoatmodjo, soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: pt rineka cipta. notoatmodjo, soekidjo. 2007.kesehatan masyarakat. jakarta: pt rineka cipta. mi. 2009. terminologi pengurangan risiko bencana. jakarta: palang merah indonesia. pmi. 2012. panduan kampus siaga bencana. jakarta: palang merah indonesia. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 286 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 286–291 286 efektifitas rebusan wortel ( daucus carota. l) terhadap penurunan kadar kolesterol darah pada tikus putih (rattus norvegicus) (the effectiveness of stew carrot (daucus carota. l) on lowering blood cholesterol levels of white rat (rattus norvegicus)) misnanto, thatit nurmawati pendidikian ners stikes patria husada blitar email: dhyas_tha@yahoo.com abstract: hypercholesterolemia is a disease of cholesterol metabolism disorder caused by high blood cholesterol. chemical treatment is reported to have side effects in the long term. the purpose of this study was to determine the effectiveness of carrot stew to decrease cholesterol levels in hypercholesterolemic of rats.the design of this study used experimental randomized control-group pretest post test design. the samples were divided into control and treatment groups, each group consisted 8 rats. the treatment used a carrot stew with 1.25cc dose and control with medication simvastatin 0144 cc dose was given every morning for 3 days. the measurement of the cholesterol levels used touch essey data analysis by wilcoxon and mann-whitney. the study started on may 15th july 22, 2015.the results of the study showed the cholesterol control group decreased 12.5% (p = 0.069> á = 0.05) in the treatment group and 50% (p = 0.716), on the statistical test showed no effect of carrot stew on blood cholesterol levels. while the results of the effect between treatment and control group (p = 0528> á = 0.05).carrots with beta-carotene could lower cholesterol levels in the blood, and could prevent the oxidation of low dencity lipoprotein (ldl). the absorption of beta-carotene was better when boiled in temperatures between 60-100 ° c. keywords: hypercholesterolemia, carrots, beta carotene, cholesterol abstrak: hiperkolesterolemia adalah penyakit gangguan metabolisme kolesterol yang disebabkan oleh tingginya kolesterol darah. pengobatan kimia dilaporkan mempunyai efek samping dalam jangka panjang. tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas rebusan wortel terhadap penurunan kadar kolesterol tikus putih dengan hiperkolesterolemia. desain dari penelitian ini menggunakan eksperimen randomized control–group pretest – post test design. sampel terbagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan, masingmasing kelompok terdiri 8 ekor tikus putih. perlakuan menggunakan rebusan wortel dengan dosis 1.25cc dan kontrol dengan obat sivastatin dosis 0.144cc diberikan tiap pagi selama 3 hari. pengukuran kadar kolesterol menggunakan essey touch analisis data dengan wilcoxon dan mann-whitney waktu penelitian mulai 15 mei-22 juli 2015. hasil penelitian kelompok kontrol terjadi penurunan kolesterol 12.5% (p = 0.069 >  = 0.05) dan kelompok perlakuan 50 % (p = 0.716), pada uji statistic menunjukan tidak ada pengaruh pemberian rebusan wortel terhadap kadar kolesterol darah. sedangkan hasil pengaruh antara kelompok perlakuan dan kontrol (p = 0.528 >  = 0.05).wortel dengan kandungan beta karoten mampu menurunkan kadar kolesterol dalam darah, dan dapat mencegah oksidasi low dencity lipoprotein (ldl). penyerapan kandungan beta karoten akan lebih baik jika wortel direbus dengan suhu antara 60-100 oc. kata kunci: hiperkolesterolemia, wortel, betakaroten, kadar kolesterol tanpa disadari dalam tubuh kita secara terusmenerus terbentuk radikal bebas melalui peristiwa metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi dan akibat respons terhadap pengaruh dari luar acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p286-291 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 287misnanto dan nurmawati, efektivitas rebusan wortel ... luar tubuh seperti lingkungan, sinar ultraviolet dan asap rokok. akibat yang ditimbulkan oleh lingkungan tercemar dan gaya hidup, justru merangsang tumbuhnya radikal bebas yang dapat merusak tubuh kita (anonim, 1997). diet hiperkolesterol dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan ldl (low density lipoprotein) dalam darah yang memicu terjadinya ldl-oks akibat radikal bebas pada pembuluh darah aorta yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan dapat berakibat pada perubahan dinding pembuluh darah aorta (murray, et al., 2003 dan suryohudoyo, 2000). kolesterol merupakan zat gizi atau komponen lemak kompleks yang dibutuhkan oleh tubuh sebagai salah satu sumber energi paling tinggi dan juga merupakan bahan dasar pembuatan hormone steroid (nurwahyuni, 2006). hiperkolesterolemia merupakan gangguan metabolisme kolesterol yang disebabkan oleh kadar kolesterol dalam darah yang melebihi batas normal (murray, et al., 2003). peningkatan kadar kolesterol yang berlebihan akan mengakibatkan terbentuknya plak pada pembuluh darah, sehingga akan menggangu aliran darah. hal ini dapat mengakibatkan tersumbatnya aliran darah ke jantung dan apabila terjadi pada pembuluh darah di otak, akan menyebabkan cerebral vaskuler acute atau stroke (astawan dan andresas, 2009). hiperkolesterol merupakan salah satu penyebab penyakit jantung koroner (pjk). pernyakit jantung dewasa ini merupakan penyebab paling utama keadaan sakit dan kematian, bangsa industri maju (ariantari dkk., 2010). di amerika serikat, penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian, yaitu kira-kira 37% sebab kematian. sekitar 88% dari angka tersebut, disebabkan karena penyakit jantung koroner (ariantari, dkk., 2010). sedangkan berdasarkan data who (2010) setiap tahunnya terdapat 15 juta orang di seluruh dunia menderita stroke akibat hiperkolesterolemia, dengan jumlah kematian sebanyak 5 juta orang dan 5 juta orang lainnya mengalami kecacatan permanen. penyakit stroke telah menjadi masalah kesehatan yang menjadi penyebab utama kecacatan pada usia dewasa dan merupakan salah satu penyebab kecacatan terbanyak di dunia penyakit stroke menduduki urutan ketiga penyebab kematian di amerika setelah penyakit jantung dan kanker berdasarkan data dari nchs (national center of health statistic) (xu, et al., 2010). di indonesia stroke menjadi penyebab utama kematian pada semua umur dengan proporsi 15% pada kelompok umur 45–54 tahun. peningkatan prevalensi penderita stroke di indonesia dari 8,3 per 1000 penduduk pada tahun 2007 menjadi 12,1per 1000 penduduk pada tahun 2013 (riskesda, 2013) hiperkolesterolemia adalah salah satu penyebab stroke iskemik yang dapat dirubah, misalnya kebiasaan merokok, obesitas, olkoholis (perdossi, 2004). pencegahan dan pengobatan untuk menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah, dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu mengurangi makanan berlemak, melakukan aktifitas fisik, pemberian obat modern maupun obat tradisional. pemberian obat modern atau obat-obat kimia kadang berdampak terhadap klien, sedangkan pemberian obat tradisional selain murah, mudah didapat dan komplikasi terhadap pasien jarang terjadi (ganiswarna, 1995). salah satu obat tradisional yang dapat dikembangkan sebagai alternatif untuk menurunkan kadar kolesterol ldl (low desencity lipoprotein) adalah wortel (ari, 2013). tumbuhan wortel (daucus carota) merupakan sayuran yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. mengkosumsi beta karoten yang berasal dari sumber tanaman (wortel) bersifat aman dan tidak akan memberi efek toksik sampai 100.000 iu perhari, hal ini berbeda dengan beta karoten sintetis berlebihan mempunyai resiko potensial sebagai proaksidan (muchadi, 2009). kandungan beta karoten lebih tinggi pada wortel yang masih mentah sedangkan penyerapan lebih mudah pada wortel yang direbus. wortel mentah memiliki dinding sel yang keras membuat tubuh hanya dapat mengkonversi kurang dari 25% beta karoten menjadi vitamin a. melakukan pemanasan dengan suhu antara 60-100 0c dapat melarutkan selulosa dinding sel dengan tanpa merusak beta karoten (muctadi, 2009). berdasarkan latar belakang diatas peneliti memiliki tujuan penelitian sebagai berikut: tujuan umum mengetahui efektifitas rebusan wortel (daucus carota) terhadap penurunan kadar kolesterol darah pada tikus putih (rattus norvegicus). tujuan khusus 1. mengidentifikasikan kadar kolesterol darah sebelum dan sesudah perlakuan dengan rebusan wortel pada tikus putih (rattus norvegicus) . 2. mengidentifikasikan kadar kolesterol sebelum dan sesudah pemberian obat kolesterol (sivastatin) pada tikus putih (rattus norvegicus). 288 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 286–291 3. menganalisis efektifitas perlakuan dengan rebusan wortel dibandingkan dengan kontrol (obat kolesterol) pada tikus putih (rattus norvegicus). bahan dan metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimen dengan desain penelitian menggunakan randomized control – group pre test – post test design dengan tujuan untuk menga nalisa efektifitas perlakuan dengan pemberian rebusan wortel pada tikus putih (rattus norvegicus). populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih (rattus norvegicus). sampel dalam penelitian ini menggunakan 16 ekor tikus putih (rattus norvegicus) yang homogen sesuai kriteria inklusi tehnik sampling pada penelitian ini menggunakan purposive sampling yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (nursalam, 2008). peneliti memilah tikus dalam dua kelompok yaitu perlakuan dan kontrol secara random. penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19 mei s/d 22 juli 2015 di laboratorium stikes patria husada blitar. hasil dan pembahasan data umum berat badan dengan nilai antara 20 -100 gr. dengan selisih rata-rata berat badan sebelun dan sesudah kelompok kontrol 16.25 gr. berdasarkan tabel 4 pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rata-rata sebelum diberikan perlakuan rebusan wortel adalah 146.00 mg/dl dan setelah diberi rebusan wortel meningkat menjadi 159.25 mg/ tabel 1. distribusi tikus putih berdasarkan jenis kelamin no jenis kela min frekuensi (%) 1 jantan 16 100 2 betina 0 0 3 jumlah 16 100 berdasarkan tabel diatas semua tikus putih berjumlah 16 ekor 100% berjenis kelamin jantan. berdasarkan tabel 2 berat badan tikus hasil perlakuan hiperkolesterol menunjukkan bahwa pada perlakuan peningkatan berat badan terjadi pada tikus no 3 dan no 4 dengan selisih sebelum dan sesudah antara 10-30 gr, untuk tikus no 1, 5, 6, 7, 8 terjadi penurunan rentang 20-130 gr sedangkan tikus no 2 berat badan tidak mengalami perubahan, dengan selisih rata-rata 67gr pada kelompok perlakuan. berdasarkan tabel 3 berat badan tikus sebelum dan sesudah kelompok kontrol dengan diet hiperkolesterol menunjukkan peningkatan berat badan pada tikus no 3, 4 dan 7 sebesar 30-50 gr, akan tetapi tikus no 1, 2, 5, 6, dan 8 terjadi penurunan tabel 2. distribusi berat badan tikus putih sebelum dan sesudah perlakuan diet hiperkolesterol kelompok perlakuan keterangan: tanda + : peningkatan tanda : penurunan no tikus berat badan tikus (gr ) perlakuan selisih pre post 1 170 150 -20 2 160 160 0 3 180 150 +30 4 290 200 +10 5 270 140 -130 6 200 120 -80 7 150 120 -30 8 200 125 -75 mean± std 212.63 58.002 145.63 26.651 67.00 tabel 3. distribusi berat badan tikus sebelum dan sesudah dengan diet hiperkolesterol kelompok control keterangan: tanda + : peningkatan tanda : penurunan no tikus kadar kolesterol tikus (mg/dl ) kontrol selisih pre post kontro l pre test p ost 1 141 162 +21 2 138 150 +12 3 112 218 +6 4 100 150 +50 5 164 117 -47 6 131 145 +14 7 179 209 +30 8 153 207 +54 mean± std 127.25 55.337 169 .823 36.823 42,25 289misnanto dan nurmawati, efektivitas rebusan wortel ... dl. berdasarkan tabulasi analisa data diatas terdapat perubahan kadar kolesterol darah tikus sebelum dan sesudah perlakuan dengan rebusan wortel. perubahan nilai kadar kolesterol sebanyak 4 ekor tikus (50%) terjadi peningkatan sedangkan 4 ekor tikus (50%) terjadi penurunan kadar kolesterol dari semua sampel kelompok perlakuan. penurunan kadar kolesterol tertinggi terjadi pada tikus no 2 adalah 26mg/ dl, akan tetapi peningkatan kadar kolesterol tertinngi terjadi pada tikus no 8 adalah 98mg/dl. atas terdapat perubahan kadar kolesterol darah tikus sebelum dan sesudah perlakuan dengan pemberian obat kolesterol. perubahan penurunan nilai kadar kolesterol sebanyak 1 ekor tikus no 5 (12.5% ) sedangkan 7 ekor tikus 87 % terjadi peningkatan kadar kolesterol dari semua sampel kelompok kontrol. penurunan kadar kolesterol terjadi pada tikus no 5 adalah 47 mg/dl, akan tetapi peningkatan kadar kolesterol tertinngi terjadi pada tikus no 8 adalah 54 mg/dl. tabel 4. kadar kolesterol sebelum dan sesudah kelompok perlakuan dengan rebusan wortel no tikus kadar kolesterol tikus (mg/dl) perlakuan selisih pre test post test 1 149 159 -10 2 165 139 -26 3 122 169 +47 4 160 144 +16 5 186 176 -10 6 154 161 +7 7 129 127 -2 8 103 199 +96 mean± std 146.00 26.576 159.25 22.808 13.25 tabel 5. kadar kolesterol sebelum dan sesudah perlakuan dengan obat kolestero (sivastatin) kelompok kontrol no tikus kada r kolesterol tikus (mg/dl ) kontrol selisih pre test post test 1 141 162 +21 2 138 150 +12 3 112 218 +6 4 100 150 +50 5 164 117 -47 6 131 145 +14 7 179 209 +30 8 153 207 +54 mean± std 127.25 55.337 169.823 36.823 42,25 berdasarkan tabel 5 pada kelompok kontrol didapatkan nilai rata-rata sebelum pemberian obat kolesterol (sivastatin) adalah 127.25 mg/dl dan setelah pemberian obat kolesterol meningkat menjadi 169.82 mg/dl . berdasarkan tabulasi analisa data di tabel 6. perbandingan kadar kolesterol sesudah rebusan wortel dengan obat kolesterol (sivastatin) no tikus kadar kolesterol tikus (gr ) kelompok selisih post post 1 159 162 3 2 139 150 11 3 169 218 79 4 144 150 6 5 176 117 59 6 161 145 16 7 127 209 82 8 199 207 8 mean± post test : 5.13 post test : 4.43 0.70 hasil uji statistik wilcoxon post test: p =0.716 > 0.05 wilcoxon post test : p= 0.06 9 > 0.05 mann whitne y: p= 0.528 > 0.05 berdasarkan tabel 6 hasil statistic menggunakan uji wilcoxon diatas didapatkan kadar kolesterol kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dengan rebusan wortel memiliki rata-rata = 5.13 dengan nilai p = 0.716 nilai   0.05. sedangkan pada kelompok kontrol hasil sebelum dan sesudah dengan obat kolesterol didapatkan nilai rata-rata = 4.43 dengan nilai p = 0.069. sehinggadidapatkan hasil analisis antara perlakuan dan kontrol dengan nilai rata-rata = 7.79 (perlakuan) dan nilai rata-rata = 9.25 dengan nilai p = 0.528 pembahasan kadar kolesterol tikus pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan rebusan wortel berdasarkan hasil pengolahan data terjadi penurunan kadar kolesterol sejumlah 50% dari jumlah 290 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 286–291 tikus kelompok perlakuan dengan kadar kolesterol antara 10-26 ml/dl. tetapi berdasarkan hasil uji statistik wilcoxon didapatkan p = 0.513 dengan kata lain p >  = 0.05 maka dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh atau tidak ada beda rebusan wortel terhadap kadar kolesterol hewan uji tikus putih. soemardini (2011) mengatakan, penurunan kadar kolesterol disebabkan oleh adanya berbagai kandungan zat aktif di dalam wotel. diantaranya adalah kandungan beta karoten dengan unsur karetenoidnya. beta karoten yang terdapat pada wortel dapat mencegah dan menekan pertumbuhan sel kanker serta melindungi asam lemak tidak jenuh ganda dari proses oksidasi, diharapkan dapat menurunkan kolesterol dengan cara melindungi ldl dari proses oksidasi tersebut sehingga dapat mencegah aterosklerosis (azisma, 2004). perlakuan dengan rebusan wortel pada penelitian ini bahwa tidak ada pengaruh atau tidak ada beda rebusan wortel terhadap kadar kolesterol hewan uji tikus putih, hal ini kemungkinan terjadi karena faktor percepatan penyerapan dan kandungan jumlah beta karoten pada rebusan wortel lebih sedikit dibandingkan dengan wortel mentah. sejalan dengan hasil penelitian muctadi (2009) menunjukkan bahwa kandungan beta karoten lebih tinggi pada wortel yang masih mentah tetapi absorbsi beta karoten lebih mudah jika wortel direbus terlebih dahulu. wortel mentah memiliki dinding sel yang keras membuat tubuh hanya dapat mengkonversi kurang dari 25% beta karoten menjadi vitamin a. berdasarkan rukmana (2006) wortel dapat dimakan dengan berbagai cara, tetapi hanya 3% dari beta karoten pada wortel mentah dilepaskan selama proses pencernaan berlangsung, hal ini dapat ditingkatkan menjadi 39% melalui memasaknya dan menambahkan minyak sawit. kadar kolesterol darah selalu berubah-ubah disetiap waktu, meskipun perubahan ini tidak seberapa bedanya. banyak faktor yang mepengaruhinya diantaranya, stress juga dapat memicu meningkat kolesterol, perubahan pola makan juga berperan dalam perubahan kadar kolesterol ( masrufi, 2009). kadar kolesterol sebelum dan sesudah pada kelompok kontrol dengan obat kolesterol (sivastatin) berdasarkan hasil pengolahan data terdapat penurunan kadar kolesterol sebelum dan sesudah perlakuan sebanyak satu ekor (12.5%) dari jumlah hewan uji. tetapi berdasarkan hasil uji statistik wilcoxon didapatkan p = 0.69 dengan kata lain p >  = 0.05 yang berarti diterima dan tidak ada pengaruh pemberian obat kolesterol terhadap kadar kolesterol hewan uiji tikus putih. hal ini dimungkinkan pada penelitian ini peneliti menggunakan dosis rendah, sebanyak adalah 0.144 mg. berdasarkan hasil penelitian vanesa, et al. (2013) volume yang dibutuhkan adalah 10 mg obat simvastatin untuk memberikan efek penurunan kadar kolesterol pada tikus. sejalan dengan penelitian unneyputty (2013) dosis simvastatin untuk tikus 0. 18 mg/ha ri/200 gr bb. kemungkinan la in perubahan kadar kolesterol tikus diakibatkan oleh aktivitas tikus. berdasarkan pengamatan peneliti menunjukkan bahwa tikus bergerak cukup aktif pada saat peneliti sedang memberikan perlakuan. mekanisme kerja obat kolesterol (simvastatin) adalah metabolit aktif dimana koenzim a reduktase akan merubah asam mevalonat yang merupakan langkah awal dari sintesis kolesterol (hexpharm, 2008)). karena dengan berkatifitas secara teratur dapat meningkatkan kolesterol hdl dan menekan kolesterol total dan kolesterol ldl membakar trigliserida dan menurunkan berat badan. selain aktifitas, makanan juga mempengaruhi perubahan kadar kolesterol. makanan yang banyak mengandung kolesterol, lemak trans dan lemak jenuh yang tinggi seperti keju, minyak babi, otak sapi, dan jeroan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. stres yang dialami tikus dalam waktu berlangsung cukup lama akan merusak keseimbangan fungsi tubuh sehingga dapat meningkatkan kolesterol dalam darah (wijayakusuma, 2008). efektifitas pemberian perlakuan terhadap kadar kolesterol tikus pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berdasarkan uji statistika tentang pengaruh rebusan wortel (daucus carrota) terhadap penurunan kadar kolesterol darah pada tikus putih (rattus norvegicus) didapatkan p sebesar 0.528. nilai p > dari pada  = 0.05, nilai mean perlakuan rebusan wortel: 7.75 sedangkan kontrol obat kolesterol nilai mean: 9.25 maka hipotesa ditolak yang berarti tidak terdapat pengaruh, dapat dijelaskan bahwa tidak ada pengaruh penurunan kadar kolesterol baik kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. hal ini di sebabkan kemungkinan karena waktu pemberian terapi hanya 3 hari. pengaturan dosis simvastatin 291misnanto dan nurmawati, efektivitas rebusan wortel ... dilakukan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu sebagai dosis tunggal pada malam hari, dan pengukuran kadar lipid dengan interval tidak kurang dari 4 minggu (hepharm, 2008). menurut penelitian yang dilakukan vanese, et al. (2013) perubahan kolesterol yang terjadi pada minggu pertama dapat juga disebabkan karena stress lingkungan, dan perubahan jenis dan pola makanan secara tiba-tiba. segera setelah tikus dapat beradaptasi dengan makanannya, metabolisme berlangsung baik sehingga kadar kolesterol dalam darah dapat turun dengan sendirinya. sedangkan kandungan yang terdapat pada wortel selain beta karoten terdapat juga vitamin c, mempunyai efek membantu reaksi hidrosilasi dalam pembentukan asam empedu sehingga meningkatkan ekskresi kolesterol (riansari, 2008), dan b3 (niasin) berfungsi membantu metabolisme lemak dalam menghasilkan energi tubuh dan berperan dalam metabolisme lemak untuk menurunkan kadar kolesterol ldl (low dencity lipoprotein) dan trigliserida, serta meningkatkan kadar hdl (high dencity lipoprotein) sehingga dapat mengurangi penyakit pembuluh darah dan jantung (rahayu, 2005). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa: tidak ada perbedaan pengaruh rebusan wortel (daucus carota l) terhadap penurunan kadar kolesterol darah pada tikus putih (rattus novergicus), dengan diet hiperkolesterol. secara nyata rebusan wortel dapat menurunkan kadar kolesterol, dibuktikan 50% mengalami penurunan kadar kolesterol sejumlah 4 ekor dari 8 ekor tikus, akan tetapi secara statistik didapatkan nilai rata-rata (sebelum 146 mg/dl dan sesudah 159 mg/dl) artinya rebusan wortel tidak ada pengaruhnya terhadap penurunan kadar kolesterol tikus putih, perlakuan dengan obat kolesterol uji statistik (sebelum 127 mg/dl dan sesudah 169 mg/ dl ) terjadi peningkatan kadar kolesterol. pengaruhnya terhadap penurunan kadar kolesterol secara nyata hanya terdapat satu ekor yang mengalami penurunan kolesterol pada tikus nomer 5 (164 mg/dl mejadi 117 mg/ dl). sedangkan 7 ekor lainnya mengalami peningkatan antara terendah 6 mg/dl dan tertinggi 54 mg/ dl, berdasarkan uji statistik perlakuan dengan rebusan wortel lebih efektif dalam menurunkan kadar kolesterol dibandingkan kontrol dengan obat (sivastatin), dengan nilai rata-rata perlakuan: 513 sedangkan kontrol : 4.43. saran perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan beberapa dosis untuk mengetahui dosis minimal wortel yang mampu menurunkan kadar kolesterol darah. daftar rujukan anonymous. 2004. carrot. http://en.wikipedia.org/wol.iki/ carrot. online diakses tanggal 6 mei 2015. astawan , m. 2008. kasiat warna warni makanan. jakarta: gramedia. biokimia harper edisi 25 robert k.murray; daryl k. granner; peter a.mayes and victor w.rodwel, 2003 egc. davenport, r., and dennis, m. 2000. neurological emergencies: acute stroke. fikri, f. 2009. bahaya kolesterol. pp:11;16-18. jogjakarta: kelompok penerbit ar-ruzz media. fikri. f. 2009. bahaya kolesterol. pp:11; 16-18. jogyakarta: kelompok penerbit ar-ruzz media. freeman, w.mason, & junge, christine. 2008. kolesterol rendah jantung sehat. jakarta: bhuana ilmu populer. nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan edisi 2. jakarta: penerbit salemba medika. nurwahyuni, a. 2006. efek kolesterol daun sambung nyawa terhadap kolesterol ldl. pantastico, e.b. 1989. fisiologi pasca panen, penanganan, pemanfaatan buah-buahan dan sayursayuran tropika dan subtropika. yogyakarta: ugm press. rukmana, r. 1995. bertanam wortel. yogyakarta: penerbit kanisius. saryono, 2010. kumpulan instrumen penelitian kesehatan. bantul: nuha medika. siswono. 2006. bahaya dari kolesterol tinggi. smeltzer, suzane, c. buku ajar keperawatan medikal– bedah, brunner & suddarth edisi 8 vol.2 jakarta. soeharto. 2004. penyaki t jantung koroner dan serangan jantung. p:73. jakarta: pt gramedia pustaka utama. swarjana, i ketut. 2012. metodologi penelitian kesehatan. yogyakarta: penerbit cv andi offset. unit penelitian dan pengabdian masyarakat. juli, 2007. panduan penulisan karyai lmiah sekolah tinggi ilmu kesehatan patria husada blitar. universitas negeri semarang linardi.1993. patofisiologi dan penatalaksanaan stroke. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 257wulandari, pengaruh yoga ... 257 pengaruh yoga terhadap nyeri sendi pada lansia di pslu blitar (the effectiveness of yoga to thejointpain of elderly in pslu blitar) ning arti wulandari program pendidikan ners stikes patria husada blitar email: ningarti83@g.mail.cam abstract: the aging process is a process of gradual disappearance of the network’s ability to repair itself and maintain its normal functions. some physical changes will occur on all systems, for example in the musculoskeletal system decreased fluid in the bone resulting in joint stiffness and joint pain. the management of joint pain with some nonpharmacological therapy one of them is yoga. the purpose of this study was to identify the effectiveness of yoga to the joint pain of elderly. method; this study design used pre and post test without control, with the number of sample 10 elderly people by purposive sampling. this research was conducted in elderly social services blitar 11 to 14 december 2016. the data collected by using the visual analog scale (vas). the results of this study before the elderly did yoga was 80% felt joint pain scale was after attending a yoga 50% of elderly felt mild pain, the results of statistical analysis with paired t test was p = 0.001 means that there was an effect on joint pain by yoga exercises. therefore, health employee could facilitate the elderly to follow yoga by bringing yoga instructors since yoga is considering not only reduces joint pain but also reduce stress and improve the energy balance. keywords: elderly, yoga, joint pain abstrak: penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya. beberapa perubahan fisik akan terjadi di semua sistem, misal pada sistem musculoskeletal terjadi penurunan cairan pada tulang sehingga terjadi kekakuan sendi dan nyeri sendi. penatalaksanaan nyeri sendi dengan beberapa terapi nonfarmakologi salah satunya adalah yoga. tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya pengaruh yoga dengan nyeri sendi pada lansia. metode; desain penelitian ini pre andpost test without control, dengan jumlah sample 10 lansia diambil secara purposive sampling. penelitian ini dilakukan di pelayanan sosial lanjut usia blitar 11-14 desember 2016, pengumpulan data dengan menggunakan visual analog scale (vas). hasil penelitian ini sebelum lansia mengikuti yoga 80% merasakan nyeri sendi dengan skala sedang setelah mengikuti yoga 50% lansia yang merasakan nyeri ringan, dari hasil analisa statistik dengan paired t test didapatkan p = 0,001 sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh senam yoga terhadap nyeri sendi. oleh sebab itu hendaknya pengelola panti dapat memfasilitasi lansia untuk mengikuti yoga dengan mendatangkan instruktur yoga, mengingat yoga tidak hanya menurunkan nyeri sendi tetapi juga mengurangi stress dan meningkatkan keseimbangan energi. kata kunci: lansia, yoga, nyeri sendi penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara per lahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang dideritanya, sehingga seiring dengan proses menua tersebut seseorang akan mudah mengalami penyakit degeneratif (maryam, 2008). seseorang yang telah mengalami penuaan disebut sebagai lansia (lanjut usia). berdasarkan undangacer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p257-261 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 258 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 257–261 undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejah teraan lanjut usia dalam infodatin (2016) mendefinisikan lansia sebagai seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. secara global populasi lansia akan mengalami peningkatan. populasi lansia di indonesia akan mengalami peningkatan lebih pesat dibandingkan negara lain setelah tahun 2100. beberapa perubahan fisik akan terjadi di semua sistem, pada sistem musculoskeletal terjadi penurunan cairan pada tulang sehingga terjadi kekakuan sendi dan penurunan fungsi gerak selain itu lansia juga akan merasakan nyeri sendi. nyeri sendi tidak hanya terjadi karena penurunan cairan pada tulang, namun juga dapat disebabkan karena osteoporosis dan perubahan postur tubuh. berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2007 mengatakan bahwa prevalensi nasional penyakit sendi adalah 30,3% dan diagnosis tenaga kesehatan adalah 14% (triatmaja, 2013). sedangkan berdasarkan hasil riskesdas (2013) prevalensi nyeri sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di indonesia sebanyak 11,9% dan berdasarkan gejala sebanyak 24,7%. prevalensi penyakit nyeri sendi di indonesia tertinggi berada di nusa tenggara timur sebanyak 33,1%, sedangkan di jawa timur 26,9%. hasil studi pendahuluan yang dilakukan di pslu (pelayanan sosial lanjut usia) blitar pada 1 sampai dengan 5 desember 2016di dapatkan keluhan yang paling banyak dirasakan oleh lansia adalah nyeri sendi (30%). nyeri sendi yang dirasakan oleh beberapa lansia tersebut. nyeri sendi yang dirasakan akan berakibat pada aktivitas fisiknya, hal ini didukung oleh hasil penelitian naharani dkk (2012) yang mengatakan bahwa ada hubungan pada aktivitas fisik dengan intensitas nyeri sendi pada lansia di panti wredha mojopahit kabupaten mojokerto. hasil seseorang dengan masalah keperawatan nyeri mempunyai karakteristik adanya perubahan aktivitas dan pola tidurnya yang berubah (herdman h, 2015). menurut mainer dan lueckenotte (2006) nyeri juga mengakibatkan depresi, cemas, menurunnya aktivitas sosial, gangguan tidur sampai kematian. sehingga nyeri yang dialami membutuhkan penanganan yang tepat supaya tidak mengganggu aktivitas maupun kebutuhan tidur lansia. nyeri dapat diatasi dengan farmakologi dan nonfarmakologi. beberapa terapi nonfarmakologi antara lain tehnik relaksasi, distraksi, kompres dingin dan panas, guided imagery, biofeedback, sentuhan terapeutik (massage), hipnosis, akupresure, yoga dan masih banyak lagi (naharani, dkk. (2012). yoga merupakansalah satu cara yang efektif dan aman untuk meningkatkan aktivitas fisik, selain manfaat psikologis yang penting karena sifat meditasi, termasuk untuk orang yang menderita nyeri sendi (ratnadita, a. 2011). yoga memiliki banyak manfaat antara lain; dapat meningkatkan imunitas tubuh, meningkatkan keseimbangan energi, meningkatkan daya ingat dan konsentrasi, membuat otot tubuh lebih lentur, menjadikan kondisi tubuh lebih baik, menguatkan tulang mengurangi kecemasan dan mengobati tubuh dari berbagai keluhan yang salah satunya adalah nyeri sendi. yoga mennggunakan 3 komponen yaitu konsentrasi (mind), gerak (body) dan nafas (soul) (wong ferry, 2011). sehingga tehnik yoga ini aman dilakukan oleh lansia yang mengami beberapa penurunan fisik akibat proses penuaan. berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengaplikasikan tehnik yoga untuk mengurangi nyeri sendi pada lansia di pslu blitar bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah pre and post test without control. yang membandingkan skala nyeri lansia sebelum dan sesudah mengikuti yoga. penelitian ini dilakukan mulai tanggal 11 sampai dengan 14 desember 2016 di pslu blitar. sampel dalam penelitian ini diambil secara purposive sampling dengan kriteria inklusi sebagai berikut (1) lansia dalam kondisi tidak sakit, (2) tidak mengalami gangguan kognitif dan (3) lansia yang tidak mengalami gangguan pendengaran. kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah jika lansia jatuh sakit selama proses pelaksanaan yoga dan lansia tidak mengikuti yoga secara penuh (sebanyak 3 kali) awalnya sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang mengalami nyeri sendi di pslu blitar dengan jumlah 16 lansia, namun diekslusikan 6 oleh peneliti karena tidak mengikuti yoga dengan penuh, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini tinggal 10 lansia pengumpulan data dilakukandenganmengukur skala nyeri lansia dengan menggunakan visual analog scale (vas) setelah itu lansia diberikan treatment yoga selama tiga kali dalam tiga hari berturut-turut dan kemudian dievaluasi kembali skala nyerinya dengan alat ukur yang sama. selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan paired-t test. jika p  0,05dapat disimpulkan bahwa ada perbedaansebelu dan sesudah diberikan perlakuan. 259wulandari, pengaruh yoga ... hasil penelitian hasil karakteristiklansia di pslu blitar sebanyak10 orang seperti di dalam tabel di bawah ini. tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan nyeri pada skala sedang (80%) sebelum mengikuti yoga. tabel 1. karakteristik lansia di pslu blitar karakteristikresponden f % usia 55-64tahun 65-69tahun >70tahun 1 4 5 10 40 50 jeniskelamin laki-laki perempuan 2 8 10 80 pendidikan tidak sekolah sd smp 4 4 2 40 31 20 riwayat pekerjaan wiraswasta petani tidak bekerja 1 4 5 10 40 50 lama merasakan nyeri sendi < 6bulan 7-12bulan >1tahun 5 1 4 50 10 40 konsumsi obat anti nyeri tidak pernah mengkonsumsi 1 0 100 aktivitas yang biasa di la kukan lansia menyapu dan mencuci baju 1 0 100 durasi tidur malam 7-8 jam < 7 jam 2 8 20 80 berdasarkan tabel 1 tersebut diatas 50% lansia berusia lebih dari 70 tahun menurut depkes ri usia tersebut tergolong lansia dengan resiko tinggi, 80% lansia berjenis kelamin perempuan. 40% lansia tidak sekolah dan 50% mereka mempunyai riwayat tidak bekerja. 50% dari lansia merasakan nyeri sendi yang tergolong akut karena kurang dari 6 bulan, namun mereka semua tidak pernah mengkonsumsi obat anti nyeri. lansia dalam penelitian ini semua hanya mengerjakan pekerjaan sederhana seperli menyapu ruangan mereka dan mencuci baju mereka sendiri, selain itu 80% lansia juga mempunyai durasi tidur malam kurang dari 7 jam. tabel 2. skala nyeri sendi lansia di pslu blitar skala nyeri f % ringan sedang 2 8 20 80 tabel 3. skala nyeri sendi lansia di pslu blitar sesudah mengikuti yoga kualitas hidup f % ringan sedang 5 5 50 50 tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian responden (50%) merasakan nyeri pada skala ringan dan sebagian (50%) merasakan nyeri sedang. tabel 4. perbandingan skala nyeri sendi lansia di pslu blitar sebelum dan sesudah mengikuti yoga wa ktu mengikuti yoga skala nyeri f % ring an sedang sebelum 2 8 10 100 sesudah 5 5 10 100 paired t test p = 0,01 tabel 4 berdasarkan hasil uji statistik dengan paired t test didapatkan p = 0,001, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nyeri sendi yang dirasakan oleh lansia sebelum dan sesudah mengikuti yoga. pembahasan nyeri sendi lansia di pslu blitar sebelum mengikuti yoga berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa 80% lansia merasakan nyeri sendi dengan skala sedang. nyeri sendi yang dirasakan oleh lansia merupakan suatu kondisi yang fisiologis karena sel-sel dalam tubuhnya sudah penurunan maka fungsinya organ juga mengalami penurunan (maryam, 2008). nyeri di dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor fisiologis, spiritual, psikologis dan budaya. faktor fisiologis yang mempengaruhi persepsi nyeri seseorang antara lain, usia, jenis kelamin, kelelahan, gen dan fungsi neurobiologi. berdasarkan hasil penelitian didapatkan 80% responden berjenis kelamin perempuan. menurut perry & potter (2009) jenis kelamin secara umum tidak dapat mempengaruhi seseorang dalam merespon nyeri. namun di indonesia setiap kali seorang anak laki-laki merasakan nyeri tabu untuk menangis, karena orang tua mereka telah menanamkan kepada anak-anak mereka menangis. 260 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 257–261 dari hasil penelitian didapatkan 50% lansia berusia lebih dari 70 tahun menurut depkes ri usia tersebut tergolong lansia dengan resiko tinggi (mubarok, 2008). sehingga membutuhkan perawatan yang lebih intensif. selain itu mereka juga membatasi aktivitas sehari-hari untuk mencegah respon nyeri bertambah, 100% dari lansia tersebut hanya mengerjakan pekerjaan ringan yaitu menyapu dan mencuci baju mereka sendiri. selain faktor fisiologis, pengalaman seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi respon nyeri yang dialami selanjutnya. seringkali individu yang berpengalaman dengan nyeri yang dialami sebelumnya, maka ia semakin takut dengan peristiwa tersebut, atau bahkan sebaliknya individu akan lebih mentoleransi nyeri yang dirasakannya. menurut perry & potter (2008) cara seeorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. dari 10 responden semuanya merasakan nyeri kurang dari 6 bulan, nyeri yang dirasakan oleh responden tersebut disebut sebagai nyeri akut. dalam waktu 6 bulan lansia dapat beradaptasi dengan nyeri karena 100% dari mereka tidak mengkonsumsi obat antinyeri. pengaruh yoga terhadap nyeri sendi lansia di pslu blitar berdasarkan hasil penelitian didapatkan 50% responden merasakan nyeri sedang setelah mengikuti yoga. dari 8 responden yang merasakan nyeri sedang sebelum mengikuti yoga 3 responden yang mengalami penurunan skala nyeri menjadi nyeri ringan. yoga merupakan salah satu cara yang efektif dan aman untuk meningkatkan aktivitas fisik, selain manfaat psikologis yang penting karena sifat meditasi, termasuk untuk orang yang menderita nyeri sendi (ratnadita, a. 2011). dalam yoga kita melibatkan 3 komponen antara lain konsentrasi, gerak dan nafas. yoga bukan hanya sekedar untuk berolah tubuh, yoga juga membantu mengolah pernafasan, gerak dan konsentrasi. yoga dapat melatih semua organ tubuh dan menyentuh aspek tubuh, pikiran dan spirit. yoga sangat bermanfaat untuk relaksasi (wong ferry, 2011). bebera pa hal yang da pat mempengaruhi keberhasilan yoga adalah kemampuan memahami perintah gerak dan konsentrasi lansia. dalam wong ferry (2011) seorang ahli neuropati pernah mengatakan bahwa 70% penyakit berasal dari pikiran, oleh karena itu yoga membantu menyehatkan tubuh lewat pikiran. dalam yoga konsentrasi di sebut cakra, secara fisik cakra berada di semua organ tubuh. berdasarkan hasil penelitian 5 lansia yang tidak mengalami penurunan skala nyeri yang dirasakan dimungkinkan karena kurang dapat berkonsentrasi, sehingga yoga yang dilakukan tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menurunnya nyeri yang dirasakan. simpulan dan saran simpulan ada pengaruh yoga terhadap skala nyeri yang dirasakan lansia di pslu blitar. saran berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan pengelola panti dapat memfasilitasi lansia untuk mengikuti yoga dengan mendatangkan instruktur yoga, mengingat yoga tidak hanya menurunkan nyeri sendi tetapi juga mengurangi stress dan meningkatkan keseimbangan energi. daftar rujukan herdman, h. 2015. diagnosa keperawatan definisi dan klasifikasi nanda 2015-2017. jakarta: egc. infodatin.2016. situasi lanjut usia di indonesia. www. depkes.go.id/download.php?file=download/.../ infodatin%20lansia%202016 maryam, dkk. 2008. mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta: salemba medika. meiner and lueckenotte. 2006. gerontologic nursing 3 edition. philadephia: mosby. mubarok, dkk. 2006. ilmu keperawatan komunitas 2 teori dan aplikasi dalam praktik. jakarta: cv seto agung. naharani. 2012. hubungan pada aktivitas fisik dengan intensitas nyeri sendi pada lansia di panti wredha mojopahit kabupaten mojokerto. skripsi. stikes pemkab jombang. potter, patricia, a., & perry, anne, g. 2009. fundamental keperawatan. salemba medika. jakarta. rahmawati, dkk. 2013. nyeri musculoskeletal dan hubungannya dengan kemampuan fungsional fisik pada lanjut usia http://www.univmed.org/ wpcontent/uploads/2011/02/atik.pdf ratnadita, a. 2011. yoga untuk penderita radang sendi. http://health.detik.com /read/2011/09/29/083501/ 1732849/766/yoga-untuk-penderita-radang-sendi, diperoleh 25 april 2015 riskesdas. 2013. hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 http://www.depkes.go.id/resourceian s/download/general/hasil%20riskesdas%202013.pdf 261wulandari, pengaruh yoga ... triatmaja, dkk. 2013. asupan kalsium, status gizi, te kanan darah dan hubunganny a dengan keluhan sendi lansia di panti werdha bandung. http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/viewile/7247/5661 wong, fery. 2011. acu yoga. jakarta: penebar plus. 168 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 168–173 168 hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri dalam menghadapi nyeri haid (dysmenorhea) di sdi al akbar bangsal mojokerto (the correlation of knowledge and the attitude of girl in facing dysmennorea in sd islam al-akbar bangsal at mojokerto) abstract: dysmenorea is menstrual pain that occured in girls. in indonesia, the number of primarydysmenorea happen in 54,89% and the others are the type of patients facing menstrual pain. the design of the study was analytic. the independent variable was knowledge and the dependent variablewas the manner. the population was 35 students. the sampling technique used total sampling. the data observed and analyzed by chi square. the result of this study showed that good knowledge category was 51% and most of the respondent had positive manner in facing menstrual pain. statical test used chi square test gets the result sig (2 talled)(0,026), so h1 accepted, if sig (2-tailed) <á so, based on chi square test showed us that h1 was accepted, it means the correlation between knowlwdge and the manner of girls in facing menstrual pain. we hope the health workers more actively in giving education about menstrual pain. keywords: knowledge, pain, menstrual pain abstrak: dysmenorhea adalah nyeri haid yang sering dialami oleh perempuan, di indonesia angka kejadian dismenorea primer sebesar 54,89% sedangkan sisanya adalah penderita tipe sekunder. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dengan sikap remaja putrid dalam menghadapi nyeri haid. jenis penelitian yang digunakan adalah analitik.variabel independent adalah pengetahuan dan dependent adalah sikap. populasi berjumlah 35 orang, pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisa dengan uji chi square. hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik (51%), sebagian besar responden memiliki sikap positif dalam menghadapi nyeri haid.uji statistic dengan menggunakan chi square test didapatkan hasil sig. (2 tailed) (0,026) sehingga h1 diterima jika sig. (2-tailed) < á. jadi berdasarkan hasil uji statistik tersebut h1 diterima artinya ada hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putrid dalam menghadapi nyeri haid. peran serta tenaga kesehatan sangat diharapkan dalam memberikan edukasi tentang permasalahan haid. kata kunci: pengetahuan, sikap, nyeri haid mentruasi adalah bentuk perubahan yang dialami setiap bulan oleh remaja putri yang dimulai sejak sekitar usia 10 tahun. secara periodik, seorang wanita normal akan mengalami peristiwa reproduksi, yaitu menstruasi. menstruasi adalah meluruhnya jaringan endometrium karena tidak adanya telur yang matang yang dibuahi oleh sperma. peristiwa itu begitu wajar, sehingga dapat dipastikan bahwa semua wanita yang normal pasti akan mengalami proses itu. walaupun begitu, pada kenyataannya banyak wanita yang mengalami masalah dengan menstruasi, salah satunya adalah nyeri haid (dysmenorhea). namun tidak semua remaja putri mengetahui tentang nyeri haid dan solusinya. ketidaktahuan mereka mengenai apa yang terjadi pada dirinya dan mengapa hal itu terjadi dapat menimbulkan rasa farida yuliani poltekkes majapahit mojokerto email: farida_yuliani80@yahoo.co.id acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p168-173 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 169yuliani, hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri... cemas dan takut. mereka akan bertanya-tanya apakah perubahan itu merupakan suatu hal yang normal, sehingga kesemuanya ini bisa menimbulkan konflik diri (okanegara, 2008). di indonesia angka kejadian dismenorea primer sebesar 54,89% sedangkan sisanya adalah penderita tipe sekunder (sitorus, 2010). menurut survei yang dilakukan ayurai (2009) di sma negeri 3 sidoarjo, didapatkan bahwa sebesar 90% siswi mengalami dismenorea dan sebanyak 70% siswi mengalami kecemasan. hal ini disebabkan oleh salah satu faktornya yaitu kurangnya pengetahuan remaja tersebut tentang dismenorea (ayurai, 2009). studi pendahuluan dari beberapa siswa dengan cara wawancara tidak terstruktur mereka menyatakan belum mengetahui secara benar bagaimana mengatasi nyeri haid. pengetahuan tentang dismenore pada remaja dianggap penting sehingga mereka dapat mengetahui dan dapat menyikapi dismenore dengan baik, sehingga dapat mencari jalan keluar yang terbaik dan tidak mengganggu aktivitas seharihari. (sitorus, 2010). untuk mengantisipasi nyeri haid primer, ada beberapa terapi yang dapat dilakukan, antara lain obat penghilang nyeri, seperti ibuprofen, ketoprofen dan naproxen, kompres dengan botol air panas, mandi air hangat juga dapat mengurangi rasa sakit, dan tentu saja menjalani pola hidup sehat dan berolah raga secara teratur. sedangkan pada nyeri haid sekunder ditangani dengan mengidentifikasi dan mengobati sebab dasarnya. (proverawati dan maisaroh, 2009: 89). remaja putri yang masih memiliki pengetahuan kurang dan sikap negatif tentang nyeri haid dapat ditangani dengan memberikan penyuluhan kesehatan tentang nyeri haid, sehingga mereka mengetahui dan akhirnya dapat menyikapi secara positif penanganan nyeri haid yang mungkin dialaminya. berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang “hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri dalam menghadapi nyeri haid (dysmenorhea) di sdi al akbar bangsal mojokerto.” bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah analitik. variabel independent dalam penelitian ini adalah pengetahuan remaja tentang nyeri haid dan variabel dependent nya adalah sikap remaja dalam menghadapi nyeri haid. populasi berjumlah 35 orang, pengambilan sampel dilakukan secara total sampling. berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik tentang nyeri haid (51%) data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan uji chi square, ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi. hasil penelitian tabel 1 karakteristik responden berdasarkan umur no umur f % 1. 10 tahun 0 0 2. 11 tahun 26 74,3 3. 12 tahun 9 25,7 jumlah 35 100 berdasarkan tabel 1 diketahui sebagian besar responden berumur 11 tahun (74,3%) tabel 2 karakteristik responden berdasarkan sumber informasi sumber informasi f % belum pernah 9 25,7 teman/saudara 26 74,3 jumlah 35 100 berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar responden mendapat informasi dari teman/ saudara (74,3%). tabel 3 karakteristik responden berdasarkan pengetahuan tentang nyeri haid no pengetahuan f % 1. baik 18 51 2. kurang 17 49 jumlah 35 100 tabel 4 karakteristik responden berdasarkan sikap dalam menghadapi nyeri haid no sikap f % 1. positif 26 74,2 2. negatif 9 25,8 jumlah 35 100 berdasarkan tabel 4 diketahui sebagian besar responden memiliki sikap positif dalam menghadapi nyeri haid 170 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 168–173 berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil memiliki sikap negatif sebanyak 6 responden (17,1%), responden yang memiliki pengetahuan baik, hamper setengahnya memiliki sikap positif sebanyak 12 responden (34,3%), responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil memiliki sikap positif sebanyak 4 responden (11,4%); dan responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil memiliki sikap negatif sebanyak 13 responden (37,1%) berdasarkan uji statistic dengan menggunakan chi square test didapatkan hasil sig. (2 tailed) (0,026). ketentuan yang digunakan adalah h1 diterima jika sig. (2-tailed) < . jadi berdasarkan hasil uji statistik tersebut h1 diterima artinya ada hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putrid dalam menghadapi nyeri haid (dysmenorhea) di sdi al akbar bangsal mojokerto. pembahasan pengetahuanremajatentangnyerihaid berdasarkan tabel 3 sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik. pengetahuan yang baik ini tercermin dari dari jawaban responden tentang definisi dan cara mengatasi keluhan yang dirasakan. kurangnya pengetahuan responden tentang nyeri haid (dysmenorhea) tercermin dalam rendahnya skor responden pada pernyataan tentang pengertian nyeri haid khususnya nyeri haid tidak hanya terjadi pada saat menstruasi saja; gejala dan tanda nyeri haid, khususnya nyeri haid bisa menjalar ke punggung bagian bawah dan tungkai dan nyeri haid juga sering disertai oleh sakit kepala. nyeri menstruasi atau dismenorea yakni nyeri menstruasi yang memaksa wanita untuk istirahat atau berakibat pada menurunnya kinerja dan berkurangnya aktifitas sehari-hari. istilah dismenorea (dysmenorhea) berasal dari bahasa greek yaitu dys (gangguan atau nyeri hebat atau abnormalitas), meno (bulan), dan rhea (flow atau aliran). dismenorea adalah nyeri pada daerah panggul akibat menstruasi dan produksi zat prostaglandin. seringkali dimulai segera setelah mengalami menstruasi pertama (menarche) (proverawati dan misaroh, 2009: 83). dismenorea merupakan gangguan yang berkenaan dengan masa haid berupa rasa nyeri saat menstruasi. perasaan nyeri pada waktu haid dapat berupa kram ringan pada bagian kemaluan sampai terjadi gangguan dalam tugas sehari-hari (manuaba, 2009: 59). menurut proverawati dan misaroh (2009: 87), salah satu ciri-ciri dismenorea primer adalah rasa nyeri timbul sebelum menstruasi atau di awal menstruasi. berlangsung beberapa jam, namun adakalanya beberapa hari. datangnya nyeri hilang timbul, menusuk-nusuk. pada umumnya di perut bagian bawah, kadang menyebar ke sekitarnya (pinggang, paha depan). adakalanya disertai mual, muntah, sakit kepala, diare. tahu (know) (c1) merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan (sunaryo, 2004: 25). beda tipis antara jumlah responden yang memiliki pengetahuan baik dan tidak baik, hal ini dikarenakan sebagian besar responden belum pernah mendapatkan informasi mengenai disminorea. usia sebagian besar responden menunjukkan usia ya ng ba r u sa ja menga la mi menstr ua si (menarche), sehingga pengalaman dalam masalah mengetahui hingga mengenali cara menangani nyeri haid masih belum terlalu mengetahui. terlebih lagi pada masa ini, merupakan awal perubahan hormonal yang mempengaruhi seluruh fungsi tubuh, sehingga responden masih banyak yang bertanya-tanya yang dapat menimbulkan kecemasan akibat kurangnya pengetahuan tentang berbagai fungsi tubuh yang mengalami perubahan berdasarkan wawancara dengan responden guru sekolah hanya memberikan sekilas mengenai menstruasi tanpa dijelaskan keluhan seputar menstruasi dan cara mengatasinya. berbagai kendala diantaranya adalah ketidaktahuan dan anggapan di sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan seks adalah tabu. selain itu semakin majunya teknologi dan membaiknya sarana komunikasi mengakibatkan membanjirnya arus informasi dari luar yang sulit sekali diseleksi. f % f % f % baik 12 34,3 6 17,1 18 51,4 kurang 4 11,4 13 37,1 17 48,6 total 16 45,7 19 54,2 35 100 tabel 5 karakteristik responden berdasarkan pendapatan pengetahuan sikap total positif negatif 171yuliani, hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri... informasi yang diharapkan dapat memberikan arahan pada responden untuk mengetahui lebih baik akan nyeri haid lebih banyak didapatkan dari teman/ saudara bukan dari sumber terpercaya, seperti tenaga kesehatan atau orang tua. hal ini disebabkan karena orang tua seringkali menganggap tabu membicarakan masalah yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. selain itu, remaja sendiri biasanya lebih dekat dengan lingkungan sosialnya daripada dengan lingkungan keluarga. padahal informasi yang didapat darit eman/saudara belum tentu memberikan informasi yang benar. kurang baiknya sumber informasi yang diperoleh menyebabkan remaja kurang mengetahui tentang nyeri haid yang benar. sikap remaja dalam menghadapi nyeri haid berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa hampir setengahnya responden berusia >30 tahun (47,8%). usia adalah umur yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat ia akan berulang tahun. semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya. hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan dan pada aspek fisik dan psikologis (mental). pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan pertama, perubahan ukuran, kedua, perubahan proporsi, ketiga, hilangnya ciri-ciri lama, keempat, timbulnya ciri-ciri baru. ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. pada aspek psikologis atau mental taraf berpikir semakin matang dan dewasa. usia adalah telah lama diketahui bahwa umur sangat berpengaruh terhadap proses reproduksi, umur dianggap optimal untuk reproduksi antara 20–35 tahun. semakin tua atau dewasa seseorang atau mempresepsikan dirinya lebih muda terkena atau rentan terhadap kesakitan atau sakit dibandingkan dengan yang lebih muda usianya, sehingga dapat menjadi pendorong untuk terjadinya prilaku pencegahan. survey wanita indonesia yaitu umur < 20 tahun, 20–35 tahun, dan > 35 tahun (dacosta, 2012). berdasarkan tabel 4 tentang sikap remaja putrid dalam menghadapi nyeri haid (dysmenorhea) menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki sikap positif dalam menghadapi nyeri haid (dysmenorhea) sebanyak 26 responden (74,2%). sikap responden yang positif tampak pada skor hasil penelitian tentang penyebab nyeri haid, khususnya tentang pengobatan akan dapat menurunkan nyeri haid dan kram di perut adalah penyebab nyeri haid serta tentang faktor risiko nyeri haid, khususnya bahwa wanita yang mudah mengalami stress lebih sering mengalami nyeri haid. dismenorea merupakan gangguan yang berkenaan dengan masa haid berupa rasa nyeri saat menstruasi. perasaan nyeri pada waktu haid dapat berupa kram ringan pada bagian perut dan kemaluan sampai terjadi gangguan dalam tugas sehari-hari (manuaba, 2009: 59). menurut manuaba (2008: 289), tanpa memandang penyebabnya, untuk sementara waktu dapat diberikan analgesik (antalgin, novalgin dan sebagainya). kadang-kadang dengan pengobatan sederhana, dismenorea sudah dapat diatasi. tetapi dalam hal tertentu dismenorea bukanlah masalah ringan tetapi memerlukan tindakan yang bersifat spesialistis. menurut proverawati dan misaroh (2009: 87), penyebab pasti disminore primer hingga kini belum diketahui secara pasti (idiopatik), namun beberapa faktor yang mendukung sebagai pemicu terjadinya nyeri menstruasi, salah satunya stres. remaja dan ibu-ibu yang emosinya tidak stabil lebih mudah mengalami nyeri menstruasi. menurut medicastore (2010), wanita yang mempunyai resiko menderita disminore primer salah satunya adalah yang menderita stres. stres menimbulkan penekanan sensasi saraf-saraf pinggul dan otot-otot punggung bawah sehingga menyebabkan disminore. remaja memiliki karakteristik social sebagai individu yang sangat mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar, dalam hal ini adalah teman/saudara. remaja juga senang berkelompok dan memiliki aturan dalam kelompok-kelompok remaja yang akhirnya mempengaruhi pola komunikasi diantara mereka, danapa yang menjadi norma kelompok juga menjadi norma pribadi. jika kelompoknya menganggap nyeri haid sebagai suatu hal yang biasa dan perlu disikapi secara positif dengan berusaha mengambil langkah untuk penanganannya, maka dimungkinkan seorang remaja juga beranggapan hal yang sama. hal inilah yang menyebabkan remaja memiliki sikap positif tentang nyeri haid. hubunganpengetahuandengansikap remaja putri dalam menghadapi nyeri haid (dysmenorhea) berdasarkan tabel 5 tentang hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri dalam menghadapi 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 168–173 nyeri haid (dysmenorhea) di smpn 1 mojoanyar mojokerto menunjukkan responden yang memiliki pengetahuan baik, sebagian kecil memiliki sikap negatif sebanyak 6 responden (17,1%), responden ya ng memiliki pengeta hua n ba ik, ha mpir setengahnya memiliki sikap positif sebanyak 12 responden (34,3%), responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil memiliki sikap positif sebanyak 4 responden (11,4%); dan responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian kecil memiliki sikap negatif sebanyak 13 responden (37,1%). berdasarkanujistatistikdengan menggunakan chi square test didapatkan hasil sig. (2 tailed) (0,026). ketentuan yang digunakan adalah h1 diterima jika sig. (2-tailed) < . jadi berdasarkan hasil uji statistik tersebut h1 diterima artinya ada hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri dalam menghadapi nyeri haid (dysmenorhea) di sdi al akbar bangsal mojokerto. mann (1969) dalam menjelaskan bahwa salah satu komponen sikap adalah komponen kognitif yang berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu tentang sesuatu. sekali kepercayaan terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tertentu (azwar, 2008: 24-25). pengetahuan dan sikap merupakan faktor predisposisi bagi terbentuknya perilaku (notoatmodjo, 2007: 147). katz (walgito, 2003: 53–54) menyebutkan salah satu fungsi sikap, yaitu fungsi pengetahuan yang menunjukkan keinginan individu untuk mengekspresikan rasa ingin tahunya, mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. pengetahuan tentang dismenore pada remaja dianggap penting sehingga mereka dapat mengetahui dan dapat menyikapi dismenore dengan baik, sehingga dapat mencari jalan keluar yang terbaik dan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. sebab biasanya bila siswa mengalami dismenorea menyebabkannya tidak hadir atau izin pulang karena nyeri haid tersebut (sitorus, 2010). umur yang masih sangat muda dan sumber informasi yang terbatas tidak membuat remaja bersikap negatif, justru sebagian besar bersikap positif tentang disminorea yang bisa jadi karena mereka juga mengalami dan berusaha mengatasi masalah tersebut dengan terbuka dan berfikir positifdisamping pengetahuan remaja merupakan dasar bagi pembentukan perilaku, sedangkan sikap juga merupakan faktor predisposisi bagi pembentukan perilaku. sehingga antara konsep pengetahuan dan konsep sikap memiliki arah yang sama yaitu sama-sama merupakan pra syarat bagi terjadinya perilaku. hal inilah yang membuat pengetahuan dan sikap tentang nyeri haid (dysmenorhea) berhubungan. pengetahuan yang baiktentang nyeri haid akan membuat remaja putri bersikap positif dengan menyadari dan berusaha mengetahui tentang penanganan nyeri haid agar tidak terjadi dampak negatif seperti sering tidak masuk sekolah, tidak ikut dalam kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya. niven (2002: 42) berpendapat pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor-faktor: pengkondisian instrumen, model dan pengalaman langsung. pengkondisian instrumen memiliki kata kunci untuk menjelaskan proses ini adalah imbalan. misalnya, anak yang bersikap baik akan memperoleh hadiah dari orang tuanya dan demikian pula sebaliknya. model memiliki kata kunci dari proses ini adalah meniru. pembentukan model atau belajar dengan observasi adalah proses pembentukan sikap yang paling efektif. pengalaman langsung merupakan pengalaman langsung dari suatu objek atau dirinya sendiri. sikap yang didapatkan dari pengalaman langsung akan lebih kuat dan sulit untuk dilupakan dibanding sikap yang dibentuk dari pengalaman orang lain. simpulan dan saran simpulan pengetahuan tentang nyeri haid (dysmenorhea) sangat penting diberikan kepada setiap remaja secara kontinu, agar remaja memiliki pengetahuan yang baik tentang menstruasi dan keluhan yang dihadapi saran institusi pelayanan dan tenaga kesehatan dapat merencanakan program rutin pemberian informasi dengan materi menstruasi baik kepada orang tua maupun responden. bagi institusi pendidikan yang menjadi lokasi penelitian disarankan untuk memberikan informasi pada remaja putri tentang penatalaksanaan nyeri haid. daftar rujukan azwar, syaifudin. 2008. sikap manusia, teori dan pengukurannya. edisi 2. cetakan xii. jakarta: pustaka pelajar. 173yuliani, hubungan pengetahuan dengan sikap remaja putri... manuaba, ida ayu chandranita, dkk. 2008. gawat darurat obstetri ginekologi dan obstetri ginekologi sosial untuk profesi bidan. jakarta: egc niven, neil. 2002. psikologi kesehatan. jakarta: egc notoatmodjo, soekidjo. 2007). metodologi penelitian kesehatan. jakarta: pt. rineka cipta okanegara. 2008. remaja dan perubahan biopsikososial proverawati, atikah dan siti misaroh. 2009. menarche, menstruasi pertama penuh arti. yogyakarta: nuha medika sitorus, sony bernike magdalena. 2010. dismenorea. sunaryo. 2004. psikologi untuk keperawatan. jak arta: egc. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 154–158 154 hubungan peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pasien infark miokard akut (the correlation of nursing role as educator and mobilization obedience of patients with infarct miocard accute) anis nurani stikes patria husada blitar email: anisnurani13@gmail.com abstract: the mobilization obedience of patients with ima was an intention and patient ability to mobilize early, continue, step by step, individual depend on their condition, to get optimal of physical function, mental and social. this behavior emerged because there was an interaction between health employees and patient, so patient will know the plan, consistence and agree for that. this research was aimed to know relation of nursing role as educator with obedience of mobile to patient’s ima. design used in this study was cross sectional. the data analyzed with chi square’s analyze. the population was all of patients with ima. the sample was 14 respondents, taken by total sampling. this research was done in wijaya kusuma’s room, ngudi waluyo hospital at november 2014. the independent variable was nursing role as educator and dependent variable was mobilization obedience of patients with ima. the data collection used questionnaire. result of this research showed that there was correlation of nursing role as educator and mobilization obedience of patients with ima with value of 2 = 4,381 and significance level = 0,036. conclusion of this research was good nursing role as educator would determine a better mobilization obedience of patients with ima. keywords: nursing role as educator, obedience, mobile to patient’s ima abstrak: mobilisasi ketaatan pasien dengan ima adalah niat dan kemampuan pasien untuk memobilisasi awal, terus, langkah demi langkah, masing-masing tergantung pada kondisi mereka, untuk mendapatkan optimal fungsi fisik, mental dan sosial. perilaku ini muncul karena ada interaksi antara karyawan kesehatan dan pasien, sehingga pasien akan tahu rencana, konsistensi dan setuju untuk itu. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran keperawatan sebagai pendidik dengan ketaatan mobile untuk pasien ima. desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. data dianalisis dengan chi square menganalisis. populasi adalah semua pasien dengan ima. sampel adalah 14 responden, diambil secara total sampling. penelitian ini dilakukan di ruang wijaya kusuma, rumah sakit ngudi waluyo di november 2014. variabel bebas menyusui peran sebagai pendidik dan variabel dependen adalah mobilisasi ketaatan pasien dengan ima. pengumpulan data menggunakan kuesioner. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi peran keperawatan sebagai pendidik dan mobilisasi kepatuhan pasien dengan ima dengan nilai 2 = 4.381 dan tingkat signifikansi = 0,036. kesimpulan dari penelitian ini adalah peran keperawatan baik sebagai pendidik akan menentukan ketaatan mobilisasi yang lebih baik dari pasien dengan ima. kata kunci: peran keperawatan sebagai pendidik, ketaatan, mobile untuk pasien ima infark miokard akut (ima) merupakan kematian sel-sel miokard secara akut akibat kurangnya aliran darah yang teroksigenasi di dalam arteri koroner akibat plak. dikenal sebagai serangan jantung (idam, 2007). akibat kekurangan oksigen dan darah akan merusak otot jantung, sehingga mengubah metabolisme yang bersifat aerob menjadi anaerob. metabolisme anaerob mengakibatkan penurunan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p154-158 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 155nurani, hubungan peran perawat ... stroke volume, heart rate, dan tekanan darah (idam, 2007). di amerika serikat dilaporkan bahwa lebih dari satu juta orang mengalami ima setiap tahunnya, dan setengahnya mengalami kematian pada jamjam pertama setelah serangan (idam, 2007). hasil survei kesehatan rumah tangga nasional (skrtn) dalam 10 tahun terakhir, penyebab kematian tertinggi di indonesia adalah penyakit jantung, mencapai angka 53,3 per 100.000 penduduk. angka tersebut cenderung mengalami peningkatan, tingginya angka tersebut mengakibatkan penyakit jantung sebagai penyebab kematian nomor satu (purnawan, i., 2007). data dari ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi didapatkan jumlah pasien gangguan sistem kardiovaskular pada tahun 2012 sebanyak 297 orang (kasus ima: 118 orang, penderita yang meninggal 23 orang (19,5%)). tahun 2013 meningkat sebanyak 305 orang (kasus ima: 132 orang, penderita yang meninggal 28 orang (21,2%)). bulan januari sampai dengan agustus 2014 masih tinggi sebanyak 309 orang (kasus ima: 97 orang, penderita yang meninggal 21 orang (21,6%), kasus serangan ulang 40 orang (41,24%)). sehingga menempatkan kasus ima pada posisi kedua penyebab kematian setelah cva (cerebro vaskular accident). penatalaksanaan untuk mengurangi angka kematian penyakit akut miocard infark diantaranya adalah mengurangi beban kerja jantung, meningkatkan curah dan kontraktilitas jantung, dengan cara melakukan mobilisasi dini (setelah bedrest 12 jam). selain itu mobilisasi juga diperlukan untuk mencegah dan membatasi kecemasan/depresi, mencegah trombo emboli, menurunkan angka morbiditas, serta memper ba iki fungsiona l ka r diva skuler da n mengurangi tingkat kekambuhan pada pasien ima (tedjasukmana, 2010). apabila pasien tidak segera melaksanakan mobilisasi dini, akan berdampak pada penurunan curah jantung, meningkatkan kecemasan sehingga memicu timbulnya serangan ulang. hal ini sesuai dengan penelitian mertha (2010) yang menyatakan bahwa latihan aktivitas yang terprogram selama pasien di rumah sakit sangat bermanfaat untuk meningkatkan fungsi jantung secara optimal, mengurangi masalah psikologis seperti kecemasan dan meningkatkan keyakinan diri pasien. mobilisasi pasien ima terdiri dari empat tahap yaitu tahap i selama pasien dirawat di rumah sakit. tahap ini difokuskan pada mobilisasi dan pendidikan kesehatan. tingkat kekambuhan pada pasien ima dapat berkurang dengan adanya edukasi untuk pasien ima yang dilakukan pada tahap i, karena akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan perawatan termasuk mobilisasi dan menjadi tolok ukur bagi pasien untuk dapat melangkah ke tahap berikutnya (tedjasukmana, 2010). sehingga perawat dituntut melaksanakan peran edukator pada tahap ini. tahap ii segera setelah pasien keluar dari rumah sakit yang dilakukan dalam pengawasan tim rehabilitasi, tahap iii segera setelah tahap ii masih dalam pengawasan, dan tahap iv merupakan tahap pemeliharaan jangka panjang tanpa memerlukan supervisi (tedjasukmana, 2010). berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti kepada 5 pasien yang menderita infark miokard akut (ima) di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi, menunjukkan bahwa 3 orang patuh dalam melakukan mobilisasi dan 2 orang lainnya tidak patuh. ketidakpatuhan pasien disebabkan kurang mengerti kapan harus memulai mobilisasi dan khawatir apabila timbul serangan ulang. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh warsini (2011) menunjukkan bahwa ketidakpatuhan pasien pjk (penyakit jantung koroner) dalam melaksanakan mobilisasi relatif tinggi yaitu 31 kasus (49,2%) dari 63 kasus yang ada di rs sanglah denpasar. disebutkan bahwa ketidakpatuhan pasien karena belum memahami tentang tahapan aktifitas yang seharusnya dilakukan serta tujuan dilakukannya aktifitas tersebut. oleh karena itu sebagai bagian dari pelayanan kesehatan, keperawatan dituntut untuk selalu meningkatkan mutu dan profesionalisme dalam menjalankan peran dan fungsinya secara tepat dan benar, terutama peran perawat sebagai edukator. sejalan dengan adanya pemikiran dan fenomena di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang hubungan peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pada pasien infark miokard akut di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi. tujuan umumnya adalah mempelajari hubungan peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pada pasien infark miokard akut di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi peran perawat sebagai edukator pada pasien infark miokard akut, (2) mengidentifikasi kepatuhan mobilisasi pada pasien infark miokard akut, (3) menganalisis hubungan peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pada pasien infark miokard akut. 156 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 154–158 manfaat teoritis hasil penelitian ini menambah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu keperawatan dasar, dan wawasan dalam peran perawat sebagai pendidik/edukator. manfaat praktis dalam penelitian ini adalah menambah pengetahuan bagi perawat agar melaksanakan peran edukator bagi pasien ima dimulai pada tahap i. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional yaitu penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran data variable independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat, sehingga tidak ada follow up. sampel penelitian adalah total responden, yaitu semua pasien ima yang dirawat di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi. variabel independen pada penelitian ini adalah peran perawat sebagai edukator, sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah kepatuhan pasien ima terhadap mobilisasi. untuk mengetahui derajat hubungan antara variabel independen dan variable dependen, digunakan uji chi square yaitu uji statistik dari aplikasi spss. hasil penelitian data umum karakteristik pasien ima di ruang icu rsud ngudi waluyo wlingi peran perawat sebagai educator tabel 1. karakteristik pasien ima di ruang icu rsud ngudi waluyo wlingi no karakteristik jumlah prosentase (%) 1 umur <40 tahun 41-55 tahun >55 tahun 0 6 8 0 42,8 6 57,1 4 2 pendidikan sd smp sma sarjana 5 4 4 1 35,7 1 28,5 7 28,5 7 7,14 3 pekerjaan pelajar/ mahasiswa pn s/tni/polri/ swasta petani pensiunan lainnya : irt 0 2 5 3 4 0 14,2 9 35,7 1 21,4 3 28,5 7 4 pengalaman dirawat sakit jantung selain sakit jantung belum pernah 6 3 5 42,8 6 21,4 3 35,7 1 tabel 2. peran perawat sebagai educator no peran pera wat sebagai edukat or jumlah prosentase (%) 1 dilaksanakan 9 64,29 2 tidak dilaksanakan 5 35,71 total 14 100 kepatuhan pasien ima terhadap mobilisasi tabel 3. kepatuhan pasien ima terhadap mobilisasi no mobilisasi pasien ima jumlah prosentase (%) 1 patuh 8 57,14 2 tidak patuh 6 42,86 total 14 100 pembahasan peran perawat sebagai edukator terlaksananya peran perawat sebagai edukator di ruang wijaya kusuma ini dimungkinkan karena pendidikan 4 orang perawat adalah s1 dan 11 lainnya berpendidikan d3. dari jumlah perawat yang ada, 6 orang (40%) telah mengikuti pelatihan icu/iccu. sedangkan dari pengalaman bekerja di ruang wijaya kusuma, 5 orang telah bekerja > 5 tahun, dan 10 orang lainnya bekerja 1-5 tahun. dengan pendidikan yang dimiliki dan pelatihan yang telah diikuti, tentu akan menambah pengetahuan seorang perawat sehingga mereka lebih siap dalam memberikan edukasi pada pasien dan keluarganya. sedangkan 5 orang (35,71%) perawat yang tidak melaksanakan peran edukatornya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kesiapan dalam memberikan pengajaran seperti tersedianya sop dan sak (bastable, 2002). kepatuhan mobilisasi pasien ima berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, dapat diketahui bahwa 8 orang (57,14%) patuh dalam melakukan mobilisasi. karakteristik yang mendukung pasien untuk patuh dalam melakukan mobilisasi antara lain sebagian besar berpendidikan minimal smp yaitu 9 orang (64,29%), jenis kelamin laki-laki 9 orang (64,29%), 8 orang (57,14%) berusia > 55 tahun, 5 orang (35,71%) bekerja sebagai petani, dan dari segi pengalaman responden sebagian besar yaitu 6 orang (42,86%) pernah dirawat karena sakit jantung. hasil penelitian wijayanti (2013) di ruang icu rsud ungar an dida pa tka n bahwa a da hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap 157nurani, hubungan peran perawat ... pasien terhadap perilaku mobilisasi dini pada pasien ima (pvalue = 0,031). pasien ima yang berpendidikan lebih tinggi, tentu lebih mudah menerima informasi daripada yang berpendidikan rendah. semakin banyak informasi yang didapat oleh pasien tentu menambah pengetahuan yang dimilikinya. sehingga dengan pengetahuan yang dimiliki, maka pasien lebih patuh dalam melakukan mobilisasi sesuai anjuran. selain itu sebagian besar pasien pernah dirawat karena sakit jantung. dengan pengalaman yang dimiliki, maka sesorang pasien akan lebih mematuhi anjuran untuk mobilisasi yang diberikan, karena mengetahui resiko yang akan terjadi apabila tidak melakukannya. dari hasil wawancara dengan sejumlah responden, diketahui bahwa mereka mematuhi anjuran yang diberikan perawat/dokter, karena mereka berharap cepat sembuh dan bisa beraktivitas seperti sediakala. dari data kuesioner diketahui bahwa 5 responden (35,71%) berpendidikan sd. semakin tinggi pendidikan responden maka semakin mudah ia memahami setiap instruksi yang diberikan. selain itu rata-rata responden dirawat selama 2 hari, sehingga interaksi dengan petugas/perawat dalam memberikan edukasi juga masih minimal. pemahaman ya ng kura ng dan interaksi yang minimal ini berdampak pada ketidakpatuhan pasien dalam melaksanakan mobilisasi sesuai anjuran. hubungan peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pasien ima dari hasil pengujian keterkaitan antara variabel peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pasien ima melalui uji chi-square, diperoleh nilai 2 hitung sebesar 4,381 dengan nilai signifikansi (asymp. sig. (2-sided)) sebesar 0,036. nilai signifikansi (0,036) <  (0,05) sehingga h0 ditolak. sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pasien ima di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi. sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa kepatuhan timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekuensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya. semakin baik pengetahuan seseorang maka semakin baik pula dalam mengaplikasikan sesuatu yang diperoleh (notoatmodjo, 2007). hasil penelitian warsini (2011) di ruang icu rsup sanglah denpasar, menunjukkan nilai p = 0.001 (p < 0,05) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan pendidikan kesehatan tentang latihan aktivitas rehabilitasi jantung fase i terhadap kepatuhan untuk melaksanakan mobilisasi pada pasien dengan pjk. dukungan perawat dan dukungan keluarga sangat dibutuhkan bagi pasien untuk mematuhi setiap tindakan perawatan yang diberikan. perawat dituntut untuk senantiasa memberikan asuhan kepada pasien baik dalam memberikan informasi, observasi dan memotivasi dalam melakukan mobilisasi pada pasien ima. hal ini dapat disebabkan karena peran perawat dalam memberikan edukasi tentang mobilisasi pada pasien ima akan mempengaruhi sikap maupun perilaku pasien. berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa secara teoritis maupun fakta dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pasien ima, sudah sejalan atau ada hubungan yang signifikan. simpulan dan saran simpulan sebagian besar perawat (64,29%) di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi telah melaksanakan peran sebagai edukator. sebagian besar pasien ima (57,14%) di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi patuh dalam melakukan mobilisasi. ada hubungan antara peran perawat sebagai edukator dengan kepatuhan mobilisasi pasien ima di ruang wijaya kusuma rsud ngudi waluyo wlingi. saran sesuai dengan hasil penelitian ini maka untuk meningkatkan pelaksanaan peran perawat sebagai edukator diperlukan dukungan berupa sarana dan prasarana, serta peningkatan pengetahuan perawat melalui pendidikan berkelanjutan maupun pelatihan. selain itu untuk meningkatkan pengetahuan pasien diperlukan media informasi baik berupa banner maupun leaflet mengenai mobilisasi pasien ima. untuk mempermudah perawat dalam melakukan peran edukator maka diperlukan standard asuhan keperawatan (sak) dan standard operasional prosedur (sop) tentang mobilisasi pasien ima. dari hasil penelitian ini maka perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan mobilisasi pasien ima. 158 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 154–158 daftar rujukan bastable. 2002. perawat sebagai pendidik : prinsipprinsip pengajaran dan pembelajaran. jakarta: egc. idam, i. 2007. kiat hidup bahagia dengan penyakit jantung koroner. http:/ /www.pjnhk. go.id. diunduh tanggal 02 september 2014 jam 20.00 wib. notoatmodjo, soekidjo. 2007. pengantar pendidikan kesehatan dan ilmu perilaku kesehatan. yogyakarta: andi offset. ______. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. purnawan, i. 2007. infark miokard acut. http://www. wordpress.com. di unduh tanggal 8 september 2014 jam 14.00 wib. tedjasukmana, d. 2010. prinsip rehabilitasi jantung. divisi rehabilitasi kardiovaskular departemen rehabilitasi medik. jakarta: fkui rscm. tidak dipublikasikan. warsini, ni wayan. 2011. pendidikan kesehatan latihan rehabilitasi jantung terhadap kepatuhan melaksanakan mobilisasi pada pasien pjk. artikel penelitian, 1-5.x e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 70 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 70–78 70 pengaruh tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja di smp “xy” swasta kota malang (the effectiveness of personality type and associating environment toward adolescent sexual behavior in junior high school “xy” malang city) nur aini prodi s1 keperawatan fakultas ilmu kesehatan univ. muhammadiyah malang email: aini_anindya@yahoo.com abstract: adolescent is a period of transition, emotionally unstable so that they are easily violated the norms in society. two major problems that are often experienced by adolescents is an abuse of psychotropic drugs and sexual behavior. adolescent sexual behavior nowadays leads to deviant behavior. the purpose of this research was to know the effectiveness of the personality type and associating environment toward adolescent sexual behavior. method: observational study with cross sectional design. the population was student at class vii and viii totaled 174, the sample was 121 students taken by proportionate stratified random sampling. the independent variable was personality type and associating environment, dependent variable was sexual behavior. the data collected by questionnaire and analyzed by multiple regression logistic. result: the personality type most were introvert and extrovert as 54 adolescents (44,6%); good associating environment was 79 adolescents (65,2%); and negative sexual behavior as 70 adolescents (57,9%), with most types were holding hands when dating and kissing. based on the regression equation, obtained factor personality type could increase the value of 0,753 sexual behavior while associating environment 1,772 and p value (0,000) <  (0,05). discussion: personality type and social environment together has an effect to the sexual behavior. adolescent with extrovert personality had a more positive attitude toward sexual behavior than introvert adolescent. because they were adaptable, open and are likely to share problems with others, so introvert adolescent risk in doing free sex. however, the environment and personality are also interrelated, because the associating environment could shape the personality. keywords: personality type, associating environment, sexual behavior abstrak: remaja adalah periode transisi, mereka memilki emosi yang tidak stabil sehingga mudah melanggar norma-norma dalam masyarakat. dua masalah penting yang sering dialami remaja adalah penyalahgunaan obat psikotropika dan perilaku seksual. saat ini, perilaku seksual remaja banyak yang menyimpang. tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja. metode: studi observasional dengan desain cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas vii and viii sejumlah 174, sampel 121 siswa diambil dengan teknik proportionate stratified random sampling. variabel independent adalah tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan, sedangkan variabel dependennya perilaku seksual. data dikumpulkan dengan kuisioner dan dianalisis dengan uji regresi logistik ganda. hasil: tipe kepribadian terbanyak adalah introvert dan ekstrovert masingmasing 54 remaja (44,6%); lingkungan pergaulan baik 79 remaja (65,2%); dan perilaku seksual yang tidak baik (negatif) 70 remaja (57,9%), dengan tipe terbanyak adalah memegang tangan saat berpacaran dan berciuman. berdasarkan hasil persamaan regresi, didapatkan faktor tipe kepribadian dapat meningkatkan perilaku seksual sebesar 0,753 sedangkan lingkungan pergaulan 1,772 dan nilai p value (0,000) < a (0,05). diskusi : tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan bersama-sama mempengaruhi perilaku seksual. remaja acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p070-078 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 71aini, pengaruh tipe kepribadian ... dengan tipe kepribadian extrovert memiliki sikap lebih positif terhadap perilaku seksual dibandingkan dengan remaja introvert. karena mereka lebih mudah beradaptasi, terbuka dan senang membicarakan masalah dengan orang lain, oleh karena itu remaja introvert lebih berisiko melakukan seks bebas. namun bagaimanapun juga, antara lingkungan pergaulan dan kepribadian saling berhubungan, karena lingkungan pergaulan dapat membentuk kepribadian. kata kunci: tipe kepribadian, lingkungan pergaulan, perilaku seksual masa remaja dikenal sebagai masa transisi, masa mencoba-coba dan penuh dengan problema. pada masa ini tidak sedikit remaja yang mengalami kegoncangan yang menyebabkan munculnya emosional yang belum stabil sehingga mudah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma dalam masyarakat. ciri fase remaja yang lain adalah keterikatan dengan teman-teman sebaya yang kuat, minat pada keluarga berkurang, sebab waktunya lebih banyak digunakan dengan teman sebaya. dua masalah besar yang sering dialami oleh remaja adalah masalah penyalahgunaan obat-obatan psikotropika dan yang kedua adalah perilaku seks remaja, mulai dari perilaku seks menyimpang sampai kehidupan seks bebas. perilaku ini bisa terjadi karena pengaruh lingkungan atau karena terlalu banyaknya larangan-larangan atau peraturanperaturan yang harus dipatuhi oleh remaja. sehingga malah mendorong remaja berusaha untuk mencari tahu dengan berbagai cara. perilaku seks remaja dewasa ini banyak mengarah pada perilaku yang menyimpang, padahal remaja adalah generasi penerus di masa depan yang akan mempengaruhi cerah tidaknya masa depan bangsa dan negara di kemudian hari. di samping secara langsung maupun tidak langsung juga akan mempengaruhi perkembangan budaya indonesia di masa mendatang, banyak di antara remaja yang tidak menyadari bahwa beberapa pengalaman yang tampaknya menyenangkan, justru menjerumuskan mereka. menurut bkkbn (2013), di wilayah indonesia seperti di jawa timur khususnya surabaya perempuan lajang yang sudah kehilangan keperawanan mencapai 54%, bandung 47%, dan medan 52 %, data tersebut dihimpun oleh bkkbn dari 100 orang remaja. rentang usia yang melakukan seks pranikah berkisar antara 13–18 tahun. berdasarkan laporan dari perkumpulan keluarga berencana indonesia tahun 2007, perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku yang merupakan hasil interaksi antara kepribadian dengan lingkungan disekitarnya. berdasarkan hasil wawancara dengan guru bk (bimbingan konseling) di smp “xy” swasta malang pada bulan desember 2013, anak-anak di smp ini sudah banyak yang pacaran. informasi ini didukung oleh data hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan melalui pemberian kuesioner pada 20 siswa yang diambil secara acak, 18 diantaranya mengaku sudah berpacaran, berpegangan tangan saat berkencan, berciuman, serta mengakui bahwa sudah pernah menonton video porno dari internet. menurut pkbi (per kumpula n kelua r ga berencana indonesia) tahun (2007) perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan untuk mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku yang merupakan hasil interaksi antara kepribadian dengan lingkungan disekitarnya. perilaku seksual sangat luas sifatnya, mulai dari berdandan, mejeng, merayu, menggoda hingga aktifitas dan hubungan seksual. sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah tidak lepas dari konsep pribadi atau lebih dikenal dengan kepribadian seorang remaja, menurut alwisol (2004) kepribadian adalah organisasi dan faktor-faktor biologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu yang juga mencakup kebiasaankebiasaan dan watak yang khas dalam menentukan perbedaan perilaku dari individu tersebut akan berkembang apabila hubungan dengan orang lain. menurut clayton dan bokemjer (1980) (dalam eka kusala, 2000) menyimpulkan bahwa hubungan seksual sebelum menikah berkaitan erat dengan sikap terhadap hubungan seksual sebeblum menikah tersebut. sikap sebagai predisposisi perilaku memang tidak selamanya manifes. sikap dan perilaku dapat konsisten apabila sikap dan perilaku yang dimaksud adalah spesifik dan relevan satu dengan yang lain. selain itu, pengaruh lingkungan pergaulan dengan teman juga melatar belakangi terhadap timbulnya hubungan seksual pranikah (apriyanthi, 2011). remaja dengan tipe kepribadian ekstrovert lebih cepat dan lebih mudah mendapatkan pengaruhpengaruh dari luar dirinya yang dapat mendorong 72 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 70–78 keterbukaan pola pikir dan sikap terhadap hubungan. hal ini dikarenakan adanya perkembangan tekhnologi dan informasi sangat terbuka sebagai salah satu bentuk dunia yang obyektif dan penyaluran energi psikis remaja dengan tipe kepribadian ekstrovert yang mengarah keluar. remaja tipe kepribadian introvert lebih sulit mendapatkan pengaruh dari luar dirinya yang menyebabkan pola pikir dan sikapnya terhadap hubungan seksual pranikah cenderung negatif. hal ini dikarenakan pertimbangan resiko yang lebih berhati-hati sebagai bentuk orientasi pada dunia subyektif yang mengarah kedalam dirinya. sedangkan seseorang dengan kepribadian ambivert akan memiliki dua tipe kepribadian, yakni kepribadian introvert dan ekstrovert pada situasi yang berbeda (boeree, 2006; littauner, 2011). penanganan masalah perilaku seksual remaja membutuhkan kerjasama berbagai pihak, yaitu orang tua, pendidik, masyarakat sosial dan juga pemerintah. sudah saatnya orangtua atau sekolah bukan mengangap tabu lagi pendidikan seksual, karena dengan pemberian pendidikan seksual yang benar maka remaja akan terhindar dari perilaku seks bebas dan memiliki perilaku seksual yang bertanggung jawab. berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja. tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana pengaruh tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah observasional dengan desain cross sectional. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja. pengukuran variabel dalam penelitian ini dilakukan pada waktu yang bersamaan. penelitian ini dilakukan pada bulan juli 2014 di smp “xy” swasta kota malang. populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas vii dan kelas viii dengan rentang usia 1214 tahun yang berjumlah 174. teknik sampling yang diguna ka n a da la h proportionate stratified random sampling. jumlah sampel yang digunakan 121 orang, dengan rincian kelas vii sejumlah 69 orang dan kelas viii sejumlah 52 orang. variabel independen dalam penelitian ini tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan, sedangkan variabel dependennya adalah perilaku seksual remaja. skala data variabel tipe kepribadian adalah nominal (introvert, ekstrovert dan ambivert), lingkungan pergaulan berskala data nominal (lingkungan baik dan tidak baik), sedangkan perilaku seksual remaja juga beskala data nominal (baik/tidak pernah melakukan dan tidak baik/pernah melakukan). instrumen penelitian tipe kepribadian menggunakan kuisioner skala kepribadian (dari dwi sunar prasetyono, 2008), sedangkan lingkungan pergaulan dan perilaku seksual menggunakan kuisioner. hasil uji validitas dan reliabilitas didapatkan semua kuisioner valid dan reliabel, dengan nilai reliabilitas tipe kepribadian 0.92, lingkungan pergaulan 0.818 dan perilaku seksual 0.903. analisis data dilakukan dengan uji regresi logistik ganda karena ada 2 variabel independen dengan skala data nominal dan 1 variabel dependen skala data nominal, dengan taraf signifikansi () = 0,05. hasil penelitian gambaran tipe kepribadian remaja gambaran tipe kepribadian remaja yang paling banyak adalah introvert & ekstrovert masing-masing sebesar 54 remaja (44,6%). sebagaimana dijelaskan dalam tabel di bawah ini: tabel 1. karakteristik tipe kepribadian remaja smp “xy” swasta kota malang juli tahun 2014 tipe kepribadian jumlah % introvert 54 44,6% ambivert 13 10,7% ekstrovert 54 44,6% total 12 1 100% berdasarkan tabel 1, tipe kepribadian yang terbanyak adalah introvert dan ekstrovert. gambaran lingkungan pergaulan remaja tabel 2. karakteristik lingkungan pergaulan remaja smp “xy” swasta kota malang juli tahun 2014 ling kungan pergaulan jumlah % baik 79 65,2 % t idak baik 42 34,7 % total 121 100% berdasarkan hasil penelitian lingkungan pergaulan didapatkan jumlah responden terbanyak 73aini, pengaruh tipe kepribadian ... adalah pada lingkungan pergaulan baik sedangkan lingkungan pergaulan yang tidak baik lebih memiliki jumlah responden yang terkecil. gambaran perilaku seksual remaja tabel 3. karakteristik perilaku seksual remaja smp “xy” swasta kota malang juli tahun 2014 no kategori jumlah % 1 2 pernah melakukan perilaku seksual tidak pernah melakukan perilaku seksual 70 51 57,9 % 42,1 % to tal 121 100% berdasarkan tabel 3 sebagian besar remaja pernah melakukan perilaku seksual. gambaran jenis perilaku seksual remaja tabel 4. jenis perilaku seksual remaja smp “xy” swasta kota malang juli tahun 2014 no perilaku seksual jml % 1 2 3 4 5 6 aktivitas masturb asi berpegangan tangan saat berpacaran berpelukan berciuman (kissing) heterosexuality : meraba bagian tubuh yang sensitif melakukan hubungan seksual (copulation) 49 69 38 69 45 0 40,5 % 57,0 % 31,4 % 57,0 % 37,2 % 0 % berdasarkan tabel 4 jenis perilaku seksual remaja sebagian besar adalah berpegangan tangan saat berpacaran dan berciuman. hubungan tipe kepribadian dengan perilaku seksual remaja tabel 5. tabulasi silang antara tipe kepribadian terhadap perilaku seksual remaja di smp “xy” swasta malang tahun 2014 perilaku seksual remaja toal tida k baik baik tipe kep riba dian introvert 41 (33,9%) 13 (10,7% ) 54 (44 ,6%) ambivert 5 (4,1%) 8 (6,6%) 13 (10 ,7%) ekstrovert 24 (19,8%) 30 (24,8% ) 54 (44 ,6%) total 70 (57,9%) 51 (42,1% ) 121 (10 0%) pengaruh tipe kepribadian terhadap perilaku seksual remaja hubungan lingkungan pergaulan dengan perilaku seksual remaja tabel 6. hasil analisis uji chi square tipe kepribadian terhadap perilaku seksual remaja di smp “xy” swasta malang tahun 2014 value d f asymp.sig (2 -sided) pearso n chi square 2 0.001 pengaruh tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja pembahasan gambaran tipe kepribadian remaja pada penelitian ini remaja dengan tipe kepribadian introvert memiliki ciri atau sifat yang tidak suka menonjolkan diri dalam suatu pesta, sulit memulai percakapan bila bertemu dengan orang lain, tidak mudah tersinggung, sulit berbicara sebelum kelas usai, suka berdiam diri di rumah daripada bermain di luar rumah, berusaha keras untuk menyembunyikan rasa malu, berburuk sangka, sensitif, canggung dan kurang percaya diri. sedangkan remaja yang mempunyai tipe kepribadian ektrovert memiliki ciriciri senang pergi ke pesta dan tempat keramaian, kadang ingin mencaci maki seseorang, berpegang teguh pada prinsip, suka humor, percaya diri, dan senang bercakap-cakap dengan orang lain. pada penelitian ini remaja yang berkepribadian ambivert mempunyai ciri atau karakteristik kedua tipe kepribadian yaitu introvert dan ekstrovert. kepribadian menurut eysenck (dalam alwisol, 2004) adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan dari keturunan dan lingkungan. menurut jung (1875–1961) (dalam feist & feist, 2008) kepribadian individu diklasifikasikan menjadi tiga tipe kepribadia n yaitu ekstrovert, introvert, da n ambivert. adapun ciri-ciri tipe kepribadian ekstrovert menurut pervin (dalam suryabrata, 2006) bahwa gambaran sifat tipe kepribadian ekstrovert adalah sebagai orang yang ramah dalam pergaulan, banyak teman, sangat memerlukan kegembiraan, berani mengambil resiko, impulsive. secara lebih rinci dijabarkan dengan mudah marah, gelisah, agresif, 74 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 70–78 mudah menerima rangsang, berubah-rubah, aktif, optimis, suka bergaul, banyak bicara, mau mendengar, menggampangkan, lincah, riang, kepemimpinan. tipe kepribadian introvert dicirikan sebagai orang yang tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya yang cenderung dipengaruhi dunianya sendiri (subjektif) dari pada dunia luar (objektif). sedangkan orang yang bertipe kepribadian ambivert merujuk kepada personality yang menunjukan bukti berlakunya perubahan dalam keadaan yang benar, senantiasa berubah dan kemungkinan seseorang individu itu akan bersikap introvert dan ekstrovert pada waktu lain. berdasarkan hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa remaja bertipe kepribadian ambivert lebih banyak terdapat pada perempuan daripada laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan memiliki keseimbangan psikologi antara introvert dan ekstrovert seperti suka bersosialisasi, dan berkumpul dengan banyak orang dan membicarakan banyak hal. disisi lain mereka juga suka menyendiri dan menjauh dari lingkungan seperti tipe introvert. berdasarkan penelitian dari jung (1961) menyatakan bahwa ada kelompok mayoritas yangdisebut sebagai kelompok kepribadian ambivert. orang dengan tipe kepribadian ambivert pada keadaan tertentu cenderung ekstrovert dan pada keadaan yang lain cenderung introvert, tergantung kebutuhan dan kondisi. tipe kepribadian ambivert merupakan bentuk kepribadian yang kompleks. orang dengan tipe kepribadian ambivert sebenarnya memiliki keinginan yang kuat untuk bergaul dengan orang lain tetapi sering kali mendapatkan banyak hambatan. agar memiliki kemauan untuk keluar dari bentengnya, seseorang dengan tipe kepribadian ambivert memerlukan dorongan yang cukup kuat. individu dengan tipe kepribadian ambivert mau maju jika merasa terdesak. gambaran lingkungan pergaulan remaja pada penelitian ini yang merupakan ciri-ciri lingkungan pergaulan baik yaitu remaja yang cenderung malu untuk berdiskusi tentang perilaku seksual dengan teman, teman-teman menasihati dan melarangnya untuk tidak melakukan hubungan seksual, menonton video porno dan menjaga diri dalam bergaul dengan lawan jenis, tidak mudah terpengaruhi oleh teman yang sudah melakukan hubungan seksual. sedangkan ciri-ciri lingkungan pergaulan tidak baik yaitu remaja yang berciuman bibir untuk mengikuti tren temannya, merasa tidak ketinggalan zaman ketika sudah melakukan hubungan seks bebas, pengaruh dari teman sebayanya yang sudah dan pernah melakukan hubungan seksual, berciuman bibir, teman yang tidak peduli jika temannya melakukan hubungan seksual, serta teman yang suka memberikan informasi tentang seks bebas. pada masa remaja tidak sedikit remaja yang mengalami kegoncangan yang menyebabkan munculnya emosional yang belum stabil sehingga mudah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma dalam masyarakat. pelanggaran tersebut bisa terjadi karena pengaruh lingkungan atau karena terlalu banyaknya larangan-larangan atau peraturan-peraturan tabel 7. tabulasi silang dengan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja di smp “xy” swasta malang tahun 2014 perilaku seksual remaja total tidak baik baik ling kungan pergaulan tidak baik 34 (28,1%) 8 (6.6 %) 42 ( 34,7%) baik 36 (29,8%) 43 (35,3%) 79 ( 65,3%) total 70 (57,9%) 51 (42,1%) 121 ( 100,0%) tabel 8. hasil analisis uji chi square lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja di smp “xy” swasta malang tahun 2014 value df a symp.sig (2-sided) pearson chi square 1 0.000 variables in the equation .753 .22511.220 1 .001 2.123 1.772 .48213.527 1 .000 5.885 -4.860 1.05621.163 1 .000 .008 x1 x2 constant step 1 a b s.e. wald df sig. exp(b) variable( s) entered on step 1: x1, x2.a. omnibus tests of model coef ficient s 27.143 2 .000 27.143 2 .000 27.143 2 .000 step block mode l s tep 1 chisq uare df sig. tabel 9. hasil uji regresi logistik ganda 75aini, pengaruh tipe kepribadian ... yang harus dipatuhi oleh remaja. sehingga mendorong remaja berusaha untuk mencari tahu dengan berbagai cara yang membuat mereka dengan begitu mudahnya terjerumus ke dalam penyimpangan-penyimpangan sosial terutama penyimpangan perilaku seks pranikah. menurut apriyanthi (2011) sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka banyak kemudahan yang dapat diperoleh, terlebih-lebih dari sisi hiburan. minat untuk mencari atau mendapatkan hiburan sangatlah besar. berbagai bentuk hiburan yang dapat diperoleh remaja selama bergaul dengan teman sebaya, antara lain yaitu yang berhubungan dengan seks. berkaitan dengan hal tersebut, maka perbicaraan tentang seks dikalangan remaja menjadi hal yang biasa. karena munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual, maka remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi mengenai seks. oleh karena itu, remaja mencari banyak sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya membahas dengan teman-teman sebaya, membaca buku tentang seks atau mengadakan percobaan dengan jalan masturbasi, bercumbu, atau senggama. selain itu juga pengaruh teman sebaya dapat meningkatkan risiko penggunaan alkohol, rokok dan narkoba serta niat dan frekuensi dalam hubungan seksual. berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada lingkungan yang baik remaja banyak melakukan keterampilan sosial seperti teman-teman menasihati untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, hal ini didukung oleh penelitian dari caldarella & merrell (1997) mengemukakan salah satu dari 5 (lima) dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial yaitu hubungan dengan teman sebaya (peer relations) yang ditunjukkan melalui perilaku yang positif dari teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, remaja menawarkan bantuan kepada orang lain, dan mengajak bermain atau mau berinteraksi dengan teman sebaya. gambaran perilaku seksual remaja berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar remaja sudah melakukan perilaku seksual. perilaku seksual terbanyak yang dilakukan oleh remaja adalah berpegangan tangan saat berpacaran dan pernah berciuman, sedangkan perilaku seksual yang terkecil adalah aktivitas mansturbasi, berpelukan, serta meraba bagian tubuh. berawal dari eksplorasi intelektual remaja mulai tertarik untuk melakukan aktivitas seksualyang lebih melalui sentuhan seperti pelukan dan ciuman. pada penelitian ini diketahui bahwa terdapat 107 responden pernah berpelukan dan berciuman ketika berpacaran. heterosexuality lain yang lebih ekstrim dilakukan oleh remaja pada penelitian ini adalah neckling menyentuh daerah sensitif pasangan. didapatkan 45 responden pernah memegang daerah sensitif pasangan. hal ini senada dengan yang diutarakan oleh santrock (2007), bahwa remaja melakukan aktivitas seksual melalui sentuhan setelah menjalin sebuah ikatan seperti pacaran, untuk menunjukkan identitas seksual pada kelompok pergaulan dan menjadi pengakuan berpengalaman secara seksual, selain itu dikarenakan masuknya budaya baru yang tidak mampu disaring oleh remaja. hal ini didukung hasil penelitian dari pery potter (2005), bahwa remaja melakukan perilaku seksual didukung dengan matangnya organ reproduksi dan produksi hormon dari kelenjar pituitary merangsang kelenjar gonadotropin untuk meningkatkan kadar estrogen dan testosteron yang memicu meningkatnya dorongan seksual pada remaja sehingga remaja dengan menggebu ingin menyalurkan keinginan seksual, sensasi seksual membuat remaja mengalami penurunan kontrol diri sehingga remaja melakukan perilaku seksual. selanjutnya perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja adalah masturbasi, diketahui bahwa ada 40,5% responden melakukan aktivitas masturbasi. tindakan masturbasi yang dilakukan oleh remaja merupakan efek dari ketidakmampuan remaja utuk menahan hasrat seksual yang dimiliki remaja selain itu tingkat paparan video porno yang tinggi membuat remaja menyalurkan seksual dengan cara manipulasi, meskipun onani tidak memberikan efek yang besar bagi remaja secara langsung tetapi onani jika dilakukan dalam jangka panjang akan berdampak secara psikologis bagi remaja. hal ini dikuatkan dengan pendapat freud dalam sarwono (2011), menyatakan bahwa remaja melakukan masturbasi kebanyakan pada umur 13–15 tahun dikarenakan melalui ketegangan psikologis yang disebabkan rangsangan dari luar seperti rabaan dan sentuhan terhadap daerahdaerah bagian tubuh yang menimbulkan gairah seksual. hal tersebut senada dengan depkes (2010), masturbasi merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa remaja dengan tingkat hormon dan minat seksual yang tinggi tidak mampu menyalurkan hasrat seksual dalam bentuk aktivitas yang positif dan bermanfaat. 76 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 70–78 hubungan tipe kepribadian dengan perilaku seksual remaja berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara tipe kepribadian dengan perilaku seksual remaja. hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa remaja dengan tipe kepribadian introvert lebih banyak yang memiliki perilaku seksual yang tidak baik sedangkan remaja dengan tipe kepribadian ekstrovert dan ambivert lebih banyak memiliki perilaku seksual yang baik. berdasarkan penelitian ini juga didapatkan remaja bertipe kepribadian introvert sebagian kecil memiliki perilaku seksual yang baik. hal ini disebabkan oleh pengaruh pola asuh orang tua yang baik, rasa percaya diri yang tinggi dari remaja, serta perspektif kognitif remaja yang sudah matang yang dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan perilaku seksual yang baik sesuai norma dan nilai-nilai agama. hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari eka kusala (2000) tentang sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah ditinjau dari tipe kepribadian. didapatkan hasil bahwa ada perbedaan yang signifikan pada sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah antara remaja yang bertipe kepribadian ekstrovert dengan yang berkepribadian introvert. remaja ekstrovert mempunyai sikap yang lebih positif terhadap hubungan seksual pranikah dari pada remaja introvert, sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja dengan tipe kepribadian introvert lebih cenderung untuk melakukan hubungan seksual. remaja ekstrovert memiliki ciri pandai bergaul, mudah dipengaruhi lingkungan, mudah beradaptasi, berani mengambil resiko, aktif, menjadikan remaja ekstrovert (terbuka) cenderung bisa berbagi masalah dengan orang lain, sehingga dia bisa mendapatkan solusi terbaik dari argumen orang dan remaja ekstrovert yang mudah beradaptasi tidak pernah malu bertanya dengan orang lain sehingga tingkat penasaran terhadap hubungan seksual pranikah juga lebih rendah sehingga tidak terjerumus kedalam lingkungan yang salah. sedangkan orang yang bertipe introvert cenderung menghindari hubungan dengan lingkungan sosial, sulit beradaptasi, penakut atau pasif menyebabkan persepsi pada hubungan seksual pranikah menjadi negatif. hubungan lingkungan pergaulan dengan perilaku seksual remaja hasil tabulasi data menunjukkan bahwa dari 121 responden terdapat 36 (29,8%) responden melakukan perilaku seksual padahal mereka berada lingkungan pergaulan yang baik. sedangkan pada lingkungan pergaulan yang tidak baik didapatkan hanya 34 responden (28,1%) yang memiliki perilaku seksual. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara lingkungan pergaulan dengan perilaku seksual remaja. hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa remaja dengan lingkungan pergaulan yang baik lebih banyak yang mengarah pada perilaku seksual. sedangkan remaja dengan lingkungan pergaulan yang tidak baik sedikit yang mengarah pada perilaku seksual. menurut hidayat (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan pergaulan remaja antara lain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat yang meliputi pola kehidupan masyarakat, media massa serta teman sebaya. lingkungan pergaulan yang kurang baik akan berpengaruh pada perkembangan jiwa seseorang. hal-hal yang tidak baik yang diterimanya dalam interaksi menjadi hal yang biasa baginya. lingkungan dan pergaulan yang tidak baik dapat mempengaruhi seseorang untuk melanggar norma-norma yang ada di dalam masyarakat. hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari kristy juing (2004) yang menyatakan “pengaruh teman sebaya sangatlah tinggi dalam mempengaruhi perilaku remaja”. peran teman sebaya dalam pergaulan remaja memang sangatlah menonjol. hal ini sejalan dengan meningkatnya minat individu dalam persahabatan serta keikutsertaan dalam kelompok. sebagai akibatnya, mereka akan merasa senang apabila diterima atau sebaliknya akan merasa tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh teman-teman sebayanya. bagi remaja pandangan teman-teman terhadap dirinya merupakan hal yang paling pentin. maka, dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga (santrock, 2007). hal ini kembali diperkuat oleh hasil penelitian kristy juing (2004) yang menyatakan bahwa “teman sebaya sangat cenderung berpengaruh dalam kehidupan remaja ketimbang keluarganya”. hal ini juga didukung oleh hasil penelitian dari masyithah nasution (2011) yang menyatakan bahwa penyimpangan perilaku seks pranikah remaja, biasanya dilatarbelakangi oleh pengaruh pergaulan dengan teman sebaya. pengaruh teman sebaya sangatlah menentukan perilaku-perilaku yang sering ditunjukan remaja dalam keseharian mereka bergaul dengan teman temannya. bentuk-bentuk penyimpangan perilaku seks pranikah yang tampak dalam 77aini, pengaruh tipe kepribadian ... aktivitas kehidupan remaja yang dapat kita lihat selama ini adalah aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kedekatan remaja. menurut hurlock (2003) lingkungan mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk dan menentukan perubahan sikap dan perilaku seseorang, terutama pada generasi muda dan anak-anak. misalnya, tidak dapat diabaikan pengaruh lingkungan pergaulannya. menurut kusmiran (2011), masa remaja merupakan masa yang sangat kritis, masa untuk melepaskan ketergantungan terhadap orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. keberhasilan para remaja melalui masa transisi sangat dipengaruhi oleh faktor biologis, kognitif, psikologis, maupun faktor lingkungan. dalam kesehariannya, remaja tidak lepas dari pergaulan dengan remaja lain. remaja dituntut memiliki keterampilan sosial (social skill) untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari. keter ampilanketerampilan tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi dan menerima umpan balik, memberi dan menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku. pengaruh lingkungan juga mempersulit remaja untuk tetap memegang nilainilai sosial dalam bergaul. menurut masyithah (2011) semakin bertambah besar anak, maka keinginannya untuk bergaul diluar rumah semakin besar pula dan hal ini seiring dengan menurunnya peran orangtua. banyak hal yang ditemui anak dalam bergaul dengan dunia sekitarnya antara lain adalah pola pergaulan serta aturan dalam pergaulan yang harus dipatuhi anak. jika anak tidak mematuhi aturan pergaulan, maka anak akan dikucilkan oleh teman-temannya. diantara berbagai pengalaman yang ditemui anak dalam pergaulan dengan teman sebaya adalah pengalaman berhubungan dengan lawan jenis maupun hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. bukan hanya itu remaja merasakan bahwa membahas soal seks,dan perilaku seksual bersama teman-teman sebayanya jauh lebih menyenangkan dibanding harus bercerita dengan orang tua. faktor lingkungan lain yang juga berpengaruh besar terhadap perubahan perilaku remaja adalah lingkungan sekolah. lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor dari luar diri individu yang mempengaruhi moral. dalam lingkungan sekolah, interaksi sosial remaja dan individu lain dapat dilakukan jika terdapat sesuatu yang mendukung bagi terjadinya proses interaksi, dalam hal ini yaitu kondisi dalam lingkungan sekolah yang berorientasi sosial, sehingga memungkinkan terjadinya kontak sosial yang bersifat afiliatif antar individu dalam lingkungan sekolah. dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan sekolah juga berpengaruh terhadap perkembangan seksual remaja (gunarsa, 1995). faktor lingkungan tempat kos dan keluarga juga merupakan faktor yang sangat penting dalam menekan perilaku seks pranikah di kalangan remaja, sebab keberadaan lingkungan kos yang kondusif serta peran serta keluarga yang memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya dapat menekan perilaku seks pranikah (hidayat, 2003). pengaruh tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan terhadap perilaku seksual remaja berdasarkan hasil uji regresi logistik ganda nilai sig. model sebesar 0.000. karena nilai ini lebih kecil dari 0,05 maka h1 diterima. sehingga disimpulkan bahwa variabel tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap perilaku seksual remaja. sedangkan persamaan regresinya adalah “y= -4,860+0,753 x1 + 1,772 x2“. berdasarkan persamaan regresi ini dapat disimpulkan bahwa: nilai koefisien regresi variabel tipe kepribadian (x1) sebesar 0,753 sehingga faktor tipe kepribadian dapat meningkatkan nilai perilaku seksual sebesar 0,753 jika faktor tipe kepribadian meningkat satu satuan. kemudian untuk koefisien regresi variabel lingkungan pergaulan (x2) sebesar 1,772 yang memberikan petunjuk bahwa faktor lingkungan pergaulan dapat meningkatkan nilai perilaku seksual sebesar 1,772 apabila lingkungan pergaulan tersebut ditingkatkan satu satuan. menurut yosie (2014) lingkungan pergaulan adalah tempat berkembanganya perilaku terhadap kebiasaan yang ada di lingkungan. lingkungan pergaulan yang kurang baik akan berpengaruh pada perkembangan jiwa seseorang. hal-hal yang tidak baik yang diterimanya dalam interaksi menjadi hal yang biasa baginya. lingkungan dan pergaulan yang tidak baik dapat mempengaruhi seseorang untuk melanggar norma-norma yang ada di dalam masyarakat. dalam pengaruh lingkungan yang buruk, remaja mudah tergoda, misalnya untuk memakai narkoba atau melakukan seks bebas. selalu terdapat dampak ganda yang ditimbulkan oleh lingkungan 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 70–78 terhadap tata nilai para remaja. sebagai contoh pergaulan berdampak positif karena membwa nilainilai kebaikan jika berada dalam koridor yang benar. namun pergaulan juga sering menyeret para remaja ke dalam perbuatan yang melanggar hukum, melakukan perbuatan asusila, amoral, bahkan tindak kriminal. sama halnya dengan teman, berdampak positif jika bergaul dengan teman yang baik, sebaliknya berdampak negatif jika bergaul dengan teman yang suka melanggar norma dan peraturan yang ada di dalam masyarakat dan lingkungannya. tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan secara bersama-sama dapat berhubungan dengan perilaku seksual dikarenakan lingkungan pergaulan dapat membentuk kepribadian individu akan tetapi tergantung pada sikap penerimaan dan adaptasi dari individu tersebut. individu akan merasa menemukan dirinya (pribadi) serta dapat mengembangkan rasa sosial sejalan dengan perkembangan kepribadiannya bila berada dalam kelompok sebaya. simpulan dan saran simpulan sebagian besar remaja telah melakukan perilaku seksual dengan aktivitas perilaku seksual terbanyak adalah berpegangan tangan saat berpacaran dan berciuman kemudian diikuti dengan aktifitas masturbasi, padahal mereka memiliki lingkungan pergaulan yang baik. tipe kepribadian dan lingkungan pergaulan bersama-sama mempengaruhi terbentuknya perilaku seksual pada remaja. saran diharapkan kepada pihak sekolah dan guru agar lebih peduli terhadap siswa dengan memberikan pendidikan kesehatan dan konseling tentang pendidikan seksual yang benar, dan dampak negatif perilaku seksual sehingga mereka tidak terjerumus ke dalam pengaulan bebas serta akibat-akibat yang akan ditimbulkan akibat perilaku yang negatif ini. serta memperbanyak kegiatan-kegiatan yang lebih positif agar siswa dapat menyalurkan waktu luang mereka ke dalam kegiatan tersebut. orangtua juga harus turut memantau perilaku siswa/remaja dan memberikan bimbingan agar remaja tidak melakukan perilaku yang negatif. daftar rujukan alwisol. 2004. “psikologi kepribadian”. malang : umm press. apriyanthi, d.p. 2011. komunikasi remaja perilaku seks pranikah. medan: fakultas psikologi universitas sumatra utara. bkkbn. 2013. “remaja dan spn (seks pranikah)”. www.bkkbn.go.id websdetailrubrik.phpmyid =518.pdf. diakses tanggal 18 januari 2013. boeree, c.g. 2006. personality theories (melacak kepribadian anda bersama psikologi dunia. yogjakarta: primasophie. depkes. 2010. kesehatan remaja: problem dan solusinya. jakarta : salemba medika. dwi, s.p. 2008. bimbingan & pelatihan tes iq dan kepribadian. jogjakarta: diva press. feist, j., dan gregory. 2008. theoris of personality (edisi keenam). yogyakarta: pustaka pelajar. gunarsa. 1995. psikologi remaja. jakarta: bpk gunung mulia. hidayat, m., thamrin, f., andreas, s., untoro. 2003. premarital sexual behavior among adolescents in jakarta. atma jaya medical journal. 8(1):75–82. hurlock, e. 2003. psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. jakarta: erlangga. kusmiran, e. 2011. kesehatan reproduksi remaja dan wanita. jakarta: salemba medika. kusala, e. 2000. tentang sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah ditinjau dari tipe kepribadian. semarang : fakultas psikologi. universitas katolik soegijapranata semarang. littauner, florence. 2011. “personality plus (kepribadian plus)”. tangerang: kharisma publishing groub. pkbi. 2007. kekerasan dalam pacaran. http://kiat sehat .com/ indeks.php dia kses tan ggal 07 nopember 2013. potter, patricia, a., & perry, anne, g. 2009. fundamental keperawatan edisi 7 buku 1. jakarta: salemba medika. santrock, john, w. 2011. masa perkembangan anak edisi 11buku 2. jakarta: salemba medika. sarwono, s.w. 2011. psikologi remaja. edisi revisi. jakarta: rajagrafindo persada. suryabrata, s. 2006. psikologi kepribadian. jakarta: cv rajawali. yosie, n.d. 2014. hubungan antara penyalagunaan napza dengan tipe kepribadian individu pada pasien ruang napza di rumah sakit jiwa dr. radjimaan wediodiningrat lawang kab. malang. skripsi. fikes umm. d:\set 2017\set nanik juni 2017 12 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 12–16 12 upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah (parents’ effort to prevent toddler injury at home) agus khoirul anam, arif mulyadi, devi widyawati sagar jurusan keperawatan poltekkes kemenkes malang email: aguskhoirulanam@gmail.com abstract: the injury is the leading cause of death in children. many children are hospitalized, becoming disable or death because of the injury. the purpose of research was to describe the parents’ effort to prevent toddler injury at home. methods in research used descriptive design. the population in this study was all of parents with children under 5 years in the posyandu asparaga bendogerit sananwetan. the total sample was 43 parents by using quota sampling technique. the data was collected by a questionnaire designed by the researchers. the results of this study showed parents effort generally was in fair category 55,8% of parents. in this study, the injury prevention was still lack such as cleaning the floor so that became not slippery, avoiding the use of tablecloths, not leaving the child alone in the bathroom and no furniture with angled taper. health employee need to provide health education about the effort of parents in the prevention of the injury of toddler at home. keywords: effort, parents, injury, children abstrak: cedera adalah penyebab kematian yang paling sering pada anak-anak. banyak anak yang masuk rumah sakit, menderita cacat yang serius, atau meninggal karena cedera. tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah. metode dalam penelitian ini adalah deskriptif. populasi dalam peneliti adalah orang tua yang memiliki anak usia dibawah 5 tahun yang datang ke posyandu asparaga bendogerit sananwetan. jumlah sampel sebanyak 43 orang tua diambil dengan teknik quota sampling. pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner yang dibuat oleh peneliti. hasil penelitian menunjukkan secara umum upaya orang tua cukup yaitu sebesar 55,8% orang tua. dalam penelitian ini masih ada pencegahan cedera yang kurang yaitu menyikat lantai kamar mandi agar tidak licin, menghindari penggunaan taplak meja, tidak meninggalkan anak di kamar mandi sendirian dan menjauhkan perabot yang bersudut runcing. petugas kesehatan perlu memberikan pendidikan kesehatan tentang upaya pencegahan cedera anak balita di rumah. kata kunci : upaya, orang tua, cedera, anak kecelakaan adalah penyebab kematian yang paling sering pada anak-anak. setiap tahun, banyak anak-anak yang masuk rumah sakit, menderita cacat yang serius, atau meninggal sebagai akibat luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan seperti jatuh, keracunan, atau terbakar. mungkin tampaknya aneh, kecelakaan lebih banyak terjadi di dalam rumah daripada di luar rumah. anak-anak usia prasekolah khususnya beresiko mengalami kecelakaan di dalam rumah. bayi yang kecil mungkin tercekik makanan atau benda kecil, anak kecil yang baru belajar jalan mungkin jatuh dari tangga, menarik air panas dari dalam kompor, menelan racun yang terdapat pada peralatan rumah tangga seperti bahan pemutih, ataupun tercekik tas plastik. (mike, 2000) saat ini, cedera tak disengaja merupakan penyebab kematian utama pada anak dibawah usia lima tahun. setiap tahun, satu juta anak mencari pertoacer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p012-016 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 13anam, dkk., upaya orang tua dalam pencegahan ... longan medis karena cedera yang tidak disengaja. empat puluh sampai lima puluh ribu diantaranya menderita cacat yang menetap dan empat ribu lainnya meninggal. seperti diperkirakan, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab dari sejumlah besar cedera dan kematian. tetapi banyak juga anak yang terluka dan meninggal karena peralatan yang dibuat khusus untuknya. dalam dua belas bulan terakhir, kejadian jatuh dari tempat duduk anak yang tinggi menyebabkan 7.000 anak dibawa kerumah sakit. setiap tahun, mainan menyebabkan lebih dari 120.000 kasus cedera serius dan memerlukan pengobatan diruang gawat darurat rumah sakit. bahkan tempat tidur bayi pun tercatat menyebabkan 150 hingga 200 kematian setiap tahunnya. ini adalah angka statistik kasar, namun tidak dapat di dielakkan. dewasa ini, ksakit, menderita cacat yang serius, atau meninggal sebagai akibat luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan seperti jatuh, keracunan, atau terbakar. mungkin tampaknya aneh, kecelakaan lebih banyak terjadi di dalam rumah daripada di luar rumah. anak-anak usia prasekolah khususnya beresiko mengalami kecelakaan di dalam rumah. bayi yang kecil mungkin tercekik makanan atau benda kecil, anak kecil yang baru belajar jalan mungkin jatuh dari tangga, menarik air panas dari dalam kompor, menelan racun yang terdapat pada peralatan rumah tangga seperti bahan pemutih, ataupun tercekik tas plastik. (mike, 2000) saat ini, cedera tak disengaja merupakan penyebab kematian utama pada anak dibawah usia lima tahun. setiap tahun, satu juta anak mencari pertolongan medis karena cedera yang tidak disengaja. empat puluh sampai lima puluh ribu diantaranya menderita cacat yang menetap dan empat ribu lainnya meninggal. seperti diperkirakan, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab dari sejumlah besar cedera dan kematian. tetapi banyak juga anak yang terluka dan meninggal karena peralatan yang dibuat khusus untuknya. dalam dua belas bulan terakhir, kejadian jatuh dari tempat duduk anak yang tinggi menyebabkan 7.000 anak dibawa kerumah sakit. setiap tahun, mainan menyebabkan lebih dari 120.000 kasus cedera serius dan memerlukan pengobatan diruang gawat darurat rumah sakit. bahkan tempat tidur bayi pun tercatat menyebabkan 150 hingga 200 kematian setiap tahunnya. ini adalah angka statistik kasar, namun tidak dapat di dielakkan. dewasa ini, kita mengetahui bahwa kecelakaan tersebut tidak terjadi secara acak, sebaliknya hal itu mengikuti pola yang jelas. dengan mengetahui polapola ini, orang tua dapat berhati-hati dalam melakukan pencegahan, yang akan mencegah sebagian besar, meski tidak semua cedera. menurut jellieffe (1994) di seluruh dunia, kecelakaan sering dijumpai pada anak-anak khususnya pada usia pra-sekolah, karena mereka terlalu aktif dan ingin tahu terhadap dunia baru di sekitar mereka dengan melihat, meraba dan merasa. mereka belum berpengalaman untuk mengetahui adanya bahaya, rasa keseimbangan masih lemah, dan penglihatan mereka belum berkembang dengan sempurna. sedangkan menurut data electronic injury surveillance system tahun 2012 hingga 2013, di amerika telah terjadi 224 cedera sepeda yang cukup serius dan mesti menjalani rawat inap. sedangkan, cedera yang masuk dalam ruang ugd berjumlah 9.340 cedera. sehingga di tahun 2012, cedera dari sepeda menempati peringkat pertama penyebab kematian anak karena mainan. kejadian cedera penduduk di provinsi jawa timur adalah 8,4% dan urutan tiga terbanyak sebagai penyebab cedera meliputi jatuh (62,3%), kecelakaan transportasi darat (24,1%) dan terluka benda tajam/tumpul (17,6%) (riskesdas, 2008). dari hasil studi pendahuluan peneliti di uptd kesehatan sananwetan tanggal 20 september 2015, dari 8 responden yang dipilih secara acak masih banyak yang tidak mengerti tentang pencegahan cedera dirumah. masih banyak orang tua yang tidak memberi perlindungan pagar rumah agar anak tidak main di jalan raya, terdapat benda bersudut tajam, serta masih adanya tumpukan barang berserakan di dalam rumah yang bisa mengakibatkan anak menjadi cedera seperti jatuh dan terjadi perdarahan. berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah”. bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak usia dibawah 5 tahun yang datang ke posyandu asparaga bendogerit sanan wetan. sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 43 orang tua diambil dengan teknik quota sampling. variabel dalam penelitian ini adalah upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah. instrument penelitian menggunakan kuisioner. setelah responden menyatakan setuju, yang ditunjukkan dengan pengisian informed consent, kemudian peneliti memberikan penjelasan pada responden 14 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 12–16 tentang penelitian yang akan dilakukan. data yang telah diperoleh kemudian dilakukan pengolahan data editing, scoring. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. pembahasan berdasarkan hasil penelitian upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah di posyandu asparaga 55,8% (24 orang tua) melakukan upaya yang cukup dalam pencegahan cedera anak balita di rumah, 37,2 (16 orang tua) melakukan upaya baik, dan sisanya 7% (3 orang tua) melakukan upaya yang kurang. menurut snehandu b. kar niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawat kesehatannya (behavior intention), dukungan sosial dari masyarakat sekitar (social support) dan ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information) mempengaruhi perilaku seseorang dalam mencari kesehatan (notoatmodjo,2005). dari hasil penelitian dengan pengambilan data menggunakan kuesioner peneliti beranggapan bahwa orang tua melakukan upaya cukup karena situasi dan keadaan mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu serta kurangnya informasi yang di dapat mengenai upaya pencegahan cedera anak balita di rumah. hasil penelitian orang tua dengan usia 21-40 tahun memiliki upaya yang baik dalam pencegahan cedera anak balita di rumah 25,6% (11 orang tua), no. karakteristik f prosentase 1 usia: 21-40 th 32 74,4 41-65 th 11 25,6 2 hubungan orang tua dengan anak: ibu 40 93 ayah 3 7 3 pendidikan terakhir: sd 3 7 smp 3 7 sma 33 76,7 perguruan tinggi 4 9,3 4 pekerjaan: swasta 17 39,5 pns 2 4,7 tidak bekerja 4 55,8 5 mendapat informsi: ya 28 65,1 tidak 15 34,9 6 banyaknya informasi: 1 kali 10 35,7 2 kali 2 7,1 3 kali 1 3,6 > 4 kali 15 53,6 7 sumber informasi: media 10 35,7 pelayanan kesehatan 11 39,3 orang lain 7 25 tabel 1 k ar ak te r i sti k or ang tua di posyandu asparaga, tanggal 18 april 28 april 2016 (n=43) tabel 2 upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di posyandu asparaga, tanggal 18 april 28 april 2016 (n=43) kategori f prosentase 1 baik 16 37,2 2 cukup 24 55,8 3 kurang 3 7 upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumahno tabel 3 upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di dalam rumah di posyandu asparaga, tanggal 18 april 28 april 2016 (n=43) kategori f prosentase 1 baik 18 41,9 2 cukup 20 46,5 3 kurang 5 11,6 upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di dalam rumahno tabel 4 upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di sekitar rumah di posyandu asparaga, tanggal 18 april 28 april 2016 (n=43) kategori f prosentase 1 baik 22 51,2 2 cukup 11 25,6 3 kurang 10 23,3 upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di sekitar rumahno 15anam, dkk., upaya orang tua dalam pencegahan ... upaya cukup 41,9% (18 orang tua), dan upaya kurang 7% (3 orang tua). orang tua dengan usia 41-65 tahun memiliki upaya baik dalam pencegahan cedera anak balita di rumah yaitu 11,6% (11 orang tua), upaya cukup 14% (6 orang tua). sehingga dapat disimpulkan bahwa orang tua yang berusia 21-40 memiliki upaya yang cukup dari pada responden yang berusia 41-65 tahun. menurut sutriani (2011) masa dewasa awal (2140 tahun) adalah masa muda yang merupakan periode transisi antara masa dewasa dan masa remaja yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi sementara, hal ini ditunjukkan oleh kemandirian ekonomi dan kemandirian membuat keputusan terutama dalam mengelola rumah tangga serta merawat dan mendidik anak. sedangkan menurut sutriani (2012) ibu usia dewasa madya (41-65) kemampuan fisik ibu mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik, asam urat, dll) sehingga mengalami keterbatasan dalam merawat anak sakit. menurut peneliti, orang tua yang lebih muda lebih sering mendapatkan informasi yang lebih up to date. hal ini karena orang tua yang lebih muda cenderung lebih banyak mendapatkan informasi terutama dari gadget, media massa, dan media lainnya. sehingga orang tua yang lebih muda cenderung memiliki upaya yang lebih baik dari pada orang tua yang berusia lebih tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah. hasil tabulasi silang antara tingkat pendidikan orang tua dengan upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah, orang tua yang memiliki upaya cukup dengan tingkat pendidikan sma ada 39,5% (17 orang tua). menurut mubarak (2007) bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi, dan makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. menurut peneliti, tingkat pengetahuan seseorang akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam pencegahan cedera anak balita di rumah. semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pada upaya yang dilakukan, sebaliknya orang tua dengan berpendidikan rendah upaya yang dilakukan kurang karena pengetahuan dan informasi yang diperoleh terbatas. hasil tabulasi silang antara pekerjaan orang tua dengan upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak, orang tua yang memiliki upaya cukup adalah orang tua yang tidak bekerja 32,6% (14 orang tua). menurut rusli, dkk (2011) bahwa pekerjaan sebagai ibu rumah tangga menuntut ibu untuk selalu berada di rumah dan memiliki banyak waktu untuk mengurus dan merawat anak. perhatian pun menjadi lebih terkonsentrasi dalam hal urusan rumah tangga. menurut peneliti, orang tua yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengawasi dan memperhatikan anak, sedangkan orang tua yang bekerja sebagian besar hanya mempunyai waktu yang sedikit untuk mengawasi anaknya. sehingga semakin banyak waktu yang diberikan orang tua kepada anak maka semakin baik upaya yang dilakukan dalam pencegahan cedera anak balita di rumah, sebaliknya semakin sedikit waktu yang diberikan orang tua maka semakin kurang pula upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah. pada penelitian ini didapatkan bahwa orang tua yang memiliki upaya kurang dalam pencegahan cedera anak balita di rumah adalah 39,5% menyikat lantai kamar mandi agar tidak licin, 46,5% menghindari penggunaan taplak meja, 48.8% tidak meninggalkan anak di kamar mandi sendirian dan 51.2% menjauhkan perabot yang bersudut runcing. menurut kamus besar bahasa indonesia (depdiknas, 2007) upaya merupakan usaha, akal atau ikthiyar untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, dan mencari jalan keluar, dsb. menurut notoatmodjo (2003) upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat. hal ini berarti bahwa peningkatan kesehatan, baik kesehatan individu, kelompok atau masyarakat harus diupayakan. menurut peneliti upaya untuk pencegahan cedera anak balita di rumah seperti menyikat lantai kamar mandi agar tidak licin, menghindari penggunaan taplak meja, tidak meninggalkan anak di kamar mandi sendirian dan menjauhkan perabot yang bersudut runcing merupakan upaya yang baik. menyikat lantai kamar mandi agar tidak licin dapat menghindarkan anak terjatuh karena terpeleset. menghindari penggunaan taplak meja karena anak senang atau mudah menariknya dan benda-benda yang ada di atas meja akan berhamburan menimpa anak. tidak meninggalkan anak di kamar mandi sendirian sebab anak akan main air yang dapat menyebabkan tenggelam atau tersedak air serta menjauhkan perabot yang bersudut runcing agar tidak melukai anak. 16 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 12–16 simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah yaitu 55,8% melakukan upaya cukup, 37,2% melakukan upaya baik, dan sisanya 7% melakukan upaya yang kurang. upaya orang tua yang kurang dalam pencegahan cedera anak balita di rumah yaitu 39,5% menyikat lantai kamar mandi agar tidak licin, 46,5% menghindari penggunaan taplak meja, 48.8% tidak meninggalkan anak di kamar mandi sendirian dan 51,2% menjauhkan perabot yang bersudut runcing. saran saran bagi (1) bagi tempat penelitian yaitu posyandu asparaga diharapkan posyandu asparaga selaku tempat penelitian serta uptd kesehatan sananwetan selaku pengambil kebijakan dapat membuat program promosi kesehatan atau memberikan penyuluhan yang lebih efektif terkait dengan pencegahan cedera anak balita di rumah, sehingga dapat meningkatkan upaya pencegahan cedera anak balita di rumah untuk mengurangi kejadian cedera pada anak (2) peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan upaya orang tua dalam pencegahan cedera anak balita di rumah dengan metode dan instrumen yang lebih baik/tepat. daftar rujukan departemen kesehatan ri politeknik kesehatan malang jurusan keperawatan. 2008. buku panduan karya tulis ilmiah mahasiswa d-iii keperawatan jurusan keperawatan politeknik kesehatan dep. kes. malang. malang: departemen kesehatan ri politeknik kesehatan malang jurusan keperawatan. jelliefe, d. 1994. kesehatan anak di daerah tropis. jakarta: bumi aksara. mike. 2000. p3k untuk orang tua. jakarta: arcan. mubarak, h. 2007. library of congress cataloging in publication data. new york. infobase publishing. notoadmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoadmodjo, s. 2005. promosi kesehatan teori dan alikasi. jakarta: rineka cipta. rusli, a. r., dkk. 2011. perbedaan depresi pasca melahirkan pada ibu primipara ditinjau dari usia ibu hamil. surabaya:fakultas psikologi universitas hang tuah. sutriani. 2011. psikologi perkembangan. jakarta. pt rineka cipta. 153sunarno, suryani, pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung 153 pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung (family knowledge about release the restraint) imam sunarno, yayuk endah suryani politeknik kesehatan malang email: imam_sunarno@yahoo.com abstract: restraint is an action that uses binding or isolation. in blitar the number of odgj as many as 447 people, while in the village of kepanjen kidul there are 117 people with mental disorders, 3 of them was restraint. good knowledge will decrease the restraint action toward mental disorder people. the purpose of the study illustrated the family knowledge about the release of restraint of odgj in the working area of uptd pukesmas kepanjenkidul kota blitar. the research method used descriptive design. the population in this researchwas the family who has severe mental disorder as many as 117 people and the sample size was 30 people with purposive sampling technique. the data collection was done by using questionnaire. the data were collected on january 28 march 31, 2017. the research results showed that family knowledge was less than 76.7%. recommendations for uptd pukesmas kepanjenkidul and cadres as sources of information and expected mental cadres and health workers to provide kie to odgj families about the liberation of the pavement to reduce and prevention of shelter action. keywords: family knowledge, release the restraint abstrak: pemasungan adalah suatu tindakan yang menggunakan cara pengikatan atau pengisolasian. dikota blitar jumlah odgj sebanyak 447 orang, sedangkandi kelurahan kepanjen kidul terdapat 117 orang dengan gangguan jiwa, 3 diantaranya dilakukan pemasungan. pengetahuan baik akan membuat berkurangnya tindakan pemasungan. tujuan penelitian menggambarkan pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung odgj di wilayah kerja uptd pukesmas kepanjenkidul kota blitar. metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian adalah keluarga yang mempunyai penderita gangguan jiwa berat sebanyak 117 orang dan besar sampel yang diambil adalah 30 orang dengan teknik penelitian purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada 28 januari – 31 maret 2017.hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan keluarga kurang sebesar 76.7%. rekomendasi bagi uptd pukesmas kepanjenkidul dan kader sebagai sumber informasi dan diharapkan kader jiwa dan petugas kesehatan memberikan kie kepada keluarga odgjtentang pembebasan pasung untuk mengurangi dan pencegahan tindakan pemasungan. kata kunci: pengetahuan keluarga, pembebasan pasung. kesehatan jiwa adalah keadaan sehat sejahtera mampu menghadapi tantangan hidup dan mampu menerima keadaan diri sendiri dan orang lain (dinkes, 2014). gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku yang secara klinis bermakna yang berhubungan dengan distress atau penderitaan dan menimbulkan hendaya pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia (keliat, 2011 :1). data statistik yang dikemukakan oleh who atau world health organization (2002) menyebutkan bahwa prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, 25% dari penduduk dunia pernah menderita masalah kesehatan jiwa, 1% diantaranya adalah gangguan jiwa berat. perkiraan kasus pemasungan di indonesia berada pada angka 1% dari sekitar 77.280 orang acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p153-159 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 153–159 dengan gangguan jiwa berat di indonesia (dinkes 2014). menurut riskedas (riset kesehatan dasar) tahun 2013, didapatkan prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk indonesia 1,7 per mil. gangguan jiwa berat terbanyak di yogyakarta, aceh, sulawesi selatan, bali, dan jawa tengah. proporsi rt (rumah tangga) yang pernah memasung art (anggota rumah tangga) gangguan jiwa berat 14,3 persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk indonesia 6,0 persen. berdasarkan laporan dari dinas kesehatan kabupaten/kota di jawa timur sampai bulan mei 2014 diperoleh data 764 kasus pasung yang berada di 35 kabupaten/ kota. menurut data yang diperoleh, jumlah odgj sekota blitar pada tahun 2014 adalah 447 orang. di kota blitarpada tahun 2015 mencapai 16 orang yang dipasung dan pada tahun 2016 mencapai 9 orang yang dipasung. menurut data yang diperoleh dari 3 pukesmas di kota blitar yaitu uptd pukesmas sukorejo, uptd pukesmas sananwetan, dan uptd pukesmas kepanjen kidul, masing-masing kecamatan masih ada odgj yang dipasung yaitu uptd pukesmassukorejo yang masih dipasung 2 orang sedangkan pasca pasung sebesar 4 orang, uptd pukesmas sananwetan yang masih dipasung 1 orang sedangkan paska pasung sebesar 3 orang, uptd pukesmas kepanjen kidul terdapat 3 orang dalam kondisi masih dipasung dan 10 orang dengan kondisi paska pemasungan. jadi total dari seluruh odgj pasung maupun paska pasung sebesar 23 orang. orang dengan masalah kejiwaan yang selanjutnya disingkat odmk adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. orang dengan gangguan jiwa yang selanjutnya disingkat odgj adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. menurut uu ri no 18 tahun 2014 tentang kesehatn jiwa pasal 86, setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap odmk dan odgj atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi odmk dan odgj, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. kini pemerintah mencanangkan program “menuju indonesia bebas pasung 2014” dengan serius. namun kenyataan masih ada tindakan pemasungan saat mengamuk karena keluarga/lingkungan memiliki stigma bahwa orang gangguan jiwa akan melukai atau mencederai orang lain, membuat aib keluarga sehingga berakibat semakin parahnya penderita padahal tidak semua orang dengan gangguan jiwa harus dilakukan pemasungan. hanya pada kondisi tertentu penderita gangguan jiwa dapat dipasung, seperti perilaku kekerasan pada orang lain, perilaku kekerasan pada diri sendiri, perilaku kekerasan pada lingkungan. pemasungan pada penderita tersebut akan membuat lebih tenang dan diam namun akan menyulitkan pengobatan karena penderita trauma, dendam, merasa dibuang, rendah diri, dan putus asa serta semangat hidupnya menurun. penderita tersebut menjadi individu tidak produktif, tidak dapat bekerja dan bersosialisasi dengan orang lain serta selama hidupnya bergantung pada keluarganya. keluarga harus mengetahui dan memahami masalah dan dampak yang dapat ditimbulkan sehingga pembebasan pasung mempunyai peranan yang sangat penting bagi penderita gangguan jiwa berat. pengawasan dan perhatian dari keluarga terhadap penderita mempunyai peranan yang sangat penting karena resiko akan hal-hal yang tak terduga dapat membahayakan orang lain atau diri sendiri saat dilakukan pelepasan dari pemasungan. ketidaktahuan keluarga tentang pemasungan akan berdampak terjadi beberapa gangguan fisik pada penderita antara lain kekakuan pada sendi, luka pada bagian yang dipasung dan trauma mental. sehingga keluarga perlu mengetahui kapan penderita harus dipasung atau dilepaskan dari pasung. tetapi pada kenyataannya masih banyak keluarga yang melakukan tindakan pemasungan hanya karena hambatan sumber daya termasuk pengetahuan. berdasarkan studi pendahuluan di uptd puskesmas kepanjen kidul pada tanggal 13 oktober 2016 diperoleh data sebanyak 5 keluarga yang mempunyai penderita gangguan jiwa dengan riwayat pernah dipasung memiliki pengetahuan tentang pembebasan pasung sebesar 20% baik, 20% cukup, dan 155sunarno, suryani, pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung 60% kurang , maka penulis tertarik ingin melakukan penelitian tentang “gambaran pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung odgj di wilayah kerja uptd pukesmas kepanjen kidul” metode penelitian desain yang digunakan peneliti adalah deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan (memaparkan) pengetahuan keluarga tentang prosedur pembebasan pasung pada pasien gangguan jiwa di wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan kepanjen kidul. pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah keluarga orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja uptd pukesmas kepanjen kidul tahun 2016 berjumlah 117orang. sampel yang diambil dalam penelitian ini ialah keluarga yang mempunyai orang dengan gangguan jiwa (odgj) yang resiko dipasung (mencederai orang lain, mencederai diri sendiri, amuk, perusakan lingkungan), pernah dipasung dan masih dipasung di wilayah kerja uptd pukesmas kepanjen kidul dengan menggunakan teknik purposive sampling. pada penelitian ini variabelnya adalah pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj meliputi pengertian pembebasan pasung, prosedur pembebasan pasung, skrining pembebasan pasung , analisis tentang kolaborasi dengan keluarga dan tim kesehatan pembebasan pasung, pencegahan pemasungan, evaluasi tentang pembebasan pasung. instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. hasil penelitian karakteristik responden hasil penelitian menunjukkan 63,3% (19 orang) dari r esponden odgj yang berjenis kelamin perempuan, 50% (15 orang) dari responden odgj yang berumur 41–60 tahun, 26,7% (16 orang) dari hubungan responden dengan penderita odgj yaitu paman dan anak, 46,7% (14 orang) dari responden odgj yang berpendidikan sd, 40% (12 orang) dari responden odgj memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, 60% (18 orang) dari odgj pernah dipasung, 50% (15 orang) dari odgj yang mengalami pemasungan selama < 2tahun, 40% (12 orang) dari odgj yang tidak pernah mempunyai alasan dilakukan pemasungan, 70% (21 orang) dari responden odgj yang tidak pernah mendapatkan informasi, dan 70% (21 orang) dari responden odgj tidak pernah mendapatkan informasi. tabel 1 pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) pengetahuan f % baik 4 13.3 cukup 3 10 kurang 23 76.7 total 30 100 dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga mempunyai pngetahuan kurang tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwayaitu sebanyak 76,7% (23 orang) pengertian pembebasan pasung 6 20 6 20 18 60 30 100 aplikasi tentang pemasungan 2 6,7 8 26,7 20 66,7 30 100 dampak pemasungan dan prosedur 8 26,7 10 33,3 12 40 30 100 analisis tentang resiko dibebaskan dari pemasungan 6 20 10 33,3 14 47,7 30 100 pencegahan pemasungan 4 13,3 16 53,3 10 33,3 30 100 evaluasi tentang pembebasan pasung 4 13,3 11 36,7 15 50 30 100 tabel 2 distribusi frekuensi pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) konsep pemasungan pengetahuan totalbaik cukup kurang f % f % f % f % 156 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 153–159 berdasarkan tabel 2 dapat diketahui pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) didapatkan data prosentase pengetahuan dalam kategori kurang paling banyak pada parameter aplikasi pemasungan. pembahasan pembahasan pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj yang memiliki pengetahuan kurang dari hasil penelitia pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj didapatkan hasil pengetahuan kurang sebesar 76,7% (23 responden). menurut notoadmodjo (2007) bahwa bertambah umur seseorang akan terjadi perubahan fisik dan psikologis, hal ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. tingkat psikologis taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa.selain umur, pengetahuan juga dipengaruhi faktor pendidikan menurut mubarak (2007) semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima informasi khususnya tentang pemasungan pada odgj, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki semakin berkurang orang dengan gangguan jiwa (odgj) yang dipasung, sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat penerimaan informasi. selain pendidikan bisa dihubungkan dengan pekerjaan yang berpengaruh dalam pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj. hal ini didukung oleh pendapat rusli dkk (2011) bahwa pekerjaan yang menuntut untuk selalu berada dirumah dan memiliki banyak waktu dalam mengurus dan memperhatikan urusan rumah tangga sehingga tidak mampu memperhatikan informasi yang masuk akan berdampak kurangnya pengetahuan. pengalaman merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj). menurut halida (2015), penyebab dilakukan pemasungan antara lain kondisi orang dengan gangguan jiwa (odgj) parah atau berat, mengamuk, membahayakan orang lain, perilaku orang dengan gangguan jiwa (odgj) tidak bisa dikendalikan supaya tidak kabur dan merusak, penyembuhan orang dengan gangguan jiwa (odgj) dapat lebih cepat, ketidaktahuan pihak keluarga, dan rasa malu keluarga, serta tidak adanya biaya pengobatan. terdapat hukum yang melarang tentang tindakan pemasungan odgj pada uu ri pasal 86 no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa namun kenyataan masih ada yang melakukan tindakan pemasungan. hal ini dapat dikaitkan dengan lama responden melakukan pemasungan akhirnya menimbulkan beberapa dampak terhadap odgj,menurut halida (2015) dampak yang terjadi meliputi dampak fisik, psikologis, dan sosial. dengan tabulasi silang antara umur dengan pengetahuan menunjukan bahwa keluarga yang memiliki umur 41–60 tahun sebesar 36.7% (11 responden), tabulasi silang antara pendidikan terakhir dengan pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj menunjukan bahwamempunyai pendidikan sebesar sd 43.3% (13 responden), tabulasi silang antara pekerjaan dengan pengetahuan menunjukkan bahwa pekerjaan keluarga sebagai irt sebesar 33.3% (10 responden), tabulasi silang antara responden yang memiliki odgj pernah dipasung dengan pengetahuan diperoleh sebesar 56.7% (17 responden pernah melakukan pemasungan pada odgj), hasil tabulasi silang antara lama responden melakukan pemasungan pada odgj dengan pengetahuan responden diperoleh hasil sebesar 46.7% (14 responden memasung < 2tahun), hasil tabulasi silang antara informasi yang diperoleh responden dengan pengetahuan responden didapatkan hasil sebesar 60% (18 responden tidak pernah mendapatkan informasi). menurut pendapat peneliti sesuai hasil wawancara dengan responden bahwa semakin bertambah usia seseorangakan mengalami penurunan fisik dan penurunan daya ingat sehingga pengetahuan juga berkurang. hal ini dapat dikaitkan dengan pendidikan, pendidikan merupakan suatu pembelajaran dan menambah suatu wawasan pengetahuan. di era sekarang ini tidak membatasi seseorang yang memiliki pendidikan rendah membatasi dalam mengakses informasi dan menambah wawasan pengetahuan melalui teknologi informasi. proses pembelajaran bukan hanya berada di lingkungan sekolah saja namun proses pembelajaran dan menambah wawasan pengetahuan bisa diperoleh dari mana saja. kepandaian tidak hanya diukur seberapa tinggi seseorang itu dalam belajar namun dilihat dari pengalaman dan pengetahuannya. belum tentu orang yang berpendidikan rendah memiliki pengalaman sedikit bisa saja orang yang berpendidikan rendah memiliki pengalaman yang lebih luas dibandingkan orang yang berpendidikan tinggi. hal ini dapat dikaitkan dengan pekerjaan, menurut peneliti irt (ibu rumah tangga) tidak hanya mengawasi dan melayani odgj namun banyak hal yang harus dikerjakan misalnya memasak untuk keluarganya, mengurus 157sunarno, suryani, pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung anak yang masih balita, mengurus rumah tangga, sehingga untuk mengawasi dan melayani odgj tidak terlalu diperhatikan. berdasarkan hasil wawancara dengan responden dapat dikaitkan bahwa irt disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga sehingga kurang mendapatkan informasi karena responden mengabaikan informasi mengenai pemasungan, bahkanada yang mendukung dalam tindakan pemasungan. sedangkan responden yang memiliki informasi yang baik menentukan dalam bertindak atau berperilaku terhadap orang dengann gangguan jiwa (odgj). selain itu responden sering mengabaikan berita dan informasi mengenai pembebasan pasung itu dari media cetak, elektronik maupun tenaga kesehatan, sumber informasi yang kurang akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang. selain itu pengalaman yang kurang menyebabkan keluarga melakukan tindakan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) tidak seharusnya dilakukan karena akan menghambat proses penyembuhan. namun kenyataan dimasyarakat masih ada yang melakukan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa misalnya karena orang dengan gangguan jiwa (odgj) akan menjadi aib keluarga, keluarga tidak mampu menjaga dan mengawasinya, mencederai orang lain, diri sendiri dan lingkungan dan lain sebagainya, dengan beberapa alasan dari responden masih tetap ada yang melakukan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) karena beranggapan dengan dilakukan pemasungan akan menguntungkan dari pihak keluarga dan lingkungan menjadi tenang walaupun sudah ada undang-undang yang telah mengaturnya. pengetahuan yang kurang menghambat dalam proses penyembuhan misalnya keterbatasan dalam komunikasi, gangguan psikologis, gangguan fisik dan gangguan sosial serta tidak mengerti dampak dari proses pemasungan. berdasarkan hasil wawancara dengan responden tidak sedikit responden mengetahui prosedur pembebasan pasung pada orang dengan jiwa (odgj), karena takut jika orang dengan gangguan jiwa (odgj) akan kambuh jika dibebaskan dari pemasungan. beberapa faktor inilah yang mempengaruhi tingkat pengetahuan keluarga berkurang. pembahasan pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj yang memiliki pengetahuan cukup dari hasil penelitian pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj didapatkan hasil pengetahuan cukup sebesar 10% (3 responden). menurut mubarak (2007) semakin tinggi pendidikan semakin mudah menerima informasi khususnya tentang pemasungan pada odgj, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki semakin berkurang orang dengan gangguan jiwa (odgj) yang dipasung ,sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat penerimaan informasi. selain pendidikan, pekerjaan juga berpengaruh pada pengetahuan didukung oleh pendapat notoadmodjo (2003) pekerjaan merupakan perbuatan yang dilakukan tidak terputus, jelas dan dalam kedudukan tertentu. pekerjaan berkaitan dengan dunia kerja dimasyarakat. lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh informasi, pengalaman dan pengetahuan. selain itu, pengalaman merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj). hal ini didukung hukum yang melarang tentang tindakan pemasungan odgj pada uu ri pasal 86 no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa namun kenyataan masih ada yang melakukan tindakan pemasungan. sesuai dengan tabulasi silang pendidikan dengan pengetahuan didapatkan hasil pendidikan sma sebesar 10% (3 responden), tabulasi silang antara pekerjaan dan pengetahuan diperoleh hasil pekerjaan pns sebesar 6.7% (2 responden),tabulasi silang antara informasi dengan pengetahuan didapatkan hasil 6.7% (2 responden tidak pernah mendapat informasi), tabulasi silang antara responden yang pernah melakukan pemasungan pada odgj dengan pengetahuan didapatkan hasil tidak pernah dipasung sebesar 6.7% (2responden). menurut peneliti apabila pendidikan keluarga lebih tinggi maka makin mudah dalam menerima informasi dan berpengaruh dalam proses pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj). belum tentu orang yang berpendidikan cukup memiliki pengalaman sedikit bisa saja orang yang berpendidikan cukup memiliki pengalaman yang lebih luas dibandingkan orang yang berpendidikan tinggi. menurut peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan responden dapat dikaitkan bahwa kegiatan pns pekerjaan yang berada diluar rumah jadi tidak selalu berada dirumah dan tidak memiliki banyak waktu mengurus rumah tangga. namun pekerjaan pns lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah dan lebih banyak berinteraksi dengan seseorang maka akan berpengaruh dalam pengetahuan tentang pembebasan pasung pada 158 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 153–159 odgj. hal ini dapat dikaitkan dengan informasi yang cukup menentukan dalam bertindak atau berperilaku terhadap orang dengann gangguan jiwa (odgj). selain itu berita dan informasi mengenai pembebasan pasung itu dari media cetak, elektronik maupun tenaga kesehatan, sumber informasi yang cukup akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseoorang. berdasarkan wawancara dengan responden pengalaman cukup menyebabkan keluarga berfikir jika akan melakukan tindakan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa tidak seharusnya dilakukan karena akan menghambat proses penyembuhan. hal ini dapat dikaitkan dengan lama responden melakukan pemasungan akhirnya menimbulkan beberapa dampak terhadap odgj. beberapa faktor inilah yang mempengaruhi tingkat pengetahuan keluarga cukup. pembahasan pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj yang memiliki pengetahuan baik dari hasil penelitian pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada odgj didapatkan hasil pengetahuan baik sebesar 13,3% (4 responden). menurut pendapat notoadmodjo (2003) pekerjaan merupakan perbuatan yang dilakukan tidak terputus, jelas dan dalam kedudukan tertentu. pekerjaan berkaitan dengan dunia kerja dimasyarakat. lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh informasi, pengalaman dan pengetahuan. selain itu, pengalaman pernah dilakukannya pemasungan dan lama pemasungan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj).hal ini didukung hukum yang melarang tentang tindakan pemasungan odgj pada uu ri pasal 86 no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa. berdasarkan tabulasi silang antara pekerjaan dan pengetahuan diperoleh hasil pekerjaan wiraswasta sebesar 10% (3 responden), tabulasi silang antara informasi dengan pengetahuan diperoleh hasil yang pernah mendapatkan informasi sebesar 10% (3 responden), tabulasi silang antara sumber informasi responden dengan pengetahuan diperoleh hasil mendapat informasi dari tenaga kesehatan sebesar 10% (3 responden), tabulasi silang antara responden yang pernah melakukan pemasungan pada odgj dengan pengetahuan didapatkan hasil tidak pernah dipasung sebesar 13.3 % (4 responden), menurut peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa wiraswasta pekerjaan yang berada diluar rumah jadi tidak selalu berada dirumah dan tidak memiliki banyak waktu mengurus rumah tangga. namun pekerjaan wiraswasta lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah dan lebih banyak berinteraksi dengan seseorang maka akan berpengaruh dalam pengetahuan tentang pembebasan pasung pada odgj. hal ini dapat dikaitkan dengan informasi yang baik menentukan dalam bertindak atau berperilaku terhadap orang dengann gangguan jiwa (odgj). selain itu berita dan informasi mengenai pembebasan pasung itu dari media cetak, elektronik maupun tenaga kesehatan, sumber informasi yang baik akan berpengaruh terhadap pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj). selain itu pengalaman baik menyebabkan keluarga berfikir jika akan melakukan tindakan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) karena akan menghambat proses penyembuhan. hal ini dapat dikaitkan dengan lama responden melakukan pemasungan akhirnya menimbulkan beberaapa dampak terhadap odgj. beberapa faktor inilah yang mempengaruhi tingkat pengetahuan keluarga baik. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa di wilayah kerja uptd pukesmas kepanjen kidul kota blitar memiliki pengetahuan kurang. saran sesuai dengan simpulan yang telah dikemukakan, peneliti ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1) bagi tempat penelitian, diharapkan hasil penelitian dapat digunakan sebagai sumber informasi dan diharapkan wilayah kerja pukesmas kepanjen kidul kota blitar, khususnya kader jiwa dan petugas kesehatan memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga orang dengan gangguan jiwa (odgj) tentang pembebasan pasung untuk mengurangi dan pencegahan tindakan pemasungan. 2) bagi instansi pendidikan, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan wawasan untuk proses pembelajaran tentang pengetahuan pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj). 3) bagi penelitian keperawatan, 159sunarno, suryani, pengetahuan keluarga tentang pembebasan pasung diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan menambah informasi dan referensi dalam bidang keperawatan dalam ruang lingkup yang sama berkaitan dengan pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj). 4) bagi keluarga, diharapkan keluarga mampu melakukan pembebasan pasung pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) agar tidak melakukan pemasungan dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga orang dengan gangguan jiwa (odgj) tentang pembebasan pasung untuk mengurangi dan pencegahan tindakan pemasungan. 5) bagi peneliti, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembebasan pasung, pada indikator dengan kategori kurang, maka dapat digali: (1) faktor-faktor keluarga untuk melakukan pemasungan kembali pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) pasca pemasungan, (2) peran masyarakat dalam komunikasi dengan orang dengan gangguan jiwa (odgj) pasca pemasungan, (3) peran keluarga dalam penanganan orang dengan gangguan jiwa (odgj) saat amuk dan gelisah setelah di bebaskan dari pemasungan, (4) upaya masyarakat dalam pencegahan tindakan pembebasan pasung. daftar rujukan a.h. yusuf , p.k rizky & nihayati h.e . 2015. kesehatan jiwa. jakarta : salemba medika. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan republik indonesia. riset kesehatan dasar (riskesdas). 2013. direja, a. h. 2011. buku ajar asuhan keperawatan jiwa. yogyakarta: nuha medika. halida, n. 2015. pengalaman keluarga dalam pemenuhan kebutuhanperawatan diri pada orang dengan gangguan jiwa (odgj) dengan pasung di kecamatan ambulu kabupaten jember (skripsi). jember: unej. hayani, l., elita, v., & hasanah, o. gambaran pengetahuan keluarga tentang cara merawat pasien haluasi di rumah (jurnal), diakses 29 agustus 2016. keliat, b. a. 2011. manajemen kasus gangguan jiwa. jakarta: egc. kementerian hukum dan hak asasi manusiari (kemenkumham).undang-undang republik indonesia nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa. peraturan perundang-undangan tentang kesehatan jiwa. notoadtmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta. riyadi, s & purwanto, t. 2009. asuhan keperawatan jiwa.yogyakarta: graha ilmu. 129prawesti, purwaningsih, armini, faktor pendorong pemanfaatan layanan... 129 faktor pendorong pemanfaatan layanan voluntary counselling and testing (vct) oleh lelaki suka dengan lelaki (lsl) di lsm gaya nusantara (factor related voluntary counselling and testing utilization by men sex with men (msm) in gaya nusantara civil society organizations) niken ariska prawesti, purwaningsih, ni ketut alit armini program studi pendidikan ners fakultas keperawatan universitas airlangga email: nariska91@gmail.com; purwaningsih@fkp.unair.ac.id; nk.alita@fkp.unair.ac.id abtract: voluntary counseling and testing (vct) is one of the government programs to prevent transmission of hiv/aids must done by men sex with men (msm). but there are still msm who have not utilized vct services. this study was aimed to analyze of the factors correlating with utilization vct in msm based on health belief model at surabaya region. design used analytic with cross-sectional approach. the 43 samples were chosen by purposive sampling. the independent variabels were perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers, and cues to action. the dependent variabel was utilization vct. data were collected by using questonnaire and alayzed by chi square test. results showed that perceived seriousness had correlation with vct utilization (p=0,035), perceived seriousness had correlation with vct utilization (p=0,039), perceived benefits had correlation with vct utilization (p=0,019), perceived barrier had correlation with vct utilization (p=0,008) and cues to action (p=0,037) had correlation with vct utilization. some factors in health belief model have a correlation with vct utilization by msm. it is recommended to officer gaya nusantara civil society organizations to give adequate information frequently to the high risk people of hiv/aids. keyword: vct, utilization, msm, health belief model abstrak: voluntary counseling and testing (vct) adalah suatu program pemerintah untuk mencegah penularan hiv/aids yang perlu dilakukan olehlelaki suka dengan lelaki (lsl). namun, masih terdapat lsl yang belum memanfaatkan layanan vct. penelitian ini bertujuan menganalisis faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan vct oleh lsl berdasarkan teori health belief model (hbm) di wilayah surabaya. desain penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional. 43 sampel dipilih dengan purposive sampling. variabel independen adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan,persepsi manfaat, persepsi hambatan, dan petunjuk bertindak. variabel dependen adalah pemanfaatan vct. data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisisdengan uji chi square. hasil menunjukkan bahwa kerentanan yang dirasakan memiliki korelasi dengan pemanfaatan vct (p = 0,035), keseriusan yang dirasakan memiliki korelasi dengan pemanfaatan vct (p = 0,039), manfaat yang dirasakan memiliki korelasi dengan pemanfaatan vct (p = 0,019), hambatan yang dirasakan memiliki korelasi dengan vct pemanfaatan (p = 0,008) dan isyarat untuk bertindak (p = 0,037) memiliki korelasi dengan pemanfaatan vct. persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat, persepsi hambatan, dan petunjuk bertindak memiliki korelasi dengan pemanfaatan vct oleh lsl.disarankan kepada lsm gaya nusantara untuk sering memberikan informasi kepada orang-orang berisiko tinggi hiv / aids. kata kunci: vct, lsl, hiv, hbm jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p129–136 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 129–136 pendahuluan indonesia merupakan negara berkembang urutan ke 5 di asia yang memiliki resiko tinggi terhadap penyakit hiv/aids, penyakit ini dapat menyebabkan kematian (kemenkes ri, 2014). salah satu populasi yang beresiko tinggi terkena infeksi menular seksual (ims) dan hiv/aids adalah lelaki suka dengan lelaki (lsl) dikarenakan sering berganti-ganti pasangan (carmelita et al., 2017). kejadian hiv di indonesia pada tahun 2017 dilaporkan dari bulan januari sampai dengan maret terdapat kejadian infeksi sejumlah 10.376 orang. presentase laporan tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25–49 tahun (69,6%) diikuti kelompok umur 20-24 tahun (17,6% ) dan kelompok umur > 50 tahun (6,7%) dengan rasio hiv antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (kemenkes ri, 2017).terdapat 118 lsl yang berkumpul di hotspot pataya dari jumlah tersebut diketahui 56 orang lsl telah melakukan pemeriksaan vct sementara 52% dari 118 lsl belum melakukan pemeriksaan vct (data pemetaan lsl gaya nusantara, 2017) program voluntary counseling and testing (vct) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat yang dilakukan untuk menekan penyebaran hiv/aids, tujuan utamanya adalah merubah perilaku lebih sehat dan lebih aman (kemenkes ri, 2012). menurut lestari (2017) dengan melakukan vct, lsl dapat mengetahui status hivnya, selain itu dalam proses konseling klien akan mendapatkan pengetahuan tentang cara menjaga kesehatan seksual agar terhindar dari segala penyakit ims. harapan dilakukan program vct sebagai pencegahan penularan hiv/aids secara lebih dini. lsl sendiri sebenarnya telah menyadari bahwa perilaku seksual beresiko yang dilakukan dapat menyebabkan tertularnya hiv dan aids, namun kerap kali ada dilema yang menghalangi lsl melakukan tindakan untuk mendapatkan kepastian status kesehatannya salah satunya dengan mengikuti program vct.tingginya kasus hiv/aids di indonesia salah satunya dikarenakan minat seseorang yang beresiko untuk melakukan pemeriksaan vct yang masih rendah. teori health belief model (hbm) memuat komponenkomponen yang dapat menganalisis respon suatu individu terhadap pencegahan suatu penyakit (notoatmodjo, 2007). bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. variabel dependennya yaitu pemanfaatan voluntary counseling and testing (vct) oleh lelaki seks dengan lelaki(lsl) dan variabel independen meliputi perceived susceptibility, perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers dan cues to action. peneliti menggunakan teknik deskriptif analitik dengan instrumen yang digunakan yaitu kuesioner. penelitian dilakukan di hotspot pataya yang terletak di jl. karimun jawa surabaya jawa timur tanggal 25-27 mei 2018 pada pukul 19.00 wib. sampel sebanyak 53 orang lelaki suka dengan lelaki (lsl) yang telah memanfaatkan ataupun belum memanfaatkan vct di hotspot pataya yang memiliki sikap terbuka yang dipilih secara purposive sampling. hasil penelitian karakteristik demografi data karakteristik demografi responden ini menguraikan tentang karakteristik responden yang diteliti dengan jumlah 43 orang. data yang dibahas meliputi usia sekarang, jarak rumah dengan pelayanan kesehatan terdekat, pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, dan penghasilan perbulan serta pernah melakukan vct atau tidak. tabel 1 karakteristik demografi lsl yang melakukan pemeriksaan vct (n=43) no karakteristik responden f % 1 usia 21–30 tahun 23 53 31–40 tahun 15 35 41–49 tahun 5 15 2 jarak rumah dengan pelayanan kesehatan < 1 km 20 47 1 km-3km 13 30 > 3 km 10 23 3 pendidikan terakhir tidak tamat sd 1 2 tamat sd/mi/ sederajat 1 2 tamat smp/sederajat 9 21 tamat sma/sederajat 27 63 perguruan tinggi 5 12 131prawesti, purwaningsih, armini, faktor pendorong pemanfaatan layanan... hubungan perceived susceptibility dengan pemanfaaatan layanan vct oleh lsl berdasar tabel 2 hasil statistik chi square diperoleh p = 0,035 (  0,05) maka h1 diterima yang berarti ada hubungan antara perceived susceptibility dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl. pada koefisien kontingensi (c) didapatkan 0,307 yang berarti bahwa variabel perceived susceptibility dan variabel pemanfaatan vct memiliki hubungan yang lemah. no karakteristik responden f % 4 jenis pekerjaan pelajar/mahasiswa 1 2 wiraswasta 14 33 swasta 26 60 buruh 1 2 lain-lain 1 2 5 penghasilan perbulan < rp 3. 583. 321 24 56 > rp 3. 583. 321 19 44 6 pernah melakukan pemeriksaan vct ya 33 77 tidak 10 23 perceived susceptibility (persepsi kerentanan) total (%) pemanfaatan vct ya tidak f % f % rendah 14 33 8 57 6 43 tinggi 29 67 25 86 4 14 total 43 100 33 77 10 23 uji chi square p = 0. 035;koefisien kontingensi (c) = 0, 307 tabel 2 hubungan perceived susceptibility dengan pemanfaatan vct oleh lsl di hotspot pataya tabel 3 hubungan perceived seriousness dengan pemanfaatan vct oleh lsl di hotspot pataya perceived seriousness (persepsi keseriusan) total (%) pemanfaatan vct ya tidak f % f % rendah 18 42 11 61 7 39 tinggi 25 58 22 88 3 12 total 43 100 33 77 10 23 uji chi square p =0. 039 koefisien kontingensi (c) = 0, 300 hubungan perceived seriousness dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl berdasar tabel 3 hasil statistik chi square diperoleh p = 0,039 (  0,05) maka h1 diterima yang berarti ada hubungan antara perceived seriousness dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl. pada koefisein kontingensi (c) didapatkan 0,300 yang berarti bahwa variabel perceived seriousness dan variabel pemanfaatan vct memiliki hubungan yang lemah. hubungan perceived benefits dengan pemanfaatan vct oleh lsl berdasar tabel 4, hasil statistik chi square diperoleh p = 0,015 (  0,05) maka h1 diterima yang berarti ada hubungan antara perceived benefit dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl. pada koefisein kontingensi (c) didapatkan 0,335 yang berarti bahwa variabel perceived benefit dan variabel pemanfaatan vct memiliki hubungan yang lemah. 132 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 129–136 tabel 4 hubungan perceived benefits dengan pemanfaatan vct oleh lsl di hotspot pataya perceived benefits (persepsi keuntungan) total (%) pemeriksaan vct ya tidak f % f % rendah 13 30 7 54 4 13 tinggi 30 70 26 87 6 46 total 43 100 33 77 10 23 uji chi square p = 0,019 koefisen kontingensi (c) = 0,335 tabel 5 hubungan perceived barierr dengan pemanfaatan vct oleh lsl di hotspot pataya perceived barries (persepsi hambatan) total (%) pemeriksaan vct ya tidak f % f % rendah 28 65 25 89 3 11 tinggi 15 35 8 53 7 47 total 43 100 33 77 10 23 uji chi square p = 0,008 koefisien kontingensi (c) = 0,376 hubungan perceived barrier dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl berdasarakan tabel 5, hasil statistik chi square diperoleh p = 0,008 (  0,05) maka h1 diter ima ya ng ber a r ti a da hubunga n a nta r a perceived barrier dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl. pada koefisein kontingensi (c) didapatkan 0,376 yang berarti bahwa variabel perceived barrier dan variabel pemanfaatan vct memiliki hubungan yang lemah. hubungan cues to action dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl berdasarkan tabel 6, hasil statistik chi square diperoleh p = 0,015 (  0,05) maka h1 diterima yang berarti ada hubungan antara cues to action dengan pemanfaatan layanan vct oleh lsl. pada koefisein kontingensi (c) didapatkan 0,303 yang berarti bahwa variabel cues to action dan variabel pemanfaatan vct memiliki hubungan yang lemah. tabel 6 hasil variabel cuess to action oleh lsl di hotspot pataya cues to action (stimulus) total (%) pemeriksaan vct ya tidak f % f % rendah 21 49 19 90 2 10 tinggi 22 51 14 64 8 36 total 43 100 33 77 10 23 uji chi square p = 0,037koefisein kontingensi (c) = 0,303 pembahasan responden ya ng memiliki perceived susceptibility yang tinggi namun tidak melakukan vct disebabkan oleh jenis pekerjaan yaitu swasta dan wiraswasta. berdasar wawancara, responden mengatakan memiliki sedikit waktu sehingga tidak sempat memanfaatkan layanan vct. euis (2017) pelayanan vct dilakukan saat jam kerja puskesmas 133prawesti, purwaningsih, armini, faktor pendorong pemanfaatan layanan... yaitu pada hari kerja yang terbatas pagi atau sore saja. sehingga tidak menutup kemugkinan kelompok resiko tinggi merasa kurang nyaman untuk melakukan karena bertabrakan dengan jam kerja mereka, sebagian besar responden memiliki pekerjaan yang tetap dan tidak memungkinkan untuk meninggalkan pekerjaannya, informan lebih memilih untuk menunda vct. selain memiliki pekerjaan (swasta dan wiraswasta ), lsl memiliki pekerjaan sampingan sebagai petugas lapangan (pl) di lsm gaya nusantara dan sebagai relawan kesehatan dipusat layanan kesehatan terkait hiv/aids dan memiliki pekerjaan freelance lain yang lebih dipilih, sehingga lsl tidak sempat memikirkan untuk memanfaatkan layanan vct karena kesibukan pekerjaan mereka. responden dengan perceived seriousness tinggi memilih tidak memanfaatakan layanan vct. faktor yang mempengaruhi yaitu tingkat pendidikan, jarak rumah dengan layanan kesehatan, pekerjaan dan memiliki latar belakang pendidikan terakhir tamat smp. anggraeni (2018) faktor pengubah seperti tingkat pendidikan dipercayai mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap perilaku dengan cara mempengaruhi persepsi individu seperti persepsi terhadap keseriusan. individu dengan pendidikan tinggi, cenderung memiliki perhatian yang besar terhadap kesehatannya sehingga jika individu tersebut mengalami gangguan kesehatanmaka ia akan segera mencari pelayanan kesehatan. selain karena faktor pendidikan, jarak rumah dengan tempat pelayanan kesehatan juga dapat mempengaruhi. responden mengatakan mimiliki jaraka rumah dengan layanan kesehatan >3 km. terdapat pendukung (enabling factors) untuk melakukan perilaku kesehatan salah satunya adalah accessibility of health resouse, dimana seseorang akan melakukan perilaku kesehatan jika terdapat kemudahan dalam mencapai akses tempat pelayanan kesehatan tersebut. jarak rumah responden cukup jauh dengan tempat pelayanan kesehatan dibanding dengan responden lainnya membuat responden enggan memanfaatkan layanan vct, meskipun persepsi keseriusan terhadap hiv/aids tinggi, hal tersebut tidak membuat responden tergugah untuk memanfaatkan layanan vct. responden dengan perceived seriousness (persepsi keseriusan) rendah memilih melakukan pemanfaatan vct. berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, mayoritas responden tamat sma, seperti yang sudah dijelaskan, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan mendorong orang tersebut untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan termasuk pemeriksaan vct. responden memiliki pendidikan terakhir smp dan persepsi keseriusan yang rendah namun, masih memanfaatkan layanan vct hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan lsl berkumpul. faktor lingkungan dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong responden merasakan persepsi keseriusan sehingga termotivasi untuk memanfaatkan vct (purwaningsih, 2011). pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengankepatuhan pasien hiv/aids. adanya pengetahuan yang tinggi dari pasien akan mempengaruhi tingkat kepatuhan (astuti and mulyaningsih, 2017) ketika lsl berada di lingkungan orang yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang tinggi dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang vct maka dapat mendorong responden yang berlatar belakang pendidikan rendah namun tetap mau untuk memafaatkan layanan vct. persepsi keseriusan yang dirasakan terhadap hiv/aids berbeda pada masing-masing individu. hal tersebut dikarenakan setiap orang memiliki pandangan yang subjektif terkait penyakit hiv/ aids. responden dengan perceived benefits (persepsi keuntungan) yang tinggi memililih tidak memanfaatkan vct. faktor hambatan yang mempengaruhi adalah pekerjaan yang mayoritas memiliki pekerjaan swasta dan wiraswasta. pekerja dituntut untuk dapat memberikan waktu, tenaga, dan pikiran dalam mencapai hasil yang diinginkan oleh pekerjaan tersebut (carmelita et al., 2017). dengan adanya tuntutan dalam perkerjaan, responden memiliki waktu yang terbatas untuk dapat dengan teratur melakukan vct. faktor dukungan yang rendah dari orang sekitar dan media informasi juga ikut berpengaruh dalam penelitian ini, meskipun persepsi manfaat dalam memanfaatkan layanan vct termasuk tinggi. teori model of mediator in health terdapat dau variabel yang berpengaruh yaitu jalur sosio emosional yang meliputi pengetahuan informasi yang dapat mempengaruhi perilaku kesehatan responden dengan persepsi keuntungan rendah memilih memanfaatkan layanan vct. berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pemeriksaan vct setelah dilakukan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. mitikie (2015) faktor pendorong pemanfaatan vct adalah respoden yang merasakan adanya manfaat dalam melakukan vct dan responden 134 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 129–136 yang memiliki persepsi yang tinggi. program vtc dapat memberikan keuntungan bagi klien dengan hasil tes postif maupun tes negatif dengan fokus pemeberian obat arv, dan dapat membantu mengurangi stigma masyarakat, serta dapat memudahkan akses keberbagai layanan kesehatan maupun layanan psikososial yang dibutuhkan klien (depkes ri, 2006). manfaat yang didapat dari layanan vct dapat digunakan lsl untuk mengatasi masalah kesehatannya, terutama masalah hiv. responden memiliki perceived barrier (persepsi hambatan) rendah namun tidak memanfaatkan layanan vct. responden ini tidak memanfaatkan vct dikarenakan oleh cues to action (stimulus) yang rendah, yaitu tidak ada dukungan dari orang sekitar maupun keluarga serta kurang mendapat informasi. menurut friedmand (1988) manyatakan bahwa seseorang akan mencari pelayanan kesehatan apabila ia mencari nasihat dari keluarga atau teman-temannya. dengan mendapat anjuran dan dukungan dari orang terdekat dapat merubah perilaku untuk memnfaatkan layanan vct. kurangnya informasi serta saran akan menghabat seseorang melakukan pemanfaatan layanan vct meskipun memiliki persepsi hambatan yang rendah. teori hbm memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian. rintangan yang ditemukan dalam melakukan tindakan pencegahan akan mempengaruhi besar kecilnya usaha dari individu tersebut. bila masalah yang dihadapi dalam tindakan pencegahan penyakit sangat besar maka perspesi untuk melakukan tindakan semakin kecil, namun bila masalah yang dihadapi kecil maka semakin besar bagi individu melaksanakan tindakan pencegahan. responden dengan perceived barrier (persepsi hambatan) yang tinggi, memilih memanfaatkan layanan vct. mayoritas respondenmemiliki rumah yang dekat dengan tempat pelayanan kesehatan yaitu berkisar <1 km. hal ini sejalan dengan penelitian murniati (2007) bahwa keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan mempunyai hubungan terhadap kunjungan ke pusat layanan kesehatan. sehingga kunjungan masyarakat yang bertempat tinggal lebih dekat dari tempat pelayanan kesehatan lebih bnayak jika dibandingkan dengan masyarakat yang jaraknya jauh. sulitnya pelayanan kesehatan dicapai secara fisik banyak menuntut pengorbanan sehingga akan menurunkan permintaan. responden dengan stimulus yang tinggi memilih tidak memanfaatkan layanan vct karena faktor penghambat yang banyak seperti pekerjaan, jarak dengan akses puskesmas, dan didukung faktor persepsi manfaat yang rendah. respoden memiliki persepsi manfaat yang rendah karena merasa vct sangat menyita waktu sedangkan selain itu responden mengatakan saat mendapatkan penyuluhan, responden kurang begitu memahami maksud dari penyuluhan yang dilakukan oleh petugas puskesmas dan pengawas lapangan, hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden yang rendah sehingga merasa informasi yang diberikan kurang memiliki manfaat. saat melakukan tindakan kesehatan terdapat faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut. sehingga meskipun stmulus tinggi responden tetap tidak memanfaatkan layanan vct karena didominasi oleh faktor penghambat. menurut teori hbm, seseorang akan menerima isyarat untuk bertindak hal ini merupakan pemicu yang membuat orang tersebut merasa perlu untuk mengambil tindakan. respoden dengan stimulus yang rendah memilih memanfaatkan layanan vct karena lsl memiliki pengetahuan yang tinggi tentang hiv/aids dan mencari sumber informasi tambahan melalui internet terkait layanan vct lebih cenderung berinisiatif untuk memanfaatkan vct karena merasa memiliki peluang besar terkena hiv/aids. fatmala (2016) semakin tinggi pendidikan yang dimiliki responden maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuan terkait vct, informan yang memiliki tingkat pendidikan rendah juga mempunyai pengetahuan yang baik mengenai halhal yang berkaitan dengan vct, hiv dan aids. meskipun jarang mengikuti penyuluhan dan kurang mendapatkan dukungan dari kelompok ataupun informasi dari petugas kesehatan karena terhambat oleh pekerjaan, namun lsl dengan pengetahuan yang tinggi menggali informasi dari internet dan media online lainnya terkait vct dan cara alternatif untuk mengakses layanan vct disela-sela kesibukan bekerja, meskipun memilik stimulus yang rendah lsl masih mau memanfaatkan layanan vct simpulan dan saran simpulan semua variabel memiliki hubungan dalam penelitian ini. tidak semua orang yang memiliki persepsi tinggi mau melakukan pemanfaatan layanan vct ka r ena va r ia bel perceived susceptibility, 135prawesti, purwaningsih, armini, faktor pendorong pemanfaatan layanan... perceived seriousness, perceived benefits, perceived barriers dan cues to action dalam pemanfaatan layanan vct tidak terlepas dari faktor sosiodemografi lsl yang juga dapat memberi pengaruh terhadap persepsi masing-masing individu. namun cues to action (isyarat untuk bertindak) dipengaruhi sangat dipengaruhi oleh sumber informasi yang didapatkan lsl terkait hiv. penyuluhan terkait vct telah dilakukan petugas vct dari puskesmas maupun petugas lapangan lsm, namun masih terdapat lsl yang belum memanfaatkan layanan vct saran pengurus lsm gaya nusantara diharapkan (1) lebih aktif dalam mengdukasi lsl terkait dengan pemanfaatan layanan vct baik media online (2) penyuluhan yang dilakukan secara langsung dapat digabungkan dengan layanan mobile vct melalui kerjasama dengan puskesmas yang memiliki layanan vct karena saat ini semua layanan terkait vct telah dibuka. (3) lsl aktif mengikuti penyuluhan dan edukasi yang diberikan pihak puskesmas maupun pihak lsm gaya nusantara dan mencari informasi tambahan dari internet, petugas lapangan (pl) lsm gaya nusantara dan teman sekelompok atau orang yang dianggap penting terkait informasi hiv/ aids dan layanan vct sehingga dapat meningkatkan persepsi untuk melakukan pemeriksaan vct dan menanggulangi perasaan takut. daftar rujukan abebe, a., & mitikie g. 2015. perception of high school students towards voluntary hiv counseling and testing, using health belief model in butajira, snnpr  aids, k. 2006. pelaksanaan akselerasi penanggulangan hiv/aids di 100 kabupaten /kota. jakarta. anggraeni, r. f., riono, p. and farid, m. n. 2018 ‘pengaruh tahu status hiv terhadap penggunaan kondom konsisten pada lelaki yang seks dengan lelaki di yogyakarta dan makasar (analisis data serveilans terpadu biologi dan perilaku tahun 2013)’, 3(1), pp. 7–15. astuti, d. and mulyaningsih, m. 2017. ‘nurse role as educator affected the compliance of antiretroviral (arv) consumption for patients with hiv/aids in the vct clinic of dr. moewardi hospital’, jurnal ne rs dan kebidanan (j ournal of ners and midwifery), 3(3), p. 183. doi: 10.26699/jnk.v3i3. art.p183-188. bkkbn. 2006. ‘buku saku bagi petugas lapangan program kb nasional materi konseling’. carmelita, p. d. et al. 2017. ‘analisis faktorfaktor yang berhubungan dengan praktik skrining ims oleh lelaki seks lelaki (lsl) sebagai upaya pencegahan penularan hiv (studi kasus pada semarang gaya community)’, 5, pp. 486–495. david, h. w. 2017. fundamental of hiv medecine. usa: oxford university press. fatmala, r. d. 2016. ‘faktor predisposing, enabling dan reinforcing dalam pemanfaatan vct oleh lakilaki seks dengan lakilaki’, september 2016, pp. 138– 150. doi: 10.20473/jbe.v4i1.138-150. frankenfield, k. m. 2009. ‘health belief model of breast cancer screening for female college students’, p. 25. available at: http://commons.emich.edu/cgi/ viewcontent. cgi?article=1257&context=theses. glanz, k. r. and b.k viswanath k .2008. health behavior and health education/: therory, research and practice. united satates of america: jossey-bass. glanz, k. r., rimer, b. k. and k, v. 2008. health behaviour and health education. america. ichasantiarini, a.p & pringgodiggo n. 2013. hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan tekanan darah pada pasien hipertensi rumah sakit dr.cipto mangunkusumo.skripsi joseph.t.f, l. et al. 2013. ‘prevalence and associated factors of intention to participate in hiv voluntary counseling and testing for the first time among men who have sex with men iin hongkong, china’, preventive medicine. elsevier inc., 57(6), pp. 813–818. doi: 10.1016/j.ypmed.2013.09.005. kemenkes ri.2012. ‘profil kesehatan indonesia 2012. jakarta:kemenkes. kemenkes ri.2014. ‘profil kesehatan indonesia 2014’. jakarta: kemenkes. kemenkes ri. 2017. ‘laporan perkembangan hivaids & infeksi penyakit menular seksual (ims) triwulan i’. komisi penangggulangan aids nasional. 2009. ‘situasi hiv dan aids di indonesia’. murniati. 2007. faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal oleh ibu hamil di kabupaten aceh tenggara. tesis. medan: universitas sumatera utara. http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6760/1/ 057012021.pdf. diakses pada tanggal 26 maret 2018 pukul 16:02 wib. nasional, k. penanggulangan a. 2009. hiv dan sekilah pandang. jakarta. purwaningsih, misutarno and imamah, s. n. 2011. ‘analisis faktor pemanfaatan vct pada orang risiko tinggi hiv/ aids’ teti, euis, h. m. 2017. ‘analisis pemanfaatan voluntary counseling and testing berdasarkan pendekatan teori health beliefe model pada lelaki suka lelaki dan waria di kabupaten ciamis’, jurnal mitra ke ncana/: keperawatan dan kebi danan, 1 (november), pp. 1–10. 136 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 129–136 umariyah, f. s. n. and ayu, w. 2017. ‘kepatuhan homoseksual (gay) dalam pemeriksaan vct di psukesmas halmahera kota semarang tahun 2017’. vidiyanti, p. d. 2015. ‘teenage knowledge and attitude to prevent hiv/aids’, jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 2(1), pp. 060– 066. doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p060-066. d:\set 2017\set nanik juni 2017 40 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 40–46 40 motivasi wanita pasangan usia subur (pus) dalam menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar (the motivation of married women in fertile age couples (fac) in using intrauterine device (iud) as contraception method in sukorejo blitar) sunarti, anis poltekkes kemenkes malang email : s.kepsunarti@yahoo.co.id abstract: the fertile age couples (fac) motivation in controling pregnancy one of which is by using iud contraception. the largest acceptors is 27.1% fac women of the total fac women in district sukorejo 2014 using the iud. the purpose of the study was to describe the motivation of women in fertile age couples (fac) in using iud in sukorejo blitar. the researcher used descriptive method. the data were taken from fac women who use iud in sukorejo, blitar, with total sample of 44 fac women using purposive sampling technique. the data collection was done by giving questionnaires. the data retrieved from march to april 2016. the research results showed that the category of high motivation was 72.7% and fair motivation was 27,3%. the intrinsic motivation was high especially at the desire from her self and the target to get effectiveness usage of iud. the extrinsic motivation was also high especially to support the environment. distressed motivation was fair especially in body weight that affects fac women to use iud contraception. from this research, the researcher recommended to maintain high motivation in pus women to use iud contraceptives method. keyword: motivation, fac women, and iud contraceptive method. abstrak: motivasi pasangan usia subur (pus) untuk mengontrol kehamilan, dengan menggunalan alat kontrasepsi iud. akseptor terbanyak sebesar 27,1% wanita pus dari total wanita pus di kecamatan sukorejo tahun 2014 menggunakan iud. tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan motivasi wanita pasangan usia subur (pus) dalam menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar. metode penelitian menggunakan rancangan deskriptif. populasi penelitian yaitu wanita pus yang menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar, jumlah sampel sebanyak 44 wanita pus menggunakan teknik purposive sampling. pengumpulan data dengan cara memberikan kuesioner. waktu pengambilan data bulan maret hingga april 2016. dari hasil penelitian didapatkan motivasi wanita pus yaitu motivasi tinggi 72,7% dan motivasi cukup 27,3%. motivasi intrinsik dalam kategori tinggi terutama pada keinginan dari dalam diri dan tujuan mendapatkan efektiftas penggunaan iud. motivasi ekstrinsik juga tinggi terutama pada lingkungan yang mendukung. dan motivasi terdesak cukup terutama pada berat badan yang mempengaruhi wanita pus untuk menggunakan alat kontrasepsi iud. rekomendasi dari penelitian ini untuk mempertahankan motivasi tinggi wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud. kata kunci: motivasi, wanita pus, alat kontrasepsi iud indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih memiliki banyak problem, salah satunya kependudukan. di tahun 2010 indonesia menjadi penyumbang jumlah penduduk terbesar ke-empat acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p040-046 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 41sunarti dan anis, motivasi wanita pasangan usia subur (pus)... di dunia setelah china, india, dan amerika serikat. untuk mengatasi ma sala h jumlah penduduk, indonesia telah melakukan upaya untuk membatasi kelahiran dengan mengadakan program keluarga berencana (kb). sejak orde baru, pemerintah sudah mulai fokus terhadap masalah kependudukan. periode implementasi program kb secara nasional dimulai dengan pembentukan badan koordinasi keluarga berencana nasional (bkkbn) yang bertugas pokok mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan program kb nasional dan kependudukan di tingkat pusat maupun daerah. seiring dengan perubahan zaman dan berbagai permasalahan yang melingkupi, terus dilakukan perubahan strategi untuk mendorong minat masyarakat melalui berbagai program yang dapat meningkatkan keberhasilan program kb. awalnya, program kb di tahun 1970-1980 mengarah pada management for the people (manajemen untuk masyarakat), dimana pemerintah lebih banyak berinisiatif, dan partisipasi masyarakat masih rendah. oleh karena itu, mulai tahun 1980 diadakan berbagai program yang mengarah pada management with the people (manajemen bersama masyarakat), yaitu program dari dan oleh masyarakat dimana masyarakat bebas memilih jenis alat kontrasepsinya. salah satu program yang dimulai tahun 1980-an yaitu program safari kb (hartanto, 2004:20-21), atau lebih dikenal dengan safari kb senyum terpadu, yaitu program kb gratis yang diadakan setiap ada even penting di suatu daerah. selain itu, untuk meningkatkan kinerja, bkkbn di perkuat dengan perubahan kelembagaan, visi dan misi, yaitu menjadi badan kependudukan dan keluarga berencana nasional di tahun 2009. visi bkkbn adalah “penduduk tumbuh seimbang 2015” dengan misi “mewujudkan pembangunan yang berwawasan kependudukan dan mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera” (bkkbn, 2011:1). tujuan akhir kb adalah tercapainya nkkbs (norma kecil keluarga bahagia sejahtera) yang pada waktunya nanti akan menjadi falsafah hidup masyarakat indonesia (suratun et al, 2008:15-16). penerapan program kb belum dapat dikatakan sepenuhnya terealisasi positif. hal ini terbukti dari keberhasilan program kb, yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk (lpp). menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 (dalam profil kesehatan indonesia 2012), semakin tinggi lpp menyebabkan jumlah penduduk semakin banyak di masa yang akan datang. lpp per tahun selama periode 1971-1980 sebesar 2,71% per tahun dan menurun selama rentang periode 1980-2000 yaitu menjadi 1,4% per tahun. hal ini memang membuktikan program kb berhasil dan sukses diterapkan pada masa itu. namun di periode 2000-2010 lpp sebesar 1,49% per tahun, sedikit meningkat dibandingkan lpp periode sebelumnya, hal ini membuktikan jumlah penduduk lebih banyak dari periode sebelumnya sehingga, program kb harus ditingkatkan. dalam profil statistik kesehatan 2015, secara nasional urutan penggunaan kb di indonesia pada tahun 2014 yaitu kb suntik (56,9%), selanjutnya adalah kb pil (21,70%), kb akdr/iud (6,83%), kb susuk/implanon (5,73%), mow (2,82%), cara tradisional (1,79%), kb kondom (0,85%), mop (0,57%), kondom wanita (0,05%), dan terakhir intravag (0,04%). kemudian di jawa timur, menurut statistik daerah provinsi jawa timur, urutan penggunaan metode kontrasepsi di provinsi jawa timur yaitu kb suntik (48,69%), selanjutnya kb pil (20,20%), kb akdr/iud (13,73%), kb susuk (10,23%), kontrasepsi wanita (4,94%), kb kondom (1,73%), dan yang terakhir kontrasepsi pria (0,47%). baik di tingkat nasional maupun ditingkat provinsi jawa timur, suntik menjadi metode kontrasepsi pilihan terbanyak di tahun 2014. sedangkan, menurut hasil statistik daerah kota blitar yang dipublikasikan oleh badan pusat statistik kota blitar tahun 2015 yang bersumber dari bapemas kota blitar, sejak tahun 2010 kb iud menjadi metode kontrasepsi pilihan terbanyak dibandingkan metode lainnya. dengan jumlah pus di tahun 2014 sebesar 23.841 pus, yang terbanyak pesertanya yaitu kb iud (25,2%), selanjutnya kb suntik (21,7%), kb pil (11,25%), kb implant 6,15%, kb kontap (3,98%), dan terakhir kb kondom (3,93%). peserta kb iud terbanyak juga tampak di kecamatan sukorejo kota blitar. dari 7.614 pus tahun 2014, metode kontrasepsi yang paling banyak pesertanya adalah iud (27,1%). urutan berikutnya adalah kb suntik (14,2%), kb implant (13,8%), kb pil (11,5%) kontap p/l (4,5%), dan kondom (2,5%). hal ini menunjukkan bahwa iud merupakan metode kontrasepsi yang banyak diminati dan dirasa paling aman atau sedikit risikonya. iud adalah alat kontrasepsi yang dipasang dalam rahim, bekerja dengan melemahkan sperma (bkkbn, 2014). jumlah akseptor iud terbanyak di kecamatan sukorejo dapat disebabkan oleh minat wanita pus dalam memilih alat kontrasepsi. menurut royal college of obstetricians and gynaecologists (dalam jurnal allen, 2010) banyak penyebab yang dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih kontrasep42 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 40–46 si, efektifitas adalah salah satunya. efektifitas penggunaan iud sampai 99,4% dan keuntungannya jangka panjang yaitu hingga 10 tahun, dapat digunakan oleh semua perempuan usia reproduksi, tidak mempengaruhi kualitas dan volume asi, dan lainlain. hal ini membuktikan efektifitas dan keuntungan iud menjadi salah satu penyebab dorongan wanita pus dalam memilih alat kontrasepsi. menurut uno (2013:8), apabila seseorang senang terhadap sesuatu dan mampu menghadapi tantangan maka akan termotivasi untuk melakukan kegiatan itu. motivasi adalah dorongan dasar untuk bertingkah laku, dapat berupa motivasi dari dalam diri (intrinsik), motivasi dari luar (ekstrinsik), dan motivasi dalam kondisi terjepit (terdesak). dari hasil studi pendahuluan dan wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 16 desember 2015 pada 10 wanita pus yang menggunakan kb iud di kelurahan blitar dan kelurahan pakunden kecamatan sukorejo kota blitar, didapatkan hasil yaitu 8 wanita pus (80%) mengatakan menggunakan iud 4 diantaranya tidak ingin berat badannya bertambah, 3 diantaranya tidak ingin repot dan 1 diantaranya merasa lebih aman karena mencoba kb lain kebobolan. kemudian 1 wanita pus (10%) mengatakan menggunakan iud karena arahan dari bidan dan ingin mencoba. dan 1 wanita pus (10%) mengatakan menggunakan iud karena memiliki tekanan darah tinggi. dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti motivasi wanita pasangan usia subur (pus) dalam menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device/ iud di kecamatan sukorejo kota blitar. bahan dan metode metode penelitian menggunakan rancangan deskriptif. populasi penelitian yaitu wanita pus yang menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar, jumlah sampel sebanyak 44 wa nita pus menggunakan teknik purposive sampling. pengumpulan data dengan cara memberikan kuesioner. waktu pengambilan data bulan maret hingga april 2016. hasil penelitian secara umum, wanita pus yang menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar seperti dalam tabel 1 di bawah ini. motivasi wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar secara umum ditunjukkan dalam tabel 2. tabel 1 karakteristik wanita pasangan usia subur (pus) yang menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar, maret-april 2016 (n=44). no karakteristik f prosentase 1 usia: 15-25 tahun 9 20.5 26-35 tahun 22 50 36-45 tahun 9 20.5  46 tahun 4 9.1 2 pekerjaan: irt 22 50 swasta 16 36.4 pns 6 13.6 3 pendidikan terakhir sd 3 6.8 smp 6 13.6 sma 19 43.2 pt 16 36.4 4 jumlah anak 1 14 31.8 2 18 40.9 > 2 12 27.3 5 usia anak terakhir < 2 tahun 21 47.7 2-5 tahun 12 27.3 > 5 tahun 11 25 6 cara pemasangan iud postpartum 9 20.5 40-50 hari postpartum 6 13.6 saat menstruasi berakhir 26 59.1 hari biasa 3 6.8 7 pernah menggunakan alat kontrasepsi selain iud ya 29 65.9 tidak 15 34.1 8 jenis alat kontrasepsi yang pernah digunakan selain iud tidak ada 15 34.1 suntik 19 43.2 pil 5 11.4 implant 3 6.8 kondom 2 4.5 9 adanya kendala dengan alat kontrasepsi selain iud ya 36 81.8 tidak 8 18.2 10 masalah menggunakan alat kontrasepsi selain iud siklus menstruasi 10 22.7 bb 15 34.1 penyakit 4 9.1 efektifitas 7 15.9 tidak ada 8 18.2 43sunarti dan anis, motivasi wanita pasangan usia subur (pus)... motivasi wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar berdasarkan tiap kategori ditunjukkan dalam tabel 3. motivasi terdesak wanita pasangan usia subur (pus) da la m menggunakan a lat kontr asepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar ditunjukkan dalam tabel 5. no kategori f prosentase 1 motivasi tinggi 32 72,7 2 motivasi cukup 12 27,3 3 motivasi rendah 0 0 tabel 2 motivasi wanita pasangan usia subur (pus) yang menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar, maret-april 2016 (n=44) tabel 3 motivasi wanita pasangan usia subur (pus) yang menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar berdasarkan tiap kategori, maret-april 2016 (n=44) f % f % f % f % intrinsik 38 86,4 3 6,8 3 6,8 44 100 ekstrinsik 33 75 6 13,6 5 11,4 44 100 terdesak 18 40,9 22 50 4 9,1 44 100 rata-rata prosentase 67,4 23,5 9,1 44 100 motivasi kategori total tinggi cukup rendah motivasi intrinsik wanita pasangan usia subur (pus) da la m menggunakan a lat kontr asepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar ditunjukkan dalam tabel 4. no kategori f prosentase 1 motivasi tinggi 38 86,4 2 motivasi cukup 3 6,8 3 motivasi rendah 3 6,8 tabel 4 motivasi intrinsik wanita pasangan usia subur (pus) dalam menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar, maret april 2016 (n=44) motivasi ekstrinsik wanita pasangan usia subur (pus) da la m menggunakan a lat kontr asepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar ditunjukkan dalam tabel 5. no kategori f prosentase 1 motivasi tinggi 33 75 2 motivasi cukup 6 13,6 3 motivasi rendah 5 11,4 tabel 5 motivasi ekstrinsik wanita pasangan usia subur (pus) dalam menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar, maretapril 2016 (n=44) no kategori f prosentase 1 motivasi tinggi 18 40,9 2 motivasi cukup 22 50 3 motivasi rendah 4 9,1 tabel 5 motivasi terdesak wanita pasangan usia subur (pus) dalam menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar, maretapril 2016 (n=44) pembahasan berdasarkan hasil penelitian motivasi wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar, didapatkan hasil motivasi secara umum yaitu 72,7% (32 wanita pus) memiliki motivasi tinggi, 27,3% (12 wanita pus) memiliki motivasi cukup, dan 0 % (tidak ada wanita pus) memiliki motivasi rendah. reeder et al. (2011:222) menyatakan bahwa semua metode kontrasepsi memiliki beberapa risiko, namun individu menginginkan manfaat dari pilihan reproduksi. menurut uno (2013:1) perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. peneliti berpendapat wanita pus dalam menggunakan iud tidak memiliki motivasi rendah karena terdapat risiko yang dipertimbangkan dengan manfaat pilihannya, motivasi wanita pus mengacu pada dorongan yang mendasari wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud, dorongan ini dapat berasal dari dalam diri wanita pus, lingkungan, maupun dalam kondisi terdesak. 44 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 40–46 ditinjau dari usia, 50% (22 wanita pus) berusia antara 26-35 tahun, terdiri dari 31,8 % (14 wanita pus) memiliki motivasi tinggi, dan 18,2 % (8 wanita pus) memiliki motivasi cukup. usia tersebut termasuk dalam rentang usia subur. menurut suratun (2008:17), pasangan usia subur (pus) yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15-49 tahun, karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif dalam melakukan hubungan seksual yang dapat mengakibatkan kehamilan. cattell (dalam alwisol, 2009:248), menyatakan bahwa rentang usia tersebut termasuk dalam masa kemasakan (maturity), orang dewasa pada usia itu menyiapkan karir, perkawinan, dan keluarga. kepribadian cenderung menjadi tidak mudah berubah, lebih mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. peneliti berpendapat bahwa wanita pus dengan usia yang matang memiliki dorongan yang matang untuk mengatur kehamilan, sehingga dorongan yang menggerakkan wanita pus untuk menggunakan alat kontrasepsi iud menghasilkan motivasi yang tinggi. dilihat dari faktor pengalaman, diketahui 65,9% (29 wanita pus) pernah menggunakan alat kontrasepsi selain iud, terdiri dari 38,6% (17 wanita pus) memiliki motivasi tinggi, dan 27,3% (12 wanita pus) memiliki motivasi cukup. hal ini membuktikan lebih dari separuh wanita pus beralih menggunakan alat kontr a sepsi iud da r i a la t kontr a sepsi la in sebelumnya. selain itu, hampir semua wanita pus yaitu 81,8% (36 wanita pus) memiliki masalah terhadap alat kontrasepsi selain iud, terdiri dari 59,1% (25 wanita pus) memiliki motivasi tinggi, dan 22,7% (10 wanita pus) memiliki motivasi cukup. menurut nursalam (2002) seseorang akan termotivasi karena adanya pengalaman masalalu sebagai respon rangsangan dalam pola tingkahlaku. uno (2013:8) menyatakan (1) seseorang senang terhadap sesuatu, apabila ia dapat mempertahankan rasa senangnya maka akan termotivasi untuk melakukan kegiatan itu, (2) apabila seseorang merasa yakin mampu menghadapi tantangan maka biasanya orang tersebut terdorong untuk melakukan kegiatan tersebut. peneliti berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman, wanita pus beralih menggunakan iud sebagai alat kontrasepsi, rasa senang terhadap iud menjadi dorongan dari dalam diri yang mendasari wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud. jadi semakin tinggi dorongan yang mendasari wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin tinggi motivasi yang dimilikinya dan semakin rendah dorongan yang mendasari wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin rendah pula motivasi yang dimilikinya untuk menggunakan alat kontrasepsi iud. pada penelitian ini, terdapat 3 bentuk motivasi yang mempengaruhi wanita pasangan usia subur (pus) dalam menggunakan alat kontrasepsi iud di kecamatan sukorejo kota blitar. yaitu, motivasi intrinsik berdasarkan hasil penelitian, diketahui dari 44 wanita pus yaitu 86,4% (38 wanita pus) mempunyai motivasi intrinsik tinggi, 13,6% (6 wanita pus) mempunyai motivasi intrinsik cukup dan 11,4% (5 wanita pus) memiliki motivasi intrinsik rendah. motivasi intrinsik adalah motivasi yang datangnya dari dalam diri individu (nursalam, 2002:94). hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua motivasi yang berasal dari dalam diri wanita pus sangat mempengaruhi motivasi untuk menggunakan alat kontrasepsi iud. ditinjau dari hasil penelitian 100% (44 wanita pus) menyatakan menggunakan alat kontrsepsi iud karena keinginan dirinya sendiri dan menyatakan menggunakan iud karena aman untuk jangka lama. menurut hidayat (2009:81) keinginan akan bermakna adanya suatu perasaan yang kuat, dengan cara memahami motivasi dorongan-dorongan dalam diri seseorang akan menyebabkan suatu perilaku yang bertujuan untuk memuaskan dorongan tersebut. bkkbn (2011:21) menyebutkan aman dalam jangka lama merupkan efektifitas dari iud. reeder et al. (2011:25) menyatakan efektifitas metode kontrsepsi adalah salah satu perhatian utama klien dan profesional dalam memilih metode kontrasepsi. peneliti berpendapat bahwa wanita pus memiliki keinginan yang tinggi dari dalam dirinya sendiri untuk menggunakan iud sebagai alat kontrasepsi, dengan efektifitas iud sebagai tujuan wa nita pus. keinginan dalam diri wanita pus yang kuat, menghasilkan motivasi intrinsik yang tinggi. dilihat dari karakteristik jenis alat kontrasepsi selain iud yang pernah digunakan sebelumnya, lebih dari separuh wanita pus beralih dari menggunakan jenis kb hormonal (suntik, pil, implant) ke jenis kb non hormonal yaitu iud, diantaranya sebesar 43,2% (19 wanita pus) menggunakan kb suntik, 34,1% (15 wanita pus) menggunakan kb alami, 11,4% (5 wanita pus) menggunakan kb pil, 6,8% (3 wanita pus) menggunakan kb implant, dan 4,5% (2 wanita pus) menggunakan kb kondom. dalam penelitian ini juga diketahui bahwa 34,1% (22 wanita 45sunarti dan anis, motivasi wanita pasangan usia subur (pus)... pus) memiliki masalah dengan berat badan ketika menggunakan alat kontrasepsi selain iud, terdiri dari 29,5% (13 wanita pus) memiliki motivasi tinggi, dan 4,5% (2 wanita pus) memiliki motivasi cukup. menurut reeder, martin & griffin (2011:200), kontrasepsi hormonal mempengaruhi mood, nafsu makan, tidur, kognisi, perilaku, dan persepsi nyeri. yusuf, fitriyasari & nihayati (2015: 93) menyatakan bahwa ukuran dan bentuk tubuh menggambarkan citra tubuh yang mencerminkan aspek penting dalam dirinya, semakin seseorang dapat menerima dan menyukai tubuhnya, ia akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan, sehingga harga dirinya akan meningkat. peneliti berpendapat wanita pus secara naluri menginginkan berat badan yang ideal, masalah berat badan meningkatkan dorongan dari dalam wanita pus untuk menggunakan alat kontrasepsi iud, semakin wanita pus menginginkan alat kontrasepsi yang tidak merusak citra tubuhnya, maka semakin tinggi pula motivasi intrinsik yang dimilikinya untuk menggunakan alat kontrasepsi iud. jadi, semakin tinggi dorongan dari dalam diri wanita pus untuk menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin tinggi motivasi intrinsik yang dimilikinya, dan semakin rendah dorongan dari dalam diri wanita pus untuk menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin rendah pula motivasi intrinsik yang dimilikinya. kemauan yang kuat menyebabkan motivasi intrinsik tinggi pada wanita pus. dan semakin wanita pus menginginkan alat kontrasepsi yang tidak merusak citra tubuhnya, maka semakin tinggi pula motivasi intrinsik yang dimilikinya untuk menggunakan alat kontrasepsi iud. motivasi ekstrinsik berdasarkan hasil penelitian, didapatkan hasil dari 44 wanita pus yaitu 75% (33 wanita pus) memiliki motivasi ekstrinsik tinggi, 13,6% (6 wanita pus) memiliki motivasi ekstrinsik cukup dan 11,4% (5 wanita pus) memiliki motivasi ekstrinsik rendah. motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang datangnya dari luar individu (nursalam, 2002:94). dorongan dari luar wanita pus yang tinggi mempengaruhi motivasi ekstrinsik wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud. ditinjau dari hasil penelitian 98% (43 wanita pus) menyatakan puas terhadap pelayanan petugas kesehatan di tempat pemasangan dan kontrol iud dan juga menyatakan mendapat dukungan keluarga dalam menggunakan alat kontrasepsi iud. dalam purwanto (1998:14) keluarga dan petugas kesehatan termasuk golongan lingkungan manusia, dimana lingkungan adalah segala apa yang berpengaruh pada diri individu dalam berperilaku. peneliti berpendapat lingkungan mempengaruhi motivasi ekstrinsik wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud. dorongan dari lingkungan yang tinggi menghasilkan motivasi ekstrinsik yang tinggi pada wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud. jadi, semakin tinggi dorongan dari luar wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin tinggi motivasi ekstrinsik yang dimilikinya. dan semakin rendah dorongan dari luar wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin rendah pula motivasi ekstrinsik yang dimilikinya. motivasi terdesak berdasarkan hasil penelitian, didapatkan dari 44 wanita pus diketahui 50% (22 wanita pus) memiliki motivasi terdesak cukup, 40,9% (18 wanita pus) memiliki motivasi terdesak tinggi, dan 4,9% (4 wanita pus) memiliki motivasi terdesak rendah. motivasi terdesak dalam kategori cukup dan kategori rendah bila dijumlahkan yaitu 54,9% hasilnya lebih besar dari pada kategori tinggi yaitu 40,9%. hal ini membuktikan lebih dari separuh wanita pus yang menggunakan iud memiliki kondisi mendesak yang cukup mempengaruhi motivasinya dalam menggunakan iud sebagai alat kontrasepsi. berdasarkan hasil penelitian didapatkan 55% (24 wanita pus) menyatakan harus menggunakan iud agar berat badan yang sudah terlalu besar tidak bertambah. wanita pus yang memiliki kondisi ini memiliki motivasi menggunakan iud tidak tinggi. menurut syafrrudin dan fratidhina (2009:124), motivasi terdesak akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut tidak akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri. hobbes (dalam hidayat, 2009:78) menyatakan bahwa alasan seseorang untuk melakukan sesuatu sebenarnya didasarkan atas kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan. peneliti berpendapat bahwa kondisi mendesak terutama pada berat badan, mempengaruhi motivasi yang tidak tinggi pada wanita pus dalam menggunakan iud sebagai alat kontrasepsi, dorongan belum didasari motivasi yang kuat, motivasi tidak akan bertahan lama dan akan ada perubahan dari situasi yang tidak memuaskan. 46 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 40–46 jadi, semakin tinggi dorongan terdesak wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin rendah motivasi yang dimilikinya. dan semakin tinggi dorongan terdesak wanita pus menggunakan alat kontrasepsi iud, maka semakin tinggi motivasi yang dimilikinya. motivasi yang didasari kondisi terdesak memiliki motivasi yang rendah, karena motivasi tersebut tidak akan bertahan lama, akan ada perubahan situasi yang tidak memuaskan. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa motivasi secara umum dikategorikan motivasi tinggi yaitu 72,7%, motivasi cukup 27,3%, dan 0% atau tidak ada yang memilikin motivasi dalam kategori rendah. adapun bentuk motivasi yang mempengaruhi motivasi tinggi diantaranya: motivasi instrinsik tinggi, yaitu sebesar 86,4%. motivasi ekstrinsik tinggi, yaitu sebesar 75%. motivasi terdesak cukup, yaitu sebesar 50%. saran penelitian ini hanya menggambarkan tentang motivasi wanita pus dalam menggunakan alat kontrasepsi intrauterine device (iud) di kecamatan sukorejo kota blitar maka perlu dikembangkan penelitian yang lebih luas daftar rujukan allen, m. 2010. contraception choices:a focus on birth control for woman. british journal of health care assistant:1. alwisol. 2009. psikologi kepribadian. malang: umm press. bidang neraca wilayah analisis statistik. 2015. statistik daerah provinsi jawa timur 2015. surabaya: bps provinsi jawa timur. bkkbn. 2011. kumpulan materi dasar promosi: menyiapkan ibu sehat melahirkan bayi sehat. jakarta: bkkbn. hartanto, h. 2004. keluarga berencana dan kontrasepsi. jakarta: pustaka sinar harapan. koordinator statistik kecamatan sukorejo. 2015. statistik kecamatan sukorejo 2015. blitar:bps kota blitar. nursalam. 2002. manajemen keperawatan: aplikasi dalam prakti k keperawatan profesional. jakarta: salemba medika. purwanto, heri. 1988. pengantar perilaku manusia. jakarta:egc. reeder, s. j., martin, l. l., griffin, d. k. 2011. keperawatan maternitas: kesehatan wanita, bayi, & keluarga, edisi 18, volume 1. jakarta: egc. suratun, maryani, s., hartini, t., rusmiati, & saroha, p. 2008. pelayanan keluarga berencana dan pelayanan kontrasepsi. jakarta: tim. sutomo, a. h. (dkk). teknik menyusun kti-skripsitesis-tulisan ilmiah dalam jurnal bidang kebidanan, keperawatan, dan kesehatan. yogyakarta:fitramaya syafrudin dan fratidhina, y. 2009. promosi kesehatan untuk mahasiswa kebidanan. jakarta:tim. uno, h. b. 2013. teori motivasi dan pengukurannya. jakarta:bumi aksara. yusuf, ah., fitriyasari, r., & nihayati, h.e. 2015. buku ajar kepe rawat an jiwa. ja karta :salemba medika. *) praktisi bidan, **) stikes patria husada blitar 68 pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui pada ibu post partum (the effect of proper breastfeeding technique counseling to behavior of lactating post partum mothers) nur faridah trisiyah *) , dewi novianty **) stikes patria husada blitar e-mail: jurnalstikes@gmail.com abstract introduction: proper breastfeeding technique is a way to give milk to the baby with the mother's position and attachment of the baby in a proper way. counseling is done so that mothers can open minded, realizing his own mistaken of perception that associated with breastfeeding, and then expected to change or correct the incorrect perception that breastfeeding can run more smoothly. the purpose of this research was to determine the effectiveness of proper breastfeeding technique counseling to the behavior of lactating mothers in post partum day 1-14. method: research design was preexperimental design with one-group prepost test design.. the sample was 16 post-partum mothers at bps eny kustiyaningsih, amd. keb, who was collected using total sampling. the instrument used was a checklist. result: the result used wilcoxon sign rank test showed ρ = 0.000 (α = 0.05). it could be concluded that there were significant effect proper breastfeeding technique counseling to the behavior of lactating mothers in post partum day 1-14. discussion: it was expected that the results of the research could be use as reference for further research. key word: counseling, behavior of lactating mothers pendahuluan setiap manusia pada umumnya memiliki payudara, tetapi antara lakilaki dan perempuan berbeda dalam fungsinya.payudara yang matang adalah salah satu pertumbuhan sekunder dari seorang perempuan dan merupakan salah satu organ yang indah dan menarik. lebih dari itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup keturunannya, maka organ ini menjadi sumber utama kehidupan, karena asi (air susu ibu) adalah makanan bayi yang paling penting, terutama pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi (saleha, 2009:9). persiapan memberikan asi dilakukan bersamaan dengan kehamilan, payudara semakin padat karena retensi air, lemak, serta berkembangnya kelenjar-kelenjar payudara yang dirasakan tegang dan sakit.segera setelah terjadi kehamilan, maka korpus luteum berkembang terus dan mengeluarkan estrogen dan progesterone untuk mempersiapkan payudara agar pada waktunya dapat memberikan asi. proses produksi, sekresi, dan pengeluaran asi dinamakan laktasi (saleha, 2009:10). menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu ibu (asi) dari payudara ibu menyusui adalah suatu proses yang alamiah namun tetap harus dipelajari bagaimana cara menyusui yang baik dan benar, karena menyusui sebenarnya tidak saja memberikan kesempatan kepada bayi untuk tumbuh menjadi manusia yang sehat secara fisik saja tetapi juga lebih cerdas, mempunyai emosional yang stabil, perkembangan spiritual yang baik serta perkembangan sosial yang lebih baik. air susu ibu (asi) merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p057-062 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ nur faridah trisiyah, dewi novianty jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 69 seimbang dan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi, karena asi adalah makanan bayi yang paling sempurna baik secara kualitas maupun kuantitas. asi sebagai makanan tunggal akan mencukupi kebutuhan tumbuh kembang bayi normal sampai usia 4 – 6 bulan (khairunniyah, 2004). dari survey demografi dan kesehatan indonesia (sdki) tahun 2007 menunjukkan dari bayi 12.119.244 didapatkan data 95% bayi pernah diberi asi, 44% bayi diberi asi pada hari pertama kelahiran, sisanya sebanyak 51% diberikan setelah hari pertama kelahiran. hasil penelitian yang dilakukan oleh dian nursusanti mahasiswi akademi keperawatan universitas muhammadiyah ponorogo tahun 2006 pada 32 orang ibu post partum primipara di puskesmas sawoo ponorogo jawa timur, didapatkan teknik menyusui buruk 19 orang (59,38%), teknik menyusui baik 13 orang (40,62%), sedangkan hasil penelitian yang dilakukan ria puspita mahasiswi poltekkes tanjung karang prodi kebidanan metro tahun 2006 pada 17 ibu primipara di bps ch. sudilah ganjar agung metro barat, ditemukan 11 orang yang masih salah dalam melakukan teknik menyusui (61,9). kesalahan banyak terletak pada posisi menyusui dan langkah-langkah menyusui. berdasarkan data yang diambil dari dinas kesehatan kota blitar, pada tahun 2011 terdapat 1961 orang ibu nifas, dengan kn 1 murni sebanyak 93,90% yakni 1910 bayi dan kn lengkap sejumlah 83,92% yakni 1707 bayi dengan target pencapaian kn sebanyak 95% setiap tahunnya. prinsip dasar dari menyusui adalah membuat bayi melekat dengan baik. bayi yang melekat dengan baik akan mendapatkan asi dengan baik pula. bayi yang tidak melekat dengan baik akan lebih sulit mendapatkan asi, terutama jika asi sedikit. produksi asi di awal kelahiran memang sedikit; ini hal yang normal dan alamiah, akan tetapi apabila bayi tidak melekat dengan baik, bayi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan asi. pada dasarnya, segera setelah melahirkan, secara naluri setiap ibu mampu menjalankan tugas untuk menyusui bayinya. namun, untuk mempraktikkan bagaimana menyusui bayi yang baik dan benar, setiap ibu perlu mempelajarinya. bukan saja ibuibu yang baru pertama kali hamil dan melahirkan, tetapi juga ibu-ibu yang baru melahirkan anak yang ke-2 dan seterusnya. karena setiap bayi lahir merupakan individu tersendiri. dengan demikian ibu perlu belajar berinteraksi dengan bayi yang baru lahir ini, agar dapat berhasil dalam menyusui. berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di bps. eny kustiyaningsih, 7 dari 10 orang ibu post partum masih belum bisa menyusui dengan benar, salah satu penyebab yang mengakibatkan permasalahan tersebut adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang teknik menyusui yang benar dan ketidakefektifan konseling yang diberikan. ketidakefektifan konseling ini disebabkan karena adanya beberapa syarat konseling yang tidak terpenuhi, seperti kurangnya pengutaraan masalah oleh ibu, kurangnya komunikasi antara konselor dan ibu serta pemahaman yang kurang dari ibu, sehingga konselor tidak bisa memberikan konseling yang terbaik untuk ibu. sesuai dengan fungsi dari konseling guna memberikan pemahamanpemahaman pada klien, maka terjadi dua respon stimulus pada klien ketika konseling itu diberikan, respon yang pertama yakni covert behavior, dimana respon ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. setelah respon tersebut diserap, maka respon yang terjadi selanjutnya adalah overt behavior, dimana respon tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice). jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 70 dengan adanya konseling, konselor mengharapkan dapat membuat ibu untuk membuka diri, menyadari sendiri persepsi keliru yang selama ini mungkin dimilikinya terkait dengan kegiatan menyusui, serta kemudian berkeinginan untuk mengubah atau memperbaiki persepsi keliru tersebut sehingga kegiatan menyusui dapat berjalan lebih lancar. data menyebutkan bahwa masalah yang seringkali terjadi adalah puting ibu yang lecet sehingga terasa sakit untuk disusui, bayi merasa tidak kenyang dan terus menerus menangis serta adanya pembengkakan pada payudara ibu. dengan adanya permasalahan tersebut, maka penulis ingin melakukan sebuah penelitian untuk memberikan sebuah intervensi berupa konseling kepada responden untuk melihat adakah pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui pada ibu post partum hari ke 1-14. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : adakah pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui pada ibu post partum hari ke 1-14. tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui adakah pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui ibu post partum. sedakan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:1) mengidentifikasi teknik menyusui yang benar pada ibu post partum sebelum dilakukan konseling. 2) mengidentifikasi teknik menyusui yang benar pada ibu post partum setelah dilakukan konseling. 3) menganalisis pengaruh konseling teknik meyusui yang benar terhadap perilaku menyusui pada ibu post partum manfaat penelitian secara teoritis adalah untuk menambah wawasan tentang perilaku menyusui pada ibu post partum, serta melatih berfikir dan bersikap kreatif mencari pemecahan masalah mengenai konseling teknik menyusui yang benar dan juga perilaku menyusui pada ibu post partum. manfaat praktis penelitian adalah memberikan mengetahui teknik menyusui yang benar, sehingga dapat mengurangi masalah saat nifas bahan dan metode desain penelitianya adalah pra eksperimental dengan one group pra post test design yaitu untuk mengetahui adakah pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui ibu post partum yang diobservasi sebelum dilakukan teknik menyusui yang benar, kemudian di observasi lagi setelah diberikan konseling tentang teknik menyusui yang benar. sampel penelitian ini adalah sebanyak 16 orang ibu post partum hari 114 di bps. eny kustiyaningsih, amd. keb ., dilaksanakan pada bulan juli 2012 dengan teknik sampling total sampling. variabel bebasnya adalah konseling teknik menyusui yang benar. pengumpulan data dengan observasi menggunakan checklist pre dan post tes. analisis data menggunakan wilcoxon dengan tingkat kemaknaan 0,05. hasil penelitian karakteristik responden ibu post partum pada 5 – 18 juli 2012 tabel 1. karakteristik responden berdasarkan umur di bps pada no karakteristik frekuensi % 1 umur (tahun) 16-25 26-35 4 12 25 75 2 pendidikan smp sma 3 13 18,8 81,2 3 pekerjaan irt wiraswasta 13 3 81,2 18,8 4 paritas primipara multipara 5 11 31,2 68,8 tabel 2. identifikasi teknik menyusui sebelum konseling no kategori frekuensi % 1 baik 6,6 2 cukup 37,5 3 kurang 8 50 4 tidak baik 6,2 jurnal ners dan kebidanan volume 1, no. 1, maret 2014 *) praktisi bidan, **) stikes patria husada blitar 71 tabel 2. identifikasi teknik menyusui setelah konseling no kategori frekuensi % 1 baik 3 18,8 2 cukup 13 81,2 tabel 3 perilaku menyusui ibu post partum no keterangan perilaku total baik cukup kurang tidak baik 1 pre test 1 6 8 1 16 2 post test 13 3 16 ρ = 0,000 α = 0,05 pembahasan identifikasi teknik menyusui yang benar pada ibu post partum sebelum dilakukan konseling berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan bahwa 8 orang atau 50% ibu post partum hari ke 1-14 memiliki perilaku menyusui yang kurang sebelum dilakukan konseling, 6 orang atau 37,5% ibu post partum memiliki perilaku menyusui yang cukup, 1 orang atau 6,2% ibu post partum memiliki perilaku menyusui yang tidak baik serta 1 orang atau 6,2% ibu post partum lainnya memiliki perilaku menyusui yang baik. menurut suradi dan hesti (2004), adanya tingkatan perilaku menyusui pada ibu post partum tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor perubahan sosial budaya, faktor psikologis, faktor fisik ibu, faktor kurangnya petugas kesehatan, meningkatnya promosi susu formula sebagai pengganti asi, kurang atau salahnya informasi yang diterima oleh ibu. dari hasil penelitian yang telah dilakukan, 8 orang atau 50% dari ibu post partum memiliki pengetahuan yang kurang, hal ini disebabkan karena kurangnya informasi teknik menyusui yang benar yang di dapat oleh ibu post partum tersebut, sehingga berdampak pada perilaku menyusui ibu post partum. selain itu, usia, , pendidikan dan juga paritas turut mempengaruhi perilaku menyusui ibu post partum sebelum dilakukan konseling. pada usia 16-25 tahun, terdapat 1 orang ibu post partum dengan perilaku tidak baik dan 3 orang lainnya memiliki perilaku yang cukup. hal ini disebabkan karena pada usia ibu yang masih relatif lebih muda, kesiapan wanita untuk menjadi seorang ibu masih kurang, sehingga akan mempengaruhi perilaku menyusui tesebut. hal ini semakin dikuatkan dengan paritas yang ibu miliki, dari hasil penelitian, 4 orang responden ibu primipara memiliki perilaku menyusui yang kurang dan 1 orang responden memiliki perilaku menyusui yang cukup. hal ini terjadi disebabkan karena ibu primipara belum mendapatkan pengalaman sebelumnya dalam menyusui bayinya. pendidikan juga berpengaruh dalam perilaku menyusui ibu post partum sebelum dilakukan konseling. dengan pendidikan yang relatif lebih tinggi, maka perilaku menyusuipun cenderung memiliki perilaku yang lebih baik pula. dari hasil penelitian yang ada, hal yang sering tidak dilakukan oleh para ibu post partum dalam menyusui adalah persiapan dan prosedur setelah menyusui, selain itu masih terdapat ibu post partum yang belum bisa memposisikan bayi dengan benar dan melakukan perlekatan yang benar antara puting dan areola dalam mulut bayi. sehingga perilaku menyusui pada ibu post partum itu masih kurang. dalam teknik menyusui yang benar persiapan sebelum menyusui dibagi menjadi tiga tahap. tahap yang pertama yakni ibu mencuci tangan sebelum menyusui. tahap yang kedua jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 72 yakni payudara dibersihkan dengan menggunakan air hangat, kemudian dilap menggunakan handuk atau kain bersih, kemudian tahap ketiga adalah asi dikeluarkan sedikit, kemudian dioleskan pada puting susu dan areola. pada posisi menyusui yang terdapat di teknik menyusui yang benar, kebanyakan ibu post partum tidak memegang bayinya dengan benar. masih terdapat ibu yang tidak memegang bayi dengan benar, justru hanya memegang bantal yang berada di bawah bayi saat menyusui, sehingga perlekatan posisi untuk badan ibu dan bayi tidak dapat melekat secara sempurna. posisi kepala yang seharusnya berada di pertengahan antara siku dan lengan pun kebanyakan tidak dilakukan dengan benar oleh ibu, sedangkan bokong bayi yang seharusnya berada di telapak tangan ibu, kebanyakan tidak berada di telapak tangan dan ibu biasanya hanya memegang kepala bayi saat menyusui. pada prosedur menyusui dalam teknik menyusui yang benar pun terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh ibu post partum. kebanyakan kesalahan terletak pada perlekatan antara puting dan areola ibu dengan mulut bayi. puting dan areola ibu yang seharusnya masuk secara menyeluruh, hanya masuk sebagian, sehingga bayi tidak akan puas meskipun sudah menyusui secara lama karena asi yang didapatkan dengan perlekatan yang tidak benar, maka hanya sedikit asi yang didapat dan kejadian ini menyebabkan puting lecet. sedangkan dalam prosedur setelah menyusui terdiri dari tiga tahapan. tahap pertama yakni melepas hisapan bayi dengan cara memasukkan jari kelingking ibu ke mulut bayi melalui sudut mulut bayi atau dagu bayi ditekan ke bawah. tahap kedua yakni setelah selesai menyusui, asi dikeluarkan sedikit kemudian dioleskan pada puting susu dan areola sekitarnya, biarkan kering dengan sendirinya dan tahap terakhir yakni bayi disendawakan dengan cara bayi digendong tegak dengan bersandar pada bahu ibu, kemudian punggungnya ditepuk perlahan-lahan atau bayi ditengkurapkan di pangkuan ibu, kemudian punggungnya ditepuk perlahan-lahan. kebanyakan dari ibu post partum tidak melakukan prosedur ini. dari beberapa kesalahan yang terdapat pada teknik menyusui yang benar maupun prosedur yang tidak dilakukan, maka kebanyakan dari ibu post partum memeliki tingkat perilaku menyusui yang kurang dan cukup. identifikasi teknik menyusui yang benar pada ibu post partum setelah dilakukan konseling berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan bahwa 13 orang atau 81,2% ibu post partum memiliki perialku menyusui yang baik serta 3 orang atau 18,8% ibu post partum memiliki perilaku menyusui yang cukup setelah diberikan konseling. menurut division of conseling psychology konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya dan untuk mecapai perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu. dari hasil konseling tersebut dapat membuat ibu untuk membuka diri, menyadari sendiri persepsi keliru yang selama ini mungkin dimilikinya terkait dengan kegiatan menyusui, serta kemudian berkeinginan untuk mengubah atau memperbaiki persepsi keliru tersebut sehingga kegiatan menyusui dapat berjalan lebih lancar. dari hasil penelitian yang dilakukan, perilaku menyusui ibu post partum setelah diberikan konseling mengalami kenaikan. pada perilaku menyusui ibu post partum sebelum dilakukan konseling, terdapat1 orang dengan perilaku baik, sedangkan setelah diberikan konseling, perilaku menyusui ibu post partum yang baik mengalami peningkatan menjadi 13 orang. terdapat pula 6 orang ibu post partum 6 oramg ibu post partum nur faridah trisiyah, dewi novianty jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 73 sebelum dilakukan konseling memiliki perilaku yang cukup menjadi perilaku yang baik setelah dilakukan konseling. sedangkan 1 orang ibu post partum yang memiliki perilaku tidak baik sebelum konseling, menjadi perilaku yang cukup setelah dilakukan konseling. menurut peneliti, hal ini disebabkan oleh intervensi yang dilakukan oleh peneliti baik secara verbal maupun non verbal untuk memberikan konseling teknik menyusui yang benar kepada ibu postpartum, konseling tersebut berupa pemberian pengetahuan yang benar dengan metode roll play, peneliti memberikan pengetahuan kepada ibu tentang teknik menyusui yang benar dan ibu mengadopsi pengetahuan tersebut dengan cara mempraktikkan langsung kepada bayinya, pemberian konseling ini juga ditunjang dengan alat bantu yakni leaflet dan lembar balik, sehingga ibu dapat mempelajari lebih lanjut tentang teknik menyusui yang benar, peneliti juga memberikan pengarahan langsung terhadap ibu post partum apabila ibu salah dalam teknik menyusuinya, sehingga ibu post partum dapat mengubah perilaku menyusui ibu post partum menjadi lebih baik. dari hasil konseling tersebut, ibu post partum yang sebelumnya tidak melakukan prosedur sebelum dan sesudah menyusui, salah dalam posisi duduk, salah dalam posisi menggendong, salah dalam melakukan perlekatan antara badan bayi dengan ibu, salah dalam melakukan perlekatan antara areola dan puting terhadap mulut bayi menjadi melakukan prosedur tersebut dengan lebih baik. sehingga nilai yang dihasilkan ibupun menjadi semakin baik. hal inilah yang menyababkan terjadi penigngkatan yang signifikan antara perilaku menyusui ibu sebelum dengan sesudah diberikan konseling. dari hasil penelitian yang ada, terdapat kecenderungan bahwa ibu primipara memiliki tingkat perilaku menyusui yang cukup setelah dilakukan konseling, hal ini disebabkan karena ibu primipara masih belum memiliki pengalaman dalam memberikan asi kepada bayinya. pendidikan juga berpengaruh dalam penyerapan proses konseling yang diberikan, dengan pendidikan yang lebih tinggi, proses konseling tersebut berjalan lebih baik dengan hasil konseling yang berupa perilaku menyusui cenderung lebih baik pula. analisis pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui pada ibu post partum. berdasarkan pada penghitungan statistik dengan menggunakan wilcoxon test dengan α = 0,05 didapatkan bahwa ρ value = 0,000. hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui ibu post partum hari ke 1-14 di bps eny kustiyaningsih, amd. keb. dalam penelitian ini, perilaku menyusui ibu post partum mengalami kenaikan akibat pemberian konseling yang dilakukan. terdapat 15 orang ibu post partum yang mengalami kenaikan dalam perilaku menyusuinya, sedangkan 1 orang ibu post partum memiliki perilaku yang tetap. menurut skinner 1938 seorang ahli psikologi (notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skinner ini disebut teori “s-o-r” atau stimulusorganisme-respons. konseling yang diberikan kepada responden merupakan sebuah stimulus untuk responden, dan kemudian responden tersebut merespon konseling yang diberikan, sehingga dari respon tersebut akan di dapatkan dua respon yakni respondent respons atau reflexive dan operant respons atau instrumental respons. dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku pertama yang dilakukan responden jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 74 adalah covert behavior atau perilaku tertutup yakni respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. dari perilaku tertutup ini, responden memberikan perhatian terhadap konseling teknik menyusui yang benar yang diberikan oleh peneliti. persepsi dan pengetahuan yang selama ini dimiliki oleh responden tentang teknik menyusui yang benar akan bertambah atau sedikit tergantikan dengan konseling yang diberikan. sesuai dengan gejala-gejala jiwa yang saling mempengaruhi dalam bentuk perilaku manusia (notoatmodjo, 2003) yakni pengamatan,perhatian, tanggapan, fantasi, ingatan, berfikir dan motif, maka respon selanjutnya yang dilakukan oleh responden adalah perilaku terbuka (overt behavior) dimana respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. dalam penelitian ini, praktik yang dilakukan oleh responden adalah perilaku menyusui pada ibu post partum, sehingga peneliti dapat mengamati perilaku tersebut dan memberikan penilaian terhadap perilaku tersebut. simpulan dan saran simpulan berdasarkan pada hasil penelitian yang ada, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu perilaku menyusui ibu post partum sebelum dilakukan konseling teknik menyusui yang benar adalah 50% dalam kategori perilaku kurang, setelah dilakukan konseling teknik menyusui yang benar, 81% dalam kategori perilaku baik, konseling teknik menyusui yang benar berpengaruh terhadap perilaku menyusui ibu post partum hari ke 1-14 ρ = 0,000, sedangkan α = 0,05. saran dari hasil penelitian tentang pengaruh konseling teknik menyusui yang benar terhadap perilaku menyusui ibu post partum hari ke 1-14, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: bagi bps dapat memberikan dan memperbanyak konseling teknik menyusui yang benar pada ibu post partum serta melengkapi yang peraga yang belum tersedia yakni panthom payudara dan bayi, bagi peneliti selanjutnya sebagai sumber data penelitian lain. referensi khairunniyah 2004, cara menyusui yang baik, arcan, jakarta. notoatmodjo, s 2003, pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta. notoatmodjo, s 2010, metodologi penelitian, rineka cipta, jakarta. saleha, s 2009, asuhan kebidanan masa nifas, salemba medika, jakarta. suradi dan hesti 2004, manajemen laktasi, salemba medika, jakarta e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 170 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 170–174 170 pengetahuan siswa slta tentang bantuan hidup dasar (students’ knowledge of basic life support) ning arti wulandari program pendidikan ners stikes patria husada blitar email:ningarti83@gmail.com abstract: the state of emergency can happen anytime, anywhere and to anyone. this situation requires the public to know how is the first aid to the victims who are in an emergency situation (diklat ppni jawa timur, 2015). in indonesia, junior and senior high school students joined in the youth red cross organizations have received materials to provide basic life support to survivour of cardiac arrest and stopped breathing by the indonesian red cross. the researchers’ goal was to identify the knowledge of students in senior high schools to provide basic life support. methods: the research design was descriptive. the research sample was 96 respondents, taken by purposive sampling. this research conducted on may 5, 2016 in stikes patria husada blitar before training basic life support to senior high school by student executive organitation stikes patria husada blitar. the data was collected by questionnaire. results: the results showed that 73 respondents (76%) have less knowledge, 17 respondents (17%) have enough knowledge and 6 respondents (7%) have good knowledge of basic life support. discussion: health education institutions can perform community service by providing training in basic life support with a more attractive method by theory and simulation. keywords: senior high school student, basic life support abstrak: keadaan darurat bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan kepada siapa pun. situasi ini mengharuskan masyarakat untuk mengetahui bagaimana melakukan pertolongan pertama kepada para korban yang berada dalam situasi darurat (diklat ppni jawa timur, 2015). di indonesia, siswa sltp dan slta yang tergabung dalam organisasi palang merah remaja bekerjasama dengan palang merah indonesia untuk memberikan materi bantuan hidup dasar dari henti jantung dan henti napas. tujuan peneliti adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan siswa di sekolah slta untuk memberikan bantuan hidup dasar. metode: desain penelitian adalah deskriptif. sampel penelitian adalah 96 responden, diambil secara purposive sampling. penelitian ini dilakukan pada 5 mei 2016 di stikes patria husada blitar sebelum pelatihan bantuan hidup dasar untuk slta oleh badan eksekutif mahasiswa stikes patria husada blitar. pengumpulan data dengan kuesioner. hasil: hasil penelitian menunjukkan bahwa 73 responden (76%) memiliki pengetahuan yang kurang, 17 responden (17%) memiliki pengetahuan yang cukup dan 6 responden (7%) memiliki pengetahuan yang baik dalam bantuan hidup dasar. diskusi: institusi pendidikan kesehatan dapat melakukan pengabdian masyarakat dengan memberikan pelatihan tentang bantuan hidup dasar dengan metode yang lebih menarik dengan teori dan simulasi. kata kunci: siswa slta, bantuan hidup dasar berhentinya pernafasan dan denyut jantung pada korban kecelakaan adalah keadaan darurat dimana usaha pengembalian fungsinya harus didahulukan diatas segalanya. ini adalah keadaan gawat yang mengancam jiwa, karena organ otak adalah organ yang paling menderita saat terjadi gangguan sistem pernafasan dan sirkulasi otak sangat peka terhadap kekurangan oksigen. kekurangan oksigen pada otak ditandai dengan penurunan kesadaran sampai dengan kematian sel otak (wasono dan mukono, 2002). acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p170-174 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 171wulandari, pengetahuan siswa slta ... berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit gagal jantung di indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang. sedangkan estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung dengan usia  15 tahun terbanyak terdapat di provinsi jawa barat sebanyak 98.487 orang (0,3%). selain henti jantung, tersedak merupakan kejadian gawat darurat yang menjadi salah satu penyebab tertinggi kematian. hal ini dapat terjadi karena tersedak sering disebabkan oleh bendabenda yang tidak berbahaya seperti makanan (fkui, 2015). keadaan gawat darurat tersebut dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan juga pada siapa saja. keadaan ini menuntut masyarakat untuk tahu bagaimana tindakan pertolongan pertama pada korban yang ada dalam keadaan gawat darurat (diklat ppni jawa timur, 2016). selain bagaimana cara menolong atau memberikan bantuan hidup dasar pada kondisi darurat henti nafas dan henti jantung masyarakat juga harus tahu siapa yang perlu dihubungi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat. bantuan hidup dasar adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk menolong korban yang dalam keadaan nyawanya terancam (diklat ppni jawa timur, 2016). menurut american heart assosiaation (aha) guidelines 2015 beberapa langkah yang dapat menentukan keberhasilan pertolongan pada korban yang mengalami cardiac arrest di luar rumah sakit/ohca (out of hospital cardiac arrest) adalah (1) pengenalan dan pengaktifan sistem tanggapan darurat, (2) cpr (cardio torak resusitation) berkualitas tinggi secepatnya, (3) defibrilasi cepat, (4) layanan media darurat dasar dan lanjutan dan (5) bantuan hidup lanjutan dan perawatan pasca serangan jantung. dari kelima langkah tersebut yang dapat dilakukan oleh penolong tidak terlatih adalah (1) pengenalan dan pengaktifan sistem tanggapan darurat, (2) cpr (cardio torak resusitation) berkualitas tinggi secepatnya dan (3) defibrilasi cepat. menerapkan tehnologi media sosial untuk memanggil penolong yang berada dalam jarak dekat dengan korban dugaan ohca serta bersedia dan mampu melakukan cpr adalah tindakan sudah wajar dan sering dilakukan oleh masyarakat di america (aha, 2015). saat ini pemerintah indonesia, melalui kementerian komunikasi dan informasi sedang menyiapkan nomor panggilan tunggal, yang dapat dihubungi warga ketika berada atau melihat keadaan darurat, mirip seperti nomor telepon tunggal 911 di amerika serikat (aditya, 2016). jika pemerintah telah menyiapkan telepon darurat, hendaknya masyarakat juga menyiapkan diri dalam melakukan pertolongan pada gawat darurat dengan belajar dalam memberikan bantuan hidup dasar. anak usia remaja, khususnya siswa setingkat sekolah menengah atas (sma) seharusnya sudah dapat melakukan tindakan resusitasi jantung paru dengan baik. di indonesia remaja yang tergabung dalam palang merah indonesia (pmr) dibawah asuhan pmi (palang merah indonesia) yang ada sejak duduk di bangku sltp dan kemudian dilanjutkan ke tingkat slta telah diajarkan bagaimana memberikan bantuan hidup dasar kepada korban henti jantung maupun henti nafas. dari uraian diatas peneliti ingin mengidentifikasi bagaimana pengetahuan siswa-siswi sekolah menengah atas dalam memberikan bantuan hidup dasar. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yang menggambarkan bagaimana tingkat pengetahuan siswa-siswi sekolah menengah atas dalam melakukan bantuan hidup dasar. pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan dalam melakukan resusitasi jantung paru dan pertongan pada korban tersedak baik dewasa maupun bayi. populasi dalam penelitian ini adalah siswa siswi di tingkat pendidikan menengah ke atas di kabupaten dan kota blitar. sampel dalam penelitian ini berjumlah 96 orang, diambil dengan cara purposive sampling. pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada tanggal 5 mei 2016 di stikes patria husada blitar. pengumpulan data dilakukan sebelum pelaksanaan pelatihan bantuan hidup dasar kepada siswa slta oleh bem (badan eksekutif mahasiswa) stikes patria husada blitar dengan kuesioner tingkat pengetahuan bantuan hidup dasar. selanjutnya data akan ditabulasi dan akan dibahas sesuai dengan hasilnya. hasil penelitian data umum karakteristik siswa slta sebanyak 96 orang seperti didalam tabel di bawah ini. 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 170–174 tabel 1 di atas menunjukan bahwa, sebagian besar responden (93%) berjenis kelamin perempuan dan 94% berusia 15-18 tahun. 90% peserta berasal dari smk kesehatan dengan berbagai macam jurusan dan 52% pernah mendapatkan informasi tentang bantuan hidup dasar. distribusi frekuensi pengetahuan siswa slta dalam memberikan bantuan hidup dasar belajar di sma/ma (madrasah aliyah). hasil penelitian ini telah membuktikan teori yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah pengalaman. dari 10 siswa sma/ma yang memiliki pengetahuan baik tentang bantuan hidup dasar 2 orang (20%) sedangkan yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak 8 orang (80%). berdasarkan wawancara dengan seluruh siswa sma/ma, mereka telah mengikuti kegiatan palang merah remaja (pmr) sejak di bangku smp. mereka semua pernah mendapatkan materi tersebut saat mengikuti palang merah remaja. semakin banyak informasi yang didapat maka semakin banyak pengetahuan yang akan diperoleh. para siswa sma/ma tersebut sejak smp mendapatkan materi tentang bantuan hidup dasar dan dilanjutkan di jenjang pendidikan mereka saat ini sehingga pengetahuan mereka tentang bantuan hidup dasar lebih banyak. dari 86 siswa yang saat ini belajar di smk kesehatan, 73 orang (84%) memiliki pengetahuan kurang, 9 orang (10%) memiliki pengetahuan cukup dan 4 orang (6%) memiliki pengetahuan baik. di smk kesehatan tidak ada kompetensi bantuan hidup dasar, namun siswa diberi pelatihan memberikan bantuan hidup dasar oleh guru mereka sebagai prasyarat mengikuti praktek di rumah sakit. menurut pendapat ervandi (2009) dalam setitorini (2012) pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena ada pemahaman-pemahaman baru. berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa 84% siswa dari 86 siswa smk kesehatan mempunyai pengetahuan yang kurang dikarenakan informasi tentang bantuan hidup dasar dari guru mereka diberikan sekitar satu tahun yang lalu sebelum penelitian ini berlangsung, sehingga pengetahuan mereka tentang bantuan hidup dasar telah terorganisasi oleh pengetahuan lain yang diberikan di sekolah. notoadmojo (2010) yang mengatakan bahwa perhatian itu dibagi menjadi tiga macam, yaitu perhatian berdasarkan intensitasnya, perhatian berdasarkan cara timbulnya dan perhatian atas dasar luasnya objek. sedangkan perhatian cara timbulnya terbagi menjadi 2 yaitu (1) perhatian spontan yang merupakan perhatian yang timbul tanpa disengaja atau tidak di kehendaki oleh subjek dan (2) perhatian disengaja yang merupakan perhatian yang timbul memang karena diusahakan atau disengaja (notoadmojo, 2010). berdasarkan hasil penelitian yang mempunyai tabel 1. karakteristik siswa slta blitar karakteristik responden f % usia 15-18 tahun 19-21 tahun 94 2 98% 2% jenis kelamin perempuan laki-laki 89 7 93% 7% asal sekolah smk kesehatan sma/ma 86 10 90% 10% pernah mendapat info rmasi tentang bantuan hidup d asar tidak pernah 46 50 48% 52% tabel 2. distribusi frekuensi pengetahuan siswa slta dalam memberikan bantuan hidup dasar pengetahuan f rekuensi persentase (%) kurang cukup baik 73 17 6 76 % 17 % 7 % tabel 2 di atas menunjukkan bahwa 76% responden mempunyai pengetahuan yang kurang dan 7% dari responden mempunyai pengetahuan baik dalam memberikan bantuan hidup dasar. pembahasan pengetahuan siswa slta dalam memberikan bantuan hidup dasar berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (76%) mempunyai pengetahuan yang kurang tentang bantuan hidup dasar. pengetahuan seseorang menurut notoadmodjo (2010) dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yaitu, pendidikan, informasi dan pengalaman. berdasarkan tabel 1 dari 96 responden yang saat ini bersekolah di smk (sekolah menengah kejuruan) kesehatan sebanyak 86 (90%) dengan berbagai macam jurusan antara lain farmasi, asisten perawat dan asisten bidan, sedangkan 10 (10%) saat ini sedang 173wulandari, pengetahuan siswa slta ... pengetahuan kurang tentang bantuan hidup dasar 100% adalah siswa smk, hal ini dimungkinkan karena materi yang bersifat wajib disekolah bukan merupakan materi yang diinginkan oleh siswa sehingga perhatian siswa dalam mengikuti proses berlajar kurang atau disebut sebagai perhatian spontan, berbeda dengan siswa yang asal sekolahnya sma/ma yang mendapatkan materi bantuan hidup dasar dari kegiatan pmr yang merupakan kegiatan ekstrakulikuler yang dipilih oleh siswa tersebut, sehingga dalam proses belajar mereka akan mengikuti dan memperhatikan dengan baik atau disebut sebagai perhatian disengaja.ian juga. berdasarkan hasil penelitian 2 siswa yang berusia 19-21 tahun mempunyai pengetahuan baik, sedangkan yang 78% dari 94 siswa yang berusia 15-18 tahun mempunyai pengetahuan kurang tentang bantuan hidup dasar. menurut setiorini (2012) pengalaman, usia, kepercayaan, persepsi individu juga mempengaruhi pengetahuan. semakin tua umur seseorang, pengalamannya akan semakin banyak dan mempengaruhi daya tangkap dan pola pikirnya. berdasarkan tabel, responden penelitian ini 86% berjenis kelamin perempuan dan 7% berjenis kelamin laki-laki. jika ingin membedakan laki-laki dan perempuan, yang pertama terpikirkan adalah jenis kelamin, yaitu ciri biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan (rahayu relawati, 2011). menurut david (2012) dalam hasanah (2013) yang membuat perbedaan bagi laki-laki dan perempuan adalah karena gen. manusia memiliki 23 kromsom dari sel ibu dan 23 kromosom dari sel sperma ayah. dua diantara kromosom tersebut hadir dalam bentuk berbeda yang disebut kromosom x dan kromosom y. telur dan dua kromosom x berkembang menjadi wanita, sementara telur dan kromosom x dan y berkembang menjadi pria. lebih jauh lagi, banyak gen pada kromosom x melibatkan fungsifungsi otak seperti pemerosesan kognitif. berdasarkan hasil penelitian ini yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 6 siswa semua berjenis kelamin perempuan, begitu juga yang mempunyai pengetahuan cukup tentang bantuan hidup dasar semua berjenis kelamin perempuan, sedangkan 7 siswa (7%) dari 96 siswa berjenis kelamin laki-laki dan memiliki pengetahuan kurang tentang bantuan hidup dasar. hal ini membuktikan bahwa perempuan mempunyai fungsi-fungsi otak seperti pemerosesan kognitif yang lebih baik dibandingkan laki-laki, karena menurut david (2012) dalam hasanah (2013) mengatakan bahwa kromosom x pada seorang wanita rusak, ada kalanya kerusakakan dapat diabaikan karena terdapat cadangan (back up) pada kromosom pasangannya. simpulan dan saran simpulan berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa: 73 responden (76%) mempunyai pengetahuan kurang tentang bantuan hidup dasar, 17 responden (17%) mempunyai pengetahuan cukup tentang bantuan hidup dasar, 6 responden (6%) mempunyai pengetahuan baik tentang bantuan hidup dasar. saran berdasarkan uraian diatas diharapkan institusi pendidikan kesehatan dapat melakukan pengabdian kepada masyarakat dengan memberikan pelatihan bantuan hidup dasar dengan metode yang lebih menarik dengan teori dan simulasi. daftar rujukan aditya panji . 2016. . untuk darurat, pemerintah siapkan nom or ‘911’ al a in don esia . h tt p: / /www. cnnindonesia.com/teknologi/20150816105913213-72451/untuk-darurat-pemerintah-siapkannomor-911-ala-indonesia/. diakses tanggal 25 juli 2016 aha. 2015. perbaharuan pedoman american heart association 2015 untuk cpr dan ecg. https:// eccguidelines.heart.org/wp-content/uploads/ 2015/10/2015-aha-guidelines-highlightsindonesian.pdf. diakses tanggal 25 juli 2016 bem fk ui. 2015. modul bantuan hidup dasar. bantuanhidup-dasar-dan-penanganan-tersedak-tbmbem-ikm-fkui.pdf. diakses tanggal 25 juli 2016 hasanah. 2013. perbedaan motivasi belajar siswa berdasarkan gender dalam pembelajaran fisika dengan model collaborative learning dikelas x madrasah aliyah al-ihsan boarding school ka mpar. h tt p: / /jom. un r i. ac. id/i n dex.php/ jomfkip/article/viewfile/6411/6109. diakses 13 juli 2016 diklat ppni provinsi jawa timur. 2015. materi pelatihan penanggulangan penderita gawat darurat. surabaya: hipgabi. notoatmodjo, soekidjo. 2010. ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, soekidjo. 2010. promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. rahayu relawati. 2011. konsep dan aplikasi penelitian gender. bandung. cv muara indah. setiyorini erni. 2012. pengaruh pendekatan model intervensi keluarga calgary terhadap peningkatan 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 170–174 pengetahuan, sikap, praktik manajemen asma dan derajat kontrol asma. thesis. universitas airlangga surabaya. wasono dan mukono. 2002. pertolongan pertama pada kecel akaan kerja. sur aba ya . univer sit as airlangga press. 79monica, the effectiveness of health education to the women’s attitude... 79 the effectiveness of health education to the women’s attitude in facing pre-menopause laily prima monica midwifery department, patria husada blitar school of health science email: lailyprima06@gmail.com abstract: pre-menopause period is a natural thing for women and cannot be ignored or avoid but some women still haven’t learned about it, including changes in physiology as well as psychic will happen after menopause. this research aimed to know the influence of health education on woman’s attitude towards time of pre-menopause. the research method used preexperiments with design pre-test and post-test one group design. the sample in this research was 31 mothers aged 40-50 years in polindes desa pasirharjo kecamatan talun kabupaten blitar, which was determined by sampling total sampling technique. treatment in the form of the granting of health education by lecturing methods lectures. the measurement of the attitude was done before and after the treatment. the instrument used a questionnaire. the data analysis technique used paired sample t-test. the mean value of the results of the study showed the average pre-test of the attitude of average value and 22,8 and flat post-test attitude 24,1. the data analysis showed the value of attitude p score value where p was 0.000 where p 0.046 so ho was declined. the conclusion of the research was there was an effect of health and education towards women’s attitudes about the pre-menopause in polindes desa pasirharjo kecamatan talun kabupaten blitar. based on the results of such research, it is suggested to women who experienced a period of pre menopause, can accept changes to physical and sexual abuse that happened to him at that time with the thought that menopause is a reasonable and positive holds events. keywords: health education, attitude, pre menopause introduction reproductive health is a state of complete physical, mental, social, physical well-being in all matters relating to women’s functions, roles and r epr oductive systems. knowledge a bout r epr oductive hea lth should be done since adolescence because one will be able to recognize abnormalities in her own reproductive health, especially about menstruation. (purwoastuti, 2015). the pre-menopausal phase is a phase that begins at age 40 and begins to enter in the climacterium phase. this phase is characterized by irregular menstrual cycles, with pr olonged menstr ua l bleeding and moderate amounts of menstrual blood, and sometimes accompanied by menstrual pain (disminorhea) (purwoastuti, 2015). a person’s knowledge will affect attitudes toward healthy living behaviors and in tackling the less-understood issues of a ttitudes in facing menopause. also in everyday life many women do not understand how to behave to face menopause (notoatmodjo, 2005). based on a preliminary survey conducted by researchers, interviewing 10 mothers in posyandu la nsia desa pa sir ha r jo keca ma ta n ta lun kabupaten blitar, 7 out of 10 interviewees said they already know what pre-menopause is but they still do not know about any changes that will happen during pre-menopause, and some of them said that they were confused in responding to the changes that occur in theirs. based on the description above, the researchers are interested in taking the title “the effect of health education counseling counseling to the women’s attitude in facing pre menopause at polindes pa sir ha r jo keca ma ta n ta lun kabupaten blitar “. jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p079–082 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 80 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 79–82 based on the background above, the writer can take a formulation of the problem: is there any effect of health education counseling counseling to the women’s attitude in facing pre-menopause at polindes pasirharjo kecamatan talun kabupaten blitar?” the general purpose is to know how the effect of health education counseling counseling to the women’s attitude about pre menopause responding to the changes that occur in theirs. specific objectives are (1) identify mother’s attitude before health education counseling counseling about premenopausal period. (2) identify mother’s attitude after health education counseling counseling about pre-menopausal period. (3) analyze the effect of health education counseling counseling on women’s attitude about pre-menopausal period. benefits of this research is a. theoretically, as an input in midwifery care about the effect of health education counseling counseling for women’s a ttitudes towa r d pr e-menopa usal period. b. practically (a) for researchers, this research is expected to add insight into the effect of health education counseling counseling to women’s attitude about pre-menopause. (b) for the midwife who stay in village (remote area), this research is expected as an input material in an effort to improve the quality of service, especially about the effect of health education counseling counseling to women’s attitude in facing pre-menopausal period. c. for educational institution, this research is expected as an additional references, additional insight also information for student to be developed in subsequent research about the effect of health education counseling counseling to women’s attitude in facing premenopuse period. d. for health service institution, this research is expected as an input material in giving counseling at elderly posyandu about the effect of health education counseling counseling to women’s attitude in facing pre-menopause period. e. for other researchers, this research is expected as a source of inspiration to conduct any other r esea r ch on the effect of hea lth educa tion counseling counseling to the women’s attitude in facing pre menopause. method the research method used is pre experiment with pre test and post test one group design. the sample in this study were 31 mothers aged 40-50 years in polindes desa pasirharjo kecamatan talun kabupaten blitar, determined by sampling total sampling technique. treatment in the form of health education counseling counseling using lecture method. measurement of attitude is done before and after treatment. instrument used in this research is questionnaire. data analysis technique with paired sample t-test.the results showed the average value of pre-test attitudes of 22.8 and the average posttest attitudes 24.1. analysis of attitude score data shows p value 0,000 where p <0.046 then ho is rejected. so the conclusion of this research is, there is effect between health education counseling to woman attitude in facing pre-menopause at polindes pasirharjo kecamatan talun kabupaten blitar. result no pretest f % 1 positive 20 64,5 2 negative 11 35,5 total 31 100 table 1 women’s attitude in facing pre-menopause before joining health education counseling table 2 women’s attitude in facing pre-menopause after joining health education counseling no pretest f % 1 positive 24 77,4 2 negative 7 22,6 total 31 100 the result of attitude analysis from paired t test after giving health education counseling with significant test 0,05 and result of asymp.sig = 0.000 this value show result less than 0,05 and before given health education counseling result asymp.sig = 0,046. so when viewed from the different value there are differences in attitude before being given health education counseling and after being given health education counseling this means there is an effect of health education counseling on women’s attitude in facing pre menopause at polindes pasirharjo talun district blitar regency. 81monica, the effectiveness of health education to the women’s attitude... discussion women’s attitude in facing pre-menopause before joining health education counseling. result shows that prior to the pre-menopausal health education counseling, respondents who had positive attitudes were 20 people (64.5%) and had negative attitudes of 11 people (35.5%). from the results of the research, the attitude of respondents before being given health education counseling about the pre menopause shows that some respondent have positive attitude bigger than negative attitude. negative attitude of respondents shows that respondents support the negative attitude questions with indicator of the number of answers agree and strongly agree, whereas having a positive attitude indicates that respondents reject the negative questions and choose agree and strongly agree with the positive questions. attitudes that stand out about pr e-menopausal befor e being given a health education counseling include menarch age, it is when a woman get first experience menstruation in a young age, then the menopause will come longer. health education counseling provided by health wor ker s will incr ea se the knowledge of the mother’s insight, especially about the symptoms of pre menopause and attitude in facing the premenopause itself. women’s attitude after health education counseling about the pre menopause research result shows that after giving about pre menopause period, respondents who have positive attitude 24 people (77,6%) and have negative attitude 7 people (22,6%). based on the above data, shows an increase in attitude where the original percentage of positive attitude before given health education counseling 20 people (65.5%) to 24 people (77.4%). changes in attitude can occur slowly a long with the increasing knowledge, information and experience gained. this is in accordance with azwar (2011) that the formation of attitudes can be effectd by several factors namely education, experience, effect of others who are considered important, emotional factors and mass media. respondents argue that after being given health education counseling they were be more aware of what the pre menopausal period is and how to handle it. in this case health education counseling has a function as a new knowledge or knowledge enhancement, although the intensity of people’s acceptance is different. the success of a health education counseling can be effected by extension fa ctor s, goals a nd processes in counseling. therefore, the most effective lecturing method is used in the delivery so that the respondent can understand the content of the counseling. extension methods used by researchers is to provide material about the pre menopause with lectures, giving leaflets and also provide souvenirs to respondents to have the spirit in following the counseling. attitudes of respondents in this study after being given counseling is still negative. attitudes of respondents in this study after being given a health education counseling is still nega tive. one cha r a cter istic of a ttitude is spontaneity, which concerns the extent to which individual readiness to express his/her attitude spontaneously (azwar, 2011). provision of health education counseling that only held a few minutes can not grow a positive attitude to the respondents who previously had a negative attitude when the measurement of attitude conducted in this study. to change a person’s attitude takes a time. provision of health education counseling will increase one’s understanding about the pre menopause. the effect of health education counseling on women’s attitude about pre-menopausal period based on the result shows that before given health education counseling, the percentage of positive attitude is (64,5%) after given health education counseling increased to (77.4%). prior to health education counseling, the percentage of negative attitudes is (35.5% and after health education counseling decreased to (22.6%). from result of data analysis using wilcoxon statistic test, got significance value with level 0,046. thus, between counseling with respondents’ attitude have significa nt effect, but ther e a r e (22, 6%) of respondents who still have negative attitude after doing this who differ in age, intelligence, and the way how the researchers give the counseling (whether it is understandable or not). the intelligence of the respondent determines whether or not a person is easy to absorb and understand the knowledge they gain and have a good understanding which can makes he/she can think critically in facing pre-menopause. while the counseling conducted by researchers, it greatly 82 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 79–82 affect the course of research, if counseling given easy to read and understood then respondents want to pay attention to the stimulus given about the pre menopause and research can run as planned. based on the above description, it can be concluded that in genera l, health educa tion counseling to face the pre menopause can improve the attitude of mothers, one way that can be done is hea lth educa tion counseling ca n be held intensively twice or mor e. health educa tion counseling is an attempt to motivate or coordinate goals so that they behave in accordance with the guidance of health values (notoatmodjo, 2011). the success of a health education counseling can be effected by extension factors, goals and processes in counseling. good health education counseling will certainly be able to change a person’s behavior to do the best for his/her health. the expected result of this health education counseling is the positive mother’s attitude in facing pre menopausal period, so they are not afraid when facing it. in this study most of the mothers’ positive attitude in facing pre-menopausal period shows an improvement, there was a small part of the attitude remained no change, but the positive attitude not decreasing in number from before and after being given counseling conclusion and suggestion conclusion based on research result of health education counseling effect to woma n a ttitude of pr e menopause at polindes pasirharjo kecamatan talun kabupaten blitar, hence can be drawn conclusion as follows:pre-menopausal attitude before giving health education counseling about premenopause period as many as 20 people (64,5%) besikap positive and 11 people (35,5%) to be negative. mother attitude after health education counseling about pre-period menopause as many as 24 people (77.5%) were positive and 7 people (22. 5%) wer e nega tive. hea lth educa tion counseling has a n effect on mother attitude evidenced with level of significance 0,046. suggestion based on the results of research on the effect of health education counseling on women’s attitude about the pre menopause in polindes pasirharjo talun district blitar district, the suggestions that can be conveyed as follows: for researchers is expected to study mor e in-depth a bout the differences in health education counseling effect on women’s attitude about the pre menopause through a review of literature and research methods better. for the place of research, it is expected to be able to establish good cooperation between client and health service that can be realized in routine counseling every month about pre-menopause period. for the respondent, it is expected that the public (pre menopausal women) try to increase their knowledge and information through various mass media and newspapers (magazines, newspapers, tv etc) so when pre-menopausal comes, the discomfort and painful inconvenience can be reduced and even eliminated. references azwar, saifudin. 2011. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. notoatmodjo, soekidjo. 2005. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, soekidjo. 2011. promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. purwoastuti, endang. 2015. kesehatan reproduksi dan keluarga berencana. yogyakarta: pustaka baru press. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 53andriyansah dan susilowati, perilaku keluarga ... 53 perilaku keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue (dbd) di kelurahan kadipiro kecamatan banjarsari kota surakarta (family behavior in the prevention of dengue hemorrhagic fever (dhf) in the kadipiro village, banjarsari district, surakarta city) rizky nur andriyansah, tri susilowati program studi ners, stikes ‘aisyiyah surakarta email: asaku_susi@yahoo.com abstract: dengue is one of the most infectious diseases in the world. it is estimated one hundred million people are infected with dengue fever every year year. kadipiro is one of endemic areas of dengue fever and always the case is always increasing in every year. in 2012, there were 7 cases of dengue hemorrhagic fever and increased to 48 cases in 2013. the purpose of this study was to determine the behavior determinants of the family in the prevention of dengue hemorrhagic fever in the kadipiro village, banjarsari district surakarta city. the research design was descriptive, with 99 respondents used cluster random sampling and univariate analysis techniques. the result; the behavior determinant of the family in the prevention of dengue fever based on knowledge: 76 respondents have a good knowledge and 23 respondents had a poor knowledge. perception : 69 respondents have a good perception and 30 respondents had a poor perception. motivation: 65 respondents have a good motivation and 34 respondents had a poor motivation, cross-tabulation of knowledge and perception: respondents who had a good knowledge and a good perception was 59 respondents, and poor knowledge and perception of good was10 respondents. cross-tabulation of knowledge and motivation: respondents who had a good knowledge and a good motivation were 57 respondents, and poor knowledge and motivation of good were 8 respondents. the determinants of family behavior in the prevention of dengue hemorrhagic fever (dhf ) was based on the knowledge which was mostly good. the perceptions and motivations were mostly good. cross-tabulation of knowledge and perception was good. cross-tabulation of knowledge and motivation was good. keywords: determinants family behavior, prevention of dengue fever abstrak: demam berdarah merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak di dunia. diperkirakan 100 juta manusia terinfeksi demam berdarah setiap tahunnya. kadipiro salah satu wilayah endemis demam berdarah dengue dan selalu terjadi peningkatan kasus setiap tahunnya. pada tahun 2012, ada 7 kasus demam berdarah dengue dan meningkat menjadi 48 kasus pada tahun 2013.tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan perilaku keluarga dalam pencegahan demam berdarah dengue di kelurahan kadipiro, kecamatan banjarsari kota surakarta. desain penelitian adalah deskriptif, dengan 99 responden. menggunakan cluster random sampling. menggunakan teknik analisa univariat. hasil menunjukkan bahwa determinan perilaku keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue berdasarkan pengetahuan: 76 responden memiliki pengetahuan baik dan 23 responden memiliki pengetahuan kurang baik. persepsi: 69 responden memiliki persepsi baik dan 30 responden memiliki persepsi kurang baik. motivasi: 65 responden memiliki motivasi baik dan 34 responden memiliki motivasi kurang baik, tabulasi silang pengetahuan dan persepsi: responden yang memiliki pengetahuan baik dan persepsi yang baik 59 responden dan pengetahuan kurang baik dan persepsi baik sebesar 10 responden, tabulasi silang pengetahuan dan motivasi: responden yang memiliki pengetahuan baik dan motivasi yang baik sebesar 57 responden, dan pengetahuan kurang baik dan persepsi baik sebesar 8 responden. determinan perilaku acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p053-058 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 54 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 53–58 keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan pengetahuan sebagian besar adalah baik, berdasarkan persepsi dan motivasi sebagian besar adalah baik, tabulasi silang pengetahuan dan persepsi adalah baik, tabulasi silang pengetahuan dan motivasi adalah baik. kata kunci: determinan perilaku keluarga, pencegahan penyakit demam berdarah dengue demam berdarah merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak di dunia. diperkirakan 100 juta manusia terinfeksi demam berdarah setiap tahunnya (oswari & sofan, 2009). menurut who (world health organitation) di negara yang tergabung dalam negara asia tenggara, thailand merupakan negara peringkat pertama yang melaporkan banyak kasus demam berdarah dengue yang dirawat di rumah sakit dan kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus dilaporkan berumur kurang dari 15 tahun (soegijanto, 2006). di indonesia kasus dbd menjadi endemis baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan (soedarto, 2012). pada tahun 2012 jumlah penderita dbd dengan ir (incidence rate) 37.11 per 100.000 penduduk yang dilaporkan meningkat bila di bandingkan dengan tahun 2011 dengan ir 27.67 per 100.000 penduduk. angka kesakitan dbd di provinsi jawa tengah pada tahun 2011 hingga tahun 2013 cenderung meningkat bila dilihat dari ir pada tahun 2011 yaitu 15,3, tahun 2012 yaitu 19,29 dan tahun 2013 yaitu 38,3. tingginya angka kesakitan dbd disebabkan karena adanya iklim tidak stabil dan curah hujan cukup banyak pada musim penghujan yang merupakan sarana perkembangbiakan nyamuk aedes aegepty yang cukup potensial. selain itu juga didukung dengan tidak maksima lnya kegia ta n psn di masyarakat sehingga menimbulkan klb penyakit dbd di beberapa kabupaten kota (dinkes jawa tengah, 2012). surakarta merupakan kabupaten kota yang terdapat di jawa tengah yang termasuk dalam wilayah endemis penyakit demam berdarah (dbd). berdasarkan laporan pengamatan penyakit dari puskesmas tahun 2012 hingga tahun 2013 tercatat 263 kasus. dari tahun 2012 hingga tahun 2013 kasus terbanyak ada di wilayah puskesmas gambirsari (dinkes surakarta, 2013). puskesmas gambirsari merupakan puskesmas yang memiliki wilayah kerja di kelur a ha n ka dipir o. ber da sa r ka n studi pendahuluan yang telah dilakukan di puskesmas gambirsari didapatkan hasil pada tahun 2012 jumlah penderita dbd sebanyak 7 orang dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 48 penderita. hasil wawancara kepada 10 orang warga didapatkan hasil bahwa 6 orang warga tidak mengetahui penyebab dbd dan 4 orang warga menjawab nyamuk aedes aegypti. 3 orang warga mengatakan dbd dapat dicegah dengan menjaga kebersihan lingkungan, sedangkan 7 orang warga mengatakan bahwa dbd hanya terjadi di musim hujan dan pencegahan dbd yang benar adalah dengan fogging (pengasapan). dari 10 warga yang dilakukan wawancara, 3 orang warga mengatakan tertarik melakukan pencegahan dbd karena pengalaman masa lalu yaitu anggota keluarga yang pernah terkena dbd, sedangkan 7 orang warga kurang tertarik karena alasan sibuk bekerja. selain itu, observasi yang dilakukan langsung ke kelurahan kadipiro di dapatkan hasil bahwa masih ada rumah warga yang tampak kumuh dan sangat berdekatan antara rumah satu dengan rumah yang lainnya. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan perilaku kelua rga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue (dbd) di kelurahan kadipiro, kecamatan banjarsari kota surakarta. bahan dan metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga kelurahan kadipiro dengan jumlah 15329 kepala keluarga pada tahun 2015. setelah menggunakan rumus maka didapatkan sampel 99,35 responden atau 99 responden. adapun responden yang dipilih dalam penelitian ini yaitu responden yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan yaitu merupakan kepala keluarga, terdaftar sebagai warga kelurahan kadipiro, bersedia menjadi responden dan kooperatif. hasil penelitian tabel 1. distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur di kelurahan kadipiro bulan agustus tahun 2015 umur f % 18-40 41-60 >60 40 55 4 40 56 4 total 99 100 55andriyansah dan susilowati, perilaku keluarga ... distribusi responden berdasarkan umur menunjukkan sebagian besar responden memiliki umur 41– 60 tahun yaitu sebanyak 55 orang (56%), kemudian umur responden 18–40 tahun sebanyak 40 orang (40%) dan umur responden >60 tahun sebanyak 4 orang (4%). distribusi responden menurut persepsi menunjukkan sebagian besar memiliki persepsi baik yaitu sebanyak 69 responden (70%) dan persepsi kurang baik sebanyak 30 responden (30%). hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi baik. tabel 2. distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan pendidikan di kelurahan kadipiro bulan agustus tahun 2015 sumber: data primer diolah tahun 2015 pendi dikan f % rendah menengah tinggi 26 63 10 26 64 10 total 99 100 distribusi responden berdasarkan pendidikan menunjukkan sebagian besar responden memiliki pendidikan menengah yaitu sebanyak 63 orang (64%), kemudian pendidikan responden rendah sebanyak 26 orang (26%) dan pendidikan responden tinggi sebanyak 10 orang (10%). tabel 3. distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden di kelurahan kadipiro bulan agustus tahun 2015 sumber: data primer diolah tahun 2015 pengeta huan f % kuran g baik baik 23 76 23 77 total 99 100 distribusi responden menurut pengetahuan menunjukkan sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 76 responden (77%) dan sisanya pengetahuan kurang baik sebanyak 23 responden (23%). hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik. tabel 4. distribusi frekuensi persepsi responden di kelurahan kadipiro bulan agustus tahun 2015 sumber: data primer diolah tahun 2015 persepsi f % kuran g baik baik 30 69 30 70 total 99 100 tabel 5. distribusi frekuensi motivasi responden di kelurahan kadipiro bulan agustus tahun 2015 sumber: data primer diolah tahun 2015 motivasi f % kuran g baik baik 34 65 34 66 total 99 100 distribusi responden menurut motivasi menunjukkan distribusi tertinggi adalah baik yaitu sebanyak 65 responden (66%) dan 34 responden (34%) memiliki motivasi yang kurang baik. hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki motivasi baik. tabel 6. distribusi frekuensi pengetahuan dengan persepsi di kelurahan kadipiro bulan agustus tahun 2015 sumber: data primer diolah tahun 2015 pengeta huan persepsi kurang baik baik f % f % kuran g baik 13 13 10 10 baik 17 17 59 60 berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa tabulasi silang pengetahuan dan persepsi didapatkan hasil yaitu mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik dan persepsi yang baik sebesar 59 responden (60%). sedangkan pengetahuan yang kurang baik dan persepsi baik sebesar 10 responden (10%). tabel 7. distribusi frekuensi pengetahuan dengan motivasi di kelurahan kadipiro bulan agustus tahun 2015 sumber: data primer diolah tahun 2015 pengeta huan motivasi kurang baik baik f % f % kuran g baik 15 15 8 8 baik 19 19 57 58 56 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 53–58 berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa tabulasi silang pengetahuan dan motivasi didapatkan hasil yaitu mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik dan motivasi yang baik sebesar 57 responden (58%). sedangkan pengetahuan yang kurang baik dan persepsi baik sebesar 8 responden (8%). pembahasan determinan perilaku keluarga dalam pencegahan demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan pengetahuan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik. hal ini sejalan dengan hasil penelitian santoso dan budiyanto (2008) yaitu pengetahuan responden terhadap dbd termasuk tinggi. pengetahuan masyarakat tentang pencegahan dbd diperoleh melalui informasi yang didapat melalui pendidikan dan pengalaman. jika ditinjau dari karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan sebagian besar responden di kelurahan kadipiro berpendidikan sma. menurut departemen pendidikan (2000) lama pendidikan minimal 9 tahun sudah dianggap termasuk dalam kategori baik. sebagaimana dikemukakan oleh mubarak, et al. (2007) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya adalah pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, lingkungan dan informasi. semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak pula informasi yang diterima oleh orang tersebut sehingga menambah pengetahuan dalam melakukan pencegahan demam berdarah dengue. faktor lain yang mendukung tingginya pengetahuan masyarakat adalah kemudahan diperolehnya informasi tentang pencegahan dbd. determinan perilaku keluarga dalam pencegahan demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan persepsi hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi baik. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh wuryaningsih (2008) diketahui bahwa mayoritas responden memiliki persepsi baik atau mendukung pelaksanaan psn dbd. persepsi merupakan istilah yang dipergunakan untuk mengartikan perbuatan yang lebih dari sekedar mendengarkan, melihat, merasakan sesuatu yang didapatnya. pengertian persepsi menurut pieter, et al. (2011) persepsi adalah proses mengamati situasi dunia luar dengan menggunakan proses perhatian, pemahaman, dan pengalaman terhadap objek atau peristiwa. persepsi dapat diidentikkan dengan pandangan atau tanggapan individu terhadap sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan di lingkungan. penelitian menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap perilaku pencegahan dbd sebagian besar adalah baik. persepsi yang baik tersebut tentunya disebabkan adanya faktor-faktor yang mendukung timbulnya persepsi tersebut. pieter, et al. (2011) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah minat, kepentingan, kebiasaan, dan konstansi atau kecenderungan. determinan perilaku keluarga dalam pencegahan demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan motivasi hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki motivasi baik. hal ini sesuai dengan penelitian suharti (2010) yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki motivasi yang cukup baik dalam pemberantasan sarang nyamuk dbd. tingginya motivasi masyarakat mengenai pencegahan dbd adalah karena dbd merupakan masalah aktual yang sering terjadi setiap tahun, utamanya pada musim penghujan sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang lebih mengenai pencegahan dbd melalui petugas kesehatan maupun media cetak baik media massa ataupun media elektronik. hal ini di perkuat oleh notoatmodjo (2007), yang menyatakan bahhwa motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. di dalam diri seseorang terdapat kebutuhan atau keinginan terhadap objek di luar seseorang tersebut, kemudian bagaimana seseorang tersebut menghubungkan antara kebutuhan dengan situasi di luar objek tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan yang dimaksud. determinan perilaku keluarga dalam pencegahan demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan pengetahuan dengan persepsi keluarga dalam pencegahan dbd menurut mubarak, et al. (2007:28), menjelaskan bahwa pengetahuan adalah hasil pengetahuan panca indranya yang menjadi kesan di dalam pikiran manusia. berbeda dengan kepercayaan, takhayul, 57andriyansah dan susilowati, perilaku keluarga ... dan penerangan-penerangan yang keliru. faktorfaktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar dan informasi. pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkunganya. pengalaman sendiri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, seperti yang telah dikemukakan oleh notoatmodjo (2010:104), persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengalaman/pengetahuan, harapan, kebutuhan, motivasi, emosi dan budaya. sehingga pengetahuan dan persepsi memiliki keterkaitan yang erat dan dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang maka akan berpengaruh terhadap persepsi orang tersebut. hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. determinan perilaku keluarga dalam pencegahan demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan pengetahuan dengan motivasi keluarga dalam pencegahan dbd menurut notoatmodjo (2007:140), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif memiliki 6 tingkatan yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (aplication), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation). ketika kepala keluarga mengetahui dan memahami bahwa demam berdarah itu adalah penyakit yang bisa menimbulkan kematian, yang ditularkan melalui vektor nyamuk aedes aegypti dan bisa dicegah dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue secara rutin, maka kepala keluarga akan memiliki motivasi yang tinggi untuk berperilaku melakukan pencegahan dbd dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk secara rutin. hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh putri (2012) yang menyatakan bahwa masyarakat memiliki motivasi tinggi untuk melakukan pencegahan dbd. untuk itu diperlukan usaha dari berbagai pihak untuk meningkatkan pengetahuan dan motivasi masyarakat agar ada peningkatan perilaku pencegahan dbd dan angka kejadian dbd dapat berkurang. usahausaha itu bisa melalui iklan layanan masyarakat. simpulan dan saran simpulan determinan perilaku keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan pengetahuan, persepsi dan motivasi di kelurahan kadipiro, kecamatan banjarsari kota surakarta sebagian besar adalah baik. determinan perilaku keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan pengetahuan dengan persepsi keluarga dalam pencegahan dbd adalah pengetahuan yang baik akan menghasilkan persepsi yang baik. determinan perilaku keluarga dalam pencegahan penyakit demam berdarah dengue (dbd) berdasarkan pengetahuan dengan motivasi keluarga dalam pencegahan dbd adalah pengetahuan yang baik akan menghasilkan motivasi yang baik. saran bagi masyarakat kelurahan kadipiro, meningkatkan perilaku pencegahan demam berdarah dengue (dbd) dengan 3m plus, sehingga penyebaran demam berdarah dengue dapat terkendali. bagi puskesmas gambirsari, menjalin komunikasi terhadap kader-kader kesehatan dan memberikan pendidikan kesehatan maupun tindakan pencegahan dbd langsung secara rutin sehingga ter cipta kebia sa a n pencega ha n dbd oleh masyarakat. bagi peneliti selanjutnya, mencari faktor-faktor lainnya yang dapat mempengaruhi perilaku pencegahan dbd sehingga dapat dibandingkan faktor manakan yang pa ling ber pengar uh ter ha da p pencegahan dbd. daftar rujukan dinas kesehatan jawa tengah. 2013. buku saku kesehatan triwulan 3, dinas kesehatan jawa tengah. ______. 2012. profil dinas kesehatan jawa tengah, dinas kesehatan jawa tengah. mubarak, c., rozikin, & supradi. 2007. promosi kesehatan sebuah pengantar proses belajar mengajar dalam pendidikan. yogyakarta: graha ilmu. notoatmodjo, s. 2010, promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2007, promosi kesehatan & ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. oswari dan sofwan. 2009. 123 penyakit dan gangguan pada anak. jakarta: pt bhuana ilmu popular. pieter, j., dan saragih. 2011. pengantar psikopatologi untek keperawatan. jakarta: kencana. putri, p.d. 2012. motivasi dan partisipasi warga dalam mencegah angka kejadian dbd di rw 09 kelurahan pondok cina kecamatan beji, 58 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 53–58 depok, [skripsi], fakultas ilmu keperawatan, program studi ilmu keperawatan, depok. santoso dan budiyanto, a. 2008, hubungan pengetahuan sikap dan perilaku (psp) masyarakat terhadap vektor dbd di kota palembang provinsi sumatra selatan, jurnal ekologi kesehatan vol. 7 no. 2, agustus 2008: 732–739. diakses pada tanggal 10 agustus 2015. soedarto. 2012. penyakit zoonosis manusia ditularkan oleh hewan. jakarta: sagung seto. soegijanto, s. 2006, demam berdarah dengue, edisi 2. surabaya: airlangga university press. suharti, s. 2010. hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku kepala keluarga dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue, [tesis], progr am st udi magister kedokteran keluarga, program pasca sarjana universitas sebelas maret surakarta. wuryaningsih, t. 2008. hubungan antara pengetahuan dan persepsi dengan perilaku masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (psn dbd) di kota kediri, [tesis], program studi kedokteran keluarga program pasca sarjana universitas sebelas maret surakarta. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 272 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 272–277 272 upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) letusan gunung kelud oleh masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana (krb) iii kabupaten blitar (disaster risk reduction (mitigation) eruption of kelud mountain by the society in the area of disaster-prone areas (krb) iii blitar regency) sri winarni, agus khoirul anam, rizal an akhiruna poltekkes kemenkes malang jurusan keperawatan email: winkhamaisya@gmail.com abstract: indonesia is a country that has great case of natural disasters. one of disasters that recently occurred are the volcanic eruptions. based on the interview with volunteer of kelud anchor in december 2015, there were communities that were less understand about disaster risk reduction efforts of the volcano. the purpose of the research was the efforts of disaster risk reduction (mitigation) eruption of kelud mountain by the society in the area of disaster-prone areas (krb) iii blitar regency. this research used descriptive research design. the population of the research was all members of the community who live in area iii krb kelud in modangan. the sample was 60 people taken by quota sampling. the data collection was done by providing a closed-ended questionnaire multiple choice questions. time data retrieval performed on 15-20 march 2016. the results showed that the public had the ability to either ie of 50% (30 people), enogh ability as 15% (10 people) and had less abilities i.e. as 35% (20 people). it was affected by the dissemination of prevention and disaster risk reduction. recomendation for stakeholder of modangan and karangrejo village was to do socialitation in every or when there was sign of kelud mountain activity. keywords: effort, society, mitigasi. abstrak: indonesia adalah negara yang sering terjadi bencana alam. dari berbagai bencana yang baru saja terjadi adalah letusan gunung berapi. berdasarkan wawancara dengan relawan kelud anchor pada bulan desember 2015, masih ada masyarakat yang kurang memahami tentang upaya pengurangan risiko bencana gunung berapi. tujuan dari penelitian ini adalah upaya pengurangan risiko (mitigasi) bencana letusan gunung kelud oleh masyarakat di wilayah daerah bencana rawan (krb) iii blitar kabupaten. penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian ini adalah semua anggota masyarakat yang tinggal di daerah iii krb gunung kelud di dusun modangan dan sampel besar, sebanyak karangrejo 60 orang dengan quota sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner pertanyaan pilihan ganda tertutup berakhir. pengambilan data waktu dilakukan pada 15-20 maret 2016. hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk baik ie dari 50% (30 masyarakat), kemampuan enogh 15% (10 masyarakat) dan memiliki kemampuan kurang yaitu sebsear 35% ( 20 masyarakat). hal ini dipengaruhi oleh pernah mendapatkan dan mengikuti sosialisasi pengurangan risiko pencegahan dan bencana. rekomendasi untuk modangan pemangku kepentingan dan desa karangrejo adalah melakukan socialitation di setiap atau ketika tanda-tanda aktivitas gunung kelud ‘. kata kunci: usaha, masyarakat, mitigasi indonesia merupakan negara yang sering terjadi bencana alam. bencana alam tersebut bermacammacam seperti banjir,tanah longsor, kekeringan, letusan gunung api, tsunami, dan masih banyak lagi yang lainnya. dari sekian macam-macam bencana tersebut yang baru saja terjadi adalah letusan gunung acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p272-277 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 273winarni, anam dan akhiruna, upaya pengurangan risiko ... api. salah satu gunung api yang baru saja meletus pada bulan februari tahun 2014 adalah gunung kelud yang berada di jawa timur. menurut bakornas pb (2007:63) gunung api adalah bentuk timbunan (kerucut dan lainnya) di permukaan bumi yang dibangun oleh timbunan rempah letusan, atau tempat munculnya batuan lelehan (magma)/rempah lepas/gas yang berasal dari bagian dalam bumi. penyebab meletusnya adalah pancaran magma dari dalam bumi yang berasosiasi dengan arus konveksipanas, proses tektonik dari pergerakan dan pembentukan lempeng atau kulit bumi, akumulasi tekanan dan temperatur dari fluida magma menimbulkanpelepasan energi. bila suatu gunung api meletus akan terjadi penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas. pada saat musim hujan tiba sebagian material tersebut akan terbawa oleh air hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan, banjir tersebut disebut lahar. maka dari itu, pemerintah berusaha berupaya melakukan penanggulangan bencana letusan gunung api. salah satu upaya penanggulangan tersebut adalah upaya mitigasi. menurut bakornas pb (2007:68) mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. strategi mitigasi apabila terjadi letusan gunung api adalah merencanakan lokasi memanfaatkan lahan untuk aktivitas penting harus jauh atau diluar dari kawasan rawan bencana, menghindari tempat-tempat yang memiliki kecenderungan untuk dialiri lava dan atau lahar, memperkenalkan struktur bangunan tahan api, menerapkan dusunin bangunan yang tahan terhadap tambahan beban akibat abu gunung api, membuat barak pengungsian yang permanen, terutama di sekitar gunung api yang sering meletus, membuat fasilitas jalan dari tempat pemukiman ke tempat pengungsian untuk memudahkan evakuasi, menyediakan alat transportasi bagi penduduk bila ada perintah pengungsian, kewaspadaan terhadap risiko letusan gunung api di daerahnya, identifikasi daerah bahaya, meningkatkan kemampuan pemadaman api, membuat tempat penampungan yang kuat dan tahan api untuk kondisi kedaruratan, masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api harus mengetahui posisi tempat tinggalnya pada peta kawasan rawan bencana gunung api, masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api hendaknya paham cara menghindar dan tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi letusan gunung api, memahami arti dari peringatan dini yang diberikan oleh aparat/pengamat gunung api, bersedia melakukan koordinasi dengan aparat/pengamat gunung api. pada 13 februari 2014 gunung kelud mengalami erupsi. daerah blitar yang dalam sejarah letusan gunung kelud selalu terdampak sangat parah. daerah tersebut meliputi kecamatan nglegok, gandusari, garum dan ponggok yang masuk dalam kawasan rawan bencana iii (krb iii). berdasarkan data sensus penduduk 2010 yang dilakukan oleh bps, penduduk yang berada di 4 kecamatan di kabupaten blitar tersebut dihuni oleh lebih dari 115 ribu penduduk. warga yang terdampak erupsi gunung kelud mengungsi ditempat yang telah ditentukan sebelumnya yang tersebar di 63 titik evakuasi yang telah disepakati. jumlah pengungsi di 63 lokasi pengungsian pada saat erupsi gunung kelud tersebar di 4 kecamatan mencapai 32.846 jiwa. selain itu, pemerintah kabupaten blitar juga mempersiapkan tempat evakuasi di 4 kecamatan yang diprediksi menjadi daerah terdampak erupsi diantaranya kecamatan nglegok 24 tempat evakuasi dengan daya tampung 29.100 jiwa, kecamatan gandusari 12 tempat evakuasi dengan daya tampung 10.028 jiwa, kecamatan garum 15 tempat evakuasi, daya tampung 6.700 jiwa, kecamatan ponggok 12 tempat evakuasi dengan daya tampung 7.700 jiwa. selain upaya tersebut diatas, pemerintah juga sudah melakukan upaya mitigasi yang ada di dusun modangan dan karangrejo. upaya tersebut berupa pembentukan jangkar kelud. jangkar kelud merupakan perkumpulan masyarakat yang peduli akan bencana gunung kelud. kegiatan yang dilakukan berupa edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana. berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti melalui wawancara pada bulan desember 2015, 2 dari 5 anggota relawan jangkar kelud mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang tinggal dan bermukim di area krb iii dan jalur utama lahar gunung kelud. selain itu, 3 dari 4 tokoh masyarakat dan 4 dari 6 masyarakat di 2 dusun tersebut mengatakan kurang memahami tentang upaya pengurangan risiko bencana gunung api sehingga peran serta masyarakat perlu di teliti lebih lanjut. berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentangupaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) letusan gunung kelud 274 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 272–277 oleh masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana (krb) iii kabupaten blitar. metode penelitian penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah semua anggota masyarakat yang tinggal di daerah krb iii gunung kelud di dusun modangan dan karangrejo, besar sampel sebanyak 60 orang dengan teknik quota sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner closed-ended multiple choice questions. waktu pengambilan data dilakukan pada 15-20 maret 2016. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian secara umum,masyarakat dusun modangan dan karangrejo seperti dalam tabel 1 di bawah. upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) letusan gunung kelud oleh masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana (krb) iii kabupaten blitar ditunjukkan dalam tabel 2. pembahasan berdasarkan hasil penelitian upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) letusan gunung kelud oleh masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana (krb) kabupatenblitar, 53,3% (16 tokoh masyarakat) dan masyarakat 46.7% (14 masyarakat) melakukan upaya yang baik. hal itu karena tabel 1. karakteristik masyarakatdusun modangan dan karangrejo kab.blitar, tanggal 15-20 maret 2016 (n=60) no karakteristik f % 1 jenis kelamin:  laki-laki:  tomas  masyarakat  perempuan:  tomas  masyarakat 30 18 0 12 100 60 0 40 2 u mur:  dewasa awal :  tomas  masyarakat  dewasa madya:  tomas  masyarakat  lansia:  tomas  masyarakat 1 13 24 14 5 3 3,3 4,3 80 46,7 16,7 10 3 p endidikan terakhir:  sd :  tomas  masyarakat  smp:  tomas  masyarakat  sma:  tomas  masyarakat  pt:  tomas  masyarakat 7 8 10 12 10 9 3 1 23 27 33 40 33 30 10 3 no karakteristik f % 4 pekerjaan:  tidak bekerja:  tomas  masyarakat  pensiunan:  tomas  masyarakat  petani:  tomas  masyarakat  wiraswasta:  tomas  masyarakat  pns:  tomas  masyarakat  irt:  masyarakat  lainlain:  masyarakat 1 3 3 1 1 6 7 8 1 2 2 1 5 1 3 10 10 3 53 23 27 40 7 3 17 4 5 peran di lingkungan:  tomas  masyarakat 3 0 3 0 100 100 6 peran di keluarga:  ayah  ib u  anak  lainlain 15 10 4 1 50 33 13 3 7 sosialisasi:  ya:  tomas  masyarakat  tidak:  tomas  masyarakat 2 6 1 1 4 1 9 87 37 13 63 8 mengalami letu san:  ya 6 0 100 275winarni, anam dan akhiruna, upaya pengurangan risiko ... masyarakat telah melakukan upaya pengurangan risiko bencana diantaranya memanfaatkan lahan jauh dari kawan bencana, menghindari tempat aliran lava dan tokoh masyarakat telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang aktivitas gunung api. berdasarkan hasil penelitian, 90% (27 tokoh masyarakat) dan 97% (29 masyarakat) sudah mema nfaa tkan lahan jauh da ri kawasan r awan bencana. hal itu dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang sudah bekerja atau beraktivitas di lahan yang berjarak lebih dari 10 km. menurut bakornas pb (2007), salah satu upaya mitigasi yaitu merencanakan lokasi pemanfaatan lahan untuk aktivitas penting harus jauh atau di luar dari kawasan rawan bencana. peneliti berpendapat masyarakat sudah berupaya memanfaatkan lahan jauh dari kawan bencana yaitu lebih dari 10 km terbukti dengan hasil wawancara bahwa masyarakat sudah tidak melakukan pengairan menggunakan air dari sungai aliran lahar melainkan dari sumur bor. masyarakat membuat sumur bor karena mereka takut apabila memanfaatkan sungai lahar untuk mengairi sawah saat hujan tiba, mereka akan terbawa arus. sehingga masyarakat sudah banyak yang tidak melakukan aktivitas di sekitar aliran lahar. hal itu dibuktikan dengan 93% (28 tokoh masyarakat) dan 67% (20 masyarakat) tidak melakukan aktivitas di sekitar aliran lahar. menurut peneliti, hal itu tentunya tidak lepas dari peran serta tokoh masyarakat. hasil penelitian sebesar 93% (28 tokoh masyarakat) telah melakukan sosialisasi tentang peringatan dini yitu dengan menginformasikan kepada masyarakat tentang akitivitas gunung api. berdasarkan hasil wawancara kepada tokoh masyarakat, mereka mengatakan selalu megimbau kepada masyarakat untuk selalu waspada dan hati-hati apabila terlihat tanda-tanda akan adanya gunung meletus. hal itu didukung oleh bakornas pb (2007) bahwa salah satu prinsip mitigasi itu sangat kompleks, saling ketergantungan dan melibatkan banyak pihak. selain itu menurut peneliti, upaya masyarakat baik dikarenakan masyarakat pernah mengalami bencana letusan gunung api sehingga mereka sudah paham apa yang harus mereka lakukan apabila sewaktu-waktu terjadi bencana gunung meletus terbukti dengan hasil wawancara sebanyak 100% (60 masyarakat) pernah mengalami bencana gunung api. peneliti juga berpendapat, bahwa pengalaman mempengaruhi sikap seseorang dalam bertindak. hal itu didukung oleh azwar (2012), bahwa penentu sikap individu yang pertama adalah pengalaman pribadi. untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan factor emosional. dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. sedangkan tokoh masyarakat dan masyarakat memiliki upaya kurang dari 100% dikarenakan masyarakat kurang dapat mengidentifikasi daerah yang berisiko terkena bencana karena hanya ada 43% (13 tokoh) dan 47% (14 masyarakat) yang menjawab benar. menurut peneliti apabila masyarakat dan tokoh masyarakat tidak dapat memahami serta mengidentifikasi daerah yang berisiko terkena bencana otomatis upaya masyarakat dan tokoh masyarakat akan kurang dari 100%. hal itu didukung oleh bakornas pb (2007:68) bahwa salah satu upaya mitigasi adalah mengidentifikasi daerah bahaya. sehingga apabila masyarakat dan tokoh masyarakat sebagian besar tidak dapat mengidentifikasi dan memahami daerah yang berisiko bencana mereka tidak dapat melakukan tindakan upaya mitigasi secara optimal. kemudian masyarakat juga kurang dapat mengidentifikasi peta kawasan rawan bencana (krb) karena hanya ada 53% (16 tokoh) dan 27% (8 masyarakat) yang menjawab benar. menurut peneliti peta kawasan rawan bencana ( krb ) merupakan hal penting dalam upaya mitigasi sehingga jika masyarakat kurang memahami keberadaan tempat tinggalnya pada peta kawasan rawan bencana otomatis upaya masyarakat tersebut kurang. hal itu didukung oleh pendapat bakornas pb (2007: 68) bahwa salah satu upaya mitigasi tabel 2. upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) letusan gunung kelud oleh masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana (krb) iii kabupaten blitar, tanggal 15-20 maret 2016 (n=60) no upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) letusan gunung kelud oleh masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana (krb) iii kabupaten blitar kategori f % 1 baik 30 50 2 cukup 10 15 3 kurang 20 35 276 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 272–277 adalah mensosialisasikan kepada masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api harus mengetahui posisi tempat tinggalnya pada peta kawasan rawan bencana gunung api. masyarakat selain menyelamatkan keluarganya juga belum menyelamatkan barang yang berharga (surat dan serifikat penting dll)karena hanya ada 60% (18 tokoh) dan 57% (17 masyarakat) yang menjawab benar. menurut peneliti, surat dan sertifikat itu juga penting diselamatkan. tetapi karena budayanya di masyarakat ketika terjadi bencana masyarakat hanya akan menyelamatkan diri sehingga masyarakat tersebut lupa untuk menyelamatkan barang-barang berharga tersebut. karena tindakan yang dilakukan masyarakat juga ada hubungannya dengan budaya yang terjadi di lingkungan tempat tinggal. hal itu didukung dengan teori hubungan antara berbagai konsep realitas sosial dan budaya. bahwa masyarakat tentu tak akan lepas dari konsep budaya, karena kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh masyarakat. masyarakat kurang memberikan informasi ke tokoh masyarakat bila muncul tanda tanda aktivitas gunung apikarena hanya ada 57% ( 17 tokoh) yang menjawab benar. menurut peneliti, apabila masyarakat tidak memberikan informasi ke tokoh masyarakat bila muncul tanda-tanda aktivitas gunung api maka masyarakat akan berisiko kesulitan dalam mencari bantuan apabila sewaktu-waktu gunung api tersebut meletus. sehingga upaya untuk mengurangi risiko bencana tidak berhasil karena mitigasi itu tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja melainkan melibatkan banyak pihak. hal itu didukung oleh bakornas pb (2007:16) bahwa salah satu prinsip mitigasi adalah upaya mitigasi itu sangat kompleks, saling ketergantungan dan melibatkan banyak pihak. jadi apabila masyarakat tidak memberikan informasi kepada tokoh masyarakat berarti masyarakat tersebut tidak melibatkan pihak lain (tokoh masyarakat) ketika terjadi bencana. dari tokoh dan masyarakat memiliki perbedaan dalam melakukan upaya mitigasi. tokoh cenderung memiliki upaya yang lebih baik dibandingkan masyarakat. hal tersebut karena tokoh mendapat pengaruh dari pernah tidaknya mengikuti sosialisasi tentang pencegahan dan pengurangan risiko bencana. terbukti dengan hasil penelitian sebesar 50% (15 tokoh) yang pernah mendapat sosialisasi memiliki upaya yang baik sedangkan masyarakat yang memiliki upaya baik setelah mendapat sosialisasi hanya sebesar 26,7% (8 masyarakat). hal itu juga didukung oleh hasil penelitian bahwa 100% (30 tokoh masyarakat) dan (30 masyarakat) pernah mengalami letusan gunung api. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) letusan gunung kelud oleh masyarakat di wilayah kawasan rawan bencana (krb) kabupaten blitar adalah 50% baik. pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) pada penelitian ini baik dalam hal pemanfaatan lahan jauh dari kawasan rawan bencana, menghindari tempat aliran lava atau lahar, mensosialisasikan tentang peringatan dini, mensosialisasikan tentang tindakan jika terjadi letusan gunung api, dan upaya cukup melalui upaya mensosialisasikan pentingnya koordinasi dengan aparat atau pengamat gunung api, serta masyarakat kurang melakukan upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi) dalam mengidentifikasi daerah bahaya dan mensosialisasikan peta krb (kawasan rawan bencana). saran saran bagi (1) perangkat dusun karangrejo dan modangan melakukan sosialisasi setiap atau ketika ada tanda-tanda terkait aktivitas gunung kelud (2) bagi institusi pendidikan. institusi pendidikan memiliki peran penting untuk memberikan materi tentang pentingnya tindakan pengurangan risiko bencana (mitigasi) pada semua masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana. ketua program studi dan jajarannya disarankan untuk melakukan pengabdian masyarakat yaitu melakukan sosialisasi peta rawan bencana (prb) menggunakan peta simulasi yang telah dibuat oleh prodi d3 keperawatan blitar serta melakukan penyuluhan kesehatan terkait risiko bencana setiap semester (3) bagi peneliti selanjutnyameneliti dan menggali jenis upaya lain, berdasarkan kearifan lokal yang bisa digunakan yang lebih baik dalam pengurangan risiko bencana (4) bagi dinas ( bpbd, pmi, dinkes, dinsos) memberikan sosialisasi atau pelatihan terkait empat item upaya yang kurang baik diantaranya masyarakat kurang memahami daerah yang berisiko terkena bencana, masyarakat kurang memahami peta kawasan rawan bencana (krb), masyarakat selain menyelamatkan keluarganya juga 277winarni, anam dan akhiruna, upaya pengurangan risiko ... belum menyelamatkan barang yang berharga (surat dan serifikat penting dll), masyarakat kurang memberikan informasi ke tokoh masyarakat bila muncul tanda tanda aktivitas gunung api, serta pelatihan tindakan mitigasi terkait bencana gunung kelud secara optimal. daftar rujukan ali, z. 2010. dasar-dasar pendidikan masyarakat dan promosi kesehatan. trans jakarta: info media. ari kun to, s. 2006. prosedur pene li t ian suat u pendekatan praktik. jakarta: pt rineka cipta. azwar. 2012. sikap manusia. yogyakarta: pustaka belajar. bnpb. 2007. pengenalan karakteristik bencana dan upaya mitigasinya di indonesia. edisi ii. jakarta. gema bnpb “ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana”. vol.5 no.1. mei 2014. hidayat, a.a.a. 2008. riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba medika. mustofa, fadri. 2014. mitigasi bencana di kawasan rawan bencana (krb) iii gunung merapi. yogyakarta: universitas gajah mada. notoatmodjo, s. 2007. kesehatan masyarakat: ilmu dan seni. jakarta: pt asdi mahasatya. notoatmodjo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: pt. renika cipta. nursalam. 2013. metodologi penelitian ilmu keperawatan: pendekatan praktis edisi 3. jakarta: salemba medika. peraturan menteri dalam negeri. 2006. pedoman umum mitigasi bencana. peraturan menteri energi dan sumber daya mineral no.15 tahun 2011 tentang pedoman mitigasi bencana gunung api, gerakan tanah, gempabumi, dan tsunami. sutomo. 2011. teknik menyusun kti-skripsi-tesistulisan dalam jurnal bidang kebidanan, keperawatan dan kesehatan. yogyakarta: fitramaya. undang-undang republik indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. jakarta: bakornas pb, 2007. 141puspitasari, hannan, su’udiyah, pengaruh mobilisasi dini sim kanan kiri... 141 pengaruh mobilisasi dini sim kanan kiri terhadap konstipasi pada pasien stroke infark di ruang icu rsud dr. h. mohammad anwar sumenep (the effectiveness of early mobilization left – right sim to constipation on stroke infark patient in the intensive care unit dr. h. mohammad anwar sumenep public hospital) dian ika puspitasari, mujib hannan, su’udiyah prodi ilmu keperawatan, fakultas ilmu kesehatan, universitas wiraraja sumenep email: dianika.uwr@gmail.com abstract: stroke is an acute nerve disorder caused by circulatory disorders to the brain. the impact that often occurs in stroke patients is constipation due to disease complications, drugs and lack of mobilization. the purpose of this researchwas to analyze the effect of early mobilization sim right left to constipation in patients with stroke infarction in icu hospital dr. h. mohammad anwar sumenep. the design of this research was quasy experiment with non-equivalent control group design. the population in this study wwa stroke infarct patients treated in icu hospital dr. h. moh. anwar sumenep in august september 2016 as many as 20 people, with a sample size of 10 people control group and 10 treatment groups. the research instruments are standard operating procedure (sop) of mobilization, check list and observation sheet. the data analysis used chi square test with  (0,05). the results of the control group during pre test showed that all respondents (100%) were not defective and at the time of post test it was found that almost all (80%) of the respondents had defecation. while the results in the treatment group during pre test found that all respondents (100%) did not defecate and at the time of post test most (70%) of respondents experienced defecation. the result of data analysis showed that p value = 0,025 with  = 0,05 so that p value<meaning there was an effect of left right sim mobilization to constipation in patient of stroke infark in icu room dr. h. moh. anwar sumenep. right-left sim position was an independent nursing action that can reduce constipation in stroke patients who can not mobilize due to bed rest. keywords: left right sim, constipation, stroke infarction. abstrak: stroke merupakan gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan karena gangguan peredaran darah ke otak. dampak yang sering terjadi pada pasien stroke adalah konstipasi karena komplikasi penyakit, obat-obatan dan kurangnya mobilisasi. tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh mobilisasi dini sim kanan kiri terhadap konstipasi pada pasien stroke infark di ruang icu rsud dr. h. mohammad anwar sumenep. desain penelitian ini adalah quasy experiment dengan rancangan non-equivalent control group. populasi dalam penelitian ini adalah pasien stroke infark yang dirawat di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep pada bulan agustus – september 2016 sebanyak 20 orang, dengan jumlah sampel sebanyak 10 orang kelompok kontrol dan 10 orang kelompok perlakuan. instrumen penelitian berupa standart operational procedure (sop) mobilisasi, check list dan lembar observasi. analisa data menggunakan uji statistik chi square dengan  (0,05). hasil penelitian pada kelompok kontrol saat pre test didapatkan bahwa seluruh responden (100%) tidak defekasi dan pada saat post test didapatkan hampir seluruhnya (80%) responden mengalami defekasi. sedangkan hasil pada kelompok perlakuan saat pre test didapatkan bahwa seluruh responden (100%) tidak defekasi dan pada saat post test sebagian besar (70%) responden mengalami defekasi. hasil analisa data menunjukkan bahwa p value = 0,025 dengan  = 0,05 sehingga nilai p <  yang berarti ada pengaruh mobilisasi sim kanan kiri terhadap konstipasi pada pasien stroke infark di acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p140-144 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 142 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 141–144 stroke merupakan gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan karena adanya gangguan peredaran darah otak, terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal diotak yang terganggu (perdossi, 2011). stroke menjadi penyebab kematian ketiga di dunia setelah jantung dan kanker sehingga perlu pengobatan dan perawatan secara cepat, tepat dan cermat. dampak yang sering terjadi pada pasien stroke yaitu terjadinya konstipasi yang dapat disebabkan karena komplikasi penyakit, obat-obatan dan kurangnya mobilisasi (priharjo, 2007). di indonesia, setiap tahun terdapat sekitar 120 dari 100.000 jumlah penduduk mengalami stroke, dimana 15% meninggal dunia dan 40% memerlukan penanganan rehabilitasi serta mobilisasi untuk mengurangi penyulit yang timbul, diantaranya masalah gangguan defekasi yaitu konstipasi (pkb, 2004). konstipasi dapat beresiko pada pasien stroke dimana regangan ketika defekasi dapat menyebabkan stres pada abdomen. peregangan sering bersamaan dengan tertahannya napas, hal ini dapat meningkatkan intrakranial dan intratorakal (hidayat, 2014). mengejan selama defekasi merupakan kontra indikasi pada pasien resiko peningkatan intrakranial seperti pasien stroke karena bisa menyebabkan terjadinya valsava manuver yang berakibat kematian. penanganan konstipasi harus disesuaikan menurut keadaan masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi baik dengan obat-obatan maupun mobilisasi (corwin, 2001). penanganan konstipasi di ruang rawat inap sering menggunakan obat pencahar atau laksatif yang dapat mempertahankan pola eliminasi buang air besar dengan aman. namun penggunaan laksatif dalam jangka panjang menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan menjadi kurang responsif terhadap stimulasi yang diberikan oleh laksatif (potter & perry, 2006). selain penggunaan laksatif, penanganan konstipasi pada pasien stroke infark dapat dilakukan dengan cara mobilisasi dini sim kanan kiri tiap 2 jam. mobilisasi sim kanan kiri tiap 2 jam akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui defekasi (guyton & hall, 2002). di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep pelaksanaan mobilisasi sim kanan kiri pasien stroke sudah dilakukan, tetapi belum secara instruksional setiap 2 jam, sehingga hasilnya belum efektif. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mobilisasi sim kanan kiri tiap 2 jam terhadap konstipasi pada pasien stroke infark di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan rancangan non-equivalent control group. populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien stroke infark yang dirawat di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep pada bulan agustus–september 2016 sebanyak 20 orang, dengan jumlah sampel sebanyak 20 orang, dimana 10 orang sebagai kelompok perlakuan (diberikan mobilisasi dini sim kanan kiri tiap 2 jam) dan 10 orang sebagai kelompok kontrol (tanpa perlakuan). pengumpulan data awali dengan pengurusan perijinan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. peneliti menentukan calon responden sesuai dengan kriteria inklusi. selanjutnya calon responden diberikan informasi terkait penelitian yang akan dilakukan. responden yang bersedia dilakukan penelitian menandatangani lembar persetujuan menjadi responden (informed consent). kemudian responden yang termasuk dalam kelompok perlakuan dilakukan mobilisasi sim kanan kiri tiap 2 jam. waktu untuk diberikan perlakuan mulai pukul 08.00 wib sampai pukul 20.00 wib, dan sisanya tidak digunakan untuk perlakuan dengan mempertimbangkan waktu tidur atau istirahat pasien. pada kelompok perlakuan, mobilisasi dilakukan secara intensif selama 2 jam dalam 12 jam dengan 6 kali perubahan posisi sim kanan kiri. dalam satu hari dilakukan observasi sebanyak 4 kali. hasil pengukuran adanya defekasi dimasukkan dalam lembar observasi. data yang diperoleh kemudian diberi kode dan dianalisis menggunakan uji statistik chi square. ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep. posisi sim kanan kiri merupakan tindakan keperawatan mandiri yang dapat menurunkan konstipasi pada penderita stroke yang tidak dapat melakukan mobilisasi karena tirah baring. kata kunci: sim kanan kiri, konstipasi, stroke infark. 143puspitasari, hannan, su’udiyah, pengaruh mobilisasi dini sim kanan kiri... tabel 1 menunjukkan bahwa hasil observasi konstipasi responden pada kelompok kontrol observasi pertama (pre) yaitu seluruh responden (100%) tidak defekasi. dan pada observasi kedua (post) diperoleh hasil bahwa hampir seluruh responden (80%) juga tidak mengalami defekasi, yaitu sebanyak 8 orang. tabel 3 menunjukkan bahwa responden yang dilakukan mobilisasi dini sim kanan kiri (kelompok perlakuan) sebagian besar mengalami defekasi, yaitu sebanyak 7 orang (70%). sedangkan responden yang tidak dilakukan mobilisasi dini sim kanan kiri (kelompok kontrol) hampir seluruhnya tidak mengalami defekasi, yaitu sebanyak 8 responden (80%). hasil analisa data menggunakan uji statistik chi square menunjukkan bahwa p value = 0,025 dengan  = 0,05 sehingga p<  yang berarti ada pengaruh hasil penelitian konstipasi pada pasien stroke infark kelompok kontrol (tidak dilakukan mobilisasi dini sim kanan kiri) tabel 1 distribusi frekuensi konstipasi pada pasien stroke infark kelompok kontrol di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep 1. defekasi 0 0 2 20 2. tidak defekasi 10 100 8 80 jumlah 10 100 10 100 no konstipasi pada pasien stroke infark kelompok kontrol pre post f % f % tabel 2 distribusi frekuensi konstipasi pada pasien stroke infark kelompok perlakuan di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep 1. defekasi 0 0 7 70 2. tidak defekasi 10 100 3 30 jumlah 10 100 10 100 no konstipasi pada pasien stroke infark kelompok perlakuan pre post f % f % konstipasi pada pasien stroke infark kelompok perlakuan (dilakukan mobilisasi dini sim kanan kiri) tabel 2 menunjukkan bahwa hasil observasi konstipasi responden pada kelompok perlakuan bahwa observasi pertama (pre) yaitu seluruh responden (100%) tidak defekasi. dan pada observasi kedua (post) diperoleh hasil bahwa hampir seluruh responden (70%) mengalami defekasi, yaitu sebanyak 7 orang. tabel 3 tabulasi silang mobilisasi dini sim kanan kiri pada pasien stroke infark di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep pengaruh mobilisasi dini sim kanan kiri pada pasien stroke infark di ruang icu rsud dr. h. moh. anwar sumenep 1. perlakuan 7 70 3 30 10 100 2. kontrol 2 20 8 80 10 100 jumlah 9 45 11 55 20 100 p value = 0.025 = 0.05 p <  no mobilisasi dini sim kanan kiri konstipasi pada pasien stroke infark defekasi tidak defekasi jumlah f % f % f % mobilisasi sim kanan kiri terhadap konstipasi pada pasien stroke infark di ruang icu rsud dr. h. mohammad anwar sumenep. pembahasan berdasarkan hasil penelitian bahwa mobilisasi dini sim kanan kiri berpengaruh terhadap pasien stroke infark yang mengalami konstipasi. pengaruh mobilisasi sim kanan kiri tiap 2 jam akan terjadi penjalaran potensial aksi disepanjang serat terminal, 144 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 141–144 maka proses depolarisasi meningkatkan permeabilitas membran serat saraf terhadap ion kalsium sehingga mempermudah ion berdifusi ke varikositas saraf. ion kalsium berinteraksi dengan vesikel sekretori yang letaknya berdekatan dengan membran sehingga vesikel ini bersatu dengan membran dan mengosongkan isinya keluar lalu disekresikan asetilkolin. dengan dihasilkannya asetilkolin akan memicu gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter yang akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui proses defekasi (guyton & hall, 2002). pada pasien stroke, untuk mengurangi kebutuhan oksigen serebrum melalui penurunan rangsang eksternal diterapi dengan tirah baring atau mobilisasi (corwin, 2001). dalam keadaan seperti ini pasien perlu dibantu untuk menjaga kemampuan gerak serta untuk mencegah penyulit-penyulit yang dapat timbul akibat keadaan kurang bergerak, diantaranya mempengaruhi fungsi sistem gastrointestinal yang menyebabkan konstipasi. penggantian posisi secara teratur dan sering merupakan salah satu tindakan keperawatan yang perlu dilakukan karena dapat mencegah komplikasi yang timbul akibat tirah baring. posisi pasien sebaiknya dirubah tiap 2 jam bila tidak ada kontraindikasi (priharjo, 2007). pasien dengan tirah baring lama harus melakukan mobilisasi sim kanan kiri untuk mencegah terjadinya komplikasi dari tirah baring lama sehingga tidak membahayakan dan mempercepat proses penyembuhan. penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh prastya (2013) dengan hasil bahwa mobilisasi berpengaruh terhadap pencegahan konstipasi pada lansia di rsud prof. dr. soekandar mojokerto. mobilisasi sim kanan dan kiri memberikan implikasi yang melibatkan mekanisme fisik, kimiawi dan biologis dalam mempengaruhi konstipasi. reaksi fisik berupa pergerakan otot saat melakukan sim kanan kiri, sedangkan reaksi kimia dan biologis berupa ionisasi serta fisiologis tubuh responden. keberhasilan sim kanan dan kiri tergantung pada kualitas dan kuantitas perlakuannya. semakin konsisten dan komprehensif perlakuan sim kanan dan kiri, maka konstipasi responden diharapkan semakin cepat diturunkan. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan perlakuan (pre test) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan didapatkan hasil seluruh responden tidak defekasi. dan setelah dilakukan perlakuan (post test) didapatkan hasil seluruh responden pada kelompok kontrol tidak mengalami defekasi, sedangkan pada kelompok perlakuan seluruh responden mengalami defekasi. hasil analisa data didapatkan bahwa ada pengaruh mobilisasi dini sim kanan dan kiri terhadap konstipasi pada pasien stroke infark di ruang icu rsud dr. h. mohammad anwar sumenep. saran berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, diharapkan perawat di pelayanan kesehatan dapat melakukan tindakan mandiri keperawatan pada pasien stroke infark, dengan cara memberikan contoh dan membantu pasien stroke infark yang mengalami tirah baring. tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara mobilisasi dini sim kanan dan kiri untuk mencegah terjadinya konstipasi. daftar rujukan corwin, e.j. 2001. buku saku patofisiologi. jakarta: egc. guyton & hall. 2002. buku ajar fisiologi kedokteran. jakarta: egc. hidayat, a.a. 2014. kebutuhan dasar manusia. jakarta: egc. pendidikan dokter berkelanjutan (pkb). 2004. ‘makalah ilmiah neurologi update’. surabaya. perdossi. 2011. guideline stroke. jakarta: penerbit perhimpunan dokter spesialis saraf indonesia. pott er & per ry. 2006. b uk u aj ar fundamental keperawatan; konsep, proses dan praktik. jakarta: egc.vol.2,ed.4. prastya, a. 2013. ‘pengaruh mobilisasi miring kanan miring kiri pada pasien lansia di rsud prof. dr. soekandar mojokerto’. skripsi: program studi keperawatan stikes majapahit mojokerto. priharjo, r. 2007. pengkajian fisik keperawatan, jakarta: egc microsoft word author 2nd upaya antisipasi perilaku sex bebas di kalangan mahasiswi kebidanan (studi peranan pendidik dalam mengantisipasi sex bebas di kalangan mahasiswi akademi kebidanan medika wiyata kediri) (the study of the role of educators in anticipating free sex behavior of midwifery students of medika wiyata kediri) is fadhillah akademi kebidanan medika wiyata kediri email: isfadhillah@gmail.com abstract: deviation in adolescents occurred because of the promiscuity of free sex. one of the promiscu-ity that has a dominant influence on teenagers, especially college students in the campus is free sex. sex as a natural human need in the effort fulfillment tend to be dominated by the instinct of sex instinct subjectively. as a result, there are frequent deviations and violations of sex behavior beyond the limits of honor and humanity’s moral code. though for midwifery students of the science they get they should better understand the consequences of sex freely outside of marriage, because of the science they learned is also taught many things about the disease resulting from free sex and the danger of pregnancy at an early age.the objective of this research was to know the role of educator of midwifery academy of akademi kebidanan medika wiyata kediri in doing social control and efforts in facing the deviation of student behavior in anticipating the occurrence of free sex, using qualitative approach. data collection used interview and observation, then analyzed by descriptive qualitative. the social action theory that talcot parson finds to be a reference to discuss how social action can be formed in this study to obtain a common goal based on values and norms and rules that must be obeyed to form a student who has a good personality and moral.the role of educators in social control in anticipating free sex in female students of akademi kebidanan medika wiyata kediri could be applied through social supervision, which was a system that educates, invites, and even forces female students to behave in accordance with the rules applicable in educational institutions that must obeyed and run by female students, with the aim of creating the order of female students in educational institutions. the social control of educators at the akademi kebidanan medika wiyata was conducted through preventive social control through prevention of the possibility of violations of the rules, or an attempt made prior to the occurrence of a violation and repressive social control through sanctions for female students who perform violation, in accordance with the rules applicable in akademi kebidanan medika wiyata kediri. keywords: educator, social control, student, free sex abstrak: penyimpangan pada remaja banyak terjadi dipicu karena adanya pergaulan bebas. salah satu pergaulan bebas yang mempunyai pengaruh dominan terhadap para remaja, terutama para mahasiswi di lingkungan kampus adalah sex bebas. sex sebagai kebutuhan manusia yang alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi oleh dorongan naluri sex secara subyektif. akibatnya sering terjadi penyimpangan dan pelanggaran perilaku sex di luar batas hak-hak kehormatan dan tata susila kemanusiaan. mahasiswi kebidanan secara penguasaan ilmu seharusnya mereka lebih memahami akibat dari sex secara bebas di luar pernikahan, karena dari ilmu yang mereka pelajari juga diajarkan banyak hal tentang penyakit yang diakibatkan dari sex bebas dan juga bahaya kehamilan di usia dini. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan pendidik akademi kebidanan medika wiyata dalam melakukan kontrol sosial dan 196 tuphb typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p196-200 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ fadillah,upaya antisipasi perilaku sex bebas 197 upaya apa saja yang dilakukan dalam menghadapi penyimpangan perilaku mahasiswinya guna mengantisipasi terjadinya sex bebas, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi yang dikumpulkan, kemudian dianalisa secara diskriptif kualitatif. kontrol sosial yang dilakukan para pendidik di akademi kebidanan medika wiyata dilakukan melalui pengendalian sosial preventiv melalui tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan, atau merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran dan pengendalian sosial secara represif melaui pemberian sanksi bagi mahasiswi yang melakukan pelanggaran, sesuai dengan peraturan yang berlaku di akademi kebidanan medika wiyata kediri. kata kunci: pendidik, kontrol sosial, mahasiswi, sex bebas dewasa ini banyak terjadi penyimpangan sosial pada remaja, terutama pada mahasiswi di lingkungan kampus. salah satu yang menyebabkan munculnya penyimpangan menurut pakar teori kontrol sosial cenderung beranggapan bahwa, ketika diberi pe-luang dan kesempatan, umat manusia pasti akan menyimpang (ritzer,2013; 366). penyimpangan yang banyak terjadi pada lingkungan mahasiswi diantaranya adalah pergaulan bebas. pacaran meru-pakan salah satu bentuk pergaulan bebas yang men-jadi jalan utama munculnya penyimpangan seksual. pacaran bagi mereka dianggap sebagai perbuatan yang tidak melanggar norma budaya masyarakat apalagi norma agama, karena dengan memiliki pasangan (pacar) itulah mereka berani memulai akti-vitas sexsual sampai ke titik puncaknya yaitu dengan melakukan sex bebas yang mengakibatkan terjadi-nya kehamilan di luar nikah. para remaja dalam hal ini mahasiswi lebih suka berbicara sex dikalangan teman-temannya. jika hubungan intim itu terpisah atau mendapat hambatan, maka mereka tidak akan kehilangan jati diri dan lebih cepat untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam lingkungan pergaulan lainnya. sebagai konsekuensi proses sosialisasi norma-norma yang berhubungan dengan batas-batas pola dan etika pergaulan semakin berkurang, maka pengaruh pola pergaulan bebas cenderung lebih dominan merasuk kedalam kebiasaan baru. sex sebagai kebutuhan manusia yang alamiah tersebut dalam upaya pemenuhannya cenderung didominasi oleh dorongan naluri sex secara subyektif. akibatnya sering terjadi penyimpangan dan pelanggaran perilaku sex di luar batas hak-hak kehormatan dan tata susila kemanusiaan. padahal bagi mahasiswi kebidanan dari ilmu yang mereka dapatkan seharusnya mereka lebih memahami aki-bat dari sex secara bebas di luar pernikahan, karena dari ilmu yang mereka pelajari juga diajarkan banyak hal tentang penyakit yang diakibatkan dari sex bebas dan juga bahaya kehamilan di usia dini. tapi ternyata hal tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menanggulanginya. sex bebas merupakan salah satu masalah pokok yang perlu di perhatikan, menurut bkkbn dalam berita nesstand, 2012 jumlah remaja di indonesia terbilang besar yakni yaitu 26,7 persen dari total penduduk. apabila tidak dipersiapkan dengan baik, maka remaja sangat beresiko terhadap perilaku sexsual pranikah.. berdasarkan alasan tersebut, maka semakin terbukalah pergaulan bebas antara pria dan wanita, terutama bagi kalangan mahasiswi di lingkungan kampus. kebutuhan baru ini menuntut seseorang untuk membentuk sistem pergaulan modernitas yang cenderung meminimalisasi ikatan moral dan kepe-dulian terhadap hukum-hukum agama maupun pen-didikan. bagi kalangan mahasiswi, sex merupakan indikasi kedewasaan yang normal, akan tetapi kare-na mereka tidak cukup mengetahui secara utuh ten-tang rahasia dan fungsi sex, maka lumrah kalau mereka menafsirkan sex semata-mata sebagai tem-pat pelampiasan birahi, dengan tidak memperdulikan resiko yang akan diperolehnya. popularitas perilaku sex bebas dalam kehidupan mahasiswi di lingkungan kampus juga didasari kare-na adanya tekanan dari lingkungan sekitar. kemu menurut hasil penelitian kementrian kesehatan di empat kota yakni jakarta pusat, medan, bandung dan surabaya sebanyak 35,9 persen remaja memiliki teman yang sudah pernah melakukan hubungan sexsual sebelum menikah dan 6,9 persen responden telah melakukan hubungan sexsual pranikah (merdeka.com, 2013). beberapa hal yang mempengaruhi remaja dalam hal ini mahasiswi mahasiswi dalam melakukan perilaku sex bebas, diantaranya adalah gagalnya sosialisasi norma-norma dalam keluarga, terutama keyakinan agama dan moralitas; semakin terbukanya peluang pergaulan bebas; setara dengan kuantitas pengetahuan tentang perilaku sex pada lingkungan sosial dan kelompok pertemanan; kekosongan aktivitas-aktivitas fisik dan rasio dalam kehidupan sehari-hari; sensitifitas penyerapan dan penghayat an terhadap struktur pergaulan dan sex bebas relatif tinggi; rendahnya keperdulian dan kontrol sosial; adanya kemudahan dalam mengantisipasi resiko kehamilan. 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 196–200 dian disusul oleh dorongan kebutuhan nafsu sex secara emosional, di samping karena rendahnya pemahaman tentang makna cinta dan rasa keingintahuan yang tinggi tentang sex. ternyata dari beberapa mahasiswi mengungkapkan bahwa mereka melakukan sex di luar nikah karena tekanan sesama teman wanita yang yang menyalah artikan pergaulan bebas secara modern. dengan adanya fenomena tersebut mempunyai pengaruh besar dari mahasiswi yang satu ke mahasiswi yang lain agar tidak disebut sebagai gadis kampungan, yang mengakibatkan mereka terperangkap dalam penyimpangan moral dengan mengalahkan kepribadian dan citra diri. hal lain yang menyebabkan mahasiswi melakukan sex bebas dikarenakan untuk membuktikan dan menunjukkan kekuatan cinta yang dimiliki terhadap pasangannya. setelah sex tersebut ditemukan dalam praktek, maka terbentuklah perilaku yang namanya ketagihan. di sinilah sex diartikan sebagai kepanjangan dari perasaan cinta. dari latar belakang tersebut yang menjadikan pendidik di akademi kebi-danan medika wiyata lebih meningkatkan kontrol sosial dan pengawasan pada mahasiswinya untuk mengantisipasi terjadinya sex bebas dikalangan mahasiswi yang semakin semarak di era modernisasi ini dari latar belakang yang sudah di uraikan, maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah bagaimana pendidik akademi kebidanan medika wiyata kediri dalam melakukan kontrol sosial guna mengantisipasi penaggulangan sex bebas di kalangan mahasiswi dan upaya apa saja yang dilakukan pendidik akademi kebidanan medika wiyata kediri dalam mengantisipasi penyimpangan perilaku maha-siswinya dalam mengantisipasi terjadinya sex bebas. sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan pendidik akademi kebidanan medika wiyata kediri dalam melakukan kontrol sosial guna mengantisipasi penaggulangan sex bebas di kalangan mahasiswi serta untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan pendidik akademi kebidanan medika wiyata kediri dalam mengantisipasi penyimpangan perilaku mahasiswinya guna mengantisipasi terjadinya sex bebas. bahan dan metode penelitian penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitiatif. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengajar di akademi kebidanan medika wiyata. sampel penelitian adalah 6 orang pendidik di akademi kebidanan medika wiyata kediri dengan karakteristik usia minimal 30 tahun dan berpengalaman sebagai pendidik minimal 2 tahun. teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara. hasil penelitian kontrol sosial pendidik dalam mengantisipasi pergaulan sex bebas pada mahasiswi akademi kebidanan medika wiyata kediri dapat diartikan sebagai pengawasan sosial, yaitu suatu sistem yang mendidik, mengajak, dan bahkan memaksa mahasiswi agar berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam lembaga pendidikan yang harus ditaati dan dijalankan oleh mahasiswi, dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban mahasiswi dalam lembaga pendidikan. upaya-upaya yang dilakukan para pendidik di akademi kebidanan dilakukan melalui pengendalian sosial preventif. pengendalian sosial preventif adalah pengendalian yang bertujuan untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan, atau merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran. dalam pengendalian preventif mahasiswi diarahkan, diingatkan agar tidak melakukan pelanggaran yang telah disebutkan. terkait kontrol sosial yang dilaku-kan pendidik diantaranya; menyisipkan pesan mora-litas pada mahasiswi setiap melakukan pengajaran pada jam perkuliahan; mengikutsertakan mahasiswi dalam kegiatan tri darma perguruan tinggi; me-ningkatkan kegiatan kemahasiswaan di luar jam perkuliahan; mengadakan kegiatan pp test pada mahasiswi di luar jadwal kegiatan perkuliahan , yang dilakukan secara mendadak; melakukan pendam-pingan secara continue pada mahasiswi yang mem-punyai masalah. selain pengendalian sosial pre-ventif, kontrol sosial pendidik yang lainnya antara lain adalah pengendalian sosial represif pengendalian sosial represif adalah bentuk pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran atau merupakan bentuk pengendalian dimana penyimpangan sosial sudah terjadi kemudian dikembalikan lagi agar situasi sosial menjadi normal. berdasarkan hasil penelitian, sete-lah melakukan pengendalian sosial preventif, para pendidik kemudian melakukan pengendalian yang bersifat represif dimana pendidik berusaha mengembalikan keserasian yang sempat terganggu, yaitu dengan memberikan sanksi bagi mahasiswi yang melakukan pelanggaran akibat dari pergaulan bebas, sesuai dengan peraturan yang berlaku di akademi kebidanan medika wiyata kediri. dari hasil penelitian diperoleh salah satu bentuk sanksi yang diberikan pada mahasiswi yang melakukan pelanggaran hamil di luar nikah akan dikeluarkan dari institusi pembahasan dalam mempelajari dan mengembangkan keilmuan terutama ilmu sosial, digunakan berbagai teori untuk menerangkan berbagai fenomena sosial yang terjadi di sekeliling kita. dalam khznah pengetahuan tentang kontrol sosial pendidik terhadap mahasiswi khususnya di kebidanan dalam megantisipasi pergaulan sex bebas terdapat banyak teori yang berkembang dan dijadikan rujukan dalam menganalisis permasalahan di dalamnya, teori yang dimaksud adalah teori tindakan atau aksi parsons. teori bertindak atau aksi parsons dipengaruhi oleh durkheim, marshall dan pareto maupun weber yang menekankan faktor-faktor situasional yang membantu tindakan individu. dalam teori kaum parsonian, konsep “tindakan rasional” weber dilanjut-kan sebagai ide inti. parsons melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial bisa terorganisir. disamping itu terdapat dua sistem tindakan lain yang saling melengkapi, yaitu; sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta sistem kepribadian para pelaku individual. (poloma, 2010;170–171). talcott parsons merupa-kan pengikut weber utama. teori aksi yang dikembangkan mendapat sambutan luas. parsons seperti pengikut trori aksi lainnnya menginginkan pemisah anta teori aksi dengan aliran behaviorisme. dipilihnya istilah “action” bukan “behavior” karena menurutnya mempunyai konotasi yang berbeda. ”bebavior” secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara perilaku “respon” dengan rangsangan dari luar (stimulus). sedangkan istilah “action” menyataan secara tidak langsung suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu. (ritzer, 2011; 48) kesimpulan utama yang dapat di ambil adalah bahwa tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi dengan kemugkinan-ke-mungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam ben-tuk norma-norma, ideide dan nilai-nilai sosial.di dalam menghadapi situasi yang bersifat kendala fadillah,upaya antisipasi perilaku sex bebas ...... 199 baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas.(ritzer, 2011; 49–50). dalam penelitian ini, teori tindakan sosial menu-rut parsons dapat digunakan sebagai dasar landasan peran pendidik dalam melakukan kontrol sosial terhadap peserta didiknya khususnya di akademi kebidanan medika wiyata kediri. upaya pendidik dalam mengantisipasi pergaulan sex bebas tidak dapat dipandang sebelah mata. hal ini dikarenakan apa yang dilakukannya mempunyai banyak tujuan dan manfaat yang positif terutama dalam mem-bentuk kepribadian moral yang positif bagi mahasis-winya. paradigma yang digunakan adalah definisi sosial. weber sebagai pengemuka exemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. dima-na yang dimaksudkan dengan tindakan sosial disini adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. (ritzer, 2011:38) bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan social weber mengemukakan 5 ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu: tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. ini meliputi berbagai tindakan nyata; tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif; indakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam; tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu; tindakan itu memperha-tikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. selain daripada ciri-ciri tersebut diatas, tindakan sosial masih mempunyai ciri-ciri lain. tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu, sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu atau waktu yang akan datang. dilihat dari segi sasarannya, maka “pihak sana” yang menjadi sasaran tindakan sosial si aktor dapat berupa seseorang individu atau sekumpulan orang (ritzer, 2011:39). dalam penelitian ini pendidik mampu melakukan tindakan sosial dalam mangantisipasi pergaulan bebas di akademi kebidanan medika wiyata kediri. hal ini membuktikan bahwa adanya peranan pen-didik dalam melakukan kontrol sosial terhadap ma 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 196–200 hasiswinya merupakan salah satu faktor terpenting dalam upaya menciptakan ketertiban dan kebaikan bersama untuk saat ini maupun masa yang akan datang sesuai tujuan bersama dalam membentuk mahasiswi kebidanan yang berbudi luhur. dari teori tindakan sosial parson yang telah di jelaskan dapat kami analisis dari hasil penelitian bahwa ketika telah disepakati sebagai seorang peserta didik (mahasiswi) dengan berbagai hal yang terkait seperti mengenai hak dan kewajiban maha-siswi sebagai kaum terdidik khususnya di akademi kebidanan medika wiyata kediri ialah merasa bersatu antara mahasiswi dengan lembaga pendidik-an, saling berhubungan dan saling menjaga peraturan yang berlaku. hendaknya dari sudut pandang teori ini mampu mencapai tujuan yakni menciptakan ketertiban bersama. melihat kasus penyimpangan pergaulan sex bebas yang kerap terjadi dapat saya analisis melalui struktur dan tindakan . berdasarkan teori ini hendaknya terjadi kesadaran mahasiswi di lingkungan kampus, karena berdasarkan nilai dan norma serta aturan yang ditetapkan harus dipatuhi untuk mencapai tujuan bersama. sex bebas sebagai tindakan pada suatu kondisi yang mungkin unsur-unsur yang terdapat diantaranya seperti, tujuan, situasi, dan norma ada yang tidak benar (salah). dalam kejadiannya individu mahasiswi tidak hanya dipengaruhi oleh unsur tersebut namun juga oleh orientasi subjektifnya masingmasing. terjadinya perilaku sex bebas merupakan sebuah tindakan menyimpang karena individu maupun kelompok lupa atau tidak menyadari terhadap fungsi yang telah disepakatinya sebagai pelajar (maha-siswi) dalam mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. hal ini dapat dipengaruhi oleh unsur tindakan yang menyeleweng atau dari diri (orientasi subjektifnya) sendiri. hal inilah yang menjadikan para pendidik akademi kebidanan medika wiyata lebih meningkatkan kontrol sosial bagi mahasiswinya melalui beberapa cara, untuk mencapai ketertiban dari peraturan yang telah disepakati bersama. kontrol sosial pendidik sebagai tindakan pada suatu kondisi yang unsur-unsur di dalamnya meliputi, alat, tujuan, situasi, dan norma yang digunakan untuk mengantisipasi penyimpangan pergaulan sex bebas pada mahasiswi akademi kebidanan medika wiyata kediri. simpulan dan saran simpulan setelah dianalisis serta diinterpretasikan dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sesuai dengan rumusan masalah bahwa kontrol sosial pendidik dalam mengantisipasi pergaulan sex bebas dikalang-an mahasiswi akademi kebidanan medika wiyata kediri yang terkait dalam teori ini adalah terjadinya pergaulan sex bebas merupakan sebuah tindakan menyimpang karena individu maupun kelompok lupa atau tidak menyadari terhadap fungsi yang telah disepakatinya sebagai mahasiswi dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. hal ini dapat dipengaruhi oleh unsur tindakan yang menyeleweng atau dari diri (orientasi subjektifnya) sendiri. hal inilah yang menjadikan para pendidik lebih meningkatkan kontrol sosial bagi mahasiswinya. kontrol sosial yang dilakukan diantaranya melalui kontrol sosial yang bersifat preventif dan represif. saran adapun solusi yang dapat diberikan antara lain: senantiasa menanamkan pesan moral pada maha-siswi di setiap kesempatan, menanamkan selalu nilai-nilai positif, kesadaran akan norma dan peraturan yang berlaku baik di masyarakat maupun lingkungan pendidikan, menumbuhkembangkan nilai-nilai ke-agamaan terhadap peserta didik sejak usia dini hingga masyarakat tua. daftar rujukan 28 nopember 2012. berita satu newstand jakarta. kemenkes: 35,9 persen remaja indonesia lakukan seks bebas 01 april 2013. merdeka.com. jakarta poloma, margaret m.2010. sosiologi kontemporer. pt. raja grafindo persada, jakarta. ritzer george. 2011. sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda. pt. raja grafindo jakarta. ritzer, goerge. 2013. the wiley blackwell companion to sociology. pustaka pelajar, yogyakarta. bkkbn : seks bebas masalah utama remaja. 66 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 66–68 66 role development of nurse managers in the changing health care practice joel rey u. acob1, wiwin martingsih2 1faculty of nursing, visayas state university, phillipines 2health polytechnic of malang, indonesia email: joel.acob@vsu.edu.ph, wiwin_martiningsih@yahoo.co.id abstract: rapid changes in today’s healthcare industry are reshaping nurses’ role. the emergence of new healthcare system, the shift from service to business orientations, and extensive redesign of workplace affects the where and how nursing care is delivered as well as those who delivered the care. in the philippines, healthcare system is in the midst of dramatic evolvementthe devolution of hospitals to lgus, free healthcare for senior citizens and no balance billing policy yielding to increased client-nurse ratio. these impacts change the roles of nurse managers and their practice. the study aimed to understand the experience and phenomena of nurse managers, their roles in the dynamics of healthcare practice, and seek ways to enhance the development of these roles. the study used descriptive phenomenology-qualitative design, and utilized colaizzi method during data analyses. through researcher-made guide questions, the study employed purposively nurse managers as key informants from tertiary hospitals that experienced devolution using the inclusion and exclusion criteria. the researchers conducted interviews with audiotapes that then later transcribed. the study revealed that nurse managers encountered challenges in the workplace like deprivation of responsibility, less administrative support that challenged their responsibilities. the nurse managers identified new roles that they have developed over time like carative-managerial role, responsibility to educate and the responsibility to the nursing profession. they are believers that the enhancement of such roles is realized through rest and recreation among staffs to avoid burnout and exhaustion, acquiring continuing professional education, clinical teaching and mentoring skills strategies to understand better human behavior. the researchers recommends consumption of such study findings as basis for improving hospital facilities for the provision of patient safety, revisiting and strengthening the hiring and screening policies for new nurses, administrative support for staff development and as basis to conduct further studies on the emerging roles to other settings. keywords: changing roles, nurses roles, nurse managers, emerging roles, health care practice, role development introduction the changing health care system challenges the nurse managers of today. whether they work on a medical floor in an acute care hospital or in a critical care unit, the nurse manager must deal with other people who work with them and for them, and they must use the resources wisely. a nurse manager on the other hand must recognize the need for growth within, which then translates into improvement of one’s practice. practicing nurse managers illustrate role perceptions; cite decisionmaking and problem solving as major roles for which maintaining objectivity is a special challenge. rapid changes in today’s health care industry are reshaping the nurse’s role. the emergence of new health care systems, the shift from service orientation to business orientation, and an extensive redesign of the workplace directly affect where and how nursing care is delivered as well as those who deliver the care. to manage well, nurses must understand the health care system, the organizations they work and resources as well. they need to recognize what jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p066–068 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 67acob, martiningsih, role development of nurse managers in the... external factors affect their work and how to influence those forces. nurse managers must equip oneself to address the different situations concerning their roles. in the philippines, health care system is in the midst of significant and dramatic development as it continues to rapidly evolve the devolution of hospitals to the local government unit; free health care for the senior citizens; and the no balance billing policy for the indigents. these resulted to increase number of patients in the hospital, which in turn increased the workload of staff nurses and nurse to patient ratio adding more burdens to the nurse managers. the impact of these changes greatly affects the role of nurse managers in their practice. they are tasked with a wider range of playing both the key to ensuring quality patient care and excellent workplace for staff nurses. during the literature review, no study had been made to document how the nurse managers respond with dynamism to the changing health care practice. this study will deeply understand the phenomena of role development of nurse managers in the changing health care practice which must be looked into for possible policy development for the improvement of nursing practice. method the study utilized qualitative phenomenology to help shape the nurse’s perception of a problem or situation and their conceptualization of potential solutions (streuber, 2003). purposive sampling was utilized in selecting the key informants following the inclusion criteria. the researcher chose nurses with appointment as nurse managers in any area of the hospital as participants either male or female, 35 years old and above with at least five years continuous experience. the study was limited to nurses working in a tertiary government hospital in the provinces of negros oriental and leyte, philippines. the researcher engaged in some activities with the pa r ticipa nts such a s mor ning r ounds, endorsements, consultative meeting to enrich information on the actual daily transcations which involves nurse managers’ decision-making. each participant signed informed consent prior to the conduct of the study and data were collected through semi-structured interview. to establish tr ustworthiness and credibility of da ta , the researchers observed prolonged involvement, persistent observation and triangulation. data were transcribed verbatim from the recorded audiotapes. result themes on the challenges of nurse managers in the modern day practice:  deprivation of responsibility  less administrative support  challenges to responsibilty development of themes on the new roles experienced by nurse managers:  collegial responsibility (carative managerial role)  responsibility to educate ( intermediary role)  responsibility to the nursing pr ofession (instructor’s role) discussion on challenges of nurse managers in the modern day practice. the nurse managers experienced challenges in their day-to-day practice. one nurse manager revealed that she was deprived with responsibility especially on abiding hospital policies and protocols. staff nurses were sometimes not cooperative by not following duty schedules, which later lead to destruction of program and duty workloads of other staffs. as a nurse manager, they made it sure, that prior to the commencement of the next shift, receiving staffs should be complete atleast to continue the care. in the management, nurse managers do not only see human resource related to patient care (towse, 2004); their scope expands to facilities and resources that were utilized during the entire process of patient caring. when the hospital lacks precautionary measures to ensure patient safety, the nurse managers perceived this problem since it affects the totality of human caring (ansap, 2001). on one hand, there are staff nurses who are adding burden or problem who in turn challenged the professional decision-making skills of the nurse managers. majority of the informants agreed that instances like not following simple protocols in ward works, abseentism without prior notification of healthcare members and even conerns of safe workplace and environmental affairs contributes to disappointments of nurse managers. 68 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 66–68 on new roles experienced and have developed by nurse mangers in the workplace. collegial responsibility refers to actions of nurse managers in uplifting the professional maturity of staff nurses. this was evidenced when nurse managers uttered that millenial nurses as per experienced were quite pa ssive in pa tient inter action. as immedia te superiors, they made certain measures to maintain quality care amidst scarcity of resources through preceptorship (masters, 2005), constant mentoring and shadowing as part of carative role to novice nurses. the nurse mana ger s have to r emind consistently and frequently new nurses about the standards of care practice because they are not compliant and abide less in it. the head nurse expressed feeling of being an instructor than a supervisor. one nurse manager spoke that by exper ience, she double-checked new nurses especially in terms of work performance and execution of tasks and deliverables to their patients, thus representing instructor’s function. head nurses should assume specific roles to have a more focused task for their human resource development. this includes giving of orientation to newly hired nurses on policies affecting their practice, and mentoring skills as well. conclusion and suggestion conclusion the lived experiences of the participants in this study confirmed that nurse managers encountered various challenges in the workplace, which include deprivation of responsibility, less administrative support, which confront their responsibilities. the nurse managers identified new roles that they have developed over time which include collegial responsibility, to educate young breed of healthcare wor kers and responsibility to the profession. t he new identified r oles ca n be further enhanced through rest and recreation program among staffs to avoid burn out and exhaustion; assumption specific roles to have a more focused task for their human resource development such as giving of orientation to newly hired nurses on policies affecting their practice, and mentoring skills as well. embodying knowledge and attitude in response to the changing work environment and people. this an be addressed through acquiring continuing professional education, clinical teaching strategies to appreciate better human behaviour. suggestion from the findings of this study, the following r ecommenda tions a r e offer ed in r ela tion to research, education, and practice to contribute for the enhancement of the phenomenon at hand. the findings will be disseminated to the following: nurse managers so that findings may be translated into practice; and hospital administrators and chief nurses of the participating hospitals so their concerns will be given consideration. the findings of this study will be the basis for: improving facilities in the hospital for the provision of patient safety. this can be made possible through proper requisition to the hospital administrators. revisiting and strengthening the hiring and screening policies for new nurses. supporting activities for staff development such as rest and recreation for employee and continuing professional education (cpe) to nurse mangers and staff nurses. references association of nursing service administrators of the philippines, inc. 2001. standards of nursing services. ereaut, g. (n.d.). what is qualitative research.retrieved december 10, 2012 fromwww.qsinternatonal.com/ what-is-qualitative-research ma st ers, kat hl een . 2005. role dev elopment in professional nursing practice 2nd ed. jones & bartlett publishers, sudburg, massachusets polit, d. & beck, c. 2004. nursing research: principles & methods. (7th ed.). li ppi n cot t wi l i am s& wilkins, philadelphia streubert, s. & carpenter, d. 2003. qualitative research in nursing: advancing the humanistic imperative 3rd ed. lippincott williams & wilkins, philadelphia towse, a., mills, a., & tangcharoensathien, v. 2004. learning from thailand’s health reforms. doi: 10.1136/bmj.328.7431.103, 328(7431): 103–105 oxford business group. 2016. the philippines’ health sector undergoing significant changes. retrieved from https://www.oxfordbusinessgroup.com sanders, c. 2003. application of collaizzi’s method: interpretation of an auditable decision trail by a novice researcher. contemporary nurse 14: 292-302. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 142 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 142–147 142 gambaran pelaksanaan lima momen untuk cuci tangan di rumah sakit syuhada haji kota blitar (the description of five moments for washing hands in syuhada haji hospital blitar city) galuh nilawati praktisi keperawatan email: galuhnila10@gmail.com abstract: washing hands is a five moments act of hand washing which is done with water or handrub. it is one kind of the infection prevention and as the control of patient safety. the purpose of this study was to determine the implementation of the five moments for hand washing in syuhada haji hospital blitar city. method: this was a descriptive research by observation. the population in this study was nurses in the inpatient unit of syuhada haji hospital. the sample was 37 respondents collected by total sampling technique. the data collection was done on march 5 to april 9, 2015. results: it showed that five moments of hand washing only moments 3 after touching body fluids of patients at risk and 4th moments after touching the patient all the nurses wash their hands with more than 75% nurse hand washing is not appropriate standart operating procedures and the moment the most infrequent hand washing is the moment to-1 before touching the patient. discussion: this is due to lack of knowledge of nurses about the importance of washing their hands before touching patients can become a bad habit. recommendations: the researchers were to observe the amount of washing hands nurses in one shift. keywords: washing hands, five moment abstrak: mencuci tangan adalah lima tindakan saat mencuci tangan yang dilakukan dengan air atau pencuci tangan berbahan. ini adalah salah satu jenis pencegahan infeksi dan sebagai kontrol keselamatan pasien. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan lima momen untuk mencuci tangan di syuhada haji rumah sakit kota blitar. metode: penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan cara observasi. populasi dalam penelitian ini adalah perawat di unit rawat inap rumah sakit syuhada haji, sampel adalah 37 responden dikumpulkan dengan teknik total sampling. pengumpulan data dilakukan pada 5 maret dengan 9 april 2015. hasil: hal ini menunjukkan bahwa lima saat mencuci tangan hanya beberapa saat 3 setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko dan saat-4 setelah menyentuh pasien semua perawat mencuci tangan mereka dengan lebih dari 75% cuci perawat tangan tidak prosedur operasi standart yang tepat dan saat mencuci tangan yang paling jarang adalah saat untuk-1 sebelum menyentuh pasien. diskusi: hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan perawat tentang pentingnya mencuci tangan sebelum menyentuh pasien dapat menjadi kebiasaan buruk. rekomendasi: para peneliti untuk mengamati jumlah cuci tangan perawat dalam satu shift. kata kunci: mencuci tangan, lima momen kewaspadaan standar atau standard precaution disusun oleh cdc tahun 1996 dengan menyatukan universal precaution (up) atau kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh. kewaspadaan standar di lakukan kepada semua pasien tanpa memandang pasien tersebut infeksius atau tidak. kewaspadaan standar untuk pelayanan semua pasien, kategori 1 meliputi kebersihan tangan, alat pelindung diri (sarung tangan, masker, google, face shield, gaun), peralatan perawatan pasien, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan pasien dan penatala ksa naa n linen, kesehata n karyawa n/ acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p142-147 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 143nilawati, gambaran pelaksanaan ... perlindungan petugas kesehatan, penempatan pasien, hygiene respirasi/etika batuk, praktek menyuntik yang aman dan praktek untuk lumbal pungsi (komite ppirs rsup dr. cipto mangunkusumo 2011:3). keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. sistem tersebut meliputi: assessmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminima lkan timbulnya risiko (depkes ri, 2006). kebersihan tangan merupakan komponen terpenting dari kewaspadaan standard merupakan salah satu metode yang paling efektif dalam mencegah penularan patogen yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan (who, 2008). mencuci tangan dengan sabun dan air telah digunakan untuk meningkatkan kebersihan pribadi selama berabadabad. namun, hubungan antara cuci tangan dan penyebaran penyakit baru didirikan pada pertengahan abad kesembilan belas. seorang petugas medis austria, ignaz semmelweis, dianggap menjadi orang pertama yang mengakui bahwa infeksi didapat di rumah sakit langsung ditularkan melalui tangan petugas kesehatan. kebersihan tangan tetap menjadi dasar pencegahan infeksi. dan menurut penelitian kepatuhan petugas layanan kesehatan dalam cuci tangan masih di bawah 40% (koutokidis, kate & jodie, 2013:370). oleh karena itu, praktik kebersihan tangan yang buruk pada petugas layanan kesehatan sangat terkait dengan transmisi infeksi kesehatan dan merupakan faktor utama dalam penyebaran patogen resisten antibiotik di dalam fasilitas kesehatan. pengenalan antiseptik berbasis alkohol serta peningkatan kepatuhan kebersihan tangan telah menunjukkan penurunan infeksi kesehatan terkait dalam studi yang berbasis rumah sakit baru-baru ini. sejak tahun 2002, komite praktek pengendalian infeksi penasihat kesehatan (hicpac) pedoman yang ditetapkan antiseptik berbasis alkohol jika tersedia, sebagai standar perawatan untuk praktik kebersihan tangan dalam pengaturan kesehatan, sedangkan mencuci tangan dicadangkan untuk situasi tertentu saja. who (2009) mengembangkan program perubahan budaya yang akan meningkatkan kebersihan tangan, dipenuhi oleh semua petugas kesehatan. hal ini dikenal sebagai “five moments for hand hygiene” atau lima momen untuk cuci tangan (koutokidis, kate & jodie, 2013:370). who mencetuskan global patient safety challage dengan clean care is safe care, yaitu merumuskan inovasi strategi penerapan hand hygiene untuk petugas kesehatan dengan my five moment for hand hygiene, yaitu melakukan cuci tangan sebelum bersentuhan dengan pasien, sebelum melakukan prosedur bersih dan steril, setelah bersentuhan dengan pasien, setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien (ernawati, 2014). dengan adanya perubahan budaya kebersihan tangan yang baru dari komisi keselamatan australia dan kualitas pelayanan kesehatan (acsqhc) telah mempengaruhi inisiatif kebersihan tangan nasional (nhhi) dan menugaskan tanggung jawab pengiriman dan peluncuran ke tangan kebersihan australia (hha 2010). pokok tujuan dari inisiatif nasional untuk meningkatkan kepatuhan kebersihan tangan pada petugas layanan kesehatan, dan untuk mengurangi penularan infeksi pada layanan pelayanan kesehatan seluruh australia (koutokidis, kate & jodie, 2013:371). mencuci tangan merupakan hal yang penting pada setiap lingkungan tempat klien dirawat, termasuk rumah sakit. tujuan mencuci tangan adalah untuk menghilangkan mikroorganisme sementara yang mungkin ditularkan ke perawat, klien, pengunjung, atau tenaga kesehatan lain (berman, shirlee, barbara, & glenora, 2009:2). menurut penelitian yang sudah pernah dilakukan di irna rsi asyiyah malang tahun 2013 didapatkan data bahwa kepatuhan tertinggi ditemukan pada mencuci tangan sesudah kontak dengan cairan tubuh pasien, sedangkan kepatuhan terendah adalah sebelum kontak dengan pasien (ernawati, 2014). bahan dan metode desain penelitian dalam penelitian ini menggunakan deskriptif, dengan metode total sampling. karena menggunakan total sampling sehingga semua populasi menjadi sampel penelitian dengan jumlah sampel ada 37 orang. penelitian dilakukan pada 5 maret sampai 9 april 2015 dan tempat penelitian dilakukan di rumah sakit syuhada haji kota blitar. variabel dalam penelitian ini yaitu pelaksanaan lima momen untuk cuci tangan. 144 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 142–147 hasil penelitian data umum usia perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar pernah diberikan pelatihan/sosialisasi pencegahan dan pengendalian infeksi kepada perawat tabel 1. usia perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar kategori p rosentase (%) remaja akhir 16 dewasa awal 65 dewasa pertengahan 19 jenis kelamin perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar tabel 2. jenis kelamin perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar kategori prosentase (%) laki-laki 32 perempuan 68 diketahui 68% atau 25 responden berjenis kelamin perempuan dan 32% atau 12 responden berjenis kelamin laki-laki. pendidikan terakhir perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar kategori prosentase (%) sma/smk /spk 4 d3 23 s1 73 tabel 3. pendidikan terakhir perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar diketahui 73% atau 26 responden pendidikan terakhir s1. lama kerja perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar tabel 4. lama kerja perawat di rumah sakit syuhada haji kota blitar katego ri la ma kerja minimal 1 tahun maksimal 21 tahun rata-rata 7 tahun diketahui bahwa rata-rata lama kerja perawat adalah 7 tahun. tabel 5. pernah diberikan pelatihan/sosialisasi pencegahan dan pengendalian infeksi kepada perawat kategori prosentase (%) ya 70 tidak 30 diketahui 70% atau 26 responden tidan pernah diberikan pelatihan/sosialisasi tentang pencegahan dan pengendalian infeksi. data khusus pelaksanaan cuci tangan momen ke-1 yaitu sebelum menyentuh pasien tabel 6. pelaksanaan cuci tangan momen ke-1 yaitu sebelum menyentuh pasien kategori p rosentase (%) observasi 1 observasi 2 tidak cuci tangan 97 97 cuci tangan tidak sesuai sop 3 3 cuci tangan sesuai sop 0 0 berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan sebelum menyentuh pasien pada observasi ke-1 dan ke-2 yaitu 97% responden tidak cuci tangan dan 3% responden cuci tangan tidak sesuai dengan sop. pelaksanaan cuci tangan momen ke-2 yaitu sebelum melakuakan prosedur atau tindakan aseptik tabel 7. pelaksanaan cuci tangan momen ke-2 yaitu sebelum melakuakan prosedur atau tindakan aseptik kategori prosentase (%) observasi 1 observasi 2 tidak cuci tangan 92 92 cuci tangan tidak sesuai sop 8 8 cuci tangan sesuai sop 0 0 145nilawati, gambaran pelaksanaan ... berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan sebelum melakukan prosedur atau tindakan aseptik pada observasi ke-1 dan ke-2 yaitu 92% responden tidan cuci tangan. pelaksanaan cuci tangan momen ke-3 yaitu setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang be resiko pelaksanaan cuci tangan momen ke-5 yaitu setelah menyentuh lingkungan pasien tabel 8. pelaksanaan cuci tangan momen ke-3 yaitu setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko kategori prosentase (%) observasi 1 observasi 2 tidak cuci tangan 0 0 cuci tangan tidak sesuai sop 75,7 78,4 cuci tangan sesuai sop 24,3 21,6 berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko pada observasi ke-1 dan ke-2 lebih dari 75% responden melakukan cuci tangan tidak sesuai sop. pelaksanaan cuci tangan momen ke-4 yaitu setelah menyentuh pasien tabel 9. pelaksanaan cuci tangan momen ke-4 yaitu setelah menyentuh pasien kategori prosentase ( %) observasi 1 observasi 2 tidak cuci tangan 0 0 cuci tangan tidak sesuai sop 75,7 75,7 cuci tangan sesuai sop 24,3 24,3 berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan setelah menyentuh pasien pada observasi ke-1 dan ke-2 lebih dari 75% responden melakukan cuci tangan tidak sesuai sop. tabel 10. pelaksanaan cuci tangan momen ke-5 yaitu setelah menyentuh lingkungan pasien kategori prosentase (%) observasi 1 observasi 2 tidak cuci tangan 40,5 43,2 cuci tangan tidak sesuai sop 45,9 43,2 cuci tangan sesuai sop 13,5 13,5 berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan setelah menyentuh pasien pada observasi ke-1 dan observasi ke-2 sekitar 43% responden cuci tangan tidak sesuai sop. kesimpulan dari kelima momen yang dilakukan oleh perawat rumah sakit syuhada haji kota blitar tabel 11. kesimpulan dari kelima momen yang dilakukan oleh perawat rumah sakit syuhada haji kota blitar kategori pro sent ase (%) mo men 1 3 mo men 2 8 mo men 3 100 mo men 4 100 mo men 5 59 didapatkan hasil bahwa ada dua momen yaitu momen ke-3 setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko dan ke-4 setelah menyentuh pasien dimana semua perawat melaksanakan cuci tangan dan momen yang paling jarang dilakuakan yaitu momen ke-1 sebelum menyentuh pasien. pembahasan pelaksanaan cuci tangan momen ke-1 yaitu cuci tangan sebelum menyentuh pasien berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak dua kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan sebelum menyentuh pasien sebanyak 97% atau 36 responden tidak cuci tangan. observasi ini dilakukan pada saat perawat menyentuh tubuh pasien, baju atau pakaian, mengukur tanda-tanda vital. 146 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 142–147 pengetahuan perawat menjadi salah satu dasar kebiasaan mencuci tangan yang kurang tepat, jika semua perawat mengerti tentang bagaimana proses penyebaran infeksi (infeksi nosokomial) yang salah satunya dengan cuci tangan lima momen pasti penularan infeksi dapat dicegah. pengetahuan saja juga tidak cukup untuk membuat perawat patuh melaksanakan cuci tangan karena tidak jarang juga perawat yang mengabaikan cuci tangan walaupun sudah mengerti pentingnya pelaksanaan cuci tangan terutama saat sebelum menyentuh pasien. hal ini terjadi karena kurangnya motivasi pada diri setiap perawat. motivasi ini bisa didapat dari kesadaran diri sendiri maupun dari orang lain. motivasi dari sendiri ini tergantung dari kemauan diri untuk merubah diri kearah yang lebih baik walaupun pengetahuannya baik kalau tidak ada kemauan untuk merubah pasti tidak ada gunanya sedangkan motivasi yang didapat dari orang lain bisa berupa teguran dari kepala ruang saat conference. pelaksanaan cuci tangan momen ke-2 yaitu cuci tangan sebelum melakukan prosedur atau tindakan aseptik berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan sebelum melakukan prosedur atau tindakan aseptik pada observasi ke-1 dan ke-2 yaitu 92% responden tidak cuci tangan. observasi dilakukan pada tindakan pemasangan infus dan pemberian obat iv, im, ic, sc. perawat di ruangan banyak yang langsung menggunakan sarung tangan bersih sebelum menyentuh pasien tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. perawat beranggapan bahwa cuci tangan sebelum melakukan tindakan aseptik tidak terlalu penting jika tangan memang tidak terlalu kotor misal tidak setelah makan atau memegang benda yang dianggap kotor karena saat melakukan tindakan perawat menggunakan sarung tangan bersih yang sekali pakai. kebersihan tangan harus dilakukan di semua indikasi atau lima momen yang dijelaskan terlepas dari apakah menggunakan sarung tangan atau tidak (who, 2008). sehingga menurut peneliti hal ini disebabkan oleh kenyakinan dan kebiasaan perawat. pelaksanaan cuci tangn momen ke-3 yaitu setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang be resiko berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak dua kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko pada observasi ke-1 dan ke-2 lebih dari 75% responden melakukan cuci tangan tidak sesuai sop. menurut who 2009 cuci tangan momen ke-3 yaitu setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko. tujuan dari cuci tangan ke-3 ini adalah untuk melindungi perawat dari kolonisasi infeksi dengan kuman berbahaya pasien dan untuk melindungi lingkungan kesehatan dari penyebaran kuman. observasi dilakukan pada tindakan perawat saat menyentuh muntahan, darah, urin, dan feses pasien. berdasarkan data yang diperoleh peneliti ternyata masih banyak perawat yang cuci tangan tidak sesuai sop. enam langkah cuci tangan sangat jarang dilakukan walaupun di atas wastafel terdapat gambar/ mini poster tentang enam langkah cuci tangan. semua perawat pasti cuci tangan apabila menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko karena mereka tidak ingin tertular infeksi jika pasien mempunyai penyakit menular dan jika tidak menular cairan yang tersentuh pasti akan menimbulkan noda, bau atau membuat tangan tidak nyaman sehingga semua perawat cuci tangan setelah menyentuh cairan tubuh pasien. pelaksanaan cuci tangan momen ke-4 yaitu setelah menyentuh pasien berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan setelah menyentuh pasien pada observasi ke-1 dan ke-2 100% perawat ruangan cuci tangan dan lebih dari 75% responden melakukan cuci tangan tidak sesuai sop. menurut who 2009 cuci tangan momen ke-4 yaitu cuci tangan setelah menyentuh pasien. cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan (komite ppirs rsup dr. cipto mangunkusumo 2011:3). semua perawat di ruangan selalu mencuci tangan apabila setelah menggunakan sarung tangan. walaupun tidak semua perawat cuci tangan sesuai dengan sop. pelaksanaan cuci tangan momen ke-5 yaitu setelah menyentuh lingkungan pasien berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti sebanyak 2 kali didapatkan hasil pada pelaksanaan cuci tangan setelah menyentuh pasien pada observasi ke-1 dan ke-2 lebih dari 40% responden tidak cuci tangan, sekitar 43% responden cuci tangan tidak sesuai sop dan 13,5% responden cuci tangan sesuai sop. 147nilawati, gambaran pelaksanaan ... menurut who 2009 cuci tangan momen ke-5 yaitu setelah menyentuh lingkungan pasien. observasi dilakukan saat perawat menyentuh tempat tidur pasien, linen yang terpasang di tempat tidur pasien, alat-alat di sekitar pasien, atau peralatan lain yang digunakan pasien, meja pasien. berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, masih banyak perawat ruangan yang tidak melakukan cuci tangan setelah menyentuh lingkungan pasien. perawat ruangan menganggap jika hanya menyentuh tempat tidur ataupun meja pasien tanpa menyentuh pasien langsung cuci tangan tidak harus dilakukan dan faktor pendukung pendukung masih banyaknya perawat tidak cuci tangan karena pada setiap tempat tidur pasien tidak ada handrub yang seharusnya menurut standart kualitas rumah sakit handrub harus ada pada setiap tempat tidur pasien. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian, dari lima momen cuci tangan yaitu momen ke-1 sebelum menyentuh pasien hanya 3% perawat yang melaksanakan cuci tangan, momen ke-2 sebelum melakukan tindakan prosedur/ aseptik 8% perawat melaksanakan cuci tangan, momen ke-3 setelah setelah menyentuh cairan tubuh pasien yang beresiko semua perawat melakukan cuci tangan dengan 75% perawat mencuci tangan tidak sesuai sop sisanya melakukan cuci tangan sesuai sop, momen ke-4 setelah menyentuh pasien semua perawat melakukan cuci tangan juga lebih dari 75% perawat mencuci tangan tidak sesuai sop dan momen ke-5 setelah menyentuh lingkungan pasien 59% perawat melaksanakan cuci tangan. saran bagi tempat penelitian, untuk mewujudkan program pencegahan dan pengendalian infeksi (ppi) di rumah sakit, perlu diadakan pengadaan seminar ataupun pelatihan tentang cuci tangan khususnya lima momen agar semua perawat mengerti dan memahami akan pentingnya cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan kepada pasien dan penyediaan fasilitas cuci tangan yang lengkap meliputi washtafel, handwash/handsoap/ handrub, dan tisu/handuk sekali pakai. sebagai karu seharusnya memberikan motivasi bagi perawat ruangan dengan memberikan reward bagi perawat yang sudah melaksanakan cuci tangan dengan baik dan memberikan punishment bagi perawat yang tidak melakukan cuci tangan. bagi peneliti lain, penelelitian ini hanya mengetahui gambaran pelaksanaan lima momen untuk cuci tangan perawat dalam observasi 2 kali, maka dari itu peneliti mengharapkan agar dapat melakukan observasi yang dilakukan dalam satu kali shift untuk lebih mengetahui jumlah cuci tangan perawat dalam satu kali shift. bagi institusi pendidikan, institusi pendidikan sebagai jembatan yang berperan memberikan pembelajaran, diharapkan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai tambahan informasi atau literatur sehingga dapat bermanfaat bagi orang banyak khususnya untuk pendidikan keperawatan dalam proses kegiatan belajar mengajar. daftar rujukan berman, a., shirlee, s., barbara, k., glenora, e. 2009. buku ajar praktik keperawatan klinis. jakarta: egc. ernawati, elies. 2014. penerapan hand hygiene perawat di ruang rawat inap rumah sakit. jurnal kedokteran brawijaya vol.28, (online), (http:// jkb.ub.ac.id, diakses tanggal 1 februari 2014). koutokidis, g.., kate, s., jodie s. 2013. tabbner’s nursing care. libby houston. who. 2008. pencegahan dan pengendalian infeksi. who. 2009. patient safety (hand hygiene why how and when brochure). 137muhith, fardiansyah, mawaddah, mulyatin, hubungan perilaku kekerasan pasien... 137 hubungan perilaku kekerasan pasien dengan stres perawat di instalasi ipcu rsj. dr. radjiman wediodiningrat lawang (relationship between the violence of patient violence and nurse stress in rsj ipcu installation. dr. radjiman wediodiningrat lawang) abdul muhith1, arief fardiansyah2, nurul mawaddah3, mulyatin4 123 stikes majapahit mojokerto 4 rsj. dr. radjiman wediodiningrat lawang email: abdulmuhith1979@gmail.com abstract: psychiatric intensive care unit nurses are in a limited environment that allows nurses close to patients to be able to observe the client’s condition and evaluate the treatment and medical actions taken. if the nurse is not prepared with this condition, it can cause tension to the nurse which results in stress. one of the tasks of mental nurses is the handling of violent behavior (aggressive), the poor perception of nurses makes work stress (muhith, 2015) this study aims to the relationship between patient violence behavior with stress on nurses in intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang. this research design use cross sectional approach. the population of this study is 40 people, with a sample of 28 people, is simple random sampling. the independent variable is patient’s violence behavior, while the dependent variable is stress the questioner. data analysis using spearman correlation test. spearman correlation test results obtained r= 0.738 p = 0.000 (p <0,05), it can be concluded that there is a significant relationship between the behavior of patient’s hardness with stress on the nurses in intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang. based on these results it is concluded that patient’s violence behavior in intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang most of is high category, whereas most nurses experience moderate stress.thus the hospital can create a comfortable and safe atmosphere for patients and nurses who work, so that stressful events can be minimized and well managed. keywords: patient’s violence behavior, nurse stress abstrak: perawat psikiatri intensive care unit berada dalam lingkungan yang terbatas yang memungkinkan perawat dekat dengan pasien untuk dapat mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan maupun tindakan medis yang dilakukan. jika perawat tidak siap dengan kondisi tersebut akan dapat menimbulkan ketegangan pada perawat yang berakibat stres. salah satu tugas perawat jiwa adalah penanganan perilaku kekerasan (agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan stres kerja (muhith, 2015). penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara perilaku kekerasan pasien dengan stres pada perawat di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang. desain penelitian cross sectional. populasi sejumlah 40 orang dengan sampel sebanyak 28 orang. teknik pengambilan sampel simple random sampling. variabel bebasnya adalah perilaku kekerasan pasien, sedangkan variabel tergantungnya adalah stres. alat ukur menggunakan kuesoner. penelitian dilaksanakan pada bulan mei – juni 2018. analisis data menggunakan uji korelasi spearman. hasil uji korelasi spearman didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p < 0,05), maka dapat diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara perilaku kekerasan pasien dengan stres pada perawat di intensive psychiatry care unit jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p137–143 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 138 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 137–143 pendahuluan tantangan terbesar perawat psikiatri dalam penangganan perilaku kekerasan pasien dan kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya stres pada perawat sendiri apa bila pemahaman dan koping individu perawat tidak bagus. stres dapat memberi stimulus terhadap perubahan dan pertumbuhan, yang dikatakan sebagai stres yang positif, namun terlalu banyak stres dapat mengakibatkan penyesuaian yang buruk, penyakit fisik dan ketidakmampuan mengatasi masalah. perawat psikiatri intensive care unit berada dalam lingkungan yang terbatas yang memungkinkan perawat dekat dengan pasien untuk dapat mengobservasi kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan maupun tindakan medis yang dilakukan. jika perawat tidak siap dengan kondisi tersebut akan dapat menimbulkan ketegangan pada perawat yang berakibat stres. salah satu tugas perawat jiwa adalah penanganan perilaku kekerasan (agresif), persepsi yang buruk perawat menjadikan stres kerja (muhith, 2015). pasien skizofrenia jenis paranoid, hebefrenik, residual, dan akut biasanya memperlihatkan perilaku kekerasan. pasien dapat melakukan kekerasan kepada orang lain, lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri. hal ini terjadi karena pada jenis ini pasien seolah mendapat ancaman, tekanan psikologis, dan menganggap orang lain sebagai musuh. masalah perilaku kekerasan pasien hampir selalu terjadi di ruang perawatan jiwa. penelitian yang dila kuka n the nasional alliance for the mentality iii (nami) dalam menyatakan bahwa 10,6% pasien dengan gangguan mental serius seperti skizofrenia paranoid melukai orang lain, dan 12,2% mengancam mencederai orang lain (muhith, a., nasir 2011). keperawatan adalah bentuk profesi, aktivitas dan hubungan interpersonal yang kerap kali meyebabkan stress. merawat klien dengan tingkat kecemasan yang tinggi dapat menjadi aktivitas yang sangat memancing stress bagi perawat. perawat jiwa atau psychiatric nurse tidak hanya dituntut untuk memberikan usaha yang lebih namun juga dihadapkan pada situasi dan kondisi pasien yang tidak mendukung, mulai dari pasien yang tidak kooperatif hingga ancaman perilaku agresi secara fisik yang diberikan oleh pasien. perawat diharuskan mampu mempersiapkan segala sesuatu dengan baik guna keberlangsungan proses keperawatan. situasi yang tidak kondusif seperti perilaku agresi harus segera diatasi agar tidak berakibat buruk bagi pasien dan perawat itu sendiri, bila situasi yang menekan ini tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan perawat akan terjebak dalam konflik dan stres yang mana akan mempengaruhi kinerja secara langsung (muhith, 2015). terdapat empat faktor penyebab stres perawat yaitu aktivitas dalam merawat pasien, peran atasan, hubungan interpersonal, dan masalah yang berhubungan dengan organisasi. dari ke empat faktor tersebut, aktivitas dalam merawat pasien dan masalah yang berhubungan dengan organisasi menjadi penyebab stres perawat dengan tingka t stres sedang, sedangkan faktor lainnya menyebabkan stres ringan. aktivitas dalam merawat pasien menjadi penyebab stres pada perawat karena perilaku kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasien terhadap perawat. (muhith, a., nasir 2011). berdasarkan permasalahan dan penelitian terdahulu diketahui bahwa perilaku agresif atau kekerasan pasien mampu memicu terjadinya stres bagi perawat, maka solusi yang ada adalah dengan menerapkan standar keperawatan yang ada, kemudian melakukan intervensi untuk mengurangi tingkat agresif pasien baik dengan terapi farmako, maupun dengan terapi kelompok atau menerapkan strategi pertemuan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan melalui studi pendahuluan kepada 8 orang perawat di instalasi ipcu rsj dr.radjiman wediodiningrat lawang menunjukkan 3 orang perawat mengalami stress sedang dan 4 orang perawat lainnya mengalami stress ringan. berdasarkan kondisi realita tersebut diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan perilaku kekerasan pasien dengan stress perawat di instalasi ipcu rsj dr.radjiman wediodiningrat lawang. (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang. berdasarkan hasil penelitian bahwa perilaku kekerasan pasien di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang sebagian besar dalam kategori tinggi, sedangkan sebagian besar perawat mengalami stress yang sedang. dengan demikian diharapkan pihak rumah sakit dapat menciptakan suasana yang nyaman dan aman baik bagi pasien maupun perawat yang bekerja, sehingga kejadian stres bisa diminimalkan dan dikelola dengan baik. kata kunci: perilaku kekerasan pasien, stres perawat 139muhith, fardiansyah, mawaddah, mulyatin, hubungan perilaku kekerasan pasien... bahan dan metode desain penelitian pendekatan cross sectional populasi seluruh perawat yang bertugas di instalasi ipcu rsj. dr. radjiman wediodiningrat lawang sebanyak 40 orang. teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan probability sampling dengan jenis simple random sampling hal ini berarti setiap anggota populasi ini mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil sebagai sampel (nasir & muhith, 2011). berdasarkan rumus di atas, maka besar sampel pada penelitian ini adalah: qpznd qpzn n ..)1( ... 2 2/1 2 2 2/1       50,0.50,0.)96,1()140()1,0( 50,0.50,0.)96,1.(40 22 2  n 238,28 360,1 416,38 n jadi sampel yang diambil adalah sebanyak 28 orang. alat ukur yang digunakan adalah questioner. lokasi penelitian yang digunakan adalah di instalasi ipcu ruang camar, ruang mawar dan ruang perkutut rsj. dr. radjiman wediodiningrat lawang dengan waktu penelitian mulai bulan mei sampai dengan juni 2018. analisis bivariat dilakukan dengan uji korelasi spearman untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat (nasir & muhith, 2011). hasil penelitian distribusi frekuensi responden berdasarkan perilaku kekerasan pasien berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa dari 28 orang responden, sebagian besar merasakan perilaku kekerasan pasien dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 17 orang (60,7%). distribusi frekuensi responden berdasarkan stres perilaku kekerasan pasien f % rendah 11 39,3 tinggi 17 60,7 jumlah 28 100 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan perilaku kekerasan pasiendi intensive psychiatry care unit (ipcu) rsj dr.radjiman wediodiningrat lawangtahun 2018 sumber: data primer diolah tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan stresdi intensive psychiatry care unit (ipcu) rsj dr.radjiman wediodiningrat lawang tahun 2018 stres f % normal 3 10,7 ringan 9 32,1 sedang 13 46,4 berat 3 10,7 jumlah 100 100 sumber: data primer diolah berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 28 orang responden, sebagian besar memiliki stres dalam kategori sedang yaitu sebanyak 13 orang (46,4%). analisis untuk menguji hubungan antara perilaku kekerasan pasien dengan stres di rsj dr. radjiman wediodiningrat lawang dengan hasil sebagai berikut hasil analisis hubungan antara perilaku kekerasan pasien dengan stres perawat pada tabel 3. diperoleh hasil dari 17 responden yang menilai perilaku kekerasan pasien dalam kategori tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki stres dalam kategori sedang yaitu sebanyak 12 responden (70,6%). dilihat dari hasil uji korelasi spearman didapatkan hasil r = 0,738p = 0,000 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku kekerasan pasien dengan stres pada perawat di intensive psychiatry care unit (ipcu) rsj dr. radjiman wediodiningrat lawang. 140 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 137–143 pembahasan perilaku kekerasan pasien berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa dari 28 orang responden, sebagian besar merasakan perilaku kekerasan pasien dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 17 orang (60,7%), hal ini menunjukkan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien di intensive psychiatry care unit (ipcu) rsj dr. radjiman wediodiningrat lawang. gejala positif pasien skizofrenia salah satunya adalah perilaku kekerasan, yaitu respon dan perilaku manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap orang lain atau sesuatu. perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis, dimana perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik (muhith, 2015). menurut muhith (2015), data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau wawancara tentang perilaku berikut ini: muka merah dan tegang pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondarmandir, bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal atau fisik, melempar atau memukul benda/orang lain, merusak barang atau benda dan tidak mempunyai kemampuan mencegah/mengontrol perilaku kekerasan (muhith, 2015). perawat di psikiatri intensive care unit memiliki intensitas tinggi terhadap perilaku kekerasan pasien. menurut muhith (2015) hal ini bisa disebabkan karena semakin lama terpapar stressor ini sangat berpengaruh pada persepsi seseorang terhadap masalah. serta deprivasional stres bisa memperburuk kondisi sesorang. masalah ini perlu mendapat perhatian bahwa perawat di psikiatri intensive care unit di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang sebagian besar mengalami resiko tinggi terhadap perilaku agresif. jadi berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa perawat di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr. radjiman wediodiningrat lawang memiliki resiko yang sangat tinggi terhadap perilaku kekerasan dari pasien, sebab perawat di ruang psikiatri akut berada dalam lingkungan yang terbatas (small space), yang memungkinkan ia dekat dengan pasien untuk dapat mengobservasi secara intensif kondisi klien dan mengevaluasi tindakan perawatan maupun tindakan medis yang dilakukan. kondisi tersebut yang menyebabkan perawat rawan mendapatkan perlakukan agresif dari pasien. stres berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 28 orang responden, sebagian besar memiliki stres dalam kategori sedang yaitu sebanyak 13 orang (46,4%). data tersebut menunjukkan bahwa kondisi stres perawat yang bekerja di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang memiliki stres dalam kategori sedang. stres dapat diartikan sebagai suatu stimulus yang mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi fisiologi dan psikologis. stres adalah pola reaksi menghadapi stressor yang berasal dari dalam individu maupun dari lingkungannya (muhith a., 2015). menurut selye (dalam hawari, 2011), yang dimaksud dengan stres adalah respons tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. misalnya bagaimana respons tubuh seseorang n % n % n % n % n % rendah 3 27,3 7 63,6 1 9,1 0 0 11 100 tinggi 0 0 2 11,8 12 70,6 3 17,6 17 100 jumlah 3 10,7 9 32,1 13 46,4 3 10,7 28 100 r = 0,738p = 0,000 (p < 0,05) tabel 3 distribusi silang frekuensi responden berdasarkan perilaku kekerasan pasiendengan stres di intensive psychiatry care unit (ipcu) rsj dr.radjiman wediodiningrat lawang tahun 2018 sumber: data primer diolah stres perawat normal ringan sedang berat total perilaku kekerasan pasien 141muhith, fardiansyah, mawaddah, mulyatin, hubungan perilaku kekerasan pasien... manakala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distres. menurut muhith, a., nasir (2011), stres adalah pengalaman emosi negatif yang oleh perubahan yang dapat diperkirakan dalam hal biokimia, fisiologis, kognitif, behavorial, yang tujuannya untuk mengubah peristiwa stressful atau mengakomodasi akibatnya. stres membuat tubuh untuk memproduksi hormone adrenaline yang berfungsi untuk mempertahankan diri. stress merupakan bagian dari kehidupan manusia. stress yang ringan berguna dan dapat memacu seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih berpikir dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari-hari. stres ringan bisa merangsang dan memberikan rasa lebih bergairah dalam kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin. tetapi stres yang terlalu banyak dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan berbahaya bagi kesehatan. menurut hartono (2011), jika tekanan stres terlampau besar hingga melampaui daya tahan individu, maka akan timbul gejala-gejala seperti sakit kepala, gampang marah, tidak bisa tidur; gejala-gejala itu merupakan reaksi non-spesifik pertahanan diri, dan ketegangan jiwa itu akan merangsang kelenjar anak ginjal (corfex) untuk melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah menjadi naik dan aliran darah ke otak, paru-paru, dan otot perifer, meningkat. jika stres berlangsung cukup lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul perubahan patologis. gejala-gejala patologis yang muncul dapat berupa hipertensi, serangan jantung, borok lambung, asma, eksim, kanker, dan sebagainya. jika sudah timbul hipertensi, stres tetap berlangsung, sehingga bertambahlah risiko komplikasi serangan jantung (infark) atau stroke otak yang dapat berakibat fatal (kelumpuhan atau bahkan dapat meninggal dunia). berdasarkan fakta dan konsep teori tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi stres yang dialami perawat yang bekerja di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang memiliki stres dalam kategori sedang artinya kondisi stres tersebut masih dalam kondisi yang wajar sehingga tidak sampai mengganggu aktivitasnya dalam bekerja. hubungan perilaku kekerasan pasien dengan stres hasil analisis hubungan antara perilaku kekerasan pasien dengan stres perawat pada tabel 3. diperoleh hasil dari 17 responden yang menilai perilaku kekerasan pasien dalam kategori tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki stres dalam kategori sedang yaitu sebanyak 12 responden (70, 6%). ber da srkan da ri hasil uji korela si spearman didapatkan hasil r = 0,738 p = 0,000 (p < 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku keker asan pa sien dengan stres pada pera wa t di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr. radjiman wediodiningrat lawang, artinya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pasien di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang berpengaruh terhadap tingkat stres perawat. menurut muhith, a., nasir (2011), ada empat faktor penyebab stres perawat yaitu aktivitas dalam merawat pasien, peran atasan, hubungan interpersonal, dan masalah yang berhubungan dengan organisasi. dari ke empat faktor tersebut, aktivitas dalam merawat pasien dan masalah yang berhubungan dengan organisasi menjadi penyebab stres perawat. aktivitas dalam merawat pasien menjadi penyebab stres pada perawat adalah perilaku kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasien terhadap perawat. (muhith, a., nasir (2011), hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan muhith, a., nasir (2011), pasien dengan kondisi kedaruratanpsikiatri dapat melakukan perbuatan yang beresiko membahayakan diri, berkeinginan bunuh diri atau penelantaran diri sendiri hingga keadaan yang menimbulkan resiko pada orang lain.beberapa pasien bahkan dapat bertindak agresif, mengancam atau bertindak kejam, serta melakukan perilaku yang dapat menimbulkan cedera fisik atau psikologis pada orang lain atau menimbulkan kerusakan harta benda. situasi ini dapat menyebabkan stressor hal ini terjadi karena faktor keadaan lingkungan, dimana intensive psychiatry care unit (ipcu)ditempati oleh pasien dengan karakteristik pasien psikiatri akut. pada beberapa keadaan, pasien dengan perilaku kekerasan tidak dapat diajak berkomunikasi, pasien kadang-kadang 142 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 137–143 berteriak mengancam, dan mengejek atau menghina menggunakan kata kasar kepada perawat dan pasien lainnya. (muhith, a., 2018). kondisi pasien yang labil membuat perawat harus ekstra sabar karena karakteristik pasien agresif, antara lain sulit diajak komunikasi, menarik diri, atau justru agresif. seorang perawat ketika mempunyai sikap positif terhadap pasien,maka ia akan cenderung menyenangi dan peduli dengan keadaan pasien. sebaliknya, ketika seorang perawat sikap yang negatif terhadap pasien, maka ia cenderung akan membenci dan menjauhinya. jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan yang bermakna antara perilaku kekerasan pasien dengan stres pada perawat di intensive psychiatry care unit (ipcu) rsj dr. radjiman wediodiningrat lawang, artinya semakin tinggi resiko terjadinya perilaku kekerasan oleh pasien maka akan membuat stres perawat menjadi meningkat, sehingga hipotesis yang diajukan diterima. simpulan dan saran simpulan per ila ku keker a sa n pa sien di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang sebagian besar dalam kategori tinggi. stres perawat di intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr.radjiman wediodiningrat lawang sebagian besar dalam kategori sedang. ada hubungan yang bermakna antara perilaku kekerasan pasien dengan stres pada perawatdi intensive psychiatry care unit (ipcu) rs dr. radjiman wediodiningrat lawang. semakin tinggi tingkat perilaku kekerasan pasien pada perawat yang bekerja di intensive psychiatry care unit (ipcu), maka tingkat stres yang dirasakan juga akan semakin meningkat, demikian juga sebaliknya jika tingkat perilaku kekerasan pasien rendah maka tingkat stres juga semakin rendah. jadi hipotesis diterima saran bagi rumah sakit, rumah sakit harus selalu meningkatkan kualitas lingkungan ruang akut seperti pemberian sekat, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi pasien, kelengkapan alat-alat pencegahan perilaku kekerasan sampai emergency tool guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, melakukan pelatihan penanganan pasien krisis, melakukan rotasi dikarenakan tingginya beban kerja di ruang akut ini. bagi perawat, hasil penelitian mengenai perilaku agresif pasien menunjukan hasil yang tinggi. mengingat hal ini merupakan sumber stresor perawat alangkah baiknya perawat jiwa memiliki persepsi yang positif,serta senantiasa meningkatkan kemampuan personal. sehingga mampu mengatasi stresor. sebagian besar perawat berada pada kategori stress sedang, namun secara keseluruhan hampir merata pada setiap kategori stress. diharap perawat selalu mampu menjadikan stress ini menjadi positif sehingga mampu meningkatkan nilai individu perawat sendiri. bagi institusi pendidikan keperawatan, diharapkan penelitian ini dapat di jadikan salah satu bahan referensi pada mata kuliah jiwa, sehingga dapat lebih memberikan gambaran nyata tentang kondisi lahan yang sebenarnaya. dijadikan acuan untuk mempersiapkan para peserta didik yang nantinya akan terjun ke lahan. bagi penelitian keperawatan, setelah mengetahui nilai hubungan pada penelitian ini, hendaknya melakukan penelitian berkelanjutan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perilaku agresif pasien dengan stres perawat dipsikiatri intensive care unit. daftar rujukan dermawan, d. & rusdi. 2013. keperawatan jiwa: konsep dan kerangka kerja asuhan keperawatan jiwa. yogyakarta : gosyen publishing. hartono, la. 2011. stres & stroke. yogyakarta : penerbit kanisius hawari, dadang. 2011. manajemen stress, cemas dan depresi. jakarta : fkui. lukluk, zuyina a. & siti bandiyah. 2011. psikologi kesehatan. yogyakarta : nuha medika muhith abdul, nasir & ideputri. 2011. metodologi penelitian kesehatan. yogyakarta : mulia medika muhith abdul., nasir. 2011. dasar-dasar keperawatan jiwa,. pengantar dan teori. jakarta: salemba medika. muhith, a. 2015. pendidikan keperawatan jiwa (teori dan aplikasi). yogyakarta: cv. andi. muhith, a. 2018. aplikasi komunikasi terapeutik nursing & health yogyakarta: andi. muhith, a., nasir. 2011. buku ajar metodologi penelitian kesehatan. yogyakarta: nuha medika muhith, a., saputra, m.h., fardiansyah a., 2018. risk factor of rheumatoid arthritis among eldely in upt panti werdha mojopahit mojokerto distric indonesia. indian journal of public health research 143muhith, fardiansyah, mawaddah, mulyatin, hubungan perilaku kekerasan pasien... & development, volume.9 number, 6 june 2018, issn 0978-0245 (print ), issn 0976-5506 (electronic). medicine: public health, evironmental and occupational health. indian journal of public health research & development. nabila, hanifa. 2016. pengukuran hars dan dass https:/ / w ww. s c r i b d . c o m / d oc u m e n t / 3 3 4 0 6 5 1 5 3 / pengukuran-hars-dan-dass, diunduh pada 2 februari 2018. nijman, henk, len bowers, nico oud & gerard jansen. 2005. psychiatric nurses experiences with inpatient aggression. nijman, henk, len bowers, nico oud & gerard jansen. 2005. psychiatric nurses experiences with inpatient aggression. oud, n.e. 2000. the perception of prevalence of aggression scale (popas) questionnaire. https:/ / www. r es ea r c h g a t e. n et / p r ofi l e / n i c o_ ou d/ p u b l i c a t i o n / 2 7 0 1 5 9 8 4 9 _ t h e _ p e r c e p t i o n _ o f _ p r e v a l e n c e _ o f _ aggression_scale_popas_questionnaire/links/ 54a177900cf256bf8baf71c1/the-perception-ofp r e va l e n c e ofa g g r e s s i on s c a l ep o pa s questionnaire.pdf, diunduh pada 2 februari 2018. psychology foundation of australia . (2014). depression anxiety stress scales (dass). hyperlink http:/ / www2. psy. un sw. edu.a u/ da ss/ h t t p: / / www2. psy.unsw.edu.au/dass/ diunduh pada 2 februari 2018. yosep, iyus dan titin sutini. 2014. baku ajar keperawatan jiwa dan advance mental health nursing. bandung: pt refika aditama. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 127wulandari, gambaran family care giver burden ... 127 gambaran family care giver burden dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia di wilayah kerja puskesmas sutojayan kabupaten blitar (overview of family care giver burden in treating schizophrenia with family members in the work area health district sutojayan blitar) nawang wulandari stikes patria husada blitar email: na_wul23@yahoo.co.id abstract: when someone is diagnosed with positive schizophrenia, there will be changes toward their life. patients who previously have the ability to perform daily activities, in this conditions will always need help and assistance in fulfilling their life, especially the family members who are in charge in the caring. various changes will certainly have impact on the patients themselves and for those around them, especially their family care giver. care giver are expected to use most of their time to care and to provide social support for the sake of better conditions. this research aimed to describe the family care giver burden in the caring of their family members with schizophrenia in puskesmaas sutojayan blitar. the research design used descriptive approah with purposive sampling. the total sample was 24 respondents. the data collectionused questionnaires. the results showed that 10 people (41.7%) of the family care giver experiencing hard burden and average burden in the care of family members with schizophrenia. people should have good understanding and concern so that there would be negative stigma in people with schizophrenia so that the burden of the care giver is not increase because of the social burden obtained. when this kind of things were done, it would reduce the risk of relapse in people with scizofrenia keywords: family care giver burden, skizofrenia abstrak: saat seseorang positif didiagnosis skizofrenia, maka berbagai perubahan akan banyak terjadi. penderita yang sebelumnya mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, pada kondisi seperti ini akan selalu memerlukan bantuan dan pertolongan dalam memenuhi kehidupannya khususnya kepada anggota keluarga yang peduli terhadapnya. berbagai perubahan tentu akan berdampak pada pasien sendiri maupun bagi orang-orang disekitarnya terutama care giver keluarga yang merawatnya. care giver dituntut menggunakan sebagian besar waktunya untuk merawat dan memberikan dukungan sosial demi kondisi yang lebih baik. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran family care giver burden dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia di wilayah kerja puskesmaas sutojayan kabupaten blitar. desain penelitian deskriptif dengan purposive sampling. jumlah sampel 24 responden. pengumpulan data menggunakan kuesioner. hasil penelitian menunjukkan bahwa family care giver mengalami beban berat dan sedang dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia yaitu masingmasing sebanyak 10 orang (41,7%). masyarakat hendaknya memiliki pemahaman dan kepedulian serta tidak memberikan stigma negatif pada orang dengan skizofrenia sehingga beban yang dirasakan care giver tidak semakin berat karena beban sosial yang didapat. dimana jika hal ini dilakukan juga akan menekan resiko kekambuhan pada orang dengan skizofrenia. kata kunci: family care giver burden, skizofrenia acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p127-130 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 127–130 skizofrenia merupakan suatu penyakit yang secara umum bersifat kronis dan menahun akibat ketidakseimbangan neurotransmiter dopamin. ketika seseorang positif didiagnosis skizofrenia, maka berbagai perubahan akan banyak terjadi. penderita yang sebelumnya mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, pada kondisi seperti ini akan selalu memerlukan bantuan dan pertolongan dalam memenuhi kehidupannya khususnya kepada anggota keluarga yang peduli terhadapnya (kusumawati & hartono, 2010). hasil penelitian menunjukkan bahwa gangguan mental mengakibatkan beban cukup besar yaitu 8,1 persen dari global burden of disease (gdb) melebihi beban yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis dan kanker. dari 8,1 persen gdb yang ditimbulkan oleh gangguan neuropsikiatris, gangguan depresi memberikan beban terbesar, yaitu 17,3 persen, sedangkan gangguan psikosis memberikan beban 6,8 persen (yosep, 2010 dalam hamilasari, 2014). sedangkan untuk wilayah kerja puskesmas sutojayan sendiri ada 25 penderita skizofrenia dimana beberapa keluarga menyatakan kurang mampu untuk melakukan perawatan. keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia maka secara tidak langsung mereka juga akan ikut terasing dari lingkungannya, diremehkan dan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat yang pada akhirnya sikap masyarakat terhadap keluarga tersebut akan berdampak juga pada status sosial ekonomi keluarga. hal ini jugalah yang akan mempengaruhi hubungan keluarga dengan anggota keluarga mereka yang mengalami skizofrenia, klien skizofrenia akan dikucilkan karena dia ngga p telah memba wa ma la petaka untuk keluarga (saseno dalam nurhayati, 2008). beban keluarga yang dirasakan oleh keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami skizofrenia yaitu berhubungan dengan perawatan termasuk biaya pengobatan, tanggung jawab untuk mengawasi kondisi mental, stigma yang muncul dari hasil interaksi dengan masyarakat, serta distress emosional akibat dari tanda dan gejala yang dialami oleh anggota keluarga dengan skizofrenia (mcdonell, et al dalam nuraenah, 2012). utami (2011) mengatakan bahwa proses perawatan anggota keluarga dengan skizofrenia yang bertahun-tahun tidak jarang menimbulkan rasa jenuh dan bosan bagi family care giver, terutama apabila peran family caregiver hanya satu orang sehingga tidak dapat beristirahat dan melakukan kontrol maksimal terhadap anggota keluarga dengan skizofrenia. beban psikologis lain yang dirasakan oleh keluarga adalah mereka ingin pergi, marah terhadap anggota keluarga yang menderita skizofrenia dan tuhan serta merasa bersalah karena memikirkan segala ketidaknyamanan yang dirasakan. caregiver dituntut menggunakan sebagian besar waktunya untuk merawat dan memberikan dukungan sosial demi kondisi yang lebih baik. dimana family burden ini dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan caregiver sendiri. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran family care giver burden dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia di wilayah kerja puskesmaas sutojayan kabupaten blitar. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas sutojayan kabupaten blitar pada tanggal 25-30 april 2016. populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan skizofrenia sebanyak 25 orang. tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dengan jumlah sampel yang didapatkan 24 responden. instrumen yang digunakan untuk melihat family care giver burden diadaptasi dari american family phsycian (2002) da n kuesioner penelitia n suwardiman (2011) dimana telah dimodifikasi oleh peneliti, yang terdiri dari 12 nomor (6 poin beban obyektif dan 6 poin beban subyektif). hasil penelitian terbanyak responden berusia 40-47 tahun, dengan jenis kelamin sebagian besar responden perempuan. untuk jenis pekerjaan responden bekerja petani, status perkawinan sebagian besar responden telah menikah yaitu sebanyak 18 orang. sedangkan untuk tingkat pendidikan responden adalah smp yaitu sebanyak 8 orang. dapat dilihat bahwa family care giver mengalami beban berat dan sedang dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia yaitu masing-masing sebanyak 10 orang (41,7%). pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa family care giver mengalami beban berat dan sedang dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia yaitu masing-masing sebanyak 10 orang (41,7%). 129wulandari, gambaran family care giver burden ... persepsi beban yang berlebihan akan dirasakan oleh keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia yaitu saat banyak permasalahan yang timbul akibat ketergantungan. dampak negatif yang terjadi pada keluarga akan dirasakan sebagai beban subyektif dan beban obyektif. salah satu beban subyektif yang paling sering dirasakan adalah kecemasan dan stigma, sedangkan beban obyektif yang paling sering dirasakan oleh responden adalah beban ekonomi dalam anggota keluarga dengan skizofrenia. hasil penelitian menunjukkan bahwa responden merasa terbebani dengan beban obyektif. hal ini sesuai dengan varcarolis (2010) yang menyatakan bahwa beban yang paling berat yang dirasakan oleh keluarga adalah beban finansial dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia. dampak dari persepsi beban yang tidak dikelola dengan baik akan mempengaruhi produktivitas, kualitas hidup dan fungsi keluarga yang menjadi tidak optimal. keluarga dihadapkan pada banyak permasalahan yang mengakibatkan beban dalam keluarga menjadi berat. banyaknya keterbatasan yang dimiliki oleh anggota keluarga dengan skizofrenia adalah stressor tersendiri bagi keluarga. beban yang dihadapi juga juga bervariasi tergantung oleh beberapa faktor yaitu stigma masyarakat, pengetahuan, emosi dan kondisi ekonomi (parish, et al, 2012). dampak dari beban sendiri bervariasi tergantung dari mekanisme koping keluarga yang mengelola beban tersebut. beberapa keluarga menunjukkan beban berlebih ketika harus merawat anggota keluarga dengan skizofrenia, dampak yang keluarga rasakan akan berpengaruh terhadap kemampuan keluarga dalam merawat. hal ini akan menyebabkan kualitas hidup anggota keluarga dengan skizofrenia, dimana sebelumnya terjadi penurunan pula dalam kualitas hidup keluarga atau care giver (suliswati, 2005). menurut teori beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi beban keluarga adalah tingkat pendidikan dan penghasilan keluarga. tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia, termasuk juga pengambilan keputusan untuk menggunakan sarana pelayanan kesehatan dan pendidikan (notoatmodjo, 2008). tingkat pendidikan responden dalam penelitian yang digambarkan pada tabel.1 sebagian besar adalah smp sebanyak 33,3%. pengetahuan yang baik dapat membantu keluarga dalam perawatan anak dengan permasalahan yang cukup kompleks (mcdonald, wiczorek & walker, 2004), sehingga adaptasi terhadap konsekuensi variabel kategori n % umur (tahun) 24-31 4 16,7 32-39 4 16,7 40-47 7 29,2 48-55 4 16,7 56-66 5 20,8 jenis kelamin laki-laki 10 41,7 perempuan 14 58,3 pendidikan tidak sekolah 3 12,5 sd 7 29,2 smp 8 33,3 sma 6 25 status janda/duda 6 25 menikah 18 75 pekerjaan tidak bekerja 2 8,3 wiraswasta 10 41,7 petani 12 50 tabel 1. karakteristik family care giver berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan pekerjaan di wilayah kerja puskesmaas sutojayan kabupaten blitar tanggal 25-30 april 2016 tabel 2. distribusi family care giver burden dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia di wilayah kerja puskesmaas sutojayan kabupaten blitar tanggal 25-30 april 2016 no beban keluarga frekuensi % 1 ringan 4 16,7 2 sedang 10 41,7 3 berat 10 41,7 total 24 100 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 127–130 perawatan anak juga menjadi lebih baik yang tentunya akan berdampak pada persepsi beban. faktor yang lain adalah kondisi ekonomi yang juga menyebabkan persepsi beban keluarga yang dirasakan menjadi lebih berat (parish et al, 2012). keputusan keluarga untuk memberikan yang terbaik pada anggota keluarga dengan skizofrenia terkadang terhambat oleh penghasilan yang minim termasuk untuk kesehatan dan pendidikan anak, sehingga beberapa keluarga sering mengabaikan kesehatan dan pendidikan untuk perkembangan anggota keluarga dengan skizofrenia. pada penelitian ini 50% responden mempunyai penghasilan tidak menentu karena bekerja sebagai petani. pada penelitian ini rata-rata anggota keluarga yang lain tidak dapat membantu mencari nafkah tambahan karena harus menunggu dan merawat anggota keluarga dengan skizofrenia pada dasarnya care giver sendiri sebenarnya membutuhkan dukungan dari orang lain terutama dari pihak keluarga sendiri untuk bersama-sama memecahkan masalah yang dialami sehingga perawatan anggota keluarga dengan skizofrenia menjadi lebih ringan jika dilakukan bersama dan tidak hanya dibebankan pada care giver saja dalam hal ini paling banyak oleh ibu. hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan beban keluarga dapat ditekan dengan pemberian sistem dukungan sosial melalui sesama keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia atau seorang pemberi perawatan kesehatan (videback, 2008). simpulan dan saran simpulan family care giver merupakan suatu peran yang tidak mudah untuk dijalani. banyak masalah yang dihadapi selama merawat anggota keluarga dengan skizofrenia diantaranya yaitu mendapat perlakuan dan sikap negatif dari lingkungan, merasakan dampak dari merawat anggota keluarga dengan skizofrenia menanggung beban finansial untuk pengobatan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. care giver sebenarnya membutuhkan dukungan dari orang lain atau anggota keluarga lain untuk bersama-sama merawat anggota keluarga yang mengalami skizofrenia agar beban yang dirasa menjadi lebih ringan. saran masyarakat hendaknya memiliki pemahaman dan kepedulian serta tidak memberikan stigma negatif pada orang dengan skizofrenia sehingga beban yang dirasakan care giver tidak semakin berat karena beban sosial yang didapat. dimana jika hal ini dilakukan juga akan menekan resiko kekambuhan pada orang dengan skizofrenia daftar rujukan american family physician. 2002. volume 65 nomor 11/ juni. badan penelitian dan pengembangan kesehatan departemen kesehatan ri. 2007. laporan nasional riset kesehatan dasar. diambil dari www. riskesdas. litbang depkes. go.id. diakses tanggal 2 februari 2015. hamilasari. 2014. terapi psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan skizofrenia di ruma h sakit jiwa pemerintah aceh. jurnal pendidikan dan praktik keperawatan 1(2). 97-211. kusumawati, f., hartono, y. 2010. buku ajar keperawatan jiwa. jakarta: salemba medika. nurhayati. 2008. hubungan antara pengetahuan dan dukungan keluarga dengan frekuensi kambuh penderita skizofrenia di rumah sakit gondohutomo semarang. jurnal keperawatan 1(1). nuraenah. 2012. hubungan dukungan keluarga dan beban keluarga dalam merawat anggota dengan riwayat perilaku kekerasan di rs islam klender jakarta timur. jurnal keperawatan 2(1). notoatmodjo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. parish, susan, l., et al. 2012. state-level income inequality and family burden of us families raising children with special health care needs social science and medicine. 74. 399-407. suliswati. 2005. konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. jakarta: egc. suwardiman. 2011. hubungan antara dukungan keluarga dengan beban keluarga untuk mengikuti regimen terapeutik pada keluarga klien halusinasi rsud serang.tidak dipublikasikan. utami, w.n. 2011. hubungan antara pengetahuan tentang skizofrenia dan strategi koping dengan beban psikologis pada family care giver orang dengan skizofrenia. gempar: jurnal ilmiah keperawatan no.2 vol 1. varcarolis, e.m., dan halter, m.j. 2010. foundations of psychiatric mental health nursing: a clinical approach, (6th ed). st. louis, missouri: saunders elsevier. videbeck, s.l. 2008. buku ajar keperawatan jiwa alih bahasa renata komalasari, alfrina, hany. editor bahasa indonesia, pamilih eko karyuni. jakarta: ecg.. 260 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 260–267 260 self efficacy pasien diabetes melitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetankota blitar (self efficacy in patients with diabetes mellitus management healthy eating in uptd sananwetan district of blitar town) rizha malayanita praktisi keperawatan email: rizhamalayanita@gmail.com abstract: self -efficacy in meal management of diabetic patients, which is one of the selfregulating ability of individuals in meal management of diabetic patients. the purpose of this research was to determine self efficacy in meal management of patients with diabetes mellitus such amount of food, type of food and eating schedules that consumed dm patients in distict health sananwetan, blitar. this research used a descriptive design. the population was all of dm patient who check their health at health centers sananwetan, blitar, and the sample was 30 people taken by accidental sampling technique. the data collection was done by closed-ended multiple choice questions questionnaire. the data collection was done on the date june 6 until 18, 2016. the results showed that self efficacy in meal management of diabetic patients was 50 % (15 people) less, 33.3 % (10 people) fair and 16.7 % (5 people) good. patients with diabetes mellitus in district health sananwetan blitar, needed motivation, guidance and health education to improve good and right self efficacy meal management. keywords: meal management, self-efficacy , patients with dm abstrak: self efficacy pasien dm dalam pengelolaan makan ,yaitu salah satu kemampuan pengaturan diri individu pasien dm dalam pengelolaan makan. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui self efficacy pasien dm dalam pengelolaan makanan berupa jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makan yang dikonsumsi pasien dm di puskesmas sananwetan kota blitar. penelitian ini menggunakan desain deskriptif. populasi penelitian adalah semuapasien dm yang memeriksakan diri di puskesmas sananwetan kota blitar, besar sampel sebanyak 30 orang dengan teknik accidental sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner closed-ended multiple choice questions. waktu pengambilan data dilakukan pada tangal 06–18 juni 2016. hasil penelitian menunjukkan bahwa self efficacy pasien dm dalam pengelolaan makan yaitu 50% (15 orang) kurang, 33,3% (10 orang) cukup dan 16,7% (5 orang) baik. pasien diabetes mellitus di puskesmas sananwetan kota blitar membutuhkan bantuan motivasi, bimbingan dan kie untuk meningkatkan self efficacy pengelolaan makan yang baik dan benar. kata kunci: pengelolaan makan, self efficacy, pasien dm meningkatnya prevalensi diabetes mellitus dibeberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran dinegara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama dikota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degenerative, seperti penyakit jantung koroner (pjk), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. tetapi data epidemiologi dinegara berkembang memang masih belum banyak. hal ini disebabkan penelitian epidemiologi sangat mahal biayanya. oleh karena itu angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju (suyono, 2011). hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p260-267 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 261malayanita, self efficacy pasien diabetes melitus... menurut penelitian epidemiologi yang sampai tahun delapan puluhan telah dilaksanakan diberbagai kota di indonesia, prevalensi diabetes berkisar antara 1,5 s/d 2,3%, kecuali di manado yang agak tinggi sebesar 6%. hasil penelitian epidemiologis berikutnya tahun 1993 di jakarta (daerah urban) membuktikan adanya peningkatan prevalensi dm dari 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993, kemudian pada tahun 2001 di depok, daerah suburban di selatan jakarta menjadi 12,8%. demikian pula prevalensi dm diujung pandang (daerah urban), meningkat dari 1,5% pada tahun 1981 menjadi 3,5 pada tahun 1998 dan terakhir pada tahun 2005 menjadi 12,5%. di daerah rural yang dilakukan oleh arifin disuatu kota kecil di jawa barat angka itu hanya 1,1%. disuatu daerah terpencil di tanah toraja didapatkan prevalensi dm hanya 0,8%. disini jelas ada perbedaan antara urban dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. di jawa timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi diabetes melitus terkait malnutrisi (dmdt) yang sekarang dikategorikan sebagai diabetes tipe pancreas di jawa timur, sebesar 21,2% dari seluruh diabetes rural (suyono, 2011). permasalahan yang dihadapi dalam menangani penderita dm, perlu adanya kemampuan dalam mengorganisir pola makan,olahraga dan kontrol kesehatan. secara keseluruhan, hanya sekitar 15% pasien yang telah melaksanakan rekomendasinya dengan benar. hal yang khusus lagi pola kontrol keluarga yang masih rendah, karena keluarga kurang memperhatikan pola diit dan penderita dm masih menuruti seleranya sendiri. menurut data dari dinas kesehatan kota blitar ada 328 penderita diabetes mellitus dipuskesmas sananwetan, ada 207 penderita diabetes mellitus dipuskesmas sukorejo serta ada 134 penderita diabetes mellitus dipuskesmas kepanjen kidul selama bulan agustus 2015. hasil studi pendahuluan pada tanggal 11–12 september 2015 di puskesmas sananwetan kota blitar, jumlah kunjungan selama bulan agustus 2015 ada 30 klien penderita diabetes mellitus. dari jumlah yang ada, 8 klien penderita diabetes mengatakan tidak mengetahui pengelolaan makanan yang benar, dan 15 klien penderita diabetes mengatakan sering melanggar diit. sebagian besar penderita diabetes mellitus mengatakan bahwa makanan untuk penderita diabetes tidak sama pengelolaannya (memasaknya) dengan anggota keluarga yang lain sehingga klien merasa bosan menjalankan diit diabetes. seringkali penderita diabetes merasa sudah mengatur makan dengan ketat, tapi tidak sembuh. ini bisa berdampak dalam pengelolaan makan, banyak makanan yang dilanggar sehingga mengakibatkan kadar glukosa dalam darah tidak turun/normal. dengan banyaknya penderita yang masih melanggar diit, membuktikan bahwa penderita masih belum mampu mengorganisir self efficacy tentang pola diit dm dalam keluarga. bandura (1986) dalam winarni dan mujito (2003) self efficacy didefinsikan sebagai suatu pertimbangan pendapat seseorang mengenai kemampuannya untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlakukan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. hal ini berhubungan dengan keyakinan tentang apa yang dapat dilakukannya dengan berbekal ketrampilan atau keahlian apapun yang dimiliknya. efficacy sendiri diartikan sebagai kekuatan yang dimiliki untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. browson et al (2007) dalam suragih (2012) mengemukakan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong penderita dm agar dapat mandiri dalam pengelolaan makanannya. smeltzer & bare dalam suragih (2012) upaya tersebut antara lain dengan memberikan informasi kepada klien dm beserta keluarganya, bagaimana cara mengelola makanan dm, pengelolaan makanan yang baik sesuai dengan kalori, kepatuhan klien dm dalam melaksanakan pengelolaan makanan merupakan masalah yang dihadapi oleh klien dm dan keluarganya. terjadinya masalah dalam keluarga tentang pengetahuan diit makanan pada penderita dm adalah kurang pedulinya keluarga untuk melakukan progam diit untuk penderita dm dan kurangnya informasi dalam keluarga tersebut mengenai diit yang benar untuk penderita dm. selain dari faktor keluarga ada faktor lain yaitu kesadaran diri penderita dm itu untuk melakukan progam diet. banyak penderita dm yang sering melanggar aturan diit dm karena merasa bosan dan putus asa penyakitnya tidak kunjung sembuh. yang sering dilanggar penderita dm seperti ngemil gorengan, merokok, minum kopi, mengkonsumsi nasi berlebihan. sehingga saat waktunya pengecekan gula darah, hasilnya masih tinggi kadar glukosa darah penderita tersebut. dengan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana self efficacy pasien dm dalam pengelolalan makanan di puskesmas sananwetan kota blitar. 262 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 260–267 bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah adalah pasien diabtes mellitus yang sedang memeriksakan diri dioli umum uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, besar sampel sebanyak 30 orang diambil dengan teknik accidental sampling. pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada 06–18 juni 2016. hasil penelitian data umum, self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar seperti dalam tabel 1 di bawah. self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar berdasarkan parameter jumlah makan ditunjukkan dalam tabel 3. tabel 1 data umum self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, 06– 18 juni 2016 (n=30) data umum f % jenis kelamin: laki-laki 13 43.3 perempuan 17 56.7 usia: 41-65 tahun 22 73.3 > 65 tahun 8 26.7 pendidikan terakhir: sd 7 23,3 smp 6 20,0 sma 10 33,3 pt 7 23,3 pekerjaan: swasta 12 40,0 pns 9 30,0 tidak bekerja 9 30,0 pernah terpapar informasi: ya 21 70,0 tidak 9 30,0 banyaknya informasi: 3 tidak ada 9 30 1 kali 7 23.3 2 kali 5 16.7 3kali 3 10 >3 kali 6 20 sumber informasi: tidak ada 9 30 media massa 1 33.3 pelayanan kesehatan 17 56.7 orang lain 3 10 self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar ditunjukkan dalam tabel 2. self efficacy pengelolaan makanan dm f % baik 5 16.7 cukup 10 33.3 kurang 15 50 tabel 2 data self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, 06-18 juni 2016 (n=30) self efficacy jumlah makanan f % baik 4 13.3 cukup 11 36.7 kurang 15 50 tabel 3 data jumlah makanan yang dikonsumsi pasien diabetes mellitus di poli umum uptd kesehatan sananwetan kota blitar, 6-18 juni 2016 (n=30) self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar berdasarkan parameter jenis makanan ditunjukkan dalam tabel 4. self efficacy jenis makanan f % baik 11 36.7 cukup 16 53.3 kurang 3 10 tabel 4 data jenis makanan yang dikonsumsi pasien diabetes mellitus di poli umum uptd kesehatan sananwetan kota blitar, 6-18 juni 2016 (n=30) self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar berdasarkan parameter jadwal makan ditunjukkan dalam tabel 5. 263malayanita, self efficacy pasien diabetes melitus... tabulasi silang antara pendidikan terakhir dengan self efficacy pengelolaan makan ditunjukkan dalam tabel 8. self efficacy jadwal makanan f % baik 7 23.3 cukup 6 20 kurang 17 56.7 tabel 5 data jadwal makanan pasien diabetes mellitus di poli umum uptd kesehatan sananwetan kota blitar, 6-18 juni 2016 (n=30) tabulasi silang antara jenis kelamin dengan self efficacy pengelolaan makan ditunjukkan dalam tabel 6. f % f % f % laki-laki 3 10 2 6.7 8 26.7 perempuan 2 6.7 8 26.7 7 23.3 total 5 16.7 10 33.3 15 50 tabel 6 data tabulasi silang antara jenis kelamin dengan self efficacy pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, 6-18 juni 2016 (n=30) jenis kelamin self efficacy baik cukup kurang tabulasi silang antara umur dengan self efficacy pengelolaan makan ditunjukkan dalam tabel 7. tabel 7 data tabulasi silang antara umur dengan self efficacy pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, 6– 18 juni 2016 (n=30) f % f % f % 41-65 5 16.7 7 23.3 10 33.3 > 65 0 0 3 10 5 16.7 total 5 16.7 10 33.3 15 50 umur self efficacy baik cukup kurang tabel 8 data tabulasi silang antara pendidikan terakhir dengan self efficacy pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, 6-18 juni 2016 (n=30) f % f % f % sd 1 3.3 2 6.7 4 13.3 smp 0 0 2 6.7 4 13.3 sma 3 10 3 10 4 13.3 pt 1 3.3 3 10 3 10 total 5 16.6 10 33.3 15 50 pendidikan terakhir self efficacy baik cukup kurang tabulasi silang antara pekerjaan dengan self efficacy pengelolaan makan ditunjukkan dalam tabel 9. tabel 9 data tabulasi silang antara pekerjaan dengan self efficacy pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, 6–18 juni 2016 (n=30) f % f % f % swasta 2 6.7 4 13.3 6 20 pns 2 6.7 3 10 4 13.3 tidak bekerja 1 3.3 3 10 5 16.7 total 5 16.7 10 33.3 15 50 pekerjaan self efficacy baik cukup kurang tabulasi silang antara banyaknya informasi dengan self efficacy pengelolaan makan ditunjukkan dalam tabel 10. tabel 10 data tabulasi silang antara banyaknya informasi dengan self efficacy pengelolaan makan di uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar, 6–18 juni 2016 (n=30) f % f % f % tidak ada 0 0 3 10 6 20 1 kali 1 3.3 3 10 3 10 2 kali 2 6.7 1 3.3 2 6.7 3 kali 2 6.7 1 3.3 0 0 > 3 kali 0 0 2 6.7 4 13.3 total 5 16.7 10 33.3 15 50 banyaknya informasi self efficacy baik cukup kurang 264 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 260–267 pembahasan dari hasil penelitian self efficacy penderita diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di poli umum uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar yaitu sebanyak 50% (15 orang) hasilnya kurang. terdapat parameter self efficacy kurang yaitu jadwal makan. pada parameter jadwal makan kurang sebanyak 56,7% (17 orang). jadwal makan berdasarkan jadwal makan penderita diabetes mellitus di poli umum uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar mempunyai pengelolaan jadwal makan kurang sebesar 56,7% (17 orang). self efficacy tentang jadwal makan kurang dibuktikan dengan pasien diabetes mellitus makan lebih dari 3 kali sehari dan diselingi ngemil berlebihan setiap waktu. jadwal makan meliputi pola makan 3x makan besar dan 3x makan kecil, jadwal makan jam 07.00, jam 13.00 dan 19.00, memberi jarak antara makan dengan ngemil lebih dari 3 jam, makan tidak lebih dari 3x sehari. yang dimaksud dengan jadwal adalah waktu-waktu makan yang tetap, yaitu makan pagi, siang dan malam, serta makan selingannya. biasanya jadwal itu, disusun sebagai berikut: pukul 07:30 = makan pagi (sarapan) pukul 10:00 = makan selingan (kudapan) pukul 12:30 = makan siang pukul 15:00 = kudapan pukul 18:00 = makan malam pukul 21:00 = kudapan menurut ada (2010) perlu pengaturan jadwal makan bagi penderita dm karena keterlambatan atau keseringan makan akan mempengaruhi kadar glukosa darah. faktanya, berdasarkan hasil dari kuesioner pernyataan nomer 18 yaitu “saya tidak pernah membuat jadwal makan” masih ada 30% (21 orang) yang menjawab “tidak”. padahal jadwal makan sangat dibutuhkan untuk mengelola makanan yang dikonsumsi setiap harinya. peneliti berpendapat jadwal makan sangat penting unuk mengontrol makanan yang dikonsumsi setiap harinya sehingga gula darah normal. dalam usaha mencapai tujuan terkadang banyak rintangan dan kesulitan yang harus dihadapi terlebih lagi tujuan tersebut sangat ideal sehingga memerlukan usaha yang cukup hebat dalam mencapainya, seseorang dengan self efficacy yang rendah maka akan sulit bertahan dan bahkan cenderung berhenti untuk terus mengusahakan apa yang menjadi tujuannya. dari hasil penelitian self efficacy penderita diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di poli umum uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar yaitu sebanyak 33,3% (10 orang) hasilnya cukup. terdapat parameter self efficacy cukup yaitu jenis makanan. pada parameter jenis makanan cukup sebanyak 53,3% (16 orang). jenis makanan berdasarkan jenis makan yang dikonsumsi penderita diabetes mellitus di poli umum uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar mempunyai pengelolaan jenis makan yang dikonsumsi cukup sebesar 53.3% (16 orang). self efficacy tentang jenis makanan cukup dibuktikan dengan pasien diabetes mellitus masih mengkonsumsi karbohidrat lebih seperti nasi dan mie, makan sayur lodeh tapi membatasi makan ice cream dan cake. jenis makanan meliputi tidak makanmakanan mengandung tinggi karbohidrat, berlemak, dan gula, banyak mengkonsumsi makanan mengandung protein dan vitamin, mengkonsumsi makanan pengganti karbohidrat. mengenai jenis makanan pada umumnya penyusunan makanan akan menyangkut zat gizi sebagai berikut a) protein b) serat c) vitamin dan mineral. penyandang diabetes mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan penyakit jantung dan pembuluh darah. lemak dan kolesterol dalam makanan perlu dibatasi.kolesterol dalam jumlah yang banyak di dalam darah, dapat membentuk endapan dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan penyempitan yang dinamakan aterosklerosis. pengolahan makanan sebaiknya tidak terlalu banyak digoreng dan tidak lebih dari satu lauk saja pada tiap kali makan. faktanya, berdasarkan hasil dari kuesioner pada pernyataan nomer 10 yaitu “saya setiap hari maih mengkonsumsi makanan gorengan dan sayur bersantan (lodeh)” masih ada 63% (19 orang) menjawab “tidak”. membuktikan bahwa pasien diabetes tersebut mampu menghindari makanan berlemak. peneliti berpendapat bahwa makanan yang banyak mngandung lemak dan koestrol dapat menjadi faktor bertambahnya masalah baru yaitu penyempitan pembuluh darah. dari hasil penelitian self efficacy penderita diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di poli umum uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar yaitu sebanyak 16,7% (5 orang) hasilnya baik. terdapat parameter self efficacy baik yaitu jenis makanan. pada parameter jenis makanan baik sebanyak 36,7% (11 orang). 265malayanita, self efficacy pasien diabetes melitus... jenis makanan berdasarkan jenis makan yang dikonsumsi penderita diabetes mellitus di poli umum uptd puskesmas kecamatan sananwetan kota blitar mempunyai pengelolaan jenis makan yang dikonsumsi baik sebesar 36,7% (11 orang). self efficacy tentang jenis makanan baik dibuktikan dengan pasien diabetes mellitus maembatasi makanan yang tinggi gula seperti cake dan berlemak seperti gorengan. jenis makanan meliputi, tidak makan makanan mengandung tinggi karbohidrat, berlemak, dan gula, banyak mengkonsumsi makanan mengandung protein dan vitamin, mengkonsumsi makanan pengganti karbohidrat. buah dan susu sudah terbukti mempunyai respon glikemik yang lebih rendah dari pada sebagian besar tepung-tepungan. walaupun berbagai tepungtepungan mempunyai respon glikemik berbeda, prioritas hendaknya lebih pada jumlah total karbohidrat yang dikonsumsi dari pada sumber karbohidrat. faktanya, berdasarkan hasil dari kuesioner pada pernyataan nomer 14 yaitu “saya suka mengkonsumsi buah-buahan” ada 97% (29 orang) menjawab “ya”. membuktikan bahwa pasien diabetes tersbut sering mengkonsumsi buah yang mengandung vitamin yang mampu mengganti kebutuhan gula. peneliti berpendapat bahwa makanan yang banyak mengandung vitamin dapat memperbaiki metabolism tubuh dan mengkonsumsi buah dapat juga sebagai pengganti gula alami. setelah proses evaluasi yang dilakukan oleh seseorang menghasilkan suatu keyakinan untuk dapat mencapai tujuannya, maka selanjutnya seseorang tersebut akan membuat perencanaan tindakan yang akan dilakukanuntuk mencapai tujuannya tersebut. seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi tidak akan merasa ragu untuk membuat perencanaan dan serangkaian tindakan-tindakan yang akan menguntungkan dalam mencapai tujuan yang dikehendakinya tabulasi silang antara umur dengan self efficacy berdasarkan tabulasi silang antara umur pasien diabetes militus dengan self efficacy pengelolaan makan didapatkan hasil umur 41–65 tahun lebih rendah 73,3% (22 orang) dari pada umur >65 tahun 26,7% (8 orang). pada umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang secara dratis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. diabetes sering muncul setelah sesorang memasuki usia rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun dan pada mereka yang berat badannya berlebih sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin. sebab pada usia ini biasanya sesorang akan mengalami kesuksesn duniawi. peneliti berpendapat bahwa usia mempengaruhi self efficacy pengelolaan makan karena diusia tersebut menganggap bahwa tidak penting mengelola makan dan mereka dapat membeli makan apa saja karena kecuupan materi. tabulasi silang antara jenis kelamin dengan self efficacy berdasarkan tabulasi silang antara jenis kelamin pasien diabetes militus dengan self efficacy pengelolaan makan didapatkan hasil perempuan dalam kategori kurang 56,7% (17 orang) dari pada laki-laki 43,3% (13 orang). penyakit diabetes mellitus ini sebagian besar dapat dijumpai pada perempuan dibandingkan lakilaki. hal ini disebabkan karena pada perempuan memiliki ldl atau kolesterol jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, dan juga terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatupenyakit, dan hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit diabetes mellitus. jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara 15–20% dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20–25 %. jadi peningkatan kadar lipid (lemak darah) pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada lakilaki, sehingga faktor risiko terjadinya diabetes mellitus pada perempuan 3–7 kali lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki yaitu 2–3 kali. peneliti berpendapat bahwa jenis kelamin mempengaruhi self efficacy pengelolaan makan karena perempuan sering mengelola makanan dalam rumah tangganya serta nafsu ngemil perempuan lebih besar daripada laki-laki. tabulasi silang antara pendidikan terakhir dengan self efficacy berdasarkan tabulasi silang antara pendidikan terakhir pasien diabetes militus dengan self efficacy pengelolaan makan didapatkan hasil lulusan sma dalam kategori kurang 33,3% (10 orang) dari pada lulusan sd, smp dan perguruan tinggi. 266 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 260–267 hal tersebut dapat terjadi karena pola pikir dan pengetahuan pasien diabetes mellitus yang berpendidikan terakhir sma rendah. ketika seseorang memiliki tujuan, langkah pertama yang harus dimiliki adalah pemikiran positif terhadap kemampuan yang dimiliki. pemikiran positif tersebut akan membuat seseorang berani untuk bertindak. tinggi rendahnya self efficacy yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi pola pikir seseorang tersebut dalam usaha mencapai tujuan. tabulasi silang antara pekerjaan dengan self efficacy berdasarkan tabulasi silang antara pekerjaan pasien diabetes militus dengan self efficacy pengelolaan makan didapatkan hasil pekerja swasta dalam kategori kurang 40% (12 orang) dari pada pekerja pns dan tidak bekerja 30% (9 orang). hal tersebut dapat terjadi pada pekerja swasta karena waktu mereka lebih santai dan banyak waktu luang, berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. individu dapat menyatakan dirinya memiliki self efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. individu dengan self efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. individu yang memiliki self efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas. tabulasi silang antara banyaknya informasi dengan self efficacy berdasarkan tabulasi silang antara banyaknya informasi pasien diabetes militus dengan self efficacy pengelolaan makan didapatkan hasil belum pernah mendapat informasi sebanyak 20% (6 orang) dalam kategori kurang. individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber self efficacy nya. self efficacy juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan self efficacy individu tersebut pada bidang yang sama. individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat melakukanya dengan baik. pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. ada dua keadaan yang memungkinkan self efficacy individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. yaitu kurngnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di poli umum uptd kesehatan kecamatan sananwetan kota blitar, dapat disimpulkan bahwa self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan berdasarkan jumlah, jenis dan jadwal sebanyak 16,7% dalam kategori baik, sebanyak 33,3% dalam kategori cukup dan sebanyak 50% dalam kategori kurang. self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolan makan pada penelitian ini yang memiliki hasil baik yaitu pasien diabetes mellitus mampu mengurangi asupan gula yang dikonsumsi setiap harinya. untuk kategori cukup yaitu pasien diabetes mellitus mampu memilih jenis makanan yang tidak boleh dan boleh dikonsumsi seperti sayuran, ikan, dan buah. untuk hasil kategori kurang yaitu pasien diabetes mellitus masih belum bisa mengendalikan jumlah makanan yang dia konsumsi, seperti makan nasi 1 porsi piring penuh ditambah mie instan goreng serta pengaturan jadwal makan yang sering diabaikan, seperti sehari makan lebih dari 3 kali dan ngemil setiap hari. saran bagi kepala uptd puskesmas, membantu memotivasi, membimbing, dan memberikan kie tentang pengelolaan makan yang baik dan benar pada pasien diabetes mellitus agar pasien diabetes mellitus dapat mempertahankan atau meningkatkan self efficacy yang baik dan merubah self efficacy yang kurang menjadi baik terutama pada pengelolaan makan bagi peneliti lain, bagi peneliti lanjutan untuk memperkuat kuesioner agar lebih sempurna dan lebih terfokus untuk memunculkan self efficacy pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan makan di uptd kesehatan kecamatan sananwetan kota blitar. 267malayanita, self efficacy pasien diabetes melitus... daftar rujukan american diabetes association, 2010. suragih. 2012. pengetahuan dan sikap klien diabetes mellitus tipe 2 dalam pengelolaan makan. suyono, s. 2011. penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. jakarta: pt badan penerbit fkui. winarni, s., & mujito 2003. pengaruh kominikasi terapiutik dalam meningkatkan self efficacy terhadap diet dan kontrol kedokter penderita dm vol.1 no.1. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 247setiyorini, faktor-faktor yang berhubungan ... 247 faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar (factors relating concentration level of the first semester nursing students of stikes patria husada blitar) erni setiyorini program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com abstract: students are individuals who take college-level education and have a basic need to learn. the learning process is successful if the learning objectives is achieved. one cause of low quality and learning achievement of individuals largely due to the weaknesses in learning to concentrate. the purpose of this study was: 1) to identify factors that affect the level of concentration of learning, 2) to identify the concentration levels of student learning 3) to analyze the factors relating the concentrations level of the first semester nursing students of stikes patria husada blitar. the research design used cross sectional design. the variables in this study were the factors that relate student learning concentration (environment, learning modalities, social and psychological) and the concentration level of learning. the population in this study was the first semester nursing students of stikes patria husada blitar. the whole population was used as the sample that was 23 people. the research was conducted on november 22nd, 2016. the data collected by a questionnaire. data analysis used chi -square. the results showed that the factors relating the level of concentration of the first semester nursing students of stikes patria husada blitar was environmental factors (p = 0.001) and psychological factors (p = 0.008). the results of this research could be a baseline for future studies. for educational institutions, the results of this research could be used as an input to develop learning strategies to improve students’ concentration. keywords: students, concentration level, factors affecting concentration level abstrak: mahasiswa merupakan individu yang menempuh jenjang pendidikan tingkat perguruan tinggi dan memiliki kebutuhan pokok untuk belajar. proses pembelajaran berhasil apabila tujuan belajar tercapai. salah satu penyebab rendahnya kualitas dan prestasi belajar individu sebagian besar disebabkan karena lemahnya kemampuan dalam berkonsentrasi belajar. tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsentrasi belajar, 2) mengidentifikasi tingkat konsentrasi belajar mahasiswa 3) menganalisis faktor yang berhubungan dengan tingkat konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar. desain penelitian dengan rancangan cross sectional. variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang berhubungan dengan konsentrasi belajar mahasiswa (lingkungan, modalitas belajar, pergaulan dan psikologis) dan tingkat konsentrasi belajar. populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar. seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian yaitu 23 orang. penelitian dilaksanakan tanggal 22 nopember 2016. pengumpulan data menggunakan kuesioner. analisis data menggunakan chi -square. hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar adalah faktor lingkungan (p=0,001) dan faktor psikologis (p=0,008). hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya. bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk menyusun strategi pembelajaran untuk meningkatkan konsetrasi belajar mahasiswa. kata kunci: mahasiswa, tingkat konsentrasi, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsentrasi acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p247-252 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 248 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 247–252 mahasiswa merupakan individu yang menempuh jenjang pendidikan tingkat perguruan tinggi. salah satu kebutuhan pokok dalam menempuh pendidikan adalah belajar. hasil yang diharapkan dalam pembelajaran menurut teori behaviorisme adalah perubahan tingkah laku individu, sedangkan pada teori kognitifisme lebih mementingkan proses belajar. proses belajar membutuhkan konsentrasi belajar. konsentrasi belajar merupakan salah satu faktor yang penting yang dapat mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa. proses pembelajaran berhasil apabila tujuan belajar tercapai. salah satu faktor yang mempengaruhi adalah tingkat konsentrasi, jika konsentrasi belajar rendah maka akan menimbulkan aktifitas yang berkualitas rendah dan berdampak pada ketidakseriusan dalam belajar dan daya pemahaman terhadap materi yang dipelajari berkurang (aviana dan hidayah, 2015). beberapa ahli berpendapat bahwa penyebab rendahnya kualitas dan prestasi belajar individu sebagian besar disebabkan karena lemahnya kemampuan dalam berkonsentrasi belajar. hasil belajar sangat tergantung pada intensitas kemampuan konsentrasi belajarnya. permasalahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran, baik di dalam kelas maupun belajar mandiri di rumah adalah kurangnya konsentrasi mahasiswa terhadap topik yang dipelajari. menurut dja ma r a h (2002) da la m bela ja r diper luka n konsentrasi dalam perwujudan perhatian terpusat. fenomena yang sering ditemukan dalam kegiatan pembelajaran di kelas yang merupakan indikator rendahnya konsentrasi mahasiswa adalah perhatian yang mudah teralihkan, menguap dan tertidur dalam kelas dan hasil evaluasi harian terhadap topik pembelajaran yang rendah. engkoswara (2012) menjelaskan klasifikasi perilaku belajar yang dapat digunakan untuk mengetahui ciri-ciri siswa yang berkonsentrasi, yaitu perilaku kognitif, perilaku afektif dan perilaku psikomotor. perilaku kognitif dapat dilihat melalui kesiapan pengetahuan, komprehensif dalam penafsiran informasi, mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh dan mampu mengadakan analisis dan sintesis pengetahuan yang diperoleh. perilaku afektif dapat diketahui dengan adanya penerimaan, terdapat respon,, mengemukakan suatu pandangan atau keputusan sebagai integrasi dari keyakinan, ide dan sikap. sedangkan perilaku psikomotor dapat diketahui dengan adanya gerakan anggota badan yang tepat sesuai instruksi, terdapat komunikasi non verbal, perilaku berbahasa yang terkoordinasi dengan baik dan benar. tonie nase (2007) berpendapat bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi belajar, yaitu lingkungan, modalitas belajar, pergaulan dan psikologis. sedangkan nugroho (2007) mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan gangguan konsentrasi dalam belajar, yaitu: motivasi diri, suasana lingkungan belajar yang tidak kondusif, kondisi kesehatan mahasiswa dan rasa jenuh. slameto (2010) menyatakan bahwa kesulitan berkonsentrasi dapat disebabkan oleh kurangnya minat terhadap pelajaran yang dipelajari, terganggu oleh keadaan lingkungan (bising), pikiran kacau/ masalah kesehatan yang terganggu, bosan terhadap pelajaran. berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat konsentrasi mahasiswa semester 1 stikes patri husada blitar tahun 2017. tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsentrasi belajar, 2) mengidentifikasi tingkat konsentrasi belajar mahasiswa 3) menganalisis pengaruh faktor yang berhubungan dengan tingkat konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan rancangan cross sectional. variabel dalam penelitian ini adalah faktor yang berhubungan dengan konsentrasi belajar mahasiswa (lingkungan, modalitas belajar, pergaulan dan psikologis) dan tingkat konsentrasi belajar. populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 stikes patria husada blitar. seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian yaitu 23 orang. penelitian dilaksanakan tanggal 22 nopember 2016. pengumpulan data menggunakan kuesioner penelitian. data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi. analisis data menggunakan chi -square. hasil penelitian data umum data umum responden ini menguraikan tentang distribusi frekuensi responden yang meliputi: 249setiyorini, faktor-faktor yang berhubungan ... distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin data khusus distribusi responden berdasarkan lingkungan belajartabel 1. distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin no jenis kelamin f % 1 laki-laki 3 13 2 perempuan 20 87 total 23 100 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa karakteristik responden terbanyak adalah perempuan yaitu 20 orang (87%). distribusi frekuensi responden berdasarkan usia tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia no usia f % 1 18 th 5 21,7 2 19 th 12 52,2 3 20 th 6 26,1% total 23 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa usia lansia terbanyak 19 tahun sebanyak 17 orang (52,2%). distribusi frekuensi responden berdasarkan tempat tinggal tabel 3. distribusi frekuensi responden berdasarkan tempat tinggal no tempat tinggal f % 1 dengan orangtua 19 82,6 2 dengan saudara 2 8,7 3 kos 2 8,7 total 28 100 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa terbanyak mahasiswa tinggal dengan orang tua yaitu 19 orang (82,6%). tabel 4. distribusi frekuensi responden berdasarkan lingkungan belajar no ting kat depresi f % 1 kondusif 15 65,2 2 cu kup kondusif 6 26 3 kurang kondusif 2 8,7 total 23 1 00 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui lingkungan belajar mahasiswa terbanyak adalah kondusif yaitu sebanyak 15 orang (65,2%). distribusi frekuensi responden berdasarkan modalitas belajar tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan modalitas belajar no moda litas belajar f % 1 mendengarkan 4 17,4 2 membaca 12 52,2 3 melihat simulasi 2 8,7 4 video pembelajaran 5 21,7 total 23 1 00 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa modalitas yang paling banyak adalah dengan membaca yaitu 12 orang (52,2%). distribusi frekuensi responden berdasarkan pergaulan tabel 6. distribusi frekuensi responden berdasarkan pergaulan no penggunaan w aktu luang f % 1 berkumpul dengan teman 13 56,5 2 bermain smartphone 9 39,1 3 game/nonton film 1 4,3 total 23 100 250 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 247–252 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa waktu luang terbanyak digunakan untuk berkumpul dengan teman yaitu 13 orang (56,5%). distribusi frekuensi responden berdasarkan psikologis (masalah dalam 1 bulan terakhir) berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan faktor psikologis dapat mempengaruhi tingkat konsentrasi belajar mahasiswa. pembahasan hubungan faktor lingkungan dengan konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar pada hasil uji statistik hubungan faktor lingkungan dengan konsentrasi belajar mahasiswa dengan p=0,001, menunjukkan bahwa ada pengaruh faktor lingkungan terhadap konsentrasi belajar. hasil crostabulasi data menunjukkan bahwa lingkungan yang kondusif dengan tingkat konsentrasi yang baik yaitu 13 orang (81,3%). lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang berhubungan erat dengan kemampuan berkonsentrasi dalam belajar. menurut tonie nase (2007) lingkungan dapat mempengaruhi kemampuan dalam berkonsentrasi, mahasiswa akan dapat memaksimalkan kemampuan konsentrasi. apabila mahasiswa dapat mengidentifikasi faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan konsentrasi belajar, maka mahasiswa dapat memaksimalkan konsentrasi belajar pada situasi dan waktu yang tepat. beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi konsentrasi belajar adalah suara, pencahayaan, temperatur, dan desain belajar. berdasarkan hasil penelitian, 18 orang (78,3%) dapat berkonsentrasi pada suasana sepi (tenang tanpa suara), namun terdapat 5 orang (21,7%) yang dapat belajar sambil mendengarkan musik, ditempat ramai dan bersama teman. pencahayaan dapat mendukung konsentrasi belajar, 23 orang (100%) dapat berkonsentrasi pada tempat yang terang. secara teori, kenyamanan visual juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kenyamanan di tempat belajar. temperatur nyaman untuk belajar sebagian besar pada kondisi dingin/hangat sebanyak 15 orang (65,2%), temperatur yang nyaman untuk belajar tabel 7. distribusi frekuensi responden berdasarkan psikologis (masalah dalam 1 bulan terakhir) no masalah 1 bulan terakhir f % 1 dengan orang tua 5 21,7 2 dengan teman 8 34,8 3 tidak ada masalah 10 43,5 total 23 100 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mahasiswa tidak memiliki masalah dalam 1 bulan terakhir terbanyak yaitu 10 orang (43,5%). distribusi responden berdasarkan tingkat konsentrasi belajar tabel 8. distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat konsentrasi belajar no ting kat konsentra si belajar f % 1 baik 13 56,5 2 kurang 10 43,5 total 23 100 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui tingkat konsentrasi belajar mahasiswa terbanyak adalah baik yaitu sebanyak 13 orang (56,5%). faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsentrasi mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar tahun 2017 tabel 9. hasil uji statistik chisquare faktor yang mempengaruhi konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar tahun 2017 variabel lin gkungan modalitas belajar pergau lan psikologis konsentrasi belajar p=0,001 p=0,239 p=0,168 p=0,008 251setiyorini, faktor-faktor yang berhubungan ... pada setiap individu berbeda-beda. desain belajar merupakan media atau sarana dalam belajar, salah satunya adalah posisi belajar, sebagian besar mudah berkonsentrasi pada posisi belajar duduk sebanyak 10 orang (43,5%). rusdianto (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kebersihan kelas berpengaruh terhadap konsentrasi belajar siswa dengan persentase 26%. sejalan dengan pernyataan mulyadi (2009) bahwa didalam proses belajar mengajar terdapat dua masalah yang turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar, yaitu masalah pengajaran dan manajemen kelas. lingkungan belajar dapat berupa lingkungan belajar di kelas maupun di rumah. jumali, dkk. (2008) mengklasifikasikan lingkungan pendidikan menjadi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. berdasarkan hasil penelitian sebagian besar mahasiswa tinggal bersama orangtua yaitu 19 orang (82,6%) dan berdasarkan wawancara mayoritas orangtua selalu mengingatkan untuk membersihkan tempat belajar. lingkungan belajar yang bersih dapat mendukung konsentrasi belajar. hubungan faktor modalitas belajar dengan konsentrasi belajar mahasiswa semester i program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar. hasil uji statistik dengan chi square faktor modalitas terhadap tingkat konsentrasi dengan p=0,239, yang berarti bahwa tidak ada hubungan. modalitas belajar dapat menentukan siswa dalam memproses setiap informasi yang diterima dalam proses pembelajaran. susanto (2006) menyatakan bahwa salah satu cara dalam meningkatkan konsentrasi belajar adalah dengan menyesuaikan karakteristik siswa. mahasiswa memiliki karakteristik yang berbeda dalam penerimaan terhadap materi belajar. beberapa yang dapat diidentifikasi adalah mahasiswa lebih mudah menerima pelajaran dengan mendengarkan, membaca, melihat simulasi dan dengan melihat video pembelajaran. sebagian besar 12 orang (52,2%) lebih mudah menerima pelajaran dengan membaca. berdasarkan hasil penelitian, modalitas belajar tidak berpengaruh terhadap konsentrasi belajar mahasiswa. hal ini dapat terjadi karena pada materi-materi perkuliahan, mahasiswa tidak dapat hanya dengan mengandalkan salah satu dari modalitas yang dimiliki. proses belajar dapat maksimal dengan melibatkan semua indera. menurut vernon a.m dikutip dari quantum teaching, model pembelajaran memiliki tingkat memorisasi yang berbeda-beda dari pembelajaran pasif sampai dengan aktif. tingkatan memorisasi dari tingkat terendah sampai dengan tingkat tertinggi yaitu dari penerimaan verbal, visual, partisipasi dan melakukan (p3ai-its, 2007). selain itu, lamanya waktu belajar dapat mempengaruhi daya konsentrasi mahasiswa dalam belajar. grafik konsentrasi semakin menurun seiring dengan lamanya belajar, sehingga diperlukan beberapa upaya untuk mempertahankan konsentrasi belajar. hubungan faktor pergaulan dengan konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar hasil penelitian menunjukkan p=0,168, yang berarti tidak ada hubungan faktor pergaulan dengan konsentrasi. faktor pergaulan dapat mempengaruhi siswadalam menerima pelajaran, perilaku dan pergaulan mereka dapat mempengaruhi konsentrasi belajar. sebagian besar 13 orang (56,5%) mahasiswa sering berkumpul dengan teman apabila terdapat waktu luang. berdasarkan hasil observasi terhadap mahasiswa semester 1, di lingkungan kampus stikes patria husada blitar, sebagian besar mahasiswa menggunakan waktu tersebut untuk mengerjakan tugas kelompok. hampir di setiap mata kuliah terdapat tugas kelompok yang dipresentasikan, sehingga mahasiswa lebih banyak menggunakan waktu luang untuk berdiskusi kelompok. pada penelitian ini 9 orang (39,1%) menggunakan waktu luang untuk bermain smartphone dan memiliki tingkat konsentrasi yang kurang. hal ini sejalan dengan pendapat mustafid (2015) menyatakan bahwa perkembangan teknologi sangat pesat pada era globalisasi, salah satu perkembangan teknologi ini dengan hadirnya smartphone. smartphone dapat berpengaruh negatif terhadap pelajar, salah satunya adalah mengganggu konsentrasi belajar. berdasarkan data demografi 19 orang (82,6%), mahasiswa tinggal bersama orangtua, sehingga pergaulan masih dapat dipantau dan diingatkan waktu belajar. hubungan faktor psikologis dengan konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar hasil penelitian menunjukkan p=0,008, yang berarti ada hubungan psikologis dengan tingkat konsentrasi mahasiswa. faktor psikologis dapat 252 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 247–252 mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa dalam berkonsentrasi, contoh karena adanya masalah dalam lingkungan sekitar dan keluarga. adanya masalah yang dihadapi oleh mahasiswa dapat berakibat mahasiswa kehilangan semangat dan motivasi belajar, sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat konsentrasi mahasiswa yang menurun. hasil crostabulasi psikologis dengan tingkat konsentrasi menunjukkan bahwa mahasiswa yang tidak memiliki masalah dengan konsentrasi baik sebanyak 8 orang (34,8%). hal ini sejalan dengan pendapat slameto (2010) yang menyatakan bahwa seseorang yang sering mengalami kesulitan berkonsentrasi dapat disebabkan oleh salah satu faktor, yaitu pikiran yang kacau. adanya permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dapat menyebabkan pikiran kacau yang akan berakibat terhadap konsentrasi belajar mahasiswa. fenomena yang ditemukan dalam institusi pendidikan, permasalahan yang dihadapi oleh mahasiswa dapat disampaikan kepada dosen pembimbing akademik, sehingga masalah yang muncul yang dapat mengganggu konsentrasi belajar dapat teratasi. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa faktor yang berhubungan dengan tingkat konsentrasi belajar mahasiswa semester 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar tahun 2017 adalah faktor lingkungan (p=0,001) dan faktor psikologis (p=0,008). saran bagi peneliti selanjutnya penelitian ini dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya. bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk menyusun strategi pembelajaran untuk meningkatkan konsetrasi belajar mahasiswa. daftar rujukan aviana, r., dan hidayah, f. 2015. pengaruh tingkat konsentrasi belajar siswa terhadap daya pemahaman materi pada pembelajaran kimia di sma negeri 2 batang. http://www.e-jurnal. com/2016/06/pengaruh-tingkat-konsentrasibelajar.html. dibuka tanggal 10 nopember 2016. djamarah, s.b. 2002. rahasia sukses belajar. jakarta: rineka cipta. djamarah, s.b. 2011. psikologi belajar. jakarta: pt rineka cipta. engkoswara. 2012.ciri-ciri siswa yang dapat berkonsentrasi belajar.http://id.shvoong.com. dibuka tanggal 10 nopember 2016. izzati, r.r. 2014. pengaruh waktu perkuliahan dan lingk ungan ke las te rhadap ti ngk at konsentrasi belajar akuntansi biaya 2 pada mahasiswa pendidikan akuntansi angkatan 2011 universitas muhammadiyah surakarta. program studi pendidikan ekonomi akuntansi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas muhammadiyah surakarta. jumali, m., dkk. 2008. landasan pendidikan. surakarta: muhammadiyah university press. mulyadi. 2009. classroom management. malang: uinmalang press. mustafid. 2015. pengaruh smartphone dikalangan pelajar. http://mustafidalianz.blogspot.co.id/ 2015/01/pengaruh-smartphone-dikalanganpelajar.html dibuka tanggal 10 nopember 2016. nugroho, w. 2007. belajar mengatasi hambatan belajar. surabaya: prestasi pustaka. p3ai-its.2007. pembelajaran orang dewasa kreatif dan inovatif. materi pelatihan pekerti. rusdianto. 2010. pengaruh kebersihan kelas terhadap konsentrasi belajar siswa. http://rusdhy14. blogspot.co.id/2012/08/pengaruh-kebersihankelas-terhadap.html dibuka tanggal 10 nopember 2016. slameto. 2010. belajar dan faktor-faktor mempengaruhinya. jakarta: rineka cipta. susanto, h. 2006. meningkatkan konsentrasi siswa melalui optimalisasi modalitas belajar siswa. http://www.bpkpenabur-bdg.sch.id/files/hal.4651%20meningkatkan%20konsentrasi.pdf dibuka tanggal 10 oktober 2016. tonie nase, 2007 dalam primadiana. 2016. analisis kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal pada materi lingkaran. http://annekeprimadiana. blogspot.co.id/ dibuka tanggal 10 nopember 2016. perubahan persepsi remaja setelah diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual tentang faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 maria diah ct, tri cahyo s, wiwin martiningsih poltekkes kemenkes malang, jl. besar ijen 77 c malang e-mail: maria_dityas@yahoo.com abstract wrong perception is one of the risk factors of diabetes mellitus (dm) type 2 will make adolescent to do unhealthy lifestyle that leads to dm disease. increasing knowledge through health education is expected to increase the perception. the purpose of research was to analyze adolescent’s perceptions changing after was given health education using audio visual media about risk factors of type 2 diabetes mellitus. the method in this research was experimental research with quasiexperimental design pretest-posttest. the sample consisted of 128 respondents, 64 respondents in control group and 64 respondents in the experimental group. sampling was done by purposive sampling. the results showed an increasing perceptions average 2.31 in control group. in experimental group increased a perceptions average 3.44. further analysis showed that health education using audio-visual media is more effective in improving perceptions. the conclusion of this research showed that using audio-visual media is more effective to increase the perception. audio-visual media provide a more attractive appearance, so that there is a dynamic movement to attract the attention. the research recommended an increasing in preventive and promotive diabetes type 2 through health education and activities around school (smu). keywords: perception, risk factors for diabetes type 2, health education, audio-visual abstrak: persepsi yang salah mengenai faktor risiko diabetes mellitus (dm) tipe 2 akan mengakibatkan remaja melakukan gaya hidup tidak sehat yang mengarah terjadi penyakit dm. peningkatan pengetahuan melalui pendidikan kesehatan diharapakan bisa meningkatkan persepsi. tujuan penelitian untuk menganalisis perubahan persepsi remaja tentang faktor risiko dm tipe 2 setelah diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual. metode penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain quasi-experimental pretest-posttest. sampel penelitian terdiri dari 128 responden, 64 responden pada kelompok kontrol dan 64 responden pada kelompok perlakuan. pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan rata-rata persepsi 2,31. pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan rata-rata persepsi 3,44. analisis lebih lanjut menunjukkan pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual lebih efektif dalam meningkatkan persepsi. kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan media audio visual lebih efektif untuk meningkatkan persepsi. media audio visual memberikan gambaran yang lebih menarik, terdapat gerak yang dinamis sehingga menarik minat untuk memperhatikan. rekomendasi penelitian ini peningkatan tindakan preventif dan promotif dm tipe 2 melalui pendidikan kesehatan dan kegiatan dalam lingkungan sekolah (smu). kata kunci : persepsi, faktor risiko dm tipe 2, pendidikan kesehatan, audio visual mailto:maria_dityas@yahoo.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p123-128 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ diah, cahyo dan martiningsih, persepsi remaja…132 pendahuluan diabetes mellitus (dm) merupakan penyakit metabolik dimana kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa, lemak dan protein terganggu, berhubungan dengan kurangnya insulin atau resistensi insulin (dunning, 2003). dm merupakan penyakit sistemik kronik dengan karakteristik kurangnya insulin atau penurunan kemampuan tubuh dalam menggunakan insulin. seluruh penderita dm yang paling banyak adalah dm tipe 2, yaitu mencapai 90% 95% dan didiagnosa dm setelah usia 40 tahun (black & hawk, 2005). peningkatan prevalensi penyakit dm ditunjukkan dari hasil riskesdas 2007, dimana terdapat peningkatan angka dari 1,7% di tahun 1985 menjadi 5,7% di tahun 2007. distribusi usia penderita dm di daerah sedang berkembang lebih banyak terjadi pada kelompok usia > 30 tahun (idf). kelompok usia tersebut menunjukkan bahwa penyakit dm banyak terjadi pada usia produktif. dampak fisiologis dan psikologis dari penyakit dm akan membuat penderita di usia tersebut menjadi tidak produktif bahkan bisa menjadi beban keluarga dan lingkungan. saat ini usia remaja dikenal mulai rawan terkena penyakit dm karena melakukan pola hidup tidak sehat. antara lain gaya hidup tidak sehat, mengkonsumsi makanan berlemak seperti junk food dan soft drink. kurang berolahraga, dan kebiasaan merokok juga bisa memicu penyakit diabetes. apalagi, seseorang yang mengkonsumsi makanan berkalori tinggi lebih banyak. perilaku yang dilakukan mulai usia remaja dan dilakukan sampai dengan dewasa memungkinkan remaja terkena penyakit dm. seseorang menunjukkan perilaku sehat dalam hidupnya diawali dari persepsi individu terhadap sesuatu yang akan dilakukan. persepsi merupakan praktik/tindakan tingkat pertama yang diambil dari domain perilaku manusia yang ketiga yaitu psikomotor setelah kognitif dan afektif menurut benyamin bloom (1908) dalam notoadmodjo (2007, hlm.145). adanya persepsi yang salah/negatif dari individu tentang faktor risiko dm tipe 2 akan membuat remaja melakukan gaya hidup yang tidak sehat yang memungkinkan remaja suatu saat akan mengalami dm. idf (2009) memperkirakan pada tahun 2030 terjadi peningkatan jumlah penderita dm dari tahun 2010 yaitu 7 juta menjadi 12 juta orang. peningkatan angka kejadian/jumlah penderita dm dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah banyaknya faktor risiko penyakit dm tipe 2 yang muncul di masyarakat. keyakinan seseorang terhadap suatu penyakit mempengaruhi orang tersebut dalam melakukan perilaku sehat. persepsi yang baik mengenai faktor risiko dm tipe 2 akan membantu masyarakat dalam mengontrol faktor risiko dm yang dapat dirubah. upaya mencegah terjadi peningkatan kejadian dm tiep 2 di tahun 2030 nanti, bisa dilakukan saat ini dengan memberikan pendidikan kesehatan kepada remaja mengenai faktor risiko dm tipe dengan tujuan dapat merubah gaya hidup. pendidikan kesehatan yang diberikan diharapkan dapat meningkatkan persepsi sehingga remaja dapat memiliki perilaku sehat. peningkatan persepsi faktor risiko dm dapat dilakukan dengan penambahan informasi pada masyarakat, salah satunya dengan cara edukasi menggunakan media audio visual. berdasaran uraian tersebut di atas maka perlu diteliti tentang perubahan persepsi remaja setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan media audio visual tentang factor risiko dm tipe. tujuan penelitian tersebut adalah menganalisis peningkatan persepsi remaja tentang faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 setelah diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual. metode penelitian pada penelitian ini menggunakan quasi – experimental design dengan pendekatan non randomized pretest – posttest control group design. siswa kelas x di smun 1 dan smun 2 kota blitar dengan jumlah populasi kira-kira 800 siswa. sampel adalah siswa kelas x di smun i kota blitar. besar sampel pada penelitian ini adalah 128 siswa. sampel dipilih dengan teknik purposive sampling. sampel dibagi menjadi 2 yaitu 64 siswa untuk kelompok kontrol yaitu siswa kelas x smun 2 kota blitar dan 64 siswa untuk kelompok perlakuan yaitu siswa kelas x smun 1 kota blitar. variabel bebas penelitian ini adalah pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah persepsi remaja tentang faktor risiko dm tipe 2. data mengenai persepsi faktor risiko dm sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan 133 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm. 131-138 dari find risk dm type-2. pertanyaan mengenai persepsi terdiri dari 13 pertanyaan menggunakan skala likert. perlakuan yang diberikan adalah pendidikan kesehatan dengan media audio visual pada kelompok perlakuan. sedangkan pada kelompok kontrol dilakukan pendidikan kesehatan menggunakan leaflet. pelaksanaan teknik pendidikan kesehatan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan persepsi. pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada 2 kelompok responden. setiap kelompok beranggotakan 64 responden. setelah ditentukan sampel, maka repsponden dibagi menjadi 2 kelompok. setelah responden menyatakan bersedia kemudian dilakukan pengukuran persepsi faktor risiko dm tipe 2 menggunakan kuesioner untuk mendapatkan data sebelum dilakukan pendidikan kesehatan. kemudian kelompok perlakuan diberikan pendidikan kesehatan tentang factor risiko dm tipe 2 dengan media audio visual. sedangkan pada kelompok kontrol dilakukan pendidikan kesehatan menggunakan leaflet. waktu yang digunakan untuk pendidikan kesehatan 40 menit. pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pengertian, penyebab, faktor risiko dan tanda gejala dm tipe 2. mengukur persepsi faktor risiko dm tipe 2 menggunakan kuesioner sesudah dilakukan pendidikan kesehatan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan satu minggu kemudian. untuk mengidentifikasi perubahan sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan dilakukan analisis bivariat uji t 2 sampel berpasangan. untuk mengetahui perbedaan persepsi kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan analisis bivariat uji t 2 sampel bebas. hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel. hasil penelitian hasil penelitian meliputi karakteristik responden dan perubahan persepsi sebelum dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang faktor risiko dm tipe 2 menggunakan media audio visual. karakteristik responden terdiri dari umur, jenis kelamin, suku, riwayat penyakit orangtua, riwayat gemuk dalam keluarga, pengetahuan tentang dm, pengertian dm, riwayat penyakit dm dalam keluarga, penyebab terjadinya dm tipe 2. tabel 1. distribusi responden berdasarkan umur di smun 1 dan smun 2 kota blitar agustus 2011 varia -bel kelompo k kontrol kelompok perlakuan tota l % (n=64) (n=64) f % f % umur 14 thn 0 0 3 4.7 3 2.3 15 thn 44 68. 8 35 54.7 79 61. 7 16 thn 19 29. 7 26 40.6 45 35. 2 17 thn 1 1.6 0 0 1 0.8 128 100 tabel 2. distribusi responden berdasarkan jenis kelamin di smun 1 dan smun 2 kota blitar agustus 2011 variabel kelompok kontrol kelompo k perlakua n tota l % (n=64) (n=64) f % f % jenis kelamin laki-laki 18 28. 1 27 42. 2 45 35. 2 perempua n 46 71. 9 37 57. 8 83 64. 8 128 100 tabel 3 distribusi responden berdasarkan pengertian diabetes melitus di smun 1 dan smun 2 kota blitar agustus 2011 variabel kelompok kontrol kelompok perlakuan tot al % (n=64) (n=64) f % f % pengertian dm karena kelebihan kadar gula darah 29 45.3 28 43.8 57 44.5 penyakit karena kekurangan 0 0 9 14.1 9 7 insulin penyakit karena kerusakan ginjal 0 0 10 15.6 10 7.8 penyakit keturunan 0 0 5 7.8 5 4 tidak menjawab 35 54.7 12 18.7 47 36.7 128 100 tabel 4 distribusi responden berdasarkan anggapan remaja penyebab diabetes melitus di smun 1 dan smun 2 kota blitar agustus 2011 variabel kelompok kontrol kelompok perlakuan tot al % (n=64) (n=64) f % f % anggapan remaja tentang penyebab dm banyak makan/minum manis 59 92.2 50 78.1 109 85.1 hipertensi 1 1.6 0 0 1 0.8 sering menahan buang air 1 1.6 0 0 1 0.8 keturunan 2 3.1 8 12.5 10 7.8 tidak menjaga kesehatan 1 1.6 3 4.7 4 3.1 kekurang yodium 0 0 1 1.6 1 0.8 kekurangan air 0 0 1 1.6 1 0.8 putih tidak menjawab 0 0 1 1.6 1 0.8 128 100 tabel 4.5 distribusi responden berdasarkan riwayat keluarga menderita diabetes melitus di smun 1 dan smun 2 kota blitar agustus 2011 variabel kelompo k kontrol kelompo k perlakua n tot al % (n=64) (n=64) f % f % riwayat keluarga dm ya 40 62. 5 43 67. 2 83 64. 8 tidak 24 37. 5 19 29. 7 43 33. 6 tidak menjawab 0 0 2 3.1 2 1.6 128 100 tabel 6 perubahan persepsi sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan di smun 2 dan smun 1 kota blitar agustus 2011 variabel kelompok rata-rata sd t p-value persepsi kontrol sebelum 37.53 2.494 -5.778 0.000* sesudah 39.84 3.009 perlakuan sebelum 38.14 3.162 -7.857 0.000* sesudah 41.58 3.090 *bermakna pada α < 0,05 tabel 7 perubahan persepsi sesudah diberikan pendidikan kesehatan pada kelompok kontrol dan perlakuan di smun 1 kota blitar agustus 2011 variabel rata-rata sd t p value persepsi kontrol 39.84 3.009 -3.217 0.002* 135 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm. 131-138 perlakuan 41.57 3.090 *bermakna pada α < 0,05 perubahan persepsi sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan ditunjukkan pada tabel 6, sedangkan perubahan persepsi pada kelompok kontrol dan perlakuan ditunjukkan pada tabel 7. tabel 6 menunjukkan hasil analisis data pada kelompok kontrol menunjukkan rata-rata persepsi sebelum diberikan pendidikan kesehatan adalah 37.53 dengan standar deviasi 2.494, sedangkan setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah 39.84 dengan standar deviasi 3.009. analisis selanjutnya menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan rata-rata persepsi sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang faktor risiko dm tipe 2 pada kelompok kontrol (p value < 0,05). hasil analisis data pada kelompok perlakuan menunjukkan rata-rata persepsi sebelum diberikan pendidikan kesehatan adalah 38.14 dengan standar deviasi 3.162, sedangkan setelah diberikan pendidikan kesehatan adalah 41.58 dengan standar deviasi 3.090. analisis selanjutnya menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan rata-rata persepsi sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang faktor risiko dm tipe 2 pada kelompok perlakuan (p value < 0,05). tabel 7 menunjukkan hasil analisis data pada kelompok kontrol menunjukkan rata-rata persepsi adalah 39.84 dengan standar deviasi 3.009, sedangkan kelompok perlakuan adalah 41.57 dengan standar deviasi 3.090. analisis selanjutnya menunjukkan adanya peningkatan rata-rata persepsi kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual dibandingkan kelompok yang diberikan pendidikan kesehatan menggunakan leaflet (p value < 0,05). pembahasan karateristik responden responden pada penelitian ini terdiri dari siswa kelas x di smun 1 dan smun 2 kota blitar, sehingga umur responden sebagian besar 15 tahun dan 16 tahun. berdasarkan jenis kelamin, pada kelompok kontrol dan perlakuan sebagian besar perempuan khususnya pada kelompok kontrol (71,9%). pengetahuan tentang dm khususnya pengertian dan penyebab, responden pada kelompok kontrol dan perlakuan sebagian besar bisa menjawab dengan benar. pada pertanyaan mengenai pengertian penyakit dm responden kelompok kontrol terdapat 45.3% dan kelompok perlakuan terdapat 43.8% menjawab karena kelebihan kadar gula darah, bahkan terdapat 14,1% dari kelompok perlakuan menjawab pengertian dm adalah penyakit karena kekurangan insulin. data tersebut didukung dengan data penelitian mengenai pertanyaan penyebab penyakit dm, sebagian besar responden pada kelompok kontrol (92.2%) dan pada kelompok perlakuan (78.1%) menjawab penyakit dm disebabkan karena banyak makan/minum manis. jawaban yang benar pada pertanyaan mengenai pengertian dan penyebab penyakit dm bisa disebabkan responden mendapatkan informasi dari pelajaran di sekolah, majalah kesehatan, iklan layanan kesehatan dari media massa maupun elektronik. selain itu bisa didapatkan dari pengalaman yang didapat dari keluarga atau saudara yang menderita dm. karateristik responden berdasarkan riwayat dm pada keluarga, didapatkan sebagian besar responden pada kelompok kontrol (62.5%) dan sebagian besar responden pada kelompok perlakuan (67.2%). hal ini sejalan dengan pendapat notoatmodjo (2003) bahawa salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah pengalaman. pengalaman seseorang dapat diperoleh dari pengalaman yang didapat diri sendiri maupun pengalaman dari orang lain. adanya saudara atau keluarga yang menderita penyakit dm akan membuat remaja mendapat wawasan luas mengenai penyakit dm melalui melihat dan mendengar. perubahan persepsi kelompok kontrol dan perlakuan hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan persepsi antara responden yang diberikan pendidikan kesehatan menggunakan leaflet dan responden yang diberikan pedidikan kesehatan menggunakan media audio visual berupa power point disertai film mengenai terjadi penyakit dm. penggunaan media dalam pendidikan kesehatan sangat dibutuhkan. menurut levin & lentz dalam dermawan, a.c (2008) media pembelajaran memiliki fungsi atensi yang memiliki kekuatan untuk menarik perhatian sasaran, fungsi afektif yaitu mempengaruhi sikap dan emosi, fungsi kognitif yaitu gambar atau simbol-simbol lain mempercepat pencapaian tujuan pendidikan kesehatan dengan mengingat gambar akan mempermudah proses pikir penerima pesan. yang terakhir adalah fungsi kompensatori yaitu sebagai pelengkap dalam pemberian informasi. pendidikan kesehatan tentang faktor risiko dm tipe 2 pada kelompok kontrol dilakukan dengan menggunakan media leaflet yang berisi materi mengenai definisi, penyebab, faktor risiko, tanda gejala dan komplikasi. setelah dilakukan analisis lebih lanjut didapatkan hasil ada perbedaan signifikan terhadap peningkat persepsi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan dengan p = 0.000 (p value < 0,05). hasil tersebut menunjukkan pendidikan kesehatan menggunakan leaflet efektif untuk meningkatkan persepsi seseorang tentang faktor risiko dm tipe 2. pada kelompok kontrol pendidikan kesehatan menggunakan leaflet atau media tulisan dan gambar. menurut ergar dale dalam notoatmodjo (2007) media dalam pendidikan kesehatan menggunakan tulisan menempati urutan kedua pada kerucut teratas, artinya intensitas untuk diterima pesan atau materi pendidikan sedikit. menurut ellis & hartley (1998) menyatakan bahwa penerimaan informasi melalui pendengaran hanya dapat diserap 20% saja. walaupun pada kelompok perlakuan menggunakan leaflet dengan dipadukan teknik ceramah tanya jawab akan memberikan hasil yang baik. pengetahuan meningkat, dengan pengetahuan yang baik maka persepsi responden tentang faktor risiko dm tipe 2 juga akan meningkat. ditinjau dari media yang digunakan dalam penelitian ini penggunaan audio visual lebih efektif dibandingkan menggunakan leaflet. pada kelompok perlakuan diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media audio visual berupa slide power point yang disertai gambar dan film animasi mengenai terjadinya dm dengan durasi 40 menit. menurut dermawan, a.c (2008) media audio visual merupakan media yang dihasilkan melalui proses mekanik dan elektronik dengan menyajikan informasi atau pesan secara audio dan visual. media tersebut memberikan stimulus terhadap pandangan dan pendengaran, menyajikan visual yang dinamis, dirancang, menyampaikan pesan atau topik. penggunaan media audio visual maka penerima pesan akan tertarik dan termotivasi untuk memperhatikan dan mendapatkan stimulus secara audio dan visual dengan adanya gambar yang bergerak secara dinamis. pencapain penerimaan pesan akan lebih banyak, dari kerucut edgar dale (dermawan, a.c, 2008) penggunaan film dalam media pendidikan kesehatan menempati urutan keempat dari kerucut teratas. apabila dibandingkan dengan media leaflet yang berupa tulisan maka intensitas pesan yang diterima lebih banyak media film. disampaikan juga menurut penelitian para ahli, indra yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak adalah mata. kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui mata. sedangkan 13% sampai 25% lainnya tersalurkan melalui indra yang lain. menggunakan media film animasi menjadi lebih menarik, sesuai yang disampaikan notoatmodjo (2003) dan dermawan (2008) media tersebut akan mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami, dan akhirnya mendapatkan pengertian yang baik. orang yang melihat sesuatu yang memang diperlukan maka akan menarik perhatiaanya, dan apa yang diliat dengan penh perhatian akan memberikan pengertian baru bagai rang tersebut dan mendorong untuk melakukan atau memakai sesuatu yang baru tersebut. dengan kata lain dengan melihat film animasi mengenai terjadinya penyakit dm maka remaja akan semakin paham faktor risiko terjadi dm dan persepsi akan meningkat sehingga bisa diharapkan akan merubah gaya hidup yang mengarah menuju faktor risiko dm tipe 2. karakteristik responden yang mendukung terhadap hasil penelitian diatas, adalah 137 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm. 131-138 pengetahuan tentang penyakit dm meliputi pengertian, dan penyebab penyakit dm yang dimiliki sebelum dilakukan pendidikan kesehatan sudah baik. dengan pengetahuan awal yang baik, kemudian diberikan pendidikan kesehatan menggunakan media yang sesuai dan menarik akan membantu mengakkan pengetahuan-pengetahuan yang telah diterima sehingga akan lebih lama tersimpan (notoatmodjo, 2007). brewer, et al dalam saikani (2009) dalam disertasinya mengenai perceived risk for cardiovascular disease and diabetes type 2 among samoans with metabolic syndrome menyampaikan bahwa faktor kognitif merupakan faktor berperan dalam membentuk perilaku antara lain : sikap, persepsi dan pengetahuan. faktor yang lain adalah pengalaman, pada kelompok kontrol dan perlakuan sebagian besar keluarga atau saudara ada yang menderita dm. hal tersebut akan membuat remaja memiliki pengalaman tentang penyakit dm. pengalaman memberikan kontribusi yang cukup terhadap persepsi seseorang. rahmat (2000) dalam marliya, dewi & suyasa (2004) menyampaikan persepsi dibentuk dari penyimpulan informasi dan penafsiran kesan dari pengalaman akan obyek, peristiwa dan hubungan-hubungan yang diperoleh. sehingga dapat disimpulkan persepsi juga dipengaruhi oleh konteks, pengalaman masa lalu dan ingatan. simpulan dan saran pendidikan kesehatan tentang faktor risiko dm tipe 2 dengan media audio visual efektif meningkatkan persepsi remaja yang ditunjukkan terdapat perbedaan peningkatan rata-rata persepsi setelah diberikan pedidikan kesehatan menggunakan media audio visual antara kelompok kontrol (39.84) dan kelompok perlakuan (41.57) dengan p value = 0.002 perlu meningkatkan persepsi remaja melalui pendidikan kesehatan dengan media atau metoda interaktif sehingga bisa lebih menarik minat dan meningkatkan motivasi untuk merubah gaya hidup yang mengarah ke faktor risiko dm tipe baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. lembaga pendidikan atau sekolah menyediakan lingkungan yang mendukung ke arah gaya hidup yang sehat dengan cara memasukkan kegiatan aktifitas fisik dan pola nutrisi yang sehat dalam lingkungan sekolah. mengembangkan tindakan keperawatan dalam pencegahan dm tipe 2 melalui pemberian pendidikan kesehatan dengan berbagai macam sasaran baik individu, kelompok maupun masyarakat dengan menggunakan metode dan media yang sesuai. daftar rujukan arikunto, s. (2002). prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. jakarta: pt. rineka cipta. dempsey, p.a., & dempsey, a.d. (2002). riset keperawatan: buku ajar dan latihan. jakarta: egc. dunning, t. (2003). care of people with diabetes : a manual of nursing. 2 nd ed. malden: blackwell publishing. ignatavicius, d.d., & workman, m.l. (2006). medical surgical nursing. 5 th ed. st. louis, missouri: elsevier saunders lemeshow, s., hosmer, d.w., klar, j., & lwanga, s.k. (1997). besar sampel dalam penelitian kesehatan. yogyakarta. gajah mada university press lemone, p., & burke, k. (2008). medical surgical nursing critical thinking in client care. 4 th ed. canada: pearson education, inc lewis, s.m., heitkemper, m.m.l., dirksen, s.r. (2000). medical surgical nursing: assesment and management of clinical problem. 5 th . ed., st. louis: mosby, inc. notoatmodjo, s. (2003). pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta : pt. rineka cipta notoatmodjo, s. (2007). kesehatan masyarakat ilmu & seni. jakarta : rineka cipta. notoatmodjo, s. (2007). promosi kesehatan & ilmu perilaku. jakarta : rineka cipta persi. (2008). faktor lingkungan dan gaya hidup berperan besar memicu diabetes. http://www.pdpersi.co.id/?show=detailne ws&kode=914&tbl=kesling, diperoleh 16 oktober 2008. potter, p., a., & perry, a., g. (2005). buku ajar fundamental keperawatan : konsep, proses, dan praktik. jakarta : egc http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=914&tbl=kesling,%20diperoleh http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=914&tbl=kesling,%20diperoleh price, s.a., & wilson m.w, (1995). patofisiologi konsep klinik proses-proses penyakit, ed 2. jakarta: egc rudijanto, a.(2010). pencegahan dan penatalaksanaan diabetes mellitus melalui pendekatan komunitas. disampaikan dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar dalamilmu penyakit dalam-endokrin pada fakultas kedokteran universitas brawijaya. malang setiawati, s & dermawan, a.c. (2008). proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan. jakarta: trans info medika siaki, l.a.c.l.g. (2009). perceived risk for cardiovascular disease and diabetes type 2 among samoans with metabolic syndrome silbernagl, s., & lang, f. (2007). teks & atlas berwarna patofisiologi. jakarta: egc smeltzer, s.c., bare, b.g., hinkle, jl., cheever, k.h. (2008). brunner & suddarth”s: textbook of medical-surgical nursing. 11 th ed. philadelphia: lippincott williams &wilkins. soegondo, s., soewondo, p., subekti, i. (2009). penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. jakarta: balai penerbit fkui. soegondo, s., soewondo, p., subekti, i., oemardi, m., semiardji, g. & soebardi, s. (2002). petunjuk praktis pengelolaan diabetes melitus tipe 2. jakarta : pb perkeni. soegondo, s., rudianto, a., manaf, a., subekti, i., pranoto, a., arsana, p.m., et al. (2006). konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2006. jakarta : pb perkeni. sudoyo, a.w., setiyohadi, b., alwi, i., simadibrata, m., setiati, s. (2006). buku ajar ilmu penyakit dalam. jakarta: pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fkui. suliha, u., herawani, sumiati, & resnayati, y. (2002). pendidikan kesehatan dalam keperawatan. jakarta : egc 192 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 192–195 192 hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan di puskesmas adan-adan kabupaten kediri tahun 2017 (the correlation of health workers’ performance and the public satisfaction of puskesmas adan – adan’s public health service in kabupaten kediri in 2017) romaji akademi kebidanan medika wiyata kediri email: ijamor@yahoo.com abstract:the public who need the health service also expect a good, quick, friendly and polite service. it is the manifestation of the health officers’ performance which would be judged by the public. a good performance will satisfy the public. the objective of this research was to know the correlation of the health officers’ performance and the public satisfaction of puskesmas adan-adan’s health service in kediri regency 2017.the design of this research was correlational analytics with cross sectional approach. the population was all puskesmas adan-adan’s service users and 100 respondents were taken as samples by quota sampling technique. the independent variable was the health officers’ performance and the dependent variable was the public’s satisfaction of the health service, and all data was analyzed with spearman correlation test.the research showed that 76 respondents (76%) had a good perception of the health officers’ performance, 55 respondents (55.6%) of totally 100 respondents felt very satisfied of the health service, and there was a relation between the health officers’ performance and the public’s satisfaction of the health service (p value = 0.000 < 0.05 h0 was rejected). the relation level was strong and positive (correlation coefficient = 0.717), it means the better the health officers’ performance is, the more satisfied of the health service the public will be and vice versa.because with good health officers’ performance the expectation of good service will have been fulfilled.the conclusion was the health officers’ performance would become the most dominant factor to manifest the public’s satisfaction of the health service. the health officers were recommended to maintain their performances of health service in order to achieve the public’s satisfaction keywords: the health officers’ performance, the public’s satisfaction. abstrak: masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan juga memiliki harapan pelayanan yang baik, cepat, ramah, sopan. hal ini merupakan wujud kinerja petugas pelayanan yang akan dinilai oleh pelanggannya. jika kinerja baik maka pelanggan akan terpuaskan. tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan di puskesmas adan-adan kabupaten kediri tahun 2017. desain penelitian analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. populasi semua pengguna layanan puskesmas di puskesmas adan-adan kabupaten kediri dengan sampel 100 responden diambil dengan teknik kuota sampling. variabel bebas kinerja petugas kesehatan dan terikatnya kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan di analisis dengan uji korelasi dari spearman. dari hasil penelitian diketahui hampir seluruh responden memiliki persepsi kinerja petugas dengan kategori baik yaitu 76 responden (76%), sebagian besar responden sangat puas terhadap pelayanan kesehatan yaitu 55 responden (55,6%) dari total 100 responden dan ada hubungan kinerja petugas dengan kepuasan dalam pelayanan kesehatan (p value = 0,000 < 0,05 ho ditolak). tingkat hubungan cukup kuat dan positif (correlation coefficient = 0,717) artinya semakin baik persepsi tentang kinerja petugas kesehatan hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p192-195 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 193romaji, hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat... kinerja pelayanan publik salah satu tuntutan yang harus dipenuhi adalah kepuasan palanggan yang dilayaninya. termasuk puskesmas yang merupakan unit pelayanan publik juga harus mampu memberikan kepuasan kepada masyarakatnya. kepuasan menurut oliver sebagaimana dikutip sari (2008) adalah tingkat perasaan seseorang (masyarakat) setelah membandingkan antara kinerja atau hasil yang dirasakan (pelayanan yang diterima dan dirasakan) dengan yang diharapkan. secara teknis petugas kesehatan sebagai pemberi pelayanan kesehatan harus menunjukkan kinerja terbaiknya, tidak hanya pelayanan yang bersifat menyeluruh tetapi juga mencakup pelayanan yang bersifat individual untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan kepuasan bagi masyarakat selaku pengguna jasa kesehatan (andriani, 2017). berdasarkan penelitian menunjukkan proporsi tingkat kepuasan masyarakat di puskesmas adanadan kabupaten kediri pada survei awal sebesar 27,5%. berdasarkan hasil penilaian kepuasan oleh dinas kesehatan kabupaten kediri akhir 2016 diketahui nilai kepuasan sebesar 76%. hal ini berarti bahwa kepuasan masyarakat temasuk sudah tinggi (62,51–81,25) tetapi masih belum maksimal (81,26100). masih belum maksimalnya kepuasan pengguna layanan kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu gagal dalam berkomunikasi, krisis waktu, kualitas produk atau jasa, mutu pelayanan, harga dan biaya. banyak faktor penyebab ketidakpuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan, salah satunya mutu pelayanan kesehatan yang kurang maksimal (andriani, 2017). salah satu penyebab tidak terpenuhinya harapan masyarakat adalah kinerja karyawan yang buruk. masyarakat tidak menyampaikan apa yang menjadi keinginan dan harapannya, sehingga penyedia layanan tidak memenuhi apa yang menjadi harapannya. ketidakpuasan masyarakat dapat juga disebabkan oleh mutu pelayanan yang kurang baik (andriani, 2017). dampak dari ketidakpuasan masyarakat adalah masyarakat akan menyebarkan berita negatif kepada masyarakat yang lain. hal ini akan menurunkan citra puskesmas sehingga bisa menurunkan keberhasilan dalam upaya pencapaian program puskesmas. mengingat permasalahan di atas maka untuk meningkatkan kepuasan pelayanan menurut pohan, s. imbolo dikutip andriani (2017) dalam memberikan pelayanan kesehatan supaya terjadi kepuasan masyarakat diperlukan pelayanan yang bermutu. layanan yang bermutu adalah layanan kesehatan yang selalu berupaya memenuhi harapan masyarakat, sehingga masyarakat selalu merasa berhutang budi serta sangat berterimakasih. berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan merumuskan dalam judul : “hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan di puskesmas adan-adan kabupaten kediri tahun 2017” bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. penelitian di laksanakan di puskesmas adan-adan kabupaten kediri. subyek penelitian ini sebanyak 100 responden. subyek penelitian ini menggunakan kuota sampling. variabel bebasnya adalah kinerja petugas kesehatan, dan variabel terikatnya adalah tingkat kepuasan pengguna layanan puskesmas, analisa data menggunakan uji korelasi spearman test. hasil penelitian hasil penelitian meliputi karakteristik ibu nifas dan data khusus penelitian. maka semakin puas masyarakat dalam pelayanan kesehatan dan sebaliknya. hal ini disebabkan dengan adanya penampilan kinerja petugas yang baik maka harapannya untuk mendapatkan pelayanan yang baik sudah terpenuhi. disimpulkan bahwa kinerja petugas kesehatan menajdi faktor dominan untuk terwujudnya kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan. disarankan agar petugas kesehatan tetap mempertahankan kinerjanya dalam pelayanan kesehatan demi tercapainya kepuasan pelanggan kata kunci: kinerja petugas kesehatan, kepuasan masyarakat. no. kecemasan f % 1. baik 76 76 2. sangat baik 24 24 total 100 100 tabel 1 identifikasikinerja petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 192–195 penuh keadilan. untuk masalah biaya menurut masyarakat juga masih sangat wajar atau tidak ada kesan terlalu mahal. waktu pelayanan sudah rutin dan dapat dipastikan bahwa jam-jam tertentu selalu ada petugas yang melayani. tempat pelayanan saat ini jauh lebnih baik karena hampir semua fasilitas balai puskesmas sudah diperbaiki. demikian juga dengan masalah keamanan, secara umum juga aman. identifikasi kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden merasa sangat puas terhadap pelayanan kesehatan yaitu sebanyak 55 responden (55,6%) dari total 100 responden. didapatkannya sebagian besar responden sangat puas terhadap pelayanan kesehatan disebabkan hampir semua harapan pelamggan sudah dapat terpenuhi. harapan untuk mendapatkan pelayanan yang mudah, sudah didapatkan pelanggan karena petugas dalam memberikan pelayanan memang terkesan tidak mempersulit masyarakat, dan jika ada persyaratan yang kurang maka dicarikan solusi termudah agar masyarakat tetap dapat mengurus kesehatan. harapan masyarakat untuk mendapatkan kejelasan dalam pelayanan kesehatan, juga sudah terwujud karena untuk mengurus kesehatan juga sudah disampaikan persyaratan yang harus dipenuhi dengan jelas dan secara umum masyarakat sudah dapat memenuhi persyaratan yang diminta. petugas juga sudah melayani dengan penuh kejelasan mengenai prosedur pelayanan yang dilakukan dan tidak ada kesan mengada-ada. harapan masyarakat agar mendapatkan pelayanan sewaktu-waktu dengan adanya kedisiplinan petugas juga sudah terpenuhi. halini karena pada saat ini petugas juga sudah terlihat ada peningkatan kedisiplinan kerja apalagi sekretaris puskesmas sudah harus finger print jam 7 pagi, sehingga terkesan pelayanan di balai puskesmas lebih disiplin. masalah kedisiplinan petugas ini memang sangat diharapkan oleh masyarakat karena akan menunjang pengurusan kesehatan pada tahap selanjutnya. harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dengan penuh tanggungjawab dari petugas juga sudah terpenuhi. hal ini dapat dilihat pada saat ini petugas juga terkesan memiliki tanggungjawab yang sangat baik dalam pelayanan kesehatan, didukung dengan kemampuannya yang sudah memadai, pembahasan identifikasi kinerja petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan berdasarkan hasil analisis pada tabel 1 dapat dilihat hampir seluruh responden memiliki persepsi tentang kinerja petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan dengan kategori baik yaitu sebanyak 76 responden (76%) dari total 100 responden. hampir seluruh responden memiliki persepsi tentang kinerja petugas kesehatan dengan kategori baik, disebabkan petugas dalam memberikan pelayanan memang terkesan tidak mempersulit masyarakat, jika ada persyaratan yang kurang maka dicarikan solusi termudah agar tetap dapat mengurus kesehatan. masalah persyaratan mengurus kesehatan juga sudah disampaikan dengan jelas dan secara umum sudah dapat memenuhi persyaratan yang diminta. petugas juga sudah melayani dengan penuh kejelasan prosedur dan tidak ada kesan mengada-ada. pada saat ini petugas juga sudah terlihat ada peningkatan kedisiplinan kerja apalagi sekretaris puskesmas sudah harus finger print jam 7 pagi, sehingga terkesan pelayanan di balai puskesmas lebih disiplin. selain itu petugas juga terkesan memiliki tanggungjawab yang sangat baik dalam pelayanan kesehatan, di dukung kemampuannya yang sudah memadai, serta cepat karena ditunjang dengan sarana yang semakin baik. yang tidak kalah pentingnya adalah petugas memberikan pelayanan yang sama kepada setiap orang yang datang tanpa pilih kasih atau memberikan pelayanan dengan tabel 2 identifikasi kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan no. kecemasan f % 1. puas 44 44 2. sangat puas 56 56 total 100 100 correlat ions 1.000 .717** . .000 100 100 .717** 1.000 .000 . 100 100 correlation coefficient sig. (2-tailed) n correlation coefficient sig. (2-tailed) n persepsi skor _puas spearman's rho persepsi skor_puas correlation is significant at the 0.01 level ( 2-tailed).**. tabel 3 analisishubungan kinerja petugas kesehatan dengan k epuasan m asyar ak at dalam pelayanan kesehatan 195romaji, hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat... serta cepat karena ditunjang dengan sarana dan prasarana yang semakin baik. hal ini sangat diharapkan oleh setiap pelanggan atau masyarakat yang sedang mengurus kesehatan. yang tidak kalah pentingnya adalah harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang adil, hal ini juga sudah terpenuhi. pada saat ini petugas juga sudah memberikan pelayanan yang sama kepada setiap orang yang datang tanpa pilih kasih atau memberikan pelayanan dengan penuh keadilan. siapa yang datang lebih dahulu juga dilayani terlebih dahulu. apapaun alasanya meskipun saudara atau pejabat apapun yang sedang mengurus juga harus mengikuti antrian untuk mendapatkan pelayanan. harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan biaya murah juga sudah terpenuhi. hal ini karena untuk masalah biaya menurut masyarakat juga sudah sangat wajar atau tidak ada kesan terlalu mahal. dalam arti masyarakat tidak merasa keberatan dengan biaya. harapan lainnya mengenai pelayanan kesehatan juga sudah terpenuhi. harapan mengenai waktu pelayanan, waktu pelayanan juga sudah rutin dan dapat dipastikan bahwa jam-jam tertentu selalu ada petugas yang melayani. demikian juga dengan harapan tempat pelayanan yang baik, pada saat ini tempat pelayanan jauh lebnih baik karena hampir semua fasilitas balai puskesmas sudah diperbaiki. demikian juga dengan masalah keamanan, secara umum juga aman. hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan berdasarkan hasil analisis tabel 3 diketahui ada hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan di puskesmas adan-adan kabupaten kediri tahun 2017 (p value = 0,000 < 0,05 ho ditolak). tingkat hubungan termasuk kategori cukup kuat dan positif (correlation coefficient = 0,717), artinya semakin baik persepsi tentang kinerja petugas kesehatan maka semakin puas masyarakat dalam pelayanan kesehatan dan sebaliknya. adanya hubungan kinerja petugas kesehatan dengan kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan disebabkan dengan kinerja yang baik maka hal ini sesuai dengan harapan pelanggan atau masyarakat. siapapun jika diperlakukan dengan baik akan merasa senang, merasa dihormati, merasa dipuaskan. tampilan kinerja yang ramah, sopan, murah senyum, sabar, cepat tanggap, berempati, penuh tanggungjawab, adil, dan berbagai macam tampilan kinerja yang baik akan memberikan kesan bahwa pelanggan benar-benar dimanjakan. pelanggan merasa benar-benar dibantu dalam urusannya yang ingin serba cepat, mudah, lancar, praktis serta ekonomis. hal ini benar-benar terlihat dari hasil analisis bahwa paling banyak persepsi tentang kinerja petugas kesehatan dengan kategori baik dengan kepuasan masyarakat dalam pelayanan kesehatan termasuk puas. hasil ini membuktikan teori yang sudah ada yang menyebutkan bahwa kepuasan merupakan wujud pelanggan setelah membandingkan antara harapan atau keinginannya dengan kenyataan yang didapatkan setelah pelayanan diterima. harapan untuk mendapatkan pelayanan yang baik atau kinerja petugas yang baik terpenuhi maka masyarakat merasa mendapatkan apa yang diharapkan. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) persepsi tentang kinerja petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan76 responden (76%) dalam kategori baik(2) kepuaan responden dalam menerima pelayanan 55 responden (55,6%) dalam kategori sangat puas (3) dari hasil analisi data didapatkan adanya hubungan dengan hasil (p value = 0,000 < 0,05 ho ditolak) dengan tingkat hubungan termasuk kategori cukup kuat dan positif (correlation coefficient = 0,717) sehingga semakin baik persepsi tentang kinerja petugas kesehatan maka semakin puas masyarakat dalam pelayanan kesehatan dan sebaliknya. saran bagi tempat penelitian diharapkan diharapkan agar peneliti melakukan kajian lebih mendalam terhadap kepuasan pelanggan dengan tetap memperhatikan berbagai variabel lain seperti lokasi, kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan, keramaham petugas, waktu buka pelayanan. daftar rujukan andriani, aida. 2017. hubungan mutu pelayanan kesehatan dengan kepuasan pasien diruangan poli umum puskesmas bukittinggi. sumatera barat: program studi diii keperawatan stikes yarsi sumbar bukit tinggi. sari. 2008. manajemen pemasaran usaha kesehatan. yogyakarta: mitra cendekia press. nurul aini fakultas ilmu kesehatan universitas muhamadiyah malang e-mail: nurulaini_56@yahoo.co.id abstract abstract: adolescence is the age of the solid changes. at this time of great confusion adolescents experience in reaching his true identity. this period was characterized by growth, change, the emergence of a variety of occasions, and often face reproductive health risks. sexual activity places adolescents at risk of challenges to various reproductive health problems. one part of the youth are a group of teenagers who are in a community of street children. the hard life on the streets with the unfavorable situation in which street children have to survive, forcing them to become adults before their time. although they are socially categorized as a child, but almost all of them to adopt forms of behavior as a sign of rebellion against the maturity of some of the expectations that have been defined and determined by the local community. by adopting the mature form of behavior, they do not deserve the actions that should be done to children their age, which includes pre-marital sex (free sex), sexually transmitted diseases (stds), use of drugs, homosexuality, and violence sexual. easily they can acquire knowledge about sex influence attitudes toward sexual behavior of street children (nurharjadmo, 1999). the low awareness and lack of knowledge of street children is likely to be one cause. necessary handling and kepeduliaan of all parties to help alleviate them from such circumstances. development of street children, especially in reproductive health issues for this still largely done by volunteers who are not health perpendidikan. thus the involvement of the nursing profession as nursing care providers considered very important. this is consistent with the role of the nurse as educator, facilitator, coordinator, health reformers and observers (the national workshop on nursing 1983). this study aims to analyze the influence of coaching to nursing approach to the theory of "system model behavior" of the quality of reproductive health behavior of female street children. research using experimental designs with predraft "pre and post test design. the population in this study were all female street children in malang with a sample of respondents who take part in reproductive health coaching. data is collected with the questionnaire enclosed. the results of the research done in getting the data that the quality of reproductive health behavior of female street children before treatment is given the majority (80%) have good manners, the remainder (20%), including less well with the average value of 17.76. whereas after given treatment to be better with an average increase in value to 20.68. the details are as many as 76% in both categories and 24% is very good. wilcoxon match pair test results to explain the value asymp.sig test (2-tailed) or pvalue <α, namely (0.000 <0.05), so it can be concluded that the act of coaching to upaya peningkatan mutu perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan di kota malang melalui pendekatan teori keperawatan johnson behavior sistem model (efforts to improve the quality of reproductive health behavior of female street children with the theoretical approach johnson behavior model systems in malang) acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p075-080 acer typewritten text 74 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ aini, upaya peningkatan mutu perilaku kesehatatan…75 nursing approach to the theory of johnson behavior model system can increase the mean average quality of reproductive health behavior of female street children in malang. keyword: usia remaja merupakan usia yang padat perubahan. pada masa ini remaja mengalami kebingungan besar dalam menggapai jati dirinya. masa ini diwarnai oleh pertumbuhan, perubahan, munculnya berbagai kesempatan, dan seringkali menghadapi resiko-resiko kesehatan reproduksi. kegiatan seksual menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. setiap tahun diperkirakan di seluruh dunia terdapat 4 juta remaja melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi penyakit menular seksual (pms) yang dapat disembuhkan. perkiraan terakhir adalah setiap hari ada 7.000 remaja terinfeksi hiv. resiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, misalnya tuntutan untuk kawin muda dan hubungan seksual, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, ketidaksetaraan jender, kekerasan seksual dan pengaruh media massa maupun gaya hidup yang popular (jurnal outlook, 2008). salah satu bagian dari remaja adalah kelompok remaja yang berada dalam komunitas anak jalanan. mereka memiliki karakteristik sosial yang berbeda antara satu dengan lainnya, tergantung usia, jenis kelamin, pendidikan, hubungan dengan orang tua, aktivitas, lingkungan dan penghasilan (depsos ri, 1999). kehidupan yang keras dijalanan dengan situasi yang kurang kondusif dimana anak jalanan harus bertahan hidup, memaksa mereka menjadi dewasa sebelum waktunya. meskipun secara sosial mereka dikategorikan sebagai anak, namun hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk perilaku kedewasaan sebagai tanda pemberontakan terhadap beberapa harapan yang telah ditetapkan serta ditentukan oleh masyarakat sekitar. dengan mengadopsi bentuk perilaku kedewasaan, mereka melakukan tindakan yang seharusnya belum pantas dilakukan pada anak-anak seusia mereka, yang meliputi hubungan seksual pra nikah (free sex), terkena penyakit menular seksual (pms), pemakaian obat-obat terlarang, homoseksual, dan kekerasan seksual. di antara anak jalanan ada yang melakukan hubungan seksual dengan sesama anak jalanan, menjadi pekerja seks komersial (psk), atau menjadi korban sodomi anak jalanan lain yang lebih besar atau lebih berkuasa. keadaan demikian dapat mengkondisikan pengertian anak-anak jalanan yang lain bahwa perilaku tersebut bebas dilakukan dan tidak perlu ada aturanaturan tertentu. apalagi tindakan-tindakan tersebut tidak ada sanksi atau hukuman baik dari lingkungan mereka sendiri maupun dari 76 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.74 – 83 luar lingkungannya. sesuatu perbuatan yang dilakukan tanpa mendapat sanksi dapat ditafsirkan bahwa sesuatu tersebut benar atau baik atau bahkan dianggap boleh dilakukan bagi sebagian orang. (anonymus. 2003. ) pendidikan seksual dan resiko kesehatan reproduksi sudah saatnya diberikan kepada kalangan remaja tersebut. sebab selama ini anak jalanan memperoleh pengetahuan seksnya dari teman sebaya, atau anak jalanan yang lebih tua, baik dari membaca buku porno, atau pun menonton film/ vcd porno. mudahnya mereka memperoleh pengetahuan mengenai seks mempengaruhi sikap anak jalanan terhadap perilaku seksual (nurharjadmo, 1999). hasil penelitian (tjahyorini, 2004) menunjukkan permasalahan anak jalanan dominan disebabkan oleh kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga (98 %), disamping juga disebabkan adanya ketidakserasian keluarga (33 %) dan kekerasan dalam keluarga (23 kehadiran anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan kota besar. semakin cepat perkembangan sebuah kota semakin besar jumlah anak jalanan. di kota malang hingga kini telah tercatat jumlah anak jalanan dengan angka mencapai kisaran 600 orang, dengan proporsi sebagian besar adalah usia remaja. mereka tersebar di seluruh wilayah kota malang. sebagian diantara mereka ada yang berada dibawah naungan lembaga-lembaga perlindungan anak jalanan, rumah singgah, maupun hidup bebas di jalanan tanpa terikat dengan lembaga manapun. masalah kesehatan reproduksi menjadi masalah yang paling menonjol saat ini. sebuah kegiatan bakti sosial berupa pemeriksaan kesehatan yang diadakan oleh jaringan kemanusiaan jawa timur pada awal tahun 2010 telah menjadi bukti yang tak terbantahkan. dari 150 anak jalanan yang mengikuti tes kesehatan seluruhnya terdeteksi menderita infeksi pms , 12 orang diantaranya terindikasi hiv positif. rendahnya kesadaran serta kurangnya pengetahuan anak jalanan kemungkinan menjadi salah satu penyebabnya. selain itu lemahnya motivasi telah menyebabkan sikap anak jalanan terhadap resiko reproduksi yang negatif . hasil wawancara dengan mereka, menunjukkan bahwa rata-rata anak jalanan pasrah begitu saja dengan kondisinya. mereka menyatakan bahwa keadaan sebagai anak jalanan menyebabkan mereka merasa wajar tentang penyakit yang dideritanya. hal tersebut sangat memprihatinkan. perlu penanganan dan kepeduliaan dari semua pihak untuk membantu mengentaskan mereka dari keadaan yang demikian. (sumber informasi diungkapkan oleh tedja bawana selaku ketua lembaga perlindungan anak kota malang). dorothy e. johnson melalui teorinya “behavior sistem model “meyakini bahwa asuhan keperawatan dilakukan untuk membantu individu memfasilitasi tingkah laku yang efektif dan efisien untuk mencegah aini, upaya peningkatan mutu perilaku kesehatatan…77 timbulnya penyakit. pembinaan terhadap anak jalanan khususnya dalam masalah kesehatan reproduksi selama ini sebagian besar masih dilakukan oleh tenaga relawan yang bukan perpendidikan kesehatan. sehingga keterlibatan profesi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dinilai sangat penting. hal ini sesuai dengan peran perawat sebagai edukator, fasilitator, koordinator, pembaharu serta pengamat kesehatan (lokakarya nasional keperawatan 1983). perawat dapat melakukan berbagai tindakan keperawatan guna membantu mengubah perilaku serta menggugah kesadaran mereka khususnya terhadap resiko kesehatan reproduksi remaja. maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul upaya peningkatan mutu perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan melalui pendekatan teori keperawatan johnson behavior sistem model di kota malang tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pembinaan dengan pendekatan teori keperawatan “behavior system model” terhadap mutu perilaku kesehatan reproduksi remaja jalanan perempuan bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimental dengan rancangan “pre dan post test design. subyek penelitian ini sebanyak 25 orang yang mengikuti kegiatan pembinaan kesehatan reproduksi di kota malang. variabel independen dalam penelitian ini adalah pembinaan dengan pendekatan teori keperawatan ”behavior sistem model”, sedangkan variabel dependen adalah mutu perilaku kesehatan reproduksi remaja jalanan perempuan. instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah quesioner informasi perilaku kesehatan reproduksi. quesioner diberikan 2 kali sebelum dan sesudah pembinaan dilakukan. responden diberikan quesioner tentang perilaku kesehatan reproduksi. hasil wawancara yang dilakukan sebelum pemberian perlakuan (o1) disebut pre-test, dan hasil wawancara sesudah pembinaan (o2) disebut post-test. penelitian dilakukan pada pada saat yang berurutan, awal pertemuan (pre test), kemudian diberikan pembinaan dan berikutnya akhir pertemuan (post test). untuk mengevaluasi perilaku digunakan modul kesehatan reproduksi yang sudah disosialisasikan oleh bkkbn. analisis data menggunakan statistik analitik non parametrik uji komparasi antara 2 kelompok sampel dependen yaitu : wilcoxon match pair test. 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.74 – 83 hasil penelitian dari hasil penelitian yang di lakukan peneliti di dapatkan data bahwa mutu perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan sebelum diberikan perlakuan tergolong baik. hal ini terbukti bahwa sebagian besar (80%) memiliki perilaku yang baik, sisanya (20%) termasuk kurang baik dengan nilai rata-rata 17,76 . sedangkan mutu perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan setelah diberikan perlakuan menjadi lebih baik dengan peningkatan nilai rata-rata menjadi 20,68. dengan rincian sebanyak 19 orang (76%) dalam kategori baik dan 6 orang (24%) kategori sangat baik. dari total responden (25 orang), terdapat 17 responden mengalami perubahan hasil antara pre-test dan post-test dengan kenaikan nilai (skor) bervariasi. sedangkan sisanya (8 responden) tidak mengalami perubahan nilai (skor) meskipun kategori perilaku mereka tergolong baik. jika digambarkan dalam bentuk kurva, maka akan tampak adanya pergeseran kurva seperti terlihat dibawah ini: gambar : kurva perbedaan mutu perilaku kesehatan reproduksi jalanan perempuan di kota sebelum dan sesudah diberikan perlakuan dengan menggunakan bantuan tabel contingency wilcoxon, didapatkan hasil uji wilcoxon match pair test sebagai berikut : descriptive stati stics 25 17.7600 2.91947 11.00 22.00 25 20.6800 2.51197 17.00 26.00 pret est postest n mean std. dev iat ion minimum maximum pada tabel descriptive statistics output spss, dapat dijelaskan bahwa dari 25 orang anak jalanan perempuan yang diamati sebelum diberikan perlakuan rata-rata memiliki nilai 17,76 sedangkan setelah diberikan perlakuan rata-rata nilai sikap meningkat menjadi 20,68. berdasarkan hasil descriptive statistics tersebut dapat aini, upaya peningkatan mutu perilaku kesehatatan…79 dikatakan bahwa tindakan pembinaan melalui pendekatan teori keperawatan johnson behavior sistem model dapat meningkatkan nilai rata-rata mutu perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan di kota malang . wilcoxon signed ranks test ranks 0a .00 .00 17b 9.00 153.00 8c 25 negativ e ranks positiv e ranks ties total postest pret est n mean rank sum of ranks postest < pretesta. postest > pretestb. postest = pretestc. pada tabel peringkat (ranks) output spss, dapat dijelaskan bahwa dari 25 orang responden, tidak terdapat responden yang memiliki nilai mutu perilaku kesehatan reproduksi sesudah diberikan perlakuan dengan nilai menjadi lebih jelek (berkurang) dibandingkan sebelumnya. terdapat 17 responden memiliki nilai yang meningkat sesudah diberikan perlakuan, dan sisanya sebanyak 8 responden memiliki nilai yang sama baik sebelum maupun sesudah perlakuan. test statisticsb -3.635a .000 z asy mp. sig. (2-tailed) postest pretest based on negat iv e ranks.a. wilcoxon signed ranks testb. dari pengujian tersebut, didapatkan nilai asymp.sig (2-tailed) atau p-value < α yaitu (0,000 < 0,05), sehingga keputusan yang diambil adalah tolak h0 yang berarti bahwa ada peningkatan mutu perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan di kota malang sebelum dan sesudah dilakukan penelitian. pembahasan adanya peningkatan mutu perilaku kesehatan reproduksi responden sebelum dan sesudah diberikan pembinaan disebabkan oleh pengetahuan mereka yang bertambah selama mengikuti kegiatan pelatihan pembinaan. informasi yang dikemas dalam bentuk pelatihan dapat diikuti dengan baik oleh responden. hal ini dapat disebabkan karena jenis materi yang baru dan menarik serta sesuai dengan kebutuhan mereka saat ini. penyajian materi dengan metode pembelajaran yang bervariasi membuat mereka merasa nyaman 80 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.74 – 83 dan tetap bersemangat dalam mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai. faktor lain yang mendukung adalah usia responden tergolong remaja serta tingkat pendidikan yang sebagian besar dalam taraf menempuh pendidikan tingkat menengah sangat memungkinkan menjadikan mereka mudah menerima informasi yang diberikan. hasil penelitian ini juga tergambar dalam kurva yang bergeser ke kanan (seperti pada gambar 6.3), yang berarti bahwa perlakuan berupa pembinaan dengan pendekatan teori keperawatan “behavior system model” memberikan dampak perubahan positif. hal ini membuktikan bahwa materi dan strategi yang diberikan pada saat pembinaan sesuai dengan sasaran. meskipun menunjukkan peningkatan nilai perilaku pada akhir penelitian, namun masih terdapat 8 responden yang memiliki nilai yang sama antara pretest dan posttest (seperti yang tertera dalam tabel 6.1 dan tabel wilcoxon sign rank test). hal tersebut sangat wajar terjadi, salah satunya seperti disebutkan diatas, bahwa peneliti tidak mengendalikan secara khusus terhadap faktor budaya, adat dan pengalaman. anak jalanan yang terbiasa hidup bebas, tidak selalu dapat berfikir panjang dengan penuh konsentrasi. saat kegiatan pembinaan berlangsung, melalui wawancara mendalam didapatkan data bahwa mereka membutuhkan pelajaran tentang ilmu kesehatan, tetapi mereka tidak bisa terlalu lama dalam posisi dan keadaan yang formal. meskipun kegiatan penelitian telah disesuaikan dengan situasi dan karakter mereka, ternyata masih menjadi keluhan dan hambatan bagi anak jalanan. sehingga dalam menjawab pertanyaan dalam kuesioner, beberapa responden kurang dapat berkonsentrasi dengan baik. menurut notoatmodjo (2003), pendidikan dan pelatihan merupakan upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. sedangkan pelatihan merupakan bagian dari proses pendidikan, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang atau sekelompok orang. dalam penelitian ini, kegiatan pembinaan dimaksudkan untuk membantu merubah perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan dengan harapan jika perilakunya baik, maka responden memiliki kemampuan untuk menghindari perilaku kesehatan reproduksi yang berisiko. hasil penelitian wijayanti rr (2005) tentang perubahan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi anak jalanan di jawa tengah membuktikan bahwa anak jalanan yang mendapatkan pendampingan dalam proses belajar kesehatan reproduksi memiliki pengetahuan dan sikap lebih baik dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan pendampingan. begitu pula dengan penelitian oleh hasanah aini, upaya peningkatan mutu perilaku kesehatatan…81 lina (2004) yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara pengetahuan dan sikap remaja (santri di pondok pesantren) yang telah mendapatkan program kesehatan reproduksi remaja (krr) dengan yang belum pernah mendapatkan. dengan demikian penelitian ini juga sekaligus mendukung kebenaran teori keperawatan model sistem tingkah laku yang dikemukakan oleh dorothy e. johnson bahwa manusia sebagai system tingkah laku yang terdiri dari beberapa subsistem (the echievment, attachment, aggressive protective, dependency, ingestive, eliminative, dan sexual ) saling berhubungan satu sama lain, berfungsi membantu system perilaku, dimana pemberian pengetahuan dan motivasi pada individu dapat memberi pengaruh pada kecenderungan individu dalam menentukan pilihan-pilihan dan menghasilkan suatu perbuatan. johnson juga menegaskan bahwa keperawatan adalah sebuah pengatur eksternal yang memiliki peran untuk mengembalikan keseimbangan dan kestabilan dengan menghambat, merangsang atau memperkuat perilaku-perilaku tertentu (control mechanism). dalam hal ini johnson lebih menekankan pentingnya pendekatan melalui health promotion bagi kinerja seorang perawat dalam upaya merubah sikap dan perilaku klien. simpulan dan saran simpulan ada peningkatan mutu perilaku kesehatan reproduksi anak jalanan perempuan setelah diberikan tindakan keperawatan dengan menggunakan pendekatan teori johnson behavior sistem model di kota malang saran bagi imu keperawatan, diharapkan menjadi bahan evaluasi dalam menentukan sasaran pemberian pendidikan kesehatan tentang kesehatan reproduksi dengan melibatkan anak jalanan sebagai prioritas penting khususnya pada program keperawatan maternitas. bagi masyarakat, masyarakat tidak perlu apriori terhadap keberadaan anak jalanan, mengingat mereka pun sama dengan anak remaja pada umumnya, masyarakat hendaknya bersikap baik dan membantu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi anak jalanan. bagi pemerintah, pemerintah daerah hendaknya berusaha melakukan kerjasama lintas sektoral guna mengatasi masalah kesehatan khususnya pada kelompok anak jalanan. bagi peneliti selanjutnya, diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk menyempurnakan dengan melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan instrumen dan waktu yang lebih memadai. 82 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.74 – 83 daftar rujukan alligood, tomey. 2006. nursing theorist and their work. sixth edition. publish by mosby elsever, westline industrial drive st. louis missouri. anonymus, 2001, children on jakarta street is childhope research no 3. manila : unicef. anonymus, 2003. dialog interaktif kesehatan reproduksi remaja “ jangan terjebak kegiatan pra nikah” ceria. diakses dari http:// www.bkkbn.go.id/ article detail.php?aid = 327 pada tanggal 20 maret 2010 anonymus, 2004. pergeseran norma perilaku sexual kaum remaja. sebuah penelitian terhadap remaja jakarta : pt. grafindo persada azwar, s. 2003. sikap manusia ; teori dan pengukurannya. yogyakarta : pustaka pelajar daili, makes, zubier, dkk. 2005. infeksi menular seksual, edisi ketiga jakarta : balai penerbit fkui dariyo, agoes. 2004. psikologi perkembangan remaja. ghalia indonesia : bogor depsos ri, 1999. kategori penerima pelayanan oleh dinas sosial. jakarta depkes ri. dirjen pembinaan kesehatan masyarakat, 1994. kumpulan materi kesehatan reproduksi remaja. jakarta dinsos propinsi jatim. 2001. penanganan anak jalanan. djoko, s. 2003. proses belajar aktif kesehatan reproduksi remaja. jakarta : kerjasama bkkbn dan word bank djuanda, hamzah, aisah, dkk. 2007. ilmu penyakit kulit dan kelamin ed. kelima, jakarta : balai penerbit fkui. ewles, linda, ina simnett, 1992. promoting health, a practical guide second edition. scutari press, a division of scutari project ltd. viking house, harrow. gufron, ali. 2000. pengajaran yang efektif : pedoman bagi pembina kesehatan , penerbit egc. jakarta glasier, anna, gebbie, ailsah. 2000. family planning and reproductive healthcare. published by arrangement with churchill livingstone, a division of elsevier science. hamid, achir yani. 1999. asuhan keperawatan kesehatan jiwa pada anak dan remaja, widya medika. jakarta irwanto, mohammad farid, dan jeffry anwar. 1998. ringkasan analisa situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus. pkpm atma jaya. departemen sosial, unicef. jakarta. kartono, kartini. 1985. bimbingan bagi anak dan remaja yang bermasalah. jakarta : cv rajawali munajat, nanang. 1999. modul pelatihan risiko reproduksi remaja, pkbi. jakarta notoatmodjo, s. 2003. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta. rineksa cipta nurharjadmo, w. 1999. seksualitas anak jalanan, yogyakarta : ford foundation dengan pusat peneltian kependudukan universitas gadja mada yogyakarta. nursalam, 2001. metodologi riset keperawatan, jakarta. cv agung seto nursalam, 2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan salemba medika pemerintah kota malang. 2005. pemetaan dan pemberdayaan anak. malang pearce, evelyn c. 2000. anatomi dan fisiologi untuk paramedis. pt gramedia : jakarta pusat studi wanita, 1998. situasi anak jalanan perempuan di semarang. semarang. diakses dari http://www.tempo.co.id/medika/arsi p/012003/pus_1.htm pada tanggal 20 januari 2010 sedyaningsih, endang, 2001. prevalensi infeksi menular seksual dan http://www.bkkbn.go.id/ http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus_1.htm http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus_1.htm aini, upaya peningkatan mutu perilaku kesehatatan…83 perilaku berisiko terkait di kalangan anak jalanan di jakarta. majalah gemari. diakses diakses dari http://www.bkkbn.go.id/article_deti l.php?aids = 327 pada tanggal 2 februari 2010. sinar grafika, redaksi. 2003. undangundang perlindungan anak (uu ri no. 23 tahun 2002). jakarta : sinar grafika soetjingsih, 1998. tumbuh kembang anak. jakarta : penerbit egc soetjingsih, 2004. tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. jakarta : cv. agung seto stuart, sundeen. 1998. buku saku keperawatan jiwa. jakarta .egc. sub dinas kesehatan keluarga dan gizi propinsi jatim, 2001. pedoman reproduksi sehat bagi remaja di sekolahan. jatim sudjana. 1996. metode statistika. bandung. torsito sugiyono. 2006. metode penelitian bisnis. bandung : cv alfabeta suliha, u. 2002. pendidikan kesehatan dalam keperawatan. jakarta. egc. supartini, yupi. 2002. konsep dasar keperawatan anak. jakarta . penerbit egc. suratini, dkk. 2005. gambaran pengetahuan siswa kelas i smu pasundan tanjungsari kab. sumedang mengenai kesehatan reproduksi. jurnal kebidanan dan keperawatan aisyiyah. stikes aisyiyah yogyakarta. tjahjorini, sri. 2001. persepsi anak jalanan terhadap bimbingan sosial melalui rumah singgah di kotamadya bandung. institur pertanian bogor. bogor. usumantri, jujur, s. 2001. filsafat ilmu sebuah pengantar populer. jakarta : pustaka sinar harapan w.f. maramis. 1994. ilmu kedokteran jiwa . surabaya airlangga university press. jakarta : balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia wijayanti rr, 2005. perubahan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi anak jalanan di jawa tengah. tesis. universitas muhammadiyah surakarta. yayasan duta awam, 1997. situasi anak jalanan perempuan di semarang. semarang diakses dari http://www.tempo.co.id/medika/arsip /012003/pus-1.htm pada tanggal 11 januari 2010. yayasan setara, 1999. situasi anak jalanan perempuan di semarang. semarang diakses dari http://www.tempo.co.id/medika/arsip /012003/pus-1.htm pada tanggal 11 januari 2010 yusuf, syamsul. 2005. psikologi perkembangan anak dan remaja. pt remaja rosdakarya : bandung. http://www.bkkbn.go.id/article_detil.php?aids http://www.bkkbn.go.id/article_detil.php?aids http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus-1.htm http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus-1.htm http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus-1.htm http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012003/pus-1.htm e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 328 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 328–334 328 senam rematik meningkatkan jarak tempuh berjalan lansia dengan nyeri sendi di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta (rheumatic gymnastics increase mileage in elderly with joint pain at nursing home dharma bhakti pajang surakarta) tri susilowati program studi ilmu keperawatan, stikes ‘aisyiyah surakarta email: asaku_susi@yahoo.com abstract: joint pain experienced by the elderly may limit walking ability like mileage. mileage can be improved by reducing joint pain through exercise. the purpose of this study was to clarify the effect of rheumatic gymnastics to mileage in older adults with joint pain. this type of research is “true experimental” with the randomized pre test and post test control group design. population is elderly in elderly house of dharma bhakti pajang surakarta who suffer joint pain and not in a state of total dependency. sample was elderly who meet the inclusion and exclusion criteria are 40 people (20 people per group). normality test data used the kolmogorov-smirnov test. analysis of data (pre and post test) with a paired t test (for normal data) and wilcoxon signed ranks test test (for not normal data) with significance level of 95%. changes in mileage differences between groups were tested with unpaired t test with significance level of 95%. the results showed mileage in the treatment group experienced an increase, in which the prices are p <0,05. the results of the study data analysis between groups showed that the mileage have p <0,05 (p = 0,022), which means that there are significant differences between groups. it needs a longer time for the adoption and application of the distance so exercise movement performed by the elderly is closer to the direction of movement so that the effect of exercise on mileage is higher. keywords: rheumatic gymnastics, elderly, joint pain, mileage abstrak: nyeri sendi yang dialami lansia dapat membatasi lansia jarak tempuh lansia dalam berjalan. jarak tempuh dapat ditingkatkan dengan mengurangi nyeri sendi melalui senam rematik. tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan pengaruh senam rematik terhadap jarak tempuh berjalan pada lansia dengan nyeri sendi. jenis penelitian adalah “true experimental” dengan rancangan randomized pre test – post test with control group design. populasi adalah lansia di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta yang menderita nyeri sendi dan tidak dalam kondisi ketergantungan total. sampel penelitian adalah lansia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 40 orang (20 orang per kelompok). uji normalitas data menggunakan uji kolmogorov-smirnov. analisis data (pre and post test) dengan uji t berpasangan (untuk data normal) dan uji wilcoxon signed ranks test (untuk data tidak normal) dengan taraf signifikansi sebesar 95%. perbedaan perubahan jarak tempuh antara kelompok diuji dengan uji t tidak berpasangan dengan taraf signifikansi sebesar 95%. hasil penelitian menunjukkan jarak tempuh pada kelompok perlakuan mengalami peningkatan, di mana harga p < 0,05. hasil analisis data penelitian antar kelompok menunjukkan bahwa jarak tempuh mempunyai harga p < 0,05 ( p= 0,022) yang artinya bahwa ada perbedaan yang signifikan jarak tempuh antar kelompok. perlu adanya waktu yang lebih lama untuk adopsi gerakan dan penerapan senam rematik sehingga gerakan senam yang dilakukan oleh lansia lebih mendekati ke arah gerakan yang terstandart sehingga pengaruh senam terhadap kemampuan berjalan lebih tinggi. kata kunci: senam rematik, lansia, nyeri sendi, jarak tempuh. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p328-334 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 329susilowati, senam rematik ... harapan hidup suatu bangsa seringkali dijadikan sebagai tolok ukur kemajuan suatu bangsa. dari 7 milyar penduduk dunia, 1 milyar diantaranya adalah penduduk lanjut usia. indonesia sendiri memiliki 24 juta jiwa lansia. menurut badan pusat statistik, lansia di indonesia pada tahun 2010 mencapai 23.992.553 jiwa (9,77%) dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lansia mencapai 28.822.879 jiwa (11,34%) (prawiro, 2012). dari data usa-bureau of the census, bahkan indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar seluruh dunia, antara tahun 1990-2025 yaitu sebesar 414% (kinsella & taeuber 1993 dalam martono 2010). organisasi kesehatan dunia (who) melaporkan bahwa 20%, penduduk dunia terserang penyakit nyeri sendi. dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang berusia 55 tahun. penderita nyeri sendi di seluruh dunia telah mencapai angka 355 juta jiwa, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita nyeri sendi. diperkirakan angka ini terus meningkat hingga tahun 2025 dengan indikasi lebih dari 25% akan mengalami kelumpuhan. angka kejadian penyakit nyeri sendi di indonesia relatif tinggi, yaitu 1-2 persen dari total populasi di indonesia. pada tahun 2004 lalu, jumlah pasien nyeri sendi ini mencapai 2 juta orang, dengan perbandingan pasien wanita tiga kali lebih banyak dari pria (helmi, 2011). hasil penelitian yang dilakukan oleh whosearo pada tahun 1991 di jawa tengah mengenai macam penyakit dan kesehatan orang lanjut usia (60 tahun ke atas) yang dilakukan pada sebanyak 1203 orang yang dipilih secara random di desa dan di kota menunjukkan hasil bahwa penyakit musculo skeletal disease yaitu artritis/rheumatism menempati urutan pertama yaitu 49% (martono 2010). data pelayanan kesehatan tahun ke tahun menunjukkan proporsi kasus nyeri sendi di jawa tengah mengalami peningkatan dibanding dengan kasus penyakit tidak menular. secara keseluruhan pada tahun 2007 proporsi kasus nyeri sendi sebesar 17,34%, meningkat menjadi 29,35% di tahun 2008. kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 39,47%, kemudian pada tahun 2010 menjadi 48,32% (helmi, 2011). keterbatasan lansia yang tampak jelas akibat penyakit nyeri sendi adalah kemunduran kemampuan berjalan lansia. kemampuan berjalan adalah kuasa atau sanggup melakukan kegiatan melangkah ke depan atau perjalanan dari satu tempat ke tempat lain secara mandiri dengan melibatkan komponenkompomen fundamental berjalan yaitu arkus gerakan sendi, rangkaian aksi otot, kecepatan tubuh bergerak ke depan, alignment trunk dan gaya reaksi lantai (irfan, 2010). penyakit yang menyerang sistem muskuloskeletal pada lansia dapat memberi dampak kemunduran kemampuan lansia dalam berjalan (stockslager & schaeffer, 2007). dari survei pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 30 januari 2014 di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta melalui wawancara dengan kepala panti dan dokumentasi catatan medis lansia, diperoleh data tentang penyakit dan kemampuan berjalan lansia. di panti wreda dharma bakti terdiri dari 84 lansia dengan proporsi 35 laki-laki dan 49 perempuan. kepala panti mengatakan bahwa sebagian besar (lebih dari 75%) menderita gangguan persendian yaitu nyeri sendi. kepala panti mengatakan bahwa kemampuan berjalan lansia penghuni panti hanya berada di dalam panti, dan para lansia keluar dari panti jika mereka melakukan kegiatan jalan pagi yang dilaksanakan setiap hari jumat sebelum senam. kepala panti mengatakan bahwa sebagian besar lansia malas untuk bepergian jauh dari kamar dikarenakan mereka tidak kuat menahan rasa nyeri sendi yang diderita. studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 orang lansia secara acak, diperoleh hasil 4 orang lansia mengatakan berjalan-jalan bisa sampai ke lingkungan sekitar panti, 4 orang mengatakan bisa berjalan-jalan sampai ke wisma lain, dan 2 orang mengatakan berjalan hanya di dalam wisma saja. hasil penelitian yang dilakukan oleh hardy, dkk (2007) menunjukkan bahwa kebiasaan berjalan cepat meningkatkan kualitas hidup pada masa lansia. penelitian yang dilakukan oleh wardhani, dkk. (2011), menunjukkan hasil bahwa latihan penguatan isotonik quadriceps femoris dapat meningkatkan kekuatan otot dan dapat memperbaiki mobilitas pada lansia dan pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan berjalan lansia. penelitian yang dilakukan oleh protas dan tissier (2010), menunjukkan bahwa latihan fisik dapat meningkatkan kekuatan otot, kemampuan kecepatan berjalan dan kemampuan fungsional lansia. penelitian yang dilakukan oleh thrisyaningsih, probosuseno dan astuti (2011), menunjukkan bahwa terjadi peningkatan daya tahan jantung paru pada lansia setelah melakukan senam bugar lansia. menurut nuhonni dan tulaar (2008) secara umum gerakan-gerakan senam rematik dimaksudkan untuk 330 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 328–334 meningkatkan kemampuan gerak, fungsi, kekuatan dan daya tahan otot, kapasitas aerobik, keseimbangan, biomedik sendi dan rasa posisi sendi. senam ini konsentrasinya pada gerakan sendi sambil meregangkan ototnya dan menguatkan ototnya, karena otototot inilah yang membantu sendi untuk menopang tubuh. penelitian yang dilakukan oleh fatkuriyah (2010), menunjukkan hasil bahwa lansia mengalami penurunan nyeri sendi setelah diberikan senam rematik selama 4 minggu. lansia dengan nyeri sendi dapat ditingkatkan jarak tempuh berjalannya dengan mengurangi dan meringankan nyerinya. dalam mengurangi rasa nyeri sendi, dapat digunakan metode gerak tubuh yaitu melalui senam rematik. kegiatan senam rematik diharapkan meningkatkan kemampuan jalan lansia sehingga kualitas hidup lansia dapat meningkat pula dan lansia tidak menjadi beban bagi orang lain. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah “true experimental” dengan rancangan penelitian randomized pre test– post test with control group design yaitu peneliti memberikan perlakuan tertentu pada suatu kelompok subjek yang diobservasi sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, dan tanpa memberikan intervensi pada kelompok kontrol. penelitian ini dilakukan selama dua (2) bulan yaitu bulan mei– juni 2014. sampel penelitian ini adalah lansia di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta yang menderita nyeri sendi dan tidak dalam kondisi ketergantungan total yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yaitu sebanyak 40 lansia. selanjutnya besar sambel tersebut dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing masuk menjadi bagian kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan cara “sampling jenuh”. hasil penelitian data umum berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kelamin responden pada kelompok perlakuan sebagian besar adalah laki-laki yaitu sebesar 55% atau 11 orang. sedangkan jenis kelamin responden pada kelompok kontrol sebagian besar adalah perempuan yaitu sebesar 60% atau 12 orang. data di atas telah dilakukan uji pearson chi-square dengan nilai signifikansi (p) = 0,527 (p > 0,05) yang artinya bahwa tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. tabel 1. distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta pada bulan mei–juni 2014 jenis kelamin kelompok p perlakuan n = 20 kontrol n = 20 laki-laki 11 (55%) 8 (40%) 0,527 perempuan 9 (45%) 2 (60%) tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta pada bulan mei–juni 2014 usia (tahun) kelompok p perlakuan n = 20 kontrol n = 20 60-74 (elderly) 9 (45%) 7 (35%) 0,456 75-90 (old) 10 (50%) 11 (55%) >90 (very old) 1 (5%) 2 (10%) berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa usia responden pada kelompok perlakuan sebagian besar adalah usia 75-90 tahun (old) yaitu sebesar 50% atau 10 orang dan usia responden pada kelompok kontrol sebagian besar juga berusia 75-90 tahun (old) yaitu sebesar 55% atau 11 orang. data di atas telah dilakukan uji mann whitney test dengan nilai signifikansi (p) = 0,456 (p > 0,05) yang artinya bahwa tidak ada perbedaan usia yang signifikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. tabel 3. distribusi frekuensi responden berdasarkan kegiatan olahraga di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta pada bulan mei– juni 2014 kegiatan olahraga kelompok p perlakuan n = 20 kontrol n = 20 jalan kaki 5 (25%) 5 (25%) 1,00 0 bersepeda 0 (0%) 0 (0%) lain-lain : senam lansia 15 (75%) 15 (75%) berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa kegiatan olahraga yang sering dilakukan oleh kedua kelompok adalah senam lansia yaitu sebesar 75% atau 15 orang untuk masing-masing kelompok. data di atas telah dilakukan uji pearson chi-square dengan nilai signifikansi (p) = 1,000 (p > 0,05) yang artinya bahwa tidak ada perbedaan kegiatan olahraga 331susilowati, senam rematik ... yang signifikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa kegiatan lokasi nyeri sendi yang dialami oleh kedua kelompok adalah daerah lutut yaitu sebesar 70% atau 14 orang untuk masing-masing kelompok. data di atas telah dilakukan uji pearson chi-square dengan nilai signifikansi (p) = 0,801 (p > 0,05) yang artinya bahwa tidak ada perbedaan lokasi nyeri sendi yang signifikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa jarak tempuh pada kelompok perlakuan mempunyai harga p < 0,05 yang artinya bahwa ada perbedaan yang signifikan jarak tempuh berjalan sebelum dan sesudah diberikan senam rematik. pada kelompok kontrol jarak tempuh mempunyai nilai p < 0,05 yaitu 0,008 yang artinya ada perbedaan yang signifikan jarak tempuh sebelum dan sesudah diberikan senam rematik. selisih mean sebelum dan sesudah senam rematik pada kedua kelompok menunjukkan kenaikan yang bermakna. jarak tempuh pada kelompok perlakuan menunjukkan kenaikan yang tinggi yaitu sebesar 1850,20 point. jarak tempuh pada kelompok kontrol menunjukkan kenaikan yang sedikit yaitu sebesar 428,6 point. berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa jarak tempuh mempunyai harga p = 0,022 dimana harga p < 0,05 yang artinya bahwa ada perbedaan yang signifikan jarak tempuh antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan senam rematik. selisih mean antara kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang bermakna, di mana kelompok perlakuan mempunyai nilai yang lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. selisih yang sangat signifikan terlihat pada jarak tempuh yaitu tabel 4. distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat merokok di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta pada bulan mei– juni 2014 riwayat merokok kelompok p perlakuan n = 20 kontrol n = 20 ada 8 (40%) 7 (35%) 1,000 tidak ada 12 (60%) 3 (65%) berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan sebagian besar tidak mempunyai riwayat merokok yaitu sebesar 60% atau 12 orang. demikian pula pada kelompok kontrol sebagian besar juga tidak mempunyai riwayat merokok yaitu sebesar 65% atau 13 orang. data di atas telah dilakukan uji pearson chi-square dengan nilai signifikansi (p) = 1,000 (p > 0,05) yang artinya bahwa tidak ada perbedaan riwayat merokok yang signifikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan lokasi nyeri sendi dilakukan di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta pada bulan mei–juni 2014 lokasi nyeri sendi kelompok p perlakuan n = 20 kontrol n = 20 pan ggul 4 (20%) 5 ( 25%) 0,801 lutut 14 (70%) 14 ( 70%) pergelangan kaki 2 (10%) 1 ( 5%) tabel 6. perubahan jarak tempuh berjalan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan senam rematik di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta pada bulan mei–juni 2014 komponen sebelum senam rematik sesudah senam rematik p mean st .d eviasi mean st.deviasi kelompok perlak uan : jarak tempuh 5562,40 ±3841 ,06 7412,60 ±4088,38 0,006 kelompok kontr ol : jarak tempuh 2423,50 ±3195 ,80 2852,10 ±3575,27 0,008 tabel 7. perbedaan perubahan kemampuan berjalan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta pada tanggal 16 mei–30 juni 2012 komponen kemampuan berj alan kelompok perlakuan kelompok kontrol p mean st.deviasi mean st.deviasi jarak tempuh 1850,20 ±2705 ,15 42 8,60 ±1697,28 0,022 332 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 328–334 nilai jarak tempuh pada kelompok perlakuan lebih tinggi 1421,6 point dari kelompok kontrol. pembahasan pengaruh senam rematik terhadap jarak tempuh berjalan hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan jarak tempuh sebelum dan sesudah diberikan senam rematik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan jarak tempuh antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan senam rematik. hal ini menunjukkan bahwa senam rematik dapat meningkatkan jarak tempuh berjalan pada kelompok perlakuan, namum kelompok kontrol juga mengalami peningkatan jarak tempuh berjalan walaupun tidak diberikan senam rematik. perbedaan peningkatan jarak tempuh berjalan pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol adalah signifikan. hasil penelitian menunjukkan bahwa senam rematik mampu meningkatkan jarak tempuh berjalan pada kelompok perlakuan. dalam penelitian yang dilakukan oleh fatkuriyah (2010), menunjukkan bahwa senam rematik dapat menurunkan nyeri sendi setelah diberikan selama 4 minggu. sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah 6 minggu, dapat dimungkinkan bahwa waktu yang lebih lama akan memberi pengaruh terhadap penurunan nyeri yang lebih banyak pula. sehingga dapat dimungkinkan bahwa peningkatan jarak tempuh dalam berjalan yang terjadi pada kelompok perlakuan dikarenakan nyeri persendian yang dirasakan lebih berkurang sehingga lansia lebih mampu mencapai jarak tempuh yang lebih jauh. maryam, dkk. (2008), mengemukakan bahwa latihan akan bermanfaat untuk meningkatkan kesegaran jasmani jika dilaksanakan dalam zona latihan paling sedikit 15 menit. frekuensi latihan yang tepat untuk memperbaiki dan mempertahankan kesegaran jasmani adalah dilakukan paling sedikit tiga hari atau sebanyak-banyaknya 5 hari dalam satu minggu. bila latihan dilakukan diluar gedung sebaiknya pagi hari sebelum pukul 10.00 atau sore hari setelah pukul 15.00. whitehead (1995 dalam martono, 2010), mengemukakan bahwa sedikit sekali perubahan pada kebugaran fisik yang terjadi bila latihan dilakukan kurang dari 3 x / minggu, akan tetapi tidak ada tambahan keuntungan yang berarti bila latihan dijalankan lebih dari 5x / minggu. dalam penelitian ini kelompok perlakuan melakukan senam rematik dengan intensitas yang cukup serta waktu latihan yang tepat yaitu 3 kali dalam seminggu setiap pagi (senin dan rabu jam 08.00 di aula, sedangkan hari sabtu jam 06.30 di halaman). di mana kegiatan senam yang dilakukan pada intensitas yang cukup dan waktu yang tepat akan memberikan pengaruh yang lebih besar sehingga efek senam rematik dapat memberikan pengaruh pada kemampuan berjalan lansia yang salah satunya adalah meningkatnya jarak tempuh berjalan lansia. penelitian yang dilakukan hasibuan (2010) menunjukkan hasil pemberian latihan aktif akan meningkatkan stabilitas sendi dan kekuatan otot-otot lutut terutama quadriceps karena latihan ini berguna untuk mengurangi iritasi yang terjadi pada permukaan kartilago artikularis patella, memelihara dan meningkatkan stabilitas aktif pada sendi lutut juga dapat memelihara nutrisi pada sinovial menjadi lebih baik. senam rematik merupakan latihan aktif yang memberikan efek meningkatkan stabilitas sendi dan kekuatan otot-otot lutut terutama quadriceps. dengan gerakan yang berulang pada senam rematik akan terjadi peningkatan kerja otot-otot sekitar sendi yang akan mempercepat aliran darah dan menyebabkan metabolisme juga ikut meningkat. peningkatan metabolisme akan menyebabkan sisa-sisa metabolisme ikut terbawa aliran darah sehingga nyeri menjadi berkurang. nyeri yang berkurang akan memberi dampak lansia berjalan lebih lama dan mencapai jarak tempuh yang lebih jauh karena lansia tidak merasakan sakit pada persendiannya. hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok kontrol juga mengalami peningkatan jarak tempuh berjalan walaupun tidak diberikan intervensi senam rematik. morrow (2011), menyampaikan bahwa cuaca dingin dapat meningkatkan kekentalan minyak/ pelumas pada persendian, sehingga terjadi kekauan sendi dan sendi akan terasa sakit jika digerakkan. pada saat pengambilan data awal, beberapa lansia yang termasuk dalam kelompok kontrol mengeluh nyeri sendi dan kekakuan sendi. hal ini dapat dimungkinkan menyebabkan jarak tempuh berjalan lansia lebih pendek karena merasakan ketidaknyamanan pada persendian. sedangkan pada saat pengambilan data akhir lansia pada kelompok kontrol tidak mengeluhkan nyeri sendi atau kaku sendi. berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti, di panti terdapat mahasiswa praktek dari institusi palang merah indonesia (pmi) surakarta dan sekolah tinggi ilmu kesehatan (stikes) 333susilowati, senam rematik ... ‘aisyiyah surakarta, sehingga dimungkinkan lansia pada kelompok kontrol yang mengalami nyeri sendi telah mendapatkan perawatan dari mahasiswa. oleh karena itu, dapat dimungkinkan kemampuan berjalan: jarak tempuh lansia menjadi meningkat karena nyeri sendi dan kekauan sendi yang dialami berkurang. orem menyampaikan bahwa human being yaitu sebagai seorang individu, manusia memliki hak untuk dapat hidup berdampingan dengan manusia lain, mempunyai privasi, dan hak untuk berubah tanpa harus membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. individu tersebut juga mempunyai keinginan untuk dapat merawat dirinya secara mandiri yang disebut sebagai self care therapeutic demand atau disebut juga self care requisites (parker, 2001). kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak mendapat intervensi senam rematik. namun lansia pada kelompok kontrol juga mempunyai keinginan untuk berubah. lansia pada kelompok kontrol tersugesti bahwa mereka juga akan lebih baik walaupun tidak diberikan senam rematik. sugesti yang sudah tertanam pada lansia tersebut memberikan dampak positif bagi psikologis lansia, sehingga pada saat pengambilan data akhir motivasi lansia untuk berubah meningkat yang akhirnya akan mempengaruhi hasil. hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan peningkatan jarak tempuh berjalan pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol adalah signifikan, di mana peningkatan jarak tempuh berjalan pada kelompok perlakuan lebih tinggi dari kelompok kontrol yang terlihat dari selisih nilai mean. dalam penelitian yang dilakukan alexander, guire, thellen, miller, schultz, grunawalt & giorgani (2000), menunjukkan bahwa mobilitas lansia dipengaruhi oleh kemampuan berjalan, cara berdiri dan kemampuan menggapai kursi. jangkauan mobilitas fisik lansia pada kedua kelompok hanya terbatas di area dalam wisma, halaman wisma dan lingkungan panti. hal ini kurang memberi peluang kepada anggota panti untuk melakukan mobilitas dengan jangkauan yang lebih jauh. lansia sudah terbiasa dengan area mobilitas yang terbatas dengan jarak tempuh berjalan terbatas pula sehingga memberikan pengaruh lansia sudah terkondisikan berjalan dengan jarak tempuh tertentu. sehingga intervensi senam rematik yang diberikan pada kelompok perlakuan memberikan efek yang besar dalam meningkatkan kemampuan berjalan lansia yaitu mampu mencapai jarak tempuh yang lebih jauh. simpulan dan saran simpulan senam rematik meningkatkan jarak tempuh berjalan lansia di panti wreda dharma bhakti pajang surakarta (kelompok perlakuan). peningkatan yang bermakna jarak tempuh berjalan dimana jarak tempuh kelompok perlakuan lebih tinggi dari pada kelompok kontrol. saran bagi lansia, kegiatan senam rematik hendaknya dilakukan secara teratur dalam waktu yang tepat dan jangka waktu yang lebih lama. bagi institusi panti wreda, senam rematik dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti senam yang sudah ada dengan dosis yang tepat dan senam rematik dapat dijadikan sebagai kegiatan dalam terapi aktivitas kelompok (tak) pada lansia. bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang senam rematik dengan intensitas waktu yang lebih lama. daftar rujukan alexander, guire, thellen, miller, schultz, grunawalt & giorgani. 2000. self reported walking ability predicts functional mobility performance in frail older adults, journal of american geriatrics society, vol. 41, no, 11, 1408-1413. fatkuriyah, l. 2010. pengaruh senam rematik terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia di desa sudimoro kecamatan tulungan kabupaten sidoarjo, skripsi, universitas airlangga, surabaya. hardy, perera, roumani, chandler & studenski 2007, improvement in usual gait speed predicts better survival in older adults. journal american geriatrics society, vol. 55, no. 11. hasibuan, rosmaini 2010, terapi sederhana menekan geja la penya kit degenerat i, jurnal ilmu keolahragaan, vol. 8 (2). helmi , m. 2011. bagai mana menangani nye ri persendian, http://health.detik.com/read/2011/12/ 29/112035/1802149/1145/bagaimana-menanganinyeri-persendian diunduh pada tanggal 18 april 2012. irfan, muhammad. 2010. fisioterapi bagi insan stroke. yogyakarta: graha ilmu. maryam, ekasari, rosidawati, jubaedi & batubara. 2008. mengenal usia lanjut dan perawatannya, jakarta: salemba medika. morrow, jarret. 2011. whether or not weather affects arthritis pain? http:// www.usatoday.com / 334 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 328–334 weather-affects-your-arthritis-pain/2011-02-21health-pressure_x.html diunduh pada tanggal 20 juli 2012 pukul 16.35. parker. 2001. nursing theories and nursing practice, fa davis company, philadelphia. protas, e.j., & tissier, s. 2010. strength and speed training for elders with mobility disability, journal aging phys act national institute of health, vol, 17, no. 3. nuhonni & tulaar, senam rematik. 2008. (vcd). jakarta: pfizer. stockslanger, j.l., & schaeffer, l. 2007. buku saku asuhan keperawatan geriatrik, edisi 2. jakarta: egc. thrisyaningsih, probosuseno, dan astuti. 2011. senam bugar lansia berpengaruh terhadap daya tahan jantung paru, status gizi dan tekanan darah, jurnal gizi klinik indonesia, vol 8, no 1. wardhani, nuhonni, tamin, wahyudi, & kekalih, 2011. kekuatan otot dan mobilitas usia lanjut setelah latihan penguatan isotonik quadriceps femoris di rumah, majalah kedokteran indonesia, vol. 61, no. 1. 29harini, conterpressure dan efek terhadap nyeri persalinan... 29 counterpressure dan efek terhadap nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida (counterpressure and its effect towards labor pain during 1st active phase in primigravida mother) ririn harini jurusan ilmu keperawatan, fakultas ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah malang email: webmaster@unix.umm.ac.id; ri2nharini@gmail.com abstract: counterpressure method is a massage or pressure on the sacrum or spine to suppress or reduce pain. counterpressure can be done by pressing the back of the body precisely on the sacrum as pressure by hand, by the way the palm exercises deep pressure, strong on the sacrum with the heel of the hand and moving a small circle. this study aimed to determine the effectiveness of pain in the inpartu mother stage i active phase with the counterpressure treatment. this study used pre experimental research design conducted at kanjuruhan hospital malang regency for 4 months. the observation technique was performed to see the intensity of pain before and after the intervention was determined by the -t test formula. the instrument used the scale of bourbonais pain and counterpressure technique observation sheet. based on t-test analysis with significance level of p <0,05 using spss version 17 got value p = 0,002 <0,05 so it could be interpreted that there was difference of decreasing of pain of labor moment stage i active on primigravida mother before and after being treated with counterpressure. from the results of this study we can conclude that primigravida mothers who perform counterpressure techniques on a regular basis can reduce labor pain periodically. the counterpressure method can be applied in nursing care to labor pain during the first phase of activation in the mother primigravida. keywords: counterpressure, labor pain, primigravida abstrak: metode counterpressure merupakan pijatan atau tekanan pada sacrum atau tulang belakang untuk menekan atau mengurangi nyeri. counterpressure dapat dilakukan dengan menekan bagian punggung tepatnya pada sacrum seperti tekanan dengan menggunakan tangan, dengan cara telapak tangan melakukan tekanan dalam, kuat pada sacrum dengan tumit tangan dan menggerakkan melingkar kecil. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas nyeri pada ibu inpartu kala i fase aktif pada kelompok intervensi counterpressure maupum kelompok kontrol. metode penelitian ini menggunakandesain penelitian pra eksperimentyang dilaksanakan di rumah sakit kanjuruhan kabupaten malang selama 4 bulan. teknik observasi dilakukan untuk melihat intensitas nyeri sebelum dan sesudah dilakukan intervensi yang ditentukan dengan rumus uji-t. instrument yang digunakan dengan menggunakan skala nyeri bourbonais dan lembar observasi teknik counterpressure. berdasarkan uji analisis t-test dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 menggunakan spss versi 17 didapatkan nilai p = 0,002 < 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan penurunan nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida sebelum dan sesudah dilakukan teknik counterpressure. dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa ibu primigravida yang melakukan teknik counterpressure secara teratur dapat menurunkan nyeri persalinan secara berkala. diharapkan metode counterpressure dapat diaplikasikan dalam asuhan keperawatan pada nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida. kata kunci: counterpressure, nyeri persalinan, primigravida jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p029–033 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 30 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 29–33 pendahuluan metode dengan menggunakan massage (pemijatan) salah satunya dengan cara counterpressure merupakan pijatan atau tekanan pada sacrum atau tulang belakang untuk menekan atau mengurangi nyeri. dengan tujuan ibu dapat merasakan manfaat dilakukan counterpressure. selain mudah dilakukan diharapkan ibu mendapat kenyamanan dan nyeri pun dapat diminimalkan, counterpressure dapat dilakukan dengan menekan bagian punggung tepatnya pada sacrum seperti tekanan dengan menggunakan tangan, dengan cara telapak tangan melakukan tekanan dalam, kuat pada sacrum dengan tumit tangan dan menggerakkan melingkar kecil. cara kerja pijatan ini yaitu menekan tulang sacrum sehingga mengurangi ketegangan pada sacrum maka diharapkan dapat melenturkan dan tidak kaku serta tegang, dengan demikian nyeri dapat berkurang (mander, 2003). laporan penelitian steer (2008) di amerika serikat. 19,3% wanita dilaporka n mendapat massage untuk meredakan nyeri persalinan, hanya 5% perawat maternitas dilaporkan menggunakan metode ini bagi wanita secara individu. ketidaksesuaian ini berlawanan dengan pemberian obat seperti petidin, yang dilaporkan oleh 37,8% perawat maternitas, dimana masalah tersebut dapat diakibatkan oleh intervensi yang diidentifikasi sebagai massage yang dianggap hanya “menggosok punggung” oleh tenaga kesehatan. dalam hal ini, massage (pemijatan) pada punggung atau sacrum adalah kegiatan independen perawat materrnitas dimana tugas dan tanggung jawab mereka sangat besar dalam pelaksanaannya, guna menurunkan persepsi nyeri ibu inpartu kala i. keterlibatan keluarga terutama suami dapat sebagai pemberi suport utama bagi ibu inpartu yaitu mengajarkan pada mereka tentang bagaimana menstimulasi kulit dengan langkah-langkah yang tepat pada para istrinya, sekaligus dapat memberikan dukungan moril bagi ibu inpartu terutama primigravida dalam menghadapi persalinannya. manajemen nyeri non farmakologi dengan “counterpressure“ merupakan suatu cara mengelola rasa nyeri tanpa obat-obatan yang belum pernah dilakukan di rsud kanjuruhan kab. malang, padahal prinsip tindakan keperawatan harusnya lebih mengutamakan yang lebih alamiah dulu untuk membantu ibu bersalin dalam menghadapi masalah nyeri persalinan. selain itu dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa menjadi suatu protap yang dilakukan secara teratur oleh para perawat maternitas di setiap rumah sakit bersalin atau kamar bersalin. apalagi berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti dari kepala rsud kanjuruhan kab. malang masih banyak tenaga kesehatan yang belum ta hu dan bisa melaksa nakan tentang metode “counterpressure“ ini. sebenarnya banyak keuntungan yang bisa diperoleh pihak rumah sakit jika program ini berjalan dengan baik, yaitu meningkatkan kemampuan perawat maternitas sebagai care giver, sebagai promosi yang baik pada masyarakat karena telah memberikan pelayanan prima saat ibu dalam situasi kesakitan sehingga jumlah pasien yang datang ke rumah akan sakit semakin meningkat. selain itu tenaga kesehatan baik perawat maupun bidan sebagai pelaksana utama pelakasana kesehatan baik di rumah sakit maupun dirumah, sudah seharusnya memiliki kompetensi yang memadai dalam hal pelayanan kesehatan pada pasien sehingga dapat menjamin terhadap kualitas layanan pelayanan kesehatan di masyarakat secara umum dan ibu hamil dan bersalin khususnya. pelaksanaan tindakan counterpressure yang diberikan pada ibu inpartu kala i fase aktif ini diberikan dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian serta mengurangi persepsi rasa nyeri yang berlebihan pada ibu-ibu hamil menjelang masa persalinan agar mendapatkan rasa nyaman dan merasa diperhatikan oleh perawat yang mendampinginya saat akan melahirkan penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar efektifitas counterpressure terhadap nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida di rumah sakit kanjuruhan kabupaten malang. bahan dan metode metode penelitian ini menggunakan metode penelitian praeksperimentyangdilaksanakan di rumah sakit kanjuruhankabupaten malang dan dilaksanakan dalam waktu selama 4 bulan. sampel dalam penelitian ini adalah ibu hamil inpartu yang masuk kala i fase aktif di kamar bersalin. teknik pengumpulan data dengan observasi yang menggunakan instrument lembar observasi tentang skala nyeri yang diberikan pada responden sebelum dan sesudah dilakukan intervensi counterpressure dengan skala nyeri bourbonais. analiis data adalah dengan rumus uji-t untuk menguji signifikasi antara kedua group sampel dengan varians yang homogen atau dapat dilakukan dengan syarat t > t tb yang 31harini, conterpressure dan efek terhadap nyeri persalinan... berdasarkan tabel 3, subyek penelitian pada kelompok perlakuan sebelum diberikan perlakuan didapatkan hasil intensitas nyeri sedang sebanyak 8 orang (80%) dan nyeri berat sebanyak 2 orang (20%). akan tetapi setelah diberi perlakuan ,subyek penelitian yang mempunyai intensitas nyeri ringan sebanyak 6 orang (60%) dan yang mempunyai intensitas nyeri sedang sebanyak 4 (40%). perbedaan intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kontrol dan perlakuan intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif diukur dengan menggunakan skala nyeri bourbonais. dari hasil penelitian diperoleh data skor intensitas nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dilakukan teknik counterpressure yaitu sebagai berikut: artinya jika hasil perhitungan t > t tab berarti ho ditolak dan hipotesis diterima yaitu ada hubungan antara pelaksanaan teknik counterpressure dengan penurunan nyeri persalinan kala i. hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin jenis kelamin f % laki laki 0 orang 0 perempuan 20 orang 100 total 20 orang 100 tabel 1 karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin gambaran distribusi jenis kelamin responden menunjukkan bahwa keseluruhan responden dengan jenis kelamin perempuan. gambaran intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif responden intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif responden dapat dikelompokkan dalam lima kategori berdasarkan jumlah skor, yaitu tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat dan nyeri sangat berat. tabel 2 data intensitas nyeri pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan tidak nyeri 0 0 0 0 nyeri ringan 0 0 0 0 nyeri sedang 3 30 6 60 nyeri berat 7 70 4 40 nyeri sangat berat 0 0 0 0 jumlah 10 100 10 100 kategori intensitas nyeri pengamatan sebelum sesudah f % f % tabel 3 data intensitas nyeri pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah perlakuan tidak nyeri 0 0 0 0 nyeri ringan 0 0 6 60 nyeri sedang 8 80 4 40 nyeri berat 2 20 0 0 nyeri sangat berat 0 0 0 0 jumlah 10 100 10 100 kategori intensitas nyeri perlakuan sebelum sesudah f % f % berdasarkan tabel 2, subyek penelitian pada kelompok kontrol yang memiliki intensitas nyeri sedang sebanyak 3 orang (30%) dan nyeri berat sebanyak 7 orang (70%). dan setelah pengamatan selanjutnya, ada sedikit perubahan intensitas nyeri pada responden dari nyeri berat ke nyeri sedang lebih signifikan. tabel 4 data skala nyeri bourbonais pada kelompok kontrol 1 7 6 1 2 8 7 1 3 8 6 2 4 6 8 -2 5 9 8 1 subyek penelitian skor awal (pre counterpressure) skor akhir (post counterpressure) perubahan skor (selisih) 32 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 29–33 berdasarkan tabel 4, diketahui rata-rata skor awal skala nyeri bourbonais pada kelompok kontrol yaitu 7,3 dan menunjukkan penurunan yang sangat sedikit yaitu 0,2 sehingga rata-rata skor akhir menjadi 7,1. berdasarkan tabel 5, diketahui rata-rata skor awal skala nyeri bourbonais pada kelompok perlakuan yaitu 5,6 dan menunjukkan penurunan yang signifikan yaitu 2 sehingga rata-rata skor akhir menjadi 3,6. berdasarkan uji analisis t-test dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 menggunakan spss versi 17 didapatkan nilai p = 0,002 < 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan penurunan nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida ya ng signifika n sesuda h dila kuka n teknik counterpressure. pembahasan dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa setelah dilakukan pengamatan pada kelompok kontrol diperoleh jumlah orang dengan intensitas nyeri sedang dan berat hampir tidak ada perbedaan jumlah orang dengan intensitas nyeri sedang dan berat pada kelompok kontrol. hal ini menunjukkan tidak ada adanya perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol selama pengamatan tanpa adanya perlakuan teknik counterpressure. hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh suatu keadaan bahwa pada kala i persalinan, nyeri terjadikarena adanya kontraksi uterus yang mengakibatkan dilatasi dan penipisan serviks dan iskemia pada uterus. nyeri akibat dilatasi serviks dan iskemia pada uterus ini adalah nyeri viseral yang dirasakan oleh ibu pada bagian bawah abdomen dan menyebar ke daerah lumbal, punggung dan paha. nyeri tersebut dirasakan ibu saat kontraksi dan menurun atau menghilang pada interval kontraksi. pada akhir kala i dan kala ii persalinan, nyeri yang dirasakan ibu adalah nyeri somatik yang dirasakan pada daerah perineum akibat peregangan pada jaringan perineum, tarikan peritoneum, dan daerah uteroservikal saat kontraksi, atau penekanan kandung kemih, usus, dan struktur sensitif panggul oleh bagian terendah janin (bobak,2008). gambaran intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif responden didapatkan intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif responden dapat dikelompokkan dalam lima kategori berdasarkan jumlah 6 7 7 0 7 8 8 0 8 9 7 2 9 6 8 -2 10 5 6 -1 rata-rata 7,3 7,1 0,2 subyek penelitian skor awal (pre counterpressure) skor akhir (post counterpressure) perubahan skor (selisih) tabel 5 data skala nyeri bourbonais pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah perlakuan 1 5 3 2 2 6 3 3 3 6 3 3 4 5 4 1 5 7 5 2 6 5 3 2 7 4 3 1 8 5 3 2 9 6 4 2 10 7 5 2 rata-rata 5,6 3,6 2 subyek penelitian skor awal (pre counterpressure) skor akhir (post counterpressure) perubahan skor (selisih) 33harini, conterpressure dan efek terhadap nyeri persalinan... skor, yaitu tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat dan nyeri sangat berat. intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual, kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. skor skala nyeri dapat dicatat pada lembaran agar bisa membuat pengkajian yang berkesinambungan mengenai kemajuan nyeri. skala yang dapat digunakan, salah satunya adalah skala 0-10. (bourbonais,2008). sedangkan setelah dilakukan perlakuan dengan teknik counterpressure terdapat hubungan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. hal tersebut dapat dibuktikan pada uji analisis t-test dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 menggunakan spss versi 17 didapatkan nilai p = 0,002 < 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan penurunan nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida yang signifikan sesudah dilakukan teknik counterpressure. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa dengan teknik counterpressure efektif dapat menurunkan nyeri persalinan secara berkala. saran bagi dosen keperawatan pengampu mata kuliah hendaknya juga menekankan pada kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis dan menganalisis rasional-rasional tindakan prosedural terutama dalam departemen maternitas dan mensosialisasikan metode counterpressure dalam mengurangi nyeri persalinan pada ibu yang akan melahirkan. diharapkan metode counterpressure dapat diaplikasikan dalam asuhan keperawatan pada nyeri persalinan kala i fase aktif pada ibu primigravida. daftar rujukan hidayat, a.a. 2012. metode penelitian kebidanan & teknik analisa data, jakarta: salemba medika. bobak, l.j. 2005. buku ajar keperawatan maternitas edisi 4 (terjemahan). jakarta: egc. danuatmaja, b. 2008. persalinan normal tanpa rasa sakit. jakarta: puspa swara. farer, h. 2008. perawatan maternitas. jakarta. egc. fitri. 2009. kebutuhan fisik ibu bersalin. http// www.infobidanf itri. blogspot .com/2009/03/ kebutuhan fisik ibu bersalin.htm, 23 april 2011. hendarson, c. 2006. buku ajar konsep kebidanan. jakarta. egc. mandar, r. 2009. nyeri persalinan. jakarta: egc. nursalam, 2006. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu. jakarta: salemba medika. qit tun, 2008. konsep dasar nyeri. h ttp/ /www. blogspot.com, 25 april 2011 ret n ova l. 2009. nye ri pe rsal i nan . h t t p/ / www. blogspot.com, 25 april 2011. simkin, p. dan ancheta, r. 2005. buku saku persalinan. jakarta : egc. smeltzer,sc& bare, bg. 2008. buku ajar keperawatan medikal bedah .jakarta: egc. ujiningtyas, s. 2009. asuhan keperawatan persalinan normal. jakarta : salemba medika. wiknjosastro, h. 2005. ilmu kebidanan. jakarta: ybpsp. yuliatun, l. 2008. penanganan nyeri persalinan dengan metode non farmokologi. malang: bayu media. e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 113budianto, gambaran peran orang tua ... 113 gambaran peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual di sdn sananwetan 02 uptd pendidikan kecamatan sananwetan kota blitar (overview parent role in protecting children school of sexual harassment in action sdn sananwetan 02 uptd education district sananwetan city blitar) ryan budianto praktisi keperawatan email: ryan_budianto123@yahoo.com abstract: children sex abuse is an immoral act done to the children under age such as school children. parents role in protecting school children from sex abuse are by supervising, giving advise, providing early religious education, becoming a good role model, and creating a conducive atmosphere in family. the aim of the research was to describe parents role in protecting school children from sex abuse. the research design was a descriptive approach. the population was 578 parents of students in sdn sanawetan 02 blitar city. the sample was 58 parents taken by quota sampling. the data collection was done by door to door on july 6 – august 14, 2015. the result showed that 69% (40 parents) less involved, 28% (26 parents) fair involved, and 3% (2 parents) actively involved. factors affecting less involved parents was culture, education, and job. the role of less involved parents showed by less interaction with the school, didn’t give information on sex abuse, didn’t accustom child to be extrovert, and avoid fighting in front of children. increasing parents concern to children could decrease sex abuse of school children case. keywords: parents role, sexual harassment abstrak: pelecehan seksual pada anak di bawah umur adalah suatu tindakan asusila yang dilakukan pada anak yang belum cukup umur misalnya anak usia sekolah. peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual yaitu mengawasi, menasehati, memberikan pendidikan agama sejak dini, menjadi figur yang dikagumi anak, dan menciptakan suasana yang kondusif dalam keluarga. tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual. desain penelitian yang digunakan ialah deskriptif. populasi adalah orang tua yang memiliki anak bersekolah di sdn sanawetan 02 kota blitar berjumlah 578. besar sampel yang ditentukan ialah 58 orang tua dengan tehnik quota sampling. pengumpulan data dengan door to door. waktu pengambilan data 6 juli-14 agustus 2015. hasil penelitian 69% (40 orang tua) kurang berperan, 28% (26 orang tua) cukup berperan, dan 3% (2 orang tua) sangat berperan. faktor yang mempengaruhi orang tua kurang berperan adalah kebudayaan, pendidikan dan pekerjaannya. peran orang tua kurang berperan ditunjukkan dengan kurangnya dalam berinteraksi dengan sekolah, memberikan wawasan tentang pelecehan seksual sejak dini, membiasakan anak untuk terbuka, dan menghindari bertengkar di depan anak. upaya meningkatkan kepedulian orang tua, diharapkan dapat mengurangi kasus pelecehan seksual pada anak usia sekolah. kata kunci: peran orang tua, pelecehan seksual acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p113-117 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 114 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 113–117 dewasa ini sering sekali terjadi pelecehan seksual oleh orang dewasa terhadap anak-anak. anak-anak lebih menjadi sasaran orang dewasa karena anakanak dianggap sebagai makhluk yang polos. kepolosan anak ini dimanfaatkan beberapa oknum untuk melakukan tindak asusila. masa anak-anak adalah masa bermain dan berkarya, dimana mereka baru belajar dalam mengenal diri mereka sendiri serta mengenali orang lain selain kedua orang tua atau keluarganya sendiri. tapi sangat disayangkan jika masa-masa itu harus ternoda karena tindakan kekerasan seksual yang mereka alami oleh orang yang tidak bertanggung jawab. menurut kp2a yang berdasarkan penuturan yulis has s.h,m.h (2015), menjelaskan bahwa ada beberapa peran bagi orang tua dalam menghindarkan anaknya dari pelecehan seksual, yaitu: mengawasi dan memperhatikan aktivitas anak sehari-hari (sekolah, teman bermain, dirumah, dan diluar rumah), menasehati anak untuk berpakaian, bersikap, berperilaku yang baik dan sopan, memberikan pendidikan agama sejak dini, menjadi figur yang dikagumi dan dibanggakan oleh anak-anaknya, menciptakan suasana yang kondusif dalam keluarga. pelecehan seksual adalah segala bentuk perlakuan seksual yang terjadi kepada seseorang, orang tersebut merasa tidak nyaman, perlakukan ini tidak diharapkan oleh korban pelecehan. pelecehan seksual digolongkan menjadi dua macam yaitu: pelecehan seksual tanpa sentuhan, yaitu (mengintip, lelucon-lelucon cabul, bicara kotor, melalui telepon atau secara langsung, siulan iseng dari seorang laki-laki ke perempuan yang tidak dikenalnya, memainkan mata kepada orang yang tidak dikenal; pelecehan dengan sentuhan, yaitu: meraba-raba tubuh orang lain dengan sengaja, mencolek orang yang tidak dikenal dengan sengaja). beta pa menderita nya or ang ya ng per nah mengalami pelecehan seksual. untuk orang yang pernah mengalami hal tersebut, tentu saja aktivitasnya tidak seleluasa biasanya. dampaknya ialah sebagai berikut (dr. soetjiningsih,1994:171): tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perineal, sekret vagina,nyeri dan pendarahan anus, tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia, atau perubahan tingkah laku, tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan, data kp2a kota blitar tentang kasus kekerasan pada anak di kota blitar tahun 2014, tercatat 73 kasus yaitu 20 kasus di kecamatan kepanjenkidul, 24 kasus di kecamatan sananwetan, dan 12 kasus di kecamatan sukorejo. dalam studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa kecamatan sanawetan memiliki jumlah kasus pelecehan seksual pada anak yang terbanyak. padahal sejatinya anak-anak memiliki hak konstitusional mendapat perlindungan dari kekerasan seksual. hak perlindungan anak tertuang dalam uu nomor 23 tahun 2002 pasal 4, yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. dengan norma itu, pemerintah dipandang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap perlindungan anak dari kekerasan seksual. dari latar belakang tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berkaitan dengan gambaran peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan kekerasan seksual di sdn sananwetan 02 kota blitar. bahan dan metode populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki siswa di sekolah dasar negeri sananwetan 02 blitar kota blitar. sampel yaitu orang tua yang memiliki anak yang bersekolah di sdn sanawetan 02 kota blitar yang berjumlah 58 orang. teknik sampling yang digunakan adalah quota sampling, yaitu menentukan jumlah populasi sesuai kriteria yang sudah ditentukan. penelitian ini dilakukan di rumah-rumah orang tua yang berada di wilayah sdn sananwetan 02 kota blitar, jln. majapahit, jln. samosir, jln. natuna, jln. madura, jln. kangean, jln. emda soepomo, jln. singo dongso, dan jln. suryat. penelitian dilaksanakan pada bulan juli 2015. penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data berupa kuesioner yang dikembangkan peneliti berdasarkan peran orang tua dalam melindungi anak dari pelecehan seksual. kuesioner terdiri dari data umum yang berjumlah 5 dan data khusus berjumlah 14. data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisa secara deskriptif. hasil penelitian berikut ini akan disajikan data khusus mengenai gambaran peran orang tu dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelcehan seksual yang diukur dari kuesioner yang berjumlah 14 pernyataan. 115budianto, gambaran peran orang tua ... berdasarkan tabel 1 bahwa 69% (40 orang tua) kurang berperan, 28% (16 orang tua) cukup berperan, 3% (2 orang tua) sangat berperan dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual. pembahasan peran adalah seperangkat patokan, yang membatasi apa perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi (suhardono, 1994). peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual yaitu mengawasi dan memperhatikan aktivitas anak sehari-hari (sekolah, teman bermain, dirumah, dan diluar rumah), menasehati anak untuk berpakaian, bersikap, berperilaku yang baik dan sopan, memberikan pendidikan agama sejak dini, menjadi figur yang dikagumi dan dibanggakan oleh anak-anaknya, dan menciptakan suasana yang kondusif dalam keluarga (yulis has s.h,m.h, 2015), dapat mencegah anak usia sekolah menjadi korban dari tindakan pelecehan seksual yang mengarah ke tindakan asusila. peran orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut mu’tadin (2002) yaitu, faktor budaya, faktor pendidikan, dan faktor pekerjaan. berdasarkan hasil penelitian menjelaskan bahwa 3% (2 orang tua) sangat berperan 28% (16 orang) cukup berperan, dan 69% (40 orang tua) kurang berperan dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual. 100% (58 orang tua) bersuku jawa. menurut soetjiningsih (1995), adat istiadat yang berlaku di tiap daerah akan berpengaruh terhadap bagaimana orang tua mendidik anak. peneliti beranggapan bahwa mengajak anak bercerita tentang pelecehan seksual merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan antara orang tua dan anak. berdasarkan tabulasi silang, 36% (21 ayah) berpendidikan terakhir sma dan 50% (29 ibu) berpendidikan terakhir sma. pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam memberikan pendidikan pada anak, karena tingginya jenjang pendidikan yang dimiliki oleh orang tua merupakan salah satu pendukung luasnya pengetahuan yang dimiliki orang tua (mu’tadin, 2002). menurut notoadmodjo (2003), pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. dengan tingginya pendidikan maka orang tersebut semakin luas pengetahuannya. peneliti beranggapan bahwa orang tua yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi serta yang berperan aktif dalam mencari informasi akan cenderung lebih aktif dalam mengkomunikasikan sesuatu yang diperlukan oleh anak usia sekolah, sehingga pengetahuan dan pemahaman orang tua dan anaknya tentang pelecehan seksual serta cara melindungi diri menjadi lebih baik. dari hasil tabulasi silang, 46% (27 ayah) memiliki pekerjaan swasta dan 45% (26 ibu) memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. menurut friedman (1998) pekerjaan akan menyita waktu yang dapat digunakan seseorang. sedangkan ibu rumah tangga memiliki waktu luang lebih atau kesempatan untuk memperhatikan anaknya serta mengikuti perkembangan anaknya. peneliti beranggapan bahwa semakin sering orang tua berinteraksi dengan anaknya, peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelcehan seksual akan semakin meningkat. dari hasil tabulasi silang, data khusus nomer 8 menunjukkan 88% (48 orang tua) menjawab tidak dan 12% (7orang tua) menjawab iya dalam memberikan wawasan tentang pelecehan seksual pada anak usia sekolah sejak dini. menurut edward (2006), seringkali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mendidik anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mendidik anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. peneliti beranggapan bahwa orang tua mengharapkan anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik sehingga orang tua mendidik anaknya sesuai dengan suku yang dominan di masyarakat. dari hasil tabulasi silang, data khusus nomer 3 menunjukkan 93% (51 orang tua) menjawab tidak dan 7% (8 orang tua) menjawab iya dalam bekerja sama dengan guru untuk mengawasi anak di sekolah. menurut bkkbn (2012) orang tua wajib mendampingi anak agar mereka tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang membawanya ke dalam kenakalan anak dan tindakan yang merugikan tabel 1. peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual di sdn sananwetan 02 kota blitar juli 2015 no kategori peran ora ng tua f % 1 san gat ber peran 2 3% 2 cukup ber peran 16 28% 3 kurang ber peran 40 69% total 58 1 00% 116 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 113–117 dirinya sendiri. peneliti beranggapan bahwa orang tua yang mendampingi anak dengan sikap bersahabat dapat membuat anak usia sekolah lebih merasa aman dan terlindungi dari tindakan pelecehan seksual. dari hasil tabulasi silang, data khusus pada nomer 14 didapatkan hasil 84% (49 orang tua) menjawab tidak dan 16% (9 orang tua) dalam menghindari pertengkaran di rumah di depan anaknya. menurut (yulis has s.h,m.h, 2015), menjaga kondisi keluarga di dalam rumah untuk tetap nyaman dan harmonis merupakan salah satu peran orang tua dalam melindungi anak dari tindakan pelecehan seksual. peneliti beranggapan bahwa semakin harmonis keadaan suatu keluarga meliputi saling menghargai, menyayangi, dan saling memberi perhatian kepada semua anggota keluarga khususnya bagi anak usia sekolah, karena akan membuat anak menjadi merasa nyaman di dalam rumah dan merasa aman di dalam rumah, sebaliknya jika di dalam keluarga hanya ada pertengkaran maka akan membuat anak tidak nyaman dan membuat anak cenderung mecari kenyaman di luar rumah. berdasarkan hasil tabulasi data umum, menunjukkan bahwa pekerjaan ayah dan ibu yaitu lainnya seperti sales dan buruh. menurut harno (2012) orang tua yang bekerja sebagian waktu dihabiskan diluar rumah untuk bekerja, hal ini mengurangi intensitas bertemu dan efisiensi waktu kebersamaan dengan anak. peneliti berpendapat bahwa orang tua yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja memiliki kedekatan yang berbeda dengan orang tua yang bekerja tetapi sebagian waktunya masih diberikan untuk anak, sehingga orang tua kurang menyiapkan untuk melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa 69% (40 orang tua) kurang berperan, 28% (16 orang tua) cukup berperan, 3% (2 orang tua) sangat berperan dalam melindungi anak usia sekolah dari tindakan pelecehan seksual. orang tua kurang berperan ditunjukan dengan sekolah, memberikan wawasan tentang pelecehan seksual. orang tua kurang berperan ditunjukan dengan kurang dalam berinterkasi dengan sekolah, memberikan wawasan tentang pelecehan seksual sejak dini, membiasakan anak untuk terbuka dalam keluarga, dan menghindari bertengkar di depan anak. sedangkan orang tua yang sangat berperan ditunjukan denga selalu bertanya kepada anak tentang apa saja yang anak lakukan saat di sekolah, dan selalu banyak meluangkan waktu bersama anaknya. saran saran bagi orang tua harus selalu mengantarkan anaknya ke sekolah dan lebih sering meluangkan waktu bersama anaknya serta tidak bosan mencari banyak informasi tentang pelecehan seksual, bagi peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan lebih jauh dengan permasalahan faktor-faktor yang mungkin berpengaruh pada peran orang tua dalam melindungi anak usia sekolah (612 tahun) dari tindakan pelecehan seksual selain faktor pendidikan, faktor budaya, dan faktor pekerjaan orang tua, bagi komisi perlindungan anak indonesia untuk segera melakukan sosialisasi tentang pelecehan seksual kepada orang tua dan menyiapkan hukuman yang tegas kepada para pelaku pelecehan seksual, serta kpai harus membentuk organisasi tertentu dalam menanggani khusus di bidang pelecehan seksual, bagi institusi pendidikan keperawatan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pengembangan konsep ilmu keperawatan. daftar rujukan alimul, aziz. 2003. riset keperawatan & teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba medika. arikunto, suharsimi. 2006. prosedur penlitian suatu prndekatan praktek. jakarta: rineka cipta. efendi, ferry. 2009. keperawatan komunitas: teori dan praktik dalam keperawatan. jakarta: salemba medika. friedman, marilyn. 1998. keperawatan keluarga: teori dan praktik. jakarta: egc. gunarsa, singgih d. 2008. psikologi praktis: anak, remaja dan keluarga. jakarta: gunung mulia. notoatmodjo, soekidjo. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. suhardono, edy. 1994. teori peran: konsep derivasi dan implikasi. jakarta: gramedia pustaka utama. soetjiningsih. 1995. tumbuh kembang anak. jakarta: egc. wong, donna l. 2008. buku ajar keperawatan pediatrik. jakarta: egc. cahyaningsih, d.s. 2011. pertumbuhan perkembangan anak dan remaja. jakarta: cv. trans info media. nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. surabaya: salemba medika. 117budianto, gambaran peran orang tua ... notoatmodjo, soekidjo. 2002. promosi kesehatan. jakarta: rineka cipta. irwansyah & asep k.n. 2006. sehat dan tangkas berolahraga. jakarta: grafindo media pratama. abu huraerah. 2006. kekerasan terhadap anak. jakarta: penerbit nuansa. emmy, soekresno s. 2007. mengenali dan mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. jakarta: nuasa media. mafrukhi. 2006. kompeten berbahasa indonesia. jakarta: penerbit erlangga. huraerah, abu. 2006. kekerasan terhadap anak jakarta: penerbit nuansa. kartono, kartini. 2005. patologi sosial 2, kenakalan remaja, cet ke-2. yogyakarta: pt gloria usaha media. stewart, e.d., dkk. 1992. pelecehan seksual. jakarta: rajawali. chomaria, nurul. 2008. aku sudah gede. solo: samudera azwar, saifuddin. 1998. sikap manusia: teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. 108 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 108–110 108 ratna ariesta dwi andriani program studi diii kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya email: ratnariesta@unusa.ac.id abstract: in the preliminary study conducted on bpm atik there were 30 (75%) primigravida said that they did not know what to do in labor since this was their first experience, so it was necessary to be educated on how to face the labor process. the purpose of this study was to determine the effect of health education on pregnancy to the level of knowledge of primigravida trimester iii in facing labor process in bpm atik. method : the study method used quasi experiment type with one group pre-test and posttest design. the samples was 36 respondents of primigravida trimester iii. result: the result of this study was the knowledge of the respondent before the health education was 73,52 and after the health education was 83,60 with tcount > ttable (-8,501> -2,042) or p-value <á (0,000 <0,05) then h0 rejected and ha accepted. this meant there was an effect of providing health education of pregnancy to the level of knowledge of primigravida in facing labor in bpm atik. keywords: knowledge, behavior, breast self-examination abstrak: pada studi pendahuluan yang dilakukan di bidan praktek mandiri atik ada 30 (75%) primigravida mengatakan tidak mengetahui apa saja yang harus dilakukan dalam menghadapi persalinan karena apa yang akan dilalui merupakan pengalaman pertama, sehingga perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan sebagai bekal dalam menghadapi persalinan. tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap tingkat pengetahuan primigravida trimester iii dalam menghadapi persalinan di bidan praktik mandiri atik. metode penelitian yang digunakan adalah jenis quasi experiment dengan design one group pre-test and post-test. sampel penelitian primigravida trimester iii berjumlah 36 responden. hasil dari penalitian ini bahwa pengetahuan responden sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebesar 73,52 dan sesudah pendidikan kesehatan sebesar 83,60 dengan thitung > ttabel (-8,501 > -2,042) atau p-value <  (0,000 < 0,05) maka h0 ditolak dan ha diterima. hal ini berarti ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap tingkat pengetahuan pada primigravida dalam menghadapi persalinan di bidan praktek mandiri atik. kata kunci: pendidikan kesehatan, primigravida, persiapan persalinan indonesia merupakan negara yang mempunyai aki tertinggi diantara negara-negara asean yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. berdasarkan data tersebut diperkirakan setiap tahun ada 13.000 ibu meninggal karena hamil, persalinan dan nifas. kematian ibu dapat dicegah dengan melakukan deteksi dini terhadap komplikasi yang terjadi pada ma sa keha mila n da n mendapa t per tolonga n pela ya na n keseha ta n ya ng tepa t da n cepa t. pencegahan komplikasi kehamilan dan deteksi dini risiko tinggi dapat dilakukan melalui pemeriksaan kehamilan dengan pencatatan yang benar sesuai standar pemeriksaan kehamilan (saifudin, 2002). kurangnya pengetahuan akan apa yang dihadapi pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap tingkat pengetahuan primigravida dalam menghadapi persalinan (the effectiveness of health education of pregnancy to knowledge level of primigravida about labor) acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p108-110 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 109andriani, pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan ... dalam persalinan dapat mengakibatkan rasa cemas dan takut, sehingga masa kehamilan kurang menyenangkan bahkan dapat mempersulit persalinan. cara terbaik untuk menghilangkan kecemasan dan kekhawatiran yang dialami ibu hamil adalah mencari informasi sebanyak mungkin tentangnya (stoppard, 2007). hasil studi pendahuluan pada bulan januari 2017 di bpm atik tedapat 40 primigravida trimester iii yang melakukan pemeriksaan kehamilan. dari hasil wawancara yang penulis lakukan, 30 (75%) primigravida mengatakan kurang tahu dalam menghadapi persalinan karena apa yang akan dilalui merupakan pengalaman pertama. 10 (25%) primigravida mengatakan mengetahui tentang kehamilan dan siap dalam menghadapi persalinan. hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap tingkat pengetahuan primigravida dalam menghadapi persalinan. tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap pengetahuan ibu primigravida dalam menghadapi persalinan. manfaat dari penelitian ini adalah memberikan referensi bahwa pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap pengetahuan primigravida menghadapi persalinan. bahan dan metode jenis penelitian yang dihunakan adalah quasi experiment dengan design one group pre-test and post-test untuk mempelajari pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap tingkat pengetahuan primigravida dalam menghadapi persalinan. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil, yang melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan praktik mandiri atik. sampel dalam penelitian ini adalah primigravida trimester iii yang memeriksakan kehamilan di bidan praktik mandiri atik. sa mpel penelitian ini dia mbil dengan teknik purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel untuk tujuan tertentu (hidayat, 2007). jadi sampel dalam penelitian ini adalah primigravida trimester iii yang melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan praktik mandiri atik pada bulan januari – mei tahun 2017 yang memenuhi kriteria inklusi, kemudian diambil sebagai responden. variabel dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang kehamilan dan pengetahuan primigravida dalam menghadapi persalinan. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner. setelah responden menyatakan setuju, yang ditunjukkan dengan pengisian lembar informed consent, kemudian peneliti memberikan penjelasan kepada responden tentang penelitian yang akan dilakukan. data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan langkah editing, coding, scoring, tabulating. hasil penelitian umur f % 20 – 25 23 63,88 26 – 30 12 33,33 31 – 35 1 2,79 jumlah 36 100 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di bidan praktek mandiri atik kategori f % sd 1 2,77 smp 7 19,44 sma 24 66,68 pt 4 11,11 total 36 100 tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenjang pendidikan di bidan praktek mandiri atik pekerjaan f % irt 20 55,57 swasta 11 30,55 pns 3 8,33 guru 2 5.55 total 36 100 tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di bidan praktek mandiri atik tabel 4 hasil skor rata-rata (mean) pre test dan post test pengetahuan tentang kehamilan pada primigravida dalam menghadapi persalinan penyuluhan mean t p sebelum 73,52 -8,501 0,000 sesudah 83,60 pembahasan berdasarkan hasil penelitian seluruh responden mempunyai perbedaan umur. mayoritas responden berumur 20–25 tahun. hasil penelitian ini menunjuk110 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 108–110 kan bahwa perbedaan umur tidak mempengaruhi pengetahuan primigravida trimester iii tentang kehamilan dalam menghadapi persalinan. hal ini tidak sesuai dengan teori nursalam yang mengatakan bahwa semakin cukup usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (nursalam, 2008). hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berpendidikan sma. perbedaan tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang setelah diberikan penyuluhan. hal ini sesuai dengan notoadmojo yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan akan mempengaruhi pikiran kritis seseorang, sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan maka pengetahuan seseorang akan baik (notoadmojo, 2003). pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap informasi baru yang diterimanya. maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah seseorang menerima informasi yang didapatnya (septalia, 2011). pekerjaan atau aktivitas responden yang berbeda tidak mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang setelah diberikan penyuluhan. pengaruh faktor lingkungan tempat tinggal dan lingkungan sekitar dapat menjadikan sesorang memiliki pengetahuan yang lebih baik dari yang lain, karena faktor lingkungan mempengaruhi cara berfikir dan bertindak seseorang baik secara langsung maupun secara tidak langsung. hal ini sesuai dengan teori, lingkungan adalah sesuatu yang ada dialam sekitar yang memiliki makna dan pengaruh tertentu kepada individu. lingkungan dapat memberikan pengaruh positif maupun pengaruh negatif. sehingga tidak dapat diabaikan, bahwa lingkungan mempengaruhi pengetahuan respoden dalam penelitian ini. pengalaman yang didapatkan seseorang ketika berada diluar rumah atau bekerja cenderung akan meningkatkan pengetahuan seseorang. sesuatu yang pernah dialami seseorang akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat informal (notoadmojo, 2003). hasil uji statistik bivariat dengan menggunakan paired t-test membuktikan adanya pengaruh pemberian pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan primigravida trimester iii dalam menghadapi persalinan. hal ini ditunjukkan dengan nilai p value untuk pengetahuan 0,000 < 0,05 dan nilai t hitung -8,50, karena thitung­ > ttabel (-8,501 > -2,042) atau p-value <  (0,000 < 0,05) maka h0 ditolak dan ha diterima sehingga ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap tingkat pengetahuan pada primigravida trimester iii dalam menghadapi persalinan di bidan praktek mandiri atik bulakbanteng. pemberian penyuluhan dengan bantuan media leaflet mampu meningkatkan pengetahuan. penyuluhan melibatkan adanya aktivitas mendengar, berbicara dan melihat yang membuat metode ini efektif. menganalisa bahwa informasi berperan dalam menunjang perubahan perilaku seseorang. informasi yang diterima melalui media cetak, elektronik, pendidikan/penyuluhan, buku-buku dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan seseorang sehingga ia akan biasa memperbaiki atau merubah perilakunya menjadi lebih baik (septalia, 2001) simpulan dan saran simpulan terdapat pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang kehamilan terhadap tingkat pengetahuan primigravida trimester iii dalam menghadapi persalinan dengan nilai t hitung = -8,501. dan nilai p value < , yakni sebesar 0,000<0,05, karena thitung­ > ttabel (-8,501 > -2,042) atau p-value <  (0,000 < 0,05) maka h0 ditolak dan ha diterima. saran bagi tenaga kesehatan khususnya bidan agar lebih mengoptimalisasikan kegiatan pendidikan kesehatan tentang kehamilan kepada ibu hamil untuk dapat meningkatkan pengetahuan ibu hamil dalam mempersiapkan proses persalinan. daftar rujukan hidayat, a. 2007. metode penelitian keperawatan teknik analisis data. salemba medika: jakarta. hal 83 nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. hal: 53-90 notoadmodjo s. 2003. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: pt rineka cipta. hal 79-92. saifuddin, ab. 2002. buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. jakarta: jnpkkr-pogi. hal : 11-13 _____________. buku panduan praktis pelayanan kesehaatn maternal dan neonatal. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawiroharjo. hal: 25–26. septalia, r.e. 2010. penyuluhan kesehatan masyarakat. stoppard, m. 2007. panduan mempersiapkan kehamilan dan kelahiran. yogyakarta: pustaka pelajar. hal : 256 – 257. 144 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 144–149 144 hubungan penggunaan sosial media dan pengetahuan seks bebas pada siswa/siswi usia 17-18 tahun (the correlation of social media usage and free sex knowledge of 17-18 years old senior high school students) hesti wahyuningtias, wahyu wibisono stikes patria husada blitar email: wahyu_kuromon@yahoo.com abstract: many factors can affect teen sex knowledge (students,) one of them is information media such as the social media. the purpose of this study was to determine the correlation of facebook and instagram usage with free sex knowledge of 17-18 years old students of senior high school pgri talun blitar. this design of the study was corelational with cross sectional design. the population in this study was all of students aged 17-18 years old of senior high school pgri talun blitar. the sample was 28 students. the sampling technique used total sampling. the statistical test used spearman rank. the results showed that there were 85.7% of adolescents who used social media facebook and instagram 71.4% were in the category of good knowledge and 10.7% in the category of fair, while 4% of adolescents who did not use facebook and instagram 7.1% were in the category of good knowledge and 10.7% were in category of fair. the conclusion of was there wasa correlation of social media usage with students’s knowledge about free sex in sma pgri talun blitar (p = 0,000). it is expected that school should be open minded on the digital technology, especially the social media so that student’s curiousity can be facilitated and monitored by school to prevent free sex. keywords: students, free sex knowledge, social media abstrak: banyak faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seks remaja (siswa) salah satunya adalah sumber informasi berupa media sosial. tujuan peelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penggunaan media sosial dengan pengetahuan seks siswa sma pgri talun blitar. jenis penelitian ini merupakan korelasional dengan rancangan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah remaja sma pgri talun blitar dengan sampel 28 siswa. tehnik pengambilan sampel ang digunakan adalah total sampling. uji statistik menggunakan spearman rank. hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 85,7 % remaja yang menggunakan media sosial facebook dan instagram memiliki pengetahuan baik sebesar 71,4 % dan cukup sebesar 10,7%. sedangkan dari 4 % remaja yang tidak menggunakan facebook dan instagram meiliki pengetahuan baik dan cukup masing-masing sebesar 7,1% dan 10,7%. kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan penggunaan media sosial dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas di sma pgri talun blitar (p = 0,000) kata kunci: siswa, pengetahuan seks , media sosial jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p144–149 pendahuluan setiap manusia sebelum mengalami masa dewasa pasti mengalami masa anak-anak dan masa remaja. remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. (irianto, 2015). ciri-ciri remaja secara psikologis sebagai berikut dorongan untuk menjauhkan diri dari orang tua menjadi realitas, pengembangan akan cita-cita masa depan, pengemit typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 145wahyuningtias, wibisono, hubungan penggunaan sosial media... bangan nilai moral dan etis yang mantap, pengembangan hubungan pribadi yang labil, dan penghargaan kembali pada orang tua dalam kedudukan yang sejajar. pada usia remaja memungkinkan untuk mengakses berbagai macam informasi termasuk yang menyajikan adegan seksual secara implisit. media yang ada, baik media elektronik maupun media cetak contohnya, kerap kali menyuguhkan sajian-sajian yang terlalu dini ataupun tidak layak dikonsumsi bagi anak-anak dan remaja. sering kali kita melihat pemberitaan-pemberitaan tentang meningkatnya angka sex bebas di kalangan remaja, salah satunya disebabkan oleh mudahnya akses para remaja ini ke hal-hal berbau pornografi. hal lain yang menjadi tren saat ini adalah keberadaan jejaring sosial seperti facebook dan instagram yang dikenal luas di masyarakat. jejaring sosial tersebut selain membawa manfaat positif juga membawa dampak negatif bagi remaja. manfaat positifnya selain mempererat tali silaturahmi juga bisa mendapatkan informasi terbaru dari status orang lain sedangkan dampak negatifnya yaitu dapat menganggu privasi, membuat ketagihan sehingga dapat mengganggu waktu untuk belajar dan dapat mempengaruhipara remaja untuk melakukan seks bebas (firman,2009). dari survey kesehatan reproduksi remaja (usia 14-19) tahun 2009 tentang perilaku seksual remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukan dari 19.173 responden 92% sudh berpacaran dan pada saat pacaran melakukan pegang-pengangan tangan, 82% berciuman, 62% melakukan petting, dan 10,2% sudah melakukan seks bebas. data tersebut diperkuat oleh survey bkkbn (2010) yang menyebutkan dari 100 responden di jabotabek 51% remaja telah melakukan hubungan seksual pranikah, di surabaya 54%, di bandung 47 %, medan 52% dan yogyakarta 37%. adapun dampak dari media sosial adalah sebagai berikut, remaja menjadi kecanduan untuk menggunakan jejaring sosial tanpa tahu waktu, remaja menjadi malas berkomunikasi di dunia nyata, situs jejaring sosial akan membuat remaja lebih mementingkan diri sendiri,dan menjadikan remaja menjadi malas belajar karena sering menggunakan jejaring sosial. (efendi,2010) pengetahuan seksual pada remaja tidak hanya berhubungan seksual melainkan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. bentuk-bentuk tingkah laku ini bermacam-macam, mulai dari perasaa tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. objek seksualnya biasanya orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. (sarwono, 2012) di blitar sebagian besar (59%) remaja sma di kabupaten blitar telah melakukan perilaku seksual pranikah beresiko berat, dari 90.8% remaja pernah atau sedang memiliki teman kencan (pacar) sebanyak 7,1% diantaranya pernah melakukan hubungan sekssual pranikah. (husna,2013) di sma pgri talun dari 82 responden mendapat informasi tentang pengetahuan seksual 1 siswa mendapat informasi dari internet, 18siswa mendapat informasi dari guru, 34 siswa mendapat informasi dari petugas kesehatan, 42 siswa mendapat informasi dari teman dan 5 siswa tidak ada yang memberi informasi. (tina sari, 2014) sehingga bagi siswa sma sangat penting karena mereka mengalami masa-masa menuju dewasa, dengan rasa ingin tau tinggi dan ingin mencoba halhal yang baru begitu besar. perilaku seksual pada siswa sma tersebut mengindikasikan kerawanan terhadap kejadian penyakit kelamin jika kegiatan tersebut berlanjut atau mengarah kepada yang lebih buruk, peyakit kelamin tersebut diantaranya penyakit gonorrhea, chamydia, urethritis, sifilis, herpes genital, tricomonas dan bahkan sampai menyebabkan hiv/aids (verawaty dan rahayu, 2012). sehingga perlu dilakukan pendekatan dengan orang tua, orang tua harus bisa menggunakan internet sehingga bisa mengawasi anak, di berikan pendidikan tentang bahaya media sosial, dan diberikan peralatan ketrampilan pada anak sehingga anak bisa menghabiskan waktu dengan produktif. berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pengunaan media sosial dengan kesehatan reproduksi pada siswa sma pgri talun blitar. bahan dan metode desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional jenispenelitian ini merupakan penelitian korelasional yaitu jenis penelitian denganmengobservasi variabel independen terlebih dahulu kemudian di ikuti sampai waktu tertentu untuk melihat terjadinya variabel dependen (nursalam, 2008:82). sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah rancangan cross sectional merupakan rancangan penelitian pada beberapa populasi yang diamati pada waktu yang sama. populasi dalam penelitian adalah remaja pertengahan yang berada di sma pgri talun kabupaten blitar mei 2017 sebanyak 28 orang. 146 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 144–149 sampel dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan yang ada di sma pgri talun kabupaten blitar sejumlah 28 orang yang memiliki kriteria inklusi dan eksklusi. teknik sampling yang dipakai dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh populasi diambil untuk dijadikan sebagai sampel. instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan memberikan pernyataan yang terbuka dan tertutup. kuesioner yang dibagikan terdiri dari dua bagian, yaitu: bagian pertama adalah data demografi, bagian kedua adalah kuesioner pengetahuan tentang seksual untuk mengetahui pengetahuan remaja pertengahan tentang hubungan seksual. data yang telah diperoleh diolah dengan menggunakan komputer program spss v20 dan disajikan dalam bentuk tabel. analisa yang digunakan adalah analisa data bivariat yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang signifikan antara variabel. uji statistik yang digunakan adalah uji spearman rank. hasil penelitian karakteristik responden penelitian dilaksanakan di sma pgri talun blitar. karakteristik responden pada penelitian ini meliputi usia, penggunaan media sosial dan pernah berpacaran. hasil penelitian menunjukkan sebagian besar remaja (60,7%) berusia 17 tahun, hampir seluruhnya (82, 1%) r ema ja mengguna ka n media sosia l facebook dan instagram, dan hampir seluruhnya (89,3%) remaja pernah berpacaran. berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar (78,6%) remaja memiliki pengetahuan baik tentang seks bebas. hubungan penggunaan media sosial dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 82,1% remaja yang menggunakan media sosial facebook dan instagram memiliki pengetahuan baik sebesar 75,0% dan cukup sebesar 7,1%. sedangkan dari 5 remaja yang tidak menggunakan facebook dan instagram memiliki pengetahuan baik dan cukup masing-masing sebesar 3,6% dan 14,3%. hasil uji spearman rank menunjukkan nilai p value = 0,000, sehingga nilai p value 0,000 <  = 0,05 bermakna ada hubungan penggunaan media sosial dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas remaja di sma pgri talun blitar. selain itu, ada hubungan yang kuat antara penggunnan media sosial facebook dan instagram dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas remaja ditandai nilai r sebesar 0,666. no pengetahuan f % 1 baik 22 78,6 2 cukup 6 21,4 3 kurang 0 0 jumlah 28 100 tabel 1 distribusi frekuensi pengetahuan remaja tentang seks bebas ya 21 (75%) 2 (7,1%) 0 (0%) 23 (82,1%) tidak 1 (3,6%) 4 (14,3%) 0 (0%) 5 (17,9%) total 22 (78,6%) 6 (21,4%) 0 (0%) 28 (100,0 %) uji spearman rank’s = 0,000 r = 0,666 tabel 2 tabulasi silang penggunaan media sosial dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas kriteria penggunaan media sosial pengetahuan total baik cukup kurang pengetahuan remaja tentang seks bebas pembahasan penggunaan media sosial facebook dan instagram pada remaja berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di sma pgri talun blitar didapatkan hampir seluruhnya remaja menggunakan media sosial facebook dan instagram. facebook adalah suatu situs jejaring sosial yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk menjalin hubungan pertemanan dengan seluruh orang yang ada di belahan dunia untuk dapat berkomunikasi satu dengan yang lainnya. facebook 147wahyuningtias, wibisono, hubungan penggunaan sosial media... merupakan situs pertemanan yang dapat digunakan manusia untuk bertukar informasi, berbagi foto, vidio, dan lainnya. instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik instagram sendiri. satu fitur yang unik di instagram adalah memotong foto menjadi bentuk persegi, sehingga terlihat seperti hasil kamera kodak instamatic dan polaroid. hal ini mengindikasikan remaja sangat cepat mengadaptasi perkembangan teknologi saat ini dan sebagai media mengekresikan dirinya melalui dunia maya. hasil penelitian menunjukkan sebagian besar remaja berusia 17 tahun. remaja didefinikan sebagai periode transisi perkembangan dari masa anak-anak ke masa dewasa, yang mecakup aspek biologis, kognitif, dan perubahan sosial yang berlangsung antara usia 9–19 tahun (ratna, 2010). usia remaja memiliki ciri yaitu pencarian identitas diri, rasa ingin tau tinggi, merasa ingin bebas, lebih banyak memperhatikan keaadaan fisiknya dan mulai berfikir dan berkhayal serta merasa lebih dekat dengan teman sebaya. kalangan remaja yang mempunyai media sosial biasanya memposting tentang kegiatan pribadinya, curhatannya, serta foto-foto bersama teman. dalam media sosial siapapun dapat dengan bebas berkomentar serta menyalurkan pendapatnya tanpa rasa khawatir. (ratna, 2010) masa remaja merupakan masa perkembangan dalam segala hal sehingga menjadi labil atau mudah dipengaruhi merupakan suatu ciri dari remaja sendiri. remaja saat ini sangat ketergantungan terhadap media sosial. adapun dampak dari media sosial adalah sebagai berikut, remaja menjadi kecanduan untuk menggunakan jejaring sosial tanpa tahu waktu, remaja menjadi malas berkomunikasi di dunia nyata, situs jejaring sosial akan membuat remaja lebih mementingka diri sendiri,dan menjadikan remaja menjadi malas belajar karena sering menggunakan jejaring sosial. (efendi, 2010). manfaat positifnya sela in memperera t tali silaturahmi juga bisa mendapatkan informasi terbaru dari status orang lain sedangkan dampak negatifnya yaitu dapat menganggu privasi, membuat ketagihan sehingga dapat mengganggu waktu untuk belajar dan dapat mempengaruhi para remaja untuk melakukan seks bebas (firman,2009). setiap siswa di lingkungan sekolah selalu dominan membawa gadget dimanapun mereka berada. para siswa mengungkapkan bahwa media sosial merupakan bagian dari kecanggihan teknologi yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang mereka lakukan. masa pencarian identitas diri remaja tidak terlepas dari gaya hidup yang dikembangkan masyarakat terutama dalam mengisi waktu luang, misalnya yang dilakukan para remaja untuk mengakses media sosial. hal inilah yang perlu diperhatikan oleh orang tua sehingga remaja tidka memiliki kecanduan terhadap media sosial. pengetahuan remaja tentang seks bebas berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di sma pgri talun blitar didapatkan sebagian besar remaja memiliki pengetahuan baik tentang seks bebas. pengetahuan adalah hasil yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap satu obyek tertentu. pengindraan terjadi melalui panca indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba sehingga sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. jadi pengetahuan merupakan hasil pengindraan kita (notoadmojo, 2010). perkembangan seksual pada peserta didik usia sekolah menengah (masa remaja) berusaha secara total menemukan satu identitas, berupa perwujudan orientasi seksual yang tercermin dari hasrat seksual, emosional, romantis,dan atraksi kasih sayang (sarwono, 2007). adanya pengetahuan baik tentang seks bebas ini diduga dipengaruhi oleh usia, pendidikan dan lingkungan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar remaja berusia 17 tahun. umur adalah usia individu yang terhitung mulai saaat dilahirkan sampai berulang tahun, semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir (notoadmojo, 2010). tingkat kematangan berpikir pada remaja usia akhir ini tentunya akan dapat memiliah mana hal yang baik bagi dirinya dan lingkungannya. remaja usia ini juga mampu melakukan pengembangan nilai moral dan etis yang mantap yaitu dengan mulai menyusun nilai-nilai moral dan etis sesuai dengan cita-cita. pendidikan sma merupakan pendidikan menengah yang mengajarkan banyak ketrampilan untuk dunia kerja nantinya. terbentuknya pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor predisposisi (pendidikan, pekerjaan, nilai atau kepercayaan) faktor pendukung (sarana atau fasilitas yang ada) dan faktor pendorong (sikap dan perilaku dari perawat atau petugas kesehatan lainnya) (notoatmodjo, 2010). semakin tinggi pendidikan seseorang maka tinggi pula pengetahuan yang didapat oleh orang 148 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 144–149 tersebut, yang artinya dapat mempengaruhi terhadap pola pikir dan daya nalar seseorang. tingkat pendidikan yang semakin tinggi, seseorang akan lebih rasional dan kreatif serta terbuka dalam menerima adanya bermacam usaha perbaikan kesehatan dan dapat menyesuaikan diri terhadap pembaharuan. perubahan-perubahan hormonal pada usia remaja akan meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu. namun, dengan penalaran yang baik tentu hasrat seksual yang terjadi akan mampu diredam karena mereka akan melihat dampaknya. berdasarkan wawancara dan observasi pada remaja di sma pgri talun sebagian besar tumbuh dikalangan keluarga yang sangat memperhatikan kondisi psikologis mereka dan berada pada lingkungan agama yang kuat. lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. lingkungan memberikan pengaruh sosial pertama bagi seseorang dimana seseorang dapat mempelajari hal-hal yang baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat kelompok dalam lingkungan alam.(nursalam, 2011). hal ini menjadi kunci utama dari pengetahuan yang baik pada remaja tentang seks bebas mengingat orang tua dan agama merupakan pondasi untuk mencegah terjadinya seks bebas. hubungan penggunaan media sosial dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas hasil penelitian menunjukkan dari 85,7% remaja yang menggunakan media sosial facebook dan instagram memiliki pengetahuan baik sebesar 71,4% dan cukup sebesar 10,7%. sedangkan dari 4% remaja yang tidak menggunakan facebook dan instagram memiliki pengetahuan baik dan cukup masingma sing sebesar 7, 1% dan 10,7%. ha sil uji spearman rank menunjukkan nilai p value = 0,000, sehingga nilai p value 0,000 <  = 0,05 bermakna ada hubungan penggunaan media sosial dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas remaja di sma pgri talun blitar. selain itu, ada hubungan yang kuat antara penggunnan media sosial facebook dan instagram dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas remaja ditandai nilai r sebesar 0,666. hal ini mengindikasikan penggunaan media sosial merupakan salah satu sumber untuk mendapatkan pengetahuan remaja tentang seks bebas. jejaring sosial selain membawa manfaat positif juga membawa dampak negatif bagi remaja. manfaat positifnya selain mempererat tali silaturahmi juga bisa mendapatkan informasi terbaru dari status orang lain sedangkan dampak negatifnya yaitu dapat menganggu privasi, membuat ketagihan sehingga dapat mengganggu waktu untuk belajar dan dapa t mempenga ruhi para rema ja untuk melakukan seks bebas (firman, 2009). usia remaja memungkinkan untuk mengakses berbagai macam informasi termasuk yang menyajikan adegan seksual secara implisit. media yang ada, baik media elektronik maupun media cetak contohnya, kerap kali menyuguhkan sajian-sajian yang terlalu dini ataupun tidak layak dikonsumsi bagi remaja. media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpertisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. media sosial sebagai sarana untuk mencari informasi, hiburan maupun berkomunikasi dengan teman untuk membicarakan berbagai hal. informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru (notoatmodjo, 2012). adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. pengetahuan seseorang cenderung akan berubah kearah sesuai dengan informasi yang didapat dan orang yang dianggap penting terutama teman dalam media sosial. subjek penelitian yang kesemuanya merupakan siswa sma, hamper seluruhnya menggunakan media social, sehingga akses dan sharinginformasi khususnya terkait seks bebas juga lebih cepat. pengetahuan merupakan salah satu faktor intrinsik yang dimiliki oleh seseorang karena proses belajar atau dari informasi dan dapat memberikan dorongan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. pengetahuan akan terus berkembang seiring tuntutan hidup seseorang, sehingga pengetahuan yang diperoleh akan mempengaruhi tindakan seseorang (notoatmodjo, 2008). hal ini mengindikasikan pengetahuan seseorang akan semakin meningkat apabila diberikan informasi yang benar dan akurat. untuk mencegah terjadinya perilaku seks bebas tentunya peranan orang tua dan kekuat 149wahyuningtias, wibisono, hubungan penggunaan sosial media... an agama seseorang menjadi pokok utama. pengetahuan remaja di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ada umur, pendidikan, pengelaman, pekerjaan, dan lingkungan (nursalam, 2011) simpulan dan saran simpulan berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: remaja di sma pgri talun blitar hampir seluruhnya menggunakan media sosial facebook dan instagram, pengetahuan tentang seks bebas remaja di sma pgri talun blitar sebagian besar pada kategori baik, hasil uji spearman rank menunjukkan nilai p value = 0,000, sehingga nilai p value 0,000<  = 0,05 bermakna ada hubungan penggunaan media sosial dengan pengetahuan remaja tentang seks bebas remaja saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan, peneliti ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut: bagi tempat penelitian, diharapkan dengan penelitian ini tempat yang menjadi lokasi penelitian lebih bersifat terbuka terhadap segala informasi terkait upaya yang bisa dilakukan oleh sektor terkait dalam usaha mengembangkan kesadaran serta kemampuan remaja untuk lebih memahami perilaku seks bebas yang merugikan dirinya; bagi remaja, remaja dapat memahami tentang seks bebas serta berupaya untuk meningkatkan hubungan dengan orang tuanya dan meningkatkan kedekatannya dengan tuhan agar tidka terjerat pada hal negatif terutama seks bebas; bagi institusi kesehatan, hasil penelitian ini sebagai tambahan referensi dan wacana dilingkungan pendidikan serta sebagai bahan kajian lebih lanjut khususnya untuk penelitian yang sejenis. diharapkan institusi lebih banyak menyediakan referensi tentang seks bebas pada remaja sehingga dapat mempermudah pada penelitian selanjutnya yang ingin melanjutkan penelitian tentang topik ini. daftar rujukan bkkbn. 2010. makin banyak remaja lakukan seks pranikah (online). http://ceria.bkkbn.go.id. diakses 25 september 2013, pukul 20:14 wib. firman, m. dan chandrataruna, m. 2009. “manfaat fac e book le bih b any ak” , h tt p: / / t e kn ol ogi . vi va n e ws . c om / n e ws / r ea d / 6 24 81 manfaat_facebook_lebih_banyak. diakses 25 september 2013, pukul: 10.00 wib. hidayat, a a. 2010. metode penelitian kebidanan dan teknis analisis data. jakarta: salemba medika irianto,k.2015. kesehatan reproduksi teori dan praktek. bandung:alfabetama’sum, suwarno. 2003. penanggulangan bahaya narkotika dan ketergantungan obat. jakarta:v. mas agung notoadmojo, s.2008. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: pt rineka cipta. notoadmojo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoadmojo, s. 2012. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam.2011.metodologi penelitian ilmu keperawatan:pendekatan praktis.jakarta: salemba medika. nursalam. 2014. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperwatan. jakarta: salemba medika. pujiningtyas, l. r. 2014. hubungan penggunaan media sosial dengan perilaku seks siswa smp di surakarta. skripsi. universitas muhamadiyah surakarta sarwono. 2007. psikologi remaja. jakarta : raja grafindo persada sari, l.t. 2014. efektifitas pendidikan seksual dini pada remaja melalui binaan keagamaan terhadap kecenderungan seks bebas. jurnal kesehatan stikes ganesha husada. 34 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 34–38 34 pengaruh pemberian zat besi (fe) terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil yang mengalami anemia (the effectiveness of administration of iron (fe) to the improvement of hematocrit level of pregnant woman with anemia) rini hariani ratih prodi d iii kebidanan universitas abdurrab, pekanbaru, riau email: rini.hariani.ratih@univrab.ac.id abstract: iron is the mineral needed to form red blood cells (hemoglobin). pregnant women with weak, pale, easily fainting complaints, with normal blood pressure, should be suspected of iron deficiency anemia. to ensure a mother is anemic or not, they should have hemoglobin levels examination and hematocrit examination. the purpose of this study was to determine the effectiveness of iron (fe) to the improvement of hematocrit level of pregnant women with anemia. the type of study used quantitative with quansi experiment research design (quasi experiment). the study was conducted in rsia x pekanbaru in march 2015. the population was all pregnant women who came to rsia x pekanbaru. the sample was the blood of pregnant women’s patients before and after administration of iron tablets (fe) that had been checked in the laboratory of rsia x pekanbaru by 30 respondents. the statistical test with spss 21,0 using t test obtained pvalue = 0.000, where pvalue smaller than 0.05 meant ho rejected ha accepted, meaning there was a significant difference between the results of examination of administration of fe before and after to increase the level of hematocrit of mother with anemia at rsia x pekanbaru. it’s expected to health workers to do counseling to the public about the importance of pregnancy checking, especially hematocrit examination and taking iron supplements (fe) in pregnant women who are anemia. keywords: influence of iron (fe), increased hematocrit level, pregnant mother abstrak: zat besi adalah mineral yang dibutuhkan untuk membentuk sel darah merah (hemoglobin). ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan darah dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. guna memastikan seorang ibu menderita anemia atau tidak, maka dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dan pemeriksaan hematokrit. tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian zat besi (fe) terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil yang anemia. jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan desain penelitian quansi experiment (eksperimen semu). penelitian dilakukan di rsia x pekanbaru pada bulan maret 2015. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien ibu hamil yang dating ke rsia x pekanbaru. sampel yang diteliti adalah darah pasien ibu hamil sebelum dan sesudah pemberian tablet zat besi (fe) yang melakukan pemeriksaan di laboratorium rsia x pekanbaru sebanyak 30 responden. setelah dilakukan uji statistik dengan spss 21,0 menggunakan uji t maka didapatkan pvalue = 0.000, dimana pvalue lebih kecil dari 0.05 berarti ho ditolak ha diterima, artinya ada perbedaan yang signifikan antara hasil pemeriksaan pengaruh pemberiaan fe sebelum dan sesudah terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil di rsia x pekanbaru. diharapkan kepada petugas kesehatan untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya memeriksakan kehamilan khususnya pemeriksaan hematokrit dan mengkonsumsi suplemen zat besi (fe) pada ibu hamil yang anemia. kata kunci: pengaruh pemberian zat besi (fe), peningkatan kadar hematokrit, ibu hamil jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p034–038 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 35ratih, pengaruh pemberian zat besi (fe) terhadap peningkatan kadar hematokrit... pendahuluan kehamilan adalah pertumbuhan dan perkembangan janin intrauteri mulai sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (manuabaet al., 2012). selama proses kehamilan terjadi beberapa perubahan adaptasi dalam tubuh ibu. salah satu perubahan yang terjadi adalah perubahan hematologis, berupa peningkatan volume darah ibu, penurunan hemoglobin dan hematokrit, peningkatan kebutuhan zat besi, perubahan pada sistem imunologis dan leukosit, serta koagulasi dan fibrinolisis (cunningham et al., 2013) ibu hamil merupakan salah satu kelompok rawan kekurangan gizi, karena terjadi peningkatan kebutuhan gizi untuk memenuhi kebutuhan ibu dan janin yang dikandung. pola makan yang salah pada ibu hamil membawa dampak terhadap terjadinya gangguan gizi antara lain anemia, pertambahan berat badan yang kurang pada ibu hamil dan gangguan pertumbuhan janin (ojofeitimi, et al., 2008). menurut who (2008), secara global prevalensi anemia pada ibu hamil di seluruh dunia adalah sebesar 41,8%. prevalensi anemia pada ibu hamil diperkirakan di asia sebesar 48,2%, afrika 57,1%, amerika 24,1%, dan eropa 25,1%.united states agency international development (usaid) menyatakan bahwa anemia pada kehamilan diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 20% terhadap angka kematian ibu. anemia berat dengan kadar hemoglobin kurang dari 7 gr/dl meningkatkan resiko kematian pada wanita usia subur baik dalam keadaan hamil atau tidak hamil (usaid, 2015). world health organization (who) menyebutkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil secara global mencapai 41,8% atau sekitar 56 juta ibu hamil. hal ini ditunjukkan dari data world bank 2005 dalam febriana (2012), menyatakan bahwa 63% ibu hamil di indonesia mengidap anemia. diperkuat dari data riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa 24,5% wanita subur menderita anemia pada saat kehamilan (depkes, 2007). anemia gizi pada umumnya dijumpai di indonesia terutama disebabkan anemi kurang besi. penyebab anemia kurang besi tampaknya adalah karena konsumsi zat besi yang tidak cukup dan absorbsi zat besi yang rendah dari pola makanan yang sebagian besar terdiri dari nasi, dan menu yang kurang beranekaragam (rasmaliah, 2004). kondisi ini menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit pada trimester i dan ii, sedangkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimester iii kehamilan (darlina, 2003). anemia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh penurunan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, dan hematokrit dibawah normal (arisman, 2009). anemia sering menyerang pada masa kehamilan. kebutuhan ibu pada saat hamil terhadap unsur-unsur makanan semakin meningkat seperti protein, zat besi, vitamin, asam folat dan mineral. jika kebutuhan tersebut tidak tercukupi, maka ibu akan mengalami anemia. anemia yang sering dialami ibu hamil adalah anemia defisiensi besi dan anemia megaloblastik (moehji, 2002 ; alpers et al., 2008). hematokrit merupakan suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui volume eritrosit dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam (%). nilai hematokrit merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menentukan apakah konsentrasi sel darah merah tinggi, rendah, atau normal (wirawan, 2009). ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan darah dalam batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. secara klinis dapat dilihat tubuh yang pucat dan tampak lemah (malnutrisi). guna memastikan seorang ibu menderita anemia atau tidak, maka dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin dan pemeriksaan hematokrit. pemeriksaan hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan standar (wiknjosastro, 2005). penurunan kadar hematokrit dapat terjadi pada beberapa kondisi tubuh, seperti anemia, kehilangan darah akut, leukemia, kehamilan, malnutrisi, gagal ginjal. sedangkan peningkatan kadar dapat terjadi pada beberapa kondisi, seperti dehidrasi, diare berat, luka bakar, pembedahan (kurniawan, 2010). berdasarkan survey awal yang dilakukan, peneliti melakukan wawancara terhadap petugas laboratorium dan mengambil data pasien ibu hamil rsia x pekanbaru pada bulan desember 2014 terdapat 50 pasien ibu hamil yang berkunjung dengan 35 orang ibu hamil tersebut mengalami anemia, dari data tersebut dapat dilihat bahwa lebih dari 50% ibu hamil mengalami anemia. oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “pengaruh pemberian zat besi (fe) terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil yang anemia.” bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif dengan desain penelitian adalah quasi experiment 36 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 34–38 (eksperimen semu) dengan rancangan one group pre-test post-test design (rancangan pra-pasca test dalam satu kelompok),teknik sampling penelitian ini dilakukan dengan cara accidental sampling, pengambilan sampel dengan mengambil sampel pasien yang kebetulan tersedia (notoatmodjo, 2005). kadar hematokrit ibu hamil dengan anemia dilakukan pemeriksaan laboratorium di rsia x pekanbaru sebelum dan sesudah pemberian tablet zat besi (fe) yang diobservasi selama 30 hari. sampel yang diteliti adalah darah pasien ibu hamil sebelum dan sesudah pemberian tablet zat besi (fe) yang melakukan pemeriksaan di laboratorium rsia x pekanbaru tahun 2015 sebanyak 30 responden. hasil penelitian setelah dilakukan penelitian yang berjudul pengaruh pemberian zat besi (fe) terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil yang mengalami anemia di rsia x pekanbaru yang telah dilaksanakan pada bulan mei 2015 didapatkan hasil sebagai berikut: berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa rerata hasil pemeriksaan hematokrit sebelum pemberian fe adalah 26,40 + 2,30, sedangkan rerata hasil pemeriksaan hematokrit sesudah pemberian fe adalah 32,12 + 3,72 dengan pvalue = 0.000, dimana pvalue lebih kecil dari 0.05 berarti ho ditolak ha diterima, artinya ada perbedaan yang signifikan antara hasil pemeriksaan pengaruh pemberiaan fe sebelum dan sesudah terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil di rsia x pekanbaru. pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap 30 responden bahwa nilai persentase tertinggi pemeriksaan hematokrit sebelum pemberian fe terdapat diantara nilai hematokrit < 26% sebanyak 16 sampel (53,3%). dan hasil persentase terendah pemeriksaan hematokrit terdapat diantara nilai hematokrit 26-34% sebanyak 14 sampel (46,7%). persentase tertinggi pada pemeriksaan hematokrit sesudah pemberian fe terdapat diantara nilai hematokrit 2634% sebanyak 17 sampel (56,7%). dan hasil persentase terendah pemeriksaan hematokrit terdapat diantara nilai hematokrit < 26% sebanyak 1 sampel (3,3%). setelah dilakukan uji statistik dengan spss 21,0 menggunakan uji t maka didapatkan pvalue = 0.000, dimana pvalue lebih kecil dari 0.05 berarti ho ditolak ha diterima, artinya ada perbedaan yang signifikan antara hasil pemeriksaan pengaruh pemberiaan fe sebelum dan sesudah terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil di rsia x pekanbaru. nilai hematokrit / % f % < 26 16 53,3 26-34 14 46,7 jumlah 30 100 tabel 1 distribusi frekuensi hasil pemeriksaan h e matokr i t se bel um pe mber i an fe berdasarkan nilai normal berdasarkan tabel 1 dapat dilihat hasil persentase tertinggi pemeriksaan hematokrit sebelum pemberian fe terdapat diantara nilai hematokrit <26% sebanyak 16 sampel (53,3%). dan hasil persentase terendah pemer iksaa n hematokr it terdapat diantara nilai hematokrit 26-34% sebanyak 14 sampel (46,7%). nilai hematokrit / % f % < 26 1 3,3 26-34 17 56,7 > 34 12 40,0 jumlah 30 100 tabel 2 distribusi frekuensi hasil pemeriksaan h e matokr i t se sudah pe mber i an fe berdasarkan nilai normal berdasarkan tabel 2 dapat dilihat hasil persentase tertinggi pemeriksaan hematokrit sesudah pemberian fe terdapat diantara nilai hematokrit 2634% sebanyak 17 sampel (56,7%). dan hasil persentase terendah pemeriksaan hematokrit terdapat diantara nilai hematokrit <26% sebanyak 1 sampel (3,3%). perlakuan kadar ht (%) pvaluemean + sd sebelum pemberian 26,40 + 2,30 0,000 sesudah pemberian 32,12 + 3,72 tabel 3 rerata pengaruh pemberian fe terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil yang mengalami anemia 37ratih, pengaruh pemberian zat besi (fe) terhadap peningkatan kadar hematokrit... hematokrit merupakan suatu pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui volume eritrosit dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam (%). nilai hematokrit merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menentukan apakah konsentrasi sel darah merah tinggi, rendah atau normal (wirawan, 2000). hematokrit merupakan perbandingan antara proporsi volume sampel darah dengan sel darah merah (eritrosit) yang diukur dalam satuan milimeter per desiliter dari darah keseluruhan, bisa juga dinyatakan dalam persen. pengukuran ini bisa dihubungkan dengan tingkat kekentalan darah. semakin tinggi persentasenya berarti semakin tinggi kekentalan darahnya, atau sebaliknya. bersama kadar hemoglobin, kadar hematokrit biasanya dikaitkan dengan drajat anemia yang diderita (gibson, 2005). nilai hematokrit dalam kehamilan sangat sukar diatur karena toleransi terhadap hematokrit berubahubah. wanita hamil mudah menderita asidosis dan kadar insulin yang diberikan sangat bervariasi sehingga sangat berpengaruh terhadap kehamilan. adapun pengaruh tersebut menurut sastrawinata (2005), antar lain: persalinan kurang bualan sedikit besar (lahir premature), bayi yang sering besar (obesitas) dan bayi sering mati dalam rahim terutama sesudah minggu 23, kematian ini diduga disebabkan oleh hipoglikemia. penurunan kadar hematokrit ibu hamil dapat menimbulkan kehilangan darah akut, anemia (aplastik, hemolitik, defisiensi asam folat, fernisiosa, sideroblastik, sel sabit), leukimia (limfositik, meolisitik, monositik), penyakit hodgkin, limfosarkoma, malignansi organ, myeloma, multiple, sirosis hati, malnutrisi protein, defisiensi vitamin (tiamin, vitamin c), fistula lambung atau duodenum, ulkus peptikum, gagal ginjal kronis, kehamilan (sastrawinata, 2005). peningkatan kadar hematokrit ibu hamil dehidrasi atau hipovolemia, diare berat, polisitemia vera, eritrositosis, diabetes, asidosis, emfisema, pulmonari tahap akhir, iskemia serebrum sementara, ekslamsia, pembedahan, lika bakar (sastrawinata, 2005). besi merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia, yaitu sebanyak 2-3 gr di dalam tubuh manusia dewasa. besi mempunyai beberapa fungsi esensia di dalam tubuh yaitu alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu sebagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh (almatsier, 2004). adapun fungsi zat besi menurut bangun (2005), antara lain: memproduksi sel darah merah dan sel otot, serta menghindari terjadinya anemia besi, memproduksi energi dan kesehatan sistem kekebalan tubuh, mengangkut oksigen di dalam sel darah merah ke otak, dan sebagai pelarut oabat-obatan. obat-obatan yang tidak larut air, oleh enzim mengandumg besi dapat dilarutkan hingga dapat dikeluarkan dari tubuh. hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh subarta et al (2011), diperoleh hubungan yang bermakna antara pelayanan anc (antenatal care) dalam pengolahan anemia dengan kepatuhan subjek dalam minum tablet besi. hal ini dapat dikatakan bahwa semakin patuh ibu hamil mengkonsumsi tablet fe maka semakin baik nilai hemoglobin dan hematokritnya. sejalan dengan itu ditemukan juga hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan kepatuhan konsumsi tablet besi tetapi tidak terbukti adanya hubungan yang bermakna antar sikap dan kepatuhan ibu hamil konsumsi tablet besi. analisis regresi logistik diketahui pelayanan anc dalam pengolahan anemia dan pengetahuan secara bersama-sama memiliki hubungan bermakna dengan kepatuhan ibu hamil dalam minum tablet besi (p < 0,05). asumsi peneliti terhadap penelitian ini yang mana hasilnya ada perbedaan yang signifikan antara hasil pemeriksaan pengaruh pemberian fe sebelum dan sesudah terhadap peningkatan kadar hematokrit adalah, semakin patuh ibu hamil mengkonsumsi tablet fe dan teraturnya dalam kunjungan anc maka semakin baik nilai hematokrit. simpulan dan saran simpulan setelah dilakukan penelitian yang berjudul “pengaruh pemberian zat besi fe terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil yang mengalami anemia di rsia x pekanbaru tahun 2015, maka dapat disimpulkan kadar hematokrit pada ibu hamil yang anemia sebelum mengkonsumsi tablet zat besi (fe) adalah 26,40 + 2,30, kadar hematokrit pada ibu hamil yang anemia sesudah mengkonsumsi tablet zat besi (fe) adalah 32,12 + 3,72 dan ada pengaruh pemberian zat besi (fe) terhadap peningkatan kadar hematokrit pada ibu hamil yang anemia. 38 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 34–38 saran berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peniliti pada ibu hamil yang anemia di rsia x pekanbaru tahun 2015, maka peneliti mengajukan beberapa saran. yaitu penelitian lanjutan disarankan menggunakan sampel yang lebih spesifik seperti kadar hematokrit pada ibu hamil trimester tertentu, kepada petugas kesehatan untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya memeriksakan kehamilan khususnya pemeriksaan hematokrit dan mengkonsumsi suplemen zat besi (fe) pada ibu hamil yang anemia. daftar rujukan almatsier, s. 2004. prinsip dasar ilmu gizi. jakarta: gramedia pustaka utama arisman. 2009. buku ajaran ilmu gizi: gizi dalam daur kehidupan.ecg. jakarta bangun, h. 2005. pembuatan dan karakterisasi kapsul alginat yang tahan terhadap asam lambung. jakarta: media farmasi. darlina. 2003. faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil (skripsi). bogor: departemen gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga. fakultas pertanian institut pertanian bogor. gibson, r. s. 2005. principles of nutritional assessment. second edition. oxford university press inc, new york. kurniawan s, wibawa g, hairiah k. 2010. studi biodiversitas: apakah agroforestri mampu mengkonversi keanekaragamanan hayati di das working paper 199. bogor, indonesia: world agroferestry centre (icraf) southeast asia program. ojofeitimi eo, et al., poor dietary intake of energy dan retinol among pregnant women: implications for pregnancy outcome. pak. j. nutr. 2008; 7 (3): 480484. southwest nigeria. rasmaliah. 2004. anemia kurang besi dalam hubungannya dengan infeksi cacing pada ibu hamil (skripsi). sumatera utara: universitas sumatera utara. riset kesehatan dasar (riskesdas). 2011. kementerian kesehatan republik indonesia. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan winkjosastro, h. 2005. dalamilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka wirawan. 2009. evaluasi kinerja sumber daya manusia: teori aplikasi dan penelitian. jakarta: salemba empat. world health organization. 2008. recommendations for the preventation of postpartum haemorrage. geneva: world health organization department of making pregnancy safer. http://www.who.int/ m a k i n g _ p r e g n a n c y_ s a f e r / p u b l i c a t i o n s / whoreccom enda t i on for ppha em or r a ge. pdf (diakses 20 oktober 2014) bab 1 * ) jurusan keperawatan poltekkes malang, ** ) praktisi keperawatan 82 mutu pelayanan keperawatan berdasar dimensi rater (nursing service quality based on rater dimension) suprajitno* ) , mujito* ) , eva latifa lestari dewi s** ) jurusan keperawatan poltekkes malang abstract introduction: the quality of service have to be started from the need of patient and ended on patient satisfaction. nursing service can be evaluated by patient satisfaction with rater dimension. method: research design was descriptive exploratorative. research subject was 30 patients whose check in poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar, and who was selected using quota sampling technique. collecting data was structured interviews with help the check list. the interviewer only puts the sign of  (check) at appropriate patient answer. instrument of data collecting was 20 questions items based on the quality of rater dimension. result: the nursing service quality in poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar based on rater dimension was in bravo position, which means what the customers got is suitable with the patient’s expectation. discussion: to maintain and improve the quality of nursing care quality, assessment needs to be done periodically and enhanced for in-patient ward. keywords : nursing service quality, customer window, rater pendahuluan perawat merupakan tenaga kesehatan yang penting dan dominan dalam mencerminkan mutu pelayanan yang diberikan di rumah sakit. kualitas pelayanan sering dikaitkan dengan kecepatan dalam penyembuhan serta biaya yang terjangkau. namun, banyak sekali faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan di suatu unit pelayanan kesehatan/ rumah sakit (cahyani, 2001). peran perawat profesional dalam sistem kesehatan adalah mewujudkan sistem kesehatan yang baik, sehingga penyelenggaraan pelayanan kesehatan (healthy service) sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kesehatan (healthy needs and demands) masyarakat, dan biaya pelayanan kesehatan (healthy cost) sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat (ability to pay). dalam perkembangan masyarakat yang semakin kritis, mutu pelayanan kesehatan akan menjadi sorotan sehingga memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak untuk peningkatkan. mutu pelayanan melingkupi kepuasan pasien, yang merupakan nilai subyektif terhadap kualitas pelayanan yang diberikan (junaidi, 1991). menurut pendapat tjiptono (2006) upaya pelayanan kesehatan haruslah dapat memberikan kepuasan pada pasien, tidak sematamata kesembuhan belaka. kualitas pelayanan merupakan tipe pengawasan yang berhubungan dengan kegiatan yang dipantau atau diatur dalam pelayanan berdasarkan kebutuhan atau pandangan konsumen. dalam keperawatan, tujuan kualitas pelayanan adalah untuk memastikan bahwa jasa atau produk pelayanan keperawatan yang dihasilkan sesuai dengan standart dan diinginkan pasien (nursalam, 2002). penilaian kualitas/mutu pelayanan keperawatan diperlukan suatu informasi yang akurat, nyata, aktual dan terpercaya, salah satunya dengan memonitoring harapan dan kepuasan pasien/pelanggan (nursalam, 2002). rumusan masalahnya adalah bagaimanakah mutu pelayanan keperawatan berdasarkan dimensi rater (reliability, assurance, tangible, empathy dan respansiveness). tujuan umum jurnal ners dan kebidanan volume 1 no.1 maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p069-073 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ jurnal ners dan kebidanan volume 1 no. 1 maret 2014 mutu pelayanan keperawatan berdasar dimensi rater 83 penelitiannya menggambarkan mutu pelayanan keperawatan berdasarkan dimensi rater (reliability, assurance, tangible, empathy, dan responsiveness). sedangkan, tujuan khususnya (1) menggambrkan kesesuaian antara yang didapatkan dengan yang diinginkan pasien berdasarkan dimensi rater dan (2) menggambarkan letak atau kuadran pada customer window mutu pelayanan keperawatan. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan deskriptif eksploratif. subyek penelitiannya adalah pasien yang berobat di poli penyakit dalam bpk rsd mardi waluyo blitar sebanyak 30 orang yang memenuhi kreteria inklusi (1) berusia minimal 17 tahun, (2) tidak mempuyai hubungan sanak familiy dan bukan teman atau kerabat petugas kesehatan, dan (3) telah berobat lebih dari satu kali. teknik sampling yang digunakan adalah sampling quota. pengumpulan data dilaksanakan pada 17 juli – 17 agustus 2006. variabelnya adalah mutu pelayanan keperawatan berdasar dimensi rater yaitu subyektifitas pendapat pasien mengenai pelayanan oleh perawat yang sudah diterima dan apa yang diinginkan atau diharapkan oleh pasien, yang diukur dengan dimensi rater (reliabilit, assurence, tangibles, empaty, dan responsivenes), selanjutnya digambarkan dalam customer window yang dibagi dalam 4 kuadran yaitu (1) kuadran i disebut attention (pasien menginginkan karateristik itu tetapi tidak mendapatkannya), (2) kuadran ii disebut bravo (pasien menginginkan karateristik itu dan mendapatkannya), (3) kuadran iii disebut cut or communicate (pasien tidak menginginkan karateristik itu tetapi mendapatkannya), dan (4) kuadran iv disebut don’t worry be happy (pasien tidak menginginkan karateristik itu dan tidak mendapatkannya). teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terstruktur yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai chek-list, sehingga pewawancara tinggal membubuhkan tanda  (check) sesuai jawaban pasien. setiap dimensi rater terdiri empat aspek sehingga berjumlah sebanyak 20 aspek. setiap dimensi terdapat dua kolom pilihan. kolom pertama, menggambarkan yang pernah diterima oleh pasien. kolom kedua, menggambarkan keinginan atau harapan. instrumen pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuisioner sejumlah 20 item pertanyaan. di bentuk dalam dua kolom dimana kolom pertama menyatakan penilaian pasien tentang pelayanan yang dikelompokan dalam demensi mutu rater yang pernah didapatkan/tidak didapatkan oleh pasien. kolom kedua terdiri dari dimensi mutu rater dengan item yang sama dengan kolom pertama tetapi kolom kedua berdasarkan keinginan atau harapan pasien apakah pelayanan yang diberikan sudah sesuai dengan keinginan/harapan atau belum. masing-masing pertanyaan pada demensi mutu rater tersedia dua jawaban, yaitu “ya” dan “tidak” sesuai dengan demensi mutu rater. analisis dilakukan sesuai dimensi rater dan kemudian digambarkan dalam costumer window dengan empat kuadran. hasil penelitian karakteristik subyek penelitian digambarkan seperti dalam tabel 1 di bawah. tabel 1 karakteristik pasien no. karakteristik f % 1 jenis kelamin: laki-laki perempuan 9 21 30 70 2 usia: 37 – 46 tahun 47 – 56 tahun 57 – 66 tahun > 67 tahun 1 9 15 5 3 30 50 17 3 pekerjaan: suprajitno, mujito, eva latifa lestari dewi s jurnal ners dan kebidanan volume 1 no. 1 maret 2014 84 pensiun pns swasta wiraswasta 18 6 3 3 60 20 10 10 4 pendidikan: dasar menengah tinggi 19 3 8 63 10 27 5 penghasilan (rp.): < 500.000 500.000 – 1.250.000 > 1.250.000 9 20 1 30 67 3 6 biaya berobat: jps askes sendiri 6 22 2 20 73 7 7 frekuensi berobat: 2 – 4 kali 5 – 7 kali > 7 kali 13 6 11 43 20 37 jawaban subyek penelitian berdasarkan dimensi rater seperti pada tabel 2 dan gambaran dengan customer window seperti gambar 1 di bawah. tabel 2 jawaban berdasarkan dimensi rater dimensi rater diinginkan tidak diinginkan jumlah didapatkan 358 11 369 tidak didapatkan 179 51 231 jumlah 536 64 600 pembahasan gambar 1 menunjukkan bahwa 179 jawaban pasien berada pada kotak a (attention) sehinggga membutuhkan perhatian karena pasien tidak mendapatkan pelayanan keperawatan padahal pasien menginginkan pelayanan tersebut. pelayanan keperawatan yang belum didapatkan oleh pasien pada dimensi mutu reliability paling banyak didapatkan jawaban bahwa perawat memberikan pelayanan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. selama pemeriksan perawat tidak memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pasien. menurut pasien hal ini dimungkinkan karena mayoritas pasien menggunakan askes saat berobat, sehingga pasien kurang mendapatkan pelayanan yang memuaskan. 73% pasien memang menggunakan askes dalam berobat, sehingga menurut pasien kalau berobat menggunakan askes tidak akan mendapatkan pelayanan yang baik, selain itu 27% pasien berpendidikan tinggi. pasien yang berpendidikan lebih tinggi tentu menginginkan pelayanan yang lebih baik. pelayanan keperawatan merupakan suatu produk jasa, keadaan tersebut sesuai tulisan scheuing dan cristopher (1993, dalam gaspers, 2003) bahwa pelanggan merupakan individu yang unik, preferensi, perasaan, dan emosi masing-masing. dalam hal interaksi dengan penyedia jasa, tidak semua pelanggan bersedia menerima jasa yang seragam. sering terjadi ada pelanggan yang mengiginkan atau bahkan menuntut jasa yang sifatnya personal dan berbeda dengan pelanggan yang lain. hal ini memunculkan tantangan bagi penyedia jasa dalam hal-hal memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan individual dan memahami perasaan gambar 1 dimensi rater dalam customer window pasien tidak menginginkan pasien tidak mendapat pasien menginginkan a (179) b (358) d (52) c (11) pasien mendapat jurnal ners dan kebidanan volume 1 no. 1 maret 2014 mutu pelayanan keperawatan berdasar dimensi rater 85 pelanggan terhadap penyedia jasa dan layanan yang mereka terima. pada mutu empathy jawaban pasien paling banyak menunjukkan kalau pasien tidak mendapatkan dorongan positif dari perawat atas kesembuhan penyakit yang diderita padahal pasien menginginkan dorongan (semangat) secara emosional saat pelayanan. pada dimensi mutu responsiveness jawaban pasien paling banyak menunjukkan perawat tidak memberikan penjelasan apa yang harus dilakukan pasien ketika berada di rumah. hal ini disebabkan oleh jumlah petugas di poli penyakit dalam hanya 3 orang padahal jumlah pasien yang berkunjung rata 20-70 /hari terutama pada hari selasa dan kamis. dengan jumlah perawat yang hanya 2 orang dan 1 asisten perawat, jumlah pasien yang sangat banyak tentu akan membuat perawat sangat sibuk sehingga kurang memperhatikan pasien dan tidak punya banyak waktu untuk memberikan dorongan bagi kesembuhan dan memberitahu pasien apa yang harus pasien lakukan di rumah. pada gambar 1 diketahui bahwa pada posisi b (bravo) jawaban pasien paling banyak yaitu 358 jawaban pasien. jawaban pasien pada posisi bravo menunjukkan bahwa pelayanan keperawatan di poli penyakit dalam bpk rsd mardi waluyo blitar yang didapatkan pasien sudah sesuai dengan harapan atau keinginan pasien. pelayanan yang didapatkan sudah sesuai dengan keinginan pasien yaitu pada dimensi mutu reliability adalah pelayanan perawat yang diberikan sudah tepat waktu. pasien mengatakan bahwa selama ini selalu memberikan pelayanan tepat waktu. pada dimensi mutu assurance pelayanan keperawatan yang paling banyak didapatkan dan sudah sesuai dengan harapan dan keinginan pasien adalah perawat selalu menunjukkan tempat dalam rumah sakit jika pasien harus menjalani pemeriksaan lain. menurut pasien perawat selalu menunjukkan tempat pemeriksaan misalnya laboratorium jika memang pasien harus menjalani pemeriksaan laboratorium. salah satu dari sepuluh pokok dimensi kualitas jasa adalah komunikasi. komunikasi artinya menyampaikan informasi kepada para pelnggan dalam bahasa yang mudah mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. termasuk di dalamnya adalah penjelasan mengenai jasa/layanan yang ditawarkan, biaya jasa, serta proses penanganan masalah potensial yang mungkin timbul (tjiptono, 1995). didukung pula oleh kompetensi utama perawat adalah melakukan komunikasi kepada klien (ppni, 2006). pada dimensi mutu tangible pelayanan keperawatan yang didapatkan pasien dan sudah sesuai dengan harapan pasien yang menunjukkan bahwa pasien merasa nyaman dengan ruang tunggu yang ada. pada dimensi mutu empathy pelayanan keperawatan yang didapatkan pasien dan sudah sesuai dengan harapan pasien yaitu jawaban pasien yang menunjukkan bahwa meraka merasa sangat senang dengan sikap perawat yang sopan dan ramah pada pasien. pada dimensi mutu responsiveness pelayanan keperawatan yang didapatkan pasien dan sudah sesuai dengan harapan pasien yaitu jawaban pasien yang menunjukkan perawat selalu menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita pasien pada saat dilakukan pemeriksaan. pada gambar 1 juga menunjukkan 11 jawaban pasien terletak pada posisi c (cut or communicate), yaitu pasien tidak suprajitno, mujito, eva latifa lestari dewi s jurnal ners dan kebidanan volume 1 no. 1 maret 2014 86 mengiginkan pelayanan itu tapi pasien mendapatkan pelayanan itu. pada dimensi mutu reliability paling banyak jawaban pasien yang didapatkan tapi tidak sesuai dengan keinginan pasien yaitu prosedur administrasi yang tidak sederhana dan perawat tidak memberikan pelayanan secara tepat dan cepat. jawaban paling banyak diperoleh dari pasien yang mempunyai pekerjaan pns/polri/tni, karena sudah terbiasa melakukan sesuatu dengan cepat, jika terlambat sedikit saja tentu akan merasa kesal, karena itu pasien mengeluh pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan harapan pasien. pada dimensi mutu assurance pelayanan keperawatan yang paling banyak didapatkan tapi tidak sesuai dengan harapan dan keinginan pasien adalah perawat tidak pernah melibatkan pasien dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan kesehatan pasien, jawaban paling banyak didapatkan dari pasien yang mempunyai pendidikan tinggi. upaya yang perlu dilakukan oleh perawat untuk mengurangi keluhan pasien yaitu mengubah seorang pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan produk yang puas (atau bahkan menjadi pelanggan abadi). untuk itu diperlukan suatu langkah, yaitu dimulai dari identifikasi dan penentuan sumber masalah yang menyebabkan pelanggan (pasien) tidak puas dan mengeluh. dilanjutkan dengan penangganan secara cepat dan tepat (tjiptono, 1995). pada dimensi mutu tangible pelayanan keperawatan yang didapatkan pasien yang tidak sesuai dengan harapan pasien adalah suatu petunjuk arah yang benar apabila akan menuju suatu tempat. jawaban ini didapatkan dari pasien yang berusia 6776 tahun, pada usia pasien yang tergolong lansia biasanya mengalami gangguan penglihatan dan sering mengalami kebingungan/ sering lupa. jadi walaupun diberi petunjuk arah sedang pasien tidak diantar atau ditemani tentu pasien mempunyai kemungkinan merasa bingung jika mencari letak suatu tempat. keadaan ini menuntut rumah sakit tempat kerja perawat harus menunjukkan rasa perhatian, keprihatinan, dan penyelesaian kecewanya pasien dan berusahan memperbaiki situasi. sehingga, perawat yang berhadapan langsung dengan pasien perlu dilatih dan diberdayakan (empowerment) untuk mengatasi situasi yang membuat tidak puas pasien (tjiptono, 1995). pada dimensi mutu empathy tidak ada jawaban pasien yang menunjukkan bahwa apa yang didapatkan pasien tidak sesuai dengan yang ia harapkan. hal ini menunjukkan bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan sudah sesuai dengan harapan pasien. pada dimensi mutu responsiveness pelayanan keperawatan yang didapatkan pasien tapi tidak sesuai dengan harapan pasien yaitu pasien tidak mendapatkan penjelasan mengenai penyakit yang diderita. jawaban ini muncul pada pasien yang mempunyai pendidikan sd dan berusia 67-76 tahun. pasien ini juga tidak pernah bertanya mengenai penyakit yang dideritanya pada perawat. pada pasien yang berusia lansia sering lupa dengan apa yang dikatakan oleh orang lain dan biasanya mengalami gangguan pendengaran. dalam hal ini belum tentu perawat tidak memberi penjelasan tapi kemungkinan pasien tidak mendengar atau lupa ketika diberi penjelasan perawat mengenai penyakitnya. jurnal ners dan kebidanan volume 1 no. 1 maret 2014 mutu pelayanan keperawatan berdasar dimensi rater 87 52 jawaban pasien pada gambar 1 berada pada posisi d (don’t wory be happy) yaitu pasien tidak mengiginkan pelayanan keperawatan dan pasien tidak mendapatkan pelayanan itu tapi pasien tidak merasa dirugikan dengan tidak diberikanya pelayanan itu. pada dimensi mutu reliability jawaban terbanyak terdapat pada jawaban pasien mengenai pelayanan keperawata yang diberikan sudah cepat dan tepat serta pelayanan perawat sudah sesuai dengan kebutuhan pasien. jawaban ini muncul dari pasien yang berusia 57-66 dan 67-76 tahun. bagi pasien yang terpenting adalah pasien sembuh, tidak penting bagi pasien apakah pasien mendapatkan pelayanan itu atau tidak. pada dimensi mutu assurance pelayanan keperawatan yang paling banyak didapatkan tapi tidak diinginkan dan tidak menjadi masalah bagi pasien yaitu ditunjukan tempat pemeriksaan lain jika akan menjalani pemeriksaan lain oleh perawat. jawaban ini didapatkan dari pasien janda pensiunan dan tidak bersekolah, bagi seseorang yang tidak bersekolah tentu saja tidak akan menginginkan sesuatu yang lebih baik dari pada pasien yang berpendidikan lebih di atasnya. pada dimensi mutu tangible pelayanan pelayanan keperawatan yang paling banyak didapatkan tapi tidak dingiinkan dan tidak menjadi masalah bagi pasien yaitu sarana atau peralatan yang mendukung pemeriksaan kesehatan. pada dimensi mutu empathy pelayanan keperawatan yang paling banyak didapatkan tapi tidak diinginkan dan tidak menjadi masalah bagi pasien yaitu perawat memberikan dorongan positif bagi kesembuhan klien. pada dimensi mutu responsiveness pelayanan keperawatan yang paling banyak didapatkan tapi tidak dingiinkan dan tidak menjadi masalah bagi pasien yaitu perawat selalu mengingatkan kapan kunjungan ulang. ketiga jawaban pada dimensi mutu tangible, empathy dan responsiveness ini paling banyak didapatkan dari pasien yang menggunakan askes dalam berobat. bagi pasien ini yang terpenting adalah pasien mendapatkan pelayanan secara gratis dengan menggunakan askes sehinggga ada tidaknya peralatan yang mendukung pemeriksaan bagi pasien tidaklah penting juga apakah pasien mendapatkan dorongan positif bagi kesembuhan klien dan diingatkan atau tidaknya oleh perawat kapan kunjungan ulang pasien. simpulan dan saran simpulan simpulan pada penelitian ini adalah jawaban pasien berdasarkan dimensi rater di poli penyakit dalam bpk rsd mardi waluyo blitar menunjukan sudah terdapat kesesuaian antara pelayanan keperawatan yang didapatan dengan apa yang diinginkan pasien, letak mutu pelayanan keperawatan berdasarkan dimensi rater dalam customer window, di poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar berada pada posisi bravo. saran perlu dilakukan penelitian yang sama tapi menggunakan metode yang berbeda, agar kegiatan wawancara untuk menilai mutu pelayanan keperawatan semacam ini terus dapat dilanjutkan secara periodik pada semua unit rawat jalan dan inap sehingga dapat digunakan sebagai bahan masukan guna kemajuan rumah sakit. referensi azwar, a 1996, pengantar administrasi kesehatan, edisi ketiga, binarupa aksara, jakarta. cahyani 2001, „hubungan antara karakteristik dan motivasi kerja suprajitno, mujito, eva latifa lestari dewi s jurnal ners dan kebidanan volume 1 no. 1 maret 2014 88 perawat di unit rawat intensif rs. m.h tamrin internasional salemba jakarta pusat‟, skripsi, universitas indonesia, jakarta. gaspers, v 2003, ekonomi manajerial. pembuatan keputusan bisnis, pt gramedia pustaka utama jakarta. junadi, p 1991, seminar survei kepuasan pasien di rumah sakit, rspad gatot subroto, jakarta. lumenta, benyamin 1987, pasien, citra, peran dan prilaku, kanisius, yogyakarta. lumenta, benyamin 1987, perawat, kanisius, yogyakarta. nursalam 2002, manajemen keperawatan, medikal salemba, jakarta. supriyanto, s 2000, administrasi rumah sakit di indonesia. diktat kuliah. surabaya: laboratorium administrasi dan pendidikan kesehatan masyarakat jurusan ilmu kesehatan masyarakat fakultas kedokteran unair. tandjung, jw 2004, marketing management: pendekatan pada nilai-nilai pelanggan, edisi kedua, bayumedia publishing, malang. tjiptono, fandy 1995, strategi pemasaran, andi offset, yogyakarta. tjiptono, f & chandra g 2004, service quality dan satisfaction, andi offset, yogyakarta. wiyono, d 1999, manajemen mutu pelayanan kesehatan, airlangga university press, surabaya. 224 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 224–227 224 efektifitas pendidikan kesehatan terhadap sikap hidup bersih dan sehat dalam pencegahan skabies di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban (the effectiveness of health education on attitude about clean and healthy in the prevention of scabies) titik sumiatin, binti yunariyah, wahyu tri ningsih poltekkes kemenkes surabaya prodi keperawatan tuban email: bojoneahsan@yahoo.com abstract: scabies is known in indonesia as skin diseases commonly known as a skin disease caused by infestation and sensitization to saccoptes scabiei. scabies is also known as infectious disease worldwide with an estimated 300 million cases annually. this prevalence varies and fluctuates every time. the prevalence of scabies in indonesia is around 6–27% of the general population. the purpose of this study was to determine changes in attitude about clean and health life of students after being given health education.the research design was pre experimental design. the population was all students in boarding school of mukhtariyah shafi’ites 1 in beji village, district. jenu kab. tuban. the sample was 80 people determined by random sampling. the data was collected using a questionnaire which was then analyzed by spearman and wilcoxon tests. the results showed attitudeof boarding schoolstudents about clean and healthy life in preventing the scabies disease before being given health education and after being given health education has increased. the test results analysis using the wilcoxon sign rank test showed pretest and post-test yield value of p = 0.000 (<0.05), which means it was very significant. health education was very effective in changing attitude of students, so it was advisable to further improve the implementation of health education at the boarding school in the district of tuban. keywords: attitude, clean and health , scabies abstrak: scabies dikenal di indonesia sebagai penyakit kulit. lebih sering dikenal dengan penyakit gudik yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap saccoptes scabiei. skabies juga dikenal sebagai penyakit menular yang mendunia dengan estimasi 300 juta kasus setiap tahunnya. prevalensi ini bervariasi dan fluktuatif setiap waktunya. prevalensi penyakit skabies di indonesia adalah sekitar 6–27% dari populasi umum. tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perubahan sikap tentang hidup bersih dan sehat santri setelah diberikan pendidikan kesehatan.desain penelitian menggunakan pre experimental design. populasinya adalah seluruh santri yang di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 di desa beji, kec. jenu kab. tuban. sampel ditentukan secara random sampling yaitu 80 orang. data dikumpulkan menggunakan kuesioner yang selanjutnya dianalisis dengan uji statistik spearman dan uji wilcoxon.hasil penelitian menunjukkan sikap santri pondok pesantren tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan setelah diberikan pendidikan kesehatan mengalami peningkatan. sesuai hasil uji analisis menggunakan uji wilcoxon sign rank test pada data pretest dan post-test menghasilkan nilai p=0,000 (<0,05), yang berarti sangat signifikan.pendidikan kesehatan sangat efektif dalam merubah sikap santri, sehingga sangat disarankan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pendidikan kesehatan di pondok-pondok yang ada di wilayah kabupaten tuban. kata kunci: sikap, hidup bersih dan sehat, skabies hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi 10.26699jnk.v4i3.art.p224-227 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 225sumiatin, yunariyah, ningsih, efektifitas pendidikan kesehatan... scabies dikenal di indonesia sebagai penyakit kulit. lebih sering dikenal dengan penyakit gudik yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap saccoptes scabiei. (daili, emmy s.s, dkk, 2005). skabies juga dikenal sebagai penyakit menular yang mendunia dengan estimasi 300 juta kasus setiap tahunnya. prevalensi ini bervariasi dan fluktuatif setiap waktunya (farrar et al., 2014). prevalensi penyakit skabies di indonesia adalah sekitar 6–27% dari populasi umum. skabies menduduki peringkat ke-3 dari penyakit kulit tersering di indonesia. di suatu pesantren yang padat penghuninya, prevalensi skabies mencapai 78,7% dan lebih tinggi pada kelompok dengan higiene kurang baik (sungkar, 1995). insidensi dapat bersifat endemik yang meningkat pada anak-anak, remaja, lansia, pasien tirah baring, dan tingkat pendidikan yang rendah (kowalak, 2003; zayyid et al., 2010; nazari & azizi, 2014). namun hal ini tidak signifikan karena skabies menginfestasi semua individu tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun ras (turkington & ashby, 2007). penyakit ini terjadi 2–6 minggu pada seseorang yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dan 1–4 hari pada seseorang dengan riwayat penyakit skabies sebelumnya (cameron et al., 2012). menurut kong (2009), cara pengobatan yang tepat sangat penting untuk mencegah kegagalan terapi. kegagalan terapi ini juga dapat disebabkan kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang rendah (schaider et al., 2012) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pondok pesantren di kabupaten lamongan (jawa timur) diperoleh hasil 64,2% yang menderita scabies (marufiisa, 2005). kondisi lingkungan pesantren dan kepadatan hunian dapat mempengaruhi kesehatan santri, terutama diantaranya dalam penularan skabies. salah satu faktor penularan skabies ini terjadi apabila santri tidak paham tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan maupun kebersihan pribadi. para santri perlu mengetahui bagaimana cara penularan skabies sehingga dapat melakukan upaya preventif yang tepat. sesuai dengan teori lawrence green yang menyatakan bahwa perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan dan didukung oleh lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas dan sarana kesehatan. oleh karena itu petugas kesehatan perlu melakukan intervensi dalam pencegahan skabies dengan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang skabies terhadap santri di lingkungan pesantren. bila masalah skabies dalam pondok pesantren tidak segera ditangani maka akan timbul dampak pada santri yaitu karena tingkat penularannya yang tinggi akan sangat mudah menularkannya pada santri lain, mengganggu konsentrasi pada saat santri sedang belajar dan mengganggu ketenangan pada waktu istirahat, terutama pada waktu tidur dimalam hari (marufiisa dkk, 2005). bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre experimental design. populasi dalam penelitian ini adalah semua santri yang di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 di desa beji, kec. jenu kab. tuban. besar populasi dalam penelitian ini yaitu 100 santri. sampel dalam penelitian ini adalah sebagian santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban. teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. uji statistik yang digunakan adalah spearman untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, sedangkan untuk membandingkan pre dan post digunakan uji wilcoxon. hasil penelitian umur (tahun) jumlah prosentase(%) 14 10 12,5 15 16 20 16 21 26,25 17 17 21,25 18 8 10 19 5 6,25 20 2, 2,50 21 1 1,25 total 80 100 tabel 1 distribusi karakteristik santri berdasarkan umur di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban santri yang dijadikan responden adalah semua perempuan dan sebagian besar berumur 16 tahun (26,25%). tabel 2 menunjukkan sikap santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sesudah diberikan pendidikan kesehatan lebih baik daripadasebelumdiberikan pendidikankesehatan. analisis menggunakan uji wilcoxon sign rank test pada data pretest dan 226 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 224–227 post-test menghasilkan nilai p=0,000 (<0,05), menunjukkan sikap setelah diberikan pendidikan kesehatan secarasignifikan lebih baik dari pada sebelum diberikan pendidikan kesehatan. pembahasan sikap santri sebelum diberikan pendidikan kesehatan sikap santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar adalahpositif (57,5%). sikap adalah determinan perilaku, karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental, yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman, dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan (winardi, 2004). sebagian besar santri sudah memiliki sikap yang positif, meskipun belum mendapatkan pendidikan kesehatan karena dalam ajaran islam juga sudah diajarkan bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman”. sedikit atau banyak santri sudah berusaha menerapkan hidup bersih dan sehat, meskipun masih jauh dari standar yang seharusnya. sikap santri setelah diberikan pendidikan kesehatan sikap santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies setelah diber ika n pendidika n keseha ta n lebih da r i separuhnyasangatpositif (53,75%). menurut zimbardo dan ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi komponen-komponen cognitive, affective da n behavior (ahmadi, 1999). perubahan yang signifikan juga terjadi terhadap sikap antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan, dari semula bersikap positif meningkat menjadi sangat positif. sebagai akibat perubahan pengeta hua n diha r a pka n a ka n memba wa da mpa k terhadap perubahan sikap dalam mencegah skabies. sikap santri tentang hidup bersih dan sehat dalam pencegahan penyakit skabies sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan sikap santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sesudah diberikan pendidikan kesehatan mengalami peningkatan. dari sebagian besar mempunyai sikappositif menjadi sebagian besar mempunyai sikap sangat positif. melalui analisis dengan menggunakan uji wilcoxon sign rank test pada data pretest dan post-test menghasilkan nilai p=0,000 (<0,05), menunjukkan sikap setelah diberikan pendidikan kesehatan secarasignifikan lebih baik daripada sebelum diberikan pendidikan kesehatan. sikap santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sesudah diberikan pendidikan kesehatan lebih baik dari pada sebelum diberikan pendidikan kesehatan. analisis menggunakan uji wilcoxon sign rank test pada data pretest dan post-test menghasilkan nilai p=0,000 (<0,05), menunjukkan sikap setelah diberikan pendidikan kesehatan secarasignifikan lebih baik dari pada sebelum diberikan pendidikan kesehatan. jumlah prosentase (%) jumlah prosentase (%) sangat negatif 0 0 0 0 negatif 2 2.5 2 2.5 positif 46 57.5 35 43.75 sangat positif 32 40 43 53.75 total 80 100 80 100 wilcoxon sign rank test r = 0,003 tabel 2 sikap santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan sikap pre tes post tes 227sumiatin, yunariyah, ningsih, efektifitas pendidikan kesehatan... sikap adalah determinan perilaku, karena mereka berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental, yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman, dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atas reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan (winardi, 2004). menurut zimbar do da n ebbesen, sika p a dala h suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) terhadap seseorang, ide atau obyek yang berisi komponenkomponen cognitive, affective da n behavior (ahmadi, 1999). sikap santri sebelum dan sesudah mendapatkan pendidikan kesehatan mengalami peningkatan atau menjadi lebih baik, karena pengetahuan mereka juga mengalami perubahan. dari informasi yang diberikan melalui pendidikan kesehatan yang spesifik tentang skabies, secara langsung membawa perubahan sikap pada santri yang memungkinkan untuk mereka lakukan di pondok, dengan menggunakan fasilitas dan sarana yang ada simpulan dan saran simpulan pendidikan kesehatan efektif merubah sikap santri tentang hidup bersih dan sehat dalam pencegahan skabies saran sebaiknya pihak pondok pesantren menjalin kerjasama dengan dinas kesehatan atau pelayanan kesehatan terdekat, untuk memfasilitasi berbagai masalah yang berhubungan dengan kesehatan yang dialami oleh pondok pesantren, dan institusi kesehatan dapat memperluas kegiatan penyuluhan di seluruh pondok pesantren di wilayah kabupaten tuban, santri lebih meningkatkan kebersihan diri setelah mendapat pengetahuan, agar bebas dari penyakit skabies daftar pustaka andayani l. 2007. perilaku santri dalam upaya pe nce gahan pe nyakit skabies di pondok pesantren ulumu qur’an stabat. medan aryani r. 2010.kesehatan remaja problem dan solusinya. jakarta: salemba medika. bukhart c. 1997.scabies: an epidemiologic reassessment. majalah kedokteran indonesia 47 (1).. hal: 117–123. catmoki. 2007. scabies. (online), (http:/www. catmoki. id/ scabies, diakses 1 oktober 2017) daili, emmy s.s, dkk. 2005. penyakit kulit yang umum di indonesia. jakarta pusat : pt medikal multimedia indonesia djuanda, adhi. 2005. ilmu penyakit kulit dan kelamin. jakarta : balai penerbit fkui fernawan n. 2008. ‘perbedaan angka kejadian skabies di kamar padat dan kamar tidak padat di pondok pesantren modern islam ppmi assalaam surakarta’. fakultas kedokteran universitas muhammadiyah surakarta. handajani s. 2007.’hubungan antara kebersihan diri dengan kejadian skabies di pondok pesantren nihayatul amal waled kabupaten cirebon’. fakultas kedokteran universitas diponegoro. harahap, marwali. 2008. ilmu penyakit kulit. jakarta: pt gramedia. mansjoer, arif. 2000. kapita selekta kedokteran. jakarta: fkui. mccarthy js, kemp dj, walton sf, currie bj. 2004. scabies: more than just an irritation. postgrad med j. jul 2004;80(945):382–7. makigami k, ohtaki n, ishii n, yasumura s. 2009. risk factors of scabies in psychiatric and long-term care hospitals: a nationwide mail-in survey in japan. j dermatol. sep 2009;36(9):491–8. muzakir. 2008. faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit skabies pada pesantren di kabupaten aceh besar tahun 2007. medan. ma’rifu. 2005.faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit scabies. jurnal kesehatan lingkungan vol 2. no 1 (11–18) notoadmodjo s. 2011. kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta. paramita n. 2010. tingkat pengetahuan santri terhadap peny aki t sk abie s di pondok pe sant re n darularafah raya. medan. perry dan potter. 2002. fundamental keperawatan. jakarta : egc rohmawati r. 2010. hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan kejadian skabies di pondok pesantren al-muayyad surakarta. surakarta. diunduh: url: http://id.scribd.com/ doc/130310770/skripsi-skabies. slamet, juli soemirat. 1996. kesehatan lingkungan. bandung : gajah mada university press sungkar, s. 2000. skabies. jakarta: yayasan penerbit ikatan dokter indonesia. d:\set 2017\set nanik juni 2017 23sumiatin, dkk., efektifitas pendidikan terhadap... 23 efektifitas pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan tentang hidup bersih dan sehat dalam pencegahan skabies di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban (the effectiveness of health education on knowledge about clean and healthy life in the prevention of scabiesat pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban) titik sumiatin, binti yunariyah, wahyu tri ningsih poltekkes kemenkes surabaya prodi keperawatan tuban email : bojoneahsan@yahoo.com abstract: scabies is known in indonesia as skin disease commonly known as a skin disease caused by infestation and sensitization to saccoptes scabiei. scabies is also known as infectious disease worldwide with an estimated 300 million cases annually. this prevalence varies and fluctuates every time. the prevalence of scabies disease in indonesia is around 6-27% of the general population. the purpose of this study was to determine changes in knowledge about clean and healthy life of students after being given health education. methods: the research design was pre experimental design. the population was all students in boarding school mukhtariyah shafi’ites 1 in beji village, district. jenu kab. tuban. the sample was 80 peopledetermined by random sampling. the data were collected using a questionnaire which is then analyzed by spearman and wilcoxon tests.the results showed knowledge of boarding school students about clean and healthy life in preventing the scabies disease before being given health education and after being given health education had increased. the test results analysis using the wilcoxon sign rank test showed pretest and post-test data yield value of p = 0.000 (<0.05), which means it’s very significant. health education was very effective in changing the knowledge of students, so it was advisable to further improve the implementation of health education at the boarding school in the district of tuban. keywords: knowledge, clean and health , scabies abstrak: scabies dikenal di indonesia sebagai penyakit kulit. lebih sering dikenal dengan penyakit gudik yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap saccoptes scabiei. skabies juga dikenal sebagai penyakit menular yang mendunia dengan estimasi 300 juta kasus setiap tahunnya. prevalensi ini bervariasi dan fluktuatif setiap waktunya. prevalensi penyakit skabies di indonesia adalah sekitar 6-27% dari populasi umum.tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perubahan pengetahuan tentang hidup bersih dan sehat santri setelah diberikan pendidikan kesehatan. desain penelitian menggunakan pre experimental design.populasinya adalah seluruh santri yang di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 di desa beji, kec. jenu kab. tuban. sample ditentukan secara random sampling yaitu 80 orang. data dikumpulkan menggunakan kuesioneryang selanjutnya dianalisis dengan uji statistik spearman dan uji wilcoxon.hasil penelitian menunjukkan pengetahuan santri pondok pesantren tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan setelah diberikan pendidikan kesehatan mengalami peningkatan. sesuai hasil uji analisis menggunakan uji wilcoxon sign rank test pada data pretest dan post-test menghasilkan nilai p=0,000 (<0,05), yang berarti sangat signifikan. pendidikan kesehatan sangat efektif dalam merubah pengetahuan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 1, april 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i1.art.p023-027 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 24 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 23–27 scabies dikenal di indonesia sebagai penyakit kulit. lebih sering dikenal dengan penyakit gudik yaitu penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap saccoptes scabiei. (daili, emmy s.s, dkk, 2005). skabies juga dikenal sebagai penyakit menular yang mendunia dengan estimasi 300 juta kasus setiap tahunnya. prevalensi ini bervariasi dan fluktuatif setiap waktunya (farrar et al., 2014). prevalensi penyakit skabies di indonesia adalah sekitar 6-27% dari populasi umum. skabies menduduki peringkat ke-3 dari penyakit kulit tersering di indonesia. di suatu pesantren yang padat penghuninya, prevalensi skabies mencapai 78,7% dan lebih tinggi pada kelompok dengan higiene kurang baik (sungkar, 1995). insidensi dapat bersifat endemik yang meningkat pada anak-anak, remaja, lansia, pasien tirah ba ring, da n tingkat pendidikan yang rendah (kowalak, 2003; zayyid et al., 2010; nazari & azizi, 2014). namun hal ini tidak signifikan karena skabies menginfestasi semua individu tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun ras (turkington & ashby, 2007). penyakit ini terjadi 2-6 minggu pada seseorang yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dan 1-4 hari pada seseorang dengan riwayat penyakit skabies sebelumnya (cameron et al., 2012). menurut kong (2009), cara pengobatan yang tepat sangat penting untuk mencegah kegagalan terapi. kegagalan terapi ini juga dapat disebabkan kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang rendah (schaider et al., 2012). berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di pondok pesantren di kabupaten lamongan (jawa timur) diperoleh hasil 64,2% yang menderita scabies (marufiisa, 2005). kondisi lingkungan pesantren dan kepadatan hunian dapat mempengaruhi kesehatan santri, terutama diantaranya dalam penularan skabies. salah satu faktor penularan skabies ini terjadi apabila santri tidak paham tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan maupun kebersihan pribadi. para santri perlu mengetahui bagaimana cara penularan skabies sehingga dapat melakukan upaya preventif yang tepat. sesuai dengan teori lawrence green yang menyatakan bahwa perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan dan didukung oleh lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas dan sarana kesehatan. oleh karena itu petugas kesehatan perlu melakukan intervensi dalam pencegahan skabies dengan memberikan pemahaman yang komprehensif tentang skabies terhadap santri di lingkungan pesantren.bila masalah skabiesdalam pondok pesantren tidak segera ditangani maka akan timbul dampak pada santri yaitu karena tingkat penularannya yang tinggi akan sangat mudah menularkannya pada santri lain, mengganggu konsentrasi pada saat santri sedang belajar dan mengganggu ketenangan pada waktu istirahat, terutama pada waktu tidur dimalam hari(marufiisa, dkk., 2005). bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalahpre experimental design. populasi dalam penelitian ini adalah semua santri yang di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 di desa beji, kec. jenu kab. tuban. besar populasi dalam penelitian ini yaitu 100 santri. sampel dalam penelitian ini adalah sebagian santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban. teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner.uji statistik yang digunakan adalah spearman untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, sedangkan untuk membandingkan pre dan post digunakan uji wilcoxon. hasil penelitian distribusi karakteristik santri berdasarkan umur di pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tampak pada tabel 1. santri, sehingga sangat disarankan untuk lebih meningkatkan pelaksanaan pendidikan kesehatan di pondokpondok yang ada di wilayah kabupaten tuban. kata kunci: pengetahuan, hidup bersih dan sehat, skabies umur (tahun) f prosentase 14 10 12.5 15 16 20 16 21 26.25 17 17 21.25 18 8 10 19 5 6.25 20 2 2.5 21 1 1.25 total 80 100 tabel 1 karakteristik responden 25sumiatin, dkk., efektifitas pendidikan terhadap... tabel 2 menunjukkan pengetahuan santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sesudah diberikan pendidikan kesehatan mengalami peningkatan. dari hampir sebagian mempunyai pengetahuan sedang meningkat menjadi lebih dari separuh mempunyai pengetahuan yang baik. melalui analisis dengan menggunakan uji wilcoxon sign rank test pada data pretest dan posttest menghasilkan nilai p=0,000 (<0,05), menunjukkan pengetahuan setelah diberikan pendidikan kesehatan secara signifikan lebih tinggi daripada sebelum diberikan pendidikan kesehatan pembahasan pengetahuan santri sebelum diberikan pendidikan kesehatan pengetahuan santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebagian besar adalah sedang (47,50%) dan positif (57,5%). pembelajaran tentang hidup bersih dan sehat sebenarnya bukan hal yang baru bagi santri, sejak di sekolah dasar mereka sudah diajarkan tentang dasar-dasar hidup bersih dan sehat, sehingga tidak heran bila mereka masih mengingat. namun karena hidup bersih dan sehat dalam penelitian ini khusus berhubungan dengan penyakit skabies, hal ini yang menyebabkan para santri kurang begitu memahami, sehingga hasil pre test sebagian besar memperoleh nilai sedang. pengetahuan santri setelah diberikan pendidikan kesehatan pengetahuan santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies setelah diberikan pendidikan kesehatan lebih dari separuhnya adalah baik (62,5%) dan sangat positif (53,75%). pendidikan kesehatan merupakan tindakan mandiri keperawatan untuk membantu klien individu, kelompok, dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran. perawat berperan sebagai perawat pendidik. tujuan pendidikan kesehatan dalam keperawatan adalah untuk meningkatkan status kesehatan, mencegah timbulnya penyakait dan bertambahnya masalah kesehatan, mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran klien selama sakit, serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan (suliha,dkk, 2002). perubahan pengetahuan pada santri tentang hidup bersih dan sehat dalam pencegahan skabies, sangat signifikan. dari awal sebelum pre test sebagian besar mempunyai pengetahuan sedang, setelah diberi pendidikan kesehatan lebih dari separuh mempunyai pengetahuan baik. artinya pendidikan kesehatan benar-benar mempengaruhi pengetahuan santri. pengetahuan santri tentang hidup bersih dan sehat dalam pencegahan penyakit skabies sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan pengetahuan santri pondok pesantren mukhtariyah syafi’iyah 1 beji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sesudah diberikan pendidikan kesehatan mengalami peningkatan. dari hampir sebagian mempunyai pengetahuan sedang meningkat menjadi lebih dari separuh mempunyai pengetahuan yang baik. melalui analisis dengan menggunakan uji wilcoxon sign rank test pada data pretest dan post-test menghasilkan nilai p=0,000 (<0,05), menunjukkan pengetahuan setelah diberikan pendidikan kesehatan secara signifikan lebih tinggi daripada sebelum diberikan pendidikan kesehatan. pendidikan kesehatan merupakan tindakan mandiri keperawatan untuk membantu klien individu, kelompok, dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran. green (1972), yang dikutip oleh notoadmodjo (1997), pendidikan kesehatan adalah istilah yang diterapkan santri yang dijadikan responden adalah semua perempuan dan sebagian besar berumur 16 tahun (26,25%). f % f % kurang 12 15.00 1 1.25 sedang 38 47.50 29 36.25 baik 30 37.50 50 62.5 total 80 100 80 100 tabel 2 pengetahuan santri pondok pesantren muk htariyah syafi’iyah 1 b eji tuban tentang hidup bersih dan sehat dalam mencegah penyakit skabies sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan kategori pengetahuan pengetahuan pretest pengetahuan posttest 26 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 1, april 2017, hlm. 23–27 pada penggunaan proses pendidikan secara terencana untuk mencapai tujuan kesehatan yang meliputi beberapa kombinasi dan kesempatan pembelajaran. tujuan pendidikan kesehatan dalam keperawatan adalah untuk meningkatkan status kesehatan, mencegah timbulnya penyakait dan bertambahnya masalah kesehatan, mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran klien selama sakit, serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan (suliha, dkk., 2002). pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. pengetahuan merupakan kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, pada umumnya semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuanya (notoatmodjo, 2003). dalam penelitian ini setelah dilakukan pendidikan kesehatan, tidak semua santri mengalami perubahan pengetahuan tentang hidup bersih dan sehat pada saat dilakukan post test, ada beberapa yang tidak mengalami perubahan pengetahuan. hal ini disebabkan ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi perubahan pengetahuan seseorang diantaranya: 1) umur, semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. dari segi masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya daripada yang belum cukup tinggi kedewasaannya. hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. 2) pendidikan. pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju kea rah suatu citacita tertentu (suwarno, 1992, dikutip oleh nursalam dan pariani, 2001). menurut y.b mantra yang dikuti oleh notoatmodjo (1985), pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan (nursalam dan pariani, 2001). makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (kuncoroningrat, 1997, dikutip oleh nursalam dan pariani, 2001). jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan itu menuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. 3) lingkungan. lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. lingkungan adalah input ke dalam diri seseorang sebagai sistem adaftif yang melibatkan baik faktor internal maupun eksternal (ann mariner, 1986, dikutip oleh nursalam dan pariani, 2001).4) media massa. yang dapat disebut media massa saat ini antara lain televise, radio, majalah, surat kabar, film dan sebagainya. media massa ini ternyata dapat menjadi media atau alat sosialisasi, karena dapat menyampaikan berbagai informasi yang bisa mempengaruhi kepribadian seseorang. melalui media massa seseorang bisa menerima nilai, norma, sikap dan pola-pola, yang kemudian dia bisa menirunya (nursalam dan pariani, 2001). simpulan dan saran simpulan pendidikan kesehatan efektif merubah pengetahuan santri tentang hidup bersih dan sehat dalam pencegahan skabies saran sebaiknya pihak pondok pesantren menjalin kerjasama dengan dinas kesehatan atau pelayanan kesehatan terdekat, untuk memfasilitasi berbagai masalah yang berhubungan dengan kesehatan yang dialami oleh pondok pesantren, dan institusi kesehatan dapat memperluas kegiatan penyuluhan di seluruh pondok pesantren di wilayah kabupaten tuban, santri lebih meningkatkan kebersihan diri setelah mendapat pengetahuan, agar bebas dari penyakit skabies daftar rujukan andayani l. (2007). perilaku santri dalam upaya pe nce gahan pe nyakit skabies di pondok pesantren ulumu qur’an stabat. medan aryani r. kesehatan remaja problem dan solusinya. (2010) salemba medika:.jakarta bukhart c. scabies: an epidemiologic reassessment. majalah kedokteran indonesia 47 (1). 1997. hal: 117-123. catmoki. (2007). scabies. (online), (http:/www. catmoki. id/ scabies, diakses 1 oktober 2007) daili, emmy s.s, dkk. (2005). penyakit kulit yang umum di indonesia. pt medikal multimedia indonesia: jakarta pusat 27sumiatin, dkk., efektifitas pendidikan terhadap... djuanda, adhi. 2005. ilmu penyakit kulit dan kelamin. balai penerbit fkui: jakarta fernawan n (2008). perbedaan angka kejadian skabies di kamar padat dan kamar tidak padat di pondok pesantren modern islam ppmi assalaam surakarta. fakultas kedokteran universitas muhammadiyah surakarta. handajani s. hubungan antara kebersihan diri dengan kejadian skabies di pondok pesantren nihayatul amal waled kabupaten cirebon. fakultas kedokteran universitas diponegoro. 2007. harahap, marwali. 2008. ilmu penyakit kulit. pt gramedia: jakarta. mansjoer, arif. 2000. kapita selekta kedokteran. fkui: jakarta mccarthy js, kemp dj, walton sf, currie bj. scabies: more than just an irritation. postgrad med j. jul 2004;80 (945): 382-7. muzakir. 2008. faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit skabies pada pesantren di kabupaten aceh besar tahun 2007. medan. ma’rifu. 2005. faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit scabies. jurnal kesehatan lingkungan vol 2. no 1 (1118) notoadmodjo s. 2011. kesehatan masyarakat. rineka cipta: jakarta paramita n. 2010. tingkat pengetahuan santri terhadap penyakit skabies di pondok pesantren darularafah raya. medan. perry dan potter. 2002. fundamental keperawatan. egc: jakarta rohmawati r. (2010). hubungan antara faktor pengetahuan dan perilaku dengan kejadian skabies di pondok pesantren al-muayyad surakarta. surakarta. diunduh: url:http://id.scribd.com/ doc/130310770/skripsi-skabies. slamet, juli soemirat. 1996. kesehatanlingkungan. gajah mada university press: bandung suara merdeka. 2005. (online), (http://. suaramerdeka. co.id, diakses 14 maret 2005) sungkar. 2000. jurnal kesehatan lingkungan: 11-18 wikipedia. 2005. mandi dan pakaian (online), (http:/ www.wikipedia.ac.id, diakses 17 oktober 2007). e:\tita\d\tita\sep 16\jurnal bl 101rahmawati, optimalisasi peran “ayah asi” ... 101 optimalisasi peran “ayah asi (breastfeeding father)” melalui pemberian edukasi ayah prenatal (the optimization of breastfeeding father’s role through father prenatal education) anita rahmawati program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: tata_zic18@yahoo.co.id abstract: father’s role strongly proved in increasing the success of breastfeeding process, but in reality many fathers are still not implementing its role in the process of breastfeeding (breastfeeding father’s role) because of father’s education and the assumption of breastfeeding is mother’s responsibilities. the purpose of this study was to analyze the effect of the father prenatal education toward breastfeeding father’s role. this study used post test only control group design. 30 samples were taken by purposive sampling which further divided into control and treatment groups by simple random. breastfeeding father’s role was measured by a questionnaire and the data were analyzed by independent t test. the results showed breastfeeding father’s role rate and standard deviation in the treatment group was 15.40 ± 2.558, while in the control group 9.80 ± 4.212. different test treatment and control group obtained the value p = 0,000 which means there was a significant effect of education toward breastfeeding father’s role between the treatment group and the control group. the nurse recommended to educate pregnant women prenatal classes which was devoted to the father (husband) as an alternative solution to improve the success of exclusive breastfeeding program. keywords: breastfeeding, father’s role, prenatal, education for father abstrak: peran ayah mempunyai pengaruh kuat terhadap kesuksesan proses menyusui atau pemberian air susu ibu (asi), tetapi pada kenyataannya banyak ayah yang masih belum menerapkan perannya dalam proses menyusui (peran “ayah asi”) karena pengetahuan ayah yang masih kurang dan asumsi bahwa menyusui hanya menjadi tanggungjawab ibu. tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh edukasi ayah prenatal terhadap peran “ayah asi”. penelitian ini menggunakan rancangan post test only control group design. 30 orang sampel diambil dengan purposive sampling selanjutnya dibagi dua menjadi kelompok kontrol dan perlakuan dengan simple random. peran “ayah asi” diukur menggunakan kuesioner dan data dianalisa dengan independent t test. hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata peran “ayah asi” pada kelompok perlakuan 15,40 dan standar deviasi ±2,558 sedangkan pada kelompok kontrol 9,80 dan standar deviasi ±4,212. uji beda kelompok perlakuan dan kontrol diperoleh nilai p=0,000 yang berarti ada pengaruh edukasi ayah yang signifikan terhadap peran ayah asi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. perawat direkomendasikan untuk memberikan edukasi prenatal di kelas ibu hamil yang ditujukan kepada ayah (suami) sebagai alternatif solusi dalam meningkatkan keberhasilan program pemberian asi eksklusif. kata kunci: menyusui, peran ayah, prenatal, edukasi ayah dewasa ini usaha untuk peningkatan pemberian air susu ibu (asi) masih hanya terfokus pada ibu meskipun telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa peran ayah merupakan faktor penting dalam mendukung kesuksesan menyusui/pemberian asi (februhartanty, 2008; evareny et al., 2010; arifah et al., 2014). dampak dari kondisi tersebut adalah peran ayah dalam proses menyusui atau yang biasa disebut dengan peran “ayah asi” masih kurang. pengetahuan yang baik seorang ayah dibutuhkan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 2, agustus 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i2.art.p101-106 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 102 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 101–106 agar dapat menjalankan peran “ayah asi atau breastfeedingfather”, oleh karena itu diperlukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan ayah (destriatania et al., 2013). pemberian antenatal education dan postnatal support kepada ayah di perth, western australia dapat meningkatkan pemberian asi 1,46 kali dan pemberian susu formula menjadi 0,68 kali (maycock et al., 2013). peran “ayah asi” di indonesia khususnya dalam mencari informasi tentang pemberian asi hanya 16,2% (arifah et al., 2014). ayah yang masih mempunyai pengetahuan rendah tentang manajemen laktasi sebanyak 83,6% (destriatania et.al., 2013). dampak dari peran “ayah asi” rendah dapat terlihat dari angka cakupan pemberian asi di indonesia tahun 2013 hanya sebesar 54,3% (riset kesehatan dasar, 2013) dan sampai tahun 2014 belum memenuhi target nasional 80% (widiyani, 2014). pemberian susu formula masih cukup tinggi yaitu 79,8% dan 74,1% ayah justru menunjukkan dukungan untuk memberikan susu formula kepada bayinya (destriatania et al., 2013). world health organization (who) telah merekomendasikan pemberian asi eksklusif sampai bayi 6 bulan tetapi pola pemberian asi di indonesia sebagian besar (83,2%) masih parsial yaitu memberikan asi tetapi disertai dengan makanan buatan selain asi (pusat data dan informasi kementer ian keseha tan republik indonesia, 2014). edukasi merupakan proses pembelajaran interaktif sebagai upaya penambahan pengetahuan baru, sikap dan ketrampilan (potter & perry, 2009). edukasi direncanakan yang bertujuan untuk mempengaruhi orang lain sehingga melakukan apa yang diharapkan oleh educator (notoatmojo, 2007). edukasi ayah diharapkan akan meningkatkan pengetahuan ayah tentang asi dan peran ayah dalam proses pemberian asi sehingga ayah memahami dan menerima peran pentingnya dalam mencapai kesuksesan pemberian asi selanjutnya dapat meningkatkan kapasitas ayah dalam menerapkan peran “ayah asi” (picasane et.al., 2005). berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang optimalisasi peran “ayah asi” melalui pemberian edukasi ayah prenatal. tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi peran “ayah asi” pada kelompok yang tidak mendapatkan edukasi ayah prenatal, 2) mengidentifikasi peran “ayah asi” pada kelompok setelah mendapat edukasi ayah prenatal, 3) menganalisis pengaruh edukasi ayah prenatal terhadap peran “ayah asi”. bahan dan metode rancangan penelitian menggunakan post test only control group design. populasi adalah semua suami ibu hamil yang terdaftar di kelas ibu hamil di puskesmas sananwetan kota blitar. pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan kriteria inklusi usia kehamilan di atas 38 minggu, ibu hamil dengan risiko rendah/tidak terdapat komplikasi kehamilan (seperti letak sungsang/lintang, pernah terjadi perdarahan dalam kehamilan ini, preeklamsi, hamil kembar), ibu tinggal serumah dengan bayi dan suami, ibu dan suami pendidikan minimal sma, suami mempunyai satu istri/pasangan, tidak sedang dalam proses perceraian atau kdrt (kekerasan dalam rumah tangga). simple random dipilih untuk membagi sampel menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. pemberian edukasi ayah prenatal menggunakan metode individual education partners berdasarkan pada panduan edukasi disertai pemberian booklet. peran “ayah asi” diukur dengan kuesioner bentuk peran ayah asi yang dikembangkan oleh peneliti. analisa deskriptif dengan menghitung mean, dan standar deviasi. analisis bivariat menggunakan independent t test untuk uji beda antara kelompok perlakuan dan kontrol dengan nilai signifikan  = 0,05. hasil penelitian data umum responden di dalam penelitian ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: karakteristik suami dan istri berdasarkan usia tabel 1. distribusi frekuensi usia suami dan istri di wilayah kerja puskesmas sananwetan kota blitar karakteristik perlakuan kontrol ? % ? % usia suami 2 1-30 th 13 86,7 14 93,3 3 1-40 th 2 13,3 1 6 ,7 usia istri < 21 th 2 13,3 2 1-30 th 14 93,3 12 80,0 3 1-40 th 1 6,7 1 6 ,7   berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar usia suami antara 21-30 tahun baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. 103rahmawati, optimalisasi peran “ayah asi” ... pada kelompok perlakuan usia suami 21-30 tahun sebanyak 13 orang (86,7%) dan terdapat 14 orang (93,3%) pada kelompok kontrol. sebagian besar ibu hamil (istri) juga berada pada rentang usia 21-30 tahun yaitu terdapat 14 orang (93,3%) pada kelompok perlakuan, dan 12 orang (80,0%) pada kelompok kontrol. karakteristik suami dan istri berdasarkan pendidikan perlakuan dan 9 orang (60,0%) pada kelompok kontrol dengan lama kerja paling banyak 7-9 jam sebanyak 10 orang (66,7%) pada kelompok perlakuan dan 9 orang (60,0%) pada kelompok kontrol. karakteristik keluarga berdasarkan pendapatan dan tipe keluarga tabel 2. distribusi frekuensi pendidikan suami dan istri di wilayah kerja puskesmas sananwetan kota blitar perlakuan ko ntrol ? % ? % pendidika n suami sma 9 60,0 8 53 ,3 diploma sarjana 2 4 13,3 26,7 4 3 26 ,7 20 ,0 pendidika n istri sma 10 66,7 8 53 ,3 diploma 1 6,7 4 26 ,7 sarjana 4 26,7 3 20 ,0   berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar pendidikan terakhir suami adalah sma yaitu sebanyak 9 orang (60,0%) pada kelompok perlakuan dan 8 orang (53,3%) pada kelompok kontrol. hasil yang sama juga didapatkan pada pendidikan istri yaitu sebanyak 10 orang (66,7%) pada kelompok perlakuan dan 8 orang (53,3 %) pada kelompok kontrol. karakteristik suami berdasarkan pekerjaan dan lama kerja tabel 3. distribusi frekuensi pekerjaan dan lama kerja suami di wilayah kerja puskesmas sananwetan kota blitar perlakuan ko ntrol ? % ? % pekerja an suami pegawai tetap 6 40,0 5 33 ,3 wiraswasta 8 53,3 9 60 ,0 so pir 1 6,7 1 6,7 lama kerja suami < 7 jam 3 20,0 1 6,7 7-9 jam 10 66,7 9 60 ,0 >9 jam 1 6,7 2 13 ,3 t idak tentu 1 6,7 3 20 ,0   berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pekerjaan suami paling banyak didapatkan sebagai wiraswasta sebanyak 8 orang (53,3%) pada kelompok tabel 4. distribusi frekuensi pendapatan dan tipe kel uarga di wilayah ke rja puskesmas sananwetan kota blitar perlakuan ko ntrol ? % ? % pendapatan keluarga < 1 juta 4 26,7 5 33 ,3 1 juta – 2 juta 7 46,7 7 46,7 >2 juta 4 26,7 3 9,7 tipe keluarga keluarga inti 9 60,0 6 40 ,0 keluarga besar 6 40,0 9 60 ,0   berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pendapatan terbanyak adalah pada rentang nominal rp 1.000.000 – rp 2.000.000 sebanyak 7 orang (46,7%), baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. pada kelompok perlakuan keluarga inti didapatkan sebagai tipe keluarga terbanyak yaitu sebanyak 9 orang (60,0%). hasil tersebut berbanding terbalik dengan kelompok kontrol di mana didapatkan keluarga besar sebagai tipe keluarga terbanyak sebanyak 9 orang (60,0%). data khusus pencapaian peran “ayah asi” setelah pemberian edukasi ayah prenatal tabel 5. distribusi frekuensi pencapaian peran “ayah asi” setelah pemberian edukasi ayah prenatal di wilayah kerja puskesmas sananwetan kota blitar pencapaian peran”ayah asi” peran “a ya h asi” perlakuan kontrol ? % ? % > 50 % 14 93,33 6 40,00 < 50 % 1 6,77 9 60,00 jumlah 15 100 15 100 mean±sd 15,40±2,558 9,80±4,212 hasil perhitungan statistika independent t-test p = 0,000   berdasarkan tabel diatas, menunjukkan perbedaan nilai rata-rata peran “ayah asi” antara kelompok 104 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 101–106 kontrol dan kelompok perlakuan. dari hasil uji statistika dengan independent t-test menunjukkan nilai p= 0,000 artinya ada pengaruh edukasi ayah yang signifikan terhadap peran ayah asi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. pembahasan peran “ayah asi” pada kelompok yang tidak mendapatkan edukasi ayah prenatal sebagian besar suami pada kelompok yang tidak mendapatkan edukasi ayah prenatal (kelompok kontrol) hanya menjalankan bentuk peran “ayah asi” antara 20% sampai dengan 50%. peran yang paling kurang dijalankan adalah peran keterlibatan pengambilan keputusan dalam pemberian nutrisi bayi. edukasi yang diberikan kepada ayah menjelaskan tentang besarnya manfaat asi dan mekanisme produksi asi sehingga ayah berupaya agar bayinya selalu mendapatkan asi. upaya ayah tersebut merupakan bentuk peran keterlibatan pengambilan keputusan dalam pemberian nutrisi bayi seperti mencegah pemberian susu formula, meningkatkan rasa percaya diri ibu akan kecukupan asi, dan melibatkan diri dalam mengatasi masalah yang muncul dalam proses menyusui. bentuk peran yang paling sering dilakukan pada kelompok kontrol adalah peran keterlibatan dalam proses persalinan dan keterlibatan selama pemeriksaan ibu dan bayi pasca melahirkan/imunisasi. memilih tempat persalinan atau tempat pemeriksaan postpartum/imunisasi dan mendampingi istri saat persalinan telah menjadi kebiasaan umum dalam masyarakat juga didorong oleh rasa kekhawatiran suami terhadap peristiwa penting yang menyangkut nyawa ibu dan bayi. februhartanty (2008) menyatakan bahwa mendampingi istri saat bersalin menjadi tanggungjawab yang telah dipahami oleh para suami. sebagian suami pada kelompok kontrol ada yang mencapai lebih dari 50% bentuk peran “ayah asi” yaitu sebanyak 6 orang (40%). dari tingkat pendidikannya terlihat keenam ayah tersebut berpendidikan minimal diploma. pendidikan tinggi memungkinkan responden lebih mudah menyerap informasi dari berbagai sumber sehingga meskipun tidak diberikan perlakuan berupa edukasi ayah tetapi ayah tetap bisa menjalankan perannya. kemudahan akses untuk mendapatkan informasi saat ini sangat mudah, tidak hanya melalui media buku, majalah, televisi tetapi juga melalui berbagai situs jejaring sosial yang khusus membahas tentang asi, menyusui dan peran ayah. paparan media massa dan komunikasi interpersonal meningkatkan pengetahuan ayah terhadap perannya dalam praktik menyusui (februhartanty, 2008). peran “ayah asi” pada kelompok setelah mendapatkan edukasi ayah prenatal sebagian besar suami pada kelompok perlakuan telah menjalankan peran “ayah asi” dengan bentuk peran yang telah dijalankan di atas 50%. bentuk peran “ayah asi” yang dijalankan oleh ayah pada kelompok perlakuan telah mencakup semua dimensi peran, tetapi ada satu dimensi yang kurang dijalankan oleh ayah yaitu peran mencari informasi tentang pemberian asi. belum adanya kelompok ayah merupakan salah satu faktor penyebab ayah tidak aktif dalam mencari informasi. bentuk peran yang banyak dijalankan para ayah pada kelompok perlakuan tetapi tidak dijalankan oleh ayah pada kelompok kontrol adalah mencegah pemberian makanan atau susu formula kepada bayi, meningkatkan rasa percaya diri ibu dalam menyusui dan memberikan pujian saat ibu berhasil menyusui. ayah/suami pada kelompok perlakuan diberikan edukasi ayah yang pada intinya berisi tentang pentingnya peran ayah dalam proses menyusui dan bentuk peran yang harus diterapkan oleh ayah dalam memperlancar proses pemberian asi. sampai saat ini masalah menyusui atau pemberian asi eksklusif belum menjadi fokus perhatian bagi masyarakat di kota kecil seperti pada tempat penelitian ini, sehingga masih banyak informasi tentang asi yang belum diketahui oleh masyarakat terutama para suami/ayah. program penyuluhan tentang menyusui juga masih kurang dan hanya sebatas diikuti oleh ibu saja tanpa didampingi oleh suami/keluarga. dalam arifah, et al. (2014) mengemukakan bahwa dengan pengetahuan ayah yang kurang menyebabkan ayah cenderung meminta ibu memberikan susu formula sebagai pendamping asi karena khawatir produksi asi tidak mencukupi kebutuhan bayi. pada kelompok perlakuan ada 1 (6,7%) ayah yang tidak menjalankan peran sebagai “ayah asi” dengan baik, terlihat dari nilai perannya hanya 10 yang berarti hanya 47,61% bentuk peran “ayah asi” yang bisa dijalankan. dalam hal ini, ayah tidak dapat menjalankan peran dengan baik meskipun telah mendapatkan edukasi ayah disebabkan adanya keterbatasan waktu ayah di rumah. dengan pekerjaan sebagai sopir antar propinsi sehingga lama kerja ayah > 9 jam per hari dan terkadang baru bisa pulang setelah 2 hari. menurut azwar, 2005 dalam evareny, et al. 105rahmawati, optimalisasi peran “ayah asi” ... (2010) dan pohlman (2005) menyatakan bahwa kesibukan pekerjaan ayah menjadi hambatan keterlibatan ayah dalam keluarga. pengaruh edukasi ayah prenatal terhadap peran “ayah asi” peran “ayah asi” pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ada perbedaan yang signifikan terlihat dari nilai rata-rata peran pada kelompok perlakuan 15,40 sedangkan pada kelompok kontrol 9,80 dan dari hasil uji independent t test diperoleh nilai p = 0,000 (p>  = 0,05). edukasi ayah yang diberikan kepada kelompok perlakuan menjelaskan tentang pengertian “ayah asi”, alasan kenapa menjadi “ayah asi” itu penting dan panduan cara menjadi ayah asi. metode edukasi yang diberikan secara individu dengan guidance and councelling memberikan perubahan perilaku yang lebih efektif karena berdasarkan pa da kesadaran individu (notoatmodjo, 2007). edukasi individu secara face to face juga lebih diperhatikan dan dipahami oleh responden karena jika ada hal yang kurang dimengerti, responden dapat langsung menanyakannya kepada edukator secara mudah tanpa ada rasa malu dengan audien yang lain. edukasi ayah yang diberikan juga disertai dengan pemberian booklet yang berjudul “panduan menjadi ayah asi” yang disusun secara rinci dan step by step untuk membentuk kesadaran responden. booklet dapat dibaca sewaktu-waktu oleh responden sehingga materi yang disampaikan lebih mudah dipahami dan diingat. pemberian printed material (leaflet, booklet atau handout) adalah komponen kunci dalam edukasi (mitchell-box, 2013). hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan kepada ayah melalui edukasi dapat meningkatkan peran ayah. hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh maycock, et al. (2013) bahwa dengan edukasi prenatal dan support postnatal kepada ayah dapat meningkatkan peran ayah dalam pemilihan nutrisi bayi dengan mencegah pemberian susu formula sebelum 6 bulan. susin, et al. (2008) dan pisacane, et al. (2005) juga menyatakan intervensi edukasi yang melibatkan ayah berdampak pada peran ayah dalam proses menyusui. fathering program yang diselenggarakan oleh los angeles department of water and power (la dwp) merupakan program yang memberikan edukasi laktasi kepada ayah dalam kelas edukasi dan konseling individu juga telah sukses meningkatkan partisipasi ayah dalam program laktasi (cohen et al., 2002 dalam destriatania, et al., 2013). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan didapatkan kesimpulan pemberian edukasi ayah meningkatkan peran “ayah asi (breastfeedingfather)” terutama peran keterlibatan pengambilan keputusan dalam pemberian nutrisi bayi dan berbagai kegiatan perawatan bayi. saran perawat agar mempertimbangkan pemberian edukasi prenatal di kelas ibu hamil ditujukan juga kepada ayah (suami) sebagai alternatif solusi dalam meningkatkan keberhasilan program pemberian asi eksklusif. responden agar meningkatkan peran yang telah dilakukan dan memberikan informasi yang telah didapat kepada orang lain. daftar rujukan arifah, i., d. rahayuning, & m.z. zahfiludin. 2014. father’s roles on the exclusive breastfeeding practice. kesmas, 8(2), 83-92. azwar, s. 2005. sikap manusia: teori dan pengukurannya. yogjakarta: pustaka pelajar. cohen, r., l. lange, & w. slusser. 2002. a description of a male-focused breastfeeding promotion corporate lactation program. journal of human lactation. 18(1), 61-65, diakses 26 november 2014, destriatania, s., j. februhartanty, & fatmah. 2013. sikap ayah dan jumlah anak serta praktik air susu ibu ekskl usif. jurnal ke se hat an masy arak at nasional, 8(5), 229-234. evareny, l., m. hakimi, & r. padmawati. 2010. peran ayah dalam praktik menyusui. berita kedokteran masyarakat, 26(4). 187-195. februhartanty, j. 2008. strategic roles of fathers in optimizing breastfeeding practice: a study in an urban setting of jakarta. disertasi. jakarta: universitas indonesia press. maycock, b., c.w. binns, s. dhaliwal, j. tohotoa, y. hauck, s. burn, & p. howat. 2013. education and support for fathers improves breastfeeding rates: a randomized controlled trial. journal of human lactation, 29(4), 484-490. diakses 13 november 2014. mitchell-box, k.m., & braun, k.l. 2013. impact of malepartner-focused interventions on breastfeeding initiation, exclusivity, and continuation. journal 106 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016, hlm. 101–106 of human lactation. 29(4), 473-479. diakses 13 november 2014. notoatmodjo, s. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. picasane, a.,g.i. continisio, m. aldinucci, s. d’amora, & p. continisio. 2005. a controlled trial of the father’s role in breastfeeding promotion. pediatric, 116(4), 494-498. diakses 21 januari 2015. pohlman, s. 2005. the primacy of work and fathering preterm infants: findings from an interpretive phenomenological study. adv neonat care, 5(4), 204-216. potter, p.a., & perry, a.g. 2009. fundamental keperawatan. edisi 7 buku 1 & 2. jakarta: salemba medika. pusat data dan informasi kementerian kesehatan republik indonesia. 2014. situasi dan analisis asi eksklusif. departemen kesehatan ri. jakarta riset kesehatan dasar (riskesdas). 2013. badan pen elit ian dan pengemba ngan kesehat an kementerian kesehatan republik indonesia susin, l.r.o., & e.r.j. giugliani. 2008. inclusion of fathers in an intervention to promote breastfeeding: impact on breastfeeding rates. journal of human lactation, 24(4), 386-392. diakses 13 november 2014. widiyani, r. 2013. cakupan asi 42% ibu menyusui butuh dukungan. kompas. diakses 10 desember 2014. 159irawati, ahmad, syarif, optimasi sistem pakar deteksi dini... 159 optimasi sistem pakar deteksi dini preeklmpsia berbasis mobile (mobile based preeclampsia detection system optimization expert) irawati, mardiana ahmad, syafruddin syarif jurusan ilmu kebidanan sekolah pasca sarjana universitas hasanudddin makassar email : irawatiagung@gmail.com abstract: preeclampsia affects about 3% of all pregnancies. early identification of pregnancy with risk is a priority in reducing the complications of preeclampsia. appropriate technology that can be used as one of the efforts of midwives to detect early preeclampsia by utilizing an expert system. the purpose of this study was to make an expert system of early detection of mobile-based preeclampsia. the design used quantitative research method with cross-sectional approach. the sample used consisted of 100 pregnant women. the results of the study showed that there was a significant correlation between the age of pregnant women on the risk of preeclampsia using mobile-based applications (p <0.005), whereas parity and gestational age did not have a significant relationship (p> 0.005). with sensitivity and specificity values of 92.31% and 83.33% respectively. keywords: mobile, early detection, preeclampsia abstrak: preeklampsia mempengaruhi sekitar 3% dari seluruh kehamilan. identifikasi awal dari kehamilan dengan risiko merupakan prioritas dalam mengurangi komplikasi preeklampsia. teknologi tepat yang dapat digunakan sebagai salah satu upaya bidan mendeteksi dini preeklampsia dengan pemanfaatan sistem pakar. tujuan penelitian ini membuat suatu sistem pakar deteksi dini preeklamsia berbasis mobile. metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross secsional. sampel yang digunakan terdiri 100 ibu hamil. hasil penelitian, terdapat hubungan yang signifikan usia ibu hamil terhadap risiko preeklampsia penggunaan aplikasi berbasis mobile (p<0,005) sebaliknya paritas dan usia kehamilan tidak terdapat hubungan signifikan (p>0,005). dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 92,31% dan 83,33%. kata kunci: mobile, deteksi dini, preeklampsia jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p159–162 pendahuluan deteksi dini berperan dalam penurunan kasus kematian ibu dan merupakan hal sangat penting. selama ini deteksi dini preeklampsia dilakukan secara konvensional yang umumnya ditandai peningkatan tekanan darah setelah usia kehamilan 20 minggu. preeklampsia didefinisikan kenaikan tekanan darah (  140/90 mmhg) dan proteinuria (  0,3 gram/hari) setelah usia kehamilan 20 minggu. meskipun tidak ada metode yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya preeklampsia, tetapi dengan melakukan identifikasi awal dapat memberikan asuhan antenatal, manajemen dan pengobatan yang sesuai (o‘gorman et al., 2016; zakiyah et al., 2015; sotunsa j.o et al., 2016; young kim et al., 2016; valensise et al., 2015). world health organization (who) mencatat tahun 2013 angka kematian ibu (aki) di seluruh dunia mencapai 289.000 per 100.000 kelahiran hidup (kh), dan 99% terjadi di negara berkembang. indonesia menempati urutan tiga besar aki, mencapai 190 per 100.000 kh (akeju et al., 2016; rehana a. salam et al., 2016; who, 2014; profil kesehatan indonesia, 2015; sdki, 2012). studi pendahuluan di puskesmas jumpandang baru makassar, didapatkan jumlah sasaran ibu hamil sebanyak 475 yang, dengan jumlah kunjungan it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 160 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 159–162 antenal care (anc) sampai bulan september 2017 mencapai 1.458 kasus. dalam kunjungan tersebut ternyata tercatat sekitar 46 ibu hamil dengan risiko preeklampsia namun kurang terdeteksi dengan cara konvensional, karena itu diperlukan suatu sistem yang mampu mendeteksi potensi risiko preeklampsia pa da ibu hamil seca ra dini untuk mencegah komplikasi. tujuan penelitian ini adalah merancang optimasi sistem pakar deteksi dini preeklampsia berbasis mobile. bahan dan metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan pendekatan cross sectional. lokasi penelitian dilakukan di ruang kia puskesmas jumpandang baru makassar. pengambilan sampel dilakukan dengan tekhik simple random sampling pada 100 ibu hamil yang berkunjung ke puskesmas jumpandang baru pengolahan data menggunakan uji chi-square. hasil penelitian karakteristik ibu hamil yang datang berkunjung ke puskesma s jumpa nda ng ba r u makassar. pada tabel 1 memperlihatkan bahwa risiko preeklampsia pada responden berdasarkan karakteristik usia ibu didapatkan tidak berisiko yang terbanyak adalah usia antara 20-35 42%. hal ini positif 48 8 56 negatif 4 40 44 jumlah 52 48 100 tabel 2 uji sensitivitas dan spesifisitas deteksi dini preeklampsia dengan menggunakan sistem aplikasi sumber: hasil data 2018 sistem aplikasi berisiko preeklampsia jumlah berisiko tidak berisiko usia ibu <20 tahun atau >35 tahun jumlah % 44,0% 22,0% 88,0% 99,0% p =0,008 20-35 tahun jumlah % 4242,0% 55,0% 99,0% 2121,0% paritas primipara jumlah % 1919,0% 11,0% 33,0% 99,0% p =0,212 multipara jumlah % 2727,0% 66,0% 1414,0% 2121,0% usia kehamilan trimester i jumlah % 1212,0% 22,0% 99,0% 55,0% p =0,130 trimester ii jumlah % 1515,0% 11,0% 22,0% 77,0% trimester iii jumlah % 1919,0% 44,0% 66,0% 1818,0% tabel 1 tabulasi data deteksi ibu hamil berdasarkan usia responden variabel risiko preeklampsia ptidak berisiko risiko ringan risiko sedang risiko tinggi chi square menujukkan terdapat hubungan signifikan antara usia ibu dengan risiko preeklampsia dengan p hitung 0,008 (p < 0,05). hasil penelitian diperoleh nilai sensitivitas dan spesifisitas diperoleh sebagai berikut: 100%x ca a   100%x 52 48  %31,92 100%x db d   100%x 48 40  %33,83 sensitivitas spesifisitas 161irawati, ahmad, syarif, optimasi sistem pakar deteksi dini... tabel 2 menunjukkan bahwa uji diagnostik dengan menggunakan sistem aplikasi deteksi dini preeklampsia diperoleh sensitivitas sebesar 92,31% dan spesifisitas sebesar 83,33%. pembahasan dengan menggunakan aplikasi berbasis mobile didapatkan karakteristik usia ibu dapat mendeteksi preeklampsia dengan nilai p=0,008. hal ini sejalan dengan penelitian kumar singh tahun 2018 terdapat hubungan yang signifikan antara usia ibu. hal ini dikaitkan dalam kehamilan di pengaruhi tingkat amnio transferase dan peningkatan jumlah trombosit yang lebih rendah pada ibu hamil yang menyebabkan terjadi peningkatan keparahan hipertensi dalam kehamilan (kumar singh et al., 2018). dalam teori disebutkan bahwa bahwa usia kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun berisiko preeklampsia, sehingga dapat disimpulkan bahwa preeklampsia dipengaruhi oleh usia ibu semakin muda usia ibu hamil atau semakin tua usia ibu hamil maka risiko preeklampsia semakin tinggi (sdki., 2012). ber da sa rkan par itas ibu tidak ter da pa t hubungan signifikan dengan risiko preeklampsia dengan nilai p : 0,212 (p>0,05). penelitian ini sejalan dengan penelitian young tahun 2018 berpendapat bahwa tidak terdapat hubungan signifikan terhadap paritas ibu dengan risiko preeklampsia. demikian pula penelitian collins menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan terhadap paritas ibu terhadap kejadian preeklampsia, hal ini dikaitkan dengan sistem vaskularisasi plasenta pada trimester pertama, demikian pula penelitian uk sung dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pada ibu primipara memiliki risiko preeklampsia dibandingkan dengan multipara hal ini disebabkan bahwa pada tingkat serum placental growth factor (pigf) lebih rendah pada ibu primipara sehingga berisiko terjadinya preeklampsia dibandingkan dengan multipara. pigf memiliki kemampuan sebagai efek proangiogenic kuat sebagai awal pertumbuhan pembuluh darah plasenta, penurunan pigf dapat menyebabkan terjadinya preeklampsia, kelahiran premature dan bahkan kematian janin dalam rahim sehingga diperlukan pemeriksaan pigf pada kehamilan. dan pada primipara berisiko preeklampsia dibandingkan ibu multipara hal ini disebabkan terjadi penurunan pigf yang lebih rendah. (young lee et al., 2018; collins et al., 2017; uk sung et al., 2017). penelitian ini mendapatkan bahwa paritas ibu hamil tidak terdapat hubungan signifikan, didalam landasaran teori disebutkan bahwa primipara lebih berisiko terhadap risiko preeklampsia dari pada multipara sehingga dapat disimpulkan bahwa paritas tidak terdapat hubungan dengan risiko preeklampsia. analisis usia kehamilan dengan risiko preeklampsia didapatkan nilai p : 0,130 (p>0,05), sehingga tidak ada hubungan signifikan risiko preeklampsia dengan usia kehamilan. hal ini sejalan dengan penelitian yang berpendapat bahwa usia kehamilan tidak berbeda dengan risiko preeklampsia, demikian pula dengan penelitian yang mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap usia kehamilan ibu terhadap preeklampsia pada ibu hamil berdasarkan warna kulit. penelitian lain yang sejalan bahwa dilihat dari usia kehamilan ibu, tidak terdapat hubungan yang signifikan (collins et al., 2017; brahman et al., 2016; young lee et al., 2018). dengan demikian, peneliti berasumsi bahwa deteksi dini preeklampsia untuk karakteristik usia kehamilan dengan cara konvensional dan dengan menggunakan sistem aplikasi berbasis mobile tidak ada perbedaan. hasil penelitian ini menunjukkan nilai sensitivitas sebesar 92,31% dan nilai spesifisitas 83,33%. sehingga dapat disimpulkan bahwa alat ini layak digunakan sebagai alat deteksi dini preeklampsia pada ibu hamil. penelitian lain mendapatkan deteksi preeklampsia pada nullipara dilakukan dengan studi scrining for pregnancy endpoints (scope) dengan 2 kohor independen. dan nilai sensitivitas mencapai 50% dengan tingkat kepercayaan mencapai 95%, sehingga dapat disimpulkan kombinasi biomarker untuk mendeteksi dini preeklampsia pada ibu hamil nullipara sangat efektif (broumand et al., 2018; myers et al., 2013). simpulan dan saran simpulan optimasi sistem pakar berbasis mobile dapat digunakan untuk deteksi dini preeklampsia. berdasarkan hasil dan pembahasan terdapat hubungan yang signifikan antara usia ibu hamil dengan risiko preeklampsia dengan menggunakan aplikasi berbasis mobile, sedangkan usia ibu dan paritas tidak terdapat hubungan yang signifikan. sistem aplikasi berbasis mobile deteksi dini preeklampsia dengan hasil sensitivitas sebesar 92,31% 162 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 159–162 dan nilai spesifisitas sebesar 83,33% yang artinya alat ini layak digunakan untuk deteksi dini preeklampsia. saran setelah penelitian dilakukan peneliti menyaranka n a gar fasilitas kesehata n mema nfa atkan tekhnologi untuk melakukan pemeriksaan ibu hamil khususnya untuk mendeteksi dini preeklampsia pada ibu hamil sehingga preeklampsia pada ibu hamil dapat ditangani secara cepat dan tepat. daftar rujukan akeju, david o., et al. 2016. human resource constraints and t he prospe ct of t ask -shari ng among community health workers for the detection of early signs of pre-eclampsia in ogun state, nigeria. reproductive health, http://creativecommons.org/ licenses/by/4.0/. broumand, farzaneh. 2018. a study of the diagnostic value of inhibin a tests for occurrence of pree clapsia in pregnant wome n electronic physician. volume : 10, isseu:1, doi : http:// dx.doi.org/10.19082/6186 collins, sally l., et al. 2017. 3d fractional moving hood volume (3d-fmbv) demostrates deceadsed first trimester placental vasularity in pre-eclampsia but not the term, small for gestation age baby. plos one 12(6):e0178675. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0178675 craicia, iasmina m., et al. 2013. podocyturia predetes proteinuria and clinical featur of preeclampsia longitudinal prospectivve study. doi : 10.1161/ hype rt ensionaha. 113. 01115. h t t p: / / hyper.ahajournals.org kumar singh, shiv. 2018. ultrasonographic optic nerve sheath diameter as a surrogate measure of raised interacranial pressure in severe pregnancyinduced hypertension patiens. www.aeronline.org. doi : 10.4103/aer.aer-218-17 kementerian kesehatan republik indonesia. 2016. profil kesehatan republik indonesia tahun 2015, jakarta : kementrian kesehatan ri. o’gorman, neil., et al. 2016. competing risks model in screening for preeclampsia by maternal factors and bi omark e rs at 11-13 we ek s ge st at i on. american journal of obstetrics & gynecology, 214: 103. e1-12. , h t tp: / /dx. doi . or g/ 10. 1016/ j.ajog.2015.08.034 myers, jenny e,. et al. 2013. integrated proteomics pipeline yields novel biomarkers for predicting preeklampsia, hypertension.2013;61:1281-11288., doi :10.1161/hypertensionaha.113.01168., http://hyper.ahajournals.org sotunsa, j.o., et al. 2016. community health workers’ knowledge and practic e in relation to preeclampsia in ogun state, nigeria: an essential bridge to maternal survival. bio med central, http:/ /creativecommons.org/licenses/by/4.0/ survei demografi dan kesehatan indonesia (sdki). 2012. uk sung, kyung., et al. 2017. maternal serrum placenta growth factor and pregnancy-associated plasma protein a measured in the firs trimeste as parameters of susequent pre-eclampsia and small for gestasional-ege infants: a prospective obse rvat i onal st udy . obstet gyn ecol sci 2017;60(2):154-1662. http://doi.org/105468/ 095.2017.60.2.154 valensise, herbert., et al. 2015. persistent maternal cardiac dysfunction after preeclampsia identifies patients at risk for recurrent preeclampsia. hypertension, http://hyper.ahajournals.org. world health organization (who), 2014. rens in maternal mortality : 1990 to 2013. estimasi by who, unicef, unfpa, the world bank and the united nation population division. young kim, shin., et al. 2016. early prediction of hypertensive disorders of pregnancy using cellfree fetal dna, cell-free total dna, and biochemical markers. fetal diagn ther 2016;40:255– 262, http://dx.doi.org/10.1159%2 f000444524. young lee, ji et al. 2018. compaison of singgle nucleatide polymorphisms in the 3‘ untranslateed re gi on of hla. g in placentans bet we en spantaneous preterm birth and preeclampsia. bmc recearch notes. https://doi-org/10.1186/ s13104-018-3280-2 zakiyah, neily., et al. pre-eclampsia diagnosis and treatment opti ons: a r evie w of published economic assessments, pharmaco economics, 33:1069–1082, doi 10.1007/s40273-015-0291. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 310 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 310–315 310 faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ibu menghadapi persalinansectio caesarea (sc) di rsud r.a. basoeni kab. mojokerto (factors affecting mothers’ anxiety in facing labour sectio caesarea (sc) di hospital r.a. basoeni kab. mojokerto) dian irawati politeknik kesehatan majapahit mojokerto email: dian.irawati80@gmail.com abstract: normal childbirth or caesarean section will cause psychological effects for the mother and the family. maternal anxiety that undergoes caesarean section normally associated with all procedures that must be followed and life safety threat due to all kinds of surgical procedures and anesthesia action (carpenito, 2001). this study aimed to determine the factors that effects maternal anxiety that undergo caesarean section. the research was a qualitative research with cross sectional. the population was maternal undergo caesarean section at r.a. basoeni hospital as many as 37 peoples and 27 samples were taken by simple random sampling. the data collected by questionnaires. the data were analyzed using logistic regression. results: there was no significant effect of age on maternal anxiety in undergo caesarean section, there was no significant effect of parity on maternal anxiety in undergo caesarean section, there was a significant effect of birth complications on maternal anxiety that undergo caesarean section, there was no significant effect of the type of caesarean on maternal anxiety that undergo caesarean section, there was a significant effect of husband accompanying on maternal anxiety that undergo caesarean section, and together these factors 62.5% affect on maternal anxiety undergo caesarean section.midwives should give a chance to her husband and family to accompany the mother during the preparation of the casarean section in order to reduce anxiety. keywords: factors, maternal anxiety, caesarean section abstrak: melahirkan normal atau operasi caesar akan menimbulkan efek psikologis bagi ibu dan keluarganya. kecemasan ibu menjalani operasi caesar biasanya terkait dengan semua prosedur yang harus diikuti dan ancaman kehidupan savety karena semua jenis prosedur bedah dan tindakan anestesi (carpenito, 2001. penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh kecemasan ibu menjalani operasi caesar. penelitian. itu penelitian kualitatif dengan populasi lintas cectional adalah ibu menjalani operasi caesar di rumah sakit ra basoeni sebanyak 37 orang dan 27 sampel diambil secara simple random sampling data yang dikumpulkan dengan kuesioner data dianalisis dengan menggunakan regresi logistik hasil: tidak ada yang signifikan pengaruh usia pada kecemasan ibu menjalani operasi caesar, tidak ada pengaruh yang signifikan dari paritas pada kecemasan ibu menjalani operasi caesar, ada pengaruh yang signifikan dari komplikasi kelahiran pada kecemasan ibu menjalani operasi caesar, tidak ada pengaruh yang signifikan dari jenis di caesar kecemasan ibu menjalani operasi caesar, ada pengaruh yang signifikan dari suami yang menyertai kecemasan ibu menjalani operasi caesar, dan bersama-sama faktor-faktor ini 62,5% mempengaruhi kecemasan ibu menjalani operasi caesar. bidan harus memberikan kesempatan kepada suaminya dan keluarga untuk menemani ibu selama persiapan bagian casarean untuk mengurangi kecemasan. kata kunci: faktor, kecemasan ibu, operasi caesar acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p310-315 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 311irawati, faktor-faktor ... persalinan merupakan peristiwa alami yang akan dialami oleh setiap perempuan. tetapi tidak semua persalinan akan berjalan secara normal. beberapa keadaan tertentu akan mengharuskan seorang ibu untuk melahirkan secara operatif melalui operasi section caesarea (sc). sectio caesarea merupakan metode operatif untuk mengeluarkan buah kehamilan dengan melakukan sayatan pada dinding abdomen dan dinding uterus. (fraser dan cooper, 2009). persalinan secara sc umumnya disarankan pada ibu yang memiliki keadaan medis yang tidak memungkinan untuk melahirkan spontan melalui vagina dan bertujuan untuk meminimalkan komplikasi yang akan dialami ibu maupun bayinya. meskipun demikian, persalinan sc akan menimbulkan risiko kematian lebih tinggi diabndingkan dengan persalinan normal. lebih dari 85% indikasi section caesarea tersebutdilakukan karena riwayat section caesarea, distosia persalinan, gawat janin dan letak sungsang (cunningham,2006). angka kematian ibu di indonesia saat ini mengalami penurunan. data sdki tahun 2012 menunjukkan aki sebesar359/100.000 kelahiran hidup dan data supas tahun 2015 aki menjadi 305/100.000 kelahiran hidup (kemenkes ri, 2016). sedangkan angka persalinan secara sc di indonesia berdasarkan data riskesdas 2010 adalah 15,3% dan riskesdas 2013 sebanyak 9.8%. sedangkan data di jawa timur menunjukkan bahwa persalinan sc terjadi pada 12% persalinan (badan penelitian dan pengembangan kesehatan kemenkes ri, 2013). sedangkan who menetapkan indikator persalinan sc sebesar 5– 15% untuk setiap negara. persalinan normal maupun secara sc akan memberikan dampak psikologis bagi ibu dan keluarganya. perasaan khawatir menanti kelahiran bayi akan dialami oleh setiap pasangan. rasa khawatir dan cemas tersebut akan semakin bertambah jika ibu harus melahirkan bayinya melalui tindakan operasi. kecemasan yang dialami ibu dan keluarga biasanya terkait dengan segala macam prosedur asing yang harus dijalani dan juga ancaman terhadap keselamatan jiwa akibat segala macam prosedur pembedahan dan tindakan pembiusan (carpenito, 2001). kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan secara sc disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu dukungan social, potensi stressor, keadaan fisik, pendidikan dan status ekonomi, social budaya, maturitas, dan umur (hawari, 2001). strategi yang dilakukan untuk mengurangi kecemasan ibu dalam menghadapi sc diantaranya adalah dengan memberikan informasi dan pengetahuan kepada ibu dan keluarganya tentang persalinan sc sehingga keluarga mampu memberikan dukungan secara psikis kepada ibu untuk mengurangi kecemasan. dukungan suami dan keluarga memberikan kekuatan dan ketenangan kepada ibu sebelum memasuki ruang operasi. beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (hodnett, 1994; simpkin 1992; hofmeyr,nikodem dan wolman 1991; hemminki,virta dan koponen 1990) membuktikan bahwa kehadiran orang kedua mampu memberikan kenyamanan kepada ibu (depkes ri, 2001). berdasarkan permasalah tersebut di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang faktorfaktor yang mempengaruhi kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea (sc) di rsud r.a. basoeni kab. mojokerto. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. variabel bebas pada penelitian ini adalah usia, komplikasi persalinan, jenis sc, dan dukungan suami. sedangkan variabel terikat adalah kecemasan ibu menghadapi operasi sectio caesarea. populasi penelitian ini adalah ibu bersalin pre operasi sc di rsud r.a. basoeni kab. mojokerto sebanyak 37 orang dan sampel diambil secara acak sederhana (simple random sampling) sebanyak 27 orang. instrument penelitian ini menggunakan kuesioner dengan penrtanyaan tertutup. variabel kecemasan diukur dengan menggunakan skala hars. pengambilan data dilakukan selama bulan september 2016. data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. 312 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 310–315 hasil penelitian analisis pengaruh faktor usia terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea analisis pengaruh faktor paritas terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea tabel 1. tabulasi silang usia terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan section caesarea usia ibu kecemasan total rp 95% ci p-value tidak cemas cemas < 20 tahun 20 – 35 tahun >35 tahun total 1 (3.7%) 4 (14.8%) 5 (18.5%) 10 (37.0%) 5 (18.5%) 9 (33.3%) 3 (11.1%) 17 (63.0%) 6 (22.2%) 13 (48.1%) 8 (29.6%) 27 (100%) 0.450 0.120 0.039 5.209 0.009 1.584 0 .523 0 .107 r2 = 0.168 tabel 2. tabulasi silang paritas terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan section caesarea paritas kecemasan total rp 95 % ci p-value tidak cemas cemas primi multi total 3 (11.1%) 7 (25.9%) 10 (37.0 %) 11 (40.7%) 6 (22.2%) 17 (63.0%) 14 (51.9%) 13 (48.1%) 27 (100%) 0.214 0.044-1.254 0 .090 r2 = 0.148 analisis pengaruh faktor komplikasi persalinan terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea analisis pengaruh faktor jenis sc terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea tabel 4. tabulasi silang jenis sc terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan section caesarea jenis sc kecemasan total rp 95% ci p--value tidak cemas cemas elektif cito total 6 (22.2%) 4 (14.8%) 10 (37%) 5 (18.5%) 1 2 (54.4%) 1 7 (63%) 11 (40.7%) 16 (59.3%) 27 (100%) 0.278 0.054 1.432 0.126 r2 = 0.118 analisis pengaruh faktor dukungan suami terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea tabel 5. tabulasi silang dukungan suami terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan section caesarea dukungan suami kecemasan total rp 95% ci p-value tidak cemas cemas tidak mendukung mendukung total 1 (3.7%) 9 (33.3%) 10 (37%) 1 1 (40.7%) 6 (22.3%) 1 7 (63%) 11 (40.7%) 16 (55.6%) 27 (100%) 16.500 1.666 163.423 0.0 17 r2 = 0.369 analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea tabel 6. analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ibu menghadapi persalinan sc varia bel beba s sig rp 95%ci usia paritas komplikasi persalinan jenis sc dukungan suami 0.528 0.217 0.031 0.040 0.448 0.256 0.107 42.862 12.241 3.796 0.026-2 0.681 0.003-3.711 2.631-290.425 0.121-118.781 1.675-222.031 tabel 3. tabulasi silang komplikasi persalinan terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan section caesarea komplikasi persalinan kecemasan total rp 95% ci p-value tidak cemas cemas 1 komplikasi = 2 komplikasi total 8 (29.6%) 2 (7.4%) 10 (37.0%) 5 (18.5%) 12 (44.4%) 17 (63.0%) 13 (48.1%) 14 (51.9%) 27 (100%) 9.600 1.483 61.162 0 .018 r2 = 0.304 313irawati, faktor-faktor ... pembahasan analisis pengaruh faktor usia terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea hasil penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa 17 (63.0%) responden mengalami kecemasan menhgadapi persalinan sc dan 9 (33.3%) berusia 20–35 tahun. uji statistic regresi logistik menunjukkan p-value 0.523 dan 0.107 (p-value > 0.05) denga n r2 sebesar 0.168 sehingga h0 diterima. hal tersebut dapat dinyatakan bahwa usia tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. berdasarkan nilai r2 dapat diketahui bahwa usia mempengaruhi kecemasan sebesar 16.8%. kondisi tersebut berlawanan dengan hawari (2001) bahwa usia merupakan faktor predisposisi timbulnya kecemasan, ibu yang berusia muda akan mudah mengalami kecemasan dibandingkan dengan ibu yang telah matang dari segi usia. kecemasan merupakan respon yang paling umum yang akan dialami oleh ibu menghadapi persalinan sc. usia ibu yang matang akan mempengaruhi kecemasan, namun hal tersebut tidak terbukti dalam penelitian ini. kecemasan belum tentu dialami oleh ibu yang berusia muda saja. hal ini disebabkan ada faktor lain berpengaruh seperti komplikasi persalinan dan dukungan suami. tindakan pembedahan merupakan ancaman terhadap inegritas seseorang. rasa takut terhadap pembiusan, prosedur sc dan komplikasi yang akan ditimbulkan akan menambah kecemasan ibu menjelang operasi sc. ketakutanketakutan tersebut akan semakin meningkat apabila selama persalinan ibu mengalami komplikasikomplikasi lain seperti partus lama, ketuban pecahpremature, preeclampsia, gawat janin, dan kehamilan lebih bulan. sesuai dengan yang dikemukakan oleh capernito (2006) bahwa munculnya kecemasan seseorang berhubungan dengan kondisi patologis dan integritas biologis yang mengganggu kebutuhan dasar, keamanan, dan kenyamanan seseorang. analisis pengaruh faktor paritas terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 17 (63.0%) responden yang mengalami kecemasan, 11 diantaranya merupakan ibu primi. hasil uji regresi logistik menunjukkan pvalue 0.090 (p-value > 0.05) sehingga h0 diterima. hal ini dapat diartikan bahwa paritas tidak mempengaruhi kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. hal ini bertentangan dengan yang dikemukakan oleh hawari (2006) yang menyatakan bahwa faktor predisposisi kecemasan adalah maturitas dan pendidikan. perempuan dengan kematangan secara psikis cenderung akan mampu mengendalikan dirinya, demikian juga perempuan dengan pendidikan tentang sc akan meminimalkan tingkat kecemasan ibu. ibu multigravida diharapkan memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang persalinan dibandingkan dengan ibu primigravida sehingga mampu mengendalikan kecemasan menghadapi sc. tetapi hal tersebut tidak terbukti dalam penelitian ini. ada beberapa faktor yang lebih berpengaruh terhadap kecemasan, misalnya komplikasi persalinan dan dukungan suami. analisis pengaruh faktor komplikasi persalinan terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 17 (63.0%) responden yang mengalami kecemasan, 12 diantaranya memiliki 2 komplikasi persalinan atau lebih. hasil uji regresi logistik menunjukkan p-value 0.018 (p-value < 0.05) sehingga h0 ditolak. hasil tersebut dapat diartikan bahwa ada pengaruh komplikasi persalinan terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh capernito (2009) bahwa kecemasan seseorang berhubungan dengan integritas biologis seperti penyakit, terkena penyakit mendadak, sekarat, dan penanganan medis terhadap sakit. kecemasan ibu bersalin yang memiliki lebih dari satu komplikasi lebih berat dibandingkan ibu dengan satu komplikasi keadaan komplikasi yang dialami akan menyebabkan ibu merasakan ketakutan terhadap keselamatan diri dan janinya, serta trauma terhadap tindakan medis yang telah dilakukan sebelumnya. hal tersebut akan semakin diperberat dengan tindakan sc yang akan dilakukan. suatu penelitian sebelumnya mengemukakan bahwa kecemasan sebelum tindakan operasi berhubungan dengan pendampingan keluarga, ketakutan akan komplikasi, hasil operasi, dan nyeri pascaoperasi (jawaid, et al., 2007). analisis pengaruh faktor jenis sc terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 17 (63.0%) responden yang mengalami 314 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 310–315 kecemasan, 12 diantaranya merupakan responden dengan jenis sc cito. hasil uji regresi logistik menunjukkan p-value 0.126 (p-value > 0.05) sehingga h0 diterima. hasil tersebut dapat diartikan bahwa tidak ada pengaruh jenis sc terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. persalinan sc jenis cito adalah tindakan sc yang dilakukan secara mendadak tanpa perencanaan sebelumnya. sedangkan persalinan sc jenis elektif adalah sc yang dilakukan dengan perencanaan sebelumnya sehingga ibu akan lebih tenang menghadapi sc. ibu hamil dengan perencanaan sc (sc elektif) akan mendapatkan pendidikan dan informasi lebih banyak dibandingkan dengan ibu dengan sc cito. hal ini bertentangan dengan yang dikemukakan oleh hawari (2006) bahwa pendidikan dan status social akan berpenagaruh terhadap kecemasan ibu. analisis pengaruh faktor dukungan suami terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 17 (63.0%) responden yang mengalami kecemasan, 11 diantaranya tidak mendapatkan dukungan dari suami dan dari 10 (37%) yang tidak mengalami kecemasan, 9 diantaranya mendapatkan dukungan dari suami. hasil uji regresi logistik menunjukkan nilai p-value 0.017 (p-value < 0.05) sehingga h0 ditolak. hal tersebut dapat diartikan bahwa dukungan suami berpengaruh terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh hawari (2006) ba hwa dukungan social berpengar uh terhadap kecemasan. ibu bersalin yang didampingi dan didukung oleh suami merasa lebih tenang secara psikologis. penanganan kecemasan ibu sebelum operasi sc dapat dilakukan melalui terapi farmakologis dan non farmakologis. dukungan suami merupakan salah satu metode non farmakologis untuk mengurangi kecemasan ibu. dukungan suami akan memberikan ketenangan kepada ibu yang tidak dapat diberikan oleh tenaga kesehatan. hal ini sesuai dengan penelitian moadab, el al. (2015) yang menyatakan bahwa pendidikan metode teach back dan pendampingan ibu efektif untuk mengurangi kecemasan ibu menghadapi operasi sc. analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan ibu menghadapi persalinan sectio caesarea berdasarkan hasil uji statistic regresi logistic dapat diketahui bahwa dari 5 variabel bebas, yang berpengaruh terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc adalah variabel komplikasi persalinan (sig. 0.031) dan dukungan suami (sig. 0.040). sedangkan variabel usia, paritas, dan jenis sc tidak ber penga ruh ter hadap kecemasan ibu. nila i negelkerke r2 adalah 0.625 yang artinya 62.5 % kecemasan ibu dipengaruhi oleh varibel bebas tersebut. hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh moadab, et al. (2015) bahwa kecemasan ibu dapat diminimalkan dengan melalukan pendampingan dan dukungan terhadap ibu bersalin pre sc, dalam hal ini pendampingan dan dukungan dilakukan oleh suami. sedangkan komplikasi persalinan merupakan faktor predisposisi meningkatnya kecemasan yang dialami oleh ibu sesuai dengan yang dikemukakan oleh capernito (2009). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pertama: variabel usia, paritas, dan jenis sc tidak berpengaruh terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. kedua, variabel komplikasi persalinan dan dukungan suami berpengaruh terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. ketiga, secara bersama-sama variabel bebas tersebut berpengaruh terhadap kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. saran tenaga kesehatan di rumah sakit hendaknya member ika n kesempa ta n kepa da sua mi da n keluarga untuk mendampingi ibu selama persiapan sc sehingga dapat mengurangi kecemasan ibu. deteksi komplikasi persalinan dilakukan lebih dini sehingga ibu dan keluarga lebih siap menghadapi persalinan sc. peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian tentang kefektifan terapi non farmakologis untuk mengurangi kecemasan ibu menghadapi persalinan sc. 315irawati, faktor-faktor ... daftar rujukan badan penelitian dan pengembangan kesehatan kemenkes ri, 2013. riskesdas 2013. jakarta: kemenkes ri. fraser dan coper. 2009. myles buku ajar bidan edisi 14. jakarta: egc. hawari. 2001. stess depresi kecemasan. jakarta: egc. jawaid, dkk. 2007. preoperative anxiety before elective surgery. neurociences 12 (2): 145-148. kemenkes ri. 2016. profil kese hatan indonesia tahun 2015. jakarta: kemenkes ri. moadab, nasim, dkk. 2015. the comparasion between effectiveness of teach-back method and accompany person on anxiety in women undergo caesarean section. research journal of medical science 9(3): 43-48. 206 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 206–210 206 pengaruh aplikasi telehomecare terhadap pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang penularan penyakit tuberculosis (the effect of telehomecare application to the knowledge of patient with pulmonary tuberculosis about tuberculosis disease transmission) ning arti wulandari program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: ningarti83@gmail.com abstract: tuberculosis (tb) disease is transmitted through a “droplet infection”. currently it is still very difficult to cut the chain chain of transmission of tuberculosis disease, this is due to lack of knowledge of patients about the prevention of transmission of tuberculosis. forms of health services to patients with tuberculosis currently focuses on treatment. education is actually also given but still less than the maximum due to limited time to have a health officer reach too broad. therefore the use of technology in providing nursing care to tuberculosis patients at home. the technique used telehomecare, where officers will provide education and followup to tuberculosis patients through cellular telepone. the purpose of this study was to identify the effect of telehomecare application to the knowledge of pulmonary tuberculosis patients about tuberculosis disease transmission. method: the design of this study was one group pretest posttest design, conducted from 18 april to 30 june 2012 with a sample of 14 pulmonary tuberculosis patients in the work area of puskesmas kanigoro blitar district taken from the entire population. the data obtained analyzed with wilcoxon signed rank test. the results of this study showed there were differences in knowledge before and after being given education via telehomecare with a value of p= 0.02. discussion: telehomecare program could be applied in puskesmas, clinic or hospital to improve nursing care service keywords: tuberculosis, telehomecare abstrak: penyakit tuberculosis (tb) menular melalui “droplet infection”. saat ini masih sangat sulit untuk memotong matai rantai penularan penyakit tuberculosis, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan penderita tentang pencegahan penularan penyakit tuberculosis. bentuk pelayanan kesehatan kepada penderita tuberculosis saat ini menitik beratkan pada pengobatan. edukasi sebenarnya juga di berikan tetapi masih kurang maksimal karena keterbatasan waktu yang miliki petugas kesehatan jangkauan yang terlalu luas. oleh sebab itu penggunaan tehnologi dalam memberikan asuhan keperawatan kepada penderita tuberculosis dirumah. tehnik yang digunakan adalah telehomecare, dimana petugas akan memberikan edukasi dan followup kepada penderita tuberculosis melalui telepone seluler. tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi adanya pengaruh aplikasi telehomecare terhadap pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang penularan penyakit tuberculosis. metode: desain penelitian ini adalah one group pretest posttest design, dilakukan18 april sampai dengan 30 juni 2012 dengan sampel 14 penderita tb paru di wilayah kerja puskesmas kanigoro kabupaten blitar yang diambil dari seluruh populasi. data yng diperoleh akan dianalisis dengan wilcoxon signed rank test. hasil penelitian ini ada perbedaan pengetahuan sebelum dan setelah diberikan edukasi melalui telehomecare dengan nilai p=0,02. pembahasan: program telehomecare dapat diaplikasikan di puskesmas, klinik maupun rumah sakit untuk meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan kata kunci: tuberculosis, telehomecare hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i3.art.p206-210 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 207wulandari, pengaruh aplikasi telehomecare tuberculosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang sering bermanisfestasi di paru. penyakit tuberculosis menular melalui “droplet infection” atau udara. saat ini tuberculosis merupakan penyakit paru yang menjadi prioritas untuk ditangani. penanggulangan tb yang selama ini diakukan oleh pemerintah antara lain promosi kesehatan baik kepada individu, keluarga ataupun kelompok, imunisasi bcg, penggalangan kerjasama dan kemitraan dengan program terkait. pemberantasan penyakit tuberculosis (tb) secara nasional di indonesia telah berlangsung sejak tahun 1969 namun hasilnya belum memuaskan (depkes ri, 2009) penyakit tb merupakan ancaman bagi pembangunan nasional, karena sekitar 75% penderita tb merupakan kelompok usia produktif secara ekonomi (15–50 tahun). diperkirakan seseorang penderita tb dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya antara 3 sampai dengan 4 bulan. berdasarkan data dari puskesmas kanigoro temuan kasus (case detection rate) tahun 2010 adalah 12% dan 2011 mengalami peningkatan 23% dari jumlah penduduk 72,551. sedangkan cnr (case notification rate) di puskesmas kanigoro di tahun 2011 adalah 30,32 per 100.000 penduduk (depkes ri, 2009). beberapa faktor yang mempengaruhi keberadaan penyakit tb antara lain faktor medis, sosial ekonomi, budaya, sikap dan perilaku masyarakat. sosial ekonomi rendah mengarah pada perumahan yang telampau padat, sehingga ventilasinya buruk dan meningkatkan terjadinya penularan penyakit tb terutama pada anggota keluarganya. sikap dan perilaku dalam pencegahan penularan yang dimiliki oleh penderita maupun keluarganya sangat mempengaruhi penyebaran penyakit tb (crofton, 2002) menurut notoadmodjo (2010) perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. menurut bloom (1908) dalam notoatmodjo (2010) membagi perilaku menjadi 3 domain antara lain; pengetahuan, sikap dan perilaku itu sendiri. pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan pengideraan terhadap suatu objek tertentu. menurut notoatmodjo (2010) sikap mempunyai komponen pokok antara lain; kepercayaan dan konsep terhadap suatu objek tertentu, kehidupan emosional terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak. sehingga dapat disimpulkan setelah seseorang tahu tentang suatu objek tertentu maka akan membentuk kepercayaan terhadap objek yang di ketahui dan meningkatkan keterkaitan emosional dari subjek tersebut, sehingga akan mempengaruhi terbentuknya sikap yang utuh (total attitude). beberapa cara untuk meningkatkan pengetahuan seseorang yang salah satunya dengan pendidikan kesehatan. berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas kesehatan pemegang program tb di puskesmas kanigoro, selama ini telah dilakukan pendidikan kesehatan dan konseling kepada penderita dan keluarganya secara individu dan kelompok, namun tetap belum maksimal. hal ini terbukti dari hasil evaluasi pengetahuan penderita tb tentang pencegahan penularan penyakit yang dilakukan pada tanggal 30–31 oktober 2012 di wilayah kerja puskesmas kanigoro dari 7 orang penderita, 5 orang mempunyai pengetahuan kurang dan 2 baik. petugas kesehatan pemegang tb sebenarnya sangat menginginkan melakukan asuhan keperawatan keluarga dengan kunjungan rumah. jarak rumah penderita satu dengan yang lain sangat jauh ( ± 10 km) dapat memakan waktu yang lama untuk melakukannya sehingga harus mengorbankan pekerjaan yang ada di dalam puskesmas. salah satu cara meningkatkan asuhan keperawatan dan jangkauan pelayanan kesehatan adalah dengan menggunakan tehnologi keperawatan yaitu telenursing atau telehealth nursing (greenberg, 2000). telenursing didefinisikan sebagai suatu proses manajemen dan koordinasi asuhan serta pemberian layanan kesehatan melalui tehnologi informasi dan telekomunikasi (canadian nurse assosiation, 2005). tehnologi yang digunakan dalam aplikasi telenursing antara lain; telepon, personal digital assistans, mesin faximail, internet, video, audio conference, teleradiologi, sistem informasi computer bahkan melalui telerobotic (scotia, 2008). telenursing sendiri terdiri dari dua bagian yaitu telephone nursing dan telehomecare (greenberg, 2000). telephone nursing digunakan pada proses keperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan telepon, yang paling sering dilakukan adalah telephone nursing dalam melakukan triage atau yang disebut telephone triage, bentuk kegiatan yang dilakukan adalah memberi saran, informasi, arahan, manajemen gejala, mengatasi masalah dan manajemen penyakit. sedangan telehomecare dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip perawatan pasien dirumah. bentuk yang dilakukan dalam telehomecare antara lain pengkajian dan 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 206–210 berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa 64% responden berjenis kelamin laki-laki. berdasarkan usia 57% responden berusia 55–64 tahun, 64% responden berpendidikan terakhir slta dan 64% responden sebelum sakit bekerja dan setelah sakit ini sudah tidak dapat bekerja. intervensi, edukasi, supportif care, discharge followup dan manajemen sebuah penyakit. aplikasi telehomecare ini lebih menghemat waktu, tenaga dan biaya. untuk meningkatkan pengetahuan penderita tb tentang pencegahan penularan penyakitnya, penggunaan telehomecare ini sangat efektif. dengan aplikasi system ini maka petugas kesehatan pemeggang program tb tidak perlu kehilangan banyak waktu dan tenaga untuk memberikan edukasi kepada penderita.tehnologi yang dapat digunakan dalam aplikasi telehomecare di wilayah kerja puskesmas kanigoro adalah telephone seluler yang hampir seluruh orang memilikinya. berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengaplikasikan telehomecare dalam memberikan edukasi tentang pencegahan penularan penyakit sehingga dapat memutus mata rantai penularan penyakit tb di wilayah kerja puskesmas kanigoro. bahan dan metode desain penelitian ini adalah one group pretest posttest design. populasi dalam penelitian ini adalah penderita tuberculosis paru di wilayah kerja puskesmas kanigoro kabupaten blitar yang berjumlah 14 dan peneliti mengambil seluruh populasi menjadi sampel. variabel dependent adalah telehomecare dan variable dependentnya adalah pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang pencegahan penularan penyakit. instrumen penelitian adalah kuesioner. penelitian dilaksanakan pada 18 april sampai dengan 30 juni 2012 . pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi rumah responden untuk meminta persetujuan kemudian dilanjutkan dengan pretes, dilanjutkan kunjungan rumah yang ke dua untuk memberikan edukasi yang kemudian ditindaklanjuti dengan menggunakan telephone selluler untuk followup edukasi yang telah diberikan pada hari ke 3, 8 dan 15 kemudian peneliti mengadakan kunjungan rumah yang ke tiga untuk melakukan posttes. hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan wilcoxon signed rank test, hipotesa penelitian akan diterima bila nilai p<0,05. hasil penelitian karakteristik penderita penderita tuberculosis di wilayah kerja puskesmas kanigoro kabupaten blitar yang berjumlah 14 seperti didalam table di bawah ini karakteristik responden f % jenis kelamin laki-laki 9 64 perempuan 5 36 total 14 100 usia 25-34 tahun 3 22 35-44 tahun 1 7 45-54 tahun 2 14 55-64 tahun 8 57 total 14 100 pendidikan terakhir sd 2 14 sltp 3 22 slta 9 64 total 14 100 pekerjaan masih bekerja 5 36 tidak bekerja 9 64 total 14 100 tabel 1 penderita penderita tuberculosis di wilayah kerja puskesmas kanigoro kabupaten blitar tabel 2 distribusi perbedaan pengetahuan tentang penularan penyakit tubercullosis responden di wilayah kerja puskesmas kanigoro sebelum dan setelah di berikan telehomecare no responden pre tes post tes f % f % 1 3 30 9 90 2 6 60 9 90 3 6 60 7 70 4 3 30 5 50 5 3 30 5 50 6 4 40 8 80 7 5 50 6 60 8 1 10 3 30 9 7 70 8 80 10 4 40 6 60 11 8 80 10 100 12 8 80 8 80 13 7 70 7 70 14 4 40 7 70 wilcoxone signed rank test p=0,02 209wulandari, pengaruh aplikasi telehomecare berda sarkan tabel 2 diata s menunjukan adanya peningkatan pengetahuan pada 86% atau 12 responden. hasil analisa data penilaian tingkat pengetahuan pre test dan post test dengan menggunakan wilcoxon signed rank test dengan interval kepercayaan 95% didapatkan nilai p=0,02 maka hipotesa penelitian diterima yaitu ada perbedaan pengetahuan sebelum dan setelah diberikan edukasi melalui telehomecare. pembahasan pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang penularan penyakit tuberculosis sebelum diberikan edukasi melalui telehomecare pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan pengideraan terhadap suatu objek tertentu (notoadmodjo, 2010). menurut kriteria untuk menilai tingkatan pengetahuan menggunakan nilai; (1) tingkat pengetahuan baik bila score atau nilai 76-100%, (2) tingkat pengetahuan cukup bila score atau nilai 56-75% dan (3) tingkat pengetahuan kurang bila score atau nilai d”56%. berdasarkan hasil penelitian didapatkan rata-rata nilai dari responden adalah 50%. berdasarkan kriteria penilaian tingkat pengetahuan score 50% tergolong tingkat pengetahuan kurang. pengetahuan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. faktor internal yang dapat mempengaruhi pengetahuan antara lain pendidikan, minat, pengalaman dan usia, sedangkan faktor eksternal antara lain ekonomi, informasi dan kebudayaan (notoadmojo, 2010). pendidikan sebagai suatu usaha untuk menjadi kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. pada dasarnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin luas wawasannya dan lebih mudah menerima informasi dan pembaharuan. sebagian besar responden 64% berpendidikan terakhir slta sedangkan yang memiliki pengetahuan kurang 57% dapat dimungkinkan walaupun pendidikan terakhirnya slta, tetapi masih ada yang mempunyai pengetahuan kurang. ini membuktikan bahwa pengetahuan tidak hanya di dapat dari pendidikan formal saja tetapi juga pendidikan nonformal misalkan pelatihan. faktor lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain adalah usia. usia terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (notoadmodjo, 2010). berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan 57% responden berusia 55–64 tahun. semakin tua seseorang maka semakin banyak pengalamannya sehingga mempunyai banyak wawasan dan semakin kondusif dalam menyelesaikan masalah. dapat disimpulkan bahwa usia responden dalam penelitian ini tidak mendukung rata-rata pengetahuan responden yang masih kurang (57%). hal ini mungkin di pengaruhi oleh kurangnya informasi tentang penularan penyakit tuberculosis paru yang didapatkan oleh responden selama ini. karena selama ini pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan hanya sebatas informasi tanpa media dan dilakukan pada saat pasien mengambil obat di puskesmas. tetapi ada juga yang obatnya diambilkan oleh keluarga sehingga petugas tidak mempunyai kesempatan bertatap muka langsung dengan klien. kondisi seperti inilah yang mengakibatkan kurang efektifnya pendidikan kesehatan dan konseling yang dilakukan petugas untuk memutus mata rantai penularan tb melalui pendidikan kesehatan pencegahan penularan penyakit tb. pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang penularan penyakit tuberculosis setelah diberikan edukasi melalui telehomecare hasil penelitian ini pada tabel 2 didapatkan adanya peningkatan pengetahuan setelah dilakukan telehomecare. nilai rata-rata pretes adalah 5 yang artinya rata-rata responden dapat menjawab pertanyaan 50% dari 10 item pertanyaan, sedangkan nilai rata-rata postes adalah 7 yang artinya ratarata responden dapat menjawab pertanyaan 70% dari 10 item pertanyaan, dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan telehomecare responden memiliki pengetahuan kurang dan setelah di berikan telehomecare pengetahuannya meningkat menjadi cukup. pengetahuan yang meningkat dalam penelitian ini secara teori dapat dikaitkan dengan pendidikan. notoadmodjo (2010) berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima atau menyesuaikan diri dengan hal baru, karena pendidikan mempengaruhi proses belajar. responden dalam penelitian ini 64% mempunyai pendidikan terakhir slta sehingga dengan pemberian edukasi melalui telehomecare dapat lebih mudah menerima informasi. sedangkan hubungannya dengan usia semakin tua seseorang pengalamannya akan semakin banyak, selain itu usia dapat mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir sese210 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 206–210 orang. sehingga semakin bertambahnya usia akan semakin meningkat pula daya tangkap dan pola pikirnya dan pengetahuan yang diperolehnya akan semakin membaik. berdasarkan penelitian ini 57% responden berusia 55–64 tahun sehingga lebih mudah menangkap informasi yang diberikan melalui telehomecare. pengaruh telehomecare terhadap pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang penularan penyakit tuberculosis hasil analisis dari hasil penelitian dengan menggunakan wilcoxone signed test didapatkan nilai p=0,002, sehingga hipotesa penelitian diterima yang artinya ada pengaruh telehomecare terhadap pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang penularan penyakit tuberculosis. peningkatan pengetahuan setelah diberikan telehomecare sesuai dengan pernyataan durrani dan khoja (2009) yang mengatakan bahwa telenursing di asia dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan dengan memberi akses yang luas terhadap konsultasi dan meningkatkan pengetahuan klien. salah satu pelayanan telenursing adalah telehomecare yang mempunyai bentuk pelayanan antara lain pengkajian dan intervensi, edukasi, supportif care, dischanger followup da n mana jemen terha da p penya kit (greenberg, 2000).dalam penelitian ini peneliti melakukan edukasi tentang penyakit tuberculosis yang meliputi definisi, penyebab, tanda gejala dan cara penularan penyakit yang dilakukan di rumah responden dengan media booklet dan kemudian di tindak lanjuti (followup) dengan menggunakan telephone selluler pada hari ke 3, 8 dan 15. bentuk followup yang dilakukan pada responden antara lain mengevaluasi kembali materi yang telah di sampaikan peneliti, mulai dari definisi, penyebab, tanda gejala dan cara penularan penyakit. aplikasi telehomecare ini sangat efektif, karena selama ini pemberian asuhan keperawatan pada penderita tb hanya terbatas dilakukan di puskesmas saja. ada 4 responden yang bertempat tinggal > dari 8 km dari puskesmas sehingga sulit untuk dilakukan homecare, tetapi dengan telehomecare perawat dapat memberikan pelayananan kapan saja dan penderita tb dan keluarganya bebas menghubungi perawat kapan saja untuk mendiskusikan penyakitnya. dalam pelaksanaan telehomecare responden dan keluarganya sangat antusias. selama ini responden yang lebih aktif menghubungi sebelum hari yang telah ditentukan peneliti melakukan followup. artinya dengan telehomecare responden tampak lebih memperhatikan dan berpartisipasi aktif dari pada pemberian edukasi melalui konseling yang terbatas di puskesmas saja. hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan rata-rata pengetahuan dari 50% atau kurang baik menjadi 70% atau cukup baik. salah satu faktor pendukung pelaksanaan antara lain jenis telephonen selluler yang digunakan oleh responden. jenis telephone selluler yang digunakan dapat mempengaruhi daya tangkap sinyal. selain itu beberapa hal yang dapat mempengaruhi atau menghambat pesan yang disampaikan pada komunikasi jarak jauh menurut anwar (2007) antara lain gangguan karena kebisingan, distorsi atau misinterprestasi yang bersifat psikologis sehingga dapat mengubah makna atau pesan yang disampaikan. simpulan dan saran simpulan ada pengaruh telehomecare terhadap pengetahuan penderita tuberculosis paru tentang penularan penyakit tuberculosis. saran program telehomecare dapat diaplikasikan di puskesmas, klinik maupun rumah sakit untuk meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan daftarrujukan anwar. 2010. komunikasi keperawatan.jakarta. rineka cipta. canadian nurse assosiation. 2005. nurse one, the canadian nurses portal ottawa. diperoleh melalui www.cna-alic.ca tanggal 23 desember 2011. crofton j horne, n. 2002.tuberculosis klinis. jakarta. widya medika. departemen kesehatan republik indonesia. 2009. pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. jakarta. depkes ri durrani & khoja. 2009. a systematic review of the use of te le he al th i n a si a countrie s. journ al of telemedicine and telecare 2009, diakses melalui www.proquest.com. tanggal 6 juli 2012. greenberg,e. 2000. the domain of telenursing; issue and prospects. diakses melalui www.proquest. com. tanggal 6 juli 2012. notoatmodjo. 2010. promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta; rineka cipta. scotia. 2008. telenursing prsctice guideline. diakses melalui www.proquest.com. tanggal 6 juli 2012 211ulum, nugroho, gambaran pengetahuan kader kesehatan jiwa 211 gambaran pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi di wilayah uptd puskesmas sukorejo kota blitar (the description of the knowledge of mental health group activity about therapy of stimulation of perception controlling halusination in uptd puskesmas sukorejo blitar city) m. miftachul ulum, setiyo nugroho poltekes kemenkes malang prodi blitar email: miftachululum82@yahoo.co.id abstract: mental health problems will cause prolonged suffering for individuals, families and communities alike. the phenomenon of mental disorder or mental disorder continues to increase significantly. this approach to the management of community-based mental health services (cmhn) is one of them with the empowerment of the community health careers. the purpose of the study was to know the knowledge of mental health group acttivity about gat stimulasi perception control hallucinations in region uptd puskesmas sukorejo blitar city. desain of the research was descriptive. the population was all mental health group activity. the sample was 29 people with total sampling technique. the data collection used questionnaires. the results of research showed 52% had less knowledge, 41% had enough knowledge, and 7% had good knowledge. this was due to the lack of knowing gat stimulation of perception control of hallucination, also do not know the purpose control of hallucination by arranging schedule activity. apply gat perception stimulation controls hallucinations at session 2 by rebuking, doing session session 3, and applying phase work at session 5, hopefully public health officers or puskesmas could continuously provide training and education and case study activities so that the group knowledge will be better keywords: knowledge, kader soul, group activity therapy abstrak: masalah kesehatan jiwa akan menyebabkan penderitaan berkepanjangan baik bagi individu, keluarga maupun masyarakat. fenomena mental disorder atau gangguan jiwa terus meningkat secara signifikan. pendekatan manajemen pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas (cmhn) ini salah satunya dengan pemberdayaan masyarakatmelaluikader kesehatan. tujuan penelitian mengetahui pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang takstimulasi persepsi mengontrol halusinasi di wiayah uptd puskesmas sukorejo kota blitar. desain penelitian adalah deskriptif. populasi penelitian seluruh kader kesehatan jiwa. sampel penelitian sejumlah 29 kader dengan teknik total sampling. pengumpulan data menggunakan kuesioner. hasil penelitian sebagian besar 52% memiliki pengetahuan kurang, 41% memiliki pengetahuan cukup, 7% memiliki pengetahuan baik.hal ini dikarenakan kader kurang mengetahui kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi,juga belum tahu tujuan mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal kegiatan kader juga belum mampu mengaplikasikan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi pada sesi 2 dengan menghardik, melakukan kegiatan sesi 3, dan mengaplikasikan tahap kerja pada sesi 5, diharapkan dinas kesehatan atau puskesmas untuk terus memberikan pelatihan dan pendidikan maupun kegiatan studi kasus sehingga pengetahuan kader akan menjadi lebih baik. kata kunci: pengetahuan, kader jiwa, terapi aktivitas kelompok hp typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 3, desember 2017 doi 10.26699jnk.v4i3.art.p211-217 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 212 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 211–217 kesehatan jiwa merupakan kondisi sejahtera dimana setiap individu mampu untuk menyadari potensi diri mereka, mampu mengatasi stressor hidup, bekerja secara produktif dan sukses, dan mampu berkontribusi dikomunitas. kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan. kesehatan jiwa telah menjadi prioritas global pada tahun 2009. masalah kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun akan menyebabkan penderitaan berkepanjangan baik bagi individu, keluarga, masyarakat dan negara karena penderitanya menjadi tidak produktif dan bergantung pada orang lain (depkes, 2009). tak merupakan terapi yang bertujuan mengubah perilaku odgj dengan memanfaatkan dinamika kelompok. cara ini cukup efektif karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling mempengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga terbentuk suatu sistem social yang khas yang di dalam nya terdapat interaksi, interelasi, dan interdependensi. terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian (keliat, b.a. dan akemat, 2004). tak terdapat empat fase atau tahap yaitu, fase prakelompok yaitu merumuskan tujuan kelompok. tercapai atau tidaknya suatu tujuan sangat di pengaruhi oleh perilaku pemimpin kelompok. berbagai belahan negara di dunia, fenomena mental disorder atau gangguan jiwa terus meningkat secara signifikan. who (world health organization) terdapat satu dari empat populasi manusia di dunia yang mengalami gangguan jiwa. menurut yosep (2013) dari who menyebutkan terdapat sekitar 450 juta orang mengalami gangguan jiwa di seluruh dunia. di indonesia berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 prevalensi gangguan jiwa berat sebanyak 0,17%, rata-rata nasional gangguan mental emosional (depresi dan ansietas) pada penduduk usia 15 tahun keatas adalah enam persen. angka ini sama dengan 14 juta penduduk, sedangkan gangguan jiwa berat (psikosis) ratarata sebesar 0,17 persen atau sekitar 400.000 penduduk. di jawa timur prevalensi gangguan jiwa berat (psikosa/skizofrenia) sebanyak 0,22% dan gangguan mental emosional sebesar 6,5%. hasil penelitian mengungkapkan bahwa 99% pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa adalah pasien dengan diagnosis medis skizofrenia. lebih dari 90% pasien skizofrenia mengalami halusinasi (yosep, 2013). di kota blitar pada tahun 2015 terdapat 450 orang yang mengalami gangguan jiwa, dan di wilayah kerja uptd puskesmas sukorejo terdapat 131 orang yang mengalami gangguan jiwa, dan 5 orang sudah meninggal dunia. (data dinkes kota blitar, 2015). pemerintah telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah gangguan jiwa khususnya di tempat pelayanan kesehatan primer atau puskesmas, orientasi kementrian kesehatan telah berubah dari kesehatan jiwa berbasis rujukan menuju kesehatan jiwa komunitas dasar. community mental health nursing (cmhn) merupakan pelayanan kesehatan jiwa yang berada di tingkat komunitas atau puskesmas, program cmhn dikembangkan melalui basic course cmhn (bcmhn) berhasil meningkatkan kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien secara mandiri.untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan pasien, telah dikembangkan desa siaga sehat jiwa (dssj) pada intermediate course cmhn dengan melatih kader kesehatan jiwa (kkj) yang bertugas memantau kemandirian pasien dan keluarga. sesuai dengan teori bahwa setiap kader kesehatan jiwa melakukan deteksi dini dan perawatan jiwa pada 10 keluarga odgj. peran kader kesehatan jiwa dalam membantu program pemerintah yang saat ini sedang di jalankan salah satunya adalah terapi aktifitas kelompok (stuart, 2007). pendekatan manajemen pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas ini salah satunya melalui pemberdayaan masyarakat melalui kader kesehatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya stigma buruk bagi penderita gangguan jiwa. pelayanan kesehatan jiwa tidak lagi difokuskan pada penyembuhan klien semata, tetapi juga dilakukan upaya pendidikan kesehatan jiwa atau pencegahan dengan sasaran selain klien gangguan jiwa, juga klien dengan penyakit kronis dan individu yang sehat sebagai upaya preventif. hal ini tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi juga melibatkan unsur pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan memberikan pemahaman, meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap masalah kesehatan jiwa warganya. kader kesehatan dituntut untuk mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang baik guna mencegah, mendeteksi dan meningkatkan kesehatan masyarakat, terlebih dalam kesehatan jiwa. pengetahuan sendiri merupakan hasil dari tahu atau mengerti, dan hal ini terjadi dari proses pengindraan melalui panca indra terhadap sebuah objek tertentu, 213ulum, nugroho, gambaran pengetahuan kader kesehatan jiwa rumusan yang digunakan adalah: keterangan : p = prosentase f = jumlah jawaban yang benar n = jumlah soal dalam prosentase tersebut kemudian dikonversikan ke dalam kategori kualitatif, sebagai berikut: 1. pengetahuan baik, skor: 76%–100% 2. pengetahuan cukup, skor: 56%–75% 3. pengetahuan kurang, skor <56% sumber: sutomo (2011:53). hasil penelitian karakteristik responden penelitian dilaksanakan di wilayah uptd puskesmas sukorejo kota blitar. data karakteristik kader kesehatan jiwa meliputi umur, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, pelatihan, informasi dan sumber informasi. hasil penelitian menunjukkan sebagian besar kader 42 % (12 kader) berumur 41–50 tahun, 69% (20 kader) bekerja sebagai buruh/tani, 65% (19 kader) berpendidikan sma, 83% (24 kader) mempunyai pengalaman 1–5 tahun menjadi keder kesehatan jiwa, dan seluruh kader 100% (29 kader) pernah mendapatkan pelatihan tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi, seluruh kader yaitu 100% (29 kader) pernah mendapatkan informasi tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi, dan seluruh kader yaitu 100% (29 kader) mendapatkan informasi tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi dari petugas kesehatan. deskripsi data khusus menyajikan data tentang pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi di uptd puskesmas kecamatan sukorejo kota blitar. pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi biasanya melalui indra penglihatandanpendengaran. (notoatmodjo, 2011). apabila kader kesehatan jiwa mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang baik dalam penanangan odgj maka diharapkan dapat mempertahankan kondisi psikologisnya dan tidak terjadi kekambuhan. hasil studi pendahuluan yang di lakukan peneliti pada tanggal 19 desember 2016 di wilayah uptd kecamatan sukorejo didapatkan data 29 orang kader kesehatan jiwa. hasil wawancara, dari 5 responden yang di survey didapat hasil: 3 kader mengatakan belum memahami tentang terapi aktivitas kelompok pada pasien gangguan jiwa, mereka juga belum memahami cara melakukan terapi aktivitas kelompok. meskipun mereka pernah dilakukan pelatihan tentang tak ada beberapa kader belum pernah melakukan tak pada pasien gangguan jiwa. berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi di wilayah uptd puskesmas sukorejo kota blitar. bahan dan metode peneliti ingin mengetahui bagaimana pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi di kecamatan sukorejo kota blitar. populasi yang digunakan adalah semua kader kesehatan jiwa di kecamatan sukorejo kota blitar. berdasarkan data tahun 2016 di kecamatan sukorejo terdapat 29 orang. sampel dalam penelitian ini adalah semua kader kesehatan jiwa di kecamatan sukorejo kota blitar. pada penelitian ini teknik yang digunakan adalah teknik total sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel sebanyak 29 kader. instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah kuesioner closed ended questions-multiple choice artinya kuesioner telah disediakan jawabannya sehingga kader tinggal memilih jawaban yang sesuai dengan memberi tanda silang (x) pada pilihan jawaban yang tersedia. teknik analisa dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan prosentase pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi mengontrol halusinasi di kecamatan sukorejo kota blitar. dalam pengolahan data, setelah data dari kuesioner terkumpul akan direkapitulasi dan dihitung menggunakan rumus penghitungan: tabel 1 distribusi frekuensi pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang takstimulasi persepsi mengontrol halusinasi no kategori frek % 1 baik 2 7 2 cukup 12 41 3 kurang 15 52 jumlah 29 100% 214 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 211–217 dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi di kecamatan sukorejo sebanyak 52% (15 orang) memiliki pengetahuan kurang. pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang takstimulasi persepsi mengontrol halusinasi berdasarkan tingkatan pengetahuan (c1-c6) tabel 2 distribusi frekuensi pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang terapi aktivitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi berdasarkan tingkatan pengetahuan (c1-c6) mengetahui pengertian terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi memahami manfaat terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi mengaplikasikan terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi menganalisis tahapan terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi menyusun rencana kegiatan terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi mengevaluasi kegiatan terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi pengetahuan konsep tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi kategori total baik cukup kurang f % f % f % f % c1 c2 c3 c4 c5 c6 1 3 13 45 15 52 29 100 3 10 15 52 11 38 29 100 3 10 5 17 21 73 29 100 10 35 0 0 19 65 29 100 13 45 11 38 5 17 29 100 16 55 9 31 4 14 29 100 dari tabel 2 dapat diketahui bahwa pengetahuan kader kesehatan jiwa didapatkan data prosentase pengetahuan dalam kategori baik pada parameter sintesis (c5) tentang menyusun rencana kegia tan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 45% (13 kader) dan parameter evaluasi (c6), mengevaluasi kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 55% (16 kader). pengetahuan kader kesehatan jiwa dalam kategori cukup pada parameter memahami (c2) tentang manfaat terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 52% (15 kader). sedangkan pengetahuan kader kesehatan jiwa da la m kategor i kura ng pada parameter tahu (c1) tentang pengertian terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 52 % (15 kader), parameter aplikasi (c3) tentang mengaplikasikan terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 73% (21 kader) dan parameter analisis (c4) tentang menganalisis tahapan terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 65 % (19 kader). pembahasan hasil penelitian diketahui bahwa secara umum pengetahuan kader kesehatan jiwa didapatkan 7% (2 kader) mempunyai pengetahuan yang baik, 41 % (12 kader) mempunyai pengetahuan yang cukup dan 52% (15 kader) mempunyai pengetahuan yang kurang. prosentase pengetahuan dalam kategori baik pada parameter sintesis (c5) tentang menyusun rencana kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 45% (13 kader) dan parameter evaluasi (c6) tentang mengevaluasi kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebesar 55% (16 kader). pada parameter sintesis (c5) tentang menyusun rencana kegiatan, hampir seluruhnya responden dapat menjawab pertanyaan tentang tugas kader dalam kegiatan tak yaitu 97 %, pada pertanyaan kriteria odgj dalam kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebagian besar menjawab dengan benar yaitu 72 %. sedangkan pada parameter evaluasi (c6) tentang mengevaluasi kegiatan, seluruhnya responden (100%) dapat menjawab pertanyaan tentang tugas kader dalam kegiatan 215ulum, nugroho, gambaran pengetahuan kader kesehatan jiwa tak dengan benar, pada pertanyaan prinsip pelayanan kesehatan yang dilakukan kader kesehatan jiwa sebagian besar menjawab dengan benar yaitu 66 % dan pertanyaan tentang peran dan fungsi kader kesehatan jiwa 76 % menjawab dengan benar. menurut keliat, (2004) kegiatan yang dilakukan oleh kader kesehatan jiwa, antara lain adalah menggerakkan pasien gangguan jiwa untuk mengikuti program takdan rehabilitasi, melakukan kunjungan rumah pada pasien gangguan jiwa yang telah mandiri, merujuk pasien gangguan jiwa kepada perawat cmhn dan mendokumentasikan semua kegiatan. menurut pendapat peneliti bahwa kader mayoritas dapat menyusun rencana kegiatan dan mengevaluasi kegiatan terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi mengontrol halusinasi. hal ini dipengaruhi oleh faktor pengalaman yang dimiliki oleh kader. berdasarkan data menunujukkan bahwa seluruh kader pernah mengikuti pelatihan tentang terapi aktifitas kelompok (tak) dan 55 % (16 kader) mempunyai pengetahuan yang baik. sebagian besar juga telah menjadi kader kesehatan jiwa antara 1–5 tahun. hal ini sesuai dengan teori notoatmodjo, (2003) bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman yang merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. hal ini dilakukan dengan cara mengulangi kembali pengalaman yang diperoleh untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. cukup lama menjadi kader kesehatan jiwa, pengetahuan tentang tak yang diperoleh juga semakin banyak. hal ini biasanya diperoleh baik melalui penyuluhan maupun pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan maupun puskesmas. pengetahuan kader tentang tak juga dipengaruhi oleh pendidikan. hasil tabulasi silang antara pengetahuan dengan pendidikan didapatkan hasil 31% atau (9 orang) berpengetahuan baik mempunyai pendidikan sma. semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi khususnya kesadaran dalam pemberdayaan. sebaliknya pendidikan yang rendah akan sulit dalam menerima pemberdayaan dan pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. peneliti berpendapat bahwa dengan pendidikan yang semakin tinggi, maka proses berfikir akan lebih matang dan mudah dalam menerima informasi sehingga dapat meningkatkan pengetahuan yang lebih baik. pengetahuan kader kesehatan jiwa didapatkan 41 % (12 kader) mempunyai pengetahuan yang cukup. data prosentase pengetahuan, sebagian besar dalam kategori cukup pada parameter memahami (c2) tentang manfaat terapi aktifitas kelompok (tak) stimulasi persepsi yaitu sebesar 52% (15 kader). pada parameter memahami manfaat (c2) terapi aktifitas kelompok (tak), sebagian besar kader dapat menjawab pertanyaan dengan benar tentang terapi aktivitas kelompok untuk mengontrol halusinasi pada odgj yaitu 72% (21 kader), dan pada pertanyaan manfaat kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi sebagian besar menjawab dengan benar yaitu 69% (20 kader). purwaningsih dan karlina (2009), tak mempunyai manfaat terapeutik, yaitu secara umum dapat meningkatkan kemampuan uji realitas (reality testing) melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain, melakukan sosialisasi dan dapat membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif. manfaat secara khusus tak dapat meningkatkan identitas diri, menyalurkan emosi seca r a konstruktif da n meningka tka n keterampilan hubungan interpersonal atau sosial. sedangkan manfaat rehabilitasi dapat meningkatkan keterampilan ekspresi diri, meningkatkan keterampilan sosial, meningkatkan kemampuan empati, dan meningkatkan kemampuan atau pengetahuan pemecahan masalah. pengetahuan kader dalam kategori cukup dipengaruhi oleh faktor pekerjaan yang dimiliki oleh kader. berdasarkan data menunujukkan bahwa 38% (11 kader) bekerja sebagai buruh atau tani. kader yang bekerja sebagai buruh atau tani, tidak menuntut kemungkinan kader tidak sempat untuk memperoleh informasi terkait tak. hal ini juga kemungkinan apabila diundang untuk ikut seminar atau pelatihanpelatihan yang diadakan oleh dinas kesehatan atau puskesmas, kader enggan untuk hadir dikarenakan tidak bisa meninggalkan pekerjaan. hal ini sesuai dengan teori notoatmodjo, (2002) pekerjaan adalah suatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, adanya pekerjaan memerlukan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan berbagai jenis suatu pekerjaan masing-masing dianggap penting dan memerlukan perhatian. masyarakat yang sibuk hanya memiliki sedikit waktu untuk memperoleh informasi. bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu tertentu. pengetahuan kader kesehatan jiwa juga didapatkan 52% (15 kader) mempunyai pengetahuan 216 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 3, desember 2017, hlm. 211–217 yang kurang. berdasarkan data prosentase pengetahuan dalam kategori kurang, hal ini dikarenakan kader kurang mengetahui tentang kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi, dan juga belum tahu tujuan dari mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal kegiatan. selain itu kader belum mampu mengaplikasikan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi pada sesi 2 dengan menghardik, melakukan kegiatan sesi 3, dan mengaplikasikan tahap kerja pada sesi 5. keliat (2004), tak stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan/atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. salah satu tak adalah stimulasi persepsi halusinasi. dalam kegiatan tak stimulasi persepsi halusinasi dilakukan lima sesi yang melatih kemampuan odgj dalam mengontrol halusinasinya. setiap sesi mempunyai tujuan dan kegiatan masing-masing. pengetahuan kader dalam kategori kurang dipengaruhi oleh umur. data menunjukan kader yang memiliki pengetahuan kurang 52 % (15 kader) berusia 41–50 tahun. hal ini sesuai dengan teori notoatmodjo, (2005) bahwa memori atau daya ingat seseorang salah satunya dipengaruhi oleh umur. meskipun kader mempunyai pendidikan yang baik dan informasi yang diperoleh juga banyak namun dengan bertambahnya usia maka daya ingat atau daya penerimaan suatu materi akan semakin menurun. sehinga menyebabkan informasi yang didapat mempunyai persepsi yang berbeda. bertambahnya usia, kemampuan untuk mendengarkan suatu materi makin berkurang. dengan demikian informasi baik melalui seminar atau pelatihan yang pernah didapatkan, dengan bertambahnya usia kemampuan untuk mengingat suatu materi juga akan semakin berkurang. hal ini menyebabkan kader tidak dapat menjawab pertanyaan tentang pengertian tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi dengan benar. faktor usia juga akan berpengaruh dalam mengaplikasikan kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi dan menganalisa tahapan dalam kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi. berdasarkan tabulasi silang menunjukkan bahwa dari 15 kader yang memiliki pengetahuan kurang, semuanya pernah dilakukan pelatihan tentang tak. menurut pendapat peneliti, pelatihan dalam hal ini tentang tak akan mempengaruhi kader dalam pelaksanaan tak secara langsung pada odgj. kegiatan tak mungkin merupakan hal yang baru bagi kader, sehingga kader perlu dilakukan pelatihan terutama dalam mengaplikasikan tak pada odgj tidak hanya satu kali. hal ini harus dilakukan berulang kali dalam mengikuti pelatihan. selain itu dalam tak terdapat 4 jenis terapi aktifitas kelompok yang kegiatannya mempunyai sesi-sesi yang bereda. pelaksanaanya setiap sesi atau setiap tak juga akan berbeda. oleh kkarena itu pelatihan tak harus dilakukan minimal 2 sampai 3 kali setiap jenis tak. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan kader kesehatan jiwa tentang tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi di wilayah kerja uptd puskesmas kecamatan sukorejo kota blitar sebanyak 52% (15 kader) memiliki pengetahuan kurang, hal ini dikarenakan kader kurang mengetahui tentang kegiatan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi, dan juga belum tahu tujuan dari mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal kegiatan. selain itu kader belum mampu mengaplikasikan tak stimulasi persepsi mengontrol halusinasi pada sesi 2 dengan menghardik, melakukan kegiatan sesi 3, dan mengaplikasikan tahap kerja pada sesi 5. saran bagi kader kesehatan jiwa: kader kesehatan jiwa diberikan pendidikan dan pelatihan tentang terapi aktifitas kelompok (tak) sebanyak 2 kali, bagi institusi, bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk melakukan studi kasus dan penelitian terhadap program kesehatan jiwa sehingga dapat membantu upaya penyelenggaran odgj di kecamatan sukorejo kota blitar, bagi peneliti selanjutnya, diharapkan masyarakat atau peneliti selanjutnya untuk melakukan studi kasus tentang peran kader dalam upaya kegiatan program kesehatan jiwa daftar rujukan depkes, 2009. keperawatan jiwa. teori dan tindakan keperawatan jiwa. depkes ri dinkes kota blitar, 2015. laporan data kesehatan jiwa tahun 2015 di kota blitar. dinkes kota blitar keliat. 2004. keperawatan kesehatan jiwa. jakarta:egc ____. 2011. keperawatan kesehatan jiwa komunitas cmhn (basic course). jakarta: egc 217ulum, nugroho, gambaran pengetahuan kader kesehatan jiwa notoatmodjo, s. 2003. ilmu kesehatan masyarakat: prinsip-prinsip dasar. jakarta: pt asdi mahasatya ____. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: pt riene cipta. ____. 2011. kesehatan masyarakat. jakarta: rieneka cipta. stuart, garl w. 2007. buku saku keperawatan jiwa edisi 5. dialih bahasakan oleh r.p yuda e.k. jakarta: egc yosep, i. 2013. keperawatan jiwa. bandung: pt refika aditama. * ) rsd mardi waluyo blitar, ** ) stikes patria husada blitar 1 agus susanto* ) , erni setiyorini** ) rsd mardi waluyo blitar e-mail: nerserni@gmail.com abstract pendidikan kesehatan pada klien merupakan komponen vital dari pengalaman pembedahan. pendidikan pre operatif dapat dilakukan melalui diskusi, penggunaan alat bantu visual dan demonstrasi. hal ini didesain untuk membantu dalam memahami pengalaman pembedahan klien, mengurangi kecemasan dan meningkatkan penyembuhan dari pembedahan (ignatius, 1995). masa rawat yang semakin pendek, peningkatan tuntutan waktu bagi perawat, peningkatan jumlah klien dan kebutuhan untuk memberikan informasi yang tepat bagi klien, semakin menekankan kepentingan kualitas edukasi klien. perawat terus mencari cara untuk melakukan edukasi klien yang terbaik, sementara masyarakat semakin mampu mencai informasi kesehatan dan menemukan sumber daya yang tersedia di dalam system pelayanan kesehatan. perawat memberikan informasi kepada klien yang membutuhkan perawatan diri untuk memastikan kontinuitas pelayanan dari rumah sakit (falvo, 2004). pendidikan kesehatan pre operasi ini harus mendeskripsikan tentang berbagai langkah, prosedur dan mencakup penjelasan tentang sensasi yang akan dialami dan latihan – latihan setelah pembedahan yang isinya mencakup beberapa dimensi yang harus diajarkan kepada klien yaitu: latihan (exercise), mobilitas fisik, situasi paska pembedahan, physical support, sensory dan kenyamanan (brunner & suddart, 2002). disinilah peran perawat dalam membuat kontribusi yang signifikan dalam menunjukkan manfaat pendidikan dan persiapan perioperatif dan mempromosikan hasil yang positif pada klien setelah menjalani operasi atau pembedahan. pendidikan perioperatif yang terstruktur dan demonstrasi latihan perioperatif telah meningkatkan hasil akhir seperti tingkat nyeri, fungsi paru, lama tinggal dan tingkat kecemasan klien. menurut long, 1996 dalam nursalam, 2008 menyatakan bahwa pendidikan kesehatan pada pasien jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p001-006 the effect of audio visual aids (ava) to the capability of exercise post laparotomy ( ) pengaruh ava (audio visual aids) terhadap kemampuan latihan paska operasi laparotomi health education is the important experience of surgery to client that can used audio visual aids. the purpose of this study was to identify the effect of audio visual aids to the capability exercise post laparotomy. method: research design was quasy experiment non equivalent control group design. research sample was 20 patients whose laparotomy at mardi waluyo hospital blitar at may 25 th until june 16 th , 2012, its choosed with accidental sampling. the data collected by observation using checklist. analysis using independent sample t-test, with ≤0.05 significant level. result: the results showed that audio visual aids a introduction: t health education influence capability exercise post laparatomy, with p value 0.000. discussion: using tool and method appropriate at health education pre operatif effective to improve output learning. keywords: audio visual aids, exercise, laparotomy pendahuluan mailto:nerserni@gmail.com it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ agus susanto, erni setiyorini jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 2 preoperasi sebaiknya diberikan sebelum pasien menjalankan operasi dan pendidikan pasien preoperatif ini didasarkan pada waktu yang tepat. pendidikan kesehatan yang dilakukan beberapa hari sebelum pembedahan, pasien mungkin tidak ingat tentang apa yang telah diajarkan, sedangkan jika instruksi diberikan terlalu dekat dengan waktu pembedahan pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi karena ansietas atau efek dari medikasi praanestesi (smeltzer, 2002). pendidikan selama periode perioperatif sangat penting. lee et.al, 1998 dalam smeltzer, 2002 melakukan survei kepada 206 klien yang sudah keluar dari rumah sakit yang sebelumnya di rawat di rumah sakit selama 6 minggu. hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kesinambungan dari perawatan dapat ditingkatkan jika klien menerima pendidikan sebelumnya, selama dan sesudah keluar dari rumah sakit. oleh karena itu, tampaknya ideal untuk mengusahakan pendidikan perioperatif masuk sebelum dan selama tinggal di rumah sakit. setiap program pengajaran pra operasi termasuk didalamnya penjelasan dan demonstrasi latihan paska operasi yaitu : latihan napas dalam, batuk efektif, berbalik, dan latihan kaki. latihan ini membantu mencegah komplikasi paska operasi. dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ruang rawat ini (post op) rsd mardi waluyo blitar pada bulan maret 2012 dari total jumlah operasi sebanyak 171 kasus, 53 kasus (31%) dengan tindakan laparotomi. sedangkan sebanyak 20 sampel pasien yang menjalani pembedahan abdomen (laparotomi sebanyak 80% belum melakukan latihan (exercise) paska operasi pada hari kedua. sedangkan sisanya melakukan latihan paska operasi dengan teknik yang salah. dan dari hasil wawancari dengan klien, mereka mengeluh takut bila nyeri dan takut jahitan lukanya akan lepas serta akan menghambat penyembuhan lukanya. berdasarkan wawancara dengan petugas, sebagian telah memberikan instruksi dan pendidikan untuk melakukan latihan paska operasi tanpa metode demonstrasi dan pengginaan alat bantu. pada ruang rawat belum ada protab untuk melakukan pendidikan kesehatan pre operatif berupa latihan paska operasi. pada pasien post operasi laparotomi diharapkan dapat melakukan latihan (exercise) sesegera mungkin dengan 5 latihan, seperti latihan pernapasan diafragma, batuk dengan teknik splinting, latihan tungkai, moving dan turning di tempat tidur. latihan ini dapat dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan setelah pasien sadar, dan pada pasien dengan pembiusan regional biasa. dilakukan 12 – 24 jam berikutnya setelah efek anastesi hilamng (brunner & suddart, 2002). banyak alat pengajaran yang tersedia untuk edukasi klien. pemilihan alat yang tepat tergantung pada pemilihan metode instruksi, kebutuhan belajar klien, dan kemampuan belajar klien. penggunaan metode yang tepat dalam pendidikan kesehatan pra operasi akan memberikan hasil pembelajaran yang baik (potter & perry, 2009) media pembelajaran sangat beraneka ragam. berdasarkan hasil penelitian para aahli, ternyata berbagai media yang beragam itu hampir semua bermanfaat. cukup banyak jenis dan media yang telah dikenal dewasa ini, dari yang sederhana sampai yang berteknologi tinggi, dari yang mudah dan sudah ada secara natural sampai kepada media yang harus dirancang sendiri oleh guru. dari beberapa jenis media yang dan biasa digunakan dalam proses pembelajaran, bahwasanya media audio-visual adalah media yang mencakup 2 jenis media yaitu audio dan visual. media audio visual adalah media yang mempuanya unsur suara dan unsur gambar. jenis media ini memiliki kemampuan yang lebih baik, karena meliputu kedua jenis media yaitu media audio dan visual. pendidikan kesehatan dengan alat bantu audio visual dapat merangsang pendengaran dan penglihatan dalam pmenerima informasi media yang dapat dilihat dan didengar. (mas’udi, 2010) pengembangan program pembelajaran kepada klien yang berbasis pada teknologi informasi dan komputer, merupakan suatu terobosan baru dimana konsep ini dapat mengefisienkan waktu jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh ava terhadap kemampuan latihan pasien paska operasi laparotomi 3 asuhan keperawatan yang diberikan kepada mereka. kebutuhan informasi bersifat individual, dimana setiap klien memiliki waktu kesiapan tersendiri dalam menerima informasi. melalui sebuah program video learning, klien akan belajar sesuai dengan kesiapan yang telah mereka rasakan untuk menerima informasi (heiskell, 2010). pemberian informasi kesehatan dengan berbasis teknologi informasi mendukung upaya joint commission to improve patient safety (jci) guna meningkatkan keselamatan klien dalam pemberian asuhan atau tindakan keperawatan melalui penggunaan teknologi (yanika, 2011). berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan kajian tentang pengaruh penggunaan ava (audio visual aids) dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi pada klien dengan laparatomi. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : apakah ada pengaruh penggunaan ava (audio visual aids) dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi pada klien dengan pembedahan abdomen di rsd. mardi waluyo blitar. tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan ava dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi pada klien dengan pembedahan abdomen di rsd. mardi waluyo blitar. sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1) mengidentifikasi kemampuan latihan paska operasi laparotomi sebelum dilakukan pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan dan kontrol 2) mengidentifikasi perbedaan kemampuan latihan paska operasi pada klien dengan laparotomi pada kelompok perlakuan dan kontrol 3) menganalisis pengaruh ava dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi pada klien dengan laparotomi di rsd mardi waluyo blitar. manfaat penelitian ini secara teoritis adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terkait dengan pengaruh penggunaan ava dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi laparotomi, secara praktis penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam penyusunan standart operating procedures dalam memberikan pendidikan kesehatan pada klien pre operasi. bahan dan metode desain penelitiannya quasy eksperiment dengan non equivalent control group design, yaitu mengukur kemampuan melaksanakan latihan paska operasi pada klien paska operasi sebelum dan sesudah penggunaan ava dalam pendidikan kesehatan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. sampel penelitian ini adalah 20 pasien yang menjalani laparotomi di rsd mardi waluyo blitar bulan mei sampai dengan bulan juni 2012, yang diplih dengan teknik sampling aksidental. variabel bebasnya adalah penggunaan ava dan variabel tergantungnya adalah kemampuan latihan pasien paska operasi laparotomi. perlakuan dilaksanakan sebelum operasi di ruang perawatan dengan menggunakan ava yang dilanjutkan dengan pengumpulan data, pengumpulan data paska operasi dilakukan 12-24 jam paska operasi di ruang pemulihan kesadaran. pengambilan data dilakukan pada kelompok kontrol dan perlakuan. analisis menggunakan independent sample ttest dengan tingkat kemaknaan ≤0,05. hasil penelitian karakteristik pasien paska laparotomi. tabel 1 karakteristik responden no karakteristik frekuensi % tabel 1 karakteristik responden no karakteristik frekuensi % 1 jenis kelamin : agus susanto, erni setiyorini jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 4 tabel 1 karakteristik responden no karakteristik frekuensi % laki – laki perempuan 8 12 40 60 2 umur : 17 – 25 th 26 – 35 th 36 – 45 th 46 – 60 th 1 3 8 8 5 15 40 40 3 pendidikan : sd sltp slta pt 2 6 8 4 10 30 40 20 4 pekerjaan : irt petani wiraswasta 7 3 8 35 15 40 tabel 1 karakteristik responden no karakteristik frekuensi % pns 2 10 5 pembedahan ke: 1 2 16 4 80 20 6 jenis pembedahan: laparotomi eksplorasi section cesarean nefrektomi salpingo ovarektomi herniotomi total histerektomi uretrolitotomi apendiktomi 1 4 1 2 5 1 4 1 5 20 5 10 25 5 20 5 tabel 2. hasil uji statistik kemampuan latihan paska operasi pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah penggunaan ava daam pendidikan kesehatan di rsd mardi waluyo blitar bulan mei – juni 2012 uji statistik kelompok perlakuan kelompok kontrol mean pre test 2.70 2.90 mean post test 26.70 14.70 signifikansi t-test p=0.000 p=0.000 tabel 3. hasil uji statistik kemampuan latihan paska operasi pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah penggunaan ava daam pendidikan kesehatan di rsd. mardi waluyo blitar bulan mei – juni 2012 uji statistik kelompok perlakuan kelompok kontrol mean post test 26.70 14.70 signifikansi t-test p=0.000 pembahasan kemampuan latihan paska operasi pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum pendidikan kesehatan hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol dalam melaksanakan latihan paskaoperasi sebelum mendapatkan pendidikan kesehatan mempunyai nilai rata – rata (mean) yang hampir sama. pada kelompok perlakuan nilai rata-rata (mean) kemampuan dalam melaksanakan latihan paska operasi adalah sebesar 2,70, sedangkan pada kelompok kontrol 2,90. ini menunjukkan bahwa kemampuan yang sama dalam melaksanakan latihan paska operasi dan sebelumnya klien memungkinkan belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang latihan paska operasi sebelumnya. dalam pre test dapat menentukan apakah peserta didik memiliki keterampilan atau pengetahuan yang menjadi prasyarat dalam menjawab dan melaksanakan pertanyaan yang diberikan. bertujuan untuk mengetahui peserta didik telah mengetahui isi program pembelajaran. pre test sangat berguna tertutama dalam menentukan tingkat awal program (gruendeman, 2006). nilai hasil dari pre test juga bisa digunakan sebagai pembanding dengan nilai post test. kemampuan latihan paska operasi pada kelompok perlakuan dan kontrol pada klien paska operasi laparotomi diharapkan dapat melakukan latihan sesegera mungkin dengan 5 latihan seperti jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh ava terhadap kemampuan latihan pasien paska operasi laparotomi 5 latihan pernapasan diafragma, latihan batuk dengan teknik splinting, latihan tungkai, moving and turning di tempat tidur. latihan ini dapat dilaksanakan sejak 8 jam setelah pembedahan atau setelah pasien sadar, dan pada pasien dengan pembiusan regional atau spinal block biasa dilakukan 12 sampai 24 jam berikutnya setelah efek anastesi hilang (brunner & suddart, 2002). setelah diberikan intervensi berupa penggunaan ava dalam pendidikan kesehatan, pada kelompok perlakuan didapatkan nilai rata-rata (mean) post test kemampuan dalam melaksanakan latihan paska operasi lebih besar yaitu 26,70, sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 14,70. ini berarti terdapat perbedaan nilai rata – rata (mean) kemampuan dalam melakukan latihan paska operasi bila dibandingkan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. hal ini sesuai dengan pendapat notoatmodjo (2003) pendidikan kesehatan adalah usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku) mereka, untuk mencepai kesehatan mereka optimal. dengan pendidikan kesehatan yang diberikan maka pengetahuan yang didapat akan meningkat yang otomatis mempengaruhi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan paska operasi. berdasarkan uraian diatas ternyata kedua kelompok ternyata sama – sama mengalami peningkatan nilai ratarata (mean) kemampuan dalam melaksanakan latihan paska operasi baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol, yang membedakan hanya besar peningkatan yang tidak sama antara kelompok perlakuan dan kontrol. bila dibandingkan nilai rata – rata (mean) post test kelompok perlakuan lebih besar yaitu 26,70, sedangkan kelompok kontrol 14,70. proses pendidikan kesehatan memiliki tiga komponen utama, yaitu : masukan (input), proses dan hasil (output). input dalam pendidikan kesehatan ini adalah individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang sedang belajar dengan berbagai masalahnya. proses adalah mekanisme dari interaksi terjadinya perubahan kemampuan (perilaku) pada diri subyek belajar. outputnya adalah hasil belajar berupa kemampuan atau perubahan perilaku dari subyek belajar. dalam proses pembelajaran ini terjadi pengaruh timbale balik antara berbagai factor, antara lain subyek belajar, pengajar atau fasilitator belajar, metode yang digunakan, alat bantu belajar dan materi atau bahan yang dipelajari (nursalam, 2008). keberhasilan pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan latihan paska operasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. beberapa ahli pendidikan mengelompokkkan faktor – faktor yang mempengaruhi proses belajar ini kedalam empat kelompok besar, yaitu factor materi, lingkungan, instrument, dan factor individu subyek belajar. kondisi individual subyek belajar dibedakan kedalam kondisi fisiologis seperti kekurangan gizi dan kondisi panca indera (terutama pendengaran dan penglihatan) sedangkan untuk mempelajari ketrampilan psikomotor, klien membutuhkan kekuatan dan ketajaman sensorik tertentu. berdasarkan data frekuensi karakteristik responden berdasarkan usia, diperoleh data bahwa sebagian besar (40%) responden berusia 46 – 60 tahun, usia tersebut termasuk dalam lansia. pada tahap perkembangan subjek memiliki cara belajar yang berbeda. pada lansia mengalami berbagai perubahan fisik dan psikologis. perubahan tersebut menambah kebutuhan edukasi mereka dan menciptakan hambatan belajar, kecuali jika dilakukan penyesuaian intervensi keperawatan. perubahan sensorik pada penglihatan dan pendengaran membutuhkan penyesuaian metode pengajaran untuk mengoptimalkan fungsi. lansia belajar dan mengingat secara efektif jika perawat dapat mengatur kecepatan pengajaran dengan tepat dan jika materi tersebut relevan dengan kebutuhan dan kemampuan pelajar. lansia memiliki fungsi kognitif dan memori menurun. penggunaan media audio visual sangat berguna bagi klien dengan masalah – masalah komprehensif membaca dan defisit visual (potter & perry, 2009). selain itu menggunaan agus susanto, erni setiyorini jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 6 media audio visual memiliki berbagai kelebihan yaitu memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata – kata, tertulis atau lisan), gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat dapat diatur, biasanya berperan dalam pembelajaran tutorial dan bias mengamati lebih dekan obyek yang sedang bergerak sehingga dapat meningkatkan retensi (ingatan). pengaruh penggunaan ava dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi pada kelompok perlakuan dan kontrol berdasarkan pada analisis dengan menggunakan independen sample t-test, diperoleh hasil p=0,000. nilai ini lebih rendah dari signifikansi α=0,05. hal ini berarti terdapat pengaruh penggunaan ava dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi pasien dengan laparatomi. hal ini sesuai dengan pendapat gruendeman (2006) bahwa banyak alat pengajaran yang tersedia untuk edukasi klien. pemilihan alat yang tepat tergantung pada pemilihan metode instruksi, kebutuhan belajar klien dan kemampuan belajar klien. dalam pengembangan isi program, tipe alat bantu yang diperlukan untuk mendukung isi tersebut harus dipertimbangkan. penelitian menunjukkan bahwa 75% pengetahuan diperoleh melalui visual, 13% dari pendengaran dan 12% dari penciuman, rasa dan sentuhan. multimedia yang mengintegrasikan teks, grafik, animasi, audio dan video mengembangkan proses pengajaran dan pembelajaran ke arah yang lebih dinamik (suroso, 2008). sebagai media dalam pendidikan dan pengajaran, media audio visual mempunyai sifat sebagai berikut: kemampuan untuk meningkatkan persepsi, meningkatkan transfer belajar, memberikan penguatan atau pengetahuan hasil yang dicapai dan meningkatkan retensi (ingatan). karakteristik media audio visual adalah memiliki unsur suara dan unsur gambar. promosi kesehatan tidak lepas dari media karena melalui media, pesanpesan yang disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami, sehingga sasaran dapat mempelajari pesan tersebut dan sasaran dapat memutuskan untuk mengadopsinya perilaku yang positif (notoatmodjo, 2003). menurut riyana dalam asyhar (2011) menyatakan bahwa melalui media suatu proses pembelajaran bisa lebih menarik dan menyenangkan. dengan melihat audio visual sebagai media pembelajaran, peserta didik akan mendapat keuntungan yang signifkan bila belajar dengan menggunakan sumber dan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan gaya belajarnya. media pembelajaran audio visual dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik,sebab penggunaan media pembelaaran audio visual menjadi lebih menarik dan memusatkan perhatian peserta didik. pendidikan kesehatan yang berbasis teknologi informasi menggeser sistem pembelajaran konvensional ke modern. isi informasi pendidikan kesehatan jika sudah terstandar, misalnya melalui penyamaan persepsi dengan menggunakan sop (standart operating procedure) di ruangan memberikan jaminan keamanan bagi pasien dan kualitas pelayanan keperawatan. penekanan utama dalam pengajaran audio visual adalah pada nilai belajar yang diperoleh melalui pengalaman kongkret, tidak hanya didasarkan atas kata – kata. penggunaan metode dan alat bantu yang tepat dalam pendidikan kesehatan pra operasi akan memberikan hasil pembelajaran yang baik (potter & perry, 2009). simpulan dan saran simpulan ada pengaruh penggunaan ava dalam pendidikan kesehatan terhadap kemampuan latihan paska operasi pada pasien dengan laparotomi dengan nilai signifikansi p=0,000. jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh ava terhadap kemampuan latihan pasien paska operasi laparotomi 7 saran klien dan keluarga, diharapkan dapat berperan aktif dalam pendidikan kesehatan pra operatif dan pelaksanaan latihan paska operasi. institusi rumah sakit, dapat menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pendidikan kesehatan pra operasi, mempertimbangkan pembuatan sop dalam pendidikan pre operatif. referensi arsyad, a 2007, media pembelajaran, raja grafindo persada, jakarta. asyhar, rh 2011, kreatif mengembangkan media pembelajaran, gaung persada, jakarta. baradero, m & siswadi, y 2008, prinsip dan praktik keperawatan perioperatif, egc, jakarta. brunner, l & suddarth, d 2002, buku ajar keperawatan medical bedah. ed 8 vol 1, penerjemah: h.kuncara, a.hartono, m.ester, y.asih, egc, jakarta. falvo, d.r. 2004. effective patient education: a guide to increased compliance. canada: jones and bartlett publishers canada. gruendemann, bj dan fernsebner. b 2006, buku ajar keperawatan perioperatif vol 1, penerjemah: dr. brahm u. pendit, dkk, jakarta, egc. gruendemann, bj dan fernsebner, b 2006, buku ajar keperawatan perioperatif vol 2 praktik, penerjemah: dr. brahm u. pendit, jakarta, egc. ignatavicius, dd and bayne 1991, medical surgical nursing, a nursing process approach, vol 2: prinsiple, wb saunders company, philadelphia. kozier, b and erb 1991, fundamental of nursing, addison –wesley company inc, philadelphia mas’udi, a 2010, ‘pengaruh pendidikan kesehatan melalui media audio visual terhadap perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan mobilisasi dini pada pasien paska operasi apendiktomi di ruang bedah rumkital dr. ramelan’, skripsi fakultas keperawatan, universitas airlangga, surabaya. muttaqin, a & sari, k 2009, asuhan keperawatan perioperatif, konsep, proses dan aplikasi, salemba medika, jakarta. notoatmodjo, s 2002, metodologi penelitian kesehatan, rineka cipta, jakarta. notoatmodjo, s 2003, pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta. notoatmodjo, s 2003, promosi dan ilmu perilaku, rineka cipta, jakarta. nursalam & effendi 2008, pendidikan dalam keperawatan, salemba medika, jakarta. rothrock, c.j 2000, perencanaan asuhan keperawatan perioperatif, penerjemah: maria a. wijaya rini, egc, jakarta. potter dan perry 2009, fundamental keperawatan buku 1 edisi 7, salemba medika, jakarta. saroso, s 2008, upaya pengembangan pendidikan melalui pembelajaran berbasis multimedia, diakses tanggal 5 juni 2012, < http://www.media.diknas. go.id/media/>. smeltzer, c 2002, medical surgical nursing, a nursing process approach vol 2 principle, wb saunders company, philadelphia. smetzel, c 2009, fundamental keperawatan buku 2 edisi 7, salemba medika, jakarta. yanika 2011, the technology acceptance model predicting nurses’ intention to use telemedicine technology (eicu), computers informatics nursing, diakses tanggal 7 juni 2012, . http://www.media.diknas/ http://journals.lww.com,journal/ 120 hubungan motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara (the correlation of motivation with the behavior breast care in postpartum mothers) erna isnandira dan maria ulfa stikes patria husada blitar email: riyukicantiq@yahoo.com abstract : improper breast care will cause swelling on the breast and cracking on the nipples which make the process of breastfeeding difficult. when there is cracking on the nipples, breastfeeding process should be suspended until it is healed. method: the research design was a correlational research using cross sectional approach. the research sample was 14 people at bpm eny kustyaningsih kepanjen kidul district of blitar at augus 03th until 14th, 2012, it was chosen using purposive sampling. the data was collected by observation using questionnaire. the data was analyzed using spearman rank, with a significant level of ≤ 0.05. result : the motivation of breast care in postpartum mothers was in category of enough at about 71.4%, 64.3% in behavior, with the spearman rank p-value of 0.008. discussion : it should be held further education for the mothers, especially when the mother was in a pregnancy, so that new mothers had the attention, memory, imagination and highly motivated so that the motivation and behavior of breast care would be better. keywords : motivation, behavior pada tahun 2005 badan kesehatan dunia (who) menyebutkan bahwa jumlah kasus infeksi payudara yang terjadi pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrocustic terus meningkat, dimana penderita kanker payudara mencapai hingga lebih 1,2 juta orang yang terdiagnosis, dan 12% diantaranya merupakan infeksi payudara berupa mastitis pada wanita pasca post partum. di indonesia hanya 0,001/100.000 angka kesakitan akibat infeksi berupa mastitis (depkes ri, 2008). berdasarkan laporan dari survei demografi dan kesehatan indonesia (sdki, 2007) diusia lebih dari 25 tahun sepertiga wanita di dunia (38%) didapati tidak menyusui bayinya karena terjadi pembengkakan payudara, dan di indonesia angka cakupan asi eksklusif mencapai 32,3% ibu yang memberikan asi eksklusif pada anak mereka.survei demografi dan kesehatan indonesia (sdki) tahun 2008-2009 menunjukkan bahwa 55% ibu menyusui mengalami mastitis dan putting susu lecet, kemungkinan hal tersebut disebabkan karena kurangnya perawatan payudara selama kehamilan. perawatan payudara merupakan upaya untuk merangsang sekresi hormon oksitosin untuk menghasilkan asi sedini mungkin dan memegang peranan penting dalam menghadapi masalah menyusui. teknik pemijatan dan rangsangan pada puting susu yang dilakukan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p113-117 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ isnandira dan ulfa, hubungan motivasi dan perilaku…121 pada perawatan payudara merupakan latihan semacam efek hisapan bayi sebagai pemicu pengeluaran asi. bagi ibu yang menyusui bayinya perawatan payudara dan puting susu merupakan suatu hal yang sangat penting, perawatannya meliputi payudara harus dibersihkan dengan teliti setiap hari sebelum mandi dan sekali lagi ketika hendak menyusui, hal ini akan mengangkat kolostrum yang kering atau sisa susu dan membantu mencegah akumulasi dan masuknya bakteri baik ke puting maupun ke mulut bayi. perawatan payudara yang tidak benar menyebabkan payudara bengkak dan puting pecah-pecah yang akan menjadi penyulit dalam proses menyusui, bila puting menjadi pecah-pecah proses menyusui ditangguhkan sampai putting tersebut sembuh karena harus dilakukan perawatan payudara pada saat ibu mulai menyusui. perawatan payudara pada ibu nifas yang tidak benar disebabkan karena pengetahuan ibu masih kurang sehingga ibu harus belajar dari pengalaman melahirkan sebelumnya atau dari informasi dan sumber yang lainnya (admin, 2010). hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan teknik wawancara kepada 8 ibu nifas di bpm eny kustyaningsih kecamatan kepanjen kidul kota blitar pada tanggal 20–30 maret 2013 didapatkan 5 ibu nifas dengan putting lecet, 3 orang dengan payudara bengkak. namun, dari 5 ibu ini hanya 3 orang yang mengetahui pentingnya perawatan payudara. sedangkan 3 ibu lain belum mengetahui pentingnya perawatan payudara. sebelumnya ibu nifas sudah mendapatkan pengetahuan dari bidannya. berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara di bpm eny kustyaningsih kecamatan kepanjen kidul kota blitar. rumusan masalah dalam penelitian ini ada hubungan motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara di bpm eny kustyaningsih kecamatan kepanjen kidul kota blitar. tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara. tujuan khusus (1) mengidentifikasi motivasi ibu nifas dalam perawatan payudara (2) mengidentifikasi perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara (3) menganalisis hubungan antara motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara. manfaat praktis penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dan wawasan tentang motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara, melatih berfikir dan bersikap kreatif mencari pemecahan masalah mengenai perilaku perawatan payudara pada ibu nifas dan mencari pemecahan masalah lecet puting susu yang terjadi pada ibu nifas. manfaat teoritis memperbanyak referensi tentang hubungan motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara. bahan dan metode desain penelitiannya analitik korelasi dengan cross section yaitu melakukan observasi selama dilakukan pengambilan data. sampel penelitian ini adalah 14 orang pada tanggal 03 – 14 agustus 2013 di bpm eny kustyaningsih kecamatan kepanjen kidul kota blitar yang dipilih dengan teknik purposive sampling. variabel bebasnya adalah motivasi ibu nifas dalam perawatan payudara dan variabel terikatnya adalah perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara. pengambilan data dilakukan secara langsung dengan cara meminta responden mengisi lembar kuesioner. analisis menggunakan uji korelasi spearman rank (rho) dengan tingkat kemaknaan 0,05. hasil penelitian karakteristik responden. 122 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 120-125 tabel 1. karakteristik responden no karakteristik frekuensi % 1 umur < 20 th 20 – 35 th > 35 th 2 8 4 14,3 57,1 28,6 2 pendidikan sd smp sma pt 2 2 9 1 14,3 14,3 64,3 7,1 3 pekerjaan irt swasta tani pns 11 0 1 2 78,6 0 7,1 14,3 4 jumlah anak 1 2 – 3 > 3 0 3 11 0 21,4 78,6 tabel 2. identifikasi motivasi responden dalam perawatan payudara no motivasi f % 1 tinggi 3 21,4 2 cukup 10 71,5 3 rendah 1 7,1 tabel 3. identifikasi perilaku responden dalam perawatan payudara no perilaku f % 1 baik 5 35,7 2 cukup 9 64,3 tabel 4. hubungan motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara no perilaku motivasi tinggi cukup rendah f % f % f % 1 baik 3 21,4 2 14,3 0 0 2 cukup 0 0 8 57,1 1 7,1 3 kurang 0 0 0 0 0 0 berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi cukup dan perilaku perawatan payudara cukup sebesar 57,1%. hasil uji spearman rank menunjukkan nilai p value = 0,008, sehingga nilai p value = 0,008 < = 0,05 artinya adanya hubungan antara motivasi dengan perilaku perawatan payudara. selain itu, terdapat hubungan positif yang kuat antara motivasi dengan perilaku perawatan payudara ditandai dengan nilai korelasi r = 0,676. . pembahasan motivasi dalam perawatan payudara dari hasil penelitian dengan 14 responden, diketahui 71,4% responden memiliki motivasi cukup dalam perawatan payudara. motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan atau kegiatan yang berlangsung secara sadar. motivasi pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya (sardiman, 2011). perawatan yang dilakukan terhadap payudara bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah dan mencegah tersumbatnya saluran susu sehingga memperlancar pengeluaran asi (huliana m, 2003). motivasi responden dalam perawatan payudara muncul karena responden telah menyakini bahwa pemberian perawatan payudara sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan. motivasi pada responden ini diduga didukung oleh beberapa hal yaitu usia, dukungan dari petugas kesehatan, pengalaman dan kondisi fisik. berdasarkan penelitian, didapatkan hasil bahwa responden yang berumur 20-35 tahun sebanyak 57,1%. meningkatnya sebuah motivasi disebabkan oleh meningkatnya usia dan kematangan diri (merita, 2012). usia yang semakin tua dapat menimbulkan kemampuan seseorang mengambil keputusan semakin bijaksana, semakin mampu berfikir secara rasional, semakin mampu mengendalikan emosi dan semakin toleransi terhadap pandangan orang lain. responden sangat memahami manfaat dan keuntungan dari perawatan payudara sehingga mereka mewujudkannya isnandira dan ulfa, hubungan motivasi dan perilaku…123 meskipun muncul keraguan perawatan payudara yang dilakukan sudah benar atau belum. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden mendapatkan dukungan dari petugas kesehatan untuk melakukan perawatan payudara. petugas kesehatan dalam hal ini bidan telah memberikan konseling tentang perawatan payudara kepada ibu. faktor lingkungan mempengaruhi peran penting dalam motivasi. faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi motivasi adalah hubungan dengan keluarga dan tim profesi kesehatan (nursalam, 2003). petugas kesehatan merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan individu akan informasi, selain dari surat kabar, majalah, tv, radio, bioskop dan buku-buku (notoatmojo, 2007). semakin banyak informasi yang didapatkan tentunya akan meningkatkan motivasi dalam perawatan payudara. hubungan baik antara petugas kesehatan yang bertugas pada saat ibu datang ke pelayanan kesehatan akan memberikan efek yang baik pula pada keinginan ibu dalam perawatan payudara. namun, keadaan kondisi fisik juga turut berpengaruh dalam perawatan payudara, mengingat perawatan ini dilakukan ibu setelah melahirkan. hasil penelitian didapatkan bahwa responden memiliki 2-3 anak yaitu sebesar 78,6%. seseorang akan termotivasi karena adanya pengalaman masa lalu sebagai respon pada rangsangan dalam pola tingkah laku (notoatmodjo, 2003). responden tentunya akan mampu menilai apakah perawatan payudara tersebut bermanfaat atau tidak. namun, responden merasa enggan untuk melakukan perawatan payudara mengingat harus mempersiapkan proses persalinan dan juga mengurus anak yang terdahulu sehingga responden terkesan tidak memiliki waktu luang yang banyak. kondisi fisik responden juga dapat mempengaruhi motivasi responden yang cukup ini. kondisi fisik melambangkan kebugaran secara fisik dan merupakan kemampuan yang berfungsi secara efektif sepanjang hari pada saat melakukan aktivitas. sehingga apabila kondisi fisik menurun dan tidak adanya usaha yang dilakukan untuk perbaikan, maka akan berdampak terhadap psikologis seseorang individu sehingga akan menanganggu aktivitas dalam kesehariannya (maharani, 2012). perawatan payudara yang sering dilakukan ibu adalah terdorong akibat dukungan dari petugas kesehatan sehingga perawatan payudara tersebut terkesan terpaksa. padahal pada saat setelah melahirkan kondisi fisik ibu tentunya masih dalam proses penyembuhan untuk memiliki kembali energi untuk melakukan aktifitas. hal ini menjadikan motivasi untuk melakukan perawatan payudara hanya dalam kategori sedang. perilaku dalam perawatan payudara dari hasil penelitian dengan 14 responden, diketahui 64,3% responden memiliki perilaku cukup dalam melakukan perawatan payudara. perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (notoatmodjo, 2003). menurut l. green (1980), dalam notoatmodjo (2003), ada 3 faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku yaitu: 1) faktor predisposisi (predisposing factor), yang mencakup: pengetahuan, nilai, keyakinan, sikap, dan presepsi, berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak. 2) faktor pemungkin (enabling factor), yang mencakup: keterampilan dan sumber daya yang perlu untuk perilaku kesehatan. 3) faktor penguat (reinforcing factor), faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah seseorang memperoleh dukungan atau tidak. sumber penguat dapat diperoleh dari teman sebaya, guru, keluarga serta petugas kesehatan. perilaku cukup responden dalam melakukan perawatan payudara ini diduga dipengaruhi oleh faktor predisposisi yaitu keyakinan dan faktor pemungkin yaitu ketrampilan responden dalam melakukan perawatan payudara. perilaku cukup dalam melakukan perawatan payudara ini dipengaruhi oleh keyakinan responden dalam melakukan perawatan payudara. faktor predisposisi sebagi preferensi pribadi yang dibawa seseorang kelompok ke dalam suatu pengalaman. preferensi ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat, dalam setiap kasus faktor ini berpengaruh notoatmodjo (2003). responden telah mengetahui tentang perawatan payudara dengan baik dari petugas kesehatan, namun dalam pelaksanaannya mereka masih belum memiliki keyakinan yang kuat. responden masih berpikir apakah perawatan payudara yang dilakukan seudah sesuai dengan informasi yang diberikan oleh petugas 124 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 120-125 kesehatan atau belum. hal yang perlu diperhatikan adalah setelah pengompresan pada payudara, responden belum membersihkan payudara dengan menggunakan handuk kering dan bersih. hal lain yang diduga mempengaruhi perilaku cukup responden dalam perawatan payudara ini adalah ketrampilan responden. menurut green (1980) dalam notoatmodjo (2003) faktor pemungkin terbentuknya perilaku adalah keterampilan dan sumber daya. perilaku terjadi diawali dengan adanya pengalaman– pengalaman seseorang serta faktor–faktor dari luar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun nonfisik. keterampilan adalah kemampuan seseorang untuk menjalankan upaya yang menyangkut perilaku yang diharapkan. keterampilan dapat berkisar mulai dari penggunaan teknik dan latihan yang tepat sampai ke prosedur dan pelaksanaannya. ketrampilan dalam perawatan payudara yang dimiliki responden akan dilakukan responden ketika ada petugas kesehatan atau bidan yang mendampingi. responden juga memikirkan masalah keluarga atau mengurus anak terdahulu dan juga kondisi fisik responden yang tidak memungkinkan untuk memunculkan ketrampilan yang baik dalam perawatan payudara. hubungan motivasi dengan perilaku perawatan payudara berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi cukup dan perilaku perawatan payudara cukup sebesar 57,1%. hasil uji spearman rank menunjukkan nilai p value = 0,008, sehingga nilai p value = 0,008 < = 0,05 artinya adanya hubungan antara motivasi dengan perilaku perawatan payudara. selain itu, terdapat hubungan positif yang kuat antara motivasi dengan perilaku perawatan payudara ditandai dengan nilai korelasi r = 0,676. hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi motivasi responden akan semakin baik perilaku responden dalam melakukan perawatan payudara dan sebaliknya. motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. di dalam diri seseorang terdapat “kebutuhan” (needs) atau “keinginan” (wants) terhadap objek di luar seseorang tersebut, kemudian bagaimana seseorang tersebut menghubungkan antara kebutuhan dengan “situasi di luar” objek tersebut dalam memenuhi kebutuhan yang dimaksud. oleh sebab itu, motivasi adalah suatu alasan (reasoning) seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (notoatmodjo, 2012). tindakan merupakan ekspresi dari sebuah perilaku, sedangkan perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. adanya hubungan antara motivasi dengan perilaku responden dalam melakukan perawatan payudara ini mengindikasikan bahwa motivasi merupakan dorongan seseorang untuk melakukan suatu tindakan. namun untuk membentuk suatu perilaku yang baik tidak hanya didasarkan kepada motivasi seorang saja. hal tersebut juga bergantung dari banyak faktor, faktor yang mempengaruhi motivasi ialah tujuan, tantangan, tanggung jawab, kesempatan untuk maju. sedangkan faktor yg mempengaruhi perilakunya yaitu faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap, nilai. faktor pemungkin seperti sumberdaya yang meliputi biaya, waktu, jarak, dan ketersediaan transportasi. faktor penguat seperti sudah mendapat dukungan apa belum, faktor disini mungkin berasal dari perawat, dokter, pasien lain dan keluarga. (notoatmodjo 2012). perilaku sehat tidak akan terjadi begitu saja, tetapi merupakan sebuah proses karena individu mengerti pengaruh positif atau negatif suatu perilaku yang terkait. dengan motivasi yang dimiliki ibu dalam perawatan payudara menjadi landasan terbentuknya perilaku untuk melakukan perawatan payudara. perilaku yang baik akan dilakukan oleh ibu jika memiliki motivasi yang baik pula, sedangkan motivasi yang kurang menjadikan ibu memiliki perilaku yang berpotensi mengakibatkan resiko gangguan kesehatan seperti payudara bengkak, puting lecet, dan bendungan asi. perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. sehingga yang dimaksud perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, bicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya (notoatmodjo, 2003 : 114). menurut suryani (2003) yang diacu dari beberapa buku, perilaku adalah aksi dari individu terhadap reaksi dan hubungan dengan lingkungannya. perubahan perilaku baru adalah isnandira dan ulfa, hubungan motivasi dan perilaku…125 suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. secara teori perubahan perilaku baru melalui 3 tahap pengetahuan, sikap dan tindakan (notoatmodjo, 2003 : 128). perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya. motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. hasil dari dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam perilaku (notoatmodjo, 2003 : 132). simpulan dan saran simpulan motivasi perawatan payudara pada ibu nifas cenderung dalam kategori cukup yaitu sekitar 71,4 %, perilaku untuk melakukan perawatan payudara dalam kategori cukup juga yaitu sekitar 64,3 %, signifikasi hubungan antara motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara ditunjukkan oleh nilai p-value sebesar 0,008, dengan p-value < α yang ditetapkan yaitu 5 % maka ada hubungan antara hubungan antara motivasi dengan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara. saran berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa motivasi dan perilaku ibu nifas dalam perawatan payudara dalam kategori cukup. untuk itu perlu diadakan penyuluhan lebih lanjut terutama pada saat ibu masih dalam kondisi kehamilan,sehingga ibu nifas memiliki perhatian, ingatan, imajinasi dan termotifasi sehingga motivasi dan perilaku perawatan payudara menjadi lebih baik. diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan dalam memberikan penyuluhan mengenai pentingnya perawatan payudara sedini mungkin mulai dari kehamilan sampai masa nifas. hal ini dikarenakan apabila pada perawatan payudara tidak dipersiapkan sedini mungkin dapat menyebabkan tidak berhasilnya dalam program pemberian asi. daftar rujukan departemen kesehatan ri, 2008, pedoman pelayanan kebidanan dasar, jika, jakarta. huliana, m 2003, perawatan ibu pasca melahirkan, puspa swara, jakarta. maharani, 2012, faktor–faktor yang berhubungan dengan motivasi ibu postpartum normal dalam melakukan perawatan diri, jurnal,universitas sumatera utara. merita, d 2012, motivasi ibu dalam pemberian asi eksklusif, karya tulis ilmiah. politeknik kesehatan malang kementrian kesehatan malang. tidak dipublikasikan. notoatmodjo, s 2006, pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta. ___________, 2010, promosi kesehatan teori dan aplikasi, rineka cipta, jakarta. sardiman, a 2011, interaksi dan motivasi belajar mengajar, rajawali pers, jakarta. suherni, w 2009, perawatan masa nifas, fitramaya, yogyakarta. sulistyawati, a 2009, buku ajar asuhan kebidanan pada ibu nifas, andi offset, yogjakarta jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan dukungan keluarga dengan ansietas mobilisasi dini pasien post operasi triana arisdiani 1 , livana ph 2 1,2 program studi ners, sekolah tinggi ilmu kesehatan kendal info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 14/08/2018 disetujui, 18/12/2018 di publikasi, 19/12/2018 kata kunci: ansietas mobilisasi dini, dukungan keluarga, post operasi pasien post operasi yang mengalami ansietas, enggan untuk melakukan pergerakan secara dini karena takut menimbulkan nyeri, khawatir jahitannya akan lepas, dan khawatir lukanya tidak segera sembuh. keluarga sebagai support system pasien perlu memberikan dukungan agar ansietas pasien dapat berkurang. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan du-kungan keluarga dengan ansietas pasien post operasi dalam melakukan mobilisasi dini. desain yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah sampel 167 responden. teknik sampling yang digunakan secara consecu-tive sampling. analisa data menggunakan uji chi-square. hasil analisa menunjukkan nilai p = 0,575 artinya tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat ansietas pasien post operasi dalam melakukan mobilisasi dini. perawat diharapkan lebih sering memotivasipasien untuk melakukan mobilisasi dini demi membantu mempercepat proses penyembuhan.  correspondence address: sekolah tinggi ilmu kesehatan, kendalcentral java, indonesia p-issn : 2355-052x email: livana.ph@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p207-211 207 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) livana.ph@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/321 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 205–211 abstract postoperative patients who experience anxiety, are reluctant to make early movements for fear of causing pain, worry that the stitches will come off, and worry that the wound will not heal immediately. the family as a patient support system needs to provide support so that patients’ anxiety can be reduced. the purpose of the study was to determine the correlation of family support and anxiety of postoperative patients in early mobilization. the design used cross sectional with 167 respondents as the sample. the sampling technique used consecutive sampling. data analysis used the chi-square test. the results of the analysis showed that the value of p = 0.575 meant that there was no correlation between family support and the anxiety level of postoperative patients in early mobilization. nurses are expected to motivate patients more often to make early mobilizations to help speed up the healing process. © 2018 journal of ners and midwifery history article: received, 14/08/2018 accepted, 18/12/2018 published, 19/12/2018 keywords: anxiety, early mobilization, family support,post operative the correlation of family support and anxiety in postoperative patients in early mobilization 209arisdiani, livana, hubungan dukunngan keluarga... pendahuluan ansietas merupakan perasaan cemas, khawatir berlebihan, seolah-olah akan terjadi sesuatu kejadian yang mengancam perasaan. perhatian pasien menjadi terganggu, dan sangat memerlukan perhatian orang lain disekitarnya (keliat, 2011). hubungan sosial dapat mempengaruhi psikologis untuk mengurangi ansietas, dan pasien yang mendapat dukungan keluarga akan mengalami hal-hal positif dalam hidupnya (apollo & cahyadi, 2012). keterlibatan anggota keluarga dapat memberikan kemudahan dalam proses pemulihan seperti membantu pasien dalam mengganti balutan, membantu pasien dalam melakukan mobilisasi dini atau memberikan obatobatan (sjamsuhidajat & jong, 2015). mobilisasi dini merupakan suatu tindakan pemulihan yang dilakukan pada pasien post operasi berfungsi untuk melatih kekuatan otot, sistem saraf tulang maupun untuk peningkatan sirkulasi darah sehingga diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan luka (carpenito, 2009). masalah yang sering terjadi pada pasien post operasi yang akan melakukan mobilisasi adalah ketika pasien merasakan nyeri yang terlalu sakit dapat menyebabkan pasien tidak mau untuk melakukan mobilisasi dini dan memutuskan untuk istirahat di tempat tidur. tingkat dan keparahan nyeri pada pasien post operasi bergantung pada anggapan dari psikologi dan fisiologi individu itu sendiri. pasien yang tidak mengetahui manfaat dari mobilisasi dini dan kurang mendapatkan informasi cenderung tidak akan melakukan mobilisasi karena kebanyakan pasien akan mengalami kecemasan (ansietas) jika tubuh digerakkan pada posisi tertentu akan mempengaruhi luka pada pasien post operasi yang belum sembuh (smeltzer, 2009). tahuru (2013) melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan pasien post secsio caesarea dengan kemampuan mobilisasi, menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan kemampuan mobilisasi pasien post seksio sesarea, kemampuan pasien untuk melakukan mobilisasi masih bermacam-macam, ada yang dihari ke 2 melakukan mobilisasi dan ada juga yang mobilisasi pada hari ke 3 setelah dilakukan operasi. data berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas, 2013) prevalensi penduduk indonesia yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 6%. hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di kendal pada bulan oktober 2017 menggunakan kuesioner dass (depression anxiety stress scale) menunjukkan hasil 6 dari 10 responden mengalami ansietas ringan dan 4 pasien mengalami ansietas sedang, ansietas yang dialami responden disebabkan karena tindakan pembedahan yang sudah dilakukan, responden mengatakan takut untuk bergerak dalam waktu 1 x 24 jam setelah tindakan operasi karena merasa nyeri, takut jahitannya lepas dan takut lukanya tidak segera sembuh, sebagian pasien pada hari kedua masih berbaring ditempat tidur. pelaksanaan mobilisasi dini seringkali dihiraukan karena berbagai faktor yang membuat seseorang takut untuk melakukannya. berdasarkan fenomena diatas, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan ansietas pasien post operasi dalam melakukan mobilisasi dini. metode jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah pasien post operasi usia dewasa. sampel dalam penelitian ini sebanyak 167 responden, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. penelitian dilakukan pada bulan september 2017–april 2018 pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner melalui wawancara dan observasi. data dianalisis menggunakan uji chi square. hasil penelitian hubungan dukungan keluarga dengan tingkat ansietas dalam melakukan mobilisasi dini hasil penelitian dukungan keluarga dengan tingkat ansietas pada pasien post operasi dalam melakukan mobilisasi dini dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut: 210 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 205–211 pembahasan hubungan dukungan sosial dengan tingkat ansietas mobilisasi dini hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan sosial dengan tingkat ansietas pasien post operasi dalam melakukan mobilisasi dini. menurut sjamsuhidajat dan jong (2015) menjelaskan bahwa keterlibatan anggota keluarga dapat memudahkan dalam proses pemulihan seperti membantu pasien dalam mengganti balutan, membantu pasien dalam pelaksanaan latihan mobilisasi atau memberikan obat-obatan. hubungan sosial dapat mempengaruhi psikologis, memperkuat pelaksanaan hidup sehat dan membantu pemulihan dari sakit dalam bentuk sportif (taylor, et al., 2009). hasil penelitian tersebut juga tidak sejalan dengan penelitian misgiyanto dan susilawati (2014) yang membahas tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat ansietas penderita kanker serviks paliatif menyatakan bahwa angka harapan kesembuhan penderita kanker serviks stadium paliatif membutuhkan dukungan keluarga berupa dukungan emosioanl, dukungan penghargaan, dukungan materi dan dukungan informasi. perlu adanya informasi dari para petugas kesehatan terhadap keluarga pasien untuk selalu memperhatikan anggota keluarganya, karena efek dari dukungan keluarga terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan. setiadi (2008), menjelaskan bahwa secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stress. hasil penelitian berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh nadeak (2011), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pra operasi. menurut penelitian sudrajat (2014), menjelaskan bahwa dukungan keluarga terhadap kesiapan pasien dalam menjalani operasi sangat penting karena keluarga adalah orang terdekat dengan pasien, keluarga dapat mendukung secara emsional, material ataupun spiritual sehingga pasien siap untuk dilakukan operasi. kesimpulan dan saran kesimpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat ansietas pasien post operasi dalam melakukan mobilisasi dini. saran pasien diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan tentang mobilisasi dini agar dapat mengurangi ansietasnya, yaitu dengan cara mencari informasi langsung dari perawat atau tenaga medis yang ada ataupun mencari informasi tentang mobilisasi dini melalui media masa cetak dan atau online. daftar pustaka apollo, & cahyadi, a. (2012). konflik peran ganda perempuan menikah yang bekerja ditinjau dari f % f % f % f % f % dukungan keluarga kurang 10 6 19 11,4 26 15,6 18 10,8 73 43,7 0,575 baik 13 7,8 19 11,4 30 18 32 19,2 94 56,3 total 23 13,8 38 22,8 56 33,5 50 29,9 167 100 tabel 1 hubungan dukungan keluarga dengan tingkat ansietas pasien post operasi dalam melakukan mobilisasi dini (n=167) variabel ansietas total p valueringan sedang berat sangat berat 211arisdiani, livana, hubungan dukunngan keluarga... dukungan sosial keluarga dan penyesuaian diri. jurnal widya warta, 02, 255-271. carpenito, l.j. (2009). diagnosis keperawatan, aplikasi pada praktek klinis: edisi 9. jakarta: egc. keliat, b.a., & akemat. (2011). model praktik keperawatan profesional jiwa. jakarta: egc. misgiyanto, & susilawati, d. (2014). hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan penderita kanker serviks paliatif.http://ejournal. umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view/ 226/showtoc nadeak, an. (2011). pengaruh return on asset (roa), return on equity (roe), return on investment ( roi), debt to equity ratio ( der), dan book value (bv) per share terhadap harga saham properti di bursa efek indonesia. skripsi, fakultas ekonomi, universitas sumatera utara, medan riskesdas. (2013). diseminasi kesehatan jiwa. http:// www.litbang.depkes.go.id.diakses 29 september 2014. setiadi. (2008). konsep keperawatan keluarga. yogyakarta: graha ilmu. sjamsuhidajat & de jong (2015). buku ajar ilmu bedah. jakarta: egc smeltzer, suzanne c & bare, brenda g. (2009). keperawatan medikal bedah. jakarta: egc sudrajat, a. (2014). dukungan keluarga terhadap kesiapan pasien mengahadapi tindakan operasi. jkep. vol. 1 no. 2 mei 2014, hlm 2016-214. http:/ /ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/jkep/ article/view/71. taylor. (2009). social psychology. pearson education. taharu, s. (2014). hubungan tingkat pengetahuan dengan mobilisasi dini pada ibu nifas di puskesmas likupang timur kecematan likupang timur. e-journal keperawatan (e-kp) volume 3. nomor 1. (februari 2015) https://ejournal.unsrat.ac.id/ index.php/jkp/article/view/6688/6208. 125setiyorini, wulandari, hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup... 125 hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup pada lansia penderita diabetes mellitus tipe 2 yang berobat di poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar (the correlation of nutritional status with quality of life on elderly with type 2 diabetes mellitus in interna polyclinic of mardi waluyo public hospital ) erni setiyorini, ning arti wulandari program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com abstract: diabetes mellitus type 2 (non-insulin-dependent diabetes mellitus) is an adult-onset diabetes which occurs at about 80% of patients with diabetes mellitus. the prevalence of type 2 dm in the elderly is increased. the increasing number of patients with type 2 diabetes is influenced by various factors, such as genetics, lifestyle, age, obesity and lack physical activity. the purpose of this study was to determine the correlation of nutritional status with quality of life on elderly with type 2 diabetes mellitus. the design in this study was correlational with cross sectional approach. the population in this study was 300 elderly people with type 2 diabetes who went to poly disease in rsd mardi waluyo blitar. the sampling technique used accidental sampling, the sample was 100 elderly patient of type 2 dm. the data collection used questioner, nutritional status by using calculation of bmi (body mass index), while life quality of elderly patient of dm type 2 assessed by questionnaire whoqol -bref. the data analysis used spearman rank. the result of the research showed that there was correlation between nutritional status with quality of life on elderly patient of dm type 2 who went to poly disease in rsd mardi waluyo blitar which was shown with p value = 0.000. it is recommended to health workers to provide motivation to patients to maintain a good lifestyle so as to minimize complications and quality of life of the elderly either and for families to support and facilitate healthy lifestyles in elderly people with type 2 diabetes to achieve the most nutritional status according to age and ability. keywords: elderly, type 2 diabetes mellitus, nutrition status, quality of life abstrak: diabetes mellitus tipe 2 (diabetes mellitus non-dependen insulin) merupakan diabetes onset dewasa yang terjadi pada sekitar 80% pasien yang mengidap diabetes mellitus. prevalensi dm tipe 2 meningkat pada lanjut usia. peningkatan jumlah penderita dm tipe 2 ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah genetika, gaya hidup, usia, obesitas dan aktifitas fisik yang kurang. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup pada lansia penderita diabetes melitus tipe 2. desain dalam penelitian ini adalah korelasional dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah 300 orang lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar. sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling, sampel sebanyak 100 lansia penderita dm tipe 2. pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, status nutrisi dengan menggunakan perhitungan imt (indeks massa tubuh), sedangkan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 dinilai dengan menggunakan kuesioner whoqol-bref. analisa data dengan menggunakan spearman rank. hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara status nutrisi dengan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar yang ditunjukkan dengan nilai p=0,000. bagi petugas kesehatan untuk memberikan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p125-133 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 126 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 125–133 motivasi pada pasien untuk menjaga pola hidup yang baik sehingga meminimalkan komplikasi dan kualitas hidup lansia baik. bagi keluarga untuk mendukung dan memfasilitasi pola hidup sehat pada lansia penderita dm tipe 2 untuk mencapai status nutrisi yang paling otimal sesuai dengan usia dan kemampuannya. kata kunci: lansia, diabetes mellitus tipe 2, status nutrisi, kualitas hidup diabetes mellitus tipe 2 adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat dari terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas. diabetes mellitus tipe 2 (diabetes mellitus non-dependen insulin) merupakan diabetes onset dewasa yang terjadi pada sekitar 80% pasien yang mengidap diabetes mellitus. prevalensi dm tipe 2 meningkat pada lanjut usia. peningkatan jumlah penderita dm tipe 2 ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah genetika, gaya hidup, usia, obesitas dan aktifitas fisik yang kurang. berdasarkan data riskesdas tahun 2013, prevalensi diabetes pada kelompok usia 45– 54 tahun sebesar 3,3%, 55–64 tahun 4,8%, 65–74 tahun 4,2% dan >75 tahun sebesar 2,8% (kementrian kesehatan ri, 2013). menurut rizvi (2009) orang dewasa berusia 60 tahun dan lebih tua akan menempati dua per tiga populasi diabetes pada tahun 2025. angka harapan hidup pada pasien dengan dm tipe 2 akan meningkat dengan kepatuhan pasien terhadap terapi pengobatan dan perubahan pola hidup yang sesuai bagi pasien dm, akan tetapi hal ini sedikit berbeda pada kondisi tubuh lansia. hal ini dapat disebabkan karena secara fisiologis terdapat penurunan fungsi tubuh lansia, salah satunya adalah kemampuan respon tubuh terhadap pengobatan. tujuan kesehatan pada lansia dengan diabetes adalah untuk mempertahankan fungsional dan mengendalikan kadar gukosa darah (huang etc, 2005). dalam penatalaksanaan dm fokus penatalaksanaan pada pengobatan, namun kurang mematuhi diet dan olahraga. lansia dengan diabetes berhubungan dengan kondisi kronik seperti hipertensi, dislipidemia dan penyakit kardiovaskuler yang berdampak pada kebutuhan nutrisinya. masalah pencapaian dan pemeliharaan berat badan yang optimal pada lansia dengan diabetes tidaklah sesederhana dalam kelompok usia lainnya. meskipun begitu peningkatan prevalensi kegemukan memberikan kontribusi pada resistensi insulin dan hiperglikemi, lansia dengan fasilitas perawatan jangka panjang dengan diabetes cenderung kurus. ada beberapa masalah yang terkait dengan status gizi diantaranya adalah perubahan nafsu makan, pembatasan diet, kesepian dan depresi mempengaruhi jenis dan jumlah makan yang dikonsumsi lansia (rizvi, 2009). munculnya berbagai penyakit pada lansia akan meningkatkan resiko kekurangan nutrisi. intake makanan pada lansia dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh kondisi fisiologis (lukito dan wahlqvist, 1992). pada proses penuaan, toleransi terhadap glukosa menurun. permasalahan yang paling umum terjadi pada penderita dm adalah mempertahankan berat badan ideal. beberapa lansia bermasalah dengan berat badan yang berlebihan dan sebagian malnutrisi. berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh rohimah dkk (2016) pada 153 lansia penderita dm tipe 2, menunjukkan bahwa status nutrisi berdasarkan penilaian dengan imt dalam kategori gizi kurang 9 orang (5,9%) dan gizi baik 144 orang (94,1%). who mendefinisikan quality of life sebagai persepsi individu tentang posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks sistem budaya dan nilai di mana mereka tinggal dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan, standar dan keprihatinan mereka. oleh karena itu, kecuali definisi kesehatan fisik qol mencakup keadaan psikologis, tingkat kemandirian orang, kehidupan sosial dan kepercayaan pribadi (who, 1998). kualitas hidup yang baik terutama bersumber dari status kesehatan dan beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhinya. diabetes melitus dan status nutrisi obesitas dapat menurunkan status kesehatan akibat konsekuensi fungsionalnya, perubahan gaya hidup yang terkait dengan pengobatan dan komorbiditas dan komplikasi yang sering menyertainya (vidal-peracho etc, 2014). hubungan antara nutrisi, penuaan dan kualitas hidup bersifat rekursif. faktor penuaan terkait dengan perubahan beberapa aspek nutrisi, seperti indera penciuman dan rasa, kemampuan untuk mengunyah dan menelan, fungsi pencernaan dan usus dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidupnya. pada saat yang bersamaan gizi buruk dan kurangnya aktifitas fisik dapat menyebabkan penurunan nafsu makan, ketidakmampuan untuk melakukan adl, perubahan 127setiyorini, wulandari, hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup... kualitas hidup, morbiditas dan kematian (amarantos ect, 2001). kondisi fisiologis pada lansia ini dapat lebih parah dampaknya pada pasien dengan dm tipe 2 apabila kadar glukosanya tidak terkontrol dan apabila timbul komplikasi akibat dm tipe 2. berdasarkan survei pendahuluan terhadap pasien dm yang berobat ke poli penyakit dalan rsd. mardi waluyo blitar, rata-rata kunjungan pasien lansia penderita dm tipe 2 yang datang berobat per bulan lebih kurang 300 pasien. berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang hubungan antara status gizi dengan kualitas hidup lansia penderita diabetes melitus tipe 2. tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi status gizi pada lansia penderita diabetes melitus tipe 2. 2) mengidentifikasi kualitas hidup pada lansia penderita diabetes melitus tipe 2. 3) menganalisis hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup pada lansia penderita diabetes melitus tipe 2. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah korelasional dengan pendekatan cross sectional. variabel independen dalam penelitian ini adalah kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2. variabel dependen dalam penelitian ini adalah status gizi. populasi dalam penelitian ini adalah 300 orang lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar. sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling, sampel sebanyak 100 lansia penderita dm tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu lansia yang tidak mengalami demensia dan tidak mengalami komplikasi dm yang berat. penelitian dilaksanakan tanggal 24–27 april 2017. pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, status nutrisi dengan menggunakan perhitungan imt (indeks massa tubuh), sedangkan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 dinilai dengan menggunakan kuesioner whoqolbref. analisa data dengan menggunakan spearman rank. hasil penelitian data umum data umum responden ini menguraikan tentang distribusi frekuensi responden yang meliputi: berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa karakteristik jenis kelamin lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar, sebagian besar berjenis kelamin perempuan sebanyak 64 orang (64%). distribusi frekuensi responden berdasarkan usia lansia penderita dm tipe 2 no jenis kelamin f % 1 laki-laki 36 36 2 perempuan 64 64 total 100 100 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin lansia penderita dm tipe 2 no usia f % 1 usia pertengahan 38 38 2 lanjut usia 55 55 3 lanjut usia tua 7 7 total 100 100 tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan usia lansia penderita dm tipe 2 berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar usia responden adalah lanjut usia sebanyak 55 orang (55%). distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan terakhir lansia penderita dm tipe 2 no pendidikan terakhir f % 1 sd 34 34 2 sltp 22 22 3 slta 22 22 4 perguruan tinggi 22 22 total 100 100 tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan terakhir lansia penderita dm tipe 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar pendidikan terakhir reponden adalah sd sebanyak 34 orang (34%) 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 125–133 berdasarkan tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga (irt) sebanyak 31 orang (31%). distribusi frekuensi responden berdasarkan lama menderita dm lansia penderita dm tipe 2 berdasarkan tabel 8 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 melakukan pemantauan kadar gula darah secara teratur yaitu 78 orang (78%). distribusi frekuensi responden berdasarkan olahraga yang dilakukan lansia penderita dm tipe 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan lansia penderita dm tipe 2 no pekerjaan f % 1 tidak bekerja 3 3 2 irt 31 31 3 petani 16 16 4 swasta 20 20 5 pensiunan pns/abri 17 17 6 pedagang 5 5 7 pns 8 8 total 100 100 tabel 4 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan lansia penderita dm tipe 2 no lama menderita dm f % 1 < 1 tahun 8 8 2 1 – 5 tahun 33 33 3 >5 tahun 59 59 total 100 100 tabel 5 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan lansia penderita dm tipe 2 berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 lebih dari 5 tahun yaitu 59 orang (59%). distribusi frekuensi responden berdasarkan diet lansia penderita dm tipe 2 no diet f % 1 diet 56 56 2 tidak diet 44 44 total 100 100 tabel 6 distribusi frekuensi responden berdasarkan diet lansia penderita dm tipe 2 berdasarkan tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 diet yaitu 56 orang (56%). distribusi frekuensi responden berdasarkan waktu kontrol ke dokter lansia penderita dm tipe 2 no waktu kontrol ke dokter f % 1 obat habis 2 2 2 ada keluhan 6 6 3 rutin 92 92 total 100 100 tabel 7 distribusi frekuensi responden berdasarkan waktu kontrol ke dokter lansia penderita dm tipe 2 berdasarkan tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 melakukan kontrol ke dokter secara rutin yaitu 92 orang (92%). distribusi frekuensi responden berdasarkan pemantauan kadar gula darah lansia penderita dm tipe 2 no pemantauan kadar gula darah f % 1 tidak teratur 22 22 2 teratur 78 78 total 100 100 tabel 8 distribusi frekuensi responden berdasarkan pemantauan kadar gula darah lansia penderita dm tipe 2 no olahraga yang dilakukan f % 1 tidak olahraga 24 24 2 seminggu sekali 12 12 3 seminggu 2 kali 9 9 4 setiap hari 55 55 total 100 100 tabel 9 distribusi frekuensi responden berdasarkan olahraga yang dilakukan lansia penderita dm tipe 2 129setiyorini, wulandari, hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup... berdasarkan tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 melakukan olahraga setiap hari teratur yaitu 55 orang (55%). distribusi frekuensi responden berdasarkan kadar gula darah lansia penderita dm tipe 2 no kadar gula darah f % 1 normal 67 67 2 hiperglikemia 33 33 total 100 100 tabel 10 distribusi frekuensi responden berdasarkan kadar gula darah lansia penderita dm tipe 2 berdasarkan tabel 10 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 memiliki kadar gula darah dalam range normal yaitu 67 orang (67%). data khusus data khusus meluputi status nutrisi, kapasitas fungsional, kualitas hidup dan hasil uji statistik hubungan status nutrisi, kapasitas fungsional dengan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2. tabel 11 distribusi frekuensi responden berdasarkan status nutrisi lansia penderita dm tipe 2 no status nutrisi f % 1 sangat kurus 4 4 2 kurus 22 22 3 normal 49 49 4 gemuk 7 7 5 obesitas 18 18 total 100 100 tabel 12 distribusi frekuensi responden berdasarkan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 no kualitas hidup f % 1 kualitas hidup kurang 8 8 2 kualitas hidup sedang 53 53 3 kualitas hidup baik 39 39 total 100 100 berdasarkan tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 memiliki kualitas hidup sedang yaitu 53 orang (53%). berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar lansia menderita dm tipe 2 memiliki status nutrisi normal yaitu 49 orang (49%). distribusi frekuensi responden berdasarkan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan status nutrisi lansia penderita dm tipe 2 hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar. status nutrisi kualitas hidup spearman’s rho status nutrisi correlation coefficient 1,000 ,403** sig. (2-tailed) . ,000 n 100 100 kualitas hidup correlation coefficient ,403** 1,000 sig. (2-tailed) ,000 . n 100 100 tabel 13 hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 pembahasan status nutrisi lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar hasil penelitian menunjukkan bahwa status nutrisi lansia penderita dm tipe 2 dalam kategori sangat kurus 4 orang (4%), kurus 22 orang (22%), normal 49 orang (49%), gemuk 7 orang (7%), obesitas 18 orang (18%). terjadinya variasi status nutrisi pada responden dapat terjadi akibat adanya konsumsi makanan yang tidak sesuai dengan aturan diet penyakit dm, baik dalam hal jumlah, jenis dan 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 125–133 frekuensi mengkonsumsinya. sebagian besar responden sebanyak 59 orang (59%) telah menderita dm tipe 2 dalam durasi waktu > 5 tahun, sehingga dalam kurun waktu tersebut, beberapa diantaranya mengalami kemalasan dan kebosanan dengan menu makanan yang sesuai dengan aturan diet. faktor tersebut berkontribusi terhadap terjadinya status nutrisi gemuk dan obesitas. sejalan dengan studi pendahuluan yang dilakukan oleh indriyani (2016) yang dilakukan di rsud kabupaten ciamis, yaitu dari 10 orang, terdapat 7 orang pasien kurang disiplin terhadap jadwal, jumlah dan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsinya, bahkan pasien suka ngemil tanpa memperhatikan kandungan gizi dalam makanan tersebut. terdapat 3 orang memiliki pola hidup yang baik, sehingga tidak mengalami obesitas karena mereka beranggapan bahwa dengan mematuhi segala yang dianjurkan dokter penyakit yang diderita akan cepat sembuh. hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 49 orang (49%) memiliki status nutrisi normal. berat badan normal yang dicapai oleh responden didukung dengan dengan data demografi responden, yaitu sebagian besar responden 56 orang (56%) menerapkan diet, kontrol ke dokter secara rutin 92 orang (92%), pemantauan kadar gula darah secara rutin 78 orang (78%), olahraga secara rutin setiap hari sebanyak 55 orang (55%). hasil penelitian terkait dengan pelaksanaan diet tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh suryono (2012) yang menyatakan bahwa penatalaksanaan kadar glukosa darah 86,2% penderita dm mematuhi pola diet dm yang dianjurkan, namun secara faktual jumlah penderita dm yang disiplin menerapkan program diet hanya berkisar 23,9%. status nutrisi sebagian dalam kategori sangat kurus dan kurus, hal ini dapat terjadi karena secara fisiologis penurunan berat badan pada pasien dm dapat terjadi akibat penurunan sekresi insulin dan terjadinya resistensi insulin sehingga glukosa tidak dapat memasuki sel otot dan jaringan lemak. mekanisme tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuh melalui glikogenolisis dan lipolisis, hal ini menyebabkan massa otot dan jaringan lemak akan berkurang dan terjadilan penurunan berat badan (ashaeryanto dkk, 2011). hasil penelitian menunjukkan bahwa 67 orang (67%) memiliki kadar gula darah normal dan 33 orang (33%) hiperglikemi. berdasarkan penelitian juleka (2012, dalam indriyani, 2016) pada penderita dm di rsu gunung jati cirebon menunjukan bahwa pasien yang memiliki asupan energi melebihi kebutuhan memiliki resiko 31 kali lebih besar untuk mengalami kadar glukosa darah tidak terkendali dibandingkan dengan asupan energi yang sesuai. kadar glukosa yang tidak terkendali dapat disebabkan karena pola diet yang diterapkan oleh responden tidak sesuai dengan aturan diet dm. secara fisiologis, lansia mengalami perubahan pada semua sistem tubuhnya, salah satunya adalah endokrin, sel beta pankreas mengalami penurunan fungsi, sehingga sekresi insulin menurun. selain itu kondisi awal yang mengawali terjadinya penyakit dm tipe 2, diantaranya adalah status nutrisi obesitas, aktifitas fisik yang kurang, berkurangnya massa otot, adanya penyakit penyerta dan penggunaan obat. kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar sebagian besar dalam kategori kualitas hidup sedang 53 orang (53%), kemudian kualitas hidup baik sebanyak 39 orang (39%) dan kategori kurang sebanyak 8 orang (8%). pada penelitian yang dilakukan oleh yuniarti,dkk (2011) gambaran kualitas hidup lansia di wilayah kerja puskesmas batua diperoleh bahwa sebanyak 80 orang (80%) responden dalam kategori kurang dan 20 responden (20%) kualitas hidup baik. berdasarkan data crosstabulasi data antara karakteristik responden dengan kualitas hidup diperoleh data bahwa sebagian besar kualitas hidup dalam kategori cukup pada jenis kelamin perempuan 32 orang (32%) dan kualitas hidup baik sebanyak 27 orang (27%). hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh wahyuni (2014) kualitas hidup pasien dm tipe 2 berdasarkan karakteristik jenis kelamin menunjukkan bahwa persentase terbesar dari responden yang mempunyai kualitas hidup rendah adalah perempuan 46%. hal ini dapat disebabkan karena pola hidup yang baik pada jenis kelamin perempuan menghasilkan kualitas hidup yang cukup dan baik dibandingkan jenis kelamin laki-laki, didukung data penelitian responden dengan jenis kelamin perempuan yang melakukan diet sebanyak 39 orang (39%). sebagian besar responden pada penelitian ini sebagai ibu rumah tangga sebanyak 31 orang (31%), walaupun secara teori masalah finansial dapat mempengaruhi kualitas hidup, akan tetapi keluarga mampu meme 131setiyorini, wulandari, hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup... nuhi kebutuhan pengobatan responden dan memberikan dukungan yang baik sehingga kualitas hidup cukup dan baik. berdasarkan usia, kategori usia lanjut usia memiliki kualitas hidup baik 22 orang (22%) dan cukup 27 orang (27%). didukung dengan data penelitian bahwa pola hidup yang baik diterapkan oleh lanjut usia yaitu 40 orang (40%) melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara teratur. pemantauan kadar glukosa darah secara teratur berkontribusi terhadap kesehatan dan kualitas hidup yang baik. responden yang menderita dm tipe 2 lebih dari 5 tahun memiliki kualitas hidup cukup 29 orang (29%) dan baik sebanyak 25 orang (25%). berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ariani (2011) lama menderita penyakit dm tipe 2 yang dialami responden ratarata 6 tahun, hasil analisis hubungan lama mengalami dm dengan efikasi diri menunjukkan bahwa rata-rata lama mengalami dm pada responden yang memiliki efikasi diri yang baik adalah 6,48 tahun. responden dalam waktu yang lebih lama memiliki efikasi diri yang baik. semakin lama seseorang menderita penyakit yang dialaminya, makanya kesempatan untuk belajar berdasarkan pengalaman semakin luas dan efikasi diri semakin baik. pasien semakin berpengalaman dalam menangani penyakit dm dan koping yang lebih baik. hal ini didukung dengan wu et.al (2006) yang menyatakan bahwa pengalaman selama sakit dan mekanisme koping dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam melakukan aktifitas dan melakukan perawatan diri. berdasarkan tingkat pendidikan, kualitas hidup baik sebanyak 13 orang (13%) dan kualitas hidup cukup sebanyak 17 orang (17%) pada lansia dengan pendidikan sd. hal ini dapat disebabkan karena seseorang dengan pendidikan rendah cenderung untuk mematuhi instruksi dan anjuran yang diberikan oleh petugas kesehatan. didukung dengan data penelitian bahwa responden dengan pendidikan sd memiliki prosentase terbanyak dalam melakukan diet dm yaitu sebanyak 20 orang (20%). hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar hasil penelitian menunjukkan hubungan adanya hubungan antara status nutrisi dengan kualitas hidup lansia penderita dm tipe 2 yang berobat ke poli penyakit dalam rsd mardi waluyo blitar yang ditunjukkan dengan nilai p=0,000. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh yuniarti dkk (2011) bahwa kualitas hidup berhubungan dengan status nutrisi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan dan banyaknya keluhan kesehatan yang dialaminya. hasil crostabulasi memperlihatkan bahwa responden yang memiliki status nutrisi normal memiliki prosentase kualitas hidup terbanyak baik 24 orang (24%) dan cukup 22 orang (22%), obesitas memiliki kualitas hidup baik sebanyak 11 orang (11%), kurus dengan kualitas hidup cukup 19 orang (19%). kurangnya nutrisi dan obesitas dapat menjadi penyebab berbagai macam keluhan dan timbulnya penyakit, selain itu dukungan nutrisi yang sesuai dengan diet dm sangat diperlukan untuk mempertahankan kondisi kesehatan lansia dan memberikan kontribusi terhadap kadar gula darah yang terkendali. sebagian besar responden dengan status nutrisi normal memiliki kualitas hidup baik sebanyak 24 orang (24%). hal ini sejalan dengan penelitian astuti (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi geriatri dengan kualitas hidup geriatri (p=0,002), didapatkan bahwa geriatri mempunyai status gizi baik memiliki kemungkinan untuk mempunyai kualitas hidup 16 kali lebih besar daripada geriatri dengan status gizi yang tidak baik (or=15,556). status nutrisi yang normal didukung dengan pola hidup yang sehat dengan berolahraga, diet, kontrol ke dokter rutin dan pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur untuk memantau kesehatannya. status nutrisi normal berkontribusi terhadap status fungsional, didukung data penelitian menunjukkan bahwa status nutrisi normal memiliki status fungsional mandiri sebanyak 44 orang (44%). terdapat 2 orang responden yang memiliki status nutrisi kurang dan 2 orang dengan status nutrisi kurus yang memiliki kualitas hidup kurang. sesuai dengan teori bahwa usia lanjut berkaitan dengan gangguan nutrisi akibat dari penurunan fungsi organ tubuh, yaitu penciuman, pengecapan dan fungsi gastrointestinal. hal ini berkontribusi terhadap status nutrisi, walaupun tidak dapat digeneralisasi bahwa sebagian besar lansia mengalami status nutrisi yang buruk. sejalan dengan pendapat amarantos, et all (2001) tentang hubungan nutrisi dengan kualitas hidup lansia yang menunjukkan adanya keterkaitan antara status nutrisi dengan kualitas hidup lansia. status nutrisi sangat kurus dan kurus dapat menyebabkan terjadinya keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari dan hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia, terutama pada aspek fisik. lebih lanjut amarantos, et all (2001) juga menjelaskan bahwa selain faktor nutrisi terdapat faktor lain yang mempengaruhi 132 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 125–133 kualitas hidup lansia, yaitu keluhan kesehatan yang dirasakan oleh lansia yang dapat mengganggu aktifitasnya sehari-hari. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status nutrisi dengan kualitas hidup pada lansia penderita dm tipe 2. saran bagi petugas kesehatan untuk memberikan motivasi pada pasien untuk menjaga pola hidup yang baik sehingga meminimalkan komplikasi dan kualitas hidup lansia baik. bagi keluarga untuk mendukung dan memfasilitasi pola hidup sehat pada lansia penderita dm tipe 2 untuk mencapai status nutrisi yang paling otimal sesuai dengan usia dan kemampuannya. daftar rujukan amarantos, e, martinez, a, dwyer, j. 2001. nutrition and quality of life in older adult. the journals of gerontology: series a, volume 56, issue suppl_2, 1 october 2001, pages 54–64,https://doi.org/ 10.1093/gerona/56.suppl_2.54. ambarwati, w.n. 2012. konseling pencegahan dan penatalaksanaan penderita diabetes mellitus, publikasi ilmiah, universitas muhammadiyah surakarta. ariani, y. 2011. ‘hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien dm tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan di rsup.h.adam malik medan’. tesis, magister ilmu keperawatan kekhususan keperawatan medikal bedah fakultas ilmu keperawatan universitas indonesia. ashaeryanto, tiara im, kawijaya d. 2011. modul tutor berat badan menurun. blok endokrin dan metabolism e fa kult as kedokter an universit as haluoleo kendari. astuti, f.a.a. 2012. ‘hubungan status gizi dengan kualitas hidup geriatri di posyandu lansia ngudi sehat bibis baru nusukan banjarsari surakarta.’ skripsi, fakultas kedokteran universitas muhammadiyah surakarta. dewi, s.r. 2014. buku ajar keperawatan gerontik. yogyakarta: deepublish huang es, gorawara-bhat r, chin mh. self-reported goals of older patients with type 2 diabetes mellitus. j am geriatr soc 2005;53:306–11. indriana, y. 2003. kepuasan hidup orang lanjut usia dalam hubungannya dengan jenis aktifitas, jenis kelamin, religiositas, status perkawinan, tingkat kemandirian, tingkat pendidikan dan daerah tempat tinggal, diakses tanggal 1 agustus 2017, . indriyani, f. 2016. gambaran berat badan pada pasien diabetes mellitus tipe ii di rumah sakit umum daerah kabupaten ciamis tahun 2016, skripsi, program studi s-1 keperawatan sekolah tinggi ilmu kesehatan muhammadiyah ciamis. kementrian kesehatan ri . 2013. riskesdas tahun 2013. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. kurniawan. 2010. diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut. majalah kedokteran indonesia, volume: 60 (12). rizvi, aa. 2009. nutritional challenges in the elderly with diabetes. international journal of diabetes mellitus volume 1, issue 1, april 2009, pages 26-31. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/s1877593409000162 rohaedi, s, putri, s.t, karimah, a.d. 2016. tingkat kemandirian lansia dalam activities daily living di panti sosial tresna werdha senja rawi. jurnal pendidikan keperawatan indonesia, volume 2, nomor 1, juli 2016.. rohimah, b, sugiarto, probandari, a, wiboworini, b. 2016. perbedaan kekuatan genggam berdasarkan status gizi pada pasien dm tipe 2. indonesia journal of human nutrition, juni 2016, volume 3, nomor 1 suplemen 9–19. suhartini.2009. pengaruh faktor-faktor kondisi kesehatan, kondisi ekonomi dan kondisi sosial terhadap kemandirian orang lanjut usia. . suyono. 2012. diabetes mellitus di indonesia. jakarta: fkui. tamher, noorkasini. 2011. kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan. jakarta: salemba medika. who.1998.the world health organization quality of life assessment (whoqol): development and general psychometric properties. soc sci med. 1998; 46:1569–1585. yuniarti, alfrina. 2011. nutritional status related to qual i ty of li fe of e l de rl y pe opl e in rappokalling makassar. diss. hasanuddin university. vidal-peracho, c, lucha-lópez,m.o, lucha-lópez, a.c, tricás-moreno, j.m, estébanez-de migue, e and bernués-vázquez, l. 2014. a descriptive study of health status and health related quality of life in selected outpatients with type 2 diabetes, patho 133setiyorini, wulandari, hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup... logical body mass index and cardiovascular risk in spain. diabetology & metabolic syndrome 2014 6:135 licensee biomed central. 2014.https:// doi.org/10.1186/1758-5996-6-135. wu, s.f.v., courtney, m., edward, h., mcdowell, j., shortridge-baggett, l.m.,chang, p.j. (2006). selfefficacy, outcome expectation and self care behavior in people with type diabetes in taiwan, diakses tanggal 01 agustus 2017, < http:// web.ebscohost.com>. 15septianingrum, wardani, kartini, faktor-faktor yang mempengaruhi ... 15 faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan (factors affecting the high rates of 3 month injection contraceptive acceptors) yurike septianingrum, erika martining wardani, yanis kartini prodi s1 keperawatan, fakultas keperawatan dan kebidanan, unusa email: yurikesepti1209@unusa.ac.id abstract: injection contraceptive is the most widely used contraceptive by women of infertile age. the high rate of 3-month injection contraceptive acceptors are influenced by several factors, such as age, education, occupation, income, and parietas. the purpose of this study was to analyze the factors affecting the high rate of 3-month injection contraceptive acceptors on desa keboguyang, kecamatan jabon, kabupaten sidoarjo. the design of the study was descriptive analytic study with cross sectional approach. the population was 3-month injection contraceptive acceptors (age 20-50 years old) in puskesmas keboguyang from january to july 2017. the sample used total sampling technique as many as 36 people. the instrument used was the observation sheet. the data were analyzed by double linear regression test.the result of multivariate analysis showed that age significantly affected the high number of 3-month injection contraceptive acceptor (p=0,02), while the education (p=0,54), occupation (p=0,59), income (p=0,78) , and parietas (p=0.33) did not significantly affect the high number of 3month injection contraceptive acceptors inpuskesmas keboguyang. r square of the five factors is 0.394. factors of age, education, occupation, income, and parietas jointly affect the high number of 3month injection contraceptive acceptor amounted to 39.4%, but that significantly affects only age factor. it is expected that health workers know the basic pattern of family planning election and can help the community, especially women of fertile age to choose contraception. keywords: contraceptive, 3-month injection contraceptive, women of fertile age, contraceptive acceptors, age abstrak: kb suntik merupakan kb yang paling banyak digunakan oleh wanita usia subur (wus). tingginya akseptor kb suntik 3 bulan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan parietas. tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis faktor yang paling mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan di desa keboguyang kecamatan jabon kabupaten sidoarjo. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi penelitian adalah akseptor kb suntik 3 bulan (usia 20-50 tahun) di wilayah puskesmas desa keboguyangmulai dari bulan januari sampai juli 2017. penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total samplingyaitu sebanyak 36 orang. instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi. data dianalisis dengan uji regresi linier berganda.hasil analisis multivariat menunjukkan faktor usia signifikan mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan (p=0,02), sedangkan faktor pendidikan (p=0,54), pekerjaan (p=0,59), pendapatan (p=0,78), dan parietas (p=0,33)tidak signifikan mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan di puskesmas keboguyang. r square dari kelima faktor adalah 0,394. faktor usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan parietas secara bersama-sama mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan sebesar 39,4 %, namun yang signifikan berpengaruh hanya faktor usia. diharapkan petugas kesehatan mengetahui pola dasar pemilihan kb dan dapat membantu masyarakat khususnya wus untuk memilih kb. kata kunci: kb, kb suntik 3 bulan, wus, akseptor kb, usia jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 1, april 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p015–019 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 16 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 15–19 pendahuluan indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki masalah dalam jumlah penduduk, secara garis besar, masalah-masalah pokok dibidang kependudukan yang dihadapi indonesia yaitu, jumlah penduduk besar dengan laju pertumbuhan pendudukan yang relatif tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata, struktur penduduk muda, kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan (sulistyawati, 2011). tingginya laju pertumbuhan yang tidak diiringi peningkatan kualitas penduduk ini akan berpengaruh kepada tingkat kehidupan dan kesejahteraan penduduk. untuk menanggulanginya maupun untuk kelangsungan program, pemerintah telah mencanangkan program kependudukan dan keluarga berencana (kb) sebagai program nasional (handayani, 2010). berbagai macam metode kb baik ditawarkan pemerintah baik hormonal maupun nonhor mona l guna meningkatkan keseja hter aa n masyarakat. data riskesdas 2013 menunjukkan kb suntik paling banyak digunakan oleh masyarakat. hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di puskesmas desa keboguyang kecamatan jabon kabupa ten sidoar jo bulan januari-juli 2017 menunjukkan 45 wanita usia subur (wus) yang mengikuti kb, 36 orang menggunakan kb suntik 3 bulan, 3 orang menggunakan iud, 2 orang kb suntik 1 bulan, 1 orang kb implan, 2 orang kb pil. data tersebut menunjukkan 80% wus menggunakan kb suntik 3 bulan, namun faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan kb suntik 3 bulan di desa keboguyang kecamatan jabon kabupaten sidoarjo belum diketahui. berdasarkan data dari dinas kesehatan selama tahun 2011, jumlah peserta kb di indonesia terbanyak adalah menggunakan kb suntik (51,21%), pil (40,2%), iud/spiral (4%), implant (4,93%), mow (2.7%), dan lainnya (1.1%). untuk provinsi jawa timur selama tahun 2011, jumlah terbanyak adalah pengguna kb suntik (48,2%), pil (21,01%), iud/spiral (4%), implant (8,5 %), mow (5%) dan lainnya (1,9%).pelayanan kb di indonesia sebagian besar diberikan oleh bidan (76,6%) di fasilitas pelayanan swasta yaitu tempat praktek bidan (54,6%) (riskesdas, 2013). tingginya akseptor kb dalam pemillihan kb suntik 3 bulan tentunya tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi akseptor kb memilih metode kontrasepsi. data di atas menunjukkan bahwa kb suntik merupakan metode dengan minat tertinggi. beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seorang ibu dalam memilih alat kontrasepsi dalam rahim, diantaranya: usia, tingkat pendidikan, pengetahuan, ekonomi, tarif pelayanan, persetujuan pasangan, dan budaya (handayani, 2010). kebanyakan dari akseptor kb memilih kb suntik karena mereka hanya perlu melakukannya 1-3 bulan sekali dan tidak perlu melalui proses trauma seperti pada saat pemasangan spiral. kontrasepsi suntik dinilai efektif, pemakaiannya yang praktis, harganya relatif murah dan aman (uliyah, 2010). kb suntik 3 bulan juga tidak mempengaruhi proses menyusui, tidak bergantung pada faktor senggama, bisa digunakan oleh semua wanita yang usia reproduktif (saifuddin, 2010). bahan dan metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh akseptor kb suntik 3 bulan di wilayah puskesmas desa keboguyang kecamatan jabon kabupaten sidoarjo dari bulan januari sampai juli 2017. sampel dalam penelitian ini yaitu wus (20-50 tahun) dan bersedia mengikuti penelitia n denga n menanda tanga ni informed consent. sampel ditentukan dengan teknik total sampling, yaitu sebanyak 36 orang. instrumen penelitian menggunakan lembar observasi yang berisi tentang usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan parietas. data diambil melalui wawancara dengan mendatangi rumah responden satu persatu. data yang didapat kemudian dianalisis multivariat dengan uji regresi linier berganda. hasil penelitian karakteristik sampel penelitian ini yaitu sebagai berikut: karakteristik f % usia 20-30 tahun 16 44,44 31-40 tahun 18 50 41-50 tahun 2 5,56 pendidikan sd 18 50 smp 9 25 sma 9 25 pekerjaan petani 5 13,89 swasta 13 36,11 tidak bekerja 18 50 tabel 1 karakteristik akseptor kb 3 bulan di desa keboguyang 17septianingrum, wardani, kartini, faktor-faktor yang mempengaruhi ... yang berpengaruh terhadap pemilihan metode kontrasepsi yang digunakan yaitu faktor prediposisi (umur, pendidikan, jumlah anak, pengetahuan, sikap), faktor pendukung (ketersediaan alat kontrasepsi, jarak rumah ke puskesmas, waktu tempuh dan biaya), faktor pendorong (dukungan petugas kesehatan). hasil analisis multivariat dengan uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa dari faktor-faktor yang diteliti oleh peneliti yaitu faktor usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan parietas, ternyata yang berpengaruh terhadap tingginya akseptor kb suntik 3 bulan hanya faktor usia. hal ini sesuai dengan penelitian hasil penelitian wahyuni (2015) yang menunjukkan umur reproduktif dapat memengaruhi penggunaan kontrasepsi suntik dikarenakan dianggap memiliki efektivitas dan kemudahan. pada penelitian ini sebagian sampel penelitian berusia 31-40 tahun dimana rata-rata ibu sudah memiliki anak lebih dari satu sehingga ibu lebih cenderung memilih alat kontrasepsi yang efektif dengan jangka waktu cukup panjang tanpa efek samping, sehingga mereka memilih kb suntik 3 bulan. hasil wawancara juga menunjukkan sebagian besar mereka tidak nyaman menggunakan kb suntik 1 bulan karena harus rutin disuntik setiap bulan sehingga membuat mereka takut, dan sebagian mengatakan kb suntik 1 bulan membuat badan gemuk. faktor pendidikan tidak signifikan mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan. hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian rizali (2013) yang menunjukkan faktor pendidikan mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi suntik 3 bulan, akseptor yang memiliki pendidikan rendah mempunyai pengetahuan yang kurang mengenai alat kontrasepsi. saat ini pendidikan kesehatan mengenai alat kontrasepsi sering dilakukan oleh puskesmas dan tenaga kesehatan, sehingga pengetahuan akseptor kb meningkat. hasil penelitian wahyuni (2015) menunjukkan semakin tinggi tingkat pengetahuannya akan lebih memilih kontrasepsi suntik, hal ini menunjukkan pengetahuan mempunyai pengaruh terhadap pemilihan kontrasepsi suntik. namun pendidikan rendah tidak secara mutlak selalu pengetahuannya kurang, karena saat ini pendidikan kesehatan tentang kb secara intensif diberikan oleh tenaga kesehatan. hal ini juga didukung dengan hasil wawancara dengan responden yang menunjukkan mereka memgetahu mengenai kelebihan dan kekurangan kb yang dipilih, dan alasan mereka memilih alat kontrasepsi tersebut. karakteristik f % parietas primipara 2 5,56 multipara 29 80,56 grande multipara 5 13,89 pendapatan 500.000-1.000.000 2 5,56 1.000.001-1.500.000 10 27,78 1.500.001-2.000.000 18 50 2.000.001-2.500.000 6 16,67 tabel di atas menunjukan sampel penelitian sebagian besar berada pada usia 31-40 tahun (50%).sebagian besar pendidikan sd (50%), tidak beker ja (50%), pa r ieta s sa mpel penelitia n merupakan multipara (80,56%), pendapatan berkisar 1.500.001-2.000.000 (50%). faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya akseptor kb 3 bulan di desa keboguyang faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya akseptor kb 3 bulan di desa keboguyang meliputi: usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan parietas. data yang diperoleh dianalisis dengan uji linier berganda dengan spss dengan hasil berikut: varibel p r square usia 0,02 pendidikan 0,54 pekerjaan 0,59 0,394 parietas 0,33 pendapatan 0,78 tabel 2 analisis multivariat faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan hasil analisis regresi linier berganda dengan spss menunjukkan faktor yang berpengaruh terhadap tingginya akseptor kb suntik 3 bulan adalah faktor usia (p=0,02). kelima faktor (usia, pendidikan, pekerjaan, parietas, dan pendapatan) secara bersama-sama mempengaruhi tingginya akseptor memilih kb suntik 3 bulan sebesar 39,4%. pembahasan banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam pemilihan metode kontrasepsi yang digunakan. purba (2009) menemukan beberapa faktor 18 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 1, april 2018, hlm. 15–19 penghasilan dan pendapatan seseorang berpengaruh dalam pemilihan kontrasepsi, ini disebabkan oleh mahalnya alat kontrasepsi sehingga mereka memilih alat kontrasepsi yang lebih murah (darmawati, 2011). penghasilan yang diperoleh ditentukan oleh pekerjaan akseptor kb. ibu yang bekerja secara tidak langsung membantu perekonomian keluarga sehingga pendapatan keluarga meningkat. pendapatan yang cukup ini mempengaruhi ibu lebih mudah memilih alat kontrasepsi, salah satunya alat kontrasepsi suntik. hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa pekerjaan dan pendapatan tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan menggunakan kb suntik. hal ini juga sejalan dengan penelitian wahyuni (2015) bahwa pekerjaan tidak berpengaruh terhadap pemilihan alat kontrasepsi suntik 3 bulan di puskesma cimandala bogor. sebagian akseptor kb suntik 3 bulan adalah ibu rumah tangga atau tidak bekerja namun perekonomian keluarga cukup baik dengan pendapatan sebesar 1.500.001-2.000.000 yang berarti secara ekonomi mereka cukup baik. keluarga berencana (kb) suntik yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonominya baik lebih memiliki sikap positif memandang diri dan masa depannya dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluargadengan status sosial ekonomi rendah. beberapa responden menyatakan kb suntik 3 bulan cukup murah dan terjangkau bagi mereka, penggunaan juga cukup lama yaitu setiap 3 bulan sekali, sehingga tidak sampai mengganggu perekonomian keluarga. selain itu, alat kontrasepsi suntik mudah diperoleh dengan efek samping yang minimal. saat ini di tengah-tengah masyarakat masih ada yang menganut konsep tradisional, yaitu cenderung memilih untuk memiliki anak dalam jumlah yang banyak. jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi, maka jumlah anak yang banyak bisa menjadi sumber daya bagi keluarga untuk menambah penghasilan orang tua. sebagian besar responden mempunyai jumlah anak hidup yang cukup (  2 anak) alasan mereka menunda untuk mempunyai anak karena ingin mempunyai keluarga kecil bahagia sejahtera serta tidak ingin terbebani ketika mempunyai jumlah anak yang banyak seperti tidak mampu membiayai kebutuhan anak ketika sudah dewasa, tidak mampu untuk menyekolahkan anak dan lain sebagainya. namun, ada pula keluarga yang menginginkan jumlah anak yang banyak, dengan alasan bahwa banyak anak banyak rezeki dan apabila mempunyai banyak anak dapat membantu orang tua dalam mencari tambahan pendapatan orang tua. hal tersebut sesuai dengan penelitian rizali (2013) bahwa jumlah anak mempengaruhi terhadap pemilihan alat kontrasepsi suntik 3 bulan. namun, hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian ini yang menunjukkan bahwa faktor parietas tidak berpengaruh terhadap pemilihan kb suntik 3 bulan. hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian wahyuni (2015) bahwa faktor parietas atau jumlah anak tidak berpengaruh terhadap tingginya pemilihan kb suntik 3 bulan. pada penelitian ini sebagian besar responden adalah multipara yakni memiliki 2-4 orang anak, biasanya ibu dengan jumlah anak lebih dari 3 lebih memilih alat kontrasepsi jangka panjang seperti iud atau implan, namun kenyataannya mereka banyak yang memilih menggunakan kb suntik 3 bulan. mereka mengatakan lebih nyaman menggunakan kb suntik 3 bulan karena mempunyai sedikit efek samping dan tidak mengganggu siklus haid. simpulan dan saran simpulan tingginya akseptor kb suntik 3 bulan di desa keboguya ng, kecama ta n ja bon, ka bupa ten sidoarjo dipengaruhi oleh faktor usia. faktor-faktor yang diteliti yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan parietas secara bersama-sama mempengaruhi tingginya akseptor kb suntik 3 bulan sebesar 34,9%, sedangkan 65,1% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti. saran penelitian selanjutnya diharapkan dapat menemukan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tingginya akseptor kb yang memilih kb suntik 3 bulan, sehingga petugas kesehatan dapat mengetahui pola dasar pemilihan kb dan dapat membantu masyarakat khususnya wus untuk memilih kb. daftar rujukan hidayat, a.a.a 2010. metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data, salemba medika, jakarta riskesdas,riset kesehatan dasar tahun 2013. kementerian kesehatan republik indonesia. rizali, i.r., ikhsan, m, salamah, u 2013,‘faktor yang berhubungan dengan pemilihan alat kontrasepsi suntik di kelurahan mattoangin kecamatan mariso kota makassar’. http:// journal.unhas.ac.id/ index.php/mkmi/article/view/467, vo.9, no. 3, diakses pada tangaal 20 mei 2017 19septianingrum, wardani, kartini, faktor-faktor yang mempengaruhi ... sdki 2012, survey demografi dan kesehatan indonesia. badan kependudukan dan keluarga berencana indonesia, jakarta. saifuddin, bari, a. 2010. buku panduan kontrasepsi, pt bina pustaka sarwono prawirohardjo, jakarta. sulistyawati, a 2011. pelayanan keluarga berencana. salemba medika, jakarta. uliyah, m. 2010. awas memilih metode kb, egc, jakarta. wahyuni, rosaria. 2015. analisis faktor penggunaan kontrasepsi suntik di puskesmas cimandala kabupaten bogor.http://stikesmuhcrb.myftp.org:81/ akbid-jurnal/index.php/midwife_research/article/ view/8. diakses pada tanggal 23 mei 2017 pukul 13.00 wib. 117sukmawati, pebriani, setiawan, terapi swedish massage... 117 terapi swedish massage menurunkan tingkat kecemasan lansia di balai pelayanan sosial tresna wredha (bpstw) unit budi luhur yogyakarta (swedish massage therapy reduce the anxiety level among older people at the nursing home of social service center (bpstw) unit budi luhur yogyakarta) anastasia suci sukmawati, ega pebriani, arif adi setiawan universitas jenderal achmad yani yogyakarta email: tasy.suci@gmail.com abstract: older will experiencing physical, psychological, and psychosocial changes will cauthat will lead to the new problem. anxiety is one of the problems among older people. complementary therapy is used to reduce a person’s anxiety, namely yoga, meditation, aromatherapy, and relaxation through massage. this study was conducted to determine the effect of swedish massage on the level of elderly anxiety. methodology: the design of this study was a quasy experiment with one group pretest-post test design. respondents in this study were elderly who experienced anxiety by using a total sampling technique in which as many as 15 elderly at the nursing home of social service center (bpstw) budi luhur bantul unit yogyakarta. the standard operational procedure of swedish massage therapy used as a guidance of intervention, while hars instruments was used to measure the level of anxiety among older people. respondents measured their level of anxiety before and after a swedish massage for 1 week. the results of the study were analyzed by wilcoxon test. results: there were 8 people (53.3%) in the medium level of anxiety before the swedish massage given). the anxiety level of older people after intervention was mild level of anxiety as many as 8 people (53.3%). changes in anxiety levels before and after swedish massage intervention showed a difference of 2.00. wilcoxon test results were obtained with a p-value of 0.008 <0.05. conclusion: swedish massage therapy able to reduce the level of anxiety among older people at bpstw budi luhur yogyakarta. keywords: swedish massage, anxiety abstrak: berbagai macam perubahan akan dialami oleh lansia seperti perubahan fisik, psikologi, maupun psikososial akan menimbulkan masalah baru pada lansia salah satunya adalah kecemasan. tehnik alternatif yang dapat digunakan untuk menurunkan kecemasan seseorang yaitu seperti yoga, meditasi, aromaterapi, dan relaksasi melalui pijat (massage). penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh swedish massage terhadap tingkat kecemasan lansia. metodologi: desain penelitian ini adalah quasy experiment dengan one group pretest-post test design. responden pada penelitian ini adalah lansia yang mengalami kecemasan dengan menggunakan teknik total sampling yaitu sebanyak 15 lansia di balai pelayanan sosial tresna wredha (bpstw) unit budi luhur bantul yogyakarta. instrumen penelitian adalah instrument hars. responden diukur tingkat kecemasannya sebelum dan setelah dilakukan swedish massage selama 1 minggu. hasil penelitian dianalisis dengan uji wilcoxon. hasil : tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta sebelum diberikan swedish massage kategori sedang sebanyak 8 orang (53,3%). tingkat kecemasan sesudah diberikan swedish massage kategori ringan sebanyak 8 orang (53,3%). perubahan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah diberikan swedish massage menunjukkan perbedaan jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p117–122 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 118 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 117–122 pendahuluan pada tahun 2012, umur harapan hidup (uhh) penduduk dunia rata-rata adalah 70 tahun dan prosentase lanjut usia (lansia) sebesar 11%. penduduk lansia di indonesia tahun 2013 sebanyak 18,86 juta orang atau 7,59 persen dari total penduduk indonesia (dinkes diy, 2004). di daerah istimewa yogyakarta (diy), jumlah penduduk lansia tahun 2013 sebesar 4.482 atau 13,56% dari keseluruhan penduduk (kemenkes, 2013). bantul merupakan wilayah yang memiliki lansia terbanyak di propinsi diy. berdasarkan data tahun 2013 jumlah lansia di kabupaten bantul sebanyak 162.518 jiwa (dinkes diy, 2014). berbagai macam perubahan yang dialami oleh lansia sebagai akibat dari proses penuaan adalah adanya perubahan fisik, psikologi, maupun psikososial akan menimbulkan masalah baru pada lansia salah satunya adalah kecemasan (maryam, 2012). gejala kecemasan yang muncul pada lansia dapat berupa gelisah, mudah emosi, kelelahan, sulit tidur dan sulit berkonsentrasi. penelitian yang dilakukan oleh gellis dan mccracken (2014) mendapatkan bahwa kecemasan pada lansia dapat berdampak buruk seperti penurunan kesehatan fisik, kepuasan hidup yang buruk, biaya medis yang lebih tinggi, dan gangguan fungsional yang signifikan, kelelahan bahkan kematian. kecemasan dapat dikurangi dengan terapi farmakologis maupun psikoterapi. tehnik alternatif yang dapat digunakan untuk menurunkan kecemasan seseorang yaitu yoga, meditasi, aromaterapi, dan relaksasi melalui pijat (massage) (hadibroto & alam, 2006). kondisi rileks yang dirasakan oleh lansia dikarenakan relaksasi dapat memberikan pemijatan halus pada berbagai kelenjar pada tubuh, menurunkan produksi kortisol dalam darah, mengembalikan pengeluaran hormon yang secukupnya sehingga memberikan keseimbangan emosi dan ketegangan pikiran (olney, 2005). terdapat bermacam-macam jenis terapi massage seperti shiatsu, tsubo, akupoint, sport massage dan swedish massage. swedish massage adalah manipulasi pada jaringan tubuh dengan teknik khusus untuk mempersingkat waktu pemulihan dari ketegangan otot (kelelahan), meningkatkan sirkulasi darah tanpa meningkatkan beban kerja jantung (cassar, 2004; maryam, 2012). hermawan (2015) menemukan data mengenai ada pengaruh swedish massage terhadap perubahan denyut nadi dan frekuensi pernafasan. lansia di balai pelayanan sosial tresna wredha (bpstw) unit budi luhur kasongan bantul yogyakarta mengalami kecemasan dengan berbagai penyebab yang berbeda, antara lain kecemasan akibat penyakit yang sedang diderita, kecemasan akan kematian pasangan dan teman satu kamar, kecemasan akan keluarga, maupun kecemasan akan tempat tinggal yang baru. berdasarkan fenomena dan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh swedish massage terhadap tingkat kecemasan pada lansia di bpstw unit budi luhur bantul yogyakarta. bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah quasy eksperimen denga n one group pre-post test design. populasi penelitian ini adalah 25 orang lansia yang mengalami kecemasan. teknik sampling pada penelitian ini yang digunakan adalah total sampling sehingga jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 15 responden, sementara 10 lansia lainnya menola k untuk menja di r esponden. swedish massage dilakukan selama 20 menit untuk masingmasing responden. intervensi swedish massage dilakukan sebanyak 3 kali intervensi dengan waktu pengumpulan data pada tanggal 24 agustus sampai dengan 2 september 2016. test dilakukan dengan melakukan pengukuran tingka t kecema sa n mengguna ka n hamilton anxiety rating scale (hars). analisa data dilakukan dengan menggunakan uji wilcoxon. hasil penelitian sebesar 2,00. hasil uji wilcoxon diperoleh dengan nilai p-value 0,008 < 0,05. diskusi : swedish massage berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta. kata kunci: swedish massage, kecemasan, lansia tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden karakteristik f % jenis kelamin laki-laki 6 40,0 perempuan 9 60,0 jumlah 15 100 119sukmawati, pebriani, setiawan, terapi swedish massage... tabel 1 menunjukkan jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan sebanyak 9 orang (60%). umur responden terbanyak pada rentang 60-74 tahun sebanyak 10 orang (66,7%). kebanyakan responden berpendidikan sd sebanyak 6 orang (40%). status perkawinan responden terbanyak adalah janda/duda sebanyak 7 orang (46,7%). tabel 2 menunjukkan tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta sebelum diberikan swedish massage terbanyak adalah kategori sedang sebanyak 9 orang (60%) tabel 3 menunjukkan tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta sesudah diberikan swedish massage terbanyak adalah kategori ringan sebanyak 9 orang (60%). karakteristik f % umur 60-74 tahun 10 66,7 75-90 tahun 5 33,3 jumlah 15 100 pendidikan tidak sekolah 4 26,7 sd 6 40,0 sltp 2 13,3 slta 3 20,0 akademi/s1 0 jumlah 15 100 status perkawinan menikah 3 20,0 tidak menikah 2 13,3 berpisah bercera 3 20,0 janda/duda 7 46,7 jumlah 15 100 tingkat kecemasan f % tidak ada kecemasan 0 0 kecemasan ringan 6 40,0 kecemasan sedang 9 60,0 kecemasan berat 0 0 jumlah 15 100,0 tabel 2 tingkat kecemasan pada lansia di bpstw unit budi luhur bantul yogyakarta sebelum diberikan swedish massage tingkat kecemasan f % tidak ada kecemasan 4 26,7 kecemasan ringan 9 60,0 kecemasan sedang 2 13,3 kecemasan berat 0 0 jumlah 15 100,0 tabel 3 distribusi tingkat kecemasan pada lansia di bpstw unit budi luhur bantul yogyakarta sesudah diberikan swedish massage tabel 4 statistik deskriptif perbedaan perubahan tingkat kecemasan pada lansia di bpstw unit budi luhur bantul yogyakarta sesudah diberikan swedish massage kategori n mean perubahan sd perubahan sebelum 15 19,07 4,605 sesudah 15 16,27 2,80 3,807 0,798 tabel 4 menunjukkan rata-rata tingkat kecemasan pada lansia sebelum diberikan swedish massage sebesar 19,07 dan sesudah diberikan swedish massage sebesar 16,27 berarti mengalami penurunan sebesar 2,80 n mean ranks sum ofranks z p-value tingkat kecemasan setelah negatif ranks 11 6,00 66,00 -3,317 0,001 tingkat kecemasan sebelum positif ranks 0 0,00 0,00 ties 4 total 15 tabel 5 hasil uji wilcoxon pengaruhswedish massage terhadap tingkat kecemasan pada lansia di bpstw unit budi luhur bantul yogyakarta hasil perhitungan statistik menggunakan uji wilcoxon diperoleh z hitung (-3,317) < -z tabel (1,645) atau p-value sebesar 0,001 < (0,05), artinya ada pengaruh swedish massage terhadap tingkat 120 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 117–122 kecemasan pada lansia di bpstw unit budi luhur bantul yogyakarta. pembahasan karakteristik responden jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan (60%). prevalensi tingkat kecemasan pada lansia yang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki disebabkan oleh perbedaan siklus hidup dan struktur sosial yang sering menempatkan perempuan sebagai subordinat lelaki. perempuan lebih banyak menderita kecemasan karena adanya karakteristik khas perempuan, seperti siklus reproduksi, monopuse, menurunnya kadar estrogen. faktor sosial seperti terbatasnya komunitas sosial, kurangnya perhatian keluarga, tanggung jawab perempuan untuk urusan rumah tangga (memasak, mencuci, dan lain-lain) dan mengurus suami yang harus dilakukan sampai usia lanjut, perempuan lebih mudah merasakan perasaan bersalah, cemas, peningkatan bahkan penurunan nafsu makan, gangguan tidur. usia responden terbanyak pada rentang 60-74 tahun dengan persentase 66,7%. lansia berusia 6074 tahun lebih banyak mengalami kecemasan karena pada usia ini mereka memasuki tahap awal sebagai lansia, mereka memerlukan penyesuaian yang lebih terhadap perubahan-perubahan baik fisik maupu kognitif yang terjadi pada diri mereka. pendidikan lansia terbanyak sd (40%). menurut stuart (2006) status pendidikan yang rendah pada seseorang akan menyebabkan orang tersebut lebih mudah mengalami kecemasan dibanding dengan mereka yang status pendidikan tinggi. tingkat pendidikan yang tinggi pada seseorang akan membentuk pola yang lebih adaptif terhadap kecemasan, karena memiliki pola koping terhadap sesuatu yang lebih baik, sedangkan pada seseorang yang hanya memiliki tingkat pendidikan rendah akan cenderung lebih mengalami kecemasan karena pola adaptil yang kurang terhadap hal yang baru dan mengakibatkan pola koping yang kurang pula. status perkawinan lansia terbanyak adalah janda/duda (46,7%). kehidupan lansia yang tidak memiliki pasangan hidup akan mempengaruhi aktivitas sosial serta pola hidup lansia. lansia yang tidak siap menghadapi hari tua tanpa pasangan hidup tidak akan merasakan kepuasan dan kemaknaan hidup seperti yang diharapkan, bahkan banyak diantara mereka yang merasa tidak bahagia, depresi ataupun juga kesepian. seseorang yang merasa kesepian memiliki kemungkinan cukup besar untuk cenderung memiliki afek negatif, karena ia merasa dirinya diabaikan oleh orang lain, tidak dipedulikan oleh orang lain, tidak bermakna bagi orang lain. tingkat kecemasan pada lansia sebelum diberikan swedish massage tingkat kecemasan pada lansia di bpstw unit budi luhur bantul yogyakarta sebelum diberikan swedish massage terbanyak adalah kategori sedang (60%). tingkat kecemasan sedang disebabkan lansia memperoleh dukungan keluarga dan dukungan sosial dari pengurus dan penghuni bpstw. dukungan keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah. dukungan sosial sebagai sumber koping, dimana kehadiran orang lain dapat membantu seseorang mengurangi kecemasan. hasil sebuah penelitian mengungkapkan bahwa lansia di panti wredha darma bakti kasih surakarta mengalami tingka t kecema sa n kata gor i seda ng sebesa r (42,3%). ansietas pada lansia memiliki gejala seperti, perasaan khawatir atau takut, mudah tersinggung, kecewa, gelisah, perasaan kehilangan, sulit tidur sepanjang malam, sering membayangkan hal-hal yang menakutkan dan rasa panik pada hal yang ringan, konflik-konflik yang ditekan dan berbagai masalah yang tidak terselesaikan akan menimbulkan ansietas. tanda-tanda kecemasan sedang yaitu respon fisik ditandai dengan ketegangan otot sedang, tanda-tanda vital meningkat, mulai berkeringat, sering mondar-mandir dan gerakan memukulkan tangan, suara berubah dan gemetar dengan nadi suara tinggi, kewaspadaan dan ketegangan meningkat, sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah dan punggung terasa nyeri. respon kognitif berupa lapang persepsi menurun dan penyelesaian masalah menurun. respon emosional dengan tanda dan gejala tidak nyaman, mudah tersinggung, kepercayaan diri berubah, tidak sabar dan masih bisa merasakan gembira (suriyati, 2015). relaksasi mempunyai efek sensasi menenangkan anggota tubuh, ringan dan merasa kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuh. perubahan-perubahan yang terjadi selama maupun setelah relaksasi mempengaruhi kerja saraf otonom. respon emosi dan efek menenangkan yang ditimbulkan oleh relaksasi ini mengubah fisiologi dominan simpatis menjadi dominan sistem parasimpatis. dalam keadaan ini, hipersekresi katekolamin dan kortisol 121sukmawati, pebriani, setiawan, terapi swedish massage... diturunkan dan meningkatkan hormon parasimpatis serta neurotransmitter seperti dhea (dehidroepinandrosteron) dan dopamine atau endorfin. hormon endorfin adalah senyawa kimia yang membuat seseorang merasa senang. endorfin diproduksi oleh kelenjar pituitary yang terletak di bagian bawah otak. hormon ini bertindak seperti morphine, bahkan dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine. endorfin atau endorphine mampu menimbulkan perasaan senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. regulasi sistem parasimpatis ini akhirnya menimbulkan efek ketenangan. tingkat kecemasan pada lansia sesudah diberikan swedish massage tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta sesudah diberikan swedish massage terbanyak adalah kategori ringan (60%). tingkat kecemasan sesudah relaksasi otot progresif pada pasien preoperasi di ruang wijaya kusuma rsud dr. r soeprapto cepu kategori ringan (48%). relaksasi melalui pijat (massage) merupakan salah satu tehnik alternatif yang dapat digunakan untuk menurunkan kecemasan seseorang. relaksasi mempunyai efek sensasi menenangka n anggota tubuh, r ingan da n mer asa kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuh. perubahan-perubahan yang terjadi selama maupun setelah relaksasi mempengaruhi kerja saraf otonom. respon emosi dan efek menenangkan yang ditimbulkan oleh relaksasi ini mengubah fisiologi dominan simpatis menjadi dominan sistem parasimpatis. dalam keadaan ini, hipersekresi katekolamin dan kortisol diturunkan dan meningkatkan hormon parasimpatis serta neurotransmitter seperti dhea (dehidroepinandrosteron) dan dopamine atau endorfin. hormon endorfin adalah senyawa kimia yang membuat seseorang merasa senang. endorfin diproduksi oleh kelenjar pituitary yang terletak di bagian bawah otak. hormon ini bertindak seperti morphine, bahkan dikatakan 200 kali lebih besar dari morphine. endorfin atau endorphine mampu menimbulkan perasaan senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. regulasi sistem parasimpatis ini akhirnya menimbulkan efek ketenangan. perubahan tingkat kecemasan sesudah diberikan swedish massage rata-rata tingkat kecemasan pada lansia sebelum diberikan swedish massage sebesar 19,07 dan sesudah diberikan swedish massage sebesar 16,27 berarti mengalami penurunan sebesar 2,80. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang berjudul “massage therapy for stress management : implications for nursing practice”, yang menjelaska n bahwa tindakan perawatan seder hana dengan fokus sentuhan, meskipun 5 menit pijatan tangan atau kaki sederhana, dapat berguna dalam menurunkan tingkat stres yang dirasakan pasien. hasil penelitian ini juga sejalan dengan purnomo (2013) yang berjudul “pengaruh circulo massage dan swedia massage terhadap penurunan kadar asam laktat darah pada latihan anaerob”, yang menunjukkan dengan manipu­lasi swedia massage diperoleh hasil rata-rata kadar asam laktat dalam darah mengalami penurunan sebesar sebesar 4,79. pada penelitian ini penurunan tingkat kecemasan pada kelompok perlakuan diduga sebagai pengaruh dari pijat. pijat merupakan teknik integrasi sensori yang mempengaruhi aktivitas sistem saraf otonom. apabila seseorang mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus rileks maka akan muncul respon relaksasi menyatakan bahwa pemberian sentuhan terapeutik dengan menggunakan tangan akan memberikan aliran energi yang menciptakan tubuh menjadi relaksasi, nyaman, nyeri berkurang, dan membantu tubuh untuk segar kembali. pengaruh pengaruh swedish massage terhadap tingkat kecemasan hasil uji statistik diperoleh nilai z hitung (-3,317) < -z table (-1645). hal ini menunjukkan ada pengaruh swedish massage terhadap tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta. nilai z hitung yang negatif menunjukkan tingkat kecemasan lansia sesudah diberikan swedish massage mengalami penurunan dibandingkan sebelum diberikan swedish massage. hasil ini didukung oleh penelitian hermawan (2015) yang menyimpulkan ada pengaruh swedish massage terhadap perubahan denyut nadi dan frekuensi pernafasan. penelitian saseno (2013) juga menunjukan relaksasi efektif terhadap menurunkan tingkat kecemasan lanjut usia. swedish massege merupakan suatu kegiatan yang dapat memberikan efek ketenangan karena adanya unsur relaksasi yang terkandung di dalamnya. rasa tenang ini selanjutnya akan memberikan respon emosi positif yang sangat berpengaruh dalam mendatangkan persepsi positif. persepsi positif selanjutnya ditransmisikan dalam sisitem limbik dan korteks serebral dengan tingkat konektifitas yang kompleks antara batang otak-hipo122 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 117–122 talamusprefrontal kiri dan kanan-hipokampusamigdala. transmisi ini menyebabkan keseimbangan antara sintesis dan sekresi neurotransmitter seperti gaba (gamma amino butiric acid) dan antagonis gaba oleh hipokampus dan amigdala. persepsi positif yang diterima dalam sistem limbic akan menyebabkan amigdala mengirimkan informasi kepada lc (locus coeruleus) untuk mengaktifkan reaksi saraf otonom. lc akan mengendalikan kinerja saraf otonom ke dalam tahapan homeostasis. rangsangan saraf otonom yang terkendali menyebabkan sekresi epinefrin dan norepinefrin oleh medulla adrenal menjadi terkendali. keadaan ini akan mengurangi semua manifestasi gangguan kecemasan. simpulan dan saran simpulan tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta sebelum diberikan swedish massage kategor i seda ng sebanya k (60%). tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta sesudah diberikan swedish massage kategori ringan sebanyak (60%). per uba ha n tingka t kecema sa n la nsia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta sebelum dan sesudah diberikan swedish massage menunjukkan perbedaan sebesar 2,80. ada pengaruh swedish massage terhadap tingkat kecemasan pada lansia di bpstw budi luhur bantul yogyakarta, ditunjukkan dengan hasil uji wilcoxon diperoleh p-value 0,001. saran bagi petugas bpstw budi luhur bantul yogyakarta, diharapkan dapat menerapkan terapi swedish massage sebagai salah satu intervensi untuk mengatasi tingkat kecemasan pada lansia. bagi lansia, hendaknya lansia dapat melaksanakan terapi swedish massage secara rutin dan teratur. peneliti lain, peneliti selanjutnya perlu memperhatikan variabel penggangu yang dapat mempengaruhi kecemasan seperti peristiwa traumatic, konflik emosional, konsep diri terganggu, frustasi, gangguan fisik, pola mekanisme koping keluarga, riwayat gangguan kecemasan, medikasi, ancaman tehadap integritas fisik, dan ancaman terhadap harga diri. daftar rujukan cassar, m.p. 2004. hand book of clinical massage. (2 nd ed). london: elsevier churchill livingstone dinkes diy. 2014. profil kesehatan daerah istimewa yogyakarta tahun 2013. yogyakarta: dinkes diy gellis, zd, kim, eg, & mccracken, sg. 2014. chapter 2: anxiety disorders in older adults. council on social work education, 1-19. hadibroto, i dan alam, s. 2006. seluk beluk pengobatan alternatif dan komplementer. jakarta: pt bhuana ilmu populer. hermawan, s. 2015. perbandingan pengaruh sport massa ge dan swedi sh massa ge ter h a da p perubahan denyut nadi dan frekuensi pernafasan. skripsi. program studi ilmu keolahragaan jurusan pendidikan olahraga fakultas ilmu keolahragaan universitas negeri yogyakarta. eprints.uny.ac.id/ .../skripsi_soni%20hermawan_116031410. kemenkes. 2014. profil kesehatan indonesia tahun 2013. jakarta: kemenkes ri. mar yam , r. 2012. menge nal usi a lanjut dan perawatannya. jakarta: salemba medika. olney, c.m. 2005. the effect of therapeutic back massage in hypertensive persons: a preliminary study. biological research for nursing. purnomo, nt. 2013. pengaruh circulo massage dan swedia massage terhadap penurunan kadar asam laktat darah pada latihan anaerob. journal of physical education and sports, vol. 2, no. 1(1). dilihat 26 september 2016., . saseno. 2013. efektifitas relaksasi terhadap tingkat kecemasan pada lansia di posyandu lansia adhi yuswa rw. x kelurahan kramat selatan. jurnal ilmiah kesehatan keperawatan, volume 9 no.3 oktober. stuart, gw. 2006. buku saku keperawatan jiwa. terjemahan ramona, p.k., yudha, e.k. jakarta: egc. suriyati. 2015. efektifitas pemberian aromaterapi lavender terhadap penurunan tingkat kecemasan pada lanjut usia di panti graha kasih bapa kabupaten kubu raya. skripsi. program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas tanjungpura pontianak. http://download.portalgar u d a . o r g / a r t i c l e . p h p ? a r t i c l e = 337247&va l = 5161&t i t l e= e fe kt ifitas% 20pemberian% 20a romaterapi%20la vender%20terhadap%20penurunan%20tin gkat%20kecemasan%20pada%20lanjut % 2 0 u s i a % 2 0 d i % 2 0 pa n t i % 2 0 g r a h a % 2 0 k a s i h % 2 0 b a p a % 2 0 kabupaten%20kubu%20raya. tappan, f & benjamin, p. 2004. healing massage technique. connecticcut: appleton & lange. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 183astuti dan mulyaningsih, peran perawat sebagai educator ... 183 peran perawat sebagai educator mempengaruhi kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/aids di klinik vct rsud dr. moewardi (nurse role as educator affected the compliance of antiretroviral (arv) consumption for patients with hiv/aids in the vct clinic of dr. moewardi hospital) danik astuti dan mulyaningsih stikes ‘aisyiyah surakarta email: ningsih.solo@gmail.com abstract: hiv/aids is a global matter, it threatens the world including indonesia. antiretroviral (arv) is a therapy which patients have to consume medicine for their life, antiretroviral (arv) therapy is able to make relieved to odha (hiv/aids patient) and family. nurse participation is most needed by patients in doing therapy process. the aim of this study was to know and analyze the correlation of nurses as educator by the compliance of antiretroviral medicine consumption to hiv/aids patients in vct clinic of dr. moewardi hospital. this research used cross sectional approach. the research subjects were hiv/aids patients which undergone antiretroviral (arv) therapy in vct clinic of dr. moewardi hospital by 65 respondents as sample. the research instruments used questionnaire and follow-up card. the data analysis used chi square test. result;univariat analysis outcome was known by most of respondents to perceive nurses participation as educator in good category (58,5%) and most of them are obedient in consuming antiretroviral (arv) medicine (52,3%). bivariat analysis outcome was the chi square score to significant extend 5% as 6,665 by value 0,010 and odd ratio (or) as mush as 3,846 ci 95% (1.354-10.922). there was significant correlation between nurses as educator and the compliance of antiretroviral (arv) medicine consumption in vct clinic of dr. moewardi hospital. keywords: nurses participation, obedience, patient abstrak: masalah hiv/aids merupakan masalah kesehatan global yang mengancam dunia termasuk indonesia. terapi antiretroviral (arv) merupakan terapi yang dijalankan pasien dengan mengkonsumsi obat seumur hidup mereka, adanya terapi antiretroviral (arv) merupakan payung peneduh bagi odha dan keluarga. peran serta perawat sangat dibutuhkan oleh pasien dalam menjalani terapi. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa hubungan perawat sebagai educator dengan kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/aids di klinik vct rsud dr. moewardi. desain penelitian dengan pendekatan cross sectional. subjek penelitian adalah pasien hiv/aids yang melakukan terapi antiretroviral (arv) di klinik vct rsud dr. moewardi dengan sampel sebanyak 65 responden. instrumen penelitian berupa kuisioner dan kartu follow-up. teknik analisa data menggunakan uji chi square. hasil analisa univariat diketahui sebagian besar responden mempersepsikan peran perawat sebagai educator dalam kategori baik (58,5%) dan sebagian besar responden patuh dalam mengkonsumsi obat antiretroviral (arv) (52,3% ). hasil analisa bivariat diperoleh nilai chi square untuk taraf signifikan 5% sebesar 6,665 dengan value 0,010 dan odd ratio (or) sebesar 3,846 ci 95% (1.354 -10.922). kesimpulan; ada hubungan yang signifikan antara peran perawat sebagai educator dengan kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) di klinik vct rsud dr. moewardi. kata kunci: peran perawat, kepatuhan, pasien acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p183-188 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 184 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 183–188 masalah hiv/aids merupakan masalah kesehatan global yang mengancam dunia termasuk indonesia. masalah yang berkembang sehubungan dengan penyakit hiv dan aids adalah angka kejadian dan kematian yang masih tinggi. saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah hiv/aids. meskipun telah dicapai berbagai kemajuan di bidang kedokteran dan farmasi, serta telah dilakukan berbagai upaya pencegahan primer maupun sekunder, tetapi a ngka kesa kita n da n kema tia n teta p tinggi (nasronudin, 2014). angka kematian tertinggi di indonesia salah satunya adalah masalah hiv/aids. sejak tahun 2005 sampai september 2015 terdapat kasus hiv sebanyak 184.929 yang didapat dari laporan layanan konseling dan tes hiv. jumlah kasus hiv tertinggi yaitu di dki jakarta (38.464 kasus), diikuti jawa timur (24.104 kasus), papua (20.147 kasus), jawa barat (17.075 kasus), dan jawa tengah (12.267 kasus). sementara kasus aids sampai september 2015 sejumlah 68.917 kasus. sampai september 2015 kasus aids terbesar di 381 (77 persen) dari 498 kabupaten/kota di seluruhprovinsi di indonesia. di surakarta kasus hiv aids selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. dan pada tahun 2015 mencapai 1.738 kasus. tingginya angka penderita hiv/aids di kota surakarta tersebut menduduki peringkat kedua setelah kota semarang (kemenkes, 2015). upaya pemerintah yang telah dilakukan untuk menurunkan angka penderita hiv/aids yaitu melalui terapi antiretroviral. terapi tersebut merupakan terapi yang dijalankan pasien dengan mengonsumsi obat seumur hidup mereka. untuk menekan penggandaan (replikasi) virus di dalam darah, tingkat obat antiretroviral harus selalu di atas tingkat tertentu. pemberian terapi arv tidak serta merta diberikan begitu saja pada penderita yang dicurigai tetapi perlu mempertimbangkan berbagai faktor dari segi pengetahuan, kemampuan, kesanggupan pengobatan jangka panjang, resistensi obat, efek samping, jangkauan memperoleh obat, serta saat yang tepat untuk memulai terapi. dengan semakin dekat dan mudahnya antiretroviral (arv) dijangkau masyarakat, maka langkah mantap dari pemerintah tersebut merupakan payung peneduh bagi odha dan keluarga (nasronudin, 2007). data odha di indonesia yang mendapatkan pengobatan arv sampai dengan bulan maret 2014 sebanyak 25.817 orang. sebanyak 96% orang dewasa dan 4% anak-anak. sedangkan pemakaian rejimennya adalah 95,6% (27.134 orang) menggunakan lini 1 dan 4,5% (1.249 orang) menggunakan lini 2. data tahun 2015 di klinik vct terdapat 192 penderita hiv/aids dan odha yang melakukan terapi arv sebanyak 187 penderita. dari 187 penderita yang patuh mengkonsumsi obat antiretroviral sebanyak 167 penderita sedangkan yang tidak patuh sebanyak 20 penderita (kementrian ri, 2015). hasil wawancara mendalam dan observasi sebagian besar tingkat kepatuhan odha minum obat arv adalah >95%. hal ini disebabkan adanya dukungan dari keluarga (orang tua dan suami), teman, manager kasus dan faktor motivasi dalam diri odha seperti untuk tetap hidup dan melakukan aktifitas dengan baik. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya kunjungan manajer kasus selama 3 sampai 4 kali kunjungan menunjukkan kepatuhan minum obat>95% (yuniar, 2013). hasil penelitian afidah (2013) mengatakan bahwa perawat diharapkan dapat mengoptimalkan perannya sebagai yaitu dengan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasien, menjadi penghubung antara pasien dan tim kesehatan lain, membela hak-hak pasien dan melindungi pasien dari tindakan yang merugikan perawat atau tim kesehatan lain seharusnya dapat memberikan sasaran mengenai pengobatandan proses kesembuhannya. merugikan. saran yang diberikan dapat mengurangi kecemasan yang dialami pasien sehingga dapat menunjang keberhasilan pengobatan selanjutnya. hasil penelitian hapsari (2013) menunjukkan jumlah responden dengan kategori tidak mendapatkan peran perawat sebagai educator dengan baik sebanyak 48 responden (64,0%) dan jumlah responden dengan kategori mendapatkan pelaksanaan peran perawat sebagai educator dengan baik sebanyak 27 responden (36,0%). hasil penelitian pada 75 pasien menggambarkan sebagian besar reponden belum mendapatkan peran perawat sebagai educator. perawat pada dasarnya memiliki tiga per an dalam mela ksanakan tuga snya . pera n mandiri, peran tergantung dan peran kolaborasi merupakan peran perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien. hasil penelitian hapsari (2013) menunjukkan bahwa hampir 50% responden menilai peran perawat sebagai educator dalam kategori tidak baik. faktor lain yang mempengaruhi peran perawat sebagai educator adalah kondisi pasien, kebudayaan pasien, bahasa yang digunakan pasien sehari-hari dan kesiapan pasien/keluarga dalam menerima pengajaran dari perawat. 185astuti dan mulyaningsih, peran perawat sebagai educator ... berdasarkan dari hasil wawancara dengan pasien yang melakukan terapi antiretroviral di dapatkan hasil 5 dari 10 responden diantaranya menjawab peran perawat kurang baik dalam memberikan pelayanan. dan dari 10 responden didapatkan hasil 6 diantaranya menyatakan tidak patuh dan 4 diantaranya patuh. 3 dari responden mengatakan tidak patuh karena perawatnya kurang care dalam memberikan pelayanan. berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah yang ditetapkan yaitu apakah ada hubungan peran perawat sebagai educator dengan kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/aids di klinik vct rsud dr. moewardi. penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan peran perawat sebagai educa tor denga n kepa tuha n konsumsi oba t antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/aids di klinik vct rsud dr. moewardi. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan cross sectional. metode penelitian ini adalah analitik dimana mencoba mencari hubungan antara variable dan seberapa besar hubungan antara variabel yang ada. lokasi penelitian di ruang voluntary counseling and testing (vct) rsud dr. moewardi. populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien hiv/aids yang melakukan terapi antiretroviral (arv) di vct rsud dr. moewardi sebanyak 187 pasien. sampel yang digunakan sebanyak 65 responden dengan teknik pengambilan sampel accidental sampling. instrumen yang digunakan berupa lembar kuisioner dan kartu follow up pasien. data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.teknik analisa penelitian menggunakan teknik analisa univariat dan analisa bivariat dengan uji chi square. hasil penelitian perawat sebagai educator berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 65 responden sebanyak 38 responden (58,5%) mempersepsikan peran perawat sebagai educator dalam kategori baik. dalam menjalankan peran educator perawat membantu pasien untuk meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan terkait dengan keperawatan dan tindakan medis yang diterima sehingga pasien atau keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya hasil penelitian yang dilakukan oleh hapsari (2013) faktor yang dapat mempengaruhi peran perawat sebagai educator adalah kondisi pasien, kebudayaan pasien, bahasa yang digunakan pasien seharihari dan kesiapan pasien/keluarga pasien dalam menerima pengajaran dari perawat. hal ini didukung oleh pernyataan erickson yang mengatakan bahwa hal yang dapat mempengaruhi peran perawat sebagai educator di rumah sakit adalah bahasa dan kebudayaan pasien. hasil penelitian hapsari (2013) menunjukkan bahwa 50% responden menilai peran perawat sebagai educator kategori tidak baik. ada faktor lain yang mempengaruhi pelaksanaan peran perawat sebagai educator antara lain usia, pendidikan, lama kerja, pengetahuan dan sikap mengambil bagian penting yang biasa mempengaruhi pelaksanaan peran perawat sebagai educator di rumah sakit. perawat sebagai educator di rumah sakit mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar. kepatuhan konsumsi obat antiretroviral tabel 1. distribusi frekuensi peran perawat sebagai educator di klinik vct rsud dr. moewardi no peran perawat sebaga i educator f % 1 kurang baik 27 41,5 2 baik 38 58,5 total 65 100 tabel 2. distribusi frekuensi kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/ aids di klinik vct rsud dr. moewardi no kepatuhan konsusmsi arv f % 1 patuh 31 47,7 2 tidak patuh 34 52,3 total 65 10 0 berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 65 responden sebanyak 34 responden (52,3%) patuh dalam mengkonsumsi obat antiretroviral (arv). obat antiretroviral mempunyai peranan penting bagi pasien hiv/aids yaitu untuk memperpanjang usia dan memperbaiki kualitas hidup kepatuhan menggunakan obat antiretroviral merupakan motivasi dari dalam diri penderita untuk tetap bertahan 186 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 183–188 hidup, tingkat kesadaran tinggi akan fungsi dan manfaat arv serta keimanan terhadap agama/keyakinannya. motivasi dari dalam diri penderita untuk sembuh atau bertahan hidup merupakan faktor pendukung kepatuhan yang paling sering dinyatakan oleh responden. menurut nasronudin (2007) kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antiretroviral dipengaruhi oleh banyak faktor, pengelolaan dan perawatan terhadap penderita hiv/aids tergantung pada kerjasama petugas kesehatan dengan pasien keluarga. odha yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hiv/aids, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya sehingga akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya, sehingga penerita dapat hidup lebih lama. konseling sangat dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan terhadap odha dan penerimaan pasien terhadap sakitnya. pengetahuan itu meliputi pengertian tentang terapi arv, pentingnya kepatuhan terapi, efek samping yang mungkin terjadi serta lama, dengan pengetahuan tinggi diharapkan odha menjalankan kepatuhan terapi arv sesuai aturan yang dianjurkan oleh dokter. hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dialakukan oleh mahardining (2012) sebagian patuh menggunakan obat antiretroviral dipengaruhi dukungan dari anggota keluarga dan teman dekat merupakan salah satu dukungan yang sangat diperlukan terhadap pelaksanaan terapi arv dan berpengaruh besar bagi odha untuk memacu semangat hidupnya. menurut hasil penelitian yuniar (2013) menjelaskan bahwa faktor eksternal utama yang meningkatkan kepatuhan minum arv adalah 1) ketersediaan dan keterjangkauan obat arv, dukungan keluarga, kds, lsm dan tenaga kesehatan serta destigmatisasi dan tidak boleh ada diskriminasi oleh teman, masyarakat dan tenaga keseha tan. 2) meningkatkan keterlibatan keluarga, kds, lsm dan tenaga kesehatan untuk memotivasi odha agar hidup lebih berkualitas dan minum arv secara teratur. meningkatkan akses dan keterjangkauan biaya pemeriksaan laboratorium dan obat-obat io (infeksi oportunistik). 3) meningkatkan edukasi ke masyarakat untuk mengurangi atau menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap odha, meningkatkan kepedulian terhadap odha khususnya odha anak-anak. analisa bivariat hubungan peran perawat sebagai educator dengan kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/ aids di klinik vct rsud dr.moewardi berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa responden yang berpersepsi peran perawat baik dan patuh yaitu sebanyak 25 responden (38,5%). untuk persepsi peran perawat kurang baik dan tidak patuh sebanyak 18 responden (27,7%). setelah dilakukan analisa dengan uji chi square, dari hasil tersebut dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara peran perawat sebagai educator dengan kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) di klinik vct rsud dr. moewardi dengan value 0,010. nilai or 3,846 artinya bahwa peran perawat sebagai educator yang baik mempunyai peluang 3,846 kali pasien untuk patuh mengkonsumsi arv dibandingkan dengan peran kurang baik dari perawat dalam memberi edukasi kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv). pembahasan hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh lumbanbantu (2012) dimana peran serta perawat sangat dibutuhkan oleh pasien karena dengan adanya dukungan dan pengarahan dari perawat akan memberikan semangat bagi pasien hiv/aids untuk menjalani terapi antiretroviral dengan patuh. menurut susanto (2012) perawat sebagai educator harus memberikan pengetahuan, informasi, tabel 3. hubungan peran perawat sebagai educator dengan kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/aids di klinik vct rsud dr. moewardi peran perawat sebagai edu cator kepatuhan tidak patuh f % patuh f % total f % ρv alue or ci 95% lower up per kurang baik 18 27,7 9 13,8 27 41,5 0,010 3,846 1.354 10.922 baik 13 20 25 38,5 38 58,5 total 34 47,7 31 52,3 65 100 187astuti dan mulyaningsih, peran perawat sebagai educator ... dan pelatihan ketrampilan kepada pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. dalam memberikan pengetahuan atau pendidikan perawat harus mampu mempengaruhi pasien agar dapat berperilaku atau memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sesuai dengan yang diharapkan sehingga pasien dapat mempunyai semangat yang tinggi pula untuk menjalani terapi antiretroviral (arv). hasil penelitian martoni (2013) salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah pengetahuan terapi pasien. penetahuan merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan pasien hiv/aids terhadap terapi arv. dengan adanya pengetahuan yang tinggi dari pasien akan mempengaruhi tingkat kepatuhan yang tinggi pula dari pasien. dengan pengetahuan yang cukup tentang hiv/aids pasien akan merubah perilakunya sehingga akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya selain itu pemberian pendidikan terhadap pasien akan mempengaruhi pengetahuan pasien sehingga pasien mempunyai semangat yang tinggi untuk lebih patuh dalam menjalani terapi antiretroviral (arv). menurut niven (2000) dan carpentino (2009) adanya pemberian pendidikan yang aktif dari perawat seperti penggunaan buku-buku, leaflet, dan lembar balik akan mampu meningkatkan kepatuhan pasien. temuan ini didukung oleh pernyataan meichenbuan & turk, bahwa faktor yang paling berhubungan dengan kepatuhan antara lain faktor sikap, keadaan sakit yang dirasakan, faktor lingkungan dan faktor psikis. hal ini sejalan dengan nasronudin dan margarita (2007) berhasilnya pengelolaan dan perawatan terhadap penderita hiv/aids tergantung pada kerjasama petugas kesehatan dengan pasien. fisher (1992 dalam bastable, 2002) mengemukakan bahwa perspektif ahli farmasi terhadap pengukuran kepa tuhan ya ng dila kukan pa da program pengobatan lebih efektif dengan model komunikasi untuk pendidikan yang diberikan kepada pasien. komunikasi antara perawat dan pasien/ keluarga dalam pendidikan kesehatan sangat penting dalam memudahkan pasien dalam menerima atau memahami instruksi yang diberikan untuk pasien ketika berada di rumah yang dapat secara mandiri menjaga atau meningkatkan kesehatannya. komunikasi yang efektif juga akan meningkatkan kepatuhan pada pasien. jadi peran serta perawat sangat mempengaruhi kepatuhan konsumsi obat antiretroviral bagi pasien hiv/aids. menurut asmadi (2008) kemampuan berkomunikasi perawat merupakan aspek mendasar dalam keperawatan. perawat harus berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh. interaksi merupakan bagian dari komunikasi. perawat dapat memberikan informasi/penjelasan kepada pasien, membujuk dan menghibur pasien, dan menjalankan tugas lainnya dengan adanya komunikasi. proses komunikasi diharapakan dapat mempengaruhi dan meyakinkan pihak lain baik itu pasien, rekan sejawat, maupun tenaga kesehatan lain. citra profesionalisme yang baik pada perawat akan tercipta dengan komunikasi yang baik pula. perawat harus mampu memahami psikologis pasien agar dapat mempengaruhi orang lain. perawat harus meningkatkan sensitivitas dan kepeduliannya. saat berbicara dengan orang lain perawat harus melakukannya dengan hati dengan kata lain perawat berkomunikasi dengan orang lain dengan menyentuh hati orang lain. seberapa bagusnya gaya komunikasi perawat dan luasnya wawasan ilmu pengetahuan, orang lain perlu melihat bukti atas apa yang disampaikan. upaya untuk mengubah dan meningkatkan profesionalisme perawat paling baik dilakukan melalui pembuktian secara langsung melalui peran sebagai model. menurut asmadi (2008) dengan adanya model atau contoh hal ini berarti bisa membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. selain itu kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap programprogram pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol sehingga akan mempengaruhi pasien tersebut. hasil penelitian lain dari yuniar (2013) menjelaskan sebagian besar faktor internal utama yang meningkatkan kepatuahan minum arv adalah motivasi dari dalam diri odha untuk lebih berkualitas, pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan fungsi dan manfaat arv, strategi menganggap obat sebagai vitamin atau obat biasa seperti obat darah tinggi atau diabetes. hasil penelitian ini juga menemukan fenomena, ada sebagian peran perawat baik tetapi responden tidak patuh dalam mengkonsumsi obat antiretroviral. ketidak patuhan ini bisa disebabkan faktor individu, seperti lama pengobatan, kondisi psikologis, dan nutrisi yang tidak mendukung. 188 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, desember 2016, hlm. 183–188 adapun faktor-faktor lain yang bisa menghambat kepatuhan antara lain (blevins & lubkin, 1999; hussey & gilliland, 1989 dalam carpenito, 2009): 1) penjelasan yang tidak adekuat. penjelasan yang tidak adekuat dari perawat akan menjadikan pasien semakin binggung dan tidak mengerti terhadap apa yang disampaikan oleh perawat. 2) perbedaan pendapat antara pasien dan tenaga kesehatan. 3) terapi jangka panjang. obat antiretroviral merupakan jenis obat yang harus dikonsumsi jangka panjang karena obat tersebut merupakan obat yang harus dikonsumsi seumur hidup oleh pasien dengan adanya terapi dalam jangka panjang otomatis akan menimbulkan rasa kebosanan dari pasien tersebut sehingga akan menyebabkan adanya putus obat dari pasien. 4) tingginya kompleksitas atau biaya pengobatan. 5) tingginya jumlah dan tingkat keparahan efek samping. menurut nursalam dan kurniawati (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi adalah malabsobsi obat, interaksi antar obat, resistensi virus. arv hanya obat yang bersifat semantara dan tidak menyembuhkan penyakit mereka. pemaknaan arv sebagai vitamin membuat mereka merasa sehat seperti fungsi vitamin yaitu untuk meningkatkan daya tahan tubuh. apabila tidak ditunjang dengan pemberian nutrisi yang baik, tingkat kepatuhan menurun ditambah lagi dengan efek samping yang ditimbulkannya. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar responden mempersepsikan peran perawat sebagai educator baik dan sebagian besar responden patuh dalam mengkonsumsi obat antiretroviral (arv). berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh hasil adanya hubungan peran perawat sebagai educator dengan kepatuhan konsumsi obat antiretroviral (arv) bagi pasien hiv/aids di klinik vct rsud dr. moewardi. saran berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan diharapkan perawat rumah sakit selalu memberikan semangat atau dorongan kepada pasien hiv/aids agar tetap semangat menjalani kehidupannya dan dan selalu memberikan edukasi kepada anggota keluarga agar dari pihak keluarga dapat memotivasi dan mendukung demi kesembuhan pasien dan mengingatkan pasien untuk selalu patuh dalam mengkonsumsi obat antiretroviral (arv). daftar rujukan afidah. 2013. “gambaran pelaksanaan peran advokat perawat di rumah sakit negeri di kabupaten semarang”.jurnal managemen keperawatan– vol 1, no. 2, november 2013: 124-130. asmadi. 2008. konsep dasar keperawatan. jakarta: egc. bastable. 2002. perawat sebagai pendidik. jakarta: egc. carpentino. 2009. diagnosis keperawatan: aplikasi pada praktik klinis. edisi 9. jakarta: egc. hapsari. 2013.”hubungan peran perawat sebagai edukator dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman pasien di ruang rawat inap rsu dr. h. koesna di kabupaten bondowoso”. artikel ilmiah mahasiswa 2013. kemenkes ri. 2011. tatalaksana klinis infeksi hiv dan terapi antiretroviral pada orang dewasa: jakarta. kemenkes. 2015. artikel detak unsiyah.com. kurniawati, nursalam. 2007. asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi hiv/aids. jakarta: salemba medika. lumbanbantu. 2012. “faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan odha (orang dengan hiv/ aids) dalam menjalani terapi antiretroviral di rsu. dr. pirngadi medan tahun 2012”. artikel ilmiah mahasiswa 2012. mahardining. 2010. “hubungan antara pengetahuan, motivasi, dan dukungan keluarga dengan kepatuhan terapi antiretroviral pada odha”. jurnal kesehatan masyarakat. martoni. 2013. “faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien hiv/aids di poliklinik khusus rawat jalan bagian penyakit dalam rsup dr. m. djamil padang periode desember 2011-maret 2012”. jurnal farmasi andalas vol 1 (1) april 2013. nasronudin. 2007. konseling, dukungan perawatandan pengobatan odha, universitas airlangga: surabaya. ________. 2014. konseling, dukungan perawatan dan pengobatan odha. surabaya: universitas airlangga. niven. 2002. psikologi kesehatan edisi 2. jakarta: egc. susanto. 2012. buku ajar keperawatan keluarga. jakarta: trans info media. yuniar, y. 2013. faktor-faktor pendukung kepatuhan orang dengan hiv/aids (odha) dalam minum obat antiretroviral di kota bandung dan cimahi. jurnal kesehatan. badan litbangkes bandung. 132 pemenuhan kebutuhan kasih sayang lansia upt pslu blitar di tulungagung (love and belonging fulfilment elders at upt. pslu blitar in tulungagung ) mochamad shofaul qulub poltekkes kemenkes malang, jl besar ijen no 77c malang e-mail: qulub_mochamad@yahoo.co.id abstract: love and belonging is one of the needs in the maslow hierarchy. elders felt lonely when peoples at home busy at work and spending much time outdoor. although every needed fulfill but elders felt lost of love and belonging from their family. the purpose of this study was determine love and belonging needs of elders in upt pslu blitar in tuluangagung by 4 parameters there are: communication with positive feelings, respect each other a happy business, providing the opportunity or freedom, and self-control or attention. method: research design was descriptive design. research sample was 44 by using purposive sampling. data collected on march to may 2014 by questionnaires love and belonging needs of elders. results: the result showed that good love and belonging fulfillment 70.5% (31 elders), the fulfillment of the needs love and belonging enough about 27.3% (12 elders), and 2.3% (1 elders) needs less fulfilled. discuss: based of this study are expected to provide optimal services to the elders at upt.pslu blitar in tulungagung specially for elders who have less of love and belonging fulfilled. keywords: love and belonging, elders. proses menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memeperbaiki diri atau atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (nugroho, 2000). pada lansia terjadi perubahan-perubahan fisik yaitu sel, sistem persyarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan temperatusr suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem kulit, dan sistem muskuloskeletel (constantinidies dalam nugroho, 2000). meskipun pada lansia terjadi perubahanperubahan fisik organ tubuh dan menderita penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pola hidup lansia terdapat pemenuhan kebutuhan hidup lansia agar tetap sehat dan tetap menjadi prioritas. terdapat tujuh pemenuhan kebutuhan hidup yaitu makanan dengan menu seimbang (diet), olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum-minuman keras narkoba, istirahat cukup, mengendalikan stress, dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan seperti bersosialisasi dengan semua orang dalam segala usia (maulana, 2007). menurut undang-undang no.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. sementara itu who mengatakan bahwa lanjut usia meliputi usia pertengahan yaitu kelompok usia 45-59 tahun (nugroho, 2000) , watson dalam nugroho (2000) mengidentifikasikan lanjut usia sebagai kelompok masyarakat yang mudah terserang kemunduran fisik dan mental. kantor kementrian koordinator kesejahteraan rakyat melaporkan, jika tahun 1980 usia harapan hidup (uhh) 52,2 tahun dan jumlah lansia 7.998.543 orang (5,45%) maka pada tahun 2006 menjadi 19 juta orang (8,90%) dan uhh juga meningkat (66,2 tahun). pada tahun 2010 perkiraan penduduk lansia di indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan uhh sekitar 67,4 tahun. sepuluh tahun kemudian atau pada 2020 perkiraan penduduk lansia di indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34% dengan uhh sekitar 71,1 tahun. sementara persebaran penduduk lansia menurut provinsi di indonesia, presentase penduduk mailto:qulub_mochamad@yahoo.co.id acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p144-148 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 133 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 132-137 lansia diatas 10% sekaligus paling tinggi ada di provinsi di yogyakarta (13,04%), jawa timur (10,40%), dan jawa tengah (10,34%) berdasarkan sumber data dari survei ekonomi nasional dan badan pusat statistik ri (http: // www.kemsos.go.id, diakses tanggal 30 oktober 2013). untuk mempertahankan tingkat kesehatan merupakan suatu kebutuhan bagi semua golongan tingkat umur termasuk dengan kelompok lansia. upaya seseorang untuk memenuhi kebutuhanya sebagai manusia, adalah dengan cara memenuhi kebutuhan dasar yang sangat vital. pemenuhan kebutuhan dasar adalah hal-hal yang harus dipenuhi untuk mengembalikan tingkat kesehatan yang lebih optimal, kebutuhan dasar yang sering dikenal adalah menurut a.h. maslow dibagi menjadi beberapa macam kebutuhan, yaitu mencakup kebutuhan fisiologis, rasa aman dan perlindungan, sosial dan kasih sayang,harga diri, serta pemenuhan aktualisasi diri.masalah pemenuhan kebutuhan kasih sayang, adalah kebutuhan yang harus dipenuhi setelah kebutuhan fisiologi, dan kebutuhan akan keamanan menurut teori hirarki maslow. kasih sayang adalah salah satu kebutuhan dasar menurut hierarki abraham maslow, pemenuhan kebutuhan kasih sayang didasarkan pada perasaan positif yang ada pada pihak yang mencintai. (prayitno, 2009).stanley (2006)menjelaskan bahwa cinta/kasih sayang harus mencakup perasaan memiliki. fenomena yang terjadi sekarang ini adalah tuntutan hidup memaksa orang-orang yang lebih muda bekerja lebih keras dan lebih banyak beraktivitas diluar rumah. setelah bekerja keras, waktu luang merekapun lebih banyak dilakukan diluar rumah. sementara orang tua mereka yang sudah lanjut usia harus tinggal dirumah, menjaga rumah setiap hari. walaupun hidup serba berkecukupan, lanjut usia merasakan kehilangan miliknya yang paling akhir, yaitu rasa kasih sayang dari keluarga. tetapi seiring berkembangnya zaman kepentingan dari anggota keluarga semakin banyak sehingga menimbulkan suatu keinginan untuk menitipkan lansia di panti jompo karena ketidak sanggupan merawatnya (sutarto t & cokro i, 2008). tetapi kenyataanya tinggal di panti jompo tidak menyelesaikan masalah yang dialami lanjut usia, melainkan dapat menimbulkan perasaan terbuang atau tersingkir dari lingkungannya yang dapat menimbulkan hilangnya perasaan kasih sayang (hanna & ismail, 2009). berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan abdul salam pada bulan april 2010, di pstw budi luhur bantul, yogyakarta. hasil penelitian ini secara keseluruhan adalah dengan presentase 97,2% aspek kebutuhan dasar fisiologis kategori baik presentase 95,2%. kebutuhan rasa aman dan perlindungan kategori baik presentase 85,7%. kebutuhan soaial, kasih sayang, memiliki dan dimiliki kategori baik presentase 95,2%. kebutuhan harga diri kategori baik presentase 95,2%, kebutuhan aktualisasi diri kategori baik presentase 97,6% ( diakses tanggal 31 oktober 2013). pada studi pendahuluan yang dilakukan pada hari rabu tanggal 16 oktober 2013, dari hasil wawancara dengan ketua penanggung jawab di pslu tulungagung didapatkan hampir semua lansia terpenuhi kebutuhannya seperti makan, minum, sandang, pangan dan papan, tapi belum terpenuhi untuk pemenuhan kebutuhan kasih sayang dalam kesehariannya. ditambah oleh hasil wawancara dengan petugas yang bertanggung jawab di ruang melati mengungkapkan bahwa lansia yang sangat membutuhkan kasih sayang sangat banyak terdapat pada lansia perempuan. hal ini didukung dengan hasil studi pendahuluan terhadap 10 lansia di 5 wisma pslu tulungagung didapatkan data 10 lansia dari jumlah 80 lansia tampak terpenuhi kebutuhannya seperti, makan, minum, sandang, pangan dan papan, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan kasih sayang dalam keseharianya 8 dari 10 lansia belum terpenuhi. hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada hari rabu tanggal 16 oktober 2013, dari hasil wawancara dengan ketua penanggung jawab di pslu tulungagung didapatkan hampir semua lansia terpenuhi kebutuhannya seperti makan, minum, sandang, pangan dan papan, tapi belum terpenuhi untuk pemenuhan kebutuhan kasih sayang dalam kesehariannya. ditambah oleh hasil wawancara dengan petugas yang bertanggung jawab di http://www.kemsos.go.id/ qulub, pemenuhan kebutuhan kasih sayang….134 ruang melati mengungkapkan bahwa lansia yang sangat membutuhkan kasih sayang sangat banyak terdapat pada lansia perempuan. hal ini didukung dengan hasil studi pendahuluan terhadap 10 lansia di 5 wisma pslu tulungagung didapatkan data 10 lansia dari jumlah 80 lansia tampak terpenuhi kebutuhannya seperti, makan, minum, sandang, pangan dan papan, tetapi untuk pemenuhan kebutuhan kasih sayang dalam keseharianya 8 dari 10 lansia belum terpenuhi. tujuan umum penelitian adalah untuk menggambarkan kebutuhan kasih sayang lansia upt pslu blitar di tulungagung. manfaat dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan peneliti dalam mengetahui gambaran pemenuhan kebutuhan kasih sayang lansia upt pslu blitar di tulungagung, bagi institusi pendidikan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai kepustakaan dan memberikan sumbangan pemikiran perkembangan ilmu pengetahuan untuk peneliti selanjutnya, bagi upt pslu blitar di tulungagung, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk mengetahui tingkat pemenuhan kebutuhan kasih sayang lansia, sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal metode penelitian penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif yang bertujuan untuk mendiskripsikan gambaran pemenuhan kebutuhan kasih sayang lansia di upt pslu blitar di tulungagung. pada penelitian ini populasinya adalah semua lansia yang ada di pslu tulungagung pada bulan maret – mei 2014, sebesar 80 lansia. metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling. sampel dari penelitian ini sebanyak 44 lansia. variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah kebutuhan kasih sayang lansia upt pslu blitar di tulungagung. penelitian dilakukan di upt pslu blitar di tulungagung pada bulan maret 2014. pengolahan data melalui pengecekan kelengkapan data, skoring, dantabulasi data sesuai dengan variabel. hasil penelitian upt pslu blitar yang bertempat di tulungagung merupakan unit pelaksanaan teknis dinas sosial provinsi jawa timur yang melaksanakan tugas pelayanan rehabilisasi sosial lanjut usia. tabel 1 karakteristik lansia di upt.pslu blitar di tulungagung, maret 2014 no karakteristik f % 1 jenis kelamin laki laki perempuan 19 25 43 57 2 umur 60 – 74 tahun 75 – 90 tahun 20 24 45 55 3 pernah sakit yang mengganggu aktifitas pernah tidak pernah 21 23 47 53 4 tempat tinggal lansia sebelum masuk panti di pinggir jalan raya bersama anak bersama keluarga lain 11 11 22 25 25 50 5 alasan lansia masuk panti dititipkan oleh anak/ keluarga keinginan sendiri dimasukkan dinas sosial 22 13 9 50 30 20 tabel 2 pemenuhan kebutuhan kasih sayang pada lansia, upt pslu tulungagung no kategori f % 1 baik 31 70,5 2 cukup 12 27,3 3 kurang 1 2,3 pembahasan dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan hasil sebanyak 70,5% (31 lansia) dengan pemenuhan kebutuhan kasih sayang baik, 27,3% (12 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang cukup, dan 2,3% (1 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang kurang. menurut titto sutarto & ismul cokro (2008) yang menjelaskan bahwa lansia yang berfikir untuk tinggal menetap di panti jompo sejujurnya tidak menyelesaikan masalah 135 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 132-137 yang dialami lanjut usia akan timbul perasaan terbuang atau tersingkirkan dari lingkungan kasih sayang keluarga, berdampak kurangnya kebutuhan kasih sayang lansia ketika berada di panti sosial. hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh kondisi mental dan lingkungan di panti sosial, sehingga dapat mengubah pola komunikasi menjadi baik, sehingga lansia dapat mudah membaur, membina hubungan, dan interaksi / komunikasi antara individu maupun kelompok secara baik. bila dilihat dari parameter tentang pemenuhan kebutuhan kasih sayang lansia dimanaterdiri dari 4 komponen, yaitu pemenuhan kebutuhan/ komunikasi dengan perasaan positif, pemberian kesempatan / kebebasan, usaha membahagiakan / saling menghargai, pengendalian diri (prayitno, 2009), dari jumlah responden 44 lansia diperoleh hasil : komunikasi dengan perasaan positif pada komponen ini terdiri dari empat item pernyataan. diperoleh sebanyak 40,9 % (18 lansia) pemenuhan kebutuhan kasih sayang pada parameter pemenuhan kebutuhan / komunikasi dengan perasaan positif dalam kategori “baik”, sebanyak 38,6 % (17 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan “cukup”, dan sisanya sebanyak 20,5 % (9 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan “kurang”. kasih sayang merupakan pancaran perasaan dari seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang didasarkan dengan perasaan positif untuk memenuhi kebutuhan kasih sayangnya. dalam tindakan pemenuhannya, kebutuhan kasih sayang dapat terwujud melalui ketulusan, dan pemahaman secara empatik terhadap seseorang yang didasarkan pada komunikasi dengan perasaan positif, (paryitno, 2009). peneliti berasumsi bahwa dalam parameter komunikasi dengan perasaan positif, lansia dipengaruhi oleh kondisi psikologi (mental) atau keadaan lingkungan, dibuktikan ketika pengambilan data pada panti sosial. lansia memiliki kondisi yang kondusif (keadaan mental dan lingkungan baik) sehingga data yang diperoleh menunjukan hasil presentase baik, berbeda saat dilakukan studi pendahuluan keadaan lingkungan dan kondisi lansia kurang baik (banyak konflik dalam ruangan tempat tinggal panti), sehingga didapatkan hasilnya kurang. pemberian kesempatan /kebebasan pada komponen ini terdiri dari empat item. diperoleh sebanyak 75 % (33 lansia) pada parameter pemeberian kesempatan / kebebasan memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang “baik”, sebanyak 25 % (11 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang “cukup”, dan sisanya tidak ada yang memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang “kurang”. menurut prayitno (2009), dijelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam proses memberi dan menerima kasih sayang. kasih sayang yang sebenarnya justru memberikan kesempatan dan mengakui kebebasan pribadi pihak yang dicintai untuk mengekspresikan dirinya, menampilkan, mengembangkan dan mengaktualisasi dirinya. peneliti berasumsi bahwa dalam memenuhi parameter pemberian kesempatan dan kebebasan, lansia di panti sosial juga mendukung pihak / lansia yang berada disekitarnya untuk mengembangkan dirinya sendiri. dengan cara lansia tidak pernah memaksakan keinginannya untuk memenuhi kebutuhannya, meberikan dukungan kepada lansia disekitarnya untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih baik, dari hubungan yang terjalin akan dapat menimbulkan rasa senang yang dapat mendorong timbulnya perasaan kasih sayang dari orang disekitarnya. usaha membahagiakan pada komponen ini terdiri dari empat item. diperoleh sebanyak 22,7 % (10 lansia) pada parameter pemeberian kesempatan / kebebasan memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang “baik”, sebanyak 70,5 % (31 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang “cukup”, dan sisanya sebanyak 6,8 % (3 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang “kurang”. usaha membahagiakan adalah suatu usaha seseorang agar mampu memberikan perasaan yang positif seperti senang, bahagia, kepada seseorang. perasaan senang, dan bahagia merupakan buah dari hasil terpenuhinya kebutuhan kasih sayang, namun perasaan senang, dan bahagia dapat tumbuh melalui media atau cara – cara lain, seperti kerja bakti bersama, dan kerjasama dalam menyelesaikan qulub, pemenuhan kebutuhan kasih sayang….136 suatu permasalahan (prayitno, 2009). peneliti berasumsi bahwa pada parameter usaha membahagiakan, dipengaruhi oleh sikap lansia kepada orang yang berada atau bertempat tinggal disekitarnya bagaimana cara lansia untuk mendapatkan /memenuhi pemenuhan kebutuhan kasih sayangnya. dengan cara lansia di panti sosial bergotong royong kerja bakti membersihkan ruangan tempat tinggalnya, sehingga didalam suatu kegiatan kerja bakti tersebut ada suatu interaksi, dimana dalam interaksi tersebut menghasilkan perasaan senang dan bahagia baik pada lansia yang memberi pertolongan maupun yang mendapat pertolongan. sehingga pemenuhan kebutuhan kasih sayangnya dapat terpenuhi. pengendalian diri pada komponen ini terdiri dari empat item. diperoleh sebanyak 72,7 % (32 lansia) pada parameter pengendalian diri/memperhatikan memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang “baik”, sebanyak 22,7 % (10 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan “cukup”, dan sisanya sebanyak 4,5 % (2 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan “kurang”. menurut prayitno (2009), dalam pengendalian diri yang dimaksud adalah mampu berfikir, bertindak yang semata – mata untuk mengarahkan kepada hal yang bersifat positif atau baik. sehingga dalam pengendalian diri ini dapat menimbulkan suatu perasaan kasih sayang yang keluar atau timbul dari sikap pengendalian diri lansia. peneliti berasumsi bahwa pada parameter pengendalian diri dalam pemenuhan kebutuhan kasih sayang lansia dipengaruhi oleh sikap atau cara lansia dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang berada dilingkungan panti sosial. dengan cara lansia yang selalu mengingatkan sesama lansia lain tentang kewajiban dan apa yang harus dijalankan di panti sosial, sehingga dalam suatu interaksi tersebut timbul suatu perasaan kasih sayang dalam komunitas atau sesama individu yang berada di panti sosial. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebanyak 70,5 % (31 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang baik, sebanyak 29,5 % (12 lansia) memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang cukup, dan sebanyak 2,3 % (1 lansia)memiliki pemenuhan kebutuhan kasih sayang kurang. saran saran dari penelitian ini yaitu bagi instansi yang diteliti agar nantinya hasil dari penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai informasi untuk mengetahui tingkat pemenuhan kebutuhan kasih sayang, sehingga dapat memberi pelayanan optimal bagi lansia yang kebutuhan kasih sayangnya masih kurang. bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam mempelajari tentang kebutuhan kasih sayang pada tingkat golongan umur lansia. bagi masyarakat umum agar nantinya hasil penelitian sebagai bahan tambahan informasi mengenai kebutuhan kasih sayang di pslu tulungagung. tetapi peneliti mempunyai saran untuk keluarga yang memiliki atau masih tinggal bersama orang tua atau lanjut usia alangkah baiknya kita masih memiliki rasa hormat dan mampu menghargai lanjut usia, dengan cara apabila keluarga masih bisa merawat dan menjaga lansia lebih baik dirawat oleh keluarga sendiri dirumah. karena kebahagiaan lanjut usia adalah ketika bisa berkumpul dan dekat dengan anggota keluarga. daftar rujukan hardywinoto, tony. 2005.panduan gerontologi. jakarta : pt gramedia pustaka utama. hidayat. a. aziz alimul, 2009, pengantar kebutuhan dasar manusia aplikasi konsep dan proses keperawatan, jakarta: salemba medika. nugroho, wahyudi. 2000. keperawatan gerontik. jakarta : egc. nugroho, wahyudi. 2008. keperawatan gerontik dan geriatrik. jakarta : egc. prayitno. 2009. dasar teori dan praksis pendidikan. jakarta : pt grasindo. santoso, hanna & ismail, andar. 2009. memahami krisis lanjut usia : uraian medis. jakarta : pt bpk gunung mulia. sumartono. 2004. komunikasi kasih sayang. jakarta : pt elex media komputindo. 137 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 132-137 supratinya. 2010. mazhabketiga psikologi humanistik abraham maslow : yogyakarta : kanisius (anggota ikapi). sutarto, tito & cokro, ismul. 2008. pensiun bukan akhir segalanya: cara cerdas menghadapi pensiun. jakarta : pt gramediapustaka utama. stanley, mickey. 2006. buku ajar keperawatan gerontik edisi 2 . jakarta : egc. http://www.kemensos.go.id/ diakses tanggal 30 oktober 2013. http://www.ubaya.ac.id/content/articles_detail diakses tanggal 27 januari 2013. http://www.kemensos.go.id/ http://www.ubaya.ac.id/content/articles_detail 97livana, anggraeni, pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial... 97 pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial sebagai upaya pencegahan kekerasan fisik dan verbalpada anak usia sekolah di kota kendal (health education o psychososial development as an effort of to prevent physical and verbal violence of school aged children in kendal city) livana ph, rina anggraeni program studi ners, sekolah tinggi ilmu kesehatan kendal email: livana.ph@gmail.com abstract: the psychosocial development of children is influenced by the family environment including the role of parents in parenting, so parents should educate children well in order for children to develop optimally achieve development tasks, but the current phenomenon there are parents educating children using physical and verbal violence. the impact of violence on children is a disorder of psychosocial development. actions that can be taken are providing health education about psychosocial development of normal and deviant school-age children. this study aimed to identify the influence of health education on psychosocial development against physical and verbal violence of school-aged children in kendal city. the design used pre and post test without control group. the sample was 1320 schoolage children of 4th, 5th, and 6th grade in 20 public elementary schools in kendal city which was chosen by purposive sampling. the data were analyzed using chisquare test. the results showed that there was an influence of health education on psychosocial development of school-age children with verbal and physical violence. it is suggested to parents to discipline children in the family environment, it requires understanding and knowledge of parents in educating children, without verbal and physical violence so that the child’s psychosocial development according to the task of development. keywords: health education on psychosocial development, physical and verbal violence, school age children. abstrak: perkembangan psikososial anak dipengaruhi lingkungan keluarga termasuk peran orang tua dalam mengasuh anak, sehingga orang tua harus mendidik anak secara baik agar anak berkembang optimal mencapai tugas perkembangan, tetapi fenomena saat ini ada orang tua mendidik anak menggunakan kekerasan fisik dan verbal. dampak kekerasan pada anak yaitu gangguan perkembangan psikososial. tindakan yang dapat dilakukan yaitu memberikan pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial anak usia sekolah yang normal dan yang menyimpang. penelitian ini bertujuan untuk pengidentifikasi pengaruh pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial terhadap kekerasan fisik dan verbal pada anak usia sekolah di kota kendal.desain penelitiannya menggunakan pre and post test without control group. sampel penelitian ini sebanyak 1320 anak usia sekolah yang menduduki kelas 4, 5, dan 6 di 20 sd negeri di kota kendal yang dipilih dengan cara purposive sampling. data dianalisis menggunakan uji chisquare. hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial anak usia sekolah dengan kekerasan verbal dan fisik. disarankan kepada orang tua untukmendisiplinkan anak di lingkungan keluarga, diperlukan pemahaman dan pengetahuanorang tua dalam mendidik anak, tanpa melakukan kekerasan verbal dan fisik agar perkembangan psikososial anak sesuai tugas perkembangan. kata kunci: pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial, kekerasan fisik dan verbal, anak usia sekolah. jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p097–104 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 98 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 97–104 pendahuluan anak usia sekolah merupakan anak berusia 6 sampai 12 tahun.periode ini merupakan periode dimana anak-anak dianggap mulai bertanggungjawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orang tua, teman sebaya, dan orang lain. usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (wong, 2009). upaya orang tua agar anak usia sekolah dapat menyelesaikan tugas perkembangan secara optimal yaitu mendidik dan mendisiplinkan anak, kadang metode kekerasan sebagai upaya yang dipilih. orang tua menganggap bahwa kekerasan fisik dan verbal adalah hal yang wajar, terutama pada anak yang nakal (bagong, 2013).angka kekerasan terhadap anak di indonesia setiap tahun cenderung meningkat bahkan mencapai 3.700 kasus atau rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya. sekitar 70% pelaku kekerasan pada anak adalah orang tuanya sendiri (kpai, 2015). menurut badan pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana (bppkb) kendal (2015), angka kekerasan anak di kota kendal meningkat setiap tahun, yaitu 84 kasus kekerasanpada tahun 2016, sebanyak 27 kasus kekerasan, hal ini menunjukan bahwa ada orangtua dalam mengasuh anak menggunakan kekerasan (dyah, 2016). kekerasan verbal merupakan kekerasan dalam bentuk ucapan atau kata-kata yang bersifat menghina atau mempermalukan anak, menolak anak, membentak, menacaci maki, dan menakuti dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas terhadap anak (lestari, 2015). kekerasan fisik merupakan tindakan kekerasan yang berupa tindakan fisik seperti memukul, mencubit, menjewer, menampar, menendang, membakar, menggigit, memotong, meninju atau bahkan menyiram dengan air panas. kekerasan terhadap anak dapat mempengaruhi kondisi mental dan tumbuh kembang anak (hetherington, 2006). perkembangan anak usia sekolah disebut juga perkembangan masa pertengahan.masa pertengahan ini ditandai dengan terjadinya perkembangan fisik, kognitif dan psikososial (federika, 2009). anak usia sekolah untuk mencapai perkembangan yang optimal harus dapat menyelesaikan tugas perkembangan sesuai tahap perkembangannnya, termasuk perkembangan psikososial. hambatan mencapai tugas perkembangan psikososial pada satu tahap, dapat menghambat keberhasilan tahap perkembangan berikutnya (maulana, 2007). tahap perkembangan psikososial anakusia sekolah menurut erick erikson (1963) (dalam sumanto, 2014) adalah industry vs inferiority, dimana pada tahap ini anak mempunyai kemampuan menghasilkan karya, berinteraksi, dan berprestasi dalam belajar. karakteristik perilaku anak usia sekolah yang normal atau produktif adalah menyelesaikan tugas yang diberikan, mempunyai rasa bersaing, senang berkelompok dengan teman sebaya dan mempunyai sahabat, serta berperan dalam kegiatan kelompok. perkembangan psikososial akan terganggu apabila orang tua salah dalam mendidik anak. karakteristik perilaku anak yang menyimpang antara lain, anak menarik diri, suka menggangu, sulit berkonsentrasi, tingkah laku mundur dari tahap usianya, misalnya menghisap ibu jari, mengompol, mimpi buruk, sulit tidur, ketakutan yang tidak masuk akal, mudah tersinggung, menolak masuk sekolah, suka marah-marah, dan berkelahi (sumarno, 2013). penelitian afidatunisak et al (2017) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan antara kekerasan fisik dan verbal dengan perkembangan psikososial anak sekolah. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekerasan fisik dan verbalyang dilakukan orangtua atau caregiver anak, mempengaruhi perkembangan psikososial anak usia sekolah. upaya yang dapat dilakukan oleh perawat jiwa untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik dan verbal, yaitu dengan memberikan pendidikan kesehatan pada anak usia sekolah tentang perkembangan psikososial anak yang normal dan yang menyimpang. pendidikan kesehatan yang diberikan pada anak usia sekolah diharapkan dapat meningkatkan kognitif anak, sehingga anak usia sekolah dapat berperilaku sesuai dengan tahapan perkembangan psikososial yang normal. perilaku yang normal sesuai usia dapat mendisiplinkan anak melakukan kegiatan sehari-hari sehingga mencegah orangtua atau caregiver melakukan kekerasan fisik dan verbal kepada anak. hasil wawancara di sd negeri 1 dan 2 bandengan didapatkan 6 dari 10 anak mengalami kekerasan verbal dari orangtuanya yaitu dengan dibentak, dimarahi, dan kata-kata kasar, juga kekerasan fisik yaitu dicubit, dijewer dan dipuku. alasan orangtua melakukan kekerasan fisik dan verbal karena anak membangkang ketika dianjurkan makan, tidur siang, dan mengerjakan tugas sekolah. berdasarkan latar belakang diatas perlu dilakukan penelitian tentang “pengaruh pendidikan kese 99livana, anggraeni, pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial... hatan tentang perkembangan psikososial sebagai upaya pencegahan kekerasan fisik dan verbal pada anak usia sekolah”. bahan dan metode desain penelitian yaitu pre and post test without control group. populasi penelitian adalah adalah semua subyek yang memenuhi kriteria pengamatan yang diteliti, yaitu semua anak usia sekolah yang menduduki kelas 4, 5, dan 6 di 20 sd negeri di kota kendal, yaitu sebesar 1677 siswa. sampel penelitian sebanyak 1320 anak menggunakan teknik purposive sampling. variabel intervensi penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial. variabel dependen penelitian ini adalah kekerasan fisik dan verbal sedangkan veriabel counfonding adalah usia dan jenis kelamin. data pre test dikumpulkan pada tanggal 22 januari hingga 13 februari 2018 menggunakan kuesioner tentang kekerasan fisik dan verbal yang pernah dialami anak usia sekolah yang masingmasing terdiri dari 8 pernyataan. data post test dikumpulkan 6 (enam) bulan setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial anak usia sekolah, dan diminta untuk mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. analisis data menggunakan uji chi-square. hasil penelitian adapun karakteristik responden terkait usia disajikan pada tabel 1 dan karakteristik responden terkait jenis kelamin disajikan pada tabel 2. ada pun pengar uh pendidika n keseha ta n per kembanga n psikososial a na k usia sekola h terhadap kekerasan verbal dan fisikdisajikan pada tabel 3. mean median sd min max 10,46 10 1,13 8 13 tabel 1 karakteristik responden terkait usia (n=1320) variabel f % jenis kelamin laki-laki 692 52,5 perempuan 628 47,5 total 1320 100 tabel 2 karakteristik responden f % f % f % f % kekerasan verbal 1178 89.2 142 10,8 116 8,8 1204 91,2 0,000 kekerasan fisik 1313 99,5 7 0,5 142 10,8 1178 89,2 0,000 tabel 3 pengaruh pendidikan kesehatan perkembangan psikososial anak usia sekolah terhadap kekerasan fisik dan verbal variabel pre test post test ada tidak ada ada tidak ada p value pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden rata-rata 10 tahun, dengan umur terendah 8 tahun dan tertinggi 13 tahun. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia responden berada dalam usia sekolah yaitu usia 6 hingga 12 tahun, dimana anak memiliki kemampuan yang menghasilkan karya, mampu berinteraksi dan berprestasi dalam belajar berdasarkan kemampuan diri sendiri (keliat, daulima, farida. 2011). hasil penelitian ini sepenhasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kekerasan verbal dengan perkembangan psikososial usia sekolah (p value= 0,000) dapat dengan ridha (2014) bahwa anak usia sekolah mulai meninggalkan rumah orang tuanya dalam waktu yang terbatas untuk melanjutkan sekolah atau mencari ilmu. melalui proses pendidikan inilah anak akan belajar untuk bersaing yang bersifat kompetitif. anak juga memiliki sifat yang kooperatif dengan orang lain, saling memberi dan menerima pendapat, setia kawan serta mematuhi peraturan-peraturan ya ng ber la ku. ana k mencoba memper oleh kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berfungsi kelak pada usia dewasa. 100 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 97–104 asuh anak. hal ini sejalan dengan pendapat yulita (2014) menyatakan bahwa jenis kelamin juga mempenga ruhi orang tua dala m memberikan hukuman fisik, khususnya anak laki-laki lebih sering menerima hukuman fisik dan kekerasan verbal dibandingkan anak perempuan.peneliti berasumsi hal ini mungkin disebabkan karena anak laki-laki cenderung lebih nakal, memiliki sifat emosional lebih tinggi dibandingkan perempuan. beradasarkan hasil penelitian dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih sering mengalami kekerasan oleh orang tua dibandingkan perempuan. hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami kekerasan verbalsebanyak 1178 anak (89,2%). hasil sebaran pernyataan responden mayoritas responden mengalami kekerasan verbal oleh orang tua yaitu dengan menejelekjelekan anak didepan umum dan mengucapakan kata-kata kasar. menurut naomi (2015) kekerasan adalah perilaku menyakiti sehingga korban mengalami kerugian dan kerusakan, kekerasan verbal berdampak pada kondisi emosional anak dan perkembangan anak. tidak semua kekerasan verbal bermaksud tidak baik tetapi untuk mendisiplinkan anak, namun terkadang orang tua saat kondisi lelah atau stress orang tua tanpa sadar sering mengucapkan kata-kata yang sebenarnya termasuk dalam kekerasan verbal. hal ini mungkin dipengaruhi oleh pengetahuan orang tua yang kurang tentang cara mendisiplinkan anak. penelitian yulisma (2016) tentang pengetahuan orang tua tentang kekerasan verbal pada anak prasekolah di gampong lampeudaya kecamatan darussalam kabupaten aceh besar, menunjukkan bahwa orang tua memiliki pengetahuan yang kurang tentang kekerasan verbal, orang tua beranggapan bahwa proses pembelajaran kepada anak dilakukan oleh kekerasan agar anak patuh dan disiplin kepada orang tua sehingga ini dapat mempengaruhi perkembangan anak di kemudian hari. hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kekerasan verbal dengan perkembangan psikososial usia sekolah (p value= 0,000). hasil penelitian diketahui bahwa anak yang mengalami kekerasan verbal sebelum pemberian pendidikan keseha tan tentang perkembangan psikososial anak sekolah (89,2%), ini terjadi karena adanya perlakuan keluarga terhadap anak usia sekolah secara langsung mempengaruhi perkembangan psikososial anak yang tertanam sejak kecil (dini). penelitian ini sejalan dengan lestari (2012) hasil penelitian ini juga mendukung pendapat hidayat (2011) bahwa perkembangan psikososial anak usia sekolah merupakan tahap saat anak mulai rajin dan rendah diri yang terjadi pada usia 6-12 tahun. perkembangan anak usia sekolah ditunjukkan dengan sikap yang selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan atau mencapai prestasinya, sehingga anak pada usia sekolah rajin dalam melakukan sesuatu, akan tetapi apabila harapan anak tidak tercapai kemungkinan besar anak akan merasa rendah diri. penelitian ini mendukung pendapat (keliat dkk, 2015) bahwa anak usia sekolah mempunyai perkembangan psikososial tang normal, diantaranya mampu menyelesaikan tugas (sekolah atau rumah) yang diberikan, mempunyai rasa bersaing (kompetisi), senang berkelompok dengan teman sebaya dan mempunyai sahabat karib, berperan dalam kegiatan kelompok, mulai mengerti nilai mata uang dan satuannya, mampu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sederhana misal merapikan tempat tidur,menyapu; memiliki hobby tertentu, misal naik sepeda, membaca buku cerita, menggambar; tidak ada tanda bekas luka penganiayaan penelitian ini sependapat dengan sani (2013) seiiring dengan pertumbuhan fisiknya yang matang, maka perkembangan motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik, setiap gerakannya sudah sela r a s denga n kebutuha nnya . menur ut witherington dalam budiman (2008), bahwa anak usia 6-9 tahun, pada tahapan ini anak berupaya semakin ingin mengenal siapa dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman sebayanya. apabila proses tersebut tanpa ada bimbingan dari orang tua, anak akan cenderung susah dalam beradaptasi dengan lingkungannya. beradasarkan hasil penelitian dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa usia 10 tahun cenderung mengalami kekerasan baik fisik maupun verbal yang dilakukan oleh orang tua, karena pada usia tersebut anak mulai nakal dan orang tua menggunakan metode kekerasan untuk mendisiplinkan anak supaya anak tidak nakal. hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 692 anak (52,5%). menurut pribudiarta, berdasarkan survey kepada lebih dari 11.000 anak indonesia ada 1 dari 3 anak laki-laki (8%) dan 6 anak perempuan (3,5%) yang menjadi korban kekerasan fisik dan psikologis. kondisi seperti ini sebaiknya dijadikan peringatan dini agar orang tua memperbaiki pola 101livana, anggraeni, pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial... bahwa orang tua yang tidak melakukan kekerasan verbal atautindakan kasar dan selalu merespon setiapkegiatan anak maka dapat berpengaruh terhadap perkembangan psikososial anak yanglebih baik dan terarah dan orang tua yangsegera memberi stimulasi yang tepat, maka akan mempercepat penguasaan terhadap tugas-tugas perkembangan pada usianya. anak yang mengalami kekerasan verbal sejumlah 1178 anak (89,2%), hal ini terjadi ketika anak memang telah mampu melakukan tugasnya melalui panca inderanya, walaupun anak mengalami kekerasan verbal di rumahnya karena orangtuanya yang keras,sering membentakdengan mengatakan “kamu rewel” atau “diam, menyampaikan ancaman seperti “ kamu ibunanti kurung di kamar” dan sebagainya (rakhmat, 2007). orang tua mengungkapkan kemarahan terhadap anakdengan kekerasan yang bersifat verbal disadariatau tidak, sengaja atau tidak sengaja dapat menimbulkan luka batin pada anak yang mengalaminya (astuti, 2014). orang tua sebagai pengasuh merupakan fasilitator yang memiliki dampak bagi perkembangan anak, maka orang tua harus mengetahui dan memahami tentang cara mengasuh anak dengan baik, bukan dengan kekerasan karena dapat menghambat perkembangan anak (lestari, 2012). penelitian ini didukung oleh penelitian dari putrawan (2015) tentang hubungan verbal abuse dengan perkembangan emosi anak usia sekolah kelas 3-5 di sd n genuk 01 ungaran kabupaten semarang, didapatkan hasil bahwa sebagian besar anak mengalami kekerasan verbal kategori sedang, sedangkan sebagian besar anak memiliki perkembangan emosi kategori baik. dari hasil penelitian orang tua diharapkan agar dalam mengasuh anak orang tua tidak melakukan tindakan kekerasan verbal seperti memarahi, membentak, dan mengancam anak, sehingga mampu mendukung perkembangan emosi anak yang baik demi masa depan anak tersebut. penelitian ini sejalan dengan penelitian dari astuti (2014) tentang hubungan tingkat verbal abuse orang tua terhadap perkembangan kognitif anak usia prasekolah di tk atma bhakti desa pringapus kecamatan pringapus kabupaten semarang, bahwa anak yang mengalami verbal abuse kategori rendah dengan perkembangan kognitifbaik sejumlah 17 orang anak (100,0%), initerjadi karena adanya perlakuan keluargaterhadap anak prasekolah secara langsungmempengaruhi perkembangan kognitif anakyang tertanam sejak kecil (dini). penelitian ini sependapat dengan rahmawati (2006) bahwa lingkungan keluarga mempengaruhi perilaku kekerasan verbal pada anak, munculnya masalah lingkungan yang mendadak seperti tekanan krisis ekonomi ikut berperan dalam timbulnnya kekerasan verbal.menurut evans (2012) menyatakan bahwa kekerasan verbal sangat berpengaruh terhadap masalah perilaku terhadap masalah perilaku anak daripada hukuman fisik. kekerasan verbal yang terlalu sering diterima anak dapat mempengaruhi peningkatan kenakalan anak. hasil penelitian santos (2012) menunjukkan bahwa kekerasan verbal dapat menyebabkan anak menjadi tidak percaya diri dan perkembangan anak menjadi terganggu sehingga berpengaruh terhadap konsep diri dan anak akan cenderung meniru kekerasan verbal seperti yang dilakukan oleh orang tua mereka. hasil penelitian dari berbagai literatur maka peneliti menyimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial anak usia sekolah terhadap kekerasan verbal. peranan orang tua sangatlah penting dalam membantu perkembangan psikososial anaknya. orang tua perlu memahami apa yang sedang terjadi pada anak dan mengenali apa yang dibutuhkan anak untuk perkembangannya, serta hal apa saja yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. dengan demikian, orang tua dapat mengambil keputusan tindakan apa yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak. hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami kekerasan fisik yaitu 1313 anak (99,5%). hasil sebaran pernyataan responden mayoritas responden mengalami kekerasan fisik oleh orang tua yaitu dengan dicubit dan dipukul.hasil penelitian sependapat dengan thoman (2016) bahwa kekerasan fisik yang paling sering dilakukan oleh orang tua adalah dengan mencubit atau menjewer anak. cara-cara kekerasan yang dilakukan orang tua dalam mendidik anak tersebut merupakan hal yang wajar menurut orang tua, karena hal tersebut dapat membuat anak menjadi tidak nakal dan nurut terhadap orang tua. menurut komisi perlindungan anak indonesia (kpai) pada tahun 2013 angka kekerasan anak setiap tahun cenderung meningkat, kpai mencatat terjadi kasus kekerasan 1.620 kasus kekerasan pada anak, 490 kasus diantaranya adalah kekerasan fisik, sedangkan menurut badan pemberdayaan perempuan perlindungan anak dan keluarga berencana (bp3akb) provinsi jawa tengah menunjukkan bahwa pada tahun 102 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 97–104 2013 provinsi jawa tengah terjadi 209 kasus kekerasan fisik, ini artinya angka kekerasan anak di jawa tengah relatif tinggi. kekerasan fisik pada anak dapat menyebabkan anak menjadi agresif karena orang tua berperilaku tidak baik terhadap anak sehingga anak akan berusaha melawan kepada orang tua, anak dapat mengurung diri karena dengan mengurung diri anak merasa aman dari kekerasan orang tua dan dampaknya anak akan sulit bergaul, sulit berkomunikasi, bahkan menutup diri untuk, harga dirinya rendah, trauma karena anak cenderung mempunyai daya ingat yang kuat terhadap apa yang dilkukakn oleh orang tua, stress sehingga anak sulit tidur dan berdampak pada gagal berprestasi dan kurangnya konsentrasi (gudang kesehatan, 2016). hasil penelitian menunnjukkan bahwa ada pengaruh yang signfikan antara pendidikan kesehatan perkembangan psikososial usia sekolah dengan kekerasan fisik (p value=0,000). hasil ini dipengaruhi oleh lingkungan rumah dan sekolah yang sejalan dengan laporan united nation’s childern fund (unicef) pada tahun 2007. unicef melaporkan sekitar 275 juta anak di seluruh dunia yang menjadi korban kekerasan di lingkungan rumah dan 40 juta anak berusia dibawah 15 tahun mengalami kekerasan dan penelantaran di lingkungan rumah, sekolah, komunitas, jalanan dan lingkungan kerja. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian radja et al (2016) bahwa mayoritas anak mengalami kekerasan fisik (97,5%), dengan jenis perlakuan terbanyak ialah dipukul. hasil ini juga sebanding dengan penelitian di arab saudi dan kanada yang meneliti tentang kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan fisik. hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan di amerika serikat dan india. jenis kekerasan anak yang paling sering adalah penelantaran dan yang paling sedikit adalah kekerasan emosional. hal ini mungkin dapat terjadi karena perbedaan budaya dan pola asuh orang tua pada masing-masing negara. menurut who pada tahun 2014, sekitar 23 % anak di seluruh dunia yang mengalami kekerasan fisik. penelitian ini sejalan dengan penelitian huda (2008) tentang kekerasan terhadap anak dan masalah sosial yang kronis, bahwa kekerasan fisik, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul dan mencubit anak ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian. pukulan akan selalu diingat anak jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu sehingga dapat berdampak pada perkembangan psikososial anak, selain itu juga dapat mengakibatkan cedera fisik. faktor-faktor yang yang menyebabkan terjadinya kekerasan fisik yaitu faktor masyarakat dan faktor keluarga. faktor masyarakat misalnya kemiskinan, pengangguran, sedangkan faktor keluarga misalnya kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencinta dan menghargai satu sama lain. hal ini sependapat dengan suyanto (2010) bahwa faktor penyebab kekerasan fisik yang lainnya yaitu faktor pengalaman orang tua, orang tua yang masa lalunya dididik dengan melakukan kekerasan, maka akan cenderung melakukan kekerasan terhadap anaknya, oleh karena itu pengetahuan orang tua harus baik dalam mendidik anak sehingga dapat mempengaruhi perkembangan anak yang menjadi optimal. hasil penelitian ini memperkuat penelitian afidatunisak et al (2017) bahwa ada hubungan antara kekerasan fisik dan verbal dengan perkembangan psikososial anak sekolah.intervensi yang diberikan dalam penelitian ini berupa pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial terbukti mampu mencegah kekerasan fisik dan verbal pada anak usia sekolah. simpulan dan saran simpulan berdasarkan beberapa literature dan beberapa penelitian sebelumnya disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan kekerasan fisik dan verbal pada anak usia sekolah. saran disarankan kepada orang tua dalam mendisiplinkan anaknya di dalam lingkungan keluarga, hendaknya diperlukan pemahaman dan pengetahuan orang tua dalam mendidik anak yang baik, tanpa melakukan kekerasan verbal dan fisik sehingga dapat membantu perkembangan psikososial anak untuk mempercepat penguasaan tugas-tugas perkembangannya. daftar rujukan afidatunisak, ph. livana, hermanto. 2017. hubungan kekerasan verbal dan fisik orang tua dengan perkembangan psikososial usiasekolah di sdn pagerdawung kecamatan ringinarum. skripsi. stikes kendal. tidak dipublikasikan. astuti, w. 2014.hubungan tingkat verbal abuse orang 103livana, anggraeni, pendidikan kesehatan tentang perkembangan psikososial... tua terhadap perkembangan kognitif anak usia pra sekolahdi tk atma bakti desa pringapus kecamatan pringapus kabupaten semarang. http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/ 3841.pdf bagong, s. 2013. masalah sosial anak. jakarta: prenada media group. budiman, n. 2008. memahami perkembangan anak usia sekolah dasar. jakarta: dediknas. dyah, a. 2016. anak di kendal jadi korban kekerasan. http://regional.kompas.com/read/2016/05/18/ 17535991/27.anak.di.kendal.jadi.korban.kekerasan evans, simon. 2012 virtual selves, real relationships: an exploration of the context and role for social interactions in the emergence of self in virtual enviroments. 46. p. 512-528. federika, a. 2009. fundamental keperawatan. jakarta: salemba medika. gudang kesehatan. 2016. dampak fatal yang diderita oleh korban kekerasan anak. www.gudang kesehatan.com. jakarta. diakses pada tanggal 1 maret 2017. hetherington. 2006. child psychology. a contemporary viewpoint. international edition new york: mcgraw hils companies. hidayat, a. a. 2011. riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba medika. huda, nurul. 2008. kekerasan terhadap anak dan masal ah sosial yang kroni s. uni ver sit a s pekalongan. http://journal.unikal.ac.id/index.php/ hukum/article/view/176 istiana, keliat, b.a, nuraini. 2010. pengaruh terapi kelompok terapeutik anak usia sekolah pada anak-orang tua dan anak-guru terhadap perkembangan mental anak usia sekolah. surabaya: universitas aerlangga. jurnal ners volume 6 no 1 april 2011.. http://e-journal. unair.ac.id/index.php/ jners/article/view/3971 kpai. 2015. jenis kekerasan anak. http://health. liputan6.com/read/2252930/14-jenis-kekerasananakdari-keluarga kpai.2015. jeni s kekerasan anak.htt p://hea lth. liputan6.com/read/2252930/14-jenis-kekerasananakdari-keluarga. lestari, titik. 2015. kumpulan teori untuk kajian pustaka penelitian kesehatan.yogyakarta: nuha medika. maulana, m. 2007. mendidik anak autis dan gangguan mental lainnya menuju anak cerdas dan sehat. yogyakarta: katahati. pkbi.2016. nyala 1000 lilin untuk para korban.jawa tengah _ pkbi.htm.diakses tanggal 11 oktober 2016. pribudiarta. 2016. korban kekerasan anak laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan. republika.com. diakses pada tanggal 1 maret 2018. putrawan, umi, zumrotul. 2016. hubungan verbal abuse dengan perkembangan emosi anak usia sekolah kelas 3-5 di sdn genuk 01 ungaran kabupaten semarang. http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/ documents/4763.pdf radja, kaunang & dundu.2016. gambaran kekerasan pada anak sekolah dasar di kecamatan malalayang kota manado.https://ejournal. unsrat.ac.id/ index.php/eclinic/article/view/14598 rahmawati, nurul. 2006. faktor-faktor yang mempengaruhi orang tua melakukan verbal abuse pada anaknya di kelurahan bulusan kecamatan tembalang kabupat en semarang . h t t p: / / eprints.umpo.ac.id/2232/2/2.pdf rakhmat, jallaludin. 2007. sq for kids: mengembangkan kecerdasan spiritual anak sejak dini. bandung : pt mizan pustaka. sani, amri. 2013. tingkat kesegaran jasmanni anak usia 6-9 tahun di sd negeri ngipik kecamatan pringsurat kabupaten temanggung. skripsi. universitas negeri yogyakarta. santos, et al 2009. maternal antropometry and feeding behaviour toward preschool children: association with chilhood body mass index in an observational study of chilean families. international journal of behavioral nutrition and physicalactivity, 6:93. sumanto. 2014. fungsi dan teori. psikologi perkembangan. yogyakarta: jl. cempaka putih no.8 sumarno.2013. psikologi perkembangan. yogyakarta: pustaka pelajar. sumarno.2013. psikologi perkembangan. yogyakarta: pustaka pelajar. sunarto, keliat, b.a., pujasari.2011. pengaruh terapi kelompok terapeutik anak sekolah pada anak, orangtua, guru terhadap perkembangan mental anak di kelurahan pancoranmas dan depok jaya. surabaya: universitas aerlangga. jurnal ners volume 6 no 1 april 2011. http://e-journal.unair.ac.id/ index.php/jners/article/view/2683. suyanto, b. 2010. masalah sosial anak. jakarta: prenada media group. suyanto, dr. bagong. 2013. sosiologi ekonomi, kapitalisme dan konsumsi di era masyarakat postmodernisme. surabaya: prenada media groupa cipta. thoman, p. 2016. orang tua indonesia masih didik anak dengan kekerasan. republika.com. jakarta. diakses pada tanggal 1 maret 2018. unicef. 2007. progress for children: a world fit for chi ldren. new yor k: unice f di vi si on of communication. walter, keliat., b.a, hastono, s.p. 2010. pengaruh terapi kelompok terapeutik terhadap perkembangan industri anak usia sekolah di panti sosial asuhan anak kota bandung. h ttp:/ /ejournal .stikesppni.ac.id/index.php/keperawatan-bina-sehat/ article/view/334/334. wong. 2009. buku ajar keperawatan pediatrik. jakarta: egc. 104 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 97–104 yulita, refi. 2014. hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan anak balita di posyandu sakura ciputat timur. jakarta: universitas islam negeri syarif hidayatullah. yusima, afrina. 2016. pengetahuan orang tua tentang kekerasan verbal pada anak prasekolah di gampong lampeudaya kecamatan darussalam kabupaten aceh besar. universitas syiah kuala. e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 230 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 230–235 230 persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok di smk katolik santo yusup kota blitar (the perception of teenagers smokers about social impact in santo yusup catholic vocational high school blitar) azmi nadhira sarwantina politeknik kesehatan kemenkes malang email: azminadhira89@gmail.com abstract: smoking habits begins at younger age, in final school period or puberty. the desire of children to try smoking is also based on their assumption that by smoking they would be accepted in some community, or considered more severe, or as a symbol of rebellion against parents. the purpose of this research was to determine the perception of youngsters smokers about social impact in santo yusup catholic vocational high school blitar. objective: this research used descriptive method and instruments by questionnaire. the population was male smokers and female smokers who were in santo yusup catholic vocational high school blitar, the sample was 42 respondents, selected using total sampling technique. result: the results showed that the perception of youngsters smokers about the social impact of smoking as much as 57% have correct perceptions and 43% have incorrect perceptions. factors affected teenagers to have perceptions were true cognitive processed correctly about a object, subject, and certained of condition. discussion: the recommendation from this research was expected the role of teachers to improve the knowledge and order of smoking and smoking prohibition. keywords: perception, young, smokers, social abstrak: kebiasaan merokok juga cenderung dimulai pada usia yang semakin muda, yaitu pada masa akhir usia sekolah, atau masa praremaja.keinginan anak-anak praremaja untuk mencoba merokok juga didorong oleh anggapan, bahwa dengan merokok ia akan lebih diterima oleh kelompok tertentu, atau dipandang lebih hebat, atau sebagai simbol pemberontakan terhadap orang tua. tujuan penelitian menggambarkan persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok di smk katolik santo yusup kota blitar. metode penelitian deskriptif dengan instrument penelitian kuisioner. populasi penelitian remaja perokok laki-laki dan perempuan di smk katolik santo yusup kota blitar, besar sampel 42 responden menggunakan teknik total sampling. hasil penelitian persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok 57% berpersepsi benar dan 43% berpersepsi salah. hal yang mempengaruhi seseorang dalam berpersepsi yaitu dibutuhkan proses kognitif yang benar tentang suatu objek, subjek, dan keadaan tertentu. rekomendasi dari penelitian ini adalah diharapkan perlu adanya peran para guru untuk meningkatkan pengetahuan dan ketertiban tentang merokok dan larangan merokok. kata kunci: persepsi, remaja, perokok, sosial akhir-akhir ini kebiasaan merokok pada anak bukannya menurun, melainkan semakin meningkat. kebiasaan ini juga cenderung dimulai pada usia yang semakin muda, yaitu pada masa akhir usia sekolah, atau masa praremaja. ditambah pula, saat ini semakin banyak anak memiliki orang tua dan saudara kandung yang merokok. padahal, sekali anak mulai merokok, kebiasaan buruk tersebut sulit dihentikan. keinginan anak-anak praremaja untuk mencoba merokok juga didorong oleh anggapan, acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p230-235 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 231sarwantina, persepsi remaja perokok ... bahwa dengan merokok ia akan lebih diterima oleh kelompok tertentu, atau dipandang lebih hebat, atau sebagai simbol pemberontakan terhadap orang tua (a.p bangun, 2008:40). masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. bukan saja kesukaran bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan seringkali pada aparat keamanan. hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. masa transisi ini sering kali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, di satu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi di lain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa. situasi-situasi ini yang menimbulkan konflik seperti ini, seringkali menyebabkan perilakuperilakuaneh, canggung dan kalau tidak kontrol bisa menjadi kenakalan. dalam usaha untuk mencari identitas diri sendiri, remaja sering membantah orang tua karena ia mulai punya pendapat-pendapat sendiri, cita-cita serta nilai-nilai sendiri yang berbeda dengan orang tua. menurut pendapat remaja orang tua tidak lagi dijadikan pegangan, sebaliknya, untuk berdiri sendiri ia belum cukup kuat, karena itu ia mudah terjerumus ke alam kumpulan remaja di mana anggotaanggotanya adalah teman-teman sebaya yang mempunyai persoalan yang sama dan dalam perkumpulanperkumpulan itu mereka bisa saling memberi dan mendapat dukungan mental (heri, 1998:29-30). merokok merupakan fenomena buruk yang menyebar luas di dunia. melihat penyebarannya yang meluas maka keberadaan rokok di rumah-rumah, penyediaannya bagi perokok, dan tiadanya larangan merokok di tempat-tempat umum telah menjadi persoalan yang diterima oleh pihak yang tidak merokok (adnan, 1996:443). fenomena tersebut didapat dari berbagai hasil penelitian di dunia bahwa iklan dan promosi rokok berpengaruh terhadap peningkatan jumlah perokok. kondisi ini terjadi di indonesia. sementara itu, jumlah perokok aktif di indonesia merupakan peringkat ketiga tertinggi di dunia setelah cina dan india. jumlahnya bertambah dari tahun ke tahun. jumlah penduduk yang terancam kesehatannya karena terpapar asap rokok juga semakin meningkat dan yang lebih memprihatinkan adalah anak-anak sudah mulai merokok di usia belia (http:// www.depkes.go.id diakses pada tanggal 23 oktober 2014). akibat negatif dari merokok sesungguhnya sudah mulai terasa pada waktu orang baru mulai mengisap rokok. co (karbon monoksida), tir, dan nikotin dapat berpengaruh terhadap saraf yang menyebabkan antara lain (a) gelisah, tangan gemetar (tremor), (b) cita-rasa atau selera makan berkurang, (c) ibu-ibu hamil yang suka merokok dapat memungkinkan keguguran kandungan (ronald sitorus, 2005:35). di dalam hasil penelitian tackling tobacco (2011) yang berjudul the impacts of smooking and the benefits of quitting, merokok tidak hanya mempengaruhi kesehatan seseorang, diantaranya ialah; (1) efek negatif bagi perokok pasif. (2) biaya untuk kebutuhan merokok. (3) dampak sosial merokok, stigma sosial dan isolasi sosial. di dalam penelitian dyah esti, et al. (2010) mengatakan “sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh yayasan cinta anak bangsa (ycab) pada tahun 2008 di 14 panti rehabilitasi di jakarta yang menemukan bahwa jumlah pengguna alkohol, rokok dan zat adiktif terbesar adalah kelompok umur 15-24 tahun. remaja merupakan kelompok yang lebih banyak melakukan penyalahgunaan alkohol, rokok dan zat adiktif dibanding dengan kelompok usia dewasa. remaja-remaja tersebut mulai menampilkan perilaku yang mereka rasakan memberi kepuasan dan memenuhi kebutuhan sosial serta psikologis”. laporan bappeda.kota blitar (2011) ditulis “pemkot blitar memang mengupayakan menekan angka perokok terutama di kalangan remaja kota blitar masih cukup tinggi, lebih dari 7 ribu remaja laki-laki di kota blitar masuk kategori perokok, jelasnya. dari data yang ada, imbuh kepala dinkesda kota blitar, dari sekitar 14.082 remaja laki-laki di kota blitar usia 10 hingga 19 tahun. 50% lebih di antara mereka termasuk kategori perokok atau mencapai angka lebih dari 7.041 remaja. padahal, mereka masih berada pada taraf berkembang. remaja perokok ini di antaranya masih berstatus pelajar sekolah menengah pertama (smp), sekolah menengah atas (sma), dan sekolah menengah kejuruan (smk). banyak di antara mereka yang memiliki persepsi salah mengenai merokok, dengan anggapan bahwa jika merokok, mereka menjadi sosok dewasa”. menurut arif agus setiawan di dalam artikel yang berjudul stmk versus stmi: musuh bebuyutan dalam tawuran (2011) mengatakan bahwa “… ketika akan melihat pertandingan antar kedua sekolah tersebut, kami biasanya berkumpul dan berkoordinasi di warung rokok milik mbah jie dan bu rt depan sekolah. kedua warung inilah yang tiap harinya dijadikan tempat nongkrong untuk sekedar ngobrol, ngopi, dan merokok. di sepanjang 232 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 230–235 jalan depan warung dapat ditemui gerombolangerombolan murid-murid stmk dengan jumlah yang banyak…” dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di smk katolik santo yusup kota blitar pada tanggal 24 november 2014 pada 9 perokok, didapatkan 8 perokok tidak beranggapan bahwa merokok dapat membuat dijauhi oleh teman, 5 perokok beranggapan bahwa mereka lebih suka berteman dengan perokok. berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok di smk katolik santo yusup kota blitar”. tujuan umum penelitian adalah menggambarkan persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok di smk katolik santo yusup kota blitar. manfaat bagi peneliti lain yaitu menambah wawasan bagi peneliti lain mengenai persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok. bahan dan metode dalam penelitian ini peneliti menggunakan desain “deskriptif”. penelitian dilakukan untuk mendeskripsikan tentang persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok siswa siswi smk katolik santo yusup kota blitar. sampel penelitian ini adalah 42 siswa perokok yang terdiri dari 38 siswa berjenis kelamin laki-laki dan 4 siswa berjenis kelamin perempuan, dalam penelitian ini peneliti menggunakan total sampling. analisis menggunakan uji statistic distribusi frekuensi. hasil penelitian karakteristik siswa siswi perokok smk katolik santo yusup kota blitar. pembahasan merokok merupakan fenomena buruk yang menyebar luas di dunia. melihat penyebarannya yang meluas maka keberadaan rokok di rumah-rumah, penyediaannya bagi perokok, dan tiadanya larangan merokok di tempat-tempat umum telah menjadi persoalan yang diterima oleh pihak yang tidak merokok (adnan, 1996:443). menurut gibson, et al. (1985:56), persepsi adalah proses pemberian arti (cognitive) terhadap lingkungan oleh seseorang. karena setiap orang memberi arti kepada stimulus, maka individu yang berbeda akan “melihat” hal yang sama dengan cara yang berbeda-beda. persepsi dapat juga diartikan tabel 1. karakteristik responden no karakter istik f % 1. umur 15 tahun 2 4,8 16 tahun 7 16,7 17 tahun 5 11,9 18 tahun 15 35,7 19 tahun 11 26,2 20 tahun 2 4,8 2. jenis kelamin laki – laki 38 90,5 perempuan 4 9,5 3. organisasi di sekolah mengikuti 4 9,5 tidak mengikuti 38 90,5 4. kegiatan ekstrakulikuler mengikuti 12 28,6 tidak mengikuti 30 71,4 5 lebih senang bepergian dengan teman ya 29 69 tidak 13 31 6. menghab iskan waktu dengan teman ya 29 69 tidak 13 31 7. memiliki teman dekat ya 41 97,6 tidak 1 2,4 tabel 3. tabulasi silang persepsi remaja perokok berdasarkan pergi dengan teman di smk katolik santo yusup kota blitar, april 2015 (n=42) tabel 2. distribusi frekuensi persepsi tentang dampak sosial merokok oleh remaja perokok di smk katolik santo yusup kota blitar, april 2015 (n=42) no kategori f % 1. benar 24 57 2. salah 18 43 total 42 100 pergi dengan teman persepsi remaja perokok total bena r salah ya 19 10 29 45,2% 23,8% 69,0% tidak 5 8 13 11,9% 19,0% 31,0% total 24 18 42 prosentase total 57,1% 42,9% 100% 233sarwantina, persepsi remaja perokok ... proses kognitif yang dipergunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia sekitarnya. hasil penelitian menunjukkan, dan 43% atau 18 responden mempunyai persepsi salah tentang dampak sosial merokok. hasil penelitian menunjukkan sebanyak 57% atau 24 responden mempunyai persepsi benar. dapat dilihat dari hasil penelitian sebanyak 100% atau 42 responden mempunyai persepsi benar tentang bahaya merokok bagi ibu hamil. dibuktikan dengan seluruh responden menjawab benar pada kuisioner nomor 14 yang berisi tentang bahaya merokok bagi ibu hamil dan janinnya. sesuai dengan penjelasan nainggolan (2004) yang berisi “tetapi yang paling berbahaya lagi ialah kalau seorang ibu yang telah hamil masih merokok.” dapat dihubungkan dengan teori yang telah dijelaskan di dalam buku gibson, et al. (1985:57) bahwa karena persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang obyek atau kejadian pada saat tertentu. persepsi mencakup kognisi (pengetahuan). karena faktor-faktor ini, maka orang sering salah persepsi terhadap orang lain, kelompok, atau subjek. dari penjelasan tersebut, peneliti berpendapat bahwa seluruh responden menjawab pertanyaan yang telah disediakan sesuai dengan tingkat pengetahuannya, responden menjawab benar karena sudah sering melihat dan membaca iklan rokok yang tertera di bungkus rokok tentang peringatan akibat merokok terutama bagi ibu hamil. dari hasil penelitian didapatkan data sebanyak 95% atau 40 responden menjawab dengan benar pada pertanyaan dampak sosial merokok terhadap wanita. dan responden yang menjawab salah tersebut keduanya berjenis kelamin laki-laki. faktor yang mempengaruhi persepsi salah satunya yaitu karakteristik pribadi, seperti yang telah dijelaskan oleh dede rahmat hidayah (2009) bahwa menggunakan diri sebagai pembanding untuk memandang orang lain. contoh; orang yang menerima diri positif, cenderung melihat orang positif. dari penjelasan di atas, peneliti berpendapat bahwa responden melihat semua perokok laki-laki maupun wanita mempunyai dampak sosial merokok yang sama, hal ini terjadi karena responden membandingkan dampak sosial merokok yang dialami orang lain dengan dirinya sendiri. data persepsi benar didukung dari hasil tabulasi silang antara persepsi dengan memiliki teman dekat didapatkan 57% atau 24 responden memiliki persepsi benar tentang dampak sosial merokok yaitu yang memiliki teman dekat. sedangkan responden yang tidak memiliki teman dekat yaitu 2,4% atau 1 responden dan responden tersebut memiliki persepsi salah. didukung dengan teori dari hurlock (1980) remaja mengalami perubahan dalam perilaku sosial yaitu dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenisnya daripada teman sejenis. pelbagai kegiatan sosial, baik kegiatan dnegan sesama jenis atau lawan jenis biasanya mencapai puncaknya selama tahun-tahun tingkat sekolah menengah atas. dari uraian di atas peneliti berpendapat bahwa dengan banyaknya kesempatan untuk terlibat dalam banyak kegiatan sosial dan terlibat dengan banyak teman dekat, maka pengetahuan remaja dalam menilai hubungan sosial juga membaik. selain persepsi benar, terdapat juga hasil penelitian yaitu persepsi salah sebanyak 43% atau 18 responden. didukung dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 88% atau 37 responden menjawab salah pada kuisioner yang berisi tentang perilaku merokok dapat dijauhi oleh teman bahkan keluarga. teori yang telah dijelaskan gibson, et al. (1985:57) “orang dapat tabel 4. tabulasi silang persepsi remaja perokok berdasarkan banyak menghabiskan waktu dengan teman di smk katolik santo yusup kota blitar, april 2015 (n=42) banyak menghabiska n waktu dengan teman persepsi remaja p erokok tota l benar salah ya 19 10 29 45,2% 23,8% 69,0% t idak 5 8 13 11,9% 19% 31,0% t otal 24 18 42 prosentase total 57,1% 42,9% 100% tabel 5. tabulasi silang persepsi remaja perokok berdasarkan memiliki teman dekat di smk katolik santo yusup kota blitar, april 2015 (n=42) memiliki teman dekat persepsi remaja perokok total benar salah ya 24 17 41 57,1% 40,5% 97,6% tidak 0 1 1 0% 2,4% 2.4% total 24 18 42 presentase total 57,1% 42,9% 100% 234 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 230–235 cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri.” dari pernyataan di atas peneliti berpendapat proses kognitif setiap orang berbeda mereka cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan dirinya sendiri (perokok) dan responden menjawab sesuai dengan pengalaman masing-masing. dari hasil penelitian didapatkan data 52% atau 22 responden menjawab salah pertanyaan yang berisi perilaku merokok di tempat umum mencerminkan orang yang tidak sopan, telah dijelaskan oleh tim poltekkes depkes jakarta 1 (2012) bahwa orang biasanya merokok di antara orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dan lain-lain. mereka yang berani merokok di tempat tersebut tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan, tidak mempunyai tata krama, bertindak kurang terpuji dan kurang sopan, dan secara tidak langsung mereka telah menyebar racun kepada orang lain yang tidak bersalah. peneliti berpendapat bahwa perokok sudah terlalu kecanduan dengan rokok, sehingga perokok cenderung merokok dimana saja tanpa melihat lingkungan sekitar. namun hal ini dapat mengganggu lingkungan dan orang di sekitar perokok, sehingga perokok yang merokok di tempat umum dianggap tidak mempunyai tata karma dan sopan santun. menurut nainggolan (2004) menjelaskan anakanak perokok cenderung akan menjadi perokok juga di kemudian hari. ini terjadi disebabkan oleh paling sedikit dua hal. pertama ialah karena anak itu mau seperti bapaknya kelihatan gagah dan lebih dewasa. hal tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian yang didapat, yaitu sebanyak 71% atau 31 responden menjawab salah pertanyaan nomor 11 yang berisi seorang perokok terlihat lebih gagah dan dewasa daripada orang yang tidak merokok. didukung oleh teori dari hurlock (1980) remaja mengalami perubahan sosial, salah satunya yaitu kuatnya pengaruh kelompok sebaya karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan temanteman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. dari uraian di atas, peneliti berpendapat hal ini dikarenakan responden lebih senang bepergian dengan teman daripada dengan keluarga sebanyak 69% atau 29 responden, akibatnya perilaku merokok tidak hanya disebabkan oleh keluarga tetapi bisa juga disebabkan oleh lingkungan terutama hubungan sosial dari anak tersebut. sehingga penyebab perilaku merokok tidak hanya dikarenakan agar terlihat gagah dan dewasa. tim penulis poltekkes depkes jakarta 1 (2012) menjelaskan “perkembangan psikososial remaja akhir (17-19 tahun) yaitu salah satunya remaja terlibat dalam kehidupan pekerjaan dan hubungan di luar keluarga. dari tahap perkembangan tersebut akan berdampak remaja mulai belajar mengatasi stress yang dihadapinya dengan cara lebih senang pergi berlibur dengan teman daripada dengan keluarga.” teori ini didukung oleh hasil tabulasi silang persepsi remaja perokok berdasarkan pergi dengan teman dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman. didapatkan 45% atau 19 responden mempunyai persepsi benar yaitu yang lebih senang bepergian dan banyak menghabiskan waktu dengan teman daripada dengan keluarga. dari penjelasan di atas, peneliti berpendapat bahwa responden yang lebih memilih teman daripada keluarga mempunyai persepsi benar lebih banyak. karena di dalam hubungan psikososial sesama remaja, mereka akan mendapatkan pengetahuan yang sama. sedangkan remaja yang lebih dekat dengan keluarganya, mereka akan mendapat pengetahuan serta bimbingan dari orang yang lebih berpengalaman misal., orang tua dan kakak. tim penulis poltekkes depkes jakarta 1 (2012) menjelaskan stimulation to pick them up, yaitu perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. dari hasil penelitian didapatkan data 71% atau 30 responden mengaku bahwa perilaku merokok dapat disebabkan karena sering berkumpul dengan teman dekat yang juga perokok. hal ini membuktikan bahwa hubungan sosial terutama dengan teman akan mempengaruhi remaja tentang perilaku merokok. peneliti berpendapat orang bisa saja merokok hanya karena sekedar untuk menyenangkan perasaannya sendiri atau orang lain yang berada di sampingnya. oleh karena itu, remaja harus selektif dalam memilih teman, hal ini akan berpengaruh dalam perkembangan psikososial remaja tersebut. keluarga perlu memantau dan membimbing remaja supaya remaja tidak terlibat da la m masa la h kenaka lan r ema ja contohnya merokok, minum alkohol, dll. tidak hanya keluarga, remaja pun juga harus mampu membentengi dirinya sendiri dengan banyak melakukan kegiatan positif seperti mengikuti ekstrakurikuler dan mengikuti organisasi yang ada di sekolah. selain itu, remaja juga harus memiliki pengetahuan yang luas, karena untuk mendapatkan persepsi yang benar dibutuhkan 235sarwantina, persepsi remaja perokok ... proses kognitif yang benar tentang suatu objek, subjek, dan keadaan tertentu. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa persepsi remaja perokok tentang dampak sosial merokok di smk katolik santo yusup kota blitar terbanyak adalah benar, sebanyak 57% atau 24 responden yang ditunjukkan dengan kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan tentang dampak sosial merokok dengan benar, meliputi: terhadap diri sendiri khususnya pria, terhadap diri sendiri khususnya wanita, terhadap orang lain, terhadap keluarga. sedangkan sisanya yaitu 43% atau 18 responden remaja perokok mempunyai persepsi salah tentang dampak sosial merokok di smk katolik santo yusup kota blitar, yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan responden dalam menjawab pertanyaan tentang dampak sosial merokok dengan benar. hal yang mempengaruhi seseorang dalam berpersepsi yaitu dibutuhkan proses kognitif yang benar tentang suatu objek, subjek, dan keadaan tertentu. saran bagi tempat penelitian diharapkan perlu adanya peran para guru (bp) di smk katolik santo yusup untuk meningkatkan pengetahuan dan ketertiban tentang merokok dan larangan merokok supaya siswa dapat mempunyai persepsi benar tentang dampak sosial merokok. daftar rujukan bangun, a.p. 2008. sikap bijak bagi perokok. jakarta: bentara cipta prima. bappeda, blitar. 2011. tinggi, angka perokok remaja kota blitar, (online), (http://bappeda. blitarkota. go.id, diakses 05 november 2014). gibson, et al. 1985. organisasi, perilaku, struktur proses:edisi kelima. jakarta: erlangga. hidayat, d.r. 2009. ilmu perilaku manusia. jakarta: cv trans info medika. hurlock, e.b. 1980. psikologi perkembangan. jakarta: erlangga. kabo, peter. 2008. mengungkapkan pengobatan penyakit jantung koroner: kesaksian seorang ahli jantung dan ahli obat. jakarta: pt gramedia pustaka utama. kementrian kesehatan republik indonesia. 2013. melindungi generasi bangsa dari iklan promosi dan sponsor rokok menkes luncurkan peraturan pencantum, (online), (http://www.depkes.go.id, diakses 23 oktober 2014). kurniawati, d., warsini, s., & marchira, c.r. 2010. gambaran skrining keterlibatan penggunaan alkohol, rokok dan zat adiktif pada mahasiswa d3 fakultas tekhnik universita gadjah mada. berita kedokteran masyarakat. gadjah mada, yogyakarta. nainggolan. 2004. anda mau berhenti merokok?. _________: indonesia publishing house. ronald, sitorus. 2005. gejala penyakit & pencegahannya. bandung: yrama wiidya. setiawan, a.a. 2011. stmk versus stmi: musuh bebuyutan dalam tawuran, (online), (http:// etnohistori.org, diakses 20 november 2014). shalih, a.h. 1996. tanggung jawab ayah terhadap anak laki-laki. jakarta: gema insani press. sukendro, s. 2007. sehat, tanpa berhenti merokok. yogyakarta: pinus book publisher. tim penulis poltekkes depkes jakarta 1. 2012. kesehatan remaja problem dan solusinya. jakarta: salemba medika. tobacco, t. 2011. the impact of smooking and the benefits of quitting.(online),(http://information sheet was developed by cancer council nsw/2011, diakses 25 oktober 2014). jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk extra virgin olive oil meningkatkan ekpresi reseptor estrogen a dan ketebalan endometrium rattus norvegicus yang dipapar rhodamin b ita noviasari magister kebidanan, fakultas kedokteran, universitas brawijaya, indonesia info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 12/11/2018 disetujui, 18/12/2018 di publikasi, 19/12/2018 kata kunci: rhodamin b, extra virgin olive oil (evoo), reseptor estrogen, ketebalan endometrium rhodamin b berbahaya bagi tubuh karena terbukti dapat meningkatkan stres oksidatif pada berbagai jaringan reproduksi wanita. rhodamin b mengandung senyawa klorin (cl), merupakan senyawa halogen yang berbahaya dan reaktif. kerusakan pada hipotalamus akan mengganggu sekresi fsh dan lh sehingga menyebabkan pematangan folikel terganggu yang berakibat pada penurunan hormone estrogen. hormon estrogen berperan penting dalam siklus menstruasi dan proliferasi endometrium. penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh extra virgin olive oil (evoo) terhadap ekspresi reseptor estrogen á dan ketebalan endometrium pada rattus norvegicus yang dipapar rhodamin b. desain penelitian true experimental dengan menggunakan pendekatan post test only control group design. penelitian ini menggunakan hewan coba yaitu tikus putih (rattus norvegicus strain wistar). hasil penelitian menunjukkan bahwa evoo dapat menjadi alternatif pencegahan stress oksidatif akibat paparan rhodamin b.  correspondence address: universitas brawijaya, malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: inoviasari@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p201-206 201 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) mailto:inoviasari@yahoo.co.id http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/375 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 201–206 abstract rhodamin b is harmful to the body because it is proven can increase the oxidative stress on various reproductive chain. rhodamin b contains compounds of chlorine (cl), is dangerous and halogen compounds are reactive. damage to the hypothalamus will interfere with the secretion of fsh and lh cause the follicle ripening so distracted that result in a decrease in the hormone estrogen. the hormone estrogen plays an important role in the menstrual cycle and proliferation of the endometrium. this research aimed to prove the effect of extra virgin olive oil (evoo) with the expression of estrogen receptors á and endometrial thickness of rattus norvegicus exposed by rhodamin b. the design used true experimental with an approach of post test only control group design. the research used white rat (rattus norvegicus wistar strain) as the sample. the results showed that evoo could become an alternative to prevent oxidative stress due to exposure of rhodamin b. © 2018 journal of ners and midwifery history article: received, 12/11/2018 accepted, 18/12/2018 published, 19/12/2018 keywords: rhodamin b, extra virgin olive oil (evoo), estrogen receptors , the thickness of the endometrium extra virgin olive oil increase the estrogen receptor’s expression á and the endometrium thicknessof rattus norvegicus exposed by rhodamin b 203noviasari, wiyasa, sujuti, norahmawati, extra virgin olive oil... pendahuluan rhodamin b banyak digunakan sebagai tambahan zat pewarna karena harganya yangmurah, mudah didapatkan dipasaran dan tampilannya pun lebih cerah dan terlihat lebih menarik (muchtadi, 2012). warna menarik biasanya menjadi prioritas utama dalam produksi makanan (mukono, 2005). tujuan penggunaan zat perwana dalam pangan antara lain adalah untuk membuat pangan menjadi lebih menarik, menyeragamkan warna pangan dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan. rhodamin b berbahaya bagi kesehatan manusia karena sifat kimia dan kandungan logam beratnya. rhodamin b mengandung senyawa klorin (cl). senyawa klorin merupakan senyawa halogen yang berbahaya dan reaktif (bpom, 2005). jika tertelan, maka senyawa ini akan berusaha mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara mengikat senyawa lain dalam tubuh, hal inilah yang bersifat racun bagi tubuh. selain itu, rhodamin b juga memiliki senyawa pengalkilasi (ch3-ch3) yang bersifat radikal sehingga dapat berikatan dengan protein, lemak, dan dna dalam tubuh (bpom, 2005). menurut penelitian febrina et al., (2013), rhodamin b dengan dosis 600 ppm berpengaruh signifikan, dalam memperlambat panjang siklus estrus pada mencit betina. hormon estrogen memiliki reseptor intraseluler yang spesifik, ikatan antara hormon estrogen dengan reseptor inilah yang menjadi kunci dari kerja hormon estrogen pada sel target. paparan rhodamin b pada rattus norvegicus berpengaruh pada hipotalamus, ovarium dan endometrium (sulistina, 2013). rhodamin b juga menurunkan kadar 17  estradiol dan ketebalan endometrium (maryanti et al., 2014) sehingga diperlukan antioksidan yang merupakan molekul yang bisa memperlambat atau mencegah kerusakan akibat dari oksidasi dari molekul lain seperti radikal bebas (heim et al., 2002)sehingga diperlukan antioksidan yang merupakan molekul yang bisa memperlambat atau mencegah kerusakan akibat dari oksidasi dari molekul lain seperti radikal bebas (heim et al., 2002). hormon estrogen dibentuk oleh sel granulosa pada fase folikuler (guyton dan hall, 2016). ukuran dan jumlah sel pada miometrium dan endometrium meningkat karena adanya stimulasi estrogen, disertai dengan tahapan pembentukan reseptor estrogen yang spesifik dan proses sintesa protein (mylonas et al., 2005). pengaruh dari hormon estrogen menstimulasi sel epitel dan stroma endometrium berproliferasi serta meningkatkan ketebalan endometrium. hormon estrogen yang masuk dalam sel target kemudian berikatan dengan reseptor estrogen yang berada pada nukleus sehingga reseptor estrogen menjadi aktif (mylonas et al., 2005). extra virgin olive oil (evoo) diperoleh secara eksklusif melalui prosedur fisik, lebih dari sekedar lemak tak jenuh tunggal karena mengandung antioksidandalam jumlah yang tinggi, terutama senyawa fenolik dan vitamin e (-tokoferol) (fito et al., 2007). hasil penelitian dari salem (2015), bahwa extra virgin olive oil (evoo) mengandung omega-3, omega-6, mufa yang memiliki kemampuan kuat untuk meningkatkan fungsi hormonal dengan merangsang hipotalamus sehingga dapat meningkatkan fertilitas pada tikus. oleh karena itu penelitian lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui pengaruh extra virgin olive oil (evoo) terhadap ekspresi reseptor estrogen á dan ketebalan endometrium pada rattus norvegicus yang dipapar oleh rhodamin b. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah true experimental dengan pendekatan post test only control group design. sampel yang digunakan adalah 25 ekor tikus putih (rattus norvegicus strain wistar) yang terbagi dalam 5 kelompok masingmasing 5 ekor dalam setiap kelompok perlakuan yaitu: 1) kontrol negatif/kn (tikus tidak diberikan evoo dan tidak dipapar rhodamin b, 2) kontrol positif/kp (tikus tidak diberikan evoo dan dipapar rhodamin b dengan dosis 18 mg/200 g bb/hari), 3) perlakuan 1/p1 (diberikan evoo dosis 1 yaitu 1,5 ml/kgbb/hari dan dipapar rhodamin b dengan dosis 18 mg/200 g bb/hari, 2) perlakuan 2/p2 (diberikan evoo dosis 2 yaitu 3 ml/kgbb dan dipapar rhodamin b dengan dosis 18 mg/200 g bb/ hari, 3) perlakuan 3/p3 (diberikan evoo dosis 3 yaitu 4,5 ml/kg bb/hari dan dipapar rhodamin b dengan dosis 18 mg/200 g bb/hari. perlakuan dilakukan selama 36 hari dan diakhiri dengan sinkronisasi fase estrus sebelum tikus dibedah. pembedahan dilakukan pada fase proestrus. variabel independennya adalah pemberian extra virgin olive oil (evoo) dan variabel dependen adalah ekspresi reseptor estrogen  dan ketebalan endometrium. sel yang mengekspresikan er  di endometrium dengan pengecatan antibodi er , menggunakan imunostanting kit. kemudian difoto 204 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 201–206 correlation coefficient signifikansi kesimpulan 0.969 0.000 signifikan tabel 1 hasil analisis korelasi rank spearman evoo dengan ekspresi er  tabel 2 hasil analisis korelasi rank spearman evoo dengan ketebalan endometrium correlation coefficient signifikansi kesimpulan 0.605 0.005 signifikan dengan mikroskop olympus pembesaran 400x dalam 10 lapang pandang, hasil diperoleh dengan menggunakan software immunoratio berupa persentase. ketebalan endometrium diukur dengan menghitung rerata dari endometrium dengan ukuran 5 titik tebal tertinggi dan 5 titik terendah pada setiap sayatan, menggunakan pewarnaan he dihitung dengan dot slide mikroskop olympus dengan pembesaran 400x, satuan menggunakan m. data dianalisis secara statistik dengan tahapan sebagai berikut: uji prasyarat non parametrik yaitu normalitas dan homogenitas data sampel dengan uji shapiro-wilk, uji perbedaan menggunakan mann whitney, uji korelasi rank spearmen, dan uji regresi linier sederhana. hasil penelitian ekspresi reseptor estrogen  pada endometrium rattus norvegicus galur wistar ekspresi reseptor estrogen  dihitung menggunakan immunoratio software yang menunjukkan inti sel epitel kelenjar dan sel stroma yang terwarnai coklat dalam 10 lapang pandang kemudian diratarata. rata-rata angka ekspresi er  tertinggi pada kelompok p3 dan rata-rata angka ekspresi er  terendah pada kelompok kontrol positif.peningkatan ekspresi reseptor estrogen  seiring dengan peningkatan dosis extra virgin olive oil (evoo) yang diberikan. pada uji korelasi spearman didapatkan nilai signifikansi 0.000 lebih kecil dari  (0.05) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara extra virgin olive oil dengan ekspresi er  yang diukur. hubungan searah antara dosis dengan ekspresi er  pada taraf nyata 5% ditunjukkan dengan nilai correlation yang positif. menurut arikunto (2010), nilai korelasi yang berada diantara 0.80–1.00 masuk dalam kategori korelasi tinggi. besarnya kontribusi dari variabel independen terhadap variabel dependen, didapatkan hasil perhitungan dengan nilai koefisien determinasi (r square) sebesar 0.915. hasil tersebut menjelaskan kontribusi pengaruh extra virgin olive oil terhadap ekspresi er  sebesar 91.5%, sedangkan 8.5% lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam persamaan ini. ketebalan endometrium rattus norvegicus galur wistar ketebalan endometrium diukur dengan menghitung rerata dari endometrium dengan ukuran 5 titik tebal tertinggi dan 5 titik terendah pada setiap sayatan, menggunakan pewarnaan he dihitung dengan dot slide mikroskop olympus dengan pembesaran 400x, satuan menggunakan m. ratarata angka ketebalan endometrium tertinggi pada perlakuan kontrol negatif (kn) dan rata-rata angka ketebalan endometrium terendah pada perlakuan kontrol positif (kp).kontrol negatif berbeda nyata dengan kontrol positif, dan p1.kontrol negatif tidak berbeda nyata dengan p2 dan p3. peningkatan ketebalan endometrium seiring dengan peningkatan dosis extra virgin olive oil (evoo) yang diberikan. pada uji korelasi spearman didapatkan nilai signifikansi 0.005 lebih kecil dari  (0.05) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara extra virgin olive oil dengan ketebalan endometrium yang diukur. hubungan searah antara dosis dengan angka ketebalan endometrium pada taraf nyata 5% ditunjukkan dengan nilai correlation yang positif. variabel evoo memiliki statisitik uji t sebesar 3.551 dengan signifikansi sebesar 0.002. nilai signifikan t lebih kecil dari  (0.05).pengujian ini menunjukkan bahwa h0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa extra virgin olive oil berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketebalan endometrium. besarnya kontribusi dari variabel independen terhadap variabel dependen, berdasarkan hasil perhitungan dengan nilai koefisien determinasi (r square) sebesar 0.412. hasil tersebut menjelaskan kontribusi pengaruh variabel evoo terhadap variabel angka ketebalan endometrium sebesar 41.2%. 205noviasari, wiyasa, sujuti, norahmawati, extra virgin olive oil... pembahasan pemberian extra virgin olive oil (evoo) mampu meningkatkan ekspresi reseptor estrogen alfa (er ) pada rattus norvegicus yang dipapar rhodamin b pemberian extra virgin olive oil (evoo) mampu meningkatkan eskpresi reseptor estrogen  dan ketebalan endometrium karena salah satu fungsi dari evoo adalah sebagai antioksidan yang dapat menunda proses oksidasi yang terjadi di endometrium. senyawa evoo dapat menunda proses oksidasi diduga karena kandungan phenol yag bertindak sebagai pemutus rantai ion radikal dengan menyumbangkan hydrogen radikal pada hydrogen alkil peroksil yang dihasilkan oleh oksidasi lipid sehingga memperoleh turunan yang lebih stabil. selan itu evoo juga diduga dapat menurunkan ikatan dengan logam, meningkatkan enzim antioksidan endogenos serta meningkatkan transkripsi m rna gpx sehingga dapat meminimalisir terjadinya peningkatan ros yang dapatmenyebabkan kerusakan pada organ reproduksi khususnya endometrium. extra virgin olive oil berpengaruh signifikan terhadap ekspresi re  dengan nilai signifikansi f (0.000) lebih kecil dari 0.05. koefisien yang positif artinya evoo dapat meningkatkan ekspresi re  secara signifikan. dengan besar kontribusi pengaruh evoo terhadap ekspresi re  sebesar 93.4%. pemberian extra virgin olive oil dapat meningkatkan rata-rata ekspresi re  pada tikus yang dipapar rhodamin b karena extra virgin olive oil mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat tinggi dengan kandungan polifenol, yang mempunyai peran melawan terhadap radikal bebas, juga sebagai co factor enzim antioksidan di dalam tubuh yaitu catalase (cat), super okside dismutase (sod), glutathione peroxide (gpx). extra virgin olive oil menghambat radikal bebas yang terjadi pada hipotalamus karena pemberian rhodamin b sehingga hipotalamus dapat berfungsi normal dalam mensekresi gnrh dan menyebabkan estrogen berikatan dengan reseptornya semakin meningkat. pemberian extra virgin olive oil (evoo) mampu meningkatkan ketebalan endometrium rattus norvegicus yang dipapar rhodamin b extra virgin olive oil berpengaruh signifikan terhadap ketebalan endometrium dengan nilai signifikansi f (0.002) lebih kecil dari 0.05. koefisien yang positif artinya extra virgin olive oil dapat meningkatka n ketebalan endometr ium secara signifikan. dengan besar kontribusi pengaruhnya terhadap ketebalan endometrium sebesar 41.2%. hal ini sejalan dengan penelitian maryanti et al (2014) yang menyebutkan bahwa paparan rhodamin b selama 36 hari dengan dosis 18 kg bb tikus bisa meningkatkan stress oksidatif yang berdampak terjadinya penurunan ketebalan endometrium. estradiol yang diproduksi di ovarium melalui proses aromatase steroid oleh sel granulosa, sehingga peningkatan produksi estradiol juga diikuti oleh banyaknya folikel yang terbentuk. pada fase pra ovulasi atau fase folikuler, konsentrasi fsh bersirkulasi rendah tetapi karena konsentrasi estrogen dan inhibin meningkat maka keduanya terus memberi umpan balik untuk menekan pelepasan fsh.umpan balik negatif dari estrogen menjaga lh tetap rendah, pada fase folikuler awal.pada akhir fase folikuler, peningkatan konsentrasi estrogen mensensitisasi gonadotropin hipofisis terhadap gnrh yang menyebabkan terjadi lonjakan lh masih pra ovulasi dan memicu ovulasi serta proliferasi sel epitel dan sel stroma di endometrium (guyton & hall, 2007). korelasi antara extra virgin olive oil dengan ketebalan endometrium menunjukkan hubungan positif yang signifikan dengan nilai signifikansi (0.005) lebih kecil dari 0.05.dengan angka korelasi 0.605 termasuk hubungan yang cukup tinggi. hubungan yang seiring antara pemberian extra virgin olive oil dengan peningkatan ketebalan endomevariabel  thitung signifikansi keterangan konstanta 379.982 evoo (x) 45.277 3.551 0.002 signifikan  koefisien determinasi (r2) = 0.050 = 0.412 tabel 3 ringkasan uji regresi linier sederhana 206 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 201–206 trium rattus norvegicus yang dipapar rhodamin b disebabkan oleh kandungan extra virgin olive oil yang bertindak sebagai antioksidan yang menetralisir oksidan berlebih di dalam tubuh yang bias merusak fungsi dari organ reproduksi. peran sebagai antioksidan, ditandai dengan adanya peningkatan dari aktivitas total plasma antioksidan, gsh-px dan gsh. selain itu juga ditandai dengan penurunan oksidasi sel darah merah, gastrointestinal, renal, oksidasi ldl, ros, gssg (cicerale et al., 2012). kesimpulan dan saran kesimpulan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian extra virgin olive oil (evoo) berpengaruh positif untuk meningkatkan ekspresi reseptor estrogen  dan ketebalan endometrium rattus norvegicus yang dipapar rhodamin b. extra virgin olive oil (evoo) berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menjadi alternative pencegahan terjadinya stress oksidatif akibat paparan rhodamin b. saran disarankan kepada wanita dalam usia reproduksi untuk menghindari penggunaan rhodamin b dalam pengolahan makanan dan menghindari membeli makanan yangkemungkinan mengandung rhodamin b karena sifatnya yang toksik dan berdampak negatif terhadap organ reproduksi, kepada peneliti lain disarankan untuk meneliti pengaruh extra virgin olive oil sebagai antioksidan terhadap berbagai organ. daftar rujukan arikunto, suharsimi. (2010). prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. jakarta: pt. rineka cipta. bpom. (2005). pedoman pertolongan keracunan untuk puskesmas. bidang informasi keracunan pusat informasi obat dan makanan. badan pom ri, jakarta. cicelare, s., lucas, l.j., and keast, r.s.j. (2010). biological activity of phenolic compounds present in virgin olive oil. molecular sciences. 11: 458-479 febrina rgaa., wiratmini ni., sudarti nw. (2013). pengaruh pemberian rhodamin b terhadap siklus estrus mencit (mus musculus l) betina.jurnal biologi, xvii(1): 21-23. fito,m., torre, d.r., albaladejo, m.f., khymenezt, o., marrugat, j., and covas, m.i. (2007). ann ist super sanita. 43(4):375-381 guyton ac., dan hall je. (2007). buku ajar fisiologi kedokteran. egc. jakarta heim ke., tagliaferro ar., bobilya dj. (2002). flavonoid antioxidant: chemistry, metabolism and structure –activity realtionship, nutr biochem, 13(10): 572584. maryanti s., suciati s., wahyuni es., santoso s., wiyasa iwa. (2014). rhodamin b triggers ovarian toxicity through oxidative stress. cukurova medical journal, 39(3): 451-457 muchtadi d. (2012). pangan fungsional dan senyawa bioaktif. alfabeta. bandung. mukono hj. (2005). toksikologi lingkungan. universitas airlangga, surabaya. sulistina d. (2013). pengaruh rhodamin b terhadap ekspresi bax (bcl-2 antagonist x) dan bcl-2 (bcell lymphoma-2) hypothalamus, fsh (follicle stimulating hormone) dan lh (luteinizing hormone) pada rattus norvegicus. universitas brawijaya 101syah, iskandar,video hand hygiene kids meningkatkan... 101 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk video hand hygiene kids meningkatkan perilaku cuci tangan santri cilik tpq masjid awalulmu’minin gamping sleman yogyakarta deby zulkarnain rahdian syah1, rahayu iskandar2 1,2program studi s-1 keperawatan, universitas jenderal achmad yani yogyakarta, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 31/10/2019 disetujui, 02/04/2019 dipublikasi, 02/04/2019 kata kunci: pmodul, sikap, skin personal hygiene abstrak derajat kesehatan anak saat ini belum dapat dikatakan baik, karena masih ada permasalahan kesehatan khususnya pada anak usia sekolah. hasil identifikasi didapatkan 35% santri yang pernah mendapatkan sosialisasi cuci tangan di sekolahnya. tiga santri mengatakan sebelum makan jarang melakukan cuci tangan, dan sehabis buang air besar juga tidak menggunakan sabun. tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh media edukasi cuci tangan dengan video yang menyenangkan dan mudah terhadap kebiasaan perilaku cuci tangan santri. penelitian ini merupakan penelitian yang mengujicobakan intervensi pada subjek tanpa kelompok pembanding dengan desain pre and post without control. populasi dalam penelitian ini adalah santri tpq awalulmu’minin sembung. sampel diambil dengan teknik total sampling dengan jumlah 28 responden. pengambilan data dilakukan pada bulan juli-agustus 2018. instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner dan ceklist observasi perilaku cuci tangan. didapatkan nilai rata-rata sebelum perlakuan adalah 7,57 dan setelah perlakuan meningkat menjadi 15,36. seluruh responden mengalami peningkatan perilaku rata-rata sebesar 14,5 dan tidak ada satupun yang perilakuknya menurun setelah dilakukan intervensi. uji statistik menggunakan uji wilcoxon didapatkan nilai p value 0,000 lebih kecil dari 0,05. hasil tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan rachmawati yaitu ada pengaruh penyuluhan cuci tangan dengan media video terhadap penerapan cuci tangan siswa sd nogotirto. hal ini membuktikan media edukasi video cuci tangan efektif meningkatkan perilaku cuci tangan mengunakan sabun dengan benar. kesimpulannya ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan dengan metode pemutaran video terhadap peningkatan perilaku cuci tangan. saran bagi pengurus tpq untuk mempertahankan perilaku cuci tangan santri dengan memutar video cuci tangan. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas jenderal achmad yani yogyakarta -yogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: deby.ayani14@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p101–106 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 102 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 101–106 abstract the current level of health of children cannot be said to be good, because there are still health problems especially in school-age children. the results of the identification found 35% of students who had received hand washing information at their school. three santri said that they rarely washed their hands, and after defecating they did not use soap. the purpose of this study was to determine the effect of hand washing education media with a fun and easy video on the behavior of santri hand washing behavior. this study is a study that tested interventions on subjects without comparison groups with pre and post design without control. the population in this study were the students of tpq awalulmu’minin sembung. samples were taken by total sampling technique with 28 respondents. data retrieval was carried out in july-august 2018. the instrument in this study was a questionnaire and a checklist of observations of hand washing behavior. obtained the average value before treatment was 7.57 and after treatment increased to 15.36. all respondents experienced an increase in behavior by an average of 14.5 and none of their behavior decreased after intervention. the statistical test using the wilcoxon test obtained a p value of 0,000 less than 0,05. the results are the same as the research conducted by rachmawati, namely the influence of hand washing with video media on the application of hand washing from nogotirto elementary school students. this proves that the hand washing video education media effectively improves the behavior of hand washing using soap properly. in conclusion, there is the influence of providing health education with the method of video screening on improving handwashing behavior. suggestions for tpq administrators to maintain santri hand washing behavior by playing hand washing videos. video hand hygiene kids improves the behavior of little santri hand washing at the awalulmu’minin gamping mosque sleman yogyakarta article information history article: received, 01/10/2019 accepted, 02/04/2019 published, 02/04/2019 keywords: attitude, skin personal hygiene module 103syah, iskandar,video hand hygiene kids meningkatkan... pendahuluan salah satu tujuan pendidikan agama yang dikemukakan oleh departemen agama yaitu memberikan bekal kepada warga untuk belajar mengembangkan kehidupan sebagai pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa, percaya diri, dan berakhlaq mulia. pendidikan agama juga sebagai sarana pelatihan dan pendalaman agama bagi siswa agar dapat mendialogkan materi pelajaran agama islam, yang pernah mereka peroleh dengan situasi diri dan lingkunga nnya, sehingga agama kemudian dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. selain itu dengan pendidikan agama siswa juga mampu menentukan sikap dan arah yang harus diambil dalam kehidupan sehari-hari (departemen agama: pendidikan agama islam, 2004). agama islam adalah agama yang cinta akan kebersihan. nabi muhammad saw selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga kebersihan. kebersihan akan dapat menjadikan tubuh kita menjadi sehat dan kuat. menjaga kebersihan menjadi suatu perilaku yang wajib dilakukan oleh umat islam, sebagai contohnya setiap akan melaksanakan ibadah sholat, maka diwajibkan untuk bersih dan suci dari aspek pakaian yang digunakan maupun tempatnya. hadist riwayat (hr. ad-dailamy (abd. wadud, 2011: 60) , n. d. ) menyebutkan islam itu bersih, maka jadilah kalian orang yang bersih, karena sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang yang bersih. hadist riwayat (hr. tirmidzi. (abd. wadud, 2011: 62), n.d.) menyebutkan bahwa kebersihan merupakan sebagain dari iman. kebersihan juga dapat menjaga tubuh agar tetap sehat. hasil studi lapangan di wilayah kecamatan gamping terdapat beberapa tpq salah satunya awalulmu’minin dusun sembung desa balecatur. santri tpq awalulmu’minin sebanyak 28 anak, yang terjadwal setiap minggunya melaksanakan kegiatan 4 kali yaitu hari minggu, selasa, kamis, dan sabtu. santri yang rata-rata berusia sekolah dasar, hanya 35% santri yang pernah mendapatkan sosialisasi cuci tangan di sekolahnya, namun 65% belum belum pernah terpapar media cuci tangan baik video maupun leaflet cuci tangan. tiga santri mengatakan sebelum makan jarang melakukan cuci tangan, dan sehabis buang air besar juga dikatakan tidak menggunakan sabun. derajat kesehatan anak pada saat ini belum dapat dikatakan baik, karena masih ada permasalahan kesehatan khususnya pada anak usia sekolah (gobel, 2008). peningkatan kualitas hidup anak salah satunya ditentukan oleh penanaman perilaku kesehatan sejak dini (hendra, 2007). perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pengetahuan, sikap, motivasi, dan lingkungan (notoatmodjo, 2010). perilaku hidup bersih dan sehat adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran atas hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (departemen kesehatan ri: buku saku pelaksanaan phbs bagi masyarakat di wilayah kecamatan, 2008). salah satu bentuk perilaku hidup sehat adalah dengan menjaga kebersihan diri. penelitian yang dilakukan ashar, utoyo, dan agina w.s. tahun (2017) dengan judul hubungan pengetahuan tentang cuci tangan dengan sikap cuci tangan pada anak di sdn 2 rogodono kecamatan buayan kabupaten kebumen menunjukkan ada hubungan yang signifikan. hasil penelitian yang dilakukan oleh pauzan dan hudzaifah pada tahun (2017) dengan judul hubungan pengetahuan dengan perilaku cuci tangan siswa di sekolah dasar negeri cicadas 2 kota bandung menunjukkan hasil ada hubungan. didukung hasil penelitian septiananingrum, mulyani, dan achmadi tahun (2015) yang melakukan penelitian pengaruh video dan leaflet cuci tangan terhadap pengetahuan cuci tangan anak sd di kota yogyakarta yaitu ada pengaruh paska intervensi diberikan. menurut rachmawati (2016)video dapat menggambarkan objek yang bergerak bersama-sama dengan suara, sehingga diharapkan pesan yang disampaikan diterima dengan maksimal. peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul video hand hygien kids meningkatkan perilaku cuci tangan santri cilik masjid awalulmu’minin gamping sleman yogyakarta. bahan dan metode penelitian ini adalah penelitian quasi experimental dengan pendekatan pretest dan posttest without control design. populasi dalam penelitian ini adalah santri tpq awalulmu’minin. sampel yang dipilih dengan metode total sampling. penelitian dilakukan pada 28 santri di tpq awalulmu’minin sembung balecatur gamping sleman yogyakarta. pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner perilaku cuci tangan yang dilakukan dengan penilaian sebelum dan sesudah perlakuan. 104 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 101–106 pemutaran video dilakukan selama 10 kali dalam waktu 3 minggu. video tersebut berdurasi 3 menit 46 detik dan di dalamnya peneliti memaparkan langkah-langkah cuci tangan dengan panduan who. pemeragaan cuci tangan oleh pemeran santri kecil dan dikemas dengan cerita pendek. pengambilan data dilakukan pada bulan juli-agustus 2018. uji statistik yang digunakan menggunakan uji wilcoxon karena data tidak berdistribusi normal. penelitian ini menggunakan media pendidikan kesehatan audio visual yaitu video cuci tangan menggunakan sabun yang dikemas dengan menarik dan mudah. video berdurasi 3 menit 46 detik yang didalamnya disampaikan urutan cuci tangan dengan benar menggunakan sabun sesuai pedoman who dan diperankan oleh santri cilik. sebelum dilakukan intervensi, santri dinilai perilaku cuci tangannya dengan menggunakan kuesioner untuk mengidentifikasi cara cuci tangan sehari-hari. setelah selesai kegiatan mengaji santri mendapatkan snack ringan dan diminta melakukan cuci tangan untuk diobservasi. peneliti dibantu 2 guru putra dan 3 pengurus tpq putri sebagai asisten peneliti. selanjutnya karakteristik kategori f % umur (th) kelas a 5-6 11 39,2 kelas b 7-9 13 46,4 kelas c 10-12 4 14,2 total 28 100 jenis kelamin laki-laki 13 46,4 perempuan 15 53,6 total 28 100 tabel 1 karakteristik responden berdasarkan umur dan jenis kelamin (n=28) selama tiga minggu dan setelah pemutaran ke 10, peneliti melakukan penilaian kembali. hasil penelitian statistic std. error pretest mean 7,57 0,221 95% confidence interval for mean lower bound 7,12 upper bound 8,02 5% trimmed mean 7,48 median 7,00 variance 1,365 std. deviation 1,168 minimum 6 maximum 11 range 5 interquartile range 1 skewness 1,090 0,441 kurtosis 1,779 0,858 postest mean 15,36 0,138 95% confidence interval for mean lower bound 15,07 upper bound 15,64 5% trimmed mean 15,34 median 15,00 variance 0,534 std. deviation 0,731 minimum 14 maximum 17 range 3 interquartile range 1 skewness 0,538 0,441 kurtosis 0,359 0,858 sumber: data primer 2018 tabel 2 skor perilaku cuci tangan rensponden (n=28) tabel 1 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan umur paling banyak usia 7 sampai 9 tahun yaitu 46,4%. karakteristik berdasarkan jenis kelamin terbanyak responden perempuan 53,6%. 105syah, iskandar,video hand hygiene kids meningkatkan... tabel 2 menunjukkan nilai pretest rata-rata 7,57 dengan standar deviasi 1,168 dan nilai posttest 15,36 dengan standar deviasi 0,731. pada tabel 3 hasil uji wilcoxon diketahui nilai 0,000 lebih kecil dari 0,05 maka dinyatakan ada perbedaan antara hasil sebelum dan sesudah intervensi pemutaran video cuci tangan pakai sabun. dari 28 responden didapatkan seluruh responden mengalami peningkatan perilaku dengan rata-rata sebesar 14,5 dan tidak ada satupun yang perilakuknya menurun setelah dilakukan intervensi. pembahasan karakteristik responden berdasarkan umur rentang antara 5 sampai 12 tahun yang terbagi dalam tiga kelas tpq a, b, dan c. santri kelas a usia paud dan tk yaitu 5-6 tahun, kelas b usia sd 7-9 tahun, dan kelas c sd 10-12 tahun. berdasarkan jenis kelamin responden lebih banyak dengan jenis kelamin perempuan. umur dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan individu (notoatmodjo, 2005). hasil uji wilcoxon diketahui ada perbedaan antara hasil sebelum dan sesudah intervensi pemutaran video cuci tangan pakai sabun pada santri cilik di tpa awalulmu’minin sembung. dari hasil penilaian sebelum dilakukan pendidikan kesehatan pemutaran video cuci tangan didapatkan nilai rata-rata 7,57 dengan nilai maksimum 11 dan minimum 6. setelah dilakukan pemutaran video secara berkala selama 3 minggu dengan intensitas 10 kali didapatkan nilai rata-rata 15,36 dengan nilai maksimum 17 dan minimum 14. hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh aeni, beniarti dan warsito (2015) dengan judul pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pemutaran video tentang phbs cuci tangan, terhadap sikap dengan p value 0,025. hasil penelitian tersebut menunjukkan sikap anak sd sebelum diberikan pendidikan kesehatan didapatkan tingkat sikap dalam tingkat kurang. aspek yang menyebabkan hal tersebut yaitu kurang memperhatikan cuci tangan yang sudah ada dan kurang memperhatikan kesehatan tubuhnya. hal ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa sikap dipengaruhi oleh faktor individu/internal dan faktor eksternal (dayakisni & hudaniah, 2006). dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan faktor yang sa ngat berhubungan dan berpenga ruh dalam mendukung perilaku cuci tangan di kehidupan keseharianya. media yang dipakai sebagai pembelajaran dapat membentuk pengalaman yang nyata pada sasaran pembelajaran. sebagai contoh media yang mempengaruhi pembelajaran adalah media cetak, audio visual, dan praktik langsung (nurseto, 2011). sama halnya dengan penelitian yang dilakukan rachmawati dan putri (2016) dengan judul pengaruh penyuluhan tentang cuci tangan dengan media video terhadap penerapan praktik cuci tangan di sd negeri nogotirto dengan hasil uji t berpasangan ada pengaruh yaitu 0,02 lebih kecil dari 0,05. cuci tangan merupakan upaya awal untuk mencegah terjangkitnya suatu penyakit seperti diare, tipus, cacingan , dan penyakit kulit (proverawati, 2012). pembelajaran cuci tangan dengan mengunakan video akan memberikan kemudahan karena dapat menggambarkan suatu objek yang bergerak bersama-sama dengan suara, sehingga memiliki daya tarik tersendiri dalam menyampaikan pesan. video dapat memberikan stimulus terhadap pandangan dan pendengaran dengan memegang prinsip psikomotor, behavior, dan kognitif. dengan demikian seseorang dapat menerima informasi melalui penglihatan, dan pendengaran, sehingga informasi yang disampaikan dapat diterima dengan maksimal, dan akhirnya dapat n mean rank sum of ranks posttest-pretest postest pretest negative ranks 0a 0,00 0,00 positive ranks 28b 14,50 406,00 ties 0c z -4,655b total 28 asymp. sig 0,000 a. postest < pretest b. postest > pretest c. postest = pretest sumber: data primer 2018 tabel 3 uji wilcoxon 106 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 101–106 mengaplikasikan perilaku cuci tangan dengan baik dan benar (sadiman, 2012). pada usia anak-anak dalam menyampaikan pesan membutuhkan media yang tepat. anak usia sekolah suka berimajinasi, maka salah satu media yang tepat yaitu media audio visual. media audio visual merupakan tayangan gambar bergerak yang disertai dengan suara salah satunya yaitu video. kemampuan video melukiskan gambar hidup dan suara memberikan daya tarik tersendiri. video dapat menyajikan informasi, memaparkan proses, menjelaskan konsep konsep yang rumit, mengajarkan keterampilan, menyingkat atau memperpanjang waktu, dan mempengaruhi sikap. media video ini selain untuk media hiburan dan media komunikasi juga dapat digunakan sebagai media edukasi yang mudah dipahami masyarakat dari anak-anak hingga orang tua (prastowo, 2012). kesimpulan dan saran kesimpulan kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan media pendidikan kesehatan menggunakan video meningkatkan perilaku cuci tangan pada santri tpa masjid awalulmu’minin sembung. saran perlu dilakukan tindak lanjut dari hasil penelitian ini untuk diikuti secara prospektif terkait upaya pengenalan sejak dini perilaku cuci tangan terhadap kebiasaan individu dalam melakukan cuci tangan dengan baik dan benar. daftar pustaka aeni, q., beniarti, f., & warsito, b. e. (2015). pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pemutaran video tentang phbs cuci tangan terhadap pengetahuan dan sikap. jurnal keperawatan, 7(2), 1–5.https://doi.org/10.32583/keperawatan.7.2. 2015.1-5 ashar, a. h., utoyo, b., & agina, p. (2017). hubungan pengetahuan tentang cuci tangan dengan sikap cuci tangan pada anak di sdn 2 rogodono kecamatan buayan kabupaten kebumen. stikes muhammadiyah gombong. retrieved from http:// elib.stikesmuhgombong.ac.id/62/ dayakisni, t., & hudaniah. (2006). psikologi sosial. departemen agama: pendidikan agama islam (2004). jakarta: proyek emis. departemen kesehatan ri: buku saku pelaksanaan phbs bagi masyarakat di wilayah kecamatan (2008). jakarta. gobel, f. a. (2008). masalah kesehatan anak usia sekol a h. ret r ieved from h tt p: / /yan ti gobel . wordpress.com/2009/03/16/masalah-kesehatanhendra. (2007). permasalahan umum kesehatan anak usia sekolah. jakarta: rineka cipta. hr. ad-dailamy (abd. wadud, 2011: 60). (n.d.). hr. tirmidzi. (abd. wadud, 2011: 62). (n.d.). notoatmodjo, s. (2005). promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. (2010). promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. nurseto, t. (2011). membuat media pembelajaran yang menarik. jurnal ekonomi dan pendidikan, 8(1). pauzan, & al fatih. (2017). hubungan pengetahuan dengan perilaku cuci tangan siswa di sekolah dasar negeri cicadas 2 kota bandung. jurnal keperawatan bsi, 5(1). retrieved from https:// ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jk/article/view/ 1458 prastowo, a. (2012). panduan kreatif membuat bahan ajar inovatif. jakarta: diva press. proverawati, r. (2012). perilaku hidup bersih dan sehat. yogyakarta: nuha medika. rachmawati, f., & putri, h. (2016). pengaruh penyuluhan te ntang cuci tangan de ngan me dia video terhadap penerapan praktik cuci tangan di sd negeri nogotirto yogyakarta. universitas aisyiah yogyakarta. sadiman, a. s. (2012). media pendidikan, pengertian pengembangan dan pemanfaatan. jakarta: raja grafindo persada. septiananingrum, mulyani, & achmadi. (2015). pengaruh video dan leaflet cuci tangan terhadap pengetahuan cuci tangan anak sd di kota yogyakarta 2015. 44 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 044–050 44 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan antara prestasi praktikum laboratorium dengan pencapaian target kompetensi praktek klinik kdpk mahasiswa tingkat i d3 kebidanan ika agustina program studi d3 kebidanan stikes patria husada blitar, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 29/01/2018 disetujui, 05/03/2019 dipublikasi, 01/04/2019 kata kunci: praktek, laboratorium, kompetensi abstrak praktek di laboratorium sangatlah diperlukan dalam menunjang prestasi praktek laboratorium.adanya penurunan antara prestasi praktek laboratorium dengan pencapaian target kompetensi kdpk sehingga menyebabkan rendahnya pencapaian target kompetensi praktek klinik kdpk yang disebabkan rendahnya kemampuan mahasiswa karena mahasiswa kurang latihan pada saat di laboratorium pada waktu laboratorium skill. rancangan penelitian adalah analitik korelasional dengan populasi adalah mahasiswa sebanyak 40 mahasiswa dengan menggunakan teknik total sampling. untuk variabel independen adalah prestasi praktek laboratorium, variabel dependen yaitu pencapaian target kompetensi praktek klinik kdpk.pengukuran data menggunakan lembar check list dan rekapan perolehan target kemudian hasilnya dianalisa dengan menggunakan mann whitney. hasil yg didapatkan dari penelitian ini prestasi praktek laboratorium sebagian besar adalah nilai ab (42,5%) sedangkan pencapaian target kompetensi praktek klinik kdpk sebagian besar target terpenuhi sebesar (90%). diketahui nilai mann whitney p = 0,731 maka nilai ini lebih dari  = 0,05. hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara prestasi praktek laboratorium dengan pencapaian target kompetensi kdpk mahasiswa tingkat i kebidanan d3. dengan adanya penelitian ini diharapkan mahasiswa terus melatih keterampilannya untuk mempersiapkan praktek klinik selanjutnya. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes patria husada, blitar jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: ikapatria45@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p044–050 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 45agustina, hubungan antara prestasi praktikum laboratorium... abstract practice in the laboratory is needed in order to support the achievement of laboratory practice. the decrease of the achievement in laboratory practice and the achievement of kdpk competency target causes its low practicing competency target attainment reverential kdpk clinic its low college student ability because students are lack in training on the laboratory in laboratory skill schdule. analytic observational correlational with population was 40 college students by using of total samplings technique. the independent variable was laboratory practicing achievement, while the dependent variable was practicing interest target attainment kdpk’s clinic. the data measurement used check list’s sheet and target sheet then analysed by mann whitney. the result showed laboratories practicing achievement a large part be appreciative ab (42,5% meanwhile practicing competency target attainments kdpk’s clinics a considerable part accomplished targets as p as 90%. known by point mann whitney p = 0,731 therefore this point more than  = 0,05. there was no corelation between laboratory practicum achievements and the achievements of kdpk clinical practice competence target of midwifery vocational school students. this research is expected that college student practice its skill to get succeed in clinical practice. the correlationof laboratory practicum achievements and achievements of kdpk clinical practice competence target of midwifery vocational school students article information history article: received, 29/01/2018 accepted, 05/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: practice, laboratory, competency 46 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 044–050 pendahuluan program pendidikan diploma iii kebidanan adalah suatu pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan seorang bidan yang professional. proses pendidikan dilaksanakan melalui 2 tahapan akademik yang dilaksanakan di dalam kelas (melalui teori pembelajaran) dan di dalam laboratorium / lahan praktik klinik. sebelum mahasiswa melaksanakan praktik klinik di lahan praktik, mahasiswa diberikan kesempatan untuk mencoba dan mengembangkan dalam kemampuan kognitif, afektif dan keterampilan motorik yang telah diperoleh di kelas melalui pembelajaran laboratorium klinik. sebagai syarat untuk dapat melaksanakan pembelajaran laboratorium di rs, maka mahasiswa wajib mengikuti laboratorium skill dan akan menunjang dapat mengikuti uji kompetensi dalam laboratorium keterampilan dasar praktek klinik yang dilaksanakan di laboratorim institusi (dalam uhap i). tujuannya setelah mengikuti program pembelajaran laboratorium skill diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan keterampilan dasar praktek klinik sesuai dengan teori, konsep dan sesuai dengan prosedur kerja yang benar (stikes phb, 2011). berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada mahasiswa d iii kebidanan stikes phb semester 2 tahun (2011) yang lalu didapatkan data bahwa dari 42 mahasiswa, berdasarkan dari nilai laboratorium mahasiswa dengan nilai a mendapatkan hasil 40% dan mahasiswa dengan nilai ab 60%. sedangkan berdasarkan pencapaian target kompetensi kdpk adalah target terpenuhi 95% dan target yang tidak terpenuhi 5%. rendahnya pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk yang diharapkan secara mikro mengindikasikan rendahnya kemampuan mahasiswa, secara makro merupakan mahasiswa kurang latihan pada saat di laboratorium pada waktu laboratorium skill. faktor yang berperan dalam pencapaian kompetensi mahasiswa yaitu perbedaan persepsi tentang pembelajaran praktik diantara pembimbing institusi dan lahan praktek, jumlah pembimbing klinik belum memadai baik kuantitas maupun kualitasnya dan perubahan status lahan praktek dari pemerintah menjadi perusahaan jawatan serta bertambahnya jumlah institusi diknakes yang mempengaruhi ketersediaan lahan praktek (pusdiknakes, 2005). mahasiswa masih belum sepenuhnya siap untuk terjun ke lapangan, karena praktik klinik ini merupakan praktik pertama yang langsung terjun ke pasien dan mahasiswa masih ada perasaan takut atau tidak percaya diri saat melakukan perasat dan mahasiswa kurang latihan pada saat di laboratorium pada waktu laboratorium skill. bidan sebagai profesi perlu untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya dengan dikembangkannya berbagai metode pembelajaran salah satunya adalah dengan adanya mata kuliah ketrampilan dasar praktik klinik (kdpk) dalam kurikulum pendidikan diploma iii kebidanan (silabus kdpk, 2011). penilaian pencapaian kompetensi pembelajaran dilakukan untuk menilai aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap dengan menggunakan standart kelulusan yang akurat dan konsisten (pusdiknakes, 2005).pencapaian kompetensi kdpk yang diharapkan adalah 70 % dari seluruh kompetensi yang harus dicapai.namun, seringkali mahasiswa pada akhir praktek tidak mampu memenuhi 70 % pencapaian kompetensi keseluruhan karena beberapa faktor. mahasiswa yang tidak mampu memenuhi 70 % pencapaian kompetensi dinyatakan tidak lulus dan harus melakukan remedial atau mengulang praktek demi pencapaian kompetensi. masih tingginya angka kematian ibu (aki) di indoneisa sebanyak 248 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (akb) sebanyak 34 per 1000 kelahiran hidup. aki merupakan barometer pelayanan kesehatan ibu di suatu negara, sehingga jika aki masih tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik.bidan merupakan tenaga kesehatan terdepan dalam memberikan peyananan kesehatan ibu dan anak di masyarakat sehingga dituntut untuk memiliki kompetensi dalam memberikan asuhan yang terbaik dan berkualitas termasuk dalam memberikan penanganan pra-rumah sakit terhadap kasus kegawat-daruratan yang terjadi.dan sudah seyogyanya para bidan serta calon bidan giat menambah dan memperbaharui pengetahuan serta ketrampilan mereka (dina, 2012). berdasarkan fenomena di atas bahwa rendahnya kompetensi mahasiswa tahun 2011 yang sebagian besar disebabkan oleh kurang latihan pada saat di laboratorium pada waktu laboratorium skill sehingga dapat mengakibatkan kegagalan mahasiswa dalam pencapaian kompetensi pkk. peneliti berharap daapat menerapkan teori dan praktik di lapangan mengenai prestasi praktikum laboratorium dan pencapaian target praktik klinik kdpk, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara prestasi praktikum laboratorium dengan pencapaian target kompetensi praktek klinik kdpk mahasiswa tingkat i kebidanan d3. 47agustina, hubungan antara prestasi praktikum laboratorium... bahan dan metode penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran dari prestasi praktikum laboratorium dengan pencapaian target kompetensi pada saat yang bersamaan (sekali waktu). berdasarkan jenis data yang digunakan, penelitian ini menggunakan data sekunder. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat 1 kebidanan d3 dengan jumlah 40 mahasiswa. pada penelitian ini menggunakan teknik dengan cara total sampling. instrumen yang digunakan pada prestasi praktikum laboratorium adalah hasil dari penilaian pembimbing laboratorium skill kdpk melalui checklist dan instrumen pada pencapaian target kompetensi adalah hasil dari rekapan daftar perolehan target oleh pjmk praktik klinik kdpk. untuk mempermudah mengukur variabel penelitian, peneliti menggunakan cheklist yang berisikan tentang parameter yang diteliti.uji statistik yang digunakan adalah menggunakan metode mann whitney yaitu uji statistik untuk mengetahui signifikansi perbedaan antara dua kelompok independen dimana datanya berskala nominal dan ordinal. hasil penelitian data umum data umum meliputi asal pendidikan, usia dan motivasi masuk kuliah. data khusus hasil prestasi praktikum laboratorium dan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk mahasiswa tingkat 1 kebidanan d3 stikes patria husada blitar. no pendidikan f % 1 smu 18 45 2 smk 10 25 3 man 12 30 jumlah 40 100 tabel 1 karakteristik responden berdasarkan asal pendidikan berdasarkan usia no usia f % 1 18 – 21 tahun 34 85 2 > 21 tahun 6 15 jumlah 40 100 tabel 2 karakteristik responden berdasarkan umur tabel 3 karakteristik responden berdasarkan motivasi masuk kuliah no motivasi f % 1 keinginan sendiri 36 90 2 keinginan orang tua 4 10 3 saran dari teman / saudara 0 0 jumlah 40 100 no prestasi f % 1 nilai a 6 15 2 nilai ab 20 50 3 nilai b 12 30 4 nilai bc 2 5 jumlah 40 100 tabel 4 karakteristik responden berdasarkan prestasi praktikum laboratorium no target f % 1 target terpenuhi (70%) 36 90 2 target tidak terpenuhi (< 70%) 4 15 jumlah 40 100 tabel 5 karakteristik responden berdasarkan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdk prestasi praktikum laboratorium dengan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk. prestasi praktikum pencapaian target kompetensi total laboratorium terpenuhi tidak terpenuhi f % f % f % nilai a 6 15 0 0 6 15 nilai ab 17 42,5 3 7,5 20 20 nilai b 12 30 0 0 12 30 nilai bc 1 2,5 1 2,5 2 5 total 36 90 4 0 40 100 tabel 6 pestasi praktikum laboratorium dengan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdk 48 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 044–050 berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar prestasi praktikum laboratorium mendapatkan nilai ab terdapat 17 responden (42,5%) dengan 3 responden (7,5) pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk tidak terpenuhi. nilai b terdapat 12 responden (12%) dan nilai bc 1 responden (2,5%) dengan 1 responden (2,5%) pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk tidak terpenuhi. pembahasan prestasi praktikum laboratorium mahasiswa tingkat i kebidanan d3 hasil analisa interpretasi data yang dilakukan pada 40 mahasiswa di stikes patria husada blitar menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan nilai b sebanyak 12 responden (30%) dan mendapatkan nilai ab sebanyak 20 responden (50%), hal ini dipengaruhi oleh asal pendidikan, untuk mahasiswa yang berasal dari smu sebanyak 18 mahasiswa (45%) dan man sebanyak 12 mahasiswa (30%) karena pada saat smu dan man mahasiswa pernah mengenal pelajaran ipa (ilmu pengetahuan alam), dengan dasar kejururuan pelajaran ipa setidaknya mahasiswa masuk di sekolah kebidanan bisa memahami mata kuliah di kebidanan d3, sedangkan untuk umur sebagian besar 18-21 tahun sebanyak 34 mahasiswa (85%), hal ini ditunjang umur responden rentang 18-21 tahun merupakan masa berada di akademi dan perguruan tinggi, sehingga dapat mempermudah menerima ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajar mengajar dan untuk motivasi masuk d3kebidanan sebagian besar dari keinginan sendiri 36 mahasiswa (90%), dengan keinginan sendiri masuk d3 kebidanan mahasiswa lebih bersemangat dalam kegiatan proses perkuliahan karena tanpa ada unsur paksaan. proses pembelajaran pada saat laboratorium skill dilaksanakan berdasarkan kompetensi yang akan dicapai, saat pembelajaran laboratorium skill ini dosen memberikan bimbingan pada mahasiswa dalam melakukan perasat (keterampilan) dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan secara langsung keterampilan yang sesuai dari teori yang telah didapat pada saat perkuliahan dan mengaplikasikan materi lainnya yang mendukung pembelajaran laboratorium skill, mahasiswa juga diberi kesempatan untuk berlatih sendiri dan harus lebih aktif dalam mengasah keterampilannya karena sebagai bekal pada saat praktik klinik. pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk mahasiswa tingat i kebidanan d3 hasil analisa dan interpretasi data yang dilakukan pada 40 mahasiswa di stikes patria husada blitar menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk terpenuhi sebanyak 36 mahasiswa (90%). hal ini dipengaruhi oleh kesamaan persepsi tentang pembelajaran klinik diantara pembimbing institusi dan pembimbing lahan, jumlah ci lahan praktik yang sudah memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, banyaknya lahan praktik yang digunakan pada saat praktik klinik kdpk yaitu terdapat tiga rumah sakit yang digunakan sebagai tempat praktek, dimana dari masing-masing rumah sakit terbagi empat ruangan. pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk juga dipengaruhi oleh keaktifan mahasiswa pada saat praktik klinik dan tingginya motivasi untuk dapat menerapkan kompetensi yang telah dipelajari di institusi. disamping itu dengan supervisi yang dilakukan oleh pembimbing institusi setiap satu minggu sekali bisa digunakan sebagai kontrol perolehan pencapaian target kompetensi oleh mahasiswa, sehingga pencapaian target kompetensi bisa terpenuhi. hubungan antara prestasi praktikum laboratorium dengan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk mahasiswa tingat i kebidanan d3 dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa untuk prestasi praktikum laboratorium dari 40 responden sebagian besar responden (mahasiswa) mendapat nilai ab (50%) dan untuk pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk dari 40 responden sebagian besar targetnya terpenuhi yaitu sebanyak 36 responden (90%).setelah dilakukan analisa data dengan menggunakan spss diketahui p-value 0,731. karena nilai p-value (0,731) > taraf nyata (=0,05), maka ho diterima dan h1 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara prestasi praktikum laboratorium dengan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk mahasiswa tingkat i kebidanan d3 stikes patria husada blitar. prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok (djamarah, 1994).prestasi yang didapatkan mahasiswa dari pelajaran yang 49agustina, hubungan antara prestasi praktikum laboratorium... mereka terima pada jenjang pendidikan sebelumnya tersebut merupakan pengetahuan awal bagi mahasiswa sebelum mengikuti pendidikan d3 kebidanan, karena pendidikan d3 kebidanan erat kaitannya dengan pelajaran ipa baik pelajaran biologi, fisika maupun kimia, sehingga dapat membantu mahasiswa mempelajari materi kuliah di d3 kebidanan. faktor pendukung lainnya yaitu adanya fasilitas dan sarana yang berada di kampus sudah cukup memadai, mereka bisa belajar di laboratorium dengan segala sarana yang mendukung, membaca di perpustakaan maupun mengakses internet secara gratis. praktik klinik adalah kegiatan pembelajaran praktik dengan menggunakan target kompetensi yang harus dicapai mahasiswa pada situasi nyata sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan. pembelajaran praktik ini memberi kesempatan kepada mahasiswa mendapatkan pengalaman nyata dalam mencapai kompetensi yang dibutuhkan. dalam proses pembelajaran praktik mahasiswa mengembangkan tanggung jawab profesi, berfikir kritis, kreatifitas, hubungan personal dan bersosialisasi, pemahaman terhadap profesi dan mengaplikasikan teori ke dalam praktik klinik (novitasari, 2010). prestasi praktikum laboratorium tidak mempengaruhi pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk dikarenakan pada waktu praktik klinik mahasiswa dalam memperoleh target kompetensi berdasarkan dengan ada dan tidaknya pasien di lahan praktik. praktek klinik ini dilaksanakan selama empat minggu yang dilaksanakan di tiga rumah sakit, setiap sumah sakit terbagi empat ruangan yaitu ruang ugd, ruang dalam, ruang bedah dan ruang anak, masing-masing ruangan ini mahasiswa terbagi dua sampai tiga mahasiswa dan mahasiswa masih dibagi lagi per shift yaitu shift pagi, siang dan malam, untuk masing-masing shift terdapat satu mahasiswa maksimal dua mahasiswa, dengan pembagian shift yang rata ini memberikan kesempatan mahasiswa untuk memperoleh target dan melakukan keterampilannya dengan leluasa karena tidak berebut sehingga tidak kekurangan dalam mencari pasien untuk memperoleh keterampilan di lahan praktik. faktor lainnya adalah keaktifan dari mahasiswa terhadap pembimbing lahan dan pasien, juga dosen pada saat dilakukan supervisi, sehingga mahasiswa akan memenuhi target kompetensi sedikit demi sedikit sampai terpenuhi (novitasari, 2010). walaupun prestasi praktikum laboratorium tidak mempengaruhi perolehan target praktik klinik, mahasiswa diharapkan untuk tetap melakukan latihan pada saat laboratorium skill saat di perkuliahan, dengan seringnya latihan maka mahasiswa sudah matang ketrampilannya pada waktu melakukan praktik klinik sehingga dalam melaksanakan perasat dan berhubungan langsung dengan pasien mahasiswa sudah terlatih. keaktifan mahasiswa di lahan juga tetap diutamakan karena dengan diam dan menanti panggilan dari pembimbing lahan tidak membuatmahasiswa memperoleh pengalaman yang banyak karena di tempat praktek merupakan gudang pengalaman nyata yang banyak dan bermacam-macam. diantaranya pengalaman ttv, injeksi, memasang infus serta pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang lain. kesimpulan dan saran kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: prestasi praktikum laboratorium mahasiswa tingkat i kebidanan d3 stikes patria husada blitar adalah setengah dari 40 responden yaitu 20 responden mendapatkan nilai ab (50%), pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk mahasiswa tingkat i kebidanan d3 stikes patria husada blitar adalah hampir seluruh responden targetnya terpenuhi yaitu 36 responden (90%) dan dari hasil analisa menggunakan uji statistikmann whitney didapatkanp value = 0,731>  = 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara prestasi praktikum laboratorium dan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk mahasiswa tingkat i kebidanan d3 stikes patria husada blitar. saran saran pada penelitian ini adalah sebagai berikut: bagi peneliti penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang prestasi praktikum laboratorium dan pencapaian target kompetensi praktik klinik kdpk, dan bagi respondenuntuk mempersiapkan diri dalam menghadapi praktik klinik melalui peningkatan pengetahuan, skill dan sikap secara konsep dan teori, menjalin komunikasi yang baik dengan pembimbing institusi dan pembimbing praktik serta lebih aktif lagi dalam laboratorium skill guna mempersiapkan praktik klinik selanjutnya sehingga mahasiswa akan dapat meningkatkan pencapaian kompetensinya. 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 044–050 daftar pustaka dina. (2012). seminar nasional kebidanan upaya menurunkan aki dan akb di indonesia “prediksi dan tatalaksana kegawat daruratan kebidanan pra-rumah sakit tanggal 19 februari 2012 arikunto, suharsimi. (2006). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. edisi revisi v, jakarta : rineka cipta. djamarah.(1994). prestasi belajar dan kompetensi guru. surabaya: usaha nasional. novitasari, f. (2010). praktek klinik kebidanan dalam upaya pencapaian kompetensi mahasiswa pada asuhan kebidanan ibu bersalin. universitas sebelas maret. pusdiknakes. (2005). buku panduan pendidikan kebidanan. jakarta: pusdiknakes. stikes patria husada blitar. (2011). proposal laboratorium skill mahasiswa reguler semester 3. blitar. stikes patria husada blitar. (2011). silabus mata kuliah kdpk.blitar. 1ispriantari, priasmoro, mashitah, the quality of life of adolescents with... 1 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the quality of life of adolescents with type 1 diabetes in malang aloysia ispriantari1, dian pitaloka priasmoro2, musthika wida mashitah3 1,2,3faculty of nursing, poltekkes rs dr. soepraoen malang article information article history: received, 05/01/2019 accepted, 19/02/2019 published, 01/04/2019 keywords: adolescents, quality of life, type 1 diabetes abstract type 1 diabetes is a disease that can’t be cured but the quality of life of the patients can be maintained as much as possible. this study aimed to analyze the quality of life of adolescents with type 1 diabetes in malang. this study used cross sectional design. the sampling technique used total sampling by taking all adolescents (10-19 years) with type 1 diabetes who are still active in ikadar malang which were 24 adolescents. the quality of life of adolescents with type 1 diabetes was measured by the quality of life for youth questionnaire. the result showed that the total score of the quality of life of adolescents with type 1 diabetes was 74.4±11.4 with the highest score was the impact on activities (92.3±12.4) and the lowest score was the parent issues (57.3±29.2). higher score quality of life was in boys (75.5±12.9), age 10-14 years (75.3±11.7), disease duration 1-5 years (83.0±3.5) and last hba1c was <7.5% (83.3±4.2). healthcare providers especially nurse are expected to keep monitoring and improving the quality of life of adolescents with type 1 diabetes. correspondence address: poltekkes rs dr. soepraoen, malangeast java, indonesia p-issn : 2355-052x email: aloysia.tari@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i1.art.p001–005 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2019 jurnal ners dan kebidanan https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 001–005 introduction diabetes occurs when there is lack of insulin or the body’s cells unable to respond insulin and caused ra ised levels of glucose in the blood (defronzo, ferrannini, zimmet, & alberti, 2015). based on the latest estimate of international diabetes federation (idf), there were 450 million people living with diabetes in the world in 2017. in 2045, it is estimated that the number will increase to 691 million people. there are three main categories of diabetes which are type 1, type 2 and gestational diabetes. type 1 diabetes is a result from autoimmune reaction when the body produces none to very little insulin and more common in children and adolescents (idf, 2017). the number of children and adolescents with type 1 diabetes (0-19 years) was 1,106,500 and ther e wer e 132, 600 newly dia gnosed ca ses happened every year (idf, 2017). in indonesia, the number of children and adolescents with type 1 diabetes is still unclear. there were 825 children with type 1 diabetes in indonesian pediatric society’ registration during 1991-2012. incidence rate of type 1 diabetes from 2000 to 2010 is increase form 0.0038 per 100.000 populations to 0.02819 per 100.000 populations (pulungan, 2013). in order to survive, people with type 1 diabetes need daily insulin injection, regular blood glucose monitoring, healthy diet and maintenance a good lifestyle (idf, 2017). disease and its treatment which affect the functional, psychological and social health and well-being of person with diabetes are defined as quality of life. quality of life is an individual’s perception of their position in life and the cultural context and value system in which they live in relation to individual goals, expectations, standards and concerns (who, 2014). adolescence is a transitional period from children to adulthood where physical, social and psychologica l cha nges occur. who defines adolescence as a period of human growth and development that occurs after childhood and before adulthood, beginning at age 10 to 19 years (who, 2016). they experience physical changes that lead to increased insulin resistance so they need a change of insulin dose that leads to more complicated selfmanagement due to fluctuating blood sugar (keough, sullivan-bolyai, crawford, schilling, & dixon, 2011). in malang, the second biggest city in province east java, most of the children with diabetes join a group called ikadar (ikatan keluarga diabetesi ana k da n rema ja/association of child and adolescent’s family with diabetes). the aim of this group is to support children and their family within diabetes management, physic and psychologic support. this group has 82 children and mostly has type 1 diabetes. the international society for pediatric and adolescent diabetes (ispad) explains that the goals of diabetes management are optimal health, social happiness and have a good quality of life (swift, 2009). based on the facts above, assessing quality of life is important for health professional to planning management to improve or maintain quality of life adolescents with type 1 diabetes. methods this study used cross sectional design. the study was conducted in ikadar malang in july 2017 after received ethical approval recommendation from the ethic committee of polytechnic of health the ministry of health malang (reg: 031/ kepk-polkesma/2017) and written informed consent was obtained from parents. this study was using total sampling technique with the criteria of respondents were adolescents (10-19 years) who joined and still active in ikadar malang. the candidate of respondents data were provided by the committee of ikadar malang. there were 24 adolescents who still active in ikadar ma la ng a nd da ta collection wa s conducted by door to door. a structured interviewing questionnaire was used to collecting demographic data (gender and age) and diabetes characteristics (disease duration and latest glycated hemoglobin/hba1c). the quality of life adolescents with type 1 diabetes was measured using the quality of life for youth questionnaire. the quality of life for youth questionnaire is a revision of 52 items of the diabetes quality of life for youth (skinner, hoey, mcgee, & skovlund, 2006). the quality of life for youth questionnaire consists of 21 items and divided into sections: impact of symptoms relating to diabetes (3 items), impact of treatment (3 items), impact on diabetes (5 items), parent issues (3 items), worries about diabetes (7 items). for each item was scored by likert scale 0-4 (0 representing ‘all the time’ and 4 ‘all never’). then the score every section and total quality of life were calculated to a range 0-100 and categorized as: poor <60, fair 60-80 and good >80. 3ispriantari, priasmoro, mashitah, the quality of life of adolescents with... the validity and reliability of this questionnaire were tested before being used with pea rson correlation product moment with r count> r table df = (10-2) that is 0.549 and reliability of chronbach alpha 0. 834> 0. 6. it ca n be concluded the instrument was valid and reliable. statistical analysis was performed with spps for windows (version 23). the characteristics of respondents were presented in the form of frequency distribution and percentage. the score of quality of life were tabulated and presented in the form of mean and standard deviation. result the characteristics of respondents as shown in table 1 below. table (2) shows the quality of life adolescents with type 1 diabetes were fair with total score 74.4±11.4. most of the aspects quality of life was fair except the impact on activities that good (92.3±12. 4) and the pa rent issues that poor (57.3±29.2). characteristics value % gender boy 8 33 girl 16 67 age (year) 10-14 11 46 15-19 13 54 disease duration (year) < 1 3 12 1-5 5 21 > 5 16 67 last hba1c (%) < 7.5 3 8 7.5-9 4 13 > 9 17 79 table 1 the characteristics of respondents table (1) shows most of the respondents were girl (66.7%) with most of the age were 15-19 years and nearly half (33%) had primary high school of education level. most of the disease duration’ respondents were > 5 years and last hba1c were > 9%. aspects score impact of symptoms relating to diabetes 72.6 ± 15.4 impact of treatment 75.4 ± 14.8 impact on activities 92.3 ± 12.4 parent issues 57.3 ± 29.2 worries about diabetes 69.4 ± 20.4 total score 74.4 ± 11.4 table 2 quality of life characteristics score gender boy 75.5 ± 12.9 girl 73.9 ± 11.0 age (year) 10-14 75.3 ± 11.7 15-19 73.7 ± 11.6 disease duration (year) < 1 72.0 ± 17.3 1-5 83.0 ± 3.5 > 5 72.2 ± 11.2 last hba1c (%) < 7.5 83.3 ± 4.2 7.5-9 78.8 ± 5.9 > 9 71.8 ± 12.3 table 3 characteristics of respondents and quality of life table (3) shows that higher score quality of life is in boy (75. 5±12. 9), age 10-14 year s (75.3±11.7), disease duration 1-5 years (83.0±3.5) and last hba1c was <7.5% (83.3±4.2). discussion the quality of life is defined as the individual’s perception of his position in life, in relation to the local cultural and value systems and relates to his idea ls, expecta tions a nd views, which a r e multidimensional measurements, not limited to physical or psychological effects of treatment (kalyva, malakonaki, eiser, & mamoulakis, 2011) delamater stated that diabetes can affect both psychosocial and neurocognitive functions that potentially affect the quality of life of adolescents and entire families (monazea, talha, el-shereef, elmegeed, & eltony, 2012). children and adolescents with type 1 diabetes have a lower quality of life than children and adolescents who do not have diabetes (faulkner & chang, 2007). based on this study, the quality of life in adolescents with type 1 diabetes in malang were fair (74.4±11.4). this result was in line with abolfotouh, kamal, el-bourgy, and mohamed (2011) 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 001–005 that the same result that adolescents with type 1 diabetes in alexandria have fair quality of life (76.4±9.8). quality of life of adolescents with type 1 diabetes in every aspects quality of life also can be categorized as fair and good except the parent issues. the parent issues aspect’s score was 57.3±29.2 which categorized as poor. this poor quality could be a result the feeling of adolescents that their parents are too protective, worry too much and even act like diabetes is the parent’s disease. erikson stated the psychosocial development during adolescence develops into increased selfresponsibility and increased self-reliance (zinn, 2012). according to gardiner, during this period, adolescents develop their self-identity, choose their lifestyle and gradually part ways from their parents. they are start to think that their parents are too much interfere their life (zinn, 2012). in this study, it was found that girl respondents had lower score in quality of life but the difference was slight (73.9±11.0 and 75.5±12.9) and considered as not significant. this result was in line with the study of abolfotouh et al. (2011) and monazea et al. (2012) which stated that the difference quality of life between boy and girl respondents was not significant this study also shown the difference between score quality of life in younger adolescents and older adolescents was slight (75.3±11.7 and 73.7±11.6). this result was in line with the study of vanelli, chiarelli, chiari, and tumini (2003) and laffel et al. (2003) which stated that there was no association between age and quality of life in adolescents with type 1 diabetes. this study reported that respondents with disease duration 1-5 years had more score quality of life than the respondents who had disease duration less than a year and more than 5 years. it was in line with the study of monazea et al. (2012). the less disease duration (< 1 years), the adolescents with type 1 diabetes still adapt with their condition and had remission period which can decrease the quality of life (costa & vieira, 2015). the longer disease duration associated with the age when adolescents will try to being accepted by their peers a nd do not wa nt to per for m the dia betes management in front of their peers which caused they have more diabetes complication and lower quality of life (zinn, 2012). hba1c as metabolic control become indicator to evaluate the quality of diabetes treatment and also the quality of life. target level of hba1c based on ispad and idf (idai & wdf, 2015) is optimal (<7.5%), sub optimal (7-5-9%) and high risk (>9%). good metabolic control was associated with better quality of life in adolescents with type 1 diabetes in (monazea et al., 2012) and was in line with the result of this study. this study found that respondents with optimal hba1c had the best score of quality of life (83.3±4.2) and respondents with high risk hba1c had the worst score of quality of life (71.8±12.3). conclusion and suggestion conclusion quality of life adolescents with type 1 diabetes in malang was fair (74.4±11.4). the aspect of quality of life impact in activities was good (92.3±12.4) and the highest one. the aspect of quality of life impact of symptoms relating to diabetes, impact on treatment and worries about dia betes wer e fa ir (72. 6±15. 4, 75. 4±14. 8, 69.4±20.4). and the aspect of quality of life parent issues was poor (57.3±29.2). sugestion healthcare providers especially nurse are expected to enhance the quality of life of adolescents with type 1 diabetes and help adolescents with their parents to make a good communication in diabetes ma nagement. fur ther resea rch is needed to examine other factors related to the quality of life of adolescents with type 1 diabetes by using a larger sample. references abolfotouh, m. a., kamal, m. m., el-bourgy, m. d., & mohamed, s. g. (2011). quality of life and glycemic control in adolescents with type 1 diabetes and the impact of an education intervention. int j gen med, 4, 141-152. doi: 10.2147/ijgm.s16951 costa, l. m. f. c. d., & vieira, s. e. (2015). quality of life of adolescents with type 1 diabetes. clinics (sao paulo, brazil), 70(3), 173-179. doi: 10.6061/clinics/ 2015(03)04 defronzo, r. a., ferrannini, e., zimmet, p., & alberti, g. (2015). international textbook of diabetes mellitus: wiley. faulkner, m. s., & chang, l.-i. (2007). family influence on self-care, quality of life, and metabolic control in school-age children and adolescents with type 1 diabetes. journal of pediatric nursing, 22(1), 59 5ispriantari, priasmoro, mashitah, the quality of life of adolescents with... 68. doi: https://doi.org/10.1016/j.pedn.2006.02.008 idai, & wdf. (2015). konsensus nasional pengelolaan dm tipe-1. jakarta: badan penerbit ikatan dokter anak indonesia. idf. (2017). idf diabetes atlas, 8th edn. brussels, belgium: international diabetes federation. kalyva, e., malakonaki, e., eiser, c., & mamoulakis, d. (2011). health-related quality of life (hrqol) of children with type 1 diabetes mellitus (t1dm): self and parental perceptions. pediatric diabetes, 12(1), 34-40. doi: 10.1111/j.1399-5448.2010.00653.x keough, l., sullivan-bolyai, s., crawford, s., schilling, l., & dixon, j. (2011). self-management of type 1 diabetes across adolescence. diabetes educ, 37(4), 486-500. doi: 10.1177/0145721711406140 laffel, l. m., connell, a., vangsness, l., goebel-fabbri, a., mansfield, a., & anderson, b. j. (2003). general quality of life in youth with type 1 diabetes: relationship to patient management and diabetesspecific family conflict. diabetes care, 26 (11), 30673073. monazea, e., talha, s., el-shereef, e., el-megeed, h., & eltony, l. (2012). quality of life among adolescents with type i diabetes mellitus in assiut. med j cairo univ, 80(2). pulungan, a. (2013). increasing incidence of dm type 1 in indonesia. international journal of pediatric endocrinology, 2013(suppl 1), o12-o12. doi: 10.1186/1687-9856-2013-s1-o12 skinner, t., hoey, h., mcgee, h., & skovlund, s. (2006). a short form of the diabetes quality of life for youth questionnaire: exploratory and confirmatory analysis in a sample of 2,077 young people with type 1 diabetes mellitus (vol. 49). swift, p. g. (2009). diabetes education in children and adolescents. pediatr diabetes, 10 suppl 12, 51-57. doi: 10.1111/j.1399-5448.2009.00570.x vanelli, m., chiarelli, f., chiari, g., & tumini, s. (2003). relationship between metabolic control and quality of life in adolescents with type 1 diabetes. report from two italian centres for the management of diabetes in childhood (vol. 74 suppl 1). who. (2014). introducing the whoql instrumens. retrieved may 06, 2016, from http://www.who.int/ h ea l t h i n fo/ sur vey/ wh oqol -qua l i t yofl i fe/ en / index1.html who. (2016). adolescent development. retrieved may 03, 2016, fr om h t tp: / /www. wh o. in t / maternal_child_adolescent/topics/adolescence/ dev/en/ zinn, k. (2012). an exploration of diabetes self-care among older adolescents with type 1 diabetes: a focus group study. (dissertations (6 month embargo)). retrieved from http://ecommons.luc.edu/ luc_diss_6mos/10 (10) 173anwar, syahrul, pengaruh stigma masyarakat terhadap... 173 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh stigma masyarakat terhadap perilaku pasien kusta dalam mencari pengobatan: sebuah tinjauan sistematis nursanti anwar1, syahrul2 1,2fakultas keperawatan, universitas hasanuddin makassar, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 01/09/2018 disetujui, 14/03/2019 dipublikasi, 01/04/2019 kata kunci: stigma masyarakat, kusta, perilaku pengobatan abstrak indonesia menduduki urutan ketiga setelah india dan brazil dengan jumlah penderita kusta sebanyak 20.023 kasus. prevalensi ini akan terus meningkat karena adanya stigma yang berkembang dimasyarakat yang membuat penderita kusta malu untuk mencari pengobatan. sistematik review ini menggunakan sintesis artikel terkait dari empat database, yaitu : pubmed, google scholar, proquest, dan garuda, serta secondary search. sebanyak 8 studi terkait stigma masyarakat terhadap pasien kusta yang telah diuji kualitasnya dengan berpedoman pada prisma dan dilakukan skrining oleh 2 orang dengan menggunakan standar casp (critical appraisal skill program). lima studi yang diulas menjelaskan bahwa masyarakat memiliki stigma terhadap pasien kusta dimana pasien kusta tidak boleh bergaul atau kontak langsung dengan lingkungan sekitar sehingga mereka harus dikucilkan, dua studi menjelaskan bahwa pasien kusta memiliki perasaan malu, sedih, bingung, takut dan tidak berdaya menghadapi masyarakat. studi yang disertakan memberikan hasil yang sangat signifikan terhadap pola pengobatan pasien kusta terkait stigma masyarakat dimana terjadi penurunan minat pasien kusta untuk berobat dan mencari kesembuhan. perlu diberikan intervensi pendidikan kesehatan dan informasi tentang penyakit kusta baik kepada pasien maupun masyarakat, namun keterlibatan semua pihak/lintas sektor perlu dipertimbangkan. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas hasanuddin makassar – south sulawesi, indonesia p-issn : 2355-052x email: nursantianwar@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p173-181 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 173–181 abstract indonesia is the third after india and brazil with 20,023 cases of leprosy. this prevalence is potentially increase due to the negative stigma in the community that makes patients shy to seek treatment. this systematic review used the synthesis of related articles from four databases: pubmed, google scholar, proquest, and garuda, and secondary search. a total of 8 studies related to community stigma towards leprosy patients whose quality has been tested by referring to prisma and were screened by 2 authors using the casp (critical appraisal skill program) standard. the five studies described that people have a stigma towards leprosy patients where leprosy patients are not allowed to hang out or have direct contact with the surrounding environment so that they must be excluded, two studies explain that leprosy patients have feelings of shame, sadness, confusion, fear and helplessness against society . the included study provides very significant results on the treatment pattern of leprosy patients related to the stigma of the community in which there is a decrease in interest in leprosy patients to seek treatment and seek healing. health education interventions and information about leprosy need to be given to both patients and the community, but the involvement of all parties needs to be considered. effect of community stigma on leprosy patient’s behavior in seeking treatment: a systematic review article information history article: received, 01/09/2018 accepted, 14/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: community stigma, leprosy, treatment behavior 175anwar, syahrul, pengaruh stigma masyarakat terhadap... pendahuluan kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mycobacterium leprae, ditandai dengan sangat panjangnya masa inkubasi, kesulitan dalam mendeteksi tanda dan gejala. indonesia menduduki urutan ketiga setelah india dan brazil dengan jumlah penderita kusta sebanyak 20.023 kasus. pada tahun 2012 dilaporkan ada 18.994 kasus kusta baru di indonesia dan 2.131 penderita (11,2 %) diantaranya ditemukan sudah pada cacat tingkat 2, yaitu cacat yang kelihatan. sedangkan 2.191 penderita (11,5%) adalah anak-anak (riyanto, 2015). pada tahun 2015 prevalensi penderita kusta di indonesia sebanyak 0,78 per 1000 penduduk sehingga jumlah penderita yang dilaporkan sekitar 20.160 kasus. prevalensi ini akan terus meningkat karena adanya stigma yang berkembang dimasyarakat yang membuat penderita kusta malu untuk mencari pengobatan. dalam mendeteksi penyakit kusta perlu dipertimbangkan stigma yang terkait dengan diagnosis dan kesulitan dalam mendeteksi kusta asimptomatik, insiden dan prevalensi penyakit kusta itu sendiri (grimaud, 2012). menurut tsutsumi et al., (2007) kusta memiliki risiko komplikasi kecatatan fisik yang sangat tinggi baik permanen maupun komprehensif. cacat yang disebabkan oleh kusta ini membuat stigma negatif dari masyarakat dan diskriminasi bagi pasien kusta baik yang baru tertular maupun penderita kusta yang sudah sembuh. walaupun tidak ditemukan persentase adanya stigma, namun adanya stigma sebagai salah satu masalah psikososial yang dapat menimbulkan dampak negatif ditemukan pada studi-studi sebelumnya, yang dapat menghalangi pasien untuk mencari pertolongan konseling, mendapatkan pelayanan medis serta psikososial, serta mengambil langkah preventif untuk mencegah penularan pada orang lain (nurdin, 2013). menurut mankar, et al. (2011) kusta juga merupakan penyakit menular kronis yang apabila tidak diobati secara tepat dapat menyebabkan cacat fisik, psikologis dan sosial. cacat fisik yang ditimbulkan oleh kusta menyebabkan stigma yang berkembang dimasyarakat membuat pasien malu untuk mencari pengobatan yang tepat sehingga kualitas hidup orang dengan kusta menjadi menurun dan resiko penularan kusta semakin tinggi. namun, bukti terkini yang mengulas pengaruh stigma masyarakat terhadap pasien kusta masih sangat terbatas. oleh karena itu, studi ini mereview studi-studi sebelumnya yang melaporkan stigma masyarakat dan pengaruhnya terhadap pasien kusta. bahan dan metode studi sistematik review ini berpedoman pada prisma, yang terdiri dari 27 item. tahap awal yang dilakukan adalah melakukan pencarian literatur dengan menggunakan beberapa database yaitu: pubmed, google scholar, proquest, garuda dan secondary search. pada tahap kedua setelah dilakukan pencarian literatur, dua orang penulis melakukan screening mengenai kelayakan dari beberapa artikel yang ditemukan dengan menggunakan pedoma n casp (critical appraisal skill program). screening dilakukan untuk memilih artikel yang baik dan layak untuk dijadikan referensi review. screening terdiri dari judul, abstrak, tahun penelitian, dan metode yang digunakan. setelah melalui proses screening penulis menemukan 28 artikel yang layak untuk disintesis namun 20 artikel di antaranya dieksklusi karena tahun terbit lebih dari 10 tahun. alur pencarian dan pemilihan artikel ditunjukkan di diagram 1. kriteria inklusi studi yang diulas yaitu: populasi pasien kusta dewasa, studi yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir (2007-2017), studi kualitatif maupun kuantitatif, dan dipublikasikan menggunakan bahasa inggris atau bahasa indonesia. adapun kriteria eksklusi yaitu: pasien anak, artikel terbitan sebelum tahun 2007 dengan pertimbangan pada tahun 2006 telah dilakukan sistematik review tentang stigma masyarakat terhadap pasien kusta (van brakel, 2006). pencarian artikel dilakukan menggunakan empat database dan kemudian dilanjutkan dengan hand searching. keempat database itu adalah pubmed, google scholar, proquest, garuda. katakata kunci ya ng digunakan adala h: “ public perception or community stigma”, “patient kusta or leprosy patients or morbus hansen”, and “treatment or recovery” untuk memastikan artikel yang direview merupakan artikel yang berkualitas, dua penulis melakukan penilaian terhadap kualitas dari 8 artikel. penulis menggunakan pedoman prisma untuk protokol peninjauan serta pemilihan studi. pedoman prisma merupakan instrumen yang berdasarkan bukti item untuk pelaporan dalam tinjauan sistematis. tujuannya adalah membantu penulis meningkatkan kualitas pelaporan tinjauan sistematis yang mana terdiri dari 176 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 173–181 30 item daftar periksa dan melalui empat fase (moher et al., 2009). proses pemilihan artikel yang diulas terdiri dari 4 langkah yang ditampilkan pada diagram 1. dari semua basis data pencarian yang didapat digabungkan kemudian diidentifikasi duplikat dari studi yang sama akan dihapus (langkah 1 / identification). untuk langkah 2 penulis melakukan screening tahun publikasi dan artikel dengan full teks. langkah ke 3 (eligibility) penulis melakukan uji kelayakan sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. selanjutnya pada langkah ini penulis melakukan penilaian kualitas terhadap artikel yang telah diuji kelayakannya dengan menggunakan instrumen yang telah dijelaskan. langkah terakhir (included) adalah studi yang telah melewati proses tersebut di atas selanjutnya dilakukan ulasan sistematik. artikel yang teridentifikasi melalui pencarian database (n =241 ) sk ri ni ng se su ai in kl us i el ig ib il it as id en ti fi ka si tambahan artikel dari sumber yang lain (n =79 ) artikel yang duplikat dikeluarkan (n =63 ) artikel hasil skrining (n = 257 ) artikel yang dieksklusi (n = 229 ) artikel full-text yang telah dikaji untuk eligibilitas (n = 28 ) artikel full-text yang dieksklusi (n = 20) studi kualitatif dan kuantitatif yang masuk inklusi (n = 8) diagram 1 menyajikan diagram alur pencarian sistematis 177anwar, syahrul, pengaruh stigma masyarakat terhadap... hasil penelitian hasil pencarian pada diagram 1 menyajikan diagram alur pencarian sistematis. dari 257 judul artikel yang diidentifikasi ditemukan 28 artikel dengan teks penuh selanjutnya dinilai kualitas artikel dan akhirnya 8 artikel dilakukan ulasan sistematik. karakteristik studi yang disintesis penulis menganalisa 8 artikel yang telah di screening yaitu 5 penelitian kualitatif dan 3 penelitian kuantitatif yang dilakukan dibeberapa negara yaitu indonesia, india, brazil, nepal, dan bangladesh. dari 8 penelitian yang direview desain penelitian yang paling banyak digunakan adalah desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi (n=5), sedangkan penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional (n=3). sehubungan dengan tahun publikasi, artikel penelitian yang direview diterbitkan pada rentang tahun 2007 – 2017. semua sampel dalam penelitian ini adalah pasien kusta dan keluarga penderita kusta. gambaran dari 8 artikel yang diulas dirangkum dan hasilnya disampaikan pada tabel 1. brouwers et al., (2011) lusli et al., (2015) rao et al., (2008) quality of life, perceived stigma, activity and participation of people with leprosyrelated disabilities in south-east nepal dealing with stigma: experiences of persons affected by disabilities and leprosy extend and correlates of leprosy stigma in india no penulis (tahun) judul tujuan penelitian metode sampel hasil penelitian untuk mengetahui perbedaan antara quality of life, persepsi/ stigma, aktivitas dan partisipasi pasien kusta dengan pasien umum (tanpa kusta) untuk mengetahui pengalam pasien kusta terkait dengan stigma untuk mengetahui tingkat dan korelasi stigma kusta di india komparatif dengan desain crosssectional kualitatif dengan pendekatan focus group discussion (fgd) kualitatif 100 pasien kusta 14 responden (7 menderita kusta dan 7 cacat) 20 partisipan pasien cacat karena kusta memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sangat rendah pasien dengan kusta terutama perempuan dikucilkan dari masyarakat, keluarga, budaya maupun agama stigma masyarakat membuat pasien kusta malu untuk ke pelayanan kesehatan sehingga risiko kecatatan dan kurangnya kepatuhan untuk berobat responden mengungkapkan perasaan malu, sedih, bingung, takut dan tidak berdaya menghadapi stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi dari dunia luar. responden mengungkapkan rasa bersalah sehingga bersembunyi atau hanya tinggal dirumah. mereka merasa menjadi beban bagi keluarga pasien mengungkapkan kalau mereka mendapatkan penolakan, terisolasi pasien kusta tidak boleh terlibat dalam ritualkeagamaan (12%) masyarakat memiliki stigma agar tidak kontak langsung dengan pasien kusta 40% masyarakat tidak melakukan kontak sosial dengan pasien kusta seperti bersahabat, anak-anak dilarang bermain/bergaul dengan pasien kusta 1 2 3 tabel 1 ekstraksi data dan sintesis hasil studi yang diulas 178 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 173–181 no penulis (tahun) judul tujuan penelitian metode sampel hasil penelitian 4 5 6 7 stevelink et al., (2011) tsutsumi et al., (2007) nations et al., (2009) soedarjatmi, istiarti& widagdo, (2009) stigma and social participation in southern india: differences andcommonalities among persons affected by leprosy and persons living with hiv/ aids the quality of life, mental health, and perceived stigma ofleprosy patients in bangladesh stigma, deforming metaphors and patients’moral experience of multibacillary leprosyin sobral, ceará state, brazil faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta untuk mengidentifikasi perbedaan dan persamaan tentang stigma pada pasien hiv/ aids dan kusta untuk menilai kualitas hidup (qol), dan kesehatan mental pada pasien kusta dibandingkan pasien umum terkait sosial ekonomi dan stigma yang dirasakan. untuk mengetahui pengalaman pasien dengan diagnosa kusta untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta crosssectional crosssectional kualitatif deskriptif kualitatif 190 responden (95 odha dan 95 kusta) kelompok intervensi : 189 pasien kusta (160 pasien rawat jalan, 29 pasien rawat inap) kelompok kontrol : 200 pasien tanpa kusta 6 responden 8 responden pasien odha menghadapi beban lebih besar dibandingkan pasien kusta yaitu merasa didiskriminasi dan tidak bisa berpartisipasi mayoritas responden mengatakan bahwa mereka kecewa dengan diri mereka karena tertular penyakit tersebut. 40-60% pasien odha dibandingkan pasien kusta 20-50% merasa didiskriminasi, tidak ada yang mendekati, dan direndahkan oleh orang lain kualitas hidup dan kondisi kesehatan mental pada pasien kusta lebih rendah dibandingkan pasien umum sehubungan dengan karakteristik sosial ekonomi, cacat dan stigma yang dirasakan. penderita kusta memiliki skor qol total yang rendah dibandingkan pasien umum partisipan menceritakan tentang ketakutan mereka karena penolakan dan kebencian dari masyarakat semua responden menyatakan masyarakat disekitar tidak mengetahui bahwa responden menderita penyakit kusta dan sebagian keluarga responden, merasa sangat takut dan waswas saat mengetahui responden menderita kusta. untuk mengatasi stigma ini, sebagian besar responden melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak mempedulikan lingkungannya, walaupun adajuga yang tetap mengikuti kegiatan dikampungnya seolah-olah tidak sedang sakit. 179anwar, syahrul, pengaruh stigma masyarakat terhadap... no penulis (tahun) judul tujuan penelitian metode sampel hasil penelitian 8 lesmana, (2014) hubungan derajat pengetahuan masyarakat tentangpenyakit kusta terhadap penerimaan sosialpada mantan penderita penyakit kusta(studi eksplanatif tentang stigmatisasi dan penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta di desa sidomukti, kecamatan brondong, kabupaten lamongan) untuk mengetahui bagaimana hubungan derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta. kuantitatif dengan tipe penelitian eksplanatif. 100 responden masyarakat masih menolak kehadiran mantan penderita kusta di lingkungan mereka yang dibuktikan dengan masih rendahnya penerimaan sosial pada mantan penderita dengan persentase sebesar 65%. penolakan dari masyarakat tersebut terlihat karena sebagian besar masyarakat merasakan dirinya tidak nyaman dengan kehadiran mantan penderita kusta di lingkungan mereka. masyarakat menganggap bahwa mantan penderita kusta masih mengidap penyakit kusta, anggapan ini didasarkan atas pemahaman sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan stigma masyarakat dari 8 artikel yang diulas 5 di antaranya menjelaskan bahwa masyarakat masih memiliki stigma bahwa pasien kusta tidak boleh bergaul atau kontak langsung dengan lingkungan sekitar. seperti penelitian yang dilakukan oleh rao, raju, barkataki, nanda, & kumar (2008) di india menjelaskan bahwa stigma masyarakat yaitu tidak boleh kontak langsung dengan pasien kusta, dimana 40% masyarakat di india tidak mau melakukan kontak sosial dengan pasien kusta seperti bersahabat dan bergaul, anakanak juga dilarang bermain dengan pasien atau anak dari pasien penderita kusta. dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa pasien kusta tidak boleh terlibat dalam ritual keagamaan (20%). penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh lesmana di indonesia pada tahun 2014 dengan 100 responden, dimana 65% masyarakat menolak kehadiran penderita maupun mantan penderita kusta di lingkungan mereka. penolakan dari masyarakat tersebut terlihat dari sebagian besar masyarakat merasa tidak nyaman dengan kehadiran mantan penderita kusta dilingkungan mereka. masyarakat menganggap bahwa mantan penderita kusta masih mengidap penyakit kusta, anggapan atau stigma ini berdasarkan pemahaman sebagian besar masyarakat bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan yang tidak bisa disembuhkan (lesmana, 2014). selain penelitian yang dilakukan di indonesia dan india yang menjelaskan tentang stigma masyarakat, terdapat sebuah penelitian yang dilakukan secara kualitatif yaitu dengan wawancara mendalam terhadap 6 responden di brazil yang mendukung penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu dari ke enam partisipan yang diwawancarai, semuanya menceritakan tentang ketakutan mereka karena kebencian dan penolakan dari masyarakat. partisipan menceritakan pengalaman mereka tentang diskriminasi yang diterima dari masyarakat karena mereka menderita penyakit kusta (nations, lira, & catrib, 2009). penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh stevelink, van brakel, & augustine (2011) di bangladesh yang menjelaskan bahwa 180 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 173–181 20%-50% pasien kusta merasa didiskriminasi, tidak ada yang mendekati dan direndahkan oleh orang lain. mayoritas responden juga mengatakan bahwa mereka kecewa dengan diri mereka karena tertular penyakit kusta perilaku pasien kusta dalam mencari pengobatan untuk menilai perilaku pada pasien kusta sehubungan dengan stigma masyarakat dijelaskan dalam 2 artikel yang diulas yaitu dalam penelitian lusli et al., (2015) yang dilakukan di indonesia, dimana dalam penelitian tersebut sebagian besar partisipan mengungkapkan perasaan malu, sedih, bingung, takut dan tidak berdaya menghadapi stigma yang mereka hadapi dari dunia luar. dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa sebagian besar responden mengungkapkan rasa bersalah sehingga mereka hanya bersembunyi atau hanya tinggal dirumah saja tanpa bergaul atau berhubungan dengan tetangga sekitar atau dunia luar. penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh brouwers, brakel, & cornielje (2011) di nepal yang menjelaskan bahwa stigma masyarakat membuat pasien malu untuk kepelayanan kesehatan terutama pada pasien perempuan dimana mereka dikucilkan dari masyarakat, keluarga maupun agama. namun ada penelitian lain yang tidak mendukung penelitian diatas yaitu penelitian yang dilakukan soedarjatmi, istiarti &widagdo (2009) karena dalam penelitian ini dijelaskan bahwa responden dan keluarga merasa sangat takut dan khawatir dengan penyakit kusta. namun untuk mengatasi stigma ini sebagian besar responden menanggapinya dengan tetap bekerja, ada juga dengan cara tidak mempedulikan lingkungannya dan tetap mengikuti kegiatan dikampungnya seolah-olah mereka tidak sakit. selain itu untuk menutupi penyakitnya mereka selalu menggunakan pakaian tertutup, seperti berkerudung, memakai baju lengan panjang, rok panjang dan untuk penderita laki-laki menggunakan jaket, memakai kaos kaki, dan bertopi (soedarjatmi & istiarti & widagdo, 2009). pembahasan hasil dari beberapa artikel yang di analisis menjelaskan bahwa stigma masyarakat tentang pasien kusta yang mengatakan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan dan tidak dapat disembuhkan. stigma yang berkembang dimasyarakat disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang penyakit kusta. kurangnya pemahaman masyarakat ini berhubungan erat dengan peran serta tenaga kesehatan, untuk mensosialisasi kemasyarakat tentang penyakit kusta itu sendiri sehingga bisa merubah pola pikir masyarakat. stigma inilah yang menyebabkan penderita kusta menjadi malu untuk bergaul dengan masyarakat dan hanya bersembunyi dirumah. selain karena stigma dari masyarakat komplikasi yang timbul dari penyakit kusta sendiri yaitu kecacatan fisik membuat pasien menjadi tidak percaya diri dengan kondisi tubuhnya. beberapa artikel juga menjelaskan bagaimana perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien kusta karena cacat yang ditimbulkan. seperti halnya yang dijelaskan tsutsumi et al., (2007) kusta memiliki risiko komplikasi kecatatan fisik yang sangat tinggi baik permanen maupun komprehensif. cacat yang disebabkan oleh kusta ini membuat stigma negatif dari masyarakat dan diskriminasi bagi pasien kusta baik yang baru tertular maupun penderita kusta yang sudah sembuh. diskriminasi pada penderita kusta yang sudah sembuh didasari pengetahuan masyarakat bahwa penderita kusta yang sudah sembuh masih mengidap penyakit kusta atau kusta tidak bisa hilang dari penderitanya. berapa artikel juga membahas bagaimana prilaku pasien kusta dalam mencari pengobatan untuk proses penyembuhan penyakitnya. ada yang mengungkapkan rasa bersalah dan malu terhadap dirinya, tetapi ada juga responden yang mengungkapkan tidak peduli dengan lingkungan sekitar karena penyakitnya membutuhkan pengobatan sehingga mereka harus bekerja agar bisa berobat. untuk menutupi kekurangan pada dirinya, mereka lebih banyak menggunakan pakaian tertutup agar tidak diketahui orang lain bahwa mereka mengidap penyakit kusta (soedarjatmi & istiarti & widagdo, 2009). kesimpulan dan saran kesimpulan stigma masyarakat sangat mempengaruhi kehidupan pasien kusta baik psikologis maupun mental karena mereka merasa tidak diterima dan dikucilkan oleh masyarakat. banyak pasien kusta malu untuk bersosialisasi maupun bergaul dengan lingkungan sekitar karena kecacatan yang ditimbulkan dari komplikasi penyakit kusta itu sendiri. penderita kusta lebih banyak berdiam diri dan ber 181anwar, syahrul, pengaruh stigma masyarakat terhadap... sembunyi dirumah karena perlakuan diskriminasi yang mereka terima dari masyarakat. dengan hanya berdiam diri dirumah membuat mereka tidak memperoleh pengobatan yang maksimal sehingga kondisi menjadi semakin parah sampai pada terjadinya cacat yang permanen. kondisi inilah yang membuat proses penularan penyakit semakin cepat sehingga prevalensi penyakit kusta semakin meningkat setiap tahunnya. saran penelitian untuk menilai stigma masyarakat dengan menggunakan metode yang lain sangat perlu dilakukan, karena dengan adanya penelitian-penelitian untuk menilai stigma masyarakat dapat melahirkan sebuah metode yang tepat untuk mengubah stigma yang berkembang dimasyar akat, atau meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kusta sehingga perlakuan diskriminasi terhadap pasien kusta dapat dikurangi atau dihilangkan. daftar pustaka brouwers, c., brakel, w. van, & cornielje, h. (2011). quality of life, perceived stigma, activity and participation of people with leprosy-related disabilities in south-east nepal. disability, cbr & inclusive development, 22(1), 16–34. https:// doi.org/10.5463/dcid.v22i1.15 grimaud, j. (2012). neuropathies au cours de la lèpre. revue neurologique, 168(12), 967–974. https:// doi.org/10.1016/j.neurol.2012.05.017 lesmana, a. c. (2014). hubungan derajat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap penerimaan sosial pada mantan penderita penyakit kusta, 1–19. skripsi, tidak dipublikasikan. unair lusli, m., zweekhorst, m. b. m., miranda-galarza, b., peters, r. m. h., cummings, s., seda, f. s. s. e., … irwanto. (2015). dealing with stigma: experiences of persons affected by disabilities and leprosy. biomed research international, 2015. https:// doi.org/10.1155/2015/261329 mankar, m., joshi, s., velankar, d., mhatre, r., & nalgundwar, a. (2011). a comparative study of the quality of life, knowledge, attitude and belief about leprosy disease among leprosy patients and commun ity member s i n shant iva n leprosy rehabilitation centre, nere, maharashtra, india. journal of global infectious diseases, 3(4), 378. https://doi.org/10.4103/0974-777x.91063 moher, d., liberati, a., tetzlaff, j., altman, d. g., altman, d., antes, g., … tugwell, p. (2009). preferred reporting items for systematic reviews and metaanalyses: the prisma statement. plos medicine, 6(7). https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1000097 nations, m. k., lira, g. v., & catrib, a. m. f. (2009). stigma, deforming metaphors and patients’ moral experience of multibacillary leprosy in sobral, ceará state, brazil. estigma, metáforas deformadoras e experiência moral de pacientes com hanseníase multibacilar em sobral, ceará, brasil, 25(6), 1215–1224. https:/ /doi.org/10.1590/s0102-311x2009000600004 rao, p. s. s., raju, m. s., barkataki, a., nanda, n. k., & kumar, s. (2008). extent and correlates of leprosy stigma in rural india. indian journal of leprosy, 80(2), 167–174. riyanto, y. (2015). efikasi diri penderita kusta di poli rawat jalan rumah sakit kusta sumber glagah. soedarjatmi, tinuk istiarti, laksmono widagdo. (2009). faktor-faktor yang melatarbelakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta. jurnal promosi kesehatan indonesia, 4(1), 18–24. https:/ /doi.org/10.14710/jpki.4.1.18-24 stevelink, s. a. m., van brakel, w. h., & augustine, v. (2011). stigma and social participation in southern india: differences and commonalities among persons affected by leprosy and persons living with hiv/aids. psychology, health and medicine, 16(6), 695–707. h t tps: // doi .or g/ 10. 1080/ 13548506.2011.555945 tsutsumi, a., izutsu, t., md islam, a., maksuda, a. n., kato, h., & wakai, s. (2007). the quality of life, mental health, and perceived stigma of leprosy patients in bangladesh. social science and medicine, 64(12), 2443–2453. https://doi.org/ 10.1016/j.socscimed.2007.02.014 nurdin, h. c. (2013). uji validitas dan reliabilitas berger hiv stigma scale versi bahasa indonesia dalam menilai perceived stigma pada orang dengan hiv/ aids (odha). tesis, tidak dipublikasikan. fk ui. van brakel, w. h. (2006). measuring health-related stigma—a literature review. psychology, health & medicine, 11(3), 307–334. https://doi.org/10.1080/ 1354850060059516 14 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 014–018 14 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the family role in fulfilling the activities of daily living (adls) among children with autism spectrum disorder suprajitno1, frizcha illah arisky2 1nursing department of poltekkes kemenkes malang, indonesia 2nurse practitioner of public health center of blitar city, indonesia article information article history: received, 06/02/2019 accepted, 22/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: family role, activities of daily living, children with autism spectrum disorder abstract children with autism spectrum disorder (asd) have difficulty of activity and readability so that dependently to a parent or others. the study purpose to describe the family role in fulfilling of the activities of daily living (adls) for children with asd who gets service at autism center of blitar city (bahasa: pusat layanan autis kota blitar). the study used descriptive-survey as a design to determine family roles among asd children, the researcher purposively selected 34 families to be part of the study. questionnaires were developed inspired by the theory of basic human needs and self-care and underwent validity and reliability tests. this study result showed that the family role in fulfilling the adls for children with asd in the good category as many as 67.6% (23 families), in enough category as many as 29.4% (10 families), and in less category as many as 3.0% (1 family). fulfillment of adls for children with asd who need attention is the fulfillment of nutrition because parents must ensure that food that has entered into the mouth should be swallowed. results also found out that inadequate nutrition affects child’s with asd growth and development. the study strongly recommends the roles of parents as vital in meeting the needs of the children and stimulates development. correspondence address: poltekkes kemenkes malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x © 2019 jurnal ners dan kebidanan email: bedonku@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i1.art.p014–018 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v6i1.art.p014-018 https://doi.org/10.26699/jnk.v6i1.art.p014-018 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 15suprajitno, arisky, the family role in fulfilling the activities of... introduction children with special needs are children who are significantly experiencing abnormalities or deviations (in terms of physical, intellectual, social, emotional, and neurological sensory) in the process of growth or development compared with other peers (normal children) so they need a special education. children with autism spectrum disorder (asd) needed a special education (ginintasasi, 2016: 35). the term autism derived from an auto which means yourself, which means a stream; if combined means a tenet that is interested only in his own world (ginintasasi, 2016: 37). the ratio of normal children and children with asd di united states as many as 1: 150, in england as many as 1:100, and in indonesia data is not accurate. predictions of autism patients in indonesia from year to year increasing. children with asd is estimated that one per 5.000 children in 1990, the year 2000 increased to one per 500 children, the year 2010 is estimated that one per 300 children, and in 2015 it is estimated that one per 250 children (hasdianah, 2013: 71). autism people in indonesia in 2015 more than 12,800 people and was predicted more or less 134.000 peoples with asd (labola, 2018). children who have been diagnosed autism more visible emotional, characterized by the presence of disorder and delays cognitive, language, behavior, communication, and social interaction. activities of daily living (adls) in the children with special needs including children with asd often referred to term of self-establishment (fadhli, 2010). the family function was to provide an envir onment tha t impr ove the per sona lity development naturally to protection psychological steady. therefore, the family role here is very important in fulfilling the activities of daily living for children with special needs in order to be an independent. independence of children with asd is required as a provision for the development of adult life in order to have minimal dependence to people around. the study was described the family role in fulfilling the activities of daily living (adls) of children with autism spectrum disorder (asd). methods the study used descriptive. the subject study was all family that has a child with asd who gets service at autism center of blitar city as many as 34 families and selected using the total sampling technique. data collection used questionnaire which was developed based on the theory of the basic needs of human life, especially self-care. the inclusion subject were families with children with asd aged 2-17 years, children with asd live in the same house, and live in blitar city. the data was collected at autism center of blitar city and family home on 29 march 29 april 2017. data analysis used descriptive. result the characteristic of parents and children with asd who gets service in autism center of blitar city presented in table 1. no characteristics f % 1 gender of subject: man 27 79.4 women 7 20.6 2 age of child: 2-5 years old 9 26.5 6-10 years old 21 61.8 >10 years old 4 11.8 3 age of parent: 21-40 years old 30 88.2 41-65 year old 4 11.8 4 parents education: junior school 3 8.8 senior school 20 58.8 college 11 32.4 5 parents occupation: retired 1 2.9 farmers 3 8.8 entrepreneur 21 61.8 civil servants 4 11.8 housewife 5 14.7 6 number of children: 1 child 9 26.5 2 child 18 52.9 3 child 7 20.6 7 birth order of children: 1st child 18 52.9 2nd child 13 38.2 3rd child 3 8.8 8 who is a role in fulfilling the adls: father 3 8.8 mother 31 91.2 9 family ethnic: javanese 34 100,0 table 1 characteristic family and children with asd who gets service in autis center of blitar city in may 2017 (n=34) 16 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 014–018 contact with the child, as a housewife, nanny, child educator, and the main protector for the child (suprajitno, 2004; setiadi, 2008). also, the mother escorted and accompanied the child with asd for therapy and school (muliana, et al, 2014). thus, mothers have an active role in managing all household needs including caring for children. according to researcher assumption, that mother is more dominant to care and educate children with asd, especially if get support from family member including the husband. based on the results of the study of 34 families, obtained the result that more than half of the autistic children’s work is autonomous entrepreneurs 61.80% (21 respondents). according to friedman (1998: 311) social class backgrounds affect the structure of informal and formal roles in the family. based on the results of muliana’s research, et al (2014) it is said that parents working in the private sector have more working hours than parents who work as civil servants. it can indirectly affect the quantity of interaction between pa r ent a nd child. accor ding to the researchers any work done by parents, will affect the role given to the child, especially families who have children with autism will need a deeper role in caring for children. based on the results of the study of 34 families almost entirely 94% of families have a good role in the fulfillment of adls autistic children, especially in the needs of bathing/hygiene. according to wilkinson in boham (2013) bath/hygiene is the ability to perform or meet the activity of bath/hygiene. among them: a) taking toiletries, b) entering and exiting the bathroom, c) obtaining or providing water, d) cleaning body or limbs, e) drying the body. according to researchers this is due to children with autism, the ability to care for self is reduced and need help to do so the family care and help autistic children to fulfill the adls fulfilled independently. on the parameter second, of 74 percent of the families have a role in enough in fulfilling adls children autism in terms of dress. according to wilkinson in boham (2013) dress/ornate is a the ability to meet the activity of getting dressed complete and ornate self. including: a) take or replace clothing, b) with clothes on the upper body and the bottom, c) take off the clothes. 9 percent the family role in fulfilling of the activities of daily living (adls) presented in table 2 and 3. no. role category f % 1 good 23 67.6 2 enough 10 29.4 3 less 1 3.0 total 34 100.0 table 2 family role category who is fulfilling the adls to children with asd in may 2017 (n=34) fulfillment category type of adls good enough less total f % f % f % f % bath 32 94.1 2 5.9 0 0.0 34 100,0 dress up 25 73.5 6 17.6 3 8.9 34 100,0 eating / drinking 17 50.0 12 35.3 5 14.7 34 100,0 toileting 26 76.4 5 14.7 3 8.9 34 100,0 table 3 type of the adls fulfilled by parents to children with asd who gets service in autism center of blitar city in may 2017 (n=34) discussion around two-thirds (68%) of families have a good role in adls fulfillment for children with asd, this condition reflects the attention, love, and affection of the family (parents and siblings) (rachmayanti, 2007). the affection is needed by children with asd because an affection is a mental development nutrient and greatly helps to grow optimally (napolion, 2010). as many as 91.2% who roles to fulfilling of adls to children with asd is the mother (table 1). the reason is that the mother has enough time to 17suprajitno, arisky, the family role in fulfilling the activities of... the role of family that have children with asd lacking in the fulfillment of adls in terms of dress, according to researchers children autism are running into problems in garments, as in terms of buttoning the buttons, it or close resetting in pants, so the role of family is needed to make the fulfillment of adls children autism met independently. on the parameter third, of 50 percent of the families have an important role lacking in the fulfillment of adls children autism in terms of to drink. according to wilkinson in boham (2013) eat/ drink is the ability to meet or sufficient activity eat/ drink. including: a) food prepared for of ingesting, b) holding cutlery, c) bribing food from the mouth, d) chew food, e) swallow food, f) finish eat, g) take cup or glass. fifteen percent the role of family whose children had autistic lacking in the fulfillment of adls in terms of eating and drinking, according to researchers autistic child there has been so much understand it really in the use of a spoon to eat, while for the portion of eating which are chewed and swallow as food that is in the mouth, autistic child was already able to gauge for how food needed to get in the mouth to be chewed and swallowed. while the autism are more understand in terms of eating/drink, families however have an obligation to ever and help meet adls the autism that met independently (suprajitno & aida, 2017). on the parameter last, of 76% of families have the role of good in fulfilling adls children autism in terms of toileting. according to wilkinson in boham (2013) toileting that is making or furnish activities elimination. including: a) to put the small or performs activities elimination, b) take off the clothes when elimination, c) purge away after elimination, d) with clothing after elimination, e) flush a toilet. nine percent the role of family that have children autism lacking in the fulfillment of adls in terms of toileting, according to researchers family need to remind and set an example to the autism about flush a toilet after use, that the toilet clean and the after use. conclusions based on the research done can researchers concluded that the role of family in fulfilling adls children autism in autism centre city blitar have an important role good is as much as 68%, a 29% having a level the role of enough, and 3% have an important role less. the role of family less because children autism has been able to perform adls independently but still in supervision family. the role of family in fulfilling adls children autism based on parameter as a whole is good which includes help, guide and teach children autism in terms of bathroom/hygiene of 94%, dressed/ornate of 74%, to drink of 50%, and toileting 76%. suggestions (1) for the center autism city blitar increase counseling and observation about knowledge and the act of the fulfillment of adls (activity the daily living), so that it can be developed into therapy next on independence child in adls (activity the daily living) that involves the family of a autism so can increase a generation of kids able autism to daily activities. (2) for other researcher it was expected that the result of this research can be used as a baseline for do further research about the effort that families make in improving the adls (activities of daily living) the child is autistic, and of factors affect the family in the fulfillment of adls (activities of daily living) the child is autistic . references acob, j.r.u. (2018). nurse manager’s utilization of fayol’s theory in nursing. indian journal of public health research & development. volume : 9, issue. 11. decem ber 2018. doi: 10. 5958/ 09765506.2018.01490.0. boham, sicillya e. (2013). pola komunikasi orang tua dengan anak autis. jurnal volume 4 no. 2, diakses dari https:/ /ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ actadiurna/article/view/2886 pada tanggal 4 februari 2017 pukul 20.59 wib. fadhli, a. (2010). buku pintar kesehatan anak. yogyakarta: penerbit pustaka anggrek, diakses pada tanggal 23 september 2016 pukul 14.59 wib. ginintasasi, r. (2016). program bimbingan & konseling kolaboratif dalam penanganan anak dan remaja autis. bandung: pt. refika aditama. hasdianah. (2013). autis pada anak pencegahan, perawatan, dan pengobatan. yogyakarta: nuha medika. labola, y.a. (2018). data anak autisme belum akurat?. https://www.kompasiana.com/yos08/anak-autismetersisih_58eb4717af7a61ec1378f3e7 muliana; yossie susanti eka putri; & ria utami panjaitan. (2014). pengaruh karakterist ik orang tua terhadap jenis pola asuh dalam merawat anak penyandang autisme, diakses dari http://lib.ui.ac.id/ naskahringkas/2016-05/s57147-muliana pada tanggal 11 juni 2017 pukul 12:44 wib. napolion, k. (2010). pengalaman keluarga dalam 18 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 014–018 merawat anak tunagrahita di kelurahan balumbang jaya kecamatan bogor barat kota bogor 2010: studi fenomenologi, tesis. depok: fik ui, accesed from http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20282858t%20kens%20napolion.pdf pada tanggal 10 juni 2017 pukul 12:40 wib. rachmayanti, s. & anita zulkaida, (2007). penerimaan diri orang tua terhadap anak autisme dan peran annya dala m terapi autisme. jurnal psikologi vol 1, no. 1: 7-17 diakses dari http:// ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/ view/277/217 pada tanggal 10 juni 2017 pada pukul 12:03 wib. setiadi. (2008). konsep dan proses keperawatan keluarga. yogyakarta: graha ilmu. suprajitno. (2004). asuhan keperawatan keluarga: aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. suprajitno & aida, r. (2017). bina aktivitas anak autis di rumah: panduan bagi orang tua. malang: mnc publishing. http://mncpublishing.com/bookdetail.php?id=000095 149 dampak terapi intravena pada balita berdasar vip (visual infusion phlebitis) score (the effects of intravenous therapy in infants based on the vip (visual infusion phlebitis) score) hernantika rahmawati program studi diii keperawatan blitar. poltekkes kemenkes malang. e-mail : hernantika1212@gmail.com abstract : patient safety at hospital is system that nursing care given more safe. when patient at hospital they may got nosocomial enfection, and some medical procedure have an effect for them, for example intravenous therapy lead to causes of phlebitis. the purpose of this studiy was to determine the effects of intravenous therapy in infants based on the vip (visual infusion phlebitis) score. method: the research design was descriptive study. the population in this study are 38infants who received intravenous therapy. samples are 30 infants by using convenience sampling, research on march 2014 at nusaindah room mardi waluyo blitar hospital. result : research found a total of 27 infants no signs of phlebitis, as much as 2 toddlers possibility of early signs phlebitis, and 1 toddler stage beginning phlebitis. discussion : we expected that nurse will enhance observation of the effects of intravenous therapy. keywords : intravenous therapy, vip ( visual infusion phlebitis) keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit merupakan suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman (depkes ri, 2006). keselamatan pasien sangat penting untuk menghindari kejadian tidak diharapkan (ktd), seperti infeksi nosokomial. darmadi (2008) menyatakan bahwa infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit. terapi yang diberikan bermacam-macam, salah satunya adalah pemberian terapi intravena. pada pemberian terapi intravena, dampak lokal sering terjadi dibandingkan dengan dampak sistemik. salah satu dampak lokal yaitu phlebitis. phlebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. hal ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang vena, serta pembengkakan (brunner & suddarth, 2002). di indonesia belum ada angka yang pasti tentang prevalensi phlebitis, mungkin disebabkan karena penelitian yang berkaitan dengan terapi intravena dan publikasinya masih jarang. angka standar phlebitis yang direkomendasikan oleh ins (infusion nurses society) adalah 5%. angka kejadian infeksi nosokomial (phlebitis) di instalasi rawat inap rs universitas hasanuddin selama 4 triwulan tahun 2012 yaitu 14,7%; 3,7%; 4,48%; dan 3,7% sehingga rata-rata kejadian infeksi nosokomial (phlebitis) sebanyak 6,64%. angka kejadian ini melewati standar kmk (keputusan kementerian kesehatan) no. 129 tahun 2008 sebesar ≤ 1,5 % (nur, noor, & irwandy: 2013). studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 18 desember 2013 di ruang rawat inap nusaindah rsd mardi waluyo kota blitar, didapatkan data dari hasil wawancara petugas kesehatan bahwa tidak ada angka pasti dampak terapi intravena khususnya phlebitis, karena tidak adanya dokumentasi deteksi dini tanda dan gejala dampak terapi intravena. tetapi secara umum gejala yang sering muncul yaitu bengkak di area penusukan intravena, dialami oleh pasien usia di bawah 6 tahun, karena dipengaruhi oleh obat dengan konsentrasi pekat dan aktivitas pasien kurang kooperatif. upaya yang sudah dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak terapi intravena acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p160-165 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, juli 2014,hlm.149-154 adalah dilakukannya penggantian tempat penusukan intravena setiap 72 jam. sebelum 72 jam, jika ada pembengkakan di area penusukan, saat itu juga diganti tempat penusukan intravena. dampak dari tindakan pemberian terapi intravena (phlebitis) merupakan masalah yang serius, namun tidak menyebabkan kematian. tetapi dampak yang sering terlihat yaitu terhambatnya kelangsungan pemberian terapi intravena dan kecemasan pasien atau keluarga. terutama kecemasan keluarga dengan balita yang mendapatkan terapi intravena. menurut kusyati dalam aprillin (2011) menyatakan bahwa, seharusnya selama pemberian terapi cairan intravena pasien harus mendapat pengawasan dan observasi yang ketat. alat ukur untuk mengobservasi tanda phlebitis menggunaan skala visual infusion phlebitis. berdasarkan dari latar belakang tersebut penulis ingin meneliti tentang “dampak terapi intravena pada balita berdasar vip (visual infusion phlebitis) score di ruang nusaindah rsd mardi waluyo kota blitar”. rumusan masalahnya adalah bagaimanakah dampak terapi intravena pada balita berdasar vip (visual infusion phlebitis) score di ruang nusaindah rsd mardi waluyo kota blitar. tujuan penelitian ini adalah mengetahui dampak terapi intravena pada balita berdasar vip (visual infusion phlebitis) score. manfaat penelitian bagi instansi kesehatan adalah dapat digunakan sebagai tambahan sumber informasi serta pertimbangan untuk mengetahui dampak terapi intravena berdasarkan vip (visual infusion phlebitis) score. manfaat penelitian bagi institusi pendidikan dapat digunakan sebagai tambahan pustaka mengenai dampak terapi intravena berdasarkan vip (visual infusion phlebitis) score. sedangkan manfaat penelitian bagi peneliti selanjutnya dapat memberikan gambaran dampak terapi intravena berdasarkan vip (visual infusion phlebitis) score, sehingga dapat digunakan sebagai data dasar dan pedoman untuk penelitian selanjutnya. bahan dan metode desain penelitian deskriptif yaitu dengan subyek dalam penelitian adalah balita yang mendapat terapi intravena sebanyak 30 balita di ruang nusaindah rsd mardi waluyo kota blitar. penelitan ini menggunakan teknik convinience sampling. variabel pada penelitian ini adalah dampak terapi intravena (phlebitis). analisa data meliputi data umum dan data khusus. data umum yaitu jenis kelamin, umur, lamanya balita dirawat, pemasangan intravena terakhir, tempat pemasangan intravena, ukuran jarum, jenis cairan infus, jumlah cairan infus yang habis, aktivitas balita, dan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena. sedangkan data khusus yaitu dampak terapi intravena yang dianalisa menggunakan metode observasi vip (visual infusion phlebitis) score. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. tabel 1. pemasangan intravena terakhir dengan dampak terapi intravena pemasangan ivterakhir dampak terapi intravena tidak ada tanda phlebitis kemungkinan tanda dini phlebitis stadium permulaan phlebitis f % f % f % 1 hari 7 23,3 0 0 0 0 2 hari 16 53,3 0 0 0 0 3 hari 3 10 1 3,3 1 3,3 4 hari 1 3,3 1 3,3 0 0 tabel 2. tempat pemasangan intravena dengan dampak terapi intravena tempat pemasangan intravena dampak terapi intravena tidak ada tanda phlebitis kemungkinan tanda dini stadium permulaan phlebitis rahmawati , dampak terapi intravena pada balita ....151 phlebitis f % f % f % tangan kanan 10 33,3 0 0 0 0 tangan kiri 17 56,7 2 6,7 1 3,3 tabel 3. aktivitas balita dengan dampak terapi intravena aktivitas balita dampak terapi intravena tidak ada tanda phlebitis kemungkinan tanda dini phlebitis stadium permulaan phlebitis f % f % f % diam/ berbaring di tempat tidur 18 60,0 0 0 0 0 jalan sendiri ke toilet 4 13,3 1 3,3 0 0 naik turun tempat tidur 5 16,7 1 3,3 1 3,3 tabel 4. tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena dengan dampak terapi intravena tindakan pembidaian dampak terapi intravena tidak ada tanda phlebitis kemungkinan tanda dini phlebitis stadium permulaan phlebitis f % f % f % ya 24 80,0 0 0 1 3,3 tidak 3 10 2 6,7 0 0 berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 29 responden, hampir setengahnya (44,8%) responden berjenis kelamin laki – laki, hampir setengahnya (48%) responden telah tinggal di panti selama 3-5 tahun, hampir seluruhnya (82%) responden beragama islam, sebagian besar (65%) responden bekerja selain pegawai swasta dan wiraswasta, sebagian besar (82%) responden beribadah di sarana ibadah mushola dan sebagian besar (55,2%) responden sering mengikuti bimbingan keagamaan serta memiliki pemenuhan kebutuhan spiritual yang baik. pembahasan berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dampak terapi intravena pada 30 balita yang diobservasi, sebanyak 27 balita dengan skor 0 ditandai dengan keadaan tempat penusukan intravena tampak sehat yang menunjukkan bahwa tidak ada tanda phlebitis, sebanyak 2 balita dengan skor 1 ditandai dengan nyeri tempat penusukan intravena yang menunjukkan kemungkinan tanda dini phlebitis, dan 1 balita dengan skor 2 ditandai dengan nyeri tempat penusukan intravena serta terdapat pembengkakan yang menunjukkan stadium permulaan phlebitis. tanda dampak terapi intravena diobservasi menggunakan pengamatan visual dengan vip score didapat dari andrew jackson tahun 1997 yang diterjemahkan sendiri. dampak terapi intravena atau phlebitis merupakan suatu keadaan yang diakibatkan dari tindakan pemberian terapi intravena, dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari peralatan yang digunakan atau perawatan terapi intravena. balita dengan stadium permulaan phlebitis tersebut berjenis kelamin laki-laki, umur 36 bulan, balita dirawat selama 3 hari, pemasangan intravena terakhir adalah 3 hari yang lalu, tempat pemasangan infus di tangan sebelah kiri menggunakan ukuran jarum 22g serta dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena, jenis cairan infus adalah cairan isotonis, jumlah cairan infus yang sudah habis digunakan sebanyak 2500cc, dan balita sering naik turun tempat tidur. balita yang kemungkinan tanda dini phlebitis berjenis kelamin perempuan, umur 54 bulan, balita dirawat selama 4 hari, pemasangan intravena terakhir adalah 4 hari yang lalu, tempat 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, juli 2014,hlm.149-154 pemasangan intravena di tangan sebelah kiri menggunakan ukuran jarum 22g serta tidak dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena, jenis cairan infus adalah cairan isotonis, jumlah cairan infus yang sudah habis digunakan sebanyak 2500cc, dan aktifitas yang sering dilakukan balita yaitu naik turun tempat tidur. sedangkan salah satu balita yang juga kemungkinan tanda dini phlebitis, berjenis kelamin perempuan, umur 48 bulan, balita dirawat selama 3 hari, pemasangan intravena terakhir adalah 3 hari yang lalu, tempat pemasangan intravena di tangan sebelah kiri menggunakan ukuran jarum 22g serta tidak dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena, jenis cairan infus adalah cairan isotonis, jumlah cairan infus yang sudah habis digunakan sebanyak 2500cc, dan balita sering berjalan sendiri jika ke toilet. berdasarkan hasil penelitian jenis cairan intravena pada balita didapatkan sebanyak 63% atau 19 balita mendapat cairan ka-en 3b. jenis cairan ka-en 3b, rl, dan glukosa 5% adalah cairan isotonis. jenis cairan infus yang digunakan oleh ketiga balita yang menunjukkan dampak terapi intravena adalah cairan isotonis. cairan ka-en 3b 500 ml berisi dextrosa 13.500 g; sodium chloride 0,875 g; potassium chloride 0,750 g; sodium 50 meq/l; lactate 20 meq/l. cairan ka-en 3b dengan osmolaritas 290 mosm/l. cairan intravena rl dengan osmolaritas 274 mosm/l dan glukosa 5% dengan osmolaritas 252 mosm/l. menurut pendapat brunner & suddart (2002:282) menyatakan bahwa cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolalitas total yang mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah merah mengkerut atau membengkak. perawat juga harus mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan, tetap mengingat bahwa osmolalitas plasma adalah kira-kira 300 mosm/l (si:300 mmol/l). jika memberikan cairan parenteral, penting untuk memantau respon pasien terhadap cairan. perawat harus mempertimbangkan volume cairan, kandungan cairan, dan status klinis pasien. pemasangan intravena terakhir dengan dampak terapi intravena berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pemasangan intravena terakhir atau lama pemasangan intravena pada 30 balita yaitu paling banyak selama 2 hari. balita yang mendapat skor 0 atau tidak ada tanda phlebitis sebanyak 90% (27) balita, diantaranya yaitu sebanyak 3 balita yang pemasangan intravena terakhir selama 3 hari bahwa balita dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena dan aktivitas balita adalah diam atau berbaring di tempat tidur. sedangkan 1 balita yang pemasangan intravena terakhir selama 4 hari, balita tersebut juga dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena. sebanyak 6,7% (2) balita yang mendapat skor 1 atau kemungkinan terjadi tanda dini phlebitis, pemasangan intravena terakhir selama 3 hari dan 4 hari. sebanyak 3,3% (1) balita dengan skor 2 atau stadium permulaan phlebitis, pemasangan intravena terakhir selama 3 hari. menurut pendapat brunner & suddart (2002) bahwa mengganti kanula iv perifer setiap 48 sampai 72 jam, atau sesuai indikasi. pemasangan intravena lebih dari 72 jam menunjukkan tanda gejala dampak terapi intravena. data tersebut menunjukkan bahwa lama penyisipan intravena sangat berpengaruh terhadap terjadinya phlebitis. sebelum 72 jam tempat penusukan intravena pada balita dapat diganti untuk mencegah terjadinya dampak terapi intravena. tempat penusukan intravena harus diobservasi setiap hari, karena jika terdapat gejala tersebut seperti kemerahan atau nyeri tempat penusukan dapat segera dilakukan tindakan perawatan tempat pemasangan intravena. tempat pemasangan intravena dengan dampak terapi intravena berdasarkan hasil penelitian tempat pemasangan intravena pada balita didapatkan hasil sebanyak 33,3 (10) balita terpasang intravena di tangan sebelah kanan. balita terpasang intravena di tangan sebelah kiri sebanyak 56,7 (17) balita yaitu tidak ada tanda phlebitis, sebanyak 6,7% (2) balita kemungkinan terdapat tanda dini phlebitis dan sebanyak 33,3 (1) balita dengan stadium pertengahan phlebitis. menurut brunner & suddart (2002:283) menyatakan bahwa banyak tempat yang digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempat-tempat ini. vena di ekstremitas dipilih sebagai lokasi perifer dan pada mulanya merupakan tempat satu-satunya yang digunakan oleh perawat. karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki, vena-vena di ekstremitas atas paling sering digunakan. rahmawati , dampak terapi intravena pada balita ....153 idealnya kedua lengan dan tangan harus diinspeksi dengan cermat sebelum tempat pungsi vena spesifik dipilih. lokasi harus dipilih yang tidak mengganggu mobilisasi. tempat yang paling distal dari lengan atau tangan umumnya digunakan pertama kali sehingga iv yang berikutnya dapat dilakukan kearah yang atas. hal-hal berikut menjadi pertimbangan ketika memilih tempat penusukan vena; kondisi vena, jenis cairan atau obat yang akan diinfuskan, dan lamanya terapi. pemasangan intravena di tangan kanan atau kiri tidak menjadi suatu masalah. biasanya tangan kiri cenderung pasif digunakan dan tangan kanan sering untuk pergerakan. tetapi yang sering terlihat pada balita cenderung aktif menggunakan kedua tangan, sehingga dapat menimbulkan pergerakan tempat pemasangan intravena di tangan kanan atau tangan kiri. aktivitas balita dengan dampak terapi intravena berdasarkan hasil penelitian tentang aktivitas balita didapatkan bahwa sebanyak 60% (18) balita yaitu diam atau berbaring di tempat tidur. aktivitas balita yang naik turun tempat tidur sebanyak 23,3% (7) balita, diantaranya adalah 5 balita tidak ada tanda phlebitis karena dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena, sebanyak 1 balita kemungkinan tanda dini phlebitis dan 1 balita dengan stadium permulaan phlebitis. sedangkan balita yang berjalan sendiri ke toilet, sebanyak 3,3% (1) balita kemungkinan terjadi tanda dini phlebitis, dan sebanyak 13,3% (4) balita tidak ada tanda phlebitis karena dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena serta lama pemasangan intravena adalah 2 hari. menurut pendapat macqueen, bruce, & gibsonada (2012:421) menyatakan bahwa aktivitas anak atau manipulasi anak dapat berkontribusi peningkatan phlebitis, seperti anak berjalan dengan letak kanula di kaki. data hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, aktivitas balita yang menggunakan banyak pergerakan ekstremitas seperti berjalan sendiri ke toilet dan naik turun tempat tidur dapat mempengaruhi terjadinya dampak terapi intravena. aktivitas yang kurang terkontrol, terutama pada tangan dapat menyebabkan tempat pemasangan terapi intravena menjadi tidak stabil. sehingga intravena yang terpasang dapat terjadi pergeseran atau ketidak lancaran aliran cairan intravena. karena itu aktivitas balita yang menggunakan ekstremitas yang terpasang intravena harus diminimalkan. tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena dengan dampak terapi intravena berdasarkan hasil penelitian tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena pada balita didapatkan hasil bahwa sebanyak 83,3% (25) balita dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena, dan sebanyak 16,7% (5) balita tidak dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena. sedangkan balita yang menunjukkan terdapatnya dampak terapi intravena yaitu sebanyak 2 balita yang kemungkinan tanda dini phlebitis tidak dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena, dan 1 balita dengan stadium permulaan phlebitis dilakukan tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena. menurut pendapat macqueen, bruce, & gibsonada (2012:421) menyatakan bahwa fiksasi yang buruk memungkinkan terjadinya gerakan kanula seperti bergesekan dengan dinding pembuluh darah. tindakan pembidaian tempat pemasangan intravena dilakukan untuk mempertahankan kestabilan posisi intravena. fiksasi yang kurang rapi dan kurang kuat, mengakibatkan tempat penyisipan intravena mudah tergoyahkan dan memungkinkan terjadinya gesekan antara jarum intravena dengan vena. hal tersebut dapat menimbulkan tanda gejala dari dampak terapi intravena, sehingga mengganggu kenyamanan balita serta pemberian obat yang melalui terapi intravena tidak maksimal. simpulan dan saran simpulan dampak terapi intravena pada balita berdasar vip (visual infusion phlebitis) score didapatkan data sebanyak 27 balita dengan skor 0 ditandai dengan keadaan tempat penusukan intravena tampak sehat yang menunjukkan bahwa tidak ada tanda phlebitis, sebanyak 2 balita dengan skor 1 ditandai dengan terdapat nyeri tempat penusukan intravena yang menunjukkan kemungkinan tanda dini phlebitis, dan 1 balita dengan skor 2 ditandai dengan nyeri tempat penusukan intravena serta terdapat pembengkakan yang menunjukkan stadium permulaan phlebitis. selain itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendokumentasian 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, juli 2014,hlm.149-154 dampak terapi intravena menggunakan vip (visual infusion phlebitis) score tidak efektif jika dilakukan pada hari pertama dan kedua pemasangan terapi intravena saran bagi institusi pendidikan diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan sumber informasi atau literatur tentang dampak terapi intravena yang terjadi pada balita sehingga dapat bermanfaat untuk proses kegiatan belajar mengajar. bagi instansi kesehatan dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan, serta petugas kesehatan melakukan kegiatan pendokumentasian terhadap terjadinya dampak terapi intravena pada balita. bagi peneliti selanjutnya diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian pada balita yang mendapat terapi intravena seperti tindakan pencegahan yang dilakukan petugas kesehatan untuk meminimalkan terjadinya dampak terapi intravena daftar rujukan aprillin, h. 2011.hubungan perawatan infus dengan terjadinya phlebitis pada pasien yang terpasang infus di puskesmas krian sidoarjo, (online), (http://www.dianhusada.ac.id/jurnalimg/jur per 1-2-het.pdf‎), diakses 8 oktober 2013. brunner & suddarth. 2002. keperawatan medikal-bedah volume 1. jakarta: egc darmadi. 2008. infeksi nosokomial problematika dan pengandaliannya. [ebook]. jakarta: salemba medika http://books.google.co.id/books?id=bdko haf5ric&printsec=frontcover#v=onepage &q&f=false. diakses tanggal 23 november 2013 notoatmodjo, s. 2010. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta nur, noor, & irwandi. 2013. relationship between motivation and supervision on association nurse performance in applying patient safety at inpatient ward of hasanuddin university hospital in, (online), (http://www.qalbia m. nur_hubungan motivasi supervisi_140623.pdf‎), diakses tanggal 20 desember 2013. http://www.dianhusada.ac.id/jurnalimg/jurper http://www.dianhusada.ac.id/jurnalimg/jurper http://books.google.co.id/books?id=bdkohaf5ric&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false http://books.google.co.id/books?id=bdkohaf5ric&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false http://books.google.co.id/books?id=bdkohaf5ric&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false http://www.qalbia/ e:\tita\d\tita\feb 17\jurnal bl 292 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 292–297 292 gambaran pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi d-iii keperawatan blitar tentang post traumatic stress disorder (ptsd) (the description of volunteer corps knowledge of diploma program of nursing blitar about post traumatic stress disorder (ptsd) mefasa nutfa sagita program studi d3 keperawatan blitar politeknik kesehatan kementrian kesehatan malang email: mefasanutfa@yahoo.co.id abstract: post traumatic stress disorder (ptsd) is an anxiety disorder due to excessive trauma an incident/experience scary/awful, unforgettable and unpleasant. the purpose of the research was to describe the knowledge of volunteer corps (ksr) of prodi d-iii nursing blitar on post traumatic stress disorder (ptsd). method: the research method used descriptive design. the population in this study was all members of ksr level 1 in prodi d-iii nursing blitar who had passed ksr training, and the sample was 93 people taken by total sampling technique. result: the result showed that the knowledge of volunteer corps (ksr) of prodi d-iii nursing blitar on post traumatic stress disorder (ptsd), 62.4% (58 respondents) had a good knowledge of post traumatic stress disorder (ptsd), 26.9% (25 respondents) had sufficient knowledge of post traumatic stress disorder (ptsd), and 10.8% (10 respondents) had less knowledge on post traumatic stress disorder (ptsd). discussion: the knowledge gained from the training of ksr they once did and the information obtained from the ksr training, and other information, either formally or informally. although most members of ksr did not have experience in dealing with ptsd, they had a good knowledge gained from training ksr and the acquired information. and conversely though it had good knowledge, they were not always able to handle ptsd because they did not have enough experience to deal with ptsd. keywords: knowledge, volunteer corps, post traumatic strees disorder (ptsd) abstrak: post traumatic stress disorder (ptsd) adalah gangguan kecemasan karena trauma yang berlebihan insiden/pengalaman menakutkan/mengerikan, tak terlupakan dan menyenangkan. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi d-iii keperawatan blitar pada post traumatic stress disorder (ptsd). metode: metode penelitian ini menggunakan desain deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota ksr tingkat 1 di prodi d-iii keperawatan blitar yang telah lulus pelatihan ksr, dan sampel besar diambil sekitar 93 orang dengan menggunakan teknik total sampling. hasilnya: hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi d-iii keperawatan blitar pada post traumatic stress disorder (ptsd) sebesar 62,4% (58 responden) memiliki pengetahuan yang baik dari post traumatic stress disorder (ptsd), sebesar 26,9 % (25 responden) memiliki pengetahuan yang cukup post traumatic stress disorder (ptsd), dan sebesar 10,8% (10 responden) memiliki pengetahuan kurang tentang post traumatic stress disorder (ptsd). diskusi: pengetahuan yang didapat dari ksr pendidikan pelatihan yang pernah mereka lakukan dan informasi yang diperoleh dari pelatihan ksr, dan informasi lainnya, baik secara formal maupun informal. meskipun sebagian besar anggota ksr tidak memiliki pengalaman berurusan dengan ptsd, mereka memiliki pengetahuan yang baik diperoleh dari pelatihan ksr dan informasi yang diperoleh. dan sebaliknya meskipun acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 3, desember 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i3.art.p292-297 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 293sagita, gambaran pengetahuan ... memiliki pengetahuan yang baik, mereka tidak selalu mampu menangani ptsd karena mereka tidak memiliki cukup pengalaman untuk menangani ptsd. kata kunci: pengetahuan, korps sukarela, post traumatic strees disorder (ptsd) banyaknya kejadian bencana di indonesia telah banyak menimbulkan kerugian baik secara fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. selama januari 2013 badan nasional penanggulangan bencana (bnpb) mencatat 120 kejadian bencana di indonesia yang menyebabkan 123 orang meninggal, 179.659 orang mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.798 rumah rusak ringan (bnpb, 2013). efek bencana terhadap faktor psikologis misalnya, pengalaman menyedihkan saat terjadi bencana seperti kehilangan orang dicintai, kehilangan harta benda, dan menyaksikan langsung kejadian bencana akan memberikan perasaan traumatis tersendiri terhadap korban bencana, bahkan pada beberapa kasus pengalaman tersebut sangat ekstrim, sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan yang dialami atau biasa disebut post traumatic stress disorder atau ptsd (american psychiatric association, 1994). ptsd (post traumatic stress disorder) adalah kondisi kekacauan jiwa yang terjadi pada orang-orang setelah mengalami bencana. menurut buku keperawatan bencana yang diterbitkan oleh pmi dan pmj (palang merah jepang) ptsd adalah suatu respon stress post traumatic yang berkepanjangan. pada kondisi ini mereka merasa gundah, cemas, depresi dan gelisah. hal ini bisa disebabkan karena perbedan keadaan sebelum bencana dan sesudah bencana. pada masa ini para korban akan merasa kehilangan hal-hal yang ada pada saat sebelum bencana seperti keluarga, komunitas, harta benda dan aktivitas yang biasa dilakukan seharihari (kompasiana.com diakses pada tanggal 6 november 2014). ptsd (post traumatic stress disorder) ditandai oleh cemas (disertai mimpi buruk, iritabilitas, gangguan daya ingat dan konsentrasi, sering terkenang masa lalu, dan depresi) yang dapat terjadi setelah situasi traumatik, misalnya kecelakaan lalu lintas berat, kejahatan (mis, pemerkosaan), kebakaran, ledakan, perang, bencana alam, dll. keadaan ini dapat mengenai petugas yang terlibat, korban, dan orang yang menyaksikan kejadian (ensiklopedia keperawatan, 2008). ptsd merupakan salah satu masalah yang juga penting untuk ditanggulangi selain masalah-masalah gangguan mental lainnya. berdasarkan data dari who (2000 dalam maramis, 2005) menyebutkan bahwa angka penderita ptsd berkisar antara 10%20%. sementara itu, penelitian fan, et al. (2011) menguji gejala ptsd, kecemasan, dan depresi pada remaja enam bulan setelah peristiwa gempa bumi wenchuan di china. hasil penelitian menunjukkan bahwa 15,8%, 40,5%, dan 24,5% dari partisipan mengalami gejala klinis ptsd, kecemasan dan depresi secara berturut-turut. ksr merupakan ujung tombak pmi di lapangan. ksr pmi adalah kesatuan atau unit di dalam perhimpunan pmi yang beranggotakan pribadi-pribadi anggota biasa perhimpunan pmi yang menyatakan diri menjadi ksr pmi, yang telah memperoleh latihan khusus tentang ksr. seorang anggota ksr harus selalu sadar untuk mengabdi bagi tugas kemanusiaan dalam mewujudkan peranan pmi dengan melakukan berbagai upaya agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. sebagai sumber daya manusia yang sangat potensial dan strategis, mahasiswa ksr dituntut untuk lebih peka dan berperan aktif dalam menghadapi berbagai keseimbangan di sekitarnya (pmijawatimur.com diakses pada tanggal 6 november 2014). berbeda dengan kebanyakan orang yang terjun ke daerah bencana, seorang mahasiswa keperawatan tentu akan memandang luas makna bencana. dalam ilmu keperawatan jiwa, bencana itu tidak hanya menyebabkan sakit secara fisik saja. secara holistic (holism, listening, intuitive,and care), bencana dapat merusak kondisi biologis, sosial, dan utamanya mental atau kejiwaan seseorang. trauma yang dialami akan menjadi masalah tersendiri yang membutuhkan pemikiran khusus agar permasalahan kejiwaan korban bencana dapat diatasi dengan baik. mahasiswa keperawatan yang pada dasarnya mengerti permasalahan ini seharusnya dapat menunjukkan peran aktifnya dalam pelaksanaan tanggap bencana. terlebih mengingat jumlah institusi dan mahasiswa keperawa tan yang banya k (kompasiana. com diakses pada tanggal 6 november 2014). 294 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 292–297 sebagai seorang calon tenaga kesehatan, mahasiswa keperawatan terutama anggota ksr diharapkan bisa turut andil dalam melakukan kegiatan tanggap bencana. sekarang tidak hanya dituntut mampu memiliki kemampuan intelektual namun harus memiliki jiwa kemanusiaan melalui aksi siaga bencana. dengan ini mahasiswa diminta untuk lebih peka dan memahami, serta siap siaga dalam tanggap bencana yang ada disekitarnya. bukan hanya siaga membantu mereka yang mengalami gangguan fisik, namun juga diminta untuk mampu siaga dan tanggap membantu mereka yang mengalami gangguan psikologisnya seperti halnya ptsd. minimnya pendidikan tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana pada mahasiswa anggota ksr, menyebabkan kurangnya pengetahuan mahasiswa anggota ksr tentang manajemen bencana, sehingga banyak dari mereka yang masih belum memahami tentang ptsd (kompasiana.com diakses pada tanggal 6 november 2014). berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 1 november 2014 di poltekkes kemenkes malang prodi d-iii keperawatan blitar dari 15 mahasiswa ketika diwawancarai mengenai ptsd terdapat 9 mahasiswa yang belum mengetahui tentang ptsd, sedangkan 6 mahasiswa mengetahui tentang ptsd. berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “gambaran pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi d-iii keperawatan blitar tentang post traumatic stress disorder (ptsd)” metode dan bahan desain penelitian yang digunakan adalah desain deskriptif, yang akan mendeskripsikan pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi d-iii keperawatan blita r tentang post traumatic stress disorder (ptsd). populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat 1 prodi d-iii keperawatan blitar poltekkes kemenkes malang yang berjumlah 93 orang. sampel dalam penelitian adalah semua mahasiswa tingkat 1 prodi d-iii keperawatan blitar poltekkes kemenkes malang yang telah melaksanakan diklat ksr. besarnya populasi dalaam penelitian ini adalah 93 orang dengan menggunakan teknik total sampling. pengambilan data dilakukan pada tanggal 9-21 maret 2015 di prodi d-iii keperawatan blitar poltekkes kemenkes malan. dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan pada bab 2 sebelumnya. kuesioner berisi data umum dan data khusus, data umum digunakan untuk menggali identitas responden, sedangkan data khusus berisi pertanyaan tentang pengetahuan post traumatic stress disorder (ptsd). analisa data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan pokok penelitian, yaitu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mencakup fenomena (nursalam, 2009). data ditabulasi untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan data umum yang akan disajikan dalam bentuk diagram lingkaran, sedangkan data khusus akan disajikan dalam tabel. pengetahuan korps sukarela (ksr) tentang ptsd dikategorikan menjadi: 1) 76 – 100% = baik 2) 56 – 75% = cukup 3)  55% = kurang (nursalam, 2013) hasil penelitian karakteristik responden penelitian dilaksanakan di kampus 3 politeknik kesehatan kemenkes malang, program studi d3 keperawatan blitar jl. dr. soetomo no. 56 kota blitar. data karakteristik responden terdiri dari jenis kelamin, pendidikan telah mengikuti diklat ksr, pernah mendapatkan informasi tentang ptsd, dan pengalaman menangani ptsd. hasil penelitian menunjukkan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 74,2% (69 mahasiswa), sedangkan pada laki-laki yaitu sebanyak 25,8% (24 mahasiswa), seluruh mahasiswa (93 mahasiswa) telah mengikuti diklat ksr, 72% (68 mahasiswa) pernah mendapatkan informasi tentang ptsd, sedangkan 28% (25 mahasiswa) tidak pernah mendapatkan informasi tentang ptsd, dan 84,9% (80 mahasiswa) ksr tidak pernah memiliki pengalaman menangani ptsd, sedangkan 15,1% (13 mahasiswa) ksr pernah memiliki pengalaman menangani ptsd. pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi diii keperawatan blitar tentang post traumatic stress disorder (ptsd) dari tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar dari mahasiswa memiliki pengetahuan tentang post traumatic stress disorder (ptsd) dalam 295sagita, gambaran pengetahuan ... kategor i baik, yaitu 62,4% (58 maha siswa), sedangkan sebagian lain dalam kategori cukup, yaitu 26,9% (25 mahasiswa) dan kategori kurang, yaitu 10,8% (10 mahasiswa). tabulasi silang antara pengetahuan dan keikutsertaan mengikuti diklat ksr dari tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 93 mahasiswa di prodi d-iii keperawatan blitar poltekkes kemenkes malang, sebanyak 53.8% (51 mahasiswa) memiliki pengetahuan yang baik dan pernah mendapatkan informasi tentang ptsd. tabulasi silang antara pengetahuan dan pengalaman menangani ptsd dari tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 93 mahasiswa di prodi d-iii keperawatan blitar poltekkes kemenkes malang, sebanyak 51.6% (48 mahasiswa) memiliki pengetahuan yang baik, namun tidak pernah memiliki pengalaman menangani ptsd. pembahasan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 93 mahasiswa yang merupakan anggota ksr di prodi d-iii keperawatan blitar poltekkes kemenkes malang pada tanggal 9-21 maret 2015 dapat dilakukan pembahasan sebagai berikut. dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa sebagian besar dari mahasiswa memiliki pengetahuan tentang post traumatic stress disorder (ptsd) dalam kategori baik, yaitu 58 mahasiswa (62,4%). pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindera a n terha da p sua tu objek ter tentu (notoatmodjo, 2003). terbentuknya pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, informasi yang diperoleh, pengalaman, usia (http:// duniabaca.com/ diakses tanggal 3 juni 2015). dari tabulasi data silang didapatkan 62.4% (58 mahasiswa) memiliki pengetahuan baik karena telah tabel 1. pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi diii keperawatan blitar tentang post traumatic stress disorder (ptsd) no kategori frekuensi % 1 baik 5 8 62.4 2 cukup 2 5 26.9 3 kurang 1 0 10.8 jumlah 9 3 100 tabel 2. tabulasi silang antara pengetahuan dan keikutsertaan mengikuti diklat ksr pengetahuan telah melaksa nakan diklat ksr total % ya % baik 58 62.4 5 8 62.4 cukup 25 26.9 2 5 26.9 kurang 10 10.8 1 0 10.8 total 93 100 9 3 100 dari tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 93 mahasiswa di prodi d-iii keperawatan blitar poltekkes kemenkes malang, sebanyak 62.4 % (58 mahasiswa) memiliki pengetahuan yang baik dan telah melaksanakan diklat ksr. tabulasi silang antara pengetahuan dan informasi tentang ptsd tabel 3. tabulasi silang antara pengetahuan dan informasi tentang ptsd p eng etahuan informasi tentang ptsd total prosentase pernah % tidak perna h % baik 51 53.8 7 7.5 58 62.4 cukup 13 14 12 12.9 25 26.9 kurang 3 3.2 7 7.5 10 10.8 total 67 72 26 28 93 100 tabel 4. tabulasi silang antara pengetahuan dan pengalaman menangani ptsd pengetahuan pengalaman menangani ptsd total prosentase pernah % tidak pernah % baik 10 10.8 48 51.6 58 62.4 cukup 4 4.3 21 22.6 25 26.9 kurang 0 0 10 10.8 10 10.8 t otal 14 15.1 79 84.9 93 100 % 296 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 3, september-desember 2016, hlm. 292–297 melaksanakan pendidikan diklat ksr, dimana pendidikan melaksanakan diklat ksr merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan. dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang. pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam motivasi untuk sikap berperan dalam pembangunan kesehatan. pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu (notoatmodjo, 2003). pendidikan yaitu merupakan sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik seperti pengetahuan dan pemahaman tentang post traumatic stress disorder (ptsd), pengetahuan yang diperoleh secara formal dengan mengikuti pendidikan diklat tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya (http://www.seputar pengetahuan.com/ diakses tanggal 4 juni 2015). sehingga peneliti dapat menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi tentang post traumatic stress disorder (ptsd) dan pendidikan berarti bimbingan yang diberikan melalui diklat ksr yang dilaksanakan ke mahasiswa anggota ksr, dimana pendidikan mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki seseorang. mahasiswa yang memiliki pengetahuan baik mayoritas sudah pernah mendapatkan informasi tentang post traumatic stress disorder (ptsd). berdasarkan hasil tabulasi data silang didapatkan sebanyak 54.8% (51 mahasiswa) pernah mendapatkan informasi tentang post traumatic stress disorder (ptsd) dan memiliki pengetahuan yang baik. menurut mcfadden, dkk. (1999) dalam abdul kadir (2002) mengartikan informasi ialah sebagai data yang telah diproses sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan pengetahuan seseorang yang menggunakan data tersebut. peneliti berpendapat semakin banyaknya informasi yang didapat tentang post traumatic stress disorder (ptsd), semakin baik juga pengetahuan yang dimiliki oleh ksr. informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) , seperti informasi yang didapat pada saat melaksanakan diklat ksr, baik diruangan maupun dilapangan, sehingga informasi juga merupakan faktor penting yang mendukung pengetahuan seseorang. berdasarkan hasil tabulasi data silang, sebanyak 51.6% (48 mahasiswa) memiliki pengetahuan yang baik, namun tidak pernah memiliki pengalaman menangani ptsd karena tidak terjadinya bencana dan mereka masih termasuk dalam mahasiswa tingkat 1 ajaran baru. walaupun ksr belum memiliki cukup pengalaman dalam menangani post traumatic stress disorder (ptsd), mereka telah mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang post traumatic stress disorder (ptsd) pada saat mengikuti pendidikan diklat ksr yang mampu meningkatkan pengetahuannya. dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan yang baik dipengaruhi oleh pendidikan yang telah dilakukan dalam melaksanakan diklat ksr. walaupun anggota ksr belum memiliki cukup pengalaman dalam menangani post traumatic stress disorder (ptsd), berdasarkan wawancara pada anggota ksr mereka telah di bekali materi dan informasi yang pernah didapatkan di dalam melaksanakan diklat ksr, baik diruangan maupun dilapangan. dan sebaliknya walaupun memiliki pengetahuan yang baik, belum tentu mereka mampu untuk menangani ptsd karena mereka tidak memiliki pengalaman yang cukup untuk menangani ptsd. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 100% (93 mahasiswa) didapatkan sebanyak 62.4% (58 mahasiswa) di prodi d-iii keperawatan blitar memiliki pengetahuan yang baik tentang post traumatic stress disorder (ptsd). saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin memberikan saran sebagai berikut: 1) bagi tempat penelitian, diharapkan dapat meningkatkan pendidikan, baik secara formal maupun informal dan menambah materi dalam pengetahuan tentang post traumatic stress disorder (ptsd) dengan menambahkan pedoman penatalaksanaan tentang post traumatic stress disorder (ptsd) serta melibatkan korps sukarela (ksr) untuk ikut terjun langsung ke lapangan ketika terjadi bencana, 297sagita, gambaran pengetahuan ... 2) bagi responden, diharapkan responden mampu meningkatkan pengetahuan tentang post traumatic stress disorder (ptsd), dengan lebih banyak mencari informasi, mengikuti pendidikan baik secara formal maupun informal, serta menambah pengalaman dengan ikut terjun langsung menangani ptsd ketika terjadi bencana, 3) bagi peneliti lain, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan pengetahuan korps sukarela (ksr) prodi d-iii keperawatan blitar tentang post traumatic stress disorder (ptsd), yaitu mengukur tentang pelaksanaan post traumatic stress disorder di prodi d-iii keperawatan blitar. daftar rujukan abdul kadir. 2002. pengenalan sistem informasi. yogyakarta: andi american psychiatric association (apa). 1994. diagnostic and statistical manual of mental disorders (4 th ed). badan nasional penanggulangn bencana (bnpb). 2013. info bencana. www.bnpb.org (diakses tanggal 5 november 2014). fan, f., zhang, y., yang, y., mo, l., & liu, x. 2011. symptoms of posttraumatic stress disorder, depression, and anxiety among adolescents following the 2008 wenchuan earthquake in china. journal of traumatic stress, 24 (1), 44-53. kompasiana. 2012. perawat tanggap bencana, (http:// kompasiana.com) , diakses pada 6 november 2014 notoatmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2009. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh latihan pursed lips breathing terhadap perubahan rr pasien pneumonia di rsud lawang rizky amalia ulul azizah 1 , tri nataliswati 2 , ririn anantasari 3 1,2,3 fakultas keperawatan, poltekkes kemenkes malang info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 08/10/2018 disetujui, 20/12/2018 di publikasi, 26/12/2018 kata kunci: pursed lips breathing exercise, respiratory rate, pneumonia pneumonia adalah penyakit yang bisa terjadi pada segala usia. salah satu gejala pneumonia adalah meningkatnya rr yang disebabkan oleh inflamasi alveoli penuh cairan yang membuat tubuh sulit mendapatkan oksigen. tindakan oleh perawat untuk merawat pasien dengan peningkatan rr pneumonia adalah terapi farmakologi menurut instruki dokter, dan tindakan non farmakologi untuk menaikkan rr dengan melakukan latihan pursed lips breath-ing. tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk mengetahui efek latihan pursed lips breathing pada perubahan rr pada pasien pneumonia di ruang flamboyan rsud lawang. metode penelitian yang digunakan adalah quasi experimental. dengn tipe metode non equivalent control group. jumlah sampel didapat dari 30 responden, mengambil sampel menggunakan metode non probability sampling dengan accidental sampling. peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jam analog di grup intervensi dan grup kontrol. analisis data dalam pembelajaran ini menggunakan t-test pasangan dan t-test individu dengan software spss untuk windows 23.0 dengan level signifikan = 0,05. hasil menunjukkan bahwa ada efek dari latihan pursed lips breathing dalam perubahan rr di pasien dengan pneumonia (nilai 0.02 <0.05). diharapkan pada petugas kesehatan untuk mengaplika-sikan intervensi perawatan pursed lips breathing untuk pasien pneumonia.  correspondence address: poltekkes kemenkes malangeast java, indonesia p-issn : 2355-052x email: trinataliswati16@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p188-194 188 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) mailto:trinataliswati16@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/340 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ azizah, nataliswati, anantasari, pengaruh latihan pursed lips breathing ...... 189 the effect of pursed lips breathing exercise to the respiratory rate change of pneumonia patients in flamboyan room of rsud lawang history article: abstract received, 08/10/2018 pneumonia is a disease that can occur at any age. one of the symptoms of accepted, 20/12/2018 pneumonia is an increase in respiratory rate caused by inflammation of published, 26/12/2018 fluid-filled alveoli that makes the body difficult to obtain oxygen. treat keywords: ment by nurses to treat patients with increased respiratory rate pneumonia is pharmacologic therapy according to physician’s instructions, and there pursed lips breathing exercise, is non pharmacologic to improve respiratory rate such as doing pursed respiratory rate, pneumonia lips breathing exercises. the purpose of this study was to determine the effect of pursed lips breathing exercise to the respiratory rate changes of pneumonia patients in flamboyan room of rsud lawang. the design of the study was quasi experimental with nonequivalent control group design. the sample was 30 respondents taken by non probability sam pling by accidental sampling. the instrument used in this study was tick ing watches in the intervention group and control group. the data analy sis in this study used paired t-test and independent t-test with software spss for windows 23.0 with significant level = 0,05. the results showed that there was an effect of pursed lips breathing exercise to the respira tory rate changes in patients with pneumonia ( value 0.02 <0.05). it is expected that health workers will apply interventions to pursue pursed lips breathing for pneumonia patients. © 2018 journal of ners and midwifery 190 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 188–194 pendahuluan pneumonia merupakan penyakit yang dapat terjadi pada semua umur.salah satu gejala yang terdapat pada pneumonia adalah peningkatan rr yang disebabkan oleh inflamasi alveoli yang dipenuhi oleh cairan yang membuat tubuh sulit untuk menda-patkan oksigen (sidabutar, 2013). pneumonia meng-infeksi kira-kira 450 juta orang pertahun dan terjadi di seluruh penjuru dunia. penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada semua kelompok yang menyebabkan jutaan kematian (7% dari kema-tian total dunia) setiap tahun. penyakit pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 1 di india, nomor 2 di nigeria dan di indonesia pada urutan ke 8 (langke, 2015) di indonesia, pneumonia meru-pakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskular (cvd) dan tuberkulosis (tbc), faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian (misnadiarly, 2008). periode prevalensi tahun 2013 sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah nusa tenggara timur (4,6% dan 10,3%), papua (2,6%dan 8,2%), sulawesi tengah (2,3% dan 5,7%), sulawesi barat (3,1% dan 6,1%), dan sulawesi selatan (2,4% dan 4,8%) (riskesdas,2013). berdasarkan laporan kabupaten/kota tahun 2008 di jawa timur terdapat 213.280 kasus pneumonia dan 35,10% kasus diantaranya (74.862 kasus) (profil kesehatan provinsi jawa timur, 2008), sedangkan data studi pendahuluan pada tanggal 20 oktober 2016, di rsud lawang, penderita pneu-monia termasuk 10 besar penderita rawat inap, terdapat rata-rata 32 orang setiap bulan yang men-derita pneumonia. penderita pneumonia yang dirawat di rumah sakit sering mengalami distress pernapasan yang ditandai dengan napas cepat, retraksi dada, napas cuping hidung dan disertai stridor, sidabutar (2013). baik terapi farmakologi maupun non farmakologi diberikan untuk membantu pasien pneumonia, salah satu terapi non farmakologi yang diberikan adalah dengan latihan pursed lips breathing. pursed lips breathingt diberikan untuk membantu meng-atasi ketidakefektifan bersihan jalan napas pada pasien dengan pneumonia dengan cara meningkat-kan pengembangan alveolus pada setiap lobus paru sehingga tekanan alveolus meningkat dan dapat membantu mendorong secret pada jalan napas saat ekspirasi dan dapat menginduksi pola napas menjadi normal (bunner dan sudarth, 2002). latihan pursed lips breathingjugadapat dilakukan pada pasien dengan obstruksi jalan napas yang parah, dengan menentangkan bibir selama ekspirasi tekanan napas didalam dada dipertahankan, mencegah kegagalan napas dan kollaps, selama dilakukan pursed lips breathing saluran udara terbuka selama ekspirasi dan akan semakin meningkat sehingga mengurangi sesak napas dan menurunkan rr (bakti, 2015). beberapa hasil penelitian memperjelas bahwa latihan pursed lips breathingmempengaruhi pola pernapasan pasien emfisema, menurut astuti (2014) dan meningkatkan status oksigenasi pasien pneumonia, menurut sidabutar (2013). berdasarkan pernyataan tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “pengaruh latihan pursed lips breathing terha-dap perubahan rr pasien pneumonia”. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain quasy experiment dengan jenis rancangannon equiva-lent control group design.populasi dalam pene-litian ini adalah pasien yang mengalami pneumonia di ruang flamboyan rsud lawang yang berjumlah 34 orang. sample dalam penelitian ini berjumlah 30 orang masing-masing kelompok kontrol 15 orang dan kelompok perlakuan 15 orang. variabel bebas (independen) dalam penelitian ini yaitu pursed lips breathing dan respiratory rate (rr) merupakan variabel tergantung (dependen).penelitian dilaksana-kan di ruang flamboyan rsud lawang, pada mei 2017 s/d juni 2017. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah jam tangan berdetik yang berfungsi untuk mengukur rr, agar rr terkukur secara akurat dan sop latihan pursed lips brething. peneliti menentukan calon responden sesuai kriteria inklusi, kemudian menjelaskan maksud, tujuan, manfaat dan hal yang akan dilakukan selama penelitian kepada calon responden. peneliti meminta kesediaan calon responden yang bersedia diteliti dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent) pada responden sebagai tanda bersedia menjadi responden. akhirnya didapatkan 15 orang sebagai kelompok kontrol dan 15 orang sebagai kelompok perlakuan. pada kelompok perlakuan peneliti melakukan pengukuran rr awal responden dan didokumentasikan, data ini dijadikan data pretest kemudian diberikan tindakan latihan pursed lips brething selama 3 hari dimana disetiap harinya dilakukan 2x azizah, nataliswati, anantasari, pengaruh latihan pursed lips breathing ...... 191 latihan saat pagi dan sore, setiap kali latihan ini dilakukan selama 10 menit. pada kelompok kontrol peneliti melakukan pengukuran rr (respiratory rate) (pretest) selan-jutnya rr pada kelompok kontrol diukur kembali setelah hari ke 3 (post test). hasil pengukuran kemudian diolah dan di analisis dengan menggunakan paired ttest dan independent ttest dengan software spss for windows 23.0 dengan taraf signifikan = 0,05. hasil penelitian data umum karakteristik responden berdasarkan umur tabel 1 diagram distribusi umur responden di ruang flamboyan rsud lawang mei-juni 2017 variabel n mean sd min max meadian umur 30 44 14,4 20 65 49 karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan tabel 2 distribusi tingkat pendidikan responden di ruang flamboyan rsud lawang meijuni 2017 kelompok kelompok usia perlakuan kontrol f % f % sd 7 46,6 9 60 smp 4 26,6 3 20 sma 2 13,3 2 13,3 s1 2 13,3 1 6,6 total 15 100 15 100 berdasarkan diagram 2 di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan responden kelompok perlakuan yaitu sd sebanyak 7 orang (46.6%) sedangkan kelompok kontrol sd sebanyak 9 orang (60%). berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa ratarata usia responden pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah 44 tahun, dengan standart deviasi 14,4 tahun. usia termuda 20 tahun dan usia tertua 65 tahun. data khusus pengaruh latihan pursed lips breathing terhadap perubahan rr pada pasien pneumonia berdasarkan tabel 3, pada kelompok intervensi perbandingan perubahan rr kelompok intervensi antara sebelum latihan pursed lips breathing dan tabel 3 hasil uji paired ttest perubahan rr sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi serta sebelum dan sesudah kelompok kontrol di rsud lawang mei-juni 2017 variabel frekuensi rr n mean standart deviasi standar error value pre intervensi 15 38,5 3,06 0,79 0,000 post intervensi 15 22,8 2,99 0,77 pre kontrol 15 37,6 4,35 1.12 0,000 post kontrol 15 27,7 4,13 1,06 sumber: uji statistik paired ttest dengan spss 23 setelah latihan pursed lips breathingdidapatkan nilai pvalue = 0,000 < 0,05 yang berarti ada perbedaan rr antara sebelum dilakukan intervensi pursed lips breathing. pada kelompok kontrol perbandingan antara sebelum dan setelah intervensi pursed lips breathing didapatkan = 0,000 < 0,05 yang berarti ada perbedaan rr antara sebelum dilakukan intervensi. tabel 4 hasil uji independent ttest perubahan rr kelompok intervensi dan kelompok kontrol di rsud lawang mei-juni 2017 respiratory rate sig (2 tailed) kelompok intervensi dan 0,02 kelompok kontrol sumber: uji statistik idependent ttest dengan spss 23 192 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 188–194 berdasarkan tabel 4, hasil uji analisis menggunakan independent ttest didapatkan data bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan nilai value 0,02 < 0,05. yang berarti ada pengaruh perubahan rr yang diberikan pursed lips breathing pada kelompok intervensi dari pada kelompok kontrol. pembahasan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh latihan pursed lips breathing pada pasien pneumonia dimana pada kelompok perlakuan, yang diberikan pursed lips breathing ada perubahan dari sebelum diberikan pursed lips breathing dan sesudah diberikan pursed lips breathing peru-bahan rr menjadi turun, 15 responden menjadi 10 responden. teori yang mendasari hasil tersebut (bunner dan suddarth, 2002), pursed lips breathing ber-manfaat untuk meningkatkan pengembangan alveolus pada setiap lobus paru sehingga tekanan alveolus meningkat dan dapat membantu mendorong secret pada jalan napas saat ekspirasi dan dapat menginduksi pola napas menjadi normal dibuktikan dengan penelitian terdahulu oleh sidabutar, (2013) dengan judul “analisis praktik klinik keperawatan anak kesehatan masyarakat perkotaan pada pa-sien pneumonia di rsup fatmawati” hasil peneli-tian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifi-kan pursed lips breathing dengan metode “tiupan lidah terhadap peningkatan status oksigen pasien pneumonia di rsup fatmawati. didapatkan hasil penelitian dengan peningkatan status oksigenasi anak. pemberian tindakan aktivitas bermain meniup “tiupan lidah” pada anak yang mengalami pneumo-nia dapat diaplikasikan oleh perawat untuk pelayanan di rumah sakit. selain itu, perawat juga dapat mem-berdayakan orang tua dengan memberikan pendidik-an kesehatan mengenai masalah kesehatan yang dialami anak, dan begitu juga dengan latihan pursed lips breathinginiyang merupakan tindakan mandiri perawat dapat juga diajarkan kepada pasien untuk dapat dilakukan sendiri ketika di rumah sakit karena latihan pursed lips breathingmudah dilakukan, tidak mengeluarkan banyak energi, singkat, seder-hana serta aman, yang bermanfaat meningkatkan pengembangan paru, dan pernafasan menjadi nor-mal. pneumonia dapat menyerang siapa saja baik anak-anak, balita, remaja, orang dewasa dan usia lanjut, begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi bakteri segera menyerang. apabila sistem imun kita melemah dan sistem imun tidak dapat melawan mikroba dan mikroba mulai bermutasi terjadilah inflamasi alveoli yang akan dipenuhi oleh cairan yang membuat tubuh sulit untuk mendapatkan oksigen.hal tersebut dikarenakan system biologis manusia menurun secara perlahan karena terjadinya penurunan elastisitas dinding dada, perubahan struktur pernafasan dimulai pada orang dewasa pertengahan dan sering dengan ber-tambahnya usia maka elastisitas dinding dada, elastisitas alveoli, dan kapasitas paru mengalami penurunan.pada penelitian ini, responden terbanyak berada pada rata rata usia 44 tahun dengan standart deviasi 14,4 tahun, usia termuda 20 tahun dan usia tertua 65 tahun. menurut sidabutar, 2013, usia merupakan salah satu faktor utama pada beberapa penyakit, usia dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. selain usia, status pendidikan juga sebagai salah satu kemungkinan yang mempengaruhi seseorang terkait perilaku resiko terhadap kesehatan. kemudian, perilaku seseorang atau masyarakat dalam memanfaat-kan fasilitas ditentukan oleh pengetahuan salah satu-nya adalah pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, makin mudah pula ia menerima informasi, dan pada akhirnya ma-kin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya, sebaliknya jika tingkat pendidikan seseorang rendah itu akan menghambat perkembangan perilakunya terhadap penerimaan informasi. pada penelitian ini, khususnya pada kelompok perlakuan,lulusan sma dan sarjana lebih banyak daripada responden di kelompok kontrol, sehingga dapat dibuktikan bahwa pendidikan seseorang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam hal pengambilan keputusan terhadap masalah kesehatan. hasil lain pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang respondennya sejumlah 15 orang menjadi 14 orang yang masih mengalami perubahan rr yang belum normal setelah mendapat perlakuan, perubahan-perubahan rr turun tetapi tidak seperti pada kelompok perla-kuan yang diberikan latihan pursed lips breathing. padateori soemantri, (2009) aktifitas dan istirahat juga dapat mempengaruhi dari keadaan pola pernapasan, kegiatan dapat meningkatkan laju respirasi dan menyebabkan peningkatan suplai serta kebutuhan oksigen tubuh. azizah, nataliswati, anantasari, pengaruh latihan pursed lips breathing ...... 193 perubahan rata-rata nilai rr pada kelompok control dipengaruhi oleh obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit. perubahan rr lebih berpengaruh apabila diberikan juga terapi non farmakologi, dan penelitihanya memberikan perlakuan seperti membantu perawat sehari-hari sesuai dengan terapi yang diberikan dirumah sakit yang tindakannya tidak berbeda dengan pasien kelompok perlakuan seperti membantu memberikan terapi obat sesuai program rumah sakit dan setelah 3 hari peneliti melakukan pemeriksaan pola pernapasan pada pasien. hasil uji independent sample t-test perbedaan frekuensi rr kelompok intervensi dan kelompok kontroldidapatkan hasil nilai value = 0,02 < 0,05 yang berarti ada pengaruh terhadap perubahan rr yang diberi latihan pursed lips breathing terhadap kelompok intervensi. hal ini diperkuat dengan teori hafiizh, (2013) pursed lip breathing (plb) meningkatkan tekan-an parsial oksigen dalam arteri (pao2), yang menyebabkan penurunan tekanan terhadap kebutuhan oksigen dalam proses metabolisme tubuh, sehingga menyebabkan penurunan sesak nafas dan respira-tory rate (rr) atau frekuensi pernapasan. latihan pernapasan dengan pursed lips breathing ini memiliki tahapan yang dapat mem-bantu menginduksi pola pernapassan lambat, mem-perbaiki transport oksigen, membantu pasien me-ngontrol pernapasan dan juga melatih otot respirasi, dapat juga meningkatkan pertukaran gas o2 dan co2 terjadi di kapiler darah, yang disebabkan oleh inflamasi alveoli yang dipenuhi oleh cairan yang membuat tubuh sulit untuk mendapatkan oksigen sehingga pertukaran gas tidak dapat dilakukan dengan maksimal, penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida (sida-butar, 2013). adanya fasilitas pengosongan alveoli secara maksimal akan meningkatkan peluang masuknya oksigen kedalam ruang alveolus, sehingga proses difusi dan perfusi berjalan dengan baik. meningkatnya transfer oksigen ke jaringan dan otot-otot pernafasan akan menimbulkan suatu metabo-lisme aerob yang akan menghasilkan suatu energi (atp). energi ini dapat meningkatkan kekuatan otot-otot pernafasan sehingga proses pernafasan dapat berjalan dengan baik, (widiyani, 2015). setelah diberikan latihan pursed lips breathing selama10 menit sebanyak 2 kali sehari pagi dan sore dalam waktu 3 hari, kelompok intervensi mengalami penurunan jumlah pasien yang perubahan rr di atas normal. ada perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian pursed lips breathing pada pasien pneumonia di rsud lawang. kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan diberikan pursed lips breathing pada pasien pneumonia di kelompok perlakuan selama 10 menit sebanyak 2 kali sehari pagi dan sore dalam waktu 3 hari, kelompok perlakuan yang perubahan rr di atas normal menurun. didapatkan perbedaan antara sebelum dan sesudah pemberian pursed lips breathing pada kelompok perlakuan di rsud lawang, sehingga ada pengaruh pem-berian latihan pursed lips breathing terhadap peru-bahan rr pasien pneumonia di rsud lawang. saran memberikan latihan pursed lips breathing tidak hanya ketika pasien dirawat di rumah sakit, tetapi juga mengajarkan latihan pursed lips breathing kepada keluarga untuk bias diaplikasikan di rumah, sehingga terapi tersebut akan lebih dira-sakan manfaatnya, menjadikan dokumen ini sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan penge-tahuan ilmu keperawatan, sehingga kepala ruangan bias menginstruksikan perawat ruang agar latihan pursed lips breathing tersebut dijadikan sebagai teknik non farmakologis untuk menurunkan rr pasien pneumonia dan hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk penelitian yang lebih baik di waktu yang akan datang. daftar pustaka astuti, lw. (2014). pengaruh pursed lips breathing terhadap pola pernapasan pada pasien dengan emfisema di rumah sakit paru dr. ario wirawan salatiga, http://perpusnwu. web.id/karyailmiah/document/3837.pdf, diunduh 5 november 2016, badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan republik indonesia (2013), riset kesehatan dasar riskesdas 2013, (online), (http://www.depkes.go.id/resources/download/ general/hasil%20riskesdas%202013.pdf), diakses 25 september 2016. bakti, ka. (2015). pengaruh pursed lips breathing exercise terhadap penurunan tingkat sesak napas pada penyakit paru obstruksi kronik (ppok) di balai besar kesehatan paru masya 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 188–194 rakat (bbkpm) surakarta, http://eprints.ums. ac.id/40106/1/naskah%20publikasi, diakses 20 november 2016. brunner and suddarth. (2002). buku ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 volume 2. jakarta : egc hafiizh, me. (2013). pengaruh pursed lips breathing terhadap penurunan respiratory rate (rr) dan peningkatan pulse oxygen saturation (spo²) pada penderita ppok, program studi sarjana fisioterapi fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah surakartahttp://eprints.ums.ac.id/ 25567/1/3.halaman_depan.pdf,diakses 22 november 2016. langke, l, ali, rh & simanjuntak, ml. (2015). gambaran foto toraks pneumonia di bagian/smf radiologi fk unsrat / rsup prof. dr. r. d kandou,http:// ejournal.unsrat.ac.iddiakses 18 november 2016. misnadiarly. (2008). penyakit infeksi saluran napas pneumonia pada anak balita, orang dewasa, usia lanjut, pustaka obor populer, jakarta. dinas kesehatan provinsi kawa timur. (2008). profil kesehatan provinsi jawa timur. http://dinkes. jatimprov.go.id/userfile/dokumen/1311839621_ profil_kesehatan_provinsi_jawa_timur_2008.pdf dinkes prov. jatim. 2013. profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2013. (online). www.depkes.go.id. diakses 15 desember 2018. setiadi. (2013). konsep dan praktik penulisan riset keperawatan, graha ilmu, yogyakarta. soemantri, i. (2008). asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan, salemba medika, jakarta. sidabutar, ta. (2013). analisis praktik klinik keperawatan anak kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien pneumonia di rsup fatmawati, depok, http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/ documents/4828.pdf, diakses 6 januari 2017. widiyani, c. (2015). pengaruh pursed lips breathing terhadap arus puncak ekspirasi (ape) pada pasien bronkitis kronis dipoli spesialis paru b rumah sakit paru jember,http://repository.unej. ac.id/bitstream/handle,diakses 27 januari 2017. 178 hubungan perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien di poli vct rsud gambiran kota kediri berdasarkan teori watson (relationship between caring behavior of nurse with patient satisfaction in vct clinic gambiran hospital with watson theory approach) titik juwariah , nanang bagus witjayanto joyo program studi ilmu keperawatan sekolah tinggi ilmu kesehatan ganesha husada kediri e-mail: titik.juwariyah@yahoo.com abstract: caring can be seen through the attitude and action that are characteristic of the behavior. as the health care service, caring so important for patient. patient satisfaction is indicator of quality insurance of hospital. the purpose of this study was to analyze the relationship of caring behavior of nurse with patient satisfaction in vct clinic gambiran hospital with watson theory approach. methode: research study was analytic corelational design. research samples was 50 of patient at vct clinic gambiran hospital. data collected at july to september 2014 by using questionnaire and proceeded by spearman rho test. the result of this study was that caring behavior nurse correlated with patient satisfaction with pvalue=0,000. according the result of this study are expected to be the input for hospitals to improve quality of service by apply minimum standart service that are caring behavior. keywords: caring behavior, nurse, patient satisfaction kepuasan pasien merupakan salah satu indikator yang menunjukkan pelayanan rumah sakit yang bermutu dan perilaku caring perawat adalah aspek yang terintegrasi dengan perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. kotler (2003) menyebutkan bahwa kepuasan pasien dapat dinilai dari beberapa dimensi, yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. caring dapat dilihat melalui sikap maupun tindakan yang merupakan karakter dari sebuah perilaku. caring diperlukan bagi seorang tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kepada pasien sehingga harus dilakukan secara baik untuk mencapai tujuan dari pelayanan kesehatan. beberapa penelitian meneliti tentang kepuasan pasien, diantaranya penelitian tanjung & salbiah (2012) tentang harapan pasien dalam kepuasan perilaku caring perawat dengan hasil 94,3% pasien memiliki harapan yang tinggi tentang perilaku caring perawat. husein (2006) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa bahwa 90% pasien merasa tidak nyaman berbicara dengan perawat, 84% dari jumlah tersebut memiliki pengalaman negatif karena perawat tidak memperhatikan kebutuhan pasien. hasil penelitian yang dilakukan oleh sumarwati (2006) di sebuah rumah sakit di yogyakarta, tentang gambaran perilaku caring perawat pada pasien panderita kanker.hasil penelitian menunjukkan dari 67 orang responden 54 orang mengatakanperilaku caring perawat kurang baik karena mereka kurang mengerti akan kebutuhandasar yang diperlukan pasien. beberapa faktor dapat mempengaruhi kepuasan pasien, salah satunya adalah kinerja (performance) misalnya kecepatan, kemudahan, kenyamanan ketika perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dapat mempercepat kesembuhan pasien, mudah dan cepat dalam memberikan pelayanan dengan selalu memperhatikan kebersihan, keramahan dan kelengkapan fasilitas rumah sakit. dwidiyanti (2007) menyatakan bahwa perilaku caring merupakan suatu tindakan yang dilakukan dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. perilaku caring diajarkan dan dilatih terus menerus – menerus, bagi petugas kesehatan khususnya perawat, sifat caring dapat dipupuk seiring dengan kurun waktu dalam memberikan pelayanan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p177-183 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 179 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.178-183 keperawatan kepada pasien. perilaku ini terlihat dalam kegiatan perawat saat berinteraksi dengan klien, tim keperawatan, tim kesehatan yang lain, dengan pimpinan dan masyarakat. tujuan utama dari perilaku caring ini adalah untuk membangun struktur sosial, pandangan dan nilai kultur setiap individu yang berbeda – beda dan dalam setiing tempat dan waktu berbeda. perilaku ini merupakan cerminan dari aplikasi asuhan keperawatan transkultural. persepsi pasien atau klien terhadap pelayanan kesehatan perlu diperhatikan oleh pemberi pelayanan kesehatan karena masyarakat yang menilai baik buruknya pelayanan di rumah sakit. perawat perlu memperhatikan tingkat kepuasan pasien atau klien, minimalkan biaya atau waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap sasaran. umpan balik atau informasi merupakan elemen yang penting dalam membangun sistem pemberian pelayanan yang efektif, termasuk terhadap kepuasan pelanggan dan kualitas pelayanan (kotler, 2005). salah satu umpan balik yang dapat diterima oleh perawat adalah penilaian pasien terhadap perilaku caring yang dilakukan oleh perawat. hal ini sangat penting karena persepsi pasien tentang perilaku caring perawat yang rendah dapat berdampak pada motivasi pasien untuk sembuh. kemampuan perawat dengan memberikan pelayanan yang baik, menciptakan komunikasi terapeutik yang menyenangkan dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan berdampak meningkatkan motivasi pasien untuk mengikuti program terapi. abdul dkk (2013) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa ada hubungan signifikan perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien rawat inap rumah sakit. berdasarkan teori diatas dapat diasumsikan bahwa “terdapat hubungan antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien” dimana semakin tinggi nilai caring perawat maka pelanggan atau pasien semakin puas atas pelayanan yang diberikan. namun dugaan tersebut tentuntnya perlu di buktikan melalui kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan melalui sebuah penelitian. pelayanan di poli vct dilakukan oleh perawat yang memberikan pelayanan langsung yaitu perawat konselor, dan perawat screening hiv. interaksi yang intens diantara perawat conselor dan perawat screening ini dengan pasien atau penderita hiv terjadi karena mereka sering bertemu dalam waktu yang cukup lama. berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “hubungan perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien di poli vct rsud gambiran kota kediri”. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien di poli vct rsud. gambiran kota kediri berdasarkan teori watson. bahan dan metode penelitian ini menggunakan metode penelitian korelatif dengan pendekatan cross sectional studi. sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 orang dengan menggunakan teknik sampling accidental sampling. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji coba dan dianalisa dengan menggunakan spearman rho. variabel yang independen dalam penelitian ini adalah perilaku caring perawat dan variable dependennya adalah kepuasan pasien. hasil penelitian hasil penelitian disajikan dalam tabel berikut ini. tabel 1. karakteristik pasien hiv/ aids di poli vct rsud. gambiran kediri juli – september 2014. no karakteristik f % 1 jenis kelamin  laki – laki  perempuan 21 29 42 58 2 umur  ≤ 20 tahun  21 – 30 tahun  31 – 40 tahun  41 – 50 tahun  ≥ 50 tahun 9 19 11 8 3 18 38 22 16 6 3 pekerjaan  mahasiswa  tidak bekerja  ibu tumah tangga  swasta  pns 6 3 13 22 6 12 6 26 44 12 4 tempat tinggal  kediri  luar kediri 36 14 72 28 5 status pernikahan  belum menikah  janda/ duda  menikah 16 7 27 32 14 54 6 pendidikan  sd  sltp  slta 6 13 22 9 12 26 44 18 juwariyah dan witjayanto, hubungan perilaku caring…. 180 no karakteristik f %  perguruan tinggi berdasarkan tabel 1 data karakteristik pasien hiv/ aids di poli vct rsud. gambiran kediri, jenis kelamin terbanyak adalah perempuan 29 orang (28%), usia terbanyak dalam rentang 21 – 30 tahun yaitu 19 orang (38%), pekerjaan terbanyak swasta 22 orang (44%), tempat tinggal terbanyak di kediri yaitu 36 orang (72%), status pernikahan menikah sebanyak 27 orang (54%), dan pendidikan slta sebanyak 22 orang (44%). tabel 2 perilaku caring perawat di poli vct rsud. gambiran kediri no perilaku caring frekuensi (f) persentase (%) 1 tidak care 6 12 2 cukup care 14 28 3 care 18 36 4 sangat 12 24 no perilaku caring frekuensi (f) persentase (%) care berdasarkan tabel 2 perilaku caring yang ditunjukkan perawat yang terbanyak adalah dalam kategori care yaitu 18 orang (36%). tabel 3. tingkat kepuasan pasien hiv/ aids di poli vct rsud. gambiran kediri no tingkat kepuasan pasien frekuensi (f) persentase (%) 1 tidak puas 2 4 2 cukup puas 10 20 3 puas 17 34 4 sangat puas 21 42 berdasarkan tabel 3 tingkat kepuasan pasien hiv/ aids yang terbanyak dalam kategori sangat puas sebanyak 21 orang (42%). tabel 4. hubungan perilaku care perawat dengan tingkat kepuasan pasien hiv/ aids di poli vct rsud. gambiran kediri perilaku caring tingkat kepuasan pasien spearman’s rho perilaku caring correlation coefficient sig. (2-tailed) n 1.000 50 .498** .000 50 tingkat kepuasan pasien correlation coefficient sig. (2-tailed) n .498** .000 50 1.000 50 berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan spearman’s rho didapatkan hasil korelasi p-value=0,000, yang berarti ada hubungan antara perilaku care perawat dan tingkat kepuasan pasien hiv/ aids dengan kekuatan hubungan 0,498 yang berarti hubungannya sedang. pembahasan perilaku caring perawat dwidiyanti (2008) menyatakan bahwa caring merupakan manifestasi dari perhatian kepada orang lain, berpusat pada orang lain,menghormati harga diri dan kemanusiaan, komitmen untuk mencegah terjadinya suatu yang memburuk, member perhatian dan konsen, menghormati kepada orang lain dan kehidupan manusia, cinta dan ikatan, otoritas dan keberadaan, selalu bersama, empati, pengetahuan, penghargaan dan menyenangkan. berdasarkan hasil penelitian menurut pasien hiv/ aids di poli vct rsud. gambiran kediri, sebagian besar perilaku caring perawat dalam kategori “care”yaitu 18 orang (36%). perawat merupakan bagian dari tim pelayanan kesehatan di rumah sakit, perilaku caring yang ditunjukkan perawat dalam memberikan pelayanannya menjadi salah satu indikator mutu pelayanan. menurut cosette (2008) caring mencakup upaya perawat untuk meningkatkan proses pembelajaran interpersonal, menanamkan konsep self care, menumbuhkan hubungan saling membantu, menggunakan metode penyelesaian masalah dengan lebih kreatif, menghargai kekuatan – kekuatan yang ada dalam kehidupan, terbuka pada dimensi spiritual caring serta penyembuhan yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah, bertindak berdasarkan sistem nilai yang manusiawi, menanamkan harapan dan kepekaan terhadap diri sendiri atau orang lain serta memberikan kenyamanan kepada pasien dalam bentuk 181 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.178-183 memenuhi kebutuhan dasar pasien dengan penuh penghargaan. rata-rata masa kerja perawat yang saat ini bertugas di poli vct rsud. gambiran adalah 11 tahun, dalam kurun waktu tersebut perawat sudah menerapkan perilaku caring secara optimal. di era globalisasi ini, kesadaran masyarakat semakin meningkat dan tuntutan terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas juga meningkat. dengan adanya sikap caring yang dilakukan oleh perawat dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit secara umum. terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku caring perawat, salah satunya adalah motivasi intrinsik. pendapat ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh newton (2009) yang menyimpulkanbahwa motivasi menjadi perawat didasari oleh faktor intrinsik seperti keinginan untuk membantu atau peduli kepada orang lain dan berkontribusi pada masyarakat. malini (2009) juga berpendapat bahwa perilaku caring banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan salah satunya adalah motivasi diri. demikian juga penelitian yang dilakukan oleh sobirin (2006), juliani (2007) dan amelia (2009) bahwa faktor motivasi baik internal maupun eksternal dapat mempengaruhi perilaku caring seorang perawat. sedangkan menurut gibson, james & john (200) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kinerja perawat yaitu faktor individu, psikologis dan organisasi. perilaku caring perawat berdasarkan persepsi pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah karakteristik pasien. hasil crosstab jenis kelamin dengan perilaku caring menunjukkan bahwa pasien hiv/ aids yang mempersepsikan perilaku caring dalam kategori care sebanyak 14 orang. pasien dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak menganalisis masalah sebelum menentukan bahwa perilaku caring ini dalam kategori care. pasien yang berusia 21 – 30 tahun terbanyak mempersepsikan perilaku caring perawat dalam kategori care. ibu rumah tangga terbanyak mempersepsikan perilaku caring pada kategori care. pasien yang tinggal di kediri terbanyak mempersepsikan care dan sangat care. pasien yang menikah mempersepsikan caring dalam kategori care. tingkat kepuasan pasien hiv/aids berdasarkan hasil penelitian terhadap 50 pasien hiv/ aids yang berobat di poli vct rsud.gambiran kediri mayoritas tingkat kepuasannya adalah sangat puas yaitu 21 orang (42%). hal ini sesuai dengan pendapat wahyudi dan amelian, 2008 dalam salbiah dan tanjung, 2008 bahwa kepuasan pasien pasti meningkat apabila perawat dapat memberikan pelayanan yang memenuhi unsur – unsur karatif caring, demikian juga pendapat anjaswarni, keliat dan sabri (2008) yang menyatakan bahwa pelaksanaan faktor – faktor karatif dalam caring secara efektif dapat meningkatkan kepuasan klien terhadap pelayanan kesehatan pada umumnya dan pelayanan keperawatan pada khususnya. perilaku caring perawat di pelayanan keperawatan khususnya di poli vct dapat meningkatkan respon adaptif psikologis (penerimaan diri) terhadap penyakitnya, sehingga berbagai perasaan dan reaksi stress, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu,berduka dan ketidakpastian terhadap penyakitnya dapat segera diatasi. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang berusia antara 21 – 30 .tahun, penelitian sejalan/ berbeda dengan penelitian lamri (1997 dalam sukesi, 2012) bahwa tingkat kepuasan pasien terhadap perilaku caring perawat pada usia 18 – 45 tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan yang berusia 12 – 17 tahun. pasien dengan usia yang lebih tua dapat dengan mudah menerima perlakuan orang lain, termasuk perilaku perawat dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan, walaupun respon ini juga dipengaruhi oleh karakteristik pasien. berdasarkan hasil cross tabulasi pasien perempuan memiliki tingkat kepuasan lebih tinggi dibandingkan laki laki. hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh sukesi (2012) bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan tingkat kepuasan. pendapat ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh mcclean (2010) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin pasien dengan tingkat kepuasan pasien. sedangkan robin & judge (2008) menjelaskan bahwa wanita menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk menganalisa suatu hal dibandingkan dengan laki – laki, sehingga wanita dapat lebih detail dalam menganalisa perilaku caring perawat dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan. persepsi wanita tentang kepuasan lebih rinci dibandingkan laki – laki, dengan kata lain apabila terpapar dengan perilaku caring yang sama antara laki – laki dan wanita, maka laki – laki akan lebih mudah mempersepsikan kepuasan pelayanan dibandingkan dengan wanita. juwariyah dan witjayanto, hubungan perilaku caring…. 182 berdasarkan hasil cross tabulasi data menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pasien yang tinggi memiliki tingkat keluasan yang semakin baik. hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh sukesi (2012) yang memperlihatkan bahwa dengan tingkat pendidikan yang rendah, pasien akan lebih mudah mempersepsikan kepuasan. hal ini dapat terjadi karena seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi, maka tuntutannya terhadap pelayanan akan semakin tinggi. rata – rata pasien hiv/ aids ini telah berobat di poli vct selama 2 tahun. menurut jones (2008) menciptakan kepercayaan pasien kepada perawat adalah dengan menciptakan waktu kebersamaan antara pasien dan perawat. semakin lama masa berobat pasien hiv/ aids di poli vct, maka hubungan saling percaya antara pasien – perawat semakin kuat dan persepsi tentang kepuasan semakin tinggi. hubungan antara perilaku caring dan kepuasan pasien berdasarkan hasil uji statistik spearman rho menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien hiv/ aids yang berobat di poli vct rsud gambiran kediri dengan nilai signifikansi p-value=0,000. hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh ria (2009) bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien dengan p value 0,03. tanjung dan salbiah (2012) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pasien memiliki harapan yang tinggi terhadap perilaku caring perawat yaitu 94,3% dan sebanyak 78,6% pasien merasa puas terhadap perilaku caring perawat. kepuasan pasien adalah hasil dari penilaian pasien terhadap produk atau pelayanan yang memberikan tingkat kenikmatan terhadap pemenuhan ini lebih atau kurang. kepuasan dicapai apabila persepsi pasien sama atau lebih dari yang diharapkan. pasien merasa puas apabila harapannya terpenuhi atau sangat puas jika harapan pasien terlampaui (irawan, 2002). hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepuasan yang terbanyak pada tingkat puas dan sangat puas pada pasien dengan tingkat pendidikan slta. penelitian ini sesuai dengn penelitian setiasih (2006) bahwa latar belakang pendidikan klien mempengaruhi kepuasan pasien. otonomi perawat merupakan subvariabel yang paling berpengaruh terhadap kepuasan pasien, tetapi hanya 25,5% dari variasi kepuasan pasien yang dapat dijelaskan secara simultan oleh otonomi yang dimiliki oleh perawat. perilaku caring yang dilakukan oleh perawat juga dapat belum optimal, hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya supervise yang dilakukan oleh kepala ruang atau kepala bidang keperawatan. hal ini diperkuat oleh penelitian muttaqin (2008) yang meneliti tentang pengaruh supervise terhadap perilaku caring, dengan hasil bahwa dengan adanya supervisi maka terjadi peningkatan perilaku caring perawat. berdasarkan hasil crosstab perilaku caring dengan kepuasan pasien, terdapat 6 pasien yang menyatakan perilaku caring perawat “tidak care” akan tetapi 4 orang cukup puas dan 2 orang puas.. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh abdul dkk (2013) yang mendapatkan 3,1% pasien mempunyai persepsi kurang baik tentang perilaku caring, namun merasa puas. hal ini dapat disebabkan oleh cara perawat dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan pasien/ keluarga.pernyataan ini didukung oleh singgih dkk (2012) yang menyatakan bahwa perawat yang dapat meyakinkan pasien/ keluarga akan memperoleh kepercayaan dari pasien, sehingga secara tidak langsung dapat membantu membentuk sikap positif pasien terhadap perawat. pasien hiv/ aids adalah penyakit yang sampai saat ini belum dapat disembuhkan. secara psikologis setiap orang yang sakit membutuhkan dukungan dari berbagai segi, baik secara fisik, psikologis dan spiritual, akan tetapi manifestasi keinginan pasien ini tidak semuanya dapat diamati oleh perawat. hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik dari pasien. pendapat ini didukung oleh singgih (2012) yang menyatakan bahwa ada orang sakit yang selalu ingin diperhatikan dan menarik perhatian perawat, ada juga yang sungkan dan segan untuk memanggil dan meminta bantuan perawat. penelusuran dari berbagai literatur menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien. penilaian terhadap kepuasan pasien merupakan salah satu indikator yang menunjukkan mutu pelayanan kesehatan dan keperawatan suatu rumah sakit. hasil penelitian yang menunjukkan masih ada perawat yang “tidak care” dan “kurang care” menurut persepsi pasien, hendaknya dapat menjadi salah satu masukan pada bagian manajemen untuk mengkaji lebih dalam penyebabnya dan dapat memberikan treatment untuk memperbaikinya. 183 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.178-183 pohan (2007) menyatakan bahwa analisis survey kepuasan pasien yang berkesinambungan akan menghasilkan informasi baik untuk motivasi organisasi maupun sikap personel dengan tujuan baik ke arah peningkatan kepuasan pasien ataupun peningkatan mutu pelayanan kesehatan. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: perilaku caring perawat di poli vct rsud gambiran kediri dinilai oleh pasien hiv/ aids pada tingkat “tidak care” 6 orang (12%), “cukup care” sebanyak 14 orang (28%), “care” sebanyak 18 orang (36%) dan “sangat care” sebanyak 12 orang (24%), kepuasan pasien “tidak puas” sebanyak 2 orang (4%), “cukup puas” sebanyak 10 orang (20%), “puas” sebanyak 17 orang (34%), “sangat puas” sebanyak 21 orang (42%), ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien hiv/ aids di poli vct rsud gambiran kediri dengan nilai r=0,000 dan rs=0,498. saran kepada manajemen rumah sakit, perlu dilakukan penilaian kepuasan pasien secara berkala, karena kepuasan pasien merupakan alat ukur untuk introspeksi diri personel pelayanan kesehatan/ keperawatan. penyusunan spo perilaku caring perawat. peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian tentang kepuasan pasien ini di ruangan rawat inap, karena kontak pasien dan perawat yang lebih lama dapat memberikan hasil yang lebih signifikan. daftar rujukan abdul., saleh, a., sjattar, el. (2013). hubungan perilaku caring perawat dengan tingkat kepuasan pasien rawat inap rumah sakit.program studi ilmu keeperawatan universitas hasanuddin. . anjaswarni, t., keliat, b. a & sabri, l. (2002). analisis tingkat kepuasan klien terhadap perilaku caring perawat di rumah sakit umum daerah dr saiful anwar malang. jurnal keperawatan indonesia: fakultas ilmu keperawatan universitas indonesia. vol. 6 no. 2 september 2000. dwidiyanti, mediana ( 2008 ). keperawatan dasar : konsep “ caring “.komunikasi . etik dan spiritual dalam pelayanan kesehatan. semarang: hasani. husein, m,et.al (2007). patient satisfaction with nursing care rumah sakit .rawat medical journal.vol32:no 1, jan-june 2007. khan, d.i, gomal madical college, pakistan, medical jurnal: vol. 32. no 1, januari-juni 2007: 27 irawan. (2002).10 prinsip kepuasan pelanggan, paradigma baru merebut hati pelanggan untuk memenangkan persaingan.jakarta. pt elex media komputindo jones (2008). perception of nurses caring behaviors by trauma patient. journal of advance nursing vol 2 page 645658. julia. 1995. nursing theories: the base for professional nursing practice, 4th edition. connecticut: apleton & lange. kozier, b.e (2004). fundamentals of nursing: concepts, process, and practice. new jersey: pearson education inc. kotler, p.(2005).manajamen pemasaran,jilid 1 dan 2. jakarta: pt. indeks kelompok gramedia. malini, h & sartika, d. (2009).hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat di rsmd jamil padang. artikel ilmiah. diunduh pada 12 juli 2011 dari http://repository.unand.ac.id/687/ mcclean. (2010). assessing the security needs of patient in medium secure psychiatric care in northern ireland. http://www.stjohnsmercy.org/patient info/sjmh/safetysecurity.asp, dibuka tanggal 30 september 2014. muttaqin.(2008). pengaruh supervisi terhadap perilaku caring perawat pelaksana di rumah sakit umum daerah kabupaten cianjur. tesis. program magister ilmu keperawatan fik ui tidak dipublikasikan. newton j .m. (2009). the motivations to nurse: an exploration of factors amongst undergraduate students, registered nurses and nurse managers. journal of nursing management, 17, 392– 400doi: 10.1111/j.13652834.2008.00945.x pohan, i.(2007). penjaminan suatu kesehatan. jakarta: salemba medika. potter dan perry. 2005. buku ajar fundamental keperawatan, konsep, proses dan http://repository.unand.ac.id/687/ juwariyah dan witjayanto, hubungan perilaku caring…. 184 praktik. edisi 4. alih bahasa oleh yasmin asih. jakarta: egc. ria, w. (2009) hubungan perilaku caring perawat dengan kepuasan klien dalam pelayanan keperawatan di instalasi rawat inap rumah sakit bhayangkara semarang. skkripsi. program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas diponegoro. robbins & judge, t.a. (2008). perilaku organisasi. (d. angelica, dkk, penerjemah). edisi 12. jakarta: salemba empat. tanjung, n., salbiah.(2012).harapan pasien dalam kepuasan perilaku caring perawat di rsud deli serdang lubukpakam. fakultas keperawatan. universitas sumatera utara. singgih & yulia, (2012). psikologi keperawatan. jakarta: libri. sobirin, c. (2006). hubungan beban kerja dan motivasi dengan penerapan perilaku caring perawat pelaksana di brsud unit swadana kabupaten subang. tesis. tidak diterbitkan.program pasca sarjana fakultas ilmu keperawatan. universitas indonesia. sukesi, niken (2012). upaya peningkatan caring perawat terhadap kepuasan pasien di ruang rawat inap rs permata medika semarang. skripsi. sekolah tinggi ilmu kesehatan widya husada semarang. sumarwati. (2006). gambaran perilaku caring perawat pada pasien kanker dengan kepuasan pasien di rumah sakit yogyakarta.skripsi. watson, j. 2004. theory of human caring. (online),http://www.uchsc.edu/son/car ing), diakses tanggal 15 oktober 2010 , jam 12.45 wib). 202 pengaruh terapi pijat refleksi terhadap penurunan tekanan darah pada lanjut usia dengan hipertensi (the effectiveness of reflexology massage in lowering the blood pressure in elderly with hypertension) levi tina sari, nevy norma renityas dan wahyu wibisono stikes patria husada blitar e-mail: viemuaniez@yahoo.com abstract : elderly in the age of 60 or above is a natural process that can not be avoided where the life of man as a human being is limited by a rule of nature. as a result of the aging process, the blood vessels become stiff and affect the left ventricular wall reduce its elasticity, resulting in a progressive increase of blood pressure. the treatment of hypertension in addition to pharmacological therapy could also use non-pharmacological therapies such as reflexology massage. method: the research design used in this study was pre-experimental using one group pretest-posttest approach. in this research, the researchers measured blood pressure before and after the treatment (reflexology massage). the sample of this study was 20 respondents using purposive sampling. this research used statistical t-test analysis test, because it had a scale ratio data. result : the result of t-test showed that p <0.0001, means that there was significantly different result before and after treatment with reflexology massage on the feet with a medium timber. discussion : it is expected that people with hypertension do the feet reflexology massage in order to taking medication because can lower systolic blood pressure. keywords : elderly, reflexology massage, hypertension pada lanjut usia dengan umur 60 tahun keatas merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dimana umur manusia sebagai mahkluk hidup terbatas oleh suatu aturan alam. resiko yang dapat muncul dalam masa penurunan yang sangat erat hubungannya dengan proses menua antara lain : gangguan sirkulasi seperti hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pada persendian seperti osteoporosis (nugroho, 2008). akibat dari proses menua, pembuluh darah menjadi kaku dan menyebabkan dinding ventrikel kiri berkurang elastisitasnya, akibatnya kenaikan tekanan darah menjadi progresif. langkah pertama dalam perawatan hipertensi adalah terapi farmakologi dan terapi non farmakologi. terapi farmakologi hanya membuat tekanan darah kembali normal tetapi tidak menjamin tekanan darah kembali naik. jika obat diminum dalam jangka waktu yang lama, dapat memberikan efek kerusakan organ target seperti otak dan ginjal. penanganan hipertensi selain dengan terapi farmakologi juga bisa menggunakan terapi non farmakologi diantaranya pijat refleksi (sustrani, 2006). menurut who (2005) menyatakan bahwa hipertensi merupakan masalah kesehatan umum didunia. diperkirakan sekitar 7,1 juta orang mengalaminya pada usia lebih muda dan sekitar 64 juta orang mengalami disability adjusted life year karena hipertensi. di indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat hipertensi dan terdapat 450.000 kasus penyakit hipertensi. dari kasus hipertensi tersebut diketahui bahwa 337.500 kasus (75%) merupakan usia produktif (15-50 tahun) yang didominasi oleh laki-laki, sisanya 112.500 kasus (25%) tidak terdiagnosis dan baru sebagian yang tercakup dalam program penaggulangan penyakit hipertensi sesuai dengan rekomendasi who (depkes ri, 2006). acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p200-204 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 203 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.202-206 dari data tersebut diatas, terdapat 21 ribu penderita kasus hipertensi setiap bulan yang tersebar di jawa timur. data dinas kesehatan (dinkes) jawa timur menyebutkan, total penderita hipertensi di jatim 2011 sebanyak 285.724 pasien. data ini diambil menurut surveilans terpadu penyakit (stp) puskesmas di jatim. jumlah tersebut terhitung mulai bulan januari hingga september. dengan jumlah penderita tertinggi pada bulan mei sebanyak 46.626 pasien. hipertensi di jatim menduduki “top score” selama tiga tahun terakhir dibandingkan 3 kasus penyakit tidak menular (ptm) (dinkes, 2011). sementara itu, menurut stp puskesmas di jatim 2010, sejumlah daerah di jawa timur yang paling banyak menyumbang pasien penderita hipertensi adalah kabupaten malang dengan jumlah penderita 31.789 orang. disusul surabaya menduduki peringkat ke-2 dengan jumlah 28.970 penderita. madura menduduki rangking 3 sebanyak 28.955 penderita. sementara di blitar jumlah penderita hipertensi sebanyak 15.292 orang. secara keseluruhan jumlah penderita hipertensi di jatim mencapai 275 ribu orang (dinkes, 2010). jumlah penderita hipertensi di jawa timur meningkat setiap tahunnya sebagian besar disebabkan kondisi stres. seseorang dalam kondisi stres akan mengakibatkan penyempitan pembuluh darah dan pengeluaran cairan lambung yang berlebihan. akibatnya, seseorang akan mengalami mual, muntah, mudah kenyang, nyeri lambung yang berulang dan nyeri kepala. jika hal ini terjadi terusmenerus, dapat menyebabkan komplikasi hipertensi. selain itu faktor yang berpengaruh memacu terjadinya tekanan darah tinggi adalah faktor genetik, jenis kelamin, usia, obesitas, dan konsumsi garam serta alkohol. penderita hipertensi biasanya tidak menunjukkan gejala yang spesifik, hanya gejala ringan seperti pusing, gelisah, mimisan dan sakit kepala. kenaikan tekanan darah baru diketahui sewaktu pemeriksaan. hipertensi yang berulang-ulang dikarenakan pemeriksaan yang tidak teratur dan sering tidak dirasakan oleh penderitanya, sering menimbulkan komplikasi pada organ tubuh lainnya seperti pada jantung, otak mata dan ginjal (sutanto, 2010). berdasarkan hasil studi pendahuluan di bendogerit tahun 2013 terdapat 78 lanjut usia dan yang aktif hadir ke posyandu lansia sebanyak 40 orang lanjut usia dan 26 orang (65%) yang mengalami hipertensi. selama ini selain terapi farmakologi, terapi non farmakologi seperti akupunktur, meditasi, herbal dan pijat refleksi tidak pernah diberikan pada lanjut usia dengan hipertensi, dan pemberian konseling tentang diit makanan hanya sebatas agar mengurangi konsumsi garam, pada lanjut usia yang mengalami hipertensi ringan langsung diberi obat anti hipertensi dengan dosis rendah dan jika hipertensi berat maka biasanya diberi obat anti hipertensi dengan dosis tinggi (posyandu lansia, 2012). hal tersebut terjadi berulangulang, padahal dengan mengkonsumsi obatobatan terus menerus dapat mengakibatkan kerusakan organ fital seperti hati, jantung, dan otak. pengobatan hipertensi tidak hanya dengan obat-obatan saja, metode pengobatan komplementer dengan terapi pijat refleksi dapat menjadi pilihan alternatif yang baik dari segi manfaat dan keamanannya. pijat refleksi adalah terapi non-infasif dan membantu untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut dari tubuh. refleksi membantu mengurangi stres dari tubuh ketika diterapkan pada kaki. menerapkan tekanan pada kaki membantu dalam pembangunan kembali keseimbangan tubuh. hal ini juga membantu dalam mengurangi nyeri, meningkatkan aliran darah, mengurangi tekanan darah dan kolesterol (ayushveda, 2009). peneliti lebih tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh pijat refleksi terhadap penurunan tekanan darah karena penderita hipertensi lebih banyak dibandingkan didesa lain, sebelumnya peneliti pernah melakukan studi pendahuluan , jumlah lansia dengan hipertensi hanya 18 orang dari 47 lanjut usia yang datang ke posyandu lansia. jadi penderita hipertensi di desa babadan wlingi tidak sebanyak penderita hipertensi di bendogerit. pijat refleksi saat ini sudah diteliti tentang pengaruh terhadap penurunan tekanan darah, namun selama ini terapi non farmakologi seperti pijat refleksi di bendogert kota blitar belum pernah dilakukan, karena adanya keterbatasan tenaga kesehatan dan sarana sehingga penanganan terhadap sari, renityas, wibisono, pengaruh pendidikan kesehatan......204 hipertensi hanya memberikan terapi farmakologi saja (posyandu lansia, 2012). dari fenomena diatas dengan begitu banyaknya lanjut usia yang mengalami hipertensi maka dari sini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian adakah pengaruh pijat refleksi terhadap penurunan tekanan darah pada lanjut usia dengan hipertensi. rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pengaruh terapi pijat refleksi terhadap penurunan tekanan darah pada lanjut usia dengan hipertensi. tujuan umumnya adalah mengetahui pengaruh pijat refleksi terhadap tingkat penurunan tekanan darah pada lanjut usia dengan hipertensi. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi mengidentifikasi tekanan darah sebelum dilakukan terapi pijat refleksi, (2) mengidentifikasi tekanan darah setelah dilakukan terapi pijat refleksi, (3) menganalisa adakah pengaruh terapi pijat refleksi terhadap penurunan tekanan darah pada lanjut usia dengan hipertensi sebelum dan sesudah terapi pijat refleksi target luaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diharpakan dapat masuk dalam jurnal nasional dan menjadi artikel di instansi pendidikan kesehatan. adapun kontribusi terhadap ilmu pengetahuan diharapkan dapat mengembangkan ilmu, mendukung informasi penelitian sebelumnya dan dapat dijadikan landasan teori bagi peneliti selanjutnya khususnya tentang penanganan hipertensi dengan pijat refleksi. bahan dan metode rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-eksperimental. dengan pendekatan one group pretest-posttest desaign, peneliti mengukur tekanan darah responden sebelum dan sesudah diberikan perlakuan yaitu dengan pijat refleksi. variabel bebas dalam penelitian ini adalah pijat refleksi, sedangkan variabel terikatnya adalah pengukuran tekanan darah. subyek penelitian ini berjumlah 20 responden 20 responden yang dihasilkan dari tehnik pengambilan sampling yaitu purposive sampling, dengan kriteria lansia yang mempunyai tekanan darah tinggi dan bersedia di pijat terapi. alat pengumpulan data menggunakan tensi meter dan checklist untuk mendata tekanan darah responden sebelum dan sesudah perlakuan. penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. analisis univariat digunakan untuk mengukur karakteristik responden yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pola makan (diit rendah garam). analisis bivariat menggunakan uji statistic t-test, karena mempunyai skala data rasio. hasil penelitian karakteristik responden: tabel 1. karakteristik responden no karakteristik subyek distribusi frekuensi 1. jenis kelamin 65% 2. umur 66-75 40% 3. pendidikan sd 70% 4. pekerjaan petani 60% 5. hipertensi 1-6 bulan 50% tabel 2. tekanan darah sistole sebelum perlakuan means median std. deviasi minimum maximum 172,60 170,00 14,302 150,00 200,00 tabel 3. tekanan darah sistole sesudah perlakuan. means median std. deviasi minimum maximum 148,00 145,00 12,290 130,00 170,00 tabel 4. perubahan tekanan darah sebelum dan sesudah perlakuan means standart deviasi means ± standart deviasi perbedaan p sebelum perlakuan 173 14,302 24,60 ± 6,44 <0,0001 sesudah perlakuan 148 12,290 berdasarkan tabel diatas terlihat terjadi kenaikan rata-rata pada sebelum dan sesudah perlakuan yaitu 25 poin. dan hasil uji t-test didapatkan bahwa p < 0,0001, maka terdapat perbedan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. pembahasan tekanan darah sistole sebelum dilakukan perlakuan penyakit hipertensi jika tidak segera disembuhkan maka dalam jangka panjang 205 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.202-206 dapat menimbulkan kerusakan arteri di dalam tubuh sampai organ-organ yang mendapatkan suplai darah darinya seperti jantung, otak dan ginjal (hayens, 2003). hipertensi merupakan penyebab utama stroke, serangan jantung, gagal jantung, gagal ginjal, demensia dan kematian prematur. apabila tidak ditanggapi secara serius, umur penderitanya bisa diperpendek 10-20 tahun (sheps, 2005). faktor penyebab hipertensi ada dua yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer, kasus hipertensi 90% merupakan hipertensi esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik). beberapa faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial adalah genetik, jenis kelamin, usia, diet, berat badan, dan gaya hidup. dan penyebab yang kedua yaitu hipertensi sekunder. kasus hipertensi sekunder sebanyak 10% dari keseluruhan kasus hipertensi. hipertensi sekunder adalah peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid. (indarti, 2012). dari hasil penelitian sebelum dilakukan perlakuan rata-rata responden memiliki tekanan darah sistole sebesar 172,60 mmhg. hal ini juga dapat dipengaruhi oleh usia terdapat 8 responden yang berusia 66-75 tahun. begitu juga dari faktor gaya hidup masa lalu, karena dari hasil wawancara beberapa responden mengungkapkan bahwa karena pekerjaan merekalah yang mnyebabkan gaya hidup tinggi dengan pola makanan yang banyak mengandung lemak, selalin itu tingkat stresor yang tinggi pasca pension. hal ini juga didukung oleh penelitian maulana (2010) hasil penelitian menunjukan ada hubungan tingkat stress dengan kejadian hipertensi di wilayah puskesmas guntur kabupaten demak dengan p value = 0.012. tekanan darah sistole sesudah dilakukan perlakuan pijat refleksi kaki menimbulkan relaksasi yang dalam sehingga meringankan kelelahan jasmani dan rohani dikarenakan sistem saraf simpatis mengalami penurunan aktivitas yang akhirnya mengakibatkan turunnya tekanan darah (kaplan,2006). menurut dalimartha (2009), pada prinsipnya pijat yang dilakukan pada penderita hipertensi adalah untuk memperlancar aliran energy dalam tubuh sehingga gangguan hipertensi dan komplikasinya dapat diminimalisir, ketika semua jalur energi terbuka dan aliran energi tidak lagi terhalang oleh ketegangan otot dan hambatan lain maka risiko hipertensi dapat ditekan. dari hasil penelitian terdapat penurunan yang signifikan. refleksi pijat kaki dengan mengggunakan media kayu dapat menurubkan tingkat stress dan menjadikan responden merasa nyaman. penatalaksaannya bertujuan untuk menurunkan tekanan darah dengan mengurangi jumlah darah, mengurangi kegiatan jantung memompa, dan mengurangi mengerutnya dinding-dinding pembuluh nadi halus sehingga tekanan pada dinding-dinding pembuluh darah berkurang dan aliran darahmenjadi lancar sehingga tekanan darah akan menurun (dekker, 1996). menurut penelitian putri (2009) dengan hasil penelitiannya yang berjudul efektivitas massage kaki dengan minyak esensial lavender terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di dusun xi desa buntu bedimbar kecamatan tanjung morawa kabupaten deli serdang. dengan hasil p value = 0.003. pengaruh sebelum dan sesudah perlakuan dari hasil penelitian ini bahwa terdapat perbedaan tekanan darah sistole yang signikan antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan pijat refleksi pada kaki dengan menggunakan media kayu. hal ini disebabkan karena pijat refleksi kaki atau sering disebut dengan pijat refleksiologi yang dilakukan dengan cara memijat bagian titik refleksi di kaki (gillanders, 2009) yang dapat memberikan rangsangan relaksasi yang mampu memperlancar aliran darah dan cairan tubuh pada bagianbagian tubuh yang berhubungan dengan titik syaraf kaki yang dipijat (wijayakusuma, 2006). berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, setelah dilakukan pemijatan hampir seluruh responden mengatakan bahwa mereka merasa nyenyak saat tidur. hal ini disebabkan karena rangsangan yang diberikan mampu memperlancar aliran darah dan cairan tubuh. hasilnya, sirkulasi penyaluran nutrisi dan oksigen ke sel-sel tubuh menjadi lancer tanpa sari, renityas, wibisono, pengaruh pendidikan kesehatan......206 ada hambatan. sirkulasi darah yang lancar akan memberikan efek relaksasi dan kesegaran pada seluruh anggota tubuh sehingga tubuh mengalami kondisi seimbang (wijayakusuma, 2006). menurut penelitian arita murawani (2012) hasil penelitian dengan judul pengaruh pijat refleksi terhadap penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi di desa kasinder kecamatan jorlang hataran kabupaten simalungun dengan p value= 0.002 pijat refleksi kaki menimbulkan relaksasi yang dalam sehingga meringankan kelelahan jasmani dan rohani dikarenakan system saraf simpatis mengalami penurunan aktivitas yang akhirnya mengakibatkan turunnya tekanan darah (kaplan,2006). pijat refleksi kaki merupakan teknik integrasi sensori yang mempengaruhi aktivitas sistem saraf otonom. apabila seseorang mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus rileks maka akan muncul respon relaksasi (meet, 1993 dalam perry&potter,2005). simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut:tekanan darah sistole sebelum dilakukan perlakuan mempunyai rata-rata sebesar 172,60mmhg, tekanan darah sistole sesudah dilakukan perlakuan mempunyai ratarata sebesar 148,00 mmhg, perbedaan tekanan darah sistole sebelum dan sesudah perlakuan mempunyai hasil yang signifikan sebesar p > 0,0001 saran diharapkan penderita hipertensi melakukan pijat refleksi pada kaki selain mengkonsumsi obat-obatan karena selalin dapat menurunkan tekanan darah sistole juga membuat badan merasa rileks dan nyaman. kemudian dapat dilakukan promosi kesehatan tentang pijat refleksi pada kaki baik untuk penderita maupun keluarga agar dapat mengetahui dan mampu untuk melakukan pijat refleksi. untuk memperkuat penelitian ini maka dapat diteruskan dengan penelitian selanjutnya dengan menambahkan kelompok control pada variabel penelitian dan membandingkan antara pijat refleksi kaki dengan message pada kaki. daftar rujukan ayushveda. 2009. refleksi: sebuah praktek remedy alternatif. http://ayushveda.com/&rurl=translate.go ogle.co.id diakses tanggal 4 april 2012. depkes ri, 2006. hipertensi penyebab kematian nomor tiga. kementerian kesehatan ri. jakarta.http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/810-hipertansipenyebab-kematian-nomor-tiga.html nugroho, w. 2008. keperawatan gerontik & geriatrik, ed 3. jakarta: egc. sustrani, dkk. 2006. hipertensi. jakarta: gramedia pustaka utama. sutanto. 2010. cekal penyakit modern hipertensi, stroke, jantung, kolesterol dan diabetes. yogyakarta: cv.andi offset. who, 2005. hypertension fact sheet. department of sustainable development and healthy environments september 2005. http://www.searo.who.int/linkfiles/non_comm unicable_diseases_hypertension-fs.pdf 227prastika, pradanie, armini, analisis hubungan gaya hidup dengan... 227 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk analisis hubungan gaya hidup dengan kualitas hidup wanita pasangan subur akseptor kb iud bella putri sinta prastika1, retnayu pradanie2, ni ketut alit armini3 1,2,3fakultas keperawatan, universitas airlangga, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 14/02/2019 disetujui, 27/06/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: gaya hidup, kualitas hidup, kontrasepsi, iud, wanita usia subur abstrak penggunaan kb iud yang rendah dapat mempengaruhi kualitas hidup keluarga. semakin rendah penggunaan kontrasepsi maka semakin rendah kualitas hidup. berbagai faktor termasuk gaya hidup yang diterapkan diduga mempengaruhi kualitas hidup akseptor kb iud. tujuan penelitian ini menjelaskan hubungan gaya hidup dengan kualitas hidup wanita pasangan subur akseptor kb iud. metode: desain penelitian ini korelasional dengan pendekatan cross-sectional. populasi dalam penelitian ini adalah 120 akseptor kb iud di wilayah kerja puskesmas mulyorejo surabaya. besar sampel 92 wanita usia subur akseptor kb iud diperoleh dengan purposive sampling, dengan kriteria inklusi wanita usia subur 18-40 tahun, tinggal serumah dengan suami dan dapat berkomunikasi secara lisan dan verbal. variabel independen gaya hidup. variabel dependen kualitas hidup. pengumpulan data menggunakan kuesioner gaya hidup dari prihatiningsih dan kualitas hidup whoqolbref yang telah diterjemahkan untuk kualitas kehidupan dari who. uji statistik dengan spearman’s rho test. hasil: tidak hubungan signifikan antara gaya hidup dengan kualitas hidup (p=0,960, r=0,005). pembahasan: gaya hidup responden sebagian besar adalah gaya hidup sehat. faktor gaya hidup yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah aktivias fisik, lingkungan, perilaku konsumtif, dan managemen strees. hal ini tidak bisa menjadi patokan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. karena gaya hidup sehat tidak selalu penyumbang terbesar pada kualitas hidup, tapi ada faktor lain yang perlu diperhatikan. karena dari hasil penelitian di dapatkan responden lebih mandiri, jadi tidak membutuhkan gaya hidup yang cukup untuk meningkatkan kualitas hidupnya. perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut tentang faktor lain yang berhubungan kualitas hidup akseptor kb. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas airlangga – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: bellaputrisinta10@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p227–234 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 228 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 227–234 abstract the lack used of iud birth control can affect the quality of family life. the lower the use of contraception, the lower the quality of life will be. various factors including lifestyle were thought could affect the quality life of iud birth control acceptors. the purpose of this study described the correlation of lifestyle and quality life of fertile women of iud birth control acceptors. method: the design of this study used correlational with a crosssectional approach. the population was 120 acceptors of iud birth control program in mulyorejo health center in the working area of surabaya. the sample was 92 women of childbearing age as acceptors of iud birth control program obtained by purposive sampling. the independent variable was lifestyle. the dependent variable was the quality of life status. the data collection used lifestyle questionnaire and quality of life according to whoqol-bref. the statistical test used spearman’s rho test. results: there was no significant correlation between lifestyle and quality of life (p = 0.960, r = 0.005). discussion: most of the respondents’ lifestyle was healthy lifestyles. lifestyle factors related to quality of life are physical, environmental, consumptive, and management of activities. the majority of respondents could play an independent role in improving their quality of life, starting from a healthy lifestyle that became a habit. a healthy lifestyle is not always the biggest contributor to quality of life, but there are other factors that need attention. further research is needed on other factors related to the quality of life of birth control program acceptors the correlations of lifestyle and quality life of fertile women with iud birth control program article information history article: received, 14/02/2018 accepted, 27/06/2019 published, 01/08/2019 keywords: lifestyle, quality of life, contraception, iud, women of childbearing age 229prastika, pradanie, armini, analisis hubungan gaya hidup dengan... pendahuluan indonesia merupakan negara berkembang dengan masalah kependudukan yang muncul adalah jumlah penduduk besar dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata, struktur penduduk muda, kualitas penduduk yang masih harus ditingkatkan (septianingrum, wardani, & kartini, 2018). kualitas hidup yang rendah dikarenakan penggunaan kontrasepsi yang rendah (skrzypulec & drosdzol, 2008). menurut penelitain (neri et al., 2017), efek kontrasepsi yang sangat baik dengan keamanan dan akseptabilitas, terutama dalam hubungan dengan pemeliharaan kualitas hidup yang baik, seksualitas dan rasa nyeri pada saat mentruasi.. kualitas hidup baik didapatkan dari gaya hidup yang sehat. masalah masyarakat paling banyak adalah gaya hidup baik tapi masih merasakan kualitas hidup kurang. gaya hidup sendiri merupakan kebiasaan hidup seseorang setiap hari yang digambarkan melalui kegiatan, minat dan pendapat yang dikemukakan (sufa, christantyawati, ayu, & jusnita, 2017). gaya hidup dipengaruhi aktivitas dan kebiasaan dalam keluarga (andriyani et al., 2015). gaya hidup yang baik dengan aktivitas yang baik diharapkan dapat mengurangi masalah dalam kualitas hidupnya. prevalensi pasangan usia subur (pus) yang menjadi peserta kb berdasarkan data survei demografi dan kesehatan indonesia (sdki) pada tahun 2012, menunjukan tingkat kesertaan kb di antara pasangan usia subur mencapai 61,9%. iud merupakan kontrasepsi yang digunakan oleh 18% wanita usia reproduktif di asia dan lebih dari 40% di china (grubb et al., 2018). berdasarkan informasi data pokok kota surabaya tahun 2015 jumlah pengikut kb dari tahun 2014 ke tahun 2015 mengalami penurunan. dari total 86.200 akseptor, di tahun 2014 hanya terdata sekitar 73.890 akseptor baru. data di puskesmas mulyorejo surabaya didapatkan data bahwa, jumlah pasangan usia subur di puskesmas mulyorejo sebanyak 4.220 orang dan jumlah peserta kb aktif pada bulan april 2016 sebanyak 3.008 atau sebesar 71.2%, dengan prosentase pemakaian alat kontrasepsi iud sebanyak 120 orang (4,16%). pada studi pendahuluan di puskesmas mulyorejo dari 10 responden, didapatkan 7 diantaranya memiliki gaya hidup sehat dengan 2 orang gaya hidp sehat kualitas hidup tinggi, 4 orang gaya hidup sehat kualitas hidup sedang, dan 1 orang gaya hidup sehat kualitas hidup rendah. sedangkan 3 diantaranya gaya hidup tidak sehat dengan 1 orang gaya hidup tidak sehat kualitas hidup sedang dan 2 orang gaya hidup tidak sehat kualitas hidup rendah. menurut (liando, runkat, & manueke, 2013), ibu yang tidak menggunakan mkjp khususnya iud dan implant mempunyai alasan karena efek samping 17,1%, suami tidak setuju 0,8%, dan tidak nyaman 5,1%. gaya hidup yang kurang baik seperti aktivitas yang jarang diiringi dengan peningkatan pola makan dapat menyebabkan kenaikan bb (nur et al, 2017). gaya hidup sehat adalah gaya hidup seimbang dengan pola makan, pikiran, kebiasaan dan lingkungan yang sehat guna mendapatkan fisik dan rohani yang sehat (proverawati & rahmawati, 2012). dampak psikologis pada keluarga (wus) seringkali muncul seperti kurang percaya diri dengan keadaan tubuh (kanchanachitra et al., 2011). dampak jangka panjang pada keluarga yang dapat ditimbulkan apabila tidak mengikuti program keluarga berencana dapat terjadi peningkatan jumlah penduduk, kekurangan pangan dan gizi sehingga kesehatan masyarakat yang buruk, pendidikan rendah, kurangnya lapangan pekerjaan, tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi khususnya di negara berkembang (ferreira, vicente, duarte, & chaves, 2015b). akseptor kb perlu mengupayakan gaya hidup sehat, seperti mengatur pola makan, istirahat, olahraga, makan sayur seimbang, melakukan aktivitas fisik yang optimal, tidak mengonsumsi alkohol, serta menghindari rokok untuk menjaga kesehatan tubuh. jumlah anak yang terlalu banyak dapat mengakibatkan hidup keluarga kurang sejahtera, komsumtif tinggi, ekonomi yang melonjak, dan menimbulkan meningkatnya jumlah penduduk, pengangguran meningka t, dan ma sih banyak la gi dampaknya (bkkbn, 2016). banyak faktor di didalam peningkatan gaya hidup sehat, anatara lain menurut humayrah (2009), indikator yang mendukung adalah perilaku konsumtif makanan dan minuman, aktivitas fisik dan olahraga, istirahat tidur, serta managemen stress. keseimbangan yang baik antara gaya hidup dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. metode penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh akseptor kb iud di wilayah puskesmas mulyorejo surabaya dari bulan november sampai desember 2018. sampel ditentukan dengan teknik purposive sampling, yaitu sebanyak 92 responden. dengan kriteria inklusi dengan kriteria inklusi wanita usia subur 18-40 tahun, tinggal serumah dengan 230 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 227–234 suami dan dapat berkomunikasi secara lisan dan verbal kuesioner ini digunakan untuk mengungkapkan data demografi, variable independent (gaya hidup) dan variable dependent (kualitas hidup akseptor kb iud). uji signifikasi dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi spearman taraf signifikasi   0,05 maka hipotesis diterima, dan jika taraf signifikasi  0,05 maka hipotesis ditolak. aanalisis statistik ini menggunakan bantuan aplikasi spss. kuesioner yang digunakan untuk mengukur gaya hidup, dimodifikasi dari peneliti prihatiningsih (2017). kuesioner ini menggunakan skala likert dengan piliha jawaban sangat sering, sering, jarang, dan tidak pernah. terdapat 15 pertanyaan yang terdiri dari nomor 6 pertanyaan tentang perilaku konsumsi makanan dan minuman, 3 pernyataan tentang aktivitas fisik, 4 pernyataan tentang istirahat tidur serta 2 pernyataan tentang manajemen stress. setelah di ketahui skor total kemudian kita kategorikan menjadi gaya hiudp tidak sehat dengan nilai :15-38 dan gaya hidup sehat dengan nilai: 39-60. kuesioner kedua yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup adalah whoqol-bref merupakan pengembangan dari instrument whoqol100 dari who. kuesioner ini terdiri dari 26 pertanyaan. jawaban skala menggunakan skala likert, setelah di ketahui skor total kemudian kita kategorikan menjadi kualitas hidup rendah dengan nilai: < 43, kualitas hidup sedang dengan nilai: 44-86, dan kualitas hidup tinggi dengan nilai: >87. protokol penelitian ini sudah lolos uji etik di di universitas airlangga fakultas keperawatan dengan no sertifikat: 1241-kepk. analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji analisis spearman rho di spss. dengan analisis inferensialnya (uji signifikan) bertujuan untuk menganalisis hubungan gaya hidup dengan kualitas hidup akseptor kb iud. ska la data yang diguna ka n untuk kuesioner adalah ordinal. hasil penelitian karakteristik sampel penelitian ini disajikan pada tabel 1 sebagai berikut : 2 suku/etnis jawa 81 88 madura 11 12 3 agama islam 84 91,3 non islam 8 8,7 4 pekerjaan ibu rumah tangga 61 66,3 pedagang 12 13 pegawai swasta 19 20,7 5 pendidikan terakhir sd 20 21,7 smp 35 38 sma 26 28,3 pt 11 12 6 pendapat per bulan < umr 82 89,1 > umr 10 10,9 7 jumlah anak 1-2 77 83,7 3-4 7 7.6 >4 8 8,7 8 lama pemakaian < 1 tahun 15 16,3 1-3 tahun 34 37 > 4 tahun 28 30,4 9 keluhan selama pemakaian timbul jerawat 21 22,8 flek dan tidak teratur mens 20 21,7 mulas/ nyeri 24 26,1 tidak ada 27 29,3 tabel 1 karakteristik akseptor kb iud di puskesmas mulyorejo no demografi responden n % 1 usia ibu 18-40 tahun 82 89,1 >40 tahun 10 10,9 tabel 1 diatas menunjukan sampel penelitian sebagian besar usi 18-40 tahun (89,1%), mayoritas suku jawa (88%), bekerja sebagai irt (66,3%), pendidikan terakhir smp (38%), pendapatan perbulannya 80. hasil observasi siklus pertama, diperbaiki untuk selanjutnya diterapkan pada siklus kedua. hasil ujian kedua, terdapat 3 orang (11,11%) yang kompetensinya kurang dan 88,89% mendapatkan nilai > 80. diskusi: model stad membiasakan mahasiswa menyelesaikan soal-soal secara kelompok yang diberikan dosen, sehingga mahasiswa akan terbiasa memecahkan permasalahan dalam pembelajaran. stad menekankan pada kerja sama kelompok, karena akan melatih mahasiswa untuk mengungkapkan pendapat dan meningkatkan pemahaman konsep secara bersama. saran, stad perlu diaplikasikan pada mata kuliah yang lain. karena dengan stad terbukti dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas muhammadiyah malangjawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: tutuaprilariani@umm.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i1.art.p084–092 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 85wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... abstract the efforts to improve critical thinking skills, with applying cooperative learning models, including the stad method (student teams achievement divisions). the purpose of this study is to improve student’s understanding through stad cooperative learning. method: the type of research was a classroom action research or car. this research conducted in one class of the third semester of fikes s1 nursing study program, university of muhammadiyah malang, class a have member about 48 students. data took from observation sheets, which observed including: cooperation in groups, gave ideas, asked questions, pay attention to questions of friends, gave responses, the ability to understand material, participation in groups, ability to mediate if there are groups who misunderstand, the ability to explain and conclude material discussed. car consists of 4 stages, namely: 1). planning, 2). implementation of actions, 3). observation, and 4). reflection. this stages conducted in two cycles (each cycle was done twice face to face). results: after the first cycle of stad was carried out, 55.56% of the test results were obtained by students with less competency (scored <80). while 44, 44% get a value of> 80. the results of the first cycle of observations are improved and then applied to the second cycle. the results of the second exam, there are 3 people (11.11%) whose competencies are lacking and 88.89% get a score of> 80. discussion: the stad model will make students used to complete and solve the questions in groups that given by the lecturer, so students will be accustomed to solving learning problems . stad emphasizes group collaboration, because it will train students to express opinions and improve understanding of concepts together. suggestion, stad needs to be applied to other subjects. because with stad it is proven that it can improve student competency. improvement of student’s understanding in mental health and psychiatric nursing block system trough of stad type cooperative learning on the modality therapy sub subject in 3rd semester, nursing departement of health science faculty, university of muhammadiyah malang article information history article: received, 20/12/2018 accepted, 11/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: stad type cooperative learning, classroom action research, therapy for modalities of mental-health nursin 86 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 084–092 pendahuluan pembelajaran mata kuliah kepera watan kesehatan jiwa sebenarnya mempunyai peran yang sangat penting. mata kuliah keperawatan kesehatan jiwa memiliki tujuan untuk dapat membangun karakter mahasiswa yang dapt menemukan solusi dalam segala permasalahannya. keperawatan kesehatan jiwa di semester iii dalam penyampaian ma ter i, ma sih mengguna ka n metode techer learning centre dimana dosen dianggap sebagai sumber belajar. metode ini membuat mahasiswa menjadi pasif karena dianggap bahwa kehadirandi kelas, kemudian mendengarkan kuliah dosen, adalah cukup. pada kenyataannya, metode bajar seperti ini tidak cukup memenuhi kebutuhan belajar mahasiswa untuk memahami keperawatan kesehatan jiwa. dampaknya, mahasiswa memperoleh nilai dibawah ekspektasinya. di semester iii, belum nmpa k a ktivita s ma ha siswa ya ng menonjol keaktifannya, hanya 55%, dan mahasiswa yang aktif menjawab dengan benar 40% pada pelaksanaan ujian akhir semester tgl 25 nopember 2017, hasil yang dicapai mahasiswa semester iii tidak sesuai target, karena hanya sebagian yang memahami yaitu kurang dari 60% atau class averrage value kurang dari 5. sesuai dengan hasil pengamatan tersebut, maka penulis memiliki keinginan untuk dapat memperbaikinya dengan melakukan sebuah inovasi pembelajaran. isu yang terjadi pada mahasiswa tersebut di atas menuntut adanya renovasi dalam pembelajaran keperawatan jiwa. renovasi tersebut dimulai dari metode pembeajaran dimana selama ini mahasiswa berusaha memahami materi kuliah secara individu. maka dalam penelitian ini memiliki tujuan melalui pembelajaran kooperatif t untuk dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe stad (merupakan kependekan dari: student team achiement division). stad merupakan salah satu metode yang dijalankan pada penelitian tindakan kelas. salah satu model penelitian tindakan ini adalah menggunakan model penelitian tindakan dari kurt lewin, dimana satu putaran terdiri dari empat tahapan yaitu (1) planning (rencana), (2) action (tindakan), (3) observation (pengamatan), (4) reflection (refleksi) (kurnianto, 2009). pembelajaran kooperatif memfasilitasi mahasiswa belajar lebih maksimal dan aktif baik secara individu dan kelompok, karena akan terjadi proses yang interaktif tetapi sistematik sehingga hasil akhir yang didapat adalah nilai maksimal (sumuri, 2017; karim, utami dan utami, 2012). salah satu pendekatan pembelajaran kooperatif adalah dengan tipe stad diharapkan melalui pembelajaran kooperatif dengan tipe stad dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa pada mata kuliah keperawatan kesehatan jiwa. serta semangat kebersamaan dan saling membantu dalam menguasai materi keperawatan kesehatan jiwa. permasalahan dalam penelitian yang mungkin muncul adalah ini adalah intervensi apa yang dapat diberikan dosen dan pembimbing untuk membuat paham mahasiswa pada mata kuliah keperawatan kesehatan jiwa. terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan persoalan tersebut muncul. diskusi dan evaluasi diantara dosen dan pembimbing didapatkan inti masalah dari persoalan tersebut adalah ketidaktepatan dalam menggunakan teknik perkuliahan dosen dan pembimbing keperawatan kesehatan jiwa masih konvensional dan dominasi dosen dan pembimbing dalam kelas (teacher centered strategy). tujuan pembelajaran harus dicapai. karenanya diperlukan solusi dan akan dilakukan metode pembelajaran kooperatif tipe stad. stad memiliki kelebihan yaitu kolaborasi antar anggota kelompok, dengan saling memberikan dukungan untuk memenuhi tujuan belajar yang sama. bahan dan metode pendekatan dan jenis penelitian. penelitian yang dilakukan berupa penelitia pengembangan model pembelajaran dan tindakan. penelitian tindakan terikat dalam perencanaan dan pengimplementasiaan perangkat pembelajaran kooperatif tipe stad. setting penelitian. penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di semester iii prodi s1 keperawatan fikes universitas muhammadiyah malang, kelas a. mahasiswa dikelas ini berjumlah 48 orang, terdiri dari 12 orang mahasiswa laki-laki dan 36 mahasiswa perempuan, memiliki kapasitas akademik mahasiswa-mahasiswi di kelas ini tergolong cukup sampai baik. kriteria inklusi lainnya adalah latar belakang mereka cukup bervariasi, berasal dari beragam suku, asal daerah, sehingga secara keseluruhan semester iii relatif heterogen. data dan sumber data. data berasal dari:1) penilaian setiap langkah pada situasi pembelajaran. 2) naiknya tingkat kepahaman materi keperawatan kesehatan jiwa oleh mahasiswa. sedangkan sumber data dalam penelitian ini adalah dosen dan pem 87wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... bimbing dan siswa semester iii, prodi s1 keperawatan fikes universitas muhammadiyah malang tahun kuliah 2016 / 2017 . teknik pungumpul data: 1) observasi dan data di kelas digunakan untuk memperoleh data yang berhubungan dengan meningkatnya kejelasan konsep. 2) evaluasi digunakan untuk mengetahui data yang berkaitan dengan peningkatan hasil pemahaman materi pembelajaran. teknik analisa data. teknik analisa data dari hasil penilaian lembar observasi yang berasal dari pengamatana: kerjasama internal, kemampuan menyampaiakan ide, pertanyaan, memperhatikan dan memberikan tanggapan, memahami materi, keaktifan dan menjadi mediator untuk menerangkannya. monitoring pelaksanaan tindakan. peneliti dibekali dengan lembar observasi kegiatan pembelajaran untuk memudahkan pelaksanaan tindakan kelas dikelas. dosen mengarahkan cara mengisi lembar observasi kepada anggota peer dalam penelitian. kemudian dilakukan pengamatan secara kolaborasi dan selanjutnya didiskusikan kelebihan dan kekurangan ketika aktifitas dilaksanakan. hasilnya dijadikan sebagai refleksi untuk rencana berikutnya. pengecekkan keabsahan data. dosen menjamin keabsahan data dengan melakukan cek silang data yang didapatkan dengan subyek dan pakar. hasil diskusi didapatkan dari perbandingan pendapat peneliti lain, pengamatan dan evaluasi. rancangan penelitian. seperangkat cara belajar yang kooperatif untuk stad untuk menyelesaikan masalah praktis dan sesuai tujuan penelitian adalah untuk menaikkan nilai pengertian mahasiswa dalam mata kuliah keperawatan jiwa. penelitian tindakan kelas melalui 4 tahap yaitu: planning, doing action, observation da n reflection yang dilaksanakan dalam dua putaran (setiap siklus dalam 2 kali pertemuan ). bagan 1 alur penelitian pada kegiatan siklus akan dilakukan sesuai dengan tahap-tahap tersebut. rencana tindakan siklus 1 1. perencanaan: a) peneliti melakukan analisis kurikulum untuk menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan disampaikan kepada siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe stad. b) membuat rencana pembelajaran kooperatif tipe stad dan lembar observasi. c) membuat instrumen yang digunakan dalam siklus penelitian tindakan kelas / alat bantu / media yang diperlukan. d) membuat alat evaluasi. secara garis besar tahapan pembelajaran kooperatif stad: 1) tahap persiapan pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan diantaranya mempersiapkan materi dan merancang pembelajaran yang mengarah ke kooperatif stad , membuat kriteria kelompok heterogen (jenis kelamin, kemampuan serta agama) dan mempersiapkan instrument observasi disertai cara penskoran 2) tahap penyajian materi dalam tahap ini pengajar menyebutkan tujuan pembelajaran memotivasi rasa ingin tahu, memberikan apersepsi, umpan balik 88 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 084–092 sesering mungkin, penjelasan yang tepat agar tidak terjadi miskonsepsi ,dan beralih pa da konsep la in, jika siswa tela h memahami pokok masalahnya. 3) tahap kegiatan kelompok selanjutnya masing-masing kelompok membahas materi yang dibagikan , siswa mempelajari konsep-konsep materi keperawatan kesehatan jiwa, dan mempresentasikan didepan kelas juga digunakan untuk melatih keterampilan kooperatif siswa dalam masing-masing kelompok. jika salah satu siswa belum memahami materi, maka teman sekelompoknya bertanggung jawab untuk menjelaskan. 4) tahap selanjutnya , tanggapan dari masingmasing kelompok. 5) selanjutnya dosen dan pembimbing memberikan tanggapan dan penegasan tentang materi yang dibahas. 6) tahap tes hasil belajar dilakukan 1 x tes setelah pertemuan, tes dikerjakan secara inividu mandiri. tes uraian dikerjakan selama 45 menit hasil tes digunakan untuk mengetahui apakah ada peningkatan siswa pada pemahaman mata kuliah keperawatan kesehatan jiwa. 2. pelaksanaan menerapkan skenario pada stad 3. observasi melakukan pengamatan dan menilainya dengan lembar observasi. 4. refleksi hasil dari pengamatan dikolekting kemudia dianalisis dan dosen dapat melakukan umpan balik dirinya untuk menyimpulkan apakah tindakan yang dilakukan dapat memahamkan mahasiswa pada mata kuliah keperawatan jiwa. berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilakukan siklus berikutnya. data dan cara pengambilannya 1. sumber data: data primer dari mahasiswa dan peneliti 2. jenis data: kwantitatif dan kwalitatif yang tediri dari:a) rencana belajar, b). hasil pengamatan pada pelaksanaan pembelajaran. 3. cara pengambilan data a. data hasil belajar: melalui sebelum dan setelah tes b. data suasana belajar , berasal dari lembar observasi c. data tentang korelasi rencana dan aktivitas didapatakan dari rencana pembelajaran dan lembar obervasi. indikator kinerja. keberhasilan dari metode ini adalah bila terjadi perubahan mahasiswa dalam memahami maka kuliah keperawatan jiwa. hasil menunjukkan 70% meningkat dalam menjawab soal uraian terstruktur dengan tepat. selain itu terdapat 75% dengan menjawab aktif. dosen dapat melatih kemampuan melaksanakan metode ini. skema penelitian dapat digambarkan kegiatan penelitian tindakan kelas : rancangan dari hasil identifikasi masalah rencana 1 rencana / strategi pembelajaran revisi pelaksanaan dan observasi evaluasi dan refleksi rencana 2 rencana / strategi pembelajaran revisi pelaksanaan dan obsevasi evaluasi dan refleksi final bagan 2 skema penelitian 89wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... skema penelitian dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) tahap perencanaan peneliti melakukan umpan balik pertama, menyusun masalah dan merencanakan tindakan yang meliputi rancangan strategis dalam penyampaian dan pengelolaan pembelajaran kooperatif tipe stad. pada tahap ini juga dikembangkan strategi pembelajaran, instrumen pengumpul data berupa lembar pengamatan perangkat tes hasil belajar serta menyusun rencana pengolahan data. b) tahap pelaksanaan tindakan peneliti melaksanakan skenario tindakan yang telah direncanakan serta melakukan pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung sesuai dengan jadwal penelitian. selama kegiatan pembelajaran berlangsung dilakukan pengamatan oleh tim dengan menggunakan instrumen pengamatan, serta melakukan evaluasi dan refleksi selama pelaksanaan tindakan ditujukan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam pembelajaran berikutnya. hasil penelitian deskripsi setting, tindakan dan hasil penelitian siklus i setting penelitian. a) penataan tempat pelaksanaan diskusi melingkar yang disusun dari kursi kuliah di dalam kelas dan di setiap sisinya ada papan tulis untuk mencatat hasil dari jawaban atau respon setiap mahamahasiswa peserta diskusi. kursi disusun melingkar dengan jumlah kursi 9 buah (untuk 9 orang) untuk setiap kelompoknya. b) pengambilan data dilakukan di ruang kelas besar, ukuran 8x8m, yang memungkinkan dibentuk 3 kelompok. setiap satu kelompok diskusi diberikan jarak yang cukup antara satu dengan kelompok yang lainnya untuk menjaga “privacy” dan fokus konsentrasi mahasiswa pada kelompoknya dan dapat menyampaikan / menanggapi diskusi dalam kelompoknya tanpa terpengaruh dengan kelompok yang lainnya. c) tim peneliti yang terdiri dari 3 orang, berperan menjadi observer secara langsung pada setiap kelompok untuk dapat memberikan penilaian pada jalannya diskusi dan pencapaian tujuan diskusi. setiap anggota tim, bertanggungjawab pada kelancaran jalannya diskusi, termasuk tertibnya waktu pelaksanaan diskusi, terutama memulai dan mengakhiri sesi diskusi yang telah disepakati sejak awal. tim juga bertanggungjawab pada penyiapan segala kebutuhan diskusi, tetapi tidak termasuk buku literatur. anggota diskusi diyakinkan telah siap dengan jaringan internet. setting waktu dilakukan penyesuaian dan terdapat perubahan dari waktu yang telah ditentukan bahwa setiap sesi diskusi adalah 50 menit setiap sesinya. sebelum diskusi dilaksanakan, peserta diskusi diminta menjawab kuis yang berisi tentang topik yang akan didiskusikan untuk mengtahui tingkat pengetahuan awal tentang materi yang akan didiskusikan. waktu mengerjakan kuis adalah 20 menit untuk pre intervensi dan 20 menit untuk post intervensi. sehingga total waktu yang dibutuhkan adalah 90 menit. saat diskusi berlangsung, tidak diperkenankan adaaktifitas yang dapat mengganggu jalannya diskusi, terutama di dalam setiap ruangan diskusi, dimana di dalamnya hanya terdapat tim peneliti dan anggota diskusi. tindakan penelitian: (a). satu hari sebelum pelaksanaan ujian, telah disosialisasikan tentang tata tertib, daftar kelompok bagi setiap mahasiswa dan proses yang akan dijalankan oleh setiap mahasiswa dan apa yang akan dilaksanakan dalam kelompoknya. b) diskusi dilaksanakan pada 18-19 april untuk tahap i. tahap ii dilaksanakan pada 25-26 april, mulai dari jam 09.00-10.40. c). tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah 1) persiapan, menyiapkan bahan belajar dan menyususn rencana belajar kooperatif stad, menentukan kriteria kelompok yang bervariasi (gender, kemampuan dan religi) dan menyiapkan instrumen pengamatan dan skoring. dilakukan pre tes diskusi untuk mengetahui pemahaman mahasiswa mata kuliah keperawatan kesehatan jiwa, 2). pemberian materi, disampaikan tujuan belajar, menstimulus keingintahuan, apersepsi, tanggapan sesering mungkin, penjelasan yang bertujuan menghindari kesalahpahaman. 3) aktivitas kelompok. setiap kelompok berdiskusi tentang materi yang dibagikan, mahasiswa mendalami konsepkonsep materi keperawatan kesehatan jiwa, dan menyajikan didepan kelas. bila belum jelas, dijelaaskan kembali oleh temannya 4) selanjutnya ditanggapi oleh setiap kelompok. 5) berikutnyaa tanggapan dari dosen dan penguatan materi. 6) tes setelah diskusi dan hasil belajar dilakukan 1 x tes setelah diskusi, tes dikerjakan secara inividu mandiri selama 20 menit. hasil tes digunakan untuk mengetahui apakah perubahan dalam memahami mata kuliah keperawatan kesehatan jiwa. hasil penelitian. 1) saat pelaksanaan pre test diskusi akan dimulai, mahasiswa terlihat belum siap, yang ditunjukkan dengan persiapan bahan diskusi 90 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 084–092 dan materinya tidak semua mahasiswa memilikinya, yang masih tidak tepat sesuai dengan arahan yang sudah diberikan sebelumnya. 2) ketiadak siapan setting pelaksanaan diskusi dengan metode stad, berdampak pada pelaksanaan prosedur diskusi pada siklus i yang tidak dapat berjalan sesuai dengan urutannya, karena mahasiswa banyak menghabiskan waktu untuk mengklarifikasi hal-hal yang tidak dipahami tentang prosedur jalannya diskusi metode stad. hal ini berakibat tidak tuntasnya pemahaman mahasiswa pada materi yang harus didiskusikan. 3) hasil ujian pertama terdapat 15 orang (55, 56%) dari 27 mahasiswa yang merupakan refleksi dari pencapaian kompetensi tidak mencapai nilai post test yang, karena mendapatkan nilai kurang dari 80. 3) sedangkan 44, 44% lainnya, mendapatkan nilai diatas 80,00. 4) dengan melakukan uji korelasi menggunakan uji spearman’s rho dengan tingkat signifikansi 0,002 didapatkan hasil koefisien korelasi (r)=0,586. hasil pengamatan dan umpan balik pada siklus i, harus diperhatikan adalah :1) pada tahap persiapan, mahasiswa masih belum dapat mempersipkan materi dan sosialisasi prosedur serta setting diskusi sesuai dengan panduan yang seharusnya pada diskusi metode stad, sehingga mahasiswa masih perlu diberikan arahan dan motivasi untuk selalu mengingat secara rinci materi dan prosedur diskusi yang akan digunakan. masih ada peluang untuk melakukan kesalahan dan menganggap hal yang biasa, sehingga perlu ditegaskan hasil akhir yang didapatkan bukanlah hasil penilaian dari timpeneliti secara subyektif, tetapi secara obyektif sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai dan dilengkapi dengan penilaian prosedur pelaksanaan diskus imetode stad. keputusan tersebut merupakan hal yang tidak bias ditawar lagi. deskripsi tindakan dan hasil penelitian siklus ii tindakan penelitian. a) diskusi siklus ii dilaksanakan pada tanggal 25-26 april 2018 mulai pukul 09.00 sampai dengan 10.40. b) tindakan yang dilakukan adalah sesuai dengan revisi dan refleksi pada siklus i, yaitu mahasiswa memasuki ruang tempat, mem persiapkan materi yang akan digunakan sesuai dengan materi yang akan dibahas serta bagaimana prosedurdiskusinya. tim memberikan sarana yang memudahkan proses pemahaman yaitu dengan menghadirkan pasien mantan terdiagnosis gangguan jiwa. pada saat ini mereka diberikan arahan secara langsung supaya lebih tenang dalam mempersiapkan bahandiskusi dengan selalu mengingat secara rinci prosedur apa yang harus dilaksanakan. kemudian mereka diingatkan apabila ada bahan diskusi yang masih belum disiapkan, kemudian diobservasi dan dinilai langsung oleh tim peneliti yang ada. setelah dinyatakan layak mengikuti diskusi, maka mahasiswa diperkenankan masuk ke ruangan sesuai dengan tempat duduk dan kelompok diskusi masing-masing. hasil pengamatan lain menunjukkan: 1) saat menduduki tempat duduk di kelompoknya, mahasiswa langsung melakukan prosedur diskusi stad, setelah sebelumnya diberikan pertanyaan lisan dan/atau tertulis oleh tim peneliti dimana pertanyaannya adalah berkaitan dengan materi yang akan dibahas. saat melakukan diskusi, tidak ada komunikasi antara tim peneliti dan mahasiswa. tim hanya bertugas mengamati jalannya diskusi. 2). setelah waktu diskusi telah menunjukkan 50 menit berlangsung, maka tim akan mengingatkan bahwa waktu diskusi telah selesai. seluruh mahasiswa harus mengakhiri diskusinya, meskipun ada yang belum terselesaikan, dan harus segera mengikuti post test. 3). hasil akhir diumumkan dan disampaikan bahwa mahasiswa yang masih mendapatkan nilai di bawah 80, akan diberikan evaluasi khusus. hasil penelitian: a) saat diskusi dimulai, mahasiswa terlihat lebih siap dibandingkan dengan diskusi sebelumnya, yang ditunjukkan dengan persiapan materi sudah tepat sesuai dengan panduan diskusi pada tiap tujuan pembelajaran /lo. b) kesiapan materi ini berdampak pada pelaksanaan prosedur diskusi yang dapat berjalan sesuai denganu rutannya, karena mahasiswa sudah banyak lebih efisien dalam menggunakan waktu untuk melakukan aktivitas diskusi. hal ini berdampak pada pembahasan pada diskusi yang dilakukan lebih terarah dan fokus dibandingkan dengan diskusi sebelumnya, dan diskusi bisa diselesaikan sesuai waktu yang telah disepakati. c) hasil post test kedua terjadi penurunan ketidakpahaman yang cukup bermakna, dimana hanya terdapat 3 orang (11,11%) dari 27 mahasiswa yang tidak mencapai pemahaman kompetensi, karena mendapatkan akumulasi nilai kurang dari 80. d) sedangkan terjadi kenaikan dari angka kelulusan uji kompetensi menjadi 19 orang (88,89%) dengan mendapatkan nilai diatas 80,00 91wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... pembahasan ada grafik kenaikan kelulusan yang merupakan indikator pencapaian kompetensi, pada setiap siklusnya. peneliti berasusmsi bahwa, mahasiswa akan bisa menilai sendiri kemampuan yang harus ia tingkatkan berdasarkan masukan dari teman dalam kelompoknya. karena dalam metode diskusi yang anggotanya adalah sebaya, maka tidak ada satu jawaban dar itanggapan diskusi yang paling benar dan paling salah. siapakah yang aktif dalam diskusi kelompok metode stad, maka dialah yang akan lebih cepat mendapatkan pemahaman materi dan pencapaian kompetensinya. dengan melaksanakan observasi, maka akan didapatkan hasil sesuai yang diharapkan. sesuai dengan pendapat (arifin, 2009) bahwa observasi adalah suatu proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis, logis, objektif, dan rasional mengetahui berbagai fenomena, baik dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan tertentu. kemudian model pembelajaran kooperatif tipe stad adalah suatu model yang dapat membiasakan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal secara kelompok yang diberikan guru, sehingga mahasiswa akan terbiasa memecahkan permasalahan dalam pembelajaran (ernawita, 2017). sesuai dengan prinsip dan tujuan dari metode stad yang dapat berdampak meningkatnya aktivitas mahasiswa yaitu meningkatnya jumlah mahasiswa yang terlibat aktif belajar, meningkatnya jumlah mahasiswa yang bertanya dan menjawab, meningkatnya jumlah mahasiswa yang saling berinteraksi membahas materi pembelajaran. metode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan dosen dan pembimbing akan mampu membawa mahasiswa dalam situasi yang lebih kondusif, karena mahasiswa lebih berperan dan lebih terbuka serta sensitif dalam kegiatanbelajar mengajar. model pembelajaran kooperatif tipe stad menekankan pada kerja sama kelompok. dengan dilakukan kerja kelompok diharapkan akan melatih mahasiswa untuk mengungkapkan pendapat dan meningkatkan pemahaman konsep secara bersama, serta dengan terjalinnya kerja sama kelompok dengan baik maka mahasiswa dapat lebih memahami konsep yang ada dengan bantuan temannya. pola interaksi yang bersifat terbuka dan langsung di antara anggota kelompok sangat penting untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (sudarna, 2012 dalam wardana, banggali, husain, 2017). ukuran aktifitas mahasiswa adalah: sebagian besar mahasiswa aktif di kelompok, mahasiswa mendominasi kegiatan, hampir sesua mahaiswa mampu mengerjakan tugas dakam metode stad. hasil belajar adalah hasil yang diperoleh.indikator kinerja merupakan perangkat yang realistic dan terukur untuk menilai keberhasilan dan tercapainya ptk. (sudjana, 1988). metode belajar kooperatif berbeda dengan kelompok. 4 hal utama yang harus ada, asalah: adanya subyek diskusi, role dalam kelompok, usaha bela jar kelompok, ter penuhinya kompetensi. terdapat 5 unsur kelompok:1) dependen antar anggota yang positif, 2) member kelompok bertanggungjawab, 3) mampu membangun hubungan, interaksi langsung dan penilaian kelompok. (rusman, 2012 dalam, esminarto, sukowati, suryowati, anam, 2016). kesimpulan dan saran kesimpulan hasil post test kedua terjadi penurunan ketidakpahaman yang cukup bermakna, dimana hanya terdapat 3 orang (11,11%) dari 27 mahasiswa yang tidak mencapai pemahaman kompetensi, karena mendapatkan akumulasi nilai kurang dari 80. terjadi kenaikan dari angka kelulusan uji kompetensi menjadi 19 orang (88,89%) dengan mendapatkan nilai diatas 80,00. saran diharapkan metode stad ini dapat diterapkan untuk mata kuliah yang lain sehingga secara keseluruhan kelulusan uji kompetensi meningkat. daftar pustaka arifin, z.(2009).evaluasi pembelajaran, bandung: remaja rosdakarya, halm: 153. ernawita. (2017). karakteristik model pembelajaran kooperatif tipe student team achievment division (stad) dalam meningkatkan hasil belajar siswa,prosiding seminar nasional mipa iii, isbn 978-602-50939-0-6 langsa-aceh,30 oktober,www. conference. unsyiah.ac.id/sn-mipa. esminarto, sukowati, suryowati n, anam k, (2016). implementasi model stad dalam meningkatkan hasil belajar siswa. briliant: jurnal riset dan konseptual, volume 1 nomor 1, november karim s, utami s, utami fr.(2012). penerapan model pembelajaran kooperatif tipe stad (studentteams-achievment-divisions) untuk mening92 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 084–092 katkan prestasi belajar dan kerjasama mahasiswa. jurnal pengajaran mipa, volume 17, nomor 2, oktober , hlm. 245-250 doi: http://dx.doi.org/ 10.18269/jpmipa.v17i2.267 kurnianto, r, dkk.(2009). penelitian tindakan kelas. surabaya: aprinta.halm: 12. sumuri,i.(2017). penerapan model pembelajaran kooperatif tipe stad untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi energi panas di kelas iv sd inpres siuna, jurnal kreatif tadulako online, vol. 4 no. 12 issn 2354-614x wardana, i., banggali, t., husain, h.(2017). penerapan model pembelajaran kooperatif tipe student team achivement division (stad) untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas xi ipa avogadro sma negeri 2 pangkajene (studi pada materi asam basa),jurnal chemica, vol. 18 nomor 1 juni, 76 – 84. 93agustina, hubungan antara motivasi dan efikasi diri... 93 hubungan antara motivasi dan efikasi diri dengan hasil ujian pemeriksaan fisik mahasiswa diii kebidanan (the correlation of motivation and self-efficacy with students’ physical examination test results of midwifery student) ika agustina program studi diii kebidanan, stikes patria husada blitar email: ikapatria45@gmail.com abstract: midwifery student were lack of motivation and confidence. though, both of those were the most important thing to be possessed by the student of midwifery as the preparation for the exams since they will become the health employee especially on women. this study aimed to analyze the correlation of motivation and self-efficacy with physical examination test result. this study was an observational analitic study using cross-sectional approach. the sampel was 34 3rd grade students in d iii midwivery department on stikes patria husada blitar, by total sampling. the dependent variable was the physical examination test result, while the independent variables were motivation and self efficacy. the data was analyzed using multiple linear regression model. the result showed that 1) there were positive correlation and statistically significant between motivation and test result of the physical examination (b=0.35; ci 95% 0.043 s.d. 0.65; p = 0.027). 2) there were positive correlation and statistically significant between self-efficacy and test result of a physical examination(b = 0.44, ci 95% 0.17 s.d. 0.71; p = 0.003). there were positive correlation and statistically significant correlation between motivation and self-efficacy with physical examination test result. in conclusion, motivation and self-efficacy could increase the exam result. keywords: motivation, self-efficacy, exam result abstrak: mahasiswi kebidanan kurang mempunyai motivasi dan kepercayaan diri. padahal kedua hal tersebut merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh mahasiswi kebidanan sebagai bekal saat ujian karena mahasiwi ini calon bidan yang nantinya akan menjadi pelayan kesehatan masyarakat khususnya wanita. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara motivasi dan efikasi diri dengan hasil ujian pemeriksaan fisik. subjek dan metode desain penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional). jumlah sampel 34 mahasiswa diii kebidanan stikes patria husada blitar dengan teknik pengambilan sampel total sampling. variabel independent terdiri dari motivasi dan efikasi diri. variabel dependent penelitian ini adalah hasil ujian pemeriksaan fisik. data dianalisis dengan analisis regresi linier ganda. hasil : 1) ada hubungan positif dan secara statistik signifikan antara motivasi dengan hasil ujian pemeriksaan fisik (b=0.35; ci 95% 0.043 s.d. 0.65; p = 0.027). 2) ada hubungan positif dan secara statistik signifikan antara efikasi diri dengan hasil ujian pemeriksaan fisik (b = 0.44, ci 95% 0.17 s.d. 0.71; p = 0.003).kesimpulan ada hubungan positif dan secara statistik signifikan antara motivasi dan efikasi diri dengan hasil ujian pemeriksaan fisik mahasiswa kebidanan diii stikes patria husada blitar. kata kunci: motivasi, efikasi diri, hasil ujian acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 4, no. 2, agustus 2017 doi: 10.26699/jnk.v4i2.art.p093-097 it typewritten text © 2017 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 93–97 dalam mempersiapkan individu dalam menghadapi persaingan di dunia kerja, institusi pendidikan terus melakukan peningkatan standart. pendidikan merupakan salah satu alternatif untuk mempersiapkan lulusan yang mampu bersaing dalam pasar global. program pendidikan diploma iii kebidanan adalah suatu pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan seorang bidan yang professional. proses pendidikan dilaksanakan melalui 2 tahapan akademik yang dilaksanakan di dalam kelas (melalui teori pembelajaran) dan di dalam laboratorium / lahan praktik klinik. sebelum mahasiswa melaksanakan praktik klinik di lahan praktik, mahasiswa diberikan kesempatan untuk mencoba dan mengembangkan dalam kemampuan kognitif, afektif dan keterampilan motorik yang telah diperoleh di kelas melalui pembelajaran laboratorium klinik. sebagai syarat untuk dapat melaksanakan pembelajaran laboratorium di rs, maka mahasiswa wajib mengikuti laboratorium skill dan akan menunjang dapat mengikuti uji kompetensi dalam laboratorium keterampilan dasar praktek klinik yang dilaksanakan di laboratorim institusi (dalam uhap i), (stikes phb). motivasi sangat berperan dalam belajar, mahasiswa yang dalam proses belajar mempunyai motivasi yang kuat dan jelas pasti akan tekun dan berhasil belajarnya makin tepat motivasi yang diberikan, makin berhasil pelajaran itu. maka motivasi senantiasa akan menentukan intensitas usaha belajar bagi mahasiswa dalam sunaryo (2004). motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasinya akan semakin besar kesuksesan belajarnya. seseorang yang besar motivasinya akan giat berusaha, tampak gigih tidak mau menyerah, giat membaca buku-buku untuk meningkatkan prestasinya untuk memecahkan masalahnya. menurut bandura dalam luthans (2006) efikasi diri adalah mengacu pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk memobilisasi motivasi, sumber daya daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan tugas dalam konteks tertentu. individu yang memiliki efikasi tinggi berfokus pada peluang yang layak dikejar dan melihat rintangan sebagai hal yang dapat diatasi. individu dengan efikasi diri tinggi pasti akan mengharapkan keberhasilan dan mendapatkan yang diinginkan dan insentif hasil yang positif. dalam hal ini motivasi yang tinggi dibutuhkan dalam meraih keberhasilan usaha. keberhasilan atau kegagalan ujian dipengaruhi oleh sifat dan kepribadiannya. memiliki kepercayaan diri yang besar merupakan salah satu ukuran untuk memperoleh hasil. ukuran lainnya, ialah mempunyai dorongan (motivasi) yang kuat untuk terus berjuang mencari peluang hingga memperoleh hasil. melalui studi pendahuluan yang dilakukan, dari hasil wawancara dengan dosen penguji mahasiswi kebidanan stikes patria husada blitar didapatkan informasi bahwa beberapa mahasiswi tidak antusias saat melakukan latihan laboratorium skill, selain itu pada saat ujian mahasiswi kurang termotivasi dalam belajar sehingga pada saat ujian siswa ada yang kurang hafal dari urutan checklist, siswa juga tidak paham apa yang sedang dia lakukan saat ujian, saat responsi siswa bingung dengan pertanyaan dosen karena kurang memahami tentang pemeriksaan fisik. saat ujian siswa ragu-ragu dalam melakukan perasat karena dia kurang paham dengan materi pemeriksaan fisik dan siswa tidak percaya diri karena nervous ditunggui oleh dosen penguji sehingga tidak maksimal konsentrasi saat ujian. mahasiswi kebidanan kurang mempunyai motivasi dan kepercayaan diri. padahal kedua hal tersebut merupakan hal terpenting yang harus dimiliki oleh mahasiswi kebidanan sebagai bekal saat ujian karena mahasiwi ini calon bidan yang nantinya akan menjadi pelayan kesehatan masyarakat khususnya wanita. tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan motivasi pada mahasiswa kebidanan, mendeskripsikan efikasi diri pada mahasiswa kebidanan dan mendeskripsikan hasil ujian pemeriksaan fisik mahasiswa kebidanan diii semester 2 stikes patria husada blitar. bahan dan metode penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional). penelitian ini dilakukan di program studi diii kebidanan pada tanggal 10 s/d 18 juni 2014. jumlah sampel terdiri atas 34 mahasiswa semester 2 kebidanan diii kebidanan stikes patria husada blitar dengan menggunakan teknik total sampling. instrumen yang digunakan adalah kuesioner. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. 95agustina, hubungan antara motivasi dan efikasi diri... pembahasan motivasi dengan hasil ujian motivasi pada dasarnya dapat membantu dalam memahami dan menjelaskan perilaku individu, termasuk perilaku individu yang sedang belajar (uno, 2011). pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian ini. sesuai tabel 4.3 setiap peningkatan 1 poin skor motivasi akan meningkatkan 0.35 poin skor hasil ujian. dengan kata lain setiap peningkatan 10 poin skor motivasi akan meningkatkan 3,5 poin hasil ujian pada skala 100. hal tersebut menunjukkan ada hubungan positif dan secara statistik signifikan tentang motivasi dengan hasil ujian (b = 0.35; p = 0.027). dari hasil diatas maka dapat dijelaskan adanya hubungan motivasi terhadap hasil belajar karena motivasi memberikan dorongan pada individu atau mahasiswa untuk melakukan kegiatan belajar. adanya dorongan untuk belajar, maka potensial akan memperoleh hasil yang lebih baik (sardiman, 2007). seseorang yang masuk pendidikan bidang kesehatan bila disertai dengan motivasi yang tinggi maka akan muncul semangat yang tinggi dan selalu memprioritaskan kegiatannya untuk kepetingan belajar sehingga memperoleh hasil atau prestasi secara optimal. hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan sardiman (2007) bahwa siswa dengan motivasi yang kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. sebaliknya motivasi yang kurang atau rendah maka tidak ada atau kurang semangat dalam aktifitas belajarnya sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal.motivasi yang kurang dapat ditumbuhkan dengan berbagai cara seperti memberi ulangan, memberi nilai dan memberi umpan balik (feedback), diciptakan kompetisi, memberi hadiah (reward) maupun hukuman (punishment). adanya peran motivasi positif-kumpulan antusiasme, gairah dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi. motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam dirinya maupun berasal dari luar dirinya, lalu dorongan itu menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasikan perilaku untuk melakukan suatu pekerjaan. orang-orang yang terbiasa memotivasi dirinya sendiri cenderung lebih produktif dan efektif setiap mngerjakan apapun sardiman (2007). motivasi yang kurang dapat ditumbuhkan dengan berbagai cara seperti memberi ulangan, memberi nilai dan memberi umpan balik (feedback), diciptakan kompetisi, memberi hadiah (reward) maupun hukuman (punishment). motivasi belajar adalah proses aktif dan konstruktif peserta didik variabel f % usia 18-21 th 26 76,5 > 21 th 8 23,5 total 34 100 pendidikan terakhir sma 25 73,5 smk 9 26,5 total 34 100 tempat tinggal kos 6 17,5 rumah 28 26,5 total 34 100 status belum menikah 28 82,4 sudah menikah 6 17,6 total 34 100 tabel 1 karakteristik responden konstanta 24.82 2.37 47.27 motivasi 0.35 0.04 0.6 efikasi diri 0.44 0.17 50.71 n observasi = 34 adjusted r2 = 40,3% nilai p < 0.001 tabel 2 hasil analisis regresi linier ganda tentang hubungan motivasi dan efikasi diri dengan hasil ujian pemeriksaan fisik variabel koef b ci 95% batas bawah batas atas hasil ujian pemeriksaan fisik = 24.82 + 0.35 motivasi + 0.44 efikasi diri. interpretasi hasil analisis regresi sebagai berikut : setiap peningkatan 1 skor motivasi akan meningkatkan sebesar 0.35 skor hasil ujian pemeriksaan fisik (b=0.35; ci 95% 0.04 s.d. 0.65; p 0.027). setiap peningkatan 1 skor efikasi diri akan meningkatkan sebesar 0.44 skor hasil ujian pemeriksaan fisik (b = 0.44, ci 95% 0.17 s.d. 0.71; p 0.003). dari analisis multivariat regresi linear ganda menunjukkan hasil perhitungan adjusted r square = 0.403 mengandung arti bahwa, variabel motivasi dan efikasi diri secara bersama mampu menjelaskan hasil ujian pemeriksaan fisik sebesar 40,3%. sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. hasil ketiga variabel yaitu motivasi dan efikasi diri dengan hasil ujian pemeriksaan fisiksecara statistik signifikan ( p < 0.001). 96 jurnal ners dan kebidanan, volume 4, nomor 2, agustus 2017, hlm. 93–97 dalam menetapkan tujuan untuk proses belajarnya dan berusaha untuk memonitor, meregulasi dan mengontrol kognisi, motivasi, perilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan didorong oleh tujuan dan mengutamakan konteks lingkungan. mahasiswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi adalah peserta didik yang secara metakognitif, motivasional dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses belajar. efikasi diri (self efficacy) denganhasil ujian hasil utama penelitian ini memperlihatkan bahwa ada hubungan positif antara self efficacy (efikasi diri) dan hasil ujian pemeriksaan fisikmahasiswa kebidanandiii stikes patria husada blitar.sesuai 4.3, setiap peningkatan 1 poin skor self efficacyakan meningkatkan 0.44 poin skorhasil ujian. dengan kata lain setiap peningkatan 10 poin skor self efficacy akan meningkatkan 4,4 poin hasilujian pada skala 100. hal tersebut menunjukkan ada hubungan positif dan secara statistik signifikan tentang self efficacy dengan hasil ujian (b = 0.44; p = 0.003). ini berarti semakin tinggi mahasiswa memiliki self efficacy (keyakinan diri) maka semakin tinggi pula hasil ujian pemeriksaan fisik mahasiswa. pandangan self efficacy(efikasi diri)individu berpengaruh terhadap pilihan dan kegiatan pembelajaran yang diikutinya.keadaan tersebut menggambarkan bahwa pada dasarnya individu merupakan peserta aktif dalam belajarnya. selanjutnya, hoban, sersland, raine (wongsri, cantwell, archer, 2002) mengemukakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan kemandirian belajar, tujuan berprestasi dalam belajar. menurut gist dan mitchell (gufron & risnawati, 2010) mengatakan bahwa efikasi diri dapat membawa pada perilaku yang berbeda di antara individu dengan kemampuan yang sama karena efikasi diri mempengaruhi pilihan, tujuan, pengataan masalah, dan kegigihan dalam berusaha. seseorang dengan efikasi diri tinggi percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya. dalam situasi yang sulit ,orang dengan efikasi diri yang rendah cenderung akan mudah menyerah. sementara orang yang dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha keras untuk mengatasi tantangan yang ada. dalam kehidupan sehari-hari, efikasi diri memimpin kita untuk menentukan cita-cita yang menantang dan tetap bertahan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan.lebih dari seratus penelitian memperlihatkan bahwa efikasi diri meramalkan produktivitas dalam melakukan kegiatan termasuk kegiatan belajar. ketika masalah-masalah muncul, perasaan efikasi diri yang kuat akan mendorong siswa untuk tetap tenang dan mencari solusi daripada merenungkan ketidakmampuannya. usaha dan kegigihan akan menghasilkan prestasi. hal itu akan menyebabkan kepercayaan diri tumbuh. efikasi diri, seperti harga diri, tumbuh bersama pencapaian prestasi. motivasi dan efikasi diri (self efficacy) berhubungan positif terhadap hasil ujian, secara bersama–sama motivasi dan efikasi diri mampu menjelaskan vari asi hasil belajar. berdasarkan perhitungan statistik regresi linier ganda hasil variabel motivasi dan efikasi diri mampu menjelaskan variasi hasil ujian sebesar 0.403 mengandung arti bahwa, variabel motivasi dan efikasi diri secara bersama mampu menjelaskan hasil ujian pemeriksaan fisik sebesar 40,3% ( r2 = 0,403 ; p < 0,001). sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. hal ini menunjukkan bahwa persentase atau sumbangan pengaruh variabel independen (motivasi dan efikasi diri terhadap variabel dependen (hasil ujian) sebesar 40,3 %. variasi variabel independen yang disumbang oleh motivasi dan efikasi diri mampu menjelaskan sebesar 40,3 % hasil ujian. sedangkan sisanya 59,7% dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. priyatno (2010) memberikan pedoman untuk interpretasi koefisien korelasi dengan rentang 0,403 – 0,597 dengan interpretasi korelasi yang sedang, sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi dan efikasi diri dengan koefisien korelasi 0,403 memiliki korelasi sedang dengan hasil ujian. dari hasil yang ada dapat dikatakan motivasi dan efikasi diri berhubungan dengan hasil ujian pemeriksaan fisik. dengan demikian secara simultan variabel motivasi dan efikasi diri dapat menerangkan hasil ujian pemeriksaan fisik. motivasi yang digabung dengan efikasi diri akan semakin meningkatkan orientasi belajar sehingga dengan sendirinya akan menaikkan hasil ujian mahasiswa. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil analisis data menggunakan model analisis regresi liner ganda, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) ada hubungan positif dan 97agustina, hubungan antara motivasi dan efikasi diri... secara statistik signifikan antara motivasi dengan hasil ujian pemeriksaan fisik (b=0.35; ci 95% 0.043 s.d. 0.65; p = 0.027), (2) ada hubungan positif dan secara statistik signifikan antara efikasi dir dengan hasil ujian pemeriksaan fisik (b = 0.44, ci 95% 0.17 s.d. 0.71; p = 0.003). saran berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) bagi mahasiswa, untuk mengembangkan motivasi dan efikasi diri mahasiswa, maka peserta didik perlu meningkatkan motivasinya dan efikasi diri pada saat latihan laboratorium skill di kampus.(2) bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan motivasi dan efikasi diri dengan hasil belajar praktik klinik kdpk. daftar rujukan ghufron m. nur & risnawati rini s. 2010. teori-teori psikologi. jogjakarta: ar-ruzz media. luthans, fred. 2006. perilaku organisasi. yogyakarta: penerbit andi. stikes patria husada blitar. 2011. proposal laboratorium skill mahasiswa reguler semester 1. blitar. sunaryo. 2004. psikologi untuk keperawatan. jakarta: egc. wongsri, n., cantwell, r.h., archer, j. (2002). the validation of measures of self-efficacy, motivation and self-regulated learning among thai tertiary students. paper presented at the annual conference of the australian association for research in education, brisbane, december 2002. _______ 2002. catdir.loc. gov /catdir/samples/cam034/ 94049049.pdf untitled untitled 107ulfa, monica, wibisono, the effectivness of playing ball... 107 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the effectiveness of playing ball stimulation to the grossmotor development of 24-36 months children article information history article: received, 14/05/2019 accepted, 13/08/2019 published, 14/08/2019 keywords: playing ball stimulation, gross motor development abstract various research results reveal that early age is a golden period for the development of children in which 50% of the intelligence development occurs at the age of 0-4 years and 30% in the following 8 years. early childhood education also needs to be considered since education plays an important role in the process of growth and development of the children. the purpose of this study was to determine the effectiveness of playing ball stimulation to the gross motor development in children aged 24-36 months. this study used a pre-experimental design with posttest only control group design. the population was 150 children in all posyandu in the working areas of the pkm kanigoro. the sampling technique total sampling. the independent variable wasplaying ball stimulation, while the dependent variable was gross motor development. the instrument used kpsp. the results of wilcoxon signed rank statistical test showed p = 0.005 ( = 0.05), indicated that playing ball stimulation could improve gross motor skills development of children. it is expected that the parents of the respondents more active in asking questions, watching carefully on how to provide stimulation to the children, especially in stimulating ball games, so that it could help them in increasing their children gross motor skills. the results of this study can also be used as an input for health workers to further improvement of counseling during posyandu activities, so that the gross motor development of children continues to increase well. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: maria ulfa1, laily prima monica2, wahyu wibisono3 1,2,3prodikebidanan, stikes patria husadablitar, indonesia stikespatria husadablitarjawatimur, indonesia p-issn : 2355-052x email: ulfamaria845@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p107–111 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 108 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 107–111 introduction the law of national education system article 28 in the year of 2003 stated that early childhood education coud be organized through formal education channels such as kindergartens, nonformal education channels including play groups, child care parks, or other forms of equal and informal education channels in the form of family educa tion or educa tion or ga nized by the environment (kurniasihimas, 2009).early childhood education is an effort that is adressed to the children from birth to six-year-olds who are carried out through the provision of educational stimulus to help the physical and spiritual development so that children have the independecewhen entering further education (kurniasih, 2009). various research results indicate that early childhood is a golden period for the development of the children where 50% of intelligence development occurs at the age of 0-4 years and 30% next in the age of 8 years. this golden period is also a critical period for children where the development obtained in this period is very influential on the development in the next period until adulthood. this period only comes once and cannot be delayed, so that if the opportunity is missed, it cannot be undo, and this is wha t seems to be still being wasted by the community. as a result, it impacts the children’s readiness when entering the school level (kurniasih imas, 2009). people tend to think of the activities of walking, running, and jumping when talking about gross motor skills. many people do not realize that in these activities gross motor skills play more than just simple moving activities. gross motor skills depend on effective sensory processing of a variety of different skills and systems, especially the senses of the body. these motor skills also require an understanding of our physical world (indonesian ministry of health, 2006).co-ordinated gross motor action also requires muscle rhythm, adequate body control and muscle strength. when all of the actions are fulfilled, the key to good gross motor skills is effective motor planning (tara, 2010). regarded to the enormous impact which will bearised, early childhood education is the most important action to assess the level of development of children. early childhood education also needs to be considered because education plays an important role in the process of growth and development of the children. previous research support that ball was a good stimulation for the growth and development of the children. jannah, et.al (2017) on their research proposed spoon and ball as the activity to stimulate the growth and development of the children. one way to increase the gross motor skills was by giving stimulation to the children as a way to train their gross motor skill so that children will be skilled and agiled in all motion suitable to the environment in the future. simple and fun stimulation which could be given to train gross motor was ball and spoon games (janah, et.al, 2017). the purpose of this study was to determine the effectiveness of playing ball stimulation to the gross motor development in children aged 24-36 months. ba sed on the survey conducted by researchers in posyandu in jatinom village, kec. kanigoro blitar, it was obtained that playing football is an activity that is close to children daily activity. after the researchers approached the parents of children aged 24-36 months, by asking “dotheir children often interact with the environment every day?”, and “do their children always move actively every day?” it turns out that more than 80% of parents said most of their children play more cellphones and there were many parents complained that their children were less active. from the phenomenonabove, the authors were interested in conducting research entitled “the effectiveness of playing ball stimulation to the gross motor development of 24-36 months children”. methods this research used pre-experimental design. the population was 150 children aged from 24-36 months in the working area of posyandu jatinom kec.kanigoro kabupaten blitar. the sample was 150 children taken by total sampling on december 2018. the data collection technique was direct observation to the playing ball stimulation to the children’s gross motor development. the independent variable was playing ball stimulation, while the dependent variable was gross motor development. the instrument used kpsp and being managed by the researcher and collaborator which was a lecturer of midwifery department. each sample was treated by giving playing ball stimulation in the duration of 4 times in a month based on the sop on the appendix. the data analysis used wilcoxon signed rank test with significance level of 0.05. 109ulfa, monica, wibisono, the effectivness of playing ball... ta ble 1 a bove showed tha t the highest percentage of age was 24-29 months with 46.7%, the highest weight was 12-13kgg as much as 40%, and most of the respondents was male as much as 60%. discussion gross motor development of 24-36 months childrenbeforeplaying ball stimulation based on the research results showed that almost half (46.7%) of the children were 24-29 months. from the age of 2-6 years, children learn to do social relationships and get along with people in the environment outside, especially with children of the same age. they learn to adapt and work together in playing activities. from the results of the study also showed that most (40%) of children weight at about 12-13kg. this was supported by the previous research by jannah (2017) stated that body weight also affected the child’s agility in motion or play.the child’s weight greatly affected their daily activities like playing, this was because children difficulty in moving their bodies which were not suitable to their age. these children tend to be lazy to move compare to children who had normal weight which could move actively in moving and playing (jannah, et.al, 2017). the data obtained showed that most (60%) of the respondents were male. playing was a common thing for children, but did parents know children’s games to stimulate child development such as motoric, cognitive, and so on. based on the results of the study showed that most (66.7%) of the games that were often given to children were balls game. the type of game used and how to play it could also affect the gross motor development of the children. the results of the study showed that before the giving of playing ball stimulation almost all (80%) children aged 24-36 months were included in the halt criteria of gross motor development. this was influenced by gender. there were 6 female sex respondents, this was due to the statement that many girls were not given balls as toys, they only got bear or child shaped dolls from their parents. even though they were still in preschool years, children already knew that certain types of games and tools were considered more suitable for boys and vice versa (hurlock 2002). based on the observation, before the treatment, showed that the gross motor development of the children was very limited due to the lack of phisycal activity. this was supported by the statement of aulina on her research “there was no increase in the gross motor development of the children before the treatment of bowling game” (aulina,2018) result no. characteristics f % 1. age 24-29 months 70 46,7 30-35 months 30 20 >35 months 50 33,3 2. weight 12-13 kg 60 40 13-14 kg 30 20 14-15 kg 30 20 >15 kg 30 20 3. gender female 60 40 male 90 60 total 150 100 table 1 the frequency distribution of playing ball stimulation to the gross motor development of 24-36 months children no category f % 1. halt 120 80 2. normal 30 20 total 150 100 tabel 2 the identification of gross motor skills before stimulation no category f % 1. halt 40 26,7 2. normal 110 73,3 total 150 100 tabel 3 the identification of gross motor skills after stimulation n z ñvalue before and after stimulation 150 2.828 0.005 = 0,005 = 0,05 tabel 4 the analysis of playing ball stimulation to the gross motor development by wilcoxon signed rank test 110 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 107–111 gross motor development of 24-36 months children after playing ball stimulation the results of the research obtained after the playing ball stimulation showed that most (73%) of the children were included in the normal criteria of gross motor development. this was due to the type of playground equipment that influenced the pattern of play. the more games and tools that could be manipulated the more children liked these tools and the more they played with them. sexes or gender also affected the level of activity in gross motor behavior. boys tended to be more active than girls, even though not all children had the same activity. gross motor activity was strongly influenced by the surrounding environment and parenting of the family. for instance, the playing ball stimulation in children could be used for children in developing gross motor skills, learning to control themselves, and increase activity. even now, many people consider that children’s games to be a waste of time, but according to bruner playing in childhood was a “serious activity,” which was an important part of the development of the first years of childhood. so playing balls could affect children gross motor development, a nd ga mes wer e a mea ns of improvisation and combination, and were the first to faciliitate. (hurlock, 2002) stimulus is highly needed in order to make children’s physical and motoric development grow optimally. children also have the opportunity to make a twist, welcome, kick and when the child runs after the ball or looks down and squats. this can help the ability of early childhood to explore. the ability of children in the gross motor skills of the children will develop further when playing spoon ball games because every movement such as running, passing a ball, taking a ball or carrying a ball will be a place for ea rly childhood char acterized by excess movement or activity, children will tend to show movement gross motor movement that is quite speedy and agile (jannah, 2017) magdalena (2012) found an increase in the ability of children after doing ring ball activities. this can be seen from the increase in the gross motor skills of children in play, children are able to play well, children can run with the ball, children can jump while taking the ball, throwing the ball, and put the ball into the ring properly. furthermore, the child has looked very good and enthusiastic in participating in the game and has the confidence to play. so that the ability of children to participate in games and learning can work well (magdalena, 2012) budiono on her study stated that early aged children who treated by playing ball stimulation showed a significant development on their gross motor skills (nugroho,2017). after being treated with playing ball stimulation, it was clearly showed the increase of gross motor skills of the children. this was in line with aulina statement “the gross motor skill of the children after the stimulation resulted in children was able to stand in one leg jump over the ball with two legs, and they were able to combine movements like throwing and pushing the ball. this research was in line with the observation result done by lutfi, et.al, which revealed the result the achievement of the gross motor skills as much as 0-2 children (0%-14.28%). small ball games was a way to improve gross motor skill of early age children. the result of gross motor skill of group b pertiwi kindergarten dwp tasikmalaya city showed the treatment on the cycle 1 was improved by 3-5 children (21.42%-35.71%). the treatment on the cycle 2 after the reflection showed there was improvement of the achievement of the children in every indicator as much as 6-8 children (42.85%57.14%). the treatment on the cycle 3 showed that there was improvement in every indicator of the children as much as 10-12 children (71.42%85.71%). this was a proof that small ball games could improve gross motor skills of the children of the gr oup b per tiwi kinder ga r ten dwp tasikmalaya city (nur, 2017) the effectiveness of playing ball stimulation to the gross motor development of 24-36 months children based on the wilcoxon signed rank test, the statistical test found p value = 0.005, so that the value was lower than 0.05 meant that there was an effect between the pr etest posttest group. providing stimulation with many variations of game would be very helpful in physical, mental, social health, and emotional development. children who got a lot of stimulation, especially stimulation to play ball will develop faster than children who lack or even didn’t get stimulation. giving stimulation to play ball was included in the activity of playing actively in children. there were many advantages that could be obtained from these stimulations, one of which 111ulfa, monica, wibisono, the effectivness of playing ball... was to kill extra energy, optimize the growth of all parts of the body, increased the appetite of the children because the physical activities itself. the giving of stimulation in various forms of play, especially football, affectedchildren growth and development because the stimulation of the game had many benefits, not only for children’s physical growth, but also for their mental and social development. in selecting kind of game as a stimulation tool for children growth and development, the tools should be chosen not only the fun one but also must be useful in optimizing their growth and development (soetjiningsih, 2013).so creative children could spend most of their time playing to create something original from toys and playing tools, while in other hand, children who were not creative just follow the patterns that have been made by others. the more guidance to the children in playing, the greater the variation in playing activities and the greater excitement gained (hurlock, 2002). playing ball stimulation gave a positive impact to the gross motor development of the children. this was supported by lutfi, et.al “small ball game could increase the gross motor development of early age children.(nur, dkk, 2017).budiono also stated that, the different result of the gross motor development before and after treatment was 51.38%, so it could be concluded that there was a significant increase of gr oss motor development of the children (nurgoho, 2017) conclusion the results showed that (1) before the giving of playing ball stimulation, 80% of the children were in the category of halt in gross motor development (2) afterthe giving of playing ball stimulation, 73.3% of the children were in the category of normal in gross motor development (3) the wilcoxon test signed rank test obtained p value = 0.005 meant that playing ball stimulation affected gross motor development of 24-36 months children. suggestion it is expected that parents should be more active in monitoring the development of their children by providing games and giving time to play with them since providing stimulation through some types of toys (playing ball in particular) can affect their development and increasing brain intelligence. . references aulina (2018). mengembangkan permainan bowling untuk meningkatkan kemampuan motorik kasar anak kelompok b di tk mutiara hati tahun ajaran 2017/2018. http://eprints.unram.ac.id/5496/ 1/jurnal.pdf retrieved on desember 2018 budiono, m. (2017). meningkatkan kemampuan motorik kasar melalui permainan sirkuit keranjang bola warna-warni pada anak kelompok bermain di pos paud “ceria” kudu kecamatan kertosono kabupaten nganjuk tahun pelajaran 2015/2016. artikel skripsi universitas nusantara pgri kediri. departemen kesehatan republik indonesia. (2006). stimulasi, deteksi, dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. jakarta: departemen kesehatan ri. hurlock, e. b. (2002). psikologi perkembangan. jakarta: erlangga. jannah, dkk. (2017). melatih kemampuan motorik kasar anak melalui permainan bola sendok “bolsen” di kelompok bermaian (kb) taman-kanak (tk) islam terpadu (it) al ihsan surabaya. jurnal anak usia dini dan pendidikan anak usia dini. vol 3 no 1 februari 2017 kurniasih, i. (2009). pendidikan anak usia dini. jakarta: edukasia. magdalena, l. (2012). peningkatkan motorik kasar anak melalui bermain bola ring di tk nurul wathan kabupaten pesisir selatan. jurnal pesona paud. vol 1 no. 1 2012 nur, l dkk. (2017). permainan bola kecil untuk meningkatkan keterampilan motorik kasar anak usia dini pada kelompok b di tk pertiwi dwp kota tasikmalaya. jurnal paud agapedi, vol.1 no. 1 juni 2017 soetjiningsih, g. r. (2013). tumbuh kembang anak ed.2. jakarta: egc. tara. (2010). 101 permainan dan aktivitas untuk anakanak penderita: autisme, asperger, dan gangguan pemrosesan sensorik. yogyakarta: andi. 157munjidah, retnosari, motivasi ibu mempengaruhi keberhasilan... 157 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk motivasi ibu mempengaruhi keberhasilan pelatihan buang air pada anak batita annif munjidah1, eka yuni retnosari2 1prodi kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia 2prodi keperawatan, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 05/04/2019 disetujui, 08/07/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: motivasi ibu, pelatihan, batita. abstrak melatih anak untuk mandiri dalam buang air kecil atau besar merupakan suatu tahapan yang harus dilakukan oleh orang tua dalam pengasuhan anak. latihan dan kemandirian anak terkait pola eliminasi ini biasanya berlangsung pada usia 18-24 bulan, namun saat ini masih banyak ditemukan anak berusia lebih dari 3 tahun masih belum dapat mengontrol saat ingin bak dan bab, dan fakta bahwa masih banyak orang tua lebih memilih memakaikan anaknya diapers sampai anak berusia lebih dari 3 tahun. tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan motivasi ibu dengan keberhasilan pelatihan buang air pada anak batita. desain analitik cross sectional. jumlah populasi 38 orang ibu batita, besar sampel sebesar 35 responden dengan teknik simple random sampling. alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang diberikan kepada ibu atau pengasuh yang berisikan tentang kebiasaan buang air pada anak dirumah. data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji spss. hasil spss rank spearman didapatkan nilai  = 0.00 artinya dalam penelitian ini didapatkan bahwa motivasi ibu mempengaruhi keberhasilan pelatihan buang air pada anak batita. simpulan penelitian ini, motivasi ibu menentukan keberhasilan dan kemandirian anak dalam pola buang air, baik buang air kecil (bak) atau buang air besar (bab). diharapkan ibu atau pengasuh dirumah lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam pola pengasuhan anak khususnya yang terkait dengan pola eleminasi buang air besar (bab) dan buang air kecil (bak) ©2019jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabayajawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: annifmunjidah@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i2.art.p157-163 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 158 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 157–163 abstract childrens training to be independent in urinating or defecating is a stage that must be done by parents in parenting. the exercise and independence of children regarding this pattern of elimination usually takes place at the age of 18-24 months, but currently there are still many children over the age of 3 who still cannot control when they want to defecate and defecate, and the fact that there are still many parents prefer to wear their children diapers until the child is more than 3 years old. the aim of the study was to determine the relationship between mother’s motivation and the success of the toilet training in toddler children. cross sectional analytic design. the total population of 38 toddlers, the sample size was 35 respondents with simple random sampling technique. the measuring instrument used in this study is a questionnaire given to the mother or caregiver which contains the habit of urinating in the child at home. the collected data was analyzed using the spss test. the results of spearman rank spss obtained a value of  = 0.00 meaning that in this study it was found that mother’s motivation influenced the success of defecation training in toddlers. conclusion of this study, the motivation of the mother to determine the success and independence of children in the pattern of defecation, either urinating (bak) or defecation (bab). it is expected that mothers or caregivers at home will increase their knowledge and skills in the pattern of parenting especially those related to patterns of defecation. motivation of mothers affecting the succes of training of water waste on batita children article information history article: received, 05/04/2019 accepted, 08/07/2019 published, 01/08/2019 keywords: mother’s motivation , toilet training, children 159munjidah, retnosari, motivasi ibu mempengaruhi keberhasilan... pendahuluan toilet training atau pelatihan buang air pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air besar. dalam melatih anak untuk buang air kecil (bak) dan buang air besar (bab) membutuhkan persiapan baik secara fisik, psikologis maupun secara intelektual, melalui persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air besar atau buang air kecil secara mandiri (saifuddin azwar, 2012). kebiasaan mengompol pada anak usia diatas 2 tahun merupakan hal yang meresahkan orang tua (saputro, 2009). beberapa hasil penelitian dan literatur setengah juta anak di inggris sering mengompol, di amerika serikat dari 10 orang anak 5-7 anak sering mengompol, di singapura yaitu 65% anak tetap mengompol setelah berusia 2 tahun (gilbert, 2010). hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan orang tua dan keluarga dalam membantu anak mengontrol kebiasaan buang air kecilnya serta kurangnya motivasi dari orang tua, ibu yang sibuk bekerja dan lebih suka menggunakan diapers pada anaknya sehingga akan menyebabkan stimulus pada anak tidak berkembang dan anak menjadi tidak mandiri sehingga anak sering mengompol, celananya sering basah, dan buang air kecil sembarangan. kasus yang ditemukan di indonesia pada tahun 2011 menunjukkan bahwa kebiasaan anak buang air kecil dan buang air besar di celana menunjukkan ratio 1 : 15.000 menjadi 1 : 25.000 yang dialami anak pada usia 2-5 tahun (meirisa, 2011 dalam sadyah, 2014). menurut survey kesehatan rumah tangga (skrt) nasional tahun 2008 diperkirakan jumlah balita yang masih susah mengontrol bab dan bak di usia sampai pra sekolah mencapai 75 juta anak. kejadian anak mengompol lebih besar jumlah persentase anak laki-laki yaitu 60% dan anak perempuan 40% statistik menunjukkan 25% anak mengompol pada usia 5 tahun akan menurun 5% pada usia 10 tahun. terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan ini antara lain: tingkat pengetahuan, motivasi dan faktor ekonomi keluarga, selain itu perlakuan atau aturan yang ketat kepada anak dapat mengganggu kepribadian anak (andriani dkk, 2014). dampak yang paling umum terjadi dalam kegagalan pelatihan buang air pada anak adalah kepribadian anak menjadi tidak mandiri (herlitha jayadianti, 2014), anak menjadi terbiasa mengompol hingga usia dewasa. dampak panjang dari kebiasaan mengompol yakni anak mudah terserang penyakit kulit, lingkungan menjadi bau, kotor, jorok serta menjadi tempat berkembangnya penyakit, balita akan mudah rewel dan susah diatur (evelin, 2010) berdasarkan latar belakang diatas, maka yang harus dilakukan orang tua yaitu memberikan motivasi dan mengajari anak dalam mengenali tanda atau keinginan buang air dan langkah yang harus dilakukan anak saat ada keinginan untuk berkemih atau defekasi. ibu sebagai penanggung jawab utama pertumbuhan dan perkembangan anak harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam menjaga kebersihan anaknya. tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan motivasi ibu dengan keberhasilan pelatihan buang air pada anak batita. bahan dan metode dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan desain cross sectional, yaitu rancangan penelitian yang pengukuran atau pengamatan dilakukan secara bersamaan pada satu saat atau sekali waktu. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai batita di posyandu kelurahan made, surabaya sebanyak 38 responden. pada penelitian mengambil sampel dengan tehnik simple random sampling sehingga didapatkan besar sample sebesar 35 responden. lokasi penelitian di posyandu kelurahan made kota surabaya. waktu penelitian pada bulan maret 2018. skala pada variabel motivasi yakni nominal. dengan kategori: motivasi tinggi dan rendah, dengan kriteria bahwa responden termasuk memiliki motivasi tinggi jika responden mendapat skor > dari mean t, dan motivasi rendah jika responden menjawab < dari skor mean t. intrumen yang digunakan dalam variabel motivasi ini berupa daftar pertanyaan sebanyak 20 soal, dengan opsi jawaban sangat setuju (ss), setuju (s), tidak setuju (ts), sangat tidak setuju sekali (sts). kuisioner berisi unsur-unsur motivasi yang disusun peneliti berdasarkan teori pengukuran motivasi dan psikologi dalam irwanto (2008), sobur (2011) yakni meliputi unsur keinginan, keyakinan, harapan dan usaha, selain itu peneliti juga mengadopsi teori dan keterampilan orang tua dalam melatih pola buang air pada anak dalam wong (2008). sedangkan pada variable keberhasilan pelatihan buang air menggunakan daftar check list yang dibuat oleh peneliti dengan sumber saputro (2009), hidayat (2012) dan wong (2008) yang meliputi kemampuan anak dari segi kognitif (5 per160 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 157–163 berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 35 responden hampir seluruhnya (63%) adalah dewasa madya yang berusia 31-40 tahun data pendidikan terakhir responden tanyaan), bahasa atau verbal (5 pertanyaan), motorik atau kemampuan anak dalam menahan keinginan bak dan bab (5 pertanyaan). scoring dalam variable ini skor 1 jika jawaban benar / anak mampu dan skor 0 jika jawaban salah atau anak tidak mampu melakukan. skala data dalam variabel ini yakni ordinal, dengan kategori dan criteria: berhasil, jika anak memiliki persentase skor >75, dari skor total, cukup berhasil jika skor 55-76 dan termasuk tidak berhasil jika skor <54. analisis data yang digunakan adalah uji statistik rank sperman hasil penelitian data umum karakteristik responden berdasarkan usia ibu usia ibu (tahun) f % 20-30 13 37 31-40 22 63 41-50 0 0 jumlah 35 100 sumber:data primer mei 2018 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan usia ibu atau pengasuh di posyandu kelurahan made surabaya pada bulan mei 2018 tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan terakhir ibu atau pengasuh di posyandu kelurahan made surabaya pada bulan mei 2018 pendidikan terakhir f % dasar 14 40 menengah 18 51 tinggi 3 9 jumlah 35 100 sumber:data primer mei 2018 berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 35 responden sebagian besar (51%) berpendidikan menengah. karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan jenis pekerjaan f % ibu rumah tangga 18 51 swasta 11 31 wiraswasta 4 11 pns 2 7 jumlah 35 100 sumber:data primer mei 2018 tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis pekerjaan di posyandu kelurahan made surabaya pada bulan mei 2018 berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 35 responden hampir sebagian besar (51%) adalah ibu rumah tangga. karakteristik berdasarkan usia anak usia anak (tahun) f % 2 14 40 3 21 60 jumlah 35 100 sumber:data primer mei 2018 tabel 4 distribusi frekuensi responden berdasarkan usia anak batita di keluarga di posyandu kelurahan made surabaya pada bulan mei 2018 berdasarkan tabel 4 dapat dilihatkan bahwa dari 35 anak responden sebagian besar (60%) memiliiki usia anak paling banyak 3 tahun. karakteristik berdasarkan jenis kelamin anak jenis kelamin anak f % laki-laki 20 57 perempuan 15 43 jumlah 35 100 sumber:data primer mei 2018 tabel 5 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin anak di posyandu kelurahan made surabaya pada bulan mei 2018 berdasarkan tabel 5 dapat dilihatkan bahwa dari 35 anak responden sebagian besar (57,1%) berjenis kelamin laki-laki 161munjidah, retnosari, motivasi ibu mempengaruhi keberhasilan... data diatas menunjukkan sebagian besar (80,0%) ibu atau pengasuh mempunyai motivasi yang tinggi dalam melatih anaknyadalam pola buang air. data khusus karakteristik motivasi tabel 6 distribusi frekuensi karakteristik motivasi ibu atau pengasuh pada bulan mei 2018 motivasi ibu f % rendah 7 20 tinggi 28 80 jumlah 35 100 sumber:data primer mei 2018 keberhasilan pelatihan buang air f % tidak 1 3 cukup 8 23 berhasil 26 74 jumlah 35 100 sumber:data primer mei 2018 tabel 7 distribusi frekuensi karakteristik keberhasilan ibu dalam melatih anaknya di posyandu kelurahan made surabaya pada bulan mei 2018 karakteristik keberhasilan pelatihan data diatas menunjukkan sebagian besar anak berhasil hubungan motivasi ibu dengan keberhasilan pelatihan buang air motivasi keberhasilan pelatihan buang air total (%) tidak(%) cukup (%) berhasil (%) rendah 0 6 (85,7) 1(14,3) 7 (100) tinggi 1 (3,6) 2 (7,1) 25 (89,3) 28 (100) total 1 (2,9) 8 (22,9) 26 (74,3) 35 (100) sumber : data primer mei 2018 tabel 8 tabulasi silang motivasi ibu dengan keberhasilan pelatihan buang air berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 28 responden yang memiliki motivasi tinggi, sebagian besar (89,3%) berhasil sebagian kecil (7,1%) cukup berhasil dan (3,6%) tidak berhasil. sementara dari 7 responden yang memiliki motivasi rendah, sebagian besar (85,7%) cukup berhasil. berdasarkan uji rank sperman untuk menganalisis hubungan motivasi ibu dengan keberhasilan pelatihan buang air pada anak balita didapatkan nilai  = 0,000 sehingga < atau 0,000 < 0,05 dimana h0 ditolak, artinya bahwa ada hubungan motivasi ibu dengan keberhasilan pelatihan buang air pada anak balita di posyandu kelurahan made surabaya. pembahasan hasil dari pendataan didapatkan fakta bahwa sebagian besar ibu memiliki motivasi tinggi akan usaha dalam melatih anaknya dalam hal mengotrol dam kebiasaan buang air. pada dasarnya ketika seorang ibu memiliki motivasi yang kuat atau dorongan dalam dirinya, maka ibu akan mempunyai kemampuan yang baik dalam mengajarkan pola buang air kecil (bak) dan buang air besar (bab) faktor yang mempengaruhi motivasi yaitu pendidikan, usia, pekerjaan, status budaya dan lingkungan (sudrajat, 2008). berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 35 responden sebagian besar (62.9%) berusia 31-40 tahun atau dewasa madya. usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. hal ini dikarenakan seseorang yang semakin bertambahnya umur akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh semakin luas dan membaik (notoatmodjo, 2012). faktor yang mempengaruhi motivasi ibu adalah pendidikan orang tua. berdasarkan tabel 2 dari 35 responden sebagian besar yaitu 18 responden (51.4%) pendidikannya menengah (sma/ smk). membesarkan dan mengajarkan anak tidak cukup dengan naluri kasih sayang saja tetapi juga butuh pendidikan yang cukup dan keterampilan yang baik, karena pendidikan yang dimiliki orang tua sangat penting bagi perkembangan anak. 162 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 157–163 selain usia dan pendidikan, pekerjaan juga dapat mempengaruhi motivasi ibu dalam pelaksanaan pelatihan buang air. pada tabel 3 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar (51.4%) merupakan ibu rumah tangga. pekerjaan merupakan kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. seseorang yang bekerja akan mempunyai banyak informasi dan pengalaman antara teman-teman atau rekan di lingkungan kerja. bagi ibu rumah tangga, pertukaran informasi dapat diperoleh dari ibu rumah tangga lainnya, orang yang berada dilingkungan rumah, anggota keluarga lain atau bahkan petugas kesehatan. keberhasilan pelatihan pada anak balita berdasarkan tabel 7 didapatkan hasil penelitian dari 35 responden yaitu sebagian besar 26 (74.3%) anak berhasil dalam melakukan pelatihan buang air. sebagian besar anak di posyandu mawar berhasil melakukan pelatihan buang air paling banyak berumur 3 tahun. keberhasilan ini dapat dicapai karena anak mampu mengenali keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil, kemampuan fisik anak untuk mengontrol sfingter ani dan uretra. jenis kelamin anak juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pelatihan buang air pada anak. berdasarkan tabel 5 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin dapat diketahui bahwa dari 35 responden sebagian besar (57,1%) responden adalah anak laki-laki. jika dibandingkan anak laki-laki dan perempuan sesungguhnya lebih disiplin anak perempuan dalam penerapan pelatihan buang air. sesuai dengan yang diungkapkan gilbert (2008), bahwa anak laki-laki cenderung lebih lambat dalam penguasaan kontrol terhadap kandung kemihnya dibandingkan dengan anak perempuan. anak perempuan dapat memulai menguasai buang airnya pada umur 18 bulan, sementara anak laki-laki baru menguasai pada saat umur 22 bulan. anak berjenis kelamin perempuan lebih peka terhadap perintah sederhana, hal tersebut sesuai dengan teori dalam gunarsa (2010) bahwa kedewasaan perempuan lebih dini disbanding lakilaki. hubungan motivasi ibu dengan keberhasilan pelatihan pada anak berdasarkan hasil uji korelasi statistik rank spearman diperoleh nilai  = 0,000 sehingga < atau 0,000 < 0,05 dimana h0 ditolak artinya bahwa motivasi yang dimiliki ibu memperngaruhi keberhasilan dalam pelatihan buang air pada anak batita di posyandu kelurahan made surabaya. berdasarka n tabel 8 didapatkan dari 28 responden yang memiliki motivasi tinggi, sebagian besar (89.3%) berhasil dalam melatih anak, sebagian kecil (7.1%) cukup berhasil dan sebagian kecil (3.6%) tidak berhasil. didapatkan fakta bahwa meskipun ibu memiliki motivasi tinggi terhadap anak tetapi anak tidak berhasil melakukan pelatihan pada anak ka rena anak ma sih ser ing mengompol. sementara dari 7 responden yang memiliki motivasi rendah, sebagian besar (85.7%) cukup berhasil dan (14.3%) berhasil dalam melakukan pelatihan motivasi orang tua dapat membantu meningkatkan keberhasilan dalam melatih toilet training pada anak (lusi nuryanti, 2008). motivasi merupakan daya penggerak atau pendorong untuk melakukan sesuatu, sehingga ibu yang memiliki tingkat motivasi dan keyakinan diri yang baik akan lebih mampu mengajarkan toilet training dini pada anaknya. apabila anak menerapkan toilet training dengan baik dan berhasil maka anak juga akan menerima manfaat dari toilet training tersebut, misalnya dapat membuka celana sendiri, dapat membedakan kotor dan bersih karena anak sebelumnya mengompol yang membuat tidak nyaman dengan baunya, dapat menjaga kebersihan karena dapat cebok dan menyiram toilet secara mandiri, dapat membedakan tempat/ruangan karena setiap tempat berbeda jenis dan fungsinya, dan sebagainya. hal ini juga memperkuat perkembangan kognitif, motorik halus, motorik kasar (meyerhoff, 2010). tenaga kesehatan dapat memberikan penyuluhan kepada orang tua tentang toilet training terkait pengetahuan, keterampilan dalam melatih toilet training pada anak (musfiroh, 2014) kesimpulan keberhasilan pelatihan buang air pada anak batita dipengaruhi oleh motivasi ibu. saran bagi petugas kesehatan hendaknya memberikan edukasi terkait pola asuh pada anak pra sekolah pada ibu atau orang tua khususnya dalah hal pelatihan buang air pada anak. bagi ibu batita hendaknya melatih anak untuk pelatihan buang air semenjak anak dapat berkomunikasi dan memahami perintah sederhana dari ibu 163munjidah, retnosari, motivasi ibu mempengaruhi keberhasilan... daftar pustaka azwar, s. (2012). sikap manusia: teori dan pengukurannya. yogyakarta, indonesia: liberty evelin. (2010). panduan pintar merawat bayi dan balita. jakatra: wahyu media gilbert, j. (2010). latihan toilet. jakarta, indonesia: erlangga gunarsa, s.d. (2010). psikologi perkembangan anak dan remaja.jakarta, indonesia: pt bpk gunung mulia hidayat, a.a & musrifatul uliyah. (2012). buku ajar kebutuhan dasar manusia (kdm). pendekatan kurikulum berbasis kompetensi. surabaya, indonesia : health info media irwanto. (2008). motivasi dan pengukuran perilaku. jakarta, indonesia: pt rinekacipta jayadianti herlitha. (2014). seri solusi bina karakter: menumbuh kembangkan interpersonal anak (usia 0-6 tahun). tanggerang selatan, indonesia: media edukasi indonesia meyerhoff, m. k. (2010). tips for successful toilet training. pediatric for parents, volume 25, number 5 & 6. musfiroh, m & wisudaningtyas, b.l. (2014). penyuluhan terhadap sikap ibu dalam memberikan toilet training pada anak. jurnal kesehatan masyarakat, vol 9, no 2, hal 157-166. notoatmodjo, s. (2012). ilmu perilaku kesehatan. jakarta, indonesia: rineka cipta nuryanti, l. (2008). psikologi anak. jakarta, indonesia : pt indeks sadyah, i.n. (2014). gambaran pola asuh orang tua tentang penerapan toilet training pada anak usia 2-5 tahun di dusun kemalangan rt 05 rw 03 wonoayu sidoarjo. ka rya tuli s ilmia h, universitas nu surabaya diakses dari http:// digilib.unusa.ac.id/data_pustaka-9495.html . diakses pada tanggal 4 november 2017 saputro, s. (2009). toilet training pada anak. jakarta, indonesia: gaya medika sobur, a. (2011). psikologi umum. bandung, indonesia: pustaka setia sudrajat, a. (2008). teori-teori motivasi. jakarta, indonesia: erlangga. 127ferdina, ratnawati, andarini, pengaruh antosianin... 127 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk cucun setya ferdina1, retty ratnawati2, sri andarini3 1magister kebidanan, fakultas kedokteran, universitas brawijaya, indonesia 2laboratorium fisiologi, fakultas kedokteran, universitas brawijaya, indonesia 3laboratorium ilmu kesehatan masyarakat, fakultas kedokteran, universitas brawijaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 14/03/2019 disetujui, 21/05/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: antosianin, ekspresi p53, apoptosis, sel epitel vagina abstrak menopause merupakan suatu keadaan fisiologis yang pasti dialami oleh semua wanita, pada masa menopause terjadi peningkatan stres oksidatif karena penurunan hormon estrogen (hipoestrogen). salah satu organ yang mengalami dampak akibat terjadinya hipoestrogen adalah vagina. pada vagina terjadi atrofi dan penipisan epitel. antosianin merupakan salah satu antioksidan yang dapat menyelamatkan sel-sel tubuh dari stres oksidatif. penelitian ini dilakukan untuk membuktikan pengaruh antosianin terhadap ketebalan epitel, indeks apoptosis dan ekspresi p53 sel epitel vagina pada tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi. desain penelitian ini adalah true experimental laboratory, dengan menggunakan pendekatan posttest only group control design. penelitian ini dilakukan dengan memberikan perlakuan pada hewan coba, yaitu tikus putih (rattus norvegicus) betina. hasil penelitian menunjukkan pemberian antosianin terbukti berpengaruh secara signifikan (p-value = 0,000 < =0,05) dalam menurunkan ekspresi p53 dan indeks apoptosis sel epitel vagina serta meningkatkan ketebalan epitel vagina pada tikus ovariektomi. ©2019jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas brawijayajawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x pengaruh antosianin terhadap ketebalan epitel, indeks apoptosis dan ekspresi p53 sel epitel vagina pada tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi email: ferdina.mdf@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p127-134 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 127–134 abstract menopause is natural physiological phenomenon in women, during menopause there is an increase in oxidative stress due to a decrease in the hormone estrogen (hypoestrogen). one of the organs affected by the occurrence of hypoestrogen is the vagina. in the vagina occurs atrophy and epithelial depletion. anthocyanins is one of bioactive in warding off free radical and best known as antioxidant. this research aimed at improving the effect of anthocyanin on vaginal epithelial thickness, apoptotic index, and p53 expression on vaginal epithelial cells of ovariectomized rats. this research applied true experimental design and post test only group control design approach. in addition, it used female white rat (rattus norvegicus). the results showed that anthocyanin had a significant effect (p-value = 0,000 < =0,05) in reducing p53 expression and apoptotic index of vaginal epithelial cells and increasing vaginal epithelial thickness in ovariectomy rats. the effect of anthocyanins on epithelial thickness, apoptosis index and p53 expression on vaginal epithelial cell of ovariectomized rats article information history article: received, 14/03/2019 accepted, 21/05/2019 published, 01/08/2019 keywords: anthocyanins p53 expression, apoptosis, vaginal epithelial cell 129ferdina, ratnawati, andarini, pengaruh antosianin... pendahuluan menopause merupakan proses fisiologis pada wanita (reddish, 2011). menopause terjadi setelah periode amenorrea yang berlangsung lebih dari 1 tahun dan dimulai antara 40 dan 55 tahun (scambia et al., 2000). setelah menopause, biosintesis estrogen di ovarium berkurang (bjornstrom and sjoberg, 2005). penurunan kadar estrogen (hipoestrogen) mempengaruhi banyak jaringan tubuh dan munculnya berbagai tanda-tanda dan gejala yang dapat mempengaruhi kualitas hidup perempuan pada masa menopause (al-azzawi and palacios, 2009). salah satu organ yang mengalami dampak akibat terjadinya hipoestrogen adalah vagina, yaitu terjadinya atrofi vagina (al-baghdadi and ewies, 2009). atrofi vagina merupakan silent epidemy yang dapat mempengaruhi banyak wanita, diperkirakan 50% 60% wanita pasca menopause terpengaruh dengan kondisi ini (krychman, 2007). gejala vaginal pada wanita dengan atrofi vagina berupa vagina kering, dispareunia, perdarahan bercak atau spotting, pruritus, nyeri, atau adanya discharge yang berbau tak sedap. gejala-gejala ini bisa memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan gairah seksual (irmayanti, 2016), karena vagina adalah organ kunci dalam merespon rangsangan genital (pessina, 2006). hasil penelitian menunjukkan bahwakeadaan hipoestrogen menyebabkan perubahan struktural pada dinding vagina yaitu terjadi penurunan ketebalan dinding vagina yang dapat menyebabkan disfungsi seksual (lara, 2009). penelitian lain menyebutkan bahwa terjadi perubahan morfologis dalam apoptosis sel vagina yang terlihat melalui mikroskop elektron. fragmentasi dna pada vagina meningkat setelah dilakukan ovariektomi. hal ini menunjukkan bahwa ovariektomi menginduksi apoptosis pada vagina (sato, 2003). apoptosis terjadi sebagai mekanisme pertahanan seperti pada reaksi imun atau ketika sel-sel yang rusak oleh penyakit atau agen berbahaya (norbury and hickson, 2001). apoptosis dapat diaktifkan oleh p53 (fridman, 2003), p53 merupakan protein yang berperan sebagai regulator siklus sel, yang memegang peranan penting dalam adanya respon stres selular. pada siklus sel, p53 merupakan salah satu checkpoint penting untuk mengenali sesuatu penyimpangan pada sel misalnya dna yang telah rusak (tan, 2000). ovariektomi pada tikus betina meniru banyak modifikasi fisiologis pascamenopause, baik pada fenotipik maupun fitur histologis (giuliano, 2001). hasil penelitian setyarini (2015), membuktikan adanya peningkatan stres oksidatif pada sel epitel vagina setelah dilakukan ovariektomi. vitamin dan makanan yang kaya senyawa antioksidan bisa menjadi strategi yang efektif untuk mengurangi stres oksidatif dan gejala komplikasi yang terkait dengan wanita ya ng mengalami menopause (sekhon and agarwal, 2013). antioksidan berinteraksi dengan cara menstabilkan radikal bebas sehingga mencegah terjadinya stres oksidatif di dalam tubuh. salah satu bioaktif yang paling dikenal sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas adalah antosianin (kumalaningsih, 2007). penelitian tentang pengaruh antosianin terhadap organ reproduksi khususnya menopause masih sangat terbatas. berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh antosianin terhadap ketebalan epitel, indeks apoptosis dan ekspresi p53 sel epitel vagina pada tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi.. bahan dan metode desain penelitian ini adalah true experimental dengan pendekatan posttest only group control design.penelitian ini menggunakan hewan coba berupa tikus putih (rattus norvegicus) betina berjumlah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : 1) kelompok kontrol (k) yang dilakukan ovariektomi tetapi tidak diberikan antosianin; 2) kelompok perlakuan 1 (p1) yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 20 mg/kgbb/hr; 3) kelompok perlakuan 2 (p2) yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 40 mg/kgbb/hr; dan 4) kelompok perlakuan 3 (p3) yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr. hewan coba diaklimatisasi terlebih dahulu selama 7 hari, kemudian hewan coba diovariektomi untuk memperoleh kondisi hipoestrogen. hewan coba yang telah dalam kondisi hipoestrogen diberikan antosianin dengan dosis 20 mg/kgbb/hari, 40 mg/kgbb/hari, dan 80 mg/kgbb/hari selama 30 hari, kemudian hewan coba diterminasi dan dilakukan pengambilan organ vagina. kemudian dibuat preparat dan dilakukan pemeriksaan ekspresi p53 menggunakan metode imunohistokimia, apoptosis pada sel epitel vagina menggunakan tunel assay serta dilakukan pengukuran ketebalan epitel vagina. 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 127–134 ekspresi p53 dan apoptosis pada sel epitel vagina diamati menggunakan mikroskop nikon e100 dengan perbesaran 1000x. penghitungan ekspresi p53 dan indeks apoptosis dilakukan dengan membandingkan jumlah sel epitel vagina yang mengekspresikan p53 pada 20 lapang pandang dengan jumlah sel yang normal.ketebalan epitel diukur dengan menghitung rerata dari 4 titik dengan perbesaran 400x menggunakan dot slide mikroskop cahaya olympus dp71 dan software image raster. data dianalisis menggunakan uji beda one way anova, dilanjutkan dengan uji post-hoc lsd (least significance different) dengan menggunakan spss. hasil penelitian pengaruh antosianin terhadap ketebalan epitel berdasarkan uji one way anova pengaruh antosianin terhadap ketebalan epitel vagina pada tikus ovariektomi, diperoleh hasil p-value = 0,000 < taraf signifikansi  = 0,05 maka ada perbedaan yang bermakna rerata ketebalan epitel, kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc lsd (least significance different) ditampikan dalam tabel berikut : tabel 1 rerata ketebalan epitel vagina pada tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi kelompok pengamatan k p1 p2 p3 n 6 6 6 6 rerata ketebalan epitel ( x ± sd) 24,28 ± 0,78a 27,69 ± 0.87b 27,75 ± 1,10b 35,75 ± 2,63c p-value 0,000 < keterangan: pada kolom rerata ketebalan epitel ± sd yang memuat huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p<0,05) dan jika memuat huruf yang berbeda berarti terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05). gambar 1 histogram perbandingan ketebalan epitel vagina tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi hasil analisis menunjukkan dari keempat kelompok dapat diketahui bahwa kelompok yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr memiliki rata-rata ketebalan epitel vagina yang paling tinggi, sedangkan kelompok kontrol yang dilakukan ovariektomi tetapi tanpa diberikan antosianin memiliki rata-rataketebalan epitel yang paling rendah. sementara analisis dari ketiga perlakuan tanpa kelompok kontrol dapat diketahui bahwa kelompok yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/ hr memiliki rata-rata ketebalan epitel yang paling tinggi, dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. pengaruh antosianin terhadap indeks apoptosis berdasarkan uji one way anova pengaruh antosianin terhadap ekspresi indeks apoptosis sel epitel vagina pada tikus ovariektomi, diperoleh hasil p-value = 0,000 < taraf signifikansi  = 0,05 maka ada perbedaan yang bermakna rerata jumlah indeks apoptosis. kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc lsd (least significance different) ditampilkan dalam tabel berikut: tabel 2 rerata indeks apoptosis sel epitel vagina pada tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi kelompok pengamatan k p1 p2 p3 n 6 6 6 6 rerata indeks apoptosis ( x ± sd) 33,77 ± 3,63 a 32,56 ± 5,05 a 24,23 ± 3,46 b 19,29 ± 2,77 b p-value 0,000 < keterangan: pada kolom rerata indeks apoptosis ± sd yang memuat huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p<0,05) dan jika memuat huruf yang berbeda berarti terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05). gambar 2 histogram perbandingan indeks apoptosis sel epitel vagina tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi 131ferdina, ratnawati, andarini, pengaruh antosianin... dari hasil analisis diatas dapat diketahui bahwa kelompok yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr memiliki rata-rata indeks apoptosis yang paling rendah, sedangkan kelompok kontrol yang dilakukan ovariektomi tetapi tanpa diberikan antosianin memiliki ratarata indeks apoptosis yang paling tinggi. sementara analisis dari ketiga perlakuan tanpa kelompok kontrol dapat diketahui bahwa kelompok yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr memiliki rata-rata indeks apoptosis yang paling rendah, dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. pengaruh antosianin terhadap ekspresi p53 berdasarkan uji one way anova pengaruh antosianin terhadap ekspresi p53 sel epitel vagina pada tikus ovariektomi, diperoleh hasil p-value = 0,000 < taraf signifikansi  = 0,05 maka ada perbedaan yang bermakna rerata jumlah ekspresi p53, kemudian dilanjutkan dengan uji post hoc lsd (least significance different) ditampikan dalam tabel berikut : tabel 3 rerata ekspresi p53 sel epitel vagina pada tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi kelompok pengamatan k p1 p2 p3 n 6 6 6 6 rerata ekspresi p53 ( x ± sd) 29,29 ± 3,10 a 17,82 ± 4,35 b 17,70 ± 2,78 b 8,37 ± 2,38 c p-value 0,000 < keterangan: pada kolom rerata ekspresi p53 ± sd yang memuat huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p<0,05) dan jika memuat huruf yang berbeda berarti terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05). gambar 3 histogram perbandingan indeks apoptosis sel epitel vagina tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi dari data diatas diketahui bahwa pemberian antosianin berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan ekspresi p53 pada sel epitel vagina tikus ovariektomi. pada kelompok kontrol yang dilakukan ovariektomi tanpa diberikan antosianin memiliki rata-rata ekspresi p53 yang paling tinggi, sedangkan kelompok perlakuan 3 (p3) yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr memiliki rata-rata ekspresi p53 yang paling rendah. sementara analisis dari ketiga perlakuan tanpa kelompok kontrol dapat diketahui bahwa kelompok yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr memiliki rata-rata ekspresi p53 yang paling rendah, dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. pembahasan pengaruh antosianin terhadap ketebalan epitel hasil analisis data pengaruh pemberian antosianin terhadap ketebalan epitel vagina menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna rerata ketebalan pada epitel vagina yang diberikan antosianin pada berbagai dosis. pada kelompok kontrol yang dilakukan ovariektomi tetapi tanpa diberikan antosianin memiliki rata-rata ketebalan epitel yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang diberikan antosianin. hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh yuliani (2014), tentang pengaruh pemberian ekstrak kacang tunggak terhadap ketebalan epitel vagina pada tikus putih ovariektomi, dijelaskan bahwa terjadi penipisan epitel vagina pada kelompok kontrol, yaitu kelompok yang dilakukan ovariektomi tetapi tidak diberikan ekstrak kacang tunggak. vagina merupakan organ yang sensitif akibat penurunan kadar estrogen pada wanita post menopause. hilangnya produksi estrogen ovarium berhubungan dengan atrofi vagina (archer, 2010). pada masa menopause terjadi penipisan lapisan epitel vagina, dan hilangnya sel intermediate, yang ditunjukkan dengan berkurangnya tinggi epitel secara keseluruhan (zaino and robboy, 2002). turunnya kadar estrogen menjadikan estrogen tidak cukup untuk merubah konformasi reseptor estrogen (er), sehingga menyebabkan tidak adanya interaksi antara estrogen dengan reseptor estrogen pada sisi akseptor dna. ekspresi gen menurun dimana gen tidak dikatalisis oleh enzim rna polymerase yang akhirnya menyebabkan penurunan mrna. pada 132 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 127–134 sisi lain trna juga menurun, sintesis materi sel menjadi menurun dan menyebabkan terjadinya penipisan pada sel epitel (puspitadewi, 2007). sedangkan pada kelompok perlakuan yang dilakukan ovariektomi dan diberi antosianin, diketahui bahwa pemberian antosianin berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan ketebalan epitel vagina pada berbagai kelompok. pada kelompok perlakuan 3 yang diberikan antosisnin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr memiliki rata-rata ketebalan epitel yang paling tinggi, dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. hal ini berarti bahwa pemberian antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr merupakan dosis yang paling berpengaruh dalam meningkatkan ketebalan epitel vagina tikus putih ovariektomi. hal ini sejalan dengan penelitian dari utami (2016), tentang pengaruh pemberian antosianin ubi jalar ungu terhadap ketebalan endometrium tikus putih betina yang dipapar asap rokok, menyebutkan bahwa pemberian antosianin ubi jalar (ipomoea batatas l.) pada dosis 40 mg/kgbb dapat meningkatkan ketebalan endometrium tikus putih. data penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada jaringan epitelium vagina, jumlah reseptor yang paling banyak ditemukan adalah reseptor estrogen  (pessina, 2006). penelitian schmitt dan stopper (2001), menyebutka n ba hwa kela s bioflavonoid seperti antosianidins memiliki potensi untuk berikatan dengan reseptor estrogen á, dan antosianidin menunjukkan aktivitas estrogenik yang signifikan. hasil penelitian utami (2016), menunjukkan bahwa antosianin ubi jalar varietas ungu dapat meningkatkan ekspresi estrogen reseptor  di endometrium tikus putih betina yang dipapar asap rokok. pengaruh antosianin terhadap indeks apoptosis hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pemberian antosianin terhadap indeks apoptosis sel epitel vagina pada tikus ovariektomi. dari keempat kelompok, dapat diketahui bahwa kelompok yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/ hr memiliki rata-rata indeks apoptosis yang paling rendah, sedangkan kelompok kontrol yang dilakukan ovariektomi tetapi tanpa diberikan antosianin memiliki rata-rata indeks apoptosis yang paling tinggi. sementara analisis dari ketiga perlakuan tanpa kelompok kontrol dapat diketahui bahwa kelompok yang dilakukan ovariektomi dan diberikan antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr memiliki rata-rata indeks apoptosis yang paling rendah, dibandingkan kelompok perlakuan lainnya. hal ini berarti bahwa pemberian antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr merupakan dosis yang paling berpengaruh dalam menurunkan indeks apoptosis pada sel epitel vagina tikus ovariektomi. hasil tersebut sejalan dengan penelitian (sun et al., 2012), yang melakukan penelitian tentang pengaruh antosianin dari ekstrak bayberry china terhadap sel  pada penderita diabetes militus tipe 1. penelitian ini menyebutkan bahwa antosianin mampu untuk meindungi sel â terhadap kerusakan sel (apoptosis dan nekrosis) yang diinduksi ros secara in vitro. hal ini dapat terjadi karena terjadi kerusakan sel yang disebabkan oleh stres oksidatif. pada kondisi stres oksidatif, terjadi peroksidasi lipid dan kerusakan pada membran sel yang disebabkan oleh radikal bebas. tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat diketahui dari rendahnya aktivitas sod dan tingginya kadar mda dalam plasma (winarsi, 2005). stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan yang serius antara reaktif oksigen spesies (ros) yang diproduksi dengan antioksidan. ketika agen sitotoksik meningkat, kerusakan yang serius akan terjadi seperti pada lipid, protein, dan dna (finkel and holbrook, 2000).ros terkait erat dengan apoptosis melaui jalur intrinsik, yang ditandai dengan adanya pelepasan faktor apoptogenik, seperti sitokrom c dan smac di mitokondria (matsuzawa and ichijo, 2005). antosianin merupakan golongan flavonoid, yaitu seyawa polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan (kumalaningsih, 2007). antosianin dapat melindungi sel dari apoptosis yang diinduksi oleh stres oksidatif. antosianin meningkatkkan ekspresi bcl-2 (protein anti apoptosis) dan menurunkan bad dan bax (protein pro apoptosis) dan caspase 3 yang merupakan protease terkait dengan aktivitas kematian sel (mok, 2014). pengaruh antosianin terhadap ekspresi p53 penelitian ini membuktikan bahwa pemberian antosianin berpengaruh dalam menurunkan ekspresi p53 pada sel epitel vagina tikus ovariektomi dan pemberian antosianin dengan dosis 80 mg/kgbb/hr merupakan dosis yang paling berpengaruh dalam menurunkan ekspresi p53 pada sel epitel vagina tikus ovariektomi.hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian liu (2013), bahwa antosianin dari bluberry 133ferdina, ratnawati, andarini, pengaruh antosianin... mampu memperbaiki fragmen dan kerusakan dna yang disebabkan oleh penyinaran uv. antosianin dari blueberry memiliki efek perlindungan pada sel yang disinari uv, yang mungkin terjadi terkait kandungan antioksidan pada antosianin blueberry. penelitian ini menemukan, pada sel yang dna nya mengalami kerusakan parah setelah penyinaran uv, terdapat peningkatan ekspresi protein p53, sedangkan pada sel yang telah diberikan antosianin dari bluberry, ekspresi p53 menurun. hal ini menunjukkan bahwa antosianin dapat melakukan intervensi dalam perbaikan dna. pada wanita yang mengalami penuaan ovarium, produksi estradiol menjadi tidak menentu, perlindungan antioksidan hilang, dan terjadi peningkatan stres oksidatif (sánchez-rodríguez et al., 2012). pada kondisi stres, p53 akan teraktivasi dan terjadi penghentian siklus sel dan perbaikan dna atau apoptosis (chène, 2003).adanya kerusakan pada dna menyebabkan siklus sel akan masuk pada fase g0 (istirahat) dan protein p53 akan teraktivasi yang disebut proses p53-dependent pada cekpoint g1/s. protein p53 dikontrol oleh mdm2, sehingga pada saat teraktivasi, level mdm2 juga akan meningkat. mdm2 menonaktifkan p53 dengan mendegradasi p53 (vermeulen et al., 2003). pada kondisi sel yang tidak megalami stres, p53 tidak aktif. aktivasi terjadi ketika sel-sel stres atau rusak (vogelstein, 2000). kesimpulan dari hasi penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian antosianin dapat meningkatkan ketebalan epitel vagina, menurunkan indeks apoptosis dan ekspresi p53 sel epitel vagina pada tikus putih (rattus norvegicus) ovariektomi. saran perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variasi dosis yang beragam, dan dilakukan uji toksisitas pada antosianin ubi jalar unguvarietas gunung kawi sebelum digunakan pada manusia. daftar pustaka al-azzawi, f., & palacios, s. (2009). hormonal changes during menopause. maturitas, 63(2), 135-137. al-baghdadi, o., & ewies, a. a. a. (2009). topical e st r ogen th er apy in t he man a gem en t of postmenopausal vaginal atrophy: an up-to-date overview. climacteric, 12(2), 91-105.\ archer, d. f. (2010). efficacy and tolerability of local e st r ogen t h er a py for ur ogen it a l at rophy. menopause, 17(1), 194-203. bjornstrom, l., & sjoberg, m. (2005). mechanisms of estrogen receptor signaling: convergence of genomic and nongenomic actions on target genes. molecular endocrinology, 19(4), 833-842. chène, p. (2003). inhibiting the p53–mdm2 interaction: an important target for cancer therapy. nature reviews cancer, 3(2), 102. evans, m. d., dizdaroglu, m., & cooke, m. s. (2004). oxidative dna damage and disease: induction, repair and significance. mutation research/ reviews in mutation research, 567(1), 1-61. fridman, j. s., & lowe, s. w. (2003). control of apoptosis by p53. oncogene, 22(56), 9030. giuliano, f et al., 2001. a preclinical model of menopause: the ovariectomized female rat. am j physiol regul integr comp physiol, 281(1): 140-9. irmayanti, p. c. (2016). pemberian kombinasi estrogen, progesteron, dan testosteron lebih meningkatkan integritas struktural vagina dibandingkan dengan kombinasi estrogen dan progesteron pada tikus putih (rattus norvegicus) betina dewasa post ovarektomi. journal intisari sains medis, 7(1), 8186. krychman, m. (2007). vaginal atrophy: the 21 st century health issue affecting quality of life. medscape ob/gyn & women’s health. kumalaningsih, s. (2006). antioksidan alami: penangkal radikal bebas. trubus agrisarana. lara, l. a. d. s., da silva, a. r., rosa e silva, j. c., chaud, f., silva de sá, m. f., e silva, a. r. m., & rosa, a. c. j. d. s. (2009). menopause leading to increased vaginal wall thickness in women with genital prolapse: impact on sexual response. the journal of sexual medicine, 6(11), 3097-3110. liu, w., lu, x., he, g., gao, x., li, m., wu, j., ... & luo, c. (2013). cytosolic protection againsultraviolet induced dna damage by blueberry anthocyanins and anthocyanidins in hepatocarcinoma hepg2 cells. biotechnology letters, 35(4), 491-498. mok, j. w., chang, d. j., & joo, c. k. (2014). antiapoptotic effects of anthocyanin from the seed coat of black soybean against oxidative damage of human lens epithelial cell induced by h2o2. current eye research, 39(11), 1090-1098. norbury, c. j., & hickson, i. d. (2001). cellular responses to dna damage. annual review of pharmacology and toxicology, 41(1), 367-401. pessina, m. a., hoyt jr, r. f., goldstein, i., & traish, a. m. (2006). differential effects of estradiol, pr ogest er one, and test oster on e on vagin al structural integrity. endocrinology, 147(1), 61-69. puspitadewi, s. (2007). potensi agensia anti fertilitas biji tanaman jarak (jatropha curcas) dalam 134 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 127–134 mem pen ga ruh i pr ofi l uterus men cit ( mus musculus) swiss webster. jurnal sains dan matematika, 15(2), 55-60. reddish, s. (2011). menopausal transition: assessment in general practice. australian family physician, 40(5), 266. sánchez-rodríguez, m. a., zacarías-flores, m., arronterosales, a., correa-muñoz, e., & mendoza-núñez, v. m. (2012). menopause as risk factor for oxidative stress. menopause, 19(3), 361-367. sato, t., fukazawa, y., kojima, h., ohta, y., &iguchi, t. (2003). multiple mechanisms are involved in apoptotic cell death in the mouse uterus and vagina after ovariectomy. reproductive toxicology, 17(3), 289-297. scambia, g., mango, d., signorile, p. g., anselmi, r. a., palena, c., gallo, d., ...& mancuso, s. (2000). clinical e ffects of a st a n da r diz ed soy e xt ra ct i n post m en opausa l women : a pil ot st udy. menopause (new york, ny), 7(2), 105-111. schmitt, e., & stopper, h. (2001). estrogenic activity of naturally occurring anthocyanidins. nutrition and cancer, 41(1-2), 145-149. sekhon, l. h., & agarwal, a. (2013). the menopause and oxidative stress. in studies on women’s health (pp. 181-203). humana press, totowa, nj. setyarini a.i., 2015. pengaruh ekstrak vigna unguilata terhadap kadar sod, kadar mda, aktivitas mapk dan proliferasi fibroblas vagina rattus norvergicus pasca ovariektomi. tesis. universitas brawijaya. sun, c. d., zhang, b., zhang, j. k., xu, c. j., wu, y. l., li, x., & chen, k. s. (2012). cyanidin-3-glucoside-rich extract from chinese bayberry fruit protects pancreatic â cells and ameliorates hyperglycemia in streptozotocin-induced diabetic mice. journal of medicinal food, 15(3), 288-298. tan, d. t., tang, w. y., liu, y. p., goh, h. s., & smith, d. r. (2000). apoptosis and apoptosis related gene expression in normal conjunctiva and pterygium. british journal of ophthalmology, 84(2), 212-216. utami, s. (2016). pengaruh antosianin ubi jalar (ipomoea batatas l) varietas ungu terhadap ekspresi reseptor estrogen-á dan ketebalan endometrium pada uterus tikus putih (rattus norvegicus) betina yang dipapar asap rok (doctoral dissertation, universitas brawijaya). vermeulen, k., van bockstaele, d. r., & berneman, z. n. (2003). the cell cycle: a review of regulation, deregulation and therapeutic targets in cancer. cell proliferation, 36(3), 131-149. vogelstein, b., lane, d., & levine, a. j. (2000). surfing the p53 network. nature, 408(6810), 307. winarsi, h. (2005). antioksidan alami dan radikal. kanisius. yuliani, 2014. pengaruh pemberian ekstrak kacang tunggak terhadap ketebalan epitel vagina pada tikus putih ovariektomi. tesis. universitas brawijaya. zaino, r. j., robboy, s. j., & kurman, r. j. (2002). diseases of the vagina. blaustein’s pathology of the female genital tract. usa, 132-136. 19ibad, ubaidillah, perbedaan ansietas pada pasien hemodialisa... 19 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk perbedaan ansietas pada pasien hemodialisa berdasarkan perspektif gender info artikel sejarah artikel: diterima, 30/01/2019 disetujui, 19/02/2019 dipublikasi, 01/04/2019 kata kunci: ansietas, gender, hemodialisa. abstrak pasien yang menjalani terapi hemodialisa selama hidupnya akan bergantung dengan alat dializzer, prosedur hemodialisa harus dilakukan secara rutin dan berkelanjutan dengan frekuensi 2-3 kali dalam satu minggu. profil data menunjukkan bahwa gagal ginjal kronis diindonesia sedikit lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan, individu yang mengalami gagal ginjal kronis dan sedang menjalani proses hemodialisa sangat berpotensi terhadap masalah gangguan emosional. ansietas merupakan gangguan utama yang dapat timbul akibat prosedur hemodialisa, seseorang menjalani hemodialisa akan memiliki kekhawatiran, ketakutan, dan ketidakpastian akibat dari persepsi negatifnya.peneliti telah mengidentifikasi perbedaan ansietas pasien hemodialisa berdasar perspektif gender melalui uji kruskalwallis. hasil menunjukkan bahwa didapatkan p-value sebesar p = 0.488, hal ini memiliki arti bahwa tidak ada perbedaan ansietas yang dialami baik oleh responden lakilaki maupun responden perempuan. kemunculan ansietas secara umum pada pasien hemodialisa diakibatkan karena berbagai faktor seperti masalah finansial yang harus didukung dengan pemanfaatan asuransi kesehatan, tingkat pemahaman terhadap penyakit dan prosedur terapi, dan riwayat menjalani prosedur terapi © 2018 jurnal ners dan kebidanan muhammad rosyidul ‘ibad1, zaqqi ubaidillah2 1program studi d-iii keperawatan, universitas muhammadiyah malang kampus ii 2program studi s-i keperawatan, universitas muhammadiyah malang kampus ii correspondence address: universitas muhammadiyah malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: muhammadrosyidulibad@gmail.com / ibad@umm.ac.id e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v5i1.art.p019–026 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 20 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 019–026 abstract patients undergoing hemodialysis therapy during their lifetime will depend on the dializzer device. the hemodialysis procedure must be carried out routinely and continuously with a frequency of 2-3 times in one week. the data profile shows that chronic kidney failure in indonesia is slightly more prevalent in men than in women, individuals who experience chronic kidney failure and who are undergoing a hemodialysis process have the potential to experience emotional problems. anxiety is the main disorder that can arise due to hemodialysis procedures. a person undergoing hemodialysis will have concerns, fears, and uncertainties resulting from negative perceptions. researcher had identified the differences of anxiety among hemodialysis patients based on a gender perspective by the kruskal wallis test. the result showed that the p-value obtained was p = 0.488, this meant that there were no differences in anxiety experienced by both male and female respondents. the emergence of anxiety in general in hemodialysis patients was caused by various factors such as financial problems that must be supported by the use of health insurance, the level of understanding of the disease and therapeutic procedures, and a history of undergoing a therapeutic procedure anxiety differences of hemodialysis patients based on gender perspective article information history article: received, 30/01/2019 accepted, 19/02/2019 published, 01/04/2019 keywords: anxiety, gender, hemodialysis. 21ibad, ubaidillah, perbedaan ansietas pada pasien hemodialisa... pendahuluan da ta riskesdas (2018) menunjukkan bahwa gangguan ginjal kronis di indonesia terus meningkat dari 2.0 permil di tahun 2013 kini menjadi 3.8 permil. prevalensi pada laki-laki 0,3% lebih tinggi dari perempuan 0,2%, prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan 0,3%, tidak bersekolah 0,4%, pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3 persen. provinsi jawa timur mencapai 0,3%. menurut riskesdas (2018) prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional mengalami peningkatan dari 6.0 % menjadi 9.8%, sedangkan jawa timur angka gangguan emosional sebesar 6,5%. salah satu jenis gangguan yang sering muncul adalah kecemasan atau ansietas. pada dasarnya ansietas merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.ansietas atau kecemasan sendiri melibatkan satu tubuh, persepsi diri, dan hubungan dengan yang lainnya, hal ini menjadi konsep dasar dari kesehatan mental manusia. ansietas adalah respon emosi tanpa objek spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal, kebingungan atau kekwatiran pada sesuatu yang terjadi dengan penyebab tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (stuart, 2013). hawari (2011) mengemukakan bahwa stres adalah tekanan mental atau beban kehidupan yang kemudian direspon oleh tubuh.sementara itu brecht (2000) berpendapat bahwa stres adalah sesuatu yang dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan sehingga mengakibatkan gangguan tubuh dan pikiran.pasien yang mengalami ansietas secara fisiologis pasti terjadi peningkatan respon syaraf otonom yaitu kerja dari saraf simpatis. perempuan lebih mudah mengakui dan mengenali gangguan mental dan spesifik gangguan emosional daripada laki-lak. hal ini dikarenakan perempuan memiliki kecenderungan lebih mendalami perasaannya dan memiliki gejala lebih parah, sehingga perempuan lebih tinggi dengan gangguan stress (kim et al, 2015). menurut marcotte (2002) perbedaan gender dalam simtomatologi depresi telah banyak mendapat perhatian, dan fakta saat ini menunjukkan bahwa prevalensi depresi klinis dan subklinis lebih tinggi terjadi pada perempuan. menguatkan pendapat diatas bahwa perempuan cenderung mengalami depresi yang lebih parah atau berat dibandingkan laki laki, baik berdasarkan ras maupun jenjang pendidikan. asselmann (2017) mengatakan bahwa gangguan somatic muncul akibat adanya depresi pada laki-laki yang sakit lebih sering muncul daripada perempuan, hal ini sama dengan pasien tanpa adanya gangguan kecemasan. komplikasi yang dapat muncul pada saat seseorang menjalani prosedur hemodialisa biasanya adalah meningkatnya nilai tekanan darah. knox (2010) menjelaskan bahwa kecemasan dan peningkatan denyut jantung (hr) telah terlibat dalam kemunculan hipertensi, hasilnya menunjukkan bahwa kecemasan tinggi pada pria dengan genotipe tt dapat meningkatkan risiko hipertensi sedangkan genotipe mm lebih bersifat protektif, oleh karena itu yang seharusnya dilakukan adalah mengidentifikasi kemunculan sedini mungkin agar terhindar dari resiko adanya penyakit penyerta. berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk mengeksplor tentang gangguan ansietas yang dialami pasien berdasarkan perspektif gender, karena terdapat ketimpangan bahwa wanita memiliki kecenderungan mengalami gangguan emosional dibanding dengan laki-laki, namun disisi lain data yang di tunjukkan riset kesehatan dasar menyebutkan bahwa laki-laki memiliki prefalensi gagal ginjal yang tinggi dari pada laki-laki dan berpotensi juga terhadap masalah psikis dan fisiologis. hal yang tidak diinginkan adalah jangan sampai gangguan ansietas akan berlanjut kepada gangguan mental berat (psikosis) atau bahkan masalah fisik lain, oleh karenanya diperlukan screening sedini mungkin pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani proses hemodialisa. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-komparatif dengan jenis penelitian quantitative research, menggunakan metode cross sectional. peneliti melibatkan partisipan sebanyak 52 orang (26 laki-laki dan 26 perempuan) menggunakan teknik simple random sampling. peneliti telah menggunakan questioner hospital anxiety and depression scale (hads) untuk menilai gambaran pola ansietas yang terjadi akibat prosedur terapi yang berulang di ruang hemodialisa rumah sakit universitas muhammadiyah malang (umm). 22 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 019–026 hasil penelitian penggunaan asuransi kesehatan laki-laki f % tanpa asuransi 10 38.5 menggunakan asuransi 16 61.5 total 26 100.0 perempuan tanpa asuransi 7 26.9 menggunakan asuransi 19 73.1 total 26 100.0 tingkat pendidikan laki-laki f % sd 1 3.8 smp 2 7.7 sma 8 30.8 diploma 9 34.6 sarjana 6 23.1 total 26 100.0 perempuan valid sd 2 7.7 smp 10 38.5 sma 14 53.8 total 26 100.0 status pekerjaan laki-laki f % valid pns 7 26.9 wiraswasta 19 73.1 total 26 100.0 perempuan valid wiraswasta 13 50.0 irt 12 46.2 pensiunan 1 3.8 total 26 100.0 tingkat pendapatan laki-laki f % < rp.500.000 2 7.7 rp.1000.000-2.000.000 16 61.5 > rp.2.000.000 8 30.8 total 26 100.0 perempuan < rp.500.000 3 11.5 descriptive statistics n minimum maximum mean std. deviation usia_laki-laki 26 45 69 50.35 5.200 usia_perempuan 26 40 73 53.46 7.016 riwayat saat ini terapi hd male (bulan) 26 11 26 13.54 3.690 riwayat saat ini terapi hd female (bulan) 26 1 38 11.96 7.275 valid n (listwise) 26 tabel 1 data demografi pasien hemodialisa rp.1000.000-2.000.000 19 73.1 > rp.2.000.000 4 15.4 total 26 100.0 dukungan dari keluarga terdekat laki-laki f % anak 2 7.7 istri 12 46.2 orang tua 11 42.3 sepupu 1 3.8 total 26 100.0 perempuan tidak ada 1 3.8 anak 11 42.3 istri 3 11.5 suami 10 38.5 adik 1 3.8 total 26 100.0 jarak rumah dengan rumah sakit laki-laki f % < 1 km 5 19.2 1-10 km 9 34.6 > 10 km 12 46.2 total 26 100.0 perempuan < 1 km 5 19.2 1-10 km 12 46.2 > 10 km 9 34.6 total 26 100.0 tingkat ansietas perempuan f % tidak ada ansietas 11 42.3 ansietas ambang 14 53.8 ansietas 1 3.8 total 26 100.0 laki-laki tidak ada ansietas 4 15.4 ansietas ambang 11 42.3 ansietas 11 42.3 total 26 100.0 sumber data primer , bulan oktober 2018 23ibad, ubaidillah, perbedaan ansietas pada pasien hemodialisa... diagram 1 penggunaan mekanisme koping pasien perempuan yang menjalani terapi hemodialisa diagram 2. penggunaan mekanisme koping pasien laki-laki yang menjalani terapi hemodialisa n mean rank p-value laki-laki tidak ada ansietas 4 15.38 0.488 perempuan ansietas ambang 11 11.68 ansietas 11 14.64 total 26 kruskal wallis test tabel 2 analisa bivariate 24 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 019–026 pembahasan karakteristik responden berdasar perspektif gender responden yang terlibat dalam penelitian ini yaitu sejumlah 26 laki-laki dan 26 perempuan, berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa usia lakilaki rata-rata adalah 50,35 tahun sedangkan pada perempuan adalah 53,46 tahun, kedua kelompok usia ini dalam kategori usia dewasa lanjut. data lain didapatkan bahwa rata-rata responden laki-laki menjalani terapi hemodialisa semenjak 14 bulan yang lalu, sedangkan pada responden perempuan sejak 12 bulan yang lalu. pemerintah saat ini telah mengeluarkan system jaminan kesehatan nasional (jkn) berupa layanan bpjs kesehatan yang memiliki kemanfaatan tinggi bagi individu yang menjalani terapi hemodialisa. data menunjukkan bahwa laki-laki 61.5% memanfaatkan layanan tersebut, data tingkat pendidikan menunjukkan bahwa mayoritas responden lakilaki memiliki tingkat pendidikan diploma sebesar 30.8%, status pekerjaan yang terdapat pada responden laki-laki mayoritas adalah wiraswasta dengan prosentase sebesar 73.1%, berikutnya adalah data tingkat pendapatan laki-laki mayoritas berkisar antara 1-2 juta sebesar 61.5%. selanjutnya adalah data dukungan anggota keluarga yang didapatkan oleh responden laki-laki, mayoritas kelompok lakilaki mendapat dukungan utama dari istri sebesar 46.2% dan dukungan orang tua sebesar 42.3%, pada responden laki-laki jarak tempuh yang harus dilewati dari rumah menuju rumah sakit mayoritas adalah lebih dari 10 km sejumlah 46.2%, bahkan terdapat responden yang berasal dari luar kota dan kabupaten malang. dalam perkembangan psikodinamika seseorang ketika menghadapi stress berupa masalah gangguan kesehatan ckd yang juga harus menjalani rutinitas menjalani terapi hemodialisa 2 kali dalam 1 minggu,maka laki-laki memiliki kecenderungan menggunkan mekanisme koping terbanyak pertama adalah self-distraction, terbanyak kedua emotional support, dan ketiga adalah religion untuk melawan stressor tersebut. pada responden perempuan 73,1% juga menggunakan layanan bpjs, selain itu pada responden perempuan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terbanyak rata-rata adalah sma sebesar 53.8%, sedangkan untuk status pekerjaan pada perempuan memiliki kesamaan sebagi wiraswasta, namun peringkat kedua terbanyak adalah sebagai ibu rumah tangga sebesar 46%, sama halnya dengan laki-laki, pada responden perempuan sebesar 1-2 juta sebesar 73%. dukungan keluarga yang utama didapatkan oleh responden perempuan mayoritas berasal dari anak sebesar 42% dan dukungan dari suami sebesar 38.5%, pada perempuan jarak tempuh dari rumah menuju rumah sakit mayoritas adalah 1-10 km sebanyak 46.2%. kecenderungan mekanisme koping yang banyak digunakan oleh responden perempuan dengan program terapi hemodialisa yang pertama adalah instrumental support, kedua adalah religion, dan ketiga adalah acceptance. identifikasi ansietas yang dialami oleh kelompok laki-laki yang menjalani hemodialisa pada responden laki-laki yang menjalani terapi hemodialisa didapatkan bahwa terdapat 42,3% mengalami ansietas, 42,3% mengalami ansietas ambang, dan 4% tidak mengalami ansietas. ansietas yang ada pada kelompok laki-laki dikaitkan dengan peran sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarga, selain itu hal ini linier dengan hasil temuan penelitian bahwa pendapatan yang diperoleh berkisar 1-2 juta dengan latarbelakang pendidikan terbanyak 34.% adalah tingkat diploma dan status pekerjaan adalah wiraswasta, tentunya hal ini akan menjadi stressor tersendiri bagi responden laki-laki. pemerintah sebenarnya telah menyediakan program bpjs kesehatan untuk terapi hemodialisa, namun belum 100% dimanfaatkan oleh responden, hanya sekitar ¾ saja yang memanfaatkan dan sisanya pembayaran dilakukan secara mandiri. rutinitas terapi hemodialisa dimungkinkan juga mampu menurunkan produktifitas responden, dimana 2 kali dalam 1 minggu pasien menjalani terapi, terlebih mayoritas laki-laki 46.2% memiliki domisili diluar kota malang dengan jarak lebih dari 10 km, bahkan terdapat responden yang berdomisili diluar kabupaten malang. pada dasarnya individu memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah, penyelesaian masalah dapat berupa cara yang konstruktif ataupun destruktif (stuart, 2013). sumber koping yang didapatkan dalam keluarga pada responden laki-laki mayoritas berasal dari istri dan anak.mekanisme koping yang dominan digunakan oleh responden laki-laki mayoritas adalah self-distraction, pada mekanisme koping jenis ini individu memiliki kecenderungan untuk mengalihkan perhatian pada suatu hal atau aktifitas apabila sedang dihadapkan dengan stressor, pengalihan tersebut biasanya bersifat hanya sementara dan kurang efektif dalam mengatasi permasalahan. 25ibad, ubaidillah, perbedaan ansietas pada pasien hemodialisa... identifikasi ansietas yang dialami oleh kelompok perempuan yang menjalani hemodialisa pada responden perempuan yang menjalani hemodialisa, peneliti mendapatkan hasil bahwa terdapat 3.8% mengalami ansietas, 53.8% mengalami ansietas ambang, dan 42.3 % tidak mengalami ansietas. mayoritas tingkat kecemasan berada pada ansietas ambang, pada tingkatan ini merupakan posisi yang rawan karena berada ditengah-tengah, dimana apabila stressor lain terus bertambah tanpa diimbangi dengan kemampuan koping yang baik maka akan jatuh pada masalah ansietas yang sesungguhnya. pada responden perempuan mayoritas mekanisme koping yang digunkanan adalah instrumental support, mekanisme koping ini menggambarkan bahwa apabila perempuan dihadapkan pada suatu permasalahan kesehatan yaitu gagal ginjal yang mempengaruhi kemampuan dalam beraktifitas, maka responden perempuan memiliki kecenderungan untuk meminta bantuan secara langsung pada orang terdekat disekitarnya.bantuan instrumental biasanya dapat berupa bantuan yang bersifat teknis.sedikit berbeda dengan responden laki-laki, dukungan yang diperoleh responden perempuan mayoritas berasal dari anak dan suami. identifikasi ansietas pada laki laki dan perempuan yang menjalani hemodialisa berdasarkan uji kruskal wallis didapatkan pvalue sebesar p = 0.488, hal ini memiliki arti bahwa tidak ada perbedaan ansietas yang dialami baik oleh responden laki-laki maupun responden perempuan sehingga ho diterima. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang menjalani terapi hemodialisa sebenarnya sama-sama memiliki potensi gangguan ansietas, hanya saja kecenderungan ansietas yang terjadi pada laki-laki lebih aktual dibandingkan pada perempuan yang masih dalam tahap ansietas ambang.ansietas selalu muncul pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa, tetapi masih sedikit mendapat perhatian. penelitian yang dilakukan (jordanova dan polenakovic, 2016) pada 110 perempuan dan 120 laki-laki menunjukkan bahwa pada pasien hemodialysis mayoritas memiliki gangguan ansietas dengan tingkatan ringan 35.71%, minimal 21.43%, sedang 17.85%, dan berat 14.28%. sejalan dengan hasil tersebut, ansietas dan juga depresi merupakan gangguan yang peling sering terjadi pada pasien end stage renal diseases yang menjalani hemodialisa (feroze et al., 2012; wang & watnick, 2004). apabila gangguan ini terus berlanjut maka dapat menyebabkan dampak negative terutma terhadap kualitas hidup pasien (birmele, le gall, sautenet, aguerre, & camus, 2012). peneliti berpendapat bahawa kemunculan ansietas secara umum pada pasien hemodialisa diakibatkan karena berbagai faktor seperti masalah finansial yang harus didukung dengan pemanfaatan asuransi kesehatan, tingkat pemahaman terhadap penyakit dan prosedur terapi, dan riwayat menjalani prosedur terapi. permasalahan tersebut idealnya dapat ditepis dengan penggunaan sumber koping yang baik, sumber koping dapat berasal dari asset material yang dimiliki, positive belief terhadap prosedur terapi yang dapat memperbaiki kualitas hidup, dan social support yang berasal dari orang terdekat responden dalam hal ini mayoritas didapat dari anggota keluarga inti. meskipun terdapat perbedaan peran yang ada pada laki-laki dan perempuan namun kenyataanya kedua kelompok ini samasama berpotensi untuk mengalami ansietas. kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan dari penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa responden laki-laki mayoritas memiliki ansietas yang aktual dan juga ansietas tingkat ambang, responden perempuan mayoritas memiliki ansietas tingkat ambang, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara responden lakilaki dan perempuan ketika menjalani terapi hemodialisa, keduanya mayoritas sama-sama memiliki tingkatan ansietas ambang saran diharapkan petugas kesehatan dapat memberikan intervensi yang tepat untuk mengatasi ansietas yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisa. daftar pustaka asselmann e, venz j, pieper l, wittchen hu, pittrow d, beesdo-baum k. (2017). the role of gender and anxiety in the association between somatic diseases and depression: findings from three combined epi demi ol ogi cal studi es i n pr im a r y ca re. epidemiology and psychiatric sciences. (1)12. doi: 10.1017 birmele, b., le gall, a., sautenet, b., aguerre, c., & camus, v. (2012). cl in ical , sociodemogr aphi c, a nd psychological correlates of health-related quality 26 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 019–026 of l i fe i n ch ron i c h emodi al ysis pat i ent s. psychosomatics, 53 (1), 30–37. doi:10.1016/ j.psym.2011.07.002 brecht, grant. (2000). sorting out stress . tim redaksi mitra utama. jakarta: pt. prenhallindo feroze, u., martin, d., kalantar-zadeh, k., kim, j. c., reina-patton, a., & kopple, j. d. (2012). anxiety and depression in maintenance dialysis patients: preliminary data of a cross-sectional study and brief literature review.journal of renal nutrition. 22 (1), 207–210. doi:10.1053/j.jrn.2011.10.009 hawari. (2011). manajemen stres, cemas dan depresi, jakarta : balai penerbit fkui menez, john allan (2015). lippincott’s review for medical-surgical nursing certification, 5th ed. philadelphia : wolters kluwer, lippincott williams & wilkins jordanova, n.p & polenakovic, m. (2016). are depression and anxiety common in hemodialyzed patients?. bantao journal, 14(2):84-88; doi:10.1515/bj-20160020 kim ji-hyun, maeng je cho,jin pyo hong, jae nam bae, seong-jin cho, bong-jin hahm, dong-woo lee, jong-ik park, jun-young lee, hong jin jeon, sung ma n ch ang (2015). gen der differen ces in depr essive sym pt om pr ofi le: resul ts fr om nationwide general population surveys in korea. j korean med sci, 30: 1659-1666 knox sarah s., xinxin guo, yuqing zhang, g. weidner, scott williams, r. curtis ellison, (2010). agt m235t genotype/anxiety interaction and gender in the hypergen study.plos one, 5-10 marcotte, d., alain,m., gosselin, mj, (2002). gender differences in adolescent depression : gender typed characteristic or problem solving skill deficit?. sex roles :a journal of research. vol 14 issue 31-43 riskesdas (2018). hasil utama riskesdas 2018. kementerian kesehatan badan penelitian dan pengembangan kesehatan. stuart, g. w. (2013). principles and practice of psychiatric nursing (10th ed.). st louis, missouri: mosby elsevier inc. wang, p. l., & watnick, s. g. (2004). depression: a common but underrecognized condition associated with end-stage renal disease. seminars in dialysis 17 (3), 237 – 241. doi : 10. 1111/ j. 08940959.2004.17313.x 107ulum, pengembangan media edukasi permainan tahes ... 107 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mohamad miftachul ulum prodi keperawatan, poltekkes kemenkes malang info artikel sejarah artikel: diterima, 11/07/2019 disetujui, 17/03/2020 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: anak remaja; kesehatan reproduksi; media edukasi tahes abstrak promosi kesehatan pada sasaran remaja melalui tatanan institusi sekolah sangat efektif untuk pengembangan perilaku hidup sehat. remaja usia sekolah berada dalam komunitas yang terorganisir yang melaksanakan proses terintegrasi dari pengembangan kemampuan intelektual, sosial dan personal. penelitian ini dilakukan 2 tahap, tahap pertama metode research dan pengembangan media. pada tahap kedua pre-eksperimen: the one group pretest-posttest design. kenaikan rata-rata jawaban benar dari 25,07 menjadi 29,02 sehingga terdapat selisih jawaban 3,95. berdasarkan uji statistic paired sample t-test didapatkan hasil p = 0,000 (p < 0,005). dengan demikian terdapat perbedaan sikap sehat reproduksi sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa pendidikan kesehatan dengan menggunakan media edukasi simulasi tahes. pembelajaran dengan metode diskusi yang tidak didominasi oleh guru, siswa dapat mengingat 50%, bila belajar disertai dengan melakukan sesuatu kegiatan, dapat mengingat 75%. praktik belajar dengan cara mengajar, mampu mengingat 90%, oleh karena itu permainan tahes diharapkan mampu mengingat 90% karena melibatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotor. model of education media called tahes game (great and healthy child stairs) to improve knowledge and healthy attitude of reproduction for pre-adolescent history article: received, 11/07/2019 accepted, 17/03/2020 published, 05/04/2020 keywords: adolescent; reproductive health, tahes educational media. article information abstract health promotion on adolescent targets through the order of school institutions is very effective for the development of healthy living behaviours. school teenagers are in an organized community that carries out an integrated process of developing intellectual, social and personal abilities. this research was conducted in 2 stages, the first stage was research method and media development. in the second stage was pre-experiment: the one group pretest-posttest design. the average increased in correct answers from 25.07 to 29.02 so that there was a difference of 3.95 answers. based on pengembangan media edukasi permainan tahes (tangga anak hebat dan sehat) untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap sehat reproduksi anak usia pra remaja di sd negeri kepanjen kidul 2 kota blitar http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p107-115&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 108 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 107–115 correspondence address: poltekkes kemenkes malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email:miftachululumpromkes@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/v7i1.art.p107–115 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan promosi perilaku sehat reproduksi pada anak usia pra remaja merupakan salah satu bentuk pencegahan terhadap pengetahuan dan sikap dan pola hidup yang menyimpang. who menekankan pentingya pendidikan reproduksi pada r emaja muda (younger adolescents), yaitu kelompok usia 1014 tahun. usia ini merupakan masa emas terbentuknya landasan yang kuat tentang kesehatan reproduksi. usia sekolah dasar bisa juga dikatakan sebagai usia pra baligh, dimana anak memasuki tahapan usia kritis dalam menghadapi datangnya masa baligh. anak akan segera memasuki masa pubertas. anak perempuan mulai mengalami pertumbuhan tubuh pada usia rata-rata 8-9 tahun dan mengalami menarche rata-rata pada usia 12 tahun. sedangkan anak laki-laki mengalami perubahan tubuh pada usia 10-11 tahun dan akan mengalami mimpi basah pertama. penyebab terjadi makin awalnya tandatanda pertumbuhan seperti dialami banyak anak saat ini, diperkirakan karena faktor gizi yang semakin baik, rangsangan dari lingkungan, dan faktor sosialekonomi. oleh karena itu masa yang paling tepat memberikan pendidikan reproduksi adalah pada tingkat akhir sekolah dasar. kadang-kadang tidak dapat kita pungkiri bahwa ternyata anak-anak tahu lebih banyak dari pada yang dipikirkan orangtua tentang anaknya perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah membuat anak-anak kita berhadapan dengan informasi-informasi yang seringkali terlalu dini untuk usia mereka. anak menerima “banjir informasi”, yang mereka terima, serap, dan berusaha dipahami, banyak informasi tentang seks yang bisa didapat anak dengan mudah melalui media cetak dan media elektronik, maupun melalui teman sebayanya. sesuai dengan perkembangan sosialnya; yaitu suka meniru pengetahuan dan sikap dan perilaku orang lain yang disukainya; ditambah lagi hampir setiap hari anak mungkin memperoleh stimulus tersebut; apa yang dilihat anak menjadi hal-hal yang biasa baginya, dan anak akan cenderung untuk meniru dan mencoba. pengembangan media edukasi permainan simulasi tahes merupakan sarana permainan dengan menggunakan permainan ular tangga sebagai media permainan didasarkan pada buku raporku kesehatanku, buku informasi kesehatan peserta didik sd/mi kementerian kesehatan ri tahun 2015, sembilan kompetensi (9) kompetensi sehat reproduksi remaja dinas kesehatan kotra blitar 2018. beberapa anak menjadi pemain atau sebagai pion, dan sebagian lagi berperan sebagai fasilitator. keunggulan media edukasi ini bahwa pesan kesehatan disajikan dalam bentuk permainan ular tangga a paired sample t-test statistical test results obtained p = 0,000 (p <0.005). thus there were behavioural differences regarding reproductive health behaviour before and after the intervention in the form of health education using tahes education media. the development of snake ladder game media tahes (great and healthy child stairs), was worthy of being a health promotion media to improve reproductive knowledge and healthy attitude of teenagers. learning with discussion methods that were not dominated by the teacher, students could remember 50%, if learning was accompanied by doing an activity, could remember 75%. the practice of learning by teaching was able to remember 90%. therefore the game tahes is expected to be able to remember 90% because it involves cognitive, affective and psychomotor aspects. © 2020 jurnal ners dan kebidanan yang relatif mudah dan di kenal oleh sebagian besar anak sd, sehingga terjadi interaksi yang produktif diantara peserta permainan ular tangga. https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 109ulum, pengembangan media edukasi permainan tahes ... pembelajaran dengan metode diskusi yang tidak didominasi oleh guru, siswa dapat mengingat 50%, bila belajar disertai dengan melakukan sesuatu kegiatan, dapat mengingat 75%. praktik belajar dengan cara mengajar, mampu mengingat 90%. (warsono, 2013).hal tersebut dapat meningkatkan elaborasi kognitif dengan baik yang dapat meningkatkan daya nalar dan berdampak pada peningkatan kemampuan kognitif maupun afektif dan psikomotor. jumlah sekolah dasar negeri kota blitar adalah 72 unit, rata rata siswa masing masing sdn bervariasi antara 30 – 60 orang siswa, tergantung tingkat ke faforitan dan demografi sdn. bila dijumlahkan jumlah siswa antara 2160 – 4320 orang siswa. mereka masing-masing sudah mendapatkan edukasi tentang reproduksi remaja dari dinas kesehatan kota blitar. hasil evaluasi program edukasi reproduksi remaja yang telah dilakukan dinas kesehatan dari 100 responden dalam penelitian m.miftachul ulum tahun 2018 menunjukkan bahwa anak kelas 6 sdn kota blitar 50% sudah mengalami menstruasi, hampir 10% pernah menonton video porno, lebih dari 20% mempunyai kebiasaan baik dalam menjaga kesehatan reproduksinya, dan lebih dari 20% mempunyai pengetahuan kurang terhadap kesehatan reproduksi, sedangkan perilakunya diketahui hampir 20% kurang baik. pengembangan media permainan simulasi tahes (tangga anak hebat dan sehat) untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap ehat reproduksi usia pra remaja awal di sd negeri kepanjenkidul 2 kota blitar. bahan dan metode penelitian ini dilakukan 2 tahap, tahap pertama metode research and development yaitu metode yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji efektifitas produk. produk yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu produk media edukasi (permainan simulasi permainan tahes (tangga anak hebat dan sehat), meliputi: pengembanganproduk media edukasi dan menguji efektifitas produk tersebut untuk mencapai peningkatan pengetahuan dan pengetahuan dan sikap sehat reproduksi pada remaja, dengan 2 kali uji coba. pada tahap kedua pre-eksperimen: the one group pretest-posttest design mengungkapkan hubungan sebab akibat dalam eksperimen yaitu peneliti memberikan perlakuan, kemudian observasi dilakukan sebanyak dua kali sebelum dan sesudah eksperimen. subjek penelitian dilakukan secara nonrandom dan tidak menggunakan variabel kontrol. untuk mengetahui efektifitas model media edukasi pada penelitian ini, dilakukan analisis uji beda dengan menganalisis efektivitas pengembangan media edukasi tahes dalam meningkatkan pengetahuan dan pengetahuan dan sikap sehat reproduksi pada pra remaja dengan memberikan kuesioner yang dibuat berdasarkan buku sumber rapor kesehatanku buku catatan kesehatan peserta didik tingkat sd/ mi kementerian kesehatan tahun 2015 kepada responden sebelum dan sesudah di berikan perlakuan dan selanjutanya diuji dengan menggunakan uji paired sample t-test. hipotesis yaitu: (1) hipotesis alternatif (ha): terdapat perbedaan peningkatan penegetahuan dan pengetahuan dan sikap sehat reproduksi pada anak usia pra remaja sebelum dan sesudah intervensi dan hipotesis nol (h0): tidak terdapat perbedaan peningkatan pengetahauan dan pengetahuan dan sikap sehat reproduksi pada anak usia remajasebelum dan sesudah intervensi”. untuk menguji hipotesis tersebut, peneliti menggunakan uji pairedsample t-test dengan program komputer. hasil penelitian penelitian pengembangan media edukasi permainan simulasi tahes : data umum no usia responden f % 1 10 tahun 7 17 2 11 tahun 18 45 3. 12 tahun 15 38 jumlah 40 100 tabel 1 usia responden dari tabel 1 diketahui bahwa lebih dari 45% berusia 11 tahun tabel 2 sudah pernah/belum menstruasi/mimpi basah no menstruasi/ mimpi basah f % 1 sudah 21 53 2 belum 19 47 jumlah 40 100 dari tabel 2 diketahui bahwa lebih dari 53% sudah menstruasi/mimpi basah. 110 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 107–115 dari tabel 9 diketahui bahwa 100% menyatakan sikap tidak berduaan dengan selain jenis. data khusus subyek penelitian untuk treatmentmedia edukasi tahes menggunakan 40 siswa sebagai responden dilakukan (pre test) dan selanjutnya akan diberika n soal ya ng sama setelah dilakukan treatment (post test) terhadap responden yang sama. hasil uji pairedsample t-test dengan program komputer. tabel 3 usia pertama kali menarche bagi wanita dan mimpi basah bagi pria no usia menstruasi/ mimpi basah f % 1 9 tahun 1 2 2 10 tahun 8 20 3 11 tahun 13 33 4 lainnya 18 45 total 40 100 dari tabel 3 diketahui bahwa usia pertama kali menstruasi bagi wanita dan mimpi basah bagi pria lebih dari 45% diusia kurang dari 9 tahun atau lebih dari 11 tahun. tabel 4 dilakukan saat menstruai/ mimpi basah no yang dilakukan f % 1 memberitahu 24 60 2 takut 3 7,5 3 tidak tahu 3 7,5 4 diam saja 5 12.5 5 lainnya 5 12,5 total 40 100 dari tabel 4 diketahui bahwa 60% memberitahu ke orang tua. tabel 5 sikap pra remaja tidak merokok/vapor no pernyataan responden f % 1 tidak merokok 39 98 2 merokok 1 2 total 40 100 dari tabel 5 diketahui bahwa 90% menyatakan sikap tidak merokok/vapor tabel 6 sikap pra remaja menggunakan it kurang 2 jam no pernyataan responden f % 1 it < 2jam 33 83 2 it > 2 jam 7 17 total 40 100 dari tabel 6 diketahui bahwa 83% menyatakan sikap menggunakan it kurang 2 jam tabel 7 sikap pra remaja membersihkan/menjaga alat kelamin no pernyataan responden f % 1 membersihkan alat kelamin 40 100 2 tidak membersihkan 0 0 total 40 100 dari tabel 7 diketahui bahwa 100% menyatakan sikap membersihkan dan menjaga alat kelamin tabel 8 sikap pra remaja perempuan selalu mengganti pakaian dalam ketika basah no pernyataan responden f % 1 mengganti pakaian dalam 40 100 2 tidak mengganti 0 0 total 40 100 dari tabel 8 diketahui bahwa 100% menyatakan sikap mengganti pakaian dalam ketika basah tabel 9 sikap pra remaja tidak berduaan dengan lain jenis no pernyataan responden f % 1 tidak berduaan 40 100 2 berduaan 0 0 total 40 100 111ulum, pengembangan media edukasi permainan tahes ... dari hasil uji pairedsamples t-test diketahui bahwa p=0,000 (karena p < ) maka h0 ditolak dan ha diterima yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara perilak pengetahuan dan sikap sehat reproduksi pada anak usia pra remaja sudahdiberikan inter vensi berupa permainan simulasi dengan media edukasi tahes. penilaian produk media tahes penilaian dilakuan oleh lembaga psikologi lazuardi adalah lembaga swadaya masyarakat, bersifat independen, non politis dan tidak bernaung dibawah lembaga pemerintah dan lembaga apapun lainnya. penilaian dilakukan 2 kali pada setiap uji coba, dengan pengkatagorian skore 3 layak, 2 cukup layak, dan 1 kurang layak, diperoleh hasil sebagai berikut: hasil uji coba 1 berdasarkan tabel 11 penilaian aspek isi pesan dan pembelajaran pada uji coba 1 (satu) masih ada 15% yang dinyatakan layak digunakan dengan perbaikan. berdasarkan tabel 12 penilaian aspek aspek rekayasa grafika pada uji coba 1 (satu) masih ada 11% yang dinyatakan layak digunakan dengan perbaikan tabel 10 hasil uji uji pairedsamples t-test tabel 11 penilaian aspek isi pesan dan pembelajaran tabel 12 penilaian aspek aspek rekayasa grafika 112 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 107–115 berdasarkan tabel 13 penilaian aspek isi pesan dan pembelajaran pada uji coba 2 (dua) 95 % dinyatakan layak . berdasarkan tabel 14 penilaian aspek aspek rekayasa grafika pada uji coba 2 (dua) 92% dinyatakan layak. produk alat pengembangan media edukasi permainan tahes berupa kotak bergambar permaian ular tangga yang diberi nama tahesterdiri dari beberan ular tangga berisi 36 kotak dan berukuran 40 cm x 40 cm dan buku tahes yang telah disesuaikan dengan isi materi/pesan berdasarkan buku raporku kesehatanku buku informasi kesehatan peserta didik tingkat sd/mi kementerian kesehatan ri tahun 2015, sembilan usulan kompetensi reproduksi remaja dinas kesehatan kota blitar tahun 2018 dan berbagai buku sumber yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja, psikologi remaja dan resiko kekerasan seksual. hasil uji coba 2 tabel 13 penilaian aspek isi pesan dan pembelajaran tabel 14 penilaian aspek aspek rekayasa grafika gambar 1 beberan ular tangga tahes gambar 2 buku tahes pembahasan evaluasi program dinas kesehatan berdasarkan hasil penelitian mohamad miftachul ulum, model media edukasi permainan ular tangga di 113ulum, pengembangan media edukasi permainan tahes ... kota blitar, 2018 (tidak di publikasikan) diperoleh data bahwa 100 siswa anak kelas 6 sdn kota blitar menunjukkan bahwa 50% sudah mengalami menstruasi, hampir 10% pernah menonton video porno, lebih dari 20% mempunyai kebiasaan baik dalam menjaga kesehatan reproduksinya, dan lebih dari 20% mempeunyai pengetahuan kurang terhadap kesehatan reproduksi, sedangkan perilakunya diketahui hampir 20% kurang baik. anak-anak remaja yang sudah mengalami menstruasi berarti mempunyai tanggungjawab terhadap kesehatan reproduksinya, karena mereka harus sudah bisa menjaga seperti halnya reproduksi orang dewasa.remaja yang sudah menstruasi bisa terjadi kehamilan, meskipun hanya satu kali melakukan hubungan seksual. dinas kesehatan kota blitar dan seluruh uptd puskesmas kota blitar, telah malaksanakan penyuluhan/edukasi kesehatan reproduksi di semua sekolah dasar kota blitar secara berkesinambungan dengan metode ceramah dan tanya jawab. pengeta hua n siswa ter ha da p keseha ta n reproduksi remaja relatif baik di tunjukkan dengan ha sil l pre-test sebelum diberika n treatment pengembangan model media edukasi tahes dan post-test setelah diberikan treatment pengembangan model media edukasi tahes yaituterdapat kenaikan rata rata jawaban benar dari 25,07 menjadi 29,02 sehingga terdapat selisih jawaban 3,95 poin. berdasarkan uji statistic paired sample t-test didapatkan hasil p=0,000 (p < 0,005). dengan demikian terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap tentang pengetahuan dan sikap sehat reproduksi pra remaja sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa pendidikan kesehat dengan menggunakan media edukasi tahes. pembelajaran dengan metode diskusi yang tidak didominasi oleh guru, siswa dapat mengingat 50%, bila belajar disertai dengan melakukan sesuatu kegiatan, dapat mengingat 75%. praktik belajar dengan cara mengajar, mampu mengingat 90%. (warsono, 2012).hal tersebut dapat meningkatkan elaborasi kognitif dengan baik yang dapat meningkatkan daya nalar dan berdampak pada peningkatan kemampuan kognitif maupun afektif. (majid a, 2014). rapor kesehatanku buku informasi kesehatan peserta didik tingkat sd/mi kementerian kesehatan ri 2015 dan usulan kompetensi reproduksi remaja dinas kesehatan kota blitar merupakan literatur rujukan sebagai pegangan para siswa dan guru, akan sangat membantu dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pengetahuan dan sikap prinsip model media edukasi tahes yang menekankan pada metode diskusi sambil melakukan permainan dan menimbulkan kesan bagi siswa mendidik, menyenangkan, seru, melatih kekompakan, meningkatkat persaudaraan, lebih rame dan menimbulkan kreatifitas dan mengembangkan pendapat para peserta tahes sehingga dengan media edukasi tahes ini siswa usia remaja dapat meningkatkan pengetahuan dengan sangat baik dan dapat merubah perilaku siswa pra remaja menjadi lebih baik lagi. peserta tahes memahami adanya masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa/pubertas dan mampu menyakatan pengetahuan dan sikap atau menjaga perilaku sehat reproduksinya dengan cara tidak boleh tidur dengan ayah atauibu, tidak boleh tidur dengan kakak atau adik yang berlainan jenis, tidak boleh meminta gendong pada ayah/paman/ kakaklaki-laki, tidak boleh dicium /mencium bibir oleh orang lain, karena tidak sopan dan bisa terjadi penularan penyakit. diusinya saat ini tidak boleh mandi bersama sama dengan orang lain, selalu mengunci kamar mandi ketika mandi. mempunyai keberanian untuk menolak jika diajak/ dijemput, diberi makan minum seseorang yang tidakdikenal untuk menghindari kejahatan dan menghindari makanan/minuman di campur racun/narkoba. berdasarkan tabel 8 peserta tahes 100% menyatakan sikap untuk selalu mengganti pakaian dalam kamu basah karena keringat/menarche, supaya pakaian dalam tetap kering dan bersih. bagi anak perempuan, bila menstruasi harus selalu mengganti pembalut setiap basah, untuk menjaga kesehatan reproduksi. bagi remaja putri yang sudah menstruasi dapat membiasakan diri minum tablet tambah darah 1 (satu) kali dalam seminggu, supaya tubuh menjadi sehat, bugar zat besinya terpenuhi untuk mengasilkan darah baru (departemen kesehatan ri 2015. buku raporku kesehatanku buku informasi kesehatan peserta didik tingkat sd/mi, kementerian kesehatan ri berdasarkan tabel 5 peserta tahes 98%, menyatakan sikap untuk tidak merokok/vapor karena dapat merusak paru-paru dan kesehatan reproduksi. dan tabel 6 peserta tahes 83% akan menggunakan menggunakan it/hp kurang dari 2 jam sehari dan digunakan untuk hal baik saja. 114 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 107–115 berdasarkan tabel 7 peserta tahes 100% menyatakan sikap untuk selalu membersihkan alat kelamin setelahbuang air kecil yaitu diuyur/cebok dengan air mengalir, dari depan kebelakang untuk membuang kuman kuman yang menempel pada alat kelamin. seorang remaja wanita membersihkan atau mebuang pembalut wanita dengan cara dibuka, dilipat, dibungkus, dan dibuang ditempat sampah untuk menghindari penularan penyakit peserta tahes dapat mengekspresikan pada waktu melaksanakan permainan simulasi tahes bagaimana mencegah terjadinya pelecehan/ kekerasan seksual, dengan prinsip tubuhku adalah sepenuhnya milikku, tidak satu orangpun yang boleh melihat atau menyentuh anggota tubuhnya yang bersifat pribadi seperti bibir dan area tertutup oleh pakaian dalam seperti payudara, alat kelamin (vagina/penis dan bokong) dengan cara menolak, berteriak, lari minta tolong,melaporkan/ memberitahuan ke orang tua atau orang dewasa yang dipercayai akan menolongnya. peserta tahes akan lebih berhati hati, menyimpan nomor telepon dan menghubungi/menyampaikan keberaniannya menolak hadiah, atau atau ajakan orang yang tidak dikenal, dengan cara melaporkan ke orang tua atau orang dewasa karena yakin akan mengambil tindakan untuk membantunya ketika dibutuhkkan. berdasarkan tabel 9 peserta tahes 100% menyatakan sikap untuk tidak melakukan tindakan berduaan dengan lawan jenis/sesama jenis atau dipegang pegang atau diajak berduaan sesama jenis, dan menjaga tidak mempermainkan alat penelitian pengembangan media permainan ular tangga tahes (tangga anak hebat dan sehat), berdasarkan hasil penilaian lembaga psikologi lazuardi kotablitar sebagai konsultan ahli terhadap media tahes dari hasil (tabel 13 dan tabel 14.) bahwa setelah dilakukan treatment, (1) aspek kualitas rekayasa grafika (komunikatif, kreatif, sederhana kesatuan /unity, penggambaran obyek, tipografi/font dan susunan huruf, tata letak/layou, serta navigasi),95% dinyatakan layak. (2) aspek media (kualitas isi pesan, kualitas pembelajaran dan sasaran edukasi) 92% dinyatakan layak, sehingga diperoleh kesimpulan dan rekomendasi media permaian edukasi tahes dinyatakan layak menjadi media promosi kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap sehat reproduksi anak usia pra remaja, dan hasil penilaian dari orang tua wali . media ini selanjutnya telah di gunakan sebagai proyek percontohan oleh dinas kesehatan kota blitar terhadap 8 sd/mi se kota blitar dan dinas pendidikan kota blitar di rencanakan sebagai media edukasi yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai media edukasi reproduksi pra remaja melalui permainan tahes di kota blitar. kesimpulan pengetahuan dan sikap siswa terhadap kesehatan reproduksi remaja relatif baik yaitu terdapat kenaikan rata rata jawaban benar dari 25,07poin menjadi 29,02 poin sehingga terdapat selisih jawaban 3,95 poin. berdasarkan uji statistic paired sample t-test didapatkan hasil p=0,000 (p< 0,005). dengan demikian terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap tentang sehat reproduksi sebelum dan sesudah diberikan intervensi berupa pendidikan kesehat dengan pengembangan media permainan ular tangga tahes (tangga anak hebat dan sehat), dinyatakan layak menjadi media promosi kesehatan untuk meningkatka n pengetahuan da n sika p sehat reproduksianak usia pra remaja. saran media tahes dapat digunakan sebagai sebagai media alternatif dalam promosi kesehatan di sekolah, dan dapat digunakan sebagai rujukan melalui dinas kesehatan atau pendidikan untuk digunakanpada setiap sekolah dasar se kota blitar . daftar pustaka ali, m & ansori, m. (2008). perkembangan peserta didik. pt bumi aksara: jakarta ali, mudlofir. 2011. aplikasi ktsp dan bahan ajar dalam pendidikan islam. jakarta: raja wali pers. al-mighwar. (2010). psikologi remaja: petunjuk bagi guru danorangtua. bandung: pustaka setia anonym, ular tangga, (edisi 5 april 2013); tersedia dari url: http: //id.wikipedia. org/ wiki/ ular_tangga. amy g. miron dan charles d. miron.(2006). bicara soal cinta, pacaran, dan seks pada remaja. jakarta: erlangga. arikunto, suharsimi. (2010). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. arsyad, azhari. (2009). media pembelajaran. jakarta: pt. raja grafindo persada. azwar s. (2005). reliabilitas dan validitas. yogyakarta: pustaka pelajar. departemen pendidikan nasional.(2006). pedoman memilih dan menyusun bahan ajar. jakarta: depdiknas. 115ulum, pengembangan media edukasi permainan tahes ... departemen kesehatan. (1995). pengetahuan, pengetahuan dan sikap, dan perilaku remaja tentang kesehatan reproduksi. diakses melalui http:// ejournal. litbang.depkes.go.id/ index.php/ mpk/ article/view/878/833 departemen kesehatan ri. (2015). buku raporku kesehatanku buku informasi kesehatan peserta didik tingkat sd/mi, kementerian kesehatan ri . fatimah, enung. (2010). psikologi perkembangan: perkembangan peserta didik. bandung: pustaka setia. glanz, karen, et al. (2008). health behavior and health education theory and research and practice 4th edition. canada: john wiley & sons inc. hurlock e. (2005). psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. jakarta: erlangga. madjid a. (2014). strategi pembelajaran. bandung:pt remaja rosdakarya. warsono, h. (2012). pembelajaran aktif teori dan assesmen. bandung: pt remaja rosdakarya. https://beritagar.id/artikel/gaya-hidup/ajarkan-anakmenolak-pemberian-dan-ajakan-orang-tak-dikenal. 197nurmawati, sari, hidayat, hubungan antara lama pengobatan... 197 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan antara lama pengobatan dengan jumlah cd4 pada penderita hiv/aids yang menjalankan program pengobatan antiretrovial (arv) thatit nurmawati1, yeni kartika sari2, aprilia putri hidayat3 1,2,3prodi keperawatan, stikes patria husada blitar, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 23/07/2019 disetujui, 12/08/2019 dipublikasi, 15/08/2019 kata kunci: hiv; cd4; lama pengobatan abstrak hiv merupakan masalah kesehatan yang mengancam indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. desain penelitian yang digunakan adalah metode cross-sectional. populasi dalam penelitian ini adalah penderita yang menjalankan program pengobatan antiretrovial hiv/aids di poli cendana rsud ngudi waluyo kabupaten blitar. dengan rata-rata kunjungan pasien adalah 40 orang perminggu. peneliti menetapkan jumlah sampel yaitu 30 orang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. analisis menggunakan spearman untuk mengetahui hubungan lama pengobatan dengan jumlah cd4. hasil penelitian menunjukkan responden berada pada usia dalam rentang 20-30 dengan prosentase terbesar sebanyak 33,3%. berdasarkan jenis kelamin mayoritas laki-laki sebanyak 53,3%. hasil pendataan juga menunjukkan sebagian besar menjalakan terapi dengan pemberian duviral dan nevirapine pada prosentase 76,7. responden dalam penelitian ini juga mendapat dukungan keluarga yang baik (36,6%) meskipun terdapat juga dukungan keluarga yang buruk (3,3%). tingkat kepatuhan tinggi juga terlihat dari distribusi responden yang menunjukkan prosentase sebesar 43,3% dan masih ada responden yang memiliki kepatuhan rendah. hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara lama pengobatan dengan cd4 (p=0.007). perlu evaluasi perhitungan jumlah cd4 sebelum pemberian arv. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas airlangga surabayajawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: thatitnurmawati4@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p197–202 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 197–202 abstract hiv is a health problem that threatens indonesia and many countries around the world. the research design used is the cross-sectional method. the population in this study were patients who were carrying out the hiv / aids antiretrovial treatment program at the ngudi waluyo hospital, with an average patient visit of 40 people a week. researchers set a sample size of 30 people according to the inclusion and exclusion criteria. the analysis uses spearman to find out the long-term relationship between cd4 counts. the results showed that the respondents were of the age range of 20-30 with the largest percentage being 33.3%. by the majority of men were 53.3% of men. the results of the data also show that most of the therapy with duviral and nevirapine was given at 76.7 percent. the respondents in this study also had good family support (36.6%) despite having poor family support (3.3%). the high compliance rate was also reflected in the distribution of respondents showing a high percentage of 43.3% and still some respondents with low compliance. the results showed that there was no association between treatment duration and cd4 (p = 0.007). it is necessary to evaluate the calculation of cd4 counts before arv is given. relationship between duration of treatment with cd4 counts in people with hiv/aids who are running an antiretroviral treatment program article information history article: received, 23/07/2019 accepted, 12/08/2019 published, 15/08/2019 keywords: hiv, cd4, treatment duration 199nurmawati, sari, hidayat, hubungan antara lama pengobatan... pendahuluan masalah hiv/aids merupakan masalah kesehatan yang mengancam indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah hiv/aids (kemenkes ri, 2012). hiv memiliki jumlah kematian yang tinggi, yang dapat mengancam hidup penderita hiv tidak hanya melalui virus namun juga infeksi oportunistik (io) dan komplikasi-komplikasi yang ditimbulkannya. bahkan io dapat menyerang berbagai macam organ, seperti saluran napas, saluran pencernaan, neurologis, kulit, dan lain sebagainya. io terjadi akibat penurunan kekebelan tubuh. jumlah cd4 (cluster of differentiation) menjadi metode untuk menilai status imunitas odha (orang dengan hiv/ aids). diperkirakan jumlah penderita hiv di indonesia secara kumulatif hiv & aids sampai dengan 2017 penderita hivsebanyak 48.300 dan penderita aids 9.280. provinsi jawa timur menduduki posisi pertama dengan jumlah kumulatif penderita 8.204 (info datin, 2017). hiv (human immunodeficiency virus) belum dapat disembuhkan namun infeksi dan replikasi hiv masih bisa dicegah dengan terapi pengobatan antiretroviral. hiv adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia virus. hiv diklasifikasikan ke da lam golonga n lentivirus atau retroviridae yang secara material genetik termasuk virus rna yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi manusia dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. aids (acquired immuno deficiency syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus hiv yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia dengan menginfekai sel limfosit t-helper (zein, 2007). virus hiv menginfeksi sel limfosit t helper melalui reseptor permukaan cd4 (cluster of differentiation 4). cd4 merupakan rantai tunggal sebagai penanda status kesehatan sistem imun. cd4 akan berikatan dengan mhc ii membentuk ikatan selanjutnya akan berikatan dengan virus hiv sehingga materi rna virus akan masuk ke dalam sel limfosit t –helper. virus hiv mampu mengubah rna menjadi dna sehingga sel limfdosit t helper menjadi rusak yang berakibat turunnya cd4 dan sistem imun menjadi lemah. maka pemeriksaan cd4 dapat digunakan untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis io dan terapi arv. rata rata penurunan cd4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian arv antara 50 – 100 sel/mm3/tahun. antiretroviral (arv) dapat menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup odha, dan meningkatkan harapan masyarakat (kemenkes ri, 2011). arv memiliki 2 golongan yaitu nrti (nucleoside reverse transcriptase inhibitor) da n arv golonga n nnrt i (non nucleoside reverse transcriptase inhibitor) yang berperan menghambat proses perubahan kode genetik virus hiv dari rna menjadi dna. arv yang tidak tepat dan rutin berdampak pada penurununan cd4 secara perlahan. hiv tanpa arv mempunyai rata-rata cd4 kurang dari 200 sel/mm3 sehingga membutuhkan waktu 3,7 tahun untuk berkembang menjadi stadium aids. cd4 (cluster of differentiation) menjadi metode untuk menilai status imunitas odha (orang dengan hiv/ aids). cd4 adalah semacam darah putih atau limfosit. pemeriksaan cd4 melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan profilaksis io dan terapi arv. rata rata penurunan cd4 adalah sekitar 70-100 sel/mm3/ tahun, dengan peningkatan setelah pemberian arv antara 50 – 100 sel/mm3/tahun. suatu hasil penelitian menunjukan bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh terlupakan (kemenkes ri, 2012). hasil penelitian yang dilakukan oleh donell (2010) menunjukkan keberhasilan pengobatan arv dimana 77,2% odha yang minum arv menunjukkan hasil yang positif dengan meningkatnya cd4 hingga diatas 200. pada 88,7% odha kadar virus hiv dalam darah tidak terdeteksi lagi. sementara yang memiliki kualitas hidup dan kondisi psikologis baik masing-masing lebih dari 70%. berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan kajian untuk mengetahui hubungan lama pengobatan arv dengan jumlah cd4 pada penderita hiv positif. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah metode cross-sectional. populasi dalam penelitian ini adalah penderita yang menjalankan program pengobatan antiretrovial hiv/aids di poli cendana rsud ngudi waluyo kabupaten blitar. sampel dalam penelitian yaitu 30 orang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi dengan teknik sampling menggunakan metode purposive sampling. dengan kriteria inklusi: responden berusia 20 – 60 tahun, dapat membaca 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 197–202 hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (p=0,07) antara lama pengobatan dengan jumlah cd4 pasien hiv tingkat korelasi menunjukkan nilai 0,335 pembahasan pada umumnya penderita hiv/aids berusia antara 20-30 tahun. hal tersebut kemungkinan akibat aktivitas seksual yang tinggi pada usia produktif. berdasarkan temuan pada 30 pasien menunjukkan bahwa sebagian besar sudah menjalankan pengobatan selama 2-5 tahun dengan prosentase sebesar 90%. hasil penelitian ini sejalan dengan laporan berskala nasional yang dilakukan yayasan spiritia, bahwa jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita perempuan (yayasan spiritia, 2017). kemungkinan terjadi akibat penularan melalui pekerja seks komersial (psk) (yuliandra dkk, 2017). tren tersebut juga berlaku untuk tingkat regional maupun nasional (yayasan spiritia, 2017). dan menulis. kriteria ekslusi : responden yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap. penambilan informasi dengan melihat data pada rekam medik untuk mendapatkan informasi cd4 dan arv. analisis data dengan uji spearman hasil penelitian karakteristik f % usia (tahun) 20-30 14 46,7 34-46 10 33,3 47-60 6 20 jenis kelamin laki-laki 16 53,3 perempuan 14 46,7 jenis obat duviral, nevirapine. 23 76,7 duviral, evapirenz. 2 6,7 fdc 4 13.3 tdf, 3tc, nevirapine 1 3,3 dukungan keluarga baik 11 36,6 cukup 9 30,0 kurang 9 30,0 buruk 1 3,3 kepatuhan rendah 8 26,7 sedang 9 30 tinggi 13 43,3 tabel 1 karakteristik responden distribusi responden menggambarkan usia dalam rentang 20-30 dengan jumlah prosentase terbesar sebanyak 33,3%. berdasarkan jenis kelamin mayoritas laki-laki sebanyak 53,3%. hasil pendataan juga menunjukkan sebagian besar menjalanka n ter a pi denga n pember ia n duvir a l da n nevirapine pada prosentase 76,7. responden dalam penelitian ini juga mendapat dukungan keluarga yang baik, terlihat dari jumlah prosentasenya mencapai 36,6% meskipun terdapat juga dukungan keluarga yang buruk sebesar 3,3%. tingkat kepatuhan tinggi juga terlihat dari distribusi responden yang menunjukkan prosentase sebesar 43,3% dan masih ada responden yang memiliki kepatuhan rendah. berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi pasien sebagian besar menjalankan pengobatan kurang dari 2 tahun dengan prosentase 43,3%. kemudian sebesar 36,7 % pasien yang sudah menjalankan pengobatan selama 2-5 tahun. lama pengobatan hiv (tahun) f % < 2 13 43,3 2-5 11 36,7 >5 6 20 tabel 2 lama pengobatan distribusi responden berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien memiliki jumlah cd4 sebanyak 200-499 sebanyak 90%. responden tidak ada yang memiliki jumlah cd4 lebih dari 500 sel/mm3. cd4 f % <200 3 10 200-499 27 90 >500 0 0 tabel 3 jumlah cd4 pada penderita hiv/aids yang m e njal ank an pr ogr am pe ngobatan antiretrovial (arv) lama pengobatan n p (value) jumlah cd 40,335 30 0,07 tabel 4 hubungan lama pengobatan dengan jumlah cd4 penderita hiv aids 201nurmawati, sari, hidayat, hubungan antara lama pengobatan... lama pengobatan berdasarkan distribusi sebagian besar antara 2-5 tahun sebanyak 36,7%. jenis ter api sebagian besar diberikan duviral dan nevirapine. efek samping yang muncul pada penggunaan nevirapine adalah hepatotoksis, stevenjohnson syndrome. selain itu efek samping yang sering muncul adalah alegi terutama pada wanita dengan cd4 >250 dan pria dengan cd4 > 400 (kemenkes ri, 2011). jumlah cd4 sebagian besar dalam sebaran 200-499 sel/mm3 sebanyak 90%. dijumpai juga responden dengan jumlah cd4 kurang dari 200 sel/mm3 sebanyak 10%. cd4 secara perlahan turun sebelum pasien masuk pada tahap aids, jumlah virus hiv dalam darah meningkat sangat cepat (pinsky l dan douglas ph. 2009). berdasarkan hasil penelitian ini juga menunjukkan sebagian besar lama pengobatan masih kurang dari 2 tahun. hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara lama pengobatan arv dengan jumlah cd4 (p=0,07) meskipun tingkat kepaturan responden yang tergolong tinggi sebanyak 43,3%. sejalan dengan hasil penelitian hutapean dkk pada tahun 2017. berbeda dengan hasil penelitian yang menyatakan ada perubahan jumlah cd4 seiring dengan lama terapi arv dari 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan (yasin dkk, 2011) pada hasil penelitian ini diduga a kibat responden mengalami anemia. menurut hasil penelitian tesfaye pada 2014 menunjukkan sebanyak 11,5% responden akan mengalami anemia setelah pemberian arv. meskipun arv dirancang untuk tidak menyebabkan anemia namun pada dosis tertentu diketahui dapat menghambat proliferasi sel progeni sel darah dan dapat mengakibatkan anemia. anemia akan mempercepat progresifitas infeksi hiv menjadi aids dan menyebabkan kematian meskipun sudah berikan arv (dash dkk, 2012 ). pada hasil penelitian ini terdapat 10% responden dengan jumlah cd4 kurang dari 200 sel/mm3 (imunodefisiensi berat) meskipun sudah diberikan arv. kombinasi arv dengan obat lain yang sering digunakan oleh penderita hiv beresiko interaksi yang kuat, terutama bagi pasien yang menderita penyakit infeksi oprtunistik. interaksi obat tersebut dapat mengakibatkan penurunan efektifitas obat, kegagalan terapi bahkan bisa menyebabkan resistensi terhadap arv (kredo dkk, 2016, tseng dkkm 2013). arv tidak berhubungan dengan jumlah cd4 juga terjadi pada negara lain, kebanyakan terjadi pada responden yang menjalani pengobatan jangka panjang setelah 4 tahun terapi arv (kelley dkk, 2009). hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan 20% responden sudah menjalani terapi lebih dari 5 tahun kesimpulan tidak ada hubungan antara lama pengobatan dengan jumlah cd4 dengan p= 0.007. saran perlu penelitian lebih lanjut mengenai penghitungan jumlah cd4 sebelum pengobatan. daftar pustaka dash kr, meher lk, hui pk, mohanty sp, nayak sn. high incidence of zidovudine induced anaemia in hiv infected patients in southern odisha. indian j hematol blood transfus. 2012;28 (4)(october):242 kelly cf, kitchen cmr, hunt pw, et al. incomplete peripheral cd4(+) cell count restoration in hivinfected pa t i en t s recei vi ng lon g-ter m ant ir etr ovi ra l t rea tm en t . cl i n infect dis. 2009;48(6):787-794) kredo, t., mauff, k., workman, l., van der walt, j. s., wiesner, l., smith, p. j., barnes, k. i. (2015). the interaction between artemetherlumefantrine and lopinavir/ritonavir-based antiretroviral therapy in hiv-1 infected patients. bmc infectious diseases, 16(1), 30. nasruddin, e. (2010). psikologi manajemen. bandung: pustaka setia notoatmodjo,s. (2010). metodologi penelitian kesehatan. rineka cipta. jakarta pinsky l, douglas p.h. (2009).the columbia university handbook on hiv and aids. columbia: columbia university. sugiharti., yuyun, y., dan lestari, h. (2014). gambaran kepatuhan orang dengan hiv/aids (odha) dalam minum obat arv di kota bandung, provinsi jawa barat (online), http://ejournal.litbang.depkes. go.id/index.php/kespro/article/dowmload /3888/ 3733). tesfaye z, enawgaw b. prevalence of anemia before and after initiation of highly active antiretroviral therapy among hiv positive patients in northwest ethiopia: a retrospective study. bmc res notes. 2014;7:1-5 tseng, a. l., la porte, c., & salit, i. e. (2013). significant int eraction bet ween act ivat ed charcoal and antiretroviral therapy leading to subtherapeutic drug concentrations, virological breakthrough and development of resistance. antiviral therapy, 18(5), 735–738 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 197–202 unaids, who. (2008). aids epidemic update 2008. online. http://www.who.int world health organization. (2006). the stop hiv strategy. zein, umar, dkk. (2007). 100 pertanyaan seputar hiv/ aids yang perlu anda ketahui. medan: usu press; 1-44. yassin nm, maranty h, ningsih r.( 2011) analisis respon terapi antiretroviral pada pasien 40 hiv / aids. maj farm indones. 2011;22(3):212–22.). yayasan spiritia. (2017). statistik kasus hiv/aids di indonesia.retrieved september 25, 2017, from http:/ /spiritia.or.id/stats/ 27wantini, indrayani, deteksi dini kanker serviks dengan... 27 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk deteksi dini kanker serviks dengan inspeksi visual asam asetat (iva) nonik ayu wantini1, novi indrayani2 1,2fakultas ilmu kesehatan, universitas respati yogyakarta, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 01/11/2018 disetujui, 07/02/2019 dipublikasi, 01/04/2019 kata kunci: iva, kanker serviks, kepercayaan, pengetahuan, sikap. abstrak kanker serviks adalah kanker tertinggi keempat pada wanita dengan perkiraan 570.000 kasus baru pada tahun 2018 yang mewakili 6,6% dari semua kanker wanita. tingkat kematian yang tinggi dari kanker serviks secara global dapat dikurangi melalui pencegahan, diagnosis dini, skrining yang efektif dan program pengobatan. sampai tahun 2016, cakupan iva di indonesia sebesar 4,34% yang masih jauh dari target nasional sebesar 10% pada akhir tahun 2015. jenis penelitian survey analitik dengan rancangan cross sectional. penelitian dilakukan pada 19 maret sd 04 mei 2018. sampel adalah semua wanita usia 19-49 tahun yang berkunjung ke puskesmas kalasan, berdomisili di kecamatan kalasan, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. sampel berjumlah 350 orang dipilih dengan teknik consecutive sampling. instrumen adalah kuesioner dan pengambilan data dengan wawancara. analisis data menggunakan fisher exact test. pengetahuan tentang kanker serviks sebagian besar dalam kategori rendah (97,4%). sikap positif terhadap deteksi dini kanker serviks adalah 96,3%. sebesar 80,3% yakin kanker serviks akan sembuh jika ditemukan lebih dini. sebanyak 92,3% tidak melakukan iva test dalam 3 tahun terakhir. faktor yang berhubungan dengan deteksi dini kanker serviks adalah pengetahuan (p-value = 0,003). tidak ada hubungan antara sikap, kepercayaan dengan deteksi dini kanker serviks dikarenakan ada faktor lain yang lebih berpengaruh. sesuai hasil penelitian diketahui 68,9% tidak melakukan iva dikarenakan belum mengetahui tentang iva. © 2018 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas respati yogyakarta –daerah istimewa yogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: nonik_respati@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p027–034 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 28 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 027–034 abstract cervical cancer is the fourth most frequent cancer in women with an estimated of 570,000 new cases in 2018 representing 6.6% of all female cancers. the high mortality rate from cervical cancer globally could be reduced by prevention, early diagnosis, effective screening and treatment programs. until 2016, the coverage of via in indonesia was 4.34% which was still far from the national target of 10% at the end of 2015. the design used analytical survey research with cross sectional design. the research was conducted on march 19 to may 4 2018. the sample was all women aged 19-49 years who visited kalasan public health center, lived in kalasan sub-district, and met the inclusion and exclusion criteria. the sample was 350 people selected by consecutive sampling technique. the instruments used questionnaires and data collection techniques with interviews. the data analysis used fisher exact test. knowledge of cervical cancer was mostly in the low category (97.4%). a positive attitude towards early detection of cervical cancer was 96.3%. 80.3% believed that cervical cancer would heal if it was found early. 92.3% respondents didn’t do via test in the last 3 years. factors related to early detection of cervical cancer are knowledge (p-value = 0.003). there isn’t any correlation between attitudes, beliefs and early detection of cervical cancer because there are other factors that are more influential. according to the results of the study, 68.9% didn’t do via because they didn’t know about via. early detection of cervical cancer by visual inspection with acetic acid (via) article information history article: received, 01/11/2018 accepted, 07/02/2019 published, 01/04/2019 keywords: attitude, cervical cancer knowledge, trust, via. 29wantini, indrayani, deteksi dini kanker serviks dengan... pendahuluan kanker serviks adalah kanker paling sering keempat pada wanita dengan perkiraan 570.000 kasus baru pada tahun 2018 dan mewakili 6,6% dari semua kanker pada wanita. sekitar 90% kematian akibat kanker serviks terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. tingkat kematian yang tinggi dari kanker serviks secara global dapat dikurangi melalui pendekatan komprehensif yang mencakup pencegahan, diagnosis dini, skrining yang efektif dan program pengobatan (who, 2018). skrining bertujuan untuk mendeteksi perubahan prakanker, yang jika tidak diobati, dapat menyebabkan kanker. wanita yang ditemukan memiliki kelainan pada skrining perlu ditindak lanjuti, diagnosis dan pengobatan, untuk mencegah perkembangan kanker atau untuk mengobati kanker pada tahap awal. who telah meninjau bukti mengenai kemungkinan modalitas untuk skrining kanker serviks dan telah menyimpulkan bahwa: skrining harus dilakukan setidaknya sekali untuk setiap wanita dalam kelompok usia sasaran (30-49 tahun); test hpv, sitologi dan inspeksi visual dengan asam asetat (iva) adalah tes skrining yang direkomendasikan (who, 2018). provinsi d.i. yogyakarta pada tahun 2013 memiliki prevalensi kanker serviks tertinggi yaitu sebesar 1,5‰. prevalensi penyakit kanker tertinggi berada pada kelompok umur 75 tahun ke atas, yaitu sebesar 5,0‰ dan prevalensi terendah pada anak kelompok umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun sebesar 0,1‰. terlihat peningkatan prevalensi yang cukup tinggi pada kelompok umur 25-34 tahun, 35-44 tahun, dan 45-54 tahun (kemenkes ri, 2015). deteksi dini kanker leher rahim dilakukan pada kelompok sasaran perempuan 20 tahun ke atas, namun prioritas program deteksi dini di indonesia pada perempuan usia 30-50 tahun dengan target 50% perempuan sampai tahun 2019. untuk iva dilakukan minimal 3 tahun sekali. (direktorat pengendalian penyakit tidak menular kementerian kesehatan ri, 2015). sampai tahun 2014, program deteksi dini kanker leher rahim telah berjalan pada 1.986 puskesmas di 304 kabupaten/kota yang berada di 34 provinsi di indonesia. pelatih (trainer) deteksi dini berjumlah 430 orang terdiri dari dokter spesialis obstetri dan ginekologi subspesialis onkologi, dokter bedah, dokter umum dan bidan. sedangkan pelaksana (provider) deteksi dini di puskesmas berjumlah 4.127 orang, yang terdiri dari 2.671 bidan dan 1.456 dokter umum. sedangkan untuk cakupan dan hasil, skrining telah dilakukan terhadap 904.099 orang (2,45%), hasil iva positif sebanyak 44.654 orang (4,94%), suspek kanker leher rahim sebanyak 1.056 orang atau 1,2 per 1.000 orang (wahidin, 2015). menurut profil kesehatan diy pada tahun 2015, untuk capaian pelaksanaan iva hanya 0,19% dari perempuan usia 30-50 tahun yang menjadi target. kabupaten sleman merupakan kabupaten dengan capaian terendah dibandingkan 4 kabupaten lain di diy untuk pencapaian target deteksi dini, dimana untuk pencapaian iva hanya 0,01% (dinas kesehatan diy, 2016). kesadaran masyarakat sleman untuk mendeteksi gejala kanker masih sangat rendah.hal ini diungkapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten sleman (dinkes) sleman nurul hayah. berdasarkan data dari puskesmas se-kabupaten sleman, pada 2016 terdapat 157.408 pasangan usia subur. namun yang memeriksakan iva hanya 2.103 pasangan (1,33%). meski begitu, angka tersebut belum mencakup semua data dari pelayanan kesehatan di kabupaten sleman (riyandi, 2017). rasa takut terhadap kanker menyebabkan masyar a ka t engga n melakuka n pemer iksaa n (deteksi dini), menjauhkan diri dari informasi mengenai kanker, sehingga kanker terdiagnosis pada stadium lanjut. berdasarkan yang telah diuraikan, peneliti tertarik ingin mengetahui faktor predisposisi apakah yang berhubungan dengan deteksi dini kanker serviks? bahan dan metode penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan waktu cross sectional. lokasi penelitian ini adalah puskesmas kalasan, sleman, diy. waktu pengambilan data penelitian adalah 19 maret sd 04 mei 2018. populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita pus usia 19-49 tahun yang berkunjung ke puskesmas kalasan dan berdomisili di kecamatan kalasan berjumlah 12.634 orang. dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel 350 orang. teknik pengumpulan data penelitian ini adalah consecutive sampling. adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah: kriteria inklusi: menikah  3 tahun, berdomisili di kecamatan kalasan, bersedia menjadi responden. sedangkan kriteria ekslusi: pernah melakukan pap smear, kolposkopi, konisasi dalam waktu 3 tahun terakhir, pernah melakukan usg 30 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 027–034 payudara dalam waktu 3 tahun terakhir, pernah melakukan mammografi dalam waktu 3 tahun terakhir, hamil lebih dari 1 kali dalam 3 tahun terakhir. variabel bebas/independent dalam penelitian ini adalah faktor predisposisi meliputi pengetahuan kanker serviks, sikap deteksi dini kanker serviks, kepercayaan mengenai kanker serviks. variabel terikatnya/dependent adalah deteksi dini kanker serviks. teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan metode wawancara terpimpin. wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara berisikan pertanyaan untuk pengumpulan data yang telah disusun sebelumnya. pada proses pengumpulan data dibantu oleh 1 orang enumerator penelitian yang memiliki latar belakang pendidikan d-iii kebidanan. uji validitas isi yang dilakukan adalah dengan 2 expert di bidang kesehatan reproduksi. hasil uji validitas dinyatakan kuesioner valid dengan ratarata nilai validitas 0,93. pengolahan data meliputi editing, skoring, koding, entry dan cleaning. analisis data univariat untuk menampilkan distribusi frekuensi masingmasing variabel, untuk mengetahui hubungan antara 2 variabel dilakukan uji chi square dan uji fisher exact test. hasil penelitian berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa 92,3% responden tidak melakukan iva test dalam 3 tahun terakhir. no karakteristik f % 1 usia responden 19-29 tahun 57 16,3 30-49 tahun 293 83,7 2 pendidikan tidak sekolah 1 0,3 dasar 98 28,0 menengah 187 53,4 tinggi 64 18,3 3 paritas nullipara 11 3,1 primipara 93 26,6 multipara 243 69,4 grandemultipara 3 0,9 jumlah 350 100 tabel 1 karakteristik responden berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa sebagian besar responden berusia 30-49 tahun (83,7%), pendidikan menengah (53,4%), multipara (69,4%). no pengetahuan f % 1. rendah 341 97,4 2. sedang dan tinggi 9 2,6 total 350 100 tabel 2 pengetahuan kanker serviks berdasarkan tabel 2, pengetahuan responden tentang kanker serviks sebagian besar dalam kategori rendah (97,4%). no sikap f % 1. negatif 13 3,7 2. positif 337 96,3 total 350 100 tabel 3 sikap deteksi dini (iva test) berdasarkan tabel 3, sebagian besar (96,3%) sikap responden positif artinya merasa bahwa penting dilakukan deteksi dini kanker serviks. no kepercayaan f % 1. tidak yakin 69 19,7 2. yakin 281 80,3 total 350 100 tabel 4 kepercayaan mengenai kanker serviks berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa sebagian besar responden (80,3%) yakin kanker serviks akan sembuh jika ditemukan lebih dini. no iva test f % 1. tidak melakukan 323 92,3 2. melakukan 27 7,7 total 350 100 tabel 5 deteksi dini kanker serviks 31wantini, indrayani, deteksi dini kanker serviks dengan... berdasarkan tabel 7 diatas, diketahui bahwa alasan terbanyak untuk melakukan iva test adalah responden ingin mencegah kanker serviks sebanyak 10 orang (2,9%). tabel 6 alasan tidak melakukan iva test no alasan f % 1. tidak tahu iva 241 68,9 2. tidak sempat/tidak ada waktu 31 8,9 3. tidak ada keluhan 24 6,9 4. takut 14 4 5. tidak ada kemauan 4 1,1 6. biaya 2 0,6 7. malu 4 1,1 8. merasa sudah pernah pap smear 3 0,9 total 323 92,3 berdasarkan tabel 6 diatas, diketahui bahwa alasan responden tidak melakukan iva test sebanya k 241 orang (68,9%) dika renakan belum mengetahui tentang iva. tabel 7 alasan melakukan iva test no alasan f % 1. ingin mencegah 10 2,9 2. ada keluhan 5 1,4 3. ditawari saat kunjungan kb 4 1,1 4. ikut pemeriksaan gratis 8 2,3 total 27 7,7 tabel 8 hubungan pengetahuan kanker serviks dengan deteksi dini no pengetahuan deteksi dini kanker serviks total p-valuetidak melakukan melakukan f % f % f % 1 rendah 318 93,3 23 6,7 341 100 0,003 2 sedang dan tinggi 5 55,6 4 44,4 9 100 total 323 92,3 27 7,7 350 100 berdasarkan tabel 8, diketahui bahwa responden yang berpengetahuan rendah 93,3% yang tidak melakukan iva dalam 3 tahun terakhir, sedangkan responden yang berpengetahuan sedang dan tinggi hanya 55,6% yang tidak melakukan iva dalam 3 tahun terakhir. berdasarkan uji fisher’s exact test, diperoleh p-value 0,003 yang berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan deteksi dini kanker serviks. tabel 9 hubungan sikap deteksi dini dengan deteksi dini no sikap deteksi dini kanker serviks total p-valuetidak melakukan melakukan f % f % f % 1 negatif 13 100 0 0 13 100 0,610 2 positif 310 92,0 27 8,0 337 100 total 323 92,3 27 7,7 350 100 berdasarkan tabel 9, diketahui bahwa responden yang memiliki sikap positif 92% yang tidak melakukan iva test dalam 3 tahun terakhir dan responden yang memiliki sikap negatif 100% yang tidak melakukan iva test dalam 3 tahun terakhir. berdasarkan uji fisher’s exact test, diperoleh pvalue 0,610 yang berarti tidak ada hubungan antara sikap deteksi dini dengan deteksi dini kanker serviks. uji fisher’s exact test digunakan sebagai uji alternatif chi-square karena syarat tidak terpenuhi (terdapat nilai harapan <5 sebanyak 25%). 32 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 027–034 berdasarkan tabel 10, diketahui bahwa responden yang tidak yakin mengenai kanker serviks dapat sembuh jika ditemukan secara dini 94,2% tidak melakukan iva test dalam 3 tahun terakhir dan responden yang yakin mengenai kanker serviks dapat sembuh jika ditemukan secara dini 91,8% tidak melakukan iva test dalam 3 tahun terakhir. berdasarkan uji chi-square, diperoleh p-value 0,679 yang berarti tidak ada hubungan antara kepercayaan dengan deteksi dini kanker serviks. pembahasan hubungan pengetahuan dengan deteksi dini kanker serviks berdasarkan uji fisher’s exact test, diperoleh p-value 0,003 yang berarti ada hubungan antara pengetahuan dengan deteksi dini kanker serviks. diketahui bahwa 93,3% ibu yang berpengetahuan rendah dan tidak melakukan iva dalam 3 tahun terakhir. hal ini sejalan dengan teori lawrence green, perilaku itu terbentuk dari 3 faktor, salah satunya adalah faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dala m pengetahua n. (notoatmodjo, 2012) hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sri dkk., (2013), diketahui hasil regresi logistik bahwa nilai or didapatkan sebesar 28,430. hal ini berarti bahwa wus yang mempunyai tingkat pengetahuan tinggi mempunyai kemungkinan melakukan pemeriksaan 28,430 kali lebih tinggi daripada wus yang tingkat pengetahuannya rendah. hubungan tersebut secara statistik signifikan (p = 0,007; or = 28,430; ci 95% = 2,490 hingga 324,580). hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian parapat dan setyawan (2016), yang menyebutkan bahwa berdasarkan hasil analisis bivariat dengan chi-square test antara variabel tingkat pengetahuan dengan perilaku deteksi dini kanker leher rahim metode iva menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik (p-value = 0,36) pada wilayah kerja puskesmas candiroto. ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang kanker leher rahim dan deteksi dini kanker leher rahim tetap tidak melakukan pemeriksaan karena merasa takut terhadap hasil pemeriksaan. pada tabulasi silang diatas dapat kita lihat bahwa dari kelompok pengetahuan sedang dan tinggi, masih ada 5 orang tidak melakukan iva. hal ini disebabkan 3 orang mengatakan tidak sempat/tidak ada waktu, 1 orang karena takut dengan proses ataupun hasil pemeriksaan, dan 1 orang lagi dikarenakan merasa sehat, tidak ada keluhan. hubungan sikap dengan deteksi dini kanker serviks berdasarkan uji fisher’s exact test, diperoleh p-value 0,610 yang berarti tidak ada hubungan antara sikap deteksi dini dengan deteksi dini kanker serviks. diketahui bahwa persentase yang tidak melakukan iva dalam 3 tahun terakhir antara ibu yang memiliki sikap positif dan negatif hampir sama yaitu 100% untuk sikap negatif, 92% untuk sikap positif. sebagian besar (96%) sikap responden positif, artinya setuju bahwa penting bagi seorang wanita melakukan deteksi dini kanker serviks. sikap positif belum tentu sejalan dengan perilaku yang baik.sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek.sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, melainkan suatu predisposisi perilaku (notoatmodjo, 2012). hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian situmorang dkk., (2016), yaitu hasil uji statistik dengan yates correction (p-value= 0,061) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku deteksi dini pada penderita kanker serviks di rsup dr. kariadi semarang tahun 2015. hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian wulandari (2018), yang menunjukkan adanya tabel 10 hubungan kepercayaan mengenai kanker serviks dengan deteksi dini no kepercayaan deteksi dini kanker serviks total p-valuetidak melakukan melakukan f % f % f % 1 tidak yakin 65 94,2 4 5,8 69 100 0,679 2 yakin 258 91,8 23 8,2 281 100 total 323 92,3 27 7,7 350 100 33wantini, indrayani, deteksi dini kanker serviks dengan... hubungan yang signifikan antara sikap dan perilaku pemeriksaan iva. hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian sri dkk (2013) yang menyebutkan bahwa adanya kecenderungan wus yang memiliki sikap baik, cenderung melakukan pemeriksaan iva dari pada wus yang sikapnya kurang. diketahui bahwa alasan responden tidak melakukan iva test sebanyak 241 orang (68,9%) dikarenakan belum mengetahui banyak tentang iva. pengetahuan faktor risiko, tanda gejala termasuk program deteksi dini penting diketahui secara menyeluruh oleh pus. walaupun ibu memiliki sikap positif, tetapi jika ibu tidak mampu mengenali faktor risiko, tanda gejala, program deteksi dini yang dapat dilakukan akan sangat berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam deteksi dini. hubungan kepercayaan dengan deteksi dini kanker serviks berdasarkan uji chi-square, diperoleh p-value 0,679 yang berarti tidak ada hubungan antara kepercayaan dengan deteksi dini kanker serviks. diketahui bahwa persentase yang tidak melakukan iva dalam 3 tahun terakhir tidak jauh berbeda yaitu 94,2% untuk ibu yang tidak yakin, 91,8% untuk ibu yang yakin kanker serviks dapat sembuh jika ditemukan lebih dini. hal ini tidak sesuai dengan teori health belief model, bahwa dalam melakukan suatu tindakan pencegahan atau pengobatan akan dipengaruhi oleh perceived benefit. persepsi seseorang tentang efektifitas berbagai tindakan yang tersedia untuk mengurangi ancaman penyakit atau penyakit (atau untuk menyembuhkan penyakit). tindakan seseorang untuk mencegah atau menyembuhkan penyakit bergantung pada pertimbangan dan evaluasi kerentanan yang dirasakan maupun manfaat yang dirasakan, seperti bahwa orang tersebut akan menerima tindakan kesehatan yang disarankan jika dianggap bermanfaat (lamorte, 2018). penelitian ini sejalan dengan penelitian rio dan suci (2017), menyebutkan bahwa semuainforman mempersepsikan kanker serviks sebagai penyakit yang ganas. keganasan kanker serviks dapat menyebabkan perempuan yang terkena kehilangan rahim bahkan mengalami kematian. para informan meyakini ada upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh perempuan agar terhindar dari kanker serviks.terkait dengan upaya prevensi, empat dari lima informan mengatakan akan melakukan upaya prevensi terhadap kanker serviks. faktanya, hanya dua informan yang melakukan upaya prevensi seperti yang mereka katakan. dua informan tidak melakukan upaya prevensi dengan alasan mereka masingmasing, dan satu informan tetap pada pendiriannya, yakni tidak akan melakukan upaya prevensi apapun. pada penelitian ini kepercayaan wus tidak berhubungan dengan deteksi dini, dapat dikarenakan kurangnya informasi tentang iva yang dapat menyebabkan kurangnya pemahaman tentang manfaat dari tes iva, siapa yang harus periksa, prosedur pemeriksaan, tempat periksa, biaya yang dikeluarkan. selain itu factor kesulitan dalam mengatur waktu (8,9%) untuk melakukan pemeriksaan kesehatan termasuk tes iva oleh wus karena harus bekerja atau menjaga dan mengurus rumah tangga. hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian sahr dan kusumaningrum (2018), yang menyebutkan bahwa seluruh wus beranggapan bahwa kanker serviks merupakan penyakit yang memiliki dampak sangat serius. dampak yang serius ini karena mereka meyakini bahwa penderita kanker serviks sama dengan divonis mati, pengobatannya sangat sulit dan membutuhkan waktu lama, serta biaya pengobatan yang mahal. terdapat pengaruh persepsi keparahan penyakit atau gejala yang dirasa dengan kemauan melakukan tes iva. pada penelitian ini terdapat 4 orang yang tidak yakin bahwa kanker serviks dapat sembuh jika ditemukan lebih dini tetapi melakukan iva dalam 3 tahun terakhir dikarenakan 2 orang (50%) ditawari saat kunjungan kb iud, dan 2 orang (50%) saat acara pemeriksaan iva gratis. kesimpulan dan saran kesimpulan sebagian besar responden tidak melakukan deteksi dini dengan iva test dikarenakan belum mengetahui tentang iva. faktor yang berhubungan dengan deteksi dini adalah pengetahuan (p-value = 0,003). sikap deteksi dini dan kepercayaan mengenai kanker serviks tidak berhubungan dengan deteksi dini kanker serviks. saran hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan penyusunan strategi upaya peningkatan pengetahuan wanita pus bagi petugas kesehatan 34 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 027–034 di puskesmas kalasan. peneliti selanjutnya dapat memilih metode sampling yang berbeda misalnya dengan sistem cluster sampling sehingga semua desa di wilayah puskesmas dapat terwakili, menggali faktor lain yang berhubungan dengan deteksi dini seperti rasa takut, merasa tidak ada keluhan dan lainnya. daftar pustaka dinas kesehatan diy. (2016). profil kesehatan diy 2015. direktorat pengendalian penyakit tidak menular kementerian kesehatan ri. (2015). panduan program nasional gerakan pencegahan dan deteksi dini kanker leher rahim dan kanker payudara, kemenkes ri. (2015). infodatin “situasi penyakit kanker”. pusat data dan informasi kemenkes ri lamorte, w.(2018). the health belief model. http:// sphweb. bumc.bu.edu/otlt/mph-modules/sb/ behavioralchangetheories/behavioralchange theories2.html notoatmodjo, s. (2012). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta parapat, f dan setyawan, h. (2016).faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku deteksi dini kanker leher rahim metode inspeksi visual asam asetat di puskesmas candiroto kabupat en temanggung. jurnal kesehatan masyarakat volume 4, nomor 4, oktober 2016 rio, s dan suci, e. (2017). persepsi tentang kanker serviks dan upaya prevensinya pada perempuan yang memiliki keluarga dengan riwayat kanker. jurnal kesehatan reproduksi volume 4 nomor 3 desember 2017, hal 159-169 riyandi, r. (2017). kesadaran antisipasi kanker di sleman masih rendah. https://www.republika. co.id/berita/nasional/daerah/17/04/06/onzc0y280kesadaran-antisipasi-kanker-di-sleman-masihrendah. sahr, l dan kusumaningrum, t. (2018). persepsi dan perilaku wanita usia subur dalam melakukan tes inspeksi visual asam asetat. jurnal promosi kesehatan indonesia volume 13 no 2 agustus 2018. situmorang, m dkk.(2016). hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku deteksi dini pada penderita kanker serviks di rsupdr. kariadi semarang tahun 2015. jurnal kesehatan masyarakat universitas diponegoro semarang volume 4 nomor 1 tahun 2016. sri, d, dkk.(2013). hubungan tingkat pengetahuan dan sikap wanita usia subur (wus) dengan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (iva) di puskesmas buleleng i. jurnal magister kedokteran keluargavol 1, no 1, 2013 (hal 57-66). wahidin, m. (2015). buletin jendela data dan informasi kesehatan, situasi penyakit kanker. pusdatin kemenkes ri. wulandari, a. (2018). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (iva) pada wanita usia subur (wus) di puskesmas sukmajaya tahun 2016. jk unila volume 2 nomor 2 juli 2018. who. (2018). cervical cancer. http://www.who.int/ cancer/prevention/diagnosis-screening/cervicalcancer/en// 408 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 408–411 correspondence address: universitas airlangga surabaya, east java indonesia p-issn : 2355-052x jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk coping mechanism in women with breast cancer titis eka apriliyanti1, kusnanto1, joko suwito2 1faculty of nursing, universitas airlanggasurabaya, indonesia 2politeknik kesehatan kementerian kesehatan, surabaya, east java, indonesia 408 article information keywords: coping mechanism women breast cancr abstract introduction : disturbances of coping mechanisms often occur in women with breast cancer, especially those undergoing chemotherapy and radiation. one of them is blaming yourself and avoiding problems that can have an impact on the treatment process that has an impact on the treatment process they are undergoing. the purpose of this study is to determine the description of coping mechanisms in women with breast cancer who undergo chemorepy, radiation or both.methods : the population in this study were women with breast cancer who underwent chemotherapy, radiation or both. sampling was done by random sampling where the number of samples is 70. taking data using the cope brief instrument. results : four indicators in the destructive category were acceptance (54.3%), denial (61.4%), emotional support (52.9%) and positive reframing (67.1%) while three indicators were mostly in the constructive category, namely self blame (60%), active (64.3) %), and behavioral disengagement (72.9%).conclusion : four destructive indicators indicate poor avoidance and positive thinking in breast cancer patients, while 3 constructive indicators describe good problem solving. assessment based on this indicator can be taken into consideration in the selection of appropriate interventions to improve coping mechanisms in breast cancer patients. ©2019 jurnal ners dan kebidanan history article: received, 04/11/2019 accepted, 03/12/2019 published, 05/12/2019 email: titis.ekaaprilia@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p408-411 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0) http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p408-411&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p408-411 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 409apriliyanti, kusnanto, suwito, coping mechanism in women with breast cancer introduction coping strategy in breast cancer patients is very important in the process of adaptation to the disease (lake et al., 2019). this is needed for the treatment pr ocess under ta ken such a s the effects of chemotherapy or radiation(gibbons and groarke, 2018). also needed to deal with physical problems and psychological problems both short and long term that often arise in breast cancer patients (stefanic et al., 2015). poor coping strategies will worsen the patient’s condition and increase distress (lotfi et al., 2014). so it will reduce the quality of life and even increase the risk of death (ling et al., 2019). breast cancer is a malignant seoplasm that is often encountered and the second leading cause of cancer death in women (aydiner, igci and soran, 2019). world health organization (who) recorded that there were 3.7 million people with breast cancer in 2013 with 1.3 million deaths (who, 2013). the cancer epidemiology biomarker study (2014) states that of the 3.7 million breast cancer incidents in the world, 39% were recorded in asia, 29% in europe, 15% in america, 8% in africa, and 1.1% in australia (world health organization, 2017). indonesia recorded 1.67 cases of breast cancer in 2012 with an incidence rate (ir) of 92 cases per 100,000 (ministry of health, 2016). the incidence of breast cancer in 2017 in the city of surabaya occupies the highest rate in the past 5 years, there are 181 cases or around 8.6% of all incidents (dinas kesehatan provinsi jawa timur, 2017). the results of a preliminary study on january 10, 2019 of breast cancer patients showed a description of coping mechanisms as many as 60% of r espondents ha ve destr uctive coping mechanisms. as for the picture the patient shows tha t as many a s 60% of r espondents blame themselves, then 50% of clients reject the disease experienced at this time and avoid the problems experienced by as much as 50%. various studies on interventions have been carried out to improve coping mechanisms (lotfi et al., 2014). however, not all interventions are suitable for practicing coping strategies in breast cancer patients (castillo, mendiola and tiemensma, 2019). depending on the person, culture, duration of illness and culture of each person (jang and kim, 2018; ma ttei et al. , 2018; castillo, mendiola a nd tiemensma, 2019; gok et al., 2019). it is important to identify the sources and coping mechanisms used (lotfi et al., 2014). t his study a ims to expla in the coping mechanism in breast cancer patients undergoing chemotherapy or radiation. methods this study was a cross-sectional study with samples of breast cancer patients in surabaya who underwent chemotherapy or radiation. sampling using random sampling in several health centers in surabaya with a total sample of 70 respondents. coping mechanism is measured using a cope brief questionnaire consisting of 14 item questions that have been translated into indonesian (hagan et al., 2017). the cope brief consists of 7 indicators namely blame, acceptance, rejection, social support, positive reframing, effort made and avoidance behavior. prior to use this instrument has been tested for validity and reliability in which the value of all t-items in question is greater than r table and the cronbach alpha value is 0.949. each measurement value uses a likert scale that is strongly agr ee, agr ee, disagr ee and str ongly disagree. the analysis in this study used spss 20. this study was approved by the ethics committee of the faculty of nursing at airlangga university with number 1770-kepk. results this research was conducted in august to september 2019 on 70 respondents spread in 3 puskesmas in surabaya. respondents were mostly aged 50-60 years at 62.85%, 40-49 years at 28.57% and 30-39 years at 8.57. the educational background is dominated by basic education which is as much as 52.85% followed by 34.28% high school and 10% is not in school and the rest are educated as much as 2%. respondents mostly experienced pain for more than 5 years, namely 48.57%, 45.71% for 15 years and less than 1 year for 5.71%. the types of treatment mostly were 50% chemotherapy, 34.28% adjuvant and 15.7% radiation. the results of ea ch coping mechanism indicator will be described in table 1. table 1 illustrates each indicator of coping mechanisms of breast cancer patients. 1. self blame. most breast cancer patients show constructive self-blame that is as much as 60%. breast cancer patients do not blame themselves for what has happened either the pain suffered or other problems. 410 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 408–411 2. acceptance. acceptance of the disease is mostly in the destructive category that is as much as 54.3% which means that most breast cancer patients do not accept and have not been able to effect the effects of the disease. 3. denial. the majority of patients showed rejection of the disease at 43%. the patient denies the disease being experienced, especially early diagnosed with breast cancer. 4. emotional support.most of the emotional support in the destructive category is 52.9%. this can be seen where patients lack the suppor t of the environment such a s the community. but most patients have received good support from the family. 5. positive r eframing. most of the positive reframing in the destructive category is 67.1%. the patient revealed that he did not get anything positive from the disease he experienced. 6. active. most of the active in the constructive category that is as much as 64.3%. patients express focus on the treatment undertaken by health checks and getting chemotherapy or radiation tubes regularly. 7. beha vioural disenga gement. most of the disengagement behavior in the constructive category is as much as 72.9%, which means the patient is not hopeless in undergoing treatment and continues to strive for health. discussion this study describes the coping mechanism in breast cancer patients who receive chemotherapy, radiation or both. the results of this study indicate four indicators describe a destructive coping mecha nism a nd thr ee indica tor s descr ibe constructive. the four indicators are acceptance, denial, emotiona l suppor t a nd positive r efr a ming. uncertainty and anxiety about recurrence and side effects from treatment as well as the worst things like death increases psychological pressure on patients (drageset, christine and underlid, 2016). besides that the feeling that arises such as distrust of what happened and feeling angry about what happened to him is a bad thing for his life (castillo, mendiola and tiemensma, 2019). however, although breast cancer causes psychological problems, the hope of healing triggers an effort to be made (baniasadi, kashani and jamshidifar, 2014; ye et al., 2018; you et al., 2018)(hernández et al., 2019). the most constructive coping frequency is behavioral management, followed by active and self blame. reducing the pressure due to breast cancer is usually done by focusing on goals such as actively seeking information and following treatment regularly (stefanic et al., 2015). they focus more on priorities such as maintaining relationships with family and self-care (drageset, christine and underlid, 2016). hopes continue to build despite worries and fears of recurrence and uncertainty in the future (drageset, christine and underlid, 2016; hernández et al., 2019). awareness raising and pressure reduction need to be done to accelerate the adaptation process in order to achieve what is expected (drageset, christine and underlid, 2016). there are several limitations to this study. the absence of types of chemotherapy drugs and the frequency of treatment so it is difficult to determine the level of coping on the fr equency of chemotherapy and types of chemotherapy drugs. conclusion in gener a l, the descr iption of coping mechanisms shows negative thinking about the mekanisme koping constructive destructive  %  % self blame 42 60 28 40 acceptance 32 45,7 38 54,3 denial 27 38,6 43 61,4 emotional support 33 47,1 37 52,9 positive reframing 23 32,9 47 67,1 active 45 64,3 25 35,7 behavioral disengagement 51 72,9 19 27,1 table 1 indicators of coping mechanisms of breast cancer patients 411apriliyanti, kusnanto, suwito, coping mechanism in women with breast cancer disea se. they exper ience destructive denia l, a ccepta nce, emotiona l support a nd positive reframing. but they are still making efforts to achieve healing. assessments based on these indicators are expected to be taken into consideration in the selection of a ppr opr ia te interventions.determination of these indicators can facilitate which indicators need to be improved and maintained. suggestion for nurses, indicators of coping mechanisms in breast cancer patients undergoing chemotherapy or radiation can be assessed so that the interventions provided are appropriate to the nursing problems experienced by the patient. references aydiner, a., igci, a. and soran, a. (2019) breast cancer. usa: university of pittsburgh medical centre. doi: https://doi.org/10.1007/978-3-319-96947-3. baniasadi, h., kashani, f. l. and jamshidifar, z. (2014) ‘e ffectiven ess of min dful ness tr ain in g on reduction of distress of patients infected by breast cancer’, procedia social and behavioral sciences. elsevier b.v., 114, pp. 944–948. doi: 10.1016/j.sbspro.2013.12.812. castillo, a., mendiola, j. and tiemensma, j. (2019) ‘emotions and coping strategies during breast cancer in latina women/ : a focus group study’, 17(3), pp. 96–102. doi: 10.1177/1540415319837680. dinas kesehatan provinsi jawa timur (2017) ‘profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2016’, dinas kesehatan provinsi jawa timur, p. 182. drageset, s., christine, t. and underlid, k. (2016) ‘“ i just have to move on “/ : women ’ s coping experiences and re fl ections following their fi rst year after primary breast cancer surgery’, european journal of oncology nursing. elsevier ltd, 21, pp. 205–211. doi: 10.1016/j.ejon.2015.10.005. gibbons, a. and groarke, a. m. (2018) ‘coping with chemotherapy for breast cancer: asking women what works’, european journal of oncology nursing. elsevier, 35(june), pp. 85–91. doi: 10.1016/ j.ejon.2018.06.003. gok, z. et al. (2019) ‘e ff ects of progressive muscle relaxation and mindfulness meditation on fatigue , coping styles , and quality of life in early breast cancer patients/ : an assessor blinded , three-arm , randomized controlled trial’, european journal of oncology nursing. elsevier, 42(may), pp. 116–125. doi: 10.1016/j.ejon.2019.09.003. hagan, t. l. et al. (2017) ‘coping in patients with incurable lung and gastrointestinal cancers/ : a validation study of the brief’, journal of pain and symptom management. elsevier inc, 53(1), pp. 131– 138. doi: 10.1016/j.jpainsymman.2016.06.005. hernández, r. et al. (2019) ‘differences in coping strategies among young adults and the elderly with cancer’, pp. 1–9. doi: 10.1111/psyg.12420. jang, m. and kim, j. (2018) ‘a structural model for stress , coping , and psychosocial adjustment/ : a multigroup analysis by stages of survivorship in korean women with breast cancer’, european journal of oncology nursing. elsevier, 33(january), pp. 41– 48. doi: 10.1016/j.ejon.2018.01.004. lake, b. et al. (2019) ‘breast reconstruction affects coping mechanisms in breast cancer survivors’, indian journal of surgery. indian journal of surgery, 81(1), pp. 43–50. doi: 10.1007/s12262-0171712-1. ling, h. et al. (2019) ‘relationships among personality , coping , and concurrent healthrelated quality of life in women with breast cancer’, breast cancer. springer japan, 26(5), pp. 544–551. doi: 10.1007/ s12282-019-00954-7. lotfi, f. et al. (2014) ‘stress coping skills training and distress in women with breast cancer’, procedia social and behavioral sciences. elsevier b.v., 159, pp. 192–196. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.12.355. mattei, v. e. di et al. (2018) ‘coping mechanisms , psychological distress , and quality of life prior to cancer genetic counseling’, 9(july), pp. 1–11. doi: 10.3389/fpsyg.2018.01218. stefanic, n. et al. (2015) ‘exploring the nature of situational goal-based coping in early-stage breast cancer patients: a contextual approach’, european journal of oncology nursing. elsevier ltd, 19(6), pp. 604–611. doi: 10.1016/j.ejon.2015.03.008. who (2013) breast cancer facts and figures. atalanta. world health organization (2017) ‘who | world’s health ministers renew commitment to cancer prevention and control’, who. world health organization. ye, z. j. et al. (2018) ‘a biopsychosocial model of resilience for breast cancer: a preliminary study in mainland china’, european journal of oncology nursing. elsevier, 36(august), pp. 95–102. doi: 10.1016/j.ejon.2018.08.001. you, j. et al. (2018) ‘personality, coping strategies and emotional adjustment among chinese cancer patients of different ages’, european journal of cancer care, 27(1), pp. 1–9. doi: 10.1111/ecc.12781. 364 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 364–370 364 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu menyusui memilih kontrasepsi mal di desa aek nabara kabupaten padang lawas tahun 2018 dalimawaty kadir prodi kebidanan, akademi kebidanan helvetia medan, indonesia info artikel kata kunci: sumber informa si dan metode amenorhea laktasi (mal) abstrak pengetahuan yang rendah tentang kontrasepsi menyebabkan pustakut menggunakan alat kontrasepsi atau menunjukkan sikap yang negatif terhadap kontrasepsi. salah satunya adalah tentang mal.alat kontrasepsi alami metode amenorhea laktasi (mal) sangat berpengaruh dengan minat ibu nifas untuk menyusui bayinya selama 6 bulan tanpa makanan tambahan apapun, serta diberikan secara berkala pada bayinya. tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu menyusui memilih kontrasepsi mal di desa aek nabara kabupaten padang lawas.penelitian ini menggunakan survei analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi berjumlah 38 orang, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan total population sehingga sampel dalam penilitian ini sebanyak 38 orang. hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,008 (< 0,05).dari penelitian ini menunjukkan ada hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu menyusui memilih kontrasepsi mal di desa aek nabara kabupaten padang lawas tahun 2018. hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi ibu menyusui yang menggunakan mal dan menyadari betapa pentingnya menggunakan alat kontrasepsi dan keputusan memilih metode amenorhea lsktasi (mal), supaya minat ibu-ibu lain menggunakan metode amenorhea laktasi (mal) aksemakin meningkat. article information abstract low knowledge about contraception makes childbearing age couples afraid to use contraception or show a negative attitude toward contraception. one of them is about lactation amenorrhea method (lam). natural contraceptives regarding the lactation amenorrhea method is very influential with the interest of the postpartum to breastfeed her baby for 6 months without any additional food, and is given regularly to her baby. sources of information by mothers breastfeeding decision choosing contraceptive mal in aek nabara village padang lawas year 2018 sejarah artikel: diterima, 19/06/2019 disetujui, 23/09/2019 dipublikasi, 05/12/2019 history article: received, 19/06/2019 accepted, 23/09/2019 published, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p364-370&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 365kadir, hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu menyusui memilih... pendahuluan masalah utama yang seringkali dihadapi negaranegara yang sedang berkembang termasuk indonesia adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk, kurang seimbangnya penyebaran dan struktur umur penduduk. keadaan penduduk yang demikian telah mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. semakin tinggi pertumbuhan penduduk maka semakin besar usaha yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat tertentu dari kesejahteraan rakyat (fitriansyah, 2017). pemerintah indonesia telah mencanangkan berbagai programuntuk menangani masalah kependudukan yang ada. salah satunyayaitu upaya penurunan jumlah penduduk melalui upaya penekanan angka fertilitas yang instrument utamanya adalah pr ogr am kelua rga berenca na (kb) (kependudukan & nasional, 2016). menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. bagi bayi menyusui mempunyai peran penting yang fundamental pada kelangsungan hidup bayi, kolostrum yang kaya dengan zat antibodi, pertumbuhan yang baik, kesehatan, dan gizi bayi. untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas bayi dan balita.inisiasi menyusui dini mempunyai peran penting bagi ibu dalam merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (hervilia & munifa, 2016). ibu yang menyusui bayinya juga mendukung kemampuan seorang anak untuk belajar dan membantu mencegah obesitas dan penyakit kronis di kemudian hari. penelitian terbaru di amerika serikat dan inggris menunjukkan penghematan besar dalam layanan kesehatan, karena anak yang mendapat air susu ibu (asi) jatuh sakit jauh lebih jarang daripada anak yang tidak disusui (harnani, marlina, & kursani, 2015). menyusui merupakan suatu cara yang tidak ada duanya dalam memberikan makanan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi yang sehat. selain itu, mempunyai pengaruh biologis serta kejiwaan yang unik terhadap kesehatan ibu dan bayi. zatzat anti infeksi yang terkandung didalam air susu ibu (asi) membantu melindungi bayi terhadap penyakit. akan tetapi, menyusui tidak selamanya dapat berjalan dengan normal. tidak sedikit ibu akan mengeluh seperti adanya pembengkakan payudara akibat penumpukan air susu ibu (asi) karena pengeluaran yang tidak lancer atau pengisapan ada bayi (nani, 2017). world health organization(who) da n united nations international children’s emergency fund (unicef) merekomenda si kepada para ibu, bila memungkinkan air susu ibu (asi) eksklusif diberikan sampai 6 bulan. inisiasi menyusui dini selama 1 jam setelah kelahiran bayi, air susu ibu (asi) eksklusif diberikan pada bayi keywords: source of information and method of amenorhea lactation (mal) the purpose of this study was to determine the relationship of information sources with breastfeeding mothers decision to choose mal contraceptive in aek nabara village, padang lawas regency. this research uses analytical survey with cross sectional approach. the population is 38 people, with sampling technique using total population so that the sample in this research is 38 people. statistic test results obtained p value = 0.008 (<0.05). of this study indicates that there is a correlation between information sources with the decision of breastfeeding mother to choose mal contraception in aek nabara village padang lawas regency 2018 expected to be a source of information for breastfeeding mother using mal how important to use contraception and decision to choose amenorhea method (mal) as one of the contraceptives, so that the mother’s interest to use lactation amenorrhea method (mal) will increase. © 2019 jurnal ners dan kebidanan email: d5waty@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p364-370 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) correspondence address: universitas muhammadiyah ponorogo, east java indonesia p-issn : 2355-052x https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p364-370 366 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 364–370 hanya air susu ibu (asi) saja tanpa makanan tambahan atau minuman, air susu ibu (asi) diberikan secara on-deman atau sesuai kebutuhan bayi, setiap hari setiap malam, air susu ibu (asi) diberikan tidak menggunakan botol, cangkir, maupun dot (putri & lisnawaty, 2018). kontrasepsi keluarga berencana pada hakikatnya merupakan program yang turut berperan penting dalam menciptakan generasi masa depan bangsa indonesia yang berkualitas serta mampu bersaing dengan bangsa lain. world health organization (who) sudah menyatakan bahwa keefektifan kontrasepsi metode amenorea laktasi (mal) adalah 98% bagi ibu yang menyusui secara eksklusif selama 6 bulan pasca persalinan utara, 2015). hasil sdki 2017 menunjukkan bahwa total fertility rate (tfr) provinsi sumatera utara berada pada angka 2,9 dimana terjadi penurunan sebesar 0,1, jika dibandingkan angka tfr pada survei sdki tahun 2012, yaitu sebesar 3,0 per wanita usia subur, untuk itu pentingnya menjaga kesinambungan dan kelangsungan peserta kb aktif yang ada. kendala masih lambatnya capaian persen cakupan peserta keluarga berencana (kb) cpr. meskipun pertambahan jumlah peserta kb baru sangat besar rata-rata 6,8 juta/ tahun, tetapi tidak mampu meningkatkan jumlah cpr ( contraceptive prevalence rate, atau angka prevalensi pemakaian kontrasepsi) secara signifikan. hal ini disebabkan tingginya ketidak berlangungan peserta ber kb yang mencapai 27-1% dan masih dominannya peserta kb non mkjp (metode kb jangka panjang) terutama suntik yang mencapai 53,8% dan pil 22%. sampai saat ini penggunaan mkpj masih rendah yang hanya mencapai 18,5% dari target 27,5% (pempropsu, 2017). program keluarga berencana (kb) yang digalakkan oleh pemerintah menjadi sangat penting sebagai pengendalian peledakan penduduk. data badan kependudukan dan keluarga berencana nasional (bkkbn) pada tahun 2013 mendapatkan 8.500.247 pus (pasangan usia subur) yang merupakan peserta kb baru, dengan rincian pengguna kontrasepsi suntik 4.128.115 peserta (48,56%), pil 2.261.480 peserta (26,60%), implan 784.215 peserta (9,23 %), kondom 517.638 peserta(6,09% ), alat kontrasepsi dalam rahim 658.632 peserta (7,75%), mow (metode operasi wanita) 128.793 peserta (1,52%), mop (metode operasi pria) 21.374 peserta (0,25%), dari data diatas dapat kita lihat metode kontrasepsi suntik adalah metode yang terbanyak yang digunakan (susanti, 2015). menurut dokter wendy hartanto, deputi pelatihan, penelitian, dan pengembangan bkkbn dalam saleh pengguna alat kontrasepsi jangka pendek berupa suntik di indonesia meningkat cukup berarti, berkisar pada 32% pengguna. sementara itu pencapaian metode amenore laktasi (mal) di indonesia masih rendah. hal tersebut diukur dari tingginya tingkat pencapaian peserta kb baru pasca persalinan/pasca keguguran pada tahun 2014 yang mencapai 530.818 ibu (yustina dwi agustin, 2015). metode amenorea laktasi (mal) atau lactational amenorrhea method (lam) merupakansalah satu kontrasepsi alamiatau biasa disebut sebagai metode keluarga berencana alamiah (kba) yang menggunakan prinsip menyusui secara eksklusif selama 6 bulan penuhtanpa tambahan makanan dan minuman apapundengan syarat bayi menyusu secara penuh sebanyak  8 kali sehari, bayi berumur kurang dari enam bulan dan ibu belum mengalami haid. selama inibanyak informasi yang memaparkan tentang asi eksklusif dan berbagai pilihan jenis kontrasepsi, akan tetapiibu masih begitu asing dengan mal (yanti & handayani, 2014). beberapa pasangan suami-istri mengalami kesulitan dalam memilih metode kb. ada ibu yang kegemukan mengikuti suatu metode kb, ada juga yang alergi dan sebagainya. tentu itu bukan tujuan dari program kb, hanya efek samping tapi kadangkadang turut mengusik kebahagiaan rumah tangga. beberapa di antara mereka memperhitungkan masa subur, dimana masa subur sangat besar artinya bagi mereka yang menginginkan hamil dan bagi yang ingin menunda kehamilan (indiarti, 2017). penggunaan alat kontrasepsi yang tepat membuat perencanaan keluarga sebagai alat penyejahtera para ibu dan anak serta mewujudkan masyarakat yang sehat. beberapa alat kontrasepsi yang ditawarkan memiliki kelebihan dan kekurangan. metode amenorea laktasi merupakan salah satu metode dalam mengatur pertumbuhan dan kesejahteraan penduduk. metode amenore laktasi (mal) adalah kontrasepsi yang mengandalkan pemberian air susu ibu (asi) secara eksklusif, artinya hanya diberikan asi tanpa tambahan makanan atau minuman apapun lainnya (rofiani & ratnawati, 2016). sumber informasi yang akurat mengenai alat kontrasepsi alami mengenai, metode amenorea laktasi ini sangat berpengaruh dengan minat dari ibu nifas untuk menyusui bayinya selama 6 bulan tanpa makanan tambahan apapun, serta diberikan secara berkala pada bayinya. dari sumber informasi yang baik pula dapat memberikan informasi pada 367kadir, hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu menyusui memilih... ibu manfaat dari menggunakan metode amenorea laktasi ini(lumbanraja, 2015). bahan dan metode desain penelitian adalah survei analitik dengan pendekatan crosssectional yaitu metode pengumpulan data sumber informasi pus tentang mal yang dilakukan dalam kurun waktu yang bersamaan penelitian ini dilaksanakan didesa aek nabara kabupaten padang lawas. alasan dilakukan penelitian di tempat tersebut karena belum pernah dilakukan penelitian tentangkegunaan kb alami yaitu metode amenorhoe laktasi (mal).waktu penelitian ini dimulai pada bulan juni tahun 2018 sebagai survei awal dan dilanjutkan pada bulan agustus 2018 sebagai lanjutan penelitian. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu menyusui ekskusif yang memiliki bayi usia 0-6 bulan di desa aek nabara tahun 2018 pada bulan agustus yaitu berjumlah 38 orang.sampel yang di ambil adalah semua polulasi ibu menyusui yang menyusui bayinya sebanyak 38 orang. analisis bivariat analisis dilakukan untuk melihat hubungan masing-masing variabel bebas yaitu motivasi kerja perawat dengan variabel terikat yaitu kualitas pelayanan keperawatan. untuk membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat di gunakan analisis chi-square, pada batas kemaknaan perhitungan statistik p value (0,05). hasil penelitian berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 38 responden ibu menyusui aktif yang memiliki bayi usia 0–6 bulan dengan rentang umur 23–33 tahun sebanyak 25 orang (65,8%) dan ibu menyusui aktif yang memiliki bayi usia 0–6 bulandengan rentang umur 34–43 tahun sebanyak 13 orang (34,2%). hasil penelitian dari 38 responden ibu menyusui aktif yang memiliki bayi usia 0–6 bulan dengan pendidikan dasar (sd dan smp) sebanyak 9 orang (23,7%), ibu dengan pendidikan menengah (sma) sebanyak 25 orang (65,8%) dan ibu dengan pendidikan tinggi sebanyak 4 orang (10,5%). hasil penelitian dari 38 responden, ibu menyusui aktif yang memiliki bayi usia 0-6 bulan sebagai ibu rumah tangga sebanyak 20 orang (52,6%), ibu yang bekerja sebagai petani sebanyak 5 orang (13,2%), bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 10 orang (26,3%) danibu yang bekerja sebagai guru sebanyak 3 orang (7,9%). no responden jumlah f % umur 1. 23-33 tahun 25 65,8 2. 34-43 tahun 13 34,2 total 38 100 pendidikan 1 dasar 9 23,7 2 menengah 25 65,8 3 tinggi 4 10,5 total 38 100 pekerjaan 1 ibu rumahtangga 20 52,6 2 petani 5 13,2 3 wiraswasta 10 26,3 4 guru 3 7,9 total 38 100 tabel 1 distribusi frekuensi berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan responden di desa aek nabara barumun kabupaten padang lawas tahun 2018 no sumber informasi jumlah f % 1 keluarga 16 42,1 2 tenagakesehatan 19 50,0 3 media elektronik 2 5,3 4 media cetak 1 2,6 total 38 100 tabel 2 distribusi frekuensi berdasarkan sumber informasi di desa aek nabara barumun kabupaten padang lawas tahun 2018 berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 38 responden ibu menyusui aktif yang memiliki bayi usia 0-6 bulanmendapatkan infromasi dari keluarga sebanyak 16 orang (42,1%), sumber informasi dari tenaga kesehatan sebanyak 19 orang (50,0%), sumber informasi dari media elektronik sebanyak 2 orang (5,3%) dan sumber informasi dari media cetak sebanyak 1 orang (2,6%). berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 38 responden terdapat ibu yang memilih metode amenorhea lantasi (mal) sebanyak 16 orang (42,1%) dan ibu yang tidak memilih metode amenorhea lantasi (mal) sebanyak 22 orang (57,9%). 368 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 364–370 berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa dari 38 responden terdapat sebanyak 16 responden yang mendapatkan informasi dari keluarga sebagian besar tidak memilih metode amenorhea lantasi (mal) yaitu sebanyak 14 orang (36,8%), sebanyak 19 responden yang mendapatkan informasi dari tenaga keseha ta n seba gia n besa r memilih metode amenorhea lantasi (mal) yaitu sebanyak 13 orang (34,2%), sebanyak 2 responden yang mendapatkan informasi dari media elektronik masing-masing no jumlah f % 1 memilih 16 42,1 2 tidakmemilih 22 57,9 total 38 100 tabel 3 distribusi frekuensi berdasarkan keputusan ibu memilih maldi desa aek nabara barumun kabupaten padang lawas tahun 2018 keputusan ibu memilih mal tabel 4 tabulasi silang sumber informasi dengan keputusan ibu memilih maldi desa aek nabara barumun kabupaten padang lawas tahun 2018 no sumber informasi keputusan ibu memilih mal jumlah pmemilih tidak memilih f % f % f % 1 keluarga 2 5,3 14 36,8 16 42,1 0,008 2 tenaga kesehatan 13 34,2 6 15,8 19 50,0 3 media elektronik 1 2,6 1 2,6 2 5,3 4 media cetak 0 0,0 1 2,6 1 2,6 total 16 42,1 22 57,9 38 100 keputusan ibu sebanyak 1 orang (2,6%), dan hanya 1 ibu yang mendapatkan informasi dari media cetak dengan keputusan tidak memilih metode amenorhea lantasi (mal) (2,6%). pembahasan sumber informasi dengan keputusan ibu menyusui dari hasil penelitian didapatkan hasil penelitian sumber informasi berhubungan dengan keputusan memilih mal diperoleh nilai p-value 0,008 < 0,05 penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh yunita marliana (2013) dengan judul “hubungan pendidikan, sumber informasi metode kontra sepsi dan dukungan keluar ga dengan penggunaan metode kontrasepsi pasangan usia subur berusia < 20 tahun”. hasil yang didapatkan dari penelitian ini bahwa ibu yang mendapatkan informasi tentang kontrasepsi dari keluarga sebanyak 29 orang, ibu yang mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan (bidan/dokter) sebanyak 31 orang dan ibu yang mendapatkan informasi dari media cetak/elektronik sebanyak 3 orang. informasi adalah keterangan, gagasan, maupun kenyataan-kenyataan yang perlu diketahui oleh masyarakat. menurut depkes informasi adalah pesan yang disampaikan oleh tenaga kesehatan kepada masyarakat. menurut notoatmodjo, sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, serta menambah pengetahuan. sumber informasi dapat di peroleh dari media cetak (surat kabar,majalah, buku), media elektronik (tv, radio, internet) dan melalui tenagakesehatan seperti pelatihan dan penyuluhan yang diadakan oleh (dokter, bidan, dan perawat)(akbar, 2014). menurut asumsi peneliti, salah satu cara penyampaian informasi dalam program kb melalui komunikasi antarpribadi yang dilakukan antara petugas kesehatan dan klien dapat mengubah seseorang yang tidak hanya sampai pengetahuan dan kesadaran, akan tetapi sampai pada perubahan perilaku yang semula ragu atau menolak berubah menjadi menerima keluarga berencana. wanita yang lebih sering terpapar informasi cenderung akan memilih menggunakan metode kontrasepsi mal. hasil penelitian hanya 2 orang yang mendapatkan informasi dari media elektronik dan 1 orang 369kadir, hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu menyusui memilih... dari media cetak. hal ini kemungkinan disebabkan oleh pesan yang disampaikan melalui media cetak/ elektronik tidak dipahami dan tidak dimengerti oleh wanita. petugas kesehatan yang ada di desa aek nabara belum memaksimalkan penggunaan alat bantu pengambilan keputusan (abpk) dalam konseling keluarga berencana sehingga pasangan usia subur yang datang untuk menggunakan salah satu metode kontrasepsi langsung diberikan sesuai dengan permintaan klien. hasil penelitian dari 38 responden terdapat ibu yang memilih metode amenorhea lantasi (mal) sebanyak 16 orang (42,1%) dan ibu yang tidak memilih metode amenorhea lantasi (mal) sebanyak 22 orang (57,9%). menurut subiyatun mengatakan bahwa, informasi mengenai alat kontrasepsi dapat diperoleh dari mana saja. mulai dari mulut ke mulut, media cetek, media elektronik, petugas-petugas yang ada di desa seperti kader posyandu, bidan, mantri, dokter ataupun petugas keluarga berencana. informasi yang lengkap sangat diperlukan agar akseptor mengetahui berbagai jenis kontrasepsi begitu pula efek samping yang ditimbulkannya. sehingga semua akseptor dapat mempertimbangkan pemilihan terhadap salah satu jenis alat kontrasepsi. hal ini didukung dengan sumber informasi tempat ibu pertama kali mendengar istilah kb yaitu sekitar 80,0% dari bidan sedangkan dari petugas kb sendiri hanya 9,0% adapaun yang lainnya adalah dari dokter, buku, sekolah, televisi maupun teman (subiyatun, dasuki, & wahyuni, 2011) sumber informasi merupakan kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat memengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok. menurut asumsi peneliti, perilaku adalah semua kegiatan manusia atau aktifitas manusia baik yang dapat diamati langsungmaupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku merupakan hasildari stimulus yang diberikan. adanya stimulus (rangsangan) yang baik maka akan meningkatkan perilaku ke arah yang lebih baik pula. sebaliknya kurangnya stimulus tersebut makapelaksanaan metode amenorea laktasi (mal)juga akan cenderung kurang sehingga ibu tidak memilih metode amenorea laktasi (mal) sebagai alat kontrasepsi dan lebih memilih alat kontrasepsi lain. hasil uji chi-square menunjukkan bahwa p = 0,008< 0,05, artinya terdapat hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu memilih maldi desa aek nabara barumun kabupaten padang lawas tahun 2018. hasil penelitian ini sejalan dengan ha sil penelitian yang telah dilakukan oleh devi heriati (2013) dengan judul “faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan ibu tentang penggunaan iud post plasenta di rumah sakit umum daerah dr. zainoel abidin’. hasil analisa statistik menggunakan uji chi-squar dengan tingkat kemaknaan (á) = 0,05 dan p value= 0,012. sehingga didapat kesimpulan bahwa p < 0,05 ada pengaruh informasi dari tenaga kesehatan terha dap pengetahuan ibu tentang penggunaan iud post plasenta (heriati, d 2013.) berdasarkan penelitian darwani (2012) yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan pemilihan alat kontrasepsi dalam rahim oleh akseptor keluarga berencana di wilayah kerja puskesmas saree kabupaten aceh besar menunjukkan bahwa ada hubungan informasi dengan pemilihan alat kontrasepsi dalam rahim oleh akseptor keluarga berencana. hasil penelitian yang dilakukan oleh anita yang berjudul faktor-faktor yang memengaruhi pus tentang pemilihan metode kontrasepsi di pemukiman ta ngan-tangan rayek keca ma ta n tangan-tangan kabupaten aceh barat daya juga menunjukkan bahwa ada pengaruh informasi tentang pemilihan metode. menurut asumsi peneliti, informasi adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap individu, karena semakin banyak informasi yang diperoleh seseorang maka akan semakin luas dan banyak pengetahuan seseorang sehingga usaha sadar tentang pentingnya menjaga kesehatan akan semakin tinggi. banyaknya informasi dari tenaga kesehatan yang diperoleh seorang ibu tentang pentingnya menggunakan alat kontrasepsi dan keputusan memilih metode amenorhea laktasi (mal) sebagai salah satu alat kontrasepsi, maka minat ibu untuk menggunakan metode amenorhea laktasi (mal) akan semakin meningkat. kesimpulan berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan tentang hubungan sumber informasi dengan keputusan ibu memilih mal di desa aek nabara barumun kabupaten padang lawas dapat diambil kesimpulan yaitu adahubungan sumber informasi dengan keputusan ibu memilih maldi desa aek na ba ra ba rumun kabupa ten padang lawas dengan nilai p = 0,008 (< 0,05). 370 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 364–370 saran diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan terhadap pelayanan alat kontrasepsi, khususnya alat kontrasepsi alami kb metode amenorea laktasi, agar ibu mau menggunakan alat kontrasepsi alami kb metode amenorea laktasi. diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi ibu menyusui betapa pentingnya memberikan air susu ibu (asi) tanpa makanan tambahan apapun, serta untuk percepatan pemulihan rahimnya, dan mendekatkan kontak ibu dan bayi. daftar pustaka akbar, a. (2014). pengaruh metode penyuluhan (kie) terhadap pengambilan keputusan ber-kb ditinjau dari tingkat pendidikan (studi eksperimen pada pus non ak sept or kb di kec amat an gondang kabupaten mojokerto). uns (sebelas maret university). fitriansyah, r. (2017). analisis pengaruh pertumbuhan penduduk dan inflasi terhadap tingkat pengangguran di kota bandar lampung dalam perspektif ekonomi islam tahun 2008-2015. uin raden intan lampung. harnani, y., marlina, h., & kursani, e. (2015). teori kesehatan reproduksi. deepublish. heriati, d. (n.d.). faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan ibu tentang penggunaan iud post plasenta di rumah sakit umum daerah dr. zainoel abidin tahun 2013. hervilia, d., & munifa, d. (2016). pandangan sosial budaya terhadap asi eksklusif di wilayah panarung palangkaraya (social and cultural aspect toward exclusive breastfeeding in panarung palangkaraya). indonesian journal of human nutrition, 3(1), 63–70. indiarti, m. t. (2017). meraih kehamilan: teknik menunda, menghindari dan mendapatkan kehamilan dengan metode sehat alami: elmatera. diandra kreatif. kependudukan, b., & nasional, k. b. (2016). laporan kinerja instansi pemerintah 2015. jakarta: bkkbn. lumbanraja, s. n. (2015). asi dan aspek klinisnya. nani, s. a. (2017). hubungan pengetahuan ibu bekerja yang menyusui tentang asi eksklusif dengan pemberian pengganti asi (pasi) pada bayi umur 0-6 bulan di puskesmas pageruyung kabupaten kendal. ilmu kesehatan, 8(1), 5–15. pempropsu. (2017). profil kesehatan sumatera utara. putri, v. y., & lisnawaty, l. (2018). studi psikografis dalam pemilihan dan penggunaan alat konntrasepsi pada masyarakat suku bajo di desa bajo indah kecamatan soropia kabupaten konawe tahun 2017. jurnal ilmiah mahasiswa kesehatan masyarakat, 3(1). rofiani, r., & ratnawati, r. (2016). hubungan sikap, motivasi, dan perilaku ibu dalam mengkonsumsi tablet fe dengan kejadian anemia pada ibu hamil trimester iii di wilayah kerja puskesmas kedungwuni ii kabupaten pekalongan. subiyatun, s., dasuki, d., & wahyuni, b. (2011). hubungan antara pemberian informasi dengan pemilihan metode atau alat kontrasepsi rasional (kajian data proyek sm-pfa di jawa tengah dan jawa timur tahun 2002). berita kedokteran masyarakat, 27(2), 101. susanti, h. a. (2015). strategi komunikasi badan kependudukan dan keluarga berencana nasional (bkkbn). jurnal aspikom, 2(4), 243–254. utara, d. k. p. s. (2015). profil kesehatan provinsi sumatera utara tahun 2010. medan: dinkes sumatera utara. yanti, g., & handayani, s. (2014). hubungan pengetahuan dan sikap dengan pelaksanaan metode amenorea laktasi (mal) pada ibu nifas di wilayah kerja puskesmas kecamatan sukoharjo lampung. yustina dwi agustin, n. (2015). pengetahuan ibu nifas tentang kontrasepsi metode amenore laktasi (mal) di bps bidan saudah desa polorejo kecamatan babadan kabupaten ponorogo. universitas muhammadiyah ponorogo. 196 gambaran pemenuhan kebutuhan spiritual pada lanjut usia (description of spiritual needs on elderly) ahmad tegar sunu prakoso poltekes kemenkes malang, jl. besar ijen 77 c malang e-mail: j.nersbidan@gmail.com abstract : with the growing elderly person, they will decline, especially in the physical abilities that can lead to a reducyion in the role of spiritual. the purpose of the research is to describe the spiritual needs of elderly with immobility in upt pslu blitar in tulungagung. method: the research design was description design. the population in this research is all elderly in upt pslu blitar in tulungagung as many as 80 people and great samples taken is as many as 29 people using total sampling technique. data was collected by questionnaire. result : the results of this research show that 55% elderly have a good spiritual, 14% quite, and 31% elderly have a less spiritual. elderly are a vulnerable group of physical and mental deterioration caused various problems one spiritual. discussion : recommendations from the study are expected need for discipline in the religious guidance, especially in the elderly with immobility in upt pslu blitar in tulungagung. keywords : spiritual, elderly kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan, kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf. dimensi spiritual ini berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik atau kematian (hamid, 2008). who dan undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab 1 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 adalah usia permulaan tua. sementara itu who mengatakan bahwa lanjut usia meliputi usia pertengahan yaitu kelompok usia 45-59 tahun (nugroho, 2006). laju perkembangan kesehatan di indonesia salah satunya dicerminkan dari peningkatan lanjut usia. nugroho (2006) mengatakan secara demografis, berdasarkan sensus penduduk tahun 1971, jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas sebesar 5,3 juta (4,5%) dari jumlah penduduk. selanjutnya, pada tahun 1980, jumlah ini meningkat menjadi ±8 juta (5,5%) dari jumlah penduduk dan pada tahun 1990, jumlah ini meningkat menjadi ±11,3 juta (6,4%). pada tahun 2000, diperkirakan meningkat sekitar 15,3 juta (7,4%) dari jumlah penduduk, dan pada tahun 2005, jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi ±18,3 juta (8,5%) (watson, 2003). menurut perkiraan biro pusat statistik, pada tahun 2005 di indonesia, terdapat 18.283.107 penduduk lanjut usia. jumlah ini akan melonjak hingga ±33 juta lanjut usia (12% dari total penduduk) (watson, 2003). jumlah lansia di jawa timur sendiri pada tahun 2012 mencapai 10,4%, jumlah tersebut merupakan tertinggi kedua setelah yogyakarta dengan jumlah lansia 13,04% (kemenkes ri, 2013). dengan bertambahnya umur harapan hidup lansia pada tahun 20120 yang diperkirakan menjadi 71,7 tahun setelah uhh 59,5 tahun pada tahun 1990, dan meningkatnya populasi lansia maka pemerintah perlu merumuskan kebijakan dan program yang ditujukan kepada kelompok penduduk lansia sehingga dapat berperan dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat (kemenkes ri, 2013). lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari imobilitas. perubahan yang berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit kronis acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p236-239 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 197 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.196-200 menjadi predisposisi bagi lansia untuk mengalami komplikasi-komplikasi ini. secara fisiologis, tubuh bereaksi terhadap imobilitas dengan perubahan-perubahan yang hampir sama dengan proses penuaan, oleh karena itu memperberat efek ini (stanley, 2006). suatu pemahaman tentang dampak imobilitas dapat diperoleh dari interaksi kompetensi fisik, ancaman terhadap mobilitas, dan interpretasi pada kejadian. imobilitas memengaruhi tubuh yang telah terpengaruh sebelumnya. di antara usia 20-60 tahun, kekuatan otot menurun 10 sampai 30% ; pada usia 80 tahun sekitar 50% otot telah hilang. oleh karena itu, kompetensi fisik seorang lansia mungkin berada pada atau dekat dengan tingkat ambang batas untuk aktivitas mobilitas tertentu (stanley, 2006). uraian diatas menunjukkan pemahaman dimensi spiritual dan pemenuhan terhadap kebutuhan spiritual yang masih terbatas. cara mengaplikasikan pemenuhan kebutuhan spiritual tersebut perlu dipahami oleh semua masyarakat, termasuk lansia, apalagi pada lansia telah telah terjadi penurunan kekuatan otot yang mengakibatkan gangguan mobilitas fisik. demografi menunjukkan bahwa kebanyakan lansia menderita sedikitnya satu penyakit kronis, dan banyak diantaranya menderita lebih dari satu. berduka, nyeri, dan gangguan mobilitas mempengaruhi integritas pribadi lansia. kondisi ini beresiko menimbulkan distress spiritual pada lansia. distress ini terjadi ketika seseorang (lansia) mengalami atau beresiko mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan, dan arti kehidupan. distress spiritual yang berkelanjutan akan mempengaruhi kesehatan lansia secara menyeluruh dimana terjadi gejala-gejala fisik berupa penurunan nafsu makan, ganguan tidur serta peningkatan tekanan darah (hidayat, 2006). dari paparan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pemenuhan kebutuhan spiritual pada lanjut usia di pslu tulungagung. selain itu belum ada penelitian tentang pemenuhan kebutuhan spiritual pada lanjut usia di pslu ini yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dan di pslu ini memiliki banyak populasi lanjut usia sehingga memudahkan peneliti untuk mengambil data. rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pemenuhan kebutuhan spiritual lanjut usia di upt pslu blitar di tulungagung. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pemenuhan kebutuhan spiritual lanjut usia di upt pslu blitar di tulungagung. manfaat penelitian bagi petugas kesehatan adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana peran perawat dalam menerapkan kebutuhan spiritual dalam memberikan asuhan keperawatan di masyarakat. manfaat bagi instansi pendidikan adalah dapat menambah dapat diintegrasikan dalam pembelajaran khususnya keperawatan gerontik tentang pemenuhan kebutuhan spiritual pada lansia, sehingga fakta ini dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan keperawatan gerontik. manfaat bagi penelitian keperawatan adalah diharapkan dapat dijadikan masukan bagi lahan penelitian tentang berbagai kebutuhan spiritual pada lansia sehingga petugas kesehatan dapat memberikan intervensi-intervensi yang terkait dengan program kesehatan tanpa mengenyampingkan kebutuhan spiritual lansia. salah satu bentuk kegiatan misalnya mengadakan diskusi dan ceramah keagamaan. bahan dan metode desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian deskriptif. bertujuan untuk mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa kini (nursalam, 2003). deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan gambaran pemenuhan kebutuhan spiritual pada lanjut usia. subyek penelitian ini dipilih secara kuota sampling dan harus memenuhi kriteria inklusi. kriteria inklusi adalah karakteristik yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti, yaitu: sehat mental, bersedia menjadi responden, lansia dengan gangguan mobilitas fisik sesuai kriteria peneliti. setelah melalui kriteria inklusi, dari 80 lansia diketahui 57 lansia yang masuk kriteria sehat mental, dan sampel yang terambil dalam penelitian ini yaitu sejumlah 29 lansia di upt pslu blitar di tulungagung. hasil penelitian prakoso, gambaran pemenuhan kebutuhan spiritual…… 198 gambaran tempat penelitihan di upt pslu blitar di tulungagung merupakan unit pelaksanaan teknis dinas sosial provinsi jawa timur yang melaksanakan tugas pelayanan rehabilisasi sosial lanjut usia. tugas pokok dari upt pslu blitar di tulungagung adalah di bidang penyantunan, rehabilisasi, bantuan, bimbingan, pengembangan dan resosialisasi bagi para lansia. karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. tabel 1. jenis kelamin no jenis kelamin f % 1 l 13 44,8 2 p 16 55,2 tabel 2. lama tinggal lansia di panti no karakteristik f % 1 umur ≤ 2 tahun 6 20,7 3 -5 tahun > 5 tahun 4 9 48,3 31,0 tabel 3. agama no agama f % 1 islam 24 82,8 2 kristen 5 17,2 tabel 4. pekerjaan terakhir no nyeri kontraksi f % 1 pegawai swasta 1 3,4 2 wiraswasta 9 31,0 65,5 3 lain lain 19 65,5 tabel 5. sarana ibadah no sarana ibadah f % 1 mushola 24 82,8 2 gereja 5 17,2 tabel 6. bimbingan keagamaan no bimbingan f % 1 sering 16 55,2 2 jarang 4 13,8 3 tidak pernah 9 31,0 tabel 7. pemenuhan kebutuhan spiritual no pemenuhan f % 1 baik 16 55,2 2 cukup 4 13,8 3 kurang 9 31,0 berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 29 responden, hampir setengahnya (44,8%) responden berjenis kelamin laki – laki, hampir setengahnya (48%) responden telah tinggal di panti selama 3-5 tahun, hampir seluruhnya (82%) responden beragama islam, sebagian besar (65%) responden bekerja selain pegawai swasta dan wiraswasta, sebagian besar (82%) responden beribadah di sarana ibadah mushola dan sebagian besar (55,2%) responden sering mengikuti bimbingan keagamaan serta memiliki pemenuhan kebutuhan spiritual yang baik. pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap 29 responden di upt pslu blitar di tulungagung diketahui bahwa rata-rata berusia 73 tahun. watson (2003) mengatakan lanjut usia sebagai kelompok masyarakat yang mudah terserang kemunduran fisik dan mental. pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik-biologik, spiritual, mental maupun sosial ekonomi. menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui 3 tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun secara psikologis. memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan melambat, dan figure tubuh yang tidak proposional. dengan semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan pada peranan-peranan sosialnya (nugroho, 2008). seperti berkurangnya perilaku saling menolong, bekerjasama, mensejahterakan dan menumbuh kembangkan orang lain, menegakkan kebenaran dan keadilan, berkata jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi dan sebagainya. menurut murray dan zentner (1970) dalam nugroho (2008), lanjut usia semakin matur dalam kehidupan keagamaannya. hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak sehari-hari. peneliti berpendapat bahwa pada umumnya sudah wajar lansia mengalami kemunduran fisik dan kebanyakan akan 199 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.196-200 mengganggu aktivitas seperti interaksi sosial dan hubungan komunikasi antar individu lain. sebagian besar aktivitas lansia dilakukan di tempat yang terjangkau oleh keadaan fisiknya. hal inilah yang membuat aktivitas spiritual lansia yang berhubungan dengan aktivitas fisik akan berkurang, seperti menolong anggota panti yang kesulitan. tapi kenyataannya pada pertanyaan di kuesioner mengenai aktivitas spiritual yang berhubungan dengan aktivitas fisik tentang hubungan antar manusia, didapatkan data dari 29 lansia lebih dari separuhnya selalu monolong anggota panti yang kesulitan dan merasa senang ketika dapat membantu orang lain. hal ini mungkin disebabkan bahwa interaksi dan keakraban yang terjalin antar anggota panti bisa mendukung dan memotivasi mengalahkan rasa kemalasan akibat kemunduran fisik yang dialami lansia. aspek spiritual yang juga berpengaruh dalam baik tidaknya pemenuhan kebutuhan spiritual pada lansia adalah religious knowledge (the intellectual dimension) atau dimensi pengetahuan yaitu dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada didalam kitab suci maupun yang lainnya. berdasarkan hasil penelitian dari 29 responden didapatkan 31% (9 responden) tidak pernah mengikuti bimbingan keagamaan. ancok dan suroso (1995) mengatakan paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui pokokpokok mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci dan tradisi. young c dan dowling w (1980) dalam stanley (2006), sejumlah indikator dalam religiositas telah ditentukan dari penelitian : kehadiran di tempat ibadah, berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan, mengetahui tentang ibadah dan teologi, beribadah, membaca kitab suci. jadi, lansia paling tidak harus tahu mengenai pokokpokok dasar pengetahuan tentang ajaran agama yang dianut. berdasarkan hasil tabulasi silang bimbingan keagamaan dan pemenuhan kebutuhan spiritual didapatkan pada responden yang sering mengikuti bimbingan keagamaan yaitu sebesar 55% dengan pemenuhan kebutuhan spiritual baik. pada responden yang jarang mengikuti bimbingan keagamaan ditemukan 14% dengan kebutuhan spiritual cukup. pada responden yang tidak pernah mengikuti bimbingan keagamaan ditemukan 31% dengan kebutuhan spiritual kurang. pemenuhan kebutuhan spiritual tidak hanya berhenti pada dimensi pengetahuan tapi diteruskan ke aspek selanjutnya yaitu religious effect (the consequential dimension) yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaranajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi anggota panti yang sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya (ancok dan suroso 1995). dari teori dan juga hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada lansia dengan sering mengikuti bimbingan keagamaan maka lebih baik pula pemenuhan kebutuhan spiritualnya. peneliti berpendapat bahwa lansia yang sudah tahu mengenai pokokpokok dasar pengetahuan tentang ajaran agama yang dianutnya paling tidak sudah tahu mengenai norma-norma dalam agamanya, hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam agamanya. hal ini terbukti dari kuesioner tentang norma-norma dalam agama yang mereka yakini didapatkan bahwa lebih dari separuh lansia yaitu sebanyak 62% yang selalu mengikuti bimbingan keagamaan selalu mematuhi norma-norma dalam agama yang dianutnya. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual pada lanjut usia dengan gangguan mobilitas fisik di upt pslu blitar di tulungagung lebih dari setengahnya mempunyai kriteria baik, yaitu sebesar 55%, kriteria cukup 14%, dan kriteria kurang 31%. saran pihak upt pslu blitar di tulungagung diharapkan untuk lebih mendisiplinkan pelaksanaan program bimbingan keagamaan terutama bagi lansia dengan gangguan mobilitas fisik dimana telah mengalami penurunan kemampuan untuk bergerak bebas, sehingga diharapkan untuk mengadakan bimbingan keagamaan langsung ke tempat lansia yang sudah tidak memungkinkan untuk datang ke lokasi bimbingan keagamaan. institusi pendidikan sebagai instansi yang berperan dalam memberikan prakoso, gambaran pemenuhan kebutuhan spiritual…… 200 pembelajaran, diharapkan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai sumbangan informasi dan tambahan pustaka di perpustakaan sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca daftar rujukan ancok & suroso. 1995. psikologi islami. yogyakarta : pustaka belajar hamid s. 2008. asuhan keperawatan kesehatan jiwa. jakarta : egc nugroho w. 2008. keperawatan gerontik edisi 2. jakarta : egc nursalam. 2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta : salemba medika stanley m. 2006. buku ajar keperawatan gerontik edisi 2. jakarta : egc watson, roger. buku ajar keperawatan gerontik edisi 2. jakarta : egc 1suprajitno, sari, anggraeni, relationship of nurse caring behaviour with ... correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: bedonku@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p001–005 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk relationship of nurse caring behaviour with patient satisfaction at the emergency department of catholic hospital of budi rahayu blitar suprajitno1, yeni kartika sari2, elizabeth niken budi anggraeni3 1nursing department, poltekkes kemenkes malang 2nursing department, stikes patria husada blitar 3nurse practitioner, catholic hospital of budi rahayu blitar 1 article information history article: received, 14/10/2019 accepted, 06/03/2020 published, 05/04/2020 abstract one indicator of hospital services is patient satisfaction related to nurses caring behaviour. the caring behaviour of nurses who provide nursing services in the emergency department is expected to increase the satisfaction of nursing services. the purpose of this study was to study the relationship between nurses caring behaviour with patient satisfaction receiving nursing services at the emergency department of catholic hospital of budi rahayu blitar. the research design was cross sectional. sample sizes were 80 patients who received nursing services at the emergency department were selected by purposive sampling. the study variables were nurse caring behaviour and patient satisfaction. data were collected using a questionnaire. analysis using the spearman rank test. the analysis results obtained p = 0.000 and r = 0.618, which means there is a strong positive relationship between nurses caring behaviour with patient satisfaction. suggestion, nurses maintain and even increase caring behaviour, especially communication skills in the orientation phase. ©2020 jurnal ners dan kebidanan keywords: caring behaviour; satisfaction http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p001-005&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 001–005 introduction the globalization era promises new business opportunities and challenges for hospitals in indonesia. however, there is fierce competition between domestic and foreign hospitals (tjiptono & gregorius, 2008). hospitals that can compete are hospitals that provide quality services. thus, hospitals are required to make improvements in the quality of service. a service is said to be of quality if the service indicator reaches or exceeds certain standards. one indicator used to assess hospital services is patient satisfaction (nursalam, 2014). hospitals in indonesia have not provided satisfactory services as expected by patients / consumers. the results of a 2010 citizen report card (crc) survey conducted by the indonesian corruption watch (icw) in 2010 with a sample of 738 inpatients in 23 hospitals (public and private) found as many as 65.4% of patients complained of nurses’ attitudes that were less friendly, less sympathetic, and rarely smile (minar, 2016). emergency department is the start of hospital services, the philosophy used is time-saving so that fast handling is needed to save the lives of patients. emergency department is the face of the hospital so that the dissatisfaction of service in this place will affect patient satisfaction in general. nurse caring behaviour to patients is the essence of nursing that positively contributes to patient satisfaction while receiving nursing services. the research purpose was to study the relationship of nurses caring behaviour with patient satisfaction in the emergency department of catholic hospital of budi rahayu blitar.   method the study design uses cross-sectional. sample sizes were of 80 inpatients through the emergency department of the catholic hospital of budi rahayu blitar on april 18 to may 7, 2017, was selected by purposive sampling. the measurement of caring beha viour used cba (ca r ing beha viour assessment) which was modified by lynn kimble in 2003 and translated into indonesian. the instrument contains 20 questions assessed on a 1-4 likert scale, where: 1 = strongly disagree if the situation is not in accordance with the conditions experienced, 2 = disagree if the condition does not match the conditions experienced, 3 = agree if conditions in accordance with the conditions experienced, and 4 = strongly agree if the conditions a r e ver y in a ccor da nce with the conditions experienced by the patient. the measurement of patient satisfaction variables uses a modification of the sa tisfa ction instr ument ba sed on five characteristics (rater) with 25 question items. the measurement of this questionnaire uses a likert scale of 1-4 where: 1 = very dissatisfied, 2 = not satisfied, 3 = satisfied, and 4 = very satisfied. analysis used the spearman rank test.   result no characteristic f % 1 gender: - male          30 37.50 - female           50  62.50 2 age (years ): < 27 14 17.50 - 28 – 32 7 8.75 - 33 – 39 15 18.75 - > 39  44 55.00 3 education: - elementary school 24 30.00 - junior school 8 10.00 - senior school 25 31.35 - higher education  23  28.75 4 employ: - farmer          14 17.50 - businessman       6 7.50   - public employ 8 10.00 - private employ 24 30.00 - housewife        27  33.75 - student           1 1.25 table 1 characteristics of inpatients through the emergency department no characteristic f % 1 gender: - male 2  18.20 - female 9 81.80 2 education: - nurse (profession) 2 18.20 - diploma of nursing           9  81, 8 0 3 length of work (years): - <5        3  27.30  - 5 – 10         2 18.20 - > 10 6 54.50 table 2 characteristics of nurses as assessed caring behaviour by patients 3suprajitno, sari, anggraeni, relationship of nurse caring behaviour with ... discussion nurse caring behaviour is an application of watson’s 10 carative factors including providing support, attention, respect, skill, health care, trusting relationships, being ready to help, providing support to patients for recovery, and maintaining patient privacy (alligod, 2014; watson, 2005; watson, 2009). nurse caring behaviour according to the patient’s assessment was as much as 92.5% that the caring behaviour of the emergency department nurses at catholic hospital of budi rahayu blitar was categorized as good, namely humanistic and altruistic, instilling trust and hope, and solving pr oblems systematica lly. this nur se ca r ing behaviour can support the nursing process (potter, 2005; potter & perry, 2009). the number of patients who rated nurses more women (62.5%) than men. this situation is similar to ade’s study (2012) that mentions the number of patients who rate equally between men and women. and, suryani (2010) mentions the number of patients who rate more men than women. however, the results of the three studies obtained the same results, namely, the nurses caring behaviour is considered good by patients. these results illustrate that there is no significant effect between the sex of the patient on nurses caring behaviour. radwin in ade (2012) states that the level of pa tient education a ffects per ceptions while receiving quality nursing services. patients with higher education tend to expect good nursing services because they are able to assess nurses caring behaviour. about 60% of patients who receive nursing services have senior high school and higher education, this situation illustrates that patients easily to receive information well. some factors that influence nurses caring behaviour are workloa d, knowledge of work environment, and training. as written by suryani (2010) and ade (2012) that a good work environment can create high caring behaviour for nurses and improve service quality. this is in accordance with a conducive working environment for emergency nurses at catholic hospital of budi rahayu blitar. the results of observations during the study found that the relationship between nurses was good including the relationship between health workers or doctors. thus, a comfortable environment makes health workers (nurses) behave positively which in turn can improve the quality of nursing services. this environment affects the nurse caring behaviour of good. catholic hospital of budi rahayu blitar has nurse development activities aimed at supporting nursing services. the activities carried out took the form of in-house training, namely excellent service training, seven habits training, and effective communication training. this activity instils the value of caring nurses to provide services to patients, reflected in the hospital’s motto that is committed to life (love, integrity, friendship, empathy). thus, the value of caring in nursing such as empathy, love, and effective communication is not new for nurses although they have never received special training in caring behaviour. factors that can influence caring behavior are knowledge. knowledge can be obtained through experience in certain fields for a long time (ambar, 2016). as many as 54.5% of emergency department nurses at catholic hospital of budi rahayu blitar have work experience of more than 10 years. in theory, written that caring does not grow on its own in a person but arises based on values and experiences in establishing relationships with others (christopher, & hedegus, 2000; kimble, 2003; rafii, & nikravesh, 2006). the experience of nurses f % f % f % well 8 10.00 66 82.50 74 92.50 less 6 7.50 0 0.00 6 7.50 total 1 4 17.50 66 82.50 80 100.00 p = 0.000 rs= 0.618   table 3 cross-tabulation between nurses caring behaviour according to the patient and patient satisfaction in the emergency department of catholic hospital of budi rahayu blitar caring behaviour patient satisfaction satisfied very satisfied total 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 001–005 every day in a relationship with patients makes communication skills and care for patients will be better. because the essence of caring behavior is communication and caring (johansson et al, 2002). patient satisfaction is the level of one’s feelings after comparing feeling after receiving service with expectations. if the service received is below expectations, the patient is disappointed, if the service received is as expected, the patient will be satisfied. nursalam (2014) writes factors that affect patient satisfaction, namely: product or service quality, price, emotional, performance, aesthetics, product characteristics, service, location, facilities, communication, atmosphere, and visual design. assessment of patient satisfaction is measured using five dimensions of service quality, namely rater (responsiveness, assurance, tangibles, empathy, and reliability) (gerson, 2004; kotler, 2003). all patients expressed satisfied and were very satisfied to receive nursing services. patient satisfaction is influenced by the quality of nurse services. factors affecting nursing services are nurses having more than ten years of experience and educated in nursing so that long experience of nurses influences nursing professional skills and improves communication skills. thus, the ability of nurses to provide high nursing services affect patient satisfaction. patients who expression very satisfied aged 4060 years (44 patients). there is a theory states that a person’s age affects satisfaction, that ages 40-60 years as the ages where individuals are able to guide themselves optimally a nd are able to a ssess themselves. so that patients this age more quickly accept the situation than the young. the assumption is that young individuals have more demands and expectations on health services, tend to complain, criticize, impatient, and want to be served quickly (monica, 2008; pohan, 2007; wiyono,1999). older individuals are generally wiser, understand situations and conditions, are able to be patient, and do not have high demands or expectations of the service received. spearman rank test results obtained p = 0,000 and r = 0.618 which means there is a strong relationship with the direction of positive correlation so that the higher the caring behaviour of nurses, the higher the patient satisfaction. nursalam (2014) writes that the factors that influence satisfaction are the quality of services, in this case, the nurse’s behaviour and what is meant is caring behaviour. nurse caring behaviour can have an emotional impact on patients, provide security, create a relationship of mutual trust, provide more energy to patients, and increase physical healing as well anjaswarni & keliat, 2002). nurse caring behaviour that is felt fulfilling patient needs, nurses immediately a ppr oa ch the pa tient, nur ses a r e a ble to communicate well, and able to explain the patient’s condition. however, there were 6 patients (7.5%) stated nurses caring behaviour was lacking but were satisfied with nursing services. patients assess nurses caring behaviour is lacking in affective behaviour that is not introducing themselves and not understanding patient feelings. however, patients highly value the nurse’s cognitive behaviour, namely communication skills, taking action, and using medical equipment. this illustrates the patient’s perception of nurse service satisfaction is more influenced by nurse cognitive behaviour meaning that patients are more satisfied if the nurse has service skills.   conclusion based on the results of the study (1) the nurse caring behavior of well-categorized, (2) the level of patient satisfaction during receiving categorized nursing services was satisfied, and (3) there is a relationship of 0.618 (p=0.000) between nurses caring behavior with the patient satisfaction during receiving services at catholic hospital of budi rahayu blitar. suggestion it is expected that emergency department nurses continue to show caring behavior when providing services to patients even in conditions of high workload, especially in the orientation phase, namely by introducing themselves to patients so that a therapeutic relationship can be established between nurses and patients. reference ade lisna y. (2012). gambaran perilaku caring perawat terhadap pasien di ruang rawat inap umum rs dr. h.marzuki mahdi bogor. skripsi. fakultas ilmu keperawatan universitas indonesia alligod, m.r. ( 2014). nursing theory and their work. eight edition. missouri: mosby elsevier ambar, f. (2016). hubungan perilaku perawat dengan kepuasan pasien di puskesmas paceda. e-jurnal sa riput ra, oktober 2016 vol 3 (3). ht tps: // www.google.co.id./m?&q=jurnal%20falleryn 5suprajitno, sari, anggraeni, relationship of nurse caring behaviour with ... anjaswarni, t. & keliat b.a. (2002) analisis tingkat kepuasan klien tehadap perilaku caring perawat di rs syaiful anwar malang. jurnal keperawatan indonesia. vol 6 no : 2. christopher, k.a. & hedegus, k. (2000). oncology nuses’ preception of nursing caring behavior. european journal of oncology nursing. vol 4. hal 196-204. gerson, r. f (2004). mengukur kepuasan pelanggan. jakarta: ppm. johansson, p et al. (2002). satisfaction with nursing care in the context of health care. scandinavian journal of caring science. vol 16 . hal 337-344. kimble, lynn. (2003). patiens’ preceptions of nurse caring behavior in an emergency departement. theses, dissertation capstones. paper 261. diakses dari http://mds.marshall.edu/etd kotler, p. (2003). marketing management: analysis, planning, implementationand control. new jersey: prentice hall. nursalam. (2014). manajemen keperawatan aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. edisi 4. jakarta: salemba medika. minar, agustina.(2016). hubungan perilaku asertif perawat dengan kepuasan pasien rawat inap di bali royal hospital (bros). skripsi. uneversitas udayana. www.unud.ac.id/in/tugas-akhir130211. monica. (2008). kepemimpinan dan manajemen keperawatan: berdasarkan pengalaman. jakarta: egc. pohan, imbalo (2007). jaminan mutu layanan kesehatan: dasar-dasar pengertian dan penerapan. editor palupi widyastuti. jakarta: egc potter, patricia a. (2005). buku ajar fundamental keperawatan : konsep dan praktik. alih bahasa : retna komalasari. editor : monica ester. edisi 4. jakarta: egc potter & perry, (2009). buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik buku 1 edisi 7, editor: dripa sjabana. jakarta : salemba medika rafii, f. & nikravesh, m. (2006). caring behaviour of burn nurses and the related factor. elsevier burn (2007). www.elsevier.com/locate/burns. suryani, m. (2010). hubungan lingkungan kerja dengan perilaku caring perawat di rs pgi jakarta. tesis. uneversitas indonesia. tjiptono, f. & gregorius. (2008). service, quality and satisfaction.yogyakarta: andi offset watson, j. (2005). caring science as sacred science. 1stedition. philadelphia: f.a. davis company.www. daviscompany.com>nursing>research and theori. watson, j. (2009). assesing and meassuring caring in nursing and helath science. second edition. new york. wijono, dj. (1999). manajemen mutu pelayanan kesehatan. airlangga university press: surabaya 182 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 182–189 182 faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan tahun 2018 endryani syafitri1, suyanti suwardi2 1dosen d3 kebidanan, akademi kebidanan helvetia medan, indonesia 2dosen d4 kebidanan, institut kesehatan helvetia medan, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima 02/01/2019 disetujui 20/01/2019 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: riwayat persalinan; riwayat abortus; usia ibu dan plasenta previa abstrak perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. perdarahan khususnya akibat plasenta previa 15-20% menyebabkan kematian ibu. world health organization (who) 2014 menyebutkan bahwa angka kematian ibu diperkirakan seluruh dunia lebih dari 585 ribu meninggal tiap tahun saat hamil atau bersalin. berdasarkan persentase penelitian di rsup h. adam malik medan periode tahun 2016-2017 didapatkan sekitar 42,1% yang mengalami plasenta previa. tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan periode tahun 2016-2017. jenis penelitian ini bersifat survei analitik dengan desain cross sectional. populasi penelitian ini sebanyak 54 ibu hamil yang mengalami plasenta previa. pengambilan sampel menggunakan total population. variabel independen adalah riwayat persalinan, riwayat abortus dan usia ibu, variabel dependen adalah plasenta previa dengan alat ukur yang digunakan adalah rekam medik status, riwayat persalinan, riwayat abortus, plasenta previa dan di analisis chi-square. hasil uji chi-square, untuk variabel riwayat persalinan didapatkan nilai pvalue=0,041 (p<0,05), dan variabel riwayat abortus di dapatkan nilai pvalue=0,032 (p<0,05), dan variabel usia ibu didapatkan nilai p-value = 0,004 (p<0,05). ada hubungan faktor riwayat persalinan dengan plasenta previa, ada hubungan faktor riwayat abortus dengan plasenta previa, ada hubungan faktor riwayat usia ibu dengan plasenta previa. history article: received, 02/01/2018 accepted, 20/03/2018 published, article information abstract antepartum hemorrhage is bleeding that occurs after 28 weeks of pregnancy. bleeding especially due to placenta previa 15-20% causes maternal death. the 2014 world health organization (who) states that the maternal mortality rate is estimated to be more than 585 thousand worldwide dead each year during pregnancy or childbirth. based on the percentage of research in h. adam malik general hospital medan in 2016factors correlated to plasenta previa at rsup h. adam malik medan 2018 jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p182-189&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 183syafitri, suwardi, faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di ... correspondence address: akademi kebidanan helvetia medan east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: endriyanisyafitri07@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p182–189 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan masalah dari penelitian yang akan dilakukan yaitu bagaimana faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan tahun 2018. hasil penelitian terdahulu menurut indah trianingsih, dian mardhiyah, artha budi susila duarsa bahwasanya riwayat operasi caesar > 2 kali mempunyai peluang 4,776 kali mengalami plasenta previa. sedangkan riwayat kuretage dalam penelitiannya diperoleh p-value 0,000, or = 3,407 (1,7166,767), artinya ibu yang memiliki riwayat kuretage mempunyai peluang 3,407 kali mengalami plasenta previa. (astuti, 2017) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh siti maesaroh, yeni oktarina dengan judul faktor – faktor yang berhubungan kejadian plasenta previa di ruang bersalin rsud dr. h, abdul moeloek provinsi lampung dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan kasus plasenta previa yaitu pada tahun 2011 sebanyak 113 orang (6,49%) dari 1741 persalinan, tahun 2012 berjumlah 101 orang (7,48%) dari 1350 persalinan dan berdasarkan data register yang tercatat di ruang kebidanan periode januari desember 2013 berjumlah 103 orang (7,78 %) dari 1325 persalinan. hasil distribusi frekuensi riwayat keguguran ibu bersalin dengan perdarahan diketahui bahwa dari 193 responden terdapat 146 responden (75,65%) tidak mempunyai riwayat keguguran dan 47 responden (24,35%) mempunyai riwa ya t kegugur a n. hubunga n riwa ya t keguguran dengan plasenta previa di rsud dr.h. abdul moeloek memiliki hasil analisisnya menunjukkan bahwa responden dengan ibu beresiko tinggi ada 36,17% mengalami plasenta previa. hasil uji statistik uji chi-square diperoleh p-value = 0,015 5 kali secara fisik juga memiliki resiko tinggi karena organ reproduksi ibu mengalami kelelahan terutama pada otot rahim yang sering melahirkan. oleh karena itu, terjadinya atonia uteri pada saat persalinan berikutnya sangat besar karena otot rahim tidak mampu berkontraksi sehingga akan membahayakan nyawa ibu. ibu memiliki riwayat persalinan, misalnya 3 kali abortus atau lebih yang disebut dengan abortus habitualis. dengan seringnya terjadinya abortus, maka kemungkinan besar akan terjadi abortus berulang pada kehamilan berikutnya jika tidak diketahui penyebab terjadinya abortus, penyebab 2 kali partus prematurus atau lebih, dan penyebab kematian janin dalam kandungan atau kematian perinatal (kurniawan, 2013). 185syafitri, suwardi, faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di ... fertilisasi tidak terganggu oleh abortus. pengecualian yang mungkin yaitu risiko kecil terjadinya infeksi pelvis. aspirasi vakum tidak menyebabkan peningkatan insidens abortus spontan trimester kedua, pelahiran preterm, atau bayi dengan berat lahir rendah pada kehamilan berikutnya. namun, prosedur abortus berulang menggunakan kuret tajam dapat menyebabkan peningkatan risiko plasenta previa presentase kejadian plasenta previa pada ibu dengan riwayat abortus sebanyak (67,9%) lebih besar dari kejadian plasenta previa pada ibu yang tidak memiliki riwayat abortus sebanyak (41,0%) (wibowo, 2012). hasil penelitian sesuai teori cunningham (2001) yang menyatakan kejadian plasenta previa akan meningkat pada wanita yang sudah melakukan 2 kali atau lebih operasi caesar (astuti, 2017). angka kejadian plasenta previa adalah 0,4% 0,6% dan keseluruhan persalinan mortalitas plasenta previa sebesar 50 per 1000 kelahiran hidup bila dilakukan penatalaksanaan yang baik plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia 30 tahun juga lebih sering terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia diatas 30 tahun juga lebih sering terjadi pa da keha mila n ga nda da r ipa da keha mila n tunggal.(maesaroh, 2014) angka kematian ibu (aki) di dunia berdasarkan data world health organization (who) 2014 menyebutkan bahwa angka kematian ibu diperkirakan seluruh dunia lebih dari 585 ribu meninggal tiap tahun saat hamil atau bersalin, artinya setiap menit ada 1 perempuan yang meninggal, sedangkan proporsi kematian bayi baru lahir didunia sangat tinggi dengan estimasi sebesar 4 juta kematian bayi baru lahir pertahun dan 1,4 juta kematian pada bayi baru lahir pada bulan pertama di asia tenggara (iswara, 2017). world healthorganization (who) melaporkan bahwa kematian ibu yang disebabkan perdarahan khususnya akibat plasenta previa berkisar 15-20% kematian ibu dan insidennya adalah 0,8-1,2% untuk setip kelahiran (metti, 2016). (who) melaporkan bahwa kematian ibu bersalin diperkirakan 500.000 kematian setiap tahun. tragisnya bahwa 99% dari kematian ibu bersalin terjadi di negara berkembang, termasuk indonesia disebabka n oleh perdarahan, eklampsia, infeksi, dll (ruqoiyah, 2017). mulai tahun 2016, tujuan pembangungan berkelanjutan sdgs (sustaineble development goals) 2015-2030 secara resmi menggantikan tujuan pembangunan millenium (mdgs) 2000-2015. pada tahun 2015, angka kematian ibu (aki) dan angka kematian bayi (akb) tertinggi terjadi di jawa tengah yaitu kasus 115 kasus. dilihat dari waktunya, aki tinggi terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan nifas, kematian tersebut rata-rata disebabkan oleh perdarahan dan infeksi. pada goals ketiga sdgs kesehatan yang baik (sistem kesehatan nasional) menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. salah satu target dari sdgs pada 2030, mengurangi angka kematian ibu hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup (ri kk, 2017). hasil penelitian di negara-negara berkembang berkisar antara 1% 2,4% dan di negara maju lebih rendah yaitu kurang dari 1% angka kejadian dari beberapa rumah sakit umum pemerintah di indonesia dilaporkan bahwa insidennya berkisar antara 1,7% sampai dengan 2,9% (metti, 2016). hasil penelitian di indonesia, totalnya 4.726 kasus plasenta previa. didapati dari total 4.409 kasus plasenta previa didapati 36 orang ibu meninggal (sumatera utara pk, 2014). berdasarkan data dari survey demografi dan kesehatan indonesia (sdki) tahun 2012, angka kematian ibu (aki) di indonesia mencapai 359/ 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (akb) mencapai 32/1000 kelahiran hidup. sedangkan menurut data dari rencana pembangunan jangka menengah nasional (rpjmn 2015-2019, perpres no.2/2015). salah satu upaya untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak adalah menurunkan angka kematian ibu (aki) menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2019 dan angka kematian bayi menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup (metti, 2016). hasil survey angka kematian ibu (aki) & angka kematian bayi (akb) yang dilakukan dinas kesehatan provinsi sumatera utara dengan fakultas kesehatan masyarakat universitas sumatera utara (fkm-usu) tahun 2010 menyebutkan bahwa angka kematian ibu (aki) di sumatera utara sebesar 268 per 100.000 kelahiran hidup (wibowo, 2012). provinsi yang memiliki hasil data yang terkena plasenta previa: lampung 2,12% (tianingsih, 2015), nusa tenggara barat (ntb dari tahun 2011 terdiri dari 63 kasus (2,68%) dari 2345 persalinan, kemudian meningkat pada tahun 2012 menjadi 101 kasus (3,73%) dari 2706 persalinan (wibowo, 2012). berdasarkan laporan dari data kabupaten/ 186 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 182–189 kota angka kematian ibu (aki) sumatera utara tahun 2014 hanya 75/100.000 kelahiran hidup (prawiroharjo, 2014). berdasarkan dari data survey awal yang dilakukan di rsuph.adam malik medan periode tahun 2016-2017ditemukan kasus ibu hamil yang mengalami plasenta previasebanyak 54 kasus. berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang “faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan periode tahun 2016-2017”. bahan dan metode desain penelitian yang digunaka n dalam melakukan penelitian ini adalah survei analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi, dengan pendekatan cross sectional secara pendekatan observasi yaitu melihat secara langsung, yang bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan periode 2016-2017 tahun 2018. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil yang mengalami plasenta previa yang tercatat di rekan medik di rsup h. adam malik medan yang berjumlah 54 orang dari tahun 2016-2017. sampel dalam penelitian ini diambil dari seluruh populasi dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara total population. data yang dikumpul ini adalah data skunder dan tersier. data sekunder adalah data yang diperoleh dari data rekam medik dari rsup h. adam malik medan dan data tersier diperoleh dari world health organization (who), dan survey demografi kesehatan indonesia (sdki) dan dinkes sumatera utara (maryuni, 2016). untuk membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat di gunakan analisis chi-square, pada batas kemaknaan perhitungan statistik dengan kepercayaan 95% dan  = 0,05. apabila hasil perhitungan menunjukan nilai p-value < (0,05) maka artinya kedua variabel secara statistik mempunyai hubungan yang signifikan. no riwayat persalinan plasenta previa jumlah pdengan perdarahan tidak perdarahan f % f % f % 1 sc 19 35,2 13 24,1 32 59,3 2 spontan 6 11,1 16 29,6 22 40,7 0.041 total 25 46,3 29 53,7 54 100 tabel 1 tabulasi silang hubungan faktor riwayat persalinan ibu hamil dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan periode tahun 2018 hasil penelitian tabel 2 tabulasi silang hubungan faktor riwayat abortus ibu hamil dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan periode tahun 2018 no riwayat abortus plasenta previa jumlah pdengan perdarahan tidak perdarahan f % f % f % 1 abortus 16 29,6 9 16,7 25 46,3 0,032 2 tidak abortus 9 16,7 20 37,0 29 53,7 total 25 46,3 29 53,7 54 100 187syafitri, suwardi, faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di ... berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi ibu hamil dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan tahun 2018, dari riwayat persalinan mayoritas pada riwayat persalinan sc sebanyak 32 responden (59,3%), dimana dengan perdarahan sebanyak 19 responden (35,2%) dan tidak perdarahan sebanyak 13 responden (24,1%), minoritas dengan riwayat persalinan spontan sebanyak 22 responden (40,7%), dimana dengan tidak perdarahan sebanyak 16 responden (29,6%) dan dengan perda rahan seba nyak 6 responden (11,1%). berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi ibu hamil dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan tahun 2018, dari riwayat abortus mayoritas pada riwayat tidak abortus sebanyak 29 responden (53,7%), dimana dengan tidak perdarahan sebanyak 20 responden (37,0%) dan dengan perda rahan seba nyak 9 responden (16,7%), dan minoritas dengan riwayat abortus sebanyak 25 responden (46,3%), dimana dengan perdarahan sebanyak 16 responden (29,6%) da n tida k perdara han sebanyak 9 r esponden (16,7%). hasil uji chi-square pada tingkat kepercayaan 95% dengan  = 0,05 didapatkan nilai p value 0,041 (pq), tabel 3 tabulasi silang hubungan usia ibu hamil dengan plasenta previa di rsup h. adam malik medan periode tahun 2018 no usia ibu plasenta previa jumlah pdengan perdarahan tidak perdarahan f % f % f % 1 < 20 tahun 16 29,6 9 16,7 25 46,3 0,032 2 20-35 tahun 9 16,7 20 37,0 29 53,7 total 25 46,3 29 53,7 54 100 sehingga memperlihatkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara faktor riwayat persalinan ibu hamil dengan plasenta previa. hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian ayu putri satrianingrum, atika yang dilakukan pada tahun 2012, tentang analisis faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya plasenta previa di kamar bersalin ird rsud dr. soetomo surabaya didapatkan hasil penelitian riwayat persalinan memiliki p value q), sehingga memperlihatkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara faktor riwayat abortus ibu hamil dengan plasenta previa. hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian siti maesaroh, yeni oktarina yang dilakukan pada tahun 2014 tentang faktor-faktor yang berhubungan kejadian plasenta previa di ruang bersalin rsud dr. h abdul moeloek provinsi lampung terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat keguguran ibu bersalin dengan kejadian plasenta previa (p-value = 0,015 < : 0,05). hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan faktor riwayat abortus dengan plasenta previa. hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa frekuensi plasenta previa meningkat pada bekas abortus, bekas seksio sesarea, kelainan janin, leioma uteri. penyebab secara pasti belum diketahui dengan jelas. menurut beberapa pendapat para ahli penyebab plasenta previa yaitu: plasenta previa merupakan implantasi di segmen bawah rahim dapat disebabkan oleh endometrium di fundus uteri belum siap menerima implantasi, endometrium yang tipis sehingga diperlukan perluasan plasenta untuk mampu memberikan nutrisi pada janin, dan vili korelasi pada chorion leave yang persisten. (imron, 2016) menurut asumsi penelitian faktor riwayat abortus yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa faktor riwayat abortus ibu hamil yang mengalami plasenta previa dengan perdarahan di rsup h. adam malik medan sebanyak 16 orang (29,6%), dikarenakan abortus akan dilakukan kuretage yang mengakibatkan perlukaan pada dinding endometrium uterus (rahim) sehingga dapat mengganggu vaskularisasi pada desidua sehingga kesuburan pada dinding endometrium semakin berkurang, sedangkan dalam kehamilan plasenta akan berusaha mencukupi kebutuhan janin sehingga pada dinding endometrium yang kurang subur plasenta akan memperluas diri menjadi menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. riwayat abortus yang tidak perdarahan 9 orang (16,7%), dikarenakan kemungkinan tempa t implantasi plasenta previa tidak terlalu menutupi ostium uteri dan diselingi dengan istirahat total. faktor riwayat tidak abortus ibu hamil yang mengalami plasenta previa dengan perdara han sebanya k 9 or ang (16,7%), karena ibu hamil yang memiliki usia dan paritas juga akan beresiko terkena plasenta previa. riwayat tidak abortus yang tidak perdarahan 20 orang (37,0). dikarenakan tidak adanya riwayat abortus sekalipun faktor riwayat lain dapat mengakibatkan plasenta previa seperti persalinan yang berulang, pola hidup yang tidak baik, pola aktivitas, bahkan usia dan paritas, yang dapat memicu terjadinya plasenta previa walaupun menurut beberapa buku belum diketahui pasti akibat pasti dari terjadinya plasenta previa tersebut. hasil uji statistik dengan chi-square pada q = 0,05 didapatkan nilai p value 0,032 (p>q), sehingga memperlihatkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara faktor usia ibu hamil dengan plasenta previa. hal ini sesuai dengan penelitian yang di laporkan oleh diana metti, dari 96 responden sebanyak 27 dari 64 orang (42,2%) ibu dengan umur resiko (<20 / >35 tahun) mengalami plasenta previa, sedangkan umur tidak beresiko (20-35 tahun), ada 5 dari 32 (15,6%) mengalami plasenta previa. salah satu penyebab plasenta previa yaitu umur kehamilan yang beresiko <20 atau >35 tahun. umur menikah <20 tahun dapat membahayakan nyawa ibu maupun janinnya karena endometrium masih belum matang, sedangkan umur yang menikah >35 tahun harus kemudian hamil harus berhati-hati karena terjadi penurunan fungsi organ 189syafitri, suwardi, faktor-faktor yang berhubungan dengan plasenta previa di ... reproduksi, salah satu akibatnya adalah jaringan rahim tidak lagi subur, sedangkan dinding rahim tempat menempelnya plasenta, ini yang menyebabkan terjadinya plasenta previa. berdasarkan teori yang ada pada usia >35 tahun di anggap fungsi fisik dan organ reproduksi sudah menurun atau berkurang. menurut asumsi peneliti umur berhubungan dengan terjadinya plasenta previa, ini dikarenakan semakin tuanya umur wanita yang hamil yaitu >35 tahun maka kesehatan dan fungsi alat reproduksinya menurun, dan skleorosis pembuluh darah arteri kecil dan arteriolmiometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga plasenta tumbuh lebih besar dengan luas permukaan yang lebih lebar, untuk mendapatkan aliran darah adekuat. usia ibu hamil >35 tahun akan lebih sering berpotensi mengalami plasenta previa, karena ibu sering mengalami komplikasi dalam kehamilan termasuk plasenta previa, semakin tinggi paritas semakin tinggi usia ibu. pada usia ini endometrium tidak dapat bekerja dengan maksimal akibat kesuburan tempat implantasinya plasenta sudah menurun. kesimpulan dari penelitian ini dapat di tarik kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara faktor riwayat persalinan ibu hamil dengan plasenta previa. dan ada hubungan yang signifikan antara faktor riwayat abortus ibu hamil dengan plasenta previa. serta ada hubungan yang signifikan antara faktor usia ibu hamil dengan plasenta previa. saran disarankan kepada tenaga kesehatan untuk selalu memberikan komunikasi informasi dan edukasi kepada ibu hamil yang melakukan rawat jalan antenatal care di rsup h. adam malik medan tentang perdarahan antepartum seperti plasenta previa sehingga dapat diantisipasi sedini mungkin. daftar pustaka iswara r. (2017).hubungan paritas ibu hamil dengan plasenta previa periode 2015-2016 di rsu sundari. wibowo ep.(2012).hubungan umur, jarak persalinan dan riwayat abortus dengan kejadian plasenta previa di rsu provinsi ntb. 2014;8(1978):5–10. satrianingrum ap, atika.(2012). analisis faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya plasenta previa. 2012;789:41–9. junita e.(2012).hubungan umur dan paritas ibu dengan kejadian plasenta previa di rsud rokan hulu. 2013;1(3):122–32. sujiyatini m, asri h. (2016).asuhan patologi kebidanan. yogyakarta: nuha medika. wiknjosastro h.(2014).ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. putri d.(2014).asuhan kebidanan patologi. tanggerang selatan. trianingsih i, mardhiyah d, budi a, kunci k. (2015). faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya kejadian placenta previa. 2015;23(2):103–13. astuti s. (2016). asuhan ibu dalam masa kehamilan. bandung. erlangga. kurniawan h.(2015). hubungan antara usia ibu dan paritas dengan kejadian plasenta previa di rumah sakit cut metia kabupaten aceh utara tahun 20122013. maesaroh s. (2014). faktor-faktor yang berhubungan kejadian plsaenta previa. metti d.(2016). hubungan umur dan paritas dengan kejadian plasenta previa pada ibu bersalin. j keperawatan; xii(1):112. ruqoiyah s. (2017). asuhan kebidanan kegawatdaruratan kehamilan pada ny. m dengan plasenta previa totalis di rsud k.r.m.t wongsonegoro kota semarang. 2016–7. badan penelitian dan pengembangan kesehatan. riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013. lap nas 2013. 2013;1–384. depkes. (2014). profil kesehatan provinsi sumatera utara tahun 2014. maesaroh s, oktarina y. (2016). faktor-faktor yang berhubungan kejadian plasenta previa. j aisyah j ilmu kesehat.1(1):87–92. trianingsih i, mardhiyah d, budi a, kunci k. (2015). faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya kejadian placenta previa factors.23(2): 103–13. muhammad i. (2016). panduan penyusunan karya tulis ilmiah bidang kesehatan menggunakan metode ilmiah. suroyo rb, editor. bandung: cipta pustaka media printis. norma n, dwi m. (2015). asuhan kebidanan patologi kebidanan dan tinjauan kasus. yogyakarta: nuha medika. nirwana ab. (2014). asi susu dan formula. yogyakarta: medika nuha; 125-126 p. * ) praktisi ners, ** ) stikes patria husada blitar 8 (the correlation between parenting and emotional intelligence of school age children) arista rachmawati *) , thatit nurmawati **) stikes patria husada blitar e-mail: dhyas_tha@yahoo.com abstract introduction: parenting is an interaction between the child’s parents and the parents include educating, guiding, disciplining and protecting children. chilren who reach school age children will learn the the principles and rules. the ability to control emotions depending on the level of intelligence emosinalnya includes recognizing, understanding, controlling and using emotion. the purpose of of this study was to determine the correlation between parenting parents with emotional intelligence in children of school age ( 7-12 years). method: research design was analytic with cross sectional approach. research sample was 97 in primary school of sambigede 03 blitar on may 14 th , 2012,its choosed with total sampling. data collected by questionnaire. analysis using spearmen rank test, with p≤0.0. result: the result showed that association between parenting with emotional intelligence in children of school age (7-12) years, with a = 0.000 and correlation coefficient of 0.633. discussion: parents with an authoritative parenting have good emotional intelligence children . keywords : parenting, emotional intelligence , school-age children pendahuluan keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil terbentuk oleh ikatan dua orang dewasa berlainan jenis kelamin, wanita dan pria serta anak-anak yang mereka lahirkan (poerwadarminta, 1988). keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. dalam keluarga umumnya anak berhubungan erat dengan anggota keluarga yang lain. fungsi keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan anak (kartono, 1992). dalam sebuah keluarga orang tua berperan sebagai pendidik. peran orang tua menjadi faktor terpenting dalam menanamkan dasar kepribadian tersebut dan turut menentukan corak serta gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa. jika anak itu dibiasakan dan diajari berbuat baik maka anak itu akan hidup berbahagia di dunia dan akhirat. orang tua kadang cenderung mencampurkan pola asuh satu dengan pola asuh yang lain, sehingga anak menjadi binggung dengan pola yang diterapkan orang tua. pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan meliputi orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (hurlock, 2002). baumrind (1971), dalam buku perkembangan anak, mengemukakan empat macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu: 1). autokratis/ototarian (otoriter): ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua dan kebebasan anak sangat di batasi. gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang tidak bisa bersaing secara sosial. 2). demokratis/otoritatif: ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua hubungan pola asuh dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p007-012 mailto:dhyas_tha@yahoo.com it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ arista rahmawati, thatit nurmawati jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 9 dan anak. anak yang memiliki orang tua otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi. gaya ini biasanya mengakibatkan perilaku anak yang bisa bersaing secara sosial. 3). permisif: ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berprilaku sesuai dengan keinginannya sendiri. hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. gaya pengasuhan ini biasanya mengakibatkan inkompetensi sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri. 4). laissez faire: ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya. anak – anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. gaya ini biasanya mengakibatkan inkompetensi sosial anak, terutama kurangnya pengendalian diri. anak adalah individu yang dilahirkan dari pasangan suami istri (poerwadarminta, 1988). anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja (gustian, 2001). anak dikatakan masa sekolah atau masa pra pubertas apabila wanita: 6–10 tahun, laki–laki : 8–12 tahun (tanuwijaya, 2002). pada usia anak 5 sampai 12 tahun anak mempelajari kaidah dan aturan yang mengendalikan suatu pekerjaan. bahkan anak usia lima tahun anak mulai mampu menjaga rahasia. ini adalah ketrampilan yang menuntut kemampuan menyembunyikan informasi-informasi secara terarah. jika fase ini dilalui secara alamiah dan sehat, saat anak mencapai usia enam tahun akan memiliki keterikatan yang baik dengan kedua orang tuanya dan dalam batas – batas tertentu akan terhindar dari ketakutan dan goncangan. ia akan memahami dengan baik emosi dan perasaannya serta mampu mengungkapkan dengan bahasa yang tepat. pada usia 7 sampai 8 tahun anak akan lebih bersinggungan dengan gagasan dan emosi. dari sinilah kita dapat mengetahui bahwa kecerdasan emosional pertama kali dibentuk dan dimulai. pada usia 9 sampai 10 tahun anak akan lebih emosional dan agresi (mubayidh, 2006). kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (goleman, 2000). suasana emosional di dalam rumah, dapat merangsang perkembangan otak anak yang sedang tumbuh dan mengembangkan kemampuan mentalnya. berdasarkan hasil penelitian yusniyah (2008), tentang hubungan pola asuh orang tua dengan prestasi belajar, menunjukkan ada hubungan yang positif dan signifikansi antara pola asuh dengan prestasi belajar. selain itu hasil penelitian marina dan sarwono (2007), menunjukkan bahwa ada hubungan antara kegiatan orang tua mendongeng sebagai pola asuh katagori otoritatif/demokratis) dengan kecerdasan emosional. bahkan ada hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pola asuh dengan kecerdasan emosional pada anak usia prasekolah (3–5 tahun). tidak seperti anak usia pra sekolah yang cenderung mengekpresikan emosinya secara spontan, anak usia sekolah sudah mulai dapat mengendalikan emosinya. anak usia sekolah telah mengetahui bahwa ia tidak dapat mengekspresikan emosinya tanpa memperhatikan lingkungannya. ia mulai belajar melampiaskan emosinya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungannya (gustian, 2001) dan mengemukakan pola asuh orangtua mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di sdn 03 sambigede kecamatan binangun kabupaten blitar pada tanggal 22 pebruari 2012, didapatkan data, bahwa penerapan pola asuh oleh orang tua jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah 10 siswa-siswi di sd tersebut berbedabeda. hal itu dikarenakan latar belakang keluarga dan lingkungan yang berbeda. seorang siswa mengatakan meskipun orang tuanya berdagang dipasar berangkat pagi dan pulang sore, orang tuanya tetap memberikan perhatian yang cukup, sedangkan siswa yang orang tuanya berdangang dari sore hingga malam tidak punya waktu yang cukup, itu membuat siswa tersebut menjadi nakal di sekolah. sedangkan seorang siswa yang tidak tinggal bersama orang tuanya tetapi tinggal bersama nenek dan kakeknya lebih pendiam dikarenakan aturan dari nenek dan kakeknya sangat disiplin, seperti setelah pulang sekolah harus langsung pulang,tidak boleh bermain kalau tidak hari minggu, harus menuruti perkataan nenek dan kakeknya. berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti tertarik untuk meneliti “hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional pada anak usia”. rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah (7-12 tahun) tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah (7-12 tahun). sedangkan tujuan khususnya adalah : 1) mengidentifikasi pola asuh orang tua 2) mengidentifikasi kecerdasan emosional anak usia 3) menganalisis hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah. manfaat penelitian ini secara teoritis untuk meningkatkan pemahaman tentang hubungan pola asuh orang tua terhadap kecerdasan emosional anak usia sekolah sehingga dapat digunakan sebagai wacana dalam mengembangkan ilmu keperawatan khususnya keperawatan anak dan sebagai acuan penelitian selanjutnya. manfaat praktis penelitian ini 1) diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana orang tua harus menerapkan gaya pengasuhan kepada anaknya agar dapat meningkatkan kecerdasan emosional. 2) pengembangan ilmu keperawatan anak dengan melibatkan keluarga sebagai sistem pendukung yang berperan lebih aktif untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak usia sekolah. bahan dan metode desain penelitian ini adalah cross sectional dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variable independen dan dependen hanya 1 kali dan pada jenis ini variabel independen dan dependen dinilai secara simultan. sampel penelitian ini sebanyak 97 siswa sd sambigede 03 kecamatan binangun kabupaten blitar tahun 2012. variabel bebasnya adalah pola asuh orang tua dan variabel tergantungnya adalah kecerdasan emosional pada anak usia sekolah. alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner untuk membedakan jenis pola asuh orang tua, dan mengisi kuesioner untuk mengukur kecerdasan emosional anak. pengumpulan data dilaksanakan tanggal 14-28 mei 2012. analisis data menggunakan spearman’s rho dengan p≤0,05. arista rahmawati, thatit nurmawati jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 11 hasil penelitian karakteristik siswa sdn sambigede 03 kabupaten blitar pada tanggal 14 mei 2012 seperti tabel di bawah ini. tabel 1 karakteristik anak usia sekolah no karakteristik f % 1 jumlah siswa per kelas kelas 1 kelas 2 kelas 3 kelas 4 kelas 5 kelas 6 16 16 14 18 15 18 16,5 16,5 14,4 18,6 15,5 18,6 2 jenis kelamin laki-laki perempuan 61 36 62,9 37,1 3 usia siswa (tahun) 7 8 9 10 11 12 17 8 14 17 14 27 17,5 8,2 14,4 17,5 14,4 27,8 4 urutan kelahiran anak ke 1 anak ke 2 anak ke 3 anak ke 4 44 35 15 3 45,4 36,1 15,5 3 tabel 2 pola asuh orang tua sdn sambigede 03 kabupaten blitar pada tanggal 14 mei 2012 no pola asuh orang tua f % 1 mengabaikan 1 1 2 permisif 6 6,2 3 otoritatif 48 49,5 4 otoritarian 42 43,3 tabel 3distribusi responden berdasarkan kecerdasan emosional no pola asuh orang tua f % 1 baik 55 56,7 2 cukup 41 42,3 3 kurang 1 1 tabel 4 hubungan pola asuh orang tua dan kecerdasan emosional anak usia sekolah (7-12 tahun) di sdn sambigede 03 kabupaten blitar tahun 2012. no kecerdasan emosional pola asuh orang tua mengabaikan permisif otoritatif otoritarian f % f % f % f % 1 eq baik 0 0 2 2,1 48 49,5 5 5 2 eq cukup 1 1,0 3 3,1 0 0 37 37 3 eq kurang 0 0 1 1,0 0 0 0 0 total 1 1,0 6 6,2 48 49,5 42 43,3 spearman rho: p value: 0,000 rs: 0,633 berdasarkan tabel 4 di atas dapat diketahui bahwa prosentase responden dengan pola asuh otoritatif dan mempunyai kecerdasan emosional baik sebesar 49,5% (48 responden). pada orang tua yang menerapkan pola asuh permisif, kecerdasan emosional anak terlihat kurang meskipun nilai prosentasenya kecil sebesar 1% (1 responden). dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi spearman’s rho dengan spss versi 16 didapat hasil p value adalah 0,000., yang berarti ada hubungan antara pola asuh jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah 12 orang dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). sedangkan nilai koefisien korelasi rs = 0,633 yang artinya ada derajat hubungan yang kuat antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). sehingga dapat disimpulkan bahwa, bila orang tuanya menerapkan pola asuhnya otoritatif maka kecerdasan emosional pada anak usia sekolah (7-12 tahun) di sdn sambigede 03 kabupaten blitar semakin baik. pembahasan pola asuh orang tua berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di sdn sambigede 03 kabupaten blitar bahwa dari 97 responden sebagian besar memakai pola asuh otoritatif yaitu sebesar 49,5% (48 responden). gaya pengasuhan juga tergantung dengan jenis kelamin, orang tua terkadang lebih lembut dengan anak perempuannya dan dengan anak lakilaki akan lebih disiplin (santrock, 2007). usia anak akan menentukan pengasuhan orang tua, ketika anak beranjak ke pertengahan dan akhir masa kanakkanak, orang tua akan menghabiskan waktu lebih sedikit dengan anaknya. walaupun orang tua menghabiskan waktu lebih sedikit tetapi orang tua tetap menjadi pelindung dan pengawas yang sangat penting untuk anak (santrok, 2007). orang tua yang masih memiliki anak pertama kali akan berusaha memberikan sebuah kebebasan yang membuat anak merasa bebas dalam memilih keinginannya tetapi masih ada batasan yang diberikan. orang tua dan anak pertama sering kali menjalin lebih erat disepanjang rentang hidup. orang tua memiliki harapan yang lebih besar kepada anak pertamanya (hurlock,2002). hasil tersebut sesuai dengan teori yang diungkapkan santrock (2007), yang menyebutkan bahwa pengasuhan otoritatif cenderung merupakan gaya yang paling efektif. melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya dan orang tua akan membantu mencari jalan keluarnya (shochib, 1998). orang tua katagori otoritatif dalam menghadapi sesuatu yang disebabkan oleh anak, selalu mendiskusikan kepada keluarganya, sehingga ini membantu anak memahami hubungan sosial dan apa yang dibutuhkan untuk menjadi orang berkompeten secara sosial, kehangatan dan keterlibatan orang tua yang diberikan oleh orang tua yang otoritatif membuat anak lebih bisa menerima pengaruh orang tua. kecerdasan emosional berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di sdn sambigede 03 kabupaten blitar bahwa dari 97 responden sebagian besar mempunyai kecerdasan emosional yang baik yaitu sebesar 56,7% (55 responden). kecerdasan emosional merupakan pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta mampu untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan orang lain maupun konfik di dalam keluarga antara orang tua dan anak. secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang disebut juga neo konteks). sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang (goleman, 2002). kecerdasan emosional juga membantu manusia mengarahkan dan mengendalikan emosinya (mubayidh, 2006). arista rahmawati, thatit nurmawati jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 13 menurut goleman (2002), beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu pengalaman, usia, jenis kelamin dan keluarga. salah satu faktor tersebut adalah usia, siswa yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan siswa yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru. selain usia, jenis kelamin, pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan kecerdasan emosional, tetapi prosentase wanita mungkin dapat lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi, walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok tersebut. kecerdasan emosional anak juga tergantung dengan urutan kelahiran anak, anak pertama cenderung ingin selalu diperhatikan apalagi jika mempunyai adik yang masih kecil, emosinya sering tidak terkontrol, cemburu dengan perhatian yang diberikan orang tuanya kepada anak yang terkecil dalam keluarga (mubayidh, 2006). hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional pada anak usia sekolah (7-12 tahun). berdasarkan hasil penelitian tabel 4 di sdn sambigede 03 kabupaten blitar diketahui bahwa hasil 49,5% (48 responden) berpola asuh otoritatif dan mempunyai kecerdasan emosional yang baik. pola asuh otoritatif mendorong anak untuk mandiri, namun masih menempatkan batas dan kendali pada tindakan mereka. melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya dan orang tua akan membantu mencari jalan keluarnya (shochib, 1998). sedangkan 5% (5 responden) berpola asuh otoritarian dan mempunyai kecerdasan emosional yang baik. sedangkan 37% (37 responden) berpola asuh otoritarian dan mempunyai kecerdasan emosional yang cukup. pola asuh otoritarian adalah gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan orang tua dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka (hurlock, 2002). adapula 2,1% (2 responden) berpola asuh permisif dan mempunyai kecerdasan emosional yang baik. ada3,1% (3 responden) yang berpola asuh permisif dan mempunyai kecerdasan emosional cukup. ada 1% (1 responden) yang berpola asuh permisif dan mempunyai kecerdasan emosional kurang. pola asuh permisif adalah suatu gaya dimana orang tua sangat terlibat dengan anak tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada mereka (hurlock, 2002). sedangkan 1% (1 responden) berpola asuh mengabaikan dan mempunyai kecerdasan emosional yang cukup. gaya ini dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada diri mereka (hurlock, 2002). menurut mussen (1994), pola asuh orang tua adalah suatu cara yang digunakan orang tua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak-anaknya mencapai tujuan yang diinginkan. menurut goleman (2002), terdapat perbedaan tingkat kecerdasan emosional beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu, usia dan jenis kelamin serta keluarga. pertama faktor usia, siswa yang lebih tua dapat sama baiknya atau lebih baik dibandingkan siswa yang lebih muda dalam penguasaan kecakapan emosi baru. penelitian yang dilakukan oleh mubayidh (2006) terhadap 3.831 responden, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kecerdasan emosional manusia akan bertambah tinggi seiring dengan bertambahnya usia. kecerdasan emosional manusia akan terus berkembang sampai usia sekitar 40 50 tahun. hal ini menunjukan bahwa semakin bertambahnya usia, anak mampu mengendalikan atau mengontrol emosionalnya. kedua jenis kelamin, pria dan wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam hal meningkatkan jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak usia sekolah 14 kecerdasan emosional, tetapi prosentase wanita mungkin dapat lebih tinggi dibanding kaum pria dalam beberapa ketrampilan emosi, walaupun secara statistik ada perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok tersebut. dalam penelitian yang dilakukan mubbayid (2006) terhadap 4.500 lakilaki dan 3.200 perempuan dengan membandingkan kecerdasan emosional mereka, dinyatakan bahwa perempuan lebih mampu mengenali emosi dan perasaan mereka sendiri dan orang lain dibanding dengan kaum lelaki. tetapi pada laki-laki lebih menghormati harga diri mereka. dibandingkan perempuan,mereka dapat berfikir kritis dan lebih mampu menghadapi kesulitan, tantangan dan kegelisahan. serta keluarga, kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi spearman’s rho didapat hasil p value adalah 0,000. karena nilai p ≤ 0.05 maka ho ditolak, artinya ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). sedangkan nilai koefisien korelasi rs = 0,633 yang artinya ada derajat hubungan yang cukup kuat antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional anak pada usia sekolah (7-12 tahun). nilai koefisien korelasi adalah possitif berarti semakin pola asuhnya baik maka semakin tinggi kecerdasan emosional pada anak. hasil ini sesuai dengan yang diungkapkan shochib (1998), bahwa pola asuh yang dianggap efektif diterapkan kepada anak adalah demokratis (otoritatif). pada pola asuh ini orang tua memberikan kontrol kepada anaknya dalam batas-batas tertentu, aturan-aturan untuk hal-hal tertentu saja, dengan tetap menunjukkan dukungan, cinta dan kehangantan kepada anaknya. melalui pola asuh ini anak juga dapat merasa bebas mengungkapkan kesulitannya dan orang tua akan membantu mencari jalan keluarnya. menurut hart, newell & olsen; steinberg & silk, dalam buku perkembangan anak (2002), pengasuhan otoritatif cenderung merupakan gaya yang paling efektif karena orang tua yang otoritatif menerapkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi, sehingga memberi anak kesempatan untuk membentuk kemandirian anak, kehangatan dan keterlibatan orang tua yang diberikan oleh orang tua yang otoritatif membuat anak lebih bisa menerima pengaruh orang tua. adanya hubungan ini menunjukan bahwa pola asuh orang tua cukup memengang peranan dalam menentukan kecerdasan emosional pada anak, meskipun sebenarnya pola asuh dan kecerdasan emosional dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. faktor tersebut dapat berasal dari dalam dan luar individu sendiri. faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional antara lain, faktor fisik dan psikis. faktor psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga (masyarakat, sekolah, dll). simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua pada anak usia sekolah (7-12 tahun) di sdn sambigede 03 kabupaten blitar 49,8% (48 responden) dalam katagori pola asuh otoritatif, kecerdasan emosional anak usia sekolah (7-12) di sdn sambigede 03kabupaten blitar 49,5% (48 responden) termasuk dalam katagori kecerdasan emosional baik, ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional pada anak usia sekolah (7-12 tahun) di sdn sambigede 03 kabupaten arista rahmawati, thatit nurmawati jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 15 blitar dengan nilai p value = 0,000 dan koefisien korelasi sebesar 0,633 ( koefisien korelasi cukup). saran petugas kesehatan, diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memberikan bimbingan konseling tentang pola asuh orang tua dan kecerdasan emosional. penelitian selanjutnya, penelitian ini dapat data awal. orang tua dapat menerapakan pola asuh yang efektif sejak usia dini. referensi dariyo, a 2004, psikologi perkembangan remaja, ghalia indonesia, bogor selatan. goleman, d 2002, emotional intelegence, kecerdasan emosional,mengapa ei lebih penting dari iq, gramedia utama jakarta. gustian, e 2001, mempersiapkan anak masuk sekolah, puspa swara, jakarta. hurlock, eb 1997. psikologi perkembangan, edisi 5. jakarta: penerbit erlangga. hurlock, eb 2002, perkembangan anak, jilid 2, edisi 6, penerbit erlangga, jakarta. kartono, k 1992, peran keluarga memandu anak, rajawali press, jakarta. mubayidh, m 2006, kecerdasan dan kesehatan emosional anak, pustaka al-kautsar, jakarta. mussen 1994, perkembangan dan kepribadian anak, arcan, jakarta. poerwadarminta, wjs 1976, kamus besar bahasa indonesia, balai pustaka, jakarta. santrock, jw 2007, child development: perkembangan anak jilid 2, erlangga, jakarta. shochib, m 1998, pola asuh orang tua, rineka cipta, jakarta. tanuwidjaya, s 2002, tumbuh kembang anak dan remaja, sagung seto, jakarta. yusniah 2008,’hubungan pola asuh orang tua dengan prestasi belajar siswa mts al-falah, jakarta timur’, skripsi, fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan jurusan pendidikan agama islam, universitas islam negeri syarif hidayatullah, jakarta. 144 pengaruh pemijatan terhadap kualitas tidur bayi usia 3-4 bulan di posyandu gelatik dan nuri kelurahan tanjungunggat wilayah kerja puskesmas sei jang kota tanjungpinang tahun 2014 (the effects of massage on the quality of sleeping in babies 3-4 months old at gelatik and nuri ihcs of tanjung unggat village of tanjungpinang in 2014) utami dewi, fidyah aminin, harvensica gunnara poltekkes kemenkes tanjungpinang utamidewi_poltek@yahoo.co.id abstract: sleep is an essential need that must be met, especially in the development phase since brain and body development will occur during sleep. thus, sleep disturbance is a problem that will cause adverse effects on growth and development, especially for babies. sleep quality for babies can be improved by providing baby massage on a regular basis. the purpose of this study was to prove whether there were differences in sleep quality before and after the massage in babies aged 3-4 months in gelatik and nuri ihc (integrated health center) of tanjungunggat village of tanjungpinang municipality. design: this was a quasi experiment study with a pretest-posttest method. the sample consisted of 17 respondents selected by purposive sampling technique. the statistical test used in this study was a dependent t-test with a significance level of 0.05.result: the results showed that there was no significant difference between baby sleep duration before and after the massage (p = 0.414). however, there was significant difference between the frequency of waking up before and after the massage (p = 0.001) and there was a significant difference between the duration of waking up before and after the massage (p = 0.046. discuss: based on the results of this study, it is suggested that mothers should improve their knowledge on the importance of baby massage provided by health professionals and the health professionals should provide and demonstrate clear, complete and sustained information to the mothers and other related parties surrounding the ihc. keywords: quality of sleep, massage, babies aged 3-4 months convention on the right of the child (crc) yang telah disahkan oleh majelis umum perserikatan bangsa-bangsa (pbb) tahun 1989 mencakup tiga nilai utama yaitu perlindungan (protection), nilai kelangsungan hidup (survival) dan nilai perkembangan (development) anak. pemerintah indonesia sebagai salah satu negara yang telah memantapkan crc sebagai undang-undang republik indonesia yaitu nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (abidin, 2009) tidak dapat dipungkiri bahwa anak merupakan tumpuan harapan masa depan. kelangsungan hidup anak masih menjadi barang mahal, khususnya di beberapa negara. ancaman terhadap kelangsungan hidup anak tercermin pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan. upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih dalam kandungan sampai lima tahun pertama kehidupannya ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya. kualitas tumbuh kembang balita di indonesia perlu mendapatkan perhatian serius yang salah satunya adalah stimulasi yang mailto:utamidewi_poltek@yahoo.co.id acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p230-235 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 145 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.144-150 memadai artinya merangsang otak balita sehingga perkembangan kemampuan gerak, bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian pada balita berlangsung secara optimal sesuai dengan umur anak. aktifitas tidur merupakan salah satu stimulus bagi proses tumbuh kembang otak, karena 75 persen hormon pertumbuhan dikeluarkan pada saat anak tidur. hormon pertumbuhan ini yang bertugas merangsang pertumbuhan tulang dan jaringan. selain itu, hormon pertumbuhan juga memungkinkan tubuh memperbaiki dan memperbarui seluruh sel yang ada di tubuh, dari sel kulit, sel darah sampai sel saraf otak. proses pembaruan sel ini akan berlangsung lebih cepat bila si bayi sering terlelap sesuai dengan kebutuhan tidur bayi. selain itu, tidur juga membantu perkembangan psikis emosi, kognitif, konsolidasi pengalaman dan kecerdasan. oleh karena itu kebutuhan tidur pada bayi sesuai usianya perlu mendapat perhatian dari keluarga agar nantinya bayi dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (hurlock, 1997) kualitas tidur bayi tidak hanya berpengaruh pada perkembangan fisik, tapi juga sikapnya keesokan hari. bayi yang tidur cukup tanpa sering terbangun akan lebih bugar dan tidak gampang rewel. bayi dikatakan mengalami gangguan tidur jika pada malam hari tidurnya kurang dari 9 jam, terbangun lebih dari 3 kali dan lamanya terbangun lebih dari 1 jam. selama tidur bayi terlihat selalu rewel, menangis dan sulit tidur kembali. (wahyuni, 2008) bayi sekitar umur 3-4 bulan memerlukan waktu untuk tidur kurang lebih 18 jam perhari dan waktu yang tersisa untuk bayi adalah bermain dan melakukan aktifitas yang membuat bayi nyaman, misalnya bercengkrama dengan ibu dan anggota keluarga. tetapi masalah yang dialami ibu lainnya adalah permasalahan bagi bayi yang sulit sekali untuk tidur di malam hari dan jika tidak ditangani dengan serius ada gangguan perilaku, tumbuh kembang serta gangguan otak (ismael, 1994) kualitas dan kuantitas tidur bayi dipengaruhi oleh beberapa faktor. kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya yaitu lingkungan, latihan fisik, nutrisi dan penyakit. mengingat akan pentingnya waktu tidur bagi perkembangan bayi, maka kebutuhan tidurnya harus benarbenar terpenuhi agar tidak berpengaruh buruk terhadap perkembangannya. salah satu cara yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan latihan fisik atau pijatan. bayi yang dipijat akan dapat tidur dengan lelap, sedangkan pada waktu bangun, daya konsentrasinya akan lebih penuh (roesli, 2001) menurut undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009, pijat bayi merupakan pelayanan kesehatan tradisional yang termasuk dalam jenis keterampilan. pijat bayi ini sesuai dengan permenkes nomor 1109 tahun 2007 dapat dikategorikan kedalam pengobatan komplementer-alternatif karena sudah diperoleh melalui pendidikan terstruktur yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik. pijat bayi adalah suatu bentuk permainan gerakan pada bayi, untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan serta kemampuan pergerakan bayi secara optimal (sutini, 2008) berdasarkan wawancara yang dilakukan di 6 puskesmas yang ada di kota tanjungpinang didapat informasi bahwa pijat bayi belum dilakukan secara rutin dalam kegiatan pelayanan kia, dari data jumlah bayi yang lahir pada bulan januari-maret 2014 di kota tanjungpinang terbanyak di puskesmas sei jang yaitu 417 kelahiran bayi dan jumlah bayi terbanyak ada di posyandu gelatik dan nuri. berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh pemijatan terhadap kualitas tidur bayi usia 3-4 bulan. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperiment dengan rancangan one group pre and post test design yaitu observasi dilakukan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada responden. penelitian ini dilakukan di posyandu gelatik dan nuri kelurahan tanjungunggat wilayah kerja puskesmas sei jang kota tanjungpinang bulan september-november 2014 populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi berusia 3-4 bulan di posyandu dewi, aminin dan gummara, pengaruh pijat bayi terhadap……146 gelatik dan nuri kelurahan tanjungunggat wilayah kerja puskesmas sei jang kota tanjungpinang berjumlah 17 orang teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cara non probability sampling-purpossive sampling type dimana peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif, bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian. adapun yang termasuk kriteria dalam penelitian ini adalah: a. bayi usia 3-4 bulan b. bayi dalam keadaan sehat c. berat badan sesuai dengan umur d. bayi masih mendapatkan asi e. ibu bayi bersedia menjadi responden teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara oleh peneliti dan observasi oleh ibu bayi. wawancara dengan menggunakan lembar pedoman wawancara yang dilakukan pada awal penelitian untuk mengetahui tentang identitas responden, kebiasaan minum susu bayi, kesehatan bayi, berat badan bayi saat penelitian dan kesediaan ibu untuk dilakukan pemijatan. data dikumpulkan melalui observasi pada responden yang diteliti. pada pretest responden diobservasi kualitas tidur satu hari sebelum dilakukan pemijatan meliputi lama tidur, frekuensi terbangun, dan lama terbangun selama 24 jam yang dilakukan oleh ibu bayi. pada posttest responden setelah diberi perlakuan pemijatan setiap hari selama 6 hari diobservasi kualitas tidurnya, meliputi lama tidur, frekuensi terbangun dan lama terbangun selama 24 jam yang dilakukan oleh ibu bayi. pemijatan dilakukan oleh peneliti. sebelum dilakukan observasi ibu bayi diberikan pengarahan mengenai cara mengobservasi kualitas tidur. analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap meliputi a. univariabel dilakukan dengan statistik deskriptif untuk melihat frekuensi dan distribusi variabel bebas, variabel terikat yang diteliti. tabel frekuensi digunakan untuk menggambarkan karakteristik subjek penelitian dengan melakukan pengkategorian variabel yang dianalisis. gambaran karakteristik subjek meliputi kualitas tidur bayi dilihat dari lama tidur, frekuensi terbangun dan lama terbangun. b. bivariabel dengan mengidentifikasi hubungan antara variabel bebas (pemijatan bayi) dengan variabel terikat (kualitas tidur). uji statistik yang digunakan adalah t-test dependent dengan tingkat signifikansi 0,05. hasil penelitian responden pada penelitian ini berjumlah 17 orang. karakteristik responden ditunjukkan dalam tabel 1 dibawah ini tabel 1 distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin bayi, pendidikan dan pekerjaan ibu karakteristik responden frekuensi persen (%) jenis kelamin perempuan laki-laki 11 6 64,7 35,3 pendidikan sd sltp slta akademi 1 2 13 1 5,9 11,7 76,5 5,9 pekerjaan bidan irt swasta 1 14 2 5,9 82,3 11,8 tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah bayi perempuan lebih banyak yaitu 64,7% dibanding laki-laki 35,3%, analisis tingkat pendidikan ibu, sebagian besar ibu bayi dengan pendidikan slta (76,5%). tingginya tingkat pendidikan responden seharusnya tidak menjadi masalah bagi pemberi pelayanan kesehatan memberikan informasi atau pendidikan kesehatan. pekerjaan ibu terbanyak adalah ibu rumah tangga sebesar 82,3% tabel 2 distribusi lama tidur bayi usia 3-4 bulan sebelum dan sesudah pemijatan variabel mean beda sd n p 147 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.144-150 lama tidur sebelum 10.06 0,32 1.676 17 0.414 lama tidur sesudah 10.38 0.781 17 tabel 2 menunjukkan bahwa dari 17 responden sebelum dilakukan pemijatan, ratarata lama tidur bayi adalah 10.06 jam dimalam hari dengan standar deviasi 1,676 dan sesudah dilakukan pemijatan rata-rata lama tidur bayi adalah jam 10.38 jam dimalam hari dengan standar deviasi 0,781. dari hasil uji t-test didapatkan nilai p = 0,414 dimana p > 0,05 maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama tidur bayi sebelum dan sesudah pemijatan. tabel 3 distribusi frekuensi terbangun bayi usia 3-4 bulan sebelum dan sesudah pemijatan variabel mean beda sd n p frekuensi terbangun sebelum 2.88 0,82 1.166 17 0.001 frekuensi terbangun sesudah 2.06 0.899 17 tabel 3 diatas menunjukkan bahwa dari 17 responden sebelum dilakukan pemijatan rata-rata frekuensi terbangun bayi adalah 2.88 kali/hari dengan standar deviasi 1,166 dan sesudah dilakukan pemijatan, ratarata frekuensi terbangun bayi adalah 2.06 kali/hari dengan standar deviasi 0,899. dari hasil uji t-test didapatkan nilai p = 0,001 dimana p < 0,05, maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna antara frekuensi terbangun bayi dimalam hari sebelum dan sesudah pemijatan. . tabel. 4 distribusi lama terbangun bayi usia 3-4 bulan sebelum dan sesudah pemijatan variabel mean beda sd n p lama terbangun sebelum 13.82 2,64 8.755 17 0.046 lama terbangun sesudah 11.18 7.812 17 tabel 4 menunjukkan bahwa dari 17 responden sebelum dilakukan pemijatan, ratarata lama terbangun responden adalah 13.82 menit dengan standar deviasi 8,755 dan sesudah dilakukan pemijatan rata-rata lama terbangun responden adalah 11.18 menit dengan standar deviasi 7,812. dari hasil uji ttest didapatkan nilai p = 0,046 dimana p < 0,05, maka dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna antara lama terbangun bayi dimalam hari sebelum dan sesudah pemijatan. pembahasan kualitas tidur berdasarkan lama tidur bayi tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan (perry et al, 2006). jumlah lama tidur tiap kelompok usia juga berbeda-beda tergantung faktor fisik, psikis dan lingkungan. bayi umur 3-4 bulan memerlukan waktu tidur kurang lebih 16,5 jam perhari dan waktu yang tersisa untuk bayi adalah bermain dan melakukan aktifitas yang membuat bayi nyaman, misalnya bercengkrama dengan ibu dan anggota keluarga (ismael, 1994) dewi, aminin dan gummara, pengaruh pijat bayi terhadap……148 berdasarkan hasil penelitian ada peningkatan rata-rata lama tidur bayi sebelum dan sesudah pemijatan. penelitian ini dilakukan pada bayi-bayi tanpa gangguan tidur sehingga secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama tidur bayi sebelum dan sesudah pemijatan. penelitian yang sama dilakukan oleh roekistiningsih (2006) bahwa ada peningkatan lama tidur bayi sebelum dipijat yaitu 10,79 jam dan 12,91 jam setelah dilakukan pemijatan namun secara statistik tidak ada perbedaan lama tidur pada bayi yang diberi perlakuan pemijatan dan yang tidak diberi pemijatan. peningkatan lama tidur pada bayi yang diberi pemijatan tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan kadar sekresi serotonin yang dihasilkan pada saat pemijatan. serotonin merupakan zat transmitter utama yang menyertai pembentukan tidur dengan menekan aktivitas sistem pengaktivasi retikularis maupun aktivitas otak lainnya, serotonin yang disintesis dari asam amino triptrophan akan diubah menjadi 5hidroksitriptophan (5htp) kemudian menjadi n-asetil serotonin yang pada akhirnya berubah menjadi melatonin. melatonin mempunyai peran dalam tidur dan membuat tidur lebih lama (pierpoli et al, 1995). dengan pemijatan yang diberikan akan terjadi dilatasi pembuluh darah, dimana sirkulasi darah akan meningkat. sirkulasi darah yang lancar akan membutuhkan o2 yang lebih banyak dalam aliran darah, kebutuhan o2 yang meningkat akan dikirim keseluruh tubuh, tidak terkecuali lebih banyak dikirim ke otak sehingga memacu sistem sirkulasi dan respirasi menjadi lebih baik. proses ini akan meningkatkan jumlah tidur bayi (nuviala,1992). terdapat beberapa faktor yang ikut mempengaruhi lama tidur bayi mencakup faktor internal dan eksternal. faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan, lingkungan yang ramai dan tidak kondusif akan mempengaruhi lama tidur bayi tersebut. pada penelitian ini faktor lingkungan tidak dikendalikan secara ketat, sehingga ketika dilakukan pemijatan tidak terdapat perubahan lama tidur yang berarti. kualitas tidur berdasarkan frekuensi terbangan kualitas tidur bayi adalah mutu atau keadaan fisiologis tertentu yang didapatkan selama seseorang tertidur, yang memulihkan proses-proses tubuh yang terjadi pada waktu orang itu bangun. jika kualitas tidurnya bagus artinya fisiologi/faal tubuh dalam hal ini sel otak misalnya pulih kembali seperti semula saat bangun tidur (candra, 2005). pada penelitian ini bayi yang mendapatkan perlakuan pijat bayi mengalami penurunan frekuensi terbangun dan tidur lebih nyenyak. rata-rata frekuensi terbangun sebelum dipijat 2,88 mengalami penurunan menjadi 2.06. bayi dikatakan terganggu tidurnya apabila terbangun lebih dari 3 kali, pada penelitian ini frekuensi terbangun bayi masih dalam batas normal. setelah mendapat perlakuan pemijatan. pijatan dapat mengubah gelombang otak, pijat bayi akan membuat bayi tidur lebih lelap dan meningkatkan kesiagaan (allertness) atau konsentrasi karena dapat mengubah gelombang otak dengan cara menurunkan gelombang beta serta tetha. menurut staeker, p. (1999), yang menyatakan bahwa pijat dapat mempengaruhi keluarnya hormon tidur (melatonin), dimana dengan hormon tersebut bayi dapat memiliki pola tidur yang teratur. melatonin adalah hormon utama yang dihasilkan oleh kelenjar pineal. sekresinya distimulasi oleh gelap dan dihambat oleh cahaya, melatonin ini meningkat pada malam hari, produksi melatonin meningkat bila reseptor sel tubuh manusia menangkap pesan bahwa intensitas cahaya mulai berkurang. manfaat lain melatonin adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan air, meningkatkan imun tubuh, menimbulkan relaksasi otot dan menghilangkan ketegangan. kebiasaan minum susu sebelum tidur juga akan berpengaruh terhadap kualitas tidur karena susu mengandung alfa protein yang dapat meningkatkan kadar triptophan, tryptophan merupakan prekursor dari hormone melatonin dan serotonin yang bertugas sebagai penghubung antar syaraf (neurotransmitter) serta pengatur kebiasaan (neurobehavioral) yang berpengaruh pada pola kesadaran sehingga membuat bayi akan lebih sering terbangun dimalam hari. pada penelitian ini kebiasaan minum susu sebelum 149 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.144-150 tidur tidak dikendalikan secara ketat karena observasi frekuensi bayi terbangun dimalam hari dilakukan oleh ibu bayi. berdasarkan data pendukung dari hasil wawancara dengan ibu masing-masing bayi didapatkan data bahwa bayi mereka tidurnya lebih tenang, lebih aktif bermain disiang hari dan banyak yang sudah mulai dapat menyebutkan 1 sampai 2 suku kata. hal ini sesuai dengan pendapat wahyuni (2008) bahwa kualitas tidur bayi tidak hanya berpengaruh pada perkembangan fisik, tapi juga sikapnya keesokan hari. bayi yang tidur cukup tanpa sering terbangun akan lebih bugar dan tidak gampang rewel dan tidak memerlukan tidur siang yang melebihi kebutuhan sesuai dengan perkembangannya. kualitas tidur berdasarkan lama terbangun kualitas tidur bayi ditentukan oleh adanya gangguan tidur, bayi dikatakan mengalami gangguan tidur jika lama terbangunnya dimalam hari lebih dari 1 jam. hasil analisis data lama bayi terbangun dimalam hari sebelum pemijatan mengalami penurunan dari rata-rata lama terbangun 13,82 menjadi 11,18 setelah dilakukan pemijatan. hal ini juga sesuai dengan penelitian martini dkk (2014) bahwa bayi yang diberi asi sebelum tidur, tidurnya akan lebih nyenyak dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi asi sebelum tidur. kebiasaan minum susu sebelum tidur berpengaruh terhadap kualitas tidur bayi karena asi terbukti mengandung alfa protein yang cukup tinggi, alfa protein merupakan protein utama pada whey protein yang merupakan protein halus dan mudah dicerna. alfa protein kaya akan asam amino essensial yang sangat berguna untuk tumbuh kembang bayi, terutama tripthopan. tripthopan adalah asam amino yang berperan dalam proses neurotransmitter dan pengatur pola hidup dimana salah satu fungsinya adalah mengatur pola tidur. bayi yang sulit tidur atau sering terbangun dari tidurnya karena merasa belum kenyang. karena itu, penuhi kebutuhan makan dan minum bayi sebelum tidur. jika kebutuhan fisiknya dipenuhi, si kecil tidak lagi sering terbangun di tengah malam. terbangunnya bayi di malam hari sebenarnya merupakan hal yang wajar, bila kurang dari satu jam. hal ini dikarenakan bayi membutuhkan asi sebagai sumber nutrisi. lain halnya dengan bayi yang terjaga di malam hari untuk melakukan aktifitas lain misalnya bermain. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dikemukakan maka dapat disimpullkan bahwa:lama tidur bayi sesudah pemijatan mengalami peningkatan 0,32 jam dibandingkan sebelum pemijatan, tidak ada perbedaan yang bermakna antara lama tidur bayi sebelum dan sesudah pemijatan (p = 0,414), frekuensi terbangun bayi dimalam hari sesudah pemijatan mengalami penurunan 0,82 kali dibandingkan sebelum pemijatan, ada perbedaan yang bermakna antara frekuensi terbangun bayi sebelum dan sesudah pemijatan (p = 0,001), lama terbangun bayi dimalam hari sesudah pemijatan mengalami penurunan 2,64 menit dibandingkan sebelum pemijatan, ada perbedaan yang bermakna antara lama terbangun sebelum dan sesudah pemijatan (p = 0,046). saran berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian mengenai kualitas tidur bayi, saran yang dapat dipertimbangkan adalah: meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya pijat bayi oleh tenaga kesehatan dengan memberikan informasi dan demonstrasi yang jelas, lengkap dan berkelanjutan, sebagai sasaran yaitu kader posyandu dan ibu-ibu yang memiliki bayi serta keluarga lainnya, perlu penelitian lebih lanjut mengenai kualitas tidur bayi dengan memperhatikan variabel pengganggu lain seperti lingkungan, nutrisi dan penyakit pada bayi. daftar rujukan abidin, z. (2009) perlindungan anak dan implementasinya. tersedia dalam: http://www.kabarindonesia.com/beritap rint.php. diakses 2 oktober 2014 badan pusat statistik & macro international (2012) survei demografi dan kesehatan indonesia 2007. calverton, maryland, usa: bps dan macro international http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php dewi, aminin dan gummara, pengaruh pijat bayi terhadap……150 graham, j dan charles, e.s., (2002) panduan sehat dan bijak menidurkan bayi. jakarta: prestasi pustakaraya gunadi, tri.(2009). my baby. jakarta : penebar plus. harley, s. (2003) tangan-tangan lembut: pijatan sehat untuk anak. jakarta: pt. elex media komputindo hurlock, e.b (1997) psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, edisi kelima. jakarta: erlangga prasetyawati, a.e., (2012) kesehatan ibu dan anak (kia) dalam millenium development goals (mgds). yogyakarta: nuha medika ria, lia. (2010). hubungan pijat bayi dengan kualitas tidur bayi umur 6-12 bulan di desa kertosari kecamatan singorejo kabupaten kendal. skripsi tidak diterbitkan. program studi s 1 keperawatan. universitas muhammadiyah semarang. martini, dkk. (20014). pengaruh pijat bayi terhadap kuantitas tidur bayi usia 3-6 bulan di desa munungrejo kecamatan ngimbang kabupaten lamongantersedia dalam http://stikesmuhla.ac.id/wpcontent/uploads/jurnalsurya/noxviii/10 9-115-jurnal-diah-e.m.pdf, diakses 4 april 2014. musrifatul, u. dan alimul, a. (2008) ketrampilan dasar praktik klinik untuk kebidanan.: jakarta: salemba medika. novianti, s.w. (2006) pengaruh terapi pijat dalam penurunan frekuensi bab dan tingkat dehidrasi pada anak usia 0-2 tahun dengan diare di rsud cibabat cimahi. tersedia dalam http://stikesayani.ac.id/publikasi/ejournal/files/2010/201008/201008003.pdf. diakses 4 april 2014. peraturan menteri kesehatan nomor 1109/menkes/per/ix/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. prasetyono,ds., (2013). buku pintar pijat bayi. jogjakarta : buku biru roesli, u., (2007) pedoman pijat bayi prematur dan bayi usia 0-3 bulan. jakarta. trubus agro wijaya sastroasmoro, s. dan ismael, s. (2008) dasardasar metodelogi penelitian klinis. jakarta: sagung seto undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak utomo, b. (1988) kematian bayi dan anak di indonesia, beberapa implikasi kebijakan. dalam singarimbun, m., ed. kelangsungan hidup anak. yogyakarta: gajah mada university press widodo, a. (2012) efektivitas baby spa terhadap lamanya tidur bayi usia 3 sampai 4 bulan. dibuka tanggal 20 agustus 2014 publikasiilmiah.ums .ac.id/bitstream/handle/ 123456789 /3316/12.20agus%20widodo.pdf?s equence=1. http://stikesmuhla.ac.id/wp-content/uploads/jurnalsurya/noxviii/109-115-jurnal-diah-e.m.pdf http://stikesmuhla.ac.id/wp-content/uploads/jurnalsurya/noxviii/109-115-jurnal-diah-e.m.pdf http://stikesmuhla.ac.id/wp-content/uploads/jurnalsurya/noxviii/109-115-jurnal-diah-e.m.pdf http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/files/2010/201008/201008-003.pdf http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/files/2010/201008/201008-003.pdf http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/files/2010/201008/201008-003.pdf 93sari, perbedaan penggunaan facebook dan ... 93 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk perbedaan penggunaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja usia 15-17 tahun levi tina sari 1program studi d-3 kebidanan, stikes patria husada blitar, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 11-03-2019 disetujui, 01-04-2019 dipublikasi, 01-04-2019 kata kunci: facebook, instagram, perilaku seks bebas, remaja abstrak pada era globalisasi ini banyak remaja menghabiskan waktu dengan jejaring sosial. era dimana informasi seluruh dunia terbuka untuk semua orang. instagram menjadi media sosial yang paling banyak digunakan sebesar 82%, sedangkan facebook pada urutan kedua yaitu sebesar 66%, dan di urutan terakhir ada path sebanyak 49%. instagram dan facebook banyak diminati oleh masyarakat khusunya remaja, sehingga akan menimbulkan perilaku negatif salah satunya seks bebas. tujuan penelitian ini adalah menganalisis perbedaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja usia 15-17 tahun. desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional. populasi dalam penelitian adalah remaja pertengahan usia 15-17 tahun sebanyak 20 orang, dengan tehnik sampling yaitu tottally sampling. sampel yang didapat sebeasar 20 responden. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara penggunaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja, dengan demikian beberapa konten dalam facebook dan instagram seharusnya mempunyai batasan atau lock agar remaja yang dibawah umur 18 tahun tidak dapat mengakses konten pornografi, serta sejak dini remaja diikutsertakan dalam ukm pik-r agar dapat mencegah free sex. correspondence address: stikes patria husada blitar east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: levitinasari@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p093–100 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2019 jurnal ners dan kebidanan https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 093–100 abstract in this globalization era, many teenagers spend time with social networks. the era where information throughout the world is open to everyone. instagram is the most widely used social media at 82%, while facebook is in second place at 66%, and in the last place there are 49% of paths. instagram is popular with many people, especially teenagers, so it will cause negative behavior, one of which is freesex. the purpose of this study was to analyze the differences between facebook and instagram on free sex behavior of adolescents aged 15-17 years. the design used in this study was observational. the population in the study were 20 middle age adolescents aged 15-17 years, with sampling techniques namely tottally sampling. the sample obtained was 20 respondents the results of the study prove that there is an different between the use of facebook and instagram on adolescent free sex behavior, thus some content on facebook and programs should have a limit or lock so that adolescents under the age of 18 cannot access pornographic content, and early teens are included in pikr organization can prevent freesex. the difference of facebook and instagram usage towards freesex behaviour of teenagers aged 15-17 article information history article: received, 11-03-2019 accepted, 01-04-2019 published, 01-04-2019 keywords: facebook. instagram, sex behavior, teenagers 95sari, perbedaan penggunaan facebook dan ... pendahuluan manusia hidup memiliki tahapan-tahapan perkembangan yang setiap saat akan selalu naik jenjang yang lebih tinggi. sebelum menjadi dewasa, seseorang akan mengalami masa remaja. remaja merupakan masa peralihan dari masa anak anak menjadi masa dewasa. pada masa ini, remaja biasa diidentikkan dengan masa dimana pencarian jati diri dengan menonjolkan diri kepada lingkungan untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat. dalam rangka penemuan jati diri, remaja mulai menyadari akan keberadaan dirinya, dibandingkan sebelumnya. dalam proses ini remaja pada umumnya ingin melibatkan diri pada kegiatan masyarakat, namun remaja masih merasa canggung akan posisinya sehingga mereka lebih suka untuk menutup diri (ahmadi & sholeh, 2005). pada era globalisasi ini banyak remaja menghabiskan waktu dengan jejaring sosial. era dimana informasi seluruh dunia terbuka untuk semua orang. perlu diketahui dalam derasnya arus globalisasi saat ini, terdapat dampak postif dan negatif, dengan kata lain globalisasi menimbulkan bahaya dan harapan (setiadi et al, 2011). pengguna media sosial yang paling dominan atau banyak adalah oleh kalangan remaja. media sosial terbesar yang paling sering digunakan oleh kalangan remaja antara lain; facebook, twitter, path, youtube, instagram, kaskus, line, w hatsapp, blackberry messenger . ma singmasing media sosial tersebut mempunyai keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna media sosial yang mereka miliki menurut rizkia (2017) menyatakan bahwa instagram menjadi media sosial yang paling banyak digunakan sebesar 82%, sedangkan facebook pada urutan kedua yaitu sebesar 66%, dan di urutan terakhir ada path sebanyak 49%. instagram banyak diminati oleh masyarakat khusunya remaja dika renaka n penggunaa nya mudah, serta instagram dapat mewakili media sosial lainnya karena memiliki fitur-fitur layanan yang lengkap. permasalahan yang muncul adalah tidak adanya batasan dalam penggunaan media sosial khususnya instagram dan facebook, tetapi remaja tidak lagi memanfaatkan instagram dan facebook sebagai tempat untuk bertukar informasi, namun malah menjadikanya sebagai tempat untuk menyalurkan kebutuhan seksualitas mereka. pengguna dapat menunggah foto atau video apa saja yang diinginkan sehingga pengguna pun juga bisa mengunggah foto atau video yang berbau dengan seksualitas. pengguna lain yang tidak mengunggah foto atau video yang berbau seksualitas dapat mengakses foto dan video yang berbau seksualitas dari pengguna lain yang mengunggah foto atau video tersebut. menurut penelitian yang dilakukan oleh pratama dan setiyaningsih (2015) tentang efek penggunaan jejaring sosial terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja di smp negeri 1 sukoharjo, menyatakan bahwa jejaring sosial memiliki hubungan dengan perilaku seksual remaja. hasil penelitian yang dilakukan oleh pujiningtyas (2014) mengenai hubungan penggunaan media sosial dengan perilaku seks siswa smp di surakarta, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan media sosial dengan perilaku seksualitas remaja karena pada hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa subjek siswa smp di surakarta hanya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi saja dengan lawan jenis, sehingga tidak terdapat hubungan antara media sosial dengan perilaku seksual remaja di surakarta. kedua penelitian di atas tidak hanya membahas tentang penggunaan salah satu media sosial saja, melainkan membahas tentang penggunaan media sosial secara umum, namun memiliki hasil yang berbeda. da lam kompasiana (2014), menya takan bahwa 62,7% remaja di indonesia telah melakukan hubungan seksual pranikah, 20% dari 94.270 perempuan mengalami hamil diluar pernikahan berasal dari golongan remaja, serta 21% diantaranya, telah melakukan aborsi atau pengguguran kandungan. dalam rentang waktu 3 bulan, ada 10.203 kasus mengenai hiv yang 30% diantaranya merupakan remaja. di dalam artikel ini juga dijelaskan bahwa kejadian tersebut merupakan dampak dari kemudahan persebaran informasi yang yang diterima oleh remaja melalui media sosial. media sosial tidak memberikan batasan akan beredarnya konten porno yang dapat diakses oleh penggunanya. di blitar sebagian besar (59%) remaja sma di kabupaten blitar telah melakukan perilaku seksual pranikah beresiko berat, dari 90.8% remaja pernah atau sedang memiliki teman kencan (pacar) sebanyak 7,1% diantaranya pernah melakukan hubungan sekssual pranikah.(sari,2015) di sma pgri talun dari 82 responden mendapat informasi tentang pengetahuan seksual 1 siswa mendapat informasi dari internet, 18 siswa mendapat informasi dari guru, 34 siswa mendapat informasi dari petugas kesehatan, 42 siswa mendapat informasi dari teman dan 5 96 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 093–100 siswa tidak ada yang memberi informasi. (sari et al,2014) berdasarkan masalah tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan pengunaan instagram dan facebook terhadap perilaku seksual remaja di kota blitar. bahan dan metode desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional. populasi dalam penelitian adalah remaja pertengahan yang berada di sma pgri talun kabupaten blitar mei 2018 sebanyak 20 orang. sampel dalam penelitian ini adalah remaja pertengahan yang ada di sma pgri talun kabupaten blitar sejumlah 20 orang yang memiliki kriteria inklusi dan eksklusi. teknik sampling yang dipakai dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu seluruh populasi diambil untuk dijadikan sebagai sampel. instrument berupa kuesioner yang berupa essai dan multiple choice. instrument yang digunakan ada tiga yaitu instrument (a) digunakan untuk pengumpulan data karakteristik responden yaitu usia, penalaman berpacaran, jenis kelamin, berapa lama menggunakan facebook dan instagram, dan mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi, kemudian dianalisa menggunakan distribusi frekuensi. instrument (b) digunakan untuk mengukur perilaku seks bebas, berisi 20 item pertanyaan, bila repronden menjawab benar skor 1, dan jika salah skor 0, mempunyai nilai maksimal 20, kemudian dianalisis ,menggunakan distribusi frekuensi yaitu baik:76-100%, cuku: 56-75%, kurang:  55%. instrument (c) digunakan untuk mengukur penggunaan facebook atau instagram, dan dianalisis menggunakan distribusi frrekensi. untuk mengetahui perbedaan pengunaan antara facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja menggunakan analisa data mann whitney test. hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan tabel diatas membuktikan bahwa usia responden yang terbesar adalah 17 tahun, 16 responden menyatakan tidak pernah berpacaran dan 10 responden berpacaran selama 1 tahun, 14 responden berjenis kelamin perempuan, 13 responden mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dari tenaga kesehatan. penggunaan media sosial berdasarkan data diatas menyatakan bahwa 100% responden menggunakan media sosial dan 50% responden menggunakan instagram dan facebook. pengalaman berpacaran: pernah 4 20 tidak pernah 16 80 jenis kelamin: perempuan 14 70 laki-laki 6 30 berapa lama menggunakan facebook dan instagram: <1 tahun 4 20 1 tahun 10 50 >2 tahun 6 30 mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dari : tenaga kesehatan 13 65 teman 3 15 media sosial 2 10 televisi 3 15 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden di sma pgri talun blitar (n=20) karakteristik f % usia: 15 tahun 4 20 16 tahun 7 45 17 tahun 9 35 pernyataan f % menggunakan media sosial : ya 20 100 tidak 0 0 media sosial yang sering digunakan: facebook 10 50 instagram 10 50 tabel 2 distribusi frekuensi penggunaan medis sosial pada remaja usia 15-17 tahun di sma pgri talun blitar (n=20) perilaku remaja tentang seks bebas berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar 12 responden memiliki perilaku baik tentang seks bebas. 97sari, perbedaan penggunaan facebook dan ... dari tabel diatas menunjukkan bahwa pengguna instagram mempunyai perilaku cukup terhadap seks bebas sebanyak 6 responden. analisis perbedaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja berdasarkan tabel 5 menunjukkan nilai mean rank a ta u per beda a n a nta r a facebook da n instagram sebesar 5 poin dan p value = 0,022, sehingga nilai p value 0,022 <  = 0,05 bermakna ada perbedaaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja di sma pgri talun blitar. no perilaku f % 1 baik 13 60 2 cukup 7 40 3 kurang 0 0 jumlah 20 100 tabel 3 distribusi frekuensi perilaku remaja tentang seks bebas kategori baik cukup kurang facebook 9 1 0 instagram 4 6 0 tabel 4 crosstab perbedaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja n z mean rank asymp.sig (2-tailed) facebook 10 2,285 8,00 0,022 instagram 10 13,00 tabel 5 analisis uji mann whitney penggunaan facebook dan instagram terhadap perlaku seks bebas (n=20) pembahasan penggunaan media sosial facebook dan instagram pada remaja berdasarkan hasil penelitian membuktikan bahwa seluruh responden menggunakan media sosial, diantrakanya 7 responden menggunkan facebook dan 13 responden menggunakan instagram. dan dari hasil crosstab bahwa pengguna instagram mempunyai perilaku cukup dalam seks bebas. hal ini disebabkan instagram banyak kontenkonten pornografi yang mudah untuk dibuka, sesuai dengan pernyataan responden saat observasi bahwa pengguna instagram dengan mudah dapat melihat konten-konten porno tanpa harus berteman atau masuk kedalam group. berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh we are social yang bekerjasama dengan hootsuite, menyebutkan bahwa ada 130 juta orang indonesia yang terbilang aktif di media sosial (medsos). hasil penelitian dari unesco menyimpulkan bahwa 4 dari 10 orang indonesia aktif di media sosial seperti facebook yang memiliki 3,3 juta pengguna, kemudian instagram dengan jumlah 2,9 juta pengguna (kominfo, 2018) terdapat berbagai macam fasilitas yang ditawarkan oleh facebook dan instagram, antara lain pemasangan foto profil, berkomunikasi secara langsung (chat), berkirim pesan (message), berbagi foto dan video, serta berbagi file dokumen. pengguna juga dapat menampilkan informasi mengenai identitas dirinya, seperti jenis kelamin, tanggal lahir, lokasi tempat tinggal, status perkawinan, asal sekolah, pekerjaan, dan lainnya. facebook juga memberikan fasilitas pena mbahan pertemanan (add friend) dan pemblokira n per temanan (block friend) agar pengguna dapat mengontrol pergaulan di dunia maya ini. tidak hanya di dunia nyata, pengguna sosial media juga dituntut untuk bersikap bijak saat bergaul di dunia maya. pengguna facebook dan instagram berasal dari berbagai kelompok umur. bila ditinjau dari hasil survei kemenkominfo, 2014, diketahui bahwa 80% pengguna internet di indonesia adalah remaja. remaja yang merupakan objek penelitian, mempunyai motif bersosialisasi yang tinggi sebagai dorongan dalam diri remaja untuk aktualisasi dalam pertemuan di media sosial dan bahkan cenderung berperilaku untuk mematangkan jati diri. pertemuan di antara mereka dengan menampilkan dan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan dirinya untuk diketahui dan dipamerkan kepada orang lain. kebiasaan remaja yang kuat ketika berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, akan memper98 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 093–100 tegas bahwa motif penggunaan media sosial facebook akan berpengaruh terhadap perilaku remaja yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung. motif untuk bersosialisasi yaitu untuk menghubungkan diri dengan keluarga, kawan maupun masyarakat, mencari rekan atau teman untuk berkomunikasi dan berinteraksi. seseorang yang mempunyai motif tersebut kemungkinan tidak ada sama sekali keinginan dalam ketertarikan dengan lawan jenis yang dapat mengarah ke perilaku yang negatif (rahmawati, 2014). perilaku remaja tentang seks bebas terdapat faktor yang dapat memengaruhi perilaku seksual remaja, salah satunya faktor media jejaring sosial (sarwono, 2012). diketahui dari hasil penelitian yang mempunyai perilaku cukup terhadap seks bebas dari pengguna instagram. instagram merupakan salah satu alat atau perantara modern yang digunakan oleh seseorang untuk berinteraksi dan berkomunikasi tanpa adanya hambatan dan penghalang seperti batasan usia, jenis pekerjaan, dan batasan negara. hal inilah yang menjadi daya tarik bagi remaja dalam menggunakan instagram karena tidak terbatas dengan apa pun. berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa sekitar 13 reponden memiliki perilaku yang baik tentang seks bebas dan hanya 7 responden memiliki perilaku cukup. hal ini dikarenakan, media sosial facebook dan instagram rata-rata digunakan kurang lebih selama 1 jam. durasi ini sudah lebih dari cukup untuk berkomunikasi dengan beberapa teman facebook dan isntagram dalam satu kesempatan membuka media sosial. intensitas dan durasi dalam penggunaan media jejaring sosial facebook dan instagram saling terkait dan semakin kuat apabila didukung oleh smartphone yang canggih dan bahkan makin lama makin memanjakan para pengguna smartphone dengan kecanggihannya (simanungkalit, 2015). selain itu, menurut hasil penelitian dari wahyuningtiyas et al (2018), menunjukkan nahwa remaja usia 17 tahun mempunyai pengetahuan yang baik dalam menyikapi seks bebas di media sosial, hal ini disebabkan karena semakin cukup usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir (notoadmojo, 2012). tingkat kematangan berpikir pada remaja usia akhir ini tentunya akan dapat memiliah mana hal yang baik bagi dirinya dan lingkungannya. peran teman sebaya dalam perilaku pacaran remaja yakni teman sebaya, mengajak melakukan hal yang sama, ada yang ikut-ikutan dan ada juga yang mengatakan karena keinginan sendiri untuk berpacaran sehat. berdasarkan wawancara dengan responden tentang perilaku seksual berpacaran sehat yang dipengaruhi oleh media sosial yaitu facebook dan instagram, namun mereka tidak terpengaruh, dikarenakan responden yaitu remaja usia 15-17 tahun melakukan suatu pengembangan nilai moral dan etis sesuai dengan cita-cita mereka yaitu membantu orang tua. hal ini dipengaruhi oleh peran guru bk dan program pik-r dari bkkbn kabupaten blitar yang terus menerus melakukan program sosialisasi triad krr. perbedaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas pada remaja remaja pada hakikatnya sedang berjuang untuk menemukan jati dirinya sendiri, jika dihadapkan pada keadaan luar atau lingkungan yang kurang serasi penuh kontradiksi dan labil, maka akan mudahlah mereka jatuh kepada ketidakstabilan, antara lain remaja menjadi cemas dan bimbang. maka, hal ini menjadi salah sattu masalah remaja membawa perilaku mereka menjadi berbahaya seperti seks bebas. menurut monks et al (2001), menyatakan bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. remaja adalah aset sumber daya manusia yang merupakan tulang punggung penerus generasi bangsa di masa mendatang. menurut depkes ri (2009). maka, perilaku remaja seharusnya dijaga agar tidak merugikan bagi masadepan mereka. berdasarkan hasil penelitian yaitu terdapat penga r uh a nta r a pengguna a n facebook da n instagram terhadap perilaku seks bebas remaja, dengan demikian beberapa konten dalam facebook dan instgram seharusnya mempunyai batasan atau lock agar remaja yang dibawah umur 18 tahun tidak dapat mengakses konten pornografi. menurut penelitian dari monanda (2017), bahwa media sosial instagram @awkarin berpengaruh secara signifikan terhadap gaya hidup hedonis di kalangan followers remaja. gaya hidup hedonis mengutamakan kesenangan yang bersifat materiil dan hawa nafsu, sehingga cenderung melakukan free sex. sedangkan di sma pgri talun menurut hasil observasi peneliti bahwa remaja usia 99sari, perbedaan penggunaan facebook dan ... 15-17 tahun sejak dini telah menerima pelajaran keagamaan yang rutin dan program pik-r, oleh karena itu responden sudah mempunyai kognitif yang baik terhadap tehnologi atau media sosial yang berkembang saat ini. hal ini juga sesuai dengan penelitian dari sari et al (2014), menyatakan bahwa remaja di sma pgri talun telah mendapatkan informasi kesehatan sebesar 34% dengan kriteria baik, dan mempunyai sikap yang positif terhadap seks bebas, artinya reja tersebut sudah mempunyai bekal pengetahuan tentang kesehatan reproduksi agar dapat menjadi patokan dalam perkembangan media sosial seperti facebook dan instagram yang menampilkan konten-konten pornografi. perilaku seksual juga dipengaruhi oleh pengalaman dalam berpacaran, bahwa pacaran yang dilakukan remaja akan semakin mengarah pada perilaku/hubungan seksual pranikah. sebaliknya remaja yang tidak berpacaran akan semakin rendah mengarah pada perilaku/ hubungan seksual pranikah (setiawan et al, 2008). berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 20 responden 16 reponden tidak pernah pernah berpacaran, maka juga dapat berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja meskipun mereka aktif dalam medial sosial seperi facebook dan instagram. kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: remaja di sma pgri talun blitar menggunakan medial sosial dan 60% menggunakan instagram, perilaku seks bebas di sma pgri talun sekitar 60% berperilaku baik, ada perbedaan penggunaan facebook dan instagram terhadap perilaku seks bebas remaja di sma pgri talun blitar. saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan, peneliti ingin memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1) teoritis sebagai bahan masukan bagi peneliti dan ilmu kesehatan reproduksi agar menjadi bahan masukan untuk memperkaya ilmu kesehatan reproduksi, khususnya bagi remaja. 2) praktisi sebagai bahan masukan untuk tenaga kesehatan agar lebih memperhatikan kesehatan reproduksi remaja dengan mengembangak program pik-r yang sudah dilaksanakan oleh bkkbn daftar pustaka ahmadi, abu dan munawar sholeh. (2005). psikologi perkembangan. jakarta: rineka cipta depkes ri. (2009). profil kesehatan indonesia 2009. http://www.depkes.go.id/resources/download/ pusda ti n /profi l -keseh a ta n-in don esia / pr ofil kesehatan-indonesia-2009.pdf (diakses tanggal 12 februari 2019) kompasiana. (2014). https://inet.detik.com/cyberlife/d3912429/130-juta-orang-indonesiatercatat-aktif-dimedsos. diakses tanggal 12 februari 2018 monanda, rizki. (2017). pengaruh media sosial instagram @awkarin terhadap gaya hidup hedonis di kalangan follwers remaja. jom fisip. vol.4 no.2. hh. 1-12. monks, f.j., knoers, a.m.p., haditono, s.r., (2001). psikologi perkembangan: penganta r dalam berbagai bagiannya. yogyakarta: gadjah mada university press. notoatmodjo, soekidjo. (2012). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta. rineka cipta. pratama, b.a & setiyaningsih, r. (2015). efek penggunaan jejaring sosial terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja di smp negeri 1 sukoharjo. indonesian journal on medical science, 2(2), 5664. pujiningtyas, lia ratnasari. (2014). hubungan penggunaan media sosial dengan perilaku seks siswa smp di surakarta. skripsi. universitas muhamadiyah surakarta rahmawati, a. (2014). pengaruh paparan situs jejaring sosial facebook terhadap sikap perilaku seksual remaja di kota semarang. jurnal ilmiah kebidanan volume 5 nomor 2 p. 85–98. rizkia, s and , wisnu s h. (2017). hubungan antara religiusitas dengan perilaku seks bebas pada siswa muhammadiyah 3 surakarta. skripsi thesis, universitas muhammadiyah surakarta. sari lt, renityas nn, wibisono w. (2014). efektifitas pendidikan seksual dini pada remaja melalui binaan keagamaan terhadap kecenderungan sek bebas. jurnal kesehatan. vol.4. no. 3. hh.132-139. sari, lt. (2015). reproductive health counseling theraphy toward sexual attitudes of adolencent girls at pgri talun high scoohl blitar. the proceeding of international joint conference :”challenges impl e me nt at i on of the a se an e conomi c community 9aec) in the health sector in indonesia. hh. 111-112 sarwono, s.w. (2012). psikologi remaja. jakarta. pt. grafindo persada setiadi, elly m. dan usman kolip. (2011). pengantar sosiologi. jakarta: kencana preneda media group setiawan, r., & nurhidayah, s. (2008). pengaruh pacaran terhadap perilaku seks pranikah. soul, 1(2), 59– 72. 100 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 093–100 simanungkalit, yt. (2011). pengaruh penggunan media sosial terhadap perilaku seks pada pelajar sma reksadana 1medan. skripsi. fakultas kesehatan masyarakat. universitas sumatera utara.medan wahyuningtyas h, wibisono w. (2018). hubungan pengunaan media sosial dan pengetahuan seks bebas pada siswa/siswi usia 17-18 tahun. jurnal ners dan kebidanan. vol.5.no.2 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk family support for the fulfillment of nutrition of tuberculosis patients suprajitno 1 , nunung rahayu ningsih 2 1 nursing department, poltekkes kemenkes malang 2 nurse practitioner of public health center of blitar city article information abstract article history: family support covered informational support, instrumental support, emo received, 14/08/2018 tional support, and appraisal support needed tuberculosis patients, includ accepted, 18/12/2018 ing support of nutrition fulfillment. the study aimed to know the correlation published, 19/12/2018 of information obtained and the family support to the fulfillment of nutrition keywords: of tuberculosis patients. the study used correlation design. the sample was the family of tuberculosis patient of first category who was registered to family support, tuberculosis, public health center of blitar city. the sample was 44 respondents selected nutrition fulfillment by simple random sampling. the data collection used the close-ended ques tionnaire that was developed based on the theory of social support. the result showed that families who had ever received information about nutri tion fulfillment was 11.4% (5 families) and had not ever received information was 88.6% (39 families); and the family support to the fulfillment of nutrition of tuberculosis patients of first category was in the category of supportive (59.1%) and non-supportive family was 40.9% (18 families). the correlation value of the kendall tau-b was 0.298 (p = 0.014). the family support for the fulfillment of nutrition of tuberculosis patients of first category who support was caused by the information obtained, while who did not support was caused by lack of information about the importance of nutrition fulfillment of tuberculosis patient. a weak correlation was caused by families who had received information about nutrition fulfillment for tuberculosis patients was very little, consequently the support given by the patient as a reward as a family member who was sick was also little. it is recommended that health workers at the public health center give of health education regularly to the family in every drug taking. © 2018 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malangeast java, indonesia p-issn : 2355-052x email: bedonku@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p178-181 178 the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/326 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ suprajitno, ningsih, family support for the fulfillment of ...... 179 introduction tuberculosis patient often have weight loss as a sign of malnutrition and an indication of severity (manalu, 2010). inadequate nutrition of tuberculosis patients was caused by the patient lifestyle, lack of knowledge about nutrition, fatigue, sputum accumulation, chest pain, and weakness (manurung, 2008). inadequate nutritional needs of the patient can be prevented by family efforts in the form of support (smeltzer & bare, 2002). family support makes the patients (1) feel loved, (2) cared for, (3) feel respected, and (4) as part of the family. family support can improve the healing and recovery for patients. the forms of family support include instrumental support, information support, emotional support, and appraisal support (setiadi, 2008; smeltzer & bare, 2002). the number of tuberculosis patients of first category in blitar city in december 2016 was 48 people, and registered to the public health center of sukorejo was 20 people, sananwetan was 17 people, and kepanjen kidul was 11 people. based on the interview, it was found that five of ten families did not provide additional foods such as fruit, milk, or supplements because they did not understand the importance of supplementary food for the patient. based on the phenomenon above, the researcher interested to make study about family support for the fulfillment of nutrition needs of tuberculosis patients. method the design of the study was correlational. the sample was 44 families of tuberculosis patients of first category who was registered at public health center of blitar city selected by simple random sampling. the variable was the family support for the fulfillment of nutritional needs of tuberculosis patients of first category. the instrument was a closed-ended questionnaire about family support developed from the need and nutrition fulfillment of tuberculosis patient theory. the data collection was conducted in may – july 2017 at the patient’s home. the data analysis was correlation. result characteristic of family and tuberculosis patient of first category presented in the first table. table 1 characteristic of family and tuberculosis patients of first category who was registered at the public health center of blitar city (n=44) no. characteristic f % 1 family (the supervisor drug taking) age: 15 – 20 years old 18 40.9 21 – 40 years old 3 6.8 41 – 60 years old 23 52.3 2 family relationship status: husband 5 11.4 wife 16 36.4 a child 18 40.9 other 5 11.3 3 family education: never 2 4.5 junior school 3 6.8 senior school 33 75.0 higher 6 13.6 4 family income (idr): 300.000 – 1.000.000 11 25.0 1.000.001 – 2.000.000 25 56.8 > 2.000.000 8 18.2 5 time weight loss tuberculosis patient: < 3 months 29 65.9 15 34.1 > 3 months 6 the amount of weight loss tuberculosis patient: constant 3 6.8 < 3 kg 2 4.5 3 – 6 kg 26 59.1 > 6 kg 13 29.6 information ever obtained and family support in the fulfillment of nutrition for tuberculosis patients of first category presented in the second table. type of family support in the fulfillment of nutrition for tuberculosis patients of first category presented in the third table. 180 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 178–181 table 2 cross table between information ever obtained and family support in the fulfillment of nutrition for tuberculosis patients of first category was registered at the public health center of blitar city (n=44) family support to ...: total supportive nonsupportive f % f % f % information ever obtained about : yes 5 11.4 0 0.0 5 11.4 never 21 47.7 18 40.9 39 88.6 total 26 59.1 18 40.9 44 100.0 kendall’s tau-b p = 0.014 tb = 0.298 spearman correlation p = 0.050 rs = 0.298 tabel 3 type of family support in the fulfillment of nu-trition for tuberculosis patients of first cat-egory was registered at the public health cen-ter of blitar city (n=44) no. type of family supportive non supportive support f % f % 1 instrumental 21 47.7 23 52.3 2 informational 25 56.8 19 43.2 3 emotional 20 45.5 24 54.5 4 appraisal 24 54.5 20 45.5 discussion signs of nutritional fulfillment as the needs of tuberculosis patients of first category in the last 3 months of weight loss ranged from 3 to 6 kg (table 1). this situation was a sign that the family needs to fulfill the nutrition because the patients always interact with the family (escottstump, 2008). the majority (88.7%) of tuberculosis patients of first category in this study was taken care of by the family (husband, wife, and child) (table 1). the fulfillment of nutrition in harmony with the third family duty in the field of health is caring for family members who are sick (suprajitno, 2004; suprajitno et all, 2015). the family ability for the fulfillment of the nutritional needs could be influenced by the family education level and income per month (table 1). the level of education made easier for individuals to perceive and conclude the importance of parenting in the family. family income affected the nutritional fulfillment of tuberculosis patients of first category because nutrition sufficiency was not cheap. mubarak, et al (2007) wrote that the higher education the easier to receive the information and new knowledge. that families who had better income would keep their household environment clean, provide good drinking water, buy food of adequate quantity and quality for their families, and could afford health care they need (manalu, 2010). thus, increased knowledge and high income can help in support of tuberculosis patient to fulfillment of nutrition every daily so that the recovery would increase. the family support for tuberculosis patients of first category based on each type of family support the percentage of support and non supportive had almost the same percentage (table 3). according to the categories, family support were instrumental support, informational support, emotional support, and appraisal support (friedman, 1998; setiadi, 2008).one of social support type was information support.the family information support included giving advice, direction, ideas or other information needed to someone for overcoming the problems encountered and this information may be communicated to others who may face the same or similar issues (smet, 1994). caplan’s theory in friedman (1998) suggested that suggestions and information could be used in expressing a problem. the benefits of information support by the family for tuberculosis patients of first category could suppress the emergence of stress caused by longlasting treatment. researchers argue that the family information support and provides nutrition were importance to curing. the information from family showed majority of the family never received information about the fulfillment of nutrition for tuberculosis patients of first category, but nurses ever provide health education about the importance of nutrition suprajitno, ningsih, family support for the fulfillment of ...... 181 to tuberculosis patients of first category at the first time treatment.if the family did not have information resulted in the nutritional needs of patients were not met and could increase the severity. that is, the fulfillment of nutrients is very important. the family instrumental support is a source of practical and concrete help. instrumental assistance aims to facilitate a person to activities related to the problems faced or reduce the difficulties encountered(friedman, 1998).the instrumental family support is prepared supplements such as the vitamin or choose foods that can prevent coughing.researchers argue that the instrumental family support includes providing recommended the high protein-calorie foods, providing supplements that can increase the patient’s immune system, and avoid food as a cough trigger.the appraisal family support displayed the positive appreciation or approval of ideas of the patient. the family acts as a feedback giver, guider, mediator, and validator of problem-solving. helping people learn about themselves in an important situation can be shown that the patient’s ideas and feelings are supported (friedman, 1998; setiadi, 2008; suprajitno, 2004). the family emotional support involves loving, caring, and trusting family members. the family as a safe and peaceful place and restore emotions mastery. this type of support involves the expression of sympathy and caring for someone so as to provide a comfortable feeling, making the individual feel better. individuals regain self-confidence, feel owned, and feel loved in times of stress. in this case, the person who feels to get this kind of social support will feel relieved to be noticed, get advice or a pleasant impression on him (friedman, 1998).researchers believe the family emotional support about discussing the progress of patients with other family members to find the best solution for nutrition fulfilling, providing time to communicate, interact with patients, listen to complaints. the correlation of information obtained and the social support of the family was in the weak category, because the family who received information about the importance of nutritional fulfillment for tuberculosis patients of first category only slightly.families who received information only slightly because of the health workers busy administration. conclusions the family support for the fulfillment of nutrition of tuberculosis patients of first category who gave support was caused by the information obtained and who did not support was caused by lack of information about the importance of nutrition fulfillment of tuberculosis patient. recommendations the health workers at the public health center should provide regular health education to the family in every drug taking. references escott-stump, s. (2008). nutrition and diagnostic related care ed 6. usa: baltimore. friedman, m. (1998). keperawatan keluarga: teori dan praktik (terjemahan). jakarta: egc. manalu, h. (2010). faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tb paru dan upaya penanggulangan-nya. jurnal ekologi kesehatan, 9 (4 des). doi: https://doi.org/10.22435/jek.v9i4 des.1598. manurung, s. (2008). gangguan sistem pernafasan akibat infeksi. jakarta: trans info media. mubarak, wahit iqbal, dkk. (2007). promosi kesehatan sebuah pengantar proses belajar mengajar dalam pendidikan. yogyakarta: graha ilmu. setiadi. (2008). konsep &proses keperawatan keluarga. yogyakarta: graha ilmu. smeltzer, s. & bare, b. (2002). keperawatan medikal bedah. edisi 8 volume 2 alih bahasa: agung waluyo, monica ester. jakarta: penerbit buku kedokteran egc. smet, bart. (1994). psikologi kesehatan. jakarta: grasindo. suprajitno. (2004). asuhan keperawatan keluarga: aplikasi dalam praktik. jakarta: egc. suprajitno, s., mugianti, s., & sholikhah, u. (2015). the family effort to prevention transmission of tuberculosis. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 2(1), 001-005. doi:https://doi.org/10.26699/jnk.v2i1.art.p001-005 82 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 082–088 82 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk peningkatan vaskularisasi perifer dan pengontrolan glukosa klien diabetes mellitus melalui senam kaki info artikel sejarah artikel: diterima,22/10/2019 disetujui, 10/12/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: diabetes mellitus, capillary refill time, glukosa darah abstrak diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik kronis. diabetic foot ulcers merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat kadar glukosa yang tidak terkontrol. tujuan penelitian menjelaskan pengaruh senam kaki terhadap status vaskularisasi perifer dan glukosa darah.penelitian menggunakan quasy experimental pre-post test control group design. populasi berjumlah 30 responden yang terbagi dalam kelompok perlakuan dan kontrol. teknik sampling menggunakan purposive sampling. kriteria inklusi meliputi klien dm berusia > 45 tahun, dm tipe ii, dan glukosa darah acak < 300 mg/dl. kriteria eksklusi meliputi klien ulkus diabetikum, gda >300 mg/dl, gout artritis. intervensi senam kaki diberikan 3 kali seminggu selama 4 minggu. pengukuran variabel capilarry refill time menggunakan observasi penekanan ujung jari. pengukuran variabel glukosa menggunakan glukosa stick-test. analisis data menggunakan wilcoxon &mann whitney test digunakan mengukur variabel capillary refill time. independent & paired t-test digunakan mengukur variabel glukosa. uji variabel crt menggunakan mann-whitney test menunjukkan nilai p = 0.022 yang berarti ada pengaruh senam kaki tehadap capillary refill time. hasil uji variabel glukosa darah menggunakan paired t test menunjukkan p = 0.004, dan independent t test menunjukkan p=0.012 yang berarti ada pengaruh senam kaki terhadap kadar glukosa darah. senam kaki terbukti meningkatkan nitric oxode syntesis, vasodilatasi arteri, terjadi pembakaran gula darah yang mengakibatkan turunnya gula darah, afinitas oksigen hemoglobin, dan viskositas darah. sebaliknya, terjadi peningkatan sirkulasi darah, saturasi oksigen, perfusi jaringan, dan sistem imunitas sehingga dapat mencegah ulkus kaki diabetik. dalam upaya preventif, sebaiknya dinas kesehatan khususnya puskesmas untuk menyediakan media promosi kesehatan melalui penyediakan booklet senam kaki kaki. taufan arif prodi keperawatan, politeknik kesehatan kemenkes malang http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p082-088&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 83arif, peningkatan vaskularisasi perifer dan pengontrolan glukosa ... correspondence address: poltekkes kemenkes malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email:taufanarif.polkesma@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/v7i1.art.p082–088 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik kronis dan menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal(chang, peng, chang, & chen, 2013; utomo, marunduh, & wungouw, 2015). diabetes melitus (dm)dibedakan menjadi diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes mellitus gestasional, dan diabetes mellitus tipe lain(kotwal & pandit, 2012; wahyuni, 2013). diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena penurunan sensitivitas terhadap insulin, ataupun akibat adanya jumlah produksi insulin yang menurun (chang et al., 2013; wahyuni, 2013). diabetic foot ulcers (dfu) merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat kadar glukosa yang tidak terkontrol (chang et al., 2013; fleming, van den bruel, gill, & thompson, 2016). menjaga kadar glukosa darah tetap stabil dan menjaga keadekuatan perfusi jaringan perifer merupakan tindakan pencegahan komplikasi yang optimal (chang et al., 2013; kotwal & pandit, 2012). improvement of peripheral vascularization and glucose control of diabetes mellitus clients through foot exercises history article: received, 22/10/2019 accepted, 10/12/2019 published, 05/04/2020 keywords: diabetes mellitus; capillary refill time; blood glucose article information abstract diabetes mellitus was a chronic metabolic disease. diabetic foot ulcers were a complication that often results from uncontrolled glucose levels. this study was to explain the effect of foot exercises on the status of peripheral vascularization and blood glucose. the study was quasy experimental design. the population were 30 respondents divided into treatment and control group. the sampling technique uses purposive sampling. inclusion criteria included client dm aged >45 years, dm type ii, and random blood glucose <300 mg/dl. exclusion criteria included respondents who had complications of diabetic foot ulcer, random blood glucose > 300 mg / dl, gout arthritis. measurement of capillary refill time variables using fingertip emphasis observation. measurement of random blood glucose variables using a glucose stick test. data analysis using wilcoxon &mann whitney test was used to measure the capillary refill time variable. independent & paired t-test was used to measure glucose variables. interventions were given 3 times a week for 4 weeks. in the crt variable using the mann-whitney test showed a p value = 0.022 which means that there was an effect of foot exercises on the status of peripheral vascularization. on the blood glucose variable using paired t test showed p = 0.004, and independent t test showed p = 0.012 which means there is an influence of foot exercises on blood glucose levels. foot have been shown to increase nitric oxode syntesis, arterial vasodilation, blood sugar burning which results in a decrease in blood sugar, oxygen affinity of hemoglobin, and blood viscosity. conversely an increase in blood circulation, oxygen saturation, tissue perfusion, and immune system can prevent diabetic foot ulcers. in a preventive effort the health department, especially the puskesmas, should provide health promotion media through the provision of foot exercise exercises. ©2020 jurnal ners dan kebidanan https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 84 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 082–088 diabetes mellitus adalah penyebab kematian paling umum kelima di dunia, terhitung 35 kematian per 100.000 orang pada tahun 2008(chang et al., 2013). prevalensi diabetes mellitus di indonesia mencapai 8,5 juta orang yang menduduki urutan ke7 terbanyak di dunia, dan diperkirakan jumlah ini akan naik pada tahun 2035 dengan estimasi prevalensi dm mencapai 14,1 juta orang (tanhardjo et al., 2016). data yang diperoleh dari persadia jawa timur menunjukkan bahwa jumlah penderita diabetes melitus di jawa timur diperkirakan mencapai 6% dari total jumlah penduduk jawa timur (wahyuni, 2013). pada tingkat puskesmas janti kota malang, didapatkan data sebanyak 153 orang sakit diabetes melitus tipe 2 pada tahun 2012 (wahyuni, 2013). sirkulasi perifer kaki pada pasien diabetes mellitus sering terjadi kerusakan yang ditandai penyakit arteri perifer (pad) (chang et al., 2013; fleming et al., 2015). keterlambatan pengisian capillary refill time (crt) dapat menunjukkan kondisi iskemik jaringan yang tentunya akan mempercepat terjadinya komplikasi berupa ulkus kaki diabetes (chang et al., 2013). skreening awal terhadap sensori dan sirkulasi perifer sangat penting dilakukan dalam perawatan klien diabetes mellitus (chang et al., 2013). pemeriksaan dan monitoring capillary refill time (crt)juga merupakan sebuah metode mudah untuk mengetahui sirkulasi oksigen ke area perifer (fleming et al., 2016). pemeriksaan dan monitoring kadar glukosa darah pada pasien dm merupakan salah satu pencegahan komplikasi pada diabetic care (kotwal & pandit, 2012). kesuksesan manajemen diabetes mellitus tipe 2 tidak hanya menurunkan dan memonitoring kadar glukosa darah, tetapi dibutuhkan manajemen dalam aktifitas fisik seperti senam kaki (wahyuni, 2013; wasir, mithal, agarwal, & mittal, 2018). kegiatan terapi aktifitas fisik seperti senam kaki akan menurunkan dan mencegah komplikasi makrovaskuler dan mikro-vaskuler kronik (wasir et al., 2018). mekanisme neuropathy diabetes kemungkinan besar disebabkan akibat penurunan kepadatan serabut myelin akibat hiperglikemia menginduksi komplikasi microvaskuler dan kehilangan atau degenerasi serabut saraf (chang et al., 2013). berdasarkan permasalahan yang didapatkan peneliti, maka perlu mencari sebuah solusi untuk meningkatkan dan memperbaiki sirkulasi perifer dan mengontrol kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus agar tetap stabil. salah satu analisis peneliti sirkulasi perifer dan pengontrolan kadar glukosa darah adalah dengan melakukan senam kaki yang dilakukan secara rutin. namun, pengaruhnya kegiatan senam kaki sebanyak 3 kali dalam seminggu terhadap peningkatan status vaskularisasi perifer, dan stabilnya kadar glukosa darah belum dapat dijelaskan secara ilmiah. atas dasar itu peneliti tertarik melakukan penelitian pengaruh senam kaki diabetes terhadap status vaskularisasi perifer dan kadar glukosa darah. bahan dan metode desain dalam penelitian ini menggunakan quasy experimental pre-post test control group design. populasi penelitian menggunakan populasi terjangkau (accesssible population) yaitu pasien diabetes mellitus di wilayah puskesmas dinoyo kota malang. sampel penelitian yang digunakan sebanyak 30 orang.teknik pengambilan responden menggunakan teknik purposive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah 1) responden dengan penyakit dm usia lebih dari 45 tahun, 2) responden dengan dm type ii, dan 3) gula darah acak terkontrol < 300 mg/dl. kriteria eksklusi dalam penelitian adalah 1) responden dengan komplikasi ulkus diabetikum, 2) gula darah acak yang tinggi >300 mg/dl, 3) responden yang tidak kooperatif, dan 4) responden dengan penyakit gout arthritis. variabel independent penelitian adalah senam kaki. variabel dependentpenelitian adalah capillary refill time (crt) dan kadar glukosa darah acak. jenis instrumen yang digunakan adalah satuan acara kegiatan (sak) untuk variabel independent. variabel capillary refill time menggunakan pemeriksaan biogis in-vivo dengan cara menekan ujung jari kaki kemudian diobservasi kurang atau lebih dari 2 detik. pemenriksan glukosa darah dilakukan memakai glukosa stick check. data yang terkumpul akan dianalisis menggunakan uji mann whitney untuk 2 kelompok yang tidak berpasangan pada variabel capillary refill time, sedangkan wilcoxon sign ranked test untuk uji 2 kelompok berpasangan pada variabel capillary refill time. uji independent t test untuk 2 kelompok yang tidak berpasangan pada variabel glukosa darah, sedangkan paired t test untuk uji 2 kelompok berpasangan pada variabel glukosa darah. nilai signifikan yang digunakan dalam pengujian adalah 0,05. 85arif, peningkatan vaskularisasi perifer dan pengontrolan glukosa ... hasil penelitian berdasarkan tabel 1, karakteristik tipe keluarga kelompok perlakuan sebagian besar adalah keluarga inti sebanyak 14 orang (93.3%), sedangkan kelompok kontrol sebagian besar adalah keluarga inti sebanyak 13 orang (86.7%). berdasarkan tabel 1, karakteristik umur kelompok perlakuan sebagian besar adalah >65 tahun sebanyak 6 orang (40.0%), sedangkan kelompok kontrol sebagian besar adalah usia 45-55 tahun sebanyak 8 orang (53.3%). berdasarkan tabel 1, karakteristik pendidikan kelompok perlakuan sebagian besar berpendidikan sma sebanyak 8 orang (53.3%), sedangkan kelomkarakteristik kelompok perlakuan kelompok kontrol  %  % tipe keluarga inti 1 6.7 2 13.3 besar 14 93.3 13 86.7 umur 46-55 4 26.7 8 53.3 56-65 5 33.3 5 33.3 > 65 6 40.0 2 13.3 pendidikan sd 3 20.0 6 40.0 smp 4 26.7 2 13.3 sma 8 53.3 6 40.0 pt 0 0.0 1 6.7 kelamin laki 1 6.7 0 0.0 perempuan 14 93.3 15 100.0 pekerjaan tidak bekerja/irt 9 60.0 7 46.7 pensiunan 3 20.0 2 13.3 wiraswasta 3 20.0 6 40.0 lama menderita dm < 1 tahun 4 26.7 7 46.7 >1 tahun 11 73.3 8 53.3 tabel 1 distribusi karakteristik umum responden pok kontrol sebagian besar adalah sd dan sma dimana masing-masing sebanyak 6 orang (40.0%). berdasarkan tabel 1, karakteristik jenis kelamin kelompok perlakuan sebagian besar perempuan sebanyak 14 orang (93.3%), sedangkan kelompok kontrol sebagian besar perempuan sebanyak 15 orang (100.0%). berdasarkan tabel 1, karakteristik pekerjaan kelompok perlakuan sebagian besar tidak bekerja sebanyak 9 orang (60.0%), sedangkan kelompok kontrol sebagian besar tidak bekerja sebanyak 7 orang (46.7%). kelompok variabel test hasil post test analisis > 2 detik < 2 detik  perlakuan crt pre test > 2 detik 2 5 7 wilcoxon pre-post test kelompok perlakukan p = 0.025 < 2 detik 0 8 9 kontrol crt pre test > 2 detik 6 0 6 wilcoxon pre-post test kelompok kontrol p=0.157 < 2 detik 2 7 9 analisis mann whitney pre test kelompok perlakuan dan kontrol p=0.128mann whitney post test kelompok perlakuan dan kontrol p=0.022 tabel 2 karakteristik khusus capillary refill time (crt) 86 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 082–088 berdasarkan tabel 1, karakteristik lama menderita diabetes mellitus pada kelompok perlakuan sebagian besar lebih dari 1 tahun sebanyak 11 orang (73.3%), sedangkan kelompok kontrol sebagian besar lebih dari 1 tahun sebanyak 8 orang (53.3%). berdasarkan tabel 2 uji wilcoxon signed ranked pre-post test pada kelompok perlakuan menunjukkan nilai p = 0.025 yang berarti ada perbedaan capillary refill time (crt) sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan, sedangkan uji wilcoxon signed ranked pre-post test kelompok kontrol menunjukkan nilai p = 0.157 yang berarti tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok kontrol. berdasarkan tabel 2 menunjukkan hasil uji pre test mann-whitney test nilai p = 0.128 yang berarti tidak ada perbedaan crt sebelum intervensi antara kelompok perlakukan dan kontrol, sedangkan uji post test mann-whitney nilai p = 0.022 yang berarti ada pengaruh senan kaki tehadap capillary refill time (crt) kelompok var ket n mean sd min-max syarat analisis analisis perlakuan gda pre 15 190.20 64.251 102-334 post 15 151.20 33.317 100-207 kontrol gda pre 15 188.80 55.585 106-322 post 15 191.07 47.112 120-278 analisis analisis pre test independent t test p 0.950 analisis post test independent t test p 0.012 tabel 3 karakteristik khusus kadar glukosa darah pre-post paired t test p 0.004 pre-post paired t test p 0.733 kolmogorov-smirnov zp 0.511 levane test p 0.061 berdasarkan tabel 3 menunjukkan pada kelompok perlakuan mengalami penurunan mean gula darah acak, sedangkan sd lebih kecil dari mean yang berarti nilai mean dapat digunakan sebagai representasi dari keseluruhan data. pada kelompok kontrol mean gda mengalami peningkatan, sedangkan nilai sd lebih kecil dari nilai mean yang berarti nilai mean dapat digunakan sebagai representasi dari keseluruhan data. berdasarkan tabel 3 menunjukkan hasil uji normalitas kolmogorov-smirnov z p 0.511 yang berarti distribusi responden normal, sedangkan uji homogenitas levane test p 0.061 yang berarti variasi responden homogen. hasil uji pre-post test kelompok perlakuan menggunakan paired t test menunjukkan p = 0.004, dan independent t test setelah diberikan intervensi menunjukkan p = 0.012 ada pengaruh senam kaki terhadap kadar glukosa darah. pembahasan manajemen perawatan pada diabetes melitus terdiri atas penatalaksanaan non farmakologis dan terapi farmakologis. manajemen penatalaksanaan non farmakologis dapat pengendalian berat badan, diet, dan terapi aktifitas seperti senam kaki ataupun olahraga. penatalaksanaan farmakologis dapat berupa pemberian terapi insulin dan obat hipoglikemik oral (wahyuni, 2013). pada penderita diabetes mellitus tipe 2, organ pankreas tetap menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, tetapi insulin tersebut tidak dapat bekerja dengan maksimal untuk membawa glukosa ke dalam sel akibat tingginya kadar kolesterol dan trigliserida pada orang yang menga lami obesitas (ta nhardjo et al., 2016; wahyuni, 2013). kondisi hiperglikemia yang persisten akan dapat merangsang terbentukanya produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ros). radikal ros ini akan mengakibatkan kerusakan endotel vaskuler dan menetralisasi nitric oxide (no). dampak akhir radikal ros ini akan menghalangi proses vasodilatasi mikrovaskuler. penderita dm tipe 2 terjadi ketidakmampuan usaha peningkatan no pada pembuluh darah (wahyuni, 2013; yasa, 2013). no atau nitric oxide sendiri merupakan gas radikal bebas dan sangat efektif. no ini juga dapat menghambat terjadinya agregasi trombosit sehingga mencegah terja 87arif, peningkatan vaskularisasi perifer dan pengontrolan glukosa ... dinya hiperkoagulasi darah. selain itu no dapat mencegah oksidasi ldl sehingga dapat menghambat terbentuknya foam cell (yasa, 2013). senam kaki merupakan kegiatan untuk mencegah terjadinya luka dan membantu melancarkan sirkulasi darah bagian bawah, mengatasi keterbatasan gerak, memperkuat otot kaki, dan mencegah kelainan bentuk kaki (waspadji, 2014). prinsip latihan senam kaki secara umum dilakukan 3-5 kali per minggu, intensitas ringan dan sedang, dan durasi 3060 menit. olahraga akan terjadi pembakaran gula darah mengakibatkan turunnya gula darah, afinitas oksigen hemoglobin ,dan viskositas darah. sebaliknya terjadi peningkatan sirkulasi darah, saturasi oksigen, perfusi jaringan, dan sistem imunitas sehingga proses penyembuhan ulkus kaki diabetik dapat berlangsung lebih cepat (sherwood, 2011). capillary refill time(crt) pada pasien yang mengalami diabates mellitus akan terjadi perlambatan yang biasanya > 2 detik. pada kondisi crt > 2 detik, menurun denyut nadi perifer, warna kulit kaki yang pucat, akral kulit yang dingin merupakan indikasi iskemia dan mordibitas (fleming et al., 2016). gerakan kaki yang dilakukan pada saat senam kaki sama halnya dengan pijat kaki yaitu memberikan tekanan dan gerakan pada kaki. gerakan tersebut akan mempengaruhi hormon yaitu meningkatkan sekresi endorphin yang berfungsi sebagai menurunkan sakit, vasodilatasi pembuluh darah sehingga meningkatkan aliran darah ke jaringan perifer. senam kaki akan menjaga gula darah dalam batas normal, capillary refill time (crt) kembali< 3 detik, perfusi hangat, kering, merah, kaki tidak terasa kesemutan dan kaku, terjadi penurunan skala nyeri dari skala nyeri 6 menjadi 3 (aria & arisfa, 2016; sukron, 2016). penelitian utomo menjelaskan senam kaki efektif dalam menurunkan kadar gula darah. penderita diabetes mellitus sebaiknya melaksanakan 4 pilar pengelolaan diabetes mellitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.latihan jasmani secara teratur dapat memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, berenang, dan senam diabetes (utomo et al., 2015) peneliti beropini bahwa hiperglikemia mempengaruhi terjadinya fleksibilitas sel darah merah yang melepas o2, sehingga o2 dalam darah berkurang dan terjadi hipoksia perifer yang menyebabkan perfusi jaringan perifer tidak efektif. senam kaki akan berdampak langsung pada peredaran microvaskuler dan makrovaskuler perifer. peredaran darah akan menjadi menjadi lancar sehingga crt akan menjadi < 2 detik. status vaskularisasi perifer yang membaik ditandai denyut nadi yang kuat akan berdampak langsung terhadap peningkatan sirkulasi mikrovaskuler pada penderita diabetes mellitus. peningkatan sirkulasi mikrovaskuler tersebut dapat dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk pengisian kembali kapiler perifer kurang dari 2 detik. olahraga akan terjadi pembakaran gula darah mengakibatkan turunnya gula darah, afinitas oksigen hemoglobin, dan viskositas darah. sebaliknya terjadi peningkatan sirkulasi darah, saturasi oksigen, perfusi jaringan, dan sistem imunitas sehingga proses penyembuhan ulkus kaki diabetik dapat berlangsung lebih cepat kesimpulan intervensi melalui senam kaki dapat meningkatkan status vaskularisasi perifer dan menjaga kestabilan kadar glukosa darah. saran puskesmas dinoyo kota malang sebaiknya menyediakan media promosi kesehatan melalui booklet senam kaki diabetes yang tentunya dapat memandirikan klien dm untuk merawat diri sendiri di rumah. daftar pustaka aria, & arisfa, n. (2016). senam kaki diabetik efektif meningkatkan ankle brakhial index pasien diabetes melitus tipe 2. jurnal ipteks terapan, v9(i2), 155–164. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22216/ jit.2015.v9i2.231 chang, c. h., peng, y. s., chang, c. c., & chen, m. y. (2013). useful screening tools for preventing foot problems of diabetics in rural areas: a cross-sectional study. bmc public health, 13(1), 1. https://doi.org/ 10.1186/1471-2458-13-612 fleming, s., gill, p., jones, c., taylor, j. a., van den bruel, a., heneghan, c., … thompson, m. (2015). the diagnostic value of capillary refill time for detecting serious illness in children: a systematic review and meta-analysis. plos one, 10(9), 1–15. https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0138155 fleming, s., van den bruel, a., gill, p. j., & thompson, m. (2016). capillary refill time in sick children: a clinical guide for general practice. british journal of general practice, 66(652), 587–588. https:// doi.org/10.3399/bjgp16x687925 88 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 082–088 kotwal, n., & pandit, a. (2012). variability of capillary blood glucose monitoring measured on home glucose monitoring devices, 16(april), 4–7. https:/ /doi.org/10.4103/2230-8210.104052 sherwood. (2011). human physiologi from cells to systems seventh edition (7th ed.). united states: cole cengage learning. sukron, m. (2016). penerapan diabetic foot exercise pada pasien diabetes mellitus dengan masalah keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan perifer di ruang azzara i rsi surabaya jemursari. universitas nu surabaya. tanhardjo, j., pinzon, r. t., sari, l. k., kedokteran, f., kristen, u., & wacana, d. (2016). perbandingan rerata kadar hba1c pada pasien diabetes melitus dengan neuropati dan tanpa neuropati sensori motor comparasion hba1c mean level in diabetes mellitus patient. berkala ilmiah kedokteran duta wacana, 01(nomor 02), 127–136. https://doi.org/ issn/ : 2460-9684 utomo, m., marunduh, s., & wungouw, h. (2015). kadar hba1c pada pasien diabetes melitus tipe 2 di puskesmas bahu kecamatan malalayang. jurnal e-biomedik (ebm), 3(april), 3–11. wahyuni, d. (2013). ankle brachial index sesudah senam kaki diabetes pada penderita diabetes melitus tipe 2. jurnal keperawatan (vol. 4). https://doi.org/ 10.1109/ultsym.2006.112 wasir, j. s., mithal, a., agarwal, p., & mittal, a. (2018). once weekly dulaglutide therapy in type 2 diabetic subjects , real world evidence from a tertiary care diabetes center in, 2–8. https:// doi.org/10.4103/ijem.ijem waspadji, s. (2014). diabetes melitus: mekanisme dasar dan pengelolaannya yang rasional. buku ajar ilmu penyalkit dalam (2nd ed.). jakarta: interna publishing. yasa, a. (2013). no titleefek nitric oxide. retrieved from http://tpkindonesia.blogspot.com/2013/04/peranannitric-oxide-no-dan-asymetric.html e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 38 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 38–42 38 faktor risiko osteopenia pada remaja (the risk factors osteopenia on adolescent) lina ema purwanti, enggar prastyo, saiful nurhidayat fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah ponorogo email: emapurwantilina@gmail.com abstract: introduction: osteopenia is a condition which means the bone mineral density (bmd/bone mineral density) is lower than the normal peak bmd but not low enough to be classified as osteoporosis. risk factors that can lead to osteopenia are smoking, drinking softdrinks, less activity, dieting, rarely affected sun and drinking alcohol. this study aimed to identify the risk factors of asteopenia on adolesences. method: the study design used descriptive. the sample used was a high school student magetan total of 100 respondents were collected by random sampling. data were collected with questionniare and analyzed with procentage. result: from the results of a study of 100 respondents was obtained from less activity factors 5 respondents (5%), rarely exposed to sunlight obtained 32 respondents (32%), dieting factor obtained 34 respondents (34%) smoke got 49 respondents (49%), drink alcohol obtained 18 respondents (18%),and drink softdrink obtained 40 respondents (40%) at risk for osteopenia. discussion: from the results it can be concluded that smoking is the highest risk factor in the incidence of osteopenia among adolescent. nicotine contained in cigarettes can reduce absobsi calcium in the bones and cause a decrease in bone density. for any subsequent researchers are expected to conduct research about the relationship of smoking with risk factors for adolescent osteopenia . keywords: risk factors osteopenia, adolescent abstrak: osteopenia adalah suatu kondisi densitas mineral tulang yang rendah dibandingkan angka normal bone mineral density (bmd) tetapi tidak terlalu rendah untuk diklasifikasikan sebagai osteoporosis. faktor resiko yang dapat memicu terjadinya osteopenia adalah merokok, minuman softdrink, aktifitas yang rendah, diet, jarang terpapar matahari dan minuman beralkohol. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor resiko osteopenia pada remaja. desain dalam penelitian ini adalah deskriptif. sampel yang digunakan adalah siswa smu magetan sebanyak 100 responden dengan metode random sampling. pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan analisis data dengan persentase. hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kurang aktifitas sebanyak 5 responden (5%), jarang terpapar sinar matahari 32 responden (32%), faktor diet 34 responden (34%), merokok 49 responden (49%), minuman beralkohol 18 responden (18%) dan minuman softdrink 40 responden (40%). berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa merokok merupakan faktor resiko tertinggi pada insiden osteopeni pada remaja. nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan absorbsi kalsium pada tulang dan menyebabkan penurunan densitas tulang. diharapkan pada penelitian selanjutnya meneliti tentang hubungan merokok dengan faktor resiko osteopeni pada remaja. kata kunci: faktor resiko osteopenia, remaja perubahan gaya hidup pada masa dewasa awal sebagai masa transisi dari masa remaja memberikan dampak pada masalah kesehatan. salah satu perhatian khusus adalah masalah kesehatan tulang yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. puncak pembentukan massa tulang (peak bone mass) berlangsung pada usia 20–35 tahun yang berbeda untuk setiap individu. jika tahap ini telah terlewati maka penurunan massa tulang akan terus terjadi seiring dengan bertambahnya umur. osteopenia acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p038-042 acer typewritten text it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 39purwanti, faktor risiko osteopenia ... merupakan suatu kondisi di mana terjadinya penurunan massa tulang sebagai prediktor dini terjadinya osteoporosis yaitu keadaan tulang menjadi tipis dan rapuh (permatasari, 2012). setiap hari tulang akan berkurang kepadatannya dan akan berkurang secara cepat saat memasuki usia tua nanti. jika dalam waktu lama osteopenia tidak diperbaiki dan dicegah pada saat dewasa maka sebelum memasuki usia tua, tulang sudah mengalami osteoporosis, dimana tulang akan menjadi rapuh dan mudah patah, tidak bebas bergerak, tinggi badan berkurang, kualitas hidup menurun bahkan akan mempunyai risiko kematian dini (wahyuni, 2008). international osteoporosis foundation (iof) memprediksi pada tahun 2050 akan terjadi patah tulang panggul sebesar 50% penduduk pada orang asia. hal ini disebabkan osteopenia merupakan ’silent disease’ yang terjadi tanpa disadari karena tidak menimbulkan gejala yang nyata atau rasa sakit dan tidak ditandai oleh adanya patah tulang. data statistik yang dilaporkan national osteoporosis foundtion (nof) tahun 2004 menyatakan bahwa dari 44 juta orang amerika sekitar 37–54% mengalami osteopenia. penelitian yang dilakukan pada orang india, dari 120 orang yang diperiksa densitas tulangnya menggunakan densitometer dengan metode quantitative ultrasound (qus) didapatkan hasil 35% responden mengalami osteopenia (permatasari, 2012). puslitbang gizi dan makanan departemen kesehatan yang bekerjasama dengan pt fonterra brands indonesia (2005) melakukan penelitian di beberapa wilayah indonesia dengan melibatkan sampel hingga 65.727 orang diperoleh hasil bahwa prevalensi osteopenia mencapai 41,8%, sebanyak 10,3% menderita osteoporosis dan 47,9% normal. penduduk kelompok umur 20–40 tahun di kota depok dinyatakan 43,3% responden mengalami osteopenia. penelitian serupa dengan metode yang sama pada 100 orang mahasiswi fakultas kesehatan masyarakat universitas indonesia diperoleh hasil sebanyak 50,5% responden mengalami osteopenia (permatasari, 2012). menurut rachmawati (2006), osteoporosis bisa menyerang kaum muda, hasil penilitian menunjukkan bahwa prevalensi mencapai 37,1%. atau istilahnya adalah osteopenia, yaitu penurunan massa tulang secara dini (lebih awal). osteopenia ini pada kemudian hari bisa menyebabkan osteoporosis. tulang adalah jaringan hidup yang harus terus diperbaharui. tulang tersusun dati tulang kompak atau padat (tulang kortikal) dan tulang berspons (tulang trabekular). tulang terbuat dari protein matrik di mana hidroksiapatit (sebuah struktur kristal yang terbuat dari mineral kalsium dan fosfor) disimpan. magnesium, zinc dan flour juga disimpan di dalam protein matriks. kalsium adalah mineral yang terbanyak didalam tulang. diperkirakan rangka tulang dewasa berisi 1 kg kalsium (british nutrition foundation, 2004: dalam wahyuni, 2008). pembentukan tulang (osteoblast) dan resorbsi tulang (penggantian tulang lama/osteoclast) terjadi di sepanjang kehidupan. pembentukan tulang lebih banyak dari pada penyerapan tulang sampai usia 30-35 tahun. ketika peak bone mass (puncak massa tulang usia 25–35 tahun) dicapai maka tidak ada lagi peningkatan massa tulang. dimana penyerapan tulang lebih banyak daripada pembentukan tulang. penurunan massa tulang akan terus terjadi seiring dengan bertambahnya usia. dicapainya peak bone mass dengan baik sangat penting dalam mengurangi risiko osteoporosis dikemudian hari. karena tulang telah kuat sebelum dimulainya kehilangan massa tulang. osteopenia atau penurunan massa tulang terjadi jika massa tulang berkurang dari puncak massa tulang yang telah dicapai (-2,5  t  -1). jika kondisi ini tidak dicegah maka tulang lama kelamaan akan mulai rapuh dan mudah patah. pencegahan dapat dilakukan dengan mengetahui faktor-faktor apa saja yang bisa menyebabkan pengurangan densitas tulang (british nutrition foundation, 2004: dalam wahyuni, 2008). karena osteopenia bisa menyerang pada usia muda dibutuhkan pencegahan terutama untuk menghindari faktor risiko terjadinya osteopenia. berbagai perubahan gaya hidup dapat mencegah risiko terjadinya osteoporosis dimasa tua dan osteopenia di usia remaja. karena perubahan gaya hidup sulit dilakukan, tingkat motivasi internal untuk menerima dan bertindak sesuai perubahan harus ditimbulkan. dukungan kontinu dari tim kesehatan dan keluarga sangat berpengaruh dalam perubahan gaya hidup. perubahan gaya hidup meliputi, mengurangi dan berhenti merokok, mengurangi dan berhenti minum alkohol, meningkatkan asupan kalsium dan vitamin d, olahraga secara teratur (kneale, julia, 2004). penelitian ini berujuan untuk menggambarkan faktor risiko osteopenia pada remaja. bahan dan metode desain penelitiannya deskriptif yaitu menggambarkan faktor risiko osteopenia pada remaja. 40 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 38–42 populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa sman 1 plaosan magetan yang berjumlah 398 dengan sampel berjumlah 100 yang dipilih secara proposional random sampling. instrumen yang digunakan adalah kusioner dan data disajikan dalam bentuk prosentase. hasil penelitian perokok lebih berisiko tinggi mengalami osteoporosis. remaja yang merokok kebanyakan dipengaruhi oleh teman sebaya mereka dan tidak menghiraukan efek negatifnya (dewi, 2013). dari tabel 2 menunjukkan bahwa 40%, responden adalah mengkonsumsi softdrink. artinya minum softdrink dapat berperan aktif dalam penurunan kepadatan tulang yang mengarah ke risiko osteopenia. menurut hardi (2010), konsumsi kafein yang berlebihan yang terdapat pada minum softdrink dihubungkan dengan berkurang bmc (bone mineral content) dan juga secara spesifik akan mengurangi kepadatan tulang (neville h. golden, md, steven a. abr ams, md, an committee on nutrition, 2014). kurang aktifitas fisik dapat menurunkan densitas tulang yang rendah. dengan berolahrga secara teratur dengan frekuensi 3–5 x/minggu tidak pada hari yang berurutan dengan waktu 20–60 menit dan benar dapat meningkatkan densitas tulang yang rendah dan menurunkan risiko osteopenia. sebaliknya, jika melakukan aktifitas yang secara terus menerus dan beban yang berat mungkin secara cepat dapat meningkatkan kepadatan tulang. tetapi kepadatan tulang tersebut tidak maksimal dibandingkan latihan fisik secara teratur dan beban yang sesuai. dengan memaksimalkan usia muda untuk beraktifitas dan dengan diimbagi nutrisi yang baik, maka risiko osteoporosis dimasa tua dapat diminimalkan. pada tabel 2 menunjukkan bahwa 34% responden melakukan diet. artinya diet dapat menyebabkan seseorang terkena osteopenia, karena berdiet dapat menurunkan asupan gizi dalam tubuh termasuk kalsium. berdiet memang tidak dilarang, asalkan mengetahui aturan bagaimana berdiet yang benar. rata-rata tubuh manusia mengandung lebih dari 1 kg kalsium, yang 99% di antaranya disimpan di dalam tulang. pria dan wanita membutuhkan asupan diet kalsium dan vitamin d yang adekuat sepanjang usia untuk mempertahankan kadar kalsium dan vitamin d serta kesehatan tulang yang optimum (kneale, julia, 2004). menurut minasdiarly (2013), kebutuhan kalsium pada usia remaja umur 11-18 tahun 1200 mg kalsium/ hari. sedangkan menurut wahyuni (2008), jika salah berdiet maka dalam tubuh akan kekurangan asupan nutrisi yang baik bagi tulang, kekuarangan kalsium akan menyebabkan penurunan secara bertahap jumlah dan kekuatan jaringan tulang. di mana tubuh yang kekurangan kalsium akan mengambil simpanan kalsium tabel 1. karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin j eni s k elam in f rekuensi p rosentas e (% ) laki -l ak i 38 3 8 perempuan 62 6 2 jumlah 1 00 10 0 tabel 2. faktor risiko osteopenia pada remaja fa kto r r isiko frekuens i p rosentas e (%) merokok 49 49 minum softdrink 40 40 kurang aktivitas 35 35 berdiet 34 34 jarang terkena sinar matahari 32 32 minum alkohol 18 18 pembahasan faktor penentu kepadatan massa tulang meliputi asupan gizi kalsium, vitamin d, protein, natrium, dan minuman berkarbonasi, olahraga dan gaya hidup; pemeliharaan berat badan yang sehat; dan status hormonal nutrisi dan aktivitas fisik yang masingmasing diperlukan dan berfungsi secara sinergis untuk meningkatkan kesehatan tulang (neville h. golden, md, steven a. abrams, md, an committee on nutrition, 2014). merokok dapat berperan aktif dalam penurunan kepadatan tulang yang mengarah ke risiko osteopenia. kandungan zat yang ada didalam rokok yang menyebabkan penyerapan kalsium maupun nutrisi yang baik dalam tulang terganggu. salah satunya tembakau, yang dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen sehingga kadar estrogen orang merokok lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak merokok. wanita perokok mengalami menopouse lebih awal dan mempunyai kadar estrogen lebih rendah daripada bukan perokok (rowshan ara begum, liaquat ali, jesmin akter, et al., 2013). rokok juga dipercayai berpengaruh buruk pada sel pembentuk tulang (osteoblast). karena itu wanita 41purwanti, faktor risiko osteopenia ... yang ada pada tulang dan gigi. anak yang masih tumbuh dan berkembang memerlukan pembentukan tulang yang lebih banyak dari pada orang yang sudah tua. usia dewasa, mementingkan keseimbangan kalsium di tulang, sedangkan pada masa tua, kalsium diperlukan untuk mengganti kehilangan kalsium di tulang. jika berdiet tidak sesauai dengan kebutuhan asuapan nutrsisi tersebut, maka nutrisi dalam tubuh tidak akan terpenuhi dan dapat menyebabkan menurunnya densitas tulang. jika memang berdiet alangkah baiknya tetap mengkonsumsi susu yang rendah lemak untuk memenuhi kalsium yang berkurang karena proses diet. jarang terkena matahari dapat menurunkan densitas tulang, karena sinar matahari membantu tubuh untuk menghasilkan vitamin d yang penting bagi kepadatan tulang. menurut wahyuni (2008), waktu yang tepat dalam melakukan aktifitas fisik sebaiknya terpapar matahari, yaitu pukul 07.00– 09.00 atau 15.00–16.30. rekomendasi olahraga adalah frekuensi 3–5 x/minggu tidak pada hari yang berurutan dengan waktu 20–60 menit. latihan fisik dengan benturan tinggi (high impact) lebih memadatkan tulang dari pada benturan rendah, tapi hal ini dilarang. teori yang dikemukakan diatas benar. karena proses pembentukan vitramin d di dalam tubuh dibantu dengan adanya sinar matahari. dengan kita melakukan aktifitas di luar rumah pada jam-jam tersebut dan dengan didukung asupan makanan yang banyak mengandung vitamin d, asupan vitamin d dalam tubuh akan terpenuhi dan densitas tulang akan menjadi lebih baik. karena pada usia remaja yang masih memungkinkan tumbuh dan berkembang memerlukan asupan kalsium yang lebih banyak. minum alkohol dapat berperan aktif dalam penurunan kepadatan tulang yang mengarah ke risiko osteopenia. banyak para remaja yang minum alkohol untuk melarikan diri dari sebuah masalah, tidak hanya itu saja para remaja minum alkohol untuk identitas kalau mereka jantan. padahal minum alkohol mempunyai efek yang kurang baik bagi kesehatan. menurut emilio, et al. (2010), kandungan dalam alkohol seperti etanol dapat menghambat proses metabolisme tubuh, akibatnya kepadatan tulang akan terganggu. alkohol dapat secara langsung meracuni jaringan tulang atau mengurangi massa tulang melalui nutrisi yang buruk karena peminum berat biasanya tidak mengkonsumsi makanan yang sehat dan mendapatkan hampir seluruh kalori dari alkohol, selain itu penyakit liver karena konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengubah metabolisme vitamin d, di mana terjadi kebalikannya, penyerapan kalsium terganggu dan mengakibatkan tulang yang lemah dan tidak normal (alvisa-negrín, et al., 2009). simpulan dan saran simpulan gambaran faktor risiko osteopenia pada remaja adalah 49% faktor merokok, 40% faktor minum softdrink, 35% faktor kurang aktivitas, 34% faktor berdiet, 32% faktor jarang terkena sinar matahari, 18% faktor minum alkohol. saran disarankan khususnya pada remaja untuk menghindar i merokok, mengurangi konsumsi softdrink, melakukan aktivitas yang proporsional, melakukan program diet yang lebih terarah, dan menghindari minuman yang mengandung alkohol. untuk peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang pengaruh faktor risiko tersebut terhadap kejadian osteoporosis pada remaja. daftar rujukan dewi, e.h. 2013. memahami perkembangan fisik remaja. yogyakarta: gosyen publishing. emilio gonzález-reimers, julio alvisa-negrín, et al. 2010. prognosis of osteopenia in chronic alcoholics. journal alcohol. doi:http://dx.doi.org/10.1016/ j.alcohol.2010.09.002. hardi. 2010. hubungan tingkat pengetahuan dengan konsumsi kalsium dan softdrink pada siswa kel as xi sma sutomo 1 medan.ht tp/ /: respository.usu.ac.id diakses pada 23 januari 2013 julio alvisa-negrín, et al. 2009 osteopenia in alcoholics: effect of alcohol abstinence. alcohol alcohol. 44(5):468–475. kneale, j., davis p. 2004. orthopaedic and trauma nursing, 2nd edition. elsevier. misnadiarly, a.s. 2013. osteoporosis pengenalan, faktor risiko, pencegahan, dan pengobatan. jakarta: akademia permata. neville, h., golden, m.d., steven, a., abrams, m.d. an committee on nutrition. 2014. clinical report. optimizing bone health in children and adolescents. pediatrics. volume 134, number 4, october 2014. permatasi, t.a.e. 2012. analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan osteopenia pada mahasiswa universitas muhammadiyah jakarta. http/: fkkumj.ac.id diakses pada 22 januari 2013. 42 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 38–42 rahmawati, f. 2012. pengetahuan gizi, sikap, perilaku makan, dan asupan kalsium pada siswi sma. www.eprints.undip.ac.id diakses pada 15 november 2013. rowshan, a.b., liaquat, a., jesmin, a., et al. 2013. osteopenia and osteoporosis among 16–65 year old women attending outpatient clinics. journal of community health december 2014, volume 39, issue 6, pp 1071–1076. wahyuni, d. 2008. faktor-faktor yang berhubungan dengan osteopenia. http//:lontar.usu.ac.id diakses pada 23 januari 2013. 326 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 326–332 326 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan olahraga, kopi dan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan aprilia nurtika sari1, nining istighosah2 1,2prodi kebidanan, akademi kebidanan dharma husada kediri, indonesia info artikel kata kunci: olahraga; kopi; merokok; kualitas hidup wanita menopause abstrak menopause alami dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan sosiodemografi. ketidakaktifan fisik tidak hanya menempatkan kesehatan wanita pada risiko tetapi juga meningkatkan masalah menopause. faktor gaya hidup seperti merokok dan minum kopi telah diamati terkait dengan waktu awal menopause. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan olahraga, kopi dan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan. desain penelitian ini deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita menopause di desa bangkok kecamatan gurah kabupaten kediri. dengan teknik purposive sampling, didapatkan sampel penelitian sebanyak 50 orang. variabel independen dalam penelitian ini adalah olahraga, kopi dan merokok. variabel dependennya adalah kualitas hidup wanita menopause. instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner kualitas hidup menopause hilditch & bener. penelitian dilakukan di desa bangkok kecamatan gurah kabupaten kediri pada bulan juni-juli 2019. uji chi-square digunakan untuk memperkirakan hubungan statistik yang signifikan. nilai p signifikan ketika p kurang dari 0,05. hasil penelitian adalah terdapat hubungan yang signifikan antara olahraga dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan, dengan nilai p-value 0,016. sedangkan untuk hubungan kopi dan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan tidak signifikan, dengan nilai p-value masingmasing adalah 0,505 dan 0,804. hasil penelitian menunjukkan responden yang rutin melakukan olahraga memiliki kualitas hidup yang lebih baik. diantara mereka tidak ada yang memiliki keluhan yang berat terhadap gejala menopause yang dialami, baik dalam domain vasomotor, psikososial, fisik, maupun seksual. oleh karena itu, olahraga rutin sangat disarankan untuk wanita menopause untuk meningkatkan kualitas hidupnya. sejarah artikel: diterima, 20/08/2019 disetujui, 17/09/2019 dipublikasi, 02/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p326-332&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 327sari, istighosah, hubungan olahraga, kopi dan merokok dengan ... pendahuluan menopa use a da la h ber hentinya siklus menstruasi dan akhir tahun reproduksi wanita. siklus ini didefinisikan secara retrospektif, 12 bulan setelah periode menstruasi terakhir. penipisan oosit secara progresif, baik melalui atresia atau ovulasi, mengarah pada proses menopause yang normal. periode menstruasi terakhir terjadi pada usia rata-rata 51,3 tahun. menstruasi tidak teratur menandai transisi menopause, yang biasanya dimulai 4 tahun sebelum periode menstruasi terakhir (ewan-whyte, 2015). transisi menopause menandai terjadinya periode perubahan fisiologis pada wanita yang article information keywords: exercise; coffee; smoking; quality of life of menopausal women abstract nat ural menopause i s inf luenced by geneti c, e nvironme nt, and sociodemographic factors. physical inactivity not only puts women’s health at risk but also increases the problem of menopause. lifestyle factors such as smoking and drinking coffee have been observed to be related to the onset of menopause. this study aims to identify the correlation of exercise, coffee and smoking with the quality of life of menopausal women living in rural areas. the design of this research is analytic descriptive with cross sectional approach. the population in this study were all menopausal women in bangkok village, gurah district, kediri regency. with a purposive sampling technique, 50 research samples were obtained. the independent variables in this study are exercise, coffee and smoking. the dependent variable is the quality of life of menopausal women. the research instrument was used the hilditch & bener menopause quality of life questionnaire. the study was conducted in bangkok village, gurah district, kediri regency in june-july 2019. chi-square test was used to estimate a statistically significant correlation. significant p values will be considered when p is less than 0.05. the results of the study show that there is a significant correlation between exercise with the quality of life of menopausal women living in rural areas, with a p-value of 0.016. the correlation of coffee and smoking with the quality of life of menopausal women living in rural areas is not significant, with p-values of 0.505 and 0.804. the results showed that respondents who routinely do exercise have a better quality of life. none of them had severe complaints about the symptoms of menopause experienced, either in the vasomotor, psychosocial, physical, or sexual domains. therefore, regular exercise is highly recommended for menopausal women to improve their quality of life. © 2019 jurnal ners dan kebidanan mendekati akhir masa reproduksi. transisi klinis tersebut berfungsi sebagai periode perubahan temporal dalam kesehatan dan kualitas hidup (yaitu gejala vasomotor, gangguan tidur, depresi) dan perubahan jangka panjang dalam beberapa kondisi kesehatan (yaitu gejala urogenital, tulang, lipid) yang dapat memengaruhi kualitas hidup wanita (harlow et al., 2012). pada tahun 2000 jumlah penduduk wanita berusia 50 tahun keatas telah mencapai 15,5 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah perempuan hidup dalam usia menopause tersebut terus bertambah jumlahnya menjadi 30,3 juta correlation of exercise, coffee and smoking with the quality of life of menopausal women living in rural areas history article: received, 20/08/2019 accepted, 17/09/2019 published, 02/12/2019 correspondence address: akademi kebidanan dharma husada kediri, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: aprilia.ns0486@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i3.art.p326-332 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p326-332 328 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 326–332 tentunya hal ini perlu mendapatkan perhatian bagaimana kesehatan reproduksinya karena pada masa ini akan terjadi perubahan fisik dan psikologis yang dapat menimbulkan berbagai macam keluhan pada kesehatan. wanita indonesia yang memasuki masa premenopause saat ini sebanyak 7,4% dari populasi. jumlah tersebut diperkirakan menjadi 11% pada 2005, kemudian naik lagi sebesar 14% pada tahun 2015. di indonesia data badan pusat statistik menunjukkan 15,2% juta wanita memasuki masa menopause dari 118 juta wanita indonesia (sasrawita, 2017). banyak wanita cenderung hidup lebih dari 20 tahun setelah menopause, menghabiskan sekitar seperempat atau lebih dari hidup mereka dalam keadaan kekurangan estrogen. karena kekurangan estrogen, wanita dapat mengalami penurunan fisik dan mental. lebih dari 80% wanita mengalami gejala fisik atau psikologis pada masa transisi menopause yang mengarah pada penurunan kualitas hidup (nisar & sohoo, 2009). menopause alami dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan sosiodemografi. selain itu, berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, penggunaan kontrasepsi oral, usia saat menarche, obesitas, merokok, konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik juga dapat memengaruhi usia menopause (yang, suh, kim, & lee, 2015). ketidakaktifan fisik tidak hanya menempatkan kesehatan wanita pada risiko tetapi juga meningkatkan masalah menopause. banyak bukti yang menunjukkan kebiasaan olah raga berhubungan dengan status kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik (pedersen & saltin, 2015). meskipun terapi hormon menjadi terapi standar pada wanita dengan keluhan menopause, namun terapi ini memiliki efek samping yang tidak baik jika digunakan untuk jangka panjang. sehingga diperlukan terapi non-farmakologi untuk membantu mengurangi keluhan sehubungan dengan gejala menopause yang dialami. bebera pa penelitia n mela por ka n ba hwa olahraga mempunyai efek positif pada kualitas hidup wanita menopause. namun, terdapat penelitian lain yang menunjukkan bahwa olahraga tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap penurunan gejala vasomotor dan seksualitas, tapi mempunyai efek yang signifikan terhadap penurunan gejala fisik da n psikologis (asgha r i, mir gha four va nd, mohammad-alizadeh-charandabi, malakouti, & nedjat, 2017). saat ini gaya hidup dan pola makan menjadi bagian dari konseling pada wanita menopause. meskipun penelitian dan publikasi tentang asupan kopi dan pengaruhnya terhadap gejala menopause sangat terbatas, kafein telah banyak diasumsikan memiliki dampak negatif terhadap gejala vasomotor pada wanita menopause (bouchard, 2015). kopi terdiri dari beragam senyawa yang, baik secara individual maupun bersama-sama, dapat memengaruhi gejala menopause. meskipun telah lama diyakini bahwa asupan kafein memperburuk gejala vasomotor pada wanita menopause, namun terdapat penelitian lain yang menentang asumsi ini, karena kafein telah menunjukkan efek secara positif dan negatif terkait dengan hot flash (faubion, sood, thielen, & shuster, 2015). thurston et al., menemukan peningkatan kemungkinan hot flash (or = 1,51; ci = 1,18-3,81; p = 0,003) setelah konsumsi kafein (kandiah & amend, 2010). namun, dalam penelitian lain, wanita yang minum kopi lebih banyak memiliki gejala vasomotor yang lebih ringan daripada orang-orang yang kurang minum kopi. kafein adalah stimula n sistem sa r a f pusa t, meningka tka n kejernihan pikiran, mengurangi kelelahan dan kantuk, meningkatkan konsentrasi dan aktivitas motorik (pimenta, leal, maroco, & ramos, 2011). faktor gaya hidup seperti merokok telah diamati terkait dengan waktu menopause. merokok bisa berdampak pada penuaan ovarium dan cadangan folikel dengan mempengaruhi gonadotropin dan hormon seks dan mungkin juga memiliki efek toksik pada sel-sel ovarium. merokok memiliki konsekuensi kesehatan yang negatif dan dapat menyebabkan kondisi kesehatan yang lebih buruk pada wanita menopause (whitcomb et al. , 2018). dalam sebagian besar studi, usia menopause di kalangan perokok secara signifikan lebih awal daripada di antara non-perokok. studi lain melaporkan hubungan usia menopause dengan periode merokok, jumlah merokok, dan usia mulai merokok (yang et al., 2015). studi kualitas hidup pada pasca menopause telah menjadi komponen penting dalam praktik klinis. sebagian besar studi tentang kualitas hidup wanita pascamenopause dilakukan di negara maju dengan realitas sosiokultural yang berbeda, yang dapat memengaruhi tidak hanya persepsi kualitas hidup tetapi juga pengalaman gejala menopause. sangat sedikit informasi yang ada tentang kualitas hidup wanita pascamenopause di negara berkembang. dalam penelitian sharma & mahajan di india (2015), 329sari, istighosah, hubungan olahraga, kopi dan merokok dengan ... para wanita di pedesaan menunjukkan kualitas hidup yang jauh lebih buruk dalam domain psikologis, sosial, dan lingkungan dari kuesioner qol who bila dibandingkan dengan wanita di perkotaan dan hasilnya secara statistik signifikan. bertentangan dengan penelitian yohanis, et.al. (2013) di sulawesi selatan, indonesia yang menyimpulkan tidak ada perbedaan signifikan antara kualitas hidup wanita di pedesaan dan perkotaan. hal ini dikarenakan karakter dan budaya masyarakat dalam studi mereka lebih menerima perbedaan yang mereka alami sejak menopause, gagasan bahwa menopause adalah hal alami yang harus terjadi pada setiap wanita menopause dan bukan hanya tentang penuaan atau hilangnya kecantikan, tetapi juga proses kematangan fisik dan psikologis. penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan olahraga, kopi dan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan kabupaten kediri. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional, yaitu mengukur beberapa variabel dalam waktu bersamaan. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita menopause di wilayah desa bangkok kecamatan gurah kabupaten kediri. dengan teknik purposive sampling, sampel penelitian yang didapatkan adalah 50 wanita menopause yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah wanita yang sudah 12 bulan berturut-turut berhenti haid tanpa induksi obat atau intervensi medis. kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah wanita yang tidak bersedia menjadi responden; wanita dengan riwayat histerektomi dan ovarektomi; sedang menghadapi masalah psikologi (sakit/ kematian keluarga terdekat, perceraian, pemutusan hubungan kerja); sedang atau pernah mengalami gangguan mental. variabel independen dalam penelitian ini adalah olahraga, kopi dan merokok. sedangkan variabel dependennya adalah kualitas hidup wanita menopause. instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner kualitas hidup menopause hilditch & bener. kuesioner tersebut terdiri dari 4 sub-skala yaitu meliputi gejala vasomotor, psikososial, fisik dan gangguan seksual. kuesioner terdiri dari 29 item dalam empat domain: vasomotor (3 item), psikososial (7 item), fisik (16 item) dan seksual (3 item). penelitian dilakukan di desa bangkok kecamatan gurah kabupaten kediri pada bulan junijuli 2019. desa bangkok masuk dalam wilayah kerja puskesmas gurah kecamatan gurah kabupaten kediri. di desa bangkok terdapat kegiatan posyandu lansia yang didukung sarana prasarana yang lengkap. pelaksanaan posyandu lansia rutin dilakukan tiap bulan dipandu oleh bidan pemegang wilayah. kegiatan posyandu lansia memiliki program pemeriksaan kesehatan setiap bulan dan senam lansia setiap hari minggu pagi. data diperoleh secara langsung (data primer). kemudian data dikode, ditabulasi dan dianalisis menggunakan aplikasi spss untuk analisis statistik. variabel kualitas hidup total n (%) x p-valueringan sedang berat n % n % n % olahraga ya 20 40 2 4 0 0 22 (44) tidak 15 30 12 24 1 2 28 (56) 8,256 0,016 variabel kualitas hidup total n (%) x p-valueringan sedang berat n % n % n % kopi ya 32 64 14 28 1 2 47 (94) tidak 3 6 0 0 0 0 3 (6) 1,368 0,505 merokok ya 1 2 0 0 0 0 1 (2) tidak 34 68 14 28 1 2 49 (98) 0,437 0,804 sumber: data primer tabel 1 hubungan olahraga, kopi dan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause di desa bangkok, kecamatan gurah, kabupaten kediri tahun 2019 330 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 326–332 uji chi-square digunakan untuk memperkirakan hubungan statistik yang signifikan. nilai p yang signifikan akan dipertimbangkan ketika p kurang dari 0,05. hasil penelitian tabel 1 di atas menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara olahraga dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan, dengan nilai p-value 0,016. sedangkan untuk hubungan kopi dan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan tidak signifikan, dengan nilai p-value masing-masing adalah 0,505 dan 0,804. pembahasan hubungan olahraga dengan kualitas hidup wanita menopause di wilayah pedesaan hasil a na lisis mengguna ka n chi-square dengan nilai p: 0,016 menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara olahraga dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan. dari 50 responden, sebanyak 22 responden rutin mengikuti kegiatan olahraga yang diadakan oleh posyandu lansia desa bangkok, kecamatan gurah, kabupaten kediri. dari 22 responden yang rutin berolahraga, tidak ada responden yang memiliki keluhan berat terhadap gejala menopause yang dihadapi. mirzaiinajmabadi dalam arini (2018), berbagai studi melaporkan bahwa aktifitas olahraga sangat baik bagi wanita menopause karena dapat mencegah atau mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, osteoporosis, penyakit kanker payudara, kecemasan, alzaimer, dan depresi. olahraga yang teratur cukup efektif dalam menurunkan depresi dan meningkatkan kesehatan mental, tetapi intensitas olahraga kurang berpengaruh terhadap hal tersebut. responden yang rutin melakukan olahraga memiliki kualitas hidup yang lebih baik. diantara mereka tidak ada yang memiliki keluhan yang berat terhadap gejala menopause yang dialami, baik dalam domain vasomotor, psikososial, fisik, maupun seksual. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian arini (2018), yaitu kualitas hidup pada kelompok wanita menopause yang rutin berolahraga lebih baik dibandingkan kelompok wanita menopause yang jarang berolahraga. olahraga sejak dulu diketahui dapat meningkatkan derajat kesehatan secara menyeluruh. jika dilakukan pada wanita menopause, olahraga diharapkan dapat mengurangi keluhan dan mengatasi masalah-masalah yang dialami ketika memasuki usia tersebut. selain berpengaruh pada kesehatan fisik, olahraga juga dapat meningkatkan kualitas hidup wanita menopause pada domain psikososial. sejalan dengan studi yang dilakukan oleh d¹browska, et.al (2016) bahwa selama periode waktu 12 minggu dengan latihan fisik memperoleh hasil yang signifikan positif terkait perubahan vitalitas dan kesehatan mental wanita menopause. hal ini dikarenakan olahraga dianggap dapat meningkatkan mood, mengurangi risiko pikun, dan mencegah depresi serta kecemasan yang berlebihan yang sering dialami oleh wanita menopause. dengan rutin berolahraga, wanita menopause memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya lebih sering. mereka biasanya memanfaatkan waktu tersebut untuk saling berbagi pengalaman mengenai keluhankeluhan yang dialami pada masa menopause. keadaan ini membuat wanita menopause lebih santai dalam menjalani masa-masa menopause dan mereka umumnya dapat mengatasi keluhan yang dialami secara mandiri, sehingga secara tidak langsung akan membuat hidupnya lebih berkualitas. hubungan kopi dengan kualitas hidup wanita menopause di wilayah pedesaan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara konsumsi kopi dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan, dengan nilai p: 0,505. dari 50 responden, hanya 3 responden yang tidak mengkonsumsi kopi. dari ketiganya tidak ada yang memiliki keluhan sedang dan berat terhadap gejala menopause yang dialami. hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian mikkelsen, et al. (2007) yang hasilnya tidak menemukan hubungan signifikan antara konsumsi kopi ataupun alkohol dengan menopause dini. penelitia n ter sebut mer upa ka n penelitia n crossectional dengan jumlah sampel 2123 wanita pascamenopause yang lahir pada tahun 1940-1941 yang berpartisipasi dalam oslo health study. penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan hubungan yang tidak konsisten antara tingkat asupan kafein dan estradiol (e2). beberapa mekanisme menjelaskan efek kafein pada level e2. e2 dan kafein keduanya dimetabolisme oleh enzim hati cyp1a2; polimorfisme dalam enzim ini telah 331sari, istighosah, hubungan olahraga, kopi dan merokok dengan ... dikaitkan dengan kadar e2. beberapa penelitian melaporkan hubungan terbalik antara asupan kafein dan kadar e2 pada wanita premenopause, sedangkan yang lain melaporkan hubungan yang positif (faubion et al., 2015). kopi adalah salah satu minuman paling populer di seluruh dunia. jenis kopi dan metode penyiapan kopi dapat mengubah kandungan kafein dalam secangkir kopi. kopi mencakup beragam senyawa yang, baik secara teratur maupun bersama-sama, dapat memengaruhi gejala menopause. biji kopi berasal dari tanaman kompleks dan terbuat dari banyak unsur kimia yang dapat menimbulkan manfaat dan risiko bagi tubuh manusia. biji kopi adalah sumber polifenol dan lignan dan juga dikenal sebagai sumber utama kafein (bouchard, 2015). jumlah cangkir kopi perhari sering digunakan sebagai penanda untuk paparan kafein. namun, penanda ini tidak tepat karena asupan kafein sangat bervariasi tergantung pada jenis kopi (espresso, kopi instan, dan kopi diseduh), metode pembuatan, dan dari minuman lain (seperti teh, minuman energi, dan soda) (bouchard, 2015). hal ini yang mungkin saja menyeba bka n penelitia n kami menunjukka n hubungan yang tidak signifikan. instrumen penelitian kami tidak memungkinkan untuk memperoleh informasi terperinci tentang jenis dan jumlah kopi yang dikonsumsi, serta metode pembuatannya sehingga berpotensi membuat bias hasil penelitian. hubungan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause di wilayah pedesaan sesuai dengan tabel 1, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara merokok dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan, dengan nilai p: 0,804. dari 50 responden, hanya 1 responden yang merokok. responden tersebut memiliki keluhan yang ringan terhadap gejala menopause yang dialami. merokok memiliki konsekuensi kesehatan yang negatif dan dapat menyebabkan kondisi kesehatan yang lebih buruk pada wanita menopause. merokok dapat menyebabkan penuaan pada ovarium dan ca da nga n folikel denga n mempenga r uhi gonadotropin dan hormon seks dan mungkin juga memiliki efek toksik pada sel-sel ovarium. komponen asap rokok termasuk nikotin dan hidrokarbon polisiklik menghambat konversi estrogen dari androgen menjadi estrogen pada hewan percobaan. kondisi tersebut dapat menurunkan kadar estrogen dalam darah dan kadar puncak hormon luteinizing. efek ini dapat diperburuk oleh efek asap pada metabolisme steroid sitokrom p-450 juga (whitcomb et al., 2018). dari hasil penelitian yang et al. (2015), wanita perokok mengalami menopause lebih awal daripada wanita bukan perokok. wanita perokok memiliki risiko menopause dini lebih tinggi dibandingkan wanita bukan perokok. namun, perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik. dalam penelitian skala besar lainnya, hubungan merokok dengan menopause dikaitkan dengan jumlah merokok setiap hari, jumlah merokok kumulatif, dan durasi merokok (yang et al., 2015). hal ini yang mungkin saja menyebabkan penelitian kami menunjukkan hubungan yang tidak signifikan karena ukuran sampel yang terbatas. dari 50 responden, hanya 1 responden yang merokok. setelah kami telusuri lebih dalam, responden yang bersangkutan hanya merokok saat ingin saja, tidak lebih dari 2 rokok dalam 1 bulan. ketika menafsirkan hasil penelitian kami, harus dipertimbangkan bahwa hubungan yang diamati antara merokok dan risiko menopause dapat menjadi bias jika dilihat dari rendahnya status merokok. beberapa perancu potensial juga tidak dapat dinilai, termasuk wanita menopause yang menjadi perokok pasif. meskipun demikian, karena merokok sudah jelas memiliki dampak buruk terhadap kesehatan, kami tidak menyarankan perubahan pada kebijakan kesehatan masyarakat terkait bahaya rokok bagi kesehatan. kesimpulan hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara olahraga dengan kualitas hidup wanita menopause di wilayah pedesaan. kopi dan merokok tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan. saran olahraga adalah sesuatu yang lebih dari sekadar gaya hidup. olahraga merupakan bentuk terapi bagi wanita menopause yang dapat membuat hidup mereka tetap berkualitas. tidak seperti perawatan dengan obat-obatan, olahraga bekerja secara simultan pada berbagai aspek kesehatan seseorang. oleh karena itu, wanita menopause disarankan untuk rutin berolahraga. untuk jenis olahraga yang dipilih, dise332 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 326–332 suaikan dengan kondisi fisik dan kesehatan masingmasing. salah satu contoh olahraga yang ringan dan mudah dilakukan adalah senam lansia. daftar pustaka arini, l. a. (2018). kualitas hidup menopause yang rutin melakukan latihan fisik orhiba/ : studi pengukuran menggunakan kuisioner whoqolbref. 27–35. asghari, m., mirghafourvand, m., mohammad-alizadehcharandabi, s., malakouti, j., & nedjat, s. (2017). effect of aerobic exercise and nutrition educationon quality of life and early menopause symptoms:a randomized controlled trial. women and health, 57(2), 173–188. h t tps: // doi .or g/ 10. 1080/ 03630242.2016.1157128 bouchard, c. (2015). coffee or caffeine intake and effects on menopausal symptom s: un sol ved i ssue. menopause, 22(2), 129–130. https://doi.org/10.1097/ gme.0000000000000412 d¹browska, j., d¹browska-galas, m., rutkowska, m., & michalski, b. a. (2016). twelve-week exercise training and the quality of life in menopausal women clinical trial. przeglad menopauzalny, 15(1), 20– 25. https://doi.org/10.5114/pm.2016.58769 ewan-whyte, c. (2015). in the clinic. faubion, s. s., sood, r., thielen, j. m., & shuster, l. t. (2015). caffeine and menopausal symptoms: what is the association? menopause, 22(2), 155–158. https://doi.org/10.1097/gme.0000000000000301 harlow, s. d., gass, m., hall, j. e., lobo, r., maki, p., rebar, r. w., … de villiers, t. j. (2012). executive summary of the stages of reproductive aging workshop + 10: addressing the unfinished agenda of staging reproductive aging. journal of clinical endocrinology and metabolism, 97(4), 1159–1168. https://doi.org/10.1210/jc.2011-3362 kandiah, j., & amend, v. (2010). an exploratory study on perceived relationship of alcohol, caffeine, and physical activity on hot flashes in menopausal women. health, 02(09), 989–996. https://doi.org/ 10.4236/health.2010.29146 mikkelsen, t. f., graff-iversen, s., sundby, j., & bjertness, e. (2007). early menopause, association with tobacco smoking, coffee consumption and other lifestyle factors: a cross-sectional study. bmc public health, 7, 1–8. https://doi.org/10.1186/1471-24587-149 nisar, n., & sohoo, n. a. (2009). frequency of menopausal symptoms and their impact on the quality of life of women: a hospital based survey. journal of the pakistan medical association, 59(11), 752–756. pedersen, b. k., & saltin, b. (2015). exercise as medicine evidence for prescribing exercise as therapy in 26 different chronic diseases. scandinavian journal of medicine and science in sports, 25, 1–72. https:/ /doi.org/10.1111/sms.12581 pimenta, f., leal, i., maroco, j., & ramos, c. (2011). per cei ved con tr ol, li fest yle, h eal t h, sociodemographic factors and menopause: impact on hot flashes and night sweats. maturitas, 69(4), 338– 342. https://doi.org/10.1016/j.maturitas.2011.05.005 sasrawita, s. (2017). hubungan pengetahuan, sikap ten t a ng men opause den ga n kesi apa n menghadapi menopause di puskesmas pekanbaru. jurnal endurance, 2(2), 117. https://doi.org/ 10.22216/jen.v2i2.1853 sharma, s., & mahajan, n. (2015). menopausal symptoms and its effect on quality of life in urban versus rural women: a cross-sectional study. journal of midlife health, 6(1), 16. https://doi.org/10.4103/09767800.153606 whitcomb, b. w., purdue-smithe, a. c., szegda, k. l., boutot, m. e., hankinson, s. e., manson, j. e., … bertone-johnson, e. r. (2018). cigarette smoking and risk of early natural menopause. american journal of epidemiology, 187(4), 696–704. https:// doi.org/10.1093/aje/kwx292 yang, h. j., suh, p. s., kim, s. j., & lee, s. y. (2015). effects of smoking on menopausal age: results from the korea national health and nutrition examination survey, 2007 to 2012. journal of preventive medicine and public health, 48(4), 216–224. https:/ /doi.org/10.3961/jpmph.15.021 yohanis, m., tiro, e., & irianta, t. (2013). women in the rural areas experience more severe menopause symptoms. indone j obstet gynecol., 37, 86–91. 357wulandari, su’udi, hubungan tingkat kecacatan dan lama menderita kusta dengan... 357 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan tingkat kecacatan dan lama menderita kusta dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta nawang wulandari1, muhammad su’udi2 1,2prodi keperawatan, stikes patria husada blitar, indonesia info artikel kata kunci: tingkat kecacatan, lama menderita, depresi, kusta abstrak sifat penyakit yang kronis dan kecacatan yang ditimbulkan dari penyakit kusta dapat mengganggu penampilan dan fungsi tubuh penderitanya, ditambah persepsi yang negatif dari masyarakat menimbulkan dampak negatif dalam kesehatan jiwa. penderita akan merasa rendah diri, tekanan batin dan merasa tidak berguna baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat, kondisi ini yang dapat mencetuskan depresi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecacatan dan lama menderita dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok kabupaten blitar. jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. sampel yang digunakan sebanyak 26 responden diambil dengan teknik purposive sampling. metode pengambilan data menggunakan kuesioner zung self-rating depression scale (zsds) dan dianalisis menggunakan uji korelasi spearman. hasil analisis tingkat kecacatan dan lama menderita dengan depresi sama-sama didapatkan nilai p<0,05 yang berarti ada hubungan antara tingkat kecacatan dan lama menderita dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta. depresi dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dukungan, pendapatan, dan karakteristik penyakit sendiri. peningkatan ketahanan terhadap depresi melalui self efficacy sangat diperlukan untuk meningkatkatkan kepercayaan diri penderita dan mantan penderita dalam mengatasi masalahnya. article information abstract the chronic nature of disease and disability resulting from leprosy can disrupt the appearance and function of the sufferer’s body, and the negative perception of the community has a negative impact on mental health. patients will feel inferior, inner pressure and feel useless in both the family and community environment, this condition can trigger depression. this study aims to determine the relationship between the level of disability relationship between disability level and duration of person affected by leprosy with depression of sufferers and former sejarah artikel: diterima, 31/10/2019 disetujui, 18/11/2019 dipublikasi, 05/12/2019 history article: received, 31/10/2019 accepted, 18/11/2019 published, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p357-363&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 358 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 357–363 correspondence address: stikes patria husada blitar east java, indonesia p-issn : 2355-052x pendahuluan penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah psikologis, sosial ekonomi, dan spiritual yang melemahkan individu secara progresif (depkes ri, 2015). penyakit dan deformitas fisik yang ditimbulkan oleh penyakit ini merupakan sumber terjadinya stigma dan isolasi sosial terhadap pasien dan keluarganya dalam masyarakat, yang kemudian dapat mempengaruhi kesehatan mental pasien kusta sendiri maupun keluarganya. program pemerintah untuk mengendalikan kusta sebenarnya sudah berjalan kearah yang semestinya, namun masalah stigma, diskriminasi dan kecacatan masih menjadi masalah bagi orang yang mengalami kusta. beban akibat kecacatan kusta di indonesia sendiri juga masih tinggi (depkes ri, 2015). prevalensi kusta di dunia sudah mengalami penurunan selama 50 tahun terakhir, akan tetapi penularan masih terjadi dan kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang ditandai dengan masih ditemukannya 250.0000 kasus baru yang terdaftar setiap tahun (siagian et al, 2009) rata-rata penemuan penderita kusta di jawa timur per tahun antara 4000–5000 orang. tahun 2012 penderita kusta baru di indonesia sebanyak 18.853 orang dan penderita baru di provinsi jawa timur sendiri sebanyak 25,5% dari jumlah penderita baru di indonesia yaitu 4.807 orang (kemenkes ri, 2018). di kecamatan ponggok, penderita kusta sejak tahun 2009-juni 2019 tercatat 26 penderita dengan tingkat kecacatan adalah 50% (kecacatan tingkat 2). dengan banyaknya kecacatan memunculkan dampak yaitu stigma dan diskriminasi terhadap orang yang pernah terinfeksi kusta. walaupun kusta jarang menimbulkan kematian namun kecacatan yang semakin parah membuat ketakutan bagi orang lain yang melihatnya. akibatnya, meskipun penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi bila fisiknya cacat, maka predikat kusta tetap akan melekat disisa hidupnya. sehingga penderita dan keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat sekitarnya (amirudin, 2012). selain itu, gejala kecacatan yang timbul akibat kusta ini seringkali muncul pada masa reproduksi sehingga menghalangi penderita menjalankan peran dan fungsinya secara normal. mereka menjadi tergantung secara fisik karena cacat, kehilangan kepercayaan diri sebagai hasil isolasi sosial, kualitas hidup secara umum menurun dan bahkan bisa membuat penderitanya menjadi depresi (chin, 2009). penderita kusta sering menyembunyikan keadaan sebagai penderita kusta dan enggan untuk keywords: disability level, duration of suffering, depression, leprosy and length of suffering with depression sufferers and former leprosy sufferers in ponggok district blitar. this type of research is observational analytic with cross sectional approach. the sample used by 26 respondents was taken by purposive sampling technique. the data collection method uses the zung self-rating depression scale (zsds) questionnaire and analyzed using the spearman correlation test. the results of the analysis of the level of disability and duration of suffering with depression both obtained p values <0.05 which means there is a relationship between the level of disability and duration of suffering with depression sufferers and former leprosy sufferers. depression is influenced by many factors including education, gender, marital status, support, income, and the characteristics of the disease itself. increased resistance to depression through selfefficacy is needed to increase the confidence of sufferers and former sufferers in overcoming their problems. © 2019 jurnal ners dan kebidanan email: wulandarinawang23@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p357-363 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p357-363 359wulandari, su’udi, hubungan tingkat kecacatan dan lama menderita kusta dengan... berobat ke pelayanan kesehatan secara teratur. keadaan ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko munculnya cacat bagi penderita sendiri. stigma yang terjadi di masyarakat banyak dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan dan informasi yang salah tentang penyakit kusta sehingga mempengaruhi sikap dan perlakuan masyarakat secara negatif terhadap penderita kusta (widakdo & besral, 2013). adanya cacat tubuh yang mengganggu penampilan dan fungsi ditambah persepsi negatif yang terbentuk dimasyarakat menimbulkan dampak negatif dalam kesehatan jiwa penderita kusta khususnya dalam bentuk depresi (rohmatika, 2012). penanggulangan kusta di indonesia bertujuan untuk mengurangi beban akibat penyakit kusta dengan menurunkan transmisi penyakit, mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui pengobatan dan perawatan yang benar, serta menghilangkan stigma sosial dalam masyarakat (depkes ri, 2015). beberapa upaya telah dilakukan pemerintah dalam penanganan penyakit kusta ini, akan tetapi masih ditemukan beberapa kendala dalam pencapaiannya. salah satu masalah dalam penanggulangan penyakit kusta di indonesia ini adalah masih kuatnya stigma tentang penyakit kusta sedangkan penanganan yang dapat dilakukan masih lebih berfokus pada penyembuhan secara fisik dan belum mengatasi permasalahan psikologis. hal ini menyebabkan penderita kusta merasa tidak berguna, putus asa, tidak berdaya dan tidak mempunyai motivasi untuk bekerja dan beraktivitas. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok sebanyak 26 orang. sampel dalam penelitian ini adalah penderita dan mantan penderita yang memenuhi kriteria inklusi yaitu penderita dan mantan penderita kusta yang teregister di puskesmas bacem dan puskesmas ponggok mulai tahun 2009 sejumlah 26 orang yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. variabel dependen dalam penelitian adalah tingkat kecacatan dan lama menderita kusta. sedangkan variabel independennya yaitu depresi penderita dan mantan penderita kusta. alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner depr esi da r i zung self-rating depression scale (zsds) dan lembar observasi. penelitian ini dilakukan di puskesmas bacem dan puskesmas ponggok ponggok kabupaten blitar pada bulan juli 2019. data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji korelasi spearman karena semua variabel berjenis data ordinal. hasil penelitian variabel kategori f % umur 17-25 tahun 2 7,7 26-35 tahun 1 3,8 36-45 tahun 6 23,1 46-55 tahun 5 19,2 56-65 tahun 7 26,9 > 65 tahun 5 19,2 jenis kelamin laki-laki 17 65,4 perempuan 9 34,6 status perkawinan menikah 25 96,2 tidak menikah 1 3,8 tingkat pendidikan sd 10 38,5 smp 4 15,4 smu/smk 11 42,3 pt 1 3,8 pekerjaan petani 5 19,2 tni/polri 2 7,7 wiraswasta 13 50,0 irt 4 15,4 pns 2 7,7 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa responden terbanyak umur 56–65 tahun sebesar (26,9%), jenis kelamin laki-laki sebanyak 17 orang (65,4%), dengan status perkawinan menikah 25 variabel kategori f % tingkat kecacatan tingkat 0 13 50,0 tingkat 1 4 15,4 tingkat 2 9 34,6 lama menderita > 6–12 bulan 3 11,5 1 – 3 tahun 6 23,1 > 3 tahun 17 65,4 tabel 2 distribusi frekuensi tingkat kecacatan dan lama menderita kusta di kecamatan ponggok 360 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 357–363 orang (96,2%), untuk tingkat pendidikan terbanyak smu/smk 11 orang (42,3%) dan pekerjaan wiraswasta 13 orang (50%). berdasarkan tabel 2 untuk tingkat kecacatan terbanyak pada tingkat 2 yaitu sebanyak 9 orang (34,6%)dengan lama menderita kusta terbanyak >3 tahun 17 orang (65,4%). tabel 3 untuk distribusi tingkat depresi terbanyak pada tingkat sedang sejumlah 16 orang (61,5%) depresi f % ringan 10 38,5 sedang 16 61,5 total 26 100 tabel 3 distribusi frekuensi tingkat depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok dari tabel 4 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki tingkat kecacatan 2 dengan tingkat depresi sedang sebanyak 8 orang (30,8%) dan yang berada ditingkat kecacatan 0 dengan depresi sedang sebanyak 10 orang (38,5%). terdapat pula responden yang berada pada tingkat kecacatan 2 tetapi mengalami depresi ringan ringan sebanyak 1 orang (3,8%). hasil uji korelasi spearman didapatkan nilai p 0,000 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecacatan dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok blitar dengan nilai koefisien korelasi 0,128 menuntingkat kecacatan tingkat depresi total ringan sedang f % f % f % tingkat 0 3 11,5 10 38,5 13 50 tingkat 1 1 3,8 3 11,5 4 15,4 tingkat 2 1 3,8 8 30,8 9 34,6 total 5 19,2 21 80,8 26 100 p 0,000 rs 0,128 tabel 4 hubungan tingkat kecacatan dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok jukkan kekuatan korelasi sangat lemah dengan arah positif. semakin tinggi tingkat kecacatan yang diderita penderita kusta, semakin tinggi pula tingkat depresinya. berdasarkan tabel 5 didapatkan bahwa responden dengan lama menderita kusta >3 tahun dengan tingkat depresi sedang sebanyak 14 orang (53,8%) dan yang >6-12 bulan dengan depresi sedang sebanyak 1 orang (3,8 %). terdapat pula responden dengan lama menderita >3 tahun mengalami depresi ringan ringan sebanyak 3 orang (11,5%). hasil uji korelasi spearman didapatkan nilai lama menderita kusta tingkat depresi total ringan sedang f % f % f % > 6–12 bulan 2 7,7 1 3,8 3 11,5 1 – 3 tahun 0 0 6 23,1 6 23,1 >3 tahun 3 11,5 14 53,8 17 65,4 total 5 19,2 21 80,8 26 100 p 0,004 rs 0,147 tabel 5 hubungan lama menderita dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok 361wulandari, su’udi, hubungan tingkat kecacatan dan lama menderita kusta dengan... p 0,004 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara lama menderita kusta dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta di kecamatan ponggok blitar dengan nilai koefisien korelasi 0,147 menunjukkan kekuatan korelasi sangat lemah dengan arah positif. semakin lama orang menderita kusta semakin tinggi tingkat depresinya. pembahasan hubungan tingkat kecacatan dengan depresi penderita kusta hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecacatan penderita kusta di kecamatan ponggok maksimal pada tingkat 2. penderita yang memiliki tingkat kecacatan 2 dan mengalami depresi sedang sebanyak 8 orang (30,8%), sedangkan penderita yang berada pada tingkat kecacatan 0 dengan tingkat depresi sedang sebanyak 10 orang (38,5%). hal ini sejalan dengan penelitian susanto (2010) yang menyatakan bahwa saat mendapatkan diagnosis kusta, penderita akan merasa sedih dan kecewa kepada dirinya sendiri. perasaan tersebut merupakan respon depresi yang ditunjukkan dengan sikap menarik diri, putus asa dan kesedihan yang mendalam (kaplan, h & sadock, b, 2010). hal ini juga dikarenakan masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, penyakit kutukan sehingga masih ada yang merasa jijik dan takut berdekatan dengan penderita terutama penderita yang mengalami kecacatan. berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji spearmans rho untuk mengetahui hubungan tingkat kecacatan dan depresi penderita kusta didapatkan nilai p 0,000 dan nilai koefisien korelasi 0,128 dimana p<0,05 yang berarti ada hubungan antara tingkat kecacatan dan depresi penderita dan mantan penderita kusta. penderita yang mengalami kecacatan akan mengalami penurunan aktivitas sehari-hari, keterbatasan inilah yang menjadikan mereka enggan dan malu untuk bergaul sehingga merasa tidak berguna. manifestasi cacat berupa bercak putih kemerahan, jari kaki dan tangan terputus dan bekas amputasi memberikan gambaran yang menakutkan dimana hal tersebut juga dapat menimbulkan perasaan rendah diri dan depresi (rohmatika, 2012). beberapa orang bahkan merasa tidak nyaman dan bersikap negatif terhadap penderita kusta yang mengalami kecacatan, hal ini yang membuat penderita sulit untuk membentuk persahabatan dan hubungan lainnya dengan orang lain. kondisi inilah yang sebenarnya akan memperlambat proses penyembuhan kecacatan kusta sendiri (kaur & van brakel, 2012). penderita dengan kecacatan yang menghadapi banyak masalah dan tantangan yang mungkin menempatkan mereka pada peningkatan resiko depresi. depresi dapat dipicu oleh berbagai faktor diantaranya usia, jenis kelamin, status perkawinan, kehilangan pekerjaaan dan pendapatan keluarga, dukungan keluarga, pendidikan, suku dan karakteristik penyakit (amir, 2005). tingkat pendidikan responden yang sebagian berada pada pendidikan dasar yaitu sd (38,5%) dan smp (15,4%) mengakibatkan kurangnya pengetahuan penderita terhadap penyakitnya. susanto (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan yang rendah dapat mengakibatkan penderita kusta kurang mengetahui penyakitnya sehingga penderita kurang memahami akibat buruk yang ditimbulkan dari penyakit tersebut. lumongga (2009) juga menyatakan bahwa tingkat pengetahuan yang baik akan dapat menekan gejala depresi yang dialami. penderita dan mantan penderita yang berpendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang baik mengenai kecacatan yang dialami dan memiliki mekanisme koping yang baik dalam menghadapi masalahnya. selain pendidikan, depresi juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga. dukungan sosial baik dari keluarga maupun lingkungan juga mempengaruhi kondisi psikologis penderita, dukungan dapat berbentuk kasih sayang yang dapat membantu mengembangkan konsep diri pasien kearah positif dan menerima pasien sesuai perubahan-perubahan yang terjadi saat sakit. pada kenyataannya, kecacatan yang dialami penderita memberikan bayangan jijik, ngeri dan takut yang berlebihan kepada masyarakat. dampak sosial tersebutlah yang menyebabkan keresahan mendalam bagi penderita kusta (zulkifli, 2018). banyaknya penderita kusta yang mengalami depresi merupakan akibat dari penolakan sosial masyarakat dan juga penderita kusta sendiri yang tidak bisa menerima keadaan cacat tubuhnya sehingga penderita mengalami kecema san, keputusa saan da n pera saan depresi. a. hubungan lama menderita dengan depresi penderita kusta tabel 5 menunjukkan hubungan lama menderita kusta dengan depresi, penderita yang menderita kusta >6–12 bulan, 1 tahun-3 tahun, dan >3 tahun kesemuanya ada yang menderita depresi sedang, namun ada juga penderita yang lama menderita kustanya >3 tahun menderita depresi ringan. hal 362 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 357–363 ini salah satunya dapat dipengaruhi oleh mekanisme koping seseorang. apabila mekanisme koping yang dilakukan berhasil maka individu tersebut akan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada dirinya. namun apabila koping tersebut tidak berhasil maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan baik fisik maupun psikologis yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan (videbeck, 2008). berdasarkan hasil uji untuk mengetahui hubungan lama menderita dan depresi penderita kusta didapatkan nilai p 0,004 dan nilai koefisien korelasi 0,147 yang berarti ada hubungan antara lama menderita dan depresi. lumongga (2009) menyatakan bahwa ketidakmampuan, ketidaknyamanan, ketergantungan dan pengobatan yang lama mempunyai kecenderungan untuk membuat seseorang menjadi depresi. dalam penelitian ini didapatkan bahwa responden terbanyak laki-laki sebesar 17 orang (65,4%), dimana hampir kesemuanya berperan sebagai kepala keluarga yang berfokus untuk mencari nafkah keluarga. lamanya responden menderita kusta dan tidak kunjung mengalami perbaikan kesehatan pastinya membuat seseorang merasa tidak tidak nyaman yang akan berdampak pada status ekonomi keluarga. status ekonomi keluarga yang kurang baik akan berpengaruh dalam kemampuan keluarga memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang sakit. susanto (2010) menyatakan bahwa tingkat pendapatan keluarga yang rendah akan menurunkan kemampuan keluarga untuk memberikan dukungan pengobatan penderita kusta sehingga penderita beresiko mengalami kecacatan yang pada akhirnya bisa memunculkan depresi. status sosial ekonomi yang rendah merupakan stressor tambahan bagi penderita kusta dimana penderita harus memikirkan penyakit yang dideritanya, memikirkan uang untuk keluarga dan juga untuk pengobatan penyakitnya, hal inilah yang menyebabkan pasien kusta lebih beresiko menglami depresi. selain faktor ekonomi siagian et al (2009) juga menyatakan bahwa pasien kusta yang mengalami depresi akibat penyakit kronis yang diderita dan lamanya pengobatan dan mengalami depresi merupakan akibat dari adanya penolakan sosial masyarakat yang tidak dapat menerima keadaaannya. adanya perubahan tubuh jari-jari yang bengkok, kelopak mata dan tangan yang sulit ditutup, jari tangan dan kaki yang harus dipotong mejadikan penderita merasa malu untuk bertemu orang dan membuat mereka merasa rendah diri. perasaan tersebut merupakan respon dari depresi yang dialami. berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan terhadap fenomena-fenomena yang muncul dalam masyarakat berkaitan dengan stigma diantaranya keluarga penderita berusaha menyembunyikan penderita kusta dari masyarakat, keluarga jarang berkumpul dengan penderita karena takut tertular, masyarakat berusaha menjauhi dan melarang penderita untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial. sikap dari masyarakat dan keluarga sendiri itulah yang menyebabkan penderita kusta mengalami depresi. kesimpulan dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecacatan dan lama menderita dengan depresi penderita dan mantan penderita kusta. depresi yang muncul dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dukungan, pendapatan, dan karakteristik penyakit sendiri. saran diharapkan keluarga dan masyarakat tidak memberikan stigma negatif pada penderita dan mantan penderita kusta sehingga penderita dapat lebih produktif. tenaga kesehatan juga dapat berperan dalam melakukan rehabilitasi melalui program pencegahan kecacatan, membina kelompok perawatan diri, dan rehabilitasi sosial untuk mengurangi masalah psikologis dan stigma. daftar pustaka amir, n. (2005). depresi: aspek neurobiologi, diagnosis dan tatalaksana. jakarta: balai perbit fk-ui. amirudin m.d. (2012). penyakit kusta sebuah pendekatan klinis. makassar: brilian international chin j. (2009). manual pemberantasan penyakit menular. jakarta: infomedika depkes ri. (2015). pedoman nasional pemberantasan penyakit kusta. jakarta: direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan kaplan, h & sadock, b. (2010). sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan psikiatri klinis. jakarta: binarupa aksara. kaur & van brakel. (2012). dehabilitation of leprosy affected people a study on leprosy. lumongga ln. (2009). depresi tinjauan psikologi. jakarta: kencana. kemenkes ri. (2018). profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2017. dinas kesehatan profinsi jawa timur. rohmatika. (2012). gambaran konsep diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan karangsari keca 363wulandari, su’udi, hubungan tingkat kecacatan dan lama menderita kusta dengan... matan neglasari tangerang. jakarta: uin syarif hidayatullah siagian, marchira, siswati. (2009). the influenc of stigma and depresion on quality of life on leprosy patient (serial online). diakses tanggal 25 oktober 2019 susanto t. (2010). pengalaman klien dewasa menjalani perawatan kusta di wilayah kerja puskesmas jenggawah kabupaten jember jawa timur: studi fenomenologi. jawa barat : program pasca sarjana fakultas ilmu keperawatan universitas indonesia. widakdo, g dan besral. (2013). efek penyakit kronis terhadap gangguan mental emosional. jurnal kesehatan mayarakat nasional 7(7): 309-316 videbeck sl. (2008). buku ajar keperawatan jiwa. jakarta:egc zung self depression scale (zsds) ecdeu verion (1965). zung ww, sajatovic m & ramirez lf. rating scales in mental health (2th ed) hudson oh.2003 zulkifli. (2018). penyakit kusta dan masalah yang ditimbulkannya. dipublikasikan oleh usu: digital library. 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 172–177 172 literature review: pemanfaatan media promosi kesehatan (smartphone) dalam mencegah dan mengendalikan kadar gula diabetes tipe 2 (literature review: utilization of health promotion media (smartphone) to prevent and control glucose type 2 diabetes) arief andriyanto, rina nur hidayati community nursing department, stikes bina sehat ppni mojokerto email: ners.arif91@gmail.com abstract: utilization of smartphone technology as a health promotion media has continued to be developed in the past few decades. this technology is used to manage various acute and chronic diseases, one of which is diabetes mellitus. the purpose of this literature review was to describe an intervention that utilizes technology as a media tool in the form of a smartphone in promoting health prevention and glucose control of type 2 diabetes. the database searches used include proquest, sciverse sciencedirect, scopus, pubmed, cohcrane library, ebscohost, clinicalkey, sage publications. keywords used in the search of the article was diabetes type 2, health promotion, telemedicine, smartphone applications, web based, obesity, diabetes exercise, walking, glucose control by getting 29 articles and only 14 articles that were used through goal analysis, topic suitability , research methods used, sample size, research ethics, the results of each article, and limitations that occur.there were effective results in the implementation of health promotion prevention and glucose control of type 2 diabetes by utilizing technology as a media tool such as smartphones and websites. keywords: health promotion, smartphone, glucose, type 2 diabetes abstrak: pemanfaatan teknologi smartphone sebagai media promosi kesehatan terus dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir. teknologi ini dimanfaatkan untuk mengelola berbagai penyakit akut dan kronis, salah satunya adalah penyakit diabetes melitus. tujuan dari literature review ini adalah untuk mendeskripsikan sebuah intervensi yang memanfaatkan teknologi sebagai alat media berupa smartphone dalam melakukan promosi kesehatan pencegahan dan kontrol glukosa diabetes tipe 2. pencarian database yang digunakan termasuk proquest, sciverse sciencedirect, scopus, pubmed, perpustakaan cohcrane, ebscohost, clinicalkey, sage publications. kata kunci yang digunakan dalam pencarian artikel adalah diabetes tipe 2, promosi kesehatan, telemedicine, aplikasi smartphone, berbasis web, obesitas, latihan diabetes, berjalan, kontrol glukosa dengan mendapatkan 29 artikel dan yang digunakan hanya 14 artikel yang sesuai melalui analisis tujuan, kesesuaian topik, metode penelitian yang digunakan, ukuran sampel, etik penelitian, hasil dari setiap artikel, serta keterbatasan yang terjadi.terdapat hasil yang efektif dalam pelaksanaan promosi kesehatan pencegahan dan kontrol glukosa diabetes tipe 2 dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat media seperti smartphone dan website. kata kunci: promosi kesehatan, smartphone, glukosa, diabetes tipe 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p172 –177 it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 173andriyanto, hidayati, literature review: pemanfaatan media ... pendahuluan prevalensi diabetes melitus menurut who di indonesia mengalami peningkatan secara signifikan hingga 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 mendatang. indonesia mengalami peningkatan jumlah penderita diabetes mellitus juga dapat dilihat dari perbandingan data riset kesehatan dasar (riskesdas) pada tahun 2007 sebanyak 5,7% penderita menjadi 6,9% penderita atau sekitar 9,1 juta di tahun 2013. penyakit diabetes melitus akan memberikan sebuah dampak terhadap kualitas hidup penderitanya. masalah akan bertambah menjadi serius apabila penderita diabetes mellitus memiliki gaya hidup yang menetap dengan mengkonsumsi tinggi lemak dan makanan tinggi gula, kurangnya aktivitas fisik, serta tidak dapat mempertahankan berat badan yang ideal (al-khalifa, mathew, al-zaid, mathew, & dashti, 2009). upaya peningkatan kualitas hidup manusia adalah menguatkan pelayanan kesehatan yang mencakup upaya promotif dan preventif. salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan tenaga kesehatan adalah komunikasi informasi dan edukasi yang efektif melalui promosi kesehatan dengan memanfaatkan teknologi sebagai alat media berupa smartphone mengenai penanganan diabetes melitus agar tidak berkelanjutan pada komplikasi. pelayanan yang diberikan secara komprehensif dan berkualitas kepada pasien diabetes mellitus menggunakan media smartphone berupa aplikasi merupakan metode untuk meningkatkan kesadaran pasien diabetes mellitus agar dapat merubah pola makan dan gaya hidup menjadi lebih sehat sehingga dapat memperbaiki berat badan, lingkar pinggang, tekanan darah, dan yang paling utama dapat mengontrol kadar glukosa darah (octa dkk, 2011). aplikasi yang terdapat didalam smartphone adalah alat yang paling efektif untuk promosi kesehatan di masyarakat, namun penerapannya tidak akan efektif jika fitur didalam aplikasi tidak update sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam mempertahankan perubahan perilaku. sebuah studi melaporkan bahwa aplikasi smartphone dan layanan pesan diringkas dalam satu aplikasi yang dinamakan “smartappetite” yang menggunakan tahapan perubahan perilaku yang divalidasi dalam perilaku diet sehat (gilliland et al., 2015). manfaat media smartphone terhadap penderita diabetes mellitus tipe 2, antara lain; penderita memiliki pengetahuan yang baik untuk mendapatkan informasi kesehatan secara langsung, penderita memiliki kesempatan langsung untuk belajar dan melatih dirinya dalam melakukan pencegahan. hasil dari literatur review dapat menjadi saran kepada tenaga kesehatan khususnya perawat, pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam memilih media promosi kesehatan pada penderita diabetes mellitus tipe 2. bahan dan metode metode yang digunakan dalam literatur review ini menggunakan strategi secara komprehensif, seperti pencarian artikel dalam database jurnal penelitian, pencarian melalui internet, tinjauan ulang artikel. pencarian database yang digunakan meliputi pr oquest, sciver se sciencedir ect, scopus, pubmed, cohcr a ne libr a r y, ebscohost, clinicalkey, sage publications. kata kunci yang digunakan dalam pencarian artikel yaitu diabetes type 2, health promotion, telemedicine, smartphone applications, web based, obesity, diabetes exercise, walking, glucose control. terdapat 29 artikel yang diperoleh dan 14 artikel dianalisis melalui analisis tujuan, kesesuaian topik, metode penelitian yang digunakan, ukuran sampel, etik penelitian, hasil dari setiap artikel, serta keterbatasan yang terjadi. tabel 1 artikel review hasil penelitian lari et al. (2017) peneliti judul sampel methode output diabetes & metabolic syndrome/: clinical research & reviews effect of electronic education based on health promotion model on physical activity in diabetic patients. diabetes & metabolic syndrome: clinical research & reviews, 6–11. https://doi.org/ 10.1016/j.dsx.2017.08.013 76 (46/30) kuasi eksperimental perbandingan dua kelompok menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang dicatat dalam skor dukungan keluarga antara dua kelompok (p = 0,052), namun status kesehatan, self-efficacy, benefit, dan dukungan teman dirasakan lebih tinggi dan hambatan dirasakan lebih rendah pada kelompok multimedia dibandingkan kelompok kontrol 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 172–177 peneliti judul sampel methode output davis et al. (2017) dwi et al. (2017) nes et al. (2012) kamboj & krishna (2017) jacobs et al. (2017) joiner et al. (2015) pludwinski et al., (2017) patient education and counseling patient adoption of an internet based diabetes medication tool to improve adherence/ : a pil ot st udy. pati e nt e duc at i on and counseling, 100(1), 174–178. https:// doi.org/10.1016/j.pec.2016.07.024 international journal of nursing sciences predictors of diabetes self-management among type 2 diabetics in indonesia/ : application theory of the health promotion model. international journal of nursing sciences, 4(3), 260–265. https://doi.org/ 10.1016/j.ijnss.2017.06.010 the development and feasibility of a webba sed in t erven ti on wi t h di a ri es a n d situational feedback via smartphone to support selfmanagement in patients with diabetes type 2 §, 7, 1–9. https://doi.org/ 10.1016/j.diabres.2012.04.019 pokémon go/ : an innovative smartphone gaming application with health benefits. primary care diabetes, 11(4), 397–399. https://doi.org/10.1016/j.pcd.2017.03.008 adherence as a predictor of weight loss in a commonly used smartphone application. obesity research & clinical practice, 11(2), 206– 214. https://doi.org/10.1016/ j.orcp.2016.05.001 lifestyl e i n t er vent i ons based on th e diabetes prevention program delivered via ehealth/ : a systematic review and metaanalysis. preventive medicine, 100, 194–207. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2017.04.033 participant experiences in a smartphonebased health coaching intervention for type 2 diabetes/ : a qualitative inquiry, 0(0), 1–7. https://doi.org/10.1177/1357633x15595178 51 127 15 7633 723 abstrak 11 descriptive cross sectional eksperimen deskriptif eksperimen systematic review kualitatif peningkatan self-efficacy dikaitkan dengan penurunan kekhawatiran tentang pengobatan (r = 0,64) prediktor yang signifikan dari manajemen diri diabetes adalah pengobatan, self-efficacy, dan pengaruh situasional yang dirasakan sebelas dari lima belas peserta yang termasuk dalam penelitian menyelesaikan intervensi, yang dievaluasi sebagai dukungan dan bermakna. sebagian besar peserta melaporkan perubahan gaya hidup positif. pokémon go mencontohkan aplikasi smartphone yang sangat sukses yang mempromosikan kesehatan secara khusus dengan memberikan latihan berjalan kaki yang paling efektif. penggunaan aplikasi smartphone dikaitkan dengan penurunan berat badan jangka pendek yang signifikan dan penurunan berat badan ini terkait dengan kepatuhan dua puluh dua studi memenuhi kriteria inklusi/eksklusi, di mana 26 intervensi dievaluasi. sampel terutama berpendidikan dasar dan berpendidikan tinggi. intervensi mencakup aplikasi berbasis web, aplikasi telepon seluler, pesan teks, dvd, panggilan telepon respons suara interaktif, konferensi video telehealth, dan programer ondemand video analisis data kualitatif menghasilkan derivasi empat tema utama yang menggambarkan pengalaman peserta: (a) smartphone dan perangkat lunak, menjelaskan penggunaan smartphone sehubungan dengan perubahan perilaku kesehatan; (b) pelatih kesehatan menggambarkan bagaimana hubungan antara klien / pelatih kesehatan dibantu oleh penggunaan smartphone; (c) kese 175andriyanto, hidayati, literature review: pemanfaatan media ... peneliti judul sampel methode output luruhan pengalaman menggambarkan persepsi tentang keseluruhan intervensi; dan (d) frustasi dalam mengelola kondisi kronis menggambarkan kesulitan dengan kompleksitas manajemen t2dm dari perspektif pasien. jendrike et al. (2017) khansa et al. (2015) tursunbayeva et al., (2017) introduction of a novel smart phonecoupled blood glucose monitoring system. https://doi.org/10.1177/1932296817706594 evaluating the epic electronic medical record system: a dichotomy in perspectives and solution recommendations. health policy and technology. https://doi.org/10.1016/ j.hlpt.2015.10.004 use of social media for e-government in the public health sector/ : a systematic review of publi sh ed st udi es. gove rnme nt information quarterly, 34(2), 270–282. https://doi.org/10.1016/j.giq.2017.04.001 3 sistem reagen 31 2441 abstrak akurasi sistem survey dan intervensi systematic review hasil dari tiga lot sistem pereaksi yang berbeda dalam batas akurasi dan 100% hasil di dalam zona a dari grid kesalahan tema yang diidentifikasi dalam hasil survei kami mencakup kurangnya interaksi dengan penyedia layanan kesehatan, kesulitan dalam menjadwalkan janji temu, kurangnya komunikasi tepat waktu dengan penyedia layanan kesehatan, dan tantangan dalam mengelola perawatan diabetes yang kompleks hasil pencarian yang berpotensi relevan hanya 22 penelitian yang sepenuhnya memenuhi kriteria inklusi. basis bukti sederhana ini sebagian besar bersifat deskriptif, tidak disiplin dan tidak memiliki kedalaman teoritis yang t erl i h at di ca ba n g pen el i t ia n e government lainnya. sebagian besar penelitian diterbitkan dalam limatahun terakhir di jurnal medis, dipusatkan di twitter dan berasal dari negara-negara berpenghasilan tinggi pembahasan penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2 yang efektif harus dapat membantu mengoptimalkan kontrol glikemik dan mengarah pada perbaikan klinis dan hasil metabolisme. rekomendasi saat ini didasarkan pada kesehatan prinsip makan bagi keluarga dengan tujuan untuk berpromosi kebiasaan hidup sehat sepanjang masa sambil menjaga sosial dan psikologis kesejahteraan. asupan energi dan nutrisi penting harus dituju untuk mempertahankan berat badan ideal, meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan, mengoptimalkan kontrol glikemik, sambil meminimalkan risiko komplikasi kronis. penelitian menggunakan intervensi aplikasi smartphone telah dijelaskan layak dan harus diuji dalam skala besar. aplikasi smartphone yang dikembangkan sepertinya merupakan alat yang menjanjikan untuk mendukung pasien diabetes tipe 2 membuat perubahan gaya hidup yang penting. keefektifan intervensi ehealth berbasis dpp pada penurunan berat badan menjadikan sebuah penelitian rujukan untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut yang mengarah pada populasi ras dan etnis yang beragam dengan tingkat pendidikan yang terbatas. penelitian selanjutnya juga harus berfokus pada cara mengoptimalkan dukungan perilaku. sementara banyak aplikasi smartphone untuk weightloss, hanya ada sedikit penelitian terkini mengenai kemampuan mereka dalam memfasilitasi kepatuhan terhadap program penurunan berat badan. beberapa studi yang dipublikasikan pada umumnya menunjukkan bahwa sistem pengiriman smartphone dikaitkan dengan kepatuhan yang lebih besar dan peningkatan berat badan dan hasilnya 176 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 172–177 harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena masalah metodologis. ter da pa t beber a pa bukti ter ba ta s ya ng mendukung keefektifan aplikasi diabetes untuk memperbaiki kontrol glikemik untuk orang dewasa dengan diabetes tipe 2. temuan sangat menyarankan bahwa upaya untuk meningkatkan kepuasan pengguna, diperlukannya untuk memasukkan prinsip-prinsip perubahan perilaku kesehatan yang telah ada dan cocokkan aplikasi dengan karakteristik pengguna, karena akan meningkatkan dampak terapeutik aplikasi diabetes. aplikasi ponsel cerdas kemungkinan harus melakukan peninjauan ulang catatan glukosa secara online serta penyedia harus mempertimbangkan untuk menerapkan intervensi berbasis teknologi ini di klinik untuk mengatasi masalah umum yang dimiliki pasien dengan melakukan pengelolaan sendiri atau secara mandiri. simpulan dan saran simpulan pemanfaatan alat teknologi ponsel cerdas (smartphone) dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan hasil kesehatan melalui aplikasi yang berisi informasi kesehatan terkait diabetes mellitus, video edukasi pencegahan diabetes, video terapi modalitas pengendalian glukosa, permainan pokemon go untuk meningkatkan aktivitas fisik, panduan diet sehat untuk pengendalian berat badan sesuai dengan imt, menu profil riwayat penderita diabetes mellitus. saran ponsel cerdas (smartphone) berisi aplikasi dapat digunakan petugas kesehatan implementasi program pencegahan dan pengendalian diabetes mellitus. daftar rujukan al-khalifa, a., mathew, t. c., al-zaid, n. s., mathew, e., & dashti, h. m. 2009. therapeutic role of lowcarbohydrate ketogenic diet in diabetes. nutrition, 25(11–12), 1177–1185. https://doi.org/10.1016/ j.nut.2009.04.004 chai, s., yao, b., xu, l., wang, d., sun, j., yuan, n., … ji, l. 2018. patient education and counseling the effect of dia bet es sel f-m an agemen t educat ion on psychological status and blood glucose in newly diagnosed patients with diabetes type 2. patient education and counseli ng. https:/ /doi.or g/ 10.1016/j.pec.2018.03.020 d’souza, m. s., ruppert, s. d., parahoo, k., karkada, s. n., amirtharaj, a., jacob, d., … al salmi, n. m. d. (2016). foot care behaviors among adults with type 2 diabetes. primary care diabetes, 10(6), 442–451. https://doi.org/10.1016/j.pcd.2016.04.002 davis, s. a., carpenter, d., cummings, d. m., lee, c., blalock, s. j., scott, j. e., … sleath, b. 2017. patient education and counseling patient adoption of an internet based diabetes medication tool to improve adherence/ : a pilot study. patient education and counseling, 100(1), 174–178. https://doi.org/ 10.1016/j.pec.2016.07.024 dwi, a., amatayakul, a., & karuncharernpanit, s. 2017. international journal of nursing sciences predictors of diabetes self-management among type 2 diabetics in indonesia/ : application theory of the health promotion model. international journal of nursing sciences, 4(3), 260–265. https://doi.org/10.1016/ j.ijnss.2017.06.010 gilliland, j., sadler, r., clark, a., connor, c. o., milczarek, m., & doherty, s. 2015. using a smartphone application to promote healthy dietary behaviours and local food consumption, 2015. https:// doi.org/10.1155/2015/841368 jacobs, s., radnitz, c., & hildebrandt, t. 2017. adherence as a predictor of weight loss in a commonly used smartphone application. obesity research & clinical practice, 11(2), 206– 214. https://doi.org/ 10.1016/j.orcp.2016.05.001 jendrike, n., baumstark, a., chen, c., rittmeyer, d., haug, c., & freckmann, g. 2017. introduction of a novel smartphonecoupled blood glucose monitoring system. https://doi.org/10.1177/1932296817706594 joiner, k. l., nam, s., & whittemore, r. 2017. lifestyle interventions based on the diabetes prevention program delivered via ehealth/ : a systematic review and meta-analysis. preventive medicine, 100, 194– 207. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2017.04.033 kamboj, a. k., & krishna, s. g. 2017. pokémon go/ : an innovative smartphone gaming application with health benefits. primary care diabetes, 11(4), 397– 399. https://doi.org/10.1016/j.pcd.2017.03.008 khansa et al. 2015. evaluating the epic electronic medical record system: a dichotomy in perspectives and solution recommendations. health policy and technology. https://doi.org/10.1016/j.hlpt.2015.10. 004. lari, h., tahmasebi, r., & noroozi, a. 2017. diabetes & metabolic syndrome/ : clinical research & reviews effect of electronic education based on health promotion model on physical activity in diabetic patients. diabetes & metabolic syndrome: clinical research & reviews, 6–11. https://doi.org/10.1016/ j.dsx.2017.08.013 177andriyanto, hidayati, literature review: pemanfaatan media ... nes, a. g., dulmen, s. van, eide, e., & finset, a. 2012. the development and feasibility of a web-based intervention with diaries and situational feedback via smartphone to support selfmanagement in patients with diabetes type 2 §, 7, 1–9. https:// doi.org/10.1016/j.diabres.2012.04.019 octa p, i., tjahjono d.k., k., & nuggetsiana s, a. 2011. pengaruh frekuensi konseling gizi dan gaya hidup terhadap indeks massa tubuh, lingkar pinggang, tekanan darah, dan glukosa darah pada penderita diabetes mellitus, 1–19. pludwinski, s., ahmad, f., wayne, n., & ritvo, p. 2015. participant experiences in a smartphone-based health coaching intervention for type 2 diabetes/ : a qualitative inquiry, 0(0), 1–7. https://doi.org/ 10.1177/1357633x15595178 tursunbayeva, a., franco, m., & pagliari, c. 2017. use of social media for e-government in the public health sector/ : a systematic review of published studies. government information quarterly, 34(2), 270–282. https://doi.org/10.1016/j.giq.2017.04.001 123wulaningtyas, triwulan, hubungan kejadian flour albus... 123 hubungan kejadian flour albus dengan tingkat kecemasan terhadap infeksi maternal pada wus (relationship between albus flour events and anxiety levels maternal infection at wus) abstract: anxiety is an uncomfortable feeling or uncertain great scare, which happened as a reaction to something that is being experienced by someone, such as health problems. one of the important health problem for woman is about having flour albus. this study aimed to analyze the relationship between flour albus prevelance and anxiety to the occurance of maternal infection in woman at campurejo vilage, kediri district. the design was analytical survey with cross sectional approach. the population in this study was all woman at campurejo distric as many as 227 womans, while the samples were 143 woman taken by using purposive sampling. the measurement of the variables was conducted through questionnaire. the data was analyzed using chi square test. the result of analysis was x2 =10,996 > 9,488, showing that there was relationship between flour albus prevalence and anxiety to the occurance of maternalinfection in women at campurejo vilage , kediri district. woman in reproductive age expected to maintain the cleanliness of the reproductive organs. keywords: flour albus, anxiety, maternal infection abstrak: kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau ketakutan besar yang tidak pasti, yang terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang, seperti masalah kesehatan. salah satu masalah kesehatan yang penting bagi wanita adalah fluor albus. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kejadian fluor albus dan kecemasan terhadap kejadian infeksi maternal pada wanita di desa campurejo, kabupaten kediri. desain penelitian adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita di kecamatan campurejo sebanyak 227 wanita, sedangkan sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling. pengukuran variabel dilakukan melalui kuesioner. data dianalisis menggunakan uji chi square. hasil analisis adalah x2 = 10,996> 9,488, menunjukkan bahwa ada hubungan antara prevalensi fluor albus dan kecemasan terhadap terjadinya infeksi maternal pada wanita di desa campurejo, kabupaten kediri. wanita yang memasuki usia subur diharapkan menjaga kebersihan organ reproduksi. kata kunci: fluor albus, kecemasan, infeksi maternal jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p123–128 pendahuluan masa terpenting bagi seorang perempuan yaitu masa usia subur yang berlangsung hingga 35 tahun. dimana pada masa subur ini telah terjadi suatu perubahan antara lain membesarnya payudara, pembesaran mulut rahim, perubahan pada pinggul, dan perubhan warna kulit tubuh. menstruasi pada masa ini paling teratur dan siklus pada alat genital bermakna untuk memungkinkan kehamilan. pada masa ini terjadi ovulasi kurang lebih 450 kali. kondisi yang perlu dipantau pada masa usia subur adalah perawatan antenatal, jarak kelahiran, deteksi dini email: ekosriw81@gmail.com eko sri wulaningtyas, evita widyawati akademi kebidanan medika wiyata kediri it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 124 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 124–128 kanker payudara dan leher rahim, serta infeksi menular seksual (kumalasari dan andhyantoro, 2012). keteraturan menstruasi yang dialami oleh wanita usia subur, secara fisiologis berpotensi menimbulkan keputihan pada wanita. keputihan atau flour albus adalah semua pengeluaran cairan alat genitalia yang bukan darah. keputihan fisiologis dijumpai pada keadaan menjelang menstruasi, pada saat keinginan seksual meningkat, dan pada waktu hamil (manuaba, 2010). di indonesia sendiri didapatkan data 75% wanita pernah mengalami keputihan minimal sekali dalam seumur hidup dan 45% sisanya bisa mengalami keputihan sebanyak dua kali atau lebih seumur hidup (bkkbn 2009 dalam adawiyah, 2015). berdasarkan hasil penelitian oleh khuzaiyah, dkk (2015) di pekalongan, didapatkan hasil jika sebagian besar wanita yang mengalami keputihan adalah golongan wanita usia subur (20-35 tahun). menurut manuaba (2010), keputihan merupakan manifestasi gejala dan hampir semua penyakit kandungan. maka, untuk megetahui kondisi kesehatan reproduksi wanita khususnya keputihan yang sedang dialami itu dalam keadaan patologi ataukah fisologi. keputihan patologis disebabkan oleh adanya tumor atau cancer, dan terjadi infeksi. oleh karena itu, setiap wanita harus melakuakn test diagnostik di laboratorium dan pap smear untuk kemungkinan keganasan. sekitar 75% wanita di dunia pernah mengalami keputihan paling tidak sekali seumur hidup. (boyke, 2008) penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti bulan maret tahun 2009 dari 20 respondent yang terlihat dalam penelitian 10 orang (50%) memiliki pengetahuan cukup, 9 orang (45%) memiliki pengetahuan baik dan 8 orang (40%) memiliki pengetahuan kurang. berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa umumnya remaja putri yang menjadi responden mempunyai pengetahuan yang kurang tentang flour albus (eni, 2008). pengetahuan kurang bisa menimbulkan kecemasan yang terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang, seperti halnya masalah kesehatan. salah satu masalah kesehatan yang penting bagi wus adalah mengenai penyakit kandungan, dimana salah satu tanda gejala dari penyakit kandungan tersebut adalah terjadinya flour albus. bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan corelation antara kejadian flour albus dengan kecemasan terhadap terjadinya infeksi maternal. pendekatan yang digunakan cross sectional, dimana kedua variabel diobservasi sekali pada waktu yang sama.populasi dalam penelitian ini adalah wanita usia subur di desa campurejo sejumlah 227. sampel penelitian ini adalah sebagian wus di desa campurejo kediri, sebanyak 143, diambil dengan teknik pusposive sampling pada wanita usia 20 sd 49 tahun yang bersedia menjadi responden. variabel independen dalam penelitian ini adalah kejadian flour albus.variabel dependen dalam penelitian ini adalah kecemasan terhadap terjadinya inveksi maternal. teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square. hasil penelitian data umum umur hasil penelitian mengenai distribusi umur responden di desa campurejo ditunjukkan dalam tabel berikut: usia (tahun) f % < 22 tahun 0 0 > 22 tahun 143 0 jumlah 143 100 tabel 1 distribusi frekuensi umur responden berdasarkan tabel 1 diketahui seluruh responden, yaitu sejumlah 143wus (100%) berusia antara > 22 tahun. data khusus data ini menggambarkan kejadian flour albus dan kecemasan terhadap penyakit kandungan. kejadian flour albus hasil penelitian mengenai kejadian keputihan pada responden di desa campurejo ditunjukkan dalam tabel berikut: kejadian flour albus f % mengalami 122 84,2 tidak mengalami 21 15,8 jumlah 143 100 tabel 2 distribusi frekuensi kejadian flour albus 125wulaningtyas, triwulan, hubungan kejadian flour albus... berdasarkan tabel 3 diketahui sebagian besar responden mengalami kecemasan dengan tingkat sedang yaitu sebanyak 104 responden (71,9%) dari total 143 responden. hubungan kejadian flour albus dengan kecemasan terhadap infeksi maternal. berdasarkan tabel 2 diketahui sebagian besar dari responden mengalami flour albus yaitu sebanyak 122 responden (84,2%) dari total 143 responden. kecemasan terhadap infeksi maternal hasil penelitian mengenai kecemasan terhadap infeksi maternal pada responden di desa campurejo ditunjukkan dalam tabel berikut: tingkat kecemasan f % tidak ada 33 23,3 kecemasan ringan 104 71,9 kecemasan sedang 6 4,8 kecemasan berat 0 0 jumlah 143 100 tabel 3 distribusi frekuensi kecemasan terhadap infeksi kandungan value df asymp.sig. (2-sided) person chi square 10.996a 2 .004 likelihood ratio 9.958 2 .007 linear-by-linear association 4.682 1 .030 n of valid cases 146 tabel 4 uji korelasi chi square hubungan kejadian fluor albus dengan kecemasan terhadap penyakit kandungan berdasarkan hasil dari tabel 4 diketahui bahwa x2 = 10,996 >9,488 maka ho ditolak sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara kejadian flour albus dengan kecemasan terhadap penyakit kandungan pada wus di man purwoasri kabupaten kediri. pembahasan kejadian flour albus hasil penelitian sebagian besar dari responden mengalami flour albus yaitu sebanyak 123 responden (84,2%) dari total 146 responden. hal ini sesuai dengan konsep yang disampaikan tjitraresmi (2010) menya taka n ba hwa wa nita a ka n menga la mi keputihan karenahal itu merupkan proses yang normal. namun, jika keputihan berlangsung terus menerus, maka perlu berhati-hati karena dapat erjadi infeksi baik disebabkan bakteri, virus dan jamur. flour albus yang nomal adalah cairan dari vagina sesudah mendapat haid yang pertama, dari kelenjar yang terdapat pada cervix yang menimbulkan lendir karena pengaruh hormon estrogen, dan jumlah yang keluar berubah-ubah sesuai siklus haid, terdiri dari cairan yang kadang berupa mucus yang mengandung banyak epitel dan leukosit yang jarang, banyak ditemukan pada bayi baru lahir sampai umur 10 tahun, sekitar menarche, wanita dewasa apabila mendapat rangsangan dan waktu coitus atau sekitar ovulasi serta pada wanita dengan penyakit menahun, dengan neurosis dan wanita dengan ektropion porsionis uteri (wiknjosastro, 2009). flour albus normal memiliki ciri-ciri berwarna bening, kadang-kadang putih kental, tidak berbau, tanpa disertai keluhan (misal gatal, nyeri, rasa terbakar, dan sebagainya). keluar saat menjelang dan sesudah menstruasi atau saat stress dan kelelahan (wijayanti, 2009). flour albus yang abnormal menimbulkan rasa gatal, nyeri di dalam vagina atau sekeliling saluran pembuka vula. umumnya dipicu kuman penyakit (pathogen) dan menyebabkan infeksi. akibat timbulnya gejala yang sangat mengganggu, seperti berubahnya warna cairan menjadi kekuningan hingga kehijauan, jumlah berlebih, da berbau serta menimbulkan rasa gatal di daerah sekitar vagina (wiknjosastro, 2009). berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa kejadian fluor albus pada wanita usia subur (wus) merupakan hal yang normal (fisiologis), jika fluor albus yang dikeluarkan memiliki ciri-ciri yang normal. hal ini sesuai dengan penelitian oleh elmia (2017) tentang faktor yang mempengaruhi fluor albus pada remaja putri di sma pgri pekanbaru menunjukkan 125 responden sebanyak 119 atau 95,2% mengalami fluor albus normal, seorang wanita harus tetap berhati-hati dengan kejadian flour albus yang fisiologis, karena apabila dibiarkan dapat saja hal tersebut berubah menjadi patologis. untuk itu, semua wus wajib memperhatikan kebersihan dan kesehatan organ genetalianya, serta harus paham benar apakah flour albus yang dikeluarkan termasuk normal atau tidak normal. 126 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 124–128 kecemasan terhadap infeksi maternal hasil penelitian yang dilakukan di desa campurejo kota kediri menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami kecemasan terhadap penyakit kandungan dengan tingkat ringan yaitu sebanyak 104 responden (71,9%) dari total 143 responden. hal ini sesuai dengan pernyataan prawirohardjo (2014) yang mengatakan bahwa seorang perempuan yang menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan genetalianya, cenderung menunjukkan gejala kecemasan, kegelisahan, rasa takut, dan rasa malu, sehingga saat menghadapi seorang penderita ginekologik, terutama pada pemeriksaan pertama kali, yang sangat diperlukan adalah pengertian (simpati), kesabaran dan sikap yang menimbulkan kepercayaan. kecemasan merupakan gangguan alam perasaan yang ditandai dengan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh, prilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (hawari, 2013). hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagain besar responden mengalami kecemasan dengan tingkat ringan. faktor terbesar yang mempengaruhi responden mengalami tingkat kecemasan yang ringan adalah karena banyaknya responden yang juga mengalami fluor albus. penelitian yang berkaitan dengan ini oleh wawan, 2017 menunjukkan bahwa dari 40 wus 62,5% mengalami kecemasan ringan dan 37,5% mengalami kecemasan sedang. frekuensi yang banyak tersebut akan menurunkan tingkat kecemasan seseorang, karena orang tersebut beranggapan bahwa ia tidak sendiri dalam mengalami flour albus. hubungan kejadian fluor albus dengan kecemasan terhadap infeksi hasil penelitian menunjukkan bahwa x2 hitung = 7,581 < 9,488 maka ho ditolak sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara kejadian flour albus dengan kecemasan terhadap infeksi maternal pada wus di desa campurejo kota kediri. hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan nugroho (2008) bahwa kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas dan hebat. hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang. dalam penelitian ini, sesuatu yang dimaksud adalah kejadian flour albus. dari penelitian yang dilakukan yanti et al, 2016, membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kecemasan dan perilaku vulva hygiene terhadap kejadian keputihan, dengan perilaku vulva hygiene memiliki arah negatif, artinya semakin buruk perilaku vulva hygiene maka kejadian keputihan akan semakin tinggi, dan tingkat kecemasan memiliki arah positif, artinya semakin rendah tingkat kecemasan responden maka kejadian keputihan akan semakin rendah pula. flour albus (leukorea) cukup mengganggu penderita baik fisik maupun mental (prawiroharjo, 2014). adapun salah satu bentuk gangguan pada mental adalah kecemasan (keliat, 2009). salah satu stressor pencetus kecemasan adalah ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan terjadi atau menurunkan kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. pada ancaman ini, stressor yang berasal dari sumber eksternal adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan fisik (misal infeksi virus, polusi udara). sedangkan yang menjadi sumber internalnya adalah kegagalan mekanisme fisiologi tubuh (misal sistem jantung, sistem imun, pengaturan suhu dan perubahan, fisiologis selama kehamilan) (riyadi & sujono, 2009). hasil penelitian menunjukkan bahwa responden merasa cemas terhadap kemungkinan terjadinya penyakit kandungan, sebab ia mengalami flour albus. berdasarkan hasil penggalian informasi yang dilakukan kepada responden, mereka beranggapan bahwa semuaflour albus merupakan tanda dan gejala adanya penyakit kandungan. flour albus cukup mengganggu penderita baik fisik maupun mental. sifat dan banyaknya keputihan dapat memberikan petunjuk ke arah etiologinya. perlu diketahui sudah berapa lama keluhan itu, terjadinya terus menerus atau hanya pada waktuwaktu tertentu saja, seberapa banyaknya, apa warnanya, baunya, disertai rasa gatal/tidak (prawirohardjo, 2014). untuk itu, responden perlu mengetahui jenis flour albus yang normal (fisiologis) dan flour albus seperti apa yang mengidentifikasikan adanya inveksi maternal. selain itu, responden hendaknya juga berusaha untuk mengatasi flour albus yang dialaminya meskipun itu tergolong dalam flour albus yang fisiologis. prawirohardjo (2014) menyatakan bahwa, fluor albus merupakan suatu proses yang fisiologis. 127wulaningtyas, triwulan, hubungan kejadian flour albus... namun, fluor albus dapat berubah menjadi patologis jika bakteri yang menginvasi traktus genetalia meningkat ataupun karena penurunan daya tahan tubuh wanita tersebut. adapun menurut bahari (2012), beberapa cara untuk mengatasi keputihan diantaranya:mengenakan pakaian berbahan sintetis yang tidak ketat, jangan menggunakan wc yang kotor karena kemungkinan adanya bakteri yang dapat mengotori organ kewanitaan, mengganti celana dalam secara rutin terutama jika berkeringat, mengurangi konsumsi makanan manis karena akan meningkatkan kadar gula dalam air kencing dan menjadi tempat bakteri untuk tumbuh, mengurangi penggunaan pembersih vagina karena akan membunuh mikroorganisme normal dalam vagina, mengganti pembalut secara rutin saat haid, menghindari berganti-ganti pasangan, mengurangi aktivitas fisik yang melelahkan, dan menghindari penggunaan tissue yang terlalu sering. kesimpulan ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kecemasan dan perilaku vulva hygiene terhadap kejadian keputihan, dengan perilaku vulva hygiene memiliki arah negatif, artinya semakin buruk perilaku vulva hygiene maka kejadian keputihan akan semakin tinggi, dan tingkat kecemasan memiliki arah positif, artinya semakin rendah tingkat kecemasan responden maka kejadian keputihan akan semakin rendah pula. simpulan dan bahan simpulan hasil penelitian sebagian besar dari responden mengalami flour albus yaitu sebanyak 123 responden (84,2%) dari total 146 responden, dan hasil penelitian yang dilakukan di desa campurejo kota kediri menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami kecemasan terhadap penyakit kandungan dengan tingkat ringan yaitu sebanyak 104 responden (71,9%) dari total 143 responden, serta menunjukkan bahwa x2 hitung = 7,581 < 9,488 maka ho ditolak sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara kejadian flour albus dengan kecemasan terhadap infeksi maternal pada wus di desa campurejo kota kediri. saran wanita yang memasuki usia subur diharapkan menjaga kebersihan organ reproduksi diantaranya: mengenakan pakaian berbahan sintetis yang tidak ketat, jangan menggunakan wc yang kotor karena kemungkinan adanya bakteri yang dapat mengotori organ kewanitaan, mengganti celana dalam secara rutin terutama jika berkeringat, mengurangi konsumsi makanan manis karena akan meningkatkan kadar gula dalam air kencing dan menjadi tempat bakteri untuk tumbuh, mengurangi penggunaan pembersih vagina karena akan membunuh mikroorganisme normal dalam vagina, mengganti pembalut secara rutin saat haid, menghindari berganti-ganti pasangan, mengurangi aktivitas fisik yang melelahkan, dan menghindari penggunaan tissue yang terlalu sering daftar rujukan adawiyah, k. d. 2015. “hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan reproduksi dengan kejadian keputihan (flour albus) pada siswi smasederajat di wilayah tangerang selatan”.skripsi fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan uin syarif hidayatullah jakarta bahari, h. 2012. cara mudah atasi keputihan. jakarta: buku biru boyke.2008. tanda dan ge j al a kanke r mulut rahim.http://www.pdpersi.co.id. (diakses tanggal 05 januari 2018). kursani, e, marlina, h olfa, k : faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya flour albus (keputihan) pada remaja putri di sma pgri pekanbaru tahun 2013. jurnal maternity and neonatal volume 2 no 1. eny, r a,. 2008. asuhan kebidanan nifas. jogjakarta: mitra cendikia offset hawari, h. d. 2013. manajemen stress cemas dan depresi. jakarta: fk ui keliat, b. a. 2009. proses keperawatan jiwa. jakarta: egc khuzaiyah, s., krisiyanti, r., mayasari, c. m. 2015. karakteristik wanita dengan flour albus. jurnal ilmiah kesehatan (jik) vii (1) kumalasari, i. & andhyantoro, i. 2012. kesehatan reproduksi untuk mahasiswa kebidanan dan keperawatan. jakarta: salemba medika manuaba, iac., i bagus, dan ib gde. 2010. ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan kb untuk pendidikan bidan. edisi kedua. jakarta: egc nugroho 2008. keperawatan gerontik. buku kedokteran egc: jakarta. prawirohardjo, s. 2014. ilmu kandungan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo riyadi, s & sujono, t. 2009. asuhan keperawatan jiwa. yogyakarta: graha ilmu tjitraresmi a., kusuma, s. a. f., rusmiati, d. 2010. “formulasi dan evaluasi sabun cair antikeputihan dengan ekstrak etanol kubis sebagai zat aktif”. 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 124–128 penelitian dipa. fakultas farmasi universitas padjajaran bandung wijayanti, d. 2009. fakta penting sekitar reproduksi wanita. yogyakarta: diglosia printika wiknjosastro, h. 2009. ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo wawan rismawan, 2017.gambaran tingkat kecemasan wanita usia subur 20-45 tahun yang mengalami keputihan di rw 01 kelurahan setiajaya kecamatan cibeureum kota tasikmalaya. http:// ejurnal.stikes-bth.ac.id/index.php/p3m_jkbth/ article/view/203. yanti dem, sulistianingsih a, karani e. 2016. upaya meningkatkan kebersihan genetalia remaja putri untuk mencegah kejadian fluor albus. jurnal gaster, vol.14, no.2 292 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 292–299 292 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan kadar ureum, hemoglobin dan lama hemodialisa dengan kualitas hidup penderita pgk info artikel kata kunci: hemodialisa, hemoglobin, kualitas hidup, ureum. abstrak penderita penyakit ginjal kronik mengalami penumpukan produk sisa dalam darah khususnya ureum yang menjadi toksin bagi tubuh. anemia pada pasien pgk menyebabkan badan lemah dan penurunan perfusi jaringan. terapi hemodialisa bisa menjadi stresor bagi pasien, karena terapi ini memerlukan waktu yang lama, keadaan ini berpotensi menurunkan kualitas hidup pasien. tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan kadar ureum, hemoglobin dan lama hemodialisa dengan kualitas hidup penderita pgk di ruang hemodialisa rs dr soepraoen. desain penelitian ini menggunakan kolerasional dengan pendekatan cross sectional. responden adalah penderita pgk dengan terapi hemodialisis di ruang hemodialisa rs dr soepraoen malang. sampel sejumlah 92 responden yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi. variabel yang diteliti adalah ureum, hemoglobin, lama hemodialisa dan kualitas hidup. analisa data menggunakan uji korelasi somers’d gamma. berdasarkan hasil uji korelasi somers’d gamma menunjukkan ada hubungan antara ureum dengan kualitas hidup responden dibuktikan dengan nilai p= 0,025 , r = 0,4. ada hubungan antara kadar hemoglobin dengan kualitas hidup responden dibuktikan nilai p= 0,012 , r = 0,4. tidak ada hubungan antara lama hemodialisa dengan kualitas hidup responden dibuktikan nilai p= 0,609, r = 0,6. hasil penelitian ini meningkatkan kemampuan berpikir kritis perawat yaitu perubahan ureum dan hemoglobin berdampak pada kualitas hidup pasien pgk. the relationship between urea level, hemoglobin, and length of hemodialysis with the quality of life of patients with ckd article information keywords: hemodialysis, hemoglobin, quality of life, urea. abstract patients with chronic kidney disease experience a buildup of waste products in the blood, especially urea which is toxic to the body. anemia in ckd patients causes weak body and decreased tissue perfusion. hemodialysis therapy can be a stressor for patients, because this therapy requires a long time, this situation has the potential to reduce the quality of life of patients. the purpose of this study was to determine the relationship of urea levels, hemoglobin and duration of hemodialysis with the quality of sejarah artikel: diterima, 07/09/2019 disetujui, 08/11/2019 dipublikasi, 02/11/2019 history article: received, 07/09/2019 accepted, 08/11/2019 published, 02/12/2019 ardhiles wahyu kurniawan1, juliati koesrini2 1,2, prodi keperawatan, poltekkes rs dr soepraoen, indonesia http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p292-299&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 293kurniawan, koesrini, hubungan kadar ureum, hemoglobin, dan... life of patients with ckd in the hemodialysis room of dr. soepraoen hospital. the design of this study uses a cross-sectional study. respondents were ckd sufferers with hemodialysis therapy in the hemodialysis room at dr. soepraoen hospital, malang. sample were 92 respondents who met the exclusion and inclusion criteria. the variables were urea, hemoglobin, length of hemodialysis and quality of life. data analysis uses the gamma correlation test. based on the gamma correlation test results showed that there was a relationship between the ureum and the quality of life of the respondents as evidenced by the value of p = 0.025, r = 0.4. there was a relationship between hemoglobin levels with the quality of life of the respondents as evidenced by the value of p = 0.012, r = 0.4. there was no relationship between the length of hemodialysis with the quality of life of respondents as evidenced by the value of p = 0.609, r = 0.6. the results of this study improve the critical thinking skills of nurses, namely changes in urea and hemoglobin affect the quality of life of ckd patients. © 2019 jurnal ners dan kebidanan pendahuluan penyakit ginjal kronik (pgk) atau dulu disebut gagal ginjal kronik (ggk) merupakan kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal < 60% dari ginjal normal, bersifat progresif dan ireversibel (black & hawk, 2009). pada pasien dengan lfg < 60 ml/ min/1,73 m2 mulai timbul berbagai keluhan seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. gejala ini akibat penumpukan produk sisa dalam darah khususnya ureum yang menjadi toksin bagi tubuh (suwitra, 2014). gejala klinis pasien pgk disebabkan juga oleh anemia yang berdampak pada badan lemah dan penurunan perfusi jaringan. ginjal yang rusak tidak mampu memproduksi erytropoetin yang merangsang sumsung tulang memproduksi sel darah merah (national kidney foundation, 2008). terapi pengganti fungsi ginjal yang bertujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme salah satunya adalah hemodialisa. terapi hemodialisa kadang menjadi stresor bagi pasien, karena terapi ini memakan waktu yang lama dan memiliki efek samping (liu et al., 2008). pasien pgk dengan berbagai gejala klinis yang muncul menjadi sangat bergantung kepada tenaga kesehatan, pasien tidak produktif, maka hal tersebut berpotensi menurunkan kualitas hidup pasien gagal ginjal (nurchayati, 2011). hasil riskesdas (2013), populasi penderita pgk dewasa di indonesia sebesar 0,2%, angka ini lebih rendah karena hanya menangkap data orang yang terdiagnosis pgk sedangkan sebagian besar pgk di indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir. sementara data populasi pgk di jawa timur didapatkan sebesar 0,3%. hasil penelitian cruz et al (2011) pada 155 pasien pgk dengan stadium 1-5 didapatkan penurunan kualitas hidup di semua tahap penyakit ginjal. penelitian nguyen ntq et al (2018) didapatkan orang dengan pgk yang lebih parah memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang memiliki fungsi ginjal yang lebih baik. orang yang memiliki fungsi ginjal normal dibandingkan dengan orang yang mengalami pgk stadium 1, stadium 2, stadium 3 dan stadium 4/5 ckd mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,11, 0,18 dan 0,28 dalam indeks utilitas mereka. penatalaksanaan penyakit ginjal kronik bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan keseimbangan secara maksimal sehingga memperpanjang harapan hidup klien (prabowo, 2014). pasien yang menderita penyakit ginjal kronik stadium akhir atau end-stage, yaitu pada laju filtrasi glomerulus (lfg) kurang dari 15 ml/mnt memerlukan terapi pengganti ginjal correspondence address: poltekkes rs dr. soepraoen malang, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: ardhi17wk@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p292-299 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p292-299 294 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 292–299 ber upa hemodialisis, peritoneal dialisis a tau transplantasi ginjal (suwitra, 2014). ureum merupakan pr oduk nitrogen yang dikeluarkan ginjal berasal dari diet protein. pada penderita gagal ginjal, kadar ureum serum memberikan gambaran tanda paling baik untuk timbulnya ureum toksik dan merupakan gejala yang dapat dideteksi dibandingkan kreatinin. kadar ureum pasien pgk sebelum melakukan hemodialisis masih berada pada level abnormal, dan rata-rata juga mengalami hiperuremik (martini, 2010). pasien pgk dengan anemia dan mendapatkan terapi perbaikan hingga mencapai kadar hb 11-12 gr/dl memiliki peningkatan kualitas hidup baik secara fisiologis dan psikologis (brunelli & berns, 2009). kualitas hidup (quality of life) merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk mendapatkan hidup yang normal terkait persepsi secara individu terhadap kehidupan yang dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut (adam, 2006 dalam nursalam, 2013). kualitas hidup digunakan dibidang pelayanan kesehatan untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial, dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan kegiatan dalam kehidupan secara normal dan dampak sakit yang berpotensi menurunkan kua litas hidup ter kait keseha ta n (br ooks & anderson, 2008). berdasarkan uraian diatas maka diperlukan penelitian tentang hubungan kadar ureum, hemoglobin dan lama hemodialisa dengan kualitas hidup penderita ggk. metode penelitian ini menggunakan desain penelitian kolerasional dengan pendekatan cross sectional. responden adalah penderita pgk yang menjalankan terapi hemodialisis di ruang hemodialisa rs dr soepraoen malang. populasi responden di ruang hemodialisa sebanyak 180 orang. pengambilan sampel dengan purposive sampling didapatkan responden sejumlah 92 orang yang memenuhi kriteria inklusi diantaranya pasien pgk yang menjalani hemodialisa regular 2 kali seminggu, serta dilakukan pemeriksaan ureum dan hb pada hari yang sama dengan pengambilan data kualitas hidup. variabel yang diteliti adalah ureum (rendah <13 mg/dl, normal 13-43 mg/dl, tinggi > 43 mg/dl), hemoglobin (anemia < 11 mg/dl, tidak anemia  11 mg/dl), lama hemodialisa (<12 bulan, 12-24 bulan, > 24 bulan) dan kualitas hidup (kurang berkualitas < 56, berkualitas baik  56). pengambilan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 0106 agustus 2019. intrumen penelitian menggunakan lembar observasi kadar ureum dan hemoglobin dari hasil pemeriksaan laboratorium sebelum dilakukan hemodialisa, serta kuisioner tentang data demografi, lama hemodialisa dan kualitas hidup whoqol bref (instrumen kualitas hidup dari who, 2004. diterjemahkan oleh tim ahli dari kemenkes ri, rs fatmawati jakarta dan rs katolik atmajaya). analisa data univariat berupa data kategorik yang terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, agama dan status pernikahan. sedangkan analisa bivariat menggunakan uji korelasi gamma untuk mengetahui hubungan kadar ureum, hemoglobin dan lama hd dengan kualitas hidup responden. hasil penelitian data demografi responden data demografi f % jenis kelamin laki-laki 46 50 perempuan 46 50 usia 25-44 tahun (adulth) 7 8 45-59 tahun (middle range) 48 52 60-74 tahun (old) 37 40 pendidikan sd 41 45 smp 13 14 sma 30 33 s1 8 9 pekerjaan tni 5 5 pns 1 1 guru 2 2 pegawai swasta 9 10 wiraswasta 12 13 sopir 2 2 petani 4 4 pensiunan 9 10 ibu rumah tangga 30 33 tidak bekerja 16 17 pelajar/ mahasiswa 2 2 tabel 1 data demografi responden pasien pgk di ruang hemodialisa rs dr soepraoen 295kurniawan, koesrini, hubungan kadar ureum, hemoglobin, dan... tabel 1 menginformasikan bahwa setengah jenis kelamin responden adalah perempuan yaitu 46 orang (50%), sebagian besar usia responden 45-59 tahun (middle range) yaitu 48 orang (52%), sebagian kecil usia responden 25-44 tahun (adulth) yaitu 7 orang (8%), hampir setengah tingkat pendidikan responden adalah sd yaitu 41 orang (45%), sebagian kecil tingkat pendidikan responden adalah s1 yaitu 8 orang (9%), hampir setengah pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga yaitu 30 orang (33%), sebagian kecil pekerjaan responden adalah pns yaitu 1 orang (1%), hampir seluruh agama responden adalah islam yaitu 89 orang (97%), sebagian kecil agama responden adalah hindu yaitu 1 orang (1%), dan hampir seluruh status pernikahan responden adalah menikah yaitu 85 orang (92%). hubungan kadar ureum dengan kualitas hidup responden tabel 2 menunjukan bahwa hampir setengah kadar ureum responden tinggi dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 44 orang (48%) dan sebagian kecil kadar ureum responden sedang agama islam katolik hindu 8921 9721 status pernikahan menikah belum menikah 857 928 jumlah 92 100 sumber : data primer f % f % f % kadar ureum rendah 1 1 4 4 5 5 sedang 1 1 1 1 2 2 0,025 0,403 tinggi 41 45 44 48 85 92 total 43 47 49 53 92 100 sumber : data primer variabel kategori kualitas hidup baik kurang total p r tabel 2 hubungan kadar ureum dengan kualitas hidup responden di ruang hd rs dr soepraoen dengan kualitas hidup responden kategori baik yaitu 1 orang (1%), kategori kurang yaitu 1 orang (1%) dan kadar ureum rendah dengan kualitas hidup responden kategori baik yaitu 1 orang (1%). hasil uji gamma didapatkan nilai p = 0,029 (p < 0,05), artinya terdapat hubungan antara kadar ureum dengan kualitas hidup responden, dengan r value pada uji gamma didapatkan 0,403 artinya kekuatan korelasi cukup. hubungan kadar hemoglobin dengan kualitas hidup responden f % f % f % kadar hb anemia 43 47 48 52 91 99 tdk anemia 0 0 1 1 1 1 0,015 0,409 total 43 47 49 53 92 100 sumber : data primer variabel kategori kualitas hidup baik kurang total p r tabel 3 hubungan kadar hemoglobin dengan kualitas hidup responden di ruang hd rs dr soepraoen 296 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 292–299 tabel 3 menunjukan bahwa sebagian besar kadar hemoglobin responden anemia dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 48 orang (52%) dan sebagian kecil kadar hemoglobin responden tidak anemia dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 1 orang (1%). hasil uji gamma didapatkan nilai p = 0,015 (p < 0,05), artinya terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dengan kualitas hidup responden, dengan r value pada uji gamma didapatkan 0,409 artinya kekuatan korelasi cukup. hubungan lama hemodialisa dengan kualitas hidup responden tabel 4 menunjukan bahwa sebagian kecil lama hd responden kategori baru dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 18 orang (20%) dan sebagian kecil lama hd responden kategori baru dengan kualitas hidup responden kategori baik yaitu 13 orang (14%). hasil uji gamma didapatkan nilai p = 0,609 (p > 0,05), artinya tidak terdapat hubungan antara lama hemodialisa dengan kualitas hidup responden. f % f % f % lama hd baru 13 14 18 20 31 34 sedang 15 16 16 17 31 34 0,609 0,087 lama 15 16 15 16 30 32 total 43 47 49 53 92 100 sumber : data primer variabel kategori kualitas hidup baik kurang total p r tabel 4 hubungan lama hemodialisa dengan kualitas hidup responden di ruang hd rs dr soepraoen pembahasan hubungan kadar ureum dengan kualitas hidup penderita pgk tabel 2 menunjukan bahwa hampir setengah kadar ureum responden tinggi dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 44 orang (48%), dan sebagian kecil kadar ureum responden rendah dengan kualitas hidup responden kategori baik yaitu 1 orang (1%). hasil uji gamma pada tabel 2 menunjukkan ada hubungan antara kadar ureum dengan kualitas hidup responden, dengan r value pada uji gamma positif dengan kekuatan korelasi cukup artinya semakin tinggi kadar ureum maka memberikan korelasi yang cukup pada penurunan kualitas hidup responden. kua lita s hidup menur ut world health organization quality of life (whoqol) group (dalam fitriana & ambarini, 2012), didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang. kualitas hidup yang baik artinya persepsi individu memandang posisi dirinya berkaitan dengan tujuan, harapan, standar dan perhatian orang lain dalam kondisi baik. sebaliknya kualitas hidup yang kurang artinya persepsi individu memandang posisi dirinya berkaitan dengan tujuan, harapan, standar dan perhatian orang lain dalam kondisi kurang. kadar ureum yang tinggi pada pasien pgk menyebabkan berbagai gangguan organ, seperti anoreksia dan mual pada pencernaan, asidosis metabolik pada darah hingga pada arytmia jantung, kerusakan kulit, dan penurunan kesadaran. dengan bertambahnya kadar ureum maka akan meningkatkan gejala dan komplikasi pgk (national kidney foundation, 2008). peningkatan kadar ureum sama dengan akumulasi racun dalam darah yang menurunkan kemampuan fisik, meningkatkan kebergantungan pada orang lain, mengurangi kepercayaan diri dan mempengaruhi dimensi sosio psikologis. dengan kondisi ini pasien merasakan kualitas hidup mereka sangat berkurang (javanbakhtian & abbaszadeh, 2012). berdasarkan data penelitian pada tabel 1 diketahui sebagian besar usia responden 45-59 tahun yaitu 48 orang (52%), hampir setengah usia responden 60-74 tahun yaitu 37 orang (40%) dan sebagian kecil usia responden yaitu 25-44 tahun yaitu 7 orang (8%). menurut musch w, et al (2006) bertambahnya 297kurniawan, koesrini, hubungan kadar ureum, hemoglobin, dan... usia sejalan dengan bertambahnya kadar urea plasma (ureum) dan menurunkan kemampuan tubuh dalam eksresi urea. kadar ureum pada responden selain karena menderita penyakit ginjal kronis, juga dipengaruhi oleh faktor usia yang sebagian besar responden berada pada usia lansia awal/ middle range dan lanjut usia/ old. dapat disimpulkan penurunan kualitas hidup pasien pgk salah satunya disebabkan peningkatan kadar ureum, artinya bila semakin tinggi kadar ureum maka menurunkan kualitas hidup seseorang. pasien pgk perlu mengontrol kadar ureum dengan rutin dengan melakukan hemodialisa sesuai program. selain itu pasien pgk melakukan diet rendah ureum yaitu membatasi makanan tinggi protein. hubungan kadar hemoglobin dengan kualitas hidup penderita pgk tabel 3 menunjukan bahwa sebagian besar kadar hemoglobin responden kategori anemia dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 48 orang (52%) dan sebagian kecil kadar hemoglobin responden kategori tidak anemia dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 1 orang (1%). hasil uji gamma pada tabel 2 menunjukkan ada hubungan antara kadar hemoglobin dengan kualitas hidup responden, dengan r value pada uji gamma positif dengan kekuatan korelasi cukup artinya semakin rendah kadar ureum maka memberikan korelasi yang cukup pada penurunan kualitas hidup responden. hasil penelitian finkelstein et al (2009) menyatakan bahwa peningkatan kadar hemoglobin pada pasien pgk berpengaruh pada peningkatan 4 domain kualitas hidup yaitu domain fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan. artinya semakin menurun kadar hemoglobin maka menurun pula kualitas hidup pasien. temuan ini memiliki implikasi untuk perawatan pasien pgk dalam rangka inisiasi dan target kadar hemoglobin. dersarkissian c (2017) menyatakan tanda dan gejala yang dialami pasien dengan anemia yaitu cepat lelah dan kehabisan energi, denyut jantung meningkat, nafas cepat, pusing, nyeri kepala, pucat dan insomnia. berbagai gejala klinis yang muncul berpotensi menyebabkan kualitas hidup menurun. berdasarkan data pada tabel 1 diketahui jenis kelamin responden jumlahnya sama antara laki-laki dan perempuan, yaitu masing-masing 46 orang (50%). menurut william g (2014) kadar hemoglobin pada laki-laki dewasa berbeda dengan perempuan dewasa. pada usia yang sama antara laki-laki dan perempuan, kadar hb perempuan rata-rata lebih rendah 12% dibandingkan hb laki-laki. hal ini disebabkan perbedaan sex hormone yaitu estrogen da n androgen, yang keduanya berbeda pa da pengaturan dilatasi dan vasokontriksi kapiler dan vena dengan diameter < 300µm sehingga meningkatkan endapan hematokrit di darah, dimana hemoglobin juga sebagai komponen hematocrit. namun kadar erytropoetin antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. sesuai fakta diatas kondisi anemia responden lebih berkaitan dengan kondisi kerusakan ginjal, bila semakin parah kerusakan ginjal maka produksi eryropoetin semakin menurun mengakibatkan produksi hemoglobin dan sel darah merah di sumsum tulang juga menurun. dengan peningkatan kadar hemoglobin ke level normal maka berimplikasi pada peningkatan kualitas hidup pasien pgk. hemoglobin sebagai sarana transportasi oksigen dalam darah menentukan metabolisme secara aerob di seluruh tubuh. metabolisme didalam tubuh yang baik menyebabkan kualitas hidup yang baik pula. hubungan lama hemodialisa dengan kualitas hidup penderita pgk tabel 4 menunjukan bahwa sebagian kecil lama hd responden kategori baru dengan kualitas hidup responden kategori kurang yaitu 18 orang (20%) dan sebagian kecil lama hd responden kategori baru dengan kualitas hidup responden kategori baik yaitu 13 orang (14%). hasil uji gamma didapatkan nilai p = 0,609 (p > 0,05), artinya tidak terdapat hubungan antara lama hemodialisa dengan kualitas hidup responden. menurut anees et al (2015) semakin lama seorang pasien menjalani terapi hemodialisis maka berbanding terbalik dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal terminal. hal ini diikarenakan tingkat kekhawatiran serta stress pasien yang semakin meningkat karena berpikir seharusnya hemodialisis dapat menyembuhkan pasiennya. menurut ghahfarokhi & abbaszadeh (2012) tiga bulan setelah menderita pgk dan terapi hemodialysis, umumnya pasien merasa kualitas hidupnya terus menurun. hal ini disebabkan kemampuan fisik, sosial dan psikologis pasien cenderung menurun. avis (2005) dalam riyanto (2011) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain adalah sosio demografi yaitu jenis kelamin, usia. hasil penelitian bayoumi m, et al 298 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 292–299 (2013) pasien pgk dengan jenis kelamin laki-laki kualitas hidupnya lebih menurun daripada pasien perempuan. usia lebih muda memiliki kualitas hidup yang lebih baik dari pada usia tua. lama hemodialisa responden kategori baru dan sedang lebih banyak dibandingkan dengan kategori lama, sedangkan kualitas hidup kategori baik lebih sedikit dibandingkan kategori kurang. berdasarkan teori dengan lama hemodialisa kategori baru lebih banyak maka semestinya kualitas hidup responden kategori baik lebih banyak. ada faktor lain yang menyebabkan kualitas hidup responden cenderung kurang diantaranya kadar ureum dan hemoglobin responden yang cenderung rendah pada pembahasan sebelumnya. berdasarkan data penelitian pada tabel 1 diketahui setengah jenis kelamin responden adalah wanita dan setengahnya lagi laki-laki masingmasing 46 orang (50%), sebagian besar usia responden 45–59 tahun yaitu 48 orang (52%), hampir setengah usia responden 60–74 tahun yaitu 37 orang (40%) dan sebagian kecil usia responden yaitu 2544 tahun yaitu 7 orang (8%). jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada responden penelitian ini sama, sementara kualitas hidupnya sebagian besar kurang. sesuai teori diatas peneliti berasumsi jika jenis kelamin responden sebagian besar laki-laki kemungkinan kualitas hidup responden sebagian besar semakin menurun. sebagian besar usia responden didominasi usia middle age dan old, sejalan dengan teori diatas menyebabkan kualitas hidup responden pada penelitian ini sebagian besar kurang. jika usia sebagian besar diatas dewasa awal maka kemungkinan kualitas hidup membaik. kesimpulan terdapat hubungan yang signifikan antara kadar ureum dengan kualitas hidup responden penderita pgk. terdapat hubungan yang signifikan antara kadar hemoglobin dengan kualitas hidup responden penderita pgk. tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama hemodialisa dengan kualitas hidup responden penderita pgk saran hasil penelitian diatas merekomendasikan kepada perawat maupun petugas kesehatan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis diantaranya pengukuran kadar ureum dan hemoglobin yang berdampak pada kualitas hidup pasien pgk. kepada peneliti selanjutnya rekomendasi berupa observasi faktor yang berpengaruh pada kualitas hidup penderita pgk dapat dilakukan dalam rentang waktu penelitian yang lebih lama dan jumlah responden yang lebih banyak. daftar pustaka anees m, hammed f, mumtaz a, ibrahim m, khan mns. (2011). dialysis-related factors affecting quality of life in patients on hemodialysis. ijkd. 5(1): 914 bayaoumi m, al harbi a, al suwaida a, al ghonaim m, al wakeel j & miskhiry a. (2013). predictors of quality of life in hemodialysis patients. saudi j kidney dis transpl. jul; 25(4): 881-2. black, j.m, & hawks, j.h (2009). medical surgical nursing. 8th edition. canada. elsevier brooks, b.a., anderson, b. (2008). assesing the nursing quality of work life. nursing administration quarterly, pp. 152-157 brunelli, s.m, berns, j.s. (2009). anemia and chronic kidney disease and end-stage renal disease. april, 11, 2018. http://www.nephrologyrounds.org/ dersarkissian c (2017). anemia and quality of life in chronic kidney disease. november, 29, 2018. http://www.pdicoonect.com/ finkelstein o, kenneth s, mujais s. (2009). healthrelated quality of life and hemoglobin levels in ckd patients. clinical journal of the american society of nephrology : cjasn. jan: 4(1): 33-38. javanbakhtian ghahvarokhi & abbaszadeh a. (2012). the relatioship between quality of life and de mographic varible s in hemodialysis patients. journal of jahrom university of medical sciences. vol 10(4) : 1-6 kemenkes ri. (2017). situasi penyakit ginjal kronis. infodatin. pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri. jakarta. issn 2442-7659 liu, wj, chew tf, chiu asf, zaki m. (2008). quality of life of dialysis patient in malaysia. med j malaysia. 61(5), 540-46 maria carolina cruz, carolina andrade, milton urrutia, sergio draibe, luiz antonio, ricardo de castro. (2011). quality of life in patients with chronic kidney disease. journal clinics. jun; 66(6): 991-995. martini (2010). hubungan tingkat asupan protein dengan kadar ureum dan kadar kreatinin darah pada penderita gagal ginjal kronik di rsud dr moewardi surakarta. fakultas ilmu kesehatan universitas muhamadiyah surakarta. nimas ayu fitriana & tri kurniati ambarini. 2012. kualitas hidup pada penderita kanker 299kurniawan, koesrini, hubungan kadar ureum, hemoglobin, dan... serviks yang menjalani pengobatan radioterapi . jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental 123 vol. 1 no. 02, juni 2012. nkf-kdigo. (2013). clinical practice guidline for the evaluation and management of chronic kidney disease. isn. 3(1):1-163 nurchayati s. (2011). analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di rsi fatimah cilacap dan rsud banyumas. jakarta : universitas indonesia. tersedia di :// lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282431t%20 sofiana%nurchayati.pdf persatuan nefrologi indonesia (pernefri). (2011). frekuensi tindakan hemodialisis per minggu di indonesia. 5th report of indonesia renal registry. jakarta pranoto i. (2010). hubungan antara lama menjalani he modialisa de ngan terjadinya perdarahan intraserebral. surakarta: universitas sebelas maret. tersedia dari: http://eprints.uns.ac.id/7886/1/135790908201012051 prabowo, eko, dan afandi e pranata. (2014). asuhan keperawatan sistem perkemihan. yogyakarta. nuha-medika riskesdas. (2013). riset kesehatan dasar. indonesia. tersedia dari: http://www.depkes.go.id/resources/ download/general/hasilriskesdas2013.pdf riyanto w. (2011). hubungan antara penambahan berat badan di ant ara dua wakt u he modi al isi s (interdialysis weight gain = idwg) terhadap kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisa ip2k rsup fatmawati jakarta[tesis]. jakarta : universitas indonesia [diunduh 28 desember 2018]. tersedia dari: http://lib.ui.ac.id/file? file=digital/ 20282718-t%20welas%20riyanto.pdf. suwitra k. (2014). penyakit ginjal kronik. buku ajar ilmu penyakit dalam. jakarta: pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fkui. musch w, verfaillie l, decaux g. (2006). age related increase in plasma urea and decrease in fractional urea excretion. clin j am soc nephrol. sep; 1(5):909-14. brussel, belgium. national kidney foundation (2008). anemia and chronic kidney disease information. april, 11, 2018. http:// kidney.org/ nguyen ntq 1 , cockwell p 2 , maxwell ap 1 , griffin m 3 , o’brien t 3 , o’neill c 1 . 2018. chronic kidney disease, health-related quality of life and their associated economic burden among a nationally representative sample of community dwelling adults in england. journal post one.0207960 nur sa la m (2013). me todologi pe nel i t ian il mu keperawatan. salemba medika. edisi 3. jakarta. hal 82-86 william g, murphy. (2014). the sex difference in haemoglobin levels in adulth, causes and consequences. blood review. elsevier. article in press. yblre-00329; pages 7. 382 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 382–389 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk modal sosial dan persepsi ancaman sebagai determinan perilaku pencegahan infeksi dengue: studi multilevel kanthi devi ayuningtyas1, nurhayati agtikasari2, ana damayanti3 1 program studi diii kebidanan stikes patria husada blitar 2 akademi kebidanan wira buana metro 3 fakultas ilmu kesehatan universitas borneo tarakan info artikel kata kunci: infeksi dengue, perilaku pencegahan, persepsi ancaman, modal sosial, analisis multilevel abstrak infeksi dengue merupakan salah satu permasalahan utama dalam kesehatan masyarakat di indonesia. berbagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini telah dilakukan dalam kurun waktu yang lama, tetapi jumlah kasus dan angka kematiannya cenderung mengalami peningkatan. selain faktor individu, faktor sosial pun dinilai memiliki peranan penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi dengue. penelitian cross sectional yang dilakukan di 8 kecamatan di kabupaten sukoharjo pada tahun 2018 ini bertujuan menganalisis pengaruh faktor individu berupa persepsi ancaman pengaruh kontekstual modal sosial terhadap perilaku pencegahan infeksi dengue. sejumlah 200 subjek penelitian dipilih dengan teknik multistage random sampling. keseluruhan data variabel bebas (persepsi ancaman dan modal sosial) serta data variabel terikat (perilaku pencegahan infeksi dengue) dikumpulkan dengan kuesioner, dan dianalisis menggunakan analisis multilevel. temuan dalam penelitian ini adalah perilaku pencegahan infeksi dengue secara signifikan dipengaruhi oleh persepsi ancaman (b= 1.56; ci (95%) = 0.77 2.34; p= <0.001) dan modal sosial pada tingkat kecamatan memiliki pengaruh kontekstual terhadap perilaku pencegahan infeksi dengue (icc 10.91%). berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi ancaman sebagai salah satu faktor individu dan modal sosial sebagai faktor sosial berpengaruh terhadap perilaku pencegahan infeksi dengue. 382 article information social capital and perceived threat as determinants of dengue preventive behavior: a multilevel study abstract dengue is one of major problems in indonesian public health. various efforts to prevent and control this disease have been carried out in a long time, but the number of cases and the case fatality rate tends to increase. in addition to individual factors, social factors are also considered to have sejarah artikel: diterima, 06/11/2019 disetujui, 20/11/2019 dipublikasi, 05/12/2019 history article: received, 06/11/2019 accepted, 20/11/2019 published, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p382-389&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 383ayuningtyas, agtikasari, damayanti, modal sosial dan persepsi ancaman sebagai ... keywords: dengue, preventive behavior, perceived threat, social capital, multilevel analysis an important role in efforts to prevent and control dengue. this cross sectional study conducted in 8 sub-districts in sukoharjo regency, central java in 2018 aims to analyze the effect of perceived threat as individual factor and the contextual effect of social capital on the dengue preventive behavior. a total of 200 subjects were selected by multistage random sampling. data for both independent (perceived threat and social capital) and dependent variable (dengue preventive behavior) were collected by questionnaire, and analyzed with multilevel analysis. this study found that dengue preventive behavior was significantly affected by perceived threat (b = 1.56; ci (95%) = 0.77 2.34; p = <0.001) and the sub-district level social capital had a contextual effect on dengue preventive behavior (icc 10.91%). based on these findings, we concluded that perceived threat as an individual factor and social capital as a social factor affected dengue preventive behavior. © 2019 jurnal ners dan kebidanan pendahuluan infeksi dengue adalah permasalahan kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh infeksi salah satu dari empat tipe virus dengue (denv 1 – 4). spesies nyamuk dari genus aedes menjadi perantara dalam proses penularan virus dengue ini (guzman & harris, 2015). siklus penularan dengue terjadi secara periodik dengan pola menetap. manusia tertular virus dengue ketika digigit nyamuk, kemudian virus tersebut menjangkit nyamuk lain selama proses pencarian makan, untuk selanjutnya kembali ditularkan kepada manusia lain (gubler, 1998). spesies nyamuk yang menjadi vektor utama penularan infeksi dengue adalah aedes aegypti dan aedes albopictus yang terdapat di seluruh wilayah tropis dan subtropis di dunia. keberadaan vektor tersebut terutama pada daerah perkotaan atau semi perkotaan yang padat penduduk (world health organization, 2011). publikasi who/tdr (2009) menegaskan bahwa tingginya tingkat kepadatan penduduk di daerah perkotaan mempermudah penularan dengue. meskipun demikian, di beberapa wilayah asia tenggara, seperti india, indonesia, myanmar, sri lanka, dan thailand, penyebaran kasus dengue tidak hanya menimbulkan hiperendemisitas di wilayah perkotaannya tetapi juga mulai merambah pada wilayah perdesaan (world health organization, 2011). infeksi dengue merupakan penyakit endemis yang terdapat di lebih dari 100 negara di wilayah asia tenggara, amerika, pasifik barat, afrika, dan mediterania timur. selain luasnya wilayah persebaran infeksi dengue, angka kejadiannya pun telah meningkat 30 kali lipat dalam kurun waktu 50 tahun terkahir. pesatnya penyebaran infeksi dengue seiring dengan pertumbuhan populasi dan urbanisasi yang tidak terkontrol, perubahan iklim dan permasalah kesehatan masyarakat serta kegagalan program pengendalian vektor (guzman & harris, 2015). di indonesia, infeksi dengue masih menjadi salah satu masalah utama dalam kesehatan masyarakat. tahun 2017 jumlah kasus dengue di indonesia mencapai 59.047 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 444. jawa tengah menempati urutan ketiga untuk cumulative incidence kasus dengue (21.60 per 100.000 penduduk) dan urutan pertama untuk case fatality rate (1.24%) di antara provinsi-provinsi di pulau jawa pada tahun 2017. sukoharjo adalah salah satu kabupaten di jawa tengah dengan case fatality rate (1.63%) di atas jawa tengah (dinas kesehatan provinsi jawa tengah, 2018). perilaku pencegahan yang kurang baik dari masyarakat dinilai menjadi faktor yang melatar belakangi tingginya kasus infeksi dengue. sukoharjo correspondence address: stikes patria husada blitar, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: kanthideviayuningtyas@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p382-388 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p382-388 384 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 382–389 mencakup wilayah pedesaan sampai wilayah yang padat penduduk di perkotaan. penampungan air tanpa penutup, rimbunan semak belukar, dan tumpukan sampah yang dapat menampung air masih banyak ditemukan di wilayah pedesaan. padahal kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan hanya dilakukan menjelang hari-hari besar saja. permasalahan kebersihan lingkungan yang kurang terjaga oleh masyarakat ini lebih jelas terlihat di wilayah perkotaan. kurangnya kepedulian terhadap lingkungan dan minimnya interaksi antar warga masyarakat perkotaan turut memengaruhi perkembangbiakan vektor dengue. penyebaran virus dengue merupakan hasil dari dinamika antara vektor, manusia, dan lingkungan yang masing-masing menimbulkan risiko. seiring dengan pertumbuhan penduduk, globalisasi dan perubahan gaya hidup, pengelolaan sistem pengairan dan limbah serta kebijakan pengendalian vektor yang kurang memadai juga turut berkontribusi dalam menyediakan habitat yang sesuai untuk berkembangnya nyamuk aedes aegypti (gubler et al., 2014). arellano et al. (2015) menghasilkan temuan bahwa masyarakat meyakini perilaku mempertahankan kebersihan dalam lingkungan rumah merupakan strategi utama untuk mencegah penularan dengue. akan tetapi besarnya efek dari perilaku tersebut adalah sebanding dengan besarnya dukungan masyarakat atau infrastruktur pemerintah untuk mengendalikan ruang publik dan kawasan sekitar. peran serta masyarakat serta dukungan dari pemangku kebijakan setempat digambarkan sebagai modal sosial. modal sosial diartikan sebagai atribut dari kelompok sosial yang terbagi ke dalam beberapa bentuk/dimensi. dua dimensi modal sosial yang umumnya digunakan dalam penelitian adalah dimensi struktural dan kognitif. dimensi struktural mencakup aspek eksternal dari kelompok sosial yang dapat diamati dan ditandai dengan manifestasi perilaku hubungan atau keterlibatan antar anggotanya. sementara itu, dimensi kognitif merupakan cerminan dari sikap subjektif seperti norma timbal balik atau rasa percaya terhadap orang lain (murayama et al., 2012). modal sosial diperkirakan menjadi salah satu faktor yang turut memengaruhi perilaku masyarakat dalam pencegahan infeksi dengue. diasumsikan bahwa modal sosial yang kuat akan meningkatkan kecenderungan masyarakat untuk berperilaku yang lebih baik. murayama et al. (2012) mengemukakan bahwa meskipun keterkaitan antara modal sosial dan berbagai indikator kesehatan telah terbukti kebenarannya, penelitian untuk membuktikan pengaruh kontekstualnya tetap memerlukan analisis secara multilevel. persepsi masyarakat terhadap ancaman infeksi dengue pun dinilai menjadi faktor penting yang melatar belakangi perilaku untuk mencegah penularan infeksi dengue. model kepercayaan kesehatan (health belief model) yang dikembangkan oleh rosenstock pada tahun 1950an menggam­barkan hubungan antara persepsi ancaman yang dirasakan oleh individu dengan perilakunya untuk bertindak. persepsi ancaman ini merupakan gabungan dari dua konstruk utama dalam model kepercayaan kesehatan tersebut, yaitu persepsi kerentanan dan persepsi keseriusan (murti, 2018). berdasarkan model tersebut diperkirakan pula dalam penelitian ini, bahwa jika seseorang/ sekelompok masyarakat menganggap infeksi dengue adalah penyakit yang berbahaya hingga mengancam jiwa dan mereka memiliki kemungkinan untuk terinfeksi, maka akan ada kecenderungan untuk melakukan tindakan pencegahan terhadapnya. tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh faktor individu berupa persepsi ancaman pengaruh kontekstual modal sosial terhadap perilaku pencegahan infeksi dengue. bahan dan metode penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian analitik observasional dengan menggunakan desain cross-sectional. penelitian dilakukan di kabupaten sukoharjo, jawa tengah pada bulan mei – juli 2018 dengan melibatkan sebanyak 200 subjek penelitian yang berasal dari 8 kecamatan. teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage random sampling. variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah perilaku pencegahan infeksi dengue sebagai variabel terikat, dan modal sosial serta persepsi ancaman sebagai variabel bebas. perilaku pencegahan infeksi dengue didefinisikan sebagai perilaku untuk mencegah perkembangbiakan larva nyamuk dan perilaku melindungi diri dari gigitan nyamuk dewasa. defnisi ini disesuaikan dengan surat edaran dari kementerian kesehatan no pm.­01.­11/menkes/­591/2016 ten­ tang pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk 3m plus. modal sosial didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja sama dalam mencegah 385ayuningtyas, agtikasari, damayanti, modal sosial dan persepsi ancaman sebagai ... infeksi dengue dengan didukung oleh program-program pengendalian vektor yang dilaksanakan oleh puskesmas setempat. persepsi ancaman adalah pemikiran/anggapan yang dimiliki oleh individu terkait kerentanan mereka terhadap infeksi dengue serta adanya kemungkinan bahwa mereka akan mengalami keparahan yang berakibat fatal jika terkena infeksi tersebut. seluruh data diperoleh dari subjek penelitian dengan mengunakan kuesioner yang telah lebih dulu melewati tahap uji validitas dan uji reliabilitas. uji validitas isi serta validitas muka kuesioner dilakukan dengan melibatkan psikolog dan ahli kesehatan masyarakat. uji reliabilitas berdasarkan skor alpha cronbach yang diuji menggunakan program spss. hasil r alpha untuk keseluruhan kuesioner adalah > 0.6 (kuesioner perilaku pencegahan sebesar 0.9; kuesioner modal sosial sebesar 0.9; dan r alpha kuesioner persepsi ancaman sebesar 0.8). penelitian ini telah melewati uji etik dan mendapatkan keterangan ethical clearance dari komisi etik penelitian kesehatan fakultas kedokteran universitas sebelas maret, surakarta dengan nomor no 47/un27.6/­kepk/2018. seluruh data yang terkumpul dalam penelitian ini diolah dalam analisis univariat dan analisis multivariat. analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi karakteristik subjek penelitian. analisis multivariat berupa analisis multilevel digunakan untuk melihat pengaruh kontekstual seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat dengan mempertimbangkan tingkatan masing-masing variabel. hasil penelitian karakteristik/variabel n % usia (tahun) < 36 102 51 > 36 98 49 tingkat pendidikan < sma 71 35.5 > sma 129 64.5 pekerjaan paruh waktu 93 46.5 penuh waktu 107 53.5 pendapatan < 2,000,000 77 38.5 > 2,000,000 123 61.5 persepsi ancaman tinggi 78 39 rendah 122 61 modal sosial kuat 118 59 lemah 82 41 perilaku pencegahan baik 106 53 kurang 94 47 tabel 1 karakteristik subjek penelitian dan distribusi frekuensi variabel perilaku pencegahan demam dengue koefesien regresi (b) ci 95% p lower upper fixed effect ancaman 1.56 0.77 2.34 < 0.001 konstanta 2.04 -2.81 -1.27 < 0.001 random effect modal sosial konstanta 0.40 0.04 4.07 n observasi = 200 n kelompok modal sosial = 8 log likelihood = -100.55 lr test vs. regresi logistik, p= 0.316 icc = 10.91% tabel 2 hasil analisis multilevel karakteristik subjek penelitian dan disribusi frekuensi variabel sebagai hasil analisis univariat tergambar dalam tabel 1. proporsi subjek penelitian dengan usia kurang dari atau lebih dari 36 tahun hampir sama. berdasarkan tingkat pendidikan, 2/3 subjek penelitian mencapai tingkat sma atau lebih. begitu pula dengan distribusi subjek berdasarkan pendapatan keluarga, 386 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 382–389 2/3 subjek penelitian memiliki pendapatan keluarga > rp 2,000,000. sementara itu proporsi subjek yang bekerja dan yang tidak bekerja hampir sama. proporsi subjek penelitian yang memiliki persepsi ancaman rendah hampir mencapai 2/3 bagian, dengan sisanya adalah subjek penelitian yang memiliki persepsi ancaman tinggi. sementara itu untuk proporsi modal sosial yang diukur pada tingkat kecamatan, tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu jauh antara modal sosial kuat dan modal sosial lemah. demikian pula dengan proporsi subjek penelitian yang memiliki perilaku pencegahan yang baik, tidak berbeda jauh dengan proporsi subjek penelitian yang berperilaku pencegahan kurang baik. analisis multilevel dengan program stata 13 dilakukan untuk melihat adanya efek kontekstual dari persepsi ancaman dan modal sosial terhadap perilaku pencegahan. hasil analisis multilevel tersebut tergambar dalam tabel 2. tabel 2 menunjukkan bahwa persepsi ancaman yang tinggi (b= 1.56; ci (95%) = 0.77 hingga 2.34; p= <0. 001) seca r a signifikan meningkatka n kemungkinan terjadinya perilaku pencegahan yang lebih baik. modal sosial memiliki hasil icc (intra class corelation) sebesar 10.91% (rule of tumb = 8% 10%), yang mengindikasikan bahwa modal sosial masyarakat pada masing-masing kecamatan memiliki pengaruh kontekstual terhadap perilaku pencegahan infeksi dengue. pembahasan hasil dalam penelitian ini menyatakan bahwa persepsi ancaman yang tinggi (b= 1.56; ci (95%)= 0.77 hingga 2.34; p= 0.001) meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku pencegahan infeksi dengue. hal ini menunujukkan bahwa semakin besar ancaman yang dirasakan oleh individu maka semakin besar pula kemungkinan melakukan perilaku pencegahan infeksi dengue dengan baik. hasil serupa ditemukan oleh siddiqui et al. (2016) dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa persepsi ancaman merupakan salah satu prediktor signifikan dalam upaya peningkatan perilaku pencegahan dengue. persepsi ancaman tinggi meningkatkan peluang untuk melakukan praktik pencegahan yang lebih baik. persepsi kerentanan sebagai bagian dari persepsi ancaman juga dilaporkan memiliki pengaruh terhadap perilaku pencegahan infeksi dengue. hal ini dijelaskan oleh wong et al. (2015) dalam penelitiannya yang menghasilkan temuan bahwa individu yang memiliki persepsi kerentanan tinggi terhadap infeksi dengue, memiliki proporsi perilaku pencegahan yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang memiliki persepsi kerentanan rendah. peningkatan persepsi kerentanan dalam rangka untuk memperbaiki perilaku dalam pencegahan infeksi dengue dapat dilakukan melalui beberapa program kesehatan. beberapa program yang terbukti berhasil meningkatkan persepsi kerentanan terhadap infeksi dengue seperti yang disebutkan oleh hanklang et al. (2018) yaitu penyuluhan kesehatan, kampanye, kontes rumah percontohan, dan edukasi secara berkelompok. selain persepsi ancaman yang merupakan faktor individu, dalam penelitian ini dikaji pula pengaruh kontekstual modal sosial. secara umum digambarkan bahwa modal sosial menimbulkan efek perilaku pencegahan demam dengue koefesien regresi (b) ci 95% p lower upper fixed effect ancaman 1.56 0.77 2.34 < 0.001 konstanta 2.04 -2.81 -1.27 < 0.001 random effect modal sosial konstanta 0.40 0.04 4.07 n observasi = 200 n kelompok modal sosial = 8 log likelihood = -100.55 lr test vs. regresi logistik, p= 0.316 icc = 10.91% tabel 2 hasil analisis multilevel 387ayuningtyas, agtikasari, damayanti, modal sosial dan persepsi ancaman sebagai ... positif terhadap kesehatan (murayama et al., 2012). masyarakat dengan tingkat modal sosial yang lebih tinggi/ lebih kuat (terutama dalam partisipasi sosial dan jaringan) cenderung berperilaku sehat dan juga merasa lebih sehat baik secara fisik maupun psikis (nieminen et al., 2013). sering kali ditemukan intervensi promosi kesehatan yang kurang efektif hanya karena mentargetkan individu sebagai sasaran. hal ini mungkin terjadi karena keberhasilan sebuah program kesehatan sesungguhnya tidak hanya bergantung pada kesempurnaan program itu sendiri maupun partisipasi dari individu, melainkan juga bergantung pada modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat dimana program tersebut diimplementasikan (murayama et al., 2012). intervensi masalah kesehatan harus secara langsung dilakukan dengan memperkuat modal sosial untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilannya (olives et al., 2018). besaran nilai icc variabel modal sosial yang melebihi standar ukuran (rule of tumb) analisis multilevel dalam penelitian ini, digunakan sebagai indikator bahwa modal sosial masyarakat pada masing-masing kecamatan memiliki pengaruh kontekstual terhadap variasi perilaku pencegahan infeksi dengue. berdasarkan hasil tersebut, dapat dinyatakan pula bahwa variabel modal sosial perlu untuk dipertimbangkan dalam upaya pencegahan infeksi dengue. hal ini sejalan dengan penelitian kasjono et al. (2016) terkait promosi kesehatan yang berdasar pada modal sosial untuk memberantas sarang nyamuk dengue. dinyatakan dalam penelitian tersebut bahwa modal sosial secara signifikan memengaruhi partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk. penelitian lain yang juga membuktikan adanya pengaruh modal sosial terhadap perilaku masyarakat dalam mencegah infeksi dengue, yaitu penelitian yang dilakukan oleh asri et al. (2017). dijelaskan dalam penelitian tersebut, bahwa modal sosial sebagai atribut masyarakat menjadi pemicu tindakan masal. pembentukan kelompok sosial, kolaborasi lintas sektoral, gotong royong dalam pembersihan, dan kerja bakti yang dilakukan oleh masyarakat merupakan bentuk nyata dari modal sosial dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi dengue. selain itu dukungan yang baik dan kuat dari pemangku kepentingan juga memiliki implikasi positif dan signifikan terhadap perilaku masyarakat itu sendiri. kesimpulan perilaku pencegahan infeksi dengue meningkat dengan adanya persepsi ancaman yang kuat. sementara itu, modal sosial masyarakat pada tingkat kecamatan memberikan efek kontekstual yang mengakibatkan adanya variasi dalam perilaku pencegahan terhadap infeksi dengue. efek kontekstual yang ditemukan dalam penelitian ini tidak terlalu besar, yang mungkin disebabkan cakupan kelompok sosial yang terlalu luas. saran persepsi ancaman dan modal sosial yang secara bermakna memengaruhi perilaku pencegahan infeksi dengue, menjadi temuan penting yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan bagi masyarakat dan pemangku kepentingan. diharapkan upaya peningkatan pengetahuan terkait infeksi dengue, seperti; penyuluhan kesehatan, edukasi berkelanjutan untuk kelompok risiko tinggi terjangkit infeksi dengue, dan pembinaan daerah untuk rumah sehat bebas dengue terus dilakukan sehingga dapat memperkuat persepsi ancaman yang pada akhirnya meningkatkan niat dan perilaku individu dan/ atau masyarakat untuk mencegah infeksi dengue. upaya peningkatan pengetahuan tersebut, diharapkan juga disertai dengan penguatan dalam pemberdayaan masyarakat yang akan menumbuhkan ikatan dalam masyarakat itu sendiri. ikatan yang kuat dalam masyarakat inilah yang kemudian akan menumbuhkan modal sosial yang kuat. daftar pustaka arellano, c., castro, l., díaz-caravantes, r. e., ernst, k. c., & shoaf, k. (2015). knowledge and beliefs about dengue transmission and their relationship with prevention practices in hermosillo, sonora. frontiers in public health, 3, 1–8. https://doi.org/ 10.3389/fpubh.2015.00142 asri, nuntaboot, k., & festi wiliyanarti, p. (2017). community social capital on fighting dengue fever in suburban surabaya, indonesia: a qualitative study. international journal of nursing sciences, 4(4), 374–377. h t tps: // doi .or g/ 10. 1016/ j.ijnss.2017.10.003 brady, o. j., messina, j. p., scott, t. w., & hay, s. i. (2014). mapping the epidemiology of dengue. in d. j. gubler, e. e. ooi, s. vasudevan, & j. farrar (eds.), dengue and dengue hemorrhagic fever (2nd ed., pp. 30–50). oxfordshire: cab international. 388 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 382–389 dinas kesehatan provinsi jawa tengah. (2018). buku saku kesehatan tahun 2017. semarang. retrieved from h tt p:/ / di n kes­jat engpr ov. go. i d/ v2018/ dokumen/bukusaku_2017/mobile/index.html#p=1 gubler, d. j. (1998). dengue and dengue hemorrhagic fever. clinical microbiology reviews, 11(3), 480– 496. https://doi.org/­10.1016/s0140­6736(97)12483­ 7 guzman, m. g., & harris, e. (2015). dengue. lancet, 385(9966), 453–465. https://­doi.org/10.1016/s0140­ 6736(14)60572-9 hanklang, s., ratanasiripong, p., & sivasan, s. (2018). effectiveness of the intervention program for dengue hemorrhagic fever prevention among rural communities in thailand: a quasi-experimental study. journal of health research, 32(5), 352–363. https://doi.org/10.1108/jhr-08-2018-042 kasjono, h. s., subiyanto, s., kartono, d. t., & lestari, e. (2016). social capital based health promotion for eliminating dengue mosquito breeding places in bantul district yogyakarta. in international conference on health and wll-being (ichwb) (pp. 187–197). murayama, h., fujiwara, y., & kawachi, i. (2012). social capital and health: a review of prospective multilevel studies. journal of epidemiology, 22(3), 179–187. https://doi.org/10.2188/jea.je20110128 murti, b. (2018). teori promosi dan perilaku kesehatan. karanganyar: bintang fajar offset. nieminen, t., prättälä, r., martelin, t., härkänen, t., hyyppä, m. t., alanen, e., & koskinen, s. (2013). social capital, health behaviours and health: a population-based associational study. bmc public health, 13(1), 613. https://doi.org/10.1186/14712458-13-613 siddiqui, t. r., ghazal, s., bibi, s., ahmed, w., & sajjad, s. f. (2016). use of the health belief model for the assessment of public knowledge and household preventive practices in karachi, pakistan, a dengueendemic city. plos neglected tropical diseases, 10(11), 1–15. https://doi.org/­10.1371/journal. pntd.0005129 villalonga-olives, e., wind, t. r., & kawachi, i. (2018). social capital interventions in public health: a systematic review. social science & medicine, 212(may), 203–218. https://doi.org/10.1016/ j.socscimed.2018.07.022 who/tdr. (2009). dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention, and control (new editio). special programme for research and training in tropi cal di se ases. gen eva: wor ld heal t h organization. https:­//doi.org/who/htm/ntd/ den/2009.1 wong, l. p., mahavera, s., shakir, m., atefi, n., & abubakar, s. (2015). factors affecting dengue prevention practices: nationwide survey of the malaysian public. plos one, 10(4), 1–16. https:// doi.org/10.1371/­journal.pone.0122890 world health organization. (2011). comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. who regional publication searo. geneva. https://doi.­org/ 10.1017/cbo9781107415324.004 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk kemampuan pecinta trail adventure sebagai medical first responder pada korban kecelakaan ning arti wulandari 1 , erni setiyorini 2 1,2 program studi s1 keperawatan, stikes patria husada blitar info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 13/12/2018 disetujui, 26/12/2018 di publikasi, 26/12/2018 kata kunci: trial adventure, medical first responder kecelakaan lalu lintas merupakan masalah yang besar namun belum mendapatkan fokus perhatian tatanan kesehatan. diperkirakan 1,2 juta orang di dunia terbunuh dan 50 juta orang luka-luka setiap tahunnya akibat kecelakaan. ternyata bukan hanya berkendara di jalan raya saja, berkendaraan di jalur ekstrim seperti yang dilakukan oleh para pecinta trail adventure juga beresiko mengalami kecelakaan. tujuan penelitian ini mengidentifikasi kemampuan pecinta adventure sebagai medical first responder pada korban kecelakaan. desain dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif, dengan jumlah sampel 57 orang anggota crosstrabs komunitas trail adventure blitar selatan yang diambil dari seluruh populasi. penelitian ini dilakukan di tanggal 25 november 2018 di tulungagung dalam acara hot enduro 2018, pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. hasil penelitian ini adalah 81% dari 57 responden memiliki kemampuan kurang, 18% mempunyai kemampuan cukup dan 1% mempunyai kemampuan baik dalam berperan sebagai medical first responder pada korban kecelakaan. hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pecinta trail adventure sebagai medical first responder terbanyak adalah dalam kategori kurang. oleh sebab itu sangat di perlukan pelatihan tentang medical first respons pada pecinta trail adventure, sehingga kemam-puan sebagai medical first responder meningkat.  correspondence address: 212 stikes patria husada blitareast java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ningarti83@gmail.com, nerserni@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p212-217 ningarti83@gmail.com,%20nerserni@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/376 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 213wulandari, setiyorini, kemampuan pecinta trail adventure... abstract traffic accidents are a big problem but have not yet received the focus of attention on the health order. it is estimated that 1.2 million people in the world are killed and 50 million people are injured each year due to accidents. it turns out that not only riding on the highway, riding in extreme lanes such as those carried out by adventure trail lovers is also at risk of an accident. the purpose of this study was to identify the ability of adventure lovers as medical first responders to accident victims. the design in this study was descriptive explorative, with the sample of 57 members of the blitar south adventure trail community from the entire population. this study was conducted on november 25, 2018 in tulungagung in the hot enduro 2018 event. the data collection used a questionnaire. the results of this study were 81% of 57 respondents had less ability, 18% had sufficient ability and 1% had good ability in acting as a medical first responder to accident victims. the results showed that the ability of trail adventure lovers as the medical first responder was in the poor category. therefore training is very necessary for medical first responses to lovers of adventure trail, so that the ability as a medical first responder will increase. © 2018 journal of ners and midwifery history article: received, 13/12/2018 accepted, 26/12/2018 published, 26/12/2018 keywords: trial adventure, medical first responder the ability of trail adventure lovers as a medical first responder in accident victims 214 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 212–217 pendahuluan kecelakaan lalu lintas merupakan masalah yang besar namun belum mendapatkan fokus perhatian dari tatanan kesehatan. menurut who (2004) diperkirakan 1,2 juta orang di dunia terbunuh dan 50 juta orang luka-luka setiap tahunnyaakibat kecelakaan. dan di perkirakan akan meningkat sekitar 65% selama 20 tahun kedepan kecuali ada komitmen untuk memperbaikinya. menurut daly (disability adjusted life years) dalam who (2004) kecelakaan merupakan 10 penyebab utama global beban penyakit setelah penyakit infeksi nafas, diare, kondisi sakit pada perinatal, depresi, ischemik jantung, stroke, tbc dan campak. namun data mabes polri yang disampaikan kadiv humas polri irjen setyo wasis dalam liputan 6 (2018) terjadi penurunan angka kecelakaan dari tahun 2017 ke 2018 sebanyak 1.336 kejadian. beberapa hal yang harus dipahami dalam mencegah dan mengendalikan terjadinya kecelakaan dan antara lain; (1) human error, kesalahan pengemudi sendiri, (2) keamanan jalan, dan (3) sistem lalulintasnya. ternyata bukan hanya berkendara di jalan raya saja yang dapat mengakibatkan kecelakaan. trail adventur juga dapat mengakibatkan kecelakaan. trail adventure menurut prelo (2017) merupakan jenis olahraga yang menggunakan alat motor trail. olah raga ini tergolong ekstrime karena tipe jalur, arah dan situasi alam yang berbeda-beda sehingga sangat beresiko mengalami kecelakaan. meningkatnya pecinta trail adventure di indonesia dapat dibuktikan pada sebuah akun sosial komunitas trail adventure indonesia yang memiliki member sebanyak 62159. di jawa timur khususnya wilayah jawa timur selatan kegiatan trail adventure selalu diikuti minimal 100 orang peserta, sehingga dapat kita simpulkan bahwa 100 orang peserta ini mempunyai resiko mengalami kecelakaan tiap kegiatan berlangsung. berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus crosstrab komunitas trail adventure blitar selatan didapatkan bahwa tahun 2017 di bulan november salah satu anggotanya mengalami kecelakaan saat mengikuti event hot enduro 2017 di tulungagung akibat terperosok ke jurang, sehingga mengalami trauma pada dada. selain itu pada kegiatan kelud trail adventure blitar-kediri pada bulan mei 2018 dirinya juga melihat langsung kejadian seorang peserta tiba-tiba terjatuh dan tidak sadarkan diri saat melewati jalur tanjakan, pada saat itu dia dan teman-temannya merasa bingung, korban tidak mengalami luka sedikitpun tetapi langsung tidak sadarkan diri, yang mereka lakukan hanyalah membaringkan korban, akibat keterlambatan memberikan pertolongan pertama, korban tersebut meninggal dunia. peristiwa tersebut didukung dengan hasil penelitian martono (2012) bahwa dari 34 responden 17 yang memiliki pengetahuan rendah tentang kegawatdaruratan trauma pada anggota posdaya kabupaten klaten. menurut bloom, perilaku memiliki 3 domain antara lain; knowledge (pengetahuan) dan attitude (sikap) dan perilaku itu sendiri. pengetahuan merupakan hasil tahu dan terjadi setelah melakukan pengideraan terhadap suatu objek tertentu. sedangkan sikap merupakan suatu keyakinan atas suatu hal, keyakinan secara emosional terhadap suatu objek akan mempunyai kecenderungan untuk bertindak. sehingga dapat disimpulkan setelah seseorang tahu tentang suatu objek tertentu maka akan membentuk kepercayaan terhadap objek yang di ketahui dan meningkatkan keterkaitan emosional dari subjek tersebut, sehingga akan mempengaruhi terbentuknya sikap yang utuh (total attitude) sehingga terbentuk perilaku (notoadmodjo, 2010). medical first responder adalah orang pertama yang memberikan pertolongan segera kepada penderita sakit atau cedera akibat kecelakaan. tujuan penolong pertama adalah menyelamatkan jiwa penderita, mencegah kecacatan, memberikan rasa nyaman dan menunjang proses penyembuhan (wirati, 2014). medical fist respon terdiri dari bantuan hidup dasar, penilaian awal dan pengelolaan penderita trauma, memindah dan transportasi korban da n mela kuka n splinting da n bandaging (hibgabi, 2018). berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengidentifikasi kemampuan anggota crosstrab komunitas trail adventure blitar selatan sebagai medical first responder pada korban kecelakaan. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif, yang mengeksplorasi pengetahuan para anggota crosstrabs komunitas trail adventure blitar selatan tentang peran menjadi medical first responder pada korban kecelakaan. penelitian ini dilakukan tanggal 25 november 2018 di tulungagung dalam acara hot enduro 2018. populasi penelitian ini adalah anggota crosstrabs komunitas trail adventure blitar selatan ya ng mengikuti aca ra hot enduro 2018 215wulandari, setiyorini, kemampuan pecinta trail adventure... berjumlah 57 orang. dalam penelitian ini mengambil seluruh populasi menjadi sampel. yang dimaksud kemampuan pecinta trail adventure sebagai medical first responder pada korban kecelakaan dalam penelitian ini adalah pengetahuan, pemahaman dan penerapan para pecinta trail adventure dalam memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan pengambilan data dilakukan setelah para anggota crosstrabs komunitas trail adventure blitar selatan melewati finish dengan instrumen penelitian kuesioner. kuesioner meliputi pengetahuan mulai jenjang tahu, memahami dan menerapkan tentang beberapa komponen antara lain penilaian dini, bantuan hidup dasar, pemindahan korban, cedera jaringan lunak, cedera tulang belakang, cedera alat gerak, perdarahan dan syok medical first responder yang diisi oleh para responden. masing-masing komponen terdiri dari 10 pertanyaan sehingga total pertanyaan yang harus dijawab oleh responden adalah 80 soal multiple choice. data dari hasil penelitian ini kemudian ditabulasi dan dikelompokan menjadi kemampuan baik, cukup dan kurang. kemampuan baik jika nilai benar 76– 100%, kemampuan cukup bila nilai benar 56–75% dan kurang bila nilai  56%. hasil dan pembahasan hasil karakteristik pecinta trail adventure sebanyak 57 orang sepertididalam tabel di bawah ini. tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar 81% dari 57 responden memiliki kemampuan kurang dalam berperan sebagai medical first responder pada korban kecelakaan pembahasan kemampuan pecinta trail adventure sebagai medical first responder pada korban kecelakaan berdasarkan table 2 menunjukkan bahwa 81% responden memiliki kemampuan kurang sebagai medical first responder. menurut bloom mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” setelah melakukan pengideraan terhadap satu objek tertentu, yang memiliki beberapa tingkatan antara lain;(1) tahu, (2) memahami, (3) aplikasi, (4) analisis dan (5) sintesis (notoadmodjo, 2010). kemampuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan, pemahaman dan penerapan responden sebagai medical first responder. dari 81% responden yang mempunyai pengetahuan kurang tersebut semua belum pernah mendapatkan informasi tentang pertolongan pertama pada kecelakaan. sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh oleh anam dkk (2015) bahwa dari 26,7% perawat yang mempunyai pengetahuan baik dalam memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien sesuai aha adalah mereka yang update informasi melalui jurnal online dan mengikuti pelatihan. ini membuktikan bahwa bahwa informasi sangatlah penting untuk meningkatkan pengetahuan seseorang. kemampuan f % baik 2 1 cukup 9 18 kurang 46 81 tabel 2 kemampuanpecinta trail adventure sebagai medical first responder pada korban kecelakaan karakteristik responden f % pendidikan smp 10 18 sma 40 70 d3/s1 7 12 pekerjaan tidak bekerja 10 18 wiraswasta 16 28 sopir 3 5 pns/tni/polri 9 16 karyawan swasta 16 28 pensiunan 3 5 riwayat mendapatkan informasi tentang pertolongan pertama pada kecelakaan pernah 10 18 belum pernah 47 82 tabel 1 karakteristik pecinta trail adventure blitar berdasarkan tabel 1 tersebut diatas 35% berusia 36-45 tahun atau disebut sebagai dewasa akhir. pecinta trail adventure ini 91% berjenis kelamin laki-laki, karena laki-laki lebih menyukai tantangan. pada hasil penelitian tersebut didapatkan 70% berpendidikan terakhir sma. berdasarkan riwayat pekerjaan 39% bekerja sebagai kariyawan swasta dan 32% wiraswasta. dari 57 responden 82% belum pernah terpapar informasi tentang pertolongan pertama pada kecelakaan. 216 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 212–217 wawan dan dewi (2010) mengatakan bahwa pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal antara lain pendidikan, pekerjaan dan usia. dari 46 responden yang memiliki pengetahuan kurang 7 responden memiliki pendidikan terakhir smp, 34 sma dan 5 reponden berpendidikan terakhir d3/ s1. hal ini menujukan bahwa kemampuan pecinta trail adventure dalam berperan sebagai medical first responder di lapangan atau di jalur adventure tidak dipengaruhi oleh pendidikan terakhirnya saja dalam mendapatkan informasi. dalam penelitian wulandari (2016) didapatkan juga 7% siswa slta yang mempunyai pengetahuan baik dalam memberikan bantuan hidup dasar, dengan ini akan memperkuat bahwa seseorang tidak mendapatkan informasi pada proses pendidikan fomal saja. informasi dapat diperoleh melalui media cetak, media elektronik dan pendidikan informal antara lain seminar atau pelatihan. dibuktikan dalam penelitian ini 2 responden merupakan anggota polri yang penah di berikan pelatihan memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan lalu lintas mempunyai kemampuan baik, sedangkan 2 orang berpendidikan terakhir smp dan saat ini sedang belajar di sma mempunyai kemampuan yang cukup dalam berperan sebagai medical first responder karena baru saja dilatih tentang pertolongan pertama dalam kegiatan pmr (palang merah remaja) di sekolahnya, dan 7 orang yang mempunyai kemampuan cukup merupakan mantan anggota pmr. dari 81% responden (46 orang) yang memiliki kemampuan kurang dalam berperan sebagai medical first responder, semua mempunyai nilai benar kurang dari 50% dari pertanyaan di masing-masing komponen. dalam kuesioner terdiri dari komponen penilaian dini, bantuan hidup dasar, pemindahan korban, cedera jaringan lunak, cedera tulang belakang, cedera alat gerak, perdarahan dan syok medical first yang masing-masingmempunyai 10 pertanyaan.tetapi pada 2 responden yang memiliki kemampuan baik dalam berperan sebagai medical first responder dapat menjawab pertanyaan dengan sempurna di komponen penilaian dini, bantuan hidup dasar, pemindahan korban, cedera jaringan lunak dan perdarahan. sedangkan 9 responden (18%) yang mempunyai kemampuan cukup dalam berperan sebagai medical first responder 2 responden menjawab dengan sempurna pertanyaan di komponen pemindahan korban, dan 4 responden menjawab dengan sempurna komponen penilaian dini dan bantuan hidup dasar, dan 3 orang menjawab dengan sempurna pemindahan korban dan cedera jaringan lunak. hasil penelitian tersebut sesuai dengan pendapat gregory, michael and jeff (2011) mengatakan bahwa kemampuan personel yang terlatih dalam memberikan kehidupan dasar untuk mendukung pertolongan pertama sangat penting dalam menyelamatkan rekan kerja yang mengalami kecelakaan kerja. pelatihan yang diberikan setiap dua tahun dapat mempengaruhi kemampuan personel yang terlatih untuk memberikan bantuan kritis yang cukup dalam pertolongan pertama masih dipertanyakan. sehingga butuh penyegaran atau pelatihan basic life support pada karyawan dengan durasi lebih pendek atau kurang dari dua tahun. begitu pula pada para pecinta trail adventure khususnya anggota crosstrabs komunitas trail adventure blitar selatan, yang seharusnya mendapatkan pelatihan tentang cara memberikan medical first respons pada korban kecelakaan. mengingat mereka mempunyai hobi melaju dengan sepedah motor di jalur yang berbahaya sehingga beresiko terjadi kecelakaan atau menemukan teman yang mengalami kecelakaan para pecinta trail adventure tersebut dapat berperan sebagai medical first esponder dengan cepat, tepat dan tanpa ragu-ragu. pertolongan pertama dan tehnik evakuasi yang tepat pada korban akan meminimalkan terjadinya komplikasi lebih lanjut pada korban. kesimpulan dan saran kesimpulan sebanyak 80% pecinta trail adventure yang tergabung sebagai anggota crosstrab komunitas trail adventure blitar selatan mempunyai kemampuan kurang sebagai medical first responder pada korban kecelakaan. saran berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan ada pelatihan tentang medical first respons pada pecinta trail adventure. penyelenggaraan pelatihan tersebut dapat dilaksanakan dengan bekerjasama dengan instansi pendidikan kesehatan atau palang merah indonesia (pmi). daftar pustaka anam a.k, winarni,s, susatya, b. (2015). the effectiveness of disaster training improving knowledge, attitude and skill nursing disaster for 217wulandari, setiyorini, kemampuan pecinta trail adventure... disaster preparedness kelud erruption blitar city. jurnal ners dan kebidanan volume 2, nomor 2. http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/0061 dibuka tanggal 1 september 2018. gregory,a, michael, g and jeff m. (2011). first aid skill retention of first responders within the workplace. scandinavia journal of trauma resuscitation and trauma. https://sjtrem.biomedcentral.com/articles/ 10.1186/1757-7241-19-11#abs1 hibgabi. (2018). modul pelatihan basic trauma life support.ppni jawatimur.surabaya martono. 2012. pengetahuan kegawatdaruratan trauma dan sikap posdaya dalam merencanakan tindakan trauma. jurnal terpadu ilmu kesehatan. jilid 1,mei http://download.portalgaruda.org/ a r t i c l e . p h p ? a r t i c l e = 2 7 9 5 5 3 & v a l = 6 6 6 4 & t i t l e = p e n g e t a h u a n % 2 0 k e g a watdaruratan%20trauma%20dan% 2 0 s i k a p % 2 0 p o s d aya % 2 0 d a l a m % 20merencanakan%20tindakan%20trauma. prelo. (2017). resiko kecelakaan pada kegiatan trail. adventure.https://prelo.co.id/blog/kegiatan trailadventure-yang-aman-dan-nyaman. diakses pada tanggal 20 agustus 2018. setyo, w. (2018) angka kecelakaan menurun di tahun 2018.www.liputan 6 .com. who. (2004) world report on road traffic injury prevention. http://apps.who.int/iris/bitstream/ handle/10665/42925/9241591315.pdf;jsessionid= e5f00ccd188df43fbc24ac57a20b121f?sequence=1 wawan dan dewi. (2010). teori dan pengukuran pe nget ahuan, sikap dan perilak u manusi a. jogja.nuha medika. wirati. (2014). materi sar-mfr. https://www.scribd. com/doc/247992671/materi-sar-mfr. diakses pada tanggal 20 agustus 2018. wulandari, n.a. (2016). pengetahuan siswa slta tentang bantuan hidup dasar. jurnal ners dan kebidanan, vol 3, no 2, http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/ article/view/0119. 162 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 162–169 162 program retensi perawat untuk mengurangi turnover perawat non pns di rumah sakit x ahmad muslim1, sutinah2 1praktisi pengembangan sumber daya manusia, rumah sakit universitas airlangga surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 20/03/2019 disetujui, 28/10/2019 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: program retensi, turnover perawat, rumah sakit abstrak rumah sakit harus mampu mempertahankan pegawai, terutama tenaga kesehatan seperti perawat, hal ini dilakukan agar rumah sakit dapat mempertahankan eksistensinya. angka turnover yang tinggi merupakan sebuah ancaman bagi rumah sakit, oleh karena itu dibutuhkan program retensi pegawai untuk mempertahankan pegawai dari turnover intention. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses pengembangan perawat non pns di rumah sakit x. penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. data diperoleh melalui wawancara terhadap perawat pns, perawat non pns, perawat yang telah resign, dan pihak manajemen rumah sakit x. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rumah sakit x telah melaksanakan program retensi pegawai, namun belum bisa menurunkan angka turnover perawat non pns. sistem remunerasi yang merupakan program retensi pegawai perlu ditinjau ulang, karena dengan adanya sistem remunerasi, turnover perawat non pns semakin meningkat. turnover perawat non pns di rumah sakit x disebabkan oleh kepastian karier dan kesejahteraan pegawai yang kurang. program retensi pegawai di rumah sakit x harus fokus pada faktor penyebab turnover perawat non pns, agar program retensi pegawai dapat dirancang dengan baik. pihak manajemen rumah sakit x harus melakukan analisa yang tepat dan melihat berbagai dampak yang akan muncul dari penerapan program retensi pegawai tersebut. history article: received, 20/03/2019 accepted, 28/10/2019 published, 05/08/2020 keywords: retention program, nurse turnover, hospital article information abstract a hospital must be able to retain employees, especially health workers such as nurses; this action is done by the hospital in order to maintain its existence. high turnover is a threat to the hospital. therefore, employee retention programs are needed to keep employees from turnover intentions. this study aimed to determine the description of the process of developing non-civil servant nurses in hospital x. this study used qualitative methods with a descriptive research type. the data obtained through interviews with civil servant nurses, non-civil servant nurses, nurses who nurse retention program to reduce turnover of non-civil servant nurses of hospital x jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk 2fakultas ilmu sosial & ilmu politik, universitas airlangga surabaya, indonesia 163muslim, sutinah, program retensi perawat untuk mengurangi turnover perawat non pns di rumah sakit x correspondence address: universitas airlangga surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: farelotionship@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p162–169 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan sumber daya manusia (sdm) merupakan aset yang berharga dalam sebuah organisasi seperti rumah sakit. keberhasilan dan kesuksesan organisasi dalam mencapai tujuan ditentukan oleh kualitas sdm yang ada di dalamnya. pihak manajemen rumah sakit harus memahami bahwa tenaga profesional di rumah sakit merupakan aset yang harus dikelola dengan baik. pengelolaan sdm yang baik dan tepat akan menambah kemampuan dan kompetensi sdm, sehingga mampu menyelesaikan setiap permasalahan, membuat inovasi, dan programprogram rumah sakit akan terlaksana dengan efektif dan efisien. manajemen sumber daya manusia memiliki peran penting bagi rumah sakit dalam menentukan keberhasilan untuk mencapai tujuannya. diperlukan strategi yang tepat dalam pengelolaan sdm, karena tujuan rumah sakit akan tercapai apabila pengelolaan sdm ditangani dengan baik. pengelolaan sumber daya manusia yang buruk dapat mengakibatkan kerugian bagi rumah sakit, seperti meningkatnya keinginan pegawai untuk meninggalkan pekerjaan atau disebut juga turnover intention. turnover pegawai merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari, meskipun rumah sakit telah berkomitmen dalam memperhatikan kesejahteraan pegawai dan membuat lingkungan kerja yang baik, tetap akan ada pegawai yang mengundurkan diri. banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover pegawai di dalam sebuah perusahaan. menurut ridlo (2012) faktor yang mempengaruhi turnover pegawai diantaranya adalah komitmen organisasi, kompensasi, jenjang karier, kepuasan kerja, dan budaya organisasi. angka turnover pegawai yang tinggi akan berdampak negatif bagi image rumah sakit. pihak manajemen rumah sakit dianggap kurang mampu memperhatikan kebutuhan pegawai, belum lagi jika pegawai yang resign adalah pegawai yang potensial. turnover pegawai juga dapat mengganggu aktivitas pekerjaan, kehilangan seorang pegawai tentu akan mengganggu ritme pekerjaan. pihak rumah sakit harus mencari pengganti atau memberikan beban kerja yang lebih kepada pegawai yang masih aktif bekerja. beban kerja yang berlebihan dapat meningkatkan risiko human error dan akan berdampak pada turunnya kinerja pegawai. turnover juga dapat memberikan dampak positif, terutama apabila pegawai yang resign adalah pegawai yang memiliki kinerja rendah, sehingga mengganggu pekerjaan pegawai lain. dengan adanya pegawai yang resign, berarti rumah sakti kehilangan pegawai yang harus diganti dengan pegawai baru. pihak rumah sakit harus mengeluarkan biaya untuk proses rekrutmen, seleksi, orientasi, dan pelatihan. selain itu, pegawai baru juga membutuhkan waktu untuk proses penyesuaian dan adaptasi. jika sebuah rumah sakit hanya disibukkan had resigned, and the management of hospital x. the results of this study indicated that hospital x had implemented an employee retention program, but had not been able to reduce the turnover rate of non-civil servant nurses. the remuneration system which was an employee retention program needs to be reviewed because with the remuneration system the turnover of non-civil servant nurses increased. the turnover of non-civil servant nurses at hospital x was caused by the career certainty and lack of employee welfare. the employee retention program at hospital x must focus on the factors that cause the turnover of non-civil servant nurses so that the employee retention program can be well designed. the management of hospital x must conduct appropriate analysis and see the various impacts that will arise from the application of the employee retention program. © 2020 jurnal ners dan kebidanan 164 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 162–169 dengan permasalahan turnover pegawai, hal ini akan memengaruhi efisiensi rumah sakit secara keseluruhan. pihak manajemen rumah sakit harus mampu mengendalikan turnover intention pada pegawai, sehingga dapat menghemat biaya dan waktu. terjadinya turnover pegawai tidak dapat diperkirakan, oleh karena itu pihak manajemen rumah sakit harus memiliki program untuk mengantisipasi adanya pegawai yang mengundurkan diri (resign). program retensi pegawai merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit dalam meminimalkan angka turnover pegawai. susilo (2013) berpendapat bahwa retensi pegawai merupakan merupakan keinginan pegawai untuk tetap bertahan pada perusahaan dalam jangka waktu yang lama. pegawai harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh pihak manajemen, jika tidak maka semangat kerja, loyalitas, sikap dan disiplin pegawai akan menurun. sumarni (2011) berpendapat bahwa pengembangan program retensi pegawai merupakan komponen yang krusial bagi rumah sakit. retensi pegawai yang buruk akan meningkatkan turnover pegawai yang mempunyai dampak negatif terhadap pelayanan di rumah sakit. rumah sakit x merupakan salah satu rumah sakit yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai rumah sakit tipe b. pada awalnya rumah sakit x didirikan dalam rangka menunjang aktivitas pendidikan. perubahan status ini dikarenakan promosi dan simulasi pelayanan terhadap pasien yang dilakukan rumah sakit x hasilnya cukup memuaskan. menjadi rumah sakit tipe b, rumah sakit x harus melakukan peningkatan kualitas dari segi pelayanan maupun penunjang medis. peningkatan kualitas pelayanan di rumah sakit x tidak terlepas dari peran sdm yang ada di rumah sakit x. oleh karena itu rumah sakit x harus mampu mempertahankan pegawainya agar tidak resign. rumah sakit x telah melakukan upaya dalam rangka menurunkan angka turnover pegawai, namun upaya tersebut tidak dapat menghindarkan rumah sakit x dari turnover pegawai. persentase turnover pegawai tertinggi di rumah sakit x adalah perawat. perawat merupakan tenaga profesional yang memiliki kemampuan dan kompetensi khusus yang seharusnya dipertahankan oleh pihak rmah sakit x agar tidak resign. kompetensi yang dimiliki oleh perawat dibutuhkan oleh rumah sakit untuk mengembangkan dan meningkatkan pelayanan rumah sakit. meningkatnya turnover perawat non pns di rumah sakit akan mempengaruhi kinerja perawat dan kualitas pelayanan di rumah sakit x. di rumah sakit x terdapat dua status kepegawaian, yaitu pegawai negeri sipil (pns) dan pegawai non pns. perawat yang resign dari rumah sakit x pada tahun 2019, seluruhnya berstatus pegawai non pns. angka turnover perawat non pns ini mengalami kenaikan dari tahuntahun sebelumnya. berikut data turnover perawat non pns di rumah sakit x: 2017 12 163 7% 2018 16 200 8% 2019 34 240 14% tabel 1 data turnover perawat non pns di rumah sakit x tahun jumlah perawat non pns yang resign jumlah perawat non pns persentase turnover sumber: data sdm rumah sakit x persentase turnover perawat di rumah sakit x pada tahun 2019 mencapai 14%, angka tersebut melebihi standar turnover menurut leap dalam lusiati (2013) yang hanya 10-11% per tahun. di rumah sakit x jumlah perawat non pns sebanyak 240 atau 39% dari total pegawai non pns di rumah sakit x yang berjumlah 612 orang. penyebab turnover perawat non pns di rumah sakit x adalah masalah kesejahteraan perawat dan ketidakpastian karier. hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan perawat non pns di rumah sakit x belum dapat memenuhi harapan mereka. perawat non pns di rumah sakit x juga merasa tidak ada kejelasan pada karier mereka untuk kedepannya. oleh karena itu, peniliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai program retensi perawat untuk mengurangi turnover perawat non pns di rumah sakit x. bahan dan metode penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian bersifat 165muslim, sutinah, program retensi perawat untuk mengurangi turnover perawat non pns di rumah sakit x deskriptif. jenis penelitian deskriptif ini bertujuan menggambarkan secara rinci dan lengkap mengenai program retensi perawat untuk mengurangi turnover perawat non pns di rumah sakit x berdasarkan data yang diperoleh dari informan. dalam penelitian ini cara memperoleh data yang akan dipergunakan adalah dengan cara wawancara dan dokumentasi. dalam penelitian ini, peneliti memilih informan perawat pns dan non pns, perawat yang telah resign serta informan memiliki kapabilitas dalam program retensi perawat di rumah sakit x. pemilihan informan dilakukan secara berurutan dengan tujuan memperoleh variasi sebanyak-banyaknya. informan sejumlah 12, yang terdiri dari perawat pns, perawat non pns, perawat yang telah resign, hrd, dan pihak manajemen rs wawancara kepada informan dilakukan secara secara semiterstruktur (semistructure interview). jenis wawancara semiterstruktur ini menurut sugiyono (2016) sudah termasuk dalam kategori in-dept interview, di dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. hasil wawancara setiap informan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas hasil wawancara yang telah diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan dengan hasil wawancara dari informan lain. hasil penelitian perawat non pns di rumah sakit x merupakan pegawai kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu (pkwt) selama satu tahun, dan akan diperpanjang sesuai dengan kebutuhan rumah sakit x. status kontrak ini yang membuat perawat non pns khawatir akan karier mereka kedepannya. di rumah sakit x perawat non pns memang belum memiliki yang jelas, hal ini dibuktikan oleh informan seorang perawat non pns yang telah bekerja selama 7 tahun dengan status kontrak dan masih dalam posisi yang sama ketika awal masuk kerja. sesuai kutipan wawancara sebagai berikut: “…saya masuk disini dari tahun dua ribu dua belas akhir, sekitar bulan desember kalo ga salah waktu itu,… dari awal masuk sampai sekarang masih di unit ini…” “sistem di rumah sakit ini yang membuat karier perawat tidak bisa berkembang…” karier perawat non pns yang belum jelas akan menimbulkan rasa bahwa mereka kurang diperhatikan oleh pihak manajemen rumah sakit x, sehingga akan muncul keinginan untuk resign. belum tersedianya kesempatan perawat non pns untuk memiliki jenjang karier di rumah sakit disebabkan karena belum diatur di dalam peraturan rumah sakit atau hospital by laws (hbl). seperti kutipan wawancara berikut: “…hbl (peraturan rumah sakit) di dalamnya sudah mengatur terkait kewenangan, disiplin, dan etika perawat, hingga remunerasi, namun untuk menduduki jabatan tertentu memang ada syarat-syaratnya, salah satunya adalah harus pns, saat ini perawat non pns belum bisa menduduki jabatan-jabatan tersebut, karena memang belum ada peraturannya...” fakta lain ditemukan bahwa perawat non pns yang resign dari rumah sakit x berusia antara 2429 tahun dengan masa kerja antara 1-4 tahun. menurut logan dalam ekawati (2018) perawat yang masih berusia 20-30 tahun cenderung masih ingin mencoba halhal yang baru. perawat dengan usia 20-30 tahun cenderung ingin mencoba untuk mencari pekerjaan dengan penghasilan yang lebih banyak. dari hasil wawancara dengan perawat non pns yang telah resign menunjukkan hasil bahwa mereka melihat ada peluang karier yang lebih baik di tempat lain. bekerja rumah sakit x dalam jangka waktu lama tidak dapat menjamin karier dan kesejahteraan bagi perawat non pns. bagi perawat non pns yang telah resign, bekerja di rumah sakit x cukup hanya untuk mencari pengalaman kerja atau batu loncatan untuk mencari pekerjaan di tempat lain. “saya pribadi tentunya ingin lebih baik, kalau saya di rumah sakit ini terus, takutnya karier saya ga berkembang, karena saya sudah bekerja cukup lama di rumah sakit ini tapi statusnya masih belum jelas, dari dulu kontrak terus,… nah ini kebetulan ada cpns, ya saya coba ikut, dan alhamdulillah lolos.” permasalahan karier tidak hanya bergantung pada rumah sakit, namun harus ada upaya dari setiap individu untuk mengembangkan kariernya. setiap individu memiliki cara sendiri dalam menentukan kariernya, ada perawat non pns yang memilih tetap bertahan bekerja di rumah sakit x dan ada yang memilih untuk resign. informan yang masih bekerja di rumah sakit x memiliki keyakinan dan harapan bahwa dirinya memiliki peluang karier di rumah sakit x. perawat non pns yang telah resign dari 166 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 162–169 rumah sakit x bukan berarti tidak memiliki keyakinan dan harapan, keputusannya untuk resign merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembangkan kariernya. sesuai dengan pendapat samsudin (2010) bahwa permintaan untuk berhenti (resign) merupakan suatu cara untuk mencapai sasaran karier bila ada kesempatan karier di tempat lain. selain masalah karier masalah kesejahteraan pegawai merupakan hal yang harus diperhatikan oleh pihak manajemen rumah sakit x. gaji atau kesejahteraan yang tidak sesuai dengan beban kerja dan harapan pegawai juga dapat menimbulkan keinginan pegawai untuk resign. gaji perawat non pns di rumah sakit x sudah sesuai standar upah minimun kota/kabupaten (umk). perawat merupakan tenaga profesional yang seharusnya kemampuan dan kompetensinya lebih dihargai oleh pihak manajemen rumah sakit x. hal ini didukung dengan pernyataan: “umk itu seharusnya untuk pendidikan yang paling rendah di rumah sakit ini, tingkat pendidikan pegawai di rumah sakit ini paling rendah sma, sedangkan perawat disini tingkat pendidikannya ada yang diii dan s1 profesi ners, seharusnya take home pay mereka diatas umk, karena perawat ini merupakan seorang profesional yang memiliki kompetensi khusus.” dari hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa gaji perawat non pns semakin menurun, bahkan ada remunerasi yang belum dibagikan kepada pegawai. pihak manajemen rumah sakit x mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena penurunan pendapatan rumah sakit x dan permasalahan klaim dari badan penyelenggara jaminan sosial (bpjs). seperti kutipan wawancara sebagai berikut: “…kalau menurut saya disini kesejahteraan pegawai masih kurang mas, selain kurang dari nominalnya, juga kurang diperhatikan mas, buktinya ini semenjak adanya sistem remunerasi bukannya gajinya dinaikkan, eh gajinya malah turun…” rumah sakit x sebelumnya telah melakukan upaya retensi pegawai, yaitu dengan menerapkan sistem remunerasi. sebelum sistem remunerasi ini dilaksanakan, pihak manajemen rumah sakit x telah melakukan sosialisasi sistem remunerasi kepada pegawai. sistem remunerasi ini merupakan sistem pemberian gaji yang berdasarkan hasil penilaian kinerja pegawai. besaran nominal remunerasi setiap bulannya dapat berubah, tergantung pada penilaian kinerja pegawai dan pendapatan rumah sakit x setiap bulan. pada awal penerapan sistem remunerasi banyak pegawai yang merasa kecewa, karena beberapa pegawai mengalami penurunan gaji, bahkan ada yang mengalami penurunan gaji hingga 35%. penyebab turunnya gaji beberapa pegawai tersebut dikarenakan dasar pemberian remunerasi adalah tingkat pendidikan pegawai tidak memandang kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya. hal ini sudah tidak sesuai dengan penyampaian pada waktu sosialisasi dan menyebabkan tenaga profesional seperti perawat merasa tidak dihargai. sistem remunerasi yang berdasarkan penilaian kinerja pegawai, namun hingga saat ini penilaian kinerja pegawai tersebut belum pernah dijalankan. hal ini menunjukkan bahwa pihak manajemen rumah sakit x tergesa-gesa dalam melaksanakan sistem remunerasi. sistem remunerasi ini telah mengalami beberapa kali perubahan terkait kebijakan. jika sebelumnya yang menjadi dasar pemberian remunerasi adalah tingkat pendidikan, saat ini ditambahkan komponen penilaian baru, yaitu ruang dimana tempat pegawai tersebut bekerja. perubahan kebijakan remunerasi belum dapat meningkatkan kesejahteraan perawat non pns. penurunan pendapatan rumah sakit menyebabkan gaji perawat non pns terus mengalami penurunan. oleh karena itu diperlukan program retensi pegawai yang dapat membuat perawat non pns agar tetap bertahan bekerja di rumah sakit x. pembahasan program retensi perawat merupakan strategi yang dilakukan oleh rumah sakit x dalam mengelola sdm yang berdasarkan faktor penyebab terjadinya turnover perawat. melalui program retensi perawat rumah sakit x diharapkan dapat mengurangi angka turnover perawat, khususnya perawat non pns. dari hasil wawancara dengan informan, menunjukkan hasil bahwa faktor penyebab terjadinya turnover perawat non pns diantaranya adalah tidak adanya kejelasan status kepegawaian, pengembangan dan jenjang karier, serta kesejahteraan perawat yang kurang. hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan indrayani (2016) bahwa penyebab terjadinya turnover intention diantaranya adalah umur, pengembangan karir, dan kompensasi. 167muslim, sutinah, program retensi perawat untuk mengurangi turnover perawat non pns di rumah sakit x pengembangan karier merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya turnover di rumah sakit x. pihak manajemen rumah sakit belum mengatur jenjang karier dan pengembangan karier bagi perawat non pns. status pegawai kontrak atau non pns di rumah sakit x selama ini dianggap status yang tidak pasti dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan perawat non pns. oleh karena itu pihak manajemen rumah sakit x merencanakan untuk pengadaan/rekrutmen pegawai tetap. pihak manajemen rumah sakit x menyampaikan bahwa pegawai tetap di rumah sakit x memiliki sistem karier yang sama dengan pns, seperti kenaikan gaji, kenaikan pangkat, dan jenjang karier. selama ini perawat non pns memang belum memiliki jenjang karier, oleh karena itu dengan status pegawai tetap ini merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap perawat non pns. menurut hinson (2011) pengakuan terhadap perawat merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan retensi perawat. pihak manajemen rumah sakit x saat ini belum bisa menyampaikan terkait pelaksanaan rekrutmen pegawai tetap. kondisi keuangan rumah sakit x belum memungkingkan untuk mengadakan rekrutmen pegawai tetap. kondisi keuangan ini tidak dapat diprediksi, karena keuangan rumah sakit x tergantung pada pembayaran klaim bpjs. namun pihak manajemen rumah sakit x berupaya untuk segera mengadakan rekrutmen pegawai tetap, yang dilakukan secara bertahap. tahap pertama pelaksanaan rekrutmen pegawai tetap akan dikhususkan untuk pegawai non pns yang telah memiliki masa kerja lebih dari lima tahun dan diutamakan untuk tenaga profesional seperti perawat. pihak manajemen rumah sakit x telah melakukan sosialisasi terkait pegawai tetap kepada perawat non pns yang memiliki masa kerja diatas lima tahun. hal ini dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit x, mengingat angka turnover perawat non pns yang sudah cukup tinggi. pihak keperawatan rumah sakit x juga ikut berupaya untuk mengurangi turnover perawat non pns dengan cara melakukan rotasi perawat non pns sesuai dengan minat dan kompetensi. pihak keperawatan rumah sakit x juga selalu menawarkan kepada seluruh perawat jika akan membuka sebuah layanan baru. seluruh perawat non pns diberikan kesempatan untuk memilih bidang keperawatan yang diminati dan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. cara ini dinilai oleh pihak keperawatan rumah sakit x dapat mengurangi turnover perawat non pns. beberapa perawat telah dirotasi sesuai dengan peminatan dan kompetensinya, namun hal ini memang belum bisa memenuhi keinginan setiap perawat karena rotasi perawat menyesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan rumah sakit x. perawat yang telah dirotasi akan diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan sesuai dengan bidang keperawatan dan kompetensinya. menurut adzka (2017) pela tihan dan pengemba nga n merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi retensi pegawai. program pelatihan perawat di rumah sakit x dilakukan dalam rangka peningkatan kompetensi dan pengembangan karier perawat. pihak manajemen rumah sakit x mewajibkan kepada seluruh pegawai untuk mengikuti pelatihan. pelatihan ini tidak hanya memberikan manfaat kepada perawat namun juga berguna bagi kepentingan rumah sakit x dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan meningkatkan kinerja pegawai. pemberian pelatihan kepada pegawai juga terbukti dapat mengurangi turnover intention pada pegawai. hal ini juga disampaikan oleh yang (2012) bahwa ketika pihak manajemen mengusulkan pelatihan untuk pegawai yang telah memiliki keinginan untuk mengundurkan diri, dapat membatalkan niat pegawai tersebut untuk mengundurkan diri. faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya turnover di rumah sakit x adalah gaji pegawai yang semakin menurun. gaji yang diterima oleh perawat non pns dianggap tidak layak, meskipun sesuai dengan umk, sedangkan umk seharusnya adalah standar gaji untuk tingkat pendidikan yang paling rendah. berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa sistem remunerasi ini belum direncanakan secara matang dan tidak melihat kondisi internal rumah sakit x. hal ini mengakibatkan sistem remunerasi bukan menjadi solusi, tetapi malah meningkatkan angka turnover perawat non pns. pihak mananjemen rumah sakit x terus berupaya untuk memperbaiki kesejahteraan pegawai. saat ini sedang direncanakan untuk mengganti sistem remunerasi dengan sistem pemberian tunjangan sesuai dengan jasa pelayanan. sistem ini dinilai lebih baik untuk tenaga profesional seperti perawat, karena tunjangan mereka diberikan berdasa rkan pelayana n ya ng mer eka lakukan dan kompetensi yang dimiliki. dengan demikian, perawat akan lebih dihargai kompetensinya dan ada pembeda antara perawat yang baru masuk dan yang 168 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 162–169 telah lama bekerja di rumah sakit x. selama ini di rumah sakit x tidak ada perbedaan antara gaji perawat yang baru masuk dengan perawat yang sudah lama bekerja, yang membedakan hanya tempat atau unit dimana perawat tersebut ditugaskan. kesimpulan angka turnover perawat non pns yang tinggi di rumah sakit x disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kepastian status pegawai, jenjang karier, dan kesejahteraan bagi perawat non pns. belum terdapat kepastian status pegawai dan jenjang karier bagi perawat non pns, sehingga banyak yang mencoba untuk mencari pekerjaan di tempat lain yang mampu memberikan karier yang lebih baik. di rumah sakit x, hanya perawat pns yang berpeluang untuk menduduki jabatan struktural. hal ini terjadi karena di dalam hbl rumah sakit x belum mengatur tentang karier struktural perawat non pns. remunerasi yang diterima oleh perawat non pns dinilai tidak transparan dan tidak sesuai dengan beban pekerjaan. dengan diberlakukannya sistem remunerasi, gaji yang di terima oleh perawat non pns semakin menurun. rumah sakit x telah melakukan program retensi berupa sistem remunerasi, dengan harapan dapat menekan angka turnover pegawai yang semakin meningkat setiap tahun. namun dengan adanya sistem remunerasi, angka turnover perawat non pns semakin tinggi menjadi 14%. oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem remunerasi tersebut dan merancang program retensi lainnya. program retensi pegawai yang dilakukan oleh rumah sakit x yaitu rekrutmen pegawai tetap, pemberian pelatihan, dan merancang ulang sistem remunerasi. program pegawai tetap rumah sakit x ini rencananya diberlakukan untuk pegawai non pns yang memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. program pemberian pelatihan ini diberikan kepada pegawai, terutama bagi tenaga profesional seperti perawat untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi sesuai dengan bidang yang diminati. saran peneliti memberikan saran yang diharapkan dapat memberikan bermanfaat atau dijadikan pertimbangan bagi rumah sakit x. faktor penyebab turnover di rumah sakit x adalah masalah kepastian status pegawai dan remunerasi. rumah sakit x dapat memprioritaskan program retensi pegawai yang terkait dengan permasalahan tersebut, yaitu rekrutmen pegawai tetap dan meninjau ulang sistem remunerasi. pihak manajemen rumah sakit x segera membuat perencanaan pegawai tetap, terutama terkait dengan kesejahteraan dan jenjang kariernya. daftar pustaka adzka, safaat a. & perdhana, mirwan s. (2017). analisis faktor yang mempengaruhi retensi karyawan. diponegoro journal of management, vol. 6, no. 4, hal. 1-7. ekawati, k. & ardani, m. (2018). gambaran retensi perawat pelaksana di rumah sakit. jurnal kepemimpinan dan manajemen keperawatan, vol. 1, no. 2, hal. 36-41. hayes, l., o’brien-palas, l. duffield, c., et al. (2012). nurse turnover: a literature review-an update. international journal of nursing studies 49, pp. 887905. hinson, tyonne d., spatz, diane l. (2011). improving nurse retention in a large tertiary acute-care hospital. the journal of nursing administration, vol. 41, number 3, pp. 103-108. indrayani, s. (2016). analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan keinginan pindah kerja perawat rumah sakit x balikpapan tahun 2014. jurnal administrasi rumah sakit indonesia, vol. 2, no. 2, hal. 150-161. kurniati, a. & efendi, f. (2012). kajian sumber daya manusia kesehatan di indonesia. jakarta: salemba medika. lusiati, a dan supriyanto, s. (2013). dampak faktor individu, faktor pekerjaan dan faktor organisasi pada kepuasan kerja dan intensi turnover perawat. jurnal administrasi kesehatan indonesia. vol. 1, no. 2, hal. 156-166. milka, w., kerubo, ondari j. & eunicares, l. (2017). factors affecting employee turnover in hospitality establishments in kisii town, kenya. merit research journal of business and management, vol. 5(1), pp. 030-040. nursalam. (2014). manajemen keperawatan aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. jakarta: salemba medika. ridlo, ilham a. (2012). turn over karyawan “kajian literatur”. surabaya: ph movement publication. samsudin, s. (2010). manajemen sumber daya manusia. bandung: cv. pustaka setia. subali. (2018). retensi pegawai sebagai upaya pencegahan turnover. pusat pengkajian dan penelitian kepegawaian, nomor: 025-november 2018. sugiyono, p. (2016). metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r & d. bandung: cv. alfabeta. sumarni, m. (2011). pengaruh employee retention terhadap turnover intention dan kinerja karyawan. jurnal akuntansi dan manajemen akmenika upy, vol. 8, hal. 20-47. 169muslim, sutinah, program retensi perawat untuk mengurangi turnover perawat non pns di rumah sakit x susilo, a. (2013). pengaruh retensi karyawan dan kepuasan pelanggan terhadap kinerja. jurnal studia akuntansi dan bisnis, vol. 1, no. 3, hal. 247262. yang, jen te, wan, chin sheng, & fu, yi jui. (2012). qualitative examination of employee turnover and retention strategies in international tourist hotels in taiwan. international journal of hospitality management 31, pp. 837-848. 333sari, bashory, tipe kepribadian anak dan kecenderungan kejadian... 333 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk tipe kepribadian anak dan kecenderungan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo rika maya sari1, bashory2 1fakultas keperawatan, universitas muhammadiyah ponorogo, indonesia 2fakultas teknik, universitas muhammadiyah ponorogo, indonesia info artikel kata kunci: tipe kepribadian; verbal abuse; prasekolah abstrak banyak orang tua yang merasa anaknya sangat sulit untuk ditangani dan secara tidak sadar melakukan tindakan-tindakan keras kepada anaknya dalam bentuk physical abuse, sexual abuse, emotional abuse, dan neglect. diantara bentuk-bentuk kekerasan tersebut, yang paling sering dialami oleh anak-anak di desa pomahan kecamatan pulung adalah emotional abuse yaitu verbal abuse (kekerasan verbal). di indonesia tiap satu sampai dua menit satu anak mengalami kekerasan. tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keterkaitan tipe kepribadian anak dengan kecenderungan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo. rancangan penelitian menggunakan pendekatan korelasional. penelitian dilakukan di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo terhadap 40 orangtua anak usia prasekolah dengan teknik simple random sampling menggunakan instrumen kuisioner pada variabel tipe kepribadian anak dan variabel kejadian verbal abuse. hasil pengumpulan data dianalisis dengan uji statistik chi square menggunakan program bantuan komputer spss 16.0 for windows menunjukkan p value = 0,010 lebih kecil dari á 0,05 yang berarti bahwa ada hubungan antara tipe kepribadian anak dengan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo dengan koefisien kontingensi 0,472 yang berarti tingkat keeratan hubungan sedang. saran peneliti perlu adanya peningkatan pemahaman orangtua dalam melakukan komunikasi yang efektif pada anak sesuai tipe kepribadian anak sehingga dapat meminimalisir kejadian verbal abuse. sejarah artikel: diterima, 20/09/2018 disetujui, 14/08/2019 dipublikasi, 02/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p333-338&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 334 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 333–338 pendahuluan banyak orang tua yang merasa anaknya sangat sulit untuk ditangani dan secara tidak sadar melakukan tindakan-tindakan keras kepada anaknya (fudyartanta, 2012). kekerasan yang selama ini banyak dialami oleh anak-anak terdiri dari physical abuse, sexual abuse, emotional abuse, dan neglect. diantara bentuk-bentuk kekerasan tersebut yang paling sering dialami oleh ana k-anak a dalah emotional abuse. bentuk umum dari emotional abuse adalah verbal abuse. masa perkembangan anak pada umur 3 tahun sampai 7 tahun merupakan masa menentang. pada masa itu anak-anak kelihatan nakal, keras kepala, kuat kemauan dan keinginannya, tidak mau meniru orang lain, suka menentang pendapat perintah orang lain dan semacamnya. catatan kekerasan anak pada tahun 2014 mencapai 523 kasus kekerasan, sedangkan pada article information keywords: personality type; verbal abuse; preschool abstract © 2019 jurnal ners dan kebidanan tahun 2015 hingga akhir juli 2015 tercatat 290 kasus kekerasan yang dialami oleh anak menurut data lembaga perlindungan anak (lpa) jawa timur,. jika diasumsikan hingga akhir tahun 2015 terjadi peningkatan kekerasan anak sekitar 50% dibandingkan pada tahun 2014. sedangkan berdasarkan data dari kppa kabupaten ponorogo didapatkan pada tahun 2013 terdapat 14 kasus kekerasan anak, tahun 2014 ada 21 kasus dan sampai bulan november 2015 mencapai 14 kasus. menurut rusmil (2004) faktor orang tua/ keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor dari anak sendiri kemungkinan menjadi penyebab terjadinya verbal abuse. verbal abuse dapat berdampak buruk dan membuat anak menderita, seperti menganggap dirinya buruk dan tidak berguna. selain itu, stres dan depresi yang dialami oleh anak dapat memtype of child’s personality and tendency of verbal abuse occurrence in children in the village of pomahan pulung district ponorogo county history article: received, 20/09/2018 accepted, 14/08/2019 published, 02/09/2019 many parents find their children very difficult to handle and unconsciously take violent actions to their children in the form of physical abuse, sexual abuse, emotional abuse, and neglect. among the forms of violence, the most commonly experienced by children in the village pomahan pulung district is emotional abuse that is verbal abuse (verbal violence). in indonesia every one to two minutes one child experiences violence. the research design uses correlational approach. the research was conducted in pomahan village, pulung district, ponorogo county, to 40 parent of preschool children with simple random sampling technique using questionnaire instrument on variable personality type of child and variable of verbal abuse event. the result of data collection was analyzed by chi square statistic test using computer program of spss 16.0 for windows showed p value = 0,010 less than á 0,05 meaning that there is correlation between personality type of child with verbal abuse incidence in child in pomahan village pulung distric ponorogo county with a contingency coefficient of 0.472 which means the level of closeness of the relationship is. the researcher’s suggestions need to increase the understanding of parents in effective communication in children according to child’s personality type so that it can minimize the occurrence of verbal abuse. correspondence address: universitas muhammadiyah ponorogo, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: rikamaya43@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p333-338 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p263-267 335sari, bashory, tipe kepribadian anak dan kecenderungan kejadian... buatnya mencoba untuk melukai dirinya sendiri, bahkan bunuh diri. verbal abuse juga dapat mengubah perilaku seorang anak menjadi antisosial dan berperilaku kasar terhadap sesamanya. sebuah organisasi anti verbal abuse di china (words can be weapons), verbal abuse dapat mempengaruhi kepribadian seorang anak di masa depan, yang memungkinkannya menjadi seorang kriminal. verbal abuse dapat mengakibatkan kerusakan psikis dan emosional yang lebih berat menurut beberapa penelitian psikiatri (wicaksana, 2008). identifikasi keluarga yang beresiko tinggi dapat dijadikan sebagai langkah awal pencegahan kekerasan. selanjutnya, dapat dilakukan pengawasan, pendampingan dan bimbingan oleh pihak yang berkompeten terhadap masalah kekerasan pada anak, baik perorangan maupun kelembagaan untuk mengetahui kapan anak mendapatkan perlakuan verbal abuse atau kekerasan lain dan alternatif pemecahannya. memperhatikan nada bicara dan menggunakan kata-kata yang tepat juga merupakan cara untuk menghindari terjadinya verbal abuse (kekerasan verbal). bahan dan metode desain dalam penelitian ini korelasional dengan pendekatan cross sectional yaitu menganalisis keterkaitan hubungan antara tipe kepribadian anak dengan kecenderungan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo. pemilihan lokasi penelitian didasarkan data yang menunjukkan adanya laporan kejadian kekerasan pada anak di wilayah kecamatan pulung satu tahun terakhir. populasi dalam penelitian ini adalah orangtua yang memiliki anak usia prasekolah di desa pomahan sejumlah 132 orang dengan besar sampel sebanyak 40 orangtua menggunakan teknik sampling simple random sampling berdasarkan asumsi perhitungan 30% dari populasi. pengumpulan data pada masing-masing variabel menggunakan kuesioner yang diolah dengan analisis univariat yaitu untuk mendeskripsikan karakteristik responden menggunakan distribusi frekuensi yang digambarkan dalam bentuk tabel, sedangkan analisis bivariat digunakan untuk menganalisa keterkaitan antara variabel tipe kepribadian anak dengan kejadian verbal abuse pada anak melalui uji statistik chi square dengan bantuan program komputer spss dimana  = 0,05. hasil penelitian hasil penelitian karakteristik responden dikelompokkan dalam data umum dan data khusus. data umum disajikan berdasarkan usia responden, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan, sedangkan data khusus disajikan berdasarkan tipe kepribadian anak, kejadian verbal abuse dan hasil uji statistik chi square. data umum pada tabel 1 di atas menunjukkan hasil rentang usia or angtua a nak usia pra sekolah di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo terbanyak ada di rentang usia 28-35 tahun sebanyak 24 orang (60%). no. usia (tahun) frekuensi % 1 20-27 9 22,5 2 28-35 24 60 3 36-43 7 17,5 jumlah 40 100 sumber: data primer 2017 tabel 1 karakteristik orangtua berdasarkan usia orangtua di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo pada bulan juli 2017 (n=40) no. peran orangtua frekuensi % 1 ayah 5 12,5 2 ibu 35 87,5 jumlah 40 100 sumber: data primer 2017 tabel 2 karakteristik orangtua berdasarkan peran dalam keluarga di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo pada bulan juli 2017 (n = 40) pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa responden terbanyak pada penelitian ini yaitu ibu sebanyak 35 orang (87,5%). 336 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 333–338 berdasarkan table 3 di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir orangtua di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo lebih dari setengahnya berpendidikan terakhir smp sebanyak 24 orang (60%), sedangkan sebagian kecil sebanyak 2 orang (5%) tidak tamat sekolah. pada tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar sebanyak 16 orang tua(40%) mempunyai anak dengan tipe kepribadian sanguinis dan sebagian kecil sebanyak masing-masing 5 orang( 12,,5% ) mempunyai anak dengan tipe kepribadian melankolis dan plegmatis no. pendidikan frekuensi % 1 tidak sekolah 2 5 2 sd 9 22,5 3 smp 24 60 4 sma 5 12,5 jumlah 40 100 sumber: data primer 2017 tabel 3 karakteristik orangtua berdasarkan pendidikan di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo pada bulan juli 2017 (n=40) no. pekerjaan frekuensi prosentase (%) 1 wiraswasta 13 32,5 2 petani 12 30 3 buruh 3 7,5 4 tidak bekerja 12 30 jumlah 40 100 sumber: data primer 2017 tabel 4 karakteristik orangtua berdasarkan pekerjaan di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo pada bulan juli 2017 (n=40) hasil penelitian terhadap 40 orangtua yang memiliki anak usia prasekolah di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo berdasarkan pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki pekerjaan wiraswasta sebanyak 13 orang (32,5%), sedangkan sebanyak 12 orang masing-masing tidak bekerja dan sebagai petani, sedangkan sebagian kecil bekerja sebagai buruh yaitu sebanyak 3 orang (7,5%). hasil penelitian pada tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai penghasilan keluarga yang kurang dari rp. 1.388.874,00 yaitu sebanyak 31 orang (77,5%). no. pekerjaan frekuensi prosentase (%) 1 < rp. 1.388.874,31 77,5 2  rp. 1.388.874,9 22,5 jumlah 40 100 sumber: data primer 2017 tabel 5 karakteristik orangtua berdasarkan penghasilan keluarga di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo pada bulan juli 2017 (n=40) data khusus berikut ditampilkan hasil penelitian yang terkait dengan data khusus meliputi data tipe kepribadian anak, kejadian verbal abuse dan analisa uji statistik chi square. no. tipe kepribadian frekuensi prosentase (%) 1 sanguinis 16 40 2 koleris 14 35 3 melankolis 5 12,5 4 plegmatis 5 12,5 jumlah 40 100 sumber: data primer 2017 tabel 6 karakteristik anak berdasarkan tipe kepribadian anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo pada bulan juli 2017 (n=40) no. tipe kepribadian frekuensi prosentase (%) 1 terjadi 24 60 2 tidak terjadi 16 40 jumlah 40 100 sumber: data primer 2017 tabel 7 karakteristik anak berdasarkan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo pada bulan juli 2017(n=40) 337sari, bashory, tipe kepribadian anak dan kecenderungan kejadian... pembahasan hasil penelitian menunjukkan berdasarkan salah satu karakteristik orang tua yang potensial melakukan tindakan kekerasan kepada anak-anaknya adalah orang tua yang kurang berpendidikan. hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang melakukan kekerasan verbal pada anak masih berpendidikan rendah dengan mayoritas pendidikan akhir orangtuanya smp yaitu sebanyak 24 orangtua (60%). makin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin memudahkan mereka dalam menerima setiap informasi, sehingga akan meningkatkan pengetahuan yang mereka miliki terutama dalam hal informasi tentang kekerasan verbal pada anak, menurut arikunto (2006). menurut peneliti, pendidikan adalah dasar penerimaan sumber-sumber informasi pada tiap-tiap individu, maka jika seseorang memiliki pendidikan yang rendah dapat menunjukkan tingkat penerimaan setiap informasi yang kurang sehingga orangtua masih memiliki anggapan bahwa memarahi anak, membentak dan mencaci anak adalah hal yang wajar dilakukan orangtua saat anak melakukan kesalahan kecil. dalam penelitian ini orangtua yang paling sering melakukan kekerasan verbal adalah ibu, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 87,5% pelaku kekerasan verbal adalah ibu. tidak dapat dipungkiri jika ibu menjadi orang yang paling sering melakukan kekerasan verbal, karena setiap hari ibulah yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anaknya. seperti yang tercantum dalam al qur’an surat al a’raf ayat 58, allah swt berfirman “dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin rabb-nya. adapun tanah yang buruk, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. demikianlah kami mengulangi tanda-tanda (kebesaran kami) bagi orang-orang yang bersyukur…”. jika ibu bertutur kata yang baik maka senantiasa akan memiliki anak-anak yang baik pula, mudah diatur, dan sopan dalam tutur kata serta tindakannya sehingga kekerasan verbal pada anak dapat dihindari. responden dalam penelitian ini sebagian besar memiliki penghasilan keluarga < rp. 1.388.874,00 yaitu sebanyak 31 orangtua (77,5%), penghasilan satu keluarga yang masih berada di bawah umr kabupaten ponorogo ini sebagian besar adalah orangtua dengan pekerjaan sebagai petani dan ada pula yang tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga. pendapatan yang kurang mencukupi kebutuhan keluarga akan memicu terjadinya permasalahan bagi keluarga tersebut yang seringkali mereka berada dalam situasi kekecewaan, sehingga orangtua tersebut berisiko sekali untuk melakukan kekerasan pada anak sebagai bentuk luapan emosi. hasil penelitian menunjukkan tipe kepribadian anak terbanyak dalam penelitian ini adalah sanguinis yaitu sebanyak 16 anak (40%). anak yang memiliki kepribadian sanguinis adalah anak yang periang dan penuh energi. anak sanguinis adalah anak yang mempunyai sifat dominan dalam berbicara, dan mereka cenderung ingin menonjolkan diri dengan menguasai percakapan (kadir abdul, 2015). tapi adapun kelemahan dari anak dengan tipe kepribadian pada tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar sebanyak 24 anak (60%) terjadi verbal abuse dan sebagian kecil sebanyak masingmasing 16 anak ( 40% ) tidak mengalami verbal abuse. berdasarkan hasil uji statistik dengan bantuan computer program spss 16.0 for windows menunjukkan hasil bahwa nilai signifikansi p = 0,010 < 0,05. hasil ini berarti bahwa hipotesa diterima yaitu ada keterkaitan hubungan antara tipe kepribadian anak dengan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo dengan nilai koefisien kontingensi = 0,472 yang berarti memiliki tingkat keeratan hubungan sedang. statistic value asymp. std. errora approx. tb approx. sig.a nominal by nominal contingency coefficient .472 .010 interval by interval pearson’s r -.424 .144 -2.882 .006c ordinal by ordinal spearman correlation -.441 .138 -3.025 .004c n of valid cases 40 tabel 8 hasil analisa uji statistic chi square 338 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 333–338 sanguinis seperti yang diutarakan oleh kadir, abdul (2015) karena sifatnya yang energik anak dengan tipe sanguinis cenderung memiliki rentang konsentrasi yang rendah atau dengan kata lain anak sanguinis cenderung pelupa, tidak disiplin, terlalu banyak bicara/cerewet, suka menyela pembicaraan orang lain karena ingin mendominasi pembicaraan (hal. 77). jika disimpulkan anak dengan tipe kepribadian sanguinis cenderung ingin mendapatkan perhatian yang lebih dari orang-orang yang ada di sekitarnya. hasil penelitian berdasarkan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung menunjukkan bahwa sebagian besar anak mengalami kejadian kekerasan verbal yaitu sebanyak 24 anak (60%). masih banyak orangtua yang menegur anak mereka langsung dengan kata-kata yang kasar dan makian kepada anak-anaknya ketika mereka melakukan kesalahan. hal ini sudah dianggap sebagai hal yang lumrah di masyarakat namun tidak baik untuk dilakukan oleh orangtua dalam mendidik dan menegur anak. orangtua cenderung menegur dengan teriakan agar anak menuruti perintahnya ataupun mendengarkan nasihatnya. berdasarkan rentang usia responden paling banyak ada di rentang usia 28-35 tahun yaitu sebanyak 24 orang. beberapa orang dewasa secara genetika cenderung gampang berteriak dan bertindak kasar. padahal hal ini akan menurun pada anak, bahkan meskipun anak tidak diasuh oleh orangtuanya sendiri (kadir, abdul, 2015). hasil uji analisa statistik menunjukkan p value = 0,010 < á 0,05 yang berarti ada hubungan antara tipe kepribadian anak dengan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo. anak sanguinis cenderung memiliki sifat ceplas ceplos dan terbiasa berbicara tanpa dipikir secara mendalam, karenanya orangtua harus bisa mengajari anak dengan tipe kepribadian ini supaya berhati-hati dalam berbicara. menurut kadir, abdul (2015) mengatakan bahwa orangtua bisa memberikan contoh yang baik dalam berbicara sehingga orangtua juga harus mempunyai sikap berhati-hati ketika berbicara dan bersikap di depan anak, sebab anak cenderung meniru segala perilaku yang ditunjukkan oleh orangtuanya (hal. 105). fenomena yang terjadi di tempat penelitian adanya kecenderungan orangtua melakukan kekerasan verbal pada anak terutama anak dengan tipe kepribadian sanguinis karena orangtua menganggap bahwa dengan sifat anak sanguinis inilah yaitu cerewet suka mendominasi pembicaraan dan cenderung energik dianggap oleh orangtua sebagai perilaku yang tidak sopan. sehingga orangtua cenderung menegur dengan kata-kata kasar supaya anak lebih bersikap tenang dan diam serta mudah dikendalikan oleh orangtua. kesimpulan hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara tipe kepribadian anak dengan kejadian verbal abuse pada anak di desa pomahan kecamatan pulung kabupaten ponorogo. saran berdasar hasil tersebut diharapkan adanya peningkatan pemahaman masyarakat khususnya orangtua dalam menjalin komunikasi yang efektif pada anak sesuai tipe kepribadiannya melalui pendidikan kesehatan tentang cara komunikasi yang efektif sesuai tipe kepribadian anak sehingga dapat meminimalisir kejadian verbal abuse terhadap anak. daftar pustaka fudyartanta. (2012). psikologi perkembangan. yogyakarta: pustaka pelajar. hidayat, aziz alimul. (2005). pengantar ilmu keperawatan anak 1. jakarta : salemba medika kadir, abdul. (2015). rahasia tipe-tipe kepribadian anak. yogyakarta: diva press setiawan, dony, dkk. (2014). keperawatan anak dan tumbuh kembang (pengkajian dan pengukuran). yogyakarta: nuha medika wong, donna l. (2008). buku ajar keperawatan pediatrik volume 1. jakarta: penerbit buku kedokteran egc. 122 nopia riana dewi poltekkes kemenkes malang, jl besar ijen no 77c malang email: nopia_riana@ymail.com abstract: old age is the final stage of the human life cycle and will inevitably be experienced by every individual, who will undergo physical and mental changes. the purpose of this study was to describe the mental status of the elderly. method: research design was descriptive study. the population in this study is 80 elders who live in pslu tulungagung in march 2014, sample were 45 elderly by using purposive sampling technique. the data collected by using a questionnaire mmse at may 18 th until 19 th , 2014. results: the result showed that 53.3% no cognitive impairment, 20% and cognitive impairment was 26.7% experiencing severe cognitive impairment. discussion: it is expected that the results of this study, health workers improve activities that are motivating and supporting the elderly in dealing with elderly dementia or memory to support the mental status of the elders. keywords: mental status, elders angka harapan hidup manusia indonesia semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan pelayanan kesehatan. kondisi ini membuat populasi orang berusia lanjut di indonesia semakin tinggi (wirakusumah, 2000:1). secara umum proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsic, progresif, dan detrimental. proses menua antar individu dan antar organ tubuh tidaklah sama (setiati, 2000:6). kepandaian menyiasati berbagai serangan yang melemahkan kondisi tubuh, seperti berbagai perubahan fisik dan mental juga adanya berbagai penyakit merupakan kunci kebahagiaan lansia (wirakusumah, 2000:1). kesejahteraan mental dan kesejahteraan emosional adalah sebagai penting dalam usia yang lebih tua pada waktu lain dalam hidup. yang paling umum gangguan neuropsikiatri pada kelompok usia ini adalah demensia dan depresi. usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimiliki (dharmono, 2000:157). sedangkan menurut darajat (1996:4) sehat mental adalah pengetahuan atau perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain. dari studi pendahuluan melalui observasi pada tanggal 14 november 2013, diketahui bahwa lansia kurang melakukan aktivitas fisik, aktivitas mental dan sosial, serta kesehatan lansia yang menurun dan kurangnya partisipasi akan dukungan keluarga sendiri merupakan faktor dari pencapaian dari kesehatan mental. setelah dilakukan wawancara dengan menggunakan mmse (mini mental status exam) dari 10 orang lansia di panti sosial lanjut usia (pslu) kabupaten tulungagung, diperoleh data yaitu 5 orang lansia mengalami gangguan aspek kognitif berat (pada aspek kognitif orientasi, perhatian dan kalkulasi, serta bahasa), 3 orang lansia mengalami gangguan aspek kognitif sedang (pada aspek kognitif orientasi, perhatian dan kalkulasi), sedangkan 2 orang lansia tidak mengalami gangguan aspek kognitif. rumusan masalahnya yaitu bagaimanakah gambaran status mental lansia status mental lansia di pslu tulungagung (oldest mental status in pslu tulungagung) mailto:nopia_riana@ymail.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p135-139 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 123 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 122-126 di panti sosial lanjut usia (pslu) tulungagung?. tujuan penelitian ini adalah menggambarkan status mental lansia di panti sosial lanjut usia (pslu) tulungagung. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif. dalam hal ini yang diteliti adalah gambaran status mental lansia di pslu tulungagung. populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang tinggal di pslu tulungagung pada bulan maret 2014 sebanyak 80 lansia di pslu tulungagung, sampel pada penelitian ini adalah 45 lansia dengan kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:a) lansia yang berumur ≥45 tahun, b)lansia yang kooperatif untuk menjadi responden, c) lansia yang tinggal di pslu tulungagung. pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner mmse (mini mental status exam) dari folstein m.f. et al, 1975 dalam (lueckenotte,1997). penelitian dilaksanakan di pslu tulungagung pada tanggal 18–19 mei 2014. data disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif dengan menggunakan narasi. hasil penelitian karakteristik lansia di pslu tulungagung mei 2014. tabel 1. karakteristik lansia di pslu tulungagung mei 2014 no karakteristik f % 1 umur 45-59 tahun 60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun 2 21 18 4 4 47 40 9 2 jenis kelamin laki-laki perempuan 15 30 33 67 3 pekerjaan dahulu pensiunan pegawai swasta petani 1 10 10 2 22 22 no karakteristik f % wiraswasta lain-lain 18 6 40 14 4 pendidikan terakhir lain-lain sd smp sma 14 22 4 5 31 49 9 11 5 yang membesuk di pslu tidak ada tetangga anggota keluarga lain anak 14 3 17 11 31 7 38 24 6 keinginan tinggal di pslu keinginan sendiri keinginan keluarga 18 27 40 60 7 lama tinggal (ratarata)= 38,15 45 100 8 frekuensi kunjungan keluarga tidak pernah setiap tahun sekali setiap/beberapa bulan sekali setiap minggu 15 10 18 2 33 22 40 5 9 jenis aktifitas di pslu tidak melakukan aktifitas salah satu aktifitas semua aktifitas 3 14 28 7 31 62 tabel 2. status mental lansia di pslu tuluangagung mei 2014 no status mental f % 1 2 3 tidak gangguan kognitif gangguan kognitif sedang gangguan kognitif berat 24 9 12 53,3 20 26,7 tabel 3 tabulasi silang antara pendidikan terakhir dengan status mental lansia di pslu tulungagung, mei 2014 dewi, gambaran status mental lansia di pslu… 124 no. status mental pendidikan terakhir tidak ada gangguan gangguan sedang gangguan berat f % f % f % 1. sd 13 28,9 3 6,7 6 13,3 2. smp 1 2,2 2 4,4 1 2,2 3. sma 5 11,1 0 0 0 11,1 4. lain – lain 5 11,1 4 8,9 5 11,1 tabel 4 tabulasi silang antara umur dengan status mental lansia di pslu tulungagung, mei 2014. no status mental umur tidak ada gangguan gangguan sedang gangguan berat f % f % f % 1. 45 – 59 tahun 0 0 0 0 2 4,4 2. 60 – 74 tahun 13 28,9 3 6,7 5 11,1 3. 75 – 90 tahun 9 20 6 13,3 3 6,7 4. > 90 tahun 2 4,4 0 0 2 4,4 tabel 5 tabulasi silang antara jenis aktivitas kegiatan lansia dengan status mental lansia di pslu tulungagung, mei 2014. no status mental jenis aktivitas kegiatan tidak ada gangguan gangguan sedang gangguan berat f % f % f % 1. dilakukan semua 17 37,8 6 13,3 5 11,1 2. hanya beberapa kegiatan 7 15,6 2 4,4 5 11,1 3. lain – lain 0 0 1 2,2 2 4,4 berdasarkan hasil penelitian didapatkan data gambaran status mental lansia sebesar 53,3% (24 lansia) tidak ada gangguan kognitif, 20% (9 lansia) gangguan kognitif sedang dan 26,7% (12 lansia) mengalami gangguan kognitif berat. menurut jean piaget dalam (kaplan, sadock dan grebb, 1997:232-233) membuat jawaban palsu dari pengkajian status mental yang tidak disadari jika daya ingat terganggu adalah paling dekat berhubungan dengan gangguan kognitif. menurut peneliti, banyak faktor yang mempengaruhi akan gangguan kognitif kepada lansia. faktor pertama, yaitu tingkat pendidikan sangat mempengaruhi status mental lansia. dari penelitian yang telah dilakukan hasil dari tabulasi silang pendidikan terakhir dengan status mental lansia dalam gambaran status mental lansia di pslu tulungagung bahwa kategori status mental tidak ada gangguan kognitif yaitu 28,9% (13 lansia) berpendidikan terakhir sd dan 11,1% (5 lansia) berpendidikan terakhir lain–lain atau tidak sekolah. kategori status mental dengan gangguan kognitif sedang yaitu 6,7% (3 lansia) berpendidikan terakhir sd, dan 8,9% (4 lansia) berpendidikan terakhir lain–lain atau tidak sekolah. sedangkan kategori status mental dengan gangguan kognitif berat yaitu sejumlah 13,3% (6 lansia) berpendidikan terakhir sd, dan 11,1% (5 lansia) berpendidikan terakhir lain–lain atau tidak sekolah. menurut gallo, reichel, andersen (1998:50-55) menegaskan bahwa hasil angka–angka instrumen pemeriksaan status mental menunjukkan tingkat pendidikan dari subjek. nilai angka yang lebih rendah mungkin mengimplikasikan gangguan kognitif berat pada orang–orang dengan tingkat pendidikan 125 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 122-126 rendah. peneliti berpendapat bahwa pendidikan terakhir seorang lansia sangat berpengaruh pada status mental seorang lansia, dibuktikan dengan hasil jawaban parameter perhatian dan kalkulasi lansia didapatkan hasil lansia yang menjawab benar 28, serta dalam parameter bahasa didapatkan skor terendah 14. hal ini jelas dengan tingkat pendidikan dulunya didapatkan seorang lansia akan lebih mudah memahami dan menyerap informasi yang diperolehnya. faktor perubahan kognitif pada lansia kedua, yaitu umur/lanjut usia (>65 tahun) ikut berpengaruh dalam status mental lansia. hasil dari tabulasi silang umur dengan status mental lansia dalam gambaran status mental lansia di pslu tulungagung didapatkan hasil yaitu, kategori status mental tidak ada gangguan kognitif 28,9% (13 lansia) berumur 60–74 tahun, 20% (9 lansia) berumur 75–90 tahun dan 4,4% (2 lansia) berumur >90 tahun. kategori status mental dengan gangguan kognitif sedang didapatkan hasil yaitu, 6,7% (3 lansia) berumur 60–74 tahun, sedangkan 13,3% (6 lansia) berumur 75–90 tahun. dan kategori status mental dengan gangguan kognitif berat didapatkan hasil yaitu, 11,1% (5 lansia) berumur 60–74 tahun, sedangkan 6,7% (3 lansia) berumur 75–90 tahun dan 4,4% (2 lansia) berumur >90 tahun. menurut gallo, reichel, andersen, (1998:50-55) individu usia menengah atau lansia tanpa kasus mungkin akan mengeluhkan terjadinya kesulitan memori; gejala–gejala memori mereka cocok dengan keadaan yang disebut pikun usia tua atau, akhir–akhir ini lebih cenderung disebut kerusakan memori berkenaan dengan usia atau penurunan kognitif berkenaan dengan proses penuaan. peneliti berpendapat bahwa usia/umur sangat berpengaruh dalam perubahan kognitif (status mental) pada lansia, perubahan kognitif (status mental) yang sering dialami oleh lansia khususnya dikaitkan dengan pelupa atau pikun. dibuktikan dalam parameter orientasi bahwa skor yang diperoleh terendah 19, yaitu dalam kategori penyebutan tanggal. sehingga, perlu diberikan motivasi kepada lansia untuk melakukan aktivitas. faktor selanjutnya adalah aktivitas fisik. dari hasil tabulasi silang antara jenis aktivitas kegiatan dengan status mental lansia dalam gambaran status mental lansia di pslu tulungagung, hasilnya bahwa kategori status mental tidak ada gangguan kognitif sebanyak 37,8% (17 lansia) melakukan jenis aktivitas kegiatan dengan dilakukan semua, selanjutnya untuk kategori status mental gangguan kognitif berat hasilnya 11,1% (5 lansia) melakukan jenis aktivitas kegiatan dilakukan semua, dan 4,4% (2 lansia) melakukan jenis aktivitas kegiatan lain – lain. menurut lemon et al, 1972, dalam lueckenotte, 2000 dalam (subekti, 2012:8), menyatakan bahwa orang tua yang aktif secara sosial lebih cenderung menyesuaikan diri terhadap penuaan yang baik. peneliti berpendapat bahwa jenis aktivitas kegiatan lansia sangatlah penting dalam kesejahteraan usia lanjut. hal ini akan berkaitan dengan lansia yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya maka juga akan mempengaruhi keaktifan dari lansia sendiri. selain itu dibuktikan pada parameter bahasa, dimana lansia yang dapat mengikuti perintah sederhana memiliki skor 40 dari keseluruhan, yang berarti bahwa lansia masih mau untuk melakukan aktivitas walau hanya perintah aktivitas kecil. dalam penelitian, tabulasi silang yang membesuk lansia di pslu tulungagung dengan status mental lansia didapatkan hasil yaitu dalam kategori tidak ada gangguan 13,3% (6 lansia) yang membesuk lansia di pslu adalah anaknya, dan 13,3% (6 lansia) yang membesuk lansia di pslu adalah lain– lain (tidak ada yang menjenguk). sedangkan, untuk kategori gangguan kognitif berat 2,2% (1 lansia) yang membesuk lansia di pslu adalah anaknya, dan 11,1% (5 lansia) yang membesuk lansia adalah lain-lain (tidak ada yang menjenguk). menurut hogstel (2006:22-23) faktor pencapaian kesehatan mental lansia yang terakhir adalah dukungan sosial. bahwa komponen penting yang lain dari masa tua yang sukses dan kesehatan mental adalah adanya sistem pendukung yang efektif. peneliti berpendapat bahwa sumber dukungan sosial memang sangat menjadi komponen penting dalam tercapainya lansia yang suskes didalam masa tuanya. oleh karena itu, dukungan sosial dari pemberi pelayanan kesehatan baik dari petugas di pslu ataupun perawat praktik dan teman sesama lansia yang tinggal akan mencegah lansia dalam perubahan mentalnya. dewi, gambaran status mental lansia di pslu… 126 simpulan dan saran simpulan sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan di pslu tulungagung untuk mengetahui gambaran status mental lansia dapat disimpulkan status mental lansia yaitu 53,3% tidak ada gangguan kognitif, 46,7% mengalami gangguan kognitif sedang, dan berat. dalam penelitian ini lansia yang mengalami gangguan kognitif sedang dan berat terdapat dalam kategori tabulasi silang antara lain; pendidikan terakhir sd, yang membesuk lain-lain (tidak ada yang membesuk), keinginan tinggal dari keluarga, jumlah kunjungan keluarga bahwa tidak pernah dilakukan kunjungan, dan jenis aktivitas yang dilakukan tidak semua dilakukan serta ada yang tidak melakukan aktivitas. saran saran yang dapat diberikan agar keluarga, petugas ataupun mahasiswa praktik bagi lansia di panti sosial lanjut usia (pslu)dapat memberikan motivasi aktivitas serta dukungan terhadap lansia yang tidak mengalami gangguan kognitif dapat terus dapat dimotivasi untuk tetap melakukan aktivitas kegiatan khususnya bimbingan mental agar tidak mengarah ke gangguan kognitif. kemudian, untuk lansia yang mengalami gangguan kognitif dapat untuk lebih diberikan motivasi baik dari petugas maupun mahasiswa praktik dalam pemberdayaan lansia, seperti; untuk melakukan aktivitas seperti bersih-bersih ruangan, membuat kerajinan contohnya membuat sapu/kemoceng, motivasi untuk menghadiri bimbingan mental contohnya pengajian. daftar rujukan darmono, surjo dan setiati, siti. 2000. pedoman pengelolaan kesehatan pasien geriatri. jakarta: pusat informasi dan penerjemah bagian ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia. darmojo, r. boedhi dan martono, h. hadi. 1999. buku ajar geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. darajat, zakiah. 1996. kesehatan mental. jakarta: pt gunung agung. gallo, joseph j., reichel, wiliam dan andersen, lillian m. 1998. buku saku gerontologi, edisi 2. jakarta: egc. hogstel, mildred o., dalam stanley, mickey dan beare, patricia g. 2006. buku ajar keperawatan gerontik edisi 2. jakarta: egc. kushariyadi. 2011. asuhan keperawatan pada klien lanjut usia. jakarta: salemba medika. maslow dan mittlemen 1963, dalam notosoedirdjo, moeljono dan latipun. 2002. kesehatan mental, konsep dan penerapan. malang: universitas muhammadiyah malang. rasmun. 2001. keperawatan kesehatan mental psikiatri terintegrasi dengan keluarga. jakarta: fajar interpratama. stanley, mickey & beare, patricia g. 2006. buku ajar keperawatan gerontik edisi 2. jakarta: egc. schneiders 1964, dalam notosoedirdjo, moeljono dan latipun. 2002. kesehatan mental, konsep dan penerapan. malang: universitas muhammadiyah malang. subekti, imam, sugianto, hariyanto, tanto. 2012. modul pembelajaran keperawatan gerontik. malang: politeknik kesehatan kemenkes malang. wirakusumah, emma s. 2000. tetap bugar di usia lanjut. jakarta: trubus agriwiyata. 223setyo, retnowati, hidayah, hubungan pelayanan lansia berbasis ... 223 hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh di desa toyomarto kecamatan singosari kabupaten malang agus setyo1, lucia retnowati2, nurul hidayah3 1,2,3prodi keperawatan, poltekkes kemenkes malang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 09/10/2019 disetujui, 03/12/2019 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: lansia berbasis kekerabatan, lansia tangguh abstrak jumlah lansia indonesia akan mencapai 28,8 juta orang atau 11,34 persen pada tahun 2020. sebaran penduduk lansia tahun 2017 di indonesia, pada urutan ketiga tertinggi ditempati oleh jawa timur yaitu 2,9 juta (12,25%) lebih dari 10% sehingga jawa timur bisa dikategorikan sebagai provinsi dengan penduduk tua (aging population) dengan jumlah lansia di malang diperkirakan pada tahun 2020 sebesar 371.977 (badan pusat statistik, 2015). berdasarkan hasil wawancara dengan 10 lansia potensial di desa toyomarto kecamatan ardimulyo diperoleh data 70% masih aktif bekerja, 40% aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan 100% mandiri dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, 70% mendapat dukungan keluarga untuk sebagian dimensi. tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh. desain penelitian ini adalah cross sectional dengan populasi 320 lansia potensial dan besar sampel 30 responden yang tinggal di desa toyomarto kecamatan ardimulyo malang dengan tehnik pengambilan simple random sampling. berdasarkan uji analisis korelasi gamma diperoleh nilai p=0,000 yang berarti terdapat hubungan yang bermakna pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh. dukungan keluarga dalam membina lansia belum optimal sehingga perlu mendapatkan perhatian agar kualitas dukungan menjadi baik. perlunya kerjasama lintas program maupun sektor dalam mewujudkan lansia tangguh sekaligus terlibat aktif dalam mengisi pembangunan kesehatan keluarga dan masyarakat. history article: received, 09/10/2019 accepted, 03/12/2019 published, 05/08/2020 article information abstract the number of elderly in indonesia will reach 28.8 million people or 11.34 percent by 2020. the distribution of the elderly population in 2017 in indonesia, east java was the third highest by 2.9 million (12.25%), more than 10%, categorized as a province with an aging population (aging the correlation of kinship-based elderly services and resilient elders in toyomarto village singosari-malang jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p223-230&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 224 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 223–230 correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nurul hidayah@poltekkes-malang.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p223–230 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) keywords: kinship-based elderly, resilient elderly population) with the number of elderly in malang estimated in 371,977 on 2020 (badan pusat statistik, 2015). based on the interview of 10 potential elderly, 70% were still actively working, 40% were active in community activities, 100% were independent in fulfilling their daily needs, 70% have family support in some part of dimensions. this study aimed to analyze the correlation of kinship-based elderly service and resilient elderly in toyomarto village, singosari district, malang regency. the study was a cross sectional study. the population was 320 people of all potential elderly and sample was the majority of elderly 30 respondents. the sampling technique used simple random sampling. the analysis used gamma correlation test which obtained p value = 0,000 indicated that there was a correlation of elderly-based services and resilient elderly. the need to improve quality of guidance by families / relatives in providing services to elderly can be carried out by establishing cross-program and sector collaboration so that the realization of strong elderly people will become more apparent and continue to utilize involvement of strong elderly people in fulfilling development family and community health. © 2020 jurnal ners dan kebidanan pendahuluan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lansia indonesia akan mencapai 28,8 juta orang atau 11,34 persen. sebaran penduduk lansia tahun 2017 di indonesia, pada urutan ketiga tertinggi ditempati oleh jawa timur yaitu 2,9 juta (12,25%) lebih dari 10% sehingga jawa timur bisa dikategorikan sebagai provinsi dengan penduduk tua (aging population) dengan usia harapan hidup periode 2015–2020 menjadi 73,2 tahun sehingga mempengaruhi estimasi proporsi penduduk lansia. jumlah lansia di malang diperkirakan pada tahun 2020 sebesar 371.977 (badan pusat statistik, 2015). seiring dengan peningkatan usia tidak jarang keluhan kesehatan dirasakan oleh lansia. banyaknya lansia yang mengalami masalah kesehatan akan memperbesar rasio ketergantungan yang akan berdampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat (deshinta vibriyanti, 2016). banyaknya lansia bukanlah suatu ancaman bila mereka produktif. oleh karena itu, bkkbn bersama berbagai sektor, seperti kesehatan dan pendidikan, mengembangkan program lansia tangguh dan bina keluarga lansia (bkl) sehingga lansia menjadi mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain (bkkbn, 2014). keluarga merupakan wadah bagi anggota keluarga termasuk lansia dalam mengembangkan potensinya. sehingga pelayanan lansia berbasis kekerabatan /keluarga merupakan model pelayanan kepada lansia dengan mengoptimalkan sistem kekerabatan berdasar pengetahuan lokal, budaya lokal, sumber lokal, keterampilan yang mereka miliki dalam menangani masalah lansia (utomo, 2016). pembinaan keluarga lansia di desa toyomarto telah dilaksanakan oleh pkm ardimulyo mulai tahun 2015 dimana hasil yang diharapkan terwujudnya keluarga yang berkualitas yang dicerminkan dari peningkatan kualitas lansia, dan kesejahteraan keluarga. berdasarkan studi pendahuluan di desa toyomarto pebruari 2018 diperoleh 320 lansia potensial. sesuai hasil wawancara dengan 10 lansia potensial diperoleh data 70% masih aktif bekerja, 40% aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan 100% mandiri dalam pemenuhan kebutuhan seharihari, 70% mendapat dukungan keluarga sebagian dari dimensi (fisik, emosional, lingkungan, intelektual, profesional vokasional, sosial kemasyarakatan dan spiritual). https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p223-230 225setyo, retnowati, hidayah, hubungan pelayanan lansia berbasis ... berdasarkan fenomena tersebut, peneliti ingin menganalisis hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan (emosional, spiritual, sosial kemasyarakatan, fisik, lingkungan, intelektual, vocasional profesional) dengan lansia tangguh di desa toyomarto kecamatan singosari kabupaten malang. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian cross sectional design. dalam desain penelitian ini, peneliti melakukan identifikasi pelayanan kekerabatan lansia dalam dimensi emosional, spiritual, sosial kemasyarakatan, fisik, lingkungan, intelektual, vocasional profesional dan ketangguhan lansia. penelitian ini bertujuan mencari hubungan pelayanan kekerabatan terhadap ketangguhan lansia dengan populasi kerabat dengan seluruh lansia potensial sejumlah 320 orang dengan tehnik pengambilan sampel simple random sampling dengan besar sampel 30 responden yang tinggal di toyomarto kecamatan singosari kabupaten malang yang memenuhi kriteria sampel meliputi bersedia menjadi responden, usia 60–74 tahun, kerabat/keluarga (pengambil keputusan) dan tidak sedang dalam keadaan sakit tiba-tiba. variabel independent dalam penelitian ini adalah pelayanan kekerabatan lansia (emosional, spiritual, sosial kemasyarakatan, fisik, lingkungan, intelektual, vocasional profesional) dan variabel dependen lansia tangguh defenisi operasional pelayanan lansia berbasis kekerabatan, tindakan yang dilakukan keluarga atau kerabat dalam merawat lansia dalam memenuhi kebutuhannya sedangkan lansia tangguh, keadaan lansia yang sehat, mandiri dalam pemenuhan adl, aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan menghasilkan barang/jasa. instrumen dalam penelitian ini berisikan pertanyaan tertutup mengukur pelayanan kekerabatan lansia dan keadaan lansia yang sehat, mandiri dalam pemenuhan adl, aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan menghasilkan barang/jasa. instrumen yang digunakan dalam penelitian telah dilakukan validitas dan reliabilitas terlebih dahulu. pengukuran variabel independen didasarkan pada skala ukur ordinal dengan memberikan 3 pernyataan pada setiap pembinaan dengan alternatif jawaban “ya” (skor nilai 1), “tidak” (skor nilai 0). selanjutnya seluruh jawaban dikategorikan menjadi 3 kategori baik (total skor < 15), cukup (total skor <15) kurang (total skor <8). pengukuran variabel dependen didasarkan pada skala ukur ordinal dengan memberikan 4 pernyataan dengan alternatif jawaban “ya” (skor nilai 1), “tidak” (skor nilai 0). selanjutnya seluruh jawaban dikategorikan menjadi 3 kategori tangguh (total skor 4), cukup (total skor < 4) dan tidak tangguh (total skor < 3). adapun analisis data yang dilakukan adalah: a) analisis deskriptif: penyajian data secara deskriftif yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. b) pengujian hipotesis, uji ini dilakukan guna mengetahui apakah ada hubungan pelayanan kekerabatan (emosional, spiritual, sosial kemasyarakatan, fisik, lingkungan, intelektual, vocasional profesional) terhadap ketangguhan lansia di desa toyomarto kecamatan singosari kabupaten malang dengan menggunakan uji korelasi gamma dengan nilai p < 0.05. hasil penelitian tabel 1 distribusi responden berdasarkan karakteristik responden (lansia) di desa toyomarto kec. singosari kab. malang pada 15 – 20 nopember 2018 (n=30) karakteristik f % usia : usia 60-70 tahun (elderly) 29 96,6 usia 71-90 tahun (old ) 1 3,33 jenis kelamin : laki-laki 14 46,7 perempuan 16 53,3 pendidikan : tidak sekolah 5 16,7 sd 9 30 smp 4 13,3 sma 9 30 pt 3 10 berdasarkan tabel 1 diatas menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan umur, responden terbanyak memiliki umur 60-70 tahun (elderly) sebanyak 29 responden (96,6%). karakteristik jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki, sebanyak 16 responden (53,3%). karakteristik pendidikan, jumlah responden terbanyak adalah sd dan sma yaitu sebanyak 9 responden (30%) dan yang terendah adalah pt yaitu sebanyak 3 responden (10%). 226 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 223–230 data khusus pelayanan lansia berbasis kekerabatan komponen ya tidak f % f % pembinaan fisik mengajak / motivasi lansia melakukan latihan aktifitas fisik 25 83.3 5 16.7 memberikan makanan sehat 26 86.7 4 13.3 memfasilitasi pemeriksaan kesehatan lansia secara rutin dan teratur. 17 56.7 13 43.3 pembinaan spiritual     memfasilitasi lansia dalam melaksanakan ibadah 25 83.3 5 16.7 membimbing mensyukuri nikmat yang diterima lansia 20 66.7 10 33.3 memotivasi lansia melaksanakan ibadah secara teratur dan tertib. 13 43.3 17 56.7 pembinaan intelektual     memberikan kesempatan lansia untuk bercerita dihadapan keluarga 25 83.3 5 16.7 melakukan stimulasi otak (senam otak, tts dll) 21 70.0 9 30.0 memfasilitasi lansia dalam melakukan rekreasi bersama keluarga. 18 60.0 12 40.0 pembinaan emosional     menyediakan waktu berbicara dari hati ke hati serta membantu agar lansia dapat menyampaikan keluhannya 23 76.7 7 23.3 berusaha memberikan perhatian, kasih sayang yang tulus dan rasa aman 26 86.7 4 13.3 menjadi pembina dan pembimbing dalam membantu mengembangkan aktualisasi diri lansia 17 56.7 13 43.3 pembinaan sosial kemasyarakatan     mengajak lansia berkunjung atau mengunjungi sesama lansia dalam rangka silaturahmi 25 83.3 5 16.7 mendampingi lansia dalam mengunjungi sesama lansia yang sakit 19 63.3 11 36.7 menumbuhkan kepedulian lansia kepada orang lain (santunan). 14 46.7 16 53.3 pembinaan lingkungan     membantu lansia dalam memanfaatkan fasilitas dalam melakukan aktifitas. 25 83.3 5 16.7 menjaga kebersihan, keamanan dan kesehatan lingkungan sekitar rumah 30 100.0 0 0.0 membantu lansia dalam mengenal lingkungan spiritual maupun budaya sekitar. 30 100.0 0 0.0 pembinaan vokasional profesional     memotivasi lansia untuk terus berkarya/produktif 30 100.0 0 0.0 membantu lansia dalam pemilihan pekerjaan yang sesuai. 18 60.0 12 40.0 melakukan pemberdayaan lansia untuk bekerja. 14 46.7 16 53.3 pelayanan lansia berbasis kekerabatan baik 18 60.0 cukup 11 36.7 kurang 1 3.3 tabel 2 distribusi responden berdasarkan pelayanan lansia berbasis kekerabatan di desa toyomarto kec. singosari kab. malang pada 15 – 20 nopember 2018 (n=30) 227setyo, retnowati, hidayah, hubungan pelayanan lansia berbasis ... berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa pelayanan lansia berbasis kekera batan, pada dasarnya baik sejumlah 18 responden (60%) namun ada beberapa yang harus ditingkatkan diantaranya meliputi memfasilitasi pemeriksaan kesehatan lansia secara rutin dan teratur (56,7%), membimbing mensyukuri nikmat yang diterima lansia (66,7%), memotivasi lansia melaksanakan ibadah secara teratur dan tertib (43,3%), memfasilitasi lansia dalam melakukan rekreasi bersama keluarga (60%), menjadi pembina dan pembimbing dalam membantu mengembangkan aktualisasi diri lansia (56,7%), mendampingi lansia dalam mengunjungi sesama lansia yang sakit (63,3%), menumbuhkan kepedulian lansia kepada orang lain (santunan) (46,7%), membantu lansia dalam pemilihan pekerjaan yang sesuai (60%) dan melakukan pemberdayaan lansia untuk bekerja (46,7%). lansia tangguh berdasarkan tabel 3 menunjukkan lansia tangguh sebanyak 20 responden (66,7%) dan secara rinci komponen ketangguhan responden didominasi oleh kondisi sehat atau mampu beradaptasi dengan komponen ya tidak f % f % kondisi sehat atau mampu beradaptasi dengan penyakit yang diderita 30 100 0 0 memberikan bimbingan, bantuan, dan teladan kepada keluarga 30 100 0 0 aktif dalam kegiatan kemasyarakatan 23 76,7 7 23,3 menghasilkan barang / jasa 20 66,7 10 33,3 lansia tangguh f % tangguh 20 66.7 cukup 3 10 tidak tangguh 7 23.3 tabel 3 komponen ketangguhan responden di desa toyomarto kecamatan singosari kab. malang pada 15 – 20 nopember 2018 (n=30) karakteristik tidak tangguh cukup tangguh f % f % f % umur elderly 6 20.0 3 10.0 20 66.7 -0,793 0,295 old 1 3.3 0 0.0 0 0.0 jenis kelamin laki-laki 1 3.3 0 0.0 13 43.3 -0,478 0,001 perempuan 6 20.0 3 10.0 7 23.3 pendidikan sd 5 16.7 1 3.3 3 10.0 0,459 0,000 smp 0 0.0 0 0.0 4 13.3 sma 0 0.0 0 0.0 9 30.0 pt 0 0.0 0 0.0 3 10.0 tidak sekolah 2 6.7 2 6.7 1 3.3 motivasi menghasilkan jasa/barang ekonomi 0 0.0 0 0.0 17 56.7 -0,791 0,000 hobi 0 0.0 0 0.0 1 3.3 mengisi waktu luang 0 0.0 0 0.0 2 6.7 tidak ada 7 23.3 3 10.0 0 0.0 tabel 4 tabulasi silang lansia tangguh berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja dan motivasi bekerja di desa toyomarto kec. singosari kab. malang pada 15 – 20 nopember 2018 (n=30) koofisiensi korelasi (r) lansia tangguh nilai p 228 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 223–230 penyakit yang diderita dan memberikan bimbingan, bantuan, dan teladan kepada keluarga (100%) sedangkan yang lain masih perlu ditingkatkan. berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa lansia tangguh terbanyak dengan umur dalam kelompok elderly sebesar 20 responden (66,7%) sekaligus tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan lansia tangguh (p=0,295), jenis kelamin laki-laki 13 responden (43,3%) sekaligus mempunyai hubungan yang bermakna dengan lansia tangguh (p=0,001), pendidikan sma sebanyak 9 responden (30%) sekaligus mempunyai hubungan yang bermakna dengan lansia tangguh (p=0,000), dan motivasi menghasilkan barang/jasa adalah ekonomi sebanyak 17 responden (56,7%) sekaligus mempunyai hubungan yang bermakna dengan lansia tangguh (p = 0,000). hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh berdasarkan tabel 5 diperoleh nilai p=0,000 yang menunjukkan bahwa hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh bermakna. nilai korelasi sebesar 0,634 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang sedang. tabel 5 analisis hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh di desa toyomarto kec. singosari kab. malang pada 15 – 20 nopember 2018 (n=30) karakteristik tidak tangguh cukup tangguh f % f % f % pelayanan kekerabatan kurang 0 0.0 1 3.3 0 0.0 0,634 0,000 cukup 6 20.0 2 6.7 3 10.0 baik 1 3.3 0 0.0 17 56.7 koofisiensi korelasi (r) lansia tangguh nilai p pembahasan pelayanan lansia berbasis kekerabatan berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa pelayanan lansia berbasis kekerabatan, pada dasarnya baik sejumlah 18 responden (60%) namun ada beberapa yang harus lebih ditingkatkan lagi diantaranya meliputi memfasilitasi pemeriksaan kesehatan lansia secara rutin dan teratur (56,7%), membimbing mensyukuri nikmat yang diterima lansia (66,7%), memotivasi lansia melaksanakan ibadah secara teratur dan tertib (43,3%), memfasilitasi lansia dalam melakukan rekreasi bersama keluarga (60%), menjadi pembina dan pembimbing dalam membantu mengembangkan aktualisasi diri lansia (56,7%), mendampingi lansia dalam mengunjungi sesama lansia yang sakit (63,3%), menumbuhkan kepedulian lansia kepada orang lain (santunan) (46,7%), membantu lansia dalam pemilihan pekerjaan yang sesuai (60%) dan melakukan pemberdayaan lansia untuk bekerja (46,7%). pelayanan lansia berbasis kekerabatan merupakan model pelayanan yang dilakukan oleh kerabat kepada lansia berbekal pengetahuan, budaya, sumber daya, keterampilan yang dimiliki sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan lansia. berbagai pelayanan yang diberikan diantaranya meliputi pelayanan sosial, kebutuhan fisik (pemberian makanan tambahan, pemeriksaan kesehatan, layanan kunjungan dan pemberian obat gratis), layanan bimbingan rohani, layanan dan ekonomis produktip (setiti, 2012). beberapa hal yang harus ditingkatkan tersebut diatas bukan berarti tidak bisa dilakukan namun, berbagai upaya dapat dilakukan untuk perbaikann lansia berbasis kekerabatan berbekal pengetahuan, budaya, sumber daya, keterampilan yang dimiliki sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan lansia. pembinaan keluarga lansia di desa toyomarto telah dilakukan oleh kerjasama antara berbagai pihak diantaranya bkkbn singosari, puskesmas ardimulyo, desa toyomarto dan pihak lain. melalui kegiatan tersebut keluarga/kerabat yang mempunyai lansia diberikan penyuluhan persiapan dalam memberikan pembinaan fisik, pembinaan profesional vokasional, pembinaan mental emosional, pembinaan sosial kemasyarakatan, pembinaan mental spiritual, pembinaan intelektual dan pembi 229setyo, retnowati, hidayah, hubungan pelayanan lansia berbasis ... naan lingkungan (rahardjo et al., 2014). pembinaan yang dilakukan tersebut diatas didasarkan pada prinsip kemandirian, dimana pemecahan masalah guna meningkatkan peran, fungsi, dan kemampuan keluarga dalam membuat keputusan untuk memelihara kesehatan keluarga khususnya lansia. pemberdayaan dilaksanakan dengan berbasis pada tata nilai perorangan dan keluarga sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan sosial budaya setempat. pemberdayaan dilakukan melalui pendekatan edukatif untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat, serta kepedulian dan peran aktif dalam berbagai upaya kesehatan. lansia tangguh berdasarkan tabel 3 menunjukkan lansia tangguh sebanyak 20 responden (66,7%) dan secara rinci komponen ketangguhan responden didominasi oleh kondisi sehat atau mampu beradaptasi dengan penyakit yang diderita dan memberikan bimbingan, bantuan, dan teladan kepada keluarga (100%) sedangkan yang lain masih perlu ditingkatkan. lansia tangguh merupakan lansia yang mampu beradaptasi terhadap proses penuaan secara positif, yang ditandai dengan hidup sehat secara fisik, sosial dan mental, mandiri, aktif dan produktif (rahardjo et al., 2014). secara sosial lansia harus mampu menciptakan interaksi sosial dimana keadaan ini mampu mengurangi perasaan kesendirian, menjaga hubungan timbal-balik antara lansia dengan lingkungannya, interaksi sosial yang terjadi pada aktivitas pemberdayaan akan memberikan peluang bagi lansia untuk membentuk hubungan dan peran sosial yang baru, sehingga pola hubungan ini akan membantu lansia pada aspek psikologis dimana lansia merasa tidak sendiri sehingga mampu menumbuhkan motivasi hidup lansia (agus, 2017). motivasi merupakan faktor pendorong bagi seseorang dalam bertindak. responden dalam penelitian ini mayoritas laki-laki dan mereka merupakan tulang punggung keluarga. sehinggga motivasi untuk tetap sehat dan produktif terus kuat, walaupun usia mereka terus bertambah mereka akan terus tetap termotivasi untuk tetap sehat dan produktif agar dapat memberikan nafkah bagi keluarganya (syafrida, 2014). salah satu upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan sosial terhadap lansia adalah meningkatkan investasi sosial lanjut usia. investasi sosial dimaksud diberikan dalam bentuk pemberian tambahan modal usaha kepada para lanjut usia yang produktif, sehat dan aktif (kemensos r.i, 2014). motivasi lansia tangguh menghasilkan barang/ jasa didominasi oleh faktor ekonomi, seperti terlihat dalam hasil penelitian dimana motivasi ekonomi sebanyak 17 responden (56,7%) dan secara statitik menunjukkan bahawa motivasi ini mempunyai hubungan yang bermakna dengan lansia tangguh (p=0,000). disisi lain menunjukkan lansia yang tidak menghasilkan barang/jasa sebesar 10%, hal ini bukan berarti mereka tidak mampu, namun terjadi karena berkaitan sebagian keinginan keluarga khususnya anak responden melarang lansia bekerja. larangan ini beralasan agar lansia dapat menikmati masa tuanya dengan bebas tanpa adanya beban fisik maupun psikologis yang dirasa memberatkan dalam masa hidupnya. keberadaan lansia tangguh dapat berkontribusi dalam pembangunan diantaranya motivator bagi keluarga agar tetap sehat, kuat, dan mandiri sepanjang siklus hidup; memberikan dorongan, teladan dan mengajak dengan cara persuasif kepada para lansia di lingkungannya, gand parenting bagi anak cucu khususnya keluarga muda (kemenkes ri, 2016b); selain itu lansia membantu memberikan bimbingan, bantuan, dan teladan dalam pengasuhan cucu khususnya kepada keluarga muda dan meningkatkan ekonomi produktif bagi keluarga lansia dan lansia dengan cara mengembangkan kemampuan dalam upaya meningkatkan ekonomi sesuai dengan minat dan bakat lansia (nursetiyanto, 2016) . hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh berdasarkan tabel 4 diatas diperoleh nilai p=0,000 yang menunjukkan bahwa hubungan pelayanan lansia berbasis kekerabatan dengan lansia tangguh bermakna. nilai korelasi sebesar 0,634 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang. keberadaan dukungan kerabat merupakan hal yang sangat diperlukan dan berarti dalam kehidupan lansia. sehingga pemberian dukungan yang baik akan cenderung dapat mewujudkan ketangguhan lansia hal ini sesuai dengan hasil penelitia n dima na pela yanan lansia ber basis kekerabatan baik dan menghasilkan lansia tangguh sebanyak 18 responden (60%). perubahan pola demografi dimana jumlah lanjut usia semakin meningkat juga diikuti dengan perubahan pada sistem nilai dan struktur sosial keluarga. keluarga yang diharapkan dapat menjadi penyangga dan penyedia dukungan sosial bagi lanjut usia tidak lagi sepenuhnya dapat menjalankan fungsi dan 230 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 223–230 peranannya (kemensos, 2014). keluarga maupun kerabat merupakan support system terpenting bagi perawatan lansia, ikatan emosional yang dekat merupakan bekal utama dalam berkomunikasi dan menjalin interaksi yang kuat, sehingga dengan berbekal pengetahuan, budaya, sumber daya, keterampilan yang dimiliki keluarga/kerabat memungkinkan terwujudnya lansia yang tangguh (waskito, 2014). semakin baik peran keluarga/kerabat dalam memberikan perawatan lansia maka semakin besar pula kemungkinan terwujudnya lansia tangguh. mengingat pentingnya pelayanan lansia berbasis kekerabatan maka pengambilan keputusan dalam menitipkan lansia ke panti jompo bukan merupakan keputusan prioritas utama (kemenkes ri, 2016a). sebagai upaya pembinaan keluarga dalam upaya pelayanan lansia dalam rangka mewujudkan lansia tangguh peran pemerintah desa toyomarto yang telah melakukan kerjasama dengan bidang kesehatan dan kesejahteraan lansia dengan bkkbn singosari, puskesmas ardimulyo dan prodi keperawatan lawang melalui program pengabdian masyarakat. kesimpulan pelayanan lansia berbasis kekerabatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan terciptnya lansia tangguh dengan nilai p=0,000. terwujudnya lansia tangguh tidak terlepas dari peran pelayanan yang diberikan oleh keluarga atau kerabat. keluarga atau kerabat merupakan support system yang besar dalam membentuk lansia tangguh walaupun masih terdapat beberapa pembinaan oleh keluarga/kerabat yang memerlukan peningkatan. saran perlunya peningkatan kualitas pembinaan oleh keluarga/kerabat dalam memberikan pelayanan kepada lansia dapat dilaksanakan dengan cara menjalin kerjasama lintas program maupun sektor agar terwujudnya lansia tangguh akan semakin nyata dan berlanjut hingga pemanfaatan keterlibatan lansia tangguh dalam mengisi pembangunan kesehatan khususnya kesehatan keluarga dan masyarakat. daftar pustaka agus, s. u. (2017). status kesehatan lansia yang bekerja. jurnal informasi kesehatan indonesia, 3(1), 8–13. retrieved from http://polkesmaojs.poltekkes-malang.ac.id/index.php/jiki/article/ view/44 badan pusat statistik. (2015). proyeksi penduduk kabupaten/kota provinsi jawa timur. bkkbn. (2014). lansia tangguh dengan tujuh dimensi. jakarta: direktorat bina ketahanan keluarga lansia dan rentan. deshinta vibriyanti. (2016). menjadi lansia saat ini: beban atau dibebani? retrieved may 3, 2018, from http://kependudukan.lipi. go.id/id /kajian-kependudukan/dinamika-kependuduka n/317-menjadilansia-saat-ini-beban-atau-dibe bani kemenkes ri. (2016a). modul pelatihan pelayanan kesehatan lanjut usia dan geriatri bagi tenaga kesehatan puskesmas. jakarta: direktorat jendral kesehatan masyarakat. kemenkes ri. (2016b). rencana aksi nasional kesehatan lanjut usia tahun 2016-2019. jakarta. kemensos. (2014). pendampingan dan perawatan sosial lanjut usia di rumah (home care). kemensos r.i. (2014). modul pendampingan pelayanan sosial lanjut usia. nursetiyanto, h. (2016). kiat merawat lansia di rumah. ret rieved may 12, 2016, from http://www. rspuricinere.com/index.php?option=c om_content &view=article&id=383&itemid=220 rahardjo, t. b. w., abiskuno, n., & santika, a. (2014). kebijakan pembangunan keluarga. jakarta: direktorat bina ketahanan keluarga lansia dan rentan. setiti, s. g. (2012). model pelayanan lanjut usia berbasis kekerabatan. sosiokonsesia, 17(01), 18–31. syafrida. (2014). upaya mengarahkan lansia menjadi sdm yang tangguh di bida ng profesional vokasional. jurnal keluarga sehat sejahtera, 12, 44–49. ut omo, a. s. (2016). st atus kesehatan lansia berdasarkan aktifitas berdaya guna di desa sentul purwodadi pasuruan. waskito, j. (2014). faktor-faktor pendorong keniatan pekerja lansia untuk melanjutkan bekerja. benefit jurnal manajemen dan bisbis, 18(2), 70–87. retrieved from http://journals.ums.ac.id/index.php/ benefit/article/view/1396 241agustiningsih, gambaran stres akademik dan strategi koping... 241 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk gambaran stres akademik dan strategi koping pada mahasiswa keperawatan info artikel sejarah artikel: diterima, 12/08/2019 disetujui, 29/08/2019 dipublikasi, 30/08/2019 kata kunci: stres akademik, strategi koping, mahasiswa keperawatan abstrak stres akademik pada mahasiswa keperawatan merupakan hal yang biasa terjadi karena mahasiswa keperawatan harus memenuhi kompetensinya dari perkuliahan dan praktek di rumah sakit. untuk mengatasi stres akademik mahasiswa bisa menggunakan strategi koping. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran stres akademik dan strategi koping pada mahasiswa keperawatan. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa keperawatan (diii keperawatan dan s1 keperawatan) yang memenuhi kriteria penelitian dengan pengambilan sampel yaitu purposive sampling. pengambilan data dilakukan pada tanggal 18 – 20 april 2018. pengumpulan data tentang stres akademik dan strategi koping menggunakan kuesioner student nursing stres index (snsi) dan kuesioner way of coping. data hasil penelitian dianalisa secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi. berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami stres tingkat sedang yaitu 24 orang (47,06%). sedangkan untuk strategi koping didapatkan data bahwa seluruh mahasiswa dalam menghadapi stres akademik menggunakan strategi koping yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. pemilihan strategi koping yang tepat oleh mahasiswa dalam menghadapi stres akademik akan mempengaruhi keberhasilan akademik. oleh karena itu diperlukan peran dari pembimbing akademik, orang tua / keluarga, teman, dan motivasi dari dalam diri mahasiswa sendiri serta pentingnya peran lembaga bimbingan konseling yang ada di perguruan tinggi. © 2019 jurnal ners dan kebidanan nia agustiningsih prodi keperawatan, stikes kepanjen malang correspondence address: stikes kepanjen malangjawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: anisa.hanifa1115@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i2.art.p241–250 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 242 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 241–250 abstract academic stres on nursing students is a common thing because nursing students must fulfill their competence from lectures and practice at the hospital. to overcome academic stres students can use coping strategies. the purpose of this study was to determine the description of academic stres and coping strategies for nursing students. this research is a descriptive research. the population in this study were nursing students (diii nursing and s1 nursing) who met the criteria of the study with sampling, namely purposive sampling. data collection was conducted on april 1820 2018. data collection about academic stres and coping strategies using the student nursing stres index (snsi) questionnaire and way of coping questionnaire. the results of the research were analyzed descriptively and displayed in the form of frequency distribution and narrative tables. based on the results of the study, it was found that most students experienced moderate levels of stres that is 24 people (47.06%). whereas for coping strategies, acquired that all students in the coping academic stres using coping strategies problem focused coping and emotion focused coping. choosing the right coping strategies by students in dealing with academic stres will affect academic success. therefore, the role of academic mentors, parents or family, friends, and motivation from within the students themselves is needed as well as the importance of the role of counseling institutions in universities. the description ff academic stres and coping strategy of nursing students article information history article: received, 12/08/2019 accepted, 29/08/2019 published, 30/08/2019 keywords: academic stres, coping strategy, nursing student 243agustiningsih, gambaran stres akademik dan strategi koping... pendahuluan mahasiswa sebagai individu yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dalam kegiatannya tidak terlepas dari stres. menurut kumar (2011) stres merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi proses dalam pendidikan dan kesejahteraan mahasiswa. waghachavare et al (2013) menyampaikan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa stres akademik merupakan salah satu hal penting yang menjadi salah satu penyebab stres. stres akademik adalah stres yang berhubungan dengan proses menjalani kegiatan pendidikan yang terjadi dalam masa pendidikan yang disebabkan karena tuntutan yang timbul selama seseorang dalam masa pendidikan dan terjadi bila mengalami ketegangan emosi ketika terjadi kegagalan dalam memenuhi tuntutan tersebut (thawabieh and naour, 2012). menurut szalavitz (2011) angka kejadian stres pada mahasiswa di dunia sebesar 38-71%. dalam penelitian yang dilakukan oleh labrague (2018) dihasilkan data bahwa mahasiswa keperawatan mengalami stres akademik dan stres eksternal yang lebih tinggi dari pada mahasiswa fisioterapi, farmasi, kedokter a n gigi dan kedoktera n. sedangka n menurut morita (2014) pada penelitiannya terhadap mahasiswa diii keperawatan didapatkan data bahwa salah satu faktor yang menjadi stressor mahasiswa adalah kondisi lingkungan fisik, lingkungan sosial dan beban belajar. berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di stikes kepanjen pada tanggal 4 april 2016 pada 10 mahasiswa yaitu 5 mahasiswa program studi diii keperawatan dan 5 mahasiswa program studi s1 keperawatan yang memiliki nilai ipk  2,50 didapatkan data bahwa 5 mahasiswa menyampaikan sering absen dan masuk di keperawatan adalah karena dorongan orang tua sehingga sebenarnya kurang menyukai jurusan keperawatan, 3 orang menyampaikan sulit mengikuti pelajaran di kelas dan 2 orang menyampaikan tidak bisa mengatur waktu untuk belajar. menurut kumar (2011) bahwa mahasiswa yang mengalami stres dapat menjadi mudah marah, menunjukkan kurangnya konsentrasi, penurunan prestasi akademik, hubungan interpersonal yang buruk, insomnia dan sering absen dalam proses pendidikan. menurut pulido et al (2012) mahasiswa keperawatan juga mengalami stres akademik dengan proses pendidikan yang dijalaninya. menurut pulido et al (2012) yang menyebabkan stres pada mahasiswa adalah bersumber dari kehidupan akademiknya, terutama dari tuntutan eksternal dan tuntutan internal. tuntutan eksternal dapat bersumber dari tugas-tugas kuliah, beban pelajaran, tuntutan orang tua, kompetensi perkuliahan dan meningkatnya kompleksitas materi perkuliahan yang semakin lama semakin sulit. tuntutan internal bersumber dari kemampuan mahasiswa dalam mengikuti pelajaran. sedangkan menurut waghacha vare et al (2013) masalah yang biasa ditemui mahasiswa adalah permasalahan akademik diantaranya yaitu materi pembelajaran yang cukup banyak dan rumit, tekanan dalam menghadapi ujian, nilai ipk yang rendah, terancam drop out dan masalah akademik lainnya. sedangkan masalah nonakademik diantaranya yaitu masalah keuangan, masalah keluarga, masalah akomodasi, masalah interpersonal maupun intrapersonal, dan masalah-masalah sosial lainnya. menurut lal and rohtak (2014) bahwa beban belajar mahasiswa keperawatan cukup berat karena mahasiswa dituntut tidak hanya harus melakukan kegiatan akademik dan praktek klinik tetapi juga menjaga keseimbangan dalam kehidupannya sebagai seseorang yang menuju dewasa. beberapa kondisi yang menyebabkan mahasiswa perawat stres antara lain: merasa tidak mampu merawat pasien yang sakit berat, kesulitan berinteraksi dengan fakultas, waktu belajar yang lama, penugasan yang banyak sehingga hari liburnya yang singkat, frekuensi ujian, laporan klinik dan penugasan lainnya (lal and rohtak, 2014). pengalaman klinik di rumah sakit juga menyebabkan stres karena mereka harus melakukan persiapan yang cukup banyak dan lama sebelum praktek klinik agar tidak terjadi kekeliruan saat melakuan prosedur keperawatan yang dapat membahayakan pasien (waghachavare et al, 2013). pulido et al (2012) menambahkan bahwa beban akademik, masalah klinik dan masalah pribadi juga menjadi faktor penyebab stres. sebenarnya penyebab stres akademik merupakan hal yang normal terjadi karena stres akademik merupakan bagian dari perkembangan diri seperti menyesuaikan diri dengan tatanan sosial baru, mendapatkan peran dan tanggungjawab baru sebagai mahasiswa, mempunyai beban belajar dan konsep-konsep pendidikan yang berbeda dengan masa sekolah sebelumnya, kegiatan/beban akademik yang tinggi, belajar mengatur masalah keuangan, ketidakmampuan dalam manajemen waktu, harapan dan tantangan terhadap pencapaian akademik, perubahan gaya hidup dari masa yang sebelumnya dan perkembangan konsep diri (regehr, glancy and pitts, 2013). 244 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 241–250 respon stres dari setiap mahasiswa berbeda, tergantung pada kondisi kesehatan, kepribadian, pengalaman sebelumnya terhadap stres, mekanisme koping, jenis kelamin, dan usia, besarnya stressor, dan kemampuan pengelolaan emosi dari masingmasing individu (potter & perry, 2012). menurut alazayyat dan algamal (2014) bahwa stres dapat memicu seseorang untuk berperilaku negatif dan berperilaku positif. dalam hal ini penilaian seseorang terhadap stressor akan menentukan upaya dalam menghadapi stressor. menurut stuart dan sundeen (2016), bahwa semua upaya yang diarahkan untuk mengelola stres baik itu yang konstruktif maupun yang destruktif disebut dengan koping. ada dua strategi koping yang biasanya digunakan oleh individu dalam menghadapi stres, yaitu: problem solving focused coping yaitu individu bertindak aktif melakukan alternatif penyelesaian masalah yaitu dengan menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres dan emotion focused coping yaitu individu berupaya untuk mengatur emosinya untuk menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh kondisi atau situasi yang penuh tekanan. berdasarkan penelitian kumar (2011) dijelaskan bahwa pada umumnya mahasiswa keperawatan melakukan strategi koping yaitu dengan penyimpangan dan mencari dukungan sosial. sedangkan menurut hakim dan rahmawati (2015), menjelaskan bahwa individu menggunakan kedua cara yaitu problem solving focused coping dan emotion focused coping untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (hakim dan rahmawati, 2015). berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 4 april 2016 pada 10 mahasiswa yaitu 5 mahasiswa program studi diii keperawatan dan 5 mahasiswa program studi s1 keperawatan yang memiliki nilai ipk  2,50 tentang cara yang biasa digunakan untuk mengatasi permasalahan di pendidikan adalah 5 mahasiswa lebih sering menghindar yaitu sering tidak masuk kuliah dan 5 orang menyampaikan tetap mengikuti kuliah tapi tidak memperhatikan penjelasan dosen ketika di kelas. dalam jangka panjang, stres akademik dapat memberikan dampak secara fisik dan mental pada mahasiswa sehingga kemampuan dalam mengatasi stres atau yang disebut dengan koping merupakan hal yang penting yang harus dimiliki oleh mahasiswa (kumar, 2011). oleh karena itu penting bagi sebuah institusi pendidikan tinggi untuk bisa mengidentifikasi adanya stres pada mahasiswa dan strategi koping yang digunakan dengan melakukan kordinasi dan komunikasi melalui pembimbing akademik dan bimbingan konseling. denagn adanya identfikasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan mahasiswa sehingga mahasiswa bisa menyelesaikan tugas akademiknya. berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin melakukan studi tentang gambaran stres akademik dan strategi koping pada mahasiswa keperawatan di stikes kepanjen. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. penelitian dilakukan pada tanggal 18 – 20 april 2018. variabel dalam penelitian ini adalah stres akademik dan strategi koping. populasi dalam penelitian adalah seluruh mahasiswa diii keperawatan dan s1 keperawatan. penga mbila n sa mpel dila kuka n tehnik purposive sampling dengan kriteria penelitian yang sudah ditentukan oleh peneliti yaitu mahasiswa diii dan s1 keperawatan yang aktif, mahasiswa s1 keperawatan tingkat iii, mahasiswa diii keperawatan tingkat ii dan mahasiswa diii dan s1 keperawatan yang bersedia menjadi responden. instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner student nursing stres index (snsi) yang terdiri dari 22 pernyataan dan kuesioner way of coping yang terdiri dari 49 pernyataan. data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi. dalam penelitian ini memperhatikan etika penelitian yaitu informed consent, anonymity, confidentiality, justice, beneficience, non maleficience. hasil penelitian hasil yang diperoleh dari penelitian ditampilkan dalam tabel 1 distribusi frekuensi dan narasi sebagai berikut: 245agustiningsih, gambaran stres akademik dan strategi koping... variabel kategori jumlah n % jenis kelamin laki-laki 18 35,30% perempuan 33 64,70% total 51 100% usia usia 18 – 20 tahun 29 56,86% usia 21 – 23 tahun 22 43,14% total 51 100% program studi diii keperawatan 30 58,82% s1 keperawatan 21 41,18% total 51 100% tingkat ii 30 58,82% iii 21 41,18% total 51 100% tinggal bersama kost 14 27,45% saudara 1 1,96% orang tua 35 68,63% pondok pesantren 1 1,96% total 51 100% tabel 1 karakteristik responden variabel kategori jumlah n % stres ringan 16 31,37% sedang 24 47,06% berat 10 19,61% sangat berat 1 1,96% total 51 100% tabel 2 tingkat stres akademik variabel stres kategori jumlah n % beban akademis tinggi 13 25,49% sedang 24 47,06% rendah 14 27,45% total 51 100% masalah klinik tinggi 22 43,14% sedang 18 35,29% rendah 11 21,57% total 51 100% masalah personal tinggi 35 68,63% sedang 15 29,41% rendah 1 1,96% total 51 100% konflik kepentingan tinggi 29 56,86% (interface worries) sedang 22 43,14% total 51 100% tabel 3 komponen penyebab stres akademik 246 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 241–250 pembahasan tingkat stres mahasiswa berdasarkan tabel 2 bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami stres tingkat sedang yaitu 24 orang (47,06%). menurut zhang et al (2017) bahwa stres akademik sering terjadi pada mahasiswa keperawatan. stres akademik yang tidak teratasi bisa menyebabkan depresi pada mahasiswa. menurut bahadir (2016) bahwa stres sering terjadi pada mahasiswa perempuan dari pada lakilaki. berdasarkan tabel 1, sebagian besar responden problem focused coping kategori jumlah n % seeking informational support tinggi 12 23,53% sedang 33 64,71% rendah 6 11,76% total 51 100% seeking social support tinggi 10 19,61% sedang 30 58,82% rendah 11 21,57% total 51 100% confrontatif tinggi 16 31,38% sedang 31 60,78% rendah 4 7,84% total 51 100% tabel 4 penggunaan problem focused coping emotional focused coping kategori jumlah n % distancing tinggi 5 9,80% sedang 32 62,75% rendah 14 27,45% total 51 100% self control tinggi 11 21,57% sedang 32 62,75% rendah 8 15,68% total 51 100% escape avoidance tinggi 5 9,80% sedang 37 72,55% rendah 9 17,65% total 51 100% reappraisal positip tinggi 21 41,18% sedang 26 50,98% rendah 4 7,84% total 51 100% tabel 5 penggunaan emotional focused coping adalah perempuan yaitu 33 orang (64,70%). namun hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh suwartika dkk (2014) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara jenis kelamin dnegan tingkat stres. dari beberapa hasil penelitian tersebut bahwa dalam menghadapi stres dan memilih strategi koping dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing individu dalam mempersepsikan sebuah stressor. keluarga memiliki peran penting bagi mahasiswa dalam menghadapi stres akademik. dari tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa 247agustiningsih, gambaran stres akademik dan strategi koping... tinggal bersama dengan orang tua yaitu 35 orang (65,63%). menurut wolf et al (2015) bahwa adanya dukungan sosial dari keluarga dan teman akan membantu mahasiswa dalam menghadapi stres akademik. dengan adanya keluarga maka mahasiswa bisa menceritakan permasalahan yang dihadapi selama belajar di perkuliahan maupun di praktik klinik. namun wolf et al (2015) menjelaskan bahwa beberapa mahasiswa lebih memilih untuk memecahkan permasalahannya sendiri dari pada berbagi dengan keluarga dan teman. dari tabel 1 diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa adalah diii keperawatan yang menduduki tingkat ii yaitu sejumlah 30 orang (58,82%) dan mahasiswa s1 keperawatan yang menduduki tingkat iii yaitu 21 orang (41,18%). dari data tersebut diketahui bahwa mahasiswa di atas masih baru pertama kali praktek di klinik sehingga pengalaman pertama dalam menghadapi praktek klinik akan menimbulkan situasi yang tidak nyaman yang menyebabkan stres. menurut turner and mccarthy (2016) menjelaskan bahwa mahasiswa yang baru pertama kali praktek di klinik dengan mahasiswa yang sudah memiliki ketrampilan klinik yang ahli (sering praktek di klinik) memiliki stressor yang berbeda. mahasiswa yang baru pertama kali praktik di klinik akan mengalami kondisi yang penuh dengan stres dan mengalami perasaan yang negatif (bahadir, 2016). berdasarkan tabel 1 bahwa 29 orang (56,86%) berusia 18 – 20 tahun. usia 18 – 20 merupakan usia memasuki tahap usia remaja akhir (suwartika dkk, 2014). berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh suwartika (2014) didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara usia dengan stres akademik yaitu bahwa semakin tinggi usia maka tingkat stres semakin ringan. hal ini disebabkan karena semakin bertambah usia maka pengalaman individu menghadapi stressor semakin bertambah. faktor yang menyebabkan stres akademik menurut yang and smith (2016) bahwa stres yang terjadi pada mahasiswa keperawatan lebih tinggi dari pada mahasiswa lain. faktor yang menyebabkan stres akademik meliputi masalah akademik, masalah personal, masalah klinik dan konflik kepentingan (yildirim et al, 2016; yang and smith 2016). berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki beban akademik tinggkat sedang yaitu berjumlah 24 orang (47,06%). menurut yang and smith (2016) salah satu yang menjadi masalah akademik adalah ketakutan kegagalan, lingkungan yang kompetitif dan beban yang berat. sumber stres pada bida ng a kademik a da la h banyaknya tugas yang harus dikerjakan, kurikulum dengan beban yang tinggi, persaingan antar teman untuk mendapatkan nilai yang tinggi dan banyaknya bahan materi yang harus dipelajari dan dikuasai oleh mahasiswa perawat (bahadir, 2016; zhang et al, 2017). kurikulum profesi keper awa tan berbeda dengan kurikulum profesi yang lain yaitu pada kurikulum perawat merupakan gabungan antara pra ktek klinik dengan pengetahuan sehingga mahasiswa perawat untuk menjadi mahasiswa yang berkompeten harus menguasai kedua hal tersebut. banyaknya materi yang harus dipelajari oleh mahasiswa keperawatan mendorong mahasiswa keperawatan untuk mampu membagi waktu sehingga bisa mengerjakan tugas, melakukan praktikum sesuai jadwal dan mempelajari materi sebagai bahan ujian. bahadir (2017) menjelaskan bahwa kesulitan mengatur waktu merupakan salah satu sumber stres dari beban akademik yang tinggi. penyebab stressor akademik yang selanjutnya adalah masalah personal. berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki masalah personal tinggi yaitu 35 orang (68,63%). masalah personal yang menjadi sumber stres pada mahasiswa keperawatan adalah kondisi keuangan yang kurang (turner and mccarthy, 2016; watson et al, 2018) dan kurangnya waktu untuk bersama kekuarga dan teman (turner and mccarthy, 2016; yang and smith, 2016). turner and mccarthy (2016) menjelaskan bahwa kurangnya waktu bersama keluarga akan menyebabkan mahasiswa kurang mendapatkan dukungan sosial dari keluarga. karakteristik individu merupakan masalah personal yang berkontribusi terhadap stres akademik. karakteristik individu terdiri dari jenis kelamin, kondisi psikologis, ketahanan atau kekuatan diri, tingkat spiritual serta kecerdasan emosional dan ketahanan (bahadir, 2016). mahasiswa yang mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang baru yaitu klinik akan bisa menyesuaikan diri dan bertahan terhadap lingkungan klinik. mahasiswa yang tertarik terhadap lingkungan klinik juga akan mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa. mahasiswa keperawatan yang memiliki pribadi yang kuat akan mampu bertahan dalam menghadapi lingkungan praktek di klinik meskipun mengalami sedikit stres. interpretasi setiap mahasiswa keperawatan 248 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 241–250 dalam menanggapi stressor akan menentukan tindakan dalam memecahkan masalah. menurut bahadir (2016) masalah personal lain yang mempengaruhi keberhasilan di lingkungan klinik adalah karakteristik individu yang terdiri dari kemampuan komunikasi, kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan beradaptasi. berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa merasakan masalah klinik tingkat tinggi yaitu sejumlah 22 orang (43,14%). menurut wolf et al (2015) praktek klinik merupakan sumber stres utama pada mahasiswa keperawatan. mahasiswa keperawatan yang praktek klinik tidak hanya stres karena hubungan interpersonal dengan pembimbing klinik dan staf namun mahasiswa juga stres karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki, ketrampilan klinis yang tidak aman, merawat pasien yang sekarat, takut gagal, penempatan klinik, kurangnya kompetensi klinik, ketakutan membuat kesalahan, konflik interpersonal dengan pasien, staf dan beberapa relasi lain yang ada di lingkungan praktek, perbedaan antara teori dengan praktek serta kurangnya supervisi klinik (gibbons, 2010; wolf et al, 2015; turner and mccarthy, 2016; yang and smith, 2016; bahadir, 2016). faktor selanjutnya yang menyebabkan stres akademik adalah adanya konflik kepentingan (yildirim et al, 2016; yang and smith 2016). berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa yang mengalami konflik kepentingan yang tinggi yaitu sejumlah 29 orang (56,86%). dalam konflik kepentingan (interface worries) mahasiswa sering dihadapkan pada masalah seperti kurang mempunyai waktu luang bersama keluarga atau teman, kurang bisa membagi waktu atau karena masalah keuangan. menurut reeve et al (2013) menjelaskan bahwa pada waktu mahasiswa praktek di klinik mahasiswa harus membagi waktu antara menyelesaikan tugas dengan menyelesaikan tanggung jawab mahasiswa kepada pasien sebagai kompetensi mahasiswa yang sudah ditetapkan dari kampus dan mengikuti shift yang ada di tempat praktek. aktivitas tersebut yang pada akhirnya akan merubah aktivitas normal mahasiswa keperawatan dengan mahasiswa lain dengan kelompok umur yang sama. strategi koping mahasiswa dalam menghadapi stres akademik interpretasi setiap mahasiswa keperawatan terhadap situasi dan kondisi yang terjadi selama praktek klinik akan mempengaruhi pemilihan strategi koping. koping adalah upaya kognitif dan perilaku yang digunakan untuk menghadapi stressor. mahasiswa yang memiliki respon koping yang adaptif dalam menghadapi stres akademik akan memiliki ketahanan atau mampu bertahan, sebaliknya dengan mahasiswa yang memiliki respon koping yang maladaptif (zhang et al, 2017). menurut yildiz et al (2014) bahwa untuk menghadapi stres diperlukan koping. koping aktif (koping yang berorientasi terhadap masalah) berfungsi untuk merubah atau mengatur situasi yang menyebabkan stres sedangkan koping pasif (koping yang berorientasi terhadap emosi) adalah respon emosi untuk mengahadapi stressor (yildiz et al, 2014). dalam menghadapi stressor diperlukan kepercayaan diri pada seorang mahasiswa. mahasiswa yang aktif akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan menggunakan pemecahan masalah sebagai koping dalam mneghadapi stressor (yildiz et al, 2014). lazarus and folkman dalam liu, et al (2015) menjelaskan bahwa koping yang berorientasi terhadap masalah terdiri dari seeking informational support, seeking social support dan confrontatif. berdasarkan tabel 4 sebagian besar mahasiswa yang menggunakan problem focused coping yaitu seeking informational support dengan kategori sedang terdiri dari 33 orang (64,71%), social seeking support dengan kategori sedang terdiri dari 30 orang (58,82%) dan confrontatif dengan kategori sedang yaitu 31 orang (60,78%). yildiz et al (2014) menjelaskan bahwa mahasiswa yang mengalami tingkat stres yang rendah cenderung memilih menggunakan koping yang aktif (koping yang berorientasi pada masalah). selain tingkat stres, pemilihan terhadap koping yang aktif (koping yang berorientasi pada masalah) dipengaruhi oleh adanya dukungan antar teman, dukungan keluarga, rasa optimis dan rasa percaya diri yang dimiliki oleh masing-masing individu mahasiswa. mahasiswa denga n tingka t stres yang tinggi cenderung memilih koping yang pasif (koping yang berorientasi terhadap emosi) yang dilakukan dengan menghindar sehingga tidak mneyelesaikan masalah dan bisa menyebabkan depresi (yildiz et al, 2014; wolf et al, 2015). mahasiswa yang masih muda cenderung menggunakan koping yang beorientasi pada emosi dari pada mahasiswa yang sudah tua. hal ini dikarenakan mahasiswa yang sudah tua sudah memiliki pengalaman yang lebih banyak dari pada mahasiswa yang masih muda (yildiz et al, 2014). 249agustiningsih, gambaran stres akademik dan strategi koping... dalam menghadapi stressor mahasiswa keperawatan masih banyak yang menggunakan koping yang berorientasi pada emosi (zhang et al, 2017; labrague et al, 2018). koping yang berorientasi terhadap emosi menurut lazarus and folkman dalam liu et al (2015) meliputi distancing, self control, escape avoidance dan reappraisal positip. berdasarkan tabel 5 bahwa mahasiswa yang menggunakan emotional focused coping yaitu distancing sebagian besar kategori sedang berjumlah 32 orang (62,75%), escape avoidance sebagian besar kategori sedang yaitu 37 orang (72,55%). menurut yildiz et al (2014) bahwa mahasiswa dengan tingkat stres yang tinggi cenderung menggunakan koping yang berorientasi terhadap emosi salah satunya yaitu dengan menghindari stressor atau lari dari stressor. menghindari stressor atau lari dari stressor adalah koping yang bersifat hanya sementara karena stressor tidak diselesaikan namun hanya dihindari atau dijauhi. dengan adanya kemampuan manajemen emosi yang baik maka dalam menghadapi stressor individu akan memiliki kontrol diri. berdasarkan hasil penelitian bahwa mahasiswa yang menggunakan emotional focused coping yaitu self control sebagian besar kategori sedang yaitu 32 orang (62,75%). mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosi yang baik akan bisa memilih koping yang tepat dalam menghadapi stressor (alconero, 2018). alconero et al (2018) menjelaskan bahwa reappraisal positip adalah koping yang berfokus pada emosional yang menggunakan kognitif sebagai dasar dalam mempersepsikan suatu kejadian atau peristiwa. dalam menghadapi sebuah stressor setiap individu akan menggunakan kognitif sebagai dasar untuk mempersepsikan stressor sehingga kan mempengaruhi sikap dan tindakan dalam menghadapi stressor. berpikir positip terhadap stressor merupakan bentuk dari reappraisal positip. berpikir positip merupakan cara yang efektif dalam menghadapi stressor, selain itu dengan berpikir positip akan mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis sebagai konsekuensi dari stressor (wolf et al, 2015). berdasarkan hasil penelitian bahwa mahasiswa yang menggunakan emotional focused coping yaitu reappraisal positip sebagian besar dengan kategori sedang yaitu 26 orang (50,98%). kesimpulan sebagian besar mahasiswa mengalami stres tingkat sedang yaitu 24 orang (47,06%). sedangkan untuk strategi koping seluruh mahasiswa dalam menghadapi stres akademik menggunakan strategi koping yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. saran diharapkan peran institusi melalui proses bimbingan dan konseling yang bisa dilakukan dalam pembimbingan akademik oleh dosen pa atau melalui proses bimbingan konseling untuk memberikan alternatif strategi koping yang tepat dalam penyelesaian stres akademik. daftar pustaka alconero-camarero, a. r., sarabia-cobo, c. m., gonzálezgómez, s., ibáñez-rementería, i., lavín-alconero, l., & sarabia-cobo, a. b. (2018). nurse education today nursing students â€tm emotional intelligence, coping styles and learning satisfaction in clinically sim ul at ed pa l li a t ive ca r e scena r i os/ : an observational study. nurse education today, 61(february 2017), 94–100. http://doi.org/10.1016/ j.nedt.2017.11.013 alzayyat, a., & al, e. (2014). a review of the literature regarding stres among nursing students during their clinical education, (1976), 406–416 bahadir, e. (2016). sciencedirect academic and clinical stres , stres resources and ways of coping among turkish first-year nursing students in their first clinical practice, 8, 2–8. http://doi.org/10.1016/ j.kontakt.2016.08.001 gibbons, c. (2010). international journal of nursing studies stres , coping and burn-out in nursing students. international journal of nursing studies, 47(10), 1299–1309. htt p:// doi .org/10.1016/ j.ijnurstu.2010.02.015 hakim, s. n., & rahmawati, b. a. (2015). strategi coping dalam menghadapi permasalahan akademik pada remaja yang orang tuanya mengalami perceraian, 978–979 kumar, r. (2011). stres and coping strategies among nursing students. nursing and midwifery research journal, 7(4), 141–151. labrague, l. j., mcenroe, d. m., alexis, j., santos, a. d. l., & edet, o. b. (2018). nurse education today examining stres perceptions and coping strategies among saudi nursing students/: a systematic review. nurse education today, 65(february), 192– 200. http://doi.org/10.1016/j.nedt.2018.03.012 lal, k., & rohtak, d. r. (2014). academic stres among adolescent in relation to, 123–129 liu, m., gu, k., wong, t. k. s., luo, m. z., & chan, m. y. (2015). sciencedirect perceived stres among macao n ur si ng student s in t he cli n i ca l lea r ni n g environment. international journal of nursing 250 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 241–250 sciences, 2(2), 128–133. http://doi.org/10.1016/ j.ijnss.2015.04.013 morita, k. m.(2014). stres pada mahasiswa di stikes yarsi sumbar bukittinggi tahun 2014, i(i). potter, p. a., & perry, a. g. (2005). buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses dan praktik. jakarta: egc pulido-marto, m., augusto linda, j. m., & lopez-zafra, e. (2012). sources of stres in nursing students/ : a syst em at i c r eview of qua n t it a t ive st udies. international nursing review regehr, c., glancy, d., & pitts, a. (2013). interventions to reduce stres in university students: a review and meta-analysis. journal of affective disorders. http:/ /doi.org/10.1016/j.jad.2012.11.026 reeve, k. l., shumaker, c. j., yearwood, e. l., crowell, n. a., & riley, j. b. (2013). nurse education today perceived stres and social support in undergraduate nursing students â€tm educational experiences. ynedt, 33(4), 419–424. http://doi.org/10.1016/ j.nedt.2012.11.009 stuart, gail wiscarz. (2016). prinsip dan praktek: keperawatan kesehatan jiwa stuart.singapore: elsevier thawabieh, a. m., & naour, a. (2012). assessing stres a mong un iversit y studen t s depar tm ent of educational psychology department of educational psychology, 2(2), 110–116. turner, k., & mccarthy, v. l. (2016). stres and anxiety among nursing students: a review of intervention strategies in literature between 2009 and 2015. nurse education in practice. http://doi.org/10.1016/ j.nepr.2016.11.002 waghachavare, v. b., chavan, v. m., dhumale, g. b., & gore, a d. (2013). a cross-sectional study of stres among junior college students in a rural area of sangli district of maharashtra . innovative journal of medical and health science, 3(6), 294–297. watson, r., watanabe, k., yamashita, a., yamaguchi, m., bradbury-jones, c., & irvine, f. (2018). international journal of nursing sciences orignal article a japanese version of the stressors in nursing students ( sins ) scale. international journal of nursing sciences, 4–8. http://doi.org/ 10.1016/j.ijnss.2018.04.005 wolf, l., warner, a., & ross, r. (2015). nurse education today predictors of stres and coping strategies of us accelerated vs . generic baccalaureate nursing students/ : an embedded mixed methods study. ynedt, 35(1), 201–205. http://doi.org/10.1016/ j.nedt.2014.07.005 yang, f., & smith, g. d. (2016). pt sc. ynedt. http:// doi.org/10.1016/j.nedt.2016.10.004 yýldýrým, n., karaca, a., cangur, s., acýkgoz, f., & akkus, d. (2016). nu sc. ynedt. http://doi.org/ 10.1016/j.nedt.2016.09.014 yildiz, u., ozbas, a., cavdar, i., yildizeli, s., & onler, e. (2014). nurse education in practice assessment of nursing students â€tm stres levels and coping strategies in operating room practice. nurse education in practice, 1–4. http://doi.org/10.1016/ j.nepr.2014.11.008 zhang, y., peters, a., & bradstreet, j. (2017). journal of professional nursing relationships among sleep quality , coping styles , and depressive symptoms among college nursing students/ : a multiple mediator model. journal of professional nursing, 6–11. http://doi.org/10.1016/j.profnurs.2017.12.004 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk senam tai chi dalam menurunkan kecemasan lansia khamida 1 , muhith abdul 2 , rohmadi yuda diharja 3 , ririn probowati 4 1,3 fakultas keperawatan dan kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya 2 departeman keperawatan, sekolah tinggi ilmu kesehatan majapahit mojokerto 4 sekolah tinggi ilmu kesehatan pemkab jombang info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 01/11/2018 disetujui, 28/12/2018 di publikasi, 28/12/2018 kata kunci: kecemasan, lansia, senam tai chi menua merupakan hal yang dapat menimbulkan masalah kesehatan baik kesehatan umum maupun kesehatan jiwa bagi lansia. kesehatan jiwa yang dialami pada lansia yaitu salah satunya adalah kecemasan. apabila terus menerus dibiarkan, akan berdampak yaitu ingatan atau mimpi buruk yang dialami lansia akan terulang kembali dan kualitas tidur lansia menjadi berkurang. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh senam tai chi terhadap kecemasan lansia. desain penelitian menggunakan one group pre-post test design, sampel adalah lansia di posyandu perintis ngagel rejo surabaya sebesar 32 orang yang diambil dengan teknik simple random sampling. variabel independen adalah senam tai chi, variabel dependen adalah kecemasan.instrumen kecemasan diukur menggunakan kuesioner hrs-a. data dianalisis dengan uji wilcoxon dengan kemaknaan = 0,05. hasil penelitian sebelum diberikan senam tai chi sebagian besar (59,4 %) responden mempunyai kecemasan ringan. setelah diberikan senam tai chi sebagian besar (59,4 %) responden tidak cemas (normal). analisa uji wilcoxon sign rank test didapatkan p = 0,000< =0,05, artinya ada pengaruh senam tai chi terhadap penurunan kecemasan. simpulan dari penelitian ini bahwa senam tai chi dapat menurunkan kecemasan pada lansia.diharapkan perawat dapat memberikan senam tai chi sebagai intervensi keperawatan mandiri perawat dalam penatalaksanaan penurunan kecemasan.  correspondence address: doi:10.26699/jnk.v5i3.art.p218–223 218 universitas nahdlatul ulama, surabaya east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: khamida@unusa.ac.id, abdulmuhith1979@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) khamida@unusa.ac.id,%20abdulmuhith1979@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/349 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 219khamida, abdul, diharja, probowati, senam tai chi... abstract aging is something that can cause health problems, both physical and mental health for the elderly. anxiety is one of mental health experienced in the elderly. if it continues to be ignored, it will have an impact to the memories or nightmares experienced by the elderly. therefore the quality of sleep of elderly’s will diminish. the purpose of this study was to determine the effect of tai chi practice to the elderly anxiety.the design of the study used one group pre-post test design. the sample was elderly at the posyandu perintis ngagel rejo surabaya.32 subject was taken by simple random sampling technique. the independent variable was tai chi practice, the dependent variable was anxiety. the anxiety instrument was measured by the hrs-a questionnaire. the data were analyzed by wilcoxon test with significance á = 0.05. the results of the study showed before being given tai chi practice, mostly (59.4%) respondents had mild anxiety. after being given tai chi practice, most of the respondents (59.4%) were not experiencing anxiety (normal). the analysis of wilcoxon sign rank test obtained p = 0,000 <á = 0.05, meant that there was an effect of tai chi practice to reduce anxiety. the conclusion of this study was tai chi practice could reduce anxiety in the elderly. it is expected that nurses can provide tai chi practice as a nurse’s independent intervention in the management to reduce anxiety. © 2018 journal of ners and midwifery history article: received, 01/11/2018 accepted, 28/12/2018 published, 28/12/2018 keywords: anxiety, elderly, tai chi gymnastics tai chi practice to reduce anxiety of elderly 220 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 218–223 pendahuluan menua adalah keadaan alamiah yang ditandai dengan kemunduran atau penurunan fungsi fisik, psikologis, dan sosial yang berkaitan satu dengan yang lain (muhith, 2016). kemunduran lain yang terjadi adalah kemampuan-kemampuan kognitif seperti lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal atau ide baru. jadi menua merupakan keadaan yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.masalah kesehatan jiwa yang biasanya timbul pada para lansia meliputi depresi, insomnia, demensia dan kecemasan. (muhith a., 2015). lansia yang mengalami cemas memiliki tanda gejala yaitu susah tidur, mudah tersinggung, khawatir dengan kesehatannya, dan salah satunya adalah takut akan kematian. mereka selalu mempunyai kecemasan terhadap kematian, yaitu bahwa kematian adalah sebagai akhir dari kehidupan mereka. hal tersebut bila terus menerus dibiarkan menyebabkan lansia menjadi ketakutan, gelisah, merasa tidak aman, keluar keringat dingin, khawatir, gemetar, hilangnya nafsu makan, dan denyut jantung tidak beraturan. ini merupakan sesuatu yang tidak diharapkan oleh kebanyakan lansia. lansia dimasa tuanya mengharapkan kehidupannya diisi dengan berkumpul bersama keluarga tercinta, mengisi kegiatan tuanya dengan aktivitas fisik ringan seperti senam lansia, kegiatan keagamaan dan hidup dengan tenang dan nyaman. data provinsi jawa timur didapatkan, penduduk lansia pada tahun 2014 diperkirakan mencapai angka 10,96 persen dan tahun 2015 diperkirakan mencapai angka 11,5 persen dan hingga 2020 akan meningkat menjadi 13,5 persen (bps, diolah dari sakernas, 2014). di daerah surabaya didapatkan jumlah penduduk lansia tahun 2014 mencapai 350.000 jiwa (13 persen) dari total jumlah penduduk di surabaya. data awal yang didapatkan pada tahun 2017 di kelurahan ngagel surabaya bahwa diposyandu tersebut belum pernah dilakukan senan tai chi sebelumnya dan jumlah penduduk lansia yang datang rutin ke posyandu tersebut sebanyak 35 orang, dengan hasil wawancara 15 orang lansia didapatkan 7 orang mengatakan sulit tidur dengan nyaman, 4 orang mengatakan merasa ketakutan akan kematian dan 4 orang mengatakan tidur dengan nyaman. dari hasil wawancara ini menunjukkan bahwa lansia sebenarnya memiliki kemungkinan yang tinggi mengalami gangguan kecemasan dengan beberapa tanda gejala yang menyertai gangguan kecemasan ini yaitu gelisah, insomnia, dan ketakutan akan kematian. kecemasan adalah reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang.yang dipengaruhi oleh yaitu, kesehatan yang mulai menurun dan tak kunjung sembuh, pengalaman traumatis dimasa lalu, dan ancaman kematian (muhith, 2016). lansia yang mengalami kecemasan apabila terus menerus dibiarkan, akan menyebabkan ingatan atau mimpi buruk tentang peristiwa traumatis pada lansia akan berulang kembali, kesulitan merasakan emosi (afek datar), marah yang meledakledak, dan bahkan rasa takut yang nyata dan menetap akan dialami oleh lansia. apabila lansia terus mengalami hal seperti ini dan tidak segera ditangani maka kesehatan mereka pun akan terganggu dan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit yang datang pada mereka. kecemasan pada lansia dapat dikurangi dengan tindakan keperawatan yaitu melakukan modifikasi lingkungan yang dapat mengurangi kecemasan mereka, menjelaskan apa yang dapat menimbulkan kecemasan, membantu mereka mengidentifikasi serta menguraikan perasaannya, dan juga dengan memberikan mereka penatalaksanaan non farmakologis dengan cara distraksi, visualisasi dan relaksasi. relaksasi adalah suatu proses pembebasan diri dari segala macam bentuk ketegangan otot maupun pikiran senetral mungkin atau tidak memikirkan apapun. metode ini bisa dilaksanakan salah satunya yaitu dengan senam (muhith a.,2015).senam dengan gerakan yang lambat, pengaturan napas yang baik serta pemusatan pikiran yang terarah membuat lansia menjadi rileks dan nyaman. hal ini akan mengurangi kecemasan pada lansia. salah satu senam tersebut adalah senam tai chi. senam tai chi adalah terapi fisik ini juga bertujuan yaitu selain untuk relaksasi, menjaga keseimbangan fisik maupun mental, bisa juga digunakan untuk menurunkan kecemasan. apabila gerakan tai chi dipadukan dengan musik yang berirama lembut maka tubuh akan menangkap gelombang energi dengan formulasi tertentu yang akan mempengaruhi otak secara langsung melalui perantara organ pendengaran. gelombang suara dalam musik hampir sama dengan gelombang otak dan juga irama jantung. bila diperdengarkan musik yang mengalun teratur, maka otak yang berisi pikiran tegang atau syaraf yang tegang akan mengen 221khamida, abdul, diharja, probowati, senam tai chi... dur. proses ini juga berpengaruh pada syaraf simpatik maupun syaraf parasimpatik sehingga detak jantung, irama napas, peredaran darah, pola sekresi enzim, hormon dan neurotransmitter serta metabolisme energi menjadi relaksasi kembali. menurut hakim arif tahun 2011 menyebutkan bahwa orang yang mengkonsumsi antidepresan sekaligus melakukan senam tai chi, menjadi terbantu dalam mengatasi depresi yang dialaminya karena secara otomatis tingkat kecemasanya berkurang, sementara kualitas hidup, memori, dan tingkat energi mereka meningkat. tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh senam tai chi terhadap kecemasan pada lansia metode penelitian desain penelitian ini pre-experimental dengan rancangan one group prepost test design. sampelnya adalah lansia di posyandu perintis ngagel rejo surabaya sebesar 32 orang yang diambil dengan teknik simple random sampling. variabel independen adalah senam tai chi, variabel dependen adalah kecemasan. pemberian senam tai chi pada lansia menggunakan media mp3 senam tai chi, video gerakan senam tai chi dan speaker (pengeras suara) dan standart operasional prosedur (sop) senam tai chi. sedangkan kecemasan diukur menggunakan kuesioner hamilton rating scale for anxiety (hrs-a). senam tai chi diberikan 1 minggu 2 kali sebanyak 3 minggu @ 45 menit. data dianalisis dengan uji wilcoxon dengan kemaknaan  = 0,05. sebelum melakukan pengambilan data penelitian, proposal penelitian ini telah dinyatakan laik etik oleh komite etik penelitian kesehatan universitas nahdlatul ulama surabaya melaui keterangan laik etik no.100/ec/kepk/unusa/2017. setiap calon peserta menerima lembar informasi (menjelaskan karakteristik, alasan, dan aspek kemauan dari penelitian ini), formulir persetujuan/persetujuanuntuk ditandatangani, dan bentuk keluhan. untuk menjaga kerahasiaan, responden hanya menggunakan nomor kode. hasil penelitian no karakteristik jumlah (n) persentase (%) 1 usia a. 45–59 tahun 7 21,9 b. 60–74 tahun 22 68,8 c. 75–90 tahun 3 9,4 2 jenis kelamin a. laki-laki 5 15,6 b. perempuan 27 84,4 3 pendidikan a. dasar 12 37,5 b. menengah 17 53,1 c. tinggi 3 9,4 tabel 1 karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin dan pendidikan 1 2 3 4 5 6 n % n % n % n % n % n % 1. ya 21 65,6 28 87,5 22 68,8 19 59,4 17 53,1 23 71,9 67,7 2. tidak 11 34,4 4 12,5 10 31,2 13 40,6 15 46,9 9 28,1 32,3 jumlah 32 100 32 100 32 100 32 100 32 100 32 100 100 tabel 2 keteraturan responden mengikuti senam no. senam tai chi senam tai chi kerata-rata % 1. tidak ada tidak ada 19 59.4 2. ringan 19 59,4 ringan 9 28,1 3. sedang 8 25,0 sedang 4 12,5 4. berat 5 15,6 berat jumlah 32 100,0 jumlah 32 100,0 tabel 3 distribusi kecemasan responden sebelum dan sesudah diberikan senam tai chi no kecemasan sebelum diberi senam tai chi frekuensi (n) presentase (%) kecemasan sesudah diberi senam tai chi frekuensi (n) presentase (%) 222 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 218–223 hasil uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon sign rank test sebelum dan sesudah diberikan senam tai chi didapatkan nilai kemaknaan = 0,000 dimana < 0,05 yang berarti ho ditolak yang artinya ada pengaruh senam tai chi terhadap kecemasan pada lansia. pembahasan berdasarkan tabel 2 menunjukan dari 32 responden yang mengikuti senam tai chi ke 1 sampai dengan ke 6 sebagian besar (67,7 %) lansia mengikuti senam tai chi dari tahap awal sampai akhir dan (32,3 %) tidak dapat mengikuti salah satu tahapan dari senam tai chi. senam tai chi yang dilakukan secara teratur dapat memberikan keseimbangan, fleksibilitas dan kekuatan otot terutama pada lansia karena senam tai chi melibatkan gerakan tubuh yang lambat, menenangkan, dan sangat mudah untuk dilakukan. hal ini juga didukung berdasarkan penelitian dari (hakim a, 2010) yang menyebutkan tai chi dapat meningkatkan kesadaran tubuh dan pikiran secara total, sekaligus memperlancar aliran chi/ tenaga inti keseluruh tubuh, berbeda dengan program kebugaran yang menekankan pada kekuatan otot, kecepatan, jarak, atau kekuatan fisik secara nyata. tai chi lebih mengedepankan kelembutan, ketegangan, kelambanan, dan kekuatan rohani yang tidak terlihat secara fisik. kecemasan lansia sebelum dilakukan senam tai chi pada tabel 3 menunjukkan bahwa dari 32 lansia didapatkan sebagian besar (59,4%) lansia mengalami kecemasan ringan, (25,0 %) mengalami kecemasan sedang dan (15,6 %) mengalami kecemasan berat. beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan pada lansia ada 2 yaitu faktor internal dan faktor ekternal.faktor external meliputi pengetahuan, tingkat pendidikan, finansial atau keuangan, keluarga, dan lingkungan keluarga. sedangkan untuk faktor internal meliputi pengalaman, trauma, jenis kelamin dan usia. usia termasuk kedalam faktor internal. berdasarkan tabel 1 menunjukkan sebagian besar (68,8 %) termasuk usia elderly yaitu berumur 60 – 74 tahun. hal ini dapat disebabkan karena usia diatas 50 tahun dapat mempercepat sistem emosi dan dorongan yang relevan terhadap rasa takut yang dapat menimbulkan perasaaan tidak menyenangkan. berdasarkan penelitian (widyastuti, 2008), ketika memasuki lanjut usia nampak gejala yaitu perasaan takut menjadi tua. ketakutan tersebut bersumber dari penurunan fisik terhadap diri sendiri. selain itu pada tabel 1 juga menunjukkan 32 responden hampir sebagian besar (84,4 %) berjenis kelamin perempuan. hal ini dikarenakan populasi ditempat penelitian pada lansia berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding dengan laki-laki. perempuan lebih cenderung memiliki perasaan lebih sensitif dibandingkan dengan laki-laki.tingkat sensitivitas tinggi yang dimiliki perempuan dikarenakan bahwa perempuan dalam keseharian aktivitasnya cenderung melibatkan emosionalnya. hal ini pun didukung menurut (wahid, 2015) yang dikutip dari (creasoft, 2008) bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-laki. laki-laki lebih aktif eksploratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. dari 32 responden didapatkan sebagian besar 53,1% berpendidikan menengah. tingkat pendidikan juga merupakan faktor resiko terjadinya cemas pada lansia. pada dasarnya seseorang yang memiliki latar belakang pendidikan yang semakin tinggi, maka semakin banyak pengalaman dan beban pikiran yang dialami. hal ini pun didukung dengan teori (wahid, 2015) yang mengatakan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilampaui seseorang, maka akan semakin mudah mengalami kecemasan yang ada. kecemasanlansia sesudah dilakukan senam tai chi yang terdapat pada tabel 4 menunjukkan dari 32 lansia didapatkan sebagian besar (59,4 %) lansia tidak cemas atau dalam kategori normal, (28,1 %) mengalami kecemasan ringan dan (12,5%) mengalami kecemasan sedang. pada umumnya, banyak manusia yang sering mengalami sakit atau masalah kesehatan namun mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya masalah tersebut berasal dari pikiran orang itu sendiri. sehingga senam tai chi ini efektif untuk menenangkan dan memiliki gerakan-gerakan yang mudah dilakukan oleh semua usia terutama pada lansia. hal ini didukung dengan pernyataan (hakim a., 2010) bahwa tai chi ini merupakan teknik kuno yang melibatkan gerakan tubuh yang lambat, menenangkan, dan sangat mudah untuk dilakukan yang memiliki 3 gerakan utama yaitu pemanasan, gerakan inti dan pendinginan yang dapat memberikan keseimbangan pada tubuh. olahraga senam tai chi juga merangsang penurunan aktifitas saraf simpatis dan peningkatan aktifitas saraf parasimpatis yang berpengaruh pada penurunan hormone adrenalin, norepinefrin dan katekolamin serta vasodilatasi pada pembuluh darah yang mengakibatkan transport oksigen keseluruh tubuh terutama otak lancar sehingga dapat meningkatkan relaksasi 223khamida, abdul, diharja, probowati, senam tai chi... pada lansia. oleh karena itu, cemas yang dialami oleh lansia mengalami penurunan setelah dilakukan senam tai chi. berdasarkan uji wilcoxon sign rank test didapatkan nilai kemaknaan p = 0,000 dimana p< 0,05 yang berarti ho ditolak yang artinya senam tai chi berpengaruh terhadap penurunan kecemasan pada lansia. senam tai chi secara khusus/jasmani bertujuan memperbaiki dan meningkatkan kondisi dan fungsi: jantung dan peredaran darah, sistem pernafasan, sistem susunan syaraf, pencernaan makanan, kelenjar endokrin, kekuatan dan daya tahan otot, kelenturan otot dan sendi, keseimbangan dan koordinasi dan proses metabolisme. secara rohani: memelihara kestabilan penguasan diri, mengurangi dan menghilangkan stress/ ketegangan, mengurangi/ menghilangkan ketergantungan obat, melatih konsentrasi, meningkatkan kepekaan, memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan (hakim a., 2010). dengan berolahraga akan merangsang kelenjar pineal untuk mensekresi serotonin dan melatonin (berperan dalam mengontrolirama sirkandian, sekresinya terutama padamalamhari yang berhubungan denganrasa mengantuk). dari hipota la mus ra ngsa nga n a ka n diteruskan ke pituitary untuk pembentukan beta endorphin dan enkephalin. efek dari betaendorphin dan encephalin akan menimbulkan suasana rileks dan senang. dalam kondisi rileks, lansia akan mudah dalam memenuhi kebutuhan tidurnya. akibat aktifitas fisik otot tubuh membutuhkan oksigen yang cukup untuk membakar glukosa menjadi adenosinetriphospate (atp) yang akan diubah menjadi energi yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh. ketika glukosa habis, barulah lemak dibakar.pada saat glukosa habis dibakar inilah enhorphine mulai muncul. jawaban pentingnya melakukan aktivitas olahraga yang teratur untuk membakar glukosa melalui aktivitas otot yang akan menghasilkan atp sehingga endorphin akan muncul dan membawa rasa nyaman, senang, dan bahagia. olahraga senam taichi juga merangsang penurunan aktifitas saraf simpatis dan peningkatan aktifitas saraf parasimpatis yang berpengaruh pada penurunan hormon adrenalin, norepinefrin dan katekolamin serta vasodilatasi pada pembuluh darah yang mengakibatkan transport oksigen keseluruh tubuh terutama otak lancar sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan nadi menjadi normal. pada kondisi ini akan meningkatkan relaksasi lansia. selain itu, sekresi melatonin yang optimal dan pengaruh beta endorphin dan membantu peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur lansia. peningkatan kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan tidur juga akan mempengaruhi tekanan darah dan nadi untuk tetap dalam batas normal ketika lansia bangun tidur. senam tai chi pada penelitian ini telah terbukti mampu menurunkan kecemasan pada lansia. semua responden mengalami penurunan kecemasan yang cukup konsisten yang menunjukkan adanya kemajuan positif dari kondisi cemas yang dialami setelah mendapatkan senam tai chi. salah satu faktor keberhasilan ini dapat dijelaskan karena adanya kemampuan responden untuk menyerap manfaat senam tai chi selama terapi berlangsung kesimpulan simpulan dari penelitian ini bahwa senam tai chi dapat menurunkan kecemasan pada lansia. saran diharapkan perawat dapat memberikan senam tai chi sebagai intervensi keperawatan mandiri per a wa t da la m pena ta la ksa na a n penur una n kecemasan. referensi hakim, a. (2011). ne o-tai c hi: te kni k prakt is meningkatkan kecerdasan & kesehatan. jakarta: visimedia. muhith, a. (2016). pendidikan keperawatan gerontk (teori dan aplikasi). yogyakarta: andi. muhith, a. (2015). pendidikan keperawatan jiwa (teori dan aplikasi). yogyakarta: andi. 197 pengaruh penyuluhan tentang menarche terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri pra menstruasi ( the effectiveness of menarche health promotion to the pre menstrual female adolescents knowledge and attitude ) maria ulfa dan ika agustina stikes patria husada blitar e-mail: ulfamaria2048@yahoo.co.id abstract : adolescence is a stage in human life which is often referred to as puberty. and of the various characteristics of puberty, menarche is a fundamental difference between pubertal male and female puberty. method: the research design was pre eksperimental design. with the approach of one group pretest-posttest design. the sample are 100 student of smpn 1 blitar city, it was choosen using simple random sampling technique. the data was collected by questionnaire. result : based on statistical tests wilcoxon sign rank test obtained sig = 0.000. this shows 0.000 <0.05 that the presence of the above found that the pvalue (0,000) <0.05, it can be concluded that there are significant health promotion on the attitudes of young women. discussion : young women more active to increase the knowledge by obtaining information about reproductive health care, especially about mensruation. keywords : health promotion, knowledge, attitudes masa remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia yang sering disebut sebagai masa pubertas yaitu masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. pada tahap ini remaja akan mengalami suatu perubahan fisik, emosional dan sosial sebagai ciri dalam masa pubertas. dan dari berbagai ciri pubertas tersebut, menarche merupakan perbedaan yang mendasar antara pubertas pria dan pubertas wanita. menarche merupakan istilah dari menstruasi yang pertama kali terjadi pada wanita yaitu suatu proses pengeluaran darah dari uterus yang disertai dengan serpihan selaput dinding uterus pada wanita yang terjadi secara periodik. menstruasi pertama pada remaja putri sering terjadi pada usia 11 tahun, namun tidak tertutup kemungkinan terjadi pada rentang usia 9 hingga 16 tahun (manuaba, 2009). peristiwa ini menguntungkan pertumbuhan dan perkembangan tanda seks skunder wanita itu. tanda seks skunder pada wanita meliputi pertumbuhan rambut dengan patrun/pola tertentu pada ketiak, rambut monfeneris (rambut kemaluan), pertumbuhan dan perkembangan buah dada, pertumbuhan distribusi jaringan lemakterutama pada pinggang wanita. dari sudut perasaan kewanitaan sudah memperhatikan jasmani serta kecantikan, mulai ingin dipuja dan mulai memuja seseorang karena jatuh cinta. masa pancaroba ini yang memerlukan perhatian orang tua karena sejak masa menstruasi pertama berarti ada kemungkinan menjadi hamil bila berhubungan dengan lawan jenisnya. (manuaba,2009) sebab itu, sosialisasi program kesehatan reproduksi dikalangan remaja harus lebih pada menanamkan kesadaran akan arti pentingnya kesehatan reproduksi. mengingat masih banyak keluarga atau orang tua yang tidak memberi cukup ruang bagi anak-anaknya untuk bertanya tentang kespro. juga agar remaja memiliki pemahaman tentang kesehatan reproduksi dari sisi medis tentunya. berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaruh penyuluhan tentang menarche terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri pra menstruasi di smpn 1 kota blitar. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p196-199 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.197-201 rumusan masalahnya adalah apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang menarche terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri pra menstruasi. tujuan umumnya adalah mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang menarche terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri pra menstruasi. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja tentang menarche sebelum dilakukan penyuluhan tentang menarche, (2) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja tentang menarche sesudah dilakukan penyuluhan tentang menarche, (3) menganalisis pengaruh penyuluhan tentang menarche terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri pra menstruasi. manfaat penelitian secara teoritis adalah dapat mengembangkan intervensi kebidanan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi wanita dalam bentuk promosi kesehatan melalui penyuluhan secara langsung. manfaat secara praktis adalah sebagai sarana latihan bagi peneliti untuk mempublikasikan hasil penelitiannya dalam jurnal ilmiah, sebagai salah satu alternatif untuk melakukan preventif pada remaja putri terutama mengenai masalah kesehatan reproduksi secara dini. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah pre-eksperimental. dengan pendekatan one group pretest-posttest desaign. subyek penelitian ini adalah siswi smpn 1 blitar yang berjumlah 100 orang. subyek penelitian ini dipilih secara simple random sampling. variabel bebasnya adalah penyuluhan tentang menarche. variabel terikatnya adalah pengetahuan dan sikap tentang menarche. skor yang diperoleh diubah menjadi kategori pengetahuan dan kategori sikap dan untuk mengetahui hubungan variable independent dan dependen menggunakan analisis uji wilcoxon sign rank test. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel berikut ini: tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f % 1 usia 12 th 13 th 14 th 12 80 2 12 80 2 2 usia mengalami mestruasi belum mengalami 10th -11th 11th -12th 12th-13th 8 32 48 12 8 32 48 12 3 sumber informasi orang tua/ keluarga sekolah/ guru teman media massa pelayanan kesehatan 15 8 7 55 15 15 8 7 55 15 tabel 2. pengetahuan remaja putri sebelum penyuluhan no pengetahuan f % 1 baik 16 16 50 2 cukup 64 36 64 3 kurang 20 20 tabel 3. pengetahuan remaja putri sesudah penyuluhan no pengetahuan f % 1 baik 59 59 2 cukup 36 36 36 36 3 kurang 5 5 tabel 4. sikap remaja putri sebelum penyuluhan no pengetahuan f % 1 positif 35 35 2 negatif 65 65 tabel 5. sikap remaja putri sesudah penyuluhan no pengetahuan f % 1 positif 83 83 2 negatif 17 17 berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 100 responden, 64% atau 64 responden memiliki pengetahuan cukup tentang menarche sebelum dilakukan ulfa dan agustina, pengaruh penyuluhan tentang menarche terhadap....199 penyuluhan dan 59% atau 59 responden memiliki pengetahuan baik setelah dilakukan penyuluhan tentang menarche. dari 100 responden, 65% atau 65 responden memiliki sikap negatif tentang menarche sebelum penyuluhan dan setelah dilakukan penyuluhan tentang menarche didapatkan 83% atau 83 responden memiliki sikap positif. berdasarkan uji statistik wilcoxon sign rank test didapatkan nilai sig = 0,000. hal ini menunjukkan 0,000 < 0,05 bahwa adanya diatas didapatkan bahwa pvalue (0,000) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penyuluhan terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri tentang menarche. pembahasan pengetahuan remaja putri tentang menstruasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pendidikan kesehatan, 20% memiliki pengetahuan baik, 64% responden memiliki pengetahuan yang cukup, sedangkan hanya 16% responden memiliki pengetahuan yang kurang. dari 16 % responden yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian besar karena responden belum mengalami mestruasi. selain itu disebabkan karena kurangnya informasi atau cara penyampaian informasi yang terlalu terbuka dan tidak sesuai dengan kondisi sosial / psikologis pada remaja sehingga remaja ingin mengikuti atau membuktikan yang didapatkan dari sumber informasi tersebut, dan remaja pada usia 12-14 tahun lebih mempercayai teman sebayanya dari pada orang tua karena pada masa itu terjadi konflik mengenai kebebasan atau kemandirian dan control dengan orang tua atau keluarganya (sarwono, 2010). sebanyak 64 % responden yang berpengetahuan cukup sebagian besar menyatakan bahwa pengetahuan tentang kanker payudara diperoleh pula dari media cetak dan elektronik karena di dalam kurikulum pendidikan memang tidak diajarkan. prosentase responden yang berpengetahuan cukup cenderung lebih banyak daripada responden yang berpengetahuan baik dan juga kurang dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor informasi. dari 20% responden yang berpengetahuan baik sudah pernah mendapat informasi mengenai kanker payudara dan mereka memperoleh informasi mengenai kanker payudara melalui media elektronik atau media cetak, misalnya televisi, internet atau majalah. sedangkan setelah dilakukan penelitian kesehatan, didapatkan hasil bahwa 59 % responden berpengetahuan baik, 36 % responden berpengetahuan cukup dan hanya 5 % responden berpengetahuan kurang. menurut sarwono 2010, remaja usia 12-14 tahun atau remaja awal pada masa mengembangkan kemampuan berfikir abstrak dan mencari identitas diri. oleh karena itu remaja akan mengembangkan pemikiran mereka sendiri jika menerima masukan informasi. kondisi lingkungan juga dapat mempengaruhi pengetahuan remaja. keberhasilan suatu penyuluhan dapat dipengaruhi oleh faktor penyuluhan, sasaran dan proses dalam penyuluhan. oleh karena itu digunakan metode ceramah yang efektif dalam penyampaian dan pemberian leaflet sehingga responden dapat mengerti dan memahami isi penyuluhan. sikap remaja tentang menstruasi hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pendidikan kesehatan, 35% memiliki sikap positif dan 65% responden memiliki sikap negatif. sikap sendiri bisa muncul setelah mendapatkan pengetahuan yang akan merubah sikap seseorang. menurut azwar (2009), orang lain disekitar merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. seseorang yang kita anggap penting akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, teman sebaya, teman dekat, guru, teman dan lainlain. selain itu, pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa dan lembaga pendidikan atau agama. apa yang sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayata, seseorang harus mempunyai pengalaman 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.197-201 yang berkaitan dengan objek psikologis. apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataukah sikap negatif, akan tergantung pada berbagai faktor lain.sehubungan dengan hal tersebut, azwar (2009) mengatakan bahwa tidak ada pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. sedangkan setelah dilakukan pendidikan kesehatan, didapatkan hasil bahwa 83% responden memiliki sikap positif dan 17% responden memiliki sikap negatif. menurut notoadmodjo (2003) terdapat tiga komponen pokok sikap yang utuh yakni kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek dan yang ketiga adalah kecenderungan untuk bertindak. ketiga komponen sikap ini bersama sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). hasil ini sesuai dangan pendapat azwar (2009) bahwa struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif yang berisikan persepsi atau kepercayaan, komponen efektif yang berhubungan dengan masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. komponen kognitif atau perilaku yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan sikap yang dihadapinya. penyuluhan merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku) mereka dalam merubah sikap yang lebih baik. jadi dapat disimpulkan bahwa penyuluhan kesehatan dapat mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan sikap itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, meskipun berbagai informasi telah didapatkan belum tentu dia akan bersikap positif. dengan didapatkannya penyuluhan tentang menstruasi dengan sikap remaja putri pra menstruasi diharapkan adanya informasi yang telah diberikan melalui penyuluhan dapat meningkatkan sikap remaja putri lebih positif dalam menghadapi masa menstruasi. remaja putri harus mengetahui gejala-gejala pra menstruasi sehingga diharapkan dapat melalui masa menstruasi dengan sehat. masa awal-awal menstruasi merupakan masa mulai berkembangnya alat reproduksi wanita sehingga dangan adanya penyuluhan tentang kesehatan reproduksi akan terbentuknya remaja-ramaja yang sehat sebagai langkah awal penerus generasi bangsa yang sehat, berguna dan bermutu. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut: pengetahuan dan sikap responden sebelum dilakukan pendidikan kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri adalah pengetahuan cukup sebesar 64% responden dan sikap negatif 65%; pengetahuan dan sikap responden sebelum dilakukan pendidikan kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri adalah pengetahuan baik sebesar 59 % responden dan sikap positif sebesar 83%; ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang menarche terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri tentang menstruasi dengan taraf signifikasi 0,000. saran profesi kesehatan khususnya kebidanana hendaknya lebih giat dan aktif dalam memberikan konseling , informasi, dan edukasi tentang kesehatan reproduksi terutama di lingkungan pendidikan secara berkala dan berkesinambungan sesuai kebutuhan dan keadaan, diharapkan pada remaja putri lebih aktif lagi dalam meningkatkan pengetahuan dengan informasi tentang kesehatan reproduksi terutama tentang menstruasi baik melalui tidak hanya melalui media massa maupun elektronik tetapi bisa langsung ke tenaga kesehatan, orang tua dan guru bp di sekolah sehingga remaja putri dapat menilai dan mengevaluasi kondisinya masingmasing terutama tentang kesehatan reproduksi pada remaja. daftar rujukan azwar, syaifuddin. 2009. sikap manusia dan teori pengukurannya. edisi ke-2. jakarta: pustaka pelajar bagus ida gde manuaba. 2009. memahami kesehatan reproduksi wanita. jakarta : egc sarwono prawirohardjo. 2010. pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. jakarta : ypb-sp ulfa dan agustina, pengaruh penyuluhan tentang menarche terhadap....201 soekidjo notoatmodjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta : rineka cipta 320 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 320–325 knowledge and attitude of mothers about stunting in banjar pengukuh peguyangan kangin village denpasar ni ketut ayu mirayanti1, i gede juanamasta2 1,2jurusan keperawatan, stikes wira medika bali, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 12/12/2019 accepted, 06/03/2020 published, 05/12/2020 keywords: knowledge, attitude, mother with toddler, stunting article information abstract childhood is a crucial period in the process of human growth and development. according to the center for data and information of the ministry of health of the republic of indonesia (2018) stated the occurrence of a short toddler or commonly referred to as stunting is one of the nutritional problems experienced by toddlers in the world today. one of the determinants of the incidence of stunting in children under five years was the knowledge and attitude of the mother. the purpose of this research was to find out the description of the knowledge and attitudes of mothers with toddlers about stunting in banjar pengukuh peguyangan kangin village, denpasar. the design of this study was cross-sectional. the sampling technique used nonprobability sampling with a purposive sampling approach, and the total sample was 68. in this study, the data analysis technique used the univariate analysis. based on the analysis of the data obtained that the majority of respondents lacked knowledge of 44 people (64.7%) and had the right attitude, 66 people (97.1%). suggestions for public health centre (puskesmas) to play an active role for disseminating stunting in schools and villages that will help reduce stunting indirectly. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes wira medika bali bali, indonesia p-issn : 2355-052x 320 email: mikenziede@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p320–325 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p320-325&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p320-325 321mirayanti, juanamasta, knowledge and attitude of mothers about stunting in , ... introduction childhood is a crucial period in the process of human development. development and growth at that time determine the success of children’s growth and development in the next period. the period of growth and development at this age is a period that takes place quickly and unrepeated because it is often called the golden age (uripi, 2004). according to sutomo and anggraeni (2010), the toddler is a general term for children aged 1-3 years (toddlers) and preschoolers (3-5 years). allender and spradley (2005) classify toddlers into three age groups, as follows infants (0-1 year), toddlers (1 year-2 year) and preschool ages (3-4 year). this period is a risk of getting various infectious diseases, social problems, injury and malnutrition as well as growth and development problems. toddlers are children under five years of age, with rapid growth characteristics at the age of 0-1 years. in the five months of age, their body weight increases two times their birth weight, and their body weight increases three times from their birth weight at one year of age, and becomes four times two years old. growth starts to slow down during preschool weight gain of approximately 2 kg per year, and then the constant growth begins to end (soetjiningsih, 2001). toddlers is a period of the rapid growth of the body and brain in achieving optimal function, essential growth that will influence and determine the development of language skills, cr ea tivity, socia l a wa r eness, emotiona l a nd intelligence (supartini, 2004). according to the centre of data and information of the indonesian ministry of health (2018) stated that the incidence of short children or commonly known as stunting is one of the nutritional problems experienced by toddlers in the world today. in 2017, 22.2% or around 150.8 million children under five years in the world were stunting. the majority number of stunting in the world came from asia (55%) while more than a third (39%) lived in africa. in asia, the number of stunting under five years old was 83.6 million, and the highest proportion came from south asia (58.7%) and the lowest proportion in central asia (0.9%). stunting prevalence data for children under five years collected by the world health organization (who), indonesia included in the third country with the highest prevalence in the southeast asia / south-east asia regional (sear) region. the average prevalence of stunting under five years in indonesia in 2005-2017 was 36.4%. the incidence of stunting (short) children is a major nutritional problem facing indonesia. based on nutritional status monitoring (psg) data for the last three years, stunting has the highest prevalence compared to other nutritional problems such as malnutrition, thinness, and obesity. the prevalence of stunting for children under five years in indonesia had been increased since 2016, from 27.5% to 29.6% in 2017. stunting (dwarfism) is a condition of toddlers who have less length or height compared to age. this condition is measured by a length or height that is more than minus two standard deviations. stunting toddler is apart of chronic nutritional pr oblems ca used by ma ny fa ctor s such a s socioeconomic conditions, maternal nutrition during pregnancy, illness in infants, and lack of nutritional intake in infants. stunting toddlers would get for a chieving optima l physica l a nd cognitive development in the future (center of data and information, ministry of health of the republic of indonesia, 2018). according to the centre of data and information of the indonesian ministry of health (2018), maternal health and nutrition conditions before and during pregnancy and after childbirth affected fetal growth and the risked of stunting. other factors were the mother’s posture (short), the pregnancy is too close, the mother is a teenager, and the lack of nutritional intake during pregnancy. according to the minister of health regulation number 97 of 2014 concerning health services for the period before pregnancy, pregnancy, childbirth, and the period after childbirth, contraception services, and sexual health services, factors that aggravate the condition of pregnant women are too young, too old, too frequent delivery, and too close to births. pregnant mothers who were too young (under 20 years) have a risk of giving birth to babies with low birth weight (lbw). lbw babies accounted for about 20% of the incidence of stunting. to reduce this number, the community needs to increase their knowledge and understanding of stunting. a mother’s knowledge of stunting could support the prevention and management of these problems. if the mother does not understand about stunting, it will increase the incidence of stunting. research by pica ully a nd toy (2013) stated tha t the determinants of stunting were family income, maternal knowledge, history of disease infection, history of immunization, protein intake and mother’s 322 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 320–325 education. one of the determinants of the incidence of stunting in children under five years old is maternal knowledge. knowledge is a significant doma in for the for ma tion of one’s actions. knowledge need as support in fostering selfconfidence as well as attitudes and behaviour every day. (notoadmodjo, 2014). the role of a mother as the primary caregiver for her child is indispensable, sta rting fr om purchasing to serving food and fulfilling a child’s daily needs. if a mother’s attitude were not right, the toddlers would not have been fulfilled their needs for gr owth a nd development. accor ding to notoatmodjo (2014), attitude is a component that exists to create complete behaviour or a precursor to action or behaviour. according to olsa’s research (2017), there was a significant relationship between maternal attitudes and the incidence of stunting in new childr en entering elementa r y school in nanggalo district. the profile report of public health center of north denpasar iii 2016 obtained data on several risk factors for stunting, that showed exclusive breastfeeding was still below the indicator 75.2%. the highest number of children under five is in peguyangan kangin village with 884 children, one of them is ba nja r pengukuh. ba sed on the phenomena a nd da ta descr ibed a bove, the researcher wants to know the description of the knowledge and attitudes of mothers and toddlers about stunting in the banjar pengukuh, peguyangan kangin village, denpasar. methods this type of research was a non-experimental study (descriptive) with a cross-sectional approach. the research conducted at the banjar pengukuh, peguyangan kangin village, denpasar in april 2019. in this study, the sample was taken from the population of mothers with toddlers in the banjar pengukuh of peguyangan kangin village. the number of population was 82 people. inclusion criteria included actively participating in integrated community post (posyandu) and toddlers with an adequate condition or not sick. the exclusion criteria for the study were mothers with children who had passed the age of toddlers and mothers who come without bringing their children. the study used a nonprobability sampling technique with a purposive sampling approach. in this study, the number of samples used 68 people. the researcher carried out the research when the posyandu was implementing. mothers and toddlers who ca me on that day and had finished the examination had explained this research. mothers allowed to ask questions and mothers who agreed to participate in this study signed informed consent. researchers maintained the confidentiality of personal data. the instrument adopted a questionnaire of attitudes and knowledge of mothers from the research of olsa, sulastri, & anas (2018). the questionnaire consists of demographic data, included age and education, a questionnaire of mother ’s knowledge and a questionnaire of the mother ’s attitude. the mother ’s knowledge questionnaire consisted of 16 questions with yes or no answer choices. if the answer was correct, it got the point, and if it was wrong, it did not get a score, the value ranges from 0 to 16. mother’s attitude questionnaire consists of 14 questions with a choice of yes or no answers. if the answer was correct, it got the point, and if it was wrong, it did not get a score, the value ranges from 0 to 14 results age frequency (%) late adolescence aged 17-25 years 16 (24%) early adulthood, ages 26 35 years 34 (50%) late adulthood aged 36 45 years 18 (26%) total 68 (100%) table 1 mother’s age distribution based on the table, the results obtained about the age of the respondents were mostly respondents aged 26-35 years, 34 people (50%). level of education frequency (%) university 12 (17,6%) senior high school 44 (64,70%) junior high school 12 (17,6%) total 68 (100%) table 2 level of education distribution based on the table, the results obtained about the education level of the respondents, most of the respondents had high school education was 44 people (64.7%). 323mirayanti, juanamasta, knowledge and attitude of mothers about stunting in , ... knowledge frequency (%) good 4 (5,9%) enough 20 (29,4%) less 44 (64,7%) total 68 (100%) table 3 mother’s knowledge distribution based on the table, the results obtained about the level of knowledge of respondents were mostly less knowledgeable, 44 people (64.7%). attitude frequency (%) good 66 (97,1%) enough 0 less 2 (2,9%) total 68 (100%) tabel 4 mother’s attitude distribution based on the table, most of the respondents have good attitudes; it was 66 people (97.1%). variable knowledge total (%) attitude good enough less good 4 (5,9%) 20 (29,4%) 42 (61,8%) 66 (97,1%) enough 0 less 2 (2,9%) 2 (2,9%) total (%) 4 (5,9%) 20 (29,4%) 44 (64,7%) 68 (100%) table 5 cross-tabulation between knowledge and attitude of mothers discussion overview of mother’s knowledge about stunting in banjar pengukuh, peguyangan kangin village, denpasar regarding the respondent’s knowledge level, it found that the majority of respondents 44 people (64.7%) who have less knowledge. similar to ramlah’s (2014), the researcher found the level of knowledge of breastfeeding mothers about stunting in children under five years old at the antang makasar health center, that was 70.2% of mothers have a low level of knowledge about stunting. research by picaully and toy (2013) stated that the determining factor for the incidence of stunting in children under five years old was the mother’s knowledge. knowledge is a fundamental doma in for the for ma tion of one’s actions. knowledge supported in fostering self-confidence as well as attitudes and behaviour every day that it could be sa id tha t suppor ts one’s a ctions (notoadmodjo, 2014). health knowledge will influence behaviour as a result of the medium-term (inter media te impa ct) of hea lth educa tion. furthermore, health behaviour will affect increasing public health indicators as an outcome of health education, especially maternal knowledge about stunting (notoatmodjo, 2014) notoatmodjo (2012) stated that knowledge is the result of knowing and will exist after someone senses an object. sensing occurs through the five human senses, including sight, hearing, smell, taste, and touch. knowledge can be obtained, among others, through curricular, non-curricular and extracurricular education. knowledge related to education, where it can be assumed that with high education, the person will have broader knowledge. low education does not guarantee that a mother does not have sufficient knowledge about her family’s nutrition. the results of this study showed 44 respondents who have insufficient knowledge, 68% were high school graduates, and 23% junior high school education. the existence of high curiosity can influence mothers in getting information about stunting in toddlers. increasing knowledge is not only obtained from formal education but also thr ough non-for ma l educa tion. a per son’s knowledge of an object contains two aspects: those are positive aspects and negative aspects. these two aspects will determine a person’s attitude, the 324 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 320–325 more positive aspects and objects that are known, the more positive attitude will be towards particular objects. in this study, it was dominated by a lack of knowledge 64. 7%, while the mother ’s a ge dominated by 50% early adults and late adults by 26%. the age factor showed may not have an impact on the mother’s level of knowledge. the contradicts with the theory which stated that the older of the person is, the maturity level of thinking will be more mature. maturity is due to the maturation of organ functions in psychological and mental aspects as well as a person’s level of thinking (mubarak, 2007). however, this study in line with destria (2007) which described the factors r ela ted to a ge a nd the mother ’s level of under sta nding of antena ta l ca r e messa ges contained in the mch book, indicating that there was no relationship between age and respondent’s knowledge of antenatal care messages. in the kia book. t hese r esults were a lso supported by muthmainah’s (2010) research on factors related to maternal knowledge in providing complementary feeding at puskesmas pemulang that factor did not affect maternal knowledge is age (p = 0.189). many factors influence the level of knowledge, including education, employment, sources of information, income and socio-culture. knowledge can be obtained from other people’s knowledge, such as: listening, seeing directly and through communication tools such as television, radio, books and others (notoatmodjo, 2014). an overview of mother’s attitude about stunting in banjar pengukuh, peguyangan kangin village, denpasar based on table 4, it found that most of the respondents’ attitudes have good attitudes that were 66 people (97.1%). these results were in line with olsa’s (2017) study of the relationship between attitudes and knowledge of mothers towards the incidence of stunting in children who just entered elementary school in nanggalo sub-district, which showed that the attitudes of mothers were mostly in the positive category of 55.2%. another research conducted by talitha (2015) in utan kayu utara village, east jakarta also found that the attitudes of mothers were mostly in the positive category at 81.1%, while 18.9% for mothers with attitudes that categorized as unfavourable. according to sunaryo (2004), attitude is the readiness to respond consistently with positive or negative characteristics of an object or situation. attitude is a tendency to act from an individual in the form of fast response to a specific stimulus or object. attitude shows the suitability of reactions to stimuli that already involve a person’s opinion and emotional factors. thus, attitude is not an action or activity, but a tendency to take action or behaviour. the results of the in-depth analysis showed 66 respondents who had good attitudes, 42 of 66 people or 61.8% of them had lacked knowledge. that was in stark contrast to the theory which stated that attitude is a mental and nervous state of readiness through experience or knowledge which gives a dynamic influence on individual responses to each object or situation they experience (widayatun, 1999). the comprehensive attitude is not only influenced by knowledge but also the belief (belief) of ideas, concepts towards an object, and the emotional life of an object (notoatmodjo, 2014). in this study, respondents had less knowledge of the definition of stunting, caused, and the longterm effects of stunting, but respondents had a right attitude towards preventive measures against risk factors for stunting. t her e wer e still many respondents who do not know the term stunting. according to azwar in budiman and riyanto (2013), cultural factors can affect a person’s attitude. the culture we lived and growth had a profound influence on shaping our attitudes. if a mother lived in a culture that had the habit of fulfilling balanced nutrition and maintaining health, this would be affected the mother’s attitude in preventing the incidence of stunting in toddlers. conclusion based on the research results, there were still many mothers who had less knowledge of stunting, 64.7% mothers. this can give a long-term impact on the child. puskesma s need to incr ea se socialization related to stunting in order to optimize growth from an early age. suggestion puskesmas are expected to provide education when posyandu for toddlers related to stunting, and the government needs to spread education through social media related to stunting. in this study, there 325mirayanti, juanamasta, knowledge and attitude of mothers about stunting in , ... are still limitations, there was the saturation of respondents when answering statements on the questionnaire because there were quite a lot of statement items. references allender & spradley. (2005). community health nursing: concept and practice. 5th ed. philadelphia: lippincott budiman & riyanto a. (2013). kapita selekta kuisioner penge tahuan dan sikap. dalam penel itian kesehatan. jakarta : salemba medika destria, d. (2010). faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat pemahaman ibu hamil terhadap pesan antenatal care yang terdapat di dalam buku kia. unversitas diponegoro. puskesmas iii denpasar utara. (2016). laporan profil puskesmas iii denpasar utara tahun 2016 https:/ /denpasarkota.go.id/assets_subdomain/ckimages/ files/profil%20pusk%203%20denut.pdf mubarak, w.i. (2007). promosi kesehatan. jogjakarta: graha ilmu. muthmainah, f. (2010). faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu dalam memberikan makanan pendamping air susu ibu di puskesmas pamulang 2010. uin syarif hidayatullah jakarta notoatmodjo, s. (2012). metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta notoatmodjo, s. (2014). ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta olsa, e. d., sulastri, d., & anas, e. (2018). hubungan sikap dan pengetahuan ibu terhadap kejadian stunting pada anak baru masuk sekolah dasar di kecamanatan nanggalo. jurnal kesehatan andalas, 6(3), 523-529. peraturan menteri kesehatan nomor 97 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi, serta pelayanan kesehatan seksual. picaully, i. dan toy, s.m. (2013). analisis determinan dan pengaruh stunting terhadap prestasi belajar anak sekolah di kupang dan sumba timur, ntt.jurnal gizi dan pangan, 8(1). http://download.portalgaruda. org.pdf pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri. (2018). situasi balita pendek (stunting) di indonesia. buletin issn 2088-270x. jakarta ramlah. (2014). gambaran tingkat pengetahuan ibu menyusui tentang stunting pada balita di puskesmas antang makasar tahun 2014. soetjiningsih. (2010). tumbuh kembang anak. jakarta : sagung seto supartini. (2004). buku ajar konsep dasar keperawatan anak. jakarta. egc sutomo, b. dan anggraini, d.y. (2010). menu sehat alami untuk balita & batita. jakarta : pt. agromedia pustaka sunaryo. (2004). psikologi untuk keperawatan. jakarta: egc. talitha nr. (2015). hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap ibu terhadap status gizi anak di posyandu rw 5 dan rw 10 kelurahan utan kayu utara jakarta timur (skripsi). jakarta: universitas pembangunan negara veteran jakarta. uripi, v. (2004). menu sehat untuk balita. jakarta : puspa swara. widayatun, t. r. (1999). ilmu prilaku. jakarta: cv. sagung seto. 310 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 310–319 310 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk efektifitas pemberian ttd melalui program gelang mia pada remaja terhadap tingkat anemia (studi analitik pada remaja putri di smp seluruh kecamatan pare) wahyu nuraisya1, endah luqmanasari2, anis setyowati3 1,2,3prodi d3 kebidanan, stikes karya husada kediri, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima 01/09/2019 disetujui 03/09/2019 dipublikasi, 05/09/2019 kata kunci: tablet tambah darah (ttd), tingkat anemia, remaja putri abstrak anemia pada remaja putri harus ditangani untuk persiapan remaja putri menjalani proses kehamilan saat tiba usianya. tujuan penelitian menganalisis hubungan riwayat kesehatan, obat yang diminum, imt, minuman untuk minum ttd dengan tingkat anemia serta menganalisa perbedaan tingkat anemia sebelum pemberian ttd dengan setelah pemberian ttd melalui program gelang mia selama 1 tahun. desain penelitian analitik dengan cross sectional terhadap populasi semua remaja putri di smp wilayah kecamatan pare tahun 2019. sampel sebagian remaja putri yang minum ttd melalui program gelang mia sejumlah 629 siswi. analisa uji statistik wilcoxon signed ranks test pada hasil hb bulan juni 2019 dengan data sekunder hb bulan maret 2018. hasil penelitian tabulasi riwayat penyakit, responden dalam kondisi sehat memiliki kadar hb normal yaitu 507 responden (82.7%), obat yang diminum bersama ttd, responden hanya minum ttd saja yaitu 329 responden (54.2%) memiliki kadar hb normal, imt normal responden memiliki kadar hb normal yaitu 148 responden (80.9%), air putih untuk minum ttd responden memiliki kadar hb normal yaitu 515 responden (82.7%). analisis perbedaan antara tingkat anemia remaja putri sebelum minum ttd 347 responden (55.2%) memiliki kadar hb normal dan sebagian kecil 4 responden (0.6%) mengalami anemia berat. setelah responden minum ttd memiliki kadar hb normal 521 responden (82.8%) dan 1 responden (0.2%) mengalami anemia berat. efektifitas pemberian ttd melalui program gelang mia pada remaja terhadap tingkat anemia menunjukkan nilai asymp.sig (2-tailed) adalah 0.000 pada taraf kepercayaan 5%, p value < 0,05, ada perbedaan signifikan tingkat anemia sebelum pemberian ttd dan setelah mengkonsumsi ttd selama 1 tahun. riwayat kesehatan yang baik, obat lain yang diminum bersama ttd, imt yang normal, air putih untuk minum ttd berpengaruh terhadap kadar hemoglobin dalam darah. keteraturan mengkonsumsi ttd setiap minggu efektif terhadap penurunan tingkat anemia remaja. http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p310-319&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 311nuraisya, luqmanasari, setyowati, efektifitas pembirian ttd melalui... correspondence address: stikes karya husada kediri east java, indonesia p-issn : 2355-052x effectiveness of giving ttd through mia’s wristband program for adolescents against anemia level (analytical study on young women in middle schools in all pare districts) article information history article: received, 01/09/2019 accepted, 03/09/2019 published, 05/09/2019 keywords: blood additional tablet, anemia level, teenager abstract the effectiveness of giving additional blood tablet through gelang mia program to the students of anemia (analytical study to students of junior high school level in pare sub-district). anemia on girls must be cured must prepare herself as productive woman to undergo pregnancy process when the time comes. the goal of this research is to analyze the medical report, medicine consumed, imt, the drink used to consume blood additional tablet with the level of anemia and to analyze the difference of anemia level between before giving blood additional tablet and after giving blood additional tablet through gelang mia program for 1 year. the research design used analytical design with cross sectional. the populations were all girls of junior high school students in 2019 in pare sub-district. the samples were some girls getting blood additional tablet through gelang mia program. the analyses used wilcoxon signed ranks statistical test based on the result of hb test on june 2019 with secondary hb level on march 2018. the research result based of the tabulation medical report and anemia level showed that healthy respondent having normal hb level were 507 (82.7%). other medicine besides blood additional tablet consumed by respondents were not consumed, they just consumed blood additional tablet. they were 329 (54.2%). they had normal hb level. normal imt respondents having normal hb were 148 (80.9%). respondents having normal hb level consumed blood additional tablet by water were 515 (82.7%). based on the analysis to the difference among anemia level of 629 teenagers before consuming blood additional tablet, it was found that 347 (55.2%) had normal hemoglobin level, and 4 (0.6%) had acute anemia. after respondents had drunk that tablet, 521 (82.8%) had normal hemoglobin, and 1 (0.2%) had acute anemia. the effectiveness of giving blood additional tablet through gelang mia on teenager toward the level of anemia showed that asymp.sig score (2-tailed) was 0.000. it meant that in the truth level of 5%, p value < 0.05, h0 was rejected. there was significant difference anemia level before consuming blood additional tablet and after consuming blood additional tablet for a year. good medical report during consuming blood additional tablet, other medicine consumed with that tablet, normal imt, fresh water to drink blood additional tablet influence the hemoglobin level in blood. regular consuming that tablet every week is effective to decrease teenager’s anemia level. © 2019 jurnal ners dan kebidanan pendahuluan sasaran pembangunan kesehatan di indonesia adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ditandai adanya peningkatan umur harapan hidup, menurunnya kematian bayi, dan kematian ibu bersalin. angka kematian ibu (aki) merupakan tolok ukur da ri pelayanan kesehatan disuatu negara. aki yang masih tinggi email: w.nuraisya@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p310-319 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p310-319 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 312 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 310–319 mencerminkan pelayanan kesehatan ibu belum optimal. sebaliknya aki yang rendah mencerminkan pelayanan kesehatan ibu lebih optimal (ditjen kesmas, 2015). dalam rencana strategis nasional bidang kesehatan tahun 2015–2019 mencantumkan sasaran dari program kesehatan ibu dan anak, sasaran dari program gizi dan ketersediaan / keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat sebagai indikator pembinaan perbaikan gizi masyarakat yang diantaranya adalah pemberian tablet tambah darah (ttd) untuk remaja khususnya remaja putri dengan target sebesar 30% pada tahun 2019. wanita usia subur (wus) merupakan usia wanita masuk pada usia reproduksi, yaitu usia antara 15–49 tahun baik yang berstatus menikah, belum menikah maupun janda. usia remaja putri antara 10–19 tahun merupakan bagian dari wus yang membutuhkan adanya perhatian karena mereka merupakan calon ibu dalam keluarga saat tiba masa menikah nantinya. berdasarkan fenomena yang ada menunjukkan sebagian dari remaja putri yang belum mengetahui dan memahami yang berkaitan dengan kesehatan organ reproduksinya. fenomena tersebut berakar dari kurangnya wawasan, pengetahuan dan kesadaran untuk hidup sehat secara reproduksi. secara nasional terdapat 10 % remaja putri mendapatkan ttd dengan dosis pencegahan yaitu untuk remaja putri dan wus dengan dosisi sehari 1 tablet diminum selama 10 hari pada saat mentruasi dan 1 tablet setiap minggu, sehingga dosis total ttd yang akan diterima oleh remaja putri sebanyak 13 tablet selama selama 30 hari. realisasi yang terjadi di lapangan ttd selama ini menjadi salah satu cara untuk menanggulangi anemia hanya diberikan kepada ibu hamil dan pemberian kepada remaja putri belum optimal di lakukan. cakupan pemberian ttd terhadap ibu hamil sebanyak 90 kali sebanyak 89,65%, dari cakupan ttd yang tinggi ini tidak sejalan dengan tingkat anemia yang terjadi pada ibu hamil maupun kematian ibu yang disebabkan karena perdarahan baik selama persalinan/ pasca persalinan (who, 2011 dan who, 2014). berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 prevalensi kejadian anemia pada ibu hamil sebesar 37,1%. hal ini merupakan kelanjutan dari prevalensi anemia pada remaja putri yaitu sebesar 25% dan untuk wus sebesar 17%. hal ini disebabkan karena asupan gizi yang mengandung zat besi dari makanan memenuhi sebesar 40% dari kecukupan (riskesdas, 2013). upaya menanggulangi anemia pada remaja putri penting dilakukan karena kasus kematian ibu hamil di kabupaten kediri sebagian besar karena ibu hamil menderita penyakit dan terjadi perdarahan, sehingga perlu mempersiapkan remaja putri yang masuk usia wus supaya siap menjalani masa kehamilan saat tiba usianya. fenomena di lapangan tida k semua sekolah melaksanakan progr am pemberian ttd pada remaja putri sesuai dengan pedoman (dinkes kab. kediri, 2018). sejalan dengan hal tersebut pemerintah kabupaten kediri telah mencanangkan gerakan penanggulangan anemia (gelang mia) pada tanggal 2 maret 2018. oleh karenanya dengan mendukung program pemerintah kabupaten kediri, pemberian tablet tambah darah pada remaja putri diharapkan akan berdampak pada meningkatnya status gizi sehingga dapat mencegah terjadinya stunting (bayi / balita pendek), mencegah terjadinya anemia dan meningkatkan asupan zat besi dalam tubuh sebagai upaya untuk mempersiapkan generasi yang produktif, sehat dan berkualitas (dinkes kab. kediri, 2018). berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik meneliti “ efektifitas pemberian ttd pada remaja terhadap penurunan anemia melalui program gelang mia”. bahan dan metode desain penelitian ini analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan mei sampai juni 2019 di smp kecamatan pare. populasi yaitu semua remaja putri di smp wilayah kecamatan pare tahun 2019. sampel meliputi sebagian remaja putri yang telah mendapatkan ttd melalui program gelang mia sejak tahun 2018 yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu remaja putri yang bersedia diteliti dan remaja putri yang telah mendapatkan ttd selama 1 tahun sedangkan kriteria eksklusi yaitu remaja putri sesuai rekapan uks minum ttd kurang dari 3 / 4 bulan dan remaja putr i pa da wa ktu pemer iksa a n hb seda ng menstruasi. tekhnik sampling yang digunakan yaitu probability sampling dengan multi stage sampling yaitu stage i cluster sampling dan stage ii stratified sampling. variabel independen adalah evaluasi pemberian ttd melalui program gelang mia, dan variabel dependen yaitu tingkat anemia setelah pemberian ttd melalui program gelang mia. pengumpulan data evaluasi pemberian ttd berupa data sekunder dengan melihat rekapan data dari 313nuraisya, luqmanasari, setyowati, efektifitas pembirian ttd melalui... kader uks, data tingkat anemia berupa data sekunder yang berasal dari hasil pemeriksaan hemoglobin di puskesmas pare pada bulan maret 2018, pengumpulan data primer dengan pengukuran tingkat anemia menggunakan alat hb digital. analisa dan pengolahan data dilakukan secara univariat dan bivariate dengan uji statistik wilcoxon signed ranks test dengan tingkat kemaknaan p <0,05 dan convidence interval (ci) 95%. hasil penelitian analisis hubungan antara riwayat penyakit selama pemberian ttd dengan tingkat anemia bahwa responden yang dalam kondisi sehat memiliki kadar hb normal yaitu sebanyak 507 responden atau 82.7%, sedangkan sebagian kecil responden memiliki riwayat penyakit maag selama pemberian ttd yaitu sebanyak 1 responden (25 %) mengalami anemia sedang. analisis hubungan antara obat yang diminum bersama ttd terhadap tingkat anemia pada siswi smp seluruh kecamatan pare diperoleh bahwa sebagian besar responden hanya minum ttd saja yaitu sebanyak 329 responden (54.2%) memiliki kadar hb normal, sedangkan yang mengalami anemia berat minum ttd bersamaan dengan obat maag ada 1 responden (14,3%). analisis hubungan antara imt dengan tingkat anemia setelah pemberian ttd pada siswi smp seluruh kecamatan pare diperoleh bahwa sebagian besar responden memiliki kadar hb normal yaitu sebanyak 148 responden (80.9%), sedangkan sebagian kecil responden mengalami anemia berat yaitu 1 responden ( 0,3%) memiliki imt normal. keterangan : n = normal s = sedang r = ringan b = berat tingkat anemia n r s b riwayat kesehatan sehat  507 62 43 1 613 % 82.7 10.1 7. .2 100 alergi  2 0 0 0 2 % 100 0 0 0 100 asma  1 1 0 0 2 % 50 50 0 0 100 gatal  1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 gejala typus  1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 typus  3 0 0 0 3 % 100 0 0 0 100 db  1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 maag  3 0 1 0 4 % 75 0 25 0 100 sesak nafas  1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 amandel  1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 total  521 63 44 1 629 % 82.8 10 7 0.2 100 tabel 1 tabulasi silang antara riwayat kesehatan selama pemberian ttd dengan tingkat anemia pada siswi smp seluruh kecamatan pare 314 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 310–319 tingkat anemia n r s b obat yang diminum bersama ttd tidak ada 329 150 125 3 607 % 54.2 24.7 20.6 .5 100 obat batuk 2 0 1 0 3 % 66.7 0 33.3 0 100 obat flu 4 0 0 0 4 % 100 0 0 0 100 obat gatal 1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 obat sakit kepala 3 0 0 0 3 % 100 0 0 0 100 obat maag 4 1 1 1 7 % 57.1 14.3 14.3 14.3 100 obat asma 1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 obat antibiotik 1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 obat dokter 1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 obat radang 1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 total 347 151 127 4 629 % 55.2 24 20.27 0.6 100 tabel 2 tabulasi silang obat yang diminum bersama ttd terhadap tingkat anemia pada siswi smp seluruh kecamatan pare keterangan : n = normal s = sedang r = ringan b = berat tingkat anemia n r s b imt normal 281 32 22 1 336 % 83.6 9.5 6.5 0.3 100 kurus 148 21 14 0 183 % 80.9 11.5 7.7 0 100 gemuk 81 7 7 0 95 % 85.3 7.4 7.4 0 100 obesitas 11 3 1 0 15 % 73.3 20 6.7 0 100 total 521 63 44 1 629 % 82.8 10 7 0.2 100 tabel 3 tabulasi silang antara imt terhadap tingkat anemia setelah pemberian ttd pada siswi smp seluruh kecamatan pare keterangan : n = normal s = sedang r = ringan b = berat 315nuraisya, luqmanasari, setyowati, efektifitas pembirian ttd melalui... tingkat anemia n r s b minuman yang diminum untuk tidak dijawab 0 0 1 0 1 minum ttd % 0 0 2.3 0 100 air putih 515 63 43 1 622 % 82.7 10.1 6.9 0.1 100 pisang 4 0 0 0 4 % 100 0 0 0 100 roti 1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 air putih + pisang 1 0 0 0 1 % 100 0 0 0 100 total 521 63 44 1 629 % 82.8 10 7 0.2 100 tabel 4 tabulasi silang antara minuman yang diminum untuk minum ttd dengan tingkat anemia pada siswi seluruh kecamatan pare keterangan : n = normal s = sedang r = ringan b = berat tingkat anemia n r s b pemeriksaan pre 347 151 127 4 629 % 55.2 24 20.2 0.6 100 pasca 521 63 44 1 629 % 82.8 10 7 0.2 100 tabel 5 tabulasi silang perbedaan antara tingkat anemia sebelum pemberian ttd dengan tingkat anemia setelah pemberian ttd melalui program gelang mia anemia pada siswi smp seluruh kecamatan pare keterangan : n = normal s = sedang r = ringan b = berat analisis hubungan antara minuman yang diminum untuk minum ttd dengan tingkat anemia setelah pemberian ttd pada siswi smp seluruh kecamatan pare diperoleh bahwa sebagian besar r esponden memiliki ka dar hb nor mal ya itu sebanyak 515 responden (82.7%), sedangkan sebagian kecil responden mengalami anemia berat yaitu 1 responden ( 100%) yang minum ttd dengan pisang, roti dan air putih. analisis perbedaan antara tingkat anemia remaja putri berjumlah 629 responden sebelum minum ttd sebagian besar 347 responden (55,2%) memiliki kadar hemoglobin normal dan sebagian kecil 4 responden (0,6%) mengalami anemia berat. setelah remaja putri minum ttd melalui program gelang mia pada siswi smp seluruh kecamatan pare memiliki kadar hemoglobin normal sebagian besar 521 responden (82,8%) dan sebagian kecil 1 responden (0,2%) mengalami anemia berat. sedangkan efektifitas pemberian ttd melalui program gelang mia pada remaja terhadap tingkat anemia pada remaja putri di smp seluruh kecamatan pare ditunjukkan hasil dari uji statistik wilcoxon signed ranks test dengan spss versi 22 menunjukkan nilai asymp.sig (2-tailed) adalah 0.000 yang berarti pada taraf kepercayaan 5%, ñ value < 0,05, sehingga ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat anemia sebelum pemberian ttd dengan tingkat anemia setelah mengkonsumsi ttd selama 1 tahun melalui program gelang 316 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 310–319 pembahasan riwayat kesehatan responden riwayat kesehatan merupakan suatu informasi yang diperoleh dengan cara mela kukan anamnesa/wawancara dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan kesehatan. kesehatan suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fisiologis dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. seseorang dikatakan sehat tidak sematamata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (yang t et al, 2011). dalam penelitian ini didapatkan bahwa sebagian responden dalam keadaan sehat 611 responden ( 97,1%) dan sebagian kecil menderita penyakit maag yaitu 7 responden (1,1%) dari responden yang menderita penyakit maag mengalami anemia sedang sebanyak 25%. penyakit maag ditimbulkan oleh kelebihan asam yang diproduksi oleh lambung yang menyebabkan iritasi di selaput lendir lambung. dewasa ini remaja banyak yang mengalami penyakit maag. penyebab utama sakit maag pada remaja adalah karena salah pola makan dan waktu makan seperti makan berlebihan, makan terburu-buru dan makan lemak berlebihan. remaja juga bisa terkena maag karena aktivitas yang padat dan juga karena stres. biasanya remaja rentan mengalami sakit pada lambung saat menjelang ujian (biradar ss et al, 2012). hal ini didukung oleh hasil penelitian oleh jaelani tahun 2017 tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri yang menderita penyakit maag berhubungan dengan kejadian anemia sebesar (or=8,583). stres membuat asam lambung diproduksi lebih banyak daripada ketika lapar. faktor tersebut menyebabkan daya tahan tubuh turun kemudian mengacaukan keseimbangan metabolisme sehingga pada akhirnya mengakibatkan sakit maag (bolohen, 2013). ketidakseimbangan metabolisme dan daya tahan tubuh menurun akan berpengaruh terhadap melemahnya dinding mukosa lambung sehingga menurunkan fungsi pencernaan terhadap zat besi. maag merupakan kumpulan dari beberapa gejala seperti nyeri di uluh hati, mual, muntah, lemas, perut kembung dan cepat kenyang. jenis makanan juga sangat mempengaruhi keadaan lambung. sekarang ini, banyak makanan yang menarik perhatian, tetapi belum tentu sehat, terutama makanan-makanan yang dijual di sekolah-sekolah. terlalu banyak atau sering memakan makanan pedas atau berminyak juga bisa menimbulkan penyakit maag. obat yang diminum bersamaan dengan ttd zat besi adalah salah satu mineral penting yang dibutuhkan oleh tubuh. banyak orang yang mengonsumsi obat penambah darah untuk mengatasi anemia, kondisi kekurangan darah yang disebabkan oleh kurangnya mineral ini (gomar fs, 2012). meski tergolong suplemen, obat penambah darah tetaplah harus diminum sesuai aturan pakai dan dosis yang tepat. terlebih, jangan sembarangan minum suplemen ini kalau tidak benar-benar memerlukannya (alodokter, 2018). dalam penelitian ini sebagian besar responden yaitu 607 siswi (96,5%) minum ttd tidak bersamaan dengan obat apapun. dan sebagian kecil responden bersamaan dengan obat maag, yaitu 1%. dari responden yang minum ttd bersamaan obat maag mengalami anemia berat sebanyak 14.3%. hal ini didukung penelitian oleh jaelani tahun 2017 tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri bahwa remaja putri yang menderita penyakit maag berhubungan dengan kejadian anemia sebesar (or=8,583). komposisi obat maag diantaranya magnesium hydroxide, mg(oh)2 yang merupakan senyawa anorganik. senyawa ini adalah komponen umum dari antasida dan obat pencahar. efek samping dari magnesium hydroxide adalah diare yang bisa mengakibatkan tubuh kekurangan kalium serta senyawa ini bisa mengganggu penyerapan asam folat dan zat besi. indeks masa tubuh (imt) masalah status gizi pada remaja di indonesia meliputi kurang zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan kurang zat gzi mikro (vitamin, mineral). kurang zat gizi makro dan mikro menyebabkan tubuh menjadi kurus, berat badan turun, anemia dan mudah sakit. status gizi merupakan gambaran secara makro akan zat gizi tubuh kita, termasuk salah satunya adalah zat besi. menurut penelitian oleh briawan, dodik, et.al. tentang faktor risiko anemia pada siswi peserta program suplementasi di bekasi bahwa remaja putri yang berstatus gizi kurus cenderung untuk mengalami anemia sebesar 8.32 kali lebih besar dibandingkan yang berstatus gizi gemuk (or=8.32; ci 90%: 2.27-29.15). status gizi tidak normal dikhawatirkan status zat besi dalam tubuh juga tidak baik. sehingga dapat 317nuraisya, luqmanasari, setyowati, efektifitas pembirian ttd melalui... dikatakan bahwa status gizi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya anemia. tanda-tanda atau petunjuk yang dapat memberikan indikasi tentang keadaan keseimbangan antara asupan (intake) zat gizi dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk berbagai proses biologis. tanda-tanda tersebut antara lain antropometri (ukuran tubuh manusia; bb/u, tb/ u, bb/tb), biokimia gizi (kadar hemoglobin darah, kadar vitamin a serum, kadar ekskresi yodium dalam urine), tanda-tanda klinis (tanda-tanda kurang gizi berat seperti marasmus, kwasiorkor, atau marasmuskwasiorkor), dan konsumsi makanan (indriani aisyah, rohmah fayakun nur, 2017). dalam penelitian ini didapatkan bahwa imt siswi di smp wilayah kecamatan pare sebagian besar normal yaitu 336 responden (53,4%). sedangkan yang mengalami obesitas 15 responden (2,4%). dari sebagian besar 281 responden (83,6%) yang termasuk kategori imt normal memiliki kadar hemoglobin normal. status gizi remaja berdasarkan imt dapat dicerminkan oleh pola makan yang teratur dan aktifitas fisik, agar dapat mencapai pertumbuhan fisik yang optimal. pertumbuhan status gizi remaja juga dipengaruhi oleh asupan protein, kalori dan energi. asupan energi yang dibutuhkan oleh remaja sesuai dengan aktifitas yang mereka lakukan, oleh sebab itu apabila tidak sesuai maka kebutuhannya belum tercukupi dengan baik. dengan asupan protein dan kalori sesuai kebutuhan dan cukup maka pertumbuhan badan yang menyangkut pertambahan berat badan dan tinggi badan akan dicapai dengan baik. status gizi yang baik akan berpengaruh terhadap kadar hemoglobin dalam darah normal. minuman yang diminum bersamaan dengan ttd anemia bisa terjadi pada siapa saja, untuk mengobatinya ada baiknya obat tablet tambah darah tidak diminum bersamaan dengan minum kopi, teh dan susu (wardiyono, dimas, 2016). menurut ketua per himpunan dokter gizi medik indonesia (pdgmi), dr dr yustina anie indriastuti, msc, spgk, untuk konsumsi suplemen penambah darah guna tingkatkan kadar hemoglobin, yang mengandung zat besi serta asam folat. tetapi, supaya suplemen terserap baik, sebaiknya meminumnya bersama cairan mengandung vitamin c dan sumber makanan hewani (adawiyani r., 2013). dalam penelitian ini didapatkan bahwa segian besar responden minum ttd bersamaan dengan air putih yaitu 622 responden (98,9%). dari responden yang minum ttd bersamaan air putih sebagian besar 515 responden (98,8%) memiliki kadar haemoglobin normal. air merupakan senyawa h2o yang penting bagi semua bentuk kehidupa n, ya ng setia p molekulnya mengandung satu oksigen dan dua atom hidrogen yang dihubungkan oleh ikatan kovalen. adapun fungsi hemoglobin dalam darah yaitu membawa oksigen ke seluruh tubuh, tepatnya untuk organ dan jaringan tubuh. kandungan oksigen dalam air putih yang terikat dengan hemoglobin pada sel darah yang membuat darah menjadi berwarna merah. berdasarkan hasil uji statistik wilcoxon signed ranks test dengan spss versi 22 menunjukkan nilai asymp.sig (2-tailed) adalah 0.000 yang berarti pada taraf kepercayaan 5%, value < 0,05, sehingga ho ditolak yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat anemia sebelum pemberian ttd dengan tingkat anemia setelah mengkonsumsi ttd selama 1 tahun melalui program gelang mia. efektifitas pemberian ttd sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh kintha tentang beda kadar hemoglobin remaja putri anemia setelah pemberian suplementasi tablet besi folat satu kali dan dua kali perminggu berdasarkan hasil statistik didapatkan p=0,0000(p < 0,005) artinya terdapat perbedaan rata-rata kadar hb sebelum dan sesudah pemberian tablet fe atau terdapat pengaruh pemberian tablet fe terhadap peningkatan kadar hb (kintha raditya ari utami, 2016). peningkatan kadar hb setelah konsumsi tablet fe juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan gayatri pada tahun 2016 tentang kenaikan kadar hb remaja putri dengan anemia di smkn 1 ponjong kabupaten gunung kidul. hasil statistik didapatkan nilai p=0,000 ( p < 0,005) menunjukkan kenaikan kadar hb dengan pemberian fe (gayatri, 2016). program “gelangmia” merupakan program dinas kesehatan kabupaten kediri sejak tahun 2017. penelitian ini merupakan evaluasi keberhasilan terhadap program tersebut selama 1 tahun pemberian ttd pada remaja putri. dalam prakteknya siswi smp di seluruh wilayah kecamatan pare diberikan ttd setiap minggu. untuk harinya bervariasi, yang ditentukan masing-masing sekolah, sehingga siswi bersama-sama minum ttd. kegiatan tersebut merupakan implementasi dari peraturan menteri kesehatan nomor 88 tahun 2014 tentang standar tablet tambah darah bagi wanita usia subur dan ibu hamil serta surat edaran dirjen kesehatan masya318 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 310–319 rakat kemenkes ri nomor hk.03.03/v/0595/2016 tentang pemberian ttd (dirjen kesehatan masyarakat kemenkes ri, 2016). suplemen besi yang merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan intake fe yang berhasil hanya jika individu mematuhi aturan konsumsinya (litbang depkes, 2014). peningkatan kadar hemoglobin darah juga bisa terjadi selain dengan dengan suplemen yaitu dengan makan makanan yang kaya akan zat besi, asam folat juga vitamin b dan konsumsi jenis makanan yang banyak mengandung vitamin c tinggi dan menghindari makanan atau minuman yang menghemat penyerapan zat besi, misalnya kopi serta teh (arum, wulan, 2016). apabila kadar zat besi kurang maka dapat terjadi gangguan pada kadar hemoglobin jika konsentrasi hb rendah maka dapat terjadi anemia (sholihah, ni’matus, 2018). hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah yang dapat diukur secara kimia dan jumlah hb / 100 ml darah dapat digunakan sebagai indek kapasitas pembawa oksigen pada darah (dewi, 2014). kadar hb sebagai indikator anemia untuk wanita tidak hamil < 12 g/l (kemenkes ri dan milleniuem challenge account indonesia, 2015). pada keadaan menstruasi darah yang keluar dalam satu periode menstruasi rata-rata sekitar 50 cc, sehingga terjadi kehilangan zat besi sebesar 12,5-15 mg/bln, atau kira-kira sama dengan 0,4 0,5 mg sehari (jamil km. et al, 2008). wanita usia reproduktif akan mengalami menstruasi dimana selama menstrusi darah akan kehilangan zat besi yang apabila tidak diganti dapat menyebabkan penurunan kadar hb sehingga wanita sangat rentan terhadap terjadinya anemia. untuk mengganti zat besi yang hilang selama menstruasi seyogyanya wanita mengkonsumsi tablet fe agar dapat meningkatkan kadar hb dalam rangka menurunkan keungkinan terjadinya anemia pada wanita. kesimpulan riwayat kesehatan selama pemberian ttd, obat yang diminum bersama ttd, imt responden, minuman yang diminum untuk minum ttd berhubungan dengan tingkat anemia pada siswi smp seluruh kecamatan pare. dan hasil pemeriksaan haemoglobin darah terdapat perbedaan antara tingkat anemia sebelum pemberian ttd dengan tingkat anemia setelah pemberian ttd melalui program gelang mia anemia selama 1 tahun pada siswi smp seluruh kecamatan pare. saran bagi remaja, diharapkan pada saat minum ttd sebaiknya tidak bersamaan dengan obat seperti obat maag. obat maag akan menghambat penyerapan fe dalam ttd. dan efek samping yang timbul salah satunya adalah peningkatan asam lambung. dan sebaiknya minum ttd bersama cairan mengandung vitamin c dan sumber makanan hewani. bagi institusi kesehatan: melakukan pemantauan / pemeriksaan kadar haemoglobin secara berkala untuk menghindari adanya faktor perancu yang berpengaruh terhadap efektifitas dari tablet tambah darah dalam penanggulangan anemia pada remaja dan pentingnya pendidikan kesehatan pada remaja terkait cara minum ttd secara efektif. bagi institusi pendidikan: melakukan pemantauan rutinitas minum ttd setiap siswi yang dilaksanakan setiap minggu pada hari tertentu oleh guru uks / guru yang berkepentingan dan tidak hanya ttd diberikan saja kepada siswi tetapi memastikan setiap siswi / kelas minum ttd tersebut guna menghindari siswi yang tidak minum ttd. serta melakukan kolaborasi dengan pihak puskesmas apabila ditemukan adanya efek samping yang tidak wajar dari minum ttd. daftar rujukan adawiyani r. (2013). pengaruh pemberian booklet anemia terhadap pengetahuan, kepatuhan minum tablet tambah darah dan kadar hemoglobin ibu hamil. calyptra jurnal ilmiah mahasiswa universitas surabaya. vol.2 / no. 2. alodokter. (2018). fungsi hemoglobin dan kadar normalnya dalam tubuh doi: ttps://www.alodokter.com arum, wulan. anemia. 2016. doi: digilib.unimus.ac.id biradar, ss et al. (2012). prevalence of anaemia among adolescent girls: a one year cross-sectional study. journal of clinical and diagnostic research. 6 (3):372 377 bolohen. (2013). anemia. doi: https://www.e-jurnal.com briawan, dodik, et.al. (2011). risk factors of anemia in school girls participant of supplementation program in bekasi journal of nutrition and food. 6(1): 74– 83. dahlan, ahmad. (2015). teori perkembangan remaja. doi: https://www.eurekapendidikan.com/2015 dinas kesehatan kabupaten kediri. (2018). program gelang mia. kediri: dinas kesehatan kabupaten kediri. doi: http://dinkes.kediri.go.id departemen kesehatan ri. (2013). pedoman praktis terapi gizi medis. doi: www.depkes.go.id 319nuraisya, luqmanasari, setyowati, efektifitas pembirian ttd melalui... dirjen kesehatan masyarakat kemenkes ri nomor hk.03.03/v/0595/2016. (2016). pemberian ttd. doi: www.depkes.go.id dewi . (2014). gi z i sei m ba n g pa da rema ja menstruasi..doi:https://www.academia.edu ditjen kesmas. (2015). rencana strategisi direktorat jenderal bina gizi dan kia 2015-2019. doi: www.depkes.go.id. gayatri. (2016). kenaikan kadar hb remaja putri dengan anemia di smkn 1 ponjong kabupaten gunung kidul. doi: digilib.unisayogya.ac.id/view/subjects/r1.html gomar, fs et al. (2012). hemoglobin point-of-care testing: the hemocue system. journal of laboratory automation. 18(3) 198-205 hidayat, aaa. (2010). metode penelitian keperawatan dan teknis analisa data. jakarta : salemba medika indriani aisyah, rohmah fayakun nur (2017). hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri di sman 1 kasihan doi: https://www.digilib. unisayogya.ac.id jaelani. (2017). faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri. jurnal kesehatan, volume viii / nomor 3 / hlm 358-368 jamil km et al. (2008). micronutrients and anaemia. journal of health, population and nutrition . 26 (3) : 340-55 kemenkes ri dan milleniuem challenge account indonesia. (2015). pedoman program pemberian dan pemantauan mutu tablet tambah darah untuk ibu hamil di wilayah program kesehatan dan gizi berbasis masyarakat. doi: www.depkes. go.id. kintha, raditya ari utami. (2016). beda kadar hemoglobin remaja putri anemia setelah pemberian suplementasi tablet besi folat satu kali dan dua kali perminggu. doi : https://docobook.com/beda-kadar-hemoglobin -remaja-putri-anemia-setelah.html lestari, prasetya, sri m. (2015). pengetahuan berhubungan dengan konsumsi tablet fe saat menstruasi pada remaja putri di sman 2. journal ners and midwiferi indonesia. litbang depkes. (2014). peraturan menteri kesehatan nomor 88 tahun 2014 tentang standar tablet tambah darah bagi wanita usia subur dan ibu hamil. doi: sinforeg.litbang.depkes.go.id sholihah, ni’matus. (2018). anemia defisiensi zat besi.. doi: https://www.academia.edu riskesdas. (2013). penyajian pokokpokok hasil riset dasar kesehatan ri 2013. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. sugiyono, (2009). metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d. bandung : alfabeta who. (2011). haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. world health organization : geneva who. (2014). wha global nutrition target 2025: anaemia policy brief. doi: https://www.who.int/ nutrition/topics/globaltargets_anaemia_policybrief. wardiyono, dimas. (2016). anemia doi: jtpunimus-gdlarumwulann-5862-2-2babii www.academia.edu yang t et al. (2011). individual health care system distrust and neighborhood social environment: how are they jointly associated with self-rated health. journal of urban health. 88 (5) : 945-58. jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pemerahan dan penundaan penjepitan tali pusat terhadap kadar hemoglobin bayi baru lahir ahmaniyah 1 , kamilah hidajati 2 , ari suwondo 3 1,2 magister terapan kebidanan, poltekkes kemenkes semarang 3 fakultas kesehatan masyarakat, universitas diponegoro semarang info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 30/08/2018 disetujui, 18/12/2018 dipublikasi, 19/12/2018 kata kunci: pemerahan, penundaan, hemogoblin insiden anemia defisiensi besi pada bayi aterm 0-6 bulan 40,8%. upaya untuk mengurangi anemia pada bayi dan balita dengan memastikan bayi mendapatkan darah dari plasenta melalui tali pusat. pada proses persalinan terjadi pergeseran oksigenasi dari jantung ke paru 8–10% periode fetus menjadi 50% pada neonatus. penjepitan tali pusat segera menyebabkan resistansi vaskuler dari plasenta terputus yang menyebabkan peningkatan resitansi sistem vaskuler bayi dan menghilangkan sekitar 1/4 volume darah dan zat besi pada neonatus. waktu pemotongan tali pusat menjadi faktor penentu transfusi plasenta ke bayi. tujuan penelitian ini mengetahui perbedaan kadar hemoglobin bayi baru lahir aterm antara pemerahan tali pusat dan penundaan penjepitan tali pusat penelitian eksperimental dengan desain penelitian post test-only control group design dan pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan simple random sampling. dengan dikelompokkan menjadi kelompok perlakuan dan kontrol sebelum bayi lahir. kelompok perlakuan peme-rahan tali pusat dan kelompok kontrol penundaan penjepitan tali pusat. rerata kadar hb bayi tertinggi pada pemerahan tali pusat yaitu 17,3 mmhg diban-dingkan dengan penundaan penjepitan tali pusat yaitu 15,75 mmhg. terdapat perbedaan kadar hemoglobin bayi pada pemerahan tali pusat dan penundaan penjepitan tali pusat dengan menggunakan independen t-test didapatkan nilai dengan p < 0,05 (p = 0,001). disarankan bagi bidan pemerahan tali pusat dapat dijadikan sebagai tindakan dalam asuhan kebidanan pada bayi baru lahir waktu penjepitan dan pemotongan tali pusat.  correspondence address: poltekkes kemenkes, semarang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ahmaniyah@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p195-200 195 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) ahmaniyah@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/330 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 196 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 195–200 umbilical cord milking and delayed cord clamping on the haemoglobin levels in newborns article information history article: abstract received, 30/08/2018 the incidence of iron deficiency anemia in term infants from 0-6 months is accepted, 18/12/2018 40.8%. efforts to reduce anemia in infants and toddlers is by ensuring the published, 19/12/2018 baby gets blood from the placenta through the umbilical cord. labor oc keywords: curs when oxygen shifts from the heart to the lungs 8-10% of the fetal period to 50% in neonates. immediate cord clamping vascular resistance umbilical cord milking, delayed from the disconnected placenta which results in the increased of resistance cord clamping, haemoglobin of the baby’s vascular system and eliminates about 1/4 of the volume of blood and iron in the neonate. the time of cutting the umbilical cord is a determining factor for placental transfusion to the baby. delay cord clamp ing and umbilical cord milking are expected to provide iron reserves in infant. the aim of this study was to determine the differences in umbilical cord milking and delayed cord clamping. the design used experimental study with posttest-only control group. the sampling technique used simple random sampling differs into treatment group and control group. the treat ment group was umbilical cord milking and the control group was delayed cord clamping. the highest average of hb levels in the umbilical cord milking group was 17.3mmhg and the delayed cord clamping group was 15.75 mmhg. there was a difference in the hemoglobin level of the baby on umbilical cord milking and the delay in clamping the cord by using the independent t-test with a value of p <0.05 (p = 0.001). it is suggested that midwife milking midwives can be used as an action in midwifery care for newborns when clamping and cutting the umbilical cord. © 2018 journal of ners and midwifery ahmaniyah, hidajati, suwondo, pemerahan dan penundaan ....... 197 pendahuluan anemia masih menjadi masalah kesehatan di dunia, who memperkirakan sekitar 300 juta anak di dunia menderita anemia yang banyak disebabkan karena defisiensi besi. (world health organiza-tion, 2017) pada bayi aterm 0–6 bulan insiden anemia defisiensi besi 40,8%. anemia defisiensi besi banyak terjadi pada bayi umur 0, 1, dan 2 bulan berturut-turut adalah 11,8%, 10,9%, dan 11,3%. studi kohort bayi aterm 0–12 bulan insiden anemia defisiensi besi tertinggi saat bayi baru lahir (0 bulan). (ringoringo and windiastuti, 2016) pemenuhan kebutuhan zat besi sangat penting dalam 1000 hari pertama kehidupan manusia yang menentuan kuali-tas hidup yang akan datang, untuk menghasilkan generasi yang berkualitas dimulai dari janin, kesejah-teraan janin intrauterin dan intrapartum merupakan kesatuan yang memerlukan perhatian serius. selama periode janin 1/3 volume darah berada di plasenta. waktu persalinan terjadi pergeseran oksigen dari jantung ke paru yang berubah dari 810% pada periode fetus menjadi 50% pada neonatus (mercer and skovgaard, 2002). waktu bayi lahir aliran darah dari plasenta ke neonatus melalui penutupan vena umbilikalis dapat berjalan 3 menit pertama dan setelah 3 menit darah sangat minimal/tidak bermakna, sedangkan aliran darah dari neonatus ke plasenta melalui arteri umbilikus hanya terjadi pada 20–25 detik pertama setelah bayi lahir. (chaparro, 2011). penjepitan dan pemotongan tali pusat merupakan salah satu manajemen asuhan persalinan normal (apn), yang masuk pada manajemen aktif kala iii. pada asuhan persalinan normal penjepitan dan pemotongan tali pusat ditunda selama 2 menit, tetapi ada kesenjangan yang terjadi dilahan praktik dengan dilakukannya studi pendahuluan di puskesmas saronggi kabupaten sumenep penjepitan dan pemotongan tali pusat dilakukan segera beberapa detik setelah bayi lahir. penjepitan dan pemotongan segera mempunyai kelemahan yaitu asupan tranfusi plasenta berkurang sedangkan persalinan sectio cesarea dapat bermanfaat untuk tindakan resusitasi pada bayi berat lahir rendah dapat segera dilakukan (begley et al., 2010, leduc et al., 2009, ononeze and hutchon, 2009). jika pemotongan tali pusat segera, volume darah tidak terjadi penambahan tranfusi plasenta yang akan mengalami kehilangan 25 mg/kg -1 atau 33% zat besi. (chaparro, 2011) kehilangan ini dapat mempengaruhi penyimpanan zat besi dan dapat menyebabkan bayi berisiko mangalami defisiensi zat besi dan anemia selama masa bayi sampai usia 4 bulan. (andersson et al., 2011, ceriani et al., 2010, chang et al., 2013, chaparro, 2011, yao et al., 1969). anemia pada bayi merupakan masalah kesehatan serius karena akan mengganggu perkem-bangan mental dan kognitif untuk perkembangan selanjutnya. untuk mengatasi defisiensi zat besi yang disebabkan oleh penjepitan segera setelah lahir perlu dilakukan manajemen waktu penjepitan dan pemo-tongan tali pusat yaitu dengan dengan metode pe-nundaan penjepitan tali pusat dan alternatif lain yaitu dengan pemerahan tali pusat yang mempunyai tujuan yang sama untuk memberikan tranfusi pla-senta pada bayi secara optimal. kedua metode ini mempunyai manfaat yang sama dan perbedaannya pada pemerahan tarnfusi darah dilakukan secara aktif dan penundaan penjepitan secara pasif, sehing-ga perlu diketahui perbedaan kadar hemoglobin dari kedua metode ini yang dapat memberikan manfaat untuk mencegah terjadinya anemia pada bayi. bahan dan metode sebelum melakukan penelitian mengajukan kelayakan etik dan penelitian ini telah disetujui oleh komite etik poltekkes kemenkes semarang. penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain penelitian posttest-only control group design. kelompok perlakuan pemerahan tali pusat, sedangkan kelompok kontrol penundaan penjepitan tali pusat. penelitian ini dilakukan di 5 puskesmas di kabupaten sumenep pada bulan juni-juli 2018 dengan populasi seluruh bayi baru lahir aterm yang lahir normal di 5 puskesmas dan subyek penelitian adalah yang memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu sehat tidak anemia, kehamilan tunggal, bayi lahir normal, aterm, berat badan 2500–4000 gram, tidak asfiksi, tidak ada kelainan plasenta dan orang tua berpartisipasi dalam penelitian ini. variabel independen pada penelitian ini pemerahan tali pusat dan penundaan penjepitan tali pusat, variabel dependennya adalah kadar hemoglobi. total sampel penelitian ini sebanyak 20 subyek dengan penelitian yang dibagi dua kelompok dengan tekhnik simple random samplig. dari 29 persalinan hanya 20 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan 9 responden lainnya tidak di ikutsertakan dalam penelitian ini karena memerlukan rujukan. sampel pada kelompok perlakuan 10 subyek( bayi baru lahir yang memenuhi kriteria inklusi )yaitu dilakukan pemerahan tali pusat dari arah plasenta kearah bayi dengan jarak 20 cm dari plasenta ke umbilikus dengan meng 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 195–200 gunakan ibu jari telunjuk sebanyak 3 kali selama 2 detik setiap pemerahan setelah itu jepit potong dan kelompok kontrol 10 subyek yang dilakukan penundaan penjepitan semala 3 menit setelah itu jepit dan potong, selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin pada bayi dengan mengambil darah kapiler dari jari kaki bayi dengan menggunakan alat test hb digital merk easy touch yang dilakukan oleh petugas kesehatan yang dijadikan enumerator. setelah semua data terkumpul dan berdistribusi nor-mal,data dianalisis menggunakan uji beda inde-pendent t-test. hasil penelitian karakteristik responden data karakteristik responden dapat dilihat di tabel 1 berikut ini: tabel 1 data karakteristik responden karakteristik responden kelompok perlakuan penundaan penjepitan tali pusat pemerahan tali pusat kenaikan berat badan ibu (kg), mean (sd) 12,95(1,12) 12,60 (0,83) kadar hemoglobin ibu (gr/dl), mean (sd) 11,86(0,53) 11,73(0,52) usia kehamilan (mgg), mean(sd) 38,30(1,25) 38,30(1,25) tekanan darah ibu (mmhg) sistolik, mean (sd) 112(7,89) 116 (5,16) diastolik, mean (sd) 75(5,27) 75(5,27) berat badan bayi (g), mean (sd) 2990(228,28) 3080(394,55) jenis kelaimin, n (%) laki-laki 40 40 perempuan 60 60 rerata kadar hemoglobin bayi hasil pengukuran kadar hemoglobin pada bayi dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2. tabel 2 rerata kadar hemoglobin bayi baru lahir kelompok perlakuan kadar hemoglobin bayi (gr/dl) p mean sd min max pemerahan tali pusat 17,30 0,53 16,80 18,20 0,001* penundaan penjepitan tali pusat 15,75 0,46 15,20 16,70 *independent t-test berdasarkan hasil pengukuran kadar hemoglo-bin pada bayi baru lahir, kelompok perlakuan peme-rahan tali pusat memiliki rata-rata kadar hemoglobin paling tinggi (17,30) dibandingkan dengan kadar hemoglobin bayi pada kelompok kontrol penundaan dan penjepitan tali pusat segera. standar deviasi yang kecil pada semua kelompok perlakuan menunjukkan bahwa variasi kadar hemoglobin bayi pada masing-masing kelompok cenderung homogen. dari hasil uji indpendent t test untuk kedua kelompok perlakuan didapatkan p value < 0,05 ( p = 0,001) maknanya terdapat perbedaan yang signi fikan antara kadar hemoglobin bayi aterm pada kelompok perlakuan pemerahan tali pusat dan kelompok kontrol penundaan penjepitan tali pusat. pembahasan karakteristik responden usia kehamilan, berat badan, tekanan darah, kadar hemoglobin ibu, jenis kelamin bayi dan berat badan janin merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin bayi (oski and naiman, 1996, prawirohardjo, 2014), pada karakteristik ahmaniyah, hidajati, suwondo, pemerahan dan penundaan ....... 199 responden pada penelitian ini dilakukan skreening yaitu dengan menentukan kriteria inklusi dan eksklusi baik pada ibu maupun pada bayi di setiap kelompok, hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan kadar hemoglobin pada bayi dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik responden, tetapi murni karena intervensi yang diberikan. perbedaan kadar hemoglobin bayi antara kelompok pemerahan tali pusat dan kelompok penundaan penjepitan tali pusat berdasarkan hasil pengukuran kadar hemoglo-bin pada bayi di masing-masing kelompok menginterpretasikan bahwa bayi baru lahir pada kelompok pemerahan tali pusat memiliki rata-rata kadar hemoglobin paling tinggi (17,30) dibandingkan dengan kadar hemoglobin bayi pada kelompok penundaan dan penjepitan tali pusat segera. pada pemerahan tali pusat mempunyai kadar hemoglobin bayi lebih tinggi , hal ini disebabkan karena tranfusi plasenta dilakukan secara aktif yaitu dengan meme-rah tali pusat dari arah plasenta ke arah bayi seba-nyak 3 kali selama 2 detik setiap pemerahan. peme-rahan tali pusat dengan plasenta masih menempel berpotensi meningkatkan aliran darah ke otak dan paru, vasodilatasi paru dalam menanggapi respirasi spontan atau tangisan dapat menciptakan saluran fisiologis untuk mengakomodasi plasenta yang kaya akan sel darah merah janin dan sel punca. (katheria et al., 2017) hasil penelitian ini selaras dengan penelitian lainnya bahwa pemerahan tali pusat baik yang dilakukan pada bayi preterm maupun pada bayi aterm terbukti menghasilkan tingkat hemoglobin bayi lebih tinggi dibandingkan dengan penjepitan segera, serta tidak didapatkan morbiditas dan polisitemia pada bayi. (pramaditya, 2017, erickson-owens et al., 2012) dan penelitian ini juga selaras dengan penelitian alan et al bahwa neonatus yang dilakukan pemerahan tali pusat memiliki rata-rata nilai hemo-globin lebih tinggi pada 24 jam pertama dibandingkan dengan penjepitan tali pusat segera.(alan et al., 2014). dari uji independent t-test terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar hemoglobin kelompok pemerahan tali pusat dengan kelompok penundaan enjepitan tali pusat. pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa pemerahan tali pusat hanya sebagai alternatif untuk penundaan penjepitan tali pusat yang memiliki waktu yang lama (ditunda 3 menit atau sampai tali pusat berhenti berdenyut) dibandingkan dengan pemerahan tali pusat yang hanya memerlukan waktu kurang lebih 10 detik. pemerahan tali pusat memiliki efek menguntungkan bagi bayi baru lahir yang dapat membantu atau menambah transfusi plasenta secara aktif, sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk dilakukan penundaan penjepitan tali pusat (vain et al., 2014). waktu penjepitan dan pemotongan tali pusat memiliki dampak yang signifikan terhadap volume darah yang berkurang 42%, sel darah merah (0.48 ± 0.01) dan zat besi, transfusi plasenta yang cukup menghasilkan tingkat oksigenasi yang optimal dan dan dapat memperkaya zat besi yang sangat ber-manfaat untuk bayi. dan ketersediaan zat besi sangat penting untuk beberapa aspek perkembangan otak, termasuk meilinasi, dendritogenesis, fungsi neurotransmiter, dan neuronal dan metabolisme energi glial, zat besi dapat meningkatkan psikomotor dan perkembangan mental pada bayi dan anak. (carlson et al., 2009, shafir et al., 2008, szajewska et al., 2010) dengan hasil penelitian ini pemerahan tali pusat merupakan metode baru dalam melakukan transfer darah plasenta ke bayi secara aktif, tidak menunggu atau pasif (penundaan penjepitan tali pusat). metode ini dapat digunakan sebagai alterna-tif tindakan dari penjepitan tali pusat segera yang sering dilakukan di klinik yang akan menyebabkan transfer darah dan oksigen dari plasenta ke bayi terputus sehingga bayi akan mengalami anemia. kesimpulan dan saran kesimpulan hasil penelitian ini membuktikan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kadar hemoglobin bayi baru lahir aterm pada pemerahan tali pusat dan penundaan penjepitan tali pusat. saran pemerahan tali pusat dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk penjepitan segera yang dapat menyebabkan tranfusi plasenta kurang optimal sehingga menyebabkan anemia pada bayi. metode ini perlu didukung dengan penelitian lanjutan secara kohort untuk mengetahui profil darah lain yang dapat digunakan untuk membuktikan metode mana yang lebih bermanfaat untuk kehi-dupan bayi selanjutnya. 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 195–200 daftar pustaka alan, s., arsan, s., okulu, e., akin, i. m., kilic, a., taskin, s., cetinkaya, e., erdeve, o. & atasay, b. (2014). effects of umbilical cord milking on the need for packed red blood cell transfusions and early neonatal hemodynamic adaptation in preterm infants bornd” 1500 g: a prospective, randomized, controlled trial. journal of pediatric hematology/ oncology, 36, e493-e498. andersson, o., hellström-westas, l., andersson, d. & domellöf, m. (2011). effect of delayed versus early umbilical cord clamping on neonatal outcomes and iron status at 4 months: a randomised controlled trial. bmj, 343, d7157. begley, c. m., gyte, g., murphy, d. j., devane, d., mcdonald, s. j. & mcguire, w. (2010). active versus expectant management for women in the third stage of labour. carlson, e. s., tkac, i., magid, r., o’connor, m. b., andrews, n. c., schallert, t., gunshin, h., georgieff, m. k. & petryk, a. (2009). iron is essential for neuron development and memory function in mouse hippocampus. the journal of nutrition, 139, 672-679. ceriani, c. j., carroli, g., pellegrini, l., ferreira, m., ricci, c., casas, o., lardizabal, j. & morasso, m. c. (2010). the effect of early and delayed umbilical cord clamping on ferritin levels in term infants at six months of life: a randomized, controlled trial. archivos argentinos de pediatria, 108, 201-208. chang, s., zeng, l., brouwer, i. d., kok, f. j. & yan, h. (2013). effect of iron deficiency anemia in pregnancy on child mental development in rural china. pediatrics, peds. 2011-3513. chaparro, c. m. (2011). timing of umbilical cord clamping: effect on iron endowment of the newborn and later iron status. nutrition reviews, 69, s30-s36. erickson-owens, d., mercer, j. & oh, w. (2012). umbilical cord milking in term infants delivered by cesarean section: a randomized controlled trial. journal of perinatology, 32, 580-584. katheria, a., lakshminrusimha, s., rabe, h., mcadams, r. & mercer, j. (2017). placental transfusion: a review. journal of perinatology, 37, 105. leduc, d., senikas, v., lalonde, a. b., ballerman, c., biringer, a., delaney, m., duperron, l., girard, i., jones, d. & lee, l. s.-y. 2009. active management of the third stage of labour: prevention and treatment of postpartum hemorrhage. journal of obstetrics and gynaecology canada, 31, 980-993. mercer, j. s. & skovgaard, r. l. (2002). neonatal transitional physiology: a new paradigm. the journal of perinatal & neonatal nursing, 15, 56-75. ononeze, a. & hutchon, d. (2009). attitude of obstetricians towards delayed cord clamping: a questionnaire-based study. journal of obstetrics and gynaecology, 29, 223-224. oski, f. & naiman, j. (1996). hematologic problems in the newborn edisi kedua. philadelphia: saunders. pramaditya, h. (2017). analisis luaran maternal dan neonatal pada persalinan preterm perabdominam yang dilakukan pemotongan tali pusat metode umbilical cord milking dibandingkan dengan early cord clamping. universitas airlangga. prawirohardjo, s. (2014). ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo, jakarta, pt.bina pustaka sarwono prawirohardjo. ringoringo, h. & windiastuti, e. 2016. profil parameter hematologik dan anemia defisiensi zat besi bayi berumur 0-6 bulan di rsud banjarbaru. sari pediatri, 7, 214-8. shafir, t., angulo-barroso, r., jing, y., angelilli, m. l., jacobson, s. w. & lozoff, b. (2008). iron deficiency and infant motor development. early human development, 84, 479-485. szajewska, h., ruszczynski, m. & chmielewska, a. (2010). effects of iron supplementation in nonanemic pregnant women, infants, and young children on the mental performance and psychomotor development of children: a systematic review of randomized controlled trials. the american journal of clinical nutrition, 91, 1684-1690. vain, n. e., satragno, d. s., gorenstein, a. n., gordillo, j. e., berazategui, j. p., alda, m. g. & prudent, l. m. (2014). effect of gravity on volume of placental transfusion: a multicentre, randomised, non-inferiority trial. the lancet, 384, 235-240. world health organization. (2017). daily iron supplementation in children 6-23 months of age in malaria-endemic areas [online]. available: http://www.who.int/elena/titles/iron-children6to23-malaria/en/. yao, a., moinian, m. & lind, j. (1969). distribution of blood between infant and placenta after birth. the lancet, 294, 871-873. 56 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 056–062 56 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh pemberian paket “affection” terhadap aktivitas seksual pada pasangan menopause maria magdalena setyaningsih1, emy sutiyarsih2, eli lea widhia purwandhani3 info artikel sejarah artikel: diterima, 30/01/2019 disetujui, 20/03/2019 dipublikasi, 01/04/2019 kata kunci: paket”affection”, seksual, menopause abstrak menopause merupakan masa kritis kehidupan wanita, pada periode ini terjadi perubahan fisik maupun psikis. pada periode inilah seorang wanita merasa dirinya menjadi tua dan takut tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suami, dengan bertambahnya usia masalah ini tidak harus terjadi. tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh pemberian paket “affection” terhadap aktifitas seksual pada pasangan menopause. metode yang digunakan adalah quasy eksperiment dengan desain penelitian pretest post test one group design. populasi dan sampelnya adalah wanita menopause yang memiliki suami dan tidak menderita penyakit yang dapat mempengaruhi aktifitas seksual, sebanyak 20 wanita di dusun wonosari sebagai kelompok perlakuan dan 20 wanita di dusun sukosari sebagai kelompok kontrol dengan tehnik simple random sampling. berdasarkan hasil uji paired sample t test pada kelompok kontrol nilai signifikansi sebesar 0.514 > alpha 0.05 (p > 0.05), bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan aktifitas seksual pada wanita menopause pada pre dan post intervensi. pada kelompok perlakuan hasil uji t independent nilai signifikansi sebesar 0.023 (p<0.05), bahwa terdapat pengaruh pemberian paket “affection” terhadap peningkatan aktifitas seksual pasangan menopause. aktifitas seksual wanita menopause pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada sebelum diberikan intervensi. oleh karena itu dianjurkan bagi petugas puskesmas untuk menindaklanjuti dengan mengembangkan program promosi kesehatan melalui penyebarluasan pemanfaatan paket “affection” bagi pasangan menapouse. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes panti waluya malang, east java, indonesia p-issn : 2355-052x marta indah tri rahayu4 1,2,3,4 fakultas keperawatan, stikes panti waluya malang, indonesia email: emymlg23@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p056–062 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 57setyaningsih, sutiyarsih, purwandhani, rahayu, pengaruh pemberian paket... abstract menopause is a critical period of a woman’s life, during this period physical and psychological changes might occur. during this period, a woman felt herself getting old and afraid if she cannot fulfill her husband sexual needs. this case suppose not happend eventhough the age of a woman increasing. the purpose of the research is to analyze effects of giving affection packages on sexual activities in menopause couples. that method used is quasi experiment with pretest post test one group design research design. the population and the sample is menopausal women who have husbands and do not suffer from a disease that can affecting sexual activity, there were 20 women in wonosari district as a treatment group and 20 women in sukosari district as a control group with the simple random sampling technique. based on the results of study on paired sample t test in the control group with a significance value of 0.514 & gt; alpha 0.05 (p & gt; 0.05), there was no significant difference in sexual activity in postmenopausal women in the pre and post intervention. on the treatment group the results of the independent t test significant value of 0.023 (p & lt; 0.05), there was an influence on giving “affection” package to menopausal couples in the case of sexual activity. women’s sexual activity on menopausal age in the treatment group was higher than before given intervention. therefore it is recommended for puskesmas officers to follow up by developing health promotion programs through disseminating the application of the “affection” package for menapouse couples. the effect of giving “affection” package on sexual activities in menopause couple article information history article: received, 30/01/2018 accepted, 20/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: affection package, sexual, menopause 58 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 056–062 pendahuluan keberhasilan pelayanan kesehatan adalah dengan meningkatnya umur harapan hidup. peningkatan umur harapan hidup menimbulkan masalah yang berkaitan dengan lanjut usia yang salah satunya adalah memasuki masa menopause. menopause merupakan masa yang kritis dalam kehidupan wanita yang umumnya dimulai pada usia antara 45-55 tahun pada tahun-tahun itu banyak terjadi perubahan fisik maupun psikis pada diri seorang perempuan. salah satu masalah yang sering dialami oleh para menopouse adalah masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi salah satunya adalah disaktifitas seksual. disaktifitas seksual disebabkan karena faktor fisik dan psikis. faktor fisik berupa kemunduran fisik karena usia yang terjadi pada semua bagian tubuh yang berkaitan dengan fungsi hormon seks, pembuluh darah dan saraf. masalah seksual sering terjadi wanita menopause yang berhubungan dengan penurunan hormon estrogen dan progesteron (priyoto, 2015). masalah psikis pada wanita menopause terjadi karena seorang wanita telah merasa dirinya menjadi tua dan takut tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suami. masalah-masalah tersebut dapat berupa penurunan hasrat untuk berhubungan seksual, masalah lubrikasi vagina, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai orgasme bahkan terjadi anorgasme, dispareunia, dan berbagai keluhan lainnya (astrand et al, 2007). masalah seksual sering terjadi akibat penurunan estrogen dan progesteron. masalah seksual bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya usia, usia yang lanjut tidak harus mengalami masalah seksual. tindakan keperawatan untuk mencegah atau meminimalkan keluhan pada masa menopause yang salah satunya adalah masalah seksual dapat dilakukan dengan berbagai intervensi salah satunya dengan pemberian paket “affection” pada usia menopause. wanita menopause sedini mungkin dianjurkan untuk mempertimbangkan memulai perubahan kehidupan seperti melakukan latihan ringan hingga intens, makan sehat dan mengonsumsi suplemen seperti vitamin d, magnesium, dan kalsium (astrand et al, 2007). paket “affection” pada usia menopause merupakan paket yang berisi tentang makanan sehat bagi wanita usia menopause, olah raga yang cocok untuk wanita menopause, pengaturan emosi, merajut memori indah. isi paket ini perlu diberikan kepada para wanita menopause karena berbagai penelitian melaporkan bahwa terjadi peningkatan masalah seksual pada perempuan padahal menopause yang merupakan suatu keadaan fisiologis yang akan dialami oleh setiap perempuan. menurut endriyani (2012) dalam hasil penelitiannya bahwa pengalaman aktivitas seksual pada ibu menopause tetap dilakukan sebatas memenuhi kewajiban sebagai istri, tanpa memperhatikan kepuasan seksual. sedangkan hasil penelitian rostiana (2010) menunjukkan bahwa wanita menopause merasa capek dan sakit saat berhubungan dengan suaminya. hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan oleh responden semasa menopause pada umumnya masih aktif seperti memegang tangan dan membelai sedangkan 61% responden frekwensi dalam berhubungan seksual dengan pasangannya dilakukan seminggu lebih dari 1 x. berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh pemberian paket “affection” terhadap aktifitas seksual pada pasangan menopause. bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian quasy eksperiment dengan menggunakan pendekatan desain penelitian pretest posttest one group design. pada penelitian ini responden sebagai kelompok kontrol dan kelompok perlakuan akan dilakukan pretest pada waktu yang sama. setelah itu kelompok perlakuan akan dilakukan intervensi pemberian paket “affection” sedangkan kelompok kontrol diberi leaflet tentang paket “affection”. setelah 4 minggu (1 bulan) kedua kelompok dilakukan posttest. penelitian dilakukan di dusun wonosari dan sukosari, ds. pandansari, kecamatan poncokusumo, kabupaten malang. penelitian dilaksanakan pada tanggal 12 maret s/d 16 agustus 2018. populasi dalam penelitian ini adalah pasangan usia menopause yang tinggal di dusun wonosari dan sukosari, ds. pandansari, kecamatan poncokusumo, kabupaten malang. sampel pada penelitian ini adalah wanita usia menopause yang memiliki pasangan dan tidak sedang menderita sakit atau memiliki penyakit yang dapat mengganggu aktifitas seksual serta saat ini tinggal di dusun wonosari dan sukosari, ds. pandansari, kecamatan poncokusumo, kabupaten malang. penelitian ini menggunakan 20 responden untuk masing-masing kelompok, untuk penentuan kelompok perlakuan atau kontrol dengan menggunakan tehnik simple random sampling. jumlah sample ini ditetapkan berdasar 59setyaningsih, sutiyarsih, purwandhani, rahayu, pengaruh pemberian paket... kan hasil penelitian setyaningsih, setyowati, kuntarti (2012) yang berjudul penurunan kecemasan ibu hamil resiko tinggi dalam menghadapi persalinan melalui paket “harmoni” besar sampel 40 responden, masing-masing 20 responden untuk kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menggunakan tehnik purposive sampling. variabel dalam penelitian ini adalah: variabel bebas: pemberian paket “affection” dan variabel terikat: aktifitas seksual pada usia menopause. data ini dikumpulkan langsung dari responden dengan menggunakan lembar kuesioner. yang mengisi lembar kuesioner adalah responden dan apabila tidak mampu membaca dibantu oleh peneliti. setelah data terkumpul dilakukan analisis data melalui dua tahap, tahap pertama adalah analisis univariabel. pada analisis ini, variabel penelitian dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden. selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui apakah ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. untuk menganalisis adakah pengaruh pemberian paket “affection” terhadap aktifitas seksual pada pasangan menopause menurut santoso,s. (2010) dengan menggunakan paired ttest dan independent ttest dengan software spss dengan taraf signifikan = 0,05. karakteristik demografi kelompok kontrol kelompok perlakuan p-value f % f % umur isteri 42.85 ±sd 3.80 45.65 ±sd 5.19 0.059 umur suami 46.75 ±sd 5.29 49.8 ±sd 7.06 0.130 jenis pekerjaan isteri irt 2 10.0 10 50.0 0.004 dagang 1 5.0 1 5.0 swasta 0 0.0 3 15.0 tani 17 85.0 6 30.0 pendidikan terakhir isteri tidak diketahui 0 0.0 1 5.0 0.794 sd 18 90.0 17 85.0 smp 1 5.0 1 5.0 sma 1 5.0 1 5.0 status menikah 20 100.0 20 100.0 tidak menikah 0 0.0 0 0.0 lama menikah 110 th 2 10.0 1 5.0 0.694 11-19 th 6 30.0 4 20.0 20-29 th 10 50.0 11 55.0 30-39 th 2 10.0 4 20.0 jenis pekerjaan suami dagang 0 0.0 1 5.0 0.694 swasta 1 5.0 2 10.0 tani 18 90.0 16 80.0 lainnya 1 5.0 1 5.0 pendidikan terakhir suami tidak diketahui 0 0.0 1 5.0 0.343 sd 17 85.0 17 85.0 smp 2 10.0 0 0.0 sma 1 5.0 2 10.0 p-value < 0,05 bermakna secara statistik keterangan: diuji dengan uji chi square tabel 1 karakteristik demografi sampel pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan hasil penelitian data umum demografi responden 60 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 056–062 hasil uji paired sample t test untuk perbandingan antara total skor hasil jawaban kuisioner tentang aktifitas seksual pada pasangan menopause pada saat sebelum (pre test) dan setelah diberikan intervensi (post test) pada kelompok yang mendapatkan leaflet (kontrol) menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.514 yang lebih besar dari alpha 0.05 (p>0.05, terima ho), sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. data khusus hasil analisis data uji t berpasangan (paired sample t test) kelompok kontrol tabel 2`hasil perbandingan aktifitas seksual pada pasangan menopause pada saat pre test dan post test pada kelompok kontrol pemberian leaflet (kontrol) nilai p dari pre test post test paired sample t test rata-rata standar deviasi rata-rata standar deviasi aktifitas seksual 33.70 6.87 34.20 7.62 0.514 kelompok perlakuan tabel 3 hasil perbandingan aktifitas seksual pada pasangan menopause pada saat pre test dan post test pada kelompok perlakuan pemberian kie paket “affection” nilai p dari pre test post test paired sample t test rata-rata standar deviasi rata-rata standar deviasi aktifitas seksual 34.30 4.17 39.50 6.48 0.010 sumber: hasil penelitian 2018 berdasarkan tabel di atas hasil uji paired sample t test untuk perbandingan antara total skor hasil jawaban kuisioner tentang aktifitas seksual pada pasangan menopause pada saat sebelum (pre test) dan setelah diberikan intervensi (post test) pada kelompok yang mendapatkan paket “affection” (perlakuan) menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.010 yang lebih kecil dari alpha 0.05 (p<0.05, tolak ho), sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang signifikan. analisis data uji independent sample t test tabel 4 hasil perbandingan total skor tentang aktifitas seksual pada pasangan menopause antara kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. kelompok nilai p dari kontrol perlakuan paired sample t test rata-rata standar deviasi rata-rata standar deviasi mean ± sd mean ± sd aktifitas seksual pada saat pre test 33.70 6.87 34.30 4.17 0.740 aktifitas seksual pada saat post test 34.20 7.62 39.50 6.48 0.023 sumber: hasil penelitian 2018 61setyaningsih, sutiyarsih, purwandhani, rahayu, pengaruh pemberian paket... berdasarkan hasil uji t independent untuk total skor hasil jawaban kuisioner tentang saat pre test antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.740 (p>0.05, terima ho), yang berarti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada total skor hasil jawaban kuisioner tentang aktifitas seksual pada pasangan menopause saat pre test antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. pembahasan aktifitas seksual sebelum dan sesudah diberikan leaflet tentang paket “affection” pada pasangan menopause kelompok kontrol berdasarkan hasil uji paired sample t test menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.514 yang lebih besar dari alpha 0.05 (p>0.05, terima ho), sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan aktifitas seksual sebelum dan sesudah diberikan leaflet tentang paket “affection” pada pasangan menopause kelompok kontrol. menopause merupakan masa yang kritis dalam kehidupan wanita karena mengalami banyak perubahan fisik maupun psikis pada diri seorang wanita yang salah satunya adalah pada sistem reproduksi yang berpengaruh pada aktifitas seksual karena adanya pengaruh system hormonal. hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh astrand et al (2007) bahwa pada periode menopause seringkali seorang wanita merasa dirinya menjadi tua dan takut tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suami. masalah-masalah tersebut dapat berupa penurunan hasrat untuk berhubungan seksual, masalah lubrikasi vagina, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menca pa i or ga sme ba hka n ter ja di a nor ga sme, dispareunia, dan berbagai keluhan lainnya. hal ini diperkuat dengan hasil penelitian endriyani (2012) bahwa pengalaman aktivitas seksual ibu menopause adalah ibu tetap melakukan hubungan seksual sebatas memenuhi kewajiban sebagai istri, tertutup dalam hal kepuasan seksual. aktifitas seksual sebelum dan sesudah diberikan paket “affection” pada pasangan menopause kelompok perlakuan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0.010 yang lebih kecil dari alpha 0.05 (p<0.05, tolak ho), sehingga dapat diartikan bahwa ada perbedaan yang signifikan aktifitas seksual pada kelompok yang mendapatkan paket “affection” (perlakuan) saat sebelum (pre test) dan setelah diberikan intervensi (post test) yaitu aktifitas seksual pada pasangan menopause pada kelompok perlakuan pada saat setelah diberikan intervensi (post test) lebih tinggi daripada sebelum diberikan intervensi (pre test). paket “affection” merupakan kunci keberhasilan dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin muncul pada pasangan menapouse, karena dalam paket “affection” adalah paket intervensi keperawatan untuk para wanita di usia menopause guna meminimalkan permasalahan dalam memenuhi kebutuhan seksual berikut dampak yang ditimbulkannya. isi paket ini meliputi: diet kasih di masa menopause, olah gerak menopause, kontrol emosi, menjalin memori indah. hal ini sesuai dengan ungkapan yuningwati (2010) pada hasil penelitiannya bahwa massa menopause merupakan massa dimana seorang wanita mengalami penurunan keinginan untuk melakukan hubungan seksual sehingga terjadi penurunan aktivitas seksual. guna memenuhi kebutuhan seksualnya maka diperlukan upaya komunikasi yang baik antar pasangan usia menopause. pemenuhan kebutuhan seksual tidak hanya dengan melakukan hubungan, tetapi dapat dilakukan dengan perilaku non seksual diantaranya dengan berpelukan, berciuman, masturbasi, pijit bergantian, menonton film (film erotik), membayangkan coitus, ke tempat romantik, duduk berduaan, nonton televisi berdua, berkebun berdua, rekreasi berdua dll (yuningwati, 2010). pengaruh pemberian paket “affection” terhadap aktifitas seksual pada pasangan menopause berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0.023 (p<0.05), yang berarti bahwa terdapat pengaruh pemberian paket “affection” (perlakuan) terhadap aktifitas seksual pada pasangan menopause yaitu aktifitas seksual pada pasangan menopause kelompok perlakuan lebih tinggi daripada pasangan menopause kelompok kontrol. intervensi berupa pemberian paket “affection” pada responden berpengaruh terhadap aktifitas seksual pada pasangan menopause karena pada paket “affection” berisi antara lain tentang kontrol emosi yaitu segala upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol emosi kita, sehingga kita menjadi lebih bahagia dan energi positif mengalir di dalam tubuh 62 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 056–062 kita. selain itu juga cara menjalin memori indah yaitu sega la upa ya ya ng kita la kuka n untuk mempertahankan kasih sayang yang kita bina dari dulu hingga sekarang di usia senja. oleh karena itu diperlukan komitmen dan luangan waktu untuk berdua dengan pasangan. cara yang paling mudah untuk menimbulkan energi positif mengalir dalam tubuh kita sehingga emosi kita dapat terkontrol dan untuk mempertahankan kasih sayang pasangan. hal ini sesuai dengan penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasangan mendapat manfaat dari fleksibilitas dalam cara mereka menanggapi konflik ketika pasangan memiliki konflik yang serius, yang mengancam hubungan mereka, dapat diatasi dengan cara pendekatan yang lebih kooperatif dan penuh kasih sayang merupakan strategi terbaik (marigold et al, 2007). berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan gupta et al (2015) bahwa pasangan lanjut usia masih membutuhkan hubungan yang romantis namun hubungan romantis yang dibutuhkan seperti saling mengasihi, mampu melakukan kegiatan secara bersama-sama, saling menghormati, saling peduli satu sama lain dan persahabatan. oleh karena itu paket “affection” sangat bermanfaat untuk diberikan kepada pasangan menopause. kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0.023 (p<0.05), yang berarti bahwa terdapat pengaruh pemberian paket “affection” terhadap peningkatan aktifitas seksual pada pasangan menopause. aktifitas seksual wanita menopause pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada sebelum diberikan intervensi. saran berdasarkan hasil penelitian ini, kami anjurkan untuk ditindaklanjuti oleh petugas kesehatan di puskesmas bersama kader kesehatan dengan memanfaatkan paket “affection” untuk pengembangan program promosi kesehatan khususnya mengenai kesehatan seksualitas pada pasangan menapouse. daftar pustaka endriyani.(2012). pengalaman aktivitas seksual ibu menopouse pada masa menopouse. skripsi. mahasiswa program studi div bidan pendidik stikes aisyiyah.yogyakarta gupta, r., pillai, v., punetha, d., & monah, a. (2015). love experiences of older african americans: a qualitative study. journal of international women’s studies, 16 (3). lindh-åstrand, l., hoffmann, m., hammar m., & kjellgren, i. k., (2007). women’s conception of the menopausal transition – a qualitative study, journal of cl i ni cal nursi ng, h t t ps: / / www.diva portal.org/smash/get/diva2:18122/ fulltext01.pdf assessed: 23.08.2017 marigold, d. c., holmes, j. g., & ross, m. (2007). more than words: reframing compliments from romantic partners fosters security in low self-esteem individuals. journal of personality and social psychology, 92, 232-248. priyoto. (2015). nursing intervention classification dalam keperawatan gerontik .jakarta: salemba medika. rostiana,t. & kurniati,t.,ni made. (2009). kecemasan pada wanita yang menghadapi menopouse. jurnal psikologi. volume 3, no.1.depok: fakultas psikologi universitas gunadarma setyaningsih, setyowati, kuntarti. (2013). penurunan kecemasan ibu hamil resiko tinggi dalam menghadapi persalinan melalui paket “harmoni”. jurnal keperawatan indonesia. jilid 16. terbitan 3. hal 176-182 santoso,s. (2010). buku statistik parametrik. cetakan keem pa t. jaka r ta : pen er bit pt e l ex medi a komputindo yuningwati. (2010). gambaran pemenuhan kebutuhan seksual pada usia menopause. prodi diii keperawatan universitas muhammadiyah ponorogo. 59munjidah, rahayu, perbedaan pemberian mp-asi menu tunggal dan ... 59 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk perbedaan pemberian mp-asi menu tunggal dan 4 (empat) kwadran terhadap status pertumbuhan anak annif munjidah1, esty puji rahayu2 12prodi diii kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya info artikel sejarah artikel: diterima, 13/11/2019 disetujui, 11/02/2020 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: status pertumbuhan; menu; mpasi abstrak upaya menciptakan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas dimulai sejak kehamilan sampai setelah kelahiran. periode emas pada anak dapat diwujudkan apabila masa ini anak memperoleh asupan gizi yang sesuai dan optimal. namun sayangnya masih banyak masalah gizi dialami oleh golongan anak bawah lima tahun (balita) dan anak bawah dua tahun (baduta) ini, sehingga golongan ini disebut juga dengan golongan rawan gizi. rekomendasi idai tentang praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi dan balita di indonesia menyebutkan bahwa mp-asi yang terbaik adalah menu lengkap/seimbang dengan tetap memberikan asi, namun dalam praktiknya di kelurahan wonokromo surabaya masih didapatkan orang tua yang memberikan anaknya mp-asi menu tunggal berupa pure buah dan bubur tepung beras. penelitian ini untuk mengetahui perbedaan mp-asi menu tunggal dan 4 (empat) kwadran terhadap status pertumbuhan anak. desain penelitian ini analitik cross sectional. populasi adalah seluruh bayi yang berusia 6-12 bulan di kelurahan wonokromo sebesar 94 bayi. sampel diambil menggunakan simple random sampling. jumlah sampel 74 bayi. pengumpulan data secara langsung menggunakan lembar kuisioner dan secara tidak langsung menggunakan kartu menuju sehat (kms) hasil uji statistik menunjukkan nilai p= 0,003 maka p < 0,05 berarti ada perbedaan antara mp-asi menu tunggal dan menu 4 (empat) kwadran terhadap status pertumbuhan anak. berdasarkan hal tersebut diharapkan anak mendapatkan menu lengkap atau 4 (empat) kwadran sejak pertama kali mendapatkan mp-asi yakni saat berusia 6 bulan. history article: received, 13/11/2019 accepted, 11/02/2020 published, 05/04/2020 article information differences in provision of single and 4 (four) kwadran mp-asi on children growth status abstract efforts to create good and quality human resources begin from pregnancy until after birth. the golden period in children can be realized if this time the child gets an appropriate and optimal nutritional intake. but unfortunately there are still many nutritional problems experienced by the group of children under five years old (toddlers) and children under two years http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p059-064&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 60 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 059–064 correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: annifmunjidah@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i1.art.p059–064 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan upaya menciptakan sumber daya manusia yang baik dan berkualitas dimulai sejak kehamilan sampai setelah kelahiran, yakni saat kehamilan memasuki trimester iii hingga anak berusia 2 tahun. pada masa ini masa pertumbuhan dan perkembangan sel otak berlangsung secara optimal. pada usia 6 bulan perkembangan otak anak mencapai 50% dan naik secara signifikan sampai 80% pada saat anak berusia 2 tahun (indarti. 2014). periode emas dapat diwujudkan apabila masa ini anak memperoleh asupan gizi yang sesuai dan optimal. namun sayangnya masih banyak masalah gizi dialami oleh golongan anak bawah lima tahun (balita) dan anak bawah dua tahun (baduta) ini, sehingga golongan ini disebut juga dengan golongan rawan gizi. masalah gizi tersebut diantaranya: gizi kurang, gizi buruk, gizi berlebih (obesitas), dan stunting (pendek) (indarti. 2015) hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2018 menunjuukan bahwa terdapat 17,7% balita indonesia mengalami gizi buruk dan gizi kurang, hal ini tentu lebih tinggi dibanding dengan target rpjmn yakni sebesar 17%. sedangkan proporsi balita dibawah dua tahun (baduta) yang pendek dan sangat pendek sebesar 29,9 %, hal ini tentunya lebih tinggi dari target rpjmn sebesar 28% dan badan kesehatan dunia (who) sebesar 20%. (depkes ri, 2010). timbulnya masalah gizi disebabkan beberapa faktor, diantaranya faktor langsung dan tidak langsung. faktor langsung diantaranya penyakit infeksi dan asupan makanan, sedangkan faktor tidak langsung yaitu: pelayanan kesehatan, pola asuh dan persediaan pangan dirumah (supariasa dkk. 2010) kekurangan gizi pada masa golden age dapat menyebabkan gagal tumbuh dan berakibat buruk dimasa berikutnya. anak dengan stunting beresiko memiliki iq 5-10 poin lebih rendah dibanding dengan anak yang normal hanindita (2019) upaya untuk mengatasi masalah gizi yang paling mendasar adalah dengan mengenali penyebab masalah gizi. rekomendasi dari who di dalam global strategy for infant and young child feeding, who/ unicef merekomendasikan 4 hal penting yang harus dilakukan, yaitu: memberikan asi segera setelah 30 menit kelahiran, memberikan asi eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, memberikan mpasi sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan meneruskan pemberian asi sampai anak berusia 24 bulan. (depkes. 2010). (baduta), so this group is also called the vulnerable nutrition group. the practice of giving mp-asi in a diverse society, mp-asi with a single menu, and a combined menu containing 4 (four) quadrants. in the mp-asi single menu mother gives mp-asi with content of one or 2 types of food. while the 4 (four) quadrant menu contains carbohydrates, minerals and vitamins, protein and fat. this research is to find out the differences of mp-asi single menu and 4 (four) quadrants on the growth status of children. the design of this research was comparative analytic cross sectional the population was all infants aged 6-12 months in the wonokromo village of 94 babies. samples were taken using simple random sampling. the number of samples was 74 babies. direct data collection using questionnaire sheets and indirectly using cards to health (kms). statistical test results show the value of p = 0,003 then p <0.05, its meaning that there is a difference between the mp-asi single menu menu and 4 (four) quadrants to the child’s growth status. based on this, children are expected to get a complete menu or 4 (four) quadrants since first getting mp-asi ie at the age of 6 months. ©2020 jurnal ners dan kebidanan https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 61munjidah, rahayu, perbedaan pemberian mp-asi menu tunggal dan ... mp-asi ata u makanan pendamping asi merupakan makanan tambahan yang diberikan pada bayi mulai usia 6-24 bulan yang diperlukan untuk menunjang tumbuh kembangnya. pada usia ini asi hanya akan memenuhi sekitar 60-70% kebutuhan bayi sehingga bayi memerlukan makanan tambahan atau makanan pendamping asi yang memadai dan pemberian asi yang diteruskan hingga anak berusia 24 bulan atau 2 tahun (hanindita. 2016). menurut who sumber mp-asi bisa didapat dari makanan pokok daerah masing-masing, namun untuk mencukupi kebutuhan nutrisi, anak juga harus mendapatkan mikronutrien lainnya dan asi sampai usia 2 tahun. penelitian pendahuluan di jakarta, indonesia tahun 2011 menunjukkan bahwa perilaku pemberian makan yang salah (inappropriate feeding practice) merupakan salah satu penyebab masalah makan yang bermakna pada anak usia 1-3 tahun. peride selama pemberian mp-asi merupakan periode yang sangat penting untuk mengenalkan makanan dan melatih kemampuan oromotor agar anak dapat mengkonsumsi makanan keluarga (idai. 2011). praktek pemberian mp-asi di masyarakat beraneka ragam, mp-asi dengan menu tunggal, dan menu gabungan yang mengandung 4 (empat) kwadran. pada mp-asi menu tunggal ibu memberikan mp-asi dengan kandungan satu atau 2 jenis makanan. sedangkan menu 4 (empat) kwadran mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin, protein dan lemak. pada menu 4 (empat) kwadran ini termasuk juga bubur bayi instan yang mengandung mikronutrien terfortifikasi. rekomendasi idai (2015) tentang praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi dan balita di indonesia menyebutkan bahwa mp-asi yang terbaik adalah menu lengkap/seimbang dengan tetap memberikan asi, namun dalam praktiknya di kelurahan wonokromo surabaya masih didapatkan orang tua yang memberikan anaknya mp-asi menu tunggal berupa pure buah dan bubur tepung beras. berdasarkan studi pendahuluan di rw 08 kelurahan wonokromo bulan november 2018 sampai februari 2019 didapatkan fakta bahwa bahwa terdapat 6 bayi dengan usia bervariasi antara 6-15 bulan dengan status status kms tidak naik selama 3 bulan berturut-turut berdasarkan hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut tentang perbedaan mp-asi menu tunggal dan 4 (empat kwadran) terhadap status pertumbuhan anak. bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian analitik cross sectional. populasi pada penelitian ini adalah seluruh bayi yang berusia 6-12 bulan di kelurahan wonokromo sebesar 94 bayi. sampel yang diteliti adalah sebagian bayi yang berusia 6-12 bulan di kelurahan wonokromo yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah bayi berusia 6-12 bulan dengan pemberian mp-asi dalam keadaan sehat saat dilakukan penelitian. sedangkan kriteria eksklusi yaitu bayi yang dalam kondisi sakit dan orang tua yang menolak pada saat dilakukan pendataan. sample diambil menggunakan simple random sampling. perhitungan sampel menggunakan rumus slovin, sehingga diperoleh besar sample sebesar 74 bayi. kemudian peneliti membedakan sampel berdasarkan menu mp-asi. waktu penelitian yakni bulan mei-juli 2019 di kelurahan wonokromo surabaya. pengumpulan data dilakukan secara bersamaan dengan mewawancarai ibu dalam pemberian menu mp-asi saat anak berusia 6-12 bulan dan dengan melihat dokumentasi hasil penimbangan pada kartu menuju sehat (kms) saat anak berusia 6-8 bulan. analisis data didahului dengan uji normalitas saphiro wilk kemudian dilanjutkan dengan uji independent t-tes dengan tingkat kemaknaan  < 0,05. hasil penelitian hasil analisis univariat peningkatan berat badan (bb) tunggal 13 (39) 20 (61) 33 (100) 4 (empat) kwadran 34 (83) 7 (17) 41 (100) total 47 (70) 27 (30) 74 (100) sumber data juli 2019 tabel 1 hasil analisis univariat peningkatan berat badan menu mp-asi status pertumbuhan total (%) naik (%) tidak naik (%) 62 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 059–064 pada tabel 1 menunjukkan dari kelompok responden yang mendapatkan mp-asi menu tunggal rata-rata mengalami kenaikan berat badan (bb) sebesar 325 gram, dan pada kelompok anak yang mendapatkan mp-asi menu 4 (empat) kwadran rata-rata mengalami kenaikan bb sebesar 642 gram. sedangkan pada sebarannya anak yang mendapatkan mp-asi menu tunggal mengalami penurunan bb sampai dengan 200 gram dan mengalami kenaikan bb maksimal 1.000 gram dan pada kelompok responden yang mendapatkan mp-asi menu 4 (empat) kwadran mengalami kenaikan antara 300 gram sampai 1.100 gram hasil analisis bivariat berikut ini hasil analisis deskriptif menu mpasi dan status pertumbuhan jenis mp-asi n mean sd min maks menu tunggal 33 0.387 .25592 0,200 1.000 menu 4 kwadran 41 0,512 .24167 0,300 1.100 sumber data juli 2019 tabel 2 hasil analisis deskriptif menu mp-asi dan status pertumbuhan tabel 3 hasil uji normalitas dan uji independen t-tes menu mp-asi dengan status pertumbuhan jenis mp-asi shapiro-wilk nilai sig (2-tailed) menu tunggal 0.741 0,003 menu 4 kwadran 0,822 sumber data juli 2019 pada tabel 2 menunjukkan pada kelompok mp-asi menu tunggal hampir setengah responden (42,8%) status pertumbuhannya naik dan pada kelompok mp-asi 4 (empat) kwadran hampir seluruhnya (97%) mengalami status pertumbuhan naik. pada analisa bivariat berikutnya pada penelitian ini menggunakan uji bivariat independent t-tes. adapun syarat uji independen t-tes yakni data terdistribusi normal yang dipaparkan melalui hasil shapiro-wilk. pada tbel 3 menunjukkan hasil normalitas shapiro wilk pada menu tunggal = 0,741 dan pada menu 4 (empat) kwadran = 0,822 yakni lebih besar dari 0,05 yang menandakan distribusi normal, dan pada uji independent t-test didapatkan nilai p = 0,003 <  (0,05). maka terdapat perbedaan antara mpasi menu tunggal dengan 4 kwadran terhadap status pertumbuhan pada anak pembahasan hasil uji statistik menggunakan indenpendent t-test dengan spps for windows didapatkan nilai probabilitas (sig) = 0,003 <  (0,05) berarti ada perbedaan antara mp-asi menu tunggal dengan 4 kwadran terhadap status pertumbuhan pada anak. penilaian status pertumbuhan pada anak dapat diketahui melalui pengukuran berat badan (bb), tinggi badan (tb) yang disesuaikan dengan usia (supariasa, 2010). pada penelitian ini peneliti menggunakan ukuran berat badan (bb) dengan usia anak yang didapatkan melalui data sekunder kartu menuju sehat (kms) yang dimiliki anak. status pertumbuhan dapat disimpulkan melalui pengamatan berat badan (bb) terhadap nilai kenaikan bb minimal (kbm). pada usia 6 bulan sampai 7 bulan kbm pada kms sebesra 400 gram, artinya jika selisih bb saat usia 7 bulan dan 6 bulan kurang dari 400 gram berarti belum mencukup nilai kbm. dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pada kelompok mp-asi menu tunggal hampir setengah dari responden (39%) status pertumbuhannya naik dan pada kelompok mp-asi menu 4 (empat) kwadran hampir seluruhnya (83%) mengalami status pertumbuhan naik. pengukuran pemberian mp-asi pada penelitian ini dengan cara wawancara pada ibu bayi menggunakan kuisioner yang berisi pertanyaan seputar menu atau pola kebiasaan pemberian mpasi saat anak berusia 6 sampai 8 bulan. pada pengukuran mp-asi peneliti menggali kebiasaan pemberian mp-asi yang paling dominan atau paling 63munjidah, rahayu, perbedaan pemberian mp-asi menu tunggal dan ... sering diberikan orang tua terhadap anaknya saat usia 6 bulan sampai 8 bulan. peneliti mengelompokkan menu mp-asi menjadi menu tunggal dan menu 4 (empat) kwadran. pada kelompok menu tunggal, peneliti mendapati orang tua hanya memberikan anak 1 jenis makanan yakni berupa sayur, buah dan atau tepung-tepungan dan baru memberikan makanan yang mengandung protein dan lemak saat anak berusia diatas 10 bulan. pada kelompok menu 4 (empat) kwadran peneliti mendapati hampir seluruh orang tua memberikan mp-asi dalam bentuk fortifikasi/ bubur instan dengan merk cerelac, sun dan sebagian kecil mengkonsumsi bubur fortifikasi merk promina, dengan tetap memberikan asi, dan sebagian kecil memberikan asi dan susu formula. pengumpulan data pada variabel status pertumbuhan, peneliti mengumpulkan data sesuai dengan hasil dokumentasi penimbangan pada kartu menuju sehat (kms) saat anak berusia 6-8 bulan. berdasarkan hasil analisis deskriptif pada status pertumbuhan anak yang mendapatkan mp-asi menu tunggal didapatkan hasil bahwa rata-rata mengalami kenaikan bb sebesar 325 gram, dengan sebaran paling kecil mengalami penurunan bb sebesar 200 gram dan maksimum mengalami kenaikan bb sebesar 1.000 gram. sedangkan status pertumbuhan pada anak yang mendapatkan mp-asi menu 4 (empat) kwadran didapatkan hasil rata-rata mengalami kenaikan bb 642 gram dengan sebaran kenaikan bb minimum 300 gram dan kenaikan bb maksimum 1.100 gram. kenaikan bb pada kelompok responden mpasi menu 4 (empat) kwadran dipengaruhi oleh pemberian mp-asi, pemberian mp-asi menu tunggal hanya mengandung serat, vitamin dan mineral tidak dapat mencukupi kebutuhan anak, dalam hal ini kebutuhan anak tidak hanya dipandang sebagai kebutuhan kalori / hari, namun lebih dari itu bahwasanya pada masa 2 tahun pertama kehidupan anak juga dibutuhkan mikronutrien essential untuk perkembangan otak dan syaraf. kebutuhan nutrisi pada anak usia 6 bulan keatas lebih kompleks, karbohidrat, lemak, protein harus diberikan dalam jumlah yang cukup dengan tekstur halus, demikian juga untuk mikronutrien lain, misalnya zat besi, seng dan lain sebagainya. hal tersebut telah dibuktikan oleh dewi andarina dkk melalui penelitiannya di tahun 2006 yang mengungkapkan bahwa ada korelasi signifikan antara kadar hemoglobin anak dengan konsumsi protein hewani dan makanan mengandung zat besi. who global strategy for feeding infant and young children (2003) merekomendasikan agar pemberian mp-asi memenuhi 4 (empat) syarat yaitu: tepat waktu, adekuat, aman dan diberikan dengan cara benar. rekomendasi idai (2015) bahwa pemberian mp-asi harus adekuat; jumlah, frekuensi, dan tekstur. dalam rekomendasi idai tersebut juga dipaparkan bahwa praktik pemberian mp-asi harus mengandung zat nutrisi karbohidrat, protein, lemak, vitamin/serat dan asi sejak pemberian pertama. pemberian mp-asi adekuat yang dimaksud adalah mp-asi memiliki kandungan energy, protein dan mikronutrien yang memenuhi kebutuhan bayi sesuai usianya. pada awal kehidupan bayi, bayi mengalami perkembanga otak, otot dan tulang rangka yang pesat. 95% otak berkembang pada 3 tahun pertama kehidupan. beberapa zat essential (yang harus diperoleh dari makanan) misalnya asam amino dan zat besi sangat diperlukan dalam pembentukan sinaps dan neurotransmitter yang mempengaruhi kecepatan berpikir. (idai. 2015). pada mp-asi menu tunggal misalnya pure pisang atau bubur tepung beras maka keduanya tidak dapat memenuhi kebutuhan kalori perhari bayi, selain itu kandungan zat besi dan lemak esensialnya juga tidak dapat memenuhi kebutuhan anak (idai. 2012). praktek pemberian mp-asi 4 (empat) kwadran dapat diberikan dengan cara langsung, yakni ibu atau pengasuh membuat mp-asi dengan komposisi zat gizi lengkap dan asi atau melalui bubur fortifikasi. hal tersebut sesuai dengan rekomendasi idai (2015) bahwa dalam makanan atau bubur fortifikasi telah sesuai dengan aturan codex stan 074-1981 rev 2006 untuk industri yang mengatur komposisi zat gizi, penggunaan bahan tambahan pangan, serta keamanan mp-asi fortifikasi yang diproses industri. di negara maju makanan yang difortifikasi merupakan langkah kedua dalam upaya pemenuhan kebutuhan zat gizi, diberikan bila konsumsi makanan zat gizi tidak cukup atau memungkinkan karena berkaitan dengan keterampilan orak motor dan kapasitas lambung bayi. (idai. 2014). hal tersebut juga dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh rosalinna dkk tahun 2015 yang menunjukkan ada pengaruh penerapan booklet menu seimbang dengan kenaikan berat badan pada bayi usia 6-12 bulan. (rosalinna. 2019). 64 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 059–064 kesimpulan ada perbedaan pemberian mp-asi menu tunggal dan 4 (empat) kwadran terhadap status pertumbuhan pada anak saran bagi ibu balita dan tenaga kesehatan hendaknya memberikan mp-asi dengan menu 4 (empat) kwadran yakni yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dengan tetap memberikan asi daftar pustaka andarina dewi dkk. (2006). hubungan konsumsi protein hewani dan zat besi dengan kadar hemoglobin balita usia 13-36 bulan. http://skp.unair.ac.id/ repository/jurnal_pdf/jurnal_1992.pdf akses : 22 januari 2020 pukul 10.55 wib almatsier, s. (2011) prinsip dasar ilmu gizi edisi 6. jakarta: gramedia pustaka utama. arisman, mb. (2013). buku ajar ilmu gizi: gizi dalam daur kehidupan edisi 2. jakarta: egc. depkes ri. (2010). pedoman umum pemberian makanan pendamping asi (mp-asi. lokal departemen kesehatan dan kesejahteraan sosial ri. jakarta handindita meta. (2016). mommyclopedia: panduan lengkap merawat bayi 0-12 bulan. jakarta: gramedia pustaka utama handindita meta. (2019). mommyclopedia: tanya jawab tentang nutrisi di 1000 hari pertama kehidupan anak. jakarta: gramedia pustaka utama idai. (2011). masalah makan pada balita. penelitian pendahuluan. sjarif dr. ukk nutrisi dan penyakit metabolik. (unpublished) idai. (2012). rekomendasi asuhan nutrisi pediatrik. jakarta: badan penerbit idai idai. (2012). ukk nutrisi dan penyakit metabolik ikatan dokter anak indonesia. jakarta: badan penerbit idai idai. (2014). pendekatan diagnosis dan tata laksana masalah makan pada batita di indonesia. unit kerja koordinasi nutrisi dan penyakit metabolik. jakarta: badan penerbit idai idai. (2015). rekomendasi praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi dan balita di indonesia untuk mencegah malnutrisi. unit kerja koordinasi dan penyakit metabolik idai. jakarta: badan penerbit idai indiarti, mt. (2014). a to z the golden age. yogyakarta: andi indiarti, mt. (2015). asi susu formula dan makanan bayi. yogyakarta: elmatera publishing. riset kesehatan dasar (riskesdas) (2018). badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan ri tahun 2018 rosalinna dkk. (2019). pengaruh penerapan booklet menu seimbang dengan kenaikan berat badan pada bayi usia 6-12 bulan. dipublikasikan pada jurnal nasional kebidanan dan kesehatan tradisional poletekes kemenkes surakarta. vol 4. no 1 2019. http://www.jurnalbidankestrad.com/index. php/jkk/article/view/94/86 akses 22 januari pukul: 13.15 wib supariasa, i., bakri, b., fajar.i. (2010). penilaian status gizi. jakarta: egc who. (2003). global strategy for infant and young child feeding. model chapter for textbooks for medical student and allied health profesionals. geneva who. (2003). guiding principles for complementary feeding of breastfed child. 73fitria, haqqattiba’ah, pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap ... 73 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap pengurangan nyeri haid (disminore) pada remaja putri fitria1, arinal haqqattiba’ah2 1,2fakultas kebidanan, stikes surabaya info artikel sejarah artikel: diterima,09/08/2019 disetujui, 20/11/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: akupresur; nyeri haid; remaja abstrak hasil survei who menunjukkan wanita usia subur mengalami disminore sebesar lebih dari 80% ketika haid dan 67,2% terjadi di umur 13-21 tahun. siswi smk darul amin dari 32 siswi sebanyak 28 siswi pernah mengalami nyeri haid (dismenore) saat menstruasi, merasakan sakit pada bagian perut dan menjalar kebawah bagian panggul, dan merasa kurang nyaman saat beraktivitas di sekolah. salah satu penanganan nyeri haid secara non-farmakologis adalah akupresur dengan teknik tuina. tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap pengurangan disminore pada remaja putri. desain penelitian ini adalah pra experiment (one group pre test post test). pelaksanaan penelitian dilakukan selama 2 minggu oleh peneliti yang telah mengikuti pelatihan akupreseur di badan lembaga pendidikan tenaga kesehatan (lptk) “prima gemilang”. intervensi dilakukan dengan metode chang sesuai dengan diagnosa disminore menurut chinese medicine pada responden. populasi penelitian ini seluruh remaja putri kelas x dan xi smk darul amin madura dengan populasi sebanyak 43 responden, besar sampel 21 responden dengan teknik accidental sampling. instrumen penelitian berupa lembar observasi dan kuesioner. wilcoxon signed ranks test digunakan dalam menganalisa data. berdasarkan hasil penelitian bahwa nyeri haid responden setelah intervensi berupa akupresur dengen teknik tuina diperoleh adanya perubahan nyeri haid berkurang, dengan hasil analisa signifikan yaitu nilai p = 0,000. akupresur dengan teknik tuina adalah salah satu bentuk fisioterapi dengan menggosok, menekan, memijat, memukul dan tindakan sederhana lainnya pada titik-titik akupoin tertentu pada tubuh (garis aliran energi atau meridian) untuk menurunkan nyeri haid. teknik ini dapat diimplementasikan ke dalam asuhan kebidanan komplementer sebagai pengurangan disminore pada remaja putri. history article: received, 09/08/2019 accepted, 20/11/2019 published, 05/04/2020 article information the effect of acupressure on reducing haid pain (disminore) in adolescent education abstract survey result of world healt organization (who) show more than 80% women of childbearing age run into dysmenorrhea during menstruation http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p0073-081&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 74 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 073–081 correspondence address: stikes surabaya east java, indonesia p-issn : 2355-052x email:kirei25fitria@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/v7i1.art.p073–081 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan nyeri haid atau disminore merupakan kondisi yang menganggu sebagian besar wanita saat menstruasi tanpa memandang usia dengan presentase terbanyak di usia remaja awal yang baru mengalami menarche. disminore dikenal juga dengan istilah gangguan yang bersifat symptomatic artinya kelainan ini bukan merupakan suatu penyakit tetapi hanya salah satu gejala yang muncul dan dapat menyebabkan rasa ketidaknyamanan (gant & cunningham, 2016). proses terjadinya nyeri haid atau disminore yaitu pada fase poliferasi menuju fase sekresi terjadi peningkatan kadar prostaglandin di endometrium secara berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya kontraksi miometrium sehingga terjadi iskemik yang diikuti dengan penurunan kadar progesteron pada akhir fase luteal. hal ini menyebabkan rasa nyeri pada otot uterus sebelum, saat, dan setelah haid (nugroho, 2015). kerugian kesehatan seseorang wanita yang mengalami disminore jika dilihat dari segi ekonomi yaitu biaya obat, perawatan medis, dan penurunan produktivitas. beberapa literatur menyatakan variasi prevalensi secara substansial. dismenore membuat waita terutama siswi tidak dapat beraktifitas secara normal, sebagai contoh siswi yang mengalami dismenore primer tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar dan motivasi belajar menurun karena nyeri yang dirasakan( ju h,et al, 2013, parke, 2010). hasil survei world health organization (who) tahun 2013 menunjukkan lebih dari 80% wanita usia subur mengalami disminore ketika haid, dan 67,2% nya terjadi pada kelompok umur 13-21 tahun. kebanyakan perempuan di indonesia yang mengalami dismenore tidak melaporkan atau berkunjung ke dokter. sebanyak 90% perempuan indonesia pernah mengalami dismenore (gumangsari, 2014). prevalensi angka kejadian dismenore di indonesia menur ut jur na l occupational environtmental cukup tinggi yaitu 54,98 % dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder. siswi smk darul amin dari 32 siswa sebanyak 28 siswa pernah mengalami nyeri haid (dismenore) saat sedang mengalami menstruasi, merasakan sakit pada bagian perut dan menjalar kebawah bagian panggul, dan merasa kurang nyaman saat beraktivitas di sekolah disminore atau nyeri haid dibagi menjadi dua yaitu disminore primer dan disminore sekunder. seseorang dikatakan mengalami disminore primer jika terjadi nyeri saat haid tetapi tidak ditemukan kelainan pada genetalia, sementara disminore sekunder terjadi nyeri saat haid tetapi terdapat kelainan period and 67,2% run into 13-21 years old group. one of the non-pharmacological handling of menstrual pain is acupressure. the study aimed to find out the influence of acupressure on reduction of menstrual pain (dysmenorrhea) in adolescent girls. pre-experiment (one group pre-post test) is the design used in this study. the population of this study is that of all the girls’ teenagers of x and xi high school classes at darul amin high school of madura, 43 population and samples used as many as 21 samples using accidental sampling. the wilcoxon signed ranks test is used in analyzing data. based on the results of the study that menstrual pain responders after the intervention in the form of acupressure obtained a change in menstrual pain decreases, with the results of a significant analysis of the value p = 0,000. acupressure is one form of physiotherapy by giving massage and stimulation at certain points on the body (energy flow lines or meridian) to lower pain. this technique can be implemented in complementary midwifery care as a reduction in menstrual pain (disminore) in young women. ©2020 jurnal ners dan kebidanan keywords: acupressure; dysmenorrhea; adolescent https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 75fitria, haqqattiba’ah, pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap ... yang menyertai seperti keputihan (irianto, 2015). nyeri disminore primer diduga berasal dari kontraksi rahim yang dirangsang oleh prostaglandin. nyeri dirasakan semakin hebat ketika bekuan atau potongan jaringan dari lapisan rahim melewati serviks (nugroho, taufan & bobby indra, 2014). proses terjadinya dismenore primer disebabkan oleh peningkatan prostaglandin (pg) f2-alfa bagian suatu siklooksigenase (cox-2), sehingga mengakibatkan hipertonus dan vasokonstriksi pada myometrium, mengakibatkan terjadi iskemia dan nyeri pada bagian bawah perut. adanya kontraksi yang kuat dan lama pada dinding rahim, hormon prostaglandin yang tinggi dan pelebaran dinding rahim saat mengeluarkan darah haid sehingga terjadilah nyeri saat haid (marlina, 2012). kekakuan atau kejang di bagian bawah perut merupakan gejala yang dirasakan saat diminorea. ketidaknyamanan saat disminore menyebabkan mual, muntah, mudah marah, gampang tersinggung, mual, muntah, kenaikan berat badan, perut kembung, punggung terasa nyeri, sakit kepala, timbul jerawat, tegang, lesu, dan depresi. gejala ini datang sehari sebelum haid dan berlangsung 2 hari sampai berakhirnya masa haid. (marlina, 2012). berdasarkan penelitian parker ma et al. terdapat beberapa gangguan psikologi yakni dilaporkan 73% merasa ingin marah-marah, 65% depresi, 52% merasa sangat sedih, 32% merasa kewalahan, dan 25% merasa ingin bersembunyi (parker, 2010). nyeri haid (disminore) dapat dikurangi dengan pengobatan secara farmakologi dan non-farmakologi. pengurangan nyeri disminorea secara farmakologi dengan menggunakan obat-obatan hanya dapat diberikan sesuai dengan gejala yang timbul, karena setiap obat dapat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendak. tindakan kebidanan harusnya lebih mengutamakan yang lebih alamiah secara non farmakologi yaitu salah satunya dengan akupresur untuk mencegah / meringankan gejala disminorea ((ernawati,et al 2017). akupresur merupakan ilmu penyembuhan yang berasal dari tionghoa sejak lebih dari 500 tahun yang lalu.akupresur sebagai seni dan ilmu penyembuhan berdasarkan pada teori keseimbangan yang bersumber dari ajaran taoisme. taoisme mengajarkan bahwa semua isi alam raya dan sifat-sifatnya dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yang disebut kelompok yin dan kelompok yang.akupresur adalah salah satu bentuk fisioterapi dengan memberikan pemijatan dan stimulasi pada titik-titik tertentu pada tubuh (garis aliran energi atau meridian) untuk menurunkan nyeri (widyaningrum, 2013). akupresur pada penelitian ini menggunakan teknik tuina disebut juga anmo yaitu bagian terpenting dari traditional chinese medicine (tcm). terapis (pelaksana) melakukan manipulasi atau gerakan tuina pada permukaan tubuh pasien berdasarkan kondisi pasien, dan jenis penyakit yang dialami. manipulasi atau gerakan yang dilakukan dapat berupa mendorong, memegang, menggosok, menekan, memijat, memukul, dan tindakan sederhana lain pada titik akupoin atau daerah tertentu pada permukaan tubuh. penekanan yang dilakukan pada titik dapat menekan prostaglandin sehingga jumlah prostaglandin menurun dan merangsang tubuh untuk menghasilkan endorphin (hendrata, 2012). salah satu efek penekanan titik akupresur dapat meningkatkan kadar endorfin yang berguna untuk pereda nyeri yang diproduksi tubuh dalam darah dan opioid peptida endogeneus di dalam susunan syaraf pusat. jaringan syaraf akan memberi stimulus pada sistem endokrin untuk melepaskan endorfin sesuai kebutuhan tubuh dan diharapkan dapat menurunkan rasa nyeri saat menstruasi (widyaningrum, 2013). tujuan dari pengobatan nyeri dysmenorrhea dengan teknik akupresur untuk menyeimbangkan hormon yang berlebihan karena pada dasarnya dysmenorrhea merupakan sakit yang berhubungan dengan ketidakseimbangan hormon (laila, 2011). penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap pengurangan nyeri haid (disminore) pada remaja putri bahan dan metode penelitia n ini mengguna ka n r a nca nga n praexperiment (one group pre-post test). populasi dalam penelitian ini adalah semua remaja putri kelas x dan xi di smk darul amin madura sejumlah 43 siswi. besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus slovin didapatkan 21 siswi. teknik pengambilan sampel dengan accidental sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. adapun kriteria inklusi adalah 1) remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) primer selama kurun waktu penelitian, 2) remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) tanpa mengkonsumsi obatobatan, 3) remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) yang sesuai dengan diagnosa menurut chinese medicine. sedangkan kriteria ekslusi 76 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 073–081 adalah 1) remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) dengan luka terbuka, patah tulang yang belum sembuh, luka lecet, luka benda tajam, luka bakar, dan luka lain di kulit, 2) remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) tidak dalam keadaan terlalu lapar atau terlalu kenyang, 3) remaja putri mengundurkan diri atau tidak ada di tempat saat penelitian. variabel independen dalam penelitian ini adalah akupresur dengan teknik tuina, sedangkan variabel dependen adalah nyeri haid (disminore).instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar observasi dengan skala nyeri nrs (numerical scale rating) dan lembar kuesioner untuk mengetahui klasifikasi disminore, diagnosa remaja yang mengalami nyeri haid (disminore) berdasarkan diagnosa chinese medicine. pelaksanaan penelitian dilakukan selama 2 minggu oleh peneliti yang telah mengikuti pelatihan akupreseur dengan teknik tuina di badan lembaga pendidikan tenaga kesehatan (lptk) “prima gemilang”. peneliti melakukan akupreseur sesuai dengan diagnosa disminorea yaitu penyumbatan energi dan stagnasi darah, retensi dingin dan penyumbatan energi, defisiensi energi dan darah, defisiensi yin hati dan ginjal secara. masing-masing dignosa menggunakan teknik akupreseur berbeda di masing-masing tubuh. sop akupresur dengan teknik tuina mulai dari persiapan alat, lingkungan, klien, petugas. tindakan akupresur dengan teknik tuina menurut metode chang yang dilakukan untuk semua diagnosa menurut chinese medicine yaitu: 1) teknik menggosok bagian atas perut secara transversal pada titik (sp 16) dan daheng (sp 15) di sisi lainnnya. ulangi gerakan 5-10 menit. 2) teknik menggosok bagian atas pubis secara transversal pada titik guilai (st 29) dan qichong (st 30). ulangi gerakan 5-10 menit 3) teknik penekanan sepanjang medial tulang iliakan pada titik wushu (gb 27) dan qichong (st 30. ulangi gerakkan 1-2 menit. 4) teknik menggosok dada pada bilateral yuanye (gb 22) dan dabao (sp 21) hingga qimen (lr 14). ulangi gerakan 1-3 menit. 5) teknik meremas dan mencubit sepanjang medial paha pada titik yinlian (lr 11) dan zuwuli (lr 10), remas dan cubit otot bagian tengah dari yinbao (lr 9) ke ququan (lr 8). ulangi gerakan 3-5 menit. 6) teknik memencet dan menekan bagian tulang belakan. ibu jari diletakkan pada titik dazhu (bl 11) hingga ke geshu (bl 17). ulangi gerakan 3-5 menit. 7) teknik menekan dengan ibu jari pada bagian tulang belakang (lumbal) pada titik bilateral shensu (bl 23) hingga titik daimai (gb 26). ulangi gerakan 1-3 menit. pelaksanaan akupreseur berdasarkan diagnosa 1. penyumbatan energi (qi) dan stagnasi darah la kuka n akupr eseur denga n teknik 1-7 ditambah dengan : a) penekanan pada titik guilai (st 29) dan qichong (st 30). tekan pada titik 1-3 kali, selama 15-60 detik. 2. retensi dingin dan penyumbatan energi (qi) lakukan akupreseur dengan teknik 1-7 ditambah dengan: a) teknik menggosok pa da kedua sisi umbilicus pada titik tianshu (st 25) dan huangshu (ki 16), shuidao (st 28) dan qixue (ki13). ulangi gerakan 5-10 menit. b) teknik penekanan pada qichong (st 30) 1-3 kali, selama 10-30 detik. c) teknik penekanan secara memutar pada sanyinjiao (sp 6), zhaohai (ki 6) dan taichong (lr 3) pada kedua titik pada saat yang sama 1-3 menit. 3. defisiensi energi (qi) dan darah lakukan akupreseur dengan teknik 1-7 ditambah dengan: a) teknik mendorong samping abdomen pada titik fuai (sp 16) dan guanmen (st 22) pijat menuju daheng (sp 15) dan tianshu (st 25) dan berhenti pada fushe ( sp 13) dan shuidao (st 28) . ulangi gerakan 2-3 menit. b) teknik penekanan dengan jari-jari pada hypochondrium untuk menguatkan energi (qi) pada titik bilateral dazhu (bl 11) menuju titik xinshu (bl 15) dan berhenti di geshu (bl 17). ulangi gerakan 3-5 kali 4. defisiensi yin hati dan ginjal lakukan akupreseur dengan teknik 1-7 ditambah dengan: a) teknik menekan bagian lumbosacral pada bagian belakang dengan kepalan sebagian pada titik mingmen (gv 4) dan shensu (bl 23), menuju yaoshu (gv 2) dan berhenti pada baihuanshu (bl 30). ulangi gerakan 2-5 menit. 77fitria, haqqattiba’ah, pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap ... b) teknik pemijatan sakrum secara transversal. letakkan satu telapak tangan pada baohuang (bl 53), pijat secara transversal melewati baliao ( bl 31-bl 34) dan berhenti pada baohuang (bl 53) pada sisi berlawanan. ulangi gerakan 3-5 menit. c) teknik penekanan dengan kedua telapak tangan di bagian lumbal pada daerah mingmen (gv 4) dan letakkan satunya diatas tengan. penekanan pada titik 3-5 kali. uji normalitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah shapiro-wilk, dengan hasil uji normalitas data didapat hasil p = 0,001 yang berarti data tidak berdistribusi normal, sehingga analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji wilcoxon dengan menggunakan aplikasi spss 20. hasil penelitian data umum distribusi frekuensi responden berdasarkan diagnosa nyeri haid (disminore) diagnosa akupresur frekuensi (%) penyumbatan energi (qi) dan stagnasi darah 0 0 retensi dingin dan penyumbatan energi (qi) 9 42,9 defisiensi energi (qi) dan darah 11 52,4 defisiensi yin hati dan ginjal 1 4,8 jumlah 21 100 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan nyeri haid (disminore) pada remaja putri smk darul amin madura tahun 2019 berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan, bahwa sebagian besar jumlah remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) dengan defisiensi energi (qi) dan stagnasi darah. data khusus tingkat nyeri haid (disminore) sebelum dilakukan akupresur pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 tingkat frekuensi (%) mean nyeri haid 3 1 4,8 5,62 4 4 19,0 5 4 19,0 6 7 33,3 7 3 14,3 8 2 9,5 total 21 100 tabel 2 tingkat nyeri haid (disminore) sebelum dilakukan akupresur pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 berdasarkan tabel 2 dapat diinterpretasikan, bahwa tingkat nyeri haid (disminore) sebelum dilakukan akupresur pada remaja putri hampir mengalami tingkat nyeri dengan skor 6. tingkat nyeri haid (disminore) sesudah dilakukan akupresur dengan teknik tuina pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 tingkat frekuensi (%) mean nyeri haid 1 2 9,5 2,76 2 7 33,3 3 9 42,9 4 2 9,5 7 1 4,8 total 21 100 tabel 3 tingkat nyeri haid (disminore) sesudah dilakukan akupresur dengan teknik tuina pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 berdasarkan tabel 3 dapat diinterpretasikan, bahwa tingkat nyeri haid (disminore) setelah dilakukan akupresur dengan teknik tuina pada remaja putri 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 073–081 hampir setengahnya mengalami penurunan menjadi tingkat nyeri 3. perbedaan tingkat nyeri haid (disminore) sebelum dan sesudah dilakukan akupresur dengan teknik tuina pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 mean med min max sd p sebelum terapi 5,62 6,00 3 8 1.359 0,000 sesudah terapi 2,76 3,00 1 7 1.261 tabel 4 perbedaan tingkat nyeri haid (disminore) sebelum dan sesudah dilakukan akupresur dengan teknik tuina pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 berdasarkan tabel 4 dapat diinterpetasikan, bahwa rata-rata nyeri haid sebelum dilakukan akupresur yaitu sebesar 5,62, sedangkan rata-rata nyeri haid sesudah dilakukan akupresur yaitu sebesar 2,76. hal ini dapat disimpulkan bahwa sesudah dilakukan akupresur dengan teknik tuina rata-rata tingkat nyeri haid (disminore) remaja putri mengalami penurunan sebesar 2,86 . hasil uji statistik wilcoxon sign rank test didapatkan p value 0,000 < 0,05, maka h1 diterima artinya ada pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap pengurangan nyeri haid (disminore) pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019. pembahasan tingkat nyeri haid (disminore) sebelum dilakukan akupresur dengan teknik tuina pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa sebelum dilakukan terapi akupresur sebagian besar remaja putri kelas x dan xi di smk darul amin mengalami tingkat nyeri haid yaitu rata-rata sebesar 5,62. disminore adalah nyeri atau rasa tidak enak pada perut bagian bawah sampai ke pinggang yang dirasakan sebelum haid, saat haid selama 1 sampai 2 hari yang biasanya disertai dengan mual sehingga memaksa penderita untuk beristirahat dan meninggalkan aktivitasnya selama beberapa jam atau bahkan beberapa hari (purwoastuti & walyani, 2015). nyeri haid atau disminore primer disebabkan oleh terjadinya peningkatan atau produksi prostaglandin yang tidak seimbang di endometrium selama menstruasi. beberapa faktor resiko penyebab nyeri haid (disminore) yaitu aktivitas fisik yang kurang, status imt (indeks masa tubuh), siklus menstruasi memanjang dan stres (bavil, 2016). menurut peneliti penyebab terjadinya nyeri haid (disminore) yaitu peningkatan kadar prostaglandin yang memicu terjadinya kontraksi uterus, ditambah lagi karena pola makan remaja putri yang tidak teratur karena siswi makan makanan yang sudah disediakan di asrama dan jarang melakukan aktivitas fisik. proses terjadinya nyeri haid atau disminore yaitu pada fase poliferasi menuju fase sekresi terjadi peningkatan kadar prostaglandin di endometrium secara berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya kontraksi miometrium sehingga terjadi iskemik yang diikuti dengan penurunan kadar progesteron pada akhir fase luteal. hal ini menyebabkan rasa nyeri pada otot uterus sebelum, saat, dan setelah haid (nugroho, 2015). kebiasaan olahraga yang rutin meningkatkan sirkulasi darah dan kadar oksigen sehingga aliran darah dan oksigen menuju uterus menjadi lancar dan mengurangi rasa nyeri ketika menstruasi. olahraga yang teratur juga meningkatkan produksi endorpin yang menurunkan kadar stres yang secara tak langsung juga menurunkan rasa nyeri menstruasi. remaja putri yang mengalami kekurangan zat gizi makro, seperti essensial fatty acid (kacangkacangan, ikan, sayur dan buah) akan memicu dismenorea, karena essensial fatty acid ini berfungsi sebagai bahan awal untuk mengatur hormon molekul seperti molekul (prostaglandin) yang mengatur aktivitas sel. tingkat nyeri haid (disminore) setelah dilakukan akupresur p dengan teknik tuina pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa setelah dilakukan terapi akupresur sengan teknik 79fitria, haqqattiba’ah, pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap ... tuina sebagian besar remaja putri mengalami tingkat nyeri haid yaitu rata-rata sebesar 2,76, dapat disimpulkan bahwa setelah diberikan terapi akupresur dengan teknik tuina rata-rata remaja putri mengalami efek penurunan tingkat nyeri haid (disminore) sebesar 2,86. penurunan intensitas diminorea yang dialami oleh responden setelah diberikan terapi akupreseur dengan teknik tuina, adanya efek analgesik yang dihasilkan dengan cara merangsang serabut saraf besar, sehingga gerbang menyempit dan rangsangan pada sel t berkurang dan akhirnya nyeri menstruasi tidak diteruskan ke pusat nyeri sehingga nyeri berkurang (permadi, 1982). selain itu, menurut teori endorphin, terapi akupresur ini dapat meningkatkan kadar endorphin dalam tubuh sehingga nyeri yang dirasakan berkurang (ignativicus, 1995). menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh aprillia (2010), mengemukakan bahwa teknik akupresur dapat mengurangi sensasi sensasi nyeri melalui peningkatan endorphin, yaitu hormon yang mampu menghadirkan rasa rileks pada tubuh secara alami, memblok reseptor nyeri ke otak. hal yang sama juga dijelaskan oleh hartono (2012), bahwa terapi akupresur secara empiris terbukti dapat membantu produksi hormon endorphin pada otak yang secara alami dapat membantu menawarkan rasa sakit saat menstruasi. penekanan titik akupresur dapat berpengaruh terhadap produksi endorphin dalam tubuh, sehingga terjadi dampak analgesik untuk mengurangi nyeri haid (disminore) yang dirasakan. peneliti saat melakukan penelitian semua remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) mengalami pengurangan tingkat nyeri haid (disminore). remaja putri yang mengalami nyeri haid (disminore) diberikan akupresur sebanyak satu kali selama 2530 menit sesuai dengan diagnosa nyeri haid (disminore) yang dialami, sehingga tingkat penurunan nyeri haid (disminore) yang dirasakan berbeda-beda. diagnosa nyeri haid (disminore) yang sering dialami oleh remaja putri saat penelilitian adalah defisiensi energi (qi) dan darah yang ditandai dengan nyeri tumpul pada perut bagian bawah, terjadi pada satu sampai dua hari menstruasi, aliran darah sedikit berwarna merah pucat, terasa kembung pada perut, badan terasa lemas dan kurang nafsu makan. defisiensi energi (qi) dan darah ini terjadi karena fungsi organ produksi darah, limpa dan lambung menurun oleh sebab itu dilakukan akupresur pada titik akupoin yaitu pada titik limpa yaitu fuai (sp 16), daheng (sp 15), fushe (sp 13), titik lambung yaitu gaunmen (st 22), tianshu (st 25), shuidao (st 28) dan titik produksi darah yaitu dazhu (bl 11), xinshu (bl 15) dan geshu (bl 17). menurut koosnadi (2017) organ yang meliputi organ reproduksi yaitu limpa (pi) dan lambung (wei). limpa (pi) berfungsi untuk mengatur pengiriman, pengolahan, mengendalikan darah dan energi (qi) untuk organ bagian bawah seperti uterus, kandung kemih, lambung dan ginjal, sedangkan lambung (wei) berfungsi untuk mengatur penyerapan dan menampung energi (qi) dan darah, apabila terjadi penurunan fungsi limpa dan lambung maka energi (qi) limpa dan lambung tersumbat dan mengakibatkan efek nyeri sehingga perlu dilakukan akupresur agar energi (qi) bisa mengalir seperti biasanya. pengaruh akupresur terhadap pengurangan nyeri haid (disminore) pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019 hasil dari uji wilcoxon sign rank test dengan p value 0,000 < 0,05 maka terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah akupresur terhadap pengurangan nyeri haid (disminore) pada remaja putri di smk darul amin madura tahun 2019. akupresur adalah salah satu bentuk fisioterapi dengan memberikan pemijatan dan stimulasi pada titik-titik tertentu pada tubuh (garis aliran energi atau meridian) untuk menurunkan nyeri (widyaningrum, 2013). adanya aliran energi vital di tubuh chi atau qi (cina) dan ki (jepang) merupakan prinsip prinsip dari akupreseur. sebagai indicator jika aliran ini terhambat atau berkurang, maka akan sakit ataupun sebaliknya. meridian adalah suplai dan aliran energi berjalan sepanjang tubuh disaluran listrik tubuh yang tidak kelihatan. faktor-faktor yang memengaruhi baik tidaknya meridian seseorang tergantung dari olah tubuh, olah nafas, olah fikiran, kepribadian, postur tubuh, gaya hidup, pola makan. akupreseur merupakan salah satu cara untuk melancarkan energi vital dengan menekan titik tertentu dikenal dengan nama acupoint, sehingga akan aliran energi di meridian akan terstimulasi (turana, 2004). akupreseur dengan teknik tuina disebut juga anmo yaitu bagian terpenting dari traditional chinese medicine (tcm). terapis (pelaksana) melakukan manipulasi atau gerakan tuina pada permukaan tubuh pasien berdasarkan kondisi pasien, dan jenis penyakit yang dialami. manipulasi atau gerakan yang dilakukan dapat berupa mendorong, 80 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 073–081 memegang, menggosok, menekan, memijat, memukul, dan tindakan sederhana lain pada titik akupoin atau daerah tertentu pada permukaan tubuh. penekanan yang dilakukan pada titik akupoin dapat menekan prostaglandin sehingga jumlah prostaglandin menurun dan merangsang tubuh untuk menghasilkan endorphin (hendrata, 2012). endorphine merupakan zat yang memiliki banyak manfaat diantaranya sebagi pengatur produksi hormon pertumbuhan dan seks, pengendali rasa nyeri serta sakit yang menetap, pengendali perasaan stres, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. adanya stimulus stimulus nyeri yang dihantarkan ke otak akan terjadi pelepasan neurotransmitter inhibitor (endorphin dan enkefalin) yang tugasnya menghambat dan membantu menciptakan pembunuh nyeri alami yang ada didalam tubuh. aktivitas endorphine sebagai usaha dalam relaksasi dan menurunkan kesadaran nyeri dengan meningkatkan aliran darah ke area yang sakit, merangsang reseptorsensori di kulit dan otak dibawahnya, mengubah kulit, memberikan rasa nyaman dikaitkan dengan kedekatan manusia, meningkatkan sirkulasi lokal, stimulasi pelepasan endorfin, penurunan katekolamin endogen rangsangan terhadap serat eferen yang mengakibatkan blok terhadap rangsangan nyeri (brunner & sudart, 2002). hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh mardiatun (2013) yang menyatakan bahwa terapi akupresur lumbal 4 dan 5 (meridian kandung kemih) berpengaruh dalam penurunan tingkat nyeri haid (disminore) dengan hasil p = 0,000 (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyeri antara sebelum terapi dengan sesudah terapi akupresur secara signifikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh akupresur terhadap penurunan tingkat nyeri haid pada remaja di poltekkes kemenkes mataram. berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tuti s, tri w dan mundart yang berjudul “akupresur dan pengurangan nyeri haid (dismenore primer)” mengemukakan setelah diberikan terapi akupresur pada bulan pertama, terjadi penurunan intensitas nyeri haid pada responden yaitu 4% (7 responden) merasakan tidak nyeri haid yang sebelumnya memiliki tingkatan nyeri ringan, 96% (153 responden) merasakan nyeri ringan yang sebelumnya memiliki tingkatan nyeri sedang dan tingkatan nyeri berat. tes statistik menunjukkan nilai yang signifikan yaitu 0.000 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nyeri antara sebelum terapi akupresur dengan sesudah terapi akupresur. berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh riska febrianti yang berjudul “akupresur titik sp10 menurunkan tingkat nyeri menstruasi pada mahasantri pondok pesantren k. h. sahlan rosjidi”. tingkat nyeri menstruasi (dysmenorrhea) sebelum dilakukan tindakan akupresur titik xuehai (sp10) dengan rerata 5,11. tingkat nyeri menstruasi (dysmenorrhea) sesudah dilakuka n tindakan akupresur titik xuehai (sp10) dengan rerata 3,67. ada efektifitas akupresur titik xuehai (sp10) terhadap tingkat nyeri menstruasi (dysmenorrhea) pada mahasantri di pondok pesantren k. h. sahlan rosjidi universitas muhammadiyah semarang dengan p value sebesar 0,000 <0,05. penurunan skala nyeri pada titik meridian pms xuehai (sp 10) menimbulkan reaksi deqi (rasa baal, berat, kemeng) yang pada akhirnya akan merangsang pelepasan neurotransmitter penghambat nyeri melalui mekanisme kerja akupunktur analgesia. peneliti berpendapat bahwa penekanan pada titik akupoin dengan akupreseur teknik tuina dapat memberikan kenyamaan saat nyeri haid (disminore) yang dirasakan berkurang. kesimpulan responden penelitian yang mengalami nyeri haid (disminore) sebelum dilakukan terapi akupresur dengan teknik tuina rata-rata mengalami tingkat nyeri haid sebesar 5,62. reponden penelitian yang mengalami nyeri haid (disminore) sesudah dilakukan terapi akupresur dengan teknik tuina rata-rata mengalami tingkat nyeri haid sebesar 2,76. ada pengaruh akupresur pada remaja putri smk darul amin madura tahun 2019 saran penelitian ini dapat digunaka sebagai referensi dalam pengembangan asuhan alternatif kebidanan yang berkaitan dengan pengurangan nyeri haid pada remaja putri dengan teknik akupresur. daftar pustaka brunner & suddarth. (2002).buku ajar keperawatan medikal bedah, alih bahasa: waluyo agung., yasmin asih., juli., kuncara., i.made karyasa, egc, jakarta bavil, d.a., dolatian, m., mahmoodi, z., baghban, alireza, a. (2016).comparison of lifestyles of young woman with and without primary dysmenorrhea. 81fitria, haqqattiba’ah, pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap ... electronic journal physician. vol. 8 (3) : 2107 – 2114. gant, norman dan gary cunningham. (2016). dasardasar ginekologi & obstetri.jakarta : egc hendrata, irwan dan effendy mba. (2012). traditional chi ne se medi c ine . sur a ba ya : inorme c (indonesian oriental medicine education centre). irianto, koes. (2015). kesehatan reproduksi (reproductive health teori & praktikum). bandung : alfabeta. ju h, jones m, mishra g. the prevalence and risk of dysmenorrhea.oxford university press. (2013); 36(1):104-13. marlina e. (2012). pengaruh minuman kunyit terhadap tingkat nyeri dismenore primer pada remaja putri di sma negeri 1 tanjung mutiara kabupaten agam (disertasi). padang: universitas andalas. nugroho, taufan. (2015). buku ajar ginekologi untuk mahasiswa kebidanan.yogyakarta : nuha medika. nugroho, taufan & bobby indra. (2014). masalah kesehatan reproduksi wanita.yogyakarta : nuha medika. parker ma, sneddon ae, arbon p. the menstrual disorder of teenagers (mdot) study: determining typical menstrual patterns and menstrual disturbance in a la rge popula tion ba sed study of aust rali an teenagers. bjog. 2010; 1(17):185-92. kumalasari, intan dan iwan andhyantoro. (2014). kesehatan reproduksi untuk mahasiswa keperawatan dan kebidanan.jakarta : salemba medika laila, nur najmi. (2011). buku pintar menstruasi. yogyakarta : buku biru. saputra, koosnadi. (2017). akupuntur dasar. surabaya: airlangga university press. mardiatun. (2013). pengaruh akupresur dalam meminimalisir disminore primer pada remaja putri di j urusan k e pe rawat an polt e k ke s ke me nk e s mataram. purwoastuti, e dan walyani, e.s. (2015). panduan materi kese hat an r e produksi dan ke l uarga berencana.yogyakarta : pustaka baru. tuti s, tri w, mundarti. (2012). akupresur dan pengurangan nyeri haid (dismenore primer) di jurusan diii kebidanan magelang poltekkes kemenkes semarang. who. (2013). data jumlah penderitadisminorea. www.who.int/gho/en/ diakses pada tanggal 15 maret 2019 widyaningrum, h. (2013). pijat refleksi & 6 terapi alternatif lainnya.jakarta: media pressindo. riska febrianti. (2018). akupresur titik sp10 menurunkan tingkat nyeri menstruasi pada mahasantri pondok pesantren k. h. sahlan rosjid di program studi s1 keperawatan fakultas ilmu keperawatan dan kesehatanuniversitas muhammadiyah semarang. tur an a, yuda, .(2004). a kupresur.from hptt :/ / www.medikaholistik.com. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 50–54 50 respon nyeri pada neonatus paska pengambilan darah setelah dibedong di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi tri winarti rsud ngudi waluyo wlingi email: triwin@gmail.com abstract: newborns in hospitals often have a variety of invasive procedures, so that the baby is experiencing pain. baby’s sense of discomfort and fear which will result from the pain can be observed through the tears. while wrapping the newborn to fit in a blanket (swaddling) can soothe a fussy baby or cry. the purpose of this study was to identify the effect of swaddling on pain response in neonates after venous blood sampling procedures in hospitals ngudi waluyo wlingi. this study was descriptive. samples taken by accidental sampling technique with a sample of 35 neonates. the results showed that swaddled neonates after venous blood sampling procedure was 80% (28 respondents) pulse between 120–160 times per minute, 100% (35 respondents) respiration between 30–60 times per minute and 51.4% (18 respondents) sao2 is greater than 92%. behavioral responses such as shrill and loud cry was 8.4% (24 respondents), stretching in some facial muscles and facial muscles stretching along each was 4.2% (12 respondents), a strong move is 5.95% (17 respondents ), and increased muscle tone face with flexion of the fingers and toes was 7.7% (22 respondents).use of swaddling post venous blood sampling procedures in neonates can be used as a way of making neonates feel comfortable and calm. keywords: swaddling, neonates, pain response abstrak: bayi baru lahir sering mendapatkan berbagai tindakan invasive, sehingga bayi memiliki pengalaman nyeri. bayi merasakan ketidaknyamanan dan ketakutan akibat dari nyeri yang dapat diobserasi melalui tangisan. tindakan pembedongan pada bayi dapat menenangkan bayi. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi respon nyeri pada neonatus paska pengambilan darah setelah dibedong di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi. desain dalam penelitian ini adalah deskriptif. teknik sampling accidental, sebanyak 35 neonatus. hasil penelitian menunjukkan 80% (28 neonatus) heart rate 120–160 kali/menit, 100% (35 neonatus) respirasi rate 30–60 kali/ menit dan 51,4% (18 neonatus) sao2 >92%. respon perilaku seperti melengking dan keras menangis adalah 8,4% (24 neonatus), peregangan di beberapa otot-otot wajah dan otot-otot wajah yang membentang di sepanjang masing-masing 4,2% (12 neonatus), yang kuat bergerak adalah 5.95% (17 neonatus), dan peningkatan tonus otot muka dengan fleksi jari tangan dan kaki adalah 7,7% (22 neonatus). penggunaan prosedur pengambilan sampel darah vena pasca dibedong pada neonatus dapat digunakan sebagai cara untuk membuat neonatus merasa nyaman dan tenang. kata kunci: pembedongan, neonatus, respon nyeri neonatus adalah masa sejak bayi lahir hingga 28 hari, merupakan waktu berlangsungnya perubahan fisik yang dramatis pada bayi baru lahir (bobak & jensen, 2005). menurut hamilton (2005) neonatus atau bayi baru lahir adalah dari lahir sampai usia 1 bulan periode neonatal dimana selama periode ini bayi mengalami proses kelahiran, harus menyesuaikan diri dari kehidupan intra uterin ke kehidupan extrauterin, serta mengalami pertumbuhan dan perubahan yang amat menakjubkan. kita dapat menyimpulkan bahwa neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p050-054 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 51winarti, respon nyeri pada neonatus paska pengambilan darah ... atau usia 1 bulan, di mana pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. bayi baru lahir di rumah sakit sering mengalami berbagai prosedur invasif, sebagai dampaknya bayi mengalami rasa nyeri akibat prosedur yang dilakukan. bayi mampu mempersepsikan rasa nyeri karena jalur transmisi nyeri telah berfungsi mulai usia gestasi 20–22 minggu (hall & anand, 2005). rasa nyeri diterima sebagai bagian dari standar perawatan di rumah sakit. rasa nyeri yang timbul, menimbulkan ketidak nyamanan pada bayi. perilaku distres yang ditunjukkan bayi merupakan cara bayi mengkomunikasikan rasa nyeri yang dirasakannya. rasa ketidak nyamanan bayi, rasa takut yang ditimbulkan akibat dari rasa nyeri tersebut dapat diamati melalui perilaku menangis (hockenberry & wilson, 2007). nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. nyeri merupakan suatu sensasi yang sulit untuk diingat (bounocore & billieni, 2008). namun nyeri dapat didiskripsikan berdasar kriteria yaitu stimulus yang menyebabkan rasa nyeri, perubahan fisiologis tubuh terhadap nyeri, dan perubahan perilaku. kita bisa mengenal stimulus yang berpotensi menimbulkan rasa nyeri apabila melihar reaksi seseorang berkaitan dengan intensitas stimulus yang diberikan. respon fisiologis dan perilaku adalah bahwa mereka merespon terhadap nyeri dan hal ini menyebabkan distres. perubahan fisiologis tubuh berkaitan dengan pengeluaran hormon (kortisol, endorpin, dan epineprin) serta perubahan parameter fisiologis misal denyut jantung, tekanan darah dan pengeluaran keringat. perubahan perilaku yang berkaitan nyeri dapat dilihat dari ekspresi wajah serta respon verbal dari seseorang yang mengalami nyeri. bayi adalah makhluk psikososial yang juga dapat merasakan kecemasan, ketakutan, dan nyeri. rangsangan nyeri pada neonatus menghasilkan efek jangka panjang dan jangka pendek. megel, houser & gleaves (1998) menjelaskan bahwa respon nyeri terdiri dari tiga elemen yaitu perilaku yang jelas terlihat (overt behaviours), perilaku yang tersembunyi (covert behaviours) dan respon fisiologis. perilaku yang jelas terlihat bisa diamati misalnya menangis, menyeringai, menendang, berteriak dan menarik diri. perilaku yang tersembunyi diasosiakan dengan pikiran dan sikap terhadap pengalaman nyeri yang dirasakannya. sedang respon fisiologis berkaitan dengan aktivasi sistem saraf simpatik di mana menyebakan pupil dilatasi, berkeringat, perubahan tanda vital seperti peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan pernafasan. guyton (1999) setuju bahwa perubahan fisiologis dalam tekanan darah, kecepatan pernafasan, tekanan darah, telapak tangan berkeringat diobservasi sebagai respon anak terhadap stimulus yang menyakitkan. bayi baru lahir telah mampu mensekresi katekolamin dan kortisol pada keadaan stres. peningkatan kadar kortisol setelah suatu stimulus nyeri juga terlihat di saliva. bahkan janin dalam kandungan yang mengalami prosedur invasif menunjukkan peningkatan kadar kortisol dan beta-endorfin. perubahan fisiologi dan biokimia yang terjadi memungkinkan respon nyeri diukur secara obyektif (corbo, 2000). faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri pada bayi yang hospitalisasi antara lain: prosedur yang dilakukan, keterampilan operator dalam meminimalkan nyeri dan rasa tidak nyaman, usia gestasi dan posnatal, status perilaku, jumlah pengalaman nyeri sebelumnya, waktu sejak pengalaman nyeri terakhir, keparahan penyakitnya (lissauer & fanaroff, 2009). membungkus bayi baru lahir dengan pas di dalam sebuah selimut (membedong) membuatnya lebih mudah dipegang dan sering kali menenangkan bayi yang rewel. beberapa bayi baru lahir tampak lebih gembira bila lengan mereka berada didalam selimut (reeder, 2012). rumah sakit ngudi waluyo wlingi memiliki ruangan khusus untuk merawat neonatus yang sakit yaitu ruang edelweis. pada bulan juli hingga agustus 2014 di ruang edelweis telah dirawat 953 neonatus, 100% dilakukan prosedur invasif pengambilan darah vena. berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang respon neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah vena setelah dibedong di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi. rumusan masalahnya adalah bagaimana respon neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah setelah dibedong di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi. tujuan dari penelitiannya adalah mengidentifikasi respon neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah setelah dibedong di rsud ngudi waluyo wlingi. manfaat penelitian secara praktis adalah sebagai dasar untuk membuat kebijakan berkaitan implementasi konsep yang menghapuskan atau memperkecil 52 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 50–54 distres psikologis dan fisik yang dalam perawatan neonatus (atraumatic care), khususnya saat dilakukan prosedur yang menimbulkan rasa nyeri. manfaat secara teori adalah memperkaya bahan ajar keperawatan anak, khususnya dalam hal implementasi filosofi atraumatic care yang diberikan pada bayi. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain deskriptif yaitu dengan mendiskripsikan atau menggambarkan fakta-fakta secara sistematis dan akurat hasil penelitian. subyek dalam penelitian ini adalah neonatus di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi yang dilakukan pengambilan darah sebanyak 35 neonatus. pengambilan sampel dengan menggunakan tehnik accidental sampling. variabelnya adalah; respon fisiologis dan respon perilaku. pengumpulan data dengan menggunakan pengukuran; menghitung frekuensi pernafasan dengan stop wacth sedangkan frekuensi nadi dan saturasi oksigen menggunakan puls oksimetry. untuk mengobservasi respon perilaku; tangisan, ketegangan wajah, gerakan wajah, dan tonus otot, menggunakan checklist yang berisi rentang respon dari 1 hingga 5 di masing-masing indikator respon perilaku tersebut. analisis data dengan memberikan gambaran data respon fisiologi dengan tabel distribusi frekuensi hasil pengukuran dari masing-masing indikator respon fisiologi, sedangkan respon perilaku dianalisa dengan menghitung nilai rata-rata dari masing-masing indikator respon perilaku. hasil penelitian karakteristik neonatus di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi tertera di tabel bawah ini: respon fisiologi neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah setelah dibedong berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tanggal 10 sampai 29 november 2014 didapatkan hasil bahwa respon fisiologi berupa nadi 80% responden adalah normal, respirasi 100% responden adalah antara 30 sampai 60 kali per menit dan saturasi oksigen 68,5% responden adalah normal. hockenberry & wilson (2007) menyatakan interpretasi rasa nyeri melalui respon fisiologis diantaranya tanda vital adanya variasi peningkatan denyut jantung, respirasi cepat dan dangkal serta oksigenasi adanya penurunan saturasi o2 arteri/sao2. stevens, dkk. (2009) menyatakan bahwa frekuensi denyut jantung dan saturasi oksigen merupakan indikator utama respon fisiologis terhadap nyeri pada bayi. didapatkan adanya saturasi oksigen normal dan tidak didapatkan adanya penurunan. hal ini sesuai dengan pendapat buonocore & bellieni (2008) yang menyatakan bahwa neonatus yang dibedong dengan tabel 3. karakteristik responden berdasarkan jenis persalinan di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi tabel 1. karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi no. jenis kelamin f % 1. laki-laki 11 31 2. perempuan 24 69 jumlah 35 100 tabel 2. karakteristik responden berdasarkan kelompok usia di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi no. usia f % 1. < 5 hari 2 5 71 2. 6 – 10 hari 7 20 3. 11 – 15 3 9 jumlah 3 5 100 no. jenis persalinan f % 1. sc 21 60 2. normal 14 40 jumlah 35 100 tabel 5. respon perilaku neonatus terhadap pembedongan paska pengambilan darah di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi tabel 4. respon fisiologis neonatus terhadap pembedongan paska pengambilan darah di ruang neonatus rsud ngudi waluyo wlingi no indikator ha sil pengukuran f % 1 nadi normal (120160 x/mnt) 28 80 t idak normal(<12 0 &>160x/mnt) 7 20 2 pernafasan normal (3 0 s/d 60) 35 100 tidak normal (<30 & >60) 0 3 sao2 normal (9 0% s/d 100%) 24 68, 5 tidak normal (<90 %) 9 1 ,5 no indikator jumlah nilai n nilai ratarata 1 menangis 133 3 5 3 ,8 2 ketegangan wajah 104 3 5 2,97 3 ger ak fisik 140 3 5 3,42 4 tonus otot 132 3 5 3,77 53winarti, respon nyeri pada neonatus paska pengambilan darah ... posisi miring atau terlentang dengan lengan dan kaki fleksi secara signifikan menurunkan denyut jantung 6–10 menit setelah penusukkan, tangisan lebih pendek, waktu terbangun lebih singkat serta perubahan status tidur lebih sedikit setelah penusukkan. badr, dkk. (2010) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi respon nyeri neonatus saat dilakukan penusukan, yaitu: usia gestasi, paparan nyeri sebelumnya, status terjaga status tidur dan terjaganya sebelum dilakuakn prosedur, skala kegawatan penyakit, jenis kelamin, pemakaian opioid, sedatif dan steroid. namun membungkus bayi dengan membedong menggunakan kain katun yang lembut dapat memberikan ruang yang terbatas dan sentuhan yang terus menerus, sama seperti kondisi bayi dalam rahim dengan ruang yang terbatas. membedong bayi dapat memusatkan perhatian bayi, menghentikan gerakan-gerakan memukul-mukul, mencegah rewel, menenangkan bayi. respon perilaku neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah setelah dibedong dari hasil penelitian didapatkan respon perilaku berupa ketegangan wajah memperoleh nilai ratarata paling rendah yaitu 2,97, nilai gerak fisik sebesar 3,42, tonus otot sebesar 3,77, dan tangisan sebesar 3,8 dari rentang nilai 1 sampai 5. bayi baru lahir dapat menunjukkan nyeri secara non verbal, ekspresi wajah merupakan suatu parameter yang paling sensitif untuk menyatakan nyeri. perubahan ekspresi wajah segera terlihat apabila sebelumnya bayi berada dalam keadaan tenang dan waspada, dan menjadi kurang jelas apabila bayi sedang tidur tenang. ekspresi wajah yang diperlihatkan bayi yang mengalami nyeri yaitu kerutan di dahi dan diantara alis, mata terpejam rapat, lipatan nasolabial menjadi lebih dalam, bibir terbuka, mulut terbuka, mulut tertarik secara horizontal dan vertikal, lidah terjulur kaku, pipi bergetar (marenstein, 2002). membungkus bayi baru lahir dengan pas di dalam sebuah selimut (membedong) membuatnya lebih mudah dipegang dan sering kali menenangkan bayi yang rewel. beberapa bayi baru lahir tampak lebih gembira bila lengan mereka berada didalam selimut (reeder, 2012). dari tabel 2 di atas didapatkan respon perilaku neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah berupa respon ketegangan wajah dengan nilai ratarata paling rendah yaitu 2,97 dari rentang 1 hingga 5 dengan asumsi semakin rendah nilai berarti semakin rileks. hal ini menunjukkan bahwa dengan membedong dapat menurunkan skala nyeri karena ekspresi wajah merupakan suatu parameter yang paling sensitif untuk menyatakan nyeri. walaupun nilai rata-rata masih di atas setengahnya namun hal ini membuktikan bahwa membedong dapat berpengaruh terhadap respon perilaku ketegangan wajah. adapun indikator respon perilaku yang lainnya menunjukkan nilai yang relatif tinggi, hal ini menunjukkan pembedongan pada neonatus tidak banyak mempengaruhi respon perilaku menangis, gerak fisik dan tonus otot. sebagaimana reeder (2012) mengatakan bahwa membungkus bayi baru lahir dengan pas didalam sebuah selimut (membedong) membuatnya lebih mudah dipegang dan sering kali menenangkan bayi yang rewel serta beberapa bayi baru lahir tampak lebih gembira bila lengan mereka berada didalam selimut. pembedongan termasuk juga salah satu tindakan rekondisi dalam rahim, faktor lain yang mendukung yaitu bayi dalam kondisi kenyang, sehingga mudah ditenangkan. maka selayaknya pembedongan pada neonatus dapat dilakukan untuk menurunkan skala nyeri dan membuat bayi menjadi rileks. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian didapatkan sebagai berikut: respon fisiologis neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah setelah dibedong didapatkan; nadi normal sebanyak 80%, pernafasan normal 100%, dan saturasi oksigen normal sebanyak 68,5%. respon perilaku neonatus terhadap nyeri akibat pengambilan darah setelah dibedong didapatkan; ketegangan wajah nilai rata-rata sebesar 2,97, gerak fisik nilai rata-rata sebesar 3,42, tonus otot nilai ratarata sebesar 3,77, dan menangis nilai rata-rata sebesar 3,8 dari rentang nilai 1 sampai 5 dengan asumsi semakin rendah nilai berarti semakin rileks. saran menjadikan tindakan pembedongan menjadi bagian dari standar prosedur operasional pengambilan darah vena pada neonates, perawat yang bertugas diruang edelweis diharapkan meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan implementasi dan konsep perawatan neonatus dengan menghapuskan atau memperkecil distres psikologis dan fisik yang diderita oleh anak-anak dan keluarga. 54 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 50–54 pembekalan ilmu pada masa pendidikan akan memberikan pengaruh terhadap kualitas kinerja seseorang, karena itu hendaknya konsep atraumatic care pada perawatan neonatus dipaparkan lebih luas pada berbagai institusi pendidikan keperawatan agar para lulusan dapat menerapkan konsep ini pada pelayanan keperawatan. penelitian selanjutnya hendaknya jumlah responden lebih banyak dengan menggunakan alat mekanik untuk menghitung respirasi serta menggunakan kelompok kontrol untuk mengetahui efektivitas pembedongan terhadap penurunan respon nyeri pada neonatus. dafar rujukan badr, l.k., abdalah, b., hawari, m., sidani, s., kassar, m., & nakad, p., et al. 2010. determinans of premature infants pain responses to heelstick. pediatrik nursing. bobak, l.m., lowdermilk, d.l. jensen, m.d., & perry, s.e. 2005. maternity nursing. missouri: mosby. buonocore, g., & bellieni, c.v. 2008. neonatal pain: suffering pain and risk and risk of brain damage in the fetus and newborn. italia: springer-verlag. corbo, m.g., mansi, g., & stagni, a. 2000. nonnutritive suking during heelstick procedures behavioural distress in the newborn infant. neonatology. gibbins, s., stevens, b., mcgrath, p.j., yamada, j., beyene, j., & breau, l., et al. 2007. a comparison of pain responses in infant of different gestational ages. neonatology, 93(1),10–21. guyton. 1999. buku ajar: fisiologi kedokteran. jakarta: egc edisi 9. hall, r.w., & anand, k.j.s. 2005. phsyology of pain and stress in newbonrn. neoreviews. hamilton, p.m.2005. dasar-dasar keperawatan maternitas (6th ed). jakarta: egc. 6 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 006–013 6 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of families role and the quality of life (qol) of diabetes mellitus patients article information article history: received, 05/12/018 accepted, 08/02/2019 published, 01/04/2019 keywords: diabetes melitus, family role, qol, abstract diabetes mellitus is a disease that not only requires treatment but also lifestyle changes, so that often patients tend to despair with a long therapy program that will have an impact on the quality of life of patients. this study aimed to determine the correlation of family roles and the quality of life (qol) of patients with diabetes mellitus. the design of this study was cross sectional analytic type. the population was all patients with diabetes mellitus and family on may-july 2018 at dr wahidin sudiro husodo general hospital in mojokerto as many as 96 people. the sample was 57 respondents taken by purposive sampling. the independent variable was family roles. the dependent variable was the quality of life. the instrument used a questionnaire of family roles and the quality of life. the data analysis used the spearman statistical test. the results showed that 32 respondents (56.7%) or almost half of the respondents had enough family roles, almost all of the respondents or 38 respondents (66.7%) had a high quality of life of, and the results of p = 0.05 was 0.046 <0.05. there was a correlation between the role of family and the quality of life of patient with diabetes mellitus. the role of a good family can improve the quality of life of patients with diabetes mellitus. the better the role of the family, the higher the level of quality of life of the sufferer. therefore the family can play a role in improving the quality of life diabetes mellitus sufferers. © 2019 jurnal ners dan kebidanan email: noersaudah15@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i1.art.p006–013 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto east java, indonesia p-issn : 2355-052x noer saudah1, enny virda yuniarti2, eka ayu wulandari3 1,2,3department of nursing, stikes bina sehat ppni mojokerto https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 7saudah, yuniarti, wulandari, the correlation of families role and... introduction diabetes mellitus (dm) or diabetes is a metabolic disorder characterized by hyperkalemia associated with abnormalities in carbohydrate, fat and protein metabolism. metabolic abnormalities caused by decreased insulin sensitivity or both and cause chronic microvascular, macrovascular and neuropathic complications (kowalak, 2011). diabetes mellitus (dm) is one of the health problems that have an impact on productivity and can reduce the quality of human resources, dm does not only require treatment but also lifestyle changes so that patients often tend to be discouraged by therapy programs. one way to improve the quality of life of dm patients through the role of the family, because the role of the family can motivate sufferers to live optimistically so that it can improve the quality of life (fatmaningrum, 2011). baiyewu, o., yussuf, a. d., & issa, b. a. (2007) of 251 respondents, aimed to assess the quality of life of dm patients and to compare clinical and sociodemographic factors that could affect the quality of life of patients. the results showed that there were 52 patients (20.7) with a low quality of life score. prevalence of diabetes mellitus in the world from year to year has increased. the prevalence of diabetes mellitus is growing rapidly throughout the world. estimates of diabetes mellitus to date reach 285 million worldwide and begin to increase to 438 million in 2030 (omar m.l and san k.l, 2014).world health organization (who, 2015) estimates that globally, 422 million adults over the age of 18 are living with diabetes mellitus in 2014. this is also supported by data from the international diabetes federation (idf) stating that there are 382 million people (175 million are estimated to be undiagnosed) in the world suffering from dm in 2013, this number is expected to increase to 592 million people in 2035 (riskesdas, 2013). the increase in this disease will mostly occur in developing countries, caused by population growth, aging, unhealthy diet, obesity and a sedentary lifestyle. indonesia is one of the developing countries in the world. the population of indonesia over the next 25 years continues to increase, from 238.5 million in 2010 to 305.6 million in 2035. data from the basic health research on riskesdas states that the incidence of diabetes mellitus in indonesia in 2007 increased by 1.1% to 2.1% in 2013 (riskesdas, 2013). in addition, epidemiologically it is estimated that in 2030 the prevalence of dm reaches 21.3 million people in indonesia. the increase in the prevalence of diabetes mellitus in indonesia has a negative impact on the quality of life of human resources (perkeni, 2015). based on the results of a preliminary study at rsu dr. wahidin sudiro husodo obtained medical record data on 30 december 2017 from january to december 2017, there were 6395 patients with diabetes mellitus in internal medicine. of the 10 dm patients who visited the internal medicine clinic, data was obtained that many dm patients who suffered from diabetes mellitus were more than 6 months old. based on interviews with patients about quality of life, as many as 6 patients said their daily activities were disrupted after suffering from dia betes mellitus, because some patients suffered injuries to the soles of the feet, and some complained of decreased vision. complications experienced by sufferers vary in psychology, social, economic. complications of physical forms that can cause damage to vision function, kidney function, cardiovascular function, sexual function, stroke and even gangrene (barnes, l., moss-morris, r., & kaufusi, m, 2009). this complication can cause disorders caused by lifelong diseases. murdiningsih dan ghofur (2013) in his study showed a strong link between the level of anxiety about the level of blood donor ability that would improve quality of life. dm patients will discuss the difficulties that arise and discuss the str ict a nd difficult diet. decr ea sing wor k productivity with the contribution of perwatan or disease becomes a special burden for sufferers. this condition continues throughout his life which will reduce the quality of life for people with dm. handling diabetes mellitus includes education, nutritional therapy / diet, exercise and medicine (nuraini & ledy, 2016). treatment of dm requires a long time because dm is a chronic disease that will suffer for life, and is very complex because it not only requires treatment but also lifestyle changes so that patients often tend to be discouraged with a therapy program. such conditions can affect the functional, physical, psychological and social health capacity and well-being of people with diabetes mellitus (fatmaningrum, 2011). one of the therapeutic targets for diabetes mellitus is improving the quality of life. in this case, quality of life should be an important concern for 8 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 006–013 health professionals because it can be a reference to the success of an action / intervention or therapy. this diabetes mellitus will accompany a patient’s lifetime so that it greatly affects the quality of one’s life. if not handled properly can cause complications in organs such as eyes, heart, blood vessels, and nerves that will endanger lives and affect the quality of one’s life. low quality of life can worsen complications and end disability or death. the family is very instrumental in improving the quality of life in patients with diabetes by regulating the psychological process and facilitating behavioral change (setiadi, 2008). diabetes mellitus will accompany for life so that it can affect the patient’s quality of life. quality of life is an individual’s perception of his position in the context of culture and the value system in which the individual lives and has a relationship with his goals, hopes, standards and focus of life (who, 2015). one of the factors that influence the quality of life of diabetic patients is the role of the family. therefore, it is necessary to have adequate family support to increase mortality and accelerate the healing process of people with diabetes mellitus. the purpose of this study was to determine whether there is a positive relationship between the role of the family with quality of life (qol) in patients with diabetes mellitus in dr wahidin sudiro husodo general hospital, mojokerto city. methods the research design used a correlational analytic study design with a cr oss sectional approach. population in this study were all diabetes mellitus patients and families in dr wahidin sudiro husodo general hospital, mojokerto on may-july 2018. sampling technique used purposive sampling. sample size was 57 respondents. the variables in this study divided role of the family (independent variable) and quality of life (dependent variable). instrument for collecting data used questioner by who-qol. analyze data used spearman rho test. result the following will be presented the results of the study of the relationship of family roles with quality of life (qol) in patients with diabetes mellitus in dr wahidin sudiro husodo general hospital, mojokerto. characteristics f % age <31 years old 4 7 31-40 years 13 22.85 41-50 years 15 26.3 > 50 years 25 43.85 marital status single 1 1.75 married 51 89.5 widow/ widower 5 8.75 complicated heart 6 10.5 visual impairment 17 29.8 kidney and integument 14 24.5 nocompacated 20 35.2 long suffered 1-5 years 24 42.5 6-10 years 23 40 > 10 years 10 17.5 tabel 1 characteristic responden based on table 1, the most were aged> 50 years, married, suffering from heart disease and long illness between 1-5 years. no family role (criteria & score) f % 1. less (1 14) 0 0 2. enough (15 28) 32 56.1 3. good (29 42) 15 26.3 4. very good (43 56) 10 17.5 total 57 100 table 2 the role of the family in dr wahidin sudiro husodo general hospital, mojokerto 2018 based on table 2 shows that the role of the family most is a enough role that is equal 56.7% quality of life (criteria & score) f % height (201 400) 38 66,7 low (0 200) 19 33,3 total 57 100 table 3 quality of life (qol) patients diabetes mellitus in dr wahidin sudiro husodo general hospital mojokerto 2018 based on table 3 shows that quality of life most is a height quality that is equal 66.7% 9saudah, yuniarti, wulandari, the correlation of families role and... based on table 4 shows less family of role related to lowquality of lifeon diabetes mellitus patient. results of spearman test p = 0.046 and p<0.05. there was a relationship between the role of family and quality of life in patient with diabetes mellitus. quality of life family role height low f % f % f % less 17 30,0 15 26,7 32 56,7 good 11 20,0 4 6,7 15 26,7 very good 10 16,6 0 0 10 16,6 total 38 66,6 19 33,4 57 100 spearman test p = 0.046 table 4 relationship between the role of family and quality of life (qol) in diabetics mellitus at dr wahidin sudiro husodo general hospital, mojokerto 2018 table 5 crosstab characteristik and quality of life (qol) in diabetics mellitus at dr wahidin sudiro husodo general hospital, mojokerto 2018 qol characteristic hight low f % f % f % <31 years old 3 5,2 1 1,5 4 6.7 31-40 years 6 10,5 7 12,8 13 23.3 41-50 years 10 17,7 5 9 15 26.7 > 50 years 19 32,8 6 10,5 25 43.3 single 1 1,5 0 0 1 1,5 married 34 59,6 17 30,2 51 89,8 widow widower 3 6,1 2 2,6 5 8,7 complication heart 5 9 1 1,5 6 10,5 visual impairment 12 21 5 9 17 30 kidney and integument 8 14 6 10,5 14 24,5 no complicated 13 23,3 7 12,9 20 35 long surfered 1-5 years 9 16,7 5 0 14 24,6 6-10 years 15 26,3 8 14 23 40,4 > 10 years 14 24,5 6 10,5 20 35 based on table 5 shows that high family role at the age more 50 years old, married status, did not experience complications and the duration of illness dm between 6-10 years based on table 6, it shows that the lowest qol is more than 50 years old, married status, vision problems and the duration of dm is more than 10 years 10 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 006–013 family role characteristic very good good enough freq % f % f % f % <31 years old 2 5,2 2 1,5 0 4 6.7 31-40 years 2 10,5 3 12,8 8 13 23.3 41-50 years 3 17,7 6 9 6 15 26.7 > 50 years 3 32,8 4 10,5 18 25 43.3 single 1 1,5 0 0 0 1 1,5 married 6 59,6 14 30,2 31 51 89,8 widow widower 3 6,1 1 2,6 1 5 8,7 complication heart 2 9 2 1,5 2 6 10,5 visual impairment 2 21 3 9 6 17 30 kidney and integument 3 14 3 10,5 8 14 24,5 no complicated 3 23,3 7 12,9 10 20 35 long surfered 1-5 years 3 16,7 6 0 5 14 24,6 6-10 years 5 26,3 7 14 11 23 40,4 > 10 years 2 24,5 3 10,5 15 20 35 table 6 crosstab characteristik and qol role in diabetics mellitus at dr wahidin sudiro husodo general hospital, mojokerto 2018 discussion the role of the family based on table 1, it was found that most respondents had enough family roles and a small proportion of respondents had a very good family role, namely 10 respondents. based on table 5 shows that high family role at the age more 50 years old, married status, did not experience complications and the duration of illness dm between 6-10 years. the role of the family describes a set of interpersonal behaviors, traits, activities related to individuals in certain positions and situations. the role of individuals in the family is based on expectations and patterns of behavior from family, groups, and society (jitender n. a., 2010). the family as a driver of behavior or support towards a goal based on the need for a sick family member desperately needs support from the family (dedik, 2011). in addition, families are expected to always prepare themselves to bring sick family members to facilitate dm sufferers faced by patients by providing nutrients that the patient likes but in accordance with the patient’s diet. the family has the main role in maintaining the health of all family members and not the individual itself to achieve the desired level of health (friedman, 2002). in this study shows that the active role of families in providing motivation, education, and facilitators for people with diabetes mellitus is very important, the role of the family is needed in life and health both physically and the level of stress of the sufferer of the disease he is suffering at this time. in this study also obtained from the three family role factors namely motivation, education and facilitators, factors that have more active roles, namely motivation and facilitators. based on the results of the study respondents who have a good family role as many as 15 respondents, who have a very good family role as many as 10 respondents. the role of a high family in most dm patients is at the age of more than 50 years. at this age enter the elderly who have high dependency. because families always provide support and attention to respondents to always be routine in doing treatment, the family is also willing to accompany respondents in undergoing treatment. the results of the next study showed that the family’s role was 32 respondents. because the family does not pay attention to the condition of the respondent during the illness so that the family in performing care and treatment for the respondent is not optimal. quality of life (qol) based on the results in table 2 it was found that most respondents had a high quality of life. based on table 6, it shows that the lowest qol is more than 50 years old, married status, vision 11saudah, yuniarti, wulandari, the correlation of families role and... problems and the duration of dm is more than 10 years. quality of life is a condition when a person can maximize physical, psychological, work and social functions. quality of life is an important indicator of recovery or adjustment of a chronic disease (masfufah, 2014). many factors influence the quality of life in patients with diabetes. patients with dm with young diabetic ulcers will have a better quality of life because usually their physical condition is better than older people. old age will have an increased risk of developing dm and glucose intolerance due to general degenerative factors, namely decreased body function to metabolize glucose (wicaksono, 2011). based on the results of the study, the duration of 6-10 years diabetes had a high quality of life (26.3%). in accordance with the research of setiyorini & wulandari (2017) which shows that suffering from type 2 diabetes more than 5 years has a good quality of life of 25%. this can be caused by the longer a person has diabetes, the more opportunities to learn based on experience. patients are increasingly experienced in dealing with diabetes and have good coping. the level of education is also one of the factors that can affect the quality of subjective life, the quality of life will increase along with the higher level of education obtained by individuals. thus, low education will result in low quality of life for type ii dm patients. education is an important factor in understanding disease, self-care, dm management and blood sugar control, overcoming symptoms that arise with proper handling and preventing complications. so that the quality of life of type ii dm patients is maintained optimally. education in this case is related to knowledge. in addition, patients with high education ca n develop coping mechanisms a nd a good understanding of information. thus, the individual will respond positively and will take actions that are beneficial to him (ningtyas, 2013). the results of this study indicate that age, level of education can affect the level of quality of life of patients, so that the younger patients and the higher the level of education, the higher the quality of life because people who are younger and have a higher education they will know about the importance of health, so the components quality of life such as physical, psychological and even social functions will certainly be well maintained. relation of the role of the family to quality of life (qol) diabetes mellitus patient in ta ble 3, it is obta ined da ta tha t 11 respondents who have a good family role have a high quality of life and a small proportion of respondents have a low quality of life (26.7%). respondents who have a good family role as many as 11 respondents have a high quality of life and 4 respondents have a low quality of life (6.7%). this is because the respondents have been discouraged by the therapy program provided by the doctor, in addition the respondent also often violates the diet given by the doctor even though he has been reminded by the respondent’s family to continue to violate it and not listen to the advice of his family. the results of statistical tests using spearman show that p value (0.046) <á (0.05) so that it can be concluded that there is a relationship between the role of family and quality of life. roles that influence the quality of life according to dedik (2011) are motivators in which the family as a driver of behavior or support towards a goal based on the existence of a need for sick family members in desperate need of support from the family, educators that in this case can be interpreted as family efforts in providing education to sick family members. for this reason, families can be an effective source of family knowledge about health, especially how the family plays a role in the implementation of the dm diet. and the last is the facilitator who functions as a means needed by the sick family to fulfill the need to achieve the program’s planning success. therefore, it is expected that families always prepare themselves to bring sick family members to facilitate dm sufferers who are faced with sufferers’ diets. the family has the main role in maintaining the health of the whole family and not the individual itself to achieve the desired level of health (friedman, 2002). living with dm will have a negative influence on the qua lity of life of pa tients who a r e accompanied by complications. ningtyas (2013) showed that there were effects of complications on the quality of life of patients with type ii diabetes in rsud bangil pasuruan hospital. in table 6 shows the da ta tha t most people with dm experience complications which is equal to 65%. based on table 5, the majority of the family’s role is less, which is equal to 56.3% and the quality of life of dm patients shows that their quality of life is lacking. 12 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 006–013 the results of this study indicate that the role of the family influences quality of life or quality of life because in the role of the family there are 3 factors that can improve 4 domains of quality of life such as physical, psychological, social and environmental health but from the four domains that are the most dominant, namely social because diabetes mellitus sufferers need the role of the family to improve their quality of life by supporting the family and paying attention, help and affection from the family will make the respondent have a positive view of themselves and their environment. young diabetics will have a better quality of life because usually their physical condition is better than the older ones even though the family role is not too high. therefore we need factors that can improve the domain of quality of life, namely motivation, educators and facilitators are applied in everyday life, apart from these 3 factors, young age and higher education that is owned by sufferers makes it easier for families to provide motivation, facilitating and explaining the dm disease itself is easily digested by sufferers. the results of this study indicate that the role of the family can affect the quality of life in dm patients. the results of this study are in accordance with the results of a study by sutikno (2011) which states that there is a close relationship between the function of the role of families with elderly quality of life for diabetes mellitus. on the results of the study showed a value of p (0.046) <  (0.05) so it can be concluded that there is a relationship between family roles and quality of life. families need to optimally apply their roles and functions in providing education and supporting positive activities of dm patients so that patients can live happily so that their quality of life will increase conclusion and suggestion conclusion based on the results of research and statistical analysis, it can be concluded that ther e is a relationship between family role and quality of life (qol) in people with diabetes mellitus at the dr. wahidin sudiro husodo central general hospital, mojokerto. with a good family role can improve the quality of life for people with diabetes mellitus. suggestion families have to carry out a good role in improving the quality of life for people with dm. health workers to facilitate families to maximize the role to improve the quality of life for people with dm by providing assistance to families. references baiyewu, o., yussuf, a. d., & issa, b. a. (2007). the association between psychiatric disorders and qua l i ty of l i fe of pa ti en t wi th dia betes mellitus. iranian journal of psychiatry, 2(1), 30-34. barnes, l., moss-morris, r., & kaufusi, m. (2009). illness beliefs and adherence in diabetes mellitus: a compar ison between tongan an d european patients. dedik. (2011). hubungan peran keluarga dalam pengaturan diet dengan kepatuhan diet pada lansia yang menderita diabetes mellitus. diambil kembali dari di rw 07 kelurahan bale arjosari kecamatan blimbing kota malang. fatmaningrum, y. (2011). pengaruh dukungan keluarga terhadap kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe 2, tidak dipublikasikan. diambil kembali dari universitas padjajaran. friedman, m. (2002). keperawatan keluarga: teori, praktek, edisi ketiga. diambil kembali dari jakarta : salemba medika. jitender, n. a. (2010). the development of quality of life instrument for indian diabetes patients (qolid): a validation and reliability study in middle and higher income groups. diambil kembali dari original article volume 58. kowalak, j. p. (2011). buku ajar patofisiologi. diambil kembali dari jakarta : egc. masfufah. (2014). pengetahuan, kadar glukosa darah puasadan kualitas hidup pada penderita diabetes melitus type 2 rawat jalan di wlayah puskesmas kota makassar. skripsi: fakultas kesehatan masyarakat universitas hassanudin makassar. murdiningsih, d. s., & ghofur, g. g. a. (2013). pengaruh kecemasan terhadap kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus di wilayah puskesmas ba nyua nyar sur akar ta . uni ve rsit as negeri surakarta. skripsi. ningtyas, d. (2013). analisis kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe ii. diambil kembali dari universitas jember. nuraini dan ledy. (2016). asuhan keperawatan sistem endokrin dengan pendekatan nanda nic noc. jakarta. salemba medika omar, m.l & san, k.l. (2014). diabetes knowledge andmedication adherence among geriatric cliens with type 2 diabetes mellitus. international j ournal of pharmac y and pharmac e ut i cal sciences. faculty of pharmacy, universiti kebangsaan malaysia. perkeni (2015). pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. pb. perkeni. 13saudah, yuniarti, wulandari, the correlation of families role and... riskesdas. (2013). badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian ri tahun 2013 setiadi. 2008. konsep & proses keperawatan keluarga. diambil kembali dari yogyakarta : graha ilmu. setiyorini, e., & wulandari, n. a. (2017). hubungan status nutrisi dengan kualitas hidup pada lansia penderita diabetes mellitus tipe 2 (the correlation of nutritional status with quality of life on elderly with type 2 diabetes mellitus in interna polyclinic of mardi waluyo public hospital ). jurnal ners dan kebidanan, 4(2), 125–133. https://doi.org/10.26699/ jnk.v4i sutikno, e. (2011). hubungan fungsi keluarga dengan kualitas hidup lansia dengan dm   (doctoral dissertation, universitas sebelas maret). wicaksono, r. (2011). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2. diambil kembali dari available: http://eprints.undip.ac.id . [accesed 21 april 2018] world health organization.(2015). world health statistics and information system, retrieved 29 mei 2018 from http://www.who.int/healthinfo/survey/ ageingdefnolder/en/ 121fuadah, hidayati, fitriyah, intervensi dukungan... 121 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk intervensi dukungan kelompok sebaya terhadap kemampuan menyelesaikan masalah pada remaja dina zakiyyatul fuadah1, ratna hidayati2, aida fitriyah3 1,2,3prodi s-1 keperawatan, stikes karya husada kediri, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 02/09/2018 disetujui, 20/03/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: dukungan kelompok sebaya, kemampuan menyelesaikan masalah, remaja. abstrak masalah remaja cenderung sulit untuk diatasi oleh remaja sendiri, hal ini terjadi karena remaja belum terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. ketika remaja dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik, maka akan menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa. kemampuan remaja dalam menghadapi masalah inilah disebut dengan adversity quotient. salah satu faktor pembentuk kemampuan menyelesaikan masalah (adversity quotient) yakni motivasi melalui kelompok sebaya (peer group). penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh peer support group therapy terhadap adversity quotient pada remaja usia menengah. desain penelitian adalah pre experiment design dengan pendekatan one-group pre-post test design dengan populasi sebanyak 488 remaja usia menengah, dan jumlah sampel yang dijadikan penelitian sebanyak 32 siswa yang dipilih dengan teknik simple random sampling. analisis statistik menggunakan uji wilcoxon dengan =0,05. pada pretest sebesar 46,9% memiliki adversity quotient tingkatan moderate dan 50% pada parameter origin and ownership masuk dalam tingkatan moderate high. pada posttest sebesar 56,2% memiliki adversity quotient tingkatan moderate high dan 62,5% pada parameter control, origin and ownership masuk dalam tingkatan moderate high. hasil uji wilcoxon (=0,000<=0,05) menunjukkan bahwa peer support group therapy berpengaruh terhadap parameter dan tingkatan adversity quotient pada remaja menengah. tiga pendekatan dasar ekspresi perasaan, dukungan sosial, dan keterampilan kognitif yang dapat memberikan dorongan untuk mempelajari keterampilan koping dan merubah perilaku kearah yang konstruktif. remaja dapat melakukan dukungan kelompok sebaya untuk memberikan dukungan agar dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap situasi kehidupan, dan mengajarkan keterampilan penyelesaian masalah. ©2019jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: dinazakiyya@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.p121-126 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 122 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 121–126 abstract most of problem faced by adolescents is difficult to overcome by teenagers themselves, this happens because teenagers cannot be solved with the help of others. when adolescents can deal with the problem well, it will become the basis for facing further problems into adulthood. adolescent ability in this problem is called adversity quotient. one of the factors that form the ability to solve the problem (adversity quotient) is the motivation through peer group. this study aims to analyze the effect of peer support group therapy on adversity quotient in middle age teenagers. the research design was pre experiment with sample of 32 students selected by simple random. statistical analysis using wilcoxon test with  = 0,05. at pre test of 46.9% have moderate level adversity quotient and 50% on origin and ownership parameters enter in moderate high level. at post test 56,2% have adversity quotient of moderate high level and 62,5% on control parameter, origin and ownership enter in moderate high level. wilcoxon test result ( = 0,000 < = 0,05) indicated that peer support group therapy influenced parameter and level of adversity quotient in middle adolescent. three basic approaches to the expression of feelings, social support, and cognitive skills that can provide the impetus to learn coping skills and change behaviors towards the constructive. teens can do peer support to provide support in order to improve adaptability to life situations, and teach problem-solving skills. peer support interventions for ability to adversity quotient in adolescents article information history article: received, 02/09/2018 accepted, 20/03/2019 published, 01/08/2019 keywords: peer support group therapy, adversity quotient, adolescence. 123fuadah, hidayati, fitriyah, intervensi dukungan... pendahuluan remaja adalah masa transisi yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa (santrock, 2013). menurut hurlock (2003) remaja merupakan masa bermasalah. isu-isu yang menjadi masalah bagi remaja adalah citra tubuh, identitas, kemandirian, peran sosial dan perilaku seksual (stuart, 2016). masalah remaja cenderung sulit untuk diatasi oleh remaja sendiri. hal ini terjadi karena remaja belum terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. akibatnya, terkadang terjadi penyelesaian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. ketika remaja dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik, maka akan menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa. kemampuan remaja dalam menghadapi masalah inilah yang menurut stoltz (dalam rahmawati, 2007) disebut dengan adversity quotient (aq). menurut stoltz (dalam dhanita & hidayat, 2015) adversity quotient merupakan kemampuan seseorang dalam menghadapi sebuah kesulitan atau hambatan sehingga ia mampu keluar dari kesulitan atau hambatan tersebut menjadi sebuah keberhasilan. stoltz (dalam wardiana., wiarta., zulaikha, 2014) mengemukakan bahwa konsep adversity quotient membagi manusia dalam tiga kelompok yakni quitter, camper, dan climber. adversity quotient kategori quitters (orang yang menyerah) yakni orang-orang yang cenderung menolak perubahan, orang yang menyerah dan mudah putus asa dalam menghadapi suatu persoalan yang ditemuinya . ber beda denga n remaja ya ng memiliki adversity quotient kategori campers yakni orang yang sudah berusaha namun karena ada suatu faktor membuat orang tersebut menjadi menyerah dan kalah atas suatu tantangan. sedangkan remaja yang memiliki adversity quotient kategori climbers yakni orang yang mendedikasikan diri untuk terus mendaki, selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan berusaha menempuh kesulitan-kesulitan hidup dengan keberanian dan penuh disiplin. remaja dengan adversity quotient yang tergolong quitter dan camper sangat mempengaruhi banyak fenomena seperti merokok, narkoba, tawuran antar remaja, dan tindakan nekat bunuh diri yang sangat mengkhawatirkan, karena pengalihannya dalam menyelesaikan masalah yang tertuju pada tindakan negatif. remaja pria yang berusia 15 sampai dengan 19 tahun berisiko melakukan bunuh diri 5 kali lipat lebih banyak dari remaja perempuan. namun, remaja perempuan berisiko melakukan percobaan bunuh diri 2 sampai 3 kali lebih sering dari pada remaja pria (stuart, 2016). kebanyakan bunuh diri dilakukan remaja karena pengaruh obat-obatan, penggunaan alkohol, kematian anggota keluarga, bermasalah di sekolah, terlibat masalah hukum dan putusnya hubungan yang membuat putus asa, memiliki pemikiran pesimis, tidak bisa berpikir adanya upaya alternatif menyelesaikan masalah (ash, 2008 dalam stuart, 2016). data dari badan narkotika nasional (bnn) yang ditulis oleh kunsriharni, 2015 dalam artikel di brebes news online, diantara 4 juta pengguna narkoba di indonesia 150 ribu pecandunya masih dalam usia remaja. pada kasus remaja lainnya yakni tawuran, remaja sebagai pelaku tawuran mengalami kenaikan dari 46 kasus di 2014 menjadi 103 kasus di 2015. dari data global youth tobacco survey (gyts)kasus merokok pada remaja yang ditulis oleh maharani, 2016 dalam artikel di kompas online menunjukkan prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun di indonesia mencapai 20,3%. hasil riset yang dilakukan oleh koalisi untuk indonesia sehat (kuis) terhadap 3.040 remaja di jakarta yang menghasilkan temuan bahwa perilaku merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi, yakni 54,59%. berdasarkan studi pendahuluan pada 23 siswa ter da pa t da ta ya kni siswa denga n kategori moderately low 26,1%; siswa kategori moderately 47,8%; siswa kategori moderately high 26,1%. terdapat data yang berbeda dalam studi pendahuluan dari peneliti pada hari kamis, 17 november 2016 di sma muhammadiyah 1 pare di kelas x (sepuluh) yang terdiri dari 28 siswa yaitu siswa dengan kategori low 7,1%; siswa dengan kategori moderately low 35,7%; siswa kategori moderately 53,6%; siswa kategori moderatelyhigh 3,6%.dari data di atas dapat diketahui bahwa remaja menengah khususnya kelas x di sma muhammadiyah 1 pare dan kelas xi (sebelas) ipa disma negeri 1 pare memiliki adversity quotient yang sedang dengan kecenderungan rendah berupa kurang mampu mengendalikan respon terhadap situasi, kurang memiliki kemampuan dalam membatasi masalah agar tidak menjangkau bidang-bidang lain dalam kehidupan, kurang memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. dengan rendahnya kemampuan mengendalikan respon terhadap situasi sehingga sangat mungkin mengembangkan perilaku buruk 124 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 121–126 sebagai suatu cara untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi yang akan menjadi modal buruk dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa. ada berbagai macam cara untuk meningkatkan adversity quotient karena adversity quotient termasuk kecerdasan yang bersifat tidak permanen. salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat faktor-faktor pembentuk adversity quotient. menurut penelitianyangdilakukan oleh pangma,tayraukham dan nuangchalerm (dalam putra., hidayati., nurhidayah, 2016) didapatkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi adversity quotientsi swaremaja adalah motivasi. motivasi dengan dukungan (support) dapat diberikan melalui interaksi dengan kelompok sebaya (peer group) yang sesuai dengan salah satu ciri-ciri remaja adalah senang berinteraksi dengan kelompok sebaya. didukung juga oleh hoag dan burlingame (dalam swasti., helena., pujasari, 2013) yang menyatakan bahwa jenis terapi yang paling efektif untuk dilakukan di lingkungan sekolah yakni terapi kelompok. terapi kelompok yang dapat dilakukan di sekolah salah satunya yakni peer support group therapy. peer support group sebagai dukungan sosial emosional, dukungan instrumental, dan saling berbagi dalam kondisi apapun untuk membawa perubahan sosial atau pribadi yang diinginkan (dalam solomon, 2004 dalam ekasari., andriyani, 2013). salmivalli mengemukakan peer support adalah kegiatan dimana terdapat dukungan dari teman sebaya yang dibangun dengan alasan teman-teman secara spontan membantu satu sama lain. peer support grouptherapy memungkinkan terjadi interaksi dan dinamika dalam kelompok yang diharapkan membantu untuk lebih terbuka. support therapy ini dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan dasar: ekspresi perasaan, dukungan sosial, dan keterampilan kognitif. menurut spiegel (dalam swasti., helena., pujasari, 2013) melalui kebebasan mengekspresikan perasaan, seseorang menjadi lebih terbuka mempelajari keterampilan koping yang baru. hal ini akan meningkatkan kemampuan seseorang beradaptasi terhadap situasi kehidupan, membangun kekuatan ego, dan menga jar ka n keter a mpila n penyelesa ian ma sala h (mccallum dalam swasti., helena., pujasari, 2013). melalui peer support group therapy, remaja merasakan adanya kesamaan satu dengan lainnya seperti di bidang usia, kebutuhan dan tujuan yang dapat memperkuat diri dan remaja memiliki kecenderungan untuk lebih mudah menerima informasi dan mengikuti masukan yang diberikan oleh teman seusianya (swasti., helena., pujasari, 2013). berdasarkan dari data-data yang telah diuraikan diatas, peneliti merasa penting untuk meningkatkan adversity quotient dan tertarik untuk melakuka n penelitia n mengena i penga r uh peer supportgroup therapy ter ha da p kema mpua n menyelesaikan masalah (adversity quotient) pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sma muhammadiyah 1 pare dan di sma negeri 1 pare. tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh peer support group therapy terhadap kemampuan menyelesaikan masalah (adversity quotient) pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sekolah menengah pertama pare, kediri. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam adalah pre experiment design dengan pendekatan onegroup pre-post test design. populasi pada penelitian ini adalah remaja kelas x dan xi sma muhammadiyah 1 pare yang berjumlah 68 siswa dan remaja kelas x dan xi sma negeri 1 pare yang berjumlah 420 siswa. besar sampel pada penelitian ini sejumlah 32 siswa yang terbagi di sma muhammadiyah 1 pare sejumlah 16 siswa dan di sma negeri 1 pare sejumlah 16 siswa. sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik probability sampling dengan jenis teknik simple random sampling. instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah adversity respon profile (stoltz, 1997 dalam hermaya, 2004) yang suda h dimodifika si dengan disesuika n tugas perkembangan remaja untuk mengetahui kategori adversity quotient dengan menggunakan lembar kuesioner. tehnik pengumpulan data penelitian dimulai dari proses pengajuan ijin penelitian. melakukan pengajuan ijin kepada ketua prodi s1 keperawatan stikes karya husada kediri. melakukan pengajuan ijin kepada kepala sekolah sma muhammadiyah 1 pare dan di sma negeri 1 pare. mengidentifikasi subjek dengan meminta data populasi di tempat penelitian. melakukan informed consent kepada calon responden dan menerangkan maksud, tujuan, dan prosedur penelitian. melakukan pengukuran kemampuan menyelesaikan masalah (adversity quotient) (pre 125fuadah, hidayati, fitriyah, intervensi dukungan... test). mengidentifikasi siswa remaja yang sesuai dengan kriteria inklusi sebanyak 40 siswa remaja yang terdiri dari remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sma muhammadiyah 1 pare sejumlah 20 siswa dan di sma negeri 1 pare sejumlah 20 siswa. meminta persetujuan kepada remaja yang bersedia menjadi responden. memberikan perlakuan peer support group therapy yang terdiri dari 4 sesi kepada 4 kelompok yang terdiri dari 10 anggota setiap kelompoknya. di sma muhammadiyah 1 pare pada tanggal 23 februari 2017 – 2 maret 2017. dan di sma negeri 1 pare pada tanggal 2 maret 2017 – 9 maret 2017. melakukan pengukuran kemampuan menyelesaikan masalah (adversity quotient) (post test). di sma muhammadiyah 1 pare pada tanggal 16 maret 2017. dan di sma negeri 1 pare pada tanggal 23 maret 2017. melakukan pengolahan data yang meliputi editing, coding, scoring, tabulating, dan analisa data. hasil penelitian uji wilcoxon signed ranks didapatkanhasil ­pvalue­sebesar 0.000 (kurang dari 0.05) maka h1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh peer supportgroup therapy (pre-post) terhadap adversity quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sma muhammadiyah 1 pare dan di sma negeri 1 pare. pembahasan berdasarkan hasil pre-test adversity quotient sebelum diberikan intervensi peer support group dan dilihat dari hasil post-testadversity quotient setelah diberikan intervensi peer support group therapy bahwa sebagian besar responden mengala mi peningka ta n da la m ka tegor i adversity quotient. hasil penelitian dapat menjawab hipotesis penelitian bahwa dukungan (support) yang diberikan melalui interaksi kelompok sebaya (peer group) dengan menggunakan tiga pendekatan dasar: ekspresi perasaan, dukungan sosial, dan keterampilan kognitif dapat meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. pada penelitian ini dilakukan pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) yang menurut piaget (dalam fitria, 2014) mulai usia 11 tahun memasuki tahap pemikiran operasional formal yang bersifat lebih abstrak, idealis, dan logis (menyusun rencanarencana untuk memecahkan masalah-masalah dan menguji secara sistematis pemecahan-pemecahan masalah). remaja secara aktif membangun dunia kognitif, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitifnya. remaja telah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga mengembangkan ide-ide tersebut. pada penelitian ini remaja menceritakan pengalamannya dalam permasalahan tugas perkembangan remaja, memberikan respon terhadap peristiwa yang dialami serta masalah-masalah yang dihadapinya. ekspresi perasaan dengan bercerita dapat menjadikan anggota kelompok merasa tidak mengalami masalah yang dihadapinya sendiri.sesuai dengan yang dijelaskan oleh spiegel (dalam swasti., helena., pujasari, 2013) bahwa dukungan sosial dan ekspresi perasaan memberikan dorongan emosi yang kuat bagi anggota kelompok dan mengembangkan sumber pendukung yang baru bagi mereka. selain faktor ekspresi perasaan, terdapat faktor umpan balik yang didapat dari anggota kelompok yang lain membuat sadar akan perilaku mal adaptif adversity quotient pre post f % f % low 0 0 0 0 moderate low 4 12,5 0 0 moderate 15 46,9 7 21,9 moderate high 13 40,9 18 56,2 high 0 0 7 21,9 = 0.05 = 0.000 tabel 1 adversity quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sma muhammadiyah 1 pare dan di sma negeri 1 pare sebelum dan setelah diberikan peer support group therapy berdasarkan tabel diketahui ada perbedaan adversity quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sma muhammadiyah 1 pare dan di sma negeri 1 pare sebelum dan setelah diberikan peer supportgroup therapy, yakni sebelum intervensi responden termasuk kategori adversity quotient moderate yaitu sebanyak 46,9% responden. sementara sesudah intervensi responden termasuk kategori adversity quotient moderatehigh yaitu sebanyak 56,2% responden.untuk mengetahui ada pengaruhpeer supportgroup therapy(prepost) terhadap adversity quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun) di sma muhammadiyah 1 pare dan di sma negeri 1 pare, dilakukan 126 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 121–126 yang selama ini dilakukan dan merubah pandangan serta perilaku ke arah yang konstruktif. hal ini juga sesuai dengan teori belajar behavioristik yang menjelaskan bahwa perilaku terbentuk melalui perkaitan antara stimulus dan respon, dimana perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. lingkungan dalam peer support group therapy adalah seluruh anggota kelompok pada usia remaja menengah dan terapis yang terlibat di dalamnya. menurut erickson usia remaja pada tahap perkembangan psikologis memasuki tahap kelima yakni pencarian identitas. di dalam tahap ini apabila remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. sedangkan dalam teori pembelajaran sosial kognitif menjelaskan bahwa pembelajaran terjadi karena adanya pengaruh lingkungan sosial, dimana individu akan mengamati perilaku lingkungannya sebagai model yang kemudian ditiru sehingga menjadi perilaku yang dimilikinya (surya, dalam swasti., helena., pujasari, 2013). diperkuat oleh stoltz (dalam khoirotunnisa, 2015) bahwa salah satu fa ktor pembentuk adversity quotient a da la h belajar. kesimpulan intervensi peer support group therapy berpenga ruh ter ha dap par a meter dan tingka ta n adversity quotient pada remaja menengah (usia 14-16 tahun). sebagian besar responden memiliki adversity quotient tingkatan moderate high dan sebagian besar responden pada parameter control dan origin and ownership masuk dalam tingkatan moderate high. saran peningkatan kemampuan menyelesaikan masalah dapat dimulai dari faktor eksternal yaitu lingkungan yang kondusif bagi remaja. peran sekolah sangat penting dalam masa-masa remaja sehingga diharapkan bimbingan konseling (bk) di sekolah dapat menjadikan peer support group dalam konsultasi untuk dapat memberikan dukungan antar sesama remaja agar dapat mencegah menyelesaikan masalah dengan perilaku maladaptif dan merubah pandangan serta perilaku ke arah yang konstruktif. daftar pustaka dhanita, lisa., hidayat, ahmad. (2015). gambaran adversity quotient pada wirausahawan melayu di bidang kuliner. an – nafs, vol. 09, no. 03, th 2015. issn 1907 – 3305. ekasari, agustina., andriyani, zesi. (2013). pengaruh peer group support dan self-esteem terhadap resilience pada siswa sman tambun utara bekasi. jurnal soul, vol.6, no.1, maret 2103. fitria, ika anisa. (2014). konsep diri remaja putri dalam menghadapi menarche. skripsi. program studi psikologi jurusan ilmu sosial fakultas dakwah dan ilmu komunikasi universitas islam negeri sunan ampel. putra, randi gentamandika., hidayati, nur oktavia., nurhidayah, ikeu. 2016. hubungan motivasi berprestasi dengan adversity quotient warga binaan remaja di lpka kelas ii sukamiskin b andung. jur n al pen di di ka n keper a wat a n indonesia, vol.2 no.1 juli 2016. rahmawati, theresia aprilia. (2007). studi deskriptif mengenai adversity quotient pada siswa sma kelas xi. skripsi. program studi psikologi jurusan psikologi fakultas psikologi universitas sanata dharma yogyakarta. santrock, j w. (2007). remaja edisi 11 jilid 2. penerjemah: benedictine widyasinta. jakarta: erlangga. santrock, j w. (2013). adolescence (perkembangan remaja). the university of at dallas: times mirror higher education. stoltz, paul g. (1997). adversity quotient mengubah hambatan menjadi peluang. hermaya, t. 2004. jakarta: pt grasindo. stuart, g.w., and laraia .(2005).principles and practice of psychiatric nursing. (7thed).st. louis: mosby year book stuart, gail w. (2013). prinsip dan praktik keperawatan jiwa stuart. keliat, budi anna., pasaribu, jesika. (2016). elsevier. swasti, keksi girinda., helena, novy., pujasari, hening. (2013). penurunan ansietas dalam menghadapi ujian nasional pada siswa kelas xii sman x mel alui pemberi an terapi suport if. jurn al keperawatan soedirman, vol.8, no.2, juli 2013. 113rahayu, riski, analisis perilaku safe sex pada... 113 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk analisis perilaku safe sex pada wanita pekerja seks dengan kejadian infeksi menular seksual di lokalisasi tangkis, porong esty puji rahayu1, lailatul khusnul riski2 1,2prodi kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 29/05/2019 disetujui, 18/07/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: ims, safe sex, hiv abstrak infeksi menular seksual (ims) menyebabkan angka kesakitan dan kematian terutama di negara berkembang, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mempermudah penularan infeksi seksual hiv. kunjungan pasien dari kelompok beresiko ims yang datang untuk memeriksakan dirinya ke puskesmas porong pada bulan maret 2016, hanya terdapat 5 orang. penelitian merupakan eksplanatory research dengan desain penelitian deskriptif analitik dan pendekatan crossectional. populasi sebanyak 40 orang wanita pekerja seks, teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 36 orang wps. data perilaku safe sex diperoleh dengan menggunakan kuesioner, sedangkan pemeriksaan ims dilakukan degan swab vagina (pewarnaan gram dan gymse), dan pengambilan darah. hasil analisa menggunakan chi square didaptakan hasil safe sex, ims (pewarnaan gram dan gymse ) dan kondiloma mempunyai hubungan yang signifikan dengan p value 0,008. sedangkan hiv dan syphilis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku safe sex dengan p value 0,932 dan 0,76. perilaku safe sex yang buruk akan meningkatkan 4,47 kali kejadian ims. gejala syphilis jarang disadari oleh wps karena gejalanya cukup ringan. pemeriksaan hiv menggunakann tes cepat dimana hasil tes keluar dalam 20-30 menit dan tidak dilanjutkan dengan pemeriksaan lengkap dengan metode elisa (enzyme-linked immunosorbent assays). faktor faktor tersebutlah yang mungkin bisa menjadi penyebab tidak adanya hubungan safe sex dengan hiv dan syphilis. dari penelitian ini diharapkan puskesmas porong khususnya tenaga kesehatan lebih giat lagi dalam melakukan upaya promotif, prefentif dan kuratif untuk menekan kejadian ims terutama pada kelompok rentan seperti wps. ©2019jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabayajawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: esty@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i2.art.p103-120 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 114 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 103–120 abstract sexually transmitted infections (stis) cause morbidity and mortality in developing countries, both directly and indirectly in the ease of transmission of hiv infection. the visit of patients from risk groups who had stis who came to see themselves at porong health center in march 2016, there were only 5 people. this research is explanatory research with descriptive analytic and crossectional research design. the population was 40 female sex workers, the sampling technique used was purposive sampling with a sample of 36 wps. data on safe sex behavior was obtained using a questionnaire, while sti examination was performed with vaginal swabs (gram staining and gymse), and blood collection. the results of the study from the variables that participated, safe sex, sti (gram staining and gymnasium) and condyloma had a significant relationship with p value 0.008. whereas hiv and syphilis didn’t have a significant relationship with safe sex (p values 0.932 and 0.76). poor safe sex will increase 4.47 stis. syphilis proplem is rarely realized by fsw because the symptoms are quite mild. hiv testing uses a rapid test in which the test results come out in 20-30 minutes and do not pass with a complete examination using the elisa method (test for enzyme-related immunosorbents). these factors may be the cause of the absence of safe sex with hiv and syphilis. from this research, it is expected that porong health center specifically for health workers will be evenmore active in promoting promotive, preventive and curative efforts to prevent the incidence of stis, especially in vulnerable groups such as fsw. behavioral analysis of female sex workers in the application of safe sex when serving customers with the incidence of sexual transmitted infection in tangkis localization porong article information history article: received, 29/05/2019 accepted, 18/07/2019 published, 01/08/2019 keywords: sti, safe sex, hiv 115rahayu, riski, analisis perilaku safe sex pada... pendahuluan infeksi menular seksual atau penyakit kelamin adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti siphilis, gonorhoe, jenger ayam, jamur herpes, hepatitis b, dan hiv/aids. infeksi menular seksual meningkatkan angka kematian dan kesakitan terutama di negara berkembang dengan sumber daya terbatas, baik secara langsung yang ber a kiba t pa da quality of life da n health reproduction, maupun secara tidak langsung dalam mempermudah penularan infeksi seksual hiv serta akibatnya terhadap perekonomian perorangan dan nasional. upaya preventif dan kuratif pada ims dapat menurunkan risiko penularan hiv melalui hubungan seks, terutama pada kelompok yang memiliki banyak pasangan seksual, misalnya pekerja seks dan pelanggannya. keberadaan ims dengan inflamasi atau ulserasi akan meningkatkan risiko tertularnya infeksi hiv saat melakukan hubungan seks tanpa kondom antara seorang yang telah terinfeksi ims dengan pasangannya yang belum tertular (kemenkes ri, 2015). angka kejadian gonore tertinggi pada wanita pekerja seks langsung (38%), waria (29%), homosekual (21%), dan wanita pekerja seks tidak langsung (19%). angka kejadian klamidia tertinggi pada wanita pekerja seks langsung maupun tidak langsung (terselubung) masing-masing 41%, waria (28%) dan homoseksual (21%). angka kejadian gonore dan/atau klamidia berkisar antara 33% homoseksual dan 56% wanita pekerja seks langsung (kemenkes ri, 2011). lokalisasi tangkis terletak di wilayah puskesmas porong dan masih belum ada penanganan optimal dari tenaga kesehatan. dilihat dari kunjungan pasien ke puskesmas porong pada bulan maret 2016, hanya terdapat 5 orang dari kelompok beresiko ims yang datang ke puskesmas untuk memeriksakan dirinya. data terakhir tahun 2017 di wilayah puskesmas porong terdapat 42 pasien pengidap hiv. hal ini mungkin terjadi karena kurang pahamnya masyarakat tentang gejala dan bahaya ims sehingga beresiko terjangkitnya hiv. berda sa rka n wawa nca ra peneliti dengan beberapa wps di lokalisasi porong ,mereka mengaku bahwa penggunaan kondom hanya dilakukan jika memang pelanggan bersedia menggunakan saja. wps tidak memaksa menggunakan kondom atau menolak pelanggan yang tidak mau mrnggunakan kondom sehingga perilaku safe sex dengan kondom jarang dilakukan oleh wps. arifianti dkk (2008) melakukan wawancara secara mendalam pada responden yang berperilaku safe sex, mengaku bahwa sering mengalami kendala saat meminta pelanggan agar selalu memakai kondom. responden yang bermaksud melakukan safe sex mengaku apabila sedang terinfeksi ims, maka mereka memilih untuk tidak melayani pelanggan yang tidak bersedia memakai kondom. mereka beralasan sedang haid apabila menemui pelanggan yang dicurigai ims dan tidak mau memakai kondom. perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor penguat. dalam penelitian yang dilakukan budiono (2012) faktor predisposisi yang mempengaruhi penggunaan kondom pada wps dan pelanggannya adalah pengetahuan tentang ims dan hiv/aids, dan sikap wps terhadap penggunaan kondom. faktor pemungkin yang mempengaruhi penggunaan kondom adalah informasi tentang ims dan hiv/ aids. sedangkan faktor penguatnya merupakan persepsi pelanggan tentang kemampuan dalam berhubungan seksual secara aman (safe sex) serta dukungan germo/mucikari terhadap penggunaan kondom di kalangan wpsdan pelanggannya. kendala yang sering muncul adalah ketidak sadaran wpsmeskipun telah mendapatkan informasi tentang penyakit ims yang dideritanya, masih banyak yang tetap melakukan hubungan seksual yang tidak aman. hal ini dapat terjadi karena faktor ekonomi, karena latar belakang ekonomi yang berbeda antara pelanggan dengan wanita pekerja seks mengakibatkan kesenjangan antara pihak yang berkuasa (pelanggan) dengan pihak yang tidak berdaya (wps) (arifianti, 2008). upaya pencegahan dan perawatan ims yang efektif dapat dicapai dengan melaksanakan “paket kesehatan masyarakat” yang meliputi promosi perilaku seksual yang aman (safe sex), pendistribusian kondom, peningkatan perilaku upaya mencari pengobatan, pelayanan khusus terhadap kelompok populasi berisiko tinggi, penatalaksanaan ims dilakukan secara paripurna dan melakukan deteksi dini terhadap infeksi yang bersifat simtomatik maupun yang asimtomatik. selain upaya pencegahan perlu penatalaksanaan yang baik bagi pengidap ims. penanganan pasien ims yang efektif, tidak hanya pada pengobatan antimikroba untuk menyembuhkan dan menurunkan penyebaran penyakit namun juga memberikan penatalaksanaan paripurna yang diberikan 116 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 103–120 untuk meningkatkan derajat kesehatan reproduksi yang bagus (kemenkes, 2015). berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik menganalisa perilaku safe sex pada wps saat melayani pelannggan dengan kejadian ims. bahan dan metode penelitia n ini menggunakan explanatory research, yaitu menjelaskan variabel dengan menghubungkan beberapa variabel. desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan crossectional dengan mengkukur variabel pada waktu yang bersamaan. jumlah populasi yang diambil adalah 40 orangwanita pekerja seks. teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling berjumlah 36 orang. sampel diambil berdasarkan kriteria peneliti yaitu bersedia menjadi responden dan dalam 3 bulan terakhir aktif melayani responden. penelitian ini dilakukan di wilayah puskesmas porong dan lokalisasi di daerah tangkis, porong. prosedur penelitian dilakukan dengan mengajukan surat permohonan ijin dari lppm universitas nahdlatul ulama surabaya kepada puskesmas porong. peneliti melakukan pendekatan kepada mucikari dan wps dilanjutkan dengan menjelaskan tentang prosedur pelaksanaan penelitian serta melakukan informed consent. peneliti melakukan wawancara, pengisian kuesioner oleh wps, observasi dan pemeriksaan ims dan hiv oleh bidan di puskesmas porong setelah proses ijin keluar. instrumen penelitian pada variable perilaku safe sex menggunakan kuesioner. variabel perilaku dibagi menjadi 2 kuesioner, yang pertama adalah tentang pengetahuan responden terhadap ims dan safe sex dengan bentuk soal multiple choice dan menghitung jawaban yang benar. kuesioner kedua adalah untuk melihat perilaku safe sex, penghitungan dengan menggunakan likert. kuesioner diadaptasi dari penelitian yang pernah dilakukan trilaksono (2007). untuk mengukur variabel kejadian ims adalah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan swab vagina. pemeriksaan hiv dilakukan dengan rapid test sesuai sop oleh petugas puskesmas porong. sedangkan pemeriksaan syphilis dilakukan dengan sampel darah vena. bahan yang digunakan adalah kapas alcohol, reagen untuk pemeriksaan hiv. sedangkan alat yang digunakan adalah lidi swab, speculum, rapid tes, spuit dll. data diperoleh secara langsung/data primer, pengambilan data dilakukan dengan mencatat hasil pada tabel 1 menunjukkan wps paling banyak berusia 20-30 tahun. dari hasil pengisian kuesioner didapatkan data tentang pendidikan terakhir wps observasi kemudian data yang terkumpuldianalisis menggunakan uji chi square. hasil penelitian pada tabel 1 adalah datausia wanita pekerja seks yang menjadi responden dari peneliti: no umur (th) f % 1. 20-30th 12 33,3 2. 30-40 th 10 27,8 3. 40-50 th 10 27,8 4. 50-60 th 4 11,1 total 36 100 tabel 1 distribusi frekuensi umur wanita pekerja seks di lokalisasi tangkis porong no pendidikan f % 1. tidak sekolah 4 11,1 2. sd 20 55,6 3. smp 10 27,7 4. sma 2 5,6 total 100 tabel 2 distribusi frekuesnsi pendidikan terakhir wps di lokalisasi tangkis, porong pada tabel 2 dari keseluruhan responden didapatkan data bahwa lebih dari 50% wps berpendidikanterakhir sd. perilaku safe sex diketahui dari kuesioner yang dibagikan ke responden. berikut adalah tabel perilaku safe sex pada wanita pekerja seks. no perilaku safe sex f % 1. baik 14 38,9 2. buruk 22 61,1 total 100 tabel 3 distribusi frekuensi perilaku safe sex wps di lokalisasi tangkis, porong 117rahayu, riski, analisis perilaku safe sex pada... tabel diatas menunjukkan hasil bahwa terdapat 27,8% wanita pekerja seks menderita hiv. hubungan perilaku safe sex dengan kejadian ims yang dilakukan dengan pemeriksaan swab vagina kemudian diberi pewarnaan gram dan gymse. berdasarkan uji statistic dengan uji chi square menunjukkan adanya hubungan antara perilaku safe sex dengan kejadian ims (p value 0,008) dengan continuity correction 4,474. perilaku safe sex yang buruk akan meningkatkan 4,474 kali kejadian ims. berdasarakan tabel di atas sebagian besar wps tidak berperilaku safe sex saat melayani pelanggan yaitu sebanyak 61,1% setelah dilakukan pemeriksaan fisik, swab vagina dan pengambilan sampel darah pada 36 responden di puskesmas porong didapatkan data ims sebagai berikut: no jenis ims f % 1. condiloma 4 11,1 2. positif pada pemeriksaan gram dan gymse 32 88,8 3. syphilis 6 16,6 tabel 3 distribusi frekuensi ims wanita pekerja seks di lokalisasi tangkis porong dari tabel di atas diperoleh data bahwa paling banyak responden positif ims dengan pemeriksaan pewarnaan gram dan gymse yaitu sebanyak 88,8%. tabel 4 distribusi frekuensi hiv wanita pekerja seks di lokalisasi tangkis porong no hiv f % 1. reaktif 10 27,8 2. non reaktif 26 72,2 total 100 pemeriksaan hiv menggunakan rapid test dengan sampel darah. berikut adalah data hasil pemeriksaan hiv pemeriksaan condiloma dilakukan dengan pemeriksaan fisik yaitu inspeksi pada vagina. hubungan perilaku safe sex dengan condiloma. f % f % f % baik 4 100 10 31,25 14 100 buruk 0 0 22 68,75 22 100 total 4 100 32 100 36 100 tabel 5 hubungan perilaku safe sex dengan kejadian ims yang dilakukan dengan pemeriksaan swab vagina kemudian diberi pewarnaan gram dan gymse perilaku safe sex kejadian ims positif total negatif tabel 6 hubungan perilaku safe sex dengan condiloma f % f % f % baik 10 31.25 4 100 14 100 buruk 22 68.75 0 0 22 100 total 32 100 4 100 36 100 perilaku safe sex condiloma positif total negatif 118 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 103–120 pembahasan hubungan perilaku safe sex dengan ims wanita pekerja seks di lokalisasi tangkis porong tidak semuanya memahami tentang safe sex dan bahaya ims. pada penelitian ini responden sebanyak 55.5% berpendidikan terakhir sdd dan hanya terdapat 38,9 % wps yang menerapkan safe sex menggunakan kondom. yang artinya terdapat hubungan antaara tingkat pendidikan dengan perilaku safe sex. hal ini sejalan dengan teori yang diungkapakan nyagero et .al (2012) yang menyatakan bahwa perubahan perilaku dan faktor yang berhubungan dengan wanita pekerja seksual adalah faktor sosiodemografi yang meliputi umur, tingkat pendidikan, agama, status pernikahan, jumlah anak, lama menjadi pekerja seksual, serta faktor pengetahuan tentang hiv/aids, pekerjaan alternatif selain menjadi pekerja seksual, tidak menggunakan atau penggunaan kondom secara tidak konsisten. pemakaian kondom secara konsisten oleh pelanggan harus didukung oleh wps sebagai rekan seksnya, namun masih terdapat pelanggan yang tidak bersedia memakai kondom dengan alasan kurang nyaman dan kurangnya kesadaran untuk memakai kondom sebagai perlindungan terhadap ims maupun infeksi hiv. sehingga wps berperan sangat penting, yaitu melakukan negosiasi dengan pelanggan agar selalu menggunakan kondom (hadi, 2004). pemeriksaan ims menggunakan sampel duh vagina kemudian dilakukan pewarnaan gram. teknik pemeriksaan sediaan langsung duh vagina dengan pewarnaan gram untuk mengidentifikasi diplokokus gram negatif intraseluler leukosit polimorfonuklear (pmn) merupakan metode yang sering digunakan di banyak laboratorium layanan kesehatan. teknik ini mampu membedakan bakteri antara gram positif dan negatif. bakteri gram positif akan terlihat berwarna ungu sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah (beveridge,2001).pemeriksaan gymsamenggunakan object glassyang diwarnai dengan giemsa atau larutan yodium kemudian diobservasi menggunakan mikroskop cahaya biasa. pada pewarnaan giemsa, badan inklusi (bi) tampak intra sitoplasma sel epitel yang berwarna ungu pemeriksaan syphilis dilakukan menggunakan sampel darah. hubungan perilaku safe sex dengan syphilis tabel 7 hubungan perilaku safe sex dengan syphilis f % f % f % baik 12 40 2 33.33 14 100 buruk 18 60 4 66.67 22 100 total 30 100 6 100 36 100 perilaku safe sex syphilis positif total negatif hubungan perilaku safe sex dengan syphilis tidak menunjukkan korelasi yang signifikan dengan p value 0,76 . hubungan perilaku safe sex dengan hiv tabel 8 hubungan perilaku safe sex dengan hiv f % f % f % baik 10 38.46 4 40 14 100 buruk 16 61.54 6 60 22 100 total 26 100 10 100 36 100 perilaku safe sex hiv reaktif total non reaktif hubungan perilaku safe sex dengan hiv yang menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan dengan p value 0,932. 119rahayu, riski, analisis perilaku safe sex pada... tua, sedangkan dengan pewarnaan yodium akan berwarna coklat. pada penelitian ini hubungan perilaku safe sex dengan kejadian ims yang dilakukan dengan pemeriksaan swab vagina kemudian diberi pewarnaan gram dan giemsa dengan uji chi square menunjukkan p va lue 0, 008 dan continuity correction 4,474 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku safe sex dan kejadian ims. perilaku safe sex akan menurunkan angka kejadian ims sebanyak 4,474 kali dibandingkan dengan wps yang tidak menerapkan safe sex. perilaku safe sex dengan condiloma juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan p value 0,008 dengan continuity correction 4,474. sedangkan perilaku safe sex dengan syphilis tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan p value 0,76. hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh ardyanto (2016) yaitu diperoleh ada hubungan antara cara penggunaan kondom dengan kejadian infeksi gonore pada wps di lokalisasi kabupaten nabire papua (p=0,007). gonore merupakan salah satu penyakit yang termasuk ims. syphilis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku safe sex dikarenakan berbagai faktor, baik dari pasien maupun pasangannya. gejala syphilis juga jarang disadari oleh wps karena gejalanya cukup ringan. pada fase awal luka tidak menyebabkan rasa sakit akan tampak saat bakteri masuk ke dalam tubuh. hal ini biasanya terjadi dalam waktu 3 minggu dari paparan, sekitar 10-90 hari. fase selanjutnya ditandai dengan timbulnya ruam selama 2-12 minggu setelah luka menyebar dan terkadang bahkan sebelum ia sembuh. gejala lain pun bisa terjadi, yang artinya bahwa infeksi telah menjalar ke seluruh tubuh. sedangkan fase laten adalah fase setelah seseorang terinfeksi bakteri. setelah ruam pada fase sekunder hilang, tidak akan muncul gejala lain dalam beberapa waktu (fase laten). fase ini mungkin dapat terjadi satu tahun atau sekitar 5-20 tahun. fase yang paling menular dari sipilis adalah tahap akhir . jika tidak diobati, tahap akhir ini mungkin akan terlihat dalam waktu dini, yaitu 1 tahun setelah terinfeksi atau seumur hidup. menurut peneliti tidak adanya hubungan perilaku safe sex dengan syphilis dikarenakan wps yang mengalami syphilis masih dalam fase primer atau sekunder sehingga belum menyebar ke seluruh tubuh, karena pemeriksaan syphilis pada penelitian ini adalah menggunakan darah vena seba gai sampelnya. hubungan safe sex dengan hiv faktor-faktor yang menyebabkan penularan hiv/aids sangat banyak, tetapi yang paling berisiko adalah perilaku seksual. faktor lain bisa ditimbulkan dari penularan secara parenteral dan riwayat penyakit infeksimenular seksual sebelumnya (lee, 2003). peradangan pada pasien ims meningkatkan risiko terhadap transmisi infeksi hiv, karena rusaknya barier mukosal memudahkan transmisi virus hiv ke dalam pembuluh darah. selain itu ims memberikan fasilitas virus hiv untuk hidup dalam saluran genital dan merekrut sel peradangan virus hiv ke dalam saluran genital. pemeriksaan hiv pada penelitian ini adalah menggunakan rapid test yaitu tes dengan cara cepat menggunakan reagen dan sampel darah. setelah dianalisa diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara perilaku seksual dengan kejadian hiv dengan p value 0,932. tes hiv dapat dilakukan dengan cepat (rapid test) yang merupakan tes untuk deteksi awal adanya virus hiv. prosedur ini memerlukan sampel darah atau cairan oral untuk menemukan antibodi terhadap hiv. hasil tes keluar sekitar 20-30 menit. apabila hasil rapid test positif maka harus dilanjutkan oleh tes konfirmasi darah vena yang dilakukan di laboratorium. saat ini, terdapat paling tidak empat jenis rapid test hiv yang sudah diluncurkan oleh fda amerika serikat. untuk semua rapid test, kepatuhan terhadap petunjuk pabrik sangat penting untuk memastikan hasil yang akurat. kinerja rapid test umumnya lebih tinggi bila digunakan oleh tenaga terlatih. hal inilah yang menjadi faktor yang menyebakan tidak adanya hubungan antara perilaku seksual dengan hiv, karena belum dilakukan uji da r a h lengka p da n elisa (enzyme-linked immunosorbent assays). kesimpulan kesimpulan dari uraian dan pembahasan di atas adalah terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku seksual dengan kejadian ims dengan pemeriksaan gram dan gymse di lokalisasi tangkis porong dengan p value 0,008. tidak ada hubungan perilaku seksual dengan kejadian hiv di lokalisasi tangkis, porong dengan p value 0,932. 120 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 103–120 saran berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan pada puskesmas porong lebih giat lagi dalam melakukan pemeriksaan ims terutama pada kelompok rentan seperti wps. kepada responden diharapkan dapat lebih memahami lagi tentang ims dan bahaya yang menyertai penyakit ini. pada penelitian selanjutnya diharapkan melakukan pemeriksaan lebih mendalam tentang hiv pada wps termasuk metode pemeriksaannya. daftar pustaka arifianti, n. a. (2008). analisis faktor-faktor penyebab niat wanita pekerja seks (wps) yang menderita ims berperilaku seks aman (safe sex) dalam melayani pelanggan. jurnal promosi kesehatan indonesia vol. 3 / no. 2 budiono, i. (2012). konsistensi penggunaan kondom oleh wanita pekerja seks/pelanggannya. jurnal kesmas 7(2), 97-101. beveridge, t.(2001). use of the gram stain in microbiology biotechnic and histochemistry.biotech histocham 2001 may. 76(3), 111-118. depkes r.i., population u.n. (2002). kesehatan reproduksi. jakarta: fund kemenkes ri. (2015). pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual.jakarta: kemenkes ri kemenkes ri, 2011. surveilans terpadu biologis dan perilaku. jakarta: kemenkes ri direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. susilo, t. h. (2004). faktor-faktor yang mempengaruhi praktik negosiasi penggunaan kondom untuk mencegah ims dan hiv/aids pada wps di resosialisasi argorejo kelurahan kalibanteng kulon kecamatan semarang barat kota semarang.tesis lee, l.m., mckenna m.t. and janssen r.s..(2003). classification of transmission risk in the national hiv/aids surveillance system. public health reports. 2003.18, 400-440. nyagero et,al. (2012). behaviour change and associated factors among female sex workers in kenya. pan african medical journal 13 (supp 1): 16 december 2012. 171 aplikasi teknik swaddling, side-stomach, shushing, swinging, sucking(5s’s) terhadap skala nyeri dan durasi tangisan pada neonatus paska prosedur pengambilan darah (the effect of swaddling, side-stomach, shushing, swinging, sucking (5s’s) toward pain and duration of crying neonates post blood sampling procedures) erni setiyorini, ning arti wulandari stikes patria husada blitar e-mail: nerserni@gmail.com abstract: neonatal care at hospital involved many invasive procedures. the invasive procedures caused pain in neonates. the role of nurse is minimize the discomfort and pain for them. negative effect when we let the pain in long time, there are immediately effect, short term effect and long term effect. 5s’s technique is useful to make baby comfortable and soothing neonates.the purpose of this study was to analyze the application of 5s’s technique to the pain and duration of crying neonates post blood sampling procedures. method: research design was experimental research with quasiexperimental design post test only with control group. the sample consisted of 50 neonates, 25 nonates in control group and 25 neonates in the experimental group, with inclusion criteria: aterm neonates, normal apgar score. sampling was done by purposive sampling. the data was analyze by t-test. result: the results showed that 5s’s technique had effect to pain with p=0,000 and duration of crying, with p=0,011. the research recommended for calming crying neonates and reduce pain after invasive procedures and it is expected the results of this study can be considered for standart operating procedures for calming neonates. keywords: technique 5s’s, pain neonates, duration of crying, blood sampling procedures perawatan neonatal melibatkan banyak sekali prosedur invasif. masing-masing memiliki keuntungan dan resiko spesifik. seperti halnya prosedur pengambilan darah vena mempunyai keuntungan aliran darah yang baik dan menghindari hemolisis dari sampel darah. namun prosedur tersebut juga memiliki resiko, misalkan memar, infeksi dan menimbulkan ketidaknyamanan pada bayi. oleh sebab itu perawat perlu mempertimbangkan bagaimana meminimalkan ketidaknyamanan dan nyeri yang dirasakan oleh bayi. tindakan invasif pengambilan darah vena yang didapatkan pada anak selama di rawat di rumah sakit menimbulkan dampak kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan akibat nyeri yang dirasakan saat prosedur dilaksanakan pada zaman dahulu, bayi terutama yang baru lahir dianggap belum mampu memberikan respon nyeri. hal ini disebabkan untuk dapat berespon terhadap nyeri diperlukan susunan saraf yang sempurna dan adanya pengalaman nyeri sebelumnya. akan tetapi pandangan tersebut berubah, setelah ditemukan fakta bahwa sistem persarafan dan hormonal yang terlibat dalam proses penghantaran nyeri sudah terbentuk sempurna pada akhir trimester kedua kehamilan, sehingga bayi baru lahir cukup bulan sudah memiliki kemampuan menghantarkan nyeri dengan sempurna. nyeri yang dialami bayi menimbulkan efek saat ini dan dimasa yang akan datang, secara spesifik digolongkan menjadi 3 pengaruh yaitu efek segera, efek jangka pendek dan efek jangka panjang. efek segera menimbulkan rasa acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p171-176 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm. 171-177 ketakutan, kegelisahan, gangguan waktu tidur dan bangun, penurunan jumlah konsumsi makanan, peningkatan jumlah produksi asam lambung; efek jangka pendek: gangguan imunologis (pertahanan tubuh), keterlambatan penyembuhan, gangguan pembentukan emosi, sedangkan efek jangka panjang: terbentuknya ingatan terhadap nyeri, retardasi pertumbuhan, perubahan dalam merespons nyeri. sedangkan menurut boyse (2007) nyeri dapat menyebabkan komplikasi medis, dan masalah dengan tidur, makan, dan regulasi diri. hal ini juga dapat membuat anak-anak hipersensitif atau tidak sensitif terhadap rasa sakit di kemudian hari, atau menyebabkan rasa sakit kronis dan masalah lain di kemudian hari. comfort merupakan sebuah konsep yang mempunyai hubungan yang kuat dalam keperawatan. comfort diartikan sebagai suatu keadaan yang dialami oleh penerima yang dapat didefinisikan sebagai suatu pengalaman yang immediate yang menjadi sebuah kekuatan melalui kebutuhan akan keringanan (relief), ketenangan (ease), and (transcedence) yang dapat terpenuhi dalam empat kontex pengalaman yang meliputi aspek fisik, psikospiritual, sosial dan lingkungan (toomey and aligood, 2006). bayi mengkomunikasikan ketidaknyamanannya kepada kita dengan cara menangis (babycentre medical advisory board, 2012). menurut kolkaba (2003) teori comfort dari ini menekankan pada beberapa konsep utama health care needs, comfort measures, enhanced comfort, intervening variable, health seeking behavior (hsbs) dan institusional integrity (toomey and aligood, 2006). tindakan 5s‟s ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan pada bayi. penemuan konsep baru bahwa bayi baru lahir sampai dengan usia 3 bulan tidak sepenuhnya siap di dunia, sehingga bayi yang menangis dapat dikondisikan seperti di dalam rahim ibu. dr. karp mengajarkan teknik untuk “mengkondisikan ulang seperti dalam kandungan” agar bayi tenang dan nyaman, dengan metode 5s‟s yang meliputi swaddling (membedong bayi), side posisi miring ke kiri/perut, shushing sound, swinging (gerakan berayun), sucking (mengisap). tehnik tersebut dilakukan karena selama tiga bulan pertama setelah kelahirannya, bayi merindukan sensasi – sensasi nyaman yang mereka alami selama berada dalam rahim. berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh dr.harrington (2010) menyatakan bahwa sebagian besar bayi yang mendapatkan intervensi fisik 5s‟s berhenti menangis dengan 45 detik, sedangkan yang menerima larutan gula masih menangis 2 menit setelah prosedur invasif vaksinasi (gupta, 2012). pada bayi yang diambil darahnya membutuhkan pelayanaan untuk memenuhi kenyamanannya (health care needs). oleh sebab itu peneliti ingin mengaplikasikan metode 5s‟s untuk menenangkan bayi setelah dilakukan prosedur pengambilan darah vena, dengan harapan nyeri yang dirasakan bayi berkurang/ hilang dan bayi dapat merasa tenang dan nyaman. berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin membuktikan pengaruh teknik 5s‟s terhadap skala nyeri bayi, sehingga petugas kesehatan dapat memberikan intervensi segera terhadap pengalaman nyeri bayi dan akan berdampak positif yaitu menghindari efek negatif pengalaman nyeri jangka pendek maupun panjang. tujuan penelitian tersebut adalah menganalisis pengaruh teknik 5s‟s terhadap nyeri dan durasi tangisan neonatus paska prosedur pengambilan darah vena. metode penelitian pada penelitian ini menggunakan quasy – experimental design dengan pendekatan non randomized posttest control group design. populasi dalam penelitian ini adalah neonatus yang dirawat di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi blitar dengan prosedur pengambilan darah pada 14 april – 14 juni 2014. sampel dalam penelitian ini adalah neonatus yang memenuhi kriteria inklusi yaitu berusia 0 – 3 bulan, aterm, tidak ada penyakit lain, apgar skor normal, menjalani prosedur invasif pengambilan darah vena. teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling. subjek penelitian sebanyak 50 neonatus yang terbagi menjadi 25 neonatus keompok perlakuan dan 25 neonatus keompok kontrol. penelitian dilaksanakan di ruang edelweis rsud ngudi waluyo wlingi blitar pada tanggal 14 april – 14 juni 2014. variabel bebas penelitian ini adalah teknik swaddling, side-stomach, shushing, swinging, sucking (5s’s) sedangkan variabel terikat penelitian ini adalah skala nyeri dan durasi tangisan. untuk pengukuran skala nyeri menggunakan instrumen rips (riley infant pain scale). perlakuan yang diberikan adalah swaddling (membedong), side-stomach (memberikan posisi miring kearah lambung bayi), shushing (memberikan suara sssshhhhh di setiyorini dan arti, aplikasi teknik 5s’s terhadap nyeri dan ….173 telinga bayi dengan intensitas sekeras tangisan bayi), swinging (mengayun-ayun bayi perlahanlahan) dan sucking (memberikan pacifier). sedangkan pada kelompok kontrol dilakukan diberikan tindakan konvensional ruangan yaitu hanya dibedong. untuk analisis data, dilakukan uji normalitas dahulu pada data dengan menggunakan saphiro-wilk, setelah data diuji dengan hasil normal maka dilakukan uji t-test hasil penelitian hasil penelitian meliputi karakteristik neonatus dan data khusus penelitian. tabel 1. distribusi karakteristik neonatus kelompok perlakuan di ruang edelweis rud. ngudi waluyo wlingi tanggal 14 april – 14 juni 2014. no karakteristik f (%) 1 jenis kelamin laki-laki perempuan 11 14 44 56 2 jenis persalinan normal sc 7 18 28 72 3 pengambilan darah ke 1 ke 2 ke 3 ke 4 10 11 1 3 40 44 4 12 4 usia neonatus 0 – 3 hari 4 – 7 hari 8 – 14 hari 13 10 2 52 40 8 berdasarkan tabel 1 jenis kelamin neonatus kelompok perlakuan terbanyak adalah perempuan sebanyak 14 (56%), jenis perssalinan terbanyak sc yaitu 18 (72%), dan prosedur pengambilan darah yang terbanyak adalah pengambilan darah yang ke 2 yaitu 11 (44%). tabel 2. distribusi karakteristik neonatus kelompok kontrol di ruang edelweis rud. ngudi waluyo wlingi tanggal 14 april – 14 juni 2014. no karakteristik f % 1 jenis kelamin laki-laki perempuan 10 15 40 60 2 jenis persalinan normal sc 8 17 32 68 3 pengambilan darah ke 1 ke 2 ke 3 ke 4 9 10 5 1 36 40 20 4 4 usia neonatus 0 – 3 hari 4 – 7 hari 8 – 14 hari 13 10 2 52 40 8 berdasarkan tabel 2 jenis kelamin neonatus kelompok kontrol terbanyak adalah perempuan sebanyak 15 (60%), jenis persalinan terbanyak sc yaitu 17 (68%), dan prosedur pengambilan darah yang terbanyak adalah pengambilan darah yang ke 2 yaitu 10 (40%) intervensi teknik 5s tabel 3 distribusi teknik (s) intervensi kelompok perlakuan di ruang edelweis rsud. ngudi waluyo wlingi tanggal 14 april – 14 juni 2014. teknik (s) f % 2s 3s 4s 5s 4 3 17 1 16 12 68 4 teknik menenangkan neonatus setelah prosedur pengambilan darah yang terbanyak adalah teknik 4s yaitu sebanyak 17 (68%). hasil uji statistik tabel 4 hasil uji normalitas data dengan shapiro-wilk shapiro-wilk statistic df sig. durasi tangisan (detik) skala nyeri (riley infant pain scale) .983 .962 50 50 .665 .086 berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa uji normalitas durasi tangisan sebesar 0,665 (>0,05) yang berarti data berdistribusi normal. demikian juga untuk skala nyeri menunjukkan nilai signifikansi 0,086 (>0,05) yang berarti data skala nyeri berdistribusi normal. 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm. 171-177 durasi tangisan neonatus paska tindakan invasif pengambilan darah tabel 5 durasi tangisan neonatus kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di ruang edelweis rsud. ngudi waluyo wlingi tanggal 14 april – 14 juni 2014. kelompok n mean min max t-test perlakuan 25 20,30 10 40,56 0,011 kontrol 25 28,34 3 50,12 berdasarkan tabel 5 durasi tangisan rata – rata kelompok perlakuan lebih pendek dibandingkan dengan durasi tangisan rata – rata kelompok kontrol. hasil uji statistik menunjukkan p=0,011 yang berarti terdapat perbedaan durasi tangisan antara kelompok perlakuan dan kontrol. skala nyeri dengan menggunakan rips paska tindakan invasif pengambilan darah tabel 6 skala nyeri neonatus kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di ruang edelweis rsud. ngudi waluyo wlingi tanggal 14 april – 14 juni 2014. kelompok n mean min max t-test perlakuan 25 7,80 3 13 0,000 kontrol 25 11,20 4 15 berdasarkan tabel 6 skala nyeri dengan menggunakan rips, skala nyeri rata – rata pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. hasil uji statistik menunjukkan p=0,000, yang berarti terdapat perbedaan skala nyeri pada kelompok perlakuan dan kontrol. pembahasan karakteristik neonatus berdasarkan data karakteristik neonatus, sebagian besar neonatus pada kelompok perlakuan berjenis kelamin perempuan sebanyak 14 neonatus (56%), lahir melalui operasi sc sebanyak 18 neonatus (72%) dan prosedur pengambilan darah yang ke 2 sebanyak 11 neonatus (44%), usia terbanyak 0 – 3 hari yaitu 13 neonatus (52%). anatomi dan fisiologi dasar nyeri telah muncul pada neonatus preterm. neonatus yang dirawat di ruang perinatal sering mendapatkan pengalaman nyeri untuk periode waktu yang panjang. neonatus memiliki peningkatan sensasi nyeri dan lebih sensitif terhadap nyeri dibandingkan anak – anak dan dewasa., dan rentan terhadap efek nyeri jangka panjang (slater, dkk, 2006). perbedaan skala nyeri kelompok perlakuan dan kelompok kontrol rata-rata skala nyeri pada neonatus kelompok perlakuan adalah 7,80 dan pada kelompok kontrol 11,20. hal ini menunjukkan bahwa skala nyeri yang dialami oleh kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan pada kelompok kontrol. hasil ini mendukung pendapat harvey karp bahwa intervensi 5s‟s dapat menurunkan skala nyeri akibat dari tindakan invasif. pemberian intervensi 5s‟s didasarkan pada konsep bahwa 4 bulan setelah kelahiran, bayi belum siap sepenuhnya berada di luar rahim, bayi merindukan sensasi yang nyaman seperti di dalam rahim. di dalam rahim ada simfoni sensasi, gerakan bergoyang yang konstan, bunyi mendesing yang konstan yang merupakan suara aliran darah melalui arteri dan menyentuh konstan terhadap dinding rahim. melalui intervensi 5s‟s karp menstimulasi rekondisi dalam rahim. tindakan 5s‟s ini terdiri dari swaddling, yaitu membungkus bayi dengan membedong bayi dengan menggunakan kain katun yang lembut, hal ini memberikan ruang yang terbatas dan sentuhan yang terus menerus, sama seperti kondisi bayi dalam rahim dengan ruang yang terbatas. membedong bayi dapat memusatkan perhatian bayi, menghentikan gerakan-gerakan memukul-mukul, mencegah rewel dan memberikan isyarat pada bayi bahwa sudah waktunya tidur. tindakan yang kedua side/ stomach position, bayi baru lahir dapat menjadi panik dalam posisi telentang, karena adanya refleks moro yang mengejutkan bayi ketika mereka berpikir mereka jatuh. cara yang cepat untuk membantu menenangkan bayi dalam kondisi stress adalah memposisikan bayi miring setiyorini dan arti, aplikasi teknik 5s’s terhadap nyeri dan ….175 pada lengan/ pangkuan/ di atas bahu, posisi ini di dalam memori bayi sama seperti kondisi dalam rahim yaitu miring ke kiri atau kanan. menurut karp, posisi miring dan tengkurap tidak boleh diberikan pada saat bayi dalam kondisi tidur karena dapat memicu kondisi henti napas, terutama pada posisi tengkurap. tindakan ketiga shushing, yaitu memberikan suara “ssshhhhhhh” di dekat telinga bayi sekeras frekuensi tangisan. sura ini meniru suara aliran darah ibu ketika bayi masih di dalam rahim. pengujian yang dilakukan pada tahun 1970-an menegaskan bahwa di dalam rahim, bayi terpapar dengan bunyi kebisingan 80-90 desibel. beberapa bunyi lain dapat menyerupai „ssshhhhhh” yaitu bunyi radio statis, bunyi vacuum cleaner atau mesin cuci, shower dan kipas. tindakan keempat adalah swinging, yaitu tindakan mengayun – ayunkan bayi pelan – pelan pada lengan, tidak terlalu keras dalam menggoyang bayi. gerakan ayunan kecil agar kepala bayi tetap sejalan dengan tubuhnya, gerakan tidak lebih dari 1 – 2 inchi dari sisi ke sisi. selama dalam rahim, bayi terbiasa terus – menerus bergoyang – goyang dalam cairan ketuban. replikasi dari ayunan ini adalah cara cepat untuk membantu menenangkan bayi baru lahir. tindakan lain yang menyerupai swinging adalah goncangan dari kereta, ayunan di tempat tidur gantung, ayunan bayi dan goncangan mobil yang sedang melaju. tindakan yang kelima adalah sucking/ menghisap. intervensi nyeri non farmakologis dengan sucking telah terbukti bermanfaat dalam pengelolaan nyeri ringan – sedang pada neonatus. termasuk didalamnya adalah sucking non nutritif, asi, mpasi. pemberian asi dapat efektif karena diikuti dengan kontak kulit. metode pemberian asi dapat merangsang aktivasi neuropeptida, seperti cholecytokinin (cck). cck merupakan zat modulasi opioid yang mendukung adaptasi stressor dan dapat mencapai efek analgesik melalui potensiasi aktifitas opioid. selain itu asi mengandung gula yang memberikan efek analgesia. bila bayi terbiasa dengan dot/ pacifier, tindakan sucking dapat diberikan. berdasarkan teori, pada usia 5 bulan kehamilan, refleks menghisap pada bayi berkembang. pada saat tangan berada disekitar mulut, bayi refleks menghisap jari (acog, 2014). pemberian tindakan sucking akan mengembalikan kenyamanan bayi ketika berada dalam kandungan. intervensi tindakan dengan 5s‟s merupakan salah satu dari penatalaksanaan nyeri non farmakologik yaitu metode distraksi. distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden sehingga stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak lebih sedikit. efektifitas teknik distraksi tergantung pada kemampuan individu dalam menerima dan membangkitkan stimuli sensoris selain dari rangsang nyeri yang diterima. penurunan nyeri secara umum dapat optimal dengan melibatkan partisipasi aktif dari individu, keterlibatan modalitas sensoris yang digunakan dan minat individu terhadap stimuli. stimulasi dengan melibatkan beberapa indera seperti penglihatan, pendengaran, sentuhan lebih efektif dalam menurunkan nyeri dibandingkan dengan hanya melibatkan satu indera saja. intervensi 5s‟s yaitu swaddling, side, shushing, swinging, sucking melibatkan beberapa indera sehingga lebih efektif dalam menurunkan nyeri. menurut penelitian harrington (2012) intervensi 5s‟s dapat menurunkan skala nyeri pada neonatus paska tindakan imunisasi pada imunisasi rutin bayi usia 2 – 4 bulan. beberapa riset menunjukkan bahwa kegagalan dalam mengatasi nyeri pada neonatus akan menyebabkan perubahan permanen pada proses di otak dan perilaku maladaptif selanjutnya (anand, 2000). nyeri yang dialami oleh neonatus memiliki efek yang merugikan terhadap kemampuan neonatus berikutnya dalam belajar dan mengingat informasi baru. stress akibat nyeri yang berkepanjangan juga berakibat penurunan ireversibilitas dendrite di hippocampus. nyeri yang berulang – ulang atau stress lebih lanjut akan mempengaruhi apoptosis. perbedaan durasi tangisan kelompok perlakuan dan kontrol hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan durasi tangisan neonatus kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan p=0,011. sesuai dengan teori bahwa neonatus dan bayi memiliki keunikan dalam perilaku awal kehidupan untuk bertahan hidup, kesehatan dan perkembangan. secara umum, menangis adalah tanda biologis, kewaspadaan pada perawat terhadap kebutuhan dan keinginan bayi dan memotivasi pendengar untuk merespon tangisan. bagi bayi menangis merupakan cara untuk mengkomunikasikan pesan. tangisan pada neonatus merupakan reaksi terhadap stimuli eksternal maupun internal. bradelton, 1962 dalam mccarrol dan fariz tahun 2010 menyatakan bahwa tangisan merupakan respon terhadap kebutuhan 176 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm. 171-177 diantaranya perubahan suhu, lapar dan nyeri atau ketidaknyamanan. dengan durasi tangisan yang pendek setelah diberikan intervensi 5s‟s, hal ini mendukung perkembangan psikososial anak yaitu fase pembentukan rasa percaya dan tidak percaya. menurut erikson dua tindakan pengasuh/ orang tua dapat mendukung perkembangan ini yaitu pemberian makan dan respon terhadap tangisan bayi. mengabaikan tangisan bayi dapat menyebabkan gangguan perkembangan psikososial selanjutnya yaitu rasa curiga, takut dan tidak percaya (wong, 2009). beberapa neonatus kelompok kontrol memiliki durasi tangisan lebih pendek dari kelompok perlakuan. pada kelompok kontrol, bayi hanya dibedong, yaitu salah 1 tindakan dari 5s‟s (swaddling), tindakan ini juga salah satu tindakan rekondisi dalam rahim. faktor lain yang mendukung yaitu bayi dalam kondisi kenyang, sehingga mudah ditenangkan. beberapa neonatus kelompok perlakuan memiliki durasi tangisan yang lebih panjang dari kelompok kontrol, hal ini dapat disebabkan oleh karena adanya faktor lain, yaitu ketidaknyamanan lain yang dirasakan bayi, diantaranya karena lapar, mengantuk dan kelelahan. simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh tindakan 5s‟s terhadap skala nyeri neonatus yang ditunjukkan dengan uji statistik t-test dengan p=0,000; adanya pengaruh tindakan 5s‟s terhadap durasi tangisan neonatus yang ditunjukkan denganuji statistik t-test dengan p=0,011. saran saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai bagi institusi pendidikan, diharapkan materi teknik 5s‟s ini dapat ditambahkan, khususnya pada mata kuliah sistem reproduksi 2 tentang penatalaksanaan bayi baru lahir; bagi rumah sakit, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat sop (standart operatinal procedures) dalam menenangkan neonatus dan dapat mensosialisasikan kepada ibu, bahwa tindakan 5s‟s sangat bermanfaat bagi neonatus dan menjelaskan efek negative dari nyeri dan tangisan yang tidak segara ditangani. daftar rujukan babycentre (2012). seven reasons baby cry and how to soothe them. dibuka tanggal 14 april 2013. dari http://www.babycentre.co.uk/a536698/sev en-reasons-babies-cry-and-how-to-soothethem boyse, keyla. (2007). pain and your infant: medical procedures, circumcision and teething. http://www.med.umich.edu/yourchild/topi cs/paininf.htm dibuka tanggal 20 nopember 2013. gupta,s.(2012).the 5s’s: easing baby pain after vaccine shots. dibuka tanggal 14 april 2013. dari http://thechart.blogs.cnn.com/2012/04/16/t he-5-ss-easing-baby-pain-after-vaccineshots/. karp harvey.( 2002). bayi paling bahagia sedunia. gramedia. jakarta stright, b.(2001). keperawatan ibu bayi baru lahir. edisi 3 alih bahasa maria a. wijayarini. jakarta: egc. tommey and alligood. (2006). nursing theorist and their work. philadelphia usa: mosby. wong,d.l, hockenberry m, wilson,d, winkelstein,m.l, & schwartz, p.(2002). buku ajar keperawatan pediatrik wong, ed 6, vol i.alih bahasa agus sutarna. jakarta:egc. john.w. harrington, mda,b, stacey logan, mda, courtney harwell, mda, jessica gardner, mda, jessica swingle, bsa, erin mcguire, msa, and rosemarie santos, mda.(2012).effective analgesia using physical interventions for infant immunizations. american academy of pediatrics. http://pediatrics.aappublications.org/conte nt/early/2012/04/11/peds.2011-1607. abstract anand k. (2000).pain, plasticity, and premature birth: a prescription for permanent suffering? nature medicine; 6:971–73. anand k, and hickey p. pain and its effects in the human neonate and fetus. new england journal of medicine 1987; 317:1321–29. anand k, and scalzo f. (2000).can adverse neonatal experiences alter brain development and subsequent behavior? biology of the neonate; 77:69–82 http://www.babycentre.co.uk/a536698/seven-reasons-babies-cry-and-how-to-soothe-themhttp://www.babycentre.co.uk/a536698/seven-reasons-babies-cry-and-how-to-soothe-themhttp://www.babycentre.co.uk/a536698/seven-reasons-babies-cry-and-how-to-soothe-themhttp://www.med.umich.edu/yourchild/topics/paininf.htm http://www.med.umich.edu/yourchild/topics/paininf.htm http://thechart.blogs.cnn.com/2012/04/16/the-5-ss-easing-baby-pain-after-vaccine-shots/ http://thechart.blogs.cnn.com/2012/04/16/the-5-ss-easing-baby-pain-after-vaccine-shots/ http://thechart.blogs.cnn.com/2012/04/16/the-5-ss-easing-baby-pain-after-vaccine-shots/ http://pediatrics.aappublications.org/content/early/2012/04/11/peds.2011-1607 http://pediatrics.aappublications.org/content/early/2012/04/11/peds.2011-1607 setiyorini dan arti, aplikasi teknik 5s’s terhadap nyeri dan ….177 slater, r, cantarella, a, gallella, s, et al. cortical pain responses in human infants. j neurosci 2006; 26:3662. the american congress of obstetricians and gynecologist (acog).(2011). how your baby grows during pregnancy. http://www.acog.org/patients/faqs/howyour-baby-grows-during-pregnancy dibuka tanggal 28 agustus 2014. http://www.acog.org/patients/faqs/how-your-baby-grows-during-pregnancy http://www.acog.org/patients/faqs/how-your-baby-grows-during-pregnancy 276 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 276–282 276 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan kuantitas nyeri penderita osteoarthritis info artikel sejarah artikel: diterima, 20/09/2018 disetujui, 14/08/2019 dipublikasi, 25/08/2019 kata kunci: osteoarthritis, nyeri, latihan range of motion. abstrak osteoartritis merupakan suatu penyakit degeneratif kerusakan kartilago sendi yang progresif pada lansia. keluhan tersering penderita osteoartritis adalah rasa kaku serta adanya nyeri, spasme otot dan disability. salah satu terapi non farmakologis untuk mengatasi nyeri adalah latihan range of motion (rom). tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh latihan rom terhadap kualitas dan kuantitas nyeri penderita osteoarthritis di banyu urip lor rw 7 surabaya. desain penelitian ini adalah quasi eksperiment dengan pre-post test with control group, pada sampel 26 orang lansia yang menderita osteoartritis dengan menggunakan teknik purposive sampling. latihan rom dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu. analisis data yang digunakan adalah uji wilcoxon dan mann whitney. hasil uji statistik wilcoxon pada kelompok kontrol pre-post didapatkan p<0,05 (0,025) dan kelompok perlakuan pre-post didapatkan p<0,05 (0,001), artinya ada pengaruh latihan rom terhadap kualitas dan kuantitas nyeri penderita osteoarthritis. hasil uji statistik mann-whitney didapatkan p<0,05 (0,006), artinya ada beda kualitas dan kuantitas nyeri antara kedua kelompok. latihan rom adalah latihan menggerakkan sendi seoptimal mungkin sesuai kemampuan klien. latihan rom dapat meningkatkan kelenturan dan kekuatan otot, serta merangsang sirkulasi darah. implikasi hasil penelitian ini adalah latihan rom dapat dilakukan oleh penderita osteoartritis secara rutin untuk mengurangi rasa nyeri. range of motion exercise for changes in the quality and quantity of osteoarthritis sufferers article information history article: received, 20/09/2018 accepted, 14/08/2019 published, 25/08/2019 keywords: osteoarthritis, pain, rain of motion exercises abstract osteoarthritis is a progressive degenerative disease of joint cartilage in the elderly. the most common complaints of people with osteoartritis are stiffness and pain, muscle spasm and disability. one of the non-pharmacological therapy for pain management is rom exercise. the purpose of this study was to analyze the effect of rom exercises on the quality and quantity of osteoarthritis pain in banyu urip lor rw 7 surabaya. the design of this study was quasi-experimental with a pre-post test control group, in a sample of 26 elderly people suffering from osteoartritis used a purposive sampling technique. the rom exercise are done 3 times a week for 4 caturia sasti sulistyana1, susanti2 1,2prodi keperawatan, akademi keperawatan adi husada surabaya, indonesia 277sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... weeks. the data analysis used was wilcoxon test and mann whitney test. the results of the wilcoxon statistical test in the pre-post control group obtained p<0.05 (0.025), and the pre-post treatment group obtained p<0.05 (0.001), it means that there was an effect of rom exercises on the quality and quantity of pain in patients with osteoarthritis. the results of the mann-whitney statistical test obtained p<0.05 (0.006), it means that there were differences in the quality and quantity of pain between the two groups. the rom exercise are exercises to move the joints as optimal as possible according to the ability of the client. the rom exercise can increase muscle flexibility and strength, and stimulate blood circulation. implications of the results of this study rom exercises can be performed by patients with osteoartritis regularly to reduce pain. © 2019 jurnal ners dan kebidanan email: caturia@akper-adihusada.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p276-282 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/) pendahuluan osteoartritis merupakan suatu penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang sering dijumpai pada lanjut usia diatas 60 tahun. keluhan yang sering dirasakan oleh penderita osteoarthritis adalah rasa kaku atau pegal serta nyeri, seperti ketidakmampuan melakukan kegiatan pada saat bangun pagi, bangkit dari duduk, jongkok, berlutut, berdiri lama. beberapa cara yang telah digunakan untuk mengurangi nyeri adalah kompres dingin, pijat, dan menempelkan koyo, namun hingga saat ini berbagai cara tersebut belum efektif. apabila nyeri sendi yang dialami oleh penderita osteoartritis tersebut tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan functional limitation, seperti gangguan berjalan, berlari, sehingga akan menurunkan kualitas hidup penderita osteoartritis (sangrah, 2018). data dari world health organization (who) tahun 2016 didapatkan osteoartritis berada di urutan ke 12 sebagai penyakit muskuloskeletal tersering di dunia dengan prevalensi pada tahun 2010 mencapai 151,4 juta jiwa dan 27,4 juta jiwa berada di asia tenggara. sedangkan, data dari riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013 didapatkan prevalensi osteoartritis di indonesia termasuk cukup tinggi, yaitu sebesar 45,0% (sangrah, 2018). studi pendahuluan yang dilakukan pada tempat penelitian banyu urip lor didapatkan 28 dari 45 orang lanjut usia yang menderita osteoartritis. intervensi yang telah dilakukan disana adalah senam lansia satu minggu sekali. osteoarthritis disebabkan oleh beberapa faktor resiko antara lain usia lanjut, riwayat keluarga dengan osteoarthritis, obesitas, trauma sendi, dan beban kerja yang berat (sembiring, 2018). osteoarthritis dapat mempengaruhi penurunan sistem muskuloskeletal yang ditandai dengan adanya nyeri pada daerah persendian, salah satunya pada sendi lutut (sitinjak, hastuti, & nurfianti, 2016). osteoartritis adalah radang sendi akibat ausnya tulang persendian karena sering dipakai (sering memikul beban tubuh), kerusakan rawan sendi disertai tulang baru, kandungan cairan sinovial dalam katilago akan menurun sehingga proteoglikan akan menurun. menurunnya pelindung proteoglikan menyebabkan jaringan kolagen pada kartilago mengalami degradasi dan degenerasi (sembiring d. p., 2018). salah satu upaya untuk mengurangi nyeri lutut adalah dengan terapi non farmakologis, yaitu dengan latihan range of motion (rom). tujuan dari latihan rom ini yaitu dapat memperlancar peredaran darah, mengencangkan otot, melenturkan persendian, menjaga kadar lemak darah tetap normal sehingga tidak mudah mengalami cedera, serta meningkatkan proses metabolisme tubuh menjadi lebih baik (heri, 2014). berdasarkan fakta di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang akan membuktikan pengaruh latihan rom pada lansia terhadap kualitas dan kuantitas skala nyeri pada penderita osteoartritis. correspondence address: akademi keperawatan adi husada surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x 278 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 276–282 metode penelitian dilakukan pada tanggal 22 februari – 17 maret 2019. desain penelitian yang digunakan adalah quasi-eksperimental dengan pre-post test control group. sampel diambil dari lansia di banyu urip lor rw 7 kelurahan kupang krajan kecamatan sawahan surabaya, sebanyak 26 responden. variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kualitas dan kuantitas nyeri, sedangkan variabel independen yaitu latihan range of motion. instrument dalam penelitian ini adalah daftar hadir responden, satuan acara kegiatan (sak), booklet, dan lembar penilaian kualitas dan kuantitas nyeri : pqrst, dimana s menggunakan skala comparative pain scale. analisa data menggunakan spss dengan uji wilcoxon dan mann-whitney. hasil penelitian penelitian ini dilakukan di posyandu lansia banyu urip lor rw 7 surabaya, dengan jumlah responden 26 orang yang mengalami osteoartritis pada bulan februari – maret 2019. data umum tabel 1 menunjukkan usia responden terbanyak adalah 60–74 tahun pada kelompok kontrol sejumlah 12 orang (92,3%), dan pada kelompok perlakuan sejumlah 11 orang (84,6%). tabel 2 menunjukkan jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan pada kelompok kontrol sejumlah 12 orang (92,3%), dan pada kelompok perlakuan sejumlah 11 orang (84,6%). tabel 3 menunjukkan pendidikan responden terbanyak adalah sd pada kelompok kontrol sejumlah 6 orang (46,2%), dan pada kelompok perlakuan sejumlah 5 orang (38,5%). tabel 4 menunjukkan pekerjaan responden terbanyak adalah tidak bekerja pada kelompok kontrol sejumlah 7 orang (53,8%), dan pada kelompok perlakuan sejumlah 7 orang (53,8%). no usia lansia kelompok kontrol kelompok perlakuan frek % frek % 1 60 74 tahun 12 92.3% 11 84.6% 2 75 90 tahun 1 7.7% 2 15.4% 3 > 90 tahun 0 0% 0 0% jumlah 13 100% 13 100% sumber: data primer tabel 1 distribusi usia lansia no jenis kelamin kelompok kontrol kelompok perlakuan frek % frek % 1 laki-laki 1 7.7% 2 15.4% 2 perempuan 12 92.3% 11 84.6% jumlah 13 100% 13 100% sumber: data primer tabel 2 distribusi jenis kelamin lansia ta bel 5 menunjukka n la ma mender ita osteoartritis responden pada kelompok kontrol terbanyak <1 tahun sejumlah 8 orang (61,5%), dan pada kelompok perlakuan terbanyak 1-5 tahun sejumlah 7 orang (53,8%). tabel 6 menunjukkan sumber informasi penyakit responden terbanyak adalah petugas kesehatan pada kelompok kontrol sejumlah 13 orang (100%), dan pada kelompok perlakuan sejumlah 12 orang (92,3%) 279sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... no pendidikan kelompok kontrol kelompok perlakuan frek % frek % 1 tidak sekolah 0 0% 2 15.4% 2 sd 6 46.2% 5 38.5% 3 smp 4 30.8% 3 23.1% 4 sma 2 15.4% 2 15.4% 5 perguruan tinggi 1 7.7% 1 7.7% jumlah 13 100% 13 100% sumber: data primer tabel 3 distribusi pendidikan lansia no pekerjaan kelompok kontrol kelompok perlakuan frek % frek % 1 tidak bekerja 7 53.8% 7 53.8% 2 swasta 2 15.4% 1 7.7% 3 wiraswasta 4 30.8% 5 38.5% 4 pegawai negeri 0 0% 0 0% jumlah 13 100% 13 100% sumber: data primer tabel 4 distribusi pekerjaan lansia no lama menderita kelompok kontrol kelompok perlakuan frek % frek % 1 < 1 tahun 8 61.5% 6 46.2% 2 1 5 tahun 5 38.5% 7 53.8% 3 > 5 tahun 0 0% 0 0% jumlah 13 100% 13 100% sumber: data primer tabel 5 distribusi lama menderita osteoartritis lansia no sumber informasi kelompok kontrol kelompok perlakuan frek % frek % 1 petugas kesehatan 13 100% 12 92.3% 2 media cetak 0 0% 0 0% 3 kader 0 0% 1 7.7% 4 media elektronik 0 0% 0 0% jumlah 13 100% 13 100% sumber: data primer tabel 6 distribusi sumber informasi penyakit lansia penyakit 280 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 276–282 tabel 7 menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok kontrol adalah nyeri ringan pada pre yaitu 9 orang (69,2%) dan nyeri sedang pada post yaitu 9 orang (69,2%). sedangkan pada kelompok perlakuan proporsi terbesar adalah nyeri sedang pada pre yaitu 10 orang (76,9%) dan nyeri ringan pada post yaitu 11 orang (84,6%). hasil uji statistik wilcoxon pada kelompok kontrol pre dan post didapatkan nilai p < 0,05 (0,025) artinya ada peningkatan kualitas dan kuantitas nyeri pada lansia, dan pada kelompok perlakuan pre dan post didapatkan nilai p < 0,05 (0,001) artinya ada penurunan kualitas dan kuantitas nyeri pada lansia yang diberikan intervensi latihan range of motion. seda ngkan ha sil uji statistik mann-w hitney didapatkan nilai p < 0,05 (0,006) artinya ada perbedaan kua litas dan kuantitas nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan setelah diberikan intervensi. pembahasan kualitas dan kuantitas nyeri sebelum latihan rom pada lansia tabel 7 menunjukkan bahwa lansia sebelum (pre) diberikan intervensi pada kelompok kontrol yang terbanyak adalah mengalami nyeri ringan, yaitu 9 orang (69,2%), sedangkan pada kelompok perlakuan mengalami nyeri sedang, yaitu 10 orang (76,9%). keluhan nyeri yang dirasakan oleh lansia adalah pada saat bangun tidur merasakan kaku sendi, nyeri sendi, bunyi “krek” saat berjalan, dan bengkak. karakteristik lansia berdasarkan usia yang terbanyak adalah 60-74 tahun, yaitu pada kelompok kontrol 12 orang (92,3%), kelompok perlakuan 11 orang (84,6%). proporsi berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan, yaitu pada kelompok kontrol 12 orang (92,3%), kelompok perlakuan 11 orang (84,6%). proporsi berdasarkan tingkat pendidikan lansia yang terbanyak adalah sd, yaitu pada kelompok kontrol 6 orang (46,2%), kelompok perlakuan 5 orang (38,5%). proporsi berdasarkan pekerjaan lansia yang terbanyak adalah tidak bekerja, yaitu pada kelompok kontrol 7 orang (53,8%), kelompok perlakuan 7 orang (53,8%). sangrah (2018) menjelaskan bahwa osteoarthritis adalah kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan tidak diketahui penyebabnya. osteoarthritis (oa) menyebabkan sendi-sendi terasa sakit, kaku, bengkak. sendi yang paling sering mengalami kondisi ini meliputi tangan, lutut, pinggul, dan tulang pinggul. karakteristik nyeri oa adalah nyeri sendi, hambatan gerakan sendi, kaku sendi, krepitasi, pembengkakan sendi yang asimetris, tanda-tanda peradangan, perubahan gaya berjalan. faktor-faktor yang mempengaruhi oa dibagi menjadi dua, yaitu yang dapat dimodifikasi adalah obesitas, kelemahan otot, trauma berulang, aktivitas fisik (pekerjaan) berat, dan diet. sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin (gender), dan genetik (hermawan, 2013). sejalan dengan teori diatas, peneliti berpendapat bahwa osteoarthritis merupakan infeksi sendi dan tulang akibat proses pengapuran tulang yang ditandai dengan nyeri sendi, kaku sendi, bengkak dan terlihat data khusus no kualitas dan kelompok kontrol kelompok perlakuan pre post pre post n % n % n % n % 1 tidak nyeri 0 0 0 0 0 0 0 0 2 nyeri ringan 9 69.2 4 30.8 1 7.69 11 84.6 3 nyeri sedang 4 30.8 9 69.2 10 76.9 2 15.4 4 nyeri berat 0 0 0 0 2 15.4 0 0 jumlah 13 100 13 100 13 100 13 100 nilai p* 0,025 0,001 nilai p ** 0,006 keterangan : *wilcoxon **mann-whitney sumber: data primer tabel 7 kualitas dan kuantitas nyeri lansia kelompok kontrol dan kelompok perlakuan kuantitas nyeri 281sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... dari penampilan secara fisik seperti kaki berbentuk o atau x. beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya osteoarthritis adalah usia, jenis kelamin, genetik, obesitas terjadi karena penambahan berat badan yang mengakibatkan sendi lutut bekerja lebih keras, riwayat cedera, dan aktivitas berat kualitas dan kuantitas nyeri setelah latihan rom pada lansia tabel 7 menunjukkan bahwa lansia setelah (post) pada kelompok kontrol yang terbanyak adalah mengalami nyeri sedang, yaitu 9 orang (69,2%), sedangkan pada kelompok perlakuan mengalami nyeri ringan, yaitu 11 orang (84,6%). hasil uji wilcoxon kelompok kontrol didapatkan nilai p < 0,05 (0,025) artinya ada peningkatan terhadap kualitas dan kuantitas nyeri pre dan post pada klien yang tidak mendapat latihan range of motion. sedangkan pada kelompok perlakuan juga didapatkan nilai p < 0,05 (0,001), artinya ada penurunan kualitas dan kuantitas nyeri pre dan post pada klien yang diberikan intervensi latihan range of motion. karakteristik lansia berdasarkan lama menderita osteoarthritis lansia yang terbanyak pada kelompok kontrol adalah kurang dari 1 tahun sejumlah 8 orang (61,5%), sedangkan kelompok perlakuan terbanyak adalah 1-5 tahun sejumlah 7 orang (53,8%). penatalaksanaan osteoartrhitis dapat dilakukan dengan pemberian aktivitas fisik untuk melatih persendiannya agar tetap dapat dipakai dan melatih untuk melindungi sendi yang sakit. lansia osteoarthritis dianjurkan untuk berolahraga tetapi tidak boleh olahraga yang memperberat sendi, seperti lari atau jogging karena dapat menambah inflamasi, meningkatkan tekanan intraartikular bila ada efusi sendi dan dapat menyebabkan robekan kapsul sendi. pencegahan risiko kecacatan pada sendi sebaiknya dilakukan dengan olahraga peregangan otot seperti berjalan, latihan range of motion dengan peregangan dapat membantu dalam peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan mengurangi nyeri. sejalan dengan teori diatas, menurut peneliti penatalaksanaan aktivitas fisik dapat meningkatkan kualitas hidup penderita osteoarthritis, salah satunya adalah latihan range of motion yang merupakan latihan yang menggerakkan sendi seoptimal dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang yang tidak menimbulkan rasa nyeri. adanya pergerakan pada persendian akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi. ketika sendi digerakkan, permukaan tulang rawan (kartilago) akan mensuplai nutrisi berasal dari cairan sendi secara difusi melalui matriks kartilago. pergerakan sendi diperlukan untuk memastikan suplai nutrisi terjamin dan mempertahankan integritas kartilago, beban tekanan dalam rentang fisiologis akan meningkatkan laju pembentukan proteoglikan oleh sel kartilago. hal ini dapat meningkatkan kelenturan otot, mempertahakan kekuatan otot, dan merangsang sirkulasi darah. perbedaan kualitas dan kuantitas nyeri kelompok kontrol dan perlakuan yang diberikan latihan rom tabel 7 menunjukkan hasil mann-whitney terdapat per beda an a ntar a kedua kelompok, diperoleh nilai z -2,725 nilai p value < 0,05 (0,006), artinya terdapat perbedaan latihan range of motion pada lansia terhadap kualitas dan kuantitas nyeri kelompok kontrol dan kelompok perlakuan setelah diberikan intervensi. karakteristik berdasarkan sumber informasi penyakit lansia yang terbanyak adalah dari petugas kesehatan, yaitu pada kelompok kontrol 13 orang (100%), sedangkan kelompok perlakuan 12 orang (92,3%). penatalaksanaan osteoarthritis selain latihan fisik adalah pemberian terapi farmakologi untuk menurunkan nyeri, yaitu dengan pemberian analgesik dan antipiretik. obat-obatan tersebut tidak mengobati peradangan yang terjadi pada sendi tetapi hanya untuk meredakan nyeri dengan menghalangi sinyal di tubuh yang menghasilkan rasa sakit, dan bertahan selama 6-8 jam (adhiputra, 2017). sejalan dengan teori diatas, peneliti berpendapat penatalaksanaan osteoarthritis dapat berupa terapi farmakologis dan non farmakologis yaitu aktivitas fisik. penatalaksanaan osteoarthritis secara farmakologis membutuhkan kesadaran diri dan komitmen untuk tetap patuh minum obat sesuai dosis terapi dokter. namun pada lansia yang mengkonsumsi obat, ditemukan adanya ketidakpatuhan berupa minum obat tidak secara teratur, diminum hanya nyeri saja, dan obat anti nyeri yang dibeli bebas di toko terdekat bukan dari petugas kesehatan. hal itu disebabkan karena kurangnya informasi tentang tujuan dan manfaat minum obat yang dapat membantu proses penyembuhan inflamasi pada osteoarthritis sehingga akan menurunkan keluhan nyeri sendinya. sedangkan penatalaksanaan osteoarthritis secara non farmakologis dapat berupa pemberian aktivitas fisik seperti latihan range of motion. 282 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 276–282 latihan rom yang dilakukan secara teratur minimal sebanyak 2 kali dalam seminggu dapat meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot, membantu meningkatkan aliran darah, sehingga dapat menurunkan rasa nyeri sendi yang dialami oleh penderita oa. penatalaksanaan oa akan lebih efektif untuk mengatasi inflamasi sendi dan meredakan nyerinya jika dilakukan secara bersamaan, yaitu dengan minum obat dan melakukan latihan range of motion secara teratur. walaupun hasil penelitian menunjukkan bahwa latihan range of motion dapat mengurangi nyeri sendi, ada beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan karena ikut mempengaruhi kualitas dan kuantitas nyeri sehingga bias yang terjadi dapat diminimalkan pada saat dilakukan penelitian, seperti memberikan kompres, memijat, dan menempelkan koyo. simpulan dan saran simpulan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh latihan range of motion pada lansia terhadap kualitas dan kuantitas nyeri penderita osteoarthritis di posyandu lansia banyu urip lor rw 7 surabaya. saran peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas nyeri sendi pada penderita osteoarthritis untuk dijadikan perbandingan antara latihan range of motion dan cara yang biasa dilakukan oleh responden. daftar pustaka adhiputra, a. i. (2017). penatalaksanaan terapi fisik. retrieved from osteoarthritis:https://simdos. un ud. a c . i d / up l oa ds / fi l e _pe n el i t i a n _1_ di r / 2cf12fb568dff97473695a20836334d4. diakses 18 agustus 2018. 19.15 wib dharma, d. k. (2011). metodologi penelitian keperawatan. jakarta: trans info media. handojo, d. h. (2016). pedoman penyusunan karya tulis ilmiah/kti (3 ed.). surabaya: pedoman penyusunan kti. hendrati, l. y., & anggraini, n. e. (2014). hubungan obesitas dan faktor-faktor pada individu dengan kejadian osteoarthritis genu. jurnal berkala epidemiologi, vol. 2, no. 2, hal 96-97. heriyanto, b. (2012). metode penelitian kuantitatif teori dan aplikasi. surabaya: putra medika nusantara. khoirunnisa, n., novitasari, r. w., & yudiyanta. (2015). assesment nyeri. teknik, vol. iii, no. 2, hal 215216. kurniawan, r., & faesol, a. (2014). hubungan usia dengan osteoarthritis lutut ditinjau dari gambaran radiologi di rs muhammadiyah yoyakarta. journal medical education and medical health, vol. i, no. 3, hal 21-22 ningsih, l. n. (2009). asuhan keperawatan pada klien de ngan gangguan si ste m muskul oske letal. jakarta: salemba medika. pearce, e. (2011). anatomi dan fisiologis untuk paramedis. jakarta: pt gramedia pustaka utama. sangrah, m. w. (2018, september 3). pengaruh senam r emat ik terhadap pe nurunan ny eri dan peningkatan rentang gerak osteoatritis lutut lansia. retrieved from http://repositori.uina l a u d d i n . a c . i d / 3 5 0 3 / 1 / m u h . % 2 0 w a h i d % 20sangrah_70300113053_keperawatan. diakses 2 september 2018. 10.15 wib. sembiring, d. p. (2018). diagnosis diferensial nyeri lutut. jakarta: leutikaprio. sitinjak, v. m., hastuti, m. f., & nurfianti, a. (2016). pengaruh senam rematik terhadap perubahan skala nyeri pada lanjut usia dengan osteoarthritis lutut. journal pengaruh senam rematik terhadap perubahan skala nyeri, vol. 4, hal 141-142. soenarwo, b. (2011). osteoarthritis. jakarta: halimun medial bedah. sunaryo, wijayanti, h., kuhu, m. m., sumedi, t., widayanti, e. d., sukrillah, u. a., kuswati, a. (2015). asuhan keperawatan gerontik. yogyakarta: penerbit andi. suprayitno, e. (2016). pengaruh latihan range of motion (rom) terhadap {erubahan skala nyeri pada lansia dengan osteoarthritis di posyandu lansia desa kalianget timur kecamatan kalianget kabupaten sumenep. journal ilmu kesehatan, no.1, hal 5556. suranto, a. (2011). terbukti pome tuntas penyakit. jakarta: bunda. suratun, h. (2008). klien gangguan sistem muskuloskeletal. jakarta: egc. taufandas, m., rosa, e. m., & afandi, m. (2018). pengaruh range of motion untuk menurunkan nyeri sendi pada lansia dengan osteoarthritis di wilayah puskesmas godean 1 sleman yogyakarta. journal care vol .6, no. 1, hal 37. widodo, a., & sihjayadi, i. (2018). pengaruh free active exercaise terhadap peningkatan range of motion (rom) sendi lutut wanita lanjut usia. journal prosiding seminar ilmiah nasional kesehatan, vol .3, no. 1, hal 155. zakiyah, a. (2015). nyeri konsep dan penatalaksanaan dalam praktik keperawatan berbasis bukti. jakarta: salemba medika. 135oducado, palma, nurses’ awareness and participation in ... 135 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk nurses’ awareness and participation in mandatory continuing professional development in the philippines: a pilot survey article information history article: received, 26/02/2020 accepted, 31/03/2020 published, 05/04/2020 keywords: continuing professional development; cpd, continuing education; nurses; awareness abstract introduction: mandatory continuing professional development (cpd) in the philippines is relatively new. the purpose of the study was to determine nurses’ awareness and participation in cpd in the philippines. methods: this descriptive survey was conducted among nurses (n=30) in a private hospital in iloilo city. a researcher-made survey tool was used to gather data. data were analyzed using descriptive statistics and mann-whitney u to test for differences between variables. results: results indicated that were nurses were generally aware of the cpd law and its implementing rules and regulations (irr). however, while nurses understood the concept of cpd and the renewal requirements of the cpd act, more than half were not aware of learning activities under self-directed learning and that nurses can earn cpd credit units through online cpd programs. almost half were unaware that excess cpd cannot be carried over to the next three-year period, and more than one-third were unaware that only completed post baccalaureate degree programs can be used to earn cpd credit units. there were no significant differences in the awareness of nurses when grouped according to sex, age, civil status, position, salary, and length of work experience. seminars and workshops were the most common cpd activities participated by nurses in the last 12 months. conclusion: addressing the common information gaps regarding the cpd law identified in this study may assist in increasing nurses’ support in the implementation of the mandatory cpd among nurses. © 2020 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: west visayas state university, la paz – iloilo city, philippines p-issn : 2355-052x ryan michael f. oducado1, julie anne faye s. palma2 1,2college of nursing, west visayas state university email: rmoducado@wvsu.edu.ph e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i1.art.p135–142 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v7i1.art.p135-142 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p135-142&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 136 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 135–142 introduction republic act no. 10912 or the continuing professional development (cpd) act was enacted in 2016 “to promote and upgrade the practice of profession in the country ... [and to] ... continuously improve the competence of the professionals in accordance with the international standards of practice, thereby, ensuring their contribution in uplifting the general welfare, economic growth, and development of the nation”. professional update set by most regulatory bodies is an important aspect of professional obligation (owoeye et al., 2019). with the rapid advancements in the nursing profession and the healthcare industry that is reshaping nurses’ role (acob & martiningsih, 2018), professional nurses are expected to participate in cpd activities to update their knowledge and skills, increase their competencies and ensure that they remain current and relevant with contemporary practice (chong et al., 2014; brekelmans et al., 2016). however, the implementation of mandatory cpd struggled with some resistance a mong professionals in the country. an online poll conducted by the prc board news (2018) on its facebook page revealed that 9 out of 10 agreed to repeal the cpd law. although a study among filipino librarians found positive attitude towards deciding to participate in cpd activities (abrigo & abrigo, 2017), some prior studies disclosed that many filipino professional teachers (bautista et al., 2017) and civil engineers (orale et al., 2016) were not supportive of cpd law implementation. importa nt so that nur ses can make informed decisions and prevent unintended noncompliance to cpd requirements for license or professional identification card (pic) renewal. little research has been conducted regarding cpd in the country. hence, this study was conducted to determine the awareness of nurses of the cpd law and its irr as well as their participation in cpd programs and activities. method this pilot survey utilized a descriptive research design. the participants were 30 conveniently chosen nurses working in a private tertiary hospital in iloilo city, philippines. a researcher-made, self-administered instrument was used to gather data. the items on the survey tool were based on the relevant provisions of the republic act no. 10912 or the cpd act of 2016 and professional regulatory commission (prc) resolution no. 2019-1146 series of 2019 or the amended provisions of prc resolution no. 1032 series of 2017 otherwise known as the irr of republic act no. 10912. responses in the 3-point awareness scale range from “not aware” to “highly aware”. a higher score indicates higher awareness of the cpd act and its irr. participants were also asked about the types of cpd activities that they have participated in within the last 12 months. a personal data sheet was used to gather certain demographic and work-related profiles of nurses. the instrument was content validated by three (3) jurors. the internal consistency of the tool revealed an acceptable level of cronbach’s alpha > .70. the pilot study protocol was approved by the research ethics review committee of the hospital (hospital-str-01-09). administrative clearance to conduct the survey was obtained from the hospital administrator and the chief of nursing service division. informed consent was obtained from the study participants before actual data gathering. the survey was conducted in the second quarter of 2019. survey forms were distributed in a sealed envelope at the most convenient time for the participants. percentage, frequency, mean, and median were used to describe the data. mann-whitney u test was used to examine for differences between variables. data analysis was aided by spss version 23. pr evious studies ha ve shown that cpd participation of nurses is challenged with several barriers (aboshaiqah et al., 2012; macaden et al., 2017; mosol et al., 2017; ingwu et al., 2019). on the other hand, nurses’ perception of the importance of cpd activities was found to be a key factor influencing their cpd participation (brekelmans et al., 2016). nevertheless, the lack of awareness during change continues to be a top contributor to resistance among those affected by the change (nevenhoven, 2016). for instance, the limited awareness about the new cpd act among nurses may contribute to their lack of support to cpd act implementation. awareness allows someone to become pr oa ctive r a ther tha n r ea ctive to circumstances (harrison, 2020). having awareness and adequate information about the cpd law is 137oducado, palma, nurses’ awareness and participation in ... result profile of nurses table 1 shows that majority of the participants who participated in the survey were females (56.7%), single (90%), and with a staff nurse or non-supervisory position (73.3%). all (100%) were with permanent or regular status of employment. demographic and work-related profile f % sex male 13 43.3 female 17 56.7 age (mean = 27.5 years old; median = 27 years old) 28 to 35 11 36.7 23 to 27 19 63.3 civil status single 27 90 married 3 10 position supervisory 8 26.7 non-supervisory 22 72.3 length of work experience (mean = 4.63; median = 3.5 years) 5 years and above 13 43.3 1 to 4 years 17 56.7 employment status permanent 30 100 table 1 profile of nurses level of awareness of nurses of the cpd law and its irr table 2 shows that nurses were moderately aware (m=2.31) of the cpd law and its irr. none of the nurses were unaware that the cpd act of 2016 is a law that requires all filipino professionals including nurses to participate in cpd programs, that cpd means the inculcation of advanced knowledge, skills and ethical values in a postlicensure specialization, that cpd is a mandatory requirement in the renewal of the pic and that an accredited program should be accredited by the cpd council. however, more than half were not aware that a uthor ship of books a nd news a r ticles a nd educational videos are examples of activities under the self-directed cpd (70%), that seminars or trainings undertaken abroad conducted by nonaccredited cpd providers may be accredited through self-directed learning (sdl) (60%) and that nurses can earn cpd credit units through online cpd programs offered by an accredited cpd provider (56.7%). a little more than one fourth (26.7%) were not aware that examples of structured cpd activities include seminars, workshops, trainings, a nd conferences, that nurses are required of not more than 15 credit units prior to renewal of pic and the youngest was 23 and the oldest was 35 with a median age of 27 years old. the median monthly salary was php 12,000 with the lowest receiving a monthly salary of php 8,000 and highest earning php 18, 000 monthly. t he median yea rs of wor k experience in the hospital was 3.5 years with a range of 1 to 14 years. salary (mean = ppp 12,000; median = ppp 12,000) php 15,000 to php 18,000 10 33.3 php 8,000 to php 12,000 20 66.7 almost half (47.7%) were not aware that excess cpd cannot be carried over to the next three-year period and more than one-third (40%) were not aware that only completed post baccalaureate degree programs can be used to earn cpd credit units. 138 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 135–142 table 2 level of awareness of nurses of the cpd law and its irr authorship of books and news articles and educational videos are examples of activities under the self-directed cpd. seminars or trainings undertaken abroad conducted by non-accredited cpd providers may be accredited through self-directed learning. nurses can earn cpd credit units through online cpd programs offered by an accredited cpd provider. excess credit units cannot be carried over to the next three-year period. only completed/graduated post baccalaureate degree programs (masters or doctorate) can be used to earn cpd credit units. examples of structured cpd activities include seminars, workshops, trainings, and conferences. during the transition period of cpd act of 2016, nurses are required of not more than 15 credit units prior to renewal of professional identification cards (pic). seminars, workshops and conferences not approved by the cpd council may be applied for credit units under self-directed and lifelong learning. there is a cpd council that regulates cpd programs for nurses. fraudulent acts relating to the implementation and enforcement of the ra 10912 is punishable by law. cpd providers and programs should be accredited by the cpd council of nursing. government agencies and organizations employing professionals shall include the cpd as part of their human resource development plan and program. cpd council of nursing grants cpd units for the different cpd programs. in-house training programs and capacity-building activities of government agencies and private employers shall be accredited and considered as cpd compliance of their employed professionals. private firms and organizations employing professionals shall include the cpd as part of their human resource development plan and program. cpd programs consist of activities that range from structured to non-structured activities. individuals, groups, and organizations may apply for accreditation to become a cpd provider. registered and licensed professionals shall complete the required credit units every three (3) years of compliance period. only programs applied for by an accredited cpd provider can have cpd units. the cpd law aims to enhance and upgrade the competencies and qualifications of professionals for the practice of their professions pursuant to the philippine qualifications framework and the asean qualifications reference framework. attendance and participation of professionals in conferences and/or conventions sponsored by their accredited professional organization can be given appropriate cpd credit units. republic act no. 10912 or the continuing professional development (cpd) act of 2016 is a law that requires all filipino professionals including nurses to participate in cpd programs. cpd means the inculcation of advanced knowledge, skills and ethical values in a post-licensure specialization. cpd is a mandatory requirement in the renewal of the professional identification cards (pic). an accredited program (seminar, training, conference, etc.) should be accredited by the cpd council. 21 70 18 60 17 56.7 14 47.7 12 40 8 26.7 8 26.7 8 26.7 7 23.3 6 20 5 15.6 4 13.3 4 13.3 4 13.3 2 6.7 2 6.7 2 6.7 2 6.7 2 6.7 1 3.3 1 3.3 0 0 0 0 0 0 0 0 overall level of awareness = moderately aware (mean = 2.31; median = 2.32 ) not aware f % that seminars, workshops and conferences not approved by the cpd council may be applied for credit units under self-directed and lifelong learning. differences in nurses’ awareness of the cpd law and its irr table 3 shows that there were no significant differ ences in the awareness of nurses when 139oducado, palma, nurses’ awareness and participation in ... variables mean rank p-value sex .335 male 17.27 female 14.15 age .272 28 to 35 13.18 23 to 27 16.84 civil status .556 single 15.19 married 18.33 position .981 supervisory 15.56 non-supervisory 15.48 salary .582 ± 15,000 to ± 18,000 16.75 ± 8,000 to ± 12,000 14.88 length of work experience .111 5 years and above 12.58 1 to 4 years 17.74 *significant if < .05 table 3 differences in nurses’ awareness of the cpd law and its irr grouped according to sex (p=.335), age (p=.272), civil status (p=.556), position (p=.981), salary (p=.582) and length of work experience (p=.111). participation of nurses in cpd activities table 4 shows the different types of cpd activities and programs attended, participated, or taken by nurses in the last 12 months. it can be gleaned in table 4 that the most common cpd activities participated by majority of nurses were seminars with approved cpd credit units (83.3%) or without approved cpd credit units (90%) and workshops with approved cpd credit units (63.3%) or without approved cpd credit units (70%). discussion this research assessed nurses’ awareness of the cpd la w a nd its irr a s well a s their pa rticipa tion in cpd a ctivities. t his study demonstrated that nurses were generally aware of the cpd law and its irr. the moderate awareness of nurses included in this study may have been a result of the information dissemination campaigns on cpd law from the time of its passing in 2016. unsurprisingly, nurses in this survey understood what cpd and the renewal requirements of the cpd act of 2016 are. similarly, nurses in other countries also understand the concept of cpd and recognize that mandatory cpd will improve nursing care and will keep their knowledge and skills up-todate (yfantis et al., 2010; ingwu et al., 2019). types of cpd activities f % structured cpd seminars with approved cpd credit units 25 83.3 seminars without cpd credit units 27 90 workshops with approved cpd credit units 19 63.3 workshops without cpd credit units 21 70 trainings with approved cpd credit units 13 43.3 trainings without cpd credit units 16 53.3 conferences with approved cpd credit units 13 43.3 conferences without cpd credit units 9 30 tours and visits 2 6.7 invention/patent 2 6.7 post-graduate studies 4 13.3 authorship of books/manuals/designs/etc. 1 3.3 professional work experience 14 46.7 self-directed cpd authorship of news articles, blogs & books 3 10 author of research journals 1 3.3 relevant educational videos 2 6.7 join informal discussion groups 3 10 participate in online learning activities/courses 6 20 table 4 participation in cpd activities 140 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 135–142 however, while all nurses in this study were aware of the law that mandates filipino nurses to take cpd credit units prior to the renewal of their pic, it is significant to note the many nurses do not have an awa reness of lear ning activities under sdl. according to the cpd act, cpd refers “to the inculcation of advanced knowledge, skills and ethical values in a post-licensure specialization or in an interor multidisciplinary field of study, for assimilation into professional practice, self-directed research and/or lifelong learning”. moreover, according to the law, sdl refers “to learning activities such as online tr aining, loca l and inter na tiona l semina r s/nondegr ee cour ses, institution/company sponsored training programs and the like, which did not undergo cpd accreditation but may be applied for and awarded cpd unit by the respective cpd council”. o’shea (2003) earlier noted no consensus on the definition of the concept of lifelong or sdl. students and instructors, and perhaps nurses, may have different perspectives about it (o’shea, 2003).  a review study also found tha t unique fa ctor s a ffect nur ses’ sdl (chakkaravarthy et al., 2018). the authors proposed that a personalized sdl program must be developed ba sed on nur ses’ per sona l cha r a cter istics (chakkaravarthy et al., 2018). nonetheless, nurses in the countr y must be made a ware of what constitutes sdl as defined by the cpd act. moreover, it also appears that in this study, online cpd programs were not a popular platform for the delivery of cpd activities among filipino nurses. possibly, this is because sdl and online cpd are new features in the provision of cpd in the philippines compared to traditional structured ones like seminars and workshops. similarly, workshops were found to be the most popular cpd activity among malaysian nurses (chong et al., 2014), while conferences, workshops, and seminars were the cpd activities commonly attended by nurses in western kenya (mosol et al., 2017). attendance at conferences and trainings were also the preferred modes of cpd among indian nurses (macaden et al., 2017). despite the fact that online cpd activities are not well known to nurses in this study, it has been found and suggested in other countries that nurses are positive about online lea r ning oppor tunities (ka r a ma n, 2011; chakkaravarthy et al., 2018), and that provision of online cpd may improve or maximize access to cpd among nurses (ousey & roberts, 2013). opportunities for online cpd learning programs may be explored within the philippine context. additionally, there were some nurses in this study who were unaware that nurses are only required of not more than 15 credit units prior to the renewal of their pic. this possibly may be due to the fact that the survey was conducted a few months before the release of the new irr of cpd law through prc resolution no. 2019-1146 series of 2019. in the ear lier ver sion of the irr, professional nurses were required of 45 credit units prior to the renewal of their pic. under the new irr, the prc relaxed the requirements for license renewal during the transition period. furthermore, earlier research found that lack of awareness of educational opportunities and lack of r eleva nce of continuing educa tion wer e considered barriers to cpd participation among nurses (penz et al., 2007). among those affected by the change, limited a wa reness about the proposed change is linked with refusal to accept it (nevenhoven, 2016). it is recommended that information dissemination and awareness campaigns should be continuously deployed to overcome incorrect information and assumptions about the cpd law. the finding of this study also showed no variation in the awareness of nurses when grouped according to certain demographic and work-related characteristics. nurses in this particular hospital may have been given similar information about the cpd law. in addition, no significant variation in nurses’ awareness in this study may be attributed to the relatively limited sample size of the study. the nurses included in this survey were generally young, not older than 35 years old. these nurses belong to the millennial generation and are believed to be the largest cohort in the current nursing workforce (lamasan & oducado, 2018). attention must be given to younger nurses, like new graduate nurses, as they were found to have limited cpd participation (ubas-sumagaysay & oducado, 2020). since this is only a pilot survey involving a relatively small number of nurses in one hospital and the cpd law is still in its transition period, findings are preliminary and are not conclusive. changes in the irr and standar d opera ting procedures of the cpd law implementation may still be made after this survey. future researchers may conduct a similar study in a larger sample and may embed qualitative data in the research design. 141oducado, palma, nurses’ awareness and participation in ... recommendation references aboshaiqah, a.e., qasim, a., abualwafa, n., & albashaireh, a.m. (2012). barriers for continuing professional development among nurses in saudi arabia. middle east journal of nursing, 6(3), 2227. retrieved from https://platform.almanhal.com/ files/2/19423 abrigo, c.m. & abrigo, v.m. (2017). what do they value? investigating librarians’ attitudes toward continuing professional development pursuits. journal of philippine librarianship, 37, 17-31. retrieved from https://www.journals.upd.edu.ph/index.php/jpl/ article/download/6802/5895 acob, j.r. u. & mar tin in gsi h, w. (2018). role development of nurse managers in the changing health care practice. jurnal ners dan kebidanan, 5(1), 66-68. doi: 10.26699/jnk.v5i1.art.p066–068 bautista, r.g., benigno, v.g., camayang, j.g., ursua, j.c., agaloos, c.g., ligado, f.n.g., & buminaang, k.n. (2017). continuing professional development program as evidenced by the lenses of qsu licensed professional teach ers. ameri can journal of educational research, 5(11), 1172-1176. doi: 10.12691/education-5-11-10 brekelmans, g., maassen, s., poell, r.f., weststrate, j., & geurdes, e. (2016). factors influencing nurse par t i ci pa ti on i n con t in ui ng professi ona l development activities: survey results from the netherlands. nurse education today, 40, 13-19. doi: 10.1016/j.nedt.2016.01.028 chakkaravarthy, k., ibrahim, n., mahmud, m., & venkatasalu, m. r. (2018). predictors for nurses and midwives’ readiness towards self-directed learning: an integrated review. nurse education today, 69, 60-66. doi: 10.1016/j.nedt.2018.06.030. chong, m. c., francis, k., cooper, s., & abdullah, k. l. (2014). current continuing professional education pr act ice among mala ysi an nurses. nursi ng research and practice, article id 126748. https:// doi.org/10.1155/2014/126748 harrison, d. (2020). the importance of awareness. believe perform. retrieved from https://believeperform. com/the-importance-of-awareness/ ingwu, j.a., efekalam, j., nwaneri, a., ohaeri, b., israel, c., chikeme, p., ... & omotola, n. (2019). perception towar ds manda tory con tinuing professi onal development programme among nurses working at university of nigeria teaching hospital, enugunigeria. international journal of africa nursing sciences, 11, 100169. https://doi.org/10.1016/ j.ijans.2019.100169 karaman, s. (2011). nurses’ perceptions of online continuing education. bmc medical education, 11(1), 86. https://doi.org/10.1186/1472-6920-11-86 lamasan, j.i.l., & oducado, r.m.f. (2018). a qualitative description of millennial nurse administrators’ perspectives on leadership and their practice environment. indonesian nursing journal of education and clinic, 2(3), 153-164. http:// dx.doi.org/10.24990/injec.v3i2.226 macaden, l., washington, m., smith, a., thooya, v., selvam, s. p., george, n., & mony, p. (2017). continuing professional development: needs, facilitators and barriers of registered nurses in india in rural and remote settings: findings from a cross sectional survey. open journal of nursing, 7(8). doi: 10.4236/ojn.2017.78069 mosol, p., obwoge, r.o., kei, r., & ndwiga, t. (2017). continuing professional development practices among nurses in western kenya. international journal of science and research methodology,(7)1, 116-127. retr i eved fr om h t t p: / / ijsrm.humanjournals.com/wp-content/uploads/ 2017/ 08/ 9. mosol -pr isca h -obwoge-rona l domenge-kei-robert-t.-ndwiga.pdf nevenhoven, j.s. (2016). change begins with answering what and why. industry week. retrieved from https:/ /www.i ndustryweek. com/ leadersh ip/changemanagement/article/21985980/change-begins-withanswering-what-and-why orale, r.l., gomba, f.e., fabillar, l., & quebada, a.e. (2016). are conventions an effective continuing professional development activity?. journal of academic research, 1(3), 1-11. retrieved from http:/ /jar.ssu.edu.ph/index.php/jar/article/download/55/ 41/ o’shea, e. (2003). self directed learning in nurse education: a review of the literature. journal of advanced nursing, 43(1), 62-70. https://doi.org/ 10.1046/j.1365-2648.2003.02673.x ousey, k., & roberts, d. (2013). improving access to cpd for nurses: the uptake of online provision. british journal of community nursing, 18(2), 7883. doi: 10.12968/bjcn.2013.18.2.78 ov conclusion it i the findings of this research indicated that professional nurses included in this study are generally aware of the cpd law and its irr, although gaps in the pr isions of the law were identified. it is hoped that addressing the knowledge gaps regarding the cpd law identified in this study may assist in reducing resistance in the implementation of the mandatory cpd among nurses. s suggested to invest in continuous information campaigns and regular updating to overcome incorrect information and assumptions about the cpd law. 142 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 135–142 owoeye, i.d., sodimu, j.o., anyanwu, b.c., & olowolafe, e.o. (2019). comparative analysis of nurses’ knowledge in the 2018 mandatory continuing professional development programme (mcpdp) in ogun state. international journal of nursing, 6(2), 89-95. https://doi.org/doi: 10.15640/ijn.v6n2a9 penz, k., d’arcy, c., stewart, n., kosteniuk, j., morgan, d., & smith, b. (2007). barriers to participation in continuing education activities among rural and remote n ur ses. the j ournal of conti nuing education in nursing, 38(2), 58-66. doi: 10.3928/ 00220124-20070301-03 prc board news. (2018). prc board news poll results: 95% agree to repeal cpd law. retrieved from https://www.prcboardnews.com/2018/02/prc-boardnews-poll-results-95-agree-to-repeal-cpd-law.html professional regulatory commission resolution no. 2019-1146 series of 2019. amending relevant provisions of resolution no. 1032 (2017) otherwise known as the “implementing rules and regulations (irr) of republic act no. 10912, known as the continuing professional development (cpd) act of 2016. retrieved from https://www.prc.gov.ph/ sites/default/files/2019-1146%20cpd%20irr.pdf republic act no. 10912 of 2016. an act mandating and stre ngt he ni ng t he c onti nuing prof essi onal development program for all regulated professions, creating the continuing professional development council, and appropriating funds therefor, and for other related purposes. retrieved from https:// www.officialgazette.gov.ph/2016/07/21/republic-actno-10912/ yfantis, a., tiniakou, i, & yfanti, e. (2010). nurses’ atti tudes r egardin g conti nuing professi onal development in a district hospital of greece. health science journal, 4(3), 193-200. retrieved from http:/ /www.hsj.gr/medicine/nurses-attitudes-regardingcontinuing-professional-development-in-a-districthospital-of-greece.pdf ubas-sumagaysay, n.a. & oducado, r.m.f. (2020). perceived competence and transition experience of new graduate filipino nurses. jurnal keperawatan indonesia, 23(1), 48-63. doi:10.7454/jki.v0i0.1071 135mayasari, jayanti, penerapan edukasi family centered maternity care... 135 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk penerapan edukasi family centered maternity care (fcmc) terhadap keluhan ibu postpartum melalui asuhan home care senditya indah mayasari1, nicky danur jayanti2 1,2prodi kebidanan, stikeswidyagama husada malang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 24/03/2019 disetujui, 13/05/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: edukasi fcmc, keluhan postpartum, home care abstrak pada masa nifas umumnya banyak masalah atau keluhan yang menyertai ibu postpartum. pemberian asuhan dan edukasi masa nifas yang benar akan mengurangi adanya ketidaknyamanan dan infeksi puerperium. salah satu jembatan untuk mengoptimalkan upaya edukasi postnatal adalah melalui keterlibatan keluarga. ibu dengan dukungan keluarga melalui pendekatan family centered maternity care (fcmc) diharapkan memiliki kemampuan yang optimal dalam beradaptasi secara maternal pada masa nifas. desain penelitian menggunakan true experimental dengan pendekatan pretestposttest teknik sampling sampel random sistematik. pengumpulan data menggunakan kuesioner kepada ibu postpartum fisiologis sebanyak masingmasing 12 ibu postpartum pada kelompok intervensi dan kontrol. analisis data menggunakan wilcoxon menunjukkan berbeda signifikan jika nilai z lebih kecil dari -1.960 atau dengan nilai signifikansi kurang dari 0.05. hasil menunjukkan semua variabel berbeda signifikan antara kelompok intervensi dan kontrol yang menunjukkan adanya pengaruh pemberian edukasi terhadap keluhan ibu postpartum pada kelompok intervensi setelah diberikan edukasi family centered maternity care (fcmc) melalui asuhan home care. ©2019jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes widyagama husada malang jawatimur, indonesia p-issn : 2355-052x email: ferdina.mdf@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p135-141 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 136 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 135–141 abstract during puerperal period, there are generally many problems or complaints that accompany postpartum mothers. providing proper care and education for the puerperium will reduce the puerperium infection and discomfort. one bridge to optimize postnatal education efforts is through family involvement. mothers with family support through the family centered maternity care (fcmc) approach are expected to have optimal ability to adapt maternally during the puerperium. the research design used true experimental using the pretest-posttest with systematic random sampling technique. data collection used questionnaires to postpartum physiological mothers as many as 12 postpartum mothers in the intervention and control groups. the results of the study using wilcoxon showed a significant difference if the value of z was smaller than -1.960 or with a significance value of less than 0.05. the results showed that all variables differed significantly between the intervention and control groups which showed the influence of giving education on complaints of postpartum mothers in the intervention group after being given edict by family centered maternity care (fcmc) through home care care. application of family centered maternity care (fcmc) education on postpartum mother’s complaints through home care article information history article: received, 24/03/2019 accepted, 13/05/2019 published, 01/08/2019 keywords: fcmc education, complaints of postpartum mothers, home care 137mayasari, jayanti, penerapan edukasi family centered maternity care... pendahuluan periode masa nifas berlangsung dari persalinan sampai 6 minggu setelah melahirkan, yang merupakan waktu penyembuhan dan kembalinya organ reproduksi ke keadaan sebelum hamil (sri astuti, 2015). selama masa pemulihan tersebut berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun fisiologis dan sebagian besar bersifat fisiologis. masa ini merupakan masa cukup penting bagi tenaga kesehatan untuk selalu melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat meningkatkan angka kematian ibu (aki) seperti perdarahan atau komplikasi pada ibu nifas (hamranani, 2012). who mengemukakan bahwa 500.000 perempuan meninggal setiap tahun akibat komplikasi kehamilan dan melahirkan, dan sebagian besar kematian terjadi selama atau segera setelah melahirkan. penyebab kematian terbanyak adalah perdarahan dan infeksi setelah melahirkan (sri astuti dkk, 2015). selain itu pada masa nifas umumnya banyak ma sa la h a ta u keluha n ya ng menyer ta i ibu postpartum. masalah atau keluhan tersebut diantaranya pada proses menyusui, kemandirian ibu dalam merawat bayinya, nyeri jahitan, perawatan luka jahitan, personal hygiene, istirahat dan kaki bengkak, sehingga menimbulkan ketidaknya manan ibu postpartum dalam melalui masa nifas. dalam masa nifas, perubahan besar tejadi dari sisi perubahan fisik, emosi dan kondisi psikologi ibu, untuk itu penting sekali memahami perubahan apa yang secara umum dapat dikatakan normal, sehingga setiap penyimpangan dari kondisi normal ini dapat segera dikenali sebagai kondisi abnormal atau patologis (sri astuti dkk, 2015). perubahan yang mendadak pada ibu postpartum penyebab utamanya adalah kekecewaan emosional, rasa sakit pada masa nifas awal, kelelahan karena kurang tidur selama persalinan dan kecemasan pada kemampuannya untuk merawat bayinya, rasa takut tidak menarik lagi bagi suaminya, terutama emosi selama minggu pertama menjadi labil dan perubahan suasana hatinya dalam 3 4 hari pertama, masa ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh begitu banyak faktor, maka penekanan utama adalah pendekatan dengan member ikan bantuan, simpati da n dorongan semangat (kirana, 2015. salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku kesehatan seseorang adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan, sehingga akan timbul kesadaran pada individu atau masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. pendidikan kesehatan merupakan suatu upaya untuk mempengaruhi orang lain, individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka.hasil yang diharapkan dari suatu promosi atau pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan, atau perilaku untukmemelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif oleh sasaran dari promosi kesehatan (notoatmodjo, 2012). infor ma si ya ng dibutuhka n pa da ma sa postpartum salah satunya adalah dengan pemberian metode edukasi family centered maternity care (fcmc). edukasi family centered maternity care (fcmc) adalah perawatan yang berpusat pada keluarga yaitu dengan cara menyediakan perawatan bagi perempuan dan keluarga mereka yang mengintegrasikan kehamilan, persalinan, nifas, dan perawatan bayi kedalam kontinum dari siklus kehidupan keluarga seperti biasa dengan cara hidup sehat. perawatan yang diberikankepada individual mengutamakan dukungan, partisipasi, dan pilihan dari keluarga (international, t. & education, c., 2015. bahan dan metode pada penelitian ini desain yang digunakan adalah true experimental dengan pendekatan pretest-posttest design dengan teknik sampling sampel random sistematik. pengumpulan data menggunakan kuesioner kepada ibu postpartum fisiologis sebanyak masing-masing 12 ibu postpartum pada kelompok intervensi dan kontrol. masingmasing ibu postpartum pada kelompok perlakuan dilakukan home care sebanyak 4 kali dalam waktu 1 bulan. analisis menggunakan uji wilcoxon. instrumen yang digunakan saat memberikan edukasi kepada ibu postpartum adalah leaflet dan alat peraga (phantom bayi dan phantom payudara). penelitian ini dilakukan pada bulan juli september 2018 di desa sambigede kecamatan sumberpucung kabupaten malang. 138 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 135–141 hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan usia, pendidikan, dan pekerjaan variabel kelompok total perlakuan kontrol usia < 21 tahun 3 3 6 21 – 25 tahun 6 6 12 26 – 30 tahun 3 3 6 pendidikan smp 4 3 7 sma 7 9 16 d3 1 0 1 pekerjaan irt 8 9 17 buruh 2 2 4 peg.swasta 2 1 3 sumber : data primer 2018 tabel 1 karakteristik responden tabel 2 keluhan responden keluhan pre post pre post masalah payudara 2 1 1 3 masalah menyusui 4 2 4 3 kaki bengkak 4 0 1 3 perawatan bayi 1 0 2 1 gangguan pola istirahat 2 0 3 0 masalah vulva hygiene 1 0 2 1 jumlah 12   12   sumber : data primer 2018 kel. intervensi kel. kontrol variabel mean rank z signifi intervensi kontrol kansi masalah payudara 10.00 15.00 -2.198 0.028 masalah menyusui 10.00 15.00 -2.198 0.028 kaki bengkak 9.50 15.50 -2.769 0.006 perawatan bayi 10.50 14.50 -2.145 0.032 gangguan pola istirahat 10.00 15.00 -2.460 0.014 masalah vulva hygiene 10.50 14.50 -2.145 0.032 sumber : data primer 2018 tabel 3 uji perbandingan antara kelompok intervensi dan kontrol hasil analisis menggunakan wilcoxon menunjukkan berbeda signifikan jika nilai z lebih kecil dari -1.960 atau dengan nilai signifikansi kurang dari 0.05. hasil menunjukkan semua variabel berbeda signifikan antara kelompok intervensi dan kontrol yang menunjukkan adanya pengaruh pemberian edukasi terhadap keluhan ibu postpartum pada kelompok intervensi. pembahasan dalam masa nifas, perawatan payudara sangat penting untuk menjaga keindahan payudara serta menghindari masalah-masalah dalam proses menyusui. masalah payudara yang sering dihadapi oleh ibu postpartum diantaranya puting tenggelam atau datar, payudara teraba keras karena pengeluaran asi yang tidak adekuat, puting susu lecet dan bahkan terjadi infeksi payudara seperti mastitis hingga abses payudara. hasil tabel 2 menunjukkan, dari 12 ibu postpartum pada kelompok intervensi terdapat 2 ibu yang mengalami masalah payudara yakni puting susu datar dan putting susu lecet. setelah diberikan asuhan home care, masalah puting susu ibu yang lecet telah teratasi dengan mengajarkan ibu menyusui yang benardan menganjurkan ibu mengolesi puting susu sebelum dan sesudah memberikan asi pada bayinya. pada ibu postpartum yang mengalami puting susu datar diajarkan perawatan payudara dan mengajarkan cara memanupulasi puting susu agar muncul saat akan menyusui. sedangkan pada kelompok kontrol, pada awal pengkajian terdapat 1 ibu postpartum yang mengalami masalah payudara dan diakhir pengkajian bertambah menjadi 3 ibu postpartum yang mengalami masalah payudara. hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nilai kemaknaan 0,05 didapatkan nilai 0,028 (0,028 â 0,05) dengan nilai z-score -1,000 lebih kecil dari 1,960 yang artinya terdapat pengaruh pemberian edukasi sebelum dan sesudah intervensi. penjelasan informasi tentang perawatan payudara umumnya dilakukan pada kehamilan > 34 minggu karena bila dilakukan pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu, berisiko terjadi kontraksi uterus yang dapat menyebabkan persalinan prematur.perawatan payudara yang dilakukan secara teratur sejak usia kehamilan diatas 34 minggu akan menghasilkan payudara yang terawat baik dan membantu proses menyusui pada bayi baru lahir (geniofan, 2010). perawatan payudara pasca persalinan merupakan kelanjutan perawatan payudara semasa hamil yang dilakukan 2x sehari dan dimulai 139mayasari, jayanti, penerapan edukasi family centered maternity care... sedini mungkin yaitu 1-2 hari sesudah bayi dilahirkan. hasil tabel 2 menunjukkan terdapat 4 ibu postpartum yang mengalami masalah menyusui. masalah menyusui yang sering dialami oleh ibu postpartum adalah mengatur posisi menyusui yang nyaman, menyusui hanya salah satu payudara saja, dan tidak yakin asi dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bayi. praktek cara menyusi yang benar perlu diajarkan pada setiap ibu yang baru saja melahirkan karena menyusui itu sendiri bukan suatu hal yang relaktif atau instingtif, tetapi merupakan suatu proses. proses belajar menyusui yang baik bukan hanya untuk ibu yang baru pertama kali melahirkan, tetapi juga untuk ibu yang pernah menyusui bayinya. menyusui dengan posisi yang benar maka hisapan bayi yang kuat sampai seluruh bagian besar kalang payudara merangsang puting susu dan ujung syaraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik. rangsangan yang berasal dari hisapan bayi akan dilanjutkan ke hipotalamus sehingga akan merangsang keluarnya oksitosin sehingga terjadi kontraksi sel miopethilium kelenjar-kelenjar susu, sehingga pengeluaran asi dilaksanakan. (soetijiningsih, 2013). peneliti melakukan intervensi home care dengan mengajarkan ibu cara menyusui yang benar dengan posisi yang nyaman bagi ibu dan mengajarkan ibu menyusui secara bergantian masingmasing pada payudara. pada tabel 3 menunjukkan hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nilai kemaknaan 0,05 didapatkan nilai 0,028 (0,028 â 0,05) dengan nilai z-score -1,732 lebih kecil dari 1,960 yang artinya terdapat pengaruh pemberian edukasi sebelum dan sesudah intervensi pada masalah menyusui. ha sil ta bel 2 menunjukkan dar i 12 ibu postpartum pada kelompok intervensi terdapat 4 ibu postpartum yang mengalami kaki bengkak. pada tabel 3hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nilai kemaknaan 0,05 didapatkan nilai 0,006 (0,006 < 0,05) dengan nilai z-score -2,000 lebih kecil dari 1,960 yang artinya terdapat pengaruh pemberian edukasi sebelum dan sesudah intervensi. penyeba b pa ling ser ing pembengka ka n postpartum adalah hormonal. tubuh menghasilkan sejumlah besar progesteron selama kehamilan. progesteron kelebihan ini menyebabkan retensi air dan natrium dalam tubuh, yang menyebabkan kaki dan bagian tubuh lain masih bengkak walaupun sudah melahirkan. penyebab lain kaki bengkak setelah melahirkan adalah pembesaran rahim yang menekan aliran darah sehingga aliran darah balik dari kaki ke jantung menjadi terhambat sebagai akibatnya terjadilah bengkak pada kaki pasca persalinan. kelahiran nomal juga dapat berkontribusi terhadap bengkaknya kaki pasca melahirkan, yaitu ketika ibu mengejan untuk melahirkan, tubuh akan mengirimkan darah ekstra ke tangan dan kaki sehingga efek belebihan dari itu adalah pembengkakan (rukiyah, ai yeyeh, dkk. 2010). pemberian edukasi pada ibu dan keluarga secara tepat serta dengan memberikan asuhan kepada ibu postpartum dapat mengurangi ketidaknyamanan tersebut, yaitu diantaranya menganjurkan ibu untuk melakukan mobilisasi suecara dini, istirahat yang tercukupi, memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan, posisi kaki lebih tinggi saat tidur dan kaki tidak menggantung saat menyusui bayi serta merendam kaki di air hangat atau air garam. pada tabel 2 menunjukkan terdapat 1 ibu postpartum yang mengalami masalah dalam perawatan bayi. perawatan bayi baru lahir seperti memandikan bayi, merawat tali pusat, membedong bayi dan memberikan asi merupakan perawatan bayi baru lahir yang sebaiknya dilakukan oleh ibu secara mandiri. jika ibu tidak memiliki pengetahuan terkait maka ibu akan mengalami kesulitan dalam melakukan perawatan bayi baru lahir. pada ibu yang belum pernah melakukan perawatan bayi baru lahir atau belum mempunyai pengalaman sebelumnya maka peneliti mengajarkan ibu dan keluarga dalam melakukan perawatan pada bayi. dalam hal ini peneliti mengajarkan ibu dan keluarga cara memandikan bayi secara aman. pada tabel 3 menunjukkan hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nila i kemakna an 0,05 didapatkan nilai 0,032 (0,032 < 0,05) dengan nilai zscore -1,000 lebih kecil dari -1,960 yang artinya terdapat pengaruh pemberian edukasi sebelum dan sesudah intervensi pada masalah perawatan bayi. kehadiran anggota keluarga baru, yaitu hadirnya seorang anak merupakan hal yang sangat dinantikan bagi orangtua, namun tanggungjawab dan pekerjaan orangtua semakin bertambah. sejalan dengan itu, orangtua khususnya seorang ibu harus siaga untuk keperluan bayi sepanjang hari (bobak, 2012). hal ini menyebabkan kualitas istirahat ibu berkurang sehingga dapat menyebabkan kelelahan. pada ibu selama masa nifas perlu beristirahat cukup untuk mencegahkelelahan yang berlebihan. istirahat merupakan salah satu kebutuhan dasar ibu nifas dan merupakanhal yang sangat penting bagi 140 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 135–141 ibu bukan hanya karena tubuh ibu sedang dalam proses pemulihan tetapi ibu juga memerlukan banyak energi agar dapat membuat jadwal penyesuaian yang dibutuhkan (rukiyah, ai yeyeh, dkk. 2010). istirahat dan tidur merupakan kebutuhandasar yang mutlak harus dipenuhi oleh semua orang. dengan istirahat dan tiduryang cukup, tubuh baru dapat berfungsi secara optimal. hasil tabel 2 menunjukkan terdapat 2 reponden yang mengalami gangguan istirahat dan berdasarkan tabel 3 menunjukkan hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nilai kemaknaan 0,05 didapatkan nilai 0,014 (0,014 < 0,05) dengan nilai z-score -1,414 lebih kecil dari -1,960 yang artinya terdapat pengaruh pemberian edukasi sebelum dan sesudah intervensi pa da ma sa la h ga nggua n istir a ha t ibu. ibu postpartum merasa istirahat malam hari terganggu karena bayi ssering terbangun dan ibu lebih sering menyusui di malam hari. saat siang istirahat ibu juga berkurang karena mengurus pekerjaan rumah. peneliti menganjurkan ibu dan keluarga untuk secara bergantian mengurus bayi dan pekerjaan rumah tangga. saat siang hari ibu dianjurkan untuk istirahat saat bayi tidur dan malam hari suami lebih berjaga untuk merawat dan menjaga bayi. kurangnya pengetahuan mengenai kebersihan vagina dan rasa cemas atau rasa takut untuk membersihkan daerah vagina yang terdapat luka jahitan pasca melahirkan sering dialami oleh ibu nifas. berdasarkan tabel 2, terdapat 1 ibu postpartum yang mengalami masalah vulva hygiene. ibu mersa takut untuk membersihkan atau membasuh daerah vagina karena terdapat jahitan pasca melahirkan. kurangnya pengetahuan dan rasa cemas pada ibu postpartum akan kebersihan daerah vagina akan berdampak buruk bagi kesehatannya. karena kuman dapat masuk melalui vagina sehingga akan terjadi infeksi pada ibu nifas. masa nifas dapat menimbulkan komplikasi diantaranya menimbulkan infeksi pada luka jahitan maupun kulit, hingga memperlambat proses penyembuhan luka jahitan sehingga perludilakukan kebersihan pada vulva dan perineum karena dapat mencegah timbulnya iritasi dan memberikan rasa nyaman pada ibu nifas. pada tabel 3 menunjukkanhasil uji wilcoxon sign rank test dengan nila i kemakna an 0,05 didapatkan nilai 0,032 (0,032 < 0,05) dengan nilai zscore -1,000 lebih kecil dari -1,960 yang artinya terdapat pengaruh pemberian edukasi sebelum dan sesudah intervensi.pencegahan dapat dilakukan postpartum dengan memberikan edukasi pada ibu mengenai melakukan perawatan vulvahygiene secara benar setelah setelah postpartum dengan asuhan home care meningkatkan pengetahuan ibu dan mengajarkan ibu cara cebok yang benar, sehingga ibu dapat melakukan dengan baik dan benar. salah satu cara untuk melakukan vulva hygiene secara benar yaitu: melakukan vulva hygiene setiap pagi dan sore sebelum mandi, sesudah buang air kecil atau buang air besar, mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air bersih, sebaiknya cebok dilakukan dengan menggunakan air hangat atau air mengalir, merawat luka jahitan dengan kapas dan betadin, mengganti pembalut setidaknya 4 kali dalam sehari dan sebelum dansesudah membersihkan daerah kemaluan, dan pada waktu mencuci luka episiotomi, di lakukan mencuci luka dari arah depan ke belakang dan mencuci daerah anus untuk yang terakhir. vulvahygiene yang dilaksanakan dengan benar akan menghindarkan ibu dari infeksi. ini bertujuan untuk peningkatan kesehatan selama masa nifas hingga masa selanjutnya sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kenyamanan ibu (bahiyatun, 2009). rekomendasi atau intervensi oleh keluarga dan petugas medis melalui pemberian edukasi family centered maternity care (fcmc) dengan pelayanan home care diharapkan menguatkan motivasi ibu untuk dapat melewati masa nifas dengan aman dan nyaman. arahan yang kurang tepat dapat berakibat pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan keluarga dengan norma yang berlaku. promosi kesehatan adalah suatu usaha untuk menambah wawasan dengan harapan akan lebih berkembangnya sikap dan perilaku dalam apa yang dipromosikan tersebut. sentuhan promosi kesehatan dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain melalui sarana penyuluhan dan bacaan. edukasi melalui sarana ini member ibu pengertian yang lebih baik, serta meningkatkan motivasi dan kebahagiaannya. cara penyampaian dapat dilakukan satu kali saja atau berjenjang, baik secara individual maupun kelompok. model edukasi postnatal dengan pendekatan family centered maternity care (fcmc) merupakan salah satu metode edukasi dalam upaya peningkatan pengetahuan bagi ibu nifas dengan melibatkan keluarga sebagai sosial support dalam deteksi dini masalah pada masa nifas dan upaya promotif sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ibu nifas. menurut bowman dkk (2014) dalam asmuji (2014) model 141mayasari, jayanti, penerapan edukasi family centered maternity care... edukasi postnatal ini menjadi alternatif pilihan yang tepat bagi petugas kesehatan untuk menyiapkan ibu nifas dalam beradaptasi menjalankan tugas tugas perkembangan yang akan dijalaninya. gambar 1 keterlibatan keluarga dalam pemberian edukasi gambar 2 keterlibatan suami dalam pemberian edukasi kesimpulan model edukasi family centered maternity care (fcmc) bisa menjadi alternative pilihan yang tepat bagi petugas kesehatan untuk menyiapkan ibu nifas dalam beradaptasi menjalankan tugas-tugas perkembangan yang akan dijalaninya. melalui model ini titik strategi yang diambil oleh petugas kesehatan adalah dengan melibatkan keluarga secara aktif dalam proses pemberian edukasi. keterlibatan keluarga ini dipandang sangat penting karena keluarga adalah social support utama bagi ibu saat melalui periode perinatal yang salah satunya adalah masa nifas. dengan demikian akan memininalkan terjadinya masalah atau komplikasi yang terjadi selama periode masa nifas, sehingga ibu dapat melewati masa nifas dengan aman dan nyaman. saran bagi tenaga kesehatan, edukasi fcmc dapat diaplikasikan oleh petugas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan ibu nifas dan keluarga dalam melewati periode masa nifas. bagi ibu postpartum dan keluarga, keluarga sebagai social support utama bagi ibu nifas disarankan untuk terlibat aktif dalam proses edukasi postnatal maupun dalam proses perawatan ibu dan bayinya selama periode postpartum. daftar pustaka asmuji dan indriyani, d., (2014). model edukasi postnatal melalui pendekatan family centered maternity care (fcmc). fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah jember. bahiyatun. (2009). buku ajar asuhan kebidanan nfas normal. jakarta : egc bobak, lowdermilk, jense. 2012. buku ajar keperawatan maternitas. jakarta: egc bowman, m. a., and neale, a. v. (2014). investigating patient-centered care.journal of the american board of famil.y medicine: jabfm, 27(2), 169171.doi:10.3122/jabfm.2014.02.140009 clay, a., and parsh, b. (2014). patient and familycentered care: not just for kids. nursing, 44(5), 57-58. doi: 10.1097/01.nurse.0000445764.18817.d2 geniofan.(2010). mempersiapkan dan menjaga kehamilan. yogyakarta: grafina mediacipta. hamranani. (2012). gambaran pengetahuan primipara tentang perdarahan postpartum. jurnal keperawatan. international, t. & education, c., (2015). family centered mat e rni t y care, int e rnat i onal chi ldbi rt h education association khayamim, nafiseh, bahadoran, p., & mehrabi, t. (2016). relationship between fatique and sleepiness with general health of mothers in the postpartum periode. iran j nurs midwifery res. vol 21. no. 4: 385-390. kirana.(2015). hubungan tingkat kecemasan post partum dengan kejadian post partum blues di r umah saki t dusti ra ci mahi . jur na l ilm u keperawatan. volume iii, no. 1 april-2015. marmi. (2014). asuhan kebidanan pada masa nifas “peuperium care”. pustaka pelajar. yogyakarta. notoatmodjo s. (2012). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta : pt rineka cipta. rukiyah, ai yeyeh, dkk. 2010. asuhan kebidanan iii (nifas). jakarta: trans info media. soetjiningsih. (2013). tumbuh kembang anak. jakarta : egc sri astuti dkk. (2015). asuhan kebidanan nifas dan menyusui. jakarta : erlangga 192 pengaruh pendidikan kesehatan kepada lansia terhadap tingkat kunjungan posyandu lansia (the effectiveness of health education of elderly to the level of visit in posyandu lansia) nevy norma renityas, levi tina sari, wahyu wibisono stikes patria husada blitar e-mail: nevy_syai@yahoo.com abstract : health education is the educational activities carried out by way of conveying a message, put faith, so that people are not only aware of, know and understand, but also willing and able to perform a suggestion related to health, for the elderly, the risk of degrading is closely related with the aging process among other circulatory disorders such as hypertension, vascular disorders, joint disorders such as osteoporosis. nowadays, the elderly enthusiasm in posyandu lansia has not been going well. it was proven that there were 63 elderly in tulungrejo did not join posyandu. method: the research design was pre-experimental using one group pretest-posttest approach. the subjects of this study was 75 respondents using the total sampling technique. the sample was the elderly of bendogerit village. result : with a significance level of <0.0001 showed that there was an effect in before and after treatment by providing health education for the elderly to visit posyandu lansia. discussion : the need for socialization is much needed in the elderly, it can also be a motivation for them to visit posyandu lansia. keywords : elderly, health education, level of visit in posyandu lansia pendidikan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyampaikan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat aktifitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat dalam penyuluhan. metode yang dapat dipergunakan dalam memberikan penyuluhan kesehatan adalah metode penyuluhan individu, penyuluhan kelompok dan penyuluhan secara massa. tujuan dari penyuluhan yaitu tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat; menurut who (2011) untuk merubah perilaku perseorangan atau masyarakat dalam bidang kesehatan. pada lanjut usia dengan usia 60 tahun keatas merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dimana umur manusia sebagai mahkluk hidup terbatas oleh suatu aturan alam. resiko yang dapat muncul dalam masa penurunan yang sangat erat hubungannya dengan proses menua antara lain gangguan sirkulasi seperti hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pada persendian seperti osteoporosis (nugroho, 2008). depkes (2006) posyandu adalah wadah pemeliharaan kesehatan yang dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibimbing petugas terkait. akan tetapi saat ini keaktifan lansia dalam posyandu lansia belum berjalan baik. ini tebukti bahwa di lingkungan tulungrejo terdapat 63 lansia tidak ada yang mengikuti posyandu lansia. hal ini bisa disebabkan karena kurang tahunya masyarakat tentang posyandu lansia itu sendiri, adapun penyakit utama pada lansia yang menyerang ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. dari fenomena diatas dan banyak kematian pada lansia yang disebabkan karena kejadian tersebut. oleh sebab itu pemerintah republik indonesia menghimbau untuk segera menghidupkan posyandu kembali sampai kedesa, karena posyandu merupakan garda acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p191-195 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 193 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.192-196 terdepan dalam memonitor deteksi dini penyakit pada lansia. dalam pelaksanaan posyandu lansia tersebut, perlu diadakan suatu pendidikan kesehatan yang salah satu fungsinya yaitu untuk memotivasi lansia agar dapat datang ke posyandu lansia. hal ini sangat diperlukan karena untuk meningkatkan peran serta masyarakat khususnya lansia. dengan diadakanya posyandu lansia itu sendiri diharapkan dapat mendeteksi secara dini adanya penyakit yang terjadi pada lansia. pendidikan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyampaikan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat aktifitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat dalam penyuluhan. metode yang dapat dipergunakan dalam memberikan penyuluhan kesehatan adalah metode penyuluhan individu, penyuluhan kelompok dan penyuluhan secara massa. tujuan dari penyuluhan yaitu tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat; menurut who (2011) untuk merubah perilaku perseorangan atau masyarakat dalam bidang kesehatan. pada lanjut usia dengan usia 60 tahun keatas merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dimana umur manusia sebagai mahkluk hidup terbatas oleh suatu aturan alam. resiko yang dapat muncul dalam masa penurunan yang sangat erat hubungannya dengan proses menua antara lain gangguan sirkulasi seperti hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pada persendian seperti osteoporosis (nugroho, 2008). depkes (2006) posyandu adalah wadah pemeliharaan kesehatan yang dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibimbing petugas terkait. akan tetapi saat ini keaktifan lansia dalam posyandu lansia belum berjalan baik. ini tebukti bahwa di lingkungan tulungrejo terdapat 63 lansia tidak ada yang mengikuti posyandu lansia. hal ini bisa disebabkan karena kurang tahunya masyarakat tentang posyandu lansia itu sendiri, adapun penyakit utama pada lansia yang menyerang ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. juga terdapat berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. dari fenomena diatas dan banyak kematian pada lansia yang disebabkan karena kejadian tersebut. oleh sebab itu pemerintah republik indonesia menghimbau untuk segera menghidupkan posyandu kembali sampai kedesa, karena posyandu merupakan garda terdepan dalam memonitor deteksi dini penyakit pada lansia. dalam pelaksanaan posyandu lansia tersebut, perlu diadakan suatu pendidikan kesehatan yang salah satu fungsinya yaitu untuk memotivasi lansia agar dapat datang ke posyandu lansia. hal ini sangat diperlukan karena untuk meningkatkan peran serta masyarakat khususnya lansia. dengan diadakanya posyandu lansia itu sendiri diharapkan dapat mendeteksi secara dini adanya penyakit yang terjadi pada lansia. rumusan masalahnya adalah apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan kepada lansia terhadap tingkat kunjungan posyandu lansia. tujuan umumnya adalah mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan kepada lansia terhadap tingkat kunjungan posyandu lansia. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi tingkat kunjungan posyandu lansia sebelum dilakukan pendidikan kesehatan, (2) mengidentifikasi tingkat kunjungan posyandu lansia setelah dilakukan pendidikan kesehatan, (3) menganalisis pengaruh pengaruh pendidikan kesehatan kepada lansia terhadap tingkat kunjungan posyandu lansia. target luaran yang ingin dicapai adalah diharapkan dapat masuk dalam jurnal nasional dan menjadi artikel di instansi pendidikan kesehatan. kontribusi dalam ilmu pengetahuan masyarakat khususnya lansia dapat mengetahui dan memahami tentang manfaat posyandu lansia itu sendiri, serta dengan kegiatan posyandu lansia ini dapat mendeteksi secara dini komplikasi yang terjadi pada lansia. bahan dan metode design penelitian yang digunakan adalah adalah pre-eksperimental. dengan pendekatan one group pretest-posttest desaign. peneliti mengukur variable perilaku lansia tentang manfaat serta kegunaan posyandu lansia terhadap kunjungan lansia ke posyandu lansia. hal penting yang ditekankan dalam metode ini yaitu memberikan pendidikan renityas, sari, wibisono, pengaruh pendidikan kesehatan......194 dengan ceramah dan video yang membuat menarik sehingga timbulah suatu ketertarikan kemudian adanya niatan atau keinginan untuk berperilaku yang positif yaitu berkunjung ke posyandu lansia. variabel bebas yaitu pendidikan kesehatan, sedangkan variabel terikatnya kunjungan posyandu lansia. subyek penelitian ini berjumlah 75 responden yang dihasilkan dari tehnik pengambilan sampling yaitu totally sampling, dimana peneliti mengambil seluruh lansia yang berada di lingkungan bendogerit untuk dijadikan responden. penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. untuk analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi utnuk mengetahui kategori pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, jarak tempat tinggal dengan tempat posyandu lansia, pengetahuan lansia tentang manfaat posyandu lansia. analisis bivariat yaitu uji statistic wilcoxon sign rank test dengan bantuan spss untuk menganalisis perbedaan antara sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pendidikan kesehatan dan skala data yang digunakan dalam bentuk ordinal. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. tabel 1. karakteristik responden no karakteristik subyek distribusi frekuensi 1. jenis kelamin laki-laki perempuan 63% 37.3% 2. tingkat pendidikan sd smp sma perguruan tinggi 13% 20.5% 53% 13% 3. pekerjaan ibu rumah tangga pns wiraswasta swasta 46% 20% 20% 10% 4. jarak tempat tinggal dekat sedang jauh 33% 44% 22.6% 5. pengetahuan tentang posyandu lansia baik cukup kurang 70% 20% 10% tabel 2 hasil penelitian pre-test, post test pengaruh pendidikan kesehatan kepada lansia terhadap kunjungan posyandu lansia dari tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil pre test sebelum diberikan pendidikan kesehatan sejumlah 30, setelah dilakukan perlakuan (pendidikan kesehatan) kunjungan lansia sejumlah 75 orang. tabel 3. perbedaan sebelum dan sesudah perlakuan pendidikan kesehatan z asymp. sig. (2tailed) mean jumlah kunjungan sebelum perlakuan 3,724 <0,0001 7,5 30 resp sesudah perlakuan 75 resp dengan tingkat signifikasi <0,0001 maka terjadi perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan memberikan pensisikan kesehatan terhadap kunjungan lansia ke posyandu lansia. pembahasan tingkat kunjungan lansia sebelum perlakuan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan pendidikan kesehatan pada lansia didapat yang berkunjung ke posyandu lansia sejumlah 30 responden dari total keseluruhan 75 responden. ini disebabkan berbagai factor salah satunya yaitu jarak rumah dengan pos pelayanan terpadu sedang. dimana jarak tempuh mempengaruhi kunjungan, lansia disini juga sudah memiliki banyak keterbatasan, khususnya keterbatasan fisik. menurut nugroho (2000), terjadi penurunan fisik pada lansia, penglihatan dan pendengaran berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi gambaran lamban dan kurang lincah, kerampingan tubuh menghilang disana-sini terjadi timbunan lemak terutama dibagian perut dan panggul, otot yaitu jumlah sel otot berkurang mengalami atrofi sementara jumlah jaringan ikat bertambah, volume otot secara keseluruhan menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya berkurang, jantung dan pembuluh darah yaitu berbagai pembuluh darah penting khusus yang pre test kunjungan 1 perlakuan post test kunjungan ii 30 orang 75 orang 195 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.192-196 di jantung dan otak mengalami kekakuan. lapisan intim menjadi kasar akibat merokok, hipertensi, diabetes melitus, kadar kolestrol tinggi dan lain-lain yang memudahkan timbulnya penggumpalan darah dan thrombosis, tulang pada proses menua kadar kapur (kalsium) menurun akibat tulang menjadi keropos dan mudah patah. hal inilah yang bisa juga menyebabkan lansia tidak dapat datang ke posyandu. dari hasil penelitian juga menunjukkan sebagian responden sekitar 10% memiliki pendidikan terakhir setara sd, dan juga pengetahuan 10% (7 orang) memilki kategori kurang. hal ini bisa juga menyebabkan ketidak tahuan lansia tentang manfaat dan tujuan posyandu lansia. menurut azrul (1998) tujuan posyandu lansia yaitu memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas fisik sesuai kemampuan dan aktifitas mental yang mendukung, memelihara kemandirian secara maksimal, melaksanakan diagnosa dini secara tepat dan memadai, melaksanakan pengobatan secara tepat, membina lansia dalam bidang kesehatan fisik spiritual. untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kebutuhan psikososial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup didalam masyarakat. individu selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya). dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar yang didapat khususnya pada posyandu lansia(notoatmodjo, 2003). tingkat kunjungan lansia sesudah perlakuan setelah dilakukan pendidikan dalam kunjungan lansia terlihat bahwa 75 responden datang semua dalam posyandu lansia. hal ini disebabkan karena pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari (leavel dan clark,dalam notoadmodjo, 2003) sebagai berikut:promosi kesehatan (health promotion), perlindungan khusus (specifik protection), diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment), pembatasan cacat (disability limitation), rehabilitasi (rehabilitation). dalam penelitian disini fokus utama pendidikan kesehatan adalah promosi kesehatan dimana promosi ini penting untuk menumbuhkan minat dan motivasi lansia untuk melakukan kunjungan posyandu lansia.pendidikan kesehatan yang dilakukan peneliti bersifat menarik, dan edukatif, dimana isi dari pendidikan kesehatan tersebut yaitu memotivasi lansia untuk datang ke posyandu lansia, dan juga berisi manfaat yang banyak untuk lansia itu sendiri dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. selain itu juga dalam pendidikan tersebut juga berisi diagnosis dini serta pengobatan segera, sehingga lansia tertarik dengan manfaat posyandu lansia itu sendiri. pengaruh jarak tempat tinggal juga memilki peran yang sangat penting dalam kunjungan lansia didapat 25 responden (33%) memilki jarak yang dekat dengan tempat penelitian, sehingga hal ini memotivasi lansia untuk melakukan kunjungan ke posyandu lansia, oleh karena itu, aksesibilitas ke tempat pelayanan kesehatan merupakan penghambat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan tertentu seperti sarana transportasi, keadaan geografis dan waktu tempuh untuk menuju tempat pelayanan kesehatan. waktu tempuh yang di maksud di sini adalah waktu tempuh dari tempat tinggal menuju tempat pelayanan kesehatan, waktu tempuh yang lama seringkali menjadi kendala bagi masyarakat dalam upaya pencarian pengetahuan maupun pengobatan. tingkat pendidikan sma sejumlah 40 responden (53%) merupakan salah satu faktor dalam kunjungan lansia, hal ini deisebabkan dengan tingginya pendidikan daya tangkap dan cara berfikir seseorang juga mempengaruhi daya ingat dan pengetahuan orang tersebut. tingkat pengetahuan lansia sesuai dengan hasil penelitian baik 53 responden (70%), disini membuktikan bahwa dengan pengetahuan yang baik maka lansia termotivasi dan memilki perilaku yang baik pula dalam berkunjung ke posyandu lansia. pengaruh pekerjaan lansia juga mempengaruhi kedatangan lansia ke tempat posyandu lansia didapat bahwa 35 responden (46%) ibu rumah tangga, hal ini juga bisa menyebabkan pengaruh kunjungan lansia, ke posyandu lansia. pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat kunjungan lansia dari hasil yang diperoleh ada pengaruh pendidikan kesehatan kepada lansia terhadap kunjungan posyandu lansia. hal ini disebabkan oleh banyak factor diantaranya pendidikan, pekerjaan, dan jarak tempat tinggal dengan pos renityas, sari, wibisono, pengaruh pendidikan kesehatan......196 pelayanan terpadu, serta tingkat pendidikan yang sudah dijelaskan dalam hasil penelitian yang diperoleh. dengan pendidikan kesehatan dapat mempengaruhi kunjungan lansia karena pendidikan kesehatan tersebut berisi promosi kesehatan yang sangat dibutuhkan lansia. ketidaknyamanan fisik dan psikologis yang dialami lansia menyebabkan suatu kebutuhan promosi pendidikan kesehatan tentang lansia itu sendiri. dalam pendidikan kesehatan tersebut juga berisi tujuan, manfaat dan perubahanperubahan yang terjadi pada lansia dimana informasi tersebut belum banyak diketahui lansia. kebutuhan sosialisasi juga sangat diperlukan dalam lansia, hal ini juga bisa merupakan motivasi mereka untuk datang ke posyandu lansia, sehingga pengaruh pendidikan kesehatan disini sangat berperan penting dalam kunjungan lansia. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut:kunjungan lansia ke posyandu lansia sebelum perlakuan sebanyak 30 orang, kunjungan lansia ke posyandu lansia sesudah perlakuan sebanyak 75 orang, terdapat perbedaan sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan terhadap jumlah kunjungan lansia ke posyandu lansia. saran diharapkan dapat masuk dalam jurnal nasional dan menjadi artikel di instansi pendidikan kesehatan serta dapat digunakan sebagai bahan ajar pada institusi pendidikan dengan bentuk handout. adapun kontribusi terhadap ilmu pengetahuan diharapkan dapat mengembangkan ilmu, mendukung informasi penelitian sebelumnya dan dapat dijadikan landasan teori bagi peneliti selanjutnya daftar rujukan azrul, a. 1998. menjaga mutu pelayanan kesehatan. pustaka sinar harapan. jakarta depkes ri.2006. pedoman umum pengelolaan posyandu. jakarta notoatmodjo, soekidjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. rineka cipta. jakarta. nugroho, w. 2008. keperawatan gerontik & geriatrik, ed 3. jakarta: egc nugroho, w.2000.keperawatan gerontik & geriatric. edisi 3. egc. jakarta who, 2011. hypertension fact sheet. department of sustainable development and healthy environments september 2011.http://www.searo.who.int/linkfiles/no n_communicable_diseases_hypertensionfs.pdf 184 aplikasi kelas ibu hamil sebagai upaya rekronstruksi budaya “tarak” (tidak makan makanan telur, ayam, daging dan ikan) pada ibu nifas di kabupaten blitar (application mother class of pregnant women for culture rekronstruction " post partum continence " ( do not eat eggs , chicken , meat and fish ) in the district blitar) zaenal fanani, bisepta prayogi stikes patria husada blitar email:bisepta_iceman@yahoo.co.id abstract : indonesian peoples is a multicultural society. each region has a distinct culture that is embraced by the trust from the previous generation ( tommey and alligood ,2006) . based on a preliminary study of 20 post partum mothers, there are 17 people did not want to eat chicken dishes, meat and eggs for fear of the seams are not cured and itching . protein is needed in the process of wound healing episiotomy and in breastfed infants, these conditions need to be an intervention . the purpose of this study was to determine the effect mother class of pregnant women to the knowledge, attitudes and behavior of post partum continence. method: research design was pretest and posttest nonequivalent control group with a sample of 40 people, who were divided into 20 groups and 20 controls of the treatment group. sampling technique by using consecutive. the treatment group got mother class while the control group got health education as usual in health centers. in both groups was measured knowledge , attitudes , and behaviors " post partum continence”. results: the result of this study showed that on paired t test p = 0.000, that mean at treatment group change on knowledge before and after mother class. on control group showed that not change in knowledge with paired t test p = 0.083. in indepedent t test p = 0.000 there is a difference of knowledge between treatment groups and control groups. paired t test p = 0.000 at the attitude shown that there is a change in attitude before and after treatment. in control group paired t test p = 0.163 indicates that there is no change in attitude. independent t test p = 0.000 shows that there are differences in attitudes between the treatment and control groups . chi-square test p = 0.000 on the behavior of incontinence, there are differences in the proportion of incontinence behavior between the treatment and control groups. discussion:the research recommended mother class intervention for enhance knowledge, attitude and behavior for pregnant women of post partum incontinence culture. keyword: mother class, pregnan woman, post partum continence masyarakat indonesia adalah masyarakat yang multikultural. masingmasing daerah memiliki budaya berbeda yang dianut menurut kepercayaan dari generasi sebelumnya. banyak masyarakat yang percaya dengan budaya generasi sebelumnya karena budaya tersebut diperoleh dari orang tua yang menurut mereka lebih memiliki pengalaman. dengan kepercayaan ini mereka yakin bahwa perilaku yang ia lakukan akan membawa hasil yang positif dan bermanfaat untuk kesehatan mereka (tommey and alligood, 2006). tidak semua perawatan yang dilakukan dengan berpedoman pada warisan leluhur tersebut bisa diterima sepenuhnya, bisa saja perawatan yang dilakukan tersebut memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan bayinya (manurung, 2009). perilaku atau kebiasaan yang merugikan misalnya: ibu menyusui dilarang makan makanan yang amis misalnya ikan, telor dan lain-lain karena keringat bayinya akan bau tidak sedap. ibu pasca melahirkan dilarang tidur siang. ibu post acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p184-190 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 185 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.184-191 partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor naik ke mata (mubarak dkk, 2012). berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh yeni supatemi (2013) 89% ibu nifas di wilayah kerja puskesmas wonotirto kabupaten blitar 3tarak”datali pantang terhadap jenis makanan tertentu (telor, ikan, ayam). pernyataan swasono (1998) yang berpendapat bahwa ada beberapa nilai kepercayaaan masyarakat yang berhubungan dengan perawatan post partum, dengan pengetahuan tentang aspek budaya merupakan hal penting diketahui oleh petugas kesehatan untuk memudahkan dalam melakukan pendekatan untuk memberikan pelayanan kesehatan. kelas ibu hamil adalah kelompok belajar ibu-ibu hamil dengan usia kehamilan antara 20 s/d 32 minggu dengan jumlah peserta maksimal 10 orang, yang melaksanakan kegiatan yang sistematis dalam bentuk tatap muka dalam kelompok yang diikuti diskusi dan tukar pengalaman antara ibu-ibu hamil dan petugas kesehatan guna meningkatkan pengetahuan,merubah sikap dan perilaku ibu agar memahami tentang kehamilan, perubahan tubuh dan keluhan selama hamil, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, kb pasca salin, perawatan bayi baru lahir, mitos / kepercayaan setempat, penyakit menular seksual dan akte kelahiran (depkes ri, 2009). berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 24 september-06 oktober 2013 di ruang nifas rs.ngudi waluyo blitar didapatkan 17 dari 20 ibu post partum tidak mau makan masakan ayam, daging dan telor karena takut jahitannya tidak sembuh dan gatal-gatal. padahal makanan-makanan yang menjadi pantangan tersebut merupakan makanan yang tinggi protein. protein sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka episiotomi maupun pada bayi yang disusui, kondisi tersebut perlu dilakukan sebuah intervensi untuk merekonstruksi budaya pemenuhan nutrisi pada ibu post partum. berdasarkan keterangan dari tenaga kesehatan setempat klas ibu hamil sudah jarang dilakukan karena keterbatasan tenaga. intervensi keperawatan pada teori model medeline leinenger bagi budaya pasien yang merugikan atau bertentangan dengan konsep hidup sehat adalah merekonstruksi budaya tersebut (tommey and alligood, 2006). berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin mengetahui adakah pengaruh pelaksanaan klas ibu hamil terhadap pengetahuan sikap dan perilaku ibu nifas dalam pemenuhan nutrisi di kabupaten blitar sebagai upaya rekronstruksi budaya “tarak” (tidak makan makanan telur, ayam, daging dan ikan) pada ibu nifas di kabupaten blitar. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: adakah pengaruh pelaksanaan kelas ibu hamil terhadap pengetahuan sikap dan perilaku ibu dalam pemenuhan nutrisi ibu nifas sebagai upaya rekronstruksi budaya “tarak” pantang terhadap jenis makanan tertentu (telor, ikan, ayam) pada ibu nifas di kabupaten blitar. tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kelas ibu terhadap rekronstruksi budaya “tarak” (tidak makan makanan telur, ayam, daging dan ikan) pada ibu nifas di kabupaten blitar. sedangkan tujuan khususnya, yaitu (1) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap budaya “tarak” sebelum mengikuti kelas ibu hamil, (2) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap budaya “tarak” setelah diberikan penyuluhan dengan sasaran individu waktu pemeriksaan kehamilan, (3) mengidentifikasi pengetahuan, sikap dan perilaku “tarak” ibu nifas setelah mengikuti kelas ibu hamil, (4) mengidentifikasi pengetahuan, sikap dan perilaku “tarak” ibu nifas yang diberikan penyuluhan dengan sasaran individu waktu pemeriksaan kehamilan,(5) membedakan pengetahuan, sikap dan perilaku “tarak” ibu nifas yang mengikuti kelas ibu hamil dengan ibu hamil yang hanya di beri penyuluhan waktu pemeriksaan kehamilan, (6) mengidentifikasi adakah pengaruh kelas ibu hamil terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku “tarak” bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah pre test and post test nonequivalent control group. populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang masuk pada trimester 3 di wilayah kerja puskesmas wonodadi bulan maret 2014 sebanyak 60, sampel sebanyak 40 orang.. kriteria inklusi dan ekslusi penelitian:ibu hamil 34-37 minggu, tidak ada penyakit penyerta, tidak mempunyai alergi telor, ayam, daging dan ikan, ibu hamil yang menganut fanani dan prayogi, aplikasi kelas ibu…..186 budaya “tarak”. kriteria ekslusi meliputi ibu melahirkan sebelum perlakuan selesai, ibu pindah keluar blitar setelah melahirkan. teknik sampling ini menggunakan consecutive sampling. variabel dependen variabel dependen: kelas ibu hamil, variabel independen adalah budaya “tarak”.instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan booklet. analisa data yang dilakukan dengan wilcoxon test untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap ibu sebelum dan sesudah mengikuti kelas ibu hamil dan mann witheney test untuk membandingkan pengetahuan, sikap dan perilaku antara kelompok yang mengikuti kelas ibu hamil dengan kelompok kontrol. hasil penelitian distribusi karakteristik responden tabel 1. distribusi karakteristik responden kelompok perlakuan di kabupaten blitar 14 april – 14 juni 2014. no karakteristik frekuensi persentase (%) 1 kehamilan ke 1 2 3 4 7 6 5 2 35 30 25 10 2 3 4 usia <20 th 20-30 th 31-40 th pendidikan sd smp sma pekerjaan irt swasta petani 2 6 12 4 10 6 16 3 1 10 30 60 20 50 30 80 15 5 berdasarkan tabel 1 responden terbanyak pada kelompok perlakuan adalah responden dengan kehamilan anak pertama yaitu 7 responden (35%), usia responden kelompok perlakuan terbanyak berusia 31-40 th sebanyak 12 responden (60%), pendidikan terbanyak pada kelompok perlakuan adalah smp yaitu 10 responden (50%), dan pekerjaan yang terbanyak pada kelompok perlakuan adalah irt yaitu 16 responden (80%). tabel 2.distribusi karakteristik responden kelompok kontrol di kabupaten blitar 14 april – 14 juni 2014. no karakteristik frekuensi persentase (%) 1 kehamilan ke 1 2 3 7 8 5 35 40 25 2 3 4 usia <20 th 20-30 th 31-40 th >40 th pendidikan sd smp sma pekerjaan irt swasta petani lain-lain 1 9 9 1 2 9 9 15 3 1 1 5 45 45 5 10 45 45 75 15 5 5 berdasarkan tabel 2 responden terbanyak pada kelompok kontrol adalah responden dengan kehamilan anak kedua yaitu 8 responden (40%), usia responden kelompok kontrol terbanyak berusia 21-30 th dan 31-40 th masing-masing 9 responden (45%), pendidikan terbanyak pada kelompok kontrol adalah smp dan sma masing-masing 9 responden (45%), dan pekerjaan yang terbanyak pada kelompok kontrol adalah irt yaitu 15 responden (75%). pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu tabel 3 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan ibu perlakuan kontrol nilai post 187 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.184-191 pre test posttest pre test posttest perlakuan kontrol n sd mean 20 2,555 15 20 2,43 20,7 20 1,943 16,25 20 1,789 16,4 20 2,43 20,7 20 1,789 16,4 paired t test p=0,000 paired t test p=0,083 independent t test p=0,000 berdasarkan tabel 3 pada kelompok perlakuan didapatkan hasil pada uji paired t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perubahan pengetahuan antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan. pada kelompok kontol didapatkan hasil uji paired t test p=0,083 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan pengetahuan pada kelompok kontrol. pada uji indenpedent t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu tabel 4 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap ibu perlakuan kontrol nilai post pre test post test pretest posttest perlakuan kontrol n sd mean 20 3,045 45,7 20 2,94 53,3 20 4,404 47,35 20 4,407 47,45 20 2,94 53,3 20 4,407 47,35 paired t test p=0,000 paired t test p=0,163 independent t testp=0,000 berdasarkan tabel 4 pada kelompok perlakuan didapatkan hasil pada uji paired t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perubahan sikap antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan. pada kelompok kontol didapatkan hasil uji paired t test p=0,163 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan sikap pada kelompok kontrol. pada uji independent t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. perilaku tarak ibu tabel 5 perilaku tarak ibu kelompok pantangan total p ya tidak perlakuan 2 18 20 p = 0,000 control 13 7 20 total 15 25 40 berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil pada uji chi-square p=0,000 menunjukkan bahwa ada perbedaan proporsi perilaku tarak antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. pembahasan pengetahuan ibu terhadap budaya “tarak” hasil penelitian tingkat pengetahuan ibu yang mengikuti klas ibu hamil tentang gizi ibu nifas yang di gambarkan pada tabel 3 tampak terjadi peningkatan pengetahuan ibu nifas yang mengikuti klas ibu hamil pada saat kehamilannya. berdasarkan hasil uji statistic menggunakan paired t test didapatkan nilai p=0,00. karena nilai p<0,05 artinya ada perubahan tingkat pengetahuan responden setelah mengikuti klas ibu hamil. peningkatan pengetahuan responden yang mengikuti klas ibu hamil tersebut telah sesuai dengan harapan dari program pemerintah tentang klas ibu hamil yaitu meningkatkan pengetahuan ibu agar memahami tentang kehamilan, perubahan tubuh dan keluhan selama hamil,perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, kb pasca salin, perawatan bayi baru lahir, mitos / kepercayaan setempat, penyakit menular seksual dan akte kelahiran (depkes ri, 2009). menurut setiawati (2008) dalam abdul.f (2012) pendidikan kesehatan merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk menggugah kesadaran, memberikan dan meningkatkan pengetahuan sasaran fanani dan prayogi, aplikasi kelas ibu…..188 pendidikan kesehatan yang menyangkut tentang pemeliharaan kesehatan serta peningkatan kesehatan baik untuk individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat. dalam penelitian ini pelaksanaan klas ibu hamil dilaksanakan sebanyak 2 kali dengan materi yang terstuktur, untuk pertemuan pertama materi yang di berikan adalah hubungan protein dengan penyembuhan luka yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan ke 2 dengan materi pentingnya gizi ibu nifas bagi dirinya dan bayi yang disusuinya. metode tersebut dikatakan sangat efektif dapat dibuktikan dengan nilai rata-rata pretest yang dilakukan pada saat ibu belum mengikuti klas ibu hamil adalah 15 yang artinya rata-rata responden dapat menjawab pertanyaan tentang gizi ibu nifas 60% dari 25 item pertanyaan, sedangkan nilai rata-rata posttest yang dilakukan pada saat ibu menjalani masa nifas adalah 21 yang artinya rata-rata responden dapat menjawab pertanyaan 84% dari 25 item pertanyaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebelum mengikuti klas ibu hamil sebenarnya responden telah memiliki pengetahuan yang baik dan setelah mengikuti klas ibu hamil dan menjalani masa nifasnya responden memiliki pengetahuan yang sangat baik. hasil penelitian tingkat pengetahuan ibu yang tidak mengikuti klas ibu hamil (hanya diberikan penyuluhan oleh bidan saat melakukan pemeriksaan kehamilan) tentang gizi ibu nifas tidak mengalami peningkatan. nilai rata-rata pretest sebelum mendapatkan penyuluhan dari bidan adalah 16 yang artinya rata-rata responden dapat menjawab pertanyaan tentang gizi ibu nifas 64% dari 25 item pertanyaan, setelah dilakukan post test pada saat ibu menjalani masa nifas pengetahuan responden tersebut tidak mengalami peningkatan. dapat disimpulkan pengetahuan sebelum dan setelan mendapatkan penyuluhan dari bidan tetap baik. berdasarkan hasil uji statistic menggunakan paired t test didapatkan nilai p=0,83. karena nilai p<0,05 artinya tidak ada perubahan tingkat pengetahuan responden setelah diberikan penyuluhan oleh bidan tentang gizi ibu nifas. sedangkan rata-rata nilai pengetahuan pada kelompok yang mengikuti klas ibu hamil adalah 21 sedangkan pengetahuan ibu yang tidak mengikuti klas ibu hamil adalah 16. pengetahuan seseorang menurut notoadmodjo (2010) dapat dipengaruhi oleh beberapa factor eksternal yaitu, pendidikan, informasi dan pengalaman. tehnik dan media dalam menyampaikan sebuah informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang (anwar, 2007). dalam penelitian ini kelompok kontrol hanya di berikan penyuluhan tentang gizi ibu nifas oleh bidan sebanyak satu kali saat melakukan pemeriksaan kehamilan dengan media yang digunakan adalah leaflead. sedangkan kelompok perlakuan telah mengikuti klas ibu hamil dan di berikan materi penyuluhan tentang hubungan protein dengan penyembuhan luka serta pentingnya gizi ibu nifas bagi dirinya dan bayi yang disusuinya, materi tersebut di berikan secara terstuktur, hal ini sesuai dengan depkes ri (2009) pembahasan materi menjadi efektif karena pola penyajian materi terstruktur dengan baik. media yang digunakan dalam penyampaian materi pada klas ibu hamil adalah lcd dan booklet. perbedaan tehnik dan media yang digunakan dalam pemberian informasi tersebut yang membedakan peningkatan pengetahuan kelompok perlakuaan dan kelompok kontrol. menurut notoatmodjo (2010) bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima atau menyesuaikan dengan hal yang baru. karena pendidikan mempengaruhi proses belajar sehingga dengan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi akan cenderung memperoleh lebih banyak informasi baik dari orang lain maupun dari media masa. semakin banyak informasi yang didapatkan maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapatkan tentang kesehatan. pendidikan bukan hanya bisa didapat dari pendidikan formal tetapi juga nonformal. berdasarkan hasil penelitian didapatkan 50% (10) responden dari kelompok yang mengikuti klas ibu hamil pernah mendapatkan informasi tentang gizi ibu nifas sebelumnya, hal ini dapat dikatakan bahwa ke 10 responden tersebut telah mengikuti pendidikan non formal. dari 10 responden tersebut 8 responden mendapat informasi dari tenaga kesehatan sedangkan sisanya (2 responden) mendapat informasi dari media cetak. selain itu salah satu factor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah pengalaman, menurut notoatmojo (2010) pengalaman merupakan 189 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.184-191 suatu cara untuk mendapatkan kebenaran dari pengetahuan. dari hasil penelitian ini didapatkan 90% (18 responden) adalah ibu yang telah mempunyai anak lebih dari satu, maka dari itu pengalaman ibu menjadi ibu nifas sebelumnya dapat menambah pengetahuan ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi ibu selama nifas. sikap ibu terhadap budaya “tarak” hasil penelitian tentang sikap ibu yang mengikuti klas ibu hamil tentang gizi ibu nifas yang di gambarkan pada tabel 4 memperlihatkan terjadi peningkatan sikap ibu nifas yang mengikuti klas ibu hamil pada saat kehamilannya. berdasarkan hasil uji statistic menggunakan paired t test didapatkan nilai p=0,00. karena nilai p<0,05 artinya ada perubahan sikap responden setelah mengikuti klas ibu hamil. dari hasil pre didapatkan nilai rata-rata sikap baik dan post test mempunyai nilai rata-rata sikap sangat baik hal ini terlihat dari peningkatan nilai yaitu dari 45 menjadi 53. berdasarkan pretest di dapatkan rata-rata nilai pengetahuan yang baik dengan nilai sikap yang baik pula, sedangkan posttest didapatkan rata-rata nilai pengetahuan yang sangat baik dan diikuti nilai sikap yang sangat baik pula. menurut notoatmodjo (2010) pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peran penting dalam menentukan sikap yang utuh. sikap ibu yang mengikuti klas ibu hamil pada posttest didasari oleh pengetahuan responden yang baik pula, hal ini karena responden mengangap klas ibu hamil yang mereka ikuti sangat bermanfaat bagi ibu karena pelaksanaan klas ibu hamil tidak membosankan, pada saat kegiatan ibu bertukar pengalaman satu dengan yang lain hal ini karena ibu hamil yang mengikuti sangat heterogen, ada yang kehamilan pertama, kedua bahkan ada yang kehamilannya sudah ke lima kalinya. selain itu komunikasi yang sangat interaktif pemberi materi saat pembelajaran membuat ibu antusias dalam mengikuti pembelajaran tersebut. hal ini sesuai dengan teoti anwar (2010) komunikasi kesehatan dengan menggunakan prinsip desain pengajaran adalah salah satu upaya untuk menumbuhkan sikap. dengan komunikasi yang dilakukan pemateri dengan ibu maupun ibu satu dengan yang lainnya dalam klas ibu hamil selama 2 kali pertemuan dapat meningkatkan kepercayaan maupun keyakinan bagi ibu bahwa apa yang disampaikan baik bagi kesehatan ibu maupun bayinya, dan dapat membentuk niat ibu untuk menghidari “tarak” sedangkan sikap ibu yang tidak mengikuti klas ibu hamil berdasarkan hasil uji statistic menggunakan paired t test didapatkan nilai p=0,163. karena nilai p<0,05 artinya tidak ada perubahan sikap responden setelah diberi pendidikan kesehatan tentang gizi ibu nifas oleh bidan dapat disimpulkan bahwa nilai sikap ibu yang tidak mengikuti klas ibu hamil dipengaruhi oleh pengetahuan, hal ini dapat dilihat dari hasil pre dan post test pada kelompok ini tidak ada peningkatan nilai pengetahuan. namun menurut notoatmodjo (2010) tiga hal yang dapat membentuk sikap antara lain kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau emosional suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak (trend to behave). sehingga sikap ibu yang tidak mengikuti klas ibu hamil bisa juga terbentuk dari kepercayaan yang telah lama ada pada dirinya dan didukung oleh lingkungan disekitarnya. perilaku “tarak” ibu nifas hasil penelitian tentang perilaku “tarak” ibu nifas digambarkan pada tabel 5 berdasarkan hasil uji statistic menggunakan chi-square didapatkan p = 0,000 yang artinya terdapat perbedaan antara perilaku “tarak” pada ibu nifas yang mengikuti klas ibu hamil dengan ibu yang hanya mendapatkan pendidikan kesehatan tentang gizi ibu menyusui. salah satu tujuan dari klas ibu hamil menurut depkes ri (2009) adalah mengubah mitos/kepercayaan/adat istiadat setempat yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. sedangkan menurut teori leininger (1978) dalam sudiharto (2007) keperawatan transkultural adalah suatu ilmu yang humanis dan difokuskan pada perilaku individu atau kelompok, serta proses mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat atau sakit secara fisik dan psikokultural sesuai latar belakang. berdasarkan teori transkultural asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai dengan budaya klien dengan strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan, negosiasi, atau rekonstrusi (mengubah) budaya klien. nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang fanani dan prayogi, aplikasi kelas ibu…..190 dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap baik atau buruk dan rekonstruksi budaya dilakukan bila budaya tersebut merugikan status klien (alligood, 2006). sehingga klas ibu hamil ini merupakan aplikasi dari keperawatan traskultural yang dilakukan oleh peneliti. karena peneliti menganggap budaya “tarak” khususnya tidak makan makanan telur, ayam, daging dan ikan dinilai akan merugikan ibu nifas yaitu luka yang tak kunjung sembuh atau pun gizi bayi yang kurang baik. berdasarkan hasil penelitian didapatkan 70% dari 20 ibu sebelum mengikuti klas ibu hamil dan 50% dari 20 ibu sebelum mendapatkan pendidikan kesehatan yang dari bidan mengatakan bahwa ibu nifas tidak boleh makan ikan, ayam maupun telur karena mereka menganggap hal tersebut dapat membuat kemaluan gatal-gatal dan luka bekas jahitan tidak sembuh. namun dari 20 ibu yang mengikuti klas ibu hamil hanya 10% yang masih bertahan pada budaya tersebut ketika nifas. sedangkan 20 ibu yang mendapatkan pendidikan kesehatan dari bidan tetap 50% bertahan dengan budaya tersebut saat masa nifas. hal ini terbukti bahwa klas ibu hamil dapat merekonstruksi budaya “tarak”. menurut waqid iqbal.m (2012) pengetahuan adalah salah satu unsur dari sosial budaya dan pengetahuan juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan. berdasarkan penelitian ini didapatkan adanya peningkatan pengetahuan tentang gizi ibu nifas pada ibu yang mengikuti klas ibu hamil dan diikuti oleh adanya perilaku “tarak” yang lebih sedikit pada ibu nifas yang mengikuti klas ibu hamil dibandingkan dengan yang hanya mendapat pendidikan kesehatan dari bidan. hal ini didukung oleh teori tersebut diatas bahwa salah satu unsur pada budaya adalah pengetahuan. selain pengetahuan unsur lain yang terkait dengan sosial budaya antara lain kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat (waqid iqbal.m, 2012). 10% ibu yang berperilaku “tarak” walaupun telah mengikuti klas ibu selama hamil, mungkin karena mereka masih terbelenggu dengan tradisi dan nasehat dari orang tua maupun orang lain. walaupun ibu memiliki pengetahuan yang baik sedangkan tradisi “tarak” masih dianut oleh masyarakat sekitar budaya tersebut akan tetap sulit untuk di ubah. hal ini sesuai dengan teori waqid iqbal.m (2012) bahwa adat istiadat dan pelaku masyarakat sering kali menjadi penghalang terciptanya hidup sehat di masyarakat. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian tentang pengetahuan pada kelompok perlakuan didapatkan hasil pada uji paired t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perubahan pengetahuan antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan. pada kelompok kontrol didapatkan hasil uji paired t test p=0,083 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan pengetahuan pada kelompok kontrol. pada uji indepedent t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. pada pengukuran sikap didapatkan hasil pada uji paired t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perubahan sikap antara sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan. pada kelompok kontol didapatkan hasil uji paired t test p=0,163 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan sikap pada kelompok kontrol. pada uji independent t test p=0,000 menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap antara kelompok perlakuan dan kelompok control. pada pengukuran perilaku tarak hasil pada uji chi-square p=0,000 menunjukkan bahwa ada perbedaan proporsi perilaku tarak antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. saran untuk lahan agar perawat dapat mensosialisasikan tentang nutrisi ibu nifas pada kelas ibu hamil. daftar rujukan depkes ri. 2009.pedoman pelaksanaan kelas ibu hamil. jakarta. dirjend bina kesehatan masyarakat manurung, yunani dewi. 2009. perawatan post partum menurut perspektif budaya jawa. sumatera utara. universitas sumatera utara (skripsi) mubarak, dkk. 2012. pengantar dan teori ilmu sosial budaya dasar kebidanan. jakarta: egc 191 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.184-191 notoatmodjo, soekidjo. 2010.promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika saifudin dan yusuf. 2010. nikmatnya seks islami. hal. 116. yogyakarta: pustaka marwa (anggota ikapi). (ebook online) saleha, sitti. 2009. asuhan kebidanan pada masa nifas. jakarta: salemba medika suherni, dkk. 2009. perawatan masa nifas. yogyakarta: fitramaya supatemi yeni (2013). struktur budaya dan sosial ibu post partum berdasarkan pendekatan teori keperawatan transkultural medeleine leininger di kecamatan wonotirto. stikes patria husada blitar. (skripsi) syaifudin a, dkk. (2006). buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. jakarta: ybpsp tommey and alligood. (2006). nursing theorist and their work. philadelphia usa: mosby. wong,d.l, hockenberry m, wilson,d, winkelstein,m.l, & schwartz, p.(2002). buku ajar keperawatan pediatrik wong, ed 6, vol i.alih bahasa agus sutarna. jakarta:egc 127 produktivitas lansia di karangwredha puntodewo kelurahan tanggung kecamatan kepanjen kidul kota blitar (oldest productivity in karangwerhda puntodewo tanggung kepanjenkidul distric blitar city) yusup asrori poltekkes kemenkes malang, jl besar ijen no 77c malang e-mail : yusup.asrori@yahoo.co.id abstract: productivity elderly elderly is still capable of doing the job or activity that can make money, goods or services. the purpose of the study was to describe the productivity of the elderly in the village puntodewo karangwerda kepanjenkidul blitar district of responsibility. method: research design was descriptive design. the population in this study is all elderly in karangwerda puntodewo kelruhan kepanjenkidul blitar district of responsibility. research samples was 55 elderly. data collection was conducted by questionnaire at may 22 nd until may 31 th , 2014.. result: the results showed that from 55 elderly, 29,1%work and 10,9% elderly does not work. agriculture and trade become the foundation of elderly workers. the average of salary received by elderly month work at rp 552 181, -. income derived mostly from the elderly to use the money for everyday needs such as eating, drinking, capital of the store, working the fields, giving pocket for grandchildren as much as 67% . while seniors who use the money for the benefit of such family and save for medical expenses at any time if the pain was 33% . keywords: elderly productivity badan kesehatan dunia (who) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses penuaan yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi. organisasi kesehatan dunia (who) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. kelompok ini memerlukan perhatian khusus di abad ke 21 nanti, mengingat bahwa selain jumlahnya meningkat dengan cepat, mereka juga secara potensial dapat menimbulkan permasalahan yang akan mempengaruhi kelompok penduduk lainnya. bila masyarakat dan terlebih-lebih negara tidak siap menghadapinya, tidak mustahil akan timbul berbagai dampak negative. sebaliknya, bila langkah antisipatif yang tepat dijalankan, timbulnya hal negatif tadi dapat dicegah, bahkan dapat diatasi dengan baik (hardywinoto, 2003). secara demografi, menurut sensus penduduk pada tahun 1980 di indonesia jumlah penduduk 147,3 juta jiwa. dari angka tersebut 16,3 juta jiwa (11%) orang yang berusia 50 tahun keatas, dan ± 6,3 juta jiwa (4,3%) berusia 60 tahun keatas. dari 6,3 juta jiwa terdapat 822.831 (13,06%) orang tergolong jompo, yaitu para lanjut usia yang memerlukan bantuan dalam kehidupan seharihari sesuai undang-undang bahkan mereka harus dipelihara oleh negara (nugroho, 2000). peningkatan produktivitas tenaga kerja juga sering dikaitkan dengan upaya perbaikan kesejahteraan tenaga kerja.dalam hal ini produktivitas tenaga kerja mempunyai pengaruh kuat pada pendapatan tenaga kerja, yaitu semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi tingkat produktivitas tenaga kerja. oleh karena itu, sejalan dengan pemikiran tersebut, menurut wijaya(2001) untuk mengurangi ketimpangan tingkat pendapatan antar tenaga di indonesia dapat dilakukan melalui penepatan serangkain kebijakan atau program yang mengarah kepada acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p140-143 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 127-131 upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja (tjiptoheriyanto,2008). jumlah lanjut usia indonesia, menurut sumber bps bahwa pada tahun 2004 sebesar 16.522.311, tahun 2006 sebesar 17.478.282, dan pada tahun 2008 sebesar 19.502.355 (8,55% dari total penduduk sebesar 228.018.900), sedangkan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lanjut usia sekitar 28 juta jiwa. sungguh suatu jumlah yang sangat besar sehingga jika tidak dilakukan upaya peningkatan kesejateraan lanjut usia sejak sekarang akan menimbulkan permasalahan dan bisa jadi merupakan bom waktu dikemudian hari. kecenderungan timbulnya masalah ini ditandai pula dengan angka ketergantung lanjut usia sesuai susenas bps 2008 sebesar 13,72%. angka ketergantungan penduduk akan menjadi tinggi dan dirasakan oleh penduduk usia produktif jika ditambah dengan angka ketergantungan penduduk usia kurang dari 15 tahun, dimana saat ini jumlah penduduk kurang dari 15 tahun sebesar 29,13% (http://www.komnaslansia.go.id/ diakses tanggal 14 november 2013). dalam kaitannya dengan tingkat partisipasi lanjut usia dalam bidang pembangunan yaitu adanya lanjut usia yang bekerja sebesar 36,11% (kota) dan sebesar 52,75% (desa). besarnya jumlah lanjut usia yang bekerja di pedesaan lebih banyak dibandingkan dengan daerah perkotaan antara lain karena pekerjaan di pedesaan didominasi oleh pekerjaan bidang pertanian yang pada umumnya menjadi mata pencarian pokok. bekerja sebagai petani tidaklah membutuhkan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi sehingga hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan lanjut usia dimana jumlah lanjut usia yang tidak sekolah, tidak tamat sd, dan hanya berpendidikan sd totalnya sebesar sekitar 86% (http://www.komnaslansia.go.id/ diakses tanggal 14 november 2013). rata-rata upah atau gaji sebulan yang diterima lansia yang bekerja sebesar 247 ribu rupiah.rata-rata upah atau gaji sebulan yang diterima lansia yang bekerja daerah perkotaan (463 ribu atau bulan) lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan (160 ribu atau bulan).ratarata upah atau gaji sebulan yang diterima lansia yang bekerja kelompok umur 6064 tahun (307 ribu atau bulan) lebih tinggi dibandingkan lansia umur 65 tahun ke atas (199 ribu atau bulan). pola serupa terlihat baik di daerah perkotaan maupun daerah perdesaan. kondisi ini sekaligus menggambarkan bahwa lansia 60-64 tahun lebih produktif dibandingkan dengan lansia usia 65 tahun keatas (bps risakernas agustus 2009). posyandu lansia karangwerda puntodewo, kelurahan tanggung, kecamatan kepanjenkidul, kota blitar, menurut penanggung jawab posyandu lansia karangwerda puntodewo, mengatakan bahwa 15 dari 20 lansia masih produktif bekerja disektor pertanian dan pedagang. lansia yang masih bekerja bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang relatif masih besar, serta secara fisik dan mental lansia tersebut masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah produktifitas lansia di karangwerda puntodewo kelurahan tanggung, kecamatan kepanjenkidul blitar. tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan produktifitas lansia di karangwerda puntodewo kelurahan tanggung, kecamatan kepanjenkidul blitar. manfaat dalam penelitian ini bagi instansi uptd kesehatan kepanjenkidul adalah sebagai masukan dalam upaya meningkatkan produktifitas lansia, bagi institusi pendidikan keperawatan hasil penelitian ini menjadi data awal. bahan dan metode desain penelitian ini adalah deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia di karangwerda puntodewo, kelurahan tanggung, kecamatan kepanjenkidul, kota blitar yaitu 55 lansia. sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh yaitu 55 lansia. lokasi penelitian adalah posyandu lansia karangwerda puntodewo wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan kepanjenkidul kota blitar. pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 22 – 31 mei 2014. variabel dalam penelitian ini adalah produktivitas lansia.dalam penelitian ini analisa data akan ditampilkan secara deskriptif dengan memaparkan data umum dan data khusus dalam bentuk narasi. hasil penelitian http://www.komnaslansia.go.id/ http://www.komnaslansia.go.id/ asrori, gambaran produktifitas lansia……129 karakteristik lansia di karangwerda puntodewo wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan kepanjenkidul kota blitar. tabel 1 karakteristik lansia di karangwerda puntodewo wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan kepanjenkidul kota blitar, mei 2014. no karakteristik f % 1 jenis kelamin laki – laki perempuan 13 42 24 76 2 umur 60 – 70 tahun 75 – 90 tahun 39 16 71 29 3 pendidikan tidak sekolah sd smp sma 2 44 4 5 4 80 7 9 4 tinggal bersama dengan istri suami anak sendiri 9 11 31 7 16 20 57 7 tabel 2 data khusus lansia di karangwerda puntodewo wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan kepanjenkidul kota blitar, mei 2014. no karakteristik f % 1 pekerjaan petani pedagang buruh pensiunan tidak bekerja 16 16 13 4 6 29,1 29,1 23,6 7,3 10,9 2 pemanfaatan penghasilan kebutuhan sehari-hari kepentingan keluarga 33 16 67 33 tabel 3 penghasilan lansia di karangwerda puntodewo, wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan kepanjenkidul kota blitar, mei 2014 penghasilan jumlah rata-rata rp 552.181, terendah rp 300.000, tertinggi rp 1.500.000, pembahasan bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan di karangwerda puntodewo dari 55 lansia, 49 lansia bekerja dan 6 lansia tidak bekerja.lansia yang masih bekerja, paling banyak mereka bekerja sebagai petani dan pedagang.tingginya persentase lansia yang bekerja di sektor pertanian antara lain terkait dengantingkat pendidikan penduduk lansia yang pada umumnya masih rendah. lapangan usaha sektor pertanian terbuka untuk semua kalangan dan tanpa prasyarat pendidikan.lansia yang tidak bekerja mereka memiliki kegiatan yang dilakukan setiap hari yaitu membersihkan rumah, memasak dan momong cucu. tingginya persentase lansia yang bekerja dapat dimaknai bahwa sebenarnya lansia masih mampu bekerja secara produktif untuk membiayai kehidupan rumah tangganya,namun disisi lain mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan lansia masih rendah, sehingga meskipun usia sudah lanjut, lansia terpaksa bekerja untuk membiayai kehidupan rumah tangganya. berdasarkan hasil studi lansia tahun 2008, tingginya partisipasi penduduk lansia yang bekerja, antara lain karena kebutuhan ekonomi rumah tangga, memanfaatkan waktu luang, dan menjaga kesehatan(bps ri– sakernas agustus 2009). undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyebutkan adanya lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa dan lansia tidak potensial yaitu lanjut usia yang tidak berdayamencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. oleh karena itu pembangunan bidang ketenagakerjaan tidak hanya ditujukan bagi penduduk muda yang produktif, melainkan juga diarahkan bagi lansia potensial. pemberdayaan penduduk lansia potensial merupakan salah satu upaya menunjang kemandirian lansia, baik dari aspek ekonomis, pemenuhan kebutuhan psikologi, sosial, budaya dan kesehatan. hal ini sesuai dengan uu no. 13 tahun 1998 bab ii pasal 3 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 127-131 yang menyebutkan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia diarahkan agar lansia tetap dapat diberdayakan dengan memperhatikan fungsi, kearifan, pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman, usia, dan kondisi fisiknya, serta terselenggaranya pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial lansia. hak mendapatkan kesempatan kerja bagi lansia produktif juga tercantum dalam uu tersebut bab iii pasal 5 ayat (2) c. selanjutnya pada bab vi pasal 15 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa dalam pelaksanaannya, pemerintah memberikan pelayanan kesempatan kerja bagi lanjut usia potensial dimaksudkan memberi peluang untuk mendayagunakan pengetahuan, keahlian, kemampuan, keterampilan, dan pengalaman yang dimilikinya (komisi nasioanal lanjut usia jakarta, 2010). menurut peneliti, lansia yang masih bekerja karena lansia tersebut secara fisik dan mental masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi yang relatif masih besar.kebutuhan ekonomi yang relatif besar pada lansia kemungkinan disebabkan tidak atau belum adanya jaminan sosial ekonomi yang memadai bagi lansia. bedasarkan hasil penelitian penghasilan lansia terendah adalah rp 300.000 per bulan dan penghasilan tertinggi adalah 1.500.000 per bulan. rata-rata penghasilan sebulan yang diterima lansia sebesar rp 552.181,per bulan. rata-rata upah atau gaji sebulan yang diterima lansia yang bekerja kelompok umur 75-90 tahun (rp 762.500,per bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan lansia kelompok umur 60-74 tahun (rp 468.918,per bulan). kondisi ini sekaligus menggambarkan bahwa lansia dengan kelompok umur 75-90 tahun lebih produktif dibandingkan dengan lansia usia 60-74 tahun.dilihat menurut jenis kelamin, rata-rata upah atau gaji sebulan yang diterima lansia laki-laki yang bekerja (rp 826.923,per bulan) lebih tinggi dibandingkan lansia perempuan (rp 602.380,per bulan). permasalahan sosial yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan lanjut usia, antara lain sebagai berikut (hardywinoto, 2005): rendahnya produktivitas kerja lanjut usia dibandingkan dengan tenaga kerja muda dan tingkat pendidikan serta ketrampilan rendah, menyebabkan mereka tidak bisa mengisi lowongan kerja yang ada, dan terpaksa menganggur. menurut saksono (1988) faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah faktor ketrampilan dan faktor kesediaan untuk melaksanakan tugas. dari hasil penelitian yang dilakukan lansia dengan kelompok umur 75-90 tahun lebih produktif dari pada lansia kelompok umur 60-74 tahun.hal tersebut bisa terjadi karena lansia pada kelompok umur 7590 tahun jumlahnya sedikit dan penghasilannya tinggi dibandingkan dengan lansia kelompok umur 60-74 tahun jumlah lansia banyak dan penghasilan rendah.selain itu lansia kelompok umur 75-90 memilki ketrampilan dalam bekerja sebagai petani dan pedagang. sehingga mereka mempunyai penghasilan sendiri yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan kebanyakan lansia menggunakan penghasilannya (uangnya) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, modal toko, menggarap sawah dan memberi uang jajan cucu yaitu 67% (37 lansia).sedangkan lansia yang menggunakan uangnya untuk kepentingan keluarga seperti ditabung dan untuk biaya pengobatan apabila sewaktu-waktu sakit adalah 33 % (18 lansia). simpulan dan saran simpulan dari 55 lansia, 45 (81,8%) lansia bekerja, 4 (7,3%) lansia pensiun dan 6 (10,9%) lansia tidak bekerja. lansia paling banyak bekerja sebagai petani dan pedagang.pendapatan terendah rp 300.000 dan tertinggi rp 1.500.000.rata-rata pendapatan sebulan yang diterima lansia yang bekerja sebesar rp 552.181,per bulan.lansia dengan kelompok umur 75-90 tahun lebih produktif dari pada lansia kelompok umur 6074 tahun. hal tersebut bisa terjadi karena lansia pada kelompok umur 75-90 tahun jumlahnya sedikit dan pendapatannya tinggi dibandingkan dengan lansia kelompok umur 60-74 tahun jumlah lansia banyak dan pendapatannya rendah. saran bagi instansi uptd kesehatan kecamatan kepanjenkidul, diharapkan dapat memberikan ketrampilan kepada lansia yang asrori, gambaran produktifitas lansia……131 tidak bekerja sesuai dengan kemampuan fisik agar lansia lebih mandiri dan bagi petugas kesehatan, diharapkan selalu hadir dalam setiap kegiatan lansia di karangwerda puntodewo. daftar rujukan hardywinoto. 2005.panduan gerontologi. jakarta : pt gramedia pustaka utama. maryam, s. 2008. mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta : salemba medika. noorkasiani. 2009. ksehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan. jakarta : salemba medika. notoatmojo, soekidjo.2005. promosi kesehatan teori dan aplikasinya. jakarta : rineka cipta. nugroho, wahyudi. 2000. keperawatan gerontik. jakarta : egc. nugroho, wahyudi. 2008. keperawatan gerontik dan geriatrik.jakarta : egc. saksono, s. 1988. administrasi kepegawaian. yogyakarta : kanisius. http://www.komnaslansia.go.id/ diakses tanggal 14 november 2013. http://www.profil penduduk lansia usia 2009.go.id/ diakses tanggal 2 januari 2014. http://www.komnaslansia.go.id/ http://www.profil/ 35suryanda, rustati, hubungan pola asuh orang tua... 35 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan pola asuh orang tua bekerja dengan kemandirian anak pra sekolah suryanda¹, nelly rustati² ¹,² prodi keperawatan baturaja, poltekkes palembang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 17/10/2018 disetujui, 04/03/2019 dipublikasi, 01/04/2019 kata kunci: kemandirian, pra sekolah, pola asuh, orang tua bekerja. abstrak kurangnya perhatian orang tua kepada anak-anak mereka karena keduanya bekerja bersama, sehingga interaksi antara orang tua dan anak-anak menjadi terbatas. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua yang bekerja dengan kemandirian anak. studi analitik korelasional dengan metode crossectional melibatkan 60 responden.variabel penelitian ini adalah jenis kelamin anak, usia, jumlah anak, tingkat pendidikan dan kemandirian anak. kriteria inklusi adalah usia anak-anak antara 3-5 tahun, anakanak sehat secara fisik dan psikologis, dan anak-anak yang dibesarkan oleh kedua orang tua biologis dan kedua orang tua yang memiliki pekerjaan tetap di luar rumah. penelitian ini berlangsung antara juli dan agustus 2017. instrumen penelitian adalah dalam bentuk kuesioner, periksa daftar observasi dan lembar persetujuan. analisis data menggunakan uji chi-square dan uji fisher exact, ada hubungan antara jenis kelamin anak dengan independensi (p = 0,00, cc = 564), jumlah anak dengan kemandirian (p = 0,001, cc = 364), usia dengan independensi anak-anak (p = 0,00, cc = 454) dan tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan orang tua dan kemandirian anak-anak (p = 0,217, cc = 176). hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk mengevaluasi dan menyiapkan strategi promosi kesehatan bagi petugas kesehatan, terutama bidan, dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap orang tua, terutama orang tua yang bekerja di luar rumah untuk menerapkan pola asuh kepada anakanak pra sekolah (3 5 tahun) sesuai perkembangan kepribadian anak. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: politeknik kesehatan, palembangsouth sumatera, indonesia p-issn : 2355-052x email: suryanda@poltekkespalembang.ac.id e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p035–043 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 36 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 035–043 abstract reduced parental attention to their children because both work together, so the interaction between parents and children is limited. this study aims to determine the relationship between working parent’s parenting with pre school independence. correlational analytic studies with crossectional methods involving 60 respondents. the variables of this study were the sex of the child, age, number of children, level of education and children’s independence. the inclusion criteria were the age of children between 3-5 years old, children physically and psychologically healthy, and children raised by both biological parents and both parents having permanent jobs outside the home. the study took place between july and august 2017. the research instruments were in the form of a questionnaire, check observation list and approval sheet. data analysis using chi-square test and fisher exact test, there is a relationship between sex of children with independence (p = 0.00, cc = 564), number of children with independence (p = 0.001, cc = 364), age with independence of children (p = 0.00, cc = 454) and there is no correlation between the level of education of parents and the independence of children (p = 0.217, cc = 176). the results of the study can be used as material to evaluate and prepare health promotion strategies for health workers, especially midwives, in increasing the knowledge and attitudes of parents, especially parents who work outside the home to apply parenting to pre-school children (35 years) according to the child’s personality development relationship between working parent’s parenting with pre school independence article information history article: received, 17/10/2018 accepted, 04/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: inde pendenc e, pare nt i ng, pre school, working parent. 37suryanda, rustati, hubungan pola asuh orang tua... pendahuluan ketidakmandirian seorang anak seringkali terlihat dari sikapnya yang selalu tergantung pada orang lain di sekitarnya. anak-anak menjadi manja karena orang tua selalu menuruti keinginan anaknya tanpa memberikan konsekuensi yang tegas dan kadang orangtua kurang mampu dalam berkomunikasi dengan anak. orangtua seringkali menunjukkan rasa sayang yang berlebihan kepada anakanaknya, sebagaimana dapat terlihat ketika anak kesusahan dalam mengerjakan tugasnya, orangtua akan langsung datang membantu menyelesaikan tugasnya sehingga anak tidak dapat menunjukkan potensi kemandirian dan kepercayaan terhadap diri mereka sendiri (parker, 2005) hampir setiap orang tua berfikir harus memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. namun, apa yang terbaik menurut satu orang belum tentu dianggap baik bagi orang lain dalam membesarkan anak. tiap-tiap orang memiliki gaya atau pola tersendiri dalam melakukan tugasnya sebagai orang tua (susilowati, 2011). kenyataan yang terjadi pada masa sekarang adalah berkurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya karena keduanya sama-sama bekerja. hal tersebut mengakibatkan terbatasnya interaksi orang tua dengan anaknya (saraswati, 2008).padahal menurut hurlock (2009) pembentukan karakter anak sejak usia dini dapat berpengaruh besar dalam proses kemandirian anak. masa ini tidak akan dapat terulang untuk kedua kalinya, sehingga orang tua atau guru sangat dianjurkan agar lebih kritis dalam membentuk kemandirian anak. berbagai alasan yang muncul ketika kedua orang tua harus bekerja diluar rumah terutama di perkotaan antara lain karena alasan ekonomi, karir, pendidikan dan lain sebagainya. penelitian multhifah (ananda, 2013) menyebutkan bahwa di perkotaan hanya 2% ibu yang bekerja dikarenakan untuk mengisi waktu luang dan 98% bekerja dikarenakan alasan ekonomi yaitu untuk menambah penghasilan keluarga. orang tua bekerja dengan menggunakan waktu yang biasa dimanfaatkan bersama anak, akan semakin membatasi waktu yang dapat digunakan bersama-sama dengan keluarga. keluarga hanya dapat berkumpul pada hari libur meski terkadang pemanfaatan dari waktu-waktu tersebut sering tidak efektif untuk menjalin kebersamaan, sehingga anak kehilangan pola asuh orang tua (andayani & koentjoro, 2004) menurut (setyabudi, 2003) pola asuh adalah pengasuhan anak yang berlaku dalam keluarga, yaitu bagaimana keluarga membentuk perilaku generasi berikut sesuai dengan norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. orang tua sangat berperan dalam pendidikan dan kemandirian anak dalam keluarga karena orang tua adalah sosok atau pribadi yang akan ditiru oleh anak. orang tua menjadi model bagi anak, sehingga suatu keharusan anak untuk menuruti semua perintah orang tua tanpa para orang tua memberikan contoh terlebih dahulu kepada anak. anak akan melihat semua yang dilakukan oleh orang tua dan meniru apapun hal yang dilakukan oleh orang tuanya. terkait dengan jumlah anak, hasil penelitian muchsinati (2007), menyebutkan bahwa anak sulung lebih mandiri dari anak lainnya. orang tua biasanya juga lebih perhatian kepada anak sulung dari pada anak bungsu. dengan jumlah anak yang relative sedikit lebih memungkinkan orang tua berlaku demokratis. perlakuan orang tua yang berbeda akan mempengaruhui tingkat kemandirian anak. sedangkan usia orang tua dapat menunjukkan kematangan emosional dan pengetahuannya dalam mengasuh dan mendidik anak. penelitian gustian (2018) menemukan bahwa pola asuh orang tua usia dini keluarga muslim ibu yang juga bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi kelurga usia penikahan yang masih muda menurut enggal w (2016) dapat berisiko yang lebih besar pada remaja perempuan khususnya pada kesehatan reproduksinya. hal ini dapat memengaruhi pengetahuan dalam memberikan pola asuh anak yang baik dan benar. sedangkan ketika usia sudah mendekati 40 tahun saat kebutuhan hidup semakin meningkat, karir dan jabatan mulai pada titik puncak maka interaksi dengan anak menjadi sangat terbatas. hal ini dapat mempengaruhi kemandirian anak pada tahap perkembangannya. suatu pola asuh orang tua yang mengarah pada pembentukkan karakter mandiri sangat penting untuk diterapkan pada setiap individu sejak dini, dengan terbentuknya karakter mandiri pada setiap individu akan meminimalisir terjadinya penyimpangan perilaku yang sering terjadi saat ini terutama pada anak usia 5-6 tahun. usia pra sekolah termasuk fase falik, genetalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. disini mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin perempuan dan jenis kelamin laki-laki, dengan mengetahui adanya perbedaan alat kelamin, 38 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 035–043 pada fase ini anak sering meniru ibu dan ayahnya. misalnya dengan pakaian ayah/ ibunya secara psikologis pada fase ini mulai berkembang superego, yaitu anak mulai berkurang sifat egosentrisnya (cahyaningsih, 2011). menurut sigmund freud seiring berkembangnya keterampilan-keterampilan yang telah dikuasai oleh anak, maka diharapkan anak-anak dapat belajar mandiri dengan merawat dirinya sendiri, dalam memenuhi kebutuhannya, seperti melepas dan mengenakan pakaian, buang air kecil, ataupun memakai kaos kaki dan sepatunya sendiri tanpa bantuan orangtua maupun pengasuhnya (hurlock, 2009) kemandirian penting diperkenalkan pada anak sejak dini, karena pada usia dini anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar sehingga anak selalu ingin mencoba untuk menyelesaikan dan menguasai suatu hal. dorongan itulah yang tidak dapat menghentikan anak untuk menjadi individu yang mandiri, meskipun awalnya berjalan perlahan dan tidak sempurna dalam proses kemandiriannya, tetapi orang tua harus terus memberi kesempatan kepada anak untuk dapat mengembangkannya seiring dengan berkembangnya kompetensi dan tanggung jawab anak, hal ini pula yang dapat membentuk kepribadian anak (parker, 2005) penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua bekerja dengan kemandirian anak usia pra sekolah (umur 3 – 5 tahun) di kelurahan sukajadi kota prabumulih timur. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah analitik korelasional dengan pendekatan crossectional yang melibatkan populasi kedua orang tua bekerja diluar rumah dan mempunyai anak pra sekolah diwilayah kelurahan sukajadi kota prabumulih timur sebanyak 162 orang. pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling dan didapatkan sampel sebanyak 60 responden. variabel dalam penelitian ini adalah jenis kelamin anak, usia, jumlah anak, tingkat pendidikan dan kemandirian anak. kriteria inklusi yaitu usia anak antara 3-5 tahun, anak dalam kondisi sehat secara fisik dan psikologis, dan anak diasuh oleh kedua orangtua kandung dan kedua orang tua mempunyai pekerjaan tetap diluar rumah. sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah orang tua anak sedang dalam proses perceraian dan hanya salah satu dari orang tua yang bekerja diluar rumah. penelitian ini berlangsung pada bulan juli hingga agustus tahun 2017 instrumen berdasarkan tabel 2 diatas diketahui bahwa dari 60 orang yang menjadi responden sebagian besar mempunyai anak lebih dari 1 orang yaitu 43 responden (71,7%) dan hanya 17 responden (28,3%) yang memiliki 1 orang anak (tunggal). sedangkan kisaran usia responden yang menjadi subyek penelitian ini tergambar sebagaimana tabel dibawah ini: penelitian berupa kuesioner, yang akan digunakan sebagai pedoman wawancara untuk mengetahui karakteristik responden dan kuesioner terkait kemandirian anak berisikan 12 butir pertanyaan serta lembar persetujuan kesediaan menjadi responden penelitian. hasil penelitian didapatkan distribusi jenis kelamin anak pra sekolah responden pada penelitian ini adalah sebagai berikut: no jenis kelamin f % 1 laki-laki 36 60 2 perempuan 24 40 jumlah 60 100 tabel 1 distribusi frekuensi jenis kelamin jumlah anak responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan, yaitu 36 orang (60%) dan anak responden yang berjenis kelamin perempuan hanya 36 orang (40%). jumlah anak kandung dari responden tergambar sebagaimana tabel dibawah ini: tabel 2 distribusi frekuensi jumlah anak no jumlah anak f % 1 1 orang 17 28,3 2 lebih 1 orang 43 71,7 jumlah 60 100 no orang tua f % 1 17-26 tahun 32 53,3 2 27-36 tahun 17 28,3 3 37-46 tahun 11 18,3 jumlah 60 100 tabel 3 distribusi frekuensi usia responden 39suryanda, rustati, hubungan pola asuh orang tua... berdasarkan tabel 5 diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar anak pra sekolah, yaitu 60% tidak mandiri bahkan cenderung menjadi manja dan hanya 40 % anak pra sekolah yang mandiri. untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin anak dengan perkembangan kepribadian anak, dilakukan analisis data korelasi bivariat dengan chisquare dan didapatkan hasil sebagaimana tabel berikut ini. berdasarkan tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa anak pra sekolah dengan kedua orang tua yang bekerja hanya 2 anak (3,3%) yang mandiri, sisanya tidak mandiri 25 anak (41,7%). sedangkan sebaliknya pada orang tua tidak bekerja terdapat anak pra sekolah yang mandiri 25 anak (41,7%) dan 8 anak tidak mandiri (13,3%). hasil uji statistik dengan fisher’s exact diperoleh nilai p sebesar 0.00 (<0.05). dengan coefficien contingency 0,564 berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui bahwa dari 60 orang yang menjadi responden dalam penelitian ini, didapatkan kelompok umur terbanyak adalah kisaran usia 17-25 tahun, yaitu 32 responden (53,3%) dan yang paling sedikit adalah kelompok usia 35-43 tahun yaitu 11 responden (18,3%). gambaran tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini terdiri atas kategori pendidikan tinggi yaitu setingkat sarjana d1 hingga s3 dan pendidikan rendah yaitu sd hingga setingkat slta. no pendidikan f % 1 tinggi 47 78,3 2 rendah 13 21,7 jumlah 60 100 tabel 4 distribusi frekuensi tingkat pendidikan responden berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berpendidikan tinggi karena dari 60 responden didapatkan 47 orang responden (78,3%) berpendino perilaku f % 1 mandiri 24 40 2 tidak mandiri 36 60 jumlah 60 100 tabel 5 distribusi frekuensi kemandirian anak pra sekolah dikan tinggi. sisanya berpendidikan rendah, yaitu 13 orang responden (21,7%). untuk perkembangan kepribadian pada anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih dapat dilihat pada tabel berikut ini: tabel 6 hubungan jenis kelamin anak dengan kemandirian anak pra sekolah no jenis kelamin anak kepribadian anak totalmandiri tidak mandiri f % f % f % 1 laki-laki 10 37,1 26 78,8 36 100 2 perempuan 17 62,9 7 21,2 24 100 total 27 100 33 100 60 100 sehingga disimpulkan ada hubungan yang cukup erat antara jenis kelamin anak responden dengan perkembangan kepribadian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih. untuk mengetahui hubungan antara jumlah anak responden dengan kemandirian anak pra sekolah, dilakukan analisis data korelasi bivariat denga n chi-square da n dida pa tka n ha sil sebagaimana tabel 7 dibawah ini: 40 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 035–043 berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa anak tunggal dengan kedua orang tua yang bekerja hanya 2 anak (7,4%) yang mandiri, orang tua dengan lebih dari 1 orang anak lebih mandiri, yaitu 25 anak (92,6%). hasil uji statistik dengan fisher’s exact diperoleh nilai p sebesar 0.01 (< 0.05). dengan coeifficien contingency 0,387 sehingga disimpulkan ada hubungan antara jumlah anak responden dengan perkembangan kepribadian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih. hasil analisis data korelasi bivariat dengan chisquare untuk mengetahui hubungan antara usia responden dengan kemandirian anak usia pra sekolah terdapat pada tabel 8 dibawah ini. tabel 7 hubungan jumlah anak dengan kemandirian anak usia pra sekolah no jumlah anak kemandirian anak totalmandiri tidak mandiri f % f % f % 1 1 orang anak 2 7,4 15 45,4 17 100 2 lebih dari 1 orang anak 25 92,6 18 54,6 43 100 total 27 100 33 100 60 100 no usia responden kemandirian anak totalmandiri tidak mandiri f % f % f % 1 17-26 tahun 7 25,9 25 75,7 32 100 2 27-36 tahun 11 40,7 6 18,2 17 100 3 37-46 tahun 9 33,3 2 6,1 11 100 total 27 100 33 100 60 100 tabel 8 hubungan usia reponden dengan kemandirian anak pra sekolah diperoleh hasil yaitu usia responden 27-36 tahun mempunyai anak usia pra sekolah paling mandiri dibandingkan kelompok usia responden lainnya, yaitu 11 orang (40,7%) hasil uji statistik dengan pearson chi square diperoleh nilai p sebesar 0.00 (< 0.05). dengan coeifficien contingency 0,454 sehingga disimpulkan ada hubungan antara usia responden dengan kemandirian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih. untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan kemandirian anak pra sekolah, dilakukan analisis data korelasi bivariat dengan chi-square dan didapatkan hasil sebagaimana tabel 9 dibawah ini. berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan responden yang tinggi ternyata menghasilkan kemandirian anak pra sekolah yang tidak mandiri, yaitu 28 responden (84,8%) , tingkat tabel 9 hubungan tingkat pendidikan reponden dengan kemandirian anak usia pra sekolah no tingkat pendidikan kemandirian anak totalmandiri tidak mandiri f % f % f % 1 tinggi 19 70,4 28 84,8 32 100 2 rendah 8 29,6 5 15,2 17 100 total 27 100 33 100 60 100 responden 41suryanda, rustati, hubungan pola asuh orang tua... pendidikan responden tinggipun mampu menghasilkan anak pra sekolah yang mandiri, yaitu 19 responden (70,4%). walaupun tingkat pendidikan responden rendah tetapi 8 responden (29,6%) mempunyai anak pra sekolah yang mandiri dan tingka t pendidika n r esponden r enda h juga mengha silka n 5 (15,2%) r esponden denga n kepribadian anak pra sekolah yang tidak mandiri. ha sil uji statistik dengan fisher ’s exact diperoleh nilai p sebesar 0.217 (>0.05). dengan coefficien contingency 0, 176 sehingga disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan kemandirian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih. pembahasan hubungan jenis kelamin anak dengan kemandirian anak pra sekolah hasil uji statistik chi square dengan fisher’s exact dengan tingkat kemaknaan (ά  0.05) diperoleh nilai p sebesar 0.00 (< 0.05). dengan coefficien contingency 0,564 sehingga disimpulkan ada hubungan antara jenis kelamin anak dengan kemandirian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih. pada penelitian ini nampak bahwa anak lakilaki cenderung tidak mandiri dibadingkan dengan anak perempuan, dengan perbandingan 26 anak lakilaki dari 36 anak laki-laki tidak mandiri (78,8%). sedangkan dari 24 anak perempuan hanya 7 (21,2%) anak yang tidak mandiri. menurut thoha dalam winarsih (2010) adalah kematangan usia anak dilihat dari jenis kelamin anak adalah suatu sikap mandiri yang ditunjukkan oleh anak dalam menghadapi masalah individu misalnya, pada anak perempuan terdapat dorongan untuk melepaskan diri dari sikap ketergantungan pada orang tua, tetapi dengan statusnya sebagai gadis mereka dituntut untuk bersikap pasif, berbeda dengan laki-laki yang agresif dan ekspensif akibatnya anak perempuan berada lebih lama dalam ketergantungan daripada anak laki-laki. hubungan jumlah anak dengan kemandirian anak usia pra sekolah hasil uji statistik chi square dengan fisher’s exact dengan tingkat kemaknaan (ά  0.05) diperoleh nilai p sebesar 0.01 (< 0.05). sehingga disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara jumlah anak responden dengan kemandirian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih. dengan coefficien contingency 0,387 menunjukkan hubungan antara dua variabel penelitian diatas lemah, meskipun ada hubungan yang signifikan. jumlah saudara yang kecil cenderung menghasilkan hubungan yang banyak perselisihan di bandingkan jumlah saudara yang besar. namun terdapat interaksi lain pada kedua pihak antara adik dan kakak. untuk saudara yang lebih tua cenderung akan merasa iri kepada adik dikarenakan merasa mendapat perlakuan yang berbeda dari orang tua. 27 sebaliknya, yang lebih muda akan cenderung menjadikan kakak sebagai panutan atau contoh untuk dirinya (sari, 2011). jumlah anak dalam satu keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian anak. hal ini dapat menimbulkan persaingan diantara saudara, adanya pergesekan antara saudara menjadi faktor pembantu dalam perkembangan kemandirian anak. dengan melihat pada saudaranya mereka belajar menilai diri sendiri (wasinah, 2015). hubungan usia reponden dengan kemandirian anak hasil uji statistik dengan pearson chi square diperoleh nilai p sebesar 0.00 (< 0.05). dengan coefficien contingency 0,454 sehingga disimpulkan ada hubungan antara usia responden dengan kemandirian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih, dengan derjat hubungan sedang. dari hasil penelitian ini didapati kenyataan pada kelompok usia responden usia 17 – 26 tahun terdapat 25 responden (75,7%) memiliki anak pra sekolah yang tidak mandiri. sedangkan pada kelompok usia 2736 tahun ada 11 (40,7%) responden dengan anak usia pra sekolah yang mandiri. menurut supartini (2002) salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh adalah rentang usia tertentu yang baik untuk menjalankan peran pengasuhan. apabila terlalu muda atau tua mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial. menurut marsidi (2007 dalam suharsono, fitriani, & upoyo, 2009) menyebutkan bahwa pada usia dewasa awal (21-35 tahun) seseorang memasuki situasi antara rasa kebersamaan sambil mengalahkan rasa kehilangan identitas dan memasuki taraf 42 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 035–043 memelihara dan mempertahankan apa yang telah ia miliki yang akan berpengaruh pada pola pengasuhan kepada anak. hubungan tingkat pendidikan reponden dengan kemandirian anak hasil uji statistik chi square dengan fisher’s exact dengan tingkat kemaknaan (ά  0.05) diperoleh nilai p sebesar 0.217 (> 0.05). sehingga disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden dengan kemandirian anak usia pra sekolah di kelurahan sukajadi kota prabumulih. dengan coeifficien contingency 0,176 maka hubungan dua variabel juga sangat lemah. dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan tinggi 28 (84,4%) responden ternyata memiliki anak pra sekolah tidak mandiri, tetapi sebagian juga 19 (70,4%) responden dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki anak pra sekolah yang mandiri. meskipun 8 responden (29,6%) responden berpendidikan rendah tetapi memiliki anak pra sekolah yang mandiri dan hanya 5 responden (15,2%) berpendidikan rendah yang memiliki anak usia pra sekolah yang tidak mandiri. tingkat pendidikan orang tua seharusnya adalah pendidikan untuk orang tua sendiri lebih kearah bagaimana orang tua sebagai payung keluarga bisa menjadi sang pendidik bagi anak-anaknya yang secara natural melalui kasih sayangnya mampu membawa satu perubahan kearah lebih baik dan lebih siap dalam menghadapi masa depan anakanaknya. pendidikan keluarga merupakan pondasi bagi tumbuh kembangnya seorang anak (kharmina, 2011). pada kenyataannya, kedua orang tua yang bekerja, tentu saja memiliki keterbatasan waktu dan tenaga untuk memberikan sentuhan fisik dan psikis bagi anak-anaknya. untuk mencapai kriteria ideal, orang tua tidak hanya cukup dengan menunjukan semangat dan upaya untuk berusaha lebih baik dalam memenuhi kebutuhan anaknya di berbagai sisi, baik fisik, psikis maupun sosial anak. tingkat pendidikan orang tua nampaknya menjadi tidak terlalu berpengaruh karena harus diikuti dengan adanya komunikasi dalam keluarga yang perlu dibangun dalam rangka pola pikir anak dan membangun jiwa anak agar sesuai dengan harapan orang tua (nursalam, 2018). kesimpulan dan saran kesimpulan kematangan usia anak dilihat dari jenis kelamin anak adalah suatu sikap mandiri yang ditunjukkan oleh anak dalam menghadapi masalah individu. mempunyai saudara bagi anak juga dapat menguntungkan karena muncul interaksi dan persaingan yang disatu sisi dapat menguntungkan bagi kemadirian anak terutama perkembangan kepribadian anak pra sekolah. rentang usia yang baik untuk menjalankan peran pengasuhan adalah dewasa awal (21-35 tahun). tingkat pendidikan orang tua tinggi belum membawa pengaruh bagi perkembangan kemandirian anak pra sekolah. saran kedua orang tua bekerja juga perlu menyediakan waktu untuk selalu berkomunikasi dengan anak, hal ini dapat menstimulasi anak berkembang secara optimal. tidak menikah diusia dini karena rentang usia yang baik untuk menjalankan peran pengasuhan adalah dewasa awal (21-35 tahun). daftar pustaka ananda, m.r. (2013). self esteem antara ibu rumah tangga yang bekerja dengan yang tidak bekerja. jurnal online psikologi,vol 01, no 01, hal. 4054.diakses dari http://ejournal.umm.ac.id. andayani, & koentjoro. (2004). psikologi keluarga : peran ayah menuju coparenting. yogyakarta : citra medika cahyaningsih, d.s, (2011). pertumbuhan perkembangan anak dan remaja. jakarta: trans info media. prabowo, e.w.,ishartono,& budiarti, m.(2016) pola asuh anak oleh ibu usia dini. prosiding penelitan dan pengabdian masyarakat. vol.3 no.2. diakses dari http://jurnal.unpad.ac.id/prosiding/article/view/ 13646. gustian, d., erhamwilda., &enoh. (2018). pola asuh anak usia dini keluarga muslim dengan ibu pekerja pabrik. jurnal ta’dib. vol. vii, no. 1, (mei 2018),hal 21-34. diakses dari https://ejournal.unisba.ac.id/ index.php/tadib/article/view/3532/2248 kahrmina (2011). hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan orientasi pola asuh anak usia dini. skripsi, jurusan pendidikan anak usia dini. universitas semarang. hurlock, b. e. (2009). perkembangan anak ; jilid 2. jakarta : erlangga. 43suryanda, rustati, hubungan pola asuh orang tua... muchsinati, n. (2007). hubungan urutan kelahiran dalam keluarga dengan kemandirian anak usia dini di tk madinah. malang. skripsi. uin malang. nursalam & nawir,m. (2018). pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap pembentukan kepribadian anak (studi komunikasi dalam keluarga di lingkungan caile kabupaten sinjai); prosiding seminar universitas muhammadiyah jakarta, indonesia, 24 maret 2018. parker, d. k. (2005).menumbuhkan kemandirian dan harga diri anak. jakarta: prestasi pustakarya. sagala, syaiful. (2010). supervisi pembelajaran dalam profesi pendidikan. bandung: alfabeta. sari, m. 2011. faktor penyebab dan dampak psikologis persaingan antar saudara kandung pada mahasiswa yang tinggal satu kost. universitas ahmad dahlan. hal: 7-8 saraswati, n.k. (2008) pengaruh pola asuh orang tua terhadap pembentukan kepribadian anak . https:/ /elsyajjaa.wordpress.com/2010/12/19/pengaruhpola-asuh-orang-tua-terhadap-pembentukankepribadian-anak/ (diakses pada 17 juli 2017). setyabudi, t.(2003). anak unggul berotak prima. jakarta: pt gramedia pustaka utama. suharsono, j.t., fitriyani, a., & upoyo, a.s. (2009). hubungan pola asuh orang tua terhadap kemampuan sosialisasi pada anak prasekolah di tk pertiwi purwokerto utara. supartini. yupi. (2002). konsep dasar keperawatan anak. jakarta : egc. susilawati. e, pola asuh orang tua dan perkembangan anak usia pra sekolah. majalah ilmiah sultan agung. vol. 1 no. 126. desember 2011februari 2012. winarsih. (2010). hubungan pola asuh dengan kemandirian belajar. skripsi.: ums surakarta. wasinah.(2015). peran pola asuh otoritatif orang tua, pendidikan orang tua dan jumlah saudara terhadap kemandirian anak. universitas ahmad dahlan: psikopedagogia 4(2). 190 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 190–195 190 pengaruh pendidikan kesehatan metode guidance and counseling terhadap peningkatan efikasi diri (self efficacy) pada pasien tbc di wilayah kerja puskesmas boro elok dwi mamiri1, ulfa husnul fata2, thatit nurmawati3 1praktisi keperawatan, puskesmas boro, indonesia 2,3instansi stikes patria husada blitar, indonesia info artikel kata kunci: pendidikan kesehatan, guidance and counseling, self efficacy abstrak tb paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di dunia hingga saat ini. angka dropout dan kambuh terjadi setiap tahun dan salah satu faktor internal yang mempengaruhi yaitu efikasi diri (self efficacy) yang rendah dan untuk meningkatkannya perlu metode pendidikan kesehatan yang tepat yaitu guidance and counseling.tujuan penelitian ini untuk mengetahuipengaruh pendidikan kesehatan metode guidance and counseling terhadap peningkatan efikasi diri (self efficacy) pada pasien tbc di wilayah kerja puskesmas boro. penelitian menggunakan desain penelitian quasy experiment. populasi adalah pasien tbc di wilayah puskesmas boro dan sesuai kriteria inklusi sebanyak 19 responden dengan teknik purposive sampling, pengumpulan data menggunakan kuesioner dan analisis data menggunakan uji statistik wilcoxon signed rank test. nilai ratarata efikasi diri sebelum intervensi 24, setelah intervensi sebesar 32,63. peningkatan rata-rata sebelum dan sesudah intervensi sebesar 8,63. hasil uji statistik wilcoxon signed rank test dengan   0,05 menunjukkan bahwa nilai -value sebesar 0,000. hal ini berarti ada ada pengaruh pendidikan kesehatan metode guidance and counseling terhadap peningkatan efikasi diri pada pasien tbc. berdasarkan hasil penelitian ini maka petugas kesehatandapat mengaplikasikan metode guidance and counseling untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta memaksimalkan peran petugas kesehatan pada pemberian pendidikan kesehatan dalam rangka pelayanan paripurna dan menunjang kesembuhan pasien tbc dengan meningkatkan efikasi diri (self efficacy) pasien. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk sejarah artikel: diterima, 22/04/2019 disetujui, 14/08/2019 dipublikasi, 05/08/2020 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p190-195&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 191mamiri, fata, nurmawati, pengaruh pendidikan kesehatan metode guidance and ... correspondence address: puskesmas boro blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: elokdwimamiri@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p190–195 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 2011 kasus pasien drop out 1 orang karena efek samping obat yaitu gatal, tahun 2012 kasus drop out sebanyak 2 orang setelah dilacak kerumah pasien karena bekerja ke luar negeri dan kasus kambuh atau kategori 2 sebanyak 1 orang, tahun 2013 ada pasien dengan mdr 1 orang, tahun 2014 kasus kambuh atau kategori 2 sebanyak 1 orang, tahun 2015 kasus kambuh atau kategori 2 sebanyak 1 orang dan tahun 2016 kasus kambuh atau kategori 2 sebanyak 1 orang dan pasien dengan mdr 1 orang. dari data tersebut terlihat bahwa tiap tahun selalu ada kasus kambuh dan drop out pengobatan. berdasarkan studi pendahuluan terhadap efikasi diri dari 4 orang penderita tb paru di puskesmas boro menunjukkan bahwa nilai rata-rata sebesar 18. nilai ini tergolong rendah sehingga memiliki resiko tinggi mengalami drop out selama proses pengobatan history article: received, 22/04/2019 accepted, 14/08/2019 published, 05/08/2020 keywords: health education, guidance and counseling, self efficacy article information abstract pulmonary tb is one of the infectious diseases that is still a problem in the world to date. the number of dropouts and relapses occurs every year and one of the internal factors that influence is low self-efficacy (self efficacy) and to increase self efficacy by guidance and counseling method. the purpose of this study was to determine the effect of health education with guidance and counseling methods to increasing self efficacy in tb patients in working area of boro health center. the research design was quasy experiment. the population of this research was tb patients in working area of boro health center and according to inclusion criteria as many as 19 respondents with purposive sampling technique, data collection used questionnaires and data analysis used wilcoxon signed rank test statistics. the average value of self-efficacy before intervention was 24, after the intervention was 32.63. the increase in the average before and after the intervention was 8.63. the result showed that the value of  value was 0,000. this means that there is an influence of health education with guidance and counseling methods on improving self-efficacy in tb patients. based on the results of this study, health workers can apply guidance and counseling methods to improve knowledge and skills and maximize the role of health workers in the provision of health education in the context of plenary service and support the recovery of tb patients by increasing patient self-efficacy. © 2020 jurnal ners dan kebidanan the effect of health education with guidance and counseling method to enhancement of self efficacy in tbc patients in working areas of boro health center pendahuluan tb paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di dunia hingga saat ini, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju (riset kesehatan dasar, 2013). indonesia berada di peringkat 2 dengan prevalensi tb paru tertinggi di dunia dengan prevalensi urutan india, indonesia, cina, nigeria, pakistan dan afrika selatan (tuberculosis foundation, 2017). angka kejadian tb di jawa timur sekitar tahun 2016 sebanyak 123.414 kasus dengan target semua kasus tb tahun 2016 sebanyak 47.071 kasus dan capaian semua kasus tb diobati tahun 2016 sebanyak 46.398 kasus atau 99% dari target. studi pendahuluan yang dilaksanakan oleh peneliti di puskesmas boro didapatkan data bahwa pada tahun https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p190-195 192 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 190–195 kegagalan program tb selama ini diakibatkan buruk oleh beberapa faktor eksternal dan internal yaitu efikasi diri yang turun dan tidak ada keinginan untuk sembuh. efikasi diri (self efficacy) merupakan keyakinan individu dalam mengelola perilaku tertentu untuk mencapai kesembuhan. penderita harus memiliki efikasi diri yang tinggi untuk mencapai kesembuhan karena efikasi diri penderita yang rendah akan berakibat pada kegagalan pengobatan (atak, 2010). keyakinan diri penderita untuk sembuh dicapai salah satunya dari kognitif atau pengetahuan yang diberikan oleh petugas kesehatan melalui konseling (hendiani, sakti & widiyanti, 2013). dengan demikian pemberian informasi yang tepat sangat penting untuk menunjang kesembuhan tuberkulosis. metode bimbingan dan konseling merupakan dua konsep dan muncul sebagai elemen penting dalam setiap aktifitas pendidikan. konseling sebagai bagian dari bimbingan. bimbingan dalam konteks pendidikan berarti menunjukkan, memilih jalan, memimpin dan mengarahkan. konseling adalah layanan khusus bimbingan. itu adalah proses membantu individu belajar lebih banyak tentang diri mereka sendiri dan berteori tentang situasi masa depan yang mungkin terjadi untuk memberikan kontribusi yang substansial kepada masyarakat (patidar, 2013). berkaitan dengan hal diatas, peneliti ingin mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan metode guidance and counceling ter ha da p peningkatanefikasi diri (self efficacy) pada pasien tbc di wilayah kerja puskesmas boro”. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah quasy experiment atau eksperimen semu dengan pendekatan pre experiment one group pretest – posttest design without control. pengukuran dilakukan sebelum dan setelah dilakukan intervensi pendidikan kesehatan metode guidance and counseling pada kelompok eksperimen. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tbc di wilayah kerja puskesmas boro sejumlah 20 orang. sampel dalam penelitian yang diambil sebanyak 19 orang. pengambilan sampel dilakuka n denga n metode purposive sampling atau pengambilan data dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditentukan oleh peneliti pada tanggal 2 sampai 13 mei 2017. intervensi pendidikan keseha ta n denga n metode guidance da n counseling dilaksanakan 4 kali pertemuan dengan durasi 1 jam setiap pertemuan. instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. kuesioner menggunakan skala likert dalam bentuk checklist, untuk pertanyaan favorable bila menjawab sangat mampu : 3, mampu 2, tidak mampu 1, sangat tidak mampu 0 dan pertanyaan unfavorable sebaliknya. hasil penelitian karakteristik responden meliputi jenis kelamin, status perkawinan, agama, usia, pekerjaan, penghasilan, pendidikan, penyakit penyerta, lama terdiagnosa tbc dan riwayat pengobatan. hasil penelitian menunjukkan jumlah sampel terbanyak adalah laki-laki yaitu 14 orang (73,7%), jumlah responden terbanyak berdasar status perkawinan adalah kawin yaitu 17 orang (89,5%), berdasarkan agama responden 100% beragama islam, berdasarkan usia terbanyak 41-65 tahun yaitu 13 orang (68,4%), berdasarkan pekerjaan yang terbanyak adalah buruh/serabutan yaitu 8 orang (42,1%), ber da sa r ka n pengha sila n ya ng ter ba nya k < 1.000.000 yaitu 9 orang (47,43%), berdasarkan pendidikan terbanyak smp yaitu 7 orang (36,8%), berdasarkan penyakit penyerta mayoritas responden tidak mempunyai penyakit penyerta sebanyak 15 orang (78,9%), berdasarkan lama terdiagnosa tbc kurang dari 1 bulan sebanyak 5 orang (26,3%) dan terdiagnosa 5 bulan sebanyak 5 orang (26,3%) seda ngka n berda sa r kan r iwa ya t pengoba ta n terbayak kasus tbc baru 17 orang (89,5%). uji normalitas data efikasi diri p-value nilai minimal nilai maximal sebelum pemberian pendidikan kesehatan 0,000 15 30 setelah pemberian pendidikan kesehatan 0,003 15 4244 tabel 1 uji normalitas data efikasi diri sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan metode guidance and counseling 193mamiri, fata, nurmawati, pengaruh pendidikan kesehatan metode guidance and ... mean 24 , median 28, modus 14, standart deviasi 6,60, nilai minimal 15 dan nilai maksimal 30. dan nilai efikasi diri setelah dilakukan pendidikan kesehatan mean 32,63 , median 35, modus 9, standart deviasi 8,80, nilai minimal 15 dan nilai maksimal 42. pengaruh pendidikan kesehatan terhadap efikasi diri pada pasien tbc berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa uji wilcoxon sign rank test dengan p-value = 0,000 ini lebih kecil dari 0,05 sehingga kesimpulannya ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan metode guidance and counseling terhadap peningkatan efikasi diri pada pasien tbc dan kenaikan ratarata efikasi diri sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan adalah 8,63. berdasarkan tabel 1 hasil uji normalitas data dengan menggunakan saphiro wilk hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa data efikasi diri sebelum dan sesudah pemberian efikasi diri tidak terdistribusi normal karena p-value lebih kecil dari  = 0,05. efikasi diri sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa nilai efikasi diri sebelum dilakukan pendidikan kesehatan tabel 2 efikasi diri sebelum dan setelah pemberian pendidikan kesehatan metode guidance and counseling efikasi diri mean median modus standart deviasi nilai minimal nilai maximal sebelum pemberian pendidikan kesehatan 24 28 14 6,60 15 30 setelah pemberian pendidikan kesehatan 32,63 35 9 8,80 15 42 tabel 3 tabulasi data pengaruh pemberian pendidikan kesehatan metode guidance and counseling terhadap peningkatan efikasi diri wilcoxon signed rank test pvalue = 0,000 efikasi diri mean standart deviasi sebelum pemberian pendidikan kesehatan 24 6,60 setelah pemberian pendidikan kesehatan 32,63 8,80 pembahasan efikasi diri sebelum diberikan pendidikan kesehatan metode guidance and counseling pada pasien tbc sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dengan metode guidance and counseling berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa efikasi diri sebelum intervensi menunjukkan nilai rata-rata 24, nilai tengah 28, dan angka yang sering muncul 14, standar deviasi sebesar 6,60. nilai terbesar adalah 30 dan nilai terkecil 15. berdasarkan hasil wawancara dengan pasien bahwa sebelumnya pasien dan keluarga tidak diberikan informasi secara komprehensif artinya petugas hanya memberikan informasi dengan waktu terbatas dan feed back atau tanya jawab dari pasien dan keluarga sangat terbatas. sehingga pasien dan keluarga dengan kemampuan dan daya tangkap yang rendah tidak dapat menelaah informasi secara baik. hal ini sejalan dengan notoatmojo (2013) yaitu hal hal yang mempengaruhi keberhasilan penyuluhan meliputi bahasa yang digunakan kurang dapat dimengerti oleh sasaran, tingkat pendidikan sasaran yang terlalu rendah, tingkat sosial ekonomi sasaran yg terlalu rendah, kepercayaan dan adat istiadat yang telah lama tertanam sehingga sulit untuk mengubahnya, dan kondisi tempat tinggal sasaran yang tidak memungkinkan terjadinya perubahan perilaku. hal ini sesuai dengan sukarmawati (2017) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuan dapat meningkat. penerimaan terhadap pendidikan kesehatan semakin baik. sedangkan dengan pendidikan yang rendah maka menyebabkan seseorang sulit untuk menerima 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 190–195 pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan. wulandari & setiyorini (2016) menyatakan bahwa faktor usia dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, dengan bertambahnya usia maka pengalaman akan semakin banyak dan mempangaruhi daya tangkap dan pola pikirnya. efikasi diri setelah diberikan pendidikan kesehatan metode guidance and counseling pada pasien tbc setelah dilakukan pendidikan kesehatan dengan metode guidance and counseling berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa nilai efikasi diri setelah intervensi pendidikan kesehatan dengan nilai rata rata 32,63, nilai tengah 35, nilai yang sering muncul 9, standart deviasi 8,80, nilai minimal 15 dan nilai maksimal 42. menurut aditama & aris (2013) dalam mencapa i kesembuha n maka sa nga t penting untuk penderita tb paru memiliki pengetahuan tentang penyakitnya. selama menderita tb responden sebagian besar tidak mengalami stress atau kecemasan. menurut wu (2007) menyatakan bahwa responden yang tidak mengalami stress atau depresi berarti memiliki keyakinan untuk memotivasi diri sendiri dan berprilaku sesuai dengan tujuan yang diharapkan, sebaliknya dengan adanya stress atau depresi merupakan faktor internal yang dapat berkontribusi terhadap penurunan fungsi fisik dan mental yang menyebabkan pasien kehilangan motivasi untuk melakukan perawatan diri harian maupun pengobatan dan beresiko terjadi komplikasi lebih lanjut terhadap penyakitnya. sebagian besar responden mengetahui terdapat orang lain atau saudara yang mengalami keberhasilan dalam pengobatan dan responden juga sebagian besar tidak pernah mengetahui yang tidak berhasil terhadap pengobatan tb paru. pengaruh pemberian pendidikan kesehatan metode guidance and counseling terhadap peningkatan efikasi diri berdasarkan hasil analisa statistik wilcoxon signed rank test dengan bantuan program spss for windows 16 seperti yang tampak pada tabel 3 didapatkan adanya pengaruh pemberian pendidikan kesehatan metode guidance and counseling terhadap peningkatan efikasi diri pada pasien tbc. terdapat pengaruh yang signifikan antara kedua variabel (p-value = 0.000). keyakinan diri penderita untuk sembuh dicapai salah satunya dari kognitif atau pengetahuan yang diberikan oleh petugas kesehatan melalui konseling (hendiani, sakti & widiyanti, 2013). dengan demikian pemberian informasi yang tepat sangat penting untuk menunjang kesembuhan tuberkulosis. dengan metode bimbingan dan konseling ini membantu klien dalam menjalani masa pengobatan sehingga muncul keyakinan seorang individu terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan untuk mencapai suatu tujuan dimana individu yakin mampu untuk menghadapi segala tantangan dan mampu memprediksi seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut dalam hal ini yang dimaksud adalah kesembuhan pasien tbc. intervensi edukasi atau konseling dapat meningkatkan penyelesaian pengobatan untuk tb laten. seperti yang diharapkan, besarnya manfaat kemungkinan akan tergantung pada sifat intervensi, dan alasan tingkat penyelesaian yang rendah dalam pengaturan tertentu (m’imunya, etc, 2012). pada proses penyelesaian program pengobatan tbc terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsistensi pasien, salah satu faktor yang dapat diintervensi melalui bimbingan dan konseling adalah self efficacy. muhtar ((2013) self efficacy merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri untuk membentuk motivasi. sedangkan pada ranah afektif, self efficacy berperan dalam mengatur kondisi afektif. self efficacy mempengaruhi emosi seseorang melalui beberapa cara, yaitu kepercayaan seseorang terhadap dirinya mampu mengelola ancaman membuat seseorang tidak mudah tertekan oleh dirinya sendiri. dengan peningkatan self efficacy, maka keberhasilan pengobatan pasien akan meningkat. kesimpulan sebelum diberika n pendidikan kesehatan dengan metode guidance and counseling menunjukkan bahwa nilai efikasi diri rata-rata 24. setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan metode guidance and counseling menunjukkan bahwa nilai efikasi diri rata-rata 32,63. pendidikan kesehatan metode guidance and counseling berpengaruh terhadap peningkatan efikasi diri pada pasientbc. saran bagi pasien dan keluarga, memberikan dukungan (support system) kepada pasien agar dalam masa pengobatan dapat menghadapi tantangan dan 195mamiri, fata, nurmawati, pengaruh pendidikan kesehatan metode guidance and ... menyelesaikannya dengan baik sehingga terhindar dari drop out. bagi puskesmas hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana atau bahan kajian dalam meningkatkan peran petugas kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan untuk menjalin proses interaksi dengan klien lebih efektif efisien dan produktif sehingga perlu untuk diadakan peningkatan pengetahuan dalam bingkai mini lokakarya atau mini workshop di puskesmas tentang metode guidance and counceling bagi dinas kesehatan, penelitian ini bisa ditindaklanjuti untuk pelaksanaan mini lokakarya di dinas kesehatan pada program penanggulangan tbc, sebagai masukan dalam usaha peningkatan kinerja petugas kesehatan untuk mencapai peningkatan mutu pelayanan pada klien dengan tbc bagi peneliti selanjutnya penelitian tentang upaya peningkatan efikasi diri menggunakan metode yang lain misalnya ada kelompok kontrol untuk membandingkan responden yang tidak mendapatkan metode guidance and counceling. daftar pustaka aditama, h. p.,& aris, a. (2013). hubungan pengetahuan dan motivasi pasien tbc (tuberkulosis) dengan kepatuhan berobat pasien tbc yang berobat di upt puskesmas mantup kabupaten lamongan. skripsi atak, n., tanju gurkan, kenan kose. (2010). the effect of education on knowledge, self management and self efficacy with type 2 diabetes. australian journal of advanced nursing . vol. 26 badan penelitian dan pengembangan kesehatan. (2013). riset kesehatan dasar. jakarta hendiani, sakti & widiyanti. (2013). hubungan antara persepsi dukungan keluarga sebagai pengawas minum obat dan efikasi diri penderita tuberkulosis di bkpm semarang. semarang: jurnal psikologi universitas diponegoro. m’imunya, j & kredo, t & volmink, j. (2012). patient e duc at ion and counse l l i ng f or promoti ng adherence to treatment for tuberculosis. cochrane database of systematic reviews (online). 5. cd006591. 10.1002/14651858.cd006591.pub2. muhtar (2013). pemberdayaan keluarga dalam peningkatan self efficacy dan self care activity keluarga dan penderia tb paru. https://e-journal.unair.ac.id/ jners/article/download/3826/2598 notoatmojo. 2013. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta patidar, j.(2013). guidance and counselling. https:// www.slideshare.net/drjayeshpatidar/guidance-andcounselling. wulandari, n.a & setiyorini, e. (2016). aplikasi sosiaodrama dan case studyterhadap pembentukan sikap dalam pencegahan penularan hiv/ aidscalon tenaga kerja indonesia (tki). jurnal ners dna kebidanan, volume 3, nomor 2, agustus 2016. sukmawati, e. (2017). efektifitas penyuluhan kesehatan ter h a da p pen get a h ua n per a wa t a n pa si en tuberkulosis (tb). jurnal ners lentera, volume 5, nomor 1, maret 2017. halaman 9-20. wu, s.f.v (2007). effectiveness of selfmanagement for person with type2 diabetes following the implementation of a self-efficacyenhancing intervention programin taiwan. queensland: queensland university of technology. diunduh pada tanggal 07 oktober 2012 darihttp://eprints.qut.edu.au/16385/ 1/shu-fang_wu_thesis.pdf. 181mugianti, juwita, mulyadi, upaya keluarga dalam... 181 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk upaya keluarga dalam membantu klien diabetes menjalankan pengelolaan diabetes melitus tipe 2 sri mugianti1, ani juwita2, arif mulyadi3 1,2,3prodi keperawatan, politeknik kesehatan kemenkes malang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 23/05/2019 disetujui, 22/07/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: upaya, keluarga, diabetes melitus tipe 2 abstrak keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk melaksanakan upaya kesehatan. upaya yang dapat dilakukan keluarga penderita diabetes antara lain melakukan perencanaan makan, perencanaan olahraga, pengaturan obat dan edukasi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya keluarga dalam membantu klien diabetes menjalankan pengelolahan diabetes melitus tipe 2. penelitian ini menggunakan desain deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien diabetes melitus yang menjalankan pengobatan di poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, dengan besar sampel 34 orang yang diambil menggunakan teknik accidental sampling. hasil penelitian upaya keluarga dalam membantu klien diabetes menjalankan pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 menunjukan bahwa 73,5% kategori baik, 23,5% kategori cukup dan 2,9% kategori kurang. upaya yang selalu dilakukan keluarga pasien diabetes adalah mengatur ketepatan obat sedangkan upaya yang kurang dilakukan adalah upaya keluarga dalam mengatur olahraga. hal tersebut berkaitan dengan budaya kepercayaan setempat yang mempercayai bahwa orang sakit tidak boleh berolahraga. penyuluhan dan tempat senam kaki diabetes perlu diadakan sebagai bentuk sarana bagi keluarga dalam meningkatkan upaya klien menjalankan pengaturan olahraga. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: poltekkes kemenkes malang jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: sri.mugianti@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p181–188 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 182 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 181–188 abstract family is an effective and easy intermediary to carry out health efforts. health efforts that can be family of diabetic clients such as doing meal planning, exercise, drug regulation and education. the purpose of this research was to know the family efforts in helping diabetic clients doing their management of diabetes mellitus type 2. the research method used descriptive design. the population of this study was family patient diabetes mellitus who performed treatment at polyclinic of internal medicine of mardi waluyo hospital, blitar city, with a large sample amount 34 people was taken using accidental sampling technique. the results showed that the family efforts in helping diabetic clients doing their management of diabetes mellitus type 2 was 73.5% in good category, 23.5% in the adequate category and 2.9% lack category. the family of diabetic patients effort was regulating the accuracy of drugs while the less effort that done by family was organizing the exercise. it might be related to the culture of the local belief that the sick should not exercise. health education and place for doing diabetic gymnastic need to be hold as a way for family to increase client effort in doing exercise. family effortto help diabetic patients in the management of type 2 diabetes mellitus article information history article: received, 23/05/2019 accepted, 22/07/2019 published, 01/08/2019 keywords: effort, family, diabetes mellitus type 2 183mugianti, juwita, mulyadi, upaya keluarga dalam... pendahuluan penyakit tidak menular (ptm) menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di indonesia pada saat ini. penyakit tidak menular (ptm) cenderung terus meningkat dan telah mengancam sejak usia muda. hal ini ditandai dengan telah terjadinya transisi epidemiologis yang signifikan, yakni penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, sementara beban penyakit menular masih berat. penyakit tidak menular (ptm) yang utama diantaranya adalah diabetes melitus dengan jumlah kematian yang terus meningkat setiap tahunnya (kemenkes, 2016). diabetes melitus merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar gula didalam darah karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (ada, 2012 dalam soegondo, 2011). berdasarkan data internasional diabetes federasion (idf) tingkat prevalensi global penderita diabetes melitus pada tahun 2012 sebesar 8,4% dari populasi penduduk dunia dan mengalami peningkatan menjadi 382 kasus pada tahun 2013. idf memperkirakan pada tahun 2035 jumlah insiden mengalami peningkatan menjadi 55% (592 juta) dan indonesia merupakan negara urutan ke-7 dengan angka kejadian tertinggi sejumlah 8,5 juta penderita. menurut data badan pusat statistik (bps) menyatakan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah penderita diabetes melitus pada tahun 2030 dengan jumlah penderita meningkat menjadi 20,1 juta dengan prevalensi 14,7% untuk daerah urban dan 7,2% di rural. sedangkan menurut riskesdas, prevalensi penyakit diabetes melitus mengalami peningkatan dari 1,1% (2007) menjadi 2,1% (2013) dan provinsi jawa timur termasuk 10 besar prevalensi tertinggi penderita diabetes se-indonesia atau menempati urutan ke-9. tingginya prevalensi diabetes melitus di indonesia dan perkiraan adanya peningkatan di tahun-tahun mendatang menyebabkan perlunya antisipasi dan tindakan segera dalam penatalaksanaan diabetes melitus. berdasarkan laporan profil kesehatan jatim kota blitar di rumah sakit tahun 2012, kasus penyakit terbanyak pasien rawat jalan dirumah sakit tipe b yang berjumlah 24 rumah sakit kasus terbanyak masih tergolong penyakit degenerative yakni hipertensi (112.583 kasus) dan diabetes melitus (102.399 kasus) seperti halnya di rumah sakit tipe b, dua besar penyakit terbanyak pasien rawat jalan pada rumah sakit tipe c adalah hipertensi (42.212 kasus) dan diabetes melitus (35.028 kasus). berdasarkan data dari who (2006), sekitar 4,8 juta orang telah meninggal akibat diabetes melitus. sedangkan menurut profil kesehatan jatim tahun 2012 tentang angka kematian (mortalitas) dijelaskan bahwa sebagain besar kejadian kematian terjadi dirumah. tingginya kasus diabetes melitus yang terjadi membuktikan bahwa beberapa pasien yang mengalami diabetes melitus banyak yang tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan tingkah laku yang cukup sehingga sikap dan perilaku mereka untuk mengelola penyakit kurang berjalan secara optimal. seorang yang terkena diabetes melitus memang tidak bisa sembuh secara total, tetapi dapat dikendalikan agar kadar gula didalam darah tidak meningkat atau menurun secara drastis. salah satu program pengendalian diabetes melitus di indonesia adalah terselenggaranya pengendalian faktor risiko untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian yang disebabkan diabetes melitus. pengendalian diabetes melitus lebih diprioritaskan pada pencegahan dini melalui upaya pencegahan faktor risiko diabetes melitus yaitu upaya promotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif . hal ini sesuai dengan rekomendasi the american diabetes assosiation (ada) bahwa semua individu dengandiabetes melitus harus berusaha mencapai kadar glukosa darah mendekati normal. upaya yang dilakukan untuk mengendalikan kadar gula darah dalam rentang normal,dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya tingkat pengetahuan, sosial ekonomi dan fasilitas layanan yang tersedia termasuk perawatan mandiri pasien di rumah. secara psikologis, penderita diabetes melitus akan mengalami gangguan konsep diri dan penderita harus mampu beradaptasi terhadap program pengobatan dan perawatan yang mungkin dilakukan oleh penderita sampai akhir hayatnya. penderita dengan ketergantungan tinggi dan pengobatan yang lama sangat membutuhkan dukungan keluarga. dukungan keluarga merupakan hal yang penting dalam pengelolaan dan pengendalian diabetes. menurut suprajitno (2004), keluarga juga memiliki tugas dibidang kesehatan antara lain mengenal masalah kesehatan keluarga, memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga serta memanfaatkan fasilitas kesehatan disekitarnya bagi keluarga. menurut wardani 184 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 181–188 (2014), dukungan keluarga yang baik dapat membuat penderita diabetes melakukan pengendalian kadar gula darah yang baik. oleh karena itu peran keluarga sangat mendukung dalam mencapai keberhasilan perawatan klien diabetes melitus dirumah. salah satu peran keluarga dalam pengendalian diabetes adalah membantu dalam menyeimbangkan kadar gula didalam darah. keseimbangan kadar gula dalam darah dapat dilakukan dengan melaksanakan empat pilar utama yaitu perencanaan makan, latihan jasmani, obat berkhasiat hipoglikemik serta edukasi (perkeni, 2006). data yang diperoleh dari poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar didapatkan jumlah penderita diabetes melitus pada tahun 2013 sebanyak 2003 pasien, pada tahun 2014 sebanyak 2482 pasien, tahun 2015 sebanyak 2410 pasien, dan tahun 2016 sebanyak 2164 pasien, dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah pederita diabetes melitus di poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo selalu mengalami peningkatan. dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 6 penderita diabtetes yang berkunjung di poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, didapatkan 4 diantaranya melakukan perawatan diabetik di rumah dengan didampingi oleh keluarga seperti pasangan (suami/istri) dan anak, sedangkan 2 pasien yang lain melakukan upaya perawatan mandiri tanpa didampingi oleh keluarga. dari hasil data keluarga yang mendampingi perawatan dirumah, 3 diantaranya tidak melakukan pengaturan fisik atau olahraga dan deteksi dini komplikasi penyakit diabetes, keluarga tidak pernah turut berperan dalam mendampingi olahraga serta keluarga masih belum mendapatkan informasi yang cukup tentang tanda dan gejala komplikasi penyakit diabetes melitus. namun keluarga sudah melakukan peran pengaturan diet dengan menyediakan gula khusus, minyak khusus serta mengingatkan jadwal makan, melakukan pengaturan konsumsi obat di rumah dengan mengingatkan dan mengawasi minum obat, melakukan pemantauan gula darah dengan mengantar dan mendampingi periksa ke poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo setiap 1 bulan sekali. dari hasil studi pendahuluan peneliti menyimpulkan upaya yang dilakukan keluarga belum maksimal. upaya yang belum maksimal akan membuat pasien kesulitan untuk tetap mempertahankan kualitas hidupnya sehingga bahaya dan komplikasi tidak dapat di cegah. oleh sebab itu perlu diketahui sejauh mana gambaran kemampuan diri keluarga dalam mengupayakan perawatan diabetik di rumah dalam menjalankan pilar pengelolaan diabetes melitus. dengan demikian dapat diukur tingkat kemampuan keluarga sehingga kadar gula dapat terkontrol dan komplikasi tidak terjadi. berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui “upaya keluarga dalam membantu klien diabetes menjalankan pengelolaan diabetes melitus tipe 2”. bahan dan metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif, populasi adalah semua keluarga pasien diabetes yang menjalankan pengobatan di poli klinik penyakit dalam rsud mardi waluyo dengan menggunakan teknik ccidental sampling didapatkan sampel sebesar 34 responden. alat pengumpulan data adalah kuesioner yang berisi pernyataan tentang pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 yang telah dimodifikasi oleh peneliti. sebelum melakukan pengambilan data, peneliti meminta surat ijin kepada kepala badan kesatuan bangsa, politik dan penanggulangan bencana daerah kota blitar setelah mendapat surat rekomendasi, kemudian meminta surat tembusan di rsud mardi waluyo kota blitar. setelah melakukan pengambilan data, data dilakukan coding, kemudian dilakukan scoring kemudian data ditabulasi dan dianalisa hasil analisa kemudian dikategorikan menjadi 3 yaitu baik (76%-100%), cukup (56%-75%), dan (  55%) kurang. setelah selesai, data disajikan dalam bentuk diagram batang dan lingkaran kemudian dinarasikan. pengumpulan data dilakukan dengan memperhatikan beberapa prinsip etika penelitian meliputi lembar persetujuan (inform consent), tanpa nama (anonimity) dan kerahasiaan (confidentiallity). hasil penelitian data umum pada penelitian ini meliputi karakteristik responden antara lain: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan perbulan, hubungan penderita diabetes, mendukung/membiayai untuk berobat, riwayat diabetes dalam keluarga, usia penderita diabetes serta lama menderita diabetes. berdasarkan tabel 1, prosentase tertinggi usia keluarga pasien diabetes melitus antara 36-55 tahun keatas. 185mugianti, juwita, mulyadi, upaya keluarga dalam... berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa sebagian besar keluarga pasien diabetes mempunyai pengetahuan tentang diabetes. usia f % 1725 tahun 5 14,7 2635 tahun 7 20,6 3655 tahun 11 32,4 >55 tahun 11 32,4 total 34 100,0 tabel 1 karakteriktik responden menurut usia jenis kelamin f % laki laki 13 38,2 perempuan 21 61,8 total 34 100,0 tabel 2 karakteristik responden menurut jenis kelamin berdasarkan tabel 2, lebih dari setengah responden adalah perempuan. pendidikan f % smp/ sederajat 5 14,7 sma/sederajat 15 44,1 akademi/perguruan tinggi 14 41,2 total 34 100,0 tabel 3 karakteristik responden menurut pendidikan berdasarkan tabel 3, lebih dari setengah responden berpendidikan sma/sederajat. pekerjaan f % irt/tidak bekerja 12 35,3 pensiun pns 5 14,7 pns 2 5,9 wiraswasta 14 41.2 petani 1 2,9 total 34 100,0 tabel 4 karakteristik pekerjaan berdasarkan tabel 4, lebih dari setengah respondenden bekerja sebagai wiraswasta. penghasilan per bulan f % < 500.000 11 32,4 500.000 999.000 3 8,8 1000.000 1500.000 8 23,5 > 1500.000 12 35,3 total 34 100,0 tabel 5 karakteristik responden menurut perhasilan per bulan berdasarkan tabel 5, lebih dari setengah responden memper oleh pengha sila n per bula n >rp.1500.000. hubungan dengan penderita diabetes f % istri/suami 15 44,1 anak 16 47,1 cucu 3 8,8 total 34 100,0 tabel 6 karakteristik hubungan dengan pederita diabetes berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai hubungan keluarga yaitu sebagai anak. riwayat diabetes keluarga f % ada 18 52.9 tidak ada 16 47.1 total 34 100.0 tabel 7 karakteristik riwayat diabetes keluarga berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa lebih dari setengah responden memiliki riwayat diabetes dalam keluarga. tabel 8 karakteristik pengetahuan keluarga tentang penyakit diabetes pengetahuan keluarga tentang penyakit diabetes f % ya 31 91,2 tidak 3 8,8 total 34 100,0 tabel 9 karakteristik keluarga mendukung/ menanggung biaya keluarga mendukung/ menanggung biaya f % ya 32 94,1 tidak 2 5,9 total 34 100,0 berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa sebagian besar keluarga pasien diabetes mendukung dalam pengobatan pasien diabetes. 186 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 181–188 dari gambar 1 didapatkan upaya keluarga dalam memba ntu klien diabetes menjalankan pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 dalam kategori baik yaitu 73,5% (25 responden). dari gambar 1 didapatkan hasil secara berturut-turut upaya yang sering dilakukan keluarga pasien diabetes memiliki upaya baik dari mengawal ketepatan terapi farmakologi diperoleh hasil 82,4%, memberikan edukasi 70,6%, merencanakan makan 67,6%, dan mengatur olahraga 32,4%. pembahasan ber da sar ka n hasil penelitian ya ng tela h dilakukan di poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar terhadap 34 keluarga pasien diabetes, menunjukan upaya keluarga dalam membantu klien diabetes mejalankan pengeloaan diabetes mellitus tipe 2 menunjukan bahwa 73,5% (25 keluarga) dalam kategori baik, 23,5% (8 keluarga) dalam kategori cukup, dan 2,9% (1 keluarga) dalam kategori kurang. hal ini menunjukan bahwa upaya keluarga dalam membantu klien diabetes menjalankan pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 secara keseluruhan sudah baik. namun dari hasil penelitian berdasarkan parameter, upaya yang dilakukan keluarga mendapatkan hasil yang bervariasi. upaya keluarga dalam merencanakan makan berdasarkan hasil penelitian upaya keluarga dalam merencanakan makan pada diabetes mellitus tipe 2 menunjukan bahwa 67,6% (23 keluarga) dalam kategori baik, 20,6% (7 keluarga) kategori cukup dan 2,9% ( 1 keluarga) kategori kurang. upaya yang selalu dilakukan keluarga dalam kategori baik, antara lain menyediakan makanan sesuai anjuran diet, menyediakan jenis makanan khusus untuk mengontrol kadar gula, seperti gula rendah kalori atau minyak rendah kalori, membuatkan jadwal makan 3 kali makan besar serta sering mengingatkan untuk melakukan diet. sedangkan upaya yang cenderung kurang adalah keluarga jarang membuatkan jadwal 3 kali makan kecil. menurut soegondo, (2011) terapi gizi merupakan komponen utama dalam keberhasilan penatalaksanaan diabetes yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan asupan makanan dengan insulin/obat hipoglikemik oral dan tingkat aktivitas, mencapai kadar serum lipid yang normal, memberikan energi yang cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang memadai, menghindari dan menangani komplikasi akut, meningkatkan usia penderita diabetes f % 46-55 tahun 2 5,9 56-65 tahun 23 67,6 65keatas 9 26,5 total 34 100,0 tabel 10 karakteristik usia penderita diabetes berdasarkan tabel 10 diketahui bahwa prosentase tertinggi usia penderita diabetes berumur antara 56-65 tahun. lama menderita diabetes f % 1-5 tahun 8 23.5 6-10 tahun 15 44.1 11-15 tahun 6 17.6 > 15 tahun 5 14.7 total 34 100.0 tabel 11 karakteristik lama menderita diabetes dari tabel 11 diketahui bahwa prosentase tertinggi lama menderita diabetes yaitu 6-10 tahun. tabel 12 kategori upaya keluarga dalam membantu klien dalam pengelolaan dm tipe 2 upaya keluarga dalam membantu pengelolaan dm tipe 2 f % baik 25 73,5 cukup 8 23,5 kurang 1 2,9 67,6% 32,4% 82,4% 70,6% 20,6% 38,2% 11,8% 20,6% 11,8% 29,4% 5,9% 8,8% 0 10 20 30 baik cukup kurang gambar 1 upaya keluarga dalam membantu klien dm tipe 2 berdasarkan frekuensi kegiatan yang dilakukan 187mugianti, juwita, mulyadi, upaya keluarga dalam... kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal. menurut peneliti perencanaan makan merupakan komponen yang penting dalam pengontoralan kadar gula didalam darah. perencanaan makan yang baik dapat dilakukan dengan pengaturan diet yang tepat, pemilihan jenis makanan yang sesuai serta penetapan jadwal makan. keluarga sudah berupaya dalam menyediakan makanan sesuai anjuran diet, menyediakan jenis makanan khusus untuk mengontrol kadar gula, seperti menyediakan gula rendah kalori atau minyak rendah kalori, dan membuatkan jadwal 3 kali makan besar. upaya keluarga dalam mengatur olahraga bedasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa 32,4% (11 keluarga) dalam kategori baik, 38,2% (13 keluarga) kategori cukup dan 29,4% (10 keluarga) kategori kurang. upaya yang kurang dilakukan keluarga adalah menemani pasien saat berolahraga. menurut (soegondo, 2011) olahraga berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. masalah utama pada dm tipe 2 adalah kurangnya reseptor terhadap insulin (resisten insulin) karena adanya gangguan tersebut insulin tidak dapat membantu transfer glukosa ke dalam sel. kontraksi otot bersifat seperti insulin. permeabilitas membrane terhadap glukosa meningkat pada otot yang berkontraksi. pada saat berolahraga resistensi insulin berkurang, sebaliknya sensistivitas meningkat sehinga kebutuhan insulin berkurang. oleh karena itu olahraga harus dilakukan terus-menerus dan teratur aktivitas fisik/ olahraga pada usia dewasa dan usia produktif merupakan bagian dari kehidupan, dimana hal tersebut digunakan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran baik dilakukan secara perorangan maupun berkelompok sesuai prinsip olahraga yang berlaku pada pasien diabetes, yaitu dengan memperhatikan frekuensi olahraga, melakukan pemanasan, latihan inti dan pendinginan, menggunakan sarana yang aman dan nyaman serta memperhatikan keseimbangan asupan nutrisi. menurut peneliti olahraga termasuk salah satu upaya dalam meningkatkan kesehatan. didalam olahraga mengandung unsur pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan yang dapat membantu menurunkan resistensi insulin sehingga sensitivitas meningkat dan kebutuhan insulin akan berkurang. dalam ha ini keluarga belum berupaya banyak bagi penderita diabetes dalam mengingatkan untuk melakukan olahraga ringan seperti jalan kaki atau senam, menemani ketika sedang berolahraga, serta mengingatkan batasan-batasan saat berolahraga. upaya yang belum maksimal akan membuat pasien kesulitan untuk tetap mempertahankan kualitas hidupnya sehingga bahaya dan komplikasi sulit untuk dicegah. upaya keluarga dalam mengatur ketepatan obat berdasarkan hasil penelitian upaya keluarga dalam mengatur obat menunjukan bahwa 82,4% (28 keluarga) dalam kategori baik, 11,8% (4 keluarga) kategori cukup, dan 5,9% (2 keluarga) kategori kurang. upaya yang selalu dilakukan keluarga dalam mengatur ketepatan obat sudah baik, hal ini dibuktikan dengan keluarga selalu mendampingi pasien dalam pemeriksaan gula darah, mengantar pasien ke apotik untuk mengambil obat, mengingatkan pasien untuk minum obat/menggunakan insulin sesuai jadwal serta membantu menyiapkan obat atau insulin untuk pasien. menurut soegondo (2011) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, yaitu terapi oho harus sesuai dengan petunjuk dokter yaitu dilakukan dengan dosis yang rendah terlebih dahulu kemudian dinaikan secara bertahap, mengetahui cara kerja, efek samping obat, dosis obat, dan waktu obat tersebut harus diminum. menurut peneliti obat merupakan terapi farmakologis yang baik untuk mendukung kesembuhan pasien. terapi farmakologis untuk diabetes harus dilakukan sesuai dengan petunujuk dokter. dalam hal ini keluarga sudah berupaya dengan baik dalam membantu mengatur ketepatan obat, keluarga selalu mendampingi pasien dalam pemeriksaan gula darah, mengantar pasien ke apotik untuk mengambil obat, mengingatkan pasien untuk minum obat/ menggunakan insulin sesuai jadwal serta membantu menyiapkan obat atau insulin untuk pasien. upaya keluarga dalam memberikan edukasi berdasarkan hasil penelitian upaya keluarga dalam membantu memberikan edukasi menunjukan bahwa 70,6% (24 keluarga) dalam kategori baik, 20,6% (7 keluarga) kategori cukup dan 8,8% (3 keluarga) dalam kategori kurang. hal ini menunjukan upaya keluarga dalam membantu memberikan edukasi sudah baik, di buktikan dengan keluarga selalu mendampingi dalam mendengarkan informasi dari petugas kesehatan, menanyakan hal-hal yang kurang jelas pada petugas kesehatan, menyampaikan 188 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 181–188 keluhan klien saat dirumah, serta mengingatkan anjuran dari petugas kesehatan saat berada dirumah. edukasi merupakan pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang maksimal. menurut soegondo (2011) edukasi diabetes adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahanan pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat optimal dan penyesuaian keadaan psikologik serta kualitas hidup yang lebih baik. menurut peneliti pemberian edukasi akan merubah pemahaman pasien tentang penyakitnya, sehinga perilaku pengelolaan dalam sehari-hari dapat dirubah. edukasi tentang diabetes dapat diperoleh dari berbagai sumber informasi baik dari media masa, media elektronik maupun penyuluhan. keluarga pasien diabetes sudah banyak berupaya dalam mendampingi mendengarkan informasi dari petugas kesehatan, menanyakan hal-hal yang kurang jelas pada petugas kesehatan, menyampaikan keluhan klien saat dirumah, serta mengingatkan anjuran dari petugas kesehatan saat berada dirumah. kesimpulan upaya keluarga dalam membantu klien diabetes menjalankan pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar di dapatkan hasil 73,5% dalam kategori baik, 23,5% dalam kategori cukup dan 2,9% dalam kategori kurang. upaya yang selalu dilakukan keluarga pasien diabetes adalah mengatur ketepatan obat seperti mendampingi saat pemeriksaan, mengingatkan jadwal minum obat/menggunakan insulin, dan membantu menyiapkan obat/insulin sedangkan upaya yang kurang dilakukan adalah upaya keluarga dalam mengatur olahraga, upaya yang kurang meliputi mengingatkan pasien untuk melakukan olahraga ringan, menemani pasien saat berolahraga serta mengingatkan batasan batasan saat berolahraga. selain itu terdapat juga beberapa upaya yang cenderung kurang dalam hal pengaturan makan serta edukasi yaitu kurangnya upaya keluarga dalam mengingatkan anjuran diet dan meningatkan anjuran dokter/petugas kesehatan saat dirumah. saran saran bagi pemegang program di poliklinik penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar adalah menyediakan program dan tempat senam kaki diabetes sebagai bentuk sarana bagi keluarga dalam meningkatkan upaya klien menjalankan pengaturan olahraga. selain itu perawat poliklinik meningkatkan peyuluhan atau edukasi dalam pengaturan diet, farmakologis dan olahraga saran untuk keluarga pasien diabetes diharapkan lebih ikut serta membantu dan mendorong dalam upaya pengkontrolan diabetes secara maksimal dengan cara mengikuti kegiatan rutin senam bersama pasien, mengontrol pola makan dan menjalankan pemeriksaan rutin sesuai jadwal. daftar pustaka arikunto, s. (2006). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik edisi revisi vi. jakarta: pt rineka cipta. kemenkes.(2016). pedoman umum program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga. jakarta: kementrian kesehatan ri. mistra.(2004). 3 jurus melawan diabetes melitus. jakarta: puspa swara. notoatm odjo, s. (2010). metodologi peneli tian kesehatan. jakarta: renika cipta. perkeni. (2006). konsesus pengelolahan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 indonesia. jakarta: perkeni. profil kesehatan jatim. (2012). profil kesehatan kota bl itar tahun 2012. (http://www.depkes.go.id/ r e s o u r c e s / d o w n l o a d / p r o f i l / p r o f i l _ k e s _ p r o v i n s i _ 2 0 1 2 / 15_profil_kes.prov.jawatimur_2012.pdf) riskesdas. (2013). riset kesehatan dasar 2013. (http:/ /www.depkes.go.id/ resources/download/general/ hasil%20riskesdas%202013.pdf) soegondo,s. (2011). penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. jakarta: balai penerbit fkui. suprajitno. (2008). buku panduan karya tulis ilmiah. malang: dep.kes malang. wardani, s.r. (2014). gambaran pengetahuan tentang pencegahan luka dm pada anggota keluarga pasien dm di wilayah kerja puskesmas pisangan ciputat timur. skripsi. jakarta: uin syarif hidayatullah. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 30 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 30–37 30 hubungan karakteristik perawat dan bidan dengan stigma pada orang dengan hiv/aids (odha) di puskesmas talun kabupaten blitar (characteristics associated with nurses and midwives stigma in people with hiv/aids (plwha) in the district health talun blitar) sudarsono puskesmas talun sudarsonosdr@gmail.com abstract: hiv/aids (human immunodeficiency virus / acquired immune deficiency syndrome) has long been an issue along with the continued attention of various circles around the world, especially the health sector. the purpose of this study was to determine the characteristics of the relationship with the health workers in health centers stigma on people living with hiv talun blitar regency. this study used a cross-sectional study design with a population of 36 respondents that all the research sample. collecting data using questionnaires. analysis of data using statistical test pearson and spearman rho correlation with p  0.05. there is no relationship between education and stigma on people living with hiv, with a value of p = 0.367 in spearman rho correlation test. there is a relationship between long working with the stigma on people living with hiv, with p = 0.046 in correlatioan pearson test. there is a relationship between knowledge of hiv/aids stigma on people living with hiv, with p = 0.035 in correlatioan pearson test. need more attention from policy makers at government level for programs of prevention of transmission of hiv/aids among health workers, by providing a uniform and continuous training to all health workers. keywords: stigma, nurses and midwives, people living with hiv abstrak: hiv/aids (human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome) sejak lama menjadi isu dengan perhatian yang terus berlanjut pada siklus yang bervariasi di dunia, khususnya pada sektor kesehatan.tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan karakteristik tenaga kesehatan di puskesmas dengan stigma terhadap odha di kecamatan talun blitar. desain penelitian ini adalah cross sectional dengan populasi sebanyak 36 responden. pengumpulan data dengan kuesioner. analisa data dengan uji korelasi pearson dan spearman rhodengan p<0,05. hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan stigma terhadap odha, p=0,367. ada hubungan antara lama bekerja dengan stigma terhadap odha, p= 0,046. ada hubungan antara pengetahuan dan stigma terhadap odha, p=0,035. sangat dibutuhkan perhatian yang lebih pada pembuat kebijakan yaitu pemerintah pada program untuk pencegahan penularan hiv/aids pada tenaga kesehatan, dengan pelatihan. kata kunci: stigma, perawat dan bidan, odha per masa la han hiv/aids (human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome) telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyita perhatian berbagai kalangan di seluruh dunia, terutama sektor kesehatan. hiv/ aids adalah masalah global yang melanda dunia sejak awal dekade 80-an. penyakit ini telah menjadi pandemi, artinya melanda seluruh negara di dunia, menyerang baik laki-laki maupun perempuan, anakanak maupun dewasa. jumlah pengidap hiv ini menganut fenomena gunung es (ice berg phenomenon), yakni jumlah yang sebenarnya jauh lebih acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p030-037 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 31sudarsono, hubungan karakteristik perawat dan bidan ... banyak dibanding dengan yang diketahui, apalagi orang yang terinfeksi hiv tidak secara langsung akan menunjukkan gejala apapun. hal ini ditambah lagi dengan semakin meningkatnya penularan hiv melalui penggunaan jarum suntik pada pengguna napza (injecting drug user/idu) secara bergantian. (pratikno, 2008) di indonesia secara kumulatif pengidap infeksi hiv dan kasus aids dari 1 juli 1987 sampai dengan maret 2013 terdapat sebanyak 147.106 orang, dengan perincian sebanyak 103.759 orang pengidap hiv dan 43.347 orang penderita aids, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 8.288 orang di antaranya telah meninggal. namun jumlah tersebut diyakini masih jauh dari jumlah yang sebenarnya dan masih akan terus meningkat. dilihat dari jenis kelamin sebagian besar kasus aids yakni 55,4% adalah laki-laki, 28,8% perempuan dan 15,8% tidak menyebutkan jenis kelaminnya. jika dilihat dari kelompok umur, 81,7% berusia 20–49 tahun yang merupakan umur seksual aktif dan usia produktif. sementara berdasarkan kasus aids yang dilaporkan departemen kesehatan sampai dengan bulan maret 2013, jumlah aids tertinggi adalah pada wiraswasta (5.098), diikuti ibu rumah tangga (4.943), tenaga nonprofesional/karyawan (4.467), buruh kasar (1.723), penjaja seks (1.708), petani, peternak, nelayan (1.645), dan anak sekolah/mahasiswa (1.086) (dirjen p2pl kemenkes ri, 2013). berdasarkan laporan tahunan dinas kesehatan kabupatan blitar, jumlah hiv/aids sampai dengan bulan oktober 2013 mencapai 110 orang, masingmasing hiv sebanyak 35 orang dan aids sebanyak 75 orang. berdasarkan jumlah tersebut, 35 di antaranya meninggal dunia. sedangkan di tahun 2012, hingga akhir tahun angka penderita penyakit mematikan tersebut mencapai 123 orang dan 52 di antaranya meninggal dunia. penderita hiv/aids banyak ditemukan di kecamatan garum, doko, gandusari, dan talun. sementara itu, jika dikalkulasi sejak 2010 sampai dengan oktober 2013, jumlah penderita hiv aids di kabupaten blitar total mencapai 597 orang, di mana 210 di antaranya meninggal dunia. stigma dan diskriminasi terhadap odha telah menjadi perhatian yang besar di seluruh dunia. banyak odha yang kemudian kehilangan pekerjaannya, terisolasi dari keluarga dan komunitasnya, tertolak oleh layanan kesehatan yang mengetahui status hiv mereka, dan yang lebih parah lagi kebanyakan mer eka meningga l dengan car a ya ng sanga t mengenaskan. mereka meninggal dengan penuh kesakitan dan rasa malu, keluarganya mengalami kesulitan untuk memandikan jenazah dan menguburkan mayatnya dan banyak kesulitan lain yang dirasakan. stigma dan diskriminasi terhadap odha digambarkan sebagai penghalang terbesar (greatest barrier) dalam upaya pencegahan hiv/aids dan untuk menyediakan pelayanan kesehatan serta dukungan kepada odha (unaids, 2001). stigma dan diskriminasi pada odha oleh petugas kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi petugas kesehatan tentang hiv/aids. faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya stigma dan diskriminasi adalah tingkat pendidikan dan lama bekerja. jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan diskriminasi terhadap odha. lamanya bekerja mempengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi karena seseorang yang sudah lama bekerja cenderung mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih banyak, dimana hal ini memegang peranan penting dalam perubahan perilaku seorang petugas kesehatan (mahendra, et al., 2006). berdasarkan fakta di atas menunjukkan bahwa perawat dan bidan di kabupaten blitar harus dapat memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat dan tidak terkecuali odha. berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan kepada 8 orang tenaga perawat dan bidan di puskesmas talun, ternyata 5 orang di antaranya masih mempunyai stigma dalam memberikan pelayanan kepada odha. stigma dan diskriminasi terhadap odha tergambar dalam sikap sinis, perasaan ketakutan yang berlebihan dan persepsi negatif tentang odha. walaupun perawat dan bidan cukup ramah dengan odha, akan tetapi tetap lebih suka untuk menjaga jarak dan menghindari untuk bersentuhan secara langsung. hal ini terkait dengan masih banyaknya perawat dan bidan yang percaya dengan mitos-mitos tentang penularan hiv. perawat dan bidan sudah seharusnya memiliki pengetahuan yang memadai tentang hiv/aids, cara penularan dan cara pencegahannya serta mempunyai sikap yang positif dan selalu memperlakukan setiap orang secara ramah dan manusiawi tanpa sikap diskriminatif, termasuk terhadap odha. dalam uu nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang dimaksud tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang keseha ta n, memiliki pengeta hua n da n a ta u 32 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 30–37 keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan kesehatan. dengan mempertimbangkan faktor homogenitas penelitian, petugas kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perawat dan bidan. karena perawat dan bidan mempunyai karakteristik dan resiko yang hampir sama dalam memberikan pelayanan kepada odha. oleh sebab itu, penulis tertarik melakukan penelitian tentang ”hubungan karakteristik perawat dan bidan dengan stigma pada orang dengan hiv/aids (odha) di puskesmas talun kabupaten blitar”. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hubungan karakteristik perawat dan bidan dengan stigma pada orang dengan hiv/aids (odha) di puskesmas talun kabupaten blitar? tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui hubungan karakteristik perawat dan bidan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik perawat dan bidan di puskesmas talun kabupaten blitar. 2) mengidentifikasi stigma perawat dan bidan di puskesmas talun kabupaten blitar. 3) menganalisis hubungan tingkat pendidikan perawat dan bidan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. 4) menganalisis hubungan lama bekerja perawat dan bidan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. 5) menganalisis hubungan pengetahuan tentang hiv/ aids perawat dan bidan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar manfaat praktis dalam penelitian ini adalah dapat menambah pengetahuan khususnya pada mata kuliah imunologi materi hiv/aids. sedangkan manfaat praktisnya adalah: 1) dapat dipergunakan sebagai referensi atau sumber data bagi penelitian lebih lanjut. 2) dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi pelayanan kesehatan khususnya pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. bahan dan metode rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah semua perawat dan bidang di puskesmas talun kabupaten blitar sebanyak 36 responden yang dipilih dengan tehnik total sampling. variabel independen dalam penelitian ini adalah pendidikan, lama bekerja, dan pengetahuan tentang hiv/aids perawat dan bidan di puskesmas talun. variabel dependen dalam penelitian ini adalah stigma pada odha. analisis yang digunakan adalah: no tujuan untuk mengidentifikasi ana lisis 1 hubungan pendidikan dengan stigma pada odha spearm an’s rho 2 hubungan lama bekerja dengan stigma pada odha pea rson correlation 3 hubungan pengetahuan dengan stigma pada odha pea rson correlation hasil penelitian hasil penelitian meliputi karakteristik responden, pengetahuan, dan stigma pada odha. tabel 1. karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no jenis kelamin frekuensi % 1 laki-laki 4 11 2 perempuan 32 89 total 36 100 tabel 2. karakteristik responden berdasarkan usia di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no usia frekuensi % 1 remaja akhir (1725 th) 8 22 2 dewasa awal (2635 th) 9 25 3 dewasa akhir (3645 th) 14 39 4 lansia awal (4655 th) 5 14 total 36 100 tabel 3. karakteristik responden berdasarkan status kepegawaian di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no status kepegawaian frekuensi % 1 pns 19 53 2 sukwan 9 25 3 magang 4 11 4 poskesdes 3 8 5 ptt 1 3 total 36 100 33sudarsono, hubungan karakteristik perawat dan bidan ... dari tabel 11 menunjukkan bahwa p dari kedua variabel yaitu p = 0.367 dan lebih besar dari  = 0.05, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel pendidikan dengan variabel stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. dari tabel 12 menunjukkan bahwa p dari kedua variabel yaitu p = 0.046 dan lebih kecil dari  = 0.05, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara variabel lama bekerja dengan variabel stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. sedangkan untuk nilai pearson tabel 4. karakteristik responden berdasarkan pendidikan di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no pendidikan frekuensi % 1 spk 4 11 2 p2b 1 3 3 d iii k eperawatan 9 25 4 d iii kebidanan 1 5 41 5 d iv kebidanan 6 17 6 s1 keperawatan 1 3 total 3 6 100 tabel 5. karakteristik responden berdasarkan pelatihan hiv/aids di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no pelatihan hiv/aids frekuensi % 1 belum pernah 3 2 89 2 pernah 4 11 total 3 6 100 tabel 6. karakteristik responden berdasarkan lama bekerja di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no lama bekerja frekuensi % 1 < 2 th (tahap perkembangan) 2 5 2 2-10 th (tahap lanjutan) 14 39 3 > 10 th(tahap pemeliharaan) 20 56 total 36 100 tabel 7. karakteristik responden berdasarkan jenis profesi di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no jenis profesi frekuensi % 1 perawat 15 4 2 2 bidan 21 5 8 total 36 100 tabel 8. karakteristik responden berdasarkan status pernikahan di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no status pernikahan frekuensi % 1 menikah 28 78 2 belum menikah 7 19 3 janda 1 3 total 36 100 tabel 9. tabulasi frekuensi pengetahuan petugas kesehatan tentang hiv/aids di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no kategori pengetahuan tentang hiv/aids f rekuensi % 1 baik 29 80,6 2 cukup 7 19,4 skor minimum 26 skor maximum 39 mean 34,08 tabel 10. tabulasi frekuensi stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 no stigma pada odha frekuensi % 1 buruk 33 91,7 2 sedang 2 5,6 3 baik 1 2,8 skor minimum 39 skor maximum 75 mean 66 ,53 tabel 11. hubungan pendidikan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar tahun 2014 pendidikan stigma total buruk sedang baik spk 4 0 0 4 p2b 1 0 0 1 diii keperawatan 8 1 0 9 diii k ebidanan 14 1 0 15 div keb idanan 5 0 1 6 s1 keperawatan 1 0 0 1 tot al 33 2 1 36 sig (2-tailed) 0,367 34 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 30–37 correlation antara variabel lama bekerja dengan stigma pada odha mempunyai nilai 0.335, karena pearson correlasi nya berada pada interval 0,20 – 0,399 artinya hubungan antara kedua variabel tersebut rendah. hal ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh mahendra, et al. (2006), bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap odha. jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan diskriminasi terhadap odha. berdasarkan gambar 4 di atas menunjukkan bahwa pendidikan terbanyak adalah vokasi/diploma, yaitu diii kebidanan sebesar 41% dan diii keperawatan sebesar 25%. pendidikan hanyalah salah satu faktor penyebab timbulnya stigma. pendidikan bisa diperoleh dari pendidikan formal dan non formal. pendidikan formal diperoleh dari proses pembelajaran di institusi pemerintah maupun swasta yang telah diakui oleh pemerintah. sedangkan pendidikan non formal bisa diperoleh dari pelatihan. responden yang pernah mengikuti pendidikan non formal (pelatihan hiv/aids) hanya 4 responden (11%). meskipun hiv/aids telah masuk dalam kurikulum pendidikan, pada kenyataanya masih terdapat stigma terhadap odha. sikap, kesadaran, dan pengalaman mengikuti pelatihan tentang hiv/aids akan ikut berpengaruh terhadap timbulnya stigma. intervensi yang sudah diberikan langsung ke petugas kesehatan sebenarnya sudah ada yaitu masuk ke dalam kurikulum pendidikan. dalam permenkes nomor 369/menkes/sk/iii/ 2007 tentang standar profesi bidan, materi tentang ims dan hiv/aids termasuk dalam komponen pengetahuan dasar yang harus dicapai oleh calon bidan. untuk profesi perawat masuk dalam kurikulum keperawatan sistem imunologi. hasil analisis secara statistik didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan stigma pada odha. di dalam proses pembelajaran, semua perawat dan bidan sudah dibekali dengan ilmu dan ketrampilan sesuai kompetensi/standard profesi, khususnya dalam pelayanan kepada odha. tetapi kenyataannya setelah mereka lulus dan mendapatkan ijazah, tidak serta merta sanggup terjun ke pelayanan. mungkin hal ini disebabkan kurangnya kemauan dan kesempatan mahasiswa kebidanan dan keperawatan untuk berinteraksi secara langsung kepada odha saat melaksanakan praktek klinik, sehingga akan membentuk stigma yang buruk pada odha. dari hasil wawancara dengan beberapa responden ternyata sebagian besar responden belum tabel 12. hubungan lama bekerja dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 lama bekerja stigma total buruk sedang baik tahap perkembangan (< 2 tahun) 2 0 0 2 tahap lanjutan (2-10 tahun) 12 1 1 14 tahap pemeliharaan (> 10 tahun) 19 1 0 20 total 33 2 1 36 sig (2-tailed) 0,046 co rrelation co efficient 0,335 tabel 13. hubungan pengetahuan tentang hiv/aids dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar bulan nopember 2014 dari tabel 13 menunjukkan bahwa p dari kedua variabel yaitu p = 0.035 dan lebih kecil dari  = 0.05, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan tentang hiv/ aids dengan variabel stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. sedangkan untuk nilai pearson correlation antara variabel pengetahuan tentang hiv/aids dengan stigma pada odha mempunyai nilai 0.352, karena pearson correlasi nya berada pada interval 0,20–0,399 artinya hubungan antara kedua variabel tersebut rendah. pembahasan hubungan pendidikan dengan stigma pada odha berdasarkan hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar, dengan menggunakan spearman’s rho didapatkan tingkat kemaknaan p = 0.367 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. pengetahuan stig ma total buruk sedang baik baik 28 1 0 29 cukup 5 1 1 7 total 33 2 1 36 sig (2-tailed) 0,035 correlation coefficient 0,352 35sudarsono, hubungan karakteristik perawat dan bidan ... pernah melakukan kontak langsung yang berkaitan dengan asuhan keperawatan maupun asuhan kebidanan kepada odha selama menjalani praktek profesi/klinik. selain itu faktor ekternal seperrti pengalaman dalam mengikuti pelatihan hiv, mengikuti workshope, keaktifan mengikuti organisasi, dan keaktifan dalam mengakses informasi seperti dari internet, televisi, koran, radio, dan jejaring sosial lainnya akan turut menyumbang timbulnya sikap dan karakter perawat dan bidan yang berkaitan dengan stigma pada odha. dengan demikian sangatlah wajar apabila dalam penelitian ini didapatkan hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan stigma pada odha. hubungan lama bekerja dengan stigma pada odha berdasarkan hasil analisis hubungan antara lama bekerja petugas kesehatan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar dengan menggunakan analisa pearson correlation didapatkan tingkat kemaknaan p = 0.046, artinya ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. sedangkan nilai koefisien korelasi = 0.335 yang artinya derajat hubungan antara lama bekerja dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar rendah. lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk melakukan jenis pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu dalam melaksanakan tugas tersebut. pengembangan perilaku dan sikap tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan perilaku pelayanan kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi. lamanya bekerja seseorang akan mempengaruhi pengalamannya, sehingga juga ikut berpengaruh dalam penentuan sikap dan keputusan dalam memberikan pelayanan kesehatan, termasuk pada odha (suganda, 1997). menurut azwar (2007), salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi. apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut melibatkan faktor emosional. dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. dari gambar 6 di atas, pengelompokan masa kerja berdasarkan morrow dan mcelroy (dalam seniati, 2002), responden lebih banyak berada pada tahap pemeliharaan/maintenance stage ya itu dengan lama bekerja > 10 th sebanyak 20 responden. tentunya pada tahap ini sudah banyak pengalaman yang diperoleh responden dalam menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan. untuk menekan atau menghindari terjadinya stigma dari petugas kesehatan, perlu dipersiapkan pembentukan karakter petugas kesehatan dalam menghadapi odha melalui pelatihan hiv/aids. dan sasaran pelatihan yang terbaik adalah pada masa kerja tahap lanjutan/advancement stage (2–10 tahun), karena pada tahap ini merupakan tahap yang paling baik untuk pembentukan sikap dan karakter dalam bekerja untuk menuju tahap pemeliharaan (maintenance stage). usia responden dalam penelitian ini terbanyak berada pada masa dewasa, yaitu dewasa awal sebanyak 9 responden, dan dewasa akhir sebanyak 14 responden. tentunya dengan bertambahnya usia juga akan bertambah pula pengalaman kerjaanya. ini merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi sikap petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada odha. dalam penelitian ini semakin bertambahnya usia, stigma yang terjadi pada odha cenderung mengalami penurunan. hubungan pengetahuan tentang hiv/aids dengan stigma pada odha berdasarkan hasil analisis hubungan antara pengetahuan tentang hiv/aids dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar dengan menggunakan analisa pearson correlation, didapatkan tingkat kemaknaan p = 0.035 artinya ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang hiv/aids dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar. sedangkan nilai koefisien korelasi = 0.352 yang artinya derajat hubungan antara pengetahuan tentang hiv/aids dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar rendah. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh bradley (2009), bahwa pengetahuan tentang hiv/aids sangat mempengaruhi bagaimana individu tersebut akan bersikap terhadap penderita hiv/ 36 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 30–37 aids. stigma dan diskriminasi terhadap odha muncul berkaitan dengan ketidaktahuan tentang mekanisme penularan hiv, perkiraan risiko tertular yang berlebihan melalui kontak biasa dan sikap negatif terhadap kelompok sosial yang tidak proporsional (herek, 2002). chase dan aggleton (2001) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya stigma adalah misinformasi mengenai bagaimana hiv ditransmimisikan. pengetahuan merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan sikap (sarwanto dan ajik, 2004). berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan perilaku yang baik pula (widodo, dkk., 2005). penelitian ini sesuai dengan teori tersebut. pengetahuan yang rendah memiliki perilaku yang rendah pula. akan tetapi disisi lain dengan pengetahuan yang salah tentang sesuatu hal akibat penyampaian informasi yang kurang tepat, atau kurang lengkap atau terlalu berlebihan atau adanya kepercayaan yang salah di kelompok masyarakat yang berpengaruh khususnya terhadap informasi hiv/aids akan memunculkan dan berkembang di masyarakat berupa mitos. mitos yang di maksud di sini adalah persepsi dan kepercayaan masyarakat yang sebenarnya salah. dalam hal hiv/ aids mitos adalah persepsi yang salah mengenai hiv/aids. akibat dari muncul dan berkembangnya mitos terhadap hiv/aids akan menimbulkan sikap diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat terhadap odha dan keluarganya. dari 40 item pertanyaan variable pengetahuan yang dijawab oleh 36 responden, terdapat 2 item pertanyaan yang mempunyai skor jawaban terendah yaitu soal nomor 32 tentang puasa hubungan seksual secara total (abstinensia), dan item soal nomor 39 tentang melakukan pemusnahan/pembakaran seluruh peralatan yang habis digunakan untuk merawat pasien hiv/aids. dua macam item pertanyaan ini sebenarnya merupakan pengetahuan dasar tentang cara pencegahan hiv/aids. padahal dari berbagai literatur sudah jelas bahwa abstinensia merupakan cara utama pencegahan hiv/aids. begitu juga tentang soal nomor 39, bahwa virus hiv bisa segera mati bila berada di luar tubuh manusia. dengan melakukan perendaman pada larutan chlorine atau byclean saja sebenarnya virus sudah bisa mati. akan tetapi masih banyak responden yang mempunyai pemahaman bahwa semua peralatan yang habis digunakan merawat pasien hiv/aids harus dimusnahkan/dibakar. sedangkan untuk variabel stigma, dari 27 item pertanyaan yang dijawab oleh 36 responden, terdapat 3 item pertanyaan yang mempunyai skor jawaban terbanyak yaitu soal nomor 1, 5, dan 11. soal nomor 1, hiv/aids adalah penyakit menular yang dapat mematikan penderitanya. soal nomor 5, kita tidak boleh tinggal serumah dengan penderita hiv/ aids karena menderita penyakit menular. soal nomor 11, odha tidak boleh hidup di tengah masyarakat karena mempunyai perilaku buruk. disini sangat jelas bahwa sebagian besar responden masih mempunyai rasa takut dan kawatir tertular hiv/ aids, juga masih banyak responden yang menganggap bahwa odha disebabkan karena perilaku yang buruk. dari beberapa item pertanyaan pengetahuan hiv/aids yang kurang dan item stigma yang tinggi tersebut di atas, dapat digunakan sebagai dasar dan fokus pemberian materi pelatihan tentang hiv/ aids kepada bidan dan perawat. dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang hiv/aids dengan stigma pada odha. oleh karena itu perlu ditekankan pentingnya kampanye pendidikan hiv/ aids untuk menghilangkan stigma. program peningkatan pengetahuan melalui pelatihan juga sudah dilaksanakan oleh pemerintah. tetapi masih perlu terus dilaksananakan secara berkesinambungan secara merata kepada seluruh petugas kesehatan. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1) tidak ada hubungan antara pendidikan dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar, dengan nilai p = 0.367. 2) ada hubungan antara lama bekerja dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar, dengan nilai p = 0.046 dan pearson correlation = 0.335. 3) ada hubungan antara pengetahuan hiv/aids dengan stigma pada odha di puskesmas talun kabupaten blitar, dengan nilai p = 0.035 dan pearson correlation = 0.352. saran bagi petugas kesehatan di puskesmas talun, petugas kesehatan sebagai orang yang dipercaya pasien sebaiknya selalu memberikan pelayanan kesehatan yang sama kepada semua pasin tanpa 37sudarsono, hubungan karakteristik perawat dan bidan ... membedakan status dan jenis penyakitnya. selain itu informasi-informasi yang diperlukan pasien sebaiknya dijelaskan secara jelas dan tetaplah bersikap sabar kepada pasien jika klien belum paham terhadap informasi yang diberikan. bagi dinas kesehatan, 1) perlu perhatian lebih besar dari penentu kebijakan di tingkat pemerintah kabupaten blitar terhadap program-program pencegahan penularan hiv/aids di kalangan petugas kesehatan, dengan memberikan pelatihan yang merata dan berkesinambungan kepada seluruh petugas kesehatan. 2) kuesioner ini dapat digunakan sebagai pengukur stigma seluruh tenaga kesehatan di wilayah kabupaten blitar untuk menentukan intervensi lebih lanjut sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan. bagi institusi pendidikan, perlu pembenahan dan perhatian lebih besar tmengenai metode pembelajaran tentang hiv/aids di laboratorium klinik. bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian yang cakupannya lebih luas lagi yaitu pada petugas kesehatan yang lain serta dengan jumlah responden yang lebih banyak. selain itu, perlu dilakukan penelitian tentang pemberian pelatihan spiritual dan emosional terhadap petugas kesehatan. karena kegiatan spiritual dapat memberikan ketenangan pada individu, sehingga dengan kegiatan spiritual ini kemungkinan bisa mengurangi tingkat stigma yang terjadi pada petugas kesehatan yang akhirnya bisa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada odha. masih perlu dieksplorasi adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi kepada odha oleh tenaga kesehatan, misalnya pengaruh faktor sosial dan budaya setempat. daftar rujukan azwar, s. 2007. sikap manusia teori dan pengukurannya, edisi 2. yogyakarta: pustaka pelajar. bradley, r., david, wayne, david, dan john. 2007. le cture notes: kedokteran klinis. jakarta: penerbit erlangga. chase, e., aggleton, p. 2001. stigma, hiv/aids and prevention of m other to child transmission: a pilot study in zambia, india, ukraine, and burkina faso. london: unicef. dirjen pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. 2013. laporan perkembangan hiv-aids triwulan 1 tahun 2013. herek, et al. 2002. hiv related stigma and knowledge in the united states: prevalence and trends, 1991– 1999. american journal of public health. mahendra, v.s., et al. 2006. reducing stigma and discriminationin hospital: positive findings from india. horizons research summary. pratikno, h. 2008. stigma dan diskriminasi oleh petugas kesehatan terhadap odha di kabupaten bengkalis, propinsi kepulauan riau. yogyakarta: universitas gadjah mada. sarwanto, ajik, s. 2004. pengetahuan, sikap, dan perilaku pekerja remaja terhadap penyakit menular seksual (pms) serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan seks pranikah. surabaya: pusat penellitian dan pengembangan pelayanan dan teknologi kesehatan departemen kesehatan ri. suganda s. 1997. faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja bidan desa di kabupaten tasikmalaya. unaids. 2001. protocol for the identification of discrimination against people living with hiv. widodo, dkk. 2005. pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kehamilan, persalinan serta komplikasinya pada ibu hamil nonprimigravida di rsupn ci pt o ma n gun kusum o. majal ah kedokteran indonesia. 203ta’adi, setiyorini, amalya, faktor yang berhubungan dengan... 203 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama pada keluarga pasien di ruang anak ta’adi1, erni setiyorini2, m. rifqi amalya f3 1,2,3prodi keperawatan, stikes patria husada blitar, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 12/07/2019 disetujui, 29/07/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: kepatuhan cuci tangan 6 langkah, pendidikan, usia, jenis kelamin, pekerjaan abstrak tatanan rumah sakit merupakan tempat yang memiliki resiko tinggi terjadinya healthcare associated infection (hais).perilaku keluarga dan pasien yang menjalani perawatan di rs sangat berpengaruh terhadap timbulnya hais, salah satunya dalam menerapkan cuci tangan.beberapa faktor mempengaruhi kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama pada keluarga pasien di ruang anak.tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah moment pertama pada keluarga pasien di ruang anak.desain penelitian menggunakan korelasional.populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien anak yang dirawat di ruang anak sebanyak 60 orang, dengan consecutive sampling didapatkan sampel sebanyak 38 orang.penelitian dilaksanakan 03 – 21 desember 2018. analisis data menggunakan spearman rho dan kruskal wallis. hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah adalah faktor usia (p value= 0,005), yang berarti dengan peningkatan usia maka kepatuhan cuci tangan menurun. sedangkan faktor jenis kelamin, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan tidak berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah pada momen pertama. diharapkan petugas kesehatan dapat memberikan edukasi tentang cuci tangan 6 langkah dengan mempertimbangkan berbagai faktor untuk menentukan metode dan media yang sesuai. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: poltekkes kemenkes malang jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: taadijnkphb@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p203–210 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 204 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 203–210 abstract hospital arrangement is a place that has a high risk of healthcare associated infection (hais). family behavior and patients undergoing treatment at the hospital greatly influence the emergence of hais, one of which is applying handwashing. several factors influence the compliance of hand washing 6 steps the first moment in the patient’s family in the children’s room. the purpose of this study was to determine the factors associated with adherence to 6-step first-hand washing of the patient’s family in the child’s room. research design uses correlational. the population in this study was 60 families of pediatric patients treated in the children’s room, with consecutive sampling obtained as many as 38 people. the study was conducted december 3 to 21 2018. analysis of data using spearman rho and kruskal wallis. the results showed that the factor associated with adherence to 6-step hand washing was the age factor (p value = -0.005), which means that with increasing age, hand-washing compliance decreased. while the factors of gender, education, gender, occupation are not related to compliance with 6-step hand washing at the first moment. it is expected that health workers can provide education on hand washing 6 steps by considering various factors to determine the appropriate method and media. factors related to the compliance of the first 6 step moment wash in patient family in the children’s room article information history article: received, 12/07/2019 accepted, 29/07/2019 published, 01/08/2019 keywords: compliance withhand washing 6 steps, education, age, gender, occupation 205ta’adi, setiyorini, amalya, faktor yang berhubungan dengan... pendahuluan rumah sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan publik dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan secara komprehensif baik secara promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. salah satu masalah kesehatan yaitu penyakit infeksi yang terjadi di pelayanan kesehatan disebut dengan health-care associated infections (hais) . kejadian hais merupakan salah satu indikator mutu darisebuah rumah sakit. menurut darmadi (2008) berbagai kuman, bakteri dan virus menyebabkan pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit beresiko terkena infeksi. tanda dan gejala pasien yang terkena infeksi timbul setekah 3x24 jam setelah pasien menjalani perawatan di rumah sakit, hal ini dapat terlihat dengan adanya reaksi peradangan dan hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung. selain itu kozier (2010) menambahkan kriteria infeksi nosokomial yaitu apaila saat pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak terdapat tanda-anda klinik infeksi dan pada saat pasien mulai dirawat di rumah sakit didapatkan tanda-tanda infeksi. berbagai faktor berhubungan dengan terjadinya infeksi nosokomial di pelayanan kesehatan, baik faktor yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. pada pasien anak, keluarga merupakan orang terdekat yang melakukan perawatan selama pasien di rawat di rumah sakit. perilaku kesehatan dalam melakukan cuci tangan 6 langkah memberikan dampak pada pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. secara teoritis terdapat 5 momen cuci tangan yaitu momen 1sebelum menyentuh pasien, momen 2 sebelum tindakan aseptis, momen 3 setelah terpapar cairan tubuh, momen 4 setelah menyentuh pasien, momen 5 setelah menyentuh sekitar pasien. prevalensi hais di rumah sakit dunia mencapai9 % ( 1,40 juta pasien rawa inap). who dalam penelitiannya memperoleh data bahwa sekitar 8,70% dari 55 rs di 14 negara di eropa, timur tengah, asia tenggara dan pasifik menunjukkan adanya hais. prevalensi tertinggi di mediterania timur dan asia tenggara yaitu sebesar 11,80% dan 10% (kurniawati dkk, 2015). jumlah infeksi nosokomial di indonesia pada tahun 2006 lebih tinggi di rumah sakit umum 23.223 dari 2.434.26 pasien. sedangkan jumlah infeksi di rumah sakit khusus 297 pasien dari 38.408 pasien (depkes, 2007). pada ruang rawat inap dengan pasien anak cenderung memiliki resiko yang lebih tinggi terkena infeksi nosokomial, karena pada saat sakit daya tahan tubuh anak mengalami penurunan ditambah dengan prosedur invasif pada proses perawatan anak. menurut who (2004) faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial yaitu: tindakan invasif yang merusak barier normal seperti pemasangan infus, ruangan yang terlalu penuh dan kurang staf, penyalahgunaan antibiotik, tidak patuh terhadap peraturan pengendalian infeksi khusus cuci tangan, prosedur sterilisasi yang tidak tepat. sedangkan darmadi (2008) menyebutkan salah satu faktor yang berperan memberi pelua ng terjadinya infeksi nosokomial adalah sebagai berikut: faktor intrinsik yang ada pada pasien (usia, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, adanya penyakit lain yang menyertai dan komplikasinya). dampak dari infeksi nosokomial menyebabkan kerugian karena terjadi stres emosional yang dapat menurunkan kemampuan dan kualitas hidup pasien, lamanya perawatan di rumah sakit sehingga bertambahnya biaya perawatan, peningkatan penggunaan obat-obatan, kebutuhan terhadap isolasi pasien dan meningkatnya keperluan untuk pemeriksaan penunjang dan dapat menyebabka n kematian (mariana, dkk, 2015). salah satu metode yang dilakukan untuk mencegah hais (infeksi nosokomial) yaitu dengan melaksanakan universal precaution. salah satu universal precaution adalah cuci tangan di rumah sakit. fajriyah (2015) menyatakan sebuah penelitian menunjukkan bahwa mencuci tangan dapat menurunkan 20%-40% kejadian infeksi nosokomial, akan tetapi pelaksanaan cuci tangan masih belum direspon secara maksimal. beberapa upaya telah dilakukan oleh rumah sakit untuk meningkatkan perilaku cuci tangan, baik pada petuas, fasilitas dan pasien/ keluarga. namun, masih ada kendala yaitu kurangnya kepatuhan untuk menataati prosedur (saragih & natalina, 2012). rikayanti (2014) menyebutkan bahwa mencuci tangan merupakan kegiatan yang penting bagi lingkungan tempat klien dirawat. rutinitas mencuci tangan adalah kegiatan yang murah dan penting dalam mengendalikan infeksi, terutama dalam mencegah transmisi mikroorganisme. pelaksanaan cuci tangan harus sesuai dengan prosedur stadar untuk mencegah perkembangbiakan mikroorganisme kuman. iskandar & yanto (2018) menyatakan bahwa cuci tangan yang benar harus sesuai dengan 6 lngkah cuci tangan dan sesuai dengan lima moment cuci tangan. ketepatan durasi dalam melakukan cuci tangan denan menggunakan sabun dan air mengalir 40 – 60 detik, bila menggunakan handrub 20-30 detik. akan tetapi pada kenyataannya, meskipun sudah mendapatkan pendidikan kese206 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 203–210 hatan tentang cuci tangan oleh petugas kesehatan, kepatuhan keluarga pasien dalam melakukan cuci tangan 6 langkah masih belum optimal. studi pendahuluan di rsud kraton pada 20 penunggu pasien pada januari 2015 diperoleh data, tentang pelaksanaan cuci tangan, terdapat 5 orang melaksanakan cuci tangan dan 15 orang tidak melakukan cuci tangan dengan alasan tidak mengetahui cuci tangan dan tergesa-gesa. sedangkan hasil studi awal penelitian di ruang nusa indah rsud mardi waluyo blitar, kepada 20 keluarga pasien yaitu pada saat moment pertama yaitu sebelum dan sesudah memasukan makanan ke dalam mulut terlihat hanya 7 orang (35%) yang melakukan tindakan cuci tangan dengan 6 langkah yang benar. meskipun sarana dan prasarana untuk cuci tangan seperti wastafel dan handrub yang disediakan di depan pintu masuk ruang rawat inap, di samping tempat tidur pasien, di depan kamar mandi pasien dan poster tentang cara 6 langkah cuci tangan sudah disediakan serta anjuran pada setiap pasien baru sudah banyak dilakukan, akan tetapi minimnya sosialisai yang berkelanjutan tentang infeksi nosokomial pada keluarga pasien yang kemungkinan dapat menurunkan motivasi keluarga dalam melakukan tindakan cuci tangan. berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah moment pertama pada keluarga pasien di ruang nusa indah rsud mardi waluyo blitar. bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga pasien anak yangdirawat di ruang nusa indah pada tanggal 03 – 21 desember 2018, sebanyak 60 orang. sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan consecutive sampling, sampel sebanyak 38 orang dengan kriteria sampel sebagai berikut: keluarga yang merawat pasien saat rawat inap. variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan cuci tangan 6 langkah pada moment 1 dan variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, pekerjaan. teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner data demografi dan observasi cuci tangan 6 langkah. penilaian kepatuan keluarga pasien dengan menggunakan lembar observasi berupa chek list yang berisi penilaian cara cuci tangan 6 langkah pada moment pertama dengan 5 kali kesempatan observasi yang diadopsi dari who usia terbanyak responden adalah 31-40 tahun, yaitu 25 orang (66%), jenis kelamin mayoritas perempuan 31 orang (82%), pendidikan mayoritas slta, 25 orang(66%), pekerjaan sebagian besar adalah ibu rumah tangga 23 orang (61%0, dan sebagian besar yang menunggu pasien merupakan orang tua yaitu 35 orang (92%). (2009) dengan skor minimal adalah 0 dan maximal adalah 5. skor 0 : jika keluarga pasien tidak melakukan cuci tangan 6 langkah pada tiap kesempatan, skor 1 : jika keluarga pasien melakukan cuci tangan 6 langkah pada 1 kesempatan, skor 5 : jika keluarga pasien melakukan cuci tangan 6 langkah pada 5 kesempatan. analisa data bivariat dengan menggunakan spearman rho dan pada data nominal dan ordinal menggunakan kruskal wallis. penyajian data dengan menggunakan distribusi frekuensi. hasil penelitian data f % usia 20-30 tahun 10 26 31-40 tahun 25 66 41-50 tahun 2 5 51-60 tahun 1 3 jenis kelamin laki -laki 7 18 perempuan 31 82 pendidikan sltp 8 21 slta 25 66 pt 5 13 pekerjaan pedagang 3 8 petani 5 13 swasta 7 18 irt 23 61 hubungan dengan pasien orang tua 35 92 saudara 3 8 tabel 1 data umum penelitian kepatuhan cuci tangan 6 langkah f % kurang 32 84,2 cukup 4 10,5 baik 2 5,3 data khusus tabel 2 kepatuhan cuci tangan 6 langkah moment pertama pada keluarga pasien di ruang anak 207ta’adi, setiyorini, amalya, faktor yang berhubungan dengan... kepatuhan cuci tangan 6 langkah usia 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun kurang 9 18 2 3 cukup 1 3 0 0 baik 0 2 0 0 spearman’s rho p value= -0,005 tabel 3 tabulasi silang kepatuhan cuci tangan 6 langkah dengan usia responden sebagian besar responden memiliki kepatuhan cuci tangan yang kurang, yaitu 32 orang (84,2%). pada tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar kepatuhan cuci tangan 6 langkah dalam kategori kurang pada kelompok uisa 31-40 tahun yaitu 18 orang. uji statistik spearman rho menunjukkkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kepatuhan cuci tangan 6 langkah dengan usia. semakin meningkat usia, kepatuhan cuci tangan 6 langkah semakin kurang. kepatuhan cuci tangan 6 langkah jenis kelamin laki-laki perempuan kurang 6 26 cukup 0 4 baik 0 2 kruskal wallis p value=0,256 tabel 4 tabulasi silang kepatuhan cuci tangan 6 langkah dengan jenis kelamin tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan memiliki kepatuhan cuci tangan 6 langkah yang kurang, sebanyak 26 orang. hasil uji statistik kruskal wallis menunjukkan bahwa tidak a da hubunga n a nta r a jenis kela min denga n kepatuhan cuci tangan 6 langkah. kepatuhan cuci tangan 6 langkah pendidikan sltp slta pt kurang 6 22 4 cukup 1 3 0 baik 0 1 1 spearman rho p-value=0,060 tabel 5 tabulasi silang kepatuhan cuci tangan 6 langkah dengan pendidikan kepatuhan cuci tangan 6 langkah pekerjaan pedagang petani swasta irt kurang 3 4 6 19 cukup 0 1 1 2 baik 0 0 0 2 spearman rho p value=0,081 tabel 6 tabulasi silang kepatuhan cuci tangan 6 langkah dengan pekerjaan 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 203–210 tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang berpendidikan slta memiliki kepatuhan cuci tangan 6 langkah dalam kategori kurang, yaitu 22 orang. tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan responden yaitu ibu rumah tangga memiliki kepatuhan cuci tangan 6 langkah yang kurang, yaitu 19 orang. hasil uji statistik spearman rho menunjukkan tidak ada hubungan faktor pekerjaan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama. pembahasan hubungan usia responden dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama dari 38 responden yang melakukan cuci tangan 6 langkah sebelum dilakukan pendidikan kesehatan secara benar sebanyak 2 kali kesempatan adalah 2 orang, sebanyak 1 kali kesempatan adalah 4 orang. sisanya terdapat 32 responden belum melakukan cuci tangan 6 langkah secara benar. dari tabel 2 ditemukan bahwa mayoritas kepatuhan cuci tangan responden dalam kategori kurang. responden rata-rata sudah melakukan cuci tangan tetapi belum lengkap melakukan 6 langkah cuci tangan dengan benar. padahal prosedur cuci tangan 6 la ngkah merupakan salah sa tu ca raunivesal precautionuntuk memutus mata rantai penyebaran healthcare associated infection (hais) . healthcare associated infection (hais) adalah infeksi yang didapatkan pasien selama menjalankan perawatan di rumah sakit. kriteria pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial apabila pada saat pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari sebagai penyedia layanan kesehatan dengan memberikan himbauan berupa leaflet, poster, penyuluhan kesehatan pada setiap pengguna layanan kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.. kepatuhan dalam perilaku cuci tangan 6 langkah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu pengetahuan, motivasi dan lingkungan (notoatmodjo, 2012). dilingkungan rs, sebenarnya fasilitas untuk pelaksanaan cuci tangan sudah disediakan, seperti wastafel yang dilengkapi dengan sabun dan hand rub yang tersedia di sisi tempat tidur pasien. pada tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar kepatuhan cuci tangan 6 langkah dalam kategori kurang pada kelompok uisa 31-40 tahun yaitu 18 orang. uji statistik spearman rho menunjukkkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kepatuhan cuci tangan 6 langkah dengan usia. semakin meningkat usia, kepatuhan cuci tangan 6 langkah semakin kurang. idealnya semakin bertambahnya usia seseorang, maka pengalaman lebih banyak dan berdampak pada tingkat pengetahuannya. hartono (2015) menyatakan bahwa umur dapat berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dan pola pikir tersebut berpengaruh terhadap perilaku seseorang. semakin cukup usia seseorang, maka akan semakin matang dalam berpikir atau bertindak. akan tetapi hal ini tidak mutlak terjadi, karena setiap orang terpapar dengan pegalaman yang berbeda. apabila seseorang dipaparkan dengan kejadian yang sama, misalnya keluarga sering rawat inap di rumah sakit maka dia akan lebih banyak terpapar informasi tentang cuci tangan 6 la ngkah, sehingga kepa tuhan cuci tangannya dalam kategori baik. hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan memiliki kepatuhan cuci tangan 6 langkah yang kurang, sebanyak 26 orang. hasil uji statistik kruskal wallis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah (p value=0,256). jenis kelamin responden tidak berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah pada momen pertama. besarnya kepatuhan yang kurang pada jenis kelamin perempuan ini, dimungkinkan karena secara umum responden masih 1 kali dipaparkan terhadap informasi terkait dengan cuci tangan 6 langkah pada 5 moment oleh petugas kesehatan, sehingga aplikasi cuci tangan 6 langkah pada momen pertama juga masih minimal. nasrun (2007) menyatakan bahwa ingatan seseorang dipengaruhi oleh tingkat perhatian, minat, daya konsentrasi, emosi dan kelelahan. sebagian besar penunggu pasien adalah ibu pasien, sehingga sebagian besar waktunya tersita untuk merawat anak, sehingga konsentrasi saat terpapar informasi tentang cuci tangan momen pertama menurun. anak sakit cenderung rewel dan mempengaruhi emosional ibu. dampak dari perawatan anak di rs yang lama menyebabkan kelelahan bagi ibu. hubungan pendidikan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang berpendidikan slta memiliki 209ta’adi, setiyorini, amalya, faktor yang berhubungan dengan... kepatuhan cuci tangan 6 langkah dalam kategori kurang, yaitu 22 orang. hasil uji statistik tingkat pendidika n denga n kepa tuha n cuci ta nga n menunjukkan p=0,060, yang berarti bahwa tidak ada hubungan faktor pendidikan dengan kepauhan cuci tangan 6 langkah momen 1. menurut hartono (2015) pendidika n forma l ma upun non forma l ya ng diinginkan adalah adanya perubahan kemampuan, penampilan dan perilakunya. menurut notoatmodjo (2007) semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan mudah menerima hal baru dan dan mudah menyesuaikan dengan hal baru tersebut. pada penelitian ini walaupun pendidikan terbanyak slta, akan tetapi kepatuhan cuci tangan dalam kategori kurang. hal ini dapat terjadi karena terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi cuci tangan 6 langkah pada momen 1, diantaranya yaitu: keparahan penyakit dari pasien yang ditunggu oleh keluarga, intensitas petugas kesehatan dalam memaparkan informasi terkait dengan cuci tangan 6 langkah belum optimal, tingkat ketergantungan pasien, pengatahuan, sikap dan motivasi keluarga. hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh arfianti (2010) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan denan tingkat kepatuhan mencuci tangan. dalam penelitian tersebut faktor tersebut meliputi faktor karakteristik individu (jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, masa kerja, tingkat pendidikan), faktor psikologis (sikap terhadap penyakit, ketegangan kerja, rasa takut dan persepsi tehadap resiko, faktor organisasi manajemen, faktor pengetahuan, faktor fasilitas, motivasi, kesadaran, faktor tempat tugas dan bahan cuci tangan terhadap kulit. peningkatan pengetahuan pada seseorang dapat disebabkan karena menerima informasi tentang cuci tangan dari sumber lain, seperti media cetak, elektronik maupun dari petugas kesehatan (notoatmodjo, 2007). peningkatan pengetahuan yang terjadi dapat dipengaruhi karena setiap anggota keluarga selalu berinteraksi dengan orang lain, sehingga dimungkinkan melalui interaksi tersebut keluarga mendapatkan pemahaman-pemahaman baru. sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan tidak mutlak berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan pada momen pertama pada keluarga pasien. hubungan pekerjaan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama tabel 6 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan responden yaitu ibu rumah tangga memiliki kepatuhan cuci tangan 6 langkah yang kurang, yaitu 19 orang. hasil uji statistik spearman rho menunjukkan tidak ada hubungan faktor pekerjaan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah momen pertama (p value =0,081). pada sampel penelitian keluarga pasien yang dirawat inap, pekerjaan tidak berkorelasi dengan kepatuhan. hasil tersebut diatas dapat dipengaruhi berbagai faktor diantaranya adalah: kurang terpaparnya informasi tentang healthcare associated infection (hais), yang menyebabkan kurangnya motivasi keluarga terhadap anjuran cuci tangan yang sudah di lakukan oleh pihak rumah sakit, selain itu dari data rekam medis yang ada, rata-rata responden belum pernah masuk rumah sakit dan sebagian besar dari responden adalah irt sehingga kurang terpapar informasi mengenai cuci tangan 6 langkah dan belum terbiasa melakukan cuci tangan 6 langkah secara benar setiap harinya, karena salah satu faktor kepatuhan cuci tangan 6 langkah dalah pengalaman mendapatkan informasi mengenai cuci tangan 6 langkah dan kebiasaan melakukan cuci tangan 6 langkah setiap harinya. justru lamanya menjalani rawat inap pada pasien ini yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan cuci tangan. dengan paparan informasi yang dberikan secara intens dapat menstimulasi keluarga dalam melakukan cuci tangan 6 langkah setidaknya pada momen pertama. kesimpulan faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah adalah faktor usia (p value= -0,005) sedangkankan faktor jenis kelamin, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan tidak berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan 6 langkah pada momen pertama. saran diharapkan pada peugas kesehatan untuk dapat memberikan intervensi pada kepatuhan cuci tangan keluarga pasien berdasarkan hasil indentifikasi faktor yang berhubungan, sehingga metode dan media yang digunakan tepat sasaran. daftar pustaka arfianti, d. (2010). faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan cuci tangan perawat di rsi sultan agung semarang. jurnal universitas muhammadiyah semarang. darmadi.(2008). infeksi nosokomial: problematika dan pengendaliannya. jakara: salemba medika. depkes ri (2007). pedoman managerial pencegahan 210 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 203–210 dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainya, jakarta. fajriyah. (2015). pengetahuan mencuci tanan penunggu pasien menggunakan lotion antiseptik. the 2nd university research coloqium 2015, hlm.557-562. hartono, a.(2015). gambaran perilaku perawat dalam melaksanakan cuci tangan di ruang anggrek dan wijaya kusuma rsud wates. stikes jenderal achmad yani yogyakarta. iskandar, m.b., yanto, a.(2018). pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pelaksanaan cuci tangan 6 langkah 5 momen keluarga pasien di ruang rawat inap rs roemani semarang. prosiding seminar nasional mahasiswa unimus, vol 1.hlm. 120-128. kozier.(2010). buku ajar praktik keperawatan klinis. edisi 5.jakarta: egc. kurniawati, a.f., satyabakti,p.,&arbianti, n. (2015). perbedaan risikomultidrug resistance organism (mdros) menurut fakor risiko dan kepatuhan hand hygiene. jurnal berkala epidemiologi, 3(3), 277287. https://doi.org/10.20473/jbe.v3i32015.277-289. mariana, e.r., zainab., kholik, s.(2015). hubungan pengetahuan tentang infeksi nosokomial dengan sikap mencegah infeksi nosokomial pada keluarga pasien di ruang penyakit dalam rsud ratu zalecha martapura. jurnal skala kesehatan volume 6 no.2. nasrun.(2007). ingatan pada manusia. jakarta: logos wacana ilmu. notoatmojo, s (2007). metodologi penelitian kesehatan. jakarta : pt rineka cipta. notoatmojo, s (2010). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta : rineka cipta. rikayanti, k.h.(2014). hubungan tingkat pengetahuan den ga n peri la ku men cuci tan ga n petuga s kesehatan di rumah sakit umum daerah bandung tahun 2013. communiy health, vol 2, no 1. http:// ojs.unud.ac.id/index.php/jch/article/view/7693 saragih, r. & natalina, r. (2012). hubungan karakteristik perawat dengan tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan di rumah sakit columbia asia medan. jurnal kesehatan. universitas darma agung medan. who.(2004). prevention of hospital acquired infections: a practical guide.2nd edition.http://www.who.int/ research/en/emc dibuka 2 juli 2019. 389rahmawati, faktor yang berhubungan dengan pengetahuan orangtua tentang... jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk faktor yang berhubungan dengan pengetahuan orangtua tentang stunting pada balita info artikel sejarah artikel: diterima, 18/09/2019 disetujui, 13/11/2019 dipublikasi, 05/12/2019 kata kunci: pengetahuan, orangtua, stunting, balita abstrak stunting masih menjadi masalah gizi anak yang utama yang dapat menimbulkan dampak besar, namun masyarakat khususnya orangtua banyak yang belum memahami stunting dengan benar. tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor yang berhubungan dan yang mempunyai pengaruh paling dominan terhadap pengetahuan orang tua tentang stunting pada balita. penelitian ini menggunakan desain crosssectional dengan populasi yaitu orangtua yang memiliki anak balita usia 0-3 tahun di posyandu dusun plosoarang, sanankulon, kabupaten blitar. sampel diambil dengan purposive sampling sebanyak 20 orang dengan kriteria inklusi orang tua yang mengantar ke posyandu dan minimal berpendidikan smp. pengukuran data menggunakan kuesioner meliputi data pengetahuan, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan informasi yang pernah diperoleh. analisis bivariat menggunakan koefisien kontingensi. analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda dengan nilai signifikan á=0,05. hasil penelitian menunjukkan faktor yang berhubungan dengan pengetahuan tentang stunting yaitu usia (p=0,017), pendidikan (p=0,043), informasi (p=0,002). analisis uji regresi logistik menunjukkan informasi menjadi faktor yang paling dominan terhadap pengetahuan (p=0,025). faktor yang tidak berhubungan yaitu pekerjaan (p=0,078) dan pengalaman (p=0,822). petugas posyandu agar memberikan informasi tentang stunting saat kegiatan posyandu misalnya melalui penyuluhan atau konseling. orang tua diharapkan agar meningkatkan pengetahuan tentang stunting dengan mencari informasi melalui berbagai media yang ada. 389 article information history article: received, 18/09/2019 accepted, 13/11/2019 published, 05/12/2019 related factors of parental knowledge about stunting in toddler abstract stunting is still a major child nutrition problem that can have a big impact. but many people especially parents do not understand about stunting correctly. the aim of this study was to analyze the factors that are related and which have the most dominant influence on parental knowlanita rahmawati, thatit nurmawati, liliani permata sari prodi keperawatan, stikes patria husada blitar, indonesia http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p389-395&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 390 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 389–395 keywords: parental, knowledge, stunting, toddler correspondence address: stikes patria husada blitar, east java indonesia p-issn : 2355-052x pendahuluan kejadian balita pendek (stunting) masih menjadi masalah gizi utama yang dihadapi indonesia, tetapi informasi tentang stunting yang kurang memadai menimbulkan cukup banyak kesalahpahaman di masyarakat seperti menganggap stunting hanyalah sekedar kondisi wajar tentang tinggi badan kurang bahkan beberapa orang tua belum mengetahui tentang stunting (harmoko, 2017). menurut world health organization (who), indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi stunting tertinggi di asia tenggara (kementrian desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi, 2017). prevalensi stunting di indonesia menurut data riskesdas 2018 pada balita masih 30,8 % dan pada baduta 29,9%. sedangkan di jawa timur mempunyai prevalensi lebih tinggi dari angka nasional yaitu 32,81 %. di kabupaten blitar selama pendataan pada anak usia 0-5 tahun sepanjang bentang februari sampai agustus 2019 didapatkan data dari 55.885 hasilnya 18,06 % atau lebih dari 10.000 anak dinyatakan stunting (alivia & yuantoro, 2019). stunting merupakan gangguan pertumbuhan linear yang dapat ditunjukan melalui pengukuran zscore tinggi badan menurut umur (tb/u). stunting diakibatkan karena malnutrisi asupan gizi kronis atau penyakit infeksi kronis. faktor pendorong dari terjadinya stunting seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi dan kurangnya asupan gizi pada bayi (pusat data dan informasi, kementrian kesehatan ri, 2018). stunting dapat menimbulkan dampak buruk baik jangka pendek maupun jangka panjang. dampak buruk stunting diantaranya gangguan perkembangan otak, kemampuan kognitif berkurang, gangguan pertumbuhan fisik, penurunan imunitas tubuh sehingga mudah sakit, fungsi tubuh tidak seimbang. anak stunting juga beresiko terkena penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, kanker. secara makro, stunting dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia, produktivitas dan mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar (kementrian desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi, 2017). pengetahuan orang tua tentang gejala, dampak dan cara pencegahan stunting dapat menentukan sikap dan perilaku orang tua dalam pemeliharaan kesehatan pencegahan stunting sehingga kejadian stunting dapat ditekan. penelitian kusumawati, et al. (2015) menunjukkan pengetahuan ibu merupakan salah satu faktor resiko kejadian stunting, anak yang edge about stunting in toddler. this study uses cross sectional design with a population that is parents who have children aged 0-3 years old at posyandu of plosoarang village, sanankulon, blitar. sampel were taken bu purposive sampling of 20 people with the inclusion criteria of parent who took to posyandu and at least junior high school education. data measurement using a questionnaire includes data on knowledge, age, education, employment, and information ever obtained. bivariate analysis uses contingency coefficients. multivariate analysis using multiple logistic regression test. the result showed factors related to knowledge about stunting are age (p=0,017), education (p=0,043), information (p=0,002). logistic regression analysis showed that information was the most dominant factor in knowledge (p=0,0025). unrelated factors were work (p=0,078) and experience (p=0,822). posyandu officers are expectedto provide information about stunting during posyandu activities and parents are expected to increase knowledge about stunting by finding information through various media. © 2019 jurnal ners dan kebidanan email: anitarahmawati2017@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p389-395 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p389-395 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 391rahmawati, faktor yang berhubungan dengan pengetahuan orangtua tentang... termasuk dalam kategori stunting cenderung terjadi pada ibu yang mempunyai pengetahuan kurang. upaya pencegahan stunting tidak bisa lepas dari pengetahuan orang tua tentang stunting. dengan pengetahuan yang baik, dapat memunculkan kesadaran orang tua akan pentingnya pencegahan stunting. kesadaran orang tua akan membentuk pola atau perilaku kesehatan terutama dalam pencegahan stunting seperti dalam pemenuhan gizi mulai dari ibu hamil, gizi anak, menjaga lingkungan dan sanitasi rumah yang baik, dan perilaku hidup bersih dan sehat (harmoko, 2017) studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan april 2019 dengan metode wawancara kepada orang tua balita di posyandu desa plosoarang, menunjukkan 5 dari 6 orangtua belum pernah mendapat informasi dan tidak mengetahui tentang pengertian, penyebab, dampak dan cara pencegahan stunting, 1 orang mengatakan pernah mendengar informasi tentang stunting dari televisi. kader posyandu mengatakan belum pernah diberikan edukasi tentang stunting di posyandu tersebut. banyak faktor yang mempengaruhi pengetahuan baik internal maupun eksternal. pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, informasi dan budaya lingkungan merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan (mubarak, 2012), namun dari ketujuh faktor tersebut belum diketahui faktor yang paling berhubungan atau paling dominan dalam membentuk pengetahuan orang tua tentang stunting. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain crosssectional dengan populasi yaitu orangtua yang memiliki anak balita usia 0–3 tahun di posyandu dusun plosoarang desa plosoarang kabupaten blitar. populasi berjumlah 37 orang yang selanjutnya diambil dengan purposive sampling menjadi sampel penelitian sebanyak 20 orang. kriteria inklusi orang tua yang mengantar ke posyandu dan minimal berpendidikan smp. pengukuran data dilakukan saat kegiatan posyandu balita menggunakan kuesioner meliputi data pengetahuan, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, dan informasi yang pernah diperoleh. kuesioner pengetahuan tentang stunting berupa 10 pertanyaan pilihan ganda yang disusun berdasarkan buku sumber persatuan ahli gizi indonesia (2018) dan pusat data informasi dan informasi kementrian kesehatan ri (2018). analisis bivariat menggunakan koefisien kontingensi. analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda dengan nilai signifikan  = 0,05. hasil penelitian penelitian dilaksanakan selama bulan juni tahun 2019. semua orang tua dalam penelitian ini terdiri dari ibu kandung yang sehari-hari mengasuh balita tersebut dan mempunyai karakteristik sebagai berikut: hubungan usia dengan pengetahuan tentang stunting pengetahuan usia (tahun) < 25  25 total f % f % f % kurang 7 35 4 20 11 55 baik 1 5 8 40 9 45 total 8 40 12 60 20 100 sumber : data primer tabel 1 distribusi frekuensi hubungan usia dengan pengetahuan tentang stunting di posyandu plosoarang kabupaten blitar tabel 1 menunjukkan lebih banyak orangtua masih mempunyai pengetahuan kurang yaitu 11 orang (55 %). orang tua yang berusia lebih dari 25 tahun jumlahnya lebih banyak (60 %), namun orang tua dengan pengetahuan kurang lebih banyak pada orangtua yang berusia kurang dari 25 tahun. hubungan pendidikan dengan pengetahuan tentang stunting pengetahuan pendidikan smp sma total f % f % f % kurang 6 30 5 25 11 55 baik 1 5 8 40 9 45 total 7 35 13 65 20 100 sumber: data primer tabel 2 distribusi frekuensi hubungan pendidikan dengan pengetahuan tentang stunting di posyandu plosoarang kabupaten blitar berdasarkan tabel 2 terlihat 65% ibu berpendidikan sma. ibu yang memiliki pengetahuan baik 392 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 389–395 lebih banyak berpendidikan sma dan sebaliknya ya ng masih mempunyai pengetahuan kura ng berpendidikan smp. hubungan pekerjaan dengan pengetahuan tentang stunting pengetahuan pekerjaan irt swasta total f % f % f % kurang 9 45 2 10 11 55 baik 7 35 2 10 9 45 total 16 80 4 20 20 100 sumber: data primer tabel 3 distribusi frekuensi hubungan pekerjaan dengan pengetahuan tentang stunting di posyandu plosoarang kabupaten blitar distribusi frekuensi pengetahuan berdasarkan tabel 3 terlihat kurang ada perbedaan pengetahuan antara ibu yang bekerja swasta dan ibu rumah tangga. sebagian besar (80 %) ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga (irt) sehingga ibu yang memiliki pengetahuan kurang maupun baik lebih banyak terlihat pada ibu rumah tangga. hubungan pengalaman dengan pengetahuan tentang stunting pengetahuan pengalaman tidak ya total f % f % f % kurang 8 40 3 15 11 55 baik 3 15 6 30 9 45 total 11 55 9 45 20 100 sumber: data primer tabel 4 distribusi frekuensi hubungan pengalaman dengan pengetahuan tentang stunting di posyandu plosoarang kabupaten blitar pengalaman ditunjukkan melalui jumlah anak. orang tua yang memiliki lebih dari 1 anak dimasukkan dalam kategori telah mempunyai pengalaman dalam menerapkan pola asuh (“ya”) dan sebaliknya. tabel 4 menunjukkan orang tua yang tidak memiliki pengalaman (“tidak”) mempunyai pengetahuan kurang dibandingkan orangtua yang telah memiliki pengalaman dalam mengasuh anak. hubungan informasi dengan pengetahuan tentang stunting pengetahuan informasi tidak pernah total f % f % f % kurang 10 50 1 5 11 55 baik 2 10 7 35 9 45 total 12 60 8 40 20 100 sumber: data primer tabel 5 distribusi frekuensi hubungan informasi dengan pengetahuan tentang stunting di posyandu plosoarang kabupaten blitar orang tua yang tidak pernah mendapatkan informasi tentang stunting cenderung memiliki pengetahuan kurang dibandingkan dengan orangtua yang pernah mendapatkan infor masi tentang stunting baik melalui media social, radio, tv, maupun baliho di jalan. analisis faktor yang berhubungan dengan pengetahuan tentang stunting dari hasil analisis bivariat menggunakan uji koefisien kontingensi didapatkan terdapat hubungan antara pengetahuan dengan usia, pendidikan, dan pernah tidaknya mendapatkan informasi tentang stunting (p<0,05). tidak ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan pekerjaan dan pengalaman orangtua (ibu) dalam mengasuh balita (p> 0,05). berdasarkan nilai odd-ratio (or) dari analisis multivariate menggunakan uji regresi logistik berganda dapat diketahui bahwa dari semua faktor yang mempengaruhi pengetahuan orangtua (ibu) faktor uji koefisien kontingensi approx. sig. value usia 0,017 0,471 pendidikan 0,043 0,413 pekerjaan 0,822 0,050 pengalaman 0,078 0,367 informasi 0,002 0,572 sumber : data primer tabel 6 hasil analisis bivariat faktor yang berhubungan dengan pengetahuan tentang stunting di posyandu plosoarang kabupaten blitar 393rahmawati, faktor yang berhubungan dengan pengetahuan orangtua tentang... tentang stunting, terdapat satu faktor yaitu informasi yang paling berpengaruh membentuk pengetahuan ibu tentang stunting dengan p-value 0,025 < 0,05. nilai or terbesar yang diperoleh yaitu 30,988 artinya informasi yang pernah diterima orangtua mempunyai peluang 30,998 kali dalam membentuk pengetahuan orangtua tentang stunting. pembahasan pengetahuan orang tua tentang stunting ternyata masih kurang, ditunjukkan dari hasil penelitian ini yaitu sebanyak 11 (55 %) orang tua memiliki pengetahuan kurang tentang stunting. berdasarkan uji bivariat (tabel 6) terlihat bahwa faktor yang berhubungan signifikan dengan pengetahuan tentang stunting adalah usia, pendidikan dan informasi. dalam penelitian ini orangtua yang berusia lebih dari 25 tahun lebih banyak memiliki pengetahuan baik daripada yang masih berusia kurang dari 25 tahun. klasifikasi usia dewasa awal menurut depkes ri mulai 26-35 tahun. dibandingkan dengan usia remaja, pada usia dewasa awal memungkinkan orang tua lebih peduli dengan perkembangan anaknya sehingga lebih tertarik dan lebih mampu menyerap informasi tentang stunting. menurut fujiyanto (2016) mengatakan bahwa memori atau daya ingat seseorang salah satunya dipengaruhi oleh usia, dimana daya tangkap dan pola pikir seseorang semakin matang seiring dengan usia sehingga pengetahuan yang diperoleh juga semakin membaik. pada usia dewasa awal, individu sudah mulai berfikir dan berperan aktif dalam kehidupannya serta keluarganya, orang dewasa awal akan lebih banyak waktu untuk mensejahterakan kesehatan anak dan anggota keluarga lainnya (notoatmodjo, 2012). sesuai dengan penelitian widyaningrum et al. (2016) menunjukkan bahwa ibu usia dewasa mempunyai pengetahuan pemberian makan balita lebih baik dibandingkan usia remaja. pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang turut membentuk pengetahuan orang tua tentang stunting. orang tua yang berpendidikan sma lebih mudah dalam memahami informasi yang didapat dibandingkan dengan orang tua berpendidikan smp, seperti terlihat dalam penelitian ini orang tua berpendidikan sma lebih banyak yang memiliki pengetahuan baik dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan smp. pengetahuan tentang stunting yang diukur dalam penelitian ini meliputi definisi, dampak, ciri-ciri, penyebab, upaya pencegahan dan faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting. untuk membentuk pengetahuan dengan indikator tersebut tentunya membutuhkan kemampuan penerimaan dan pemahaman yang baik. kemampuan dalam menerima dan memahami informasi umumnya lebih dimiliki oleh orang yang berpendidikan tinggi. penelitian corneles & losu (2015) menyimpulkan adanya hubungan signifikan tingkat pengetahuan dan pendidikan ibu hamil tentang kehamilan resiko tinggi. stunting bukan istilah yang umum sehingga tidak semua orang tahu, meskipun indonesia telah lama terdeteksi banyak anak stunting tetapi kampaye nasional pencegahan stunting belum lama dicanangkan. dalam penelitian ini 11 (55%) ibu mempunyai pengetahuan kurang tentang stunting dan sebagian besar karena belum pernah mendapat informasi tentang stunting. sebaliknya ibu yang pernah mendapatkan informasi dari berbagai jenis media, hanya 1 orang yang tetap mempunyai pengetahuan kurang dan diduga karena tingkat pendidikannya yang rendah. informasi yang diterima orangtua umumnya diperoleh melalui berita di media dan hanya sebatas definisi dan dampak tentang stunting, sehingga pengetahuan tentang stunting yang kurang banyak ditunjukkan pada indikator dampak, ciri-ciri dan upaya pencegahan stunting. menurut nurhasanah (2014), pemberian informasi atau pendidikan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengetahuan. dalam penelitian ini, pekerjaan tidak menjadi faktor yang berhubungan signifikan dengan pengetahuan. pekerjaan orang tua disini dibedakan menjadi dua yaitu swasta dan ibu rumah tangga (irt). dulu sebagai ibu rumah tangga dianggap suatu kondisi ibu yang kurang informasi dan banyak menghabiskan waktu hanya didalam rumah dengan akses informasi yang terbatas, tetapi saat ini banyak media yang dapat dengan mudah diakses dimanapun dan kapanpun. sebagai ibu rumah tangga justru mempunyai banyak waktu luang untuk mengakses informasi faktor uji regresi logistik berganda p-value or usia 0,258 12,784 pendidikan 0,665 2,365 pengalaman 0,492 0,282 informasi 0,025 30,988 sumber : data primer tabel 7 hasil analisis multivariat faktor yang berhubungan dengan pengetahuan tentang stunting di posyandu plosoarang kabupaten blitar 394 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 389–395 atau mengikuti berbagai kegiatan perkumpulan yang memungkinkan untuk saling bertukar informasi sehingga antara kedua jenis pekerjaan dalam penelitian ini dapat diartikan mempunyai kondisi yang hampir sama. pengalaman yang diukur dalam penelitian ini berupa jumlah anak yang telah dimiliki atau diasuh. orang tua yang masih memiliki 1 anak dianggap belum memiliki pengalaman khususnya dalam mengasuh anak, namun dalam penelitian ini orang tua (ibu) yang belum punya pengalaman masih tinggal bersama atau didekat rumah orang tuanya (kakek nenek anaknya) sehingga dalam pengasuhan anak masih sangat bergantung kepada kakek neneknya yang secara tidak langsung orang tua juga mendapatkan informasi yang berkaitan dengan gizi anak, perkembangan dan pertumbuhan anak. pengetahuan orang tua yang mendapatkan informasi lebih baik daripada pengetahuan orang tua yang belum pernah mendapatkan informasi (nurhasanah, 2014) faktor yang berhubungan signifikan dengan pengetahuan orang tua tentang stunting menurut hasil uji bivariat adalah faktor usia, pendidikan dan informasi, tetapi hasil uji multivariat dengan regresi logistik berganda menunjukkan hanya faktor informasi yang paling dominan memberikan pengaruh dalam membentuk pengetahuan orang tua (ibu) tentang stunting dengan p-value 0,025 < 0,05 (tabel 7). berdasarkan nilai odd-ratio (or), faktor informasi juga memiliki nilai terbesar yaitu 30,988 artinya faktor informasi yang pernah diterima orangtua mempunyai peluang 30,998 kali dalam membentuk pengetahuan orangtua tentang stunting. orang tua yang telah mendapatkan informasi tentang stunting tentunya telah memahami, menafsirkan, dan mengingat pesan yang tersampaikan dari informa si yang didapa t sehingga membentuk pengetahuan yang baik. faktor informasi adalah faktor yang paling dominan sehingga dapat mengubah pengetahuan seseorang meskipun faktorfaktor lain yang mempengaruhi pengetahuan tidak diubah. pemberian informasi tentang stunting dapat menjadi pilihan solusi utama untuk meningkatkan pengetahuan orang tua. hal ini sejalan dengan hasil penelitian oleh iftika (2017), menyatakan bahwa setelah di berikan pendidikan kesehatan sebagian besar responden memiliki pengetahuan dan sikap yang baik. kesimpulan faktor yang berhubungan signifikan dengan pengetahuan orang tua tentang stunting adalah usia, pendidikan dan informasi yang pernah diperolah. sedangkan faktor yang tidak berhubungan signifikan adalah pekerjaan dan pengalaman orangtua. dari semua faktor yang berhubungan dengan pengetahuan tersebut, faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi pengetahuan orangtua adalah faktor informasi. saran petugas kesehatan di posyandu atau kader posyandu diharapkan dapat memberikan informasi tentang stunting secara rutin kepada orang tua saat kegiatan posyandu misalnya melalui penyuluhan atau konseling. orang tua juga diharapkan agar meningkatkan pengetahuan tentang stunting dengan mencari informasi melalui berbagai media yang ada. daftar pustaka alivia & yuantoro. (2019, agustus 28). 10 ribu balita di kabupaten blitar menderita stunting. diakses dari https://www.petaportal.com/detail/10-ribu-balita-dikabupaten-blitar-menderita-stunting/ corneles, s.a. & losu, f. n. (2015). ‘hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan ibu hamil tentang kehamilan resiko tinggi’, jurnal ilmiah bidan, 3(2), 51-55. diakses dari https://media.neliti.com/ media/publications/91532-id-hubungan-tingkatpendidikan-dengan-penge.pdf/ fujiyanto, a. (2016). penggunaan media audio visual untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi hubungan antar makhluk hidup. jurnal pena ilmiah, 1(1), 841-850. diakses dari https:// ejournal.upi.edu/index.php/penailmiah/article/ viewfile/3576/pdf harmoko, o. (2017, november 30). menuju masyarakat sadar stunting. diakses dari https://beritaagar.id/ artikel/gaya-hidup/menuju-masyarakat-sadarstunting/ iftika, n. (2017). pengaruh pendidikan kesehatan tentang status gizi balita terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dalam memberikan gizi balita di kelompok bermain sendanggadi, melati sleman yogyakarta, diakses dari http://digilib.unisayogya. ac.id/2468/1/naskah%20publikasi%20nur% 20iftika%20pdf.pdf/ kementrian desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi. (2017). buku saku desa dalam 395rahmawati, faktor yang berhubungan dengan pengetahuan orangtua tentang... penanganan stunting, jakarta, diakses dari http:// siha.depkes.go.id/portal/files_upload/buku_saku_ stunting_desa.pdf/ kusumawati, e., rahardjo, s., & sari, h.p. (2015). model pengendalian faktor risiko stunting pada anak usia di bawah tiga tahun. jurnal kesehatan masyarakat, 9(3), 249-256. doi: http://dx.doi.org/ 10.21109/kesmas.v9i3.572 mubarak, w.i. (2012). ilmu kesehatan masyarakat: konsep dan aplikasi dalam kebidanan. jakarta: salemba medika notoatmodjo. (2012). ilmu kesehatan mayarakat. jakarta: rineka cipta nurhasanah. dkk (2014). pengaruh pendidikan kesehatan tehadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang jajanan sehat para murid sekolah dasar, jekp, 2(3), 108-117 persatuan ahli gizi indonesia. (2018). stop stunting dengan konseling gizi. jakata: penebar plus pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri. (2018). situasi balita pendek (stunting) di indonesia. jakarta: pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri. widyaningrum, r. nurdiati, d.s., & gamayanti, i.l. (2016). perbedaan pengetahuan dan praktik pemberian makan serta perkembangan anak 6-24 bulan pada ibu usia remaja dan dewasa. jurnal gizi klinik indonesia, 13(1), 27-33. doi: https://doi.org/ 10.22146/ijcn.22455/ 354 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 354–361 the association between environmental sanitation and soil transmitted helminths (sth) coinfection of tuberculosis patients in panti district, jember regency nita alfianti1, yunita armiyanti2, bagus hermansyah3, enny suswati4, dini agustina5, diana chusna mufida6 1program studi pendidikan dokter, fakultas kedokteran, universitas jember, indonesia 2,3laboratorium parasitologi, fakultas kedokteran, universitas jember, indonesia 4,5,6laboratorium mikrobiologi, fakultas kedokteran, universitas jember, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 28/01/2020 accepted, 11/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: tuberculosis, environmental sanitation, sth article information abstract tuberculosis (tb) is a contagious infectious disease caused by the bacteria mycobacterium tuberculosis. more than 80% of tb cases attack the pulmonary organs and the rest are extra-pulmonary tb. indonesia is one of the countries with the high number of tuberculosis cases besides india, china, the philippines, and pakistan. aside from being a country with a high tb incidence, indonesia is also an endemic country for helminth infections, especially soil-transmitted helminths (sth). the high prevalence of sth infections in indonesia allows sth coinfection in tb patients to cause decreasing immunity, thus affecting the outcome of tb infection. sth infection is very closely related to environmental sanitation. the purpose of this study was to identify and determine the association of environmental sanitation risk factors to the coinfection of soil-transmitted helminths (sth) in tuberculosis patients in panti district, jember regency. this type of research was observational research with cross-sectional analytic design. of the 49 tb patients who were undergoing treatment at the panti health center, 32 people were willing to be respondents, but only 25 people collected stool samples. fisher’s test results showed that the incidence of intestinal co-infection in tb patients in panti district, jember regency was 12% and was caused by two sth species, namely a. lumbricoides and hookworm. environmental sanitation in tb patients was mostly good, e.g 54.5% of respondents had good environmental sanitation, but there was no significant association between environmental sanitation and the incidence of intestinal co-infection in tb patients in panti district, jember regency (p> 0.05). © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas jember – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: yunita.fk@unej.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p354–361 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 354 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p354-361&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p354-361 355alfianti, armiyanti, hermansyah, suswati, agustina, mufida, nakamnanu,the association between ... introduction tuberculosis (tb) is an infectious disease caused by mycobacterium tuberculosis. more than 80% of tb cases are pulmonary tb, and the rest are extrapulmonary tb (shahverdi and khani, 2017). based on the who’s global tuberculosis report (2014), pulmonary tb is a significant health problem because it has a high mortality rate in the world (ali et al., 2017). in 2015, there were 10.4 million new tb cases worldwide. indonesia is one of the countries with the highest number of tuber culosis cases besides india, china , the philippines, a nd pa kista n (wor ld hea lth organization, 2018). east java province is a province that has the third-largest tb incidence in indonesia after west java and central java, which is 56,445 cases (ministry of health, 2018). jember regency is the district with the second-largest tb incidence in east java (kementerian kesehatan ri, 2018). indonesia is also an endemic area for worm infections, mainly soil-transmitted helminths (sth). soil-transmitted helminths (sth) are a group of worms that are transmitted through soil media. the most common types of sth are roundworms (ascaris lumbricoides), whipworms (trichuris trichiura), and hookworms (necator americanus and ancylostoma duodenale) (nugraha et al., 2019). based on a survey by the ministry of health of the republic of indonesia (2015), the prevalence of worms at all ages of the indonesian population ranges from 40-60%. the majority of worms in children throughout indonesia is at a very high level, namely 30-90% (depkes, 2015). a total of 109 incidents of sth infection were found in jember regency in 2016 (dinkes jember, 2016). soil-transmitted helminth infection is closely related to environmental sanitation. the research conducted in nusapati village, sungai pinyuh district, pontianak regency showed a significant association between individual characteristics, personal hygiene, environmental sanitation, and personal protective equipment (ppe), and length of work with sth infection (nurfalq et al., 2016). ecological sanitation, which is closely related to worm infection, is clean water sources, feces disposal facilities in latrines, wastewater disposal facilities (spal), sewage disposal facilities, and house floors. communities with poor defecation habits and clean water sources are in risk being infected with sth 23 times and four times greater than people who have good defecation habits and clean water sources (al-muzaky et al., 2019). lack of attention to personal hygiene and environmental sanitation allows co-infection of sth intestinal worms in someone who has had a previous infectious disease, such as a tb patient. based on the health profile of jember regency (2016), there is 55.20% of the population have access to proper sanitation in panti district; the rest still have inadequate sanitation so that it is a risk factor for environmental sanitation of soil-transmitted helminth (sth) coinfection in tuberculosis patients in panti district jember regency. soil-transmitted helminths infections can affect the course of the disease and treat tb patients’ success. intestinal worm infection is known to induce an increase in t-helper type 2 (th-2) immune response characterized by interleukins il-4, il-5, il-9, il-10, and il-13, eosinophilia, goblet cells, and mucosal mast cell hyperplasia and production of ige and igg 1 (in mice) and ige and igg4 (in humans). in the process of tb treatment, the body requires immunity to m. tuberculosis infection through a dominant t-helper type 1 (th-1) response with minor contributions from th17 cells and other accessory cells. several studies have shown that an increase in th-2 response will lead to a decrease in th-1 response in patients with active tb who are infected with intestinal worms. as a result, there will be a decrease in immunity to m. tuberculosis and an increase in mycobacterial progression, which affects the success of tb treatment (babu and nutman, 2016). hookworm and whipworm infections also cause the patient to become anemic, affecting the patient’s nutritional status. this anemia can exacerbate the symptoms of previous anemia due to the side effects of anti-tuberculosis drugs. several studies have shown that tb patients with anemia increase the risk of treatment failure, recurrence of tb, and mortality. several cases also show that anemia is closely related to increased tb patients’ mortality (isanaka et al., 2012). this worm infection can also decrease the condition of health, nutrition, intelligence, and productivity of sufferers, which in turn can reduce the quality of human resources and cause many losses (sumanto, 2010). not many studies on intestinal worm coinfection in tb patients have been conducted in indonesia , especially in the jember r egion. therefore, research on soil-transmitted helminths 356 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 354–361 (sth) co-infection in tuberculosis sufferers and its association with environmental sanitation in panti district, jember regency is necessary. methods t his type of r esea r ch wa s a na lytic observational with cross sectional design. the population in this study was all tb patients who undergone treatment in the puskesmas panti with total sampling technique. the variables studied were environmental sanitation and the incidence of sth co-infection. data on the characteristics and environmental sanitation of respondents were obtained through a questionnaire, while the data on the incidence of sth coinfection were taken from exa mina tion of feca l sa mples collected by respondents who had agreed to the informed consent. the examination was carried out using qualitative sedimentation and flotation methods which wer e ca r r ied out a t the pa r a sitology laboratory of the faculty of medicine, university of jember from september to november 2019. furthermore, the data were analyzed using the chisquare or fisher test. this research was conducted after receiving ethical clearance from the ethics committee of the faculty of medicine, university of jember, no. 1.384 / h25.1.11 / ke / 2020. results as many as 49 tb patients who were currently undergoing treatment at the puskesmas panti, 32 were willing to become respondents, but only 25 people collected their fecal samples. the results of examination of fecal samples showed that as many as three of the 25 respondents (12%) were infected with sth. the results of stool examination can be seen in table 1. examination showed that all respondents who experienced sth coinfection were male. also, all respondents infected with sth were patients in the pr oductive a ge ca tegor y. t he r espondents’ educational degree characteristics varied from not attending school, sd, smp, and sma. most cases of worms occurred in respondents with primary school education (67% of cases). types of work of r espondents infected with st h a r e pr iva te employees as much as 2 (66.7%) and labor 1 (33.3%). as many as 2 (66.7%) of all respondents infected with sth were tb status patients with new cases, and one person (33.3%) of respondents were tb patients with tb status with relapse cases. the research subjects’ characteristics can be seen no examination results n percentage (%) 1 positive 3 12 2 negative 22 88 total 25 100 table 1 results of sth examination in feces data on the characteristics of respondents show that more female respondents than male respondents (52%). t he results of the fecal positive % negative % gender         1. male 3 100,0 9 40,9 2. female 0 0,0 13 59,1 age         1. < 15 years old 0 0,0 1 4,5 2. 15-65 years old 3 100,0 21 90,9 3. >65 years old 0 0,0 1 4,5 education level         1. no education 0 0,0 2 9,1 2. elementary school 2 66,7 9 40,9 3. junior high 0 0,0 4 18,2 4. senior high 1 33,3 7 31,8 5. college 0 0,0 0 0,0 type of work         1. none 0 0,0 13 59,1 2. farmer 0 0,0 5 22,7 3. laborer 1 33,3 1 4,5 4. private sector worker 2 66,7 2 9,1 5. government employees 0 0,0 0 0,0 6. other 0 0,0 1 4,5 income (rp) 1. < 1 million 3 100,0 9 40,9 2.  1 million 0 0,0 13 59,1 tuberculosis status         1. new case 2 66,7 21 95,5 2. relapse cases 1 33,3 1 4,5 3. dropouts 0 0,0 0 0,0 4. mdr tb 0 0,0 0 0,0 table 2 distribution of respondents respondent characteristics sth coinfection 357alfianti, armiyanti, hermansyah, suswati, agustina, mufida, nakamnanu,the association between ... in table 2, while the stool examination results are presented in table 3. based on the results of the examination of fecal samples, the types of sth found consisted of a. lumbricoides worm infections a s ma ny a s two people (66.7%) and mixed infections (a. lumbricoides and hookworm) 1 person (33.3%). no species of helminth n percentage (%) 1 a. lumbricoides 2 66,7 2 hookworm 0 0,0 3 t. trichiura 0 0,0 4 mixed infection 1 33,3 table 3 distribution of sth coinfection before analyzing the association between environmental sanitation and sth coinfection, the questionnaire’s values were first tested for data normality using the analytical method of shapiro wilk. the normality test results showed that the data distribution was not expected (p <0.05). for abnormal data distribution, the median is used to measure data concentration, resulting in conclusions on environmental sanitation as listed in table 4. fisher ’s test results in this study showed a significance value of p = 0.469 (p> 0.05), so it can be concluded that there was no association between environmental sanitation and the incidence of sth coinfection in tb patients in panti district, jember regency. no. characteristics incidence of sth coinfection p-value positive (%) negative (%) 1. good environmental sanitation 1 (33,3) 12 (54,5) 0,469 2. bad environmental sanitation 2 (66,7) 10 (45,5) total 3 (100,0) 22 (100,0) table 4 association between environmental sanitation and incidence of sth coinfection t he r esults showed tha t as many as 14 respondents had a lavatory, 15 respondents always defecated in it, 24 respondents had proper clean water facilities, 19 respondents had plaster or ceramic bathroom floors, and all respondents had environmental sanitation positive negative n % n % lavatory ownership a. have a lavatory 1 4,0 13 52,0 b. does not have a lavatory 2 8,0 9 36,0 bowel habits a. always defecating in the lavatory 2 8,0 13 52,0 b. not always defecating in the lavatory 1 4,0 9 36,0 source of washing water a. eligible 3 12,0 21 84,0 b. not eligible 0 0,0 1 4,0 plaster or ceramic tile floors. environmental sanitation component data for tb patients who were respondents in this study are presented in table 5. as follows. table 5 data for environmental sanitation components 358 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 354–361 discussion all r espondents who exper ienced st h coinfection in this study were male respondents. the difference in the number of male and female respondents does not affect the occurrence of sth infection. the result is consistent with research conducted by sandy et al. (2015), who explained that there was no significant association between gender and the incidence of sth infection in elementary school students in papua. characteristics of respondents based on age show that all respondents infected with sth are in the productive age category (15-65 years). this result can occur due to high physical activity that is not followed by ma inta ining per sona l a nd environmental hygiene at that age range. research conducted by nurfalq et al. (2016) showed that there was no significant association between age and the incidence of sth infection (p = 0.0910) because sth can infect all age groups who have poor personal hygiene and sanitation (jourdan et al., 2018). the majority of respondents in this study had a low education level, namely, 17 respondents (68%). two out of three respondents infected with sth were respondents with primary education degrees. palgunadi (2015) explains that individuals who have a low level of education tend to be unable to maintain personal hygiene and find it difficult to implement clean and healthy living behaviors (phbs). one way to overcome this problem is by providing promotional actions in counseling on clean and healthy living habits and maintaining environmental sanitation to avoid various infectious diseases such as sth. in this study, respondents infected with sth have jobs as laborers and private employees with less than 1 million income. this result is related to the respondents’ socio-economic level, which also affects their ability to maintain good environmental sanitation and personal hygiene (palgunadi, 2010). most of the tb patients infected with sth in this study were patients with new tb case status. this result may result from dysregulation of the immune system in a person infected with sth. immune dysregulation occurs in the form of a decrease in the th-1 immune response, which functions to attack m. tuberculosis due to an increase in the th-2 immune response to weaken immunity against m. tuberculosis (babu and nutman, 2016). the results of observations of fecal samples of tb sufferers in panti district showed that 3 out of 25 r espondents (12%) experienced st h coinfection. the types of sth that infected these respondents consisted of 2 single infections of a. lumbr icoides a nd one mixed infection (a. lumbricoides and hookworm). the worm species infecting the r espondents the most wa s a. lumbricoides, accounting for 67% of cases. according to sutanto et al.’s (2008) statement, this result states that a. lumbricoides is the most common parasite in humans. the prevalence of ascariasis both globally and in indonesia is the highest among other worms. the highest prevalence of ascariasis in indonesia reaches 90% (laskey, 2019). we found mixed infections (a. lumbricoides and hookworm) in this study in one respondent. this double infection indicates that the respondent’s level of environmental sanitation is not good. this result is evidenced by the respondent’s questionnaire results that do not fulfill one of the indicators of healthy feces disposal facilities, namely not having a private toilet and defecating habits that are not the source of bathwater a. eligible 3 12,0 21 84,0 b. not eligible 0 0,0 1 4,0 source of drinking water a. eligible 3 12,0 21 84,0 b. not eligible 0 0,0 1 4,0 type of floor of the house a. ceramics / plaster 3 12,0 22 88,0 b. soil 0 0,0 0 0,0 bathroom floor type a. ceramics / plaster 2 8,0 17 68,0 b. soil 1 4,0 5 20,0 359alfianti, armiyanti, hermansyah, suswati, agustina, mufida, nakamnanu,the association between ... always in the toilet (in rivers or gardens). the habit of defecating that is not always in the lavatory can increase sth contamination of the surrounding soil and water. the results of fisher’s test in this study showed a significance value (p-value) of 0.469 (p> 0.05), so it can be concluded that there is no association between environmental sanitation and the incidence of sth coinfection in tb patients in panti district, jember regency. the results of this study are consistent with research conducted by kundaian et al. (2012), which showed that there was no significant association between environmental sanitation and sth infection (p> 0.05). research conducted by martila et al. (2016) also stated that there was no significant association between environmental sanitation and the incidence of soilborne worms in elementary school students in palu city. although the statistical test results show no association between the two variables, it does not mean that environmental sanitation does not affect worm infestation. this result is because worms are an environmentally based disease caused by a bad environment. lack of adequate sanitation causes the environment to be contaminated by feces containing worm eggs. this study’s results are not following the research conducted by nurindasari (2019), which states that there is a significant association between environmenta l sanitation and sth infection incidence (p = 0.008), even though it uses the same environmental sanitation indicators. this result is due to the difference in the proportion of positive and negative samples. in a study conducted by nurindasari (2019), 19 positive samples (38.78%) were found from the 49 samples collected. this figure is much higher than examining the fecal sample of respondents in this study, which only found thr ee positive sa mples (12%) of 25 respondents. in this study, most tb patients had good environmental sanitation, so the incidence of st h infection wa s ver y low (12%). poor environmental sanitation in some tb patients, especially the absence of lavatory and not always defeca ting in the la va tor y, ca n ca use the environment to become contaminated with sth eggs and larvae, resulting in transmission to other individuals. this contamination is indicated by the majority of tb patients who are positively infected by st h have poor environmental sa nitation (66.7%). the characteristics of environmental sanitation among tb patients in panti district included in the category of good sanitation were 13 respondents (52%), while 12 respondents (48%) had poor sanitation. these results indicate that the difference between the two is minimal, namely only one respondent. respondents with poor sanitation also have a high chance of being infected with sth (8%). poor sanitation can be a source of worm infection in humans, such as the habit of defecating in the toilet, direct contact with the bathroom floor’s soil, and worm eggs’ entry through contaminated food water. the study results were based on the a nswer s to the questionna ir e conducted by interview. no observations were made in the tb patient’s home to ensure the answers’ correctness, which were the study’s limitations. one tb patient infected with sth (33.3%) had good environmental sanitation. this can happen because it is not balanced with the behavior of maintaining cleanliness and low socio-economic factors. sth infection can also be influenced by various other factors, such as personal hygiene and socio-economic conditions. a person’s hygiene can be assessed from the habit of washing hands, maintaining cleanliness and cutting nails regularly, ea ting r a w food, using per sona l pr otective equipment during work or play such as footwear, masks, and gloves (ali et al., 2016). individual hygiene indicators tha t cor relate with worm infections include the habit of washing hands before eating and after defecating, nail hygiene, and defecating behavior in the lavatory (dewi and laksmi, 2017). a study shows that a combination of washing hands with soap and trimming nails every week can reduce the rate of sth reinfection (nery et al., 2019). someone who is not used to cutting nails has a 5.1 times higher chance of infection than people who regularly cut their nails (novianty et al., 2018). other factors that could affect the incidence of sth infection in this study were not taking soil samples, not measuring soil moisture, not asking about personal hygiene, and the habit of using personal protective equipment (ppe) to respondents. soil samples are important to study because the soil is the medium used to convert fertilized eggs into infective. soil contamination by sth can negatively impact the environment because it can be a source of pollution for water and plants that live around it (muttaqien, 2018). research conducted by baidowi 360 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 354–361 et al. (2019) also showed a significant association between ppe use and sth infection status, so it is impor ta nt to study it. questions r ega r ding environmental sanitation in this study are also less comprehensive, for example, not asking about waste disposal facilities and wastewater disposal channels (spal) (kusumawardani, 2018). conclusion the incidence of worm infection co-infection in tb patients in panti subdistrict, jember regency was 12% and was caused by two soil-transmitted helminths species, namely a. lumbricoides and hookworm. most of the environmental sanitation for tb patients in panti subdistrict, jember regency, was right. the results showed that 54.5% of respondents had adequate ecological sanitation. there was no significant association between environmental sanitation and the incidence of worms co-infection in tb patients in panti district, jember regency. suggestion for tb patients in panti subdistrict, jember regency, it is necessa r y to r eceive regula r deworming therapy and always maintain adequate environmental sanitation even though the prevalence is low, preventing worm co-infection. for further research, research on personal hygiene factors related to intestinal worm infections can be carried out to help the government improve the success of tb treatment in jember regency. references ali, m. k., s. karanja, dan m. karama. (2017). factors associated with tuberculosis treatment outcomes among tuberculosis patients attending tuberculosis treatment centres in 2016-2017 in mogadishu, somalia. pan african medical journal. 3(1): 24-32. ali, r. u., zulkarnaini, dan d. affandi. (2016). hubungan personal hygiene dan sanitasi lingkungan dengan angka kejadian kecacingan (soil transmitted helminth) pada petani sayur di kelurahan maharatu kecamatan marpoyan damai kota pekanbaru. dinamika lingkungan indonesia. 28:1–14. al-muzaky, a. h., b. hermansyah, e. suswati, y. armiyanti, dan y. nurdian. (2019). hubungan perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian infestasi soil–transmitted helminths pada pekerja perkebunan kopi sumber wadung kabupaten jember. jurnal kedokteran dan kesehatan/ : publikasi il mi ah fak ul t as ke dok t eran uni ve rsit as sriwijaya. 6(1):7–15. babu, s. dan t. b. nutman. (2016). helminth-tuberculosis co-infection: an immunologic perspective. trends in immunology. 37(9): 597-607 baidowi, i. i., y. armiyanti, z. febianti, y. nurdian, dan b. hermansyah. (2019). the correlation between the use of personal protective equipment (ppe) and soil-transmitted helminths infection in the workers of kaliputih plantation jember regency. journal of agromedicine and medical sciences. 5(2):8. dewi, n. l. g. d. d. dan d. a. a. s. laksmi. (2017). hubungan perilaku higienitas diri dan sanitasi sekolah dengan infeksi soil transmitted helminths pada siswa kelas iii-iv sekolah dasar negeri no. 5 delod peken tabanan tahun 2014 program studi pendidikan dokter , bagian parasitologi fakultas kedokteran u. e-jurnal medika. 6(5):5–8. isanaka, s., f. mugusi, w. urassa, w. c. willett, r. j. bosch, e. villamor, d. spiegelman, c. duggan, dan w. w. fawzi. (2012). iron deficiency and anemia predict mortality in patients with tuberculosis. the journal of nutrition. 142(2):350–357. jourdan, p. m., p. h. l. lamberton, a. fenwick, dan d. g. addiss. (2018). soil-transmitted helminth infections. the lancet. 391(10117):252–265. kementrian kesehatan ri. (2018). profil kesehatan indonesia. jakarta: kementrian kesehatan ri. kundaian, f., j. m. l. umboh, dan b. j. kepel. (2012). hubungan antara sanitasi lingkungan dengan infestasi cacing pada murid sekolah dasar di desa teling kecamatan tombariri kabupaten minahasa. kesmas. 1(1):21–27. kusumawardani, n. a. (2018). hubungan sanitasi lin gkun gan den gan keja di a n in feksi soi l transmitted helminths (sth) pada anak sekolah dasar di kabupaten jember. skripsi. jember: universitas jember. laskey, a. d. (2019). ascaris lumbricoides. https:// emedicine.medscape.com/article/788398-overview# showall [diakses pada november 4, 2019]. martila, s. sandy, dan n. paembonan. (2016). hubungan higiene perorangan dengan kejadian kecacingan pada murid sd negeri abe pantai jayapura. jurnal plasma. 1(2):87–96. muttaqien, m. a. (2018). identifikasi kontaminasi tanah oleh telur dan larva soil transmitted helminths di daerah perkebunan gunung pasang kabupaten jember. skripsi. jember: universitas jember. nery, s. v., a. j. pickering, e. abate, a. asmare, l. barrett, j. b. chung, d. a. p. bundy, t. clasen, a. c. a. clements, j. m. c. jr, a. ercumen, s. crowley, o. cumming, m. c. freeman, r. haque, b. mengistu, w. e. oswald, r. l. pullan, r. g. oliveira, k. e. owen, 361alfianti, armiyanti, hermansyah, suswati, agustina, mufida, nakamnanu,the association between ... dan j. l. walson. (2019). the role of water , sanitation and hygiene interventions in reducing soil transmitted helminths: interpreting the evidence and identifying next steps. parasites & vectors. 12(273):1–8. novianty, s., y. dimyati, s. pasaribu, dan a. p. pasaribu. (2018). ri sk factors for soi l-tr an sm it ted helminthiasis in preschool children living in farmland , north sumatera , indonesia. tropical medicine. 2018(6706413):1–6. nugraha, t. i., r. semiarty, dan n. irawati. (2019). hubungan sanitasi lingkungan dan personal hygiene dengan infeksi soil transmitted helminths (sth) pada anak. jurnal kesehatan andalas. 8(3):590–598. nundrisari, d. 2019. hubungan antara sanitasi lingkungan dan higiene perseorangan dengan kejadian infeksi soil-transmitted helminthes pada pekerja perkebunan garahan kidul. skripsi. jember: universitas jember. nurfalq, d. k. f., i. saleh, dan rochmawati. (2016). hubungan karakteristik individu, sanitasi lingkungan rumah, personal hygiene, penggunaan apd dan lama bekerja dengan kejadian infestasi sth. jurnal sth. 1(1): 1-9 palgunadi, b.u. (2010). faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan yang disebabkan oleh soil-transmitted helminths di indonesia. surabaya: fakultas kedokteran universitas wijaya kusuma sandy, s., s. sumarni, dan soeyoko. (2015). analisis model faktor risiko yang mempengaruhi infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada siswa sekolah dasar di distrik arso kabupaten keerom, papua. media litbngkes. 25(1):1–14. shahverdi, e. dan m. khani. (2017). epidemiology of pulmonary tuberculosis. austin tuberc res treat. 2(1):1005. sumanto, d. (2010). faktor risiko infeksi cacing tambang pada anak sekolah (studi kasus kontrol di desa rejosari, karangawen, demak). tesis. semarang: universitas diponegoro. sutanto, i., i. s. ismid, p. k. sjarifuddin, dan s. sungkar. (2015). buku ajar parasitologi kedokteran. edisi 4. badan penerbit fkui. world health organization. (2018). global tuberculosis report 2018. france. 220 hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak di poli anak rsd. mardi waluyo blitar (the relationship between environment factor with asthma control level in pediatric clinic mardi waluyo blitar hospital) erni setiyorini stikes patria husada blitar e-mail: nerserni@gmail.com abstract: asthma bronchiale that occurs in children will have an impact on daily activities. based on the registers data of childhood asthma in children clinic mardi waluyo blitarhospital january june 2012 amounted to 114 children , with 57 new cases of asthma children and 57 children an old case that repeated treatment. this suggests that the asthma control level in partially controlled and uncontrolled . the purpose of this study was to analyze relationship between environmental factors with the asthma control level children who went to pediatric clinic mardi waluyo blitar hospital.method: research design was cross-sectional , using purposive sampling techniques obtained a sample of 32 respondents. data collection was conducted in october 2012 using a questionnaire childhood asthma control test ( c act ) . descriptive data analysis and statistical analysis using the spearman rank test . the results showed that spearman rho test with p-value= 0.025 , which means there is a relationship between environmental factors with the level of control of childhood asthma. discussion:environmental factors stay near the farm, the family members who smoke , have pets is a precipitating factor of asthma . exposure to environmental factors can cause a level of uncontrolled asthma. it is expected that health workers can provide education to families and patients on the control of environmental factors to improve the level of asthma control. keyword: asthma, asthma control level, environment factor asma bronkhial merupakan suatu penyakit inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang ditandai dengan hipersensitifitas bronkus terhadap alergen yang menyebabkan penyempitansaluran napas, reversibel dan spontan (geddes, 2007). asma bronkiale dapat terjadi pada semua usia, baik pada anak – anak, dewasa maupun lansia. pada anak-anak asma bronkhial yang terjadi dapat mempengaruhi aktivitas sehari – hari. di amerika anak berusia 0 – 17 tahun memiliki prevalensi asma yang tinggi dibandingkan dengan dewasa yaitu 7,7% (akinbami et.al, 2005). prevalensi penyakit asma termasuk 5 besar penyebab kematian di dunia, yaitu mencapai 17,4%. penyakit asma masuk dalam 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di indonesia (kompas, 2008). dengan angka tersebut memberikan beban biaya yang besar serta angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. salah satu penyebab angka kematian pada anak akibat asma karena derajat kontrol asma yang kurang. pengenalan gejala dini asma dan mengetahui tanda-tanda perburukan dapat memberikan penanganan dini dan menurunkan angka morniditas dan mortalitas. beberapa studi sebelumnya memperlihatkan bahwa prevalensi asma kontrol yang buruk bervariasi (32% 64%). akibat dari asma yang tidak terkontrol ini dapat meningkatkan frekuensi kekambuhan dan keparahan serangan asma. berdasarkan register pasien asma anak di poli anak rsd. mardi waluyo blitar bulan januari juni 2012 berjumlah 114 anak, dengan kasus baru asma sebanyak 57 anak dan kasus lama yang berobat ulang sebanyak 57 anak. hal ini menunjukkan bahwa derajat mailto:nerserni@gmail.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p216-221 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 221 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.220-226 kontrol anak masih dalam kategori sebagian terkontrol dan tidak terkontrol. asma kontrol adalah konsep yang multidimensional, defenisinya adalah laporan pasien terkait dengan gejala harian dan malam hari, keterbatasan aktifitas akibat asma, membutuhkan medikasi darurat dan mengukuran fungsi paru (wyrwich,et.al, 2011). asma kontrol yang buruk berhubungan dengan ketidakhadiran di sekolah, kehilangan produktifitas akibat asma anak pada pengasuh anak. beberapa riset sebelumnya mengidentifikasi faktor individual seperti genetic, merokok, peralatan inhaler, medikasi yang kurang sesuai, keluarga dan factor lingkungan seperti binatang peliharaan di rumah, polusi udara, terpapar serbuk sari adalah faktor penting yang berhubungan dengan derajat kontrol asma yang buruk (haughney, et.al, 2008). carol (2011) dalam surveinya yang dilakukan pada 1284 orang tua dari anak penderita asma di kanada, yunani, hungaria, belanda, afrika selatan, dan amerika yang melaporkan bahwa serangan asma ringan setidaknya seminggu 11% anak, dan serangan serius (memerlukan kortikosteroid oral atau rawat inap) sedikitnya 35% setiap tahun. orang tua menjelaskan bahwa asma anak mereka ringan atau intermiten sebesar 73%, 40% anak/remaja memiliki children-asthma control test dengan skor ≤19, menunjukkan kontrol yang tidak memadai dan hanya 14,7% mencapai kontrol yang didefenisikan gina lengkap dan hanya 9,2% didefenisikan terkontrol. kegiatan asma anak terbatas di 39% keluarga dan menyebabkan perubahan gaya hidup sebesar 70%. beberapa faktor dapat mempengaruhi derajat kontrol asma anak, salah satunya adalah faktor lingkungan, baik faktor lingkungan didalam ruangan maupun di luar. mekanisme gejala asma kontrol yang buruk dan eksaserbasi asma sangat kompleks tetapi paparan lingkungan umumnya memiliki peran yang sangat penting (etzel, 2003 dan jackson et.al, 2011). berdasarkan sistematik review dick, et.al (2013) mengidentifikasi bahwa 27 penelitian mengindentifikasi 8 alergen yang terhirup dan 4 terpapar asap rokok. kejadian paparan allergen, asap rokok, kualitas udara dan cuaca memiliki efek terbesar terhadap eksaserbasi asma anak. frekuensi kekambuhan asma merupakan salah satu indicator dari asma kontrol. berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : adakah hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak yang berobat di poli anak rsd mardi waluyo blitar? tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak yang berobat di poli anak rsd mardi waluyo blitar. tujuan khusus (1) mengidentifikasi faktor lingkungan, (2) mengidentifikasi derajat kontrol asma anak yang berobat di poli anak rsd mardi waluyo blitar, (3) menganalisis hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak yang berobat di poli anak rsd mardi waluyo blitar. bahan dan metode desain penelitian ini adalah cross cectional. populasi penelitian orang tua yang memiliki anak penderita asma yang berobat di poli anak rsd. mardi waluyo blitar tahun.teknik sampling yang digunakan purposive sampling dengan criteria inklusi kriteria inklusi sebagai berikut : usia anak penderita asma berusia 4-5 tahun, anak asma tanpa disertai penyakit lain yang memperparah kondisi anak seperti tbc, sepsis, demam tifoid, bronkitis dan pneumonia, asma derajat sedang, derajat kontrol asma sebagian terkontrol dan tidak terkontrol, orang tua yang merawat anak sehari – hari dan mengetahui perkembangan kondisi asma anak, bersedia berpartisipasi dalam penelitian., diperoleh responden sebanyak 32 orang. pengambilan data dilaksanakan pada bulan oktober 2013 dengan menggunakankuesioner data demografi dan kuesioner c-act (childrenasthma control test). analisis data dilakukan dengan deskriptif dan analisa statistik dengan uji spearman rho. hasil penelitian karakteristik responden penelitian setiyorini, hubungan faktor lingkungan dengan…..222 tabel 1distribusi data umum keluarga yang memiliki anak penderita asma yang berobat ke poli anak rsd. mardi waluyo blitar pada bulan oktober 2012. karakteristik frekuensi persentase usia orang tua 22-31 th 14 48,3 32-41 th 15 46,9 42-51 th jenis kelamin perempuan pendidikan smp sma d3 pekerjaan irt petani swasta 3 32 4 25 3 10 5 17 9,4 100 12,5 78,1 9,4 31,1 15,6 53,1 penghasilan keluarga <1 juta 1-2 juta >2 juta 6 19 7 18,8 59,4 21,9 tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga yang memiliki anak menderita asma berusia antara 32-41 tahun yaitu sebanyak 15 orang (46,9%). jenis kelamin 100% berjenis kelamin perempuan. pendidikan terakhir terbanyak adalah sma 25 orang (78,1%) sebagian besar pekerjaan keluarga adalah swasta sebanyak 17 orang (53,1%). tabel 2 distribusi data anak penderita asma yang dibawa berobat ke poli anak rsd. mardi waluyo blitar pada bulan oktober 2012. data anak perlakuan frekuensi persentase usia <5 tahun 5 tahun lama diagnosa <2 tahun ≥2 tahun 19 13 18 14 59,4 40,6 56,2 43,8 manajemen asma ke dokter kortikosteroid menghindari pencetus 22 3 7 68,8 9,4 21,9 berdasarkan tabel 2 sebagian besar anak berusia < 5 tahun yaitu 19 orang (59,4%), lama terdiagnosa asma <2 tahun yaitu 18 anak (56,2%), manajemen asma keluarga mayoritas dengan datang ke pelayanan kesehatan/ dokter pada saat terjadi keluhan asma berulang sebanyak 22 orang (68,8%). data lingkungan tabel 3 distribusi data lingkungan dengan anak penderita asma yang dibawa berobat ke poli anak rsd. mardi waluyo blitar pada bulan oktober 2012. lingkungan frekuensi persentase anggota keluarga merokok memiliki binatang peliharaan berbulu dekat dengan peternakan ayam tidak terpapar pencetus lingkungan 8 12 7 5 25 37,5 21,9 15,6 berdasarkan tabel 3 faktor lingkungan yang terbanyak pada responden adalah memiliki binatang peliharaan berbulu yaitu 12 orang (37,5%). derajat kontrol asma anak tabel 4 distribusi derajat kontrol asma anak penderita asma yang dibawa berobat ke poli anak rsd. mardi waluyo blitar pada bulan oktober 2012. derajat kontrol asma frekuensi persentase terkontrol sebagian terkontrol tidak terkontrol 9 13 10 28,1 40,6 31,3 berdasarkan tabel 4 derajat kontrol asma anak yang terbanyak adalah sebagian terkontrol yaitu 13 anak (40,6%). 223 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.220-226 uji statistik hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak tabel 5. hasil uji statistik hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak yang berobat ke poli anak rsd mardi waluyo blitar bulan oktober 2012. derajat kontrol asma faktor lingkungan spearman’s rho derajat kontrol asma correlation coefficient sig. (2-tailed) n 1.000 . 32 .025 .893 32 faktor lingkungan correlation coefficient sig. (2-tailed) n .025 .893 32 1.000 . 32 hasil uji statistik spearman’s rank menunjukkan p-value=0,025 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan atara factor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak. pembahasan faktor lingkungan hasil dari penelitian memperlihatkan faktor lingkungan yang terbanyak adalah memiliki binatang peliharaan yang berbulu sebanyak 12 orang (37,5%). binatang, termasuk kucing, anjing, rodensia mengeluarkan allergen dalam sekretnya. alergen binatang mempunyai peranan yang signifikan pada perkembangan asma, terutama pada anak asma yang sensitif (shirai et.al, 2005). kebiasaan merokok yang ada pada keluarga/ menjadi perokok pasif pada anak mempunyai hubungan yang erat dengan kejadian mengi pada anak yang menetap. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh sears, 1998 dalam maryono, 2009 dalam studi kohort terhadap 650 anak yang berusia 4 – 9 tahun sebanyak 9,2% mengalami mengi persisten sedangkan keluarga yang tidak memiliki kebiasaan merokok prevalensi mengi yang terjadi hanya 1,85%. rokok mengandung berbagai macam zat yang yang membahayakan kesehatan, diantaranya adalah nikotin, nitrosamine, n nitrosonorktokin, polisiklik hidrokarbon, logam berat dan karsinogenik amin, selain itu rokok juga mengandung zat yang dapat menguap yaitu karbonmonoksida, karbondioksida, benzene, ammonia, formaldehid, hidrosianisa dan lain – lain. paparan asap rokok merupakan factor resiko yang paling kuat dan konsisten pada perkembangan dan eksaserbasi asma (skoner, 2001). dari hasil penelitian faktor lingkungan akibat dekat dengan peternakan 7 responden (21,9%). dari identifikasi terhadap responden sebagian besar berdekatan dengan peternakan ayam. prasetyanto (2011) menjelaskan bahwa berkembangnya peternakan ayam broiler ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya diantaranya emisi berupa gas hydrogen sulfide (h2s) dan nitrogen dioksida (no2) serta partikel berupa debu. kualitas lingkungan dipengaruhi oleh suhu udara, kelembapan udara, kecepatan angin dan ketinggian lokasi. secara teoritis faktor kualitas lingkungan ini turup berpengaruh terhadap pasien asma. persentase terkecil terpapar lingkungan pencetus. selain itu faktor lingkungan rumah dapat mempengaruhi derajat kontrol asma, misalnya kondisi kelembaban yang tinggi, adanya kecoa, tikus, kutu kasur dan lain sebagainya. derajat kontrol asma anak berdasarkan hasil penelitian, persentase terbanyak adalah derajat kontrol asma anak sebagian terkontrol yaitu sebanyak 13 orang (40,1%). asma kontrol yang buruk dapat didefenisikan sebagai 1 atau lebih skor kontrol untuk beberapa poin dari 5 indikator asma kontrol. data tersebut dibandingkan dengan studi di canadian bahwa 76% dari 1001 pasien gagal terhadap 1 atau lebih dari 7 kriteria (1996 guidelines). di eropa 49% dari 6572 anak di swiss-jerman dengan ketidakpuasan kontrol terhadap wheezing, setiyorini, hubungan faktor lingkungan dengan…..224 gangguan tidur, keterbatasan aktifitas dan ketidakhadiran di sekolah (mcghan, 2006). keterbatasan berolahraga akibat asma merupakan contributor utama secara keseluruhan pada kontrol asma yang buruk. champman et al (2001) menemukan bahwa umumnya criteria asma terkontrol pada gejala harian, keterbatasan aktifitas fisik dan gangguan tidur. pada penelitian 1788 pasien dengan asma di amerika menemukan bahwa pada asma persisten sedang,63,8% berimbas pada fungsi fisik. keterbatasan aktifitas merupakan komponen penting pada pengkajian derajat kontrol asma dan juga mengindikasikan kebutuhan intervensi pendidikan (fuhlbrigge, 2002).. menurut mcghan (2006) derajat kontrol asma yang buruk terjadi pada anak yang terpapar asap rokok, yaitu 79% anak dibandingkan dengan anak yang berada dalam keluarga yang tidak ada anggota keluarganya yang merokok (p=0,002). pada kelompok yang tidak terkontrol terjadi pada persepsi orangtua yang buruk aspek psikososial dapat berdampak pada asma anak. walaupun anak menggunakan obat kortikosteroid asma kontrol yang buruk terjadi karena paparan asap rokok dan psikososial yang buruk pada orang tua. hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak hasil uji statistik dengan spearman’s rank, dengan p-value=0,025 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak, dengan keeratan hubungan sangat erat. faktor yang mempengaruhi derajat kontrol asma yaitu : faktor dokter, faktor pasien dan keluarga, co morbid, paparan pencetus, pengobatan yang tidak adekuat, ketidaktahuan penggunaan inhaler, masalah fungsional dan psikologis, pasien dan keluarga tidak melihat bahwa gejala sebagai indikasi kontrol yang kurang. faktor lingkungan merupakan paparan pencetus berulangnya periode asma. paparan asap rokok di rumah merupakan faktor prediktor paling signifikan pada derajat kontrol asma yang buruk . pada asma sedang dan berat dan asma intermiten ringan, eksaserbasi asma, gejala dan berefek negatif pada fungsi paru. pada penelitian mcghan (2006) 67 (44%) anak yang tinggal di rumah dengan paparan rokok kadang – kadang dan terus menerus, memiliki asma kontrol yang lebih buruk dibandingkan dengan yang tidak tinggal di rumah yang tidak ada perokoknya yaitu 51% asma kontrol buruk dan 21% terkontrol, p=0,005. jadi setiap jam per minggu paparan rokok menambang angka kontrol asma yang buruk sebesar 33%. mengurangi paparan rokok seharusnya menjadi prioritas utama bagi petugas kesehatan dan merupakan strategi manajemen yang relative mudah bago orang tua. disamping itu penggunaan kortikosteroid pada 19 anak yang terpapar rokok, tak satupun mencapai asma kontrol yang dapat diterima. shinai (2005) pada penelitiannya mendapatkan bahwa tidak memelihara binatang peliharaan di rumah dan pengobatan secara optimal dapat mengurangi responsifitas jalan napas terhadap metakolin pada pasien dengan alergi binatang peliharaan lebih dari pengobatan optimal saja. selain itu temuan lain memperlihatkan bahwa tidak memelihara binatang peliharaan di rumah juga menurunkan dosis penggunaan kortikosteroid, menurunkan medikasi dan menurunkan frekuensi kunjukan ke rumah sakit. paparan terhadap kualitas udara yang buruk karena tempat tinggal berdekatan dengan peternakan ayam menjadi salah satu pemicu kekambuhan asma. semakin sering asma kambuh menunjukkan bahwa asma kontrol anak buruk. dari hasil crostabulasi antara manajemen asma keluarga dengan faktor lingkungan memperlihatkan bahwa sebagian besar anak yang terpapar dengan faktor lingkungan, tindakan yang dilakukan keluarga adalah membawa ke pelayanan kesehatan/ ke dokter. frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan akibat asma, juga merupakan salah satu indikator kontrol asma yang buruk. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: faktor lingkungan: anggota keluarga merokok sebanyak 8 responden (25%), memiliki binatang peliharaan 12 responden (37,3%), tempat tinggal dekat dengan peternakan 7 responden (21,9%) dan yang tidak terpapar pencetus lingkungan sebanyak 5 responden (15,6%). derajat kontrol asma anak dalam kategori 225 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm.220-226 terkontrol sebanyak 9 anak (28,1%), sebagian terkontrol 13 anak (40,6%) dan tidak terkontrol 10 anak (31,3%).hasil uji statistik dengan menggunakan spearman’s rho menunjukkan bahwa p-value=0,028 yang berarti ada hubungan antara faktor lingkungan dengan derajat kontrol asma anak yang berobat di poli anak rsd mardi waluyo blitar. saran bagi tenaga kesehatan, sebagai masukan bagi bagi tenaga kesehatan untuk dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada orangtua anak asma terkait dengan faktor lingkungan, misalnya menganjurkan keluarga yang memiliki kebiasaan merokok untuk merokok di area yang jauh dari anak, tidak memelihara binatang peliharaan dan menggunakan masker di luar rumah apabila lokasi rumah berdekatan dengan peternakan. bagi keluarga, dapat memantau perkembangan asma anak dengan menilai derajat kontrol asma anak dan bekerjasama dengan tenaga kesehatan dalam merencanakan manajemen asma anak. bagi institusi pendidikan, diharapkan menjadi masukan dalam penyusunan media informasi kepada keluarga anak penderita asma. daftar rujukan akinbami lj, moorman je, liu x: asthma prevalence, health care use, and mortality: united states, 2005 – 2009.national health statistics report 2011, 32: .http://www.cdc.gov/nchs/data/nhsr/ nhsr032.pdf webcite chapman kr, ernst p, grenville a, dewland p, zimmerman s. control of asthma in canada: failure to achieve guideline targets. can respir j. 2001;8(suppl a):35a–40a. [pubmed] dick s, doust e, cowie h,ayres jg, turner s.2013. associations between environmental exposures and asthma control and exacerbations in young children: a systematic review. bmj open 2014;4:e003827 doi:10.1136/bmjopen-2013-003827. etzel ra. how environmental exposures influence the development and exacerbation of asthma. pediatrics 2003;112:233– 9.[crossref][medline][web of science]google scholar fuhlbrigge al, adams rj, guilbert tw, et al. the burden of asthma in the united states: level and distribution are dependent on interpretation of the national asthma education and prevention program guidelines. am j respir crit care med. 2002;166:1044– 9. [pubmed] gianniou, n & rovina,n 2008. poor asthma control in clinical practice: quantifying the perspective of improvement. thematic series. respiratori and critical care department, evagelismas general hospital. pneumon number 3, vol 21, july – september. global strategy for asthma management and prevention (gina) (updated 2006). url: http://www.ginasthma.org. global strategy for asthma management and prevention(gina) (review 2011).url: http://www.ginasthma.org. haughney j, price d, kaplan a, chrystyn h, horne r, may n, moffat m, versnel j, shanahan er, hillyer ev, tunsater a, bjermer l: ‘achieving asthma control in practice: understanding the reasons for poor control’. respir med 2008, 102:1681-1693. jackson dj, sykes a, mallia p, et al. asthma exacerbations: origin, effect, and prevention. j allergy clin immunol 2011;128:1165–74. [crossref][medline][web of science]google scholar kompas 2008, ‘penyakit asma 5 besar penyebab kematian di dunia’, kompas,12 maret 2008 , halaman 1. prasetyanto, nova. d14061892 2011, kadar h2s, no2, dan debu pada peternakan ayam roiler dengan kondisi lingkungan yang berbeda di kabupaten bogor, jawa barat, skripsi, departemen ilmu produksi dan teknologi peternakan, fakultas peternakan, institut pertanian bogor. setiyorini, hubungan faktor lingkungan dengan…..226 purnomo 2008, ‘faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian asma bronchial anak (studi kasis di rs kabupaten kudus)’, tesis program pasca sarjana, universitas diponegoro, semarang. mcghan, s l., macdonald c, james, d e naidu, wong, e., sharpe, h a hessel, and a d befus,, ‘factors associated with poor asthma control in children aged five to 13 years’, can respir j. 2006 jan-feb; 13(1): 23– 29.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/art icles/pmc2539007/ dibuka tanggal 20 nopember 2012. skoner d. controlling asthma: why we must do better. contemp pediatr. 2001;18(8):49–62. shirai, toshihiro & matsui, takashi & suzuki, kenichiro & chida, kingo. 2005. ‘effect of pet removal on pet allergic asthma’,chest: 127(5): 1565-1571. http://www.medscape.com/viewarticle/ 504146_4 dibuka tanggal 20 nopember 2012. wyrwich kw, ireland am, navaratnam p, nolte h, gates df: ‘an assessment of change in asthma control among adolescents and adults with persistent asthma in mometasone furoate/formoterol fumarate clinical trials’. j asthma 2011, 48:48-56. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2539007/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2539007/ http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2539007/ http://www.medscape.com/viewarticle/504146_4 http://www.medscape.com/viewarticle/504146_4 e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 15nisa, gambaran risiko penyakit hipertensi ... 15 gambaran risiko penyakit hipertensi pada mahasiswa (description of hypertension disease risk on student) uswatun nisa poltekkes kemenkes malang e-mail: nisa_u@gmail.com abstract: hypertension is the condition of blood pressure more than 120/80 mmhg in rest position. the purpose of this study illustrate the risk of hypertension at student scienntific 3 nursing program blitar method: the research design was description design. the population are all students who study at scienntific 3 polytechnic campus health ministry of health malang by 294 students, the total of samples this study were 224 student and using quota sampling technique. the data was collected by risk score for predicting near-term incidence of hipertension. result: the result showed that risk 1 years ago 100% have low risk, risk 2 years ago 99,1% have low risk, 9% have midle risk, and risk 4 years ago 93,8% have low risk, 5,4% have midle risk, 9% have high risk. discussion: recomendation from this study are expected to be used as as consideration to create a new program in of healthy prevent hypertension on students. keywords: hypertension, students abstrak: hipertensi adalah suatu keadaan seseorang dengan tekanan darah diatas 120/80 mmhg pada saat istirahat. tujuan dari penelitian ini menggambarkan risiko penyakit hipertensi pada mahasiswa program studi d3 keperawatan blitar. metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif eksploratif. populasi dalam penelitian ini mahasiswa program studi d3 keperawatan blitar sebanyak 294 orang. jumlah sampel pada penelitian ini adalah 224 orang dan menggunakan quota sampling. pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan risk score for predicting near-term incidence of hipertension. waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 20 februari–28 maret 2014. hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko 1 tahun kedepan rendah 100% (224), risiko 2 tahun kedepan rendah 99,1 % (222 mahasiswa), sedang 0,9 % (2 mahasiswa), dan risiko hipertensi 4 tahun kedepan rendah 93,8 (210 mahasiswa), sedang 5,4% (12 mahasiswa), tinggi 0,9% (2 mahasiswa). rekomendasi dari penelitian ini adalah diharapkan dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk membuat program baru untuk meningkatkan pencegahan penyakit hipertensi. kata kunci: risiko, penyakit hipertensi, mahasiswa penyakit tidak menular merupakan penyakit yang tidak disebabkan oleh proses infeksi (tidak infeksius) antara lain penyakit kardiovaskuler, stroke, diabetes, kanker, penyakit paru obstruktif kronik. setiap tahun, ptm menyebabkan hampir 60% kematian di indonesia, dan sebagian besar berusia di bawah 60 tahun (buletin penyakit tidak menular, 2012). di indonesia, survei kesehatan rumah tangga (skrt) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi faktor risiko dari tahun 2001 ke tahun 2004, di antaranya hipertensi (8,3%–27,5%), hiperglikemia (12,7–18,3%), hiperkolesterol (6,5%– 12,9%) dan obesitas (12,7%–18,3). dari angka tersebut menunjukkan prevalensi hipertensi tinggi sehingga perlu dilakukan deteksi dini risiko hipertensi. hipertensi adalah penyakit yang bisa menyerang siapa saja, baik muda maupun tua, entah orang kaya maupun miskin (indriyani, 2009: 37). penyakit ini muncul tanpa keluhan sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi. gejalanya terkadang tidak terasa, maka hipertensi menjadi salah satu acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p015-019 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 16 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 15–19 penyakit yang disebut sebagai silent killer, karena penyakit hipertensi mengakibatkan berbagai komplikasi pembuluh darah yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, ginjal, dan stroke di kemudian hari (palmer, 2007). faktor-faktor risiko pemicu timbulnya hipertensi, yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat dikontrol, faktor yang tidak dapat diubah antara lain keturunan, jenis kelamin, dan umur (setiawan, 2008). apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka kemungkinan menderita hipertensi menjadi lebih besar. hipertensi esensial primer 90% dimungkinkan karena faktor genetik atau keturunan. pada umumnya pria memiliki kemungkinan lebih besar terserang hipertensi dibanding wanita, hipertensi berdasarkan gender ini dipengaruhi oleh faktor psikologi. hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah ketika bertambah usia, jadi semakin tua usianya kemungkinan seseorang menderita hipertensi semakin besar (indriyani, 2009). faktor yang dapat dikontrol adalah kegemukan, konsumsi garam berlebih, kurang olahraga, merokok, dan konsumsi alkohol (setiawan, 2008). makanan di era sekarang ini banyak lemak, tinggi kadar garam dapur seperti msg atau vetsin serta kadar gula yang tidak terkontrol sudah menjadi bagian dari makanan cepat saji dengan cita rasa yang enak dan penampilan yang menarik serta kepraktisan mengkonsumsinya membuat makan tersebut seakan menjadi kecenderungan global pada dewasa muda saat ini (adib, 2009:73). gaya hidup modern orang dewasa muda yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolahraga, dan berusaha mengatasi stresnya dengan merokok, minum alcohol, atau kopi yang semua termasuk dalam daftar penyebab risiko hipertensi (vitahealth, 2004). usia dewasa muda yang merokok dan semakin besar jumlah rokok yang dikonsumsi per hari, maka risiko terserang hipertensi, termasuk stroke semakin besar (indriyani, 2009). hipertensi dapat menyerang berbagai usia, mulai usia muda sampai usia tua merupakan musibah apabila seseorang yang tergolong produktif justru terserang hipertensi, karena hipertensi dapat mengakibatkan terganggunya fungsi ginjal, otak, jantung sehingga dapat menurunkan vitalitas tubuh yang berujung pada menurunnya produktivitas seseorang (ridwan, 2009). menurut tedja tahun 2012 angka kejadian hipertensi di indonesia untuk usia dewasa muda pada laki-laki 48,2% dan pada perempuan 42,1%. yang termasuk dalam usia muda adalah mahasiswa (sarwono, 2012). sebagian besar mahasiswa yang berasal dari luar daerah tempat perguruan tinggi tersebut berada. mereka jauh dari rumah dan biasanya mereka tinggal di kos-kosan maupun di asrama, mahasiswa merupakan sosok remaja yang paling banyak mendapatkan stressor dari lingkungan sekitar (rahmawati, 2006). menurut aris (2007) sebagian besar mahasiswa mengkonsumsi makanan siap saji karena murah dan rasanya enak, sehingga ini dapat memicu terjadinya hipertensi, sehingga 2 faktor ini dapat memicu terjadinya hipertensi. berdasarkan data presensi mahasiswa program studi d3 keperawatan blitar tanggal 06 januari 2014 mahasiswa dengan jumlah mahasiswa adalah 294. dari hasil studi pendahuluan setelah dilakukan wawancara pada 15 mahasiswa program studi diii keperawatan blitar didapat 5 orang mempunyai keturunan hipertensi, 5 orang imtnya >30 dalam kategori obesitas, dan 5 orang dalam pengendalian stressor dengan merokok. keadaan ini merupakan fenomena bahwa mahasiswa program studi d3 keperawatan blitar mempunyai risiko menderita penyakit hipertensi, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti ”gambaran risiko penyakit hipertensi pada mahasiswa prodi d3 keperawatan blitar”. rumusan masalahnya adalah bagaimanakah gambaran resiko penyakit hipertensi pada mahasiswa. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan resiko penyakit hipertensi pada mahasiswa. manfaat bagi instansi pendidikan adalah dapat menambah dan diintegrasikan dalam pembelajaran khususnya tentang resiko hipertensi. manfaat bagi penelitian keperawatan adalah diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pendidik maupun mahasiswa tentang resiko hipertensi. bahan dan metode penelitian dilakukan di kampus 3 program studi d3 keperawatan blitar polttekkes kemenkes malang dengan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian ini adalah semua mahasiswa program studi d3 keperawatan blitar pada tanggal 20–21 februari 2014. sampel dalam penelitian ini mahasiswa program studi d3 keperawatan blitar sejumlah 224 orang dan bersedia untuk menjadi responden. penelitian ini menggunakan teknik sampling quota sampling. pengolahan dan analisa data secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, dan gambar. da ta diana lisa menggunaka n risk score for 17nisa, gambaran risiko penyakit hipertensi ... predicting near-term incidence of hipertension untuk mengetahui hasilnya yang sudah terprogram dalam microsoft excel. hasil pengukuran risk score for predicting near-term incidence of hipertension dalam bentuk persen (%). hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. berdasarkan tabel 8 dapat disimpulkan bahwa resiko hipertensi mahasiswa prodi d3 keperawatan blitar adalah risiko 1 tahun kedepan rendah 100% (224), risiko 2 tahun ke depan rendah 99,1 % (222 mahasiswa), sedang 0,9 % (2 mahasiswa), dan risiko hipertensi 4 tahun ke depan rendah 93,8 (210 mahasiswa), sedang 5,4% (12 mahasiswa), tinggi 0,9% (2 mahasiswa). pembahasan pada risiko tinggi hipertensi 4 tahun kedepan 0,9% (2 mahasiswa), risiko tinggi penyakit hipertensi, dibuktikan bahwa tekanan darah sistol 135 mmhg, tekanan darah sistol 85 mmhg, merokok, dan mempunyai keturunan hipertensi. peningkatan diastolik dianggap faktor risiko yang lebih penting daripada sistolik, namun pada usia lebih dari 50 tahun peningkatan angka sistolik menggambarkan risiko yang lebih besar (sotomo, 2009). selain tekanan darah sistol dan diastol, merokok merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi. menurut depkes (2010) merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah. zat-zat kimia beracun sepertin nikotin dan karbonmonoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan bagian dalam pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses kelenturan pembuluh darah serta tekanan darah tinggi. selain itu keturunan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi menurut adib (2009) terjadi kecenderungan mengidap hipertensi didapat dari riwayat hipertensi didalam keluarga. jika salah satu orang tua terkena hipertensi, maka kecenderungan anak menderita hipertensi juga lebih besar daripada mereka yang tidak tabel 1. usia no usia f % 1 20 tahun 162 72,3 2 21 tahun 58 25,9 3 22 tahun 3 1,3 4 24 tahun 1 0,4 tabel 2. jenis kelamin no jenis kelamin f % 1 laki laki 73 32,6 2 perempuan 151 67,4 tabel 3. makan asin no makan asin f % 1 ya 118 52,7 2 t idak 106 47,3 tabel 4. makan makanan yang mengandung msg no makanan msg f % 1 y a 160 71,4 2 t idak 64 28,6 tabel 5. makanan berbahan pengawet no pengawet f % 1 ya 62 27,7 2 tidak 162 72,3 tabel 6. rutin olahraga no rutin olahraga f % 1 ya 100 44,6 2 t idak 124 55,4 tabel 7. konsumsi alkohol no konsumsi a lkohol f % 1 y a 1 0,4 2 t idak 223 99,6 tabel 8. resiko hipertensi mahasiswa program studi d3 keperawatan blitar berdasarkan risk score for predicting near-term incidence of hipertension risiko hipertensi kategori jumlah tinggi sedang rendah f % f % f % f % risiko hipertensi 1 tahun kedepan 0 0 0 0 224 100 224 1 00 risiko hipertensi 2 tahun kedepan 0 0 2 0,9 222 99,1 224 1 00 risiko hipertensi 4 tahun kedepan 2 0,9 12 5,4 210 93,8 224 1 00 18 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 15–19 memiliki orang tua penderita hipertensi. menurut peneliti tekanan darah, merokok dan keturunan sangat berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi dikarenkan faktor ini mempunyai pengaruh terhadap pembuluh darah arteri sehingga dapat menyebabkan hipertensi pada risiko sedang hipertensi 4 tahun kedepan sedang 5,4% (12 mahasiswa) sebesar 4% (1 mahasiswa) dan 1,8% (4 mahasiswa) termasuk dalam imt termasuk dalam kategori berat badan berlebih tingkat berat. adib (2009) penderita obesitas berisiko dua sampai enam kali lebih besar untuk terserang hipertensi dibandingkan orang-orang dengan berat badan yang normal. menurut soetomo (2009) berat badan yang berlebih membuat aktivitas fisik jadi berkurang akibatnya pompa jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah. menurut peneliti seseorang yang obesitas akan berisiko terserang penyakit hipertensi dikarenakan pompa jantung dan volume darah lebih tinggi sehingga risiko penyakit hipertensi pada seseorang yang obesitas lebih tinggi. selain itu mahasiswa yang memiliki risiko 4 tahun kedepan yang memiliki risiko tinggi sebesar 0,4% (1 mahasiswa) suka makanan asin atau suka mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung garam. menurut ridwan (2009) konsumsi garam yang tinggi dapat mengakibatkan ion natrium di dalam bahan makanan akan diserap kedalam pembuluh darah. adanya ion natrium didalam darah akan mengakibatkan rentensi air, sehingga volume darah menjadi semakin meningkat dan kondisi dapat menimbulkan hipertensi. peneliti berpedapat bahwa garam dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah sehingga faktor ini dapat menyebabkan hipertensi. pada risiko tinggi 4 tahun kedepan sebesar 0,4% (1 mahasiswa) suka mengkonsumsi makanan yang mengandung msg. menurut indriyani (2009) monosodium glutamat (msg) atau vetsin merupakan unsur yang menyebabkan hipertensi, salah satu sistem yang berperan dalam pengaturan tekanan darah adalah sistem renin-angiotensin-aldosterone. renin dihasilkan ginjal yang akan mengubah angiotensin hati menjadi angiotensin i. zat ini dengan bantuan angiotensin converting enzyme (ace) akan diubah menjadi angiotensin ii dan akan menggertak otak untuk merangsang sistem saraf simpatikus. angiotensin ii juga menyebabkan retensi natrium (sodium) dan merangsang sekresi aldosteron, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. peneliti berpendapat jika seseorang tersebut sering mengkonsumsi makanan yang mengandung msg maka risiko hipertensinya akan tinggi. pada risiko tinggi 4 tahun ke depan sebesar 0,4% (1 mahasiswa) suka mengkonsumsi makanan yang mengandung msg. menurut indriyani (2009) monosodium glutamat (msg) atau vetsin merupakan unsur yang menyebabkan hipertensi, salah satu sistem yang berperan dalam pengaturan tekanan darah adalah sistem renin-angiotensin-aldosterone. renin dihasilkan ginjal yang akan mengubah angiotensin hati menjadi angiotensin i. zat ini dengan bantuan angiotensin converting enzyme (ace) akan diubah menjadi angiotensin ii dan akan menggertak otak untuk merangsang sistem saraf simpatikus. angiotensin ii juga menyebabkan retensi natrium (sodium) dan merangsang sekresi aldosteron, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. peneliti berpendapat jika seseorang tersebut sering mengkonsumsi makanan yang mengandung msg maka risiko hipertensinya akan tinggi. pada risiko tinggi 4 tahun kedepan sebesar 0,9% (2 mahasiswa) tidak suka makan makanan yang berbahan pengawet, namun sebesar 25,9% (58 mahasiswa) yang memiliki risiko rendah suka mengkonsumsi makanan yang berbahan pengawet. tubuh membutuhkan natrium untuk menjaga keseimbangan cairan dan mengatur tekanan darah. tetapi asupannya yang berlebih tekanan darah akan meningkat akibat adanya retensi cairan dan bertambahnya volume darah. kelebihan natrium diakibatkan dari kebiasaan menyantap makanan instan yang telah menggantikan bahan makanan segar. gaya hidup serba cepat menuntut segala sesuatunya serba instan, termasuk konsumsi makanan, padahal makanan instan cenderung menggunakan zat pengawet seperti natrium benzoat dan penyedap rasa seperti monosodium glutamat (msg) (sutomo, 2009). peneliti berpendapat walaupun seseorang tersebut memiliki risiko rendah tetapi memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan yang berbahan pengawet maka seseorang tersebut juga akan mempunyai risiko yang tinggi karena zat yang berbahan pengawet dapat meningkat retensi air yang akan meningkatkan volume darah sehingga terjadi tekanan darah yang tinggi. pada risiko tinggi 4 tahun kedepan sebesar 0,9% (2 mahasiswa) tidak rutin melakukan olah raga. menurut sutomo (2009) jika seseorang kurang gerak, frekuensi denyut jantung menjadi lebih 19nisa, gambaran risiko penyakit hipertensi ... tinggi sehingga memaksa jantung bekerja lebih keras setiap kontraksi. peneliti berpendapat bahwa orang yang tidak aktif cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja keras pada setiap kontraksi makin keras dan sering otot jantung harus memompa makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga mahasiswa yang tidak rutin berolah raga memicu risiko hipertensi. dari hasil data yang memiliki risiko tinggi sebesar 0,9% (2 mahasiswa) tidak suka minum minuman yang berakohol, namun sebesar 0,4%(1 mahasiswa) yang memiliki risiko rendah suka minum minuman yang berakohol. penelitian sugiharto (2007) kebiasaan sering minum alkohol tidak terbukti sebagai faktor risiko hipertensi. namun pendapat ini bertentangan dengan palmer (2007) minum alkohol terlalu banyak dapat meningkatkan tekanan darah dan risiko komplikasi kardiovaskuler, panduan terbaru diinggris menyarankan agar pria dengan tekanan darah tinggi membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 21 unit per minggu (sekitar 10 pint bir berkadar alkohol sedang atau ringan per minggu), dan wanita tidak lebih dari 14 unit per minggu. sehingga peneliti berpendapat bahwa mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan plasma katekolamin yang dapat mengakibatkan hipertensi jika seseorang tersebut memiliki risiko rendah akan tetapi suka minum minuman yang berakohol akan terjadi kecenderungan terkena penyakit hipertensi. simpulan dan saran simpulan risiko penyakit hipertensi mahasiswa prodi d3 keperawatan blitar, risiko 1 tahun ke depan rendah 100% (224), risiko 2 tahun kedepan rendah 99,1% (222 mahasiswa), sedang 0,9% (2 mahasiswa), dan risiko hipertensi 4 tahun kedepan rendah 93,8 (210 mahasiswa), sedang 5,4% (12 mahasiswa), tinggi 0,9% (2 mahasiswa). saran kepada tempat penelitian diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan data tentang penyakit hipertensi terkait dengan risiko hipertensi di prodi d3 keperawatan blitar, serta adanya kesadaran mahasiswa terkait dengan pencegahan penyakit hipertensi dengan menghindari faktor-faktor risiko yang dapat di kontrol. sebagai mahasiswa yang memiliki risiko rendah untuk mempertahankan gaya hidupnya agar tetap pada risiko rendah, untuk mahasiswa yang memiliki risiko sedang dan tinggi agar mengubah pola hidupnya agar risikonya rendah. bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut berkaitan risiko dan faktor-faktor risiko hipertensi. peneliti menyarankan kepada peneliti lain untuk meneliti gambaran pola makan mahasiswa prodi d3 keperawatan blitar. daftar rujukan indriyani, w.n. 2009. deteksi dini kolesterol, hipertensi, dan stroke. jakarta: millestone. kementrian kesehatan ri. 2012. buletin penyakit tidak menular. jakarta:bakti husada. m. adib. 2009. cara mudah memahami dan menghindari hipertensi, jan tung, dan stroke edisi ii. yogyakarta: diantaloka. muh. ridwan. 2009. mengenal, mencegah, mengatasi silent killer hipertensi. bandung: pustaka widyamara. palmer, a., dkk. 2007. tekanan darah tinggi. jakarta: erlangga. rahmawati. 2006. definisi mahasiswa http://library. binus.ac.id/ecolls/ethesis//2011-2-00013pl%202.pdf, (diakses pada tanggal 10 januari 2014) sarwono, s.w. 2012. pengantar psikologi umum. jakarta: raja grafindo persada. setiawan, d. 2008. care your self, hipertensi. jakarta: penebar plus. sutomo, b. 2009. menu sehat penakluk hipertensi. jakarta: pt agromedia pustaka. sugiharto, a. 2007. tesis faktor-faktor risiko hipertensi grade ii pada masyarakat. semarang. vitahealth. 2004. hipertensi. jakarta: pt gramedia. 164 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 164–172 164 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk peran perawat dalam assessment pengenalan dini untuk meningkatkan outcome pasien stroke di instalasi gawat darurat dewi rachmawati jurusan keperawatan, politeknik kesehatan kemenkes malang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 18/03/2019 disetujui, 08/07/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: instalasi gawat darurat, outcome, assessment, perawat abstrak stroke penyakit kegawat daruratan medis yang sangat tergantung waktu dalam penanganannya. assessment menentukan diagnosis stroke adalah kunci pokok manajemen stroke. tujuan literature ini mengatahui bagaimana peran perawat dalam assessment untuk meningkatkan outcome pasien stroke. metode literature review adalah mengumpulkan dan analisa artikel tentang assessment, diagnosis dan manajemen stroke di igd. sumber literatur dari text book, artikel elektronik seperti sciencedirect, pubmed, cochrane library dengan kriteria dipublikasi periode 2000-2016, pencarian menggunakan kata kunci ”recognition, assessment, stroke, emergency”. hasil penelusuran didapatkan 21 artikel tentang pengkajian/pengenalan gejala, diagnosis dan menajemen stroke, hanya 7 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. literatur review menunjukkan bahwa aktivasi protokol manajemen stroke segera dilakukan dengan pertama kali menentukan tipe atau diagnosis stroke pasien. penentuan diagnosis penting untuk dilakukan sebagai dasar memberikan terapi. penentuannya biasanya menggunakan ct-scan untuk membedakan stroke akut atau gejala mirip stroke. tidak semua rumah sakit tersedia ctscan sehingga sebagai alternatif dapat menggunakan rosier scale dengan sensitifitas 93% dan nilai prediksi positif 90% membedakan stroke akut dan bukan stroke. terdapat 7 aitem penilaian yaitu kehilangan kesadaran atau sinkop, aktivitas kejang, kelemahan otot wajah/asimetris, kelemahan anggota gerak atas/asimetris, kelemahan anggota gerak bawah/asimetris, kesulitan bicara, gangguan lapang pandang. total skor antara -2 sampai +5. apabila pasien mendapat skor 1 atau lebih terdiagnosis stroke dan skor  0 maka bukan stroke kecuali skor total 0. rosier merupakan skala diagnosis simple, sensitif, spesifik dan cocok digunakan saat triage di igd. penggunaannya juga sangat cepat dan mudah sehingga semakin cepat identifikasi pasien stroke untuk mendapatkan tindakan yang dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan. ©2019jurnal ners dan kebidanan correspondence address: poltekkes kemenkes malang jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: rachmawati_dewi13@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i2.art.p164-172 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 165rachmawati, peran perawat dalam assessment... abstract stroke is a medical emergency disease that is very time dependent in handling it. assessment of determining stroke diagnosis is the key to stroke management. the purpose of this literature is to know the role of nurses in assessments to improve the outcome of stroke patients. the literature review method is to collect and analyze articles about assessment, diagnosis, and management of stroke in ed. literary sources from text books, electronic articles such as sciencedirect, pubmed, cochrane library with criteria published in the period 2000-2016, search using keywords “recognition, assessment, stroke, emergency”. the search results found 21 articles on symptom assessment/recognition, diagnosis and stroke management, only 7 articles that met the inclusion criteria. literature review shows that the activation of the stroke management protocol is immediately carried out by first determining the type or diagnosis of stroke of the patient. determination of an important diagnosis is done as a basis for providing therapy. determination usually uses ct-scan to distinguish acute stroke or stroke-like symptoms. not all hospitals have ct scans so that alternatively you can use rosier scale with 93% sensitivity and a positive predictive value of 90% differentiating acute stroke and not stroke. there are 7 assessment items, namely loss of consciousness or syncope, seizure activity, asymmetrical facial weakness, asymmetrical arm weakness, asymmetrical leg weakness, speech disturbance, visual field defect. the total score is between -2 to +5. if the patient gets a score of 1 or more diagnosed with a stroke and a score of  0 then it is not a stroke except for a total score of 0. rosier is a simple, sensitive, specific diagnosis scale and suitable to be used when triage in ed its use is also very fast and easy so that the faster the identification of stroke patients to get actions that can reduce mortality and disability. the role of nurses in early recognition assessment to improve the outcome of stroke patients in the emergency department article information history article: received, 18/03/2019 accepted, 08/07/2019 published, 01/08/2019 keywords: emergency deparment, outcome, assessment, nurse 166 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 164–172 pendahuluan stroke atau yang lebih dikenal cerebrovascular accident (cva) merupakan gangguan neurologis fokal yang terjadi secara mendadak (berlangsung dalam beberapa detik) dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (ginsberg, 2008; silvestri, 2011). stroke adalah proses penyakit yang terjadi karena gangguan atau pecahnya pembuluh darah di otak sehingga termasuk salah satu medical emergency yang dapat menyebabkan kecacatan atau bahkan kematian (cline et al, 2012; cdc, 2015). stroke menjadi penyebab kematian terbanyak di dunia. menurut data who (2010) setiap tahunnya 15 juta orang menderita stroke dengan angka kematian kira-kira 5 juta pertahun. di as stroke adalah penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker. setiap 4 menit didapati 1 orang meninggal karena stroke, dengan angka kematian kira-kira 130.000 orang setiap tahunnya. selain itu sekitar 610.000 orang mendapatkan serangan stroke pertama kalinya dan 185.000 orang mengalami serangan berulang (cdc, 2015). di negara berkembang stroke menyumbang 85,5% dari total kematian di seluruh dunia dengan angka kematian 4,4 juta pertahun (who, 2010). sedangkan di indonesia stroke merupakan penyebab utama kematian dengan prevalensi kejadian stroke yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. berdasarkan litbang kemenkes ri (2013) prevalensi stroke meningkat dari 8,3% per 1000 penduduk tahun 2007 menjadi 12,1% pada tahun 2013. dari jumlah tersebut 14,5% meninggal di instalasi gawat darurat. waktu merupakan kunci pokok dalam manajemen stroke. stroke merupakan time-sensitive disease, yang memerlukan kecepatan dalam identifikasi dan tindakan untuk meningkatkan outcome pa sien (taylor et al, 2014). diper kua t oleh bergman et al (2013) yang menyatakan bahwa kunci dalam manajemen stroke adalah “time is brain” segala sesuatu yang berhubungan dengan manajemen stroke sangat sensitif terhadap waktu. karena setiap menit penundaan dalam tindakan terhadap stroke akan mengakibatkan kehilangan kurang lebih 1,9 juta neuron dan 13,8 milyar sinaps, jika terjadi penundaan setiap jam akan sama dengan terjadi penuaan pada otak lebih cepat 3,6 tahun (taylor et al, 2014). berdasarkan protokol yang direkomendasikan pemberian trombolitik pada fase akut dapat meningkatkan outcome dan memberikan keuntungan yang maksimal pada pasien stroke. diperkuat oleh asa da la m hoeger l et al (2010) ba hwa tissue plasminogen activator (tpa) efektif untukterapi pasien stroke, karena dengan pemberian tpa dapat terjadi rekanalisasi pembuluh darah otak. akan tetapi dalam pemberian tindakan ini didasarkan pada onset gejala awal stroke (mosley et al, 2013). berdasarkan food and drug administration tindakan pemberian trombolitik pada pasien dengan stroke iskemik dapat diberikan dalam waktu 0-3 jam dari awal tanda gejala stroke. apabila lebih dari 3 jam pemberian tidak dapat dilakukan (bregman et al, 2013). pada kenyataannya pasien datang di instalasi gawat darurat setelah 3 jam terjadinya serangan stroke atau jika datang dalam waktu kurang dari 3 jam banyak faktor penundaandalam pemberian tindakan di igd (taylor et al, 2014). salah satunya adalah penundaan dalam melakukan diagnosis stroke. diperkuat oleh nolte et al (2013) yang menyatakan bahwa cerebral imaging (ct-scan) adalah pemeriksaan diagnostik yang penting dan membutuhkan waktu lama sebelum tindakan stroke dilaksanakan. diagnosis ini untuk membedakan pasien mengalami stroke iskemik atau stroke perdarahan (haemorragic). akan tetapi tidak semua rumah sakit tersedia ct-scan sehinggadiperlukan alternatif untuk mendiagnosis pasien stroke secara tepat dan akurat agar pasien mendapatkan terapi trombolitik yang pada akhirnya menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien (hoegerlet al, 2010). perawat sebagai first responder di instalasi gawat darurat mempunyai peran vital terutama dalam melakukan assessment pada pasien stroke. kecepatan dan keakur atan dalam melakukan assessment untuk mengidentifikasi stroke iskemik dan stroke hemorrhagic serta mengetahui golden periode atau time is brain pada pasien dengan stroke akan dapat meningkatkan live-saving dan penyembuhan pasien dengan segera (bergman et al, 2013). untuk memuda hka n per a wa t da la m assessment dan diagnosis stroke di instalasi gawat darurat perawat dapat menggunakan rosier (the recognition of stroke in the emergency room) assessment tool. instrumen ini mudah digunakan dan membutuhkan waktu yang singkat dalam 167rachmawati, peran perawat dalam assessment... menggunakannya serta mempunyai keakuratan dan sensitiftas mendiagnosis stroke 98% dengan kemampuan prediksi benar 83%. instrumen ini juga mampu mengenali dengan cepat tanda gejala stroke, membedakan stroke dari penyakit lain dengan gejala yang sama dan digunakan sebagai dasar pemberian trombolitik terutama pada pasien stroke yang tanda dan gejalanya terlihat dalam 3 jam (mohd nor et al, 2005). sehingga dengan simpel identifikasi di atas dapat meningkatkan recognition dan kecepatan diagnosis stroke yang bermanfaat dengan cepat memberikan trombolitik pada pasien. oleh karena itu berdasarkan ulasan diatas akan dibahas lebih detail terkait peran perawat dalam assessment pengenalan dini untuk meningkatkan outcome pasien stroke di instalasi gawat darurat. bahan dan metode penelitian ini berjenis literature review yang berisi ulasan, rangkuman dan pemikiran penulis tentang beberapa pustaka yang berkaitan dengan topik yang dibahas. dalam penelitian ini, peneliti menganalisis peran perawat dalam assessment pengenalan dini untuk meningkatkan outcome pasien stroke di instalasi gawat darurat. variabel independen adalah peran perawat dalam assessment pengenalan dini stroke. untuk variabel dependen adalah outcome pasien stroke di instalasi gawat darurat. populasi adalah semua jurnal penelitian tentang assessment atau pengenalan tanda dan gejala stroke di instalasi gawat darurat. sampel adalah jurnal hasil penelitian tentang assessment atau pengenalan tanda dan gejala stroke di instalasi gawat darurat yang memenuhi kriteria inklusi. kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini meliputi: 1). merupakan penelitian dengan desain prospective observational cohort study, 2). responden dalam jurnal penelitian adalah pasien yang dicurigai terdapat tanda gejala stroke yang datang ke instalasi gawat darurat, 3). hal yang diteliti tentang assessment pengenalan tanda gejala dan diagnosis stroke, 4). hasil penelitian yang dipublikasi dalam rentang tahun 2000-2016. sumber literatur review dari text book dan artikel elektronik seperti sciencedirect, pubmed dan cochrane library dengan kriteria artikel yang dipublikasi periode 2000-2016dengan menggunakan ka ta kunci”recognition, assessment, stroke, emergency”. hasil penelusuran didapatkan 21 artikel tentang pengkajian/pengenalan tanda gejala, diagnosis dan manajemen stroke, hanya 7 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. metode perumusan dalam analisis literature review ini mengunakan pico framework, yaitu p adalah pasien dengan serangan/tanda gejala stroke, i adalah assessment tanda gejala stroke di instalasi gawat darurat, c adalah pengenalan gejala stroke dengan segera, o adalah meningkatkan outcome pasien stroke di instalasi gawat darurat. sumber literatur review dari text book dan artikel elektronik seperti sciencedirect, pubmed dan cochrane library dengan kriteria artikel yang dipublikasi periode 2000-2016 dengan menggunakan ka ta kunci”recognition, assessment, stroke, emergency”. hasil penelusuran didapatkan 21 artikel yang berhubungan dengan peningkatan outcome pasien stroke akut terutama dengan spesifikasi yang dimulai dari pengkajian/pengenalan dini tanda gejala stroke, stroke scale dan diagnosis stroke di instalasi gawat darurat serta manajemen yang tepat bagi pasien dengan stroke akut terutama waktu yang tepat dalam pemberian trombolitik. dari 21 artikel tersebut didapatkan 7 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. hasil penelitian stroke merupakan suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya infak atau kematian jaringan otak (betticaca, 2008; keogh, 2013). penyebab stroke adalah pecahnya (rupture) pembuluh darah diotak atau terjadinya emboli dan thrombosis. menurut betticaca (2008), ginsberg, (2008) dan keogh (2013) stroke diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu stroke iskemik (88% dari semua kasus stroke) yang terjadi karena terdapat obstruksi (sumbatan) akibat adanya emboli atau thrombus pada pembuluh darah, stroke hemorrhagic (perdarahan) yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah diotak yang menyebabkan darah keluar dari pembuluh sehingga mengenai jaringan otak dan transient ischemic attack (tia)yaitu hilangnya fungsi sistem saraf pusat local secara cepat yang berlangsung <24 jam diakibatkan oleh mekanisme vaskuler emboli, thrombosis atau hemodinamik. stroke merupakan time-sensitive disease, dimana kunci dalam manajemen stroke sangat bergantung pada waktu atau time is brain yang tujuannya meningkatkan outcomepasien stroke dengan meminimalisasi kerusakan otak, mencegah perdarahan dan komplikasi lebih lanjut yang terjadi 168 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 164–172 dan mempercepat proses recovery atau penyembuhan (michel, 2009). apabila ada pasien stroke datang ke instalasi gawat darurat. perawat sebagai first responder yang pertama kali berhadapan dengan pasien harus segera menentukan prioritas atau tingkat kegawatan pasien. selanjutnya aktivasi protokol manajemen stroke segera dilakukan dengan pertama kali menentukan tipe atau diagnosis stroke yang terjadi pada pasien. penentuan diagnosis stroke ini penting untuk dilakukan sebagai dasar dalam memberikan terapi pada pasien. diagnosis ini biasanya dilakukan dengan menggunakan ct-scan untuk membedakan stroke iskemik atau stroke hemorrhagic. akan tetapi tidak semua rumah sakit tersedia ct-scan sehingga sebagai alternatif dapat menggunakan rosier scale (the recognition of stroke in the emergency room) assessment tool). pertama kali diperkenalkan oleh mohd nor et al (2005) yang melakukan penelitian dalam 2 tahapan yaitu development phase pengumpulan data dilakukan selama 1 tahun dengan sampel pasien yang dicurigai stroke atau tia yang datang ke instala si gawa t da rur at untuk membuat rosier assessment tool. rosier merupakan sistem skoring yang terdiri dari 7 item yang dinilai antara lain kehilangan kesadaran atau sinkop (apabila ya maka dinilai -1, tidak nilai 0), terdapat aktivitas kejang (apabila ya maka dinilai -1, tidak nilai 0), kelemahan otot wajah/asimetris (apabila ya maka dinilai +1, tidak nilai 0), kelemahan anggota gerak atas/ asimetris (apabila ya maka dinilai +1, tidak dinilai 0), kelemahan anggota gerak bawah/asimetris (apabila ya maka dinilai +1, tidak dinilai 0), kesulitan bicara (apabila ya maka dinilai +1, tidak dinilai 0), gangguan lapang pandang (apabila ya maka dinilai 1, tidak dinilai 0). total skor yang didapat adalah antara -2 sampai +5. dari hasil assessment tersebut, apabila pasien mendapat skor 1 atau lebih maka terdiagnosis stroke dan skor  0 maka bukan stroke (mungkin kondisi lain) kecuali jika skor total 0. validitas internalnya adalah sensitifitas mendiagnosis stroke 92%, spesifitasnya 86%, nilai prediksi positif 88% dan prefiksi negatif 91%. selanjutnya fase validitas instrumen assessment yang dihasilkan, dengan mengaplikasian selama 9 bulan di instalasi gawat darurat. pasien yang dianalisis pada fase ini adalah 173 pasien (88 stroke, 59 bukan stroke, 26 tia dan 13 diantaranya bergejala) didapatkan hasil alat mempunyai sensitifitas 93%, spesifitas 83%, prediksi positif 90% dan prediksi negatif 88%. sehinga dari penelitian ini dapat disimpulan rosier scale efektif untuk membedakan antara pasien stroke akut dari bukan stroke di instalasi gawat darurat. hasil penelitian mohd nor et al (2005) kemudian divalidasi lagi untuk di terapkan di instalasi gawat darurat irish oleh jackson et al (2008). penelitian ini dilakukan pada 50 pasien dicurigai stroke yang datang ke instalasi gawat darurat setelah diperiksa menggunakan rosier tool oleh dokter didapatkan 47 pasien (94%) mempunyai skor rosier  1 yang mengindikasikan stroke (setelah dikonfirmasi dengan ct-scan 44 pasien stroke, 2 pasien stroke mempunyai skor 0 dan 1 mengalami penurunan kesadaran dengan ich), 3 pasien salah dalam mengidentifikasi stroke. hasil validasi dalam penelitian ini juga menunjukkan nilai prediksi positif 94%, sehingga dapat disimpulkan bahwa rosier tool cocok dan sangat membantu dalam mengidentifikasi pasien stroke di igd irish irlandia. hasil penelitian byrne et al (2011) memperkuat penelitian sebelumnya yang melihat akurasi penggunaan rosier tool oleh perawat dibandingkan dengan pengkajian neurologis yang dilakukan dokter dalam mendiagnosis pasien yang dicurigai stroke/ tia di igd. penelitian yang dilakukan pada 106 pasien yang dicurigai stroke atau tia mulai periode juli 2008 sampai februari 2009 setelah dikonsultasikan dan dilakukan ct-scan didapatkan 78 (73,5%) terdiagnosis stroke atau tia (63 pasien stroke iskemik, 9 pasien tia, 6 pasien ich) dan 28 (26,4%) pasien terdiagnosis bukan stroke. dari 106 yang dilakukan pengkajian dengan rosier diketahui 9 pasien yang terdiagnosis tia, 6 diantaranya tidak ditemukan gejala neurologis sehingga skor yang didapat 0, untuk itu 6 pasien tersebut tidak dimasukkan lagi dalam validasi sehingga 100 pasien yang digunakan untuk validasi. hasil validasi didapatkan rosiertool yang digunakan oleh perawat untuk mendiagnosis stroke mempunyai sensitivitas mendiagnosis 98%, nilai prediksi positif 83%, untuk pemeriksaan neurologis yang dilakukan oleh dokter mempunyai sensitivitas mendiagnosis 94% dan nilai prediksi positif 80%. rata-rata waktu mulai dilakukan pemeriksaan rosier oleh perawat sampai dilakukan pemeriksaan oleh dokter adalah 75 menit. sehingga dapat disimpulkan perawat yang bekerja di unit stroke mampu mendiagnosis stroke dengan tingkat akurasi yang sama dengan dokter mendiagnosis menggunakanpengkajian neurologis. pengkajian cepat yang dilakukan perawat menggunakan 169rachmawati, peran perawat dalam assessment... rosier untuk mendiagnosis stroke dapat mengurangi keterlambatan pasien yang memenuhi syarat diberi trombolitik. selain diaplikasikan di igd, rosier tooljuga diaplikasikan pada pasien sebelum dibawa ke rumah sakit dalam penelitian fothergill et al (2013). dalam penelitian ya ng membandingkan penggunaan rosier dan fast oleh petugas ambulan untuk mendiagnosis pasien yang dicurigai stroke sebelum dibawa ke rumah sakit didapatkan: dari kasus yang dicurigai stroke menggunakan rosier 64% terkonfirmasi stroke oleh konsultan stroke, tidak menunjukkan perbedaan saat menggunakan fast terkonfirmasi stroke 62 %. demikian yang dinyatakan bukan stroke saat menggunakan rosier didapatkan 78% terkonfirmasi bukan stroke oleh konsultan stroke, menunjukkan sedikit perbedaan lebih baik daripada fast yang terkonfirmasi 71% bukan stroke oleh konsultan stroke. tidak ada perbedaan proporsi stroke yang terdeteksi dengan benar oleh rosier atau fast, keduanya mempunyai level sensitifitas yang sama sehingga dapat disimpulkan rosier tidak lebih baik dari fast untuk mengenali stroke di prehospital. berbeda dengan hasil penelitian jiang et al (2014) yang mengevalusi penggunaan rosier untuk mengidentifikasi pasien yang dicurigai stroke menunjukkan bahwa dari 715 pasien yang dicurigai stroke 371 (52%) terkonfirmasi stroke (302 stroke iskemik, 24 tia, 45 perdarahan intraserebral) dan 344 (48%) pasien terkonfirmasi penyakit lain seperti penyakit mirip stroke (yaitu neuropati spinal, demensia, labirinitis dan sepsis). dalam penelitian ini rosier scale mempunyai sensitivitas dalam diagnosis 87%, spesifitas 41%, nilai prediksi positif 62% dan prediksi negatif 75%. hal ini menunjukkan bahwa rosier dalam penelitian ini tidak efektif untuk membedakan pasien stroke akut dengan pasien yang mempunyai gejala mirip stroke di hong kong dengan nilai spesifitas yang rendah. penelitian mao et al (2016) menunjukkan bahwa dikembangkan assessment baru untuk mengidentifikasi pasien yang di curigai stroke di igd yang mempunyai 9 parameter antara lain vertigo (-1), gcs  8 (+2), kelemahan otot wajah (+1), kelemahan tangan (+1), kelemahan kaki (+1), kesulitan berbicara (+0.5), gangguan penglihatan (+1), sdp 145 mmhg (+1) dan dbp 95 mmhg (+1). instrumen pengkajianini mempunyai nilai diskriminasi yang kuat (0,87) dibandingkan rosier (0,772), lapss (0,722) dan fast (0,699) dan juga mempunyai nilai sensitifitas dan spesifitas yang baik yaitu 83,2 dan 74,1% dibandingkan instrument yang lain. batmanian et al (2007) menyebutkan apabila ada pasien yang dicurigai stroke datang ke instalasi gawat darurat maka akan dilakukan triage secara cepat dengan kategori ats prioritas 2 dalam waktu kurang dari 10 menit. selanjutnya dilakukan initial assessment, pemeriksaan penunjang dan di konsultasikan dengan dokter neurologi untuk menentukan apakah pasien memenuhi syarat mendapatkan terapi trombolitik atau tidak. dalam penelitian ini median waktu dari serangan stroke sampai di lakukan triage di igd adalah 48 menit, sampai dilakukan ct-scan median waktu 25 menit dan diberikan trombolitik 87 menit. menunjukkan bahwa dengan pengkajian cepat pada pasien stroke di igd akan meningkatkan jumlah pasien yang memenuhi syarat mendapatkan terapi trombolitik. pembahasan str oke mer upa ka n sa la h sa tu medical emergency yang dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian (cdc, 2015). stroke dapat juga dikatakan sebagai kondisi yang merusak dengan digambarkan sebagai gempa bumi di otak. kerusakan yang terjadi amat besar mempengaruhi seluruh fungsi tubuh mulai gerakan, penglihatan, bicara dan sensasi atau perasaan. sehingga akibat dari stroke ini tidak hanya dirasakan oleh individu yang menderita tetapi semua yang ada disekitar penderita juga ikut merasakan akibatnya (mason-whitehead et al, 2013). untuk itu aha dan asa mengembangkan “stroke chain of survival” yang termasuk didalamnya adalah detection (pengenalan tanda dan gejala stroke), dispatch (segera aktivasi ems), delivery (kecepatan ems dalam identifikasi, manajemen dan mentransport pasien segera), door (triage yang tepat di stroke center), data (kecepatan triage, evaluasi dan manajemen di instalasi gawat darurat), decision (stroke expertise dan pemilihan terapi yang tepat), drug (pemberian fibrinolitik atau intra-arterial strategi) dan disposition (memindahkan ke stroke unit atau critical care unit). sehingga “stroke chain of survival” tersebut tidak hanya diketahui oleh tenaga kesehatan baik intra maupun out-of hospital tetapi juga harus diketahui oleh pasien dan anggota keluarga atau masyarakat. dimana apabila semua langkah tersebut dilakukan dengan baik maka manajemen stroke akan berhasil, 170 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 164–172 akan memperbaiki survival pasien dan pada akhirnya outcome yang lebih baik akan tercapai (jauch et al, 2010). berdasarkan aha (2010) guideline “stroke chain of survival” tersebut berfokus pada out-of hospital maupun intra-hospital. di rumah sakit atau unit gawat darurat “stroke chain of survival” dimulai pada langkah “door” atau triage sebagai pintu masuk pasien di unit gawat darurat. triage merupakan peran perawat instalasi gawat darurat yang membedakan dengan perawat spesialis yang lain. triage dimulai ketika pasien baru datang ke instalasi gawat darurat untuk menentukan tingkat keakutan atau prioritas pasien sebagai dasar dalam pemberian tindakan. proses triage didasarkan pada masalah yang mengancam nyawa atau membutuhkan tindakan segera. sehingga pengambilan keputusan triage yang tepat akan berpengaruh pada peningkatan outcome pasien diunit gawat darurat (considine et al, 2000). selanjutnya aktivasi protokol manajemen stroke segera dilakukan dengan pertama kali menentukan tipe atau diagnosis stroke yang terjadi pada pasien. penentuan diagnosis stroke ini penting untuk dilakukan sebagai dasar dalam memberikan terapi pada pasien. diagnosis ini biasanya dilakukan dengan menggunakan ct-scan untuk membedakan stroke iskemik atau stroke hemoragik. akan tetapi tidak semua rumah sakit tersedia ct-scan sehingga sebagai alternatif dapat menggunakan rosier, nihss atau etss (whelley-wilson & newman, 2004). rosier scale merupakan skala diagnosis klinis stroke yang simpel, sensitif, spesifik dan cocok digunakan di instalasi gawat darurat. rosier scale ini merupakan alternatif untuk mendiangnosis pasien apabila ct-scan tidak tersedia sebagai dasar memberikan terapi seperti aspirin dan neuroprotektif. dengan menggunakan rosier maka dapat mengetahui secara akurat pasien yang dicurigai stroke merupakan pasien stroke atau bukan pasien stroke selain itu juga menggunakan rosier mengurangi pasien bukan stroke yang di rujuk sehingga dengan memperkenalkan rosier pada petugas di instalasi gawat darurat maka dapat meningkatkan pengetahuan petugas atau perawat igd tentang stroke dan meningkatkan kecepatan dan kemampuan petugas atau perawat igd untuk mendiagnosis pasien yang dicurigai stroke agar dapat segera mendapatkan penanganan yang tepat. selain itu juga meningkatkan triage untuk menentukan pasien stroke yang harus segera di bawa ke stroke unit sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien (mohd nor et al, 2005). jackson et al (2008) juga menyatakan bahwa rosier score merupakan instrumen yang sensitif untuk mengidentifikasi pasien stroke oleh dokter emergency di igd yang dibuktikan dengan >90% pasien yang dicurigai terkena stroke terkonfirmasi menderita stroke. diperkuat oleh penelitian byrne et al yang juga menyatakan bahwa dengan menggunakan rosier maka perawat mempunyai kemampuan mendiagnosis pasien yang dicurigai stroke dengan akurasi yang sama dokter dalam mendiagnosis stroke dengan pemeriksaan neurologis, sehingga mencegah terjadinya keterlambatan dalam memberikan terapi trombolitik bagi pasien stroke yang memenuhi persyaratan diberikan trombolitik. selain itu juga rosier scale ini sangat cepat dan mudah digunakan saat triage di igd untuk mengidentifikasi pasien stroke. dengan semakin cepat mengenali dan mengidentifikasi pasien stroke maka tindakan dapat segera diberikan untuk meningkatkan outcome pasien dengan menurunkan angka kematian dan kecacatan pasien stroke sehingga sangat cocok dan memberikan manfaat apabila diaplikasikan di igd (jackson et al, 2008). di dukung fothergill et al (2013) yang mengaplikasikan rosier untuk mendeteksi pasien yang dicurigai stroke sebelum dibawa ke rumah sakit menunjukkan bahwa rosier tidak lebih baik dari fast untuk mengidentifikasi pasien stroke sebelum dibawa ke rumah sakit, juga menggunakan rosier akan memperlama waktu pasien untuk dibawa kerumah sakit dan memperlambat pemberian terapi penderita stroke yang berakibat fatal sehingga tidak cocok diaplikasikan sebelum pasien dibawa ke rumah sakit. berbeda dengan penelitian jiang et al (2014) yang menyatakan bahwa rosier tidak efektif untuk membedakan pasien stroke dengan pasien yang mempunyai gejala mirip stroke pada pasien tionghoa di hongkong disebabkan karena terdapat perbedaan karakteristik klinis yang mencolok antara dua tempat penelitian seperti perbedaan waktu kedatangan setelah serangan stroke, manifestasi klinis, lebih sedikit yang disebabkan karena atrial fibrilasi, sedikit pasien yang stroke iskemik/tia dan tingginya proporsi pasien tionghoa yang mengalami stroke perdarahan (intracerebral haemorrhage). selain itu juga disebabkan oleh adanya perbedaan genetik, klinis, lingkungan dan faktor gaya hidup. 171rachmawati, peran perawat dalam assessment... di dukung penelitian mao et al (2016) yang membuat instrumen baru untuk assessment pasien tionghoa yang dicurigai stroke di instalasi gawat darurat menunjukkan bahwa gzss(guangzhou stroke scale) mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk mendiagnosis pasien tionghoa yang dicurigai stroke sehingga efektif membedakan stroke akut atau bukan stroke. untuk mendiagnosis pasien yang dicurigai stroke juga dapat menggunakan nihss (the national institutes of health stroke scale) atau etss (emergency triage stroke scale). nihss dan etss dikategorikan dalam 4 level yaitu 0, 1-3, 4-23 dan lebih dari 23. pada skore 4-23 sebagai guidelines dalam pemberian rtpa, skor dibawah atau lebih dari 4-23 tidak dapat diberikan fibrinolitik atau rtpa. dari kedua stroke scale diatas etss lebih simpel dan mudah untuk digunakan serta dapat memperkirakan kandidat pasien untuk mendapatkan terapi fibrinolitik berdasarkan skor nihss antara 4-23. sehingga menggunakan etss akan membutuhkan waktu yang singkat dalam diagnosis stroke dan mempercepat pemberian terapi pada pasien stroke (whelley-wilson & newman, 2004). selain itu dengan menggunakan etss akan mencegah keterlambatan pada door-to-imaging time dimana menurut nolte et al (2013) langkah diagnostik yang krusial sebelum dimulai tindakan adalah cerebral imaging (ct-scan). sehingga dengan mengurangi waktu untuk ct-scan, jumlah pasien yang mendapatkan terapi trombolitik akan meningkat. dengan meningkatnya pemberian terapi trombolitik pada pasien stroke akan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien (hoegerl, 2010). setelah diketahui diagnosis pasien, apabila pasien terdiagnosis stroke iskemik maka segera dilihat waktu awal gejala stroke. jika diketahui dalam waktu<3 jam, usia 18 tahun maka pertimbangkan segera diberikan terapi trombolitik (baik intravena atau intra-arteri), jika diketahui onset gejala dalam waktu 3-4, 5 jam per timbangka n beri ter api trombolitik tetapi tidak boleh diberikan apabila pasien berusia >80 tahun, stroke berat (skore nihss>25), menggunakan obat anti koagulan, riwayat diabetes melitus dan stroke iskemik sebelumnya. sedangkan jika pasien terdiagnosis stroke hemorrhagic tidak hanya dilakukan pemeriksaan gcs berkala tetapi dapat segera dikonsultasikan ke dokter bedah neurologi, dikontrol tekanan darahnya, monitor peningka ta n tik da n mengontr ol ganggua n pembekuan darah jika ada (bergman et al, 2013, jauch et al, 2010). dengan demikian adanya rosier scale memudahkan perawat triage dalam assessment dan diagnosis stroke sehingga akan mempercepat pemberian tindakan pada pasien serta mengurangi penundaan tindakan yang sering terjadi untuk memaksimalkan outcome pada pasien. kesimpulan tindakan yang diberikan pada pasien stroke didasarkan pada waktu awal penderita mengalami serangan stroke maka perawat dan tenaga kesehatan yang lain harus secara akurat melakukan assessment untuk pengenalan dini dan diagnosis stroke terutama di rumah sakit yang belum terdapat ct-scan. salah satu assessment tool yang simple dan sensitif dalam mendiagnosis stroke adalah rosier scale yang dapat mengidentifikasi pasien stroke akut dan bukan pasien stroke sebagai dasar dalam melakukan aktivasi manajemen stroke di instalasi gawat darurat. sehingga semakin cepat pengenalan dini dan diagnosis stroke dilakukan maka tindakan dapat segera diberikan yang akan memaksimalkan outcome pasien stroke. saran diharapkan kepada perawat atau petugas di instalasi gawat darurat menguasai dan menggunakan rosier scale untuk mempercepat mengidentifikasi pasien yang dicurigai stroke di instalasi gawat darurat. daftar pustaka badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. (2013). riset kesehatan dasar 2013.ja ka rt a: ba da n pen el iti an dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan ri bergman et.al (2012). assessment of stroke: a review for ed nurses.journal of emergency nursing, 38(1), 36. doi: 10.1016/j.jen.2011.08.006 byrne et al. (2011). accuracy of stroke diagnosis by registered nurses using the rosier tool compared to doctors using neurological assessment on a stroke unit: a prospective audit. international journal of nursing studies 48 (2011) 979–985 center for desease control and prevention. (2015). stroke.national center for chronic disease prevention and health promotion, division for heart disease and stroke prevention cline et. al (2012). tintinalli’s emergency medicine manual. new york: mcgraw-hill companies. 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 164–172 considine, ung, & thomas. (2000). triage nurses’ decisions using the national triage scale for australian emergency departments.accident & emergency nursing 8, 201–209. fothergill et al (2013). does use of the recognition of stroke in the emergency room stroke assessment tool enhance stroke recognition by ambulance clinicians?.stroke. 2013;44:3007-3012, doi: 10.1161/strokeaha.13.000851 ginsberg. (2008). lectue noted neurologi (d. i. retno, trans.). jakarta: erlangga. hoegerl et al. (2010). implementation of a stroke alert protocol in emergency departemet: a pilot study. t he jour n al of t h e ameri can ost eopa th i c association, vol 111, no 1 jackson et al (2008). validation of the use of the rosier strok e re cognit i on i nst rume nt i n an iri sh emergency department. international journal of medical sciences. 177:189–192, doi 10.1007/s11845008-0159-6 jauch et. al (2013). guidelines for the early management of patients with acute ischemic stroke a guideline for healthcare professionals from the american heart association/american stroke association. aha/asa guideline, 44, 870-947. doi: 10.1161/ str.0b013e318284056a jauch et al (2010). part 11: adult stroke 2010 american heart association guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.ci rcul ation(122). doi: doi: 10.1161/ circulation aha.110.971044 jiang et al (2014). evaluation of the recognition of stroke in the emergency room (rosier) scale in chinese patients in hong kong. plos one, volume 9, issue 10, e109762 keogh, james. (2013). emergency nursing. united state of america: the mcgraw-hill companies. mao et al (2016). development of a new stroke scale in an emergency setting. bmc neurology (2016) 16:168 mohd nor, et al (2005). the recognition of stroke in the emergency room (rosier) scale: development and validation of a stroke recognitioninstrument. lancet neurol 2005; 4: 727–34, doi:10.1016/s14744422(05)70201-5 mason-whitehead et. al (2013). passed without a stroke: a uk mixed method study exploring student nurses’ knowledge of stroke.nurse education today 33, 998–1002. doi : h t tp: / /dx. doi . or g/ 10. 1016/ j.nedt.2012.07.021 michel. (2009). general principles of acute stroke management. in m. fisher (ed.), handbook of clinical neurology, stroke, part iii (vol. vol. 94, pp. 1129). mosley et. al (2013). triage assessments and the activation of rapid care protocols for acute stroke patients.australasian emergency nursing journal, 16, 4-9. doi : h t tp: / / dx. doi. or g/10. 1016/ j.aenj.2012.12.002 murdoch university. (2019). systematic reviewsr ese arc h guide . ht t ps:/ / libguides.murdoch.edu.au/systematic/picodi unduh tanggal 29 mei 2019 nolte, malzahn, kuhnle, ploner, muller-nordhorn, & mockel. (2013). improvement of door-to-imaging time in acute stroke patient by implementation of an a ll -poi nts al arm. jour n al st roke cerebrovascular disease, 22(2), 149-153. doi: 10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2011.07.004.epub 2011 silvestri, l. a. (2011). saunders comprehensive review for the nclex-rn examination. s.louise missouri sounders elsevier taylor et. al (2014). factors associated with delayed evaluation of patients with potential stroke in us eds. american journal of emergency medicine 32 1373–1377. doi: h ttp:/ /dx.doi. org/10.1016/ j.ajem.2014.08.047 world health organization. (2010). data and statistik about stroke. diakses https://www.who.int/newsroom/fact-sheets/detail/the-top-10-causes-of-death whelley-wilson cm, newman gc. (2004). a stroke scale for emergency triage. journal of stroke and cerebrovascular diseases, november-desember; 13(6): 247-53 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi tahun 2018 1 netha damayantie, 2 erna heryani, 3 muazir 1,2,3 fakultas keperawatan, politeknik kesehatan kemenkes jambi info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 24/10/2018 disetujui, 28/12/2018 di publikasi, 28/12/2018 kata kunci: hipertensi, perilaku, penatalaksanaan hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit dengan tekanan sistolik 140 mmhg atau tekanan diastolik 90 mmhg. faktor yang mempe-ngaruhi perilaku penderita hipertensi diantaranya persepsi individu tentang penyakitnya, kelompok sosial, latar belakang budaya, ekonomi dan kemudah-an akses pelayanan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi tahun 2018. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan desain penelitian cross sectional, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 68 responden. pengambilan sampel menggunakan proportional random sampling. pengumpulan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. data dianalisis secara univariat dan bivariat (t-test dependent). hasil analisis bivariat menunjukan adanya hubungan antara persepsi sakit (p-value=0,001) dan dukungan keluarga (p-value=0,015) dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita, dan tidak adanya hubung-an antara akses pelayanan kesehatan (pvalue=0,605) dengan perilaku penata-laksanaan hipertensi oleh penderita. perawat memiliki peran dalam mengubah perilaku sakit penderita hipertensi. pihak puskesmas sekernan ilir diharapkan memberikan pendidikan kesehatan, melaksanakan pis-pk dengan pendekatan keluarga untuk meningkatkan status kesehatan penderita hipertensi. bagi penelitian selanjutnya dapat menggunakan rancangan studi yang berbeda agar dapat melihat hubungan variabel yang lain.  correspondence address: doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p224–232 224 poltekkes kemenkes jambi central sumatra, indonesia p-issn : 2355-052x email: nethafauz1996@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) nethafauz1996@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/351 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 225damayantie, heryani, muazir, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku... abstract high blood pressure or hypertension is a disease with a systolic pressure  140 mmhg or diastolic pressure  90 mmhg. factors that affect the behavior of hypertension sufferers include the individual’s perception about his illness, social groups, cultural background, economic services and ease of access. this research aimed to know some of the factors related to the behavior of hypertension treatment by the sufferers in puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi in 2018. this research was quantitative descriptive research with cross sectional design approach. the sample was 68 respondents. the sampling technique used proportional random sampling. the data collection used interviews by questionnaire. the data was analyzed in univariate and bivariat analysis (t-test dependent). bivariat analysis results showed a correlation between pain perception (p-value = 0.001) and family support (p-value = 0,015) with the behavior treatment of hypertension by sufferers, and the absence of a correlation between access to medical services (p-value = 0.605) with the behavior treatment of hypertension by sufferers. nurses have a role in changing the behavior of sufferers hypertension. puskesmas sekernan ilir is expected to provide health education, carry out pis-pk to improving the health status of hypertension sufferers. for further research, it is recommended to use different study designs in order to see the correlation of other variables can be. © 2018 journal of ners and midwifery history article: received, 24/10/2018 accepted, 28/12/2018 published, 28/12/2018 keywords: hypertension, behavior, treatment the correlation of knowledge level and the preventive behavior of diabetic wound article information 226 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 224–232 latar belakang transisi epidemiologi yang terjadi di dunia saat ini telah mengakibatkan berbagai perubahan pola penyakit, yaitu dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. peningkatan kejadian penyakit tidak menular berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup. (kemenkes ri, 2012). penyakit tidak menular (ptm) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat baik secara global, nasional, regional bahkan lokal. world health organization (who) tahun 2015 melaporkan bahwa ptmmembunuh 40 juta orang setiap tahunnya atau setara dengan 70% kematian di seluruh dunia. penyakit kardiovaskular menjadi penyebab terbanyak kematian akibat ptm atau 17,7 juta orang setiap tahun, diikuti oleh kanker sebesar 8,8 juta, penyakit pernafasan sebesar 3,9 juta, dan diabetes sebesar 1,6 juta.(who, 2017). hipertensi adalah tekanan darah sistolik sama dengan atau diatas 140 mmhg dan/atau tekanan darah diastolik sama dengan atau diatas 90 mmhg. (who, 2013). hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. hal tersebut dapat terjadi karena jantung bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh. kriteria hipertensi yang digunakan pada penetapan kasus merujuk pada kriteria diagnosis joint national committee (jnc) vii tahun 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik  140 mmhg atau tekanan darah diastolik  90 mmhg. (kemenkes ri, 2013). menurut world health organization (who) hipertensi memberikan kontribusi untuk hampir 9,4 juta kematian akibat penyakit kardiovaskuler setiap tahun. hal ini juga meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sebesar 12% dan meningkatkan risiko stroke sebesar 24% (who, 2013). data global status report on noncommunicable diseases 2010 da ri who, menyebutka n 40% negar a ekonomi berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju hanya 35%. kawasan asia tenggara, terdapat 36% orang dewasa yang menderita hipertensi dan telah membunuh1,5 juta orang setiap tahunnya. jumlah penderita hipertensi akan terus meningkat tajam, diprediksikan pada tahun 2025 sekitar 29% atau sekitar 1,6 miliar orang dewasa di seluruh dunia menderita hipertensi (kemenkes ri, 2013). menurut hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) indonesia tahun 2013 prevalensi hipertensi di indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umure”18 tahun sebesar 25,8%, tertinggi di bangka belitung (30,9%), diikuti kalimantan selatan (30,8%), kalimantan timur (29,6%) dan jawa barat (29,4%). prevalensi hipertensi di indonesia yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9,4%, yang di diagnosis tenaga kesehatan atau sedang minum obat sebesar 9,5%. jadi, ada 0,1% yang minum obat sendiri. hal ini menandakan bahwa masih ada kasus hipertensi di masyarakat yang belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan. (kemenkes, 2013). penatalaksanaan hipertensi dilakukan sebagai upaya pengurangan resiko naiknya tekanan darah dan pengobatannya. dalam penatalaksanaan hipertensi upaya yang dilakukan berupa upaya farmokologis (obat-obatan) dan upaya nonfarmakologis (memodifikasi gaya hidup). beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines (pedoman) adalah dengan penurunan berat badan, mengurangi asupan garam, olah raga yang dilakukan secara teratur, mengurangi konsumsi alkohol dan berhenti merokok. dalam penatalaksanaan hipertensi perawat memiliki peran dalam mengubah perilaku sakit penderita dalam rangka menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko dari sakit yang diderita. perawat mempunyai peran sebagai educator tentang informasi hipertensi dalam menambah pengetahuan pasien dan dapat membentuk sikap yang positif agar dapat melakukan perawatan hipertensi secara mandiri sehingga komplikasi dapat dicegah. (cahyono, 2015). perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialami, melakukan upaya penyembuhan, dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan. seorang individu yang merasa dirinya sedang sakit, maka perilaku sakit bisa berfungsi sebagai mekanisme koping. faktor yang mempengaruhi perilaku sakit diantaranya faktor internal berupa persepsi individu terhadap gejala dan sifat sakit yang dialami dan asal atau jenis penyakit yang dialaminya. faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku sakit adalah gejala yang dapat dilihat, kelompok sosial, latar belakang budaya, ekonomi dan kemudahan akses pelayanan kesehatan. (potter & perry, 2009). penelitian yang dilakukan oleh susanto edi (2010) yang menganalisis 227damayantie, heryani, muazir, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku... faktor-faktor yang berhubungan dengan praktik lansia hipertensi dalam mengendalikan kesehatannya di puskesmas mranggen demak, menyimpulkan adanya hubungan antara akses pelayanan kesehatan dengan pr aktik lanjut usia hiper tensi dalam mengendalikan kesehatannya (p = 0.026). serta adanya hubungan antara dukungan keluarga terhadap lanjut usia yang menderita penyakit hipertensi dengan praktik lanjut usia hipertensi dalam mengendalikan kesehatannya (p = 0.048). puskesmas sekernan ilir memiliki incidence rate (ir) penderita hipertensi yang terus meningkat sejak 2 (dua) tahun terakhir yaitu 5,77% di tahun 2016 dan 7,95% di tahun 2017 dengan peningkatan sebesar 72%. (dinkes muaro jambi, 2017). berdasarkan survei awal didapatkan 6 pasien (60%) mengatakan bahwa mereka masih sering mengkonsumsi makanan berlemak seperti rendang, santan dan mengkonsumsi garam berlebih, 5 pasien (50%) jarang melakukan kontrol tekanan darah, penderita melakukan kunjungan ke puskesmas saat merasa tidak enak badan dan sudah menganggu aktivitas sehari-hari, dan 3 pasien (30%) tidak menghabiskan obat penurun tekanan darah yang telah diberikan dokter. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang merupakan penelitian non eksperimental. populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita hipertensi di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir tahun 2017 yaitu sebanyak 805 orang. teknik pengambilan sampel secara proportional random sampling dengan jumlah sampel 68 orang responden, terdiri dari: desa sekernan 33 orang, desa tunas mudo 17 orang, desa berembang 9 orang dan desa tunas baru 9 orang. penelitian dilaksanakan pada bulan juni sampai juli 2018. data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan tentang penatalaksanaan hipertensi, persepsi sakit, dukungan keluarga dan akses pelayanan kesehatan. analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95 % ( = 0,05). hasil penelitian karakteristik dan gambaran perilaku penatalaksanaan hipertensi, persepsi sakit, dukungan keluarga dan akses pelayanan kesehatan oleh responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini karakteristik responden f % jenis kelamin laki-laki 21 30,9 perempuan 47 69,1 umur 25-55 tahun 50 73,5 >55 tahun 18 26.,5 pendidikan terakhir tidak sekolah 3 4,4 sd 24 35,3 smp 21 30,9 sma 15 22,1 pt 5 7,4 pekerjaan tidak bekerja 4 5,9 tani 24 35,3 swasta 23 33,8 dagang 13 19,1 pns 4 5,9 jumlah 68 100.0 tabel 1 karakteristik responden (n = 68) karakteristik responden lebih dari sebagian perempuan, responden berusia dewasa. terbanyak r esponden ber pendidika n sd da n ter banya k responden yang berkerja sebagai petani. perilaku penatalaksanaan hipertensi f % kurang baik 33 48.5 baik 35 51.5 jumlah 68 100.0 tabel 2 perilaku penatalaksanaan hipertensi (n = 68) berdasarkan tabel 2 diatas responden memiliki perilaku penatalalsanaan hipertensi yang kurang baik yaitu sebanyak 33 (48,5%). 228 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 224–232 berdasarkan tabel 5 diatas responden memiliki akses pelayanan kesehatatan yang kurang baik yaitu sebanyak 30 (44,1%). dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan menggunakan uji chi-square. hasil uji statistikdiperoleh nilai p-value = 0.001 (p<0,05). hasil uji ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi sakit dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi. persepsi sakit f % kurang baik 32 47.1 baik 36 52.9 jumlah 68 100.0 tabel 3 persepsi sakit (n = 68) berdasarkan tabel 3, responden memiliki persepsi sakit yang kurang baik yaitu sebanyak 32 (47,1%). dukungan keluarga f % kurang baik 28 41.2 baik 40 58.8 jumlah 68 100.0 tabel 4 dukungan keluarga (n = 68) responden memiliki dukungan keluarga yang kurang baik yaitu sebanyak 28 (41,2%). akses pelayanan kesehatan f % kurang baik 30 44.1 baik 38 55.9 jumlah 68 100.0 tabel 5 akses pelayanan kesehatan (n = 68) n % n % n % kurang 23 71.9 9 28.1 32 100 0,001 baik 10 27.8 26 72.2 36 100 tabel 6 hubungan persepsi sakit dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi (n = 68) persepsi sakit penatalaksanaan hipertensi jumlah p-valuekurang baik baik n % n % n % kurang 19 67.9 9 32.1 28 100 0,015 baik 14 35.0 26 65.0 40 100 tabel 7 hubungan dukungan keluarga dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi (n = 68) dukungan keluarga penatalaksanaan hipertensi jumlah p-valuekurang baik baik hasil uji statistik dengan menggunakan chisquare pada = 0,05 diperoleh nilai p-value=0.015 (p<0,05). hasil uji ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi. 229damayantie, heryani, muazir, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku... hasil uji statistik diperoleh nilai p-value=0.605 (p>0,05). hasil uji ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara akses pelayanan kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi. perilaku penatalaksanaan hipertensi yang kurang baik dalam penelitian ini ada pada persoalan modifikasi diet dengan makan makanan gizi seimbang yang masih belum diterapkan oleh sebagian responden. terbukti masih banyaknya responden yang tidak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung protein nabati seperti tempe, tahu, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedele, kacang merah, dan kacang-kacangan lain yang dimasak tanpa garam dapur (67,65%) dan masih banyak responden yang tidak menghindari makanan yang tinggi lemak jenuh dan kolesterol seperti gorenggorengan dan makanan bersantan (55,88%). mengatur menu makanan sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk menghindari dan membatasi makanan yang dapat meningkatkan kadar kolesterol darah serta meningkatkan tekanan darah, sehingga tidak terjadi komplikasi. menurut almatsier (2007) dalam nur kholifah, f, dkk (2014) beberapa makanan yang dianjurkan bagi penderita hipertensi adalah: sumber karbohidrat (beras, kentang, singkong, makanan yang diolah tanpa garam dapur dan soda). sumber protein hewani (daging dan ikan maksimal 100 g sehari, telur maksimal 1 butir sehari) sumber protein nabati (semua kacang-kacangan dan hasil olahannya yang diolah dan dimasak tanpa garam dapur). sayuran (semua sayuran segar, sayuran yang diawet tanpa garam dapur dan natrium benzoat). buah-buahan (semua buah-buahan segar, buah yang diawet tanpa daram dapur). lemak (minyak goreng, margarin, dan mentega tanpa garam). minuman (teh, kopi). bumbu (semua bumbu kering yang tidak mengandung garam dapur). berdasarkan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan p-value sebesar 0,001 (p<0,05), ada hubungan yang bermakna antara persepsi sakit dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita. hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan adawiyah (2014) tentang persepsi lansia dengan upaya pencegahan hipertensi di posbindu bumi asri rw iv kelurahan sambiroto semarang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara persepsi manfaat dengan upaya pencegahan hipertensi (p <0,003). hasil penelitian yang dilakukan soesanto (2010) setelah uji statistik dengan uji chi squarei diperoleh niilai p-value=0,000 ,ada hubungan antara persepsi lanjut usia tentangmanfaat dari tindakan kesehatan yang akandilakukan terhadap penyakit hipertensi yang dideritanya dengan praktik lanjut usia hipertensi dalam mengendalikan kesehatannya. menurut potter & perry (2009), persepsi tentang gejala dan sifat sakit jika mereka menganggap gejala tersebut menggangu kegiatan seharihari, mereka akan mencari bantuan layanan kesehatan, terutama jika sakit tersebut dianggap serius bahkan mengancam jiwa. arifin (2016) menyatakan persepsi positif tentang penyakit yaitu seseorang dapat memahami penyakit dan cara untuk mengontrol penyakitnya dengan baik, akan tetapi sebaliknya apabila persepsi negatif tentang penyakit yaitu seseorang tidak dapat dengan baik memahami penyakit dan cara yang tepat untuk mengontrol penyakitnya. menurut septiaji, f (2014) setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan cara yang berbeda-beda. perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya. baiknya persepsi sakit responden pada penelitian ini tidak terlepas dari pengetahuan tentang hipertensi yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan dari puskesmas sekernan ilir. dalam hal n % n % n % kurang 13 43.3 17 56.7 30 100 0,605 baik 20 52.6 18 47.4 38 100 tabel 8 hubungan akses pelayanan kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi (n = 68) akses pelayanan kesehatan penatalaksanaan hipertensi jumlah p-valuekurang baik baik berikut ini adalah hasil penelitian yang 230 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 224–232 penanggulangan penyakit tidak menular (ptm) termasuk penatalaksanaan penyakit hipertensi, puskesmas sekernan ilir senantiasa melakukan penyuluhan baik itu di dalam gedung puskesmas melalui bagian konseling ptm, maupun di luar gedung puskesmas melalui kegiatan pusling, posbindu serta kegiatan perkesmas. saat ini puskesmas sekernan ilir juga sedang melaksanakan program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga, melaksakan pendataan keluarga untuk mengidentifikasi masalah dan status kesehatan keluarga. hasil uji statistik dengan menggunakan chisquare pada = 0,05 diperoleh nilai p-value=0.015 (p<0,05) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi. hasil ini sejalan dengan penelitian maharani, dkk (2016) tentang faktor yang berhubungan dengan perilaku pengendalian tekanan darah pada penderita hipertensi di puskesmas harapan raya kota pekanbaru tahun 2016 yang menyimpulkan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku pengendalian tekanan darah (p-value=0,032). menurut setiadi (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga ada faktor internal dan faktor eksternal. faktor internal meliputi tahap perkembangan, pendidikan atau tingkat pengetahuan, faktor emosi dan spiritual, sedangkan faktor eksternal meliputi praktik dikeluarga, sosial ekonomi dan latar belakang budaya. perawat mempunyai peran sebagai educator. friedman (1998) dalam rachmawati, (2013), menyatakan adanya beberapa aspek dukungan keluarga yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informatif, serta dukungan penghargaan. dalam meningkatkan peran keluarga perawat dapat mengedukasi keluarga dengan mengajarkan keluarga untuk melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga, sehingga keluarga dapat mengenali masalah kesehatan yang dialaminya dan dapat memberi dukungan. upaya kesehatan berbasis masyarakat merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan di puskesmas, termasuk upaya pembinaan kesehatan keluarga. pelaksanaan program keluarga binaan yang dilakukan tenaga kesehatan di puskemas sekernan ilir kurang maksimal karena tenaga yang terbatas dan wilayah kerja yang luas, sehingga belum bisa mengcover keperawatan keluarga secara keseluruhan, terutama dengan masalah hipertensi. kondisi ini dapat menjadi salah satu penyebab masih adanya dukungan keluarga yang kurang baik, karena dukungan keluarga yang baik tidak terlepas dari bagaimana pemahaman dan pengetahuan keluarga tersebut dalam memberikan dukungan kepada anggota keluarganya untuk mengatasi masalah kesehatan yang sedang dialami. puskesmas sekernan hilir harus aktif dalam mensukseskan program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (pispk). pendekatan keluarga adalah salah satu cara puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan/ meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga khusunya yang memiliki penderita hipertensi. keterjangkauan akses pelayanan kesehatan adalah kemampuan setiap orang dalam mencari pelayanan kesehatan sesuai dengan yang mereka butuhkan. dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara akses ke pelayanan kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi dengan nilai p-value=0,605. hal ini menandakan a kses pela ya na n keseha ta n buka n menja di hambatan bagi penderita untuk berperilaku sehat. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh annisa, dkk (2013) yang menyimpulkan tidak ada hubungan antara keterjangkauan pelayanan kesehatan dengan kepatuhan berobat hipertensi p-value=0,063. berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh zulkardi (2015) yang menyatakan ada hubungan antara keterjangkauan akses pelayanan kesehatan dengan kepatuhan penatalaksanaan hipertensi pada lansia di puskesmas pajangan bantul p-value=0,000. dalam penelitiannya diketahui jarak yang jauh dan transportasi yang sulit mengakibatkan ketidakpatuhan penatalaksanaan hipertensi. keberadaan puskesmas sekernan ilir yang terletak di pinggir jalan lintas timur yang dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum, menjadikannya mudah dijangkau oleh para penderita hipertensi dalam upaya pengendalian penyakit yang mereka derita baik itu untuk pemeriksaan, pengobatan maupun konseling. walaupun demikian masih terdapat responden yang menyatakan sulit menjangkau pelayanan karena berada dilingkungan perkebunan dengan kondisi jalan yang rusak, tapi keadaan tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka untuk tetap menuju pelayanan kese 231damayantie, heryani, muazir, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku... hatan, hal ini dikarenakan baiknya persepsi sakit responden dan adanya dukungan keluarga yang mereka miliki. simpulan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita hipertensi di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi baik, persepsi sakit terhadap penyakit hipertensi yang baik , dukungan keluarga yang baik dan akses pelayanan yang. ada hubungan persepsi sakit dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi, ada hubungan dukungan keluarga dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi dan tidak ada hubungan akses pelayanan kesehatan dengan perilaku penatalaksanaan hipertensi oleh penderita di wilayah kerja puskesmas sekernan ilir kabupaten muaro jambi. saran bagi puskesmas sekernan ilir memberikan pendidikan kesehatan kepada penderita hipertensi dan juga kepada keluarga atau orang terdekat penderita hipertensi agar dapat ikut serta mengingatkan dan memberikan motivasi pada penderita hipertensi. melaksanakan dan terlibat secara aktif dalam pis-pk dengan pendekatan keluarga untuk mengidentifikasi masalah dan status kesehatan penderita hipertensi sehingga diharapkan keluarga dapat memberikan dukungan yang maksimal dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat menyediakan media berisi informasi mengenai tatalaksana penyakit hipertensi agar dapat menambah pengetahuan masyarakat dengan pendekatan keluarga sehat membuat contoh/role model dengan memilih pasien yang perilaku perawatan hipertensinya baik sehingga bisa dicontoh penderita lainnya. bagi peneliti selanjutnya, bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti masalah yang sama, disarankan agar menggunakan rancangan studi yang berbeda agar dapat melihat dapat hubungan variabel yang lain. daftar pustaka adawiyah, utin. (2014). persepsi lansia dengan upaya pencegahan hipertensi di posbindu bumi asri rw iv kelurahan sambiroto semarang. semarang: skripsi prodi ilmu keperawatan universitas muhammadiyah. annisa fitria, dkk. (2013). faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat hipertensi pada lansia di puskesmas pattingalloang kota makassar. bagian epidemiologi fakultas kesehatan masyarakat universitas hasanuddin. arifin, faisal fachrur. (2016). hubungan antara persepsi tentang penyakit dengan kepatuhan minum obat hipoglikemik oral (oho) di puskesmas srondol kota semarang. semarang: skripsi prodi ilmu keperawatan undip. cahyono, ad. (2015). hubungan pengetahuan tentang hipertensi dengan sikap perawatan hipertensi pada pasien hipertensi. kediri: jurnal akp vol.6 no.1. dinkes kabupaten muaro jambi. (2017). laporan kasus penyakit tidak menular (ptm) kab. muaro jambi. p2ptm dinkes kab. muaro jambi. kemenkes ri. (2012). penyakit tidak menular buletin jendela data dan informasi kesehatan. jakarta: direktorat pengendalian penyakit tidak menular. kementerian kesehatan ri. ___________ (2013). pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi. jakarta: direktorat pengendalian penyakit tidak menular. kementerian kesehatan ri. __________ (2013). riset kesehatan dasar 2013 (riskesdas 2013).jakarta: balitbangkes kementerian kesehatan ri. nur kholifah, f.dkk. (2014). hubungan asupan serat, status gizi dengan tekanan darah pada pasien hipertensi rawat inap di rumah sakit umum daerah tugurejo semarang. prodi d iii gizi fakultas ilmu keperawatan dan kesehatan universitas muhammadiyah semarang potter & perry. (2009). fundamental keperawatan. edisi 7buku 1.jakarta: salemba medika. rachmawati, ya. (2013). dukungan keluarga dalam penatalaksanaan hipertensi di puskesmas candirejo magetan. surakarta: skripsi. universitas muhammadiyah. septiaji, fajar. (2014). hubungan persepsi pola asuh orang tua dan dukungan sosial dengan koping stres pada remaja di desa sokaraja kulon, kabupaten banyumas. purwokerto: skripsi. fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah purwokerto. 232 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 224–232 setiadi. (2008). konsep & keperawatan keluarga. yogyakarta: graha ilmu soesanto, edy. (2010). praktik lansia hipertensi dalam mengen dali kan kesehat an diri di wilayah puskesmas mranggen demak. jurnal promosi kesehatan indonesia vol. 5 / no. 2 who. (2013). a global brief on hypertensionsilent killer, global public health crisis. tersedia dalam http://www.who.int/cardiovascular_diseases/ publications/ [diakses 14 februari 2018] ______(2017). medi a centre:nonc ommunic able diseases.tersedia dalam http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs355/en/ [diakses 14 februari 2018] zulkardi. (2015). faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penatalaksanaan hipertensi pada lansia di puskesmas pajangan bantul program studi ilmu keperawatan. yogyakarta: skripsi. stikes jend. achmad yani. 264 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 264–269 history article: received, 31/10/2019 accepted, 10/02/2020 published, 05/08/2020 article information abstract dysmenorrhea or menstrual pain is discomfort that is often experienced by adolescents, especially women. dysmenorrhea in adolescents occurs 60% 90% and interferes with daily activities. (lestari h. metusala, j. & suryanto, 2010). from the results of the study, in indonesia the incidence of dysmenorrhea was 64.25%, including 54.89% of primary dysmenorrhea the effectiveness of spiritual hypnotherapy to the decrease of dysmenorrheal pain of midwifery students 264 efektifitas spiritual hipnoterapi terhadap penurunan nyeri dismenore pada mahasiswi kebidanan iva gamar dian pratiwi1, laylatul hasanah2 1,2prodi kebidanan, universitas wiraraja sumenep, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 31/10/2019 disetujui, 10/02/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: spritual, hipnoterapi, nyeri, dismenore abstrak dismenore atau nyeri haid yaitu ketidaknyamanan yang sering dialami remaja khususnya perempuan. dismenore pada remaja terjadi 60%–90% dan mengganggu aktivitas sehari hari. (lestari h. metusala, j.& suryanto, 2010). dari hasil penelitian, di indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64,25%, diantaranya 54,89% dismenore primer, 9,36% dismenore sekunder (ningsih 2011). wanita membutuhkan obat untuk mengurangi rasa nyeri baik dengan farmakologi maupun non farmakologi. pengobatan yang di butuhkan wanita yaitu pengobatan yang tidak bersifat invasive dan yang cocok dengan pasien nyeri yang memerlukan penanganan holistik untuk mengintervensi psikis serta mencegah terjadinya konsumsi obat-obatan analgetik yang tidak rasional, pengobatan tersebut yaitu hipnoterapi. (lucas n.n&sugianto, 2017). penelitian ini bertujuan untuk menganalisa efektifitas spiritual hipnoterapi terhadap penurunan disminore. jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif pra experimental dengan pendekatan cross sectional. rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pretest posttest, jumlah sampel 30 responden. tekhnik sampling yang digunakan purposive sampling yang sesuai kriteria inklusi. penelitian ini dilakukan bulan april sampai oktober 2019. intrumen yang digunakan adalah kuesioner penilaian nyeri visual analog scale (vas) dengan skala numeric rating scale (nrs). hasil analisa data dengan wilcoxon signed rank test didapatkan hasil p = 0,000<0,005 maka dapat disimpulkan bahwa spiritual hipnoterapi efektif dalam menurunkan nyeri dismenore pada mahasiswi kebidanan. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p264-269&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 265pratiwi, hasanah, efektifitas spiritual hipnoterapi terhadap ... correspondence address: universitas wiraraja sumenep – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: kura_15587@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p264–269 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan masa remaja merupakan suatu masa peralihan antara usia 12-21 tahun yaitu dari masa anakanak menuju dewasa, tandanya yaitu adanya perubahan psikososial, psikis dan fisik (dewi,2012). pada masa ini akan muncul suatu tanda keremajaan yaitu terjadinya menstruasi (laila,2011) pada masa menstruasi banyak terjadi suatu gangguan yang terkadang menyebabkan ketidaknyamanan fisik bagi perempuan sehingga mengganggu aktifitas, ketidaknyamanan fisik tersebut dismenore (laila,2011) dismenore sering dialami remaja putri tepatnya di perut bagian bawah. kebanyakan remaja mengalami dismenore primer yaitu nyeri saat haid yang tidak disertai kelainan alat reproduksi. (hani triana, 2014). dismenore adalah nyeri haid yang biasanya bersifat kram dan pusatnya diperut bagian bawah, hal tersebut dirasakan terkadang sebelum atau selama haid berlangsung, dismenore ini terkadang sampai mengganggu aktifitas. dimenore pada remaja terjadi 60%–90% dan penyebab paling sering ketidakhadiran disekolah, sehingga mengganggu aktivitas sehari hari. (lestari h. metusala, j. & suryanto, 2010). dari hasil penelitian, di indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64,25%, diantara nya 54,89% dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder (ningsih 2011). rasa nyeri adalah sebuah alasan yang memungkinkan untuk mencari pengobatan medis ataupun nonmedis, nyeri yang dirasakan setiap orang tidak sama dan bersifat subyektif sehingga mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis (goldberg d.s & mc.gee s. j, 2011). rasa nyeri dapat mengganggu kualitas hidup seseorang baik psikis maupun fisik, tidak jarang beberapa pasien nyeri menjadi depresi sehingga berpeluang menurunkan ketaatan dalam penyembuhan nyeri. wanita membutuhkan obat untuk mengurangi rasa nyeri tersebut baik dengan farmakologi maupun non farmakologi. terapi farmakologis dapat dilakukan dengan pemberian obat analgesik untuk memblok transmisi stimulus untuk mengubah persepsi yaitu dengan mengurangi kortikal terhadap nyeri itu sendiri. terapi non farmakologis yaitu dengan mengurangi faktor penyebab nyeri, misalnya kesalahpahaman, ketidakpercayaan, kelelahan, ketakutan, dan kebosanan dengan menggunakan beberapa tekhnik yaitu latihan penglihatan (menonton televisi, mendengarkan musik), tekhnik relaksasi, stimulasi kulit (menggosok punggung, menggosok pada bagian nyeri, memijat dan bahkan menggunakan air hangat dan dingin). (hidayat, 2013). tindakan non farmakologi ini diantaranya yaitu hipnoterapi hipnoterapi merupakan salah satu tekhnik yang efektif digunakan dalam menurunkan nyeri (helmi, f& jenita,2016)). hipnoterapi merupakan pengokeywords: spiritual, hypnotherapy, pain, dysmenorrhea and 9.36% of secondary dysmenorrhea (ningsih 2011). women need drugs to reduce the pain, both with pharmacology and non-pharmacology, one of which is hypnotherapy. this study aimed to analyze the effectiveness of spiritual hypnotherapy to the decrease of dysmenorreal pain. the type of the study was a pre-quantitative study with cross sectional approach. the design used one group pretest posttest, with the sample of 30 respondents. the sampling technique used purposive sampling that matched the inclusion criteria. this study was conducted on april to october 2019. the instrument used visual analog scale (vas) pain assessment questionnaire with the numeric rating scale (nrs). the results of the data analysis with the wilcoxon signed rank test showed p = 0,000 <0.005, so it could be concluded that there was a meaningful effect of spiritual hypnotherapy to reduce of dysmenorrheal pain of midwifery students. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p264-269 266 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 264–269 batan non medis yang mampu mengubah persepsi pasien dalam menghadapi nyeri menjadi lebih dapat beradaptasi dengan rasa nyeri dan dapat dialihkan terhadap hal yang lebih bisa memberdayakan pasien. hipnoterapi tidak bersifat invasive sehingga sangat cocok dengan pasien nyeri yang memerlukan penanganan holistik yang mengintervensi psikis serta mencegah terjadinya konsumsi obat-obatan analgetik yang tidak rasional. (lucas n.n & sugianto, 2017) setelah dilakukan studi pendahuluan pada mahasiswa kebidanan didapatkan hasil yaitu 14 dari 17 mahasiswi pernah mengalami dismenore dan sebelumnya mahasiswi belum pernah dilakukan hipnoterapi untuk mengurangi nyeri tersebut, disminore penyebab salah satu penyebab ketidakhadiran mahasiswi saat kegiatan perkuliahan, oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mensgukur efektifitas hipnoterapi dalam menurunkan nyeri disminore pada mahasiswi kebidanan universitas wiraraja. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif pra experimental yang bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh yang di timbulkan dari adanya perlakuan, dan menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu data yang diambil dari kedua variable dikumpulkan dalam satu waktu bersamaan. penelitian ini bertempat di program studi kebidanan fakultas ilmu kesehatan universitas wiraraja. .populasi dalam penelitian ini berjumlah 70 orang. sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 mahasiswi kebidanan. tekhnik sampling yang digunakan yaitu purposive sampling dengan kriteria inklusi memiliki riwayat disminore dengan skala ringan sampai berat. penelitian ini dilakukan dari bulan april sampai oktober 2019. rancangan dalam penelitian ini adalah one group pretest posttest. rancangan yang digunakan ini tidak memiliki kelompok pembanding (kontrol) dan setidaknya telah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan untuk menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen. terapi spiritual hipnoterapi diberikan saat responden dalam keadaan menstruasi. terapi ini diberikan sebanyak dua kali siklus menstruasi yaitu satu kali pada siklus haid yang pertama dan juga satu kali pada siklus menstruasi yang kedua, menstruasi hari ke satu atau ke dua selama 40 menit. tekhnik pengumpulan dengan menggunakan kuesioner penilaian nyeri visual analog scale sebelum diberikan spiritual hipnoterapi sebagian besar mahasiswi mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 16 orang (53,3%). (vas) dengan skala numeric rating scale (nrs), observasi langsung dan wawancara. analisis data penelitian ini menggunakan wilcoxon signed rank test untuk mengidentifikasi pengaruh hipnoterapi. hasil penelitian analisis univariat usia responden f % 18 tahun 5 16,70 19 tahun 15 50,00 20 tahun 10 33,30 total 30 100 sumber : data primer 2019 tabel 1 distribusi frekuensi usia responden sebagian besar responden dalam penelitian ini berusia 19 tahun yaitu sebanyak 15 orang (50%). skala nyeri f % nyeri ringan 2 6,70 nyeri sedang 16 53,30 nyeri berat terkontrol 12 40 total 30 100 sumber: data primer 2019 tabel 2 distribusi frekuensi tingkat nyeri disminorhoe pada mahasiswa prodi diii kebidanan universitas wiraraja sebelum di berikan spiritual hipnoterapi tabel 3 distribusi frekuensi tingkat nyeri disminorhoe pada mahasiswa prodi diii kebidanan universitas wiraraja setelah di berikan spiritual hipnoterapi skala nyeri f % nyeri ringan 14 46,70 nyeri sedang 15 50,00 nyeri berat terkontrol 1 3,30 total 30 100 sumber: data primer 2019 267pratiwi, hasanah, efektifitas spiritual hipnoterapi terhadap ... tahapan masa remaja dapat dibagi menjadi empat tahapan diantaranya1) masa pra-pubertas (12-13 tahun)yang disebut masa pueral, yaitu masa peralihan dari kanak-kanan ke remaja. 2) masa pubertas (14-16 tahun) disebut juga masa remaja awal, pada masa ini pertumbuhan fisik sudah terlihat. 3) masa akhir pubertas (17-18 tahun) 4) periode remaja adolesensi (19-21 tahun). kematangan remaja akan terlihat pada masa ini baik emosi,fisik dan psikis, sehingga responden dalam penelitian ini sebagian besar masuk dalam remaja adolesensi. remaja putri pada masa ini akan sesekali akan mengalami disminore pada saat siklus mentruasi mereka, akan tetapi disminore yang dirasakan responden masuk kedalam kategori nyeri haid (dismenore) primer yaitu bukan karena penyakit penyerta. (nadi aprilyadi, et al ,2018). hal ini serupa dengan yang dikemukan oleh prawihardjo (2011) yang menyatakan bahwa nyeri haid yang tanpa diikuti oleh keadaan patologis pada panggul masuk dalam kategori nyeri haid primer, berbeda dengan nyeri haid sekunder yang diikuti oleh ciri atau hasil pemeriksaan yang patologis. dismenore dapat di artikan sebagai nyeri dibagian bawah perut dan terkadang menimbulkan rasa tidak nyaman seperti kram, selama menstruasi dan termasuk penyebab nyeri pinggang dan penyebab gangguan menstruasi. ketidakseimbangan hormone progesterone merupakan salah satu penyebab dari kram ini (nurwana, sabilu, & andi faizal fachlevy, 2017) bahkan bisa menyebar sampai ke pinggang, hal ini berawal dari kontraksi uterus yang sangat intens saat endometrium luruh di fase menstruasi. hal ini biasa terjadi dikalangan remaja perempuan dengan tingkat nyeri yang berbeda beda. sebelum dilakukan hypnosis terlebih dahulu peneliti melakukan pretest yaitu dengan memberikan kuesioner untuk mengetahui tingkat nyeri dengan skala numeric rating scale (nrs) dan visual analog scale (vas). didapatkan hasil responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 6,7%, nyeri sedang sebanyak 53,3% dan nyeri berat sebanyak 40%. hasil penelitian ini didukung oleh penelitian dari annisa fitri aun yang berjudul “pengaruh hipnoterapi terhadap penurunan nyeri disminore di smpn 16 pontianak” yaitu sebagian besar responden mengalami/sedang sebanyak 62,5%. dari hasil penelitian di atas peneliti menyimpulkan bahwa tingkat nyeri disminore yang di alami oleh responden bervariasi mulai dari nyeri sedang sampai berat. hipnoterapi dilakukan selama 2 kali, setelah dilakukan spiritual hipnoterapi responden diminta untuk mengisi kuesioner tingkat nyeri dengan menggunakan skala numeric rating scale (nrs) dan vas didapatkan hasil nyeri ringan sebanyak 46,7%, nyeri sedang sebanyak 50% dan nyeri berat sebanyak 3,%. hypnosis adalah pengendalian fungsi otak secara ilmiah. hypnosis adalah aktivitas yang memerlukan kerja sama dan persetujuan antara dua pihak yang berhubungan. setela h dila kuka n a na lisis da ta denga n wilcoxon signed rank test didapatkan hasil didapatkan nilai p = 0,000<0,005 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat efektifas yang bermakna spiritual hipnoterapi terhadap penurunan nyeri disminore pada mahasiswi prodi diii kebidanan fakultas ilmu kesehatan universitas wiraraja, dan setelah diberikan spiritual hipnoterapi sebagian besar mahasiswi mengalami nyeri sedang yaitu sebanyak 15 orang (50%). analisis bivariat   n mean rank sum of ranks uji z p value negative 23a 12.00 276.00 -4.420a .000 positive 0b .00 .00 ties 7c total 30     sumber : data primer 2019 tabel 4 analisis efektifitas spiritual hipnoterapi terhadap penurunan nyeri disminore pada mahasiswi program studi kebidanan universitas wiraraja. pembahasan dari hasil penelitian didapatkan data bahwa usia responden yaitu 18 tahun sebanyak 16,7%, usia 19 tahun sebanyak 50% dan usia 20 tahun sebanyak 33,3%. 268 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 264–269 didapatkan hasil negative rank atau selisih (negative) antara hasil sebelum dan sesudah terapi spiritual hypnosis adalah 23, nilai 23 ini menunjukkan adanya penurunan tingkat nyeri dismenore sebelum dan sesudah terapi. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh hani triana tahun 2014 yaitu adanya perbedaan yang significant penurunan tingkat nyeri antara kelompok yang mendapatkan hipnoterapi (intervensi) dengan kelompok yang tidak mendapatkan hipnoterapi (control) di prodi diii kebidanan stikes immanuel bandung. sesuai dengan penelitian nadi aprilyadi et al pada tahun 2018 pada remaja putri di sma lubuk linggau sebelum dilakukan hipnoterapi didapatkan data siswi putri nyeri sedang saat menstruasi (76,5%), nyeri berat sebanyak 2 orang, nyeri sedang 13 orang dan nyeri ringan sebanyak 2 orang. setelah dilakukan hipnoterapi pada 17 orang tersebut, terdapat penurunan tingkat nyeri, yaitu responden yang mengalami nyeri berat sebanyak 0 orang, nyeri sedang 0 orang, nyeri ringan sebanyak (94,1%), sehingga penelitian pada siswi putri di smu lubuk linggau terdapat hasil yang signifikan dan bermakna. dengan adanya nilai yang significan tersebut maka dapat disimpulkan terdapat tekhnik hipnoterapi efektif terhadap penurunan nyeri. rasa nyeri saat disminore tidak hanya disebabkan hormone prostaglandin tetapi sebagian juga disebabkan menarche di usia kurang dari 11 tahun, lama dan siklus haid lebih dari 7 hari, jarang berolahraga, stress, riwayat keluarga, sering mengkonsumsi makanan cepat saji, mengkonsumsi alcohol dan merokok. (joshi et al.,2015) kejadian dismenore pada remaja harus segera ditangani baik dengan pengobatan farmakologi ataupun non farmakologi, dengan pengobatan non farmakologi dapat dilakukan tekhnik relaksasi untuk pengalihan nyeri seperti menarik nafas panjang, membaca buku, mendengarkan music. teknik relaksasi olah nafas dapat merangsang tubuh untuk membuat system penurunan nyeri. salah satu tekhnik relaksasi ini adalah hipnoterapi, dengan tekhnik hipnoterapi akan menimbulkan rasa nyaman sehingga merangsang hormone endorphin untuk menekan rasa nyeri. dalam keadaan hypnosis tubuh seseorang menstimulasi otak untuk melepaskan neurotransmitter, encephalin dan endhorpin yang berfungsi meningkatkan perasan nyaman sehingga mengubah penerimaan individu terhadap sakit yang disebabkan oleh peningkatan hormone prostaglandin. (nadi aprilyadi, et al ,2018) keadaan trance adalah suatu efek langsung dari hipnoterapi, biasanya responden akan terlihat lebih rileks, santai dan tenang bahkan ada yang tertidur dalam sesi ini. saat berada dalam keadaan inilah perhatian responden akan nyeri menjadi teralihkan, sehingga nyeri menjadi berkurang. tidak ada efek apapun yang ditimbulkan dalam sesi ini. bahkan tidak jarang responden akan merasakan nyaman, suasana hati senang dan rileks setelah dilakukan hipnoterapi. (nadi aprilyadi, et al ,2018) penelitian yang dilakukan ginandes juga membuktikan bahwa terapi hypnosis tidak hanya untuk meredakan nyeri tetapi juga melancarkan pernapasan, gangguan pencernaan. hipnoterapi dapat meningkatkan hormone endorphin didalam tubuh manusia, dimana endorphin ini adalah hormone yang dihasilkan secara natural oleh tubuh manusia saat tenang dan rileks. (saryono, w, a.tri, 2011) pada saat ini hypnosis juga efektif dipergunakan dalam menangani masalah-masalah yang lain misalnya masalah gangguan psikologis, dimana mengubah mekanisme pikiran seseorang sehingga menghasilkan perubahan pada persepsi dan tingkah laku seseorang. beberapa penelitian menarik yang menyatakan bahwa sekitar 75% semua penyakit fisik yang diderita manusia berasal dari mental dan emosi.(hani.t, 2014) kesimpulan hasil dari penelitian ini yaitu spiritual hipnoterapi efektif dalam menurunkan nyeri dismenore pada mahasiswi prodi kebidanan fakultas ilmu kesehatan universitas wiraraja. saran mahasiswi kebidanan bisa menerapkan spiritual hipnoterapi untuk mengurangi nyeri disminore sebagai pengganti pengobatan medical. spiritual hipnoterapi bisa di terapkan setiap hari selama menstruasi untuk mengurangi nyeri disminore, spiritual hipnoterapi juga bisa di lakukan di rumah setelah mendapatkan tutorial spiritual hypnosis dari trainer. daftar pustaka annisa, fitri. a. (2015). pengaruh hipnoterapi terhadap tingkat nyeri disminore di smpn 16 pontianak. pontianak: uni versitas tanjung pinang. dewi, h.e. (2012). memahami perkembangan fisik remaja. yogyakarta: gosyen publishing. 269pratiwi, hasanah, efektifitas spiritual hipnoterapi terhadap ... goldberg,d,s & mc.gee, s.j. (2011) pain as global public health priority. bmc public health,11:70. http// www.biomedcentral.com/1471-2458/11/770.2011 hani, t (2014). pengaruh hipnoterapi terhadap penurunan nyeri pada remaja yang mengalami disminore di prodi diii kebidanan stikes immanuel bandung. jik. 2014; 8(2) helmi, f. & jenita. (2016). pengaruh hipnoterapi terhadap disminore primer pada siswi sekolah menengah pertama. jka.2016; 3(1). hal 69-75. hidayat, a. alimul (2013). pengantar kebutuhan dasar manusia-aplikasi konsep dan proses keperawatan. jakarta: salemba medika. joshi, t., patil, a., kural, m., noor, n., & pandit, d. (2015) menstr ual char act eristic and prevalence of dysmenorrhea in college going girls. journal of family medicine and primary care, 4 (3), 426. http:/ /doi.org/10.4103/2249-483.161345 laila, n.n. (2011). buku pintar menstruasi, yogyakarta: buku biru. lestari, h & suryanto d. (2010). gambaran disminore pada remaja putri sekolah menengah pertama di manado. http://www.idai.or.id/ diakses pada tanggal 20 februari 2019 lucas, n.n &sugianto. (2017). hipnoterapi pada pasien nyeri kronik. jurnal berkala ilmiah kedokteran duta wacana. vol 02 nomer 2 april 2017. nadi, aprilyadi, h, jhon feri & indah, d.r (2018). efektifitas hipnoterapi terhadap penurunan nyeri disminore pada siswi sma.jpi. vol 2 no 1 hal 10-19. ningsih .(2011). efektifitas paket pereda intensitas nyeri pada remaja dengan disminore di smun kecamatan curup. http://lontar.vi.ac.id diakses pada tanggal 20 februari 2019 nurwana, s. y., & andi, f. f. (2017). analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian disminorea pada remaja putri di sma negeri 8 kendari tahun 2016. fakultas kesehatan masyarakat universitas halu oleo, 2(6), 1–14. prawihardjo, s. (2011). ilmu kandungan. jakarta: bina pustaka saryono.,widianti, a.tri. (2011). catatan kuliah kebutuhan dasar manusia (kdm). jogjakarta: nuha medika. 144 gambaran tingkat kemandirian lansia dalam pemenuhan adl (activity daily living) (description of independence level elders to fulfill adl (activity daily living ) ratna wulandari program studi diii keperawatan blitar. poltekkes kemenkes malang email:rratnawuland@yahoo.com abstract : the influence of the aging process can a variety of problems both physically, mentally and economically so as to affect the fulfillment of the adl (activity daily living). the level of ability of the elderly in activity can be measured by the level of independence of elderly in performing 6 basic activities include bathing, dressing, toileting, moving, continence and eating.. method: the research design was description design. the population was 80 elders in upt pslu blitar, the sample was 44 by purposive sampling technique. data were collected by interviews guided. result : the results showed that 86.4% 6 independent activities, 11.4% 5 activities, and 2.3% 4 activities. elderly that has a high level of independence is has physical and psychological health and sufficient prima. discussion : by getting a good health the elderly can perform any activity in their everyday lives. it is expected that the results of this study, carers must keep the safety of elders in activities to prevent deterioration in elderly activities which could be due to fall or hurt. keywords : elders, adl (activity daily living). budi anna keliat (1999) dalam buku maryam dkk (2008) menjelaskan pengertian lansia “usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia”.who dan undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab 1 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua (nugroho, 2008). pada saatini di seluruh dunia jumlah lanjut usia diperkirakan lebih dari 629 juta jiwa, dan pada tahun 2025 lanjut usia akan mencapai 1,2 milyar. di indonesia pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru mencapai 7,7 juta jiwa atau 5,2 % dari seluruh jumlah penduduk. pada tahun 1990 jumlah penduduk usia lanjut meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9%. jumlah ini meningkat di seluruh indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2% dari seluruh penduduk. data terbaru menunjuk bahwa jumlah lansia di indonesia pada tahun 2010 sebesar 23,9 juta jiwa dan dan diperkirakan lagi pada tahun 2020 lansia akan meningkat menjadi 11,4% (29.021.128) dengan umur harapan hidup di atas 70 tahun (nugroho, 2008). secara individu, pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara fisik biologis, mental, maupun sosial ekonomi. semakin lanjut usia seseorang, maka kemampuan sikapnya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan kemunduran pada peran-peran sosialnya. hal ini mengakibatkan pula timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat meningkatkan ketergatungan yang memerlukan bantuan orang lain (nugroho, 2008). perubahan fisik lansia akan mempengaruhi tingkat kemandirian. kemandirian adalah kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain dan bebas mengatur diri sendiri atau aktivitas seseorang baik individu maupun kelompok dari berbagai kesehatan atau penyakit (lerner, 1976) dalam ediawati(2012). menurut boedhi darmojo (2004) dalam maryam dkk, (2008), menjadi tua bukanlah suatu penyakit atau sakit, tetapi suatu proses perubahan dimana kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi berkurang. perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan termasuk kesehatannya. oleh karena itu, http://www.jnkjournal.com/index.php/jnk/article/view/31 http://www.jnkjournal.com/index.php/jnk/article/view/31 acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p155-159 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 145 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm. 144-148 kesehatan lansia perlu mendapat perhatian khusus dengan tetap memelihara dan meningkatkan agar selama mungkin bisa hidup secara produktif sesuai kemampuannya. adl (activity daily living) adalah kegiatan melakukan pekerjaan rutin sehari-hari dan merupakan aktivitas pokok bagi perawatan diri. adl merupakan salah satu alat ukur untuk menilai kapasitas fungsional seseorang dengan menanyakan aktivitas kehidupan sehari-hari, untuk mengetahui lanjut usia yang membutuhkan pertolongan orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari atau dapat melakukan secara mandiri. menghasilkan informasi yang berguna untuk mengetahui adanya kerapuhan pada lanjut usia yang membutuhkan perawatan (gallo dkk, 1998). sedangkan menurut brunner & suddarth (2002) adl adalah aktifitas perawatan diri yang harus pasien lakukan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup sehari-hari pada saat ini lansia kurang sekali mendapatkan perhatian serius ditengah keluarga dan masyarakat terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan aktifitas kehidupan sehari-hari. hal ini disebabkan karena lansia mempunyai keterbatasan waktu, dana, tenaga dan kemampuan untuk merawat diri. sedangkan keluarga tidak mampu untuk membantu lansia, maka panti sosial atau panti wredha menjadi pilihan (ediawati, 2012). panti sosial atau panti wredha adalah suatu institusi hunian bersama dari para lanjut usia yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri dimana kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti. diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta (darmodjo & martono, 1999).sedangkan menurut jhon (2008) dalam ediawati (2012), panti wredha adalah tempat dimana berkumpulnya orang – orang lansia yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala keperluannya.tempat ini ada yang dikelola oleh pemerintah dan ada yang dikelola oleh swasta. di panti sosial atau panti wredha para lansia akan menemukan banyak teman sehingga diantara mereka saling membantu, saling memberikan dukungan dan juga saling memberikan perhatian khususnya dalam pemenuhan kebutuhan adl. upt pslu (unit pelaksana teknis panti sosial lanjut usia) blitar di tulungagung merupakan upt dibawah naungan dinas sosial provinsi jawa timur yang melaksanakan kegiatan pelayanan dan penyatuan terhadap lanjut usia terlantar didalam upt (panti) (dinas sosial jawa timur, 2013). jumlah lansia yang terdapat di pslu blitar sebanyak 80 orang yang terbagi dalam 5 wisma yang salah satu diantara wisma tersebut adalah lansia dengan perawatan khusus. ketergantungan lanjut usia disebabkan oleh kemunduran fisik maupun psikis. sedangkan bila dilihat dari tingkat kemandiriannyayang dinilai berdasarkan kemampuan untuk melakukan aktifitas seharihari (mariam, 2008). berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap 10 orang lansia penghuni pslu blitar di tulungagung, 5 lansia tergolong indek katz a yaitu mandiri untuk 6 aktifitas, 3 lansia termasuk indeks katz b yaitu mandiri untuk 5 aktifitas, 2 lansia termasuk indek kats c yaitu mandiri kecuali bathing dan 1 aktifitas lain. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemandirian lansia dalam pemenuhan kebutuhan adl (activity daily living) di upt pslu blitar di tulungagung. manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah merupakan pengalaman dalam penelitian dan mengembangkan ilmu keperawatan gerontik khususnya pada tingkat kemandirian lansia dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari, bagi pengelola upt pslu sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam upaya untuk mempersiapkan berbagai macam intervensi yang lebih terfokus dalam hubunganya mempertahankan tingkat kemandirian lansia dalam melakukan aktifitas kehidupan seharihari, bagi institusi pendidikan sebagai bahan kajian dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan kedepannya. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif. dalam penelitian ini, populasi yang diambil adalah lansia yang tinggal di upt pslu blitar di tulungagung sebanyak 80 orang.sampel yang digunakan adalah lansia yang tinggal di upt pslu blitar di tulungagung yang berjumlah 44 orang. sampel dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi. kriteria inklusi adalah karakteristik yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti, yaitu: lansia yang mampu wulandari, gambaran tingkat kemandirian lansia……146 berkomunikasi secara verbal dengan baik, bersedia menjadi responden.dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. variabel dalam penelitian ini adalah tingkat kemandirian lansia dalam pemenuhan activity daily living.dalam penelitian ini menggunakan instrumen indeks katz yang berisi tentang aktifitas dasar sehari-hari yang dilakukan oleh responden yang berupa bathing, dressing, toiletting, transfering, contenence, dan feeding. hasil penelitian berikut akan disajikan data umum meliputi umur, lama tinggal di panti, riwayat penyakit, kelenturan, keseimbangan dan keberdayagunaan mandiri (self efficacy) dan data khusus meliputi tingkat kemandirian lansia berdasarkan indeks katz di upt pslu blitar di tulungagung. tabel 1. umur lansia no umur lansia f % 1 60-74 24 54.5 2 75-90 19 43.2 3 >90 1 2.3 tabel 2. lama tinggal lansia no lama tinggal lansia f % 1 <1 th 12 27.3 2 1-5 th 21 47.7 3 6-10 th 9 20.5 4 >10 th 2 4.5 tabel 3. riwayat penyakit no riwayat penyakit f % 1 tidak sakit 14 31.8 2 reumatik 9 20.5 3 stroke 3 6.8 4 dm 3 6.8 5 hipertensi 5 11.4 6 maag 5 11.4 7 lain-lain 5 11.4 tabel 4. kelenturan no kelenturan lansia f % 1 punya masalah kelenturan 8 18.2 2 tidak punya masalah kelenturan 36 81.8 tabel 5. keseimbangan no keseimbangan f % 1 mengalami gangguan 13 29.5 2 tidak mengalami gangguan 31 70.5 tabel 6. keberdayagunaan mandiri self efficacy lansia no self efficacy f % 1 memiliki self efficacy 41 93.2 2 tidak memiliki self efficacy 3 6.8 tabel 7. tingkat kemandirian lansia berdasarkan indeks katz no pemenuhan f % 1 katz a 38 86,4% 2 katz b 5 11,4% 3 katz c 1 2,3% berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 29 responden, hampir setengahnya (44,8%) responden berjenis kelamin laki – laki, hampir setengahnya (48%) responden telah tinggal di panti selama 3-5 tahun, hampir seluruhnya (82%) responden beragama islam, sebagian besar (65%) responden bekerja selain pegawai swasta dan wiraswasta, sebagian besar (82%) responden beribadah di sarana ibadah mushola dan sebagian besar (55,2%) responden sering mengikuti bimbingan keagamaan serta memiliki pemenuhan kebutuhan spiritual yang baik. pembahasan dari hasil penelitian berdasarkan data umur responden, didapatkan bahwa sekitar setengah (54,5%) adalah lansia yang berumur 60−74 tahun yaitu 24 lansia. data dari lembaga kesehatan dunia menyebutkan angka harapan hidup penduduk indonesia setiap tahunnya terus meningkat. apabila pada tahun 2010 angka harapan hidup usia diatas 60 tahun mencapai 20,7 juta orang kemudian naik menjadi 36 juta orang (who, 2010). hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh agustin (2008) di panti wredha wening wardoyo ungaran menunjukkan hasil yang sejalan dimana sebagian besar lansia adalah umur 60−74 tahun (80,9%). hal ini juga sejalan dengan teori darmojo (1999) yang menyatakan bahwa bertambahnya usia berpengaruh nyata terhadap kemampuan lansia dalam melakukan activity daily living. menurut peneliti hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi usia seseorang akan lebih beresiko mengalami 147 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 1, juli 2014, hlm. 144-148 masalah kesehatan karena lansia akan mengalami perubahan akibat proses menua baik dari segi fisik, mental, ekonomi, psikososial, kognitif dan spiritual. panti sosial atau panti wredha adalah suatu institusi hunian bersama dari para lanjut usia yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri dimana kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti. diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta (darmodjo & martono, 1999). dari hasil penelitian berdasarkan data lama lansia yang tinggal di panti didapatkan bahwa sekitar setengah (47,7%) adalah lansia yang tinggal selama 1-5 tahun yaitu 21 lansia. hal ini sejalan dengan hurlock (1999) yang menggambarkan bahwa seseorang tinggal di pati wredha apabila kesehatan, status ekonomi, atau kondisi lainnya tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan hidup di rumah masing-masing, dan jika mereka tidak mempunyai sanak saudara yang dapat atau sanggup merawat mereka. menurut peneliti lansia yang telah lama tinggal di panti telah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar.mereka mampu beradaptasi dengan sedikitnya tenaga caregiver di panti, sehingga ketika responden mengalami sakit dan mengalami keterbatasan aktifitas mereka tetap berusaha untuk mandiri. dari hasil penelitian berdasarkan data riwayat penyakit didapatkanbahwa hampir setengah (31,8%) adalah lansia yang tidak menderita sakit yaitu 14 lansia. hal ini sesuai dengan tamher dan noorkasiani (2009) bahwa kemandirian bagi orang lanjut usia dapat dilihat dari kualitas kesehatannya sehingga dapat melakukan adl (activity daily living). menurut peneliti lansia yang tingkat kemandiriannya tinggi adalah mereka secara fisik dan psikis memiliki kesehatan yang cukup prima. dengan kesehatan yang baik lansia bisa melakukan aktivitas apa saja dalam kehidupannya sehari-hari. menurut darmojo dan martono (1999) faktor yang mempengaruhi activity daily living yaitu kelenturan, keseimbangan dan self efficacy atau keberdayagunaan mandiri lansia.faktor yang mempengaruhi adl pada lansia yang pertama adalah kelenturan. dari hasil penelitian berdasarkan data kelenturan didapatkan hasil lansia tidak mengalami masalah kelenturan yaitu sebanyak 81,8% (36 lansia) dan yang mengalami masalah kelenturan sebanyak 18,2% (8 lansia). menurut darmojo dan martono (1999) pembatasan atas lingkup gerak sendi (rom) banyak terjadi pada lanjut usia, akibat dari kekakuan otot dan tendon. kekakuan otot betis sering memperlambat gerak dorsofleksi.selain itu kekauan otot aduktor dan abduktor paha juga sering dijumpai. latihan kelenturan sendi merupakan komponen penting dari program latihan/olah raga bagi lanjut usia. menurut peneliti masalah kelenturan seperti kekakuan otot dapat terjadi karena kurangangnya aktivitas pada lansia dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa di karenakan lansia yang jarang melakukan aktivitas dan cenderung kurang aktif. faktor yang kedua adalah keseimbangan. dari hasil penelitian berdasarkan data keseimbangan didapatkan hasil lansia yang tidak mengalami masalah keseimbangan yaitu sebanyak 70,5% (31 lansia) dan lansia yang mengalami gangguan keseimbangan sebanyak 29,5% (13 lansia). keseimbangan merupakan penyebab utama yang sering mengakibatkan seseorang lanjut usia jatuh. keseimbangan merupakan tanggapan motorik yang dihasilkan dari berbagai faktor diantaranya input sensorik dan kekuatan otot (darmojo & martono, 1999). hal ini sesuai dengan penelitian ediawati (2012) lansia yang berusaha memenuhi kebutuhannya secara mandiri sedangkan memiliki banyak faktor untuk terjadi jatuh seperti penuaan, perubahan pada muskuloskeletal dan kondisi patologis. menurut peneliti lansia yang mengalami gangguan keseimbangan perlu memahami pentingnya latihan keseimbangan karena latihan keseimbangan akan menurunkan insiden jatuh pada lansia dan memberikan manfaat bagi penguatan otot penyangga keseimbangan tubuh. faktor yang ke tiga adalah self efficacy (keberdayagunaan mandiri).dari hasil penelitian berdasarkan data keberdayagunaan mandiri (self efficacy) didapatkan hasil lasia yang memiliki keberdayagunaan mandiri (self efficacy) yaitu sebanyak 93,2% (41 lansia) dan lansia yang mempunyai self efficacy 6,8% (3 lansia). self efficacy adalah suatu istilah untuk menggambarkan rasa percaya atas keamanan dalam melakukan aktivitas (darmojo & martono, 1999).hal ini sangat berhubungan dengan ketidaktergantungan dalam aktivitas sehari-hari. dengan keberdayagunaan mandiri ini seorang lanjut usia mempunyai keberanian dalam melakukan aktivitas/olah raga (darmojo & martono, 1999). menurut peneliti tingginya wulandari, gambaran tingkat kemandirian lansia……148 rasa keberdayagunaan mandiri pada lansia dapat meningkatkan kemampuannya dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari, lansia akan merasa mampu dan akan mencoba melakukanya terlebih dahulu secara mandiri dan sebaliknya rendahnya rasa keberdayaan mandiri pada lansia dapat menurunkan kemauan lansia dalam beraktivitas, sehingga lansia merasa takut untuk mencoba hal baru atau takut akan tidak berhasil. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian sebesar 86,4% (38 lansia) termasuk kategori katz a, yaitu mandiri untuk 6 aktifitas. 11,4% (5 lansia) termasuk kategori katz b, yaitu mandiri untuk 5 aktifitas. 2,3% (1 lansia) katz c, yaitu mandiri kecuali, mandi dan 1 fungsi lain, dalam melaksanakan adl (activity daily living). kemandirian yang kurang dapat disebabkan karena kurangannya aktivitas pada lansia dalam kehidupan seharihari, hal ini bisa di karenakan lansia yang jarang melakukan aktivitas dan cenderung kurang aktif sehingga menimbulkan kekakuan otot. lansia kurang memahami pentingnya latihan keseimbangan karena latihan keseimbangan akan menurunkan insiden jatuh pada lansia dan memberikan manfaat bagi penguatan otot penyangga keseimbangan tubuh.rendahnya rasa keberdayaan diri pada lansia yang dapat menurunkan kemauan lansia dalam beraktivitas, sehingga lansia merasa takut untuk mencoba hal baru atau takut akan tidak berhasil. hal ini menunjukkan lansia yang tingkat kemandiriannya tinggi adalah mereka secara fisik dan psikis memiliki kesehatan yang cukup prima. dengan kesehatan yang baik lansia bisa melakukan aktivitas apa saja dalam kehidupannya sehari-hari. saran diharapkan dengan hasil penelitian ini, pengelola panti harus tetap mempertahankan keselamatan lansia dalam beraktifitas agar tidak terjadi kemunduran aktifitas pada lansia yang bisa dikarenakan jatuh maupun sakit. daftar rujukan darmodjo & martono. 1999. geriatri: ilmu kesehatan usia lanjut. jakarta: balai penerbit fkui. dinas sosial jawa timur (http://dinsos.jatimprov.go.id/profilupt/72pelayanansosial-lansia-terlantar/752-uptpelayanan-sosial-lu-blitar.html), diakses 20 november 2013. ediawati, e. 2012. gambaran tingkat kemandirian dalam activity daily living (adl) dan resiko jatuh pada lansia di panti sosial tresna wredha budi mulia 01 dan 03 jakarta timur. depok: fk ui. gallo, j. j. et al. 1998. bukusaku gerontologi. edisi 2. jakarta: egc. hurlock, e. b. 1999. psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. edisi kelima. jakarta: erlangga. lie, a. dan prasasti, s. 2004. membina kemandirian dan tanggung jawab. jakarta: pt. elex media komputindo. maryam, r. s. dkk. 2008. mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta: salemba medika. nugroho, w. 2008. keperawatan gerontik & geriatrik. jakarta: egc. tamher & noorkasiani. 2009. kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan.jakarta: salemba medika http://dinsos.jatimprov.go.id/profilupt/72-pelayananhttp://dinsos.jatimprov.go.id/profilupt/72-pelayanan348 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 348–356 348 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh durasi terdiagnosa kanker terhadap sub skala primer strategi koping pasien kanker yesiana dwi wahyu werdani fakultas keperawatan, universitas katolik widya mandala surabaya info artikel kata kunci: durasi terdiagnosa kanker; sub skala primer, strategi koping, kanker abstrak diagnosa penyakit kanker dipersepsikan oleh sebagian besar orang sebagai penyakit yang berbahaya dan mematikan. respon penolakan, cemas, depresi dan ketakutan menjadi dominan, sehingga memengaruhi individu dalam menentukan strategi koping untuk mengatasi masalah pasca terdiagnosa kanker. tujuan penelitian membuktikan adanya pengaruh durasi terdiagnosa kanker terhadap sub skala primer strategi koping pasien kanker. desain yang digunakan cross sectional. populasinya adalah pasien kanker dengan kesadaran composmentis di yayasan kanker indonesia cabang jawa timur yang berjumlah 32 orang, diambil dengan teknik total sampling. instrumen yang digunakan yaitu coping strategies inventory short form (csi-s). uji statistik dengan regresi ordinal dilakukan pada variabel durasi terdiagnosa kanker terhadap 8 sub skala primer dan didapatkan 6 sub skala memiliki p < 0.05 yaitu sub skala pemecahan masalah, restrukturisasi kognitif, ekspresi emosi, penghindaran masalah, pikiran angan, dan self criticsm, sedangkan sub skala kontak sosial dan isolasi sosial tidak memiliki hasil yang signifikan p > 0.05. durasi terdiagnosa kanker < 1 tahun lebih dominan terhadap strategi koping akibat reaksi penolakan, sedangkan diagnosa kanker > 1 tahun lebih adaptif terhadap sakitnya, sehingga strategi koping yang diambilpun lebih adaptif pula. durasi terdiagnosa kanker dapat memengaruhi respon psikologis individu yang berdampak terhadap pengambilan keputusan strategi koping terhadap masalah yang dihadapi. article information abstract cancer is perceived by most people as a dangerous disease. the anxiety, depression and fear becomes dominant so it affects individuals in determining coping strategies in overcoming post-diagnosed cancer. the aim was to prove the effect of cancer diagnosed duration on primary sub-scale coping strategies in cancer patients. this study used cross sectional design. the population was composmentis cancer patients at cancer founthe effect of cancer diagnosed duration on primary sub-scale on coping strategies in cancer patients sejarah artikel: diterima, 01/09/2019 disetujui, 03/10/2019 dipublikasi, 05/12/2019 history article: received, 01/09/2019 accepted, 03/10/2019 published, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p348-356&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 349werdani, pengaruh durasi terdiagnosa kanker terhadap... pendahuluan penyakit kanker dipersepsikan oleh sebagian besar orang sebagai penyakit yang mematikan. seseorang yang telah terdiagnosa kanker terdorong untuk berpikir tentang sebuah kematian (1). tidak mudah bagi seseorang untuk menerima diagnosa penyakit kanker ataupun penyakit kronis yang lain. bahkan pada periode kritis segera setelah diagnosis kanker risiko bunuh diri yang berlebihan menjadi sangat tinggi (2). denial atau penolakan merupakan hal yang pertama kali terjadi sebagai bentuk respon terhadap diagnosa penyakit. seseorang yang mengalami denial dapat memberikan reaksi syok dan tidak percaya yang diikuti oleh reaksi emosional, yang membantu seseorang mengatasi rasa kehilangan (3). rasa kehilangan yang muncul dapat meningkatkan rasa kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan bagi seseorang (4). globocan 2018 memperkirakan akan ada sekitar 18.1 juta kasus kanker baru, sejumlah 9.6 juta kematian pada tahun 2018 diakibatkan oleh kanker sebesar 9,5 juta (tidak termasuk kanker kulit nonmelanoma) (5). prevalensi kanker di indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada tahun 2018 capaian tertinggi adalah di yogyakarta sebesar 4.9 permil, kanker terbanyak berada pada rentang usia 55–64 tahun sebesar 4.62 permil, wanita terdiagnosa kanker mencapai 2.9 per mil dan mayoritas berada di wilayah perkotaan 2.06 permil. kanker lebih banyak diderita oleh rakyat indonesia yang berpendidikan tinggi 3.57 permil (6). diagnosa penyakit kanker untuk pertama kali sangat memengaruhi kondisi psikologis seseorang. satu tahun setelah diagnosis kanker, tingkat depresi dapat mencapai 9–21%, tingkat tertinggi terjadi selama proses pengobatan, dan prevalensi depresi mulai menurun tiga bulan setelah selesainya proses pengobatan (7). gangguan psikologis yang muncul pasca terdiagnosa kanker ataupun penyakit kronis yang lain sangat memengaruhi individu beradaptasi dengan masalahnya dalam bentuk mekanisme koping. penelitian terhadap 66 pasien dengan transplantasi ginjal, memiliki strategi koping yang maladaptif seperti penarikan diri dari lingkungan sosial, penghindaran terhadap masalah, dan mengkritisi diri sendiri (8). emosi negatif juga menjadi salah satu yang muncul pada strategi koping yang digunakan pasien pasca diagnosis penyakit serius. emosi merupakan reaksi umum terhadap diagnosis suatu penyakit, emosi negatif dapat berkisar dari yang tidak menyenangkan hingga yang dapat melumpuhkan. emosi negatif dapat bermanifestasi sebagai gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, kesedihan, kemarahan, rasa bersalah, dan ketakutan (9). kedation indonesia branch in east java, surabaya. the samples were 32 respondents taken by total sampling method. the instrument used the coping strategies inventory short form. statistical tests by ordinal regression was done on variable duration diagnosed with cancer in 8 primary sub-scales and obtained 6 sub-scales having p <0.05, consist of problem solving, cognitive restructuring, emotional expression, problem avoidance, mind thinking, and self criticsm. sub-scales social contact and social isolation did not have significant results p > 0.05. the duration of cancer diagnosed less than 1 year was more dominant in coping strategies due to rejection reactions, while more than 1 year was more adaptive to the illness situation and coping strategies taken was more adaptive too. the duration of cancer diagnosed can affect the psychological response of an individual that has an impact on decision-making on coping strategies on the problems faced. © 2019 jurnal ners dan kebidanan keywords: duration of diagnosed cancer, primary sub-scale, coping strategy, cancer email: ywerdani@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p348-356 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) correspondence address: universitas katolik widya mandala surabaya, east java indonesia p-issn : 2355-052x https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p348-356 350 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 348–356 kuatiran emosional pada pasien kanker yang paling umum adalah rasa takut akan kekambuhan dan hidup dengan ketidakpastian (10). diagnosis kanker berdampak pada berbagai dimensi kehidupan pasien, termasuk dimensi psikologis, sosial, fisik, dan spiritual, hal ini menyebabkan efek jangka panjang pada kualitas hidup pasien (11). mencari dukungan sosial dan upaya yang berfokus pada emosi adalah strategi koping utama yang digunakan wanita dengan diagnosis kanker payudara, terutama pada fase awal diagnosis kanker payudara (12). penelitian terhadap 62 wanita iran dengan kanker payudara menyatakan bahwa problem focused, penghindaran, dan penyangkalan adalah koping yang paling sering dilakukan oleh pasien (13). tujuan penelitian ini membuktikan adanya pengaruh durasi terdiagnosa kanker terhadap sub skala primer strategi koping pada pasien kanker. bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. populasi adalah pasien kanker dengan kesadaran composmentis di yayasan kanker indonesia cabang jawa timur yang berjumlah 32 orang yang diambil dengan teknik total sampling. instrumen yang digunakan yaitu kuesioner coping strategies inventory short form (csi-s) yang berorientasi pada 8 sub skala primer yaitu pemecahan masalah, restrukturisasi kognitif, ekpresi emosi, kontak sosial, penghindaran terhadap masalah, pikiran dan angan, self criticsm/ mengkritisi diri sendiri dan isolasi sosial. kuesioner ini telah dilakukan uji validitas dengan menggunakan pearson product moment dan didapatkan nilai rs (kekuatan korelasi) dengan rentang 0.715 – 0.959 dan uji reliabilitas dengan menggunakan cronbach’s alpha didapatkan hasil alpha 0.988. dari kedua uji ini menunjukkan bahwa instrumen tersebut valid dan reliable, sehingga layak sebagai alat ukur untuk mengukur mekanisme koping. sebelum pengambilan data, peneliti memenuhi etika penelitian melalui pemberian penjelasan tentang tujuan penelitian, manfaat, resiko dan prosedur yang akan dijalankan pada penelitian ini. pasien kanker yang telah memahami penjelasan dan menyatakan setuju untuk menjadi responden menandatangani lembar informed consent. seluruh responden diberika n kuesioner data demografi dan kuesioner csi-s. setelah data terkumpul, peneliti melakukan koding, skoring, tabulasi, dan uji statistik regresi ordinal dengan p < 0.05. hasil penelitian data umum kategori frekuensi persentase (orang) (%) usia 26 – 35 tahun 3 9.4 36 – 45 tahun 4 12.5 46 – 55 tahun 10 31.2 56 – 65 tahun 12 37.5 >65 tahun 3 9.4 jenis perempuan 28 87.5 kelamin laki-laki 4 12.5 status belum menikah 2 6.3 pernikahan menikah 21 65.6 janda 7 21.8 duda 2 6.3 pendidikan sd 6 18.7 terakhir smp 10 31.3 sma 16 50.0 pekerjaan ibu rumah tangga 20 62.6 petani 4 12.5 pedagang 4 12.5 swasta 2 6.2 tidak bekerja 2 6.2 stadium ii 15 46.9 kanker iii 13 40.6 iv 4 12.5 pendamping keluarga inti 27 84.4 sendiri 5 15.6 sumber: data primer tabel 1 data demografi responden pada ta bel 1 da pa t disimpulka n ba hwa mayoritas responden berusia 56-65 tahun (37.5%), didominasi oleh perempuan (87.7%), responden sebagian besar berstatus menikah (65.6%) dan berpendidikan terakhir sma (50%). pekerjaan responden mayoritas adalah ibu rumah tangga (62.6%). responden mayoritas menderita kanker pada stadium ii (46.9%) dan yang mendampingi selama pengobatan kanker adalah keluarga inti (84.4%). berdasarkan tabel 2 dapat dideskripsikan bahwa pada responden yang telah terdiagnosa kanker < 1 tahun mayoritas responden memiliki strategi koping pada sub skala primer berupa pemecahan masalah, restrukturisasi kognitif dan pikiran angan 351werdani, pengaruh durasi terdiagnosa kanker terhadap... sub skala primer durasi terdiagnosa durasi terdiagnosa strategi koping kategori kanker < 1 tahun kanker > 1 tahun n = 20 % n = 12 % pemecahan masalah baik 4 20 9 75 cukup baik 12 60 3 25 kurang baik 4 20 0 0 restrukturisasi kognitif baik 6 30 10 83.3 cukup baik 12 60 2 16.7 kurang baik 2 10 0 0 ekspresi emosi baik 2 10 2 12.7 cukup baik 5 25 10 83.3 kurang baik 13 65 0 0 kontak sosial baik 15 75 11 91.7 cukup baik 5 25 1 8.3 kurang baik 0 0 0 0 penghindaran terhadap masalah sangat dominan 2 20 0 0 sedang 9 45 6 50 kurang dominan 9 45 6 50 pikiran dan angan baik 2 10 9 75 cukup baik 13 65 3 25 kurang baik 5 25 0 0 self critism sangat dominan 9 45 0 0 sedang 9 45 3 25 kurang dominan 2 10 9 75 isolasi sosial sangat dominan 0 0 0 0 sedang 2 10 0 0 kurang dominan 18 90 12 100 sumber: data primer tabel 2 pola sub skala primer pada strategi koping yang cukup baik, namun memiliki ekspresi emosi yang kurang baik, dan pada sub skala penghindaran terhadap masalah berada pada 2 tingkatan yaitu tingkat sedang dan kurang dominan dengan masingmasing memiliki persentase yang sama, mayoritas responden juga memiliki self critism dengan 2 tingkatan pula yaitu self critism sangat dominan dan sedang, serta memiliki kontak sosial yang baik. pada sub skala isolasi sosial berada pada tingkatan kurang dominan. sedangkan pada responden yang telah terdiagnosa kanker > 1 tahun mayoritas memiliki pemecahan masalah, restrukturisasi kognitif, kontak sosial dan pikiran angan pada tingkatan yang baik, sedangkan pada ekspresi emosi didominasi pada tingkatan cukup baik. pada sub skala isolasi sosial, dan self critism mayoritas berada pada tingkatan kurang dominan, sedangkan pada penghindaran terhadap masalah didominasi pada tingkatan sedang dan kurang dominan. sub skala primer pseudo rsquare signi nagelkerke fikansi pemecahan masalah 0.333 0.001 restrukturisasi kognitif 0.309 0.002 ekpresi emosi 0.332 0.001 kontak sosial 0.074 0.220 penghindaran terhadap masalah 0.158 0.029 pikiran dan angan 0.458 0.000 self critism 0.480 0.000 isolasi sosial 0.159 0.162 tabel 3 hasil uji statistik regresi ordinal berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan regresi ordinal terdapat 6 sub skala primer yang memiliki signifikansi p < 0.05 dengan masingmasing nilai signifikansi dan pseudo r-sqare nagelkerke yang bervariasi, dan terdapat 2 sub 352 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 348–356 skala primer yang tidak signifikan dengan nilai p > 0.05. hal ini berarti bahwa durasi terdignosa kanker memberikan pengaruh yang bermakna terhadap strategi koping pada 6 sub skala primer yaitu sub skala pemecahan masalah, restrukturisasi kognitif, ekspresi emosi, penghindaran terhadap masalah, pikiran & angan serta self critism, namun tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap sub skala kontak sosial dan isolasi sosial. pembahasan berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa strategi koping pada sub skala primer berupa pemecahan masalah p = 0.001 dengan pseudo rnagelkerke 0.333. hal ini berarti bahwa durasi terdiagnosa kanker memengaruhi kemampuan responden dalam hal pemecahan masalah, dengan besarnya pengaruh adalah 33.3%. hal ini dapat dikaitkan erat dengan jenis penyakit yang diderita responden dan stadiumnya. problem-focused merupakan strategi koping yang dilakukan individu pada sa a t menerima ma sa lah sebaga i suatu tantangan yang dapat diselesaikan (14). terdiagnosa penyakit kanker merupakan salah satu stresor berat yang dapat memengaruhi psikologis seseorang. individu yang memiliki masalah kesehatan kronis cenderung memiliki kemampuan pemecahan masalah yang negatif (15). penelitian terhadap 121 wanita yang didiagnosis menderita kanker payudara dan menjalani operasi sebagai pengobatan utama, didapatkan hasil bahwa gaya pemecahan masalah yang lebih positif terdapat pada responden yang juga memiliki tekanan emosi yang lebih sedikit pula, demikian pula sebaliknya (16). adanya stres akut maupun kronis pada tingkatan yang tinggi dapat mengganggu seseorang dalam melakukan pemecahan masalah dan kreativitas pada berbagai tugas (17). pada sub skala primer restrukturisasi kognitif juga memberikan hasil yang signifikan yaitu dengan besarnya p = 0.002 dan pseudo r-nagelkerke 0.309. hal ini berarti bahwa durasi terdiagnosa kanker memengaruhi restrukturisasi kognitif dengan besarnya pengaruh adalah 30.9%. diagnosa penyakit kanker dapat menyebabkan seseorang mengalami stres, baik yang bersifat akut maupun kronik. stres dapat menghambat fungsi memori dan cognitive flexibility (18). stres psikologis dapat memengaruhi fungsi kognitif dalam jangka pendek termasuk berkurangnya kemampuan untuk memperhatikan dan mengingat proses informasi (19). kehidupan individu yang dipenuhi oleh situasi stres dapat menyebabkan fungsi kognitif yang buruk yang dikarenakan rusaknya struktur syaraf dan fungsi yang mendasari kinerja kognitif (20). para penderita kanker sering mengeluhkan perubahan kognitif, ter masuk ma sala h da lam inga tan, per hatian, konsentrasi, dan fungsi eksekutif (21). sub skala primer berupa ekspresi emosi juga memiliki hasil yang signifikan dengan p = 0.001 dan pseudo r-nagelkerke 0.332. hal ini berarti bahwa durasi terdiagnosa kanker memengaruhi ekspresi emosi dengan besarnya pengaruh adalah 33.2%. individu yang baru terdiagnosa penyakit terminal seperti kanker, masih berada pada tahap penolakan/ denial, sehingga ekspresi emosi lebih terlihat. penelitian terhadap pasien yang heterogen ditemukan adanya prevalensi kecemasan sebesar 22% dan prevalensi depresi sebesar 13% pada enam bulan pasca-diagnosis penyakit (22). hampir 16-25% dari pasien kanker yang baru didiagnosis menderita ganguan psikologis berupa depresi (23). penelitian lain yang mendukung adalah ditemukannya prevalensi depresi, kecemasan, selama tahun pertama pasca-diagnosis pada wanita yang mengalami kekambuhan kanker (24). diagnosis kanker dapat menyebabkan reaksi emosional seperti kecemasan, keputusasaan, takut mati, rasa kesepian, masalah seksual dan citra tubuh (25). pada pasien kanker yang terdiagnosa > 1 tahun secara emosional lebih adaptif, sehingga ekspresi emosional lebih dapat dikendalikan. penelitian terhadap perilaku pasien kanker membuktikan bahwa rata-rata gejala afektif menurun setelah tahun pertama diagnosis (26). sementara mayoritas pasien kanker dapat menyesuaikan diri dengan baik setelah diagnosis, dan kembali ke tingkat normatif dalam waktu 24 bulan, dan minoritas melaporkan pengaruh negatif yang persisten (27). penelitian terhadap 19 pasien kanker payudara stadium iv setelah didiagnosis lebih dari 1 tahun menyatakan bahwa pasien memiliki status emosi yang lebih stabil karena pasien mulai terbiasa dengan kanker yang tidak dapat disembuhkan dan berkepanjangan, sehingga tekanan psikologis perlahan-lahan memudar (28). pada sub skala primer berupa penghindaran terhadap masalah memberikan hasil yang signifikan pula p = 0.029 dengan pseudo r-nagelkerke 0.158. hal ini berarti bahwa durasi terdiagnosa kanker memengaruhi tindakan menghindari masalah sebesar 15.8%. salah satu strategi koping yang sering digunakan oleh pasien dengan kanker payudara dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa 353werdani, pengaruh durasi terdiagnosa kanker terhadap... penghindaran terhadap masalah mendominasi (29). studi lain menjelaskan bahwa pada pasien kanker paru-paru menunjukkan adanya tingkat penolakan sedang atau meningkat p <0,0001 (30). pasien tidak menerima diagnosis mereka atau menolak umumnya menghindari atau menunda proses perawatan, juga bahkan tidak patuh terhadap pengobatan (31). pada sub skala primer berupa pikiran dan angan memiliki hasil yang signifikansi 0 = 0.000 dengan pseudo r-nagelkerke 0.458. hal ini berarti bahwa durasi terdiagnosa kanker memengaruhi pasien untuk memiliki pikiran dan angan dengan besarnya pengaruh adalah 45.8%. pasien yang terdiagnosa kanker sebagai penyakit yang mematikan seringkali mendorong pasien untuk memiliki pikiran yang negatif/ buruk. penelitian pada pasien kanker ditemukan fakta bahwa terjadi peningkatan risiko bunuh diri pada pasien kanker, terutama dalam 6 bulan pertama setelah diagnosis bahkan peningkatan risiko bunuh diri dapat bertahan selama 3 tahun setelah diagnosis (32). penelitian terhadap pasien payudara didapatkan hasil bahwa pikiran negatif cenderung terjadi pada pasien kanker yang memiliki gejala depresi (33). penelitian lain terhadap pasien kanker ditemukan 48% mengalami pikiran intrusif yang sering tidak terkendali, dan ada hubungan yang signifikan antara penilaian negatif dari pikiranpikiran tersebut dengan keparahan depresi (34). pada sub skala self critism didapatkan hasil yang signifikan p = 0.000 dan pseudo r-nagelkerke 0.480. hal ini berarti bahwa durasi terdiagnosa kanker memengaruhi pasien dalam melakukan self critism sebesar 48%. terdiagnosa sebuah penyakit yang serius seringkali memicu individu untuk menilik ke belakang terkait dengan gaya hidup ataupun halhal buruk lain yang dapat memicu timbulnya penyakit saat ini. hal ini menyebabkan pasien menyalahkan diri sendiri terhadap adanya penyakit tersebut. sebuah penelitian menyebutkan bahwa menyalahkan diri sendiri menjadi strategi koping yang berhubungan erat dengan skala depresi (35). self critism adalah fitur inti dari beberapa gangguan mood dan kecema san, ka dang-kadang ber ta ha n setelah perawatan yang efektif dari fitur lain dari gangguan ini, dan dapat merupakan faktor kerentanan untuk kambuh (36). penelitian terhadap 66 pasien dengan penyakit kronis berupa transplantasi ginjal juga didapatkan bahwa self criticsm sebagai salah satu strategi koping yang dipakai oleh pasien dalam mengatasi masalahnya (8). terdapat 2 pola sub skala primer yang tidak memiliki hasil yang signifikan dengan p > 0.05 yaitu kontak sosial p = 0.220 dan isolasi sosial 0.162. tidak signifikannya sub skala tersebut pada penelitian ini kemungkinan dikarenakan responden tinggal di sebuah rumah singgah bersama dengan pendamping dan juga bersama dengan pasien kanker yang lain, sehingga dapat saling berinteraksi satu sama lain dan meningkatkan social support antar pasien. penelitian terhadap 131 pasien kanker payudara didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki hubungan sosial yang baik dan dukungan sosial yang tinggi dari keluarga (96.2%) dan dengan teman (71.8%) (37). selain itu responden pada penelitian ini merupakan responden yang sedang menjalani proses terapi, sehingga responden sering bertemu dengan tenaga kesehatan. rumah sakit khususnya pada ruang perawatan kanker seringkali menerapkan system shared care, dengan demikian interaksi sosial antara pasien dan tenaga kesehatan dapat terjalin dengan baik. shared care yang mengintegrasikan perawatan primer dan perawatan rumah sakit untuk pasien dengan penyakit kronis yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup survivor (38). penelitian terhadap 7.699 pasien kanker menyebutkan bahwa sejumlah 67% pasien kanker yang rutin menjalani terapi kanker dan berinteraksi sering dengan tenaga kesehatan tidak mengalami isolasi sosial dan sejumlah 33% mengalami isolasi sosial, hal ini justru terjadi pada pasien yang lebih tua dan tidak menjalani terapi kanker (39). kesimpulan berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa durasi terdiagnosa kanker dapat memengaruhi respon psikologis individu yang berdampak terhadap pengambilan keputusan strategi koping dengan sub skala primer yang berpengaruh meliputi pemecahan masalah, restrukturisasi kognitif, ekspresi emosi, penghindaran terhadap masalah, pikiran angan dan self criticsm. namun tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap sub skala kontak sosial dan isolasi sosial. saran hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat paliatif di komunitas untuk mengetahui lebih detail strategi koping yang mayoritas dipakai oleh para pasien kanker dan dapat pula sebagai informasi bagi keluarga/ pendamping untuk memahami respon psikologis pasien kanker terhadap diagnosa penyakit yang dideritanya, sehingga dapat melakukan pendampingan perawatan yang tepat. 354 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 348–356 daftar pustaka arndt j, cook a, goldenberg jl, cox cr. cancer and the threat of death: the cognitive dynamics of deaththought suppression and its impact on behavioral health intentions. j pers soc psychol [internet]. 2007 jan [cited 2019 apr 24];92(1):12–29. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17201539 robinson d, renshaw c, okello c, møller h, davies ea. suicide in cancer patients in south east england from 1996 to 2005: a population-based study. br j cancer [internet]. 2009 jul 26 [cited 2019 may 2];101(1): 198–201. avai la bl e from: h tt p: // www.nature.com/articles/6605110 oates jr, maani-fogelman pa. nursing grief and loss. 2019 jan 19 [cited 2019 apr 24]; available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/nbk518989/ kutner js, kilbourn km. bereavement: addressing challenges faced by advanced cancer patients, their caregivers, and their physicians. prim care clin off pract [internet]. 2009 dec [cited 2019 apr 24];36(4): 825–44. avai la ble fr om : ht t ps:/ / l i n k i n g h u b . e l s e v i e r . c o m / r e t r i e v e / p i i / s0095454309000700 bray f, ferlay j, soerjomataram i, siegel rl, torre la, jemal a. global cancer statistics 2018: globocan estimates of incidence and mortality worldwide for 36 cancers in 185 countries. ca cancer j clin [internet]. 2018 nov [cited 2019 may 2];68(6):394– 424. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/30207593 badan penelitian dan pengembangan kesehatan. hasil utama riskesdas 2018. jakarta; 2018. güner p. three phases of cancer in the process of mental trauma: diagnosis, treatment, survival. j psychiatr nurs [internet]. 2017 [cited 2019 apr 24]; available fr om:h ttp: //www.phdergi.org/ jvi. aspx?pdi r= phd&plng=tur&un=phd-79663 costa-requena g, cantarell-aixendri mc, parramon-puig g, serón-micas d. dispositional optimism and coping strategies in patien ts with a kidney transplant. nefrol (english ed [internet]. 2014 sep 1 [cited 2019 may 2];34(5):605–10. available from: h t t p s : / / w w w. r e v i s t a n e f r o l o g i a . c o m / e n dispositional-optimism-coping-strategies-inp a t i e n t s -wi t h -k i dn eyt r a n s pl a n t -a r t i cu l ox2013251414054589 adler ne, page a (ann ek., institute of medicine (u.s.). committee on psychosocial services to cancer patients/families in a community setting. cancer care for the whole patient/ : meeting psychosocial health needs. national academies press; 2008. 429 p. ness s, kokal j, fee-schroeder k, novotny p, satele d, barton d. concerns across the survivorship trajectory: results from a survey of cancer survivors. oncol nurs forum [internet]. 2013 jan 1 [cited 2019 apr 24];40(1):35–42. available from: http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23269768 foley kl, farmer df, petronis vm, smith rg, mcgraw s, smith k, et al. a qualitative exploration of the cancer experience among long-term survivors: comparisons by cancer t ype, eth nicit y, gender, a nd a ge. psychooncology [internet]. 2006 mar [cited 2019 apr 24];15(3):248–58. available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15940742 mehrabi e, hajian s, simbar m, hoshyari m, zayeri f. coping response following a diagnosis of breast cancer: a systematic review. electron physician [internet]. 2015 dec 20 [cited 2019 may 2];7(8):1575– 83. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/26816583 khalili n, farajzadegan z, mokarian f, bahrami f. coping strategies, quality of life and pain in women with breast cancer. iran j nurs midwifery res [internet]. 2013 mar [cited 2019 apr 24];18(2):105–11. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 23983738 maghan m, maghan m. problem solving style and coping strategies: effects of perceived stress. creat educ [internet]. 2017 nov 8 [cited 2019 apr 28]; 8(14): 2332–51. avai la bl e from: h tt p: // www.scirp.org/journal/doi.aspx?doi=10.4236/ ce.2017.814160 lee j, chee i-s. ps241. problem solving style, stress, anxiety and depression. int j neuropsychopharmacol [internet]. 2016 jun [cited 2019 apr 28];19(suppl_1):88–88. available from: http:// academic.oup.com/ijnp/article/19/suppl_1/88/ 2946575/ps241-problem-solving-style-stressanxiety-and heppner pp, armer jm, mallinckrodt b. problem-solving style and adaptation in breast cancer survivors: a prospective analysis. j cancer surviv [internet]. 2009 jun [cited 2019 apr 24];3(2):128–36. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 19396549 creswell jd, dutcher jm, klein wmp, harris pr, levine jm. self-affirmation improves problem-solving under stress. plos one [internet]. 2013 [cited 2019 apr 28];8(5):e62593. available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23658751 diamond a. executive functions. annu rev psychol [internet]. 2013 jan 3 [cited 2019 apr 28];64(1):135– 68. available from: http://www.annualreviews.org/ doi/10.1146/annurev-psych-113011-143750 sliwinski mj, smyth jm, hofer sm, stawski rs. intraindividual coupling of daily stress and cognition. psychol aging [internet]. 2006 sep [cited 2019 apr 30];21(3):545–57. available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16953716 aggarwal nt, wilson rs, beck tl, rajan kb, mendes de leon cf, evans da, et al. perceived stress and change in cognitive function among adults 65 355werdani, pengaruh durasi terdiagnosa kanker terhadap... years and older. psychosom med [internet]. 2014 jan [cited 2019 apr 30];76(1):80–5. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24367123 jean-pierre p, winters pc, ahles ta, antoni m, armstrong fd, penedo f, et al. prevalence of selfreported memory problems in adult cancer survivors: a national cross-sectional study. j oncol pract [internet]. 2012 jan [cited 2019 may 1];8(1):30–4. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/22548008 boyes aw, girgis a, d’este ca, zucca ac, lecathelinais c, carey ml. prevalence and predictors of the shortterm trajectory of anxiety and depression in the first year after a cancer diagnosis: a populationbased longitudinal study. j clin oncol [internet]. 2013 jul 20 [cited 2019 apr 24];31(21):2724–9. available from: http://ascopubs.org/doi/10.1200/ jco.2012.44.7540 osborn rl, demoncada ac, feuerstein m. psychosocial interventions for depression, anxiety, and quality of life in cancer survivors: meta-analyses. int j psychiatry med [internet]. 2006 mar 23 [cited 2019 apr 24];36(1):13–34. available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16927576 conley cc, bishop bt, andersen bl. emotions and emotion regulation in breast cancer survivorship. healthc (basel, switzerland) [internet]. 2016 aug 10 [cited 2019 apr 24];4(3). available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27517969 garlick m, wall k, corwin d, koopman c. psychospiritual integrative therapy for women with primary breast cancer. j clin psychol med settings [internet]. 2011 mar 23 [cited 2019 apr 24];18(1):78– 90. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/21344265 henselmans i, helgeson vs, seltman h, de vries j, sanderman r, ranchor a v. identification and prediction of distress trajectories in the first year after a breast cancer diagnosis. heal psychol [internet]. 2010 [cited 2019 apr 24];29(2):160–8. avai l a bl e fr om : h t t p: / / doi . apa . org/ getdoi.cfm?doi=10.1037/a0017806 stanton al. what happens now? psychosocial care for cancer survivors after medical treatment completion. j clin oncol [internet]. 2012 apr 10 [cited 2019 apr 24];30(11):1215–20. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22412133 buiting hm, van ark mac, dethmers o, maats epe, stoker ja, sonke gs. complex challenges for patients with protracted incurable cancer: an ethnographic study in a comprehensive cancer centre in the netherlands. bmj open [internet]. 2019 mar 30 [cited 2019 apr 24];9(3):e024450. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 30928932 lazarus rs. emotions and interpersonal relationships: toward a person-centered conceptualization of emotions and coping. j pers [internet]. 2006 feb [cited 2019 apr 24];74(1):9–46. available from: http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16451225 vos ms, putter h, van houwelingen hc, de haes hcjm. denial and social and emotional outcomes in lung cancer patients: the protective effect of denial. lung cancer [internet]. 2011 apr [cited 2019 may 2]; 72(1): 119–24. ava i la bl e fr om : ht t p:/ / www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20705356 chandra p, desai g. denial as an experiential phenomenon in serious illness. indian j palliat care [internet]. 2007 [cited 2019 apr 24];13(1):8. available from: http://www.jpalliativecare.com/text.asp?2007/13/1/ 8/37184 henson ke, brock r, charnock j, wickramasinghe b, will o, pitman a. risk of suicide after cancer diagnosis in england. jama psychiatry [internet]. 2019 jan 1 [cited 2019 apr 30];76(1):51. available from: http://archpsyc.jamanetwork.com/article. aspx?doi=10.1001/jamapsychiatry.2018.3181 steiner jl, wagner cd, bigatti sm, storniolo am. depressive rumination and cognitive processes associated with depression in breast cancer patients and their spouses. fam syst health [internet]. 2014 dec [cited 2019 apr 30];32(4):378–88. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25000223 whitaker kl, watson m, brewin cr. intrusive cognitions and their appraisal in anxious cancer patients. psychooncology [internet]. 2009 nov [cited 2019 apr 30];18(11):1147–55. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19140125 nipp rd, el-jawahri a, fishbein jn, eusebio j, stagl jm, gallagher er, et al. the relationship between coping strategies, quality of life, and mood in patients with incurable cancer. cancer [internet]. 2016 jul 1 [cited 2019 apr 24];122(13):2110–6. available from: http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27089045 peter roy-byrne m. self-criticism and self-compassion: a mindfulness approach. nejm j watch [internet]. 2018 nov 5 [cited 2019 apr 24];2018. available from: https://www.jwatch.org/na47790/2018/11/05/selfcri tici sm-an d-self-compassion-mindfulnessapproach nurasyikin z, ihsani mm, . z, syed zulkifli sz, nahar azmi m, fuad i, et al. depression, anxiety, stress and perceived social support among breast cancer survivors in tertiary hospital in malaysia. kne life sci [internet]. 2018 may 17 [cited 2019 may 2]; 4(4): 232. ava i la bl e fr om : ht t ps: / / knepublishing.com/index.php/kne-life/article/ view/2282 smith sm, cousins g, clyne b, allwright s, o’dowd t. shared care across the interface between primary and specialty care in management of long term conditions. cochrane database syst rev [internet]. 356 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 348–356 2017 feb 23 [cited 2019 may 2];2:cd004910. available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/28230899 moore s, leung b, bates a, ho c. social isolation: impact on treatment and survival in patients with advanced cancer. j clin oncol [internet]. 2018 dec 28 [cited 2019 apr 24];36(34_suppl):156–156. available from: h t t p : / / a s c o p u b s . o r g / d o i / 1 0 . 1 2 0 0 / jco.2018.36.34_suppl.156 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode ekspositori tentang meal planning terhadap pola makan pasien dm tipe 2 thatit nurmawati 1 , yeni kartika sari 2 , mitria setyaningsih 3 1,2,3 program studi ners, stikes patria husada blitar info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 28/12/2018 disetujui, 31/12/2018 di publikasi, 31/12/2018 kata kunci: metode ekspositori, meal planning, dm tipe ii, pola makan penderita diabetes mellitus (dm) memiliki resiko komplikasi dan terjadi kematian. namun pengelolaan penderita dm tipe ii belum dilaksanakan secara optimal dan terpadu. pendidikan kesehatan metode ekspositori terdiri dari tiga tahap yaitu penjelasan materi, tanya jawab dan penugasan tentang meal planning dapat diupayakan untuk mengatasi kasus dm dari pola makannya . penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan metode ekspositori tentang meal planning terhadap pola makan penderita dm tipe ii. desain penelitian menggunakan quasy experiment dengan non equiva-lent control group design. populasi penderita dm tipe ii sejumlah 210 orang. tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purpo-sive sampling. sampel dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan jumlah masing-masing 20 orang pengumpulan data dilakukan di wilayah puskesmas boro kecamatan selorejo dengan mengidentifikasi responden dan memberikan questioner kepatuhan. data dianalisis dengan menggunakan wilcoxon signed rank test. hasil penelitian pada kelompok perlakuan menunjukkan ada pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode ekspositori tentang meal planning pada pasien dm tipe 2 dengan p-value 0,000. hasil uji mann whitney didapatkan hasil ada perbedaan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol dengan p-value sebesar = 0,000. metode ekspositori tentang meal planning berpengaruh terhadap pola makan penderita dm tipe ii. tenaga kesehatan dianjurkan untuk meningkatkan kegiatan pendidikan kesehatan metode ekspositori kepada penderita dm tipe ii untuk memperbaiki pola makannya.  correspondence address: doi:10.26699/jnk.v5i3.art.p257–262 257 sekolah tinggi ilmu kesehatan, kendalcentral java, indonesia p-issn : 2355-052x email: livana.ph@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) livana.ph@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/378 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 258 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 257–262 abstract patients with diabetes mellitus (dm) have a risk of complications and death. however, management of patients with type ii dm has not been implemented optimally and integratedly. expository health education method consists of three stages, namely the explanation of the material, question and answer and assignment of meal planning can be sought to overcome the case of dm from his diet. this study aims to determine the effect of expository health education about meal planning on dietary patterns of patients with type ii diabetes. the research design uses quasy experiments with non equivalent control group design. the population of type ii dm patients is 210 people. the sampling technique used in this study was purposive sampling. samples were divided into treatment groups and control groups with the number of each of the 20 people. data collection was done in boro public health center sub-district selorejo by identifying respondents and giving compliance questionnaires. the data performed using the wilcoxon signed rank test. the results of the study in the treatment group showed that there was an effect of health education with the expository method of meal planning in type 2 dm patients with a pvalue of 0,000. the results of the mann whitney test showed that there was a difference between the treatment group and the control group with a pvalue of = 0,000. the expository method of meal planning affects the diet of type ii dm patients. health workers are encouraged to increase expository health education activities for people with type ii diabetes to improve their diet. © 2018 journal of ners and midwifery effectiveness of health education using expositorial methods about meal planning on eat patterns of type 2 dm patients article information history article: received, 28/12/2018 accepted, 31/12/2018 published, 31/12/2018 keywords: ekspository, meal planning, type ii dm, eat pattern 259nurmawati, sari, setyaningsih, efektifitas pendidikan kesehatan... pendahuluan kasus diabetes mellitus (dm) merupakan gangguan menahun pada sistem metabolisme dengan ditandai adanya kadar gula darah yang tinggi dan disertai gangguan pada metabolisme lipid, protein serta karbohidrat. tingginya kadar gula menjadi masalah utamanya karena tubuh pasien dm tidak mampu memproduksi atau menggunakan hormon insulin dengan baik untuk memproses makanan (purnamasari, 2010). bahkan dengan kadar gula darah tinggi yang tidak terkontrol mengakibatkan penderita mudah mengalami infeksi (lakshinta, 2012). penderita dm ditandai dengan poliuri (peningkatan pengeluaran urin), polidipsi (peningkatan rasa haus), dan polifagia (peningkatan rasa lapar). dm disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. dm menjadi penyebab kematian dalam setiap 10 detik dengan jumlah 3,8 juta jiwa pertahun (pusdatim, 2016). kasus dm di indonesia menempati urutan keempat setelah india, cina dan amerika dengan proyeksi meningkat pada tahun 2030 dari 171 jiwa di tahun 2000 menjadi 366 jiwa. berdasarkan international diabetes federation menyebutkan bahwa dm menjadi penyebab kematian urutan ke 7. riskesdas (2013) menunjukkan proporsi penduduk dipedesaan yang menderita diabetes melitus hampir sama dengan penduduk di perkotaan. sedangkan di jawa timur sendiri prevalensi dm mencapai 1,8% pada tahun 2013 dengan jumlah yang pernah terdiagnosa sebesar 605.974 orang dan 115.424 belum terdiagnosa, untuk populasi terbesar berada di kota surabaya (riskesdas 2013, pusdatim, 2016). who memiliki peran bagi pasien dm melalui upaya pencegahan dan peningkatan kualitas hidup pasien dm. kualitas hidup dapat meningkat jika pasien dm mengetahui tentang jenis dan jumlah makanan yang tepat karena dapat mempengaruhi gula darah pasien dm sehingga mengurangi resiko komplikasinya. hasil penelitian (nur dkk, 2015) menunjukkan pola makan buruk ditandai dengan responden makan secara berlebihan tanpa memperhatikan kandungan dari makanan yang dikonsumsi mengakibatkan kadar gula darahnya menjadi buruk. pengendalian kadar gula darah juga harus diimbangi dengan jadwal makan, yaitu 2,5–3,5 jam jarak antar makan. namun mengubah kebiasaan makan pasien dm sangat sulit karena sudah menjadi pola makan dan gaya hidup jauh sebelum merasakan gejala dm. kata diet telah disepakati diganti dengan istilah perencanaan makan (meal planning) untuk memberikan kesan bagi penderita dm yang lebih mudah dijalani karena diet sering berkaitan dengan larangan jenis makanan sehingga berdampak terhadap penurunan kepatuhan pasien menjalankan diet dm (depkes ri, 2014). meal planning yang dijalankan tidak mengharuskan untuk menekankan tetapi memberikan alternative atau gambaran memilih makanan sendiri sesuai seleranya dengan batasan bagi penderita dm (pedoman diet pada diabetes melitus, 2014). pendidikan kesehatan mejadi metode untuk memperkenalkan meal planning kepada pasien dm pendidikan kesehatan merupakan bentuk upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat bersedia melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan taraf kesehatannya, mencegah timbulnya penyakit, mempertahankan taraf kesehatan yang sudah ada,memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit serta membantu pasien dan keluarga mengatasi masalah kesehatan (notoadmojo, 2013). titik berat metode pendidikan kesehatan adalah cara efektif dan efisien untuk menanamkan belajar bermakna. pendidikan kesehatan tentang meal planning bertujuan membantu pasien dm menjalankan meal planning sehingga berdampak pada perubahan pola makan. pendidikan kesehatan dengan metode penyuluhan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien menjalankan diet dalam menurunkan kadar gula darah (restuning, 2016). namun metode dengan penyuluhan seringkali membuat pasien kesulitan menerapkan hasil pendidikan kesehatan setelah sampai di rumah. maka perlu juga diberikan pendidikan yang berisi tugas tentang materi pendidikan kesehatan berkaitan dengan hal tersebut peneliti ingin mengkombinasikan metode pendidikan kesehatan antara ceramah, diskusi serta pemberian tugas (metode ekspositori). menurut gunowibowo 2008 mengatakan metode ekpositori dapat membantu responden meretensi pengetahuan yang disampikan secara optiml sehingga bisa dilakukan dengan tepat. maka setelah pelaksanaan pendidikan kesehatan metode ekspositori dapat meningkatkan pengetahuan secara optimal pada pasien dm. materi yang ditekankan pada pendidikan kesehatan tersebut adalah meal planning untuk membantu pasien dm mengkontrol kadar gula darahnya. 260 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 257–262 bahan dan metode jenis penelitian ini adalah quasy experiment (eksperimen semu) dengan desain pretest-posttest with control group design. pemberian intervensi berupa pendidikan kesehatan metode ekpositori tentang meal planning selama 1x60 menit sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan perlakuan langsung. pretest kelompok perlakuan dilakukan sebelum intervensi dan posttest dilakukan setelah intervensi pada hari ke12 (2 minggu setelah intervensi). kelompok kontrol juga dilakukan pre-test dan post-test pada waktu yang bersamaan dengan kelompok perlakuan, intervensi kelompok control. populasi penelitian sebanyak 54 orang pasien dm tipe 2. sampel diperoleh dengan teknik purposive sampling sesuai kriteria inklusi: pendidikan minimal smp, bisa baca tulis, kooperatif, indra penglihatan dan pendengaran baik, menderita dm kurang dari 6 tahun, rutin periksa di puskesmas boro kecamatan selorejo kabupten blitar dan ekslusi: responden tidak mengikuti perlakuan sampai selesai. sampel sebanyak 40 orang kemudian terbagi menjadi kelompok perlakuan dengan pendidikan kesehatan metode ekspositori tentang meal planning selama 1x60menit dan kelompok kontrol masing-masing 20 orang. variable bebas penelitian ini adalah pemberian pendidikan kesehatan metode ekpositori dan variable tergantungnya adalah pola makan pasien dm tipe 2. uji wilcoxon signed rank digunakan untuk mengukur pemberian kesehatan metode ekspositori tentang meal planning dengan pola makan pasien dm tipe 2. uji beda sebelum dan setelah intervensi kelompok perlakuan dan control menggunakan mann whitney. hasil penelitian berdasarkan penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: distribusi frekuensi karakteristik responden pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol f % f % status perkawinan kawin 18 90 18 90 janda/duda 2 10 20 100 usia 31-40 2 10 3 15 41-50 3 15 4 20 51-60 12 60 13 65 >60 3 15 0 0 profesi tidak bekerja 2 10 3 15 buruh 9 45 10 50 wiraswasta 8 40 7 35 petani 1 5 0 0 pendidikan smp 15 75 17 85 sma 2 25 3 15 lama menderita dm (tahun) 1 2 10 0 0 2 6 30 5 25 3 3 15 2 10 4 2 10 3 15 5 2 10 9 45 6 5 25 1 5 karakteristik perlakuan kontrol f % f % jenis kelamin laki-laki 9 45 8 40 perempuan 11 55 12 60 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di puskesmas boro, mei 2017 karakteristik perlakuan kontrol perbedaan pola makan responden sebelum dan sesudah pemberian health education kelompok n mean rank p perlakuan sebelum edukasi 20 0,00 0,00 setelah edukasi 20 10,5 kontrol sebelum edukasi 20 1,75 0,785 setelah edukasi 20 2,5 tabel 2 perbedaan pola makan responden sebelum dan sesudah pemberian health education di puskesmas boro, mei 2017 berdasarkan tabel di atas menunjukkan perbedaan bermakna sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan (p=0,00) . tabel 2 menunjukkan ada perbedaan pola makan pasien dm setelah diberikan health edukasi dibandingkan dengan kontrol. 261nurmawati, sari, setyaningsih, efektifitas pendidikan kesehatan... pembahasan distribusi responden menggambarkan sebagian besar berjenis kelamin perempuan baik pada kelompok kontrol (60%) maupun perlakuan (55%) dengan rentang usia antara 51–60 tahun. menurut damayanti (2010) adanya faktor resiko pada jenis kelamin perempuan mengakibatkan kecenderungan untuk mengidap dm, hal ini berkaitan dengan wanita cenderung memiliki indeks massa tubuh lebih besar akibat siklus bulanan yang mengakibatkan distribusi lemak terakumulasi. pada kehamilan terjadi ketidakseimbangan hormonal, progresteron menjadi tinggi, sistem dalam tubuh merangsang sel berkembang termasuk pada janinnya maka tubuh akan memberikan sinyal lapar dan pada puncaknya metabolisme tubuh tidak bisa menerima langsung asupan kalori dan menggunakan secara total akibatnya terjadi peningkatan gula darah selama kehamilan. penelitian ini juga sejalan dengan sousa (2005) yang mengatakan bahwa rata-rata pasien dm yang sedang berada di pusat perawatan diabetes pada usia antara 53–60 tahun. menurut irawan 2010 juga menunjukkan bahwa prevalensi umur dengan kejadian diabetes juga meningkat sampi 50% pada usia diatas 60 tahun. pendidikan responden sebagian besar smp atau berada pada level pendidikan menengah pertama. notoadmojo (2013) mengatakan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah mengembangkan pengetahuan dan teknologi. berdasarkan uji mann whitney menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan dengan kelompok control (p=0,00). health education memegang peran penting dalam penatalaksanaan kasus diabetes mellitus dengan meningkatkan pengetahuan dan informasi pasien sehingga mempengaruhi pola makannya. hal tersebut terlihat pada hasil penelitian dengan ditunjukkan bahwa responden sebelum dan sesudah perlakuan mengalami perbedaan bermakna (p=0,00) pada pola makannya. menurut notoadmojo (2013) health education memiliki tujuan untuk memelihara dan meningkatkan taraf kesehatannya. responden juga menunjukkan selalu berusaha memenuhi kebutuhan dietnya dengan benar berkaitan dengan jumlah, jadwal dan jenis agar selalu sehat. metode ekspositori merupakan pembelajaran dengan menekankan pada pemberian informasi mengenai definisi, prinsip, konsep serta menambahkan contoh pemecahan masalah melalui metode ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan maka sangat berpengaruh terhadap perubahan pola makan pasien dm. keberhasilan pola makan pasien dm setelah perlakuan health education juga diimbangi dengan lama pasien menderita kasus dm. sebagian besar sudah menderita dm selama 2 tahun. semakin lama responden menderita dm maka semakin merespon penyakit yang dideritanya dengan rajin mengikuti penyuluhan dan pengobatan (sukmadinata, 2009). maka peran health education sangat penting untuk memberikan informasi tentang meal planning. hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara pemberian pendidikan keehatan dengan pola makan pasien dm. hal tersebut juga dilihat dari penurunan angka mean rank pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan control. berbeda dengan risnawati 2014 ada hubungan antara pendidikan kesehatan dengan ketidakteraturan pola mkan yang mengakibatkan komplikasi dm. berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa health education berperan besar dalam meningkatkan taraf kesehatan pasien terutama pasien dm. tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelaksana penatalaksanaan kasus dm hendaknya memiliki kemampuan dan meningkatkan frekuensi health education terutama tentang meal planning sehingga mampu mengubah pola makan pasien dm menjadi lebih baik. kesimpulan dan saran kesimpulan ada perbedaan pola makan pasien dm tipe 2 sebelum dan sesudah pemberian health education dengan metode ekspositori tentang meal planning pada kelompok perlakuan (p=0,00) ada pengaruh pemberian health education dengan metode ekspositori tentang meal planning terhadap pola makan pasien dm dibandingkan dengan control (p=0,00) saran perlu pengukuran kadar gula darah pada saat sebelum dan sesudah perlakuan untuk memantau perubahan kadar gula darah pasien dm tipe 2. metode ekspositori dapat dikembangkan sebagai inovasi pada program penatalaksanaan kasus dm tipe 2. daftar pustaka damayanti, laili. (2010). diabetes dan hipertensi wanita le bih berisik o. ht tp: //www. herbali tas.com/ diabetes-hipertensiwanita-lebih-beresiko 262 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 257–262 depkes.(2014). profil kesehatan indonesia. kementerian kesehatan republik indonesia gunowibowo, p. (2008). efektivitas pendekatan realistik dalam meningkatan kemampuan menyelesaikan soal cerita dan sikap terhadap matematika ditinjau dari kemampuan awal siswa kelas iv sd di kecamatan purworejo kabupaten purworejo. tesis, surakarta: universitas sebelas maret. irawan, d. (2010). prevalensi dan faktor risiko kejadian diabetes melitus tipe 2 di daerah urban indonesia (analisa data sekunder riskesdas 2007). tesis. universitas indonesia. lakshnita, n.2012. anak aktif bebas diabetes: tips simpel menangani diabetes mellitus pada anak. yogyakarta: javalitera. nur, a., fitria, e., zulhaida, a., dan hanum, s. (2015). media litbangkes, vol. 26 no. 3. 145-150. notoadmojo.(2013). ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta notoatmojo. (2013). promosi kesehatan teori dan aplikasinya. cetakan 2.jakarta: rineka cipta profil kesehatan provinsi jawa timur. (2012). dinas kesehatan provinsi jawa timur. purnamasari, h., gunarso, u., dan rujito, l. (2010), overweight sebagai faktor resiko low back pain pada pasien poli saraf rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto, mandala of health. volume 4, nomor 1. pusat data dan informasi. (2016). http://www.depkes. go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/ situasi-balita-pendek-2016.pdf. restuning, p. (2015) efektifitas edukasi diabetes dalam meningkatkan kepatuhan pengaturan diet pada diabetes melitus tipe 2. mutiara medika vol.16 no.1:37 4. riskesdas. (2013). badan penelitian dan pengembangan kesehatan.kementerian kesehatan ri. risnasari, r. (2014). hubungan tingkat keptuhan diet pasien diabetes mellitus dengan munculnya komplikasi dipuskesmas pesantren ii kota kediri. sukmadinata, n. s.(2009). metode penelitian pendidikan, bandung. remaja rosdakarya sousa, v.d. & zauszniewski, j.a. toward a theory of diabetes self-care management. the journal of theory construction & testing. 2005, 9 (2):6167. 166 hubungan kinerja perawat profesional dengan praktik klinik keperawatan medikal bedah mahasiswa profesi ners di rsud jayapura propinsi papua (relationship between professional nurse performance with clinical practice of nursing student at medical surgical nursing in hospital jayapura papua province) john toding padang, novita medyati program studi ilmu keperawatan, fakultas kedokteran universitas cenderawasih fakultas kesehatan masyarakat universitas cenderawasih e-mail: john.todingpadang@yahoo.com abstract: clinical practice experience is a kind of learning that must be done in nursing education. result of job performance of an organization needs measurement standard so the assessment of performance is an essential aspect for hospitals to improve nurse professional performance. students attendance at nursing clinical practice creates function, role and responsibility in supervisory activities of heads of wards, nurses, and clinical supervisors. purpose of this study was to assess nurse performance at jayapura hospital, province of papua in the implementation of medical surgical nursing clinical practice of nursing profession students. method: research study was descriptive with cross sectional design. research sample was73 consist of 7 heads nurse, 58 nurses, and 8 clinical instructor at inpatient rooms and 49 nursing profession students. data collected at july 2 nd until 16 th , 2014 by using selfadministered questionaire and proceeded using software. the conclusion is availability of the study average performance of nurses was high. however according to students evaluation average performance of nurses was adequate. keywords: nurse performance, clinical learning experience, medical-surgical nursing practice, nursing students pendidikan profesi ners merupakan proses pembelajaran yang menekankan pada tumbuh kembangnya kompetensi klinik untuk menjadi seorang perawat profesional. landasan tumbuh kembangnya kompetensi ini merupakan kerangka konsep pendidikan yang meliputi falsafah keperawatan sebagai profesi dan keperawatan sebagai pelayanan profesional. untuk memperoleh kompetensi tersebut diperlukan suatu seting pengalaman belajar melalui praktik keperawatan yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa profesi ners untuk dapat menerapkan ilmu dan kiat keperawatan secara terintegrasi pada tatanan layanan kesehatan. karena tatanan layanan kesehatan tersebut merupakan suatu muara yang akan mewujudkan penampilan seorang perawat profesional. kompetensi keperawatan medikal bedah merupakan salah satu kompetensi klinik dalam kurikulum profesi ners yang sangat dominan dan mutlak harus dicapai di tatanan klinik. pencapaian tersebut harus melalui pengalaman praktik pembelajaran klinik keperawatan yang terdiri dari beberapa tingkatan yaitu pemaparan, partisipasi, identifikasi, internalisasi, dan diseminasi (nicklin & kenworthy, 2008). penelitian yang dilakukan oleh ortom (dalam billings & halstead, 2005), menyatakan bahwa pembelajaran praktik klinik sangat dipengaruhi oleh iklim dan sistim di tatanan klinik. pada penelitian lain mengenai efektivitas bimbingan, menyatakan bahwa pembimbing klinik sangat berperan penting dalam perkembangan pencapaian pengetahuan, sikap, dan keterampilan psikomotor seorang mahasiswa (spouse dalam dorothy, 2002). keberadaan mahasiswa profesi ners dalam melakukan praktik klinik keperawatan medikal bedah di institusi layanan kesehatan dalam hal ini rumah sakit, menuntut fungsi, peran, dan tanggung acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p166-170 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 167 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.166-169 jawab perawat baik sebagai kepala ruang perawatan, pembimbing klinik maupun sebagai perawat pelaksana untuk melakukan proses bimbingan klinik. peran dan tanggung jawab kepala ruang perawatan, pembimbing klinik, dan perawat pelaksana dalam kegiatan peserta praktik klinik keperawatan medikal bedah sangat menentukan keberhasilan kurikulum profesi ners. untuk mewujudkan keberhasilan tersebut maka diperlukan standar kinerja sebagai penilaian penampilan kerja perawat dalam organisasi rumah sakit. penilaian kinerja perawat merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas personal dan usaha untuk memperbaiki unjuk kerja perawat dalam sistim layanan kesehatan. ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses praktik keperawatan klinik, diantaranya adalah faktor klien, wahana praktik, perawat yang bertugas di tempat praktik, karakteristik praktikan. keempat faktor tersebut saling mempengaruhi dan berdampak positif dalam peningkatan layanan kesehatan maupun pencapian tujuan belajar praktik klinik keperawatan (nicklin & kenworthy, 2008). salah satu masalah dalam kegiatan praktik klinik keperawatan medikal bedah adalah belum maksimalnya peran pembimbing klinik keparawatan dan kehadiran praktikan profesi ners masih dianggap sebagai tenaga tambahan. berdasarkan hasil survey pada studi pendahuluan, diperoleh data bahwa hanya ada 4 perawat yang bertugas baik di ruang perawatan penyakit dalam, ruangan perawatan bedah, ruangan perawatan intensif, dan kamar bedah, yang sudah dibekali dengan pelatihan tentang konsep “clinical instructor”. keempat perawat tersebut mempunyai peran dan tanggung jawab baik sebagai kepala ruang perawatan maupun sebagai pembimbing klinik. karena masing-masing mengemban dua tanggung jawab besar maka tingkat kesibukannya cukup tinggi sehingga memiliki keterbatasan waktu dalam proses bimbingan kepada mahasiswa praktikan. hal tersebut berdampak pada penurunan pencapaian kompetensi klinik bagi para praktikan. dilandasi masalah tersebut, maka perlu dilakukan suatu proses identifikasi melalui tahapan penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan kinerja perawat profesional dengan praktik klinik keperawatan medikal bedah mahasiswa profesi ners di rsud jayapura provinsi papua. tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan kinerja perawat profesional dengan praktik klinik keperawatan medikal bedah mahasiswa profesi ners di rsud jayapura provinsi papua. hasil penelitian ini akan bermanfaat dalam penentuan standar kinerja pembimbing klinik yang dapat mengakomodasi pencapaian kompetensi klinik sesuai kurikulum berbasis kompetensi bagi para mahasiswa profesi ners. metode penelitian penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional studi. selama proses penelitian, sebanyak 73 responden bersedia untuk berpartisipsi terdiri dari 7 kepala ruang perawatan, 8 pembimbing klinik, dan 58 perawat pelaksana. adapun teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. selanjutnya terhadap responden praktikan yang dilibatkan sebagai responden silang sebanyak 49 mahasiswa profesi ners yang sedang melaksanakan praktik klinik keperawatan medikal bedah selama 3 bulan di rsud jayapura provinsi papua. pengumpulan data dilakukan dengan cara survey dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji coba dan dianalisa dengan menggunakan sistim komputerisasi. variabel yang diteliti adalah kinerja perawat dalam proses bimbingan praktik klinik keperawatan medikal bedah pada mahasiswa profesi ners yang meliputi pelaksanaan tanggung jawab, ketaatan terhadap fungsi, tugas dan tanggung jawab, dan kerjasama. data dianalisa secara deskriptif dengan hasil prosentase, kemudian dilakukan uji mean untuk masing-masing sub variabel kinerja baik kepala ruang perawatan, pembimbing klinik, dan perawat pelaksana. hasil penelitian hasil penelitian disajikan dalam tabel berikut ini. tabel 1 kinerja kepala ruang perawatan dalam pelaksanaan praktik klinik keperawatan mahasiswa profesi ners di rsud jayapura, juli 2014 kategori kinerja penilaian kepala ruang mahasiswa profesi ners f % f % kinerja rendah (1-1,750) 0 0 0 0 kinerja kurang (1,751-2,500) 0 0 6 12,3 kinerja cukup (2,501-3,250) 1 17,7 23 46,9 kinerja tinggi (3,251-4,000) 6 82,3 20 40,8 tabel 2 kinerja perawat pelaksana dalam pelaksanaan praktik klinik keperawatan mahasiswa profesi ners di rsud jayapura, juli 2014 padang dan medyanti, hubungan kinerja…. 168 kategori kinerja penilaian perawat pelaksana mahasiswa profesi ners f % f % kinerja rendah (1-1,750) 0 0 0 0 kinerja kurang (1,751-2,500) 3 5,2 11 22,5 kinerja cukup (2,501-3,250) 12 21,7 23 46,9 kinerja tinggi (3,251-4,000) 43 74,1 15 30,6 tabel 3 kinerja pembimbing klinik dalam pelaksanaan praktik klinik keperawatan mahasiswa profesi ners di rsud jayapura, juli 2014 kategori kinerja penilaian pembimbing klinik mahasiswa profesi ners f % f % kinerja rendah (1-1,750) 0 0 0 0 kinerja kurang (1,751-2,500) 2 25,0 11 23,4 kinerja cukup (2,501-3,250) 4 50,0 21 42,9 kinerja tinggi (3,251-4,000) 2 25,0 17 34,7 pembahasan kinerja kepala ruang perawatan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kategori kinerja kepala ruang perawatan dalam pelaksanaan bimbingan praktik klinik keperawatan medikal bedah berdasarkan penilaian sendiri kepala ruang perawatan dan penilaian dari mahasiswa profesi ners yang sedang melaksanakan kegiatan praktik keperawatan medikal bedah. adapun kategori tersebut yaitu kinerja tinggi 82,3% responden berdasarkan penilain sendiri kepala ruang perawatan dan kinerja cukup 17,7% responden berdasarkan penilaian mahasiswa profesi ners (tabel 1). dari perbedaan tersebut dapat disimpulkan kinerja kepala ruang perawatan belum maksimal dalam melakukan proses bimbingan klinik bagi mahasiswa profesi ners. hal ini sesuai dengan penilaian mahasiswa profesi ners yang menerima perlakukan bimbingan klinik keperawatan. setelah dilakukan uji mean, maka diketahui rerata kinerja kepala ruang perawatan menurut penilaian sendiri dalam pelaksanaan praktik klinik keperawatan medikal bedah dengan kategori tinggi meliputi pelaksanaan tanggung jawab (3,516), ketaatan terhadap fungsi, tugas, dan tanggung jawab (3,462), dan kerjasama (3,623). sedangkan kinerja kepala ruang perawatan menurut mahasiswa profesi ners yang melaksanakan praktik keperawatan medikal bedah dengan kategori cukup yang meliputi pelaksanaan tanggung jawab (3,256), ketaatan terhadap fungsi, tugas, dan tanggung jawab (3,146), dan kerjasama (3,221) (tabel 2). hasil uji mean menunjukkan bahwa tanggung jawab kepala ruang perawatan juga belum maksimal. hal ini disebabkan oleh karena adanya perangkapan jabatan oleh kepala ruang perawatan baik sebagai kepala ruang perawatan maupun sebagai pembimbing klinik keperawatan sehingga tidak ada kesesuaian antara kemampuan dan beban kerja yang bersifat rutinitas. setiap kepala ruang perawatan memiliki kapasitas untuk menyelesaikan berbagai tugas dalam pekerjaan yang meliputi kemampuan intelektual, fisik dan sikap profesional. jika ada kesesuai antara kemampuan dan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kepala ruang perawatan, maka secara langsung akan memotivasi peningkatan prestasi kerja staf perawatan (clarke, 2004). kinerja perawat pelaksana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kategori kinerja perawat pelaksana dalam pelaksanaan bimbingan praktik klinik keperawatan medikal bedah berdasarkan penilaian sendiri perawat pelaksana dan penilaian dari mahasiswa profesi ners yang sedang melaksanakan kegiatan praktik keperawatan medikal bedah. adapun kategori tersebut yaitu kinerja tinggi 74,1% responden berdasarkan penilain sendiri perawat dan kinerja cukup 46,9% responden berdasarkan penilaian mahasiswa profesi ners (tabel 3). hasil uji mean menunjukkan bahwa tanggung jawab perawat pelaksana juga belum maksimal. hal ini disebabkan kurangnya penjelasan akan uraian prosedural kegiatan praktik bagi mahasiswa, sehingga secara keseluruhan para perawat pelaksana yang ada menganggap bahwa mahasiswa yang sedang berpraktik pada institusi layanan kesehatan adalah sebagai tenaga tambahan yang meringankan beban kerja bagi perawat pelaksana. perawat pelaksana cenderung menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada 169 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm.166-169 mahasiswa yang sedang praktik. kebiasaan ini menjadi turun-temurun setiap ada mahasiswa yang sedang praktik, dan dapat diprediksi bahwa hal tersebut bisa menimbulkan arogansi seorang peserta didik yang berdampak pada kejadian malpraktik. kinerja pembimbing klinik hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kategori kinerja pembimbing klinik dalam pelaksanaan bimbingan praktik klinik keperawatan medikal bedah berdasarkan penilaian sendiri pembimbing klinik dan penilaian dari mahasiswa profesi ners yang sedang melaksanakan kegiatan praktik keperawatan medikal bedah. adapun kategori tersebut yaitu kinerja cukup 50% responden berdasarkan penilain sendiri perawat dan kinerja cukup 42,9% responden berdasarkan penilaian mahasiswa profesi ners (tabel 3). hasil uji mean menunjukkan bahwa tanggung jawab pembimbing klinik juga belum maksimal. hal ini disebabkan oleh karena masih banyak pembimbing klinik yang belum mengikuti pelatihan bimbingan klinik. hanya ada 2 orang dari 8 orang pembimbing klinik yang sudah dibekali dengan pendidikan non formal yaitu pelatihan clinical instructur. hal ini berdampak pada kurangnya pemahaman akan konsep bimbingan bagi pembimbing klinik, kurangnya motivasi bimbingan pada mahasiswa yang sedang melaksanakan kegiatan praktik, dan output dari peserta didik dalam melaksanakan peran dan tanggung jawabnya tidak optimal. secara konsep seorang pembimbing klinik dituntut tidak hanya membantu para praktikan dalam menggunakan konsep dan teori yang berhubungan dengan praktik dan pengembangan keterampilan klinik keperawatan, namun juga harus dapat memotivasi para praktikan dalam menerima berbagai sudut pandang, tantangan dan pertanyaan dan mengembangkan komitmen sebagai praktikan klinik yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat. seorang pembimbing klinik juga perlu memperlihatkan perilaku profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. perilaku profesional tersebut tercermin pada peningkatan keinginan belajar mahasiswa, peningkatan iklim belajar yang kondusif, peningkatan rasa percaya diri bagi mahasiswa, hubungan personal yang bersifat profesional diantara sejawat perawatan dan mahasiswa bahkan klien dan keluarganya. pembimbing klnik bertanggung jawab dan bertanggung gugat untuk memberikan pengalaman belajar klinis bagi mahasiswa praktik klinik keperawatan. kemampuan kerja adalah kapasitas individu dalam menyelesaikan berbagai tugas dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan yang meliputi kemampuan intelektual, keterampilan, dan sikap. prestasi kerja akan meningkat jika ada kesesuaian antara kemampuan dan jenis pekerjaan (yasmin, 2004). analisis jabatan merupakan hal yang mendasari proses pengembangan sumber daya manusia dengan mencocokkan karakteristik individu baik pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. jika tidak ada standar kriteria dalam penentuan pembimbing klinik, maka akan berdampak pada manajemen kinerja pembimbing klinik. simpulan dan saran simpulan banyak faktor yang turut mempengaruhi pelaksanaan praktik klinik keperawatan. yang paling utama adalah kinerja dari tiap unsur yang terkait dalam kegiatan tersebut. dalam penelitian ini terdapat 4 unsur penting yang saling berhubungan erat dalam pelaksanaan praktik klinik keperawatan, yaitu kinerja kepala ruang perawatan, kinerja perawat pelaksana, kinerja pembimbing klinik keperawatan, dan antusias dari para mahasiswa sebagai peserta praktik klinik keperawatan. hasil penelitian ini menyatakan bahwa belum maksimalnya kinerja baik kepala ruang perawatan, perawat pelaksana, dan pembimbing klinik keperawatan dalam memfasilitasi para mahasiswa profesi ners dalam pelaksanaan praktik klinik keperawatan medikal bedah. hal ini akan berdampak pada pencapaian target kompetensi klinik keperawatan bagi mahasiswa yang sedang melaksanakan praktik keperawatan. pihak manajemen bidang keperawatan dan kepala diklat institusi rumah sakit beserta pihak institusi pendidikan tinggi keperawatan, hendaknya saling berkoordinasi terkait kinerja dan pencapaian target kompetensi bagi para mahasiswa keperawatan yang sedang melaksanakan praktik keperawatan klinik pada institusi pelayanan kesehatan. perlunya pengembangan keilmuan dan keterampilan klinik keperawatan melalui pendidikan non formal yaitu pelatihan pembimbing klinik bagi para perawat yang akan ditunjuk sebagai pembimbing klinik perawatan. saran pihak manajemen bidang keperawatan dan kepala diklat institusi rumah sakit beserta pihak institusi pendidikan tinggi keperawatan,hendaknya mempertimbangkan beberapa hal berikut yaitu saling berkoordinasi terkait kinerja dan pencapaian target kompetensi bagi para mahasiswa keperawatan yang sedang melaksanakan praktik keperawatan klinik pada institusi pelayanan kesehatan, perlunya pengembangan keilmuan dan keterampilan klinik keperawatan melalui pendidikan non formal yaitu pelatihan pembimbing padang dan medyanti, hubungan kinerja…. 170 klinik bagi para perawat yang akan ditunjuk sebagai pembimbing klinik perawatan, perlunya penunjukan seorang pembimbing klinik dengan kualifikasi pendidikan ners yang dapat dijadikan panutan/model, dan mengintensifkan peran pembimbing klinik dari institusi pendidikan untuk terlibat langsung dan senantiasa berkoordinasi dengan pihak wahana praktik. daftar rujukan billings & halstead. (2005). teaching in nursing professional: a guide for faculty. st. louis missouri. elsevier saunders. dorothy. (2002). pengajaran klinis dalam pendidikan keperawatan. egc. jakarta. djoerban, z. (2011). nicklin & kenworthy. (2008). teaching and assesing in nursing practice. london: scutari press. notoadmodjo, s. (2003). pengantar ilmu kesehatan dan ilmu perilaku. andi offset. yogyakarta. yasmin, t. (2004). kinerja manajemen sdm. penerbit feui 270 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 270–275 history article: received, 03/02/2020 accepted, 08/07/2020 published, 05/08/2020 article information abstract menstruation is sometimes accompanied by discomfort called pre-menstrual syndrome such as physical, psychological and emotional symptoms associated with hormonal changes. pre menstrual syndrome can be prevented by various therapies, one of which is complementary therapy, one of the effect of complementary therapy “meditation” on decreasing the intensity of premenstrual syndrome pain in young women ages 16-18 years in the youth group of jatinom village blitar 270 pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap penurunan intensitas nyeri premenstrual syndrom pada remaja putri usia 16-18 tahun di kelompok remaja desa jatinom blitar levi tina sari1, ervi suminar2 1prodi kebidanan, sekolah tinggi ilmu kesehatan patria husada blitar, indonesia 2program studi ilmu keperawatan, universitas muhammadiyah gresik, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 03/02/2020 disetujui, 08/07/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: meditasi, nyeri premenstrual sindrom, remaja putri abstrak menstruasi adakalanya disertai dengan ketidaknyamanan yang disebut dengan sindrom pre menstruasi seperti gejala fisik, psikologi dan emosional yang terkait dengan perubahan hormonal yang dapat menyebabkan seorang remaja tidak masuk sekolah bahkan stress. sindrom pre menstruasi dapat dicegah dengan berbagai terapi, salah satunya terapi komplementer, salah satunya adalah meditasi. design penelitian yang digunakan adalah pre eksperimen dengan pendekatan pre-post design, sampel penelitian berjumlah 20 reponden, analisis data yang digunakan dalam penelitian ini termasuk analisis univariat menggunakan frekuensi distribusi dan analisis bivariat menggunakan pasangan uji-t sampel. hasil penelitian menunjukan terdapat kenaikan mean antara sebelum dan sesudah sebesar 5 poin, dan value = 0.0001 <  0.05 maka terdapat pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap penurunan intensitas nyeri pre menstrual sindrom. pemberianterapi meditasi ini dapat memberikan kondisi yang rileks dimana pada kondisi rileks semua sistem tubuh akan bekerja dengan baik dan pada kondisi ini hipotalamus akan meyesuaikan dan terjadinya penurunan aktifitas sistem saraf simpatis dan menigkatkan aktifitas sistem parasimpatis. terapi meditasi dilakukan bisa setiap hari di jam senggang dan tidak mempunyai efek samping sehingga dapat menurunkan sindrom pre menstrual. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p270-275&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 271sari, suminar, pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap ... correspondence address: sekolah tinggi ilmu kesehatan patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: tinasari.levi@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p270–275 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ pendahuluan remaja yang telah masuk kedalam masa pubertas akan mengalami menstruasi (hurlock, 2004). pada masa pubertas terdapat perubahan fisik, hormonal, dan seksual, serta mampu melakukan proses reproduksi. menurut proverawati et al (2009), pada masa pubertas pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan cepat sehingga kematangan alat-alat seksual dan kemampuan reproduksi dapat tercapai pada masa ini. bagi remaja yang memasuki masa pubertas, biasanya ditandai dengan payudara yang mulai membesar, tumbuhnya rambut di bawah ketiak dan di sekitar daerah kemaluan, bertambahnya tinggi badan dalam waktu yang singkat, da n mula i munculnya jerawat ser ta menstruasi. (fajri et al, 2011) saat akan mengalami menstruasi adakalanya disertai dengan ketidaknyamanan yang disebut dengan sindrom pre menstruasi seperti gejala fisik, psikologi dan emosional yang terkait dengan perubahan hormonal (proverawati, 2009). faktor yang memegang peranan penting di sini ialah ketidakseimbangan antara hormone estrogen dan progesterone serta abnormalitas dari sekresi opiate endogen dan melantonin (maulana, 2008). surutnya estrogen dan progesterone di dalam otak dalam minggu keempat menyebabkan kegelisahan dan peningkatan ta nggapan emosi bebera pa ha ri sebelum darah keluar. sakit perut yang dirasakan juga sebenarnya disebabkan oleh kontraksi rahim untuk mengeluarkan endometr ium yang juga dipengaruhi oleh hormone prostaglandin (deasylawati p, 2010) hampir 75% wanita usia subur di seluruh dunia mengalami premenstrual syndrome (pms) dan frekuensi gejala premenstrual syndrome (pms) pada wanita indonesia yaitu 80–90% (pudiastuti, 2012). penelitian retissu et al. (2010) juga menyataka n ba hwa 90% per empuan mengalami pr emenstrual syndrome (pms). sebanyak 30–50% wanita mengalami gejala premenstrual syndrome (pms), 5% merasakan gejala cukup parah dan 10% mengalami gejala sangat parah yang berakibat ketidakhadiran di sekolah ataupun di tempat kerja selama 1–3 hari setiap bulannya (ramadani, 2012) penelitian yang dilakukan oleh american college of obstetricians and gynecologists (acog) pada tahun 2012 di srilanka dalam ardiana (2018), didapatkan hasil bahwa remaja putri yang mengalami pms sekitar 65,7%. gejala yang sering muncul yaitu perasaan sedih dan tidak memiliki harapan sebesar 29,6%. pengobatan sindrom pre menstruasi dapat dengan terapi farmakologi seperti obat anti-inflamasi non-steroid (oains) dan kontrasepsi oral kombinasi. menurut penelitian sari et al (2018), bahwa keywords: meditation, premenstrual sindrom pain, adolecents which is meditation. the research design used pre-experimental with a pre-post design approach. the sample was 20 respondents. the data analysis consisted of univariate analysis using frequency distribution and bivariate analysis using paired t-test samples. the results showed there was an increase of the mean between before and after by 5 points, and ñvalue = 0.0001 <á 0.05 then there was the effect of complementary therapy “meditation” on the decrease in the intensity of pre menstrual pain syndrome. basically, giving this meditation therapy can provide a relaxed condition where in a relaxed condition all body systems will work well and in this condition the hypothalamus will adjust and decrease the activity of the sympathetic nervous system and increase the activity of the parasympathetic system. meditation therapy can be done every day at leisure and has no side effects. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p270-275 272 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 270–275 penggunaan oains bisa menimbulkan efek samping, terutama efek pada saluran cerna. efek samping tersebut dikaitkan dengan kerja obat tersebut menghambat biosintesis prostaglandin yang merupakan substansi penting pada beberapa organ. sedangkan terapi non farmakologi yaitu terapi komplementer. hal ini dikarenakan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual (smith et al, 2004). national center for complementary/ alternative medicine (nccam) dalam widyastuti (2008), terdapat beberapa macam terapi komplementer yaitu mind-body therapy dimana akan memberikan intervensi dengan berbagai teknik untuk memfasilitasi kapasitas berpikir yang mempengaruhi gejala fisik dan fungsi tubuh. salah satu terapi komplementer adalah meditasi, menurut penelitian dari nur’aini (2016), bahwa terapi meditasi yang dapat mengurangi premenstrual syndrome, hal ini dikarenakan proses pernapasan pada meditasi dapat meningkatkan asupan oksigen ke dalam otak. meditasi merupakan pengalihan perhatian ketingkat pemikiran yang lebih dalam hingga masuk ke tingkat pemikiran yang paling dalam dan mencapai sumber pemikiran (matteson, 2006). herbert benson (dalam iskandar, 2008) mengadakan riset klinis, dengan menemukan bahwa meditasi mampu menghambat efek negative dari system simpatisyang menimbulkan sikap agresif pada manusia jika terancam. penelitian yang lain yang dilakukan menunjukan bahwa kadar melantonin yang lebih tinggi diketemukan pada orang-orang yang rutin melakukan meditasi (iskandar, 2008). kadar melantonin ini bermanfaat untuk membuat orang menjadi lebih senang dan nyaman dapat menurunkan nyeri (bock,1995). menurut hasil studi pendahuluan di kelompok remaja kelurahan jatinom seebanyak 20 remaja putri mengalami sindrom pre menstrual, 75% mengalami nyeri perut, 15% mengalami perubahan emosi dan 10% mengalami mudah letih dan pegal di seluruh tubuh. berdasarkan ulasan diatas maka peneliti meneliti tentang pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap penurunan nyeri premenstrual syndrom. tujuan penelitian ini adalah menganalisis terapi komplementer “meditasi” terhadap penurunan nyeri premenstrual syndrom. bahan dan metode design penelitian yang digunakan adalah pre eksperimen dengan pendekatan pre-post design. populasi dalam penelitian ini sebanyak 30 remaja putri. tehnik sampling menggunakan purposive sampling sehingga yang menjadi sampel penelitian berjumlah 20 reponden dengan kriteria inklusi yaitu bersedia menjadi responden, berusia 16-18 tahun, hadir dalam setiap kegiatan meditasi, mempunyai sindrom pre menstruasi dengan nyeri pada abdomen dengan gejala berulang dalam siklus menstruasi selama minggu terakhir fase luteal (fase 4 hari setelah masa puncak kesuburan, serta gejala yang muncul bukan termasuk dalam gangguan kejiwaan. tempat meditasi di balai desa jatinom mulai seninsabtu. 20 responden diberikan perlakuan terapi meditasi selama 6 kali, seminggu 3x dan dibagi menjadi 2 kelompok perkelompok berjumlah 10 responden. metode pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara. skala data yang digunakan adalah interval skala dengan nilai 0 tanpa rasa sakit, 1-4 nyeri ringan, 5-7 nyeri sedang, nyeri parah 810. pertemuan pertama responden di berikan informed consent serta mengisi skala nyeri (pretest), kemudian dilakukan meditasi ± 60 menit yang dibimbing langsung oleh peneliti (peneliti telah bersertifikat sebagai trainer acuyoga dan mediatasi). pertemuan ke enam, responden diberikan lembar skala nyeri dan mengisi jika mengalami menstruasi, serta responden diarahkan untuk mempraktekkan sendiri di rumah setiap hari pada pagi hari. suasana tempat penelitian harus nyaman tidak ramai dan terlalu banyak suara, serta diberikan alunan musik mozart. analisis data yang digunakan dalam penelitian ini termasuk analisis univariat menggunakan frekuensi distribusi dan analisis bivariat menggunakan uji paiired sampel t-test hasil penelitian data umum dari data (disajikan pada tabel 1) didapatkan bahwa, responden yang mengikuti terapi meditasi 50% berusia 18 tahun, 40% tidak pernah melakukan aktivitas fisik seperti olah raga, dan 65% responden pertama kali mengalami menstruasi kurang dari 12 tahun, serta 85% mempunyai menstruasi secara teratur. sebanyak 100% responden terhambat aktivitasnya jika terkena nyeri premstrual sindrom. 273sari, suminar, pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap ... data khusus karakteristik f % usia (tahun) 16 tahun 4 20 17 tahun 6 30 18 tahun 10 50 aktivitas fisik setiap hari 5 25 seminggu sekali 7 35 tidak pernah 8 40 pertama kali menstruasi: < 12 tahun 13 65 12 tahun 7 35 > 12 tahun 0 0 menstrual history: regular 17 85 iregular 3 15 saat pms aktitas terhambat ya 20 100 tidak 0 0 tabel 1 karakteristik reponden (n=20) kategori f % tidak nyeri 0 0 nyeri ringan 3 15 nyeri sedang 13 65 nyeri parah 4 20 tabel 2 distribusi frekuensi nyeri pre menstrual sindrom sebelum dilakukan terapi komplementer “meditasi” (n=20) dari tabel 2 menunjukkan bahwa sekitar 65% remaja putri mengalami nyeri sedang saat menjelang menstruasi. hasil diatas membuktikan bahwa terdapat kenaikan mean antara sebelum dan sesudah sebesar 5 poin, dan value=0.0001 < 0.05 maka terdapat pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap penurunan intensitas nyeri pre menstrual sindrom. pembahasan intensitas nyeri pre menstrual sindrom sebelum perlakuan terapi komplementer “meditasi” seorang wanita dengan sindrom pre menstruasi (pms) menunjukkan beberapa gejala salah satunya nyeri area perut, gejala akan semakin besar pada fase luteal. (brukman et al, 2012). nyeri pada saat premenstrual sindrom akan sangat mengganggu aktivitas remaja wanita yang notebene nya mempunyai jadwal rutin setiap senin-sabtu terdapat kegiatan pembelajaran. hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 65% remaja putri mengalami nyeri sedang dan 20% mengalami nyeri hebat, sehingga 100% remaja putri yang mengalami nyeri premenstrual sindrom terhambat aktivitasnya, bahkan menurut hasil observasi peneliti mereka sampai izin masuk kelas. hal ini diperkuat oleh penelitian dari kurniawati (2008), bahwa siswa peempuan di smk 1 batik surakarta pernah mengalami nyeri dismenorhea dan meminta izin untuk pulang karena tidak tahan terhadap nyeri yang dirasakan dan sebanyak 52% tidak dapat melakukan aktivitasnya dengan baik. dari data demografi penelitian menunjukkan bahwa 40% responden tidak pernah melakukan aktivitas fisik dan hanya 35% melakukan aktivitas fisik seminggu sekali. hal ini sesuai dengan penelitan dari sari (2018), bahwa sebanyak 75% responden melakukan aktivitas fisik yang tidak teratur sehingga 55% mengalami dismenorhea pada kategori nyeri tabel 3 distribusi frekuensi nyeri pre menstrual sindrom sesudah dilakukan terapi komplementer “meditasi” (n=20) kategori f % tidak nyeri 15 75 nyeri ringan 5 25 nyeri sedang 0 0 nyeri parah 0 0 total 20 100 hasil dari tabel 3 membuktikan bahwa sesudah dila kuka n ter a pi komplementer “ medita si” responden menjadi tidak nyeri premenstrual sindrom sebanyak 65%. n mean t asymp.sig (2tailed) sebelum 2 5.850 sesudah 0 0.500 16.797 0.0001 tabel 3 nilai distribusi numeric dan paired sample ttest (n=20) 274 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 270–275 sedang. salah satu penyebab terkena nyeri perut saat premenstrual sindrome disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik. hal ini disebabkan karena aktifitas fisik seperti olah raga akan melepaskan hormon endorphine, endorhphine sejenis opioid peptida endogen yang berfungsi sebagai neurotransmitter dan memiliki struktur yang sama dengan morphine sehingga dapat menghilangkan rasa sakit. (rokade, 2011). menurut penelitian dari woodyard (2011) bahwa responden yang melakukan aktivitas fisik yaitu yoga (la tiha n fsik da n meditasi) a ka n meningkatkan kualitas hidup mereka dikarenakan terjadi penurunan dari gejala pms. ditambahkan dari penelitian viandini et al (2018), bahwa terjadi pengaruh yang signifikan sesudah diberikan meditasi terhadap nyeri premenstrual syndrom. intensitas nyeri pre menstrual sindrom sesudah perlakuan terapi komplementer “meditasi” faktor usia sangat berpengaruh terhadap sensitifitas pada nyeri, hal ini disebabkan karena faktor biokimia dan fisiologi serta terjadi perubahan biokimia dalam jalur somatosensorik yang terlibat dalam pengolahan dan persepsi nyeri (nasriati e al, 2016). dalam penelitian kriteria responden berusia remaja yaitu 16-18 tahun, mempunyai nyeri premenstrual sindrome dengan intensitas nyeri sedang sebanyak 65%. kemudian remaja tersebut diberikan perlakuan dengan terapi komplementer “meditasi” dimana terapi meditasi diberikan selama 6x dalam waktu 2 minggu. maka hasil yang diperoleh bahwa 75% responden pada katagori tidak nyeri. pernyataan tersebut ditunjang oleh penelitian dari haruyama (2013), bahwa dalam proses meditasi terdapat tahap relaksasi dimana tehnik relaksasi dapat membuat menjadi dominan di sistem saraf pusat. jika sistem safar pusat berosilasi dengan gelombang alfa, maka menstimulasi dan mengeluarkan hormon beta endorphin. hormon beta endhorphin ini sebagai morphin alami yaitu hormon kebahagiaan. faktor lain yang membuat terapi meditasi ini berhasil dikarenakan suasana yang nyaman, terdapat alunan musik mozart sebagai pengiring dari terapi meditasi. sehingga responden merasa nyaman dan menjadi rileks. selain itu, tehnik meditasi pun mudah dipelajari hanya pengaturan nafas secara teratur dan selama 60 menit sehingga menjaga keseimbangan antara otot pernapasan diagframa dan otot perut. menurut sari (2018), bahwa menjaga keseimbangan otot perut akan meningkatkan pasokan oksigen sehingga meningkatkan energi dalam tubuh. analisis terapi komplementer “meditasi” terhadap penurunan intensitas nyeri premenstrual sindrom nyeri premenstrual sindrom terjadi akibat penurunan hormon progesteron dan labilisasi membran lisosom sehingga melepaskan enzim fosfolipase a2. enzim fosfolipase a2 akan menghidrolisis senyawa fosfolipid yang ada di emmbran sel endometrium dan menghasilkan asam arakhidonat, maka akan menghasilkan prostaglandin pge2 dan pge2á yang dapat mengakibatkan munculna rasa nyeri. hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pengaruh antara meditasi dengan penurunan intensitas nyeri premenstrual sindrom, hal ini disebabkan ka r ena r esponden ta mpa k menikma ti ter a pi komplementer “meditasi” yang dilakukannya itu, dan tidak mengeluh sesudah dilakukan terapi komplementer “meditasi” dan responden mengatakan rileks serta segar setelah melakukan terapi komplementer “meditasi” tersebut. respon tubuh terhadap pengolahan nafas dan manajemen pikiran yang berlandaskan spiritual sehingga dapat mengurangi respon stres tubuh, kerja kelenjar adrenal menurun maka terjadi pengurangan kortisol yang mengakibatkan konstruksi pembuluh darah berkurang. konstruksi dan dilatasi pembuluh darah juga diatur saaf simpatis dan parasimpatis. selain itu menurut sormin (2014), bahwa dalam keadaan yang nyaman, akan merangsag hormon endorphin dimana hormon tersebut bertindak sebagai analgesik alami, kemudian hormon endorphin akan mengontrol pembuluh dalah dalam kondisi normal dan menjaga aliran darah mengalir tanpa hamabatan. penelitian dari nasriati (2016), tentang terapi meditasi dzikir meningkatkan adaptasi nyeri pasien pasca fraktur, membuktikan terjadi perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (<0,05). begitu juga dari penelitian perlman et al (2010), membuktikan bahwa responden yang melakukan latihan meditasi memiliki ketidaknyamanan nyeri yang lebih rendah, meditasi dilakukan dua kali per minggu sehingga dapat meningkatkan toleransi nyeri pada tes sensasi dingin. pada dasarnya pemberian terapi meditasi ini dapat memberikan kondisi yang rileks dan nyaman dimana pada kondisi tersebut semua system tubuh akan bekerja dengan baik. hal ini dikarenakan, 275sari, suminar, pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap ... hipotalamus akan terstimulasi dan terjadinya penurun anaktifitas sistem saraf simpatis yang dapat meningkatkan aktifitas sistem parasimpatis. efek fisiologis dan gejala maupun tandanya akan terputus dan stres psikologis akan berkurang. terapi meditasi dapat digunakan bagi wanita yang terkena nyeri premenstrual sindrom. cara melakukan meditasi ini pun sangat mudah dipelajari yaitu dengan duduk bersila badan tegap, mengatur pola pernafasan sesuai irama dan pada keadaan yang tenang, meditasi juga dapat digunakan setiap hari pada suasana yang nyaman dan tenang. kesimpulan terdapat perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah perlakuan, maka terjadi pengaruh terapi komplementer “meditasi” terhadap penurunan intensitas nyeri pre menstrual sindrom. terapi komplementer “meditasi” dapat dilakukan oleh wanita yang terkena nyeri premenstrual sindrom saran terapi komplementer “meditasi” tidak hanya dapat dilakukan oleh wanita yang terkena pre menstrual sindrom baik gangguan psikologi maupun dismenorhea. hal ini dikarenakan terapi komplementer “meditasi” menimbulkan perasaan yang nyaman yang dapat merangsang hormon endorphin yaitu hormon kebahagiaan. terapi meditasi dilakukan bisa setiap hari di jam senggang dengan situasi yang tenang, bahkan dapat ditambahkan instrumental music dan tidak mempunyai efek samping. daftar pustaka ardiana, f (2018). korelasi tingkat stres dengan kejadian sindrom premenstruasi pada mahasiswi. journal of health science and prevention, vol.2 hal.1 bock sj, boyette m. (1995). awet muda bersama melatonin: dabara publishers, solo burkma n rt. berek & novak’s. (2012). ja ma gynecology; vol.308. no.5. hh:516-7. deasylawati p (2010). tetap happy saat menstruasi. surakarta: afra fajri, a., & khairani, m. (2011). hubungan antara komunikasi ibu-anak dengan kesiapan menghadapi menstruasi pertama (menarche) pada siswi smp muhammadiyah banda aceh. jurnal psikologi undip, ii. haedani dan bimo adi, s.psi : penerbit erlangga. haruyama, s. (2013). the miracle of endorphin. bandung: mizan pustaka hurlock, e. b. (2004). psikologi perkembangan. erlangga. kurniawati, d., (2008). pengaruh dismenore terhadap aktifitas pada siswi smk batik 1 surakarta. skripsi. fakultas ilmu kesehatan. universitas muhammadiyah surakarta. surakarta. matteson m.t. ivancevich, john m, konopaske. r. (2006). perilaku dan manajemen organisasi. jilid 1. alih bahasa: gina gania. penerjemah wibi proverawati dan misaroh (2009). menarche menstruasi pertama penuh makna.yogyakarta: nuha medika. maulana, razi. (2008). hubungan karakteristik wanita usia produktif dengan premenstrual syndrome (pms). jurnal ilmu keperawatan. vol.3. no.1, hh:15. nasriati. r, suryani.l, afandi.m.(2016). kombinasi edukasi nyeri dan meditasi dzikir meningkatkan adaptasi nyeri pasien pasca operasi fraktur. muhammadiyah journa of nursing. vol.3, no.1. hh:59-68 proverawati dan misaroh. (2009). menarche menstruasi pertama penuh makna.yogyakarta:nuha medika. ramadani, m. (2012.) premenstrual syndrome (pms). jurnal kesehatan masyarakat. vol.7, no. 1. diakses dari http://download.portalgaruda. org/article. p h p ? a r t i c l e = 2 8 4 2 7 4 & v a l = 7 0 5 6 & t i t le=premenstrual%20syndrome%20 (pms) retissu, r., sanusi, s., muhaimin, a., & rujito, l. (2010). hubungan indeks massa tubuh dengan sindroma premenstruasi. majalah kedokteran fk uki. 27(1): 1–6. diakses dari http:// www.majalahfk.uki.ac.id/ assets/majalahfile/ artikel/2010-01-artikel-01.pdf. rokade pb. (2011). release of endomorphin hormone and its effects on our body admoods: a review. international conference on chemical, biological dan enviroment sciences; 2011 dec; bangkok: iccebs sari, l.t. (2018). effectiveness of yoga movement suryanamaskar of dismenorhea pain reduction of adolecent. jurnal ners dan kebidanan. vol.5. no.1.hh.69-73 sari, wp., harahap, dh., saleh, mi (2018). prevalensi penggunaan obat anti-inflamasion-streroids (oains) pereda dismenore di fakultas kedokteran un iver si ta s sri wi ja ya pal emban g. majal ah kedokteran sriwijaya, n0.3 (juli), hh: 154-165 smith, s.f., duell, d.j., martin, b.c. (2004).clinical nursing skills: basic to advancedskills. new jersey: pearson prentice hall. widyastuti. (2008). terapi komplementer dalam keperawaan. jurnal keperawatan indonesia. vol.12 no.1 (maret) hh:53-57 woodyard c. exploring the therapeutic effects of yoga and its ability to increase quality of life. int j yoga. 2011;4(2):4954. doi:10.4103/0973-6131.85485. jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit artritis gout chilyatiz zahroh 1 , kartika faiza 2 1,2 fakultas keperawatan dan kebidanan, univeristas nahdlatul ulama surabaya info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 28/08/2018 disetujui, 13/12/2018 dipublikasi, 18/12/2018 kata kunci: artritis gout, asan urat, kompres hangat, penurunan nyeri asam urat merupakan kondisi hasil metabolisme akhir purin yang dapat menyebabkan gejala nyeri tidak tertahankan, pembengkakkan dan rasa panas di persendian. hal tersebut membuat lansia mengalami penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga pemberian kompres hangat diperlukan terhadap lansia. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kompres hangat terhadap penurunan nyeri asam urat. desain penelitian ini menggunakan pra-experimental dengan pendekatan one-group pra-post test design. populasinya adalah seluruh lansia penderita penyakit asam urat di paguyuban budi luhur surabaya sebesar 30 lansia, besar sampel 30 lansia. teknik pengambilan sampel menggunakan total sam-pling. variabel independen kompres hangat dan variabel dependen nyeri. instrumen menggunakan pre-post pemberian kompres hangat.hasil penelitian menunjukkan dari 30 responden, sebagian besar (70%) setelah dilakukan kompres hangat skala nyeri sedang dan hampir setengahnya (30%) nyeri ringan. hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nilai kemaknaan = 0,05. didapatkan nilai = 0,000 yang berarti < maka h0 ditolak artinya ada pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit asam urat di paguyuban lansia budi luhur surabaya. simpulan penelitian ini adalah pemberian kompres hangat dapat mempengaruhi penurunan nyeri pada seseorang yang menderita penyakit asam urat, sehingga diharapkan paguyuban lansia dapat menerapkan serta meningkatkan pemberian kompres hangat terhadap lansia penderita penyakit asam urat.  correspondence address: 182 universitas nahdlatul ulama, surabaya east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: chilyatiz@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) doi : 10.26699/jnk.v5i3.art.p182-187 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/328 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ the effectiveness of warm compress to the reduction of pain in gout artritical disease history article: abstract received, 28/08/2018 accepted, 13/12/2018 published, 18/12/2018 keywords: gout arthritis, uric acid, warmcompress, pain reduction uric acid is a condition of the end result of purine metabolism that can cause pain symptoms unbearable, swelling and hot feeling in the joints. this makes the elderly experience a decrease in ability to perform daily activities. so that warm compress are needed on the elderly. this study aimed to determine the effectiveness of giving warm compress to reduce uric acid pain. this study used pre-experiment with one-group approach of pre-post test design. the population was all elderly people with uric acid disease in paguyuban budi luhur surabaya as 30 elderly. the sample was 30 respondents. the independent variable was warm compress and the dependent variable was pain. the instruments to measured pain used pain scale. the results showed 30 respondents, mostly (70%) after warm compresses had moderate pain scale and nearly half (30%) had mild pain. the test results by wilcoxon sign rank test with significance value = 0.05. obtained value = 0.000, which meant < then h0 rejected meant there was an effect of warm compress to the reduction of pain in people with uric acid disease in paguyuban lansia budi luhur surabaya. the conclusion of this study was the warm compresses could affect the reduction of pain in someone suffering from uric acid disease, so it is expected to paguyuban lansia can apply and improve the provision of warm compresses to elderly people with gout disease. © 2018 journal of ners and midwifery zahroh, faiza, pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri 183 184 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 182–187 pendahuluan usia harapan hidup di indonesia meningkat, yaitu 70,7 tahun. lansia merupakan kelompok usia yang rentan terhadap kesakitan akibat penurunan fungsi dalam tubuh. keluhan terkait gangguan musculoskeletal (nyeri) menjadi keluhan utama lansia di paguyupan lansia budi luhur surabaya. nyeri dirasakan pada pagi hari dan dapat menyebabkan gangguan pemenuhan kebutuhan dan aktivitas sehari-hari. nyeri sendi tersebut berkaitan dengan metabolism purin yang tidak optimal di dalam tubuh sehingga terjadi penumpukan. hal tersebut dikenal dengan penyakit gout arthritis. jumlah lansia di indonesia sebanyak 24,24% dari total jumlah penduduk, dan jawa timur menduduki urutan ke 3 setelah yogjakarta dan jawa tengah. angka kesakitan lansia tahun 2014 sebesar 25,05 persen menunjukkan bahwa satu dari empat lansia mengalami sakit (badan pusat statistik, 2015). keluhan yang sering disampaikan lansia adalah nyeri sendi. nyeri sendi erat kaitannya dengan gout arthritis. angka kejadian penyakit asam urat di jawa timur adalah 26,4% (kemenkes ri, 2013). studi pendahuluan pada paguyuban lansia budi luhur surabaya didapatkan hasil 65% mengeluh nyeri sendi dan kadar asam urat di atas kadar normal. artritis gout merupakan hasil metabolisme purin didalam tubuh yang kadar tidak boleh berlebih. fak-tor pemicu adalah makanan dan senyawa lain yang banyak mengandung protein. penatalaksanaan diet untuk gout arthritis (ga) masalah diet rendah purin (kowalak, 2011). gejala nyeri yang dirasakan pen-derita dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang berpengaruh terhadap penampilan fisik da menu-runnya fungsi tubuh pada kehidupan sehari-hari. penderita ga dapat mengalami gangguan mobilitas fisik, gangguan tidur, bahkan gangguan interaksi sosial. sehingga hal tersebut perlu mendapat pena-nganan segera. pentalaksanaan pada penderita asam urat dapat dengan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan (kolaboratif). pengobatan dilakukan secara dini agar blm tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, pengobatan asam urat bertujuan menghilangkan keluhan nyeri sendi dan pera-dangan dengan obat-obat (aru, 2010). standart akreditasi rumah sakit yang dikeluarkan oleh jci (joint commision international) tahun 2011 bahwa hak pasien untuk mendapatkan asesmen dan pengelolaan nyeri. pasien dibantu dalam pengelolaan rasa nyeri secara efektif. pasien yang kesakitan mendapat asuhan sesuai pedoman pengelolaan nyeri (kemenkes ri, 2013). perawat perlu memberikan intervensi atau tindakan non farmakologis untuk mengatasi nyeri. penanganan penderita asam urat difokuskan pada cara mengontrol rasa sakit, mengurangi kerusakan sendi, dan meningkatkan atau mem-pertahankan fungsi dan kualitas hidup (gulbuddin, 2017). tindakan non farmakologis untuk penderita asam urat adalah kompres hangat. (mellynda, 2016). menurut penelitian yang dilakukan wahyu-ningsih tahun 2013, menghasilkan kesimpulan, sete-lah dilakukan hasil kompres hangat lebih efektif untuk menurunkan nyeri pada penderita asam urat (mellynda, 2016). kompres hangat adalah upaya yang mudah dan murah, sehingga diharapkan dapat mengatasi atau menurunkan keluhan nyeri lansia dengan ga. tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian kompres hangat terhadap penu-runan nyeri asam urat. bahan dan metode pada penelitian ini desain yang digunakan adalah pra-experimen dengan pendekatan one group pra-post test design. pra eksperimental bertujuan membandingkan atau membedakan suatu tindakan tanpa ada kelompok kontrol (nursalam, 2013). penelitian ini dilaksanakan pada bulan juni 2018 di paguyuban lansia budi luhur surabaya. populasi pada penelitian ini adalah 30 orang. besar sampel penelitaian yaitu 30 responden yang diambil menggunakan nonprobability sampling dengan teknik total sampling yaitu teknik pengambilan. variabel penelitian ini adalah kompres hangat (avriabel independen) dan nyeri (variabel dependen). instrument untuk memberikan kompres adalah buli-buli dan air hangat yang telah diukur suhunya dan numeric analog scale untuk mengukur nyeri. nyeri dianalisis dengan uji wilcoxon sign rank test. hasil penelitian karakteristik responden berdasarkan usia lansia batasan usia menurut depkes adalah berusia 60 tahun atau lebih. berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 responden terdapat hampir setengahnyan (36,7%) lansia berusia 62 tahun. 185 tabel 1 distribusi responden berdasarkan usia lansia di paguyuban lansia budi luhur surabaya tahun 2018 usia (tahun) frekuensi (f) persentase (%) 60 tahun 8 26,7 61 tahun 6 20,0 62 tahun 11 36,7 63 tahun 3 10,0 64 tahun 2 6,6 jumlah 30 100 sumber data primer juli 2018 karakteristik berdasarkan jenis kelamin tabel 2 distribusi responden berdasarkan jenis kelamin lansia di paguyuban lansia budi luhur surabaya tahun 2018 jenis kelamin frekuensi (f) persentase (%) perempuan 30 100 jumlah 30 100 sumber data primer juli 2018 tabel 3 tabulasi silang kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit artritis gout di paguyuban lansia budi luhur surabaya tahun 2018 perlakuan kompres hangat nyeri sebelum sesudah f % f % nyeri ringan 0 0 9 30 nyeri sedang 11 36,7 21 70 nyeri berat 19 62,3 0 0 total 30 100 30 100 uji statistik wilcoxon sign rank test asymp sig = 0,000 berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa nilai post test lebih kecil dari nilai pre test ternyara mempunyai nilai 28 artinya terdapat 28 responden yang mengalami penurunan nyeri sesudah diberikan perlakuan. nilai post test lebih besar dari nilai pre test ternyata mempunyai nilai 0 artinya tidak terdapat responden yang mengalami peningkatan nyeri sesudah perlakuan. pada nilai pre test sama dengan nilai post test ternyata mempunyai nilai 2 artinya sebanyak 2 responden tidak terdapat perubahan nyeri sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nilai kemakna = 0,05 didapatkan nilai = 0,000 (0,000 < 0,05) maka ho ditolak yang berarti ada pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit asam urat di paguyuban lansia budi luhur surabaya. pembahasan skala nyeri (pre) perlakuan kompres hangat berdasarkan tabel 3 diketahui dari 30 responden didapatkan sebagian besar (62,3%) menunjukkan skala nyeri berat dan hampir setengahnya (36,7%) menunjukkan skala nyeri sedang. nyeri sangatlah bepengaruh terjadinya asam urat yang ditandai dengan kekakuan pada satu atau lebih pada sendi terjadi di pergelangan tangan, kaki, lutut, panggul dan bahu. merasakan nyeri pada lanjut usia dapat mengganggu pola aktivitas sehari hari. hal ini dapat terjadi karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya budaya, persepsi seseorang, perhatian dan variable-variable psikologis lain yang mengganggu perilaku berkelanjutan. nyeri sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori maupun emosional yang berhubungan dengan resiko atau aktulnya kerusakan jaringan tubuh (judha, 2012) internasional association for study of pain (iasp) mendefenisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (potter & perry, 2005). nyeri sangat subjektif sehingga skala nyeri pada masing-masing orang dapat berbeda meskipun dengan kasus yang sama. sehingga perawat perlu melakukan pendekatan yang berbeda. skala nyeri (post) perlakuan kompres hangat berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa dari 30 responden terdapat sebagian besar (70%) nyeri sedang dan hampir setengahnya (30%) nyeri ringan. lansia diberikan terapi kompres hangat dapat mem-pelancar darah membuat otot tubuh lebih rileks, menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri dengan dilakukan hanya tempat bagian sendi dan tubuh yang nyeri. pemberian kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada penderita asam urat dengan mengunakan cairan yang menimbulkan hangat pada zahroh, faiza, pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri ....... 186 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 182–187 bagian tubuh yang memerlukannya. tujuan memperlancar sirkulasi darah, mengurangi rasa sakit, memberi rasa nyaman atau hangat dan tenang. kompres hangat yang dapat dipercaya menurunkan nyeri pada penderita asam urat. kompres hangat dengan kehangatan suhu air 30c-45c dengan jenios reseptor berespon terhadap panas vrl-1(vanilloid receptor-like 1), reseptor terkait yang tidak berespon terhadap kapsain ( bahan kimia yang menimbulkan nyeri) melainkan nosiseptor rangsangan yang berpotensi merusak nyeri sehingga dapat menurun-kan rasa nyeri (ganong, 2008). hasil tabel 1 menunjukkan bahwa dari 30 responden terdapat hampir setengahnya (36,7%) lansia berusia 62 tahun, sebagian kecil (6,7%) lansia berusia 64 tahun termasuk lanjut usia. usia lanjut merupakan tahap perkembangan normal yang akan dialami oleh setiap individu yang mencapai usia lanjut dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari. lansia merupakan dua kesa-tuan fakta sosial dan biologi. sebagai suatu fakta sosial, lansia merupakan suatu proses penarikan diri sesorang dari berbagai status dalam suatu struktur masyakarat. pra lansia seseorang yang berusia 45-59 tahun, lansia seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dan lansia resiko tinggi seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih. hasil tabel 2 menunjukkan bahwa dari 30 responden seluruhnya (100%) berjenis kelamin perempuan. semakin bertambahnya usia seseorang kualitas fisik dan kekuatan tubuh bertambah menurun, mengakibatkan terjadinya dengan proses menua. begitu juga lansia rentannya tubuh terhadap serangan penyakit ternasuk asam urat. perubahan fisik maupun terhadap fungsi organ dan dapat berpe-ngaruh pada kehidupan sehari-hari. penyakit asam urat menyerang wanita yang sudah menopause. pada wanita yang belum meno-pause maka kadar hormon estrogen cukup tinggi, hormon ini membantu mengeluarkan asam urat melalui kencing sehingga kadar asam urat wanita yang belum menoupause pada umumnya normal. laki-laki penyakit asam urat sering menyerang di usia setengah baya. pada usia setengah baya kadar hormon androgennya mulai stabil tinggi dan kadar asam urat darahnya pun bisa tinggi bahkan sudah bisa menimbulkan gejala penyakit asam urat akut (junadi, 2012). pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit asam urat berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa nilai post test lebih kecil dari nilai pre test ternyata mempunyai nilai 28, artinya terdapat 28 responden yang mengalami penurunan nyeri sesudah diberikan perlakuan. nilai post test lebih besar dari nilai pre test ternyata mempunyai nilai 0 artinya tidak terdapat responden yang mengalami peningkatan nyeri sesudah perlakuan. pada nilai pre test sama dengan nilai post test test ternyata mempunyai nilai 2 artinya sebanyak 2 responden tidak terdapat perubahan nyeri sebelum dan sesudah diberikan perlakuan dikarenakan air pada kantong buli-buli seharusnya di isi ulang jika air sudah tidak panas, waktu melakukan kompres hangat hasil lebih maksimal. hasil uji wilcoxon sign rank test dengan nilai kemakna = 0,05 didapatkan nilai = 0,000 (0,000 < 0,05) maka ho ditolak yang berarti ada pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit asam urat dipaguyuban lansia budi luhur surabaya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit artritis gout. hal tersebut senada dengan penelitian rezky, 2013 dan rizka, 2014 yang menyatakan kompres hanyat dapat menurunkan nyeri penderita gout artritis. kompres hangat meredakan nyeri dengan mengurangi spasme otot, merangsang nyeri, menyebabkan vasodalatasi dan peningkatan aliran darah. pembuluh darah akan melebar sehingga memperbaiki peredaran darah dalam jaringan tersebut. manfaatnya dapat memfokuskan perhatian pada sesuatu selain nyeri, atau dapat tindakan pengalihan seseorang tidak terfokus pada nyeri lagi, dan dapat relak-sasi. menurut steven (2014), dengan pemberian kompres hangat, pembuluh-pembuluh darah akan melebar sehingga memperbaiki peredaran darah di dalam jaringan tersebut. dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang dibuang akan diperbaiki. aktivitas sel meningkat akan mengurangi rasa nyeri dan akan menunjang proses penyem-buhan. 187 kesimpulan dan saran kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, maka peneliti menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) lansia di paguyuban lansia budi luhur surabaya sebagian besar sebelum diberikan perlakuan kompres hangat skala nyeri berat, 2) lansia di paguyuban lansia budi luhur surabaya hampir seluruhnya sesudah diberikan perlakuan kompres hangat skala nyeri sedang, 3) pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit asam urat di paguyuban lansia budi luhur surabaya. saran bagi peneliti :intervensi mandiri perawat dalam menangani nyeri pada pasien gout; bagi paguyuban: diharapkan paguyuban lansia dapat menerapkan pemberian kompres hangat terhadap penderita penyakit asam urat agar dapat mengurangi rasa nyeri, bagi masyarakat: diharapkan masyarakat mengetahui tentang pentingnya pemberian kompres hangat terhadap penurunan nyeri pada penderita penyakit asam urat daftar pustaka aru w, sudoyo. (2010). buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid ii edisi v, jakarta : interna publising. badan pusat statistik. (2015). statistik penduduk lanjut usia 2014; hasil survei sosial ekonomi nasional. (d. susilo, a. chamai, & n. b. handayani, eds.). jakarta: badan pusat statistik, jakarta indonesia. retrieved from https://www.bappenas.go.id/files/ data/sumber_daya_manusia_dan_kebudayaan/ statistik penduduk lanjut usia indonesia 2014.pdf ganong,w.f. (2008) buku ajar fisiologi kedokteran edisi 22. jakarta : egc gulbuddin, hikmatyar (2017). pentalaksanaan kom prehensif arthritis gout dan osteorthritis pada buruh usia lanjut. junadi, i. (2012). rematik dan asam urat edisi revisi . jakarta: pt bhuana ilmu populer judha, dkk (2012). teori pengaruh nyeri dan nyeri persalinan.yogyakarta: nuha medika. kowalak, jennifer p. buku ajar patofisiologi. jakarta: egc. mellynda dkk. (2016). kompres hangat terhadap penurunan pengaruh skala nyeri pada penderita gout arthritis di wilayah kerja puskesmas baku manado. nursalam (2013). metodelogi penelitian dalam kepera-watan. jakarta : salemba medika kementrian kesehatan ri. (2013). gambaran lanjut usia indonesia www.depkes.go.id/download.php? file=download/pusdatin/buletin/buletin-lansia.pdf (diakses pada tanggal 20 september 14.00 wib) potter & perry. (2005). buku ajar fundamental kepera-watan konsep, proses, dan praktik. edisi 4 volume 2. jakarta: egc. rezky, amila. (2013) pengaruh kompres hangat terhadap nyeri artritis gout pads lanjut usia di kampung tegalegendu kecamatan kota gede yogyakarta. rizka, dwi. (2014). hubungan tingkat pengetahuan penderita asam urat dengan kepatuhan diet rendah purin di gawanan timur kecamatan colombu karanganyar. steven, (2014). ilmu keperawatan (edisi 2. vol) jakarta : egc. wahyuningsih a. (2013). efektifitas kompres hangat dalam menurunkan intensitas nyeri dysmenorhea pada mahasiswi stikes rs baptis kediri. jurnal stikes. vol 6. zahroh, faiza, pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri ....... 143permatasari, suprayitno, implementasi kegiatan pendidik sebaya dan ... 143 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk implementasi kegiatan pendidik sebaya dan konselor sebaya dalam upaya pencegahan triad krr di pusat informasi dan konseling remaja info artikel sejarah artikel: diterima, 01/08/2019 disetujui, 17/03/2020 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: pik remaja; pendidik sebaya dan konselor sebaya; triad krr; lawrence green abstrak perilaku remaja banyak yang berubah seiring dengan perkembangan teknologi. dalam kondisi semacam ini remaja membutuhkan informasi mengenai kesehatan reproduksi, aktifitas yang bermanfaat dan menjadi kreatif. pik remaja bpmp & kb kabupaten sumenep merupakan tempat remaja mendapatkan informasi yang benar, tepat dan objektif tentang triad krr dengan informasi yang positif dan tempat peningkatan life skill yang bermanfaat bagi kehidupannya. tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan pelaksanaan kegiatan pendidik sebaya dan konselor sebaya dalam upaya pencegahan triad krr di pik remaja dan faktor penyebab serta pendukungnya. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang prosesnya dimulai dari pengumpulan data dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan. subjek utama penelitian ini adalah lima orang pendidik sebaya dan lima orang konselor sebaya yang dipilih secara purposive sampling. dengan pengumpulan data subjek utama dengan indepth interview subjek triangulasi adalah sepuluh teman dekat subjek utama dengan teknik focus group discussion, ketua dan pembina pik remaja bpmp & kb kabupaten sumenep dengan indepth interview. teori perilaku dari lawrence green digunakan sebagai kerangka konsep dalam penelitian dengan analisis data secara induktif. hasil: hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kegiatan pendidik sebaya dan konselor sebaya dalam upaya pencegahan triad krr sudah baik. hal ini terjadi karena pengetahuan, persepsi, motivasi, pemberian materi, pengaruh teman dekat, dukungan keluarga dan supervisi pembina yang baik. dian permatasari1, emdat suprayitno2 1prodi diii kebidanan, universitas wiraraja sumenep 2prodi profesi ners, universitas wiraraja sumenep http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p143-150&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 144 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 143–150 pendahuluan perilaku remaja banyak yang berubah seiring dengan perkembangan teknologi. perubahan tersebut lebih cenderung ke arah hal yang negatif. hal ini terjadi karena informasi yang terbatas dan emosi yang masih labil dan mereka sudah dihadapkan pada berbagai tuntutan arus globalisasi yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. (muadz, 2009)pada tahun 2010 jumlah remaja usia 10-24 tahun yang besar yaitu sekitar 63 juta atau 26,8% dari jumlah penduduk indonesia sebanyak 233 juta, arus globalisasi dan kemudahan akses informasi bagi remaja serta maraknya issue remaja (seks bebas, napza, hiv dan aids) menghadapkan remaja masa kini budaya dan karakternya bertentangan dengan adat ketimuran. belum lagi dengan minimnya informasi untuk menanggulangi issue remaja yang berkembang menyebabkan pandangan dan pola pikir remaja semakin sempit (syaefuddin, 2010). dalam kondisi semacam ini remaja membutuhkan informasi mengenai kesehatan reproduksi, aktifitas yang bermanfaat dan menjadi kreatif sehingga remaja memiliki kesempatan untuk meneruskan pendidikan dan masa depan dengan bekal yang cukup, bahkan lebih sebagai perisai dalam menghadapi berbagai tuntutan arus globalisasi. (muadz, 2009). remaja cenderung memiliki tingkat seksual yang tinggi yang akan mengakibatkan dorongan seksual semakin meluap sehubungan dengan mulai matangnya hormon seksual dan organ-organ reproduksi (ahmadi, 1999) hurlock berpendapat bahwa masa puber merupakan fase dalam rentang perkembangan anak-anak berubah dari mahluk aseksual menjadi mahluk seksual (al mighwar, 2006) masa remaja merupakan article information history article: received, 01/08/2019 accepted, 17/03/2020 published, 05/04/2020 keywords: center of information and counselling adolescent; peer educator and peer counselors, triad arh, lawrence green abstract adolescent behavior has changed much in line with technological developments. under these conditions young people need information about reproductive health, activities that are beneficial and be creative. cica risma is where adolescents get the right information, accurate and objective information about triad arh with a positive and a life skill enhancement for the benefit of life. the purpose of this study is to describe the implementation of peer educators and peer counsellors in the prevention triad arh in cica risma as well as supporting factors. this study uses a descriptive qualitative approach of data collection process began and ended with inferences. the main subject of this study is five peer educators and peer counsellors five persons selected by purposive sampling. with the main subject of data collection by indepth interview . triangulation subject is a close friend of ten major subject with focus group discussion techniques, the leader and supervisor cica with indepth interview with. behavioral theory of lawrence green is used as a conceptual framework in research with inductive data analysis. the results of this study can be concluded that the implementation of peer educators and peer counsellors in the prevention triad arh is good. this happens because the knowledge, perception, motivation, provision of materials, the influence of a close friend, family support and supervision of a good coach. © 2020 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas wiraraja sumenep east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: dianashadi118@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/v7i1.art.p143–150 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) model of education media called tahes game (great and healthy child stairs) to improve knowledge and healthy attitude of reproduction for pre-adolescent https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 145permatasari, suprayitno, implementasi kegiatan pendidik sebaya dan ... masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya (syaefuddin, 2010). survei yang dihasilkan kementerian kesehatan tahun 2011, 2, 21% atau sekitar 4,02 juta jiwa pada tahun 2010 dan 2,8 % sekitar 5 juta jiwa penduduk indonesia terlibat penyalahgunaan napza. hingga akhir juni 2011 di indonesia kasus aids 26.843 jiwa. dengan pengidap terbesar usia 20-29 tahun dengan prosentase 36,4% dari total keseluruhan yang mengidap aids. yang berarti waktu terinfeksinya pada umur 15-24 tahun (kemenkes, 2011). hiv dan aids menyebabkan krisis multidimensi, yaitu krisis kesehatan, pembangunan negara, ekonomi, pendidikan maupun kemanusiaan (suharto, s dkk, 2020). menurut greenbeerg, anak remaja mendapatkan informasi mengenai seks 21% diperoleh dari rumah, 15% dari sekolah, 28% dari media seperti internet, majalah dan film sedangkan 40% dari teman sebayanya.(rahayu, 2011) ketidaktahuan remaja pelajar tentang aids, siklus reproduksi sehat serta penyakit menular seksual adalah akibat informasi yang salah disamping adanya pergeseran nilai dan perilaku seks kearah seks bebas di kalangan generasi muda. oleh sebab itu perlu dilakukan upaya perlindungan, pencegahan dan penanggulangan seks bebas, penyalahgunaan napza, hiv dan aids kearah kelompok ini secara intensif dan komperhensif. berbagai bentuk pendidikan kesehatan telah dilakukan selama ini banyak dilakukan melalui media elektronik maupun media cetak, juga dilakukan secara langsung baik melalui ceramah maupun metode diskusi (rahayu, 2011) dari data yang didapat dari hasil pendataan perilaku remaja dan aktivitas saat pacaran yang berkaitan dengan gambaran perilaku sehat remaja. khususnya yang berhubungan dengan risiko triad krr (tiga masalah kesehatan reproduksi remaja) dapat dilihat sebagian besar remaja indonesia berperilaku tidak sehat. perilaku tidak sehat antara lain: seks pra nikah, aborsi, napza, hiv dan aids masalah-masalah remaja dapat diupayakan untuk mengatasinya salah satunya melalui pik remaja. pusat informasi dan konseling remaja (pik remaja) adalah suatu wadah kegiatan program pkbr (penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja) yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja guna memberikan pelayanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi serta persiapan kehidupan berkeluarga. (muadz, 2009) pik remaja risma merupakan tempat remaja mendapatkan informasi yang benar, tepat dan objektif tentang mempunyai cukup pengetahuan untuk membentengi diri dari pengaruh globalisasi dengan informasi yang positif dan wadah kegiatan skill yang bermanfaat bagi kehidupannya. hal yang lain adalah sebagai upaya meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap esensi ruang lingkup, tugas dan fungsi pik remaja, meningkatnya aspek keterampilan serta kemampuan sebagai pendidik dan konselor sebaya (muslim, 2011). pik remaja risma adalah wahana komunikasi, informasi dan edukasi remaja agar mampu berperilaku sehat, terhindar dari risiko seksualitas hiv dan aids serta napza, bisa menunda usia pernikahan, serta mempunyai cita-cita mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera (muslim, 2011). bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan focus interview. metode penelitian adalah deskriptif yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana yang berlaku, kegiatan dan proses yang sedang berlangsung serta pengaruh dari suatu fenomena. alur proses dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara dengan pertanyaan terbuka. data primer diambil berdasarkan wawancara dengan para psks, pembina psks, ketua psks dan klien subjek penelitian. wawancara mendalam ini dilakukan pada responden utama (lima orang pendidik sebaya dan lima orang konselor sebaya yang memenuhi criteria inklusi) yaitu pendidik sebaya dan konselor sebaya masih berstatus sebagai psks pik remaja risma di kabupaten sumenep, mau dan mampu berpartisipasi menjadi responden (dengan surat kesediaan sebagai subjek penelitian yang ditanda tangani subjek penelitian), penelitian ini dilakukan dikabupaten sumenep yaitu pada peserta sebaya dan konselor sebaya pik. tahapan selanjutnya adalah peserta fgd adalah klien atau pengguna psks pik remaja risma-jt. fgd dilakukan dengan satu grup yaitu pada lima orang klien pendidik sebaya dan lima orang klien konselor sebaya. hal ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui kegiatan pendidik sebaya dan konselor sebaya, mengetahui pengalaman, serta untuk mengukur aplikasi kegiatan pendidik sebaya dan konselor sebaya. analisa data dalam penelitian ini adalah mengolah dan mempersiapkan data untuk 146 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 143–150 dianalisis. langkah ini melibatkan transkipsi wawancara, reduksi data, penyajian data dan mengambil kesimpulan serta verifikasi. hasil penelitian kegiatan pendidik sebaya dan konselor sebaya kegiatan yang dilakukan oleh pendidik sebaya dan konselor sebaya di pik remaja risma sangat beragam. semua kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk memberikan informasi pencegahan triad krr bagi remaja. wawancara dengan responden 4 pada desember 2018 mengatakan bahwa “kegiatan itu meliputi pelatihan bagi calon pendidik sebaya dan konselor sebaya, penyuluhan berupa roadshow ke sekolah dan study banding pik di sumenep, buletin pendidikan kesehatan reproduksi dari remaja, perayaan hari aids sedunia, siaran di radio dais, diskusi kelompok, dan konseling” pengetahuan tentang pendidik sebaya dan konselor sebaya pendidik sebaya dan konselor sebaya menurut ha sil wawanca ra dengan responden 1 pa da desember 2018 mengatakan adalah” seseorang yang bisa mendengarkan curhatan dari temannya mengenai masalahnya baik masalah dengan pacaran sampai masalah keluarga, kemudian mereka bisa mencari solusi atas masalahnya”. bagi subjek seorang konselor sebaya memiliki tugas memberikan konseling kepada teman sebayanya. menurut pembina, pendidik sebaya dan konselor sebaya adalah pendamping teman sebaya untuk berbagi masalahnya sehingga diharapkan bisa membantu teman-temannya menyelesaikan masalah serta memberikan pengetahua n terkait pencegahan triad krr. pengetahuan tentang syarat menjadi psks memiliki syarat untuk menjadi seorang psks. hasil wawancara dengan responden 8 dan 10 pada desember 2018 mengemukakan ‘syarat menjadi psks adalah mampu berkomunikasi, berjiwa leadership atau mempunyai jiwa kepemimpinan, diterima teman-temannya dalam pergaulan, mengikuti pelatihan yang dilakukan pik remaja risma, bkkbn maupun pilar pkbi, terbuka dan jujur. dan yang paling penting adalah mau berkomitmen dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya’ pengetahuan tentang kemampuan psks seorang psks harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menjalankan tugasnya menyebarkan informasi pencegahan triad krr. hail wawancara dengan responden 3 dan 7 pada bulan desember 2018 mengatakan “kemampuan yang dimiliki seorang psks itu meliputi: menjadi psks harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menjalankan tugasnya menyebarkan informasi tentang permasalahan remaja. responden mengatakan kemampuan yang dimiliki seorang pendidik sebaya ataupun konselor sebaya itu meliputi: berkomitmen menyebarluaskan informasi, aktif dan peka dengan masalah di sekitar, ramah, bisa menghadapi klien dengan baik, kreatif, suka menolong, tidak mudah tersinggung dan mampu berpikir jernih, mau belajar dengan halhal baru. hasil wawancara dengan responden 9 pada bulan desember 2018 mengatakan “seorang psks harus peka dan berpikiran terbuka karena kadang orang cenderung menghakimi seseorang dalam menghadapi masalahnya, menjadi pendengar yang baik untuk orang lain, menjadi komunikator yang baik, memiliki jiwa kepemimpinan dan kemampuan memotivasi. pengetahuan tentang kegiatan psks pada dasarnya tugas psks adalah memberikan informasi tentang triad krr dan menghadapi klien. pemberian informasi bagi pendidik sebaya secara berkelompok dan pada konselor sebaya bisa denga n per seor a nga n. ber da sa r ka n indepth interview responden 2 pada bulan desember 2018 menyebutkan “kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan antara lain: pelayanan informasi dan konseling, membuat bulletin, training atau pelatihan bagi psks, seminar, siaran radio, roadshow ke sekolah dan pik lain, kunjungan study banding” sikap terhadap kegiatan psks berdasarkan wawancara mendalam, dengan responden 1, 2 dan 4 pada bulan desember 2018 mengatakan”setuju bahwa seorang psks harus mempunyai sifat terbuka untuk membagi ilmunya kepada setiap remaja. ini juga dilakukkan agar klien bisa terbuka juga dengan psks. tidak mudah ter 147permatasari, suprayitno, implementasi kegiatan pendidik sebaya dan ... singgung dan tidak mudah terbawa emosi merupakan sifat yang harus dimiliki agar klien tidak merasa sungkan dan nyaman saat berkonsultasi.menurut hasil indepth interview dengan responden 2, 4, 5, pada bulan desember 2018 mengatakan “setuju dengan sikap psks harus bisa menjadi tempat curhat teman-temannya saat ada masalah karena itu metupakan fungsi dan inti dari tugas seorang psks sehingga psks wajib mempunyai kemampuan itu. menurut hasil wawancara dengan responden 5 pada bulan desember 2018 didapatkan hasil bahwa seorang psks harus pandai berkomunikasi terutama karena remaja mempunyai banyak bahasa yang selalu berkembang. dengan bisa berkomunikasi dengan baik bisa menjadikan klien nyaman saat berkonsultasi atau sharing dengan psks sehingga bisa menarik klien untuk tetap mencari alternatif solusi melalui orang yang benar yaitu psks, bukan dengan orang yang salah. berdasarkan wawancara mendalam yang sudah dilakukan, 6 dan 10 pada bulan desember 2018 berpendapat bahwa “seorang psks boleh menceritakan masalah temannya pada orang lain untuk membantu mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. psks juga menyebutkan saran bahwa identitasnya harus ditutupi untuk menghormati privasinya. persepsi pendidik sebaya dan konselor sebaya persepsi pentingnya peran psksdalam pencegahan triad krrberdasarkan wawancara mendalam dengan responden 2 dan 5 pada bulan desember 2018 mengatakan “psks merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pencegahan triad krr karena tugasnya adalah menjadi narasumber yang menularkan ilmu tentang triad krr kepada remaja. persepsi subjek tentang pentingnya psks sangat diperlukan karena dapat menjadi konselor bagi teman-temannya sehingga dapat membantu menyelesaikan masalah mereka. pembahasan fase perkembangan remaja merupakan masa rawan konflik. karena pada masa itu terjadi pertumbuhan yang pesat baik segi fisik maupun mental. perubahan fisik dan mental terjadi karena pengaruh hormon-hormon pertumbuhan yang menghasilkan metabolisme dalam tubuh remaja. hormon tersebut yang mempengaruhi kondisi emosi, cara berpikir, cara memandang dan memutuskan masalah dan akhirnya mempengaruhi pula cara perilaku remaja. apabila remaja tidak dibekali dengan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang dirinya dan masalah yang ada di sekitarnya, maka dapat mengakibatkan penyimpangan perilaku remaja. penyimpangan itu adalah penyalahgunaan narkoba yang menyebabkan juga melakukan free sex. penyalahgunaan narkoba yang memakai jarum suntik dan berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan sex bisa menjadi faktor risiko tertularnya hiv/ aids. penyakit ini menyebabkan krisis multidimensi, yaitu krisis kesehatan, pembangunan negara, ekonomi, pendidikan maupun kemanusiaan (suharto, s dkk, 2020). masalah-masalah remaja dapat diupayakan untuk mengatasinya salah satunya melalui pik remaja. pusat informasi dan konseling remaja (pik remaja) adalah suatu wadah kegiatan program pkbr (penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja) yang dikelola dari, oleh dan untuk remaja guna memberikan pelayanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi serta persiapan kehidupan berkeluarga (muadz dkk, 2009). terdapat bebrapa syarat untuk menjadi seorang psk yaitu mampu berkomunikasi, berjiwa leadership atau mempunyai jiwa kepemimpinan, diterima temantemannya dalam pergaulan, mengikuti pelatihan yang dilakukan pik rema ja risma-jt, bkkbn maupun pilar pkbi, terbuka dan jujur. dan yang paling penting adalah mau berkomitmen dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya (bkkbn, 2007). pengetahuan subjek sesuai dengan bkkbn, bahwa syarat menjadi psks adalah aktif dalam kegiatan sosial dan populer di lingkungannya, berminat pribadi menyebarluaskan informasi krr, lancar membaca dan menulis, memiliki ciri-ciri kepribadian, antara lain: ramah, lancar dalam mengemukakan pendapat, luwes dalam pergaulan, berinisiatif dan kreatif, tidak mudah tersinggung, terbuka untuk hal-hal baru, mau belajar serta senang menolong. seorang psks harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menjalankan tugasnya menyebarkan informasi pencegahan triad krr. subjek penelitian mengatakan kemampuan yang dimiliki seorang psks itu meliputi : menjadi psks harus memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menjalankan tugasnya menyebarkan informasi tentang permasalahan remaja. responden mengatakan kemampuan yang dimiliki seorang pendidik sebaya ataupun konselor sebaya itu meliputi: berkomitmen 148 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 143–150 menyebarluaskan informasi, aktif dan peka dengan masalah di sekitar, ramah, bisa menghadapi klien dengan baik, kreatif, suka menolong, tidak mudah tersinggung dan mampu berpikir jernih, mau belajar dengan halhal baru. seorang psks harus peka dan berpikiran terbuka karena kadang orang cenderung menghakimi seseorang dalam menghadapi masalahnya, menjadi pendengar yang baik untuk orang lain, menjadi komunikator yang baik, memiliki jiwa kepemimpinan dan kemampuan memotivasi. hal terpenting kemampuan interpersonal harus dimiliki seorang psks. kemampuan interpesonal meliputi komunikasi dua arah, perhatian pada spek verbal dan non verbal, dan penggunaan pertanyaan untuk menggali informasi, perasaan dan pikiran (depkes ri, 1995). penelitian yang dilakukan sylviana menunjukkan bahwa konselor sebaya memiliki kemampuan mendengar aktif, berkonsentrasi mendengarkan klien, dapat menganalisis bahasa verbal dan non verbal. hal ini menunjukkan bahwa pendapat subjek tentang kemampuan psks sesuai dengan modul dari departemen pendidikan nasional dan penelitian sylviana.berdasarkan modul dari bkkbn bahwa pendidikan sebaya adalah kegiatan yang memotivasi para anak muda melakukan kegiatan informal dengan rekan-rekannya yang memiliki latar belakang, usia, maupun kepentingan yang sama. tujuan kegiatan tersebut untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keyakinan, dan keterampilan mereka serta memungkinkan mereka untuk bertanggungjawab untuk melindungi kesehatan mereka sendiri. kegiatan pendidik sebaya bisa dilakukan dimana saja. beberapa kegiatan yang harus dipersiapan antara lain: diskusi materi pendidikan sebaya yang meliputi pengenalan organ reproduksi laki-laki dan perempuan dan fungsinya masing-masing, proses terjadinya kehamilan termasuk kehamilan yang tidak diinginkan dan bahaya aborsi yang tidak aman, metode-metode pencegahan kehamilan (metode kontrasepsi), penyakit-penyakit menular seksual termasuk hiv/aids, gender dan seksualitas; dan narkoba. selain itu melakukan penyuluhan untuk memberikan informasi tersebut ke kelompok besar. sebagai seorang psks harus bisa menjadi seorang konselor yang memilki kegiatan untuk membantu teman sebanya untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya (widyantoro, 2002). pendidikan merupakan suatuupaya menanamkan pengertian dan tujuan agar tumbuh pemahaman, sikap dan perbuatan positif (indriyani, r, 2017) berdasarkanmodul dari bkkbn bahwa manfaat pik remaja antara lain: alih pengetahuan dilakukan antar kelompok sehingga komunikasi lebih terbuka, penjelasan yang diberikan oleh anggota kelompoknya akan lebih mudah dipahami, hal-hal yang tidak dapat dibicarakan bersama orang lain dapat didiskusikan secara terbuka diantara mereka, mendengarkan kelompoknya, memahami permasalahan dan peduli da lam upaya pencegahan triad krr (junaidi, 2004). pendidik sebaya dan konselor sebaya bisa menjadi seorang konselor sebaya sehingga salah satu tugasnya melakukan konseling kepada teman sebayanya mengenai kesehatan reproduksi remaja. sebagai seorang konselor harus bersikap terbuka artinya membiarkan remaja untuk bertanya tanpa membatasi topik pertanyaan termasuk topik yang tabu untuk dibicarakan. selain itu bisa bersikap ramah, jangan mudah panik atau marah, dan tunjukkan sikap tenang kepada klien (widyantoro, 2002). departemen pendidikan nasional yang menyatakan psks berperan utama untuk membantu anggota kelompok menentukan keprihatinan mereka dan mencari solusi melalui saling berbagi informasi dan pengalaman. psks merupakan orang yang tepat untuk menyebarkan informasi baru dan pengetahuan kepada para anggota kelompok dan dapat menjadi model peran untuk orang lain dengan praktek atau ceramah. karena pendidik sebaya adalah dari kelompok yang sama maka ia bisa berempati dan memahami emosi, pikiran, perasaan, bahasa peserta, dan, karenanya, berhubungan lebih baik. seorang psks tidak hanya memberitahukan temanteman tentang suatu praktek pengurangan risiko yang diinginkan tetapi juga (horison, 2011). menurut modul bkkbn bahwa psks perlu juga memiliki ketrampilan komunikasi interpersonal yaitu hubungan timbal balik yang bercirikan: komunikasi dua arah dan perhatian pada aspek verbal dan non verbal. komunikasi dua arah berbeda dengan komunikasi satu arah dimana hanya satu pihak yang berbicara, dalam tempo singkat namun hasilnya kurang memuaskan. komunikasi dua arah memungkinkan kedua belah pihak sama-sama berkesempatan untuk mengajukan pertanyaan, pendapat dan perasaan. waktu yang digunakan memang lebih lama, namun hasil yang dicapai memuaskan kedua 149permatasari, suprayitno, implementasi kegiatan pendidik sebaya dan ... belah pihak. komunikasi verbal adalah bentuk komunikasi denga n mengguna kan kata-kata. seorang pendidik sebaya seharusnya : menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dipahami kelompok, menghindari istilah yang kurang dimengerti, menghindari kata-kata yang bisa menyinggung perasaan orang lain. komunikasi non verbal adalah komunikasi yang tampil dalam bentuk nada suara, ekspresi wajah dan gerakan anggota tubuh tertentu. dalam menyampaikan informasi, pendidik sebaya perlu mempertahankan kontak mata dengan lawan bicara, menggunakan nada suara yang ramah dan bersahabat. psks juga mempunyai banyak manfaat dan utamanya menjadi narasumber ternyaman bagi remaja. psks juga menjadi tempat curhat dan mempunyai pengetahuan untuk membantu mencarikan alternatif solusi yang baik sehingga diharapkan bisa menjalankan tugasnya secara optimal dalam pencegahan triad krr sehingga persepsi subjek tentang pentingnya psks sangat diperlukan karena dapat menjadi konselor bagi teman-temannya sehingga dapat membantu menyelesaikan masalah mereka. persepsi tersebut sejalan dengan penelitian sylviana bahwa konselor sebaya yang diteliti menyadari gambaran utama sebagai konselor sebaya adalah memberikan konseling untuk membantu memecahkan permasala han tema n-temannya. persepsi yang seperti itu akan mempengaruhi konselor sebaya untuk memberikan pelayan konseling. sebagai mana yang dikutip gibson (2000) bahwa salah satu hasil dari proses persepsi adalah sikap. berdasarkan modul dari bkkbn bahwa pendidikan sebaya adalah kegiatan yang memotivasi para anak muda melakukan kegiatan informal dengan rekan-rekannya yang memiliki latar belakang, usia, maupun kepentingan yang sama. tujuan kegiatan tersebut untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keyakinan, dan keterampilan mereka serta memungkinkan mereka untuk bertanggungjawab untuk melindungi kesehatan mereka sendiri. kegiatan pendidik sebaya bisa dilakukan dimana saja. kesimpulan pengetahuan subjek tentang psks sudah baik, memahami tentang kegiatan psks, subjek dapat menjelaskan dengan baik tentang definisi, syarat, kemampuan dan kegiatannya. hambatannya bila psks tidak memahaminya maka akan terjadi kesalahpahaman dalam penyampaian informasi kepada remaja sehingga dilakukan training intensif dan diskusi. saran bagi bkkbn (badan keluarga berencana nasional) dapat memberikan dukungan dalam memberikan sumber daya manusia untuk memberikan pelatihan atau training kepada psks agar mempunyai kemampuan yang baik dalam melakukan kegiatan. daftar pustaka ahmadi. (1999). h.a. psikologi sosial. jakarta: rineka cipta. al-mighwar, m. (2006). psikologi remaja. bandung: cv pustaka setia. bkkbn. (2007). kurikulum dan modul pelatihan pemberian informasi kesehatan reproduksi remaja oleh peer educator. jakarta: direktorat remaja dan perlindungan hak-hak reproduksi. bkkbn. (2008). modul pelatihan konseling: kesehatan reproduksi remaja bagi calon konselor sebaya. jakarta: bkkbn. 2008. efendi, ferry & makhfud. (2009). keperawatan kesehatan komunitas teori dan praktik dalam keperawatan. jakarta : salemba medika. gibson, james, l. (2000). organisasi, perilaku, struktur dan proses, edisi ke-5. cetakan ke-3. jakarta: penerbit erlangga. horizon. peer education dan hivaids: past experiences, future directions. (online). http://www.popcouncil. org/pdfs/peer_ed.pdf. diakses tanggal 20 juni 2011. indriyani, r., & suprayitno, e. (2017). hubungan postpartum blues dengan keputusan menggunakan kb pasca nifas di upt puskesmas lenteng. journal of health science (jurnal ilmu kesehatan), 2(2), 70-75. junandi harahap, lita sri. pengaruh peer education terhadap pengetahuan dan sikap mahasiswa dalam menanggulangi hiv/aids di universitas sumatera utara. 2004 (online). diunduh dari http://repository .usu.ac.id/bitstream /123456789/3714/1/fkm_juliandi. pdf. diakses tanggal 20 juni 2018. kementerian kesehatan. (2011). laporan kasus penyalahgunaan napza dan penderita hiv aids kementerian kesehatan republik indonesia. muadz, masri m., dkk. (2009). panduan pengelolaan pusat informasi dan konseling remaja (pik remaja). jakarta: badan koordinasi keluarga berencana nasional. munawar. (2005). pemodelan visual dengan uml, graha ilmu, yogyakarta, 17-100 muslim, imam. (2011). profil pik remaja risma-jt ajang kreatif produktif. semarang: pikkrr risma-jt. 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 143–150 pratiwi, i. g. d., suprayitno, e., & kristanti, a. n. (2018). gambaran minat ibu dalam memilih kb implan di desa karang nangka kecamatan rubaru kabupaten sumenep. journal of health science (jurnal ilmu kesehatan), 3(2), 85-90. rahayu & verawaty. (2011). merawat dan menjaga kesehatan seksual pria. bandung: grafindo media pratama rosandi, andi. (2011). pengaruh peer education terhadap pengetahuan dan sikap mahasiswa dalam menanggulangi hiv/ aids. sarwono, sarlito wirawan. (1994). psikologi remaja. jakarta: pt raja grafindo persada. subejo. (2010). penyuluhan pertanian terjemahan dari agriculture. edisi dua. bumi aksara, jakarta. suharto, s., gurning, f. p., pratama, m. y., & suprayitno, e. (2020). implementasi kebijakan penanggulangan hiv/aids di puskesmas teladan. jurnal riset hesti medan akper kesdam i/bb medan, 4(2), 131-136. syaefuddin, dkk. (2010). panduan pengelolaan pusat informasi dan konseling mahasiswa (pik mahasiswa). jakarta: badan koordinasi keluarga berencana nasional. tukiran. (2010). keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. yogyakarta: pustaka pelajar. widyantoro, ninuk, dkk. (2002). panduan operasional peer educator. jakarta: bkkbn. 415handriani, agustina, aloe vera extract 75% effective in providing xerosis repair in ... aloe vera extract 75% effective in providing xerosis repair in chronic kidney failure patient’s rini handriani1, wiwik agustina2 1nurse practitioner, rsud dr. saiful anwar malang, indonesia 2departement of nursing, stikes maharani malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 08/12/2019 accepted, 28/04/2020 published, 05/12/2020 keywords: use of aloe vera extract, skin condition, chronic kidney failure article information abstract the prevalence of chronic kidney disease in indonesia is increasing, especially in saiful anwar hospital malang, because the patients must undergo hemodyalisis therapy. hemodialysis therapy has an effect to induce xerosis. untreated xerosis will cause pruritus. therefore this condition needs to use moisturizer to prevent pruritus like aloe vera extract. the purpose of this research was to determine the effect of using aloe vera extract on the treatment of the skin of patients with chronic kidney failure. the research method was true experimental research and used simple random sampling technique to recruit 25 respondents. aloe vera extract was used by rubbing it onto the skin with xerosis and assessment was conducted in the first, second and third week. the analysis of this research used the kruskal-wallis test and linear regression. the result of different test was p = 0.001 or á <0.01 showed that there was significant differences between groups of independent variables. the r ^ 2 value was 69% , it mean that aloe vera extract had an effect as much as 69% of improvement in skin conditions of xerosis patients and 31 % was influenced by other factors besides extract aloe vera. the results showed that aloe vera extract with 75% concentration gave the most effective treatment for xerosis patients. therefore, aloe vera could be a therapy for xerosis as a management of independent nursing care with nursing problems of skin integrity disorders. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes maharani malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: rini.handriani123@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p415–420 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 415 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p415-420&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p415-420 416 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 415–420 introduction kidney disease, a disease which caused the function of the kidney organs has decreased until it is unable to wor k on filtering and removing electrolytes in the body, unable to maintain the balance of body fluids and chemicals, such as sodium, potassium in the blood (berawi, 2016). based on data from the world health organization (who) in 2013, it indicated that those suffering from acute and chronic kidney failure reached 50%, while those who wer e known a nd r eceived treatment were only 25% and 12.5% which treated well. in indonesia, the prevalence of kidney failure achieved 31.7% of the population in the age of 18 years old above (indrasari, 2015). basic health research (2017) found out the prevalence of kidney failure in indonesia was 2% (499,800 people) with the most of the patients were male, namely 40% with the total number of patients with kidney failure 52,835 of totals patients who wer e a ctively undergoing hemodialysis. patients with chronic renal failure require long-term hemodialysis therapy patients must undergo dialysis therapy throughout their life to maintain their survival and reduce the symptoms of uremia. dialysis therapy itself has va r ious complica tions, including decr ea sed hemoglobin, xerosis, and pruritus that occur during dialysis when metabolic end products remain in the skin (agustina 2018; agustina 2019; tansil, 2016). dry skin or xerosis is a skin disease caused by impaired lipid modification and hydration. the damage in the stratum corneum results in a 10% reduction in water retention capacity. dry skin was characterized by skin that is scaly, rough, cracked, and itchy (purnomo, 2014). then, puspita (2015) sta ted tha t ba sed on the r esea r ch a t pku muhammadiya hospital yogyakarta, which showed that 71.4% of chronic kidney failure patients undergoing routine hemodialysis had xerosis. meanwhile, patel (2012) stated that the prevalence of xerosis associated with dialysis ranges from 22% 90%. based on the results of a preliminary research conducted by researchers on september 24-26, 2018, regarding the prevalence of chronic kidney failure patients undergoing hemodialysis at dr. saiful anwar malang for the last three months from june to august 2018 with a total of 568 patients, while patients undergoing hemodialysis suffered from xerosis approximately 17% or as many as 97 people. according to research by zainoel (2017), most patients ignored the condition of their dry skin, which can lead to pruritus and xerosis. this case can be handled by maintaining skin moisture by treatments using aloe vera extract. in the aloe vera gel, there is a lot of water content that moisturize the skin. it is in line with research conducted by agoes (2015), which stated that aloe vera gel contains 99% water and other ingredients, namely glucomannans, amino acids, lipids, sterols, and vitamins. aloe vera can also stimulate fibroblasts, which produce collagen and elastin fibers that make the skin more elastic and reduce wrinkles, the amino acids in aloe vera can also reduce rough skin and function as an astringent to reduce pores (furnawanti, 2014). based on the data and descriptions from the ba ckgr ound, the r esear cher is interested in researching “the effect of using aloe vera extract on the skin of patients with chronic kidney failure in the hemodialysis room of dr. saiful anwar malang“. methods t he design of the r esea r ch used tr ue experimental design where the researcher can control all variables that affected the experiment. this research had 40 chronic renal failure patients undergoing hemodialysis with skin damage (xerosis) due to hemodialysis in the hemodialysis room rsud dr. saiful anwar malang as the population. the subjects involved in the research were 25 patients, which divided into five groups, namely one control group and four treatment groups. the treatment groups differentiated based on the concentration of aloe vera extract, namely the 100%, 75%, 50%, and 25% treatment groups. the sampling technique in this research was carried out by employing probability sampling, namely simple ra ndom sa mpling. t he popula tion wa s 40 respondents who met the inclusion criteria, then the researcher used a number table to select samples by taking odd numbers (1,3,5,7,9, 11, and so on) until a sufficient number of samples were 25 respondents who met the inclusion criteria which include: a. respondents were female patients with chronic renal failure aged 50 to 60 years with xerosis. b. the patient was undergoing routine hemodialysis therapy for more than six months. c. want to be a research respondent. d. able to do skincare independently. e. there is a companion family at home. 417handriani, agustina, aloe vera extract 75% effective in providing xerosis repair in ... the instrument used was aloe vera extract moisturizer with four concentrations (100%, 75%, 50%, 25%) in the treatment group and aqua bikes in the control group. aloe vera extract was applied to the skin tha t ha s xer osis. t her e wa s a n assessment of changes in skin conditions in xerosis patients before and after treatment, which was carried out in the first, second, and third weeks. the instrument for assessing changes in skin condition used the specific symptom sum score with the following assessments: squama, roughness, redness, and cracks, abbreviated as srrc. results the skin repair chart below had shown several results, namely: the results of the kruskal-wallis difference analysis test above) indicated that the value of p = 0.001 or p <0.01, mea ning that ther e was a significant difference in the concentration of aloe extract between groups. based on the table of the results of the linear regr ession test (effect test), the correla tion coefficient va lue = 0.831, meaning that the relationship between the two research variables wa s in the ver y strong cor rela tion categor y. however, the coefficient of determination was 69%, which means tha t giving a loe extra ct had a contribution effect of 69% on the skin condition of xerosis patients and 31% influenced by other factors outside the variable giving aloe extract. based on the statistical results of the normality test (data distribution test), the p-value for the concentration of the aloe extract group was 100% p 0.024, the p-value for the aloe extract group was 75%, namely p 0.001, the p-value for the aloe extract group was 50% namely p 0.001, and the p-value the value of the aloe extract group 25% is p 0.024. therefore, it can be concluded that the p-value of the aloe extract concentration group of 100%, 75%, 50%, and 25% have a p-value <0.05, which means that the data did not distribute with normal or h0 rejected. hence, those with a normal distribution or h0 a ccepted only in the 0% a loe extr a ct concentration group with a p-value of 0.734> 0.05. therefore, the requirements for the anova test were still not fulfilled, so it continued by using the kruskal-wallis test. treatment duration patient skin condition’s chart figure 1 distribution of xerosis patient skin conditions according to figure 1 of 20 respondents, the results showed that in the third week of the aloe vera extract group, the one with the highest change in xerosis skin conditions was the aloe vera extract group 75% with an average percentage change of 80% and included in the category of mild xerosis assessment. xerosis score graph figure 2 xerosis score graph 418 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 415–420 discussion initial skin condition of patients with chronic kidney failure based on the results of the research analysis, it was found that the average value of skin conditions in all groups was severe skin conditions. the details were the 100% group with an average percentage of xerosis skin conditions of 61.25%, the 75% group with an a ver a ge per centa ge of xer osis skin conditions of 56.25%, 50% group with an average percentage of xerosis skin conditions of 62.5%, 25% group with an average percentage of xerosis skin conditions of 65%, and the control group with an average percentage of xerosis skin conditions of 55%. therefore, all of the groups had the category of severe xerosis in the initial skin conditions with the lowest percentage of xerosis skin conditions, na mely the contr ol gr oup with a n a ver a ge percentage of 55% skin conditions. the assessment of the skin condition for xerosis was assessed using the specific symptom sum score, which was the newest method of assessing dry skin established by the europan group on the effectiveness of measurement of cosmetics and other topical products in 1994 in france (siregar, 2013). this score divided the assessment into several clinical criteria so that it was easier to use, namely: squama (scale), roughness (skin roughness), redness (erythema), and cracks (fissure), which were abbreviated as srrc (sachdeva, 2015) based on siregar (2013), dry skin provided several characteristic features, namely: 1. visible characteristics: redness, dull surface, dryness, white patches, layered appearance, cracks, and fissures. 2. palpable characteristics: dull and uneven. 3. sensor y cha r a cter istics: feels dr y a nd uncomfortable, painful, and itchy. it wa s also needed to provide sufficient information to respondents so that respondents understand how to manage aloe vera extract and stop using aloevera if there was an allergy, and inform the benefits of aloevera, the content of aloevera extract, and provided information about changes in skin condition. thus, it could prevent complications that occured when administering aloevera to xerosis patients. skin condition of patients with chronic kidney failure after appliying aloe extract 100% the results of the descriptive analysis of the research on the skin conditions of patients with chronic renal failure after giving 100% aloe extract showed that there was the highest percentage of skin condition improvement by the 100% aloe extract group in the third week, with an average percentage of 71.5%. the gr eater the active substa nce concentration, the better the drug diffusion. a good drug diffusion will accelerate the absorption of the skin against the drug so that it works following the function of the medicinal compounds contained therein. research conducted by widurini (2013) stated that using aloe vera with a concentration of 100% that applied to the inflammation of the oral mucosa of r a ts showed tha t it wa s a ble to r educe inflammation of the oral mucosa of rats. the results show that aloe vera did not have a single antiinflammatory mechanism. this plant contained various elements and substances that were believed to act as anti-inflammatory agents, including salicylic acid, vitamins, polysaccharides, and fatty acids (widurini, 2013). the intervention conducted by researchers with a concentration of 100% aloe vera only made a 71.5% change in the xerosis condition which meant that the higher the concentration of aloe vera extract could accelerate the skin condition of xerosis. however, it coud be influenced by many factors which one of it, was the difference in the level of acidity (ph) between the aloe vera concentration and the acidity level of the skin in the epidermis. skin condition of patients with chronic kidney failure after appliying aloe vera extract 75% the results of the descriptive analysis of the research on the skin conditions of patients with chronic renal failure after giving aloe extract 75% showed that there was the highest percentage of skin condition improvement by the aloe extract group 75%, which was in the third week with an average percentage of 80%. the improvement in skin condition in the group was 75% higher than that in the 100% group. according to the researcher, there was no effect of using aloe vera extract on skin 419handriani, agustina, aloe vera extract 75% effective in providing xerosis repair in ... conditions in the first week because it was still in the inflammatory phase. then, in the second week of giving aloe vera extract, the skin conditions begin to change because they entered the proliferation stage. in the third week, the skin condition was far away better, which means experiencing increased healing, namely enter the finishing or maturation stage. based on the results of the research, the treatment group that was given aloe vera extract with a concentration of 75% was the fastest to improve skin structure and skin moisture xerosis. at this concentration, the ph of aloe vera and ph of epidermis were almost the same, which was giving aloe vera the ability to penetrate the stratum corneum properly. skin conditions of patients with chronic kidney failure after giving aloe vera extract 50% and 25% researcher’s observation on the skin conditions of patients with chronic renal failure after applying 50% aloe extract showed there was the highest percentage of skin conditions by the aloe extract group 50% in the third week with an average percentage of 61.80%. then, the results of the observations of researchers on the skin conditions of patients with chronic renal failure after giving aloe extract 25% showed that the condition of skin improvement in the third week had an average percentage of 49.7 in the results of the kruskal-wallis difference test, the value of p = 0.001 or p <0.01, which means that there was a significant difference between the aloe extract concentration groups. in the results of the linear regr ession test (effect test), the correlation coefficient value = 0.831. here, it can be interpreted that the relationship between the two research variables was in a very strong correlation category. however, the coefficient of determination was 69%, which means that giving aloe extract had a contribution effect of 69% on the skin condition of xerosis patients and 31% influenced by other factors outside the variable giving aloe extract. based on the results of the research, the treatment group was given aloe vera extract, with a concentration of 75% was the fastest to improve skin structure and skin moisture xerosis. it happens due to the concentration the ph of aloe vera and ph of the epidermis were almost the same, thus giving aloe vera the ability to penetrate the stratum corneum properly. according to previous research by agoes (2015), it stated that aloe vera gel contained 99% water and the other glucomannans, amino acids, lipids, sterols, and vitamins. aloe vera stimulated fibroblasts, which produced collagen and elastin fibers, which made skin more elastic and reduced wrinkles then, the amino acids in aloe vera also reduced rough skin and acted as an astringent to reduce pores (furnawanti, 2014). besides, the content of aloe vera extract compounded in the form of amino acids and protease enzymes was able to function to help to accelerate the development of new cells tremendously and eliminating dead cells in the epidermis. conclusion the use of aloe vera extract on the skin conditions of patients with chronic renal failure showed that there was an improvement in the xerosis skin after applying aloe vera extract. the highest skin improvement was found in the group with 75% aloe vera extract with an average percentage of 80% improvement in skin conditions. suggestion it suggested that further r esea rch needs sample selection with the same level of xerosis in patients with different concentrations of aloe vera extr a ct. t he sa mple selection needs to be differentiated based on the length of time undergoing the sa me hemodia lysis ther a py so tha t the effectiveness of aloe vera concentrations is more accura te. t he a cidity level of the a loe vera concentration and the acidity of the skin also need to be measured as comparison. measurement of the concentration of active substances before and after dilution needs to be measured to get the optimum concentration. references agustina, w, purnomo ae (2018). menurunnya kadar hemoglobin pada penderita end stage renal disease(esrd) yang menjalani hemodialisis di kota malang prosiding seminar nasional 2018 “ peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan dalam mendukung program kesehatan nasional jember 28 november 2018. hal 76-83. isbn : 978602-6988-58-4. 420 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 415–420 agustina w, wardani ek. (2019). penurunan hemoglobin pada penyakit ginjal kronik setelah hemodialisa di rsu “kh” batu. jurnal ners dan kebidanan vol 6 , no 2 , 142-147 agoes, azwar. (2015). tanaman obat indonesia. jakarta: salemba medika. berawi, k. (2016). fisiologi ginjal dan cairan tubuh. bandar lampung: universitas lampung. fauzi, arif. (2017). ane ka tanaman obat dan khasiatnya. jakarta: media pressindo. firmansyah, m. (2014). usaha memperlambat perburukan penyakit ginjal kronik ke penyakit stadium akhir. jakarta: cdk. furnawanti, irni. (2017). khasiat dan manfaat tanaman lidah buaya. jakarta: agro media pustaka. makmur, w. (2013). pengaruh hemodialisis terhadap kadar ureum dan kreatinin darah pada pasien gagal ginjal kronik. retrieved from http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1294654794 martini, endang w. (2015) mutalazimah. hubungan tingkat asupan protein dengan kadar ureum dan kreatinin darah pada pasien gagal ginjal kroni k di r sud dr. moewardi surak art a. retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/129056794 mustarichie, resmi. (2013). metode penelitian tanaman obat. yogyakarta: widya padjadjaran. nursalam. (2013). konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. price, sylvia a. (2012). konsep klinis proses penyakit. jakarta: egc. puspita dewi, s. (2015). hubungan lamanya hemodialisa dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal di rs pku muhammadiyah yogyakarta. retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12900694 purnomo, basuki b. (2014). dasar-dasar urologi. malang: sagung seto. ratna dewi, p. (2013). penyakit-penyakit kematian. yogyakarta: nuha medika. sachdeva, s. (2015). fitz patrick skin typing aplications in dermatologi. india: india jornal of dematologi. set i a di . (2012). konse p dan penul i san r ise t keperawatan. yogyakarta: graha ilmu. siregar. (2013). atlas berwarnari pati penyakit kulit. surabaya: egc. sumaltzer. (2014). textbook of medical surgical nursing. philadelphia: linppincot. syaifuddin. (2012). anatomi fisiologi. yogyakarta: egc. tansil, sukmawati. (2016). ilmu penyakit kulit dan kelamin. surabaya: egc. zhang, q., rothenbacher, d. (2012) prevalence of chronic kidney disease in population-based studies. retrieved from http:// www.biomedcentral. com/1471-2458/8/117 283prasetya, arsa, hubungan pemberian syringe pump norepinephrine... 283 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar yuda dwi prasetya1, sandi alfa wiga arsa2 1,2prodi keperawatan, stikes patria husada blitar, indonesia info artikel kata kunci: syringe pump norepinephrine; dosis; kadar gula darah acak abstrak ketidakwaspadaan terhadap kontrol gula pasien yang mendapatkan norepinephrine berakibat perpanjangan masa rawat inap dan perburukan kondisi.tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. rancangan penelitian menggunakan korelasi dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien icu rsud mardi waluyo kota blitar yang diberikan syringe pump norepinephrine pada 29 oktober – 22 november 2018. jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang dengan menggunakan tehnik pengambilan sampel accidental sampling. analisa data menggunakan spearman’s rho. hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang lemah antara pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar dengan p value = 0,034 dan rs = 0,389. norepinephrine dapat meningkatkan tekanan darah pada pasien kritis yang mengalami hipotensi, akan tetapi berakibat meningkatkan kadar gula darah acak, sehingga diharapkan adanya pemantauan kadar gula darah acak pada pasien kritis serta adanya monitoring penggunaan cairan diluent normal saline 0,9% dan dextrose 5% yang harus disesuaikan dengan kondisi dari pasien yang mendapatkan norepinephrine. relationship of norepinephrine syringe pump with random blood sugar levels in patients in icu room mardi waluyo hospital, blitar city article information abstract unawareness of blood sugar control in patients receiving norepinephrine resulted in an extended period of hospitalization and worsening conditions. the aim of the study was to analyze the correlation of giving norepinephrine syringe pump and random blood sugar levels of patients in icu mardi waluyo hospital, blitar city. the study used correlation design with cross sectional approach. the population in this study was all icu patients of mardi waluyo hospital blitar city who were given the norepisejarah artikel: diterima, 16/08/2019 disetujui, 12/09/2019 dipublikasi, 02/12/2019 history article: received, 16/08/2019 accepted, 12/09/2019 published, 02/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p283-291&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 284 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 283–291 correspondence address: stikes patria husada blitar east java, indonesia p-issn : 2355-052x nephrine syringe pump on 29 october 22 november 2018. the sample was 30 people taken by using accidental sampling technique. the data analysis used spearman’s. the results showed there was a weak correlation between the administration of norepinephrine syringe pump and random blood sugar levels of patients in the icu room at mardi waluyo hospital, blitar city with p value = 0.034 and rs = 0.389. norepinephrine could increase blood pressure in critical patients who had hypotension, but it resulted in the increase of random blood sugar levels. it is expected to monitor random blood sugar level of critical patients as well as monitoring the use of diluent normal saline 0.9% and dextrose 5% which should be adapted to the conditions of patients who get norepinephrine. © 2019 jurnal ners dan kebidanan pendahuluan pasien dengan kegagalan sirkulasi merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa (arifah, 2009). kegagalan sirkulasi menyebabkan hipotensi pada pasien yang harus segera ditangani baik menggunakan cairan resusitasi maupun obat-obatan untuk meningkatkan tekanan darah. salah satu obat yang digunakan untuk meningkatkan tekanan darah adalah norepinephrine (beetz & hein, 2009a). selama ini pasien kritis yang mendapatkan norepinephrine dengan tanpa riwayat gangguan metabolisme glukosa maupun yang total parenteral nutrition belum pernah dilakukan kontrol glukosa. ketidakwaspadaan terhadap kontrol glukosa pada pasien yang mendapatkan norepinephrine berakibat adanya perpanjangan masa rawat inap dan perburukan kondisi pada beberapa pasien. yang pada akhirnya akan meningkatkan angka mortalitas pasien yang seharusnya bisa di hindari sejak awal. dikarenakan norepinephrine dapat meningkatkan kadar gula darah secara cepat akibat proses glikolisis dan glukogenolisis (beetz & hein, 2009a). pada penelitian yang dilakukan oleh meivy, dkk tahun 2016 di rs pancaran kasih gmim manado, didapatkan dari 38 responden (50,7 %) memiliki kadar gula darah yang buruk disaat kadar norepinephrine dalam darah sangat tinggi. pada survei pendahuluan yang dilakukan di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar pada tanggal 1 mei 2018 sampai dengan 15 mei 2018, didapatkan dari 10 sampel yang mendapatkan terapi norepinephrine, kesemuanya mengalami peningkatan kadar gula darah acak sebesar 5-48 mg/dl. pengukuran kadar gula acak dilakukan sebelum dilakukan pemberian terapi norepinephrine dan kemudian setelah 15 menit terinduksi oleh norepinephrine. pada survei pendahuluan ini terlihat adanya peningkatan kadar gula darah acak pasien kritis yang mendapatkan norepinephrine. beetz et al., (2009) menjelaskan, norepinephrine adalah suatu amin simpatomimetik, yang terutama bekerja melalui efek langsung pada reseptor  dan reseptor  di jantung. reseptor adrenergik terdiri dari reseptor  dan reseptor . reseptor  terdiri dari dua bagian besar yaitu reseptor 1 dan 2, dimana 2 memiliki aksi yang menginhibisi pelepasan norepinephrine. reseptor 1 dapat menstimulasi terjadinya lipolisis di jaringan adiposa sehingga terjadi glukoneogenesis. sedangkan reseptor 2 akan menyebabkan meningkatnya glikogenolisis. hal ini akan meningkatkan kadar glukosa darah dalam waktu yang singkat dikarenakan sebagai respon aktivasi norepinephrine. hiperglikemia saat perawatan merupakan faktor risiko yang dapat ditatalaksana dengan optimal untuk menurunkan mortalitas (yasmine, 2016). hiperglikemi dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas serta biaya perawatan pada pasien kritis di ruang icu (hermans & van den berghe, 2015). hal ini dapat ditekan dengan kontrol glukosa darah. kadar gula darah pasien kritis dipertahankan pada kisaran 80-110 mg/dl (cooksley, mcavoy, & hajikeywords: syringe pump norepinephrine, dosage, random blood sugar levels email: sandialfa.wiga@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p283-291 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p283-291 285prasetya, arsa, hubungan pemberian syringe pump norepinephrine... michael, 2012). selama ini kontrol glukosa darah difokuskan pada pasien kritis dengan riwayat hiperglikemia maupun hipoglikemia, pasien trauma berat, pasien kritis dengan total parenteral nutrition, pasien kritis dengan menggunakan obat golongan steroid. namun tidak dilakukan kontrol glukosa pada pasien yang mendapatkan norepinephrine. risiko mortalitas pasien kritis dengan hiperglikemia 2,13 kali lebih tinggi daripada pasien normoglikemia (falciglia, freyberg, almenoff, d’alessio, & render, 2009). sistem homeostasis pasien kritis tidak sama dengan pasien lain pada umumnya. pada pasien kondisi kritis, sulit untuk melakukan mekanisme pertahanan, sehingga dapat dengan mudah mengalami ketidakseimbangan yang dapat mengancam homeostasis tubuh (modell et al., 2015). pasien kritis dengan penggunaan norepinephrine selama ini tidak pernah dilakukan kontrol glukosa. padahal secara teori terjadi glukoneogenesis dan glikogenolisis pada pasien yang menggunakan norepinephrine yang berakibat peningkatan kadar gula darah yang tidak dapat dikontrol oleh tubuh pasien. oleh karena itu, harus dilakukan kontrol glukosa pada pasien kritis yang mendapatkan norepinephrine meskipun tanpa ada riwayat gangguan metabolisme glukosa maupun dalam kondisi total parenteral nutrition. sesuai dengan prinsip fast hug yang diterapkan di ruang perawatan kritis. menurut nair et al., (2017), fast hug merupakan sebuah mnemonic atau singkatan yang memudahkan seorang atau tim praktiksi medis dalam memberikan terapi pada pasien di ruang icu, singkatan tersebut adalah fasthug. fasthug terdiri dari f untuk feeding, a untuk analgesia, s untuk sedation, t untuk thromboembolic prophylaxis, h untuk head of bed elevasi, u untuk stress ulcer prevention, dan g untuk glucose control. dengan fast hug, pasien yang mendapatkan terapi norepinephrine dilakukan kontrol glukosa darah secara ketat. tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan riset tentang hubungan pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. bahan dan metode rancangan penelitian menggunakan korelasi dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien icu rsud mardi waluyo kota blitar yang diberikan syringe pump norepinephrine pada 29 oktober – 22 november 2018. jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang dengan menggunakan tehnik pengambilan sampel accidental sampling. variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian syringe pump norepinephrine sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar gula darah acak. lokasi penelitian adalah di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. waktu penelitian pada 29 oktober sampai dengan 22 november 2018. uji yang digunakan untuk mengetahui hubungan pemberian syringe pump norepinephrine (ne) dengan kadar gula darah digunakan uji spearmen’s rho. derajat kemaknaan di tentukan  0,05. hasil penelitian data umum variabel (f) % usia 26 – 35 tahun 1 3,33 36 – 45 tahun 2 6,67 46 – 55 tahun 13 43,33 56 – 65 tahun 15 50 >65 tahun 4 13,33 jenis kelamin laki -laki 17 56,67 perempuan 13 43,33 diagnosa medis septic shock 10 33,33 cardiogenic shock 13 43,33 hipovolemic shock 1 3,33 internal bleeding 1 3,33 ich 2 6,67 evd 2 6,67 cva bleeding 1 3,33 berat badan (kg) 40 – 49 9 30 50 – 59 12 40 60 – 69 9 30 riwayat penyakit keluarga ht 1 3,33 cva 1 3,33 tbc 1 3,33 tidak ada 27 90 pekerjaan swasta 16 53,33 pns 3 10 petani 6 20 tidak bekerja 5 16,67 tabel 1 distribusi prosentase data umum pasien yang diberikan syringe pump norepinephrine di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar 286 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 283–291 tabel 1 menunjukkan prosentase data umum dari pasien yang mendapatkan syringe pump norepinephrine. berdasarkan tabel 1 prosentase usia terbesar ada pada kisaran 56–65 tahun sebesar 50% atau sebanyak 15 orang. jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 17 orang dengan prosentase 56,67%. cardiogenic shock merupa kan diagnosa medis dengan prosentase terbesar yaitu 43,33% atau sejumlah 13 orang. prosentase berat badan terbesar ada pada kisaran 50–59 kg yaitu sebesar 40% atau sejumlah 12 orang. sedangkan pada data riwayat penyakit keluarga, prosentase terbesar sebesar 90% atau sejumlah 27 orang tidak memiliki riwayat penyakit keluarga. serta 53,33% pekerjaan pasien di bidang swasta, yaitu sejumlah 16 orang. data khusus tabel 3 menunjukkan prosentase data khusus kadar gula darah acak pada pasien yang mendapatkan syringe pump norepinephrine di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa sebanyak 21 pasien mengalami peningkatan kadar gula darah acak atau sebesar 70%. tabel 2 menunjukkan prosentase data khusus pada pasien yang mendapatkan syringe pump norepinephrine di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. berdasarkan tabel 2 prosentase tertinggi untuk dosis norepinephrine ada pada kisaran dosis rendah (0,05 – 0,5 mcg/kgbb/menit) sebesar 46,67% atau sejumlah 14 pasien. variabel (f) % kadar gula darah acak meningkat 21 70 tetap 0 0 menurun 9 30 tabel 3 distribusi prosentase data khusus kadar gula darah acak untuk mencapai tekanan darah sesuai target pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar variabel (f) % dosis norepinephrine tinggi 6 20 medium 10 33,33 rendah 14 46,67 tabel 2 distribusi prosentase data khusus pemberian syringe pump norepinephrine untuk mencapai tekanan darah sesuai target pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar tabel 4 hasil analisa data dan uji statistik spearman’s rho pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar kadar gula darah acak meningkat tetap menurun (f) % (f) % (f) % dosis tinggi 6 20 0 0 0 0 norepinephrine medium 7 23,33 0 0 3 10 rendah 8 26,67 0 0 6 20 spearman’s rho sig. (2-tailed) = 0,034correlation coefficient = 0,389 dari hasil analisa data yang dilakukan dengan spss dan uji statistik menggunakan uji spearman’s rho didapatkan nilai sig.(2-tailed) sebesar 0,034. hasil uji statistik menunjukkan   0,05 maka ada hubungan yang signifikan pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. pembahasan pemberian syringe pump norepinephrine pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. pada tabel 2 menunjukkan bahwa prosentase tertinggi dosis norepinephrine yang diberikan untuk mencapai tekanan darah yang diinginkan ada pada 287prasetya, arsa, hubungan pemberian syringe pump norepinephrine... dosis rendah (0,05 – 0,5 mcg/kgbb/menit). nilai prosentase yang tinggi pada norepinephrine dosis rendah juga terdapat pada kelompok responden usia 46 – 55 tahun, yaitu sebesar 23,33%. kelompok responden dengan diagnosa cardiogenic shock juga mempunyai pr osentase ter tinggi da la m penggunaan norepinephrine dosis rendah, yaitu sebesar 23,33%. pada penelitian ini juga didapatkan sebanyak 26,67% pasien laki-laki diberikan dosis norepinephrine sebesar 0,05 – 0,5 mcg/kgbb/menit untuk menca pa i nila i teka na n da r a h ya ng diharapkan. tekanan darah dipengaruhi oleh faktor dari organ jantung, vaskuler dan volume dari darah. pasien kritis dalam kondisi hipotensi memerlukan penanganan segera untuk mengembalikan tekanan darah ke batas normal. penggunaan norepinephrine adalah salah satu solusi dari permasalahan tersebut. hal tersebut sejalan dengan beetz et al., (2009) norepinephrine merupakan salah satu obat yang digunakan untuk meningkatkan tekanan darah. dan juga sejalan dengan (silversides et al., 2014), norepinephrine meningkatkan kontraktilitas jantung yang pada akhirnya meningkatkan tekanan darah pada pasien. kenaikan dari dosis norepinephrine tergantung dari tekanan darah responden. tekanan darah ditentukan oleh curah jantung dan resistensi dari pembuluh darah terhadap darah (han, park, shin, & kim, 2016). perubahan jumlah dosis yang digunakan dikarenakan sebagai langkah untuk meningkatkan tekanan darah sampai dengan nilai yang diinginkan. penelitian ini sejalan dengan sumardi et al., (2015), pemberian norepinephrine intravena pada menit ke empat pada pasien terinduksi spinal anastesi memiliki nilai rata – rata peningkatan sebesar 89,79% serta 85,23% pada menit ke sembilan. berdasarkan usia, penelitian ini sejalan dengan (harahap et al., (2008), terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan tekanan darah sistol dan diastol. setiap peningkatan umur 1 tahun akan meningkatkan tekanan darah sistol sebanyak 0,493 mmhg dan diastol sebanyak 0,189 mmhg. ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi tercapainya tekanan darah target. pada rentang usia 46 – 55 tahun individu masih memiliki fungsi myocardium yang bagus serta lumen vaskuler yang relatif baik. dengan adanya induksi norepinephrine dalam darah maka akan terjadi respon peningkatan kontraktilitas jantung. hal ini sejalan dengan (massicotte et al., 2017), fungsi organ kardi ovaskuler yang relatif bagus pada rentang usia 46 55 tahun. pada kasus cardiogenic shock, norepinephrine menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung yang semula melemah. sehingga tekanan darah dapat segera meningkat ketika norepinephrine mencapai target organ. namun perlu diperhatikan bahwa norepinephrine bukanlah pilihan utama dalam penangana n kasus cardiogenic shock. nor epinephrine merupakan pilihan utama dalam penanganan kasus septic shock. pada kasus cva bleeding ada kecenderungan disertai dengan riwayat hipertensi. sejalan dengan hafid, (2014), bahwa hipertensi merupakan faktor utama penyebab stroke. namun pada cva bleeding yang diberikan norepinephrine dimungkinkan telah terjadi perburukan kondisi akibat infeksi sekunder maupun sudah terjadi herniasi cerebral. dengan dosis rendah norepinephrine, kondisi hipotensi akan segera mencapai nilai tekanan darah yang diharapkan. pemberian norepinephrine dengan dosis rendah pada pasien laki-laki akan segera meningkatkan tekanan darah sampai dengan nilai yang diharapkan. jenis kelamin berpengaruh terhadap elastisitas pembuluh darah. kadar hormon estrogen mempunyai nilai yang tidak terlalu besar di dalam individu laki-laki. padahal hormon estrogen berperan dalam menjaga elastisitas dinding vaskuler. tekanan darah akan meningkat saat elastisitas pembuluh darah mulai berkurang. sejalan dengan harahap et al., (2008), bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tekanan darah diastol, tekanan darah diastol perempuan lebih rendah 3,4 mmhg dibandingkan dengan laki-laki. berat badan berpengaruh pada tahanan perifer vaskuler. pada pasien dengan berat badan yang berlebih mempunyai tahanan perifer yang besar dikarenakan adanya penumpukan lemak yang berubah menjadi plaque pada sistem vaskuler. semakin menyempitnya diameter vaskuler maka akan semakin besar tekanan yang dibutuhkan oleh darah untuk mencapai target organ. dengan dosis rendah norepinephrine akan membuat diameter vaskuler lebih kecil dari sebelumnya sehingga tekanan darah segera mencapai nilai yang diinginkan. hal ini sejalan dengan fitriani (2017), ada hubungan signifikan antara imt dengan peningkatan tekanan darah. dalam penelitiaanya komeliani, (2012), menunjukan bahwa obesitas beresiko terkena hipertensi 4,02 kali dibandingkan orang yang tidak obesitas. 288 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 283–291 riwayat penyakit kardiovaskuler pada anggota keluarga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan dari sistem kardiovaskuler individu. hal ini sejalan dengan fitriani et al., (2017), bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit keluarga dengan tekanan darah. serta sejalan dengan harahap (2008), bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat keturunan hipertensi dengan tekanan darah sistol dan diastol. namun pada penelitian ini didapatkan hanya 1 responden memiliki riwayat penyakit keluarga yaitu cva yang mendapatkan dosis rendah norepinephrine untuk mencapai nilai tekanan darah yang diinginkan. kondisi ini dikarenakan ketersediaan sampel penelitian. kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. pada tabel 3 menunjukkan bahwa ada peningkatan kadar gula darah acak terendah saat tekanan darah yang diinginkan tercapai, yaitu sebesar 70% atau sejumlah 21 pasien. peningkatan kadar gula dalam darah diakibatkan pelepasan dan pembentukan glukosa baru ke dalam vaskuler. sewaktu pasien kritis mendapatkan syringe pump norepinephrine, maka akan timbul suatu kondisi terjadinya peningkatan kadar norepineprine dalam vaskuler. norepinephrine merupakan salah satu hormon stress, dalam hal ini sejalan dengan winta et al., (2018), ahwa ada hubungan antara peningkatan stress dengan kadar gula darah. hal ini juga sejalan dengan nurmawati, (2018), bahwa kadar gula darah sewaktu dipengaruhi oleh hormon stress. norepinephrine dapat meningkatkan kadar gula darah secara cepat akibat proses glikolisis dan glukogenolisis (beetz & hein, 2009). sedangkan menurut coggan et al., (2018), pelepasan norepinephrine ke vaskuler menstimulasi peningkatan glikogenolisis pada tingkatan sel pada pasien dengan neurosurgery. sejalan dengan siskawati et al., (2010) yang menyatakan bahwa rerata kadar gula darah puasa pada kelompok perokok sebesar 118,6 sedangkan pada kelompok yang bukan perokok 102,2. nikotin pada rokok mengakibatkan pelepasan katekolamin yang merupakan rantai dari pelepasan norepinephrine sehingga meningkatkan kadar norepinephrine di dalam vaskuler. peningkatan kadar gula darah acak setelah pemberian norepinephrine dikarenakan terjadi mekanisme peningkatan pelepasan glukosa ke dalam darah akibat peningkatan kadar norepinephrine dalam darah. hal ini akan menimbulkan peningkatan kadar gula dalam darah. namun respon ini juga dipengaruhi oleh hormon lain. dilihat dari segi usia, pada kelompok usia 46 – 55 tahun memiliki prosentase terbesar dalam peningkatan gula darah acak, yaitu sebesar 33,33%. pada rentang usia 46 – 55 tahun proses pelepasan glukosa dalam darah dapat terjadi secara cepat dikarenakan masih normal dan relatif baik fungsi dari organ yang dimiliki oleh responden pada rentang usia tersebut. selain itu kondisi dari pasien kritis memberikan dampak signifikan pada pelepasan norepinephrine ke dalam vaskuler akibat dari respon tubuh. namun pada pasien kritis berat akan tidak terlalu berdampak signifikan, dikarenakan sudah rusaknya dari sistem organ tubuh dari pasien. yang pada akhirnya norepinephrine tidak menimbulkan efek peningkatan kadar gula darah acak. peningkatan kadar gula darah berhubungan dengan dengan jenis kelamin. hal ini sejalan dengan rudi et al., 2017), bahwa variabel yang berhubungan dengan kadar gula darah adalah jenis kelamin. hal ini dikaitkan dengan aktifitas fisik, dimana perempuan lebih sedikit aktivitas fisiknya dibandingkan dengan laki-laki, terlebih ibu rumah tangga (aziminezhad et al., 2008). pelepasan glukosa ke dalam vaskuler akibat norepinephrine ditambah dengan faktor resiko jenis kelamin, mengakibatkan peningkatan kadar gula darah yang cukup signifikan pada responden perempuan. perubahan kadar gula darah dalam tubuh pasien ditentukan oleh intake glukosa serta status sistem endokrin pasien tersebut. berbeda dengan kondisi pasien diabetes militus, pada pasien cardiogenic shock perubahan kadar gula darah diakibatkan oleh penggunaan norepinephrine. namun bila terdapat kondisi peningkatan aktivitas otot bantu nafas maupun perubahan asam basa, maka hal tersebut dapat mempengaruhi perubahan kadar gula darah pada pasien cardiogenic shock. pada umumnya pasien cardiogenic shock tidak mengalami kondisi hipoglikemi kecuali ada faktor sekunder penyerta. sehingga dengan penggunaan norepinephrine dapat meningkatkan kadar gula darah tanpa adanya intervensi dari gangguan metabolik pasien. keadaan hipoglikemi pada cardiogenic shock yang mendapatkan norepinephrine perlu dikaji terlebih lanjut. kondisi multiple organ failure maupun distress nafas serta pembatasan intake peroral dimungkinkan menjadi penyebab dari kondisi tersebut. namun, perlu dicatat bahwa indikasi norepinephrine pada 289prasetya, arsa, hubungan pemberian syringe pump norepinephrine... cardiogenic shock adalah untuk mengembalikan tekanan darah pada batas normal, bukan untuk menjaga kestabilan glukosa pada darah. pada kondisi yang diindikasikan harus menggunakan norepinephrine, faktor cairan yang digunakan untuk pengenceran norepinephrine harus diperhatikan. penggunaan normal saline 0,9% dapat berperan dalam penurunan kadar glukosa darah. namun sebaliknya, dengan menggunakan dextrose 5% dapat meningkatkan kadar gula darah. dengan tidak mengesampingkan resiko kejadian phlebitis, pemilihan jenis cairan pengencer yang tepat dapat menjaga kestabilan gula darah pasien. pekerjaan menentukan tingkat hormon stress yang dimiliki oleh pasien. pada penelitian ini, pasien yang bekerja di bidang swasta memiliki kecenderungan peningkatan kadar gula darah dengan dosis rendah norepinephrine. namun dalam kondisi sakit kritis, perubahan tingkat hormon stress pada pasien patut dipertanyakan dan perlu pengkajian lebih lanjut. oleh karena itu faktor pekerjaan perlu diteliti lebih lanjut. hubungan pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar pada tabel 4 menunjukan hasil analisa data yang dilakukan dengan spss dan uji statistik menggunakan uji spearman’s rho. hasil uji statistik menunjukkan menunjukan bahwa tingkat hubungan antar variabel rendah serta arah hubungan adalah positif. hal tersebut bermakna ada hubungan yang signifikan pemberian syringe pump norepinephrine dengan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar. serta bila terjadi peningkatan pada variabel pemberian syringe pump norepinephrine maka akan diikuti peningkatan pada variabel kadar gula darah acak. telah dijelaskan bahwa winta et al., (2018) menyatakan ada hubungan antara peningkatan stress dengan kadar gula darah, hasil penelitian ini sejalan dengan marangou et al., (1988), ada hubungan antara penurunan toleransi glukosa dan sensitifitas insulin dengan infus norepinephrine. namun tingkat hubungan antar variabel sedang. pada variabel peningkatan lipolisis menunjukan tingkat hubungan yang tinggi. norepinephrine mempunyai respon cepat, dan langsung berefek meningkatkan kontraktilitas jantung dan jaringan otot. glukosa yang terbentuk dan terlepas dalam pembuluh darah langsung terserap pada target organ dan segera di metabolisme. sebagai konsekuensi kadar gula darah tidak terlalu melonjak tinggi. peningkatan dosis juga memaksa pelepasan glukosa dalam darah lebih banyak daripada sebelumnya. namun dimungkinkan pengoplosan norepineprine dengan menggunakan cairan nomal saline 0,9% maka akan terjadi respon pengeceran dari konsentrasi glukosa di dalam vaskuler. serta perlu diperhatikan bahwa pasien kritis berat mempunyai respon yang berbeda, ketika terpapar norephineprine dalam jumlah dosis apapun maka tubuh sudah tidak berespon sesuai dengan teori. kegagalan multi organ diduga yang menyebabkan hal tersebut. pada pasien yang diberikan norepinephrine dengan resistensi insulin serta pasien dengan gangguan metabolisme glukosa, membutuhkan kewaspadaan yang lebih daripada pasien kritis lainnya. ketika glukosa dalam darah sulit untuk masuk ke dalam sel, norepinephrine menstimulasi proses lipolisis dan pembentukan glukosa baru yang pada akhirnya menumpuk di dalam darah. akumulasi yang berlebih ini akan semakin meningkatkan kadar gula darah pasien. tingkat hubungan antar variabel yang rendah dapat diakibatkan oleh kondisi pembatasan intake glukosa peroral akibat gangguan pada sistem gastrointestinal. ketika intake peroral tidak adekuat, maka proses pembentukan dan pemecahan glukosa dalam jaringan akan dilakukan. namun dalam kondisi sakit kritis, kemampuan organ dalam menjalankan fungsinya akan menurun. penggunaan ivfd sebagai total parenteral nutrition dapat membantu sebagian. kemungkinan terjadinya penurunan kadar glukosa secara signifikan tetap terjadi. meskipun menggunakan noerepinephrine namun belum tentu kadar gula darah meningkat secara signifikan bila menilik kondisi tersebut. keterbatasan penelitian penelitian ini telah dilaksanakan sesuai prosedur penelitian yang ilmiah, namun demikian masih memiliki keterbatasan penelitian. estimasi jumlah responden berbeda dengan jumlah responden pada bulan sebelumnya. sehingga penelitian memerlukan waktu yang lebih panjang daripada perkiraan awal. serta responden merupakan pasien dengan kondisi sakit kritis, kegagalan multi organ dapat mempengaruhi hasil pengukuran kadar gula darah. 290 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 283–291 kesimpulan berdasarkan pembahasan dan hasil uji statistik pada penelitian ini, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa untuk mencapai tekanan darah yang diinginkan, dosis rendah dari syringe pump norepinephrine adalah yang paling banyak digunakan, terdapat peningkatan kadar gula darah acak pada pasien di ruang icu rsud mardi waluyo kota blitar, dan ada hubungan pemberian syringe pump norepinephrine dengan dosis 0,05 – 2 mcg/kgbb/ menit saran hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam penelitian selanjutnya untuk mengukur kadar hormon norepinephrine pada pasien. dan hasil penelitian ini diharapkan bisa sebagai dasar usulan kepada komite di rsud mardi waluyo kota blitar untuk menetapkan kebijakan dan standar operasional prosedur terkait penggunaan norepinephrine serta cairan diluent norepinephrine yang disesuaikan dengan kondisi pasien akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan pasien serta menurunkan lama masa perawatan pasien di rsud mardi waluyo kota blitar khususnya di unit perawatan kritis. daftar pustaka azimi-nezhad, m., ghayour-mobarhan, m., parizadeh, m. r., safarian, m., esmaeili, h., parizadeh, s. m. j., … ferns, g. (2008). prevalence of type 2 diabetes mellitus in iran and its relationship with gender, urbanisa tion, educa tion, mari tal st atus and occupation. singapore medical journal, 49(7), 571–576. beetz, n., & hein, l. (2009a). adrena line and noradrenaline. in cardiovascular hormone systems (pp. 233–250). weinheim, germany: wiley-vch verlag gmbh & co. kgaa. https://doi.org/10.1002/ 9783527626236.ch10 beetz, n., & hein, l. (2009b). adr enaline and noradrenaline. cardiovascular hormone systems, 233–250. https://doi.org/10.1002/9783527626236. ch10 coggan, j. s., keller, d., calì, c., lehväslaiho, h., markram, h., schürmann, f., & magistretti, p. j. (2018). norepinephrine stimulates glycogenolysis in astrocytes to fuel neurons with lactate. plos computational biology, 14(8). https://doi.org/ 10.1371/journal.pcbi.1006392 cooksley, t., mcavoy, t., & haji-michael, p. (2012). glucose control in critical care oncology. journal of the intensive care society, 13(4), 289–292. https:/ /doi.org/10.1177/175114371201300405 falciglia, m., freyberg, r. w., almenoff, p. l., d’alessio, d. a., & render, m. l. (2009). hyperglycemia-related mortality in critically ill patients varies with admission diagnosis. critical care medicine, 37(12), 3001–3009. https://doi.org/10.1097/ ccm.0b013e3181b083f7 fitriani, n., & nilamsari, n. (2017). faktor-faktor yang berhubungan dengan tekanan darah pada pekerja shift dan pekerja non-shift di pt. x gresik. journal of industrial hygiene and occupational health, 2(1), 57. https://doi.org/10.21111/jihoh.v2i1.1273 hafid, m. (2014). hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian stroke di rsup dr. wahidin sudirohusodo makassar 2012. jurnal kesehatan uin alauddin, 7(1). han, m. j., park, k. h., shin, j. ho, & kim, s. h. (2016). influence of daily fluid balance prior to continuous renal replacement therapy on outcomes in critically ill patients. journal of korean medical science, 31(8), 1337–1344. htt ps:// doi.org/10.3346/ jkms.2016.31.8.1337 harahap, h., hardinsyah, h., setiawan, b., & effendi, i. (2008). hubungan indeks massa tubuh, jenis kelamin, usia, golongan darah dan riwayat keturunan dengan tekanan darah pada pegawai negeri di pekan baru. penelitian gizi dan makanan, 31, 69–73. retrieved from http:// ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/ article/view/1515 hermans, g., & van den berghe, g. (2015). clinical review: intensive care unit acquired weakness. critical care, 19(1). https://doi.org/10.1186/s13054-0150993-7 komeliani. (2012). obesitas dan stress dengan kejadian hiper ten si. kesma s jurnal kese hat an masyarakat, 7(2), 117–121. https://doi.org/10.15294/ kemas.v7i2.2806 marangou, a. g., alford, f. p., ward, g., liskaser, f., aitken, p. m., weber, k. m., … best, j. d. (1988). hormonal effects of norepinephrine on acute glucose disposal in humans: a minimal model analysis. metabolism, 37(9), 885–891. https://doi.org/10.1016/00260495(88)90124-2 massicotte-azarniouch, d., amin, s. o., hesketh, c., & clark, e. g. (2017). renal replacement therapy: timing of initiation and intradialytic hypotension. american journal of respiratory and critical care medicine, 196(1), 102–104. ht t ps: / / doi . or g/ 10. 1164/ rccm.201611-2375rr modell, h., cliff, w., michael, j., mcfarland, j., wenderoth, m. p., & wright, a. (2015). a physiologist’s view of homeostasis. advances in physiology education, 39(4), 259–266. https:// doi.org/10.1152/advan.00107.2015 291prasetya, arsa, hubungan pemberian syringe pump norepinephrine... nair, a., naik, v., & rayani, b. (2017). fast hugs bid: modified mnemonic for surgical patient. indian journal of critical care medicine, 21(10), 713– 714. https://doi.org/10.4103/ijccm.ijccm_289_17 nurmawati, t. (2018). efektifitas pendidikan kesehatan dengan metode ekspositori tentang meal planning terhadap pola makan pasien dm tipe 2. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 5(3), 257–262. https://doi.org/10.26699/jnk.v5i3. art.p257-262 rudi, a., & kwureh, h. n. (2017). faktor risiko yang mempengaruhi kadar gula darah puasa pada pengguna layanan laboratorium. wawasan kesehatan, 3(2), 33–39. silversides, j. a., pinto, r., kuint, r., wald, r., hladunewich, m. a., lapinsky, s. e., & adhikari, n. k. (2014). fluid balance, intradialytic hypotension, and outcomes in critically ill patients undergoing renal replacement therapy: a cohort study. critical care, 18(6), 624. https://doi.org/10.1186/s13054-0140624-8 siskawati suparmin. (2010). beda kadar glukosa darah pada pria perokok dan bukan perokok tembakau usia 20-60 tahun di salemba tahun 2009-2010. fakultas kedokteran universitas indonesia jakarta. sumardi, f. s., nawawi, a. m., & maskoen, t. t. (2015). perbandingan efek pemberian norepinefrin bolus intravena dengan norepinefrin infus kontinu dalam tatalaksana hipotensi, laju nadi, dan nilai apgar pada seksio sesarea dengan anestesi spinal. jurnal anestesi perioperatif, 3(1), 14–23. https://doi.org/10.15851/jap.v3n1.375 winta, a. e., setiyorini, e., & wulandari, n. a. (2018). hubungan kadar gula darah dengan tekanan darah pada lansia penderita diabetes tipe 2 ( the correlation of blood glucose level and blood pressure of elderly with type 2 diabetes ). jurnal ners dan kebidanan, 5(2), 163–171. https://doi.org/ 10.26699/jnk.v5i2.art.p163 yasmine, g. (2016). association of glucose variability in the first 72 hours of icu care with icu mortality in critically-iii patients. jurnal penyakit dalam indonesia, 3. 170 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 170–176 170 peran keluarga dalam program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (pis-pk) melalui pelaksanaan program keluarga berencana (kb) titik sumiatin1, wahyu tri ningsih2 1,2prodi keperawatan tuban, poltekkes kemenkes surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 08/11/2019 disetujui, 10/06/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: program indonesia sehat, peran keluarga, keluarga berencana abstrak program indonesia sehat yang diluncurkan kementerian kesehatan tahun 2016, disebabkan oleh masih belum tercapainya misi “indonesia sehat” sesuai target yang telah ditetapkan. berbagai masalah kesehatan yang belumtercapai salah satunya adalah pencapaian program keluarga berencana.tujuan penelitan ini adalah mengetahui bagaimana peran keluarga dalam program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (pis-pk) dalam program keluarga berencana. desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga di wilayah puskesmas sumurgung kecamatan palang kabupaten tuban, yaitu sebanyak 9570 keluarga, dengan tehnik pengambilan sampel secara cluster diperoleh sampel sebanyak 384 keluarga. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, yang diambil dari materi lembar balik dari program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (pis-pk) dari kementerian kesehatan. data yang terkumpul dianalisa dengan prosentase dan disajikan dalam bentuk tabel. hasil penelitian menunjukkan peran keluarga dalam mengikuti program keluarga berencana, mengacu dari pelaksanaan 5 tugas keluarga yaitu mayoritas keluarga (99,22%) mengenal tentang keluarga berencana, lebih dari separoh keluarga (68,23%) mampu mengambil keputusan untuk melakukan keluarga berencana, lebih dari separoh keluarga (51,82%) mengikuti program keluarga berencana, lebih dari separoh keluarga (56,25%) mampu memodifikasi lingkungan bagi keluarga yang mengikuti kb, dan mayoritas keluarga (99,22%) mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan terdekat untuk ikut program keluarga berencana. untuk tetap meningkatkan peran keluarga yang belum optimal kerjasama petugas kesehatan/pelayanan kesehatan terdekat, kader kesehatan dan keluarga sangat dibutuhkan, agar program ini tetap bisa berjalan secara berkesinambungan, dan mencapai hasil yang diharapkan. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p170-176&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 171sumiatin, ningsih,peran keluarga dalam program indonesia sehat dengan ... correspondence address: poltekkes kemenkes surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: bojoneahsan@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p170–176 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) history article: received, 08/11/2019 accepted, 10/06/2020 published, 05/08/2020 keywords: health indonesia program, family role, family planning article information abstract the healthy indonesia program launched by the ministry of health in 2016 was the consequence of the “healthy indonesia” mission which was not achieved the targets set. one of achievement which was not achieved the target set was the birth control program. the purpose of this study was to find out the way how to improve the role of families in the healthy indonesia program with the family approach (pis-pk) in the birth control program. the study used descriptive with cross sectional approach. the population in this study was the whole family in the area of the puskesmas in sumurgung district in palang district in tuba, as many as 9570 families. the sample was 384 families taken by cluster sampling technique. the data was collected by questionnaire, taken from the flipchart material from the healthy indonesia program with the family approach (pis-pk) from the ministry of health. the collected data was analyzed with a percentage and presented in tabular form. the results of the study showed that family behavior follows the birth control program, referring to the implementation of 5 family tasks. the majority of families (99.22%) were familiar with birth control program, more than half of families (68, 23%) are able to make decisions to do birth control program, more than half of families (51.82%) follow the family birth control program, more than half of families (56.25%) were able to modify the environment for families following the kb, and the majority of families (99.22%) were able to utilize the nearest health facility to participate in the birth control program. in order to increase the role of the family that was not optimal the cooperation of health workers / closest health services, health cadres and families are needed, so that this program can continue to run continuously, and achieve the expected results. © 2020 jurnal ners dan kebidanan the role of families in the healthy indonesia program with the family approach (pis-pk) through implementation of birth control programs (kb) pendahuluan program indonesia sehat merupakan salah satu program dari agenda ke-5 nawa cita, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia. program ini didukung oleh program sektoral lainnya yaitu program indonesia pintar, program indonesia kerja, dan program indonesia sejahtera selanjutnya menjadi program utama pembangunan kesehatan yang kemudian direncanakan pencapaiannya melalui rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2015-2019, yang ditetapkan melalui keputusan menteri kesehatan r.i nomor hk.02/menkes/52/ 2015. mengutip dari sambutan menteri kesehatan prof. dr. dr. nila farid moeloek, spm (k) pada saat meluncurkan program indonesia sehat tahun 2016 bahwa telah banyak dicapai keberhasilan dalam pembangunan nasional di bidang kesehatan, namun bangsa indonesia masih belum berhasil mencapai “indonesia sehat” sebagaimana yang https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p170-176 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 170–176 dikehendaki dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional. hal yang belum tercapai antara lain, angka kematian ibu masih tinggi, angka kematian bayi juga masih tinggi, sementara itu masih banyak dijumpai anak balita yang pendek (stunting), dan berbagai masalah gizi. di bidang pengendalian penyakit, kita dihadapkan pada beban ganda, yaitu penyakit menular seperti aids, tuberkulosis dan malaria masih tinggi prevalensinya, sementara penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, kanker, dan gangguan jiwa terus bertambah. dalam 5 tahun terakhir, angka kematian neonatal (akn) tetap sama yakni 19/1000 kelahiran, sementara untuk angka kematian paska neonatal (akpn) terjadi penurunan dari 15/1000 menjadi 13/1000 kelahiran hidup, dan angka kematian anak balita juga turun dari 44/1000 menjadi 40/1000 kelahiran hidup. hasil riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013 menunjukkan fakta yang memprihatinkan di mana underwight meningkat dari 18,4% menjadi 19,6%, stunting juga meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%, sementara wasting (kurus) menurun dari 13,6% menjadi 12,1%. riskesdas tahun 2010 dan 2013 menunjukkan bahwa kelahiran dengan berat badan lahir rendah (bblr) < 2500 gram menurun dari 11,1 % menjadi 10,2%. kecenderungan prevalensi kasus hiv pada penduduk usia 15-49 tahun meningkat. pada awal tahun 2009, prevalensi kasus hiv pada penduduk usia 15-49 tahun hanya 0,16% dan meningkat menjadi 0,30% pada tahun 2011, meningkat lagi menjadi 0,32% pada 2012 dan terus meningkat lagi menjadi 0,43% pada 2013. namun angka case fatality rate (cfr) aids menurun dari 13,65% pada tahun 2004 menjadi 0,85% pada tahun 2013. data riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas, hal ini berarti lebih dari 14 juta jiwa menderita gangguan mental emosional di indonesia. sedangkan untuk gangguan jiwa berat seperti ganguan psikosis, prevalensinya adalah 1,7 per 1000 penduduk. ini berarti lebih dari 400.000 orang menderita gangguan jiwa berat (psikosis). gangguan jiwa dan penyalahgunaan napza juga berkaitan dengan masalah perilaku membahayakan diri, seperti bunuh diri. berdasarkan laporan dari mabes polri pada tahun 2012 ditemukan bahwa angka bunuh diri sekitar 0,5% dari 100.000 populasi yang berarti ada sekitar 1.170 kasus bunuh diri yang dilaporkan dalam satu tahun (kementerian kesehatan ri, 2016) kabupaten tuban sebagai salah satu kabupaten dipropinsi jawa timur memiliki 33 puskesmas, terdiri dari 328 desa dan 20 kecamatan mulai menerapkan pelaksanaan program indonesia sehat sejak tahun 2016, melalui uji coba di 2 puskesmas yang memiliki data kasus kematian ibu melahirkan di tahun 2015. dari 2 puskesmas tersebut puskesmas sumurgung memiliki jumlah cakupan keluarga terbanyak yaitu 9570 keluarga. dan pelaksanaan progran indonesia sehat telah tunta s dila ksanakan pada bula n november 2018. walaupun sumber dana untuk sektor kesehatan terus bertambah dan peningkatan sumber daya manusia (sdm) kesehatan baik dalam hal jumlah, jenis, mutu, maupun pemerataannya terus dilakukan, ternyata peningkatan sumber daya tersebut belum da pat sepenuhnya mengimbangi peningkatan kebutuhan. menyadari permasalahan yang demikian itu, mau tidak mau kementerian kesehatan harus membuat skala prioritas. untuk mencapai indonesia sehat, dalam kurun waktu 2015 – 2019, sektor kesehatan diarahkan untuk memfokuskan upaya guna menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, menurunkan prevalensi balita pendek (stunting), menanggulangi penyakit menular hivaids, tuberkulosis, dan malaria, menanggulangi penyakit tidak menular hipertensi, diabetes, obesitas, kanker, dan gangguan jiwa. sebagai tindak lanjut dari program tersebut, agar sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, sasaran pun difokuskan kepada keluarga, melalui “pendekatan keluarga”. melalui pendekatan keluarga puskesmas akan memiliki database keluarga sehat yang meliputi seluruh keluarga yang tinggal di wilayah kerjanya. berbasis database inilah kemudian puskesmas merancang kegiatan promotif-preventif yang efektif dan effisien, sehingga terjadi percepatan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. bila masyar aka t seha t, pr oporsi yang sa kit a ta u keparahan penyakitnya akan berkurang, sehingga memperbaiki implementasi jaminan kesehatan nasional di indonesia. implementasi langsung sebagai pelaksanaan “pendekatan keluarga” melalui program indonesia sehat yaitu optimalisasi pelaksanaan 5 tugas keluarag yang meliputi mengena l ma sa lah keseha ta n keluarga, merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya 173sumiatin, ningsih,peran keluarga dalam program indonesia sehat dengan ... bagi keluarga. diharapkan 12 indikatorkeluargasehat yang menjadi criteria pencapaian program indonesia sehat akan tercapai melalui optimalisasi pendekatan keluarga. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah diskriptif dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga di wilayah puskesmas sumurgung kabupaten tuban dengan jumlah 9570 keluarga. sampel dalam penelitian ini adalah sebagian keluarga di wilayah puskesmas sumurgung kabupaten tuban yaitu sebanyak 384 keluarga. teknik sampling yang digunakan adalah cluster sampling. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, yang diambil dari materi lembar balik dari program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (pis-pk) dari kementerian kesehatan, diantaranya tentang pengetahuan keluarga mengaenai program kb, pengetahuan keluarga tentang alat-alat kontrasepsi dan dalam memutuskan jenis kontrasepsi yang dipilih, pengetahuan keluarga mengenal fasilitas terdekat untuk mengikuti program kb dan kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung anggota keluarga yang mengikuti program kb. selanjutnya karakteristik jumlah % pasangan usia subur ya 251 65,36 tidak 133 34,64 akseptor kb ya 201 52,34 tidak 183 47,66 tabel 1 distribusi karakteristik responden keluarga di wilayah puskesmas sumugung, kec. palang tuban tabel 2 menunjukkan hampir seluruh keluarga mengenal program kb dan tahu fasilitas kesehatan yang melayani program kb (99.22%). keluarga yang melaksanakan program kb adalah keluarga pasangan usia subur sebanyak 199 keluarga dari 251 keluarga pasangan usia subur berdasarkan data hasil penelitian peran keluarga dalam melaksanakan 5 tugas keluarga data yang terkumpul diolah dan diprosentase untuk dapat disimpulkan. hasil kesimpulan selanjutnya dipergunakan sebagai bahan kegiatan focus group discussion (fgd) dengan pihak terkait dari puskesmas di wilayah penelitian terutama para tim penanggung jawab program indonesia sehat (pis-pk). fgd bertujuan untuk memperoleh solusi dari hasil penelitian yang ditemukan di lapangan. hasil penelitian berdasarkan tabel 1 keluarga yang menjadi responden, 65,36% merupakan pasangan usia subur dan 52,34% menjadi akseptor kb. no pernyataan ya tidak total jml % jml % jml % 1 kemampuan keluarga mengenal program kb 381 99.22 3 0.78 384 100 2 kemampuan keluarga mengambil keputusan dalam program kb 262 68.23 122 31.77 384 100 3 kemampuan keluarga melaksanakan program kb 199 51.82 185 48.18 384 100 4 kemampuankeluarga memodifikasi lingkungan sosial yang baik untuk pelaksanaan program kb 216 56.25 168 43.75 384 100 5 kemampuan keluarga mengenal fasilitas kesehatan yang melayani program kb 381 99.22 3 0.78 384 100 tabel 2 peran keluarga dalam mengikuti program keluarga berencana (kb) ber hubunga n denga n pela ksa na a n pr ogr a m keluarga berencana (kb), kemudian dilakukan focus group discussion dengan pihak puskesmas sebagai ujung tombak pelaksaan program keluarga sehat dan disepakati hasil diantaranya terkait program keluarga berencana dipertahankan dan ditingkatkan pus yang belum mengikuti program 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 170–176 kb dan sedang tidak memprogramkan untuk hamil, dihimbau untuk mengikuti program kb. pembahasan peran kelurga dalam mengikuti program keluarga berencana mayoritas peran keluarga dalam mengikuti program kb, dalam pelaksanaan program indonesia sehat di wilayah puskesmas sumurgung kecamatan palang sudah baik. berdasarkan pelaksanaan lima tugas keluarga seluruh keluarga mayoritas mengenal program keluarga berencana, sebagian besar keluarga mampu mengambil keputusan dalam program keluarga berencana, separuh keluarga ikut program keluarga berencana, lebih separuh keluarga mampu memodifikasi lingkungan sosial yang baik untuk pelaksanaan program keluarga berencana dan mayoritas keluarga mampu mengenal fasilitas kesehatan yang melayani program keluarga berencana. kemampuan keluarga mengenal program keluarga berencana, didapatkan dengan mengajukan pertanyaan dalam kuesioner yaitu keluarga mengetahui kb dapat mencegah kehamilan yang tidak direncanakan dan keluarga mengethaui kb terutama ditujukan untuk pasangan usia subur. kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan dalam program keluarga berencana didapatkan dengan mengajukan pertanyaan dalam kuesioner yaitu keluarga dapat memilih alat kontrasepsi yang tepat melalui konsultasi dengan tenaga kesehatan (kb mkjp=metode kontasepsi jangka panjang), ibu bersalin menggunakan kb setelah melahirkan (kb paska bersalin), dan keluarga ikut program kb di bidan/dokter/rumah sa kit. pertanyaan kuesioner yang berhubungan dengan kemampuan keluarga melaksankan program keluarga berencana yaitu keluarga mendukung anggota keluarga yang beresiko hamil (pus) untuk ikut program kb. sedangkan kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan sosial yang baik untuk pelaksanaan program kb dan mengenal fasilitas kesehatan yang melayani program kb, didapatkan melalui kemampuan menjawab pertanyaan dalam kuesioner yaitu keluarga tahu fasilitas kesehatan yang bisa dikunjungi jika ingin ikut kb dan keluarga tahu bahwa ada fasilitas kesehatan untuk ber kb disekitar tempat tinggal yang jaraknya terjangkau (bidan/dokter/ puskesmas/rumah sakit). program indonesia sehat yang dikeluarkan oleh kementerian kesehatan tahun 2016 memiliki solusi untuk masalah keluarga berencana di indonesia melalui kegiatan konseling kb pranikah, pelayanan kb paska bersalin, penyuluhan dan pelayanan kb. pendekatan keluarga adalah salah satu cara puskesmas untuk meningkatkan sasaran dan mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga (kemenkes ri, 2016). seluruh keluarga mayoritas mengenal program keluarga berencana. menurut perry (2005) pencegahan primer dapat dilakukan sebelum sistem bereaksi terhadap stressor yang meliputi promosi kesehatan dan mempertahankan kesehatan. intervensi dilakukan jika resiko atau masalah sudah diidentifikasi tapi sebelum reaksi terjadi, melalui strategi berupa pendidikan kesehatan, imunisasi, dan perubahan gaya hidup. sesuai pendapat ahmad, z,et al (2014) fungsi keluarga klien yang berada pada tingkat sedang, akan menyebabkan distorsi kognitif klien berada pada tingkat yang rendah, dan ketahantabel 3 hasil kegiatan focus group discussion keluarga mengikuti program keluarga berencana no variabel data isu strategis hasil fgd mengenal merawat memutuskan memodifikasi lingkungan memanfaatkan fasilitas kesehatan semua keluarga mengetahui manfaat kb mayoritas keluarga mengetahui sasaran kb, memilih alat kontrasepsi, mengetahui fasilitas kesehatan untuk ber-kb sebagian besar ibu menggunakan kb setelah bersalin sebagian besar ibu merupakan akseptor kb dan mengetahui fasilitas kesehatan bila ingin ikut kb lebih dari separuh mendukung anggota keluarga ber-kb dipertahankan dan ditingkatkan pus yang belum mengikuti program kb dan sedang tidak memprogramkan untuk hamil, dihimbau untuk mengikuti program kb 175sumiatin, ningsih,peran keluarga dalam program indonesia sehat dengan ... an mereka berada pada tingkat yang lebih tinggi dan pendapat lain menurut erlinda (2015), penerapan family centered nursing dapat mempengaruhi kemandirian keluarga dalam pelaksanaan tugas kesehatankeluarga dalam pencegahan ispa. pemahaman dan pengetahuan yang baik dari keluarga tentang keluarga berencana merupakan hasil kerja keras petugas kesehatan yang ada di puskesmas, melalui kunjungan kesetiap keluarga dan memberikan pendidikan kesehatan tentang kb sesuai panduan yang sudah disiapkan oleh kementerian kesehatan, sehingga fokus tenaga kesehatan pada tiap keluarga betul-betul terarah dan menghasilkan apa yang ditargetkan oleh pemerintah. sebagian besar keluarga mampu mengambil keputusan untuk mengikuti program keluarga berencana. menurut dorrel (2016) berpartisipasi dalam konseling mediasi family health conversations, dengan menggunakan interaksi komunikatif yang bebas, anggota keluarga merasa terlihat sebagai orang yang dihargai. menurut friedman (2017) salah satu tugas keluarga adalah mengambil keputusan tindakan kesehatan yang tepat untuk keluarga. pemahaman yang baik tentang program indonesia sehat sangat menentukan dan mempengaruhi bagaimana keluarga mengambil keputusan. meskipun hal tersebut hanya sebuah pernyataan sikap, setidaknya sudah menggambarkan bagaimana pemahaman keluarga tentang program keluarga berencana yang telah disampaikan oleh petugas kesehatan. separuh keluarga ikut program keluarga berencana. pencapaian ini secara kuantitas termasuk rendah, mengingat pemahaman dan pengetahuan mereka tentang kb mayoritas baik, namun mengapa justru keluarga yang ikut program tergolong rendah. menurut lola illona elfani kausar (2015), yang meneliti tentang tugas kesehatan keluarga pada anggota keluarga yang menderita tb paru, menyimpulka n pelaksa na an tuga s keseha ta n keluarga pada anggota keluarga yang menderita tb paru di wilayahkerja puskesmas astambul periode februari-agustus 2014 sebagian besar dalam kategori cukup dan kurang. hal ini membuktikan bahwa program yang baik tidak selamanya hasilnya sesuai yang diharapkan. meskipun secara pengetahuan sudah baik, belum tentu keluarga bersedia merungubah perilaku seperti apa yang diketahui, dan hal itu hak sepenuhnya keluarga. masih kurangnya peran keluarga dalam mengikuti program kb disebabkan karena mayoritas responden merupakan pasangan usia subur, sehingga mereka masih ingin memiliki anak/keturunan. hal ini masih bisa dimaklumi, karena mereka masih memerankan sebagai keluarga baru. sesuai pendapat fatma (2017) bahwa karakteristik keluarga (lama menikah) memiliki pengaruh langsung positif signifikan terhadap tugas perkembangan keluarga. tetapi untuk selanjutnya motivasi tetap di butuhkan, agar pemahaman keluarga tentang pentingnya ikut program kb lebih baik lagi. lebih dari separuh keluarga mampu memodifikasi lingkungan sosial yang baik untuk pelaksanaan program keluarga berencana dan mampu mengenal fasilitas kesehatan yang melayani program keluarga berencana. menurut priasmoro, e.al, (2016) faktor fungsi, dukungan, dan lingkungan keluarga berhubungan secara bermakna dengan perilaku agresif pada remaja. peningkatan faktor fungsi, dukungan dan lingkungan keluarga akan menurunkan perilaku agresif. dan faktor fungsi keluarga adalah yang paling berkontribusi atau berhubungan dengan perilaku agresif. banovcinova (2014) menyimpulkn a da hubunga n a nta r a kemiskinan dan gangguan fungsi keluarga. fungsi keluarga dalam berbagai dimensi berada dalam kisaran “tidak sehat”, terutama dalam komunikasi, kontrol perilaku, dan peran keluarga. stres keluarga yang disebabkan oleh masalah dengan pemenuhan fungsi ekonomi keluarga, mempengaruhi cara orangtua memenuhi peran orangtua mereka. dari uraian tersebut jelas bahwa dukungan kenyamanan lingkungan dari keluarga mempengaruhi perilaku keluarga dan faktor ekonomi juga memegang peran penting, karena untuk memodifikasi dan menyiapkan lingkungan yang nyaman bagi selruh anggota keluarga memerlukan persiapan fisik, mental, ekonomi dan lain sebagainya. kesimpulan peran keluarga dalam pelaksaan program keluarga berencana melalui program indonesia indonesia dengan pendekatan keluarga (pis-pk) sudah baik. saran perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan peran keluarga dalam mengikuti program keluarga berencana, terutama dalam meningkatkan kesadaran bagi pasangan usia subur untuk ikut dalam program keluarga berencana. 176 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 170–176 daftar pustaka ahmad, z. et al. (2014) ‘family functioning , cognitive distortion and resilience among clients under treatment in drug rehabilitation centres in malaysia’, procedia social and behavioral sciences. elsevier b.v., 140, pp. 150–154. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.04.401. banovcinova, a., levicka, j. and veres, m. (2014) ‘the im pa ct of povert y on t he fam i l y syst em functioning’, procedia social and behavioral sciences. elsevier b.v., 132, pp. 148–153. doi: 10.1016/j.sbspro.2014.04.291. dorell, å. and sundin, k. (2016) ‘becoming visible e experiences from families participating in family health conversations at residential homes for older people’, geriatric nursing. elsevier inc, 37(4), pp. 260–265. doi: 10.1016/j.gerinurse.2016.02.015. erlinda, v. (2015) ‘penerapan model family-centered nursing terhadap pelaksanaan tugas kesehatan keluarga dalam pencegahan ispa pada balita di wilayah kerja puskesmas simpang tiga kabupaten aceh besar application of family-centered nursing model on the execution of family he’, jurnal kedokteran yarsi, 23(november 2014), pp. 165–186. available at: http://academicjournal.yarsi.ac.id/ index.php/jurnal-fk-yarsi/article/view/231/167. fatma putri sekaring tyas, tin herawati, e. s. (2017) ‘tugas perkembangan keluarga dan kepuasan pernikahan pada pasangan menikah usia muda’, jurnal ilmu keluarga dan konsumen, 10(2), pp. 83–94. available at: http:/ /dx.doi.org/10.24156/jikk.2017.10.2.83. friedman (2017) buku ajar keperawatan keluarga: riset teori dan praktik. 5th edn. jakarta: buku kedokteran egc. kementerian kesehatan ri (2016) program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga. jakarta: kementerian kesehatan ri. lola illona elfani kausar, herawati, e. p. (2015) ‘tugas kesehatan keluarga pada anggota keluarga yang menderita tb paru’, dunia keperawatan, 3(2), pp. 34–45. available at: https://ppjp.ulm.ac.id/journal/ index.php/jdk/article/view/718/623. perry, p. & (2005) fundamental keperawatan. i. jakarta: buku kedokteran egc. priasmoro, d. p. et al. (2016) ‘analisis faktorfaktor keluarga yang berhubungan dengan perilaku agresif pada remaja di kota malang (dengan pendekatan t e ori st rukt ural fungsional keluarga)’, jurnal ilmu keperawatan, 4(2), pp. 114–126. available at: http://jik.ub.ac.id/index.php/ jik/article/view/100/113. 263kristyaningsih, rahmawati, terapi musik untuk mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi 263 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk terapi musik untuk mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi putri kristyaningsih1, ika rahmawati2 1,2fakultas ilmu kesehatan, institute ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri, indonesia info artikel kata kunci: terapi murotal, frekuensi pernafasan, bayi abstrak terapi musik adalah penggunaan musik sebagai peralatan terapi untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental fisik dan kesehatan emosi (djohan, 2003). salah satu terapi musik yang bisa digunakan adalah terapi murotal. terapi murotal merupakan salah satu jenis terapi music yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan ayatayat suci al-quran. bayi sering mengalami gangguan fungsi pernafasan, diantaranya peningkatan frekuensi pernafasan atau sesak. penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh pemberian terapi murotal terhadap fungsi pernafasan bayi. perbaikan fungsi pernafasan bayi akan dilihat dari frekuensi pernafasan bayi dalam satu menit. penelitian ini sangat bermanfaat bagi dunia kesehatan, dengan penelitian ini akan membantu dalam memberikan intervensi bagi bayi yang mengalami gangguan fungsi pernafasan. penelitian dilakukan di ruang neonatus rs aura syifa kediri, pada bulan juni – juli 2019. tehnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 16 responden. alat ukur yang digunakan adalah lembar observasi. penelitian ini akan menggunakan rancangan pre experimental pre post test design. hasil analisis menggunakan uji wilcoxon menunjukkan nilai signifikansi 0,01 yang artinya terapi murotal dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi pernafasan bayi. berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terapi murotal dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi music therapy repairing baby’s respiratory fungtion article information keywords: murotal therapy, respiratory frequencies, baby. abstract music therapy is the use of music as health tools to repairing, caring, developing mental health, physical health, and emotional health (djohan, 2003). a type of music therapy that we can use is murotal therapy. murotal therapy is one of music therapy which can be used to heal a disease by using the holy al-quran sentences. babies are often experience a disturbance in respiratory system, such as the increasing of respiration frequencies or shortness of breath. the purpose of this research is to analyze the effect of murotal therapy on baby’s respiratory function. the respiratory sejarah artikel: diterima, 03/09/2019 disetujui, 03/10/2019 dipublikasi, 05/12/2019 history article: received, 03/09/2019 accepted, 03/10/2019 published, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p263-267&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 264 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 263–267 function improvement will be seen from the baby’s respiration frequencies in a minute. this research has a great benefit for health, by this study we can give an intervention for babies that have a respiratory function disturbance. this study was done in neonate ward of aura syifa hospital keidir, on june to july 2019. the study used purposive sampling technique to determine the sample, and it get 16 respondents. the instrument in this study is observation sheets. the study use pre experiment with pre post test design. data was analyzed with wilcoxon test, it shows 0.01 in result, means we can use murotal therapy to recover the baby’s respiratory function. according to the explanation, we can conclude that murotal therapy can be used to restore (recover) the baby’s respiratory function. © 2019 jurnal ners dan kebidanan pendahuluan paru-paru merupakan salah satu organ pernafasan yang berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida yang dilakukan melalui proses inspirasi dan ekspirasi (musliha, 2010). jika pada bagian paru-paru ada yang mengalami kerusakan maka akan mempengaruhi fungsional tubuh, fungsi pernafasan tidak berjalan dengan normal, dan menyebabkan gangguan fungsi pernafasan. gangguan fungsi pernafasan pada bayi dapat menyebabkan kematian apa bila tida k segera ditangani dengan baik. gangguan fungsi pernafasan sering terjadi pada bayi. gangguan pernafasan pada bayi sering disebabkan karena prematuritas, infeksi, dan pola hidup ibu (selama hamil) yang kurang sehat (handayani, 2016). berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ratnaningrum dan santosa (2012) diketahui dari 80 responden (bayi baru lahir) 44 diantaranya mengalami gangguan fungsi pernafasan. berdasarkan data dari dinas kesehatan kabupaten kediri (2016), didapatkan data jumlah kematian bayi di kediri sejumlah 188 dan 44% diantaranya disebabkan oleh gangguan fungsi pernafasan. masih tingginya kasus gangguan pernafasan sehingga membutuhkan penanganan yang tepat untuk mengurangi jumlah kasus tersebut. sa lah satu penangana n ga ngguan fungsi pernafasan yang bisa digunakan adalah pemberian terapi murotal. terapi murotal ini diberikan dengan cara memperdengarkan ayat-ayat suci al-qur’an sebagai pengganti musik klasik (agustian, 2010). terapi murotal ini akan memberikan memberikan efek ketenangan dan kenyamanan (gusmiran, 2005). murotal merupakan rekaman suara alqur’an yang dilagukan oleh seorang qori’ (pembaca al-qur ’an). lantunan al-qur ’an secara fisik mengandung unsur suara manusia, suara manusia mer upa ka n instr umen penyembuha n ya ng menakjubkan dan alat yang paling mudah dijangkau. suara dapat menurunkan hormon hormon stres, mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi dan aktifitas gelombang otak laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalamdan metabolisme yang lebih baik (rilla dkk, 2014). terapi murotal dapat digunakan sebagai terapi dalam penanganan gangguan fungsi pernafasan, lantunan murotal yang diperdengarkan pada bayi akan membuat bayi merasa nyaman. ketika bayi mencapai kenyamanan maka a ka n mempenga ruhi pr oduksi hor mon endorphin tubuhnya. hal ini akan membuat sistem tubuh membaik, pernafasannya juga akan melambat, dengan demikian frekuensi pernafasan bayi yang semula cepat / sesak akan menjadi normal. berdasarkan uraian di atas, penanganan gangguan fungsi pernafasan pada bayi sangatlah pencorrespondence address: institute ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: putri.kristyaningsih@iik.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6.i3.art.p263-267 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p263-267 265kristyaningsih, rahmawati, terapi musik untuk mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi ting. terapi murotal merupakan terapi yang bisa dan mudah diterapkan untuk mengatasi gangguan fungsi pernafasan pada bayi. oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi murotal terhadap fungsi pernafasan bayi. bahan dan metode pada penelitian ini menggunakan desain pre experimental pre post test design . teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling denga n jumlah sa mpel sebanyak 16 responden yang terbagi menjadi 8 responden sebagai kelompok perlakuan (terapi murotal) dan 8 responden sebagai kelompok kontrol. kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah keluarga beragama islam, tidak ada kelainan kongenital, tidak mengalami keadaan gawat darurat. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi. setelah data terkumpul kemudian data diola h da n dia na lisis mengguna ka n uji wilcoxon. hasil penelitian data umum penelitian tabel 1 karakteristik responden karakteristik jumlah persentase subyek (orang) (%) jenis kelamin laki-laki 7 44 perempuan 9 56 usia 1 hari 12 75 2 hari 2 12,5 3 hari 2 12,5 berdasarkan dari tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada kelompok perlakuan mengalami penurunan respiratory rate setelah diberikan terapi murotal. selisih penurunan tertinggi adalah 20 x/ menit. berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 56% dan sebagian besar berusia 1 hari yaitu sebanyak 75%. data khusus penelitian berdasarkan tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar bayi respiratory rate adalah 78 x/menit sebanyak 25%. tabel 2 distribusi responden berdasarkan respiratory rate respiratory rate jumlah (bayi) 66 1 72 3 74 2 76 2 78 4 80 2 82 2 no responden sebelum sesudah selisih 1 76 70 -6 2 82 72 -10 3 78 60 -18 4 76 62 -14 5 80 60 -20 6 78 60 -18 7 80 64 -16 8 82 72 -10 tabel 3 penurunan respiratory rate bayi sebelum dan sesudah diberikan terapi murotal (kelompok perlakuan) no responden sebelum sesudah selisih 1 78 76.0 -2 2 72 70.0 -2 3 78 80.0 +2 4 74 72.0 -2 5 66 62.0 -4 6 72 78.0 +6 7 72 70.0 +2 8 74 70.0 -4 tabel 4 penurunan respiratory rate bayi pada kelompok kontrol berdasarkan dari tabel 4 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada kelompok kontrol mengalami penurunan respiratory rate 266 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 263–267 yang kurang signifikan, bahkan beberapa bayi mengalami peningkatan respiratory rate. selisih penurunan tertinggi adalah 2 x/ menit. alzid (2011) bahwa musik menimbulkan reaksi psikologis yang mengubah suasana hati dan kondisi emosi, sehingga musik bermanfaat sebagai relaksasi yang dapat menghilangkan stres dan menumbuhkan kesadaran spiritual. hal ini juga didukung oleh hasil penelitian rilla (2014) bahwa terapi murotal dapat memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi dan aktifitas gelombang otak laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalamdan metabolisme yang lebih baik. menurut lai et al (2002) bahwa pemberian stimulasi musik klasik dapat menambah ketenangan pada bayi. terapi musik juga dapat membantu pertumbuhan yang lebih baik pada bayi prematur dimana lagu yang tenang diberikan selama kurang lebih 15 menit sehari didapatkan kenaikan berat badan, detak jantung lebih kuat, meningkatkan saturasi oksigen dan memperpendek hari rawat inap dibanding dengan yang tidak diberikan terapi musik (marwick, 2000). menurut gusmiran (2005) mengemukakan bayi yang diperdengarkan ayatayat alquran dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang. berdasarkan hasil analisis dengan mengunakan uji wilcoxon yang ada didapatkan hasil p-value 0,01 yang artinya terapi murotal efektif digunakan sebagai penurun respiratory rate pada bayi. terapi murotal dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi yang mengalami gangguan pernafasan. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa terapi murotal efektif untuk menurunkan respiratory rate pada bayi. terapi murotal dapat digunakan sebagai mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi. saran bagi profesi keperawatan, terapi murotal dapat dilakukan sebagai alternatif untuk mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi yang mengalami gangguan fungsi pernafasan. bagi lahan penelitian, diharapkan dapat menerapkan intervensi pemberian terapi murotal untuk membantu mengembalikan fungsi pernafasan bayi. bagi peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian dengan menambah jumlah responden agar lebih representatif. gambar 1 perbedaan rata-rata selisih penurunan respiratory rate pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berdasar gambar di atas dapat dilihat bahwa rata-rata penurunan respiratory rate pada kelompok yang diberikan perlakuan terapi murotal lebih tinggi (14 x/menit) dibandingkan penurunan respiratory rate pada kelompok kontrol (0,5 x/ menit). pembahasan efektifitas terapi murotal sebagai penurun respiratory rate pada bayi berdasarkan data yang didapat menunjukkan bahwa dari 8 responden yang diberikan perlakuan terapi murotal menunjukkan bahwa sebagian besar responden pada kelompok perlakuan telah menga la mi penur una n respiratory rate ya ng signifikan. selisih penurunan respiratory rate adalah 6 sampai dengan 20 x/ menit. rata-rata penurunan respiratory rate pada kelompok perlakuan adalah sebesar 14 x/menit. sedangkan 8 responden pa da kelompok kontrol menunjukka n bahwa sebagian besar responden mengalami penurunan respiratory rate, akan tetapi penurunan respiratory rate tersebut kurang signikan yaitu antara 2 sampai dengan 4 x/ menit, bahkan ada yang mengalami peningkatan respiratory rate 2 sampai dengan 6 x/menit. rata-rata penurunan respiratory rate adalah 0,5 x/menit. efektifitas terapi murotal berdasarkan data yang ada didapatkan semua responden yang diberikan terapi murotal mengalami penurunan respiratory rate. hal ini sesuai yang dikemukakan oleh 267kristyaningsih, rahmawati, terapi musik untuk mengembalikan fungsi pernafasan pada bayi daftar pustaka agustian, ary g. (2010). kecerdasan emosi dan spiritual. arga: jakarta alzid, r. (2011) sehat dan cerdas dengan terapi musik, jogjakarta : laksana badan kependudukan dan keluarga berencana nasional. (2012). survei kesehatan dan demografi indonesia cam bell . d. (2001). e f ek mozart pagi anak , meningkatkan daya fikir kesehatan dan kreatifitas anak melalui musik. penerjemah alex tri kantjono widodo, jakarta : gramedia pustaka media. dewi,viviannannylia.(2011).asuhanneonatusbayi dananak balita.jakarta: salembamedika. gusmiran. (2005). rugyah terapi religi sesuai sunnah rasullah saw, jakarta : pustaka marwa handayani. (2016) : https://perawatanbayi.com/ penyebab-gangguan-pernafasan-pada-bayi-barulahir. diakses pada 24 maret 2018. indrayani. (2012). asuhan persalinan dan bayi baru lahir. jakarta : trans info media. jnpk-kr.(2008). pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar (poned). jakarta: hsp. lai, h.l, dan good, m .(2002) an overview of music therapy. the journal of nursing. 49 (2) maryunani, anik. 2010. ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. jakarta marwick, c. (2000) musik terapi medical result. journal of the american medical association 283 (6) mohan pammi v, pai pragnya m. (2010). renal insult in asphyxia neonatorum. indian pediatric. moster d, lie tr, markestad t. (2002). joint association of apgar scores and early neonatal symptoms with minor disabilities at school age. arch dis child fetal neonatal. nurhayati. (2009). asuhan kegawatdaruratan dan penyakit pada neonatus.jakarta : trans info media. profil kesehatan kabupaten kediri tahun 2016. http:// dinkes.kedirikab.go.id/?hal=profilkesehatan . diakses tanggal 27 maret 2018. rally dkk, (2014). terapi murrotal efektif menurunkan nyeri disbanding terapi music pada pasien pasca bedah. jurnal keperawatan indonesia. vol. 17 no. 2 juli 2014 (hal 74-80) ratnaningrum, santosa. (2012) risiko gangguan pernapasan pada bayi dengan riwayat kelahiran prematur. jurnal kedokteran muhammadiyah universitas muhammadiyah semarang. vol. 1 no. 1 remolda, p.2009. pengaruh al-quran pada manusia dalam prospektif fisiologi dan psikologi. (http:// www.theedc.com. tanggal akses 24 maret 2017). samuel. (2007).pengaruh terapi musik terhadap intensitas nyeri akibat perawatan luka bedah. sudarti dan fauziah. (2012). asuhan neonatus bayi dan anak balita. jakarta : trans info media. 320 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 320–325 320 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk efektifitas metode double d terhadap depressi post partum pada ibu nifas fase letting go di kelurahan wonokromo surabaya info artikel sejarah artikel: diterima, 23/08/2019 disetujui, 08/11/2019 dipublikasi, 02/12/2019 kata kunci: metode double d ( doa dan dzikir ), abstrak setiap ibu melahirkan beresiko terjadinya depresi post partum. depresi post partum didefinisikan sebagai depressi non psikotik yang berupa gangguan mood pada pasca persalinan yang berlangsung hingga satu tahun lamanya (almond, 2009; apter, devouche, gratier, valente, & nestour, 2012). di negara amerika depresi post partum mencapai 10-20 % sedangkan di negara berkembang mencapai > 20 %. depressi post partum berdampak pada status sosial ibu, gangguan kepercayaan diri bahkan berkeinginan untuk bunuh diri serta terganggunya perkembangan anak (hansotte, payne, & babich, 2017). studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan maret 2018 di kelurahan wonokoromo surabaya didapatkan 45 % ibu pasca melahirkan mengalami depresi post partum pada level ringan dan sedang. adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektifitas metode double d ( dzikir dan doa ) terhadap penurunan tingkat depresi post partum fase letting go pada ibu post partum hari ke 7. desain penelitian ini menggunakan analitik kuantitaif quasi eksperimen dengan instrument kuesioner edps ( edinburgh depresi post partum scale). sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan menetapkan kriteria inklusi yang berjumlah 84 responden dengan pembagian 42 responden sebagai kelompok kontrol dan 42 responden sebagai kelompok perlakuan. uji analitik yang digunakan adalah mann whitney dengan nilai p< 0.005. hasil uji analisis didapatkan p = 0.001 yang berarti efektif metode double d (doa dan dzikir) terhadap penurunan tingkat depressi post partum pada ibu nifas fase letting go (hari ke 7). kesimpulan : metode double d efektif menurunkan depressi post partum pad ibu post partum fase letting go effectiveness of the double d method on post partum depression in postpartum letting go phases in wonokromo village, surabaya article information history article: accepted, 23/08/2019 approved, 08/11/2019 publication, 02/12/2019 abstract every mother giving birth is at risk of post partum depression. post partum depression is defined as non psychotic depression in the form of mood disorders in postpartum that lasts up to one year (almond, 2009; apter, devouche, gratier, valente, & nestour, 2012). in america, post partum siti maimunah, elly dwi masita prodi keperawatan, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p320-325&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 321maimunah, efektifitas metode double d terhadap depresi... pendahuluan wanita pasca persalinan sangat rentan terhadap depresi post partum. angka kejadian post partum di negara maju mencapai 1020 % sedangkan dinegara berkembang memilik angak kejadian yang lebih tinggi yaitu sebesar > 20 %, sedangkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan maret 2018 di kelurahan wonokromo ditemukan 45 % ibu pasca melahirkan mengalami depressi dari tingkat rendah sampai sedang. walaupun tingkatan depressi post partum ini masih rendah, namun apabila tidak mendapat penanganan yang tepat maka akan menjadi depresi tingkat tinggi. kejadian depresi post partum dipengaruhi oleh multi faktor antara lain kehamilan yang tidak diinginkan, stress pada kehamilan, sosial ekonomi, jenis kelamin bayi (taherifard, delpisheh, shirali, afkhamzadeh, & veisani, 2013; tarrant, younger, sheridan-pereira, white, & kearney, 2009; vanderkruik et al., 2017). beberapa penelitian mengungkapkan bahwa faktor predisposi terbesar yang mengakibatkan depresi post partum adalah kondisi stress pada saat kehamilan kemudian kehamilan tidak diinginkan, sosial ekonomi dan jenis depression reaches 10-20%, while in developing countries it reaches> 20%. post partum depression affects the mother’s social status, self-esteem, and even suicidal ideation and disruption of child development (hansotte, payne, & babich, 2017). a preliminary study conducted in march 2018 in the wonokoromo surabaya village found that 45% of post-partum mothers experience post partum depression at mild and moderate levels. the purpose of this study was to determine the effectiveness of the double d method (dhikr and prayer) to reduce levels of depression post partum letting go phase in post partum mothers day 7. design this study used a quasi-quantitative analytic analytic questionnaire with the edps questionnaire instrument (edinburgh depression post partum scale ). the sampling used was purposive sampling by establishing inclusion criteria totaling 84 respondents with the division of 42 respondents as the control group and 42 respondents as the treatment group. the analytical test used was mann whitney with a p value <0.005. the analysis test results obtained p = 0.001 which means effective double keywords: double d method (prayer and dhikr), post partum depression kelamin bayi yang tidak sesuai (pooler, perry, & ghandour, 2013). depresi post partum memiliki definisi sebagai gangguan non psikomatik pada area mood, merasa kesepian dan merasakan kondisi ketidakberdayaan pada ibu nifas yang berlangsung hingga seta hun la ma nya (almond, 2009; vanderkruik et al., 2017). diagnosa post partum ditegakkan melalui tanda dan gejala yang timbul antara lain ganggaun suasana hati, tidak percaya diri, insomnia, merasa dirinya tidak mampu merawat bayinya, ganguan nafsu makan, penurunan berat badan atau kenaikan berat badan secara drastis, bahkan ada kecenderungan melukai diri dan bayinya apabila depresi mencapai tingkat berat (almond, 2009). sampai saat ini penanganan depresi post partum meliputi upaya dalam bentuk biologi, psikologi dan sosial. treatment dalam bentuk biologi dilakukan dengan cara memberikan obat kimiawi, namun cara ini berdampak pada proses laktasi. penatalaksanaan secara psikologi dilakukan melalui konseling dengan penderita dan keluarga melalui metode cbt (cognitive bahavior theraphy ). metode cbt memiliki tingkat kefektifan lebih tinggi daripada correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: maimunah@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p320-325 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p320-325 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 322 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 320–325 dengan metode kimia. metode sosial dilakukan dengan membentuk lingkungan keluarga, masyrakat sekitar untuk memberikan dukungan terhadap ibu pasca melahirkan, terutama bagi ibu yang pernah menderita depresi sebelumnya. ketiga aspek ini masih belum menyentuh domain keyakinan dan keagamaan, sehingga nilainilai kepasrahan pada sang pencipta ( allah swt) belum terbentuk pada individu (bonelli & koenig, 2013; sulthan, saifuddin, duren, & jambi, 2018). adapun dampak dari post partum adalah ketidak harmonisan ibu dengan bayi yang dilahirkan, gangguan emosional dan social pada anak. oleh sebab itu perlu adanya tatalaksana depresi post partum melalui pendekatan keyakinan dan kegamaan melalui dzikir dan doa yang merupakan kombinasi pendekatan cognitive, behavior, social and religousity. bahan dan metode desain penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan quasy eksperimen. variabel bebas penelitian ini adalah metode double d ( dzikir dan doa ) dan variabel tergantung penelitian ini adalah adalah deppresi post partum. subject pada penelitian ini adalah ibu nifas pada hari ke 7 yang mengalami depresi pasca natal baik tingkat rendah, sedang maupun tinggi. kriteria inklusi pada penelitian ini adalah ibu nifas hari ke 7, mengalami depresi post partum tingkat rendah, bisa diajak komunikasi, primipara dan multipara, persalinan norma dan sc, usia 25 tahun – 35 tahun, jenis kelamin anak yang dilahirkan lakilaki atau perempuan, beragama islam. sampel total berjumlah 84 ibu nifas dengan depresi post partum tingkat r enda h, sa mpling mengguna ka n purposive sampling totality dengan rincian 42 sebagai kelompok kontrol dan 44 sebagai kelompok perlakuan. instrument yang digunakan adalah kuesioner edps ( edinburgh postnatal scale ). uji analisis yang digunakan adalah uji man whitney dengan p< 0.05 hasil penelitian karakteristik subjek penelitian n persen mean median kehamilan 2.13 2.00 1. primipara 24 28.6 2. multipara 31 36.9 3. grande multipara 23 25 jenis persalinan 1.54 2.00 1. normal per vagina 40 47.6 2. operasi sc 42 50.0 tingkat pendidikan 2.32 2.00 1. sd 15 17.9 2. smp 33 39.3 3. sma 30 35.7 4. sarjana 6 6.5 status bekerja 1.52 2.00 1. tidak bekerja 40 47.6 2. bekerja 44 52.4 tabel 1 karakteristik subjek penelitian tebel 1 menjelaskan bahwa sebagian besar subjek penelitian merupakan kehamilan multipara yaitu sebesar 36.9% dengan nilai mean sebesar 2.13 , mengalami persalinan dengan operasi sebesar 50% dengan nilai mean 1.54 , tingkat pendidikan smp sebesar 39.3% dengan nilai mean 2.00 dan bekerja sebesar 52.4% dengan nilai mean 1.52. hal ini berarti bahwa subjek penelitian memiliki kualifikasi yang telah ditentukan oleh peneliti variabel n percent mean kelompok kontrol 42 50 21.50 kelompok perlakuan 42 50 63.50 tabel 2 distribusi variabel tabel 2 menjelaskan bahwa subjek penelitian pada kelompok kontrol berjumlah 42 demikian pada kelompok perlakukan, namun nilai mean memiliki 323maimunah, efektifitas metode double d terhadap depresi... perbedaan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol sebesar 42% yang berarti setelah mendapatkan meode double d subjek penelitian mengalami penurunan depresi sebesar 42%. hasil uji normalitas berdasarkan hasil uji normalitas kolmogorv smirnof didapatkan p= 0.001 yang berarti data tidak berdistribusi normal, sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan uji mann whitney hasil uji mann whitney berdasarkan hasil uji analisis mann whitney didapatkan p= 0.001 dimana p< 0.05. hali ini menjelaskan bahwa ada perbedaan tingkat depresi post partum fase leetting go secara signifikan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. uji mann whitney yang telah dilakukan didapatkan hasil p= 0.001 yang menerangkan bahwa ada perbedaan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol setelah mendapatkan metode double d. metode duble d ( dzikir dan doa ) dalam islam merupakan bentuk penyembuhan dengan menggunakan tubuh sendiri yang mampu meningkatkan dukungan social, kenyamanan dan keamanan serta pencapain solusi masalah (sternthal, williams, musick, & buck, 2010; sulthan et al., 2018). pembahasan metode double d ini meliputi membaca dzikir dan doa setelah sholat wajib, membaca istighfar pada saat merasakan kesedihan, membaca laa khaula wala kuwwata illah billah yang memilki arti tidak ada kekuatan selain kekuautan allah swt pada saat mengalami ketidak berdayaan, dan membaca laa illaha illah anta inni kuntu minal dzalimin (tidak ada kekuatan selain engkau, sesungguhnya diri ini mengalami keteraniayaan) sebanyak 3x selama 2 minggu. dzikir merupakan kondisi dimana hati, pikiran dan tindakan mengingat allah sebagai dzat yang menguasai kesekuruhan hidup sedangkan doa merupakan kalimat yang diucapkan yang berdasarkan hadist dan kitab suci alquraan dengan keyakinan penuh, kepasrahan penuh dan terimplikasi pada perilaku yang dilakukan secara konsisten(ed, 2009). dzikir merupakan frase kata yang fokus sebagai upaya untuk terus mengingat allah dimanapun dan kapan pun. dzikir merupakan beta blocker (penghambat respon beta) yang mengakibatkan kondisi gelombang otak menjadi alfa yang berarti tubuh memiliki energi kuat, menstabilkan hormone terutama hormon kortisol yang berperan penting dalam respon stress. jalur dzikir menurunkan depresi adalah sebagai berikut dzikir yang dibaca sesuai anjuran kemudian membentuk spiritual value, stress value menciptakan karakteristik internal yang berupa persepsi strees yang akan menstimulasi hpa axis dan mestabilkan kortisol (sternthal et al., 2010; utami, 2017), serta menyeimbangkan metabolisme tubuh menjadi fisiologi pelaksanaan dzikir ini memerlukan ketenangan sehingga tubuh menjadi relaksasi dan fokus doa merupakan serangkaian kalimat yang diucapkan, diyakini akan keberadaanya yang berdasar pada hadist dan alquran. sama halnya dengan jalur dzikir bahwa doa yang disertai kekhusyukan dan keyakinan akan mengaktifkan hpa axis yang mampu merubah gelombang otak beta menjadi alfa. dengan demikian keseluruhan metabolisme menjadi stabil termasuk hormon kortisol. berdasar penjelasan diatas bahwa terapi dzikir dan doa sebaiknya dilakukan secara bersama, khusunya pada ibu nifas pada fase letting go (dunford & granger, 2017; muresan-madar & baban, 2015; weisman de mamani, tuchman, & duarte, 2010) kesimpulan hasil dari penelitian ini bahwa metode double d efektif bisa menurunkan depresi ibu nifas post partum fase letting go di rw 02 karangrejo wonokromo surabaya. saran metode double d dapat dijadikan sebagai upaya alternatif penurunan depressi post partum pada ibu nifas dengan pendekatan sosial, behaviour dan religious. bahwa metode double d dzikir dan doa dapat menurunkan depresi bagi orang yang mnederita berbagai macam penyakit. daftar pustaka almond, p. (2009). postnatal depression: a global public health perspective. perspectives in public health, 129(5), 221–227. ht t ps: / / doi . or g/ 10. 1177/ 1757913909343882 apter, g., devouche, e., gratier, m., valente, m., & nestour, a. le. (2012). what lies behind postnatal depression: is it only a mood disorder? journal 324 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 320–325 of personality disorders, 26(3), 357–367. https:// doi.org/10.1521/pedi.2012.26.3.357 bonelli, r. m., & koenig, h. g. (2013). mental disorders, religion and spirituality 1990 to 2010: a systematic evidence-based review. journal of religion and health, 52(2), 657–673. https://doi.org/10.1007/ s10943-013-9691-4 dunford, e., & granger, c. (2017). maternal guilt and shame: relationship to postnatal depression and attitudes towards help-seeking. journal of child and family studies, 26(6), 1692–1701. https:// doi.org/10.1007/s10826-017-0690-z ed, a. a. d. (2009). healing in islam/ : a psychological pe rspe ctive ife psychologia/ : psychotherapy – unity in diversity. lfe psichologia, 21, no .3(religion, islam, mental h eal t h ), 47–54. retr i eved from ht t ps: / / www.questia.com/library/journal/1p3-3091432601/ healing-in-islam-a-psychological-perspective hansotte, e., payne, s. i., & babich, s. m. (2017). positive postpartum depression screening practices and subsequent mental health treatment for low-income women in western countries: a systematic literature review. public health reviews, 38(1). https:// doi.org/10.1186/s40985-017-0050-y mur esan -madar, a., & ba ban, a. (2015). the development and piloting of a cbt group program for postpartum depressi...: engine orange, shsu’s library search engine! journal of evidence-based psychotherapies, 15(1), 51–64. retrieved from http:// eds.b. ebscohost . com .ez pr oxy.sh su. edu/ eds/ pdfviewer/pdfviewer?vid=1&sid=b086bc66-396a447c-9f93-f845a5d7d08e%40sessionmgr120 pooler, j., perry, d. f., & ghandour, r. m. (2013). prevalence and risk factors for postpartum depressive symptoms among women enrolled in wic. maternal and child health journal, 17(10), 1969– 1980. https://doi.org/10.1007/s10995-013-1224-y sternthal, m. j., williams, d. r., musick, m. a., & buck, a. c. (2010). religious life/ : a search for mediators. journal of health and social behavior, 3, 343– 359. https://doi.org/10.1177/0022146510378237 sulthan, u. i. n., saifuddin, t., duren, s., & jambi, m. (2018). journal of islamic guidance and counseling terapi religi melalui dzikir pada penderita gangguan jiwa. journal of islamic guidance and counseling, 2, 201–214. taherifard, p., delpisheh, a., shirali, r., afkhamzadeh, a., & veisani, y. (2013). socioeconomic , psychiatric a nd ma teri al i ty determ i na nt s a nd ri sk of postpartum depression in border city of ilam , western iran. hindawi publishing corporation depression research and treatment volume 2013, article id 653471, 7 pages http://dx.doi.org/ 10.1155/2013/653471 research, 2013. tarrant, r. c., younger, k. m., sheridan-pereira, m., white, m. j., & kearney, j. m. (2009). the prevalence and determinants of breast-feeding initiation and duration in a sample of women in ireland. public health nutrition: 13(6), 760–770, 13(6), 760–770. https://doi.org/10.1017/s1368980009991522 utami, t. n. (2017). tinjauan literatur mekanisme zikir terhadap kesehatan: respons imunitas. jurnal jumantik, 2(1), 100–110. vanderkruik, r., barreix, m., chou, d., allen, t., say, l., cohen, l. s., … von dadelszen, p. (2017). the global prevalence of postpartum psychosis: a systematic review. bmc psychiatry, 17(1), 1–9. https://doi.org/ 10.1186/s12888-017-1427-7 weisman de mamani, a. g., tuchman, n., & duarte, e. a. (2010). incorporating religion/spirituality into treatment for serious mental illness. cognitive and behavioral practice, 17(4), 348–357. https://doi.org/ 10.1016/j.cbpra.2009.05.003 325maimunah, efektifitas metode double d terhadap depresi... e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 20 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 20–29 20 gambaran kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) (overview of hemoglobin levels in young women who consumed iron supplementation/fe) deby illahi jurusan keperawatan poltekkes malang e-mail: deby20@gmail.com abstract: one of the programs of the blitar city health department, through field work on the child and adolescent nutrition, is socialization and acculturation efforts iron tablet supplement (fe) in all schools in blitar. smp negeri 4 blitar city is the only school that has successfully implemented a program which has been carried by the blitar city health department for 5 consecutive years, lie in 2010 until now (2014). the purpose of this study is to describe the level of hemoglobin in young women who consumed iron supplementation (fe) in smp negeri 4 blitar city. the method is descriptive, research instruments such as questionnaires and sahli hemoglobin. the population of young women at smp negeri 4 blitar city are 438 respondents and the samples are 65 respondents using proportional stratified random sampling method. data collection takes place in june 2012, known that the results of this study is normal, by 77% (50 girls), low by 14% (9 girls), and high by 9% (6 girls). the frequency, pattern, long drink, solvents, and activity are several factors that can affect hemoglobin levels. beside of the results, there was hopefully an collaboration between smp negeri 4 blitar city and blitar city health department to get evaluation of hemoglobin levels of young women who consumed iron supplementation (fe) in smp negeri 4 blitar city. keywords: hemoglobin, iron, young women abstrak: upaya strategis memutus simpul masalah anemia pada remaja putri salah satunya adalah dilakukan perbaikan gizi kelompok remaja putri. upaya ini selaras dengan program dinas kesehatan kota blitar yaitu pembudayaan pemberian tablet tambah darah (fe) pada semua siswi putri smp di kota blitar. smp negeri 4 kota blitar adalah satu-satunya smp di kota blitar yang telah menerapkan pogram tersebut sejak tahun 2010 sampai saat ini. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar. metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan instrumen penelitian berupa hb sahli dan kuisioner. populasi remaja putri di smp negeri 4 kota blitar berjumlah 438 responden dan di ambil sampel sebanyak 65 responden dengan menggunakan teknik proportional stratified random sampling. waktu pengumpulan data dilaksanakan pada bulan juni 2014. hasil penelitian diketahui bahwa kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar adalah normal, sebesar 77% (50 remaja putri), rendah 14% (9 remaja putri), dan tinggi 9% (6 remaja putri). asupan makanan, usia, ketinggian tempat tinggal, jenis kegiatan, merupakan faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin. berdasarkan hasil penelitian diharapkan adanya kolaborasi antara pengelola smp negeri 4 kota blitar dengan dinas kesehatan kota blitar terkait dengan evaluasi kadar hemoglobin pada remaja putri di smp negeri 4 kota blitar yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe). kata kunci: hemoglobin, fe, remaja putri menurut khomsan (2003) remaja tidak terlepas dari permasalahan yang berkaitan dengan masalah gizi. masalah-masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi remaja tersebut saling berkaitan satu sama lain dan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p020-029 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 21illahi, gambaran kadar hemoglobin ... diperlukan penanganan yang terpadu dan menyeluruh. adapun masalah-masalah gizi yang biasa dialami pada fase remaja adalah obesitas dan anemia. anemia bukan suatu penyakit, melainkan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan. terdapat berbagai macam anemia, namun jenis anemia terbanyak di selur uh dunia adalah a nemia defisiensi besi, (smeltser, 2001) menurut smeltser (2001) anemia defisiensi besi adalah keadaan dimana kandungan besi dalam tubuh total turun dibawah tingkat normal, dan anemia jenis ini merupkan anemia yang paling sering terjadi pada semua kelompok umur . pada umumnya anemia sering terjadi pada wanita dan remaja putri dibandingkan pria, akan tetapi kebanyakan penderita anemia tidak tahu atau tidak menyadari, dan menganggap anemia sebagai masalah yang lazim. remaja putri mudah sekali terserang anemia karena pada umumnya masyarakat indonesia (termasuk remaja putri) lebih banyak mengkonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit, dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan zat besi tidak terpenuhi. selain itu, remaja putri selalu ingin tampil langsing, sehingga hal tersebut memotivasi mereka dalam membatasi asupan makanan, yang akan berkibat pada rendahnya intake nutrisi khususnya zat besi, serta remaja putri juga mengalami haid setiap bulan, yang menyebabkan kehilangan + 1,3 mg zat besi per hari, sehingga kebutuhan zat besi pada remaja putri lebih tinggi daripada pria (smeltser, 2001). anemia pada remaja dapat berdampak pada menurunnya produktifitas kerja ataupun kemampuan akademis disekolah, karena tidak adanya gairah belajar dan konsentrasi. anemia juga dapat mengganggu pertumbuhan dimana tinggi dan berat badan menjadi tidak sempurna. selain itu, daya tahan tubuh akan menurun sehingga mudah terserang penyakit. anemia juga dapat menyebabkan menurunnya produksi energi, sehingga memicu terjadinya metabolisme anaerob yang akan menghasilkan akumulasi asam laktat dalam otot (aryani, 2010). pada tahun 2012, data statistik dari dinas kesehatan kota blitar menunjukkan prevalensi anemia pada remaja putri masih cukup tinggi, yaitu 20,5%. menurut survei yang dilakukan sukarjo (2013) pada tahun 2001, angka kejadian anemia di jawa timur berkisar 25,8% pada remaja putri dan 12,1% pada remaja laki-laki usia 12–15 tahun. depkes, 2005 mengemukakan bahwa di indonesia, sebesar 26, 50% remaja mengalami anemia, wanita usia subur 26,9%, ibu hamil 40,1%, dan anak balita 47,0%. menurut gibney (2008) prinsip dasar dalam pencegahan anemia kerena defisiensi zat besi adalah meningkatkan kandungan serta bioavailabilitas (ketersediaan hayati) zat besi dalam makanan serta memastikan konsumsi zat besi secara teratur untuk memenuhi kebutuhan tubuh dengan penyediaan suplemen zat besi atau yang lebih dikenal dengan pemberian tablet tambah darah (fe). tablet tambah darah (fe) adalah suplemen untuk menanggulangi anemia defisiensi besi. komposisi tablet tambah darah (fe) yang dibagikan dalam program kesehatan di indonesia berisi ferrous sulfat dan asam folat. selain itu ada komposisi lain yaitu ferrous fummarate (sandjaja, 2009). davey (2005) mengungkapkan bahwa wanita yang sedang menstrulasi membutuhkan tambahan asupan zat besi 1,5 mg/hari dan wanita hamil membutuhkan 5–6 mg/ hari. sasaran program perbaikan gizi pada kelompok remaja dianggap strategis dalam upaya memutus simpul siklus masalah gizi, terutama anemia pada remaja. salah satu program dari dinas kesehatan kota blitar melalui bidang garap gizi anak dan remaja, adalah dengan adanya upaya sosialisasi serta pembudayaan pemberian tablet tambah darah (fe) pada seluruh sekolah di kota blitar, melalui guru uks di semua sekolah menengah pertama dan menengah atas di kota blitar. smp negeri 4 kota blitar adalah satu-satunya sekolah yang telah berhasil menerapkan program yang telah diusung oleh dinas kesehatan kota blitar tersebut selama 5 tahun berturutturut, yaitu pada tahun 2010 hingga sekarang (2014). dari hasil wawancara dengan narasumber pada tanggal 10 desember 2013, ibu yuni lestari selaku guru penanggung jawab uks smp 4 blitar menyebutkan, bahwa pemberian tablet tambah darah (fe) pada siswa putri smp 4 blitar, dilaksanakan rutin setiap hari rabu secara serentak mulai kelas tujuh, delapan, dan sembilan di sekolah. dalam pelaksanaannya, setiap siswa putri diberikan kartu kontrol minum tablet tambah darah (fe), dan untuk menjamin kepatuhan, setiap selesai mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) ada tanda bukti dari guru penanggung jawab. 22 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 20–29 menurut narasumber terkait, pemberian rutin tablet tambah darah (fe) pada semua siswi putri di smp 4 blitar bertujuan untuk mencegah anemia, serta membentuk karakter pembiasaan peserta didiknya dalam mengkonsumsi tablet tambah darah, sehingga saat memasuki usia kehamilan yang memang membutuhkan asupan zat besi yang lebih, mereka tidak asing lagi dengan hal tersebut. akan tetapi, menurut penuturan ibu yuni lestari, selama ini belum ada pemeriksaan kadar hemoglobin bagi para siswi yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) (sebelum maupun sesudah), baik dari dinas kesehatan maupun dari smp 4 blitar sebagai sekolah yang menjalankan program tablet tambah darah (fe). hal ini diperkuat dengan penuturan dr. dharma pada tanggal 3 desember 2013, yang juga selaku kepala bidang penaggulangan gizi anak dan remaja dinas kesehatan kota blitar mengungkapkan bahwa tidak ada anggaran secara khusus maupun kebijakan terkait pemeriksaan kadar hemoglobin bagi siswi yang sekolahnya menjalankan program tablet tambah darah (fe). berdasarkan uraian diatas, penulis ingin meneliti tentang gambaran kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 blitar. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dilaksanakan di smp negeri 4 kota blitar pada bulan juni 2014. penentuan kadar hemoglobin menggunakan hb sahli set, yang dilakukan pada 65 remaja putri dari kelas 7, 8, dan 9 yang tidak sedang mengalami menstrulasi, dengan menggunakan teknik proportional stratified random sampling. data umum berupa usia, ketinggian tempat tinggal, pola makan sehari-hari, dan pola minum tablet tambah darah (fe) dikumpulkan melalui kuisioner yang diberikan. pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan setelah remaja putri selesai mengisi data umum secara bersama-sama dengan dipandu oleh peneliti. hasil penelitian karakteristik remaja putri smp negeri 4 kota blitar adalah sebagaimana tabel 1. berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa (1) sebagian kecil remaja putri yaitu sekitar 5% (4 remaja putri) bertempat tinggal di daerah dataran tinggi, (2) kurang dari setengah yaitu 44% (28 remaja putri) tidak mengkonsumsi sumber protein hewani, (3) lebih dari setengah yaitu 60% (39 remaja putri) mengkonsumsi tempe sebagai sumber protein nabati, (4) 33% (21 remaja putri) mengkonsumsi bayam sebagai sumber zat besi nabati, (5) sumber vitamin dan buah yang paling banyak dikonsumsi adalah pisang dan papaya, yaitu masing masing 10%, (6) sebagian besar remaja putri yaitu 72% (47 remaja putri) minum tablet fe setelah makan, (7) hampir seluruh remaja putri yaitu 98% (64 remaja putri) minum tablet tambah darah 1 kali dalam seminggu, (8) 100% (65 remaja putri) minum tablet tambah darah (fe) selama > 1 tahun, (9) hampir seluruh remaja putri yaitu 96% (63 remaja putri) menggunakan air putih untuk minum tablet tambah darah (fe), (10) bahwa kurang dari setengah remaja putri yaitu 19% (12 remaja putri) mengalami reaksi mual setelah minum tablet tambah darah (fe). kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar disajikan dalam tabel 2. berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa dari 65 remaja putri, sebesar 10,7% (7 remaja putri dari kelas ix) memiliki kadar hemoglobin rendah. tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber protein hewani remaja putri di smp negeri 4 kota blitar disajikan pada tabel 3. berdasarkan tabel 3 dapat disimpulkan bahwa terdapat 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi bagi remaja putri yang mengkonsumsi ikan laut sebagai sumber protein hewani. bagi remaja putri yang mengkonsumsi telur sebagai sumber protein hewani, 23% (15 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah, dan 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. dapat disimpulkan bahwa remaja yang mengkonsumsi daging ayam dan ikan laut mempunyai kadar hemoglobin yang normal, daripada yang tidak mengkonsumsi keduanya. tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber protein nabati remaja putri di smp negeri 4 disajikan dalam tabel 4. berdasarkan tabel 5 menunjukkan, 45% (29 remaja putri) yang mengkonsumsi tempe memiliki kadar hemoglobin normal, 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah dan 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber zat besi nabati remaja putri di smp negeri 4 disajikan dalam tabel 5. 23illahi, gambaran kadar hemoglobin ... karakteristik keterangan f % ketinggian tempat tinggal d. tinggi 3 5 d. rendah 62 95 sb. protein hewani daging ayam 9 14 daging sapi 0 0 ikan laut 6 9 telur 20 31 lain-lain 1 2 tidak mengkonsumsi 29 44 sumber protein nabati tahu 10 15 tempe 39 60 lain-lain 0 0 tidak mengkonsumsi 16 25 sb zat besi nabati bayam 21 33 kangkung 10 15 sawi 4 6 kacang kacangan 9 14 kubis 13 20 tidak mengkonsumsi 8 12 sb. vitamin buah pisang 10 15 pepaya 10 15 jeruk 7 11 apel 4 6 lain lain 3 5 tidak mengkonsumsi 31 48 frek minum tablet fe 1x/minggu 2x/minggu >2x/minggu 1 0 64 2 0 1 00 pola minum tablet fe sebelum makan sesudah makan 18 47 28 72 lama minum tablet fe 1 tahun 2 tahun 3 tahun 23 19 23 35 30 35 pelarut yang digunakan teh susu air putih lain lain 1 0 63 1 2 0 96 2 reaksi setelah minum tablet fe mual muntah pusing mengantuk 24 3 19 19 36 4 30 30 tabel 1. karakteristik remaja putri smp negeri 4 kota blitar juni 2014 tabel 2. kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar juni 2014 kelas karakteristik total normal rendah tinggi vii 22 0 2 24 (36,9%) 33,8% 0,00% 3% viii 17 2 0 1 9 (29,3%) 26% 3% 0,00% ix 11 7 4 2 2 (33,8%) 16,9% 10,7 6% jumlah 50 9 6 6 5 total 77% 14% 9% 100% 24 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 20–29 tabel 3. tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber protein hewani remaja putri di smp negeri 4 kota blitar, juni 2014 sumber protein hewani kadar hemoglobin total responden normal rendah tinggi daging ayam 9 0 0 9 (13,8 %) 13,8% 0,0% 0,0% ikan laut 5 0 1 6 (9,2%) 7,7 % 0,0% 1,5% telur 15 5 1 21 (32,3%) 23,1% 7,7% 1,5% lain-lain 1 0 0 1 (1,5%) 1,5 % 0,0% 0,0% tidak mengkonsumsi 20 4 4 28 (43,1%) 30,8% 6,2% 6,2% jumlah 50 9 6 65 (100,0% ) total 76,9% 13,8% 9,2% tabel 4. tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber protein nabati remaja putri di smp negeri 4 kota blitar, juni 2014 sumber protein nabati kadar hemoglobin total responden normal rendah tinggi tahu 9 1 0 10 (15,4%) 13,8% 1,5% 0,0% tempe 29 5 5 39 (60,0%) 44,6% 7,7% 7,7% tidak mengkonsumsi 12 3 1 16 (24,6%) 18,5% 4,6% 1,5% jumlah 50 9 6 65 (100,0 %) total 76,9% 13,8% 9,2% tabel 5. tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber zat besi nabati remaja putri di smp negeri 4 kota blitar, juni 2014 sumber za t besi nabati kadar hemoglobin total normal rendah tinggi bayam 14 4 3 21 (32,3% ) 21,5% 6,2% 4,6% kangkung 7 2 1 10 (15,4% ) 10,8% 3,1% 1,5% kacangkacangan 8 1 0 9 (13,8%) 12,3% 1,5% 0,0% sawi 3 1 0 4 (6,2%) 4,6% 1,5% 0,0% kubis 10 1 1 12 (18,5% ) 15,4% 1,5% 1,5% tidak mengkonsumsi 8 0 1 9 (13,8%) 12,3% 0,0% 1,5% jumlah 50 9 6 65 (100,0%) to tal 76,9% 13,8% 9,2% berdasarkan tabel 5 terdapat 22% (14 remaja putri) yang mengkonsumsi bayam memiliki kadar hemoglobin normal, dan 6% (4 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah, 5% (3 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. 25illahi, gambaran kadar hemoglobin ... tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber vitamin buah remaja putri di smp negeri 4 disajikan dalam tabel di bawah ini ferrous fummarate (sandjaja, 2009). menurut febry, (2013) manfaat tablet tambah darah (fe) pada remaja putri adalah, a) remaja putri mengalami tabel 6. tabulasi silang antara kadar hemoglobin dengan sumber vitamin buah di smp negeri 4 kota blitar, juni 2014 sumber vitamin buah kadar hemoglobin total normal rendah tinggi pisang 6 3 1 10 (15,4% 9,2% 4,6% 1,5 % pepaya 8 2 0 10 (15,4% 12,3% 3,1% 0,0 % jer uk 6 1 0 7 (10,8% 9,2% 1,5% 0,0 % apel 4 0 0 4 (6,2% ) 6,2% 0,0% 0,0 % lain-lain 1 2 0 3 (4,6% ) 1,5% 3,1% 0,0 % tidak mengkonsumsi 25 1 5 31 (47,7%) 38,5% 1,5% 7,7 % jumlah 50 9 6 65 (100%) total 76,9% 13,8% 9,2 % berdasarkan tabel 6 di atas tampak bahwa terdapat 9% (6 remaja putri) yang mengkonsumsi jeruk memiliki kadar hemoglobin normal, dan 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah pembahasan dari hasil penelitian terhadap 65 remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe), dapat diketahui bahwa 14% (9 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah, 77% (53 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, dan 9% (6 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. salah satu parameter dalam menentukan anemia adalah rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. seseorang dikatakan anemia adalah saat kadar hemoglobin dalam darah < 12 mg/dl. di smp negeri 4 kota blitar, terdapat 14% angka kejadian anemia. prevalensi ini lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi anemia pada remaja putri di kota blitar yaitu 20, 5%, di jawa timur 25, 8% dan di tingkat nasional 26, 50%. hal ini dapat diasumsikan bahwa pemberian tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar dapat meningkatkan kadar hb. tablet tambah darah (fe) adalah suplemen untuk menanggulangi anemia defisiensi besi. komposisi tablet tambah darah (fe) yang dibagikan dalam program kesehatan di indonesia berisi ferrous sulfat dan asam folat. selain itu ada komposisi lain yaitu menstrulasi setiap bulannya, sehingga memerlukan zat besi tambahan untuk mengganti darah yang hilang, b) remaja putri akan mengalami hamil, dan menyusui sehingga membutuhkan zat besi yang tinggi, yang perlu dipersiapkan sedini mungkin semenjak remaja, c) mengobati remaja putri yang mengalami anemia, d) meningkatkan kemampuan belajar, produktifitas, dan kualitas sumber daya manusia serta generasi penerus, e) meningkatkan status gizi dan kesehatan remaja putri. dalam pelaksanaannya, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi absorbsi dari tablet tambah darah (fe) antara lain adalah, frekuensi, lama minum, pola, serta pelarut yang digunakan saat minum tablet tambah darah (fe). frekuensi berdasarkan penelitian yang dilaksanakan, terdapat 98% (64 remaja putri) mengkonsumsi tablet fe seminggu sekali, dan 2% (1 remaja putri) mengkonsumsi tablet fe lebih dari 2 kali dalam seminggu. kegiatan suplementasi tablet tambah darah (fe) yang diberikan dengan dosis 1 tablet seminggu sekali, minimal selama 16 minggu dan dianjurkan minum 1 tablet setiap hari selama masa haid/menstrulasi, (aryani, 2010) . pemberian tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar dilaksanakan seminggu sekali setiap hari rabu. 26 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 20–29 lama minum berdasarkan hasil penelitian, 100% (65 remaja putri) mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) selama lebih dari 1 tahun. menurut marks, (marks, 2000), umumnya setelah mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) secara continue dalam waktu lebih dari 4 minggu akan terjadi kenaikan kadar hemoglobin sekitar 2 g/dl. terkait dengan program pemberian tablet tambah darah (fe), smp negeri 4 kota blitar telah merintis program tersebut selama 5 tahun berturut-turut. pola minum tablet tambah darah (fe) berdasarkan hasil penelitian,72% (47 remaja putri) minum tablet fe setelah makan, dan 28% (18 remaja putri) minum tablet tambah darah sebelum makan. selain itu, pola minum tablet fe juga dapat berpengaruh terhadap reaksi yang akan ditimbulkan. berdasarkan hasil penelitian, terdapat 19% (12 remaja putri) mengalami mual, 2% (1 remaja putri) mengalami muntah, serta 15% (10 remaja putri) mengalami pusing setelah mengkonsumsi tablet tambah darah fe. gibney (2008), mengemukakan, dosis-dosis besar dari zat besi yang diserap oleh perut yang kosong dapat menyebabkan gangguan perut seperti mual, distensi, sembelit, atau diare dan rasa panas dalam perut. febry (2013) mengemukakan bahwa untuk mengurangi gejala sampingan pada gastrointestinal seperti mual, dan distensi abdomen maka dianjurkan untuk meminum tablet tambah darah setelah makan malam atau menjelang tidur. pelarut yang digunakan saat minum tablet tambah darah (fe) berdasarkan hasil penelitian, terdapat 97% (63 remaja putri) yang menggunakan air putih sebagai pelarut saat minum tablet fe, 2% (1 remaja putri) menggunakan teh. menurut febry (2013), salah satu aturan minum tablet tambah darah adalah meminum tablet tambah darah dengan air putih, jangan minum dengan air teh, susu, atau kopi karena dapat menurunkan penyerapan zat besi dalam tubuh sehingga manfaatnya menjadi berkurang. teh mengandung tiga komponen yaitu fluoride, kafein, dan tanin. tanin dikenal mampu membunuh bakteri sehingga bisa membantu mengendalikan pembentukan plak pada gigi, namun tanin juga bisa memperlambat penyerapan beberapa mineral penting seperti zat besi, kalsium, dan zink. sama halnya pada fitat, kompleks besi-tanin menyebabkan zat besi tidak dapat diserap oleh tubuh sehingga terbuang percuma melalui feses. susu bermanfaat memberi protein dengan nilai biologis tinggi untuk pertumbuhan sel tubuh dan otak. susu sangat berkhasiat untuk membangun dan menjaga tulang agar sehat dan optimal, karena mengandung semua mineral dan vitamin yang diperlukan untuk pembentuka n dan meta bolisme tula ng (astawan, 2004) . namun menurut gibney, (2008), mengngungkapkan kalsium yang terdapat dalam produk susu atau keju, dapat menghambat absorbsi zat besi. kandungan protein dalam produk susu merupakan inhibitor dalam penyerapan zat besi. hemoglobin adalah pigmen pembawa oksigen (karina, 2012). setiap hemoglobin terdiri dari protein yang disebut globin, dan pigmen non-protein yang disebut heme. setiap heme berikatan dengan rantai polipeptida, yang mengandung fe2+ (4). selain dengan pemberian tablet tambah darah (fe), menurut estridge (2000), kadar hemoglobin dalam darah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ketinggian tempat tinggal, jenis kegiatan, asupan makanan, usia, dan jenis kelamin. ketinggian tempat tinggal berdasarkan hasil penelitian, terdapat 6% (4 remaja putri) bertempat tinggal didataran tinggi, dan 94% (61 remaja putri) lainnya bertempat tinggal di daerah dataran rendah. dari hasil tabel silang antara kadar hemoglobin dengan ketinggian tempat tinggal, didapatkan bahwa 5% (3 remaja putri) yang bertempat tinggal didaerah dataran tinggi memiliki kadar hemoglobin dalam rentang normal, dan 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah. menurut estridge (2000), kadar hemoglobin seseorang dapat dipengaruhi oleh ketinggian tempat tinggal. orang yang tinggal di dataran tinggi akan mempunyai kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah yang tinggi pula, daripada orang yang tinggal di dataran rendah. hal ini disebabkan dataran tinggi memiliki kadar oksigen yang rendah. akibatnya paparan oksigen dalam jumlah rendah dalam tubuh akan meningkatkan produksi hormone eritropoetin. eritropoetin sendiri adalah hormone yang berfungsi sebagai penginduksi diferensiasi sel stem hematopoetik (induk semua jenis sel darah) menjadi eritrosit. peningkatan produksi eritropoetin akan terjadi beberapa menit atau jam setelah jaringan tubuh terpapar oksigen rendah dan akan mencapai puncaknya setelah 24 jam. peneliti berpendapat bahwa ketinggian tempat tinggal remaja (kota-kabupaten blitar) tidak 27illahi, gambaran kadar hemoglobin ... berpengaruh pada kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe). jenis kegiatan berdasarkan hasil penelitian, terdapat 10,7% (7 remaja putri) kelas 9 dan 3% (2 remaja putri) kelas 8 memiliki kadar hemoglobin rendah. segala aktivitas tubuh baik secara fisik maupun psikis memerlukan energi, yang diperoleh dari proses metabolisme (karmana, 2014:154). fungsi utama hemoglobin adalah transport oksigen dan karbondioksida (mutaqqin, 2014). oksigen merupakan suatu komponen yang sangat penting didalam memproduksi atp, yang merupkan sumber bahan bakar supaya sel dapat berfungsi secara optimal. atp memberikan energi yang diperlukan oleh sel untuk melakukan keperluan berbagai aktivitas dalam memelihara efektifitas segala fungsi tubuh (asmadi, 2008). dari hubungan oksigen dan energi, peneliti berpendapat bahwa kebutuhan setiap orang berbeda satu sama lain, yang salah satunya bergantung pada jenis kegiatan. semakin sering dan semakin berat suatu aktivitas, maka energi yang dibutuhkan juga semakin banyak. remaja putri kelas 9 memiliki tingkat aktivitas yang berbeda dengan kelas 7 maupun 8, dimana remaja putri kelas 9 dihadapkan pada ujian akhir, yang membutuhkan persiapan matang. akibatnya, aktivitas tubuh meningkat, dan diikuti dengan meningkatnya proses metabolisme, yang apabila tidak diikuti dengan konsumsi makanan dengan gizi seimbang, maka kadar hemoglobin dalam darah berada dalam kadar yang rendah, walaupun secara rutin minum tablet tambah darah (fe). asupan makanan prinsip dasar dalam pencegahan anemia kerena defisiensi zat besi adalah meningkatkan kandungan serta bioavailabilitas (ketersediaan hayati) zat besi dalam makanan (gibney, 2008). jadi selain mengkonsumsi tablet tambah darah (fe), pemenuhan asupan makanan yang dikonsumsi sehari-hari juga berpengaruh terhadap kadar hb. sumber protein hewani yang dikonsumsi berdasarkan hasil penelitian, terdapat 14% (9 remaja putri) yang mengkonsumsi daging ayam, 9% (6 remaja putri) mengkonsumsi ikan laut, serta 32% (21 remaja putri) yang mengkonsumsi telur ayam sebagai sumber protein hewani. dari hasil tabel silang antara kadar hemoglobin dan sumber protein yang dikonsumsi, terdapat 14% (9 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal bagi remaja putri yang mengkonsumsi daging ayam. terdapat 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi bagi remaja putri yang mengkonsumsi ikan laut sebagai sumber protein hewani. bagi remaja putri yang mengkonsumsi telur sebagai sumber protein hewani, 23% (15 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah, dan 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. selain itu bagi remaja putri yang tidak mengkonsumsi sumber protein hewani, terdapat 31% (20 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, 6% (4 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah, dan 6% (4 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. kartasapoetra (2003) mengemukakan bahwa ada dua bentuk zat besi yaitu besi heme dan non heme. besi heme merupakan besi yang berikatan dengan hemoglobin dan mioglobin. besi heme terdapat pada produk hewani. jenis besi ini merupakan bentuk besi yang paling efisien diserap tubuh. menurut anwar (2009), zat besi terkandung dalam berbagai makanan, antara lain hati, daging sapi, kambing, ikan, telur, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan susu. daging ayam, hati, otak, dan usus merupakan sumber besi yang paling kaya dengan variasi kandungan antara 1,5 mg/100 g sampai 6,6 mg/100 g, serta jumlah serapan zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani dapat mencapai 7–22%. sumber protein nabati yang dikonsumsi. dari hasil penelitian, 60% (39 remaja putri) mengkonsumsi tempe, dan 15% (10 remaja putri) mengkonsumsi tahu sebagai sumber protein nabati. berdasarkan hasil tabel silang antara kadar hemoglobin dengan sumber protein nabati, didapatkan hasil bahwa 45% (29 remaja putri) yang mengkonsumsi tempe memiliki kadar hemoglobin normal, 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah dan 8% (5 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. bagi remaja putri yang mengkonsumsi tahu, terdapat 13% (9 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah. bagi remaja putri yang tidak mengkonsumsi tahu atau tempe dalam sumber protein nabati, terdapat 19% (12 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin normal, 5% (3 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah, dan 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin tinggi. 28 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 20–29 zat besi non-heme atau zat besi dari sumbersumber tanaman merupakan bagian yang besar dari jumlah zat besi yang dimakan sehari-hari namun diserap dengan buruk, kira-kira hanya 2%–10% yang mampu diserap dari diet. karena zat besi nonheme adalah bagian yang besar dari zat besi yang dimakan sehari-hari, setiap hal yang akan meningkatkan penyerapannya adalah penting (tan, 2002). telur, produk-produk kacang kedelai dan kopi dapat menghambat penyerapan zat besi. menurut kartasapoetra (2003), produk hasil fermentasi kedelai seperti tempe dan kecap dapat meningkatkan laju penyerapan zat besi dalam menu makanan. sumber zat besi nabati berdasarkan hasil penelitian, terdapat 32% (21 remaja putri) mengkonsumsi bayam, 15% (10 remaja putri) mengkonsumsi kangkung, dan 14% (9 remaja putri) mengkonsumsi kacang-kacangan sebagai sumber zat besi nabati. menurut anwar (2009), sayuran hijau seperti sayur bayam, kangkung, katuk, dan bluntas juga merupakan sumber zat besi utama dalam makanan, dengan kandungan antara 2,5 sampai 5,6 mg/100 g. menurut tan (2002), zat besi heme dalam makanan yang berasal dari sumber-sumber hewani dapat menambah penyerapan zat besi non-heme jika keduanya di makan bersama-sama. sumber vitamin buah yang dikonsumsi dari hasil penelitian terdapat 15% (10 remaja putri) mengkonsumsi pisang, 15% (10 remaja putri) mengkonsumsi pepaya, dan 11% (7 remaja putri) mengkonsumsi jeruk sebagai sumber vitamin buah. berdasarkan hasil tabel silang antara kadar hemoglobin dengan sumber vitamin buah, terdapat 9% (6 remaja putri) yang mengkonsumsi jeruk memiliki kadar hemoglobin normal, dan 2% (1 remaja putri) memiliki kadar hemoglobin rendah. tan (2002) berpendapat bahwa beberapa faktor diet menghindari penyerapan zat besi, sedangkan yang lain-lainnya dapat membantu penyerapan. makanan yang mengandung tinggi kadar vitamin c dapat meningkatkan penyerapan baik zat besi heme maupun zat besi non-heme. kartasapoetra (2003) berpendapat, mineral besi tidaklah mudah terserap dalam darah. penyerapan ini dipengaruhi oleh hcl dalam lambung. besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri (secara umum dalam bahan pangan nabati) dan ikatan ferro (dalam bahan pangan hewani. besi yang berbentuk ferri dengan peranan dari getah lambung (hcl) direduksi menjadi bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus (adanya vitamin c juga dapat membantu proses reduksi tersebut). menurut kertasapoetra (2003), vitamin c dapat mereduksi besi ferri (fe3+) menjadi ferro (fe2+) sehingga lebih mudah untuk diserap oleh tubuh. kadar hemoglobin seseorang dipengaruhi oleh life style, keadaan fisiologis tubuh serta lingkungan. remaja putri mudah sekali terserang anemia atau memiliki kadar hemoglobin rendah karena pada umumnya masyarakat indonesia (termasuk remaja putri) lebih banyak mengkonsumsi makanan nabati yang kandungan zat besinya sedikit, dibandingkan dengan makanan hewani, sehingga kebutuhan tubuh akan zat besi tidak terpenuhi. selain itu, remaja putri selalu ingin tampil langsing, sehingga hal tersebut memotivasi mereka dalam membatasi asupan makanan, yang akan berkibat pada rendahnya intake nutrisi khususnya zat besi, serta remaja putri juga mengalami haid setiap bulan, yang menyebabkan kehilangan + 1,3 mg zat besi per hari. hal tersebut membuat remaja putri memiliki kebutuhan fe atau zat besi yang relatif lebih tinggi daripada kelompok usia dan jenis kelamin yang lain, dan hal ini mendasari program dari dinas kesehatan kota blitar untuk memberikan suplementasi tablet tambah darah (fe) pada kelompok remaja putri. akan tetapi, terdapat beberapa atensi dalam mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) tersebut, diantaranya frekuensi, lama minum, pola, dan pelarut yang digunakan saat minum tablet fe, serta yang tidak kalah penting adalah mengkombinasikannya dengan asupan makanan yang kaya akan zat besi tinggi sehingga absorbsi suplementasi tablet tambah darah (fe) dapat berjalan optimal. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan juni 2014 di smp negeri 4 kota blitar pada 65 remaja putri, dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran kadar hemoglobin pada remaja putri yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar adalah normal, sebesar 77% (50 remaja putri), rendah 14% (9 remaja putri), dan tinggi 9% (6 remaja putri). hal ini dapat disimpulkan bahwa pemberian tablet tambah darah (fe) di smp negeri 4 kota blitar dapat meningkatkan kadar hemoglobin. 29illahi, gambaran kadar hemoglobin ... saran penulis menyarankan, bagi pengelola smp negeri 4 kota blitar untuk lebih proaktif berkolaborasi dengan dinas kesehatan kota blitar dalam meningkatkan derajat kesehatan remaja putri sebagai anak didiknya terkait dengan kadar hemoglobin remaja putri yang teridentifikasi rendah supaya dapat dilakukan intervensi lebih lanjut. selain itu diperlukan kerjasama antara pihak sekolah dengan dinas kesehatan kota blitar terkait dengan evaluasi kadar hemoglobin pada remaja putri di smp negeri 4 kota blitar yang mengkonsumsi tablet tambah darah (fe). daftar rujukan anwar, f., & ali, k. 2009. makan tepat badan sehat. jakarta: hikmah. aryani, r. (ed). 2010. kesehatan remaja: problem dan solusinya. jakarta: salemba medika. astawan, m. 2004. kiat menjaga tubuh tetap sehat. solo: tiga serangkai. davey, p. 2005. at a galance medicine. jakarta: erlangga. depkes. 2005. menulis. dalam aryani (ed). kesehatan remaja: problem dan solusinya (hlm,25 ). jakarta: salemba medika. estridge, b.h., et al. 2000. basic medical laboratory techniques. united states of america: health care publishing. febry, k.d., dkk. 2013. ilmu gizi untuk parktisi kesehatan. yogyakarta: graha ilmu. gibney, m.j., et al. (ed). 2008. gizi kesehatan masyararakat. jakarta: egc. karina. 2012. kamus keperawatan. surabaya: karina. kertasapoetra, g., & marsetyo. 2003. ilmu gizi: korelasi gizi, kesehatan, dan produktifitas kerja. jakarta: rineka cipta. khomsan, a. 2003. pangan dan gizi untuk kesehatan. jakarta: grafindo persada. khomsan, a. 2004. peranan pangan dan gizi untuk kualitas hidup. jakarta: gramedia widiasarana indonesia. marks, d.b., et al. 2000. biokimia kedokteran dasar: sebuah pendekatan klinis. jakarta: egc. sandjaja & atmarita (ed). 2009. kamus gizi. jakarta: buku kompas. smeltzer, c.s., & bare, b.g. 2001. buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. jakarta: egc. 339idris, astarani, efektivitas terapi tertawa terhadap insomnia dan ... 339 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk efektivitas terapi tertawa tehadap insomnia dan tekanan darah pada lansia desi natalia trijayanti idris1, kili astarani2 1,2prodi keperawatan, stikes rs baptis kediri indonesia info artikel kata kunci: terapi tertawa; insomnia; tekanan darah; lansia abstrak menua merupakan suatu proses alamiah dan bukanlah suatu penyakit yang dapat mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi berkurang dalam menghadapi masalah yang terjadi baik dari dalam ataupun luar tubuh. banyak masalah yang dapat terjadi pada lansia diantaranya mudah mengalami kelelahan, gangguan keseimbangan yang membuat lansia mudah jatuh, gangguan pada sistem kardiovaskuler, nyeri atau rasa tidak nyaman, gangguan pada eliminasi sering kencing atau tidak bisa menahan kencing, gangguan pengelihatan, pendengaran, gangguan istirahat dan tidur, serta mudah gatal. insomnia merupakan gangguan atau masalah tidur pada lansia yang sering ditemukan yang dapat menurunkan kualitas hidup lansia. lansia yang mengalami insomnia cenderung terjadi peningkatan tekanan darah. penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia dan tekanan darah yang meningkat pada lansia dilakukan secara mandiri ataupun berkelompok yaitu dengan cara nonfarmakologi contohnya adalah terapi tertawa. tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh terapi tertawa terhadap insomnia dan tekanan darah pada lansia di panti wredha santo yoseph kediri. desain mengunakan quasi eksperimental dengan metode one group pre-test post-test design. jumlah sampel penelitian ini sebanyak 14 lansia yang diambil secara kuota sampling dari 28 lansia yang ada. penelitian dilaksanakan pada bulan juni-juli 2019. pengumpulan data dengan mengukur insomnia dan tekanan darah (td) sebelum melakukan terapi tertawa. analisis data mengunakan uji wilcoxon. hasil menunjukkan ada pengaruh terapi tertawa dengan insomnia berdasarkan uji wilcoxon (p=0.002) dan tidak ada pengaruh terapi tertawa dengan tekanan darah pada lansia berdasarkan uji wilcoxon (p=0.190). terapi tertawa dapat digunakan sebagai penatalaksaan secara non faramkologi tindakan mandiri perawat dalam mengurangi insomnia yang terjadi pada lansia. tekanan darah pada lansia tidak terdapat perubahan dengan terapi tertawa hal ini dapat dikarenakan perubahan fisiologi lansia salah satunya adalah fungsi kardiovaskuler. sejarah artikel: diterima, 17/10/2019 disetujui, 11/11/2019 dipublikasi, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p339-347&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 340 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 339–347 correspondence address: stikes rs baptis kediri – jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x article information keywords: laughter therapy, insomnia, blood pressure, elderly abstract aging is a natural process and is not a disease that can result in reduced endurance in dealing with stressors from within and from outside the body. many problems that can occur in the elderly include fatigue, impaired balance that makes the elderly easy to fall, disorders of the cardiovascular system, pain or discomfort, disturbances in elimination of frequent urination or unable to hold urine, impaired vision, hearing, resting disorders and sleep, and itch easily. insomnia is a sleep disorder or problem that is often found in the elderly which can reduce the quality of life of the elderly. elderly people who experience insomnia tend to increase blood pressure. management that can be done to overcome insomnia and increased blood pressure in the elderly is done independently or in a group that is by means of nonpharmacology for example is laughter therapy. the purpose of this study was to analyze the effect of laughter therapy on insomnia and blood pressure in the elderly at the st. yoseph kediri nursing home. the design uses quasi experimental with one group pre-test post-test design method. the samples of this study were 14 elderly taken by sampling quota from 28 existing elderly. the study was conducted in june until july 2019. collection data by measuring insomnia and blood pressure (bp) before laughing therapy. analysis data using wilcoxon test. the results showed there was an effect of laughing therapy with insomnia based on the wilcoxon test (p = 0.002) and there was no effect of laughing therapy with blood pressure in the elderly based on the wilcoxon test (p = 0.190). laughter therapy can be used as a non-faramchologic treatment of nurses’ independent actions in reducing insomnia that occurs in the elderly. blood pressure in the elderly there is no change with laughter therapy this can be due to changes in the physiology of the elderly one of which is cardiovascular function. © 2019 jurnal ners dan kebidanan effectiveness of laughter therapy on insomnia and blood pressure in the elderly pendahuluan tidur merupakan suatu keadaan seseorang yang berada pada alam bawah sadar tetapi seseor a ng ter sebut bisa ba ngun denga n a da nya rangsangan ataupun sentuhan yang sesuai. seseorang dalam mempertahankan status kesehatannya pada tingkat yang optimal memerlukan atau membutuhkan istirahat dan tidur (aziz, 2013). setiap orang memerlukan istirahat dan tidur yang berbedabeda, jika seseorang menjaga istirahat dan tidurnya maka akan terpenuhi dengan baik tetapi jika tidak dijaga maka akan mengalami gangguan tidur (asmadi, 2008). suatu keadaan yang menyebabkan tidur terganggu disebut juga dengan gangguan tidur yang menghasilkan masalah tidur yaitu insomnia. (perry dan potter, 2010). insomnia adalah keadaan dimana seseorang tidak mampu untuk mencukupi istirahat tidurnya, baik secara berkualitas maupun secara jumlah jam tidurnya, yang dapat dilihat dengan sulit memulai tidur atau tidur mudah terbangun (aziz, 2013). insomnia dapat menyerang semua golongan usia, semakin lanjut usia seseorang semakin banyak terjadi insomnia. gangguan tidur yang disebut insomnia menjadi faktor risiko dari email: idrisdede87@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p339-347 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) history article: received, 17/10/2019 accepted, 11/11/2019 published, 05/12/2019 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p339-347 341idris, astarani, efektivitas terapi tertawa terhadap insomnia dan ... peningka tan tekanan da ra h. seseor ang ya ng memiliki pola istirahat yang tidak tercukupi dan tidak terpenuhinya kualitas tidur mengakibatkan gangguan pada keseimbangan fisiologis, psikologis. (perry dan potter, 2010). selain itu dengan bertambahnya usia menyebabkan menurunnya kelenturan arteri. arteri yang menegang menyebabkan aliran darah yang mengalir sedikit dan tidak lancar. hal ini menyebabkan peningkatan tekanan darah (fitriani, 2014), oleh karena itu dengan bertambahnya usia akan meningkatkan angka kejadian insomnia bertambahnya pada lansia. faktor penyebab insomnia antara lain yaitu kondisi fisik yang tidak menyenangkan, penyebab sekunder karena kondisi psikiatri, kesulitan untuk tidur dan sering terbangun pada pertengahan fase tidur, dan masalah lingkungan ketika tidur (priyoto, 2015). gangguan tidur yang sering disebut insomnia sering ditemukan pada lansia. sekitar 60% dari lansia terjadi gangguan insomnia atau sulit tidur (setyoadi dan kushariyadi, 2011). berdasarkan prevalensi yang ditemukan jumlah lansia di indonesia tahun 2012 tercatat yaitu sebesar 19 juta (7,7 dari 245 juta jiwa jumlah penduduk). jumlah lansia di jawa timur pada tahun 2012 mencapai 11,14 juta jiwa. hal yang sama dijumpai pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun dan terdapat 30% kelompok usia 70 tahun terbangun diwaktu malam hari. angka kejadian insomnia ini 7 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun (priyoto, 2015) keluhan terhadap kualitas tidur sering berkaitan dengan bertambahnya usia. semakin lanjut usia seseorang, semakin banyak terjadi insomnia (mukhlidah, 2011). insomnia adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami kesulitan untuk tidur, terutama tidur malam hari (yekti, 2011). penyebab insomnia dapat meliputi beberapa aspek yaitu dari segi fisik, psikologi, maupun lingkungan. beberapa penyebab yang sudah diketahui yaitu kondisi fisik, penyebab sekunder karena kondisi psikiatri, dan masalah lingkungan (muklidah, 2011). penderita insomnia menunjukan gejala seperti tidak dapat segera tidur saat mengantuk, terbangun pada malam hari atau sewaktu-waktu, lemas, kurang energy, wa ja h ta mpa k kusa m da n letih, menga la mi kecemasan yang tidak ada sebabnya, sering marahmarah yang tidak terkontrol, terjadi peningkatan tekanan darah, kabur dalam melihat, gerakan tubuh tidak terkontrol, terjadi penurunan berat badan, sakit pada pencernaan, ketakutan pada malam hari. (yekti, 2011). berdasarkan penelitian javaheri, dkk (2017) gangguan tidur, buruknya kualitas tidur, dan lamanya tidur sangat berpengaruh terhadap terjadinya tekanan darah tinggi. berdasarkan penelitian yang lain yang pernah dilakukan pada orang dewasa, salah satu factor resiko terjadinya hipertensi adalah kurangnya tidur yaitu dapat berupa waktu tidur yang pendek hal ini dapat mengakibatkan terjadinya metabolism yang terganggu dan juga peningkatan atau gangguan pada endokrin yang kedua gangguan ini dapat menyebabkan gangguan pada kardiovaskuler. penatalaksanaa n ter ha da p insomnia da n peningkatan tekanan darah pada lansia dapat dibagi dua yaitu secara farmakologi dan nonfarmakologi. ada beberapa pengobatan nonfarmakologi untuk insomnia seperti terapi tertawa (setyoadi dan kushariyadi, 2011). masalah kesehatan seperti kecemasan, depresi, dan gangguan pada syaraf serta keadaan seseorang yang tidak dapat memenuhi tidurnya (insomnia) merupakan kondisi yang harus segera ditangani, hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut salah satunya adalah terapi tertawa (kataria, 2004). tawa merupakan terapi pelengkap dan pencegahan di samping pengobatan. manfaat yang diperoleh hampir setiap orang saat melakukan terapi tertawa adalah perasaan yang lebih nyaman, terjadi relaksasi pada otot, tertawa juga dapat memperlebar pembuluh darah sehingga darah yang dikirim akan lebih banyak ke semua otot dari pangkal sampai ujung seluruh tubuh sehingga memberikan efek rileks dan dapat menurunkan insomnia. latihan fisik sudah tidak mungkin dilakukan oleh lansia, terlebih lansia yang memiliki masalah pada kondisi ototnya dan juga adanya peradangan pada sendiri, oleh sebab itu latihan yang dapat dilakukan oleh lansia untuk mengatasi insomnia adalah dengan tertawa. terapi tertawa merupakan latihan yang sangat aman dan ideal bagi ansia yang mengalami keterbatasan fisik (kataria, 2004). bahan dan metode rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian pra eksperimental (one-group pra-post test design). penelitian ini memiliki ciri memaparkan adanya ikatan sebab akibat dengan cara melibatkan dua kelompok subjek. kelompok satu diobservasi sebelum dilakukan intervensi kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (nursalam, 2016). jumlah sampel sebanyak 14 lansia yang diambil secara kuota sampling dari 28 lansia yang ada. variabel dalam penelitian ini ada 2 independen dan dependen. variabel independen 342 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 339–347 terapi tertawa sedangkan variabel dependen insomnia dan tekanan darah. instrumen penelitian ini adalah modul latihan terapi terawa dengan 15 langkah, kuesioner insomnia menggunakan instrumen insomnia saverity index (isi) dan sphigmomanometer untuk mengukur tekanan darah dicatat di lembar observasi. pelaksanaan penelitian selama bulan juni – juli 2019 di panti wredha santo yoseph kediri. penelitian ini dilaksanakan empat kali pertemuan. insomnia dan tekanan darah diukur terlebih dahulu pada pertemuan pertama selanjutnya diajarkan terapi tertawa kepada lansia dan suster. selanjutnya lansia melaksanakan setiap hari terapi terawa dengan diawasi oleh suster yang menjaga lansia 1 hari dua kali (setiap hari sebelum dan sesudah terapi terawa tekanan darah lansia diukur). pertemuan kedua lansia sudah lebih lincah dan lancar dalam melaksanakan terapi terawa, pertemuan ketiga lansia lebih rileks dan pertemuan ke empat lansia sudah dapat menghafal langkah-langkah terapi tertawa, pada pertemuan terakhir lansia diukur insomnia dan tekanan darahnya. analisa data pada penelitian ini menggunakan uji wilcoxon signed rank test. h1 diterima, jika p value <  (0,05) untuk menentukan pengaruh terapi terawa terhadap insomnia dan tekanan darah pada lansia. hasil penelitian data umum karakteristik berdasarkan usia lansia berdasarkan tabel 3 tentang riwayat sakit la nsia semua la nsia memiliki r iwa ya t sa kit diantaranya diabetes mellitus, hipertensi, dan juga asam urat. lansia dapat memiliki riwayat sakit lebih dari 1 misalnya diabetes mellitus dan juga hipertensi. karakteristik berdasarkan kegiatan lansia pada siang hari berdasarkan tabel 1 diketahui dari 14 responden terdapat setengah (50%) berusia 60 – 74 tahun dan setengah lagi (50%) berusia 75 – 90 tahun. batasan usia lansia menurut depkes adalah 60 tahun atau lebih. karakteristik berdasarkan riwayat pendidikan lansia variabel frekuensi percent (%) 60 – 74 7 50 75 – 90 7 50 > 90 0 0 sumber: data primer juni-juli 2019 tabel 1 distribusi responden berdasarkan usia lansia di panti wredha santo yoseph kediri juni-juli 2019 (n=14) variabel frekuensi percent (%) tidak sekolah 7 50 tidak tamat sd 4 28.6 tamat sd 0 0 tamat smp 2 14.3 tamat pt 1 7.1 sumber: data primer juni-juli 2019 tabel 2 distribusi responden berdasarkan riwayat pendidikan lansia di panti wredha santo yoseph kediri juni-juli 2019 (n=14) berdasarkan tabel 2 tentang riwayat pendidikan lansia 50% lansia yaitu 7 reponden tidak sekolah. karakteristik berdasarkan riwayat penyakit lansia variabel frekuensi percent (%) diabetes melitus 6 42.9 hipertensi 4 28.6 asam urat 6 42.9 sumber: data primer juni-juli 2019 tabel 3 distribusi responden berdasarkan riwayat penyakit lansia di panti wredha santo yoseph kediri juni-juli 2019 (n=14) variabel frekuensi percent (%) tidak sekolah 7 50 sulaman 1 7.1 tidak ada 7 50 lainnya 6 42.9 sumber: data primer juni-juli 2019 tabel 4 distribusi responden berdasarkan kegiatan lansia pada siang hari di panti wredha santo yoseph kediri juni-juli 2019 (n=14) 343idris, astarani, efektivitas terapi tertawa terhadap insomnia dan ... pembahasan pengaruh terapi tertawa terhadap insomnia berdasarkan hasil penelitian menggunakan kuesioner insomnia saverity index diketahui bahwa insomnia pre-test yang dilakukan kepada lansia di panti wredha santo yoseph kediri semua lansia mengalami insomnia terdiri dari insomnia ringan dan sedang sama-sama sebanyak 6 responden (85.8), dan insomnia berat sebanyak 2 responden (14.2%). kebutuhan istirahat dan tidur tiap satu orang dengan yang lain tidak sama, dari bayi sampai dengan lansia mereka memiliki pemenuhan kebutuhan tidur yang berbeda. kebutuhan istirahat tidur ada yang baik tetapi juga ada yang memiliki atau mengalami gangguan. salah satu faktor yang menyebabkan gangguan tidur seseorang adalah dapat dilihat dari usia seseorang, semakin bertambah usia seseorang biasanya berkurang juga total kebutuhan tidurnya, dari bayi sampai dengan lansia mereka mempunyai kebutuhan istirahat dan tidur yang jelas berbeda. kebutuhan istirahat tidur ada yang baik tetapi ada juga yang memiliki gangguan. faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan tidur pada seseorang adalah dapat dilihat dari usia seseorang, dengan bertambahnya usia maka semakin berkurang jumlah waktu untuk kebutuhan tidurnya, dengan bertambahnya usia dapat menyebabkan masalah pada pertumbuhan serta fisiologis sel organ pada berdasarkan tabel 4 tentang kegiatan lansia di siang hari 50% lansia tidak memiliki kegiatan apapun disiang hari. karakteristik berdasarkan lama lansia tinggal di panti variabel frekuensi percent (%)  1 tahun 8 57.1 > 1-5 tahun 6 42.9 sumber: data primer juni-juli 2019 tabel 5 distribusi responden berdasarkan lama lansia tinggal di panti wredha santo yoseph kediri juni-juli 2019 (n=14) berdasarkan tabel 5 lama lansia tinggal di panti wredha lebih dari 50% lansia yaitu > 1-5 tahun sebanyak 8 lansia. data khusus kategori sebelum sesudah f (%) f (%) tidak insomnia 0 0 7 50 insomnia ringan 6 42,9 6 42,9 insomnia sedang 6 42,9 1 7,1 insomnia berat 2 14,2 0 0 total 14 100 14 100 p 0.002 sumber: data primer juni-juli 2019 tabel 6 kategori insomnia pada lansia pada kelompok perlakuan i di komunitas lansia panti wredha santo yoseph kediri pada juni-juli 2019 (n=14) pada tabel 6 terlihat bahwa sebelum dilakukan terapi tertawa 100% lansia mengalami insomnia baik kategori ringan, sedang sampai berat dan setelah dilakukan terapi terjadi penurunan insomnia dari yaitu pada kategori sedang, ringan dan sampai tidak terjadi insomnia. uji statistik wilcoxon signed rank test di atas nilai z sebesar -3,025, dengan signifikan =0,05 dan nilai p=0,002, maka p < 0,05 yang berarti h1 diterima, kesimpulan hasil uji statistik bahwa ada pengaruh terapi tertawa terhadap insomnia lansia. hasil uji wilcoxon menunjukkan data bahwa p = 0,190 dan  = 0,05 sehingga p <  maka h0 diterima dan h1 ditolak yang berarti tidak ada pengaruh terapi tertawa dengan tekanan darah pada lansia. tabel 7 kategori insomnia pada lansia pada kelompok perlakuan i di komunitas lansia panti wredha santo yoseph kediri pada juni-juli 2019 (n=14) tekanan darah sebelum sesudah sistole diastole sistole diastole 140 70 130 90 130 80 130 90 130 90 130 90 130 80 120 80 160 80 150 80 140 90 140 80 160 80 140 90 140 80 140 90 130 80 120 80 120 80 120 80 140 90 130 80 120 70 110 80 110 70 110 80 150 90 140 90 p = 0,190 344 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 339–347 lansia. semakin usia bertambah lansia mulai mengalami penurunan fungsi sel serta organ lain yang dapat mempengaruhi dari fungsi dan mekanisme tidur lansia. kebutuhan tidur lansia sekitar 6 jam sehari, yaitu 20-25% tidur pada tahap rem, pada lansia tahap iv terjadi pengurangan atau sering tidak ada, hal ini yang dapat menyebabkan terjadinya insomnia atau terbangun sewaktu tidur malam hari (reny, 2014). kecemasan, depresi, demensia dan insomnia adalah masalah kesehatan jiwa yang sering terjadi pada lansia. macam-macam insomnia yang sering ditemukan pada lansia yaitu insomnia primer, insomnia kronis, dan insomnia idiopatik. insomnia adalah kondisi seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tidurnya dengan baik, secara kualitas dan juga secara jumlah tidur yang ditandai dengan tidak dapat segera tidur atau sering terbangun saat tidur (aziz, 2013). dari data yang diperoleh peneliti pada lansia sebelum diberikan intervensi didapatkan hasil sebanyak 2 responden (14,2%) lansia mengalami kesulitan untuk tidur dalam kategori yang parah. lansia cenderung mengalami penurunan waktu kebutuhan tidur dan jam istirahat karena semakin tua usia maka semakin sedikit lama tidur yang dibutuhkan. pada lansia terjadi adanya perubahan secara fisiologis dan degenerasi sel-sel tubuh yang mengakibatkan lansia susah untuk tidur dengan baik. kondisi ini sejalan dengan teori perry dan potter (2010) dengan meningkatnya usia seseorang sering diikuti dengan keluhan kesulitan tidur (insomnia). hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 6 responden (40%) lansia terbangun lebih cepat dari biasanya. hal ini seperti yang dijelaskan dalam teori reny (2014) yang menyebutkan bahwa salah satu jenis insomnia yaitu insomnia terminal dimana kondisi seorang terbangun dini bangun dan sulit untuk memulai tidur kembali. pada lansia sering ditemukan keluhan terbangun lebih awal atau lebih cepat dari biasanya dan susah untuk memulai tidur kembali. tidur yang dialami oleh lansia seringkali tidak nyenyak atau terlelap sehingga lansia lebih sering terbangun dari tidurnya yang mengakibatkan adanya gangguan terhadap pola tidur lansia sehingga lansia lebih sering terbangun lebih awal dari tidurnya. hasil rekapitulasi data dari 7 item pernyataan pada item nomer 4 yaitu seberapa puas atau tidak puas lansia dengan kebiasaan tidur saat ini didapatkan sebanyak 8 responden (42.8%) lansia tidak puas dengan kebiasaan tidur yang dialaminya. kondisi ini sejalan dengan teori reny (2014) bahwa tidur lansia pada tahap iv berkurang atau sering tidak ada atau tidak mengalami tidur tahap iv. tahapan tidur ke iv adalah tahapan tidur yang dimana lansia akan berada pada keadaan yang rileks, tidak ada gerakan fisik karena sudah lemas, dan biasanya pada tahapan ini lansia atau seseorang sulit dibangunkan. tidur tahap iv ini menurunkan denyut jantung dan jantung sekitar 20–30%, pada tahap ini juga dapat terjadi mimpi serta dapat memulihkan keadaan tubuh. penurunan kondisi secara fisik dan psikologis yang mengakibatkan lansia sering mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. adanya perubahan tersebut menyebabkan terjadinya gangguan tidur pada lansia sehingga lansia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan tidurnya yang cukup. kebutuhan tidur yang kurang dapat mengganggu dan mempengaruhi aktivitas lansia, sehingga kebanyakan lansia merasa tidak puas dengan kebutuhan tidur yang dialaminya. hasil penelitian ini sejalan dengan teori setyoadi (2011) bahwa terapi non farmakologi yang dapat mengatasi insomnia yaitu terapi tertawa. untuk menghasilkan kondisi yang lebih nyaman, rileks dan mudah untuk tidur seseorang dianjurkan untuk tertawa, karena saat tertawa merangsang terjadinya pelepasan hormon endorfin yang biasa dikenal dengan morfin tubuh yang dapat memperlancar sirkulasi tubuh. berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti saat melakukan terapi tertawa bersama responden, tertawa membuat lansia merasa tenang, sukacita, dan lebih bersemangat dalam menjalani hidupnya. hal tersebut dibuktikan dengan lansia mengalami penurunan kesulitan untuk tidur setelah melakukan terapi tertawa. selain itu, didapatkan hasil 50% lansia berusia 60-74 tahun yaitu sebanyak 7 responden dan 50% lansia berusia 75-9 sebanyak 7 responden. hal ini sejalan dengan teori reny (2014) kebutuhan tidur seseorang berhubungan dengan usia. semakin usia bertambah maka total kebutuhan tidurnya akan berkurang berbeda dengan neonatus karena masih dalam masa adaptasi dengan lingkungan setelah dilahirkan maka neonatus memiliki kebutuhan tidur yang tinggi, ini dapat dipengaruhi karena pertumbuhan dan perkembangan fisiologis sel organ antara bayi dan lansia berbeda, lansia mengalami degenerasi pada sel dan organ yang menyebabkan penurunan hormon melatonin oleh kelenjar pineal di otak sehingga mempengaruhi fungsi dan mekanisme tidur. penelitian fitriani (2014) mendukung pernyataan tersebut, yang menyebutkan bahwa usia paling 345idris, astarani, efektivitas terapi tertawa terhadap insomnia dan ... banyak terjadi insomnia yaitu 70 tahun karena proses penuaan atau pertambahan usia akan memengaruhi sistem kerja tubuh manusia, sehingga pada lansia mengalami gangguan kebutuhan tidur yang sering disebut dengan insomnia. berdasarkan hasil penelitian pengaruh terapi tertawa terhadap insomnia dan tekanan darah di pengaruh terapi terawa terhadap insomnia dan tekanan darah pada lansia. didapatkan lansia mengalami penurunan insomnia yaitu sebanyak 11 responden (78.6%) dan yang tetap ada 3 reponden (21.4). setelah dilakukan uji statistik wilcoxon signed rank test dengan taraf signifikan yang ditetapkan adalah  = 0,05 serta nilai p = 0,002 maka, dapat diambil kesimpulan bahwa terapi tertawa berpengaruh dan dapat menurunkan insomnia pada lansia. terapi tertawa adalah terapi yang dimaksudkan untuk dapat memperoleh suasana yang menyenangkan atau untuk memperoleh kegembiraan yang dirasakan di dalam hati, dan diinterprestasikan melalui gerakan mulut dan kegembiraan itu dapat menghasilkan suara tawa, yang tercermin dari senyuman yang dapat dilihat dalam wajah, tidak ada tekanan yang dirasakan, sehingga dapat melapangkan dada, dengan demikian peredaran darah akan menjadi lancar, hal inilah yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit, tidak terjadi stress dan menjaga kesehatan (setyoadi, 2011). seseorang dengan penyakit yang melibatkan pikiran contohnya kecemasan, depresi, kesulitan tidur atau insomnia dan juga penyakit yang melibatkan syaraf dapat diberikan terapi dengan tertawa (kataria, 2004). terapi yang melibatkan latihan pernafasan dan peregangan merupakan kombinasi sempurna dalam teknik terapi tertawa. pengenduran otot dalam terapi tertawa adalah cara terbaik yang dapat digunakan saat ini, dengan tertawa akan melebarkan pembuluh darah sehingga dapat mengirim banyak darah kesemua otot diseluruh tubuh, dengan tertawa dapat digunakan sebagai obat anti depresi juga sebagai penenang, tertawa yang dilakukan seseorang akan dapat memudahka n tidur dan jika seseora ng mengalami deperesi dengan tertawa maka terjadi penurunan tingkat depresi (kataria, 2004). dari hasil penelitian setelah diberikan terapi ter ta wa mengguna ka n kuesioner insomnia saverity index pada lansia didapatkan 8 responden (40%) lansia mengalami penurunan kesulitan untuk tidur. hal ini sejalan dengan teori setyoadi (2011) bahwa salah satu terapi non farmakologi yang dapat mengatasi insomnia yaitu terapi tertawa. untuk menghasilkan pelepasan hormone endorfrin yang biasa disebut dengan morfin tubuh atau penenang maka seseorang memerlukan tertawa yang bertujuan untuk memperlancar peredaran darah sehingga tubuh menjadi semakin nyaman, rileks dan mudah untuk tidur. berdasarkan penenlitian yang telah dilakukan oleh peneliti saat melakukan terapi tertawa bersama responden, tertawa membuat lansia merasa tenang, sukacita, dan lebih bersemangat dalam menjalani hidupnya. hal tersebut dibuktikan dengan lansia mengalami penurunan kesulitan untuk tidur setelah melakukan terapi tertawa. hasil penelitian ini didukung oleh penelitian efrandau, dkk (2017) dengan judul pengaruh terapi tawa terhadap kualitas tidur pada lansia di unit pelayanan teknis panti sosial lanjut usia (upt pslu) kabupaten jember, dijelaskan bahwa penelitian ini menggunakan pittsburgh sleep quality index (psqi) dengan hasil penelitian ini ada pengaruh terapi tertawa terhadap kualitas tidur yang di ukur. hasil penelitian ini juga didukung penelitian fitriani, dkk (2014) tentang pengaruh terapi tertawa terhadap derajat insomnia pada lansia di dusun jomegatan, ngestiharjo, kasihan, bantul, dijelaskan bahwa dari analisis yang dilakukan menunjukkan terapi tertawa dapat menurunkan derajat insomnia terutama pada lansia. didukung pula dengan penelitian hae-jin & chang-ho (2011), menjelaskan terapi tertawa dipercaya dapat merangsang pengeluaran hormone endorphin yang juga disebut sebagai morfin tubuh, dapat melancarkan peredaran darah dengan tujuan tubuh menjadi lebih rileks, nyaman, sehingga hasil penelitian ini menyatakan bahwa terapi tertawa dipercaya dapat dipakai sebagai terapi intervensi mandiri perawat kepada lansia untuk menurunkan derajat insomnia dan gangguan tidur lainnya. hae-jin & chang-ho (2011) juga menyatakan terapi tertawa juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan dengan insomnia, seperti stress, cemas, penurunan kognitif, dan lainnya. pengaruh terapi tertawa terhadap tekanan darah berdasarka hasil tekanan darah pada lansia sebelum dilakukan terapi tertawa paling tinggi adalah 160/80 mmhg dan paling rendah 110/70 mmhg. jika dilihat dari hasil tekanan darah pada lansia ada perubahan yang berarti setelah dilakukan terapi tertawa. 346 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 339–347 faktor yang dipakai sebagai indikator menilai sistem kardiovaskuler adalah tekanan darah. perubahan fisik dan aktivitas yang dilakukan seseorang adalah faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah. tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan dari pembuluh darah oleh darah. volume darah, elastisitas pembuluh darah sangat berpengaruh terhadap tekanan darah seseorang. terjadinya peningkatan pada volume darah dan elastisitas pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah, tetapi sebaliknya jika tekanan darah menurun hal yang dapat dilihat adalah terjadinya penurunan daripada volume darah (setiawan, 2010). lansia sebelum dilakukan terapi tertawa memiliki tekanan darah diastolik yaitu 80-90 mmhg yaitu 11 lansia (78,6%) dan 70 mmhg yaitu 3 lansia (21,4%), untuk tekanan darah sistolik 140-160 mmhg yaitu 7 lansia atau 50% dan tekanan sisolik 110-130 mmhg 7 lansia atau 50%. hasil ini menunjukkan bahwa tekanan darah yang dimiliki lansia masih tergolong tinggi, karena prosentase yang tertinggi pada sistol >140 mmhg. hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin tinggi usia seseorang, maka berkurang elastisitas pembuluh darah, sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan pada lubang pembuluh darah dan menjadikan aliran darah mengalir dengan cepat, hal ini sependapat dengan penelitian bahwa terjadinya hipertensi salah satu penyebabnya adalah usia penderita, dimana semakin tinggi usia penderita, maka semakin sering tingkat kekambuahan penyakit hipertensi (susanti, 2015). tekanan darah diastolik pada lansia setelah diberikan terapi tertawa yaitu 80-90 mmhg yaitu 14 lansia (100%), untuk tekanan darah sistolik pada lansia setelah terapi tertawa 5 lansia atau 35,7% memiliki tekanan sistolik 140-150 mmhg dan 9 lansia atau 64,3% tekanan sisolik 110-130 mmhg. hasil ini menunjukan bahwa tekanan darah lansia sebelum dan setelah dilakukan teratpi tertawa terjadi perubahan kearah penurunan tekanan darah. hasil ini menunjukan bahwa tekanan darah yang dimiliki oleh lansia tergolong normal, karena prosentase tekanan darah sistol paling banyak pada 120-130 mmhg, hal ini menunjukan terjadi perubahan pada tekanan darah pada lansia, hal ini dikarenakan lansia yang mengikuti terapi tertawa akan menghasilkan hormon endorfin dan tidak akan mengeluarkan hormone efinefrin dan kortisol, karena dengan tertawa dapat menhambat peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu efinefrin dan kortisol. kedua hormone ini jika dikeluarkan oleh hipotalamus maka dapat menghalangi proses penyembuhan penyakit baik fisik maupun mental seperti depresi, stress maupun cemas, sehingga dengan tertawa hipotalamus akan mengeluarkan morfin tubuh sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah atau tekanan darah menjadi normal. hasil uji analisis statistik mengunakan uji wilcoxon menunjukkan data bahwa p=0,190 yang berarti tidak ada pengaruh terapi tertawa dengan tekanan darah pada lansia. otak sebagai pusat yang mengontrol organ tubuh misalnya sistem saraf otonom, ginjal, beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung yang kesemuanya dapat mempengaruhi dari tekanan darah. pada otak memiliki serabut saraf yang bertindak sebagai sistem saraf otonom yang dapat membawa pesan dari semua bagian tubuh tubuh untuk menginformasikan pesan dari otak ke semua organ. informasi diproses oleh otak, selanjutnya untuk keputusan dikirim menuju organ tubuh, jika menerima keputusan pada pembuluh da rah dapat ditandai dengan mengempis dan mengembangnya pembuluh darah, tugas ini dilakukan oleh saraf yang ada di otak. tekanan darah meningkat pada saat terjadinya vasokontriksi yaitu arteri kecil menjadi mengkerut karena perangsangan saraf simpatis atau hormon didalam pembuluh darah yang meningkatkan tekanan darah yang meningkatkan tekanan darah dan kekuatan jantung sehingga menyebabkan kerusakan vaskuler dan dapat menimbulkan rasa sakit, dan mudah lelah (triyanto, 2014). terapi non farmakologi yaitu terapi tertawa dalam perubahan tekanan darah lansia tidak ada pengaruhnya. meskipun banyak penelitian yang menyatakan bahwa terapi tertawa berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah seperti yang dinyatakan oleh setyaningrum, niken, dkk (2018). tidak adanya pengaruh terapi tertawa terhadap tekanan darah dapat disebabkan banyak hal salah satunya lansia memang memiliki tekanan darah yang stabil setiap harinya, atau dapat dimungkinkan juga konsumsi dari obat-obatan yang dilakukan oleh lansia setiap pagi dan sore hari. kesimpulan terapi tertawa dapat digunakan sebagai penatalaksaan secara non faramkologi tindakan mandiri perawat dalam mengurangi insomnia yang terjadi pada lansia, tetapi terapi tertawa tidak terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada lansia seperti pene 347idris, astarani, efektivitas terapi tertawa terhadap insomnia dan ... litian-penelitian yang sudah dilakukan. hal ini dapat dimungkinkan karena sebelum melakukan terapi tertawa lansia konsumsi obat tekanan darah. saran penelitian ini dapat digunakan sebagai refernsi dan tambahan wawasan tentang metode alternatif untuk menurunkan insomnia pada lansia dan peneliti selanjutnya hendaknya meneliti terapi tertawa dengan langkah yang lebih pendek sehingga lansia tidak capek jika harus berlatih dan menghafal langkah-langkah terapi tertawa. daftar pustaka asmadi. (2008). teknik prosedural keperawatan: konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. jakarta: salemba medika. aziz, alimul. (2013). pengantar kebutuhan dasar manusia aplikasi konsep dan proses keperawatan. jakarta: salemba medika. fitriani, dewi caesaria. (2014). pengaruh terapi tertawa terhadap derajat insomnia pada lansia di dusun j omegatan, nge st iharj o, kasihan, b ant ul . yogyakarta. diakses pada tanggal 4 januari 2019 erfrandau, ananta, murtaqib, nur widayati. (2017). pengaruh terapi tawa terhadap kualitas tidur pada lansia diunit pelayanan teknis panti sosial lanjut usia (upt pslu) kabupaten jember. e-jurnal pustaka kesehatan, vol.5 (no.2), mei, 2017 hae-jin, k. & chang-ho, y. (2011). effect of laughter therapy on depression, cognition and sleep among the community-dwelling elderly. japan geriatrics society. diakses tanggal 19 agustus 2019, dari http://laughterourbestmedicine.com/ images/peerrev.pdf javaheri s, zhao yy, punjabi nm, quan sf, gottlieb dj, redline s. (2018). slow-wave sleep is associated with incident hypertension: the sleep heart health study. sleep. 2018 jan 1;41(1). doi:10.1093/ sleep/zsx179. kataria, madan. (2004). laugh for no reason. jakarta: pt gramedia pustaka utama. mukhlidah, siregar, hanun. (2011). mengenal sebabsebab, akibat-akibat, dan cara terapi insomnia. jogjakarta: flashbooks. nursalam. (2016). metodologi penelitian ilmu keperawatan pendekatan praktis edisi 4. jakarta: salemba medika potter dan perry. (2010). fundamentals of nursing pundamental keperawatan. jakarta: salemba medika. priyoto. (2015). nursing intervention classification nic dalam keperawatan gerontik. jakarta: salemba medika. reny, aspiani, yuli. (2014). asuhan keperawatan gerontik aplikasi nanda, nic dan noc. jakarta: cv. trans info media setiawan r, sari f. (2010). fisiologi kardiovaskular. jakarta: egc. setyoadi. (2011). terapi modalitas keperawatan pada klien psikogeriatrik. jakarta: salemba medika. setyaningrum, niken, dkk (2018). pengaruh terapi tertawa terhadap penurunan tekanan darah lansia di upt panti wredha budhi dharma yogyakarta. jurnal ilmiah ilmu keperawatan dan ilmu kesehatan masyarakat (surya media) volume 13. no. 1 januari 2018. susanti, s. (2015). diet penderita hipertensi untuk mencegah kekambuhan hipertensi di rumah sakit isla m . di a mbi l kem ba l i da r i reposi t or y. poltekkesmajapahit.ac.id /index.php/pubkep/ article/download/510/421 triyanto, endang. (2014). pelayanan keperawatan bagi penderita hipertensi secara terpadu. yogyakarta: graha ilmu. yekti, s. (2011). cara jitu mengatasi hipertensi. yogyakarta: pt.andi ofset. 138 aldonna mariana program studi diii keperawatan blitar jurusan keperawatan politeknik kesehatan kementerian kesehatan malang email : aldonna_mariana@yahoo.co.id abstract: range of motion (rom) is an action that can be perfomed on stroke patients to prevent muscle and joint stiffness. the purpose of this study was to describe blood pressure in stroke patients who received exercise range of motion (rom) in the rsd mardi waluyo blitar. method: research design was descriptive design. the population in this study is that stroke patients treated in bougenvile rsd mardi waluyo blitar in 2013 as many as 590 and the average monthly total of 49 stroke patients. research sample was 33 patients. its choosed by using purposive sampling technique. data collection is done by measuring blood pressure and exercise to train range of motion (rom). time data collection was done on april 1 st until 26 th , 2014. result: the results showed that blood pressure in stroke patients after getting a training range of motion (rom) 39.4% (13 respondents) had increased, 30.3% (10 respondents) had decreased and consistent after getting a training range of motion (rom). discussion: recommendations from this study are expected to be more vigilant in monitoring stroke patients trained range of motion (rom). keywords: stroke, blood pressure, range of motion (rom). pendahuluan stroke telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negaranegara yang sedang berkembang. secara global, pada saat tertentu sekitar 80 juta orang menderita akibat stroke. menurut who setiap tahun, diperkirakan 15 juta orang tersebar di seluruh dunia menderita stroke, dimana kurang lebih 5 juta orang meninggal dan 5 juta orang mengalami cacat permanen (suryani, 2008 dalam sikawin, 2013). menurut riset kesehatan daerah departemen kesehatan republik indonesia tahun 2011, didapatkan bahwa di indonesia, setiap 1000 orang, 8 orang diantaranya terkena stroke. stroke merupakan penyebab utama kematian pada semua umur, dengan proporsi 15,4%. setiap 7 orang yang meninggal di indonesia, 1 diantaranya karena stroke (depkes ri, 2011 dalam sikawin, 2013). gejala sisa pada stroke mencakup komplikasi diantaranya 80% pasien stroke mengalami penurunan parsial atau total gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh di mana kelumpuhan merupakan komplikasi terbesar. pemulihan atau perawatan stroke merupakan suatu proses yang dapat dilakukan selama di rumah sakit, layanan rehabilitasi, rumah, dan perawatan residensial. untuk mencegah kecacatan, kita harus memberikan latihan-latihan pasif dan aktif anggota gerak atas dan bawah range of motion (rom) pasif aktif yang berguna untuk mencegah terjadinya kekakuan otot dan sendi (mulyatsih, 2000:6-10). sebagian stroke bersifat fatal, sementara yang lain menyebabkan cacat tetap atau sementara. resiko kematian pada bulan pertama setelah stroke berbeda-beda tergantung pada jenis stroke. resiko tersebut sekitar 20% untuk sroke iskemik, 40-70% untuk perdarahan intraserebrum, dan sekitar 40% untuk perdarahan subaraknoid. dampak atau akibat lain setelah stroke adalah sel-sel otak yang mati atau hematom yang terbentuk akan diserap kembali (reabsorbsi) secara bertahap. setelah stroke iskemik atau perdarahan intraserebrum, sel yang mati dan hematom itu diganti oleh kista yang mengandung cairan serebrospinalis, yaitu cairan yang membasuh otak dan korda spinalis. tekanan darah pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom) di ruang bougenvile rsd mardi waluyo blitar (blood pressure post range of motion (rom) stroke patients at bougenville room mardi waluyo blitar hospital ) acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 2, juli 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i2.art.p0149-154 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 139 jurnal ners dan kebidanan,volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 138-143 pada kebanyakan kasus, proses alami ini selesai dalam waktu tiga bulan. pada saat itu sepertiga dari orang yang selamat akan menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau cacat (valery, 2006:95-100). gejala sisa pada stroke mencakup komplikasi diantaranya 80% pasien stroke mengalami penurunan parsial atau total gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai di salah satu sisi tubuh (kelumpuhan parsial disebut paresis, kelumpuhan total disebut paralisis). selain itu 30% mengalami masalah komunikasi atau tidak mampu berbicara, selanjutnya 30% mengalami kesulitan menelan (disfagia), 10% mengalami masalah melihat benda-benda di satu sisi (hemianopia) 10 % lagi mengalami penglihatan ganda (diplopia). kurang dari 10% mengalami gangguan koordinasi saat duduk, berdiri atau berjalan, 30% mengalami orientasi kiri kanan bahkan tidak menyadari masalahnya. hingga 70% mengalami gangguan suasana hati, 20% merasakan nyeri bahu. kurang dari 10% mengalami kejang atau epilepsi, bahkan menderita sakit kepala (valery, 2006:100-101). dari komplikasi tersebut sekitar 80% pasien stroke mengalami kelumpuhan di mana kelumpuhan merupakan komplikasi terbesar. pemulihan atau perawatan stroke merupakan suatu proses yang dapat dilakukan selama di rumah sakit, layanan rehabilitasi, rumah, dan perawatan residensial. pada fase akut (biasanya 48-72 jam pertama setelah serangan stroke) keadaan belum stabil, sehingga pasien harus berbaring di tempat tidur. walaupun seperti itu setelah fase akut sikap dan posisi pasien harus diperhatikan, terutama anggota badan yang lumpuh. selain untuk mencegah kecacatan juga untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien. selain memperhatikan sikap dan posisi pasien, kita juga harus memberikan latihan-latihan pasif dan aktif anggota gerak atas dan bawah range of motion (rom) pasif aktif yang berguna untuk mencegah terjadinya kekakuan otot dan sendi. range of motion rom meliputi gerakan fleksi dan ekstensi antara lain menekuk dan meluruskan sendi bahu, menekuk dan meluruskan siku, memutar pergelangan tangan, menekuk dan meluruskan pergelangan tangan, memutar ibu jari, menekuk dan meluruskan jarijari tangan, menekuk dan meluruskan pangkal paha, menekuk dan meluruskan lutut, gerakan kaki menjauh, gerakan memutar pergelangan kaki (mulyatsih, 2000:6-10). semua gerakan range of motion rom sangat sulit dilakukan oleh pasien stroke karena kelemahan anggota gerak pada lengan, tungkai, dan bahu sehingga pada 20 % pasien stroke mengalami nyeri pada bahu yang dapat mempengaruhi psikososial stres emosional, cemas yang mendadak atau shock dan ini dapat meningkatkan tekanan darah dan merupakan faktor resiko stroke (valery, 2006:40 dan 101). selain itu tekanan darah tinggi (termasuk penderita stroke), jika melakukan latihan olahraga atau aktifitas fisik yang keras akan mendorong tekanan darahnya naik sampai tingkatan yang membahayakan. itu akan demikian jika pada penderita stroke melakukan aktifitas keras yang akan mengalami resiko besar akan terjadinya stroke hemoragik (gordon, 2002:108). berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 1-8 januari 2013 di ruang bougenvile rsd mardi waluyo blitar, terdapat data jumlah pasien stroke pada tahun 2013 sebanyak 590 pasien dengan rata-rata perbulan sekitar 49 pasien stroke. studi pendahuluan juga mendapatkan bahwa dari 5 pasien stroke di ruang bougenvile rsd mardi waluyo blitar yang mendapat latihan range of motion (rom), 3 diantaranya mengalami peningkatan dan 2 diantaranya mengalami penurunan tekanan darah. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah tekanan darah pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom)” di ruang bougenvile rsd mardi waluyo blitar. tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tekanan darah pada pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom) di rsd mardi waluyo blitar. manfaat penelitian ini bagi peneliti sebagai dasar untuk mengembangkan diri di masa yang akan datang dan mendapatkan informasi yang berharga tentang gambaran tekanan darah pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom), bagi institusi keperawatan sebagai sumbangan pemikiran dan acuan bagi ilmu pengetahuan tentang gambaran tekanan darah pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom), bagi rumah sakit mardi waluyo blitar hasil penelitian ini akan berguna bagi ruang bougenvile rsd mardi waluyo kota blitar sebagai data yang akurat guna mengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan mobilisasi pada pasien stroke mariana, gambaran tekanan darah pasien…140 yang mendapat latihan range of motion (rom). bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah pasien stroke yang dirawat di ruang bougenvile rsd mardi waluyo blitar pada tahun 2013 sebanyak 590 dan rata-rata perbulan sebanyak 49 pasien stroke dengan besar sampel yang diambil adalah sebanyak 33 responden menggunakan teknik purposive sampling. penelitian dilakukan di ruang bougenvile rsd. mardi waluyo blitar pada tanggal 1-26 april 2014. kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien stroke yang melewati fase akut (biasanya 48-72 jam pertama setelah serangan stroke), pasien stroke yang tidak mengalami koma, dan pasien stroke yang tidak terpasang alat bantu pernafasan. dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah tensimeter digital. data yang dikumpulkan dari hasil yang telah diisi oleh responden kemudian diolah melalui tahap editing, koding, selanjutnya data disajikan dalam bentuk diagram dan tabel frekuensi. analisis data yang digunakan adalah deskriptif. hasil penelitian berikut ini disajikan data umum hasil penelitian yang meliputi umus, jenis kelamin dan lama stroke. tabel 1 data umum pasien stroke di ruang bougenville rsd. mardi waluyo blitar, april 2014. no karakteristik f % 1 usia pasien stroke 41 – 50 tahun 51 – 60 tahun 61 – 70 tahun 71 – 80 tahun 81 – 90 tahun 8 8 10 6 1 24,2 24,2 30,3 18,2 3 2 jenis kelamin laki – laki perempuan 12 21 36 64 3 lama stroke 4 – 6 hari 7 – 9 hari 25 8 76 24 4 tekanan darah pasien stroke setelah dilakukan rom meningkat tetap menurun 13 10 10 39,4 30,3 30,3 tabel 2 hasil tabulasi silang antara perubahan tekanan darah setelah dilatih range of motion (rom) dengan usia responden di rsd. mardi waluyo blitar, april 2014. usia tekanan darah meningkat tetap menurun total n % n % n % n % 41-50 th 51-60 th 2 6,1 3 9,1 3 9,1 8 24,2 4 12.1 1 3.0 3 9.1 8 24.2 61-70 th 71-80 th 5 15.2 3 9.1 2 6.1 10 30.3 2 6.1 2 6.1 2 6.1 6 18.2 81-90 th 0 .0 1 3 0 .0 1 3 141 jurnal ners dan kebidanan,volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 138-143 tabel 3 hasil tabulasi silang antara perubahan tekanan darah setelah dilatih range of motion (rom) dengan jenis kelamin responden di rsd. mardi waluyo blitar, april 2014 (n=33). jenis kelamin tekanan darah meningkat tetap menurun total n % n % n % n % laki-laki 6 18,2 1 3 5 15,2 12 36,4 perempuan 7 21,2 9 27,3 5 15,2 21 63,6 tabel 4 hasil tabulasi silang antara perubahan tekanan darah setelah dilatih range of motion (rom) dengan lama stroke responden di rsd. mardi waluyo blitar, april 2014 (n=33). lama stroke tekanan darah meningkat tetap menurun total n % n % n % n % 4-6 hari 8 24,2 10 30,3 7 21,2 25 75,8 7-9 hari 5 15,2 0 0 3 9,1 8 24,2 pembahasan berdasarkan data umum hasil penelitian yang dilakukan terhadap 33 responden di ruang bougenvile didapatkan data bahwa pasien stroke terbanyak berusia 61-70 tahun yaitu sebanyak 30,3% (10 pasien). menurut valery (2006:3031) resiko terkena stroke dan tekanan darah tinggi meningkat sejak usia 45 tahun. setelah mencapai usia 50 tahun, setiap penambahan usia tiga tahun meningkatkan resiko stroke sebesar 11-20%, dengan peningkatan bertambah seiring usia. orang dengan usia lebih dari 65 tahun memiliki resiko paling tinggi, tetapi hampir 25% dari semua stroke dan tekanan darah tinggi terjadi pada orang berusia kurang dari ini. menurut valery (2006:25) bahwa tekanan darah yang meningkat secara perlahan merusak dinding pembuluh darah dengan memperkeras arteri dan mendorong terbentuknya bekuan darah dan aneurisme, yang semua mengarah pada stroke terutama pada orang berusia diatas 45 tahun. peneliti berpendapat dalam hal ini bahwa pada usia muda orang cenderung tidak memperhatikan gaya hidupnya seperti merokok (aktif dan pasif), makan yang tidak sehat atau instan, konsumsi alkohol yang berlebihan, tidak banyak aktifitas fisik, serta obesitas, semua itu menyebabkan tekanan darah meningkat secara perlahan sehingga menyebabkan stroke pada usia tua. berdasarkan tabel 1 dari 33 responden pasien stroke terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 64% (21 pasien). menurut valery (2006:30-31) bahwa laki-laki berusia kurang dari 65 tahun memiliki resiko terkena stroke iskemik atau perdarahan intraserebrum lebih tinggi sekitar 20% daripada perempuan. namun wanita usia berapa pun memiliki resiko perdarahan subaraknoid sekitar 50% lebih besar. sedangkan menurut anna palmer dan william (2007:16) tekanan darah tinggi biasanya timbul akibat penyakit lain seperti penyakit ginjal atau gangguan pada kelenjar adrenal. stres emosional yang mendadak atau shock, baik positif maupun negatif, jika berkombinasi dengan faktor resiko lain (misalnya aterosklerosis berat, penyakit jantung, atau hipertensi) juga dapat memicu stroke (valery, 2006:40). peneliti berpendapat bahwa pada kebanyakan perempuan terutama ibu rumah tangga lebih banyak menghabiskan waktunya dirumah dan jarang melakukan aktivitas fisik, stres psikologis akibat permasalahan dan gaya hidup yang tidak sehat sehingga menyebabkan stroke. hal ini juga sesuai dengan pendapat valery (2006:39) bahwa pada wanita yang menjelang menopause yang menggunakan terapi hormon replacement therapy (hrt) terutama kombinasi estrogen dan progesteron dapat meniningkatkan resiko stroke 33% dan penyakit jantung koroner. hasil secara umum berdasarkan tabel 1 dari 33 responden setelah dilakukan range of motion (rom), menunjukkan bahwa 39,4% (13 pasien) mengalami peningkatan tekanan darah, mariana, gambaran tekanan darah pasien…142 sedangkan 30,3% (10 pasien) mengalami penurunan dan tidak mengalami perubahan tekanan darah setelah dilakukan range of motion (rom). hasil ini didapatkan dari 3 indikator yaitu tekanan darah sebelum dilakukan latihan range of motion (rom), tekanan darah setelah dilakukan range of motion (rom), dan perubahan tekanan darah sebelum dan sesudah dilakukan range of motion (rom). ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui tekanan darah pasien stroke setelah dilakukan range of motion (rom). menurut vitahealth (2004:14), menyebutkan bahwa tekanan darah akan cenderung tinggi bersama dengan peningkatan umur, selain itu keadaan pikiran, stres, perasaan takut atau cemas juga cenderung membuat tekanan darah meningkat. tekanan darah untuk masing-masing individu juga bervariasi dalam sehari. pada saat seseorang sedang melakukan kegiatan olahraga atau aktivitas yang melelahkan tekanan darahnya akan naik dan ketika tidur akan turun. peneliti berpendapat bahwa tekanan darah pada pasien stroke yang dilatih range of motion (rom) akan meningkat sebab pada pasien stroke anggota tubuhnya mangalami kelemahan dan kelumpuhan ketika dilatih atau digerakkan untuk dilakukan range of motion (rom) otomatis jantung yang semula berjalan pelan akan memompa darah keseluruh tubuh lebih cepat selain itu gerakan range of motion (rom) sangat sulit dilakukan oleh pasien stroke karena kelemahan anggota gerak pada lengan, tungkai, dan bahu sehingga pada pasien stroke mengalami nyeri pada bahu yang dapat mempengaruhi psikososial stres emosional, cemas yang mendadak atau shyok dan ini dapat meningkatkan tekanan darah dan apabila ini terjadi pada pasien stroke akan membahayakan kondisinya. selain itu menurut vitahealth (2004:37) bahwa tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi pecah, bila hal ini terjadi pada pembuluh darah otak maka terjadi perdarahan otak yang berakibat kematian. berdasarkan data khusus pada tabel 2 bahwa pasien stroke pada usia 61-70 tahun yang dilakukan range of motion (rom) tekanan darahnya cenderung mengalami peningkatan sebanyak 30,3% (10 pasien). menurut vitahealth (2004:25) sejalan dengan penambahan usia, tekanan darah seseorang akan meningkat, hal ini dikarenakan faktor kurangnya aktifitas fisik, berat badan berlebih, dan gangguan dari perubahan hormonal. menurut william frishman m.d profesor bidang kedokteran dalam vitahealth (2004:19) bahwa pada saat diam atau tidur (tidak melakukan aktivitas) tekanan darah akan cenderung turun dan ketika melakukan aktivitas atau kegiatan berat maka tekanan darah akan meningkat. hal ini dikarenakan jantung kita berdenyut lebih cepat, kita bernafas lebih cepat, dan kemudian tekanan darah akan meningkat sewaktu melakukan aktivitas. peneliti berpendapat bahwa usia diatas 60 tahun cenderung mengalami hipertensi karena penumpukan lemak dari gaya hidupnya sewaktu muda selain itu orang cenderung jarang melakukan aktivitas terutama penderita stroke yang mengalami kelumpuhan akan lebih banyak berdiam diri ditempat tidur, selain itu pada usia tua regulasi baroreseptor dan kemoreseptor sudah tidak optimal sehingga pada waktu dilatih range of motion (rom) tekanan darah akan meningkat. berdasarkan tabel 3 tentang tabulasi silang jenis kelamin dengan perubahan tekanan darah dari 33 responden pasien stroke yang dilakukan range of motion (rom) pada perempuan lebih cenderung meningkat sebesar 21,2% (7 orang). menurut edward d. frohlich, m.d. ketua badan penelitian hipertensi di american heart association dalam vitahealth (2004:26) bahwa wanita setelah mengalami menopause berpeluang lebih besar mengalami tekanan darah yang tinggi. para pakar menduga perubahan hormonal berperan besar dalam terjadinya hipertensi dikalangan wanita. dalam vitahealth (2004:28) faktor pekerjaan dan stres juga dapat mempengaruhi tekanan darah karena dalam kondisi tertekan, adrenalin dan kortisol dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah agar tubuh siap untuk bereaksi. itulah yang terjadi saat dalam kondisi cemas atau stres yang kebanyakan adalah wanita. peneliti dalam hal ini berpendapat bahwa dalam kondisi sedang dilatih range of motion (rom) pada kebanyakan pasien stroke anggota tubuhnya akan cenderung sakit apabila digerakkan dan ini akan menimbulkan kecemasan pada sebagian pasien wanita yang dapat meningkatkan tekanan darahnya meningkat. pada tabel 4 tentang tabulasi silang lama stroke dengan perubahan tekanan darah, dari 33 responden pasien stroke mengalami peningkatan setelah dilatih range of motion (rom) pada 46 hari setelah stroke. ini disebabkan karena pada rentan serangan awal stroke pada fase akut (biasanya 48-72 jam pertama setelah serangan 143 jurnal ners dan kebidanan,volume 1, nomor 2, juli 2014, hlm. 138-143 stroke) keadaan belum stabil, sehingga pasien harus berbaring di tempat tidur. walaupun seperti itu setelah fase akut sikap dan posisi pasien harus diperhatikan, terutama anggota badan yang lumpuh. selain untuk mencegah kecacatan juga untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien (mulyatsih, 2000:6). menurut pendapat peneliti pada fase akut tersebut pasien stroke masih mengalami kekakuan otot dan sendi serta kelumpuhan yang masih sulit digerakkan sehingga pada saat dilkukan range of motion (rom) cenderung mengalami peningkatan karena jantung yang semula memompa normal menjadi cepat karena adanya gerakan. simpulan dan saran simpulan berdasarkan penelitian tentang gambaran tekanan darah pada pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom) yang telah dilaksanakan pada tanggal 1-26 april 2014 di ruang bougenvile rsd mardi waluyo kota blitar, dapat diambil kesimpulan dari 33 responden menunjukkan bahwa 13 responden (39,4%) pasien stroke yang dilatih range of motion (rom) mengalami peningkatan tekanan darah, sedangkan 10 responden (30,3%) mengalami penurunan tekanan darah dan 10 responden (30,3%) tidak mengalami perubahan tekanan darah setelah dilakukan range of motion (rom). saran bagi pelayanan kesehatan diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan data tentang tekanan darah pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom) di ruang bougenvile rsd mardi waluyo kota blitar, dan lebih waspada dalam memantau pasien stroke yang dilatih range of motion (rom), sehingga dapat mengurangi resiko besar akan terjadinya stroke yang membahayakan, bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan tekanan darah pasien stroke yang mendapat latihan range of motion (rom) di ruang bougenvile rsd mardi waluyo kota blitar. daftar rujukan batticaca, f. (2008) asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persyarafan. salemba medika, jakarta beevers. (2002) tekanan darah. pt dian rakyat, jakarta gordon, n. f. (2002) stroke panduan latihan lengkap. pt raja grafindo persada, jakarta hidayat, a. a. a. (2009) kebutuhan dasar manusia. salemba medika, jakarta mulyatsih, e. (2003) stroke. balai penerbit fkui, jakarta palmer, a. & william, b. (2007) tekanan darah tinggi. erlangga, jakarta pinzon, r. & asanti, l. (2010) awas stroke! pengertian, gejala, tindakan, perawatan, dan pencegahan. cv andi offset, yogyakarta sherwood, l. (2012) fisiologi manusia. buku kedokteran egc, jakarta sikawin, c. a., mulyadi., palandeng, h. (2013) pengaruh latihan range of motion (rom) terhadap kekuatan otot pada pasien stroke di irna f neurologi blu rsup prof. dr. r.d. kandou manado, ejournalkeperawatan (ekp) volume 1. 2013; 1 suratun dkk. (2008) asuhan keperawatan klien gangguan sistem muskuloskletal. buku kedokteran egc, jakarta valery, f. (2006) stroke. pt bhuana ilmu populer, jakarta vitahealth. (2004) hipertensi. pt gramedia pustaka utama, jakarta 196 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 196–202 196 faktor risiko kejadian gastritis di wilayah kerja puskesmas bantilang tahun 2019 chrecencya nirmalarumsari1, febriani tandipasang2 1,2 prodi keperawatan dan kebidanan, stikes bhakti pertiwi luwu raya palopo, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 19/10/2019 disetujui, 14/02/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: gastritis, pola makan, konsumsi alkohol, stress, dan sosial ekonomi abstrak gastritis merupakan penyakit urutan pertama terbanyak di wilayah kerja puskesmas bantilang di tahun 2017-2018. faktor yang memicu terjadinya gastritis diantaranya: pola makan, sosial ekonomi, riwayat gastritis keluarga, konsumsi alkohol, stress, dan obat-obatan. tujuan penelitian mengetahui faktor risiko antara pola makan, sosial ekonomi, stress, dan kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol terhadap kejadian gastritis. desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini sebanyak 893 orang, menggunakan rumus slovin dan teknik porposive sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 163 orang. hasil penelitian dengan analisa chi-square (=0,05) didapatkan pola makan (p=1,000; or=1,006), konsumsi alkohol (p=1,000; or=0,991), stress (p=0,448; or=0,986), sosial ekonomi (p=0,390; or=1,000). hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan antara 4 variabel independen dengan kejadian gastritis (p>0,005). terdapat risiko untuk menderita penyakit gastritis meskipun kurang bermakna. perlunya pengoptimalan pelaksanaan program di dinas terkait untuk membangun sikap masyarakat berprilaku hidup sehat melalui penyuluhan penyakit gastritis dan sosialisasi pencegahan terjadinya penyakit gastritis. history article: received, 19/10/2019 accepted, 14/02/2020 published, 05/08/2020 keywords: gastritis, diet, alcohol consumption, stress, and socio-economy. article information abstract gastritis is the number one disease in the working area of bantilang public health center in 2017-2018. factors that trigger gastritis include : diet, socio economic, family gastritis history. alcohol consumption, stress, and drugs. the purpose between diet, socio economic, stress, and habits of consuming alcoholic beverages against gastritis. analytic observational research design with cross sectional approach. the population in this study were 893 people, using the slovin formula and porposive sampling technique to obtain a sample of 163 people. research results with chisquare analysis (=0,05) found a diet (p=1,000; or=1,006), alcohol consumption (p=1,000; or=0,991), stress (p=0,448; or=0,986), social risk factors for gastritis in the work area of bantilang public health center in 2019 jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p196-202&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 197nirmalarumsari, febriani tandipasang, faktor risiko kejadian gastritis di wilayah kerja ... correspondence address: stikes bhakti pertiwi luwu raya palopo – south sulawesi, indonesia p-issn : 2355-052x email: chen.chrecencya@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p196–202 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) terbanyak dengan 893 kasus gastritis pada tahun 2017. survei awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 04 agustus 2018 di puskesmas bantilang, setelah dilakukan wawancara kepada 10 orang usia 25-45 tahun yang mempunyai pekerjaan beragam yang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui tentang penyakit gastritis dan cara pencegahannya, dan 6 diantaranya mengatakan sering mengkonsumsi makanan pedas, asam dan sering makan tidak tepat waktu, ada yang minum minuman bersoda dan kopi sehingga menyebabkan rasa mual dan kembung, selain itu sering makan terlambat, tidak sarapan pagi dan jarang sekali mengkonsumsi makanan yang mengandung serat dan nutrisi. selain itu terdapat 2 orang mengatakan sering mengkonsumsi alkohol sambil merokok disaat lelah ekerja, dan terdapat 5 orang yang memiliki riwayat gastritis keluarga. jika hal ini tidak ditindak lanjuti dengan baik akan berdampak negatif terhadap kesehatan dan dapat mengganggu aktivitas masyarakat yang ada di wilayah kerja puskesmas bantilang. banyak peneliti-peneliti terdahulu yang mengemukakan hasil penelitiannya tentang faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian gastritis, diantaranya adalah achmad (2012), mengatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gastritis adalah pola makan, merokok, stres, usia, dan jenis kelamin. pada tahun yang sama penelitian yang dilakukan oleh rahma (2012) menemukan hasil bahwa faktor risiko terhadap kejadian gastritis adalah pola makan yang terdiri dari beberapa jenis makanan, frekuensi makan, kebiasaan minum kopi, merokok, penggunaan abat anti inflamasi non steroid dan riwayat gastritis keluarga. sedangkan penelitian yang dilakukan oleh angkow pendahuluan menurut amir (2015), gastritis merupakan suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat bersifat akut dan kronik. gejala gastritis antara lain adalah rasa terbakar di perut bagian atas, kembung, sering bersendawa, mualmual dan muntah. who (2012), mendapatkan hasil persentase angka kejadian gastritis di dunia, diantaranya inggris 22%, china 31%, jepang 14,5%, kanada 35%, dan perancis 29,5%. di dunia, insiden gastritis sekitar 1,8-2,1 juta dari jumlah penduduk setiap tahun. insiden terjadinya gastritis di asia tenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap tahunnya. prevalensi gastritis yang dikonfirmasi melalui endoskopi pada populasi di shanghai sekitar 17,2% yang secara substantial lebih tinggi daripada populasi di barat yang berkisar 4,1% dan bersifat penyakit gastritis yang merupakan penyakit pencernaan sehingga pengaturan zat makan yang masuk merupakan faktor utama untuk menghindari gastritis. persentase dari angka kejadian gastritis di indonesia menurut who adalah 40,8%, dan angka kejadian gastritis di beberapa daerah di indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274.396 kasus dari 238.452.952 jiwa penduduk (kurnia, 2011). berdasarkan profil kesehatan indonesia tahun 2011, gastritis merupakan salah satu penyakit dari 10 penyakit terbanyak pada pasien inap di rumah sakit di indonesia dengan jumlah 30.154 kasus (4,9%). angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274,396 kasus dari 238,452,952 jiwa penduduk (depkes, 2012). angka kejadian gastritis di puskesmas bantilang menjadi urutan pertama dari 10 penyakit economy (p=0,390; or=1,000). this ashows there is no relationship between 4 independent variables with the incidence of gastritis (p>0,005). there is a risk of suffering from gastritis even though it is less significant. the need for optimizing the implementation of programs in the relevant dinas to build community attitudes towards healthy living through counseling for gastritis and promoting the prevention of gastritis. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p196-212 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 196–202 pada tahun 2014 menemukan hasil bahwa pola makan, merokok, alkohol, dan kopi. penelitian yang dilakukan oleh rahma (2014), menemukan hasil bahwa pola makan (jenis makanan dan frekuensi makan), kebiasaan minum kopi, merokok, penggunaan obat anti inflamasi non steroid dan riwayat gastritis keluarga merupakan faktor terjadinya penyakit gastritis. berdasarkan pola hidup masyarakat di kawasan kerja puskesmas bantilang serta didukung oleh beberapa peneliti terdahulu maka peneliti tertarik untuk mencari tahu faktor risiko apa saja yang dapat mengakibatkan masyarakat di kawasan kerja puskesmas bantilang mengalami penyakit gastritis. adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor pola makan, sosial ekonomi, stress, dan faktor mengkonsumsi alkohol terhadap kejadian gastritis di wilayah kerja puskesmas bantilang kecamatan towuti kabupaten luwu timur provinsi sulawesi selatan tahun 2019 bahan dan metode penelitian ini adalah penelitian korelasional. peneliti ingin memberikan gambaran mengenai objek penelitian, profil, dan menjelaskan aspek yang relevan dari fenomena sosial, yaitu mengenai faktor risiko kejadian penyakit gastritis di wilayah kerja puskesmas bantilang. desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. analisa data yang dilakukan dengan cara univariat dan bivariat (menggunakan uji chi square dengan  = 0,05). populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang mengalami penyakit gastritis di wilayah kerja puskesmas bantilang kabupaten luwu timur yang terdiri dari lima desa yaitu desa bantilang, desa masiku, desa rante angin, desa tokalimbo, dan desa loeha. hasil studi pendahuluan pada bulan mei 2018 yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa jumlah penderita gastritis sebanyak 893 orang selama tahun 2018. syarat sampel dalam penelitian ini adalah representatif yakni, mewakili karakteristik populasinya, dalam hal ini terkait dengan homogenetas populasi, jumlah variabel yang akan diteliti dan cara pengambilan sampel (sampling). tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, dimana peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciriciri atau kriteria khusus yang sesuai dengan tujuan peneliti sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan peneliti. pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus slovin, yakni n=n/(1+n.(e)2). dimana n adalah jumlah sampel, n adalah jumlah populasi dan e adalah batas toleransi kesalahan (error tolerance). dengan demikian sampel yang diperoleh adalah sebanyak 163 dibagi berdasarkan seluruh desa dalam kawasan kerja puskesmas bantilang. jadi jumlah responden pada setiap desa adalah sebesar 33 masyarakat yang mengalami gastritis. penelitian ini dilakukan di 5 (lima) desa dalam wilayah kerja puskesmas bantilang kecamatan towuti kabupaten luwu timur provinsi sulawesi selatan, diantaranya di desa bantilang, desa loeha, desa masiku, desa rante angin, dan desa tokalimbo. penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, terhitung dari bulan maret sampai dengan bulan agustus 2019. adapun kriteria dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; kriteria inklusi 1) masyarakat yang berada di wilayah kerja puskesmas bantilang; 2) masyarakat yang belum pernah atau pernah dan sedang terdiagnosa gastritis; 3) masyarakat yang datang berobat di puskesmas bantilang; dan 4) masyarakat yang bersedia menjadi responden. adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah 1) masyarakat yang berada bukan di wilayah kerja puskesmas bantilang; 2) masyarakat yang bukan berobat di puskesmas bantilang; dan 3) masyarakat yang tidak berkenan menjadi responden. analisis data dilakukan analisa univariat dan bivariate dengan menggunakan software spss (statistical package and social sciences) versi 22. hasil penelitian hasil penelitian diperoleh dari pengumpulan data dan proses analisis data yang akan ditampilkan pada bab ini. karakteristik responden (umur, pendidikan terakhir, pekerjaan, status ekonomi) dan determinan yang diduga mempengaruhi kejadian gastritis di wilayah kerja puskesmas bantilang. kelompok usia n % 20 – 29 25 15,3 30 – 39 81 49,7 40 – 49 43 26,4 50 – 59 14 8,6 total 163 100 tabel 1 distribusi responden berdasarkan kelompok usia penderita gastritis 199nirmalarumsari, febriani tandipasang, faktor risiko kejadian gastritis di wilayah kerja ... tabel ini menunjukkan bahwa umumnya responden mempunyai tingkat pendidikan terbanyak adalah tamat sma yaitu sebanyak 73 responden (44,8%). sedangkan responden yang mempunyai tingkat pendidikan paling sedikit adalah tamat strata satu/sarjana (s1) sebanyak 15 orang (9,2%). tabel ini menunjukkan bahwa pada umumnya responden terbanyak pada kelompok umur 30–39 tahun yaitu sebanyak 81 responden (49,7%) dan responden yang paling sedikit pada kelompok usia 5059 tahun yaitu sebanyak 14 responden (8,6%). pendidikan n % sd 33 20,2 smp 25 15,3 sma 73 44,8 d3 17 10,4 s1 15 9,2 total 163 100 tabel 2 distribusi responden berdasarkan pendidikan penderita gastritis jenis kelamin n % laki laki 111 68,1 perempuan 52 31,9 total 163 100 tabel 3 distribusi responden berdasarkan jenis kelamin penderita gastritis tabel ini menunjukkan bahwa umumnya responden terbanyak pada laki-laki berjumlah 111 responden atau 68,1%. sedangkan pada perempuan sebanyak 52 responden atau 31,9%. status ekonomi n % 1 s/d 2 juta 15 9,2 >2 s/d 3 juta 32 19,6 >3 s/d 4 juta 67 41,1 >4 s/d 5 juta 44 27,0 >5 jura 5 3,1 total 163 100 tabel 4 distribusi responden berdasarkan status ekonomi penderita gastritis tabel ini menunjukkan bahwa penghasilan terbanyak responden dalam sebulan berkisar rp 3.000.000 sampai dengan rp 4.000.000,sekitar 67 responden (41,1%). sedangkan hanya 5 responden (3,1%) saja yang berpenghasilan lebih dari rp 5.000.000,dalam sebulan. hasil uji statistik dengan melihat nilai p = 1,000 menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara pola makan terhadap risiko kejadian gastritis. sebanyak 96,38% responden yang memiliki pola makan yang baik menderita gastritis. sedangkan responden yang memiliki pola makan yang kurang baik berisiko kejadian gastritis sebanyak 3,1%. perhitungan risk estimate didapatkan or=1,006 pola makan kejadian gastritis p or 95% ci tidak % ya % kurang 0 0 5 3,1 1,000 1,006 0,994 – 1,019baik 1 0,6 157 96,3 total 1 0,6 162 99,4 tabel 5 hubungan pola makan terhadap kejadian gastritis (or>1) dengan (ci 0,994–1,019), hal ini berarti bahwa responden memiliki risiko 1,006 kali untuk terkena gastritis. hasil uji statistik dengan melihat nilai p = 0,448 menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara stress terhadap risiko kejadian gastritis. sebanyak 55,2% responden yang memiliki tingkat stress yang tinggi menderita gastritis. sedangkan responden yang memiliki tingkat stress yang rendah berisiko kejadian gastritis sebanyak 44,2%. perhitungan risk estimate didapatkan or = 0,986 (or>1) dengan (ci 0,960–1,013), hal ini berarti bahwa responden memiliki risiko 0,986 kali untuk terkena gastritis. 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 196–202 hasil uji statistik dengan melihat nilai p=1,000 menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara mengkonsumsi alkohol terhadap risiko kejadian gastritis. sebanyak 68,7% responden yang rendah tingkat konsumsi alkohol menderita gastritis. sedangkan responden yang tingkat mengkonsumsi alkohol berisiko kejadian gastritis sebanyak 30,7%. perhitungan risk estimate didapatkan or=0,991 (or>1) dengan (ci 0,974–1,009), hal ini berarti bahwa responden yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 0,991 kali untuk terkena gastritis dibandinkan dengan yang tidak mengkonsumsi alkohol, namun jika dilihat nilai ll dan ul variabel konsumsi alkohol tidak bermakna secara statistik. stress kejadian gastritis p or 95% ci tidak % ya % rendah 1 0,6 72 44,2 0,448 0,986 0,960 – 1,013 tinggi 0 0 90 55,2 total 1 0,6 162 99,4 tabel 6 hubungan stress terhadap kejadian gastritis mengkonsumsi kejadian gastritis p or 95% ci tidak % ya % rendah 1 0,6 112 68,7 1,000 0,991 0,974 – 1,009 tinggi 0 0 50 30,7 total 1 0,6 162 99,4 tabel 7 hubungan mengkonsumsi alkohol terhadap kejadian gastritis alkohol status ekonomi kejadian gastritis p or 95% ci tidak % ya % rendah 1 0,6 46 28,2 0,288 0,979 0,938 – 1,021 tinggi 0 0 116 71,2 total 1 0,6 162 99,4 tabel 8 hubungan status ekonomi terhadap kejadian gastritis hasil uji statistik dengan melihat nilai p=0,288 menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara sosial ekonomi terhadap risiko kejadian gastritis. sebanyak 71,2% responden yang memiliki status ekonomi yang tinggi menderita gastritis. sedangkan responden yang memiliki status ekonomi yang rendah berisiko kejadia n ga str itis sebanya k 28,2%. perhitungan risk estimate didapatkan or=0,79 (or>1) dengan (ci 0,938–1,021), hal ini berarti bahwa responden memiliki risiko 0,979 kali untuk terkena gastritis. pembahasan pemba ha sa n ini mener a ngka n tenta ng hubungan variabel independent (faktor pola makan, stress, sosial ekonomi, dan konsumsi alkohol) terhadap kejadian gastritis dengan melihat nilai p < 0,005. hubungan pola makan terhadap kejadian gastritis penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh rahma dkk (2012), dengan judul 201nirmalarumsari, febriani tandipasang, faktor risiko kejadian gastritis di wilayah kerja ... penelitian faktor risiko kejadian gastritis di wilayah kerja puskesmas kampili kabupaten gowa, dari penelitiannya mengatakan bahwa pola makan atau keteraturan makan bukan merupakan faktor risiko kejadian gastritis dengan melihat nilai (or=1,85; ci 0,91-3,78) yang artinya bahwa nilai or yang diperoleh tidak bermakna secara statistik. penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh bagas diatsa (2016) dengan judul penelitian hubungan pola makan dengan kejadian gastritis pada remaja di pondok al-hikmah trayon karanggede boyolali, dari penelitiannya didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kejadian gastritis, hubungan ini ditunjukkan dengan nilai korelasi sebesar 0,636 yang termasuk ke dalam kategori kuat (0,06-0,799), dengan demikian pola makan yang buruk dapat mengakibatkan kejadian gastritis yang tinggi. masyarakat yang berada di wilayah kerja puskesmas bantilang memiliki pekerjaan yang beragam. ada yang bekerja di kebun, sawah, danau dan sebagai pegawai negeri sipil sehingga susah bagi mereka untuk mengontrol pola makan masing-masing. hal ini yang menyebabkan pola makan berisiko terkena gastritis. peneliti merekomendasi masyarakat di sana agar mengkomsumsi makanan yang bergizi dengan jumlah makanan yang cukup, jenis makanan yang bervariasi serta frekuensi makan yang sedikit tapi sering sesuai kebutuhan tubuh. dalam arti ketika mereka pergi bekerja, wajib bagi mereka membawa bekal. hubungan stress terhadap kejadian gastritis penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh puri dkk (2012), dengan judul penelitian hubungan faktor stres dengan kejadian gastritis pada masyarakat poltekes kemenkes tanjung karang, hasil (p = ,120) yang artinya bahwa tidak ada hubungan antara faktor stress dengan kejadian gastritis pada masyarakat penghuni asrama jurusan keperawatan poltekes tanjung karang. hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh widiyanto dkk (2014), dengan judul penelitian hubungan antara tingkat stress dengan kejadian gastritis di puskesmas harapan raya pekanbaru, menemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat stress dengan kejadian gastritis, dengan melihat p value = 0,001. masyarakat yang berada dalam wilayah kerja puskesmas bantilang dipusingkan dengan hasil panen yang kian tahun kian menurun harga jualnya, terutama harga dari merica yang kini sangat menurun di pasaran. selain itu rata-rata masyarakat yang berada di bantilang memiliki anak yang sekolah atau kuliah di luar kota. sehingga menambah pemikiran bagi orang tua. hubungan mengkonsumsi alkohol terhadap kejadian gastritis penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh rahma dkk (2012), dengan judul penelitian faktor risiko kejadian gastritis di wilayah kerja puskesmas kampili kabupaten gowa, dari penelitiannya mengatakan bahwa mengkonsumsi alkohol bukan merupakan faktor risiko kejadian gastritis dengan melihat nilai (or=1,86; ci 0,91–3,81) yang artinya bahwa nilai or yang diperoleh tidak bermakna secara statistik. hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh wahyudi dkk (2018), dengan judul penelitian hubungan antara kebiasaan mengkomsumsi minuman keras (alkohol) dengan kejadian gastritis pada remaja akhir (18-21 tahun) di asrama putra papua kota malang, dengan mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan mengkomsumsi minumman keras (alkohol) dengan kejadian gastritis. hal ini dibuktikan dengan nilai p value=0,000. ketika peneliti melakukan kunjungan kepada masayarakat, memang banyak masyarakat yang mempunyai kebiasaan mengkomsumsi alkohol disaat mereka lelah atau memiliki banyak masalah. masyarakat setempat tidak mengetahui bahwa ternyata dengan mengkomsumsi alkohol secara rutin akan mengganggu kesehatan dan dapat menjadi faktor risiko dari penyakit gastritis. meskipun dalam penelitian ini konsumsi alkohol bukan merupakan faktor risiko kejadian gastritis tetapi konsumsi alkohol harus dapat dihindari bahkan dihilangkan. hubungan status ekonomi terhadap kejadian gastritis penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh murjayanah (2010), dengan judul faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian gastritis (studi di rsu dr. 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 196–202 r.soetrasno rembang), dari penelitiannya menemukan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara sosial ekonomi dengan kejadian gastritis dengan melihat nilai p=0,877, sedangkan jika dilihat nilai or=0,931 maka artinya adalah responden dengan sosial ekonomi yang tinggi memiliki risiko 0,931 kali untuk terkena penyakit gastritis dari pada responden yang memiliki sosial ekonomi yang rendah. masyarakat yang memiliki pendapatan perbulan yang tinggi belum tentu terhindar dari penyakit gastritis. justru masyarakat yang tergolong mapan dan mampu yang terkenaa penyakit gastritis. dikarenakan karena terlalu lama bekerja sehinggga tidak memperhatikan kesehatannya. dari hasil penelitian ini, direkomendasikan kepada dinas kesehatan kabupaten luwu timur untuk meningkatkan program-program kesehatan yang dapat membangun sikap masyarakat untuk hidup sehat melalui penyuluhan-penyuluhan dan soaialisasi terkain penyakit gastritis yang dialami oleh masyarakat yang berada di wilayah kerja puskesmas bantilang kesimpulan pola makan, stress, dan kebiasaan komsumsi alcohol, dan sosial ekonomi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit gastritis di wilayah kerja puskesmas bantilang kecamatan towuti kabupaten luwu timur provinsi sulawesi selatan walaupun dari hasil p value tidak menunjukkan adanya hubungan. saran perlunya pengoptimalan pelaksanaan program di dinas terkait untuk membangun sikap masyarakat berprilaku hidup sehat melalui penyuluhan penyakit gastritis dan sosialisasi pencegahan terjadinya penyakit gastritis. daftar pustaka achmad (2012). gangguan sistem saluran makanan. dalam : prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, volume 4. jakarta : egc. hal. 1577-91. amin, h. (2015). aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan nanda nic-noc edisi revisi jilid 3. jogjakarta: mediaction publishing. bagas, diatsa. (2016). hubungan pola makan dengan kejadian gastritis pada remaja di pondok alhikmah trayon, karanggede, boyolali. skripsi. dinkes luwu timur. (2017). sepuluh besar penyakit teratas di kabupaten luwu timur 2017. dinkes sulsel. (2010). sepuluh besar penyakit pasien r awat inap rumah sak it tingk at provi nsi sulawesi selatan tahun 2010. kurnia. (2011). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gastritis pada pasien yang berobat jalan di puskesmas gulai bancah kota bukit tinggi. fakultas kedokteran. universitas andalas. sugiyono. (2013). metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan kombinasi (mixed methods). bandung : alfabeta. murjayanah. (2010). faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian gastritis (studi di rsu dr. r. soetrasno rembang tahun 2010). fakultas kesehatan masyarakat: universitas negeri semarang. (online) http://uap.unnes.ac.id diakses 4 april 2013. puri dkk. (2012). hubugan faktor stres dengan kejadian gastritis pada mahasiswa poltekes kemenkes tanjung karang. jurnal keperawatan, volume viii, no.1, april 2012. issn 1907-0357. rahma dkk. (2012). faktor risiko kejadian gastritis di wilayah kerja puskesmas kampili kabupaten gowa. wahyudi, dkk. (2018). hubungan antara kebiasaan mengk omsumsi mi numan ke ras (a lk ohol ) dengan kejadian gastritis pada remaja akhir (18-21 tahun) di asrama putra papua kota malang. jurnal nursing news. volume 3, nomor 1. widiyanto, dkk. (2014). hubungan antara tingkat stress dengan kejadian gastritis : study di puskesmas harapan raya pekanbaru. jurnal photon. volume 5, oktober 2014 90 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 90–96 90 pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak (the effectiveness of counseling of thinking, feeling and acting (tfa) approach to blood pressure in patients with pre cataract surgery) abstract: anxiety is a nursing problem that requires nursing intervention. the phenomenon that occurs, often found preoperative patients experience anxiety without specific intervention from nurses to reduce anxiety, resulting in an increase in blood pressure which can lead to delayed operation plan. this study aimed to determine the effectiveness of counseling of thinking, feeling and acting (tfa) approach to blood pressure in patients with pre-cataract surgery at the central surgical installation of kanjuruhan hospital malang regency the design in this study was experimental with one group pre-test and posttest design, the sample was 16 people taken by purposive sampling technique. the data analysis used a paired sample t-test statistical test. the results showed that there was an effect of counseling of the thinking, feeling and acting (tfa) approach to the patient’s blood pressure of pre cataract surgery, with p value = 0.000 <  (0.05). the effect of counseling with the approach of thinking, feeling and acting (tfa) to the patient’s blood pressure pre cataract surgery, was due to the tfa approach counseling, the client was able to express his feelings correctly, had more rational thoughts, and prioritized useful actions so that anxiety could be reduced or even eliminated. decreased and even lno anxiety could keep the patient’s blood pressure stable. this research was evidence based practice, to make standard operating procedures (sop) of counseling keywords: counseling, blood pressure, pre cataract surgery. abstrak:kecemasan merupakan salah satu masalah keperawatan yang memerlukan intervensi keperawatan. fenomena yang terjadi, sering ditemukan pasien preoperasi mengalami kecemasan tanpa intervensi spesifik dari perawat untuk mengurangi kecemasannya, sehingga berakibat pada peningkatan tekanan darah yang bias mengakibatkan ditundanya rencana operasi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak di instalasi bedah sentral rsud kanjuruhan kabupaten malang desain dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan one group pre-test and post-test design, menggunakan teknik purposive sampling, diperoleh sampel sebanyak 16 orang. analisais data menggunakan uji statistik paired sample ttest. hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak, dengan p value = 0, 000 <  (0,05). adanya pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak, disebabkan karena dalam konseling pendekatan tfa, klien lebih mampu mengekspresikan perasaannya dengan benar, memiliki pemikiran yang lebih rasional, dan lebih mengutamakan tindakan yang bermanfaat sehingga kecemasan lebih dapat dikurangi bahkan dihilangkan. kecemasan yang menurun bahkan hilang dapat mempertahankan tekanan darah pasien tetap stabil. penelitian ini sebagai evidence based practice, untuk membuat standar prosedur operasional (sop) konseling kata kunci: konseling, tekanan darah, pre operasi katarak jurnal ners dan kebidanan, volume 5, no. 2, agustus 2018 doi: 10.26699/jnk.v5i2.art.p090–096 yeni kartika sari, ani widayati, bisepta prayogi stikes patria husada blitar email: kartikasariyeni84@gmail.com it typewritten text © 2018 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 91widayati, sari, prayogi, pengaruh konseling dengan pendekatan thinking,... pendahuluan tindakan operasi, bagi klien merupakan salah satu faktor penyebab kecemasan. kecemasan atau ansietas merupakan salah satu masalah keperawatan dalam dimensi psikis yang memerlukan intervensi keperawatan. kecemasan pada klien pre operasi katarak, selain menimbulkan rasa tidak nyaman, juga dapat merugikan klien, salah satunya adalah terjadinya peningkatan tekanan darah yang dapat mengakibatkan pembatalan operasi. fenomena yang terjadi di masyarakat, masih sering ditemukan klien saat menjelang tindakan operasi, yang mengalami kecemasan, tanpa mendapatkan intervensi yang spesifikdari perawat untuk mengurangi kecemasannya. sampai saat ini, jumlah penderita katarak di dunia masih sangat tinggi. berdasarkan data who, diperkirakan jumlah penderita kebutaan katarak di dunia saat ini adalah sebesar 17 juta orang, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 40 juta pada tahun 2020 (mo’otapu et al, 2015). indonesia, menurut hasil survei kebutaan dengan menggunakan metode rapid assessment of avoidable blindness (raab), yang baru dilakukan di tiga provinsi (nusa tengggara barat, sulawesi selatan dan jawa barat) pada tahun 2013-2014, didapatkan prevalensi kebutaan pada masyarakat usia diatas 50 tahun,rata-rata di 3 provinsi tersebut adalah 3,2%, dengan penyebab utama adalah katarak (71%). diperkirakan setiap tahun kasus baru buta katarak akan selalu bertambah, sebesar 0,1% dari jumlah penduduk atau kira-kira 250.000 orang setiap tahun (kemenkes ri, 2016). berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2007 di provinsi jawa timur, prevalensi penduduk dengan katarak di provinsi jawa timur lebih rendah dari angka nasional. angka tertinggi kejadian katarak berdasar diagnosis dan gejala terjadi di kabupaten situbondo (17,3%) disusul pasuruan (15,2%) dan lumajang (13,5%) (balitbang depkes ri, 2007). pada tahun 2013-2014 dilakukan penelitian di balai kesehatan mata masyarakat manado terhadap 42 responden, mengenai hubungan tingkat pengetahuan dengan kecemasan, didapatkan bahwa responden yang tidak memiliki kecemasan dengan berpengetahuan baik ada 2 orang (4,8%), responden yang memiliki kecemasan ringan dengan pengetahuan baik ada 15 orang (35,7%), responden yang memiliki kecemasan sedang dengan pengetahuan baik ada 10 orang (23,8%), dari hasil uji statistik disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan tingkat kecemasan klien pre operasi katarak (rondonuwu, 2014). menurut heither, susan tahun 2018, kecemasan tidak menyebabkan hipertensi, namun kecemasan dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara temporer. jadi meskipun kecemasan tidak menyebabkan hipertensi kronis, namun dapat menyebabkan masalah kesehatan yang hamper sama. dari hasil studi pendahuluan pada bulan juli 2017, di instalasi bedah sentral (ibs) rsud kanjuruhan kabupaten malang, dari hasil wawancara dengan 10 orang klien yang akan menjalani operasi katarak didapatkan data, 9 orang (90%) dari 10 orang tersebut mengatakan sedang dalam kondisi cemas karena menghadapi ruang dan peralatan operasi. 7 orang (70%) dari 10 orang tersebut mengatakan saat ini sedang cemas karena khawatir akan menjadi buta. 8 orang (80%) dari 10 orang tersebut mengatakan sedang cemas akibat takut akan kematian saat di anasthesia. 9 orang (90%) dari 10 orang tersebut mengatakan cemas bila operasinya akan dilakukan mengalami kegagalan (operasi tidak berhasil). berdasarkan sudut pandang teori interpersonal, kecemasan pada klien pre operasi katarak umumnya disebabkan adanya rasa khawatir menghadapi anasthesia, diagnosa penyakit yang belum pasti, keganasan, nyeri, ketidaktahuan tentang prosedur operasi, kondisi lingkungan kamar bedah yang terkesan menakutkan dalam pandangan masyarakat awam, serta ketakutan akan kegagalan dari tindakan pembedahan yang dapat menimbulkan kecacatan (riadi, 2012). menurut ikhsan (2012) salah satu penyebab terhalangnya kegiatan operasi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah. sedangkan menurut yeremia (2011), setidaknya ada tiga kerugian yang dialami klien ketika mengalami kecemasan menjelang operasi, secara psikis klien dirugikan dengan perasaan tidak nyaman akibat kecemasan yang tidak terkontrol, secara fisik terjadi peningkatan frekuensi nadi dan respirasi, peningkatan tekanan darah, penurunan kerja otot polos pada kandung kemih dan usus, dan dalam segi waktu dan administratif ada kemungkinan terjadi penundaan jadwal operasi akibat peningkatan tekanan darah. salah satu upaya perawat dalam mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah klien pre operasi katarak adalah dengan melakukan konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa), yaitu suatu pendekatan integratik sistematik 92 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 90–96 yang mengintegrasikan berbagai macam pendekatan dan teknik-teknik konseling dalam suatu kerangka kerja. kerangka kerja komperhensif-sistematis ini jelas diperlukan oleh perawat untuk membantu berbagai macam klien dengan efektif dan qualified. konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) memiliki beberapa kelebihan diantaranya, adanya ketulusan perawat dalam melakukan hubungan membantu klien untuk lebih meyakini dirinya, adanya pemahaman yang diberikan perawat terhadap klien dengan segala latar belakang dan masalah-masalahnya, dan klien lebih cepat belajar bagaimana membuat respon yang baru dan efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan (mulawarman & munawaroh, 2016). dampak dari konseling dengan metode pendekatan tfa terhadap tekanan darah belum dapat dijelaskan. berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa ) terhadap tekanan darah klien pre operasi katarak di instalasi bedah sentral rsud kanjuruhan kabupaten malang. bahan dan metode penelitian ini merupakan pre eksperimental dengan desain one group pre test post test karena bertujuan mengetahui pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak. populasi pada penelitian ini adalah pasien pre operasi katarak di rsud kanjurahan kepanjen dengan jumlah 30 orang. sampel penelitian diambil dengan non random, dimana peneliti menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian yaitu pasien pre operasi katarak yang mengalami kecemasan dan pasien pre operasi katarak yang berusia 21 tahun ke atas. berdasarkan metode tersebut didapatkan jumlah sampel 16 orang. variabel dependen pada penelitian ini adalah tekanan darah pasien pre operasi katarak. sedangkan variabel independennya adalah konseling dengan pendekatan tfa. instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) kuesioner zung self rating anxiety scale untuk menilai kecemasan pasien yang terdiri dari 20 item soal, 2) sop konseling dengan pendekatan tfa. tahap pertama penelitian adalah pemberian pre test untuk menilai tingkat kecemasan responden dan mengukur tekanan darahnya dan dilajutkan dengan melakukan konseling selama 10-20 menit, melalui beberapa tahapan: 1) membangun hubungan 2) identifikasi dan penilaian masalah 3) memfasilitasi peruba ha n ter a peutis mengguna ka n pendeka ta n thinking, feeling dan acting (tfa). pada pendekatan thinking, perawat membantu klien untuk mampu berpikir rasional, pendekatan feeling, perawat membantu klien mengekspresikan emosi yang ada pada dirinya, dan pada pendekatan acting, perawat membantu klien dalam mengambil keputusan, dan (4) evaluasi dan terminasi. tahap akhir adalah melakukan post-test dengan mengukur kembali tekanan darah responden. data yang terkumpul akan diuji normalitasnya dengan uji shapiro wilk. apabila uji normalitas diperoleh data berdistribusi normal maka data akan dianalisis dengan paired sample t-test. sedangkan apabila diperoleh data berdistribusi tidak normal makan akan diuji dengan wilcoxon test. hasil penelitian berdasarkan hasil penelitian didapatka hasil sebagai berikut: karakteristik responden no data umum f % 1 pendidikan : tidak sekolah 4orang 25 sd 6 orang 37,5 smp 3orang 18,75 sma 2orang 12,5 perguruan tinggi 1orang 6,25 2 jenis kelamin laki-laki 9 orang 56,25 perempuan 7orang 43,75 3 pekerjaan karyawan swasta 3 orang 18,75 pegawai negeri 3 orang 18,75 tidak bekerja 6 orang 37,5 wiraswasta 2 orang 12,5 petani 2orang 12,5 4 usia < 45 tahun 2 orang 12,5 46-65 tahun 4 orang 25 >65 tahun 10 orang 62,5 5 riwayat operasi tidak pernah operasi 12orang 75 pernah operasi 4orang 25 tebel 1 karakteristik responden di ruang ok rsud kanjuruhan kabupaten malang, desember 2017 93widayati, sari, prayogi, pengaruh konseling dengan pendekatan thinking,... lampung, menyimpulkan bahwa ada hubungan pendidikan dengan kecemasan pada pasien pre operasi seksio sesaria (sc). hasil penelitian kuraeisin (2009), di rsup fatmawati, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman dengan tingkat kecemasan. stresor psikologis yang menyebabkan cemas diantaranya adalah, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma. akan tetapi tidak semua orang yang mengalami stressor psikososial akan mengalami gangguan cemas. hal ini tergantung pada struktur perkembangan kepribadian diri seseorang tersebut, yaitu usia, tingkat pendidikan, pengalaman, dukungan sosial dari keluarga, teman, dan masyarakat. ada berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan atau kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain yaitu takut nyeri setelah pembedahan, takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal gangguan body image, takut keganasan bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti, takut atau cemas mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai penyakit yang sama, takut atau ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas, takut mati saat dibius atau tidak sadar lagi (maryanti, 2015). penelitian yang dilakukan oleh muliana dkk tahun 2016 menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan a ntar a tingka t kecema sa n dengan peningkatan tekanan darah pasien pre operasi bph di rsud prof dr margono soeharjo. sehingga dapat disimpulkan bahwa responden yang tekanan darahnya cenderung tinggi (rata rata 146/80 mmhg) pada saat menjelang operasi berkaitan dengan pengalaman operasi sebelumnya (75% belum pernah operasi) tingkat pendidikan yang rendah dan pengalaman yang kurang mengenai operasi menyebabkan timbulnya kecemasan dalam menghadapi operasi katarak. sehingga tekanan darah juga ikut meningkat. tingkat pendidikan menentukan kemampuan seseorang menciptakan mekanisme koping yang efektif. semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin rendah kemampuannya dalam menciptakan koping. hal ini didukung data bahwa sebagian besar subjek penelitian yang mengalami cemas sedang, berpendidikan sekolah dasar (sd). pengalaman juga menentukan kemampuan seseorang dalam menghadapi kecemasan. semakin sedikit pengalaman seseorang, maka akan semakin meningkat rasa khawatir akan dampak yang akan berdasarkan tabel 1 di atas diketahui, mayoritas subjek penelitian berpendidikan sd, sejumlah 6 orang (37,5%), mayoritas berjenis kelamin lakilaki, sejumlah 9 orang (56,25%), mayoritas tidak bekerja, sejumlah 6 orang (37,5 %), mayoritas berusia > 65 tahun, sejumlah 10 orang (62,5%), dan mayoritas tidak pernah operasi, sejumlah 12 orang (75 %). pengaruh konseling dengan pendekatan tfa terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak tekanan darah min max rata rata std deviasi sistolik pre 120 150 146 9.639 sistolik post 120 140 138 5.774 diastolik pre 70 90 80 8.165 diastolik post 70 70 70 .000 paired t test 0.000 tabel 2 pengaruh konseling dengan pendekatan tfa terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak di ruang ok rsud kanjuruhan kabupaten malang, desember 2017 berdasarkan hasil uji paired t-test. diketahui p value = 0, 000. lebih kecil dari nilai alfa (=0,05), sehingga hipotesis penelitian diterima. dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarakdi instalasi bedah sentral rsud kanjuruhan kabupaten malang. pembahasan tekanan darah pasien pre operasi katarak sebelum perlakuan konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa). berdasarkan hasil penelitian tekanan darah pasien pre operasi katarak sebelum konseling dengan pendekatan tfa, didapatkan nilai minimum sistolik 120 mmhg, dan maximum sistoliknya 159 mmhg. sedangkan minimum diastoliknya 70 mmhg dan maksimum diastoliknya 90 mmhg sehingga rata rata tekanan darah adalah adalah 146/80 mmhg. sedangkan karakteristik responden diketahui mayoritas (37,5%) berpendidikan sd, dan berdasarkan riwayat operasi, mayoritas (75 %) tidak pernah operasi. hasil penelitian maryanti (2015), di ruang kebidanan rumah sakit urip sumoharjo bandar 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 90–96 terjadi setelah operasi, sehingga berpeluang meningkatkan kecemasan yang berakibat meningkatnya tekanan darah. kondisi ini didukung data bahwa sebagian besar subjek penelitian yang belum berpengalaman menjalani operasi. tekanan darah pasien pre operasi katarak sesudah perlakuan konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa). berdasarkan hasil penelitian, tekanan darah pasien pre operasi katarak sesudah konseling dengan pendekatan tfa, diketahui nilai minimal sistolik 120 mmhg, nilai maksimal sistolik 140 mmhg. sedangkan nilai minimal diastolic 70 mmhg dan nilai maksimal diastoliknya 70 mmhg. berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas subjek penelitian berpendidikan sd, sejumlah 6 orang (37,5%), berdasarkan jenis kelamin, mayoritas berjenis kelamin laki-laki, sejumlah 9 orang (56,25%), berdasarkan pekerjaan, mayoritas tidak bekerja, sejumlah 6 orang (37,5 %), berdasarkan usia, mayoritas berusia > 65 tahun, sejumlah 10 orang (62,5%), dan berdasarkan riwayat operasi, mayoritas tidak pernah operasi, sejumlah 12 orang (75 %). konseling berpengaruh terhadap tekanan darah. kecemasan merupakan respon psikologis yang terjadi ketika seseorang merasa terancam baik secara fisik maupun psikologik, untuk meminimalkan kecemasan diperlukan suatu upaya pengendalian diri, yaitu proses mengubah tingkah laku dengan cara mengarahkan diri dalam memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. salah satu respon fisik yang muncul ketika seseorang mengalami kecemasan adalah kenaikan tekanan darah. konseling merupakan salah satu upaya membantu klien melakukan pengendalian diri. konseling merupakan upaya merubah kognitif dan pemahaman, emosi dan perilaku. konseling bertujuan menciptakan pengembangan dan pertumbuhan individu, dengan fokus utama mengubah perilaku yang maladaptif menjadi adaptif. jadi pada hakekatnya, sasaran kegiatan konseling adalah membantu klien menyelesaikan masalah. dalam hal ini,masalah utama yang dihadapi pada sebagian besar pasien pre operasi katarak adalah kecemasan menghadapi operasi (mulawarman & munawaroh, 2016). sedangkan kecemasan menyebabkan kenaikan darah secara temporer, (heitler, 2018) konseling efektif dalam mempertahankan tekanan darah pasien tetap stabil karena dengan konseling dapat mengurangi tingkat kecemasan klien menghadapi operasi katarak. melalui konseling, perawat mendengarkan keluhan klien, membangun hubungan dengan klien, membantu klien mengidentifikasi masalah, serta memfasilitasi perubahan terapeutis pada klien, sehingga masalah kecemasan klien menghadapi operasi katarak dapat dikurangi dan kenaikan tekanan darah tidak terjadi. fenomena ini didukung data bahwa rata rata tekanan darah menurun dari 146/80 mmhg menjadi 138/70 mmhg. pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak berdasarkan hasil uji statistik independent sample t-test. didapatkan p value = 0, 000 < 0,05), sehingga disimpulkan ada pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarak di instalasi brdah sentral rsud kanjuruhan kabupaten malang. hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian rahmat (2010), mengenai pengaruh konseling terhadap kecemasan dan kualitas hidup pasien operasi katarak di kecamatan kebak kramat, dengan kesimpulan bahwa konseling berpengaruh terhadap penurunan kecemasan, dan didukung oleh heitler (2018) yang menyebukan bahwa kecemasan dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara temporer. sehingga dapat disimpulkan bahwa konseling dapat mencegah terjadinya kenaikan tekanan darah. penelitian yang dilakukan oleh tuncay, et all, (2008), menunjukkan adanya pengaruh positif pengelolaan masalah psikologis yang dilakukan dengan konseling pada pasien diabetes mellitus (dm), dimana hal ini akan menurunkan kecemasan pada pasien. pada penelitian ini dilakukan konseling yang mencakup pemahaman tentang penyakit, seberapa besar mereka dapat menerima kondisi sakitnya, keyakinan atau kepercayaan spiritualnya, rencana yang disusun untuk menghadapi penyakitnya, penggalian hal-hal positif yang dimiliki, memanfaatkan semua fasilitas yang tersedia, menggunakan dukungan psikologis, dan keluarga. penelitian yang dilakukan oleh nikibakht, et all, (2009), menunjukkan bahwa pengendalian kondisi psikologis utamanya kecemasan akan berpengaruh positif terhadap manajemen pasien diabetes mellitus. dari penelitian yang dilakukan oleh collins, et all (2008), juga menunjukkan bahwa manajemen kecemasan pada penderita diabetes yang dilakukan dengan baik, yang 95widayati, sari, prayogi, pengaruh konseling dengan pendekatan thinking,... salah satunya dengan konseling akan meningkatkan keberhasilan dalam mengontrol kadar gula darah (rahmat, 2010). kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam baik secara fisik maupun psikologik. manifestasi kecemasan yang terjadi tergantung pada kematangan pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri dan mekanisme koping. menurut heitler (2018) kecemasan tidak menyebabkan hipertensi, namun kecemasan dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara temporer. untuk membantu mencegah kenaikan tekanan dara h klien dapat dila kukan dengan mengurangi kecemasannya. untuk mengurangi kecemasan, diperlukan suatu intervensi yang tepat. konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa) merupa ka n sala h sa tu piliha n intervensi perawat dalam mengurangi kecemasan pasien pre operasi katarak. dalam perspektif tfa, proses mengurangi kecemasan pada diri individu berorientasi pada pemikiran, perasaan dan tindakan. pendekatan yang berorientasi pada pemikiran memiliki anggapan dasar bahwa, jika individu memiliki pemikiran yang tak logis maka dia bermasalah (tidak sehat), dan akan menjadi pribadi yang sehat bila perawat dapat membantu klien mengubah pemikiran yang tak logis tersebut menjadi logis. dalam pendekatan yang berorientasi pada perasaan,terdapat anggapan dasar bahwa jika individu tidak dapat mengekpresikan perasaan yang dialaminya maka dia bermasalah, dan akan menjadi sehat jika dapat mengekspresikan perasaan yang dialaminya. dalam hal ini perawat membantu klien mengekspresikanemosi yang muncul dari dalam dirinya, ser ta memba ntu memfa silita si memeca hka n masalah tersebut. dalam pendekatan yang berorientasi pada tindakan, individu yang tidak dapat merubah dari tingkah laku yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat, maka dia dianggap mengalami masalah. dalam hal ini perawat dapat membantu individu tersebut dengan melakukan sesuatu yang mendukung perubahan tindakan atau perilaku yang efektif, misalnya dengan memberikan contoh atau mengajarkan teknik nafas dalam saat individu menunjukkan tanda-tanda mengalami kecemasan (mulawarman & munawaroh, 2016). konseling denga n pendeka tan thinking, feeling dan acting (tfa) berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien menghadapi operasi katarak. konseling dengan pendekatan tfa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki metode lain. dalam konseling pendekatan tfa, perawat membantu mengata si ma sa lah kecema san klien melalui pendekatan yang lebih menyeluruh pada aspek psikologik, yaitu aspek pemikiran, perasaan, dan tindakan, sehingga secara holistik, klien lebih terbantu dalam mengatasi masalah kecemasannya. klien lebih mampu mengekspresikan perasaannya dengan benar, memiliki pemikiran yang lebih rasional, dan lebih mengutamakan tindakan yang bermanfaa t sehingga kecemasan lebih dapat dikurangi bahkan dihilangkan. ketika kecemasan pasien pre operasi katarak dapat teratasi maka kenaikan tekanan darah tidak terjadi. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian terhadap 16 subjek penelitian pasien pre operasi katarakdi instalasi bedah sentral rsud kanjuruhan kabupaten malang, dapat disimpulkan bahwa: sebelum dilakukan konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa), rata rata tekanan darah pasien pre operasi katarak adalah 146/80 mmhg. sesudah dilakukan konseling dengan pendekatan thinking, feeling dan acting (tfa), rata rata tekanan darahnya adalah 138/70 mmhg. ada pengaruh konseling dengan pendekatan thinking, feeling da n acting (tfa) terhadap tekanan darah pasien pre operasi katarakdi rsud “kanjuruhan” kepanjen, dengan p value = 0,000. saran bagi rumah sakit umum kanjuruhan dapat meningkatkan kemampuan perawatnya dalam memberikan konseling pre operasi kepada pasien dengan cara memberikan pelatihan yang sesuai. bagi institusi pendidikan kesahatan dapat menerapkan metode konseling ini untuk membantu mengata si per masa la ha n ma sya r a ka t da la m kegiatan pengabdian. daftar rujukan heitler, susan, ph.d. 2018. why do anxiety and high blood pressure go hand in hand. (https:// www.psychologytoday.com/us/blog/resolutionnot-conflict/201802/why-do-anxiety-and-highblood-pressure-go-hand-in-hand. kemenkes ri, 2016. katarak sebabkan 50% kebutaan ( h t t p : / / ww w. d e p k e s . g o . i d / a r t i c l e / v i e w/ 1 6 0 1 1 1 0 0 0 0 3 / k a t a r a k s e b a b k a n 5 0 kebutaan.html). 96 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 2, agustus 2018, hlm. 90–96 kuraeisin, 2009, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien yang akan menghadapi operasi di rsup fatmawati tahun 2009. skripsi. jakarta: universitas islam negeri syarif hidayatullah. maryanti l dkk. 2015. hubungan pendidikan dengan kecemasan pasien pre operasi seksio sesaria (sc) di ruang kebidanan rumah sakit urip sumoharjo bandar lampung tahun 2015.jurnal asuhan ibu&anak. jaia 2016;1(2) : hal 35-41. mo’otapu et al, 2015.faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit katarak di poli mata rsup prof. dr. r.d kandou manado astria.manado: program studi ilmu keperawatan fakultas kedokteran universitas sam ratulangi. mulawarman & munawaroh, 2016, psikologi konseling: sebuah pengantar bagi konselor pendidikan. semarang: universitas negeri semarang. muliana, et.al.,2016, hubungan tingkat kecemasan dengan peningkatan tekanan darah paisen pre operasi bph di rsud prof dr margono soekarjo, jurnal viva medika vol 09 no 16 februari 2016. sitasi tanggal 12 juli 2018. https://jurnal.shb.ac.id/ ojsindex.php?journal=vm&page=article&op= view&path%5b%5d=301&path%5b%5d=272 rahmat w p, 2010, pengaruh konseling terhadap kecemasan dan kualitas hidup pasien diabetes mellitus di kecamatan kebakkramat. tesis. surakarta: program studi kedokteran keluarga program pascasarjana universitas sebelas maret. riadi m, 2012, psikologi -teori kecemasan (http:// www. k a j i a n p u s t a k a . c o m / 2 0 1 2 / 1 0 / t e o r i kecemasan.html). rondonuwu, “hubungan tingkat kecemasan dengan tingkat pengetahuan pada klien pre operasi katarak dibalai kesehatan mata masyarakat (bkmm) manado” juiperdo, vol 3, n0. 2 september 2014 hubungan pengetahuan dengan rolly rondonuwu, dkk, hal 4-7. yeremia, 2011, tingkat kecemasan pasien pre operatif. (http://deloririasi.blogspot.co.id/). 189sri, vinsur, sutiyarsih, analisis faktor yang mempengaruhi lansia... 189 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk analisis faktor yang mempengaruhi lansia datang ke pelayanan kesehatan felisitas a. sri s.1, elizabeth y. y. vinsur2, emy sutiyarsih3 1,2,3panti waluya malang, school of health science, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 01/02/2019 disetujui, 28/03/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: lansia, pengaruh, pemanfaatan, pelayanan kesehatan abstrak sarana dan fasilitas dalam pelayanan kesehatan bagi lansia telah disediakan oleh pemerintah indonesia melalui satuan terkecil di masyarakat yaitu puskesmas & posyandu lansia, akan tetapi pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia baik untuk upaya promotif, preventif, dan kuratif masih belum optimal. terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lansia datang dan memanfaatkan pelayanan kesehatan. tujuan penelitian mengetahui pengaruh faktor pengambilan keputusan, sumber pembiayaan, kualitas pelayanan, akses jarak, akses transportasi, persepsi terkait gejala yang mempengaruhi lansia datang ke pelayanan kesehatan. metode yang digunakan adalah studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional. nonprobability sampling dengan teknik accidental sampling. populasinya lansia yang terdaftar di posyandu lansia dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang. partisipan penelitian ini adalah para lansia yang bertemu dengan peneliti saat pengambilan data didapatkan sampel sebanyak 50 responden. instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah disiapkan. hasil analisis data menggunakan chi-square didapatkan ada pengaruh antara pengambilan keputusan (p=0.031), sumber pembiayaan (p=0,021), kualitas pelayanan (p=0.021), akses jarak (p=0.006), akses transportasi (p=0.043) masing-masing terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia. hasil uji multivariat menggunakan regresi logistik didapatkan hasil tidak ada faktor yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia (p>0.05). berdasarkan hasil penelitian, perlu adanya perhatian terhadap pelayanan kesehatan primer khususnya posyandu lansia agar lebih optimal pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia khususnya dalam upaya preventif dan promotif dengan memberdayakan masyarakat setempat melalui kader kesehatan posyandu lansia bekerjasama dengan tim kelompok kerja (pokja) lansia dari puskesmas dan juga tenaga kesehatan yang bertugas di desa. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes panti waluyo malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: lizavinsur.lv@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p189–196 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 190 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 189–196 abstract facilities and infrastructure offer health services through the smallest unit in the community, primary health services (puskesmas) and integrated health services for the elderly (posyandu lansia). however, this utilization of promotive, preventive and curative efforts is still not optimal. there are several factors that influence the utilization of health services. the objectives of this study were which factors that affect the elderly, come to health services in such as: decision-making factors, funding sources, service quality, distance access, transportation access, and perceptions related to the reasons for visits to health services. descriptive research with cross sectional approach was used as a method with non-probability sampling using accidental sampling technique. the population of this study was the elderly community in wonosari hamlet, pandansari village, poncokusumo district, malang regency. a total of 50 research participants joined, and data collection was conducted using a questionnaire prepared as an instrument to collect data. the results of data analysis using chi-square revealed that there was influence in decision making (p = 0.031), funding sources (p = 0.021), service quality (p = 0.021), access distance (p = 0.006), and access transportation (p = 0.043) for the utilization of health services by the elderly. multivariate test results using logistic regression showed that there was no effect on utilization factors (p> 0.05). based on the results of the study, it is necessary to pay attention to primary health services (puskesmas), especially for integrated health services for the elderly (posyandu lansia). therefore, the utilization of health services by the elderly can be optimized, especially in preventive and promotive efforts by empowering local communities through those responsible for integrated health services for the elderly in collaboration with senior working groups from primary health services and health staff on duty in the village. analysis of factors affecting elderly visiting centers of health services article information history article: received, 01/02/2019 accepted, 28/03/2019 published, 01/08/2019 keywords: elderly, influence, utilization, health services 191sri, vinsur, sutiyarsih, analisis faktor yang mempengaruhi lansia... pendahuluan populasi usia lanjut saat ini mengalami pertumbuhan yang pesat. menurut international population reports oleh wan he, et al. (2016), penduduk berusia lebih dari 65 tahun berjumlah 617 juta (8.5%) dari populasi dunia. prosentase ini diproyeksikan meningkat ke hampir 1.6 milyar (17%) pada tahun 2050. indonesia sendiri adalah negara dengan kategori jumlah lansia terbanyak, mencapai 18.1 juta jiwa atau 9.6% (balitbang kemenkes ri, 2013). jumlah lansia di indonesia semakin meningkat setiap tahunnya. pada tahun 1980, lansia berjumlah 5.45% dari total populasi; tahun 2006 menjadi 8.90%; tahun 2010 menjadi 9.77%; tahun 2014 menjadi 10.60% dan diperkirakan pada tahun 2020 menjadi 11.34% dari total populasi (kementerian koordinator bidang pembangunan manusia & kebudayaan republik indonesia, 2015). meningkatnya usia harapan hidup di indonesia, merupakan tanda bahwa pemerintah harus lebih serius dalam meningkatkan program yang berhubungan dengan lansia, terutama kesehatan lansia secara komprehensif agar kesejahteraan lansia semakin baik dan dapat hidup dengan layak (komisi nasional lansia, 2010). peningkatan populasi lansia memberikan banyak tantangan dalam bidang pelayanan kesehatan. populasi lansia mempengaruhi begitu banyak aspek kehidupan masyarakat salah satunya adanya kebutuhan perawatan kesehatan jangka akut dan panjang. masalah kesehatan utama yang dialami populasi lansia di seluruh dunia adalah penyakit tidak menular. hasil laporan menunjukkan salah satu tren utama epidemiologi saat ini adalah munculnya penyakit degeneratif dan kronis di seluruh dunia (suzman and beard, 2011). pelayanan kesehatan bagi para lansia yang telah memasuki masa pensiun dalam bekerja wajib diperlukan dan dengan tujuan agar para lansia sehat dan dapat menjalani aktivitas fisik secara normal. tujuan tersebut dimaksudkan agar tidak menjadi beban tanggungan keluarga serta menekan nilai perekonomian suatu negara yang hilang karena populasi lansia yang tidak terjaga kesehatannya (who, 2017). sarana dan fasilitas dalam pelayanan kesehatan bagi lansia yang telah disediakan oleh pemerintah indonesia melalui satuan terkecil di masyarakat yaitu pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) & pos pelayanan terpadu (posyandu) lansia. salah satu fasilitas dan bentuk peningkatan taraf kesehatan lansia oleh pemerintah adalah menggiatkan kembali program posyandu lansia, dimana dalam program ini fokusnya adalah pelayanan promotif dan preventif, tanpa meninggalkan upaya kuratif dan rehabilitatif (notoatmodjo, 2010). keberhasilan pelayanan kesehatan terhadap lansia baik berupa upaya promotif, preventif dan kuratif melalui sarana dan fasilitas seperti posyandu lansia dan puskesmas ditentukan sebagian besar oleh perilaku dan perspektif lansia itu sendiri yang membentuk sikap dan tindakannya dalam pemilihan pelayanan kesehatan di lingkungannya. faktor-faktor yang berpengaruh pada pemilihan fasilitas kesehatan sering disebabkan oleh: proses pengambilan keputusan (marnah dkk., 2016); kualitas pelayanan, fasilitas, dan biaya pengobatan (aggraheni, dkk., 2012; setyarini, dkk., 2016; purwadi, dkk., 2013); jarak tempuh, (tamimi, 2016; rusmin dkk., 2017; nugraha dkk., 2016); akses layanan (rumengan dkk., 2015); persepsi sehat sakit, (purwadi, dkk., 2013); dan penggunaan asuransi (tamimi, 2016); tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi lansia dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang. bahan dan metode metode yang digunakan adalah studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional. nonprability sampling dengan teknik accidental sampling didapatkan sampel sebanyak 50 responden. partisipan penelitian ini adalah para lansia yang terdaftar di posyandu lansia dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang, pada bulan agustus tahun 2018. variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu variabel pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai variabel dependen dan variabel independennya meliputi: pengambilan keputusan, persepsi terhadap gejala (kerentanan terhadap suatu penyakit), kualitas pelayanan, akses (jarak dan transportasi), sumber pembiayaan. data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat data primer yang diperoleh dari lansia. instrumen atau alat yang digunakan dalam penelitian adalah lembar kuisioner (checklist) yang sebelumnya telah disiapkan. hasil yang diperoleh dari pengolahan data kemudian dianalisis. jenis uji bivariat yang digunakan 192 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 189–196 berdasarkan tabel 1 diatas didapatkan bahwa hasil uji chi-square menunjukkan ada pengaruh faktor pengambil keputusan (p=0.031), kualitas pelayanan (p=0.021), akses jarak (p=0.006), akses transportasi (p=0.043), dan sumber pembiayaan (p=0. 021) da la m mema nfa a tka n pela ya na n kesehatan oleh lansia. tidak terdapat pengaruh faktor persepsi gejala (p=0.088) terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia. uji regresi logistik dilakukan dengan metode backward lr. berdasarkan tabel 2 diatas, bahwa uji variabel independen dalam penelitian ini secara bersama-sama terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia tidak ada yang paling berpengaruh di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang. pembahasan pengaruh pengambil keputusan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh untuk variabel pengambil keputusan adalah 0.031 dengan nilai yaitu uji chi-square. kemudian dilanjutkan analisis regresi logistik. regresi logistik dipilih karena skala pengukuran variabel dependennya berupa variabel kategorik. hasil penelitian variabel independen b p value or (95% ci) persepsi ya tidak 36.844 0.996 0.000 sumber pembiayaan bpjs/asuransi mandiri 36.355 0.998 0.000 tabel 2 hasil uji multivariat variabel independen dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada pemodelan akhir multivariat n (%) n (%) pengambil keputusan ya tidak 418 83.7%16.3% 01 0%100% 0.031 kualitas pelayanan (sarana, sikap, dan tenaga tenakes) ya tidak 427 85.7%14.3% 01 0%100% 0.021 akses (jarak) ya tidak 445 89.8%10.2% 01 0%100% 0.006 akses (transportasi) ya tidak 409 81.6%18.4% 01 0%2% 0.043 persepsi gejala ya tidak 3712 75.5%24.5% 01 0%100% 0.088 sumber pembiayaan bpjs/asuransi mandiri 742 14.3%85.7% 10 100%0% 0.021 tabel 1 hasil analisis bivariat lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang variabel independen memanfaatkan pelayanan kesehatan tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan p value 193sri, vinsur, sutiyarsih, analisis faktor yang mempengaruhi lansia... signifikansi <0.05, maka dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh pengambil keputusa n terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang. hasil penelitian menunjukkan 41 (83.7%) lansia sebagai pengambil keputusan dalam mencari bantuan kesehatan, dengan kata lain lansia pergi ke pelayanan kesehatan atas inisiatifnya sendiri. hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan skinner dalam notoatmodjo (2010), dimana dikatakan perilaku (pengambilan keputusan) merupakan respon atau reaksi seseorang (lansia) terhadap stimulus/rangsangan dari luar, dalam hal ini termasuk perilaku memanfaatkan pelayanan kesehatan. robert c. peck (1955) dalam merriam (1978) menguraikan tugas perkembangan lansia, dimana terjadi pergeseran nilai diri dari peran yang diambil yaitu pertentangan antara peran sebelum memasuki masa lansia dengan saat aktif sebagai lansia sehingga dia memerlukan aktifitas yang setara nilainya. pertentangan yang kedua adalah perbedaan kesadaran akan kondisi tubuh dengan upaya dia untuk mengatasi masalah kondisi tubuhnya. dari 2 hal ini akhirnya mendorong lansia untuk lebih mengambil per an dalam penga mbila n keputusa n terkait kesehatannya dalam hal ini keputusan datang ke pelayanan kesehatan. hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh marnah dkk. (2016) dimana didapatkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam pemanfaatan pelayanan sebagai pendorong perilaku masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. hal ini dapat dikarenakan pengalaman sebelumnya yang dimiliki oleh lansia dalam menggunakan pelayanan kesehatan. hal ini terlihat dari keaktifan lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu lansia. selain itu juga dapat dikarenakan peran serta aktif dari kader posyandu lansia di dusun yang rajin mendatangi lansia dan mengikutsertakan lansia dalam kegiatan posyandu lansia sebulan sekali. pengaruh kualitas pelayanan (sarana, sikap, dan tenaga tenakes) terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan bahwa nilai signifikansi yang didapat untuk variabel kualitas pelayanan adalah p=0.021, dimana nilai signifikansi <0.05. hasil tersebut mengindikasikan bahwa ada pengaruh kualitas pelayanan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia. lawrence green dalam notoatmodjo (2010) menjelaskan terdapat faktor-faktor seseorang berperilaku, salah satunya adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan. hasil penelitian ini sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh handayani (2010) dan wahyuni (2012) yang menyatakan ada hubungan bermakna antara kualitas pelayanan dan keberadaan tenaga kesehatan. kualitas pelayanan disini meliputi ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan. hal ini juga terjadi pada lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang, dimana kenyamanan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dirasakan lansia membuat lansia memanfaatkan pelayanan kesehatan. hal ini terlihat dari hasil penelitian menunjukkan 42 (85,7%) lansia memperhatikan kualitas pelayanan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. pengaruh akses (jarak) terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh untuk variabel akses (jarak) adalah p=0.006 dengan nilai p<0.05, maka dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh akses (jarak) terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang. penelitian oleh ashraf et al. (2015) menyebutka n makin dekat ja rak ke tempat pelayanan kesehatan maka klien lebih cepat datang untuk mendapatkan pertolongan atau tindakan. hal ini juga sesuai dengan yang disampaikan departemen kesehatan ri (2008), bahwa pemilihan pelayanan kesehatan dipengaruhi salah satunya oleh jarak yang jauh (faktor geografis). hal ini dipertegas pula dengan hasil studi yang dilakukan oleh nugraha dkk. (2016), dimana jarak berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan koefisien korelasi (0,517). jarak dusun wonosari menuju ke puskesmas poncokusumo adalah + 15 km. jarak tempuh ini relatif jauh, apalagi bila ditempuh dalam kondisi sakit. lokasi dusun wonosari di daerah lereng gunung 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 189–196 semeru yang selain jaraknya yang jauh juga kontur tanah cenderung berbukit dengan komposisi tanah berpasir sehingga sejumlah 44 (89.8%) lansia mempertimbangkan jarak yang harus ditempuh dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. pengaruh akses (transportasi) terhadap pemilihan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan nilai signifikansi yang diperoleh untuk variabel akses (transportasi) adalah 0.043, oleh karena nilai signifikansi <0.05, maka dapat dinyatakan bahwa ada hubungan antara akses (transportasi) dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia. hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh suryanto, et al. (2017) dimana didapatkan sistem ems sendiri di malang belum berjalan, sehingga tidak tersedia sarana ambulance untuk transportasi membawa (lansia) yang sakit. dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berlokasi di lereng gunung semeru, sehingga akses transportasi umum tidak tersedia. warga hanya mengandalkan berjalan kaki atau kendaraan pribadi, dimana tidak semua warga memiliki kendaraan pribadi. apalagi bila transportasi yang diperlukan untuk membawa lansia yang sakit adalah mobil atau kendaraan beroda empat. lebih sedikit lagi yang memilikinya. hal ini menjadikan pertimbangan bagi lansia dan keluarga untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. dusun wonosari sendiri berada dalam wilayah kerja puskesmas poncokusumo yang wilayah cakupannya se-kecamatan poncokusumo, dimana dalam 1 kecamatan hanya memiliki 1 ambulance. pengaruh persepsi terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh untuk variabel persepsi lansia akan kerentanan penyakit terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah 0.088, oleh karena nilai signifikansi >0.05, maka dapat dinyatakan bahwa tidak ada pengaruh persepsi lansia terhadap kerentanan penyakit dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. menurut jones, et al. (2010) faktor yang ikut berkontribusi dala m pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kesadaran (awareness). kesadaran dimaknai yaitu kesadaran seseorang (lansia) terhadap situasi tertentu dan pemahaman tentang “apa yang harus dilakukan. “ kesadaran merupakan komponen dari proses pemberian informasi melalui persepsi yang berakhir pada pengambilan keputusan dan eksekusi aksi (endsley, 1995). hal ini diperkuat pula dari hasil studi yang dilakukan marnah dkk. (2016) dimana proses pengambilan keputusan dalam pemanfaatan pelayanan mendorong perilaku masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan peserta program keluarga harapan (pkh) di kecamatan paminggir. hasil penelitian menunjukkan yang memiliki beberapa faktor resiko penyakit didapatkan sebanyak 40 (80%) lansia. meskipun mayoritas dari lansia tersebut memiliki faktor resiko 1-3 penyakit tetapi mereka tidak berpersepsi bahwa mereka rentan mengalami penyakit dan saat timbul gejala/ keluhan, lansia masih menggunakan cara-cara tradisional seperti minum teh panas, diolesi minyak, minum jamu dan kerokan. pengaruh sumber pembiayaan (bpjs/asuransimandiri) dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berdasarkan tabel 1 dapat diinterpretasikan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh untuk variabel sumber pembiayaan tethadappemanfaatan pelayanan kesehatan lansia adalah p=0.021, oleh karena nilai signifikansi <0.05, maka dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh sumber pembiayaan terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. hal ini sesuai menurut departemen kesehatan ri (2008), pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh salah satunya biaya atau faktor ekonomi. hal ini diperkuat pula dari hasil studi tamimi (2016) dan napirah (2017), dimana penggunaan asuransi atau pendapatan berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan. sumber pembiayaan kesehatan sejumlah 42 (85.7%) lansia berasal dari mandiri atau tidak mengikuti asuransi pemerintah (bpjs)/swasta. hal ini menjadikan pertimbangan masyarakat dan lansia khususnya ketika memutuskan datang ke pelayanan kesehatan. 195sri, vinsur, sutiyarsih, analisis faktor yang mempengaruhi lansia... faktor yang paling berpengaruh dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang berdasarkan tabel 2 dapat diinterpretasikan bahwa koefisien korelasi sebesar 0.000. sehingga disimpulkan bahwa tidak ada faktor yang paling ber penga r uh da la m pema nfa a ta n pelaya na n kesehatan oleh lansia di dusun wonosari desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang. setyarini dkk. (2016), mengatakan ada hubungan kualitas pelayanan dengan pemanfaatan ulang puskesmas santun lansia. hal ini dikarenakan dari 50 responden dalam penelitian, sebanyak 49 (98%) memanfaatkan pelayanan kesehatan. pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh 98% lansia tersebut dapat terjadi karena pengalaman mereka dalam menggunakan pelayanan kesehatan sebelumnya. pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lebih kepada pengalaman terhadap kualitas pelayanan yang pernah dirasakan oleh lansia. hasil penelitian menunjukkan kualitas pelayanan menjadi pertimbangan 84% lansia. kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil analisis uji bivariat didapatkan ada pengaruh antara pengambilan keputusan (p=0.031), sumber pembiayaan (p=0,021), kualitas pelayanan (p=0.021), akses jarak (p=0.006), akses transportasi (p=0.043) masing-masing terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia. hasil uji multivariat menggunakan regresi logistik didapatkan hasil tidak ada faktor yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia (p>0.05) di dusun wonosari, desa pandansari, kecamatan poncokusumo, kabupaten malang. tidak ada pengaruh persepsi terhadap pemilihan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari, desa pandansari, kecamatan poncokusumo, kabupaten malang. tidak ada faktor yang paling dominan berpengaruh terhadappemilihan pelayanan kesehatan oleh lansia di dusun wonosari, desa pandansari, kecamatan poncokusumo, kabupaten malang. saran perlu adanya perhatian terhadap pelayanan kesehatan primer khususnya posyandu lansia agar lebih optimal pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh lansia khususnya dalam upaya preventif dan promotif dengan memberdayakan masyarakat setempat melalui kader kesehatan posyandu lansia bekerjasama dengan tim kelompok kerja (pokja) lansia dari puskesmas dan juga tenaga kesehatan yang bertugas di desa. daftar pustaka aggraheni, n. v; muhlisin, h. abi; ambarwati. (2012). faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan masyarakat untuk memilih jasa pelayanan kesehatan di rs pku muhammadiyah simo kabupaten boyolali. http://eprints.ums.ac.id/24124/ 10/02_naskah_publikasi.pdf ashraf, maneesh, praveenkumar, saifudheen, & girij. (2015). factors delaying hospital arrival of patients with acute stroke. ann indian acad neurology. 2015 apr-jun; vol. 18 (2), pages: 162-166. doi: 10.4103/0972-2327.150627 balitbang kemenkes ri. (2013). riset kesehatan dasar; riskesdas. jakarta: balitbang kemenkes ri departemen kesehatan ri. (2008). profil kesehatan indonesia. jakarta endsley, m. r. (1995). toward a theory of situation awareness in dynamic systems. human factors: the journal of the human factors and ergonomics society, 37(1), 32–64.https://doi.org/10.1518/ 001872095779049543 handayani, d.e. (2012). pemanfaatan pos pembinaan terpadu oleh lanjut usia di kecamatan ciomas kabupaten bogor tahun 2012 dan faktor yang berhubungan. fkm ui. http://lontar.ui.ac.id/ f i l e ? f i l e = d i g i t a l / 2 0 3 0 0 6 0 0 s 4 2 0 0 8 dewi%20eka%20handayani.pdf jones s, jenkinson a j, leathley m j, and watkins c l. (2010). stroke knowledge and awareness: an integrative review of the evidence. age and ageing. vol. 39; pages: 11-22. doi: 10.1093/ageing/ afp196 kementrian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan republik indonesia. (2015). analisis kebijakan pemberdayaan & perlindungan sosial lanjut usia. jakarta https://media.neliti.com/ media/publications/830-id-analisis-kebijakanpemberdayaan-dan-perlindungan-sosial-lanjutusia.pdf komisi nasional lansia. (2010). profil penduduk usia lanjut 2009. jakarta marnah; husaini; ilmi, bahrul. (2016). analisis perilaku masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan peserta program keluarga harapan (pkh) di kecamatan paminggir. jurnal berkala kesehatan, vol. 1, no. 2, mei 2016: 130-138. https://media.neliti. com/media/publications/255963-analisis-perilakumasyarakat-dalam-peman-b956058c.pdf. 196 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 189–196 merriam, s. (1978). middle age: a review of the literature and its implications for educational intervention. adult education, 29(1), 39–54. https://doi.org/ 10.1177/074171367802900103 napirah, muh. ryman; rahman, abd.; tony, agustina. (2017). faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di wilayah kerja puskesmas tambarana kecamatan poso pesisir utara kabupaten poso. jurnal pengembangan kota vo. 4, no. 1 (2016). https://ejournal2.undip.ac.id/ index.php/jpk/article/view/585/html. doi: http:// dx.doi.org/10.14710/jpk.4.1.29-39 notoatmodjo. (2010). ilmu perilaku kesehatan. jakarta: pt rineka cipta nugraha, n.a; wulandari, i.s; adi, g.s. (2016). kualitas pelayanan kesehatan lansia di kota yogyakarta (studi kasus pelayanan kesehatan pada puskesmas mantrijeron). http://digilib.stikeskusumahusada. ac.id/files/disk1/35/01-gdl-novaagungn-1743-1artikel-a.pdf purwadi, h; hadi, h; hasan, m.nur. (2013). faktor yang mempengaruhi pemanfaatan posyandu lansia di imogiri kabupaten bantul. journal ners and midwifery indonesia. jnki, vol. 1, no. 3, tahun 2013, 76-81. issn 23547642. ht tps://www. researchgate.net/publication/307445752_faktor_ yang_mempengaruhi_pemanfaatan_posyandu_ lansia_di_imogiri_ka bupaten_bantul. doi: 10.21927/jnki.2013.1(3).76-81 rumengan, d. s. s., umboh, j. m. l., & kandou, g. d. (2015). faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada peserta bpjs kesehatan di puskesmas paniki bawah kecamatan mapanget kota manado. jikmu, 5(1), 88-100. retrieved from http://ejournal.unsrat.ac.id/ index.php/jikmu/article/view/7180 rusmin, m; bujawati, e; baso, n.h. (2017). faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan posyandu lansia di wilayah kerja puskesmas somba opu kabupaten gowa tahun 2015. al-sihah: public health science journal. vo. 9, no. 1, hal. 9-18, tahun 2017. doi: https://doi.org/10.24252/as.v9i1.2978 tamimi, n. (2016). pemanfaatan pelayanan kesehatan bagi kelompok lanjut usia (lansia) (analisis data ifls4/sakerti 2007). ugm repositotory. http:// etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian _detail&sub=penelitian detail&act=view&typ= html&buku_id=94960&obyek_id=4 setyarini, r; arso, s.p; suparwati, a. (2016). faktor – faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan ulang puskesmas santun lansia karangdoro kota semarang tahun 2016. jurnal kesehatan masyarakat (e-journal) volume 5, nomor 2, april 2017 (issn: 2356-3346). http://ejournal-s1.undip.ac.id/ index.php/jkm suryanto; boyle, m; plummer, v. (2017). the pre-hospital and healthcare system in malang, indonesia. australasian journal of paramedicine, [s.l.], v. 14, n. 2, apr. issn 2202-7270. available at: . suzman, richard phd and beard, john mbbs, phd. (2011). global health and aging. national institute on aging. national institutes of health. nih publication no. 11-7737. october 2011. world health organization. wan he, daniel goodkind, and paul kowal. (2016). u.s. census bureau, international population reports, p95/16-1, an aging world: 2015, u.s. government publishing office, washington, dc. world health organization. (2017). global strategy and action plan on ageing and health 2016-2020. switzerland. isbn 978-92-4-151300-0. https:// www.who.int/ageing/gsap-summary-en.p 239ristanti, zuwariah, penerapan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan ... 239 penerapan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan insiden kegawatdaruratan obstetri di pusat pelayanan primer adenia dwi ristanti1, nur zuwariah2 1,2fakultas keperawatan dan kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 25/11/2019 disetujui, 09/06/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: manajemen, kegawatdaruratan, obstetric, pelayanan primer abstrak indonesia merupakan suatu negara berkembang dengan masalah kesehatan yang masih menjadi perhatian khusus yaitu aki yang masih tinggi. sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara berkembang. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetric dengan insiden kegawatdaruratan obstetric di pusat pelayanan primer. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif desain diskriptif fenomenologi serta restropective. penelitian dilakukan di puskesmas jagir bulan april sampai juli 2019 informan utama yaitu bidan. pengumpulan informan dengan teknik wawancara mendalam, studi dokumentasi serta observasi. hasil penelitian ini sesuai dengan pedoman system rujukan nasional bahwa evaluasi internal perlu dilakukan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan, memperbaiki ketaatan pelaksanaan rujukan oleh fasilitas kesehatan, memperbaiki serta mengevaluasi sarana sdm dipelayanan kesehatan. semua informan dalam manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan insiden kegawatdaruratan obstetri di pusat pelayanan primer sudah cukup baik. semua informan dalam pengetahuan tentang manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan insiden kegawatdaruratan obstetri di pusat pelayanan primer sudah cukup baik. pengetahuan sistem rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric informan sudah baik. sarana dan prasarana yang tersedia di puskesmas sudah tersedia lengkap sesuai standar minimal untuk kegawatdaruratan obstetric dan dalam kondisi yang baik. sop sudah sesuai dengan protap yang ada. surat pengantar rujukan, transportasi, penyerahan tanggung jawab sudah sesuai dan baik. semua informan telah melakukan pencatatan serta pelaporan terkait kasus rujukan yang dilakukan. mayoritas informan telah melakukan evaluasi internal untuk menilai apakah prosedur rujukan yang telah dilakukan sudah cukup baik. diharapkan penelitian ini menjadi sumber referensi pengembangan ilmu kebidanan untuk meningkatkan kualitas pemberian asuhan kebidanan khususnya pada layanan kebidanan. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p239-246&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 240 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 239–246 correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: adeniadr@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p239–246 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ history article: received, 25/11/2019 accepted, 09/06/2020 published, 05/08/2020 keywords: management, emergency, midwifery, primary service article information abstract indonesia is a developing country with health problems that are still of particular concern, namely the high maternal mortality rate. as many as 99% of maternal deaths due to childbirth or birth problems occur in developing countries. this study aims to analyze the effect of obstetric emergency referral management with obstetric emergency incidents at the primary service center. this study uses a qualitative approach to phenomenological and restropective descriptive design. the study was conducted at the jagir puskesmas from april to july 2019, the main informant was the midwife. the gathering of informants with in-depth interview techniques, documentation studies and observations. the results of this study are in accordance with the national referral system guidelines that internal evaluation needs to be done in order to improve the quality of services, improve compliance with referral services by health facilities, improve and evaluate human resource facilities in health services. all informants in obstetric emergency referral management with obstetric emergency incidents in primary care centers are good enough. all informants in knowledge of obstetric emergency referral management with obstetric emergency incidents in primary care centers are good enough. knowledge of the obstetric emergency case referral system is good. facilities and infrastructure available at the puskesmas are fully available according to the minimum standards for obstetric emergencies and in good condition. standard operational procedures are in accordance with existing procedures. cover letter of reference, transportation, handover of responsibilities is appropriate and good. all informants have recorded and reported related to the case of referral that was carried out. the majority of informants have conducted internal evaluations to assess whether the referral procedures that have been carried out are good enough. it is hoped that this research will become a reference source for developing midwifery to improve the quality of midwifery care, especially in midwifery services. © 2020 jurnal ners dan kebidanan the application of obstetrics referral emergency management with the obstetric emergency incident at the primary service center pendahuluan indonesia merupakan suatu negara berkembang dengan masalah kesehatan yang masih menjadi perhatian khusus yaitu aki (angka kematian ibu) yang masih tinggi (ristanti, 2017). untuk menanggulangi aki yang masih tinggi pemerintah telah mencana ngkan progra m millenium development goals (mdgs) target kelima yaitu menurunkan aki (kesehatan and indonesia, 2017). tetapi, program tersebut masih belum efektif disebabkan aki di indonesia pada tahun 2015. lima penyebab aki terbesar adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (hdk), infeksi, partus lama/macet dan abortus. kematian ibu di indonesia tetap didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (hdk), dan infeksi (ristanti, 2017). https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p239-246 241ristanti, zuwariah, penerapan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan ... menurut who (world health organisation), sebanyak 536.000 perempuan meninggal akibat persalinan. sebanyak 99% kematian ibu akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negaranegara berkembang (world health organization, 2018). berdasarkan survei penduduk antar sensus (supas) masih 305 per 100.000 per kelahiran hidup pada tahun 2030 (kesehatan and indonesia, 2017). salah satu indikator keberhasilan upaya kesehatan ibu dapat dilihat dari jumlah aki (kemp, 2016). aki merupakan jumlah kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan, dan nifas yang disebabkan kehamilan, persalinan, nifas ataupun pengelolaannya bukan karena sebab lain seperti kecelakaan di setiap 100.000 kelahiran hidup (bateman, 2018). indicator hanya mampu menilai program kesehatan ibu, melainkan juga mampu menilai derajat kesehatan masyarakat, oleh karena sensitifitasnya terhadap perbaikan pelayanan kesehatan, baik dari sisi kualitas dan aksibilitas (al-shahethi, ahmad and alserouri, 2018). tingginya aki di indonesia berkaitan dengan kondisi ekonomi, perilaku budaya masyarakat, geografis, terlambat dirujuk ke fasilitas kesehatan, terlambat pengambil keputusan serta terlambat mendapatkan pelayanan adekuat ditempat rujukan dan penyebab langsung berkaitan dengan kondisi kesehatan ibu sejak kehamilan, persalinan, serta nifas. klasifikasi aki dibagi menjadi tiga yaitu kematian ibu langsung, kematian ibu tidak langsung serta kematian ibu non maternal. kematian ibu langsung terdiri dari kematian ibu dengan insiden penyulit obstetri pada kehamilan, persalinan atau masa nifas, serta akibat dari kelalaian, kesalahan terapi, intervensi atau rangkaian insiden yang disebutkan oleh faktor-faktor tersebut misalnya kematian ibu dengan perdarahan rupture uteri. kematian ibu tidak langsung mencangkup kematian ibu yang secara tidak langsung disebabkan oleh obstetric melainkan disebabkan oleh penyakit yang dusah adaa sebelum kehamilan atau timbul pada saat kehamilan, melahirkan, serta nifas dipengaruhi oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilannya. misalnya kematian ibu dengan stenosis mitral. kematian non maternal merupakan kematian ibu dengan insiden kausa incidental atau kecelakaan tidak berkaitan dengan kehamilan misalnya kematian akibat dari kecelakaan lalu lintas (neggers, 2016). upaya untuk menurunkan aki salah satunya diperlukannya suatu system rujukan efektif terutama pada kasus kegawatdaruratan. menurut permenkes no 1 tahun 2012 mengenai sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan dijelaskan layanan rujukan mengacu prinsip ketepatan dan kecepatan tindakan, efesien serta efektif sesuai dengan kewenangan dan kemampuan petugas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan dengan demikian pada system rujukan obstetric harus memenuhi kriteria tersebut. berdasarkan fenomena tentang manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetric dengan insiden kegawatdaruratan obstetric yang dapat mengakibatkan atau meningkatkan angka kematian ibu maka, hal ini merupakan masalah yang urgent. mengingat luasnya faktor penyebab yang mempengaruhi manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetric dan keterbatasan kemampuan, waktu, tenaga, kesesuaian kompeten dan jumlah kasus. apabila di lakukan kemungkinan akan membawa manfaat baik bagi responden maupun institusi. oleh karena itu peneliti tertarik untuk membahas dan mempelajari lebih dalam tentang manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetric. berdasarkan fenomena diatas maka peneliti tertarik mengambil judul penelitian dengan judul “penerapan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetric dengan insiden kegawatdaruratan obstetric di pusat pelayanan primer”. bahan dan metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif desain diskriptif fenomenologi serta restropective. teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. penelitian dilakukan di wilayah kerja puskesmas jagir dari bulan april sampai juli 2019 informan utama yaitu bidan. kriteria partisipan atau subyek yaitu informan utama bidan di wilayah kerja puskesmas jagir serta informan pendukung yaitu ibu dengan riwayat kegawatdaruratan obstetri yang dirujuk ke rumah sakit, serta bidan coordinator puskesmas jagir. kriteria inklusi informan yaitu bidan di wilayah kerja puskesmas jagir, bidan yang menangani rujukan, bidan bersedia menjadi responden pada penelitian ini. kriteria eklusi informan yaitu bidan menolak menjadi informan. teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu wawancara mendalam serta dokumentasi. analisis pada penelitian ini mengadopsi model miles dan hubberman dalam sugiyono terdiri dari reduksi data, penyajian data serta kesimpulan. 242 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 239–246 hasil penelitian jumlah informan pada penelitian ini sebanyak 15 orang terdiri dari 1 orang bidan coordinator, 5 orang bidan dirumah sakit rujukan, 5 orang bidan puskesmas jagir, 4 orang ibu dengan rujukan obstetric ginekologi. pengetahuan tentang manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan insiden kegawatdaruratan obstetri di pusat pelayanan primer hasil wawancara mendalam dengan 5 orang informan di puskesmas jagir didapatkan kegawatdaruratan obstetri dengan insiden kegawatdaruratan obstetric bisa di deteksi jika sering diperiksakan di bpm atau puskesmas. hal ini dapat dikutip dari 5 informan bidan puskesmas jagir “ kasus kegawatdaruratan obstetri yang harus dirujuk yaitu kasus patologis yang paling sering yaitu kpp, eklamsia, prolong fase aktif, retensio plasenta, letsu, cpd serta fetal distress” “kalau kita tidak memiliki kompetensi untuk menangani pasien tersebut langsung rujuk ke rs” konfirmasi bidan coordinator puskesmas jagir menjelaskan bahwa pengetahuan yang dimilki oleh bidan dalam mendeteksi kegawatdaruratan obstetric ke rumah sakit sudah bagus. pengetahuan sistem rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric hasil wawancara mendalam dengan 5 orang informan di puskesmas jagir didapatkan sistem rujukan merupakan dari puskesmas jagir ke rumah sakit. kewenangan bidan hanya persalinan normal atau fisiologis seperti yang dikemukakan informan sebagai berikut: “kalau dipuskesmas tidak bisa ditangani langsung merujuk kerumah sakit” “semua produktif terutama seniornya dan bidan coordinator langsung gesit” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan koordinator puskesmas jagir menjelaskan system rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric ke rumah sakit yaitu adanya masalah persalinan yang tidak bisa ditangani di puskesmas dirujuk ke rumah sakit. kriteria tempat praktik memadai tersedia tempat persalinan yang memadai tersedia tempat penyimpanan obat dan alat medis sesuai standar tersedia peralatan dasar hecting set infus set rl (500 ml) nacl 0,9% (500 ml) dextran 70,6% (500 ml) matil ergometrin meleat inj 0,2 mg (1 ml) metil ergometrin meleat tablet 75 mg (tablet) oksitosin inj 10 iu misoprostol tablet tranfusi set dewasa kateter intravena no 18g kateter folley no 18 kantong urine dewasa disposable seringe 3 ml disposabel seringe 5 ml no 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 sumber: buku kajian bidan delima halam 3–14 tabel 1 sarana dan prasarana inf 5 inf 5 inf 5 inf 5 inf 5                                                                                                sarana dan prasarana 243ristanti, zuwariah, penerapan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan ... hasil wawancara mendalam dengan informan bidan dipuskesmas jagir sarana dan prasarana di puskesmas sudah memenuhi untuk melakukan pertolongan pada kegawatdaruratan obstetric ginekologi. hal ini didapat dari hasil wawancara sebai berikut: “jelas untuk emergency kit, infus set, cairan, needle untuk tranfusi, metergin, tabung o2 ada di ambulance juga” “untuk emergency kit semua puskesmas dan bidan disini punya. itu isinya infus set, tranfusi set, tabung o2, misoprostol” sop (standar operasional prosedur) berdasarkan pernyataan informan bidan puskesmas jagir mengenai sop untuk kegawatdaruratan obstetric, didapatkan informasi bahwa seluruh bidan menyesuaikan pertolongan dengan kasus yang dtangani serta disesuaikan dengan protap puskesmas. hal ini didapatkan pada kutipan wawancara mendalam sebagai berikut: “…kita lihat dulu kasus kegawatdaruratan obstetrinya serperti apa, kita ada protap sesuai dengan protap dipuskesmas ini…” “…itu sop ditempel druang bersalin, komplit bisa dilihat…” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan koordinator puskesmas jagir menjelaskan sop untuk kegawatdaruratan obstetric menyusuaikan kasusnya dan sesuai protap puskesmas jagir. surat pengantar rujukan hasil wawancara mendalam dengan 5 informan bidan puskesmas jagir diperoleh seluruh informan membuat rujukan. hal ini dapat dikutip dari hasil wawancara mendalam sebagai berikut: “…ada mbak seperti ini (sambil menunjukkan surat rujukan yang sudah terisi)…” “…harus ada surat rujukan itu wajib. kalau tidak ada pasti ditegur dengan rumah skait rujukan…” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan coordinator puskesmas jagir menjelaskan surat pengantar rujukan ada dan di isi sesuai kasus yang akan dirujuk. transportasi berdasarkan hasil wawancara dengan informan bidan puskesmas jagir bahwa selurruh informan mendapingi pasien pada saat merujuk ke rumah sakit. hal ini ini didapatkan pada kutipan wawancara mendalam sebagai berikut: “…kalau dsini menggunakan ambulance puskesmas, kebetulan ada yang ready apabila sewaktu-waktu diperlukan…” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan coordinator puskesmas jagir menjelaskan transportasi di puskesmas jagir menggunakan ambulance puskesmas yang selalu stanby. penyerahan tanggung jawab berdasarkan hasil wawancara dengan informan bidan puskesmas jagir bahwa seluruh informan melakukan serah terima pasien dengan pihak rumah skait selanjutnya setelah serah terima selesai barulah bidan meninggalkan rumah sakit. hal ini ini didapatkan pada kutipan wawancara mendalam sebagai berikut: “…langsung menyerahkan kepada pihak rumah sakit, selanjutnya menunggu hasil dari rumah sakit, hasilnya bagaimana…” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan coordinator puskesmas jagir menjelaskan seluruh bidan melakukan serah terima pasien dengan pihak rumah skait selanjutnya setelah serah terima selesai barulah bidan meninggalkan rumah sakit. pencatatan berdasarkan hasil wawancara dengan informan bidan puskesmas jagir bahwa seluruh informan melakukan pencatatan pada buku register khusus. hal ini ini didapatkan pada kutipan wawancara mendalam sebagai berikut: “…rujukan haris dicatat dibuku register untuk laporan puskesmas…” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan coordinator puskesmas jagir menjelaskan seluruh informan sudah melakukan pencatatan. 244 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 239–246 pelaporan ber da sa r ka n ha sil wa wa nca r a denga n informan bidan puskesmas jagir bahwa seluruh informan melakukan pelaporan tetrtulis setiap melaukakn rujukan ke rumah sakit. hal ini ini didapatkan pada kutipan wawancara mendalam sebagai berikut: “…lapor secara lisan d grub wa, ada bukunya laporan dibuku itu kmeudian d evaluasi setiap akhir bulan…” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan coordinator puskesmas jagir menjelaskan seluruh informan sudah melakukan pelaporan baik di wa group atau buku pelaporan. evaluasi berdasarkan hasil wawancara dengan informan bidan puskesmas jagir bahwa seluruh informan sudah melakukan evaluasi. hal ini ini didapatkan pa da kutipa n wa wa nca ra menda lam sebagai berikut: “…merujuk pasien penanganan sudah sesuai belum. evaluasinya sesuai sop yang sudah tepat belum…” hasil ini sesuai dengan konfirmasi bidan coordinator puskesmas jagir menjelaskan seluruh informan sudah melakukan evaluasi. pembahasan pengetahua n tentang manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan insiden kegawatdaruratan obstetri di pusat pelayanan primer pengetahauan bidan puskesmas mengenai manajemen rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric sudah baik, mencangkup pengertian, tanda kegawatdaruratan obstetric yang perlu dirujuk maupun tidak hal ini dikarenakan semua bidan puskesmas berlatar pendidikan diii dan div kebidanan pengetahuan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetric merupakan kasus yang harus segera ditangani apabila terjadi keterlambatan akan berakibat pada kematian ibu dan janin (wheaton, aws al-abdullah and haertlein, 2019). penyebab utama manisfesta si klinik kegawatda rur atan obstetric berbeda-beda yaitu: (1) perdarahan: bermanifestasi mulai perdarahan berwujud bercak, mrembes, profus hingga syok; (2) infeksi dan sepsis: bermanisfestasi dari pengeluaran cairan pervaginam yang berbau, air ketuban berbabu, serta demam hingga syock; (3) kasus hipertensi serta preeklamsia/eklamsia: bermanifestasi mulai dari keluhan pusing, bengkak, penghelihatan kabur, kejang-kejang hingga koma; (4) kasus persalinan macet : manisfestasi berawal dari kemajuan persalinan tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal sesuai partograf serta resiko terjadinya rupture uteri (wheaton, a. al-abdullah and haertlein, 2019). hasil penelitian ini sejalan dengan permenkes 1464 tahun 2010 bahwa bidan dalam menjalankan praktik atau kerja senantiasa meningkat mutu pelayanan profesinya dengan mengikuti perkembangan ilmu pngetahuan serta teknologi pelatihan dan pendidikan sesuai dengan bidangnya. pengetahuan system rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric system rujukan merupakan suatu system penyelenggaraan pelayanan dengan pelaksanaan pelimpahan tanggung jawab timbal balik pada kasus penyakit atau masalah kegawatdaruratan obstetric secara vertical dalam arti dalam unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang berkemampuan lebih secara horizontal antar unit-unit yang setingkat kemampuannya. prosedur system rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric teridir dari (1) komunikasi antara perujukdengan tempat yang dirujuk via telpon; (2) persiapan rujukan yang memadai (identifikasi data/bersalin/nifas ijin rujukan atau tindakan lain yang dilakukan, transportasi rujukan); (3) penerangan kepada keluarga pasien mengenai kasus yang diduga atau ditemukan; (4) stabilisasi keadaan pasien (pemberian o2, cairan infus, serta obat-obatan). sarana dan prasarana pada penelitian ini terkait dengan sarana dan prasarana diperoleh hasil semua perlatan yang tersedia di puskesmas terutama penunjang rujukan obstetric seperti peralatan medis serta sarana transportasi sudah tersedia. selain itu juga terdapat emergency kit yang dapat digunakan pada kasus emergency. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh weathon (2019) diperoleh hasil kesediaan transportasi mempermudah pelaksanaan rujukan yang dilakukan bidan puskesmas. permenkes 1464 serta buku kajian delima menyebutkan terdapat obat-obatan serta obat-obatan yang wajib tersedia di fasilitas kesehatan diantaranya infus set, 245ristanti, zuwariah, penerapan manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan ... oksitosin, rl, ergometrin, misoprostol serta sarana transportasi untuk melakukan penatalaksanaan serta mer ujuk pa sien kega wa tda rur a ta n obstetr ic (wheaton, aws al-abdullah and haertlein, 2019). sop (standar oprasional prosedur) standar oprasional prosedur (sop) dalam melakukan penanganan serta rujukan terhadap pasien kegawatdaruratan obstetric sebagai acuan dalam melakukan rujukan menyesuaikan dengan kasus yang ditangani sesuai dengan protap yang a da . semua bidan dipuskesma s menya ta ka n keberadaan protap sangat membatu sebab bidan bisa melihat protap yang ditempel pada dinding apabila terjadi kasus emergency. hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh moran n (2015) mendukung penelitian ini menyebutkan bahwa protocol standar yang meliputi langkah-langkah stabilisasi pasien, tanda bahaya serta batas kewenangan sangat dibutuhkan agar bisa memutuskan kapan pasien harus dirujuk serta bisa mengenali tanda bahaya pasien tepat waktu (moran et al., 2015). surat pengantar rujukan surat pengantar rujukan diperoleh hasil yaitu bidan puskesmas telah membuat surat rujukan sebelum merujuk pasien sesuai protap yang ada. hasil penelitian ini sesuai dengan permenkes 001 tahun 2012 mengenai system rujukan pelayanan kesehatan perorangan pasal 12 © menyebutkan bahwa perujuk sebelum melakukan rujukan harus membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan yang berisi identitas pasien, hasil pemeriksaan, diagnosis dan terapi atau tindakan yang telah diberikan. transportasi hasil penelitian ini sesuai dengan permenkes nomor 001 tahun 2012 tentang system rujukan pelayanan kesehatan perorangan pasal 16 (1) dan (3) menyebutkan bahwa transportasi untuk rujukan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien serta ketersediaan sarana transportasi. dalam hal ini tersedia ambulans pada fasilitas pelatanan perujuk, rujukan dapat dilakukan dengan menggunakan alat transportasi yang layak. penelitian ini di dukung oleh al-shahethi (2018) menyebutkan bahwa tersedianya ambulance akan meminimalkan keterlambatan proses rujukan serta mempercepat memperoleh akses rujukan (al-shahethi, ahmad and al-serouri, 2018). penyerahan tanggung jawab hasil penelitian ini sesuai dengan permenkes nomor 001 tahun 2012 mengenai system rujukan pelayanan kesehatan perorangan pasal 12 (1) dan (2) menyebutkan bahwarujukan dianggap telah terjadi apabila pasien telah diterima oleh penerima rujukan. penerima rujukan bertanggung jawab untuk melakukan pelayanan kesehatan lanjutan sejak menerima rujukan. pencatatan berdasarkan hasil studi dokumentasi yang telah dilkukan oleh peneliti diperoleh hasil bahwa puskesmas memiliki dokumen berupa informed consent, buku register ibu, rekamedis pasien, seurat pengantar rujukan serta partograf. berdasarkan studi dokumentasi juga diperoleh informasi seua dokumen tersebut telah terisi dengan rapi serta baik. data pribadi pasien, tindakan yang diberikan serta obat yang sudah diberikan kepada pasien yang ada didalamnya juga terisi jelas dan lengkap. penelitian ini sesuai dengan permenkes nomor 001 tahun 2012 mengenai system rujukan pelayanan kesehatan perorangan pasal 19 (2) pencatatan dan pelaporan harus dilakukan oleh perujuk maupun penerima rujukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. pelaporan hasil penelitian ini sesuai dengan permenkes nomor 1464 tahun 2010 izindan penyelenggaran praktik bidan pasal 18 (h) 20 (2) menyatakan bahwa dalam melakukan praktik atau kerja bidan berkewajiban melukukan pencatatan serta pelaporan kelahiran serta kematian. evaluasi hasil penelitian ini sesuai dengan pedoman system rujukan nasional menyebutkan bahwa evaluasi internal perlu dilakukan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan, dan memperbaiki ketaatan pelaksanaan rujukan oleh fasilitas kesehatan, memperbaiki serta mengevaluasi sarana serta sdm dipelayanan kesehatan. 246 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 239–246 kesimpulan semua informan dalam pengetahuan tentang manajemen rujukan kegawatdaruratan obstetri dengan insiden kegawatdaruratan obstetri di pusat pelayanan primer sudah baik. pengetahuan system rujukan kasus kegawatdaruratan obstetric informan sudah baik. sarana dan prasarana yang tersedia di puskesmas jagir sudah tersedia lengkap sesuai standar minimal untuk kegawatdaruratan obstetric dan dalam kondisi yang baik. sop (standar oprasional prosedur) sudah sesuai dengan protap yang ada. surat pengantar rujukan, transportasi serta penyerahan tanggung jawab sudah sesuai dan baik. semua informan telah melakukan pencatatan serta pelaporan terkait kasus rujukan yang dilakukan. mayoritas informan telah melakukan evaluasi internal untuk menilai apakah prosedur rujukan yang telah dilakukan sudah tepat. saran untuk keilmuan, diharapkan hasil penelitian ini menjadi sumber referensi dalam pengembangan ilmu kebidanan untuk meningkatkan kualitas pemberian a suha n kebida na n khususnya pa da la ya na n kebidanan. untuk peneliti, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan berbeda. untuk bidan, diharapkan pengetahuan yang dimiliki bidan puskesmas semakin bertambah dengan adanya pelatihan sehingga penjaringan kegawatdaruratan obstetric yang membutuhkan rujukan ke rumah sakit meningkat. daftar pustaka al-shahethi, a. h., ahmad, r. and al-serouri, a. w. a. (2018) ‘maternal , prenatal and traditional practice factors associated with perinatal mortality in yemen’, women and birth. australian college of midwives. doi: 10.1016/j.wombi.2018.06.016. bateman, b. t. (2018) ‘what’s new in obstetric anesthesia: a focus on maternal morbidity and mortality’, international journal of obstetric anesthesia, (september). doi: 10.1016/j.ijoa.2018.09.004. kemp, b. (2016) ‘maternal mortality in the uk/ : an update’, obstetrics, gynaecology & reproductive medicine. elsevier ltd, pp. 2015–2017. doi: 10.1016/ j.ogrm.2015.11.003. kesehatan, k. and indonesia, r. (2017) profil kesehatan indonesia tahun 2017. edited by kem en tr ia n keseha ta n in donesi a. jakar ta : kementrian kesehatan indonesia. moran, n. f. et al. (2015) ‘best practice & research clinical obstetrics and gynaecology reducing maternal mortality on a countrywide scale/ : the role of emergency obstetric training’, best practice & research clinical obstetrics & gynaecology. elsevier ltd, 29(8), pp. 1102–1118. doi: 10.1016/ j.bpobgyn.2015.08.002. neggers, y. h. (2016) ‘trends in maternal mortality in the united states’, reproductive toxicology. elsevier inc., pp. 1–5. doi: 10.1016/j.reprotox.2016.04.001. ristanti, a. d. (2017) ‘2 nd international conference on applied science and health the correlation between parity and baby weight to the 2 nd international conference on applied science and health’, pp. 115–120. wheaton, n., al-abdullah, a. and haertlein, t. (2019) ‘late pregnancy and postpartum emergencies’, emergency medicine clinics of north america. elsevier, 37(2), pp. 277–286. doi: 10.1016/ j.emc.2019.01.013. wheaton, n., al-abdullah, aws and haertlein, t. (2019) ‘postdelivery emergencies’, emergency medicine clinics of north america. elsevier, 37(2), pp. 287– 300. doi: 10.1016/j.emc.2019.01.014. world health organization (2018) world health statistics 2018. 2018th edn. switzerland: who. 301septina, hubungan upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas dengan ... 301 hubungan upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja yona septina prodi kebidanan, stikes kuningan, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 17/01/2020 disetujui, 10/06/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: upaya ibu, masa pubertas, perilaku seksual remaja abstrak rendahnya kontrol orang tua terhadap prilaku seksual remaja dapat menyebabkan remaja melakukan prilaku seksual yang beresiko. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja di desa sukamantri kecamatan sukamantri kabupaten ciamis tahun 2016. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja awal usia 12 sampai 15 di desa sukamantri kecamatan sukamantri kabupaten ciamis tahun 2016 sebanyak 1.113 orang. ukuran sampel yang digunakan adalah sebanyak 92 orang dengan cara random sampling dan menggunakan rumus slovin. instrumen penelitian menggunakan angket dengan skala guttman. uji hipotesis menggunakan uji chi-square. hasil penelitian menunjukan bahwa upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas di di desa sukamantri kabupaten ciamis termasuk kategori baik 53,3% dan kurang 46,7%. perilaku seksual remaja di desa sukamantri kabupaten ciamis termasuk kategori baik 56,5% dan buruk 43,5%. hubungan upaya ibu mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja di desa sukamantri kabupaten ciamis dengan nilai c2 = 80,644 dengan derajat kebebasan (df) 1 dan p-value atau sig 0,000, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara upaya ibu dalam mempersiapkan pubertas dengan dengan prilaku seksual remaja sehingga peran ibu dalam mempersiapkan masa remaja sangat penting untuk dilakukan. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 17/01/2020 accepted, 10/06/2020 published, 05/08/2020 keywords: mother efforts, for puberty, teenage sexual behavior article information abstract low parental control over adolescent sexual behavior can cause teens to engage in risky sexual behavior. this study aims to determine the relationship of maternal efforts in preparing for puberty with adolescent sexual behavior in sukamantri village, sukamantri district, ciamis regency in 2016. this research is a descriptive analytic study. the population in this study were all early teens aged 12 to 15 in sukamantri village, sukamantri district, ciamis regency in 2016 as many as 1,113 people. the sample size used was as many as 92 people by random sampling and using the slovin relationship between mother’s efforts in preparing puberty with teenage sexual behavior https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p301-306&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 302 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 301–306 correspondence address: stikes kuningan – west java, indonesia p-issn : 2355-052x email: yonaseptina1993@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p301–306 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan masa remaja merupakan masa transisi yang unik, banyak perubahan yang dapat terjadi, diantaranya fisik, psikologi dan sosial, pada masa ini hormon seksual sudah mulai berfungsi hal ini dapat mendorong remaja melakukan prilaku seksual (mahmudah et al., 2016). menurut cdc (center of disease control) dalam penelitian yang dilakukan pada beberapa orang pelajar sma di us tahun 2011, sekitar 47,4% pelajar pernah melakukan hubungan seksual (georgia, 2013). di indonesia hasil survey kesehatan reproduksi remaja indonesia (skrri) 2012 didapatkan hasil bahwa 29,5% remaja laki laki 6,2% remaja perempuan pernah meraba atau merangsang pasangannya, 48,1% remaja laki-laki dan 29,3% remaja perempuan pernah mencium bibir, serta 79,6% remaja laki-laki dan 71,6% remaja perempuan pernah berpegangan tangan dengan pasangannya (mahmudah et al., 2016). ada beberapa faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya prilaku seksual pada remaja yaitu diantaranya harapan untuk menikah diusia yang relative kecil (20 tahun) dan semakin banyaknya informasi yang dapat menimbulkan hasrat seksual pada remaja (wahyuni & fahmi, 2019), faktor lain yang berpengaruh adalah usia pubertas, jenis kelamin, pengawasan orang tua, tingkat pengetahuan tentang reproduksi, dan sikap terhadap berbagai prilaku seksual (mahmudah et al., 2016). orang tua adalah panutan dan tauladan yang sela lu dijumpai anak pada setia p waktu dan kesempatan dalam keluarga maka orang tua harus melakukan upaya untuk mempersiapkan masa pubertas (dewi et al., 2012). dan orang tua merupakan kunci strategi dalam mengatasi segala masalah yang dihadapi oleh sang anak. mengatakan bahwa mendidik, mendewasakan anak dan memberikan upaya-upaya dalam menghadapi pubertas adalah tugas dan tanggung jawab orang tua yang sudah menjadi suatu naluri atau instink (animal instinc), karena proses keberadaan sang anak serta pembentukka n sifa t da n ka r akternya semua terpulang pada orang tua (rifai, 2018). pada studi pendahuluan yang dilakukan penulis dengan cara wawancara pada 20 remaja di desa sukamantri kecamatan sukamantri kabupaten ciamis pada tanggal 30 agustus 2016 diketahui bahwa hampir 50 % nya dari remaja putra dan putri telah melakukan perilaku seksual remaja. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang keadaan tertentu dari setiap variabel penelitian secara objektif kemudian dilanformula. the research instrument used a guttman scale questionnaire. hypothesis testing uses the chi-square test. the results showed that maternal efforts in preparing for puberty in sukamantri village, ciamis regency were in the good category of 53.3% and less than 46.7%. adolescent sexual behavior in sukamantri village, ciamis regency is included in the good category 56.5% and 43.5% bad. the relationship between maternal efforts to prepare for puberty with adolescent sexual behavior in sukamantri village, ciamis regency with a value of c2 = 80,644 with degrees of freedom (df) 1 and p-value or sig 0,000, it can be concluded that there is a significant relationship between maternal efforts in preparing puberty with adolescent sexual behavior so that the role of mothers in preparing for adolescence is very important to do. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p301-306 303septina, hubungan upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas dengan ... jutkan dengan uji statistic untuk menguji hipotesis penelitian (prof. dr. suryana, 2012). pendekatan penelitianya adalah cross sectional karena diambil dalam waktu yang bersamaan dan hanya diambil satu kali, untuk variable dalam penelitian ini ada variable bebas dan terikat, variable bebasnya adalah upaya ibu dalam mempersiapkan pubertas dan terikatnya adalah prilaku seksual remaja. populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh remaja awal usia 12-15 tahun sebanyak 1.113, sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik random sampling, adapun besar sampel yang diambil yaitu menggunakan rumus slovin dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket. analisis data dalam penelitian ini adalah analisis bivariat karena analisis ini digunakan pada dua variable yang diduga berhubungan atau berkorelasi. hasil penelitian hasil analisis univarit data variabel upaya ibu mempersiapkan masa pubertas didapat berdasarkan instrumen angket terhadap pada 92 responden remaja awal yang menjadi sampel penelitian. hasil penelitian didapat data statistik dari nilai variabel upaya ibu mempersiapkan masa pubertas sebagai berikut: tabel diatas menjelaskan bahwa dari 49 orang ibu yang mempersiapkan masa pubertas kategori baik, semua perilaku seksual remaja termasuk kategori baik. sedangkan dari 43 ibu yang mempersiapkan masa pubertasnya kategori kurang, 3 orang remaja mempunya perilaku seksual remaja baik dan 40 orang perilaku seksual remajanya buruk. pembahasan upaya ibu mempersiapkan masa pubertas hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ibu orang tua remaja awal di desa sukamantri sebagian besar (53,3%) memiliki upaya yang baik dalam mempersiapkan masa pubertas, sedangkan 46,7% memiliki upaya yang kurang. bagi ibu yang memiliki upaya baik, beberapa hal yang dapat diamati telah dilakukan oleh ibu tersebut untuk mempersiapkan anak dalam menghadapi masa pubertas ada 8 upaya yang bisa ibu lakukan yang pertama yaitu pembinaan moral religius, pembinaan religius sangat diperlukan dalam hal mempersiapkan anak memasuki masa pubertas (diananda, 2019). ibu-ibu di desa sukamantri dapat menjelaskan kepada anak mengenai kesehatan no kategori f % 1. baik 49 53.3 2. kurang 43 46.7 total 92 100.0 tabel 1 kategorisasi hasil ukur variabel upaya ibu mempersiapkan masa pubertas diketahui bahwa tingkat upaya ibu mempersiapkan masa pubertas yang termasuk kategori baik ada 49 orang (53,3%) sedang sisanya yaitu 43 orang (46,7%) tingkat upaya ibu mempersiapkan masa pubertas termasuk kategori kurang. hasil ukur variabel perilaku seksual remaja ditampilkan dalam tabel sebagai berikut: no kategori f % 1. baik 52 56.5 2. kurang 40 43.5 total 92 100.0 tabel 2 hasil ukur variabel perilaku seksual remaja no ketegori kategori variabel x total variabel y baik kurang 1. baik 49 3 52 2. 53.3% 3.3% 56.5% 3. buruk 0 40 40 4. .0% 43.5% 43.5% total 49 43 92 53.3% 46.7% 100.0% tabel 3 tabulasi silang hubungan upaya ibu mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja diketahui bahwa remaja awal usia 12 sampai 15 tahun yang melakukan perilaku seksual remaja kategori baik ada 56,5% dan yang kategori kurang ada 43,5%. jadi dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja awal usia 12 sampai 15 tahun termasuk baik dalam perilaku seksual remaja. hasil analisis bivariat hasil analisis untuk mendeskripsikan hubungan upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja dapat disajikan pada tabel di bawah ini. 304 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 301–306 reproduksi yang senantiasa dibingkai dalam nuansa moral dan keagamaan, karena pada dasarnya jika seseorang diberikan pendidikan atau pengajaran maka pengetahuan seseorang akan lebih baik (hidayah et al., 2018). dan jika ada upaya ibu dalam memberikan pengetahuan atau pendidikan maka menyebutkan bahwa dalam mempersiapkan diri jalan teraman bagi orang tua adalah berpegang pada landasan agama, kemudian ada juga meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (dewi et al., 2012). menanamkan konsep diri yang positif juga merupakan salah satu upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas, konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang mengenai dirinya sendiri (nathan & scobell, 2012). hal itu meliputi kemampuan, karakter diri, sikap, tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. gambaran pribadi remaja terhadap dirinya sendiri meliputi penilaian diri dan penilaian sosial (bariyyah hidayati et al., 2016). mengkondisikan lingkungan keluarga yang harmonis dan kondusif juga salah satu upaya dalam mempersiapkan masa pubertas adalah menciptakan hubunga n ha rmonis dalam keluarga. hal ini mempermudah interaksi antar anggota keluarga (wulandari, 2014). dari berbagai studi dan pendapat para ahli memperlihatkan bahwa sikap keterbukaan, perhatian, cinta, dan rasa persahabatan yang diberikan oleh orang tua kepada remaja mampu membina pendidikan reproduksi dalam keluarga (dewi et al., 2012). sedangkan sebanyak 46,7% ibu di desa sukamantri memiliki upaya yang kurang dalam mempersiapkan masa pubertas. hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu remaja (dewi et al., 2012). menurut data pada angket, bahwa 62% ibu remaja merupakan tamatan sekolah dasar (sd). tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir ibu remaja dan usahanya dalam mempersiapkan masa pubertas anaknya, (dewi et al., 2012) maka penulis berasumsi bahwa kurangnya upaya ibu dalam mempersiapkan pubertas dikarenakan masih rendahnya tingkat pendidikan ibu diwilayah tersebut. perilaku seksual remaja perilaku seksual remaja di desa sukamantri kabupaten ciamis sebagian besar (56,5%) tergolong baik, sedangkan sisanya (43,5%) tergolong kurang. remaja yang tergolong baik dalam perilaku seksualnya didasarkan pada data angket yakni belum pernah melakukan batasan perilaku seksual, aktivitas seksual, hubungan seksual dan perilaku seksual pra nikah. sedangkan yang tergolong perilaku seksualnya kurang, mereka pernah melakukan salah satu perilaku seksual remaja. klasifikasi perilaku seksual remaja yang didapat di atas tak terlepas dari pembentukan perilaku yang terjadi sampai saat mereka remaja (afritayeni et al., 2018). menerangkan beberapa cara terbentuknya sebuah perilaku seseorang yaitu “(1) kebiasaan, (2) pengertian, dan (3) penggunaan model (panutan)”. ketiga cara yang membentuk perilaku remaja di desa sukamantri kaitannya dengan perilaku seksual remaja dapat terjadi karena berbagai faktor (mahmudah et al., 2016). perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: (1) faktor predisposisi, (2) faktor pemungkin, dan (3) faktor penguat (diananda, 2019). remaja yang mempunyai perilaku seksual remaja baik, mendapatkan faktor-faktor tersebut dengan baik sehingga mereka mempunyai kebiasaan, memiliki pengertian, dan mempunyai panutan yang baik pula. sedangkan remaja yang perilaku seksualnya kurang baik, kurang pula dalam mendapatkan faktor-faktor tersebut (diananda, 2019). faktor predisposisi, faktor faktor ini mencakup tentang pengetahuan dan sikap seseorang terhadap sebuah rangsangan atau stimulus yang ia dapatkan. faktor pemungkin, faktor faktor ini mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas sebagai penunjang terjadinya sebuah perilaku yang terjadi pada seseorang tersebut. faktor penguat, faktor-faktor penguat ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku dari peran role dari seseorang yang membuatnya menirukan apa yang mereka lakukan semuanya (mahmudah et al., 2016). ada hubungan antara pengetahuan sikap terhadap prilaku seksual pra nikah (pawestri et al., 2013), sehingga peneliti berasumsi remaja yang mempunyai pengatahuan dan sikap yang baik dapat membentuk prilaku seksual yang baik pula (pawestri et al., 2013). hubungan upaya ibu mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja berdasarkan data statistik hasil penelitian skor variabel upaya ibu mempersiapkan masa pubertas berada pada rentang minimum 1 sampai maksimum 15. sedangkan nilai rata-rata variabel upaya ibu mempersiapkan masa pubertas adalah 9,0000, median 9,0000, modus 11,00 dan standar deviasi 305septina, hubungan upaya ibu dalam mempersiapkan masa pubertas dengan ... 3,29168. hal ini menunjukkan bahwa upaya ibu mempersiapkan masa pubertas masih jauh dari skor maksimum secara teori yaitu 15. diketahui bahwa tingkat upaya ibu mempersiapkan masa pubertas yang termasuk kategori baik ada 49 orang (53,3%) sedang sisanya yaitu 43 orang (46,7%) tingkat upaya ibu mempersiapkan masa pubertas termasuk kategori kurang. berdasarkan data hasil penelitian, secara statistik nilai variabel perilaku seksual remaja berada pada rentang nilai minimum 0,00 sampai maksimum 4. sedangkan nilai rata-ratanya 2,2500, median 2,00, modus 2,00 dan standar deviasi 0,72058. diketahui bahwa remaja awal usia 12 sampai 15 tahun yang melakukan perilaku seksual remaja kategori baik ada 56,5% dan yang kategori buruk ada 43,5%. dari 49 orang ibu yang mempersiapkan masa pubertas kategori baik, semua perilaku seksual remaja remaja termasuk kategori baik. sedangkan dari 43 ibu yang mempersiapkan masa pubertasnya kategori kurang, 3 orang remaja mempunya perilaku seksual remaja baik dan 40 orang perilaku seksual remajanya buruk. hasil uji chi kuadrat untuk kebebasan yang menghasilkan c2 = 80,644 dengan derajat kebebasan (df) 1 dan p-value dengan sig 0,000, karena p-value lebih kecil dari  0,05 maka ho ditolak dan ha diterima. jadi terbukti ada hubungan upaya ibu mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja di desa sukamantri kabupaten ciamis. fakta di atas menunjukkan bahwa peran keluarga terutama orang tua yaitu ibu sangtlah penting (ainemer et al., 1990). terutama pemberitahuan remaja tentang seksualitas dan memberikan upaya menghadapi masa pubertas pada remaja diantaranya dengan membimbing dan memberikan pemahaman religius (setiati, 2015). ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada pada diri anaknya dalam hal mengasuh, membimbing dan mengawasi perkembangan anaknya ke arah yang lebih baik (rahim, 2013). penjelasan kepada seorang anak tentang perubahan yang terjadi pada saat pubertas juga menjadikan mereka untuk berpikir bahwa mereka harus bisa menjaga diri karena jika sudah puber maka mereka sudah bisa berkembang biak. dari situ peran orang tua untuk menjelaskan semuanya karena perubahan pada masa pubertas juga membuat perkembangan pemikiran mereka pesat. seorang ibu sebaiknya sudah membekali anak dengan pengetahuan tentang masalah dan bagaimana untuk menghadapi fase remaja yaitu pubertas dengan penyampaian dan penjelasan sederhana serta sesuai dengan pemahaman anak-anak (marlina & pransiska, 2018), serta memberitahu mengenai kewajibankewajiban anak ketika sudah puber. (rahim, 2013), (dewi et al., 2012). berkaitan dengan hasil penelitian ini, penelitian yang relevan telah dilakukan (siregar, 2014) dengan hasil bahwa morma-norma moral, larangan, contoconto, pengajaran, saran-saran dan nilai agama yang diberikan orang tua menjadi pegangan remaja untuk tidak melanggar prilaku seks menyimpang (siregar, 2014). kesimpulan upaya ibu mempersiapkan masa pubertas di di desa sukamantri kabupaten ciamis termasuk kategori baik 53,3% dan kurang 46,7%. perilaku seksual remaja di desa sukamantri kabupaten ciamis termasuk kategori baik 56,5% dan buruk 43,5% kemudian terdapat hubungan signifikan upaya ibu mempersiapkan masa pubertas dengan perilaku seksual remaja di desa sukamantri kabupaten ciamis dengan nilai c2 = 80,644 dengan derajat kebebasan (df) 1 dan p-value atau sig 0,000. saran para orang tua diharapkan dapat melakukan upaya dalam mempersiapkan pubertas diantaranya yaitu bimbingan spiritual atau agama, dan untuk peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan cara online misalnya menggunakan google form agar tidak mengganggu jadwal ektrakulikuler sekolah. daftar pustaka afritayeni, a., yanti, p. d., & angrainy, r. (2018). analisis perilaku seksual berisiko pada remaja terinfeksi hiv dan aids. jurnal endurance, 3(1), 69. https:// doi.org/10.22216/jen.v3i1.2717 ainemer, a. i., krasnov, s. g., popoy, v. e., romm, e. s., sudarikov, s. m., & cherkashov, g. a. (1990). hydrothermal systems of the pacific ocean. marine mining, 9(1), 105–115. bariyyah hidayati, k., & . m. f. (2016). konsep diri, adversity quotient dan penyesuaian diri pada remaja. persona:jurnal psikologi indonesia, 5(02), 137–144. https://doi.org/10.30996/persona.v5i02.730 dewi, a. c., tinggi, s., kesehatan, i., & surakarta, a. (2012). hubungan antara tingkat pengetahuan ibu 306 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 301–306 kesehatan reproduksi remaja. 9(2), 17–25. http:// jurnal.stikes-aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/ view/36/33. diananda, a. (2019). psikologi remaja dan permasalahannya. journal istighna, 1(1), 116–133. https:// doi.org/10.33853/istighna.v1i1.20 georgia. (2013). centers for disease control and prevention sexual risk behavior hiv,std and teen pregnanc y pre vention. htt p:/ /www. cdc.gov/ healthyyouth/sexualbehaviors/ hidayah, u., sari, p., & susanti, a. i. (2018). gambaran pengetahuan remaja mengenai hiv / aids setelah mengikuti program hebat di smp negeri kota bandung description of adolescent knowledge on hiv / aids after attending hebat program in public junior high schools in bandung city. 3(3), 111–115. mahmudah, m., yaunin, y., & lestari, y. (2016). faktorfaktor yang berhubungan dengan perilaku seksual remaja di kota padang. jurnal kesehatan andalas, 5(2), 448–455. https://doi.org/10.25077/jka.v5i2.538 marlina, s., & pransiska, r. (2018). pengembangan pendidikan seks di taman kanak-kanak. yaa bunayya jurnal pendidikan anak usia dini, 2, 1– 12. nathan, a. j., & scobell, a. (2012). how china sees america. foreign affairs, 91(5), 1689–1699. https:/ /doi.org/10.1017/cbo9781107415324.004 pawestri, wardani, r. s., & sonna. (2013). pengetahuan, sikap dan perilaku remaja tentang seks pra nikah. keperawatan maternitas, 1(1), 46–54. prof. dr. suryana, ms. (2012). metodologi penelitian/ : metodologi penelitian model prakatis penelitian kuantitatif dan kualitatif. universitas pendidikan indonesia, 1–243. https://doi.org/10.1007/s13398014-0173-7.2 rahim, a. (2013). peranan orang tua terhadap pendidikan karakter remaja putri menurut islam. alulum, 13(1), 87–102. rifai, a. (2018). dalam membina kecerdasan spiritual. kajian ilmu dan budaya islam, 1, 257–291. setiati, d. retno. (2015). peran pendidikan keluarga dalam pembentukansikap sosial dan kemandirian anak. seminar nasional. siregar, a. a. (2014). pendidikan seks oleh orang tua pada remaja akhir. wahyuni, s., & fahmi, i. (2019). determinan perilaku seksual pra nikah remaja pria di indonesia hasil sdki. euclid, 6(2), 177. https://doi.org/10.33603/ e.v6i2.2201 wulandari, a. (2014). karakteristik pertumbuhan perkembangan remaja dan implikasinya terhadap masalah kesehatan dan keperawatannya. jurnal keperawatan anak, 2, 39–43. https://jurnal.unimus. ac.id/ index.php/jka/article/view/3954 6 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 006–010 correspondence address: faculty of nursing, poltekkes rs dr. soepraoen malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: priasmoro.pitaloka@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p.006–010 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk parents perception about adjusment disorder at first day school in permata iman 3 kindergarten dian pitaloka priasmoro1, aloysia ispriantari2 1,2faculty of nursing, poltekkes rs dr. soepraoen malang, indonesia 6 article information history article: received, 10/08/2019 accepted, 18/11/2019 published, 05/04/2020 keywords: adjusment disorder; kindergarten children abstract kindergarten is one form of early childhood education services for children aged 3-6 years which serves to lay the foundations towards the development of attitudes, knowledge, and skills. therefore, self-adjustment is one of the important things in determining the success of a child in meeting the demands of the surrounding environment. this study aims to identify parents perceptions of adjusment disorder at first day school in permataiman 3 kindergarten malang. the design in this study is descriptive. the population and sample in this study were all children aged 3-6 years who had just entered school as many as 84. the sampling technique used is total sampling. the instrument used in this study was the child behavior checklist for ages 1.5-5. this research was conducted at permataiman 3 kindergarten in july 2019. data obtained will be analyzed univariate and presented in percentage form. the results showed that adjustments to disorder at first day school in children in the mild category amounted to 66 (78.6%) and a small portion in the moderate category amounted to 18 (21.4%). this is probably due to factors of age, physiological conditions, order of children, and parenting. based on the results of the study parents should be able to choose the right time to include children in the pre-school environment, namely at the age of > 4-5 years. and it is very important for the school to pay attention to the school environment, especially in the readiness of facilities, facilities and the environment. ©2020 jurnal ners dan kebidanan http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p006-010&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 7pitaloka, ispriantari, parents perception about adjusment disorder at ... introduction children are unique individuals where they have different needs according to their age stages (cahyaningsih, 2010). this childhood is a period of development since the child can move while standing until they enter school. characterized by high activity and discoveries. they usually attend preschool programs. in indonesia, 4-6 years old usually follows the kindergarten program (dewi, et al 2015). according to data from the badan pusat statistik (bps) in indonesia in 2017 the number of kindergartners in 2015 was 4.3 million and increased to 4.5 million in 2016. based on the results of pre studies at tk permata iman in january 2019 the results of reports on each the year obtained the number of student admissions last 3 years on average 40-50 students. from interviews with a number of teaching teachers, most students who just entered at first day school often experience adjustments such as crying, not wanting to be left by parents, not being obedient to teachers, and often angry. kindergarten is a form of early childhood education services for children aged 3-6 years which serves to lay the foundations of development including the attitudes, knowledge, and skills needed for early childhood in adjusting to their environment (malik, 2011). in biology adaptation means adaptation. in psychology known as the word (adjustment). during human life is required to adjust to the environment that aims to get harmony between environmental demands and the desires within him (kusdiyanti, et al 2011). when children start school, they will surely be faced with many new requests, new challenges, learning new schools, teacher expectations, and friends. not infrequently children become lazy at school, do not want to go to class, very dependent on parents. therefore adjustment is one of the important things in determining the success of children in meeting the demands of the surrounding environment (susanti, widuri, 2013). so it should be as educators and parents must be more wise in responding to this. assistance and especially giving information to parents to prepare children before entering school or to introduce the school environment early is a good way to overcome the problem. method the research design used in this study is descriptive in order to see the description of the perception of parents about the adjustment of disorder in children. this research was conducted on 15-22 july 2019 in permataiman 3 kindergarten malang. the population and sample in this study were all parents of children 3-6 years who had just entered tk iman 3 kindergarten as many as 84 students. the sampling technique used is total sampling. the instrument used in this study was the child behavior checklist for ages 1.5-5 years (achenbagh & rescolatahun 2000) with a total of 30 questionsinclude concentration, behavior, sadness, physical disturbance, and brea king the rules.parenting was measured using a questionnaire consisting of 28 questions containing parenting tendencies with questions number 1-9 authoritarian, democratic 10-19, and 20-18 for permissive parenting with answer choices strongly disagree, disagree, agree and totally agree (yusman, 2009). t he instr ument a ssessed by looking a t the respondent’s answer in answering the question item. if the respondent answers most of the numbers 1-9, the respondent is categorized as having authoritarian parenting. furthermore, the data obtained were analyzed by univariate analysis using spss 21 and presented as a percentage.   result an objective description of the results of research and discussion.clearly explained in the form of narration and data based on the purpose of the study, if necessary accompanied by tables. no age of children f % 1 3-4 year 16 19 2 >4-5 year 58 69 3 >5-6 year 10 12 total 84 100 no sex of children f % 1 male 49 58,3 2 female 35 41,7 total 84 100 no relation parents f % 1 father 25 29,8 2 mother 59 70,2 total 84 100 table 1 frequency distributionof respondents in permata iman kindergarten 3 8 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 006–010 based on table (1) above, it is known that the age of children more than half > 4-5 years is 58 (69%), the sex of children more than half is male, 49 (58.3%), the relationship between parents and children more than half were mothers (59.2%), almost all classes of kindergarten a were 70 (83.3%), parenting patterns were more than half democratic 66 (78.6%), and a history of illness suffered by children more than half did not have a history of illness of 59 (70.2%). based on table (2) above it is known that the average number of children is number two, and the order of the second child. based on table (3) above it is known that more than half of respondents have perceptions about adjusment disorder at first day school in children in the mild category of 66 (78.6%) and a small proportion in the moderate category of 18 (21.4%). no class f % 1 play group 14 16,7 2 kindergarten a 70 83,3 total 84 100 no parenting f % 1 democratic 66 78,6 2 free 16 19 3 authoritarian 2 2,4 total 84 100 no illness history f % 1 there is no 59 70,2 2 coghing fever 9 10,7 3 allergy 9 10,7 4 convulsions 2 2,4 5 lung disease 4 4,8 6 heart disease 1 1,2 total 84 100 souce: primary data n minimum maximum mean std. deviation sibling number 84 1 4 2 ,786 birth order 84 1 3 2 ,677 total 84 souce: primary data table 2 frequency distributionof sibling number and birth order no. category f percent (%) 1 mild 66 78,6 2 moderate 18 21,4 3 severe 0 0 total 84 100 souce: primary data table 3 adjusment disorder at first day school age adjusment f mild moderate 3 4 14 2 16 (19%) > 4-5 44 14 58 (69%) > 5-6 8 2 10 (12%) total 66 (78,6%) 18 (21,4%) 84 (100%) tabel 4 crosstab adjusment and age adjusment f mild moderate yes 17 8 25 (29,8%) no 49 10 59 (70,2%) total 66 18 84 (100%) tabel 5 crosstab adjusment and physiological condition pyshiological adjusment adjusment total mild moderate democratic 52 14 66 (78,6%) free 13 3 16 (19%) authoritarian 1 1 2 (2,4%) total 66 18 84 (100%) tabel 6 crosstab adjusment and parenting style parenting style 9pitaloka, ispriantari, parents perception about adjusment disorder at ... based on table (4) above it is known that more than half of respondents have age > 4-5 in the mild category of 44 (66%). based on table (5) above it is known that more than half of respondents haven’t physiological condition in the mild category of 49 (74%). based on table (6) above it is known that more than half of respondents have democratic style in the mild category of 52 (66%) discussion based on table 3, it is known that more than half of respondents have parental perceptions about adjusment disorder at first day school in the mild category of 66 (78.6%) and a small proportion in the moderate category were 18 (21.4%). according to susanti&widuri (2013) mentioned that the factors that influence adjusment disorder at first day school in children include family, physiological, psychological factors, developmental and maturation factors, and environmental factors. based on the theory and facts above, it can be assumed that parents perceptions about adjusment disorder at first day school in children are mostly in the mild category of 66 (78.6%) allegedly influenced by several factors. the first factor is the development and maturity of the child. according to putri (2013) children’s development and maturity are related to age. based on the tabel 4 results of the study found that most children aged >4-5 years as many as 58 children (69%). the results of this study are in line with putri (2013) which states that at this age children children have the ability to understand the talk of others and are able to express their thoughts within certain limits. it is assumed that in children aged >4-5 years the child has had a mature level of cognitive development to enter the new environment including the school environment. because children already have the main stock in interpreting all forms of instruction including from teachers and peers. so that children no longer have difficulty adjusting because they have understood certain information related to its presence in the new environment. in addition, according to putri (2013) it is mentioned that socially development of children aged >4-5 years is the age of exploring where children are very interested in the outside world and the new environment. based on this theory it is assumed that children will actually feel happy and comfortable by entering the school environment. so that children will not experience adjusment disorder because school is a new place that they must recognize. in this case, according to the researchers, it is very important to pay attention to the school, especially providing an interesting learning environment and can be explored by children. the second factor that is thought to influence parental perceptions about adjusment disorder at first day school in children is mostly in the mild category of 66 (78.6%) is a physiological condition. based on table 5 it is known that almost all children do not have a history of illness of 59 (70.2%). it can be assumed that the condition of healthy children will make it easier for them to adapt to the new environment. the researchers assumptions are in line with widuri (2013) which states that health and physical illness also influence adjustment. good quality adjustment can only be achieved in good physical health. this means that physical disturbance suffered by someone will interfere with the process of adjustment. chronic illnesses can cause a lack of self-confidence, feelings of inferiority, feelings of dependency, feelings of pity, and so on. the third factor is the family, based on table 6 it is known that parenting is more than half democratic in number of 66 (78.6%). it is assumed that democratic parenting will shape the character of children who are open and have accepted changes including changes by entering a new environment, namely school. this researcher’s opinion is in line with susanti&widuri (2013) which explains that children who are raised in democratic families, generally have a better adjustment outside the home than children with authoritarian families. mareta & masithoh (2017) argues that parents must find parenting patterns that are most appropriate for children. because proper care will shape children to grow and develop properly. based on table 3 above it is also known that a small proportion of respondents have perceptions about adjusment disorder at first day school in children in the moderate adjustment category of 18 (21.4%). the results of this study are thought to be r ela ted to child and physiologica l sequence factors.the first factor is number of birth of the children. based on the data it is known that almost half of respondents number of birth is second and third birth number have an experience moderate adjusment disorder of 9 (42%). the results of this study are assumed that children who experience moderate adjustment disorder are not the firstborn. this is possible because children who are not first10 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 006–010 born children tend to all their needs and desires are always fulfilled by parents. the researchers assumptions are in line with susanti &widuri theory (2013) which states that the birth order of a child affects the child’s adjustment. eldest children have good social adjustments. the eldest child is described as more mature, helpful, easy to adjust, and controls himself better while the child born later is the most rebellious. the second factor is physiological. based on the results of the study, it was found that almost half of the respondents had children with a history of various diseases such as allergies, cough colds, fever, etc. totaling 8 (41%). the results of this study are assumed by researchers that disrupted physiological conditions make children uncomfortable to be in a new environment. the researchers’ assumptions are in line with susanti&widuri (2013) which states that good quality adjustment can only be achieved in good physical health. chronic illnesses can cause a lack of self confidence, feelings of inferiority, feelings of dependency, feelings of pity, and so on. conclusion parents’ perceptions about adjusment disorder at first day school in children in the mild category were 66 (78.6%) and a small proportion in the moderate category were 18 (21.4%). this is likely due to age, physiological conditions, child order, and parenting. suggestion the results of this study can be input for all parents of children, one of which is that the family environment has a major contribution to the readiness of children to enter the new environment. so parents should be able to provide support and motivation to children during the transition period. in addition, parents should be able to choose the right time to enter the child in the pre-school environment, namely at the age of >4-5 years. refferences achenbagh & rescola. (2000). child behavior checklist for ages 1.5-5 years.aseba, university of vermont, burlington: amerika serikat. cahyaningsih, dwi s. (2010). pertumbuhan dan perkembangan anak. cv trans info media: jakarta. dewi, rizki c., oktiawati, annisa, & saputri, lintang. (2015). teori dan konsep tumbuh kembang bayi, toddl er dan usi a r e maj a. nuh a medi ka : yogyakarta. kusdiyanti, s; halimah, lilim: & faisaluddin. (2011). penyesuaian diri di lingkungan sekolah. jurnal humanitas vol. viii. no.2 agustus. malik, halim. 2011. pendidikan non formal dan peranannya dalam pendidikan anak usia dini. http: //edukasi.kompsian a.com/2011/04/07/ pendidikan-non-formal-dan-peranannya-dalampendidikan-anak-usia-dini/ . mareta, reni; masithoh, robiul fitri. (2017). hubungan antara sibling rivalry dengan kemampuan penyesuaian social anak usia prasekolah di tk ulil albab mertoyudan. the 6 th university research colloquium. universitas muhamadiyah magelang. putri, ayu citra triana.(2013). skripsi: dampak sibling rivalry pada anak usia dini. jurusan psikologi fakultas ilmu pendidikan universitas negeri semarang. susanti, ani; widuri, erlina l. (2013). penyesuaian diri pada taman kanak-kanak. jurnal empathy fakultaspsikologi vol.(1) no.1 yusman, elza. (2009). skripsi: hubungan pola asuh orangtua dengan prestasi belajar anak sdn 05 siang, meruya selatan jakarta barat. universitas esa unggul: jakarta. 77wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... 77 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh modul skin personal hygiene terhadap sikap dalam pencegahan skabies lono wijayanti fakultas keperawatan dan kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 14/02/2019 disetujui, 05/03/2019 dipublikasi, 01/04/2019 kata kunci: modul, skin personal hygiene, sikap abstrak pondok pesantren adalah tempat pendidikan islam, dimana santri tinggal bersama dengan santri lainnya, sehingga beresiko mudah tertular berbagai penyakit, seperti skabies. skabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga prioritas penanganannya rendah. tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh modul skin personal hygiene sebagai media pendidikan kesehatan pada sikap santri dalam mencegah terjadinya skabies di pondok pesantren roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo. pra experiment (one group pre-post test) merupakan desain yang digunakan dalam penelitian ini. seluruh santri yang tinggal di pondok pesantren roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo sebagai populasi, sebesar 72 orang, sampel berjumlah 60 orang dengan menggunakan simple random sampling. instrumen penelitian berupa modul skin personal hygiene dan kuisioner. wilcoxon signed ranks test digunakan dalam menganalisa data. berdasarkan hasil penelitian bahwa sikap responden setelah intervensi berupa pendidikan kesehatan dengan menggunakan modul diperoleh adanya perubahan sikap menjadi lebih baik, dengan hasil analisa signifikan yaitu nilai p =0,000. pendidikan kesehatan dengan menggunakan modul skin personal hygiene berdampak positif dalam perubahan sikap santri di roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo. perlu diterapkan sikap menjaga kesehatan dan kebersihan kulit dalam mencegah penyakit skabies. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: lono@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p077–083 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 077–083 abstract islamic boarding schools are places of islamic education, where santri live together with other santri, so they are at risk of easily contracting various diseases, such as scabies. scabies is often overlooked because it is not life threatening so the priority for handling it is low. the purpose of this study was to identify the effect of the skin personal hygiene module as a health education media on the attitude of students in preventing the occurrence of scabies in the islamic boarding school roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo. pre-experiment (one group pre-post test) is the design used in this study. all students who live in the islamic boarding school roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo as a population, amounting to 72 people, a sample of 60 people using simple random sampling. the research instrument was a skin personal hygiene module and questionnaire. the wilcoxon signed ranks test is used in analyzing data. based on the results of the study that the attitude of the respondents after the intervention in the form of health education using modules obtained a change in attitudes to be better, with the results of a significant analysis of the value p = 0,000. health education by using the skin personal hygiene module had a positive impact on the change in attitudes of santri at roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo. attitudes need to be taken to maintain skin health and cleanliness in preventing scabies. the effectiveness of skin personal hygiene module to the attitude of preventing scabies article information history article: received, 14/02/2019 accepted, 05/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: skin personal hygiene module, attitude 79wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... pendahuluan kejadian penyakit kulit banyak diderita anakanak usia sekolah terutama yang tinggal di pondok pesantren. jenis penyakit kulit yang banyak diderita adalah skabies. angka kejadian skabies ini sangat tinggi disebabkan perhatian serta penanganan yang kurang optimal dalam tindakan preventif dan kuratif oleh berbagai pihak terkait (wijayanti, 2008). penyebab penyakit kulit skabies adalah tungau (mite) sarcoptes scabei, dimana dikelompokkan dalam kelas arachnida. penyakit skabies umumnya dikenal sebagai kutu badan. penyebaran penyakit kulit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. secara langsung, melalui sentuhan kulit dengan penderita. secara tidak langsung melalui bantal, air, baju, seprai, handuk, atau sisir yang dipergunakan penderita dan belum dibersihkan sehingga masih ada kutu sarcoptes (harahap, 2008). penanganan skabies masih kurang optimal sebab dianggap tidak membahayakan jiwa. tetapi skabies dapat menjadi kronis dan berat jika dibiarkan tanpa tindakan pencegahan dan pengobatan, hingga terjadi komplikasi yang membahayakan bagi penderita. timbulnya lesi pada kulit dan rasa gatal yang disebabkan oleh skabies dapat mengganggu rasa nyaman dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. hal tersebut terjadi karena penderita sering menggaruk dan mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh bakteri group a streptococci (gas) serta stapylococcos aureus (golant& levitt, 2012). menurut who bahwa angka kejadian skabies di dunia terdapat kurang lebih 300 juta kasus pertahun (chosidow, 2011). penyebaran skabies di negara industri seperti jerman, terjadi secara sporadik atau mewabah dalam waktu yang cukup panjang (ariza et al, 2012). berdasarkan riset bahwa prevalensi skabies di india 20,4% (baur, 2013). menurut zayyid (2010) bahwa kejadian skabies pada anak usia 10-12 tahun sebesar 31%. berdasarkan laporan departemen kesehatan ri bahwa angka kejadian skabies di puskesmas seluruh indonesia sebesar 4,6% 12,95% (2009). skabies menduduki urutan ketiga dari 12 jenis penyakit kulit, yang ditunjukkan adanya 704 kasus skabies atau 5 ,77% dari seluruh kasus baru. menurut penelitian azizah (2011) bahwa di tahun 2011 dan 2013 insiden skabies sebesar 6% dan 3,9%. ini menunjukkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit yang sering terjadi di indonesia dan menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit. tingginya insiden dan prevalensi skabies di indonesia terutama pada lingkungan masyarakat pesantren, perlu ada penanganan pihak kesehatan. keadaan tersebut di dukung oleh penelitian kuspiantoro (2009), bahwa prevalensi skabies di pondok pesantren pasuruan sebesar 70%. upaya peningkatan kesehatan sangat diperlukan yaitu dengan skin personal hygiene, dimana kulit merupakan pertahanan tubuh pertama melawan infeksi. oleh karena itu, masyarakat terutama di pondok pesantren perlu memiliki pengetahuan dan sikap yang baik untuk mendapatkan kebersihan diri secara baik dan benar. kulit adalah organ terluar dari bagian tubuh manusia yang elastis, sensitif, berfungsi melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan dan penyakit (harahap, 2008). penyakit kulit skabies dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi rendahnya tingkat sosial ekonomi, personal hygene kurang baik, kebersihan lingkungan, populasi penduduk yang padat (loetfia, 2008). menurut shelly dan currie (2007) tingginya prevalensi skabies sering ditemukan di lingkungan padat penduduk dan penghuninya sehingga sering terjadi kontak antar personal seperti penjara, panti asuhan, dan pondok pesantren. hasil penelitian yang dilakukan oleh rohmawati (2010) bahwa prosentase responden di pp. almuayyad surakarta yang menderita penyakit kulit skabies sebesar 74,74%, disebabkan karena pengetahuan rendah terhadap perilaku hidup bersih dan sehat, serta mereka mempunyai resiko lebih besar terjangkit skabies dari pada responden yang memiliki pengetahuan lebih baik. penelitian yang sama dilakukan oleh hilma dan ghozali (2014), menunjukkan bahwa terdapat korelasi tingkat pengetahuan dengan kejadian skabies di salah satu pondok pesantren yogyakarta. seseorang yang telah mempunyai ilmu pengetahuan, akan memiliki sikap dan kesediaan untuk melakukan tindakan baik. sikap atau perilaku yang dilandasi oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada sikap yang tidak berlandaskan pengetahuan. dunia pendidikan telah mengembangkan berbagai cara atau metode penyampaian pesan dengan maksud meningkatkan pengetahuan dan sikap. metode ceramah dan tanya jawab merupakan salah satu sarana efektif untuk menyampaikan pesan. pendapat tersebut didukung dengan pernyataan bahwa penerapan metode ceramah akan cukup efektif jika dilanjutkan dengan tanya jawab, sehingga terjalin komunikasi dua arah dan adanya alat bantu pengajaran akan menunjang keberhasilan metode ceramah (who, 2003). dalam penyampaian pesan melalui ceramah perlu dibantu dengan modul, agar peserta dapat 80 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 077–083 meninjau kembali materi yang telah dibahas dalam ceramah (utomo dkk, 2014). pertimbangan penggunaan modul karena media ini mempunyai keunggulan dalam hal kemudahan untuk disimpan dan dibaca berulang kali, melibatkan benyak orang, serta memudahkan bagi santri untuk mengingat kembali isi pesan, sehingga dapat meningkatkan perilaku skin personal hygiene. bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan praexperiment (one group pre-post test). rancangan ini tidak ada kelompok pembanding (kontrol), tetapi ada observasi diawal (pretest) yang dilakukan peneliti agar dapat bereksperimen untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi (notoatmodjo, 2012). populasi dalam penelitian ini adalah seluruh santri yang tinggal di pondok pesantren roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo sejumlah 72 orang. besar sampel 60 orang menggunakan probability sampling, denga n teknik simple random sampling. variabel independen dalam penelitian ini adalah modul skin personal hygiene, sedangkan variabel dependen adalah sikap dalam pencegahan skabies. instrumen pada penelitian ini menggunakan alat bantu berupa modul skin personal hygiene sedangkan sikap tentang pencegahan skabies menggunakan kuesioner. analisis yang digunakan adalah uji statistik wilcoxon signed rank, dengan tingkat signifikasi  = 0.05. hasil penelitian data umum jenis kelamin jenis kelamin f % laki laki 40 66.7 perempuan 20 33.3 jumlah 60 100 sumber: data primer 2018 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin usia usia (tahun) f % 12 – 13 29 48,3 14 – 15 22 36,7 16 17 4 6,7 18 19 5 8,3 jumlah 60 100 sumber: data primer 2018 tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan usia riwayat penyakit kulit tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat penyakit kulit riwayat penyakit kulit f % tidak pernah 18 30 pernah 42 70 jumlah 60 100 sumber: data primer 2018 data khusus sikap tabel 4 distribusi frekuensi berdasarkan pretest dan posttest sikap responden sikap pretest posttest f % f % baik 28 46,7 36 60,0 kurang 32 53,3 24 40,0 jumlah 60 100 60 100 p value = 0,000 sumber: data primer 2018 pembahasan setelah mendapatkan pendidikan kesehatan serta diberikan modul skin personal hygiene responden bertambah wawasan kesehatan. dengan modul tersebut, responden dapat dengan mudah 81wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... menerima informasi, sehingga dapat mempengaruhi sikap hidup sehat, dikarenakan modul dapat mereka bawa pulang untuk dibaca kembali. perubahan sikap tersebut dapat dilihat pada saat pelaksanaan post test, dimana kuesioner yang telah diberikan ke responden dapat dijawab secara langsung, dan didapatkan adanya peningkatan nilai rata-rata post test. hal tersebut di atas terjadi karena pengembangan variasi penggunaan metode yang disesuaikan dengan karakteristik responden dalam penelitian, serta materi yang berkaitan dengan penyakit skabies dan pencegahannya di desain sedemikian rupa hingga menarik baik gambar maupun kalimatnya dalam bentuk modul, yang pada akhirnya responden lebih mudah mengerti dan memahami. hal ini sesuai dengan pendapat supratman (2007) bahwa pendidikan kesehatan berguna agar pemahaman individu, kelompok dan masyarakat tentang kesehatan menjadi meningkat dan menjadi suatu yang bernilai secara mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat serta memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada secara optimal. berdasarkan hasil penelitian di pondok pesantren roudlotul muta’allimin-muta’allimat menunjukkan bahwa hampir setengahnya 48,3% berusia 12 – 13 tahun. rata – rata rentang usia responden dalam penelitian ini 12 – 19 tahun. dimana diusia tersebut masuk pada usia remaja, yang selalu ingin tahu dan ikut berperan dalam kesehatan terutama dalam perawatan pada diri sendiri, maka dari itu perlunya pendidikan kesehatan pada usia remaja dimana mereka akan menjalankan perannya seperti, mulai penemuan identitas diri mereka, nilai serta sikap yang didapatkan berdasarkan gaya hidup orang dewasa (potter&perry, 2012). berdasarkan hasil penelitian menurut rathore & saxena (2014) bahwa prevalensi penyakit skabies dengan perawatan secara tersier di rumah sakit paling banyak diderita di usia 11 – 20 tahun. penelitian yang sama juga dilakukan oleh lassa dkk (2011) bahwa angka kejadian penyakit skabies banyak terjadi di usia 10 – 19 tahun. sa ntr i di pondok pesa ntr en roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo sebagian besar didapatkan 70% pernah menderita penyakit kulit selama tinggal di pondok pesantren, hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar santri pernah memiliki pengalaman menderita penyakit kulit khususnya skabies. pengalaman merupakan sumber pengetahuan dan pembentuk sikap (walgito, 2010). pengalaman juga akan membentuk sikap, dimana pengalaman baik yang bersumber dari diri sendiri maupun orang lain (apalagi berupa pengalaman traumatik) akan menimbulkan sikap tertentu terhadap semua hal atau kondisi yang dihadapi saat ini yang sesuai dengan pengalamannya terdahulu. terbentuknya sikap berdasarkan sesuatu yang dipelajari melalui pengalaman hidup yang dilalui sepanjang perkembangan individu. responden dalam penelitian ini 100% tinggal di pondok pesantren. mereka mengatakan memiliki kamar yang tidak terlalu luas, tidur bersama dengan teman-temannya, yang memungkinkan kebersihan lingkungan luput dari perhatian. kebiasaan ini tentu bisa beresiko tertularnya penyakit terutama penyakit kulit skabies. didukung dengan penelitian zeba dkk (2014) yang menunjukan bahwa ada hubungan signifikan antara kepadatan penghuni dengan kejadian skabies. bersentuhan langsung misalnya saat tidur bersama-sama, terjadi kontak antar kulit, pemakaian secara bersama-sama (sprai tempat tidur, pakaian, handuk). kejadian tersebut bisa memicu terjadinya penyakit kulit skabies melalui media transmisi tungau skabies (baker dkk, 2014). kebiasaan para santri di pesantren saat beristirahat adalah menggunakan tikar atau karpet secara bersama-sama dengan santri lainnya. kondisi tersebut menjadi penyebab tidak langsung terjadinya penularan skabies. untuk mencegah kejadian penularan skabies dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan di antaranya menjemur (kasur, bantal, handuk, karpet), menggunakan kasur milik sendiri, menggunakan perlengkapan mandi sendiri. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan sikap pada responden, yaitu nilai sikap sebelum di beri intervensi 46,7% baik, setelah diberi intervensi ada peningkatan perubahan sikap yaitu 60% baik. selisih nilai rerata antara pretest dan posttest intervensi meningkat sebanyak 13,3%. hasil peningkatan rata-rata nilai sikap responden menunjukkan adanya perubahan sikap setelah diberi intervensi. berdasarkan hasil uji wilcoxon disimpulkan bahwa didapatkan signifikansi perbedaan rata-rata nilai sikap pre test dan post test (p = 0,000; = 0,05). hasil tersebut diatas membuktikan bahwa metode pendidikan kesehatan dalam bentuk modul lebih mudah dimengerti dibandingkan hanya dengan ceramah biasa dalam memahami cara mencegah penyakit skabies dan mempengaruhi perubahan sikap 82 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 077–083 pada santri. modul sebagai media pendidikan kesehatan yang efektif untuk mempengaruhi sikap seseorang. media ini bermanfaat pula meningkatkan minat sasaran untuk meneruskan pesan pada orang lain (suiroka&supariasa, 2012). pendidikan kesehatan adalah suatu media untuk mendapatkan suatu perubahan pada diri seorang individu, sebab dengan mendapatkan informasi pengetahuan menjadi meningkat, hal ini tentu akan berpengaruh pada sikap seseorang dalam peningkatan kesehatan, terutama dalam pencegahan penularan penyakit kulit skabies. pendidikan merupakan suatu proses dalam penyampaian informasi dengan tehnik yang bervariasi akan dapat meningkatkan wawasan dan berprilaku dalam pencapaian hidup seseorang (marisa, 2014). perubahan sikap pada responden menunjukkan bahwa informasi yang disampaikan dengan menggunakan modul telah berhasil diterima dengan baik. keberhasilan tersebut didukung oleh berbagai faktor diantaranya, strategi, tehnik, media yang digunakan sebagai alat bantu. sesuai dengan pendapat (arifah, 2010) bahwa keberhasilan pendidikan bagi peserta didik meliputi kurikulum, kondisi siswa, proses, sarana dan tehnik yang digunakan. perubahan sikap pada responden karena adanya penambahan media dalam memberikan pendidikan kesehatan yaitu berupa modul, sehingga memungkinkan responden untuk membacanya dirumah. perubahan perilaku individu atau masyarakat menjadi lebih baik dan sehat bisa dipengaruhi oleh informasi yang didapatkan melalui pendidikan kesehatan. kesimpulan dan saran kesimpulan santri di di pondok pesantren roudhotul muta’alimin muta’alimat jabon sidoarjo mayoritas berjenis kelamin laki-laki, pernah menderita penyakit kulit selama tinggal di pondok pesantren, dan hampir setengahnya berusia 12-13 tahun. modul skin personal hygiene sebagai media pendidika n keseha tan ma mpu menunjukka n perubahan sikap dalam pencegahan skabies. ada nya penga r uh modul skin personal hygiene sebagai media pendidikan kesehatan terhadap sikap dalam pencegahan skabies. saran bagi santri perlu meningkatkan kebersihan dan kesehatan kulit agar terhindar dari penularan penyakit kulit skabies. ba gi tempat penelitia n per lu melakukan kegiatan rutin pendidikan kesehatan melalui penyuluhan kesehatan dan merencanakan usaha–usaha yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan memperbaiki kesehatan para santri. daftar pustaka arifah, s. (2010). pengaruh pendidikan kesehatan dengan modul dan media visual terhadap pengetahuan dan sikap wanita dalam menghadapi menopause. http:/ /pasca.uns.ac.id/?p=653. diakses tanggal 10 oktober 2018. azizah, n.n. (2013). hubungan antara kebersihan diri dan lama tinggal dengan kejadian penyakit skabies di pondok pesantren al-hamdulillah rembang. skripsi : ums. baur b.,; sarkar j.,; manna n.,;& bandyopadhyay l. (2013). the pattern of dermatological disorders among patients attending the skin o.p.d of a tertiary care hospital in kolkata, india. journal of dental and medical sciences 3, 1-6. baker f. (2014). scabies management. paediatri child health. 6:775-7. chosidow o. (2011). nature of the infection. the new england journal of medicine. golant ak, and levitt jo. (2012). scabies: a review of diagnosis and management based on mite biology. pediatric rev.2012;33;e1-e12. harahap marwali. (2008). ilmu penyakit kulit. jakarta: hipokrates. hilma, u dan ghazali, l. (2014). faktor-faktor yang mempenga ruh i keja dia n ska bies di pondok pesantren mlangi nogotirto gamping sleman yogyakarta. jkki,6(3), 148-157. kuspriyanto. (2009). pengaruh sanitasi dan higiene perorangan terhadap penyakit kulit. surabaya: pps universitas airlangga. lassa s, m. j.,; campbell.,;& c. e. bennett. (2011). epidemiology of scabies prevalence in the u.k. from general practice records., br. j. dermatol vol. 164, no. 6, pp. 1329–1334. loetfia. (2008). buku ajar asuhan keperawatan klien gangguan sistem integumen. jakarta :egc marisa n. (2014). pengaruh pendidikan kesehatan gizi melalui komik gizi seimbang terhadap pengetahuan dan sikap pada siswa sdn bendungan di semarang. 3(4): 925-932. 83wijayanti, pengaruh modul skin personal hygiene... notoatmojo. (2012). pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta : rieneka cipta. potter patricia a, dan perry anne g, (2012). buku ajar fundamental keperawatan :konsep, proses, dan praktik edisi 7 vol. 1. egc. rathore p dan sungkar s. (2014). prevalence & risk factors for scabies among opd population of tertiary care hospital praveen rathore praveer saxena global reseach analysis, 2(11), 189-190. shelley fw,; currie bj. (2007). problems in diagnosing scabies, a global disease in human and animal populations cmr.268-79 suiraoka ip dan supariasa idn. (2012). media pendidikan kesehatan. yogyakarta: graha ilmu. susilo, s. (2011). pendidikan kesehatan dalam keperawatan. nuha medika. supratman. (2007). dasar dasar kesehatan masyarakat. surakarta: keperawatan fakultas ilmu kesehatan ums. utomo, t.,; wahyuni, d.,; dan hariyadi, s., (2014), pengaruh model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) terhadap pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa sumbermalang kabupaten situbondo. jurnal edukasi unej 1(1): 5-9. walgito bimo. (2010). pengantar psikologi umum. yogyakarta; penerbit andi wijayanti yuni. (2008). hubungan sanitasi lingkungan dan hygie ne pe rorangan dengan peny ak it skabies di desa genting kec. jambu kab. semarang tahun 2006 . di un duh da r i h t t p: / / eprints.undip.ac.id/32881/1/btari_sekar.pdf. pada tanggal 18 oktober 2018. zayyid m.,; saadah m.s.,; adil r., rohela a.r.,; & jamaiah. (2010). prevalence of skabies and head lice among children in a welfare home in pulau pinang, malaysia. tropical biomedicine 27, 442446. zeba n.,; shaikh d m.,; memon k.n.,; & khoharo h.k. (2014). scabies in relation to hygine ang factors ini patient visiting liaquat university hospital. sindh, 3(8), 2012 – 2015. 63ratnaningsih, alimansur, the correlation between... 63 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation between self efficacy and the learning achievement tri ratnaningsih1, moh. alimansur2 1 stikes bina sehat ppni kabupaten mojokerto 2 akademi keperawatan, dharma husada kediri, indonesia article information history article: received, 27/02/2019 accepted, 21/03/2019 published, 01/04/2019 keywords: self efficacy, learning achievement abstract self-efficacy was an individual’s confidence regarding his ability to achieve certain goals. lack of self-efficacy of students would affect their learning achievement. the purpose of this study was to prove the correlation between self-efficacy and learning achievement at elementary school. the design of this study was correlational with a cross sectional approach. the population in the study was 54 students at 6thgrade elementary school, a total sample was 54 students which used total sampling techniques. the independent variable was self-efficacy, the dependent variable was learning achievement. the data was taken using a questionnaire that had been tested for validity. the results showed that 28 of the 54 respondents had high selfefficacy and satisfying learning achievement. this showed that h1 was accepted which meant that there was a correlation between self-efficacy and learning achievement in elementary school sidoarjo district. a good selfefficacy from oneself could affect his learning achievement. people who had high beliefs with their abilities tend to succeed, while people who had low beliefs with their abilities tended to fail. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: triratna83@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i1.art.p063–069 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 64 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 063–069 introduction one of the things tha t a ffects student achievement is self efficacy. self efficacy is a belief and hope regarding individuals to face their duties. in the eva latipah study at the islamic university kalijaga result of metaanalysis on 14 effects sizes from 3899 subjects show that self regulated learning strategies is positively correlated to academic achievement (r = 0.26). the difference in variance of correlation can, among others, be caused by sampling error (4.63%) and error in measurement of independent as well as dependent variables (4.44%). this small percentage shows that error deviation probably caused by sampling error and error in measurement of independent and dependent variables was very small. result indicated that self regulated learning strategies positively influence students’ academic achievement. (latipah, 2010). in okta ver ina et. a ll study a t slema n yogyakarta, results of the research were used pretest and post-test, showed that there was increased mathematics learning motivation after training given by the value of z = -3.740 dan p = 0,000 (p < 0,05). in the pre-test and follow-up, showed that there was increased mathematics learning motivation after two weeks of training given by the value of z = 1.989 dan p = 0,047 (p < 0,05).(oktaverina & nashori, 2015). self efficacy is one aspect of self-knowledge that is most influential in human life. this is due to the self-efficacy also influences the individual in determining the actions to determine a goal, including the estimation of various events that will be faced. stated that self-efficacy is “a belief in one’s ability to organize and execute courses of action that is required to manage prospective situations”, which means that self efficacy is a person’s assessment of his ability to organize, control, and carry out a series of behaviors to achieve a desired result. ma thema tica l self-effica cy is defined a s a situational assessment of an individual’s beliefs in his ability to successfully form or complete certain tasks or mathematical problems”. self-efficacy helps a person in making choices, their efforts to progress, the persistence and perseverance they show in facing the difficulties, and the degree of anxiety or calm they experience when they maintain tasks that cover their lives (bandura, 2013). a student in the learning process often encounters various obstacles so as to reduce achievement. problems come from internal and external of the students. one of the internal factors is self efficacy. students who have low self-efficacy feel they do not have the confidence that they can complete the task, so he tries to avoid the task. low self-efficacy is not only experienced by individuals who do not have the ability to learn, but is also possible for gifted individuals. if students’ self-efficacy is low, it is possible that they will get poor performance. in order to obtain good learning achievement, it takes a serious effort to achieve it. efforts that need to be done by students include learning hard, diligently reading, taking learning seriously, being sure of their abilities, and so on. according to bandura (2008) efficacy will increase students’ success in two ways, first, efficacy will foster interest from within themselves towards activities that they consider interesting. second, someone will set themselves to achieve goals and have a strong commitment. (slavin, robert, 2008). student learning achievement is influenced by several factors, namely internal factors and external factors. internal factors include the first are physical factors, namely body health, sensory, second is a psychological factor which includes the first is intelligence factor, second is attitudes and third motivation and self-will. external factors include factors in the family environment and community environment. individual motivation arises through optimistic thinking from inside to realize the expected goals. individuals try to motivate themselves by establishing confidence in the actions, planning actions that will be realized. there are several kinds of cognitive motivation that are built from several theories that cause attributions that originate from attribution theory and expectation of results formed from the theory of value appreciation. self efficacy influences causation, where motivation is governed by the outcome expectation and the outcome value. outcome expectation is an estimate that certain beha vior s or a ctions will ca use specia l consequences for individuals. this contains beliefs about the extent to which certain behaviors will have certain consequences. outcome value is a value that has meaning from the consequences that occur when a behavior is carried out. individuals must have a high value outcome to support the outcome expectation.(diknas, 2013). based on the results of a preliminary study conducted on february 15, 2018 the results of interviews and observations of 3 out of 5 children had feelings of doubt over the results of their 65ratnaningsih, alimansur, the correlation between... learning, they felt less confident in their abilities and from them had experienced a decline in grades that they considered difficult , they also complained because the lesson was too difficult and could not do the task. so that they are not sure about every study or test even if there is motivation from parents. but they are still not sure about their learning, their attitude is quiet and shy when a teacher gives a question to him, the value decreases, 60 while the school gives a score of 75. whereas 2 children have high confidence in the results of their learning so far with a value above minimal completeness criteriawhich is 80. based on the results of interviews with the homeroom teacher that there are students who do have feelings of uncertainty, especially in lessons that are considered difficult, he also added that there were students who were shy, passive and some who could not follow the lesson at all in the lesson so the value was less satisfying. one of the factors that influence learning achievement according is self-efficacy. selfefficacy is belief and hope about the ability of individuals to deal with their duties.(latipah, 2010). journal of educational sciences states that various studies show self-effica cy has an effect on motivation, tenacity in facing difficulties from a task, and learning achievement. the purpose of this study was to prove the correlation between self-efficacy and learning achievement at elementary school in elementary school sidoarjo district. method the research design used is correlational analityc with cross sectional approach, namely the type of research that emphasizes the time of measurement or observation of independent and dependent variable data only once at a time (nursalam, 2013). the population in this study were all 6th grade students, as many as 54 male and female students in elementary school, sidoarjo district. the sampling technique in the research that will be conducted is total sampling. total sampling is a sampling technique by selecting random samples between populations according to what the researcher wants (objectives / problems in the study) (nursalam, 2013). t his r esea r ch sa mple used is the entir e population, namely 6th grade students in elementary school sidoarjo district, amounting to 54 male and female students. the instr ument used wa s a questionnaire with a likert scale and doing the observation of even semester report cards. the instrument of self efficacy uses a questionnaire that has been tested for validity, on the achievement instrument using secondary data, that is, from the student report cards. result the results of the study were conducted on 30 april 22 may 2018 in elementary school sidoarjo district. the data was obtained as follows : the characteristic of respondents based on the gender of sixth grade students age in elementary school sidoarjo district no characteristic f % total 1 gender male 24 44,4 100% female 30 55,6 2 age 12 years 34 63 100% 13 years 20 37 table 1 the characteristic of respondents based on the gender of sixth grade students and age in elementary school sidoarjo district based on table 1 above, from 54 respondents, obtained data 24 male respondents (44,4%) and 30 female respondents (55,6%). from 54 respondents, obtained data that most of responedents were 12 years old as many as 34 respondents (63%) and respondents with the age of 13 years old were 20 respondents (37%). the characteristic of respondents based on the parents’ job of sixth grade students in elementary school sidoarjo district no. parents’ job f % 1. private 22 40.7 2. teacher 4 7.4 3. entrepreneur 28 51.9 total 54 100 table 2 the characteristic of respondents based on the parents’ job of sixth grade students in elementary school sidoarjo district 66 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 063–069 based on table 3 above, it was obtained that respondents who had high self efficacy as many as 28 students (51,9%) and respondents who had low self efficacy as many as 26 students (48,1%). based on table 5, from cross tabulation result could be seen that from 54 respondents there were 28 students (100%) who had high self efficacy and satisfying learning achievement while students who had low self efficacy and not satisfying learning achievement as many as 24 respondents (92,3%). discussion self efficacy of sixth grade students in elementary school sidoarjo district the results of the study based on table 3 conducted in elementary school, sidoarjo district on 54 respondents obtained results < respondents who have high self efficacy is 28 (51.9%) while based on table 2 above, from 54 respondents, obtained data that most of parents’ job of respondents was private as many as 22 people (40,7%) and entrepreneur as many as 28 people (51,9%). the characteristic of respondents based on the self efficacy of sixth grade students in elementary school sidoarjo district no. self efficacy f % 1. high self efficacy 28 51.9 2. low self efficacy 26 48.1 total 54 100 table 3 the characteristic of respondents based on the self efficacy of sixth grade students in elementary school sidoarjo district no. learning achievement f % 1.  75 satisfying 52 96.3 2. <75 not satisfying 2 3.7 total 54 100 table 4 the characteristic of respondents based on the learning achevement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district the characteristic of respondents based on the learning achevement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district based on table 4 above, data of respondents who had learning achievement of e”75 satisfying as many as 52 students (96,3%) and respondents who had learning achievement of <75 not satisfying as many as 2 student (3,7%). the characteristic of respondents based on the correlation of self efficacy and learning achevement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district no self efficacy learning achievement total  75 satisfying  75 not satisfying f % f % f % total 52 96,3 2 3,7 54 100 table 5 the characteristic of respondents based on the correlation of self efficacy and learning achevement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district respondents who have low self efficacy are 26 (48,1%) argues that self-efficacy is “a belief in one’s ability to organize and execute courses of action that is required to manage prospective situations”, which means that self-effica cy is a person’s assessment of his ability to organize, control, and carry out a series of behaviors to achieve a desired result. data on elementary school students in sidoarjo are men totaling 69.694 students and women 64.393, total 134.087 students. from the results of research conducted at elementary school, sidoarjo district, it was found that individuals have high self efficacy. this is because there are several factors according to, namely gender, personality. 1 high 28 100 0 9 28 100 2 low 24 92,3 2 7,7 26 100 67ratnaningsih, alimansur, the correlation between... individuals with high self efficacy tend to learn more and achieve more, these students will improve their ability to arrange the actions needed to complete tasks faced with confidence. conversely, if these students experience low self-efficacy, they will experience failure in accomplishing tasks and lacking confidence. judging from male and female sex, they tend to have different self efficacy. students with male gender have a higher self efficacy than female, men have a higher estimate of how well they are capable of doing new tasks. with this, men have higher hopes for their future in agreement with stating that the most important thing is differences caused by cultural expectations and norms, for example, twelfth grade girls have much lower values than boys in the quantitative scolastic assay (sat) and on advanced placement tests in mathematics (slavin, robert, 2008) . whereas from observations with students in elementary school sidoarjo regency, it was found that many male students experienced high self efficacy, seen from students who were enthusiastic and ready to receive lessons, students were more relaxed in doing the assignments given by the teacher, more focus on listening and seeing the teacher teaching. this is because students have bad scored on previous examinations, including those that they consider difficult. so students are more active and diligent in learning and get support from parents. different from women, they tend to consider themselves less capable and less prepared in lea r ning including difficult lessons such a s mathematics in agreement with zimmerman saying that there are differences in the development of the abilities and competencies of men and women. this is because in the lesson they were not capable enough in answering questions from their teacher and relying more and throwing the question to their friends. while in terms of the personality of students who have a quiet personality different from the opinion of. people with extroverted characters have higher self efficacy, in fact students who have a quiet nature can also have high self efficacy because students are able to process himself to be more thorough in working on new assignments given by his teacher, including students getting support and encouragement from parents at home to be even more active in learning. so that the individual is able to increase interest in learning because there is encouragement from parents and teachers and peers.(jatisunda, 2017). learning achievement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district the results of the study based on table 4 conducted at elementary school, sidoarjo district on 54 r espondents obta ined the r esults of respondents with lea rning achievement e”75 satisfying that was 52 respondents (96.3%) while respondents who had an achievement of <75 not satisfying as much as 2 respondent (3.7% ). whereas according to the word “achievement” shows the meaning of good results achieved by someone after doing activities. achievement is the result and activities carried out to achieve certain goals.(kisti & fardana, 2012). from the research that has been done in elementary school, sidoarjo district, 27 respondents were found with learning achievement of  75 satisfying, as many as 52 respondents (96.3%) while respondents who had an achievement of <75 did not satisfy as many as 2 (3.7%) respondents. learning achievement also has several factors which include external factors, namely socioeconomic of family, parental education, parents’ attention and the atmosphere of the relationship between family members, school facilities and infrastructure, teacher and student competence, curriculum and methods in teaching. whereas internal factors are body health, sensory, intelligence, attitude, motivation. one of the factors that influence the learning achievement is the family socioeconomic according to sumadi suryabrata and shertzer and stone in winkle. with adequate socioeconomic conditions, students ha ve mor e opportunities to get better learning facilities, ranging from books, stationery to school selection. so that it is not denied that female students who have less family social status will tend to be less fulfilled needs, and of course it is difficult to provide a place to learn as a result students will feel disappointed if what is needed is not fulfilled, the enthusiasm for learning can be back down and they can feel inferior to the themes of their friends. conversely, if the female students have enough family social economy then this can support and encourage them to achieve more achievement. moreover, if parents’ students has enough economy, the facilities will be complete, so that it will make them feel comfortable because the place to study supports them to be more enthusiastic in studying (warsito, 2012). 68 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 063–069 the correlation analysis of self efficacy and the learning achievement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district based on table 5 the results of cross tabulation can be seen that from 27 respondents with high self efficacy and satisfying learning achievement as many as 28 respondents (100%) while those who have low self efficacy and unsatisfying learning achievement as many as 24 respondents (92.3%). in accordance with the opinion of albert bandura (1997) stated that self-efficacy is “beliefs in one’s capabilities to organize and execute courses of action required to manage prospective situations”, which means that self efficacy is a person’s assessment of his ability to organize, control, and carry out a series of behaviors to achieve a desired outcome. it can be concluded that students who have good self efficacy have higher self-confidence, in facing a problem that is in themselves and can assess where the limits of the student’s ability to learn. this study supports the research conducted by mulafi janatin in 2015 with the title “the relationship between self efficacy and learning achievement of students in grade iv to cluster ii bantul sub-district 2014/2015 academic year” with conclusions of the results showed that there was a positive and significant correlation between self efficacy and student achievement. the results of this study also support the previous research conducted by pertiwi 2015 “the effect of self efficacy on learning outcomes in class v students of elementary schools in the district iv in cilacap selatan sub-district, cilacap district” the results showed that there was a significant effect of self efficacy on student learning outcomes. this proves that self efficacy can affect student learning achievement (janatin, 2015). from the results of this study also found that students who have high self efficacy as much as 28 (100%). this is because there are students who have high self efficacy but have low achievements and vice versa, there are students who have low self efficacy but have high achievements. based on the results of interviews with students who stated that students had gotten bad grades before for certain subjects that were considered difficult, students also stated that some of the teachers were unsatisfying in teaching, students also stated that when they had learned before faced a test but when the test was started they were cheating with their friends because students are not sure and feeling unable to learn. students also state that they have been supported and motivated by their parents but students still feel that they are less capable of their own abilities. as a result, students who have received poor grades are considered less capable and not ready to learn. on the contrary students with low self efficacy but have high achievement, stated that they saw their friend who had failed in previous learning and when the test occured students were more likely to do it themselves without cheating on their friends, and doing it carefully. so that students also feel confident that are able to learn and also get support and encouragement from parents and teachers to be more excited to learn. students who get good and maximum achievements can be a reference for other students to always try to do it themselves according to their abilities (latipah, 2010). in febriani handayani’s research entitled the relationship between self efficacy and student achievement of acceleration at junior high school surabaya with the results of the study data obtained under achievement report cards grade students. data analysis techniques used using spearman rank correlation analysis with significance level 0.05. this research resulted in the correlation coefficient (r = 0.657) with p = 0.000 for significance value is less than the error rate (p <0.05) then the hypothesis is accepted. this means that there is a relationship between self efficacy by accelerating student achievement. this study proves that students with self efficacy acceleration that they know they have completed the task difficulty level and believe their effor ts in a va r iety of situa tions. students acceleration with high self-efficacy believe they can improve the performance of the desired learning with peers who ha ve the same intelligence. (handayani, 2013). in the r esear ch of ha di wa rsito a t fip university country of surabaya. pursuant to result of this research, can be concluded that self-efficacy have significant correlation of causal with academic adjustment and academic of achievement of student on science faculty education of country university of surabaya. (warsito, 2012). some of the results of the above studies are in accordance with the results of this study, namely that there is a significant relationship between self efficacy and student achievement. 69ratnaningsih, alimansur, the correlation between... conclusions and suggestions conclusions suggestions for respondens it should do preparing to be more confident in doing the tasks given by the teacher and be open or more active in doing activities at school. for those who have a lack of confidence and who are less active, they can do things that they really like to be more enthusiastic. because it will help him to be more confident little by little. teachers are expected to give more attention to students who have lack motivation in learning, helping them to do lessons that they are indeed poorly understood, or by doing additional hours to study again. parents are expected to know the problem faced by their child whether in school or in home, so parents can help in the learning process of their child and motivate them to be better in learning. the next researchers are expected to develop further about other factors related to learning achievements, namely parents’ education, parents’ attention. therefore, it is possible to conduct research that reveals other factors to be used as variables related to learning achievement. references bandura, a. (2013). self efficacythe exercise of control,. new york: w.h.freeman and company. diknas. (2013). panduan kurikulum sekolah dasar negeri. jakarta: diknas. handayani, f. (2013). hubungan self efficacy dengan prestasi belajar siswa akselerasi. character: jurnal penelitian psikologi., 1(2). janatin, m. (2015). hubungan antara self efficacy dengan prestasi belajar siswa kelas iv sd segugus ii kecamatan bantul tahun ajaran 2014/ 2015. jatisunda, m. g. (2017). hubungan self-efficacy siswa smp dengan kemampuan pemecahan masalah matematis. theorems (the original research of mathematics), 1(2). kisti, h. h., & fardana, n. a. (2012). hubungan antara self efficacy dengan kreativitas pada siswa smk. jurnal psikologi klinis dan kesehatan mental, 1(2), 52–58. latipah, e. (2010). strategi self regulated learning dan prestasi belajar: kajian meta analisis. jurnal psikologi, 37(1), 110–129. nursalam. (2013). konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. oktaverina, i., & nashori, h. f. (2015). efektivitas pelatihan efikasi diri dalam meningkatkan motivasi belajar matematika siswa sekolah menengah pertama. jurnal psikologi talenta, 1(1), 1–14. slavin, robert, e. (2008). psikologi pendidikan teori dan praktek eisi kedelapan. jakarta: pt indeks. jakarta. warsito, h. (2012). hubungan antara self-efficacy dengan penyesuaian akademik dan prestasi akademik (studi pada mahasiswa fip universitas negeri surabaya). pedagogi: jurnal ilmu pendidikan, 9(1), 29–47. self effica cy of sixth gra de students in elementary school sidoarjo district was mostly had high self efficacy with 28 respondents. learning achievement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district was mostly e”75 satisfying as many as 52 respondents. there was a correlation between self efficacy learning achievement of sixth grade students in elementary school sidoarjo district. this showed that the higher self efficacy that students had, the better achievement they got, and vice versa. 89syarifah, nugroho, fauzi, munir, wahid, hubungan spiritual coping dengan ... 89 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan spiritual coping dengan self monitoring pada pasien diabetes melitus tipe 2 di poli klinik penyakit dalam rsud waluyo jati kraksaan probolinggo siti syarifah1, setiyo adi nugroho2, ahmad kholid fauzi3, zainal munir4, abdul hamid wahid5 1,2,3,4,5fakultas kesehatan, universitas nurul jadid paiton probolinggo info artikel sejarah artikel: diterima,12/08/2019 disetujui, 26/11/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: spiritual coping; pemantauan diri; diabete melitus tipe 2 abstrak spiritual merupakan salah satu faktor penting untuk meningkatkan pemantauan diri bagi pasien diabetes melitus tipe 2. tingkat spiritualitas yang tinggi dapat mempengaruhi kognisi manusia untuk berpikir positif. pasien dengan diabetes dua kali lebih beresiko mengalami status kecemasan, depresi dan masalah psikologis yang serius. tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan spiritual coping dengan self monitoring pada klien dm tipe 2. desain dalam penelitian adalah cross sectional, yaitu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan dan selanjutnya menjelaskan suatu keadaan tersebut melalui pengumpulan data pengukuran variabel korelasi yang terjadi pada objek penelitian secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan, dengan jumlah sampel 110 responden, variabel bebas dalam penelitian ini spiritual coping dan variabel terikat dalam penelitian ini adalah self monitoring. dengan, teknik pengambilan sampel dilakukan secara probability sampling, yaitu dengan cara simple random sampling yang mana jenis probabilitas yang paling sederhana. untuk mencapai sampling ini, setiap elemen diseleksi secara acak. hasil penelitian didapatkan hubungan yang signifikan (p=0,002<0,05) antara hubungan spiritual coping dengan self monitoring. kesimpulannya: tedapat hubungan spiritual coping dengan self monitoring pada klien diabetes mellitus tipe 2 di poli klinik penyakit dalam rsud waluyo jati kraksaan probolinggo. relationship spiritual coping with self monitoring in diabetes melitus type 2 patients in clinic poly disease in waluyo jati kraksaan probolinggo patients history article: received,12/08/2019 accepted, 26/11/2019 published, 05/04/2020 keywords: spiritual coping; self monitoring; diabete melitus tipe 2 article information abstract spiritual is one of the important factors to increase self-monitoring for type 2 diabetes mellitus patients. high spiritual level can influence human cognition to think positively. patients with diabetes are twice as likely to experience anxiety, depression, and serious psychological problems. objective: this study is to determine the relationship between spiritual coping and self monitoring on dm type 2 clients. the design in this study is cross sectional, namely research that aims to describe or describe a situation and then explain a situation through collecting data that meahttp://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p089-094&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 90 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 089–094 correspondence address: universitas nurul jadid paiton probolinggo east java, indonesia p-issn : 2355-052x email:syarifahghazali96@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/v7i1.art.p089–094 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan diabetes mellitus (dm) meningkat setiap tahun. banyak penderita diabetes yang semakin mampu bertahan hingga usia tua meski hingga kini belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini (marewa, 2015). diabetes mellitus adalah penyakit metabolik di mana tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin (tipe 1), atau menggunakan insulin itu sendiri secara efektif (tipe 2), diabetes mellitus adalah salah satu penyakit kronis yang paling cepat berkembang di dunia dengan jumlah orang dewasa yang hidup dengan dm hampir empat kali lipat sejak 1980 (world health organization, 2016). diabetes mellitus adalah ancaman serius bagi kesehatan manusia di seluruh dunia. 50% hingga 75% kematian terkait dengan diabetes mellitus disebabkan oleh disfungsi makrovaskular (duan et al., 2014). diabetes membunuh lebih dari 4,9 juta orang dewasa per tahun. penyakit ini menjadi penyakit yang meningkat pesat dan tidak menular sebagai ancaman utama bagi kesehatan masyarakat (kassahun & mekonen, 2017). hasil laporan statistik federasi diabetes internasional (idf) menyatakan bahwa ada 3,2 juta kasus kematian akibat diabetes mellitus tipe 2 setiap tahun (dewi, 2014). perkiraan terbaru adalah federasi diabetes internasional (idf), ada 382 juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun 2013. pada tahun 2035 jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. diperkirakan dari 382 juta orang, 175 juta dari mereka belum didiagnosis sehingga mereka terancam untuk semakin berkembang menjadi komplikasi yang tidak disadari dan tidak rumit (kemenkes ri, 2014). prevalensi diabetes mellitus pada orang dewasa telah meningkat dari 20 menjadi 79 tahun dan diproyeksikan meningkat dari 6,4% pada 2010 menjadi 7,7% pada 2030 (berardi, bellettiere, & nativ, 2016). indonesia saat ini masuk dalam daftar 10 penderita diabetes tertinggi di dunia, peringkat ke-7. jenis diabetes yang kebanyakan orang indonesia rasakan adalah tipe kedua, yang sangat erat hubungannya dengan pola makan yang salah dan gaya hidup yang tidak tepat. tahun lalu, menurut idf (international diabetes federtion), indonesia memiliki sekitar 9,1 juta orang dengan diabetes. dan, diperkirakan pada 2035, jumlahnya akan mencapai 14,1 juta (hans, 2018). meningkatnya jumlah penderita diabetes mellitus dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor seperti genetik/genetik, ras/etnis, obesitas, sindrom metabolik, kurangnya aktivitas fisik, usia, kehamilan, infeksi, dan stres (hans, 2018). dari faktor-faktor ini, stres adalah salah satu penyebab diabetes (nancy, elaine, stoller, & cary, 2005). diabetes mellitus dapat menyebabkan pasien mengalami banyak perubahan dalam gaya hidup mereka, seperti pembatasan diet, manajemen perawatan diri dan tingkat glukosa, yang semuanya sures the correlation variable that occurs on the research object simultaneously or simultaneously, with a sample of 110 respondents. the independent variable in this study is spiritual coping and the dependent variable in this study is self monitoring. with, the sampling technique is done by probability sampling, namely by means of simple random sampling which is the simplest type of probability. to achieve this sampling, each element is chosen randomly. the results showed a significant relationship (p = 0.002 <0.05) between the relationship of spiritual coping with self monitoring. in conclusion: there is a relationship between spiritual coping and self monitoring on type 2 diabetes mellitus clients in the internal medicine clinic at waluyo jati kraksaan probolinggo hospital. ©2020jurnal ners dan kebidanan https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 91syarifah, nugroho, fauzi, munir, wahid, hubungan spiritual coping dengan ... berkontribusi pada perasaan stres mengenai penyakit kronis (fatehi, 2015). gangguan mental untuk nonpsikotik seperti stres dapat diatasi dengan menggunakan spiritual (wicaksana, 2008). spiritualitas memiliki dampak positif pada kesehatan dan kesejahteraan dan mendukung orang dengan penyakit kronis untuk mendorong tanggung jawab pribadi untuk kesehatan dan kesejahteraan. selanjutnya, spiritualitas juga diidentifikasi sebagai strategi mengatasi dalam mengelola penyakit kronis (leeuwen, 2017) . penelitian sebelumnya pada populasi afrika amerika menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kesejahteraan spiritual dan mengatasi diabetes, kontrol glikemik, dan manajemen diri (jafari, farajzadegan, loghmani, majlesi, & jafari, 2014). hal ini diperkuat dalam penelitian unantenne dkk (2013) yang menyatakan bahwa, bagi sebagian orang, spiritualitas sama pentingnya dengan melihat penyedia kesehatan sebagai sarana mengelola kesehatan fisik dan mental yang buruk. sakit sering menciptakan masalah emosional dan eksistensial dan semakin banyak orang yang sekarang percaya bahwa spiritualitas adalah penyumbang kunci kesehatan itu sendiri dikenal di beberapa kalangan sebagai ‘kesehatan rohani’, seperti diabetes melitus tipe 2 (t2dm) dan penyakit kardiovaskular (cvd), (unantenne, warren, canaway, & manderson, 2013b). bedasarkan fenomena yang telah diuraikan diatas bahwa, spiritual ada hubungannya dengan kontrol glikemik. untuk penelitian ini sudah pernah di lakukan diluar negri, secara kualitatif dan kuantitatif. akan tetapi di indonesia khususnya di jawa timur belum pernah dilakukan penelitian ini. bahan dan metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yang berbentuk penelitian korelasional yang hakikatnya mengkaji tentang variabel. pendekatan penelitian dilakukan secara cross sectional. yang mana cross sectional ini adalah jenis penelitian yang melakukan waktu pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner. populasi pada penelitian adalah seluruh pasien dm tipe 2 dalam tiga bulan terakhir sebanyak 151 orang, sedangkan sampel yang digunakan sebanyak 110 orang, dengan tekhnik pengambilan sampel dilakukan secara probability sampling, yaitu dengan cara dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa nilai rata-rata umur adalah 52,30 dengan nilai terendah adalah 32, dan nilai tertinggi adalah 70. dan dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata nilai umur berada pada rentang nilai 50,01-54,59. simple random sampling yang mana jenis probabilitas yang paling sederhana. untuk mencapai sampling ini, setiap elemen diseleksi secara acak. hasil penelitian variabel frekuensi % jeniskelamin 1. perempuan 64 58,2 2. laki-laki 46 41,8 tingkat pendidikan 1. tinggi 28 25,5 2. rendah 12 14,7 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin, dan tingkat pendidikan tabel tersebut menunjukkan bahwa respondent penderita diabetes mllitus tipe 2 jumlah paling banyak adalah responden perempuan, yaitu sebesar 58,2%. sedangkan tingkat pendidikan dapat diketahui bahwa respondent penderita diabetes mllitus tipe 2 jumlah paling banyak yaitu sd 28 orang (25,5%). variabel mean±sd 95%ci usia 52,30±12,112 50,01-54,59 tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan usia spiritual coping frekuensi % baik 72 65,5 buruk 38 34,5 tabel 3 spiritual coping pasien diabetes militustipe 2 tabel tersebut menjelaskan bahwa jumlah responden yang paling banyak memiliki spiritual coping kategori baik yaitu 72 responden (65,5%) 92 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 089–094 diabetes diindikasikan dalam beberapa studi. rafferty, billig, & mosack, (2015) dalam penelitiannya mengatakan bahwa spiritualitas juga telah dikaitkan dengan peningkatan kontrol glikemik dan perilaku pemantauan diri untuk individu yang hidup dengan diabetes (rafferty, billig, & mosack, 2015). individu dengan tingkat spiritual yang tinggi, lebih memungkin untuk memenuhi atau melakukan pengobatan di rumah sakit, dan melakukan perilaku perawatan diri yang positif dalam manajemen diabetes. (torosian, m. h., & biddle, v. r, 2015). ketika spiritual sesorang baik, maka akan lebih memungkinkan untuk melakukan hal-hal yang positif, karena fikiran dibuat untuk memikirkan hal-hal yang baik atau positif, sehingga dari fikiran yang baik akan menghasilkan suatu tindakan atau perbuatan yang baik, seseorang akan mulai sadar betapa pentingnya dan betapa mahalnya rasa nikamt sehat, sehingga orang akan berfikir bagaimana caranya agar bisa sembuh dan sehat kembali yaitu dengan cara mematuhi semua perawatan kesehatan yang dianjurkan tenaga medis dan perawatan yang bisa dilakukan sendiri dirumah. dengan tidak melupakan spiritual untuk terus bisa berfikir positif. spiritualitas memiliki hubungan yang signifikan dengan manajemen diet pada penderita dm. spiritual juga efektif dalam membantu mengubah kebiasaan negatif seseorang (astuti, a.d, 2017). selain itu, individu dengan tingkat spiritual yang tinggi lebih cenderung untuk mematuhi rejimen pengobatan yang direkomendasikan, melakukan perilaku perawatan diri yang positif, dan menggunakan lebih sedikit sumber daya medis yang diperlukan dalam manajemen diabetes (henrietta h. hanna, 2006). menyetujui perilaku pada pasien dengan diabetes tipe 2 miletus membahas pemantauan darah di rumah, mengatur asupan makanan sehari-hari di rumah atau diet, mengatur pengobatan di rumah dan melakukan aktivitas fisik (rahman & sukmarini, 2017). menurut shrivastava & ramasamy ada tujuh perilaku perawatan diri yang penting pada penderita diabetes yang memprediksi hasil yang baik. yaitu makan sehat, aktif secara fisik, memantau gula darah, mematuhi obat, keterampilan pemecahan masalah yang baik, keterampilan koping yang sehat, dan mengurangi risiko perilaku untuk komplikasi (shrivastava, & ramasamy, 2013). pendidikan sangat penting bagi pasien diabetes tipe 2, ini karena diabetes tipe 2 umumnya terjadi ketika pola dan perilaku gaya hidup telah terbentuk. pendidikan dapat digunakan sebagai patokan untuk self monitoring frekuensi % baik 68 61,8 buruk 42 38,2 table 4 self monitoring pada pasien diabetes melitus tipe 2 tabel tersebut menjelaskan bahwa jumlah responden yang paling banyak memiliki self monitoring kategori baik yaitu 68 responden (61,8%) f % f % baik 52 47,3 20 18,2 0,002 buruk 16 14,5 22 20,0 total 68 61,8 42 38,2 table 5 hubungan spiritual coping dengan self monitoring spiritual coping self monitoring pbaik buruk tabel tersebut menunjukkan tabulasi silang antara hubungan spiritual coping dengan self monitoring pada klien diabetes mellitus tipe 2. didapatkan hasil bahwa responden spiritual coping kategori baik sebanyak 52 orang (47,3) memiliki self monitoring yang baik, sedangkan responden spiritual coping kategori buruk 22 orang (20,0%) memiliki self monitoring yang buruk. hasil uji statistik korelasi spearman’s rho didapakan bahwa nilai p sebesar 0,002. karena nilai p < 0,05 maka h0 ditolak dan ha diterima, yang menyatakan bahwasannya ada hubungan antara spiritual coping dengan self monitoring pada klien diabetes mellitus tipe 2. pembahasan hasil uji statistik korelasi spearman’s rho didapakan bahwa nilai r sebesar 0,295** yang menunjukan adanya korelasi yang positif dan tingkat kolerasi yang kuat dan significant antara spiritual coping dengan self monitoring. semakin baik spiritual coping yang dimiliki pasien maka akan semakin baik self monitoring yang dimiliki pasien. dalam penelitian lainnya dikatan bahwa pentingnya menangani spiritualitas dalam manajemen 93syarifah, nugroho, fauzi, munir, wahid, hubungan spiritual coping dengan ... deskripsi seseorang yang dapat menerima informasi yang baik melalui pendidikan (laili, n. 2013). pendidikan dapat memengaruhi seseorang termasuk perilaku seseorang tentang gaya hidup, terutama dalam memotivasi untuk berpartisipasi dalam pengembangan kesehatan (notoatmodjo, 2003). hal utama dalam mengelola dm selalu tentang pemantauan gaya hidup, termasuk perencanaan makan, latihan fisik, penggunaan obat hipoglikemik secara teratur, pengendalian berat badan, pemantauan kadar glukosa darah atau urin dan mengendalikan kondisi emosional dan psikologis penderita (anderson, dkk, 2000). najmeh, (2014) menyebutkan bahwa kualitas spiritual yang buruk menyebabkan sebagian besar pasien jatuh ke dalam depresi. kondisi ini pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. sangat penting bahwa kami memperhatikan penanganan spiritualitas dan religiusitas dalam pengelolaan diabetes mellitus. beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kesejahteraan spiritual dan manajemen diabetes seperti kontrol glikemik dan pemantauan diri (jafari et al., 2014). hoyle & sowards (1988) menambahkan orang dengan kontrol diri tinggi digambarkan memiliki keterampilan untuk secara selektif mengendalikan diri mereka sendiri dalam keadaan emosional sesuai dengan kesesuaian situasional mereka. sebaliknya, orang yang memantau diri rendah digambarkan sebagai menunjukkan sensitivitas situasional yang kurang dan menggunakan lebih sedikit kontrol atas keadaan emosional mereka (hoyle & sowards, 1988). dalam penelitian lain pemantauan diri juga merupakan komponen penting dalam pengobatan diabetes mellitus modern. pemantauan independen telah direkomendasikan untuk pasien dengan diabetes dan penyedia layanan kesehatan untuk mencapai ka da r glukosa dar ah spesifik da n mencegah hipoglikemia (kiki rizki amelia, 2009). kesimpulan ada hubunga n a nta r a spiritual coping dengan self monitoring pada pasien diabetes melitus tipe2. saran semoga penelitian ini bisa dijadikan bahan informasi pengetahuan dan memberi manfaat serta solusi yang tepat dan juga bias digunakan sebagai salah satu intervensi keperawatan dalam pengobatan pada kasus diabetes mellitus tipe 2. daftar pustaka berardi, v., bellettiere, j., & nativ, o. (2016). fatalism , diabetes management outcomes , and the role of religiosity. journal of religion and health, 55(2), 602–617. https://doi.org/10.1007/s10943-0150067-9 dewi, r. k. (2014). diabetes bukan untuk ditakuti tetap sehat dengan pengaturan pola makan bagi penderita diabetes tipe 2 (cet.1). jakarta selatan: imprint agromedia pustaka. duan, x., zhan, q., song, b., zeng, s., zhou, j., long, y., … xia, j. (2014). journal of diabetes and its complications detection of platelet microrna expression in patients with diabetes mellitus with or without ischemic stroke. journal of diabetes and its complications, 28(5), 705–710.https:// doi.org/10.1016/j.jdiacomp.2014.04.012 fatehi, z. (2015). depression , anxiety , and stress burdens among jordanian patients with type 2 diabetes mellitus,17, 1–8. hans, t. (2018). segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang diabetes (2nd ed.). jakarta: pt gramedia pustaka utama. henrietta h. hanna, m.s., c.n.s., b.a., r. . (2006). the influence of self-efficacy and spirituality on preview self-care behaviors and glycemic control in older african americans with type 2 diabetes. hoyle, r. h., & sowards, b. a. (1988). self-monitoring and the regulation of social experience/ : a control-process model. 1(3), 280–307. jafari, n., farajzadegan, z., loghmani, a., majlesi, m., & jafari, n. (2014). spiritual well-being and quality of life of iranian adults with type 2 diabetes. 2014. kassahun, c. w., & mekonen, a. g. (2017). knowledge, attitude, practices and their associated factors towards diabetes mellitus among non diabetes community members of bale zone administrative towns, south east ethiopia. a cross-sectional study. plos one, 12(2), 1–19. https://doi.org/ 10.1371/journal.pone.0170040 kemenkes ri. (2014). waspada diabetes eat well live well. jakarta. kiki rizki amelia, y. s. (2009). self-monitoring of blood glucose dalam me ncegah ne uropati pada ekstremitas bawah pasien diabetes mellitus tipe 2. 58–72. laili, n. (n.d.). hubungan diabetes self-management dengan kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe 2 di rs amelia pare kediri. leeuwen, a. j. j. m. v. r. van. (2017). the role of 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 089–094 spirituality in lifestyle changing among patients wi th chronic cardiov ascul ar di se ase s/ : a literature review of qualitative studies. journal of religion and health, 56(4), 1460–1477. https:// doi.org/10.1007/s10943-017-0384-2 marewa, lukman waris. (2015). kencing manis (diabetes mellitus) di sulawesi selatan (1st ed.). jakarta: yayasan pustaka obor indonesia. nancy, e., elaine, m., stoller, e. p., & cary, s. (2005). situating stress/ : lessons from lay discourses on diabetes. notoatmodjo. (2003). metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. unantenne, n., warren, n., canaway, r., & manderson, l. (2013). the strength to cope/ : spirituality and faith in chronic disease,(december). https:// doi.org/10.1007/s10943-011-9554-9 publikasi, n., astuti, a. d. w. i., studi, p., keperawatan, i., kedokteran, f., ilmu, d. a. n., & yogyakarta, u. m. (2017). hubungan tingkat spiritualitas dengan self efficacy pada pasien diabetes melitus di wilayah kerja puskesmas mlati i yogyakarta. rahman, h. f., & sukmarini, l. (2017). efikasi diri , kepatuhan , dan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2 ( self efficacy , adherence , and quality of life of patients with type 2 diabetes ). 2, 108–113. rafferty, k. a., billig, a. k., & mosack, k. e. (2015). spirituality, religion, and health: the role of communication, appraisals, and coping for individuals living with chronic illness, 54(5), 1870–1885. robert m. anderson, martha m. funnell, james t. fit zgera ld, d. g. m. (2000). the di abet es empowerment scale. 23(6), 2–6. shrivastava, s. r., shrivastava, p. s., & ramasamy, j. (2013). role of self-care in management of diabetes mellitus. 1–5. wicaksana, i. (2008). mereka bilang aku sakit jiwa. yogyakarta: kanisius. world health organization. (2016). world health statistics. switzerland: world health organization. 148 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 148–156 148 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk efek kartu kendali edukasi inisiasi menyusu dini pada ibu hamil trimester iii muldaniyah1, mardiana ahmad2, veni hadju3 1,2,3fakultas keperawatan, universitas hasanuddin makassar info artikel sejarah artikel: diterima, 30/08/2018 disetujui, 18/04/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: kartu, kendali, edukasi, pengetahuan, imd abstrak pencapaian inisiasi menyusu dini (imd) di indonesia masih sangat rendah, hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan ibu dalam pelaksanaan imd. terkait permasalahan ini maka dibutuhkan instrumen yang tepat untuk menambah pengetahuan ibu hamil secara komperehensif. penelitian ini bertujuan mendesain dan memvalidasi kartu kendali edukasi imd pada ibu hamil trimester iii yang dapat digunakan oleh bidan dalam meningkatkan pengetahuan imd pada ibu. kartu di desain dan diuji coba terlebih dahulu oleh beberapa tim ahli untuk divalidasi kepada beberapa orang sampel sebelum akhirnya digunakan kepada sampel pasien. jenis penelitian ini adalah quasi eksperiment dengan desain one grup pretest – posttest with control. populasi penelitian ini adalah semua ibu hamil di puskesmas jumpandang baru makassar, tehnik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling. sampel sebanyak 60 orang dibagi menjadi 2 kelompok. kelompok perlakuan menggunakan kartu kendali dan kelompok kontrol tanpa menggunakan kartu kendali. pengumpulan data menggunakan kuesioner yang diberikan sebelum dan sesudah edukasi. analisis menggunakan uji chi square, mann whitney dan friedman. kartu kendali edukasi divalidasi oleh 3 tim ahli yaitu ahli komunikasi, konselor laktasi dan kebidanan. ada pengaruh kartu kendali edukasi dalam meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang imd dengan p = 0,000 yaitu pengetahuan kurang sebelum edukasi 40,5, setelah pemberian edukasi pertama menggunakan kartu pengetahuan ibu meningkat menjadi 50,17, pada edukasi edukasi ke dua menjadi 60,17 dan pada edukasi terakhir menjadi 73,17 hal ini membuktikan bahwa kartu kendali edukasi dapat meningkatkan pengetahuan ibu hamil akan praktik imd secara signifikan. diharapkan bidan menggunakan kartu kendali edukasi untuk meningkatkan pengetahuan praktik imd perlu dimulai sejak trimester ii kehamilan. ©2019jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas hasanuddin makassar – sulawesi selatan, indonesia p-issn : 2355-052x email: milda47@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p148-156 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 149muldaniyah, ahmad, hadju, efek kartu kendali edukasi... abstract achievement of early breastfeeding initiation (imd) in indonesia is still very low, this is due to the low knowledge of mothers in implementing imd. related to this problem, the right instrument is needed to increase the knowledge of pregnant women in a comprehensive manner. this study aims to design and validate the imd education control card in third trimester pregnant women that can be used by midwives to improve the knowledge of imd on the mother card that was designed and tested first by several expert teams to be validated to several samples before being used to patient samples.. design of the research was quasy experiment grup pretest posttest with control. the population of this study was all pregnant women at the jumpandang baru health center makassar, the sampling technique used was accidental sampling. the number of samples was 60 people then divided into 2 groups. which will be given treatment one group uses one group’s control card without using a control card. data collection uses a questionnaire given to respondents before and after education. analysis using chi-square test, mannwhitney and friedman. the education control card was validated by 3 expert teams namely communication experts, lactation counselors and midwifery. there is an influence of educational control cards in increasing the knowledge of pregnant women about imd with a value of p = 0,000 that is lack of knowledge before education 40,5, after the first education using mother’s knowledge cards increased to 50,17, on the second education education to 60 , 17 and in the last education to be 73.17. this proves that the education control card can increase the knowledge of pregnant women about the practice of imd significantly. the use of an educational control card in increasing knowledge of the practice of imd needs to start since the second trimester of pregnancy. effects of educational control cards initiating early breastfeeding in pregnant women trimester iii article information history article: received, 30/08/2018 accepted, 18/04/2019 published, 01/08/2019 keywords: card, control, education, knowledge, imd 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 148–156 pendahuluan pelaksanaan imd yang dilakukan di puskesmas jumpandang baru makassar dalam capaiannya masih kurang sekitar 34,5 % yang salah satu sebabnya karena kurannya pengetahuan ibu hamil. hal tersebut dibuktikan dengan adanya stdi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti yang melakukan wawancara langsung dengan beberapa pasien di puskesmas jumpandang baru dan masih menemukan beberapa pasien yang memiliki kekurangan pengetahuan tentang imd yang disebabkan dengan pendidikan mereka sehingga pengetaahuan merupakan integral yang harus dimiliki bidan sebagai pendidik sehingga pencapaian imd bisa maksimal sesuai yang diharapkan (citrakesumasari, et al, 2011). pengetahuan ibu hamil dapat ditingkatkan melalui edukasi.saat ini edukasi tentang imd yang disampaikan kepada ibu hamil tidak terstuktur atau tidak secara khusus, sehingga menyebabkan menurunnya cakupan imd. salah satu upaya untuk meningkatkan cakupan praktik imd adalah dengan pemberian edukasi kepada ibu hamil. berkaitan dengan hal tersebut maka program edukasi dimasukkan sebagai komponen standar dalam pelayanan anc (tatiana o vieira et al, 2010, ramlah s, veni hadju, 2014) di afrika barat pada tahun 2010 pernah dilakukan uji coba kartu konseling ibu hamil untuk meningkatkan kualitas konseling, hasilnya mendapatkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 82%, di pakistan pada tahun 2011 dikembangkan buku pegangan ibu hamil untuk memberikan informasi tentang kehamilannya hasilnya mendapatkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 72,8 % dan di indonesia dikembangkan buku kesehatan ibu dananak (buku kia) untuk meningkatkan cakupan kia dan juga imd (jena a, et al., 2010; lin, c., kuo, et al., 2012; acharya, p, khanal, v. 2015; mallik, dasgupta, & naskar, 2013). edukasi merupakan bagian integral dalam asuhan kebidanan, sehingga bidan layanan primer harus mampu berperan sebagai pendidik yang efektif, untuk dapat mencapai hal tersebut diperlukan instrumen yang tepat. berkaitan dengan imd maka perlu dibuat/didesain media khusus berupa kartu kendali edukasi dalam meningkatkan pengetahuan ibu hamil akan praktik imd yang dimana kartu tersebut bisa digunakan sebagai alat untuk mempermudah kontrol kita terhadap pasien karea melalui kartu tersebut dapat dilihat peningkatan pengetahuan melalui beberapa informasi penting tentang imd yang terlampir dikartu tersebut (citrakesumasari, et al, 2011). penelitian ini bertujuan mendesain instrumen yang dapat digunakan oleh bidan untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil akan praktik imd. instrumen ini disebut dengan kartu kendali edukasi. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian quasy experiment merupakan desain pretest-posttest with control, dengan melakukan edukasi kemudian pengukuran sebanyak tiga kali sebelum dan 2 kali sesudah perlakuan. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil trimester iii di wilayah kerja puskesmas jumpandang baru kota makassar. jumlah sampel sebanyak 60 orang dengan pengambilan sample secara accidental sampling yang tentunya yang memenuhi syarat yaitu ibu yang menyusui dan ibu yang tidak memiliki penyakit menular, kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok intervensi sebanyak 30 orang dan kelompok kontrol sebanyak 30 dengan menggunakan rumus perhitungan sampel statistik .jika pasien yang drop out maka akan langsung mengamnil sample sesuai jumlah sample yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dilaksanakan di puskesmas jumpandang baru kota makassar. waktu penelitian dilaksanakan pada bulan februari sampai april tahun 2018. penelitian ini membuat instrumen yang disebut kartu kendali edukasi dan divalidasi oleh tim ahli yaitu ahli kebidanan, konselor laktasi dan komunikasi sebelum di terapkan kepada pasien maka kartu tersebut di nilai dan digunakan terlebih dahulu oleh tim ahli kepada beberapa orang sebagai sampel percobaan. data primer diperoleh dari responden melalui lembar kuesioner yang disiapkan oleh peneliti dan akan diberikan kepada pasien untuk di isi dan akan di nilai oleh peneliti berdarkan jawaban yang diberikan oleh pasien dan data sekunder diperoleh dari puskesmas jumpandang baru kota makassar. pengolahan data dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan program statistical package for the social sciences (spss) versi 16.00 analisa statistik dengan menggunakan uji chi square, mann whitney dan friedman. hasil penelitian telah dibentuk instrumen yang dapat digunakan oleh bidan untuk mengidentifikasi dan meningkatkan 151muldaniyah, ahmad, hadju, efek kartu kendali edukasi... pengetahuan ibu hamil tentang imd. instrumen ini kemudian disebut kartu kendali edukasi dan telah dilakukan validasi oleh 3 tim ahli yaitu ahli kebidanan, konselor laktasi dan komunikasi sebelum penggunaan kartu tersebut kepada pasien di puskesmas jumpandang baru makassar no pertemuan judul topik yang dibahas evaluasi 1 i he tinjauan umum tentang imd   2 ii he tentang tahapan dan pelaksanaan imd   3 iii he tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan imd jadwal konseling karakteristik sampel gambar 1 kartu kendali edukasi tabel 1 karakteristik responden berdasarkan umur, paritas, pendidikan, dan pekerjaan tidak ada perbedaan yang bermkna antara kelompok yang menggunakan kartu kendali dengan tidak menggunakan kartu kendali, sehingga hal ini menunjukkan bahwa sampel dalam penelitian ini bersifat homogen variabel umur < 20 20 – 35 > 35 total paritas primipara multipara grandmultipara total pendidikan rendah tinggi total pekerjaan tidak bekerja bekerja total n 8 17 5 30 13 13 4 30 21 9 30 19 11 30 % 26,7 56,7 16,6 100 43,3 43,3 13,4 100 70 30 100 63,3 36,7 100 n 6 19 5 30 11 14 5 30 20 10 30 18 12 30 % 20 63,3 16,7 100 36,7 46,7 16,6 100 66,7 33,3 100 60 40 100 p value 0,820 0,578 0,500 0,500 pengetahuan intervensi control 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 148–156 analisis univariat tabel 2 distribusi perbandingan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan edukasi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di puskesmas jumpandang baru pengetahuan intervensi kontrol value mean ± s.d mean ± s.d pretest 40,5 ± 13,79 37±12,42 0,072a posttest 1 50,17 ±13,73 44,33 ±13,30 0,034a posttest 2 60.17±13,0 51,83 ±13,80 0,017a posttest 3 73,17±14,59 65,17±12,14 0,022a uji mann withney tabel 2 menunjukkan bahwa nilai pretest (p value=0,072) yang berarti tidak ada perbedaan pengetahuan pada masing-masing kelompok, setelah diberikan edukasi terdapat perbedaan pengetahuan pada masing masing kelompok dengan nilai posttest 1 (p value=0,034), posttest 2 (p value=0,017) dan posttest (p value=0,022) antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. variabel pengetahuan nilai keseimbangan n % mean maksimun minimun p value pretest       baik 2 6,7 cukup 4 13,3 40 20 80 kurang 24 80 posttest 1 baik 2 6,7 cukup 13 43,4 47,50 25 85 kurang 15 50 posttest 2 0,000 baik 4 13,3 cukup 18 60 60,17 40 90 kurang 8 26,7 posttest 3 baik 17 56,6 cukup 11 36,7 75 45 95 kurang  2  6,7         uji friedman tabel 3 hasil analisis pengaruh kartu kendali edukasi terhadap pengetahuan pada kelompok intervensi tabel 3 menunjukkan terdapat penga ruh pengetahua n pada kelompok inter vensi pa da posttest 1, 2 dan 3, masing masing sebesar 47,50 pada posttes 1, 60,17 pada posttest 2 dan 75 posttest 3 dan untuk melihat pengaruh / efek kartu kendali analisis bivariat terhadap pengetahuan pada kelompok intervensi digunakan uji friedman dengan nilai p 0,000 dan didapati ada pengaruh kartu kendali edukasi imd pada ibu hamil trimester iii. 153muldaniyah, ahmad, hadju, efek kartu kendali edukasi... ta bel 4 menda pa tka n pada pengetahuan kelompok kontrol meningkat pada posttest ke 3 dari nilai median posttes 1, 35, posttest 2, 40, posttest 3, 45 dan postest 3 menjadi 60, karena selisih antara prettest ke posttest 1 dan posttest 2 kurang dari 10 secara klinis tidak terdapat pengetahuan yang bermakna tetapi pada posttest ke 3 selisihnya 15 dari posttest 2 yang berarti terdapat pengetahuan bermakna yang artinya bahwa retensi pengetahuan ibu yang diberi edukasi tanpa menggunakan media pengetahuannya lambat. variabel pengetahuan nilai keseimbangan n % median maksimun minimun p value pretest       baik 2 6,7 cukup 3 10 35 20 75 kurang 25 83,3 posttest 1 baik 2 6,7 cukup 4 13,3 40 25 85 kurang 24 80 posttest 2 0,000 baik 2 6,7 cukup 8 26,7 45 35 90 kurang 20 66,7 posttest 3 baik 6 20 cukup 23 76,7 60 45 95 kurang 1 3,3 uji friedman tabel 4 distribusi pengetahuan imd pada kelompok kontrol tabel 5 terlihat berdasarkan praktik imd ada perbedaan bermakna antara kelompok yang menggunakan kartu kendali edukasi dengan yang tidak tabel 5 distribusi perbandingan praktik imd antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di puskesmas jumpandang baru variabel praktik imd dilakukan tidak dilakukan total n 22 8 30 % 73,3 26,7 100 n 14 16 30 % 46,7 53,3 100 p value 0,032 pengetahuan intervensi kontrol uji chi – square menggunakan kartu kendali edukasi dengan nilai (p value=0,032) 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 148–156 pembahasan karakteristik sampel berdasarkan hasil analisis untuk karakteristik sampel pada kedua kelompok tidak memiliki perbedaan secara signifikan yaitu umur dengan nilai p 0,953, paritas 0,854, pendidikan 0,500 dan pekerjaan 0, 500 yang berarti nilai pada masing masing karakteristik lebih dari 0,05. hal in bermakna bahwa kedua kelompok memiliki syarat metching untuk dilakukan penelitian perbedaan pengetahuan terhadap responden antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada kelompok edukasi yang menggunakan kartu kendali edukasi terjadi peningkatan pengetahuan dengan nilap p 0,000 dengan kategori pengetahuan baik sebanyak 17 orang, cukup 11 orang dan kurang 2 orang, sedangkan yang tidak menggunakan kartu kendali edukasi terjadi peningkata pengetahuan nilap p 0,000 dengan kategori pengetahuan baik sebanyak 6 orang, cukup 23 orang dan kurang 1 orang. terbukti bahwa terjadi perbedaan pengetahuan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. pengetahuan sangat dibutuhkan agar ibu hamil khususnya trimester iii dapat mengetahui mengapa mereka harus melakukan imd. dalam meningkatkan pengetahuan dibutuhkan proses edukasi, agar diperoleh hasil yang lebih efektif diperlukan alat bantu peraga atau media pedidikan kesehatan. fungsi dari media yang digunakan adalah untuk mempermudah penerimaan informasi sehingga dibuat instrumen yang dapat digunakan oleh bidan layanan primer untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang imd yang disebut kartu kendali edukasi. di dalam kartu ini ada kolom yang mencatat proses edukasi juga di lengkapi dengan topik edukasi yang akan di bahas, kartu kendali ini sebagai bentuk integrasi dengan buku kia (nursalam dan efendi, 2009 ; citrakesumasari, et al, 2011, emmott, emily het al, 2015). peningkatan nilai pengetahuan ibu hamil tidak lepas dari faktor intrinsik yang turut mempengaruhi diri responden sehingga rasa ingin tahu yang sangat tinggi. pendidikan kesehatan diberikan tiga kali dan hasilnya memperlihatkan adanya peningkatan pengetahuan yang bermakna, sehingga media kartu kendali edukasiyang digunakan terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu hamil akan imd (mubarak, 2007; glanz o.,2008, triyanti et al, 2013) hal ini sejalan dengan pendapat mulyana (2005) bahwa media yang tepat dan kemasan yang menarik dalam penyampaian pesan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan penyampaian makna dari pesan tersebut. hal ini diperkuat dengan penelitian saputra (2011) yang menyatakan bahwa sebanyak 15 dari 16 responden yang diberikan edukasi menggunakan media (kartu edukasi) mengalami peningkatan pengetahuan dengan nilai (p =0,000) perbandingan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan edukasi hasil penelitian dilakukan terhadap responden mengenai pengetahuan sebelum edukasi yaitu 40,5, setelah edukasi meningkat menjadi 50,17, 60,17 pada edukasi ke 2 dan 73,17 pada edukasi ke 3. terbukti bahwa terjadi perbedaan pengetahuan sebelum dan setelah edukasi. pelaksanaan edukasi dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang imd. proses ibu hamil dalam meningkatkan pengetahuan sampai melakukan tindakan imd tidak bisa dicapai secara instan, perlu edukasi secara berkala melaui tenaga kesehatan khususnya bidan menggunakan media dengan kartu kendali edukasi yang dapat meningkatkan pemahaman tentang manfaat dan tatacara imd sehingga terlaksananya imd. informasi ini sangat penting bagi ibu karena ibu dapat mengetahui perilaku bayinya saat menyusu pertamakali (tahlil teuku et al ; 2016;agni agnes s, 2016; anjasmara jana et al, 2015; sharma, a., et al. 2016). sebagian besar ibu-ibu yang tidak melaksanakan imd didukung dengan pengetahuan yang salah mengenai imd dan tidak terpaparnya informasi yang benar mengenai pentingnya pelaksanaan imd, pengetahuan yang salah dan kurang pada ibu dikarenakan minimnya edukasi sehingga edukasi yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan terkait imd adalah hal yang dibutuhkan mereka untuk mengatasi keterbatasan pengetahuan (latuharhary florence et al, 2014 ; sharma indu k, et al, 2016; nuryanti, 2013 ; su lin-lin et al, 2007). penelitia n ini sema kin diper kua t oleh oberhelman (2015) yang mengatakan bahwa pemberian edukasi yang komprehensif dan tepat akan memiliki pengaruh terhadap peningkatan pengetahuan akan praktik imd. hasil penelitian lain yang juga mendukung penelitian ini adalah creedy debra 155muldaniyah, ahmad, hadju, efek kartu kendali edukasi... k et al., 2008 yang mendapati hasil bahwa imd meningkat pada yang diberi edukasi dibandingkan dengan yang tidak (creedy debra k et al., 2008; oberhelman richard a et al. 2015). pengaruh kartu kendali edukasi terhadap praktik imd hasil penelitian terdapat pengaruh kartu kendali edukasi dalam meningkatkan pengetahuan akan praktik imd dengan nilai p = 0,000, terbukti pada praktik imd dari 30 responden 24 (73,3) yang melaksanakn imd sedangkan kelompok yang tidak menggunakan kartu kendali edukasi dari 30 responden hanya 14 (46,7) yang melaksananakan praktik imd dengan nilai (p value=0,032). salah satu strategi yangterbukti dapat meningkatkan praktikimd adalah dengan adanya edukasi menggunakan media kartu kendali edukasi oleh tenaga kesehatandimulai saat kunjungan anc (antenatal care), oleh karena itu, petugas kesehatan perlu memberikan informasi yang jelas dan tepat untuk meningkatkan pengetahuan tentang imd pada ibu hamil (sinha et al. 2015, notoadmojo, 2012) menurut maulana (2009) pemilihan dan penggunaan media merupakan salah satu komponen penting dalam penyampaian informasi kepada masyarakat. hal ini sejalan dengan penelitian azwar (2009) bahwa media mempunyai pengaruh besar sekitar 84,5% dalam pembentukan dan opini kepercayaan orang, sehingga dalam pemilihan media yang tepat dapat mempengaruhi opini dan kepercayaan orang, sehingga pemilihan yang tepat dapat mempengaruhi pengetahuan ibu hamil tentang imd, sehingga didesain dengan kartu kendali edukasi sebagai media edukasi yang digunakan pada ibu hamil trimester iii dalam meningkatkan pengetahuan ibu hamil akan praktik imd. kesimpulan telah dibentuk instrumen disebut dengan kartu kendali edukasi, dan telah dilakukan validasi kartu kendali edukasi ibu hamil dengan metode validasi konten oleh ahli dan validasi muka oleh tim validator dan telah terbukti bahwa penggunaan kartu kendali edukasi dapat meningkatkan pengetahuan ibu hamil tentang imd terhadap pelaksanaan imd menggunakan uji friedman dengan nilai value p = 0,000. saran meskipun instrumen ini telah di validasi dan terbukti mampu meningkatkan pengetahuan ibu hamil secara signifikan, tetapi masih diperlukan evaluasi secara berkala dalam pemakaiannya, sehingga format kartu kendali edukasi dapat menjadi lebih efisien dan lebih feasibledan penggunaan kartu kendali edukasi dalam meningkatkan pengetahuan praktik imd perlu dimulai sejak trimester ii kehamilan. daftar pustaka acharya, p, khanal, v. (2015). the effect of mother’s e duc ati onal stat us on e arly i ni t i at i on of breastfeeding: further analysis of three consecutive nepal demographic and health surveys. bmc public health agni agnes s, (2016). the effect of education of early breastfeeding initiation to midwives’ knowledge, att i t ude an d loya lt y to con duct e bi in probolinggo municipality. jurnal medika respati vol xi nomor 2 issn : 1907 – 3887 anjasmara j. et al. (2015). a correlation between mother’s knowledge on early breastfeeding and mot h er ’s pa r t ici pat i on on doi ng e ar l y breastfeeding. surya vol.07,no.01, april 2015. azwar, s. (2012). reliabilitas dan validitas. yogyakarta: pustaka pelajar citrakesumasari, et al. (2011). perubahan pengetahuan, sikap ibu hamil setelah edukasi dan praktek inisiasi menyusu dini, program studi ilmu gizi masyarakat fakultas kesehatan masyarakat universitas hasanuddin creedy dk, cooke m. (2008). assessing midwives’ breastfeeding knowledge: properties of the newborn feeding ability questionnaire and emmot, emily h. et al. (2015). practical support from fathers and grandmothers is associated with lower levels of breastfeeding in th e uk millennium cohort study. journal practical support and maternal breastfeeding in the uk. doi:10.1371 florence t. u. latuharhary, et al (2014). pengetahuan ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini . jurnal e-clinic, volume 2, nomor 2, glanz o., (2008). diffusion of innovations.dalam r. v. glanz, health behavior and health education (hal. 319-320). sanfrancisco: jossey bass. jana a, henny dwi susant, i. d. p. (2015). hubungan tin gka t pengeta h ua n ibu ten t an g in isi asi menyusu dini (imd) dengan partisipasi ibu melakukan imd, jurnal : fikes universitas muhammadiyah malang 7(1) 156 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 148–156 lin, c., kuo, s., lin, k., & chang, t. (2012). evaluating effects of a prenatal breastfeeding education programme on women with caesarean delivery in taiwan. journal maternal of neonatal (1), 2838– 2845 mallik, s., dasgupta, u., naskar, s. (2013). “knowledge of breast feeding and timely initiation of it amongst post natal mothers/ : an experience from a baby friendly teaching hospital of a metropolitan city .” iosr journal of dental and medical sciences, 4(1), 25–30 maulana, h.d.j. (2009). promosi kesehatan. jakarta: penerbit buku kedokteran egc. notoa dmodjo,s. (2010). me todologi pe nel iti an kesehatan. jakarta : rineka cipta nursalam. 2011. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. nuryanti. (2013). praktek inisiasi menyusui dini di rsia sitti khadijah.media gizi masyarakat indonesia, vol.2, no.2 oberhelman, r.a., potts, k.s., taub, l.d., var, c. (2015). what health service support do families need for optimal breastfeeding. an in depth exploration of young infant feeding practices in cambodia. ijwh. 7, 249-257. ramlah s, veni hadju, s. s. (2014). early initiation of breastfeeding education on knowledge, attitude rsia pertiwi pregnant woment in makassar sharma, a., et al. (2016). factors associated with early initiation of breastfeeding among mothers of tribal area of madhya pradesh, india/ : a community based cross sectional study.international journal of community medicine and public health, 3(1), 194– 199 sharma indu k, abbey byrne. (2016). early initiation of breastfeeding: asystematic literature review of factors and barriers in south asia. sharma and byrne international breastfeeding journal 11:17 sinha bireshwar et al. (2015). interventions to improve breastfeeding outcomes: a systematic review and meta-analysis acta pædiatrica nurturing the child su, lin-lin., chong, y.s., chan, y.h. (2007). antenatal education and postnatal support strategies for improving rates of exclusive breastfeeding : randomised controlled trial. bmj. 335:596. doi:10.1136/bmj.39279.656343.55 tahlil, t. et al (2016). peningkatan pengetahuan , sikap dan tindakan ibu dalam memberikan asi eksklusif mel alui edukasi kel ompok the improving knowledge , attitude , and action mother breasfeeding through group education.jurnal ilmu keperawatan, 34–45 triyanti et al. (2013). pengaruh pendidikan kesehatan tent a n g in isi a si men yusu din i ter h ada p pengetahuan dan sikap ibu hamil perawat. jurnal ilmiah permas. jurnal ilmiah stikes kendal volume 3 no 2 vieira, t. o., vieira, g. o. et al. (2010). determinants of breastfeeding initiation within the first hour of life in a brazil ian population/ : cross-sectional study.bmc public health, 10(1). jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk integrated worksheets sebagai media pembelajaran inovatif untuk meningkatkan kompetensi keperawatan dasar pada mahasiswa profesi ners nur aini 1 , erma wahyu mashfufah 2 1,2 fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah malang info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 03/12/2018 disetujui, 31/12/2018 di publikasi, 31/12/2018 kata kunci: profesi ners, keperawatan dasar, worksheet, classroom action research salah satu metode pembelajaran dalam praktik profesi ners departemen keperawatan dasar profesi (kdp) adalah pre dan post conference, dimana mahasiswa harus membuat laporan pendahuluan (lp) dan menguasai materi tersebut. permasalahan yang terjadi dan dikeluhkan oleh pembimbing adalah mahasiswa hanya sekedar menulis laporan tanpa memahami isinya sehingga saat bimbingan kemampuan kognitif mereka kurang. oleh karena itu, peneliti membuat inovasi membuat worksheets sebagai media pembelajaran inovatif untuk meningkatkan kompetensi keperawatan dasar pada mahasiswa profesi ners. jenis penelitian adalah penelitian tindak kelas atau car (classroom action research). terdiri dari 4 tahapan yaitu: 1). perencanaan, dilakukan penyusunan worksheet. 2) pelaksanaan, yaitu penerapan worksheet, 3). pengamatan, mengamati hasil penerapan worksheet terhadap kemampuan mahasiswa 4). refleksi, merefleksi diri berdasarkan hasil observasi dan diskusi. penelitian dilakukan pada mahasiswa praktik profesi ners sejumlah 37 mahasiswa pada bulan maret–oktober 2018. mayoritas mahasiswa setuju dengan penggunaan worksheet, dan prosentase hasil kelulusan ujian final exam sebesar 84%. worksheet membuat mahasiswa lebih mudah memahami materi keperawatan dasar, karena mahasiswa harus mengerjakan soal-soal sehingga membuat pemahaman mereka lebih baik. penerapan worksheet perlu dicoba diterapkan pada mata kuliah lain, serta perlu dicoba model atau metode pembelajaran yang lain dalam praktik profesi ners, sehingga kompetensi mahasiswa meningkat.  correspondence address: doi:10.26699/jnk.v5i3.art.p263–267 263 fakultas ilmu kesehatan umm east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: aini_anindya@yahoo.com; ermawahyumashfufa@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) aini_anindya@yahoo.com;%20ermawahyumashfufa@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/352 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 264 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 263–267 abstract one of the learning methods in the professional practice of professional basic nursing department (kdp) nurses is pre and post conference, where students must make a preliminary report (lp) and master the material. the problem that occurs and complained by the supervisor is that students only write reports without understanding the contents so that when their cognitive abilities are lacking in guidance. therefore, the researchers made innovations to make worksheets as innovative learning media to improve basic nursing competencies in professional student students. research design was classroom action research (car). consists of 4 stages, that were: 1). planning, preparation of worksheets. 2) implementation, the application of worksheets, 3). observation, observe the results of the application of worksheets on student abilities 4). reflection, reflecting on the results of observation and discussion. the study was conducted on 37 professional students in ners practice in march october 2018. the majority of students agree with the use of worksheets, and the percentage of graduation of the final exam is 84%. worksheets make it easier for students to understand basic nursing material, because students must work on the questions so that they make their understanding better. the application of worksheets needs to be applied to other subjects, as well as the need to try other learning models or methods in professional practice, so that student competencies increase. © 2018 journal of ners and midwifery integrated worksheets as an innovative learning media to increase basic nursing competency in ners professional students article information history article: received, 03/12/2018 accepted, 31/12/2018 published, 31/12/2018 keywords: ners student, basic nursing, worksheet, classroom action research 265aini, masfufah, integrated worksheets sebagai media... pendahuluan keperawatan adalah suatu profesi yang mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan, mendahulukan kepentingan kesehatan klien diatas kepentingannya sendiri, suatu bentuk pelayanan/asuhan yang bersifat humanistik, menggunakan pendekatan holistik, dilaksanakan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, serta menggunakan kode etik keperawatan sebagai tuntunan utama dalam melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan (aini, 2018). sesuai dengan ciri-ciri profesi maka harus diselenggarakan pendidikan profesional. oleh karena itu, mahasiswa harus menempuh 2 jenjang pendidikan yaitu akademik dan profesi ners. tahap akademik adalah program pendidikan untuk mencapai kemampuan keilmuan keperawatan dan diberi gelar sarjana keperawatan (s.kep) dilanjutkan dengan tahap profesi melalui program pendidikan untuk mencapat kompetensi perawat dan diberi gelar ners. dalam uu ri no. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 20 (3) dijelaskan bahwa perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi; pp ri no 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan pp ri no 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pasal 85 (3) bahwa pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program diploma pada pendidikan vokasi, sarjana, magister dan doktor pada pendidikan akademik dan spesialis dan atau profesi pada pendidikan profesi (aipni, 2016). kurikulum pendidikan profesi ners sudah ditetapkan oleh aipni (asosiasi pendidikan ners indonesia). kurikulum yang disusun lebih menitik beratkan kepada proses pembelajaran yang berorientasi kepada mahasiswa (student center learning) dan berorientasi kepada kompetensi yang harus dipunyai oleh lulusan, sehingga kurikulum yang disusun adalah kurikulum berbasis kompetensi, dengan harapan menghasilkan ners yang memiliki pengetahuan (kognitif), sikap (psikomotor), dan ketrampilan profesional. namun aipni juga memberikan kesempatan pada institusi untuk mengembangkan kurikulum tersebut sesuai dengan ciri khas institusi masing-masing. pada awal praktik profesi, mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa adalah keperawatan dasar profesi (kdp) yang dilaksanakan selama 2 minggu. kemampuan yang dicapai selama program ini akan menjadi dasar kemampuan di mata kuliah tahap profesi selanjutnya. salah satu metode pembelajaran dalam kdp adalah pre dan post conference, dimana mahasiswa harus membuat laporan pendahuluan (lp) dan menguasai materi tersebut. permasalahan yang selama ini terjadi dan dikeluhkan oleh pembimbing baik lahan atau akademik adalah, mahasiswa hanya sekedar menulis laporan/copy paste materi dari temannya tanpa memahami isinya sehingga saat responsi/bimbingan penguasaan pada kemampuan kognitif mereka kurang. padahal tujuan pembuatan lp adalah sebagai panduan mahasiswa dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien. untuk mengatasi permasalahan ini, prodi ners fikes umm sudah pernah mengadakan rapat evaluasi yang dihadiri oleh pembimbing lahan dan institusi yang dilaksanakan di rumah sakit saiful anwar malang pada tahun 2016. akhirnya diputuskan bahwa pembuatan lp yang awalnya diketik sekarang harus ditulis tangan. tujuannya dengan menulis tangan, secara tidak langsung mahasiswa akan membaca apa yang dia tulis (untuk periodeperiode sebelumnya boleh diketik komputer). namun ini juga menimbulkan masalah baru yaitu menambah beban tugas mahasiswa. berdasarkan hasil evaluasi yang kami lakukan pada mahasiswa, ternyata tidak ada perubahan hasil yang signifikan. oleh karena itu, melalui penelitian ini kami ingin melakukan inovasi dengan membuat “integrated worksheets” sebagai media pembelajaran inovatif untuk meningkatkan kompetensi keperawatan dasar pada mahasiswa profesi ners. bahan dan metode penelitian ini termasuk dalam penelitian tindakan kelas atau car (classroom action research). yaitu suatu penelitian yang menunjuk pada suatu kegiatan/tindakan. kegiatan dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan tertentu, dan dilakukan dalam rangkaian siklus. tahapan dalam penelitian car ini terdiri dari 4 tahapan yaitu: 1) perencanaan. pada tahap ini, dilakukan penyusunan worksheet. yang berisi tentang materi-materi latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa sebelum mereka berinteraksi dengan pasien. materi yang disajikan mengandung aspek kognitif, afektif dan psikomotor, 2) pelaksanaan, dalam hal ini adalah penerapan worksheet untuk mahasiswa, 3) pengamatan, mengamati bagaimana hasil penerapan worksheet terhadap kemampuan mahasiswa yang dinilai dengan cara melihat kelengkapan tugas, kemampuan berdiskusi/menjawab. 266 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 263–267 setiap 1 minggu sekali, mahasiswa ners akan disupervisi dan dibimbing oleh dosen/pembimbing akademik, seda ngkan setiap ha rinya mereka mendapatkan bimbingan dari pembimbing rumah sakit, 4) refleksi, merefleksi diri berdasarkan hasil observasi dan diskusi. hasil dalam tahapan ini akan dipergunakan sebagai acuan untuk merencanakan siklus berikutnya. penelitian dilakukan pada mahasiswa praktik profesi ners, pada departemen dasar yang dilaksanakan selama 32 minggu mulai tgl 05 maret s/d 27 oktober 2018 dengan jumlah mahasiswa 37. teknik pengumpulan dan analisis data dilakukan dengan cara melihat kelengkapan worksheet yang dikerjakan oleh mahasiwa, kemampuan mahasiswa untuk menyampaikan materi/diskusi, hasil ujian akhir (final exam) dan kemampuan mahasiswa untuk melakukan tindakan. mahasiswa juga akan diberikan kuisioner untuk menggali bagaimana pendapat mereka tentang penggunaan worksheet. analisis data dilakukan secara deskriptif berupa prosentase atau tabel. hasil penelitian berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pada mahasiswa, mayoritas mahasiswa setuju dengan penggunaan worksheet. karena dalam pengerjaan laporan pendahuluan, mereka lebih terarah, dan terdapat soal-soal dalam worksheet sehingga memudahkan mereka dalam memahami materi keperawatan dasar. apalagi dengan adanya pengurangan lama praktik dan sks yang semula 6 minggu menjadi hanya 2 minggu. pengurangan lama praktik ini memang menyesuaikan dengan kurikulum terbaru yang ditetapkan oleh aipni. hasil evaluasi terhadap pendapat mahasiswa tentang worksheet dan nilai ujian dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2: no pertanyaan sangat setuju setuju kurang setuju tdk setuju 1 worksheet menambah pengetahuan 25 17 2 materi dalam worksheet lengkap 32 5 3 kecukupan target waktu penyelesaian 10 27 4 bertambahnya pemahaman 11 26 tabel 1 pendapat mahasiswa profesi ners tentang penerapan worksheet bulan september 2018 pembahasan dengan model pembelajaran active learning yaitu dengan menerapkan penggunaan worksheet, mahasiswa lebih mudah memahami materi keperawatan dasar, karena mahasiswa harus mengerjakan soal-soal sehingga membuat pemahaman mereka lebih baik. hal ini terlihat dari hasil kuisioner dan wawancara yang dilakukan kepada mahasiswa. berdasarkan nilai ujian final exam, prosentase kelulusan mencapai 84%. walaupun demikian masih terdapat beberapa kendala yang dialami dalam penerapan worksheet yaitu : 1). waktu mengerjakan no batas nilai n % 1 lulus 31 84 2 tidak lulus 6 16 total 37 100 tabel 2 nilai ujian final exam departemen dasar bulan september 2018 materi dirasa kurang sehingga dalam pelaksanaannya mahasiswa diberikan toleransi waktu pengumpulan maksimal 2 minggu setelah proses pembimbingan, 2). materi cukup banyak. untuk mengatasi kendala ini, peneliti melakukan tahap refleksi yaitu melakukan perbaikan pada worksheet menjadi 6 materi yaitu oksigenasi, istirahat tidur, nutrisi, cairan, eliminasi dan aman nyaman serta menambahkan teori pada setiap topik worksheet sebagai materi pengantar untuk memudahkan mereka dalam menganalisis kasus yang ada dan mengerjakan soal-soal yang ada pada worksheet. pembelajaran aktif (active learning) adalah suatu proses pembelajaran dengan maksud untuk memberdayakan peserta didik agar belajar dengan menggunakan berbagai cara/strategi secara aktif. elemen dari pembelajaran aktif adalah berbicara dan mendengar, menulis, membaca, dan merefleksikan. peserta didik lebih banyak dituntut untuk berpikir kritis, menganalisis dan melakukan evaluasi (effendi, 2013). 267aini, masfufah, integrated worksheets sebagai media... menurut hasibuan (2016) konsep pendidikan harus mencakup pembentukan keterampilan (skill) dan sikap dasar (basic attitude), seperti kekritisan, kreativitas dan keterbukaan. untuk mencapai ini, maka perlu adanya perubahan pembelajaran dari tcl (teacher centre learning) menuju scl karena dengan scl mampu meningkatkan keaktifan dan kreativitas belajar mahasiswa. selain menerapkan scl, seorang pendidik juga harus melakukan penelitian tindak kelas atau classroom action research. karena melalui ini, dosen dapat mengintrospeksi, bercermin, merefleksi, atau mengevaluasi dirinya sendiri sehingga kemampuannya dalam mengajar akan meningkat. selanjutnya peningkatan kemampuan diri tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran mahasiswa, baik dalam aspek penalaran, keterampilan, hubungan sosial, maupun aspek-aspek lain (triyono, 2018). kesimpulan dan saran kesimpulan respon mahasiswa dalam penggunaan worksheet adalah positif, apalagi terdapat soal-soal sehingga membuat mereka lebih memahami materi keperawatan dasar. lebih efisien karena mahasiswa terarah dalam membuat laporan pendahuluan. saran dalam proses pembelajaran, seorang pendidik perlu melakukan penelitian tindak kelas (classroom action research) untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang sudah dilakukan sehingga bisa melakukan perbaikan atau meningkatkan kemampuan pendidik dalam mengajar. karena hal ini akan berpengaruh pada kualitas pembelajaran dan output lulusan. model pembelajaran active learning seperti penerapan worksheet perlu dicoba diterapkan pada mata kuliah lain, serta perlu dicoba model atau metode pembelajaran yang lain dalam praktik profesi ners, sehingga kompetensi mahasiswa meningkat. daftar pustaka aini, n. (2018). teori model keperawatan beserta aplikasinya dalam keperawatan. malang: umm press. aipni.(2016). kurikulum inti pendidikan ners indonesia. jakarta. effendi, m. (2013). integrasi pembelajaran active learning dan internet-based learning dalam meningkatkan keaktifan dan kreativitas belajar. jurnal pendidikan islam. vol. 7, nomor 2, oktober 2013. hasibuan, w.f. (2016). problematika teacher-centre learning : studi terhadap institusi pendidikan di indone sia . h t tps: // www.r esear ch ga t e. net / publication/291832129 triyono, t. (2018). penelitian tindak kelas: apa dan bagaimana melaksanakannya. ht tps:// www. researchgate.net/publication/324029673, sitasi 25 agustus 2018. 203ernawati, merlin, ismarwati, kejadian postpartum bluespada ibu postpartum di... 203 kejadian postpartum blues pada ibu postpartum di rs pku muhammadiyah yogyakarta dwi ernawati1, wa ode merlin2, ismarwati3 1,2,3prodi kebidanan, fakultas ilmu kesehatan, universitas aisyiyah of yogyakarta, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima,19/10/2019 disetujui, 27/05/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: postpa rt um , pospa r tum blues, depresi abstrak postpartum blues dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental ringan yang sering dialami oleh wanita pasca persalinan sehingga sering tidak dipedulikan, tidak terdiagnosa dan tidak tertangani, apabila postpartum blues ini tidak sembuh selama 2 minggu maka akan berubah menjadi postpartum depression dan postpartum psycosis. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kejadian postpartum blues pada ibu postpartum. desain penelitian yang digunakan deskriptif kuantitatif dengan pendekatan waktu cross sectional. tempat penelitian di rs pku muhammadiyah yogyakarta. jumlah sampel 30 responden dengan teknik pengambilan sampel quota sampling. analisa data menggunakan analisis univariate. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian respondenmengalami postpartum blues (53,3%) dengan resiko sedang mengalami depresi postpartum (43,3%) dan resiko berat untuk mengalami depresi postpartum (10%).pada penelitian ini didapatkan 53,3% dari seluruh ibu postpartum di rs pku muhammadiyah yogyakarta mengalami postpartum blues. rekomendasi dari penelitian ini adalah adanya skrining postpartum blues oleh tenaga kesehatan sebelum ibu nifas di perbolehkan pulang dan ada kunjungan nifas bagi ibu ibu yang terdeteksi postpartum blues saat di rumah sakit. history article: received, 19/10/2019 accepted, 27/05/2020 published, 05/08/2020 keywords: postpartum, pospartum b lue s, depresi article information abstract postpartum blues is categorized as a mild mental disorder syndrome that is often experienced by postpartum women so that it is often ignored, undiagnosed and untreated.if the postpartum blues is not healed for 2 weeks it will turn into postpartum depression and postpartum psycosis. this study aimed to determine the description of the incidence of postpartum blues in postpartum mothers. the study design used quantitative descriptive with cross sectional time approach. the study was done at pku muhammadiyah hospital yogyakarta. the sample was 30 respondents taken postpartum blues incident of postpartum mother at pku muhammadiyah hospital yogyakarta jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p203-212&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 204 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 203–212 correspondence address: universitas aisyiyah yogyakarta yogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: dwiernawati09@unisayogya.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p203–212 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) gonida kis et a l. , (2007) mela porkan bahwa prevalensi postpartum blues di yunani sekitar 71,3%, di jerman 55,2% (reck et al, 2009). cury et al, (2008) melaporkan bahwa prevalensi postpartum blues sekitar 32,7%, sedangkan adewuya (2005) melaporkan prevalensi postpartum blues di nigeria adalah 31,3% (gustiana, 2016). pendokumentasian angka kejadian postpartum blues di indonesia belum banyak dilakukan oleh rumah sakit. namun hasil penelitian irawati dan yuliani (2014) di rsud boseni mojokerto mengidentifikasi bahwa dari 37 responden ada sebanyak 59,5% mengalami postpartum blues. penelitian kirana (2015) di rs dustira cimahi didapatkan 52,1% ibu mengalami postpartum blues dengan mengguna ka n epds (edinburg postnatal depression scale). penelitian dilakukan oleh ayu (2015) pada wilayah kerja puskesmas kota yogyakarta dari 80 responden di dapatkan hasil sebanyak 37 orang (46%) mengalami postpartum blues. menurut hidayat (2007) menyatakan bahwa di indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% dari wanita pasca persalinan. 75% diantaranya terjadi pada ibu primipara (rahmi, 2013) satu dari 10 wanita yang baru saja melahirkan memiliki kecenderungan postpartum blues (depkes ri, 2008). hal ini masih tergolong tinggi, kejadian yang memerlukan perhatian yang khusus yang harus bisa diatasi. dalam centre for maternal and child enquiries (2011), 59% dari kasus bunuh diri ibu adalah karena psikosis atau depresi. paling parah dari perempuan pendahuluan melahirkan merupakan suatu peristiwa penting yang dinantikan oleh semua perempuan karena melahirkan membangun persepsi dimasyarakat bahwa dia adalah seorang perempuan yang sempurna (sylvia, 2006). mengandung, melahirkan dan masa nifas merupakan suatu fase yang membutuh kandukungan dari berbagai pihak terutama suami dan keluarga. pada masa nifas ibu akan mendapati beberapa perubahan pada tubuh maupun emosi. beberapa penyesuaian di butuhkan oleh beberapa wanita dalam menghadapi aktivitas dan peran baru sebagai ibu pada minggu-minggu pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun psikologis. perubahan psikologi yang dialami oleh seorang perempuan pada masa nifas apabila tidak disikapi dengan bijak akan menimbulkan berbagai dampak yaitu merasa sedih, jengkel, lelah, marah dan putus asa dan perasaan-perasaan itulah yang membuat seorang ibu enggan mengurus bayinya yang oleh para peneliti disebut post partum blues (marshall, 2009). postpartum blues adalah perasaan sedih dan depresi segera setelah persalinan dengan gejala dimulai dua atau tiga hari setelah persalinan dan biasanya hilang dalam satu atau dua minggu (gennaro dalam bobak dkk, 2005). postpartum blues dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental ringan, akan tetapi apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat akan jatuh pada fase depresi postpartum dan postpartum psychosis. (reck et a l, 2009). ber da sa r ka n penelitia n by quota sampling technique. the data were analyzed by univariate analysis. the results of this study indicated that some of the respondents experienced postpartum blues (53.3%) with a moderate risk of experiencing postpartum depression (43.3%) and a severe risk for experiencing postpartum depression (10%). it could be concluded that 53.3% of all postpartum mothers in pku muhammadiyah yogyakarta hospital experienced postpartum blues. the recommendation of this study is that health workers related to postpartum mothers should pay more attention to psychological adaptation of postpartum mothers and able to overcome the problems of postpartum blues © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p203-212 205ernawati, merlin, ismarwati, kejadian postpartum bluespada ibu postpartum di... (76%) telah menikah atau hidup di lingkungan yang kehidupannya statis. terdapat 3 jenis depresi postpartum yaitu postpartum blues, depresi postpartum dan psikosis postpartum dengan angka kejadian yang bervariasi di seluruh dunia (rai, et al., 2015). kejadian postpartum blues sebesar 3075% dari perempuan yang melahirkan, sedangkan depresi postpartum sekitar 10-15% pada ibu melahirkan. rata-rata prevalensi depresi postpartum antara 10-25% (rubertson, 2011). prevalensi psikosis postpartum adalah sekitar 1 sampai 2 per 1000 kelahiran (pearlstein et al., 2009). penelititelah melakukan studi pendahuluan di rs pku muhammadiyah yogyakarta memiliki angka persalinan yang cukup tinggiyaitu mencapai 600 pertahun dengan rata-rata perbulan mencapai 50 kelahiran sehingga memudahkan peneliti untuk mendapatkan sampel dan juga karena klien-klien di pku muhammadiyah yogyakarta lebih bervariasi dari sisi latar belakang pendidikan, sosial budaya, ekonomi dan agama yang berbeda dengan daerah lain yang kompleksitas kliennya lebih homogen. munculnya gejala postpartum blues perlu diperhatikan baik oleh keluarga maupun pihak penyedia layanan kesehatan. perhatian terhadap keadaan psikologis yang kurang, menyebabkan ibu cenderung mencoba mengatasi permasalahannya sendiri sehingga lebih rentan mengalami postpartum blues. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan deskriptif kua ntita tif denga n pendeka ta n wa ktu cross sectional. tempat penelitian di rs pku muhammadiyah yogyakarta. jumlah sampel 30 responden dengan teknik pengambilan sampel quota sampling. analisa data menggunakan analisis univariate. sampelpada penelitian ini telah diminta persetujuannya dengan lembar informen concent. hasil penelitian karakteristik responden penelitian ini dilakukan selama 4 minggu betempat di rs pku muhammadiyah yogyakarta. jumlah responden keseluruhan 30 responden dengan karakteristik disajikan pada tabel 1. pada tabel 1 didapatkan bahwa sebagian besar responden ber usia 20-35 tahun sebanyak 22 responden (73,3%), sedangkan pendidikan tertinggi yaitu pendidikan sma sebanyak 17 responden (56,7%), dengan pekerjaan tertinggi yaitu ibu rumah tangga sebanyak 17 responden (56,7%), dan responden dengan pendapatan keluarga  umk sebanyak 25 responden (83,3%). analisis univariat responden dalam penelitian ini adalah ibu nifas hari ke 5-14, kemudian di bagikan kuesioner untuk mengeta hui postpartum blues da n tida k postpartum blues di rs pku muhammadiyah kota yogyakarta. data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data primer dan diperoleh menggunakan lembar kuesioner yang diberikan pada 30 responden, dari lembar kuesioner yang berjumlah 20 pertanyaan diisi secara lengkap semua identitas dan pertanyaan oleh responden. hasilnya dalam bentuk presentasi yang dapat dilihat pada tabel 2. berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa ibu primipara berjumlah 7 responden (23,3%) ibu postpartum multipara sebanyak 20 responden (66,7%) dan grande multipara sebanyak 3 responden (10%). ibu postpartum dengan jenis persalinan pervaginam berjumlah 19 orang (63,3%) dan ibu postpartum dengan operasi sesar berjumlah 11 responden (36,7%). ibu dengan tipe keluarga ekstended family sebanyak 5 responden (16,7%) dan ibu nifas dengan tipe keluarga nuclear family sebanyak 25 orang (83,3%). tingkat kelelahan ibu tertinggi pada tingkat kelelahan sedang sebanyak 14 responden (76,6%), tingkat kelelahan ringan 9 f % umur < 20 tahun 20-35 tahun 22 73,3 > 35 tahun 8 26,7 pendidikan sd smp 3 10 sma 17 56,7 pt 10 33,3 pekerjaan pns/tni/polri 2 6,6 wiraswasta 3 10 pegawaiswasta 8 26,7 irt 17 56,7 pendapatan < umk 5 16,7  umk 25 83,3 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik ibu postpartum 206 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 203–212 postpartum blues. postpartum blues merupakan suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering terjadi dalam minggu pertama setelah persalinan tetapi seringkali terjadi pada hari ketiga atau keempat postpartum dan memuncak antara hari kelima dan keempat belas postpartum (bobak, 2005). gejala-gejala postpartum blues menur ut nanny (2011) yaitu, reaksi depresi atau sedih atau disforia, sering menangis, mudah tersinggung, cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan, kelelahan, mudah sedih, cepat marah, mood mudah berubah, perasaan bersalah dan pelupa. puncak dari postpartum blues ini 3-5 hari setelah melahirkan dan berlangsung sampai 2 minggu. pada responden pertama yang mengalami postpartum blues dengan resiko berat untuk terjadi depresi postpartum memiliki jumlah hasil penilaian epds 14 dengan tingkat kelelahan berat. pada responden ini mengalami postpartum blues dengan gejala, menyalahkan diri sendiri, cemas, sulit mengerjakan sesuatu, merasa tidak bahagia dan mudah menangis. pada responden kedua memiliki jumlah hasil penilaian epds 13 dengan tingkat kelelahan sedang. pada responden ini mengalami postpartum blues dengan gejala, menyalahkan diri sendiri, cemas, sulit mengerjakan sesuatu, dan merasa tidak bahagia. pada responden ketigamemiliki jumlah hasil penilaian epds 14 dengan tingkat kelelahan berat. pada responden ini mengalami postpartum blues dengan gejala, pesimis dengan masa depan, menyalahkan diri sendiri, cemas, merasa takut tanpa alasan yang jelas, merasa tidak bahagia dan sulit tidur. depresi postpartum merupakan kelanjutan dari postpartum blues yang tidak hilang dalam empat belas hari pasca persalinan. depresi postpartum merupakan tekanan jiwa setelah melahirkan, seorang ibu akan merasa benar-benar tidak berdaya dan merasa serba kurang mampu pada beban tanggung jawab terhadap bayi dan keluarganya termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, konsentrasi, serta gagasan untk bunuh diri (bennedict 1997, kaplan 1998 dalam nur 2010). jumlah kasus postpartum blues yang ditemukan pada ibu postpartum di pku muhammadiyah kota yogya ka rta hampir sa ma dengan hasil penelitian internasional maupun nasional. menurut bobak (2005) di indonesia kejadian postpartum blues yaitu 50-70% dan hal ini bisa berlanjut menjadi depresi postpartum denga n presenta si yang bervariasi dari 5% sampai 25% setelah ibu melavariabel f % paritas primipara 7 23,3 multipara 20 66,7 grande multipara 3 10 jenis persalinan pervaginam 19 63,3 operasi sesar 11 36,7 tipe keluarga ekstended family 5 16,7 nuclear family 25 83,3 tingkat kelelahan ringan 9 30 sedang 14 76,6 berat 7 23,3 postpartum blues tidak postpartum blues 14 46,7 postpartum blues dengan resiko sedang terjadi depresi postpartum 13 43,3 postpartum blues dengan resiko berat terjadi depresi postpartum 3 10 tabel 2 distribusi frekuensi paritas, jenis persalinan, tipe keluarga, tingkat kelelahan dan kejadian postpartum blues responden (30%) dan tingkat kelelahan berat seba nyak 7 responden (23,3%). dari 30 ibu postpartum yang mengalami postpartum blues sebanyak 16 responden (53,3%), postpartum blues dengan resiko sedang terjadi depresi postpartum sebanyak 13 responden (43,3%) dan postpartum blues denga n r esiko ber a t ter ja di depr esi postpartum sebanyak 3 respnden (10%). pembahasan hasil penelitian ini terdapat sebagian responden mengalami postpartum blues. dikategorikan tidak mengalami postpartum blues sebanyak 14 responden (46,7%), dan yang mengalami postpartum blues sebanyak 16 responden (53,3%). ibu yang mengalami postpartum blues dengan resiko sedang untuk terjadi depresi postpartum sebanyak 13 responden (43, 3%) da n ibu ya ng menga la mi postpartum blues dengan resiko berat untuk terjadi depresi postpartum sebanyak 3 responden (10%). dalam penelitian ini terdapat 3 responden yang mengalami postpartum blues dengan resiko berat mengalami depresi postpartum. hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioner epds dengan nilai  13. depresi pada ibu postpartum biasanya diawali dengan 207ernawati, merlin, ismarwati, kejadian postpartum bluespada ibu postpartum di... hirkan. angka kejadian postpartum blues di luar negeri (jepang) cukup tinggi mencapai 26-85%. sekitar 15-80% perempuan yang sedang dalam masa puerpurium mengalami perasaan yang sangat sedih dan mudah meneteskan air mata. ketidaknyamanan fisik, stress sementara yang dialami setelah melahirkan dan gangguan psikologis akibat perubahan hormonal yang menyebabkan munculnya gejala-gejala tersebut (henshaw, 2003). postpartum blues merupakan salah satu bentuk gangguan perasaan akibat penyesuaian terhadap kelahiran bayi, yang muncul saat hari pertama sampai hari keempatbelas setelah kelahiran bayi (perry et al, 2010). postpartum blues adalah keadaan dimana seorang ibu mengalami perasaan tidak nyaman setelah persalinan yang berkaitan dengan hubungannya dengan si bayi atau dengan dirinya sendiri. penelitian ini juga sejalan dengan penelitian di ruang bugenvile rsud tugurejo semarang menunjukkan bahwa 11 orang (44%) menunjukkan terjadi gejala postpartum blues (fatimah, 2009). juga dengan penelitian kirana (2015) di ruang nifas rumah sakit dustira cimahi menunjukkan ibu postpartum yang mengalami postpartum bues adalah sebanyak 50 orang (52,1%). dari penelitia n ini didapatka n ba hwa jumla h ibu postpartum yang mengalami postpartum blues sebanyak (53,3%) berbeda dengan penelitian yang dilakukan putri (2016) menemukan bahwa jumlah ibu postpartum yang mengalami postpartum blues yaitu sebesar 60%. hal ini disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian dimana penelitian ini dilakukan dikomunitas sedangakan penelitian putri (2016) dilakukan didaerah pasca gempa. postpartum blues dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor hormonal, faktor demografik, pengalaman dalam proses melahirkan, latarbelakang psikososial dan faktor fisik. bila dikaitkan dengan usia dalam penelitian ini ibu postpartum dengan usia tidak beresiko (20-35 tahun) yang mengalami postpartum blues sebanyak 14 responden (87,5%) dan usia >35 tahun yang mengalami postpartum blues sebanyak 2 responden (12,5%). usia menurut astria (2009) dianggap paling aman bagi seorang wanita untuk menjalani kehamilan dan persalinan adalah pada usia 20-35 tahun. pada usia tersebut seorang wanita sudah matang secara fisik maupun psikologis sehingga mempunyai mekanisme koping yang baik terhadap peristiwa kehamilan dan persalinan. faktor usia perempuan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu. pada usia yang lebih awal (kehamilan remaja) atau lebih lanjut, telah diyakini akan meningkatkan resiko biomedik, mengakibatkan pola tingkah laku yang tidak optimal, baik pada ibu yang melahirkan maupun bayi atau anak yang dilahirkan dan dibesarkannya (robertson et al, 2003). meningkatnya usia ibu akan meningkatkan kematangan emosional, sehingga meningkatkan pula keterlibatan dan kepuasan dalam peran sebagai orang tua dan membentuk pola tingkah laku maternal yang optimal pula. pada penelitian ini sebagian besar responden yang mengalami postpartum blues pada rentang usia 20-35 tahun. hasil penelitian cury, et al (2008) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan munculnya postpartum blues berdasarkan usia. semakin meningkatnya usia wanita yang baru menjalani proses persalinan tidak berhubungan dengan munculnya gangguan perasaan setelah persalinan. berdasarkan penelitian hensaw (2003) juga menyatakan bahwa postpartum blues dapat terjadi pada siapa saja dari semua golongan usia karena penyebab dominan terjadinya postpartum blues karena perubahan hormonal setelah melahirkan. dari segi latar belakang pendidikan, peneliti mengkategorikan tingkat pendidikan menjadi empat kategori, yaitu tingkat pendidikan sd, smp, sma dan perguruan tinggi. pada tingkat pendidikan smp yang mengalami postpartum blues sebanyak 1 responden (6,2%) tingkat pendidikan sma yang mengalami postpartum blues yaitu sebanyak 11 responden (68,7%), pada tingkat pendidikan perguruan tinggi yang mengalami postpartum blues sebanyak 4 responden (25%). hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh putri (2016) yang menunjukkan sebagian besar (65,7%) responden berpendidikan sma. hasil ini berbeda dengan penelitian milik edhborg (2005) yang menyebutkan sebanyak 62 responden (57%) ibu postpartum di stockhlom menyelesaikan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. dewasa ini, pendidikan menjadi faktor yang dipertimbangkan oleh banyak perempuan untuk menunda kehamilan terlebih dahulu (rajaee et al, 2010). menurut latipun, 2001 (dalam irawati, dkk 2014) mengatakan pendidikan seseorang akan mempengaruhi cara berpikir dan acara pandang terhadap diri dan lingkungannya, karena itu akan berbeda sikap responden yang mempunyai pendidikan tinggi dibandingkan dengan responden berpendidikan 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 203–212 rendah dalam menyikapi proses selama persalinan sehingga pada pendidikan rendah sering terjadi postpartum blues. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang mengalami postpartum blues pada tingkat pendidikan sma. pada penelitian kennerly & gath (2007) yang menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada kejadian postpartum blues berdasarkan karakteristik demografi seperti tingkat pendidikan. berdasarkan pekerjaan sebagian besar responden tidak bekerja atau berstatus ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 17 responden(56,7%). dari sampel penelitian pekerjaan ibu postpartum yang mengalami postpartum blues pada ibu rumah tangga sebanyak 9 responden (56,2%), ibu dengan pekerjaan sebagai pegawai swasta sebanyak 5 responden (31,2%) dan ibu yang bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 2 responden (12,5%). menurut kjbi (2002) pekerjaan adalah suatu rangkaian tugas atau aktifitas yang dilakukan oleh ibu untuk mendapatkan imbalan atau upah penghasilan. dalam pekerjaan, sebagian besar merupakan ibu rumah tangga yang mempunyai tanggung ja wa b domestik untuk mengurus setiap pekerjaan rumah dibantu oleh suami maupun sanak saudara. ibu yang hanya bekerja di rumah mengurus anak-anak mereka dapat mengalami keadaan krisis situasi dan mengalami gangguan perasaan/blues yang disebabkan karena rasa lelah dan letih yang dirasakan. pada ibu rumah tangga yang mengurusi semua urusan rumah tangga sendiri, kemungkinan mempunyai tekanan terhadap tanggung jawabnya baik sebagai istri maupun sebagi seorang ibu (amabarwati, 2008). hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian soep (2009) yang menunjukkan bahwa sebagian besar (63%) ibu postpartum sebagai ibu rumah tangga dan penelitian putri (2016) menunjukkan bahwa sebagian besar (80%) ibu postpartum berstatus sebagai ibu rumah tangga. hasil ini berbeda dengan penelitian oppo et al (2009) yang menyebutkan mayoritas ibu postpartum di northeast roma memiliki pekerjaan (82,8%). berbeda dengan penelitian yang dilakukan anoraga (2008), mengemukakan bahwa wanita pekerja lebih banyak akan kembali pada rutinitas bekerja setelah melahirkan cenderung memiliki peran ganda yang menimbulkan gangguan emosional. wanita yang bekerja dapat mengalami postpartum blues disebabkan adanya konflik peran ganda yang menimbulkan masalah baru bagi wanita tersebut (jadri et al, 2006). wanita yang bekerja merasa mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam rumah tangga yaitu sebagai istri dan seorang ibu yang juga memiliki tanggung jawab dalam urusan pekerjaan. dalam penelitian ini peneliti mengkategorikan tingkat pendapatan keluarga dalam dua kategori yaitu ibu dengan pendapatan  umk apabila dalam satu bulan memperoleh penghasilan  rp. 1.572.200 dan 0,05). dalam penelitian yang lain menyebutkan bahwa tidak ada korelasi antara asupan makanan yang di konsumsi oleh ibu dengan kadar fe dalam asi (nakamori et al. 2009) 55ernawati, ismarwati, hutapea, analisis kandungan fe... kesimpulan dan saran kesimpulan penelitian yang telah dilakukan dengan metode atomic aborbtion spectroscopy (aas) untuk mengetahui kadar fe dalam aisr susu ibu, dapat disimpulan bahwa bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kadar fe dalam asi pada ibu menyusui dengan hb normal dengan ibu menyusui yang anemia. saran bagi peneliti selanjutnya diharapkan bisa menambah jumlah dan meneliti kadar fe dalam air susu ibu pada ibu menyusui yang anemia berat. daftar pustaka aryani, t. & utami, f.s., (2017). identifikasi asam lemak omega pada asi eksklusif menggunakan kromatografi gc-ms. jhes, 1(1), pp.1–7. brown, k.h. & engle-stone, r., (2017). dietary intervention strategies to enhance zinc nytrition/ : promotion and support of breastfeeding for infants and young children. pmc, 30, pp.1–34. diana, f.m., (2013). omega 3 dan kecerdasan anak. j.kesehatan masyarakat, 7(2), pp.82–88. faridi, m.m.a., singh, o. & rusia, u., (2006). mother ’ s iron status , breastmilk iron and lactoferrin – are they related/ ? ejcn, pp.903–908. harmit., (2017). analisis fisiko kimia spektrofotometer serapan atom ( ssa / aas ), jakarta. available at: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/harmita/ material/anfiskimssaatauaasdr.harmita.pdf. hendarto, a. & pringgadini, k., (2013). nilai nutrisi air susu ibu. available at: http://www.idai.or.id/artikel/ klinik/asi/nilai-nutrisi-air-susu-ibu. nakamori, m.n. et al., (2009). nutritional status of la ct a t in g mot h er s an d t hei r br east mi l k concentration of iron , zinc and copper in rural vietnam. j nutr sci vitaminol, 55, pp.338–345. 116 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 116–122 116 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh posisi tubuh terhadap tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di wilayah rw 06 kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya info artikel sejarah artikel: diterima, 19/06/2019 disetujui, 30/07/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: tekanan darah; posisi tubuh; posisi duduk; posisi berdiri abstrak salah satu gangguan kesehatan yang banyak dialami oleh lansia adalah pada sistem kardiovaskuler yaitu hipertensi. pada berbagai posisi akan menghasilkan tekanan darah yang bervariasi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil pengukuran tekanan darah pada lansia yang menderita hipertensi antara posisi duduk dan posisi berdiri. penelitian ini dilaksanakan di rw 06 kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya pada 27 januari 2018. metode pada penelitian yaitu pra eksperimental dengan tipe one group pre post test design dengan pendekatan cross sectional. sampel penelitian ditentukan secara total sampling yang berjumlah 50 orang. data dianalisa menggunakan uji wilcoxon signed ranks test. hasil penelitian menunjukan terdapat pengaruh posisi tubuh terhadap tekanan darah. hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut: tekanan darah yang diukur pada saat duduk sebesar 29 orang (58%) dikategorikan hipertensi derajat 1, sedangkan posisi berdiri sebesar 20 orang (34%) dikategorikan hipertensi derajat 2. hasil uji wilcoxon signed ranks test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara posisi duduk dan posisi berdiri dengan nilai p = 0,000 <  =0,05. kecepatan denyut jantung akan meningkat pada posisi duduk karena jantung memompa darah akan lebih keras sehingga melawan gaya gravitasi. hal ini membuat tekanan darah cenderung stabil. pengukuran tekanan darah dapat dilakukan pada posisi tubuh yang lain dengan perbedaan waktu istirahat, dan berikan interval waktu dalam melakukan pengukuran tekanan darah. history article: received, 19/06/2019 accepted, 30/07/2019 published, 05/04/2020 article information abstract one of the most health problem that occure on elderly was cardivascular system, hypertension. blood pressure varies in a wide range of circumstances, one of which is the change in position. the purpose of this research is to know the results of the measurement of the blood pressure susanti1, caturia sasti sulistyana2 1,2prodi keperawatan, akademi keperawatan adi husada surabaya the effect of body position on blood pressure in elderly people with hypertension in rw 06, bongkaran sejahtera village, pabean district, cantian surabaya http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p116-122&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 117susanti, sulistyana, pengaruh posisi tubuh terhadap tekanan darah pada ... email: susanti@akper-adihusada.ac.id e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/v7i1.art.p116–122 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan salah satu gangguan kesehatan yang paling banyak dialami oleh lansia adalah pada sistem kardiovaskuler (teguh, 2009).salah satu gangguan pada sistem kardiovaskuler adalah hipertensi. hipertensi dapat terjadi pada lansia dikarenakan jantung membesar sehingga terjadi penurunan elastisitas dari dinding aorta. (darmojo, 2010). menurut depkes (2013) angka kejadian hipertensi mengalami penurunan. hal tersebut dibuktikan dengan angka kejadian hipertensi tahun 2007 sebesar 31,7 persen dan tahun 2013 menjadi 25,8 persen. hal tersebut disebabkan banyak faktor seperti alat pengukur tensi yang berbeda dan kemungkinan masyarakat sudah mulai datang berobat ke fasilitas kesehatan. namun, dari hasil wawancara akibat tidak minum obat hipertensi angka kejadian meningkat dari 7,6 persen tahun 2007 menjadi 9,5 persen tahun 2013. menurut (ridwan, 2009) prevalensi hipertensi dikategorikan sebagai berikut hipertensi ringan sebesar 68,4% (diastolik 95-104 mmhg), hipertensi sedang sebesar 28,1% (diastolik 105-129 mmhg), hipertensi berat sebesar 3,5% (diastolik sama atau lebih besar dengan 130 mmhg). berdasarkan hasil survey awal yang telah di lakukan di posyandu lansia di wilayah rw 06 kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya tahun 2017 jumlah keseluruhan lansia yang mengalami hipertensi adalah 50 orang. hipertensi adalah suatu kondisi akibat tekanan darah yang meningkat.hipertensi sering kali tidak menimbulkan gejala, namun hal ini dapat menimbulkan kegawatan akibat tekanan darah yang terusmenerus tinggi dalam jangka waktu lama.oleh karena itu, pemeriksaan tekanan darah secara berkala harus dilakukan guna untuk deteksi dini penyakit hipertensi. beberapa faktor yang melatar belakangi tekanan darah adalah faktor genetik (keturunan), jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, aktivitas fisik, asupan makan, kebiasaan merokok, dan stress (anggraini, 2009). secara alamiah lansia akan mengalami penurunan fungsi organ dan mengalami labilitas tekanan darah (mubarok & chayatin, 2009). perawat membutuhkan keterampilan khusus dalam manajememn pengukuran tekanan darah. manajemen pengukuran yang salah dapat berpokeywords: blood pressure;change of position;sitting position;standing position. between sitting position and standing position on the elderly who suffer from hypertension. this research was carried out in the prosperous village 06 rw bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya on 27 january 2018. research on the methods of experimental type with pre eksperiment one group pre post test design with cross sectional approach. sample determined in simple random sampling of 50 people. the data were analyzed using the wilcoxon signed ranks test. the results showed there are. influence of the position of the body against blood pressure. the research results obtained the following data: blood pressure sitting of 29 people (58%) categorized hypertension degrees 1, while a sitting position by 20 people (34%) categorized hypertension degrees 2. test results wilcoxon signed ranks test showed that there were significant differences between the positions of sitting and standing position with a value of p = 0.000 < = 0.05. seated position makes blood pressure tend to be stable. working the heart in a sitting position, in pumping blood will be harder because it opposes the gravitational force so that the heart rate increases. blood pressure measurement can be done a variety of positions, the time difference break, as well as to provide an interval of time in doing the measurement of blood pressure. © 2020 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: akademi keperawatan adi husada surabaya east java, indonesia p-issn : 2355-052x https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 118 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 116–122 tensi terjadi apabila semua prosedur ini tidak diikuti dengan hati-hati. hal ini jelas akan berdampak pada keberhasilan terapi. untuk mengantisipasi sumber potensial kesalahan dalam pengukuran tekanan darah maka prosedur pengukuran tekanan darah harus diperbaharui dengan menggunakan merkuri konvensional atau sphygmomanometer aneroid dan monitor tekanan darah elektronik sebagai (wallymahmed, 2008). prinsip pengukuran tekanan darah yaitu lengan tangan harus kondisi santai boleh dilaksanakan pada posisi duduk ataupun berbaring. pada saat posisi duduk, hasil pengukuran tekanan darah akanlebih tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring, meskipun selisihnya relatif kecil (teguh, 2009).hal ini disebabkan pada saat duduk yang terjadi pada sistem vasokontraktor simpatis terangsang dan sinyal-sinyal sarafpun dijalarkan secara serentak melalui saraf rangka menuju ke otot-otot rangka tubuh, terutama otot-otot abdomen. keadaan ini akan meningkatkan tonus dasar otot tersebut menekan seluruh vena cadangan abdomen, membantu mengeluarkan darah dari cadangan vaskuler abdomen ke jantung. hal ini membuat darah yang tersedia bagi jantung untuk dipompa menjadi meningkat (guyton & hall, 2011). tekanan da rah dikatakan meningkat jika tekanan darah sistolik sama dengan atau di atas 140 mmhg dan/atau tekanan darah diastolik sama dengan/atau di atas 90 mm hg. peningkatan tekanan darah yang terus menerus akan menyebabkan kerusakan pada organ seperti jantung, otak dan ginjal (who, 2013). menurut (manembu, dkk, 2015) ketika seseorang dalam posisi berdiri, kondisi tekanan tambahan sama dengan berat kolom darah dari jantung ke titik pengukuran ditambah tekanan intravaskular di semua tempat menjadi sama dengan tekanan yang dihasilkan oleh kontraksi jantung. peningkatan tekanan akibat gravitasi mempengaruhi volume sirkulasi darah efektif melalui beberapa cara. salah satu diantaranya, peningkatan tekanan hidrostatik yang terjadi di kaki ketika seseorang berdiri akan mendorong keluar dinding vena sehingga menyebabkan distensi. pada posisi duduk, pusat gravitasi berada pada bagian anterior ischia dan sekitar 25% berat badan ditransmisikan ke bawah melalui ekstremitas bawah sehingga anggota tubuh dalam keadaan rileks. hal ini terjadi akibat pengaruh dari gaya gravitasi, sehingga posisi yang berbeda memengaruhi tekanan darah merupakan hal yang wajar. namun dipastikan juga dengan rutin untuk memeriksa. posisi seseorang saat pengukuran baik posisi berdiri atau duduk akan memberikan gambaran hasil yang berbeda. faktor lain yang mempengaruhi, yaitu aktivitas yang akan dilakukan sebelum pengukuran, tekanan atau stress yang akan dialami, serta waktu pengukuran (teguh, 2009). banyak informasi mengenai posisi lengan terhadap tekanan darah namun sedikit sekali informasi yang diberikan dari literatur mengenai pengaruh posisi tubuh terhadap hasil pengukuran tekanan darah (eser, 2007). oleh karena itu, sebaiknya lansia periksakan kembali tekanan darah ke dokter terdekat. penanganan akan diberikan jika lansia mengalami hipertensi. selain itu diperlukan menjaga pola hidup sehat dengan mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi, rutin berolahraga, kelola stress dengan baik, serta istirahat yang cukup. berdasarkan uraian tersebut di atas, perubahan posisi tubuh merupakan salah satu hal yang mempengaruhi perubahan tekanan darah. oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh perubahan posisi tubuh terhadap tekanan darah pada lansia di wilayah rw 06 kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya. bahan dan metode pada pada penelitian ini menggunakan desain penelitian pra experimental dengan tipe one group pre post test design yaitu suatu penelitian yang mengkaji perbandingan terhadap pengaruh pada kelompok subjek adanya suatu perlakuan dari peneliti. populasi dalam penelitian ini semua lansia penderita hipertensi yang rutin periksa di posyandu lansia kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya. tehnik sampel yang digunakan adalah dengan cara total sampling dimana peneliti mengambil sampel yang jumlah sampel sama dengan jumlah populasi sehingga sampel sebanyak ±50 orang. penelitian ini dilaksanakan pada 27 januari 2018. variabel independen dalam penelitian ini adalah posisi tubuh, sedangkan variable dependen adalah tekanan darah pada penderita hipertensi. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar kuisoner serta lembar observasi untuk mengukur tekanan darah. analisis data menggunakan uji wilcoxon signed ranks test. 119susanti, sulistyana, pengaruh posisi tubuh terhadap tekanan darah pada ... tabel 6 menunjukan bahwa sebagian besar responden di wilayah kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya tidak memiliki kebisaaan mengkonsumsi makanan asin berjumlah 43 responden dengan persentase (86%). hasil penelitian berdasarkan uji statistik pengaruh perubahan posisi tubuh terhadap tekanan darah posisi duduk dan posisi berdiri pada lansia penderita hipertensi di kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya 27 januari 2018 menunjukkan bahwa posisi tubuh duduk dan berdiri dengan pre hipertensi yaitu 34 responden (68%), posisi tubuh duduk dan berdiri dengan karakteristik tekanan hasil penelitian no. umur f % 1. 55-66 27 54 2. 67-77 14 28 3. 78-88 9 18 jumlah 50 100 tabel 1 di str i busi k ar ak te r istr ik responde n berdasarkan umur tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di wilayah kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya, yaitu berumur 5566 tahun berjumlah 27 responden dengan persentase (54%). tabel 2 distribusi karakteristik responden jenis kelamin no. jenis kelamin f % 1. laki-laki 16 32 2. perempuan 34 68 jumlah 50 100 tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di wilayah kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya yaitu berjenis kelamin perempuan berjumlah 34 responden dengan persentase (68%). tabel 3 distribusi karakteristik responden kebisaaan merokok no. kebisaaan merokok f % 1. iya 11 22 2. tidak 39 78 jumlah 50 100 tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di wilayah kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya tidak memiliki kebisaaan merokok berjumlah 39 responden dengan persentase (78%). tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di wilayah kelur ahan bongkar an kecamatan pabean cantian surabaya tidak memiliki tabel 4 distribusi karakteristik responden kebisaaan minum berakohol no. kebisaaan minum berakohol f % 1. iya 3 6 2. tidak 47 94   jumlah 50 100 kebisaaan mengkonsumsi minuman berakohol berjumlah 47 responden dengan persentase (94%). tabel 5 distribusi karakteristik responden kebisaaan mengkonsumsi makanan asin no. kebisaaan mengkonsumsi f % makanan asin 1. iya 21 50 2. tidak 29 50   jumlah 50 100 tabel 5 menujukkan bahwa lebih dari sebagian responden di wilayah kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya tidak memiliki kebisaaan mengkonsumsi makanan asin berjumlah 29 responden dengan persentase (58%). tabel 6 distribusi karakteristik responden kebisaaan melakukan aktivitas no. kebisaaan melakukan aktivitas f % 1. iya 7 14 2. tidak 43 86   jumlah 50 100 120 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 116–122 darah hipertensi derajat 1 yaitu 49 responden (98%), dan posisi tubuh duduk dan berdiri dengan karakteristik hipertensi derajat 2 yaitu 17 orang (34%). hasil dari uji statistik menyimpulkan ada pengaruh antara posisi tubuh terhadap tekanan darah duduk dan berdiri pada lansia yang menderita hipertensi di wilayah kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya dimana p value =0, 00 dengan =0,05. hal ini membuktikan bahwa posisi tubuh berpengaruh terhadap pengukuran tekanan darah posisi duduk dan posisi berdiri. pembahasan tekanan darah posisi duduk hasil penelitian yang dilakukan 27 januari 2018 di posyandu lansia di wilayah posyandu lansia kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya menunjukkan bahwa tekanan darah posisi duduk pada lansia yang menderita hipertensi terdapat 29 responden dengan persentase (58%) yang memiliki tekanan darah di kategorikan hipertensi derajat 1, dan sisanya pada lansia yang menderita hipertensi terdapat 21 responden dengan persentase (50%) yang memiliki tekanan darah tinggi di kategorikan pre hipertensi. peran dari tekanan darah adalah mengedarkan darah ke dalam pembuluh darah di jantung. pengukuran tekanan darah dapat menggunakan alat ukur tekanan darah (tensimeter). hasil pengukuran tekanan darah tergantung pada posisi, aktivitas, dan kondisi tubuh dalam rentang tertentu (asrawati, 2017). sikap atau posisi duduk membuat tekanan darah cenderung stabil. hal ini dikarnakan pada saat duduk system vasokontraktor simpatis terangsang melalui saraf rangka menuju otot-otot abdomen. keadaan ini meningkatkan tonus dasar otot-otot tersebut yang menekan seluruh vena cadangan abdomen, membantu mengeluarkan darah dari cadangan vaskuler abdomen ke jantung (guyton & hall, 2011).hal tersebut membuat darah yang tersedia bagi jantung untuk dipompa menjadi meningkat. keseluruhan respon ini disebut refleks kompresi abdomen (teguh, 2009). pada posisi duduk, kerja jantung akan lebih keras dalam memompa darah karena melawan gaya gravitasi sehingga kecepatan denyut jantung meningkat (asrawati, 2017). lansia di posyandu lansia mayoritas tidak memiliki kebisaaan untuk melakukan aktivitas terdapat 43 responden dengan persentase (86%), sedangkan yang memiliki kebisaaan untuk melakukan aktivitas terdapat 7 responden dengan persentase (14%). masing-masing aktivitas memiliki keuntungan yang berbeda. ada perbedaan aktivitas antara lansia laki-laki dan perempuan yang di posyandu lansia yaitu perbedaannya mayoritas perempuan lebih cenderung mempunyai perilaku yang tinggi untuk melakukan aktivitas sehari-hari di rumah, mengikuti posyandu karena perempuan lebih tekun dan senang berkumpul dengan teman seusianya, sedangkan laki-laki secara psikologis cepat bosan dan memilih untuk bekerja (mubarak chayatin, 2009). hasil penelitian anggraini (2009) menunjukkan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi adalah aktivitas fisik. hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan peneliti bahwa di posyandu lansia lebih banyak perempuan karena mayoritas perempuan hanya sibuk dirumah sebagai ibu rumah tangga saja dan tidak ada kegiatan lain sehingga lebih bisa meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di posyandu, sedangkan lansia laki-laki itu lebih memilih untuk bekerja daripada membuang waktunya untuk datang ke posyandu. dalam hal ini menunjukkan bahwa aktifitas yang di lakukan perempuan lebih banyak di bandingkan dengan laki-laki sehingga perempuan cenderung mengalami tekanan darah tinggi karena aktivitas f % f % 1 pre hipertensi 21 50 13 26 2 hipertensi derajat 1 29 58 20 40 3 hipertensi derajat 2 0 0 17 34 uji wilcoxon hasil p value = 0,00 tabel 7 hasil uji statistik posisi tubuh terhadap tekanan darah pada posisi duduk dan posisi berdiri no. tingkatan hipertensi tekanan darah duduk tekanan darah berdiri 121susanti, sulistyana, pengaruh posisi tubuh terhadap tekanan darah pada ... yang tinggi membuat kerja jantung semakin berat sehingga tekanan darah cenderung meningkat. sedangkan, kurangnya beraktivitas yang dilakukan maka kerja jantung juga berkurang sehingga kerja jantung tidak maksimal dalam mempompa dari pembuluh darah ke jantung. oleh karena itu aktifitas fisik menyebabkan perubahan yang besar dalam sistem sirkulasi dan pernapasan. tekanan darah posisi berdiri hasil penelitian yang dilakukan tanggal 27 januari 2018 di posyandu lansia di wilayah posyandu lansia kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya menunjukkan bahwa tekanan darah posisi berdiri pada lansia yang menderita hipertensi terdapat 20 responden dengan persentase (40%) yang memiliki tekanan darah di kategorikan hipertensi derajat 1, kemudian pada lansia yang menderita hipertensi terdapat 17 responden dengan persentase (50%) yang memiliki tekanan darah di kategorikan hipertensi derajat 2, dan sisanya terdapat 13 responden dengan persentase 26% yang memiliki tekanan darah di kategorikan pre hipertensi. pada saat seseorang berdiri detak jantung akan meningkat karena darah yang kembali ke jantung akan lebih sedikit. kondisi ini ketika seseorang bergerak dari posisi duduk atau berbaring ke posisi berdiri sehingga terjadi peningkatan detak jantung mendadak. sebanyak 300-500 ml pada posisi berdiri, darah pada pembuluh “capacitance” vena anggota tubuh bagian bawah dan isi sekuncup mengalami penurunan sampai 40% (guyton & hall, 2011). pengumpulan darah di vena lebih banyak pada posisi berdiri. mengakibatkan volume darah yang kembali ke jantung sedikit, isi sekuncup berkurang, curah jantung berkurang, dan kemungkinan tekanan darah akan turun (guyton & hall, 2011). lansia di posyandu lansia mayoritas berusia 5556 tahun terdapat 27 responden dengan persentase (54%), usia 67-77 tahun terdapat 14 responden dengan persentase (28%), dan usia 78-88 tahun terdapat 9 responden dengan persentase (18%). hasil penelitian yang dikemukakan oleh anggraini (2009) menyatakan bahwa tekanan darah pada usia lanjut (lansia) akan cenderung tinggi sehingga lansia lebih besar berisiko terkena hipertensi karena dinding arteri pada usia lanjut (lansia) akan mengalami penebalan yang mengakibatkan penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku. hal ini menunjukkan di posyandu lansia mayoritas lansia berusia 55-56 tahun. pada usia ini lansia masih aktif untuk melakukan kegiatan sehari-hari dibandingkan lansia yang memasuki usia >70 tahun. naiknya tekanan darah pada posisi berdiri yang sejalan dengan penelitian ini, disinggung dalam suatu laporan praktikum yang menyebutkan bahwa secara teoritis hasil pengukuran tekanan darah cenderung meningkat pada posisi berdiri dibandingkan dengan posisi duduk karena pada posisi berdiri peredaran darah lebih tinggi dengan arah peredaran vertical sehingga melawan gaya gravitasi dan otot yang sedang berkontraksi. pengaruh posisi tubuh terhadap tekanan darah pada lansia penderita hipertensi hasil penelitian berdasarkan uji statistik pengaruh perubahan posisi tubuh terhadap tekanan darah posisi duduk dan posisi berdiri pada lansia penderita hipertensi di kelurahan bongkaran kecamatan pabean cantian surabaya 27 januari 2018 menunjukkan bahwa posisi tubuh duduk dan berdiri dengan pre hipertensi yaitu 34 responden (68%), posisi tubuh duduk dan berdiri dengan karakteristik tekanan darah hipertensi derajat 1 yaitu 49 responden (98%), dan posisi tubuh duduk dan berdiri dengan karakteristik hipertensi derajat 2 yaitu 17 orang (34%). hasil dari uji statistik menyimpulkan ada pengaruh antara posisi tubuh terhadap tekanan darah antara posisi duduk dan posisi berdiri pada lansia yang menderita hipertensi di wilayah kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya dimana p value =0, 00 dengan  = 0,05. hal ini membuktikan bahwa posisi tubuh berpengaruh terhadap pengukuran tekanan darah posisi duduk dan posisi berdiri. hasil penelitian yang dikemukan oleh eser (2007) menyatakan bahwa sistem kerja otot dipengaruhi oleh posisi tubuh. otot akan berkontraksi dibutuhkan lebih banyak tenaga sehingga laju pernapasan pun akan meningkat pada saat berdiri, berbeda ketika saat posisi duduk. hasil penelitian yang lain dari manembu, et al (2015) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara posisi tubuh pada saat duduk dan berdiri ketika dilakukan pengukuran tekanan darah. pengumpulan darah di vena lebih banyak 122 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 116–122 pada posisi berdiri. mengakibatkan volume darah yang kembali ke jantung sedikit, isi sekucup berkurang, curah jantung berkurang, dan kemungkinan tekanan dar ah akan meningkat. peningkatan tekanan arteri terjadi selama tubuh bergerak. sikap atau posisi duduk membuat tekanan darah cenderung stabil. darah dapat kembali ke jantung secara mudah pada posisi berbaring (guyton & hall, 2011). berdasarkan teori guyton yang sudah dikemukakan bahwa hasil pengukuran tekanan darah dalam berbagai posisi seperti duduk, dan berdiri mungkin saja terjadi perbedaan, perbedaan ini bisa terjadi karena adanya efek gravitasi yang mempengaruhi dalam setiap posisi tubuh manusia. dalam hal ini menunjukkan ada pengaruh antara posisi tubuh terhadap pengukuran tekanan darah duduk dan berdiri pada lansia yang menderita hipertensi karena setiap responden memiliki hasil pengukuran tekanan darah yang berbeda dan sebaiknya dalam mengukur tekanan darah sebaiknya pada posisi duduk dan lengan lebih rileks. kesimpulan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh perubahan posisi tubuh terhadap tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di wilayah rw 06 kelurahan bongkaran sejahtera kecamatan pabean cantian surabaya. penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, tentang efektifitas pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk daripada posisi berdiri. saran lansia diharapkan lebih rutin datang ke posyandu lansia dalam melakukan pemeriksaan tekanan darah.pada saat dilakukan pemeriksaan tekanan darah, lansia lebih dianjurkan dengan posisi duduk karena posisi tersebut membuat tekanan darah cenderung stabil. daftar pustaka anggraini, a., waren, s., situmorang, e., asputra, h., & siahaan, s. (2009). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada pasien yang berobat di poliknik dewasa puskesmas bangkinang periode januari sampai juni. penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi, 1. asrawati. (2017). fisika kesehatan dalam keperawatan. yogyakarta: deepublish. darmojo, b. (2010). buku ajar geriatri: ilmu kesehatan usia lanjut. jakarta: fakultas kedokteran universitas indonesia. depkes ri. (2013). riset kesehatan dasar. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. global initiative for hypertensi eser, i. k. (2007). the effect of different body position on blood pressure. journal of clinical nursing (vol. 16). guyton, a. c., & hall, j. e. (2011). buku ajar fisiologi kedokteran. jakarta: egc. hadi, m., & kris, p. (2010). buku ajar boedi-darmojo geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut edisi ke-4) . jakarta: balai fakultas universitas indonesia. kowalski, r. (2010). terapi hipertensi: program 8 minggu menurunkan tekanan darah tinggi . bandung: qanita mirzan pustaka. manembu, m., rumampuk, j., & danes, v. r. (2015). pengaruh posisi duduk dan berdiri terhadap tekanan darah sistolik dan diastolik pada pegawai negeri sipilkabupaten minahasa utara.jurnal ebiomedik (ebm), volume 3, nomor 3, septemberdesember 2015 , 818. mubarak,& chayatin. (2009). teori dan aolikasi ilmu kesehatan masyarakat, pendidikan kesehatan, konsep perilaku dan perilaku kesehatan. jakarta: salemba medika. organization wh. a global brief on hypertension: silent killer, global public health crises (world health day 2013). geneva: who. 2013 teguh, i. (2009). pengukuran tekanan darah. retrieved april 5, 2016, from pengukuran tekanan darah :http:/ / w w w . s c r i b d . c o m / d o c / 5 8 5 8 2 6 1 0 / pengukurantekanandarah wallymahmed, m. (2008).blood pressure measurement nursing standart. jakarta: pt. agro media pustaka. e:\2021\ners april 2021\14-jurn 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 94–100 solus per aqua (spa) massage to reduce complaints during the period postpartum at mombykids village sambong dukuh district jombang regency jombang henny sulistyawati midwifery departement, stikes icme jombang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 07/10/2020 accepted, 26/02/2021 published, 05/04/2021 keywords: solus per aqua (spa), massage, complaints during postpartum article information abstract the mother’s struggle after giving birth takes a long time. one of them is to restore a fresher and more relaxed body shape.because it cannot be denied, after birth the body will feel weak because of the energy released.the muscles that feel are usually tense, especially for women who give birth normally.this condition is of course intolerable, special care is needed to restore the mother’s body to recovery.solus per aqua (spa) postpartum is one way to restore body shape.solus per aqua (spa) massage can be useful to improve blood circulation and restore the body to be firmer and make the body more comfortable and relaxed.this study aims to determine the solus per aqua (spa) massage in mothers can reduce complaints during postpartum.the type of this research is quasi-experimental using a pretest and posttest design by treating the research subject.the samples in this study were 20 mothers who came to mombykids from day 2 to 14.the sampling technique used simple random sampling.the variables in this study were spa massage and complaints during postpartum.data collection was carried out using checklist and questionnaire.data processing was performed using the “wilcoxon” statistical test with a significance level of 0.05.the results of this study showed that complaints of mothers before spa massaging experienced complaints during the postpartum period including postpartum pain 25 %, non-smooth milk production 60%, stress 15%, and almost 75% of mothers felt relaxed / comfortable after spa massaging.this study concluded that there is a significant effect of spa massage in reducing complaints during the postpartum period.for the next researchers, because of the limitations in conducting this research, the variables were studied in general,it is expected that next research can expand the research into the variables studied, for example those related to uterine involution, lactation, or postpartum exercise and there may be new findings that need to be reexamined. 94 correspondence address: stikes icme jombang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: henny.gadang@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p094–100 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p094-100&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p094-100 95sulistyawati, solus per aqua (spa) massage to reduce complaints during the ... introduction t he postpa rtum is a cr itica l period for postpartum mothers. physical, psychological, mental, and spiritual unpreparedness in facing this period will cause mother s to experience problems related to involution and lactation(kusbandiyah & puspadewi, 2020). the postpartum period is still a vulnerable period for the health of new mothers (lowdermilk dl, perry se, cashion, mc, 2016). there are many things to be risk factors for postpartum discomfort. these factors include lactation, stress, postpartum pain.some treatments that can be done to make the process run well include exercise, oxytocin ma ssage, and postpartum massage (wahyuni & nurlatifah, 2017).if the postpartum discomfort is not well organized, the postpartum mother may experience postpartum blues.the number of postpartum blues incidents in indonesia varies widely. according to (post et al., 2008), the incidence of postpartum blues in indonesia reaches 5070%. accor ding to ma ha mpa ng, 2010 a nd fa tma wa ti 2015, this number is higher in primiparous which reaches 88%.in jombang regency in 2017, the maternal mortality rate was 149.68 live birth per 100,000 live birth. this figure is based on data on maternal mortality as many as 28 cases from 18,707 live births.the details of the maternal mortality during pregnancy were 10 people, at the time of giving birth were 3 people, and at the postpar tum per iode wer e 15 people. (dina s kesehatan jombang, 2017) the postpartum period is the peak of a mother’s physical exhaustion after a long pregnancy and tiring labor.fatigue is usually caused by the pain the mother feels in all parts of body as a result of childbirth.pain due to childbirth is usually not felt during the delivery process and will only be felt after the completion of the labor process.physical fatigue will cause the mother to feel stressed so that the breastfeeding process does not run optimally.fatigue also affects the mother’s activities so that it will indirectly affect the involution process (kusbandiyah & puspadewi, 2020). massage can be important and beneficial because it is known to promote relaxation, reduce pain and stress, and have many other health benefits. postpartum massage accelerates recovery and improves hormonal balance effectively. the prolactin and oxytocin levels multiply to make breastfeeding easier (metzger s, 2013). massage has been known that has many health benefits. ma ssa ge per for med with the r ight technique during the postpartum period allows it to improve the recovery of maternal health and to increase breast milk production. massage on the mother’s back after giving birth can increase the levels of oxytocin and prolactin so that breast milk will be produced a nd excreted more quickly (palembang et al., 2018). so it is necessary to do research on solus per aqua (spa) massage to reduce complaints during the postpartum period in mombykids village, sambong dukuh district, jombang regency. research methods the research design used in this study is a quasi experiment using “pre-test pot test design” how to provide intervention to mothers by doing spa massage for 3 months and evaluated whether the intensity / level of complaints can be reduced or not. in this study, the treatment was analyzed using the wilcoxon statistical test.if the complaints during the postpartum period decrease after massaging, the massage given has significant effect.this research was conducted in mombykids, sambong dukuh village, jombang district, jombang regency from april to july 2019. the variable in this study, the independent variable was spa massage and the dependent variable was reducing complaints during the postpartum period.the population in this study were postpartum mothers on day 2-14 who came to mombykids, sambong dukuh village, jombang district, jombang regency.the sample in this study wer e 20 postpa r tum mother s who ca me to mombykids using simple r a ndom sa mpling technique.all postpartum mothers who come and experience complaints during postpartum period were given massage (mother spa) once a week and re-evaluated after 1 week. the materials needed in this study were the spa room, aromatherapy and vco (virgin coconut oil) or coconut oil. the instrument in this study was a checklist. research results 1. general data a. age frequency distribution of respondents’ characteristics based on age grouped into 3 groups showed in the table below: 96 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 94–100 from table 1 obtained the results of respondents’ characteristics based on the age of postpartum mothers mostly 15 (75%) 20-35 years old. b. parity no age (year) frequency (f) persentage (%) 1 < 20 year 1 5 2 20-35 year 15 75 3 > 35 year 4 20 jumlah 20 100 source : primary data 2019 table 1 distribution of respondents based on the age of postpartum mothers in momby kids village sambong dukuh district jombang regency. jombang year 2019 table 2 distribution of respondents based on parity of postpartum mothers in mombykids village sambong dukuh district jombang regency in 2019 no parity frequency percentage (%) 1 primipara 8 40 2 multipara 7 35 3 grandemulti 5 25 jumlah 20 100 source : primary data 2019 based on table 2 obtained the results of respondent characteristics based on postpartum maternal parity obtained almost half 8 (40%) respondents are primipara. 1. special data a. complaints of postpartum mothers before spa massaging distribution of characteristic frequency based on complaints of postpartum mothers before spa massaging based on table 3 and a half 12 (60%) obtained compla ints felt by postpa r tum mother s the production of breast milk is not smooth and the other complaint is postpartum pain 5(25%) and stress 3(15%). b. mother’s complaint postpartum after spa massaging distribution of characteristic frequency based on postpartum maternal complaints after spa massaging. based on table 4 obtained data most of 15 (75%) after a spa massaging postpartum mother relaxed/comfortable condition, complaints of postpartum pain, the production of breast milk is not smooth and stress is also reduced. no complaints of postpartum mothers before spa massaging frequency (f) percentage (%) 1 postpartum pain 5 25 2 production of breast milk is not smooth 12 60 3 stress 3 15 4 relax/ comfortable 0 0 jumlah 20 100 source: primary data 2019 table 3 distribution of respondents based on complaints of postpartum mothers before spa massaging in mombykids village sambong dukuh jombang district jombang regency in 2019 source: primary data 2019 no complaints of postpartum mothers after spa massage frequency (f) percentage (%) 1 pospartum pain 2 10 2 production of breast milk is not smooth 2 10 3 stress 1 5 4 relax/ comfortable 15 75 jumlah 20 100 table 4 distribution of respondents based on complaints to postpartum mothers after spa massaging in mombykids village sambong dukuh jombang district jombang regency in 2019 97sulistyawati, solus per aqua (spa) massage to reduce complaints during the ... years and over 35 years are at an increased risk of complaints. the age under 16 years, the organs ar e not ready for the process of pregna ncy, childbirth, and postpartum.as a result, when the uterus has to contract for the return of the uterus to its original state, it will experience difficulties.the mindset and ability to make decisions at an early age are still unstable, so there will be many influences from thinking from the surrounding environment which can be positive or negative towards discomfort during the postpartum period (mayasari et al., 2015). this is follows (hidayati & sulistyoningtyas, 2017), the results of statistical calculations on the chi-square test with ñ-value 0.01, which means that there is a relationship between age and type of delivery with the incidence of postpa r tum blues a t puskesma s ii jetis bantul.according to researchers, aged 20-35 years who are mature or productive, it will certainly affect their view of new things that come from outside so that knowledge increases.the older a person is, the more rational thinking and the better his knowledge and experience and also as a result of mental experience and maturity, age also greatly influences a person to think. c. differences in complaints of postpartum mothers before and after spa massaging in mombykids village sambong dukuh jombang district jombang regency based on table 5 it ilustrated that the test result obtained the value  = 0.01 means that this value is lower than the value of meaning 0.05. this is no postpartum mother complaints changes in complaints of postpartum mothers sebelum sesudah f % f % 1 postpartum pain 5 25 2 10 2 production of breast milk is not smooth 12 60 2 10 3 stress 3 15 1 5 4 relax/ comfortable 0 0 15 75 total 20 100 100 100 wilcoxon test p:0.01 source: primary data 2019 table 5 distribution of respondents based on differences in complaints to mothers before and after a massage spa at mombykids village sambong dukuh jombang district jombang regency in 2019 evidenced a fter the spa ma ssage in mothers postpartum complaints reduced, postpartum pain complaints from 25% to 10%, the production of breast milk is not smooth from 60% reduced to 10%, stress 15% to 5% while relax / comfortable that was initially 0% increased by 100% after the spa massage in mothers postpartum. disscussion 1. general data a. a g e the first factor that influences someone to do something new (spa massage) is the age of the mother. based on table 1, the results obtained from the characteristics of respondents based on the age of the mother, which were analyzed in terms of age of the respondents, were mostly in the productive age range or low risk age between 20-35 years as much a s 75%. minimum a ge is a t r isk of experiencing subinvolution because the reproductive organs are still working optimally. it is different from the age under 20 years and over 35 years. according to (notoatmojo, 2010), a person’s arrest and mindset.as you get older, the more you develop your ca tch a nd mindset, the mor e knowledge you get.at this age, individuals will play an active role in social life and prepare more for successful efforts to adjust to old age, and middleaged people will spend more time to read. intellectual abilities, problem solving, and verbal abilities are reported not to decline from an early age. in some studies, age correlates with complaints experienced during the postpartum. ages under 16 98 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 94–100 b. parity the second factor that influences a person to do something new is parity.based on table 2, the results of the characteristics of respondents based on maternal parity determined that almost half of them were 8 respondents (40%) primiparous. according to (notoatmojo, 2012), the number of children is a source of knowledge or way of obtaining truth and knowledge. it is done by repeating the experience gained in solving problems faced in the past. according to (rahmaningtyas et al., 2019), showed p-value of 0.027 which means there is a relationship between maternal parity and anxiety disorders in postpartum mothers in semarang.the same research (lestari, 2017) stated that the parity of postpartum mothers had a relationship (p-value) of 0.020. mothers who have given birth more than once will have more experience caring for babies than primiparous.mothers who have recently given birth to their first child with a lifeless condition tend to have a greater risk of experiencing anxiety. according to researchers, mothers who have just given birth to their first child have more curiosity than second or third mothers. they tend to do everything new about motherhood after giving birth. the current mother ’s age makes it easier for mothers to care for their babies and accept the fact that the mother already has a baby and has more knowledge on how to be a single mother who also needs to be able to care for her baby properly and access various information related to complaints that often occur in the past and how to handle these complaints. 2. special data a. complaints of postpartum mother before doing spa massage the results showed that 5 respondents (25%) had complaints of postpartum pain before the spa massage, 12 respondents (60%) complained about not smooth in breast milk production, 3 respondents (15%) experienced complaints of stress / anxiety during the postpartum period. and 0% of no one feels relaxed / comfortable during childbirth.from the data, it can be concluded that before the average massage spa has a complaint during the postpartum period and most of the complaints felt during the postpartum period is the production of breast milk is not smooth.according toislami et al (2012), there are some discomforts during the puerperium, namely, pain after childbirth, excessive sweating, perineal pain, br east enla rgement, constipa tion, and hemorrhoids.according to researchers, complaints during the postpartum are a common disorder, and almost all mothers who have given birth ever experienced them.if the complaint during the postpartum does not interfere with the activities of caring for the baby, it may still be considered normal. but if the discomfort is disturbing the activities of the postpartum mother, it is necessary to consult with the health worker. b. complaints of postpartum mothers after doing spa massage from the results of the study, it was found that complaints of postpar tum mothers a fter spa massaging, namely complaints of postpartum pain decreased up to 10%. according to (ambarwati et al., 2013) multiparous postpartum mothers often feel pain due to simultaneous decrease in uterine muscles. it causes intermittent relaxation (pauses). whereas in breastfeeding women, baby suction stimulates oxytocin production which not only triggers the let down reflex (breast milk production) but also causes uterine contractions.uterine pain will go away if the uterus continues to contract properly and the bladder is empty, and will feel great during breastfeeding.this is in accordance with research (irda novrida ashar et al., 2018), the results of the mann-whitney test of the intervention group sig. 0.0001 (p <0.05) indicated that the intervention group experienced a decrease in pain so that there was a significant effect.the difference between the control and intervention groups in pain reduction in postpartum mothers can be concluded that there is an effect of effleurage massage on pa in r eduction in multipa r ous postpa r tum mothers.the results of this study are in line with (siahaan, pg., 2017) with the title “the effect of endorphin massage on back pain in mothers primigravida kala i active phase in citra medan maternity clinic” supports pain can be reduced by massage.the results obtained on average pain scale in respondents before and after massaging was significantly different.the average pain scale of respondents before massaging (12.31) was higher than that of respondents after massaging (4.69). complaints about the production of breast milk not smoothly decreased up to 10%, the result of research from(“nurul isnaini, rahma diyanti,” 2015) indicated relationship between oxytocin 99sulistyawati, solus per aqua (spa) massage to reduce complaints during the ... massage and breast milk production. it is because oxytocin massage is a n action performed on breastfeeding mothersin the form of massage on the mother’s back to increase the production of the hormone oxytocin. oxytocin massage will provide comfort to the mother so that it will provide comfort to the breastfed baby. physiologically, the hormone oxytocin increases which is passed to the brain so that the oxytocin hormone is secreted and flows into the blood, then enters the mother ’s breast causing the muscles around the alveoli to contract and make milk flow in the milk ducts.the oxytocin also makes the breast milk ducts wider, so that breast milk can be passed out more smoothly.stress complaints decreased to 5%, the results of the study found that respondents who did endorphin massage mostly had mild anxiety levels, because endorphin massage is one of the non-pha rma cologica l therapies to reduce or relieve pain in mothers who are about to give birth.so that the reduction of pain will be able to reduce maternal anxiety during childbirth (sukmaningtyas & windiarti, n.d.). feeling relaxed / comfortable feeling increases 100% after spa massage according to (sukmaningtyas & windiarti, n.d.) 2016 endorphin massage helps mothers feel fresher, relaxed and comfortable after delivery.from the data it can be concluded that the number of postpartum complaints decreased after massage and an increase in feeling relaxed / comfortable in postpartum mothers.the number of complaints that occur during the puerperium makes the mother exper ience discomfort during the postpartum so that it often interferes with activities and rest in the postpartum mother. one of the things that can be done to reduce these complaints is to do a spa massage. massage in mothers is very useful to give relaxing effect on the body and relax tense muscles after birthing.as long as the treatment is carried out properly and appropriately and handled by professionals. conclusion this study concluded that there is a significant effect of spa massage in reducing complaints during the postpartum period. suggestion for the next researchers, beca use of the limitations in conducting this research, the variables were studied in general, it is expected that next research can expand the research into the variables studied, for example those related to uterine involution, lactation, or postpartum exercise and ther e ma y be new findings tha t need to be reexamined. refference ambarwati, r., muis, s. f., &susantini, p. (2013). the effect of int en si ve la ct at ion counsel in g on breastfeeding ( breast milk) exclusively up to 3 months. 2(1), 16–23. hidayati, y., & sulistyoningtyas, s. (2017). the relationship of age and type of childbirth with the incidence of postpartum blues in post partum mothers in the region of puskesmasjetis ii bantul regency. university of aisyiyah yogyakarta. kusbandiyah, j., &puspadewi, y. a. (2020).effect of postnatal massage on nifas period involution and lactation process in malang. journal of ners and midwifery, 7(1), 065–072. https://doi.org/10.26699/ jnk.v7i1.art.p065-072 e. (2017). the relationship between parity and anxiety level experienced by mother during post partum at pkumuhammadiyah hospital yogyakarta. 6. http://scholar.unand.ac.id/54967/ mayasari, f. f., meikawati, w., &astuti, r. (2015).factors affecting uterine involution (case study) in idaroyani and sri select retno midwife in 2014). indonesian journal of public health, 10(1), 17–22. ministry of health malaysia.(2015). traditional postnatal care in restoring women’s physical and mental hea l t h. 26. www. m oh . gov. m y/ i n dex. ph p/ database_stores/attach_download/348/267 post, i.b. u., caesaria, s., & ward, d. i. (2008).the relationship of parity with the ability of coping mechanisms in the face. rahmaningtyas, i., winarni, s., mawarni, a., &dharminto. (2019). the relationship of several factors with mrs. nifas’s anxiety in semarang city area. journal of public health, 7(4), 7. http://ejournal3.undip.ac.id/ index.php/jkm%0ahubungan sukmaningtyas, w., &windiarti, p. a. (n.d.). the effectiveness of endorphine massage to the preliminary level of pregnancy and childbirth problems is a very important focus of attention in people’s lives. in the process of childbirth there is a combination of physical process and emos experience. scien tifi c journal of midwifery, 53–62. wahyuni, n., &nurlatifah, l. (2017). factors that affect the process of uterine involution duringnifas working area puskesmas mandala lebakbanten province in 2016. journal of medical (health information media), 4(2), 167–76. https://doi.org/ 10.36743/medikes.v4i2.83 100 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 94–100 isnaini, n., & diyanti, r.(2015). oxytocin massage relationship in mrs. nifas against breast milk production in the working area of raja basa indah health center bandar lampung. ashar,in., suardi,a., soepardan,s.,wijayanegar,h., effendi,js., sutisna., m. influence effluerge ma ssa ge on pai n reduct ion in postpart um multipara mothers (2018). no. 6 july 2018. siahaan, pg., (2017). effect of endorphin massage on intensity of back pain in primigravida maternity mothers during active phase i at citra medan maternity clinic jombang city health office.jombang city health profile. 2017. lowdermilk dl, perry se, cashion, mc, & a. k. (2016). maternity and women health care (11th ed.). metzger s. (2013). postpartum massage, birth and beyond. www.americanpregnancy.org; 2013 notoatmojo, s. (2010). health behavioral science. rineka cipta. notoatmojo, s. (2012). health promotion and health behavior. rineka cipta. 396 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 396–400 correspondence address: universitas airlangga surabaya, east java indonesia p-issn : 2355-052x jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk effect of topical aromatherapy turmeric oil to pruritus scale on chronic kidney disease patients risyda ma’rifatul khoirot1, kusnanto1, suprajitno2 1faculty of nursing, universitas airlanggasurabaya, indonesia 2prodi d3 keperawatan blitar poltekkes malang, indonesia 396 article information keywords: uremic pruritus aromatherapy turmeric oil chronic kidney disease related factors of parental knowledge about stunting in toddler abstract a large number of patients with chronic kidney disease suffer from uremic pruritus, itch on skin caused many problems. uremic pruritus adversely affects the quality of life and comfort of patients with potential impact on psychological, functional, social aspect, and increased morbidity. the purpose of this study was to determine the effect of turmeric essential oil aromatherapy which applied topically to pruritus scale on ckd patients.this study used quasi-experimental design with 2 groups (intervention and control), conducted in ckd patients receiving hemodialysis therapy. a total sample of 72 respondents, each group of 36 people. the intervention was applied twice a day for 2 weeks. measurement using 5-d pruritus scale questionnaire. this result showed a decrease in pruritus scale on 51 respondents (70.8%) after 2 weeks therapy. independent t statistical test obtained p value 0.046 (p < 0.05).it can be conclude that topical aromatherapy of turmeric oil affects pruritus scale on patients with chronic kidney disease who experience uremic pruritus. ©2019 jurnal ners dan kebidanan history article: received, 01/11/2019 accepted, 02/12/2019 published, 05/12/2019 email: risyda.m@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p396-400 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0) http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p396-400&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p396-400 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 397khoirot, kusnanto, suprajitno, effect of topical aromatherapy turmeric oil to... introduction uremic pruritus (up) is a common symptom that endangers end-stage renal disease patients under going hemodia lysis. ur emic pr ur itus characterized by itching on the skin, adversely affects quality of life of patients with uremia. chronic pruritus can be persistent and troublesome for ckd patients, and significantly influence quality of life, physical comfort with potential psychological, functional and social impacts, and increased morbidity (kimata et al., 2014), 2, 3).(kimata et al., 2014; mettang et al., 2005; pakfetrat et al., 2014) according to mettang (2005), more than 40% of patients undergoing hemodialysis experience chronic pu, and half of them complain of complete pruritus(mettang et al., 2005). the 2006 dopps ii observational study in 314 hemodialysis units in 12 countries showed a range of the percentage of patients with moderate to extreme pu in the range of 5-75%. the mechanism of the occurrence of pruritus in chronic kidney disease is not known with certainty although there are several theoretical mechanisms published in the study. chen’s 2010 study proved that the inflammatory process plays an important role in the process of pu occurring in esrd patients. patients with severe pu have higher levels of c-reactive pr otein (hs-crp). in addition, research conducted by kimmel 2006 of inflammatory cytokines interleukin-2 (il-2) increases pruritogen formation in uremic pruritus (kimata et al., 2014; mettang et al., 2005; pakfetrat et al., 2014). effective treatment options for pu are limited because of the small number of placebo randomized controlled trials (rcts) for pu therapy, most of which show low therapeutic success. the most important approach to pu therapy currently according to mettang (2003) (mettang & kremer, 2015)is topical therapy with or without antiinflammatory compounds or systemic treatment (mettang et al., 2005; pakfetrat et al., 2014). aromatherapy is one of the complementary (non-pharmacological) methods of treatment that is increasingly being used to reduce uremic pruritus symptoms. some aromatherapy that have been proven to reduce uremic pruritus are lavender oil, tea tree oil, jojoba oil, almond oil, sunflower oil, peppermint oil which are given topically to the skin of uremic pruritus patients. typical indonesian plant in rhizome family, namely turmeric, containcurcumin and essential oils (turmerone) that has been shown to play a role in alleviating the inflammatory process. turmeric aromatherapy has good smell that is familiar and loved by indonesian people. researcher suspect that aromatherapy turmeric oil can reduce uremic prur itus symptoms by alleviating the inflammatory process that play a role in releasing pruritogen(abdelghfar, elsebae, elhadry, & hassan, 2017; afrasiabifar, mehri, & hosseini, 2016; curcani & tan, 2014). objectives this study is aimed to determine the effect of topical aromatherapy turmeric oil on uremic pruritus scale among chronic kidney disease patients. methods the current study used pretest-posttest quasiexperimental design with a control group. the samples of 72 hemodialysis patients were divided into 2 groups, 36 intervention group was given aromatherapy turmeric oil while 36 others received standard therapy in hospital. purposive sampling is used to recruit patients undergoing hemodialysis which match the inclusion criteria: age ranged 1865 years old, suffer from pruritus uremic in 2 weeks, had chronic kidney disease for more than 6 months. five dimension pruritus scale (5-d pruritus scale) is used to measure the scale of pruritus. the remaining items were grouped into five domains: duration,degree, direction, disability and distribution. the duration, degree and direction domains each included one item, while the disability domain had four items. all items of the first four domains were measured on a five-point likert scale. the scores of each of the five domains are achieved separately and then added together to get a total 5-d score, with a range of 5-25. the researcher conducted sensitivity test before applying aromatherapy to make sure that the participant was not allergic to oils by applying turmeric oil on small area of skin for a period of time. objective and subjective measurement was performed before and after the intervention. the collected data were analyzed using the paired ttest. this study was approved by the research ethical committee of haji public hospital surabaya, indonesia with r egistra tion number 073/19/ kom.etik/2019. all respondents were informed of the purpose of the study and consented for their participation in the study. 398 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 396–400 results table 1 below shows the characteristics of respondents based on sex, most of them are male, 43 r espondents (59. 7%). t he ma jor ity of respondents in this study were in the age range 4160 years, 51 respondents (70.8%). based on the duration of hd therapy, the majority of respondents had hd therapy for more than 24 months, 39 respondents (54%). as for the history of the disease most of the respondents had hypertension, at 45 respondents (62.5%). chisquare test results on the characteristics of sex, age and length of hd, it is known that each of them obtained a significance value of more than 0.05 which showed no significant differences in the data of sex, age and length of hd in the intervention and control groups. while the characteristics of the history of the disease were tested using kruskal wallis which also produced a significance value of more than 0.05. it can be concluded that there were no significant differences in the history of disease in the intervention and control groups. table 2 showed the average post-test score of the control group pruritus was 14.75 and the intervention group was 13.53. the significance value obtained from the independent t test was 0.046 (p <0.05) which showed a significant difference in the post-test scor e of the pr ur itus sca le in the characteristics g1 (aromatherapy turmeric oil) g2 (control group) p n = 36 n = 36 f % f % sex male 23 63,89 20 55,56 0,631 female 13 36,11 16 44,44 age 18-40 y.o 7 19,44 5 13,89 0,193 41-60 y.o 27 75 24 66,67 61-65 y.o 2 5,56 7 19,44 duration hd therapy < 12 months 7 19,44 5 13,89 0,736 12-24 months 11 30,56 10 27,78 > 24 months 18 50 21 58,33 disease hipertention 27 58,70 18 43,90 0,267 diabetes mellitus 14 30,43 6 14,63 renal disease 4 8,70 8 19,51 cardiovascular disease 0 0 7 17,07 others 1 2,17 2 4,88 source : primary data table 1 baseline characteristics of hemodialysis patients (n=72) pruritus scale pre test post testgroups x ± sd x ± sd t p experimental 15,44 ± 4,13 13,53 ± 2,76 4,559 0,000 control 14,94 ± 2,82 14,75 ± 2,32 0,631 0,532 t 1,261 -2,032 p 0,212 0,046 source : primary data p< 0,05, t = independent samples t-test table 2 withinand between-group comparison of the mean pretest/post-test pruritus scores of the patients in experimental and control groups (n=72) 399khoirot, kusnanto, suprajitno, effect of topical aromatherapy turmeric oil to... intervention group compared to the control group. it can be interpreted that administration of topical aromatherapy of turmeric oil is more effective in reducing the scale of pruritus. discussion until now ther e ha s been no effective treatment for uremic pruritus because the underlying etiology cannot be ascertained. this allows the use of various complementary and alternative medicine therapies (cam) to treat uremic pruritus, one of them is aromatherapy(shirazian et al., 2017). the results of the study of the influence of turmeric oil aromatherapy on the uremic pruritus level were measured using a 5-d prurirus scale showed a decr ea se in scor es a fter giving intervention for 2 weeks. independent t test results in the post-test intervention and control group showed that administration of topical aromatherapy of turmeric oil was more effective in reducing the pruritus scale than the provision of standard therapy (vco). this study is supported by the results of the study (abdelghfar et al., 2017)which proved that aromatherapy with a mixture of peppermint oil and sunflower oil applied to the pruritic area can significantly reduce pruritus scores in hemodialysis patients. this research proves the effect of topical aromatherapy on turmeric oil can reduce the degree of pruritus from severe to moderate in more than half of the respondents in the intervention group. this study is supported by another study conducted by (pakfetrat et al., 2014) which explains that the content of turmeric can reduce the inflammatory process in uremic pruritus which is characterized by a decrease in hs-crp levels in 100 hemodialysis patients receiving turmeric tablets (turmeric extract). turmeric contains many active ingredients that can pr ovide tr eatment effects. among the a ctive ingredients of turmeric, curcumin and turmeron in essential oils are substances that play a role in the inflammatory process by inhibiting the release of mediators (cytokines, interleukins, etc) and this process is also one of the causes that play a role in the process of itching in uremic pruritus (mettang et al., 2005) the administration of turmeric oil aromatherapy reduced the uremic pruritus scale to 28 respondents in the intervention group, proved to be more effective than standard therapy that is commonly used, namely vco which reduced the pruritus scale to 23 respondents. this is supported by research (curcani & tan, 2014) which shows that the administration of lavender aromatherapy mixed in tea tree oil can significantly reduce pruritus scores and laboratory parameters (bun and phosphorus) in end-stage renal failure patients. respondent reported a decrease in itching (pruritus) after giving turmeric oil aromatherapy for 2 weeks, and became more relaxed, and slept more tightly at night. this is supported by research conducted by (afrasiabifar et al., 2016) which proves that the administration of sweet almond oil a r oma ther a py ca n significa ntly r educe the symptoms of uremic pruritus after giving topically once a day for 2 weeks. it can be concluded that the administration of turmeric oil aromatherapy, is effective in reducing uremic pruritus. conclusion and suggestion conclusion topical aromatherapy of turmeric oil in patients with chronic kidney disease who experience uremic pruritus has a positive impact in the form of decreased pr uritus sca le. t his thera py is an alternative choice of complementary therapy that can be used as standard therapy and therapeutic recommendations for uremic pruritus patients. suggestion we r ecommend do skin testfir st befor e topically use aromatherapy turmeric oil, as the risk of skin allergy.further study expected to be carried out by exploring more deeply about therapeutic effects and side effects of turmeric oil for uremic pruritus, as well as effective doses for therapy. references abdelghfar, s. z., elsebae, h. a., elhadry, s. m., & hassan, a. a. (2017). effect of aromatherapy on uremic prurit us among pat ient s undergoing hemodialysis. iosr journal of nursing a nd health science, 6(2), 22–30. https:// doi.org/10.9790/1959-0602082230 afrasiabifar, a., mehri, z., & hosseini, n. (2016). efficacy of topical application of sweet almond oil on reducing uremic pruritus in hemodialysis patients: a randomized clinical trial study. iranian red crescent medical journal, 19(2). https:// doi.org/10.5812/ircmj.34695 curcani, m., & tan, m. (2014). the effect of 400 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 396–400 aromathe rapy on haemodialysis patients’ pruritus. journal of clinical epidemiology, 23, 3356–3365. https://doi.org/ 10.1111/jocn.12579 kimata, n., fuller, d. s., saito, a., akizawa, t., fukuhara, s., pisoni, r. l., … akiba, t. (2014). pruritus in hemodialysis patients/ : results from the japanese dialysis outcomes and practice patterns study (jdopps). hemodialysis international, (since 2011), 657–667. https://doi.org/10.1111/hdi.12158 mettang, t., dunst, r., stülten, c., kuhlmann, u., braun, n., kimmel, m., … van der kuip, h. (2005). the role of micro-inflammation in the pathogenesis of uraemic pruritus in haemodialysis patients. nephrology dialysis transplantation, 21(3), 749–755. https:// doi.org/10.1093/ndt/gfi204 mettang, t., & kremer, a. e. (2015). uremic pruritus. kidney international, 87(4), 685–691. https:// doi.org/10.1038/ki.2013.454 pakfetrat, m., basiri, f., malekmakan, l., & roozbeh, j. (2014). effects of turmeric on uremic pruritus in end stage renal disease patients: a double-blind randomized clinical trial. journal of nephrology, 27(2), 203–207. https://doi.org/10.1007/s40620-014-0039-2 shirazian, s., aina, o., park, y., chowdhury, n., leger, k., hou, l., … mathur, v. s. (2017). chronic kidney disease-associated pruritus: impact on qualit y of life and curre nt management challenges.international journal of nephrology and renovascular disease, 10, 11–26. https://doi.org/10.2147/ijnrd.s108045 235roifah, meilinawati, ratnaningsih, hidayati, factors that affect... 235 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk factors that affect coping mechanisms in chemotherapy patients with the approach of callista roy adaptation theory ifa roifah1, elies meilinawati2, tri ratnaningsih3, rinanur hidayati4 1,2,3,4prodi keperawatan, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information history article: received, 29/03/2019 accepted, 12/08/2019 published, 12/08/2019 keywords: adaptation theory, cancer, chemotherapy, coping mechanisms abstract © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokertojawatimur, indonesia p-issn : 2355-052x chemotherapy can cause pain and emotional stress in the patient. this condition will make the patient delay the therapy. strong coping mechanism is required to maintain good conditions. one of the empirical evidence of conceptual model theory is “holistic adaptive system” conceptual model theory, proposed by callista roy. this model is used in chronic diseases which undergone treatment. this study aimed to analyze factors which influence coping mechanisms in chemotherapy patients by using the callista roy adaptation theory approach. the study used cross sectional design. the population was 95 chemotherapy patients at the sumberglagah hospital in mojokerto. the sampling technique used simple random sampling and the sample was 78 respondents. the instrument used coping and adaptation processing scale (caps) with an adaptation theory approach. the results of logistic regression showed educational factors (p value 0.031) and work (p value 0.023) had an effect on coping mechanisms, while the chemotherapy cycle factor (p value 0.688) had no effect on coping mechanisms with the theoretical approach of callista roy adaptation to chemotherapy patients. the higher the level of education, the better tolerance and control of stressors, the workplace environment will provide social support so that coping mechanisms become adaptive. email: roifahi@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p235–240 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 236 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 235–240 introduction cancer is a chronic disease that threatens human health both physically and psychologically. one tr ea tment for pr event the ca ncer cell metastases is chemotherapy (firmana, 2017). chemotherapy can cause pain that gradually makes the patient’s condition weaken. (cancerhelps, 2014) the condition of patients who are weakened due to chemotherapy can affect the seriousness of patients and it needs a good coping mechanism in adapting to maintain good conditions.(firmana, 2017) one empirical proof of conceptual model theory “holistic in adaptive system”, which was stated by callista roy, this model was used in chronic disease which undergoes medication, because theoretically the success of treatment can be achieved by doing adaptive coping mechanism which was an importa nt va riable in the pr ocess of physiology and psychology adaptation to the stimulus that occurs (kasron, sahran, & ohorella, 2016). dea ths ca used by non communica ble diseases (ncds), accounting for 70% of the total 56 million cancer deaths are in the second number a s ma ny a s 8. 8 million dea ths (22%) a fter cardiovascular disease 17.7 million deaths (45 %) in the world (who, 2017) data from 2016 non communicaledesiases research on breast tumors survey carried in 34 provinces, 76 districts / cities, with women aged 25-64 years as many as 38,749, the prevalence of positive sadanis 8.1% and had been diagnosed with br ea st ca ncer 0. 6% (hea lth resea r ch a nd development agency, 2016). according to the mojokerto profile 2016 the greatest number in visual inspection of acetid acid (iva) positive was in mojoanyar district (13.33%) and for the most breast tumors cases was in kemlagi district (4.85%) (mojokerto district health office, 2017). treatment of cancer mostly with chemotherapy, data found as many as 58% patients underwent chemotherapy (american cancer society, 2016). side effects on chemotherapy can affect physical or psychological, which are 95% weakness, 90% fatigue, 79% vomit, 75% hair loss, 73% nausea, (aslam et al., 2014). this will cause negative feelings as well as anxiety on the effects of chemotherapy that are unpleasant for patients during chemotherapy. based on a preliminary study on november 20 at the mojokertosumberglagah leprosy hospital, there were 96 patients from july to december 2017 and there were 28 patients in january to february 13, in 2018 with a total of 124 chemotherapy patients. during interviews with 5 chemotherapy patients, it was found that 2 patients that said they only slept and did not leave the house, often to delay treatment, did not work, and 3 respondents who had been undergoing treatment stated that they were getting used to the usual side effects, maintaining the body in a good condition and continue with the next chemotherapy treatment. this is a positive or negative adaptation because of adjustments in conditions. adaptation is needed by patients as an effort to deal with physical and psychosocial threats in responding to changes in the effects of chemotherapy, patients need good coping so that therapy becomes effective(wahyuni, huda, & utami, 2015). the results showed that effective coping mechanisms had an effect on decreasing anxiety, adherence to chemotherapy to improve patients’ psychological prosperity (lutfa & maliya, 2008; sonia, arifin, & murni, 2014). this is in line with roy’s theory which states that constant interaction between individuals and the environment is characterized by internal and external changes, with these changes, individuals must maintain their integrity, which is a continuous adaptation (nursalam, 2016). in astuti’s research (2014) said adaptation must be carried out by clients and families in adapting to their conditions (astuti, 2014). this will help the client’s acceptance of the disease (roy, 2016). as explained above, roy’s theory of adaptation can be useful for patients with chronic diseases who are undergoing treatment (kasron et al., 2016). the process of adaptation and formation of coping mechanisms is influenced by several factors according to the mechanism of coping with the approach of calistaroy adaptation theory. these factors include human, environment, health and nursing, health and environment as individuals such a s a ge, occupa tion, socio-economic sta tus, a djustment, interdependent sick experiences (kasron et al., 2016). methods the study used cross sectional design. the population in this study were 95 chemotherapy patients at the sumber glagah hospital in mojokerto. the sampling technique used simple random 237roifah, meilinawati, ratnaningsih, hidayati, factors that affect... sampling and the sample size was 78 respondents which criteria are first, the age is over 20 years, second, patients arecommunicable, and last, patients with all types of cancer who undergo chemotherapy. the independent variables in this study were human factors (age and education) and health factor s (chemother a py cycle) the dependent variable in this study was a coping mechanism with the callista roy adaptation theory approach. the research began in january to april 2018.the research instrument used coping and adaptation processing scale (caps) with an adaptation theory approach. the validity and reliability of this questionnaire were tes ted b efore b eing used with pearsonrs on correlation product moment with r count > r table that is 0,444 and reliability of chronbach alp ha 0.8 32 > 0. 6. it can be concluded the instrument was valid and reliable. the instrument consists of 13 questions. the statistical test used in this study was logistic regression. result the characteristic of chemotherapy patients. descriptive results of respondents’ characteristics are shown in table 1. the result of analysis showed that 60 % of respondents were in the age of more than 45 years old and 74 % of them were female. the highest level of education for senior high school is 51% and 78% of respondents are employed. no variable f % 1 age of 26-45 years old 31 40 >45 years old 47 60 2 gender male 20 26 female 58 74 3 education elementary school 10 13 junior high school 20 26 senior high school 40 51 bachelor 8 10 4 job government employees 5 6 worker 18 23 entrepreneur 38 49 unemployment 17 22 table 1 the characteristic of chemotherapy patients in hospital of kusta sumber glagah pacet mojokerto 2018 b se df sig 95 % ci lower upper education 0,84 0,39 1 0,031 1,081 5,014 job 0,97 0,43 1 0,023 1.,44 6,135 chemotherapy cycle -0,1 0,16 1 0,688 0,693 1,274 constant -4,9 5,17 1 0,023 table 2 the result of hypothesis test of factors that can affect coping mechanism with the approach of calista roy adaptation test on chemotherapy patient factors that can affect coping mechanism with the approach of calista roy adaptation the results of the hypothesis test use the test logistic regression is shown in table 2 the test result about the effect of education on coping mechanism with the approach of callista royadaptation theory obtained the result of confidence interval was more than 1 p-value 0,031 < 0,05 which meant that partially, education variable affected the coping mechanism with the approach of callista roy adaptation theory on chemotherapy patient. the test result about the effect of job on coping mecha nism with the a ppr oa ch of ca llista royadaptation theory obtained the result of confidence interval was more than 1 p-value 0,023 < 0,05 which meant that partially that job variable affected coping mechanism with the approach of callista roy adaptation theory on chemotherapy patient the test result about the effect of chemotherapy cycle on coping mechanism with the approach of callista roy adaptation theory, obtained the result of confidence interval was more than 1 p-value 238 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 235–240 0,6881 > 0,05 which meant that partially, chemotherapy cycle variable did not affect the coping mechanism with approach of callista roy adaptation theory on chemotherapy patient the final model of factors that affect coping mechanism with approach of callista roy adaptation theory on chemotherapy patient :gˆ(x)=-4,9+ 0,84*education + 0,97*job discussion t he r esult of fa ctor ana lysis of coping mecha nism which wer e educa tion, job, a nd chemotherapy cycle with the approach of callista roy adaptation theory in kusta sumber glagah pacet mojokerto hospital. the results of the education effect test on the coping mechanism with callista roy’s adaptation theory approach obtained a confidence interval of more than 1 p-value 0.031 <0.05, meaning that partially the education variable had an effect on coping mechanisms with the callista roy adaptation theory approach to chemotherapy patients. the results of this study indicate that the majority of respondents graduated from senior high school education (51%). education of respondents who are mostly high school and tertiary institutions makes respondents have the ability to solve problems that are more realistic and have the ability to be able to control stressors better so that this affects their coping mechanisms as well. education could have a different meaning for everyone. education is generally useful in changing mindset, behavior patterns and decision making patterns. an adequate level of education will be easier in identifying stressors in themselves and outside themselves. someone with a higher level of education will also have higher cognitive complexity, and vice versa. this has a big effect on attitudes, conception of thinking and individual behavior which further influences coping str ategies tha t get better.(sijangga, 2010) therefore someone who is highly educated will be more realistic and active in solving problems(afiyah, 2017; tanumidjojo, s., & yudiarso, 2004). individual coping skills depend on temperament, perceptions and cognitions and cultural or normative backgrounds in which they are raised.(maulina & bahri, 2016) a high level of education can make someone more able to identify stress, understand stress, control stress, be more active and realistic in solving problems. someone who has a high level of education has a brave mindset in taking a position to overcome problems and not procrastinate. the results of the jobeffect on the coping mechanism with callista roy’s adaptation theory approach obtained a confidence interval of more than 1 p-value of 0.023 <0.05 meaning that the work variable partially influenced the coping mechanism with the callista roy adaptation theory approach to chemotherapy patients. this research shows that most respondents work (78%). stuart (2009) states that one source of coping is assetseconomics can help improve individual coping in the face of stressful situations. by working someone has economic assets as a source of coping, so as to improve coping a bilities (stua r t, 2009). wor k a s a huma n characteristic to work and carry out role functions in society to sustain life (kasron et al, 2016). work can make someone have economic assets as a source of coping, so that being able to improve coping skills becomes more adaptive because it has money to finance the treatment/ chemotherapy process. the test results of the influence of the chemotherapy cycle on the coping mechanism with the callista roy adaptation theory approach showed a confidence interval of more than 1 p-value of 0.6881> 0.05 meaning that the cycles of chemotherapy variables had no effect on the coping mechanism with the ca llista roy ada ptation a ppr oach in pa tients chemothera py. in sick experience by looking at the chemotherapy cycle, in this case the treatment process does not rule out the possibility of physical or psychological changes due to the chemotherapy effects, in the form of fear, stress on the mind, anxiety. this is in accordance with the five types of human reaction phases with the disease, in these phases not always regularly, it can be surpassed quickly or gradually, depending on the patient’s psychologica l condition, under sta nding of psychological conditions, not only by the sufferer but also the presence support of people in the lives of patients in the healing process (smart, 2013). most of the respondents had undergone chemotherapy for 1-6 times, this was closely related to the adaptive coping of the respondents, where respondents were accustomed to under going treatment and able to adapt to the side effects that appeared after chemotherapy, besides positive beliefs, the ability to control good emotions, social 239roifah, meilinawati, ratnaningsih, hidayati, factors that affect... support, and high spirituality values in respondents can support the formation of adaptive coping for respondents (anggeria & daeli, 2017; maulina & bahri, 2016).the physical and psychological effects caused by the administration of chemotherapy are related to a decrease in ability in functional status while undergoing chemotherapy. the longer the duration of chemotherapy, the more cancer cells will experience damage and death, as well as healthy cells in the body, after several periods, one to three weeks healthy cells recover but suffer significant da ma ge tha t will decr ea se functiona nd the endurance of the patient’s body will also decrease this will continue in the next chemotherapy(ogce & ozkan, 2008; ogce, ozkan, & baltalarli, 2007) the chemotherapy cycle is more often able to ma ke r espondents become a ccustomed to undergoing treatment and able to adapt to the side effects that arise after chemotherapy so that this can make responding coping more adaptive than fewer chemotherapy cycles. the longer a person suffers from an illness, the more experience various stressors due to his illness and that experience can be used as an anticipatory effort in dealing with the stressors experienced by these patients so that patients can adapt to their conditions. conclusion results of logistic regression analysis it was found that the factors that affect the coping mechanism with callista roy adaptation theory approach on chemotherapy patients are education (p-value 0,031) and job (p-value 0,023). the logit form of the final model is gˆ(x)=-4,9+ 0,84*education + 0,97*job. suggestion social support and family support need to be improved to improve cancer coping mechanisms. health care providers emphasize caring-based services and comprehensive health services. references afiyah, r. k. (2017). dukungan keluarga mempengaruhi kemampuan adaptasi (penerapan model adaptasi roy) pada pasien kanker di yayasan kanker indonesia cabang jawa timur. jurnal ilmiah kesehatan (journal of health sciences), 10(1). american cancer society. (2016). cancer treatment & survivorship facts & figures 2016-2017. american cancer society, 44. https://doi.org/10.3322/ caac.21235 anggeria, e., & daeli, v. a. (2017). hubungan mekanisme koping dengan kualitas hidup pada pasien terminal dengan kanker serviks di rsu. vina estetica medan tahun 2016. j uma ntik (jurnal il mi ah penelitian kesehatan), 3(1), 29–43. aslam, m. s., naveed, s., ahmed, a., abbas, z., gull, i., & athar, m. a. (2014). side effects of chemotherapy in cancer patients and evaluation of patients opinion about starvation based differential chemotherapy. journal of cancer therapy, 5(july), 817–822. https://doi.org/10.4236/jct.2014.58089 astuti, i. w. (2014). penerapan teori adaptasi roy dan symptom management humphreys pada asuhan keperawatan pasien kanker ovarium post operasi sit or edukti f den gan kem ot er a pi. j urnal keperawatan maternitas, 2(1), 35–43. retrieved from https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_ penelitian_1_dir/1592c172b76ac272df4a284 216569c31.pdf cancerhelps. (2014). bebas kanker itu mudah (y. indah, ed.). jakarta. firmana, d. (2017). keperawatan kemoterapi. jakarta selatan: salemba medika. health research and development agency. (2016). riset ptm tahun 2016. kasron, sahran, & ohorella, u. b. (2016). teori keperawatan dan tokohnya. jakarta timur: cv. trans info media. lutfa, u., & maliya, a. (2008). faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien dalam tindakan kemoterapi di rumah sakit dr.moewardi surakarta. berita ilmu keperawatan, 1(4), 187–192. retrieved from http://journals.ums.ac.id/index.php/bik/ article/view/3733/2403 maulina, r., & bahri, t. s. (2016). mekanisme koping pasien kanker yang menjalani kemoterapi di rsud dr. zainoel abidin banda aceh. jurnal ilmiah mahasiswa fak ult as keperawatan, 1(1). mojokerto district health office. (2017). profil kesehatan kabupaten mojokerto tahun 2016. mojokerto district health office. nursalam. (2016). metodologi penelitian ilmu keperawatan (4th ed.). jakarta: salemba medika. ogce, f., & ozkan, s. (2008). changes in functional status and physical and psychological symptoms in women receiving chemotherapy for breast cancer. asian pac j cancer prev, 9(3), 449–452. ogce, f., ozkan, s., & baltalarli, b. (2007). psychosocial stressors, social support and socio-demographic variables as determinants of quality of life of turkish breast cancer patients. asian pacific journal of cancer prevention, 8(1), 77. 240 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 235–240 roy, s. c. (2016). coping and adaptation processing scale (caps):short form(15-item) nformation for users. retrieved from https://www.bc.edu/content/ dam/files/schools/son_sites/theorist/pdf/capsshort form user manual 3-3-16.pdf sijangga, w. n. (2010). hubungan antara strategi coping dengan kecemasan menghadapi persalinan pada ibu hamil hipertensi. universitas muhammadiyah surakarta. smart, a. (2013). kanker organ reproduksi. jogjakarta: aplus books. sonia, arifin, & murni, 2014. (2014). hubungan mekanisme koping dengan kepatuhan kemoterapi pada penderita keganasan yang mengalami ansietas dan depresi. 37(april 2014), 2–7. stuart, g. w. (2009). principles and practice of psychiatric nursing 9th edition. canada: mosby elsevier. tanumidjojo, y., s., l. b., & yudiarso, a. (2004). stres dan perilaku koping pada remaja penyandang diabetes mellitus tipe i. anima, indonesian psychological journal, 19(4), 399–406. wahyuni, d., huda, n., & utami, g. t. (2015). studi fenomenologi: pengalaman pasien kanker stadium lanjut yang menjalani kemoterap. jurnal online mahasiswa (jom) bidang ilmu keperawatan, 5(2), 1041–1047. who. (2017). world health statistics 2017: monitoring health for the sustainable development goals. in world health organization. https:/ /doi.org/ 10.1017/cbo9781107415324.004. 30 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 030–036 history article: received, 08/05/2019 accepted, 16/09/2019 published, 05/04/2020 keywords: home learning; bystander; handsonly cpr 30 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pemberian feedback pada home learning cpr untuk meningkatkan kemampuan bystander cpr pria wahyu romadhon girianto prodi s-1 keperawatan, stikes karya husada kediri info artikel sejarah artikel: diterima, 08/05/2019 disetujui, 16/09/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: home learning; bystander; handsonly cpr abstrak penyakit kardiovaskuler masih menjadi penyebab kematian tertinggi di negara maju maupun negara berkembang, hal ini dikarenakan risiko sudden cardiac arrest pada orang dengan penyakit jantung sangat tinggi. peran bystander cpr pada pasien henti jantung sangat penting, oleh karena itu kemampuan dan jumlah bystander perlu ditingkatkan. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas feedback pada metode home learning cpr untuk meningkatkan kemampuan bystander cpr. metode penelitian komparatif, dengan responden pengunjung car free day di kota tulungagung sebanyak 47 responden periode september-oktober 2018 dengan teknik accidental sampling. cpr dipelajari secara mandiri oleh responden menggunakan video dan guidebook dirumah, dipertemuan selanjutnya dilakukan evaluasi kemampuan responden melakukan hands-only cpr pada phantom. hasil penelitian didapatkan adanya perbedaan pada kemampuan responden dalam melakukan hands-only cpr menggunakan metode home learning dan kemampuan responden melakukan hands-only cpr pada phantom setelah mendapatkan feedback dari peneliti. uji wilcoxon didapatkan pvalue : 0,000;  : 0,05. metode home learning cpr belum sesuai digunakan untuk pelatihan hands-only cpr di kota tulungagung karena berbagai faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran. metode demonstrasi dan praktik lebih tepat digunakan untuk pelatihan cpr. article information feedback on home learning cpr toiincrease bystander cpr competence abstract cardiovascular disease was the highest cause of death in developed country, because the risk of sudden cardiac arrest in people with heart disease was very high. bystander cpr role was very important to patient with sudden cardiac arrest, therefore the ability and number of bystander cpr need to be increased. this study aims to determine the effectiveness of feedback on home learning cpr method to increase the competence of bystander cpr. method was used comparative, sample was 47 respondents in tulungagung car free day on september-october 2018 by accihttp://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p030-036&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 31girianto, pemberian feedback pada home learning cpr untuk ... correspondence address: stikes karya husada kediri, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: priawahyu88@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p030–036 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan penyakit kardiovaskuler masih saja menduduki peringkat pertama penyakit yang paling sering menyebabkan kematian baik di negara maju maupun di negara berkembang. berbagai kasus sudden cardiac arrest sering kali muncul tanpa disadari dan diketahui penyebabnya oleh orang-orang yang berada di sekitar korban (bystander), sehingga angka kematian akibat sudden cardiac arrest ini terus meningkat setiap tahunnya. menurut gordon and sanders (2013) angka kematian akibat sudden cardiac arrest pada fase prehospital di amerika serikat diperkirakan mencapai 300.000 jiwa setiap tahunnya. di indonesia angka kejadian cardiac arrest belum bisa dipastikan jumlah kejadiannya, karena sebagian besar korban yang mengalami henti jantung ini dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha pertolongan dari orang-orang disekitar korban (bystander) dan minimal sekali inisiatif bystander untuk membawa korban ke sarana pelayanan kesehatan terdekat. hal-hal semacam inilah yang memicu sulitnya deteksi terhadap angka kejadian cardiac arrest dan tidak adanya respon pertolongan segera dari tim gawat darurat di pelayanan kesehatan terdekat. karakteristik bystander yang berada disekitar korban pada saat kejadian cardiac arrest juga sangat mempengaruhi inisiatif bystander untuk memberikan pertolongan segera pada korban. hal ini telah dibuktikan melalui penelitian yang telah dilakukan oleh tim dari cares surveillance group (2012) menunjukan bahwa karakteristik bystander dental sampling. video and guidebook was used to learn hands-only cpr at home, then evaluated by doing hands-only cpr on adult cpr mannequin with feedbcak from researcher. the result showed there was a difference on respondents abilities doing hands-only cpr after home learning cpr, and respondents abilities doing hands-only cpr on adult cpr mannequin and getting feedback from researcher. wilcoxon signed rank test showed p-value : 0,000;  : 0,05. it was conclude that home learning cpr method was unconvenient to use in hands-only cpr training in tulungagung. demonstration and practice method are more appropriate for cpr training. © 2020 jurnal ners dan kebidanan sangat mempengaruhi inisiatif untuk memberikan pertolongan, terlebih lagi pada bystander dengan tingkat pendidikan yang rendah merasa takut untuk mengambil keputusan apa yang harus dilakukan saat menghadapi korban cardiac arrest. dari permasalah diatas dapat kita analisis bahwa pendidikan tentang pertolongan pertama sudden cardiac arrest bagi bystander sangatlah penting untuk membantu mengurangi angka kematian akibat sudden cardiac arrest. khususnya di indonesia, kemampuan bystander untuk mengenali tanda henti jantung masih sangat kurang dan masyarakat juga kesulitan untuk mendapatkan akses pelayanan gawat darurat yang cepat pada saat dibutuhkan. sehingga bystander ini cenderung tidak berani mengambil keputusan apa yang harus dilakukan jika mengetahui adanya korban yang tergeletak di dekatnya. bahkan saat berada di fasilitas umum yang menyediakan aed (automated external defibrilator) misalnya di bandara, by stander ini tidak tahu bagaimana cara menggunakannya bahkan petugas keamanan yang bertugas jaga ditempat itupun belum semuanya mengetahui fungsi dari alat tersebut. untuk itu diperlukan pendidikan pertolongan bantuan hidup dasar pada masyarakat awam, khususnya di daerah-daerah keramaian atau di setiap rumah yang sangat berpotensi terjadi cardiac arrest. menurut gordon (2016) pentingnya peran seorang bystander cpr dalam pertolongan pertama kasus henti jantung, merupakan salah satu rantai dalam rangkaian “chain of survival”. angka kejadian henti jantung di indonesia juga cukup https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 32 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 030–036 tinggi, dan ancaman henti jantung juga masih mengintai seiring dengan bertambahnya angka penderita penyakit jantung. oleh karena itu dibutuhkan sebuah metode sederhana yang dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi peran bystander dan tindakan apa yang harus dilakukan. berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti berinisiatif untuk merumuskan sebuah masalah penelitian dengan harapan dapat menghasilkan sebuah metode baru dalam pelatihan hands-only cpr. pemilihan metode ini mempertimbangkan berbagai aspek antara lain, proses pembelajaran dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, sesuai dengan gaya hidup milenial, selain itu metode ini lebih mudah dan murah untuk diaplikasikan. oleh karena itu perlu dilakukan penelitian apakah pemberian feedback pada metode home learning cpr dapat meningkatkan kemampuan bystander dalam melakukan adult hands-only cpr? home learning cpr merupakan suatu metode pemberian pelatihan non formal pada orang awam tentang cara melakukan cpr yang benar, dan hal apa saja yang harus dilakukan jika menemui korban tidak sadarkan diri atau cardiac arrest dimanapun tempatnya. metode ini menggunakan video dan guidebook yang diberikan secara gratis pada responden sebagai media pembelajaran untuk dipelajari bagaimana teknik melakukan cpr yang tepat dan aman bagi bystander ataupun bagi korban (starr, 2011). video dan guidebook ini didesain agar mudah dipahami oleh masyarakat awam dan mudah untuk diaplikasikan tanpa harus mengikuti pelatihan formal yang tentunya memakan banyak waktu dan biaya. dalam video ini juga dibahas tentang empat elemen yang berpengaruh terhadap hasil atau outcome tindakan cpr, yaitu menghubungi ems sesegera mungkin sejak menemuka n kor ba n cardiac arrest, pemberian cpr sesegera mungkin oleh bystander atau orang yang berada didekat korban sebelum 4-6 menit setelah kejadian cardiac arrest, pemberian shock sesegera mungkin dengan menggunakan aed untuk bystander, dan pentingnya pengobatan jantung lanjut yang lebih intensif oleh tim medis. dengan demikian bystander akan mengerti dan memahami apa yang harus dilakukan saat menemukan korban dengan henti jantung. manfaat dari adanya pertolongan yang tepat dari bystander terhadap besarnya peluang hidup korban sudden cardiac arrest sudah dibuktikan di denmark. berdasarkan penelitian selama 10 tahun oleh daniel j pallin (2013) menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan angka bystander cpr dan di ikuti dengan meningkatnya peluang hidup korban sudden cardiac arrest. jelas sekali disini bahwa peran bystander sangat vital. dengan adanya bystander yang sigap dan cepat mengambil keputusan dan memberikan bantuan cpr pada korban sudden cardiac arrest maka kemungkinan hidup korban menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan tidak adanya bystander yang siap menolong. menurut cristhenson (2013), pemberian kompresi dada oleh bystander dapat memperbaiki prognosis dan kualitas hidup pasien post cardiac arrest. pernyataan ini jelas sekali menekankan bahwa peran bystander sangatlah penting pada fase-fase awal terjadinya cardiac arrest demi kesembuhan pasien post cardiac arrest. terkadang bystander merasa takut untuk memberikan bantuan pertolongan hidup dasar pada korban cardiac arrest, khususnya dalam memberikan rescue breathing (napas buatan). bystander seringkali takut terjangkit infeksi atau penyakit menular yang diderita oleh korban cardiac arrest. namun sekarang bystander tidak perlu mengkhawatirkan hal ini karena dari berbagai penelitian membuktikan bahwa pemberian kompresi dada saja tanpa pemberian rescue breathing, sama efektifnya dengan cpr konvensional yang menggunakan rescue breathing. tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua hal tersebut, justru pertolongan dari bystander sangat dibutuhkan demi keselamatan nyawa korban cardiac arrest. menurut aaron bair tahun tentang cpr tanpa rescue breathing, aha menyatakan bahwa cpr tanpa rescue breathing dapat diberikan pada korban cardiac arrest oleh penolong awam atau bystander dan hal ini tidak akan mengurangi keefektifan pemberian cpr. khususnya jika kita menemui korban yang tidak kita kenal di pinggir jalan atau tempat umum, boleh hanya kita berikan chest compression saja untuk meminimalisir resiko penyebaran infeksi bagi penolong. karena menurut aha strategi yang paling baik untuk meningkatkan kemungkinan hidup korban cardiac arrest adalah denga n memulai cpr sesegera mungkin dan meminimalisir terhentinya kompresi dada. gordon and sanders (2013) menyatakan bahwa pendekatan baru dalam memberikan pertolongan pa da kor ban cardiac arrest denga n metode cardio cerebral resusitation sangat efektif untuk meningkatkan angka harapan hidup korban, yang 33girianto, pemberian feedback pada home learning cpr untuk ... salah satu elemennya adalah pemberian resusitasi dengan segera. disinilah peran bystander sangat dibutuhkan demi meningkatnya angka harapan hidup korban. bohan (2010) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada prognosis pasien post cardiac arrest ya ng menda patkan cpr dengan rescue breathing dan cpr tanpa rescue breathing. hal ini menandakan bahwa sebenarnya seorang bystander bukanlah orang yang harus bersedia memberikan rescue breathing tetapi semua orang yang mengerti tentang teknik cpr dengan benar. sehingga dengan demikian sangatlah mungkin jumlah dan respon bystander dapat ditingkatkan demi mengurangi angka kematian akibat cardiac arrest. bahan dan metode desain penelitian ini adalah komparatif dengan responden pengunjung car free day di kota tulungagung periode bulan september-oktober 2018 sejumlah 47 orang yang hadir dan bersedia mengikuti program pelatihan. pemilihan responden menggunakan teknik accidental sampling, dan tidak ada kriteria khusus untuk pemilihan responden. responden yang telah terdaftar diminta hadir kembali pada acara car free day berikutnya untuk pr oses evaluasi dan mempraktekan tindakan hands-only cpr pa da pha ntom. responden mendapatkan feedback dari peneliti dan kembali mempraktekan hands-only cpr. variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian feedback pada metode home learning cpr, dan variabel dependen adalah kemampuan responden dalam melakukan tindakan handsonly cpr. alat yang digunakan adalah video pembelajaran, guidebook, daftar tilik, dan phantom cpr untuk evaluasi kemampuan responden. analisis statistik yang digunakan adalah uji wilcoxon untuk mengetahui perbedaan kemampuan responden dalam melakukan hands only cpr setelah mengikuti home learning cpr dan kemampuan responden melakukan hands only cpr setelah mendapatkan feedback dari peneliti saat proses evaluasi. hasil penelitian hasil penelitian disajikan dalam tabel 1 dan tabel 2. berdasarkan data pada tabel 1 didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sejumlah 29 responden (61,7%); sebagian besar responden berusia antara 17-25 tahun sebanyak 35 responden (74,5); sebagian besar responden adalah pelajar sebanyak 31 responden (66%); dan hampir seluruh responden belum pernah belajar atau mendapatkan pelatihan tentang cpr sebanyak 40 responden (85,1%). berdasarkan data pada tabel 2 didapatkan bahwa setelah mendapatkan pelatihan hands-only cpr dengan metode home learning cpr tanpa feedback seba gian besar responden memiliki kemampuan yang cukup dalam melakukan handsonly cpr, yaitu sebanyak 31 responden (66%). setelah mendapatkan feedback dari peneliti tentang tindakan hands-only cpr yang dilakukan, sebagian besar kemampuan responden dalam melakukan hands-only cpr dalam kategori baik, sebanyak 29 responden (61,7%). hasil analisis statistik menggunakan wilcoxon signed rank test didapatkan pvalue = 0,000 ( = 0,05), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan responden dalam melakukan hands only cpr setelah mengikuti home learning cpr ta npa feedba ck da n kema mpua n variabel n % jenis kelamin laki-laki 18 38,3 perempuan 29 61,7 usia 17-25 tahun 35 74,5 26-35 tahun 12 25,5 pekerjaan pelajar 31 66 karyawan 16 34 pengalaman belum pernah 40 85,1 belajar cpr pernah 7 14,9 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan data umum variabel n % kemampuan responden baik 0 0 setelah home learning cukup 31 66 tanpa feedback kurang 16 34 kemampuan responden baik 29 61,7 setelah mendapatkan cukup 18 38,3 feedback kurang 0 0 p-value = 0,000 (= 0,05) tabel 2 distribusi frekuensi kemampuan responden dalam melakukan hands only cpr 34 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 030–036 responden melakukan hands only cpr setelah mendapatkan feedback dari peneliti saat proses evaluasi. pembahasan berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa kemampuan responden dalam melakukan handsonly cpr setelah mendapatkan pelatihan di rumah dengan metode home learning tanpa feedback sebagian besar berada dalam kategori cukup (66%). home learning merupakan metode pembelajaran/ pelatihan yang dilakukan secara mandiri oleh peserta didik, dengan bantuan media pembelajaran berupa video dan guidebook untuk mempermudah peserta didik mengikuti pembelajaran/pelatihan (starr, 2011). metode pembelajaran seperti ini menuntut antusiasme dan motivasi peserta pelatihan yang konsisten agar dapat tercapai tujuan yang diinginkan. hal ini dikarenakan metode pembelajaran di rumah (home learning) sepenuhnya menjadi tanggung jawab responden, dan tanpa adanya kontrol dari peneliti, kondisi seperti ini tentu mempengaruhi durasi waktu belajar antar responden, bahkan mungkin berbeda karena dipengaruhi aktifitas dan kesibukan masingmasing responden. meskipun sebelum proses penelitian telah dilakukan kesepakatan antara peneliti dengan responden tentang prosedur home learning yang harus dilakukan dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. berdasarkan hasil ini dapat kita simpulkan bahwa pemberian feedback pada metode home learning cpr sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan responden dalam melakukan hands-only cpr di tulungagung. kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian starr (2011), yang dilakukan di ohio amerika serikat menyatakan bahwa home learning cpr yang diberikan tanpa feedback terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan bystander cpr. pernyataan tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini, dimana kemampuan responden setelah home learning cpr tanpa pemberian feedback masih berada dalam tingkat cukup dan kurang. perbedaan hasil ini dapat terjadi karena karakteristik responden pada penelitian ini sebagian besar adalah pelajar (66%) dan juga karyawan (34%), kesibukan dari masing-masing responden tentu sangat berpengaruh pada durasi belajar dan kepatuhan dalam melakukan prosedur belajar dirumah. selain itu, pada metode home learning responden tidak memiliki kesempatan untuk mencoba melakukan hands-only cpr pada phantom, sehingga responden hanya bisa mempelajari hands-only cpr melalui video dan guidebook tanpa melakukan praktik hands-only cpr secara langsung. namun demikian dari hasil penelitian didapatkan bahwa beberapa responden sudah pernah mendapatkan pelatihan atau edukasi tentang cpr sebanyak 7 responden (14,9%) yang seluruhnya merupakan pelajar dan sebanyak 4 orang memiliki kemampuan cukup dalam melakukan hands-only cpr sebelum diberikan feedback. adanya karakteristik responden ini dikarenakan beberapa sma di kabupaten tulungagung telah mendapatkan pelatihan cpr dari tim tulungagung emergency medical service (tems) yang merupakan bagian dari program sosialisasi tems. penga laman bebera pa responden ya ng tela h mendapatkan pelatihan cpr sebelumnya tentu sangat berpengaruh terhadap kemampuan dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini hands-only cpr. seseorang akan menjadi lebih tahu dan lebih paham jika telah melakukan secara nyata, tidak hanya sekedar mempelajari secara audio visual. bagaimanapun juga, pengalaman memegang peranan penting pada kemampuan seseorang dalam menangkap pengetahuan baru yang memang telah didasari dengan pengetahuan terdahulu. notoatmodjo (2014) menyatakan bahwa seseorang cenderung lebih mudah menerima dan memahami pengetahuan yang pernah diterima sebelumnya, dan akan menjadi lebih baik jika didukung dengan adanya pengalaman dalam proses pemecahan masalah yang pernah dilakukan sebelumnya. metode pembelajaran seperti home learning ini memang cenderung hanya mampu mencapai kemampuan peserta pembelajar an/ pelatihan pada tingkatan tahu atau memahami. seperti dijelaskan notoatmodjo (2014) bahwa seseorang yang mempelajari suatu ilmu hanya dengan membaca atau memahami (audio visual) maka tingkatan pengetahuan yang dapat dicapai adalah tahu dan memahami. pada tingkatan ini peserta didik hanya mampu menjelaskan hal yang benar dan yang salah terkait suatu pengetahuan, tanpa mampu menggunakan atau melakukan tindakan dalam kondisi nyata. kemampuan responden mengalami peningkatan setelah pertemuan kedua, dimana responden diminta melakukan hands-only cpr pada phantom dan mendapatkan feedback dari peneliti. pada pertemuan kedua, sebagian besar kemampuan responden dalam kategori baik (61,7%). terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada tahap kedua ini, tidak ada responden yang masih memiliki kemam 35girianto, pemberian feedback pada home learning cpr untuk ... puan hands-only cpr dalam kategori kurang. hal ini dikarenakan responden telah mencoba melakukan secara langsung hands-only cpr pada phantom dan mendapatkan feedback dari peneliti. kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian kong, et all (2019) yang menyatakan bahwa performa atau kualitas cpr yang dilakukan dengan feedback secara langsung lebih baik jika dibandingkan dengan cpr yang dilakukan tanpa feedback. hal ini juga berlaku pada perawat atau paramedik yang telah terlatih. feedback dan saran yang diberikan oleh peneliti didasarkan pada indikator phantom yang menunjukan capaian responden pada parameter kualitas cpr. feedback diberikan secara langsung saat responden melakukan hands-only cpr, sehingga responden dapat memperbaiki kualitas kompresi dada dan mengetahui bagaimana melakukan cpr yang berkualitas dan benar. peningkatan kemampuan responden meliputi kemampuan dalam mencapai target kedalaman cpr yang harus dicapai yaitu  5 cm, kecepatan atau laju kompresi dada yang harus dicapai yaitu 100-120 x/menit, dan recoil dinding dada yang tepat saat melakukan hands-only cpr. ketiga komponen ini merupakan kunci cpr yang berkualitas, seperti dijelaskan idris et.all (2015) bahwa laju kompresi dada yang tepat dapat meningkatkan probabilitas survival pasien henti jantung. begitu juga dengan kedalaman kompresi dada, menurut stiell et.all (2014) kompresi dada dengan kedalaman yang optimal (  5 cm) dapat meningkatkan probabilitas survival pasien henti jantung. jelas bahwa ketiga komponen ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat diabaikan, demi tercapainya target cpr yang berkualitas dan meningkatkan probabilitas survival pasien henti jantung. adanya kesempatan untuk melakukan cpr secara langsung dan adanya feedback dari peneliti membuat responden lebih memahami bagaimana melakukan hands-only cpr yang tepat dan berkualitas. tentu saja pengalaman melakukan cpr pada phantom sangat berpengaruh pada kemampuan responden. kondisi ini sesuai dengan pernyataan notoatmodjo (2014) bahwa tingkat pengetahuan aplikasi dapat dicapai oleh seseorang jika telah mendapatkan proses pembelajaran dengan metode praktik atau simulasi yang memang ditujukan untuk mencapai target kompetensi berupa kemampuan aplikasi. hal ini terbukti pada penelitian ini, dapat kita lihat adanya perbedaan kemampuan responden yang signifikan antara saat responden mempelajari metode hands-only cpr ta npa feedback dir uma h mela lui video da n guidebook dengan kemampuan responden setelah mencoba seca ra la ngsung dan menda pa tka n feedback dari peneliti ketika terjadi kesalahan dalam melakukan hands-only cpr. hasil analisis statistik dengan menggunakan uji wilcoxon didapatkan p-value: 0,000 ( : 0,05). dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kemampuan responden saat mempelajari hands-only cpr dengan metode home learning tanpa feedback dan saat mempelajari hands-only cpr langsung pada phantom dan mendapatkan arahan (feedback) dari peneliti. sebelum mencoba melakukan hands-only cpr dan mendapatkan feedback dari peneliti, kemampuan responden dalam kategori cukup dan kurang, namun setelah mencoba secara langsung dan menda patkan feedback dar i peneliti kemampuan responden dalam kategori baik dan cukup. hal ini membuktikan bahwa pengalaman psikomotor memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan seseorang. pemilihan metode pembelajaran memang harus disesuaikan dengan target kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik. hal ini sesuai dengan pendapat notoatmodjo (2014) bahwa aplikasi merupakan tingkatan pengetahuan yang ketiga, dimana seseorang dikatakan mampu menerapkan ilmu atau pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya untuk melakukan proses pemecahan masalah dalam kondisi tertentu. notoadmodjo juga menyatakan bahwa terdapat beberapa metode yang tepat untuk digunakan dalam mencapai target tingkatan pengetahuan aplikasi, salah satunya adalah praktik atau simulasi secara langsung. metode ini sangat tepat karena peserta didik mampu mendapatkan pengetahuan secara konseptual dan pengalaman psikomotor sehingga pengetahuan yang diterima responden dapat segera diaplikasikan secara langsung mendekati kondisi riil yang harus dihadapi responden suatu saat nanti. kemampuan responden melakukan hands-only cpr merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan secara tepat dan optimal agar dapat meningkatkan angka probabilitas survival pasien henti jantung. sebagaimana telah dibahas diatas, tiga komponen cpr yang berkualitas harus benar-benar dilakukan oleh bystander. jika kita tinjau kembali kemampuan responden setelah melakukan hands-only cpr pada phantom dan mendapatkan feedback dari peneliti, masih terdapat sebagian kecil responden yang memiliki kemampuan dalam kategori cukup. kondisi ini dipengaruhi oleh 36 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 030–036 usia responden yang sebagian kecil berusia antara 26-35 tahun. menurut notoatmodjo (2014) usia menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam menerima pengetahuan baru. semakin tua usia seseorang maka akan semakin siap menerima pengetahuan atau informasi yang diberikan, dan bahkan lebih mampu melakukan analisis. namun berbeda pada hasil penelitian ini, dimana responden dengan usia 26-35 tahun ratarata memiliki kemampuan melakukan hands-only cpr dalam rentang cukup. kondisi ini berhubungan dengan jenis tindakan yang dilakukan, yaitu handsonly cpr. tak bisa dibantah, bahwa melakukan hands-only cpr membutuhkan stamina dan tenaga yang tidak sedikit, karena responden dituntut mampu mencapai kedalaman kompresi dan ritme kompresi yang sesuai dengan arahan peneliti. bagi sebagian responden tentu tindakan ini dapat dikatakan suatu kegiatan fisik dalam level medium sampai berat, sehingga hasil yang didapatkan, kemampuan responden masih dalam kategori cukup. meskipun demikian, capaian responden sudah sangat baik, karena untuk dapat melakukan hands-only cpr yang berkualitas dibutuhkan latihan yang rutin dan terbiasa. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat kita tarik kesimpulan bahwa metode home learning cpr tidak efektif digunakan untuk pelatihan hands-only cpr di kota tulungagung. saran pelatihan hands-only cpr atau tindakan lainnya yang berhubungan dengan pertolongan pertama sebaiknya ditambah dengan metode demonstrasi atau praktik secara langsung dalam proses pelaksanaannya, sehingga responden mendapatkan pengalaman yang nyata, dengan harapan target kompetensi dapat tercapai dan tidak menyebabkan kesalahan yang merugikan. perlu dilakukan pertemuan lanjutan untuk evaluasi kompetensi dan pemberian masukan atau feedback agar responden mampu melakukan prosedur yang tepat dan berkualitas. daftar pustaka bair, a. e. (2008). aha call to action: compression-only cpr. journal watch emergency medicine. bohan, j. s. (2010). bystander cardiopulmonary resuscitation: chest compression alone or with rescue breathing? journal watch. emergency medicine. cares surveillance group. (2012). association of neighborhood characteristics with bystanderinitiated cpr. the new england journal of medicine, 367(17), 1607-1615. cristhenson, j. m. (2013). bystander cpr improves survivor quality of life. journal watch. emergency medicine. gordon a ewy, sanders, a. b. (2013). alternative approach to improving survival of patients with out-of-hospital primary cardiac arrest. journal of american college of cardiology, 16(2), 113-118. gordon, a. ewy (2016). chest compression only cardiopulmonary resuscitation for primary cardiac arrest. circulation aha journal, 134:695-697 idris, ah, et.all. (2015). chest compression rates and survival following out-of-hospital cardiac arrest. journal of critical care medicine, 43, 840-848. kong, so yeon j, et all. (2019). effect of real time feedback during cardiopulmonary resuscitation training on quality of performance: a prospective cluster-randomized trial. hongkong journal of emergency medicine, 1-10. notoatmodjo, s. 2014. ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta pallin, d. j. (2013). increased bystander cpr and better survival in denmark. nejm journal watch. emergency medicine. starr, l. m. (2011). an effective cpr home learning system: a program evaluation. aaohn journal, 46(6), 289-295. stiell, ig, et.all. (2014). what is the optimal chest compression depth during out-of-hospital cardiac arr est resuscit a t ion of adul t pa t ien t s?. circulation aha journal, 130, 1962-1970. 24 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 024–029 24 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh penyuluhan media video terhadap peningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur di kecamatan gunungpati semarang info artikel sejarah artikel: diterima, 04/07/2019 disetujui, 04/10/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: penyuluhan, media video, pengetahuan, sikap, intra uterine devices (iud) abstrak metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan di indonesia adalah kb suntik sebesar 62,77%, terbanyak kedua yaitu pil 17,24%, intra uterine devices (iud) merupakan salah satu alat kontrasepsi jangka panjang mendapatkan urutan ketiga sebesar 7,15%, kb implant sebanyak 6,99%, metode operasi wanita 2,78%, metode operasi pria 0,53% kondom 1,22%. kecamatan gunungpati memiliki dua puskesmas induk yaitu puskesmas gunungpati dan sekaran. puskesmas gunungpati penggunaan alat iud sebesar 9,2% lebih sedikit jika dibandingkan dengan kb suntik sebesar 62,9% dan puskesmas sekaran penggunaan kontrasepsi iud sebesar 13,4% masih sedikit jika dibandingkan dengan kb suntik sebesar 62,7%. tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penyuluhan media video terhadap peningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kontrasepsi iud pada pasangan usia subur di kecamatan gunungpati. metode penelitian yang digunakan pre eksperimen, dengan pendekatan one group pre test-post test design. populasi dalam penelitian ini adalah adalah pasangan usia subur di kecamatan gunungpati yang terdiri dari 16 kelurahan yaitu sebanyak 12.532 orang. sampel di ambil berdasarkan rumus slovin, diperoleh 111 wanita usia subur. teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. analisis univariat dan bivariat menggunakan wilcoxon. ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi iud pada pasangan usia subur ((0,000<0,05). ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan sikap tentang kontrasepsi iud pada pasangan usia subur (0,000<0,05). setelah masyarakat dilakukan penyuluhan ada peningkatan pengetahuan dan sikap tentang kontrasepsi iud. diharapkan setelah dilakukan penyuluhan menggunakan media video masyarakat mau menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang salah satunya iud dan diharapkan media video dapat digunakan untuk penyuluhan. rizky amelia1, maryati2, triana sri hardjanti3 1,2,3jurusan kebidanan semarang, poltekkes kemenkes semarang http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p024-029&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 email: rizkyamelia81@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p024–029 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan kb merupakan salah satu strategi efektif untuk mengur angi a ngka kematian ibu serta untuk meningkatkan katahanan keluarga, keselamatan ibu, anak dan juga perempuan. metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan di indonesia adalah kb suntik yaitu sebesar (62,77%), terbanyak kedua yaitu pil (17,24%), dan iud merupakan salah satu alat kontrasepsi jangka panjang yang mendapatkan urutan ke tiga yaitu sebesar (7,15%) (kementrian kesehatan indonesia, 2017). rencana pembangunan jangka menengah (rpjm) tahun 2015-2019 adalah meningkatkan kontrasepsi jangka panjang, salah sa tunya a da lah metode iud (intra uterine devices). peserta kb pada pasangan usia produktif tidak banyak yang menggunakan iud karena kurangnya pengetahuan sehingga sikap terhadap penggunaan iud akan sedikit sesuai data di puskesmas gunungpati dan puskesmas sekaran menunjukan pengguna kb terbanyak adalah suntik, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kurangnya informasi mengenai mkjp yang salah satunya intra uterine devices (iud), dalam hal ini upaya pemerintah untuk meningkatkan cakupan mkjp adalah penyuluhan mengenai kontrasepsi iud. dengan history article: received, 04/07/2019 accepted, 04/10/2019 published, 05/04/2020 keywords: counseling, video media, knowledge, attitude, intra uterine devices (iud) article information abstract pthe most widely used contraseptive method is injection 62,77%, second mostis pil 17,24%, intra uterine devices (iud)is one of the long term contraseption in third place 7,15%, implant contraseption 6,99%, tubektomy 2,7%, vasektomy 0,53%, and condom 1,22%. gunungpati sub district has two public health center, there are public health center gunungpati and public health center sekaran. in public health center gunungpati that used iud 9,2% use that compared with injection contraseption that 62,9%, and in the public health center sekaran that used iud 13,4% that is use that compered with injection contraseption 62,7%. objective : to determine the effect of video media counseling on increasing knowledge and attitudes about iud contraception in couples of childbearing age in gunungpati methods: pre-experiment research, with one group pre test-post test design approach. the population in this study were fertile couples in gunungpati sub-district which consisted of 16 urban villages, namely 12,532 people. samples taken based on slovin formula, obtained 111 women of childbearing age. the sampling technique used was purposive sampling. univariate and bivariate analysis using wilcoxon. results : there is the influence of video media counseling to increase knowledge about iud contraception in couples of childbearing age ((0,000 <0,05). there is an influence of video media counseling to improve attitudes about iud contraception in couples of childbearing age 0,000 <0,05).after thecommunity counseling there is an increase in knowledge and attitudes abaut kontraseption iud.expected after doing counceling usid video. people want to use long term contraseption, one of the iud and expected that video media can use to give counceling © 2020 jurnal ners dan kebidanan the effect of video media extensioan on increasing knowledge and attitudes about contraception intra uterine device (iud) in fertile couples in gunungpati district semarang correspondence address: poltekkes kemenkes semarang central java, indonesia p-issn : 2355-052x amelia, maryati, hardjanti, pengaruh penyuluhan media video terhadap ... 25 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 26 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 024–029 tingkat pengetahuan yang cukup tentang iud maka akan membentuk sikap masyarakat sehingga akan banyak wanita tertarik menggunakan kontrasepsi iud tentunya dengan dukungan dari suami. upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang informasi mengenai iud harus diterima dengan baik, salah satunya disampaikan melalui media, media yang digunakan oleh peneliti adalah media video, keunggulan media video adalah media yang bergerak dan dinamis, dapat dilihat didengar, yang merupakan paduan gambar dan suara membentu karakter sama dengan objek aslinya (hujair, 2009). hal ini sejalan dengan penelitian priyani (2015) tentang pengaruh penyuluhan media power point dengan media video terhadap peningkatan pengetahuan ibu tentang kontrasepsi iud pasca plasenta di puskesms kasihani bantul dengan hasil ada pengaruh penyuluhan tentang kontrasepsi iud pasca plasenta terhadap peningkatan pengetahuan tentang kontrasepsi iud pasca plasenta di puskesmas kasihani bantul dengan taraf signifian (p) 0,020. berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti akan melakukan penelitian berjudul pengaruh penyuluhan media video terhadap peningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur dikecamatan gunungpati. bahan dan metode metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan kuesioner yaitu pra eksperimen dengan pendekatan one group pre test dan post test design. populasi dalam penelitian ini adalah adalah wanita pasangan usia subur di kecamatan gunungpati yang terdiri dari 16 kelurahan yaitu sebanyak 12.532 orang, data tiga bulan terakhir dilaksanakan pada bulan april 2019. teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling dan sample pada penelitian adalah semua pasangan usia subur dikecamatan gunungpati. berdasarkan perhitungan menggunakan rumus slovin diperoleh besar sampel 111 responden. instrument penelitian ini berupa kuesioner pengetahuan dan sikap pre test dan post test yang dibuat oleh peneliti yang sebelumnya sudah di uji validitas (r tabel 0,444) dan reliabilitas kuesioner pengetahuan 0,948>0,7 dam kuesioner sikap 0,944>07. uji validitas dilaksanaan dipuskesmas karangmalang dengan jumlah kuesioner pengetahuan 18 per tanyaa n da n kuesioner sikap 19 pertanyaan. analisis univariat dalam penelitian ini dengan menggunakan tendensi sentral untuk mencari nilai mean, minimum, maksimal dan standar deviasi. hasil penelitian yang berupa data pengetahuan pre dan post test, data sikap pre dan post test. analisis data peneitian ini ditentukan setelah dilakukan uji normalitas, hasil uji normalitas dengan shapiro-wilk didapatkan hasil bahwa terdapat data yang berdistribusi tidak normal karena nilai signifikan < 0,05. sehingga analisis data dilakukan dengan uji non parametrik yaitu wilcoxon. hasil penelitian pengetahuan pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan bila disajikan dalam kategoik adalah sebagai berikut: pengetahuan sebelum sesudah f % f % kurang 35 31.5 0 0 cukup 68 61.3 60 54.1 baik 8 7.2 51 45.9 total 111 100,0 111 100.0 tabel 1 distribusi pengetahuan pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan sikap sebelum sesudah f % f % negatif 55 49.5 21 18.9 positif 56 50.5 90 81.1 total 111 100.0 111 100.0 tabel 2 distribusi sikap pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan tabel 1 menunjukkan pengetahuan pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar dalam kategori cukup yaitu 68 responden (61,3%), pengetahuan kurang 35 responden (31,5%) dan sisanya 8 responden (7,2%) dalam kategori pengetahuan baik. pengetahuan pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sesudah dilakukan penyuluhan sebagian besar dalam kategori pengetahuan cukup yaitu 60 responden (54,1%) dan sisanya 51 responden (45,9%) dalam kategori pengetahuan baik. sikap pus tentang intra uterine devices (iud) dikecamatan gunungpati sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan. tabel 2 sikap pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sebelum dilakukan penyuluhan sebagian besar dengan sikap positif yaitu 56 responden (50,5%) dan sisanya 55 responden (49,5%) dengan sikap negatif. sikap pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sesudah dilakukan penyuluhan sebagian besar positif yaitu 90 responden (81,1%) dan sisanya negatif yaitu 21 responden (18,9%). analisis bivariat pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur tabel 3 menunjukkan bahwa pada pre test memiliki rata-rata memiliki nilai pengetahuan 10,72 (pengetahuan cukup) dan pada post test memiliki rata-rata pengetahuan 13,84 (pengetahuan baik). hasil uji wilcoxon didapatkan nilai p-value 0,000 < 0,05 yang artinya ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur. pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan sikap tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur. tabel 4 menunjukkan bahwa pada pre test memiliki rata-rata memiliki nilai sikap 8,85 (sikap positif) dan pada post test memiliki rata-rata sikap 13,27 (sikap positif). hasil uji wilcoxon didapatkan nilai p-value 0,000 < 0,05 yang artinya ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan sikap tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur. pembahasan pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur. hasil uji wilcoxonn didapatkan nilai p-value 0,000 < 0,05 yang artinya ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan dilakukan penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud). pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pus dapat ditingkatkan dengan melakukan penyuluhan. penyuluhan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan dengan menyebarkan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat sadar, tahu dan mengerti serta dapat melakukan anjuran yang berhubungan dengan kesehatan (maulana, 2014). pada penelitian ini menggunakan media video yang merupakan tingkatan ke 4 dalam kerucut elgar dale menggambarkan intensitas setiap alat peraga dalam suatu kerucut. penggunaan media video ini lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan menggunakan metode kata-kata atau tulisan (maulana, 2014). variabel kelompok n mean sd p-value pengetahuan pre test 111 10.72 1.99 0,000 post test 111 13.84 1.70 tabel 3 pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur variabel kelompok n mean sd p-value sikap pre test 111 8.85 2.87 0,000 post test 111 13.27 2.50 tabel 4 pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan sikap tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur amelia, maryati, hardjanti, pengaruh penyuluhan media video terhadap ... 27 28 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 024–029 ibu yang mendapatkan penyuluhan diharapkan lebih memahami tentang informasi yang diberikan, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang materi penyuluhan yaitu kontrasepsi intra uterine devices (iud). hal ini juga sejalan dengan notoadmodjo (2010) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah informasi. informasi baru yang diterima seseorang akan memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan hal tersebut. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh sulistiyaningsih (2017) yang menunjukkan bahwa konseling kb berpengaruh terhadap pengetahuan pus tentang metode kontrasepsi iud (p=0.019). penelitian lain oleh priyani (2015) juga menunjukkan bahwa ada pengaruh penyuluhan tentang kontrasepsi iud pasca plasenta terhadap peningkatan pengetahuan tentang kontrasepsi iud pasca plasenta di puskesmas kasihani bantul tahun 2015 dengan taraf signifikan (p) 0,020. peningkatan pengetahuan menggunakan media audio visual tergolong media yang efektif. hal ini disebabkan karena media audio visual (video) lebih menarik, tidak membosankan karena bergambar hidup dan mudah dipahami. responden lebih tertarik untuk menonton (melihat) dan mendengarkan, sehingga peningkatan pengetahuan responden menjadi lebih baik. pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan sikap tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur. hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pre test memiliki rata-rata memiliki nilai sikap 8,85 (sikap positif) dan pada post test memiliki rata-rata sikap 13,27 (sikap positif). hasil uji wilcoxon didapatkan nilai p-value 0,000 < 0,05 yang artinya ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan sikap tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur. hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan sikap sebelum dan sesudah penyuluhan media video. penyuluhan dengan video merupakan salah satu media informasi bagi pus. infomasi merupakan salah satu cara dalam pembentukan opini dan kepercayaan individu. informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu (azwar, 2008). penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh banjarnahor (2012) yang menunjukkan bahwa konseling efektif terhadap peningkatan pengetahuan pus pada iud (p=0.017) dan perubahan sikap pus tentang kontrasepsi iud (p=0,004). kesimpulan pengeta hua n pus tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sebelum dilakukan penyuluhan rata-rata memiliki nilai pengetahuan 10,72 atau dalam kategori cukup dan setelah dilakukan penyuluhan rata-rata memiliki nilai kecemasan 13,84 atau dalam kategori cukup. sikap pus tentang tentang intra uterine devices (iud) di kecamatan gunungpati sebelum dilakukan penyuluhan memiliki nilai rata-rata 8,85 sikap positif dan setelah dilakukan penyuluhan memiliki nilai ratarata 13,27 dengan sikap positif. ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan pengetahuan tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur ((0,000<0,05). ada pengaruh penyuluhan media video untuk meningkatkan sikap tentang kontrasepsi intra uterine devices (iud) pada pasangan usia subur (0,000 < 0,05). saran hendaknya masyarakat menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang salah satunya iud dan hendaknya bidan menggunakan media video untu melakukan penyuluhan agar dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kontrasepsi iud. selain itu hendaknya puskesmas memfasilitasi seperti leptop, lcd untuk penyuluhan menggunakan video dan untuk peneliti selanjutnya , penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi serta dapat dikombinasi dengan media lainya yaitu benda tiruan atau benda asli sesuai dengan kerucut elgar dale. daftar pustaka arsyad, a.(2011). media pembelaharan. cetakan ke-15. jakarta: rajawali pers. azwar. (2008). sikap manusia. yogyakarta. pustaka pelajar. banjarhanom. (2010). efektifitas konseling kb terhadap pengetahuan dan sikap pus tentang alat kontrasepsi iud di desa batu melenggang kecamatan hinai kabupaten langka tahun 2012. sumatra utara: universitas sumatera utara. kemenkes ri. (2017). profil pesehatan indonesia. jakarta: kemenkeskesehatan ri hujair, a.s. (2009). media pembelajaran . yogyakarta: safitria insania press. maulana. h.d.j. (2014). promosi kesehatan. jakarta :egc. notoatmodjo, s.(2010). metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta priyani, e.s., (2015). pengaruh penyuluhan media powerpoint dan mediavideo terhadap tingkat pengetahuan ibu tentang kontrasepsi iud pasca plasenta di puskesmas kasihani bantul. yogyakarta: stikes aisyah. prinyoto. (2014). teori sikap dan perilaku dalam kesehatan. yogyakarta: nuha medika. puskesmas gunungpati. 2018. data triwulan. gunungpati: semarang. sulistiyaning. (2017). efektifitas konseling kb terhadap pengetahuan dan sikap pus dalam pemilihan kontrasepsi intra uterine devices (iud). pati: akademi kebidanan bakti utama. sulistyawati, s. pelayanan keluarga berencana. (2011). jakarta: salemba medika. amelia, maryati, hardjanti, pengaruh penyuluhan media video terhadap ... 29 346 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 346–353 factors affecting nonmarital pregnancy in teenagers at soe city public health center work area, soe city sud-district, south mid-east regency dwi ertiana¹, medrina sofia nakamnanu² 1departement of midwifery, school of health sciences karya husada kediri, indonesia 2public health center, soe city sud-district, south mid-east regency, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 04/03/2020 accepted, 26/10/2020 published, 05/12/2020 keywords: out of wedlock pregnancy, adolescents, free sex article information abstract teen pregnancy is an international phenomenon that has not been resolved until now. free sex behavior is an effect of out of wedlock pregnancy. the purpose of this research is what factors that affect out of wedlock nonmarital pregnancy on the teenager in the working area of soe city public health center, south central timor regency. this research used descriptive quantitative research design, factors that affect out of wedlock pregnancy on teenager as a variable and 127 total population and simple random sampling used as a technique with 55 respondents. this research was conducted on 29-11 june 2019, in the work area of soe city public health center, south central timor regency. research instrument used a questionnaire and data analysis used distribution of frequency percentage. the results showed that, 32 respondent (59%) were lack of knowledge, 35 respondent (64%) were influencing promiscuity, 31 respondents (57%) were more permissive to peer group norms, 35 respondents (64%) were parenting support while 21 respondent (38%) were technology and social media affect. this indicated that the most influential factor out of wedlock nonmarital pregnancy on teenager were individual factor that the teenager were lack of knowledge about reproductive health and sexuality, behavior factor that the teenager influenced by promiscuity, and environmental factor that parenting issue. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: school of health sciences karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ertiana.dwi@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p346–353 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 346 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p346-353&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p346-353 347ertiana, nakamnanu,factors affecting nonmarital pregnancy in teenagers at ... introduction early marriage, pregnancy and childbirth are the leading causes of school dropout among young people in africa (mori,et al, 2017). globally, about 16 million girls aged 15-19, and 1 million younger than 15 years, give birth each year. it estimated that between 2.0 and 4.4 million adolescents in developing countries undergo unsafe abortions to terminate unwanted pregnancies. complications arising from early pregnancy and childbirth are the second leading cause of death among adolescents aged 15-19 years in lowand middle-income countries. (who, 2014). data was obtained in north malawi that of the 14 year olds, there were 890 adolescents and 56 who had had sexual intercourse (grynn et al, 2018). according to ameyaw (2018), in ghana, high unwanted pregnancies were among women aged 15-19 years 69.4%, of which 45.1% were unmarried women and 40.0% non-working women. factors that cause include age, parity and education level. based on the results of the population census, indonesia has a population of 237.6 million people, 63.4 million of whom are adolescents consisting of 32,164,436 men (50.70%) and 31,279,012 women (49, 30%). the size of the population of this youth group will greatly affect population growth in the future (bkkbn, 2011). world health organization (who) sets the theme for world population day, namely “teenage pregnancy”. this indicates that this case needs to be considered by all citizens of the world. the incidence of teenage pregnancy occurs mostly in low and middle income countries, including indonesia. world health organization (who) globally, states that 16 million girls aged 15-19 years give birth each year. 60% of them are pregnant outside of marriage, the majority (95%) occur in developing countries. (who, 2013). indonesia is a country with a fairly high percentage value in the world and the second highest in asean with a pregnancy rate among adolescents 15-19 years of age reaching 48 out of 1,000 pregnancies. the latest data shows, there are 1.7 million adolescents under the age of 20 giving birth each year (bkkbn, 2017). this does not only occur in metropolitan cities such as jakarta, surabaya, semarang, yogyakarta but also in small cities and rural areas outside java, one of which is kupang, east nusa tenggara province with a percentage of 51.3% of pregnancies outside of marriage in adolescents, while the remaining 30% is voluntary and 13% because of the parents’ wishes. (bkkbn, 2017). based on a data collection survey based on the pregnancy and childbirth register book of the soe city health center conducted by researchers, for the total data in the work area of the soe city health center who experienced pregnancy outside of marriage from 2018-2019, there were 127 people. premarital sex among adolescents is influenced by the weak moral values of adolescents and society due to the increasingly rapid flow of globalization and the easy access to pornographic information through the mass media (wydiastuti, 2009). family is the first place for adolescents to prevent nonmarital pregnancy, the importance of the role of parents to provide support to their children in directing positive social behavior. age-appropriate sexual health education is essential for adolescents to develop safe sexual and reproductive health and to pr event teena ge pr egna ncy. la ck of communication between parents and adolescents about reproductive health is one of the factors that can lea d to pr egna ncy in a dolescents good communication between parents is also very necessary, if communication is lacking between parents and adolescents, it tends to make the teenager feel unattended so that will look for friends who pay attention to them, if the theme is wrong it can lead them to the wrong association (kassa, et al, 2018; breuner, et al, 2016) . adolescents with nonmarital pregnancy, will experience confusion with the realities they face. it is not easy for adolescents to accept the state of being pregnant before marriage. the pressure received by this teenager causes stress on him. whether they are aware of it or not, adolescents will take action to overcome the pressure they are facing, they may make decisions to make other mistakes such as doing an abortion or suicide (suicidal), this action is considered a shortcut to what happens to him, do not stop there, in general adolescents who experience pregnancy outside of marriage will experience rejection from their educational institutions, namely schools. social rejection will also accompany it as the norm in indonesia which still consider s nonma r ita l pregnancy to be a mistake which results in him feeling ostracized by society, this will make the psychological condition of adolescents even more depressed, by bearing shame, withdrawing from the 348 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 346–353 environment and despair. not only that, as a teenage mother, you can experience anemia. young mothers can experience postpartum depression compared to older mothers. children of adolescent mothers are more likely to be born prematurely and at lower birth weight, the risk of fetal abnormalities and the likelihood of infant death (kusmiran, 2011). cases of nonmarital pregnancy pose many dilemmas. where the problem of pregnancy in adolescents is very troubling for parents, society, and even the state, considering what teenagers do today is very dangerous to society and has an impact on the interests of many people and the future of the nation where teenagers are the successors (arifin, 2011). to pr event nonma r ita l pr egna ncy in adolescents, the role of parents is needed as a function of teasing, loving, and caring for example, reminding not to have sexual intercourse before marriage, doing positive activities, avoiding actions that give negative encouragement, such as sexual behavior, do not get caught up in flirtation. , avoiding going out with people who are not famous, and getting closer to god (puspitasari, 2016). prevention of premarital pregnancy in adolescents can be done by providing youth with education about sexuality, the impact of free sex and premarital pregnancy. in addition, society must address injustices in providing opportunities that place women in a condition where they are at greater risk of becoming victims of social pr oblems, such as teena ge pregnancy. (aziza and amperaningsing, 2014). the phenomenon mentioned above proves that during adolescence interest in sex increases. teens begin to be attracted to the opposite sex, they begin to recognize what is called love, give and receive affection from others (hurlock, 2001). teenage pr egnancy has implications for educational opportunities, population growth and the poor health of women. therefore, the government needs to pay attention to the prevention of early marriage in adolescents and nonmarital pregnancy to form a good development in the future. reducing the high rate of teenage pregnancy and maternal mortality is considered the key to the success of sustainable development (sdgs) (nove et al, 2014). there are many factors that cause nonmarital pregnancy, including: sociodemographic factors such as residence, marital status, adolescent educational status, parenting styles, communication with parents, peer suppor t. to prevent the occur r ence of unwanted pregnancies, it requires the roles of various parties, the need for cross-sectoral cooperation from education, religious leaders, from the sub-district and its staff. in order to do reproductive health education to adolescents, audio-visuals or leaflets can be used. peer support is formed to provide counseling, this can be done by holding a youth posture which can be used as a forum for adolescents to carry out activities that are positive and useful for the community in their environment. if in school, this can be done with extra-curricular improvements, for example: scouting, religion, youth red cross, sports. in accordance with the above reasons, the authors want to examine more deeply about the factors that affect nonmarital pregnancy among adolescents in the working area of the public health center soe city, soe city district, south central timor regency method the design of this study used a descriptive research design in the work area of soe city health center, soe city district, south central timor regency on may 29, 2019 to june 11, 2019. the population in this study was all adolescents who had experienced a pregnancy outside of wedlock or who had given birth using the simple random sampling technique. from a population of 127, a sample of 55 respondents was obtained. the instrument used a questionna ir e a nd per centa ge fr equency distribution data analysis. results no age when pregnant  % 1 10-12 year 0 0 2 13-15 year 2 3,6 3 16-21 year 53 96,4 total 55 100 table 1 distribution of respondents’ frequency based on maternal age when pregnant in the work area of soe city health center, soe city district, south central timor regency based on table 1, it is found that almost all of the 55 respondents experienced pregnancy at the age of 16-21 years, namely 53 respondents (96.4%). 349ertiana, nakamnanu,factors affecting nonmarital pregnancy in teenagers at ... no last education  % 1 no school 0 0 2 primay scool 2 3,6 3 junior high 27 49,1 4 high school 26 47,3 total 55 100 table 2 frequency distribution of respondents by latest education in the work area of soe city health center, soe city district, south central timor regency based on table 2, it is found that of the 55 respondents, almost half have a junior high school education, namely 27 respondents (96%). no living together  % 1 parent 43 78 2 family 4 7 3 caregiver 8 15 4 alone 0 0 total 55 100 table 3 frequency distribution of respondents based on living together in the work area of the soe city health center, soe city district, central timor regency, selatn based on table 3, it is found that of the 55 respondents, almost all of them live with their parents, namely 43 respondents (78%). no knowledge about reproductive  % health and sexuality 1 less 32 59 2 enough 21 39 3 good 2 2 total 55 100 table 4 individual factors: knowledge of reproductive health and sexuality in the working area of soe city health center, soe city district, south central timor regency based on table 4, the results showed that most of the 55 respondents had less knowledge, namely 32 (59%). no knowledge about reproductive  % health and sexuality 1 less 32 59 2 enough 21 39 3 good 2 2 total 55 100 table 5 behavioral factors: promiscuity in the working area of soe city health center, soe city district, south central timor regency based on table 5, it is found that of the 55 respondents, most of the respondents engaged in promiscuity, namely 35 (64%). based on table 6, the results show that of the 55 respondents, the environmental factor of peer group norms, most of them are permissive, namely 31 (57%). no the influence of group  % norms with peers 1 permissive 31 57 2 not permissive 24 43 total 55 100 table 6 environmental factors: influence of group norms with peers no pola asuh orang tua  % 1 authoritarian 16 30 2 permissive 36 65 3 democratic 3 5 4 abandonment 0 0 total 55 100 table 7 environmental factors: parenting patterns in the work area of soe city health center, soe city district, south central timor regency based on table 7, it is found that of the 55 respondents, most of them get permissive parenting, namely 36 (65%). 350 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 346–353 based on table 8, the results showed that of the 55 respondents on technological development factors in accessing the internet and social media, a small proportion is active, namely 21 (38%). discussion analysis of research data using percentage frequency distribution obtained results: individual factors: knowledge of reproductive health and sexuality the results showed that of the 55 respondents, most of the respondents were less obedient as many as 32 people (59%), 21 people had sufficient knowledge (39%), while those who had good knowledge about reproductive health and sexuality were very small, namely 2 people (2%). ). based on general data on the characteristics of the latest education, almost half of the respondents have a junior high school education, the rest have a high school and elementary education. seeing the r esults obta ined, the la ck of knowledge about reproductive health and sexuality is also the risk that will occur due to pregnancy outside of ma r r ia ge in a dolescence, if knowledgeable, at least women understand and can take care of themselves and do not do this. azinar and fibriana (2018) the importance of reproductive health in adolescents is because it can increase the knowledge and attitudes of adolescents so that they ha ve a good r esponsibility for reproductive health. adolescents who have sufficient knowledge of sex tend to have healthy and safe sex behavior, on the other ha nd, a dolescents who ha ve less knowledge of sex will tend to have uncontrolled sexua l behavior that r esults in pregnancy in adolescence. the development of adolescent sex life is currently showing symptoms that lead to promiscuity. therefore knowledge is very influential on the incidence of nonmar ital pregnancy in adolescents. behavior factors: promiscuity the results showed that of the 55 respondents, most of the respondents engaged in promiscuity, namely 35 (64%), while those who did not were 20 (33%). it can be concluded from the data of statements number 1 and 7 where the respondent agrees to have sexual intercourse on the basis of consensuality and evidence of seriousness with a partner, from 55 respondents who agreed, namely 52 people. not only that, for them, they often go out at night, kissing on the cheek and lips with their partner is a common practice in sharing affection. according to banepa et al (2017) at the bakunase kupang health center there were 13 people who experienced premarital sex and 9 people experienced unwanted pregnancies. accor ding to ama lia (2017), teena ge pregnancy will ca use ser ious psychologica l problems. teenagers who get pregnant outside of marriage will experience low self-esteem, shame, and will always feel guilty because this is seen as violating norms and is a disgrace to their family. in some cases people have had unsafe abortions, committed suicide, because they felt very guilty and experienced confusion, frustration and depression. the need for parental supervision so that teenagers do not have promiscuity. by frequently being invited to communicate between parents and adolescents. from adolescents themselves, it is also necessary to strengthen their religious knowledge to make them more able to act not to violate norms, ethics and religion. it is necessary to provide health research directly by health workers, because it will be easier to understand. if they learn by themselves from the internet, it will cause a misperception if no one is guiding them directly. environmental factors: group norms with pe er s the results showed that of the 55 respondents who were permissive or open in any matter with their friends, there were 34 people according to them that told them everything they experienced not only that, they even answered questions about sexual table 8 environmental factors: technological development in accessing the internet and social media in the work area of soe city health center, soe city district, south central timor regency no technological developments  % in accessing internet and social media 1 active 21 38 2 not active 34 62 total 55 100 351ertiana, nakamnanu,factors affecting nonmarital pregnancy in teenagers at ... activity with their partners, they shared with each other compared to gathering with parents or their brother. according to the research of ismarwati and utami (2017), the results show that the influence of peer roles has a 19.7 times greater chance of engaging in premarital sexual behavior compared to those who do not get influence from peers. the dating style of peers is a model or reference used by a teenager in dating. friends used to kiss their boyfriends, so it was justified that he also kissed. adolescents tend to develop their own norms that go against the prevailing norms. teens are very open to peer groups. they hold discussions about norms, philosophy of life, recreation, jewelry, clothes, for hours. peer influence forms a very strong bond. friends / peers are friends who are of the same age and between them usually builds up intimacy. the role of friends / peers in adolescents is very large in everyday adolescent life. teens are more outside the home with peers as a group, the influence of peers on attitudes, conversations, interests, and behavior is greater than the influence of family. environmental factors: parenting style the results showed that most of the respondents obtained permissive parenting, namely 36 people (65%). the parenting pattern is a method, habit and behavior that is usually done in the process of caring for children in a family environment. parenting is a process of interaction between parents and children that takes place continuously and through this process provides changes to both parents and children (masni, 2017) hard parenting style will give birth to tough behavior as well, childhood experiences determine the characteristics of a person as an adult. if the childhood experience of children often gets harsh treatment, it will cause a violent pattern of social behavior. the family is the initial place to interact, good care, which is exemplified by parents, will be assessed and imitated by their children (cindrya, 2019) in a permissive parenting pattern, parents give freedom to children to behave according to what the child wants. in this case, it means that parents do not place restrictions on what needs to be done and what cannot be done. permissive parenting is also known as letting go of parenting. this lethargic parenting means that parents are always giving in, obeying every child’s wish, so it’s no wonder the incidence of extra-marital pregnancy in adolescents in this study is the most influential. seeing from their understanding and upbringing, this type of parent is very indifferent to the discipline of teenagers, making them do everything they want without thinking about the risks that will happen later. what’s more at this puberty period, a period where teenagers want to find their identity with parental upbringing without any control, it is very likely that children can do things beyond their limits, especia lly when most teena ger s exper ience nonmarital pregnancy. live with their own parents. the ma gnitude of the role of parents in adolescent development, especially in adolescent education. parents are a source of exemplary life in adolescents within the household. therefore the need for attention from parents to pay broad attention to the development of adolescents, especially in association that can fall into promiscuity which results in unwanted pregnancy. environmental factors: technological development in accessing the internet and social media with the occurrence of nonmarital pregnancy in adolescents t he r esults showed that the technology development factor in accessing the internet and social media, almost half of the respondents were said to be active, namely 21 people (38%) while the majority were said to be inactive by 34 people (62%). from the results of the statement using a questionnaire sheet from 55 respondents, 21 of them are actively using android and accessing the internet, while the remaining 34 people are inactive because they do not have an android, and also in the research location sometimes the network is not as tight as in the capital. at this time it is very easy to get information including information about sexual problems. this is one of the factors that causes some teenagers to be trapped in unhealthy sexual behavior. various information can be obtained easily by teenagers via the internet which only teaches ways of sex without any explanation about healthy sexual behavior and the impact of risky sex. one of the risks of premarital sex or casual sex is an unexpected pregnancy (sari, 2016). 352 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 346–353 sources of information for adolescents are now easier to get information, with the convenience of various means of communication. the role of parents is also very necessary to control adolescents in accessing the media, so that they are not mistaken in receiving this information. conclusion the results showed that: 1. most of the respondents had insufficient knowledge, namely as many as 32 people (59%), 21 people (39%) ha d sufficient knowledge, while those with good knowledge were 2 people (2%). 2. of the 55 respondents most of them engaged in promiscuity, namely 37 people (67%), while those who did not were 18 people (33%). 3. of the 55 respondents, most of the respondents were permissive towards the norms of groups with peers, namely 34 people (62%) while those who were not permissive were 21 people (38%). 4. of the 55 respondents, most of them got permissive pa renting, namely 36 (65%), authoritarian parenting, namely 17 (30%), democratic parenting, namely 3 (5%) while parenting. abandonment (0%). 5. technological development factors in accessing the internet and social media, a small proportion of respondents were active in accessing the internet and social media, namely 21 people (38%), while those who were not active were 34 people (62%). suggestion 1. for teens it is expected to further increase knowledge and add information about reproductive health and sexuality, limit oneself from promiscuity and groups with peers, and access the internet as well as social media as necessary. 2. for parents 1) opening new insights about adolescent reproductive health, which can be started by reading from various sources about this information which can later be conveyed to children as a provision for knowledge and prevention of adolescent sexuality problems. 2) establishing closeness with children by inviting children to share or discuss daily activities and problems at school so that children can be more open and parents can participate in providing the best solutions when children face problems. 3) increasing supervision of their teenage children by directing activities to positive and useful things. 3. for soe city public health center it is hoped that the public health center can provide counseling on adolescent behavior starting from family values, communication between childr en a nd pa r ents, a nd communication between teachers and students and the community environment and can work together with the health department in the formation of a youth ca re hea lth service program. 4. the institute of school of health sciences karya husada kediri it is hoped that the results of this study can be an additional channel of information for readers and educational institutions to participate more in collaborating with related health centers to provide counseling about teenage behavior which can have a negative impact on the family environment, community environment and school environment. 5. for further researchers it is hoped that further researchers can analyze more deeply about the factors that influence teenage pregnancy to strengthen the results and it is hoped that by using research methods that are more answerable and provide maximum results in developing this study so that there is no more incidence of extramarital pregnancy in adolescents. references amalia, e. h., & azinar, m. (2017). unwanted pregnancy in adolescents. higeia journal of public health research and development. 1 (1): 17. retrieved from https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ higeia/article/view/13999. retrieved february 10, 2019. ameyaw ek. (2018). prevalence and correlates of unintended pregnancy in ghana: analysis of 2014 ghana demographic and health survey. journal of maternal health, neonatology, and perinatology, 4:17. https://doi.org/10.1186/s40748-018-0085-1. arifin. (2011). research on juvenile delinquency. retrieved from http://www.perkuliahan.com. accessed on february 10, 2019. 353ertiana, nakamnanu,factors affecting nonmarital pregnancy in teenagers at ... azinar m and fibriana ai. (2018). youth center model of increasing knowledge and attitudes of youth in high-risk pregnancy areas. higeia journal of public health research and development. 2 (4). 663-672. doi: h t t ps: / /doi .or g/10. 15294 / higeia.v2i4.26801 aziza and amperaningsing. (2014). determinants of pregnancy in adolescents in the work area of the public health center natar, south lampung regency. journal of nursing, 10 (1); 143-153. retrieved from https://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/ index.php/jkep/article/view/331. accessed on 12 february 2019. banepa a, meo mln, gatum am. (2017). description of factors affecting pregnancy ages 14-19 years old in bakunase village, bakunase public health center, kupang city. chmk nursing scientific journal. 1 (2); 1-17. retrieved from: http://cyber-chmk.net/ojs/ index.php/ners/article/download/154/35. retrieved february 10, 2019. bkkbn and ubaya. (2013). factors affecting women to give birth at the age of 15-19 years, collaboration of the national population and family board deputy for training and development of the research and development center for family planning and prosperous families with the faculty of psychology, university of surabaya. retrieved from http:// repository.ubaya.ac.id/21415/. retrieved february 10, 2019. bkkbn. (2011). indonesian population census. retrieved from http: //.bkkbn.co.id. accessed february 12, 2019 bkkbn. (2017). achi evem en t of adolescen t reproductive health knowledge index. retrieved from http://www.bkkbn.co.id. accessed on february 12, 2019 breuner cc, mattson g, child copao, health f. (2016). sexuality education for children and adolescents. j ournal pedi atri c s. ; 138(2): e20161348. pmid: 27432844. doi: 10.1542/peds.2016-1348 cindrya e. (2019). knowledge of teenage pregnancy in parents of early childhood in muara burnai ii village, oki district, south sumatra. raudhatul athfal journal (journal of early childhood education). 3 (1); 66-82. doi: https://doi.org/ 10.19109/ra.v3i1.3381. glynn jr, sunny bs, destavola b, dube a, chihana m, price aj, crampin ac. (2018). early school failure predicts teenage pregnancy and marriage: a large population based cohort study in northern malawi. journal plos one, 13 (5): e0196041. https://doi.org/ 10.1371/journal.pone.0196041 iswarti and utami i. (2017). factors affecting the incidence of unwanted pregnancy in adolescents. journal of health studies, 1 (2). 168-177. retrieved from https://ejournal.unisayogya.ac.id/ejournal/ in dex. php/ jhes/ar ticl e/vi ew/ 336. ret rieved february 10, 2019. kassa gm, arowojolu, odukogbe aa, yalew aw. (2018). pr eva len ce and determ ina nts of adolescent pregnancy in africa: a systematic review and metaanalysis. j. reproductive health. 15: 195. https:// doi.org/10.1186/s12978-018-0640-2. kusmiran, e. (2011). reproductive health for adolescents and women. salemba medika: jakarta. masni h. (2017). the role of parents’ democratic parenting in developing self potential and student creativity. retrieved from https://media.neliti.com/ media/publications/225649-peran-pola-asuhdemokratis-orangapas-terh-ae219586.pdf. accessed on february 8, 2019 mori at, kampata l, musonda p, johansson ka, robberstad b, sandoy i. (2017). cost-benefit and ext en ded cost -effect i ven ess a na l ysi s of a comprehensive adolescent pregnancy prevention program in zambia: study protocol for a cluster randomized controlled trial. journal trial, 18: 604. doi 10.1186 / s13063-017-2350-4 nove a, matthews z, neal s, camacho av. (2014). maternal mortality in adolescents compared with women of other ages: evidence from 144 countries. lancet glob health. 2014; 2 (3): e155 – e64doi: http:/ /dx.doi.org/10.1016/s2214-109x(13)70179-7. puspitasari, d. (2016). the role of parents towards adolescents in prevention of premarital pregnancy in rw 01 and 02, dukuh kleco, sawoo district, pon or ogo regency. ret ri eved from ht t p:/ / eprints.umpo.ac.id/2249/2.pdf. accessed on 10 february 2019 sari d. (2016). factors associated with pregnancy at adolescent age at ciputat health center, south tangerang city, 2014. journal of arkesma, 1 (1); 417. retrieved from: https://journal.uhamka.ac.id/ index.php/arkesmas/article/view/85. retrieved february 10, 2019. who. (2014). adolescent pregnancy: fact sheet no 364. geneva: world health organization. retrivied from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ adolescent-pregnancy. retrieved february 10, 2019. world health organization. (2013). “world population day, namely” teenage pregnancy “. retrieved from: http://google.com. accessed on february 10, 2019. wydiastuti, yani et al. (2009). reproduction health. fitramaya: yogyakarta 142 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 142–147 142 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk penurunan hemoglobin pada penyakit ginjal kronik setelah hemodialisis di rsu “kh” batu wiwik agustina1, erlina kusuma wardani2 1prodi keperawatan, stikes maharani malang, indonesia 2perawat, rumah sakit baptis batu, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 10/07/2019 disetujui, 23/07/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: hemodialisis, hemoglobin , penyakit ginjal kronik abstrak penyakit ginjal kronik (pgk) adalah kondisi irreversible dimana fungsi ginjal menurun dari waktu ke waktu. kondisi fungsi ginjal memburuk, kemampuan untuk memproduksi erythropoietin yang memadai terganggu, sehingga terjadi anemia. tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan kadar hb pre dengan post hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik di rsu “kh” batu. jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif yang menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan teknik quota sampling. sampel yang dipilih adalah 20 responden yang memenuhi kriteria inklusi. data diambil dengan cara melakukan pengecekkan kadar hb secara langsung pada responden. uji statistik menggunakan uji t-test berpasangan didapatkan nilai rerata kadar hb pre hemodialisis adalah 7,38 dan rerata kadar hb post hemodialisis adalah 7,10. hasil uji t-test berpasangan didapatkan nilai p=0,039 (p<0,05). hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar hb pre dengan post hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik, dimana kadar hb post hemodialisis lebih rendah daripada kadar hb pre hemodialisis. hal tersebut dikarenakan sejumlah kecil darah biasanya tertinggal di dalam dialiser. hal ini dapat menjadi sumber kekurangan zat besi dari waktu ke waktu, sehingga menimbulkan anemia. oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang penanganan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: poltekkes kemenkes malang jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: nerswika@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p142-147 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 143agustina, wardani, penurunan hemoglobin pada... abstract chronic kidney disease (ckd) is an irreversible condition in which kidney function decreases over the times. the condition of kidney function worsens and the ability to produce adequate erythropoietin is disrupted, it causes anemia. the purpose of this study is to know the differences between pre-hb levels with post hemodialysis in patients with chronic renal failure at “kh” batu hospital. the type of research used is descriptive quantitative which uses a cross sectional design by applying the quota sampling technique. the sample chosen was 20 respondents who met the inclusion criteria. data was taken by checking the hb level directly on the respondents. the statistical test using the paired t-test obtained the mean value of pre hemodialysis hemoglobin level; 7.38 and the mean post hemodialysis hb level is 7.10. the results of the paired t-test obtained p = 0.039 (p <0.05). the results of this study indicate that there is a significant difference between pre hb and post hemodialysis levels in patients with chronic renal failure, where post hemodialysis hb levels are lower than pre hemodialysis hb levels. this is because a small amount of blood is usually left in the dialyzer. this can cause iron deficiency over time and it is causing anemia. therefore, it is necessary to do research on the treatment of anemia in patients with chronic renal failure undergoing hemodialysis therapy. decreasing haemoglobin in chronic kidney diseases post hemodialisis in “kh” batu hospital article information history article: received, 10/07/2019 accepted, 23/07/2019 published, 01/08/2019 keywords: hemodialysis, hemoglobin, chronic kidney failure 144 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 142–147 pendahuluan cronic kidney disease (ckd) adalah kondisi irreversible dimana fungsi ginjal menurun dari waktu ke waktu. ckd biasanya berkembang secara perlahan dan progresif, kadang sampai bertahun-tahun, dengan pasien sering tidak menyadari bahwa kondisi mereka telah parah. kondisi fungsi ginjal memburuk, kemampuan untuk memproduksi erythropoietin yang memadai terganggu, sehingga terjadi penurunan produksi baru sel-sel darah merah dan akhirnya terjadi anemia (denise, 2011). sebagian besar pasien penyakit ginjal kronis (pgk) mengalami kematian akibat komplikasi kardiovaskular, hanya sebagian kecil yang mencapai tahap terminal (stadium v) yang memerlukan pengobatan pengganti ginjal. hemodialisis (hd) masih merupakan terapi pengganti ginjal utama disamping peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar negara di dunia. hd dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun akut (setiati, 2014). pada proses hemodialisis terjadi difusi larutan antara darah dan dialisat yang mengalir kearah berlawanan, dan dipisahkan oleh membran semipermeabel. masalah yang paling sering muncul adalah instabilitas kardiovaskuler selama dialisis, dan sulitnya mendapatkan akses vaskular. selain itu, pada pr oses hemodia lisis da pat ter ja di defisiensi erythropoietin, dan terjadi kehilangan darah yaitu terjadinya retensi darah pada dialiser atau tubing pada mesin hemodialisis sehingga menyebabkan penurunan kadar hb dalam darah (muttaqin, 2012). hemoglobin (hb) adalah metalprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam darah. molekul hb terdiri dari globin, apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. hb adalah protein yang kaya akan zat besi. memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah (evelyn, 2009). prevalensi populasi umur  15 tahun yang terdiagnosis ggk sebesar 0,2%. angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi ggk di negaranegara lain (riskesdas, 2013). hasil penelitian perhimpunan nefrologi indonesia (pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi ggk sebesar 12,5%. hal ini karena riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis ggk sedangkan sebagian besar ggk di indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir. prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 3544 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%) (riskesdas, 2013). indonesian renal registry (irr) adalah kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan data pasien yang menjalani dialisis, transplantasi ginjal serta data epidemiologi penyakit ginjal dan hipertensi di indonesia. irr merupakan program perhimpunan nefrologi indonesia (pernefri) yang dimulai sejak tahun 2007. data dikumpulkan dari seluruh fasilitas pelayanan dialisis di indonesia baik di dalam maupun di luar rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta. hingga pada bulan oktober 2016 terdapat 169 dari total 382 fasilitas pelayanan dialisis di indonesia yang mengirimkan data (44,2%). data irr dari 249 renal unit yang melapor, tercatat 30.554 pasien aktif menjalani dialisis pada tahun 2015, sebagian besar adalah pasien dengan ggk (indonesian renal registry, 2016). studi pendahuluan yang dilakukan di ruang hemodialisis rsu “kh” batu di dapatkan 242 kunjungan di bulan september 2017, 246 kunjungan di bulan oktober 2017, dan 248 kunjungan di bulan november 2017. dengan total kunjungan sebanyak 736 kunjungan pasien penyakit ginjal kronik selama tiga bulan. dan dari semua total kunjungan di dapat data kadar hb masuk dibawah nilai normal. untuk mengetahui perbedaan kadar hb pre dan post hemodialisis pada penderita penyakit ginjal kronik, data diperoleh dari bagian rekam medik rsu “kh” batu dan dilakukan pengecekkan dengan alat hb meter. berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbedaan antara kadar hb pre dengan post hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik di rsu “kh” batu. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah studi komparatif. populasi adalah seluruh pasien pgk yang menjalani hemodialisis di rs “kh” sejumlah 736 pasien. sampel penelitian sebanyak 20 responden yang diteta pka n seca ra kuota sampling. variable independen adalah hemodialisis dan variable dependent adalah kadar hb. penelitian dilaksanakan mulai desember 2017 sampai dengan 145agustina, wardani, penurunan hemoglobin pada... desember 2018. data kadar hb diambil dengan menggunakan hb meter, selanjutnya data diolah dengan analisis komparatif t-test berpasangan. hasil penelitian kelompok umur (tahun) f % dewasa awal-akhir : 26-45 4 20 lansia awal-akhir : 46-65 13 65 manula : >65 3 15 total 20 100 sumber: data primer, 2018 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan usia jenis kelamin f % laki-laki 12 60 perempuan 8 40 total 20 100 sumber: data primer, 2018 tabel 2 distribusi responden berdasarkan jenis kelamin tabel 3 distribusi kadar hemoglobin pre dan post hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik kelompok kadar hb pre hd kadar hb post hd n 20 20 min (gr/dl) 6,0 6,0 max (gr/dl) 9,0 8,0 x (gr/dl) 7,38 7,10 sd 0,784 0,641 tabel 4 hasil t-test berpasangan kelompok kadar hb pre dan post hd n 20 p 0,039  0,05 x hb pre hd 7,38 x hb post hd 7,10 pembahasan usia responden dalam penelitian termuda adalah 26 tahun, dimana sebagian besar responden berada pada rentang usia 46-65 tahun yakni 65% dengan jenis kelamin lebih dari separuhnya adalah laki-laki yakni 60%. berdasarkan hasil penelitian, dari 20 responden didapatkan data bahwa seluruh pasien memiliki kadar hb kurang dari normal (l 13,8-17,2 gr/dl dan p 12,1-15,1 gr/dl). minimal kadar hb adalah 6,0 gr/ dl, dan kadar hb maksimal adalah 9,0 gr/dl, dengan rerata 7,38 gr/dl dan sd 0,784. penurunan kadar hb pre hemodialisis disebabkan karena proses perjalanan penyakitpenyakit ginjal kronik itu sendiri. perjalanan penyakit penyakit ginjal kronik biasanya diawali dengan pengurangan cadangan ginjal yaitu fungsi ginjal sekitar 3 – 50 %. berkurangnya fungsi ginjal tanpa akumulasi sampah metabolik dalam darah sebab nefron yang tidak rusak akan mengkompensasi nefro yang rusak. walaupun tidak ada manifestasi penyakit ginjal pada tahap ini, jika terjadi infeksi atau kelebihan (overload) cairan atau dehidrasi, fungsi renal pada tahap ini dapat terus menurun (smeltzer and bare, 2013). apabila penanganan tidak adekuat, proses penyakit ginjal berlanjut hingga klien berada pada tahap akhir. klien penyakit ginjal tahap akhir sekitar 90% nefronnya hancur, dan gfr hanya 10% yang normal sehingga fungsi ginjal normal tidak dapat dipertahankan. ginjal tidak dapat mempertahankan homeostasis sehingga terjadi peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darah, terjadi penimbunan cairan tubuh dan ketidak seimbangan elektrolit serta asam basa. akibatnya timbul berbagai manifestasi klinik dan komplikasi pada seluruh sistem tubuh. semakin banyak tertimbun sisa akhir metabolisme, maka gejala akan semakin berat. klien akan mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitas sehari hari akibat timbulnya berbagai manifestasi klinik tersebut (ignativicius et all, 2018). dampak dari pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis salah satunya adalah anemia. anemia pada gagal ginjal kronik muncul ketika kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt. anemia 146 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 142–147 akan berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi tetapi apabila ginjal sudah mencapai stadium akhir, anemia akan relatif menetap. anemia pada gagal ginjal kronik terutama diakibatkan oleh berkurangnya erithropoetin. anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik (lewis, 2017). hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di ruang hemodialisis rsu “kh” batu, yaitu seluruh pasien penyakit ginjal kronik yang mendapatkan terapi hemodialisis memiliki kadar hb di bawah nilai normal (anemia). anemia cenderung memburuk seiring gagal ginjal berlangsung, dan kebanyakan orang yang mengalami kerusakan fungsi ginjal atau gagal ginjal menderita anemia. berdasarkan hasil penelitian, dari 20 responden didapatkan data bahwa seluruh pasien memiliki kadar hb kurang dari normal (l 13,8-17,2 gr/dl dan p 12,1-15,1 gr/dl). minimal kadar hb adalah 6,0 gr/ dl, dan kadar hb maksimal adalah 8,0 gr/dl, dengan rerata 7,10 gr/dl dan sd 0,641. penurunan kadar hb post hemodialisis selain disebabkan oleh proses penyakitnya, juga dapat dipengaruhi oleh proses hemodialisis yang dijalani.suharyanto dan madjid (2009) menambahkan bahwa terapi hemodialisis bertujuan untuk menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikelua r ka n seba ga i ur in sa a t ginja l seha t, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal serta menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.menurut muttaqin (2012), prinsip hemodialisis pada dasarnya sama seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisia, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. sehingga terapi hemodialisis ini cukup berfungsi dan berguna dilakukan serta diterapkan kepada pasien yang mengindap penyakit ginjal kronik. pada proses hemodialisis terjadi difusi larutan antara darah dan dialisat yang mengalir kearah berlawanan, dan dipisahkan oleh membran semipermeabel. masalah yang paling sering muncul adalah instabilitas kardiovaskuler selama dialisis, dan sulitnya mendapatkan akses vaskular. selain itu, pada proses hemodialisis dapat terjadi defisiensi erythropoietin, dan terjadi kehilangan darah yaitu terjadinya retensi darah pada dialiser atau tubing pada mesin hemodialisis sehingga menyebabkan penurunan kadar hb dalam darah (muttaqin, 2012). hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di ruang hemodialisis rsu “kh” batu, kadar hb pasienpenyakit ginjal kronik nilainya lebih rendah dibanding dengan kadar hb pasien penyakit ginjal kronik pre hemodialisis. pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis secara rutin rentan mengalami penurunan kadar hb, hal ini bisa disebabkan karena dari proses hemodialisis itu sendiri.dari 20 responden, didapatkan hasil kadar hb post hemodialisis lebih rendah daripada kadar hb pre hemodiaisa, dan dari data hasil uji validitas t-test berpasangan (t-test pairs) dengan analisis program spss versi 16 antara 2 variabel didapatkan nilai p=0,039. nilai p tersebut menunjukkan bahwa kadar hb pre dan post hemodialisis memiliki perbedaan yang signifikan, dengan parameter p<0,05, sehingga dapat disimpulkan hasil tersebut mendukung pernyataan hipotesis dari penelitian ini. diterimanya hipotesis penelitian tersebut mengindikasikan bahwa adanya perbedaan kadar hb pre dengan post hemodialisis pada pasienpenyakit ginjal kronik, dimanakadar hb post hemodialis megalami penurunan. hemodialisis berasal dari kata hemo (darah) dan dialisa (pemisahan atau filtrasi). hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialyser) yang bertujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit antara kompartemen darah dengan kompartemen dialisat melalui membran semipermeabel (silviani, 2011). sistem hemodialisis terdiri dari sistem vaskuler eksternal yang akan dilewati saat darah pasien di transfer ke dalam sistem pipa polietilena steril menuju ke filter dialisis/dialiser menggunakan pompa mekanik. darah pasien akan ditransfer menuju sistem vaskuler eksternal tersebut melalui akses vaskuler, yang merupakan akses permanen ke aliran darah untuk hemodialisis (dipiro et al, 2016). pasien yang menjalani hemodialisis juga dapat mengalami anemia, karena kehilangan darah yang menyertai pengobatannya. kehilangan darah dalam dialiser mungkin dikarenakan beberapa penyebab seperti episode clotting selama dialisis dan darah yang tertinggal di mesin dialiser. clotting merupakan salah satu komplikasi utama pada akses dialiser dan dapat menyebabkan penutupan akses tersebut (white, 2011). pada akhir setiap perlakuan hemo 147agustina, wardani, penurunan hemoglobin pada... dialisis, sejumlah kecil darah biasanya tertinggal di dalam dialiser. hal ini dapat menjadi sumber kekurangan zat besi dari waktu ke waktu, sehingga dapat menimbulkan anemia (nlfkdoqi, 2015). hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana kadar hb pada pasien post menjalani hemodialisis nilainya rata-rata lebih rendah daripada sebelum menjalani proses hemodialisis. hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh agustina dan purnomo (2018) dimana semakin lama menjalani hemodialisis maka kadar hb semakin turun (agustina dan purnomo, 2018). dengan demikian kejadian anemia pada pasien penyakit gagal ginjal kronis tidak hanya disebabkan penurunan kadar erytropoetin, melainkan adanya injuri mekanik pada sel darah merah selama proses hemidialisis. kesimpulan ada perbedaan yang signifikan antara kadar hb pre dengan post hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronik di rsu “kh” batu, dimana kadar hb post hemodialisis lebih rendah dari pada kadar hb pre hemodialisis. saran untuk dilakukan penanganan agar kadar hemoglobin pada pederita dapat dioptimalkan baik melalui pendekatan faktor intrinsik maupun factor ekstrinsik. daftar pustaka agustina, w dan purnomo, ae. (2018). menurunnya kadar hemoglobin pada penderita endstage renal disease (esrd) yang menjalani hemodialisisdi kota malang. prosiding seminar nasional 2018. peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan dalam mendukung program kesehatan nasional, jember: 28 november 2018. hal 76-83. denise laouari, martin burtin, aure’lie phelep, frank bienaime, laure-he’le’ne noel, david c.lee, et al. a transc ri pt i onal net work unde rli e s susceptiblility to kidney disease progression. embo mol med [internet]. (2011) [cited 2012 dec 30]. 4: 825-839. ava i l abl e fr om: h t tp: / / www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22711280. dewi, s., adityawarman., dwiansari, l.(2011). hubungan lama periode hemodialisis dengan status albumin penderita gagal ginjal kronis di unit hemodialisis rsud.prof.dr.margono soekarjo purwokerto. mandala of health vol.5, no.2,september 2011. dipiro jt, talbert rl, yeegc, matske gr, wells bg and posey lm. (2016). pharmac ot he rapy a patofisiologi approach, mc grow hill profesional. pearce, e.c. (2009). anatomi dan fisiologi untuk paramedis. pt. gramedia pustaka utama, jakarta. ignatavicius, w and rebar. (2018), medical – surgical nursing. st. louis: elsevier. indonesian renal registry (irr).(2013). 5th report of indonesian renal registry 2011. perhimpunan nefrologi indonesia (pernefri). lewis. (2017). medical surgical nursing: assessment and management of clinical problem. new york: mosby. muttaqin, a., kumala,s. (2012). asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan. jakarta: salemba medika. nkfkdoqi. (2015). iron needs in dialysis-the national kidney foundation.national kidney foundation. riskesdas. (2013). badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. setiati, s.(2014). buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid ke dua edisi ke enam, jakarta: internal publishing. smeltzer suzanne c and bare brenda g, 2013. buku ajar keperawatan medikal bedah. jakarta: egc. suharyanto dan madjid.(2009). asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik. trans info media. jakarta. white t. (2011). low blood pressure during dialysis increases risk of clots, according to stanfordled study%news center %stanford medicine. jasn. 70 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 070–076 70 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh pemberian pisang ambon terhadap tekanan darah pada lansia penderita hipertensi info artikel sejarah artikel: diterima, 21-03-2019 disetujui, 01-04-2019 dipublikasi, 08-04-2019 kata kunci: pisang ambon, hipertensi lansia, penurunan tekanan darah abstrak hipertensi merupakan suatu penyakit yang sering menyerang pada lansia disebabkan karena pengaturan metabolisme zat kapur (kalsium) didalam tubuh terganggu, sehingga terjadi arteriosclerosis. penderita hipertensi perlu mendapatkan terapi obat hipertensi untuk mencegah arteriosclerosis. namun kenyataannya penderita bosan minum obat hipertensi dikarenakan menimbulkan ketergantungan dan harga obat yang mahal sehingga perlu diberikan pengobatan lain yang lebih ekonomis dan minim efek samping salah satunya dengan menggunakan pisang ambon. tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian pisang ambon terhadap tekanan darah pada lansia penderita hipertensi. desain penelitian ini menggunakan pra experiment dengan pendekatan one group pre test-post test design. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita hipertensi di dusun mojogenengmojokarang, dlanggu-mojokerto sejumlah 31 lansia besar sampel 31 lansia. tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. variabel independen pemberian pisang ambon dan variable dependen tekanan darah. instrumen yang digunakan lembar observasi pre-post pemberian pisang ambon. dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 31 responden sebelum diberikan pisang ambon tidak ada yang mempunyai tekanan darah normal akan tetapi setelah dilakukan pemberian pisang ambon terdapat 11 responden yang mempunyai tekanan darah normal, sedangkan pada penderita hipertensi sedang sebelum pemberian pisang ambon terdapat 23 responden dan setelah pemberian pisang ambon terdapat 4 penderita hipertensi sedang. hasil uji wilcoxon diketahui bahwa nilai  (0.000) <  (0,05) maka h0 ditolak artinya terdapat pengaruh konsumsi pisang ambon terhadap tekanan darah lansia. simpulan penelitian ini adalah pisang ambon dapat menurunkan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi, sehingga diharapkan petugas kesehatan dapat mensosialisasikan penggunaan pisang ambon pada lansia penderita hipertensi. © 2018 journal of ners and midwifery correspondence address: indra yulianti, veryudha eka prameswari, tria wahyuningrum stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia stikes bina sehat ppni mojokerto east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: indray86@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p070–076 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 71yulianti, prameswari, wahyuningrum, jannah, pengaruh pemberian... abstract hypertension is a disease that often attacks the elderly due to the regulation of lime metabolism (calcium) in the body is disturbed, resulting in arteriosclerosis. hypertension sufferers need to get hypertension drug therapy to prevent arteriosclerosis. but the fact is that people who are bored take medication for hypertension due to the high dependency and price of drugs, so change determiner more economical and have minimal side effects, one of which is using ambon banana. the purpose of this study was to determine the effect of giving ambon banana to blood pressure in elderly people with hypertension. the design of this study used pre-experiment with a one group pre test -post test design approach. the population in this study were all patients with hypertension in mojogenengmojokarang hamlet, dlanggu-mojokerto, 31 of whom were a large sample of 31 elderly. the sampling technique used purposive sampling. independent variable giving ambon banana and blood pressure dependent variable. the instrument used was the pre-post observation sheet given ambon banana. from the results of the study showed that 31 respondents before given ambon bananas did not have normal blood pressure but after giving ambon banana there were 11 respondents who had normal blood pressure, whereas in patients with moderate hypertension before giving ambon banana there were 23 respondents and after administration of banana ambon there are 4 patients with moderate hypertension. the wilcoxon test results show that the value of  (0.000) <(0.05) then h0 is rejected, meaning that there is an effect of consumption of ambon banana on elderly blood pressure. the conclusion of this study is banana ambon can reduce blood pressure in elderly people with hypertension, so it is expected that health workers can socialize the use of ambon banana in elderly people with hypertension. the effect of ambon banana to the blood pressure of elderly people with hypertension article information history article: received, 21-03-2019 accepted, 01-04-2019 published, 08-04-2019 keywords: ambon banana, elderly hypertension, decreased blood pressure 72 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 070–076 pendahuluan hipertensi merupakan suatu penyakit yang bisa menyerang siapa saja dari yang paling muda sampai yang paling tua dan tidak memandang orang kaya maupun miskin. dari sekitar 90% penderita hipertensi, penyebabnya tidak diketahui secara pasti (utaminingsih, 2015).hipertensi sering disebut “silent killer” (pembunuh siluman), karena pada penderita seringkali merasakan suatu gangguan/gejala tanpa diketahui penyebabnya (triyanto, 2014). semakin tua seseorang pengaturan metabolisme zat kapur (kalsium) didalam tubuh terganggu, sehingga banyak zat kapur yang mengalir bersama darah. banyaknya kalsium dalam darah menyebabkan darah menjadi lebih padat dan kental, sehingga aliran darah tidak lancar menyababkan tekanan darah menjadi meningkat. endapan kalsium di dinding pembuluh darah (arteriosclerosis) menyebabkan terjadinya penyempitan didalam pembuluh darah. akibatnya, aliran darah menjadi terganggu.hal ini dapat menimbulkan tekanan darah meningkat. bertambahnya usia juga menyebabkan elastisitas arteri berkurang. arteri tidak dapat lentur dan cenderung kaku, sehingga volume darah yang mengalir sedikit dan kurang lancar (dewi, 2014). global status report on ncd world health organization (who) mencatat pada tahun 2012 ada 839 juta kasus hipertensi, data tersebut menjadi 1,15 mil pada tahun 2025 sekitar 29% dari semua penduduk didunia, hipertensi lebih banyak menyerang wanita dibandingkan pria. sekitar 80% kasus hipertensi melonjak terutama di negara-negara berkembang (triyanto, 2014). dari berbagai penelitian telah ditemukan bahwa orang dewasa yang berumur di atas 50 tahun memiliki risiko untuk berkembangnya hipertensi mencapai 90% (hardinsyah, 2017). kondisi pada lansia penderita hipertensi membutuhkan penanganan/terapi.salah satu terapi non farmakologisnya dengan bbt (biological base therapies). bbt adalah salah satu jenis terapi komplementer yang menggunakan bahan-bahan alami seperti tanaman herbal. pisang ambon merupakan salah satu tanaman yang dapat menurunkan tekanan darah. pada lansia penderita hipertensi kandungan kalium dalam pisang ambon dapat melancarkan pengiriman o2 ke otak (smart, 2015). menurut penelitian yang dilakukan dini tryastuti (2012) tentang pengaruh konsumsi tambahan dua buah pisang ambon (±140 g/buah) perharipada menu makan terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi sedangdi panti sosial tresna werdha sabai, padang–sumatra barat, menunjukkan bahwa sebelum konsumsi 2 buah pisang ambon (±140g/buah) perhari selama 1 minggu rata-rata tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lansia hipertensisedang adalah 170,65 mmhg dan 98,75 mmhg. setelah konsumsi 2 buah pisang ambon (±140g/buah) perhari selama 1 minggu rata-rata tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lansia hipertensisedang adalah 159,16 mmhg dan 94,80 mmhg. konsumsi 2 buah pisang ambon (140g/buah) perhari selama 1 minggu dapat menurunkan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi sedang. hasil studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 8 desember 2017 pada kegiatan posyandu lansia di desa mojokarang, didapatkan penderita hipertensi sejumlah 40 pasien. berdasarkan hasil wawancara dengan lansia penderita hipertensi, 3 pasien mengatakan bahwa mereka hanya melakukan terapi pengobatan hipertensi dengan obat medis dan belum pernah mendengar pengobatan alternative hipertensi menggunakan pisang ambon, 3 pasien mengatakan bahwa tidak pernah berobat dan belum pernah mendengar manfaat dari buah pisang ambon, bagian dari terapi pengobatan hipertensi. tidak sedikit masyarakat yang beranggapan, jika hipertensi pada kelompok lanjut usia (lansia) adalah hal biasa. penyakit ini seakan tidak perlu diobati karena dianggap tidak membawa pengaruh bagi kehidupan. asumsi itu tidak benar.sebab, tekanan darah yang selalu tinggi bisa menyebabkan komplikasi seperti serangan jantung atau stroke. bahkan, kalau sudah berat dan menahun (kronis), penderita hipertensi lansia bisa mengalami penurunan kesadaran/koma (dewi, 2014). berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin meneliti tentang “pengaruh pisang ambonterhadap tekanan darah lansia penderita hipertensi. metode penelitian desain dalam penelitian ini desain yang digunakan pra-experimen dengan pendekatan one group pre test and post test design. pra-experimental bertujuan membandingkan atau membedakan suatu tindakan tanpa ada kelompok kontrol (nursalam, 2013). penelitian ini dilakukan pada bulan april 2018 di dusun mojogeneng desa mojokarang kecamatan dlanggu kabupaten mojokerto dengan jumlah sampel 31 orang. pengambilan sampel menggunakan nonprobability sampling teknik purposive. variabel dalam penelitian ini adalah pisang ambon 73yulianti, prameswari, wahyuningrum, jannah, pengaruh pemberian... batasan usia lansia menurut depkes adalah 60 tahun atau lebih. berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 responden terdapat lebih dari setengah (74,2%) berusia 60-65 tahun. karakteristik berdasarkan jenis kelamin lansia penderita hipertensi berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa tekanan darah pada lansia penderita hipertensi sebelum dilakukan intervensi, tekanan darah sedang (sistole: 160-179 mmhg dan diastole : 100-109 mmhg) sebanyak 23 responden (74,2%) dan setelah diberikan intervensi hanya 4 responden (12,9%) yang masih memiliki tekanan darah sedang. data tersebut menunjukkan intervensi pemberian pisang ambon terjadi penurunan tekanan darah sebanyak 61,3% hasil uji wilcoxon menunjukkan data bahwa  = 0,000 dan  = 0,05 sehingga  <  maka h0 ditolak dan h1 diterima sehingga ada pengaruh pemberian pisang ambon terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di dusun mojogeneng desa mojokarang kecamatan dlanggu kabupaten mojokerto. pembahasan tekanan darah (pre) pemberian pisang ambon berdasarkan tabel 3 diketahui dari 31 responden didapatkan lebih dari sebagian besar (74,2 %) menunjukkan tekanan darah dalam kategori hipertensi sedang dan sebagian kecil (25,5%) menunjukkan tekanan darah dalam kategori hipertensi ringan. tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan meningkatnya kontraksi pembuluh darah arteri sehingga terjadi resistensi aliran darah yang meningkatkan tekanan darah ter(variable independen) dan tekanan darah (variable dependen). untuk mengukur efektifitas pisang ambon, pemberian pisang ambon diberikan selama 7 hari sebanyak 2 buah pisang ambon (140g/buah) perhari dan untuk tekanan darah menggunakan alat sphigmomanometer dan dicatat di lembar observasi. analisa data pada penelitian ini menggunakan uji wilcoxon signed rank test. h1 diterima, jika  value <  (0,05) untuk menentukan pengaruh pisang ambon terhadap tekanan darah lansia penderita hipertensi. hasil penelitian data umum ka r a kter istik ber da sa r ka n usia la nsia penderita hipertensi no usia f % total 31 100 sumber: data primer, april 2018 tabel 1 distribusi responden berdasarkan usia lansia penderita hipertensi di dusun mojogeneng desa mojokarang kecamatan dlanggu kabupaten mojokerto april 2018 no jenis kelamin f % 1. perempuan 23 74.2 2. laki-laki 8 25.8 total 31 100 sumber: data primer, april 2018 tabel 2 distribusi responden berdasarkan jenis kelamin lansia penderita hipertensi di dusun mojogeneng desa mojokarang kecamatan dlanggu kabupaten mojokerto april 2018 data khusus no tekanan sebelum sesudah darah f % f % 1. normal 0 0 11 35,5 2. ringan 8 25,8 16 51,6 3. sedang 23 74,2 4 12,9 4. berat 0 0 0 0 total 31 100 31 100 uji statistik wilcoxon sign rank test asymp sig = 0,000 sumber : data primer, april 2018 tabel 3 tabulasi silang tekanan darah lansia sebelum dan sesudah pemberian pisang ambon di dusun mojogeneng desa mojokarang kecamatan dlanggu kabupaten mojokerto april 2018 1. 60-65 tahun 18 74.2 2. 65-70 tahun 13 25.8 74 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 070–076 hadap dinding pembuluh darah. jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah melalui pembuluh arteri yang sempit. jika kondisi ini berlangsung terus pembuluh darah dan jantung akan rusak (handoko, 2010). tekanan darah responden pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebelum diberikan pisang ambon responden memiliki hipertensi kategori sedang. hal ini terjadi karena responden kurang menjaga kesehatan mereka diantaranya pola hidup yang dilakukan tidak sehat seperti merokok, mengkonsumsi makanan yang berlemak dan tinggi garam. tekanan darah (post) pemberian pisang ambon berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kriteria hipertensi ringan sebanyak 16 (51,6%) hipertensi sedang sebanyak 4 (12,9%) responden dan normal sebanyak 11 (35,5%) responden setelah diberi pisang ambon. pisang ambon dikonsumsi selama 7 hari sehari 2 kali dimakan sebelum sarapan pagi dan sebelum makan malam. terjadi perubahan tekanan darah pada responden sebanyak 61,3 %. hal ini terjadi karena kandungan kalium yang terdapat pada pisang ambon yakni sekitar 487 mg kalium/ menyediakan 14% kebutuhan tubuh sehari. kalium berfungsi mengurangi volume darah yang berada didalam pembuluh darah/ melebarkan pembuluh darah akhirnya tekanan darah menurun. menurut badan kesehatan sedunia (who) dan badan pangan sedunia (fto), konsumsi pisang ambon yang ideal perhari adalah 2-3 buah, pilih buah pisang ambon yang memiliki kulit buah berwarna hijau walau sudah matang. makan buah pisang ambon setiap hari 1 jam sebelum makan/saat perut kosong agar lebih bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah, berbeda jika makan setelah makan utama dalam kondisi perut sudah kenyang dan akhirnya hanya akan terisi pisang ambon sedikit. menurut penelitian yang dilakukan dini tyastuti (2012) tentang pengaruh konsumsi tambahan dua buah pisang ambon (±140 g/buah) perharipada menu makan terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi sedangdi panti sosial tresna werdha sabai nan aluih, sicincin menunjukkan bahwa sebelum konsumsi 2 buah pisang ambon (±140g/buah) perhari selama 1 minggurata-rata tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lansia hipertensisedang adalah 170,65 mmhg dan 98,75 mmhg. setelah konsumsi 2 buah pisang ambon (±140g/buah) perhari selama 1 mingguratarata tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lansia hipertensisedang adalah 159,16 mmhg dan 94,80 mmhg. konsumsi 2 buah pisang ambon (140g/buah) perhari selama 1 minggu dapatmenurunkan tekanan da rah pada lansia penderita hipertensi sedang. pisang ambon ini mengandung manfaat yang luar biasa dalam menjaga kesehatan tubuh dan dapat melancarkan aliran darah karena seluruh pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi. dengan makan pisang ambon secara teratur dengan jumlah yang ditentukan dengan prosedur yang tepat yaitu sebelum sarapan pagi dan sebelum makan malam selama 7 hari tanpa jeda dan harus dihabiskan, maka akan lebih mempengaruhi penurunan tekanan darah. hal ini bisa menjadi pengganti alternatif obat-obatan. tidak hanya kualitas dan kuantitas dalam pemberian pisang ambon perlu pola hidup sehat agar bisa mengontrol tekanan darah. pengaruh pemberian pisang ambon terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah tekanan darah pada penderita hipertensi sedang, tekanan darah pada lansia penderita hipertensi sebelum dilakukan intervensi, tekanan darah sedang (sistole :160-179 mmhg dan diastole : 100-109 mmhg) sebanyak 23 responden (74,2%) dan setelah diberikan intervensi hanya 4 responden (12,9%) yang masih memiliki tekanan darah sedang. data tersebut menunjukkan intervensi pemberian pisang ambon terjadi penurunan tekanan darah sebanyak 61,3%. data tersebut menjelaskan bahwa terdapat penurunan jumlah penderita hipertensi sebelum diberikan pisang ambon dan sesudah diberikan pisang ambon. hasil uji wilcoxon menunjukkan data bahwa  = 0,000 dan  = 0,05 sehingga  <  maka h0 ditolak dan h1 diterima sehingga ada pengaruh pemberian pisang ambon terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di dusun mojogeneng desa mojokarang kecamatan dlanggu ka bupaten mojokerto. berdasa rkan hasil penelitian hal ini dapat dipengaruhi oleh usia responden dan jenis kelamin yang sebagian besar adalah perempuan. hasil tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 60-65 tahun sebanyak 18 responden (74,2%) dan sebagian kecil 13 responden 75yulianti, prameswari, wahyuningrum, jannah, pengaruh pemberian... (25,8%) berusia > 65-70 tahun. tekanan darah pada orang dewasa akan meningkat sesuai usia. hal tersebut terjadi karena pengaturan metabolisme zat kapur (kalsium) di dalam tubuh terganggu sehingga banyak zat kapur yang mengalir bersama darah. arteri tidak dapat lentur dan kaku, sehingga volume darah yang mengalir sedikit dan kurang lancar (dewi, 2014). sebenarnya wajar bila tekanan darah sedikit meningkat karena bertambahnya umur. hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung dan pembuluh darah yang mengalami penyempitan. hasil tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar 23 responden (74.2 %) berjenis kelamin perempuan dan sebagian kecil 8 responden (25,8%) berjenis kelamin laki-laki. jenis kelamin juga sangat erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause. pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (triyanto, 2014). pada wanita yang belum mengalami menopause dilindungioleh hormoneestrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar high density lipoprotein (hdl). kadar kolesterol hdl yang tinggi mer upakan factor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. tekanan darah adalah tekanan dari aliran di dalam pembuluh nadi (arteri). ketika jantung kita berdetak, umumnya 60-70 kali dalam satu menit pada kondisi istirahat (saat duduk atau berbaring), darah dipompa menuju dan melalui pembuluh nadi. pada pemeriksaan tekanan darah akan diperoleh dua angka, yaitu sistolik dan diastolik. sistolik untuk mengukur tekanan darah sebagai hasil kontraksi jantung untuk memompa darah keluar dari jantung. biasanya angka yang dihasilkan lebih besar sementara itu tekanan diastolik untuk mengukur tekanan darah ketika jantung berelaksasi dan membiarkan darah mengalir ke dalam jantung. biasanya angka yang dihasilkan lebih kecil. nilai tekanan darah biasanya dituliskan sebagai tekanan sistolik pertekanan diastolik. contohnya 120/80 mmhg (handoko, 2010). menurut who, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmhg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmhg dinyatakan sebagai hipertensi; dan diantara nilai tersebut disebut sebagai normal-tinggi (batasan tersebut diperuntukan bagi individu dewasa diatas 18 tahun). batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmhg.buah pisang ambon memiliki banyak kelebihan yang menguntungkan bagi manusia. buah yang paling populer diseluruh dunia setelah apel dan jeruk dan banyak ditemukan di kawasan asia, termasuk indonesia (yuliarti, 2011). pisang ambon yang memiliki kandungan gizi yang baik, menyediakan energi yang cukup tinggi dari pada buah-buahan lainnya. buah pisang ambon juga dapat membantu menurunkan tekanan darah tinggi dan stroke. hal ini tidak lain karena kandungan kalium yang terdapat didalamnya cukup tinggi. sebuah pisang ambon mengandung sekitar 487mg kalium atau menyediakan 14% kebutuhan sehari. kalium adalah senyawa kimia yang berperan dalam memelihara fungsi normal otot, jantung, dan sistem saraf, kalium merupakan regulator utama tekanan darah.terlalu banyak natrium dalam tubuh merupakan sinyal bagi ginjal untuk meningkatkan tekanan darah.terlalu sedikit kalium memberikan efek serupa. ini merupakan keseimbangan yin dan yang dalam tubuh (kowalski, 2010). volume dan tekanan osmosis darah dan cairan sangat berkaitan dengan konsentrasi ion natrium dan kalium, yang sangat dikendalikan oleh mekanisme pengaturan tubuh yang mengatur jumlah dikeluarkan melalui urin dan keringat, khususnya oleh hormon aldosterone. mekanisme bagaimana kalium dapat menurunkan tekanan darah adalah sebagai berikut. kalium dapat mengatur saraf perifer dan sentral yang memengaruhi tekanan darah. berbeda dengan natrium, kalium merupakan ion utama di dalam cairan intraseluler. konsumsi banyak kalium akan meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler sehingga cenderung menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah (hardinsyah, 2017). penurunan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi setelah diberikan pisang ambon dikarenakan kandungan kalium yang terdapat pada pisang ambon yang fungsinya menarik cairan dari bagian ektraseluler sehingga dapat menurunkan tekanan darah yang dapat meringankan kerja jantung dalam memompa darah. selain itu penurunan tekanan darah disebabkan kepatuhan responden saat meng76 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 1, april 2019, hlm. 070–076 konsumsi pisang ambon yang disarankan peneliti dan mengurangi pola hidup yang tidak sehat seperti sering mengkonsumsi garam, merokok serta stres. kesimpulan dan saran kesimpulan pada penelitian ini didapatkan terdapat pengaruh yang signifikan pada pemberian pisang ambon terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di dusun mojogeneng desa mojokarang kecamatan dlanggu kabupaten mojokerto. saran penelitian ini dapat digunakan sebagai refernsi dan tambahan wawasan tentang metode alternatif untuk menurunkan tekanan darah pada lansia dan peneliti selanjutnya hendaknya meneliti berapa lama keefektifan pisang ambon mulai terdeteksi untuk menur unka n teka na n da r a h pa da pender ita hipertensi. daftar pustaka dewi, sofia (2014) buku ajar keperawatan gerontik. yogyakarta: deepublish. dini, tryastuti (2012) pengaruh konsumsi pisang ambon terhadap tekanan darah lansia penderita hipertensi sedang. fakultas keperawatan unand. handoko, haryo (2011) makanan awet muda & panjang umur. jakarta: gramedia. hardinsyah, et al (2017) ilmu gizi teori & aplikasi. jakarta: egc. kowalski, robert (2010) terapi hipertensi program 8 minggu menurunkan tekanan darah tinggi dan mngurangi risiko serangan jantung dan stroke secara alami. bandung: qanita. smart, aqila (2015) sehat & awet muda dengan metode tradisional. yogyakarta : kata hati. triyanto, endang .(2014). pelayanan keperawatan bagi penderita hipertensi secara terpadu. yogyakarta: graha ilmu.dewi, sofia r. 2014. buku ajar keperawatan gerontik. yogyakarta: deepublish. utaminingsih, wahyu. (2015) mengenal & mencegah penyakit diabetes, hipertensi, jantung dan stroke untuk hidup lebih berkualitas. yogyakarta: media ilmu. yuliarti, nurheti. (2011). 1001 khasiat buah-buahan. yogyakarta: andi. 211sunarianto, wulandari, darmawan, faktor yang berhubungan... 211 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok anggota club motor psfrb (putra sogok family racing blitar) achmad gatot sunarianto1, ning arti wulandari2, andri darmawan3 1,2,3prodi keperawatan, stikes patria husada blitar, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 23/07/2019 disetujui, 02/08/2019 dipublikasi, 15/08/2019 kata kunci: merokok, remaja, usia, pendidikan abstrak perilaku merokok mempunyai dampak yang negatif bagi diri sendiri dan lingkungan, jenis kelamin, usia, pengalaman, pengetahuan dan sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku merokok remaja. berdasarkan survey pendahuluan pada komunitas klub motor psfrb (putra sogok family racing blitar) didapatkan data 80% mempunyai perilaku merokok. tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok anggota club motor psfrb (putra sogok family racing blitar). desain penelitian yang digunakan adalah cross secctional. jumlah sampel dalam penelitian sebanyak 16 yang diambil secara accidental sampling dari 25 anggota club motor psfrb. penelitian dilaksanakan pada tanggal 23 april 2017 dibengkel putra sogok blitar. pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. analisis data menggunakan uji spearman rho dan kruskal wallis. hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara usia dengan perilaku merokok berdasarkan uji korelasi spearman rho (p=0,004), tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir dengan perilaku merokok berdasarkan uji korelasi spearman rho (p=0,506) dan dari uji korelasi kruscall wallis menunjukan tidak ada hubungan antara riwayat mendapatkan informasi dengan perilaku merokok (p=0,197). dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada petugas kesehatan setempat dan perguruan tinggi dalam melakukan pengabdian masyarakat berupa pendidikan kesehatan tentang bahaya merokok pada anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes patria husada blitarjawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: achmadgatotsunarianto12@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i2.art.p211–217 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 212 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 211–217 abstract smoking behavior has a negative impact on oneself and the environment, gender, age, experience, knowledge and attitude have a significant relationship with teenage smoking behavior. based on preliminary surveys on the psfrb motorcycle club community (putra sogok family racing blitar), it was found that 80% had smoking behavior. the purpose of this study was to determine factors related to smoking behavior of psfrb motorcycle club members (putra sogok family racing blitar). the research design used is cross-sectional. the number of samples in the study were 16 taken by accidental sampling from 25 members of the psfrb motorcycle club. the study was conducted on april 23, 2017 at the putra sogok blitar workshop. data collection using a questionnaire. data analysis using the spearman rho test and kruskal wallis. the results showed there was a relationship between age and smoking behavior based on the spearman rho correlation test (p = 0.004), there was no relationship between recent education and smoking behavior based on the spearman rho correlation test (p = 0.506) and from the kruscall wallis correlation test showed there was no relationship between history of getting information with smoking behavior (p = 0.197). the results of this study are expected to provide input to local health officials and universities in conducting community service in the form of health education about the dangers of smoking to psrfb members (putra sogok rancing family blitar). factors related to smoking behavior of psfrb (putra sogok family racing blitar) motor club members article information history article: received, 23/07/2019 accepted, 02/08/2019 published, 10/08/2019 keywords: smoking, adolescents, age, education 213sunarianto, wulandari, darmawan, faktor yang berhubungan... pendahuluan merokok merupakan kegiatan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. who (world health organization) menguraikan bahwa dalam rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dimana 200 elemen di dalamnya berbahaya bagi kesehatan tubuh. merokok menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran nafas serta jaringan paru. kandungan nikotin dari rokok dapat menyebabkan denyut jantung tidak teratur, serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian. perilaku merokok adalah perilaku yang di nilai sangat merugikan dilihat dari berbagai sudut pandang baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya (abadi, 2005, dalam kumboyono, 2010). kategori perokok di bedakan menjadi perokok aktif dan perokok pasif. perokok aktif adalah orang yang mengkonsumsi rokok secara rutin dengan sekecil apapun walaupun itu cuma satu batang dalam sehari, dan perokok pasif adalah orang yang bukan perokok tetapi menghirup asap rokok orang lain atau orang yang berada dalam suatu ruangan tertutup dengan orang yang merokok (proverawati, dan rahmawati, 2012). indonesia memiliki jumlah perokok yang cukup besar yaitu 1,634 triliun batang banyaknya konsumsi rokok di indonesia berdampak pada prosentase perokok. prevelensi perokok di jawa timur saat ini, adalah 30,6 persen dimana 23,9 persen berusia  10 tahun, dengan jumlah rata-rata rokok yang di hisap 8,9 batang per hari (depkes ri, 2013). namun pada dasarnya perokok berasal dari berbagai kelompok usia, salah satunya adalah kelompok usia remaja. remaja merupakan masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. dalam masa ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun psikisnya (arwani, 2012). perkembangan aspek psikis remaja di tunjukkan dengan cenderung untuk mencari identitas diri. berbagai kegiatan di gunakan oleh remaja untuk mencari identitas diri yang salah satunya masuk dalam club motor. komunitas motor atau club motor merupakan wadah untuk berkumpul dan berinteraksi bagi seseorang yang memiliki ketertarikan hobi dalam bidang otomotif. orang-orang yang tergabung atau menjadi anggota dalam suatu komunitas motor sering disebut dengan bikers. saat ini stigma masyarakat tentang bikers adalah perilaku negative semisal ugal-ugalan, kebut-kebutan dijalan, minuman keras, narkoba, dan merokok (purnomo, 2007). berdasarkan survey pendahuluan pada komunitas klub motor psfrb (putra sogok family racing blitar) didapatkan data 80% mempunyai perilaku merokok. teori lawrence green dalam notoadmodjo (2012) mengatakan bahwa perilaku di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; (1) faktor predisposisi yang meliputi pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan dalam masyarakat tertentu, (2) faktor pemungkin antara lain sarana dan prasarana dan (3) faktor penguat yang meliputi tokoh agama, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan. pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku, sedangkan pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pendidikan, pengalaman dan sosial budaya (notoadmojo, 2010). namun hasil penelitian wijayanti., dkk (2017) menunjukan bahwa analisa bivariat dari jenis kelamin, usia, pengalaman, pengetahuan dan sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku merokok remaja. berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk menganalisa faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok yang di lakukan oleh anggota di psfrb (putra sogok family racing blitar). bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. penelitian ini mengidentifikasi faktorfaktor yang berhubungan dengan perilaku merokok. adapun faktor yang di maksud dalam penelitian ini antara lain usia, pendidikan terakir dan berdasarkan informasi tentang bahaya merokok yang pernah di terima. sedangkan perilaku merokok dalam penelitian ini adalah rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap setiap harinya selama 1 minggu terakhir. penelitian ini dilakukan pada populasi sebanyak 25 yang merupakan anggota dari psrfb (putra sogok rancing family blitar), kemudian 16 orang diambil sebagai sampel secara acidental sampling dengan kriteria inklusi anggota club psrfb (putra sogok rancing family blitar) yang hadir pada saat penelitian berlangsung. penelitian ini di laksanakan pada tanggal 23 april 2017 di bengkel putra sogok blitar. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. selanjutnya data yang didapat dari penelitian ini akan diolah dan dianalisis menggunakan sperman’s rho dan kruskal’s wallis. 214 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 211–217 hasil penelitian karakteristik anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) karakteristik responden f % usia 12-16 tahun 3 18 17-25 tahun 13 82 pendidikan sd 7 44 smp 7 44 sma 2 12 riwayat mendapatkan informasi tentang bahaya merokok pernah 14 88 tidak pernah 2 12 tabel 1 karakteristik anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) rata-rata jumlah rokok yang dihisap per hari f % 6-14 batang/hari 9 56  15 batang/hari 7 44 tabel 2 distribusi perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) tabel 2 di atas menunjukkan bahwa 56% dari 16 responden mempunyai rata-rata merokok 614 batang/hari selama satu minggu terakhir. tabel 1 di atas menunjukkan bahwa 82% dari 16 responden berusia antara 17-25 tahun yang merupakan usia remaja akhir 44% responden memiliki pendidikan terakhir sd dan 88% pernah mendapatkan informasi tentang bahaya merokok dari berbagai media masa, media sosial seperti facebook dan dari bungkus rokok yang dihisapnya. perilaku merokok usia total 12-16 th 17-25 th f % f % f % 6-14 batang/hari 2 13 7 43 9 56  15 batang/hari 1 6 6 38 7 44 total 3 19 13 81 16 100 uji spearman rho: p-value= 0,004 tabel 3 hubungan faktor usia dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) tabel di atas menunjukkan bahwa hasil uji korelasi dengan spearman rho diperoleh nilai pvalue = 0,004 yang berarti bahwa ada hubungan antara usia dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar). tabel 4 hubungan faktor pendidikan terakhir dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) perilaku merokok pendidikan terakhir total sd smp smk f % % f % f % 6-14 batang/hari 3 19 5 31 1 6 9 56  15 batang/hari 4 25 2 13 1 6 7 34 total 7 44 7 44 2 12 16 100 uji spearman rho: p-value= 0,506 215sunarianto, wulandari, darmawan, faktor yang berhubungan... tabel 5 di atas menunjukkan bahwa hasil uji korelasi dengan kruskal wallis diperoleh nilai pvalue = 0,197 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara riwayat memdapatkan informasi tentang bahaya merokok dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar). pembahasan hubungan faktor usia dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa hasil uji korelasi kruskall wallis p-value=0,004 yang dapat dimaknai bahwa ada hubungan antara usia dengan perilaku merokok pada anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar). seluruh responden dalam penelitian ini berusia remaja. putro zarkasih.k (2017) dalam hasil penelitiannya mengatakan bahwa remaja memiliki tubuh yang tampak seperti dewasa, namun apabila diperlakukan seperti orang dewasa remaja gagal menunjukan kedewasaannya. semua responden dalam penelitian ini berada pada usia remaja, dimana pada masa ini seseorang berupaya untuk menemukan jatidiri dengan beraktualisasi di depan orang lain, terutama teman sebayanya. dalam proses tersebut tidak semua berjalan sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya. seperti perilaku merokok, yang merupakan perilaku dari hasil belajar dari lingkungan disekitarnya. jika teman sebayanya merokok maka remaja juga akan terdorong melakukan perilaku merokok, walaupun mereka tahu bahwa rokok berbahaya bagi kesehatannya. mereka tidak dapat berfikir dewasa, karena ingin mendapatkan pengakuan dari teman sebaya atau kelompoknya. dari 13 responden (82%) berusia 17-25 tahun. menurut depkes ri da lam guna rsa y.d dan gunarsa y.s (2001) usia 17-25 tahun merupakan usia remaja akhir, pada usia tersebut mempunyai aspek psikis dan fisik yang mulai stabil, dapat berfikir realistis dan cara pandangnya baik sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan baik. perilaku merokok pada usia remaja akhir ini merupakan perilaku yang kemungkinan sudah terbentuk disaat mereka masih berusia remaja awal dimana perkembangan psikologisnya h labil, setelah masuk usia remaja akhir dapat berfikir realistis, mereka masih terus merokok dengan jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap harinya tergolong banyak dari 13 responden 6 orang berperilaku merokok  10 batang/hari dalam satu minggu terakhir, sehingga dapat disimpulkan perilaku merokok yang dilakukan oleh responden adalah perilaku yang menetap. berdasarkan tabel 1, 3 responden (18%) berusia 12-16 tahun. dari 3 responden tersebut 2 orang merokok 5-9 batang/hari dalam satu minggu terakhir. menurut depkes ri da lam guna rsa y.d dan gunarsa y.s (2001) usia 12-26 tahun merupakan usia remaja awal, pada usia tersebut mempunyai aspek psikis yang masih labil. pada usia tersebut remaja masih cenderung mudah dipengaruhi oleh lingkungan. perilaku merokok pada 2 orang responden ini dipengaruhi oleh lingkungan, karena dalam komunitas psrfb (putra sogok rancing family blitar) sebagian besar anggotanya berusia remaja akhir dan memiliki perilaku merokok. tabel 4 di atas menunjukkan bahwa hasil uji korelasi dengan spearman rho diperoleh nilai pvalue = 0,506 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar). perilaku merokok mendapatkan informasi total pernah tidak f % f % f % 6-14 batang/hari 7 43 2 13 9 56  15 batang/hari 7 43 0 0 7 43 total 14 87 2 13 16 100 uji kruskal wallis: p-value= 0,197 tabel 5 hubungan faktor riwayat pernah mendapatkan informasi tentang bahaya merokok dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) 216 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 211–217 hubungan faktor pendidikan terakhir dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) tabel 4 menunjukkan hasil uji korelasi spearman rho p-value=0,506 yang dapat dimaknai bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar). hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian hijriyah a (2016) yang menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan perilaku merokok mahasiswa fakultas kedokteran universitas unisyah. beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan dan orang penting sebagai referensi. beberapa hal yang mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan, pekerjaan, pengalaman, keyakinan dan sosial budaya (notoatmodjo, 2012). semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk menerima informasi. tetapi dalam penelitian ini menunjukan bahwa pendidikan terakhir tidak mempengaruhi perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar), kemungkinan perilaku merokok mereka dipengaruhi oleh orang penting sebagai referensi. orang penting tersebut adalah anggota lain yang berusia lebih tua. menurut bandura dalam priyoto (2014) belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibandingkan belajar melalui pengalaman langsung. melalui observasi orang dapat mendapatkan respon yang tidak terhingga banyaknya, dan mungkin saja dikuti dengan hubungan dan penguatan. setiap malam minggu anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) berkumpul di bengkel putra sogok yang berada di daerah bakung kabupaten blitar, anggotanya memiliki banyak variasi usia, mulai usia 12 tahun sampai dengan 25 tahun, dalam kondisi tersebut tidak menutup kemungkinan yang usia nya lebih muda menirukan perilaku yang lebih tua usianya, karena yang usia muda mengganggap mereka yang lebih tua memiliki banyak pengalaman dalam hidupnya dan dapat dijadikan role model. temasuk model dalam berperilaku merokok. dari 7 responden yang berpendidikan terakhir sd, 3 responden merokok 6-15 batang/har i sedangkan 4 responden  15 batang/hari. sedangkan 7 responden yang berpendidikan terakhir smp 5 responden merokok 6-14 batang/hari, dan 2 responden  15 batang/hari. menurut nasution (2007) ada tiga tipe perokok sesuai dengan banyaknya batang yang dirokok antara lain: perokok berat menghisap  15 batang/hari, perokok sedang 6-14 batang/hari dan perokok ringan 5 batang/hari. pada anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) yang mempunyai pendidikan terakhir sd mempunyai perilaku merokok berat, sedangkan yang berpendidikan terakhir smp, 5 orang sebagai pelaku merokok sedang. dalam teori trh (theory of reasoned actionngan ) yang mengatakan bahwa dengan adanya keyakinan maka akan mempengaruhi sikap dan dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku (priyoto,2014). hal ini juga dapat disebabkan terbentuknya keyakinan yang kuat bahwa merokok merupakan perilaku yang tidak akan membahayakan kesehatan. persepsi tersebut dapat terbentuk dari lingkungan, banyak orang yang ditemui responden mempunyai perilaku merokok sejak usia remaja namun tidak jatuh sakit. hubungan riwayat mendapat informasi tentang bahaya merokok dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) pada tabel 5 menunjukkan bahwa hasil uji korelasi dengan kruskal wallis diperoleh nilai pvalue = 0,197 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara riwayat mendapatkan informasi tentang bahaya merokok dengan perilaku merokok anggota putra sogok rancing family blitar. beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku dalam pendapat antara lain; menggunakan kekuatan atau kekuasaan dan dorongan, pemberian informasi dan diskusi partisipasi. pemberian informasi tentang cara hidup sehat, cara memelihara kesehatan dan cara menghindari penyakit akan meningkatkan pengetahuan seseorang tentang informasi yang diberikan. pengetahuan akan mempengaruhi keyakinan seseorang dan akan membentuk sikap. sikap seseorang tentang suatu hal akan mendorong orang tersebut dalam berperilaku notoatmodjo (2012). penerimaan seseorang terhadap sebuah informasi dipengaruhi oleh banyak faktor, yang salah satunya adalah sumber informasi. dalam penelitian ini menunjukan 86% responden pernah mendapatkan informasi dari berbagai sumber baik media sosial maupun media massa dan bahkan bungkus rokok merk tertentu mencantumkan bahaya merokok. tetapi sebagian responden yang pernah mendapatkan informasi tentang bahaya merokok berperilaku merokok berat (menghabiskan  15 batang/hari), sehingga dapat disimpulkan 217sunarianto, wulandari, darmawan, faktor yang berhubungan... bahwah sumber informasi di media massa, media sosial atau bungkus rokok tidak efektif dalam memberikan informasi tentang bahaya merokok. pemberian informasi dapat dilakukan dengan tehnik yang sesuai dengan anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar), misalkan penyuluhan dengan metode yang menyenangkan. ada faktor lain yang mempengaruhi perilaku seseorang selain pemberian informasi yaitu diskusi partisipasi, yang merupakan cara untuk meningkatkan pemberian informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. artinya masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisifasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang diterimanya notoatmodjo (2012). setiap malam minggu anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) berkumpul dan melakukan diskusi tentang banyak hal, selain tentang otomotif juga tentang kesenangan lain salah satunya merokok, kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi dan melakukan diskusi tentang bahaya merokok kesimpulan ada hubungan antara usia dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) tidak ada hubungan antara riwayat mendapatkan informasi tentang bahaya merokok dengan perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) saran hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan setempat tentang perilaku merokok anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) sehingga dapat menentukan tindakan selanjutnya untuk mengurangi dan mencegah perilaku merokok pada remaja khususnya anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan kepada perguruan tinggi untuk melakukan pengabdian masyarakat dengan melakukan penyuluhan bahaya merokok kepada anggota psrfb (putra sogok rancing family blitar) hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam melakukan penelitian berikutnya daftar pustaka arwani, p. (2012). pengaruh pendidikan kesehatan bahaya merokok terhadap perilaku mengurangi konsumsi rokok pada remaja. jurnal semarang : stikes telogorejo semarang.http://ejournal. st i ke st e l ogor ej o. a c. i d/ e jou r n a l / i n dex . ph p/ ilmukeperawatan/article/viewfile/121/146 depkes ri.(2013). riskesdas. http://www.depkes.go.id/ resources/download /general/hasil%20riskesdas %202013 gunarsa,s.d dan gunarsa y.s. (2001). psikologi praktis:anak, remaja dan keluarga.jakarta: bpk gunung mulia hijriyah a. (2016). hubungan tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap terhadap perilaku merokok mahasiswa fakultas kedokteran universitas unsiyah setelah diberlakukan daerah bebas rokok. electronic theses and dissertations (etd): http://etd.unsyiah. ac.id/index.php?p= show_detail&id=27522 kumboyono. (2010). hubungan perilaku merokok dengan motivasi belajar anak usia remaja. jurnal komunitas.http://www.jurnalkomunitas.com. nasution, k. i. (2007). perilaku merokok pada remaja. universitas sumatra utara medan. http://library.usu. ac.id notoatmodjo, s. (2012). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta : rineka cipta purnomo, t.j. (2007). intervensi komunitas untuk menghentikan perilaku merokok remaja. jurnal komunitas. http://www.jurnal komunitas.com. priyoto.(2014). teori sikap dan perilaku dalam kesehatan. jogjakarta: nuha medika proverawati, atika, & eni r. (2012). perilaku hidup bersih dan sehat (phbs). yogyakarta: nuha medika wijayanti,citra, rifqatussa’adah. .(2017). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok pada remaja kampung bojong rawalele jati makmur bekasi. global medical health communication. volume 5 nomor 3: http//:ejournal.unisba.ac.id/ index.phpo/gmhe zarkasih.k .(2017). memahami ciri dan tugas perkembangan masa remaja. jurnal aplikasi ilmu-ilmu agama volume 17. nomor ejournal.uin-suka.ac.id/ pusat/aplikasi. jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 24/10/2018 disetujui, 28/12/2018 di publikasi, 28/12/2018 kata kunci: pengetahuan, perilaku, luka diabetik, kekambuhan luka diabetik bila tidak tertangani dapat membusuk dan mengakibatkan kematian. penanganan luka pasca operasi dan pengetahuan tentang pencegahan terjadinya luka menjadi hal penting untuk mempercepat proses penyembuhan dan mencegah kekambuhan ulang. tanpa pengetahuan yang baik tentang perawatan, luka diabetik akan muncul berulang dan mengakibatkan kematian jaringan. tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan tingkat penge-tahuan dengan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik.desain yang digunakan adalah korelasional. populasinya pasien diabet di ruang penyakit dalam rsud gambiran. sampel diambil dengan teknik consecutive samping sejumlah 29 responden.variabel independent nya adalah tingkat pengetahuan pasien tentang pencegahan luka diabetik dan variabel dependent nya adalah perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik. data diambil menggunakan questioner dengan skala ordinal dan dianalisis dengan uji spearman rank. hasil penelitian menunjukkan pengetahuan pasien tentang pencegahan luka diabetik baik sebanyak 24 responden (82,75%). perilaku pencegahan luka diabetik sebagian besar cukup 15 orang (51,73%). hasil uji spearman rank menunjukkan ada hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pence-gahan luka diabetik (dengan p = 0,003 < 0,05, coefficient correlation = 0,404), semakin baik tingkat pengetahuan maka perilaku pencegahan luka diabetik juga semakin baik. sebagai tindak lanjut dalam meningkatkan perilaku pence-gahan kekambuhan luka dibetik pada pasien yang pernah menderita luka maupun yang belum pernah, perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang cara perawatan pasien diabet terutama dalam menjaga kestabilan gula darah dalam batas normal, melalui pola diet dan cara pemeliharaan inte-gritas kulit agar tidak terjadi luka dibetik.  correspondence address: doi:10.26699/jnk.v5i3.art.p233–240 233 stikes ganesha husada kediri east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: laserdut98@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) titik juwariah , agus priyanto fakultas keperawatan, stikes ganesha husada kediri laserdut98@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/343 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ it typewritten text 1 it typewritten text 2 it typewritten text 1,2 234 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 233–240 abstract improper treatment of diabetic wound will result in bad smell and will caused died. treatmentof postoperative wounds and knowledge of prevention of injury are important to prevent recurrence. without good knowledge about the treatment, diabetic wounds will be recurred and cause loss of body parts due to the necrotic tissue. the purpose of this study was to analyze the correlation of knowledge level and preventing behavior of diabetic wound. the design used correlational. the population was internist patients of gambiran hospital. 29 respondents were taken by consecutive techniques. the independent variable was the level of patient knowledge about the prevention of diabetic wounds and the dependent variable was the behavior of diabetic wound in recurrence prevention. the ordinal data was taken with a questionnaire and analyzed by the spearman rank test. the results showed that 24 respondents (82.75%) were in the good category of the knowledge of the prevention of diabetic wounds. preventive behavior of diabetic wounds was mostly 15 people (51.72%). the spearman rank test showed that there was a correlation of level of knowledge and the preventive behavior of diabetic wounds in the internist room of gambiran hospital (spearman rank with p = 0.003 <0.05, coefficient correlation = 0.40). patients who hadbetter knowledge level will have better preventive behavior of diabetic wounds. as a follow-up in improving the prevention behavior of randomized wound recurrence in patients who have suffered from diabetic wounds or who have never before, it is necessary to increase the knowledge of patients and family members on how to treat diabetic patients, especially in maintaining blood sugar stability within normal limits, through diet and methods, maintenance of the integrity of the skin so that no wounds occur. © 2018 journal of ners and midwifery article information history article: received, 24/10/2018 accepted, 28/12/2018 published, 28/12/2018 keywords: knowledge, behavior, diabetic wounds, recurrence the correlation of knowledge level and the preventive behavior of diabetic wound 235priyanto, hubungan tingkat pengetahuan denan perilaku... pendahuluan kesehatan merupakan salah satu indikator dari tercapainya masyarakat indonesia yang sejahtera, yaitu tercapainya hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat melalui sistem kesehatan yang dapat menjamin terlindunginya masyarakat dari berbagai risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan merata. yang ditandai dengan masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, baik jasmani, rohani sosial, dan memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, denan derajat kesehatan yang optimal (depkes ri, 2009). seiring dengan bertambahnya usia maka muncul berbagai macam penyakit degeneratif, penyakit degeneratif merupakan penyakit kronik menahun yang dapat menurunkan produktifitas dan kualitas hidup masyarakat, diantaranya adalah diabet, hipertensi dan kanker (brunner & suddarth, 2012). diabetes mellitus (dm) adalah sindroma gangguan metabolisme dan ditandai dengan hiperglikemia yang disebabkan oleh defisiensi absolut atau relatif dari sekresi insulin dan atau gangguan kerja insulin. diabetes mellitus merupakan penyakit seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan, tetapi dengan perilaku yang sehat, kadar glukosa darah dapat dikendalikan sehingga selalu sama dengan kadar glukosa orang normal atau dalam batas normal. kadar glukosa yang tidak terkendali pada penderita dm mengakibatkan berbagai komplikasi. komplikasi diabetes mellitus dapat muncul secara akut atau timbul secara mendadak seperti reaksi hipoglikemia dan koma diabetik. komplikasi yang lain muncul secara kronik atau secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi akhirnya berangsur menjadi makin berat dan membahayakan. komplikasi ini meliputi komplikasi makrovaskular dan komplikasi mikrovaskular. komplikasi makrovaskuler meliputi penyakit jantung koroner, kaki diabetes (gangren). komplikasi mikrovaskuler meliputi penyakit ginjal, penyakit mata, dan neuropati (brunner dan suddart 2012). thoha (2009) mengatakan bahwa salah satu komplikasi yang ditakuti tapi dapat dihindari adalah luka diabetik atau gangren. prabowo (2010) menyebutkan bahwa dasar terjadinya gangren adalah adanya suatu kelainan pada saraf, kelainan pada pembuluh darah dan kemudian ada infeksi. dalam hal ini yang paling menentukan adalah kelainan saraf, dan apabila mengenai saraf sensorik mengakibatkan hilang rasa, sehingga kehilangan kewaspadaan proteksi kaki terhadap rangsangan dari luar. keadaan gangren lanjut yang tidak ditangani dengan perawatan luka biasa, berakhir dengan tindakan amputasi di meja operasi, jika tindakan terakhir ini tidak dilakukan luka akan tidak terkendali dan berakibat fatal sampai pada kematian. pengetahuan adalah proses belajar dengan pancaindra yang dilakukan untuk dapat menghasilkan pemahaman dan keterampilan (hidayat, 2010). pengetahuan memegang peranan penting dalam penentuan perilaku yang utuh karena pengetahuan akan membentuk kepercayaan yang selanjutnya dalam mempersepsikan kenyataan, memberikan dasar dalam pengambilan keputusan dan menentukan perilaku terhadap suatu objek (notoatmodjo, 2013). berdasarkan survey idf (international diabetes federation), tahun 2010 data angka kasus diabetes di indonesia menempati urutan ke empat tertinggi di dunia setelah cina, india dan amerika, yaitu 8,4 juta jiwa dan diperkirakan jumlahnya melebihi 21 juta jiwa pada tahun 2025 mendatang. dalam profil kesehatan indonesia tahun 2010, diabetes mellitus berada pada urutan keenam dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di rumah sakit di indonesia. peneliti telah melaksanakan survei awal di poli penyakit dalam rsud gambiran september–november 2016 jumlah pasien diabetes mellitus a sebanyak 111 orang, dan yang pernah mengalami luka diabetik sejumlah 39 orang dari 30 pasien yang mengalami luka tersebut 14 orang mengalami luka berulang artinya pasien mengalami luka tidak hanya sekali, setelah luka pertama sembuh pasien mengalami luka lagi. berdasarkan penjelasan di atas peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik di ruang penyakit dalam rsud gambiran kediri. mukhopadhyay (2012) dalam penelitiannya mengenai persepsi dan praktek pasien dm tipe ii dalam mengendalikan diabetes mellitus, berkesimpulan bahwa penderita diabetes sebagian besar mengendalikan penyakitnyadengan obat dan diet, dan tidak menyebutkan tentang modifikasi gaya hidup lainnya. gaya hidup penting bagi penderita dm karena gaya hidup merupakan salah satau bentuk aplikasi dari pemahaman tentang penyakit dan cara mengendalikan penyakitnya untuk mencagah komplikasi dan mencegah kekambuhan luka berulang bagi penderita yang pernah mengalami luka gangren. pengetahuan dapat diartikan sebagai hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu (notoadmojo, 236 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 233–240 2013). pengetahuan pasien diabetes mellitus dapat diartikan sebagai hasil tahu dari pasien mengenai penyakitnya, memahami penyakitnya, cara pencegahan, pengobatan dan komplikasinya. pengetahuan memegang peranan penting dalam penentuan perilaku yang utuh karena pengetahuan akan membentuk kepercayaan yang selanjutnya dalam mempersepsikan kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan perilaku terhadap objek tertentu (notoatmodjo, 2013) sehingga akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. terbentuk suatu perilaku baru terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif dalam arti subyek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek di luarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru dan akan terbentuk dalam sikap maupun tindakan. pengetahuan penderita tentang pencegahan luka gangren memegang peranan penting dalam mengantisipasi kejadian berulang. penderita harus mengenal, mempelajari dan memahami segala aspek dari penyakit diabetes mellitus termasuk tanda dan gejala, penyebab, pencetus dan penatalaksanaannya. abdelhafiz. (2014). pengetahuan kondisi tubuh secara menyeluruh dapat membantu untuk mengambil keputusan yang tepat dalam memilih pengobatan yang diperlukan dan langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya gangren (sibroto, 2010). pengetahuan memiliki kaitann yang erat dengan keputusan yang akan diambilnya, karena dengan pengetahuan seseorang memiliki landasan untuk menentukan pilihan (notoadmojo, 2010). berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan luka diabetik di ruang penyakit dalam rsud gambiran. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan luka diabetik pada pasien diabetes mellitus ruang penyakit dalam bahan dan metode desain penelitian ini adalah correlational dengan pendekatan cross sectional.penelitian dilaksanakan pada bulan oktober s.d desember tahun 2016 di rsud gambiran kota kediri. sampelnya adalah pasien dengan diagnosa diabetes mellitus yang menjalani rawat inap di ruang penyakit dalam dan pernah mengalami atau sedang mengakarakteristik responden berdasarkan jenis kelamin berdasarkan tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pasien diabetes di ruang penyakit dalam rsud gambiran berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 16 orang (55,17 %). lami luka diabetik sejumlah 29 responden. sampel diambil dengan teknik consecutive sampling selama 20 hari . dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah tingkat pengetahuan pasien diabetes mellitus, dan variabel dependenya adalah perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetikum. data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen berupa questioner pertanyaan tertutup dengan skala guttman. data yang terkumpul kemudian di sajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya dilakukan analisis dengan spss uji spearman rank dengan tingkat signifikan  0,05. hasil penelitian data umum no kategori umur f % 1 25 65 tahun 14 48,27 2 65 75 tahun 12 41,37 3 76 80 tahun 2 6,89 4 > 80 tahun 1 3,44 jumlah 29 100 tabel 1 distribusi karakteristik responden berdasarkan usia karakteristik responden berdasarkan usia berdasarkan tabel 1 di atas menunjukkan bahwa hampir setengah pasien diabetes di ruang penyakit dalam rsud gambiran berusia 25–65 tahun (48,27 %) yaitu 14 dari 29 responden. no kategori jenis kelamin f % 1 laki-laki 13 44,82 2 perempuan 16 55,17 jumlah 29 100 tabel 2 di str i busi k ar ak te ri stik responde n berdasarkan jenis kelamin 237priyanto, hubungan tingkat pengetahuan denan perilaku... berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pasien diabetes di ruang penyakit dalam rsud gambiran mempunyai perilaku cukup daam pencegahan luka diabetes mellitus sebanyak 15 orang (51,726) karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir no pendidikan f % 1 tidak sekolah 1 3,44 2 sd 8 27,58 3 smp 9 33,33 4 sma 4 13,79 5 perguruan tinggi 7 24,13 jumlah 29 100 tabel 3 distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir berdasarkan tabel 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besarpasien diabetes di ruang penyakit dalam rsud gambiran berpendidikan smp yaitu 9 orang (33,33 %) karakteristik responden berdasarkan pekerjaan no kategori f % 1 wiraswasta 8 27,58 2 swasta 1 3,44 3 irt 13 44,82 4 pensiunan 7 25 jumlah 29 100 tabel 4 distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan berdasarkan tabel 4 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pasien diabetes di ruang penyakit dalam rsud gambiranadalah ibu rumah tangga sebanyak 13 orang (44,82%), tabel 5 distribusi karakteristik responden berdasarkan tingkat pengetahuan no tingkat pengetahuan f % 1 baik 24 82,75 2 cukup 5 17,24 jumlah 29 100 berdasarkan tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pengetahuan pasien diabetes mellitus kategori baik sebanyak 2 4orang (82,75 %) karakteristik responden berdasarkan perilaku pencegahan gangren no perilaku pencegahan luka diabetik f % 1 baik 9 31,03 2 cukup 15 51,72 3 kurang 5 17,24 jumlah 29 100 tabel 6 distribusi karakteristik responden berdasarkan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik data khusus karakteristik responden berdasarkan tingkat pengetahuan tabulasi silang hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan luka diabetik  %  %  %  % baik 9 100 0 0 0 0 9 100 cukup 12 80 3 20 0 0 15 100 kurang 3 60 2 40 0 0 5 100 total 24 82,75 5 17,24 0 0 29 100 tabel 7 hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan luka diabetik perilaku pencegahan luka diabetik tingkat pengetahuan total baik cukup kurang 238 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 233–240 hasil analisa korelasi spearman rank.nilai korelasi (r), nilai p, dan jumlah subjek piranti yang digunakan untuk menganalisa uji hipotesa dan untuk menguji validitas dan reabilitas uji spearman rank dengan tingkat signifikan  0,05 menggunakan komputer dengan program spss (statistick program social ans sain) versi 16. pada spss p = 0,033 < 0,05 (), maka ho ditolak dan h1 diterima sehingga dapat ditarik kesimpulan ada hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan luka diabetic. nilai coefisien correlasi sebesar 0,404 menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang sedang. pembahasan tingkat pengetahuan pasien tentang penyekit diabetes mellitus, perawatan dan pencegahan kekambuhan luka diabetik berdasarkan tabel 5 menunjukkan mayoritas tingkat pengetahuan pasien diabetes mellitus adalah baik yaitu sebanyak 23 orang (82,75 %) pengetahuan atau kognitif merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. pengindraan ini terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra pengelihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (notoatmodjo, 2010). menurut nursalam (2011) pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu umur, pendidikan, sumber informasi, dan pekerjaan. dari faktor yang pertama yaitu umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun. berdasarkan analisis ini ada kecenderungan hubungan antara usia responden dengan tingkat pengetahuan. jadi dapat disimpulkan semakin muda usia semakin baik pula tingkat pengetahuannya. faktor yang kedua yaitu pendidikan adalah bimbingan yang diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengatasi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. berdasarkan analisis ini semakin tinggi pendidikan terakhir belum tentu mempunyai tingkat pengetahuan baik. faktor yang ketiga yaitu sumber informasi, sumber informasi ini dapat diperoleh melalui tenaga kesehatan, pengalaman orang lain, media cetak seperti buku, majalah, koran, dan poster, sedangkan media elektronik seperti televisi, dan radio. faktor yang keempat yaitu pekerjaan adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. berdasarkan analisis ini semakin baik jenis pekerjaan belum tentu mempunyai tingkat pengetahuan baik. wati (2009). berdasarkan fakta penelitian dan teori yang mendukung dapat dijelaskan bahwa tingkat pengetahuan pasien diabetes yang baik di ruang penyakit dalam rsud gambiran kota kediri didukung informasi tentang diabetes mellitus yang diperoleh pasien dari petugas kesehatan. selain informasi diabetes didapat dari petugas kesehatan juga didapatkan dari media massa, media cetak, media elektronik dan media sosial yang sangat mudah untuk di akses. perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik pasien diabetes mellitus di ruang penyakit dalam rsud gambiran kota kediri berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas pasien diabetes mellitus di ruang penyakit dalam rsud gambiran kota kediri mempunyai perilaku cukup dalam pencegahan luka diabetiksebanyak 15 orang (51,73%) perilaku adalah respons individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak (wawan dan dewi, 2010). perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. pada tabel 7 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pasien diabetes di ruang penyakit dalam rsud gambiran mempunyai tingkat pengetahuan baik dengan perilaku pencegahan luka diabetik cukup yaitu sebanyak 12 orang (80 %). korelasi hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan luka diabetik no variabel coefficient p correlation 1. pengetahuan perilaku pencegahan luka diabetik 0,404 0,003 2. n = 29 3.  = 0,05 tabel 8 hasil uji corelasi spearman rank 239priyanto, hubungan tingkat pengetahuan denan perilaku... faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat pendidikan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. faktor eksternal, yaitu lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, sosial, budaya, ekonomi. faktor lingkungan merupakan faktor yang domain yang mempengaruhi perilaku seseorang (notoadmodjo, 2010). berdasarkan hasil penelitian pada responden, faktor pendidikan menjadi salah satu penentu tingkat perilaku cukup, dengan tingkat pendidikan yang sebagian besar adalah tingkat smp, bahkan ada yang sd ini mempengaruhi wawasan dan cara pengambilan keputusan dalam berprilaku. menurut efendy (2009), perilaku terbentuk adanya prosedur pembentukan perilaku yaitu pertama melakukan identifikasi tentang hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa kaidahkaidah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk. berikutnya melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. kemudian komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud, dengan menggunakan secara urut komponen itu sebagai tujuan-tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan (wawan dan dewi, 2010). perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi seseorang dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan kegiatan pendidikan kesehatan. pendidikan kesehatan merupakan suatu faktor penentu utama dalam upaya pencegahan kekambuhan luka diabetik. hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik di ruang penyakit dalam rsud gambiran kota kediri pada tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan baik dengan perilaku pencegahan luka diabetik cukup yaitu sebanyak 12 orang (80 %). hasil analisa hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan luka diabetik di ruang penyakit dalam rsud gaambiran kediri dengan menggunakan uji spearman rank memperoleh nilai p= 0,033<á=0,05 yang menunjukkan bahwa ho di tolak dan h1 di terima artinya ada korelasi antara tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik. dengan nilai signifikansi 0,404 menunjukkan bahwa arah korelasi positif. menurut senuk (2013) interval koefisien korelasi antara 0,40 – 0,59 menyatakan terdapat korelasi sedang. artinya ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik. menurut notoadmodjo (2010) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: awarenss (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu, interest yakni orang mulai tertarik kepada stimulus, evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi, trial orang telah mulai mencoba berperilaku baru, adaption subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus (notoatmodjo, 2010). dan selanjutnya pengetahuan tersebut bisa mempengaruhi perilaku (practice) yang dikemukakan oleh notoatmodjo (2010). pengetahuan manusia tentang apa yang dilihatnya, dipelajari dipikirkan dan dipengaruhi oleh lingkungan menjadi suatu sikap yang dilakukan seharihari sehingga terbentuklah perilaku. demikian juga dengan perilaku pencegahan gangren di kaki pada pasien diabetes mellitus jika individu mempuyai pengetahuan yang baik tentang kesehatan maka kejadian gangren bisa dicegah dari awal, mulai dari mengontrol jumlah kalori dalam makanan, jadwal makan yang teratur, serta harus memperhatikan jenis-jenis makanan yang dianjurkan untuk di konsumsi dan olah raga yang mudah seperti senam kaki. kesimpulan dan saran kesimpulan tingkat pengetahuan pasien diabetes mellitus tentang pencegahan kekambuhan luka diabetik di ruang penyakit dalam rsud gambiran mayoritas baik yaitu 24 orang (82,75 %) perilaku pasien diabetes mellitus di ruang penyakit dalam rsud gambiran kota kediri dalam 240 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 233–240 pencegahan luka diabetik mayoritas baik sebanyak 15 orang (51,73%) ada hubungan antara tingkat pengetahuan pasien diabetes mellitus tentang pencegahan kekambuhan luka diabetik dengan perilaku pencegahan kekambuhan luka diabetik. p= 0,033 < 0,05 (). dengan tingkat kemaknaan “sedang” 0,404. saran untuk meningkatkan perilaku pencegahan terjadinya kekambuhan luka diabetik perlu dioptimalkan pengetahuan tentang cara pencegahan kekambuhan luka, melalui ceramah, pengalaman merawat langsung, sharing antar pasien dan keluarga pasien serta mengoptimalkan akses media elektronik maupun media sosial. daftar pustaka abdelhafiz, a., sinclair, a. (2014). diabetes in the elderly. usa: elsevier brunner & suddarth. (2002). buku ajar keperawanan medikal bedah. ed.8. vol 2. jakarta : egc departermen kesehatan ri. (2009). rencana pembangunan jangka panjang bidang kesehatan efendi, ferry. 2009. keperawatan kesehatan komunitas, salemba medika. jakarta. hidayat. (2009). asuhan keperawatan pada pasien diabetes mellitushttp://hidayat2. wordpress.com. (diakses 29 september 2017). idf (international diabetes federation). (2008). diabetes and cardiovaskuler disease. http://www.idf.com (diakses 1 september 2017) mukhopadhyay k, chaudhary b, (2012). syzygium c umi ni (l .) ske e l s: a pot ent i al sourc e of nutraceuticals. ijpbs, 2(1): 46-53. notoatmodjo. (2010). pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, (2013). promosi kesehatan global. jakarta: rineka cipta. nursalam. (2011). manajemen keperawatan aplikasi dalam praktik keperawatan profesional (3rd ed.). jakarta: salemba medika. senuk. (2013). hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan menjalani diet dm di poliklinik rsud kota tidore kepulauan provinsi maluku utara. skripsi. sibroto, junita i.l. (2010). tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tentang komplikasi diabetes melitus di rsup haji adam malik medan. skripsi. fakultas keperawatan universitas sumatera utara wati, r. (2009). pengaruh penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan. http://enprints.uns.ac.id (diakses 1 oktober 2017) wawan & dewi m. (2010). teori dan pengukuran sikap dan perilaku manusia. surabaya: numed. 192 gambaran pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil (description of school age children knowledge after following the small doctor training) kurnia rizki rahayu poltekkes kemenkes malang, jl. besar ijen no 77c malang e-mail: j.nersbidan@gmail.com abstract : small doctor who meet the criteria and have been trained in part participate in the establishment and maintenance activities improve the health of self, friends, family, and the environment. method: the research design was descriptive design. the research sample 48 small doctor in the district kepanjen region of south blitar. it was choosen using total sampling. the data was collected using questionnaire. result : the results showed that the description of the knowledge of school-age children after small physician training based category scores have good knowledge of 70.8% respondents, quite as much as 27.1% respondents and lack only 2.1% respondent. discussion : expected this study can be input to increase the quality of doctor training small in blitar city to make it better again. keywords : small doctors training, school age children, knowledge anak sekolah dasar merupakan sumber daya manusia (sdm) yang sangat potensial bagi pembangunan bangsa. pada usia ini merupakan peralihan dari anak menjadi remaja awal. masalah kesehatan pada kelompok ini terutama yang berhubungan dengan kebersihan pribadi dan lingkungan, seperti mengosok gigi, kebiasaan cuci tangan pakai sabun, potong kuku dan lain-lain. berdasarkan skrt tahun 2001 karies gigi dan penyakit periodontal pada anak usia 12 tahun mencapai 74,4% dan menduduki urutan 1 sanpai 5 dari 10 penyakit terbanyak di puskesmas. prevalensi kecacingan perut pada anak sd sebesar 60-80%. dari beberapa penelitian, hasil penelitian kegiatan tinggi badan anak usia sekolah baru masuk (tbass) tahun 1998 menunjukan bahwa 37% anak sd dan mi yang baru masuk sekolah menderita kurang energi protein (kep). gangguan akibat kurang yodium (gaky) yang di tandai dengan adanya pembesaran kelenjar gondok masih di derita 11,1% anak sd dan mi (2002). hasil (skrt) tahun 1995 menunjukkan bahwa 47,3% anak usia sekolah menderita anemia gizi, dan hasil (riskesdas) 2007 menunjukan, kurang dari 10% orang-orang indonesia yang menggosok gigi dengan benar. pelayanan kesehatan untuk anak usia sekolah difokuskan pada usaha kesehatan sekolah (uks) yaitu upaya terpadu lintas program dan lintas sektor dalam upaya membentuk perilaku hidup sehat pada anak usia sekolah. tujuan uks secara umum adalah meningkatkan kemampuan hidup sehat serta menciptakan lingkungan sekolah yang sehat sehingga tercapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal dalam upaya membentuk manusia indonesia. program uks yang dikenal dengan trias uks meliputi pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan sekolah sehat. menyikapi hal tersebut, bidang kesehatan melaksanakan upaya strategi dalam memperlibatkan peran serta aktif masyarakat sekolah melalui pengetahuan dan keterampilan yang cukup agar dapat berperan sesuai yang diharapkan. untuk mencapai hasil yang optimal, perlu dilakukan pelatihan bagi siswa sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah menjadi kader kesehatan sekolah yang dikenal dengan “dokter kecil”. dokter kecil adalah siswa yang memenuhi kriteria dan telah dilatih ikut melaksanakan sebagaian usaha acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p222-224 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 193 jurnal ners dan kebidanan, volume 1,nomor 3, nopember 2014, hlm.192-195 pemeliharaan dan meningkatkan kesehatan terhadap diri sendiri, teman, keluarga dan lingkunganya (direktorat pendidikan taman kanak-kanak dan sekolah dasar, 2002). hasil studi pendahuluan di kota blitar sdn sentul 4 kecamatan kepanjen kidul kota blitar dengan jumlah 228 siswa, didapatkan data siswa yang pernah izin sakit dalam bulan juli sampai oktober 2013 berjumlah 21% (47 siswa), peran dokter kecil di sekolah tersebut belum berjalan seperti apa yang di harapkan, belum di adakan program apapun untuk meningkatkan kualitas dokter kecil dan uks di sekolahnya. kemudian di sdn sentul 2 kecamatan kepanjen kidul dari sejumlah 467 siswa yang pernah izin sakit pada bulan juli sampai september 2013 adalah 16% (74 siswa). dari hasil kuesioner mengenai materi pelatihan dokter kecil pada tanggal 15 januari 2014 yang telah di lakukan di 5 sd dengan jumlah 10 respoden, didapatkan dapatkan hasil sebesar 100% siswa belum mengerti tentang pelaksanaan p3k, 80% siswa belum memahami mengenai kebersihan perorangan, dan 50% kurang mengerti tentang napza. rumusan masalahnya adalah bagaimanakah gambaran pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil di wilayah kecamatan kepanjen kidul kota blitar. tujuannya adalah mengetahui gambaran pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil di wilayah kecamatan kepanjen kidul kota blitar. manfaat penelitian bagi puskesmas adalah dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk menyusun kebijakan dan strategi dalam upaya peningkatan mutu pelatihan dokter kecil, mengetahui kekurangan dalam pelaksanaan pelatihan dokter kecil. manfaat bagi responden sebagai masukan mengetahui gambaran pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil di wilayah kecamatan kepanjen kidul. bahan dan metode desain penelitian menggunakan deskriptif untuk mengetahui gambaran pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil. subyek penelitian ini sebanyak 48 siswa. subyek penelitian ini dipilih secara total sampling. dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. hasil penelitian dalam pelatihan ini peserta didik di berikan pelatihan dengan materi kesehatan lingkungan, kesehatan perorangan, gizi, warung sekolah, pemantauan pertumbuhan anak usia sekolah, kesehatan mata, kesehatan gigi dan mulut, pertolongan pertama pada kecelakaan, napza. tabel 1. pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil di kecamatan kepanjen kidul kota blitar no tingkat pengetahuan f % 1 baik 34 70,8 2 cukup 13 27,1 3 kurang 1 2.1 total 48 100 berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui gambaran pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil, terbanyak adalah berpengetahuan baik 70,8 % (34 dokter kecil), dan kurang hanya 2,1 % (1 dokter kecil). menurut peneliti dalam hal ini kemampuaan siswa dalam mengingat suatu materi, menyimpulkan, dan menyebutkan contoh terhadap objek yang di pelajari saat pelatihan dokter kecil dapat di terima dengan baik (n= 48). pembahasan berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa anak usia setelah mengikuti dokter kecil memiliki tingkat pengetahuan baik 70,8% (34 dokter kecil) dan 27,1% (13 dokter kecil) memiliki pengetahuan cukup. dokter kecil adalah siswa yang memenuhi kriteria dan telah dilatih melaksanakan sebagian usaha pemeliharaan dan meningkatkan kesehatan terhadap diri sendiri, teman, keluarga dan lingkungan, tujuan pelatihan dokter kecil ini untuk menikatkan pengetahuan, sikap positif dan keterampilan siswa berkaitan dengan pelaksanaan program uks. dari hasil penelitian di atas, angka tertinggi memiliki pengetahuan baik 70,8% (34 dokter kecil) dan terrendah 2,1% (1 responden) memiliki penegtahuan kurang ini berasal dari sdlbn. rahayu, gambaran pengetahuan anak usia sekolah…194 berdasarakan hasil penelitian, umur dokter kecil terbanyak usia 10 tahun. umur termuda 9 tahun dan umur tertua 15 tahun. 1 dokter kecil berumur 15 tahun bersal dari sdlbn. direktorat pendidikan taman kanak-kanak dan sekolah dasar (2002) mencantumkan bahwa kriteria calon dokter kecil adalah siswa kelas 4 atau kelas 5, berprestasi di sekolah, berbadan sehat, berwatak pemimpin dan tanggung jawab. menurut peneliti berapapun usia calon dokter kecil tidak di tentukan, yang terpenting memenuhi kriteria, masih duduk di kelas 4 atau 5 dan mampu mengikuti pelatihan dokter kecil. berdasarkan hasil penelitian pada data umum dapat diketahuai jenis kelamin perempuan tertinggi yaitu (63%) atau 30 siswa dari total responden. menurut (jica, 1981) mengemukakan bahwa biasanya anak lakilaki mengalami lebih banyak persoalan di sekolah dari pada anak perempuan. anak lakilaki biasanya perkembangannya lamban perkembanganya terutama dalam kepandaian. anak perempuan umur 6 tahun umumnya lebih pandai berbicara dari pada anak lelaki yang sebaya, ini juga menyebabkan ia lebih mudah membaca dan menulis. menurut peneliti anak perempuan lebih berperan aktif saat di sekolah mereka memiliki rasa ingin tahu dan bertanya lebih tinggi dari pada lelaki,biasanya saat di sekolah lelaki selalu merasa dirinya kurang (minder) dan ini menyebabkan dari beberapa siswa terhambat dalam proses belajarnya di sekolah (cahyaningsih, 2011). pengetahuan anak usia sekolah setelah mengikuti pelatihan dokter kecil dalam katagori ini baik, di pengaruhi oleh kemampuan seseorang dalam memahami suatu objek. hanya saja mengenai kesehatan perorangan dan kesehatan lingkungan, responden memiliki jawaban paling banyak yaitu masingmasing 62,5% (30 responden) dan 41,7% (20 responden). memehami di artikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. orang yang telah paham terhadap objek atau materi tersebut harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagaian terhadap objek yang dipelajari (notoatmodjo, 2003). hal yang mempengaruhi responden dalam memahami suatu objek di pengaruhi oleh responden sulit memahami tentang pernyataan negatif yang di buat peneliti tentang kesehatan lingkungan dan kesehatan perorangan berdasarkan hasil penelitian, dokter kecil belum memahami mengenai kebersihan perorangan responden menjawab salah sebanyak 62,5% (30 responden). menurut pendapat peneliti salah satu kebersihan perorangan adalah cuci tangan, terdapat 6 langkah cuci tangan dengan benar. dalam hal ini responden kurang mengaplikasikan. aplikasi di artikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah di pelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). diartikan aplikasi atau pengguanaan hukumhukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungaanperhitungan hasil penelitian (notoatmodjo,2003). simpulan dan saran simpulan dari 48 dokter kecil yaitu 34 dokter kecil (70,8)% memiliki pengetahuan baik, 13 dokter kecil (27,1%) memiliki pengetahuan cukup dan 1 dokter kecil (2,1%) berpengetahuan kurang. namun sampai saat ini ada beberapa sekolah yang program dokter kecilnya belum berjalan, belum bisa mengaplikasikan kepada masyarakat dan lingkungan sekolahnya. tugas dokter kecil selalu bersikap dan berperilaku sehat, dapat menggerakkan sesama teman untuk bersamasama menjalankan usaha kesehatan terhadap dirinya masing-masing, berusaha agar tercapainya kesehatan lingkungan yang baik di sekolah maupun dirumah, berperan aktif dalam rangka peningkatan kesehatan. saran diharapkan pada lahan penelitian untuk lebih meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam program dokter kecil yang lebih baik lagi. diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi penelitian selanjutnya sehingga penelitian dalam bidang kebidanan dapat semakin berkembang. daftar rujukan 195 jurnal ners dan kebidanan, volume 1,nomor 3, nopember 2014, hlm.192-195 cahyaningsih, dwi. s. 2011. pertumbuhan perkembangan anak dan remaja. jakarta: trans info media direktorat pendidikan taman kanak – kanak dan sekolah dasar. 2002. pedoman teknis pelatihan dokter kecil: jakarta notoatmodjo, soekidjo. 2003. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: pt. rineka cipta 177unzila, agustina, the effectiveness of family support on ... 177 the effectiveness of family support on pregnancy related to anxiety at kepanjenkidul primary care in blitar regina firda unzila1, ika agustina2 1,2department of midwifery, stikes patria husada blitar, indonesia article information history article: received, 11/12/2019 accepted, 23/04/2020 published, 05/08/2020 keywords: pregnancy related anxiety, family support abstract pregnancy related anxiety (pra) is an anxiety felt by pregnant woman related to pregnancy. pra is different from the general anxiety felt during pregnancy, and contributing to a greater risk of preterm birth. according to the survey at kepanjenkidul primary care in blitar city, there were 7 cases of preterm birth during 2017-2018. family support could reduce the risk of pra. family support could make pregnant women calmer and relaxed during pregnancy. the purpose of this study was to determine the effectiveness of family support on the level of pra at kepanjenkidul primary care in blitar. the study design was cross sectional, involved 50 respondents, chosen by accidental sampling. the data collected by praq-r2 questionnaire used to measure pra levels while social support questionnaire used to measure the support of family. the data was analyzed with kendall’s tau. the results of the study showed that there was an effect of family support with anxiety levels by p value of 0.0001 < 0.05. the study concluded there was an effect of family support on the level of pregnancy related to anxiety. the family supports could decrease the risk of pregnancy related to anxiety. © 2020 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ikapatria45@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p177–181 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p177-181&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p177-181 178 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 177–181 introduction maternal mortality rate (mmr) and infant mortality rate (imr) are one indicator of health development in the 2015-2019 rpjmn and sdgs. based on 2015 aki inter-census population survey (supas) data of 305 per 100,000 live births; imr is 22.23 per 1000 live births (directorate of family health, 2016) the psychological state of anxiety and fear greatly influences physical function of the body. this case will greatly affect the function of organs, for example the organs involved in labor become less strong, encouragement from the body is also not strong so that it inhibits the process of labor and childbirth (nisman, 2011). according to the results of a survey at uptd puskesmas kepanjenkidul in blitar city, the number of deliveries in 2017 at the kepanjenkidul sub-district level was 533. in 2018 there were 561 deliveries. there have been 1 case of maternal deaths in the past two years with the cause of pregnancy bleeding due to placental abruption. the number of deliveries at the kepanjenkidul community health center in 2018 was 239 with a total of 69 referral cases. the number of referrals due to the first stage of labor extended by 13 cases with a percentage of 18.84%; labor with stage 2 lengthening by 2 cases with a percentage of 2.89%; fetal distress in 5 cases with a percentage of 7.24%; lbw cases and premature as many as 7 cases with a percentage of 10.14%. regula tion of the minister of women empowerment of the republic of indonesia number 1, 2008 concerning guidelines for implementing the impr ovement of women qua lity life. t his regulation supports the role of the husband in the condition of preparedness to provide assistance and support his wife during pregnancy, childbirth and parturition (kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ri, 2008) united nations population fund (unpf) supports that the great role the husband’s participation in maternal health will reduce the amount of morbidity and maternal death caused by death and childbirth method the design of this study was observational, with a cross sectional study approach. the population in this study were all pregnant women who did antenatal care at uptd puskesmas kepanjen kidul, blitar for 5 days totally 50 samples. the research instrument in this study used the pregnancy rela ted to anxiety questionnaire-revised 2 (praq-r2) research instrument and the family support questionnaire (social support). no age f % 1 < 20 year 0 0 2 20-34 year 45 90 3 > 34 year 5 10 total 50 100 table 1 distribution of respondents based on age at the health center of kepanjenkidul, blitar no gestational age f % 1 trimester i 12 24 2 trimester ii 20 40 3 trimester iii 18 36 total 50 100 table 2 distribution of respondents based on gestational age at the health center of kepanjenkidul, blitar no education f % 1 sd 5 10 2 smp 11 22 3 sma 25 50 4 pt (perguruan tinggi) 9 18 total 50 100 table 3 distribution of respondents based on education at the health center of in the kepanjenkidul, blitar no the job f % 1 irt (ibu rumah tangga) 39 78 2 petani 0 0 3 buruh 1 2 4 wiraswasta 9 18 5 pns (pegawai negeri sipil) 1 2 total 50 100 table 4 distribution of respondents based on the job at the health center of kepanjen kidul, blitar 179unzila, agustina, the effectiveness of family support on ... no pregnancy f % 1 pregnat to 1 12 24 2 pregnat to 2 24 48 3 pregnat to 3 10 20 4 pregnat to 3 4 8 total 50 100 table 5 distribution of respondents based on the number of pregnancies at the health center of kepanjenkidul, blitar table 6 distribution of respondents based on the number of children at the health center of kepanjenkidul, blitar no number of children f % 1 0 13 26 2 1-3 35 70 3 >3 2 4 total 50 100 result table 7 distribution of respondents based on family support at the health center of kepanjenkidul, blitar no family support f % 1 high support 33 66 2 medium support 14 28 3 low support 3 6 total 50 100 table 8 distribution of respondents based on anxiety level at the health center no anxiety levels f % 1 no anxiety 32 64 2 mild anxiety 4 8 3 moderate anxiety 12 24 4 severe anxiety 2 4 total 50 100 family support anxiety levels no anxiety mild anxiety moderate anxiety severe anxiety total f % f % f % f % f low 0 0 0 0 1 8 2 100 3 medium 1 3 2 50 11 92 0 0 14 high 31 97 2 50 0 0 0 0 33 total 32 100 4 100 12 100 2 100 50 sig. (2-tailed) 0.000 correlation coefficient    -0.879 table 9 the influence of family support on anxiety levels of pregnant women at the kepanjenkidul health in blitar city in july discussion family support for pregnant women based on research at kepanjenkidul public health center in blitar on 10-16 th of july 2019, it was found that table 4.7 was mostly of high respondent family support. based on table 4.1 90% of respondents have the age of 20-34 years oid. according to purnawan (2008) in rahayu (2008) support can be determined by the age factor in this ca se is growth a nd development, thus every vulnerable age (baby-elderly) has an understanding and response to different health changes. beside of the age factor, education is also be able to influence one’s perception on family support. the last education taken by someone shows the knowledge possessed by someone, more higher knowledge, the better it will be in accepting and understanding other people’s treatment on him. based on table 4.3, 25 of the 50 respondents (50%) had a high school education. according to rinto (2012) information support from the family is also very useful in helping patients to overcome the anxiety experienced. 180 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 177–181 2009). whereas if it is related to work factors, it can also pose a risk of experiencing anxiety / worry of not being able to maintain the pregnancy due to fatigue due to work and the responsibilities of the work itself. based on table 4.4 it can be seen that the work of the majority of irt respondents (housewives) is 39 out of 50 respondents (78%). outside of education factor and employment which becomes the causes of anxiety related to pr egna ncy ca n a lso be influenced by the respondent’s parity. based on table 4.5, the highest per centa ge of pr egna nt women pa r ity in kepanjenkidul health center in blitar is the second category of pregnancy 24 but of 50 respondents (48%). parity can affect anxiety, because it is related to psychological aspects. effect of family support on the level of anxiety of pregnant women based on table 4.9, that respondents who received high family support did not have anxiety related to pregnancy as many as 31 out of 33 respondents (94%). respondents who get family suppor t ar e exper iencing a nxiety rela ted to pregnancy with a moderate category as many as 11 out of 14 respondents (92%), respondents who get low family support experience anxiety related to pregnancy with heavy categories as many as 2 out of 3 respondents (67%) and experience anxiety related to pregnancy with a medium category 1 out of 3 respondents (33%). the results of this study are also in accordance with handayani’s study (2012) that there is a significant relationship between husband’s support and anxiety levels before delivery in the lubuk buaya public health center in padang with a value of p <0.05. family and husband support greatly affect the level of anxiety in third trimester pregnant women before the birth process. because by providing ongoing support for third trimester pregnant women before delivery, can provide a sense of security and comfort. so as to reduce the level of anxiety in third trimester pregnant women (jannah, 2015). the existence of a nega tive, strong a nd significant influence of family support on the anxiety level related to pregnancy in this study is acceptable. this can be seen from the results of the correlation coefficient r = -0.879 and a significant value (p <0.05) which means that family support significantly influences the level of anxiety of pregnant women. negative results on the correlation coefficient mean anxiety level in pregnant women t he r esults of conducted r esea r ch a t kepanjenkidul public health center in blitar on 1016 th of july 2019 depicted in table 4.8 that 32 out of 50 respondents (64%) did not experience anxiety r ela ted to pr egna ncy, 4 r espondents (8%) experienced anxiety related to pregnancy in the mild categor y, 12 respondents (24%) experienced pregnancy-related anxiety and 3 respondents (4%) experienced pregnancy-related anxiety. manuaba (2013) states the anxiety of pregnant women is influenced by two factors, namely internal factors and external factors. internal factors include: age, education, knowledge, attitude, income, job while external factors include: bustle, health services and mental support. age is able to influence the level of anxiety in a woman’s pregnancy, because people who are getting older (> 35 years old), the organ functions will decrease and cause a high-risk pregnancy so that the anxiety level will be higher too when knowing that the pregnancy experienced is a risky pregnancy , and vice versa if the age is still immature (<20 years) then the function of the genital organs is still not r ea dy to a ccept pr egnancy, a nd psychologically. as explained by susanti (2008), that the age of the mother <20 years and> 35 years will have an impact on feelings of fear and anxiety before the birth process. if the mother is pregnant in this age, her pregnancy is included in the high risk pregnancy category and an older woman will have a high potential for giving birth to a disabled ba by. based on table 4. 1 tha t 45 out of 50 respondents (90%) are aged 20-34 years. this case shows that most respondents have an ideal age in pregnancy, so the risk of respondents experiencing anxiety related to pregnancy is relatively low. in addition to the majority of respondents who are in the ideal age for pregnancy, low levels of anxiety related to pregnancy may also be related to gestational age, most of the respondents entering the second trimester, as illustrated in table 4.2 that there are 20 out of 50 respondents (40%) reached the age of the second trimester of pregnancy. trimester ii is the quietest period of pregnancy because the mother is getting used to her pregnancy, besides the levels of hcg (chorionic gonadotrophin hormone) that causes nausea felt in the first trimester has begun to decrease and have not felt discomfort such as back pain and pain before childbirth as felt in the third trimester (stoppard, 181unzila, agustina, the effectiveness of family support on ... that pregnant women who get high family support have a lower risk of experiencing anxiety related to pregnancy. conclusions the results of research and data analysis are the fa mily suppor t of r espondents a t the kepanjenkidul health in blitar based on the results of the study, 66% received high support, the anxiety level of respondents at kepanjenkidul health in blitar based on the results of the study was 64%, no one anxiety. results of the study showed that there was an influence of family support with anxiety levels with p value of 0.0001 <  0.05. that means there is a negative influence where pregnant women who get high family support have a lower risk of experiencing anxiety related to pregnancy, and there is a significant significant effect shown in kendall’s tau test. suggestions suggestions in this study are: for the research site it is expected that the results of this study can be used as information and can be used as a means of developing mch health services to provide family support to reduce anxiety levels during pregnancy through non-governmental organizations such as classes of pregna nt women, for respondents expected families to participate in supporting ma ter nal pr egna ncy both in a n a ssessment, instrumental, informational and emotional manner, so that it can help reduce anxiety in the mother in dealing with her pregnancy. for the next researcher can by adding a new variable, namely the influence of family support and health workers on the level of anxiety of pregnant women in the trimester 3. references direktorat kesehatan keluarga. (2016). laporan tahunan direktorat kesehatan keluarga tahun 2016. jakarta: laporan tahunan direktorat kesehatan keluarga tahun 2016. handayani, r. (2012). faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecemasan menjelang persalinan pada ibu primigravida trimester iii di wilayah kerja puskesmas lubuk buaya padang tahun 2012. ners jurna keperawatan 11(1), 62-71. jannah, n. (2015). askeb ii persalinan berbasis kompetensi. jakarta: egc. manuaba. (2013). ilmu kebidanan penyakit kandungan dan keluarga berencana edisi 3. jakarta: buku kedokteran egc. nisman, w. a. (2011). ternyata melahirkan itu mudah dan menyenangkan. yogyakarta: penerbit and. purnawan, i. (2008). dukungan suami dan keluarga. jakarta: salemba medika. rahayu, s. (2008). keperawatan keluarga. yogyakarta: graha ilmu. stoppard, m. (2009). buku panduan lengkap kehamilan & persalinan modern. yogyakarta: media abadi. susanti. (2008). psikologi kehamilan. jakarta: penerbit buku kedokteran. egc. 65kusbandiyah, puspadewi, pengaruh postnatal massage terhadap ... 65 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh postnatal massage terhadap proses involusi dan laktasi masa nifas di malang jiarti kusbandiyah1, yuniar angelia puspadewi2 1,2prodi kebidanan, stikes widyagama husada malang info artikel sejarah artikel: diterima,17/10/2019 disetujui, 19/11/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: involusi; laktasi; postnatal massage abstrak masa nifas merupakan masa kritis bagi ibu pasca melahirkan. ketidaksiapan secara fisik, psikis, mental dan spiritual dalam menghadapi masa ini akan membuat masa nifas berjalan tidak normal. parameter kesuksesan masa nifas adalah proses involusi dan laktasi. permasalahn involusi dilihat dari banyaknya perdarahan postpartum yang disebabkan oleh atonia uteridi kabupaten malang sebanyak 34%, sedangkan permasalahan laktasi dikaitkan dengan pemberian asi eksklusif di kota malang masih rendah sekitar 60%. salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah tindakan postnatal massage.tindakan tersebut dapat merelaksasikan ketegangan dan mengatasi keletihan pasca melahirkan yang dapat memicu subinvolusi dan kegagalan laktasi. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh postnatal massage terhadap proses involusi dan laktasi pada masa nifas. penelitian dilaksanakan di beberapa bidan praktik mandiri (pmb) di kota dan kabupaten malang menggunakan desain quasi experimental. populasi adalah ibu postpartum 2 jam sampai dengan 6 hari. sampel diambil menggunakan purposive sampling sebanyak masing-masing 21 ibu postpartum kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. data penelitian menggunakan data primer dan dianalisis secara deskriptif dan analitik.analisis data menggunakan uji mann-whitney menunjukkan hasil p-value 0,093 untuk involusi dan 0,369 untuk laktasi. kesimpulannya adalah tidak ada pengaruh signifikan antara postnatal massage dengan involusi dan laktasi pada masa nifas. postnatal massage lebih berkaitan dengan efek jangka pendek dalam memberikan efek relasasi dan mengurangi keletihan pasca melahirkan. dukungan dan motivasi dalam bentuk dukungan psikologis dan peran dalam merawat bayi sangat diperlukan oleh ibu postpartum dalam menjaga proses involusi dan laktasi tetap lancar. history article: received, 17/10/2019 accepted, 19/11/2019 published, 05/04/2020 article information the effect of postnatal massage on involution process and breastfeeding in malang abstract puerperium is a critical period for mother after giving birth. physical, psychological, mental and spiritual unpreparedness in dealing with this period will make the puerperium run abnormally. the parameters of the http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p065-072&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 66 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 065–072 correspondence address: stikes widyagama husada malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email:jiartikusbandiyah@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/v7i1.art.p065–072 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan masa nifas merupakan masa yang kritis bagi seorang ibu pasca melahirkan. ketidaksiapan secara fisik, psikis, mental dan spiritual dalam menghadapi masa ini akan membuat ibu mengalami permasalahan terkait involusi dan laktasi. kelainan involusi menyebabkan masih tingginya angka perdarahan yaitu sebesar 32% di kabupaten malang. permasalahan terkait laktasi berkaitan dengan masih rendahnya asi ekslusif di kota malang, yaitu hanya sekitar 60%. (asih, 2016). banyak hal yang menjadi faktor resiko terjadinya kegagalan involusi dan laktasi. faktor tersebut antara lain mobilisasi, nutrisi, laktasi, faktor lingkungan, budaya dan keluarga. beberapa treatment dapat dilakukan agar proses tersebut berjalan dengan baik antara lain senam nifas, pijat oksitosin dan postnatal massage (wahyuni dan latifah, 2016) jika tidak ditatalaksana dengan baik permasalahan lnvolusi dan laktasi, maka ibu postpartum dapat jatuh dalam postpartum blues. angka kejadian postpartum blues di indonesia sangat beragam. menurut munawaroh, 2008, angka kejadian postpartum blues di indonesia mencapai 50-70%. menurut mahmudah, 2010 dan fatmawati, 2015, angka ini lebih tinggi pada primipara yaitu mencapai 88%. salah satu faktor yang berperan penting dalam berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues adalah faktor fisik. masa nifas adalah puncak kelelahan fisik seorang ibu setelah menjalani proses kehamilan yang panjang dan proses persalinan yang melelahkan. kelelahan dan keletihan biasanya disebabkan oleh nyeri yang dirasakan ibu pada tubuh mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala karena proses persalinan. nyeri akibat persalinan biasanya tidak dirasakan saat proses persalinan dan baru akan dirasakan setelah selesai proses melahirkan. keletihan fisik akan menyebabkan ibu merasakan stress sehingga proses laktasi tidak berjalan optimal. keletihan juga berpengaruh terhadap aktivitas ibu sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi proses involusi. postnatal massage merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menatalaksana keywords: involution; breastfeeding; postnatal massage success of the puerperium are ivolution and lactation. the problem of involution can be seen from the amount of postpartum hemorrhage caused by uterine atony in malang as much as 34%, while the lactation problem associated with exclusive breastfeeding in malang is still around 60% low. one effort that can be done is postnatal massage. these action can relax tension and overcome postpartum fatique wich can trigger subinvolution and lactation failure. this study aims to know the effect of postnatal massage on involution and lactation during the puerperium. the study was conducted in several independent midwifery practice in the city and district of malang using a quasi experimental design. the population is postpartum mothers 2 hours to 6 days. samples were taken using purposive sampling as amany as 21 postpartum mothers in the treatment group dan control group. data analysis using the mann-whitney test showed p-values 0,093 for involution and 0,369 for lactation. the conclution is that there no significant effect between postnatal massage with involution and lactation in the puerperium. postnatal massage has more to do with shortterm effects in providing a relationship effect and reducing postpartum fatique. support and motivation in the form of psychological supports and the role in caring for infants is needed by postpartum mothers in maintaining the process of involution and lactation remain smooth. ©2020 jurnal ners dan kebidanan https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 67kusbandiyah, puspadewi, pengaruh postnatal massage terhadap ... keletihan pada ibu nifas.postnatal massage ini mempunyai keunggulan karena merupakan tindakan yang menyeluruh, intervensi yang lain seperti senam nifas atau pijat oksitosin menataksana pada sebagian tubuh saja. postnatal massage ini belum menjadi aktivitas yang rutin seperti senam nifas, padahal banyak ibu membutuhkan relaksasi setelah melahirkan agar bisa beraktivitas dengan baik pada masa nifas.pijatan yang dilakukan mulai dari punggung, kaki, tangan dan pundak akan memberikan efek relaksasi dan melemaskan otot-otot yang tegang setelah proses persalinan. penelitian yang selama ini dilaksanakan masih banyak fokus terhadap pijat oksitosin untuk membantu proses involusi dan laktasi. penelitian tersebut dilakukan oleh isnaini, 2015 di klaten, wijayanti tahun 2014 di yogyakarta, wulandari tahun 2016 di kepulauan riau meneliti tentang pijat oksitosin pada punggung terhadap proses laktasi. penelitian serupa di daerah malang dan jawa timur belum banyak terpublikasikan. perbedaan penelitian ini dengan penelitan sejenis adalah massage yang dilakukan adalah seluruh tubuh bukan hanya berfokus pada punggung untuk mengeluarkan oksitosin tetapi focus pada seluruh tubuh sehingga menimbulkan efek relaksasi yang dapat meredakan keletihan yang dialami ibu. belum ada bidan praktek mandiri yang melaksanakan praktik postnatal massage tersebut sehingga peneliti fokus untuk meneliti bagaimana efek postnatal massage terhadap laktasi dan involusi pada ibu nifas. angka kejadian postpartum blues pada ibu nifas masih tinggi di indonesia. faktor fisik yaitu keletihan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut. keletihan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi proses laktasi dan involusi jika tidak ditatalaksana dengan baik. postnatal massage menjadi salah satu upaya untuk mencari solusi terkait permasalahan ini. sehingga perlu diteliti bagaimana pengaruh postnatal massage terhadap proses involusi dan laktasi masa nifas. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah analitik quasi eksperimental.penelitian dilaksanakan mulai bulan mei s.d oktober 2019 di praktik mandiri bidan (pmb) wilayah kota dan kabupaten malang. populasi dalam penelitian ini adalah ibu post partum 2 jam sampai dengan 6 hari di wilayah kota dan kabupaten malang. sampel diambil secara purposive sampling sebanyak 42 responden terbagi atas 21 responden diberikan perlakuan postnatal massage dan 21 orang sebagai kelompok kontrol. postnatal massage dilakukan dalam 24 jam pasca persalinan. proses involusi dan laktasi dikaji saat 2 jam post partum dan di evaluasi kembali pada 6 hari post partum. postnatal massage a da la h mela kuka n massage dalam 24 jam setelah persalinan mulai dari area ekstremitas, punggung, pinggang, abdomen dan bokong. sumber yang digunakan adalah modul mom and spa treatment yang dikeluarkan oleh griya sehat. secara garis besar pemijatan dilakuakan dengan teknik stretching, rolling, keprok dan pumpress. massage dilakukan 1 kali dalam 24 jam pasca melahirkan membutuhkan waktu 30 menit sekali treatment. instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi involusi adalah lembar observasi dinilai dengan mengukur tinggi fundus uteri dengan menggunakan jari pada 1 hari postpartum dan 6 hari postpartum. instrumen untuk mengetahui laktasi adalah dengan kuesioner dengan mengkaji apakah ibu memberikan asi eksklusif, susu formula atau campuran antara asi dan susu formula. data yang sudah terkumpul di analisis secara deskriptif dan analitik.analisis secara analitik dilakukan secara bivariate menggunakan uji beda mann-whitney dengan spss 16. hasil penelitian hasil penelitian dicantumkan dalam bentuk tabel meliputi data karakteristik responden, data persalinan dan data penelitian variabel kelompok total perlakuan kontrol usia < 20 th 1 3 4 21-34 th 19 16 35 >35 th 1 2 3 pekerjaan bekerja 5 2 7 tidak bekerja 16 19 35 pendidikan dasar 2 4 6 menengah 15 15 30 tinggi 4 2 6 tabel 1 karakteristik responden 68 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 065–072 variabel kelompok total perlakuan kontrol lama kala ii 24,24 + 10,7 19,9 + 8,6 bbl 3142,86+326,4 3219,05+317,6 perdarahan 116,43+10,7 171,19+58,6 imd ya 16 9 25 tidak 5 12 17 gangguan istirahat ya 2 9 11 tidak 19 12 31 gangguan aktivitas ya 2 5 7 tidak 19 16 35 asuhan bayi sendiri 6 7 13 dibantu 15 14 29 bagian yang nyeri pasca melahirkan ekstremitas 2 1 3 punggung 2 1 3 pinggang 4 1 5 perut 0 2 2 kemaluan 1 1 2 bokong 0 2 2 hampir seluruh tubuh 12 13 25 tabel 2 data persalinan responden variabel kelompok total perlakuan kontrol involusi 2 jam pp setinggi pusat 1 0 1 1 jari bawah pusat 6 1 7 2 jari bawah pusat 14 20 34 involusi 6 hari pp 3 jari bawah pusat 0 2 2 ½ simpisis pusat 5 3 8 3 jari atas simpisis 5 7 12 2 jari atas simpisis 7 6 13 tidak teraba 4 3 7 laktasi susu formula 0 2 2 asi+susu formula 6 1 7 asi 15 18 33 tabel 3 involusi dan laktasi pada 2 jam post partum dan 6 hari post partum variabel mean rank p-value perlakuan kontrol involusi 9,43 9,05 0,093 laktasi 2,71 2,76 0,369 tabel 4 uji beda(bivariate) kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pembahasan proses involusi proses involusi adalah proses pengembalian uterus setelah hamil dan melahirkan sampai ke bentuk semula seperti sebelum hamil. proses involusi idealnya berlangsung selama 6 minggu pasca persalinan. proses involusi pada penelitian ini dikaji saat 2 jam post partum dan di evaluasi kembali pada 6 hari postpartum. 69kusbandiyah, puspadewi, pengaruh postnatal massage terhadap ... data penelitian menunjukkan bahwa prose involusi pada 2 jam pp dan 6 hari pp berlangsung fisiologis. pada 2 jam pp, sebagian besar penurunan tfu pada responden setinggi 2 jari di bawah pusat sebesar 66,7% pada kelompok perlakuan dan 90% pada kelompok kontrol. begitu pula pada 6 hari pp, sebagian besar responden memiliki tfu jauh lebih kecil di bawah normal, yaitu sekitar 76% tfu sudah di bawah ½ pusat simpisis. ukuran tfu normal menurut rukiyah, ai yeyeh, dkk, 2015 adalah 2 jari dibawah pusat untuk pada 2 jam pp adalah 2 jari di bawah pusat. dianalisis dari segi usia responden, sebagian besar responden berada pada rentang usia reproduktif atau usia resiko rendah antara 20-35 tahun sebanyak 83,3%. usia tersebut minim resiko subinvolusi karena organ-organ reproduksi masih bekerja dengan optimal. berbeda dengan usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun pada beberapa penelitian, umur mempunyai korelasi dengan proses involusi.usiadi bawah 16 tahun dan di atas 35 tahun beresiko terjadi subinvolusi. usia di bawah 16 tahun, memiliki organ yang belum siap untuk proses kehamilan, persalinan dan nifas. akibatnya, saat uterus harus berkontraksi untuk pengembalian uterus seperti semula akan mengalami kesulitan. pola pikir dan kemampuan mengambil keputusan pada usia dini masih belum stabil sehingga akan banyak pengaruh pemikiran dari lingkungan sekitar yang bisa jadi positif atau negatif terhadap proses involusi dan laktasi. (mayasari, 2014) usia diatas 35 tahun, secara psikologis sudah mempunyai pemikiran yang matang, tetapi ada penurunan metabolisme yang bisa menghambat proses involusi dan laktasi. perubahan metabolism yang terjadi adalah terjadi peningkatan lemak, penurunan otot, penurunan penyerapan lemak, protein dan karbohidrat. peningkatan lemak berkaitan erat dengan ketidakseimbangan hormone pada usia tersebut. penurunan otot otomatis akan menurunkan kontraksi otot tersebut yang sangat dibutuhkan untuk proses involusi. penyerapan lemak, protein dan karbohidrat yang terjadi akan mengurangi zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk kontraksi untuk proses involusi maupun laktasi. (wulandari, 2017). jika dikaitkan dengan data persalinan, sebagian besar data persalinan yang berkaitan dengan involusi dalam rentang normal meliputi lama kala ii, berat lahir dan jumlah perdarahan.kala ii rata-rata berlangsung 24 menit pada kelompok perlakuan dan 19 menit pada kelompok kontrol. batas maksimal kala ii pada primigravida adalah 120 menit dan multigravida adalah 60 menit. (sarwono, 2009).bayi lahir dengan berat rata-rata sekitar 3100-3200 gr. berat ini tergolong normal karena pada rentang 2500-3000 gr. sedangkan perdarahan rata-rata sekitar 110-120 cc, masih jauh dibawah batas maksimal yaitu 500 cc. data tersebut menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan terkait berat bayi yang bisa memicu lama persalinan dan tingginya perdarahan akibat overdistensi. kala ii lama bisa disebabkan oleh faktor power atau kontraksi. kontraksi yang tidak adekuat pada kala ii bisa berlangsung sampai dengan kelahiran plasenta dan 2 jam pp. jika kontraksi tidak adekuat sampai dengan 2 jam pp akan menyebabkan subinvolusi. berat bayi berkaitan dengan besarnya uterus saat hamil dan bersalin. bayi dengan berat lahir lebih dari 400 gram menyebabkan overdistensi uterus. pembesaran uterus yang berlebihan ini akan memicu lemahkanya kontraksi pasca melahirkan. uterus akan membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya untuk bisa berkontraksi dengan baik. hal tersebut akan memicu terjadinya subinvolusi uterus. (fitri, puspitasari, 2015) data tentang perdarahan yang keluar dalam rentang normal menjadi alasan involusi uterus pada penelitian ini berlangsung normal. jumlah perdarahan lebih dari 500 cc disebut hpp. perdarahan pasca melahirkan sebagian besar disebabkan karena atonia uteri. uterus yang tidak berkontraksi dengan baik akan mengalami kegagalan menjepit pembuluh darah sisa implantasi plasenta. akibatnya adalah perdarahn akan keluar lebih banyak dan involusi akan terganggu. proses laktasi data laktasi terlihat bahwa sebagian besar memberikan asi kepada bayinya baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol. pendidikan yang baik, usia yang matang serta sebagian besar ibu tidak bekerja, sebagian juga adalah bukan primipara menunjang hal tersebut. pendidikan yang baik membuka cakrawala tentang pentingnya asi. banyaknya waktu berinteraksi dengan bayi sebagai ibu rumah tang juga menjadi faktor penting. 70 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 065–072 pengalaman menyusui sebelumnya juga dapat menunjang keberhasilan pemberian asi tersebut. pendidikan berperan penting dalam mencegah postpartum blues yang merupakan faktor resiko terjadinya subinvolusi dan kegagalan laktasi. pekerjaan akan menambah masalah selain permasalahan di rumah sehingga juga rentan terjadi postpartum blues sebagai pemicu subinvolusi dan kegagalan laktasi. (yuliyanik, 2018) dari tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar ibu merasakan nyeri hampir di seluruh area tubuh. postnatal massage ini merupakan solusi yang tepat karena berbeda dengan oksitosin massage yang hanya di area punggung saja untuk memicu kontraksi. postnatal massage ini memberikan sentuhan dan tekanan di seluruh anggota badan ibu mulai dari punggung sampai dengan kaki.dari hasil wawancara pasca pemberian treatment postnatal massage, sebagian besar ibu mengatakan merasa lebih nyaman, rileks dan nyeri berkurang, meskipun ada beberapa ibu yang merasakan kemeng pasca treatment karena sebelumnya belum pernah pijat. sebagian besar responden juga tidak mengalami gangguan istirahat dan gangguan aktivitas pasca melahirkan, meskipun ada sebagian kecil yang mengalaminya karena pengaruh budaya yang membatasi pergerakan saat masa nifas. pengaruh postnatal massage terhadap involusi setelah dilakukan analisis menggunakan uji mann-whitney didapatkan hasil p-value 0,093 lebih besar dari 0,05, artinya tidak terdapat pengaruh antara postnatal massage dengan proses involusi. involusi pada kelompok kontrol hampir sama dengan kelompok perlakuan. meskipun postnatal massage tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap involusi tetapi memberikan dampak jangka pendek terhadp kenyamanan pasca melahirkan. responden merasa ketegangan dan keletihan setelah melahirkan berkurang dan merasa lebih nyaman. beberapa responden mengatakan belum pernah dilakukan massage setelah melahirkan. hal ini sesuai yang disampaikan oleh htas, 2015 bahwa postnatal massage akan meningkatkan produksi hormon endorphin dan serotonin yang memberikan efek relaksasi dari ketegangan pasca melahirkan. postnatal massage tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap involusi artinya ada faktor lain yang bisa mempengaruhinya. menurut wahyuni dan nurlatifah, 2017 bahwa involusi dipengaruhi oleh mobilisasi, nutrisi dan laktasi tetapi tidak dipengaruhi oleh paritas. nutrisi yang baik akan meningkatkan energi untuk terjadi kontraksi otot uterus dan didukung oleh mobilisasi yang juga memicu kontraksi uterus. . selain itu, faktor lain menurut penelitian andekalisni, misrawati dan utami tahun 2015 adalah senam nifas. dalam penelitiannya disimpulkan bahwa senam nifas mempunyai pengaruh signifikan terhadap proses involusi jika dibandingkan dengan pijat oksitosin. pijat oksitosin adalah salah satu langkah yang dilakukan dalam postnatal massage. pija t oksitosin memanag akan mengelua rkan hormone oksitosin yang bisa memicu kontraksi uterus. akan tetapi dengan senam nifas akan menyebabkan otot tubuh berkontraksi dan pembuluh darah mengalami vasokonstriksi terutama di area uterus. hal tersebut akan menyebabkan uterus mengecil lebih cepat. pengaruh postnatal massage terhadap laktasi setelah dilakukan analisis menggunakan uji mann-whitney didapatkan hasil p-value 0,369 lebih besar dari 0,05, artinya tidak terdapat pengaruh antara postnatal massage dengan laktasi pada ibu nifas. jumlah ibu nifas yang memberikan asi ekslusif antara yang diberikan postnatal massage dengan kelompok kontrol hampir sama. hal tersebut berarti ada faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap laktasi masa nifas antara lain nutrisi, budaya dan dukungan keluarga serta dukungan lingkungan. postnatal massage pada salah satu langkahnya adalah dilakukan pijat oksitosin yang mempunyai efek meningkatkan hormone oksitosin yang membantu pengeluaran asi. pada fisiologi laktasi bukan hanya okstitosin yang dibutuhkan untuk lancarnya produksi asi tetapi juga hormone prolactin yang menyebabkan produksi asi. produksi asi juga dipengaruhi oleh banyak hal antara lain nutrisi dan ketenangan psikologis. selain itu dukungan keluarga baik dalam hal merawat bayi dan memotivasi untuk memberikan asi eksklusif sangat berperan penting dalam hal ini. peran keluarga dalam memnatu merawat bayi bisa meningkatkan kualitas tidur dan mengurangi kelelahan pada ibu. jika kualitas tidur terjaga dan keadaan psikologis tenang maka proses laktasi dan pemberian asi akan berlangsung sukses.dari data 71kusbandiyah, puspadewi, pengaruh postnatal massage terhadap ... penelitian terlihat bahwa sebagian besar ibu dibantu dalam memberikan asuhan pada bayi. ini sangat penting untuk memberikan energy pada ibu dalam memberikan asi. bantuan keluarga akan meminimalisisr gangguan istirahat dan aktivitas yang bisa memicu kegagalan involusi dan laktasi. hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh yani, dwiyanti dan novelasari tahun 2009 pada penelitiannya yang menyimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara menyusui dengan dukungan dari petugas kesehatan dan dukungan dari keluarga. kesimpulan dari paparan hasil dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) proses involusi berjalan fisiologis baik dari kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol, (2) sebagian besar ibu memberikan asi saja pada bayinya baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol, (3) tidak ada pengaruh signifikan antara postnatal massage dengan involusi (p-value = 0,093), (4) tidak ada pengaruh signifikan antara postnatal massage dengan laktasi (p-value = 0,369). saran saran yang bisa disampaikan adalah meskipun postnatal massage tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap involusi dan laktasi, tetapi punya pengaruh jangka pendek terkait relaksasi dan mengurangi keletihan pasca melahirkan. petugas kesehatan perlu memberikan edukasi lebih terkait involusi dan dan laktasi, memberikan senam nifas kepada ibu nifas dan memberikan kie kepada keluarga untuk memberikan dukungan dan motivasi kepada ibu nifas terkait mobilisasi dan laktasi masa nifas. dukungan bisa berupa motivasi psikologis atau peran dalam merawat bayi saat msa nifas. daftar pustaka aizar dan asiah. (2018). massage postpartum dan status fun gsion al pasca sa li n di meda n. b ule t i n farmatera. vol 3 no.1 (24-32) asih, trirachmi (2016). duh, ibu asi eksklufis masih minim di malang. republica.co.id. retrieved agustus 2016. ambarwati, r., muis, s. f., & susanti, p. (2013). pengaruh konseling laktasi intensif terhadap pemberian air susu ibu (asi) eksklusif sampai 3 bulan. jurnal gizi indonesi a (the indone si an j ournal of nutrition), 2(1). andekalisni, misrawati, utami. (2015). perbandingan efektivitas senam nifas dan pijat oksitosin terhadap involusi uteri pada ibu post partum. jom vol.2 no.2 (927-934) fatmawati, d. a. (2015). faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian postpartum blues. eduhealth, 5(2). fitria, puspitasari. (2015). hubungan dan faktor resiko partus lama riwayat perdarahan postpartum dan berat lahir besar dengan kejadian perdarahan postpartum. jurnal biometrika dan kependudukan vo.4 no.2 (118-124. hamranani, s. s. t. (2016). pengaruh pijat oksitosin terhadap involusi uterus pada ibu post partum dengan persalinan lama di rumah sakit wilayah kabupat en kl at en . motor ik jurnal ilmu kesehatan (journal of health science), 6(12). health technology assesment section ma-htas. (2015). traditional postnatal care in restoring woman physical and mental health, medical development division, ministry of malaysia. irawati, d., & yuliani, f. (2014). pengaruh faktor psikososial dan cara persalinan terhadap terjadinya postpartum blues pada ibu nifas (studi di ruang nifas rsud ra bosoen i mojokert o). hospi t al majapahit, vol.6no.1(1-14). isnaini, n., & diyanti, r. (2015). hubungan pijat oksitosin pada ibu nifas terhadap pengluaran asi di wilayah kerja puskesmas raja basa indah bandar lampung tahun 2015. jurnal kebidanan malahayati, 1(2). mayasari, melkawati, astuti. (2015). faktor-faktor yang mempengaruhi involusi uterus.jurnal kesehatan masyarakat indonesia.vo. 10 no.1. munawaroh, h. (2008). hubungan paritas dengan kemampuan mekanisme koping dalam menghadapi postpartum blues pada ibu post sectio caesaria di bangsal mawar 1 rsud dr. moewardi surakarta (doctoral dissertation, universitas muhammadiyah surakarta). rini, s., & kumala, f. (2017). panduan asuhan nifas dan evidence based practice.deepublish. rukiyah, ai yeyeh, dkk.(2010). asuhan kebidanan iii (nifas). jakarta : trans info media sarwono, (2009).ilmu kebidanan. jakarta syahrin, a., (2012). analisis faktor-faktor yang mempengaruhi resiko terjadinya postpartum blues dirumah sakit bersalin pemerintah kota malang (doctoral dissertation, university of muhammadiyah malang). wahyuni, nurlatifah. (2017). faktor-faktor yang mempengaruhi proses involusi uterus pada masa nifas di wilayah kerja puskesmas mandala kabupaten lebak propinsi banten. jurnal medikes vol.2 no.2 (167-176). 72 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 065–072 wijayanti, krisdiana, dkk. (2013). gambaran faktor-faktor resiko postpartumblues di wilayah kerja puskesmas blora. jurnal kebidanan.vol.2 (5), e-issn 26212870. wulandari, a.s. (2017). hubungan umur ibu dan inisiasi menyusu dini (imd) dengan involusi uterus uteri di rsu pku muhammadiyah bantul. naskah publikasi. universitas aisyiyah wulandari, f. t., aminin, f., & dewi, u. (2016).pengaruh pijat oksitosin terhadap pengeluaran kolostrum pada ibu post partum di rumah sakit umum daerah provinsi kepulauan riau. jurnal kesehatan, 5(2). yuliyanik. (2019). karakteristik ibu dan post natal treatment (pnt) berhubungan dengan terjadinya post partum blues. care:jurnal ilmiah ilmu kesehatan. vol.7 no.2 (69-75) *) ners praktisi, **) stikes patria husada blitar 16 pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua (the effect of health education of growing development stimulation of children aged 0-3 years to parents’ knowledge and attitude) bagustin yopy fatimah nurwegha *) , bisepta prayogi **) stikes patria husada blitar e-mail : bisepta87@gmail.com abstract introduction: human development is the perfect growing of functioning tool that can be passed through the body to grow, mature, and learn. the first 3 years is the important step towards an adult in a child's life. parents must provide appropriate stimulation to the child's age, therefore parents should have a good knowledge and attitude. the purpose of this study is to analyzed stimulatory effect of health education on the development of children aged 0-3 years knowledge and attitudes towards parents. method: research design was one group pre test and post-test design.research sample was 35 parets at posyandu matahari, plosorejo village, blitar district of kademangan at may 7 th to 14 th , 2012, its choosed with purposive sampling. the data was collected using questionnaire. analysis using the wilcoxon signed rank test with significance α = 0.005. results: the result showed enough knowledge on pre-test (67,7) and post-test was good (83.5), while the attitude on the pre-test was good (70.1) and post-test was excellent (86.5) with the level of significance p = 0.001 on knowledge and attitudes. discussion: knowledge and attitudes of the respondents affected increased to better health education. the role of the nurse as an educator in the health service needs to be improved in order to improve knowledge and attitudes. keywords : health education , knowledge , attitude , development of children aged 0-3 years , the stimulation. pendahuluan perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat-alat tubuh yang dapat dicapai melalui tumbuh, kematangan maupun belajar (wong, 2000). sedangkan menurut soetjiningsih (1995) perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan. perkembangan anak mencakup perkembangan motorik halus, perkembangan motorik kasar, perkembangan bahasa dan perkembangan perilaku atau adaptasi sosial (hidayat, 2011). pada perkembangan terdapat tahapan yang harus dilalui anak untuk menuju dewasa. tahapan yang terpenting adalah pada masa 3 tahun pertama dalam kehidupan anak, karena merupakan masa yang paling sensitif yang akan sangat menentukan perkembangan otak dan kehidupannya di masa mendatang (surana, 2001). menurut depkes ri (2006) stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal. setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan terusmenerus pada setiap kesempatan. kurangnya stimulasi dapat menyebabkan penyimpangan perkembangan anak bahkan gangguan yang menetap. stimulasi perkembangan anak dapat dilakukan oleh ibu dan ayah yang merupakan orang terdekat dengan anak, pengganti atau pengasuh anak, anggota keluarga lain dan kelompok masyarakat di lingkungan rumah jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p013-018 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ bagustin yopy fatimah nurwegha, bisepta prayogi jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 17 tangga masing-masing dan dalam kehidupan sehari-hari. jumlah balita di indonesia sekitar 10% dari seluruh populasi. maka sebagai calon generasi penerus bangsa, kualitas tumbuh kembang balita di indonesia perlu mendapat perhatian serius. 16% balita indonesia mengalami gangguan perkembangan, baik perkembangan motorik halus dan kasar, gangguan bahasa, kecerdasan kurang dan sosial (depkes ri, 2006). faktor stimulus menjadi sangat penting untuk mengoptimalkan perkembangan anak. orang tua dapat memberikan stimulasi sejak buah hatinya masih dalam kandungan, saat lahir sampai dia tumbuh besar. tentu saja dengan intensitas dan bentuk stimulasi yang berbeda-beda pada setiap tahap perkembangannya. namun hal ini masih sedikit dipahami masyarakat, baik orang tua, kader maupun pemerhati anak (kurniasih, 2008). sikap positif dari orang tua dalam stimulasi perkembangan anak sangat berperan besar. beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sikap orang tua diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain, media massa, institusi atau lembaga agama dan emosi yang ada pada diri individu itu sendiri (sunaryo, 2007). berdasarkan hasil penelitian hariweni (2000) tentang pengetahuan, sikap dan perilaku ibu tentang stimulasi perkembangan anak menunjukkan bahwa pengetahuan ibu tentang stimulasi perkembangan anak masih sangat kurang. hanya sekitar 1,3% yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang stimulasi; 34,4% berpengetahuan sedang dan 64,3% berpengetahuan rendah tentang stimulasi perkembangan anak. untuk meningkatkan pengetahuan orang tua dalam stimulasi perkembangan anak dapat dengan memberikan pendidikan kesehatan. pendidikan kesehatan yaitu serangkaian upaya yang ditujukan untuk menggugah kesadaran, memberikan dan meningkatkan pengetahuan sasaran pendidikan kesehatan yang menyangkut tentang pemeliharaan kesehatan, serta peningkatan kesehatan untuk individu, kelompok, keluarga dan masyarakat (setiawati, 2008). berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar pada tanggal 24 februari 2012 jumlah balita adalah 77 anak, yang terdiri dari 44 anak berusia 0-3 tahun dan 33 anak berusia 4-5 tahun. diantara 8 dari 10 orang tua dengan anak usia 0-3 tahun mengatakan belum mengetahui bagaimana cara dan macam stimulasi perkembangan anak dan mempersepsikan bahwa stimulasi perkembangan anak diberikan dalam pendidikan saat di sekolah. selain itu stimulasi yang diberikan orang tua tidak sesuai dengan usia anak, dimana seharusnya dalam memberikan stimulasi yang benar harus disesuaikan dengan usia anak. berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar. rumusan masalahnya adalah bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar. tujuan umum penelitiannya adalah menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap orang tua tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun sebelum dilakukan pendidikan kesehatan, (2) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap orang tua tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun sesudah dilakukan pendidikan kesehatan, (3) menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua. manfaat penelitian secara teoritis adalah hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan pertimbangan profesi keperawatan untuk lebih meningkatkan jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua 18 pemahaman peran sebagai pendidik, dan melaksanakan peran sesuai kompetensinya dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap stimulasi perkembangan anak usia 03 tahun, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas perkembangan anak. manfaat praktis dari penelitian ini adalah bagi masyarakat luas khususnya orang tua, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang cukup dan menunbuhkan kesadaran diri untuk memberikan sikap yang positif dalam memberikan stimulasi perkembangan pada anak usia 0-3 tahun. bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan pre-eksperiment dan menggunakan desain penelitian one group pre-test posttest design. yaitu dalam penelitian ini menggunakan hubungan sebab akibat dengan cara penelitian melibatkan satu kelompok subjek dan observasi dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum eksperimen dan sesudah eksperimen. penelirtian ini dilakukan dengan mengobservasi sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun. subyek penelitian ini berjumlah 35 orang tua di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar yang dipilih dengan teknik purposive sampling yang memiliki anak usia 0-3 tahun dan belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak. variabel yang dinilai adalah adalah pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia dan pengetahuan dan sikap orang tua tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun. alat yang digunakan dalam pengumpulan data adalah (1) kuesioner untuk mengukur pengetahuan orang tua tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun sebanyak 15 soal yang meliputi: mengetahui (know) 5 soal, memahami (comprehension) 5 soal, dan analisa (analysis) 5 soal. (2) kuesioner untuk mengukur sikap orang tua tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun sebanyak 15 soal yang meliputi: kognitif 5 soal, afektif 5 soal dan konatif 5 soal. data yang terkumpul dalam penelitian hasilnya dibandingkan sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan. setelah data pengetahuan dan sikap terkumpul maka dilakukan analisis yaitu dengan menjumlahkan jawaban responden pada setiap nomor dan dikalikan 100% dan hasilnya berupa prosentase (arikunto, 1998). dari hasil pengukuran kuesioner pengetahuan dan sikap, data yang terkumpul diolah ntuk mengetahui pengaruh variabel independen dan dependen menggunakan analisis uji wilcoxon signed rank test dengan skala data ordinal. hasil penelitian karakteristik responden di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar sebanyak 35 responden pada table berikut ini. tabel 1 karakteristik responden di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar tanggal 7 mei 2012-14 mei 2012 no karakteristik frekuensi % 1 jenis kelamin perempuan 35 100 2 pendidikan sd 5 14 smp 16 46 smu 12 34 pt 2 6 tabel 1 karakteristik responden di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar tanggal 7 mei 2012-14 mei 2012 no karakteristik frekuensi % 3 usia 20-29 tahun 19 54 30-39 tahun 15 43 40-49 tahun 1 3 4 pekerjaan pns 4 12 wiraswasta 12 34 irt 19 54 5 jumlah anak 1 12 34 2 15 43 >2 8 23 bagustin yopy fatimah nurwegha, bisepta prayogi jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 19 tabel 1 karakteristik responden di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar tanggal 7 mei 2012-14 mei 2012 no karakteristik frekuensi % 6 informasi stimulasi tumbuh kembang pernah 31 89 tidak pernah 4 11 7 sumber informasi tv 10 29 tabel 1 karakteristik responden di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar tanggal 7 mei 2012-14 mei 2012 no karakteristik frekuensi % radio 1 3 majalah/koran 2 6 posyandu 18 51 tidak pernah 4 11 tabel 2 distribusi rata-rata pengetahuan dan sikap responden pre-test dan post-test di posyandu matahari desa plosorejo kecamatan kademangan kabupaten blitar tanggal 7 mei 2012-14 mei 2012 variabel pre test post test p value rata–rata nilai rata–rata nilai pengetahuan 67,7 83,5 0,001 sikap 70,1 86,5 0,001 pembahasan pengetahuan dan sikap orang tua tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun sebelum dilakukan pendidikan kesehatan pada hasil penelitian didapatkan adanya peningkatan pengetahuan responden dari rata-rata pengetahuan cukup baik (pretest) meningkat menjadi rata-rata pengetahuan baik (post-test) setelah diberikan pendidikan kesehatan, dengan nilai kemaknaan p=0,001. pada nilai pre-test rata-rata pengetahuan cukup (67,7) sedangkan pada post-test menunjukkan hasil rata-rata pengetauan baik (83,5) dengan kenaikan sebesar 15,8. pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. peningkatan pengetahuan dari cukup baik menjadi lebih baik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya oleh usia, pendidikan dan informasi. semakin meningkat usia seseorang maka proses perkembangan mentalnya akan bertambah baik (notoatmodjo, 2003), hal ini dapat di lihat pada gambar 4.2 yang menunjukkan bahwa usia responden paling banyak berkisar 20-29 tahun (55%), sehingga pada pre-test rata-rata nilai pengetahuan masih cukup baik. penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh wildan (2005) yang menunjukkan bahwa prosentase terbanyak (54%) usia responden berkisar 20-30 tahun dan terjadi peningkatan tingkat pengetahuan rata-rata 8,46 (pre-test) meningkat menjadi rata-rata 67,31 (post-test). pengetahuan dan sikap orang tua tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun sebelum dilakukan pendidikan kesehatan perubahan atau peningkatan pengetahuan responden dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh jumlah anak responden. hal ini dapat dilihat pada gambar 4.5 yang menunjukkan distribusi anak responden prosentase tebanyak (43%) responden memiliki 2 anak sehingga responden sudah memiliki pengalam dan pengetahuan responden sudah cukup baik pada pre-test. pengetahuan baik dapat juga di pengaruhi oleh tingkat pendidikan. pada umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula pengetahuannya (notoatmodjo, 2003). hal ini dapat di lihat pada gambar 4.3 yang menunjukkan bahwa paling banyak responden berpendidikan smp (46%), dan rata-rata pengetahuan responden pada pre-test dalam kriteria cukup baik. selain itu peningkatan pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh informasi. informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang meskipun orang tersebut mempunyai tingkat pendidikan yang jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua 20 rendah. tetapi jika seseorang tersebut mendapat informasi yang baik dari berbagai media maka hal itu akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang (notoatmodjo, 2003). hal ini dapat dilihat pada gambar 4.7 yang menunjukkan bahwa media informasi responden paling banyak adalah dari posyandu sebesar (57%), dan di posyandu matahari ini aktif dalam memberikan pendidikan kesehatan, sehingga hanya beberapa responden saja yang memiliki pengetahuan tidak baik. dengan cara bimbingan atau penyuluhan, kontak antara klien dengan petugas pendidikan kesehatan lebih intensif, dan setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat langsung dibantu penyelesaiannya (notoadmodjo, 2003). menurut setiawati (2008), pendidikan kesehatan merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk menggugah kesadaran, memberikan dan meningkatkan pengetahuan sasaran pendidikan kesehatan yang menyangkut tentang pemeliharaan kesehatan serta peningkatan kesehatan baik untuk individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat. pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan pada orang tua sehingga terjadi peningkatan pengetahuan yang lebih baik. pengetahuan dapat diperoleh diantaranya melalui informasi dalam hal ini adalah pendidikan kesehatan. pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh peneliti menggunakan metode pendidikan kelompok (saat posyandu), peneliti memberikan materi menggunakan lcd dan memberikan booklet yang disertai cara dan gambar-gambar kepada masing-masing responden, selain itu juga memberikan beberapa simulasi dan memberikan evaluasi langsung setelah diberikan pendidikan kesehatan. sehingga orang tua dapat melihat secara langsung bagaimana cara yang benar dalam memberikan stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun kepada anaknya dan mengevaluasi penerimaan materi yang telah disampaikan. pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua pendidikan kesehatan ini memberikan kesempatan pada orang tua untuk lebih memahami tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun, sehingga pengetahuan orang tua dapat meningkat menjadi lebih baik. pada variabel sikap dalam penelitian ini didapatkan adanya peningkatan sikap responden dari rata-rata baik (70,1) pada pretest meningkat menjadi rata-rata sangat baik (86,5) pada post-test, dengan peningkatan sebesar 16,4 dan tingkat kemaknaan p=0,001 yang berarti ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak uusia 0-3 tahun terhadap sikap orang tua. faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan atau perubahan sikap diantaranya adalah pengetahuan atau pengalaman pribadi, media informasi dan emosi yang ada pada diri individu itu sendiri (saifuddin, 2011). pengetahuan/pengalaman pribadi akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus atau objek. tanggapan terhadap stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun, akan menjadi salah satu dasar pembentukan sikap. untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan stimulus atau objek tersebut (saifuddin, 2011). hal ini dapat dilihat pada gambar 4.8 yang menunjukkan rata-rata pengetahuan responden adalah cukup (67,7) pada pre-test dan setelah mendapat pengetahuan (pendidikan kesehatan) meningkat menjadi rata-rata baik (83,5) pada post-test. sedangkan pada gambar 4.9 menunjukkan rata-rata nilai sikap baik (70,1) pada pre-test, setelah mendapatkan pendidikan kesehatan rata-rata nilai sikap meningkat menjadi sangat baik (86,5) pada post test. penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sebelumnya (wildan, 2005). hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengetahuan 8,46 dan rata-rata sikap 40,62 (pre-test), kemudian setelah diberikan pendidikan kesehatan meningkat menjadi ratarata pengetahuan 67,31 dan rata-rata sikap 69,69 (post-test). perubahan/peningkatan sikap juga dapat dipengaruhi oleh media massa (sumber informasi). media massa sebagai sarana komunikasi yang memberi pengaruh terhadap pembentukan opini seseorang, walaupun pengaruh media massa tidak sebesar pengaruh interaksi secara langsung namun dalam proses pembentukan dan perubahan sikap peranan media massa tidak kecil artinya (saifuddin, 2011). hal ini dapat dilihat pada gambar 4.7 yang menunjukkan bahwa paling banyak bagustin yopy fatimah nurwegha, bisepta prayogi jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 21 responden mendapat informasi dari posyandu (57%). hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian sutanti (2010) yang menunjukkan bahwa 65% responden yang sudah mendapatkan informasi sikapnya meningkat dari negatif menjadi positif. perubahan sikap juga dipengaruhi oleh faktor emosi yang ada pada diri individu itu sendiri. tidak semua bentuk sikap dientukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. (saifuddin, 2011). hal ini terlihat dari hasil kuesioner pada item pertanyaan “menurut saya untuk meningkatan kemampuan dasar anak dapat dengan memberikan stimulasi perkembangan anak” menunjukkan bahwa responden sangat setuju terhadap stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun. menurut notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respon seseorang terhadap suatu stimulus atau objek tertentu. sikap mempunyai beberapa komponen diantaranya adalah pengetahuan (kognitif), perasaan (afektif) dan perilaku (konatif). sikap juga mempunyai tingkatan yaitu mulai dari menerima (receiving), merespon (responding), dan menghargai (valuing). pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan yang merupakan salah satu komponen dari sikap. dengan pengetahuan yang baik maka orang tua (responden) akan bersikap ke arah yang lebih baik atau positif terhadap perkembangan anaknya. dari sikap yang positif kemungkinan orang tua untuk berperilaku baik terhadap stimulasi perkembangan anak sangat mungkin, dikarenakan sebagaian besar responden adalah ibu rumah tangga simpulan dan saran simpulan tingkat pengetahuan responden rata-rata cukup (67,7) dan tingkat sikap responden ratarata baik (70,1) sebelum diberikan pendidikan kesehatan, tingkat pengetahuan responden meningkat menjadi baik (83,5) dan tingkat sikap responden rata-rata meningkat menjadi sangat baik (86,5) setelah diberikan pendidikan kesehatan, berdasarkan analisis wilcoxon signed rank test ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua dengan kenaikan rata-rata pengetauan sebesar 15,8 dan kenaikan rata-rata sikap sebesar 16,4, dengan tingkat kemaknaan masing-masing p=0,001. saran saran bagi perawat memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada kader posyandu cara melakukan stimulasi perkembangan anak yang tepat kepada orang tua di posyandu, sehingga diharapkan nantinya kader dapat mengajarkan kepada orang tua untuk melakukan stimulasi perkembangan anak yang tepat dan perkembangan anak akan optimal, bagi kader posyandu dapat mengajarkan kepada orang tua bagaimana cara-cara yang tepat dalam melakukan stimulasi perkembangan anak. ape (alat permainan edukatif) yang ada sebaiknya digunakan atau dimanfaatkan guna memberikan pelatihan kepada orang tua. sehingga orang tua dapat melihat secara langsung bagaimana cara yang tepat dan benar dalam memberikan stimulasi perkembangan anak. sedangkan bagi mahasiswa keperawatan dapat melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dengan memberikan pendidikan kesehatan, pelatihan dan mengajarkan baik kepada kader posyandu maupun orang tua bagaimana cara yang tepat dalam melakukan stimulasi perkembangan anak. referensi abu, a 2002, psikologi sosial, rineka cipta, jakarta. depkes ri 2006, pedoman pelaksanaan stimulasi deteksi dan interveni dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar. hariweni, t 2003, „pengetahuan sikap dan perilaku ibu bekerja dan tidak bekerja tentang stimulasi pada anak balita‟, skripsi, universitas sumatra utara, medan. hidayat, aa 2008, ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan, salemba medika, jakarta. jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan tentang stimulasi perkembangan anak usia 0-3 tahun terhadap pengetahuan dan sikap orang tua 22 hidayat, aa 2009, metode penelitian keperawatandan tehnik analisa data, salemba medika, jakarta. hutagulung, i 2007, pengembangan kepribadian, pt indeks, jakarta. saifuddin, a 2011, sikap manusia teori dan pengukurannya, pustaka pelajar, yogyakarta. sunaryo 2007, psikologi untuk keperawatan, egc, jakarta. sutanti, it 2010, „pengaruh penyuluhan kesehatan tentang menstruasi terhadap sikap remaja putrid di mts. ma‟arif kelurahan srengat kecamatan srengat kabupaten blitar‟, karya tulis ilmiah, stikes patria husada blitar, blitar. setiawati, s pendidikan kesehatan, trans info media, jakarta. notoadmodjo, s 2003, ilmu kesehatan masyarkat, rineka cipta, jakarta. notoatmodjo, s 2003, pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta. soetjiningsih 1995, tumbuh kembang anak, egc, jakarta. taufan, s 2001, perkembangan motorik halus kasar, diakses pada 4 maret 2012, . depkes ri 2006, tumbuh kemban anak, diakses pada 4 maret 2012, . wildan 2005, „pengaruh penyuluhan preoperasi terhadap pelaksanaan mobilisasi post-operasi pada pasien pembedahan‟, universitas airlangga, surabaya. http://www.balitaanda.indoglobal.com/balita271perkembang%20anmotorik_halus-kasar.html http://www.balitaanda.indoglobal.com/balita271perkembang%20anmotorik_halus-kasar.html http://www.balitaanda.indoglobal.com/balita271perkembang%20anmotorik_halus-kasar.html http://www.balitaanda.indoglobal.com/balita271perkembang%20anmotorik_halus-kasar.html http://www.depkes.co.id/perkembangan-anak http://www.depkes.co.id/perkembangan-anak 332 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 332–337 the characteristics of postpartum mothers to the success of breastfeeding in the first 3 months indah yun diniaty rosidi1, mardiana ahmad2, veni hadju3 1midwifery departement, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia 2faculty of midwifey, postgraduate of universitas hasanuddin, indonesia 3science of nutrition , faculty of public health universitas hasanuddin, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 29/06/2020 accepted, 10/08/2020 published, 05/12/2020 keywords: exclusive breastfeeding, education, characteristic of postpartum article information abstract exclusive breastfeeding plays a major role in reducing the infant mortality rate while the achievement of exclusive breastfeeding in indonesia is still very low due to various factors. this research aimed to determine the effect of the characteristics of puerperal women to the success of exclusive breastfeeding in the first 3 months. the research design was an analytical survey of an explanatory research approach. the sample of the research was postpartum mothers who had babies aged 3 as many as 90 people who were willing to become respondents. the sample was observed by using a checklist of breastfeeding techniques and breastfeeding success. the data were analyzed using the chi-square test and the mann withney test. the results of the research showed that there was no significant correlation between age ( = 0.075), education ( = 0.145), occupation ( = 0.136), gravida ( = 0.530), maternal residence status ( = 0.134) and the success of breastfeeding (> 0.05). so it could be concluded that there was no correlation between maternal characteristics to the breastfeeding success. i is needed to give intensive education to increase the mother’s knowledge about exclusive breastfeeding. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes nani hassanuddin makassar – south sulawesi, indonesia p-issn : 2355-052x email: indahbo73@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p332–337 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 332 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p332-337&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p332-337 333rosidi, ahmad, hadju, the characteristics of postpartum mothers to the success of ... introduction world health organization/united nations children’s fund (who/unicef) reported in 2003, the death of baby and infants are related to the lack of food and child (offspring) in 2003). in indonesia, in 2012, the number of infant mortality rate (imr) was 34 per 1000 live births (lb) and the number of toddler mortality rate (tmr) was 34 per 1000 lb. imr indicators in makassar as 2015 was 1,79 per 1000 kh (45 death infants from 25.181 kh) and tmr (57 deaths under-five-year-old of 25.181 kh) (depkes, 2007; dinkes kota makassar, 2016). exclusive breastfeeding is a good source of nutritions for infants, it can increase the baby’s intelligence and immune system, also known for increasing the bond of love and affection between the mother and the child to reduce the risk of child neglect (roesli, 2008). in indonesia, it was reported in 2015 that exclusive breastfeeding coverage was only 55.7% of target of 80%. as the coverage of exclusive breastfeeding in south sulawesi recorded only 38.5% in 2016, down from the 2015 coverage of 71,5%. this analysis proves that the decline in exclusive breastfeeding and does not reach the government’s target, even though the benefits of exclusive breastfeeding are very good for the health of infants and mothers. one of the reasons for the decline in exclusive breastfeeding is the role of the lactation counselor (depkes, 2016; pusat data dan informasi ri, 2017). the above description shows the low level of exclusive breastfeeding by the mother to the baby. this is caused by the many factors that influence the mother in giving exclusive breastfeeding. therefore, in an effort to better find out how successful breastfeeding is by mothers in their babies, the researchers tried to discuss it with the title “effects of postpartum mother characteristics on breastfeeding success in the first 3 months at the puskesmas jumpandang baru in makassar city. methods this research was conducted at puskesmas jumpandang baru in the city of makassar. the research method used an analytical survey with explanatory research approach or research that aimed to explain the effect of characteristics of nursing mothers on breastfeeding success. the population was all post-partum mothers in the working area of the puskesmas jumpandang baru in makassar city as many as 102 people. the sample was 90 pregnant women chosen purposively, fulfilling the inclusion criteria such as mothers who have a 3-month baby, delivery assisted by health workers and willing to sign an informed consent issued by the ethics committee of the medical faculty of hasanuddin university and exclusion criteria such as infants or the mother is seriously ill after delivery. the da ta was collected directly using a questionnaire. the data characteristics (age, education, occupation, number of pregnancies, residence status) were measured using a checklist (br ea stfeeding techniques a nd br eastfeeding success). the data were processed using spss v.16 for windows. to assess the correlation of the sample characteristics with the success of breastfeeding a “chi-square and mann withney” bivariate analysis was used. data is presented in tabular and narrative form. result most pregnant women between the ages of 20-35 yea r s old (not a t r isk) succeeded in breastfeeding by 71.4% and 28.6% did not succeed in breastfeeding while in pregnant women aged> 20 years and d”35 years (at risk) succeeded in breastfeeding by 50% and 50% also failed to breastfeed. pregnant women with high education managed to breastfeed by 71.4% and 28.6% did not succeed in breastfeeding, while pregnant women with low education amounted to 55.6% succeeded in breastfeeding and 44.4% did not succeed in breastfeeding. 54.8% of working mothers who breastfeed their babies while 45.2% did not succeed in breastfeeding their babies, and 72.9% of mothers who did not work, successfully breastfeeded their babies while 21.7% failed to breastfeed their babies. t her e wer e 64.3% of mother s who beca me pregnant for the first time successfully breastfeeding their babies and 35.7% did not succeed in breastfeeding their babies. but in multigravida mothers as much as 75% managed to breastfeed and 25% did not succeed in breastfeeding. mothers who lived independently only with their husbands as much as 70.7% managed to breastfeed and 29.3% failed to breastfeed their babies, while mothers who lived with in-laws as many as 46.7% managed to breastfeed and 53.3% did not succeed in breastfeeding their babies. 334 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 332–337 from the results of the analysis with mann withney statistical tests on age characteristics ( = 0.075), education ( = 0.145) and chi square statistical tests on job characteristics ( = 0.136), gravida ( = 0.530) and residence status ( = 0.134) obtained value >  0.05 in each group, then ho is accepted, the characteristics of puerperal women have no effect on increasing breastfeeding success in the first 3 months. it can be concluded that there is no significant effect between the characteristics of puerperal women on breastfeeding success. discussion this research found that all characteristics did not have a significant correlation between age, education, occupation, gravida and residence status on breastfeeding success, which means that there was no significant effect between postpartum maternal characteristics on breastfeeding success. age is a variable that is used as an absolute measure of physiological indicators in other words the use of health service facilities will be related to age, where the older has sound physiological characteristics with their own responsibilities (notoatmodjo, 2003). mothers aged 20-35 years are mothers who are not at risk and mothers with age <20 years and 35 years are mothers with risk. this research illustrates that both mothers with young and old age do not affect the success of breastfeeding, this is due to the willingness and knowledge possessed by the mother to give milk to her baby. this is not in line with research in palembang which states that there is a meaningful relationship between age and exclusive breastfeeding (wadud, 2013). from the results of the research kusmiyati et al (2014) about the relationship of knowledge, education and work of mothers with complementary feeding (mp asi) to infants in the shoulder community health center malalayang sub-district of manado. hail research shows that there is no significant relationship between education and employment of mothers in giving mp-asi to infants. education is an activity or learning process that occur s a nywher e, a nytime, a nd by a nyone. someone can be said to learn what if there is a change from not knowing to knowing, from not doing to being able to do something. based on this understanding it can be interpreted that education is not only obtained at school as formal education but can be obtained anytime and anywhere. this is evidenced from the results of this research, which shows that the number in the group with low education compared to the level of tertiary education is almost not much different. education can affect a person’s level of knowledge, the higher the level of one’s education the easier it is to receive information, so the better the knowledge, but someone who has low education is not necessarily low knowledge. knowledge is not only obtained from formal education but can also be obtained through non-formal education, such as personal experience, the media, the environment and health education, so that someone with higher education can be exposed to the disease and vice versa (notoatmodjo, 2010). an action that is based on knowledge will be more lasting than an action that is not based on knowledge, and the person who adopts the act in self will experience a process of consciousness mother category exclusive breastfeeding (%) not doing breastfeeding (%) age 20-35 (not at risk) 71.4 28.6 age 20-35 (at risk) 50 50 high educated 71.4 28.6 non educated 55.6 44.4 working 54.8 45.2 not working 72.9 21.7 first pregnancy 64.3 35.7 multigravida 75 25 living with in-laws 70.7 29.3 not living with in-laws 46.7 53.3 source: primary data table 1 frequency distribution 335rosidi, ahmad, hadju, the characteristics of postpartum mothers to the success of ... where the person realizes in the sense of knowing the object (stimulus), namely things about breast milk (asi), feel attracted to the stimulus, weigh the goodness a nd la ck of knowledge a bout the importance of breast milk to the baby and herself, a trial in which the subject begins to do something according to the things he knows to breastfeed his baby, adoption where the subject has been behave in accordance with the knowledge that has been obtained (notoatmodjo, 2007; febrianty, 2011; bohari, 2011). according to researchers work is the daily livelihood of someone to make money to meet their daily needs. work has a major role in someone taking breastfeeding actions for their baby. the maternal employment status variable is a protective factor, meaning that mothers who do not work will be more supportive in exclusive breastfeeding than working mothers. this is because mothers who do not do work outside the home (irt) will have more time and opportunity to breastfeed their babies compared to mothers who work outside the home. in addition there are still many mothers who think wrong about exclusive breastfeeding, mothers also feel worried that breastfeeding will change the shape of the breast to be ugly, and fear the body will become fat. for this reason, mothers provide complementary foods for breast milk, because mothers feel that their milk is insufficient for the nutritional needs of their babies so mothers choose formula milk because it is more practical (roesli, 2008). mothers who have had their first pregnancy and those who have a second pregnancy and so on do not affect the success of breastfeeding. this is due to lack of mother’s knowledge and motivation. counseling given during pregnancy cannot increase knowledge, and changes in attitudes and practices of exclusive breastfeeding. mothers learn more from the experiences of previous children, the experiences of parents and the community as a reference in the practice of breastfeeding for children conceived at the time of the research (fikawati et al., 2009). world health organization quoted by notoatmodjo (2003) states that a person obtains knowledge from his own experience or one’s experience. in addition to the lack of family support, health workers cause the mother to decide to give formula milk, fruit and milk porridge (hector et a l. , 2005). fa ctor s tha t influence the implementation of early breastfeeding initiation (imd) and exclusive breastfeeding, especially the factors of attitude, motivation, and knowledge, both attitude, motivation, and knowledge of mothers, and health workers (alice et al., 2013). the lives of mothers who live with in-laws or are independently influenced by socio-cultural factors and traditions in the community affect the behavior of mothers in the practice of exclusive breastfeeding for their babies, this is in accordance with susilawaty’s (2005) research, which states there is a close relationship between cultural values and breastfeeding exclusive. the absence of assistance after giving birth by health workers is also a factor in the failure of exclusive breastfeeding, based on observations of new health workers knowing mothers do not exclusively breastfeed when immunizing their babies. american dietetic association (2009), states that ongoing support is ver y impor ta nt to ensur e the success of breastfeeding. (noer, 2009; nurafifah, 2007). resear cher s a ssumed from this resear ch characteristics that greatly affected the attitude of mothers in achieving breastfeeding success was the mother’s knowledge of breast, breast milk, imd to breastfeeding techniques and breastfeeding positions that are good and right. to achieve all of this, education is needed by health workers, namely midwives who act as lactation counselors. the lack of education in the health care process was one of the causes of the failure of breastfeeding mothers to succeed for 6 months. good education must be given intensively and continuously from pregnant women to childbirth even during childbirth. the effects of continuing education and counseling could help mothers gain interests, opportunities, emotions and attitudes that influence choice and decision making. attention and motivation was channeled in education or counseling in the form of home visits or class meetings for mothers to support exclusive breastfeeding and was a good opportunity to share information and individual counseling that makes mothers comfortable and can solve their problems during their childbirth. the use of appropriate media for the delivery of information also needs to be considered so that the absorption of knowledge can be effective. the communication media that must be used by the counselor is able to provide information that is easily accepted and easily remembered by the mother, thereby encouraging the desire of the mother to know and ultimately to get a better understanding 336 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 332–337 (depkes, 2002). according to notoatmodjo (2003), health education media are based on the principle that the knowledge that exists in every human being is received or captured through the five senses, the more senses are used to receive something, the more and more clear the knowledge gained. media communication is a very important means to deliver health messages that are able to provide health information in a ccor da nce with the level of acceptance (kholid, 2014). the results of this research also showed that the level of education did not affect the success of breastfeeding, both mothers with low and high education. from the results of ambarwati et al’s (2013) research on the effect of intensive la cta tion counseling on exclusive breastfeeding for up to 3 months. the results showed that intensive lactation counseling dur ing pr ena tal ha d a n effect on increasing knowledge, changing attitudes and increasing the number of mothers giving exclusive breastfeeding until the age of 3 months. the same research conducted by imdad et al (2011) on the effect of breastfeeding promotion interventions on breastfeeding rates, with special focus on developing countries found that the intervention of promoting breastfeeding significantly increased the exclusive breastfeeding especially education in early pregnancy. this was consistent with research in ghana which sta tes tha t the pr a ctice of exclusive breastfeeding is higher for mothers who receive lactation counseling compared to mothers who do not get counseling (aidam et al., 2005). conclusion based on the research that had been done, the researchers concluded that there was no effect of the characteristics of the puerperal mother to the breastfeeding success. suggestion it is hoped that health care, especially midwives and lactation counselors, will seek continuous and directed and systematic education for mothers from pregnancy to the puerperium in order to achieve exclusive breastfeeding success and can reduce the infant mortality rate (imr). refferences aidam b.a., escamilla r.p., & lartey a. (2005). lactat ion counseling incre ase s exclusive breast-feeding rates in ghana. journal of nutrition, 135: 1691-1695. alice y.l. & lai-kwai s.c. (2013). maternal breastfeeding self-efficacy and the breastfeeding behaviors of newborns in t he pract ice of e xclusive bre astfe e ding. j ournal of obst e t ri c gynecologic & neonatal nursing, 42 672-684; 2013. doi: 10.1111/1552-6909.12250. ambarwati r., muis s.f., & susantini p. (2013). pengaruh konseling laktasi intensif terhadap pemberian air susu ibu (asi) eksklusif sampai 3 bulan (tesis). semarang: universitas diponegoro. american dietetic association. (2009). journal of the american dietetic association. 109: 1926-1942. bohari. (2011). perubahan pengetahuan, sikap ibu hamil setelah edukasi di rsia siti fatimah (tesis). makassar: universitas hasanuddin. depkes ri. (2002). strategi nasional: peningkatan pemberian air susu ibu sampai tahun 2005. jakarta: departemen kesehatan republik indonesia. depkes. (2007). pedoman penyelenggaraan pelatihan konseling menyusui dan pelatihan fasilitator konse li ng me ny usui . jaka rt a: depa r temen kesehatan republik indonesia. depkes. (2016). profil kesehatan indonesia 2015. jakarta: departemen kesehatan republik indonesia. dinkes kota makassar. (2016). profil kesehatan kota makassar tahun 2015. makassar: dinas kesehatan kota makassar. febrianty k. (2011). perubahan pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang inisiasi menyusu dini sebelum dan sesudah edukasi di rsia pertiwi (tesis). makassar: universitas hasanuddin. fikawati s. dkk. (2009). praktek pemberian asi ekslusif penyebab keberhasilan dan kegagalannya. jurnal kesmas nasional, 4(3): 120-131. hector d., king l., & webb k. (2005). factors affecting breastfeeding practices: applying a conceptual framework. n s w public health bulletin, 16(3-4): 52-55. imdad a., yakoob m.y., & bhutta z.a. (2011). effect of breastfeeding promotion interventions on breastfeeding rates, with special focus on developing countries. bmc public health, 11(suppl.3): s24. doi:10.1186/ 1471-2458-11-s3-s24. kholid a. (2014). promosi kesehatan. jakarta : pt raja grafindo persada. 337rosidi, ahmad, hadju, the characteristics of postpartum mothers to the success of ... kusmiyati, adam s., & pakaya s. (2014). hubungan pengetahuan, pendidikan dan pekerjaan ibu dengan pemberian makanan pendamping asi ( mp – asi ) pada bayi di puskesmas bahu kecamatan malalayang kota manado. jurnal ilmiah bidan, issn : 2339-1731. noer e.r. (2009). beberapa faktor determinan dalam praktik inisiasi menyusu dini dan pemberian asi eksklusif selama 4 bulan (tesis). semarang: universitas diponegoro. notoatmodjo s. (2003). pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo s. (2007). metodologi penenlitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo s. (2010). promosi keshatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. nurafifah d. (2007). faktor-faktor yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian asi eksklusif (tesis). semarang: universitas diponegoro. pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri. (2017). data dan informasi profil kesehatan indonesia 2016. jakarta: kementerian kesehatan ri. roesli u. (2008). inisiasi menyusu dini plus asi eksklusif. jakarta: pustaka bunda. susilawaty e. (2005). determinan sosial budaya pada pemberian asi eksklusif di wilayah kerja puskesmas padang bulan dan pb. selayang ii kota medan (tesis). medan: universitas sumatera utara. wadud m.a. (2013). hubungan umur ibu dan paritas dengan pemberian asi eksklusif pada bayi berusia 0-6 bulan di puskesmas pembina palembang tahun 2013 (skripsi). palembang : poltekkes kemenkes palembang. 314 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 314–319 the improvement of eye hand foot score of disability through empowerment education, home-based self care, peer support taufan arif department of nursing, politeknik kesehatan kemenkes malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 16/04/2020 accepted, 08/10/2020 published, 05/12/2020 keywords: empowerment education, homebased self care, peer support, disability article information abstract introduction: mycobacterium leprae infiltration results in inflammation of the nerves. this condition results in a progressive decline of nerve function of the eyes, hands and feet. the main burden of people with leprosy is a disability that will affect all aspects of their lives. the objective of this study was to explain the effect of empowerment education, home-based self care, and peer support for disability. methods: true experimental randomized prepost test control group design. the sampling technique used simple random sampling consisted 16 respondents. the independent variable was empowerment education, home-based self care, and peer support. the dependent variable was disability. the data were collected by in-vivo biological observation sheets. the data were analyzed by mann-whitney test and wilcoxon signed test. results: the result showed that there was an effect of intervention on disability with wilcoxon sign rank test 0.046. discussion: empowerment education interventions, home-based self care, peer support increase the knowledge of leprosy clients in self care. the key to disability prevention is 3m, which is checking, protecting, and caring for the eyes, hands and feet. these three interventions will increase patient confidence in self-care at home. the support of peers will also make it easier for clients to weigh the advantages and disadvantages when not complying with comprehensive treatment. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: politeknik kesehatan kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: taufanarif.polkesma@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p314–319 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 314 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p314-319&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p314-319 315arif, the improvement of eye hand foot score of disability through empowerment education, ... introduction mycobacterium leprae causes inflammation of the nerves, resulting in progressive damage to the nerves of the eyes, hands, and feet (slim, schie, keukenkamp, william, & nollet, 2010). damage to nerve function can exacerbate disabilities such as wounds, claw hands, finger amputations, and even blindness (aditama, 2012; slim et al., 2010). most of the people with leprosy have structural and function damage (70%), activity limitation (60%), and a decrease in social function in their involvement in the community (participation problem) by 60% (brakel et al., 2012; veen, mcnamee, richardus, & smith, 2009). the main burden of people with leprosy is disability and it affects all aspects of their life (wewengkang, palandeng, & rombot, 2016). cases at sumberglagah mojokerto hospital in 2015 did not have grade 1 disability, and 3 people (13%) had grade 2 disability, and in 2016 there were 11 people (50%) with grade 1 disability and 2 people (9%) with grade 2 disability from target of <5% (dinas kesehatan provinsi jawa timur, 2016). leprosy disability degree 0 is a condition where there is no eye abnormality due to leprosy, there is no deformity of the palms and feet caused by leprosy (aditama, 2012). leprosy grade 1 disability, which is a condition where there is eye damage (anesthesia in the cornea, but visual impairment is not severe> 6/60), on the palm of the hand / foot there is anesthesia or muscle weakness (no defects / damage seen directly by the eye) (aditama, 2012). grade 2 leprosy disability, which is a condition in which there is eye damage (lagostalmus, iridocyclitis, corneal opacification and severe visual impairment> 6/60), on the palms / feet there are visible defects / damage due to leprosy (eg ulcers, clawing fingers, drop foot) (aditama, 2012). leprosy disability prevention should be carried out properly in several places such as at home, health centers, or referral service units (aditama, 2012; sjamsoe, 2003; wewengkang et al., 2016). the empowerment education method used by previous studies has been proven to have succeeded in increasing self-efficacy and self-care for clients with leprosy by 62.5%, but it has not been proven to have an impact on reducing disability (wahyuni, 2013). the home-based self-care method in who’s enhance global strategy is expected to have a direct impact on leprosy patients so that they can prevent leprosy disabilities. this is because leprosy patients with disabilities can take care of themselves independently which is closely monitored by the health workers / families involved (aditama, 2012; who, 2009). previous research also explained that the best practice is to do a balance and strength exercise intervention for 3 times per week or can use an intensive supervised training program based on home based that is controlled every week (gschwind et al., 2013). kotler (1996) states that a support group or peer support is a form of gathering of several people who have the same experience to build the strengths, common interests, and competences of each member so that each member gets full support from fellow members, can express all negative feelings, and is a place for members to find information (lamak, kusnanto, & dewi, 2014) management of leprosy is comprehensive, starting from promotive, preventive, curative to r eha bilita tive. pr eventive a ctivity thr ough empowering education are expected to change individual perceptions and empower clients’ ability in leprosy prevention behavior. preventive activity through peer support are expected to improve healthy behavior, and increase compliance with taking medication, which is expected to reduce of leprosy disability. home-based self-care activities are closely monitored using cellphones and family assistance can improve client self-care at home independently. therefore, the combination of interventions consisting of empowerment, education, home-based self care, peer support in improving the disability of leprosy still needs to be proven and research. methods this study used a true experimental randomized pre-post test control group design. the population used all leprosy patients at sumberglagah leprosy hospital, mojokerto, east java who had met the homogeneity criteria, as many as 16 people. the sample in this study was 16 people divided into 2 groups, namely the treatment group and the control group. the sampling technique used simple random sampling. independent variables include empowerment education, home-based self care, and peer support. the treatment group was given 2 meetings with empowerment education interventions, two peer support interventions were given, while the home based self care consisted of self-care and taking 316 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 314–319 medication independently at home for 1 month. the total time needed to provide the treatment was about 6 weeks. at the first empowerment education meeting, materials were given on the definition, causes, symptoms and diagnosis, classification, transmission of leprosy, mdt treatment regimens, side effects of mdt and their treatment, leprosy reactions and their ma nagement. empowerment educa tion materials at the second meeting included eye care, hand care, claw hand care, foot drop treatment, ulcer care. at the second meeting, range of motion exercises were also given which included rom on the forearms, wrists, fingers, thumbs, legs, feet and toes. at the third and fourth meetings, peer support was given to treatment group consisting of the stages of cheking in, presentation of problems, clarifying problems, sharing suggestions, planning actions, and cheking out. in the next stage, respondents were given home based self-care intervention which was carried out independently by the patient at home every day for 1 month which was controlled by telephone every week with family assistance. the dependent variable was disability. the independent variable instrument was satuan acara kegiatan (sak). the three methods were combined to completion and the disability level test was then carried out. the dependent variable instrument used in-vivo biological measurements based on the degree of disability of leprosy from who. the collected data were then analyzed using the mann whitney test for 2 unpaired groups, and the wilcoxon sign ranked test for the paired 2 groups test with a significant value of 0.05. results level of disability treatment group control group (ehf score) pre test post test pre test post test 1 3 6 3 5 2 4 2 5 3 3 1 table 1 leprosy disability the results of the pre-test treatment group with the control group used the mann whitney test = p: 0. 263 the results of the pre-test with the post-test of the control group used the wilcoxon sign ranked = p: 1.000 the results of the pre-test with the post-test of the treatment group used the wilcoxon sign ranked = p: 0.046 post test results for the treatment group and the control group used mann whitney test = p: 0.602 bivariat test level of disability (ehf score) post test total ehf 1 ehf 2 pre test ehf 1 3 3 ehf 2 3 1 4 ehf 3 1 1 total 6 2 8 table 2 cross-tab the treatment group for disability 317arif, the improvement of eye hand foot score of disability through empowerment education, ... table 1 explained that the pre-test value of the treatment group and the control group using the mann whitney test was p value (0.263) which means there is no difference in the pre-test value between the treatment and control groups. table 1 also explains that the pre-test and post-test scores of the control group using the wilcoxon sign ranked test are p value (1,000), which means that there was no difference in the pre and post test scores in the control group. table 1 explained that the post test value of the treatment group and the control group using the mann whitney test was p value (0.602) which means there was no difference in the post test scores between the treatment and control groups. table 1 also explains the pre-test and post-test values of the treatment group using the wilcoxon sign ranked test, which was p value (0.046), which means that there was a difference in the pre and post test values in the treatment group. the results of the cross tabulation test in the treatment group (table 2) explained that there was 1 person who experienced improvement in disability starting from an ehf score of 3 to an ehf score of 2, and no one experienced a worsening of the disability condition. meanwhile, the results of the cross tabulation in the control group (table 3) explained that there was 1 person who experienced a worsening of the condition from ehf score 1 to ehf score 2. discussion analysis before intervention in the treatment and control groups using the mann whitney test showed a result of p e” 0.05, which indicates that there was no difference in impairment of leprosy before treatment between the treatment group and the control group. the results of data analysis before and after treatment in the intervention group using the wilcoxon signed ranks test showed that p d” 0.05, which indicates that there was a difference in impairment of leprosy before and after being given treatment to leprosy patients. t her e wa s a n effect of empower ment education, home-based self care, and peer support on leprosy disability, supported by data based on cross tabulation of leprosy disability before and after treatment in the treatment group (table 2). these results indicate that there were 3 people (100%) who had a disability ehf score of 1 (one) during the pre and post test, while 1 person (100%) had a disability ehf score of 3 (three) when the pre test changes to an ehf score of 2 (two) during the post test which shows improvement in disability. cross tabulation of leprosy disabilities before and after treatment in the control group (table 3) showed that there were 4 people (80%) who had an ehf score of 1 at pre and post test. meanwhile, 1 person (20%) who had an ehf score of 1 during the pre test changed to an ehf score of 2 during the post test, which means that lepr osy has worsened. inter na sional cla ssification of function disability and health (icf), impairment is damage to structure and function that is pathological, physiological, or anatomical (for example, claw hands, ulcers, foot drop)(aditama, 2012; brakel et al., 2012; veen et al., 2009). knowledge is a result of knowing someone after that person senses an object (notoatmodjo, 2010). there are 3 principles in the prevention of leprosy disabilities are 3m. the first m is to check the eyes, hands and feet regularly. the second m is to protect the eyes, hands and feet from physical trauma. the third m is self-care (aditama, 2012). empowerment education is education given to leprosy patients with a empowerment approach (client-focused empowerment). castilo et al (2010) explained that empowerment education is also called self-management education, which consists of teaching strategies with a problem solving level of disability (ehf score) post test total ehf 1 ehf 2 pre test ehf 1 4 1 5 ehf 2 1 2 3 total 5 3 8 table 3 cross-tab the control group for disability 318 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 314–319 approach and sharing of information and knowledge in order to manage the disease. this is supported by previous research which explains that self-management education will increase knowledge, self-confidence / stigma, support from family, and adherence to treatment of someone who has chronic diseases such as leprosy. better knowledge about leprosy is obtained from learning processes, which leads to understanding related to self-care (mufarokhah, putra, & dewi, 2016) the results of this research intervention are reinforced by research rawlett e kristen (2011), an education such as empowerment education will affect the main aspects of the health belief model such a s per ceived vulner a bility, per ceived seriousness, the benefits of perceived obstacles, and cues or signs. a person will act to treat his disease, he must know and feel that he is susceptible to disease (nursalam, 2015; rawleet, 2011). selfmanagement education or also called empowerment education will be able to change the attitudes and beliefs of someone suffering from chronic disease (mufarokhah et al., 2016). home base self care is a care activity carried out by someone a t home when tha t per son completely takes over the care of themselves independently. the disability prevention principle is that 3m includes examining, protecting, and caring for oneself from the eyes, hands, and feet (aditama, 2012; arif, haryanto, & yunitasari, 2017). self-care theory is also proven to strengthen the results of this study. empowerment education is a form of nursing agency that can be provided by nurses to lepr osy pa tients to increa se leprosy patient knowledge in conducting self-care, especially the prevention of leprosy disability (nursalam, 2015). peer group support is a type of social support that combines information (knowledge), assessment (feedback) and emotional assistance. support group activities are one form of individual so that knowledge increases (notoatmodjo, 2010). in the support group, respondents will discuss the understanding of leprosy and skills or efforts to care for and care for themselves so that it will increase the knowledge of leprosy patients. increased knowledge will be impr ove the method and prevention of leprosy disability by leprosy patients (kewa, kusnanto, & dewi, 2014). self-care theory explains that the existence of a nursing agency through empowerment education, home based self care, and peer support will have an influence on conditioning factors and self-care agencies. one of the conditioning factors is a predisposing factor consisting of knowledge and attitude (nursalam, 2015). basically, disability in leprosy can be prevented by comprehensive leprosy treatment. delays in the diagnosis of leprosy cases do have a big impact on disability, but one of the factors causing disability that often appears is adherence to medication and the ability to self-care to prevent disability. many leprosy patients think that when their condition has improved, it means that the disease has been cured so that they will reduce or even stop the process of treatment or self-care. the impact is that the level of disability will increase due to the patient’s lack of understanding of leprosy prevention care. individuals who feel themselves vulnerable to diseases that are considered serious, will take certain actions. the correct level of acceptance of the vulnerability, urgency, and benefits of action, signals in the form of external factors are needed. these factors, such as an education, information from peers (peers) or other family members of the sick. this is because there are respondents who have grade 2 disabilities due to an ulcer. this ulcer requires a longer time to treat, while the study time only lasted approximately 1 month after treatment. this makes home-based self care a very important thing to do regularly so that wounds don’t get worse and can heal. self-care which consists of 3 m, consisting checking, protecting, and taking self care also needs to be carried out independently at home. this is because almost the majority of leprosy patients have grade 2 disabilities due to injuries to their body areas due to the inability of the patient and family to carry out self-care independently at home. conclusion empowerment education, home-based self care, and peer support affect the level of leprosy disability. empowerment education intervention makes leprosy patients understa nd and more confident in doing self-care at home (home-based self care). in addition, peer support also increases confidence and experience in overcoming problems so that leprosy patients can weigh the advantages and disadvantages of complying with the leprosy treatment process comprehensively. 319arif, the improvement of eye hand foot score of disability through empowerment education, ... suggestion for the sumberglagah leprosy hospital, mojokerto, east java, it is hoped that it will further increase the empowerment of patients and families in the treatment of leprosy disability prevention. in addition, health promotion media through home based self care booklets to empower leprosy clients to car e for themselves a t home a r e fur ther improved. references aditama, t. y. (2012). pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. jakarta: direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. retrieved from http://www.google. comurl?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1 &cad=rja&uact= 8&ved= 0a hukewjjwdhk_ otqahulsi8khuasa6sqfggbma a&url=http %3a%2f%2fper pust akaa n. depkes.go. id%3 a818 0%2fbi t st r ea m %2f%2f 123456 789% 2 f 1 7 9 1 % 2 f 2 % 2 f bk 2 0 1 2 4 0 6 . p d f& u s g = afqjcngg9n4biee-lu5m-qt arif, t., ha ryanto, j., & yunitasari , e. (2017). empowerment education, peer support terhadap perilaku pencegahan cacat di rs kusta sumberglagah. jurnal ilmiah kesehatan, 10(2), 256–262. retrieved from http://journal.unusa.ac.id/index.php/ jhs/article/view/404 brakel, w. h. van, sihombing, b., djarir, h., beise, k., kusumawardhani, l., yulihane, r., … kasim, m. (2012). disability in people affected by leprosy: the role of impairment, activity, social participation, stigma and discrimination. global health action, 9716(5), 18394. h t t ps: / /doi . or g/ 10. 3402/ gha.v5i0.18394 dinas kesehatan provinsi jawa timur. (2012). profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2012. surabaya. retrieved from www.depkes.go.id/ r e sou r ce s/ d own l oa d/ p r ofi l / pro fil _ke s_ p r o v i n s i _ 2 0 1 2 / 1 5 _ p r o f i l _ k e s . p r o v. jawatimur_2012.pdf dinas kesehatan provinsi jawa timur. (2016). laporan kesehatan provinsi jawa timur tahun 2016. surabaya. gschwind, y. j., kressig, r. w., lacroix, a., muehlbauer, t., pfenninger, b., & granacher, u. (2013). a best practice fall prevention exercise program to i mprov e balanc e, stre ngt h / powe r, and psychosocial health in older adults/ : study protocol for a randomized controlled trial. bmc geriatrics, 13(1), 1. https://doi.org/10.1186/14712318-13-105 kewa, m. l., kusnanto, & dewi, y. s. (2014). pengetahuan, self efficacy dan stress pasien kusta melalui penerapan support grup dengan pendekatan teori adaptasi. jurnal ners, vol. 9(no. 1), 49–58. lamak, m. k., kusnanto, & dewi, y. s. (2014). pengetahuan, self efficacy dan stress pasien kusta mel al ui pene rapan support grup de ngan pendekatan teori adaptasi. jurnal ners, 9(1 april 2014), 49–58. mufarokhah, h., putra, s. t., & dewi, y. s. (2016). self management program meningkatkan koping , niat dan kepatuhan berobat pasien pjk. jurnal ners, vol.11(no.1 april 2016), 56–62. notoatmodjo, s. (2010). ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. (2015). metodologi penelitian ilmu keperawatan: pendekatan praktis (4th ed.). jakarta: salemba medika. rawleet, e. (2011). analytical evaluation of the health b e li e f model and vul ne rabl e popul at ions conce pt ual mode l appli ed t o a me di call y underserved, rural population. uniter states of america. sjamsoe, e. (2003). kusta. jakarta: fkui. slim, f. j., schie, c. h. van, keukenkamp, r., william, r., & nollet, f. (2010). effect of impairments on activities and participaton in people affected by leprosy in the netherlands. j rehabil med, (42), 536–543. https://doi.org/10.2340/16501977-0569 veen, n. h. j. van, mcnamee, p., richardus, j. h., & smith, w. c. s. (2009). cost-effectiveness of interventions to prevent disability in leprosy/ : a systematic r ev i e w, 4(2). h tt ps: // doi .org/10. 1371/ journal.pone.0004548 velema, p. j. (2010). screening activity limitation and safety awareness (2nd ed.). netherlands: gt apeldoorn. retrieved from http://www.ilep.org.uk/ library-resources/infolep-informationservices/ subjectguides/salsa-scale/ wahyuni, d. (2013). ankle brachial index sesudah senam kaki diabetes pada penderita diabetes melitus tipe 2. jurnal keperawatan (vol. 4). https://doi.org/ 10.1109/ultsym.2006.112 wewengkang, k., palandeng, h. m. f., & rombot, d. v. (2016). pencegahan kecacatan akibat kusta di kota manado. jurnal kedokteran komunitas dan tropik, 4(2), 87–92. retrieved from https://www. google.com/search?q=pencegahan+kecacatan+ a ki ba t + k u st a + di + kot a + m a n a d o& i e = u t f8&oe=utf-8&client=firefox-b# who. (2009). enhanced global strategy for further reducing the disese burden due to leprosy. new delhi: mahatma gandhi marg. e:\2021\ners april 2021\4-jurna 26 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 26–32 gestation period and its bio-psychosocial and economic factors analysis on toddler growth and development jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 13/11/2020 accepted, 18/02/2021 published, 05/04/2021 keywords: biopsychosocial, economy, growth, toddler article information abstract the growth and development of toddlers is influenced by hereditary and environmental factors. genetic factors, biologically have strong influences on toddlers’ growth in their early years of life. while psychologically, a good interpersonal relation of pregnant women with their families will make them more ready to undergo the pregnancy and childbirth. on the other hand, socially, the level of parental education might affect the nutrition intake and parenting patterns. for the economic factor, the level of family income and their ability to provide sufficient nutrition input might affect the nutritional status during gestation. the nutrition input during pregnancy highly contributes to the fetus growth and development. a poor nutrition input during gestation might cause an intrauterine growth retardation (iugr) and growth and development disorder. this study aimed to analyze the bio-psychosocial and economic factors of gestation period on toddler growth and development. this is a correlational analytic study with 80 mothers and toddlers as the sample. the data was analysed using univariat, bivariate with chi square and multivariate with logistic regression. the results show that the statistically significant independent variables which influence the growth and development of toddlers are the mother height (p = 0.001), lila (p = 0.008), family income (p = 0.007), infant birth weight (p = 0.009) and family support (p = 0.013). while the statistically insignificant independent variable is the mother level of education (p = 0.086). © 2020 journal of ners and midwifery 26 correspondence address: stikes widyagama husada malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nicky_daanty@widyagamahusada.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p026–032 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) nicky danur jayanti1, senditya indah mayasari2 1,2midwifery departement, stikes widyagama husada malang, indonesia https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p026-032&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p026-032 27jayanti, mayasari, gestation period and its bio-psychosocial and economic factors analysis on ... introduction a significantly fast growth and development in human life is taken place during toddler. during this ‘golden age’ period, toddler’s cognitive, physical, motoric and psychosocial aspects are fastly developed (welasasih dan wirjatmadi, 2012). consequently, any disorder or late growth on them will be easily detected by their attentive family member. in addition, sufficient loving care and fulfilment of basic needs such as healthy diet and caring is particularly needed in this development period in order to have quality human resourse who are healthy, smart and productive, (soetjiningsih, 2012). factors affecting the children development in general are the genetic/ heredity, gender, race/ ethnicity, age a nd environment factor which comprises prenatal and post natal environment. specifically, in gestation period, if any developmental obstacles take place previous to the 20th week of pregnancy, it might affect the brain and somatic development of te fetus which r esulted in unaccomplised of newborn growth on their childbirth (anugraheni, 2012). biologically, a person’early life growth indirectly effect his/her body size (kusharisupeni, 2014). while psychologically, a mother interpersonal relationship with her family will give effect oh her readiness in undergoing the pregnancy and labor. on the socia l fa ctor, toodler gr owth a nd development are affected by their parent knowledge on healthy diet and appropriate parenting which highly correlated to the level of education. it means that sufficient diet and appropriate parenting will help in optimalizing the toddler growth and it works conversely (chaudhury, 2013). a family income is one of important variable which affect the mother nutrition input during pregnancy. (anindita, 2012). balanced diet is needed during pregnancy and it affects infant growth and development. imbalanced or insufficient nutrition might result on newborn baby with low body weight or ca lled intrauterine growth retardation (iugr) which consequently, the development of the toddler is in disorder or experience late blooming. on the other hand, a mother with quality nutrition input will result on healthy baby. (anugraheni, 2012). based on the review of related journals, it can be said that research focusing on bio-psychosocial and economic factors of gestation period on toddler growth and development is highly needed. the objective of this study is to analyse those factors in relation to toddler growth and development. materials and methods this is a correlational analytic study which was conducted in desa mangliawan kab. malang from june to august 2019. the population is mother and toddler from the aforementioned research setting with the sample of 80 respondents. the data was collected using a set of questionaire and kpsp obser va tion checklist to monitor toddler development. after the collected data was sorted and coded, the next step was the data analysis using spss 22. the analysis was also analysed using univariat, bivariate with chi square and multivariate with logistic regression respectively. findings karakteristik kriteria n % mother height < 145 cm 36 45  145 cm 44 55 lila < 23.5 cm  23.5 cm 2456 3070 family income < rp. 2.781.564  rp. 2.781.564 3248 4060 mother level of education < high school  high school 2258 27.572.5 infant birth weight < 2500 gr  2500 gr 3743 46.353.8 family support lemah kuat 2060 2575 source: primary data 2019 table 1 research subject characteristics 28 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 26–32 discussion a. the relation of mother height to toddler growth and development body weight is affected by heredity and environment factors. a toddler height during his/ her children growing period is influenced by their genetic factor (levy, 2008). low body height and poor nutrition status during pregnancy will increase the incident of intrauterine growth retardation (iugr). this will also increase the incident of variable or p late normal n % n % mother height < 145 cm 23 63.9 13 36.1 6.01 < 0.001  145 cm 10 22.7 34 77.3 lila < 23,5 cm 16 66.6 8 33.4 4.58 0.003  23,5 cm 17 30.4 39 69.6 family income < rp. 2.781.564 22 68.7 10 31.3 7.40 < 0.001  rp. 2.781.564 11 23 37 77 mother level of education < high school 17 77.3 5 22.7 8.92 < 0.001  high school 16 27.6 42 72.4 newborn weight < 2500 gr 24 64.8 13 35.2 6.97 < 0.001  2500 gr 9 21 34 79 family support weak 15 75 5 25 7.00 < 0.001 strong 18 30 42 70 source: primary data 2019 table 2 frequency distribution of bio-psychosocial economic bivariate analysis of gestation period on toddler growth and development toddler growth and development variable or ci 95 % p lower range upper range mother height 0.01 0.00 0.13 0.001 lila 0.05 0.01 0.46 0.008 family income 0.05 0.01 0.45 0.007 mother level of education 0.15 0.02 1.31 0.086 newborn weight 0.07 0.01 0.51 0.009 family support 0.02 0.00 0.41 0.013 source: primary data 2019 table 3 analysis on doubled multivariate logistic regression growth and development disorder on toddler. (victora, 2008). as cited in black et,al (2008), poor fetus growth during gestation will influence the newborn optimal growth and development. this disorder is affected by mother poor nutrition status and (shorter) mother height. it is inline to the result of this study which showed that 77,3% of the participants with body height  145 cm has todller with normal growth and development. 29jayanti, mayasari, gestation period and its bio-psychosocial and economic factors analysis on ... mamabolo et,al (2015) explains that parents with genetically (shorter) body height will highly expecting (shorter) body height on their children. it does not apply on parents who have (shorter) body height due to the poor nutrition inpu. this study does not differentiate the participants based on those factor s (genetica lly or pa tologica lly) which consequently becomes one of the study limitations. semba et al (2008), and zottarelli et al (2007) study show that mother body heigth is significantly correlated to toddler nutrition status. based on those data, it can be concluded that there is a significant statistical relation between mother height and toddler growth and development. a mother categorized as (high) body height with normal body mass indexwill have positive impact on their newborn growth and development. b . the relation of lila to toddler growth and development a mother nutrition status before and during gestation is a crucial to have a healthy newborn. in addition, lila (size of upper arm) of the pragnant mother is one of indicators to check their nutrition status. those who have lila < 23.5cm might have cronic energy deficiency/ kek (proverawati, 2009). in another word, conversely, a mother with lila  23.5 cm shows her good nutrition status. someone nutrition status is influenced by his/her diet (francis, 2005). on a case of pregnant mother, her nutrition status will affect the fetus growth. her normal condition will result on a healthy newborn with normal body weight to support an optimal growth. this is supported by this study result that most of participants (69,9%) with lila  23,5 cm have newborn and toddler with normal growth and development. mother nutrition status during pregnancy will affect the infant and the newborn nutrition status. during the gestation period, the fetus development is highly influenced by the mother nutrition status. to have a healthy newborn with normal body weight, and born without birth defects so the the mother should have normal nutritional status. the mother with the aforementioned condition will not experience newborn with low birth weight (bblr) which may lead into toddler growth disorder. it is empirically supported by this study result that 16 (sixteen) mothers with lila < 23.5 cm have babies with low birth weight (bblr). c. the relation of family support to toddler growth and development higher degree of anxiety and stressed condition is experienced concurently during the pregnancy. this condition is not only experienced by the pregnant mother but also her family, especially them who live at the same house with her. it also affects her husband. any changes and adaptation process during pregnancy will be experienced by the whole family which makes them to indirectly involved. the family support (love caring and motivation) will give the pregnant mother feeling comfort, feeling secured and relaxed so she is not too worried and or occupied by her pregnancy (susanti, 2008). friedman in suryanto et al (2014) states that any positive perception and acts by any family member is called family support. any support and help will be given by the family member who possesses good motivation and support believe. this kind of support is needed during any part of someone’s life. a family with its various functions both physically or mentally will have the effect on family adaptation process and health. the family support, especially on health care matter, is highly needed by mother during her pregnancy. every woman will experience anxiety on her pregnancy regardless her amount of pregnancy. this anxiety mostly applies to women who are very content with her pregnancy. every pregnant woman is in doubt in undergoing her nine (9) month pregnancy with all its discomfort or changes especially on the changes of roles once the baby was born. the husband support will help the mother to have smooth labor and breast feeding. with a good quality of family relationship, a pregnant mother will have an ease in dealing with any problems during her pregnancy. her husband will also pay more attention and accompany her during her pregnancy (kusmiyati, 2010). in dealing with problems, anyone needs family support which plays a vital role to successfully solve the problems. with this good support, the person will have higher confidence and motivate himself to solve the problems he is facing. psychologically and emotionally, the support from the family is one of the factors needed to have a succesfully developed pregnancy. a woman who has a good relationship and live-in harmony with her husband and her family will benefit good emotional effect for her pregnancy. 30 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 26–32 her good emotional state will give good influence for her baby and it affects the growth and development of the fetus which in consequence will give effect on the toddler gr owth a nd development. it is supported by data gathered from this study which shows that emotional support from the family (for about 70 %) have effect on normal growth and development of the toddler. moreover, psychosocial factor which plays a vital role during a woman pregnancy or after hergiving birth is the family support, which consequenly followed by the growth of the toddler. it then follows by the simulation, support and parenting style which will affect the development of the toddler (barros et al, 2008). considering that, we can say that this study resulted the same conclution. d. the relation of mother education level to toddler growth and development education is a long-life learning effort made to improve someone’s skill and character which can be taken thr ough academic or non-a cademic measures. how educated the person is, can be seen from how he/she manages and disseminate the information. more educated the person, easier for them to get and absorb the information to improve their knowledge. on the other hand, less educated people will have problems in perceiving and absorving new information. a person acts is highly influenced by his/her education level which also affect how the person respond problems and find the solution in his/her life. most commonly, he/she will act more logically and much easier in accepting new good ideas and opinion. in this case, an educated mother might pay more attention on her health during her pregnancy and in having her pregnancy regularly checked. furthermore, the parents’ level of education will affect their knowledge about nutrition and parenting style. in reverse, a good parenting and normal nutritional status will optimize the growth and development of the toddler. (chaudhury, 2013). as reported by febrianto (2012) the parents’ level of education have effect on the toddler nutritional status which becomes the indicator of their gr owth and development dur ing home monitoring. it happens because the educated parents receive a lot of information which benefit them to have better life quality to improve their universal health state. mother with good education level, based on statistically significant bivariate analysis, has 8.92 times chances to have toddler with normal growth and development, yet on multivariate analysis it shows that the mother level of education does not statistically significant to the toddler growth and development. e. the relation of family income to toddler growth and development the family income plays a big role in the family survival and eco-social status of the household. it indirectly influences the nutritional status of the whole family member. a family with low-income status might result on low inadequate nutritional staus of the family member, especially the infant and toddler. this is a cliché excuse for the problem of low nutritional familty status worldwide. riyadi et al (2006) states that common indicator of low nutritional family status is their low-income status which indicates a very low budget on basic meals. the study result indicates that most of the respondent’s family income derives from the husbands. additionally, febrianto (2012) states that someone health state is specifically influenced by his/her income. lower their income and socioeconomic status the bigger the effect on their future health state. toddler and children health status can be confirmed by looking at their growth indicated by their body weight and height which is checked periodically. it can be concluded that there is a significant relation between their family income level and the toddler nutritional status. in line to that, rukmana dan indawati (2014) mentions that there is a significant relation bettwen socio-eco status of the family, especially the parents’ income, with the toddler growth. a family with high income level might provide better parenting and can fulfill their children nutritional intake to grow, provide safe environment, avoid ilnesses and exposure of patogen (astari et al, 2005). the higher someone’s income level, it usually affects their diet which becomes varied and balanced. on the other hand, it might also provoke them to consume unhealthy diet or junk food. it mostly due to their busy life and changes in life style. eating habit usually changes concurrently with the changes on income level. this means that besides an improvement on income level, the family needs to improve their knowledge in healthy diet to have normal family nutritional status (suhardjo, 1999). 31jayanti, mayasari, gestation period and its bio-psychosocial and economic factors analysis on ... this because the family economic status has significant effect on the incidents of children whether they will have normal or abnormal body weight and height. with this in mind, we can say that the study result is inline to the previous research. f. the relation of newborn weight to toddler growth and development the average of life expectancy, globally, in the future is highly affected by some factors. one of them is newborn body weight (zareian et al, 2014). from the data of newborn body weight, we can relate them with the children development, level of education, and their behaviour during childhood or teenage. the most crucial period of someone’s life is during his/her golden age period. during this life phase, the fastest growth and development takes place. any disorder or late blooming will easily be detected. some of the aspects which are fastly developed are cognitive, physical, motoric, and its psycho-social aspects. (welasasih dan wirjatmadi, 2012). the newborn body weight is one of indicators for healthy society. this indicates the child potential growth and development in the future. those who are born with normal body weight have less mortality rate especially during perinatal. additionally, they might have less ilnesses both mentally and physically. el taquri et al (2008) reported that in lybia the newborn body weight also significantly related to the nutritional status. babies who are born with abnormal body weight (low) will mostly experience late blooming compared to those who are born with normal body weight. hamam (2005) states that newborn baby with low body weight might have higher chnaces in getting infected especially when they do not get adequate nutritional intake. based on rahmad et al (2013) and mardani et al (2015), babies with low borth weight might have poor nutritional status compared to those who are born with normal body weight. the quality of the toddler growth and development is crucially affected by their newborn body weight. ba bies body weight indica tes their life development and most importantly they will have normal antropometri correspond to their age. arifin et al (2012), states that infants born with normal body weight who are supported by adequate nutritional intake and balanced diet will decrease their illnesses incidents and grow optimally especially when it is also supported by good healthcare, complete vaccination, and good immune system. baby mortality rate is caused by multiple factors. one of the most crucial factors is the lownewborn birth weight. those babies born with this condition might experience mental and physical disorders in their early development years which mostly give burden financially. this study result indicates that 79% of the normal growth and development takes place on babies born with normal body weightwhis is  2500 gram. in another word, it can be concluded that this study result is inline with those previous studies. conclusion based on the data analysis, it can be concluded that the statistically significant independent variables which affects the toddler growth and development are mother height (p=0.001), lila (p=0.008), family income (p=0.007), newborn weight (p=0.009) and family support (p=0.013). while the independent varible which is not significant statistically is the mother level of education (p=0.086). suggestion it is suggested to the healthcare professionals to give counselling on good diet and nutritional intake. besides, social support from the family is highly needed because the family commonly does not have sufficient knowledge on good diet or healthcare, especially in taking care the mother during gestation. for the r espondents, it is suggested to understand the importance of having adequate nutritional intake to optimize the fetus growth and development to avoid the growth disorder in their toddler golden age. furthermore, for women in general, they need to understand the importance of having sufficient nutritional intake in preparing them for their pregnancy to have quality toddler growth and development. references anindita p. 2012. hubungan tingkat pendidikan ibu, pendapatan keluarga, kecukupan protein dan zinc dengan stunting pada balita usia 6 – 35 bulan di kecamatan tembalang kota semarang. jurnal kesehatan masyarakat. 1(2) : 617 – 626. anugraheni, hs. 2012. faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan di kecamatan pati, 32 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 26–32 kabupaten pati. program studi ilmu gizi fakultas kedokteran universitas diponegoro. semarang. arifin dz, irdasari sy dan sukandar h. (2012). analisis sebaran dan faktor risiko stunting pada baduta di kabupaten purwakarta 2012 [manuscript on internet]. bandung: universitas padjajaran astari ld, nasoetion a, dan dwiriani cm. (2005). hubungan karakteristik keluarga, pola pengasuhan dan kejadian stunting anak usia 612 bulan. media gizi & keluarga, 29 (2) : 40-4 barros aj, matijasevich a, santos is dan halpern r. (2008). child development in a birth cohort: effect of child stimulation is stronger in less educated mothers. international journal off epidemiology. vol 39 (1): 285-294 black re, allen lh, bhutta za, caulfield le, de onis m, ezzati m, mathers c, river j. (2008). maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. lancet, 371, 243-260. chaudhury rh. determinants of dietary intake and dietary adequacy for preschool children in bangladesh. bangladesh institute of development studies. [accessed april, 2019]. available from: url: http://archive.unu.edu/unupr ess/food/8f064e/ 8f064e04.htm damayanti m. (2006). kuesioner pra skrining perkembangan (kpsp) anak. sari pediatri 8 (1) febrianto id. (2012). hubungan tingkat penghasilan, tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua tentang makanan bergizi dan status gizi siswa tk islam zahrotul ulum karang ampel indramayu. skripsi. universitas negeri yogyakarta. yogyakarta. francis. (2005). gizi dalam kesehatan reproduksi. jakarta. egc hadi, hamam. 2015. beban ganda masalah gizi dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan kesehatan nasional. pidato pengukuhan jabatan guru besar fakultas kedokteran universitas gajah mada kusharisupeni. (2014). peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi. jurnal kedokteran trisakti, volume 23: 73-80 kusmiyati, yeni. (2010). perawatan ibu hamil. yogyakarta: fitramaya levy, teresa shamah. (2008). maternal characteristic determine stunting in children of less than five years of age results from a national probabilistic survei. clinical medicine: pediatrics, 1, 43-52 lin chen cw, chen pt, lu th, li cy. (2007). risks and causes of mortality among low birthweight infants in childhood and adolescence. paediatric and perinatal epidemiology. 21: 465-72 mamabolo rl, alberts m, steyn np, re-van de wall had, dan levitt ns. 2005. prevalence and determinants of stunting and overweight in 3-yearold black south african children residing in the central region of limpopo province, south africa. public health nutrition, 8(5), 501—508 mardani rad, wetasin k, suwanwaiphatthana w. (2015). faktor prediksi yang mempengaruhi terjadinya stunting pada anak usia dibawah lima tahun. jurnal kesehatan masyarakat. 2015; 11 (1): 1-7. proverawati, atikah. (2009). buku ajar gizi untuk kebidanan. nuha medika: jakarta. rahmad ah, miko a, hadi a. (2013). kajian stunting pada anak balita ditinjau dari pemberian asi eksklusif, mp-asi, status imunisasi dan karakteristik keluarga di kota banda aceh. jurnal kesehatan ilmiah nasuwakes. 2013; 6 (2): 169-84 riyadi h, a khomsan, s dadang, a faisal dan es mudjajanto. (2006). studi tentang status gizi pada rumah tangga miskin dan tidak miskin. gizi indonesia, 1 rukmana, umu komariah, rachmah indawati. (2014). kondisi sosioekonomi dan demografi keluarga pra sejahtera dan sejahtera i di kota mojokerto. departemen biostatistika dan kependudukan fakultas kesehatan masyarakat universitas airlangga surabaya semba rd, et al. (2008). effect of parental formal education on risk of child stunting in indonesia and bangladesh: a cross-sectional study. lancet, 371, 322—328. soetjiningsih. (2012). buku ajar i: ilmu perkembangan anak dan remaja. jakarta: sagungseto. pp 86-90. suhardjo (1999). sosio budaya gizi. bogor: ipb pau pangan dan gizi supariasa susanti. (2008). psikologi kehamilan. egc; jakarta. victoria, g cesar. (2008). maternal and child undernutrition 2 maternal and chils undernutrition: consequences for adult health and human capital. lamcet community health, 55 (6), 394-8 welasasih, bd dan wirjatmadi, rb. (2012). beberapa faktor yang berhubungan dengan status gizi balita stunting. the indonesian journal of public health, 8 (3) maret 2012: 99–104 zareian e, saeedi f, dan rabbani v. (2014). the role of birth order and birthweight in the balance of boys aged 9-11 years old. ann appl sport sci.2(2) : 51-53 zottarelli lk, sunil ts, rajaram s. (2007). influence of parental and socioeconomics factors on stunting in children under 5 years in egypt. eastern mediterranean health journal jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk pengaruh caregiving pada pasien kanker terhadap tingkat caregiver burden yesiana dwi wahyu werdani fakultas keperawatan universitas katolik widya mandala surabaya info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 03/12/2018 disetujui, 31/12/2018 di publikasi, 31/12/2018 kata kunci: caregiving, caregiver burden, kanker kompleksitas perawatan pasien kanker menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan pasien kepada caregiver baik ketergantungan fisik maupun psikologis, yang berdampak terhadap timbulnya caregiver burden. tujuan penelitian membuktikan adanya pengaruh caregiving pada pasien kanker terhadap tingkat caregiver burden. desain yang digunakan cross sectional. populasinya adalah caregiver pasien kanker di wilayah kerja puskesmas kedungdoro dan pacarkeling surabaya yang jumlah 60 orang, yang diambil dengan teknik total sampling. instrumen yang digunakan yaitu kuesioner caregiving dan caregiver burden scale yang telah diuji validitas dan reliabi-litasnya. uji statistik dengan regresi ordinal didapatkan p = 0.000, dengan nilai r = 0.699 yang berarti ada pengaruh caregiving terhadap terhadap tingkat caregiver burden dengan besarnya pengaruh adalah 69.9%. semakin kompleks keluhan pasien kanker, menyebabkan semakin lamanya durasi perawatan yang diberikan caregiver kepada pasien, hal ini berdampak terhadap ketidaseimbangan waktu kerja pribadi dengan waktu luang yang dimiliki caregiver untuk berelaksasi, hal ini menjadi stresor yang memicu stres, dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan caregiver burden.  correspondence address: doi:10.26699/jnk.v5i3.art.p249–256 249 fakultas keperawatan ukwms east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ywerdani@yahoo.com e-issn : 2548-3811 this is an open is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) ywerdani@yahoo.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/361 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 250 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 249–256 abstract the complexity caring of cancer patients causes the high levels of patient dependences physic and psychology on caregivers, it impact on the the caregiver burden. the purpose was determine the effect of caregiving in cancer patients on the caregiver burden level. the design used cross sectional. the population were caregivers of cancer patients in the working area of kedungdoro health center surabaya and pacarkeling health center surabaya amounted 60 people, the total sampling method is taken. the instruments used were caregiving and caregiver burden scale questionnaires that have been tested for validity and reliability. statistical test with ordinal regression p = 0.000, r = 0.699, it means that there was effect of caregiving in cancer patients on the caregiver burden level with the influence was 69.9%. the more complex complaints of cancer patients cause the longer caring duration provided by the caregiver to the patient, it impact on the imbalance of personal work time and free time of caregiver to relax, it becomes a stressor that triggers stress, and in the long term can cause the caregiver burden. © 2018 journal of ners and midwifery article information history article: received, 03/12/2018 accepted, 31/12/2018 published, 31/12/2018 keywords: caregiving, caregiver burden, cancer effect of caregiving in cancer patients on the caregiver burden levels 251yesiana, pengaruh caregiving pada pasien kanker... pendahuluan pasien kanker memiliki berbagai keluhan fisik dan mental yang timbul akibat penyakit itu sendiri maupun akibat pengobatan yang dijalani. berbagai keluhan yang dihadapi oleh pasien kanker menyebabkan tingginya tingkat ketergantungan pasien kepada orang lain, dalam hal ini adalah caregiver. sejumlah 86.6% pasien kanker memiliki ketergantungan pada caregiver dengan tingkatan yang bervariasi, dan jumlah yang terbesar berada pada tingkat ketergantungan berat yaitu 36.7% (werdani, 2018). minimnya tingkat kemandirian pasien inilah yang menyebabkan perlu dilakukan caregiving secara totalitas. prevalensi kanker di indonesia mencapai 4.9 per mil, dengan jumlah terbesar adalah perempuan yaitu 2.9 permil dan mayoritas terjadi di wilayah perkotaan yaitu 2.06 permil. adapun penatalaksanaan kanker yang terbanyak adalah operasi mencapai 61.8% diikuti kemoterapi 24.9%, radiasi 17.3% dan terapi lain-lain 24.1% (badan penelitian dan pengembangan kesehatan, 2018). pasien pasca terdiagnosa kanker maupun yang sedang dalam pengobatan seperti operasi/ kemoterapi/ radiasi/ kemoradiasi, memiliki berbagai gejala fisik yang menyebabkan menurunnya kemampuan fisik dalam melakukan aktivitas. penurunan aktivitas ini tampak nyata pada kebutuhan sehari-hari seperti mandi, makan, berpakaian, toileting dan ambulasi. pasien kanker yang menjalani kemoterapi dan radiasi dapat menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot, sehingga menimbulkan kelemahan fisik dan berdampak terhadap ketergantungan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari pasien (mohile et al., 2009). tugas dan peran caregiver meliputi peran advokasi, melayani kebutuhan fisik dan psikologis pasien, membantu dukungan keuangan, mendampingi pasien pada saat sakratul maut, membantu administrasi pengobatan, melakukan manajemen nyeri kepada pasien, membantu memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, memberikan dukungan emosional dan spiritual, menjadi pendengar yang aktif dan memberikan dukungan sosial. rangkaian tugas dan peran inilah yang menyebabkan tingginya tekanan yang dirasakan oleh caregiver, yang selanjutnya dapat menimbulkan caregiver burden (national hospice and palliative care organization, 2015). caregiver burden adalah reaksi multidimensi sebagai hasil dari ketidakseimbangan perawatan terhadap waktu pribadi dan peran sosial, keadaan fisik dan emosional, sumber daya keuangan, dan sumber daya sosial yang akan mempengaruhi kesejahteraan caregiver secara keseluruhan. timbulnya caregiver burden ini memicu stres bagi caregiver (bainbridge, krueger, lohfeld, & brazil, 2009). tujuan penelitian membuktikan adanya pengaruh caregiving pada pasien kanker terhadap tingkat caregiver burden. bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. sampel sejumlah 60 caregiver yang merawat pasien kanker, yang diambil dengan teknik total sampling. penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas kedungdoro dan puskesmas pacarkeling surabaya. instrumen yang digunakan yaitu kuesioner caregiving yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan koefisien korelasi nilai r pada rentang 0.85–0.9 dan cronbach alpha adalah 0.867 yang artinya bahwa alat ukur tersebut valid untuk mengukur aktivitas caregiving pada pasien kanker. instrumen kedua adalah caregiver burden scale yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan hasil koefisien korelasi nilai r 0.92–0.97, dan cronbach alpha adalah 0.898 yang artinya bahwa alat ukur tersebut valid untuk mengukur mengukur caregiver burden. penelitian ini telah dilakukan uji etik dan dinyatakan laik etik. sebelum pengambilan data peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat, resiko dan prosedur penelitian. caregiver pasien kanker yang menyetujui menjadi responden menandatangani informed consent. seluruh responden diberikan kuesioner caregiving dan caregiver burden scale. setelah data terkumpul, peneliti melakukan koding, skoring, tabulasi, dan uji statistik regresi ordinal dengan p < 0.05.    hasil penelitian tabel 1 data umum responden di wilayah kerja puskesmas kedungdoro dan puskesmas pacarkeling surabaya, maret – april 2018 variabel kategori f % usia 17 – 25 tahun 6 10 26 – 35 tahun 7 11.6 36 – 45 tahun 13 21.7 46 – 55 tahun 16 26.7 56 – 65 tahun 10 16.7 >65 tahun 8 13.3 252 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 249–256 pada tabel 1 dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden berusia 46–55 tahun (26.7%), didominasi oleh perempuan (66.7%), responden sebagian besar masih bekerja (51.7%) dan telah mendampingi pasien kanker selama 1–5 tahun (70%). mayoritas responden adalah pasangan pasien (33.3%), melakukan perawatan 3–4 jam perhari (46.7%). responden sebagian besar merawat pasien variabel kategori f % jenis kelamin perempuan 40 66.7 laki-laki 20 33.3 status bekerja masih bekerja 31 51.7 resign kerja 11 18.3 tidak bekerja 18 30 lama mendam< 1 tahun 4 6.7 pingi pasien 1 – 5 tahun 42 70 6 – 10 tahun 14 23.3 hubungan orangtua 7 11.7 dengan pasien pasangan 20 33.3 anak 27 45 saudara 6 10 durasi merawat 1– 2 jam/hari 3 5 pasien/ hari 3 – 4 jam/hari 28 46.7 5 – 6 jam/ hari 7 11.6 >6 jam/hari 22 36.7 stadium kanker i 8 13.3 pasien yang ii 15 25 dirawat iii 30 50 iv 7 11.7 jenis pengobatkemoterapi 27 45 an yang diterima kemoradiasi 14 23.3 pasien kanker operasi dan 19 31.7 kemoterapi caregiving f % complex caregiving 16 26.7 moderate caregiving 29 48.3 mild caregiving 11 18.3 non complex caregiving 4 6.7 tabel 2 caregiving pada pasien, di wilayah kerja puskesmas kedungdoro dan puskesmas pacarkeling surabaya, maret – april 2018 pada tabel 2 dapat dipaparkan bahwa mayoritas responden melakukan perawatan pada pasien ka nker denga n tingka t moderate caregiving (48.3%). tingkat caregiver burden f % severe burden 11 18.3 moderate burden 31 51.7 mild burden 9 15 no burden 9 15 tabel 3 tingkat caregiver burden responden, di wilayah kerja puskesmas kedungdoro dan puskesmas pacarkeling surabaya, maret – april 2018 pada tabel 3 dapat digambarkan bahwa mayoritas responden memiliki caregiver burden pada tingkatan moderate (51.7%). model fitting information model -2 log likelihood chi-square df sig. intercept only 76.148 final 15.180 60.968 3 .000 link function: logit. tabel 4 uji regresi ordinal kanker stadium iii (50%) dengan jenis pengobatan yang diterima pasien mayoritas adalah kemoterapi. hasil uji statistik regresi ordinal 253yesiana, pengaruh caregiving pada pasien kanker... berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan regresi ordinal diatas didapatkan signifikansi p = 0.000 yang berarti ada pengaruh yang bermakna dari caregiving pada pasien kanker terhadap tingkat caregiver burden. hasil pseudo r square nagelkerke adalah 0.699 yang berarti bahwa sebesar 69.9% caregiving pada pasien kanker mempengaruhi tingkat caregiver burden. pembahasan caregiving pada pasien kanker berdasarkan hasil penelitian mayoritas responden memberikan caregiving pada pasien kanker dengan kategori moderate caregiving yaitu sebesar 48.3%. pada moderate caregiving ini hal yang selalu dilakukan oleh responden meliputi pemberian perawatan sehari-hari berupa membantu pasien menyiapkan peralatan mandi, menyiapkan pakaian, membantu pasien untuk berpakaian, menyiapkan makan, membantu menyiapkan obat untuk pasien, mengambil obat dan mengantarkan pasien berobat ke pusat pelayanan kesehatan, berkonsultasi dengan petugas kesehatan, mendengarkan keluhan pasien dan berdiskusi tentang penyakitnya, memotivasi pasien untuk sembuh, mendampingi pasien untuk melakukan kegiatan keagamaan, serta ikut memantau gejala yang timbul akibat penyakit kanker atau akibat pengobatan. (lund, ross, petersen, & groenvold, 2014) menyebutkan bahwa 20% caregivers membantu memenuhi kebutuhan pribadi pasien, 74% memberikan dukungan psikologis pada pasien, 17% bertanggungjawab terhadap pemeriksaan dan perawatan pasien dan 48% bertanggungjawab dalam transportasi pasien ke pelayanan kesehatan. moderate caregiving yang terjadi pada penelitian ini dapat dihubungkan dengan stadium kanker pada pasien yang dirawat oleh caregiver yaitu mayoritas pasien berada pada stadium iii (50%). sel kanker stadium iii telah mengalami penyebaran ke jaringan di sekitar sel kanker tersebut berada (national cancer institute, 2017). hal ini menunjukkan bahwa metastase sel kanker mulai terjadi. pencegahan metastasis sel kanker dapat dilakukan melalui tindakan kemoterapi/radiasi/operasi maupun gabungan dari terapi tersebut. pada penelitian ini 45% pasien yang dirawat oleh caregiver menjalani kemoterapi, 31.7% menjalani kemoterapi dan operasi serta 23.3% menjalani kemoradiasi. modalitas pengobatan tersebut memiliki efek samping terhadap berbagai sistem tubuh yang seringkali mengganggu pola hidup sehari-hari pasien. kelelahan/ cancer related fatigue (crf) menjadi aspek utama yang selalu terjadi pada pasien pasca kemoterapi maupun radiasi. 50% pasien kanker mengalami crf pada tingkat kelelahan berat (werdani, 2018). tingginya tingkat kelelahan pasien kanker mengakibatkan pasien menjadi terhambat dalam memenuhi aktivitas sehari-harinya, sehingga membutuhkan peran caregiver dalam membantu memenuhi kebutuhan tersebut. hal ini mengakibatkan tingkat ketergantungan pasien terhadap caregiver menjadi tinggi. (werdani, 2018) juga menjelaskan bahwa 86.6% pasien kanker memiliki ketergantungan pada caregiver. hal ini tertuang dalam hasil penelitian bahwa caregiving yang diberikan oleh caregiver mayoritas berada pada tingkat moderate. pada hasil penelitian ini juga didapatkan 26.7% caregiving berada pada tingkat complex caregiving. hal ini kemungkinan dikarenakan kompleksitas terapi yang diterima oleh pasien yaitu berupa rangkaian kemoradiasi 23.3%. efek samping yang lebih berat timbul dengan adanya rangkaian terapi kombinasi tersebut. penelitian terhadap 15 pasien pasca radiasi dan kemoterapi mengeluhkan sangat lelah, nyeri seperti terbakar dan gatal-gatal pada seluruh tubuh (schnur, ouellette, bovbjerg, & montgomery, 2009). paparan stres oksidatif pada kemoradiasi yang terjadi di otot dapat menyebabkan kelemahan yang progresif (gilliam & st. clair, 2011). berbagai gejala yang timbul akibat terapi kombinasi ini menyebabkan semakin menurunnya kemampuan pasien dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga caregiver dalam penelitian ini tidak hanya tabel 5 goodness-of-fit goodness-of-fit chi-square df sig. pearson .745 6 .993 deviance 1.231 6 .975 link function: logit. tabel 6 pseudo r-square pseudo r-square cox and snell .638 nagelkerke .699 mcfadden .416 link function: logit. 254 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 249–256 menyiapkan peralatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga terlibat langsung dalam pemenuhan kebutuhan dasar tersebut yaitu harus memandikan, menyuap, membantu pasien berjalan, bahkan ada juga yang harus membantu mengganti posisi pasien saat tidur setiap 2 jam sekali. sebagian kecil dari penelitian ini didapatkan pula data bahwa 18.3% caregiver menjalani mild caregiving dan 6.7% menjalani non complex caregiving. hal ini disebabkan karena minoritas pasien yang dirawat oleh caregiver berada pada stadium i (13.3%) dan stadium ii (25%). menurut (national cancer institute, 2017) kanker stadium i dan ii sel kanker belum menyebar. kanker dengan stadium yang rendah memiliki keluhan fisik yang relatif rendah pula, sehingga pasien masih mampu memenuhi segala kebutuhannya secara mandiri dan hanya membutuhkan bantuan dari caregiver secara minimal. tingkat caregiver burden berdasarkan hasil penelitian ini mayoritas responden memiliki beban pada tingkat moderate burden (51.7%). moderate burden yang ditemukan dalam penelitian ini terjadi akibat adanya kesulitan r esponden dalam menga tur waktu anta ra tanggungjawab untuk merawat pasien dan tanggungjawab dalam pekerjaan pribadi, hal ini dikarenakan 51.7% responden masih aktif bekerja, sehingga harus bangun lebih pagi untuk melakukan perawatan pasien terlebih dahulu dan selalu mengajukan ijin atau cuti pada saat harus mengantar pasien kontrol/ berobat ke pusat pelayanan kesehatan. selain itu responden juga menyatakan sangat lelah dalam merawat pasien, sehingga sangat sedikit waktu yang dipakai responden untuk menikmati kebutuhannya sendiri dan berkurangnya waktu untuk bersosialisasi dengan teman/ orang lain baik secara langsung ataupun melalui media sosial. penelitian lain menyebutkan bahwa family caregiver yang merawat lansia mayoritas mengalami keletihan dan beban pada tingkat moderate (choi & sok, 2012). sedikitnya waktu relaks yang dirasakan responden dapat menjadi stresor yang memicu timbulnya stres. caregiver pasien kanker mengalami stres pada tingkat sedang sampai tinggi dan banyak waktu yang mereka pakai untuk melakukan perawatan pasien (van ryn et al., 2011). penelitian terhadap 96 anggota keluarga yang menjadi caregiver menyatakan bahwa 57.3% responden mengalami stres pada tingkat moderate dan 20.8% mengalami stres pada tingkat severe (ghahfarkhi & molahosseini, 2015). caregiver yang memberikan perawatan pada pasien penyakit kronis stadium lanjut mayoritas melaporkan adanya tekanan emosional yang tinggi (kim, kashy, spillers, & evans, 2010). penelitian terhadap 130 family caregiver pada pasien kanker, 24.6% mengalami stres dan depresi (mahadevan et al., 2013). penelitian terhadap 104 caregivers pada pasien kanker sebagian besar mengalami peningkatan stres emosional (longacre, ross, & fang, 2014). tingkat moderate burden yang terjadi pada penelitian ini dapat dihubungkan dengan faktor lain yaitu durasi mendampingi pasien. mayoritas responden telah mendampingi pasien selama 1-5 tahun yaitu sebesar 70%, dengan lama perawatan per hari mayoritas 3-4 jam/ hari yaitu sejumlah 46.7%. melakukan pekerjaan yang monoton setiap hari dapat menyebabkan terjadinya burnout. salah satu tipe burnout adalah under-challenged, hal ini dikarenakan seseorang terjebak dalam keadaan pekerjaan yang monoton dan tidak stabil, sehingga gagal dalam memberikan kepuasan kerja (marín & campayo, 2010). hal yang paling dikuatirkan dengan munculnya caregiver burden adalah penur unan kualitas perawatan. stres yang terjadi pada caregiver dapat mempengaruhi kualitas perawatan yang diberikan kepada pasien. hal ini dikarenakan informal caregiver tidak memiliki dasar keilmuan yang cukup untuk memberikan perawatan ditambah pula dengan munculnya beban yang lain seperti keuangan, tekanan fisik dan emosional (kulkarni et al., 2014). pada penelitian ini 18.3% caregiver mengalami severe burden, hal ini kemungkinan dikarenakan tingginya tingkat ketergantungan pasien kepada caregiver yang menimbulkan complex caregiving, selain itu mayoritas responden pada penelitian ini adalah perempuan (66.7%), dan ada sejumlah 21.6% responden berada dalam rentang usia yang relatif muda yaitu pada tingkat dewasa awal dan dewasa akhir, serta memiliki status pekerjaan tidak bekerja. perempuan muda dan tidak bekerja memiliki kecenderungan emosional dan mudah merasa tertekan dengan keadaan yang kurang kondusif. hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh (d. kim, 2017) terhadap 108 caregiver pada penyandang cacat, dimana caregiver perempuan yang masih berusia muda dewasa, tidak memiliki pekerjaan dan memberikan waktu perawatan kepada 255yesiana, pengaruh caregiving pada pasien kanker... pasien serta memiliki pendapatan yang rendah, maka indeks depresi yang terjadi lebih tinggi. hasil penelitian ini didapatkan pula sebagian kecil responden berada pada tingkat mild burden dan no burden yang masing-masing memiliki besaran prosentase 15%. hal ini dikarenakan adanya sebagian kecil dari pasien yang dirawat oleh caregiver berada pada tingkatan mild caregiving dan non complex caregiving. keadaan ini menyebabkan caregiver masih memiliki cukup waktu untuk dirinya sendiri dan kelelahan caregiver dapat diatasi dengan cukupnya waktu tidur caregiver yang masih dalam batas normal antara 7–8 jam/ hari. pengaruh caregiving pada pasien kanker terhadap tingkat caregiver burden pada hasil penelitian ini didapatkan data bahwa ada pengaruh positif yang bermakna dari caregiving pada pasien kanker terhadap tingkat caregiver burden, dengan nilai signifikansi pada uji statistik regresi ordinal p = 0.000, dan besarnya pengaruh adalah 69.9%. hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat caregiving yang diberikan kepada pasien kanker memberikan pengaruh yang tinggi pula terhadap tingkat caregiver burden yang dirasakan oleh caregiver. caregiver memiliki peran yang penting tidak hanya membantu secara fisik, namun juga secara psikologis bahkan juga secara sosial. caregiver pasien kanker, harus siap memberikan perawatan secara totalitas dalam memenuhi kebutuhan fisik, dukungan psikologis dan selalu memberikan pengharapan yang positif kepada pasien (kent et al., 2016). berkurangnya kesempatan untuk menikmati waktu luangnya akibat perawatan yang lama dan terus menerus menyebabkan caregiver berada pada situasi yang tertekan dan hal ini menjadi stresor yang akhirnya memicu timbulnya stres. stres yang muncul secara terus menerus tanpa diimbangi oleh relaksasi menyebabkan seseorang menjadi jenuh dan beban hidup terasa lebih berat, sehingga caregiver burden juga meningkat. penelitian terhadap 210 caregiver menyatakan bahwa tingkat beban yang dialami caregiver masuk dalam kriteria berbeban berat (46,2%), beban sedang (36,2%) dan tanpa beban (17,6%). bentuk-bentuk beban yang dialami caregiver adalah beban fisik (43,4%), psikologis (43,3%), keuangan (41,1%) dan sosial (46,7%) (idiok, ackley, & anarado, 2014). kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan tingginya tingkat ketergantungan menyebabkan caregiver harus memberikan perawatan dalam rentang non complex sampai dengan complex caregiving. proses caregiving yang diberikan pada pasien kanker memberikan dampak multifaktorial kepada caregiver berupa caregiver burden mulai dari tingkat no burden sampai dengan severe burden. caregiving memberikan pengaruh sebesar 69.9% terhadap timbulnya caregiver burden. semakin tinggi tingkat caregiving pada pasien kanker semakin tinggi pula caregiver burden yang dialami caregiver. saran hasil penelitian ini dapat sebagai data awal bagi perawat komunitas dan perawat paliatif untuk menyusun program baru terkait dengan pendampingan caregiver untuk membantu menurunkan caregiver burden. daftar pustaka badan penelitian dan pengembangan kesehatan. (2018). hasil utama riskesdas 2018. jakarta. bainbridge, d., krueger, p., lohfeld, l., & brazil, k. (2009). stress processes in caring for an end-of-life family member: application of a theoretical model. aging & mental health, 13(4), 537–545. https://doi.org/ 10.1080/13607860802607322 choi, j. y., & sok, s. r. (2012). relationships among family support, health status, burnout, and the burden of the family caregiver caring for korean older adults. journal of hospice & palliative nursing, 14(8), e1–e8. https://doi.org/10.1097/ njh.0b013e31826bfb4c ghahfarkhi, s. r., & molahosseini, s. m. (2015). stress and its related factors in families of patients with cancer, 3(2), 45–54. https://doi.org/10.22122/cdj.v gilliam, l. a. a., & st. clair, d. k. (2011). chemotherapyinduced weakness and fatigue in skeletal muscle: the role of oxidative stress. antioxidants & redox signaling, 15(9), 2543–2563. https://doi.org/ 10.1089/ars.2011.3965 idiok, a., ackley, p., & anarado, a. n. (2014). perceptions of burden of caregiving by informal caregivers of cancer patients attending university of calabar teaching hospital, calabar, nigeria. the pan african medical journal, 18, 159. https://doi.org/ 10.11604/pamj.2014.18.159.2995 256 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 249–256 kent, e. e., rowland, j. h., northouse, l., litzelman, k., chou, w.-y. s., shelburne, n., … huss, k. (2016). caring for caregivers and patients: research and clinical priorities for informal cancer caregiving. cancer, 122(13), 1987–1995. https://doi.org/ 10.1002/cncr.29939 kim, d. (2017). relationships between caregiving stress, depression, and self-esteem in family caregivers of adults with a disability. occupational therapy international, 2017, 1–9. https://doi.org/10.1155/ 2017/1686143 kim, y., kashy, d. a., spillers, r. l., & evans, t. v. (2010). needs assessment of family caregivers of cancer survivors: three cohorts comparison. psychooncology, 19(6), 573–582. https://doi.org/10.1002/ pon.1597 kulkarni, p., kulkarni, p., ghooi, r., bhatwadekar, m., thatte, n., & anavkar, v. (2014). stress among care givers: the impact of nursing a relative with cancer. indian journal of palliative care, 20(1), 31. https:/ /doi.org/10.4103/0973-1075.125554 longacre, m. l., ross, e. a., & fang, c. y. (2014). caregiving choice and emotional stress among cancer caregivers. western journal of nursing research, 36(6), 806–24. https://doi.org/10.1177/ 0193945913510211 lund, l., ross, l., petersen, m. a., & groenvold, m. (2014). cancer caregiving tasks and consequences and their associations with caregiver status and the caregiver’s relationship to the patient: a survey. bmc cancer, 14(1), 541. https://doi.org/10.1186/14712407-14-541 mahadevan, r., jaafaraafar, n. r. n., din, s. h. s., ahmad, s. n. a., baharuddin, a., & razali, r. (2013). the stress of caregiving: a study of family caregivers of breast cancer patients receiving oncologic treatment at a malaysian general hospital. sains malaysiana, 42(7), 1019–1026. retrieved from https://ukm.pure. elsevier.com/en/publications/the-stress-of-care giving-a-study-of-family-caregivers-of-breast-c marín, m. j., & campayo, g. j. (2010). a newer and broader definition of burnout: validation of the " burnout clinical subtype questionnaire (bcsq36)" bmc public health, 10(1), 302. https:// doi.org/10.1186/1471-2458-10-302. mohile, s. g., xian, y., dale, w., fisher, s. g., rodin, m., morrow, g. r., … hall, w. (2009). association of a cancer diagnosis with vulnerability and frailty in older medicare beneficiaries. jnci journal of the national cancer institute, 101(17), 1206–1215. https://doi.org/10.1093/jnci/djp239 national cancer institute. (2017). cancer staging. retrieved november 27, 2018, from https:// www.cancer.gov/about-cancer/diagnosis-staging/ staging. national hospice and palliative care organization. (2015). caregiving. retrieved june 2, 2018, from https:// www.nhpco.org/caregiving schnur, j. b., ouellette, s. c., bovbjerg, d. h., & montgomery, g. h. (2009). breast cancer patients’ experience of external-beam radiotherapy. qualitative health research, 19(5), 668–676. https:/ /doi.org/10.1177/1049732309334097 van ryn, m., sanders, s., kahn, k., van houtven, c., griffin, j. m., martin, m., … rowland, j. (2011). objective burden, resources, and other stressors among informal cancer caregivers: a hidden quality issue? psycho-oncology, 20(1), 44–52. https:// doi.org/10.1002/pon.1703 werdani, y. d. w. (2018). effect of cancer related fatigue to the level of independence of cancer patients a nd car egiver st ress level . fol i a me dic a indonesiana, 54(2), 108. https://doi.org/10.20473/ fmi.v54i2.8859. jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk faktor penyebab anak stunting usia 25-60 bulan di kecamatan sukorejo kota blitar 1 sri mugianti, 2 arif mulyadi, 3 agus khoirul anam, 4 zian lukluin najah 1,2,3,4 poltekkes kemenkes malang info artikel abstrak sejarah artikel: diterima, 24/10/2018 disetujui, 28/12/2018 di publikasi, 28/12/2018 kata kunci: stunting, faktor, penyebab, anak stunting merupakan isu baru yang menjadi sorotan who untuk segera dituntaskan karena mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh serta meningkatnya angka kesakitan anak. stunting dapat dituntaskan bila faktor penyebab stuting disetiap wilayah dapat dikendalikan. tujuan penelitian ini adalah menggambarkan faktor penyebab stunting pada anak stunting usia 25–60 bulan. desain pada penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif. populasi dalam penelitian ini sejumlah 155 anak. teknik sampling yang digunakan adalah menggunakan quota sampling dengan besar sampel yang diambil 31 anak. pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner dan lembar food recall 24 jam. waktu pengumpulan data dilakukan pada 17–22 april 2017. hasil penelitian ini menunjukkan faktor penyebab stunting yaitu asupan energi rendah (93,5%), penyakit infeksi (80,6%), jenis kelamin laki-laki (64,5%), pendidikan ibu rendah (48,4%), asupan protein rendah (45,2%), tidak asi ekslusif (32,3%), pendidikan ayah rendah (32,3%) dan ibu bekerja (29%). faktor tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang pemenuhan gizi dan terdapat orangtua dengan pendidikan rendah yang diperlukan lintas sektor dalam penanganannya. rekomendasi untuk petugas kesehatan uptd kesehatan kecamatan suko-rejo yaitu melakukan penyuluhan tentang keluarga sadar gizi dan pemberian makanan tambahan selama 3 bulan pada balita dengan asupan energi dan protein rendah serta bekerjasama dengan dinas pendidikan kota blitar dalam sosialisasi wajib belajar 12 tahun.  correspondence address: doi: 10.26699/jnk.v5i3.art.p268–278 268 poltekkes kemenkes malang, east javaindonesia p-issn : 2355-052x email: sri.mugianti@gmail.com e-issn : 2548-3811 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk sri.mugianti@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/ http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/374 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 269mugianti, anam, najah, faktor penyebab anak stunting... abstract stunting is a new issue that becomes who’s focus to shortly been completed since regards physical and functional body and increase painfulness for child. stunting can be completed if the causal factors in each region are controlled. the purpose of the study was to describe the causes of stunting in children aged 25-60 months. the research design was descriptive. the sampling technique used quota sampling technique and took 31 children as respondents. the data collection was done by interview based on questionnaire and 24 hour food recall sheet. the data was collected on 17-22 april 2017. the results of this study showed stunting’s causal factors were low energy intake of (93.5%), infectious diseases of (80.6%), male gender of (64.5%, low maternal education of (48.4%), low protein intake of (45.2%), did not give exclusive breastfeeding of (32.3%), low father education of (32.3%) and working mother (29%). the factor was due to the lack of knowledge of the family knowledge in the fulfillment of nutrition because there were parents who had low education that required cross-sector cooperation for handling. recommendation for health worker of uptd sukorejo blitar is to be aware of family counseling on nutrition and supplementary feeding for 3 months for children with low energy and protein intake and colaboration with education authorities for 12-year compulsory socialization. © 2018 journal of ners and midwifery article information history article: received, 24/10/2018 accepted, 28/12/2018 published, 28/12/2018 keywords: stunting, causes, factor, child the description of stunting’s causal factors in children aged 25-60 months in kecamatan sukorejo blitar city 270 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 268–278 pendahuluan proses pertumbuhan yang dialami oleh balita merupakan hasil kumulatif sejak balita tersebut dilahirkan. keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa balita (umur bawah lima tahun) merupakan fondasi penting bagi kesehatannya di masa depan. kondisi yang berpotensi mengganggu pemenuhan zat gizi terutama energi dan protein pada anak akan menyebabkan masalah gangguan pertumbuhan (hermina & prihatini, 2011). stunting atau balita pendek adalah balita dengan masalah gizi kronik, yang memiliki status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur balita jika dibandingkan dengan standar baku who-mgrs (multicentre growth reference study) tahun 2005, memiliki nilai z-score kurang dari -2sd dan apabila nilai z-scorenya kurang dari-3sd dikategorikan sebagai balita sangat pendek (pusdatin, 2015). stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. permasalahan stunting merupakan isu baru yang berdampak buruk terhadap permasalahan gizi di indonesia karena mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh anak serta meningkatnya angka kesakitan anak, bahkan kejadian stunting tersebut telah menjadi sorotan who untuk segera dituntaskan (kania, 2015). di indonesia prevalensi stunting secara nasional tahun 2013 adalah 37,2% berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (riskesdas, 2013). berdasarkan pemantauan status gizi (psg) pada tahun 2014 provinsi jawa timur memiliki prevalensi stunting sebesar 29%. data dinas kesehatan kota blitar tahun 2015 balita dalam kategori pendek sebanyak 605 anak (9,71%) dan balita sangat pendek sebanyak 96 anak (1,54%). kecamatan sananwetan jumlah balita pendek sebanyak 170 anak (7,04%) dan balita sangat pendek sebanyak 23 anak (0,96%), kecamatan sukorejo jumlah balita pendek sebanyak 261 anak (12,13%) dan balita sangat pendek 57 anak (2,65%), kecamatan kepanjen kidul jumlah balita pendek sebanyak 174 anak (10,44%) dan balita sangat pendek 16 anak (0,96%). tujuan millennium development goals pada tahun 2015 adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan dengan indikator menurunnya prevalensi dalam bentuk stunting (depkes ri, 2008). seiring dengan hal tersebut, peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu upaya prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok rencana pembangunan jangka menengah tahun 2015–2019. peningkatan stunting pada balita dapat diturunkan bila faktor risiko disetiap wilayah dikendalikan dan dihilangkan (sihadi, dkk. 2011). menurut unicef dalam bappenas (2011), pada dasarnya status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung, faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu karakteristik anak berupa jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir rendah, konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan asupan protein rendah, faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan penyakit infeksi ispa dan diare. pola pengasuhan tidak asi ekslusif, pelayanan kesehatan berupa status imunisasi yang tidak lengkap, dan karakteristik keluarga berupa pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi stunting. berdasarkan penelitian oktarina & sudiarti (2013), di sumatera terjadi peningkatan prevalensi stunting anak usia 24–59 bulan karena adanya faktor yang mempengaruhi, yaitu balita memiliki berat badan lahir rendah, tingkat asupan energi rendah dan karakteristik keluarga. berdasarkan hasil penelitian, gambaran faktor penyebab stunting yang masih tinggi pada anak umur 6–24 bulan di kecamatan penanggalan kota subulussalam, aceh meliputi rendahnya pendapatan keluarga, menderita diare, menderita ispa, rendahnya tingkat kecukupan energi, rendahnya tingkat kecukupan protein, berat bayi lahir rendah, pola asuh kurang dengan tidak diberi asi eksklusif (lestari, margawati & rahfiludini, 2014). hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20–26 oktober 2016 di wilayah kecamatan sukorejo kota blitar didapatkan bahwa 6 dari 10 anak yang mengalami stunting menderita penyakit infeksi berupa ispa dan diare selama satu bulan terahir, 7 dari 10 anak memiliki orang tua dengan pendidikan rendah, dan 8 dari 10 anak dengan keluarga berstatus ekonomi rendah. berdasarkan uraian latar belakang diatas faktor risiko stunting berbeda disetiap wilayah. kejadian stunting akan terus meningkat jika faktor-faktor risiko yang telah dijelaskan sebelumnya tidak diperhatikan, karenanya peneliti tertarik untuk meneliti “gambaran faktor penyebab stunting pada anak stunting usia 2560 bulan di kecamatan sukorejo kota blitar”. 271mugianti, anam, najah, faktor penyebab anak stunting... bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah anak stunting usia 25–60 bulan di kecamatan sukorejo kota blitar sejumlah 155 anak, besar sampel sebanyak 31 anak dengan teknik quota sampling yaitu 20% dari populasi. pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara berdasarkan kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan buku sumber yang diambil dari (supariasa, 2001), unicef dalam bapenas 2011 terdiri dari data umum pertanyaan tentang riwayat kondisi ibu saat hamil serta persepsi keluarga tentang stunting dan pertanyaan khusus terdiri dari karakteristik anak, asupan nutrisi anak, penyakit infeksi yang pernah di derita anak, pemanfaatan asi eklusif, penggunakan fasilitas kesehatan, dan karakteristik keluarga: pendidikan ayah ibu, status ekonomi serta menggunakan lembar food recall 24 jam. pengumpulan data dilakukan di masing-masing rumah responden kecamatan sukorejo kota blitar pada 17–22 april 2017. analisa data secara deskriptif dengan tampilan prosentase. hasil penelitian no kategori f % 1. laki-laki 20 64,5 2. perempuan 11 35,5 jumlah 31 100 tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di kecamatan sukorejo, april 2017 (n=31) tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan berat badan lahir di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. >2500 gr 31 100 2. <2500 gr 0 0 jumlah 31 100 no kategori f % 1. sakit 25 80,6 2. tidak 6 19,4 jumlah 31 100 tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan infeksi yang menyertai di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. asi ekslusif 21 67,7 2. tidak asi ekslusif 10 32,3 jumlah 31 100 tabel 4 distribusi frekuensi responden berdasarkan pemberian asi di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. lengkap 31 100 2. tidak lengkap 0 0 jumlah 31 100 tabel 5 distribusi frekuensi responden berdasarkan status imunisasi di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. rendah 10 32,3 2. menengah 19 61,3 3 tinggi 2 6,5 jumlah 31 100 tabel 6 distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan ayah di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. rendah 15 48,4 2. menengah 14 45,2 3 tinggi 2 6,5 jumlah 31 100 tabel 7 distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan ibu di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. bekerja 31 100 2. tidak bekerja 0 0 jumlah 31 100 tabel 8 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan ayah di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) 272 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 268–278 dengan stunting yaitu karakteristik anak berupa jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir rendah, konsumsi makanan berupa asupan energi rendah dan asupan protein rendah, faktor langsung lainnya yaitu status kesehatan penyakit infeksi ispa dan diare. pola pengasuhan dengan tidak asi ekslusif, pelayanan kesehatan berupa status imunisasi yang tidak lengkap, dan karakteristik keluarga berupa pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi stunting. berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa faktor penyebab stunting faktor asupan energi rendah sebesar 93,5% (29 anak), penyakit infeksi sebesar 80,6% (25 anak), jenis kelamin laki-laki sebesar 64,5% (20 anak), pendidikan ibu rendah 48,4% (anak), asupan protein rendah 45,2% (14 anak), tidak asi ekslusif 32,3% (21 anak), pendidikan ayah rendah 32,3% (21 anak) dan ibu bekerja 29% (9 anak). sedangkan untuk faktor bblr, imunisasi tidak lengkap, ayah yang bekerja dan status ekonomi rendah tidak ditemukan dalam penelitian ini asupan energi balita rendah asupan energi merupakan salah satu cara untuk menilai konsumsi makanan pada anak. pada penelitian ini, asupan energi anak stunting di kecamatan sukorejo dibagi menjadi dua yaitu asupan energi rendah (<100% akg) dan cukup (  100% akg). hasil penelitian ini menggunakan metode food recall 24 jam menunjukkan anak yang mengasup energi tidak adekuat sesuai kebutuhan yaitu sebesar 93,5% (29 anak), sebagian lagi 6,5% (2 anak) asupan energinya adekuat sesuai kebutuhan. hal ini sesuai dengan penelitian fitri (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan ya ng signifikan antara konsumsi energi dan kejadian stunting pada balita di sumatera. hal tersebut dikarenakan asupan gizi yang tidak adekuat, terutama dari total energi, berhubungan langsung dengan defisit pertumbuhan fisik pada anak. penelitian yang dilakukan oleh sihadi & djaiman (2011), rendahnya konsumsi energi merupakan faktor utama sebagai penyebab stunting balita di indonesia. rendahnya konsumsi energi pada kelompok anak balita pendek diperkirakan karena beberapa faktor antara lain kurangnya pengetahuan ibu tentang stunting yang berpengaruh dalam pemberian gizi seimbang pada anak, nafsu makan anak berkurang karena adanya penyakit infeksi. hasil tabulasi silang asupan energi dengan pengetahuan no kategori f % 1. bekerja 9 29 2. tidak bekerja 22 71 jumlah 31 100 tabel 9 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan ibu di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. cukup 31 100 2. rendah 0 0 jumlah 31 100 tabel 10 distribusi frekuensi responden berdasarkan status ekonomi keluarga di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. rendah 29 93,5 2. cukup 2 6,5 jumlah 31 100 tabel 11distribusi frekuensi responden berdasarkan asupan energi di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) no kategori f % 1. rendah 14 45,2 2. cukup 17 54,8 jumlah 31 100 tabel 12 distribusi frekuensi responden berdasarkan asupan protein di kecamatan sukorejo april 2017 (n=31) pembahasan stunting merupakan suatu keadaan dimana tinggi badan anak yang terlalu rendah. stunting atau terlalu pendek berdasarkan umur adalah tinggi badan yang berada di bawah minus dua standar deviasi (<-2sd) dari tabel status gizi who child growth standard (kemenkes ri, 2017). menurut unicef dalam bappenas (2011), pada dasarnya status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung, faktor langsung yang berhubungan 273mugianti, anam, najah, faktor penyebab anak stunting... ibu tentang stunting diperoleh hampir seluruh 89,7% (26 anak stunting) memiliki asupan energi rendah dengan ibu tidak mengetahui tentang stunting selain itu, hasil tabulasi silang antara asupan energi dengan penyakit infeksi didapatkan sebagian besar 79,3% (23 anak stunting) memiliki asupan energi rendah dan menderita sakit infeksi dalam satu bulan terahir. berdasarkan hasil teori dan fakta peneliti beranggapan bahwa asupan energi rendah memperoleh prosentase tertinggi sebagai faktor penyebab stunting karena total energi berhubungan langsung dengan defisit pertumbuhan fisik pada anak. asupan energi rendah juga dipengaruhi oleh ketidak tahuan ibu tentang stunting yang memiliki anggapan bahwa anaknya tidak mengalami masalah gizi sehingga ibu tidak memiliki usaha khusus dalam meningkatkan asupan energi untuk anaknya. usaha khusus ini dapat berupa membuat makanan kreasi yang dapat membuat anak tertarik untuk memakannya. penyakit infeksi yang terjadi pada anak stunting mengakibatkan kurangnya nafsu makan sehingga konsumsi makan pada anak menjadi berkurang. penyakit infeksi penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung status gizi balita disamping konsumsi makanan. berdasarkan hasil penelitian terdapat 80,6% (25 anak) menderita penyakit infeksi dalam satu bulan terahir dan 19,4% (6 anak) tidak sakit. hal ini serupa dengan penelitia anisa (2012), dimana sebagian besar balita menderita penyakit infeksi (diare dan ispa). terdapat interaksi bolakbalik antara status gizi dengan penyakit infeksi. malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi, yang mengarahkan ke lingkaran setan. anak kurang gizi, yang daya tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan semakin kurang gizi, sehingga mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit dan sebagainya. pada penelitian ini seluruh anak stunting yang sakit selama satu bulan terahir menderita penyakit ispa dan 2 anak menderita diare. berdasarkan hasil tabulasi silang, anak yang menderita sakit infeksi dengan asupan energi rendah diperoleh hampir seluruh anak stunting sebanyak 92% (23 anak) dan hampir separuh 48% (12 anak) menderita sakit infeksi dengan asupan protein rendah. peneliti beranggapan bahwa pemberdayaan keluarga terutama ibu masih kurang dalam pencegahan penyakit infeksi melalui konsumsi makanan sesuai gizi seimbang pada anak. untuk memahami itu semua ibu harus memiliki informasi yang cukup dan tepat agar dapat melakukan pencegahan ini. informasi bisa disampaikan lewat kader yang ada di posyandu karena diharapkan kader dapat melakukan pendekatan dengan lebih intensif pada ibu. jenis kelamin berdasarkan hasil penelitian dari 31 anak anak stunting di dapatkan data jenis kelamin pada anak yang mengalami stunting di kecamatan sukorejo yaitu sebanyak 64,5% (20 anak) memiliki jenis kelamin laki-laki dan sebanyak 35,5% (11 anak) memiliki jenis kelamin perempuan. hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan di bangladesh, libya dan indonesia oleh ramli et al (2009) tetapi, penelitian yang dilakukan di perkotaan amazon, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antar a jenis kela min dengan kea dian stunting (loerenco et al. 2012). menurut ramli et al (2009), bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah besar daripada bayi laki-laki di kebanyakan negara berkembang termasuk indonesia. penyebab ini tidak dijelaskan dalam literatur, tetapi ada kepercayaan bahwa tumbuh kembang anak laki-laki lebih dipengaruhi oleh tekanan lingkungan dibandingkan anak perempuan (hien & kam, 2008). dalam hal ini lingkungan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi psikologis dalam tumbuh kembang anak (hidayat, 2009). berdasarkan teori dan fakta peneliti beranggapan pertumbuhan anak laki-laki mudah terhambat karena keadaan psikologis. perkembangan psikologis melibatkan pemahaman, kontrol ekspresi dan berbagai emosi. perkembangan ini memperhitungkan ketergantungan pengasuh utama untuk memenuhi kebutuhan mereka. sebuah lingkungan yang hangat, penuh kasih dan responsif sangat penting untuk perkembangan psikologis pada anak. pendidikan ibu hasil penelitian ini, pendidikan ibu di kecamatan sukorejo dikategorikan menjadi 3 yaitu rendah apabila menamatkan pendidikan hingga smp (  smp), menengah apabila menamatkan pendidikan sma dan tinggi jika menamatkan perguruan tinggi. berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa 48,4% (15 ibu) memiliki pendidikan rendah, 45,2%(14 ibu) memiliki pendidikan menengah dan 6,5%(2 ibu) memiliki pendidikan tinggi. hal ini sesuai dengan penelitian anisa (2012), bahwa kecenderungan kejadian stunting pada balita lebih banyak terjadi 274 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 268–278 pada ibu yang berpendidikan rendah. ibu yang berpendidikan baik akan membuat keputusan yang akan meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anaknya dan cenderung memiliki pengetahuan gizi yang baik pula, tetapi berdasarkan hasil taubulasi silang antara pendidikan ibu dan pengetahuan tentang stunting didapatkan ibu dengan pendidikan tinggi tidak ada yang mengetahui bahwa anak mengalami stunting, ibu dengan pendidikan menengah sejumlah 3,2% (1 ibu) mengetahui anak stunting karena keturunan sedangkan pada ibu dengan pendidikan rendah diperoleh 6,5% (2 ibu) mengetahui bahwa anaknya mengalami stunting karena makanannya kurang. menurut apriadji (1986), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang banyak dari berbagai media masa seperti majalah, surat kabar, telivisi, radio ataupun lainnya, maka hal itu dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. berdasarkan teori dan fakta peneliti beranggapan ibu yang berpendidikan akan tahu bagaimana mengolah makanan, mengatur menu makanan, serta menjaga mutu dan kebershihan makanan dengan baik selain pendidikan tinggi ibu harus aktif dan tanggap dalam mencari informasi tentang gizi anak dari media masa ataupun petugas kesehatan. asupan protein rendah asupan protein dibagi menjadi dua kategori, yaitu rendah dan cukup. kategori protein rendah apabila <100% akg dan kategori asupan cukup apabila  100% akg. asupan protein anak stunting di kecamatan sukorejo lebih dari separuh 54,8% (17 anak) cukup, sisanya 45,2% (14 anak) dengan asupan protein rendah. hasil penelitian damanik dan ekayanti (2010), menunjukkan hal serupa dimana sebanyak 66,9% balita memiliki asupan protein cukup. hasil penelitian ini sesuai dengan hasil uji statistik yang telah dilakukan oleh peneliti menggunakan metode ffq (food frequency quesioner) semikuantitaif menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan kejadian stunting pada balita usia 3–5 tahun di kelurahan kalibaru (anisa, 2012). penelitian yang dilakukan oleh fitri (2012), berdasarkan analisis data riskesdas 2010 di provinsi yang berbeda, terdapat hubungan signifikan antara konsumsi protein dan kejadian stunting pada balita. protein penting untuk fungsi normal dari hampir semua sel dan proses metabolisme, dengan demikian defisit dalam zat gizi ini memiliki banyak efek klinis. berdasarkan hasil tabulasi silang, anak yang menderita sakit infeksi dengan asupan protein rendah diperoleh hampir separuh 48% (12 anak) menderita sakit infeksi. berdasarkan teori dan fakta tersebut peneliti beranggapan asupan protein adekuat merupakan hal penting karena protein tidak hanya bertambah, tapi juga habis digunakan, sehingga masa sel tubuh dapat berkurang yang menghasilkan pertumbuhan terhambat. asupan protein rendah dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi yang terjadi pada anak stunting mengakibatkan kurangnya nafsu makan sehingga konsumsi makan pada anak menjadi berkurang. pemberian asi asi ekslusif adalah pemberian hanya asi saja bagi bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan. namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan mengonsumsi obat-obatan, vitamin dan mineral tetes atas saran dokter (permenkes, 2014). hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 67,7% (21 anak) mendapatkan asi ekslusif dan 32,3% (10 anak) tidak mendapatkan asi ekslusif. penelitian ini sesuai dengan penelitian anisa (2012), dimana ada hubungan yang bermakna antara pemberian asi ekslusif dengan kejadian stunting pada balita. penelitian hien dan kam (2008), yang menyatakan risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita yang diberi asi ekslusif. di indonesia, perilaku ibu dalam pemberian asi ekslusif memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks pb/u (panjang badan menurut umur), dimana 48 dari 51 anak stunting tidak mendapatkan asi eksklusif (oktavia, 2011). perilaku dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang (notoadmojo, 2003). hasil dari penelitian ini bahwa 48,4% (15 ibu) memiliki pendidikan rendah, 45,2% (14 ibu) memiliki pendidikan menengah dan 6,5% (2 ibu) memiliki pendidikan tinggi. pada dasarnya asi memiliki manfaat sebagai sumber protein berkualitas baik dan mudah didapat, meningkatkan imunitas anak dan dapat memberikan efek terhadap status gizi anak dan mempercepat pemulihan bila sakit serta membantu menjalankan kelahiran (permenkes, 2014). hasil penelitian ini menunjukkan asi ekslusif penting dalam pertumbuhan anak untuk mengurangi dan mencegah terjadinya penyakit infeksi pada anak. perilaku ibu yang dipengaruhi sebagian ibu berpendidikan rendah dapat menjadi penyebab anak tidak diberi asi ekslusif karena ketidaktahuan tentang pentingnya asi ekslusif. 275mugianti, anam, najah, faktor penyebab anak stunting... pendidikan ayah penelitian ini, pendidikan ayah di kecamatan sukorejo dikategorikan menjadi 3 yaitu rendah apabila menamatkan pendidikan hingga smp (  smp), menengah apabila menamatkan pendidikan sma dan tinggi jika menamatkan perguruan tinggi. berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa 32,3% (10 ayah) memiliki pendidikan rendah, 61,3% (19 ayah) memiliki pendidikan cukup dan 6,5% (2 ayah) memiliki pendidikan tinggi. hal sesuai dengan penelitian anisa (2012), bahwa kecenderungan kejadian stunting pada balita lebih banyak terjadi pada ayah yang berpendidikan rendah. penelitian lain yang dilakukan oleh astarini, nasoetion, dan dwiariani (2005), menyatakan tingkat pendidikan ayah pada kelmpok anak stunting relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok anak normal. suami yang lebih terdidik akan cenderung memiliki istri yang juga berpendidikan. hasil penelitian ini pendidikan yang tinggi dapat mencerminkan pendapatan lebih tinggi dan ayah akan lebih memperhatikan gizi anak. keluarga dengan ayah yang berpendidikan rendah dengan pendapatan yang rendah biasanya memiliki rumah yang tidak layak, kurang dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan dan kebersihan lingkungan kurang terjaga, selain itu konsumsi makanan tidak seimbang, keadaan ini yang dapat menghambat pertumbuhan anak. ibu bekerja pada penelitian ini pekerjaan ibu dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak bekerja dan bekerja. berdasarkan hasil penelitian diperoleh 71% (22 ibu) bekerja dan 29% (9 ibu) bekerja. hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh anisa (2012) dan neldawati (2006) bahwa ibu balita dengan tidak bekerja memiliki status anak stunting lebih besar dan tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting. pekerjaan ibu berkaitan dengan pola asuh anak dan status ekonomi keluarga. ibu yang bekerja diluar rumah dapat menyebabkan anak tidak terawat, sebab anak balita sangat tergantung pada pengasuhnya atau anggota keluarga yang lain, namun di lain pihak ibu yang bekerja dapat membantu pemasukan keluarga, karena pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas pangan (diana, 2006). kejadian anak stunting di kecamatan sukorejo lebih banyak terjadi pada ibu yang tidak bekerja dapat disebabkan karena status ekonomi keluarga pada ibu yang tidak bekerja ini cenderung rendah. berat badan lahir pada tabel 2 memperlihatkan hasil data frekuensi, yaitu pada anak stunting di kecamatan sukorejo seluruhnya 100% (31 anak) memiliki berat badan lahir  2500 gr. hasil penelitian ini tidak serupa dengan penelitian yang dilakukan di kelurahan kalibaru oleh anisa (2012). menurut kusharisupeni (2007), menyebutkan bahwa ibu dengan gizi kurang sejak awal sampai akhir kehamilan dan menderita sakit akan melahirkan bblr, yang kedepannya menjadi anak stunting, selain itu bayi yang diiringi dengan konsumsi makanan yang tidak adekuat, dan sering terjadi infeksi selama masa pertumbuhan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. dalam penelitian ini didapatkan 93,5% (29 ibu) tidak mengalami sakit yang berarti selama kehamilan dan tidak sampai dirawat di rumah sakit, didapatkan 80,6% (25 anak) mengalami sakit infeksi, asupan energi rendah pada anak stunting diperoleh 93,5% (29 anak) dan 45,2%(14 anak) memiliki asupan protein rendah. berdasarkan teori dan fakta diatas peneliti beranggapan bahwa seluruh anak stunting dalam penelitian ini memiliki berat badan lahir cukup karena hampir seluruh ibu tidak mengalami sakit yang berarti selama kehamilan, selain itu keadaan stunting yang dialami oleh anak dapat dikarenakan oleh asupan energi dan protein yang rendah, serta penyakit infeksi yang diderita anak selama masa pertumbuhan sehingga pertumbuhan anak menjadi terhambat. pelayanan kesehatan (imunisasi) dalam semua jenis malnutrisi, telah diketahui bahwa proporsi anak tidak diimnunisasi lebih besar dibandingkan yang diberi imunisasi. berdasarkan hasil penelitian seluruh anak stunting 100% (31 anak) yang menjadi responden di kecamatan sukorejo telah mendapatkan imunisasi lengkap. hasil ini sesuai dengan penelitian anisa (2012), dimana tidak ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian stunting di kelurahan kalibaru, namun penelitian sebelumnya mengemukakan hasil yang berbeda dengan penelitian ini. salah satunya penelitian yang dilakukan oleh neldawati (2006), menunjukkan bahwa status imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi tb/ u. pada dasarnya imunisasi pada anak memiliki tujuan penting yaitu untuk mengurangi risiko mordibitas (kesakitan) dan mortilitas (kematian) anak akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (narendra, 2002). status imunisasi pada 276 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 268–278 anak adalah salah satu indikator kontak dengan pelayanan kesehatan. karena diharapkan bahwa kontak dengan pelayanan kesehatan akan membantu memperbaiki maslah gizi baru, sehingga imunisasi juga diharapkan akan memberikan efek positif terhadap status gizi jangka panjang. dalam penelitian ini lokasi penelitian berada di daerah kota sehingga cakupan pelayanan kesehatan dapat terjangkau dengan baik dimana pada kecamatan sukorejo terdapat 6 puskesmas pembantu dan 52 posyandu yang tersebar diwilayah tersebut. pekerjaan ayah pada penelitian ini pekerjaan ayah dikategorikan menjadi dua, yaitu tidak bekerja dan bekerja. berdasarkan hasil penelitian diperoleh 100% (31 ayah) bekerja. hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh anisa (2012) dan masithah, soekirman & martianto (2005), bahwa terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan ayah dengan kejadian stunting pada anak. pekerjaan ayah atau kepala keluarga erat hubungannya dengan status ekonomi keluarga yang berhubungan dengan penghasilan. pendapatan perkapita pada defisit pertumbuhan dapat dihubungkan dengan kepentingannya untuk membeli makanan dan serta benda-benda lain yang berguna bagi kesehatan anak. berdasarkan hasil yang diperoleh pendapatan pada keluarga anak stunting 100% (31 anak) cukup. hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidak sesuaian dikarenakan stunting itu sendiri merupakan hasil jangka panjang konsumsi berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan moridibitas, penyakit infeksi dan sebagainya. status ekonomi status ekonomi keluarga dalam penelitian ini diukur berdasarkan pendapatan keluarga dalam sebulan. status ekonomi keluarga dibagi menjadi 2 kategori yaitu rendah dan cukup. status ekonomi rendah apabila berada dalam kuintil 1,2 dan 3, dikatakan tinggi apabila berada pada kuintil >4. berdasarkan hasil penelitian diperoleh 100% (31 anak) memiliki keluarga dengan status ekonomi cukup. hal ini tidak sesuai dengan penelitian anisa (2012) dan yimer (2000), bahwa kecenderungan stunting pada balita lebih banyak pada keluarga dengan status ekonomi rendah. malnutrisi terutama stunting lebih dipengaruhi oleh dimensi sosial ekonomi. selain itu, status ekonomi rumah tangga dipandang memiliki dampak yang signifikan terhadap probabilitas anak menjadi endek dan kurus. status ekonomi secara tidak langsung dapat memengaruhi status gizi anak. sebagai contoh, keluarga dengan status ekonoi baik bisa mendapatkan pelayanan umum yang lebh baik juga, yaitu pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya. dalam penelitian ini, lokasi penelitian berada di kota blitar dengan pendapatan umr setiap bulan berdasarkan pergub jatim no. 121 th 2016 sebesar 1.509.005,sedangkan untuk parameter yang digunakan dengan ukuran kuintil berdasarkan riskesdas 2007 dimana untuk status ekonomi rendah jika pendapatan 391.250,sehingga dengan menggunakan parameter tersebut status ekonomi pada keluarga anak stunting di kecamatan sukorejo adalah cukup. kesimpulan dan saran kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada anak stunting usia 25–60 bulan di kecamatan sukorejo kota blitar, dapat disimpulkan faktor penyebab stunting yaitu asupan energi rendah sebanyak 93,5%, penyakit infeksi sebanyak 80,6%, asupan protein rendah sebanyak 45,2% dan tidak asi ekslusif sebanyak 32,3% dan ibu yang bekerja sebanyak 29,0%. faktor tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang pemenuhan gizi. faktor penyebab stunting pendidikan ibu rendah sebanyak 48,4%, pendidikan ayah rendah sebanyak 32,3% mengakibatkan kurangnya pengetahuan tentang konsumsi gizi, diperlukan lintas sektor dalam penanganannya sedangkan faktor penyebab stunting jenis kelamin laki-laki sebanyak 64,5% faktor bblr, imunisasi tidak lengkap, ayah yang tidak bekerja dan status ekonomi tidak menjadi faktor penyebab terjadinya stunting anak usia 25– 60 bulan di kecamatan sukorejo. saran masyarakat terutama ibu hamil dan keluarga yang memiliki bayi dan anak dibawah 5 tahun disarankan agar mematuhi dan melaksanakan program terkait dengan gizi seimbang oleh pemerintah, rutin berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan deteksi dini tentang kesehatan diri dan anaknya serta menambah kreatifitas untuk pemberian konsumsi makan pada anaknya. pemegang program gizi dan perkesmas (keperawatan kesehatan msyarakat) uptd kesehatan 277mugianti, anam, najah, faktor penyebab anak stunting... kecamatan sukorejo disarankan agar meningkatkan penyuluhan dari satu kali menjadi tiga kali setiap tahun tentang keluarga sadar gizi (kadarzi) untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya ibu dalam pentingnya konsumsi makanan bergizi dan pemberian asi eksklusif. pemberian makanan tambahan (pmt) selama 3 bulan pada balita dengan konsumsi energi dan protein kurang dari kebutuhan perhari berdasarkan hasil observasi langsung konsumsi makanan dengan dilakukannya kunjungan rumah pada balita khususnya stunting. penelitian selanjtnya disarankan agar melaksanakan penelitian selanjutnya yang lebih sempurna dengan menggunakan parameter yang disesuaikan dengan keadaan tempat penelitian dan melakukan metode observasi secara langsung untuk mengetahui konsumsi makanan sebagai salah satu penyebab faktor stunting. daftar pustaka anisa, p. (2012). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 2560 bulan di kelurahan kalibaru depok tahun 2012 (skripsi). depok: fkm ui. astari, l. d. a. nasoetion, dan dwiriani c. m. (2005). hubungan karakteristik keluarga, pola pengasuhan, dan kejadian stunting anak usia 6-12 bulan. media gizi keluarga. diakses pada 2 oktober 2016 dari www.repository.ipb.ac.id bappenas. (2011). rencana aksi nasional pangan dan gizi 2011-2015.http://www.4shared.com/get/ i45gboz/rencana_aksi_nasional_pangan . diakses 10 november 2018. damanik, mr., ekayanti, i.,hariyadi, d. (2012). analisis pengaruh pendidikan ibu terhadap status gizi balita di propinsi kalimantan barat. jurnal gizi dan pangan juli 2005 (2): 69-77. depkes ri. (2008). profil kesehatan indonesia 2007. departemen kesehatan ri.jakarta. diana, fivi. (2006). hubungan pola asuh dengan status gizi anak batita di kecamatan kuranji kelurahan pasar ambacang kota padang 2004. jurnal kesehatan masyarakat. vol. 1 (1). hermina, prihatini, s. (2011).gambaran keragaman makanan dan sumbangannya terhadap konsumsi energi protein pada anak balita pendek (stunting) di indonesia. puslitbang gizi dan makanan, badan lit ba ngkes kem enkes ri. j urnal b adan litbangkes, vol.39, no 2,hal 62-73. fitri. (2012). berat lahir sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada balita (12-59 bulan) di sumatera (analisis data riskesdas 2010) (thesis). depok : fkm ui. hidayat, a.a. (2009). pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. jakarta : salemba medika. hien, nn. dan kam, s. (2008). nutritional status and the characteristics related to malnutrition in children under five years og age in nghean, vietna. j prev med public health. 41 (4): 232-240. kania, d.(2015). indonesia peringkat lima besar anak penderita stunting. https://lifestyle.okezone.com/ read/2015/01/23/481/1096366/indonesia-peringkatlima-besar-anak-penderita-stunting. diakses pada tanggal 6 oktober 2016 pukul 21.05 wib. kemenkes ri.(2017). data dan informasi profil kesehatan indonesia 2016. pusat data dan informasi:jakarta. kusharisupeni. (2007).gizi dan kesehatan masyarakat. jakarta: rajagrafindo persada. lestari, margawati & rahfiludin. (2014). faktor risiko stunt ing pada a nak umur 6-24 bul an di kecamatan penanggalan kota subulussalam provinsi aceh. jurnal gizi indonesia (issn : 18584942). lourenco, villamor, augusto, & cardoso. (2012). determinant of linear growth from infancy to school-aged years: a population-based follow-up study in urban amazonian children. bmc public health 12:265. http://www.biomedcentral.com/ conent/pdf/1471-2458-12-265 diakses pada 2 oktober 2018. masithah, t., soekirman, & martianto. (2005). hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak batita di desa mulya harja. media gizi kel ua rga . di a kses 2 okt ober 2016 da r i www.repository.ipb.ac.id narendra, m.s, dkk. (2002). buku ajar i tumbuh kembang anak dan remaja edisi pertama idai. jakarta : sagung seto neldawati.(2006). hubungan pola pemberian makanan pada anak dan karakteristik lain dengan status gizi di laboratorium gizi masyarakat. puslitbang gizi dan makanan (p3gm) (analisis data sekunder data balita gizi buruk tahun 2005). depok: fkm ui. notoatmodjo, s. (2003). pendidikan dan perilaku kesehatan. rineka cipta. jakarta. oktarina, z.,sudiarti, t.(2013). faktor risiko stunting pada balita (24-59 bulan) di sumatera.jurnal gizi dan pangan,vol 8, no.3. oktavia, r. (2011). hubungan pengetahuan sikap dan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif dengan status gizi baduta di puskesmas biaro kecamatan ampek angkek kabupaten agam tahun 2011 (skripsi). depok: fkm ui. peraturan menteri kesehatan nomor 75 tahun 2014 tentang pusat kesehatan masyarakat. 2014. ramli, et al (2009).prevalence and risk factors for stunting and severe stunting among under-fives 278 jurnal ners dan kebidanan, volume 5, nomor 3, desember 2018, hlm. 268–278 in north maluku province of indonesia. bmc pediatrics 9: 64. diakses pada 2 juni 2017 dari www.biomedcentral.com riskesdas.(2013). riset kesehatan dasar 2013.badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan ri. sihadi & djaiman, s., p., h. (2011). peran kontekstual terhadap kejadian balita pendek di indonesia. peneliti pusat teknologi intervensi kesehatan masyarakat, badan litbang kesehatan. kemenkes ri. yimer, g. (2000). malnutrition among children in shouthern ethiopia: levels and risk factors”. ethiop. j. health dev, 14(3): 283-292. diakses pada 2 juni 2017 dari www. ejhd.ui.no 293renityas, pengaruh acupresure terhadap kecukupan asi pada ... 293 pengaruh acupresure terhadap kecukupan asi pada ibu post partum sc hari ke 7 nevy norma renityas prodi kebidanan, stikes patria husada blitar, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 26/05/2020 disetujui, 23/07/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: acupresure, asi, post partum sc abstrak ibu post partum dengan sectio secaria biasanya mengalami penurunan volume asi sehingga tidak mencukupi kebutuhan nutrisi pada bayi. oleh karena itu, untuk memenuhi kecukupan asi pada bayi maka menggunakan terapi acupresure pada titik st16, st 17 dan st 18 sehingga dapat menstimulasi hipofisis untuk mengeluarkan hormon prolaktin dan oksitosin. metode penelitian yang digunakan menggunakan menggunakan pre eksperiment dengan pendekatan pre-post group design. sampel dalam penelitian ini berjumlah 20 ibu post partum sc, tehnik sampling yaitu total sampling. hasil penelitian membuktikan bahwa terjadi kenaikan rata-rata pada sebelum dan sesudah intervensi sebesar 310,00 poin. hasil uji paired sample t-test didapatkan nilai p 0.000 <  0.05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan kecukupan asi sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. akupresur dapat merangsang acupoints dapat membantu mengatur proses involusi uteri dan pengeluaran asi dan mengembalikan keseimbangan selama masa post partum. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 26/05/2020 accepted, 23/07/2020 published, 05/08/2020 keywords: a cupresure , bre ast mi l k, post partum sc article information abstract post partum mothers with sectio secaria usually experience a decrease in the volume of milk so that it is not sufficient for the baby’s nutritional needs. therefore, to meet the adequacy of breast milk in infants using acupressure therapy at points st16, st 17 and st 18 so that it can stimulate the pituitary to secrete the hormones prolactin and oxytocin. the research method used uses pre-experiment with a pre-post group design approach. the sample in this study amounted to 20 post partum sc mothers, the sampling technique is tottaly sampling. the results of the study prove that there was an average increase before and after the intervention of 310.00 points. paired sample t-test results obtained value p 0.000 <  0.05 means there is a significant difference in the adequacy of breast milk before treatment and the effect of acupresure on the breastfeed on 7th day postpartum sc https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p293-300&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 294 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 293–300 correspondence address: stikes patria husada blitar – jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: nevy200385@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p293–300 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ pendahuluan asi (air susu ibu) merupakan bahan makanan utama bagi bayi usia 0-6 bulan dimana asi akan memenuhi kebutuhan nutrisi (rahayu et al.2015; pollard, 2015 dalam saraung et al 2017). asi mengandung berbagai zat seperti protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin yang dibutuhkan bayi untuk pertumbuhan dan perkembangan serta sesuai dengan kebutuhan bayi seperti mengurangi angka kematian bayi baru lahir terutama pada pemberian asi satu jam pertama setelah kelahiran, mengurangi insidensi maloklusi gigi, meningkatkan kecerdasan, memberikan kekebalan dan meningkatkan ikatan antara ibu dan anak (parwati et al, 2017). provinsi jawa timur pada tahun 2016, cakupan asi eksklusif sebesar 74%. cakupan tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tapi belum memenuhi cakupan asi yang ditargetkan yaitu sebesar 77% (dinas kesehatan provinsi jawa timur, 2016). menurut kemenkes ri tahun 2019, bahwa cakupan asi eksklusif di indonesia pada tahun 2018 sebesar 68,74%, kemudian khususnya propinsi jawa timur sebesar 77,51%. cakupan asi eksklusif di blitar tahun 2018 mengalami penurunan dr tahun 2017, yaitu pada tahun 2017 cakupan asi eksklusif sebesar 78,1% dan pada tahun 2018 sebesar 75,3%. hal ini tidak sesuai dengan renstra dari dinas kesehatan bahwa target asi eksklusif sebesar 85%. (dinkes kota blitar, 2018) pemberian air susu ibu (asi) sebagai salah satu yang memberikan pengaruh paling besar terhadap kelangsungan hidup anak, pertumbuhan, dan perkembangannya (astutik,2014). secara umum, produksi asi dapat dipengaruhi oleh masalah payudara dan masalah kelelahan (chan, et al, 2006). faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi asi yaitu faktor fisik dan faktor psikis. terkait faktor fisik ibu yaitu adalah status kesehatan ibu, umur dan paritas, asupan nutrisi dan cairan, faktor merokok, nyeri luka operasi. nyeri luka operasi bisa disebabkan karena tindakan sectio caesarea. terkait faktor psikis ibu seperti kecemasan. akibat dari kecemasan ibu dapat menghambat produksi asi. untuk memproduksi asi ibu harus mendapatkan rangsangan pada payudara, respon dari rangsangan tersebut akan dikirim ke hipofisis untuk pengeluaran dan produksi air susu yang disebut laktasi (ariani, 2009). pada proses laktasi hipofisis bagian depan akan mengeluarkan hormon prolaktin dan menimbulkan refleks prolaktin yang terlibat dalam produksi asi (pabrik asi), hipofisis bagian belakang akan mengeluarkan hormon oksitosin dan menimbulkan refleks okstiosin yang membantu untuk pengeluaran asi (idai, 2010). menurut hanifah (2015) pengeluaran asi terhambat pada ibu yang menggunakan tindakan sc (sectio caesarea) dikarenakan tidak mobilisasi, hal ini disebabkan rasa nyeri pada luka jahitan. nyeri pada luka jahitan juga dapat mengambat pengeluaran hormon prolaktin. nyeri luka jahitan akan menyebabkan rangsangan ujung saraf bebas dimana terjadi pelepasan hormon prostaglandin, hormon protaglandin meningkat akan menghambat pengeluaran hormon prolaktin sehingga akan menghambat pengeluasan asi pada ibu. apabila asi tidak diberikan secara eksklusif maka akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak (hanifah, 2015). menurut penelitian zaenab et al (2016), menyatakan bahwa bayi yang tidak diberikan asi eksklusif mengalami berat badan kurang sebesar 86,57%, berat badan sangat kurang sebesar 28,12%, dan berat badan normal sebesar 5,71%. kemudian, bayi after treatment. acupressure can stimulate acupoints can help regulate uterine involution and milk removal and restore balance during the post partum period. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p293-300 295renityas, pengaruh acupresure terhadap kecukupan asi pada ... yang tidak diberikan kolostrum mengalami pertumbuhan tidak normal sebesar 58,8%. maka, asi eksklusif yang diberikan pada bayi usia 0-6 bulan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan. bagi ibu post partum dengan riwayat sectio secaria maka diperlukan penanganan yang lebih optimal untuk kelancaran produksi asi. dengan menggunakan pengobatan komplementer. terdapat beberapa teknik atau metode komplementer untuk merangsang produksi asi diantaranya dengan mengkonsumsi sauropus adrogynus atau daun katuk dan teknik akupresur yang dapat menstimulasi prolaktin dan oksitosin (wong, 2012). akupresur tersebut dapat memberikan perintah kepada hipofisis untuk mengeluarkan hormon prolaktin dan oksitosin selain itu, tehnik akupresur merupakan tehnik pijat dengan lembut dengan bantuan anggota keluarga. pijatan dengan bantuan anggota keluarga dapat meningkatkan rasa kasih sayang sehingga ibu dapat merasa rileks dan nyaman(renityas et al, 2017). terapi akupresur atau bisa dikenal dengan terapi totok / tusuk jari merupakan pemijatan dan rangsangan pada titik-titik tertentu di daerah tubuh (fengge, 2012 dalam pangastuti and mukhoirotin, 2018). akupresur yang digunakan adalah teknik acupressure point for lactation. pada rangsangan akupresur akan ditransmisikan ke sumsum tulang belakang atau vertebra dan otak melalui saraf akson. sehingga terjadi rangsangan sinyal mencapai ke pusat otak. aktivasisistem saraf pusat (ssp) menyebabkan terjadi perubahan neurotransmitter, hormon (termasuk prolaktin dan oksitosin), sistem kekebalan tubuh, efek biomekanik, dan zat biokimia lainnya (endhorphin, sel kekebalan tubuh seperti sitokin). sehingga menimbulkan normalisasi modulasi dan efek keseimbangan pada energi qi (sharp & moriarty, 2013 dalam rahmaika et al, 2018). hasil penelitiannya sebelumnya dilakukan oleh saraung et al (2017) di puskesmas ranotana weru dengan 65 ibu postpartum di dapatkan hasil bahwa terapi akupresur efektif untuk meningkatkan produksi asi pada ibu postpartum yang mengalami penurunan produksi asi. kemudian ditambahkan dengan hasil penelitian cholifah, setyowati dan mareta (2015) bahwa terdapat perbedaan signifikan antara ibu yang diberikan akupresur dengan tidak diberikan akupresur yaitu 82% dengan 47%. hasil penelitian ini didukung oleh rahayu, budi dan yunitasari (2015) bahwa terdapat perbedaan produksi asi antara kelompok yang mendapatkan intervensi akupresur dengan yang tidak mendapatkan intervensi. proses partus dengan tindakan sectio caesarea di wilayah kerja puskesmas ponggok blitar tahun 2018-2019 terdapat peningkatan yang signifikan yaitu 61,4%. akan tetapi hanya 48% saja yang tidak memberikan asi secara ekslusif pasca operasi sc, dan ibu lebih memilih susu formula untuk pengganti asi agar bayi tidak rewel dan menangis. (renityas, et.all, 2017), dan selama ini untuk pemberian asi masih sekedar konseling dan penyuluhan saja di lapangan, belum. oleh karena itu peneliti melakukan penelitian dengan judul pengaruh acupresure terhadap kecukupan asi pada ibu post partum sc hari ke 7. tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh tehnik acupresur terhadap kecukupan asi pada ibu post partum sc hari ke-7. tujuan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan dijadikan intervensi bagi ibu menyusui untuk meningkatkan produksi asi dengan teknik akupresur. bahan dan metode design penelitia n ini mengguna ka n pre eksperiment dengan pendekatan pre-post group design. populasi penelitian adalah ibu pasca sc (sectio caesaria) di wilayah kerja puskesmas ponggok kabupaten blitar, pada bulan september 2019. sampel dalam penelitian ini berjumlah 20 ibu post partum sc dari 4 rumah sakit di kabupaten dan kota blitar antara lain rs.syuhada haji, rsu aminah, rsu budi rahayu dan rsia tanjung sari, tehnik sampling yaitu tottaly sampling dengan kriteria inklusi terdiri dari ibu yang melahirkan secara sc, diperbolehkan pulang dari rumah sakit, tidak mempunyai penyakit komplikasi seperti tumor, bersedia menjadi responden. penelitian ini melakukan perlakuan yaitu menggunakan tehnik acupresure pada titik (stomach) st meredian yaitu pada st 16, st17 dan st18 pada ibu post sc. acupresure atau pemijatan dilakukan 3x dalam 1minggu, pemijatan berlangsung selama 4 minggu. sebelum dilakukan pemijatan pada responden, terlebih dahulu ibu diberitahu jika menyusu terakhir sekitar 3 jam, karena akan dilakukan pengukuran jumlah asi. pemijatan lembut selama 5-10 menit. kemudian pada awal dan akhir perlakuan diukur jumlah asi yang dikeluarkan oleh ibu. alat ukur menggunakan weighing test untuk mengukur volume produksi asi. pada metode ini, bayi ditimbang setiap kali sebelum dan sesudah disusui tanpa mengganti baju 296 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 293–300 ataupun diapers. perbedaan berat badan bayi (dalam gram) dipertimbangkan sebagai perkiraan volume air susu yang dikonsumsi (dalam mililiter). jumlah asi dikatakan cukup yaitu 400ml, dan dikatakan kurang yaitu < 400ml. data penelitian dianalisis secara univariat menggunakan distribusi frekuensi, dan bivariat dengan menggunakan paired sample t-test. data akan duji kenormalitasan data dengan menggunakan kolmogorove smirnov, jika data berdistribusi normal akan menggunakan uji paired sample t-test, jika data tidak berdistribusi normal akan menggunakan uji sperman rank. hasil penelitian data umum berdasarkan data diatas membuktikan bahwa pada hari pertama 80% asi yang dikeluarkan kurang, hari kedua 50% asi yang dikeluarkan cukup, dan hari ketiga 80% asi yang dikeluarkan cukup. no kriteria karakteristik f % 1 usia 20-23 6 30 24-26 10 50 27-29 2 10 30-32 2 10 2 pendidikan sd 0 0 smp 1 5 sma 16 80 pt 3 15 3 pekerjaan irt 12 60 buruh 0 0 swasta 6 30 asn 2 10 4 riwayat primigravida 15 75 kehamilan multigravida 5 25 5 status gizi lebih 2 10 cukup 15 75 kurang 3 15 6 perawatan belum melakukan 13 65 payudara melakukan 7 35 7 jenis anestesi general 5 25 sub arachnoid blok 15 75 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden di wilayah kerja puskesmas ponggok kab. blitar (n=20) berdasarkan data diatas diketahui bahwa 50% responden berusia 24–26 tahun, 80% berpendidikan sma, dan 30% mempunyai pekerjaan sebagai swasta, serta 75% mempunyai riwayat kehamilan primigravida. 15% mempunyai status gizi kurang, dan sekitar 65% belum melakukan perawatan payudara. selain itu, 25% ibu diberikan jenis anestesi general. data khusus hari kecukupan asi cukup (%) kurang (%) pertama 20 80 kedua 50 50 ketiga 80 20 tabel 2 distribusi frekuensi kecukupan asi sebelum perlakuan selama 1-3 hari, yaitu post partum hari ke 1,2,3 (pre-test) hari kecukupan asi cukup (%) kurang (%) pertama 60 40 kedua 75 25 ketiga 85 15 tabel 3 distribusi frekuensi kecukupan asi sesudah perlakuan selama 1-3 hari yaitu pada post partum hari ke 5,6,7 (post-test) berdasarkan hasil diatas menunjukkan bahwa angka kecukupan asi yang dikeluarkan berasal dari kedua payudara, pada hari pertama 60% cukup, hari kedua 75%,hari ketiga 85% cukup. n mean sd mean ± sd  sebelum 20 207,5 117,2 310,00 ± 138,22 0,000 sesudah 20 517,5 110,3 tabel 4 nilai numerik deskriptif dan uji paired t-test dari responden sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan 297renityas, pengaruh acupresure terhadap kecukupan asi pada ... berdasarkan hasil analisis diatas membuktikan bahwa bahwa terjadi kenaikan rata-rata pada sebelum dan sesudah intervensi sebesar 310,00 ml. hasil uji paired sample t-test didapatkan nilai r < a berarti terdapat perbedaan yang signifikan kecukupan asi sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. pembahasan kecukupan asi ibu post partum sc hari ke 13 sebelum perlakuan kecukupan asi merupakan pemberian asi kepada bayi secara optimal guna pemenuhan kebutuhan nutrisi pada bayi, sehingga akan meningkatkan kualitas hidup dan sangat berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan dan perkembangan bayi terutama pada usia 0-6 bulan (renityas, 2018). mulai hari pertama terdapat rasa nyaman dan ada sensasi (rasa) aliran pada payudara (vasodilatasi pembuluh darah dan rangsangan pada kelenjar alveoli payudara), walaupun asi yang keluar hanya colostrum. hal ini sesuai dengan pernyataan astuti (2015) bahwa pengeluaran asi belum terjadi pada minggu pertama hasil penelitian pada sebelum perlakuan hari pertama sekitar 80% asi yang dikeluarkan oleh ibu tidak cukup, hari kedua 50% asi yang dikeluarkan cukup, dan hari ketiga 80% asi yang dikeluarkan mencukupi, ini disebabkan karena produksi asi pada ibu post partum hari ke 3 sudah mencukupi lambung bayi yaitu sekitar 25-30 ml. analogi berfikir semakin lancar produksi asi, maka akan terjadi kecukupan asi pada bayi setelah menyusu pada ibunya, namun tidak demikian pada penelitian ini. kecukupan asi pada bayi bervariasi, disebabkan karena faktor ibu, yaitu ibu yang melahirkan bayi melalui tindakan operasi seccio caesarrea (sc) yang berefek timbulnya rasa nyeri akibat perlukaan operasi, sedangkan rangsang nyeri berbeda-beda antar individu, ditambah lagi efek narcose yang diberikan sebelum operasi yang berfungsi mematikan rasa seperti rasa nyeri dan rasa nyeri ini akan timbul setelah efek narcose habis. astuti (2015) menyebutkan faktor yang mempengaruhi kecukupan asi pada bayi yang berasal dari ibu adalah status kesehatan ibu seperti rasa nyeri dan cemas, sedangkan nichole (2005) menyebutkan bahwa proses melahirkan dengan sc akan menimbulkan rasa cemas dan akan kesulitan dalam menyusui bayinya karena adanya luka dan rasa nyeri, sehingga ibu merasa tidak berdaya. faktor lain ibu yang melahirkan dengan sectio caesarea mengalami hambatan selain kadar hormon prolaktin dan oksitosin yang dapat mempengaruhi pengeluaran kolostrum pada ibu adalah penggunaan obat-obatan saat dilakukan operasi sectio caesarea. (idai, 2010). sehingga kesimpulan dari peneliti obat-obatan yang diberikan pada saat operasi sectio caesarea digunakan untuk mengurangi rasa nyeri pada saat operasi, namun setelah operasi selesai nyeri yang timbul akibat efek yang hilang dari obat bius dapat mempengaruhi ibu dalam memberikan perawatan pada bayi, sehingga dapat menyebabkan ibu menunda untuk menyusui dan menimbulkan keterlambatan dalam pengeluaran kolostrum. tingkat pendidikan ibu juga berpengaruh terhadap angka kecukupan asi. ibu yang mempunyai pendidikan rendah cenderung memberikan asi eksklusif, seperti hasil penelitian dari pitaloka (2018), bahwa hasil pengujian dengan menggunakan odds ratio menunjukkan ternyata ibu yang berpendidikan rendah cenderung memberikan asi ekeklusif pada bayi 6-12 bulan sebanyak 0,346 kali dibanding dengan ibu yang berpendidikan tinggi dan ibu yang bekerja kesulitan menyusui bayi karena waktu yang terbatas dibandingkan ibu yang tidak bekerja. dalam penelitian ini ibu yang bekerja sebagai swasta sebesar 30% dan asn 10%. responden yang melakukan perawatan payudara seperti membersihkan puting dengan tisue atau kassa sebelum dan sesudah menyusui, dan menggunakan breast pad pada masa kehamilan sekitar 65%. perawatan payudara yang dilakukan sejak masa kehamilan membantu dalam kecepatan proses laktasi yang sudah mulai berproses didalam tubuh ibu, terutama pada trimester ketiga hormon-hormon bekerja dalam mempersiapkan asi bagi bayi setelah lahir, perawatan payudara yang dilakukan oleh para ibu pada masa kehamilan bekerja dengan merangsang hormon-hormon yang mempengaruhi pembentukan asi selama kehamilan yaitu progesteron, estrogen, prolaktin, oksitosin dan hpl, sehingga proses pembentukan asi lebih produktif dan waktu pengeluaran kolostrum lebih cepat (renityas, 2018). hasil penelitian menunjukkan status gizi ibu sebesar 75% dalam kategori cukup dan 15% dalam kategori kurang. makanan yang dikonsumsi ibu menyusui sangat berpengaruh terhadap produksi asi. (sukarni & wahyu, 2013). apabila makanan yang ibu makan mengandung cukup gizi dan pola makan yang teratur, maka produksi asi akan berjalan dengan lancar. berdasarkan data penelitian diatas 298 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 293–300 peneliti berasumsi bahwa ibu yang memiliki status gizi kurang, produksi asi dapat menurun. hal ini disebabkan nutrisi maupun vitamin yang dikonsumsi ibu kurang dapat terserap dalam tubuh untuk proses laktasi. kecukupan asi sesudah perlakuan pemberian asi semaksimal mungkin merupakan kegiatan penting dalam pemeliharaan anak dan persiapan generasi penerus dimasa depan. jumlah asi masih cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi apabila asi diberikan secara eksklusif (renityas, 2018) hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecukupan asi pada responden hari pertama 60%, hari kedua 75% dan hari ketiga 85%. sehingga terjadi kenaikan setiap har inya setelah dilakukan akupresure. akupresur berhubungan dengan sistem meridian dan energi vital/chi sie. meridian adalah saluran energi vital yang melintasi seluruh bagian tubuh seperti jaring labalaba yang membujur dan melintang untuk menghubungkan seluruh bagian tubuh (fengge, 2012). sedangkan energi vital/chi sie adalah energi yang mengalir dalam tubuh yang diperlukan untuk kelangsungan hidup (radyanto, 2012). akupresur untuk kecukupan asi dapat dilakukan dengan pemijatan atau penekanan pada beberapa titik meridian. penelitian ini hanya menerapkan pemijatan atau penekanan pada titik meridian st 16, st 17, st 18, oleh karena itu, memberikan pijatan dan stimulasi pada titik-titik tertentu pada tubuh yang berguna untuk mengurangi atau mengobati berbagai jenis penyakit dan nyeri serta mengurangi ketegangan dan kelelahan (fengge, 2012).hal ini diperkuat oleh penelitian dari renityas et al (2012) bahwa acupresure dapat mengurangi nyeri sehingga akan meninmbulkan perasaan nyaman. gach (1990) menyatakan bahwa pijatan akupresur akan menstimulasi peningkatan morphin tubuh yaitu endorfin. suasana yang nyaman, tenang dan rileks akan mendatangkan emosi positif yang dapat meningkatkan sekresi neurotransmiter endorphin melalui (pomc) pro-opiomelanocortin yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit dan pengendali sekresi crh (corticotropin realising hormon) secara berlebihan (sholeh, 2006). respons positif ini melalui jalur hpa (hormone hipotalamus aksis) akan merangsang hipotalamus menurunkan sekresi crf (corticotrophin releasing factor) yang diikuti penur una n act h (adrenocorticotropic hormons), dan medula adrenal akan merespons dengan menurunkan sekresi katekolamin, kemudian tahanan perifer dan cardiac output akan menurun sehingga tekanan darah menurun (putra, 2005). keadaan relaksasi yang dirasakan oleh ibu tersebut akan meningkatkan kenyamanan ibu sehingga semakin meningkatkan reflek let down dan meningkatkan jumlah hormon prolaktin dan oksitosin. menurut penelitian dari djanah (2017), menyatakan bahwa terdapat peningkatan produksi asi setelah dilakukan akupresur dengan indikator berat badan bayi dan frekuensi bayi buang air kecil (bak), dalam penelitian tersebut terdapat keterbatasan yaitu faktor emosi ibu dan sikap ibu dalam melakukan akupresur sehingga terdapat ketidaksesuaian dengan panduan akupresur. pengaruh akupresure terhadap kecukupan asi pada ibu post sc dari hasil penelitian didapatkan, hasil uji paired sample t-test didapatkan nilai r 0.000 <  0.05 berarti terdapat perbedaan yang signifikan kecukupan asi sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. akupresur merupakan salah satu tindakan alternatif untuk meningkatkan kecukupan asi pada bayi. dalam hal ini pemerintah mendukung program peningkatan penggunaan asi dengan mencanangkan program gerakan nasional peningkatan penggunaan air susu ibu (gnpp-asi) (badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri, 2018) hasil penelitian telah membuktikan ada pengaruh acupresure terhadap peningkatan kecukupan asi pada ibu post sc. akupresur pada titik st 16 st 17 dan st 18 dapat memberikan stimulus pada syaraf-syaraf kelenjar payudara untuk dapat meningkatkan produksi asi. hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh wang yue-fen dan li xiao-ying (2004) bahwa adanya pengaruh akupuntur terhadap ketidakcukupan asi pada ibu menyusi karena kurangnya produktifitas asi. akupuntur memiliki prinsip yang sama dengan akupresur. perbedaan terletak pada alat yang digunakan. akupuntur menggunakan jarum sedangkan akupresur menggunakan jari (fengge, 2012). lixin et al (2008) dalam studinya pada efek akupresur untuk ibu menyusui yang tidak adekuat menunjukkan bahwa metode ini dapat meningkatkan sekresi hormon prolaktin yang mana akan meningkatkan produksi air susu ibu, namun ada beberapa faktor yang menghambat yaitu pengaruh ibu yang 299renityas, pengaruh acupresure terhadap kecukupan asi pada ... harus bekerja sehingga proses laktasi terhambat (esfahani et al, 2015). menurut penelitian dari renityas (2018) bahwa selain acupresur, rangsangan pada puting susu ibu dapat meningkatkan hormon prolaktin sehingga produksi asi meningkat. gangguan yang paling umum terjadi selama masa nifas adalah hambatan dalam meridian. merangsang acupoints sepanjang saluran dengan akupresur dapat membantu menghilangkan penghalang, merevitalisasi meridian, dan membantu memulihkan kesehatan. akupresur juga dapat merangsang pelepasan oksitosin dari kelenjar hipofisis, yang secara langsung merangsang kontraksi rahim untuk proses involusi uteri dan merangsang produksi asi. karena itu akupresur dapat merangsang acupoints dapat membantu mengatur proses involusi uteri dan pengeluaran asi dan mengembalikan keseimbangan selama masa post partum (chung, hung, kuo & huang, 2003). faktor yang menghambat dalam penelitian ini sehingga produksi asi pada pst partum sc hari ke 3 tidak maksimal karena ibu masih dalam perawatan pasca operasi, masih dalam proses pemulihan dan pengaruh efek anastesi sehingga menghambat dalam perawatan bayi dan proses menyusui. hal ini sejalan dengan penelitian dari budiyanto (2011), yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan pemberian asi ekskusif antara lain: produksi asi kurang (32%), ibu harus kembali bekerja (28%), terpengaruh iklan susu formula (16%), faktor nilai sosial budaya (24%), kurangnya dukungan dari petugas kesehatan (24%) dan faktor dukungan keluarga (24%) akupresure pada titik st 1, 17 dan 18 selama 3 hari terdapat peningkatan yang signifikan yaitu bertambahnya volume asi. selain itu, di mana pemijatan pada titik lokal pada area payudara ini bertujuan untuk meningkatkan produksi hormon pralaktin dan hormon oksitosin serta untuk meningkatkan penyerapan nutrisi yang merupakan bahan dasar pembentukan asi (renityas, 2018) kesimpulan sebelum dilakukan perlakuan, post partum sc hari ke 3 terdapat 80% asi mencukupi kebutuhan bayi usia 0-6 bulan, dan sesudah dilakukan perlakuan acupresure pada post partum sc hari ke 7(hari ketiga setelah perlakuan) terdapat 85% asi mencukupi kebutuhan asi bayi usia 0-6 bulan, terdapat peningkatan produksi asi sejumlah 5% sesudah perlakuan. kemudian terdapat perbedaan yang signifikan kecukupan asi sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan. saran terapi acupresure perlu dilakukan setiap hari (3 kali dalam seminggu) dengan durasi antara 5-10 menit diharapkan ibu post partum sc dapat meningkatkan volume asi serta petugas kesehatan dapat memotivasi agar ibu post partum sc melakukan acupresure dengan bantuan anggota keluarga khususnya suami atau dapat juga dipijat sendiri pada titik st 16, 17 dan 18 untuk kelancaran dan kesehatan pada saat proses menyusui. daftar pustaka ariani. (2009). ibu susui aku. bandung: khazanah intelektual astutik, r. (2014). payudara dan laktasi. jakarta: salemba medika astuti. (2015). buku ajar asuhan kebidanan ibu 1. rohima press : jogjakarta badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri. (2018). riset kesehatan dasar (riskesdas). departemen kesehatan republik indonesia. https://www.kemkes.go.id/ resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas2018.pdf (diakses tanggal 13 desember2020) budiyanto (2015). hubungan ketersediaan fasilitas penunjang terhadap keberhasilan pemberian asi eksklusif pada ibu yang bekerja sebagai tenaga kesehatan. jurnal ilmiah keperawatan. vol.11, no.1, hh.6–18. chan sm (2004).breasfeeding failure in a longituginal postpartum maternal nutritionstudy in hong kong. journal of paediatrics and child health. vol.36 no.5, hh.13 cholifah, s., setyowati, h., & mareta, r. (2014). akupresur pada ibu menyusui meningkatkan kecukupan asupan asi bayi di kecamatan mungkid tahun 2014. jurnal keperawatan maternitas. vol.3. no.2,hh. 111-117. chung, l., hung, l., kuo, s., huang, c. (2003). effects of li4 and bl 67 acupressure on labor pain and uterine contractions in the first stage of labor. journal of nursing research vol. 11, no. 4, 2003. djanah n, muslihatun wn (2017). akupresur terhadap produksi asi pada ibu post partum. jurnal photon. vol.8, no.1, hh: 73-77. esfahani et al. (2015). effect of acupressure on milk volume of breastfeeding mothers referring to selected health care centers in tehran.iranian journal of nursing and midwifery research. vo.20, no.1, hh.7–11 fengge, a (2012). terapi akupresur. yogyakarta. crop circle corp. yogyakarta 300 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 293–300 gach m.r (1990). acupressur’s potent points. a bantam book edition.toronto: kanada hanifah,f (2015). faktor-faktor yang berhubungan dengan pengeluaran air susu ibu setelah tindakan sectio caesarea di rs pku muhammadiyah yogyakarta. naskah publikasi. stikes a’isyah yogyakarta idai. (2010). indonesia menyusui. badan penerbit idai kemenkes ri. (2012). peraturan pemerintah republik indonesia nomor 33 tahun 2012 tentang pemberian asi eksklusif. profil kesehatan indonesia 2012. kementrian kesehatan republic indonesia. jakarta megawati ra. (2012).hubungan pola pemberian asi dan karakteristikibu. jurnal unimus (online) (http:// jurnal.unimus.ac.id/index.php/kedokte ran/article/ view/745/799, (diakses pada tanggal 3 maret 2019) nichole. (2005). panduan menyusui. jakarta : prestasi pustakaria pangastuti, d. and mukhoirotin (2018) ‘pengaruh akupresur pada titik tai chong dan guanyuan terhadap penur unan int ensi tas nyer i ha id (dismenorhea) pada remaja putri. jurnal edu nursing, vol.2. no.2, hh. 54–62. parwati, d. m. w., hartati, l. e. and suheri, t. (2017) ‘the effect of breast acupressure and oxylosins massage to improve the breast milk production in postpartum mother’, jmscr, vol.05, no.10, hh. 28756–28760. pitaloka da, abrory r, pramitha ad (2018). hubungan antara pengetahuan dan pendidikan ibu dengan pemberian asi eksklusif di desa kedungrejo kec amat an waru kabupat e n si doarjo . ejournal.unair.co.id. diakses tanggal 13 juni 2020. putra, s.t (2005). psikoneuroimunologi kedokteran. graha masyarakat ilmiah kedokteran fakultas kedokteran universitas airlangga press. surabaya. rahayu, d., santoso, b. and yunitasari, e. (2015). produksi asi ibu dengan intervensi acupresure point for lactation dan pijat oksitosin. jurnal ners, vol.10, no.1, hh. 9–19. rahmaika arumsari, d., wayan agung indrawan, i. and sri wahyuni, e. (2018). the combination of acupressure and affirmation relaxation as an alternative method to increase breast milk production and breastfeeding self-efficacy. research journal of life science.vol.5, no.1, hh. 66–76. renityas nn (2018). the effevtiveness of moringa leaves extract and cancu point massage towards breast milk volume on breasfeeding mothers. jurnal ners dan kebidanan. vol.5, no. 2 hh: 150153. renityas n, sari lt, wibisono w (2017). efektifitas acuyoga terhadap keluhan insomnia pada ibu hamil trimester iii di masyarakat agriculture traditional kecamatan ngancar kabupaten kediri. jurnal ners dan kebidanan. vol. 4, no. 2, hh. 98– 103. saraung, m. w., rompas, s. and bataha, y. b. (2017). analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan produksi asi pada ibu postpartum di puskesmas ranotana weru. e-jurnal keperawatan (e-kp). vol. 5, no.2, hh. 1–8. shol eh, m. (2006). pe lat i han shol at t ahajud: menyembuhkan berbagai penyakit. cetakan xxi. november 2006. mizan medika utama. bandung. sukarni & wahyu. (2013). buku ajar keperawatan maternitas. nuha medikayogyakarta yue-fen, w., xiao-ying, l. (2004). treatment of 54 cases of lactation insufficiency with acupuncture. j. acupunct. tuina. sci. 2, 53 https://doi.org/10.1007/ bf02877115. zaenab s, alasiry e, idris i. (2016). pengaruh pemberian asi eksklusif terhadap pertumbuhan bayi di wilayah kerja puskesmas poasia kota kendari. jst kesehatan. vol.6. no.1 hh:97-102 401a’in, agung, yunitasari, aromaterapi lavender dalam upaya menurunkan nausea dan... jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk aromaterapi lavender dalam upaya menurunkan nausea dan vomiting pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi di rsud dr. soetomo surabaya anisa a’in1, desak gede agung, s.2, esty yunitasari3 1faculty of nursing, universitas airlangga surabaya, indonesia 2faculty of medicine, universitas airlangga surabaya, indonesia 3faculty of nursing, universitas airlangga surabaya, indonesia 401 info artikel kata kunci: aromaterapi lavender; lavandula angustifolia; nausea; vomiting; kanker payudara; kemoterapi. abstrak kanker payudara merupakan jenis kanker yang umum terjadi wanita. umumnya pasien yang menjalani kemoterapi mengalami gejala akibat proses penyakit atau efek samping pengobatan seperti nausea dan vomiting. tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh aromaterapi lavender terhadap nausea dan vomiting pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. metode: penelitian ini adalah penelitian true experimental dengan desain randomized pre-post test with control group. sampel penelitian dikumpulkan secara consecutive, melibatkan 40 pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi one day care di rsud dr. soetomo surabaya. sampel dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok aromaterapi (n = 20) dan kelompok kontrol (n = 20). aromaterapi lavender dilakukan mandiri oleh pasien dirumah setiap dua kali sehari selama tiga minggu berturut-turut (21 hari). instrumen mengukur nausea dan vomiting menggunakan rhodes index nausea, vomiting and retching. data dianalisis menggunakan uji pair t test dan independent t test. hasil: skor nyeri pre kelompok aromaterapi 17.60 ± 3,05 dan post 8,40 ± 4,74 (p value <0,001). independent t test menunjukkan nilai p value 0,001 (< 0,05). kesimpulan: studi ini menunjukkan aromaterapi lavender inhalasi yang diterapkan secara berkesinambungan selama tiga minggu berturut-turut mampu menurunkan nausea dan vomiting pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. article information lavender aromatheraphy in relieving nausea and vomiting breast cancer patient undergoing chemotheraphy at dr. soetomo hospital abstract breast cancer is a type of cancer that commonly occurs in women. generally patients undergoing chemotherapy experience symptoms due to disease processes or side effects of medications such as nausea and vomiting. the purpose of this study was to explain the effect of lavender aromatherapy on sejarah artikel: diterima, 04/11/2019 disetujui, 03/12/2019 dipublikasi, 05/12/2019 history article: received, 04/11/2019 accepted, 03/12/2019 published, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p401-407&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 402 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 401–407 correspondence address: universitas airlangga surabaya, east java indonesia p-issn : 2355-052x keywords: lavender aromatheraphy; lavandula angustifolia; nausea; vomiting; breast cancer; chemotherapy nausea and vomiting in breast cancer patients undergoing chemotherapy. method: this study is a true experimental study with a randomized pre-post test with control group design. the study sample was collected consecutively, involving 40 breast cancer patients undergoing one day care chemotherapy at rsud dr. soetomo surabaya. the sample was divided into 2 groups, the aromatherapy group (n = 20) and the control group (n = 20). lavender aromatherapy is performed independently by the patient at home twice a day for three consecutive weeks (21 days). the instrument measures nausea and vomiting using the rhodes index nausea, vomiting and retching. data were analyzed using paired t test and independent t test. results: pain scores in the pre-aromatherapy group 17.60 ± 3.05 and post 8.40 ± 4.74 (p value <0.001). independent t test showed a p value of 0.001 (<0.05). conclusion: this study shows that inhaled lavender aromatherapy which is applied continuously for three consecutive weeks can reduce the nausea and vomiting of breast cancer patients undergoing chemotherapy. ©2019 jurnal ners dan kebidanan pendahuluan kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling umum diderita oleh wanita (tamaki et al., 2017). hasil estimasi international agency for research on cancer (iarc) tahun 2012, kanker payudara menempati urutan pertama kasus baru (43,3%) dan persentase tertinggi kematian akibat kanker (12,9%) dari seluruh keganasan didunia (bott, 2014). data riset kesehatan dasar indonesia menunjukkan, prevalensi penyakit kanker naik dari 1,4% ditahun 2013, menjadi 1,8% di tahun 2018 sedangkan menurut data dari sistem informasi rumah sakit tahun 2010, kanker payudara adalah jenis kanker tertinggi pada pasien rawat jalan maupun rawat inap yakni mencapai 12.014 orang (28.7%) (kemenkes ri, 2018). jumlah penderita kanker payudara juga menduduki peringkat pertama kasus keganasan di rsud dr. soetomo surabaya. hal tersebut dapat dilihat dari angka kunjungan pasien kanker tahun 2018 (25.780 kali kunjungan) disusul kanker servix (14.685 kali kunjungan) dan kanker ovarium (5249 kali kunjungan). penderita kanker banyak mengalami gejalagejala yang muncul akibat dari proses penyakit maupun efek samping dari pengobatan kemoterapi, radioterapi, intervensi pembedahan dan terapi konvensional lain (özdelikara & tan, 2017). salah satu gejala tersebut dapat berupa nausea dan vomiting. nausea dan vomiting sendiri dilaporkan dialami sebanyak 40%–70% pasien kanker selama perjalanan penyakit.. jika efek kemoterapi tersebut terus dibiarkan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi aktivitas, status gizi, serta kualitas hidup pasien, sehingga diperlukan kontrol secara farmakologis maupun non-farmakologis untuk memperbaiki masalah tesebut (gozzo, moyses, da silva, & de almeida, 2013). kompleksitas dan sifat kanker yang agresif serta efek samping dari pengobatan seperti kemoterapi, radioterapi, intervensi pembedahan dan terapi konvensional lain telah mendorong pasien dan keluarga untuk turut menggunakan metode pengobatan alternatif pelengkap atau yang dikenal denga n cam (complementary alternative theraphy) sebagai pendamping terapi pengobatan (özdelikara & tan, 2017). terapi alternatif telah umum digunakan dalam mengurangi ketidaknyamanan pasien dengan kanker diantaranya adalah aromaterapi. negara-negara yang menggunakan aromaterapi sebagai bagian dari praktek keperawatan mereka antara lain swiss, jerman, inggris, kanada dan amerika serikat (eghbali, 2017). email: anisafkp.unair2017@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i3.art.p401-407 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p401-407 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 403a’in, agung, yunitasari, aromaterapi lavender dalam upaya menurunkan nausea dan... salah satu aromaterapi yang banyak di-gunakan salah satunya adalah aromaterapi lavender. esensial lavender (lavandula angustifolia) mengandung linalool, linalyl acetate, cineol, lavender, geraniol tannin, flavonoids yang dapat menimbulkan efek antibacterial, antispasmodic, antidepresant dan analgesic. kandungan linalool yang bersifat sedative dan linalyl acetate yang memberikan efek narkotik dapat menekan aktivitas sistem saraf simpatis, mengurangi hormon stres dan me-ningkatkan sekresi beta-endorphins (fayazi, babashahi, & rezaei, 2011). saat aroma lavender di inhalasi, kandungan minyak atsiri merangsang reseptor bulbus olfaktorius, mentransfer pesan penciuman ke sistem limbik, menyebabkan pelepasan endorphin, encephalin, dan serotonin, yang mempunya i efek member ika n per a sa a n tena ng, menurunkan nausea dan juga vomiting (sowndhararajan & kim, 2016). tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh aromaterapi lavender terhadap nausea dan vomiting pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. bahan dan metode jenis penelitian ini adalah true experimental dengan rancangan penelitian randomized pretest – postest control group design penelitian dilakukan sejak tanggal 30 juli sampai dengan 1 oktober 2019 diunit rawat jalan pusat pengembangan layanan kanker (pplk) rsud. dr. soetomo surabaya. tekhnik sampling dilakukan dengan cara menentukan 40 responden secara consecutive sampling sesuai kriteria inklusi dan ekslusi, 20 responden kelompok aromaterapi, 20 responden kelompok kontrol. penentuan kelompok sampel dilakukan secara random. responden yang terlibat dalam penelitian merupakan pasien kanker payudara one day servis (rawat jalan), usia 17– 65 tahun, minimal kemoterapi kedua, pernah menjalani pembedahan atau tidak, pa sien nyer i r inga n sa mpai denga n sedang, kemoterapi berbasis antracicline, pasien stadium 1-iii b, pasien yang diberikan obat antiemetik ondancentron, pasien tidak mengkonsumsi obat anti depresan, tidak memiliki komplikasi saluran pernapasan, tidak memiliki gangguan penciuman, tidak memiliki riwayat asma, pasien hypersensitivitas essensial oil lavender, menyukai aroma essential oil lavender. kelompok responden penelitian di-tentukan secara random melalui undian. peneliti juga menunjuk satu anggota keluarga sebagai pengawas terapi. responden yang masuk dalam kelompok aromaterapi dilakukan tes penciuman untuk mengetahui apakah responden memiliki alergi essensial oil lavender. selanjutnya responden diajarkan bagaimana cara melakukan terapi dengan benar. aromaterapi diencerkan dengan virgin coconut oil oleh peneliti dengan perbandingan 1 : 1. aromaterapi yang telah diencerkan selanjutnya diteteskan di permukaan kasa. responden lalu diminta untuk melakukan pernapasan dalam hingga abdomen terasa hangat. intervensi aromaterapi dilakukan 2x sehari, 10 menit dipagi hari saat bangun tidur dan 10 menit malam hari sebelum tidur selama 3 minggu berturut-turut (21 hari). variabel yang dievaluasi meliputi nausea dan vomiting. follow up dilakukan sebanyak 2x via telpon dengan tujuan mengingatkan terapi dan menilai perkembangan responden. sementara untuk kelompok kontrol responden hanya diberikan perawatan standar rumah sakit. penilaian post-test dilakukan secara langsung saat pasien menjalani kemoterapi dijadwal selanjutnya. instrumen yang digunakan untuk mengukur nausea dan vomiting adalah kuisioner rhodes index nausea, vomiting and restcing yang telah dilakukan uji validitas dan reabilitas dengan nilai koefisien alpha cronbach 0,866. selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan uji pair t test untuk mengetahui perbedaan rata-rata pre-post intervensi dan uji independent t test untuk mengetahui perbedaan nausea dan vomiting antara kelompok intervensi dan kontrol hasil penelitian penelitian dilakukan sejak tanggal 30 juli sampai dengan 1 oktober 2019. tekhnik sampling dilakukan dengan cara menentukan 40 responden karakteristik k 1 k2  n = 20 n = 20 n = 40 usia f % f % f % 26–35 tahun 3 15 4 20 7 17,5 36–45 tahun 8 40 7 35 15 37,5 46–55 tahun 7 35 7 35 14 35 56–65 tahun 2 10 2 10 4 10 tabel 1 distribusi frekuensi usia responden 404 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 401–407 tidak ada satu responden pun yang berada pada katagori nausea dan vomiting ringan. setelah menja lani intervensi selama tiga minggu, 12 respoden mengalami penurunan katagori dari sedang dan berat menjadi katagori ringan. sementara hasil berbeda ditunjukkan oleh kelompok kontrol, hanya 3 orang pasien yang me-laporkan penurunan nausea dan vomiting, dari kategori berat menjadi sedang. analisis data pada tabel 2 menunjukkan selisih rata-rata pre-post kelompok intervensi (k1) dan kontrol (k2). dari tabel tersebut di-ketahui kedua baik kelompok aromaterapi dan control sama-sama mengalami penurunan skor nausea dan vomiting. namun penurunan tertinggi dimiliki oleh kelompok aromaterapi dengan selisih mean -9,20 sedangkan kelompok kontrol (-0,30). uji pair t test menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata pre-post kelompok intervensi terhadap nausea dan vomiting pasien dengan nilai p value 0,001 (<0,05). sedangkan penurunan yang tidak signifikan ditunjukkan oleh kelompok kontrol dengan p value 0, 741. pembahasan pasien kanker payudara yang dilibatkan dalam penelitian ini merupakan pasien one day care (rawat jalan) yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin setiap tiga minggu sekali (21 hari). obat-obat kemoterapi (atau metabolitnya) dapat mengaktivasi daerah kemoreseptor atau pusat vomiting secara langsung serta merangsang vomiting dengan cara merusak sel-sel saluran cerna. karakteristik k 1 k2  n = 20 n = 20 n = 40 pendidikan f % f % f % dasar 13 65 13 65 26 65 menengah 4 20 5 25 9 23 tinggi 3 15 2 10 5 13 tabel 2 distribusi frekuensi tingkat pendidikan responden karakteristik k 1 k2  n = 20 n = 20 n = 40 penkerjaan f % f % f % irt 10 50 13 65 23 58 wirausaha 4 20 3 15 7 18 buruh 3 15 2 10 5 13 swasta 2 10 2 10 4 10 pns 1 5 0 0 1 2,5 tabel 3 distribusi frekuensi pekerjaan responden karakteristik k 1 k2  n = 20 n = 20 n = 40 frekuensi f % f % f % 2 kali 6 30 4 20 10 25 3 kali 8 40 8 40 16 40 4 kali 3 15 4 20 7 18 5 kali 2 10 3 15 5 13 6 kali 1 5 1 5 2 5 tabel 4 distribusi frekuensi kemoterapi responden karakteristik aromaterapi kontrol n = 20 n = 20 pre intervensi f % f % ringan (1-3) 0 0 0 0 sedang (4-6) 10 50 8 40 berat (7-9) 10 50 12 60 hebat (10-12) 0 0 0 0 post intervensi ringan 12 60 0 0 sedang 6 30 11 55 berat 2 10 9 45 hebat (10-12) 0 0 0 0 tabel 5 distribusi frekuensi nausea dan vomiting prepost intervensi secara consecutive sampling sesuai kriteria inklusi dan ekslusi, dari 142 responden yang melakukan kemoterapi di unit rawat jalan rsud. dr. soetomo surabaya rentang usia terbanyak berada pada usia 3645 tahun yaitu sebanyak 37,5 %. tingkat pendidikan responden didominasi tingkat dasar yakni se-banyak 65%. katagori pekerjaan lebih banyak di-dominasi oleh ibu rumah tangga yakni sebanyak 57,5% dan responden rata-rata telah menjalani kemoterapi sebanyak 2 sampai 3 kali. hasil distribusi frekuensi nausea dan vomiting pada tabel 2 menunjukkan mayoritas responden memiliki karekteristik nausea dan vomiting sedang 45% dan berat 55%. sebelum di-lakukan intervensi, 405a’in, agung, yunitasari, aromaterapi lavender dalam upaya menurunkan nausea dan... chemotherapy induced nausea and vomiting (cinv) diklasifikasikan menjadi akut, lambat dan antisipatori. cinv akut terjadi pada awal dua puluh empat jam pasca kemoterapi dengan puncak terjadi pada lima sampai enam jam setelah pemberian kemoterapi. cinv tipe lambat terjadi setelah dua puluh empat jam dan dapat menetap selama lima sampai tujuh hari. pada penelitian ini pasien mengatakan nausea muncul pada hari ke-3 pasca kemoterapi dan puncaknya terjadi pada hari ke-4 atau ke-5 lalu menurun pada hari ke-6. dalam studi ini tidak terdapat pasien dengan nausea dan vomiting hebat pada hari pasien menjalani kemoterapi. responden menyampaikan gejala nausea dan vomiting biasanya muncul pada hari ke-3 setelah kemoterapi, puncaknya dirasakan pada hari ke-4 s/ d 5. beberapa pasien mengatakan gejala tersebut berangsur-angsur turun 1 minggu pasca kemoterapi, namun ada pula yang melaporkan nausea dan vomiting bertahan sepanjang minggu hingga kemoterapi berikutnya. maka dari itu diperlukan satu intervesi yang efektif meredakan nausea dan vomiting yang dapat dilakukan secara mandiri selama dirumah,, memiliki efek samping negatif yang minimal, mudah, cost effective serta dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja (lakhan, sheafer, & tepper, 2016) dalam penelitian ini pasien yang diberikan aromaterapi lavender (k1) secara stimultan selama 3 minggu berturut-turut terbukti juga dapat menurunkan intensitas nausea dan vomiting pada pasien dibandingkan dengan kelompok kontrol (k2). penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa episode nausea dan vomiting pada ibu hamil menurun pada hari ketiga pasca inhalasi aromaterapi (mahmoud, ghani, tawfik, & ibrahim, 2013). atau hasil penelitian yang dilakukan oleh ovayolu, sevið, ovayolu, & sevinç, (2014) tentang efektivitas aromaterapi terhadap breast cancer symptom dan kualitas hidup pasien kanker payudara. hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat penurunan symptom fisik dan peningkatan kualitas hidup pasien kanker payudara dari minggu ke-6 hingga minggu ke-10 pada kelompok intervensi lavender memiliki sejarah panjang sebagai anticonvulsant,antidepressive, anxiolytic, sedative, and penenang. kandungan lavender oil terdiri dari: linalool, linalyl acetate, ádan âpinene dan 1,8cineole. dimana, linalyl acetat dan linalool adalah kandungan aktif utama pada lavender yang berperan sebagai efek anti cemas (relaksasi) dan meredakan nausea (dagli, dagli, mahmoud, & baroudi, 2015). proses penghiduan itu sendiri bermula dari molekul-molekul aromaterapi lavender yang dihirup secara inhalasi ditangkap oleh epitel olfaktory yang kemudian diteruskan menuju sel olfaktory. pada sel olfaktory terdapat silia olfaktory yang berfungsi sebagai alas padat pada mukus yang bereaksi terhadap bau di udara. sinyal ini akan diteruskan ke bulbus olfaktorius lalu ke akson-akson pendek dari sel olfaktorius dan berakhir di struktur globular yang disebut glomeruli. setiap ujung gromelurus memiliki dendrit untuk menerima sinaps dari sel olfaktorius yang akan menerima akson-akson ke traktus olfaktorius untuk menjalarkan sinyal-sinyal olfaktorius ke tingkat yang lebih tinggi dari sisem saraf pusat (guyton & hall, 2007). dari sistem saraf pusat sensasi olfaktori diteruskan menuju sistem limbik lalu ke hipothalamus dan amygdala. dari amygdala sensasi olfaktori memberikan perasaan tenang dan menurunkan nausea (sowndhararajan & kim, 2016). meskipun dalam penelitian ini aromaterapi terbukti menurunkan nausea dan vomiting, ada beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi skor nausea dan vomiting pasien yang menjalani kemoterapi, di antarnya adalah frekuensi kemoterapi. pasien yang dilibatkan dalam penelitian adalah pasien yang minimal telah satu kali menjalani kemoterapi dengan asumsi bahwa semakin sering pasien menjalani kemoterapi, semakin banyak pasien mndapatkan pengalaman dari pengobatan sebelumnya. intervensi n mean ± sd  mean p value k1 pre 20 17.60 ± 3,05 -9,20 < 0,001   post 20 8,40 ± 4,74 k2 pre 20 17,20 ± 1,88 -0,30 0,741 post 20 16.90 ± 4,06   independent t test = p value <0,001 tabel 6 pengaruh aromaterapi lavender terhadap nausea dan vomiting (n=40) 406 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 401–407 pengobatan kemoterapi terdiri dari beberapa siklus sehingga termasuk dalam pengobatan jangka panjang, apabila dalam pengalaman pertama terdapat pengalaman yang tidak menyenangkan dalam menjalani kemoterapi maka hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat kecemasan dan menjadi stressor pasien pada kemoterapi selanjutnya (astari, 2015). studi ini menunjukkan usia responden berada pada rentan 36–55 tahun. hal tersebut dicurigai dapat mempengaruhi tingkat keparahan nausea dan vomiting pasien. salah satu alasan yang mungkin melatar belakangi hal tersebut adalah berhubungan dengan perbedaan sosial ekonomi. beberapa pasien dalam kisaran usia pertengahan 31–50 tahun selain harus membiayai pengobatan, mereka perlu mendukung orang tua dan membiayai sekolah anak-anak mereka. sehingga ketika mereka dirawat di rumah sakit sebagai pasien kanker, mereka akan menderita tekanan hebat baik secara mental dan fisik, yang akan memperparah penderitaan akibat efek samping pengobatan yang dijalani (xu, ou, xie, cheng, & chen, 2019). sebagian besar pasien kanker payudara yang menja la ni progra m kemoterapi di rsud dr. soetomo berada pada pendidikan dasar (65%). dari data tersebut maka peneliti berasumsi akses informasi dan tingkat kesadaran responden untuk memperoleh sumber informasi terkait pencegahan dan penanggulangan nausea dan vomiting pasien kanker payudara masih snagat kurang. menurut notoatmodjo (2010) semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang. pasien dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki kepatuhan yang tinggi dalam pencegahan penyakit dan treatment pengobatan, sehingga gejala kanker dapat diatasi dengan lebih baik (mehnert & koch, 2008). meskipun aromaterapi lavender mem-berikan banyak manfaat bagi pasien kanker, dalam prosesnya peneliti kesulitan menemukan pasien yang bersedia menjadi responden dalam kelompok aromaterapi. hal tersebut karena tidak semua pasien kanker payudara yang menjalani kemoter api menyukai aroma dari essensial oil lavender yang ditawarkan. peneliti berasumsi penolakan dan penerimaan pasien terhadap aroma essensial oil lavender ini dipengaruhi oleh faktor selera dan pengalaman masa lalu. penggunaan aromaterapi melewati mekanisme penciuman lebih cepat menimbulkan efek fisiologis karena indra penciuman mempunyai kontak langsung dengan bagian-bagian otak yang bertugas merangsang terbentuknya dampak dari aroma. faktor yang mempengaruhi dampak diantaranya ketertarikan, selera, memori, dan identifikasi (devito, 2013). stevenson & repacholi, (2005) menyatakan jika aroma yang tercium adalah aroma yang menyenangkan, maka seseorang secara otomatis akan merasa dirinya positif. sedangkan apabila aroma yang tercium adalah aroma yang tidak menyenangkan, maka seseorang akan merasa negatif. dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi penciuman individu terhadap aroma bersifat subjektif dan tergantung masing-masing individu (adderley & holt, 2014). hal ini terbukti meskipun beberapa responden melaporkan tidak menyukai aroma essensial oil lavender, banyak responden yang menyatakan nyaman dan menyukai essensial oil yang ditawarkan. beberapa responden bahkan berusaha menghubungi peneliti untuk bertanya dimana responden dapat membeli essensial oil yang sama. simpulan dan saran simpulan dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kombinasi aromaterapi lavender yang dilakukan dirumah secara secara rutin mampu menurunkan nausea dan vomiting pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi. saran penelitian selanjutnya diharapkan dapat melibatkan pasien kemoterapi rawat inap agar proses intervensi dapat diawasi langsung oleh peneliti. pengukuran nausea dan vomiting diharapkan dapat menggunakan indikator pengukuran yang lebih objektif. misalnya dengan melibatkan tanda-tanda vital maupun hubungannya dengan perubahan biokimia tubuh seperti kadar endorphin, kortisol dalam darah dan lain-lain. daftar rujukan astari, k,.y,.r. (2015). hubungan frekuensi kemoterapi dan kecemasan terhadap asupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat pada pasien kanker serviks rsud dr. moewardi surakarta. program studi ilmu gizi. ums. surakarta adderley, u. j., & holt, i. g. s. (2014). topical agents and dr essin gs for fungati ng wounds. cochrane database of systematic reviews. https://doi.org/ 10.1002/14651858.cd003948.pub3 dagli, n., dagli, r., mahmoud, r., & baroudi, k. (2015). 407a’in, agung, yunitasari, aromaterapi lavender dalam upaya menurunkan nausea dan... essential oils, their therapeutic properties, and implication in dentistry: a review. journal of international society of preventive and community dentistry. https://doi.org/10.4103/2231-0762.165933 devito, j. a. (2013). the interpersonal communication book (13th ed). new jersey: pearson. eghbali, m. (2017). to what extend aromatherapy with peppermint oil effects on chemotherapy induced nausea and vomiting in patient diagnosed with breast cancer? a randomized controlled trial. journal of hematology & thromboembolic diseases, 05(06). https://doi.org/10.4172/23298790.1000279 fayazi, s., babashahi, m., & rezaei, m. (2011). the effect of inhalation aromatherapy on anxiety level of the patients in preoperative period. iranian journal of nursing and midwifery research, 16(4), 278–283. https://doi.org/10.1097/gox.0b013e3182 gozzo, t. de o., moyses, a. m. b., da silva, p. r., & de almeida, a. m. (2013). [nausea, vomiting and quality of life in women with breast cancer receiving chemotherapy]. revista gaucha de enfermagem / eenfufrgs, 34(3), 110–116. https://doi.org/ 10.1590/s1983-14472013000300014 guyton a.c. and j.e. hall 2007. buku ajar fisiologi kedokteran. edisi 9. jakarta: egc lakhan, s. e., sheafer, h., & tepper, d. (2016). the effectiveness of aromatherapy in reducing pain/ : a systematic review and meta-analysis, 2016. mahmoud, r., ghani, a., tawfik, a., & ibrahim, a. (2013). the effect of aromatherapy inhalation on nausea an d vomi ti ng i n ea rl y pr egna ncy: a pil ot randomized controlled trial. journal of natural sciences research www, 3(5), 2225–2921. mehnert, a., & koch, u. (2008). psychological comorbidity and health-related quality of life and its association with awareness, utilization, and need for psychosocial support in a cancer register-based sample of long-term breast cancer survivors. journal of psychosomatic research. https://doi.org/ 10.1016/j.jpsychores.2007.12.005 ou, m. c., hsu, t. f., lai, a. c., lin, y. t., & lin, c. c. (2012). pain relief assessment by aromatic essential oi l m a ssa ge on out pa t i ent s wi t h pr i ma r y dysmenorrhea: a randomized, double-blind clinical trial. journal of obstetrics and gynaecology research, 38(5), 817–822. https://doi.org/10.1111/ j.1447-0756.2011.01802.x ovayolu, o., sevið, u., ovayolu, n., & sevinç, a. (2014). t h e effect of ar om at h era py a n d m a ssa ge administered in different ways to women with breast cancer on their symptoms and quality of life. international journal of nursing practice, 20(4), 408–417. https://doi.org/10.1111/ijn.12128 özdelikara, a., & tan, m. (2017). the effect of reflexology on chemotherapy-induced nausea, vomiting, and fatigue in breast cancer patients. asia-pacific journal of oncology nursing, 4(3), 241–249. https:/ /doi.org/10.4103/apjon.apjon_15_17 sowndhararajan, k., & kim, s. (2016). influence of fragrances on human psychophysiological activity: with special reference to human electroencephalographic response. scientia pharmaceutica. https://doi.org/10.3390/scipharm84040724 stevenson, r. j., & repacholi, b. m. (2005). does the source of an interpersonal odour affect disgust? a disease risk model and its alternatives. european journal of social psychology. https://doi.org/ 10.1002/ejsp.263 tamaki, k., fukuyama, a. k., terukina, s., kamada, y., uehara, k., arakaki, m., … sasano, h. (2017). ra ndom iz ed t r i al of a r oma t h er a py versus conventional care for breast cancer patients during perioperative periods. breast cancer research and treatment, 162(3), 523–531. https://doi.org/10.1007/ s10549-017-4134-7 xu, x., ou, m., xie, c., cheng, q., & chen, y. (2019). pain acceptance and its associated factors among cancer patients in mainland china: a cross-sectional study. pain research and management. https://doi.org/ 10.1155/2019/9458683. 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 050–058 50 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk faktor personal yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah beresiko infeksi menular seksual (ims): teori sosial learning di siswa sma malang info artikel sejarah artikel: diterima, 02/09/2019 disetujui, 03/12/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: pengetahuan; sikap; religiusitas; efikasi; peran genfer; perilaku seksual abstrak berdasarkan data tim survei dari sebaya dan fk unair pada tahun 2005 di kota surabaya dari 126 responden yang berusia 19-23 tahun mendapat hasil bahwa 13,5% responden mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. tujuan penelitian melihat faktor personal yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah beresiko ims. penelitian menggunakan teori perilaku bandura. penelitian ini explanatory research dengan desain penelitian cross sectional. sampel penelitian ini dilakukan simple random sampling sebanyak 318 responden. hasil analisa chi square p = 0,05 didapatkan memiliki pengaruhi signifikan pada responden laki-laki yaitu tingkat religiusitas (p = 0,012) sedangkan pada wanita (p = 0,562) dan tingkat religiusitas kurang tekun memiliki kecenderungan 2,4 kali lebih besar melakukan perilaku seksual beresiko ims, efikasi diri (p = 0,004) memiliki efikasi diri rendah memiliki kecenderunan 2,1 kali lebih besar untuk perilaku seksual beresiko ims sedangkan 1 variabel yang berhubungan pada responden perempuan dengan perilaku seksual pranikah yang beresiko terhadap ims yaitu efikasi diri (p = 0,001). untuk pengetahuan baik terhadap pada responden laki-laki (p = 0,153) maupun perempuan (p = 0,668),tidak ada hubungan yang signifikan. untuk sikap responden bahwa pada responden laki-laki (p = 0,162) dan perempuan (p = 1,000) tidak terdapat hubungan yang signifikan. untuk gender bahwa baik pada responden laki-laki (p = 1,000) maupun perempuan (p = 0,340) tidak ada hubungan yang signifikan. tingkat religiusitas or = 2,378 artinya responden yang memiliki tingkat religiusitas kurang tekun memiliki kecenderunan 2,4 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims dibandingkan responden tingkat religiusitas tinggi. efikasi or = 2,090 artinya responden yang efikasi diri rendah memiliki kecenderunan 2,1 kali lebih besar untuk perilaku seksual beresiko ims. saran untuk mengaktifkan program pusat informasi dan konseling-kesehatan reproduksi remaja (pik-krr). rifzul maulina1, anik purwati2 1prodi pendidikan profesi bidan, poltekkes rs dr soepraoen malang 2prodi diii kebidanan, poltekkes rs dr soepraoen malang http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p050-058&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 51maulina, purwati, faktor personal yang mempengaruhi ... correspondence address: poltekkes rs dr soepraoen malang –east java, indonesia p-issn : 2355-052x pendahuluan remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. menurut world health organization (who), batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh departemen kesehatan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin (kemendiknas, 2009). kegiatan seksual pada remaja menempatkan remaja pada tantangan resiko terhadap berbagai masalah kesehatan reproduksi. setiap tahun di seluruh dunia kira-kira 15 juta remaja berusia antara 15–19 tahun melahirkan, 4 juta melakukan aborsi, dan hampir 100 juta terinfeksi penyakit menular sekhistory article: received, 02/09/2019 accepted, 03/12/2019 published, 05/04/2020 keywords: knowledge, attitude, religiusity, efficacy, role of the gender, sexual behavior article information personal factors that affecting premarital sexual behaviour risky of sexually transmitted infection : social learning theory at high school student in malang’s district abstract based on data from the survey teams from peer and fk unair in 2005 in the city of surabaya126 respondents aged 19-23 years found that 13.5% of respondents claimed to have had premarital sex the purpose is to look at personal factors that influence premarital sexual behavior at risk for stis.. sampling this study by simple random sampling. the results chi square with p=0.05 that have a significant namely the level of religiosity (p = 0.012) and respondents who have less religiosity have a 2.4 times greater to engage more likely to engage in sexual behavior at risk for stis while there is variable related to female respondents with premarital sexual behavior that is at risk for stis efficacy self (p = 0.001). for knowledge of both male (p = 0.153) and female respondents (p = 0.668), there is no relationship. for the attitude of respondents that the male respondents (p = 0.162) and women (p = 1,000) .for gender that both male respondents (p = 1,000) andwomen (p = 0.340). from the result religiosity or = 2.337 means that respondents who have a less persistent level of religiosity have a tendency of 2.4 times compared with respondents with a high degree of religiosity. and the efficacy of having or = 2,090 means that respondents who have low self-efficacy have a tendency of 2.1 times more to do sexual behavior at risk of stis. suggestions to activate the information and adolescent reproductive counseling-health (pik-krr) program for high schools. © 2020 jurnal ners dan kebidanan sual yang dapat disembuhkan. secara global 40% dari semua kasus infeksi hiv terjadi pada kaum muda yang berusia 15–24 tahun. resiko kesehatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, salah satu diantaranya karena kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (hugo, 2011). perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik bagi lawan jenis maupun sesama jenis. bentuk tingkah laku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. penyaluran dengan orang lain terkadang dilakukan email: rifzulmaulina3@gmail.com e-issn : 2548-3811 (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ doi: 10.26699/jnk.v7i1.art.p050–058 this is an open access article under the cc by-sa license ) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 52 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 050–058 karena banyak dari remaja yang tidak dapat menahan dorongan seksualnya sehingga mereka melakukan hubungan seksual pranikah (ali, 2011). kasus mengenai perilaku seksual pada remaja dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan karena perilaku seksual remaja sekarang ini sudah melebihi batas terutama pada masa remaja akhir. sekarang ini remaja cenderung bersikap permisif terhadap seks bebas. hal ini disebabkan perilaku remaja mengarah kepada seks bebas. sementara di masyarakat terjadi pergeseran nilai-nilai moral yang semakin jauh sehingga masalah tersebut sepertinya sudah menjadi ha l biasa, padahal penyimpangan perilaku seksual merupakan sesuatu yang harus dihindari oleh setiap individu. dilihat dari data statistik hiv/aids sampai dengan bulan desember tahun 2011 di provinsi jawa timur dengan temuan kasus 12,27% dari 100.000 jumlah penduduk. dan berdasarkan laporan dari dinas kesehatan kabupaten malang tahun 2011 menyebutkan, dilihat dari distribusi umur ditemukan kasus infeksi menular seksual (ims) usia 15 – 24 tahun sebesar 47.3%, usia 25 – 34 tahun sebesar 22.6%, usia 35 – 44 tahun sebesar 19.4% dan usia lebih dari 45 tahun 10.8%. pada remaja sma usia 15 – 18 tahun sebesar 52.3% dan mahasiswa usia 19 – 24 tahun sebesar 47.7% (kemenkes, 2011). adanya kekhawatiran pada resiko akibat hubungan seksual pranikah terutama remaja yang masih mempunyai komitmen menyelesaikan sekolah sehingga tercegah dan tidak melakukan hubungan seksual pranikah memerlukan dukungan yang kuat dari berbagai pihak dari teman, orang tua dan sekolah (kotchick, 2011). psikolog seksual zoya amirin menyatakan, melihat fakta dan data saat ini, sudah tidak bisa lagi menganggap seks adalah hal yang tabu untuk dibahas di lingkungan keluarga sekalipun. orang tua merupakan sumber utama anak seharusnya mendapatkan pendidikan seksual, bukannya menghindar dari topik yang sensitif tersebut, karena ternyata hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja membahas kegiatan seksualnya dengan teman sebesar 93%, disusul dengan membahas dengan pacar (21%) baru dengan ibu (10%) dan ayah (2%). pengetahuan reproduksi ini memiliki fungsi untuk meningka tka n kesa da r a n r ema ja mengena i reproduksinya. sehingga remaja akan bisa melewati masa pubertas dengan positip tanpa harus melakukan kegiatan seks sebelum nikah. tujuannya dengan makin mengerti tentang reproduksi maka remaja akan sedapat mungkin menjaga alat reproduksinya dengan baik sehingga kasus hamil di luar nikah dan aborsi bisa dihindari (setyawati, 2009). bandura, menyatakan bahwa masalah seksualitas pada remaja timbul karena beberapa faktor. perubahan-perubahan hormonal meningkatkan hasrat seksual remaja yang membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena pada masa sekarang ini terjadi penundaan usia kawin. sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku. seseorang dilarang melakukan hubungan seks sebelum menikah. bagi remaja yang tidak dapat menahan diri maka akan cenderung melanggar larangan-larangan tersebut. kecenderungan pelanggaran makin meningkat dengan adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa. remaja yang pada dasarnya ingin tahu dan ingin mencoba maka akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa. orang tua itu sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, orang tua menjadi tidak terbuka dengan anak terutama dalam menginformasikan masalah seksualitas atau bahkan tidak mampu menjelaskan sehingga remaja mencari sumber informasi lain yang belum tentu benar, khususnya teman. di pihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat (bandura, 1997). bahan dan metode penelitian ini menggunakan teori perilaku bandura. penelitian ini merupakan penelitian penjelasan (explanatoryresearch) dengan desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara simple random sampling. untuk menentukan besar sampel menggunakan rumus perhitungan minimal sample size menurut lemeshow didapatberdasarkan data salah satu tim survei dari sebaya dan fk unair pada tahun 2005 di kota surabaya dari 126 responden yang berusia 19-23 tahun mendapat hasil bahwa 13,5% responden mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah. saat tidak ada pasangan untuk melakukan hubungan seks, beberapa di antaranya melakukan dengan psk. survei menyebutkan bahwa 45,7% responden yang ditemui dilokalisasi mengaku pertama kali ketika berusia 16-20 tahun (hugo, 2011) 53maulina, purwati, faktor personal yang mempengaruhi ... bersiko. sedangkan pada responden perempuan (20%) memiliki perilaku seksual beresiko. hasil uji chi square menunjukkan bahwa pada responden laki-laki dan perempuan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap seksualitas dengan perilaku seksual pranikah beresiko ims. f % f % f % f % kurang 29 38,6 47 61,8 20 21,5 73 78,5 baik 18 25,7 52 74,3 14 17,7 65 82,3 jumlah 47 32,2 99 67,8 34 19,8 138 80,2 tabel 1 tabulasi silang antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual pranikah beresiko terhadap ims menurut jenis kelamin responden pengetahuan perilaku seksual laki-laki perempuan beresiko tidak beresiko bersiko tidak beresiko p = 0,153 p = 0,668 f % f % f % f % tidak permisif 20 40,8 29 59,2 11 19,3 46 80,7 permisif 27 27,8 70 72,2 23 20 92 80 jumlah 47 32,2 99 67,8 34 19,8 138 80,2 tabel 2 tabulasi silang antara sikap responden dengan perilaku seksual pranikah beresiko terhadap ims menurut jenis kelamin sikap seksual perilaku seksual laki-laki perempuan beresiko tidak beresiko bersiko tidak beresiko p = 0,162 ho diterima p = 1,000 ho diterima kan 318 responden. alat ukur penelitian adalah kuesioner terstruktur dengan pertanyaan tertutup. dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, sikap terhadap seksualitas, efikasi diri, tingkat religiusitas, dan persepsi terhadap peran gender. variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku seksual pranikah. untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat digunakan uji chi square. setelah dilakukan uji chi square kemudian dilakukan analisa multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik dengan metode backward selection untuk mendapatkan faktor yang berpengaruh secara signifikan. hasil penelitian tabel 1 menunjukkan bahwa baik responden laki-laki (38,6%) maupun perempuan (21,5%) memiliki pengetahuan kura ng, mer eka yang ber pengeta hua n kur a ng memiliki pr opor si melakukan perilaku seksual pranikah beresiko ims yang tidak jauh berbeda dengan responden yang memiliki pengetahuan baik. hasil uji chi square menunjukkan bahwa baik pada responden laki-laki maupun perempuan, tidak ada hubungan antara pengetahua n dengan perila ku seks pr a nika h beresiko ims. tabel 2 menunjukkan bahwa responden lakilaki (40,8%) memiliki sikap tidak permisif terhadap seksualitas beresiko memiliki perilaku seksual tabel 3 menunjukkan bahwa responden lakilaki (41,8%) dan responden perempuan (22%) memiliki tingkat religiusitas kurang tekun. hasil uji chi square menunjukkan bahwa pada responden laki-laki terdapat hubungan yang signifikan, responden yang memiliki tingkat religiusitas kurang tekun 54 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 050–058 f % f % f % f % kurang tekun 33 41,8 46 58,2 20 22 71 78 tekun 14 20,9 53 79,1 14 17,3 67 82,7 jumlah 47 32,2 99 67,8 34 19,8 138 80,2 tabel 3 tabulasi silang antara tingkat religiusitas dengan perilaku seksual pranikah beresiko terhadap ims menurut jenis kelamin perilaku seksual laki-laki perempuan beresiko tidak beresiko bersiko tidak beresiko p = 0,012 ho ditolak p = 0,562 ho diterima tingkat religiusitas f % f % f % f % rendah 30 40,5 44 54,5 22 29,3 53 70,7 tinggi 17 23,6 55 76,4 12 12,4 85 87,6 jumlah 47 32,2 99 67,8 34 19,8 138 80,2 tabel 4 tabulasi silang antara efikasi diri dengan perilaku seksual pranikah beresiko terhadap ims menurut jenis kelamin perilaku seksual laki-laki perempuan beresiko tidak beresiko bersiko tidak beresiko p = 0,044 ho ditolak p = 0,010 ho ditolak efikasi f % f % f % f % tradisional 24 32,9 49 67,1 15 19,5 62 80,5 modern 23 31,5 50 68,5 76 20 76 80 jumlah 47 32,2 99 67,8 34 19,8 138 80,2 tabel 5 tabulasi silang antara peran gender dengan perilaku seksual pranikah beresiko terhadap ims menurut jenis kelamin perilaku seksual laki-laki perempuan beresiko tidak beresiko bersiko tidak beresiko p = 1,000 ho diterima p = 0,340 ho diterima peran gender memiliki kecenderunan 2,4 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims, sedangkan pada responden perempuan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan perilaku seksual pranikah bersiko ims. tabel 4 menunjukkan bahwa responden lakilaki (40,5%) dan responden perempuan (29,3%) memiliki efikasi diri rendah. hasil uji chi square menunjukkan bahwa pada responden laki-laki dan responden perempuan terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan perilaku seks pranikah beresiko ims. responden laki-laki yang memiliki efikasi diri rendah memiliki kecenderunan 2,1 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims tabel 5 menunjukkan bahwa responden lakilaki (32,9%) memiliki persepsi peran gender tradisonal. sedangkan responden perempuan memiliki 55maulina, purwati, faktor personal yang mempengaruhi ... persepsi peran gender yang modern (20%). hasil uji chi square menunjukkan bahwa baik pada responden laki-laki maupun perempuan ho diterima, sehingga tidak ada hubungan antara peran gender dengan perilaku seks pranikah beresiko ims. diantara 5 variabel yang diteliti tabulasi silang dengan perilaku seksual pranikah, ada 2 variabel yang berhubungan pada responden laki-laki secara statistik dengan perilaku seksual pranikah yang beresiko terhadap ims yaitu tingkat religiusitas, efikasi diri. dan diantara 5 variabel yang diteliti tabulasi silang dengan perilaku seksual pranikah. ada 1 variabel yang berhubungan pada responden perempuan secara statistik dengan perilaku seksual pranikah yang beresiko terhadap ims yaitu efikasi diri. analisis multivariat berdasarkan tabel 6 tingkat religiusitas berhubungan signifikan terhadap perilaku seksual pranikah dengan or sebesar 2,378 (95% ci : 1,109 – 5,099). hal ini berarti bahwa responden yang memiliki tingkat religiusitas kurang tekun memiliki kecenderungan 2,4 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims dibandingkan dengan responden dengan tingkat religiusitas tinggi. efikasi berhubungan signifikan terhadap perilaku seksual pranikah dengan or sebesar 2,090 (95% ci : 0,999 – 4,373). hal ini berarti bahwa responden yang memiliki efikasi diri rendah memiliki kecenderunan 2,1 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims dibandingkan dengan responden dengan efikasi diri tinggi. berdasarkan tabel 7 analisis multivariat dengan regresi logistik menggunakan metode backward lr pada respnden perempuan diperoleh bahwa variabel efikasi diri berhubungan signifikan terhadap perilaku seksual pranikah dengan or 2,012 (95% ci : 1,174 – 3,448) pada responden laki-laki. hal ini berarti religiusitas ,866 ,389 4,953 1 ,026 2,378 1,109 5,099 efikasi ,737 ,377 3,828 1 ,050 2,09 ,999 4,373 constant -1,950 ,406 23,024 ,000 0,142 tabel 6 hasil analisa regresi logistik antara variabel bebas dengan variabel terikat perilaku seksual pranikah beresiko terhadap ims pada remaja sma di kabupaten malang pada responden laki-laki b s.e. wald df sig. exp (b) 95.0% c.i.for exp (b) lower upper umur ,933 ,402 5,105 1 ,024 2,543 1,132 5,715 constant -1,960 ,338 33,677 1 ,000 ,041 tabel 7 hasil analisa regresi logistik antara variabel bebas dengan variabel terikat perilaku seksual pranikah beresiko terhadap ims pada remaja sma di kabupaten malang pada responden perempuan b s.e. wald df sig. exp (b) 95.0% c.i.for exp (b) lower upper bahwa responden yang memiliki efikasi diri rendah memiliki kecenderungan 2 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims dibandingkan dengan responden yang memiliki efikasi diri tinggi. pembahasan pengetahuan responden berdasarkan analisa bivariat diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan ims dengan perilaku seksual pranikah beresiko ims pada responden laki-laki (p value=0,153) dan perempuan (p value=0,668) artinya bahwa responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang kesehatan reproduksi dan ims, juga mempunyai perilaku seksual pranikah yang beresiko terhadap ims. dalam penelitian yang dilakukan suryoputro, dkk juga menyatakan tidak ada pengaruh pengeta56 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 050–058 huan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual pranikah remaja (buruh). meskipun tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan ims, adanya kekurangpahaman tentang pengetahuan tersebut perlu untuk diperhatikan. informasi tersebut tetap perlu diberikan untuk meningkatkan pemahaman remaja, sehingga mereka akan berpikir dan bersikap dengan cermat sebelum melakukan hubungan seksual pranikah. pengetahuan mungkin bukanlah faktor yang berpengaruh langsung terhadap perilaku seksual pranikah. seperti yang dijelaskan oleh bandura bahwa perilaku tersebut tidak merupakan hasil langsung dari pengetahuan atau keterampilan, melainkan suatu proses penilaian yang dilakuakn seseorang dengan menyatukan ilmu pengetahuan, harapan, status emosi, pengaruh sosial dan pengalaman yang didapat sebelumnya untuk menghasilkan suatu penilaian atas kemampuan mereka dalam menguasai situasi yang sulit. pernyataan tersebut membuktikan bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan ims yang rendah maupun tinggi belum tentu mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja. padahal, sesuai pernyataan bloom yang dikutip notoatmodjo dikatakan bahwa tanpa pengetahuan, seseorang tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. jadi, pengetahuan merupakan dasar untuk bersikap dan berperilaku. sikap terhadap seksualitas responden berdasarkan analisa bivariat diperoleh hasil berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan pada responden lakilaki (p value=0,162) dan perempuan (p value = 1,000) antara sikap seksualitas responden terhadap perilaku seksual pranikah beresiko ims. sikap responden yang sebagian besar permisif terhadap perilaku seksual pranikah kemungkinan dapat disebabkan bahwa mereka berpendapat yang cenderung sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, dan juga dapat disebabkan karena pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan resiko reproduksi adalah kurang sehingga tidak mempunyai dasar yang kuat untuk bersikap terhadap perilaku seksual, sehingga dapat dipengaruhi oleh temannya untuk menjadi permisif. menurut bandura struktur kognitif memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungsi-fungsi persepsi, evaluasi dan pengaturan perilaku. pengaruh diri tidak otomatis atau mengatur tingkah laku secara otonom, tetapi diri menjadi bagian dari sistem resiprokal yang artinya saling mempengaruhi antara lingkungan dan diri yang berarti bahwa seseorang yang sebenarnya mempunyai standart internal dalam berperilaku sesuai dengan apa yang diyakininya namun dengan pengaruh lingkungan yang permisif terhadap perubahan budaya barat menyebabkan perilaku yang muncul tidak sesuai dengan norma yang sebenarnya di masyarakat, karena mungkin hal ini diyakini bahwa apa yang dilakukan merupakan sesuatu perilaku yang wajar. religiusitas menurut jenis kelamin, bahwa responden lakilaki (41,8%) dan responden perempuan (22%) memiliki tingkat religiusitas kurang tekun. mereka yang kurang tekun dalam menjalankan ibadah memiliki proporsi melakukan perilaku seksual beresiko ims. hasil uji chi square menunjukkan bahwa baik pada responden laki-laki (p value= 0,012) ada hubungan yang signifikan, sedangkan pada responden perempuan (p value=0,562) tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat religiusitas dengan perilaku seks pranikah beresiko ims. menurut teori belajar sosial bahwa ada hubungan yang timbal balik antara faktor personal, perilaku dan lingkungan, dimana religiusitas di sini adalah merupakan faktor personal yang berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. agama merupakan salah satu hal yang dapat menjadi rujukan seseorang untuk bersikap maupun bertindak. menurut delamater bahwa institusi yang terorganisasi salah satunya agama berperan dalam membentuk nilai dan standart pada diri seseorang. artinya bahwa bila seseorang meyakini agama tertentu, maka nilai-nilai dan standart yang ada pada agama tersebut akan menjadi acuan dalam berperilaku. sehingga dengan tekun beribadah terhadap agama tertentu mestinya perilakunya sesuai dengan norma-norma yang diyakini. efikasi diri hasil bivariat menurut jenis kelamin, bahwa responden laki-laki (40,5%) dan responden perempuan (29,3%) memiliki efikasi diri rendah. mereka yang memiliki efikasi diri rendah memiliki proporsi melakukan perilaku seksual beresiko ims. hasil uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pada responden laki-laki (p value = 57maulina, purwati, faktor personal yang mempengaruhi ... 0,044) dan responden perempuan (p value = 0,010) dengan perilaku seksual pranikah beresiko ims. hasil penelitian ini sesuai dengan teori belajar sosial. bandura menyatakan bahwa efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. efikasi diri diyakini menjadi satu-satunya karakteristik yang sangat penting dalam menentukan perubahan perilaku manusia. efikasi diri dapat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. efikasi diri tinggi atau rendah dapat dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif atau tidak responsif, sehingga akan menghasilkan kemungkinan berperilaku setelah dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik menggunakan metode backward lr diperoleh bahwa variabel efikasi diri berhubungan signifikan terhadap perilaku seksual pranikah menurut jenis kelamin setelah dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik menggunakan metode backward lr pada respnden perempuan diperoleh bahwa variabel efikasi diri berhubungan signifikan terhadap perilaku seksual pranikah dengan or 2,012 (95% ci : 1,174 – 3,448) pada responden laki-laki. hal ini berarti bahwa responden yang memiliki efikasi diri rendah memiliki kecenderungan 2 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims dibandingkan dengan responden yang memiliki efikasi diri tinggi. persepsi peran gender berdasarkan analisa bivariat pada responden laki-laki (p value =1,000) dan perempuan (p value = 0,340) diketahui tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi peran gender dengan perilaku seksual pranikah bersiko ims. meskipun seseorang mempunyai persepsi terhadap peran gender yang modern, orang tersebut mungkin tidak akan melakukan perilaku seksual jika orang tersebut bersikap tidak permisif terhadap perilaku seksual pranikah. sebaliknya, seseorang mungkin akan melakukan perilaku seksual pranikah terlebih dahulu didasari oleh sikapnya yang permisif terhadap perilaku seksual pranikah. sikap tersebut muncul antara lain karena adanya pandangan/ persepsi masyarakat termasuk individu terhadap peran gender dalam seksualitas. penelitian yang dilakukan iwan purnawan terhadap masyarakat bali yang menyebutkan bahwa keperawanan bukan merupakan syarat utama perkawinan, kepala rumah tangga tetap dipegang oleh laki-laki, serta dalam hal menyatakan keintiman hubungan seksual, inisiatif sebaiknya datang dari siapa saja yang berminat. oleh karena itu perbedaan perilaku seksual individu, bukan hanya ditentukan oleh faktor sosial budaya tetapi lebih merupakan hasil kombinasi faktor lingkungan dan biologis. teori belajar sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses pengamatan, dimana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya. kesimpulan hasil analisa menggunakan chi square dengan p = 0,05 didapatkan hasil yang memiliki pengaruhi yang signifikan pada responden laki-laki yaitu tingkat religiusitas (p = 0,012) sedangkan pada wanita (p = 0,562) dan tingkat religiusitas kurang tekun memiliki kecenderunan 2,4 kali lebih besar melakukan perilaku seksual beresiko ims, efikasi diri (p = 0,004) memiliki efikasi diri rendah memiliki kecenderunan 2,1 kali lebih besar untuk melakukan perilaku seksual beresiko ims sedangkan ada 1 variabel yang berhubungan pada responden perempuan secara statistik dengan perilaku seksual pranikah yang beresiko terhadap ims yaitu efikasi diri (p = 0,001). untuk pengetahuan baik terhadap pada responden lakilaki (p = 0,153) maupun perempuan (p = 0,668),tidak ada hubungan antara pengetahuandengan perilaku sekspranikahberesiko ims. untuk sikap responden bahwa pada responden laki-laki (p = 0,162) dan perempuan (p =1,000) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap seksualitas dengan perilaku seksual pranikah beresiko ims. untuk gender bahwa baik pada responden laki-laki (p = 1,000) maupun perempuan (p = 0,340) tidak ada hubungan antara peran gender dengan perilaku seks pranikah beresiko ims. saran dinas kesehatan dan badan pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana (bpp-kb), untuk mengaktifkan program pusat informasi dan konseling-kesehatan reproduksi remaja (pikkrr) bagi sma. dan memberikan penyuluhanpenyuluhan tentang kesehatan reproduksi remaja. 58 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 050–058 daftar pustaka ali m. (2011). psikologi remaja. jakarta: bumi aksara badan pusat statistik. (2011). migrasi internal penduduk indonesia hasil sensus penduduk indonesia 2010. badan pusat statistik: jakarta bandura a. (1997). social learning theory. prentice hall. inc: new jersey. departemen kesehatan (depkes), badan pusat statistik (bps), us agency for international development (usaid), komisi penanggulangan aids (kpa), family healthinternationalprogram aksi stop aids (asa). (2011). surveilans terpadu biologis perilaku (stbp) 2007. kementrian kesehatan republik indonesia: jakarta. direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, kementrian kesehatan republik indonesia.(2013). laporan perkembangan hivaids triwulan i 2013. kementrian kesehatan republik indonesia: jakarta. hirsch js, laboy mm, nyhus cm, et al. (2009). “because he misses his normal life back home”: masculinity and sexual behavior among mexican migrants in atlanta, georgia. perspect sex reprod health 41:1, 23-32. hugo g. 2001. mobilitas penduduk dan hiv / aids di indonesia. ilo indonesia, unaids indonesia, undp. kementrian pendidikan nasional (kemendiknas). (2009). kurikulum tingkat satuan pendidikan. kementrian pendidikan nasional: jakarta kemetrian kesehatan (kemenkes) republik indonesia. (2011). surveilans terpadu biologis perilaku (stbp) 2011. kementrian kesehatan republik indonesia: jakarta. komisi nasional indonesia untuk unesco, kementrian pendidikan nasional (kemendiknas) ri. (2009). pendidikan pencegahan hiv. komisi nasional indonesia untuk unesco: jakarta. komisi penanggulangan aids nasional.(2014). ims dan pemeriksaan kesehatan rutin.komisi penanggulangan aids nasional: jakarta. komisi penanggulangan aids provinsi jawa tengah (kpap jateng). (2013). kondisi hiv & aids di jawa tengah s/d juni 2013. komisi penanggulangan aids provinsi jawa tengah: semarang. kotchick ba. (2011). adolencent sexual risk behaviour: a multi system perspective clinical psicology. university georgia setyawati a. (2009). faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kondom pada hubungan seksual pengguna narkoba suntik di kota semarang. universitas diponegoro: semarang. 37susilowati, wardani, imamah, hubungan tingkat pengetahuan dengan ... history article: received, 19/08/2019 accepted, 27/11/2019 published, 05/04/2020 37 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali tri susilowati1, ririn wardani2, ida nur imamah3 123prodi keperawatan, stikes aisyiah surakarta info artikel sejarah artikel: diterima, 19/08/2019 disetujui, 27/11/2019 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: tingkat pengetahuan, perilaku, pendaki, hipotermi abstrak pendaki gunung dan hipotermi merupakan sebuah hubungan yang sangat terkait dalam pendakian. cuaca buruk di puncak gunung merbabu menyebabkan 7 pendaki harus dievakuasi karena mengalami hipotermi saat mendaki. kondisi tubuh yang terlalu lama kedinginan, khususnya dalam cuaca berangin dan hujan dapat menyebabkan mekanisme pemanasan tubuh terganggu. pentingnya pengetahuan pada pendaki dapat menjadikan pendaki tersebut terhindar dari hipotermi, tetapi tak jarang para pendaki menganggap remeh dan tidak peduli. tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel boyolali. jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota primapala ampel boyolali yang berjumlah 30 orang. jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang. teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling. instrumen penelitian menggunakan kuesioner. analisa data menggunakan uji kendal tau. hasil analisa diperoleh tingkat pengetahuan tentang penanganan gawat darurat hipotermi dalam katgori baik sebanyak 27 responden (90%), kategori cukup sebanyak 3 responden (10%). perilaku penanganan gawat darurat hipotermi dalam kategori baik sebanyak 28 responden (93,3%), kategori cukup 2 responden (6,7%). nilai signifikansi uji kendal tau yaitu 0,013. perilaku penganganan gawat darutat hipertermi mayoritas dalam kategori baik dan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel boyolali. article information relationship between the cognitive level and hypothermia emergency handling of mountaineers in primapala ampel boyolali organization abstract mountaineer and hypothermia have correlation in climbing. bad weather at the top of merbabu caused 7 mountaineers to be evacuated because of hypothermia. body condition was too long periods of cold, especially in http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p037-043&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 38 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 037–043 correspondence address: stikes aisyiah surakarta, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: priawahyu88@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p037–043 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan gunung merupakan suatu bentuk permukaan tanah yang letaknya jauh lebih tinggi daripada tanahtanah disekitarnya yang terbentuk akibat gerakan lempeng tektonik, gerakan epeirogenik atau gerakan orogenik (sarimo, 2008). gunung memiliki karakter ketinggian yang variatif, sehingga membuat suhu di gunung menentukan karakter suhu tubuh seseorang, resiko yang paling sering menyerang para pendaki gunung adalah hipotermi. pendaki gunung dan hipotermi merupakan sebuah hubungan yang sangat terkait dalam pendakian. kondisi tubuh yang terlalu lama kedinginan, khususnya dalam cuaca berangin dan hujan, dapat menyebabkan mekanisme pemanasan tubuh terganggu (setiati, 2014). kondisi penurunan suhu dibawah 35ºc dan penurunan kesadaran akan menyebabkan adanya ancaman kematian. seseorang biasanya membutuhkan 2000 kalori perhari, namun bagi pendaki gunung dibutuhkan sekitar 5000 kalori karena berhubungan dengan aktivitas berat dan terus menerus (hardisman, 2014). muchammad (2017), menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai hobi berkegiatan di alam windy weather and rain can cause the body’s warming mechanism to be disrupted. the importance of cognitive for mountaineers can make the mountaineers avoid hypothermia, but not infrequently the mountaineers underestimate and do not care. the purpose of this study for knowing the realtion of cognitive level and hypothermia emergency handling of mountaineers in primapala ampel boyolali organization. the research used analytic reasearch with cross sectional approach. the research population is all members of primapala ampel boyolali organization which are consist of 30 people. the number of samples is 30 people. the sampling technique used total sampling. the research instrument used questionnaire. the data analysis used fisher test. cognitive level of hypothermia emergency handling is good category which are 27 respondents (90%), enough category which are 3 respondents (10%). hypothermia emergency handling in good category is 28 respondents (93,3%) and enough category is 2 respondents (6,7%). significance value of kendall’s tau test that is 0.013. majority of emergency treatment behavior hypertherm is in the good category. discuss: there is a realtionship between the cognitive level and hypothermia emergency handling of mountaineers in primapala ampel boyolali organization. © 2020 jurnal ners dan kebidanan bebas sebaiknya mengerti akan resiko yang mungkin di timbulkan, terutama dalam pendakian gunung. pendaki gunung harus melakukan persiapan yang matang sebelum mendaki, jangan sampai kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan pengalaman dan kepuasan diri ini berakibat yang merugikan diri sendiri dan alam (lingkungan hidup). gunung di jawa tengah yang paling banyak pendakinya adalah gunung merbabu karena merupakan gunung tertinggi di jawa tengah dengan ketinggian 3.145 mdpl. berdasarkan grafik di atas, pendaki di gunung jawa yang mengalami hipotermi totalnya adalah 18 kasus, jumlah korban yang paling banyak yaitu pada bulan desember dan februari, disaat itu sedang terjadi curah hujan yang tinggi (wijaya, 2011). pada 29 desember 2019 cuaca buruk melanda kawasan puncak gunung merbabu. balai taman nasional gunung (btng) merbabu menyatakan pendakian ke gunung merbabu ditutup hingga waktu yang belum ditentukan. sementara itu, akibat cuaca buruk di puncak gunung tersebut 7 pendaki dievakuasi karena mengalami hipotermi saat mendaki. (ludiyanto, 2018). berdasarkan hasil studi pendahuluan pada bulan november 2018 di primakeywords: cognitive level, handling, mountaineer, hypothermia https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 39susilowati, wardani, imamah, hubungan tingkat pengetahuan dengan ... pala boyolali, pendaki mengatakan kejadian-kejadian yang sering dialami saat mendaki antara lain dehidrasi, pingsan, dan hipotermi adalah kejadian yang paling sering dialami. berdasarkan hasil wawancara dari 16 pendaki 9 pendaki mengatakan mengetahui bagaimana menangani anggota yang mengalami hipoteremi, 4 pendaki mengatakan hanya mengetahui sedikit, dan 3 pendaki mengatakan tidak tahu sama sekali. data lain menunjukkan bahwa 9 pendaki mengatakan jika ada yang hipotermi maka diberikan minum air hangat seperti air putih hangat atau teh hangat atau coklat hangat, dan memeluk pendaki yang mengalami hipotermi, 4 pendaki lainnya mengatakan bingung mau melakukan apa, dan 3 pendaki menganggap bahwa kejadian hipotermi adalah kesurupan sehingga tidak perlu penanganan. hipotermi adalah suatu gangguan medis yang terjadi didalam tubuh dimana terjadi penurunan temperatur/suhu tubuh secara tidak wajar yang disebabkan karena tubuh tidak mampu lagi memproduksi panas untuk mengimbangi dan menggantikan panas tubuh yang hilang dengan cepat karena adanya tekanan buruk dari luar, yaitu udara dingin disertai angin, dan hujan. seseorang yang mengalami hipotermi ada 3 masalah medis yang harus dipertimbangkan yaitu kondisi otot jantung mudah memunculkan gangguan irama, kekurangan cairan tubuh, suhu dan permukaan (kulit, jari-jari tangan dan kaki) jauh lebih dingin dibanding suhu inti (tanto, 2014). pendaki yang mengalami kedinginan terlalu lama dapat menyebabkan tubuhnya menjadi beku, vasokontriksi pembuluh darah, dan memutus aliran darah ke telinga, hidung, jari dan kaki. hipotermi yang parah membuat korban menderita pembekuan dan perlu diamputasi. pakaian dan kaos kaki yang basah semakin menambah dinginnya badan, keadaan akan semakin parah bila pendaki tidak memperhatikan makanan sehingga tubuh tidak memperoleh energi untuk memanaskan badan (tanto, 2014). pentingnya pengetahuan pada pendaki dapat menjadikan pendaki tersebut terhindar dari hipotermi, tetapi tak jarang para pemula menganggap remeh dan tidak peduli. para pemula tidak mengerti harus berbuat apa saat hipotermi mulai menyerang, bahkan pada tahap lanjut hipotermi dimana penderita berperilaku aneh seperti kejang-kejang sehingga teman-temannya mengira kesurupan (musliha, 2009). pendaki yang mengalami hipotermi sebaiknya segera diberikan penanganan seperti mengganti pakaian yang basah dengan pakaian kering, berikan selimut yang tebal dan hangat, tempatkan botol yang berisi air hangat di bagian ketiak dan leher, dan berikan air minum hangat seperti teh hangat atau coklat hangat untuk menjaga cairan dalam tubuh (susilo, 2012). bahan dan metode metode penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi pada penelitian ini adalah anggota primapala ampel yaitu sebanyak 30 responden. pengambilan sample dilakukan dengan teknik total sampling yaitu sebanyak 30 responden. instrumen penelitian ini dibuat oleh peneliti yaitu kuesioner tentang tingkat pengetahuan dengan jumlah pernyataan sebanyak 15 pernyataan dan seluruh pernyataan ini bersifat favorable. pengukuran aspek perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung didasarkan pada jawaban responden dari seluruh pernyataan yang diberikan. pernyataan dari kuesinoer perilaku ini bersifat favorable. analisa dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kendall’s tau. hasil penelitian distribusi frekuensi jenis kelamin pendaki gunung primapala disajikan pada tabel 1. sumber: data primer diolah tahun 2019 no jenis kelamin f % 1 laki-laki 30 100 2 perempuan 0 0 total 30 100 tabel 1 distribusi frekuensi jenis kelamin pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali bulan mei tahun 2019 sumber: data primer diolah tahun 2019 no pendidikan f % 1 sd 19 63,3 2 smp 5 16,7 3 sma 5 16,7 4 perguruan tinggi 1 3,3 total 30 100 tabel 2 distribusi frekuensi pendidikan pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali bulan mei tahun 2019 berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa semua pendaki berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 30 pendaki (100%). 40 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 037–043 distribusi frekuensi pendidikan pendaki gunung primapala disajikan pada tabel 2. berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar pendaki adalah berpendidikan lulusan sd yaitu sebanyak 19 orang (63,3%) dan yang paling sedikit berpendidikan di perguruan tinggi yaitu sebanyak 1 orang (3,3%). distribusi frekuensi usia para pendaki gunung primapala disajikan pada tabel 3. berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas pendaki memiliki perilaku penanganan gawat darurat hipotermi dalam kategori baik, yaitu sebanyak 28 pendaki (93,3%). analisa hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung disajikan pada tabel 7. berdasarkan tabel 7 menunjukkan hasil ñ value adalah 0,013 yang artinya terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung. sumber : data primer diolah tahun 2019 no usia f % 1 masa remaja akhir (17–25 tahun) 9 30 2 masa dewasa awal (26-35 tahun) 15 50 3 masa dewasa akhir (36-45 tahun) 4 13,3 4 masa lansia awal ( 46-55 tahun) 2 6,7 total 30 100 tabel 3 distribusi frekuensi usia para pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali bulan mei tahun 2019 berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas pendaki berusia pada masa dewasa awal (26-35 tahun) yaitu sebanyak 15 orang (50%) dan yang paling sedikit yaitu berusia pada masa lansia awal (46-55 tahun) yaitu sebanyak 2 orang (6,7%). distribusi frekuensi pengalaman mendaki para pendaki gunung primapala disajikan pada tabel 4. sumber: data primer diolah tahun 2019 no pengalaman mendaki f % 1 <1 tahun 0 0 2 1-3 tahun 3 10 3 4-5 tahun 8 26,7 4 >5 tahun 19 63,3 total 30 tabel 4 distribusi frekuensi pengalaman mendaki para pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali bulan mei tahun 2019 berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa semua anggota sudah mempunyai pengalaman mendaki minimal 1 tahun. mayoritas mempunyai pengalaman mendaki selama lebih dari 5 tahun yaitu benyak 19 orang (63,3 %) sumber : data primer diolah tahun 2019 no pengetahuan penanganan gawat f % darurat hipotermi 1 baik 27 90 2 cukup 3 10 3 kurang 0 0 total 30 100 tabel 5 distribusi frekuensi tingkat pengetahuan penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali bulan mei tahun 2019 berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas pendaki memiliki pengetahuan dalam kategori baik, yaitu sebanyak 27 pendaki (90%). distribusi frekuensi perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung disajikan pada tabel 6. sumber : data primer diolah tahun 2019 no perilaku penanganan gawat f % darurat hipotermi 1 baik 28 93,3 2 cukup 2 6,7 3 kurang 0 0 total 30 100 tabel 6 distribusi frekuensi perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali bulan mei tahun 2019 distribusi frekuensi pengetahuan penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung disajikan pada tabel 5. 41susilowati, wardani, imamah, hubungan tingkat pengetahuan dengan ... pembahasan tingkat pengetahuan hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pengetahuan pendaki dalam kategori baik. pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. penginderaan terjadi lewat panca indra manusia yang meliputi indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (notoadmojo, 2014). pengetahuan merupakan hasil dari tahu, setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek. tanpa pengetahuan seseorang tidak dapat mengambil keputusa n da n menentuka n tinda ka n da la m mengahadapi suatu masalah (purwoastuti, 2015). penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian kustina dan windya (2017) tentang hubungan pengetahuan tentang hipotermi terhadap praktik penanganan hipotermi pada mahasiswa pecinta alam (mapala) yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan cukup. sementara tingkat pengetahuan pendaki gunung pada penelitian ini dalam kategori baik. pengetahuan yang baik dari pendaki dikarenakan dalam organisasi pendaki gunung primapala diberikan pembekalan tentang tindakan antisipasi ketika menghadapi hawa dingin saat mendaki. tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, lingkungan dan pekerjaan. hasil penelitian sri dan nasifatul (2014) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor umur, pendidikan, pengalaman, pekerjaan dan informasi. sebagian besar anggota primapala berusia pada masa remaja akhir yaitu 17-25 tahun dan dewasa awal yaitu usia 26 – 35 tahun. pada masa usia tersebut adalah rentang usia produkstif dan aktif di mana seseorang mampu berpikir rasional dan mudah untuk menangkap ilmu serta informasi. sehingga pada rentang usia tersebut pemberian pengetahuan saat pembekalan mudah diserap oleh para anggota. walaupun anggota primapala sebagian besar lulusan sd, namun sebagian besar pengalaman pendakian sudah lebih dari 5 tahun, sehingga mereka sudah banyak mempunyai pengetahuan yang diperoleh dari alam langsung saat melakukan pendakian. wawan (2011), menjelaskan bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. lingkungan organisasi pendaki gunung primapala adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dalam mendaki, dimana sebagian besar anggota dari organisasi tersebut sudah mempunyai pengalaman pendakian minimal 1 tahun. lingkungan organisasi yang terdapat banyak anggota yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan yang lebih akan mempengaruhi pengetahuan anggota lain. perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pendaki dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi dalam kategori baik. perilaku merupakan seperangakat perbuatan atau tindakan seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. perilaku pada hakekatnya tindakan atau aktivitas dari manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan (triwibowo dan pusphandani, 2015). dalam organisasi primapala dilakukan pelatihan dasar penanganan gawat darurat saat mendaki yang bertujuan memberi bekal pendakian bagi anggota baru dan penyegaran kembali bagi anggota lama. pembekalan yang teratur ini dapat mening perilaku variabel kategori baik cukup  value f % f % tingkat pengetahuan baik 27 90 0 0 cukup 1 3,3 2 6,7 0,013 total 28 93,3 2 6,7 tabel 7 hasil analisis tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali bulan mei tahun 2019 42 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 037–043 katkan perilaku dari anggota sehingga anggota akan cepat tanggap dalam menghadapi kondisi gawat darurat saat mendaki. hasil penelitian muchammad dan ikhwan (2017) tenta ng penga r uh tr a it kepr iba dia n (personality) dan dukungan sosial terhadap risk taking behavior pada pendaki gunung, menjelaskan bahwa kepribadian seseorang mempengar uhi perilaku dan keputusan individu dalam menentukan perilaku saat berada dalam situasi beresiko yang dihadapinya. hasil wawancara dengan para anggota primapala diperoleh hasil bahwa dukungan social serta rasa solidaritas dalam organisasi sangat baik. mereka saling membantu dalam mengatasi kesulitan sa a t mela kuka n pendakian. ketua organisasi menyampaikan bahwa senior harus selalu member ika n bimbingan kepa da junior. ra sa solidaritas dan saling membantu dalam keadaan apapun yang selalu ditanamkan dalam organisasi membentuk perilaku yang cepat tanggap para anggota dalam mengambil keputusan dan bertindak untuk mengatasi masalah yang ada saat melalukan pendakian. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh naldi, dkk (2018) tentang hubungan pengetahuan hipotermi dengan perilaku penanganan hipotermi bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku yang baik dalam penanganan hipotermi. hal ini bisa disebabkan karena pengalaman mendaki yang cukup lama yaitu sebagian besar mempunyai pengalaman mendaki minimal 1 tahun. perilaku yang cepat dalam penanganan hipotermi diperoleh dari pengalaman atau kejadian saat melakukan pendakian. hubungan tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung. hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel kabupaten boyolali. world health organization (who) menyatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan. tingkat pengetahuan seseorang yang semakin tinggi akan berdampak pada arah yang lebih baik (syahrani, 2012). anggota primapala mempunyai pengetahuan yang baik tentang penanganan gawat darurat pada hipotermi sehingga mempunyai perilaku yang cekatan saat menangani pendaki yang mengalami hipotermi. hasil penelitian kaban & rani (2018) menunjukkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan perawat tentang basic life support (bls) dengan perilaku perawat dalam pelaksanaan primary survey di ruang igd royal prima hospital. dalam penelitian tersebut disampaikan bahwa perawat diberikan pelatihan dasar tentang kegawatdarutan yaitu ppgd (pelatihan penanganan gawat darurat) dan btcls (basic trauma cardiac life support) agar perawat cepat tanggap pada saat memberikan penanganan pertama di igd. hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. pengetahuan yang baik yang dimiliki anggota primapala tentang penanganan gawat darurat hipotermi menyebabkan perilaku penanganan pendaki yang mengalami hipotermi akan lebih cekatan dan cepat. hal ini dikarenakan para pendaki mendapatkan pelatihan dasar tentang kegawatdarutan saat menjadi anggota baru dan dilakukan penyegaran secara berkala oleh pengurus organisasi. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh naldi, dkk (2018) tentang hubungan pengetahuan hipotermi dengan perilaku penanganan hipotermi. pada penelitian tersebut mempunyai hasil yang sama yaitu sebagian besar responden mempunyai waktu keanggotaan lebih dari 12 bulan (1 tahun) dan sebagian besar juga mempunyai perilaku yang baik dalam penanganan hipotermi. karakteristik responden yang sama dimana mempunyai pengalaman menjadi anggota pendaki gunung yang lama (minimal 1 tahun) merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku yang baik dalam penanganan hipotermi. kesimpulan tingkat pengetahuan pendaki di organisasi primapala ampel boyolali mayoritas mempunyai pengetahuan dalam kategori baik. perilaku penanganan gawat darurat hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel boyolali mayoritas mempunyai perilaku dalam kategori baik. terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan denga n perila ku pena ngana n ga wa t da rur a t hipotermi pada pendaki gunung di organisasi primapala ampel boyolali. saran sebaiknya selalu diberikan pembekalan tentang kegawatdaruratan secara berkala bagi para pendaki gunung. persiapan dan peralatan yang lengkap 43susilowati, wardani, imamah, hubungan tingkat pengetahuan dengan ... harus selalu menjadi pioritas sebelum mendaki. diadakan general ceck up bagi anggota pendaki gunung. daftar pustaka hardisman. (2014). gawat darurat medis praktis. yogyakarta: gosyen publishing kaban, kb & rani, k. (2018). hubungan pengetahuan perawat tentang basic life support (bls) dengan perilaku perawat dalam pelaksanaan primary survey di ruang igd royal prima hospital. jurnal keperawatan priority, vol 1, no. 1 ludiyanto, a. (2018). 5 pendaki merbabu dievakuasi gara-gara cuaca buruk, jalur ditutup. https:// m.solopos.com/soloraya/read/20181230/492/ 961983/5-pendaki-merbabu-dievakuasi-gara-garacuaca-buruk-jalur-ditutup/amp. diakses 28 maret 2019 muchammad, a. f., dan ikhwan l. pengaruh trait kepribadian (personality) dan dukungan sosial terhadap risk taking behavior pada pendaki gunung. jakarta: jurnal p3i. vol.6. no. 2 musliha. (2009). keperawatan gawat darurat. yogyakarta: nuha medika naldi, y, atik s dan purnomo pn. (2018). hubungan pengetahuan hipotermi dengan perilaku penanganan awal hipotermi pada mahasiswa pencinta alam di unswagati dan iain syekh nurjati kota cirebon. fk universitas swadaya gunung jati: jurnal kesehatan dan kedokteran tunas medika. notoadmojo, s. (2014). promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta purwoastuti dan wahyuni. (2015). perilaku dan softskills kesehatan panduan untuk tenaga kesehatan perawat dan bidan. jakarta: pustaka baru press riska, p. p. dan siti, m. (2017). tingkat pengetahuan ibu nifas tentang hipotermi pada bayi. surakarta: jurnal kebidanan dan ilmu kesehatan. vol. 4. no. 2. sarimo, e. (2008). lks geografi x semester genap. surakarta : cv citra pustaka setiati, s. 2014. buku ajar ilmu penyakit dalam. edisi iv. jilid i. jakarta : internal publishing sri, b. dan nasifatul, m. (2014). hubungan tingkat pengetahuan ibu nifas paritas i tentang peranan perawatan bayi baru lahir dengan kejadian hipotermi. jombang: jurnal edu health. vol. 4. no. 1. susilo, t. (2012). siap mendaki! panduan dasar pendakian. jakarta syahrani, santoso, dan sayono. (2012). pengaruh pendidikan kesehatan tentang penatalaksanaan ispa terhadap pengetahuan dan ketrampilan ibu merawat balita ispa dirumah. https://www.jurnal. stikes-aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/view/ 225 (diakses tanggal 6 april 2019) tanto, c. (2014). kapita selekta kedokteran. edisi iv. jilid ii. jakarta : fkui triwibowo, c dan pusphandani, m, e. 2015. pengetahuan dasar ilmu kesehatan masyarakat. yogyakarta: medikal book wawan dan dewi m. (2011). teori & pengukuran pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. cetakan ii. yogyakarta: nuha medika wijaya, h. w. (2011). rekam jejak pendakian ke-44 gunung di nusantara. yogyakarta: andi kustina & windya, ds. (2017). hubungan pengetahuan tentang hipotermi terhadap praktik penanganan hipotermi pada mahasiswa pecinta alam (mapala). thesis, universitas muhammadiyah semarang. 218 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 218–226 218 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hubungan status nutrisi dan gaya hidup terhadap tekanan darah pada remaja di kelurahan lidah kulon kota surabaya retty merdianti1, laily hidayati2, candra panji asmoro3 1,2,3 fakultas keperawatan, universitas airlangga surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 05/02/2019 disetujui, 11/03/2019 dipublikasi, 01/08/2019 kata kunci: status nutrisi, gaya hidup, tekanan darah, remaja abstrak tekanan darah tinggi memicu terjadinya banyak masalah penyakit jantung dan organ lain. di indonesia, terdapat prevalensi tekanan darah tinggi remaja yaitu 8,4% pada tahun 2013. berbagai faktor dapat mendukung perubahan tekanan darah. sebagai contoh yaitu status nutrisi dan gaya hidup. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status nutrisi dan gaya hidup terhadap tekanan darah pada remaja di kelurahan lidah kulon kota surabaya. desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional. populasi terdiri dari sebanyak 1288 remaja di kelurahan lidah kulon. tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah konsekutif sampel dengan 297 responden. pengumpulan data dilakukan menggunakan spigmomanometer, stetoskop, statur meter, timbangan berat badan, kuesioner dan analisis menggunakan uji chi square dengan nilai signifikan  0,05. hasil menunjukkan bahwa status nutrisi dan gaya hidup terhadap tekanan darah remaja mempunyai korelasi dengan nilai (p = 0,000). kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa terdapat hubungan korelasi antara status nutrisi dan gaya hidup terhadap tekanan darah pada remaja di kelurahan lidah kulon kota surabaya. penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah penelitian dengan deteksi kesehatan dini seperti penelitian ini terutama kepada generasi muda karena hal ini dapat menjadi masalah yang serius di masa depan. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: universitas airlangga surabayajawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: rettymerdianti@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i2.art.p218– 226 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 219merdianti, hidayati, asmoro, hubungan status nutrisi dan ... abstract high blood pressure lead to several heart and organ diseases. in indonesia, there was 8,4% adolescents have high blood pressure in 2013. various factors may support to blood pressure alteration. for examples are nutritional status and lifestyle. this study was aimed to know the correlation between nutritional status and lifestyle towards blood pressure to adolescents in lidah kulon surabaya. design used in this study was descriptive correlational. the population was 1288 adolescents in kelurahan lidah kulon. the sampling technique in this study was consecutive sampling with 297 respondents. data were collected using sphygmomanometer, stethoscope, stature meter, weight scales, questionnaire, and then analyzed using chi square test with level of significant of  0,05. the results showed that nutritional status and lifestyle with blood pressure to adolescents has correlation (p = 0,000). the conclusion about this study showed that therewas correlation between nutritional status, lifestyle toward blood pressure to adolescents in kelurahan lidah kulon surabaya. future studies are expected to increase number of this kind early health detection especially towards young generations because this can lead to more serious health problem in the future. improvement of student’s understanding in mental health and psychiatric nursing block system trough of stad type cooperative learning on the modality therapy article information history article: received, 05/02/2019 accepted, 11/03/2019 published, 01/08/2019 keywords: nutritional status, lifestytle, blood pressure, adolescents 220 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 218–226 pendahuluan tekanan darah pada manusia merupakan sebuah fisiologi tubuh yang normal. tekanan darah akan menjadi sebuah pemicu terjadinya penyakit ketika mengalami perubahan. ada 2 perubahan tekanan darah yang dapat terjadi yaitu peningkatan dan penurunan. menurut jnc viii, peningkatan tekanan darah terjadi apabila nilai sistol dan diastolnya 140/ 90 mmhg sedangkan penurunan tekanan darah terjadi apabila nilai sistol dan diastolnya  90/  60 mmhg. european society of hypertension da n european society of cardiology menjelaskan bahwa nilai tekanan darah perlu dikaji untuk mengetahui risiko penyakit kardiovaskuler (masala ét ál., 2017). perubahan tekanan darah umumnya terjadi pada usia lanjut karena penurunan fungsi fisiologis tubuh. namun saat ini perubahan tersebut juga dapat terjadi pada semua rentang usia. beberapa faktor yang dapat memengaruhi tekanan darah yaitu status nutrisi dan gaya hidup. dunia akan mempunyai jumlah anak dan remaja dengan status nutrisi obesitas lebih banyak daripada kurang gizi pada tahun 2022 mendatang. hal tersebut terjadi karena pada usia remaja cenderung terjadi perubahan yang signifikan setelah meninggalkan rentang usia anak. risiko akan semakin meningkat ketika tidak diimbangi dengan gaya hidup seperti aktivitas fisik dan olahraga yang teratur. semua kejadian di atas dapat memicu terjadinya perubahan tekanan darah baik penurunan atau peningkatan. faktor yang dapat memengaruhi perubahan tekanan darah yaitu usia, jenis kelamin, genetik, pengetahuan, nutrisi dan gaya hidup. penelitian di china oleh (zhang ét ál., 2017) menjelaskan bahwa status nutrisi dapat memengaruhi tekanan darah melalui perubahan endotel pembuluh darah. indeks massa tubuh >10 kg/m2 dapat meningkatkan 16 mmhg tekanan darah. asia tenggara mempunyai prevalensi status nutrisi overweight (imt >25) yang banyak terjadi pada usia 16 – 23 tahun (who, 2017). penelitian di indonesia oleh (santoso, 2013) menjelaskan bahwa status nutrisi berlebih pada usia 10 – 14 tahun menyumbang sebesar 13,2% terhadap peningkatan tekanan darah dan status nutrisi rendah menyumbang sebesar 10,5% terhadap peningkatan tekanan darah. beberapa gaya hidup seperti pola diet, durasi tidur dan aktivitas fisik dapat memengaruhi tekanan darah. remaja di 10 kota benua eropa menjadi subyek penelitian oleh helena study da n bracah study. hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa gaya hidup konsumsi minuman tinggi gula mempunyai hubungan dengan tekanan darah terutama peningkatan tekanan darah diastol (de moraes ét ál., 2016). puslitbang kementrian kesehatan ri pernah melakukan penelitian remaja pada tahun 2015. penelitian tersebut merujuk pada indonesia sebagai negara dengan remaja merokok tertinggi. remaja laki-laki yang melakukan percobaan merokok pertama pada usia <13 tahun sebanyak 32,82%. badan pusat statistik jawa timur pada tahun 2015 juga melaporkan bahwa remaja telah melakukan aktivitas merokok pada usia 11 – 15 tahun sebesar 0,98% dan usia 16 – 18 tahun sebesar 10,57% (statistik, 2015). kelompok tersebut lebih sering mengkhawatirkan sesuatu sehingga membuat susah tidurnya yaitu sebanyak 5,01% sedangkan remaja perempuan hanya 4,17% (puslitbang badan litbangkes, 2015). remaja yang mengonsumsi kafein tinggi akan meningkatkan tekanan darah sistol sebesar 10 – 15 mmhg dan tekanan darah diastol sebesar 5 – 10 mmhg (james et al, 2018). penelitian ini akan menjadi sebuah pemeriksaan dini bagi remaja. berbagai faktor yang berhubungan dengan tekanan darah pada remaja akan dijelaskan peneliti dalam variabel status nutrisi dan gaya hidup. variabel status nutrisi yang akan diteliti yaitu indeks masa tubuh. sedangkan variabel gaya hidup yang akan diteliti yaitu aktivitas fisik, pola diet, kebiasaan istirahat dan kebiasaan merokok. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan crosssectional. penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2018 – januari 2019. populasi diambil dari data bps surabaya tahun 2017 yaitu sebanyak 1288 remaja di kelurahan lidah kulon. sampel dihitung dengan rumus slovin dengan hasil 297 remaja menggunakan teknik consecutive sampling. variabel independen dalam penelitian ini adalah status nutrisi dan gaya hidup. variabel dependen dalam penelitian ini adalah tekanan darah pada remaja. instrumen dalam penelitian ini adalah timbangan injak digital, statur meter, spigmomanometer, stetoskop dan kuesioner. nilai indeks massa tubuh peneliti menggunakan rumus garrow js (1832) dan interpretasi tekanan darah peneliti menggunakan standar jnc viii (2013). hasil analisis indeks massa tubuh yaitu 221merdianti, hidayati, asmoro, hubungan status nutrisi dan ... underweight, normal, overweight dan obese. hasil analisis data tekanan darah yaitu hipotensi optimal, normal, normal tinggi, hipertensi derajat 1, hipertensi derajat 2 dan hipertensi derajat 3. kemudian hasil analisa gaya hidup yaitu baik, sedang dan buruk. setiap data akan diukur menggunakan uji statistik chi square dengan nilai  = 0,05 dan nilai signifikansi  0,05. pertimbangan penggunaan uji chi square yaitu karena semua skala data variabel adalah nominal. hasil penelitian karakteristik demografi karakteristik demografi responden diuraikan dalam bentuk data jenis kelamin, usia, pekerjaan, riwayat penyakit tekanan darah keluarga, tekanan darah sistol, tekanan darah diastol, berat badan dan tinggi badan. tabel 1 menunjukkan bahwa responden terdiri dari 297 remaja. pada tabel tersebut terlihat bahwa proporsi terbesar jenis kelamin responden yaitu jenis no karakteristik responden f % 1. jenis kelamin laki-laki 103 34,6% perempuan 194 65,4% jumlah responden 297 100% 2. usia 13 tahun 45 15,1% 14 tahun 27 9,1% 15 tahun 37 12,5% 16 tahun 58 19,5% 17 tahun 106 35,7% 18 tahun 24 8,1% jumlah responden 297 100% 3. riwayat penyakit keluarga tidak ada 161 54,2% ada 136 45,8% jumlah responden 297 100% 4. pekerjaan pelajar 286 96.3% mahasiswa 8 2,7% pekerja 3 1% jumlah responden 297 100% tabel 1 karakteristik demografi responden berdasarkan jenis kelamin, usia, riwayat hipertensi keluarga dan pekerjaan kelamin perempuan sebanyak 194 responden (65,4%), usia terbanyak yaitu 17 tahun yaitu sebanyak 106 responden (35,7%), dan jenis pekerjaan terbanyak yaitu sebagai pelajar yaitu sebanyak 286 responden (96,3%). hasil observasi indeks massa tubuh, gaya hidup dan tekanan darah tabel 2 menunjukkan distribusi responden berdasarkan variabel. berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar dari variabel status nutrisi (indeks massa tubuh) yaitu normal sebanyak 156 responden (52,5%). persentase tertinggi dari variabel gaya hidup yaitu gaya hidup sedang sebanyak 172 responden (58%). persentasi tertinggi dari variabel tekanan darah yaitu tekanan darah normal sebanyak 156 responden (52,5%). 222 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 218–226 keterangan: indeks massa tubuh underweight: <18,5 kg/m2 normal: 18,5 – 24,9 kg/m2 overweight: 25,0 – 29,9 kg/m2 obese: >30,0 kg/m2 gaya hidup gaya hidup baik: skor 40 – 66 gaya hidup sedang: skor 67 – 93 gaya hidup buruk: 94 – 120 tekanan darah hipotensi: sistolik <90 mmhg ; diastolik <60 mmhg tabel 2 distribusi responden berdasarkan variabel status nutrisi, gaya hidup dan tekanan darah no karakteristik responden f % 1. indeks massa tubuh underweight 90 30,3 normal 156 52,5 overweight 39 13,1 obese 12 4,1 jumlah responden 297 100 2. gaya hidup baik 102 34,3 sedang 172 58 buruk 23 7,7 jumlah responden 297 100 3. tekanan darah hipotensi 4 1,4 optimal 82 27,6 normal 156 52,5 normal tinggi 55 18,5 hipertensi 1 0 0 hipertensi 2 0 0 hipertensi 3 0 0 jumlah responden 297 100 optimal: sistolik <120 mmhg ; diastolik <80 mmhg normal: sistolik <130 mmhg ; diastolik <85 mmhg normal tinggi: sistolik 130 – 139 mmhg ; diastolik 85 – 89 mmhg hipertensi derajat 1: sistolik 140 – 159 mmhg ; diastolik 90 – 99 mmhg hipertensi derajat 2: sistolik 160 – 179 mmhg ; diastolik 100 – 109 mmhg hipertensi derajat 3: sistolik 180 mmhg ; diastolik 110 mmhg keterangan: baik = skor 1 – 10, sedang = skor 11 – 20, buruk = skor 21 – 30 parameter gaya hidup tekanan darah f(x) hipotensi optimal normal normal tinggi aktivitas fisik baik 0 0 1 0 1 sedang 4 77 148 33 262 buruk 0 5 7 22 34 f(x) 4 82 156 55 297 pola makan baik 0 0 0 0 0 sedang 4 76 142 29 251 buruk 0 6 14 26 46 f(x) 4 82 156 55 297 kebiasaan istirahat tidur baik 0 0 0 0 0 sedang 4 77 144 27 252 buruk 0 5 12 28 45 f(x) 4 82 156 55 297 kebiasaan merokok baik 1 21 54 5 81 sedang 3 60 91 38 192 buruk 0 1 11 12 24 f(x) 4 82 156 55 297 tabel 3 hasil distribusi responden berdasarkan parameter gaya hidup terhadap tekanan darah 223merdianti, hidayati, asmoro, hubungan status nutrisi dan ... pada tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tekanan darah yang normal sebanyak 156 orang (52,5%). parameter aktivitas fisik menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai aktivitas fisik sedang dengan tekanan darah normal yaitu sebanyak 148 responden (49,8%). parameter pola makan menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pola maka n seda ng dengan tekanan da rah normal sebanyak 142 orang (47,8%). parameter kebiasaan istirahat tidur menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kebiasaan istirahat tidur sedang dengan tekanan darah normal sebanyak 144 orang (48,5%). parameter kebiasaan merokok menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kebiasaan merokok sedang yaitu sebanyak 91 orang (30,6%). hubungan status nutrisi dengan tekanan darah bagian ini terdiri dari penyajian data dalam bentuk tabel mengenai pola hubungan antar variabel penelitian yaitu status nutrisi dengan tekanan darah. berikut adalah tabel hubungan antar variabel tersebut imt tekanan darah f(x) hipotensi optimal normal normal tinggi underweight 0 50 26 14 90 normal 3 31 102 20 156 overweight 1 0 22 16 39 obese 0 1 6 5 12 f(x) 4 82 156 55 297 chi square p = 0,000 ; r = 0,576 tabel 4 hasil penilaian status nutrisi dengan tekanan darah pada tabel 4 nilai r yang diperoleh dari uji korelasi = 0,576. sehingga dapat disimpulkan bahwa status nutrisi berhubungan dengan tekanan darah dengan korelasi kuat. korelasinya dengan arah hubungan positif yang artinya semakin besar status nutrisi remaja, maka semakin tinggi tekanan darahnya. tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan status nutrisi normal memiliki tekanan darah normal yaitu sebanyak 102 orang (34,3%). hubungan gaya hidup dengan tekanan darah bagian ini terdiri dari penyajian data dalam bentuk tabel mengenai pola hubungan antar variabel penelitian yaitu gaya hidup dengan tekanan darah. adapun hubungan antar variabel tersebut disajikan pada tabel 5. pada tabel 5 nilai r yang diperoleh dari uji korelasi = 0,540. sehingga dapat disimpulkan bahwa gaya hidup berhubungan dengan tekanan darah dengan korelasi kuat. nilai korelasinya positif yang artinya semakin tinggi skor gaya hidup remaja, maka semakin tinggi tekanan darahnya. tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan gaya hidup sedang memiliki tekanan darah yang normal yaitu sebanyak 90 orang (30,3%). imt tekanan darah f(x) hipotensi optimal normal normal tinggi baik 3 31 66 2 92 sedang 1 51 90 30 172 buruk 0 0 0 23 23 f(x) 4 82 156 55 297 chi square p = 0,000 ; r = 0,540 tabel 5 hasil penilaian gaya hidup dengan tekanan darah 224 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 218–226 pembahasan hubungan antara status nutrisi dan tekanan darah pada remaja hasil penelitian pada tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang memiliki tekanan darah paling tinggi yaitu responden yang memiliki indeks massa tubuh normal. penelitian oleh batubara (2010) mendukung hasil penelitian penulis karena menunjukkan bahwa remaja memiliki pertambahan tinggi badan dan berat badan yang cepat. world health organization (who) pada tahun 2014 menyatakan bahwa imt dihitung dengan cara mengukur hubungan antara berat badan dan tinggi badan (who, 2014). penambahan tersebut terutama terjadi karena perubahan komposisi tubuh remaja. menurut peneliti, perubahan komposisi tubuh pada seorang remaja dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah karena sejalan dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis. remaja dengan indeks massa tubuh berlebih dan obesitas akan membuat tekanan arteri jantung meningkat sehingga sangat umum terjadi peningkatan saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. penelitian ini menunjukkan bahwa remaja dengan status nutrisi berlebih mempunyai tekanan darah dalam kategori normal tinggi. hasil penelitian ini didukung oleh (santoso, 2013) yang menjelaskan bahwa status nutrisi berlebih pada usia remaja tahun menyumbang terhadap peningkatan tekanan darah. peneliti mempunyai pendapat bahwa peningkatan tekanan darah tersebut sejalan dengan peningkatan status nutrisi remaja karena komposisi tubuh mereka akan terus bertambah secara cepat. sebaliknya ketika status nutrisi remaja rendah maka cenderung lebih sedikit mengalami tekanan darah tinggi. status nutrisi rendah ini merefleksikan kondisi pembuluh darah yang sehat tanpa ada penumpukan lemak dan kolesterol sehingga tekanan darah dominan sedang atau normal. penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada remaja yang memiliki tekanan darah kategori hipertensi. hal tersebut didukung oleh (julian et al, 2016) bahwa intervensi harus dilakukan supaya dapat mengkonfirmasi dampak yang terjadi sebenarnya di dalam tubuh. disfungsi endotel vaskuler remaja belum sampai pada tahap yang membuat tekanan darah remaja menjadi kategori hipertensi derajat 1 dan seterusnya karena kerusakannya belum terlalu parah. namun tidak menutup kemungkinan apabila tidak diberi penatalaksanaan yang benar sejak dini maka dapat menjadi disfungsi yang lebih parah dan meningkatkan kategori tekanan darah tinggi menjadi hipertensi derajat selanjutnya di masa depan. hubungan antara gaya hidup dan tekanan darah pada remaja tabel 3 pada penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas fisik remaja dapat mempengaruhi tekanan darah. sebagian besar aktivitas fisik yang buruk membuat remaja memiliki tekanan darah normal tinggi. hal tersebut didukung oleh (carvalho et al., 2014) menunjukkan bahwa aktivitas fisik yang kurang dapat meningkatkan produksi nitrit oksida dalam regulasi tekanan darah melalui vasokontriksi endotel. aktivitas fisik pada remaja cenderung dilakukan hanya ketika mengikuti mata pelajaran olahraga di sekolah. remaja lebih senang bermain gadget sambil berbaring atau sambil menonton tv. tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian pola makan remaja yang buruk mempunyai hubungan dengan kejadian tekanan darah normal tinggi. hal tersebut didukung oleh (de moraes et al., 2016) yang menunjukkan bahwa pola makan buruk pada remaja mempunyai hubungan dengan peningkatan tekanan darah sistol. peneliti melihat bahwa pola makan buruk yang sering dilakukan remaja yaitu seperti mengonsumsi makanan cepat saji yang mengandung tinggi natrium, jarang makan sayur dan buah, serta senang makan makanan berlemak (gorengan dan jeroan). tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian remaja mempunyai tekanan darah normal tinggi ketika mengalami gangguan istirahat tidur yang buruk. hal tersebut didukung oleh (watts, morrison, davis, & barman, 2012) yang menunjukkan bahwa 5hydroxytryptamine (5-ht/serotonin) dikenal sebagai substansi serum darah yang dapat mengubah aktivitas otot polos sehingga dapat mempengaruhi tekanan darah. kebiasaan tidur buruk pada remaja dapat dilihat melalui frekuensi insomnia, frekuensi terbangun pada malam hari dan durasi tidur. tabel 3 pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian kecil remaja memiliki gaya hidup merokok. gaya hidup tersebut dapat menyumbang terhadap kejadian tekanan darah tinggi apabila masuk dalam kategori gaya hidup buruk. hal tersebut didukung oleh (kemenkes ri, 2015) yang menyatakan bahwa tren merokok masih terus meningkat terutama pada usia remaja. menurut peneliti, usia remaja merupakan usia yang senang mencoba hal baru dan meniru kegiatan orang lain. lingkungan menjadi pengaruh 225merdianti, hidayati, asmoro, hubungan status nutrisi dan ... tertinggi terhadap perubahan gaya hidup seorang remaja. teman yang merokok juga menjadi alasan remaja untuk memulai mencoba rokok. penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat remaja dengan gaya hidup buruk yang memiliki tekanan darah rendah dan normal. semua remaja dengan gaya hidup buruk mempunyai tekanan darah kategori normal tinggi. hal ini didukung oleh penelitian (appel et al., 2018) yang menyatakan bahwa usia tersebut menjadi usia yang sangat berisiko terjadinya perubahan gaya hidup buruk karena pengaruh lingkungan rumah dan sekolah yang dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah. peneliti juga berpendapat bahwa remaja dengan gaya hidup buruk cenderung mempunyai risiko disfungsi endotel pembuluh darah yang dapat mengarah menjadi perubahan tekanan darah. hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya aktivitas fisik, mengonsumsi minuman berkafein yang dapat menyebabkan gangguan tidur, pola makan yang banyak mengonsumsi makanan tinggi natrium, dan kebiasaan merokok yang dilakukan oleh seorang remaja. kesimpulan berdasarkan penelitian “hubungan antara status nutrisi dan gaya hidup terhadap tekanan darah remaja di kelurahan lidah kulon kota surabaya” dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) terdapat hubungan yang signifikan antara status nutrisi dengan tekanan darah pada remaja di kelurahan lidah kulon kota surabaya. semakin tinggi status nutrisi maka semakin tinggi juga tekanan darahnya. (2) terdapat hubungan yang signifikan antara gaya hidup dengan tekanan darah pada remaja di kelurahan lidah kulon kota surabaya. semakin tinggi skor gaya hidup maka semakin tinggi juga tekanan darahnya. saran bagi perawat, diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang status nutrisi, gaya hidup dan tekanan darah yang baik sesuai usia remaja melalui penyuluhan di posyandu remaja. bagi remaja, diharapkan dapat melakukan pengukuran tekanan darah sejak dini untuk mengetahui dan mencegah komplikasi berlanjut di masa depan. bagi penelitian berikutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut secara case control sehingga dapat menghasilkan data yang lebih sempurna untuk memantau perubahan tekanan darah remaja. daftar pustaka american heart association and american stroke association. (2017). guideline for the prevention, detection, evaluation and management of high blood pressure in adults.american college cardiology foundation, 10. appel, et al. (2018). diet and blood pressure. in hypertension: a companion to braunwald’s heart disease (pp. 201–210). elsevier. carvalho, et al. (2014). physical activity modifies the associations between genetic variants and blood pressure in european adolescents, 1–6. de moraes, et al. (2016). effects of clustering of multiple lifestyle-related behaviors on blood pressure in adolescents from two observational studies. preventive medicine, 82, 111–117. froh l ich , e dwar d d vent ur a, h. o. (2009). pathophysiology: disease mechanisms (edward d frohlich; hector o ventura). united kingdom, oxford: clinical publishing, an imprint of atlas medical publishing ltd. hall, m. e., & hall, j. e. (2018). section ii pathophysiology (p. 33). james, et al. (2018). adolescent habitual ca ff eine consumption and hemodynamic reactivity during rest , psychosocial stress , and recovery.journal of psychosomatic research, 110 (april), 16–23. juliá n et al , (2016). nutriti on , met aboli sm & cardiovascular diseases association of heart rate and blood pressure among european adolescents with usual food consumption/ : the helena study. nutri tion, met abolism and cardiovascul ar diseases, 26(6), 541–548. kemenkes ri. (2015). infodatin perilaku merokok masyarakat indonesia.infodatin pusat data dan informasi kementerian kesehatan ri (perilaku masyarakat indonesia) berdasarkan risekesdas 2007 dan 2013. masala, et al. (2017). physical activity and blood pressure in 10,000 mediterranean adults: the epicflorence cohort. nutrition, metabolism and cardiovascular diseases, 27(8), 670–678. purwawardana, d. (2017). hubungan indeks massa tubuh dan tekanan darah terhadap risiko hipertensi pada remaja di sman 6 surabaya. puslitbang badan litbangkes. (2015). perilaku berisiko kesehatan pada pelajar smp dan sma di indonesia.kementrian kesehatan ri, 1–116. retrieved from santoso. (2013). prevalence of hypertension in school and college students prevalensi hipertensi pada pelajar dan mahasiswa.journal of nutrition college, (47), 509–513. 226 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 218–226 statistik, b. p. (2015). statistik remaja jawa timur, 18. watts, s. w., morrison, s. f., davis, r. p., & barman, s. m. (2012). serot oni n and b l ood pre ssure regulation,64(2), 359–388. who. (2014). bmi classification. who. (2015). q&a on hypertension. who. (2017). prevalence of overweight among adults, bmi 25,age-standardized estimates by who region. south east asia. zhang, et al. (2017). effect of dynamic change in body mass index on the risk of hypertension: results from the rural chinese cohort study.international journal of cardiology, 238, 117–122. 276 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 276–284 276 pengaruh program pembentukan kepribadian dan kepemimpinan (p2kk) terhadap soft skill mahasiswa lilis setyowati1, nadia mar’atu sholihah2, nur aini3 1dosen keperawatan, fakultas ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah malang, indonesia 2,3mahasiswa keperawatan, fakultas ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah malang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 29/10/2019 disetujui, 06/03/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: program pembentukan kepribadian dan kepemimpinan, soft skill, mahasiswa abstrak program pembentukan kepribadian dan kepemimpinan (p2kk) merupakan program pembentukan karakter yang bertujuan mengembangkan keterampilan soft skill mahasiswa. sampai saat ini, evaluasi ketercapaian tujuan program masih belum diteliti. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh p2kk terhadap soft skill mahasiswa fikes universitas muhammadiyah malang (umm). desain penelitian yang digunakan adalah pre-eksperimental one group pre-post test design. pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan sampling kuota. jumlah sampel yang digunakan sebanyak 100 mahasiswa fikes universitas muhammadiyah malang angkatan 2018 yang mengikuti p2kk angkatan 24 dan 25. pengumpulan data menggunakan kuesioner leq (life effectiveness questionnaire) dengan analisa data menggunakan uji wilcoxon. kegiatan p2kk dilaksanakan selama 6 hari dan selama kegiatan tersebut mahasiswa harus tinggal di asrama. soft skill mahasiswa fikes universitas muhammadiyah malang sebelum mengikuti p2kk 72% memiliki kategori sedang dengan nilai rata-rata 140 dan soft skill setelah p2kk 76% memiliki kategori sedang dengan nilai rata-rata 15. berdasarkan hasil analisa data menggunakan uji wilcoxon didapatkan hasil yang signifikan (p=0,00), artinya terdapat perbedaan soft skill sebelum dan setelah p2kk. terdapat pengaruh p2kk terhadap soft skill mahasiswa fikes universitas muhammadiyah malang dengan metode pendekatan experiental learning yang dapat meningkatkan soft skill. pengaruh yang paling signifikan terdapat pada atribut mengontrol emosi. disarankan pihak upt. p2kk untuk mengevaluasi metode kegiatan sehingga dapat meningkatkan atribut soft skill yang kurang. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p276-284&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 277setyowati, sholihah, aini, pengaruh program pembentukan kepribadian dan ... correspondence address: universitas muhammadiyah malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: aini_anindya@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p276–284 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ history article: received, 29/10/2019 accepted, 06/03/2020 published, 05/08/2020 keywords: the personality development and leadership program, soft skill, student article information abstract the personality development and leadership program (p2kk) is a character-building program to develop student skills to prepare them in the work requirements. the evaluation of the achievement of program objectives has not been studied before. this study aimed to determine the effect of p2kk on soft skills of the faculty of health science (fikes) students at the university of muhammadiyah malang (umm). the study design used pre-experimental one group pre-post test design. the sampling technique used quota sampling technique. we included 100 students of class 2018 of the fikes umm who participated in p2kk in 24 and 25 groups. we collected the life effectiveness questionnaire (leq) and the wilcoxon test was used to analyze the data. the soft skills of the students before taking p2kk 72% had a moderate category with an average value of 140 and soft skills after p2kk 76% had a moderate category with an average value of 15. based on the results of data analysis using the wilcoxon test, the result was significant (p = 0.00) indicating that the soft skills before and after p2kk were different. p2kk influenced the soft skills of fikes umm students by an experiential learning approach that able to improve their soft skills. the most significant influence is on the emotional control attribute. suggested that the upt p2kk to evaluate the method of activities so as to increase the attributes of soft skills that are lacking. © 2020 jurnal ners dan kebidanan the effect of personality development and leadership program (p2kk) on student’s soft skills pendahuluan pendidikan yang ada di indonesia belum optimal karena belum sepenuhnya diikuti dengan pendidikan karakter dan akhlak mulia, serta lebih menekankan pada dimensi hard skill daripada soft skill. kebijakan yang diterapkan oleh kemendikbud adalah pengembangan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan soft skill sehingga diharapkann dapat meningkatkan akhlak mulia dan menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara (kementrian pendidikan dan kebudayaan, 2013). pendidikan karakter saat ini menjadi salah satu solusi dalam mengatasi kemerosotan moral. ditinjau dari sisi psikologis, karakter merupakan gambaran dari beberapa potensi yaitu intellegency quotient (iq), emotional quotient (eq), spiritual quotient (sq), dan adverse quotient (aq). penelitian yang dilakukan lembaga emotional quality inventory (eqi) menyatakan bahwa kontribusi iq (hard skill) dibandingkan dengan eq (soft skill) hanya 20% bagi kesuksesan seseorang. haryati (2015) menyatakan, 85% keberhasilan di dunia kerja ditentukan oleh soft skill dan 15% oleh hard skill (rongraung, somprach, khanthap, & sitthisomjin, 2014). hasil penelitian oleh nurmaulidya (2013), soft skill peserta didik di sma negeri 6 bandar lampung masih kurang sehingga berdampak pada buruknya karakter yang terbentuk. masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan siswa terhadap aturan sekolah. rata-rata soft skill di smk muda patria kalasan juga rendah yaitu 40.38% (rismanto & munir, 2013). evaluasi soft skill pada mahasiswa baru di fakultas teknologi pertanian universitas udayana didapatkan data bahwa skor rata-rata soft skill 5,48 dan termasuk dalam kategori biasa yang mengindikasikan bahwa https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p276-284 278 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 276–284 kualitas soft skill mahasiswa baru masih belum baik dan harus ditingkatkan (arnata & surjoseputro, 2014).hasil observasiyang dilakukan pada bulan oktober 2018, pada 15 mahasiswa baru ilmu keperawatan yang belum mengikuti p2kk (program pembentukan kepribadian dan kepemimpinan) memilikisoft skillkurang dengan nilai terendah adalah aspek kepercayaan diri aspek kedisiplinan dan komunikasi. menurut nurmaulidya (2013) faktor-faktor pembentuk perilaku dibagi menjadi dua yaitu faktor internal meliputi insting biologis, kebutuhan psikologis dan kebutuhan pemikiran dan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, sosial, dan pendidikan. terdapat dua faktor besar yang mempengaruhi kepribadian yaitu faktor internal dan eksternal. faktor internal adalah faktor dari dalam diri yang merupakan faktor genetik, sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, tetangga sampai media massa seperti tv, internet, majalah dan lain lain (chairilsyah, 2012). setiani & rasto (2016) menjelaskan bahwa soft skill dapat dibentuk melalui proses pembelajaran yang mampu menarik minat dan perhatian para pelajar, membangkitkan motivasi, prinsip individualitas dan menerapkan sistem peragaan dalam pengajaran. data ini di dukung oleh penelitian hidayati, et al (2015) yang menyatakan bahwa strategi pembelajaran, pengalaman organisasi, pelatihan pembentukan karekter, seminar, dan pendidikan informal juga dinilai berpengaruh terhadap pembentukan soft skill. p2kk merupakan program pembentukan karakter yang di dalam muatannya terdapat materi keterampilan akademik, keterampilan sosial, kepemimpinan, ibadah dan keislaman juga terdapat pengenalan budaya di perguruan tinggi. salah satu tujuan p2kk adalah mengembangkan keterampilan soft skill mahasiswa sesuai dengan kebutuhan kerja. program ini merupakan upaya umm dalam mengembangkan soft skill dan hard skill mahasiswa secara seimbang. program yang telah berjalan sejak tahun 2004 ini mengalami beberapa perubahan dan penyempurnaan dalam desain kegiatannya. evaluasi program terkait dengan fasilitas, trainer dan kegiatan oleh peserta p2kk sudah dilaksanakan sejak tahun 2017, namun evaluasi terhadap ketercapaian tujuan yaitu mengembangkan keterampilan soft skill mahasiswa sesuai dengan dunia kerja masih belum dilaksanakan oleh pihak upt. p2kk maupun universitas. oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh p2kk terhadap soft skill mahasiswa fakultas ilmu kesehatan (fikes) umm”. bahan dan metode jenis penelitian pre-eksperimental dengan desainone group pre-post test. pelaksanaan kegiatan p2kk bekerjasama dengan upt. p2kk umm. populasi penelitian adalah mahasiswa fikes angkatan 2018 yang belum mengikuti p2kk tahun 2018/2019 berjumlah 135 yang terbagi dalam 3 jurusan yaitu farmasi 52 mahasiswa, ilmu keperawatan 34 mahasiswa dan fisioterapi 49 mahasiswa. sampel 100 mahasiswa yang dihitung dengan tabel isaac dan michael, yang diambil dengan teknik quota sampling. variabel independen adalah p2kk sedangkan variabel dependen adalah soft skill. kegiatan p2kk dilaksanakan selama 6 hari dan selama kegiatan tersebut mahasiswa harus tinggal di asrama. materi yang diberikan adalah: 1). kepribadian, 2). kepemimpinan, 3). keterampilansosial, 4). keterampilan akademik, 5). budaya perguruan tinggi, dan 6). keislaman instrumen soft skill menggunakan leq (life effectiveness questionnaire) dibuat oleh james neill, herbert w. marsh dan garry e. richard (2007), yang telah diuji validitas dan reliabilitas, dan nilai reliabilitas cronbach’s alpha 0,942.pemberian instrumen dilakukan 2x yaitu pada hari pertama p2kk (mengukur pre test) dan 18 hari setelah p2kk (mengukur post test), karena didasarkan penelitian yang dilakukan lally dkk tahun 2010 yang menyatakan bahwa waktu pembentukan perilaku tiap orang bervariasiantara 18 hingga 245 hari. analisis data menggunakan uji wilcoxon.dilakukan pula pengukuran effect size (es) untuk mengukur besarnya pengaruh dari sebuah perlakuan. es dapat digunakan sebagai korelasi antara klasifikasi variabel independen dengan skor individu pada variabel dependen. hasil penelitian gambaran karakteristik responden karakteristik mahasiswa baru fikes umm yang mengikuti kegiatan p2kk dijelaskan dalam tabel 1. berdasarkan tabel 1, terdapat perbedaan ratarata soft skill antara antara ketiga jurusan sebelum p2kk. 279setyowati, sholihah, aini, pengaruh program pembentukan kepribadian dan ... no karakteristik sampel rata-rata soft skill f (%) pre post 1 jurusan program studi ilmu keperawatan 22 22 134 149 farmasi 41 41 141 151 fisioterapi 37 37 141 153 2 jenis kelamin laki-laki 25 25 140 153 perempuan 75 75 139 151 3 usia (tahun) 17-19 95 95 140 151 20-22 5 5 124 155 4 pengalaman organisasi selama kuliah ada 53 53 142 157 tidak ada 47 47 136 145 5 pengalaman organisasi selama sma ada 85 85 141 153 tidak ada 15 15 131 142 6 pendidikan terakhir sma 79 79 140 151 smk 13 13 140 149 aliyah 8 8 135 155 7 lingkungan asal daerah desa 56 56 138 154 perumahan/kota 44 44 142 148 8 pendapatan orang tua perbulan <1.000.000 3 3 128 165 1.000.000-5.000.000 67 67 140 149 5.000.000-10.000.000 20 20 138 151 >10.000.000 10 10 143 158 tabel 1 karakteristik mahasiswa fikes umm yang mengikuti p2kk bulan januari 2019 soft skill mahasiswa fikes sebelum dan setelah p2kk variabel mean min max sd soft skill sebelum p2kk 140 56 184 21 soft skill setelah p2kk 151 88 192 18 tabel 2 soft skill mahasiswa fikes umm sebelum dan sesudah kegiatan p2kk bulan januari 2019 kategori soft skill pre pre hasil uji wilcoxon tinggi 11 (11 %) 13 (13%) p = 0,00 sedang 72 (72%) 76 (76%) rendah 17 (17%) 11 (11%) total 100 (100 %) 100 (100 %) tabel 3 kategori soft skill mahasiswa fikes umm sebelum dan sesudah kegiatan p2kk bulan januari 2019 280 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 276–284 berdasarkan tbel 2, diketahui data hasil penelitian nilai soft skill mahasiswa fikes sebelum p2kk memiliki rata-rata 140 dan setelah p2kk menjadi 15. sedangkan pada tabel 3, soft skill mahasiswa fikes sebelum p2kk memiliki kategori sedang yaitu sebesar 72% dan setelah p2kk adalah kategori sedang sebesar 76%. nilai p = 0,00 <0,05 artinya terdapat pengaruh p2kk terhadap soft skill mahasiswa fikes umm. atribut soft skill mahasiswa fikes umm sebelum dan setelah p2kk atribut soft skill pre (m &sd) post (m &sd) es manajemen waktu 5,48 (0,22) 6,18 (0,05) 4,4 kemampuan sosial 5,81 (0,41) 6,23 (0,29) 1,2 motivasi berprestasi 6,57 (0,25) 6,92 (0,22) 1,5 pemikiran fleksibel 5,99 (0,18) 6,52 (0,23) 2,6 kepemimpinan 5,23 (0,45) 5,80 (0,34) 1,4 mengontrol emosi 5,47 (0,16) 6,06 (0,05) 5,1 berinisiatif 5,76 (0,21) 6,16 (0,22) 1,8 kepercayaan diri 6,20 (0,18) 6,54 (0,17) 1,9 tabel 4 soft skill mahasiswa fikes umm berdasarkan atribut soft skill bulan januari 2019 berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa perbandingan rata-rata soft skill menurut 8 atribut didapatkan bahwa rata-rata soft skill setelahp2kk lebih tinggi dibandingkan sebelum p2kk. pembahasan karakteristik mahasiswa fikes umm yang mengikuti p2kk bulan januari 2019 jurusan ilmu keperawatan memiliki rata-rata soft skill yang lebih kecil dibandingan jurusan farmasi dan fisioterapi yang memiliki nilai rata-rata sama. perbedaan ini kemungkinan didapatkan karena perbedaan sosiodemografi individu sebagaimana pada tabel di atas. rata-rata soft skill setelah p2kk meningkat cukup baik. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratarata soft skill laki-laki lebih besardaripada perempuan sebelum dan setelah p2kk, namun rata-rata ini tidak berbeda jauh. hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh hirsch (2017) yang menyatakan jenis kelamin tidak signifikan terhadap tingkat soft skill seseorang. berdasarkan penelitian ravindran dan bandara (2015) menyatakan bahwa tingkatan soft skill berdasarkan jenis kelamin memiliki hasil yang bervariasi antara perempuan dan lakilaki. beberapa soft skill lebih besar dimiliki lakilaki yaitu kepercayaan diri, mengontrol emosi, memahami situasi, memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, kepemimpinan, berbicara di depan umum, negosiasi, membuat jaringan dengan orang-orang dan lain lain selain itu beberapa soft skill lebih besar dimiliki oleh perempuan yaitu kesadaran diri, mengatasi situsi buruk, komunikasi, kerjasama tim dan lain lain. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratarata soft skill sebelum p2kk lebih besar pada usia 17-19 dan setelah p2kk lebih besar pada usia 2022 tahun. faktor usia diyakini sebagai salah satu faktor terbentuknya soft skill. sesuai dengan penelitian tentang faktorfaktor pembentuk soft skill yang dilakukan oleh ravindran dan bandara(2015) bahwa terdapat peningkatan soft skill seiring berjalannya usia. pengalamanhidup lebih banyak didapatkan oleh orang yang lebih tua akan membentuk soft skill semakin baik. sebagian besar responden memiliki pengalaman organisasi selama sma dan di perkuliahan. penelitian ini menunjukkan rata-rata yang lebih tinggi dan cukup jauh pada responden yang berorganisasi sebelum dan setelah p2kk. pengalaman organisasi akan mempengaruhi kehidupan seseorang. organisasi diyakini sebagai sebuah sarana pengembangan diri, karena didalamnya seseorang akan dilatih untuk berproses dalam pembentukan karakter dan pendewasaan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada (hidayati, et al, 2015). hal ini sesuai dengan hasil penelitian yulianto tahun 2015 dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan keaktifan siswa berorganisasi terhadap peningkatan soft skil dengan harga koefi 281setyowati, sholihah, aini, pengaruh program pembentukan kepribadian dan ... sien korelasi r =0,493. hasil penelitian ini juga diperkuat dengan suranto & rusdianti (2018), bahwa pengalaman berorganisasai dapat membentuk soft skill mahasiswa dan manfaat yang didapatkan diorganisasi yaitu diantaranya membantu dan meningkatkan leadership, communication skill, teamwork, memperluas jaringan atau networking, problem solving dan manajemen konflik. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan sma dan smk memiliki rata-rata soft skill yang sama dan lebih tinggi dibandingkann aliyah dan setelah p2kk. soft skill yang paling besar pada lulusan aliyah namun tidak berbeda jauh. pembelajaran adalah proses perubahan perilaku pada seseorang sebagai hasil dari pengalaman maupun pelatihan. kegiatan pembelajaran di sekolah dapat mengembangkan soft skill seseorang. menurut rasmita, dkk (2009) jikapendidikan yang diterima seseorang semakin baik maka akan semakin baik juga soft skill yang dimiliki. pendidikan yang terencana akan meningkatkan keterampilan, termasuk juga proses belajar. penelitian sebelumnya oleh rismanto &(2013) menyatakan bahwa rata-rata soft skill di smk muda patria kalasan masih rendah yaitu sebesar 40.38%. berbeda dengan hasil ini, penelitian lain yang dilakukan oleh zammi dan khoiriyyah (2018) kepada siswa smk menyatakan bahwa persentaserata-rata soft skill siswa sebesar 52,56% dengan kategori cukup kemudian meningkat menjadi kategori tinggi dengan persentase 81,88% setelah implementasi pembelajaran chemoenterpreunership. responden yang tinggal di lingkungan perumahan atau kota memiliki rata-rata soft skill yang lebih besar sebelum p2kk dibandingkan responden yang tinggal di desa. menurut rasmita, dkk (2009) lingkungan mempengaruhi terbentuknya soft skill seseorang. lingkungan yang kondusif dan baik akan menyebabkan munculnya berbagai soft skill. hal ini dikarenakan seseorang cenderung akan meniru apa yang terjadi disekitarnya sehingga mempengaruhi sikap dan karakter seseorang. lingkungan pedesaan dan perkotaan memiliki ciri yang berbeda. menurut hidayah (2011) ciri-ciri menonjol pada masyarakat pedesaan adalah kehidupan masyarakatnya agamis,pembagian kerja tidak nyata, dan jalan pemikiran orang desa lebih bersifat sosial dibandingkan orang kota yang lebih bersifat ekonomis dan rasional. ciri yang berbeda antara masyarakat desa dan kota tentunya akan berpengaruh terhadap soft skill yang dimiliki seseorang. sebelum p2kk rata-rata soft skill paling besar dimiliki oleh responden yang pendapatan orang tuanya paling tinggi yaitu lebih dari sepuluh juta dan setelah p2kk rata-rata soft skill lebih besar pada responden yang pendapatan orang tuanya dibawah satu juta. perbedaan rata-rata antara pendapatan dibawah satu juta dan diatas sepuluh juta tidak jauh. pendapatan orang tua pada penelitian ini dikaitkan dengan fasilitas dan teknologi yang dimiliki seseorang khususnya mahasiswa. fasilitas dan teknologi memiliki hubungan yang positif terhadap pembentukan soft skill. fasilitas dan teknologi yang memadai dapat membuat seseorang mampu mengembangkan diri sehingga dapat membentuk soft skill (ravindran & bandara, 2015). soft skill mahasiswa fikes sebelum dan setelah p2kk rata-rata soft skill yang paling rendah sebelum dan setelah p2kk yaitu kepemimpinan dengan nilai sebelum p2kk 5,23 dan setelah p2kk 5,80. soft skill yang paling tinggi adalah motivasi untuk berprestasi dengan nilai sebelum p2kk 6,57 dan setelah p2kk 6,92. perubahan soft skill paling kecil sebelum dan setelah p2kk adalah kemampuan sosial dengan nilai es sebesar 1,2 dan yang terbesar adalah pada atribut mengontrol emosi dengan nilai es sebesar 5,1. berikut penjelasan dari masing-masing atribut soft skill: 1). manajemen waktu: mengidentifikasi sejauh mana seseorang dapat memanfaatkan dan mengatur waktu secara optimal. selama 6 hari peserta dilatih agar selalu tepat waktu dalam semua kegiatan dan akan diberikan sanksi apabila telat. peserta juga mendapatkan materi dan simulasi tentang manajemen waktu sehingga berpengaruh pada peningkatan soft skill. 2). kemampuan sosial: adalah tingkat kepercayaan dan persepsi diri terhadap kemampuan dalam berinteraksi sosial, meliputi presepsi tentang kehidupan sosial yang sukses dan kemampuan berkomunikasi. peningkatan soft skillsetelah p2kk karena banyaknya interaksi sosial selama kegiatan berlangsung. peserta tinggal sekamar bersama 9-10 orang dan mengikuti kegiatan di kelas bersama peserta lain yang berjumlah 25-34 orang yang terdiri dari jurusan dan daerah asal yang berbeda mulai jam 3 pagi sampai dengan setengah 10 malam. 3). motivasi berprestasi: merupakan soft skillyang paling tinggi yang dimiliki mahasiswa fikes. soft skill ini menginterpretasikan bahwa mahasiswa memiliki motivasi yang tinggi untuk meraih prestasi dan 282 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 276–284 penghargaan sehingga melakukan upaya dan tindakan untuk mencapainya. pembelajaran mahasiswa kesehatan yang lebih menekankan pada hafalan dengan materi yang banyak menyebabkan mahasiswa termotivasi untuk terus belajar dan berprestasi. setelah p2kk soft skill ini meningkat, dikarenakan peserta dilibatkan secara aktif dan sistem pembelajaran yang diterapkan dapat dipahami dengan mudah. 4).pemikiran yang fleksibel: menginterpertasikan sejauh mana seseorang dapat menyesuaikan pemikirannyadan menerima informasi baru dari pemikiran yang berbeda. latar belakang dan karakteristik mahasiswa yang berbeda dapat menambah wawasan dan pergaulan peserta yang lebih luas sehingga mengasah pola pikir menjadi lebih fleksibel. 5). kepemimpinan: soft skill ini memiliki rata-rata paling rendah. kepemimpinan yang rendah menunjukkan bahwa mahasiswa masih kurang dalam memimpin orang lain secara efektif ketika melaksanakan suatu tugas dan dalam dapat melakukannya masih kurang produktif. hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh hartiti & ernawati (2016), soft skill terendah pada mahasiswa keperawatan adalah kemampuan memimpin dan berfikir kritis sebesar 24,6%. selama pelatihan peserta tidak dibedakan antara satu dan yang lainnya. semua peserta diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin baik laki-laki maupun perempuan sehingga hal ini diyakini dapat menigkatkan soft skill kepemimpinan 6). mengontrol emosi: menginterpretasikan sejauh mana seseorang bisa mengendalikan atau mengontrol emosi ketika ia dihadapkan dengan situasi yang dapat membuat stres. selama p2kk peserta diawasi selama 24 jam dan diwajibkan disiplin terhadap peraturan yang berlaku selama kegiatan berlangsung. kegiatan yang cukup padat yang dilaksanakan bersama banyak peserta lain diyakini meningkatkan kemampuan mengontrol emosi. 7). berinisiatif : mengidentifikasi sejauh mana seseorang memulai suatu tindakan dalam situasi baru. lingkungan p2kk merupakan lingkungan yang baru bagi peserta, di dalam kelas peserta diberikan stimulus oleh fasilitator untuk aktif selama pelatihan dan masing-masing individu diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya. selain diberikan materi, peserta juga diberikan simulasi, games, lomba yel-yel dan outbond yang akan meningkatkan kemampuan peserta dalam berinisiatif. 8).kepercayaan diri: merupakan kepercayaan yang dimiliki individu di dalam dirinya terhadap kemampuan dan keberhasilan atas tindakan yang ia lakukan. lingkungan yang mendukung selama kegiatan, pemberian stimulus dari fasilitator kepada peserta untuk aktif dan mengapresiasi secara positif setiap jawaban, tindakan atau keputusan yang dibuat oleh peserta, pemberian motivasi dan materi tentang mengenal diri sendiri sehingga lebih percaya diri, pelatihan speaking skill dan pembagian kelompok menyebabkan peningkatkan kepercayaan diri peserta. atribut soft skill mahasiswa fikes umm sebelum dan setelah p2kk program pembentukan karakter dapat menjadi langkah awal dalam membentuk individu yang prima sehingga diharapkan mampu memiliki soft skill yang baik. proses pembentukan karakter tidak secara langsung memberikan stimulus terhadap pengembangan soft skill seseorang sehingga masih dibutuhkan suatu proses yang panjang agar individu mempunyai soft skill yang baik dan memiliki mental yang stabil dalam menghadapi tantangan hidup dimasa depan. karakteristik dari program pembentukan kepemimpinan yang efektif menurut cansoy (2017) adalah: peserta harus diajarkan pengetahuan dan keterampilan; peserta memahami nilai-nilai sosial ; peserta harus dibantu meningkatkan kepemimpinan dan kelebihan yangdimiliki ; peserta harus didorong untuk mengembangkan etika, nilai-nilai dan pikiran yang etis, berpartisipasi dalam kerjasama tim, memiliki rasa hormat, kepercayaan dan harapan; peserta didukung untuk menghormati perbedaan; pembelajaran berbasis pengalaman (experiental learning); meningkatkan kesadaran peserta untuk membantu orang lain; program harus memberikan peluang untuk mengevaluasi pemikiran pribadi dan menciptakan pembelajaran secara kolaboratif maupun pribadi; ketika peserta melakukan pembelajaran harus melibatkan konsultan, panutan/role model dan orang dewasa. program p2kk secara umum memiliki banyak kesamaan yang sesuai dengan karakteristik dari program pembentukankepemimpinan yang efektif. metode dan materi yang disampaikan disesuaikan dengan tujuan dan target yang akan dicapai. pendeka ta n ya ng diguna ka n a da la hexperiental learning, sering disebut juga sebagai “learning by doing”yaitu sebuah proses pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan suatu pengalaman yang disengaja, terkait dengan informasi yang hendak diajarkan. pendekatan ini fokus pada apa yang yang akan dipelajari oleh seseorang, hal itu 283setyowati, sholihah, aini, pengaruh program pembentukan kepribadian dan ... akan mengaktifkan pembelajaran secara kognitif, emosional dan akan merubah perilaku seseuai dengan keterampilan yang diinginkan (cunha, 2016). hasil dari penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh cansoy (2017) yang dilakukan di fakultas ekonomi universitas karabik, turki. pelatihan yang dilakukan menggunakan experiental learning kepada 20 mahasiswa selama 1-1,5 jamperminggu selama 10 minggu memiliki hasil bahwa leadership skills development program di universitas efektif untuk meningkatkan soft skill karena secara signifikan meningkatkan keinginan untuk mencapai tujuan, keterampilan komunikasi, keterampilan kelompok, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan dalam pengambilan keputusan, kesadaran akan tanggung jawab, kesadaran untuk mempercaya dan dipercaya, kesadaran kepemimpinan dan kesadaran emosional. pembentukan soft skill membutuhkan waktu yang cukup panjang, bisa terbentuk ketika mahasiswa menempuh proses pendidikan minimal 3,5 bulan. sehingga pihak universitas khususnya program studi memiliki andil besar dalam membentuk soft skill mahasiswa melalui sistem pembelajaran yang seimbang antara soft skill dan hard skill. kesimpulan soft skill mahasiswa fikes umm sebelum mengikuti p2kk sebagian besar memiliki kategori sedang. rata-rata soft skill yang paling rendah sebelum dan setelah p2kk yaitu kepemimpinan dan soft skill yang paling tinggi adalah motivasi untuk berprestasi. hasil uji statistik, terdapat pengaruh p2kk ter hadap soft skill mahasiswa fikes umm. saran diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan soft skilldengan mengikuti berbagai kegiatan yang ada di universitas, mengingat pentingnya peranan soft skill khususnya bagi tenaga kesehatan. program studi dan upt p2kk perlu mendesain sistem pembelajaran yang menerapkan keseimbangan antara soft skill dan hard skill,serta melakukan evaluasi metode kegiatan p2kk sehingga pdapat meningkatkan soft skill yang masih kurang. daftar pustaka aly, a. (2017). pengembangan pembelajaran karakter berbasis soft skill di perguruan tinggi. ishraqi, 1(1), 40–51. arnata, i. w., & surjoseputro, s. (2014). evaluasi soft skills dalam pembelajaran mahasiswa baru di fakultas teknologi pertanian universitas udayana. jurnal pendidikan dan pembelajaran, 21(1), 1–9. cansoy, r. (2017). the effectiveness of leadership skills development pr ogr a m for un i versi ty th e effectiveness of leadership skills development program for university students. history culture and art research, 6(3), 65–87. https://doi.org/ 10.7596/taksad.v6i3.899 chairilsyah, d. (2012). pembentukan kepribadian positif anak sejak usia dini. educhild, 1(1), 1–7. cunha, i. f. x. da. (2016). the efficacy of 1-day soft skills training on master students ’ performance. hartiti, t., & ernawati. (2016). gambaran softskill mahasiswa sarjana perawat di fikkes universtas muhammadiyah semarang. rakernas aipkema 2016 “temu ilmiah hasil penelitian dan pengabdian masyarakat”. haryati, s. (2015). upaya meningkatkan soft skill mahasiswa di perguruan tinggi. seminar ilmiah semesteran korpri sub unit kopertis wilayah vi jawa tengah, 1(2), 66–75. retrieved from http:// lib.untidar.ac.id/wp-content/uploads/2017/01/ upaya-peningkatan-soft-skill-mhs-pt.pdf. hidayati, u., susena, mardinawati, & noor, a. (2015). faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan soft skill (soft competency) mahasiswa jurusan akuntansi polines. prosiding sentrinov, 001, 2477–2097. https://doi.org/10.13140/rg.2.2.30630. 32324. hidayah, n. (2011). kesiapan psikologis masyarakat pedesaan dan perkotaan menghadapi diversifikasi pangan pokok. humanitas, viii(1), 88–104. hirsch, r. g. a. (2017). gender differences in the performance of black high school students on job interviews. thesis, 1–42. kementrian pendidikan dan kebudayaan. (2013). rencana strategis kementrian pendidikan dan kebudayaan 2010-2014, 1–6. https://doi.org/10.1017/cbo9781107 415324.004 neill, j. (2007). life effectiveness questionnaire: a research tool for measuring personal change. retrieved november 11, 2018, from http:// wilderdom.com/leq.html nurmaulidya, e. (2013). kegiatan ekstra kurikuler dan pembentukan soft skill peserta didik di sma negeri 6 bandar lampung. tesis, 0–11. rasmita, f., elfindri, wello, m. b., & rumengan, j. (2009). pintar soft skills membentuk pribadi unggul. (j. f. rezky, ed.). bandouse media. ravindran, k., & bandara. (2015). factors affecting acquisition of soft skills and the level of soft skills among university undergraduates (with special reference to management students of rajarata university of sri lanka ). international 284 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 276–284 research symposium rajarata university of sri lanka, 538–545. rismanto, h., & munir, m. (2013). pengembangan soft skill siswa melalui metode cooperative learning tipe jigsaw. http ://eprints.uny.ac.id/eprint/10451 rongraung, s., somprach, k., khanthap, j., & sitthisomjin, j. (2014). soft skills for private basic education schools in thailand. procedia social and behavioral sciences, 112, 956–961. https://doi.org/ 10.1016/j.sbspro.2014.01.1254 setiani, f., & rasto. (2016). mengembangkan soft skill siswa melalui proses pembelajaran. jurnal pendidikan manajemen perkantoran, 1(1), 170– 176. suranto, & rusdianti, f. (2018). pengalaman berorganisasi dal a m mem ben t uk sof t sk i l l ma ha si swa . pendidikan dan ilmu sosial, 28(1), 58–65. zammi, m., & khoiriyyah, k. (2018). analisis kemampuan soft skills siswa kelas xi smk futuhiyyah mranggen demak, 08(2), 41–51. 138 pengaruh pendidikan kesehatan tentang kanker payudara terhadap pengetahuan dan sikap tentang pemeriksaan payudara sendiri (effect on breast cancer health education on knowledge and attitude about breast self-examination) ika agustina dan maria ulfa stikes patria husada blitar e-mail: erieikaa@yahoo.co.id abstract : familiarize yourself observing breast awareness is a part of a woman's body. in this way, even the smallest defects which can be found and active measures for treatment can be started as early as possible. method: the research design was pre eksperimental design. with the approach of one group pretestposttest design. the sample are 100 student of smkn 3 blitar city, it was choosen using simple random sampling technique. the data was collected by questionnaire. result : based on statistical tests paired t test obtained sig = 0.000. this shows 0.000 <0.05 that the presence of the above found that the pvalue (0,000) <0.05, it can be concluded that there are significant health education on the attitudes of young women. discussion : young women more active to increase the knowledge by obtaining information about reproductive health care, especially on the breast it self. keywords : health education, knowledge, attitudes tumor payudara adalah suatu penyakit pertumbuhan sel payudara secara perlahan yang berbatas tegas dengan konsistensi padat kenyal. sedangkan kanker payudara adalah suatu penyakit pertumbuhan sel karena di dalam payudara tumbuh sel-sel baru yang tumbuh abnormal, cepat dan tidak terkendali dengan bentuk, sifat dan gerakan yang berbeda dari sel asalnya, serta merusak bentuk dan fungsi organ asalnya. banyak pakar onkolog berpendapat bahwa setiap tumor pada payudara dianggap karsinoma terutama pada wanita golongan resiko tinggi. frekuensi karsinoma payudara relatif tinggi sehingga menimbulkan banyak masalah bagi kaum wanita, tidak hanya di negara maju tapi juga di negara sedang berkembang termasuk indonesia. (licoln, 2007) masa remaja merupakan suatu periode rentan kehidupan manusia yang sangat kritis karena merupakan tahap transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. pada tahap ini sering kali remaja tidak menyadari bahwa suatu tahap perkembangan sudah dimulai, namun yang pasti setiap remaja akan mengalami suatu perubahan baik fisik, emosional maupun social. pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan fisik maupun perubahan biologis yang dalam perkembangan selanjutnya berada dibawah kontrol hormon-hormon khusus. pada wanita, hormon-hormon ini bertanggung jawab atas permulaan proses ovulasi dan menstruasi, juga pertumbuhan payudara. membiasakan mengamati payudara sendiri merupakan bagian dari kesadaran akan tubuh wanita. seorang remaja putri dapat acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 3, nopember 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p225-229 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 139 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm. 138-143 melakukan pemeriksaan payudara sendiri yaitu upaya untuk menetapkan adanya tumor atau tidak dalam payudara yang dilakukan dengan perabaan pada saat mandi dengan menggunakan jari-jari tangan sehingga dapat menentukan benjolan pada lekukan halus payudaranya.jalan yang paling bijaksana adalah memeriksa payudara secara teratur pada selang waktu tertentu. dengan cara ini, kelainan yang terkecil sekalipun dapat ditemukan dan langkah-langkah aktif untuk pengobatan dapat dimulai sedini mungkin.(manuaba,1999:72). kanker payudara merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. frekuensi karsinoma payudara di negara maju merupakan yang terbanyak dengan rasio 5:3 dibandingkan dengan karsinoma payudara di negara berkembang. di negara maju, insiden karsinoma payudara pada wanita mencapai angka 87 per 100.000 wanita dengan angka kematian sekitar 27 per 100.000 wanita. di amerika diperkirakan ada 181.600 penderita kanker payudara dan 44.191 orang meninggal pada tahun yang sama. angka insiden tertinggi dapat ditemukan pada beberapa daerah di amerika serikat yaitu mencapai angka diatas 100 per 100.000 wanita. untuk asia, insiden kanker payudara berkisar antara 10 – 20 per 100.000 wanita, contohnya pada daerah tertentu di jepang mencapai 17,6 per 100.000 wanita dan di china mencapai 9,5 per 100.000 wanita. sementara di indonesia, 10 dari 100.000 perempuan menderita kanker payudara, terbanyak kedua setelah kanker mulut rahim. di wilayah jawa timur pengidap kanker payudara mencapai 8,5 per 100.000 (trubus, 2003:31) dan daerah blitar mencapai 6,5 per 100.000 wanita.(creasoft.wordpress.com) di indonesia, pemeriksaan payudara sendiri banyak dibahas sebagai wacana namun kurang mendapat perhatian dari masyarakat, sehingga perilaku pemeriksaan payudara sendiri hanya sebagian kecil dilakukan oleh para wanita atau remaja putri (info-sehat.com). sebagian besar ( 65 – 80 % ) penderita kanker payudara berkonsultasi pada dokter dalam kondisi tumor stadium lanjut dengan berbagai komplikasinya antara lain tumor melengket pada kulit atau jaringan dibawahnya. selain itu, data mengenai kanker payudara dimana tidak sampai 15% kasus datang pada stadium awal dikarenakan penderita tidak mampu mendeteksi secara dini pertumbuhan kanker payudara tersebut. penelitian ini dirasa penting mengingat pada masa remaja merupakan masa pematangan organ reproduksi sekunder khususnya payudara. dimana pada masa remaja dapat terjadi pertumbuhan – pertumbuhan sel-sel abnormal yang harus dideteksi sedini mungkin untuk mencegah terjadinya kematian akibat keterlambatan pendiagnosaan adanya kanker payudara. (manuaba,2002:72) studi pendahuluan dilakukan di smk negeri 3 blitar karena lebih representatif mengingat jumlah siswi lebih banyak daripada jumlah siswa, selain itu smkn 3 blitar belum pernah diadakan sosialisasi tentang kanker payudara sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh pendidikan kesehatan tentang kanker payudara terhadap pengetahuan dan sikap tentang pemeriksaan payudara sendiri. rumusan masalahnya adalah apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang kanker payudara terhadap pengetahuan dan sikap tentang pemeriksaan payudara sendiri. tujuan umumnya adalah mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan tentang kanker payudara terhadap pengetahuan dan sikap tentang pemeriksaan payudara sendiri. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja tentang pemeriksaan payudara sendiri sebelum dilakukan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara, (2) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap remaja tentang pemeriksaan payudara sendiri sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara, (3) menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan tentang kanker payudara pada remaja putri terhadap pengetahuan dan sikap pemeriksaan payudara sendiri (sadari). agustina dan ulfa, pengaruh pendidikan kesehatan…140 manfaat penelitian secara teoritis adalah dapat mengembangkan intervensi kebidanan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi wanita dalam bentuk promosi kesehatan melalui penyuluhan secara langsung. manfaat secara praktis adalah sarana latihan bagi peneliti untuk mempuplikasikan hasil penelitiannya dalam jurnal ilmiah dan salah satu alternatif untuk melakukan preventif pada remaja putri terutama mengenai masalah kesehatan reproduksi secara dini. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah preeksperimental. dengan pendekatan one group pretest-posttest desaign. subyek penelitian ini adalah siswi smkn 3 blitar yang berjumlah 100 orang. subyek penelitian ini dipilih secara simple random sampling. variabel bebasnya adalah pendidikan kesehatan tentang kanker payudara. variabel terikatnya adalah pengetahuan dan sikap tentang kanker payudara. skor yang diperoleh diubah menjadi kategori pengetahuan dan kategori sikap dan untuk mengetahui hubungan variable independent dan dependen menggunakan analisis uji paired samples t test. hasil penelitian karakteristik responden tertera pada tabel di bawah. tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f % 1 usia 15 tahun 11 11 16 tahun 17 tahun 61 28 61 28 tabel 2. sumber informasi no sumber info f % 1 media cetak 23 23 2 media elektronik 54 54 3 tenaga kesehatan 8 8 4 teman / keluarga 15 15 tabel 3. pengetahuan remaja putri sebelum pendidikan kesehatan no pengetahuan f % 1 baik 14 14 50 2 cukup 50 36 50 3 kurang 36 36 tabel 4. pengetahuan remaja putri sesudah pendidikan kesehatan no pengetahuan f % 1 baik 49 49 2 cukup 42 36 42 36 3 kurang 5 5 tabel 5. sikap remaja putri sebelum pendidikan kesehatan no pengetahuan f % 1 positif 42 42 2 negatif 58 36 58 36 tabel 6. sikap remaja putri sesudah pendidikan kesehatan no pengetahuan f % 1 positif 89 89 2 negatif 11 36 11 36 berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 100 responden, 50% atau 50 responden memiliki pengetahuan tentang pemeriksaan payuadar sendiri (sadari) cukup sebelum pendidikan kesehatan dan 49% atau 49 responden memiliki pengetahuan baik setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara. dari 100 responden, 58% atau 58 responden memiliki sikap negatif tentang pemeriksaan payudara sendiri (sadari) sebelum pendidikan kesehatan dan setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara didapatkan 89% atau 89 responden memiliki sikap positif tentang pemeriksaan payudara sendiri. berdasarkan uji statistik paired t test didapatkan nilai sig = 0,000. hal ini menunjukkan 0,000 < 0,05 bahwa adanya diatas didapatkan bahwa pvalue (0,000) < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap remaja putri. pembahasan 141 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm. 138-143 pengetahuan remaja tentang pemeriksaan payudara sendiri dari hasil penelitian membuktikan bahwa 36 % responden memiliki pengetahuan kurang, 50% responden memiliki pengetahuan yang cukup, sedangkan hanya 14% responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang pemeriksaan payudara sendiri.menurut notoatmodjo, pengetahuan (knowledge) merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. dari 50 % responden yang berpengetahuan cukup sebagian besar menyatakan bahwa pengetahuan tentang pemeriksaan payudara sendiri diperoleh dari media cetak dan elektronik karena di dalam kurikulum pendidikan memang tidak diajarkan. prosentase responden yang berpengetahuan cukup cenderung lebih banyak daripada responden yang berpengetahuan baik dan juga kurang dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor usia, pendidikan dan juga informasi, karena hampir seluruh siswi yang berpengetahuan cukup berusia 15 sampai dengan 17 tahun, dikarenakan pada usia ini remaja putri sudah matang secara emosional sehingga proses penerimaan pengetahuan juga dapat berlangsung secara maksimal. disamping 2 faktor diatas, para siswi yang berpengetahuan cukup sudah pernah mendapat informasi mengenai kanker payudara dan mereka memperoleh informasi mengenai kanker payudara melalui media elektronik atau media cetak, misalnya televisi, internet atau majalah. sedangkan dari 36% responden yang mempunyai pengetahuan kurang, sebagian besar menjawab salah pemeriksaan payudara sendiri. responden yang mempunyai pengetahuan kurang disebabkan karena kurang menyerap informasi tentang materi kanker payudara dan kurangnya keinginan serta motivasi untuk mencari informasi – informasi mengenai pemeriksaan payudara sendiri.hal ini sesuai dengan anggapan notoatmodjo (2005) bahwa semua konsep, pengetahuan, dan ide kita bersumber dari apa yang ditangkap melalui dan dengan panca indera kita. akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi yang diperoleh melalui panca indera. pengetahuan sangat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu umur dan intelegensi, serta faktor eksternal yaitu pendidikan, pengalaman dan lingkungan. disini nampak jelas bahwa lingkungan (media massa dan media elektronik) sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. sedangkan sesudah pendidikan kesehatan, 49% memiliki pengetahuan baik, 42% responden memiliki pengetahuan yang cukup, sedangkan hanya 16% memiliki pengetahuan yang kurang. kondisi di atas sesuai dengan penjelasan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah adanya informasi. seseorang yang mempunyai pengetahuan berarti ia memang mempunyai data atau informasi yang akurat melebihi orang lain atau ketika orang lain tidak memiliki informasi seperti yang dimilikinya. adanya perbedaan persepsi atau penerimaan pengertian yang berbeda-beda dari setiap individu dikarenakan terdapat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, antara lain umur, inteligensia, pendidikan, pengalaman, dan lingkungan. maka seorang remaja putri harus sering mendapat informasi-informasi penting seputar pemeriksaan payudara sendiri, dengan bahasa yang mudah dipahami dan dapat ditangkap dengan baik. jika informasi mengenai pemeriksaan payudara sendiri ini dimasukkan dalam salah satu kurikulum pendidikan, tentu pengetahuan dari remaja putri juga akan meningkat. informasi – informasi tersebut sangat mudah tersebar dan diterima remaja dengan cepat karena sebaian besar waktunya dihabiskan untuk melihat televisi atau membaca koran. kondisi di atas sesuai dengan penjelasan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah adanya informasi. seseorang yang mempunyai pengetahuan berarti ia memang mempunyai data atau informasi yang akurat melebihi orang lain atau ketika orang lain tidak memiliki agustina dan ulfa, pengaruh pendidikan kesehatan…142 informasi seperti yang dimilikinya.informasi yang didapat dari pendidikan kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri mampu mempengaruhi pengetahuan seseorang. sikap remaja tentang pemeriksaan payudara sendiri hasil penelitian menunjukkan bahwa 42 % responden memiliki sikap positif dan 58% responden memiliki sikap negatif.pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa dan lembaga pendidikan atau agama. apa yang sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataukah sikap negatif, akan tergantung pada berbagai faktor lain. tidak ada pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. sedangkan setelah dilakukan pendidikan kesehatan, didapatkan hasil bahwa 89% responden memiliki sikap positif dan 11% responden memiliki sikap negatif. menurut notoadmodjo (2003) terdapat tiga komponen pokok sikap yang utuh yakni kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek dan yang ketiga adalah kecenderungan untuk bertindak. ketiga komponen sikap ini bersama sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). dalam penentuan sikap utuh ini, pengetahuan, berfikir dan emosi memegang peranan penting.sebagian besar siswi kelas 1 dan 2 yang mempunyai sikap baik terhadap pemeriksaan payudara sendiri disebabkan karena adanya pengetahuan yang baik pula mengenai pemeriksaan payudara sendiri. proses pengadopsian sikap itu sendiri harus melewati berbagai proses yaitu diantaranya berfikir dan motif. proses berfikir dan motif yang mempengaruhi pembentukan utuh sikap tersebut dipengaruhi oleh pemberian pendidikan kesehatan. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut: 1) pengetahuan dan sikap responden sebelum dilakukan pendidikan kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri adalah pengetahuan cukup sebesar 50% dan sikap negatif sebesar 58%, 2) pengetahuan dan sikap responden sesudah dilakukan pendidikan kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri adalah pengetahuan baik 89% dan responden bersikap positiftif sebesar 49%, 3) ada pengaruh pendidikan kesehatan tentang kanker payudara terhadap pengetahuan dan sikap remaja putri kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri terhadap sikap responden dengan taraf. saran profesi kesehatan khususnya kebidanan hendaknya lebih giat dan aktif daam memberikan konseling, informasi, dan edukasi tentang kesehatan reproduksi terutama di lingkungan pendidikan secara berkala yang sesuai kebutuhan, diharapkan pada remaja putri lebih aktif dalam meningkatkan pengetahuan dengan mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi terutama tentang perawatan payudara sendiri, baik melalui media massa maupun elektronik bisa langsung ke tenaga kesehatan, keluarga dan guru bp di sekolah dengan konseling, sehingga remaja putri dapat menilai kondisinya sendiri. daftar rujukan ida gede bagus manuaba. 1998. ilmu kebidanan dan keluarga berencana. jakarta : egc 143 jurnal ners dan kebidanan, volume 1, nomor 3, nopember 2014, hlm. 138-143 info kesehatan. 2005. http://www.creasoft.com/ diakses pada tanggal 8 maret 2010 setiawan dalimartha. 2004. deteksi dini kanker dan simplisia anti kanker. jakarta : panebar swadaya soekidjo notoatmodjo. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta : rineka cipta. soekidjo notoatmodjo. 2005.metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta. trubus. 2003. obat tradisional taklukkan kanker. jakarta : panebar swadaya wilensky dan jackie licoln. 2007. kanker payudara diagnosis dan solusinya. jakarta : prestasi pustakaraya http://www.creasoft.com/ 256 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 256–263 history article: received, 06/12/2019 accepted, 25/02/2020 published, 05/08/2020 keywords: adherence, lifestyle modifications, hypertensive article information abstract the management of pharmacological and non-pharmacological is believed to control the blood pressure and prevent complications, but many hypertensive patients have uncontrolled blood pressure. this is due to poor adherence to recommended lifestyle modifications. this study aimed to determine the factors associated with the adherence of recommended lifestyle modifications of hypertensive patients. a cross-sectional study was conducted in pukesmas dinoyo malang in 2019. consecutive sampling the analysis of determinant factors associated with the adherence of recommended lifestyle modifications of patients with hypertension 256 analisis faktor determinan yang berhubungan dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pasien hipertensi abdul qodir prodi keperawatan, stikes widyagama husada malang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 06/12/2019 disetujui, 25/02/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: kepatuhan, modifikasi gaya hidup, hipertensi abstrak penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis dipercaya dapat mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi, tetapi banyak pasien hipertensi tekanan darahnya tidak terkontrol. hal tersebut dikarenakan kepatuhan yang buruk dalam melaksanakan rekomendasi gaya hidup. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan faktor yang berhungan dengan kepatuhan melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup. penelitian ini menggunakan metode cross-sectional di pukesmas dinoyo kota malang tahun 2019. teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. kuesioner yang digunakan meliputi: karakteristik demografi, pengetahuan dan rekomendasi mofifikasi gaya hidup pasien hipertensi. hubungan antara rekomendasi modifikasi gaya hidup dengan variabel independen dianalisis menggunakan uji chi square dan analisis regresi logistik. 140 pasien hipertensi berpartisipasi dalam penelitian ini (60 laki-laki, 80 wanita). prevalensi kepatuhan adalah 28,6%. tingkat pengetahuan berhubungan signifikan dengan kepatuhan melaksanakan rekomendasi gaya hidup (p=0,00). jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan tidak mempunyai hubungan signifikan dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup (p= 0,06; p=0,21; p=0,87). pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p256-263&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 257qodir, analisis faktor determinan yang berhubungan dengan ... correspondence address: stikes widyagama husada malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: abdulqodir.ners@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p256–263 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan hipertensi telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama penyakit, terutama penyakit jantung (lim et al., 2013). hipertensi merupakan penyebab kematian utama dan kedua kecatatan. angka kejadian hipertensi di dunia mencapai 40 % dari seluruh penduduk di dunia. angka tersebut terus bertambah, bahkan diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 1,5 miliyar orang yang menderita hipertensi (ike, aniebue, & aniebue, 2010). angka kejadian hipertensi bervariasi pada setiap negara. di indonesia, menurut survei indikator kesehatan nasional (2016) angka kejadian hipertensi sebesar 32,4 % sedangkan di kota malang menurut dinas kesehatan kota malang tahun 2014 sebasar 58.046 kasus terbanyak kedua setelah penyakit ispa. modifikasi gaya hidup merupakan salah satu terapi yang dapat mengontrol tekanan darah. terapi modifikasi gaya hidup merupakan upaya pencegahan primer yang dipercaya dapat mengontrol tekanan darah bahkan tanpa obat anti hipetensi terutama pada pre hipertensi atau pada kondisi tidak ada bukti kerusakan organ terget (ike et al., 2010). jika pasien patuh diet menggunakan panduan diet dash (dietary approaches to stop hypertension) maka akan mempuyai efek yang sama dengan menggunakan terapi obat tunggal untuk hipertensi, dan kombinasi dua atau lebih modifikasi gaya hidup dapat mencapai hasil yang lebih baik (sacks fm, et al., 2001) terapi non famakologis (modifikasi gaya hidup) telah terbukti dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko komplikasi penyakit jantung, digunakan sendiri atau dikombinasikan. hal tersebut berdasarkan penelitian randomised controlled trial. modifikasi gaya hidup dapat mengurangi kejadian hipertensi dan meningkat efektifitas obat anti hipertensi (beilin lj, 2004). modifikasi gaya hidup termasuk menurunkan berat badan, penurunan berat 5 kg atau lebih dapat menurunkan tekanan darah. latihan fisik ringan, seperti jalan cepat atau berenang dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-8 mmhg. diet rendah garam, diet buah-buahan dan sayuran, mengurangi kosumsi alkohol dan berhenti merokok mempunyai korelasi yang signifikan terhadap penurunan tekanan darah (ike et al., 2010). meskipun terapi modifikasi gaya hidup telah terbukti mampu menurunkan tekanan dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. kepatuhan terapi menjadi perhatian saat ini. pasien yang tidak patuh menjalankan terapi dapat mengakibatkan komplikasi medis, psikososial, menurunkan kualitas hidup, meningkatkan beban biaya perawatan kesehatan (wong mcs, et al., 2008; wong mcs., et al., 2013). prevalensi kepatuhan terapi hipertensi bervariasi antara 50 % sampai dengan 70 %. kepatuhan yang technique was used to select the subjects. the questionnaire included information about demographic characteristics, knowledge, practice of lifestyle-modification measures. the associations between adherence to lifestyle modification and independent variables were analyzed by using chi square and multivariate logistic regression analysis. 140 hypertensive patients participated in the study (60 men, 80 women). the prevalence of adherence was 28.6%. the level of knowledge was significant associated with adherence to recommended lifestyle modifications (p = 0.00). genders , age, and educational level were no significant associated with to recommended lifestyle modifications (p= 0.06; p=0.21; p=0.87). the knowledge was significantly associated with the adherence of recommended lifestyle modifications of hypertensive patients. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p256-263 258 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 256–263 baik ber korelasi dengan tekanan da rah yang terkontrol atau normal dan menurunkan komplikasi penyakit hipertensi. oleh karena itu mengidentifikasi tingkat kepatuhan sangat penting untuk meningkatkan penatalaksanaan terapi dan mengontrol tekanan darah (kang et al., 2015). kepatuhan terapi modifikasi gaya hidup dipengaruhi oleh beberapa faktor. menurut penelitian yang dilakukan oleh kang et al., (2015) dan ike et al., (2010) faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penatalaksanaan dan modifikasi gaya hidup antara lain, usia, jenis kelamin, dan tingkat pengetahuan. hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa usia, pengetahuan, dan lama menderita hipertesi mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepatuhan modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis sedangkan jenis kelamin tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepatuhan modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis. penelitian ini berfokus pada determinan faktor yang mempengaruhi kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi. penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi tidak patuh melaksanakan modifikasi gaya hidup sehingga intervensi yang diharapkan dapat tercapai dan mengurangi beban biaya perawatan pasien hipertensi. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan faktor yang berhubungan dengan rekomendasi modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi primer di pukesmas kota malang. bahan dan metode penelitian ini menggunakan analitik observasional dengan pendekatan cross sectional dilakukan dari bulan juli sampai dengan agustus 2019 di pukesmas dinoyo kota malang. poupulasi dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi yang berobat di pukesmas dinoyo dengan kriteria inklusi: pasien hipertensi usia 40-74 tahun yang sedang menjalankan terapi hipertensi minimal 6 bulan. kriteria ekslusi: pasien hipertensi yang menolak menjadi responden dan terdapat gangguan kognitif. sampel yang digunakan 140 responden diambil dengan teknik consecutive sampling. kuesioner yang digunakan meliputi: karakteristik demografi (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan), pengetahuan dan rekomendasi mofifikasi gaya hidup pasien hipertensi. instrumen tersebut diadopsi dari penelitian (tibebu & mengistu, 2017). analisis data yang digunakan adalah uji chi square dan analisis regresi logistik. hasil penelitian penelitian ini dilaksanakan bulan juli sampai dengan bulan agustus 2019 dengan menggunakan subyek penelitian 140 responden hipertensi primer di pukesmas dinoyo kota malang. variabel frekuensi persentase n= (140) (%) jenis kelamin wanita 80 57,1 laki-laki 60 42,9 tingkat pengetahuan tinggi 72 51,4 rendah 68 48,6 tingkat pendidikan tinggi 20 14,3 rendah 120 85,7 usia 40-59 83 59,3 60-74 57 40,7 modifikasi gaya hidup patuh 40 28,6 tidak patuh 100 71,4 diet patuh 64 45,7 tidak patuh 76 54,3 tidak merokok patuh 126 90,0 tidak patuh 14 10,0 latihan fisik patuh 59 42,1 tidak patuh 81 57,9 sumber: data primer tabel 1 karateristik responden hasil penelitian pada tabel 1 menunjukan bahwa dari 140 responden, sebagian besar responden adalah wanita 80 (57%), tingkat pengetahuan kategori tinggi 72 (51,4%), sedangkan tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah rendah 120 (85,7%). usia responden sebagian besar antara 4059 yaitu 83 (59,3%). responden yang patuh melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup hanya 40 (28,6%). kepatuhan rekomendasi gaya hidup termasuk diet, tidak merokok, dan latihan fisik. hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang patuh diet 64 (45,7%), patuh tidak merokok 126 (90%), dan patuh latihan fisik 59 (42,1%). 259qodir, analisis faktor determinan yang berhubungan dengan ... rekomendasi modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi. sedangkan untuk variabel tingkat pengetahuan didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup (p=0,00; or=4,9; ik= 2,14-11,5). jenis kelamin wanita 18 (22,5) 62 (77,5) 0,06 1,2 0,24 1,05 laki-laki 22 (36,7) 38 (63,3) usia 40-59 27 (32,5) 56 (67,5) 0,21 1,6 0,76 3,53 60-74 13 (22,8) 44 (77,2) tingkat pendidikan tinggi 6 (30,0) 14 (70,0) 0,87 1,1 0,34 3,05 rendah 34 (28,3) 86 (71,7) tingkat pengetahuan tinggi 31 (43,1) 41 (56,9) 0,00 4,9 2,14 11,5 rendah 9 (13,2) 59 (86,8) tabel 2 hasil analisis bivariat faktor yang mempengaruhi kepatuhan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi (n = 140) variabel modifikasi gaya hidup pvalue or ik 95% patuh n (%) tidak patuh n (%) min mak uji chi square hasil penelitian pada tabel 2 analisis uji bivariat yang menggunakan chi square didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan jenis kelamin p=0,06; or = 1,2; ik= 0,24-1,05), usia (p=0,21; or = 1,6; ik = 0,76-3,53), dan tingkat pendidikan (p=0,87; or=1,1; ik= 0,34-3,05) dengan kepatuhan koefisien wald p-value or ik (95%) min mak pengetahuan 1,601 13,9 0,00 4,9 2,1 11,5 constant -1,880 27,6 0,00 0,2 uji regresi logistik tabel 3 analisis regresi logistik (n = 140) hasil analisis regresi logistik didapatkan bahwa va r ia bel pengeta hua n mempunya i kekua ta n hubungan yang paling tinggi dibandingkan dengan variabel jenis kelamin, usia, dan tingkat pendidikan dengan nilai or 4,9; ik 2,1-11,5. pembahasan hasil penelitian pada tabel 1 menunjukan bahwa dari 140 responden, 80 (57 %) merupakan responden wanita, temuan ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya bahwa prevalensi hipertensi lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki (akhter n., 2010; gudina k, et al., 2014; okwuonu cg et al., 2014). akan tetapi temuan penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (tibebu & mengistu 2017). penelitian tersebut menemukan bahwa laki-laki lebih tinggi yaitu 210 (52 %) dari 404 responden. perbedaan prevalensi hipertensi pada temuan penelitian diatas dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya budaya, gaya hidup setiap daerah atau negera yang berbeda-beda. dari beberapa penelitian menemukan bahwa wanita lebih tinggi angka prevalensinya dibandingkan dengan laki-laki. penelitian ini menggunakan subyek penelitian rentang usia 40-74 tahun, usia tersebut merupakan 260 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 256–263 masa terjadinya menopause. wanita yang menopause berisiko lebih tinggi mengalami beberapa penyakit degeneratif termasuk hipertensi. hasil penelitian menunjukan bahwa dari 140 responden, usia 40-59 tahun terdapat 83 (59,3%). hipertensi merupakan penyakit degeneratif yang terjadi pada usia dewasa dan lanjut usia. hasil penelitian ini juga sama dengan studi yang dilakukan oleh (yang et al., 2016). hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa rata-rata usia penderita hipertesi adalah 56,4 tahun. tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia, hal tersebut diduga adanya penurunan compliance, penurunan sesitifitas baroreseptor, keseimbangan antara vasodilatasi adrenergik-ß dan vasokonstriksi adrenergik-a akan mengakibatkan vasokontriksi sehingga berdampak pada peningkatan tekanan darah (rigaud as, forette b. 2001). temuan penelitian ini menunjukan bahwa responden lebih banyak berpendidikan rendah 120 (85%) akan tetapi tidak sejalan dengan hasil penelitian dengan variabel tingkat pengetahuan. tingkat pengetahuan lebih banyak dengan kategori tinggi yaitu 72 (51,4%). temuan hasil penelitian ini diduga berkaitan dengan usia, riwayat hipertensi pada keluarga (guillen, 2018). hasil penelitian juga menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan pasien hipertensi. kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pada penelitian ini meliputi diet, latihan fisik dan tidak merokok. hasil penelitian yang tersaji pada tabel 1 didapatkan bahwa kepatuhan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi hanya 40 (28,6%). hasil temuan penelitian lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan di biejing, china 43,5% (yang et al., 2016), tetapi hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh tibebu & mengistu, (2017) yang mendapatkan hanya 29,7 di ethiopia. studi di negeria mendapatkan bahwa responden patuh modifikasi gaya hidup lebih dari 50 %. di indonensia ratarata masih dibawah 50 % seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh (hardiyanti, amiruddin, & masni, 2016). kepatuhan diet kepatuhan diet dalam penelitian ini meliputi kepatuhan makan buah-buahan, lemah jenuh tinggi, makanan pedas, dan makanan yang mengandung garam tinggi (asin). hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang patuh diet yaitu 64 (45,7%). hasil temuan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (sari & utami, 2017) yang mendapatkan 26 (35,6) tidak patuh diet. kepatuhan tidak merokok pada penelitian ini kepatuhan tidak merokok diukur berdasarkan pada tidak ada riwayat merokok, berhenti merokok setelah terdiagnosa hipertensi. hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang patuh tidak merokok (tidak ada riwayat merokok dan berhenti merokok setelah terdiagnosa hipertensi) sebesar 126 (90%) berbanding 14 (10%) responden yang tetap merokok meskipun terdiagnosa hipertensi. hasil temuan ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya baik di indonesia maupun diluar negeri. hasil penelitian yang dilakukan oleh hardiyanti et al., (2016) di kabupaten bone yang mendapatkan bahwa dari 310 sebanyak 55 (17,7%) yang merokok. sejalan dengan temuan tersebut penelitian yang dilakukan oleh tibebu & mengistu, (2017) juga mendapatkan hasil 57 (41%) yang tetap merokok dan 26 (45,6%) tidak berusaha untuk berhenti merokok setelah terdiagnosa hipertensi. latihan fisik penelitian ini mengukur kepatuhan latihan fisik sesuai dengan rekomendasi dari jnc 8 yaitu melakukan aktifitas fisik minimal 3 kali setiap minggu dengan durasi minimal 30 menit setiap kali melakukan aktifitas fisik. hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang patuh melakukan aktifitas fisik adalah 59 (42,1%) berbanding dengan responden yang tidak patuh 81 (57,9%). hasil penelitian ini lebih tinggi dengan penelitian yang di surabaya oleh putriastuti, (2016) menemukan 44 (45,4 %) yang melakukan aktifitas fisik, akan tetapi penelitian tersebut menggunakan responden penderita hipertensi dan tidak hipertensi. hasil penelitian sebelumnya juga menunjukan bahwa rata-rata kepatuhan melakukan aktifitas fisik berkisar 50% seperti penelitian (amaral et al., 2015; yang et al., 2016; tibebu & mengistu, 2017) 261qodir, analisis faktor determinan yang berhubungan dengan ... analisis faktor determinan yang mempengaruhi modifikasi gaya hidup tabel 2 menunjukan hasil penelitian hubungan faktor-faktor yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidika n, dan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi. hasil penelitian menunjukan bahwa wanita tidak patuh melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup sebesar 62 (77,5%) sedangkan laki-laki 38 (63,3). wanita berpeluang lebih tinggi untuk tidak patuh melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup dengan nilai or = 1,2; ik 0,24-1,05. meskipun hasil analisis didapatkan nilai p = 0,06 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kepatuhan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi. hasil penelitian ini sejalan dengan sebagian besar penelitian sebelumnya diberbagai negara bahwa jenis kelamin tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepatuhan rekomendasi modifkasi gaya hidup, seperti penelitian yang dilakukan oleh (ike et al., 2010; amaral et al., 2015; yang et al., 2016; tibebu & mengistu, 2017). peneliti mengambil subyek penelitian dengan rentang usia 40-74 tahun yang dikategorikan menjadi dua kelompok. hasil penelitian menunjukan bahwa r esponden ya ng tida k pa tuh mela ksa na ka n rekomendasi modifikasi gaya hidup usia 60-74 tahun terdapat 44 (77,2%) sedangkan usia 40-59 tahun terdapat 56 (67,5%). meskipun hasil analisis chi square didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan usia dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pada pasien hiepertensi (p=0,21) akan tetapi usia 60-74 tahun berpeluang lebih tinggi tidak patuh melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup dengan nilai or = 1,6; ik 0,76-3,53. hasil penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh kang et al., (2015) bahwa usia mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepatuhan penatalaksanaan hipertensi, akan tetapi penelitian tersebut kepatuhan terhadap terapi farmakologis. hasil penelitian tibebu & mengistu, (2017) juga menyebutkan responden dengan rentang usia 40-59 tahun tingkat kepatuhan melaksankan rekomendasi gaya hidup lebih tinggi dibandingkan dengan usia lebih dari 60 tahun yaitu sebesar 56,9% berbanding 34,1%. hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden baik yang rendah maupun yang tinggi sebagian besar tidak patuh melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup 71,7 % berbanding 70%. hasil analisis chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan tingkat pendidikan dengan kepatuhan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi (p= 0,87); or = 1,1; ik 0,34-3,05. penilitian ini sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh yang et al., (2016) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pasien hipertensi. penelitian sebelumnya lebih banyak membandingkan pendidikan kesehatan secara tidak formal, formal, tataran primer, sekunder dan tersier. hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa responden yang mendapatkan pendidikan kesehatan secara formal mempunyai tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap rekomendasi modifikasi gaya hidup (ike et al., 2010; amado guirado, pujol ribera, pacheco huergo, & borras, 2011; tibebu & mengistu, 2017) penelitian ini menemukan bahwa responden yang mempunyai tingkat pengetahuan tinggi patuh melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan rendah (31 (43,1%) berbanding 9 (13,2)). hasil analisis chi square didapatkan nilai p=0,00 yang berarti ada hubungan yang signifikan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi. hal ini juga diperkuat dengan nilai or = 4,9; ik 2,14-11,5 yang mempunyai arti bahwa responden yang mempunyai tingkat pengetahuan tinggi lebih patuh melaksanakan 4,5 besar dibandingkan dengan tingkat pengetahuan rendah. hasil analisis regresi logistik juga didapatkan bahwa variabel pengetahuan mempunyai kekuatan hubungan yang paling tinggi or 4,957; ik 2,13511,508. hipertensi merupakan penyakit kronis yang dapat menyebabkan komplikasi serius jika tidak dapat mengontrol tekanan darah. penatalaksanaan hipertensi meliputi pengobatan farmakologis dan non famakologis. terapi tesebut sudah terbukti dapat mengontrol tekanan darah dengan baik. hasil penelitian menunjukan bahwa kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup masih sangat rendah. hal ini diduga menyababkan pasien gagal mengontrol tekanan darah. hasil penelitian menunjukan bahwa kepatuhan melaksankan rekomendasi gaya hidup dipengaruhi oleh tingkat pengatahuan sejalan dengan penelitian262 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 256–263 penelitian sebelumnya yang dilakukan dibeberapa negera (tibebu & mengistu, 2017; yang et al., 2016; kang et al., 2015). peran perawat sangat penting dalam memberikan pendidikan kesehatan sebagai upaya meningkatkan pengetahuan pasien sehingga berdampak pada kepatuhan melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa responden wanita 80 (57,1%), tingkat pengetahuan dengan kategori tinggi 72 (51,4%), tingkat pendidikan responden lebih banyak kategori rendah 120 (85,7) dan rentang usia mayoritas 40-59 tahun sebesar 83 (59,3%). kepatuhan modifikasi gaya hidup masih rendah 40 (28,6%). terdapat hubungan yang signifikan tingkat pengetahuan dengan rekomendasi modifikasi gaya hidup dan tidak ada hubungan yang signifikan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan usia dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pasien hipertensi. tingkat pengetahuan mempunyai hubungan yang paling kuat dengan kepatuhan rekomendasi modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi. saran berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan perawat di puskesmas dinoyo kota malang memberikan pendidikan kesehatan pada pasien hipertensi sehingga dapat meningkatkan pengetahuan pasien yang akan berdampak pada kepatuhan melaksanakan rekomendasi modifikasi gaya hidup daftar pustaka akhter n. (2010) self-management among patients with hypertension in banagladesh. prince of songkla university, banagladesh; 2010. amado guirado, e., pujol ribera, e., pacheco huergo, v., & borras, j. m. (2011). knowledge and adherence to antihypertensive therapy in primary care: results of a randomized trial. gaceta sanitaria, 25(1), 62– 67. https://doi.org/10.1016/j.gaceta.2010.09.015 amaral, o., chaves, c., duarte, j., coutinho, e., nelas, p., & preto, o. (2015). treatment adherence in hypertensive patients-a cross-sectional study-nc-nd license (http://creativecommons.org/licenses/bync-nd/4.0/). peer-review under responsibility of the organizing committee of. odete amaral et al. / procedia-social and behavioral sciences, 171, 1288–1295. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.01. 243 beilin lj (2004). lifestyle modification in overweight hypertensives.clin exp hypertens 2004;26:737–44 guillen, m. h. j. l. (2018). factors associated with the level of knowledge about hypertension in primary care patients. medicina universitaria, 19(77), 184– 188. https://doi.org/10.1016/j.rmu.2017.10.008 gudina k, bonsa f, gudina ek, hajito kw (2014) original article prevalence of hypertension and associated factors in bedele town, southwest ethiopia. ethiop j heal sci. 2014;24(6):21–26. hardiyanti, amiruddin, r., & masni. (2016). kepatuhan minum obat terhadap status hipertensi di wilayah kerja puskesmas bajoe kabupaten bone tahun 2016. jst kesehatan, 6(2252-5416), 375–380. ike, s. o., aniebue, p. n., & aniebue, u. u. (2010). knowledge, perceptions and practices of lifestylemodification measures among adult hypertensives in nigeria. transactions of the royal society of tropical medicine and hygiene, 104(1), 55–60. https://doi.org/10.1016/j.trstmh.2009.07.02 kang, c. d., tsang, p. p. m., li, w. t. l., wang, h. h. x., liu, k. q. l., griffiths, s. m., & wong, m. c. s. (2015). determinants of medication adherence and blood pressure control among hypertensive patients i n hon g kong: a cr oss-sect ion a l st udy. international journal of cardiology, 182(c), 250– 257. https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2014.12.06 lim, s.s., vos, t., flaxman, a.d., et al., (2013). a comparative risk assessment of burden of disease and injury attributable to 67 risk factors and risk factor clusters in 21 regions, 1990–2010: a systematic analysis for the global burden of disease study 2010. lancet 380 (9859), 2224–2260 okwuonu, c. g., ojimadu, n. e., okaka, e. i., & akemokwe, f. m. (2014). patient-related barriers to hypertension control in a nigerian population. international journal of general medicine, 7, 345–353. https:// doi.org/10.2147/ijgm.s63587 putriastuti, l. (2016). analisis hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kejadian hipertensi pada pasien usia 45 tahun keatas. jurnal berkala epidemiologi, 4(2), 225–236. h t tps: / /doi .or g/ 10. 20473/ jbe.v4i2.2016.225 sacks fm, svetkey lp, vollmer wm, appel lj, bray ga, harsha d, et al.(2001) dash-sodium collaborative research group. effects on blood pressure of reduced dietary sodium and the dietary approaches to stop hypertension (dash) diet.n engl j med2001;344:3–10. https://doi.org:10.1056/ nejm200101043440101 sari, d., & utami, g. t. (2017). hubungan motivasi diri terhadap kepatuhan melaksanakan diet pada penderita hipertensi delima sari 1 , safri 2 , gamya tri utami 3, 580–588. rigaud as, forette b. (2001) hypertension in older adults. j gerontol 2001;56a:m217-5 263qodir, analisis faktor determinan yang berhubungan dengan ... tibebu, a., & mengistu, d. (2017). adherence to recommended lifestyle modifications and factors associated for hypertensive patients attending chronic follow-up units of selected public hospitals in addis ababa , ethiopia, 323–330. wong, m. c. s., jiang, j. y., tang, j. l., lam, a., fung, h., & mercer, s. w. (2008). health services research in the public healthcare system in hong kong: an analysis of over 1 mil lion antihyper tensive prescriptions between 2004-2007 as an example of the potential and pitfalls of using routinely collected electronic patient data. bmc health services research, 8, 1–9. https://doi.org/10.1186/1472-69638-138 wong mcs, liu kql, wang hhx, lee cls, kwan mwm, lee kw, et al (2013) effectiveness of a pharmacist-led drug counseling on enhancing antihypertensive adherence and blood pressure control: a randomized controlled trial. j clin pharmacol 2013;53:753-6. https://doi.org/10.1002/ jcph.101 yang, s., he, c., zhang, x., sun, k., wu, s., sun, x., & li, y. (2016). determinants of antihypertensive adherence among patients in beijing: application of the health belief model. patient education and counseling, 99(11), 1894–1900. https://doi.org/ 10.1016/j.pec.2016.06.014 251putri, analisis faktor penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir 251 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk info artikel sejarah artikel: diterima, 27/05/2019 disetujui, 09/09/2019 dipublikasi, 15/04/2019 kata kunci: asfiksia, bayi baru lahir, faktor penyebab abstrak asfiksia neonatorum merupakan keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur setelah lahir. hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus, dan mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. angka kejadian bayi dengan asfiksia di indonesia masih berkisar 37 % pada tahun 2013. terjadinya peningkatan trend kejadian asfiksia pada bayi baru lahir sebesar 0,5-1,3% pada tahun 2012-2014 di rumah sakit aura syifa kabupaten kediri. tujuan dilakukan penelitian ini untuk membuktikan faktor penyebab ibu, faktor talipusat, faktor bayi, dan faktor lain yang berhubungan terhadap kejadian asfiksia. rancangan penelitian ini adalah cross sectional. besar sampel penelitian 200 bayi baru lahir yang asfiksia, diambil secara random sampling, pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi rekam medis. data dianalisis menggunakan analisis univariat, bivariat dengan uji chi square dan multivariate dengan uji regresi logistic berganda. pada penelitian ini didapatkan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian asfiksia adalah variabel solusio plasenta, lilitan talipusat, simpul talipusat, paritas, dan bblr. variabel kelainan letak merupakan faktor dominan terhadap kejadian asfiksia dengan nilai or 1,772. artinya ibu dengan kelainan letak memiliki resiko 1,7 kali lebih besar untuk melahirkan bayi asfiksia dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami kelainan letak setelah dikontrol dengan variabel bblr, solusio plasenta,dan simpul talipusat. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: akademi kebidanan medika wiyatajawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: nuritanilasari01@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v6i1.art.p251–262 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) nurita nilasari bunga kharisma arifiana putri prodi kebidanan, akademi kebidanan medika wiyata kediri, indonesia analisis faktor penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 252 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 251–262 abstract neonatal asphyxia is a state in which the baby can not breathe spontaneously and regularly after birth. this is caused by hypoxia fetus in the uterus, and result in high morbidity and mortality in newborns. the incidence of neonatal asphyxia in indonesia is still around 37% in 2013. the trend improvement happen asphyxia in newborns of 0.5 to 1.3% in 2012 to 2014 in the aura syifa hospital kediri. the purpose of this study to prove the causes of maternal, umbilical cord factors, infant factors, and other factors related to asphyxia. the study design was cross-sectional. sample study of 200 newborns asphyxia, taken by random sampling, data was collected from medical record documentation study. data were analyzed using univariate, bivariate with chi square test and multivariate logistic regression test. variables influencing the asphyxia in this study are variable placental abruption, winding umbilikal cord, knot umbilikal cord, parity, and low birth weight, abnormalities location variable layout is a dominant factor against asphyxia with or 1.772. this means that mothers with the disorder lies the risk 1.7 times more likely to give birth asphyxia compared with women who did not experience abnormal location after controlling for variables low birth weight, placental abruption, and knot umbilikal cord. analysis of factors causing of asphyxia in newborns article information history article: received, 27/05/2019 accepted, 09/09/2019 published, 15/09/2019 keywords: asphyxia, newborn baby, causes 253putri, analisis faktor penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir pendahuluan asfiksia neonatorum merupakan suatu kondisi bayi tidak dapat segera bernapas secara spontan dan teratur setelah dilahirkan. penyebab dari hal ini adalah terjadinya hipoksia pada janin di dalam uterus. hipoksia ini berhubungan dengan faktor yang timbul saat persalinan, atau segera setelah bayi lahir, (prawirohardjo, 2006). asfiksia bayi baru lahir merupakan satu diantara penyebab kematian bayi baru lahir di negara sedang berkembang. diperkirakan 130 juta bayi baru lahir tiap tahunnya di seluruh dunia, 4 juta pada usia 28 hari pertama kehidupan, ¾ bayi meninggal pada minggu pertama dan ¼ bayi meninggal pada usia 24 jam pertama kehidupan (hassan dan alatas, 2005) menurut badan kesehatan dunia (who) tahun 2002, angka kematian bayi menjadi indicator pertama dalam menentukan derajat kesehatan anak dan setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir mengalami asfiksia hampir 1 juta bayi meninggal. berdasarkan data kementerian kesehatan tahun 2013kuranglebih 146.000 bayi usia 0–1 tahun dan 86.000 bayi baru lahir (0-28 hari) meninggal setiap tahun di indonesia. akb di indonesia adalah sekitar 32 per 1000 kelahiran hidup (kementerian kesehatan, 2013). penyebab kematian perinatal (0-7 hari) yang terbanyak adalah respiratory disorders (35,9%) dan premature (32,3%). sedangkan untuk usia 7– 28 hari penyebab kematian yang terbanyak adalah sepsis neonator ium (20, 5%) da n congenital malformation (18,1%). (riset kesehatan dasar, 2007). berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh djaja’ (2002), angka kematian bayi baru lahir di indonesia menurut sdki 2002/2003 adalah 20/ 1000 kelahiran hidup, salah satu penyebab utama kematian bayi baru lahir adalah asfiksia. di indonesia prevalensi asfiksia sekitar 3% kelahiran atau setiap tahunnya sekitar 144/900 kelahiran dengan asfiksia sedang dan berat. faktor yang berkaitan dengan kejadian asfiksia yaitu faktor ibu, faktor bayi, dan faktor tali pusat (hartatik et al. pengaruh umur kehamilan pada bayi baru lahir dengan kejadian asfiksia di rsud dr. moewardi surakarta.h.71). berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan februari 2016 di rumah sakit aura syifa kabupaten kediri terhadap 1.039 persalinan. berdasarkan data tentang persalinan di rumah sakit aura syifa kabupaten kediri selama periode januari– desember 2015 sebanyak 439 persalinan, diperoleh data bahwa sebanyak 391 atau 89% bayi baru lahir mengalami asfiksia,sebanyak 35 atau 7,97% bayi tidak mengalami asfiksia, dan sebanyak 13 atau 2,9% bayi mengalami intra uterin fetal death (iufd). hal ini menunjukkan masih tingginya kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di rumah sakit aura syifa kabupaten kediri tahun 2016. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan menggunakan catatan rekam medis, terdiri dari faktor ibu (pre eklamsia/ eklamsia, perdarahan abnormal plasenta previa dan solusio plasenta, postdate), faktor tali pusat (lilitan talipusat dan simpul talipusat), faktor bayi (premature, letak sunsang), dan faktor lain (usia ibu, paritas, dan bblr). penelitian dilakukan secara cross sectional dengan mengambil subjek untuk meneliti dalam satu waktu yang bersamaan. sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagian bayi baru lahir yang mengalami asfiksia periode bulan januaridesember 2015 di rumah sakit aura syifa kab. kediri yaitu sebanyak 200bayi baru lahir. teknik samping yang digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling jenis random sampling, yaitu pengambilan sample secara acak. instrumen penelitian mengguanakan lembar daftar tilik, pengolahan data editing, coding, entri data dan cleasing, analisis data yaitu univariat, bivariat dengan menggunakan uji chi square dan multivariate dengan menggunakan uji regresi logistic berganda. hasil penelitian analisis univariat distribusi kejadian asfiksia terjadi asfiksia 89% tidak terjadi asfiksia 11% di stribusi kejadi an asfi ksi a gambar 1 karakteristik responden berdasakan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir 254 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 251–262 ibu dengan pre eklamsia/ eklamsia adalah 37,9%. p=0,204 berarti tidak ada beda proporsi yang signifikan dan tidak ada hubungan antara pre eklamsia/ eklamsi dengan kejadian asfiksia berdasarkan analisis bivariat antara faktor ibu (perdarahan abnormal/ plasenta previa) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit ibu yaitu perdarahan abnormal berdasarkan gambar 1 tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 439 bayi baru lahir di rs aura syifa ka b.kedir i periode januari-desember 2015, sebagian besar sebanyak 391 bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square berdasarkan analisis bivariat antara faktor ibu (pre eklampsia/ eklampsia) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit ibu yaitu pre eklamsia/ eklamsia sebagian besar sebanyak 18 atau 62,0% bayi yang dilahirkan tidak mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu tidak dengan pre eklamsia/ eklamsia adalah 97,6%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % pre eklamsia/ eklamsia tidak terjadi 4 2,3 167 97,6 171 100 0,764 0,204 terjadi 18 62,0 11 37,9 29 100 (0,340–1,715) tabel 1 distribusi berdasarkan kejadian pre eklamsia/eklamsia pada ibu bersalin di rs aura syifa kab. kediri faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % plasenta previa tidak terjadi 3 1,5 187 98,4 190 100 2,019 terjadi 4 40 6 60 10 100 (0,552-7,387) 0,566 tabel 2 distribusi berdasarkan kejadian plasenta previa pada ibu bersalin di rs aura syifa kab. kediri intrapartum plasenta previa sebagian besar sebanyak 6 atau 60% bayi yang dilahirkan mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan tidak plasenta previa adalah 98,4%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan plasenta previa adalah 60%. p=0,566 berarti tidak ada beda proporsi yang signifikan dan tidak ada hubungan antara plasenta previa dengan kejadian asfiksia. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % solusio plasenta tidak terjadi 1 0,5 197 99,4 198 100 1,302 0,000 terjadi 1 50 1 50 2 100 (0,080-21,119) tabel 3 distribusi berdasarkan kejadian solusio plasenta pada ibu bersalin di rs aura syifa kab. kediri 255putri, analisis faktor penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir berdasarkan analisis bivariat antara faktor ibu (perdarahan abnormal/ solusio plasenta) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit ibu yaitu perdarahan abnormal intrapartum solusio plasenta sebagian besar sebanyak 13 atau 65% bayi yang dilahirkan tidak mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu tidak dengan solusio plasenta adalah 99,4%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan solusio plasenta adalah 50%. p=0,000 berarti ada beda proporsi yang signifikan dan ada hubungan antara solusio plasenta dengan kejadian asfiksia. or= 1,3 berarti ibu dengan solusio plasenta berpeluang mengalami kejadian asfiksia 1,3 kali lebih besar. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % postmatur tidak terjadi 3 1,6 177 98,3 180 100 0,673 0,326 terjadi 13 65 7 35 20 100 (0,256-1,766) tabel 4 distribusi berdasarkan kejadian postmatur pada ibu bersalin di rs aura syifa kab. kediri berdasarkan analisis bivariat antara faktor ibu (postmatur) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit ibu yaitu postmatur sebagian besar sebanyak 13 atau 65% bayi yang dilahirkan juga termasuk dalam kategori tidak mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu tidak dengan postmatur adalah 98,3%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan postmatur adalah 35%. p=0,326 berarti tidak ada beda proporsi yang signifikan dan tidak ada hubunga n antara postmatur dengan kejadian asfiksia. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % lilitan talipusat tidak terjadi 3 1,6 179 98,3 182 100 0,811 0,027 terjadi 11 61,1 7 38,8 18 100 (0,301–2,188) tabel 5 distribusi berdasarkan kejadian lilitan talipusat pada bayi baru lahir di rs aura syifa kab.kediri berdasarkan analisis bivariat faktor talipusat (lilitan talipusat) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit talipusat yaitu lilitan talipusat sebagian besar sebanyak 11 atau 61,1% bayi yang dilahirkan tidak mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu tidak dengan lilitan talipusat adalah 98,3%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan lilitan talipusat adalah 35%. p=0,027 berarti ada beda proporsi yang signifikan dan ada hubungan antara lilitan talipusat dengan kejadian asfiksia. or=0,811 yang berarti bahwa ibu yang tidak terjadi lilitan talipusat mempunyai 1,2 kali peluang dibandingkan yang terjadi dengan lilitan talipusat. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % simpul talipusat tidak terjadi 1 0,5 193 99,5 194 100 1,310 0,000 terjadi 3 50 3 50 6 100 (0,258–6,652) tabel 6 distribusi berdasarkan kejadian simpul talipusat pada bayi baru lahir di rs aura syifa kab. kediri 256 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 251–262 berdasarkan analisis bivariat antara faktor talipusat (simpul talipusat) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit talipusat yaitu simpul talipusat, setengahnya sebanyak 3 atau 50% bayi yang dilahirkan termasuk dalam katergori tidak terjadi asfiksia, dan setengahnya lagi yaitu sebayak 3 atau 50% bayi yang dilahirkan mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu tidak dengan simpul talipusat adalah 99,5%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan lilitan talipusat adalah 50%. p=0,000 berarti ada beda proporsi yang signifikan dan ada hubungan antara simpul talipusat dengan kejadian asfiksia. or=1,310 yang berarti bahwa ibu yang terjadi simpul talipusat mempunyai 1,3 kali peluang dibandingkan yang tidak terjadi simpul talipusat. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % prematur tidak terjadi 3 1,6 181 98,3 184 100 0,406 1,673 terjadi 12 75 4 25 16 100 (0,126–1,305) tabel 7 distribusi berdasarkan kejadian premature pada bayi baru lahir di rs aura syifa kab. kediri berdasarkan ananalisis bivariat faktor penyakit bayi (prematur) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit bayi yaitu prematur sebagian besar sebanyak 12 atau 75% bayi yang dilahirkan tidak mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada bayi tidak dengan prematur adalah 98,3%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada bayi dengan prematur adalah 25%. p=1,673 berarti tidak ada beda proporsi yang signifikan dan tidak ada hubungan antara prematur dengan kejadian asfiksia. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % kelainan letak tidak terjadi 8 4,9 153 95,0 161 100 1,679 1,619 terjadi 19 48,7 20 51,1 39 100 (0,831-3,394) tabel 8 distribusi berdasarkan kejadian kelainan letak pada bayi baru lahir di rs aura syifa kab. kediri berdasarkan analisis bivariat antara faktor penyakit bayi (kelainan letak) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor penyakit bayi yaitu kelainan letak sebagian besar sebanyak 20 atau 51,1% bayi yang dilahirkan termasuk dalam kategori beresiko terjadi asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada bayi tidak dengan kelainan letak adalah 95,0%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada bayi dengan kelainan letak adalah 51,1%. p=1,619 berarti tidak ada beda proporsi yang signifikan dan tidak ada hubungan antara kelainan letak dengan kejadian asfiksia. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % usia ibu bersalin tidak beresiko 2 1,1 173 98,8 175 100 1,231 0,073 beresiko 13 52 12 48 25 100 (0,531–2,850) tabel 9 distribusi berdasarkan usia ibu bersalin di rs aura syifa kab.kediri 257putri, analisis faktor penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir multivariat dari tabel 12, ke empat variabel tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfiksia. dapat diketahui bahwa variabel kelainan letak merupakan faktor dominan terhadap kejadian asfiksia. hal ini berdasarkan nilai dari variabel kelainan letak yang memiliki tingkat resiko lebih besar untuk melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan dengan variabel lainnya, yaitu nilai or sebesar 1,772 (95% ci 0,862-3,642), setelah dikontrol oleh variabel bblr, solusio plasenta, dan simpul talipusat. berdasarkan analisis bivariat faktor lain yang berhubungan (usia ibu) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor lain yang berhubungan dengan kejadian asfiksia yaitu usia ibu bersalin sebagian besar sebanyak 13 atau 52% bayi yang dilahirkan tidak mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan usia tidak beresiko adalah 98,8%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan usia beresiko adalah 48%. p=0,073 berarti tidak ada beda proporsi yang signifikan dan tidak ada hubungan antara usia ibu bersalin dengan kejadian asfiksia. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % paritas tidak beresiko 3 1,6 185 98,9 187 100 1,122 0,000 beresiko 7 53,8 6 46,1 13 100 (0,363-3,466) tabel 10 distribusi berdasarkan paritas ibu di rs aura syifa kab. kediri berdasarkan analisis bivariat antara faktor lain yang berhubungan (jumlah paritas) dengan kejadian asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor lain yang berhubungan yaitu jumlah paritas ibu bersalin dengan kejadian asfiksia sebagian besar sebanyak 7 atau 53,8% bayi yang dilahirkan tidak beresiko mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan paritas tidak beresiko adalah 98,9%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada ibu dengan paritas beresiko adalah 46,1%. p=0,000 berarti ada beda proporsi yang signifikan dan ada hubungan antara simpul talipusat dengan kejadian asfiksia. or=1,122 yang berarti bahwa ibu yang dengan paritas beresiko mempunyai 1,1 kali peluang dibandingkan yang tidak dengan paritas beresiko. faktor penyebab kejadian asfiksia total or (95% ci) p valuetidak terjadi terjadi n % n % n % bblr tidak terjadi 5 2,8 172 96,6 178 100 1,093 0,000 terjadi 12 54,5 10 45,4 22 100 (0,449-2,662) tabel 11 distribusi berdasarkan kejadian bblr pada bayi baru lahir di rs aura syifa kab. kediri berdasarkan analisis bivariat antara faktor lain yang berhubungan (bblr) dengan kejadia asfiksia, dapat diinterpretasikan bahwa dari faktor lain yang berhubungan yaitu bblr dengan kejadian asfiksia sebagian besar sebanyak 12 atau 54,5% bayi yang dilahirkan tidak beresiko mengalami asfiksia. proporsi kejadian asfiksia pada bayi yang tidak bblr adalah 96,6%. sedangkan proporsi kejadian asfiksia pada bayi dengan bblr adalah 45,4%. p=0,000 berarti ada beda proporsi yang signifikan dan ada hubungan antara bblr dengan kejadian asfiksia. or=1,093 yang berarti bahwa bayi dengan bblr mempunyai 1,0 kali peluang dibandingkan yang tidak bblr. 258 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 251–262 pembahasan variabel faktor ibu penyebab kejadian asfiksia dari data hasil penelitian dapat diintepretasikan bahwa berdasarkan empat faktor ibu yang dapat mengakibatkan bayi lahir dengan asfiksia, yaitu pre eklamsia/ eklamsia, plasenta previa, solusio plasenta dan postmatur. dalam penelitian ini, faktor pre eklamsia/ eklampia, plasenta previa, dan postmatur memperoleh nilai p value >0,05 yang berarti ketiga faktor tersebut tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfiksia. namun demikian ketiga faktor tersebut dapat digunakan untuk mengetahui tingkat resiko yang terjadi pada kejadian asfiksia, yaitu faktor pre eklamsia/ eklamsi memiliki nilai or 0,764 (95% ci 0,340-1,715) yang berarti ibu dengan pre eklamsia/ eklamsia beresiko untuk melahirkan bayi dengan asfiksia sebesar 0,7 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu tidak dengan pre eklamsia/ eklamsia. begitu pula dengan faktor plasenta previa yang memperoleh hasil nilai or 2,019 (95% ci 0,5527,387) yang berarti bahwa ibu dengan kejadian plasenta previa akan lebih beresiko untuk melahirkan bayi dengan asfiksia dibandingkan dengan ibu yang tidak ada komplikasi plasenta previa sebesar 2,0 kali lebih besar. sedangkan pada ibu postmatur memiliki tingkat resiko or 0,673 (95% ci 0,256-1,766) yang berarti bahwa ibu dengan postmatur memiliki resiko sebesar 0,6 kali lebih besar untuk melahirkan bayi asfiksia dibandingkan ibu dengan usia kehamilan aterm. batasan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantasi normal pada kehamilan trimester tiga. terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat menimbulkan gangguanpenyulit terhadap ibu maupun janin. menurut cunningham (2006), arteri spiralis desisua mengalami ruptur sehingga menyebabkan hematom retroplasenta, yang menyebabkan semakin banyak pembuluh darah dan plasenta yang terlepas. bagian plasenta yang memisah dengan cepat meluas dan mencapai tepi plasenta. karena masih teregang oleh hasil konsepsi, uterus tidak dapat berkontraksi untuk menjepit pembuluh darah yang robek. darah yang keluar dapat memisahkan selaput ketuban dari dinding uterus dan akhirnya muncul sebagai perdarahan ekternal. penyulit yang ditimbulkan dari solusio plasenta ini dapat berpengaruh terhadap keadaan janin dalam rahim, tergantung luas plasenta yang lepas dapat menimbulkan asfiksia ringan sampai kematian janin dalam rahim, (manuaba, 2007). dalam hal ini terdapat kesesuian dengan penelitian yang dilakukan oleh evi, d. (2008) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara solusio plasenta dengan kejadian asfiksia neonatorum, yang terdapat dalam jurnal tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di rsud kabupaten rokan hulu (2013), bahwa analisis yang diperoleh nilai p value 0,0005. dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa nilai p value<0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara solusio plasenta dengan kejadian asfiksia neonatorum. dari hasil analisis diperoleh nilai r=0,129 menunjukkan bahwa kekuatan hubungan solusio plasenta dengan kejadian asfiksia neonatorum tersebut adalah lemah. variabel faktor talipusat penyebab kejadian asfiksia dari data hasil penelitian dapat diintepretasikan bahwa berdasarkan dua faktor talipusat yang dapat mengakibatkan bayi lahir dengan asfiksia, yaitu lilitan talipusat dan simpul talipusat, dalam penelitian ini kedua faktor tersebut memperoleh nilai p value < 0,05 yang berarti kedua faktor tersebut memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfikisia. no. variabel wald sig or 95% ci 1 bblr 0,259 0,611 1,266 0,510-3,143 2 solusio plasenta 0,086 0,769 1,519 0,093-24,829 3 simpul talipusat 0,250 0,617 1,519 0,295-7,817 4 kelainan letak 2,425 0,119 1,772 0,862-3,642 tabel 12 model akhir analisis multivariat menggunakan regresi logistic berganda terhadap kejadian asfiksia pada bayi baru lahir 259putri, analisis faktor penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir lilitan tali pusat biasanya terdapat pada leher anak. lilitan tali pusat menyebabkan tali pusat menjadi relatif pendek dan mungkin juga menyebabkan letak defleksi.setelah kepala anak lahir lilitan perlu segera dibebaskan melalui kepala atau digunting antara 2 klem.terjadinya lilitan tali pusat dapat mengurangi suplai oksigen pada janin karena terjeratnya pembuluh darah yang berada pada tali pusat, sehingga peredaran darah pada janin tidak lancar, (prawirohardjo, 2000). tali pusat mempunyai dua arteri umbilikalis dan sebuah vena umbilikalis dan dilindungi oleh selei wharton, sehingga terhindar dari tekanan yang dapat mengganggu sirkulasi dari dan ke janin. gerakan janin yang begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai. sebagian simpul sejati ini tidak menimbulkan asfiksia intrauterin dan kematian janin, karena masih dilindungi oleh selei wharton. bila simpul tersebut demikian eratnya sehingga menutup sama sekali pembuluh darah umbilikalis dapat dipastikan terjadi kematian janin dalam rahim, (manuaba, 2007). berdasarkan penelitian katiandagho n. et al (2015), dalam jurnal ilmiah bidan vol. 3 no.2 tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum, menjelaskan bahwa faktor talipusat merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum (nilai p value 0,011 untuk lilitan talipusat (<0,005)) meskipun pada tahun 2011 dan 2012 terdapat hubungan antara faktor talipusat tidak terlalu membahayakan, lilitan talipusat menjadi berbahaya ketika memasuki proses persalinan dan terjadi kontraksi rahim atau mulas dan kepala janin mulai turun memasuki saluran persalinan, lilitan talipusat menjadi semakin erat pada pembuluh darah talipusat, akibatnya suplai darah yang mengandung oksigen dan zat makanan ke bayi berkurang dan mengakibatkan bayi menjadi sesak napas dan hipoksia dan bila jumlah lilitan lebih dari sekali akan meningkatkan mortalitas perinatal. lilitan talipusat yang erat menyebabkan gangguan atau kompresi pada pembuluh darah umbilical, dan bila berlangsung lama akan menyebabkan hipoksia janin. variabel faktor bayi penyebab kejadian asfiksia dari data hasil penelitian dapat diintepretasikan bahwa berdasarkan dua faktor bayi yang dapat mengakibatkan bayi lahir dengan asfiksia, yaitu prematur dan kelainan letak dalam penelitian ini, faktor prematur dan kelainan letak memperoleh nilai p value>0,05 yang berarti kedua faktor tersebut tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfiksia menurut manuaba (2007), pada bayi yang lahir preterm (kurang bulan) organ tubuhnya belum matur hal ini menyebabkan sistem pernafasan khususnya paru-paru bayi belum bekerja optimal, surfaktan masih kurang sehingga ada kemungkinan paru mengalami gangguan perkembangan, otot pernafasan masih lemah sehingga tangis ba yi prema tur terdengar lemah dan merintih akibatnya bayi bisa mengalami asfiksia. morales (1987, dalam wikjosastro 2010), mengumumkan bahwa bayi yang lahir preterm memiliki resiko distress pernafasan 3 kali lebih besar. berdasarkan hasil analisis bivariat fisher’s exact dalam jurnal faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum (studi di rsup tugurejo semarang), bahwa koreksi yang diperoleh p value sebesar 0,458 (>0,05), yang berarti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara prematuritas dengan kejadian asfiksia neonatorum. bayi prematur adalah bayi lahir dari kehamilan antara 28 minggu-36 minggu. bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat tubuh belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar rahim. makin muda masa kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna. prognosis juga semakin buruk. karena masih belum berfungsinya organ tubuh secara sempurna seperti sistem pernafasan maka terjadilah asfiksia. salah satu komplikasi persalinan letak sungsang adalah asfiksia, dapat disebabkan oleh kemacetan persalinan kepala: aspirasi air ketuban-lendir, perdarahan atau edema jaringan otak, kerusakan medula oblongata, kerusakan persendian tulang leher, kematian bayi akibat asfiksia berat. berdasarkan jurnal tentang karakteristik persalinan letak sungsang di rsup prof. dr. r. kandou manado periode 1 januari-31 desember 2014, menyebutkan bahwa distribusi persalinan letak sungsang berdasarkan apgar score sebagian besar bayi yang lahir tidak mengalami asfiksia, 128 kasus (59,8%). pada asfiksia ringan terdapat 62 kasus (29%), asfiksia berat 10 kasus (4,67%), sedangkan pada lahir mati terdapat 14 kasus (6,54%). pada persalinan normal, asfiksia jarang terjadi, sebagian besar bayi baru lahir dengan apgar score 8-10. biasanya asfiksia terjadi karena terganggunya aliran darah umbilikalis mendadak yang terjadi trauma akibat kompresi 260 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 251–262 sehingga mendadak berhenti, solusio plasenta, hipoksia, dan hipotensi maternal mendadak. apgar skor pada bayi baru lahir pada bayi sungsang aterm ditemui 79 bayi (64%) mempunyai apgar skor 7. variabel faktor lain penyebab kejadian asfiksia dari data hasil penelitian dapat diintepretasikan bahwa berdasarkan tiga faktor lain yang dapat mengakibatkan bayi lahir dengan asfiksia, yaitu usia ibu, paritas, dan bblr, dalam penelitian ini, faktor usia memperoleh nilai p value >0,05 yang berarti faktor tersebut tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfikisia sedangkan untuk variabel paritas dan bblr memperoleh hasil p value <0,05, yang berarti ada hubungan yang bermakna dengan kejadian asfiksia. pada umur kurang dari 20 tahun, organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan akan mudah mengalami komplikasi. selain itu kekuatan otot perineum dan otot perut belum bekerja secara optimal. kehamilan yang terlalu muda dan terlalu tua termasuk kriteria dalam kehamilan resiko tinggi dimana keduanya berperan meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian pada ibu maupun janin (wiknjosastro, 2010). dari hasil penelitian dalam jurnal maternity and neonatal vol 1 no 2 (2013), tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir, menyebutkan bahwa dari hasil analisis diperoleh nilai p value= 0,34. dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa nilai p value>0,05 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan asfiksia neonatorum. paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu). paritas merupakan faktor penting dalam menentukan nasib ibu dan janin baik selama kehamilan maupun selama proses persalinan. paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal dan neonatal. paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. resiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan resiko paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. pada primigravida frekuensi preeklamsia lebih tinggi bila dibandingkan multigravida, terutama primigravida muda (wiknjosastro, 2010). menurut penelitian muliawati, d. (2015) tentang hubungan riwayat hipertensi, paritas, umur kehamilan, dan anemia dengan asfiksia neonatorum, menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan secara statistik signifikan antara paritas dengan resiko untuk melahirkan bayi dengan asfiksia (or 3,43 ci 95% 1,08-10,88 p value 0,036). oxon (1996), mengemukakan bahwa depresi pernafasan bayi baru lahir dikarenakan kehamilan dan faktor persalinan. faktor kehamilan dari sebab maternal salah satunya adalah grandemultipara. pada kehamilan dengan 3 atau lebih dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi. asfiksia banyak dialami oleh bayi bblr dikarenakan bayi bblr memiliki beberapa masalah yang timbul dalam jangka pendek diantaranya gangguan metabolik, gangguan imunitas seperti ikterus, gangguan pernafasan seperti asfiksia, paru belum berkembang sehingga belum kuat melakukan adaptasi dari intrauterin ke ekstrauterin. bblr cenderung mengalami kesulitan dalam melakukan transisi akibat berbagai penurunan pada sistem pernafasan diantaranya: penurunan jumlah alveoli fungsional, defisiensi kadar surfaktan, lumen pada sistem pernafasan lebih kecil, jalan napas lebih sering kolaps dan mengalami obstruksi, kapiler paru mudah rusak dan tidak matur, otot pernafasan yang mash lemah sehingga sering terjadi apnoea, asfiksia, dan sindroma gangguan pernapasan. analisis variabel dominan terhadap kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di rumah sakit aura syifa kabupaten kediri tahun 2016 berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, untuk analisis multivariat dalam penelitian ini menggunakan uji regresi logistik berganda dengan variabel bblr, solusio plasenta, simpul talipusat, dan kelainan letak, bahwa ke empat variabel tersebut tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfiksia yaitu dengan perolehan nilai p value>0,05. dalam penelitian ini, faktor kelainan letak meliputi beberapa kasus yang dapat menyebabkan kejadaan asfiksia, diantaranya adalah letak sungsang (14 atau 35,8%), persalinan gemelli (30,7%), dan ketuban bercampur mekonium (13 atau 33,3%). kelainan letak terhadap kejadian asfiksia merupakan faktor yang dominan untuk terjadinya kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di rumah sakit aura syifa kabupaten kediri tahun 2016, meskipun dengan nilai p value >0,05, faktor kelainan letak 261putri, analisis faktor penyebab kejadian asfiksia pada bayi baru lahir tetap dianggap paling dominan untuk mempengaruhi kejadian asfiksia, hal ini berdasarkan nilai tingkat resiko faktor kelainan letak merupakan tertinggi dibandingan dengan faktor yang lain yaitu sebesar or 1,772 (95% ci 0,862-3,642). pada penelitian yang dilakukan di rsup dr. m. djamil padang periode januari-desember 2013, berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa nilai apgar nor mal (58,6%) memiliki distribusi yang lebih besar dari asfiksia sedang dan asfiksia berat pada pemeriksaan nilai apgar menit ke-1 bayi bblr. nilai apgar normal juga memiliki distribusi yang lebih besar pada pemeriksaan nilai apgar menit ke 5 (75,7%). bayi bblr preterm cenderung memiliki nilai apgar yang lebih rendah daripada bayi cukup bulan karena imaturitas neurologis mempengaruhi tonus otot, memperlambat reflek dan warna merah kebiruan pada kulit. selain itu berat lahir rendah pada bayi akan mengganggu kematangan organ dan tubuh bayi yang belum sempurna (prematuritas) sehingga dapat mengakibatkan nilai apgar rendah. kematangan dan fungsi organ juga dapat dipengaruhi oleh gangguan pertumbuhan intar uterin a tau intra uterin growth restriction (iugr). berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji chi square yang dilakukan pada faktor resiko yang diteliti, tidak didapatkan hubungan yang signifikan pada nilai apgar menit ke-5 (p=0,285). penelitian yang dilakukan onama pada tahun 2003 terhadap 1479 bayi di uganda, tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antar berat badan dengan nilai apgar (p=0,08). hal ini disebabkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi nilai apgar selain berat badan lahir. berdasarkan jurnal e-clinic vol. 3 no. 1 tentang karakteristik persalinan kembar di rsup prof. dr. r. d. kandou manado, menyebutkan bahwa faktor resiko dengan persalinan kembar dalam penelitiannya adalah usia kehamilan (rerata usia kehamialn ibu adalah 37-40 minggu), berat badan lahir (banyak bayi kembar dengan berat badan lahir dibawah 2500 gram, dan terdapat perbedaan berat badan antar kedua bayi kembar), apgar skor (sebagian besar menunjukkan baik jika bayi yang dilahirkan merupakan bayi sehat). dalam penelitiannya yang terbanyak adalah apgar skor 7-9, yaitu 32,2 %. interpretasi untuk apgar skor lebih dari 7 adalah bayi dilahirkan sehat dan tidak memerlukan tindakan medis untuk memperbaiki keadaan. dalam penelitian ini, faktor kelainan letak merupakan faktor yang paling dominan untuk terjadinya kejadian asfiksia pada bayi baru lahir di rs aura syifa kabupaten kediri tahun 2016. faktor kelainan letak memperoleh nilai p value sebesar 0,119 or 1,772 (95% ci 0,862-3,642). hal ini menunjukkan bahwa faktor kelainan letak tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfiksia. kategori kejadian asfiksia dalam penelitian ini terdiri dari 2 kategori, yaitu tidak terjadi asfiksia (dengan apgar skor 4-9) dan terjadi asfiksia (0-3). sedangkan untuk tingkat resiko kelainan letak sebesar 1,7 kali lebih besar untuk melahirkan bayi asfiksia dibandingkan dengan ibu tidak dengan kelainan letak. kesimpulan hampir setengahnya (44%) bayi baru lahir di rumah sakit aura syifa kabupaten kediri mengalami asfiksia, lebih besar daripada angka nasional menurut riskesdas (2007), yaitu sebesar 37%. pada univariat, selain faktor kelainan letak, pre eklamsia/ eklamsia memperoleh frekuensi yang tinggi terhadap kejadian asfiksia, yaitu sebesar 29 kasus. pada faktor ibu, hanya solusio plasenta yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian asfiksia. pada faktor talipusat, faktor lilitan dan simpul talipusat berhubungan bermakna dengan kejadian asfiksia. faktor bayi, tidak ada yang berhubungan dengan kejadian asfiksia. faktor lain yang berhubungan dengan kejadian asfiksia adalah faktor paritas dan bblr memiliki hubungan bermakna dengan kejadian asfiksia. dalam penelitian ini, faktor kelainan letak merupakan variabel dominan terhadap kejadian asfiksia (or: 1,772; ci 95%). kelainan letak terhadap kejadian asfiksia pada frekuensi univariat sebesar 19,5%, sedangkan peluang pada analisis bivariat sebesar 51,5%, maka kontribusi kelainan letak terhadap kejadian asfiksia sebesar 10%. saran bagi setiap pemberi pelayanan kesehatan perlu meningkatkan pengetahuan dan skill dengan harapan dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan benar sesuai standart operasional procedures (sop) tinda ka n. sehingga da pa t mela kuka n penanganan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir dengan sesegera mungkin dan dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh kejadian asfiksia tanpa 262 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 2, agustus 2019, hlm. 251–262 membedakan status sosial pasien, serta meningkatkan mutu pelayanan kebidanan. bagi pasien, disarankan kepada seluruh ibu hamil untuk lebih rutin memeriksakan kehamilannya, rutin minimal 4 kali selama kehamilan. serta membaca dan memahami buku kia yang diberikan oleh petugas kesehatan saat pertama kali terdeteksi hamil. serta menanyakan segala sesuatu yang kurang dipahami kepada tenaga kesehatan mengenai isi dari buku kia, sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi kelainan letak saat hamil dan bersalin. bagi instansi pemerintahan, bagi instansi pemerintahan untuk lebih mengadakan program pelatihan terbaru tentang penanganan asfiksia pada bayi baru lahir bagi tenaga kesehatan sesuai dengan perkembangan ilmu, dan program kelas khusus wanita usia reproduksi tentang pencegahan yang dapat dilakukan oleh wanita usia subur tersebut bersama keluarga, sehingga dapa t mencegah terjadinya komplikasi bayi baru lahir saat terjadi proses perslainan, serta memberikan kie tentang pentingnya kesehatan ibu dan anak terutama pada safe motherhood dan antenatal care (anc). peneliti selanjutnya, dapat melanjutkan penelitian tentang faktor yang mempengaruhi kejadian asfiksia dengan melibatkan variabel yang lebih banyak lagi dan dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang kejadian asfiksia pada bayi baru lahir. daftar pustaka cunningham, f. (2006). obstetri william vol. 1. jakarta: egc djaja, s., & soemantri, s. (2002). penyebab kematian bayi baru lahir (neonatal) dan sistem pelayanan kesehatan yang berkaitan di indonesia survei kesehatan rumah tangga (skrt). puslitbang ekologi kesehatan, badan litbangkes. 155-158 gilang, notoadmodjo, h., & rachmawati, maya d. (2005). jurnal faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum (studi di rsup tugurejo semarang). 193-198 hartatik, d. & yuliaswati, e. (2013). pengaruh umur kehamilan pada bayi baru lahir dengan kejadian asfiksia di rsud dr. moewardi surakarta. gaster volume 10 nomor 1. 71-76 hassan, r., & alatas h. (2005). ilmu kesehatan anak. jakarta : penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. herawati, r. (2013). jurnal tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir di rsud rokan hulu. jurnal maternity dan neonatal vol 1 no 2. 75-85 lumempow, i., kaeng, j. j., & rarung, r. max. (2015). karakteristik persalinan kembar di rsup prof. dr. r. d. kandou manado. jurnal e-clinic (eci) vol. 3 no. 1. 193-198 katiandagho, n. & kusmiyati. (2015). faktor yang berhubungan dengan kejadian asfiksia neonatorum. jurnal ilmiah bidan vol. 3 no. 2. 28-38 manuaba, i. (2007). ilmu kebidanan penyakit kandungan dan keluarga berencana untuk pendidikan bidan. jakarta: egc. muliawati, d. (2015). hubungan antara riwayat hipertensi, paritas, umur kehamilan, dan anemia terhadap kejadian asfiksia pada ibu bersalin preeklampsia. surakarta: universitas sebelas maret. oxorn. (2003). patologi dan fisiologi persalinan. essentia medika. prawirohardjo, s. (2006). ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. wikjosastro, h. (2007). ilmu kebidanan. jakarta: pt bina pustaka wikjosastro, h. (2010). ilmu bedah kebidanan. jakarta: pt bina pustaka. 307castro, riva, health education by nurses: self-care of patients with chemotherapy from ... health education by nurses: self-care of patients with chemotherapy from a specialized cancer institute in lima-peru alda eliana oriihuela castro1, monica elisa meneses la riva2 1,2oncology nurse research work, instituto de enfermedades neoplásicas, peru jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 28/07/2020 accepted, 27/10/2020 published, 05/12/2020 keywords: educational intervention, health education, personal care, oncology nurses and chemotherapy. article information abstract health education helps patients during the cancer disease process. thus, self-care induces to improve the quality of life of patients undergoing chemotherapy. the role of oncology nurses plays an important role in promoting self-care and improving the quality of life in their personal care. in peru (2019), 66,000 new cases of cancer are registered according to statistics from the national institute of neoplastic diseases, 60% of which are women with cervical and breast cancer and 40% of which are men with prostate and lung cancer. 80% of these cases receive outpatient chemotherapy treatment and to avoid complications in their health they require timely information to assume their own self-care. the purpose of this research was to determine the effectiveness of an educational intervention on self-care in patients who underwent ambulatory chemotherapy in which 3 educational sessions were carried out through pre and posttests by the nurses of the specialized oncological institute. the research design was quasi-experimental longitudinal, involving a total of 90 patients undergoing chemotherapy attending the service. the questionnaire of self-care was applied which consisted of 4 dimensions: food, hygiene, prevention of infections and to avoid complications. the results obtained in the pre-test were that 60% reached a low level and 22.2% a high level. after the educational intervention in the post-test it was evidenced that 96.7% obtained a high level and 3.3% a medium one. it was demonstrated the increase of knowledge about self-care in feeding, hygiene, prevention of infections and avoiding complications in patients. it is concluded that patients who receive educational intervention assume self-care in their daily lives. therefore, nurses should provide feedback on knowledge and practice, incorporating strategies to avoid complications in patients. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: research nurse at the national institute of neoplastic diseases and the peruvian society of nurse oncologists lima, peru. p-issn : 2355-052x email: aldi.eliana@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p307–313 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 307 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p307-313&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p307-313 308 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 307–313 introduction cancer is a chronic degenerative disease, which occurs mainly in lowand middle-income people, and has become a public health problem. in 2018, the world health organization (who, 2018) noted that this disease has caused 8.8 million deaths and is the second largest cause of morbidity in the world. therefore, approximately one third of cancer deaths have behavioral and dietary risk factors, such as low fruit and vegetable intake, tobacco use, alcohol consumption, lack of physical activity, and an increase in the population with a high body mass index. in peru, cancer is the second cause of death, becoming a public health problem, being the most frequent in women breast cancer, so early detection with chemotherapy is the key to timely treatment, as stated in current national statistics, where 95%, receive treatments with chemotherapy. (peruvian news agency, 2019) in this sense, the (american cancer society, 2018) refer that most patients diagnosed with cancer should be treated with chemotherapy in a timely manner, because it is a multiple use alternative, and the objective is to reduce the tumor before surgery, radiotherapy or concurrent or complementary treatment. chemotherapy can fight fast-growing cells, but it can also affect normal cells, such as the cells that mainly form hair and blood. in some cases, patients who receive chemotherapy have side effects, such as nausea and vomiting, skin changes, ulcers in the mouth and throat, which is called mucositis, and can significantly change nutrition; in addition, there is redness, itching, problems with wound inflammation and infection, and changes in sexual life, which significantly affect psychological well-being. however, when cancer patients begin treatment with chemother a py, they pr esent physica l, physiological and spiritual changes, as mentioned by sanmartí (1985), who indicates that patients who receive chemotherapy suffer changes in their lives and need to adapt in order to face the process of the disease. i declare that some authors like: rezaee, shokrpour, rahimi and mani (2020) declare that cancer patients need to strengthen the education of their peer s, consider ing tha t educa tiona l interventions support the disease and sustain the side effects with self-efficacy. in this sense, in the united states, coolbrandt, wildirers, laenen, aertgeerts, dierckx and van (2018), expressed the need to support learning for self-efficacy and the consequences of health interventions to generate well-being in patients. likewise, santos and de andrade in brazil (2019), argued that self-care is an effective method of care, because it helps to take effective action on the effects of chemotherapy. in the same line, altun and sonkaya (2017) expressed the importance of the health education of the health professionals for the integral care of the patients submitted to chemotherapy, referring that the self-care becomes a support system to reduce the deficits of self-care and to promote the well-being of the patient. these statements are consistent with riese, weib, borges, beylich, dengler and hermes-moll (2017) who emphasize that cancer patients benefit from standardized educational programs and that oncology nurses help and counsel patients to avoid adverse effects related to chemotherapy treatment. therefore, cruz, ferreira, vasquez, mata and reis (2016) emphasize the relevance of having a validated educational manual, supported by printed materials, because they serve as a guide and provide information for treatment compliance. finally, li, guo, ta ng, a nd ya ng (2018), ma na ged to demonstrate that the effectiveness of nursing intentions has a positive effect on cancer patients. in this sense, orem’s theory of self-care in patients undergoing chemotherapy encourages the oncology nurse to provide a safe environment of knowledge and self-care skills on an ongoing basis, in order to identify difficulties and limitations in compliance with nutrition, hygiene, infection prevention, and avoid complications. consequently, jiménez and meneses (2015), maintain that the nurse must design a personalized plan of education on self-care before, during and after the chemotherapy tr eatment, where the sa tisfaction of ba sic needs such as feeding, prevention of infections, hygiene measures, and avoid complications is optimized in addition to meeting the therapeutic demands that the patient requires. it is therefore necessary to maintain a system of nurses that monitors their self-care behaviors and strengthens interpersonal relationships and effective communication. this is why it is necessary to maintain a system of nurses that monitors self-car e behavior and str engthens inter per sona l r ela tionships a nd effective communication. 309castro, riva, health education by nurses: self-care of patients with chemotherapy from ... it should be noted that patients undergoing chemotherapy will be full of uncertainty, insecurity, fear and dread, as pointed out by estrada (2017), who refers that patients undergoing chemotherapy treatment have changed their attitude towards selfcare after guidance and counseling by the nurse. since, patients diagnosed with cancer need an emotiona l pr epa ration to fa ce chemothera py treatment, during the whole process of the disease, where health education is the key, since it provides security to the patient to comply with self-care actions, which reduce the negative effects of chemotherapy treatment in terms of nutrition, hygiene measures, infection prevention, and avoid complications. in this sense, promoting self-care is to achieve the maturity in the patient to assume healthy behaviors continuously, when the patient undergoes chemotherapy treatment, he experiences nausea and vomiting, so it is indicated changes in the diet as eating a light breakfast, avoiding fatty and spicy foods. similar ly, hydra tion is suggested the consumption of 2 liters of water per day, in addition to consuming proteins, vegetables, fruits and avoiding the consumption of harmful substances with alcohol and snuff. in addition, to avoid infections caused by possible contact with contaminated food, they are advised to wash, disinfect and cook food such as vegetables and fruits. in the hygiene measures are promoted hand washing, oral cleaning with a soft brush and bathing with soap every day, can provide comfort. prevention of infections are related to fulfilling actions that generate the consumption of food that ensure proper handling and hygiene of food for consumption. it also strengthens personal hygiene, hand washing and strengthening a clean and healthy environment. in relation to avoid complications is to assume responsibility for prevention measures in relation to avoiding highly contaminated environments, avoid overcrowding in the environment where it interacts, consumption of harmful substances such as snuff and alcohol, as well as avoid self-medication that deteriorate the quality of life of the patient. methods the resear ch was a quantita tive, quasiexperimental and longitudinal in focus (hernández, fernandez & baptista, 2014). the population included a total of 90 adult patients of both sexes, diagnosed with breast cancer, cervical cancer, prostate cancer, stomach cancer and lymphomas; who underwent outpatient chemotherapy treatments and who attended every 21 to 25 days, to the outpatient chemotherapy service according to the admission and care record. a self-care scale containing four dimensions was applied: food, hygiene, infection prevention, and avoidance of complications, which consisted of 24 items, with a likert scale and the instrument was validated by 5 experts, with a cron bach alpha of 0.8. for the execution of the research, patients were invited to participate voluntarily, and were given informed consent for the cor r esponding signa tur e. subsequently, the self-care instrument was applied which included 4 dimensions of feeding, hygiene, prevention of infections and avoid complications; with pre and post educational intervention to the 90 patients with chemotherapy treatment, who attended the outpatient chemotherapy service of a specialized oncologica l institute in lima per u. t hr ee personalized educational sessions were held, with an average of approximately 1 hour each session, and didactic materials (triptychs) were distributed. the doubts and questions of the participants were reinforced. data processing in graphs and tables was done in the spss program, supported by microsoft office. results it is observed that in the self-care pre-test, patients with chemotherapy treatment reach 60% low level, 22.2% high level and only 17.8% medium level. these results vary significantly in the educational intervention post-test, where 96.7% reach a high level and 3.3% a medium level. in relation to self-care, according to the dimensions of the pre-test: food: 52.2% low level and 26.7% high level; in hygiene: 42.2% low level and 17.8% high level; in prevention of infections, the high level was 36% and the low level 30%; and avoid complications: 55.6% low level and 8.9% high level. subsequently, in the post-test of self-care: in nutrition it reached 94.4% high level and 5.6% medium level; prevention of infections: 91.1% high level and 8.9% medium level, in the dimensions of hygiene and prevention of complications, a 100% high level was achieved. 310 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 307–313 discussion the self-care promoted by the oncology nurse specialist has the purpose of optimizing the health conditions during the disease process, achieving positive results in its recovery. (blasco y caballero, 2019). the objective of the present research was to deter mine self-ca r e in pa tients with chemotherapy in a pre post educational intervention test, carried out by nurses from a specialized oncology institute. the results showed that in the pre-test the level of self-care was: 60% low and 17. 8% medium a nd a fter the educa tiona l intervention in the post-test the levels were: 96.7% high and 3.3% medium. this significant change allowed minimizing the effects of chemotherapy and favoring the patient’s well-being. these results coincide with the evidence of almohammadi, alqarni, alraddad, alzahrani (2020), who showed that patients who received education by the nursing professional acquired greater knowledge and high self-care behaviours, compared to those who received basic information. likewise, cruz, ferreira, vásquez, mata and reis (2016), expr essed tha t pa tients with chemothera py treatment, who have received educational interventions on self-care, have adopted healthy lifestyles that have helped them reduce the effects of chemotherapy, and have seen a rapid recovery and improvement in quality of life. likewise, riese, weib, borges,, beylich, dengler and hermes-moll (2017), showed that education and training of patients with chemotherapy, assumed effective self-care behaviors. on the other hand, authors such as karimi, makhsosi, seyedi-andi, behzadi, moghofeh, mohammadinasrabadi, et al. (2017), determined that health education in cancer patients is a strategy to reduce the effects produced by chemotherapy, which will help to detect adverse events for early management and avoid health complications. we conclude that, self-care is a timely strategy to ensure that adverse effects from chemotherapy are minimized. according to silvia and da cunha (2015), who argue that adopting self-care strategies table 2 dimensions of self-care: food, hygiene, prevention of infection and avoid complications educational intervention before and after the test for patients with chemotherapy in an institute specializing in cancer lima peru food high medium under total level pos test self-care dimensions pre hygiene infection prevention to avoid complications pos testpre pos testpre pos testpre no % no % no % no % no % no % no % no % 24 26.7 85 94.4 16 17.60 90 100 40 36 82 91.1 8 8.9 90 100 19 21.1 5 5.6 36 40 0 0 19 17 8 8.9 32 35.6 0 0 47 52.2 0 0 38 42.4 0 0 31 30 0 0 50 55.6 0 0 90 100 90 100 90 100 90 100 90 100 90 100 90 100 90 100 souce: primary data variable educational intervention pre test post test frequency percent (%) frequency percent (%) high 20 22.20% 87 96.70% medium 16 17.8 3 3.30% under 54 60% 0 0 total 90 100% 90 100% souce: primary data table 1 frequency pre and post-test self-care of educational intervention for patients with chemotherapy in a specialized cancer institute 311castro, riva, health education by nurses: self-care of patients with chemotherapy from ... a llows to over come the side effects of chemotherapy, providing safety and well-being to the patient. health education is a challenge for health professionals, especially for nurses who must seek to develop educational strategies, to help maintain knowledge, skills and attitudes of self-care in patients with chronic diseases and in some cases, with many economic limitations, which place them in a high level of vulnerability and fragility. (jimenez y meneses, 2015) in reference to the dimensions of self-care evaluated in the pre-test: food, 52.2% reached a low level and 26.7% a high level; in hygiene, 42.2% a low level and 17.8% a high level; in prevention of infections, the high level reached 36% and 30% a low level and avoid complications, 55.6% a low level and 8.9% a high level. later, in the post-test of educational intervention, self-care in nutrition reaches 94.4% high and 5.6% medium level. infection prevention: 91.1% high level and 8.9% medium level; in the dimensions: hygiene and avoid complications, 100% reach a high level. results similar to those proposed by karimi, makhsosi, seyedi-andi, behzadi, moghofeh, mohammadinasrabadi k., et al. (2017), who maintain that most pa tients pr esented side effects, which wer e preventable, if they assumed responsible self-care, which would help them reduce the effects of nausea and vomiting. likewise, cruz, ferreira, vásquez, mata, reis (2016), pointed out that the patients who r eceived specia lized educa tion on postchemotherapy self-care and were given educational materials were able to assume self-care behaviors. this is stated in a research published in 2020 in stockholm sweden, fjell, la ngius, nilsson, wengstron, sundberg (2020), who found that in the group of patients who received an educational intervention on symptoms and self-care advice, nausea and vomiting, as well as loss of appetite, constipation, general malaise, improved emotional functioning compared to the control group that only received classical education. for ramos, yousaf, badar and abu (2020), who state that oncology nurses who educate the patient, play an important role in minimizing the side effects produced by chemotherapy. nurses play an important role in preventive education and in managing the warning signs and symptoms that can produce or cause negative effects after chemotherapy, so you should design a personalized nursing intervention plan with holistic care, to fully meet basic and treatment needs. similarly, the self-care deficit refers to the person’s lack of capacity and maturity for their own selfcare and, therefore, the nursing system helps to maintain and restor e the pa tient’s self-car e behaviours, improving knowledge, skills and attitudes. self-care deficits increase hospital readmissions, complications and raise health care costs. (jimenez y meneses, 2015) thus, in turkey 2017 akin and kas (2019), refer that cancer patients do develop self-confidence, when they assume self-care behaviors, because they result in a positive impact on cognitive performance and positively influence the patient’s quality of life. based on these statements, health promotion and prevention should be assumed from an educational approach, where self-care should prevail within family spaces as preventive measures for the self-care of the patient and the family. likewise, the delivery of educational materials allows for safe and continuous actions that manage to avoid a deficit in self-care. the nursing system is one of the activities that accompany patients to recover, maintain and rehabilitate their health during the whole process of the disease. (jimenez y meneses, 2015) authors such as wang, yin y jia (2019), indicate that self-ca re measures a re effective in impr oving physica l and menta l conditions, in patients receiving chemotherapy. finally, the commitment of all actors involved in the health care process is to educate through standardized guidelines with printed material on patient and family health issues to minimize threatening situations during the disease process. to this end, health professionals must provide clear and accurate information and explanations about the diagnosis, treatment and management of the disease, so that the patient and family assume responsible decisions aimed at their own self-care, this means that behavior patterns are interacting according to their lifestyle. (marriner, tomey y raile, 2011) (meneses y mayorca, 2014). conclusion it is proven that the health education which was provided by nursing professionals about self-care in ca ncer patients allows for a n incr ea se in knowledge after an educational intervention, as well as sensitizes the patient and the family to incorporate self-care, achieving maturity to assume healthy behaviors in their daily lives, reducing the side 312 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 307–313 effects of chemotherapy to improve the quality of life. it was also shown that in the dimensions of self-care in cancer patients after the educational intervention they managed to obtain a high level of knowledge in the dimensions: hygiene and avoiding complica tions, while the a ver a ge levels of knowledge were the dimensions: nutrition and infection prevention. these findings allow us to clarify the importance of continuous education in patients with chemotherapy to avoid complications and side effects of treatment. suggestion it is suggested that the cancer patient and family can receive health education to manage self-care to reinforce knowledge, awareness and strategies that promote self-care to minimize the side effects of chemotherapy. it is suggested that within the specialized oncology services, the nursing professionals offer a personalized advice in the self-care directed to the patient and his family to maintain the quality of life in the time. we suggest that other researchers carry out research in other areas with the same methodology used in this research, in order to generate a discussion that will enrich this line of research. refferences andean. peruvian news agency. (2018). in peru, 60% of breast cancer cases are detected at an advanced stage [internet]. [cited april 30, 2020]. available at: https://andina.pe/agencia/noticia-en-peru-60casos-cancer-mama-se-detectan-etapa-avanzada729229.aspx altun i. and sonkaya a. (2017). the level of personal care measures for daily life in people who received chemotherapy. 20 (6): 508-508. doi: 10.1089 / pop.2017.0029 almohammadi a, alqarni a, alraddadi r, alzahrani f (2020). evaluation of patients’ knowledge in the m a na gemen t of ch em ot h er apy si de effect s (avaliação dos conhecimentos dos doentes na gestão dos efeitos secundários da quimioterapia): case of the king abdul-aziz university hospital. 35 (2): 334-8. doi:10.1007 / s13187-019-1469-2 akin s, y kas c. (2019) research into the relationship between fatigue, self-efficacy and quality of life during chemotherapy in patients with breast, lung or gastrointestinal cancer. eur j cancer care, 28 (1): 128-98. doi: 10.1111 / ecc.12898 american cancer society. chemotherapy, what is it and how does it help? blasco a. and caballero c. (2019). side effects of chemotherapy seom: spanish society of medical oncology. [internet]. 2020 [cited on may 16, 2020]. available in:https://seom.org/115.informacion-alpublico-guia-de-tratamientos/efectos-secundariosd-la-quimioterapia coolbrandt a, wildirers h, laenen a, aertgeerts b, dierckx, b. and van t. (2018). nursing intervention t o r educe th e bur den of sym pt om s duri n g chemotherapy. 5 (1): 115-28. doi: 10.1188 / 18.onf.115-128 cruz f, ferreira e, vásquez c, mata l and reis p. (2016). validation of an educational manual for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy. (rev latino-am enfermagem); 24 (0). available at:http:// www. sci el o.br/ sci el o.php?scri pt =sci_art text &pid=s0104-11692016000100337&lng=en&tlng=en. doi: 10.1590 / 1518-8345.0949.2706 road v. (2017). effectiveness of nursing counseling in patient and family health care at the hnerm ambulatory chemotherapy service. [cited 13 de mayo de 2020]; available at: http://repositorio.unheval. edu.pe/handle/unheval/4201 fjell m, langius-eklöf a, nilsson m, wengström y, and sundberg k. (2020). reduction of symptomatic load with the support of an interactive application during neoadjuvant chemotherapy for breast cancer a controlled randomized trial. the breast; 51: 85-93. doi: 10.1016 / j.breast.2020.03.004 hernandez s, fernandez c. and baptista l, (2014). research approaches. in metodología de la investigación (p.5-9) méxico: mcgraw-hill. doi: 10.1016 / j.breast.2020.03.004 jiménez p. and meneses m. (2015) introduction to nursing. cesar vallejo university isbn: 978-6124158-30-8 karimi s, makhsosi b, seyedi-andi sj, behzadi m, moghofeh y, mohammadinasrabadi k, et al. (2017). research of the effect of a self-education program on the severity of nausea and emesis in patients with colorectal cancer under chemotherapy. jmdh; volumen 10: 301-7. doi: 10.2147 / jmdh.s131111 li p, guo yj, tang q and yang l. (2018). effectiveness of nursing intervention to increase hope in cancer pa ti ent s: a meta-an alysi s. (rev la tin o-am enfermagem) 26 (0). available at:http://www. scielo.br/scielo.php?script=sci_ arttext&pid=s010411692018000100604 &lng=en&tlng=en doi: 10.1590 / 1518-8345.1920.2937 marriner i, tomey a. and raile m. (2011). models and theories of nursing. 7th ed. madrid: elsevier. meneses m. and mayorca c. (2014) self-care practices and targa adherence in people living with hiv enrolled in the program at a national hospital in lima peru. 313castro, riva, health education by nurses: self-care of patients with chemotherapy from ... naranjo y, concepción j, rodríguez m. (2017). a teoria do defice de autocuidados: dorothea elizabeth orem. gazeta medicoespiritual. 19(3): 89-100. http:// scielo.sld.cu/scielo.php?script=sci_abstract & pid = s1608-89212017000300009 & ing = es & nrm = iso & tlng = es the ‘regan p, mccarthy g, o’reilly s, power d, bird b, murphy c, et al. (2019). cancer-related fatigue and self-care agency: a multicenter survey of patients receiving chemotherapy. (j clin nurs) 28 (23-24): 4424-33. doi: 10,1111 / jocn.15026 peruvian news agency. (2019) peru will close 2019 with 66,000 new cases of cancer [cited april 30, 2020]. available at:https://andina.pe/agencia/noticia-perucer r a r a -2019-66-m i l -n uevos-ca sos-ca n cer 756807.aspx ramos r, yousaf m, badar f. and abu m. (2020). he perceived well-being, social support and selfmanagement behavior among women with nausea and vomiting related to chemotherapy in a tertiary hospital in lahore, pakistan [internet]. [quoted april 19, 2020]. available in:http://www.apjon.org/ a r t i c l e . a s p ? i s s n = 2 3 4 7 5 6 2 5 ; ye a r = 2 0 2 0 ; volume=7;issue=2;spage=209;epage=217;aulast=ramos sanmartí l. (1985) educación en salud: principios, métodos y aplicaciones. ediciones díaz de santos; 280 p. isbn: 978-84-86251-19-2 santos y. y de andrade j. (2019) validación de requisitos de desarrollo de autocuidado de.; 4. silvia, j. y da cunha, m. (2015). pontífice sousa p. estratégias de autocuidado de pessoas with cancer submitted to chemotherapy / radiotherapy and its relationship with comfort. (enfermería global) 2015; 14 (1): 372-83. issn: 16956141 rezaee r. shokrpour n. rahimi m. and mani a. (2020). the effect of peer education on self-efficacy and mental adaptation of breast cancer patients undergoing chemotherapy. bangladesh j med sci. march 10, 2020; 19 (3): 558-66. doi: 10,3329 / bjms.v19i3,45875 riese c, weib b, borges u, beylich a, dengler r. and hermes-moll, k. (2017). efficacy of a standardized patient education program on therapy-related side effects and unplanned interruptions of oral cancer therapy: a cluster-randomized controlled trial. support care cancer. 25 (11): 3475-83. doi: 10,1007 / s00520-017-3770-0 wang z, yin g and jia r. (2019). impacts of personal care education on adverse events and mental healthrelated quality of life in breast cancer patients undergoin g ch em ot hera py. complement ar y therapies in medicine 43:165-9. doi: 10,1007 / s00520-017-3770-0 world health organization (2018). cancer [cited april 23, 2020]. available at: https://www.who.int/es/ news-room/fact-sheets/detail/cancerandina. 151cuchupoma, la-riva, bedoya, vega, the quality of care and ... 151 jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the quality of care and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers cynthia lilibeth sullón-cuchupoma1, mónica elisa meneses-la-riva2, víctor hugo fernández-bedoya3, josefina amanda suyo-vega4 1complejo hospitalario alberto leonardo barton thompson, peru 2,3,4division of research, universidad césar vallejo, peru article information history article: received, 28/04/2020 accepted, 10/06/2020 published, 05/08/2020 keywords: quality of care, loyalty, ophthalmol ogi ca l cen ter, exter na l users, servperf abstract health services are created with the aim of fulfilling health needs in accordance with the needs and expectations of patients. the objective of the study was to determine the correlation of the quality of care and the loyalty of external users in a private ophthalmic center in lima, peru. the method used a descriptive cross-correlational quantitative approach with non-experimental design. the population consisted of 210 external users who received therapies for at least 1 month in an ophthalmologic center located in lima, peru; the sample (statistically calculated) consisted of 137 users randomly selected, who responded to a series of reagents through a survey. a questionnaire was used to measure the quality of care through servperf model, while the loyalty was measured through reagents developed by the authors, based on the scientific theory of alcaide. spearman’s rho determined that there was a moderate positive correlation between the quality of care and loyalty (sig. < 0.05; r = 0.594). likewise, it was determined that there was a positive correlation between the dimensions of tangibility, empathy, responsiveness, security and reliability with the loyalty variable, since the sig. were < 0.05 and the values of r = 0.497, 0.381, 0.342, 0.109 and 0.452, respectively were obtained. there was not enough statistical evidence obtained to find the correlation between the loyalty variable and the security dimension, since a sig. value > 0.05 was obtained. the results found were related to other finding by previous authors in other contexts. finally, we recommend other researchers to carry out similar research internationally, in order to increase the literature on the variables of loyalty and quality of service and generate discusion. © 2020 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: complejo hospitalario alberto leonardo barton thompson callao, peru p-issn : 2355-052x jnk email: sullon.cynthia@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p151–161 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p151-161&domain=pdf&date_stamp=2018-05-30 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p151-161 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 151–161 introduction the health services are crea ted with the purpose of satisfying an identified health need, their activities are centered on the patient, who requires a service within a safe environment that responds in a timely manner to their needs and expectations. according to the world health organization (2003), there should be universal access and coverage of health, according to the needs of the population through different structures that provide health services; on the other hand, institutions such as the joint commission international (2016) seek to ensure the quality of health services through resolutions prior to compliance with basic quality standards. deming (1993) defined that quality is measured “in terms of the subject who has to judge the product or service. the proposed idea is that whoever buys or demands a service does so according to needs and expectations that will determine whether or not the service is of good quality. subsequently, dona bedia n (1984) conceptualized that quality in health services is the application of science and technological innovations in the field of medicine in such a way as to make maximum use of the advantages for health. in the case of loyalty, the theoretical framework revolves around the theory of alcaide (2015), who mentions that loyalty is establishing a great emotional sense with clients, which must go hand in hand with the functions offered by either a product or a service by increasing quality. burgos (2017) also states that loyalty is being able to maintain relationships with customers for long periods, making them more profitable. regarding the quality of service nowadays, ostrom, parasunaman, bowen, patricio and voss (2015), identified that the environment is highly changing, in which advances in technology cause services to proliferate where the client can perform all the functions. for this reason, it is necessary to delve into the transforming service and performance optimization, as well as establish interdisciplinarity without limits and appreciate its evolution in different contexts. in the peruvian context, according to la contraloría general de la república peru (2018), it is reported that there are deficiencies in health services. there is lack of specialists at all levels of care evidenced by 26.45% of health centers that do not have sufficient human capital for emergency cases, 43.72% that do not have a specialist in trauma, 23.48% that lack a specialist in anesthesiology, 23.48% pediatrics, 18.22% general surgery. it is enough to remember that all these specialties are considered as minimum human capital in hospitals. on the other hand, the ministry of health of peru (2017) establishes as a priority that all health car e must be of a high level, a nd that good management of resources must be given so that citizens receive quality service care. according to sausa (2018, february 17), she maintains that patient complaints generally stem from the reasons for an ill-advised medical consultation or surgical intervention (44%), lack of explanation about their health status (28%) and the nonconformity of the consultation they received (9%), leading to users making the decision to go to private health services. in view of the above, it is necessary to assess health care in order to assume the problem or reasons that afflict and limit or obstruct the possibility of general quality of services provided to the user. in the case of ophthalmological centers, it can be seen that there is a high level of competition in the labor market for the services offered, so it is important to ensure the loyalty of the services demanded by the population, to which it is also important to provide a timely and humane response. in an ophthalmology center, it was observed that users are served at different stages of life seeking to solve a visual health problem; however, people demand timely and immediate attention. the high turnover of human resources can be seen, as well as the need to receive training to raise the professional skills that offer quality service and good treatment to the patient. in view of this problematic reality observed, the resea rcher s r aised the following gener al research question: how is the relationship between quality of care and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020? the following specific research questions were also raised: how is the relationship between tangibility and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020? how is the relationship between empathy and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020? how is the relationship between responsiveness and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020? how is the relationship between security and loyalty 153cuchupoma, la-riva, bedoya, vega, the quality of care and ... of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020? how is the relationship between reliability and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020? as for the objectives of the study, it was to determinate the relationship between the variables quality of care (and its five dimensiones) and loyalty. with regard to international background, it is worth mentioning melián-alzola and martínsantana (2019), who carried out a study in spain, which allowed them to determine that the effect that quality of care has on user loyalty is user loyalty. on the other hand, dubey and sahu (2019), in india, expressed that the positive relationship between ser vice qua lity, per ceived va lue, customer satisfaction and customer loyalty in hospitals promotes a harmonious relationship between the health center that applies it and the community where it is inserted. likewise, sitio and ali (2019) conducted a study at the rawamangun special surgery hospital, loca ted in ja ka r ta , indonesia , wher e they determined that service quality has a positive and significant effect on patient loyalty; however, the facilities or infrastructure do not have this effect, since it is only attributed to human capital. in germany, guhl, blankart and stargardt (2019), concluded that the service elements of personal interaction, tangible aspects, store policy and availability have a positive effect on perceived customer value and consultation, while reliability does not predominate. on the other hand, wahyuni, nurhayani and indar (2019), concluded that there is a positive relationship between health services and patient loyalty, with a positive effect on the responsiveness and safety dimensions, while no correlation was found between the quality of service or health services variable in terms of the tangibility dimension in indonesia. askar, sartika, hasan, haerani, nur, and citrawati (2019) established that the quality dimensions of distribution services in a hospital located in makassar, indonesia, had satisfied patients, starting with the most prominent level of safety, reliability, empa thy, ta ngibility, and responsiveness. these five dimensions correlate strongly with loyalty to hospital reuse and willingness of the tolerant to suggest these facilities to others. authors boadi, wenxin, bentum-micah, asare and bosompem (2019) concluded that of the five dimensions of quality, safety stands out as having a positive, direct relationship and impact on patient loyalty in the ghanaian context. other authors such as afridi, khan and bangash (2019), in a study conducted in peshawar, pakistan, concluded that quality of health care services has a direct positive impact on patient complaints, demonstrating that when the patient is loyal to the organization he will come for repeated purchases and become its advocate. likewise, anabila, kumi and anome (2019), after an investigation in ghana, concluded that there is a significant positive relationship between quality of care and satisfaction, and in turn, satisfaction has a significant positive relationship with user loyalty, since it was observed that the quality of care is better in private hospitals, showing that the private side obtained better results in quality of care and satisfaction. pekkaya, ýmamoðlu, and koca (2019) applied a similar instrument to that of anabila, kumi and anome (2019) in a hospital located in zonguldak, turkey, finding that the tangibility dimension was extremely high in terms of the causes that generate increased client loyalty. abba si-mogha dda m, ba gher za deh, a nd farrokhi (2019) in a research conducted at tehran university hospital, iran, concluded that the best clinical health care services in iran were considered to be good in the overall quality of services category, but in their counterpart the information given to patients left much to be desired. hussain, sial, usman, hwang, jiang and hafiq (2019) conducted research on pakistan’s public health systems, interacting with services (tangible and environmental), doctor-patient communication, and pharmacy and laboratory services based on patient satisfaction and services, concluded that significant positive effects are generated on patient satisfaction, and loyalty. for husain, pasinringi and hair awang (2019), in a study conducted in indonesia, determined that there is evidence that tangibility, reliability and assurance have the greatest effect on service quality while responsiveness dimensions have the lowest effects. rostami, ahmadian, jahani and niknafs (2018) considered that empathy has a significant impact on patient return to the teaching hospital and is important for their choice to suggest the hospital to others. in the study all dimensions were of significant impact on the hospital setting, the services provided 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 151–161 as well as the timely information to the patient were decisive for patient loyalty. samad, akbar, pasiga, pratiwi, anwar, djamaluddin and afiyah (2018), conducted a similar study in a hospital in indonesia, which concluded that in terms of perceived quality of services, tangibility was the dimension with the highest level of satisfaction in the sample evaluated, while the dimension of dental health care showed the least satisfaction. other results (rehaman and husnain, 2018), obtained in pakistan, determined that the most notable factors, which go hand in hand with better health care provision, were the dimensions of tangibility and empathy, considering them important for user satisfaction; in contrast, reliability and responsiveness proved to be insignificant. mahendrayana, yasa and indiani (2018), after conducting a study a t ba li siloam hospital (indonesia), demonstrated that quality of service has a n effective a nd r eleva nt impact on patient satisfaction, generating patient attachment to the hospital or clinic. marcellia (2018), carried out an investigation in an indonesian public hospital, where they determined that reliability is a critical factor within the best health care services, since this dimension enhances the influence of quality on patient loyalty. authors husain, daeng, montho, and rezky (2017), in r esea rch conducted in indonesia, concluded that all elements within a hospital organization, such as pharmacy, medical records, infrastructure, and health care personnel have a positive effect on patient satisfaction. on the other hand, al-damen (2017), in a study carried out in jordan, confirmed that there is a positive influence between service quality and patient satisfaction, and among the dimensions that predominated were reliability, empathy and safety. according to the results of surydana (2017) in indonesia , hea lth ca re ser vices a nd pa tient satisfaction have a personalized value, significantly influencing customer satisfaction. haeba (2017), also in indonesia, analyzed the relationship between hospitalised patient satisfaction, hospital image and patient loyalty. the results obtained showed that high patient satisfaction has a positive impact on loyalty, and the same effect has an image of the hospital. in the latin american context, ampuero (2017) in an ophthalmology clinic located in lima, peru conducted a correlation study where it was found that there is a significant relationship between better health care performance and patient attachment, 53.4% of patients showed empathy towards the staff that attended them. cajusol and ortiz (2018), in a study carried out in lambayeque, peru, found that better health care services influence the loyalty of users of public hospitals, but with the tangible elements, 32% of user s a gr eed tha t the center never ha s the necessary equipment. horna (2018), in a research conducted in lima, concluded that the better the service provided, the higher the loyalty, and in his research he found enough evidence to determine an average positive correlation between the variables. in colombia, yépez, cepeda and jurado (2018), showed that the user should be the axis on which to focus quality care. they were able to distinguish limitations in access to care, above all due to administrative processes; it is important to know how the user perceives the care received through his or her experience at the center where it was provided. in quevedo, ecuador, bravo (2017) conducted research on customer empathy and marketing. this study determined that the reputation or name of the company is the most valuable, and should be strengthened with strategies; it suggested that complaint handling, after-sales service and sales advice should be corrected, in order to reduce customer turnover. the world health organization (2003) defines quality as the adequate exercise of reliable health benefits for the user, in which the monetary value is in accordance with the possibilities of the people who access health care and which leads to the reduction of the rate of diseases in the population. with respect to the quality of care variable, donabedian (1984), who has one of the most widely accepted concepts of quality worldwide, says that it is the application of science and technological innovations in the field of medicine in such a way as to maximize the advantages for health, while at the same time reducing the risks. the range of quality is, therefore, the desired level that the care provided reaches and therefore the most appropriate stability of risks and benefits. within the document in question are other impor tant points to ta ke into account when describing quality in the health system: “quality is not synonymous with luxury or complexity, but on 155cuchupoma, la-riva, bedoya, vega, the quality of care and ... the contrary, quality in health services must be the same in all health facilities at all three levels of care (sistema de gestión de la calidad en salud / ministerio de salud. dirección general de salud de las personas. dirección ejecutiva de calidad en salud, 2007). the servperf quality mediation scale, proposed by cronin and taylor (1994), states that there are five dimensions (d) to this variable, which are mentioned below. a) d1: tangible elements: the user will observe it and the perspective that the user has, such as the physical appearance of the facilities, infrastructure, the state of the medical material and the human personnel that will take care of it b) d2: reliability: refers to the skill or competence of the health staff to execute the service offered in the medical appointment, users will see it in the way they receive information about their health, the confidence that the staff transmits, (c) d3: responsiveness: when the huma n resources of the organizations have the desire to support patients by providing accurate and appropriate care, d) d4: security: is the confidence that the staff r eflects, gua r a ntee of discer nment a nd gentleness of the health personnel to transmit what the patient expects is confidence, e) d5: empathy or warmth: personal attention given to each user, is the dimension that generates good refer ences on the service provided, with which the level of satisfaction is determined. with respect to the loyalty variable, this term is defined as establishing relationships that allow a profitable and lasting relationship to be maintained with the beneficiaries, generating actions that provide value and thus incr ea sing levels of satisfaction. to achieve success, it is important to know what the client wants, which will make it possible to adjust activities to his predilections (2013). on the other hand, bastos (2006) refers that loyalty is used to increase the level of service with respect to the competition, being aware of their share in the market and that they want to achieve. burgos (2017) states that loyalty is the ability to maintain long-lasting relationships in the most profitable time. alcaide (2015) mentions that a great emotional sense must be established with the clients, it is necessary to go in depth with the functions that are offered since it is a product or service increasing the quality, a loyal client is the goal of all company. it is necessary to arrive at this goal developing oriented guidelines to the client, creating techniques that offer an excellent quality in the offered service and to go of the hand with the relational marketing arriving thus to maintain the clients in the time. alcaide (2015) clarifies that loyalty is the mixture of acquisitions with an attachment interest that the customer has developed towards the service provider. another definition of loyalty is given by oliver (1999) and says that the customer will continue to invest in the transactions or operations of their interest generating a strong commitment between the customer and the brand. loyalty will then be a guided influence to achieve that the beneficiaries maintain constant and invariable union with the company for long and continuous periods. according to promove consultoría e formación slne (2012), loyalty has performance since to keep customers happy means to give them benefits and thus ensure contact links and ensure that the purchase is repeated in the future. loya l customer s become the fir st to recommend the brand, they know it perfectly, they give ideas for improvements or repairs for the company; these customers are imperceptible to the rise in costs or values as they appreciate the service offered to them, thus it is easier to sell something new to a loyal customer than a new customer. there are three pillars of loyalty, which are presented in the following dimensions of the loyalty variable postulated by alcaide (2015): a) d1: company culture: in every company in the areas of the organizations will work among themselves looking for a single objective. b) d2: customer experience: the customer ’s experience within the organization should be a ttra ctive so that they ca n a dvise their acquaintances of the experience they have had. c) d3: relational strategy: nowadays the modern tenure of marketing is to get and increase the business with productive or advantageous customers for the company. finally, in view of the revised theoretical bases and the background explored, this study formulated 156 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 151–161 six hypotheses, shoed in picture 1 and which will be tested by means of scientific procedures detailed in the corresponding sections. gener al hypothesis: t her e is significa nt relationship between quality of care and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. specific hypothesis 1: there is significant relationship between tangibility and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. specific hypothesis 2: there is significant relationship between empathy and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. specific hypothesis 3: there is significant relationship between responsiveness and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. specific hypothesis 4: there is significant relationship between security and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. specific hypothesis 5: there is significant relationship between reliability and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. peru. the sample consisted of 137 users; the sampling was of simple randomized probabilistic type. the survey technique was used to collect the information. for the quality of care variable, an instrument based on the servperf model was used, which includes dimensions of ta ngibility, empathy, responsiveness, safety and reliability with 13 items and a likert scale, with a range of levels of bad 1739, regular 40-62 and good 63-85. for the loyalty variable, an instrument based on alcaide’s theory (2015) was developed, the dimensions of which are company culture, customer experience and relational strategy, with 15 items and a likert scale with a range of levels from low 15-34, regular 35-55 and high 56-75. it should be emphasized that for the validation of this instrument, it was pertinent to present it to a judgment of 5 exper ts, who eva lua ted it a ccor ding to the pertinence, relevance and clarity of the statements, obtaining in a general way the coefficient of 0.96 of aiken’s v., and concluding in this way that it is valid. as for the reliability, cronach’s alpha was applied, obtaining as a result the coefficient of 0.86, concluding that the instrument is very reliable. data processing in graphs and tables was done in the spss program, supported by microsoft office.   result as detailed in table 1, it can be seen that the level of significance was lower than the level of significance (sig<0.05), which affirms that there is a relationship between the quality of care and the loya lty of exter na l user s in per uvia n ophthalmological centers in the year 2020. likewise, there is a considerable positive relationship between both variables, due to the correlation coefficient obtained (r = 0.594). as detailed in table 2, it can be seen that in the case of the specific hypotheses 1, 2, 3 and 5, the level of significance was lower than the level of significance (sig<0.05). therefore, there is a relationship between tangibility, empathy, responsiveness, reliability and loyalty, with an average positive relationship in the results obtained. on the other hand, in the case of the specific hypothesis 4 the level of significance was higher than the level of significance (sig<0.05) so it is stated picture 1 hypothesis raised methods descriptive, cross-correlational, quantitative approach with non-experimental design. the population was made up of 210 external users of both sexes who received therapies for at least 1 month in an ophthalmologic center located in lima, 157cuchupoma, la-riva, bedoya, vega, the quality of care and ... that there is no relationship between safety and loya lty of exter na l user s in per uvia n ophthalmological centers in the year 2020. discussion health institutions are responsible and must be committed to offering the user a safe environment to provide a service that provides confidence and be recognized for their treatment and prestige, generating an environment where customer loyalty flows. t he r esults obta ined wer e the globa l measurement of the quality of care which was of a good level in 97.08 %, likewise, in the dimensions empathy, responsiveness, security and reliability was spearman’s rho correlation quality of care loyalty quality of care correlation coefficient 1.000 0.594 sig. (2-tailed) 0.000 n 137 137 loyalty correlation coefficient 0.594 1.000 sig. (2-tailed) 0.000 n 137 137 table 1 spearman’s rho correlation test between quality of care and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers spearman’s rho correlation results loyalty tangibility empathy responsiveness security reliability loyalty c. coefficient 1.000 0.497 0.381 0.342 0.109 0.452 sig. 0.000 0.000 0.000 0.205 0.000 n 137 137 137 137 137 137 tangibility c. coefficient 0.497 1.000 0.384 0.266 0.145 0.327 sig. 0.000 0.000 0.002 0.090 0.000 n 137 137 137 137 137 137 empathy c. coefficient 0.381 0.384 1.000 0.559 0.353 0.280 sig. 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 n 137 137 137 137 137 137 responsiveness c. coefficient 0.342 0.266 0.559 1.000 0.462 0.408 sig. 0.000 0.002 0.000 0.000 0.000 n 137 137 137 137 137 137 security c. coefficient 0.109 1.145 0.353 0.462 1.000 0.154 sig. 0.205 0.090 0.000 0.000 0.072 n 137 137 137 137 137 137 reliability c. coefficient 0.452 0.327 0.280 0.408 0.154 1.000 sig. 0.000 0.000 0.001 0.000 0.072 n 137 137 137 137 137 137 table 2 spearman’s rho correlation test between quality of care and dimensions of loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers of a good level in 100%, while in the case of the tangibility dimension it reached the good level in 23.4% being a lower figure. in the case of overall loyalty, 86.86% obtained a high level while 13.14% found a regular level. in addition, the results obtained for its dimensions were of a regular level at 97.8%, a high percentage at 2.2% and a low percentage at 0% in the case of the business culture dimension; secondly, a regular level percentage of 81%, a high level percentage of 19% and a low level percentage of 0% was obtained for the user experience dimension and finally a regular level percentage of 52.6%, a low level percenta ge of 47. 4% and a high level percentage of 0% was obtained for the relational strategy dimension. 158 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 151–161 in relation to the objective set was to determine the relationship between quality of care and external user loyalty in peruvian ophthalmological centers in lima, it was obtained that there is a considerable positive correlation between both variables. these results can be compared with horna (2018) and mahendrayana, yasa and indiani (2018) who found a considerable positive correlation between both variables in the study while husain, daeng, montho and rezky (2017) found that all elements within the organization (pharmacy, medical records, infrastructure, health personnel) have a positive effect on patient loyalty. it follows that the user care process needs a measurement and identification of problems and constraints because the environment where the care process occurs undergoes changes according to the factors, institution and collaborators who have within the institutional objectives to quality as policy and regulations, which establish the control a nd monitoring to ensure the quality of services provided to users. it is important to emphasize that the quality indicator has implications on the expectations and perception of the users to achieve the loyalty and confidence that the users have with respect to the services provided. in terms of determining the relationship between tangibility and the loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers, the results obtained were that the tangibility dimension has an average positive correlation with the loyalty variable. this result coincides with cajusol and ortiz (2018) where it is mentioned that there is a relationship between service quality and user loyalty, with the tangibility dimension being a relevant factor in the relationship between both variables. it is evident that tangibility is important since the better this dimension is, the higher the loyalty of external users will be. on the other hand, it should be pointed out that, in addition to its verifiable dimension quality, it is the first factor by which users can perceive the materialization of the service received. however, for samad, akbar, pasiga, pratiwi, anwar, djamaluddin and afiyah (2018) in their study it is concluded that tangibility is the dimension with the highest level of satisfaction having a positive correlation between tangibility and quality of care and on the other hand the dimension of dental health care shows the lowest satisfaction. in order to determine the relationship between empathy and loyalty of external users of a private ophthalmological center in 2020, it was taken into a ccount tha t the empa thy dimension is the dimension that seeks to give personalized attention and that generates good references of the service provided. the result shows that there is an average positive correlation between this dimension and the loyalty variable, which coincides with the results of rehaman and husnain (2018) where they conclude that all the dimensions are positively related and that tangibility and empathy are relevant factors in user loyalty. in relation to determining the relationship between responsiveness and loyalty of external users of a private eye care center in 2020, it is taken into account that the responsiveness dimension is related to meeting user demand promptly and quickly. an average positive correlation was found between this dimension and the loyalty variable, which is similar to wahyuni, nurhayani and indar (2019) in this study on health care services and loyalty of hospitalised patients in india, data was collected by questionnaire from 95 patients. in conclusion, there is a relationship between health services and patient loyalty with a positive effect on r esponsiveness a nd sa fety dimensions. therefore, it follows that both responsiveness and confidence a r e impor ta nt to incr ea se user expectations. in this respect, it should also be pointed out that, for the responsiveness dimension, the previously mentioned background obtained similar results to those obtained in the present study. it should be noted that this dimension is the one that interacts directly with the user’s needs and the one that should receive the most attention. as for determining the relationship between security and the loyalty of external users of a private eye care center in 2020, the security dimension, which is the knowledge and courtesy of the human resource, was found to have no correlation between security and the loyalty variable. on the contrary, al-damen (2017) points out that all its dimensions are positively related but that reliability, empathy and security are predominant factors in user loyalty. it should be noted that despite the results obtained in this research, this dimension should be taken into account as it expresses the user ’s feelings so as not to be at risk. on the other hand, although it is tr ue that the previously described precedent indicates a service model where security is a relevant dimension, it is necessary to consider the situation in which the study was carried out. in the 159cuchupoma, la-riva, bedoya, vega, the quality of care and ... case of the fifth specific objective of determining the relationship between reliability and the loyalty of external users of a private ophthalmological center in 2020, the reliability dimension, which is understood as the way in which the service offered is carried out by providing health information in a timely and careful manner, was found to have an average positive correlation between this dimension and the loyalty variable, whose results are similar to those of sausa (2018, february 17) whose research found a relationship between reliability and user experience because the lack of confidence in the services provided in public health institutions leads to the experience of users being affected by migrating to the private health service, this is understood to mean that the greater the reliability of the services pr ovided, the better the user experience will be. likewise, it is important to know what the user perceives with respect to the services offered in order to implement strategies and improvement plans that are in accordance with the expectations of the user profile. finally, quality is a cornerstone that promotes user confidence and safety in the health services provided to the user, so that loyalty is the result of the processes defined and known by the health tea m who are committed and a ssume responsibility for the ophthalmic care of users who choose to voluntarily care. conclusion and suggestion conclusion there is a considerable positive correlation (sig<0.05; r = 0.594) between the quality of care and the loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. there is an a ver age positive correlation (sig<0.05; r = 0.497) between tangibility and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. there is an a ver age positive correlation (sig<0.05; r = 0.381) between empathy and the loya lty of exter na l user s in per uvia n ophthalmological centers in the year 2020. there is an a ver age positive correlation (sig<0.05; r = 0.342) between responsiveness and the loya lty of exter na l user s in per uvia n ophthalmological centers in the year 2020. there is no correlation between (sig>0.05) security and the loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. as was found in the empirical research, it is necessary to reinforce the quality of service, while this phenomenon increases user loyalty. suggestion it is suggested that hospital directors and administrators should consider measuring the quality of care in their institutions in order to evaluate its reinforcement through talks and training, since it has been demonstrated through this and previous studies that the quality of care is significantly related to user loyalty. we suggest that other researchers conduct r esea r ch in other settings using the sa me methodology used in this study, in order to generate discussion that will enrich this line of research. t his r esea r ch is ma de a va ila ble to undergraduate and graduate students in careers related to health administration so that it can serve as a background for their final papers. refferences abbasi-moghaddam, m., zarei, e., bagherzadeh, r., dargahi, h., & farrokhi, p. (2019). evaluation of service quality from patients’ viewpoint. bmc health services research, 19(170), 1-7. doi: https:/ /doi.org/10.1186/s12913-019-3998-0 afridi, s. a., khan, w., & bangash, r. (2019). impact of servi ce qual i t y on cust om er s’ advocacy; there is an a ver age positive correlation (sig<0.05; r = 0.452) between reliability and loyalty of external users in peruvian ophthalmological centers in the year 2020. picture 2 shoes all established correlations found in the study. picture 2 established correlations 160 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 151–161 mediating role of customers’ loyalty: a case of selected private hospitals of peshawar. sarhad journal of management sciences, 5(1), 157-174. doi: https://doi.org/10.31529/sjms.v5i1.363 alcaide, j., bernues, s., diaz-aroca, e., espinosa, r., muñiz, r., & smith, c. (2013). marketing y pymes: las principales claves de marketing en la pequeña y mediana empresa. madrid: marketing y pymes. alcaide, j.c. (2015). fidelización de clientes. madrid: esic editorial. al-damen, r. (2017). health care service quality and its impact on patient satisfaction “case of al-bashir hospital”. international journal of business and management, 12(9), 136-152. doi: https://doi.org/ 10.5539/ijbm.v12n9p136 ampuero, c. (2017). calidad del servicio y fidelización del paciente en la clínica oftálmica instituto de la visión en el distrito de san borja 2016 (bachellor thesis, universidad inca garcilaso de la vega, lima peru). retrieved from http://repositorio.uigv.edu.pe/ handle/20.500.11818/1714 anabila, p., kumi, d., & anome, j. (2019), patients’ perceptions of healthcare quality in ghana: a review of public and private hospitals. international journal of health care quality assurance, 32(1), 176-190. doi: https://doi.org/10.1108/ijhcqa-102017-0200 askar, m., sartika, d., hasan, z. a., haerani, h., nur, m., & citrawati, c. (2019). level of satisfaction and loyalty of mothers towards delivery services at labuang baji hospital makassar. health notions, 3 (2), 84-91. doi: https://doi.org/10.33846/hn.v2i12.363 bastos, a (2006). fidelización del cliente. introducción a la venta personal y a la dirección de ventas. madrid: ideas propias editorial. boadi, e. b., wenxin, w., bentum-micah, g., asare, i. k., & bosompem, l. (2019). impact of service quality on customer satisfaction in ghana hospitals: a plssem approach. canadian journal of applied science and technology, 7(3), 503-511. bravo, s. (2017). marketing de servicio que permita la fidelización de los clientes de la empresa de medicina prepagada salud s.a. en la ciudad de quevedo (bachellor thesis, universidad laica vicente rocafuerte de guayaquil, guayaquil, e cua dor ). ret ri eved from h t tp: / / repositorio.ulvr.edu.ec/handle/44000/1399 burgos, e. (2017). marketing relacional. la coruña: editorial gesbiblo.sl cajusol, s. y ortiz, f. (2018). calidad de servicio y su influencia en el grado de lealtad de los usuarios de dos hospitales públicos del departamento de lambayeque (master’s thesis, universidad nacional pedro ruiz gallo, lambayeque, peru). retrieved from http://repositorio.unprg.edu.pe/handle/unprg/ 5942 cronin, j., & taylor, s. (1994). servperf versus servqual: reconciling performance-based and perceptions-minus-expectations measurement of service quality. journal of marketing, 58(1), 125131. doi: h t t p: / / dx. doi . org/ 10. 1177/ 002224299405800110 deming, w. e. (1993). calidad, productividad y competitividad. madrid: editorial díaz de santos. donabedian a. (1984). la calidad de la atención médica: definición y métodos de evaluación. méxico city: la prensa médica mexicana. dubey, p., & sahu, s. k. (2019). effect of service quality on perceived value, satisfaction and loyalty of customers: a study on selected hospitals of chhattisgarh. international journal of computer sciences and engineering, 7(3), 55-62. retrieved from https://www.ijcseonline.org/pdf_spl_paper_ view.php?paper_id=678&12-icirstm-ijcse112.pdf guhl, d., blankart, k. e., & stargardt, t. (2019). service quality and perceived customer value in community pharmacies. health services management research, 32(1), 36-48. doi: http://dx.doi.org/10.1177/ 0951484818761730 haeba, r (2017). patient satisfaction, hospital image and patient loyalty in west sulawesi province. business and entrepreneurial review, 17 (1), 1-14. doi: http:/ /dx.doi.org/10.25105/ber.v16i2.5088 horna, i. (2018). calidad de servicio y fidelización del usuario e xt e rno del inst i tut o pe ruano de neurociencias, lima 2018 (master ’s thesis, universidad césar vallejo, lima, peru). retrieved fr om h tt p: // r eposi tor i o. ucv. edu. pe/h a n dl e/ 20.500.12692/22549 husain, f., pasinringi. s., & awang, a. (2019) factors affecting dental center service quality in indonesia. pesquisa brasileira em odontopediatria e clínica integrada, 19(e4269), 1-11. doi: http:// doi.org/10.4034/pboci.2019.191.53 husain, f., daeng, b., & montho, r. (2017). association between servi ce healt h qua lit y a nd pa tient satisfaction – a case study of people in north mamuju, indonesia 2017. international journal of management (ijm), 8(1), 168-174. retrieved from h t t p : / / w w w. i a e m e . c o m / m a s t e r a d m i n / journal_uploads/ijm/volume_8_issue_1/ ijm_08_01_019.pdf hussain, a., sial, m. s., usman, s. m., hwang, j., jiang, y., & shafiq, a. (2019). what factors affect patient satisfaction in public sector hospitals: evidence from an emerging economy. international journal of environmental research and public health, 16(6), 994. doi : ht t ps: / / doi . or g/ 10. 3390/ ijerph16060994 joint commission international (2016) [internet]. https:/ /www.jointcommissioninternational.org. 161cuchupoma, la-riva, bedoya, vega, the quality of care and ... la contraloría general de la república perú (2018). operativo de control «por una salud de calidad. lima: lcgr. marcellia, s. (2018). service quality, satisfaction and trust: a study of public hospitals in bandung, indonesia. international journal of engineering & technology, 7(3.3), 393-396. doi: http://dx.doi.org/ 10.14419/ijet.v7i3.30.18340 mahendrayana, i. m. a., yasa, p. n. s., & indiani, l. p. (2018). the effect of service quality on patient loyalty mediated by patient satisfaction in bali sil oam hospital . jurnal ek onomi & bisnis jagaditha, 5(1), 1-7. doi: http://doi.org/10.22225/ jj.5.1.440.1-7 pekkaya, m., ýmamoðlu, o. p., & koca, k. (2019) evaluation of healthcare service quality via servqual scale: an application on a hospital. international journal of healthcare management, 12(4), 1-8, doi: https://doi.org/10.1080/20479700.2017.1389474 melián-alzola, l., martín-santana, j. d. (2019). service quality in blood donation: satisfaction, trust and loyalty. service business, 14(1), 101-129. https:// doi.org/10.1007/s11628-019-00411-7 min i str y of hea l t h of per u. (2017). pl an de fortalecimiento de la gestión de calidad en salud. unidad funcional de gestión de calidad en salud. lima: ministerio de salud. oliver, r. l. (1999). whence consumer loyalty? journal of marketing, 63(1), 33-44. doi: http://dx.doi.org/ 10.2307/1252099 ostrom, a. l., parasuraman, a., bowen, d. e., patricio, l., & voss, c. a. (2015). service research priorities in a rapidly changing context. journal of service research, 18(2), 127-159. doi: https://doi.org/ 10.1177/1094670515576315 promove consultoría e formación slne. (2012). atraer y fidelizar clientes. madrid: editorial producciones khartum sl. rehaman, b., & husnain, m. (2018). the impact of service quality dimensions on patient satisfaction in the private healthcare industry in pakistan. journal of hospital & medical management, 4(1), 1-8. doi: http://doi.org/10.4172/2471-9781.100048 rostami, m., ahmadian, l., jahani, y., & niknafs, a. (2018). t h e effect of pa t i en t sa t i sfa cti on wit h a ca demi c hospit a l s on t h eir l oya l ty. international journal of health planning and management, 34(1), 1-10. doi: https://doi.org/ 10.1002/hpm.2685 samad, r., akbar, f. h., pasiga, b. d., pratiwi, r., anwar, a. i., djamaluddin, n., & afiyah, n. (2018). evaluation of patient satisfaction on quality of public dental health service from different dimensions in indonesia. pesquisa brasileira em odontopediatria clínica integrada, 18(1), 1-8. doi: https://doi.org/ 10.4034/pboci.2018.181.49 sausa, m. (2018, february 17). situación de la salud en perú: ineficiencias del sector están afectando a millones de peruanos. perú 21. retrieved from https: //peru21.pe/peru/situacion-salud-peruineficiencias-sector-afectando-millones-peruanos396225 sistema de gestión de la calidad en salud / ministerio de salud. dirección general de salud de las personas. dirección ejecutiva de calidad en salud. (2007). rm 519-2006/minsa. lima: ministerio de salud. retrieved from http://bvs.minsa.gob.pe/local/dgsp/ 000_sgcalidad-1.pdf sitio, t., & ali, h. (2019). patient satisfaction model and patient loyalty: analysis of service quality and facility (case study at rawamangun special surgery hospital). scholars bulletin, 5(10), 551-559. doi: https://doi.org/10.36348/sb.2019.v05i10.002 surydana, l. (2017). service quality, customer value and patient satisfaction on public hospital in bandung district, indonesia. international review of management and marketing, 7(2), 187-192. retrieved from https://www.econjournals.com/ index.php/irmm/article/view/3839/pdf wahyuni, s., nurhayani, & indar, h. (2019). relationship of health service quality with inpatients’ loyalty at rsud makassar city. indian journal of public health research & development, 10(7). doi: https:/ /doi.org/ 10.5958/0976-5506.2019.01719.4 world health organization. (2003). chapter 7: health systems: principled integrated care. retrieved from https://www.who.int/whr/2003/chapter7/en/ yépez-chamorro, m. c., ricaurte-cepeda, m., & jurado, d. m. (2018). calidad percibida de la atención en salud en una red pública del municipio de pasto, colombia. universidad y salud, 20(2), 97-110. doi: http://dx.doi.org/10.22267/rus.182002.114 e:\2021\ners april 2021\1-jurna 1 nuraisya, erdi, the correlation of parents height characteristics and ... the correlation of parents height characteristics and maternal nutritional status during pregnancy based on upper arm circumference (uac) and stunting incidence of toddlers aged 24-59 months in the working area of berbek community health center nganjuk regency wahyu nuraisya1, wahyu erdi2 1,2midwifery department, stikes karya husada kediri, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk keywords: stunting, parent’s heigt, upper arm circumference (uac), and toddler aged 24-59 month article information abstract stunting in indonesia was the fifth ranks in the world, influenced by many factors, some of which are the height of the parents and the nutritional status of the mother during pregnancy. the purpose of this research was to determine the correlation of parent height characteristics and maternal nutritional status during pregnancy based on upper arm circumference (uac) with stunting incidence in toddlers aged 24-59 months in the working area of the berbek public health center nganjuk regency. the research design used correlation analytic research design with observational method with case control approach. the independent variables consisted of parental height characteristics and maternal nutritional status during pregnancy based on uac, and the dependent variable was stunting incidence. the population was 2266 respondents of under-five children aged 24-59 months. the sampling technique used quota sampling consisted 96 respondents. the instrument used height measurement tool, the mother’s child health book and the public health center weigh activity report, 2011. this research was conducted from 22 july to 22 august 2019 in three selected villages namely sumberurip, sumberwindu and semare villages. data analysis used chisquare test  (0.05).the results showed that almost all mothers and fathers had normal height characteristics, almost all respondents had the nutritional status of the mother during normal pregnancy. analysis of height, circumference of the mother, and nutritional status of the mother during pregnancy based on upper arm circumference (uac) was obtained  value = 0.036; 0,000 and 0,000 <  0,05. it meant that there was a correlation between parental height characteristics and maternal nutritional status during pregnancy based on upper arm circumference (uac) with the incidence of stunting in children aged 24-59 months in the berbek public health center nganjuk 1 history article: received, 12/03/2020 accepted, 03/11/2020 published, 15/04/2021 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p001-012&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 1–12 correspondence address: stikes karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x regency parental height and nutritional status of the mother during normal pregnancy, it will have the opportunity to have a child with good growth. introduction stunting is a condition in which toddlers have less length or height when compared to age. this condition is measured by a length or height that is more than minus two standard deviations from the who median growth standard for children. toddler stunting includes chronic nutritional problems caused by many factors such as socioeconomic conditions, maternal nutrition during pregnancy, illness in infants, and lack of nutritional intake in infants. toddlers with stunting in the future will have difficulty a chieving optima l physica l a nd cognitive development (budijanto, 2018). the problem of stunting is one of the problems faced in the world today. according to data from the joint child malnutrition estimated that in 2017 there were 22.2% or around 150.8 million children under five in the world who were stunted. half of the stunted children under five in the world are from asia (55%), while more than a third (39%) live in africa. of the 83.6 million stunted children under five in asia, the highest proportion came from south asia (58.7%) and the lowest proportion in central asia (0.9%). poor and developing countries also experience stunting, one of which is indonesia (unicef, 2013). indonesia is the fifth rank in the world with the highest number of stunted children (trihono, et al, 2015). stunting is a problem associated with an increased risk of illness and death, sub optimal brain development so that motor development is delayed and mental growth is inhibited (nurkarimah, 2018). the results of the basic health research (riskesdas) in 2018 showed the national prevalence of stunting in 2013 was (37.2%), while in 2018 the prevalence of stunting was (30.8%), which means a decrease, but still above the 2019 rpjmn target value. amounting to (28%). the success in reducing the prevalence of stunting nationally doesn’t mean that it has been completed and successful, but it is still a common task to achieve the national stunting reduction target (28%). although the incidence of stunting has decreased nationally, indonesia is still in problem because the decline is still above the standard stunting prevalence rate set by who, the prevalence is 30%. according to data on the selection of 10 priority villages in 100 districts / cities in indonesia, by the national team for the acceleration of poverty reduction (tnp2k) in 2017, nganjuk district, the incidence of stunting was number 49 out of 100 districts / cities in indonesia in 2013, the prevalence of stunting 44.33 % and the number of children under five with stunting in that year was 36,970 people. in the 1,000 priority villages for stunting in 2018, based on the calculation, 10 villages were selected in each district / city, and nganjukdistrict was included in one of the 1,000 priority villages, where the villages classified include mojoduwur, pa tr anr ejo, sumber ur ip, bodor, cengkok, mojokendil, sumberksatria, sukoharjo, perning, and lumpang kuwik (budijanto, 2018). the risk of stunting increased in several ways. the height of the parents can have an impact on the linear growth of the next generation during the growth period. this influence includes genetic and non-genetic factors, the effect of intergenerational nutrition which affects growth where there is a barrier to attainment of height according to genetic potential, especially in low or middle income people (supariasa, 2014) based on the research of amalia miftakhul rochmah and enny fitriahadi (2017) in the working area of the wonosari i, the public health center, mothers who had short stature and have stunting children in the working area of public health center email: w.nuraisya@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p001–012 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p001-012 3 nuraisya, erdi, the correlation of parents height characteristics and ... wonosari i were 68.4% (26) people. another research by zottareli (2014), in egypt that mothers who had a height <150 cm were more at risk of having a stunted child than mothers with a height > 150 cm. in addition, according to naik r and r smith (2015), women who have been stunted since childhood will grow up with various types of growth disor der s including repr oductive disor der s, complications during pregnancy, difficulty in childbirth, and even perinatal death. birth length is closely related to the height of the parents. mothers with short stature are more likely to give birth to short children (kusuma, 2014). a mother who is stunted has the potential to give birth to a child who will be stunted. another research, kisye, et al (2018), in the tombatu utara district, southeast minahasa regency, that as many as 25 parents have short bodies, where there are 20 children who are stunted (80.0%) and 5 children are not stunted (20.0 %). parents who have normal height are 50 people, where there are 11 stunted children (22.0%) and 39 children who are not stunted (78.0%), this shows that there is a correlation between the parents’ height and the incidence. stunting. apart from the risk factors for the height of the parents, another thing, namely the nutritional status of the mother during pregnancy affects the growth and development of the fetus. pregnant women mothers who experience chronic energy deficiency (ced) or anemia during pregnancy give birth to babies with low birth weight (who, 2010). research sukmawati, et al. (2018) in the working area of the bontoa public health center, maros regency, that the nutritional status of mothers with chronic energy deficiency (ced) of normal child nutritional status based on height / age is 6.3% and the nutritional status of mothers with chronic energy deficiency (ced) with children’s nutritional status based on height / age (stunting) is 22.1% while the normal nutritional status of mothers based on upper arm circumference (uac) with the nutritional status of children based on height / age (normal) was 44.2% and normal nutritional status of mothers based on upper arm circumference (uac) with nutritional status of children based on height / age (stunting) was 27.4%. based on the statistical test, it was obtained that the value of p = (0.01) was smaller than the value of (0.05), which means that there was a correlation between maternal nutritional status based on upper arm circumference (uac) and the incidence of stunting. other r isk fa ctor s a r e consumption of malnutrition, infectious diseases / chronic diseases, endocrine problems, chromosomal abnormalities, knowledge factors, cushing syndrome, parental education, employment and economic status, low birth weight (lbw), gender and age. management related to the incidence of stunting is by providing the fulfillment of nutritional adequacy for toddlers, a program of supplementary foods has been established, especially for stunting infants, if the body weight is in accordance with the calculation of body weight a ccor ding to height, then supplementary foods for stunting toddlers can be stopped and continued with balanced food nutrition of the family (budijanto, 2018). in addition to this, according to the research journal nurkarimah (2018), namely by sca ling up nutrition by intervening in giving breast milk only (exclusive breastfeeding) to infants up to 6 months of age. whereas in the village pocket book in handling stunting 2017, stunting can be intervened in 10 ways, including; pregna nt women r eceive a blood supplement of at least 90 tablets during pregnancy, supplementary feeding for pregnant women, nutritional fulfillment, delivery with an expert doctor or midwife, early initiation of breastfeeding (imd), exclusive breastfeeding for babies up to 6 months of age, provide complementary feeding (mp-asi), provide complete basic immunization and vitamin a, monitor the growth of toddlers at the related posyandu, conduct clean and healthy behavior (phbs) (sandjojo, 2017). the problem caused by the incidence of stunting is insufficient nutritional intake for a long time, due to feeding that is not in accordance with nutritional needs. stunting occurs when the fetus is still in the womb and only appears when the child is two years old. based on the a for mentioned background, researchers interested in conducting this research due to health problems, especially in children who were stunted, given the importance of health for children because it was one of the human resource assets in the future, researchers interested in conducting research on the factors that caused stunting. in the working area of the public health center berbek, nganjuk regency. methods the research design used correlation analytic with obser va tiona l method a nd ca se contr ol approach. the independent variables was the 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 1–12 characteristics of the parents’ height and the nutritional status of the mother during pregnancy based on upper arm circumference (uac) and the dependent variable was the incidence of stunting. the total population was 2266 respondents of children under five aged 24-59 months. the sampling technique used quota sampling and obtained 96 respondents as the sample. the instruments were height measurement tools, mch books and 2019 health center weighing month activity reports. the standard of normal and abnormal height based on the indonesian ministry of health (2019) with the threshold of normal adult male height was 155 cm and short was <155 cm, whereas the threshold for normal adult female weight was 150 cm and for short was <150 cm. the standard measure of upper arm circumference (uac) (in centimeters) during pregnancy with the criterion for under nutrition/ chronic energy deficiency (ced) was <23.5 cm while the good nutrition/ normal was  23.5. the incidence of stunting used the standard height for age (height / age) based on the z-score. this research was conducted from 22 july to 22 august 2019 in three selected villages, namely sumberurip, sumberwindu and semare villages. data analysis used the chi-square test á (0.05) result the specific data tabulation were presented in the form of tables which described the correlation of parents’ height and maternal nutritional status no height (father) frequency percentage (%) 1 normal 95 99 2 short 1 9 total 96 100 table 1 frequency distribution of height of the parents (father) at public health center berbek, nganjuk regency, from july 22 to august 22 2019 based on the table 1 it can be explained that the results of the r esea rch of a tota l of 96 r espondents showed tha t a lmost a ll of the respondents were in normal height as many as 95 respondents (99%). no maternal height frequency percentage (%) 1 normal 73 76 2 short 23 24 total 96 100 table 2 frequency distribution of parents (mother) height at public health center berbek, nganjukregency, from 22 july to 22 august 2019 no mother’s nutritional status during pregnancy frequency percentage (%) 1 good/normal nutrition 78 81.2 2 poor nutrition / chronic energy deficiency (ced) 18 18,8 total 96 100 table 3 frequency distribution of maternal nutritional status during pregnancy based on upper arm circumference (uac) at public health center berbek, nganjuk regency, from 22 july to 22 august 2019 no criteria for frequency percentage (%) stunting incidence 1 not stunting 78 81,2 2 stunting 18 18,8 total 96 100 table 4 frequency distribution of stunting at public health center berbek, nganjuk regency, from 22 july to 22 august 2019 during pregnancy based on upper arm circumference (uac) and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at public health center berbek, nganjuk regency as follows: based on the table 2 it can be explained that almost all of the 73 respondents (76%) were in the category of normal height criteria. based on table 3, it can be explained that the results of the research of a total of 96 respondents showed that almost all of the respondents/ as many as 78 respondents (81.2%) had good nutritional status during pregnancy 5 nuraisya, erdi, the correlation of parents height characteristics and ... stunted children 0.179 times compared to parents who had normal height. the coefficient correlation value of 0.209 was included in the low level of correlation. meanwhile, the ci value of 95% (confidence interval) = 0.116-0.275, which meant that parents (fathers) who had short stature affected the incidence of stunting by 0.116-0.275 times. table 6 shows that from 96 respondents, it was found that parents (mothers) who had a short height. a small proportion of 23 respondents (24%) had an incidence of stunting with 18 respondents (18.8%). while parents who had normal height, almost all of the respondents/ 73 respondents (76%) showed there was no incidence of stunting, 73 respondents (76%). the results of the analysis on the correlation between the characteristics of the parents’ height and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency, used the chi-square statistical test obtained the value of  value =0.000 < 0.05, which meant that there was correlation between height of parents (mother) and incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months in public health based on table 4 it can be explained that the from a total of 96 respondents, almost all/ 78 respondents (81.2%) did not experience stunting table 5 shows that from 96 respondents, it was found that parents (father) who had short stature was 1 respondent (1%). there was an incidence of stunting by 1 respondent (1%). on other side, a lmost a ll the r espondents a s ma ny a s 95 respondents (99%) had normal height and there was no incidence of child stunting as many as 78 respondents (81.2%) the analysis of the research on the correlation of the height of the parents (father) a nd the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency, using the chi-square statistical test obtained the value of  value = 0.036 < 0.05, which meant there was a correlation between height of parents (father) and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at public health center berbek, nganjuk regency. the results of the risk estimation, the or (odds ratio) value = 0.179 meant that parents (fathers) who had short stature had the opportunity to experience the incidence of no. height (father) total stunting incidence total stunting not stunting f % f % f % 1 short 1 1 0 0 1 1 2 normal 17 17,7 78 81,2 95 99 total 18 18,8 78 81,2 96 100  0,036 <  0,05 or : 0,179 (r) 0,209 ci : 0,116 – 0,275 table 5 cross tabulation of the correlation of the height of the parents (father) and the incidence of stunting in toddlers ages 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency, from july 22 to august 22, 2019 table 6 cross tabulation of parents’ (mother) height and incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at public health center berbek, nganjuk regency, from july 22 to august 22, 2019 no. maternal height total stunting incidence total stunting not stunting f % f % f % 1 short 18 18,8 5 5,2 23 24 2 normal 0 0 73 76 73 76 total 18 18,8 78 81,2 96 100  0,036 <  0,05 or : 4,600 (r) 0,650 ci : 2,118 – 9,989 6 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 1–12 center berbek, nganjuk regency. in the results of the risk estimation, the or (odds ratio) value = 4,600 meant that parents (mothers) who had short stature had a chance to experience the incidence of stunting 4,600 times compared to parents (mothers) who had normal height. the value of the coefficient correlation of 0.650 was included in the level of a strong correlation. meanwhile, the ci value of 95% (confidence interval) = 2.118-9.989, which meant that parents (mothers) who had short stature had an effect on the incidence of stunting by 2.1189.989 times table 7 shows that from 96 respondents, it was found that almost all of the respondents as many as 78 respondents (81.2%) parents had good/ normal nutrition. there was no stunting incident for 74 respondents (77.1%). i other and, parents who had malnutrition / chronic energy deficiency (ced) were 18 respondents (18.8%) and 14 respondents (14.6%) were stunting. t he r esults of r esea rch ana lysis on the correlation between the nutritional status of mothers dur ing pr egna ncy ba sed on upper ar m circumference (uac) and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency, using the chisquare statistical test obtained the value of  value = 0.000 <  0.05, which meant there was a correlation between maternal nutritional status dur ing pr egna ncy ba sed on upper a r m circumference upper arm circumference (uac) and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at public health center berbek, nganjuk regency. the value of the coefficient correlation was 0.588, and the level of the correlation was medium. the results of the risk estimation the or (odds ratio) was value = 0.234 meant that parents who had poor nutritional status/ chronic energy deficiency (ced) had the opportunity to experience the incidence of stunting 0.234 times compared to pa r ents who ha d nor ma l nutr itiona l sta tus. meanwhile, the ci value of 95% (confidence interval) = 0.099 had .557, which meant that parents who had low nutritional status / chronic energy deficiency (ced) had an effect on the incidence of stunting by 0.099-0.557 times. discussion based on the results of the research, the height of the fathers from a total of 96 respondents showed that almost all of the respondents/ 95 respondents (99%) were in the category of normal height.. the results of the analysis on the correlation between the characteristics of parents’ height and the incidence of stunting of toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency, using the chi-square statistical test, obtained the value of  value = 0.036 < 0.05, which meant that there was a correlation between the characteristics of parents’ height (father) and the incidence of stunting in children aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency. in the results of the risk estimation, the or (odds ratio) value = 0.179 meant that parents (fathers) who had short stature had the opportunity to experience the incidence of stunted children 0.179 times compared to parents who had normal height. the coefficient correlation value of 0.209 was included in the low level of correlation. meanwhile, the ci value of 95% table 7 cross tabulation of the correlation of maternal nutritional status during pregnancy based on upper arm circumference (uac) and the incidence of stunting in toddlers ages 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency no. incidence of stunting total stunting not stunting f % f % f % 1 poor nutrition/ chronic energy deficiency (ced) 14 14,6 4 4,2 18 18,8 2 good/normal nutrition 4 4,2 74 77,1 78 81,2 total 18 18,8 78 81,2 96 100  0,000 <  0,05 or : 0,234 (r) 0,588 ci : 0,099-0,557 maternal nutrition status during pregnancy 7 nuraisya, erdi, the correlation of parents height characteristics and ... (confidence interval) = 0.116-0.275, which meant parents (fathers) who had short stature affected the incidence of stunting by 0.116-0.275 times. the characteristics of the body height of the parents where one or both parents of the child had a short height, the normal maternal height threshold was more than 150 cm and less than 150 cm. fathers with normal stature had a height over 155 cm, while short stature was less than 155 cm tall. short stature (stunting) was an index of nutritional status where body length/ height by age was below the normal line. basically, the definition of stunting was relative, depending on the height of the parents and the gr owth pattern of the local population. t he population was related to a certain race or class. based on the results of the research, it was found that almost all parents (father) had the characteristics of normal height criteria. this was due to the parents (father) height that was 155 cm more, as can be explained that the height of the parents was in normal height, however in this research there was also a small proportion of parents who had abnormal height, namely mr. x which had height less than 155 cm. according to khoirun ni’mah and siti rahayu nadhiroh (2015), the height of the father and mother which a factor that was closely related to the cause of stunting. parents who had short stature were at risk for their children being stunted. characteristics of the height of the parents in which one or both parents of the child were short. fathers of normal stature had a height of more than 155 cm, while short stature had less than 155 cm. the threshold for normal maternal height was more than 150 cm, short was less than 150 cm. short statures (stunting) were an index of nutritional status where body length / height by aged below the normal line. basically, the definition of stunting was relative, depending on the height of the parents and the growth pattern of the local population. the population in question was related to a certain race or group. height was a form of genetic expression, and a factor that passed on to children and associated with the incidence of stunting. children with short parents, either one or both, were more at risk of growing short than children with parents of normal height. parents who were short because the genes on the chromosomes carry the short trait are likely to pass on the short trait to their children. but if the short trait of parents due to nutritional or pathological problems, then the short trait will not be passed on to the child (supariasa, 2014). based on results of the research, it can be explained that mother’s height showed almost all respondents 73 respondents (76%) had normal characteristics. the results of the analysis of the research on the correlation between the characteristics of the parents’ height and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk regency, used the chisquare statistical test obtained the value of  value = 0.000 <  0.05, which means that there was correlation between height of parents (mother) and incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months in public health center berbek nganjuk, regency. in the results of the risk estimation, the or (odds ratio) value = 4,600 meant that parents (mothers) who had short stature have a chance to experience the incidence of stunting 4,600 times compared to parents (mothers) who had normal height. the value of the coefficient correlation of 0.650 included in the level of a strong correlation. meanwhile, the ci value of 95% (confidence interval) = 2.1189.989, which means that parents (mothers) who had short stature have an effect on the incidence of stunting by 2.118-9.989 times. the incidence of stunting influenced by several factors, such as genetic factors (nurkarimah, 2018). genetic factors such as short birth length caused by genetic factors, namely the height of the parents. birth length was closely related to the height of the parents. mothers with short stature are more likely to give birth to short children (kusuma, 2014). the results of research conducted by khoirun ni’mah and siti rahayu nadhiroh (2015) also shown that maternal height had a factor that was closely related to the causes of stunting. the same results were also shown in a research conducted by kristina (2015) that maternal height had a significant correlation with the incidence of stunting in toddlers with a p-value = 0.01, and or = 0.04, which means that 2 times the risk of experiencing stunting. . in a research conducted by mongkolchati (2010), maternal height had a significant correlation with the incidence of stunting with a p-value = 0.001 (p <0.05). the presence of respondents with normal height who had not stunted and the height of the parents (mother) had stunted, this shows that it was tr ue tha t the height of the pa rents (mother) contributes to the incidence of stunting in children, as illustrated in this research there is a correlation between height. parents (mother) with the incidence 8 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 1–12 of stunting in toddlers aged 24-59 months, this can be seen from the significant value -value 0.000 <  value 0.05 with a strong level of correlation the research found the height of the parents (mother) with the incidence of stunting of toddlers aged 24-59 months that almost all respondents (mother) had normal height and there was no incidence of stunting. whereas parents who had short stature had incidence of stunting this showed that the height of the parents (mother) had an impact on the occurrence of stunting in children. although it was not proven for all respondents as a risk factor, mothers and fathers who had short stature were found some stunted children compared to normal elderly people who had less likely to experience stunting. this showed that there was a tendency that short parents had short children as well. based on the results of the research, it was explained that the results of the research of a total of 96 respondents showed that almost all 78 respondents (81.2%) had nutritional status during pregnancy with good / normal nutrition criteria. nutritional intake in children under five was very important in supporting growth according to the growth chart so that growth faltering was not occur which can cause stunting. the same thing was also expressed by kusuma (2014) where the lack of fulfillment of nutrients during pregnancy. short birth length in children indicates a lack of nutrients that the mother takes during pregnancy, so that the growth of the fetus was not optimal which results in newborn having a short birth length. respondents in this research had nutritional status during pregnancy, as most respondents had nutritional status during pregnancy with good / normal nutrition criteria, this meant that during pregnancy the parents have received the fulfillment of nutrients during pregnancy. the nutritional status of the mother had good as a sign that the mother fulfills the nutrients that the mother receives so that it affected the condition of her ba by during pregnancy, fetal growth can be optimal if the mother’s nutrition was properly fulfilled, on the other hand, the growth of the fetus can be disturbed and growth less than optimal if the mother got it. good nutritional intake. based on the results of the research, it was explained that from a total of 96 respondents, it was indicated that almost all 78 respondents (81.2%) did not experience stunting according to soetjiningsih (2016) stunting (short stature) is an index of nutritional status where body length / height by age is below the normal line. stunting is a chronic condition that describes stunted growth due to long-term malnutrition. stunting according to the who child growth standard is based on the index of body length for age (length / age) or height for age (height / age) with a limit (z-score) of less than -2 sd. stunting in toddlers needs special attention because it can hinder children’s physical and mental development. stunting is associated with an increased risk of illness and death as well as stunted development of motor and mental abilities. stunting in toddlerhood needs special attention, including children aged 2-3 years. the growth process at the age of 2-3 years tends to experience a slowdown so that the chances of catching growth are lower than at the age of 0-2 years. age 2-3 years is the age of children experiencing rapid development. maximum physical conditions are needed to support this development, where in children who are stunting the development of motor and cognitive abilities can be impaired. children at this age also need more attention in terms of intake because of higher energy needs and more varied dietary needs compared to those aged 0-2 years (yupi supartini, 2014) in this r esea r ch, wher e the r espondents showed that most of them did not experience stunting, this because the respondents did not experience short stature, that were, the respondents had a normal body length which illustrates that they were not stunted. this shows that they had short and very short stature. this made clear from the 2019 public health center weigh month activity r epor t tha t r esea r cher s used a s a r esea r ch measurement tool. however, there was still a small proportion of respondents who experience stunting which influenced by various factors such as the characteristics of the parent’s height, the nutritional status of the mother during pregnancy, which had an impact on the occurrence of stunting. the results of the analysis on the correlation between the characteristics of the parents’ height and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk, regency, using the chi-square statistical test, obtained the value of  value = 0.036 < 0.05, which meant that there was a correlation between the characteristics of the height of the parents (father) with the incidence of stunting of toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk, regency. in the results of the 9 nuraisya, erdi, the correlation of parents height characteristics and ... risk estimation, the or (odds ratio) value = 0.179 meant that parents (fathers) who had short stature had the opportunity to experience the incidence of stunted children 0.179 times compared to parents who had normal height. the coefficient correlation value of 0.209 included the low level of correlation. meanwhile, the ci value of 95% (confidence interval) = 0.116-0.275, which meant that parents (fathers) who had short sta tur e a ffected the incidence of stunting by 0.116-0.275 times. research conducted by kisye (2018) also shows that there was a significant correlation between the characteristics of the father’s height and the incidence of stunting with a value of value = 0.006 ( = <0.05). the presence of respondents with normal height who were not stunted and the stature of short parents stunted, this showed that was true that the height of the parents contributes to the incidence of stunting in children, as illustrated in this research there was a correlation between the height of the parents the incidence of stunting in children aged 24-59 months can be seen from the significant value -value 0.036 <  value 0.05 with a strong correlation. this research found that the characteristics of the height of the parents (father) with the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months, found that almost all of the respondents’ parents (father) had normal height and there was no incidence of stunting children. while the parents (father) who had short stature, there was a small proportion of the incidence of stunting children, this shows that the height of the parents (father) has an impact on the occurrence of stunting in children, although it was not proven for all respondents as a risk factor, the parent (father).normal children were found to be not stunted compared to normal parents (fathers) who were stunted. this showed that there was a tendency that short children had short parents (fathers). the results of the analysis of the research on the correlation between the characteristics of the parents’ height and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at the public health center berbek, nganjuk, regency, using the chisquare statistical test obtained the value of  value = 0.000 < 0.05, which meant that there was the correlation between the height of parents (mother) and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months in public health center berbek, nganjuk, regency. in the results of the risk estimation, the or (odds ratio) value = 4,600 meant that parents (mothers) who had short stature had a chance to experience the incidence of stunting 4,600 times compared to parents (mothers) who had normal height. the value of the coefficient correlation was 0.650 included in the level of a strong correlation. meanwhile, the ci value of 95% (confidence interval) = 2.118-9.989, which meant that parents (mothers) who had short stature have an effect on the incidence of stunting by 2.118-9.989 times. research conducted by khoirun ni’mah and siti rahayu nadhiroh (2015) also shows that maternal height is a factor that is closely related to the causes of stunting. the same results were also shown in research conducted by kristina (2015) that maternal height had a significant correlation with the incidence of stunting in toddlers with a value of -value = 0.01, and or = 0.04, which means that 2 times the risk of experiencing stunting. in a research conducted by mongkolchati (2010), maternal height had a significant correlation with the incidence of stunting with a value of -value = 0.001 ( <0.05). the presence of respondents with normal height who were not stunted and the stature of short parents who were stunted showed that it was true that the height of the parents contributed to the incidence of stunting of toddlers. as illustrated in this research, there was a correlation between the height of the parents and the incidence of stunting of toddlers aged 24-59 months. this can be seen from the significant value -value 0.000 < value 0.05 with a strong correlation level. this research showed that the height of the parents with the incidence of stunting among toddlers aged 24-59 months found that most of the parents who had normal height had no incidence of stunting. in other hand parents (mothers) who had short stature had the incidence of stunting. this showed that the parents’ height had an impact on the occurrence of stunting in toddlers. although it was not proven for all respondents as a risk factor, shorter mothers were found to have more stunted children compared to normal parents (mothers) who were less likely to experience stunted children. this result showed that there was a tendency that short parents had short children as well. the results of the research analysis on the correlation between the nutritional status of mothers during pregnancy based on upper arm cicurference (uac) and the incidence of stunting of toddlers aged 24-59 months at the public health 10 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 1–12 center berbek, nganjuk, regency, using the chisquare statistical test obtained the value of  value = 0.000 <  0.05, which meant there was a correlation between maternal nutritional status during pregnancy based on lila with the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months at public health center berbek, nganjuk, regency. the value of the coefficient correlation was 0.588 with the level of the correlation was medium. in the results of the risk estimation, the or (odds ratio) value = 0.234 meant that parents who had poor nutritional status / chronic energy deficiency (ced) had the opportunity of experiencing the incidence of stunted children 0.234 times compared to parents who had normal nutritional status. meanwhile, the ci value of 95% (confidence interval) = 0.099-0.557, which meant that parents who had low nutritional status/ chronic energy deficiency (ced) had an effect on the incidence of stunting by 0.099-0.557 times. groups prone to nutritional problems were infants, children under five years of age, pregnant women and the elderly. pregnant women who had one of the groups that was vulnerable to nutrition need to get good and quality health services so that these women can ha ve a healthy pregna ncy (ministry of health ri, 2018) according to budijanto (2018), he states that nutrition obtained from birth greatly affects his gr owth, including the r isk of stunting, not implementing adequate nutrition a factor in the occurrence of stunting. nutritional intake, lack of fulfillment of nutrients during pregnancy. short birth length in children indicates a lack of nutrients taken by the mother during pregnancy, so that the growth of the fetus was not optimal, which results in babies born having a short birth length. this research supported by previous research conducted by fajrina n., (2016) the results of the chi square statistical test obtained a p value of 0.005 or  <0.05, there is a correlation between the nutritional status of mothers during pregnancy and the incidence of stunting p-value = 0.01 ( <0.05). this research also in line with that conducted by sartono (2013) which also showed that there was a significant correlation between chronic energy deficiency in pr egna ncy (chr onic ener gy deficiency) and the incidence of stunting with a value of  = 0.042 <0.05. according to the opinion of the research analysis, it was found that there was a correlation between the nutritional status of mothers during pregnancy based on upper arm circumference (lila) and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months. impact on the less than optimal fetal growth so that after birth, the child was stunted. mother s who exper ience chr onic ener gy deficiency (ced) nutrition tent to be at risk for their children experiencing stunting. the more mothers experiencing chronic energy deficiency (ced) nutrition, the more risk of stunting, this made clear from the or (odds ratio) value = 0.234 means that parents who have low nutritional status / chronic energy deficiency (ced) likely to experience the incidence of stunted children 0.234 times compa red to pa rents who had nor ma l nutritional status, which means that parents who ha d low nutritiona l status / chronic ener gy deficiency (ced) had an effect on the incidence of stunting. conclusions based on the results of the research at public health center berbek, nganjuk regency, about the correlation of parental height and maternal nutritional status during pregnancy based on upper arm circumference (uac) and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months; showed almost all of the respondents had normal height criteria. almost all of the respondents had a good / normal nutritional status during pregnancy. based on the results of the statistical tests, there was a strong correlation between the height of the parents and the incidence of stunting in toddlers aged 24-59 months. there was a moderate correlation between the height of the parents and the incidence of stunting in children aged 24-59 months in the working area of public health center berbek, nganjuk regency. suggestions for respondents it is recommended for respondents / parents that supplementary food (pmt) from the health center should be given to their children as well as adequate nutrition for children, providing stimulation for children’s growth and development by inviting them to play while learning and eating. it is also recommended for respondents who want to have more children, to prepare preconception to avoid calorie energy deficiency (ced) by preparing future nutritional requirements so that the mother’s 11 nuraisya, erdi, the correlation of parents height characteristics and ... based on upper arm circumference (uac) size is within normal limits share the research place it is better if the research site continues to strive for prevention and management of stunting, namely by informing women during pregnancy counseling to improve nutrition so that it has an impact on the development of the fetus for the better and in the end the child after birth does not experience stunting, with the efforts of village midwives with villages or cross-sectors to work together to reduce and complete the incidence of stunting in the village, by providing stunting classes for toddlers, and giving rewards to mothers of toddlers who can reach the normal height threshold for their toddlers. for educational institution researchers it is recommended that educational institutions provide additional material in classroom learning materials for their students related to the causes of stunting so that educational institutions provide support in preventing stunting. for future researchers it is suggested that further researchers be able to develop research with different methods, such as prospective methods, then add independent variables such as sanitation factors, parenting factors, and incidence of infection by mentioning the infections that have been experienced. references agustina, doren. (2017). joint child malnutrition eltimates. doi : https://www. jpnn.com anshori h. (2013). faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 12-24 bulan. (studi di kecamatan semarang timur) juli; 1-24. aridiah. (2015). faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan perkotaan. e-jur nal pust aka kesehat an fakultas kesehatan masyarakat, universitas jember. vol. 3 / no. 1. arikunto., suharsimi. (2013). prosedur penelitian. suatu pendekatan praktik. jakarta : rineka cipta budijanto. (2018). situasi balita pendek (stunting) di indonesia. pusat data dan informasi.kementerian kesehatan republik indonesia. issn 2088-270x vol. 1. depkes ri. (2013). laporan misional riset kesehatan dasar 2013 terkait status gizi balita. depkes ri. riset kesehatan dasar. (2018). pedoman pengukuran dan pemeriksaan.badan pendirian dan pengembangan depkes ri depkes. 2015. cega h st un ti n g den ga n pol a ma kan . doi : www.depkes.go.id/.../cegah-stunting-denganperbaikan-pola-makan-pola-asuh-dan-sa. fajrina, n. (2016). hubungan faktor ibu dengan kejadian stunting pada balita di puskesmas piyungan kabupaten bantul. naskah publikasi fakultas ilmu kesehatan universitas ‘aisyiyah yogyakarta. guyton ac, john eh. (2007). buku ajar fisiologi kedokteran ed ke-9.terjemahan : trawati. egc : jakarta., hlm. 972.90 riskesdas. (2018). status gizi anak balita. badan pen el it i a n da n pergem ba n gan keseh at a n kementerian kesehatan ri ibrahim. (2014). genetika dan sejarah perkembangannya. ht t ps: / / www. gen eti ka da n sejar a h perkembangannya.com izzati s. (2016). hubungan jenis kelamin, usia dan riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting anak. jurnal penelitian fakultas kedokteran universitas muhammadiyah semarang. kementrian kesehatan ri. (2011). keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor : 1995/ menk e s/ sk/x ii ‘ 2010 te nt ang st andar antropometri penilaian status gizi anak. jakarta: kernenterian kesehatan ri direktoral jenderal bina gizi dan kesehatan ibu dan anak. kementerian kesehatan r.i. (2015). rencana strategis kemenkes 2015-2019; kepmenkes no.hk.02.02/ menkes/ 52/2015.peraturan pemerintah no. 33 tahun 2012 tentang air susu ibu. kementerian kesehatan ri. (2016). peraturan menteri kesehatan nomor 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga. jakarta. kementrian kesehatan ri. (2018). data dan informasi : profil kesehatan indonesia 2017. diperoleh tanggal 25 januari 2019 dari http: //www.pusdatin. kemkes.go.id kernenkes ri. (2018). upaya percepaian penurunan stunting : evaluasi pelaksanaan tahun 2018 & rencana tindak tahun 2019 kemenkes ri. (2019). tinggi badan ideal pria dan wanita dewasa indonesia. doi : https://www. idntimes.com kerniskinan. (2017). 100 kabupaten/kota prioritas untuk intervensi anak kerdil (stunting): ringkasan. (cetakan 1). jakarta. doi: www.tnp2k.go. id. kisye, dkk. (2018). hubungan antara tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada anak usi a 24-59 b ulan di ke camat an tombat u kabupaten minahasa tenggara. doi : https:// pdfs.semanticscholar.org 12 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 1–12 kusuma. (2014). hubungan pendapatan keluarga, pengetahuan ibu tentang gizi, tinggi badan orang tua, dan tingkat pendidikan ayah dengan kejadian stunting pada anak umur 12-59 bulan. doi : eprints.ums.ac.id kristina. (2015). hubungan faktor ibu dengan kejadian stunting pada balita di puskesmas piyungan kabupaten bantul. jurnal unisya. doi : https:// id.123dok.com naik r dan r smith. (2015). hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 24 -59 bulan. doi : https://www.researchgate.net ni’mah, khoirun; nadhiroh, siti rahayu. (2015). faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. doi : https://e-journal.unair.ac.id notoadmodjo, soekidjo. (2015). metodoloogi penelitian kesehatan. jakarta:rineka cipta nurkarimah. (2018). hubungan durasi pemberian asi eksklusif dengan kejadian stunting pada anak. jurnal penelitian fakultas keperawatan universitas riau. jom fkp, vol 5. no 2. 2018. paramitha a. (2014). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 2560 bulan di kelurahan kalibaru depok. fkmui. persagi. (2018). stop stunting dengan konseling jakarta: penebar pius (penebar swadaya group) pritasari. (2018). upaya percepatan penurunan stunting : evaluasi pelaksanaan tahun 2018 & rencana tindak tahun 2019. direktur jenderal kesehatan masyarakat. jakarta : kemenkes ri. puskesmas berbek. (2018). siclus girl bu/ita ramli, agho kf, inder kj, bowe sj, jacobs j din dibley mj. prevalence and risk factor for stunting and severe stunting among tinder i’ives in north maluku province of indonesia. bmc pediatrics. 2009: vol (9):64-73. ramli. agho ke, indert kj, bewe sj, jacobs j, dibley mj. (2009). prevalence and risk factors for stunting and severe stunting omong underlive in north malukuprcince of lndonesia. bmc pediatric oct; 9 (6): 1-10. rochmah, amalia miftakhul and fitriahadi, enny. (2017). fak t or-fakt or yang b e rhubungan de ngan stunting pada balita usia 24-59 bulan di wilayah kerja puskesmas wonosari i. doi : digi lib. unisayogya.ac.id sandjojo, eko putro. (2017). buku saku desu dalam penangunan stunting. jakarta : kementrian desa, pembangunan daerah tetinggal dantransmigrasi. sartono. (2013). hubungan kurang energi kronis ibu hamil dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di kota yogyakarta. jurnal unisya. doi : https://id.123dok.com saryono. (2014). metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. bandung: alfabeta saryono. (2014). metode penelitian kebidanan diii, div, si dan s2. nuha medika: yogyakarta. soetjiningsih, ig. n. gde ranuh. (2016). tumbuh kembang anak edisi 2. jakarta: penerbit buku kedokteran egc. hlm. 595-60 sukmawati, dkk. (2018). status gizi ibu saat hamil, berat badan lahir bayi dengan stunting pada balita. doi : journal.poltekkes-mks.ac.id supariasa. (2014). penilaian status gizi. jakarta: egc. susenas. (2016 dan 2017). global nutrition report. torlesse h, cronin aa, sebayang sk, nandy r. (2016). determinants of stunting in indonesian children: evidence from a cross ectiona1 survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. bmc public health . hlm; 16(669): 1-11. trihono, dkk. (2015). pendek (stunting) di indonesia, masalah dan solusinya. lembaga penerbit balitbangkes. unicef indonesia. (2013). ringkasan kajian gizi ibu dan anak. doi: https://www.unicef. org unicef. (2013). impovíng child nutrition: the achievable imperative fir global progress. division of communication, unicef. usa. doi: ww.unicef. org. who. (2010). nutrition lanscape information system (nlis) country profile progress indicators: interpretation guide. switzerland: who press. who. (2018). exclusive breasfeedingfor optimal growth, development, and health of infant. doi; http:// www.who. int who. (2018). exclusive hreastfeedingoroptima1 growth, development, and health of infant. doi: http://www.who. int. yupi supartini. (2014). buku ajar konsep dasar keperawatan anak. jakarta: egc. zottareli. (2014). menghapus cap negara penghasil generasi kerdil. doi: https:/www.tirto.id. 247setyaningsih, sutiyarsih, faktor-faktor determinan yang melatar belakangi kehamilan remaja di ... 247 faktor-faktor determinan yang melatar belakangi kehamilan remaja di desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang maria magdalena setyaningsih1, emy sutiyarsih2 1,2prodi keperawatan, sekolah tinggi ilmu kesehatan panti waluya malang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 30/01/2020 disetujui, 07/07/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: kehamilan, remaja, faktor determinan abstrak kehamilan remaja merupakan kehamilan yang terjadi pada remaja berusia kurang dari 20 tahun. kehamilan remaja memberikan banyak kerugian bagi kesehatan, mental dan psikologis, kesejahteraan ekonomi dan peluang karier, kemiskinan dan prospek kehidupan masa depan remaja. tujuan penelitian mengidentifikasi faktor determinan yang melatarbelakangi terjadinya kehamilan remaja. design penelitian adalah penelitian analitik kategorik jenis survei kuantitatif dengan desain case control. populasi semua perempuan yang bertempat tinggal di wilayah dusun wonosari, sukosari, dan krajan pandansari dan pernah/sedang hamil pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun. sampel kelompok kasus adalah perempuan yang sedang atau pernah hamil pertama kali pada usia remaja yaitu (kurang dari 20 tahun) dan anaknya saat ini berusia  1 tahun. kelompok kontrol adalah perempuan yang hamil pertama kali pada usia > 20 tahun. teknik pengambilan sampel cluster random sampling besar sampel 73. tehnik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. berdasarkan hasil model akhir analisis multivariat, diketahui bahwa variabel pendidikan, riwayat kehamilan remaja pada keluarga dan usia menikah merupakan variabel yang berhubungan dengan kejadian kehamilan remaja setelah dikontrol oleh variabel akses informasi, responden berpendidikan rendah memiliki peluang 20,8 kali lebih tinggi; responden yang memiliki riwayat kehamilan remaja pada keluarga memiliki peluang 14,9 kali lebih tinggi; responden yang menikah pada usia < 20 tahun memiliki peluang 12,1 kali lebih tinggi; responden dengan pemahaman yang kurang baik terkait penggunaan kondom memiliki peluang 5,9 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja. oleh karena itu dianjurkan untuk membangun interaksi yang baik dalam keluarga yang dilandasi dengan pendidikan dan pemahaman yang baik tentang pendidikan seksualitas. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p247-255&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 248 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 247–255 correspondence address: stikes panti waluya malang – jawa timur, indonesia p-issn : 2355-052x email: emymlg23@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p247–255 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) history article: received, 30/01/2020 accepted, 07/07/2020 published, 05/08/2020 keywords: pregnancy, teen, determinants’ factors article information abstract teen pregnancy is a pregnancy that occurs in adolescents aged less than 20 years old. teen pregnancy has many disadvantages for health, mental, psychological, economic well-being, career opportunities, poverty, and the future life. the aim of the study was to identify the determinants factors underlying teen pregnancy incidence. this study was a quantitative study with categorical analytic method. the study design used a case control with two comparison groups. the groups were control group and case group. the population in this study was all women who lived in the wonosari, sukosari, and krajan pandansari district and had or were pregnant for the first time at the age of less than 20 years old. seventy three respondents were recruited using cluster sampling technique. the case group consisted of women who were or had pregnant for the first time at the age of less than 20 years old and their children were currently aged d” 1 years old. the control group consisted of women who were pregnant for the first time at the age of > 20 years old. the data was collected by questionnaire. the findings showed that education, history of teen pregnancy in family and the age of marriage were correlated with the incidence of teen pregnancy after being controlled by information access. low-educated respondents had 20.8 times higher chance of experiencing teen pregnancy; respondents with a history of teen pregnancy in the family had 4.9 times higher chance of experiencing teen pregnancy; respondents who were married at the age of < 20 years old had 12.1 times higher chance of experiencing teen pregnancy; respondents with poor understanding of condom use had 5.9 times higher chance of teenage pregnancy. in conclusion, the findings suggest to build good interactions in the family based on education and a good understanding of sex education. © 2020 jurnal ners dan kebidanan the determinant factors underlying teen pregnancy in pandansari village pendahuluan kehamilan remaja merupakan kehamilan yang terjadi pada remaja wanita berusia kurang dari 20 tahun, kehamilan ini terjadi akibat perilaku seksual baik sengaja maupun tidak sengaja (pujiastuti, 2012). kehamilan remaja masih menjadi perhatian dan masalah kesehatan masyarakat di dunia hingga saat ini. negara berkembang mempunyai resiko kehamilan pada remaja lebih tinggi, setiap tahun banyak remaja di dunia melahirkan di usia remaja dan melakukan aborsi (gennari, 2013; ngum chi watts et al, 2015). secara global, diperkirakan bahwa 16 juta remaja berusia 15-19 tahun dan 2 juta remaja di bawah usia 15 tahun melahirkan setiap tahunnya sebesar 11% kelahiran (ngum chi watts et all, 2015; bandhari and joshi, 2016; ayele, 2018). sembilan puluh lima persen dari kelahiran tersebut ter ja di di nega ra ber pendapatan r enda h da n menengah (bandhari & joshi, 2016). indonesian demographic and health survey (idhs) tahun 2012 menunjukkan data age spesific fertility rate (asfr) sebesar 48 kelahiran per 1000 remaja usia 15-19 tahun, hal ini memberikan makna bahwa jumlah kelahiran pada perempuan usia 15-19 tahun https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p247-255 249setyaningsih, sutiyarsih, faktor-faktor determinan yang melatar belakangi kehamilan remaja di ... masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan target sasaran rpjmn 2014 yang menetapkan bahwa kelahiran hidup pada remaja usia 15-19 tahun adalah sebesar 30 kelahiran per 1000 remaja usia 15-19 ta hun. the indonesian planned parenthood association di jawa tengah menunjukkan bahwa dalam sebulan sekitar 8-10 rata-rata datang untuk konsultasi kehamilan yang tidak diinginkan (utomo et al, 2013). beberapa penelitian internasional telah menetapkan bahwa kehamilan remaja memberikan banyak kerugian bagi kesehatan, mental dan psikologis, kesejahteraan ekonomi dan peluang karier, kemiskinan dan prospek kehidupan masa depan remaja (gray et al, 2013). kehamilan remaja memberikan konsekuensi yang sangat tinggi bagi resiko kesehatan, resiko fisiologis, fistula obstetric dan penurunan nutrisi kehamilan terutama pada remaja yang berasal dari latar belakang yang buruk (chandra-mouli, camacho & michaud, 2013). rendahnya berat bayi yang dilahirkan, lahir hidup hingga resiko kematian ibu bersalin juga merupakan konsekuensi kehamilan pada remaja (ayele et al, 2018). kehamilan remaja yang sampai melahirkan beresiko terputusnya masa sekolah pada remaja, sehingga remaja memiliki pendidikan dan ketrampilan yang rendah (sarah & muthoni, 2012; ngum chi watts et al, 2015). kehamilan remaja hingga melahirkan dapat menimbulkan dampak remaja memiliki konflik pada peran baru sebagai seorang ibu dan kebutuhan masa remaja (ngum chi watts et al, 2015). kurang lengkapnya akses pada pelayanan kesehatan terutama akses pelayanan antenatal care akan meningkatkan resiko kesehatan bagi bayi (ayele, et al, 2018). beberapa penelitian menunjukkan banyak faktor yang berkontribusi pada terjadinya kehamilan remaja. hasil penelitian ayele et al (2018) tentang determinants of teenage pregnancy in degua tembien district, togray, northern ethiopia menunjukkan bahwa stigma sosial, rendahnya pendapatan keluarga, menikah pada usia 18-19 tahun, rendahnya komunikasi dengan orang tua tentang issue kesehatan reproduksi dan adanya maternal history memiliki keterkaitan dengan terjadinya kehamilan remaja. hal ini didukung oleh penelitian ngum chi watts et al (2015) tentang qualitative study exploring the experiences of african australian teenage mothers in greater melbourne, australia yang menyatakan bahwa ras, usia, gender, pengalaman migrasi, lingkungan keluarga, status sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, dan jejaring sosial remaja sebelum terjadinya kehamilan memberikan kontribusi bagi terjadinya kehamilan remaja. penelitian ginting & wantania (2012) di manado memberikan hasil bahwa sumber informasi yaitu media massa berkaitan dengan rendahnya pengetahuan di antara ibu remaja yang hamil tentang kesehatan reproduksi, kehamilan dan kesehatan anak. studi kuantitatif pada remaja yang hamil di indonesia menunjukkan rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan adanya perilaku seksual yang tidak aman merupakan predisposing faktor terjadinya kehamilan remaja dan aborsi terencana. undang-undang nasional kependudukan dan pengembangan keluarga no.52 tahun 2009 hanya mengijinkan pasangan yang sudah menikah yang diperkenankan mengakses layanan keluarga berencana, kebijakan ini ternyata memiliki kontribusi tambahan bagi pencegahan kehamilan remaja yang tidak menikah (utomo et al, 2013). bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik kategorik jenis survei kuantitatif dengan desain case control. berdasarkan desain yang digunakan, penelitian ini membagi responden menjadi dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol. setiap responden pada masingmasing kelompok akan diberikan kuesioner penelitian. estimasi waktu untuk mengisi kuesioner tersebut kira-kira 30 menit . penelitian ini dilaksanakan di wilayah desa pandansari kecamatan poncokusumo kabupaten malang. desa pandansari terdiri atas tiga dusun yaitu dusun wonosari, dusun sukosari dan dusun krajan pandansari. penelitian dilaksanakan pada bulan september 2018 s/d agustus 2019. populasi dalam penelitian adalah semua perempuan yang bertempat tinggal di wilayah dusun wonosari, sukosari, dan krajan pandansari dan pernah/ sedang hamil pertama kali pada usia kurang dari 20 tahun. sampel kelompok kasus adalah perempuan yang sedang atau pernah hamil pertama kali pada usia remaja yaitu (kurang dari 20 tahun) dan anaknya saat ini berusia  1 tahun. kelompok kontrol adalah perempuan yang hamil pertama kali pada usia > 20 tahun yang bertempat tinggal di wilayah dusun wonosari, sukosari, dan pandansari. menurut dahlan (2016), besar sampel yang digunakan dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk penelitian case control dengan menggunakan 250 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 247–255 rumus berikut: 2 21 2211 )( 2 pp )qpqpzpq(z nn 2 21     dimana, z = kesalahan tipe i, hipotesis satu arah = 1,64 z = kesalahan tipe ii = 0,84 p2 = proporsi pajanan pada kelompok control = 50% q 2 = 1– p2 p1 = p2+ 0,2 = 0,5 + 0,5 = 0,7 q 1 = 1p1 = 1 – 0,7 = 0,3 p1 – p2 = 0,2 p = 6,0 2 21   pp q = 1– p = 0,4 sehingga diperoleh besar sampel sejumlah 72,755871505 ~ 73, seharusnya masing-masing kelompok kasus dan kontrol sebesar 36, tetapi berdasarkan rsponden yang sesuai dan karena keterbatasan waktu sehingga masing-masing kelompok kasus dan kontrol didapatkan sebesar 30 responden. teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling, proses pengumpulan data didapatkan melalui kuesioner diisi oleh responden tanpa bantuan dari siapapun sehingga mendapatkan data yang valid sesuai responden. analisa data menggunakan software yaitu stata, tahapan analisa data adalah sebagai berikut: 1) analisa univariat, menggambarkan distribusi dari karakteristik responden yang meliputi sosio demografi, kesehatan reproduksi, pengetahuan responden, dan pesan sosial yang diterima oleh responden. 2) analisa bivariat, mengidentifikasi keterkaitan masing-masing faktor determinan dengan kejadian kehamilan remaja. analisa menggunakan uji regresi logistic ganda. 3) analisa multivariat, uji ini dilakukan untuk memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang dianggap terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen. pada pemodelan ini semua variabel dianggap penting sehingga dapat dilakukan estimasi pada beberapa koefisien regresi logistik sekaligus. karena variabel dependen dan independen berskala kategorik dimana variabel independennya terdiri dari beberapa variabel maka analisis yang digunakan adalah regresi logistik ganda model pr ediksi (hastono, 2017). hasil penelitian kelompok kasus yang kami temukan ada 30 sehingga kelompok kontrol menjadi 30 sehingga penelitian ini melibatkan 60 responden yang dianalisis. riw. kehamilan remaja pada keluarga ada riwayat tidak ada riwayat riw. penggunaan kontrasepsi tidak ada riwayat ada riwayat komunikasi dengan orang tua tentang kespro tidak pernah pernah pemahaman tentang menarche kurang baik usia menarche < 14 tahun  14 tahun informasi tentang menstruasi tidak pernah pernah tabel 1 hubungan variabel independen kesehatan reproduksi dengan kehamilan remaja 2,4 – 24,2 0,4 – 3,2 0,5 – 4,1 0,1 – 1,6 0,2 – 1,6 0,2 – 2,5 0,2 – 1,6 0,7 – 1,5 23 7 18 12 18 12 7 23 13 17 9 21 13 17 0 0 76,7 23,3 60,0 40,0 60,0 40,0 23,3 76,7 43,3 56,7 30,0 70,0 43,3 56,7 0 0 karakteristik variabel kontrol kasus pvalue or ci 95%n (%) n (%) 9 21 17 13 15 15 11 19 17 13 10 20 17 13 1 1 30,0 70,0 56,7 43,3 50,0 50,0 36,7 63,3 56,7 43,3 33,3 66,7 56,7 43,3 3,3 3,3 reff 0,001 reff 0,793 reff 0,437 reff 0,263 reff 0,303 reff 0,781 reff 0,303 reff 0,770 7,6 1,1 1,5 0,5 0,5 0,8 0,5 1,0 hubungan kesehatan reproduksi dengan kehamilan remaja 251setyaningsih, sutiyarsih, faktor-faktor determinan yang melatar belakangi kehamilan remaja di ... waktu menerima informasi tentang menstruasi setelah menstruasi sebelum menstruasi usia pertama kali berhubungan seksual 13 tahun 14 tahun 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 tahun 19 tahun pendidikan seks di sekolah tidak pernah pernah usia menikah < 20 tahun  20 tahun perencanaan kehamilan tidak terencana terencana 0,2 – 2,5 0,7 – 1,5 0,2 – 1,8 0,5 – 5,1 0,5 – 5,1 13 17 0 0 4 5 10 9 2 16 14 10 20 10 20 43,3 56,7 0 0 13,3 16,7 33,33 0,0 6,7 53,3 46,7 33,3 66,7 33,3 66,7 17 13 1 1 1 6 10 4 7 19 11 2 28 7 23 56,7 43,3 3,3 3,3 3,3 20,0 33,4 23,3 13,3 63,3 36,7 6,7 93,3 23,3 76,7 reff 0,303 reff 0,770 reff 0,433 reff 0,019 reff 0,392 0,8 1,0 0,6 1,6 1,6 0,5 – 5,1 0,1 – 1,6 0,5 – 5,1 0,5 – 5,1 0,2 – 1,8 1,3 – 11,8 0,2 – 1,8 10 20 7 23 10 20 10 20 16 14 19 11 15 15 33,3 66,7 23,3 76,7 33,3 66,7 33,3 66,7 53,3 46,7 63,3 36,7 50,0 50,0 karakteristik variabel kontrol kasus pvalue or ci 95%n (%) n (%) 7 23 11 19 7 23 7 23 19 11 9 21 18 12 23,3 76,7 36,7 63,3 23,3 76,7 23,3 76,7 63,3 36,7 30,0 70,0 60,0 40,0 reff 0,392 reff 0,263 reff 0,392 reff 0,392 reff 0,433 reff 0,011 reff 0,437 1,6 0,5 1,6 1,6 0,6 4,0 0,6 pemahaman tentang fertilitas kurang baik pehamaman tentang dampak kehamilan remaja kurang baik pemahaman tentang pencegahan kehamilan kurang baik pemahaman tentang kontrasepsi modern kurang baik pemahaman tentang jenis kontrasepsi kurang baik pemahaman tentang penggunaan kondom kurang baik pemahaman tentang penyedia kondom kurang baik tabel 2 hubungan variabel independen pengetahuan responden dengan kehamilan remaja berdasarkan tabel 1, hasil analisis hubungan kehamilan remaja menunjukkan bahwa hanya variabel riwayat kehamilan remaja pada keluarga dan usia menikah yang berhubungan dengan kehamilan remaja. responden dengan riwayat kehamilan remaja pada keluarga memiliki odds 7,6 kali untuk terjadi kehamilan remaja dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat. responden yang menikah pada usia < 20 tahun memiliki odds 1,6 kali untuk terjadi kehamilan remaja dibandingkan dengan responden yang menikah pada usia > 20 tahun. hubungan pengetahuan responden dengan kehamilan remaja 252 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 247–255 berdasarkan tabel 2, hasil analisis hubungan kehamilan remaja menunjukkan bahwa hanya variabel pemahaman tentang penggunaan kondom yang berhubungan dengan kehamilan remaja. responden dengan pemahaman penggunaan kondom kurang memiliki odds 4,0 kali untuk terjadi kehamilan remaja dibandingkan dengan responden yang memiliki pemahaman tentang penggunaan kondom. hubungan variabel pesan sosial dengan kehamilan remaja 0,3 – 3,410 20 33,3 66,7 karakteristik variabel kontrol kasus pvalue or ci 95%n (%) n (%) 9 21 30,0 70,0 reff 0,781 1,1 pesan sosial yang diterima mendukung tidak mendukung tabel 3 hubungan variabel pesan sosial dengan kehamilan remaja berdasarkan tabel 3, hasil analisis hubungan kehamilan remaja menunjukkan bahwa variabel pesan sosial tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kehamilan remaja. analisis multivariat indentifikasi kovariat potensial tahap pertama dalam pemodelan untuk mencari faktor determinan adalah identifikasi kovariat potensial yang dilakukan dengan membuat analisis regresi logistik dari masing-masing kovariat terhadap variabel dependennya. kovariat dengan p value < 0,25 merupakan kandidat kovariat yang dapat masuk ke dalam model multivariat. setelah dilakukan analisis, terlihat bahwa variabel pendidikan, akses informasi, riwayat kehavariabel b p value or 95% ci pendidikan 3,036 0,002 20,8 2,9 – 147,1 akses informasi -1,788 0,112 0,1 0,1 – 1,5 riwayat kehamilan remaja pada keluarga 2,704 0,005 14,9 2,2 – 97,7 usia menikah 2,497 0,029 12,1 1,2 – 114,0 pemahaman tentang penggunaan kondom 1,778 0,025 5,9 1,2 – 27,8 milan keluarga, usia menikah, dan pemahaman tentang penggunaan kondom memiliki p value < 0,25 sehingga va riabel-variabel tersebut lah yang selanjutnya akan dimasukkan ke dalam model mutivariate. penilaian variabel perancu uji variabel perancu dilakukan dengan mengeluarkan kandidat variabel perancu satu per satu dimulai dari variabel perancu yang memiliki p value terbesar. bila terdapat perubahan or  10% pada masing-masing variabel independen maka variabel tersebut dikatakan variabel perancu dan harus tetap berada di dalam model. hasil pemodelan awal dapat dilihat pada tabel 4 berikut. tabel 4 pemodelan awal determinan kehamilan remaja setelah variabel perancu dikeluarkan dari pemodelan satu persatu, ternyata variabel akses informasi harus tetap berada dalam model. hal ini disebabkan karena setelah variabel akses informasi dikeluarkan dari model menyebabkan perubahan nilai or >10%, sehingga model akhir yang dihasilkan adalah seperti pada tabel 5. uji interaksi uji interaksi dilakukan pada variabel yang diduga secara substansi ada interaksi, namun bila tidak ada maka tidak perlu dilakukan uji interaksi. pada penelitian ini tidak dilakukan uji interaksi. model akhir 253setyaningsih, sutiyarsih, faktor-faktor determinan yang melatar belakangi kehamilan remaja di ... tabel 5. hasil akhir dari analisis multivariat variabel b p value or 95% ci pendidikanakses informasiriwayat kehamilan remaja pada keluargausia menikahpemahaman tentang penggunaan kondom 3 , 0 3 6 1,7882,7042,4971,778 0,0020,1120,0050,0290,025 20,80,114,912,15,9 2,9 – 147,10,1 – 1,52,2 – 97,71,2 – 114,01,2 – 27,8 ber da sa r ka n ha sil model a khir a na lisis multivariat, diketahui bahwa variabel pendidikan, riwayat kehamilan remaja pada keluarga dan usia menikah merupakan variabel yang berhubungan dengan kejadian kehamilan remaja setelah dikontrol oleh variabel akses informasi. artinya, setelah dikontrol oleh akses informasi, responden yang berpendidikan rendah memiliki peluang 20,8 kali lebih tinggi untuk ter ja di keha mila n r emaja dibandingkan dengan responden yang berpendidikan tingkat menengah. setelah dikontrol oleh akses infor masi, r esponden yang memiliki riwayat kehamilan remaja pada keluarga memiliki peluang 14,9 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja dibandingkan responden yang tidak memiliki riwayat kehamilan remaja pada keluarga. setelah dikontrol oleh akses informasi, responden yang menikah pada usia <20 tahun memiliki peluang 12,1 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja dibandingkan responden yang menikah pada usia e” 20 tahun. selanjutnya, setelah dikontrol oleh akses informasi, responden dengan pemahaman yang kurang baik terkait penggunaan kondom memiliki peluang 5,9 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja dibandingkan responden dengan pemahaman yang baik terkait penggunaan kondom. pembahasan mengidentifikasi determinan faktor yang melatarbelakangi kehamilan remaja berdasarkan hasil penelitian dan analisis multivariat, diketahui bahwa variabel pendidikan, riwayat kehamilan remaja pada keluarga dan usia menikah merupakan variabel yang berhubungan dengan kejadian kehamilan remaja setelah dikontrol oleh variabel akses informasi. responden yang berpendidikan rendah memiliki peluang 20,8 kali lebih tinggi untuk ter ja di keha mila n r emaja responden yang memiliki riwayat kehamilan remaja pada keluarga memiliki peluang 14,9 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja responden yang menikah pada usia <20 tahun memiliki peluang 12,1 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja. responden dengan pemahaman yang kurang baik terkait penggunaan kondom memiliki peluang 5,9 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian yang menunjukkan banyak faktor yang berkontribusi pada terjadinya kehamilan remaja, seperti hasil penelitian ayele et al (2018) tentang determinants of teenage pregnancy in degua tembien district, togray, northern ethiopia menunjukkan bahwa stigma sosial, rendahnya pendapatan keluarga, menika h pa da usia 18-19 ta hun, r enda hnya komunikasi denga n ora ng tua tentang issue kesehatan reproduksi dan adanya maternal history memiliki keterkaitan dengan terjadinya kehamilan remaja. hal ini didukung oleh penelitian ngum chi watts et al (2015) tentang qualitative study exploring the experiences of african australian teenage mothers in greater melbourne, australia yang menyatakan bahwa ras, usia, gender, pengalaman migrasi, lingkungan keluarga, status sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, dan jejaring sosial remaja sebelum terjadinya kehamilan memberikan kontribusi bagi terjadinya kehamilan remaja. penelitian ginting & wantania (2012) di manado memberikan hasil bahwa sumber informasi yaitu media massa berkaitan dengan rendahnya pengetahuan diantara ibu remaja yang hamil tentang kesehatan reproduksi, kehamilan dan kesehatan anak. studi kuantitatif pada remaja yang hamil di indonesia menunjukkan rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan adanya perilaku seksual yang tidak aman merupakan predisposing faktor terjadinya kehamilan remaja dan aborsi terencana. ha l ini juga sesua i denga n ha sil r iset mohammadi, et all (2015) menyatakan bahwa kehamilan remaja dipengaruhi oleh siklus menstruasi, pernikahan dan tanggung jawab sebagai ibu dan pemberi layanan sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan proses kehamilan dan persalinan. sta pleton (2010) juga menya ta ka n ba hwa pengetahuan yang dimiliki oleh ibu dan remaja sangat berperan dalam interaksi antara ibu dan anak terutama dalam diskusi. hubungan ibu dan anak r ema ja nya sa nga t mempenga r uhi ter ja dinya kehamilan remaja. hubungan ibu dan anak ini lebih ke arah diskusi tentang pemahaman mengenai pendidikan seksual hingga kesehatan reproduksi dan 254 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 247–255 dampak dari aborsi. kehidupan dinamika dalam keluarga hingga interaksi di dalamnya sangat diperlukan untuk perkembangan dari rema ja tersebut. berdasarkan hasil yang didapat pada penelitian ini ternyata didapatkan bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian dari hasil penelitian lauren summers, young me lee, hyeonkyeong lee tentang contributing factors of teenage pregnancy among african american females living in economically disadvantaged communities (2017) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil identifikasi terdapat lima faktor yang mendukung risiko terjadinya kehamilan remaja di afrika amerika, yaitu pengaruh orang tua, pengaruh teman sebaya, pesan sosial, penggunaan alcohol, dan keinginan untuk hamil. orang tua adalah garis terdepan bagi kehidupan anak-anak mereka. orang tua memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh positif maupun negative bagi pendidikan dan kesehatan reproduksi. orang tua memberikan pengaruh bagi remaja dalam memutuskan hubungan dan kehidupan seksual mereka (the national campaign to prevent teen unplanned pregnancy, 2016). orang tua yang otoriter dan protective berkorelasi kuat bagi penurunan perilaku seksual yang beresiko dan angka kehamilan remaja (hoskins & simons, 2014). teman sebaya memiliki pengaruh yang significant bagi cara berpikir dan pengambilan keputusan pada remaja, khususnya yang berkaitan dengan perilaku seksua l yang berisiko ya ng mendukung terjadinya kehamilan remaja. hoskins dan simons (2014) menyampaikan bahwa remaja perempuan african american yang berhubungan dengan teman sebaya yang memiliki perilaku seksual yang berisiko berpeluang untuk berpartisipasi dan terlibat dalam perilaku seksual yang beresiko yang pada akhirnya berujung pada kehamilan remaja. remaja yang memiliki riwayat kehamilan sebelumnya memiliki sejumlah besar teman yang juga memiliki riwayat kehamilan sebelumnya. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa variabel pendidikan, riwayat kehamilan remaja pada keluarga dan usia menikah merupakan variabel yang berhubungan dengan kejadian kehamilan remaja. responden yang berpendidikan rendah memiliki peluang 20,8 kali dan riwayat kehamilan remaja pada keluarga memiliki peluang 14,9 kali, responden yang menikah pada usia < 20 tahun memiliki peluang 12,1 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja dan responden dengan pemahaman yang kurang baik terkait penggunaan kondom memiliki peluang 5,9 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan remaja. saran perlunya dibangun interaksi yang baik dalam keluarga yang dilandasi dengan pendidikan dan pemahaman yang baik tentang pendidikan seksualitas. daftar pustaka achoka, judith, sarah dan njeru, frida, muthoni. (2012). de stigmatizing teenage motherhood: towards achievement of universal basic education in kenya. jeteraps ayele, b.g, gebregzabher, t., hailu t.t, asefa, b.a. (2018). determinants of teenage pregnancy in degua tembien district, tigray, northern ethiopia: a community-based-case control study. journal of plos one. doi.org/10.1371/journal.pone.0200898 bhandari, devi sushila, & sarala joshi. (2016). perception and perceived experiences about prevention and consequences of teenage pregnancy and childbirth amoung teenage mothers: a qualitative study. journal of advances academic research (jaar). vol.3. no.1 dahlan, m. s. (2016). besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. edisi 4. epidemiologi indonesia, jakarta. isbn:978-602-18408-8-7. gennari pj. (2013). adolescent pregnancy in developing countries. international journal of childbirth education; 28 :57-62 ginting, f & wantania, j. pengetahuan. (2011). sikap dan perilaku remaja yang hamil tentang kehamilan remaja di manado. buletin idi manado; 47-59 helen stapleton. (2010). surviving teenage motherhood. uk: palgrave macmillan hoskins, d. h. 2014. consequences of parenting on adolescent outcomes, 506–531. https://doi.org/ 10.3390/soc4030506 iwu dwisetyani utomo and ariane utomo.(2013). adolescent pregnancy in indonesia: a literature revi ew. e x ec ut iv e summary . h t t ps: / / indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pub pdf/ executive_summary_wpd_%28english%29_0.pdf lauren summers, young me lee, hyeonkyeong lee. (2017). contributing factors of teenage pregnancy a mong afr ican -am er i ca n fem a les l ivi ng i n economically disadvantaged communities. applied nursing research volume 37, pages 44-49. doi.org/10.1016/j.apnr.07.006 255setyaningsih, sutiyarsih, faktor-faktor determinan yang melatar belakangi kehamilan remaja di ... n. mohammadi et al. (2015). women and birth. australian college of midwives. elsevier australia ngum chi watts et al. (2015). early motherhood: a qualitative study exploring the experiences of african australian teenage mothers in greater melbourne, australia. journal of bmc public health.15:873. doi 10.1186/s!2889-015-2215-2 pujiastuti, e., & retnowati, s. (2012). kepuasan pernikahan dengan depresi pada kelompok wanita menikah yang bekerja dan yang tidak bekerja. humanitas: indonesian psychologycal journal 1 (2), 17-33. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 43hikmawati, hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu ... 43 hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare pada balita (the relationship between mother behavior using milk bottle with gastroenteritis infant) rifiana hikmawati, metti verawati fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah ponorogo email: metti_verawati@yahoo.com abstract: introduction the wrong way to use a bottle of milk can cause bacteria to grow. of the growth of bacteria in a bottle can interfere with the baby’s digestive system, it can even cause diarrhea in infants or toddlers. the aim of this study were: to analyze the relationship maternal behavior in the use of bottles of milk with diarrhea. methods, research design used in the study is correlational and cross sectional approach. to determine the relationship of maternal behavior in using milk bottle with incidence of diarrhea in infants with a nominal scale can be searched by using the chi-square test statistics. results, results of chi square analysis obtained x2 x2 count of 4.6 and table 3.84. so count e” x2 of x2 tables acceptable means ha ho is rejected, it shows no association between maternal behavior in the use of the bottle with the incidence of diarrhea in infants. discussion, hoped for the nursing profession not only serve the clinical aspects (curative and rehabilitation), but needs to be developed for promotive and preventive efforts in an attempt to prevent the occurrence of diarrhea keywords: behavior, use milk bottle, diarrhea, toddler abstrak: kesalahan dalam cara penggunaan botol susu dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri. pertumbuhan bakteri dalam botol berkorelasi dengan sistem pencernaan bayi dan dapat menyebabkan diare pada bayi atau toddler. tujuan daripenelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare. metode dalam penelitian ini adalah cross sectional. analisa data menggunakan chi-square. hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare pada bayi. diharapkan keperawatan profesional tidak hanya memperhatikan aspek kuratif dan rehabilitatif, tetapi perlu dikembangkan upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya diare. kata kunci: perilaku, botol susu, diare, toddler menyusui bayi dapat mempererat hubungan batin antara ibu dan bayi.namun ada beberapa kondisi yang menyebabkan ibu tidak dapat menyusui, seperti ibu harus kembali kerja setelah masa cuti melahirkan habis, ibu menderita suatu penyakit sehingga tidak dapat menyusui atau hal-hal yang lainya. dengan kondisi di atas, pemberian asi dapat dialihkan melalui botol susu. cara-cara pemberian baik asi maupun susu formula melalui botol harus memperhatikan berbagai hal seperti cara penyajian, seperti botol susu, cara mencuci botol, cara sterilisasi (sutomo, 2010). cara yang salah dalam menggunakan botol susu dapat menyebabkan bakteri berkembang. dari berkembangnya bakteri dalam botol bisa mengganggu sistem pencernaan bayi, bahkan dapat menimbulkan diare pada bayi atau balita. sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama di negara berkembang. besar masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. who memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal, acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p043-049 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 44 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 43–49 sebagian besar anak-anak umur dibawah lima tahun. di indonesia dilaporkan secara keseluruhan pada tahun 2006 diperkirakan angka kesakitan diare meningkat sebesar 423 per 1000 penduduk pada semua usia dengan jumlah kasus 1098 penderita dan jumlah kematian 277 balita. pada tahun 2008, di indonesia diare pada balita berkisar 40 juta per tahun dan kematian 200.000–400.000 balita (soebagyo, 2008). dari hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2007, menunjukkan bahwa diare telah menyebabkan kematian 25,5% anak usia satu tahun hingga empat tahun. bahkan pada tahun 2008 diare merupakan penyumbang kematian terbesar pada bayi di indonesia, sebesar 31,4% total kematian bayi. berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medic rsud dr.hardjono ponorogo tercatat 514 balita menjalani rawatinap di ruang delima, jumlah pasien diare 1 tahun kurang lebih 284 pasien. penyakit diare masuk dalam urutan 4 besar dari laporan 10 besar diagnosa penyakit setiap bulan. kejadian diare pada balita di ponorogo secara proposional lebih banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan umur yaitu 55% (dinkes ponorogo, 2010). hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti kepada 10 responden ibu balita yang mengalami diare didapatkan 2 ibu sekitar 20% berperilaku baik dan 3 ibu sekitar 30% berperilaku buruk sedangkan yang tidak mengalami diare didapatkan 1 ibu sekitar 10% berperilaku baik dan 4 ibu sekitar 40% berperilaku buruk menggunakan botol susu. penyakit diare dengan tingkat dehidrasi yang tinggi dan dengan angka kematian paling tinggi banyak terjadi pada bayi atau balita. diare mempunyai banyak resiko salah satunya adalah dehidrasi, oleh karena itu faktor resiko harus dicegah. sebaiknya ibu haru melakukan perilaku yang benar dalam penggunaan botol susu seperti cara penggunaan botol susu yang benar, cara mencuci botol susu yang benar seperti dalam memilih sabun yang aman bagi bayi, menggunakan sikat khusus dalam membersihkan botol susu dan cara mensterilkan botol susu yang benar seperti merebus botol sampai 7 menit, serta menyimpan botol susu dalam wadah tertutup dan rapat sehingga kita bisa mencegah bakteri dan virus tidak berkembang biak. dan angka kejadian diare pada bayi tidak terus meningkat. berdasarkan masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare pada balita di rumah sakit umum daerah dr. harjono ponorogo”. tujuan penelitian ini adalah: menganalisis hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare metode penelitian desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah korelasional dengan pendekatan cross sectional. penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare. pada penelitian ini variabel independennya adalah perilaku ibu dalam penggunaan botol susu. pada penelitian ini variabel dependennya adalah kejadian diare pada balita. populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai balita di ruang delima dengan rata-rata perbulan 43 responden. pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah sebagian ibu yang mempunyai balita yang dirawat di ruang delima sejumlah 39. penelitian ini dilaksanakan pada 6 juli–3 agustus 2012. untuk mengetahui hubungan perilaku ibu dalam mepenggunaan botol susudengan kejadian diare pada balita dengan skala nominal dapat dicari dengan menggunakan tes statistik chi-square. menurut arikunto (2002:259–262). chi – square adalah   fh fhfo x 2 2  keterangan: x2 : harga chi-square atau chi–square signifikansi perbedaan frekuensi yang diobservasi. fo : frekuensi yang diperoleh berdasarkan data fh : frekuensi yang diharapkan kaidah keputusan tentang keputusan hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak dengan membandingkan harga x2hitung dengan harga tabel pada taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria sebagai berikut: ho : di terima bila x2hitung41 2 5 jumlah 39 100 tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di ruang delima rsud dr harjono ponorogo no pendidikan f % 1 sd 15 38 2 sltp 8 21 3 slta 12 31 4 perguruan tinggi 4 10 jumlah 39 100 tabel 3. distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di ruang delima rsud dr harjono ponorogo no pekerjaan f % 1. 2. 3. ib u rumah t angga wiraswasta/swasta pns 18 13 8 46 33 21 jumlah 39 100 tabel 4. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia bayi atau balita di ruang delima rsud dr harjono ponorogo no usia bayi/balita f % 1. 0-6 bln 19 49 2 7 -12 bln 7 18 3 13-20 bln 13 33 jumlah 39 100 tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan sumber informasi yang diperoleh ibu tentang perilaku penggunaan botol susu di ruang delima rsud dr harjono ponorogo n o s u m be r i nf o rm a s i f % 1 . 2 . 3 . t elev is i /r ad io b u k u t e n ag a k e se h at a n 1 5 1 0 1 4 3 8 3 6 2 6 j um la h 3 9 1 0 0 tabel 6. distribusi frekuensi responden berdasarkan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu di ruang delima rsud dr harjono ponorogo no p erilaku ibu f % 1. baik 20 51 2. buruk 19 49 jumlah 39 100 tabel 7. distribusi frekuensi responden berdasarkan kejadian diare dalam penggunaan botol susu di ruang delima rsud dr harjono ponorogo no kejad ian diare f % 1. diare 24 62 2. tidak diare 15 38 jumlah 39 100 tabel 8. distribusi frekuensi perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare di ruang delima rsud dr. harjono ponorogo perilaku diare jml % ya % tidak % baik 9 23 11 28 20 41 buruk 15 39 4 10 19 49 jumlah 24 62 15 38 39 100 46 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 43–49 menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak dapat menjadi dapat. dengan demikian semakin seseorang yang mempunyai pendidikan maka semakin luas wawasannya, sehingga perilaku dalam penggunaan botol susu akan semakin baik. didapatkan data 11 responden (28%) berusia 31–41 tahun mempunyai perilaku baik. pada usia ini menurut teori (hurlock, 1999) responden masuk dalam kategori dewasa dan di mana sekitar awal atau pertengahan umur tiga puluhan, kebanyakan orang muda telah mampu memecahkan masalahmasalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan tenang secara emosional. sesuai teori (hurlock, 2000) bahwa semakin cukup umur tingkat tumbuh dan kekuatan seseorang yang lebih dewasa akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja juga akan lebih dipercaya karena kematangan jiwanya. karena di usia tersebut seseorang akan semakin matang dalam berfikir dan bertindak yang akan berpengaruh dalam perilaku seseorang terutama dalam hal berperilaku baik dalam menjaga kesehatan keluarganya. dengan demikian, dengan bertambahnya usia, semakin banyak pengalaman hidup yang dimiliki sehingga perilaku ibu dalam penggunaan botol susu semakin baik. faktor yang ikut berpengaruh adalah pendidikan terakhir responden, di mana 7 responden (18%) berpendidikan sd dengan semua responden memiliki perilaku yang baik tentang penggunan botol susu, 12 responden (31%) tamat sma dengan 5 responden yang memiliki perilaku yang baik. menurut teori (notoatmodjo, 2003) bahwa terbentuknya perilaku dimulai dari faktor domain kognitif yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. dan sebaliknya orang yang mempunyai pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap dan pengetahuan seseorang. sehingga dengan pendidikan yang tinggi, dan pengetahuan ibu yang banyak dalam penggunaan botol susu akan berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam kehidupan sehari-hari. pekerjaan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku yang baik, dari hasil penelitian didapatkan 5 responden (13%) bekerja sebagai pns dengan perilaku baik, 8 responden (21%) sebagai wiraswasta atau swasta yang perilakunya baik. sesuai dengan teori sunaryo (2004), lingkungan disini menyangkut segala sesuatu yang ada disekitar individu dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku individu. dengan lingkungan yang menunjang dimana ibu bekerja sebagai pegawai swasta dan pns akan lebih mudah dan lebih banyak mendapatkan informasi yang didapat lebih terseleksi karena lingkungan dihuni oleh mayoritas orang yang mempunyai pendidikan lebih baik. sehingga perilaku ibu yang bekerja sebagai pns atau swata akan lebih baik atau akan terarah keperilaku positif dalam penggunaan botol susu. selain faktor di atas, perilaku baik juga di pengaruhi oleh faktor informasi yang di dapat. dari hasil penelitian didapatkan bahwa dari 20 responden telah mendapatkan sumber informasi dalam penggunaan botol susu yang baik. menurut notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa semakin banyak panca indra yang digunakan manusia untuk menerima semakin banyak dan semakin jelas informasi yang diperoleh dan dari informasi tersebut seseorang dapat membentuk perilaku. informasi yang positif seperti cara penggunaan botol susu yang baik akan membentuk perilaku seseorang kearah yang lebih baik pula. dari 39 responden didapatkan 19 responden berperilaku buruk pada ibu dibuktikan dengan adanya pernyataan bahwa responden sering membersihkan botol susu tidak menyikat seluruh bagian botol, menaruh botol disembarang tempat, tidak memanaskan susu yang disimpan dalam kulkas. hal ini dapat dipengaruhi oleh usia, pendidikan, pekerjaan dan informasi yang diperoleh responden. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa, sebagian kecil 11 responden (28%) berusia 20–30 tahun mempunyai perilaku buruk. menurut hurlock (1998) dikutip oleh nursalam (2008) mengatakan bahwa di usia dewasa awal emosi seseorang cenderung labil sehingga belum mampu memproses secara baik pengalaman yang didapat. seseorang yang telah dewasa berarti telah matang dalam berfikir dan bertindak, dapat mempertimbangkan baik buruknya sesua tu ha l sehingga mempenga r uhi da la m menentukan perilaku. sehingga seseorang pada usia ini dalam penggunaan botol susu cenderung berperilaku buruk, dikarenakan pada usia ini seseorang belum berpikir secara matang, pengalaman yang kurang sehingga perilaku penggunaan botol susu masih buruk. selain faktor diatas, perilaku buruk juga dipengaruhi oleh pendidikan. berdasarkan hasil penelitian didapatkan 8 responden (21%) berpendidikan sd dan 2 responden (5%) berpendidikan sltp mempunyai perilaku buruk dalam penggunaan botol susu. menurut notoatmodjo (2007), bahwa pendidikan 47hikmawati, hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu ... mempengaruhi perilaku seseorang. dalam penentuan perilaku yang utuh, pendidikan, keyakinan, pola pikir dan pengetahuan memegang peranan penting. semakin rendah pendidikan seseorang, semakin sedikit pengetahuan yang didapat sehingga sulit untuk mengubah pola pikir dan perilaku seseorang. dengan demikian banyaknya ibu yang berpendidikan rendah menyebabkan ibu memiliki informasi yang sedikit dan bisa berdampak pada perilakunya yang buruk atau negative dalam penggunaan botol susu. pekerjaan adalah salah satu faktor dari perilaku buruk. berdasarkan hasil dari penelitian didapatkan bahwa hampir setengahnya (31%) atau 12 responden bekerja sebagai ibu rumah tangga mempunyai perilaku buruk. menurut sarlito ws (1983) yang dikutip oleh sunaryo (2004) ciri-ciri perilaku manusia salah satunya adalah kepekaan sosial. kepekaan sosial disini artinya kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan perilakunya sesuai pandangan dan harapan orang lain. ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga lebih banyak waktunya digunakan di rumah dan sebagian untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar di mana terdapat sebagian ibu kurang baik dalam penggunaan botol susu. sehingga ibu menjadi terpengaruh dan mengadopsi perilaku tersebut karena mereka menganggap perilaku tersebut tidak buruk yang kemudian lambat laun perilaku itu menjadi hal yang biasa. disini bisa di asumsikan bahwa ibu akan cenderung berperilaku sama dengan orang lain di karenakan terpengaruh dengan kebiasaan yang ada di sekitarnya. sehingga ibu cenderung berperilaku sesuai kebiasaan sehari-hari tanpa memperhatikan bagaimana berperilaku yang baik dalam penggunaan botol susu. selain faktor di atas, perilaku buruk juga dipengaruhi oleh faktor informasi yang di dapat. berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa hampir setengahnya yaitu 9 responden (23%) mendapatkan sumber informasi dari media elektronik di antaranya televisi dan radio. sesuai dengan teori azwar (2008) yang menyebutkan bentuk sikap merupakan pernyataan yang mendasari emosi yang berfungsi dalam penyaluran prestasi atau pengalihan mekanisme pembentukan ego. jadi meskipun mereka menyadari mempunyai perilaku yang negatif dan sudah mendapat informasi, tetapi karena di pengaruhi oleh emosional yang mungkin tidak tepat, maka terbentuklah perilaku yang negatif pula dan akan kesulitan dalam menginterpretasikan dalam kehidupan seharihari. kejadian diare berdasarkan penelitian dari tabel 6 sebanyak 15 balita (38%) tidak mengalami diare dan sebagian besar 24 balita (62%) mengalami diare. hasil penelitin di dapatkan 24 atau (62%) balita diare. penyebab balita mengalami diare ada beberapa faktor yaitu yang pertama faktor infeksi seperti infeksi enternal atau infeksi saluran pencernaan makanan yang menyebabkan utama diare pada anak yaitu infeksi bakteri: vibrio, e coli, salmonella, shigella campylobacter, yersinia, aeromonasdsb. infeksi virus (virus echo, eoxsackie, pollomyelitis) adenovirus, asto virus dan lain-lainya. infeksi parasit: cacing (ascaris, trchuris, oxyuris, strongxloides); protozoa (entamoebahistolytica, giardia lambila, trichomonashominis) jamur (candida albicons). infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan seperti: otitis media akut (oma), tonsillitis/tonsila faringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. faktor yang kedua yaitu faktor mal absorbsi seperti mal absorbsi karbohidrat: disakarida (inteleransi laktosa, maltose dan sukrosa); monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galatosa). mal absorbsi lemak, mal absorbsi protein. faktor yang ke tiga yaitu faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. dan faktor yang ke empat yaitu faktor psikologis: rasa takut dan cemas (ngastiyah, 2000). jadi diare tidak dikarenakan oleh penggunaan botol susu saja melainkan ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam kejadian diare pada balita. sedangkan di dapatkan dari 39 responden yang tidak mengalami diare 15 atau (38%) responden. sedangkan balita yang tidak mengalami diare pada saat penelitian adalah balita dengan penyakit panas, anoreksia, habis jatuh dari tempat tidur dll. berdasarkan dari hasil penelitian pada table 8 menunjukkan bahwa dari 39 responden di dapatkan bahwa 15 responden ibu balitanya (39%) memiliki perilaku buruk dengan balitanya mengalami diare, 4 ibu balitanya (10%) memiliki perilaku buruk dengan balitanya tidak mengalami diare, 9 ibu balita (23%) memiliki perilaku baik dengan balitanya mengalami diare, 11 responden ibu balita (28%) memiliki perilaki baik dengan balitanya tidak mengalami diare. dari tabel 8 didapatkan 9 ibu balita (23%) memiliki perilaku baik dengan balitanya mengalami diare. menurut ngastiyah (2000) mengemukakan 48 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 43–49 bahwa faktor penyebab diare antara lain infeksi seperti infeksi bakteri, infeksi virus, infeksi parasit, infeksi parenteral atau infeksi diluar alat pencernaan. selain itu faktor mal absorbsi seperti mal absorbsi karbohidrat, lemak dan protein. faktor lainya yaitu faktor makanan seperti makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. serta faktor psikologis seperti rasa takut dan cemas. jadi selain di pengaruhi oleh perilaku ibu dalam penggunaan botol susu, kejadian diare juga dipengaruhi oleh faktor mal absorbsi, makanan, infeksi yang menyebabkan terjadinya diare pada balita. dari tabel 8 didapatkan 4 ibu balita (10%) memiliki perilaku buruk dengan balitanya tidak mengalami diare. menurut hidayat (2006), pada usia balita, organ tubuh dan sistem kekebalan tubuh pada balita belum berkembang sempurna, tidak heran jika balita sering menderita suatu penyakit terutama penyakit infeksi pada saluran pencernaan. daya tahan tubuh balita yang masih lemah sehingga balita sangat rentan terhadap penyebaran virus. jadi balita satu dengan balita yang lainnya mempunyai sistem kekebalan tubuh yang berbeda. dari tabel 8 menunjukkan bahwa dari 39 responden di dapatkan bahwa 15 responden ibu balita (39%) memiliki perilaku buruk dengan balitanya mengalami diare, 11 ibu balita (28%) memiliki perilaku baik dengan balitanya tidak diare. menurut budi sutomo (2010) mengatakan penyebab diare salah satu faktor lainya yaitu penggunaan botol susu kurang baik diantaranya dari segi higienenya. botol susu yang kurang bersih dapat menjadi tempat bakteri berkembang. semisal bakteri e.coli yang dapat menjadi penyebab terjadinya diare pada balita. perilaku ibu juga dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare seperti ibu yang kurang memperhatikan kebersihan botol anaknya, diantaranya kebiasaan ibu yang terkadang tidak baik dalam membersihkana atau mencucinya, merebus atau menyeterilkan, menyimpannya, sehingga binatang, kuman, bakteri, virus dapat masuk sehingga menyebabkan botolnya terkontaminasi dan kotor. sedangkan ibu yang baik dalam memperhatikan dalam kebersihan botol susunya ibu dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit melalui makanan atau minuman sebagai salah satunya adalah penyakit diare. sehingga apabila perilaku ibu dalam penggunaan botol susu baik maka dapat mencegah terjadinya diare pada balita. oleh sebab itu, pemeliharaan botol susunya harus dalam keadaan bersih dan sehat. hasil dari analisa chi square didapat x2 hitung sebesar 4,6 dan x2 tabel sebesar 3,84. jadi x2 hitung  dari x2 tabel yang berarti ha diterima ho ditolak, ini menunjukkan ada hubungan antara perilaku ibu dalam penggunaan botol dengan kejadian diare pada balita. sedangkan untuk kk: 0,32 yang berarti tingkat keeratan rendah. simpulan dan saran simpulan ada hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu dengan kejadian diare. diberitahukan dari hasil analisachi square didapat x2hitung sebesar 4,6 dan x2tabel sebesar 3,84. jadi x2hitung  dari x2tabel yang berarti ha diterima ho ditolak, ini menunjukkan ada hubungan antara perilaku ibu dalam penggunaan botol dengan kejadian diare pada balita. sedangkan untuk keeratan hubungan didapatkan 0,32 yang berarti tingkat keeratan rendah. saran diharapkan untuk mampu berperilaku baik dengan cara menggunakan botol susu yang benar dalam kehidupan sehari-hari seperti menyikat botol susu menggunakan sikat khusus, membilas botol dengan air mengalir, menyeterilkan botol dengan merebus selama 7 menit, menyimpan botol di tempat yang bersih dan tertutup dalam rangka mencegah terjadinya diare pada balita. diharapkan bagi profesi keperawatan tidak hanya melayani dalam aspek klinis (kuratif dan rehabilitas) tetapi perlu dikembangkan bagi upaya promotif dan preventif dalam upaya mencegah terjadinya diare dengan cara memperkenalkan bagaimana cara pemakaian botol susu yang baik seperti menyikat botol susu menggunakan sikat khusus, membilas botol dengan air mengalir, menyeterilkan botol dengan merebus selama 7 menit, menyimpan botol di tempat yang bersih dan tertutup. daftar rujukan azwar. 2008. sikap manusia teori dan pengukurannya, edisi ke-2. yogyakarta: pustaka pelajar. budi, s., dan dwi, y.a. 2010. makanan sehat pendamping asi. jakarta: demedia pustaka. dinkes ponorogo. 2011. buku profil kesehatan kabupaten ponorogo tahun 2010. hidayat, a.a. 2006. pengantar ilmu keperawatan anak. jakarta: salemba. 49hikmawati, hubungan perilaku ibu dalam penggunaan botol susu ... hurlock, elizabeth, b. 1999. psikologi perkembangan, edisi 5. jakarta: erlangga. ngastiyah. 2000. perawatan anak sakit. jakarta: egc. notoatmodjo, s. 2002. metodologi penelitian kesehatan. edisi revisi. jakarta: rineka cipta. 410 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 410–414 the effectiveness of in-network methods (whatsapp group) to the attitudes of covid 19 prevention of d3 midwifery students stikes patria husada blitar ita noviasari1, levi tina sari2 1,2departement of midwifery, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 23/09/2020 accepted, 24/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: ovid-19, whatsapp, attitude article information abstract covid-19 is a new type of virus that easily spreads to humans and causes serious infections such as pneumonia. in indonesia, the psbb (large-scale social restriction) was implemented as an effort to suppress the spread of the corona virus. all activities outside the home are stopped or reduced until the pandemic has subsided. some regions have implemented government policies to dismiss their students and begin the application of learning methods using an online or online system. methods: the design of this study used a quasy experiment with a pre-post group design approach without control group design. a sample of 19 respondents was given material about the definition of covid-19, prevention of covid-19. the sampling technique used purposive sampling. the data collection method used a questionnaire in the form of google form given to respondents before treatment and after treatment. data analysis was divided into 2, namely univariate and bivariate. univariate in the form of frequency distribution to measure the characteristics of respondents, namely age, parent’s occupation, and bivariate using the wilcoxon signed rank test statistical test aimed at distinguishing attitudes before and after treatment. results: the wilcoxon test proved that there was a difference between before and after treatment, namely  (0.05) > 0.001. discussion: communication with social media via the internet (whatsapps) affected the attitudes of respondents in preventing covid-19 transmission and increase information and understanding for respondents. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: noviasariita@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p410–414 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 410 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p410-414&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p410-414 411noviasari, sari, the effectiveness of in-network methods (whatsapp group) to ... introduction lately, corona is still a hot topic of conversation and still dominates in society. covid is currently a trending topic that is widely reported in both print and electronic media. sars-cov-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) or the corona virus is a new type of corona virus that causes infectious diseases to humans. corona virus disease 2019 or called covid-19 is a virus that was first discovered in wuhan china in december 2019.(bnpb, 2019). then this virus spread and very quickly to almost all countries within a period of a few months, including indonesia. so that who designated this outbreak as a global pandemic. (who, 2020). in june 2020, in indonesia, have 45,891 confirmed positive, 2,465 deaths, 56,436 people under surveillance and 13,225 patients under surveillance (satgas penanganan covid-19, 2020). in the city of blitar there are 4 positive cases, 3 recovered and 1 still under treatment, 209 people under surveilans, with details of 203 people being monitored, 4 people being monitored and 2 people dying (media indonesia, 2020) this virus can attack anyone from infants, children, adults and the elderly, including pregnant and lactating women. corona virus is a collection of viruses that can infect the respiratory system. in some cases it causes only mild respiratory infections such as influenza only. but this virus can cause respiratory infections that are quite severe such as lung infections (pneumonia) (sari, 2020) in preventing the corona virus, several countries ha ve esta blished policies, namely imposing lockdowns. indonesia imposed large-scale social restrictions as an effort to suppress the spread of the virus corona. all activities outside the home are stopped or reduced until the pandemic has subsided. some areas of government policy applied to dismiss the students and start implementing a learning method in a network or online system this is in accordance with decree no.4 of 2020 concerning implementa tion of education policies in a n emergency period of the spread of the coronavirus by the minister of education and culture. where the learning system is carried out through a personal computer or laptop device connected to the internet network. learning can also be done through groups on social media such as whatsapp, telegram, zoom or other media as a learning tool. so that in this condition, the teacher can still monitor and ensure that students take part in learning even though they are in different places. (kemendikbud, 2020) lots of appeals ha ve been ma de by the government in an effort to break the chain of transmission of covid 19. by maintaining physical distance, working from home, studying from home and worshiping at home. it is expected to maintain physical distance to minimize the risk of splashes or droplets or touching objects that were previously exposed to droplets. some guidelines for prevention include frequent hand washing, avoiding touching the face area, avoiding sharing personal items, avoiding shaking hands and hugging, maintaining social distancing and avoiding large gatherings. the government has provided rules not to carry out crowd activities during the pandemic and to carry out activities at home so that it is expected to reduce the spread of covid 19 (kemendikbud, 2020). university as an institution that has a moral responsibility to educate the nation’s life is expected to provide a different atmosphere in the world of education that can support a creative and innovative learning process. but to achieve this, there are currently obstacles due to the pandemic which limits the space to interact directly and implement health protocols. therefore, one way is by using the online method (whatsapp). according to statistical data through the statista website, 2019 shows an increase in the number of active whatsapp users every month around the world. at indonesia in february 2017 there were 1,000 billion active whatsapp users and in january 2019 it increased to 1,200 billion whatsapp active users (kominfo, 2019). whatsapp is a cross-platform instant messaging service for smartphones that rely on the internet to send messages. based on its specifications whatsapp is low cost, making it a cheap alternative to sending text messages, especially for international and group messages (wong et al, 2018). so the material about covid 19 through the whatsapp group is expected to be an alternative for conducting health education or counseling because it will be right on target and the message conveyed can be understood (delam et al, 2019). researchers are interested in conducting research on the effectiveness of online methods (group whatsapp) on attitudes to preventing covid 19 in d3 midwifery students stikes patria husada blitar. 412 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 410–414 methods t he design of this study used a qua sy experiment with a pre-post group design approach without control group design. the population in this study were all students of d3 midwifery stikes patria husada blitar. sampling technique used purposive sampling with inclusion criteria as actived student, participated in the study from began to end, so that a sample obtained by 19 students. 19 respondents were given material about the definition of covid-19, and prevention of covid-19. methods of data collection used a questionnaire in the google form given to respondents before treatment and after treatment. treatment was carried out for 4 weeks and time can be carried out at any time. the variable measured the attitude of prevention of covid 19, the attitude questionnaire was divided into fa vor a ble a nd unfa vor a ble sta tements. measurement of attitudes used a likert scale, namely 1: strongly disagree, 2: disagree, 3: neutral, 4: agree, 5: strongly agree. the data scale was ordinal with a positive attitude category: score t  mean coded 2, negative attitude: score t  mean coded 1. data analysis was divided into 2, namely univariate and bivariate. univariate form to measure the frequency distribution characteristics of the respondents, aged, occupation of parents, and bivariate used statistical test of wilcoxon signed rank test aims to differentiate attitudes before and after treatment. results general data characteristics  % age 20 6 32 21 5 26 22 8 42 parents’ job government officials 2 11 private sector employee 4 21 merchant 10 53 farmer 3 15 have received covid information: yes 19 100 no 0 0 table 1 characteristics of respondents (n = 19) custom data if (ever) the source of the information: mass media 1 5 internet 17 90 health workers 0 0 covid task force 1 5 friend 0 0 fr om the ta ble a bove pr oves tha t the respondents have a negative attitude by 58%. characteristics  % positif 8 42 negatif 11 58 total 19 100 table 2 attitude before treatment characteristics  % positif 19 100 negatif 0 0 total 19 100 table 3 attitude after treatment the results of research above prove that the positive attitude of respondents to the prevention of covid19 was 19 respondents. n mean z asymp.sig (2-tailed) before 19 1,42 3,317 0.001 after 2,00 table 4 the numerical value of the wilcoxon sign rank test from the table above proves that there is a difference between before and after treatment, namely  (0.05) > 0.001. there is an increase in the mean value between before and after treatment by 0.58 points. discussion the results showed that 58% of respondents had negative attitudes towards the prevention of 413noviasari, sari, the effectiveness of in-network methods (whatsapp group) to ... covid-19 before treatment. this waas due to the lack of information obtained, because covid-19 spreads very quickly and the government quickly orders to be at home, so respondents did not get direct counselled from health workers but from the internet. then covid-19 was a new thing or virus so that it is less known by the public or the public. in indonesia, there was a big spike in cases of covid-19. initially there 134 people affected with the number of deaths of five people, then the information affected increased to 227 with the death of 19 people (media indonesia, 2020). therefore, the government gave instructions for closed lectures due to the massive spread of covid-19. so that students, especially respondents, did not get valid information about covid-19. the government conducted covid-19 counselled through mass and electronic media and was also encouraged and formed a covid 19 task force, but this not been able to shape the attitude of the community, especially respondents in terms of prevented covid-19, and accorded to respondents, prevention only done used masks. in addition, there were some people who provided wrong information, which resulted in the transmission of covid-19. the environment around the respondent’s house and the work of parents can also influence the formation of attitudes towards the prevention of covid 19. the environment can shape a person’s character because it’s done continuously (purwanto, 2009). so because of the lack of covid information, the environment around the house and family did not or did not complied with the rules in order to prevent covid 19. after treatment, the results showed that 100% of respondents had a positive attitude towards the prevention of covid-19. the treatment was done during four weeks with time not restricted for the purpose of obtained the trust / confidence of the respondent and before various respondents knew each other and trust each other. effendy (2012) revealed that the purpose of provided health education was to achieve changes in attitudes and behavior for both individuals, families and communities so that they can foster and maintain healthy behavior and a healthy environment, and had an active role in realize optimal health status. more and more information can influence or incr ea se knowledge a nd with knowledge it creates awareness that eventually someone will behave and behave in accordance with the knowledge they had (notoadmodjo, 2012). wawan dan dewi (2010), attitudes were gener a l evalua tions ma de by individua ls of themselves, other people, objects or issues. this can happen because in theory, it reveals that attituded a predisposition (determinant) that gave rise to behavior or actions in accorded with the attituded. attitude to grow, begun with knowledge that perceived as good (positive) or not good (negative), then internalized into respondents. respondents aged 20-23 years where adults easily accept new things positived to improve their health, because they were an adults, health was the main thing because with a healthy body condition they can work, learn actively and productively. the research results prove that  (0.05) > 0.001. there was an increased in the mean value between before and after treatment. this because the first few factors were that the respondents already know each other and the treatment lasts for 4 weeks and not limited by time in question and provided input and suggestions, so there trusted between the respondent and the researcher (tentor). and there had been a very massive covid-19 transmission as well as information assistance from various media both mass and electronic so that respondents had a positive attituded in prevented covid 19. communication with social media via the internet (whatsapps) will affect the attituded of respondents in prevented the transmission of covid19 and increased information and understood for respondents. this in accordance with the opinion of effendi (2010) which states that communication used social media (whatsapp) a concept and a relatively up to date study area. communication in this media was the used of android or windows along with the facilities and capabilities to be used as a mass or private messenger (sari, 2020). the ability of a counselor (tentor) in research was also given priority, because it determines the flow of communication that adolescents can accepted and had trusted. in research from kosasih et al (2017), that the ability and knowledge of a communicator was essentially the impression formed by the communicator about the ability of the communicator. a counselor must also have expertised and knowledge. in addition, counselled with the online method via whats app can be done 414 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 410–414 anytime and anywhere, so that adult teens can asked questions without a barrier to distance and time. whatsapp social media can present various forms of delivery of messages, both in the form of text, images and can send words, powerpoints, voice notes, and videos, so that it will make it easier for someone to understood the content of the material. education in this research was an effort or activity to create community behavior that was conducive to health. the use of social media very effectived and can created more opportunities for interaction, so that the use of social media as an educational medium can be used as a medium for interaction and information share and effectived for used.(gikas j & grant, 2013:18-25) conclusion the research results proved that  (0.05) > 0.001. there an increa sed in the mean va lue between before and after treatment. 100% of respondents had a positive attituded towards prevented covid-19 communication with social media via the internet (whatsapp) affects the attitude of respondents in prevented the transmission of covid19 and a dds infor ma tion and under stood to respondents. suggestion t he most effectived mea ns of pr ovided information and trained during the covid-19 pandemic era was used the internet, the wich one was the whatsapp group. where this whatsapp already owned by all teenagers so they can easily accessed it. refferences bnpb. (2020). covid 19 di indonesia, available at 20 juni (2020), (www.covid19.go.id) delam h, eidi a (2019) ‘whatsapp messenger role in coronavirus disease 2019 (covid 19) pandemic’ journal of health sciences & survailance system, 8(4), pp. 183-184. doi : 10. 30476/ jhsss.2020.87202.1107. available at: 21 juli (2020 ) (https://jhsss.sums.ac.ir/article_46964.html) effendy, nasrul. (2012). dasar ± dasar keperawatan kesehatan masyarakat (ed. 2). jakarta: egc. effendi, m. 2010. peranan internet sebagai media komunikasi. jurnal dakwah dan komuniaksi, 4(1). gikas, j., & grant, m. m. (2013). mobile computing devices in higher education: student perspectives on learning with cellphones, smartphones & social media. internet and higher education. https:// doi.org/10.1016/j.iheduc kemendikbud (2020). penyesuaian keputusan bersama empat menteri tentang panduan pembelajaran di masa pandemi covid-19. available at: 28 april (2020). (www.kemendikbud.go.id) kemendikbud (2020). 19 juni 2020: kemendikbud luncurkan tiga kebijakan dukung mahasiswa dan sekolah terdampak covid-19. available at 20 juni (2020). (https://bersamahadapikorona.kemdikbud. go.id/kemendikbud-luncurkan-tiga-kebijakandukung-mahasiswa-dan-sekolah-terdampak-covid19/) kominfo. (2019). kominfo, whatsapp kenalkan literasi privasi dan keamanan digital, available at 20 juni (2019), (kominfo.go.id). kosasih, e. j., setianti, y., & wahyudin, u. (2017). pengaruh kredibilitas petugas terhadap sikap kepatuhan pasien tbc pada pemeriksaan dahak. jurnal kajian komunikasi, v ol.5, no.1, pp.1–10 media indonesia (2020). pembelajaran daring. available at: 21 juli (2020). (https://mediaindonesia.com/read/ detail/298964-covid-19-dan-pembelajaran-daring) notoatmodjo s. (2012). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta: pt rineka cipta. purwanto. (2009). evaluasi hasil belajar. surakarta: pustaka belajar sari, lt (2020). pengaruh cyber counseling terhadap sikap pencegahan hiv/aids di smk pgri 3 blitar. jurnal penelitian kesehatan, jilid 7, no.2, hh: 6370 sari, iy (2020). pneumonia covid-19 coronavirus disease 2019. available at: 21 juli (2020). (www.rssoewandhi.surabaya.go.id) satgas penanganan covid-19. (2020). peta sebaran covid-19, available at: 20 juni (2020), (https:// covid19.go.id/peta-sebaran) wawan a & dewi (2010). teori dan pengukuran pengetahuan, sikap dan perilaku manusia. yogyakarta : nuha medika. who (2020). coronavirus disease (covid-19) pandemic. available at: 25 juli (2020) (www.who.int) wong kp, bonn g, tam cl, wong cp (2018) ‘preferences for online and/or face-to-face counseling among university students in malaysia’, frontiers in psychology, 9(64), doi: 10.3389/fpsyg.2018.00064. pmid: 29445352; pmcid: pmc5798405 available at: 25 juli 2020 (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/pmc5798405/#). e:\2021\ners april 2021\5-jurna 33ariani, pragholapati, the description of knowledge about antenatal care in ... the description of knowledge about antenatal care in village x, bandung regency in 2019 jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 01/03/2020 accepted, 18/12/2020 published, 05/04/2021 keywords: knowledge, antenatal care, anc article information abstract the lack of maternal antenatal care visit is one of the determinants that cause maternal mortality rates in indonesia. antenatal care is care for pregnant women during pregnancy, starting from conception to the birth of the fetus. the purpose of this study was to study the antenatal care knowledge overview in village x bandung regency in 2019. the design of this study was quantitative descriptive with 74 postpartum mothers respondents. data were collected using a knowledge questionnaire. the results obtained from the knowledge of antenatal care in village x bandung regency in 2019 were high knowledge of antenatal care (73%) and low knowledge of 27%. the conclusion of the study showed respondents who had high knowledge of anc was more than 73% compared to those who had low knowledge of 27%. health workers need to improve health education for mothers with high gestational age and home visits. © 2020 journal of ners and midwifery 33 correspondence address: bhakti kencana university bandung – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: antry_arianistikesbk@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p033–037 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) antri ariani1, andria pragholapati2 1department of midwifery, universitas bhakti kencana bandung, indonesia 2department of nursing, universitas pendidikan indonesia, indonesia https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p033-037&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p026-032 34 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 33–37 introduction maternal mortality rate (mmr) is an important indicator of the degree of public health. aki describes the number of women who die during pregnancy, childbirth, and during the puerperium. the world health organization (who) states that the world’s maternal mortality rate in 2015 was 216 per 100,000 live births. meanwhile, the maternal mortality rate (mmr) in indonesia in 2017 fell to 1,712 cases. based on data from the west java health profile, mmr in west java province was 84.78 per 100,000 live births. and in bandung regency, the maternal mortality rate (mmr) was 38 cases out of 64911 live births. the target of health development to be achieved in 2025 is an increase in the degree of public health as indicated by an increase in life expectancy, a decrease in the infant mortality rate, a decrease in the maternal mortality rate, a decrease in the prevalence of malnutrition among children under five (ministry of health, 2015). based on the regulation of the minister of health number: hk.02.02 / menkes / 52/2015 that indonesia’s health development in the 2015-2019 period is to improve the health status and nutritional status of the community through health and community empower ment efforts suppor ted by financial pr otection a nd equita ble hea lth ser vices. development of indonesian health by improving the health and nutritional status of mothers and children, improving disease control, increasing access and quality of basic and referral health services, especially in remote, underdeveloped and border areas, increasing coverage of universal health services through the healthy indonesia card and the quality of sjsn health management, meet the needs of health personnel, drugs and vaccines, increase the responsiveness of the health system (ministry of health, 2015). antena ta l ca r e (anc) is a n impor ta nt opportunity to diagnose and treat pregnancy-related complications and to provide interventions aimed at improving the health and survival of both mother and baby. hutasoit, m., utami, kd, &afriyliani, nf (2020) stated that there was a significant relationship between antenatal care visits and the incidence of stunting. 80% of pregnant women who experience anemia are mothers who do not regularly make anc visits (nurmasari, v., &sumarmi, 2019). anemia in pregnancy is also influenced by regular antenatal care visits or antenatal care (anc) (nurmasari, v., &sumarmi, 2019). the risk of bleeding, miscarriage, lbw, maternal, and child mortality can increase if pregnant women suffer from anemia (batlibangkes, 2013). the ministry of health (2012) stipulates that the antenatal care program policy determines the frequency of antenatal visits should be done at least 4 (four) times during pregnancy, 1 time in the first trimester (k1), 1 time in the second trimester (k2), and 2 times in the third trimester. (k3 and k4). mea nwhile, if ther e a r e a bnor ma lities or complications of pr egna ncy such as nausea, vomiting, pregnancy bleeding, bleeding, location abnormalities, etc., the frequency of anc visits is adjusted to the needs. fitrayeni, et.al (2017) stated that the cause of the low completeness of antenatal care visits for pregnant women is that more than ha lf of the respondents have a low level of knowledge, have negative attitudes, and their family (husband) is not supportive, the role of midwives is not good during anc visits. , the level of knowledge, a ttitudes, the r ole of the fa mily with the completeness of anc visits, the role of midwives in anc for pregnant women has not been effective, and efficient. other factors can also affect the lack of completeness of anc visits, such as social, cultural, economic, psychological, and others (fitrayeni, et.al, 2017). regular anc examinations are one of the fa ctor s in decreasing mmr (nurma sari, v., &sumarmi, 2019). anc services are carried out to improve the health status of pregnant women and to monitor the mother’s health status during pregnancy. during an anc visit, pregnant women will receive a comprehensive examination of their pregnancy, receive nutritional counseling, receive folic acid and iron supplements, give fe tablets, and provide proper health education. so that all of this can prevent mothers from experiencing anemia, prevent mothers from giving birth to premature and small babies, and babies from getting adequate nutrition from the womb (nurmasari, v., &sumarmi, 2019; hutasoit, m., utami, kd, &afriyliani, n. f, 2020). various individual studies and national surveys have assessed the utilization of antenatal services at one point in time in various countries, but anc trends have not been studied frequently in rural areas of lower middleincome countries (lmics) (tikmani, ss .et.al, 2019). 35ariani, pragholapati, the description of knowledge about antenatal care in ... study ethics for respondents were informed consent (information for respondents), anonymity (anonymously), and confidentiality (confidentiality). result f % complete incomplete high 54 73 40 14 low 20 27 12 8 74 100 52 22 table i frequency distribution of respondents’ antenatal care knowledge (n = 74) antenatal care visit history knowledge of anc based on data obtained from the bandung district health office, the coverage of delivery assistance by health workers at the kutawaringin community health center is 60% and the coverage of delivery assistance by non-health workers is 16%. based on data obtained from the annual report of the village of jatisari in 2018, the number of mothers gave birth to as many as 203 people, as many as 66 people (33%) mothers did not do antenatal care because it was carried out by nonhealth personnel. jatisari village is located in kutawaringin district, bandung regency. the location of jatisari village is quite strategic and access to health facilities is quite easy and the distance covered is not far and can be reached by the community. based on the results of interviews with the coor dina ting midwives of the kutawar inginpuskesmas and jatisari village midwives, there are still many who do not know about antenatal care for pregnant women. based on the description and background above, the authors are interested in researching with the title “overview of anc knowledge in village x, bandung regency in 2019” methods this type of study was descriptive quantitative research. in this study, researchers identified knowledge of antenatal care in village x, bandung regency in 2019. the data collection was taken using a questionnaire about pregnancy and anc: ever ything mother s know a bout pr egna ncy examinations. the population was all post-partum mothers who were in village x, bandung regency during january-march 2019 totaling 289 people. the sample in this study was 74 people using the slovin formula to determine the minimum number of samples taken from the population and purposive sampling technique. the sample was determined with the consider a tion of deliver y without complication. the instrument in this study was an instrument that the researcher made himself. based on the results of the questionnaire validity test to 23 respondents, the r table value was obtained with a significant level of 5%, namely 0.413. the invalid statement was then changed by the writing editor and tested again until the results were valid. the reliability test results obtained the reliability coefficient value of 0.851. the knowledge about anc is classified into high and low. respondents who had high knowledge about anc were 73% more than those with low knowledge of 27%. discussion the majority of respondents had a high level of knowledge about antenatal care. the results of the study were in line with the results of study conducted by handayani (2017) which showed that there were 8 pregnant women with insufficient knowledge who made anc visits (53.3%), while 2 people with good knowledge did not make anc visits (6.7%). surniati (2013) in his study found that ther e wa s a significant cor relation between knowledge and anc visits, with a p-value of 0.04. fitrayeni, et.al (2017) showed that respondents who ha d incomplete anc visit wa s mostly respondents with low knowledge of anc (82.8%) compared to respondents with high knowledge (5.9%). there was a significant correlation between the level of knowledge and completeness of anc visits (p-value = 0). it was known that the value of the prevalence ratio was 19, meaning that the variable level of knowledge was one of the risk factors in completing anc visits to pregnant women. pregnant women who had low knowledge were 19 times more likely to have an incomplete anc visit than mothers who had high knowledge about anc. the results of this study were the same as study by siskahelniwatti (2011) tha t ther e was a correlation between the knowledge of third trimester 36 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 33–37 pregnant women about anc on the implementation of k4. according to handayani (2017), pregnant women with insufficient knowledge who make anc visits were caused by motivational factors and environmental factors. environmental factors such as an invitation from a friend or neighbor of a pregnant woman to have her pregnancy checked at the posyandu because it does not cost money so that pregnant women make anc visits. meanwhile, pregnant women with good knowledge but who do not make anc visits are caused by maternal a ttitudes. wher e the mother consider s her pr egna ncy to be young a nd ther e a r e no complications, so the mother does not need to have an anc visit. knowledge of cognition is a very important domain for the formation of one’s actions. mothers with high knowledge were more likely to perform anc exa mina tions tha n mother s with low knowledge. so that with high knowledge can change the attitude of the mother to want to do anc examinations. meanwhile, acceptance of new, lasting behavior is based on positive knowledge and attitudes (handayani, 2017). tewodros, mariam &dibaba (2009) stated that in mothers over 35 years of age, the incompleteness in conducting antenatal care visits was due to the experience and knowledge they had so that they lack the motivation to complete and did regular antenatal care visits. this showed that information about antenatal care was easy to obtain by mothers. with high knowledge, the gr ea ter incr ea se awareness of maternal checkups. mothers who had a high level of knowledge about antenatal care were likely to have a positive attitude towards antenatal care. conclusion respondents who had high knowledge of anc were 73% while those with low knowledge were 27%. suggestion based on the results of this study, the relevant institutions are expected to further improve health promotion regarding antenatal care as well as health monitoring for mothers with high-risk ages. for other health workers, especially midwives and nurses, it is hoped that they will further improve their approach to mothers with highrisk ages to increase the regularity of antenatal care and to actively provide information on the importance of carrying out comprehensive and regular antenatal care. pregnant women are advised to keep trying to increase their knowledge about antenatal care by reading the leaflets provided at the rb / bpm / puskesmas, reading more books, magazines, listening to the radio, health webinars about pregnancy, so that pregnant women are expected to continue to make anc visits regularly. midwives a nd other hea lth wor ker s ar e expected to provide counseling and counseling both directly and online to increase the knowledge of pregnant women about the importance of antenatal care and improve the quality of health services, especially in antenatal care, so that it can motivate pregnant women to carry out antenatal care. references ministry of health.(2012) guidelines for antenatal care. jakarta: directorate general of medical services, ministry of health, republic of indonesia. fitrayeni, f., suryati, s., &faranti, rm (2017). the cause of the low completeness of antenatal care visits for pregnant women in the pegambiran community health center. andalas public health journal, 10 (1), 101-107. handayani, fitri. (2017). factors associated with antenatal care (anc) visits in muaramahat village, the tapung i center for community development. retrieved from https://journal.universitaspahlawan. ac.id/index.php/doppler/article/view/136 hutasoit, m., utami, kd, &afriyliani, nf (2020). antenatal care visits related to stunting events. journal of health samodra ilmu, 11 (1), 38-47. ministry of health. (2015). strategic plan kementria n health in 2015-2019, indonesia. jakarta: ministry of health of the republic of indonesia. ministry of health.(2016). indonesia health profile 2015. jakarta: ministry of health of the republic of indonesia. nurmasari, v., &sumarmi, s. (2019).relationship regularity of antenatal care visits and compliance with fe tablet consumption with incidence of anemia in third trimester pregnant women in maronprobolinggo district.amerta nutrition, 3 (1), 46-51. batlibangkes.(2013). basic health study2013.basic health study2013, 6. surniati (2013). analysis of factors related to regular use of antenatal care (k1-k4) in the mamasa community health center work area. retrieved from http:// 37ariani, pragholapati, the description of knowledge about antenatal care in ... repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/ 6 7 1 6 / j u r n a l % 2 0 s u r n i a t i % 2 0 % 28k11109262%29.pdf?sequence=1 ti km an i, ss, ali , sa, sal eem, s., ban n, cm, mwenechanya, m., carlo, wa, goldenberg, rl (2019). trends of antenatal care during pregnancy in lowand middle-income countries: findings from the global network maternal and newborn health registry. seminars in perinatology.doi: 10.1053 / j.semperi.2019.03.020 watti,siskahelni. (2011). the relationship of knowledge of t hi rd tri mest er pregn an t womenabout antenatal care against implementation of k4 [kti] medan. d-iv study program for usu faculty of nursing midwives. retrieved from http://repository.usu.ac.id/ b i t s t r e a m / h a n d l e / 1 2 3 4 5 6 7 8 9 / 2 7 1 8 5 / cover.pdf?sequence=7&isallowed=y world health organization (who).(2015).trends in maternal mortality 1990 to 2015. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 6 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 6–14 6 gambaran kualitas hidup odha yang menjalani terapi antiretroviral (arv) di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi (quality of life people living with hiv-aids (plwha) with antiretroviral therapy in cendana clinic ngudi waluyo wlingi hospital) erni setiyorini stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com abstract: human immunodeficiency virus (hiv)is desease with high mortality and everyone have chance got hiv. at blitar hiv/aids prevalence increase since 2010. the incubation of hiv need long time to become aids. at this period plwha faced with physic, physichologic, sosial, environment problem and impact to their quality of life. the purpose of this study was to describe quality of life plwha at physic, physichologic, sosial, environment dimension. method: research design was descriptive. population of this study is plwha who receiving arv at cendana clinic ngudi waluyo wlingi hospital. samples 42 respondent by using convenient sampling. data collected at september 1st– 30, 2013 by questionaire. result of this study in physic dimension much of them at good 16 peoples (38,1%), enough and less, each of them 13 peoples (31%). physhicology dimension at good and enough, each of them 20 peoples (47,6%) then at less 2 peoples (4,8%). sosial dimension enough 25 peoples (59,5%), good 15 peoples (35,7%) and less 2 peoples (4,8%). environment dimension enough 16 peoples (38,1%), good 15 peoples (35,7%) dan kurang 11 orang (26,2%). it is suggested for nurse to implementation nursing care plan to plwha suitable with their quality of life dimension and enhance support to their sosial activity. keywords: plwha, antiretroviral (arv), quality of life abstrak: human immunodeficiency virus (hiv) adalah penyakit dengan tingkat kematian yang tinggi dan setiap orang dapat terjangkiti. prevalensi hiv/aids di blitar meningkat sejak tahun 2010. masa inkubasi hiv memerlukan waktu yang lama untuk menjadi aids. pada periode tersebut odha akan menghadapi masalah fisik, psikologis, sosial, lingkungan dan berpengaruh terhadap kualitas hidupnya. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kualitas hidup odha pada dimensi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah odha yang mendapatkan terapi arv di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi. teknik sampling convinient didapatkan sampel sebanyak 42 orang. penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 – 30 september 2013.hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup pada dimensi fisik baik sebanyak 6 orang (38,1%), cukup dan kurang masing-masing 13 orang (31%). dimensi psikologis baik dan cukup, masing-masing 20 orang (47,6%) dan kurang 2 orang (4,8%). dimensi sosial kategori cukup 25 orang (59,5%), baik 15 orang (35,7%) dan kurang 11 orang (26,2%). diharapkan perawat dalam memgimplentasikan tindakan kepada odha disesuaikan dengan dimensi kualitas hidup dan meningkatkan dukungan pada aktifitas sosial odha. kata kunci: odha, antiretroviral (arv), kualitas hidup aids (acquired immune defisiency syndrome) mer upa ka n kumpula n da r i geja la penya kit (syndrome), sebagai manifestasi akibat defisiensi zat kekebalan tubuh. penyakit infeksi hiv/aids acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p006-014 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 7setiyorini, gambaran kualitas hidup odha ... (human immunodeficiency virus) mempunyai angka kematian yang tinggi. di asia tenggara, indonesia menempati urutan pertama dalam penularan hiv/aids. data kementerian kesehatan per juni 2011 menunjukkan jumlah pengidap aids mencapai 26.400 orang dan lebih dari 66.600 orang telah terinfeksi hiv positif. totalnya sebanyak 93.000 orang (mujiyanto, 2012). jumlah kasus hiv/ aids di kabupaten blitar pada 2010 meningkat pesat. hanya dalam waktu dua bulan, terhitung mulai januari hingga februari, jumlah warga yang positif terinfeksi hiv/aids mencapai 14 orang (arif, 2010). berdasarkan data kasus yang diterima klinik vct rsud ngudi waluyo wlingi sejak september 2009 hingga april 2013, 127 pasien hiv/aids meninggal dunia. pada tahun 2013 saja sejak januari sampai dengan pertengan april terhitung ada 12 pasien meninggal dunia. keseluruhan jumlah kasus odha (orang dengan hiv/aids) yang ditangani sebanyak 27 kasus, 12 diantaranya meninggal dunia. di mana pasien rujukan terbanyak dari kecamatan wlingi dan doko masing-masing 3 orang. umumnya pasien yang ditangani klini vct yakni mereka yang sudah memasuki stadium 3 atau 4, sehingga karena terlambat ditangani, beberapa diantaranya meninggal dunia. dari latar belakang profesi umumnya odha yang ditangani klinik vct bekerja sebagai tki, beberapa diantaranya juga berprofesi sebagai pelayan cafe di luar jawa seperti kalimantan (yuniar, 2013). infeksi hiv selain mempengaruhi kesehatan fisik juga dapat mengakibatkan kecemasan, depresi yang berkaitan dengan mortalitas, terapi dan stigma yang berdampak pada kualitas hidupnya. prognosis pasien hiv/ aids tergantung dari derajatnya ketika datang ke pelayanan kesehatan. kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup dapat digunakan untuk menilai prognosis antara pasien terinteksi hiv dalam kaitannya dengan demografis dan variabel klinis. hiv/ aids tidak hanya berpengaruh terhadap kesejahteraan fisik, akan tetapi juga kualitas hidupnya secara keseluruhan. hiv/ aids merupakan sumber stressor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dengan berbagai aspeknya. odha (orang dengan hiv aids) merupakan suatu yang berat dalam hidup, di mana permasalahan yang kompleks selalu dihadapi setiap hari, bukan hanya berurusan dengan kondisi penyakit, tetapi kondisi penyakit yang disertai dengan stigma sosial yang sangat diskriminatif dan menimbulkan stigma odha terhadap penyakitnya. seseorang akan merasa dirinya tidak berguna, tidak ada harapan, takut, sedih, marah dan muncul perasaan lainnya. hal ini akan menurunkan kemampuan bertahan hidup pasien (depkes ri, 2003). sependapat dengan pernyataan tersebut, effendy (2008) menyebutkan bahwa situasi yang diderita oleh pasien hiv/aids sangat kompleks, selain harus menghadapai stigma dan diskriminasi, pasien juga mengalami masalah fisik, psikologis dan sosial yang memerlukan intervensi komprehensif meliputi medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling. sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan hiv, beberapa terapi yang diberikan pada pasien hiv bertujuan agar prognosis tidak semakin buruk. salah satunya yaitu terapi anti retroviral (arv) yang secara signifikan dapat meningkatkan prognosis pasien hiv. terapi ini relatif aman, akan tetapi tetap memiliki dampak pada pasien, karena penggunaannya yang terus-menerus dan menyebabkan beberapa efek samping yang kurang menyenangkan (de-boor, 2010). penggunaan terapi arv dapat menghambat replikasi virus hiv dan menekan viral load, meningkatkan kualitas hidup odha dan meningkatkan harapan masyarakat, akan tetapi memiliki salah satu efek yaitu resistensi kronis terhadap obat arv (pedoman nasional terapi arv, 2011). secara teori odha yang mendapatkan terapi arv akan meningkat kadar cd4 nya. menurut nasronudin 2007) dengan terapi arv diharapkan terjadi peningkatan cd4 >100 sel/mm3 dalam 6–12 bulan pertama. pemeriksaan cd4 perlu diulang setiap 3–6 bulan bagi penderita tanpa arv dan setiap 2–4 bulan bagi penderita dengan terapi arv. respon cd4 diharapkan meningkat 50–60 sel/mm3 dalam 4 bulan pertama dengan laju peningkatan 8–10 sel/mm3 per bulan atau 100–150 sel/mm3 per tahun. sedangkan menurut djorban (2008) terapi antiretroviral (arv) adalah obat penghambat perkembangan penyakit hiv, secara nyata tidak menyembuhkan hiv tetapi member kesempatan penderita hidup lebih lama, sehat gill & einstein (1994) mendefenisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu tentang posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya dan nilai setempat dan berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandanganpandangannya, yang merupakan pengukuran multiaspek, tidak terbatas hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan. kualitas hidup merupakan komponen yang sangat penting dalam mengevaluasi kesejahteraan dan kehidupan pasien odha. indikator 8 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 6–14 kualitas hidup tidak hanya mencakup kekayaan dan lapangan pekerjaan, akan tetapi juga termasuk lingkungan, kesehatan fisik dan mental, pendidikan, rekreasi, waktu senggang dan sosial. kualitas hidup odha dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal. perjalanan virus hiv memerlukan waktu inkubasi yang lama sampai dengan munculnya tanda-tanda klinis aids. selama periode tersebut sistem kekebalan tubuh sudah mengalami penurunan. seiring dengan perkembangan penyakit, pasien seringkali dihadapkan pada permasalahan fisik, psikososial, psikologis dan mental baik secara langsung maupun tidak langsung dan hal ini berdampak pada kualitas hidup odha (yuliyanti, 2013). kualitas hidup pasien hiv dan aids menurut who menyangkut kesehatan fisik dan kesehatan mental, dinilai dari fungsi fisik, psikologis, sosial dan lingkungan (who, 2004). penilaian total dari beberapa aspek ini menentukan kualitas hidup pasien hiv/aids secara umum. pada pasien hiv/aids yang mnejalani terapi antiretrovirus secara teratur, secara teoritis akan menunjukkan perbaikan pada domain fisik dan hal ini dapat mempengaruhi domain lain dari kualitas hidup pasien. berdasarkan fenomena di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang gambaran kualitas hidup pasien hiv/aids yang menjalani terapi arv di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien hiv/aids yang menjalani terapi antiretroviral (arv) di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi. sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik pasien hiv/aids yang menjalani terapi arv di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi; 2)mengidentifikasi kualitas hidup pasien hiv/aids berdasarkan aspek fisik di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi; 3) mengidentifikasi kualitas hidup pasien hiv/aids berdasarkan aspek psikologis di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi; 4) mengidentifikasi kualitas hidup pasien hiv/aids berdasarkan aspek sosial di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi; 5) mengidentifikasi kualitas hidup pasien hiv/ aids berdasarkan aspek lingkungan di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi. metode penelitian rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah semua odha yang mendapatkan terapi antiretroviral (arv) di poli cendana rsud ngudi waluyo blitar sebanyak 231 orang. sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi yang memenuhi keriteria inklusi, yaitu: pasien hiv/aids yang menerima terapi antiretro viral (arv) yang menandatangani informed consent, bukan lansia.berdasarkan kriteria tersebut diperoleh sampel sebanyak 42 orang. teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling.variabel dalam penelitian ini adalah kualitas hidup aspek fisik, kualitas hidup aspek hubungan sosial dan kualitas hidup aspek psikologis dan aspek lingkungan. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner data demografi karakteristik responden dan kuesioner kualitas hidup odha (modifikasi dari whoqol briff). hasil penelitian hasil penelitian, yang meliputi: data yang disajikan meliputi gambaran umum lokasi penelitian, data karakteristik responden, dan data khusus penelitian mengenai stigma internal, kualitas hidup odha. karakteristik responden tabel 1. distribusi karakteristik responden di poli cendana rsud. ngudi waluyo wlingi 1–30 september 2013 karakteristik re sponden f % usia 21-30 th 31-40 th 41-50 th 16 19 7 38,1 45,2 16,7 jenis kela min laki-la ki perempuan 13 29 31 69 status pernikahan belum menikah menikah janda duda 6 22 12 2 14,3 52,4 28,6 4,8 penghasilan < 1 juta 1 2 juta > 2 juta 25 15 2 59,5 35,7 4,8 pekerjaan wiraswasta prt sopir irt petani swasta pns 6 4 2 14 3 12 1 14,3 9,5 4,8 33,3 7,1 28,6 2,4 9setiyorini, gambaran kualitas hidup odha ... tabel 1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia antara 31–40 tahun yaitu sebanyak 19 orang (45,2%). jenis kelamin responden sebagian besar perempuan yaitu sebanyak 29 orang (69%). status pernikahan responden sebagian besar menikah yaitu sebanyak 22 orang (52,4%). sebagian besar reponden memiliki penghasilan < 1 juta yaitu sebanyak 25 orang (59,5%). sebagian besar pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga (irt) yaitu sebanyak 14 orang (33,3%). lama terdiagnosa hiv/aids kualitas hidup responden berdasarkan aspek fisik tabel 2. distribusi lama terdiagnosa hiv/ aids lama frekuensi porsentase (%) 1 tahun 25 59,5 2 – 4 tahun 15 35,7 5 tahun 2 4,8   tabel 2 di atas menunjukkan bahwa prosentase terbesar responden terdiagnosa hiv/aids dalam waktu  1 tahun sebanyak 27 orang (58,7%). lama menggunakan antiretro viral (arv) tabel 3.distribusi lama menggunakan antiretro viral (arv) lama frekuensi p orsentase (%) 1 tahun 26 61,9 2 – 4 tahun 15 35,7 5 tahun 1 2,4   tabel 3 di atas menunjukkan bahwa prosentase terbesar responden terdiagnosa hiv/aids dalam waktu  1 tahun sebanyak 26 orang (61,9%). keterlibatan dalam aktifitas sosial jenis aktifitas sosial frekuensi porsentase (%) kegiatan dukungan sesama (k ds) 19 45,2 arisan/pkk/rw/pengajian 8 19 >1 kegiatan so sial 2 4,8 tidak ada kegiatan sosial 13 31 tabel 4. keterlibatan dalam aktifitas sosial berdasarkan tabel 4, kegiatan sosial yang diikuti oleh odha paling banyak adalah kegiatan dukungan sesama (kds) yaitu sebanyak 19 orang (45,2%). tabel 5. distribusi kualitas hidup pada aspek fisik responden di poli cendana rsud. ngudi waluyo wlingi pada bulan september 2013 kua litas hidup frekuensi persentase (%) baik cukup baik kuran g baik 16 13 13 38,1 31 31 tabel 5 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas hidup yang cukup baik yaitu sebanyak 16orang (38,1%). kualitas hidup responden berdasarkan aspek psikologis tabel 6. distribusi kualitas hidup pada aspek psikososial responden di poli cendana rsud. ngudi waluyo wlingi pada bulan september 2013 kua litas hidup frekuensi persentase (%) baik cukup baik kurang baik 20 20 2 47,6 47,6 4,8 tabel 6 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas hidup yang cukup dan baik yaitu sebanyak 20 orang (47,6%). kualitas hidup responden berdasarkan aspek sosial tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas hidup yang cukup baik yaitu sebanyak 25orang (59,5%). tabel 7. distribusi kualitas hidup pada aspek sosial responden di poli cendana rsud. ngudi waluyo wlingi pada bulan september 2013 kua litas hidup frekuensi persentase (%) baik cukup baik kuran g baik 15 25 2 35,7 59,5 4,8 10 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 6–14 kualitas hidup responden berdasarkan aspek lingkungan tabel 8. distribusi kualitas hidup pada aspek lingkungan responden di poli cendana rsud. ngudi waluyo wlingi pada bulan september 2013 kua litas hidup frekuensi persentase (%) baik cukup baik kuran g baik 15 16 11 35,7 38,1 26,2 tabel 8 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas hidup yang cukup baik yaitu sebanyak 16 orang (38,1%). crosstabulasi karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek fisik tabel 9. tabel crosstabulai karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek fisik crosstabulasi karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek psikologis karakteristik baik cukup kurang usia 21-30 th 7 4 5 31-40 th 7 6 6 41-50 th 2 3 3 jenis kelamin laki – laki 4 5 4 perempuan 12 8 9 pernikahan belum menikah 1 4 1 menikah 9 6 7 janda 5 3 4 duda 1 0 1 penghasilan <1 juta 8 9 8 1-2 juta 8 3 4 >2 juta 0 1 1 pekerjaan pns 0 1 0 swasta 7 4 1 wir aswasta 2 1 3 irt 4 4 6 prt 2 1 1 petani 0 2 1 sopir 1 0 1 lama t erdiagnosa <1 tahun 9 8 8 2-4 tahun 6 4 5 >5 tahun 1 1 0 lama menggunakan arv <1 tahun 10 8 8 2-4 tahun 5 5 5 >5 tahun 1 0 0 kegiatan yang diikuti kds 8 7 4 arisan/pkk/rt 2 3 3 >1 kegiatan 1 0 1 tidak mengikuti kegiatan 5 3 5 tabel 10. tabel crosstabulai karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek psikologis karakteristik baik cukup kurang usia 2130 th 5 10 1 3140 th 11 7 1 4150 th 4 3 0 jenis kelamin laki – laki 6 6 1 per empuan 14 14 1 pernikahan belum menikah 3 3 0 menikah 13 8 1 janda 4 8 0 duda 0 1 1 penghasilan <1 juta 11 12 2 1-2 juta 8 7 0 >2 juta 1 1 0 pekerjaan pns 1 0 0 swasta 6 5 1 wiraswasta 3 3 0 irt 5 8 1 prt 2 2 0 petani 2 1 0 sopir 1 1 0 lama terdiagnosa <1 tahun 9 14 2 2-4 tahun 9 6 0 >5 tahun 2 0 0 lama menggunakan arv <1 tahun 9 15 2 2-4 tahun 10 5 0 >5 tahun 1 0 0 kegiatan yang diik uti kds arisan/pkk/rt 13 5 6 3 0 3 >1 kegiatan 1 1 0 t idak mengikuti kegiatan 1 10 2 crosstabulasi karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek sosial tabel 11. tabel crosstabulai karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek sosial karakterist ik baik cukup kurang usia 21-30 th 6 9 1 31-40 th 8 10 1 41-50 th 1 6 0 jenis kelamin laki – laki 3 10 0 perempuan 12 15 2 pernikahan belum menikah 2 4 0 menikah 8 13 1 janda 5 6 1 duda 0 2 0 penghasilan <1 juta 8 16 1 1-2 juta 6 8 1 >2 juta 1 1 0 11setiyorini, gambaran kualitas hidup odha ... crosstabulasi karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek lingkungan pembahasan kualitas hidup odha aspek fisik yang menjalani terapi antiretroviral (arv) di poli cendana rsud ngudi waluyo berdasarkan hasil penelitian, responden yang berusia muda memiliki kualitas hidup aspek fisik yang baik. hal ini dapat disebabkan karena pada usia muda memiliki perasaan yang positif, fungsi kognitif yang baik harga diri yang tinggi, lebih puas dengan kondisi fisik dan body image (belak, 2006). berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa odha memiliki kualitas hidup aspek fisik baik sebanyak 16 orang (38,1%). sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan dan sebagian besar memiliki kualitas hidup aspek fisik yang baik. hal ini sejalan dengan penelitian oktavia dkk (2012) yang menyatakan bahwa wanita bertahan hidup dengan semangat mengikuti terapi karena anakanak masih membutuhkan kasih sayang dan berusaha mencukupi kebutuhannya. penelitian ini tidak sejalan dengan temuan campsmith (2003) yang melaporkan bahwa kualitas hidup yang rendah sebagian besar dialami oleh perempuan dan didukung dengan data bahwa angka cd4 rendah. menurut visser (2007) dampak hiv/aids perempuan sangat akut, terutama di afrika, perempuan sering kurang beruntung dalam ekonomi, budaya dan sosial, demikian juga terhadap akses pengobatan, dukungan keuangan dan pendidikan. bersadarkan tabel 9 didapatkan bahwa responden yang berstatus belum menikah/janda/duda memiliki kualitas hidup askep fisik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang berstatus menikah. hal ini dapat dibabkan dengan adanya pasangan hidup, odha dapat mencukupi kebutuhan hidup bersamasama, saling menguatkan jika mengalami tekanan dari lingkungan sekitar. berdasarkan pekerjaan, responden yang berperan sebagai ibu rumah tangga memiliki kualitas hidup aspek fisik yang kurang. hal ini disebabkan karena jika pasien bekerja memiliki kondisi yang lebih baik, secara fisik tidak mengalami masalah sehingga dapat beraktifitas dan bekerja sebagaimana orang sehat. pada aspek fisik, pada dasarnya odha sebagian besar responden memiliki kualitas yang baik. pada dasarnya odha mampu melakukan kegiatan sehari-hari dan beraktifitas fisik yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatannya seperti dapat berolahraga, istirahat yang cukup, mengkonsumsi arv secara rutin. sebagian besar responden yang karakteristik baik c ukup kurang pekerjaan pns 1 0 0 swasta 6 6 0 wiraswasta 3 3 0 irt 4 9 1 prt 0 3 1 petani 1 2 0 so pir 0 2 0 lama terdiagnosa <1 tahun 8 16 1 2-4 tahun 6 8 1 >5 tahun 1 1 0 lama menggunakan arv <1 tahun 7 17 2 2-4 tahun 7 8 0 >5 tahun 1 0 0 ke giatan yang diik uti kds 8 10 1 arisan/pkk/rt 3 5 0 >1 kegiatan 0 2 0 tidak mengikuti kegiatan 4 8 1 tabel 12. tabel crosstabulai karakteristik responden dengan kualitas hidup aspek lingkungan karakteristik baik cukup kurang usia 21-30 th 5 7 4 31-40 th 7 7 5 41-50 th 3 2 2 jenis kelamin laki – laki 5 4 4 perempuan 10 12 7 pernikahan belum menikah 3 2 1 menikah 6 10 6 janda 5 4 3 duda 1 0 1 penghasilan <1 juta 11 8 6 1-2 juta 4 7 4 >2 juta 0 1 1 pekerjaan pns 0 0 1 swasta 4 3 5 wiraswasta 5 0 1 irt 4 7 3 prt 2 2 0 petani 0 2 1 sopir 0 2 0 lama terdiagnosa <1 tahun 10 7 8 2-4 tahun 5 8 2 >5 tahun 0 1 1 lama menggunakan arv <1 tahun 10 8 8 2-4 tahun 5 8 2 >5 tahun 0 0 1 kegiatan yang diikuti kd s 5 10 4 ar isan/pkk/rt 4 1 3 >1 kegiatan 0 1 1 tidak mengikuti 15 16 11 12 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 6–14 mengikuti kegiatan kds dan sudah rutin mengkonsumsi arv < 1 tahun, karena aktifitas dan kesibukannya mereka dapat mengalihkannya bahwa penyakit hiv yang diderita merupakan penyakit yang mematikan. kegiatan ini tanpa disadari dapat meningkatkan kesehatan secara fisik. sebagian besar responden bekerja, dengan kegiatan di tempat kerja membuat odha merasa produktif ini berdampak pada kualitas hidup odha pada aspek fisik (hardiansyah, 2014). hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh nojomi (2008) yang menyatakan bahwa perawatan dan pengobatan yang baik dapat meningkatkan kualitas hidup orang dengan hiv dan aids. sesuai dengan penelitian bahwa 100% responden menjalani pengobatan arv di poli cendana, sehingga kualitas hidup aspek fisik sebagian besar baik. kualitas hidup aspek psikologis sebagian besar responden yang mengikuti kegiatan kds dan berstatus menikah memiliki kualitas hidup aspek psikologis yang baik. hal ini dapat disebabkan karena faktor sosial memiliki hubungan yang sangat erat dengan kualitas hidup. beberapa penelitian menjelaskan bahwa efek dari dukungan sosial memperlihatkan efek yang positif, meliputi penurunan depresi, meningkatkan koping, perilaku kesehatan yang positif dan memperlihatkan perkembangan penyakit melambat (takada, 2012). responden dengan penghasilan <1 juta memiliki kualitas hidup aspek psikologis yang cukup. hal ini dapat disebabkan karena pasien yang memiliki penghasilan kecil dan memiliki ketergantungan kepada yang lain dalam memenuhi kebutuhannya memiliki kualitas hidup aspek mental yang rendah. sebagian besar reponden yang menjadi ibu rumah tangga (irt), mereka memiliki kualitas hidup aspek psikologis yang cukup. hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh blalock e.al (2003) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok bekerja dan tidak bekerja terhadap domain psikologis secara keseluruhan karena 40% pasien hiv/aids dipekerjakan. berdasarkan penelitian oktaviana dkk (2003) sebagian besar responden bekerja paruh waktu sebagian besar menganggur sedang mempertimbangkan untuk kembali bekerja. berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan merupakan suatu keprihatinan yang utama bagi orang dengan hiv/ aids. akan tetapi dalam penelitian ini walaupun menjadi ibu rumah tangga (irt), mereka tidak mengalami kekhawatiran karena berstatus menikah dan biaya hidup ditanggung oleh keluarga. olley (2006) meneliti 149 responden yang baru terdiagnosa hiv/ pasien di rs tygerberg, afrika, selatan dinilai yang paling sering mengalami depresi (34,9%) diikuti oleh dysthymic disorder (21,5%) perempuan lebih mungkin menderita gangguan stress pasca trauma, dibandingkan dengan laki-laki. hal ini akan berdampak terhadap kualitas hidupnya.. responden yang mengalami kesepian, putus asa, cemas dan depresi menyebabkan kualitas hidup yang kurang. hal ini dapat berpengaruh terhadap peminatannya terhadap kegiatan yang diikuti di masyarakat. terdapat 13 responden yang tidak mengikuti kegiatan di masyarakat, sebagian besar memiliki kualitas hidup aspek psikologis yang cukup dan kurang. kegiatan dimasayarakat yang diikuti dapat memberikan dukungan psikologis, sehingga odha yang tidak mengikuti kegiatan tersebut kurang mendapatkan dukungan secara psikologis, sehingga kualitas hidup aspek psikologis dalam kategori cukup dan kurang. kualitas hidup odha pada aspek hubungan sosial berdasarkan tabel 10 sebagian responden yang memiliki status pernikahan menikah memiliki kualitas hidup aspek sosial cukup. hal ini sesuai dengan hasil penelitian belak (2006) yang menyatakan bahwa status pernikahan mempengaruhi kualitas hidup terutama pada aspek sosial. status pernikahan ini merupakan hubungan yang menyenangkan dan merupakan dukungan sosial yang lebih baik. berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden, sebagian responden mengaku menyembunyikan penyakitnya dari masyarakat sekitar. hal ini dapat terjadi karena meraka merasa khawatir, malu, takut apabila status odha diketaui masyarakat maka akan timbul stigma dan deskriminasi. sebagian besar responden yang mengikuti kegiatan kds memiliki kualitas hidup aspek sosial yang cukup. keterlibatan dalam kegiatan kds untuk memberikan dukungan psikologis kepada sesama odha, banyak beraktifitas membuat odha tetap dapat bersosialisasi. dengan kegiatan tersebut memungkinkan odha memperoleh informasi yang berhubungan dengan penyakitnya, sehingga dapat mendukung kualitas hidup odha dari aspek yang lain. berdasarkan usia sebagian besar responden yang berusia 31–40 tahun berada pada kategori 13setiyorini, gambaran kualitas hidup odha ... kualitas hidup aspek sosial yang cukup. felton dan revenson (1987 dalam rachmawati, 2013 menyatakan bahwa responden dewasa menggunakan koping mencari informasi tentang penyakitnya sedangkan lansia lebih banyak menggunakan koping berfikir positif dan mengembangkan harapan. sumber stressor pada odha adalah jika orang lain mengetahui statusnya makan odha akan merasa malu dan dikucilkan oleh orang lain. rasa malu tersebut akan membatasi odha dalam berinteraksi dengan orang lain. rasa malu yang dirasakan odha akan mempengaruhi dalam hubungan sosial dengan orang lain sehingga odha memilih untuk membatasi interaksi dengan orang lain (stinson, et al., 2008). hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa terdapat 13 orang responden memilih untuk tidak mengikuti kegiatan di masyarakat. kualitas hidup aspek lingkungan pada kualitas hidup aspek lingkungan, keseringan merasa aman, seberapa sehat lingkungan tempat tinggal, kebutuhan akan uang, kesempatan rekreasi, tidak terdapat responden yang menjawab tidak. sebagian besar responden memiliki kualitas hidup aspek lingkungan dalam kategori cukup, kemudian baik dan sebagian kecil dalam kategori kurang. perasaan terkucil dapat menyebabakan odha cenderung menutup diri dan menarik diri dari lingkungan. bagi odha yang statusnya diketahui oleh masyarakat, akan muncul stigma dan deskriminasi yang dirasakan sehingga pasien memilih untuk membatasi diri terhadap kegiatan sosial. newman (1995) dalam george, 2002 menyatakan bahwa stressor lingkungan berefek terhadap pasien baik positif maupun negatif. pasien memberikan efek terhadap lingkungan, demikian juga lingkungan dapat memberikan efek terhadap pasien. berdasarkan alasan tersemut maka sebagian dari responden memilih untuk tidak mengungkapkan identitasnya sebagai penderita hiv/aids. berdasarkan data penelitian prosentase reponden perempuan lebih banyak dari laki-laki sehingga pada data crosstabulasi yang menunjukkan prosentase kualitas hidup aspek lingkungan dalam kategori baik dan cukup adalah perempuan. hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oktavia dkk. (2012) bahwa pada domain lingkungan, lakilaki memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. hal ini disebabkan karena laki-laki jarang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan bekerja di luar tempat tinggalnya. odha dengan status menikah sebagian besar memiliki kualitas hidup aspek lingkungan dalam kategori baik. hal ini sejalan dengan penelitian nojomi, et al. (2008) yang menyatakan bahwa pasien yang menikah memiliki kondisi yang lebih baik pada domain lingkungan dibandingkan dengan pasien yang tidak menikah (sendiri, janda dan berpisah). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: karakteristik odha sebagian besar berusia 31–40 tahun yaitu 19 orang (45,2%), jenis kelamin perempuan 29 orang (69%), status menikah 22 orang (52,4%), penghasilan <1 juta 25 orang (59,5%), pekerjaan ibu rumah tangga (irt) sebanyak 14 orang (33,3%); kualitas hidup odha pada aspek fisik sebagian besar dalam kategori baik yaitu 16 orang (38,1%), cukup dan kurang masing-masing 13 orang (31%); kualitas hidup odha aspek psikologis kategori bak dan cukup masing-masing 20 orang (47,6%) dan kategori kurang 2 orang (4,8%); kualitas hidup odha sspek sosial sebagian besar pada kategori cukup yaitu 25 orang (59,5%), baik 15 orang (35,7%) dan kurang 2 orang (4,8%); kualitas hidup odha aspek lingkungan kategori cukup 16 orang (38,1%), baik 15 orang (35,7%) dan kurang 11 orang (26,2%). saran bagi perawat, diharapkan perawat dapat memberikan intervensi sesuai dengan aspek fisik, psikologis, sosial dan lingkungan psikologis dan mendorong odha yang belum mengikuti kegiatan sosial untuk mengikuti kegiatan sosial; bagi institusi rumah sakit, rumah sakit hendaknya meningkatkan sumber daya tenaga kesehatan yang menangani klien odha; dinas kesehatan, dinas kesehatan hendaknya memberikan support terhadap kegiatan sosial kds (kelompok dukungan sesama). daftar rujukan belak, s., virusic, t., duvancic, k., macek, m. 2006. quality of life of hiv – infected persons in croatia. croatia association for hiv, zagreb, croatia. blalock, a.c., mcdaniel, j.s., and farber, e.w. effect of employment on quality of life and psychological functioning in patients with hiv/aids academy of psychosomatics. medicine septemberoctober 2002. 43:5 14 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 6–14 brendan maughan brown. 2007. experiences and perceptions of hiv/aids-related stigma amongst people on antiretroviral treatment in khayelitsha, south africa. centre for sosial science research (cssr) working paper no. 185 march 2007. (http://www.commerce.uct.ac.za/research_units/cssr/ working%20papers/papers/wp185.pdf) campsmith, m.l., nakashima, a.k., davidson, a.j. 2003. self-reported health-related quality of life in persons with hiv infection: results from a multisite interview project. health and quality of life outcomes 2003, 1:12 doi:10.1186/1477-7525-1-12. (http://www.hqlo.com/content/1/1/12. departemen kesehatan, r.i.(2003). pedoman nasional perawatan, dukungan dan pengobatan bagi odha. jakarta. hardiansyah, amiruddin, r., arsyad, dian, d. 2014. kualitas hidup orang dengan hiv dan aids di kota makassar. http://repository.unhas.ac.id / b i t s t r e a m / h a n d l e / 1 2 3 4 5 6 7 8 9 / 1 0 7 3 6 / hardiansyah%20k11110602.pdf?sequence=1 dibuka tanggal 25 september 2013. linsk & land. 2012. how well are we doing in addressing care and support of people with hiv/ aids?. http://www.tandfonline.com /toc/whiv20/current dibuka tanggal 10 februari 2013. nojomi, m., anbary, k., ranjbar, m. health-related quality of life in patients with hiv/aids. archives of iranian medicine, volume 11, number 6, 2008: 608– 612. oktavia, n., kusnanti, h., &subroto, y.w. 2012. faktorfaktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita hiv/aids di kabupaten boyolali dan kota surakarta (solo) provinsi jawa tengah tahun 2012. akademi kesehatan sapta bakti bengkulu. olley, b. 2006. psychological distress in the first year after diagnosis of hiv infection among woman in south africa. africa journal of aids research vol. 5.no.3. 207–215issn: 1608-5906. rachmawati, s. 2013. kualitas hidup orang dengan hiv/ aids yang mengikuti terapi antiretroviral. jurnal sains dan praktik psikologi volume i (i) hal 48– 62. universitas muhammadiyah malang. yuliyanti, a.r. 2013. kualitas hidup orang dengan hiv dan aids (odha) di kabupaten jember. skripsi. bagian epidemiologi dan biostatistika kependudukan fakultas kesehatan masyarakat universitas jember. who. 1997. who-qol measuring quality of life. www.who.int/mental-health/media/68.pdf. yuniar, i. 2013. 127 penderita hiv/aids di kab. blitar meninggal dunia. http://www.blitarkab.go.id/ 2013/04/6412.html dibuka tanggal 14 oktober 2013. widayati, quality nursing work life dan burnout syndrome pada perawat 123 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk quality nursing work life dan burnout syndrome pada perawat dhina widayati prodi keperawatan, stikes karya husada kediri info artikel sejarah artikel: diterima, 09/11/2019 disetujui,26/03/2020 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: quality nursing work life, burnout syndrome, perawat abstrak salah satu sdm (sumber daya manusia) di rs yang mempunyai waktu bersama pasien paling lama adalah perawat. pada pemberian asuhan kepera watan yang berkualitas diperlukan suatu kinerja yang baik. terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kinerja, salah satunya adalah quality nursing work life (qnwl). perawat dengan beban kerja yang tinggi dan desain kerja yang monoton rentan mengalami burnout syndrome (stres kerja). penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui hubungan qnwl dengan burnout syndrome. korelasional dan cross sectional menjadi desain dan pendekatan dalam studi ini. qnwl merupakan variabel independen dan burnout syn drome variabel dependennya. data diperoleh melalui kuesioner. besar sampel sejumlah 30 responden yang diperoleh secara purposive sampling. analisa data dilakukan dengan spearman rank test dengan p value 0,009 dan coefisien correlation -0,56 menunjukkan terdapat hubungan dengan tingkatan sedang antara qnwl dengan kejadian burnout syndrome dengan arah hubungan negatif, artinya semakin baik qnwl maka semakin meminimalkan burnout syndrome. salah satu faktor yang mempengaruhi qnwl adalah lingkungan kerja yang kondusif, oleh karena itu diharapkan kepada perawat untuk dapat menjalin kerjasama yang baik antar tim agar tercipta suasana kerja yang harmonis dan lingkungan kerja yang harmonis, dengan demikian maka akan menurunkan kejadian burnout pada perawat. quality nursing work life and burnout syndrome on nurse article information abstract history article: received, 09/11/2019 accepted, 26/03/2020 published, 05/04/2020 keywords: quality nursing work life, burnout syndrome, nurse one of the hr (human resources) in a hospital that has the longest time with patients is a nurse. in the provision of quality nursing care required a good performance. there are several things that affect performance, one of which is quality nursing work life (qnwl). nurses with high workloads and monotonous work designs are prone to experiencing burnout syn drome (work stress). determine the relationship of qnwl with burnout syndrome was the aim of this study. correlational and cross sectional design was used in this study. qnwl is an independent variable and burnout syndrome is 123 http://jnk.phb.ac.id/index.php/ http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p123-129&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 124 124 124 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 123–129 the dependent variable. data obtained through a questionnaire. the sample size of 30 respondents obtained by purposive sampling. data analized by spearman rank test with p value 0.009 and the correlation coefficient of -0.56 which showed that there was a moderate level of correlation between qnwl and the incidence of burnout syndrome with the direction of the negative relationship, meaning that the better qnwl, the more minimizing burnout syndrome. one of the factors that influence qnwl is a conducive work environment, therefore it is expected that nurses will be able to establish good cooperation between teams in order to create a harmonious work atmosphere and a harmonious work environment, thereby reducing the incidence of burnout to nurse © 2020 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: stikes karya husada kediri east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: budinawida@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/v7i1.art.p123–129 this is an open is access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) pendahuluan rssebagai tempat pelayanan kesehatan dengan pelayanan mulai dari gawat darurat, rawat inap dan rawat jalan. jumlah rs dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, membuat persaingan se makin tinggi sehingga perlu peningkatan kualitas pelayanan. unsur yang mempunyai pengaruh dalam upaya mewujudkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang berkualitas adalah sdm (sumber daya manusia). salah satu sumber daya manusia yang mempunyai waktu berinteraksi dengan pasien paling lama adalah perawat.salah satu faktor yang membuat beban kerja perawat overload adalah ketidakseimbangan jumlah pasien jumlah perawat (azizah, 2017). kondisi ini seringkali menjadi faktor pemicu timbulnya burnout syn drome yang bila tidak diatasi dengan segera akan menurunkan produktifitas kerja perawat dan meng ganggu kinerja perawat yang dapat berdampak pada kepuasaan pasien dalam pelayanan asuhan kepera watan yang diberikan. selain itu, dari design pekerja an perawat yang hampir sama setiap hari (peme nuhan kebutuhan dasar manusia) juga menjadi pe nyebab burnout syndrome pada perawat (anggoro, 2006). oleh karena itu diperlukan kehidupan kerja yang berkualitas agar tercipta kinerja yang baik. menurut almalki (2012) kualitas kehidupan kerja merupakan sebuah kondisi dimana organisasi dalam hal ini rs memberi kesempatan pada karyawanan untuk dapat mengembangkan diri, baik malalui jenjang karir maupun pelatihan dan memberi kesem patan pada karyawan untuk ikut serta mengambil keputusan dan mengatur kehidupan kerjanya. perwat dengan kehidupan kerja yang berkualitas baik dapat mendukung pemberian layanan kese hatan/asuhan keperawatan yang berkualitas yang dapat berkontribusi pada kelanjutan system pera watan kesehatan dan keberlanjutan rs secara umum (hutami, 2010). upaya rs dalam mewujudkan kualitas kehi dupan kerja yang baik dapat dilakukan melalui pengendalian mutu. upaya ini dapat dilaksanakan dengan pendekatan sumber daya manusia yang keberhasilannya dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yakni, konsumen, prosedur operasional, pekerj dan financial (andriani, 2009). keterlibatan tim dalam berkerja akan memberikan kepuasan dan meningkatkan self of belonging sehingga pekerja/ karyawan dalm hal ini perawat akan lebih termo tivasi untuk meningkatkan produktivitas. perasaan senang dan puas secara psikologis dapat memini malkan kejadian stres kerja/burnout syndrome. menurut anggoro 2006, kehidupan kerja yang ber kualitas baik atau quality nursing work life yang positif berpengaruh terhadap motivasi perawat da lam melaksanakan tugas untuk memberikan asuhan keperawatandengan penuh tanggung jawab dan caring. hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas kerja (kheradman, 2010). moti vasi dan kinerja yang baik dari seorang perawat mailto:budinawida@gmail.com http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ widayati, quality nursing work life dan burnout syndrome pada perawat 125 125 125 akan meminimalkan kejadian burnout atau stres kerja. kualitas kehidupan kerja juga dipengaruhi oleh komunikasi, imbalan, dukungan untuk pengem bangan karyawan melalui pemberian kesempatan dalam pelatihan, seminar maupun workshop sesuai unit kerja, keterlibatan dalam pengambilan kepu tusan, pemberian kesempatan dalam perencanaan dan kerja sama tim. peran perawat dalam hal ini nampak dari pelayanan kepada pasien sebagai output dari produktivitasnya. produktivitas yang baik dari seorang karyawan, dalam hal ini perawat di rs dapat diperoleh melalui pengelolaan kehidupan kerja yang berkualitas atau quality ofnursing work life yang baik (gascio, 2013). performance sdm berhubungan erat dengan kualitas kehidupan kerja dan budaya kerja. perawat dengan kategori sdm dominan (50%-60% dari seluruh tenaga kerja di sebuah rs), berada paling lama disamping pasien, memberikan pelayanan 24 jam sehari, selama satu minggu full memberikan peluang generalisasi kepuasan bagi pasien dan keluarga dalam penerimaan pelayanan kesehatan yang telah diperoleh selama menggunakan jasa rs. dapat dikatakanperawatsebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di rumah sakit, sehingga harus merespon setiap kebutuhan pasien dan keluarga dengan cepat, tanggap dan tepat. dalam lingkangan secara luas, customer atau klien dalam lingkup keperawatan tidak hanya seseorang yang sakit, melainkan juga seseorang yang sehat. hal ini menunjukkan bahwatolak ukur keberhasilan profesi keperawatan dan mutu pelayanan keperawatan adalah terpenuhi atau tidaknya kebutuhan masya rakat akan kesehatan menjadipada tatanan rs, perawat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya berhubungan dengan tim kesehatan lain, keluarga pasien, maupun masyarakat (rachmania, 2019). keterlibatan dengan berbagai elemen terse but dapat menjadi pemicu dalam timbulnya stress kerja. selain itu desain lingkungan kerjakerja pera wat yang mengharuskannya selalu berhadapan lang sung dengan penderitaan orang lain, seperti penyakit dan kematian juga dapat mempengaruhi psikologis perawat. kondisi ini cenderung menyebabkan mun culnya ernosi yang tidak di kehendaki seperti takut, cemas, muak dan marah yang pada akhimya dapat menimbulkan stress. bila tidak mendapatkan pena nganan dengan baik dan mekanisme koping yang tidak adaptif, stress kerja yang berkepanjanganakan mudah berkembang menjadi burnout syndrome. tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan quality nursin g work life dengan burn out syndrome perawat di rs amelia kediri. bahan dan metode desain korelasional dengan pendekatan cross sectional menjadi desain pada studi ini. tempat penelitian di rs amelia kediri dengan populasi semua perawat di rs amelia kediri. besar sampel dalam penelitian ini sejumlah 30 responden yang diperoleh melalui purposive sampling dengan kri teria inklusi: perawat yang menjadi pegawai tetap di rs amelia kediri (sebanyak 30 responden). populasi dalam penelitian ini sebanyak 45 responden. data umum meliputi :jenis kelamin, usia, lama kerja, status pernikahan dan riwayat pendidikan. sedang kan data khusus meliputi: tingkat quality nursing work life dan tingkat burnout syndrome. variabel independen pada penelitian ini adalah quality nursing work life yang diukur menggunakan kuesioner dengan interpretasi penilaian: baik (23 31), cukup (15-22), rendah (0-14). variabel depen den dalam penelitian ini adalah burnout syndrome yang juga diukur menggunakan kuesioner dengan interpretasi penilaian: tinggi (33-44), sedang (22-32) dan rendah (0-21). data yang diperoleh dilakukan analisis menggunakan spearman rank test untuk menentukan hubungan quality nursing work life dengan burnout syndrome pada perawat di rs amelia kediri. hasil peneltian data umum data demografi responden berdasarkan jenis kelamin menyatakan sebagian besar responden (60%) perempuan dan sebagian kecil (40%) laki laki. identifikasi berdasarkan usia menunjukkan mayoritas responden (90%) berusia 25-35 tahun. data berdasarkan lama kerja menunjukkan hampir setengahnya (40%) telah bekerja selama 3-4 tahun. berdasarkan status perkawinan menunjukkan bah wa hampir seluruh responden (90%) telah menikah. identifikasi berdasarkan kualifikasi pendidikan menunjukkan hampir seluruh responden (94%) mempunyai riwayat pendidikan vokasional dan sebagian kecil (6%) yaitu 2 responden dalam jenjang pendidikan profesional (ners). data khusus identifikasi quality nursing work life 126 126 126 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 123–129 tingkat burnout syndrome f % rendah 27 90 sedang 3 10 tabel 1 tingkat kualitas kehidupan kerja (quality nursing work life) perawat rs amelia kediri hasil analisis menggunakan spearman rho didapatkan nilai p value = 0,009, : 0,05, dan cc = -0,565. hal ini menunjukkan quality nursing work quality nursing work life f % life berhubungan dengan burnout perawat di rs sangat baik 18 60 amelia pare dengan tingkat kekuatan sedang dan baik 10 33 arahnya negatif. cukup baik 2 7 kurang 0 0 total 30 100 berdasarkan tabel 1, tingkat quality nursing work life pada perawat rs amelia menunjukkan sebagian besar (60%) yaitu 18 respondendalam kategorisangat baik, hampir sebagian (33%) yaitu 10 responden dalam kriteria baik, dan sebagian kecil (7%) yaitu 2 responden dengan tingkatan cukup baik identifikasi kejadian burnout syndrome tabel 2 tingkat burnout syndrome perawat di rs amelia kediri tinggi 0 0 total 30 100 ber da s a r ka n ta b el 2 , t ingka t b u r n o u t syndrome menunjukkan hampir seluruhnya (90%) yaitu 27 responden mengalami burnout dalam kategori rendah dan sebagian kecil (10%) yaitu 3 responden mengalami burnout syndrome dengan kategori sedang. hubungan kualitas quality nursing work life dengan burnout syndrome perawat pembahasan identifikasi tingkat quality nursing work life hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (60%) perawat memiliki qnwl dalam kategori baik. kualitas kehidupan kerja perawat merupakan kemampuan seorang perawat dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan pasien dengan baik dalam tatanan situasi kerja yang baik sehingga pasien merasakan puas terhadap pelayanan yang diberikan, (azizah, 2017). terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja perawat (qnwl, anatara lain: reaward yang mencukupi, lingkungan kerja yang aman dan kondusif, tersedia nya kesempatan untuk pengembangan karir, keseim bangan antara waktu untuk keluarga dan pekerjaan (usman,2009). pada hasil penelitian ini sebagian besar (60%) atau 18 responden perempuan dan sebagian kecil (40%) atau 12 responden laki-laki. salah satu faktor yang mempengaruhi qnwl adalah adanya imbalan jasa/gaji yang memadai dan adil. bila dikaitkan dengan hal ini, sebagian besar responden perem puan. seorang perempuan dalam keluarga tidak menjadi tulang punggung keluarga, sehingga tang gung jawab terhadap financial tidak seberat laki laki. oleh karena itu lebih menerima dengan im balan/gaji yang diterima dan dianggap telah mema dai. pada penelitian ini, mayoritas responden perempuan mempunyai qnwl dalam kategori baik. tabel 3 tabulasi silang hubungan kualitas kehidupan kerja (quality nursing work life) dengan burnout perawat di rs amelia pare burnout syndrome qnwl rendah sedang tinggi total f % f % f % f % sangat baik 18 60 0 0 0 0 18 60 baik 10 33 0 0 0 0 10 33 cukup baik 0 0 2 7 0 0 2 7 kurang 0 0 0 0 0 0 0 0 p value = 0,009 cc = -0,565 widayati, quality nursing work life dan burnout syndrome pada perawat 127 127 127 ident ifika si resp onden b er das ar kan u sia menunjukkan sebagian besar (90%) yaitu 27 responden berusia 25-35 tahun sedangkan sebagian kecil responden (10%) yaitu 3 responden berusia 36-40 tahun. faktor yang mempengaruhi qnwl adalah pekerjaan yang menarik dan memuaskan. sebagian besar responden berusia produktif yang menunjukkan semangat kerja yang tinggi. individu pada usia muda lebih menyukai pekerjaan yang menantang sehingga kualitas kehidupan kerjanya lebih baik. identifikasi responden berdasarkan lama kerja menunjukka n sebagian r esponden (40 %), 12 responden mempunyai masa kerja 3-4 tahun. pengalaman sesorang didalam bekerja membuat seseorang lebih percaya diri dalam menjalankan pekerjaannya. harapan karyawan pada tempat kerja untuk dapat bekerjasama juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi qnwl. la ma ker ja berb anding lu ru s denga n ikat an kekluargaan yang semaik erat dengan tim kerja sehingga menumbuhkan kehidupan kerja yang berkualitas. berdasarkan status pernikahan hampir seluruh responden (90%), 27 responden memiliki status sudah menikah. seorang individu yang sudah menikah membutuhkan tempat kerja yang dapat memberikan waktu yang seimbang antara pekerjaan dan keluarga. keseimbangan antara waktu yang dihab is ka n di temp at kerja da n waktu yang dihabiskan bersama teman dan keluarga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi qnwl. karakteristik responden berdasarkan riwayat pendidikan menunjukkan bahwa hampir seluruhnya (90%) atau 27 responden mempunyai kualifikasi d3 kep er a wa t a n da n ha nya (7 %) ya it u 2 responden dengan riwayat pendidikan profesional (ners). kebijakan dari rs yang mendukukng pengembangan sdm dengan memberikan ijin studi lanjut. hal ini sesuai dengan salah satu faktor yang mempengaruhi qnwl yakni kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan. pada penelitian amalki, et al. pada tahun 2012 menyatakan terdapat dimensi kualitas kehidupan kerja yaitu : dimensi kehidupan kerja/kehidupan keluarga (work life/home life), dimensi desain kerja, dimensi konteks kerja dan dimensi dunia kerja. dimensi kehidupan kerja merupakan hubungan antara kehidupan kerja dengan kehidupan keluarga. dalam sejumlah penilitian yang dilakukan pada perawat di amerika serikat, iran dan taiwan, ditemukan adanya pengaruh negatif antara jadwal rotasi terhadap kehidupan keluarga. sifat pekerjaan keperawatan juga mempengaruhi kualitas kehidupan kerja perawat. dimensi desain kerja (work desain) t er dir i da r i komp onen-komp onen ya ng memp enga r u hi p eker ja a n p er a wa t da n dideskripsikan sebagai suatu pekerjaan yang nyata yang dilakukan oleh perawat. dimensi konteks kerja (work context ) terdir i dar i pera tu ra n da la m pekerjaan yang harus dilakukan oleh perawat dan dampak dari lingkungan pekerjaan bagi perawat dan p a s ien. dimens i du nia ker ja (wor k wor ld) didefinisikan sebagai dampak yang luas yang muncul dari masyarakat terhadap perubahan yang terjadi pada kinerja perawat. identifikasi burnoutsyndrome perawat berdasarkan hasil penelitian didapatkan b a hwa b u r no u t s yn dro me ya ng dia lmi oleh mayoritas perawat di rs amelia kediri tergolong rendah. sebanyak 27 responden (90%) mengalami burnout syndromedalam kategori rendah. burnout s yn dro memer u p a ka n ku mp u la n geja la ya ng menunjukkan respon seseorang akibat kelelahan berlebih yang masuk pada tahap stres kerja. bum out merupakan gejala psikologis sebagai respon terhadap stres yang diakibatkan olehpekerjan yang berlangsung lama. selain itu kondisi ini juga diakibatkan adanya tuntutan ernosional dalam melakukan tugas dan pekerjaan dengan sindrom kelelahan baik itu kelelahan secara fisik maupun mental. fatigue atau kelelahan terjadi ketika seseorang merasa lelah tehadap pekerjaan yang dilakukan namun pekernjaannya belum selesasi . hal ini berbeda dengan exhaustion yang terjadi ketika seseorang merasa lelah setelah melakukan pekerjaan atau tugasnya, tetapi tidak ada hasilnya. hasil penelitian ini menunjukkan wanita lebih sering mengalami burnout syndrome. hal ini berkaitan dengan regulasi sitem hormonal didalam tubuh wanita dan tingkat adaptasi dalam pekerjaan. hal ini sejalan dengan penelitian eliyana, 2015 wanita lebih besar mengalami burnout daripada laki laki karena wanita lebih sering merasakan kelelahan emosional. perbedaan laki-laki dan perempuan tidak hanya secara fis ik, namun s ecara sosial dan psikologis dalam problem solving. namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian sihotang (2004) kejadian burnout lebih sering dialami oleh laik-laki. hal ini berkaitan dengan tekanan pada laki-laki lebih besar terkait peran sebagai kepala keluarga, laki-laki wajib 128 128 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 123–129 bekerja untuk memberikan nafkah kepada keluarga, namun sebaliknya bagi perempuan bukan merupa kan suatu keharusan (gibson dalam sitohang, 2004). apabila dikaitkan dengan karakteristik respon den berdasarkan status pernikahan, menunjukkan bahwa hampir seluruhnya (90%) atau 27 responden telah menikah. seseorang yang telah menikah dapat berbagi beban yang dirasakan dengan pasangannya manakala didapatkan suatu masalah sehingga tinggat burnoutnya lebih rendah. riwayat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat burnout syndrome. individu dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih terbuka pemikirannya dan mekanisme kopingnya lebih luas. pola pikir dalam pemecahan masalah pun menjadai lebih matang. burnout syndrome dapat terjadi karena bebe rapa faktor, salah satunya yakni beban kerja yang overload. perawat dengan beban kerja yang tinggi, terutama saat shift sore dan malam yang biasanya hanya sedikit dalam satu timnya. belum lagi perawat juga mempunyai tanggung jawab dalam tindakan keperawat an, misalkan melakukan disch arge planning pada pasien yang juga memerlukan waktu khusus (azizah, 2017). selain itu kadangkala pera wat juga disibukkan dnegan kegiatan non keperawat an, seperti kegiatan administrasi maupun antar jemput pasien dari dan ke tempat pemeriksaan diag nostik juga menambah beban kerja perawat dan meningkatkan fatigue atau kelelahan. faktor kele lahan inilah yang memicu terjadinya burnout syndrome. hubungan quality nursing work life dengan burnout syndrome pada perawat berdasarkan hasil tabulasi silang pada tabel 3 didapatkan sebagian besar responden menyatakan kualitas kehidupan kerja (quality nursing work life) dalam kategori sangat baik dan sebagian kecil adalah baik, danidentifikasi kejadian burnout didapatkan hampir keseluruhan mengalami burnout dalam kate gori rendah. kemudian setelah dilakukan analisis dengan menggunakan uji spearman rhodidapatkan nilai p value = 0,009, : 0,05, dan cc = 0,565. hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa terdapat hu bungan antara kualitas kehidupan kerja perawat (quality nursing work life) dengan kejadian burnout syndrome perawat di rs amelia pare dengan kekuatan hubungan dalm tingkatan sedang dan arah hubungan negatif. arah hubungan negatif tersebut menunjukkan bahwa apabila kualitas kehi dupan kerja perawat semakin baik maka resiko terjadi burnout syndrome pada perawat semakin minimal. berdasarkan data kuesioner salah satu komponen quality of nursing work life yang dihubungkan dengan burnout terdapat keeratan yang cukup besar. komponen yang terlibat dalam hal ini adalah: komponen reward atau kompensasi yang seimbang dan keterlibatan karya wan dalam penyelesaian masalah. sedangkan komponen yang berpengaruh dalam burnout adalah program dan aktivitas, situasi kondisi dan faktor intrinsik seseorang. pekerjaan perawat dalam melakukan asuhan keperawatan yang komprehensif yang tidak dapat dilakukan secara individu, namun dilakukan secara tim yang artinya melibatkan lebih dari satu orang. desain pekerjaan dalam tim memungkinkan sese orang harus dapat berinteraksi dan saling memahami antar satu dengan yang lainnya. oleh karena itu diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik sehingga tercipta suasana kerja yang kondusif yang berakibat pada terbentuknya kehidupan kerja yang berkualitas. suatu kehidupan kerja yang berkualitas akan membuat seorang pekerja merasa senang dengan aktifitas yang dilakukan. walaupun secara fisik nampak berat, namun jika dikerjakan dengan hati yang senang, maka respon psikologis seseorang tersebut akan menutupi kelelahan yang terjadi. hal ini menjadi bukti asumsi bahwa semakin baik kualitas kehidupan kerja perawat maka semakin rendah tingkat stres kerja yang dirasakan. kesimpulan quality nursing work life pada mayoritas perawat dalam kategori baik. tingkat syndrome yang dialami oleh perawat hampir seluruhnya dalam kategori rendah. ada hubungan quality nursing work life dengan burnout dalam tingkat hubungan sedang dan arahnya negatif. artinya semakin baik kualitas kehidupan kerja maka semakin rendah terjadi burnout. salah satu faktor yang mempe ngaruhi qnwl adalah lingkungan kerja yang kondusif. saran diharapkan kepada perawat untuk dapat men jalin kerjasama yang baik antar tim agar tercipta suasana kerja yang harmonis dan lingkungan kerja yang harmonis, dengan demikian maka akan menu runkan kejadian burnout pada perawat. widayati, quality nursing work life dan burnout syndrome pada perawat 129 129 129 daftar pustaka almalki, et all. (2012). the relationship between quality of work life and turnover intention of primary healt care nurses in saudi arabia. bmc healt service research. andriani, s. (2009). hubungan kualitas pelayanan kese hatan dengan kepuasan pasien rawat inap di badan pelayanan kesehatan rumah sakit umum daerah kabupaten magelang. jurnal kesehatan. volume 2 no 1. hal 71-79. anggoro, adi. (2006). hubungan komponen quality ofnursing work life dengan produktivitas perawat ruang rawat inap rsu fakultas kedokteran uni versitas kristen indonesia. tesis. depok: fakultas kesehatan masyarakat universitas indonesia azizah, a., widayati, d., rachmania d. 2017.discharge plan ning mempen garuhi kualitas pelayan an keperawatan. jurnal of ners community. volume 08, nomor 01, juni 2017. hal. 53-63 cascio, wayne. (2003). managing human resources: productivity, quality ofnursing work life, profit (6th ed.) new york: mcgraw-hill. husnawati, a. 2006. analisis pengaruh kualitas kehi dupan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai intervening variabel (studi pada perum pegadaian kanwil vi se marang). tesis.semarang: fakultas ekonomi undip. hutami, widia. (2010). analisis faktor-faktor yang berhu bungan dengan intention to stay perawat pelak sanan rumah sakit karya bhakti bogor. skripsi. depok: fakultas kesehatan masyarakat universitas indonesia. kheradmand, e, et all. (2010). the relation between qualityof work life and job performance. middle east journal of scientific research , 317-323. mortazavi, s, et all.(2012).the role of psychological capital on quality of nursing work life and organi zation performance. interdisiplinary journal of contemporary research in business.vol.4.no.2. racmania, d.,widayati, d. (2019). analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan brand image rumah sakit. jurnal keperawatan muhammadiyah edisi khusu 2019.hal : 117-124. sirgy m. j,et all. (2001). a new measure of quality work life (qwl) based on need satisfaction and spillover theories. socialindicator research. sukmawati, a., et all. (2013). analisis penunjang kepu tusan penerapan quality ofnursing work life dalam meningkatkan motivasi karyawan . bandung: departemen manajemen feb ipb. usman, jaelani. (2009). pengaruh quality ofnursing work life terhadap semangat kerja di pertamina eksplorasi dan produksi rantau. tesis. jakarta: program pasca sarjana universitas terbuka 362 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 362–367 factor associated with diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus nian afrian nuari prodi s1 keperawatan stikes karya husada kediri, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 12/08/2020 accepted,11/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: diabetes, burnout, syndrome article information abstract diabetes mellitus is a metabolic disease that is often found in indonesia and the number of sufferers is increasing every time. management of therapy patients with type 2 diabetes mellitus consists of five steps that require compliance and discipline to maintain stable blood sugar levels. this condition causes burnout by diabetes mellitus patients. the purpose of this study was to identify factors associated with diabetes mellitus among type 2 diabetes mellitus. this study used a correlational design with a cross-sectional approach with a sample size of 89 respondents who were taken by purposive sampling.based on the results of the study it was found that most diabetes mellitus patients were 56-60 years old, female, and the education background was junior high school level. the level of income of majority of the respondents was under 1 million rupiahs and suffered from diabetes mellitus for 110 years. the result found almost the entire entire patient consumed diabetes drugs. most of the respondents had a severe category in diabetes burnout syndrome. the research found that there was a correlation between age, gender educational background, level of income, duration suffering dm, consumption of diabetes drugs with diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. health workers must provide education about the importance of preventing the incidence of burnout syndrome and taking therapeutic management for patients who already had diabetes burnout syndrome. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes karya husada kediri–east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nian.afrian@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p362–367 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 362 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p362-367&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p362-367 363nuari, factor associated with diabetes burnout syndrome among ... introduction diabetes mellitus (dm) is a disease commonly known as diabetes; this disease can be experienced by various ages ranging from young to old disease. dia betes mellitus is a meta bolic disea se cha r a cter ized by high blood suga r levels (hyper glycemia) caused by impa ir ed insulin secretion, insulin resistance, or both. diabetes mellitus is also called the silent killer because it does not cause symptoms (asymptomatic) causing vascular damage before the disease is detected (gibney et al., 2009). insulin resistance and damage to pancreatic beta cells is a common condition pathogenesis of diabetes. patients with prediabetes are 4-9% changed become diabetic every year (bock et al, 2012) the prevalence of diabetes continues to increase rapidly worldwide and an estimated > 470 million people will have prediabetes by 2030 (tabák et al, 2012). the world health organization (who, 2013) as a world health agency stated that from the results of a survey, indonesia currently has 8.4 million people with dm, and this number is expected to continue to increase to 21.3 million in 2030. basic health research (riskesdas) 2013 shows that in 2013 there were 2.4% of dm cases in indonesia. based on a preliminary study conducted in the working area of the puskemas pare, kediri district, data were obtained from 295 people with diabetes mellitus type ii. from the results of preliminary studies, 7 out of 10 respondents showed symptoms of diabetes burnout syndrome. patients with diabetes mellitus have to do a series of procedures that require high compliance and discipline regarding medical management. adherence in carrying out medical procedures is the key to maintaining stable blood sugar levels. in the course of treatment, patients with type 2 diabetes mellitus sometimes feel bored, anxious, and experience boredom in carrying out the therapy. diabetes mellitus patients will experience saturation during treatment. this is known as diabetes burnout syndrome. patients complain of feeling depressed, emotional feelings such as anger, anxiety, and depression (nuari, 2020). the impact of patients with diabetes burnout syndrome can affect patients in the management of diabetes mellitus diseases. diabetes patients who experience burnout can experience stress which can affect their blood sugar levels and lead to non-compliance with therapy management (nuari et al, 2018). this can affect the stability of blood sugar levels. based onthe background, the purpose of this study was to identify factors associated with diabetes mellitus among type 2 diabetes mellitus. among type 2 diabetes mellitus. methods the research design was correlational with a cross-sectional approach. the research was located in the working area of puskesmas pare, kediri district. the population in this study was all 295 patients with dia betes mellitus type 2. the respondents were taken using purposive sampling method, with a sample size of 89 respondents. the instrument in this study was diabetes burnout syndrome using a modified questionnaire from the shirom – melamed burnout questionnaire. the data analysis was performed on the results of the study using univariate and bivariate tests. the univariate test was used to determine the frequency distribution of the results of the study, while the bivariate test used the spearman rho test and pearson test with a significance level of 0.05. results based on theresults showed that the frequency distribution of respondent based on gender, age, level education, duration of suffering from diabetes mellitus, level of income, consumption of diabetes drugs and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. variable f % age 46-50 years old 16 18 51-55 years old 15 16,9 56-60 years old 27 30,3 61-65 years old 17 19,1 66-70 years old 14 15,7 gender male 47 52,8 female 42 47,2 education level elementery 27 30,3 yunior high school 34 38,3 senior high school 19 21,3 higher education 9 10,3 table 1 participant characteristics (sosio economic and demographic) 364 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 362–367 level of income every month under 1 milion rupiahs 46 51,7 1-2 milion rupiahs 19 21,3 2-3 milion rupiahs 9 10,1 more than 4 milion rupiahs 15 16,9 durationsuffering dm 0-5 years 40 44,9 6-10 years 40 44,9 11-15 years 9 10,1 consumption of diabetes drugs yes 71 79,8 no 18 20,2 diabetes burnout syndrome severe 34 38 moderate 32 36 mild 23 25 n=89 age diabetes burnout syndrome severe moderate mild 46-50 years old 9 5 2 51-55 years old 7 6 2 56-60 years old 12 10 5 61-65 years old 5 4 8 66-70 years old 1 7 6 total 34 32 23 p value: 0,000 table 2 correlation between age and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus based on the results of the statistical test analysis, it was found that there was a significant correlation between the age of diabetes mellitus patients and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus table 3 correlation between gender and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus age male 13 18 16 female 21 14 total 34 32 23 p value: 0,017 based on the results of statistical test analysis, it was found that there was a significant correlation between the sex of diabetes mellitus patients and diabetes burnout syndromeamong type 2 diabetes mellitus. educational diabetes burnout syndrome level severe moderate mild elementery 13 11 3 yunior high school 15 13 6 senior high school 4 8 7 higher education 2 0 7 total 34 32 23 p value: 0,001 table 4 correlation between education level and diabetes burnout syndromeamong type 2 diabetes mellitus based on the results of statistical test analysis, it was found that there was a significant correlation between education level and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. table 5 correlation between level of income every month and diabetes burnout syndromeamong type 2 diabetes mellitus income diabetes burnout syndrome level severe moderate mild 0-1 milion rupiahs 20 17 9 1-2 milion rupiahs 8 9 2 2-3 milion rupiahs 1 5 3 more than 4 milion rupiahs 5 1 9 total 34 32 23 p value: 0,044 based on the results of statistical test analysis, it was found that there was a significant correlation between levels of income every month and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus.diabetes burnout syndrome severe moderate mild 365nuari, factor associated with diabetes burnout syndrome among ... based on the results of statistical test analysis, it was found that there was a significant correlation between consumption of diabetes drug and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. discussion the correlation of age and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus based on the results of the study it was found that the majority of respondents who had burnout syndrome aged 56-60 years. the results of data analysis showed that there was a significant correlation between the age of diabetes mellitus patients and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. patients with diabetes mellitus are mostly found at an older age than younger patients (kalyani et al, 2013). this is in accordance with noventi’s research (2019) which states that ages 35 to more than 65 years will have a risk of developing diabetes mellitus. the results of this study showed that respondents who experience burnout are in the severe category in 56-60 years, where at that age the level of experience with the problem has matured so that there is burnout which is also driven by other factors such as economic factors, retirement from work and other external factors can affect the saturation of diabetes mellitus treatment. the correlation of gender and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus based on the results of the study found the majority of respondents who had burnout in the severe category was female. the analysis showed that there was a correlation between gender and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. many research results showed that the incidence of dm in women was more than men. several risk factors such as obesity, lack of exercise, age and a history of diabetes during pregnancy cause a high incidence of diabetes in women (nuar i, na &kar tika sar i, m, 2015). according research by gautam et al, (2009) on a cross sectional study of the quality of life of type dm patients 2 in india, most of the respondents are female. the correlation of education level and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus based on the result, the majority of respondents who had severe burnout syndrome were had junior high school education background level. according to azwar (2003) in bangun (2009) argued that the level of education then someone will behave more positively. knowledge is a very important behavioral practice. if good patient knowledge is expected able to form positive behavior for avoid burnout of the diabetes mellitus treatment. table 6 correlation between duration suffering diabete s m e l li tus and diabe te s bur nout syndromeamong type 2 diabetes mellitus log suffering diabetes burnout syndrome dm severe moderate mild 0-5 years 27 11 2 6-10 years 7 21 12 11-15 years 0 0 9 total 34 32 23 p value: 0,000 table 7 correlation between consumption of diabetes drugs and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus diabetes drag diabetes burnout syndrome consumption severe moderate mild yes 16 32 23 no 18 0 0 total 34 32 23 p value: 0,000 based on the results of statistical test analysis, it was found that there was a significant correlation between the suffering duration of diabetes mellitus and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. 366 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 362–367 the correlation of level of income every month and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus based on the result, the majority of respondents who had severe burnout syndrome were in the level of income under 1 million rupiahs every month. diabetes mellitus patients always control blood sugar continuously; it required an adequate source of income so that the therapy could be fulfilled (nuari na, 2018) selection of activities and drugs that diabetes patients should do mellitus must be adjusted to the source of his income. diabetes mellitus patients with a low income cause burnout in the treatment of diabetes mellitus ( nuari na, 2017). the correlation of duration suffering diabetes mellitus and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus based on the results of the study found that the majority of duration suffering diabetes mellitus 1-10 years. the results of data analysis showed there was a significant correlation between duration suffering diabetes mellitus patients and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. the length of time suffering from diabetes affects the level of adaptation diabetes mellitus patients have in carrying out treatment for their disease (nuari, 2016). correlation between consumption of diabetes drug and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus based on the results of the study found that almost all of the respondentsconsumed diabetes drugs. the results of the data analysis showed there was a significant correlation between consumption of diabetes drugs and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. patients who suffered from dm disease for a long time will tend to experience burnout in taking medication. burnout in these patients can be caused by the necessity and compliance of patients in taking medication and diet therapy to control their blood sugar levels. conclusion based on the results of the study found that most of the diabetes mellitus patients were 56-60 years old, female, had junior high schooleducation background level. the majority respondent hadthe level of income under 1 million rupiahs. there were many patients suffered from diabetes mellitus for 1-10 years. the result found almost the patient consumed diabetes drugs. most of the respondent had severe category in diabetes burnout syndrome. the study findings found there was a correlation between ages, gender educational background, level of income, duration suffering dm, consumption of diabetes drugs and diabetes burnout syndrome among type 2 diabetes mellitus. suggestion patients with diabetes burnout syndrome need support from family and health professionals. health wor ker s must pr ovide educa tion a bout the importance of preventing the incidence of burnout syndrome and taking therapeutic management for pa tients who a lr ea dy have diabetes bur nout syndrome. families and nurses are expected to support diabetes mellitus patients to reduce patient burn out in managing and treating their diseases. references bock g, c, m, et al.(2012). pathogenesis of pre-diabetes: mechanisms of fasting and postprandialhyperglycemia in people with impaired fasting glucose and/ or impaired glucose tolerance. diabetes care 55:3536–3549. https://care.diabetesjournals.org/ gautam,y,.sharma, a.k, & agarwal. (2009). ‘a cross sectional study of qol of diabetic patient at tertiary care hospital in delhi’indian journal of community medicine, 34 (4), 346-350 gibney j.m., margaretts m.b ., kearney m.j., & arab l. (2009). gizi kesehatan masyarakat. jakarta: buku kedokteran egc. kalyani rr, egan jm.(2013). diabetes and altered glucose metabolism with aging. endocrinol metab clin north am. 42(2):333–47. nuari, a.n. & kartikasari, m .(2015). peningkatan self empowerment dan kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe ii dengan pendekatan dee berbasis health promotion model. jurnal ners, 10(2). nuari, na.(2016). pengembangan model peningkatan pemberdayaan diri dan kualitas hidup pasien diabetes mellitus tipe 2.jurnal lentera. vol4. no.2.http://jurnal.wima.ac.id/index.php/ners/ article/view/878 nuari, na. (2017). metode self instructional training untuk menurunkan kadar gula darah pasien dm tipe 2.jurnal ners dan kebidanan stikes patria husada blitar. vol.4, no.1,april 2017.https:// j n k . p h b. a c. i d / i n d ex . p h p/ j n k / a r t i c l e / vi ew/ 0157.doi:10.26699/jnk.v4i1.art.p006-011 367nuari, factor associated with diabetes burnout syndrome among ... nuari n. a. (2018). diabetes burnout syndrom with self care agency diabetes mellitus type 2 patient. journal of health science and prevention, 2(2), 78-82. https://doi.org/10.29080/jhsp.v2i2.122 nuari, na.(2020).correlation of diabetes burnout syndrome and quality of life in diabetes mellitus. borneo nursing journal. vol.1, no.1, januari 2020. noventi, iis, et all. (2019). prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes di wilayah pesisir, pegunungan dan perkotaan. jurnal ners dan kebidanan stikes patria husada blitar. vol.6, no.3,desem ber 2019. h ttps:// jnk. phb. ac.i d/ index.php/jnk/article/view/478, doi: 10.26699/ jnk.v6i3.art.p371-381 riskesda. (2013). riset kesehatan dasar. http:// www.riskesdas2013.pdf. diakses 25 desember 2019 tabák, a. g., c. (2012). prediabetes: a high-risk state for diabetes development. the lancet,379(9833), 2279– 2290. world health organization. (2006). definition, diagnosis and clasification of diabetus mellitusand its complications.’report a who consultation. who,geneva. e:\2021\ners april 2021\8-jurna 49so’emah, windartik, rahmawati, level of anxiety and community behavior in preventing the ... level of anxiety and community behavior in preventing the covid-19 pandemic in east java eka nur so’emah1, emyk windartik2, ima rahmawati3 department of nursing, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 30/11/2020 accepted, 02/03/2021 published, 05/04/2021 keywords: anxiety, behavior, covid-19 article information abstract corona virus-19 (covid) has been declared a global pandemic. the increase in cases of covid-19 can be prevented by disease prevention behavior in accordance with the protocol that has been established by the government. however, there are still many people who heed the protocol. this condition has an impact on people’s anxiety, coupled with the presence of information that continues to be rolled out on social media and mass media about the development of covid-19. anxiety is increasing with the stigma of the community about covid-19 patients. the purpose of this study was to analyze the level of anxiety and behavior of the community in preventing covid-19 disease in east java. the design of the study was descriptive survey. the sample in this study was people in east java with the sampling techniques by accidental sampling techniques. the data collection used questionnaires using gad-7. scale and behavior questionnaire according to dirjen control and prevention of covid-19 march 2020. the analysis of descriptive statistical test data that was percentile / percentage. the results showed that most people in east java experience minimal anxiety and positive behavior. minimal anxiety occured because most respondents are highly educated and already know about covid-19, this will help solve psychological problems including anxiety. the efforts of health workers are also very much needed to always assist the community in adhering to health protocols by providing sustainable health education. 49 correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto– east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: roifahi@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p049–054 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p049-054&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p049-054 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 49–54 introduction coronavirus-19 (covid) has been declared a global pandemic by who (who,2020). corona virus is a zoonotic or virus transmitted between animals and humans. the virus and disease are known to have originated in wuhan city, china since december 2019(bnpb, adisasmito, guru, fkm, & indonesia, 2020). the covid-19 pandemic is incarnating terror for many people to the potential for mass paranoid. the increase in covid-19 can be prevented by disease prevention behavior. however, in the current condition there is still an increase in confirmed cases of covid-19. this incident indicates that the community is still not implementing disease prevention behaviors with health protocols, so the level of anxiety that occurs in the community is still high. psychological and physiological conditions were disrupted due to bombardment with news of the outbreak (widya putri, 2020). the coronavirus pandemic did cause people anxiety. if left untreated, the anxiety could lead to mental and psychiatric disorders (firmansyah, 2020). in 2012, a new type of coronavirus was rediscovered in the middle east named mers-cov (group 2c -coronavirus). the extraordinary events in wuhan are similar to the extraordinary events of sars in guangdong in 2002. both occur in winter. when compared to sars, pneumoni covid19 tends to be lower in terms of mortality. sars death rate reaches 10% and mers 37%. however, currently the infectivity rate of the covid-19 pneumoni virus is known to be at least equivalent or higher than sars-cov. this is demonstrated by its r0, where recent study shows r0 of the sarscov-2 pneumoni virus is 4.08 (indonesia, 2020). as of march 21, 2020, the number of cases of this disease reached 275,469 people spread across 166 countries, including indonesia (kemenkes ri, 2020). in a survey conducted by the american psychiatric association (apa) of more than 1,000 adults in america, it was found that 48 percent of respondents felt anxious they would contract the coronavirus. about 40 percent are worried that they will get seriously ill or die from covid-19, and 62 percent are worried about their family or loved ones being infected. more than a third of respondents (36 percent) said the covid-19 pandemic had a serious impact on their mental health, and 59 percent answered the effects are quite severe on daily life (kompas, 2020). based on data from the ministry of health, covid-19 confirmed data nationally as many as 13,112 people and in mojokerto regency as many as 7 people (dinas komunikasi dan informatika, 2020). this makes people mor e a nxious. worr ied about contracting coronavirus because some positive patients ar e asymptoma tic. the incr ea se in confirmed cases of covid-19 followed by disease prevention behavior that is still poorly applied by the community as an example: maintaining immunity only reached 76.3 percent, frequent hand washing 66.8 percent, work, study and worship at home reached 58.2 percent, avoiding greetings or physical contact, 55.3 percent, trying not to touch the face, 39.5 percent, buying masks, groceries and other goods, 1.5 percent (pranita, 2020). the results of a preliminary study on may 9, 2020 in one of the villages that became a red zone in mojokerto regency with interview techniques for 10 people around the homes of people who were confirmed by covid-19 with otg category (people without symptoms) 100% of people expressed anxiety and claimed to be wary when there were neighbors infected with coronavirus. psychosomatic disorder is a condition when psychological pressure affects physiological function (somatic) negatively to cause symptoms of pain. this can result in dysfunction or damage to physical organs due to the undue activity of the unconscious ner vous system a nd the body’s biochemica l response. when anxious, the amygdala, the center of anxiety in the brain, responds by overactivating the autonomic nervous system. the body is made as if it is facing a threat so that it is always on standby. as a result psychosomatic symptoms appear, heart rate and blood pressure increase, creating pain in the chest (widya putri, 2020). we can distinguish psychosomatic symptoms with symptoms of disappearing, not constant, or moving around. who recommends several measures to minimize anxiety that affects mental state in times of outbreak. first reduce exposure to news about covid-19, as much as possible access reliable news sources, and increase access to positive news and still always apply disease prevention behaviors by always applying health proptocol. the purpose of this study was to analyze the level of anxiety and behavior of the community in the prevention of covid-19 disease in east java. 51so’emah, windartik, rahmawati, level of anxiety and community behavior in preventing the ... methods the design of this study was descriptive survey. the population of this study was the entire covid19 pandemic community in east java province. the sampling technique used accidental sampling techniques. the variables in this study were the level of public criticism of the covid-19 pandemic and community behavior in preventing the covid-19 pandemic. the data collection used questionnaires by gad-7. sca le and  behavior  questionnaire according to dirjen control and prevention of covid-19 march 2020. the analysis of descriptive statistical test data was percentile/ percentage.    result 1. characteristics of people in east java in 2020 based on table 1 showed that the majority of r espondents wer e students a s ma ny a s 482 respondents (58.5%), based on gender data most of the respondents as many as 623 female genders (75.5%), based on the level of education mostly educated s1 as much as 327 (39.7%), and based on information data about covid-19 respondents stated that most had received information of 805 (97.7%) respondents and based on data on the occur r ence of covid-19 in the r esidentia l environment of respondents showed there were 455 respondents (55.2%) incidents. 2. level of public anxiety impact of covid19 pandemic in east java diagram 1 level of public anxiety impact of covid-19 pandemic in east java in 2020 the results showed that the level of anxiety about the impact of the covid-19 pandemic in east java in 2020 experienced the most anxiety at least 397 respondents (48 %). 3. community behavior in the prevention of covid-19 pandemic in east java diagram 2 community behavior in covid-19 prevention in east java in 2020 the results of the analysis showed that the behavior of the community in the prevention of covid19 in east java in 2020 was the most positive behavior of 53% (44 people). no percentage frequency variable 1. job students 482 58.5 student 38 4.6 civil servants 74 9.0 private 98 11.9 health workers 44 5.3 not working 41 5.0 self employed 47 5.7 2. gender male 201 24.4 female 623 75.6 3 education elementary school 3 0.4 junior high school/ 11 1.3 equivalent senior high school / 287 34.8 equivalent bachelor 327 39.7 master 25 3 other 171 20.8 3. information about covid-19 ever 805 97.7 never 19 2.3 4. covid-19 incidents in the respondent’s region not 369 44.8 yes 455 55.2 total respondents 824 100 souce: primary data table 1 characteristics of people in east java in 2020 52 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 49–54 discussion 1. the level of public anxiety about the impact of the covid-19 pandemic in east java each individual has different levels or levels of anxiety in the face of stressors. the results found that the level of public anxiety during covid-19 pendemi experienced a minimum anxiety of 48%. ba sed on these r esults in r espondents who experience minimal anxiety in the face of this pandemic, the government should be active in monitoring public opinions or opinions, because the public tends to worry much more quickly in this time. governments in countries around the world have made various efforts to prevent the spread of the covid-19 virus in order to break the chain of spread of the covid-19 virus, called lockdown and social distancing. health education strategies must be timely at various stages of epidemic development based on analysis of people’s psychological changes a nd r ela ted key informa tion should also be implemented on time. covid-19 not only causes physical health pr oblems but a lso r esults in a number of psychological disorders. the spread of the new coronavirus can have an impact on the mental health of people in va r ious communities (sa la r i, hosseinian-far, jalali, vaisi-raygani, & rasoulpoor, 2020). therefore, it is important to maintain the menta l hea lth of individua ls a nd develop psychological interventions that can improve the mental health of vulnerable groups during the covid19 pandemic. many factors can affect a person’s anxiety level, including from work factors. the majority of respondents were 58.5% of students and 39.7% of undergraduates, one’s education and knowledge could affect the anxiety that was reviewed from the lack of knowledge or information they had about covid-19 during this pandemic. the results of this study also showed that 97.7% of respondents said they had been informed about covid-19. based on the results of the study showed 75.6% of the female gender, this indicates that female respondents have a greater chance of experiencing anxiety compared to male respondents. a person who is female tends to have high anxiety compared to men because women have a more sensitive feeling than men. but that does not close the possibility of happening to men. 2. community behavior in the prevention of covid-19 pandemic in east java ba sed on the r esults showed tha t most respondents had 53% positive behavior. the results are different from previous study that the prevalence of depression in 14 studies with a sample size of 44,531 people as many as 33.7% experienced (salari et al., 2020). psychiatric consequences of sarscov-2 infection can be caused either by the immune response to the virus itself, or by psychological stress such as social isolation, the psychological impact of a severe and potentially fatal new disease, concerns about infecting others, and stigma . the immune response to the corona virus induces the production of cytokines, chemokin, and other local and systematic inflammatory mediators (huang & zhao, 2020). the emergence of covid-19, with its rapid spread, has exacerbated anxiety in the population globally, leading to mental health disorders in individuals. this even raises cases of stereotypes and discrimination (zhong, gelaye, zaslavsky, fann, & rondon, 2015). therefore, it is necessary to examine and recognize the mental state of people in this challenging, destructive and unprecedented time. evidence suggests that individuals may experience symptoms of psychosis, anxiety, trauma, suicidal thoughts, and panic attacks. recent studies have also shown that covid-19 affects mental health outcomes such as anxiety, depression, and post-traumatic stress (lee & lee, 2020). covid19 is new and unexplored, and its rapid transmission, high mortality rate and concerns about the future can be a cause for anxiety. anxiety, when above nor ma l, wea kens the immune system a nd consequently increases the risk of contracting the virus (van bogaert et al., 2016). a person will not experience anxiety if they have good behavior. good behavior can be an effort to prevent the transmission of covid19. health behaviors are influenced by many factors, including knowledge, perception, emotions, motivation, and environment. exploration of public health behavior can be seen from various components, including perceptions of disease susceptibility, perception of obstacles in prevention efforts, perceptions of benefits, the existence of encour a gement, a nd individua l perceptions about the ability to conduct prevention efforts (purnamasari & raharyani, 2020). in this study, showed that as many as 53% of east java people have positi behavior. forms of behavior shown include compliance in using masks when 53so’emah, windartik, rahmawati, level of anxiety and community behavior in preventing the ... outdoors, washing hands with soap or hand sanitizer frequently, avoiding crowds and maintaining social or physical distancing. hand washing is one of the effective ways to kill germs, known covid-19 virus can stick to parts of the body, especially hands that touch objects that have been infected by droplets. it was conveyed by the ministry of health that 75% of covid virus transmission is through saliva splashes (kemenkes ri, 2020). according to the theory of knowledge-attitudebehavior models, knowledge is an essential factor that can influence behavior changes, and individuals can acquire knowledge and skills through the learning process (liu et al, 2016). thus, public knowledge that still needs to be straightened out and negative community behavior can be pursued with learning activities through education by the authorities. in the community, village health forums or the like can take a role in the implementation of activities. conclusion the level of anxiety of people affected by the covid-19 pandemic in east java was mostly minimal anxiety. this was because most respondents were highly educated and had been informed about covid19. one’s knowledge and experience could help solve psychic pr oblems including a nxiety. community behavior in preventing covid-19 pandemic in east java mostly showed positive beha vior. positive behavior occured beca use respondents had been informed about covid-19 so as to increase knowledge. this knowledge could change a person’s behavior. suggestion based on the results of this study, shows that the level of anxiety and behavior of the community in the prevention of pandemic covid 19 in east java is in the category of minimal anxiety and the behavior of the community mostly shows positive behavior. this condition becomes a good potential and strength for the government of east java in this covid-19 ha ndling pr ogr a m. however, prevention and monitoring efforts against the termination of the spread of covid 19 must still be carried out by various parties so that there is no increase in the number of serious cases refferences bnpb, k., adisasmito, w., guru, p. d., fkm, b., & indonesia, u. (2020). gugus tugas percepatan penanganan covid-19 1, 1–39. dinas komunikasi dan informatika. (2020). kabupaten mojokerto tanggap covid-19. retrieved from https:/ /covid19.mojokertokab.go.id/ firmansyah, m. (2020). ancaman psikologis dan imbas cemas akibat covid-19. retrieved from https:// www.alinea.id/gaya-hidup/ancaman-psikologisdan-imbas-cemas-akibat-covid-19-b1zlh9swk huang, y., & zhao, n. (2020). generalized anxiety disorder , depressive symptoms and sleep quality during covid-19 outbreak in china/ : a web-based crosssectional survey. psychiatry study, 288(march), 112954. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020. 112954 indonesia, d. i. (2020). covid-19 covid-19. kemenkes ri. (2020). pedoman pencegahan dan pengendalian coronavirus desiase (covid-19), 0– 115. retrieved from https://www.kemkes.go.id/ resour ces/downl oad/i nfo-t er ki ni /covid-19 dokumen resmi/2 pedoman pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (covid-19).pdf kompas. (2020). tingkat kecemasan akibat wabah virus corona meningkat kompas. retrieved from https:/ /amp.kompas.com/lifestyle/read/2020/03/26/ 112749520/tingkat-kecemasan-akibat-wabah-viruscorona-meningkat lee, s. a., & lee, s. a. (2020). coronavirus anxiety scale/ : a brief mental health screener for covid-19 related anxiety coronavirus anxiety scale/ : a brief mental health screener for covid-19 related anxiety. death studies, 44(7), 393–401. https://doi.org/10.1080/ 07481187.2020.1748481 pranita, e. (2020). serba-serbi corona, ini persepsi dan pengetahuan masyarakat indonesia. kompas.com. retrieved from https://today.line.me/id/pc/article/ s e r ba + s e r bi + c or on a + i n i + p e r s e p s i + d a n + pengetahuan+masyarakat+indonesia-2lymve purnamasari, i., & raharyani, a. e. (2020). tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat kabupaten won osobo ten tang covi d-19. jurnal ilmi ah kesehatan, (mei), 33–42. salari, n., hosseinian-far, a., jalali, r., vaisi-raygani, a., & rasoulpoor, s. (2020). prevalence of stress , anxiety , depression among the general population during the covid-19 pandemic/ : a systematic review and meta-analysis, 1–11. van bogaert, p., peremans, l., diltour, n., van heusden, d., dilles, t., van rompaey, b., & havens, d. s. (2016). staff nurses’ perceptions and experiences about structural empowerment: a qualitative 54 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 49–54 phenomenological study. plos one, 11(4), 1–14. retrieved from http://10.0.5.91/journal.pone.0152654 widya putri, aditya. (2020). ancaman gangguan mental di tengah wabah covid-19 tirto. retrieved from https://tirto.id/ancaman-gangguan-mental-ditengah-wabah-covid-19-ejvi zhong, q., gelaye, b., zaslavsky, a. m., fann, j. r., & rondon, m. b. (2015). diagnostic validity of the generalized anxiety disorder 7 ( gad-7 ) among pregnant women. plos one, 7, 1–17. https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0125096 371noventi, rusdianingseh, khafid, prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes ... jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes di wilayah pesisir, pegunungan dan perkotaan iis noventi1, rusdianingseh2, muhammad khafid3 1,2fakultas keperawatan, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 26/08/2019 disetujui, 29/10/2019 dipublikasi, 05/12/2019 kata kunci: prevalensi; karakteristik; faktor resiko; prediabetes abstrak prediabetes merupakan kondisi kadar glukosa darah diatas normal, tapi belum memenuhi standar diagnosis diabetes. kondisi ini bila tidak dilakukan perubahan gaya hidup, dapat jatuh pada diagnosis diabetes. penelitian ini bertujuan memperoleh prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes di wilayah pesisir, pegunungan dan perkotaan. penelitian ini merupakan studi prevalensi pada populasi penduduk pegunungan, pesisir dan perkotaan yang melibatkan 90 subjek berusia 40  65 tahun ( 30 di wilayah pegunungan, 30 subjek di wilayah pesisir dan 30 subjek di wilayah perkotaan) dilakukan di wilayah pegunungan, pesisir dan perkotaan dipilih secara acak dengan teknik simple random sampling selama periode bulan mei – juni 2019. pada subjek di lakukan anamnesa menggunakan kuesioner sesuai kriteria american diabetes association dan juga di lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.analisis statistik dilakukan dengan menggunakan spss versi 21.0 untuk windows. analisis deskriptif menggambarkan distribusi variabel penelitian dengan persentase dan ratarata. uji chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antara gaya dengan prediabetes/diabetes. prevalensi prediabetes diperoleh dari hasil pemeriksaan gda di wilayah pegunungan sebesar 83,3%, pesisir43,4%, perkotaan 73,4%.karakteristik prediabetes di di wilayah pegunungan adalah jenis kelamin perempuan, usia 40-54 tahun, hipertensi, dan obesitas. di wilayah pesisir adalah jenis kelamin perempuan, usia 40-54 tahun, hipertensi. di wilayah perkotaan adalah jenis kelamin perempuan, usia 40-54 tahun, obesitas, dan tidak aktif beraktifitas. faktor resiko di wilayah pegunungan adalah asam urat dan kolesterol (p <0,05), di wilayah pesisir adalah asam urat, kolesterol dan penyakit pembuluh darah lainnya (p <0,05), sedangkan di wilayah perkotaan adalah riwayat keturunan dan kolesterol (p <0,05). prevalensi prediabetes di wilayah pesisir sebesar ( 43,3%), di wilayah pegunungan sebesar (83,3%), di wilayah perkotaan sebesar (73,4%) diwilayah pegunungan prevalesi prediabetes lebih besar di bandingkan dengan wilayah perkotaan dan pesisir karena hipertensi dan obesitas. hipertensi juga merupakan faktor resiko tertinggi penyebab prediabetes pada masyarakat pesisir, sedangkan obesitas menjadi faktor resiko prediabetes di wilayah perkotaan. perlu dilakukan strategi pencegahan baik terhadap 371 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p371-381&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 372 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 371–381 article information history article: received, 26/08/2019 accepted, 29/10/2019 published, 05/12/2019 keywords: prevalence; characteristics; risk factors; prediabetes prevalence, characteristics and risk factors of prediabetes in coastal, mountainous and urban areas abstract prediabetes is a condition of blood glucose levels above normal, but does not yet meet the standard diagnosis of diabetes. this condition if lifestyle changes are not made, can fall on the diagnosis of diabetes. this study aims to obtain the prevalence, characteristics and risk factors for prediabetes in coastal, mountainous and urban areas. this study is a prevalence study in mountainous, coastal and urban populations involving 90 subjects aged 40  65 years (30 in mountainous areas, 30 subjects in coastal areas and 30 subjects in urban areas) conducted in mountainous, coastal and cities were randomly selected by simple random sampling technique during the period may june 2019. on the subject, anamnesia was performed using a questionnaire according to the american diabetes association criteria and physical examination and laboratory examination were also carried out. statistical analysis was performed using spss version 21.0 for windows. descriptive analysis illustrates the distribution of research variables by percentages and averages. chi-square test was used to analyze the relationship between style and prediabetes / diabetes. the prevalence of prediabetes was obtained from the results of gda examination in the mountainous region of 83.3%, coastal43.4%, urban 73.4%. the characteristics of prediabetes in the mountainous region were female sex, age 40-54 years, hypertension, and obesity . in coastal areas are female sex, age 40-54 years, hypertension. in urban areas are female sex, age 40-54 years, obesity, and not active activity. risk factors in mountainous regions are uric acid and cholesterol (p <0.05), in coastal areas are uric acid, cholesterol and other vascular diseases (p <0.05), whereas in urban areas are history of heredity and cholesterol (p <0.05). the prevalence of prediabetes in coastal areas is (43.3%), in mountainous areas is (83.3%), in urban areas is (73.4%) prevention strategies for both prediabetes and the progression of prediabetes to diabetes are needed and are expected to increase the expertise of medical personnel to recognize prediabetes, identify people at high risk of prediabetes and provide appropriate management so that the incidence of diabetes and complications can be reduced © 2019 jurnal ners dan kebidanan prediabetes maupun progresivitas prediabetes menjadi diabetes dan diharapkan dapat menambah keahlian tenaga medis utuk mengenali prediabetes, mengidentifikasi orang-orang yang beresiko tinggi prediabetes dan memberikan penatalaksanaan yang tepat agar kejadian diabetes dan komplikasi dapat di kurangi correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: iisnoventi@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p371-381 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p371-381 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 373noventi, rusdianingseh, khafid, prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes ... pendahuluan prediabetes merupakan istilah yang menggambarkan kondisi kadar gula darah diatas normal tetapi belum masuk dalam diagnosis diabetes mellitus (soewondo & pramono, 2011). prediabetes dan hipertensi merupakan salah satu masalah yang menjadi perhatian dunia. prediabetes merupakan fase fisiologis dimana kadar glukosa darah lebih tinggi diatas normal tetapi belum sampai pada kriteria diabetes. dua kondisi yang termasuk dalam pradiabetes adalah igt (gangguan glukosa toleransi) dan ifg (gangguan glukosa puasa) . nilai standar untuk pra-diabetes adalah kadar glukosa darah 100 125 mg / dl untuk puasa glukosa darah (disebut ifg) atau 140 199 mg / dl untuk glukosa darah dua jam setelah beban glukosa (disebut igt), atau keduanya (soewondo & pramono, 2011).impaired glucose tolerance (igt) dan impaired fasting glucose (ifg) merupakan kondisi prediabetes yang mengawali penyakit diabetes. prediabetes merupakan kondisi reversibel dan suatu tahapan transisi yang dapat bergerak ke dua arah, yaitu menuju kondisi normal atau kondisi diabetes, sedangkan kondisi diabetes sudah bersifat ireversibel (heymsfield sb, kr, j, et al, 2000). resistensi insulin dan defek sel beta pankreas adalah patogenesis diabetes yang sudah mulai terjadi pada keadaan prediabetes. hal tersebut yang dapat mempercepat perubahan dari kondisi prediabetes menjadi diabetes. hampir 4-9% orang dengan prediabetes setiap tahunnya akan menjadi diabetes (bock et al, 2012) prevalensi prediabetes terus meningkat pesat di seluruh dunia dan diperkirakan > 470 juta orang akan mengalami prediabetes pada tahun 2030 (tabák et al, 2012).negara berkembang melaporkan 9,2% populasi umum mengalami gula darah puasa terganggu (gdpt), 4,3% mengalami toleransi glukosa terganggu (tgt) dan 25,5% mengalami keduanya. berdasarkan data penelitian, tgt memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya diabetes dibandingkan gdpt (handayani, 2012). prevalensi diabetes se-indonesia diduduki oleh provinsi jawa timur karena diabetes merupakan 10 besar penyakit terbanyak. jumlah penderita dm menurut riskesdas mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 330.512 penderita (kemenkes, 2014). data dari dinas kesehatan kabupaten probolinggo proporsi penyakit diabetes di probolinggo pada tahun 2015 adalah 3539 pada tahun 2016 meningkat menjadi 3622. di daerah perkotaan di indonesia, prevalensi sindrom metabolik mencapai 28,4% (ranasinghe et al, 2017), sedangkan di daerah pedesaan prevalensinya adalah 18,2%. (dwipayana et al, 2011). hasil penelitian suwondo dan pramono (2012), diprediksikan terdapat 10% penduduk di indonesia (33 provinsi) mengalami prediabetes. menurut pedoman yang dikeluarkan oleh european society for cardiology ( (esc) dan european association for the study of diabetes (easd) (esc and easc guidelines, 2007), pradiabetesterkait dengan beberapakondisi, yaitu: usia tua, obesitas, obesitas sentral, kurangnya aktivitas fisik, kekurangankonsumsi buah dan sayur, riwayat keturunan danhipertensi. menurut konsensus pradiabetesdikeluarkan oleh american college of endocrinology (ace) dan american association of clinical endocrinology (aace)(garber et al, 2008), faktor risiko diabetes dan pra-diabetesadalah: riwayat keluarga, penyakit jantung koroner, kelebihan berat badandan obesitas, gaya hidup yang tidak sehat dan hipertensi. faktor-faktor lain yang juga diperkirakan berhubungan dengan kejadian prediabetes dan diabetes yaitu riwayat diabetes dalam keluarga, overweight atau obesitas, lifestyle yang berisiko (sedentary), pernah sebelumnya diketahui igt atau ifg dan / atau sindroma metabolik, hipertensi, dislipidemia, riwayat diabetes gestasional, riwayat melahirkan anak > 4 kg, polycystic ovary syndrome, mengkonsumsi terapi antipsikotik untuk skizofren (garber et al, 2008).keberagaman penduduk, faktor sosial ekonomi, mata pencaharian, pendidikan, dan pengetahuan tentang kesehatan bervariasi di setiap daerah.heterogenitas ini mencerminkan karakteristik tertentu, terutama terkait adanya penyakit penyakit metabolik. mempertimbangkan adanya pengaruh lingkungan dan gaya hidup tertentu dalam terjadinya sindrom metabolik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes di pegunungan, pesisir dan perkotaan. atas dasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perlu diadakan penelitian tentang mengetahui prevalensi prediabetes dan diabetes melitus secara epidemiologi pada daerah dengan letak geografis yang berbeda yaitu wilayah pesisir, wilayah pegunungan dan wilayah perkotaan. dengan mengetahui faktor resiko yang menjelaskan bagaimana pra-diabetes terjadi, semoga bisa membantu sarana pelayanan kesehatan mengusahakan yang tepat dan memadai untuk tindakan pencegahan. selain itu, juga untuk mendeteksi pr a -dia betes lebih a walsebelum 374 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 371–381 berkembang menjadi diabetes.daerah pegunungan diwakili desa wonotoro kawasan pegunungan bromo yang mayoritas penduduknya suku tengger, daerah pesisir diwakili pulau gili ketapang probolinggo yang mayoritas penduduknya adalah suku madura dan daerah perkotaan diwakili kelurahan kebonsari kota surabaya. bahan dan metoda penelitian ini merupakan studi prevalensi pada populasi penduduk pegunungan, pesisir dan perkotaan yang melibatkan 90 subjek berusia 40 –  65 tahun (30 di wilayah pegunungan, 30 subjek di wilayah pesisir dan 30 subjek di wilayah perkotaan) dilakukan di wilayah pegunungan, pesisir dan perkotaan dipilih secara acak dengan teknik simple random sampling selama periode bulan mei – juni 2019. pada subjek di lakukan anamnesa menggunakan kuesioner sesuai kriteria american diabetes association dan juga di lakukan pemeriksaan fisik yang meliputi pemeriksaan berat badan, tinggi badab dan pemeriksaan tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan gda, asam urat dan kolesterol. analisis statistik dilakukan dengan menggunakan spss versi 21.0 untuk windows. analisis deskriptif menggambarkan distribusi variabel penelitian dengan persentase dan rata-rata. uji chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antara gaya dengan prediabetes/diabetes. data diambil pada 17 juni 2019 didesa wonotoro kawasan pegunungan bromo, sukapura, probolinggo sebagai wilayah pedesaan, pada tanggal 18 juni 2019 di pulau gili ketapang, sumberasih, probolinngo sebagai wilayah pesisir, pada tanggal 21 juni 2019 di kelurahan kebonsari, wonocolo, kota surabaya. kadar glukosa darah acak, asam urat, dan kolesterol diukur menggunakan gcu multifunction monitoring system (easytouch®). subjek diminta untuk puasa 8 jam sebelum pemeriksaan. pengukuran tekanan darah dilakukan menggunakan sphygmomanometer ra ksa dan otomatis (omron, hem). pengambilan data faktor resiko prediabetes dilakukan menggunakan kuesioner faktor resiko prediabetes menurut ada dengan metode wawancara.responden juga dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk menentukan imt. responden dengan kadar gula darah  200 mg/dl. analisis bivariat dilakukan melalui uji chi-square, tingkat kebermaknaan ditentukan pada nilai p <0,05. hasil penelitian dari 90 subjek, yang menjalankan prosedur screening dan pemeriksaanmemenuhi kriteria inklusi penelitian. dari 90,terdistribusi 30 subjek dari wilayah pegunungan, 30 subjek dari wilayah pesisir dan 30 subjek dari wilayah perkotaan, dibagi lagi berdasarkan kriteria diagnosa diabetessebagai berikut: prevalensi prediabetes/diabetes di wilayah pegunungan no kriteria diagnosis frekuensi persentase (%) 1. tidak diabetes ( < 90 mg/dl) 5 16.7 2. belum pasti diabetes (90-199 mg/dl) 25 83.3 3. diabetes (  200 mg/dl) 0 0 total 30 100 tabel 1 kriteria diagnose prediabetes/diabetes diwilayah pegunungan prevalensi prediabetes/diabetes di wilayah pesisir no kriteria diagnosis frekuensi persentase (%) 1. tidak diabetes ( < 90 mg/dl) 8 26.6 2. belum pasti diabetes (90-199 mg/dl) 13 43.4 3. diabetes (  200 mg/dl) 9 30 total 30 100 tabel 2 kriteria diagnose prediabetes/diabetes diwilayah pesisir prevalensi prediabetes/diabetes di wilayah perkotaan no kriteria diagnosis frekuensi persentase (%) 1. tidak diabetes ( < 90 mg/dl) 4 13.3 2. belum pasti diabetes (90-199 mg/dl) 22 73,4 3. diabetes (  200 mg/dl) 4 13.3 total 30 100 tabel 3 kriteria diagnose prediabetes/diabetes di wilayah perkotaan 375noventi, rusdianingseh, khafid, prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes ... prevalensi prediabetes (gangguan toleransi glukosa) untuk lansia di wilayah pegunungan adalah 83,3%, di wilayah pesisir adalah 43,4%, dan di wilayah perkotaan adalah 73,4%. prevalensi yang ditunjukkan oleh total diabetes di wilayah pegunungan adalah 0%, di wilayah pesisir adalah 30% dan wilayah perkotaan 13,3%. bahwamenunjukkan bahwa prevalensi pra-diabetes hampir dua kali lipat lebih tinggi dari diabetes. karakteristik pra-diabetes di wilayah pegunungan, pesisir dan perkotaan karakteristik pra-diabetes diklasifikasikan padausia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, hipertensi, obesitas, aktifitas dan merokok. tabel 4,5 dan 6 menunjukkankarakteristik pra-diabetes di wilayah pegunungan, wilayah pesisir da wilayah perkotaan. tabel 4 karakteristik prediabetes/diabetes di wilayah pegunungan no karakteristik katagori total presentase (%) 1 jenis kelamin laki-laki 8 26,6 perempuan 17 56,7 2. usia 40 -54 tahun 15 50,0 55-64 tahun 10 33,3  65 tahun 0 0 3. hipertensi ya 14 46,6 tidak 11 36,7 4. obesitas ya 13 43,3 tidak 12 40,0 5. aktifitas ya 25 83,3 tidak 0 0 6. merokok ya 7 23,3 tidak 18 60,0 tabel 4 menggambarkan bahwa sebagian besar penderita prediabetes/diabetes di wilayah pegunungan adalah perempuan (56,7%), terlihat padadasar usia, sebagian besar subyek pra-diabetes berada dalam suaturentang usia antara 40 – 54 (50%), yang menderita hipertensi sebesar (46,6%), sebagian besar obesitas sebesar (43,3%), dan yang aktif beraktifitas (83,3%) dan sebagian besar tidak merokok (60%). tabel 5 karakteristik prediabetes di wilayah pesisir no karakteristik katagori total presentase (%) 1 jenis kelamin laki-laki 4 13.3 perempuan 18 60.0 2. usia 40 -54 tahun 16 53,3 55-64 tahun 2 6,7  65 tahun 4 13,3 3. hipertensi ya 16 53.3 tidak 6 20.0 4. obesitas ya 3 10 tidak 19 63.3 5. aktifitas ya 16 53.3 tidak 6 20.0 6. merokok ya 1 3.3 tidak 21 70.0 376 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 371–381 tabel 5 menggambarkan bahwa sebagian besar penderita prediabetes/diabetes di wilayah pesisir adalah perempuan (60%), terlihat padadasar usia, sebagian besar subyek pra-diabetes berada dalam suaturentang usia antara 40 – 54(53,3%), yang menderita hipertensi sebesar (53,3%), sebagian besar tidak obesitas sebesar (63,3%), dan sebagian besar melakukan aktif beraktifitas (53,3%) dan sebagian besar tidak merokok (70%). tabel 6 karakteristik prediabetes di wilayah perkotaan no karakteristik katagori total presentase (%) 1 jenis kelamin laki-laki 11 36.7 perempuan 15 50.0 2. usia 40 -54 tahun 10 33.3 55-64 tahun 19 30.0  65 tahun 7 23.4 3. hipertensi ya 4 13.3 tidak 22 73.4 4. obesitas ya 13 43.3 tidak 13 43.3 5. aktifitas ya 9 30,0 tidak 17 56.7 6. merokok ya 5 16.7 tidak 21 70.0 tabel 6 menggambarkan bahwa sebagian besar penderita prediabetes/diabetes di wilayah perkotaan adalah perempuan (50%), terlihat padadasar usia, sebagian besar subyek pra-diabetes berada dalam suatu rentang usia antara 40 – 54 kategori total normal prediabetes/diabetes n p-value n % n % riwayat keturunan tidak 4 13,3 24 80 28 ya 1 3,3 1 3,3 2 0,190 melahirkan > 4 kg tidak 4 13,3 25 83,3 29 ya 1 3,3 0 0 1 0,023 riwayat pcos tidak 5 16,7 25 83,3 30 ya 0 0 0 0 0 0,177 asam urat tidak 0 0 7 23,3 7 ya 5 16,7 18 76,7 23 0,000 kolesterol < 200 mg/dl 4 13,3 18 60 22 200-239 mg/dl 0 0 4 13,3 4  240 mg/dl 1 3,3 3 10 4 0,002 riwayat penyakit tidak 4 13,3 21 70 pembuluh darah ya 1 3,3 4 13,3 255 0,064 tabel 7 hubungan faktor resiko dengan prediabetes/diabetes di wilayah pegunungan (33,3%), sebagian besar tidak menderita hipertensi sebesar (73,4%), sebagian besar obesitas sebesar (43,3%), dan sebagian besar melakukan tidak aktif beraktifitas (56,7%) dan sebagian besar tidak merokok (70%). 377noventi, rusdianingseh, khafid, prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes ... faktor resiko prediabtes/diabetes korelasi ditunjukkan oleh kondisi hiperglikemia danbeberapa faktor resiko seperti, riwayat keturunan, pernah melahirkan > 4 kg, mempunyai riwayat pcos, riwayat asam urat, riwayat kolesterol dan mempunyai penyakit pembuluh darah. berdasarkan analisis ini, kami memperoleh gambar yang mengungkapkan bahwa pre-diabetes / diabetes memiliki pengaruh yang signifikanhubungan dengan beberapa faktor risiko secara statistik (p <0,05). tiga variabel pada tabel 7, yang tidak menunjukkan signifikan hubungan statistik dengan pradiabetes / diabetes adalahriwayat keturunan (p = 0,190),riwayat pcos (p = 0,177) dan riwayat penyakit pembuluh darah (p = 0,064). itu terjadi karena proporsi responden diketahui prediabetes/ diabetes di usia tua, responden tidak mempunyai riwayat pcos dan tidak mempunyai riwayat penyakit pembuluh darah. kategori total normal prediabetes/diabetes n p-value n % n % riwayat keturunan tidak 5 16.7 18 60.0 23 0,269 ya 3 10.0 4 13.3 7 melahirkan > 4 kg tidak 8 26.7 22 73.3 30 0,589 ya 0 0.0 0 0,0 0 riwayat pcos tidak 8 26.7 22 73.3 30 0,114 ya 0 0.0 0 0.0 0 asam urat tidak 2 6.7 8 26.7 10 0,000 ya 6 20.0 14 66.7 20 kolesterol < 200 0 0.0 3 10.0 3 0,000 200 – 239 1 3.3 9 30.0 10 > 240 7 23.3 10 33.3 17 riwayat penyakit tidak 5 16.7 15 50.0 20 0,041 pembuluh darah ya 3 10.0 7 23.3 10 tabel 8 hubungan faktor resiko dengan prediabetes/diabetes di wilayah pesisir kategori total normal prediabetes/diabetes n p-value n % n % riwayat keturunan tidak 3 10.0 14 46.7 17 0,003 ya 1 3.3 12 40.0 13 melahirkan > 4 kg tidak 4 13.3 26 86.7 30 0,552 ya 0 0.0 0 0.0 0 riwayat pcos tidak 4 13.3 26 86.7 30 0,552 ya 0 0.0 0 0.0 0 asam urat tidak 2 6.7 22 73.3 24 0,063 ya 2 6.7 4 13.3 6 kolesterol < 200 4 13.3 22 73.3 26 0,002 200 – 239 0 0.0 3 10.0 3 > 240 0 0.0 1 3.3 1 riwayat penyakit tidak 2 6.7 17 56.7 19 0,074 pembuluh darah ya 2 6.7 9 30.0 11 tabel 9 hubungan faktor resiko dengan prediabetes/diabetes di wilayah perkotaan 378 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 371–381 tiga variabel pada tabel 8, yang tidak menunjukkan signifikan hubungan statistik dengan pradiabetes / diabetes adalah riwayat keturunan (p = 0,269), melahirkan > 4 kg (p=0,589), dan riwayat pcos (p = 0,114). itu terjadi karena proporsi responden diketahui prediabetes/diabetes di usia tua, responden tidak mempunyai riwayat pcos dan tidak mempunyai riwayat melahirkan > 4 kg. tiga variabel pada tabel 9, yang tidak menunjukkan signifikan hubungan statistik dengan pradiabetes / diabetes adalahmelahirkan > 4 kg (p = 0,552), riwayat pcos (p = 0,552), asam urat (p = 0,063) dan riwayat penyakit pembuluh darah (p = 0,074).itu terjadi karena proporsi responden diketahui tidak mempunyai riwayat melahirkan > 4 kg, responden tidak mempunyai riwayat pcos, penyakit asam urat karena pola makan dan riwayat penyakit pembuluh darah masih dalam kategori keluhan ringan. pembahasan prevalensi prediabetes/diabetes prevalensi prediabetes (gangguan toleransi glukosa)untuk lansia di wilayah pegunungan adalah 83,3%, di wilayah pesisir adalah 43,4%, dan di wilayah perkotaan adalah 73,4%. perbedaan prevalensi prediabetes ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan ras/ etnis dan pola makan antara pegunungan, pesisir dan perkotaan.prevalensi diabetes bervariasi dalam satu negara, dari antar provinsi atau antardaerah. itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pertumbuhan ekonomi, sosialbuda ya kondisi, moder nisasi, da n ur ba nisasi (soewondo &pramono, 2011).banyaknegara-negara asia (negara berkembang) yang dalamdekade terakhir cenderung memiliki pertumbuhan budaya sosial-ekonomi yang sangat cepat, memiliki peningkatan prevalensi diabetes yang tinggi(balagopal et al, 2008; syeed et al, 2003). perubahan pola dari subjek normal menjadi pra-diabetes, kemudian menjadi diabetes sangat dipengaruhi oleh bertambahnya usia, riwayat hipertensi, obesitas, aktifitas, dan merokok, sedangkan faktor resikonya adalah riwayat keturunan, pernah melahirkan > 4 kg, riwayat pcos, kolesterol, asam urat, dan riwayat penyakit pembuluh darah(soewondo, pramono, 2011). pola perkembangan ini juga bisa dilihat dalam penelitian ini. di wilayah pegunungan karakteristik prediabetes/diabetes adalah jenis kelamin perempuan, umur antara 40–54 tahun, mempunyai riwayat hipertensi, obesitas dan faktor resiko yang tertinggi adalah kolesterol, asam urat dan punya riwayat melahirkan > 4 kg.diwilayah pesisir karakteristik prediabetes/diabetes adalah jenis kelamin perempuan, umur antara 40–54 tahun, mempunyai riwayat hipertensi, dan faktor resiko yang tertinggi adalah kolesterol, asam urat dan punya riwayatpenyakit pembuluh darah.diwilayah perkotaan karakteristik prediabetes/diabetes adalah jenis kelamin perempuan, umur antara 40–54 tahun, obesitas, kecenderungan kurang aktifitas dan faktor resiko yang tertinggi adalah kolesterol, dan riwayat keturunan. karakteristik prediabetes/diabetes berdasarkan karakteristik umur, dapat dilihat bahwa proporsi prediabetes hampir merata pada semua wilayah, prediabetes banyak terjadi pada responden adalah yang berumur 40–54 tahun. individu dengan usia lanjut lebih berpotensi diklasifikasikan memiliki kadar glukosa abnormal menurut cut-off yang ada dibandingkan dewasa muda (kalyani et al, 2013)..usia yang semakin tua maka akan meningkatkan risiko dm yaitu dimulai dari usia 35 hingga lebih dari 65 tahun. mekanisme dm tipe 2 diketahui bahwa penuaan menurunkan sensitivitas insulin dan perubahan atau tidak cukup kompensasi fungsional sel beta dalam memproduksi insulin. mirarefin et al,(2014).usia paruh baya memiliki faktor risiko 8.90 kali terkena dm dibandingkan dengan usia dewasa pada masyarakat perdesaan dan perkotaan di amerika serikat(o connor, 2012). subjek yang mengalami prediabetes di wilayah pegunungan selain memiliki gula darah puasa yang lebih tinggi juga mempunyai, tekanan darah tinggi dan obesitas. hal ini senada dengan beberapa penelitian sebelumnya bahwa seseorang dengan prediabetes sering mempunyai faktor risiko penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, dislipidemia dan obesitas. keadaan demikian mengakibatkan prediabetes dianggap sebagai faktor risiko kardiovaskular juga (adam, 2010).dm dan hipertensi merupakan coexisting. faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan koeksistensi dm dan hipertensi antara lain adalah obesitas(lastra et.al, 2014). kebiasaan pola makan dimasyarakat pedesaan banyak mengkonsumsi daging, karena tradisi upacara adat suku tengger setiap ada upacara keagamaan selalu mengkonsumsi daging sapi yang harus dihabiskan bersama keluarga dan kerabat dekat. selain itu pada masyarakat pegunungan mempunyai kebiasaan minum kopi manis hangat yang dikonsumsi sehari-hari bisa 3–4 kali sehari untuk upaya mengha 379noventi, rusdianingseh, khafid, prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes ... ngatkan tubuh karena cuaca yang dingin. sejumlah studi menunjukkan bahwa konsumsi kopi dapat meningkatkan risiko diabetes dalam keadaan akut tetapi bersifat protektif bila secara rutin (beaudoin et al, 2013; ding et al,2014). prevalensi dm, karena adanya perubahan gaya hidup masyarakat dari tradisional ke masyarakat moder n ya itu tinggi gula , ga ra m da n lema k (whitinget al, 2011) karakteristik prediabetes/diabetes di masyarakat pesisir adalah tekanan darah tinggi. hal ini terjadi karena kebiasaan pola makan di masyarakat pesisir banyak mengkonsumsi udang, cumi dan ikan laut karena merupakan sumber makanan utama di wilayah gili ketapang. konsumsi lemak yang tinggi lebih dari 30% total kalori dapat menyebabkan resistensi insulin yang mengarah ke kondisi prediabetes. penelitian yang dilakukan di kota depok menunjukkan bahwa konsumsi lemak yang tinggi (  40 g/hari) dapat meningkatkan risiko terjadinya prediabetes (yunir em et al, 2009). karakteristik prediabetes/diabetes di masyarakat perkotaan adalah obesitas dan kurang melakukan aktifitas. hal ini terjadi karena masyarakat kota mempunyai lifestyle yang berisiko sedentary banyak mengkonsumsi makanan siap saji( makanan awetan) yang tinggi lemak, ngemil dan minum es serta kurang melakukan aktifitas. konsumsi makanan manis di indonesia berada posisi ke 2 setelah konsumsi penyedap yaitu sebesar 53.1%( kemenkes, ri.,.2014b).seseorang yang cenderung obesitas memiliki akivitas fisik yang lebih rendah sehingga terkait dengan lamanya waktu berjalan dan berpengaruh dengan pengeluaran energi.seperti diketahui sebelumnya dengan bertambahnya umur akan terjadi gangguan metabolisme karbohidrat terutama timbulnya resistensi insulin yang dapat disebabkan oleh 4 faktor, yaitu: perubahan komposisi tubuh (massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak), menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1 (igf-1) dan dehidroepiandosteron (dheas) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin. aktivitas fisik diperdesaan dikaitkan dengan beberapa jenis pekerjaan fisik yang bebeda dengan masyarakat perkotaan.hal ini bahwa pekerjaan fisik diperdesaan lebih tinggi dari pada pekerjaan fisik diperkotaan. berdasarkan penelitian ini bahwa pekerjaan fisik yang dilakukan oleh masyarakat pedesan antara lain mencangkul, memanen padi, mengangkat padi, menanam padi dan lain sebagianya (sobngwi et al, 2002) hubungan faktor resiko dengan prediabetes/ diabetes faktor-faktor prediksi prediabetes di indonesia adalah jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, status sosial ekonomi tinggi, tingkat pendidikan rendah, hipertensi, obesitas, obesitas sentral, dan kebiasaan merokok (soewondo, promono, 2011). faktor resiko prediabetes/diabetes di masyarakat pegunungan adalah riwayat asam urat dan kolesterol.gangguan metabolisme tubuh seperti hipertensi, obesitas, dan dislipidemia telah lama dianggap menjadi faktor risiko dalam menimbulkan prediabetes, termasuk prediabetes campuran i-ifg dan i-igt (ada,2014). lemak viseral adalah salah satu dari dasar kondisi klinis pada kejadian metabolik sindrom yang merupakan penyebab terjadinya risiko penyakit kardio (unno m et al, 2012).vaskular seperti dm, dislipidemia, peningkatan tekanan darah, dan memiliki pengaruh terhadap aterosklerosis (unno et al, 2012). subjek di masyarakat pegunungan adalah sebagian besar obesitas, mempunyai riwayat hipertensi, riwayat asam urat dan kolesterol yang sangat erat hubungannya satu sama lainnya.pada keadaan hiperinsulinemia pada pra diabetes terjadi peningkatan reabsorpsi yang akan menyebabkan hiperurisemia. transporter urat yang berada di membran apikal tubuli renal dikenal sebagai urat-1 berperan dalam reabsorpsi urat (nasrul, soffitri, 2012). faktor resiko prediabetes/diabetes di masyarakat pesisir adalah riwayat asam urat, kolesterol dan penyakit pembuluh darah. subjek yang ada di pesisir mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar lemak dan purin tinggi, jarang mengkonsumsi sayur dan buah. keadaan tersebut dipengaruhi keadaan geografis yang merupakan wilayah gili/pulau kecil yang dikelilingi lautan, dimana ikan dan jenis makanan laut menjadi konsumsi sehari-hari. keadaan alam yang bukan lahan pertanian atau perkebunan sehingga untuk mengkonsusmsi sumber nabati harus mendatangkan dari kota probolinngo. prediabetes berpotensi hampir dua kali lebih tinggi mengalami risiko penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan mereka yang tanpa igt atau ifg.pada wanita dengan prediabetes yang berkembang menjadi 380 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 371–381 diabetes memiliki risiko kejadian penyakit kardiovaskular 3 kali lebih sering dibandingkan dengan mereka yang menetap sebagai prediabetes. faktor resiko prediabetes/diabetes di masyarakat perkotaan adalah riwayat keturunan dan kolesterol. faktor herediter,gaya hidup dan faktor lingkungan merupakan faktor penyebab tingginya angka morbiditas dm dari waktuke waktu (kemenkes, 2013). subjek di wilayah perkotaan dari hasil wawancara sebagian besar mempunyai riwayat keturunan dari keluarga dan mempuyai kebiasaan makanan yang tinggi lemak seperti gorengan, santan dan makanan yang berlemak. surabaya merupakan kota kuliner dengan kemudahan untuk mencari makanan yang siap saji, makanan yang diawetkan banyak tersedia di mall, mart maupun di pasar-pasar tradisional. kesimpulan prevalensi prediabetes diperoleh dari hasil pemeriksaan gda di wilayah pegunungan sebesar 83,3%, pesisir 43,4%, perkotaan 73,4%. karakteristik prediabetes di di wilayah pegunungan adalah jenis kelamin perempuan, usia 40–54 tahun, hipertensi, dan obesitas. di wilayah pesisir adalah jenis kelamin perempuan, usia 40–54 tahun, hipertensi. di wila ya h per kota a n a da la h jenis kela min perempuan, usia 40–54 tahun, obesitas, dan tidak aktif beraktifitas. faktor resiko di wilayah pegunungan adalah asam urat dan kolesterol (p <0,05), di wilayah pesisir adalah asam urat, kolesterol dan penyakit pembuluh darah lainnya (p <0,05), sedangkan di wilayah perkotaan adalah riwayat keturunan dan kolesterol (p <0,05).dengan melihat hubungan faktor risiko antarwilayah pegunungan, wilayah pesisir dan perkotaan, tidak ada faktor risiko yang sama dijumpai untuk ketiga kelompok prediabetes di tiga wilayah. dengan demikian, setiap kategori prediabetes memiliki faktor risiko yang hampir unik. saran keadaan ini memerlukan intervensi yang tepat, misalnya skrining pemeriksaan gula darah rutin yang dimulai pada kelompok usia 40 tahun hingga kelompok usia 65 tahun ke atas untuk mencegah timbulnya prediabetes maupun diabetes mengingat penyakit metabolik tersebut sudah menjadi beban berat baik bagi penderita, orang-orang sekitar maupun sistem kesehatan negara secara tidak langsung sehingga perlu dilakukan strategi pencegahan baik terhadap prediabetes maupun progresivitas prediabetes menjadi diabetes. daftar pustaka american diabetes association.(2014). standards of medical care in diabetes.diabetes care. 37(suppl. 1): s14-s80. ha l a ma n s16. h t tps: / / ca r e. diabetesjournals.org/ adam j, sanusi h. (2010). faktor risiko kardiovaskular pada subyek dengan pre diabetes: kajian indeks massa tubuh, trigliserida, kolesterol hdl, crp dan adiponektin. adam f, medicinus. vol. 22 no. 4.1425. beaudoin m-s, allen b, mazzetti g, sullivan pj, graham te. (2013). caffeine ingestion impairs insulin sensitivity in a dose-dependent manner in both men and women. appl physiol nutr metab. 38:140-7 doi:10.1139/apnm-2012-0201 bock g, c, m, et al.(2012). pathogenesis of pre-diabetes: m ech a n ism s of fa st in g a nd post pr a n di a l hyperglycemia in people with impaired fasting glucose and/or impaired glucose tolerance. diabetes care 55:3536–3549. https://care.diabetesjournals. org/ balagopal p, n, tg, et al.(2008). a community-based diabetes prevention and management education program in a rural village in india. diabetes care. 31:1097-106.https://care.diabetesjournals.org/ ding m, bhupathiraju sn, chen m, van dam rm, hu fb.(2014). caffeinated and decaffeinated coffee consumption and risk of type 2 diabetes: a systematic review and a dose-response metaanalysis. diabetes care. 37:569-86. . https:// care.diabetesjournals.org/ dwipayana mp, k, i, w, et al.(2011). prevalensi sindroma metabolik pada populasi penduduk bali, indonesia. jurnal penyakit dalam. 12(1):1–5. esc and easc guidelines.(2007). guidelines on diabetes, prediabetes, and cardiovascular diseases.eur heart j. 9 (supplement c), c3–c74.doi:10.1093/eurheartj/ ehl260 garber aj, y, d, da, et al.(2008). diagnosis and management of prediabetes in the continuum of hyperglycemia—when do the risks of diabetes begin? a consensus statement from the american college of endocrinology and the american association of clinical endocrinologists. endocr pract. 14(7):933-46. heymsfield sb, kr, j, et al.(2000). effects of weight loss with orlistat on glucose tolerance and progression to type 2 diabetes in obese adults. arch intern med. 160:1321-1326 handayani.,( 2012). modifikasi gaya hidup dan intervebsi farmakologis dini untuk pencegahan 381noventi, rusdianingseh, khafid, prevalensi, karakteristik dan faktor resiko prediabetes ... penyakit diabetes mellitus tipe 2. dinas kesehatan provinsi nusa tenggara barat kemenkes, ri.( 2014). infodatin diabetes. jakarta: pusat data dan informasi kemenkes ri. tersedia di: http:/ /www.depkes.go.id/download. kalyani rr, egan jm.(2013). diabetes and altered glucose metabolism with aging. endocrinolmetab clin north am. 42(2):333–47. kementrian kesehatan 2014b.pedoman gizi seimbang. jakarta (id) : kementerian kesehatan republik indonesia lastra g, s, l,et.al.(2014). type 2 diabetes mellitus and hypertension: an update. endocrinol metab clin north am. 43(1): 103–122. mirarefin m, f, f, mr, et al (2014). waist circumference and insulin resistance in elderly men: an analysis of kahrizak elderly study. journal of diabetes & metabolic disorders. 13 (28) : 1-7. nasrul, soffitri. (2012). hiperurisemia pada pra diabetes. jurnal kesehatan andalas. 1(2) o connor a, wellenius g. (2012). rural urban disparities in the prevalence of diabetes and coronary heart disease.public health.126 : 813-820. doi:10.1016/ j.puhe..05.029. ranasinghe p, mathangasinghe y, jayawardena r, hills ap, misra a.(2017). prevalence and trends of metabolic syndrome among adults in the asiapacific region: a systematic review. bmc publichealth. 17(1):101. sobngwi e, jcn, nc, ap. (2002).physical activity and its relationship with obesity, hypertension and diabetes in urban and rural cameroon.international journal of obesity. 26: 1009 – 1016. doi:10.1038/sj.ijo.0802008 syeed ma, mahtab hm, khanam pa, et al. (2003). diabetes and impaired fasting glycemia in a rural population of bangladesh.diabetes care. 26:10349. .https://care.diabetesjournals.org/ soewondo, pramono. (2011). prevalence, characteristics, and predictors of pre-diabetes in indonesia. department of internal medicine, faculty of medi cin e, un i ver sit a s in don esia , ja ka rt a , indonesia.med j indones. 20(4):283-94 tabák, a. g., c. (2012). prediabetes: a high-risk state for diabetes development. the lancet,379(9833), 2279– 2290. unno m, furusyo n, mukae h, koga t, eiraku k, hayashi j.( 2012). the utility of viseral fat level by bioelectrical impedance analysis in the screening of metabolic syndrome.j athreroscler thromb.19 : 462 – 470. whiting dr, guariguata l, weil c, shaw j. (2011). idf diabetes atlas: global. estimates of the prevalence of diabetes for 2011 and 2030. diabetes research and clinical practice. 94 :311–321. doi:10.1016/ j.diabres10.029. yunir em, waspadji s, rahajeng e.(2009).the prediabetic epidemiological study in depok, west java. acta med indones-indones j intern med. vol 41 no 4. 181-5 e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 95fata, hubungan ansietas dan depresi ... 95 hubungan ansietas dan depresi dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi (the correlation of anxiety and depression with fatigue in cancer patient undergoing chemotherapy) ulfa husnul fata stikes patria husada blitar e-mail: ulfaners@gmail.com abstract: fatigue is a symtoms that often arise in cancer patients undergoing chemotherapy. the purpose of this study was to determine the correlation between anxiety and depression with fatigue in cancer patients undergoing chemotherapy. method: research design was analytic with cross sectional approach. research sample was 95 cancer patients undergoing chemotherapy in dharmais cancer hospital jakarta on november 7th to 28th, 2013, its choosed with consecutive sampling. analysis using the wilcoxon signed rank test with significance p = 0,05. result: the result showed that association between anxiety and fatigue with  = 0,005 and correlation coefficient 0,286, and association between depression and fatigue with  = 0,034 with correlation coefficient 0,218. discussion: anxiety and depression associated with fatigue in cancer patient undergoing chemotherapy, therefore, shoukd be taken to cope with anxiety and depression to prevent or decrease the incidence of fatigue in cancer patients undergoing chemotherapy. key words: anxiety, depression, cancer, chemotherapy, fatigue abstrak: fatigue merupakan gejala yang sering muncul pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. tujuan dari penelitian ini ada untuk mengetahui hubungan ansietas dan deperasi dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan cross sectional. jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 95 pasien kanker yang menjalani kemoterapi pada bulan desember tahun 2013 di rumah sakit pusat kanker jakarta dengan menggunakan teknik consecutive sampling. analisis data yang digunakan adalah spearman rank dengan p value  0,05. hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara ansietas dengan fatigue dengan p value 0,005 dengan koefisien korelasi 0,286, dan terdapat hubungan antara depresi dengan fatigue dengan p value 0,034 dengan koefisien korelasi 0,218. diskusi: ansietas dan depresi berhubungan dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, oleh karena itu perlu dilakukan tindakan untuk mengatasi ansietas dan depresi sebagai upaya dalam pencegahan dan penurunan kejadian fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. kata kunci: ansietas, depresi, kanker, kemoterapi, fatigue kanker merupakan hasil proses perkembangan yang berbentuk penyimpangan proses kehidupan sel atau telah mengalami transformasi sel. sel yang mengalami penyimpangan tersebut tidak mengalami hambatan dalam proses pembelahannya, bahkan pembelahan sel tersebut melampaui kewajaran dan tidak terkendali. jaringan kanker tidak dapat memperlihatkan sifat sel jaringan normal (subowo, 2010). kasus kanker di indonesia merupakan salah satu permasalahan yang serius karena tingkat kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. menurut data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2007, prevalensi tumor di indonesia mencapai 4,3 per 1000 penduduk (depkes-ri, 2010). data who menunjukkan 70% dari total kematian akibat penyakit kanker terjadi di negara dengan penghasilan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p095-102 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 96 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 95–102 perkapita menengah ke bawah termasuk indonesia (iscc, 2012). metode terapi pada pasien kanker sangat bervariasi, tergantung pada jenis kanker, luas penyakit, faktor penyulit lainnya (seperti penyakit jantung), status klinis, dan keinginan pengobatan dari pasien (black & hawks, 2009). terapi yang digunakan pada pasien kanker diantaranya, pembedahan, radioterapi, kemoterapi, terapi hormon, dan terapi paliatif (sahoo, mishra, & tripathi, 2011). selama menjalani terapi, pasien setiap hari dilakukan observasi terhadap respon kanker dan juga respon pasien. yurtsever (2007), meneliti seratus pasien yang menjalani kemoterapi di unit rawat jalan menemukan bahwa, gejala paling umum yang dialami pasien dengan kemoterapi adalah mual dan muntah (72%), kehilangan nafsu makan (60%), insomnia (69%), nyeri (46%), gangguan pencernaan (39%), dan stomatitis (30%). mayoritas pasien (86%) mengalami kelelahan, yang terbagi dalam kelelahan ringan 14%, sedang 41%, dan berat 31%. sekitar 73% dari pasien yang mengalami kelelahan di atas menyatakan bahwa, dalam mengatasi kelelahan tersebut, pasien cenderung mengurangi kegiatan dan lebih banyak beristirahat. kelelahan atau yang dikenal dengan istilah fatigue merupakan gejala yang paling umum yang terjadi pada pasien kanker. ketika gejala fatigue terjadi secara terus-menerus, maka akan menghambat kemampuan pasien untuk berpartisipasi secara penuh dan mengganggu peran serta aktivitas yang membuat hidup lebih bermakna. kelelahan terkait kanker atau cancer related fatigue (crf) didefinisikan oleh national comprehensive cancer network (nccn) sebagai rasa menyedihkan yang menetap, rasa kelelahan fisik secara subjektif, kelelahan emosional dan atau kognitif yang dapat dihubungkan dengan kanker maupun pengobatan kanker dan dapat mengganggu aktivitas atau fungsi seperti biasa (hilarius, et al., 2011). cancer related fatigue (crf) juga didefinisikan sebagai perasaan kelelahan yang luar biasa terkait dengan tingginya tingkat tekanan atau distress, ketidakseimbangan terhadap aktivitas pasien, dan tidak hilang dengan tidur atau istirahat (weis, 2011). etiologi crf dapat disebabkan oleh banyak faktor dan pengobatannya juga bervariasi, termasuk intervensi medis, perilaku, dan psikologis. faktor yang berkontribusi terhadap fatigue pada pasien kanker dan berpotensi dilakukan pengobatan diantaranya nyeri, gangguan emosi, gangguan tidur, nutrisi, aktivitas, dan anemia (hilarius, et al., 2011). fatigue menimbulkan gejala yang kompleks baik secara subjektif maupun objektif. oleh karena itu mendefinisikan dan menilai fatigue merupakan hal yang sulit difahami karena gejala fatigue itu sendiri hampir mirip dengan gejala yang lain seperti anemia dan depresi (narayanan & koshy, 2009). pengobatan kanker memiliki beberapa efek samping termasuk efek samping secara fisik dan psikologis. ansietas merupakan salah satu masalah psikologis yang muncul pada pasien karena kanker maupun pengobatan kanker. ansietas merupakan respon normal terhadap rangsangan yang tidak menyenangkan, dan dapat meningkatkan respon adaptif bagi pasien. ansietas merupakan salah satu tantangan psikologis yang paling dominan terkait dengan kanker. ansietas telah terbukti memiliki dampak fisiologis, berpengaruh terhadap sistem neuroendokrin dan kekebalan tubuh. ansietas juga dikaitkan dengan peningkatan fatigue, dan berkorelasi negatif dengan hasil pengobatan. ansietas juga memiliki efek negatif terhadap quality of life (qol), berpengaruh secara fisik, medis dan seksual yang semuanya merupakan indikator dari qol. selain itu, ansietas dapat menyebabkan gangguan ansietas klinis secara signifikan seperti post traumatic stress disorder (ptsd) dan terjadi depresi jika tidak segera ditangani (ching, devi, & emily, 2010). banyak pasien yang didiagnosis kanker bereaksi dengan ansietas dan depresi. banyak penelitian menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara perubahan sistem kekebalan tubuh dan depresi. seperti pada kanker payudara, perubahan fungsi, penurunan progresifitas natural killer cell (nk-cell) telah terlihat beberapa bulan sebelum terjadinya metastasis, dan kejadian metastasis pada kanker payudara akan semakin menurunkan aktivitas nk-cell (lindemalm, et al., 2008). hasil penelitian dengan delapan puluh pasien yang terdaftar dalam subjek penelitian yang terdiri dari 40 pria dan 40 wanita dengan rerata usia 60,8 tahun (kisaran 28 sampai 78 tahun). sebanyak 38% sampel mendapat pengobatan adjuvant, sedangkan 62% menjalani kemoterapi untuk kanker stadium lanjut. hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 37% responden mengalami ansietas, sedangkan 30% mengalami depresi. secara keseluruhan, 63,4% responden mengalami fatigue tingkat sedang sampai berat. hal tersebut menunjukkan bahwa variabel psikologis merupakan salah satu yang berkorelasi kuat dengan kejadian fatigue (romito, et al., 2008). 97fata, hubungan ansietas dan depresi ... meskipun etiologi crf kurang difahami, namun secara konsisten telah ditemukan memiliki hubungan yang kuat dengan depresi (brown & kroenke, 2009; brown, et al., 2012). depresi dan fatigue merupakan dua kesatuan yang berbeda dalam penyakit kanker. akan tetapi, penyebab tersering yang dicurigai terkait dengan pengobatan kanker, peningkatan kadar sitokin pro inflamatori yang terjadi juga sebagai akibat dari pengobatan kanker, dan efek dari beberapa jenis kanker itu sendiri (bower, 2007; fann, et al., 2008; jacobsen, et al., 2003; brown, et al., 2012). fatigue memiliki prevalensi yang tinggi, dan berlangsung lebih lama pada pasien kanker. banyak kasus fatigue ditemukan yang berhubungan dengan modalitas pengobatan seperti kemoterapi dan radioterapi pada beberapa kasus. manifestasi sistemik pada penyakit kanker juga menyebabkan tubuh melakukan lebih banyak perbaikan sel, serta gangguan psikologis yang dapat menyebabkan fatigue (narayanan & koshy, 2009). prevalensi fatigue pada pasien kanker berkisar 59% sampai 100% tergantung pada status klinis kanker. cancer related fatigue terbukti sebagai efek jangka pendek terapi kanker adjuvant atau efek jangka panjang dari kanker kronis. dibandingkan dengan gejala lain, seperti nyeri atau mual, crf dirasa lebih menyusahkan, sering bertahan lama serta berdampak kuat terhadap kualitas hidup sehari-hari (weis, 2011). meskipun beberapa bukti tentang fatigue berdampak pada kualitas kesehatan dan kualitas hidup pasien, akan tetapi gejala tersebut kurang mendapat perhatian sehingga kurang didiagnosis atau kurang mendapat terapi yang sesuai. sebagai contoh, dalam survei pada 419 pasien kanker, 78% melaporkan mengalami fatigue, tetapi hanya 50% yang bekonsultasi dengan ahli onkologi, dan hanya 27% menerima konseling dan pengobatan. studi lain menyebutkan, hanya 14% dari pasien yang melaporkan fatigue sedang sampai berat yang menerima pengobatan atau konseling (hilarius et al., 2011). kurang dari 50% pasien kanker mendiskusikan pilihan pengobatan dari gejala fatigue dengan ahli onkologi mereka, dan hanya 27% mendapat rekomendasi untuk pengobatan tertentu (narayanan & koshy, 2009). berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh penulis pada bulan desember 2012 dengan melakukan wawancara dan observasi informal terhadap 10 pasien kanker stadium lanjut setelah menjalani kemoterapi berserta keluarga di ruang teratai ii rumah sakit kanker dharmais, didapatkan hasil bahwa sebagian besar pasien mengalami fatigue. akan tetapi, pasien sulit untuk menjelaskan fatigue tersebut. pasien mengatakan merasa tidak berdaya, nyeri, susah tidur, cemas, merasa tertekan, mual dan muntah, malas melakukan aktifitas, perasaan tidak enak, dan semuanya berlangsung dalam rentang waktu yang relatif lama. berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti ”hubungan ansietas dan depresi dengan fatigue pa da pasien ka nker yang menja la ni kemoterapi”. tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan ansietas dan depresi dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. sedangkan tujuan khususnya adalah: 1) mengidentifikasi ansietas pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, 2) mengidentifikasi depresi pada pasien yang menjalani kemoterapi, 3) mengidentifikasi fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, 4) menganalisis hubungan ansietas dan depresi dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. manfaat penelitian ini secara teoritis dapat digunakan dalam meningkatkan pemahaman tentang hubungan ansietas dan depresi dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, sehingga dapat digunakan sebagai wacana dalam mengambangkan keilmuan keperawatan khususnya yang berhubungan dengan penatalaksanaan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. sedangkan manfaat praktis penelitian ini diantaranya: 1) sebagai panduan bagi perawat dalam melakukan pengkajian dan mengidentifikasi ansietas dan depresi yang dapat menyebabkan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, 2) sebagai referensi dalam pengembangan keilmuan keperawatan medikal bedah, khususnya dalam manajemen asuhan keperawatan pada kasus onkologi yang berfokus pada fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan materi dan metode pembelajaran terkait kanker dan kemoterapi yang berhubungan dengan fatigue, dan menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya. bahan dan metode desain dalam penelitian ini adalah cross sectional (potong lintang). peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu. sampel dalam penelitian ini sebanyak 95 pasien 98 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 95–102 kanker yang menjalani pengobatan kemoterapi baik di ruang rawat inap maupun rawat singkat rumah sakit kanker dharmais jakarta pada bulan desember tahun 2013. variabel bebas dalam penelitian ini adalah ansietas dan depresi. sedangkan variabel terikat adalah fatigue. alat pengumpul data pada penelitian ini adalah kuesioner the hospitals anxiety and depression scale (hads) untuk menggali data tingkat ansietas, depresi, dan instrumen revised schwartz cancer fatigue scale untuk mengukur fatigue pada semua responden. pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 7 sampai 28 november 2013. analisis data menggunakan spreaman’s rho dengan p  0,05. hasil penelitian berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa prosentase responden dengan tingkat ansietas abnormal yang mengalami fatiuge berat sebesar 1% (1 responden), sedangkan responden yang tidak mengalami ansietas dan mengalami fatigue ringan sebesar 26,3 (25 responden). hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi spearman rho didapatkan p value 0,005 yang berarti ada hubungan antara ansietas dengan fatigue. sedangkan nilai koefisien korelasi rs = 0,286 yang artinya derajat hubungan lemah. sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin rendah tingkat ansietas responden, maka derajat fatigue pada responden tersebut juga semakin ringan. tabel 1. distribusi responden berdasarkan fatigue varia bel frekuensi % fatigue fatigue ringan fatigue sedang fatigue berat 49 42 4 51,6 44,2 4,2 tabel 2. distribusi responden berdasarkan ansietas varia bel frekuensi % ansietas n ormal borderline ab no rmal 38 36 21 40,0 37,9 22,1 tabel 3. distribusi responden berdasarkan depresi varia bel frekuensi % depresi n ormal borderline ab no rmal 55 24 16 57,9 25,3 16,8 tabel 4. hubungan ansietas dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di rumah sakit kanker dharmais jakarta bulan spearman rho: p value: 0,005,rs 0,286 no fatigue ansietas total % norma l % borderline % abnormal % 1 fatigue ringan 25 26,3 18 18,9 6 6,4 49 51,6 2 fatigue sedang 13 13,7 15 15,8 14 14,8 42 44,2 3 fatigue berat 0 0 3 3,1 1 1 4 4,2 total 38 40 36 37,8 21 22,2 95 100 99fata, hubungan ansietas dan depresi ... tabel 5 menunjukkan bahwa prosentase responden dengan tingkat depresi abnormal yang mengalami fatiuge berat sebesar 2,1% (2 responden), sedangkan responden yang tidak mengalami depresi dan mengalami fatigue ringan sebesar 35,9% (34 responden). hasil uji statistik dengan menggunakan uji korelasi spearman rho didapatkan p value 0,034 yang berarti ada hubungan antara depresi dengan fatigue. sedangkan nilai koefisien korelasi rs = 0,218 yang artinya derajat hubungan lemah. sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin rendah tingkat depresi, maka derajat fatigue pada responden tersebut juga semakin ringan. pembahasan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden mengalami fatigue ringan yaitu sebesar 51,6% (49 responden). prevalensi fatigue dalam tatanan perawatan paliatif adalah sekitar 48% sampai78%. pasien yang menderita kanker dalam waktu yang lama (17% sampai 56%) mengalami fatigue yang berlangsung selama berbulanbulan setelah penghentian pengobatan yang diukur dalam kualitas hidup pasien. fatigue sering disebabkan karena anemia, efek samping dari kemoterapi yang menyebabkan pasien mual dan muntah yang berlebihan, nyeri dan depresi. gejala fatigue termasuk lemah atau lelah, mengalami kesulitan menaiki tangga, berjalan jarak pendek dan melakukan tugas sederhana sehari-hari. (narayanan & koshy, 2009). teori lain menyebutkan bahwa efek sistemik dari pengobatan kanker yang menyebabkan akumulasi metabolit sebagai akibat dari kerusakan jaringan normal dapat menimbulkan fatigue. berbagai macam masalah fisiologis pada kanker stadium lanjut juga dapat menyebabkan fatigue. di samping itu, faktor psikososial yang terkait dengan fatigue juga banyak ditemukan. hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara manifestasi fisiologis dan psikologis sebagai gejala yang kompleks yang menyebabkan fatigue. anderson and hacker (2008), menyebutkan bahwa beberapa faktor yang menyebabkan fatigue pada pasien kanker diantaranya adalah pembedahan, siklus kemoterapi, gangguan tidur, nyeri, anemia, gangguan sistem pencernaan, dan distress emosional. ansietas pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa hampir setengah dari responden mengalami borderline ansietas yaitu sekitar 37,9% (36 responden). pengobatan kanker memiliki beberapa efek samping termasuk efek samping secara fisik dan psikologis. ansietas merupakan salah satu masalah psikologis yang muncul pada pasien karena kanker maupun pengobatan kanker. ansietas merupakan respon normal terhadap rangsangan yang tidak menyenangkan, dan dapat meningkatkan respon adaptif bagi pasien. ansietas merupakan salah satu tantangan psikologis yang paling dominan terkait dengan kanker. ansietas telah terbukti memiliki dampak fisiologis, berpengaruh terhadap sistem neuroendokrin dan kekebalan tubuh. ansietas juga dikaitkan dengan peningkatan fatigue, dan berkorelasi negatif dengan hasil pengobatan. ansietas juga memiliki efek negatif terhadap quality of life (qol), berpengaruh secara fisik, medis dan seksual yang semuanya merupakan indikator dari qol. selain itu, ansietas dapat menyebabkan gangguan ansietas klinis secara signifikan seperti post traumatic stress disorder (ptsd) dan terjadi depresi jika tidak segera ditangani (ching, devi, & emily, 2010). banyak pasien yang didiagnosis kanker bereaksi dengan ansietas dan depresi. banyak penelitian menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara perubahan sistem kekebalan tubuh dan depresi. seperti pada kanker payudara, perubahan fungsi, penurunan progresifitas natural killer cell (nk-cell) telah terlihat beberapa bulan sebelum terjadinya metastasis, dan no fatigue depresi total % norma l % borderline % a bnormal % 1 fatigue ringan 34 35,9 7 7,3 8 8,4 49 51,6 2 fatigue sedang 20 21 16 16,8 6 6,4 42 44,2 3 fatigue berat 1 1 1 1,1 2 2,1 4 4,2 total 55 57,9 24 25,2 16 16,9 95 100 spearman rho: p value: 0,034,rs 0,218 tabel 5. hubungan depresi dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di rumah sakit kanker dharmais jakarta bulan desember 100 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 95–102 kejadian metastasis pada kanker payudara akan semakin menurunkan aktivitas nk-cell (lindemalm, et al., 2008). pasien kanker yang mengalami fatigue yang parah dan terus-menerus terjadi gangguan pada kehidupan sehari-hari. fatigue sendiri merupakan sindrom multidimensi yang melibatkan aspek fisik dan psikologis, yang saling terkait dan saling mempengaruhi.fatigue juga terjadi dan mempunyai prevalensi yang tinggi pada pasien kanker yang menjalani terapi. depresi dan ansietas dapat ditandai dengan kelelahan, akan tetapi juga terbukti bahwa tingginya tingkat kelelahan dapat menyebabkan tekanan emosional ketika hal tersebut dirasa mengganggu peran dan kegiatan sehari-hari (romito, et al., 2008). depresi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi hasil penerlitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa hampir setengah dari responden mengalami borderline depresi yaitu sebesar 25,3% (24 responden). fatigue yang terjadi pada pasien dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup yang mempengaruhi aspek fisiologis, psikologis, dan perilaku (goldstein, et al., 2006; guess, 2011 ). beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi menjadi salah satu masalah yang paling penting yang dialami oleh pasien kanker. singer dan rekan (2010) meneliti depresi pada pasien onkologi dengan hospital anxiety and depression scale (hads). hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat keparahan depresi tidak berhubungan dengan stadium kanker, akan tetapi berhubungan dengan karakteristik sosiodemografis dan psikososial (guess, 2011). risiko terjadi depresi pada pasien kanker sangat bervariasi jika ditinjau dari segi pengobatannya (raison & miller, 2003; brown, 2011). sitokin tertentu yang terkait pengobatan kanker sering dikaitkan dengan depresi. beberapa bukti juga menunjukkan bahwa operasi onkologi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi pada pasien kanker. fatigue dan depresi mempunyai hubungan yang kuat dan merupakan gejala yang sama pentingnya dalam perawatan pasien kanker. kedua kondisi tersebut lebih sering terjadi pada pasien kanker dibandingkan dengan populasi umum(brown, 2011). meskipun etiologi crf kurang difahami, namun secara konsisten telah ditemukan memiliki hubungan yang kuat dengan depresi (brown & kroenke, 2009; brown, et al., 2012). depresi dan fatigue merupakan dua kesatuan yang berbeda dalam penyakit kanker. akan tetapi, penyebab tersering yang dicurigai terkait dengan pengobatan kanker, peningkatan kadar sitokin pro inflamatori yang terjadi juga sebagai akibat dari pengobatan kanker, dan efek dari beberapa jenis kanker itu sendiri (bower, 2007; fann, et al., 2008; jacobsen, et al., 2003;brown, et al., 2012). penyakit kanker menyebabkan berbagai masalah termasuk kecacatan fisik, beban keluarga, gangguan seksual, masalah harga diri dan tekanan psikologis. pasien kanker mengalami peningkatan yang signifikan terhadap kecemasan, emosi, sensitivitas, ketidaknyamanan, depresi, dan ketegangan jika dibandingkan dengan orang normal (ahmed & ahmed, 1999; mona & singh, 2012). hipothalamic-pituitay-adrenal (hpa) aksis mengontrol pelepasan kortisol sebagai respon terhadap stress fisik dan psikososial. secara khusus, corticotroin releasing hormone (crh) dikeluarkan oleh nukleus paraventrikuler dari hipotalamus dan bersama vasopressin melepaskan kortisol dari korteks adrenal. sumbu hpa juga mempengaruhi perkembangan sel sistem imun dan produksi sitokin. pada orang sehat, ada pola sekresi kortisol pada level puncak dan mengalami penurunan sepanjang hari. seperti pada penderita kanker payudara, hasil penelitian menunjukkan pada fatigue yang terusmenerus (dibandingkan tanpa fatigue) terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan tanpa kelelahan pada malam hari. hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan hpa aksis dapat dipengaruhi oleh fatigue (barsevick et al., 2010). disfungsi hpa axis dijelaskan pada pasien dengan crf dan cronic fatigue syndrome (cfs). kedua proses tersebut menyebabkan terjadinya penurunan output steroid, rendahnya kadar gonadotropin dan androgen, dan mengurangi fungsi hpa. peningkatan sitokin inflamatori (yang dirangsang oleh interferon- dan il-2) mempengaruhi fungsi hpa, yang mengarah pada output kortisol (tazi & errihani, 2011). kanker dan pengobatan kanker baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan perubahan fungsi hpa dan akhirnya dapat menyebabkan perubahan endokrin yang berkontribusi terhadap fatigue. perubahan fungsi hpa axis dapat disebabkan oleh berbagai faktor pada pasien kanker. misalnya, sitokin proinflamatori (il1, il-6, t nf-a) dan beberapa komorbiditas (gangguan tidur). pengobatan kanker tertentu (glukokortikoid, radioterapi, dan beberapa regimen kemoterapi) juga dapat menyebabkan penekanan 101fata, hubungan ansietas dan depresi ... langsung pada hpa axis. kortisol memiliki efek pada produksi sitokin. berkurangnya konsentrasi kortisol menyebabkan terjadinya peningkatan kadar sitokin dan berkontribusi terhadap fatigue (wang, 2008). hubungan ansietas dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi analisis hubungan antara ansietas dengan tingkat fatigue didapatkan responden yang mengalami borderline ansietas dan mengalami fatigue sedang sejumlah 15,8% (15 responden) dengan p value 0,005 dengan nilai derajat hubungan 0,286 yang berarti terdapat hubungan dengan tingkat hubungan lemah antara ansietas dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan romito, et al., 2008 yang menyebutkan bahwa faktor psikologis merupakan salah satu yang berkorelasi kuat dengan kejadian fatigue hasil yang sejalan juga diperlihatkan dari penelitian yang dilakukan oleh yennurajalingam, et al., (2008) tentang hubungan antara crf dan gejala lain terkait kanker pada pasien stadium lanjut. hasil yang didapatkan khususnya untuk ansietas adalah terdapat hubungan yang bermakna dengan kekuatan hubungan lemah antara ansietas dengan fatigue (yennurajalingam, et al., 2008). hasil penelitian yennurajalingam, et al., (2008) juga sejalan dengan penelitian romito, et al., (2008) yang meneliti tentang crf dalam kaitannya dengan kadar hemoglobin, ansietas, dan depresi. hasil penelitian in didapatkan bahwa khususnya untuk ansietas terdapat hubungan yang bermakna antara ansietas dengan fatigue (romito, et al., 2008). hasil analisis peneliti menyimpulkan bahwa secara umum berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan bahwa ansietas mempunyai hubungan yang bermakna dengan fatigue pada pasien kanker. ansietas merupakan masalah psikologis yang munculpadapasienyang disebabkan oleh kanker maupun pengobatan kanker. ansietas merupakan respon normal terhadaprangsangan yang tidak menyenangkan, dandapat berpengaruh terhadap neuroendokrin pada seseorang yang dapat berdampak pada fatigue.masalah lain yang sering menyertai pasien kanker adalah pengobatan yang sangat mahal dan berlangsung lama, hal inilah yang menyebabkan beban tambahan dari pasien disamping beban dari penyakit itu sendiri. oleh karena itu, support system pada pasien kanker dalam menjalani pengobatan yang panjang sangat penting untuk mengurangi beban pasien. hubungan depresi dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi analisis hubungan antara depresi dengan tingkat fatigue didapatkan responden yang mengalami borderline depresi dan mengalami fatigue sedang sejumlah 16,8% (16 responden) dengan p value 0,034 dengan nilai derajat hubungan 0,218 yang berarti terdapat hubungan dengan tingkat hubungan lemah antara ansietas dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. hasil tersebut sejalan penelitian yang dilakukan oleh yennurajalingam, et al., tentang hubungan antara crf dan gejala lain terkait kanker pada pasien stadium lanjut (n= 268). hasil yang didapatkan khususnya untuk depresi adalah terdapat hubungan yang bermakna dengan kekuatan hubungan sangat lemah antara depresi dengan fatigue (yennurajalingam, et al., 2008). hasil penelitian yennurajalingam, et al. (2008) juga sejalan dengan penelitian romito, et al. (2008) yang meneliti tentang crf dalam hubungannya dengan kadar hemoglobin, kecemasan, dan depresi. hasil penelitian ini didapatkan bahwa khususnya untuk depresi terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dengan fatigue (romito, et al., 2008). hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara depresi pada setiap penelitian kecuali satu yang tidak terdapat hubungan yang signifikan, dan beberapa diantaranya menunjukkan hubungan yang kuat. rentang kekuatan hubungan yang sangat lemah sampai sangat kuat. rata-rata kekuatan hubungan antara depresi dan fatigue dihitung berdasarkan ukuran sampel didapatkan hubungan sedang (borwon & kroenke, 2009). hasil analisis peneliti berdasarkan penelitian di atas adalah sebagian besar responden 16,8 dengan borderline depresi mengalami fatigue sedang. besarnya tekanan psikologis akibat penyakit kanker maupun pengobatan kanker dapat menyebabkan emosi pasien menjadi tidak stabil dan cenderung mengarah pada kondisi stres. mekanisme ini yang memicu perubahan homoeostasis dalam tubuh khususnya beberapa hormon yang diproduksi sebagai efek dari stress yang dialami pasien yang dapat memicu terjadinya ataupun memperparah kondisi fatigue pada pasien. 102 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 95–102 simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini adalah responden yang mengalami fatigue ringan dan tidak mengalami ansietas sebesar 26,3% (25 responden), sedangkan responden yang mengalami fatigue berat dan mengalami abnormal ansietas sebesar 1% (1 responden). analisis hubungan antara ansietas dengan tingkat fatigue didapatkan p value 0,005 dengan nilai derajat hubungan 0,286 yang berarti terdapat hubungan dengan tingkat hubungan lemah antara ansietas dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. responden yang mengalami fatigue ringandan tidak mengalami depresi sebanyak 35,9% (34 responden), sedangkan yang mengalami fatigue berat dan mengalami abnormal depresi sebanyak 2,1% (2 responden). analisis hubungan antara depresi dengan tingkat fatigue didapatkan p value 0,034 dengan nilai derajat hubungan 0,218 yang berarti terdapat hubungan dengan tingkat hubungan lemah antara ansietas dengan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. saran peningkatan kemampuan dalam mengidentifikasi dan mengeskplorasi berkaitan dengan fatigue dan faktor yang dapat menyebabkan fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. diperlukannya tindakan keperawatan dalam upaya mencegah ataupun menurunkan derajat fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi seperti pengaturan pola aktivitas atau olah raga yang seimbang, pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur pasien dengan menciptakan suasana yang nyaman, mengurangi faktor-faktor yang dapat mengganggu kebutuhan istirahat tidur pasien selama menjalani perawatan. diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menggali faktor-faktor lain yang berkontribusi dalam kejadian fatigue pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi seperti aktifitas fisik, infeksi, stress, kualitas tidur, status nutrisi dan jenis kemoterapi. daftar rujukan black, j.m., & hawks, j.h. 2009. medical surgical nursing clinical management for positive outcomes (8 ed. vol. 1). st. louis, missouri saunders elsevier. iscc. 2012. rapat nasional iscc di ums. from http:// iscc-indonesia.org/ sahoo, j., mishra, s.k., & tripathi, d.k. 2011. diagnosis, prevention and treatment of dreadly cancer a review. international journal of pharmacology and biological sciences, 5(2), 65–74. subowo. 2010. imunologi klinik (edisi kedua ed.). jakarta: sagung seto. yurtsever, s. 2007. the experience of fatigue in turkish patients receiving chemotherapy. oncology nursing forum, 34(3), 721–728. e:\2021\ners agustus\6--jurnal 178 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 178–183 the effect of health promotion in improving the attitudes of health students in carrying out the health protocol to prevent covid-19 sarma eko natalia sinaga nursing department, akademi keperawatan yatna yuana lebak, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 08/04/2021 accepted, 12/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: consist attitudes, covid-19, health protocols article information abstract the covid-19 health protocol is a rule or provision made for everyone to be obeyed in order to be able to carry out activities safely during the covid-19 pandemic. the purpose of this research was to determine the effect of health promotion in improving the attitudes of health students in carrying out health protocols to prevent (covid-19).the type of research was pre-experimental with a one group pre test and test design, and was carried out in october december 2020 at akper yatna yuana lebak. the sample is all students akper yatna yuana lebak, totaling 166 people. the research instrument used was a questionnaire distributed via google form, and the analysis of this research was univariate to see the description of the distribution of respondents before and after the intervention, while the bivariate analysis used the pair t test. the frequency distribution of the attitude variable had an overall increase before and after the intervention, while the largest increase occurred in the variable avoiding contact with family and people at home before bathing or changing clothes after doing activities outside the house, which was 3.62%. in the statistical test, the p-valu was 0.017 which stated that there was a significant difference between the attitude before and after the intervention. after the health promotion regarding the prevention and control of covid-19 was given, it was hoped that health students will be able to practice health protocols such as wearing mask, washing hands with soap, carrying out etiquette coughing/sneezing, bathing and changing clothes after activities outside the house, keeping distance from other people, avoiding frequent touching eyes, mouth and nose, checking their health if they feel fever. these all are in order to make them and their family can stay protected from covid-19 and they can be the example for the surrounding community in implementing health protocols. © 2021 journal of ners and midwifery 178 correspondence address: akademi keperawatan yatna yuana lebak – banten, indonesia p-issn : 2355-052x email: ekosarma171@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p178–183 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p178-183 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p178-183&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 179sinaga, the effect of health promotion in improving the attitudes of health students in ... introduction coronavirus can cause disease in humans and animals. this virus causes respiratory tract disease in humans through respiratory infections, symptoms ranging from mild flu to serious illnesses such as middle east respiratory syndrome (mers) and severe acute respiratory syndrome (sars). spread among humans through droplets when coughing and sneezing (cdc, 2020). this virus can survive three hours in an aerosol, three days with plastic and stainless steel sars cov-2 (gorbalenya et al., 2020). on december 31, 2019 in wuhan city, china, who reported a case of pneumonia with unknown cause. the pneumonia case was identified on january 7, 2020, where the cause was the latest type of coronavirus (novel coronavirus). in early 2020 the ncp began to become a health problem in several countries outside the prc and became a global pandemic. according to who, a cluster of pneumonia cases in wuhan city whose causes are not clear is a global health problemthe number of this pandemic continues to grow and finally the cause is known, namely the novel coronavirus, news of deaths and new cases outside of china are also obtained. covid 19 has been designated as a public hea lth emer gency of inter na tiona l concer n (pheic) dated january 30, 2020) by who (patel et al., 2020). the spread and addition of covid-19 cases occurred rapidly outside of wuhan and other countries. on february 16, 2020, there were 51,857 confirmed cases of covid-19 and 1,669 cases of death (cfr 3.2%) in 25 countries (tim kerja kementrian dalam negeri, 2020). the first covid-19 case in indonesia was reported on march 2, 2020 and these cases continue to grow from day to day. on 9 july 2020 the covid19 cases increased from the previous day and the confirmed cases of covid-19 were 70,736 cases while the death cases were 3,417 cases (cfr 4.6%) (kementerian kesehatan ri, 2020). all countties affected by the covid-19 virus are experiencing difficult economic situations. the number of workplace and business closures decreased from 81% to 68 %. in america, employees lost 12.4% working hours while europe and central asia 11.8% (imf, 2020) the bad effects of covid-19 will continue as long as this case is still there. by carrying out health protocols in preventing and controlling covid-19, it can reduce the incidence of covid-19 cases. according to who, the health protocols that can prevent and control covid-19 are washing hands with soap, wearing masks, not touching your face, covering your mouth when coughing or sneezing, if you are sick you are expected to stay at home, maintain cleanliness and maintain a minimum distance from other meter (who, 2020). the increase of positive cases indicate that the transmission of the covid-19 virus is still occurring due to the fact that health protocols are still being violated. it takes a change in behavior and attitude in its application and everyone is expected to get used to to all of it (bnpb, 2020). according to allport (1935), attitudes have a driving force (motivation), have a tendency to think, perceive and act. attitude is a concept of the sociopsychological component, which has a tendency to act and perceive. and it is the readiness of the nervous system (neural setting) before giving a real response. one of the efforts made to change attitudes in implementing health protocols is through health promotion activities. health promotion is the planned change of living conditions/lifestyle through the environment and individual habits to improve health (hulu et al., 2020) the sample of the research is health students who will be at the forefront of providing health services, and must follow the current trend issues of health problems, the researcher found that they still have less supportive attitude in implementing health protocols such as lack of desire to use mask when leaving the house, forget to wash their hands with soap and many of them do not do physical distancing behavior. but by providing education about health protocols, it is possible to reduce covid-19 disease and support government programs to prevent the spread of covid-19, as well as provide understanding or education to the public based on data through the media (dr iposwa na putr a et a l., 2021; syadidurrahmah, muntahaya, islamiyah, fitriani, & nisa, 2020). based on the description above, the researcher felt education about the prevention and control of coronavirus disease (covid-19) in health students is needed. therefore, researcher is interested in knowing the influence of health promotion interventions in increasing attitudes to implementing health protocols to prevent covid-19. 180 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 178–183 method types of research this research type was a pre experimental with one group pre test and test design. the measurement design was carried out twice, the first measurement (pretest) was carried out before the treatment and the second measurement (post test) was carried out after the treatment was given or after the intervention. the health promotion intervention was carried out to all akper yatna yuana lebak students simultaneously by providing education on materials for the prevention and transmission of covid-19 using windows 365 (teams). continued on the same day, it was conducted a simulation by demonstrating how to wash hands with soap, remove masks and maintain distance. location and time of research the research was conducted in october december 2020 at akper yatna yuana lebak. population and sample the population of the research was all active students of akper yatna yuana lebak totaling 170 people. the sampling technique used total sampling. the respondents in this research were all students of akper yatna yuana lebak, totaling 166 people, who met the inclusion criteria; all akper yatna yuana lebak students who were still active, and willing to be research subjects and respondents. the exclusion criteria were students who were sick and unwilling to become research subjects and respondents. data collection the research instrument used a questionnaire made by the researcher and its validity and reliability had been tested. the questionnaires were distributed via google form before and after the intervention and filled in by the respondents themselves. processing and data analysis the type of analysis in this research is univariate to see the description of the distribution of respondents before and after the intervention, while the bivariate analysis uses a parametric statistical test the analysis was carried out to see the difference in the results of the initial measurement of the attitude variable before the intervention with the final measurement of the attitude variable after the intervention, namely by using the pair t test. attitude n mean mean enhancement % pre-test post-test 1. covering mouth with tissue or inside of the elbow when coughing or sneezing can prevent the spread of the corona virus. 166 3.69 3.79 2.71 2. if you have fever, cough and difficulty breathing, immediately take medication and have a health check. 166 3.77 3.83 1.59 3. to prevent the spread of the corona virus, you should avoid touching eyes, mouth and nose too often. 166 3.63 3.67 1.10 4. avoid contact with family and people at home before bathing or changing clothes after activities outside the house. 166 3.59 3.72 3.62 5. we recommend that you always leave the house using a mask. 166 3.81 3.90 2.36 6. we recommend that you limit the guests who come to visit the house. 166 3.51 3.58 1.99 7. wash your hands using soap or an alcohol-based hand wash before and after taking any action. 166 3.70 3.77 1.89 table 1. mean attitude variable in implementing health protocol 181sinaga, the effect of health promotion in improving the attitudes of health students in ... results univariate analysis from table 1 it can be seen that there has been increase in attitudes in all tables. the biggest increase occurred in the variable avoiding contact with family and people at home before bathing or changing clothes after doing activities outside the house, which was 3.62%. while the lowest increase in attitude variables was in the variable to prevent the spread of the corona virus, it was better to avoid touching eyes, mouth and nose too often to prevent variable n mean sd se paired difference p.value attitude before the intervention 166 25,7 2,4 0,18 -2,41 0,017 after intervention 166 26,3 2,1 0,17 table 2. differences in attitudes among health students before and after health protocol interventions corona transmission when using public transportation by 1.10%. bivariate analysis in table 2, from 166 respondents, it can be seen that the mean average attitude before intervention is 25.7 with standard deviation is 2.4 and standard error is 0.18. meanwhile, the mean avarage of attitude after being given intervention is 26.3 with standard deviation is 2.1 and standard error is 0.17. in the statistical test, the p-value is 0.017 which states that there is a significant difference between the attitudes before and after the intervention. discussion from this research there was increase in the attitudes of health students in carrying out health protocols to prevent covid-19 after being given health promotion interventions. research by peng et al., (2020) which stated that positive attitude in the prevention of covid-19 in chinese students were influenced by good knowledge about covid19. supported by the research of usman, budi, & nur adkhana sari (2020) which stated that the variable of good attitudes in health students in preventing covid-19 in indonesia is 206 (46.39%), and research in india stated that medical students had different attitude both in the prevention of covid19 roy, tripathy, kumar, & sharma, (2020), as well as research in pakistan which stated that the good attitude of students in preventing covid-19 (salman et al., 2020). allport (1935) stated that attitude is an individual closed response that involves the opinions and emotions of the individual (agree-disagree, happy-unhappy, good-bad), to certain stimuli or objects. attitudes are often obtained from those closest to you and from your own experiences. attitude causes a person to stay away or get closer to other objects or people. positive attitude in health values do not necessarily manifest themselves into concrete actions, this is influenced by the current situation, other people’s experiences, mount of the own person’s experience , the values in that person’s life that become his guide in carrying out social life. there has been increase in attitudes among health students before and after intervention, namely health promotion in carrying out health protocols to prevent covid-19 which is shown in the form of wearing mask every time you leave the house, covering mouth with tissue or inside of elbow when coughing or sneezing, washing hands using soap or alcohol-based hand washing, avoiding frequent touching eyes, mouth and nose, bathing and changing clothes after activities outside the, limiting guests who will visit the house, if someone fever, cough and difficulty breathing immediately take medication and health checks. this increase in the attitude of health students occurred not only because of the increase in knowledge about covid-19 prevention after intervention, but also because of the current situation where the increase in the number of covid19 sufferers continues to increase, and their sense of responsibility as health workers will encourage to show a good attitude in preventing covid-19. 182 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 178–183 conclusion the number of samples in this research was 166 respondents, where the respondents were all active health students. the frequency distribution of the attitude variable had an overall increase before and after the intervention, while the largest increase occurred in the variable avoiding contact with family and people at home before bathing or changing clothes after doing activities outside the house, which was 3.62%. while the lowest increase in attitude variables was in the variable to prevent the spread of the corona virus, it was better to avoid touching eyes, mouth and nose too often to prevent corona transmission when using public transportation was 1.10%. in the statistical test, the p-value was 0.017 which stated that there was significant difference between the attitudes before and after the intervention. suggestion after the health promotion regarding the prevention and control of covid-19 was given, it was hoped that health students will be able to practice health protocols such as wearing mask, washing hands with soap, carrying out etiquette coughing/ sneezing, bathing and changing clothes after activities outside the house, keeping distance from other people, avoiding frequent touching eyes, mouth and nose, checking their health if they feel fever. these all are in order to make them and their family can stay protected from covid-19 and they can become example for the surrounding community in implementing health protocols. refference allport, g. w. (1935). 1. attitudes. 1. bnpb. (2020). pedoman perubahan perilaku penanganan covid-19. satgas covid19, 60. retrieved from https://covid19.go.id/storage/app/media/materi edukasi/pedoman perubahan perilaku 18102020. pdf%0ahttps://covid19.go.id/p/protokol/pedomanperubahan-perilaku-penanganan-covid-19 cdc. (2020). real-time rt-pcr diagnostic panel. centers for disease control and prevention, cdc-006-00, 1–80. retrieved from https://www.fda.gov/media/ 134922/download driposwana putra, i., malfasari, e., yanti, n., erlin, f., hasana, u., harahap, a. s., & hendra, d. (2021). tingkat kepatuhan mahasiswa kesehatan dalam berprotokol kesehatan pasca lebih dari satu tahun masa pandemi covid-19. jurnal keperawatan jiwa (jkj): persatuan perawat nasional indonesia, 9(2), 429–434. retrieved from https:// jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkj/article/view/7331 gorbalenya, a. e., baker, s. c., baric, r. s., de groot, r. j., drosten, c., gulyaeva, a. a., … ziebuhr, j. (2020). severe a cut e r espi ra t or y syn dr ome-rel a ted coronavirus: the species and its viruses – a statement of the coronavirus research group. biorxiv. https://doi.org/10.1101/2020.02.07.937862. hulu, v. t., pane, h. w., zuhriyatun, t. f., munthe, s. a., salman, s. h., sulfianti, … mustar. (2020). promosi kesehatan masyarakat. in yayasan kita menulis. imf, i. m. f. (2020). world economic outlook update june 2020. world economic outlook, (2), 6 kementerian kesehatan ri. (2020). pedoman pencegahan dan pengendalian corona virus deases (covid-19). kementrian kesehatan, 5, 178. retrieved from https://covid19.go.id/storage/app/media/protokol/ r e v 0 5 _ p e d o m a n _ p 2 _ c o v i d 19_13_juli_2020.pdf. peng, y., pei, c., zheng, y., wang, j., zhang, k., zheng, z., & zhu, p. (2020). a cross-sectional survey of knowledge, attitude and practice associated with covid-19 among undergraduate students in china. bmc public health, 20(1), 1–24. https://doi.org/ 10.1186/s12889-020-09392-z patel, a., jernigan, d. b., abdirizak, f., abedi, g., aggarwal, s., albina, d., … yousef, a. (2020). initial public health response and interim clinical guidance for the 2019 novel coronavirus outbreak — united states, december 31, 2019–february 4, 2020. american journal of transplantation, 20(3), 889– 895. https://doi.org/10.1111/ajt.15805. roy, d., tripathy, s., kumar, s., & sharma, n. (2020). since january 2020 elsevier has created a covid19 resource centre with free information in english and mandarin on the novel coronavirus covid19 . the covid-19 resource centre is hosted on elsevier connect , the company ’ s public news and information . (january). salman, m., mustafa, z. u., asif, n., zaidi, h. a., hussain, k., shehzadi, n., … saleem, z. (2020). knowledge, attitude and preventive practices related to covid19: a cross-sectional research in two pakistani university population s. drugs and therapy perspectives, 36(7), 319–325. https://doi.org/ 10.1007/s40267-020-00737-7 syadidurrahmah, f., muntahaya, f., islamiyah, s. z., fitriani, t. a., & nisa, h. (2020). perilaku physical distancing mahasiswa uin syarif hidayatullah jakarta pada masa pandemi covid-19. perilaku dan promosi kesehatan: indonesian journal of health promotion and behavior, 2(1), 29. https:// doi.org/10.47034/ppk.v2i1.4004 tim kerja kementrian dalam negeri. (2020). pedoman umum menghadapi pandemi covid-19. journal of chemical information and modeling, 53(9), 1689– 1699. 183sinaga, the effect of health promotion in improving the attitudes of health students in ... usman, s., budi, s., & nur adkhana sari, d. (2020). pengetahuan dan sikap mahasiswa kesehatan tentang pencegahan covid-19 di indonesia. / jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan, 11(2), 410–414. retrieved from pengetahuan dan sikap mahasiswa kesehatan tentang pencegahan covid19 di indonesia. who. (2020). termasuk penjangkauan dan kampanye , dalam konteks pandemi covid-19 panduan interim. e:\2021\ners april 2021\15-jurn 101purwandari, indarti, kurniansyah, the correlation of family support and dietary compliance of ... the correlation of family support and dietary compliance of the eldery with hypertension at sub-district health center klurahan, ngronggot district nganjuk regency henny purwandari1, erni tri indarti2, dimas kurniansyah3 1,2,3department of nursing, stikes satria bhakti nganjuk, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 14/12/2020 accepted, 03/03/2021 published, 04/05/2021 keywords: family support, compliance, hypertension diet article information abstract introduction: current lifestyle triggers an increase in the incidence of hypertension, especially diet. hypertension sufferers are expexcted to obey the predetermined diet. family support should be a reinforcing factor that can influence the patient decision to adopt a hypertension diet. the purpose of this study was to determine the correlation of behavior of family support with dietary compliance of the elderly with hypertension at sub-district health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency. methods: design of the study was a correlation with a cross sectional approach. this study was conducted on february 23-24 july 2020. the population of this study was all elderly patient with hypertension at sub-district health center klurahan as many as 38 patients. the sample was 32 respondents taken by purposive sampling technique. the independent variables was the family support. the dependent variables was dietary compliance of the elderly with hypertension. the data collecction used a questionnaire. the data analysis used the spearman rank with  = (0,05). results: the results of the study showed almost half of them were 15 respondents (46, 2%) had good family support. dietary compliance of the elderly most of the were respondents (51, 3%) compliance to the hypertension diet. the test results obtained p-value = 0,000   = (0,05) so ha was accepted with r value was 0, 851 which meant had a very strong level of correlation. conclusions: family support is one of the important roles that can help improve care for people with hypertension, support make sufferers more motivated to a compliance hypertension diet. 101 email: henny.sbn18@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p101–106 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes satria bhakti nganjuk – east java, indonesia p-issn : 2355-052x https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p101-106&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p101-106 102 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 101–106 introduction one of the degenerative diseases that is a health problem in the world is hypertension, which is a chronic disease caused by blood circulation disorders which results in an increase in blood pressure that exceeds normal (ganong, 2008). hypertension with an increase in systolic pressure without an increase in diastolic pressure often occurs in the elderly (age 60 years and over), because at that age there has been stiffness in the a r ter ies a nd a or ta (da r mojo a nd ma r tono, 2008).the phenomenon of increasing incidence of hypertension is related to the lack of compliance with hypertension sufferers, one of which is the hypertension diet. changes in people’s lifestyles globally have reduced the consumption of fresh vegetables and fiber, then the consumption of salt, fat, and sugar continues to increase (runtukahu, 2015).based on a preliminary study in the form of an interview conducted by researchers on june 28, 2020 at sub-district health center, klurahan village, ngronggot district, nganjuk regency, during an interview with the elderly 3 out of 5 elderly people are less obedient to low-salt hypertension diet by still consuming foods that contain salt and 2 elderly have tried obey to run a low-salt hypertension diet by asking his family to prepare food separately and the family to be able to provide low-salt foods. who data in 2016, around the world around 836 million elderly or 21.7% of elderly people around the world have hypertension. there had been 972 million hypertension sufferers, 430 million had been in europe and the remaining 306 had been in asia, including indonesia (soetr isno, 2017). t he prevalence of hypertension based on age 55-64 years was 55.2%, 63.2% at 65-74 years old and 69.5% at 75 years old (infodatin kemenkes ri, 2016). riskesdas data for 2018, east java province, the prevalence of hypertension reached 26.2%. the highest prevalence of hypertension was in the 75 year age group, namely 62.4%.the prevalence of hypertension in the city of surabaya was 22.0% (bppk ministry of health, 2013). according to data from the nganjuk district health office in 2019, hypertension is the first number of noncommunicable diseases. hypertension sufferers in nganjuk district reached 50,360 people. the highest number of hypertensive patients at the ngronggot sub-health center was 873 people. meanwhile, the number of hypertensive elderly at the sub-district health center klurahan village of ngronggot district was 38 people. hypertension is a public health problem in the world, and is closely related to the behavior patterns of people’s lives. hypertension is a major factor in cardiovascular diseases which is the leading cause of death in indonesia (tumenggung, 2013). factors that cause hypertension include lifestyle changes, irregular exercise and consuming foods that trigger hypertension (yuliarti, 2011). risk factors that lead to increased blood pressure such as high salt intake, smoking and drinking alcohol. if hypertension is not treated or treated promptly, blood pressure that exceeds 180/100 mmhg has a 5 times greater risk of developing coronary heart disease than someone with a blood pressure of less than 140/80 mmhg. hypertension is categorized as a disease of the silent disease. hypertension that occurs for a long time and continuously can trigger strokes, heart attacks, heart failure and is a cause of chronic kidney failure. lack of information and low awareness to check blood pressure regularly, having an unhealthy diet and lack of knowledge are triggers for an increase in cases of hypertension (hamid, 2013). notoadmojo (2013) in devita (2014) adherence has several factors that influence patient decisions including adherence in doing the program, namely understanding of instructions, level of education and knowledge, pain in medication, beliefs, patient attitudes, and family support. family support is one factor that cannot be ignored, because family support is one of the factor s tha t ha s a significa nt contribution and as a reinforcing factor that influences patient decisions. currently, many efforts are being made to overcome the increasing problem of hypertension. the ministry of health has formulated a national policy and strategy for pr evention a nd contr ol of disea se, na mely surveilla nce of hypertension, promotion a nd prevention of hypertension and management of hypertension disease services. family support needed to increase selfconfidence and motivation to face problems and increase hypertension diet compliance. the role of the family must be involved in fulfilling needs, knowing when the family should seek help and suppor ting a dher ence to r educe the r isk of recurrence and complications. families can help in treating hypertension by arranging a healthy diet, inviting exercise, accompanying and reminding of 103purwandari, indarti, kurniansyah, the correlation of family support and dietary compliance of ... r egula r checkups in blood pr essur e checks (susriyanti, 2014). health workers, especially nurses, can also provide intensive education and counseling to families and people with hypertension about the importance of hypertension control so that complications do not occur by obeying the advice of health workers. based on the above background, the researchers are interested in conducting research on the relationship between family support and adherence to elderly hypertension diabetes.   research methods this research design used correlation with cross sectional approa ch. this research was conducted on 23-24 july 2020 at the sub-district health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency. the population in this study were 38 elderly patients with hypertension in the subdistrict health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency. the sampling technique used was purposive sampling. the sample used was 32 people. the statistical test used the spearman rank with a significant  = 0.05. the independent variable in this thesis is family support, and the dependent variable in this thesis is the compliance diet of the elderly patient with hypertension. the mea suring instrument in this research is the independent variable using a questionnaire and the dependent variable using a questionnaire. results 1. family support at sub-district health center klur a ha n, ngr onggot distr ict, nga njuk regency based on table 1, it can be seen that of the 32 elderly respondents with hypertension at subdistrict health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency, almost half have good family support, namely 15 respondents (46.9%). 2. compliance diet of the elderly patient with hypertension at sub-district health center, klur a ha n, ngr onggot distr ict, nga njuk regency based on table 2, it can be seen that of the 32 respondents with hypertension sufferers at subdistrict health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency, most of them obedient in doing the hypertension diet, namely 18 respondents (51.3%). 3. relationship between family support and compliance diet of the elderly patient with hypertension at sub-district health centers, klur a ha n, ngr onggot distr ict, nga njuk regency no. family support frequency percentage (f) (%) 1. good support 15 46,9 2. sufficient support 10 31,2 3. lack of support 7 21,9 total 32 100,0 table 1 distribution of frequency of family support at sub-distric t health cente r klurahan, ngronggot district, nganjuk regency on july 23-24, 2020 no. compliance diet of the elderly patient with hypertension frequency (f) percentage (%) 1. obedient 18 56,2 2. less obedient 14 43,8 total 32 100,0 table 2 distribution of frequency of compliance diet of the elderly patient with hypertension at sub-district health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency on july 23-24, 2020 based on table 3, it can be seen that of the 32 elderly respondents with hypertension at subdistrict health center klurahan ngronggot district, nga njuk regency, a lmost ha lf, na mely 15 respondents (46.9%) have good family support and are obedient to hypertension diet. the results of the spearman rank statistical test showed that the value of  value = 0.000  ( = 0.05), which means that ha is accepted so that it can be concluded that there is a relationship between family support and 104 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 101–106 compliance with the analysis of hypertension sufferers at sub-district health center, ngronggot district, nganjuk regency with a value of r = 0, 851 which means it has a very strong level of relationship. discussion 1. family support at sub-district health center klur a ha n, ngr onggot distr ict, nga njuk regency the results showed that of the 32 elderly respondents with hypertension at the sub-district hea lth center klur ahan ngronggot district, nga njuk regency, a lmost ha lf, na mely 15 respondents (46.9%) had good family support. the research results tabulated demographic data from 15 respondents who had good family support, almost all of them had junior high school education, namely as many as 13 respondents (86,7%). these results are supported by the results of the spearman rank test with ñ value of education = 0.009   = (0.05). so that family support is significantly influenced by education. educa tion is a process of adding to the development of all human abilities and behavior through knowledge, so that in education it is necessary to consider the client’s development process and the relationship with the learning process. the level of education is also one of the factors that affect a person’s perception or are more receptive to ideas and technology. education includes an important role in determining human quality. with human education, it is considered that they will acquire knowledge of the implications (notoatmodjo, 2011). based on the results of this study, the researcher argues that family support at sub-district health center klurahan, ngronggot district, is in a good category. humans have a basic urge to want to know, to seek reason, and to organize their experiences. education is learning for the community to be willing to take actions to maintain and overcome every problem. education can affect the way a person views the new information they receive. education is a teaching and learning process, so it can be said that the higher the education, the easier it is to behave well in supporting a sick family member. 2. compliance diet of the eldery patient with hypertension at sub-district health center klur a ha n, ngr onggot distr ict, nga njuk regency from the results of the study, it can be seen that of the 32 respondents with hypertension sufferers at sub-district health center klurahan ngronggot district, nganjuk regency, most of them 18 r espondents (51. 3%) obedient in doing hypertension diet. the results of the research on tabulation of demographic data from 18 respondents who had obedient to hypertension diet, almost all of them had received information about the elderly diet with hypertension as many as 16 respondents (88.9%). these results are supported by the results of the spearman rank test with  value of information = 0, 011   = (0.05). so that obedient to the diet of elderly patient with hypertension had influenced by having received significant information. table 3 cross tabulation of the relationship between family support and compliance diet of the elderly patient with hypertension at the sub-district health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency, 23-24 july 2020 good support 15 46,9 % 0 0% 15 46,9 % sufficient support 3 9, 3 % 7 21, 9 % 10 31, 2% lack of support 0 0 7 21, 9% 7 21,9% total 18 56, 2 % 14 43, 8 % 32 100% spearman rank test,  value = 0,000   = 0,05 r = 0, 851 family support compliance diet of the elderly patients with hypertension totalobedient less obedient frequency (f) percentage (%) frequency (f) percentage (%)  percentage (%) 105purwandari, indarti, kurniansyah, the correlation of family support and dietary compliance of ... according to pranoto (2007) in devita (2014) states that obedience is liking to orders, obeying orders, while obedience is behavior according to the r ules. respondents complia nce with hypertension dosage is in line with notoatmodjo’s (2007) opinion which states that there are factors that influence the formation of behavior, one of which is the knowledge factor that can be obtained from various information. according to notoatmodjo (2011), information is the whole meaning that can be interpreted as someone’s notification of new information for the formation of an attitude towards this. sources of information can be obtained through mass media (newspa per s, ma ga zines). electr onic media (television, radio, internet) and information can be obtained from health workers by means of health education which can be presented in various ways, for example by distributing leaflets, seminars, counseling and so on. based on the results of this study, the researcher argues that a person’s adherence to hypertension is influenced by hypertensive elderly individuals in achieving recovery and the elderly’s belief in the benefits of hypertension diet such as avoiding fatty foods, eating high salt content which of course can be obtained from information. the more information you get, the better you understand how to manage the disease, maintain a lifestyle, and diet in order to achieve an optimal degree of health 3. relationship between family support and compliance diet of the elderly patient with hypertension at sub-district health centers klur a ha n, ngr onggot distr ict, nga njuk regency the results of the spearman rank statistical test showed that the value of  value = 0.000   = (0.05), which means that ha is accepted and ho is rejected, so it can be concluded that there is a relationship between family support and compliance diet of the elderly patient with hypertension at subdistrict health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency with the value of r = 0, 851 which means it has a very strong level of relationship. according to bomar (2004) in dewi et al (2016) family support is a form of service behavior carried out by families, both in the form of emotional support (attention and affection), family support (appreciating and providing positive feedback), information support (suggestions , advice, information) as well as instrumental support (assistance of manpower, money and time). support from the nuclear family (father, mother, child) is an important factor affecting sufferers while undergoing diet. with the provision of good support, the sufferer will feel comfortable and cared for, so that it can increase motivation which will create behavior to obey the diet (friedman, 1998). in addition, giving poor support will lead to feelings of lack of affection which will reduce motivation in running the diet. this greatly affects the continuing complications that will be experienced by the sufferer. based on the results of this study, the researcher argues that there is a relationship between family support and compliance diet of the elderly patient with hypertension at the sub-district health center klurahan, ngronggot district, nganjuk regency because of the provision of support which includes attention support such as helping to provide information related to hypertension and diet, giving advice, and understanding. the family support needed in order to reduce elderly non-compliance with the currently running hypertension program. in addition, community nursing care also has an important role in producing professional nursing service interventions, one of which is by providing health education about healthy lifestyles to the community related to hypertension, especially for elderly patient with hypertension, inviting the elderly patient to do heart exercise regularly, making regular home visits. schedule to monitor the health and surveillance of hypertension so that it will create confidence and motivation in the elderly to be able to recover and be able to manage their disease properly. conclusion family support at sub-district health center klurahan, ngronngot district, nganjuk regency, almost half of them have good family support, namely 15 respondents (46.9%). the compliance diet of the elderly patient with hypertension at subdistrict health center, ngronggot subdistrict, nganjuk distr ict, most of them obedient in doing the hypertension diet, namely 18 respondents (51.3%). there is a relationship between family support and compliance diet of the elderly patient with hypertension at sub-district health center klurahan ngronngot district, nganjuk regency. the results 106 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 101–106 of the spearman rank statistical test showed a significant value, namely p value = 0.000  ( = 0.05) with a value of r = 0.851 which means that it has a very strong level of relationship. suggestion it is suggested for institution to develop the results of this research by providing health education in collaboration with sub district health center, so that this research can be used as one of the basic guidelines for learning materials for elderly patient with hypertension. for health workers, it is advisable to organize health education on a scheduled basis regarding hypertension diet for the elderly or also to provide nutritional counseling to control the health of elderly people with hypertension when they go to the posyandu or sub district health center. for the community, it is recommended, especially elderly families with hypertension, to increase support for the elderly so that they can control diet on an ongoing basis so as to prevent complications. and for further researchers it is suggested that this research be used as a basic guide in the development of further research to examine more deeply to measure the level of compliance in running the diet with the semiquantitative ffq (food frequency questionnaire) form giving method. refference andik, s. 2014. pengaruh pendidikan kesehatan hipertensi pada keluarga terhadap kepatuhan diet rendah garam lansia hipertensi di kecamatan sukolilo kabupaten pati. progam studi ilmu keperawatan. sekolah tinggi ilmu kesehatan aisyiyah yogyakarta. yogyakarta. arikunto, suharsimi. 2010. prosedur penelitian suatu pendekatan praktik, jakarta: rineka cipta. brilianifah, yuniarinda nur. 2017. hubungan pengetahuan dan dukungan keluarga terhadap kepatuhan diit hipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di rsu queen latfia sleman. yogyakarta. skripsi devita, 2014. hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan penatalaksanaan diet hipertensi. surakarta.skripsi.stikes husada surakarta. dewi, dkk. 2014 hubungan pengetahuan dengan kepatuhan lansia penderta hipertensi dalam pemenuhan diet hipertensi. surakarta. skirpsi. stikes husada surakarta dinkes kabupaten nganjuk. 2019. pengambilan data awal kejadian hipertensi di kabupaten nganjuk 2019. nganjuk: dinas kesehatan kabupaten nganjuk. fitriani, s. (2011). keperawatan kesehatan komunitas: teori dan praktik keperawatan. yogyakarta: graha ilmu. friedman, m.m. 1998. keperawatan keluarga : teori dan praktek. jakarta : egc gunawan, 2010. hipertensi tekanan darah tinggi. yogyakarta. kanisius. johnson, 2010. keperawatan keluarga. yogyakarta. nuha medika. legowo, a. 2014. hubungan pengetahuan pasiem dan dukungan keluarga dengan motivasi pelaksanaan diet rendah garampada pasien hipertensi di wilayah kerja puskesmas sangkrah surakarta. surakarta : universitas muhammadiyah surakarta maryam, r. siti, dkk. 2011. mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta : selemba medika. muhammadun, 2010. hidup bersama hipertensi. yogyakarta. in books notoatmodjo. 2007. kesehatan masyarakat ilmu & seni. jakarta : rineka cipta _________ .2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta. _________ .2011. ilmu kesehatan masyarakat (prisnipprinsip dasar) jakarta : rineka cipta. nugroho, wahyu. 2000. keperawatan gerontik. edisi 2. jakarta: egc. nursalam. 2013. metode penelitian ilmu keperawatan pendekatan praktis, edisi 3. jakarta. selemba medika. perdana, muhammad algisa. 2017. hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diit hipertensi pada lansia di dusun depok ambarketawang gamping sleman. yogyakarta. skripsi purnawan, 2010. faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga. http://repository.usu.ac.id/bitsream. diaskes 18/02/2017 purwanto, b. 2012. hipertensi (patogenesis, kerusakan target organ dan penatalaksanaan). surakarta: uns press. riset kesehatan dasar (riskesdas) 2018. badan penelitian dan pembangunan kesehatan kementrian ri tahun 2018. setiadi, 2008. konsep dan proses keperawatan keluarga. yogjakarta. graha. sugiyono. 2007. metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r&d. bandung: alfa beta. sukma, amira noor dkk. 2018. jurnal kesehatan masyarakat. volume 6, nomor 5 (issn : 2356-3346) tumenggung, 2013. hubungan dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan diet pasien hipertensi di rsud toto kabila kabupaten bone bolango. politeknik kesehatan gorontalo yuliarti, n. 2011. pengobatan hipertensi dengan herbal: cetakan 1. jakarta : argomedia pustaka. e:\2021\ners april 2021\11-jurn 71tukayo, hardy, saljan, swastika, the development analysis of ... the development analysis of post graduate school program of occupational health nursing (ohn), workforce and the challenges in poltekkes kemenkes jayapura (a case study) isak jurun hans tukayo1, syaifoel hardy2, moh. saljan3, i ketut swastika4 1,3,4nursing department, poltekkes kemenkes jayapura, indonesia 2indonesian nursing trainers jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/02/2020 accepted, 16/03/2021 published, 04/05/2021 keywords: postgraduate ohn, nursing education, papua, poltekkes kemenkes jayapura article information abstract introduction: there are several large industries in papua that are engaged in oil exploration to wood processing. yet, there is an imbalance between the need for ohn experts and the production of nurses due to the absence of ohn postgraduate educational facilities in papua. the objective of this article is to analyze the development of ohn postgraduate education programs from the occupational safety and health (ohs) perspectives. methods: the study used literature review method by implementing swot analysis that emphasized on policy issues on nursing education and its specialties, especially ohn. the data were collected from various sources, including the ministry of health, the ministry of manpower, bppsdm, ppni, and journals from within and outside the country. document review was conducted from january 2016 to december 2020. results: after intensive swot analysis, the research showed that the poltekkes of the ministry of health of jayapura was potentially supportive to develop postgraduate nursing education of ohn programs. in addition to adequate human resources, sufficient land for practice and the prospectve of industrial job opportunities for newly graduates. discussion: the discussion in this study used swot (strength, weaknesses, opportunity, threat) strategy by (gurel, 2017) which was then developed in to internal factors that include strengths and weaknesses, and external factors that include opportunity and threats. 71 email: saderun@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p071–077 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) correspondence address: poltekkes kemenekes jayapura – east java, indonesia p-issn : 2355-052x © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p071-077&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p071-077 72 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 71–77 introduction the development of the industries in papua has not been matched by the availability of nursing personnel with the postgraduate educational level in the field of occupational health nursing (ohn). the development of specialist nursing education is still lacking or not yet available in indonesia (efendi et al., 2018). according to (jurun et al., 2020) the number of ohn nurses in indonesia is relatively rare. this scarcity is evidenced by the lack of scientific work on ohn (tukayo & hardy, 2020). whereas industries keep on developing and require updated hea lthcare services including nurses working in industrial sectors (tukayo ijh & hardy, 2020). the number of global nurses until 2018 reached 27.9 million, of which 19.3 million were professional nurses (who region, 2018). this shortage decreased to 5.9 million nurses in 2018 (efendi et al., 2018). approximately 5.3 million (89%) of the shortage are in low and middle to lower income countries (who region, 2018). currently indonesia only meets 60% of the needs of nurses according to world standards (media indonesia, 2020). if we follow the universal health coverage (uhc) recommendation, the demand for nurses will increase along with the government efforts to meet the target for the number of nurses as recommended (efendi et al., 2018). however, government analysis r evea ls tha t 31, 150 indonesia n nur ses a r e unemployed (efendi et al., 2018). this means the empowerment of indonesian nurses is still not maximal, including in the industrial nursing sector. based on data as of april 26, 2020, the ministry of industry (kementerian tena ga kerja dan transmigrasi, 1980) stated they had issued operational permits and mobility for industrial activities to 14,533 companies. these companies come from the agro industry, chemical, pharmaceuticals and textiles, metal industries, machinery, tools and electronics, small, medium and various industries, as well as industrial estates and industrial services (cnbc, 2020). the industrial sector has a total workforce of 4,330,215 people (cnbc, 2020). the central bureau of statistics (bps) data notes that out of 34 existing provinces, papua is in the lowest position with a poverty rate of 26.8% (bps, 2020). this figure is below west papua (21.7%) and east nusa tenggara (21.21%). in other words, papua’s resources are very minimal. nevertheless, there are several large industries in papua engaged in gold, oil exploration to wood processing. as of august 2020, the number of industrial estates in papua is 121 (bps, 2020). several large industries such as pt freeport, bp, genting oil, bintuni utama murni wood, hastra pasifik papua and biak veneer jaya are big companies in the fields of oil, gold mining and timber exploration in papua (januar, 2019). these companies are in need of healthcare services for their employees’ wellness. however, the problems faced by nursing services in papua are generally the same as other nurses in indonesia (efendi et al., 2018; hardy, 2012). according to who, the role of ohn nurses includes clinician, nursing manager, adviser, educator, researcher and coordinator (who regional office for europe, 2001). t he a bsence of postgr a dua te level educational institutions not only hampers the career path of the nursing profession in papua, but also the quality and quantity of ohn services. at present the number of educational institutions in indonesia, of the 38 existing poltekkes of the ministry of health, only two are in papua, one is the poltekkes of the ministry of health in sorong and the other one is poltekkes of the ministry of health in ja ya pur a (bppsdm, 2020). t he poltekkes education level is diploma 3 and 4 (efendi et al., 2018). at pr esent ther e a r e 4 ca mpuses a t undergraduate level (1 state campus and 4 private campuses (stikes papua, stikes jayapura, stikes st. aloysius papua and cenderawasih university). however, papua has special autonomy region, promulgated through law 21/2001, november 2001 (januar, 2019). the implementation of governmental decentralization can exercise papua’s rights to selfdetermination by utilizing the political, socioeconomic and cultural space created through special autonomy without having to become a threat to the sovereign state (azmi muttaqin, 2014). the government has also shown steps to overcome the human resources crisis in health (kurniati et al., 2015). this article tries to explore the possibilities of papua if it is capable of developing the master pr ogr am of ohn educa tion. to answer this question, an extensive study is required to assess the strengths, weaknesses, opportunities and threats of papua, papuan, its environment, law and regulations. methods this study analyzed the results of extensive literature reviews through electronic and printed materials about ohn nurses, the situation of nurses 73tukayo, hardy, saljan, swastika, the development analysis of ... in indonesia, ohn nursing education and training as well as human resources on teaching ohn in indonesia. the results were analyzed by utilizing relevant information from the google scholar, proquest, and scopus databases, in indonesian and english from within and outside the country, from the ministry of health, ministry of manpower, indonesian nurses association (ppni), human resour ces development a nd empower ment agency (bppsdm), ministry of education and culture and other relevant institutions. the data was processed then analyzed using the swot analysis strategy with 2x2 matrix elements (gurel, 2017). this article was the result of selected extracts from these various sources which were then collected a nd a ssessed for their r eleva nce. document extraction and review was carried out from january 2016 to december 2020. the swot analysis includes four components viz organizational strengths’ character that give advantages, organiza tiona l weakesses’ char a cter s tha t place disadvantages, organizational opportunity is external elements that give benefits and the organizational threats that could cause trouble for the organization (gurel, 2017). results the results of the analysis of this study used a swot analysis by (gurel, 2017). weaknes ses in indonesia, there is no nursing campus that has ever held ohn program and no campus figures are used as examples (tukayo ijh & hardy, 2020). this statement is supported by the findings of efendi et a l. (2018) wher e the number of ohn postgraduate specialization education is not yet available in indonesia. the second weakness is the regulation of the minister of education and culture of the republic of indonesia number 7 of 2020 concerning the establishment, change, dissolution of state universities, and the establishment, change, revocation of private higher education permits, article 4, paragraphs 5 and 6 which states the study program in the master program or an applied master program can be held after the study program in the same branch of science in the undergraduate program or diploma four or applied bachelor’s program has been accredited with the lowest a ccr edita tion r a ting ver y good (kemendikbud, 2020). opportunity this occupational health and safety (ohs) teaching material module includes 6 modules with the composition of the nature of occupational safety and health, occupational safety and health figure 1 swot analysis source: gurel, (2017). p. 2. strenghts the table above shows that the number of nursing study programs occupies the largest portion (11 programs or 52.3%) compared to other study programs. figure 2 student distribution of departmentwise in poltekkes jayapura 2019 i (2019) ii (2018) iii (2017) iv (2016) 1 pharmacy d iii jayapura b 92 74 93 47 306 2 nutrition d iii jayapura b 40 39 44 43 166 3 midwifery d iii jayapura b 51 67 38 65 221 4 midwifery d iii biak b 77 187 358 58 680 5 midwifery d iii mimika b 21 23 46 34 124 6 midwifery d iii nabire b 55 44 48 50 197 7 nursing d iii jayapura b 131 106 76 105 418 8 nursing d iii wamena c 77 125 113 78 393 9 nursing d iii biak b 51 70 81 81 283 10 nursing d iii merauke b 72 74 71 76 293 11 nursing d iii timika b 87 61 46 59 253 12 nursing d iii nabire b 170 392 439 77 1078 13 nursing d iii kep.yapen b 30 55 71 80 236 14 sanitation d iii jayapura b 47 84 58 75 264 15 sanitation d iii mimika c 30 25 43 25 123 16 lab tech d iii jayapura b 144 158 165 107 574 17 nutrition & dietetics d iv jayapura b 46 44 59 62 211 18 midwifery d iv jayapura b 30 32 55 50 167 19 nursing d iv jayapura b 0 0 54 81 135 20 ners profession jayapura b 97 0 0 0 97 21 total 1256 1586 1865 1206 5913 number of students in each level no study program location a ccred. total source: bppsdm, ministry of health, p. 107, (2020) 74 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 71–77 the diagram above shows that the majority of nursing education in papua is at the diploma program level, both diploma 3 with duration of 3 years and diploma 4 with duration of 4 years, as many as 8 campuses. for the undergraduate level, there are two institutions, one institute of health sciences and one university. threats the map of papua in figure 6 shows the papua province, an area of 316,553.07 square km with a population of 3,435. 430 (bps, 2020). the unequal distribution of development and population over a large area of land in papua province poses challenges related to the dissemination of information, application of information technology as well as communication and transportation (putro, 2020). in addition, the diversity of ethnic groups in papua and a history of conflict between tribes has made social and political problems a challenge in overall development (bhakti & pigay, 2016). regarding health problems, papua also still has relatively high morbidity and mortality rates (kemenkes ri, 2019), because access, socio-economic conditions and the level of public awareness are still lacking (sandila et al., 2020). another external element is in the form of policies that do not recommend education in service departments whose output is difficult to find work (bppsdm, 2020). especially in this pandemic era where government costs were drained to handle covid-19 (kementrian keuangan, 2020). in general, indonesia is an archipelago with more than 17,000 islands, consisting of 34 provinces and is one of the most populous countries in the world (asyatun, 2018). discussion strenghts the discussion on strengths according to (tanya sammut-bonici, 2017) includes finance, managerial, infrastructure, production, distribution of relationships, marketing (marketing), brand equity and innovation resources. according to (gurel, 2017) all internal characteristics that provide benefits are called strenghts. according to the minister of manpower regulation no. per-04 / men.1987, concerning the committee for occupational safety a nd hea lth (p2k3) a nd the pr ocedur e for appointing labor experts, article 2 states that every company that employs 100 people or more is obliged to form p2k3. so far there has been no research on how many ohn nurses work for (tukayo ijh & hardy, 2020). poltekkes kemenkes jayapura is an educational institution with accreditation b (bppsdm, 2020). the number of lecturers is more than 200 people, the ratio of lecturers to students is 1:12; the number of students is more than 4000 in general, occupational safety and health in laboratories, hospitals and occupational safety and health in industry (bppsdm, 2016). all these facilities are owned by the jayapura poltekkes in terms of infrastructures and their access. likewise, the employment opportunities, both at home and abroad which are not yet utilized (putro, 2020). sources: ristekdikti, (2018) figure 3 level of education of nursing colleges in papua 2018 source: papua.go.id, (2020) figure 4 map of papua province 75tukayo, hardy, saljan, swastika, the development analysis of ... spread across 17 study programs, 9 of which are nursing study programs, in 7 regions in papua province. financially, poltekkes jayapura is an esta blished infr a str uctur e supported by the government. currently, courses related to ohn are still integrated in community nursing, with 9 semester credit units (sks). yet, the jayapura health polytechnic organizes diploma iv program with bachelor of applied sciences degree. on the occupa tiona l hea lth wor king oppor tunity perspectives, there are 4,330,215 company workers (cnbc, 2020), in which ideally 4,332 shuld be available of osh experts are needed. this is necessa r y beca use compa nies need high performance indicators (ipieca, n.d.). one of the k3 experts involved in achieving this goal is the p2k3 committee, namely the industrial nurses (ohn). in addition, of the total 889 nursing education institutions that exist in indonesia, not one has organized the ohn program (efendi et al., 2018). moreover, health education development is part of the investment (who region, 2018). thus, in terms of finance, management, infrastructure, production, relationships, band equity and innovation recourses, the jayapura health polytechnic has the potentials to develop ohn’s postgraduate level education department. weaknes ses weaknesses according to gurel (2017) what is meant here are all internal elements that cause losses / weaknesses for the organization. papua is a special autonomous region (januar, 2019). papua’s right to special autonomy related to the education sector has not been maximized. this weakness can be a flaw because it relates to central policies, even though on the side of the special autonomy for the papua region which was promulgated through law 21/2001, november 2001, where there is protection of the basic rights of the papuan people to develop themselves (ja nua r, 2019). however, the development of education by utilizing local wisdom can be used as basic capital in developing education (hidayat, 2016) at a higher level as we have seen, for example on the island of bali (wigunadika, 2018). this component in papua includes the availability of large practice areas for the nursing students. the large number of existing industries make ohn postgraduate students more flexible when carrying out field practices a well as prospective jobs opportunity. this means that the proposal for the establishment of an ohn postgraduate program can be fought for through the papua regional legislative approach and across sectors. the problem of unavailability of human resources, namely lecturers, can be overcome through competency development programs through training at a number of campuses that already have ohs postgraduate programs (hardy, 2012). lecturers need to study the strategy of the postgr a dua te educa tion pr ogr a m implementation program to find out the position of the masters study program and the implementation of other things that need to be developed in the future as suggested (hubeis, 2018). some references from abroad can be used as input in the development of ohn postgraduate education programs at the jayapura health polytechnic, for example the standards used in the usa (aaohn, 2004), ohn teaching (oakley, 2003; (osha, 2015), according to the recommendations of the ohn material from rogers et al (2009). so that the output is in accordance with international standards as the role of ohn nurses (who regional office for europe, 2001). opportunity according to gurel (2017) what opportunity mea ns is a ll exter nal elements tha t provide opportunities for the organization. data from (ristekdikti, 2018) shows that there are 10 nursing campuses in papua province, i.e. 2 state campuses and 8 private campuses, which include 8 campuses holding nursing diploma programs, 1 campus holding diploma and bachelor of nursing levels and the other one holding only bachelor of nursing program. this demonstrates the possibility of developing the education of the master level program is widely open in papua, as is the direction of the national education goals (tukayo, 2020). this step is also in line with the goals of health policies contained in the national health system (tumurang, 2019). providing master degree education program in papua will sustenance papuans’ wellbeing in terms of career opportunity and livelihood. threats according to (gurel, 2017) all external elements that cause disruption to the organization are categorized as threats. geographically, infrastructure development, communication and the 76 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 71–77 population of indonesia are major challenges faced in the implementation of many program in papua. formal education programs at the undergraduate and postgraduate level specialist occupational safety and health (k3) have been so far organized by the faculty of public health at many large campuses outside papua (university of indonesia, gajah mada university, diponegoro university, airlangga university, hasanudin university) (tukayo ijh & hardy, 2020). this has resulted in papuans who are interested in learning osh have to leave the island of papua. this threat is actually at the same time an opportunity. with the establishment of the ohn postgraduate program in papua, it will reduce the burden on papuans who want to study ohn at the level of master degree. as for the existence of lecturers who are temporarily bringing in support from outside papua, this can be overcome by training lecturers at the papua health polytechnic, because the majority of lecturers at the poltekkes jayapura are indigenous papuans (tukayo, 2021, personal communication). conclusion one of the noble goals of the establishment of the republic of indonesia is the achievement of intellectual life of the nation. this effort is not easy because in its history the nation has faced many obstacles and challenges, especially in developing natural and human resources in papua as one of the youngest provinces in indonesia. however, papua has great potentials that deserves to be an example in the development of the industrial health sector, especially in the ohn nursing field. papua has several international level industries that need support through the development of specialist nursing education, namely by establishing ohn postgraduate program at the jayapura health polytechnic. to initiate this plan requires justifiable study from an academic point of view. this article has attempted to explore the potentials of the jayapura health polytechnic using the swot analysis strategy by gurel (2017). swot analysis is a very popular method used by organizations for strategic management and marketing. it is a tried and true strategic analysis tool. it is expected that the results of this analysis will be useful for the preparation of a proposal for the establishment of ohn postgraduate education program at the poltekkes of jayapura. the shortcomings of this article is that it is not supported by the survey. still, it can serve as a reference for further research in order to know the concrete steps in implementing the ohn postgraduate program at the jayapura polytechnic of health. references aaohn, 2012, standard of occupational health & environmental health nursing. hubeis, astuti, vni., fahmi, i., (2015). educational journal.pages 184-197. volume 45, number 2, november 2015. bhakti, in., pigay, n., (2012). finding the root problems and solutions of the papua conflict supenkah ?. journal of political research.thing.1-18. vol. 9.number 1. bnp2tki (national agency for placement and protection of indonesian workers). (2016).government strategy in increasing the competitiveness of nursing personnel (ners) in the overseas job market [government strategy to increase the competitiveness of nurses (ners) in the overseas job market]. bnp2tki, jakarta. bonici, ts., galea, d. (2015). swot analysis. research gate chapter january. pp. 1-9. bppsdm, (2016).ri ministry of health module of ohs teaching materials.thing.1-241. jakarta. bppsdm, (2020). ministry of health ri: profile of poltekkes 2020. hal.1-107. jakarta. bps, (2020). indonesian citizen sp 2020 results. cnbc, (2020). 14 thousand factory operations, 4.3 million workers work in the middle of corona. on line. available at:https://www.cnbcindonesia.com/ news/20200428143640-4-154980/14-ribu-pabrikoperasi-43-juta-buruh-kerja-di-tengah-corona. accessed on 21 february 2021. efendi, f., chen, cm, kurniati, a., nursalam, yusuf, ma (2018). the situational analysis of nursing education and workforce in indonesia. page 2029, vol. april 9 (4). the malaysian journal of nursing. gurel, e. (2017). swot analysis: a theoretical review. swot analysis: a theoretical review. pp. 1-13. volume: 10 issue: 51, august. hardy, s., 2012, new paradigm of occupational health nursing in learning community of nursing, journal of nursing, issn 2086-3071, hal. 1-16. hidayat, (2016). otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. jurnal society. pap. 3-16. volume vi, nomor i, june. ipieca, 2019, health performance indicator: a guide for the oil and gas industries, accessed on 12 december 2019 at http://www.ipieca.org/sites/ default/files/publications/hpi.pdf januar, a., (2019). the opportunities and challenges of the native papuans in facing the industrial 77tukayo, hardy, saljan, swastika, the development analysis of ... development in teluk bintuni regency. patanjala vol. 11 no. 3 september 2019: 399 414. kemenkes ri (2020). indonesia health profile 2019 [indonesia health profile 2019], jakarta, ministry of health. kementrian tenaga kerjadan transmigrasi (ministry of industry), 2019, the absorption of labor in the manufacturing industry continues to increase, article 15 feb. 2019. press release. kurniati, a., rosskam, e., afzal, mm, suryowinoto, tb & mukti, ag (2015). strengthening indonesian health workers through partnerships. public health, 129, pp. 1138-1149. kemendikbud (ministry of education and culture), 2020. regulation of the minister of education and culture of the republic of indonesia number 7 of 2020 concerning the establishment, change, dissolution of state universities, and the establishment, change, revocation of private higher education permits. pp.1-74. jakarta. media indonesia, (2020). indonesia lack of number of nurses. online. accessed on 16 feb. 2021. available at: https://mediaindonesia.com/humaniora/314345/ indonesia-kekurang-jotal-tenaga-perawat. minister of finance, (2020), minister of finance regulation number 43 / pmk.05 / 2020 concerning the mechanism for im plementing the state expenditure budget in handling the 2019 corona virus disease pandemic (pmk 43/2020). pp.1-14. jakarta. muttaqin, a., nd. papua special autonomy is an effort to respond to conflict and aspirations for papuan independence. pp. 1-14. oakley, k. 2003, occupational health nursing, the education of occupational health nurse; setting up occupational health services, 2nd edition, whurr publishers, london, pp. 31-73. osha, 2015, nursing in occupational health, united states department of labor. permenaker, 1987.permenaker no. 4 of 1987. p. 1-7. jakarta. putro, k.h., 2020. development planning in papua and demographic bonus 2020. jurnal tata kelola & akuntabilitas keuangan negara. pp. 1-22. bpk jakarta. ristekdikti, (2018). higher educational statistic year 2018. cen t er for da t a a nd inform a ti on scien ce, technology and higher education ministry of research, technology and higher education 2018. pp.1-248. jakarta. rogers, b., randolph, susan a., mastroianni, k., 2009, occupational health nursing guidelines for primary clinical conditions, fourth edition. sandila, r. rizal, ms, satya, ha.,sulastri, l., arif, m. alfana, f. listyaningsih, u. (2020). analysis of the quality of health in papua province in 2013 and 2017. pp. 1-11. department of environmental geography, faculty of geography, gadjahmada university. sirait, p. (2020). health and poverty: conflict in the industrial revolution era. national health system, pp. 57-76. dialectic publisher, yogyakarta. tukayo, i. jh & hardy. s. (2020). occupational health nursing management: a guide to nursing in industry for nursing students, academics and practitioners. occupational health nursing (pp. 1737). malang: cv ismaya berkah group. tukayo, i.jh, (2020), character-based nursing education management. pp. 225-275. prints i. malang: cv ismaya barkah group. tumurang, mn, 2019, national health policy, national health system, sidoarjo. who, (2020), state of the world’s of nursing, investing in education, jobs and leadership. pp. 15-144. who, 2012, the role of the occupational health nurse in workplace health management. pp. 1-78. who regional office for europe. copenhagen. 268 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 268–275 268 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk theory of goal attainment (imogene m. king) sebagai basis analisis faktor patuh minum obat tb paru di kabupaten kediri yanuar eka pujiastutik1, ningsih dewi sumaningrum2 1,2fakultas ilmu kesehatan, institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri, indonesia info artikel kata kunci: tb paru, kepatuhan, teori king abstrak ketidakpatuhan pasien menjadi faktor penyebab kegagalan minum obat tb paru. peran perawat sangat adalah sangat diperlukan dalam hal meningkatkan patuh minum obat melalui proses interaksi, dengan demikian perlu dilakukan model penerapan keperawatan berdasarkan sistem interaksi dalam meningkatkan kepatuhan teori interaksi king, dengan kelebihan mengutamakan partisipasi aktif penderita untuk memberikan keputusan mengenai tujuan, mengambil keputusan, dan interaksi untuk mencapai tujuan. tujuan penelitian adalah untuk menganalisis faktor yang kepatuhan minum obat pada teori sistem interaksi king di puskesmas kabupaten kediri. desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. pengambilan sampel dengan teknik total sampling sebanyak 27 orang. hasil uji regresi logistik diperoleh hasil pada sistem personal p = 0,039 pada sistem interpersonal p = 0,628 dan pada sistem sosial p = 0,192 sehingga berdasarkan nilai  = 0,05 menjelaskan bahwa nilai p < 0,05 yang berarti menunjukkan bahwa pada sistem personal memiliki hubungan terhadap kepatuhan minum obat tb paru sedangkan pada sistem interpersonal dan sosial dari interaksi king menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap kepatuhan minum obat tb paru. disarankan sistem interaksi king dapat menjadi model dalam peningkatan kepatuhan minum obat dengan demikian mampu diintegrasikan dalam clinical pathway pada pasien tb paru di poli paru. theory of goal attention (imogene m. king) as the basis of analysis factors compliant to taking pulmonary tb medication in kediri district article information abstract patient noncompliance is to be the causes failure factor take the pulmonary tb medicine. the role of the nurse is very required in term of increasing compliance with take medicine, through the interacting process, thus need to be implemented model of maintenance based on interaction system in improving the compliance theory of king interaction system to improve compliance with king’s interaction system theory, with the advantage of sejarah artikel: diterima, 14/08/2019 disetujui, 24/10/2019 dipublikasi, 01/12/2019 history article: accepted, 14/08/2019 approved, 24/10/2019 publication, 05/12/2019 http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p268-275&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 269pujiastutik, sumaningrum, theory of goal attainment (imogene m. king) ... prioritizing active participation of patients in deciding goals, making decisions, and interactions to achieve goals. the purpose of the research is to analyse the factors that compliance medicine in the king’s interaction system theory in kediri district puskesmas. the research design used was descriptive analytic with cross sectional approach. data collection was conducted using questionnaires. sampling as many as 27 people with a total sampling techniques. logistics regression test results on the personal system p = 0.039 on the interpersonal system p = 0.628 and on the social system p = 0.192 so that based on the value of  = 0.05. which means indicating that the personal system has a associate with the medication compliance lung tb. it is recommended that the interaction system king is able to become obedient improvement model so that it can be integrated in clinical pathway at pulmonary tb patients in pulmonary room. it is recommended that king’s interaction system cam be a model in improving compliance taking medicine, thus able to be integrated in clinical pathway in lung tb patients in pulmonary poly. © 2019 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: institut ilmu kesehatan bhakti wiyata, kediri east java, indonesiay ata, kediri p-issn : 2355-052x pendahuluan salah satu penyakit yang menjadi prioritas untuk pengendalian penyakit karena mempunyai dampak terhadap kualitas hidup, ekonomi dan menjadi penyebab kematian yaitu penyakit tb. di indonesia perkiraan terdapat 1juta pertahun kejadian tb baru dengan 100.000 kematian pertahun, dan 63.000 kasus tb dengan hiv+. jumlah notifikasi kasus (case notification rate/cnr) menyebutkan dari semua kasus didapatkan penduduk yang terkena tb yaitu 129/100.000. total keseluruhan ada 324.539 kasus, dan sejumlah 314.965 merupakan kasus baru (who, 2015). total kasus tb-ro menurut perkiraan yaitu sebanyak 6700 kasus dari 1,9% kasus tb-ro yang didapat dari kejadian tb baru dan 12% kasus tbro merupakan dari kejadian tb dengan pengobatan yang harus diulang. pasien tb yang tidak melakukan pengobatan secara tuntas mengakibatkan diantaranya bisa menjadi mdr (multi drug resistant) yaitu resisten terhadap oat (obat anti tuberkulosis) primer, dan parahnya dapat menjadikan kuman tb resisten terhadap oat lini kedua atau yang disebut xdr (extensive drug resistant) (permenkes, 2016). menurut kemenkes 2018, pasien tuberkulosis resistan obat (tb ro) yang keywords: pulmonary tb, treatment adherence, king interaction system theory sedang dalam pengobatan menghadapi berbagai kendala terutama efek samping, seperti mual, gangguan pendengaran dan kelelahan yang berdampak pada derajat kualitas hidup pasien, kemampuan bekerja dan menjalankan kegiatan sehari-hari. penelitian terbaru menunjukkan efek samping obat adalah faktor utama penyebab pasien putus berobat. laporan who (who global tb report) tahun 2016 menekankan masalah yang masih terjadi terkait angka keberhasilan pengobatan tb ro yang hanya 52%. propinsi jawa timur merupakan penyumbang kedua kasus tuberkulosis positif dibawah jawa barat. data yang didapat dari dinas jawa timur menyebutkan bahwa penderita tb di jawa timur mencapai 20.000/tahun, dari total 41.472 penderita tb di provinsi-provinsi yang ada di indonesia, sebanyak 25.618 yang terdiri dari penderita baru bta + yang didapatkan pada tahun 2012. hasil studi awal peneliti pada akhir tahun 2017 di puskesmas wilayah kabupaten kediri berdasarkan data dinas kesehatan kabupaten kediri tahun 2017 diperoleh data total penderita tb paru bta + adalah 630 orang yang tersebar di 37 puskesmas dan berada di 10 rumah sakit di wilayah kabupaten kediri. penderita tb pada kategori 2 di wilayah kabupaten email: yanuar.eka@iik.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p268-275 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p268-275 270 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 268–275 kediri juga cukup banyak yaitu 27 orang. data ini diambil pada bulan april 2019. bila pada penderita tb kategori 2 tersebut tidak adanya konsistensi pada pengobatan akan besar kemungkinan bakteri tb akan menjadi resisten obat pada pengobatan yang sudah berulang atau lini kedua. kepatuhan minum obat di pengaruhi oleh 6 variabel menurut penelitian avianty (2005), pertama variabel umur, menurut depkes (2008) menyebutkan bahwa di indonesia kebanyakan pasien tb paru terjadi pada usia produktif (15 hingga 55 tahun). variabel kedua yaitu variabel pendidikan, dimana kepatuhan minum obat dapat dilihat dari pendidikan pasien, misalnya penggunaan buku-buku dan kaset sebagai literatur yang dilakukan oleh pasien secara mandiri, jadi pendidikan tersebut mendukung proses penyembuhan. pada variabel ketiga yaitu penghasilan. keempat variabel pengetahuan, menurut leventhal et al 1984 dalam rankin & stallings, (2001) kurang pengetahuan menjadi penyebab ketidakpatuhan pasien akan resep medis. kelima variabel sikap, dan terakhir peran pmo. menurut darmadi (2000), sikap buruk dan motivasi rendah untuk sembuh terdapat pada pasien yang kurang aktif berobat. demikian pula pada pmo pada pasien yang tidak aktif berobat memiliki pengawasan yang buruk. masalah lainnya adalah yaitu pengobatan penyakit tb paru yang perlu jangka waktu 6-8 bulan dan harus dilakukan secara rutin. jika tidak ada suatu upaya penanganan yang komprehensif ma ka menyebabkan keadaan tersebut akan bertambah parah, maka harapannya dapat menggandeng beberapa pihak dan menerapkan model asuhan yang efektif untuk mengatasi tingginya kejadian tb paru. akibat buruk jika pasien tidak melakukan pengobatan sampai selesai adalah resisten terhadap oat primer atau mdr, bahkan lebih parahnya lagi bisa menyebabkan mycrobacterium tuberculosa kebal terhadap oat lini kedua disebut xdr (extensive drug resisten) (dewi, 2011). komunikasi yang baik akan memberikan gambaran diri pada seorang penderita tentang kondisi dirinya apa yang dia sedang alami. dalam dunia keperawatan banyak sekali teori-teori yang terkenal salah satunya adalah teori sistem interaksi king atau yang lebih kenal dengan istilah imogene king merupakan ”interacting systems framework and theory of goal attainment”, yaitu adanya hubungan timbal balik antara perawat dan penderita pada asuhan keperawatan sehingga mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain dengan harapan dapat mencapai tujuan. king menyatakan komponen integral dalam teori ini merupakan pencapaian tujuan sebuah konsep transaksi. king menggunakan metode observasi non partisipan yang maksudnya adalah proses pengamatan observer dimana hal ini perawat tanpa ikut dalam kehidupan penderita dan secara terpisah sebagai pengamat dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi hubungan perawat – penderita dalam seting perawatan dengan sistem interaksi. macam-macam interaksi diamati baik komunikasi secara verbal maupun komunikasi non verbal yang hal tersebut digunakan sebagai data dasar termasuk bagaimana alat untuk mencapai tujuan dilakukan pengkajian yang telah disepakati sebelumnya. hasil dari eksplorasi memberikan sebuah sistem klasifikasi yang berguna dalam interaksi perawatpenderita. berdasarkan hal diatas maka teori sistem interaksi dan middle range teori pencapaian tujuan digunakan sebagai kerangka teori dalam penelitian ini yang berfokus pada sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial dalam mencapai tujuan yaitu meningkatkan kepatuhan minum obat pasien tb paru (titin, 2015). penelitian rahmi tahun 2017 tentang hubungan kepatuhan tb paru dengan efek samping oat, peran pmo, perilaku kesehatan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan pada efek samping oat karena penderita tidak tau bahwa dapat menimbulkan keluhan. hal ini menjadi dasar peneliti untuk mengembangkan variabel pada penelitian rahmi yang berbeda dengan penelitian samsurian tahun 2011 yang menyatakan ada hubungan efek samping oat dengan menggunakan teori king yang salah satunya sistem personal yang membahas tentang pengobatan tb paru, sehingga lebih spesifik tidak hanya menjelaskan tentang efek samping obat, tetapi juga penyebab tb paru, lama pengobatan, cara minum obat, dan nutrisi selama sakit. asuhan keperawatan pada pasien tb di indonesia sudah melakukan intervensi untuk peningkatan kepatuhan antara lain dengan memberikan edukasi kepada pasien tentang penjelasan bagaimana cara penularan penyakit dari tubuh pasien, pentingnya menjalankan pengobatan dan kontrol pada waktu yang telah ditentukan. pemberian edukasi di poliklinik biasanya dilakukan dengan mengumpulkan pasien menjadi satu dan belum menitikberatkan pada interaksi antara pasien dan perawat yang intensif untuk patuh dalam melaksanakan pengobatan atas dari diri sendiri sehingga perlu merubah persepsi dan keyakinan di pasien. perawat mempunyai peran 271pujiastutik, sumaningrum, theory of goal attainment (imogene m. king) ... penting pada tata kelola pasien tb dalam memfasilitasi terapi dan mengarahkan perilaku pasien yang bermanfaat agar dapat menjadikan motivasi pasien untuk patuh. agar tidak terjadi gagal pengobatan, maka peran serta perawat untuk ikut program pemerintah sangat diperlukan. agar pasien patuh dalam menjalankan pengobatan maka perawat perlu melakukan suatu pendekatan dengan mendukung program pemerintah yang salah satunya adalah dengan program pmo. maka untuk mencapai kesembuhan, dapat digunakan model interaksi king untuk meningkatkan kepatuhan pasien melaksanakan pengobatan. menurut harnilawati tahun 2013, model konseptual imogene m. king yaitu suatu sistem yang terdiri dari sub sistem keluarga dan sistem sosial yang lebih luas. keluarga sebagai sub sistem komunitas dimana dalam keluarga terjadi sistem terbuka yaitu adanya hubungan timbal balik antara keluarga dengan komunitas yang menjadi feedback. kerangka konseptualnya terdiri dari sistem personal antara lain konsep mengenai persepsi dirinya, pertumbuhan dan pérkembangan, body image, jarak dan waktu. sistem lnterpersonal yaitu mengenai interaksi manusia, transaksi, masyarakat, stress. dan peran. sistem sosial meliputi organisasi di lingkungan, otoritas, pembuatan keputusan, kekuatan, dan status sosial. teori ini telah diterapkan pada praktek keperawatan baik pada lingkup klinik maupun pada lingkup komunitas. berbagai riset dan studi berpusat pada aspek teknis perawatan klien dan sistem pelayanan keperawatan. dalam praktek baik di lahan klinik maupun lahan komunitas, hubungan timbal balik sangat penting bagi klien dan perawat. jadi untuk penerapan di klinik maupun di komunitas teori king ini mendukung karena kesembuhan klien sangat dipengaruhi oleh hubungan dua arah dari perawat dan klien. berdasarkan uraian diatas maka perlu dikembangkan acuan baru yang dapat memaksimalkan asuhan keperawatan pada tb paru pada sistem interaksi pasien untuk meningkatkan kepatuhan pasien tb paru. dari beberapa fenomena dan penjelasan latar belakang diatas maka peneliti mengambil judul penelitian “theory of goal attainment (imogene m. king) sebagai basis analisis faktor patuh minum obat tb paru di kabupaten kediri” untuk mengetahui sistem kerangka konsep mana yang berhubungan dengan kepatuhan dalam minum obat pada penderita tb paru dengan menggunakan teori sistem interaksi king. bahan dan metode penelitian ini sudah melewati uji etik di institut ilmu kesehatan bhakti wiyata dan layak etik dengan nomor 417/pp2m-ke/v/2019. jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik. lokasi penelitian di seluruh puskesmas kabupaten kediri yang terdapat tb paru kategori 2. sampelnya adalah semua penderita tb paru dengan kategori 2 di puskesmas wilayah kabupaten kediri berjumlah 27 orang dengan teknik sampling yang adalah total sampling. penelitian ini dilakukan dengan cara door to door ke rumah penderita tb paru kategori 2. variabel independennya yaitu teori intera ksi king yaitu sistem personal, sistem interpersonal, dan sistem sosial. sedangkan variabel dependennya adalah kepatuhan minum obat pada penderita tb dengan kategori 2. jenis kuesioner yang digunakan oleh peneliti adalah close ended questions. kuisioner ini merupakan pengembangan dari disertasi titin tahun 2015 yang kemudian dilakukan uji validitas yang dilakukan peniliti ada sebanyak 55 soal yang diujikan kepada beberapa sampel. kuisioner tentang sistem personal teori king yang terdiri dari 27 pertanyaan dengan pilihan ganda “a”, “b”, “c” sedangkan kuisioner tentang sistem interpersonal dan sosial terdiri dari 27 pertayaan dengan 16 pertanyaan sistem interpersonal dan 11 pertanyaan sistem sosial menggunakan pilihan “ya”, “kadang-kadang” dan “tidak”. variabel dependen faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dengan menggunakan lebar observasi yang dimiliki oleh penderita yang didapatkan saat berobat di puskesmas. uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji regresi logistik biner untuk untuk mengetahui sistem kerangka konsep mana yang berhubungan dengan kepatuhan dalam minum obat pada penderita tb paru dengan menggunakan teori sistem interaksi king. hasil penelitian hasil meliputi data umum meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan pmo (pengawas minum obat ) sedangkan data khusus adalah personal, interpersonal dan sosial dari teori sistem interaksi king dan kepatuhan. berikut adalah tabel 1 karakteristik responden jenis kelamin, umur, pendidikan, penghasilan, riwayat penyakit, dan pmo. 272 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 268–275 tabel 4 menjelaskan distribusi frekuensi tingkat sosial penderita tb kategori 2 di puskesmas wilayah kabupaten kediri, didapatkan hasil bahwa dari 27 responden terdapat 20 responden (86,2%) dengan kategori sosial tinggi. data khusus yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan uji logistik binier untuk menguji hipotesa penelitian, yaitu untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pada penderita tb kategori 2 berbasis teori sistem interaksi king dengan nilai p < 0,05 dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95%. hasil uji logistik binier dari ketiga variabel menunjukkan nilai sig <  (0,05) dengan nilai sig 0,039 sehingga ada hubungan antara sistem personal teori interaksi king dengan kepatuhan minum obat no karakteristik f % 1 jenis kelamin laki-laki 10 37,1 perempuan 17 62,9 2 umur laki-laki 2 7,4 perempuan 2 7,4 laki-laki 5 18,5 perempuan 11 40,8 laki-laki 7 25,9 3 pendidikan tidak sekolah 2 7,4 tidak tamat sd 5 18,6 tamat sd 9 33,3 smp 6 22,2 sma 3 11,1 pt 2 7,4 4 penghasilan > 1.100.000 5 18,5 < 1.100.000 22 81,5 5 penyakit lain dm 18 66,7 hipertensi 2 7,4 tidak ada 7 25,9 6 pmo ada 25 95,6 tidak ada 2 7,4 7 kepatuhan patuh 8 29,6 tidak patuh 19 70,4 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden penderita tb dengan kategori 2 di wilayah puskesmas kabupaten kediri berdasarkan tabel 1 dapat dijelaskan bahwa dari 27 responden terdiri 10 responden (37,1%) berjenis kelamin laki-laki dan 17 responden (62,9%) berjenis kelamin perempuan, rentang umur 46-65 tahun sebanyak 11 responden (40,8%), pendidikan responden adalah sd yaitu sebanyak 9 responden (33,3%), sebanyak 22 reponden (81,5%) memiliki penghasilan kurang dari 1.100.000, sebagian besar memiliki riwayat penyakit penyerta diabetes melitus yaitu 18 reponden (66,7%), 25 responden (95,6%) memiliki pmo atau pengawas minum obat, terdapat 19 responden (70,4%) yang tidak patuh. tabel 2 menjelaskan distribusi frekuensi tingkat personal penderita tb kategori 2 di puskesmas wilayah kabupaten kediri, didapatkan hasil bahwa dari 27 responden terdapat 12 responden (44,4%) dengan kategori personal cukup. personal frekuensi persentase (%) kurang 7 25,9 cukup 12 44,4 baik 8 29,7 total 27 100,0 tabel 2 di stribusi fre kuensi ti ngk at pe rsonal penderita tb paru interpersonal frekuensi persentase (%) rendah 2 33,3 sedang 16 59,3 tinggi 9 7,4 total 27 100,0 tabel 3 distribusi frekuensi tingkat interpersonal penderita tb paru tabel 3 menjelaskan distribusi frekuensi tingkat interpersonal penderita tb kategori 2 di puskesmas wilayah kabupaten kediri, didapatkan hasil bahwa dari 27 responden terdapat 16 responden (59,3%) dengan kategori interpersonal sedang. sosial frekuensi persentase (%) rendah 1 3,7 sedang 6 22,2 tinggi 20 74,1 total 27 100,0 tabel 4 distribusi frekuensi tingkat sosial penderita tb paru 273pujiastutik, sumaningrum, theory of goal attainment (imogene m. king) ... tb paru kategori 2 di puskesmas wilayah kabupaten kediri dan nilai sig >  (0,05) sehingga tidak ada hubungan dari sistem interpersonal dan sosial teori interaksi king dengan kepatuhan minum obat tb paru kategori 2 di puskesmas wilayah kabupaten kediri. pembahasan analisis kepatuhan dengan sistem personal teori interaksi king penelitian deasy (2010), menurut culter dan lieras-muney dalam tingkat pendidikan berpengaruh positif dengan perilaku kesehatan, maka semakin tinggi pula kesadaran seseorang akan pentingnya tindakan kesehatan, dalam hal ini tingkat pendidikan penderita tb tamatan sd yaitu sebanyak (33,3%) dengan demikian tingkat pengetahuan penderita juga dikategorikan dalam tingkatan yang cukup jika dihubungkan dengan umur responden yang berkisar antara 46-65 tahun. notoatmodjo (2012) menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan mempengaruhi tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan yang dialaminya. hasil penelitian ini menyebutkan semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh penderita tb paru maka semakin tinggi pula kepatuhan penderita tersebut untuk melakukan pengobatan. hal itu dapat dikatakan bahwa dari hasil penelitian sistem personal responden kategori cukup. sistem personal dengan hasil tersebut didukung pada tingkat pengetahuan yang sebagian besar menunjukkan hasil yang baik sehingga kemampuan penderita dalam mengisi lembar kuisioner pada sistem personal menghasilkan nilai yang cukup, tingkat pengetahuan tersebut didasarkan dari data demografi pada tingkat pendidikan penderita yang memiliki hasil yaitu sebagian besar adalah berpendidikan tamat sd. pada responden dengan kategori tidak patuh sejumlah 5 orang memiliki pendidikan yang tidak tamat sd dan memiliki nilai sistem personal yang kurang, jadi menurut peneliti semakin tingginya tingkat pendidikan ataupun pengetahuan maka semakin meningkat juga tingkat kepatuhan yang dimilikinya. berdasarkan hal tersebut menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sistem personal dengan kapatuhan penderita tb paru kategori 2. king mengungkapkan bahwa masing-masing individu adalah personal dan konsep gambaran diri, pertumbuhan dan perkembangan perlu pemahaman. hal ini didukung dari hasil data demografi riwayat penyakit penderita tb kebanyakan adalah diabetes melitus yang menurut mereka ketika diminum bersamaan akan menyebabkan reaksi tubuh menjadi menurun. penderita tb yang mengalami penyakit dm disebabkan efek obat-obatan tb di pankreas yang menjadikan penurunan kadar insulin sehingga kadar gula darah menjadi naik. tingginya gula darah pada penderita dm adalah lingkungan untuk berkembang bakteri termasuk kuman tb laten yang bisa aktif dan akhirnya membuat penyakit itu menyerang tubuh seseorang dengan bersamaan. pengobatan penderita tb yang disertai dm membutuhkan waktu lebih lama sekitar 9 bulan karena kuman tb lebih susah dihancurkan bahkan akan menjadi mdr atau resisten dengan macam-macam obat sehingga waktu pengobatan yang dibutuhkan akan lebih panjang lagi. dari gejalanya nafsu makan menurun, badan meriang, tanpa disertai batuk, lemas secara terus menerus. hal ini menjadi penyebab penderita tidak patuh minum obat. menurut peneliti, kurangnya pengetahuan penderita tb paru diperlukan peran petugas kesehatan pada umumnya masih kurang baik dalam hal memberi informasi tb paru kepada responden. ber da sa r kan wawa nca r a denga n r esponden, diketahui bahwa beberapa petugas kesehatan hanya sebagian yang memberikan penjelasan mengenai jadwal menelan obat dan mengambil obat, pencegahan, penularan dan pentingnya pmo kepada responden ketika datang untuk mengambil obat pertama kali. analisis kepatuhan dengan sistem interpersonal teori interaksi king berdasarkan penelitian ini, penilaian sistem interpersonal berda sarka n perana n pender ita terhadap komunikasi yang terbuka, pengelolaan stres selama sakit dan bagaimana penderita dalam menjalankan perannya selama sakit. menurut niven (2012), ketika individu berinteraksi satu dengan yang lain seperti interaksi antara perawat, pasien dan keluarga merupakan sistem tabel 5 hasil uji regresi logistik binier penderita tb paru kategori 2 variabel sig kepatuhan personal 0,039 interpersonal 0,628 sosial 0,192 274 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 268–275 interpersonal. konsep yang berhubungan dengan sistem interpersonal adalah peran, stres, stresor, interaksi, transaksi dan komunikasi. peran tersebut mengacu pada perilaku yang diharapkan seseorang dalam posisi spesifik yang ada pada sistem sosial. peran dalam sistem interpersonal memerlukan komunikasi dan hubungan yang interaktif. stres terjadi ketika perubahan energi positif dan negatif antara individu dan lingkungan, obyek, kejadian atau orang lain berupa stres fisiologik, psikologis, dan sosial. bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan yang dipengaruhi oleh situasi adalah hal penting dalam interaksi antara profesional kesehatan dan pasien. transaksi adalah hubungan timbal balik yang berorientasi pada pencapaian tujuan dimana individu berkomunikasi satu dengan lainnya atau dengan lingkungan. komunikasi adalah proses penyaluran informasi verbal dan non verbal antara 2 atau lebih individu dalam lingkungan. menurut king (dalam alligood & tomey, 2006) jika perawat memiliki pengetahuan khusus dan mempunyai teknik komunikasi yang memadai maka perawat dapat memberikan informasi ke pasien secara tepat maka tujuan yang diharapkan dapat dicapai. pada penelitian ini tidak ada hubungan pada sistem interpersonal karena komunikasi perawat dengan pasien tidak mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita tb paru. hal ini disebabkan karena petugas kesehatan dalam hal ini program tb telah memberikan perhatian serta memberikan informasi yang jelas pada penderita sehingga dapat menyebabkan penderita tb paru menjadi percaya terhadap petugas puskesmas. sikap dan perilaku yang diberikan petugas kesehatan sudah cukup baik dalam memberikan pelayanan pengobatan pada penderita, karena sebagian besar program tb telah mengikuti pelatihan penanggulangan penyakit tb paru. penilitian ini sesuai dengan erwatiningsih yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan tidak berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita tb paru, jadi penderita yang mendapat dukungan dan motivasi yang positif dari keluarga maupun petugas memiliki semangat yang kuat untuk mencapai kesembuhan dan patuh pada masa pengobatan. analisis kepatuhan dengan sistem sosial teori interaksi king berdasarkan penelitian ini penilaian sistem sosial berdasarkan peranan penderita terhadap pengembilan keputusan yang dilakukan oleh penderita serta mengetahui birokrasi pelayanan kesehatan dimana tempat penderita tersebut berobat. dalam penelitian ini juga para penderita tb paru mengungkapkan hampir seluruhnya memiliki pmo dalam memberika n dukungan terhadap penderita tb paru dalam meminum obat, meskipun seluruhnya terbukti tidak patuh juga memiliki pmo yaitu berupa keluarga dalam mengawasi penderita dalam meminum obat karena penyakit penderita tb kebanyakan adalah diabetes melitus yang menurut mereka ketika diminum bersamaan akan menyebabkan reaksi tubuh menjadi menurun sehingga membuat ketidakpatuhan minum obat. berdasarkan penelitian dilapangan sebagian besar penderita mengeluhkan mulai lelah menjalani pengobatan dikarenakan lamanya pengobatan serta pada fase intensif pada kategori 2 penderita harus disuntik selama 60 kali ditambah lagi pada penderita yang memiliki akses rumah yang cukup jauh dari puskesmas juga mengungkapkan kesulitan dalam mencari fasilitas kesehatan lain untuk membantu memasukkan obat injeksi apabila puskesmas tutup. berdasarkan hal tersebut menurut peneliti yang bisa menjadi salah satu faktor bahwa tidak ada hubungan yang signifikan dari teori king sistem sosial terhadap kepatuhan pada penderita tb paru kategori 2 di puskesmas wilayah kabupaten kediri. djuniati dalam nurhanah (2010) menyebutkan, pekerjaan berhubungan dengan tingkat pendapatan seseorang sehingga berpengaruh terhadap status sosial ekonomi. hal ini sama dengan penelitian ini yaitu menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan dengan kejadian tb paru, pada kelompok pekerja yang berisiko tinggi (sopir,buruh/tukang) lebih tinggi terkena tb paru dibandingkan dengan kelompok pekerja risiko rendah seperti karyawan dan pns/tni/polri. kesimpulan hasil analisis sistem personal terhadap kepatuhan penderita tb kategori 2 menunjukan bahwa terdapat hubungan sistem personal dengan kepatuhan yang ditunjukan dengan nilai p = 0,039 hasil analisis sistem interpersonal terhadap kepatuhan minum obat penderita tb kategori 2 menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan sistem interpersonal dengan kepatuhan yang ditunjukan dengan nilai p = 0,628 hasil analisis sistem sosial terhadap kepatuhan minum obat penderita tb kategori 2 menunjukan 275pujiastutik, sumaningrum, theory of goal attainment (imogene m. king) ... bahwa tidak terdapat hubungan sistem sosial dengan kepatuhan dengan nilai p = 0,192. saran penelitian berikutnya diharapkan dapat mengkaji lebih mendalam faktor apa saja yang menyebabkan ketidakpatuhan minum obat penderita tb paru yang disertai penyakit dm sehingga tidak menjadi mdr dan menyebabkan kematian. daftar rujukan alligod, m.r & tomey, a.m, (2010). nursing thoery : utilization & application. missouri : mosbly inc avianty, (2005), analisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat pasien tb paru pada fase intensif di rs umum cibabat cimahi. dalam budiman, novie, dewi, skripsi, stikes a. yani cimahi. darmadi (2000). analisis kualitatif perilaku kepatuhan menelan obat pasien tuberkulosisi paru di 4 puskesmas wilayah kabupaten ketapang tahun 2000. dalam titin sukartini, program studi doktor keperawatan universitas indonesia depok : disertasi. deasy, dwi. (2010). analisis perilaku kepala keluarga tentang pencegahan chikungunya dengan pendekatan teori health belief model di desa karangandu kecamatan watulimo kabupaten trenggalek. universitas airlangga: skripsi depkes ri & who (2008). lembar fakta tuberkulosis. hari tb sedunia. 24 maret 2008 dhewi, gendhis indra., armiyati, yunie & mamat suprayitno (2011). hubungan antara pengetahuan, sikap pasien dan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pada pasien tb paru di bpkm pati. program studi s1 ilmu keperawatan stikes telogorejo semarang: jurnal erawatyningsih e, purwanta dan heru s. (2009). faktorfaktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru. ntb. berita kedokteran, vol 25, no 3. hayati, armelia. (2011). evaluasi kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru tahun 2010-2011 di puskesmas kecamatan pancoran mas depok. depok niven, n. (2012). psikologi kesehatan: pengantar untuk perawat & profesional kesehatan lain. jakarta: egc notoatmodjo, s. (2012). metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta nurhanah, n., amirrudin, r., & abdullah, t., (2010). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada masyarakat di provinsi sul awesi se l at an 2007 . medi a keseh at a n masyarakat indonesia. vol.6(4) permenkes ri. no. 67 (2016). penanggulangan tuberkulosis. jakarta: menteri kesehatan republik indonesia rahmi, n, dkk. (2017). hubungan tingkat kepatuhan penderita tuberkulosis paru dengan perilaku kesehatan, efek samping oat dan peran pmo pada pengobatan fase intensif di puskesmas seberang padang september 2012 januari 2013. jurnal kesehatan andalas 2017;6(2) samsurian. (2010). pengaruh efek samping obat anti tubekulosis terhadap kejadian default di rumah sakit islam pondok kopi jakarta timur januari 2008-mei 2010 (tesis).jakarta: fakultas kesehatan masyarakat univesitas indonesia sukartini, tintin. (2015). pengembangan model peningkatan kepatuhan berbasis teori sistem interaksi king dan pengaruhnya terhadap kepatuhan pasien tuberkulosis paru. program studi doktor keperawatan universitas indonesia depok : disertasi e:\2021\ners agustus\9--jurnal 196 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 196–200 the frequency of antenatal care with the risk of failure to breastfeeding for infants aged 3-6 months indah yun diniaty rosidi1, arisna kadir2 1,2midwifery department, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 04/05/2021 accepted, 07/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: anc, breastfeeding, risk, failure article information abstract antenatal care during pregnancy has an influence on fetal growth and a mother’s readiness to prepare for labor and breastfeeding. failure to provide exclusive breastfeeding can have a potential death impact on children, because exclusive breastfeeding is the basis for children’s survival and children’s health because of the irreplaceable nutritional content of breast milk for children’s growth and development. this study aimed to determine the correlation between anc frequency and the risk of breastfeeding failure to infants aged 3-6 months. the study method used analytical study with the case control approach. the sample in this study was 20 mothers who had babies aged 3 months and were divided into 2 groups, namely the case group and the control group with purposive sampling technique. in this study, cases and controls were not matched. the data analysis used the fisher extact test and the odds ratio of case exposure was indicated by a value of  <0.05 and an or value> 1 to determine the amount of risk that occurred in the variable. the results showed that there was no correlation between anc frequency and failure to administer breast milk for infants aged 3-6 months. the frequency of anc that was incomplete could have a risk of failure of breastfeeding in infants aged 3-6 months by 2.333 times compared to mothers with the frequency of complete anc. it is hoped that this study can be continued by paying attention to confounding factors and seeing the correlation between variables. © 2021 journal of ners and midwifery 196 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: tinasari.levi@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p196–200 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p196-200 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p196-200&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 197rosidi, kadir, the frequency of antenatal care with the risk of failure to ... introduction breast milk is the first immunization for infants that provides protection from respiratory infections, diarrhea and others, breast milk also has a protective effect against obesity and non-communicable diseases in the future (horta, benardo l; victora, 2013; ramadhani, eka putri; lubis, 2013). a mother has an important role in the process of child development from infancy to adulthood, namely providing good, adequate and balanced nutrition, among others, by providing exclusive breastfeeding for 6 months without any additional food (jauhari, imam; fitriani, 2018). globa lly, the cover a ge of exclusive breastfeeding for infants 0-6 months is only 38%, this causes the infant mortality rate to reach 11.6%, which is equivalent to around 804,000 child deaths in 2018 (who / unicef, 2012). failure to provide exclusive breastfeeding can have a potential death impact on children, because exclusive breastfeeding is the foundation for children’s survival and children’s health because of the irreplaceable nutritional content of breast milk for children’s growth and development (horta, benardo l; victora, 2013). the low coverage of exclusive breastfeeding is caused by several factors, including poor knowledge about breastfeeding (who/unicef, 2012). maternal knowledge about breastfeeding can be obtained by medical personnel or midwives during anc visits during pregnancy. mother awareness in breastfeeding is still low due to low knowledge about the benefits of breastfeeding, influenced by customs and a lot of misinformation about formula milk, which in its promotion contains a lot of vitamins that are needed by children, so that mothers leave breast milk and prefer formula milk (jauhari, imam; fitriani, 2018). antenatal care during pregnancy has an influence on fetal growth and a mother’s readiness to prepare for labor and breastfeeding. in antenatal care, mothers will receive various education about pregnancy and breastfeeding preparation. thus, antenatal care both in terms of quantity, namely the number of antenatal visits made by the mother and in terms of quality, namely antenatal services provided by health workers (midwives) will determine the quality of pregnancy, which in turn will affect the process of delivery to breastfeeding (ahmalia & parmisze, 2018). based on the above background, the studyers are interested in conducting study on “frequency of antenatal care with the risk of failure of breastfeeding for infants aged 3-6 months”. method the type of the study used analytical research design with a case control approach (case study) namely observational analytical epidemiological study that can be used to examine the correlation between effects (diseases/health problems) and certain risk factors and can be used to assess how big the risk factors are for a disease to occur. the design of this study was carried out with the aim of analyzing the frequency of anc at r isk for breastfeeding failure in infants aged 3-6 months. in cases and controls, the respondent’s anc frequency was traced. in this study, cases and controls were not matched (ardiana, et al, 2021; hasmi, 2016) this study was conducted for 3 months from february to august 2020 in the taraweang pangkep health center work area. the population in this study were mothers who had babies 0-3 months as many as 46 respondents. the sample size used is 20 mothers who have babies aged 3 months and will be divided into 2 groups, namely the case group and the control group. the sampling technique used purposive sampling, which was a sampling technique for specific purposes and certain considerations made by studyers based on previously known characteristics or characteristics of the population (hasmi, 2016). as for determining the sample will be taken based on the following criteria: 1. inclusion criteria a. case group: mothers who fail to breastfeed their babies for a maximum of 90 days (3 months) after delivery and a history of childbirth from the health facility such as hospital / public health center / delivery room b. control group: mothers who successfully breastfeed their babies for a maximum of 90 days (3 months) after delivery and a history of childbirth from the health facility such as hospital / public health center / delivery room 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 196–200 c. mothers who have babies aged 3-6 months 2. exclusion criteria a. mothers with breastfeeding contraindications b. mothers with a history of lbw> 2500 gram c. mothers with a history of problematic bbl a questionaire with open interview for each respondents were used as the instrument for this study. data analysis is in the form of univariate analysis, where the data obtained from each variable is entered into the frequency variable. furthermore, bivariate analysis is carried out, namely to determine or test the correlation between the independent variable and the dependent variable using the fisher extact test (ñ-value) and the odds ratio of case exposure (or). result 1. univariate data the results of the univariate analysis of respondent characteristics are in the table below: from table 1, it is explained that most of the respondents have a non-risk age between 20-35 years as many as 12 respondents (60%), most of the mothers have low education in smp-sd, namely 14 respondents (70%) and the average working mother and mother households each as many as 10 respondents (50%), as well as maternal parity, namely primiparous and multiparous respectively as many as 10 respondents (50%). 2. bivariate data bivariate analysis aims to determine the correlation between the independent variables and the dependent variable, using the fisher extact test. the analysis aims to see the correlation between the frequency of antenatal care and the failure of breastfeeding to infants 3-6 months, indicated by a value of -value <0.05 and the value of or (odds ratio)> 1 to determine the risk that occurs in the variable. from table 2 it can be explained that there is no correlation between the frequency of anc and no. variable frequency % 1. mother’s age no risk 12 60 it’s risky 8 40 2. education high 6 30 low 14 70 3. profession does not work 10 50 work 10 50 4. parity primipara 10 10 multiparous 10 10 source: primary data, 2020 table 1. respondent characteristics frequency distribution in the taraweang pangkep health center work area from february to august 2020 anc frequency control case total  or n (%) n (%) n (%) complete 7 (58.3) 5 (41.7) 12 (100) 0.650 2,333 incomplete 3 (37.5) 5 (62.5) 8 (100) total 10 (50) 10 (50) 20 (100) source: primary data, 2020 table 2. correlation of frequency of anc visits with the risk of failure of breastfeeding in infants aged 3-6 months in the taraweang pangkep health center work area from february to august 2020 the failure of breastfeeding in infants aged 3-6 months, but the frequency of incomplete ancs has a greater risk of failing to provide exclusive breastfeeding by 2.333 times compared to mothers with the frequency of complete anc. discussion antenatal care (anc) is an examination to optimize the mental and physical health of pregnant women, so that they are able to deal with childbirth, 199rosidi, kadir, the frequency of antenatal care with the risk of failure to ... postpartum, breastfeeding preparation and the return to normal reproductive health. anc visit is a visit made by pregnant women to get antenatal care / pregnancy. anc services are preventive services to monitor maternal health and prevent complications for mothers and fetuses (bartini, 2012; mappaware, nasrudin andi; muchlis, 2020). the frequency of anc that must be done is at least 4 times during pregnancy, namely 1 time in the first trimester, 1 time in the second trimester and 2 times in the third trimester. anc services performed by midwives must comply with comprehensive and quality standards stipulated in the minister of health decree no. 97 of 2012, one of which is providing health counseling services. the counseling services provided by midwives can increase the mother ’s knowledge both about pregnancy, childbirth and preparation for breastfeeding, with the hope that it can have an impact on shaping positive behavior in improving maternal and child health (menteri kesehatan ri, 2014). in table 2, it can be seen that as many as 12 respondents conducted a complete anc examination at the health center, 58.3% of them gave exclusive breastfeeding to their babies, while 41.7% of mothers who did a complete anc examination failed to provide exclusive breastfeeding to their babies. this is due to the work done by the mother. in table 1, it can be seen that 50% of mothers work outside the home, with limited time and busyness of mother s pr efer to pr ovide for mula milk or breastfeeding substitute foods (mp-asi) to their babies. according to the depkes (2012), work is one of the obstacles for mothers to give exclusive breastfeeding to their babies. meanwhile, according to soetjiningsih (2012) employment status is suspected to be related to breastfeeding patterns. work is always used as an excuse for not giving exclusive breastfeeding to babies because mothers leave the house so that breastfeeding time is reduced. in addition, the parity factor also affects breastfeeding for babies, multiparous mothers (having more than 2 children) make mothers feel overwhelmed to take care of so many children and have a job outside the home. this is in line with ervina’s study (2018) that there is a parity correlation with exclusive breastfeeding for infants 7-12 months. mothers who did not complete the anc examination were 8 respondents. as many as 62.5% of mothers failed to breastfeed their babies, this was due to the lack of knowledge of mothers about breastfeeding, while 37.5% of mothers were able to breastfeed their babies. the success of mothers in breastfeeding even though they did not perform regular anc examinations was motivated by parity or previous experience of caring for children. proverawati (2010), said that in mothers who gave birth more than once, breast milk production was much higher than mothers who gave birth for the first time. the number of deliveries that the mother has experienced provides experience in giving breast milk to the baby. the results showed that there was no significant correlation between the frequency of anc and the failure of breastfeeding in infants aged 3-6 months (value  = 0.650>  = 0.05). this is not in line with study conducted by isna hikmawati (2008) which states that there is a significant correlation between the number of ancs performed by mothers and the failure of breastfeeding. however, the results showed that the frequency of incomplete ancs could have a risk of failure of breastfeeding to infants aged 3-6 months by 2.333 times compared to mothers with complete anc frequencies based on the results of study conducted by studyers, there are predisposing factors that influence the results of this study, namely employment, parity and mother’s knowledge., therefore, more in-depth study is needed regarding these factors. conclusion the results showed that there was no correlation between anc frequency and breastfeeding failure in infants aged 3-6 months. this is due to the presence of predisposing factors, namely parity, occupation and knowledge of the mother. the frequency of anc that is incomplete can have a risk of failure of breastfeeding in infants aged 3-6 months by 2.333 times compared to mothers with the frequency of complete anc. suggestion it is hoped that this study can be continued with broader variables and using a more in-depth test such as correlation between variables. this study still has shortcomings, namely the existence of confounding factors, it is hoped that further study can analyze confounding factors in study. 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 196–200 refference ahmalia, r., & parmisze, a. (2018). hubungan pengetahuan, pendidikan dan dukungan suami dengan kunjungan pemeriksaan antenatal care di puskesmas lubuk alung tahun 2017. human care journal, 3(3), 1. https://doi.org/http://dx.doi.org/ 10.32883/hcj.v3i1.145 ardiana, dewa putu yudhi; mawati, arin tentrem; supinganto, agus; simamarta, janner; yuniwati, ika; adipura, i made sudarma; oktaviani, ni putu wiwik; trisnadewi, ni wayan, purba, bonaraja; silitonga, bertha natalia; purba, s. (2021). metodologi penelitian bidang pendidikan (cetakan 1). yayasan kita menulis. bartini, i. (2012). anc/ : asuhan kebidanan pada ibu hamil normal. nuha medika. depkes ri. (2012). manajemen laktasi/ : buku panduan bagi bidan dan petugas kesehatan di puskesmas. diit gizi masyarakat depkes ri. ervina, a., & ismalita, w. (2018). hubungan paritas dengan asi eksklusif pada bayi usia 7-12 bulan. jurnal obstretika scientia, 6(1), 170–178. https:// ejurnal.latansamashiro.ac.id/index.php/obs/article/ view/354. hasmi. (2016). metode penelitian kesehatan. in media. horta, benardo l; victora, c. g. (2013). long-term health effects of breastfeeding (a systematic review). in world health organization (vol. 129, issues 8–9). world health organization. http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/18198630 jauhari, imam; fitriani, r. b. (2018). perlindungan hak anak terhadap pemberian air susu ibu (asi) (sulaiman (ed.); 1st ed.). deepublish. mappaware, nasrudin andi; muchlis, n. s. (2020). kesehatan ibu dan anak (dilengkapi dengan kasus dan alat ukur pelayanan kesehatan ibu dan anak) (1st ed.). deepublish. menteri kesehatan ri. (2014). peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 97 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan kehamilan. proverawati, atikah; rahmawati, e. (2010). kapita selekta asi & menyusui (1st ed.). nuha medika. ramadhani, eka putri; lubis, g. e. (2013). hubungan pemberian asi eksklusif dengan angka kejadian diare akut pada bayi usia 0-1 tahun di puskesmas kuranji kota padang. jurnal kesehatan andalas, 2(2), 62–66. https://doi.org/https://doi.org/10.25077/ jka.v2i2.120 soetjiningsih. (2012). seri gizi klinik asi/ : petunjuk untuk tenaga kesehatan. egc. who/unicef. (2012). global nut rion targe t 2025.breastfeeding policy brief.who/mnh/nhd 14.7. 8. https://www.who.int/publications/i/item/ who-nmh-nhd-14.7 e:\2021\ners april 2021\19-jurn 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 130–137 difference in swot analysis factors: a systematic review suprajitno1, imam zaenuri2, muliyadi3 1nursing departement, poltekkes kemenkes malang, indonesia 2nursing departement, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia 3nursing departement, politeknik kesehatan palembang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk keywords: swot analysis, hospitals, health services article information abstract introduction: swot analysis can be used to assess the position of an organization that has considered internal and external conditions. the objective of this systematic review is to find out the differences in swot analysis carried out by health service facilities outside indonesia and the other country. method: a systematic review used the prisma method. the search keywords used strategic management, hospitals, health facilities, health services, and the swot analysis obtained from google scholar, science direct, proquest, and pubmed. the articles analyzed were fully accessible and published in 2010-2020. result: the main difference of the analysis was in indonesia the swot analysis was aimed at hospital organizations and few were oriented towards special services which had similar indicators on internal and external factors. meanwhile, outside indonesia, swot analysis was directed at specific health services so that it had different in internal and external factors of the indicator. discussion: the difference analysis illustrated that the needs of an organization were different in strategic management development. 130 email: bedonku@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p130–137 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x © 2021 journal of ners and midwifery history article: received, 01/03/2021 accepted, 26/03/2021 published, 05/04/2021 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p130-137 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p130-137&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 131suprajitno, zaenuri, muliyadi, difference in swot analysis factors: a systematic review introduction the quality of hospital services is needed to ensure customer satisfaction. service quality can be achieved using a good plan. planning in hospital as an organization is often referred to as strategic management (trisnantoro, 2005). hospital strategic management as a strategic planning model for a hospita l or hea lth ser vice, a r e followed by appropriate implementation and control. the strategic planning model focuses on the vision and analysis of external and internal factors which are often called swot analysis (strength, weakness, opportunity, and threat) that can influence the achievement of goals. internal factors describe the strengths and weaknesses of the hospital or health service and analysis of external factors describes opportunities and threats from outside the hospital or health service. existing external and internal factors must be analyzed to formulate future strategies. ref? swot analysis based on strategic planning can be more rational and precise which is clear, anticipatory, and long-term. strategic planning requires skills to predict external changes and identify internal capabilities. the swot analysis of hospitals in indonesia is similar, for example in tangerang hospital (wiyanto et al., 2018) and barito hospital, south kalimantan (wijaya & dharmmesta, 2011)general factor oriented and geographically distinct. swot analysis among hospitals outside indonesia is directed at specialized services, for example, careers for chronic diseases (giusti et al., 2020) and pediatric (eizaga rebollar et al., 2020). a swot analysis does not have to be carried out on a large scale, it is best if the analysis is carried out on a situation that is both substantial and indepth (who, 2016). the description above shows the differences between strategic planning and the development efforts undertaken. the aim of this study is to describe the factors that differentiate the preparation of a swot analysis for hospitals or health services in indonesia and outside indonesia. materials and methods the preparation of this article review used the prisma method. article search strategy articles were obtained using electronic media. the search for the articles was focused from 2010 to 2020. the journal database used in reviewing articles outside of indonesia was science direct, proquest, and pubmed, while indonesian articles were in google scholar. keywords used to obtain the journals were swot analysis, health facilities, hea lth ser vices, hospita ls, a nd str a tegic management. article selection the selection of journal articles were based on article titles and abstracts. the article design used refers to actual research if it is not a systematic review or article review. the prisma method recommended the used of inclusion and exclusion criteria. the inclusion criteria were include (1) original article, (2) the journals published between 2016-2020, (3) swot analysis targets, namely hospitals or specific health services, and (4) complete articles available. while the exclusion criteria included (1) a journal in the form of a systematic review or review of articles and (2) the objectives of the swot analysis in education, industry and business, marketing. extraction of articles and appropriate quality the journals obtained and collected then extracted the information including the type of research carried out, the objectives of the analysis, and the availability of complete articles. the assessment of the quality of articles or journals were carried out by providing a score based on the inclusion criteria that have been prepared. if it meets the criteria then it is given a value of one (1), if it does not meet the criteria then it is given a value of zero (0). the method of selecting articles is illustrated in figure 1. 132 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 130–137 results the results journals obtained from google scholar, science direct, proquest, and pubmed use the keyword swot analysis, hospital or specialty health services, and complete articles resulted in articles obtained via database search (science direct, proquest, pubmed) (n = 288) articles obtained through google scholar (n = 5) articles obtained after disposal of the same tittle? content? (n = 159) filtered articles (n = 54) excluded articles (n = 110) complete eligible articles (n = 32) the complete article could not be downloaded (n = 22) articles that fit the inclusion criteria (n = 10) articles that are not appropriate include education in health care, industry, business, and marketing (n = 22) article used (n = 10) id en tif ic at io n s cr ee ni ng e lig ib le in cl us io n figure 1 process of screening articles into inclusion for systematic review dozens of journals. search narrowed down by adding publication criteria between 2016 to 2020. after being selected, there were only 10 articles. an explanation of each journal is shown in table 1. competitive strategies in facing aec (wiyanto et al., 2018) qualitative ifas includes infrastructure, maintenance, human resources, tamping capacity, and socialization. efas includes location, customer loyalty, new services, cooperation, competitors, infrastructure, health financing, and the community economy. table 1 results of journals on the keywords of swot analysis and hospitals or health services title, author, and year of the journal type of research explanation of research results 133suprajitno, zaenuri, muliyadi, difference in swot analysis factors: a systematic review the development strategy for the pharmacy installation of rsud datoe binangkang in bolaang mongondow regency using swot analysis (ardiany et al., 2020) the marketing strategy of rsud prof. dr. hm chatib quzwain sarolangun jambi in 2018 (bajri & sulistiadi, 2019) strengths – weaknesses –opportunities – threats analysis for a pediatric anesthesia program (eizaga rebollar et al., 2020) health impact assessment in nigeria: an initiatives whose time has come (chilaka &ndioho, 2019) expanding the reach of global health radiology via the world’s first medical hybrid airship: a swot analysis(paramalingam et al., 2020) implementing a clinical research department to support pediatric studies: a swot analysis(thajer et al., 2020) robot-assisted surgery in india: a swot analysis (bora et al., 2020) qualitative qualitative explorative descriptive descriptive qualitative explorative ifas includes location, sop, type of service, infrastructure, and communication. efas includes local government support, one stop service, health financing, human resources, customer demands. ifas includes human resources, service rates, location, and types of services. efas includes cooperation, local government support, employee performance, service fees, location, and community economy. ifas includes teamwork ability, work team adaptability, skills, clinical variation, lack of clinical protocol, and loss of professional morale. efas includes the need for strong scientific evidence, numerous scientific associations, the development of a safety culture, productivity pressures, lack of research on quality and safety, and a lack of safety culture. ifas includes the willingness to know and implement health impact assessments, awareness, involvement, human resources, and political support. efas includes awareness raising, global orientation, search for solutions, financing, time, political conditions, and the socio-economic community. ifas includes transportability, service suitability, service coverage, environmental impact, inequality in the population served, referral networks, and operational costs. efas includes involving local communities, advances in health technology, efforts to integrate local health services, weather, low levels of community education, and dependence on financial donors. ifas includes communication, customer service, organizational processes, productivity, resources employed, staff qualification, employee commitment, transparency, location, insufficient financing, investment costs, strict hierarchy, and quality degradation. efs includes market capability, market growth, staff availability, national and international collaboration, political factors, regulatory changes, and dependability. ifas includes the number of patients served, economic growth, good reporting of surgery, the ability to conduct training and supervision, increased ability of surgeons, increased health insurance, high investment, dependence on technology, and there is no data on the benefits of robotic surgery efas includes expanded service coverage, medical tourism, the latest systems, fear of missing out on technology, compromises for training, and risk of infection. 134 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 130–137 iran’s health system transformation plan: a swot analysis(olyaeemanesh et al., 2018) hematopoietic stem cell transplantation activity worldwide in 2012 and a swot analysis of the worldwide network for blood and marrow transplantation group including the global survey(niederwieser et al., 2016) descriptive qualitative ifas includes reducing referrals outside the hospital, reducing informal costs, reducing the number of caesarean sections, reviewing service rates, increasing the number of specialist doctors, providing emergency services by air, implementing standardized protocols, using scientific evidence data, using new technology, providing incentives for health workers, late payments, limited implementation for workers at risk, late approval of nursing service rates, unavailability of post-hospital follow-up services, limited payment strategies for resources, ineffective dialogue between insurance and the private service sector, no development towards medical tourism, and failure of fact-based decision making. efas includes policy support from the government and parliament, ifas includes the availability of a global network of services, continuous services for transplants between countries, the presence of professionals who have authority from who, countries that do not make efforts to do development, faded stem cell technology, no competitors, there are organizations that have limited funding, limited information , it takes a long time from data collection to dissemination, there is no regulatory agency in the country, and no quality management system. efas includes being able to become a professional database provider and have authority, as a promoter of global collaboration, can identify the needs needed, as a predecessor to the quality management system, be the first model, have an international training program, limited costs at all levels, the risk of losing independence, discussion the quality of health services is the main goal that must be maintained continuously while providing services to consumers. consumers in question are consumers of internal and external stakeholders, so that consumers have a commitment to promote services that have been received. the dimensions of the minimum quality of hospital health services include safety, affordability, technical competence, effectiveness, comfort, easy access, efficiency, continuity of service, and availability steady contraception (kemkes ri, 2008). the quality of hospital health services can be identified from the accreditation it has (kemkes ri, 2017, 2020). quality of health services as the ultimate goal of hospital services can be achieved if it has management strategic. strategic management as a tool that describes the achievements that have been achieved and future planning according to the vision set. hospital strategic management is useful for (1) developing into the future by understanding the present, (2) the basis for planning, implementing, and controlling systems with clear indicators, (3) measuring the level of human resource commitment, (4) compiling future scenarios, and (5) realize that it doesn’t work alone (trisnantoro, 2005). strategic management to describe the current state of the hospital and plan for the future requires a strategic analysis. the strategic analysis of the hospital is known as a swot or tows analysis, namely strength, weakness, opportunity, and threats (angwin et al., 2011). also referred to as svor analysis, namely strength, vulnerable, opportunity, and risks (mesly, 2017). the strategic analysis process in order to get good results needs to be car r ied out the sca nning, monitor ing, forecasting, and assessing the stages (ginter et al., 2018). scanning, namely identifying important issues, 135suprajitno, zaenuri, muliyadi, difference in swot analysis factors: a systematic review monitoring, namely collecting data according to categories, forecasting, namely predicting the future according to categories, and assessing the stage, which is conducting evaluations for future planning. ana lysis to a ssess the str engths a nd weaknesses of an organization’s internal factors is called ifas (internal factors analysis strategy). the analysis recognizes factors outside the organization which are known as opportunity and threat factors called efas (external factor analysis strategy). ifas and efas are adjusted to the organization or health service whose strategic planning will be determined in order to achieve the quality of health services promised to consumers. hospitals in the process of being established are expected to have services that are grouped into four, namely (a) medical services; (b) nursing and midwifery services; (c) medical support services; and (d) nonmedical support services (kemkes ri, 2019). the four existing services are further broken down into more specific services consisting of a minimum of three services. the strategy analysis that can be identified for each service in the hospital is unique, has different problems, characteristics, and efforts. however, the strategic analysis of hospitals in indonesia has something in common, namely that it is carried out at the hospital level. there is a difference when compared to hospitals outside indonesia which have been oriented towards specialization services and even try to make new services that are not owned by other hospitals. the differences are depicted in table 1. the factors analyzed in geographically different hospitals in indonesia have similarities between ifas and efas. ifas and efas are the same on one-stop service factors, regulations, cooperation, communication, human resources, infrastructure, evaluation activities, cooperation, local government support, employee performance, service rates, location, and community economy. while there are different factors, there are hospitals that make sop and vision as ifas and efas factors (ardiany et al., 2020; bajri & sulistiadi, 2019; husna et al., 2011; wijaya & dharmmesta, 2011; wiyanto et al., 2018). hospitals outside indonesia strategic analysis is not carried out on large organizations such as hospitals, but is carried out on specific services owned and even shows the latest services to be provided. thus, the factor strategy analysis in ifas and efas is also different (niederwieser et al., 2016; chilaka & ndioho, 2019; eizaga rebollar et al., 2020; bora et al., 2020; paramalingam et al., 2020; thajer et al., 2020). the differences in strategy analysis at the organizational level and factors in ifas and efas will inevitably result in different strategies and efforts. different strategies according to organizational levels can lead to superior service specialties and as an attraction for consumers and customers of each hospital, and even become the pride of internal hospital stakeholders. the strategic analysis of each hospital should have different factors because hospitals are located in areas that have different cultures. external factors that influence the success of an organization are the political, economic, socio-cultural, technological, natural and policy environment (wittmann & reuter, 2004). factors in the environment that influence include available energy sources, values adopted by the community, community mobility, lifestyle, economic turnover that occurs, population income, level of security, and political stability. if, the hospital is able to identify and have different organizational needs to achieve the predetermined vision, the hospital develops adaptively and highly effective in strategic management. strategic management is meant to prepare a plan according to internal and external conditions in which the hospital is located. highly adaptive and effective conditions in strategic management can use a strategic shock absorber method, which consists of four activities that work in an integrated manner. the four activities are accuracy, agility, momentum, and foresight (sampler, 2015). accuracy is defined as providing estimates according to the target; allows detailing and specificity. agility provides speed and flexibility in terms of strategic options. momentum is to provide continuity and minimize disruption to the organization. foresight is giving the ability to understand and scan the external environment. conclusion based on the results of this systematic review of strategic analysis in indonesia and outside of indonesia, there were different levels of organization and service specificity. in indonesia tends to have the same strategic analysis factor while outside of indonesia according to the specificity services to create different services according to community needs. 136 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 130–137 reference angwin, d., cummings, s., & smith, c. (2011). the strategy pathfinder/ : core concepts and live cases (2nd ed.). john wiley and sons inc. ardiany, w. m., citraningtyas, g., & mpila, d. a. (2020). strategi pengembangan instalasi farmasi rsud dat oe bi n an gkan g di kabupat en bol aa n g mongondow menggunakan analisis swot. pharmacon, 9(3), 390–396. https://doi.org/ 10.35799/pha.9.2020.30023 bajri, a., & sulistiadi, w. (2019). srategi pemasaran rsud prof. dr. hm chatib quzwain sarolangun jambi tahun 2018. jurnal administrasi rumah sakit indonesia, 5(2), 104–114. bora, g. s., narain, t. a., sharma, a. p., mavuduru, r. s., devana, s. k., singh, s. k., & mandal, a. k. (2020). robot-assisted surgery in india: a swot analysis. indian journal of urology, 36(1), 1–3. https:// doi.org/10.4103/iju.iju-220-19 chilaka, m. a., & ndioho, i. (2019). health impact assessment in nigeria: an initiative whose time has come. journal of public health in africa, 10(2), 68–72. https://doi.org/10.4081/jphia.2019.1014 eizaga rebollar, r., garcía palacios, m. v., fernández mangas, m. del c., arroyo fernández, f. j., márquez rodríguez, c. m., carnota martín, a. i., morales guerrero, j., & torres morera, l. m. (2020). strengths–weaknesses–opportunities–threats analysis for a pediatric anesthesia program. pediatric quality and safety, 5(1), e254. https:// doi.org/10.1097/pq9.0000000000000254 ginter, p. m., duncan, w. j., & swayne, l. e. (2018). st rat e gi c manage me nt of he alt h care organi zati ons (8t h ed. ). wi l ey. h t t p: / / library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf giusti, a., maggini, m., & colaceci, s. (2020). the burden of chronic diseases across europe: what policies and programs to address diabetes? a swot analysis. health research policy and systems, 18(1). https://doi.org/10.1186/s12961-019-0523-1 husna, n. d., hakim, l., & kristina, s. a. (2011). analisis swot dalam perumusan strategi peningkatan kepuasan pasien rawat jalan instalasi farmasi rumah sakit x samarinda. jurnal manajemen dan pelayanan farmasi, 1(3), 153–157. https://www.ej ur n a l . c om / 2 01 8/ 0 7/ a n a l i s i s swot da l a m perumusan-strategi.html kemkes ri. (2008). keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor/ : 129/menkes/sk/ii/ 2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit. http://manajemenrumahsakit.net/wp-content/ uploads/2012/08/pmk-no-129-tahun-2008-tenganspm-rs-lengkap.pdf kemkes ri. (2017). peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 34 tahun 2017 tentang akreditasi rumah sakit (p. 11). https://persi.or.id/ wp-content/uploads/2020/11/pmk342017.pdf kemkes ri. (2019). peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 30 tahun 2019 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit. http:// hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/ pmk_no__30_th_2019_ttg_klasifikasi_dan_ perizinan_rumah_sakit.pdf kemkes ri. (2020). peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 12 tahun 2020 tentang akreditasi rumah sakit (p. 14). https://jdihn.go.id/ files/898/pmk no. 12 th 2020 ttg akreditasi rumah sakit.pdf mesly, o. (2017). project feasibility/ : tools for uncovering points of vulnerability (1st ed.). taylor & francis group: crc press. niederwieser, d., baldomero, h., szer, j., gratwohl, m., aljurf, m., atsuta, y., bouzas, l. f., confer, d., greinix, h., horowitz, m., iida, m., lipton, j., mohty, m., novitzky, n., nunez, j., passweg, j., pasquini, m. c., kodera, y., apperley, j., … gratwohl, a. (2016). hematopoietic stem cell transplantation activity worldwide in 2012 and a swot analysis of the worldwide network for blood and marrow transplantation group including the global survey. bone marrow transplantation, 51(6), 778–785. https://doi.org/10.1038/bmt.2016.18 olyaeemanesh, a., behzadifar, m., mousavinejhad, n., behzadifar, m., heydarvand, s., azari, s., martini, m., bakhtiari, a., & bragazzi, n. l. (2018). iran’s health system transformation plan: a swot analysis. medical journal of the islamic republic of iran, 32(1), 1–7. https://doi.org/10.14196/ mjiri.32.39 paramalingam, r., england, r., mollura, d., & koff, d. (2020). expanding the reach of global health radiology via the world’s first medical hybrid airship: a swot analysis. journal of global health, 10(1). https://doi.org/10.7189/jogh.10.010374 sampler, j. l. (2015). bringing strategy back: how st rate gi c shock a bsorbers make pl anni ng relevant in a world of constant change. john wiley and sons inc. thajer, a., sommersguter-reichmann, m., & löfflerstastka, h. (2020). implementing a clinical research department to support pediatric studies: a swot analysis. international journal of environmental research and public health, 17(17), 1–16. https:// doi.org/10.3390/ijerph17176211 trisnantoro, l. (2005). aspek strategis manajemen rumah sakit. andi offset. who. (2016). chapter 3 situation analysis of the health sector. in strategizing national health in the 21st century: a handbook (p. 64). wijaya, c., & dharmmesta, b. s. (2011). analisis internal 137suprajitno, zaenuri, muliyadi, difference in swot analysis factors: a systematic review dan eksternal kesiapan rsud h. abdul azis marabahan untuk penerapan badan layanan umum daerah. jurnal manajemen dan pelayanan farmasi, 1(3), 171–179. wittmann, r. g., & reuter, m. p. (2004). strategic planning: how to deliver maximum value through effective business strategy. kogan page. wiyanto, malika, s., soekarjono, e., & hasmanto, b. (2018). st ra t egi ber sa in g da l a m ra ngka menghadapi mea (studi kasus rs bhakti asih karang tengah -tangerang). jurnal pemasaran kompetitif, 1(3), 93–111. http://openjournal.unpam. ac.id/index.php/jpk/article/view/1146. *) rs shuada’ haji, **) stikes patria husada blitar 23 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang abortus (effect of health education on knowledge and attitude of students about abortion) avinda krisna lukwinata* ) , ning arti wulandari** ) rs suhada’ haji e-mail: arti_ning@yahoo.co.id abstract introduction: according to the national commission for child protection in indonesian at 2008 to 2010 abortions reached 2.5 million cases and 62.2% among teenagers. that caused by lacking of knowledge about abortion at teenagers. the impac of lacking of knowledge is bad attitude towards abortion. method: research design was quasy experiment. research sample was 22 students of 1 and 2 grade sma pgri srengat at april 22 nd until may 5 th , 2012, its choosed with total sampling. data collected by observation using checklist. analysis using wilcoxon signed rank test, with significant level ≤0.05. result: the results showed that health education influence knowledge and attitude, with p value 0.001. discussion: health education using video and leaflet, effective to improve knowledge and attitude student about abortion. keywords: health education, knowledge, attitude pendahuluan abortus merupakan berhentinya (mati) dan dikeluarkannya kehamilan sebelum 20 minggu (dihitung dari haid terakhir) atau berat janin kurang dari 500 gram atau panjang janin kurang dari 25 cm (wiknjosastro dkk, 2002). aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu). dari segi medikolegal maka istilah abortus, keguguran, dan kelahiran prematur mempunyai arti sama dan menunjukkan pengeluaran janin sebelum usia kehamilan yang cukup (kitab undang-undang hukum pidana). istilah abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. sampai saat ini janin yang terkecil, dan dilaporkan dapat hidup di luar kandungan, mempunyai berat badan 297 gram waktu lahir. akan tetapi karena jarangnya janin yang dilahirkan dengan berat badan di bawah 500 gram dapat hidup terus, maka abortus dianggap sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu. abortus dapat berlangsung secara alamiah dan buatan. abortus alamiah adalah dimana kandungan seorang perempuan hamil dengan spontan gugur, sedangkan abortus buatan atau provokatus ialah dengan sengaja mengahiri kehidupan kandungan dalam rahim seorang perempuan hamil (bertens, 2002). wanita dengan kehamilan yang tidak diinginkan akan menggugurkan kandungannya secara sengaja dan cenderung mencari cara tradisional bila tidak berhasil, mereka akan mencari pertolongan secara sembunyisembunyi. sering kali praktek aborsi ilegal ini merupakan praktek aborsi yang tidak aman, misalnya dengan memasukkan berbagai jenis benda yang tidak steril ke dalam vagina. hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya komplikasi abortus, terutama karena perdarahan dan sepsis, yang dapat berakhir dengan kematian ibu (azhari, 2002). who pada tahun 2002 memperkirakan ada 4,2 juta aborsi jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p019-023 mailto:arti_ning@yahoo.co.id it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ avinda krisna lukwinata, ning arti wulandari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no.1, maret 2014 24 dilakukan per tahun, 750.000 – 1,5 juta dilakukan di indonesia, 2.500 orang diantaranya berakhir dengan kematian. survei kesehatan rumah tangga (skrt) tahun 2003 menyatakan bahwa aborsi berkontribusi 11,1 % terhadap angka kematian ibu (aki). penelitian pada 10 kota besar dan 6 kabupaten pada tahun 2005 memperlihatkan 53 % jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayan aborsi dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih. terdapat 16 % titik pelayanan aborsi di kota dilakukan oleh dukun bayi dan 57 % di kabupaten. kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di kota dan 70 % di kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di kabupaten dilakukan oleh swasta/ pribadi (ppklpui, 2001). setiap tahun di indonesia diperkirakan terjadi sekitar 2,3 juta abortus, diantaranya akibat kegagalan kontrasepsi, kebutuhan yang tidak mencukupi, kehamilan remaja, dan abortus spontan. hal ini merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius, disamping itu abortus juga banyak menyebabkan kematian perempuan dewasa maupun remaja secara tidak aman (kompas, 3 maret 2000). komisi nasional perlindungan anak (komnas pa) mencatat sepanjang 2008 hingga 2010, kasus perampasan hak hidup melalui aborsi terus meningkat. selama kurun waktu dua tahun itu, kenaikan kasus aborsi mencapai 15 persen setiap tahunnya. pada 2008 ditemukan dua juta jiwa anak korban aborsi. tahun berikutnya naik 300 ribu jiwa, sedangkan pada 2010 jumlahnya naik lagi 200 ribu jiwa. total dari 2008 sampai 2010 jumlahnya sebanyak 2,5 juta kasus, tapi yang mencengangkan, berdasarkan data yang dimiliki komnas perlindungan anak, dari 2,5 juta kasus aborsi, sebanyak 62,6 persen dilakukan anak di bawah umur. rata-rata usia pelaku di bawah 18 tahun (priliawito dan rimadi, 2011). remaja merupakan kelompok yang rentan tentang tindakan abortus, maka perlu adanya pemberian pendidikan yang berkaitan dengan tindakan abortus itu sendiri. pengaruh yang bersifat negatif bisa dihindari jika siswa (remaja) sudah dipastikan memiliki pengetahuan yang cukup. hal ini dirasa dapat mencegah para remaja dari hal-hal yang negatif. guna menekan tingginya angka aborsi, maka perlu adanya pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan tindakan aborsi. pemberian pendidikan kesehatan secara dini dianggap sebagai solusi fterbaik dalam menangani masalah tingginya angka aborsi pada remaja. berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan wawancara didapatkan hasil dari 8 siswa sma pgri srengat, 5 diantaranya kurang mengetahui tentang abortus, hal ini terlihat bahwa mereka saat ditanya tentang macam-macam dan dampak yang diakibatkan oleh tindakan abortus belum bisa menjawab dengan benar. hal ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan siswa mengenai tindakan abortus masih kurang. siswa diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal-hal yang berhubungan dengan abortus. berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan kajian tentang pengaruh pendidikan kesehatan melalui media leaflet dan video terhadap pengetahuan dan sikap siswa kelas 1 dan 2 tentang tindakan abortus di sma pgri srengat kabupaten blitar. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: apakah ada pengaruh pendidikan kesehatan melalui media leaflet dan video terhadap pengetahuan dan sikap siswa terhadap abortus di sma pgri srengat. tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk membuktikan pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang abortus. sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi pengetahuan sikap siswa tentang abortus sebelum pemberian pendidikan kesehatan 2) mengidentifikasi pengetahuan dan sikap siswa setelah pemberian pendidikan kesehatan 3) menganalisis pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang abortus. jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang aborsi 25 bahan dan metode desain penelitiannya quasy experiment. saampel dalam penelitian ini adalah 22 siswa klas 1 dan klas 2 sma pgri srengat yang diambil secara keseluruhan. variabel bebasnya adalah pendidikan kesehatan dengan leaflet dan video, sedangkan variabel tergantungnya adalah pengetahuan dan sikap siswa. pengukuran pengetahuan dan sikap siswa tentang abortus dilakukan melalui pre test, dan post test. analisis menggunakan uji statistik wilcoxson signed rank test. hasil penelitian karakteristik siswa klas 1 dan klas 2 sma pgri srengat disajikan pada table berikut ini. tabel. 1 karakteristik siswa klas 1 dan klas 2 sma pgri srengat no karakteristik f % 1 usia < 15 tahun 15-17 tahun 17 tahun 1 2 19 5 9 86 2 kelas kelas 1 kelas 2 10 12 46 54 3 tempat tinggal tinggal dengan saudara tinggal dengan orang tua lain-lain 8 13 1 36 59 5 4 sumber informasi tentang abortus sebelumnya belum pernah orang lain media masa 14 5 3 64 23 13 tabel 2. tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus dengan media leaflead dan video. tingkat pengetahuan pre test post test f % f % baik 2 9 10 46 cukup 16 73 12 54 kurang 4 18 0 0 wilcoxson signed rank test α:0.001 berdasarkan tabel 2, menunjukkan adanya peningkatan nilai pengetahuan responden sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus. dari hasil pengolahan data didapatkan adanya tingkat pengetahuan responden yang meningkat dari kriteria pengetahuan baik pada pre test 9% menjadi 46% setelah post test. hasil dari uji statistik wilcoxon signed rank test mempunyai nilai kemaknaan α = 0,001 yang artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan siswa kelas 1 dan 2 tentang tindakan abortus di sma pgri srengat kabupaten blitar. tabel 3. sikap responden sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus dengan media leaflead dan video. sikap pre test post test f % f % sangat baik 4 16 10 46 baik 15 68 12 54 tidak baik 4 16 0 0 sangat tidak baik 0 0 0 0 wilcoxson signed rank test α:0.001 berdasarkan tabel 3 diatas menunjukkan adanya peningkatan nilai sikap responden sesudah diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus. dari hasil pengolahan data didapatkan adanya peningkatan sikap responden dari kriteria sangat baik yang pada pre test 16% menjadi 46% pada saat post test. hasil uji statistik wilcoxon signed rank test mempunyai nilai kemaknaan α = 0,001 yang artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap siswa kelas 1 dan 2 tentang tindakan abortus di sma pgri srengat kabupaten blitar. avinda krisna lukwinata, ning arti wulandari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no.1, maret 2014 26 pembahasan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan melalui media leaflet dan video kepada siswa kelas 1 dan 2 tentang tindakan abortus di sma pgri srengat kabupaten blitar dari hasil analisa data yang dilakukan dengan bantuan spss dan uji statistik wilcoxon signed rank test didapatkan tingkat signifikan α = 0,001. karena nilai signifikan α 0,001 < dari taraf nyata yaitu 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan responden. hal ini dipengaruhi oleh adanya pemberian pendidikan kesehatan yang diberikan kepada responden saat penelitian. pada saat dilakukan pre test terhadap tindakan abortus tingkat pengetahuan responden dalam kriteria baik yaitu sebesar 9%. sedangkan pada saat dilakukan post test, setelah responden diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus tingkat pengetahuan responden meningkat menjadi 45,50%. tingkat pengetahuan responden pada saat pre test lebih rendah bila dibanding tingkat pengetahuan post test tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu sebanyak 64% responden belum pernah sama sekali memperoleh informasi tentang abortus, walaupun 36% diantara responden sudah pernah memperolehnya. informasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang, meskipun seseorang mempunyai pendidikan yang rendah (notoatmodjo, 2002). selain itu tingkat pengetahuan pre test responden juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yaitu lingkungan tempat tinggal. jumlah responden yang tinggal tidak bersama orang tuanya yaitu sebesar 41% dari jumlah seluruh responden. lingkungan tempat tinggal juga berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang. salah satunya yaitu lingkungan keluarga dapat memberikan suatu pengaruh terhadap suatu perkembangan seseorang. dalam hal ini fungsi keluarga adalah sebagai fungsi pendidikan, dimana peran keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak ( effendi, 1998 ). setelah peneliti melakukan pre test pada responden kemudian peneliti juga melakukan post test terhadap responden yang sebelumnya responden diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus. pada hasil post test nilai pengetahuan responden meningkat. kenaikan nilai ini dikarenakan responden telah diberikan informasi atau pendidikan kesehatan mengenai tindakan abortus itu sendiri. hal ini sesuai bahwa informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang (notoatmodjo, 2002). pendidikan kesehatan merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat agar terlaksananya perilaku hidup sehat (setiawati dan dermawan, 2008). pendidikan kesehatan yang diberikan saat penelitian melalui media leaflet dan video. media leafet adalah bentuk penyampaian informasi berupa pesan-pesan kesehatan melalui lembaran yang dilipat. isi informasi dalam leaflet dapat berbentuk kalimat, gambar, atau kombinasi keduanya. sedangkan media video merupakan media yang dihasilkan melalui proses mekanik dan elektronik dengan menyajikan informasi atau pesan secara audio dan visual (notoatmodjo, 2007). dalam metode ini berarti, responden dalam mengikuti pendidikan kesehatan melibatkan indera pendengaran dan penglihatan, sehingga informasi yang diterima bisa secara mudah untuk dimengerti oleh responden. selain itu faktor usia menurut gunarsa dalam notoatmodjo (2002) bahwa pada usia remaja atau belasan tahun proses perkembangan mentalnya bertambah baik. responden dengan usia belasan tahun yaitu antara 15 – 17 tahun berjumlah 86%. selain itu pada usia remaja telah tercapai kematangan emosional, sehingga proses penerimaan pengetahuan melalui pendidikan kesehatan juga dapat berlangsung secara maksimal. dengan adanya kematangan jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap siswa tentang aborsi 27 emosional, maka kemampuan berfikir dapat menjadi baik serta remaja akan lebih mudah dalam menyerap informasi baik dari lingkungan maupun dari media yang ada. sehingga pengetahuan remaja akan lebih baik lagi setelah diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus. selain itu faktor tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap pengetahuan, 54% responden tingkat pendidikannya yaitu kelas dua berdasarkan gambar 4.3. maka semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula pengetahuannya (notoatmodjo 2002). maka hal tersebut dengan adanya pendidikan kesehatan tentang abortus responden dengan tingkat pendidikan lebih tinggi yaitu kelas dua maka nilai yang di dapat lebih baik dari tingkat pendidikan yang ada di bawahnya yaitu kelas satu. sikap sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan melalui media leaflet dan video kepada siswa kelas 1 dan 2 tentang tindakan abortus di sma pgri srengat kabupaten blitar. dari hasil analisa data yang dilakukan dengan bantuan spss dan uji statistik wilcoxon signed rank test didapatkan tingkat signifikan α = 0,001, maka dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap sikap responden. hal ini dipengaruhi oleh adanya pemberian pendidikan kesehatan yang diberikan kepada responden saat penelitian. pada saat dilakukan pre test terhadap tindakan abortus tingkat nilai sikap responden dalam kriteria sangat baik yaitu sebesar 13,60%. sedangkan pada saat dilakukan post test, setelah responden diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus tingkat nilai sikap responden meningkat menjadi 45,50%. tingkat nilai sikap responden pada saat pre test lebih rendah bila dibanding tingkat nilai sikap post test. hal tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya yaitu sebanyak 64% responden belum pernah sama sekali memperoleh informasi tentang abortus tersebut, walaupun 36% diantara responden sudah pernah memperolehnya. dengan jumlah 64% responden yang belum pernah memperoleh informasi maka akan memunculkan pengetahuan yang kurang bagi responden, sehingga nilai sikap masih dibawah nilai post test setelah diberikan pendidikan kesehatan. setelah peneliti melakukan pre test pada responden kemudian peneliti juga melakukan post test terhadap responden yang sebelumnya responden diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus. pada hasil post test nilai sikap responden meningkat. kenaikan nilai ini dikarenakan responden telah diberikan informasi atau pendidikan kesehatan mengenai tindakan abortus itu sendiri. pendidikan kesehatan yang diberikan saat penelitian ini melalui media leaflet dan video. media leafet adalah bentuk penyampaian informasi berupa pesanpesan kesehatan melalui lembaran yang dilipat. isi informasi dalam leaflet dapat berbentuk kalimat, gambar, atau kombinasi keduanya. sedangkan media video merupakan media yang dihasilkan melalui proses mekanik dan elektronik dengan menyajikan informasi atau pesan secara audio dan visual (notoatmodjo, 2007). dalam metode ini berarti, responden dalam mengikuti pendidikan kesehatan melibatkan indera pendengaran dan penglihatan, sehingga informasi yang diterima bisa secara mudah untuk dimengerti oleh responden. media masa elektronik atau media cetak sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang ( azwar, 2007). setelah dilakukan pendidikan kesehatan maka akan terjadi peningkatan pengetahuan, yang akan memberikan suatu kontribusi yang baik pula terhadap sikap seorang remaja tersebut terhadap tindakan abortus. menurut notoatmodjo (2002), pengetahuan, berfikir, keyakinan, dan emosi seseorang memegang peranan penting dalam menentukan sikap seseorang tersebut. pengetahuan yang baik terhadap tindakan abortus akan mempengaruhi sikap yang ada pada diri seseorang terhadap abortus. apabila avinda krisna lukwinata, ning arti wulandari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no.1, maret 2014 28 responden sudah yakin dengan pengetahuan yang mereka miliki, maka responden akan bersikap baik terhadap tindakan abortus itu sendiri. hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian, yaitu sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang abortus sikap responden ada yang masuk dalam kriteria sikap yang tidak baik. kemudian setelah diberikan pendidikan kesehatan maka pengetahuan responden bertambah. dengan adanya pengetahuan tersebut maka setelah diberikan pendidikan kesehatan nilai sikap responden yang dalam kriteria sangat baik naik sebesar 31,9%. adanya kenaikan nilai sikap responden tersebut tidak lepas dari adanya informasi yang diberikan kepada responden. informasi tersebut yaitu pendididkan kesehatan terhadap abortus. sesuai dengan pendapat yang diutarakan oleh (azwar 2007) yaitu dengan adanya informasi yang baru tentang suatu hal maka dapat memberikan landasan kognitif pada diri seseorang yang pada akhirnya dapat membentuk sikap terhadap sesuatu hal tersebut. selain faktor diatas, sikap seseorang juga dipengaruhi oleh konsep moral dan ajaran agama. dalam penelitian ini agama yang dianut oleh responden yaitu 100% beragama islam. dalam segi pandangan islam seseorang tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan pengguguran kandungan (abortus provokatus). hal ini bertujuan untuk menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. konsep moral dan ajaran agama ini sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal (azwar, 2007). simpulan dan saran simpulan ada pengaruh pendidikan kesehatan melalui media leaflet dan video terhadap pengetahuan dan sikap siswa kelas 1 dan 2 tentang tindakan abortus di sma pgri srengat kabupaten blitar dengan nilai signifikansi α=0,001. saran penelitian ini merekomendasikan supaya pihak sekolah bekerja sama dengan dinas kesehatan atau puskesmas setempat untuk memberikan pendidikan kesehatan tentang kesehatan reproduksi remaja kepada siswanya. sedangkan untuk para orang tua diharapkan berperan aktif dalam memberikan informasi tentang kesehatan seksual kepada anakanaknya guna menghindari hal-hal negatif yang tidak diinginkan. referensi azhari 2002, masalah abortus dan kesehatan reproduksi perempuan, fkunsri, palembang. azwar, s 2007, sikap manusia. teori dan pengukurannya, pustaka pelajar, yogyakarta. bertens, k 2002, aborsi sebagai masalah etika, pt gramedia widiasarana indonesia, jakarta. dermawan dan setiawati, s 2008, proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan, trans info media, jakarta. effendi, s 1998, fungsi keluarga dalam meningkatkan sumber daya manusia, primbagro, jakarta. gunadi, p 2001, ‘aborsi:masalah etisrohani’, seminari alkitab asia tenggara, malang. hidayat, aa 2007, metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data, salemba medika, jakarta. notoadmodjo, s 2002, pendidikan dan perilaku kesehatan, rineka cipta, jakarta. pieter dan lumongga 2010, pengantar psikologi dalam keperawatan, kencana, jakarta. santrock, jw 2003, adolescence: perkembangan remaja, erlangga, jakarta. wiknjosastro, h dkk 2002, ilmu kandungan. edisi ketiga cetakan keempat, yayasan bina pustaka sarwono prawirokardjo, jakarta. 426 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 426–431 full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score application to predict mortality of patients with severe head injuries at gambiran public hospital of kediri jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 30/06/2020 accepted, 07/10/2020 published, 05/12/2020 keywords: four score, brainstem sign score, prognosis, severe head injury article information abstract there are many factors and variables that influence the prognosis in patients with severe head injuries make determining the prognosis for patients with severe head injuries become difficult. there are two parameters that can predict the prognosis of severe head injury patients with optimal full outline of unresponsiveness score (four score) and brainstem sign score (bss). four scores can provide a wealth of information about the scale of neurological signs that are quick and easy used for unconcious patients. bss is an assessment to predict the death of a person permanently to determine whether there is a physiological function that is not function normally. the aimed of this study was to determine ratio of four score and bss in determining the prognosis of patients with severe head injury at rsud gambiran kediri. the type of study was cross sectional approach. the sampling technique used consecutive sampling technique and obtained a sample of 60 people. the data was analyzed by using chi-square test for comparison of four score and bss in determining the prognosis of severe head injury patient at rsud gambiran kediri. based on the results of study by chi-square test showed that p four score = p bss = 0,004, which meant the four score and bss was determined the prognosis of patients with severe traumatic head injury at rsud gambiran kediri. the study showed that there was no difference between the four score and bss in determining the prognosis of severe head injury patient at rsud gambiran kediri but four score could be used in incubated or ventilated patients. based on the results of this study, it is advisable to use scoring method more easily and according to the condition of the patient is with the installed ventilator or non ventilator. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: christ.wijaya.ns@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p426–431 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 426 christina dewi prasetyowati health faculty of institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri, indonesia https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p426-431&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p426-431 427prasetyowati, full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score application to ... introduction one of the neurological emergencies which is the main cause of death and disability in children and young adults is a head injury so that an accurate prognosis is very important (tarwoto and wartonah, 2007 in nurhayati, 2013). assessment of the neurological prognosis of patients with severe head injury presents its own difficulties (turgeon, af, et al, 2017). based on data, in the united states and new zealand there are about 500-800 cases per 100,000 people who experience traumatic head injuries each year (dewan et al, 2018). the incidence of severe head injuries at the gambiran kediri regional hospital from january to december 2018 was 261 patients and 27 people died. while the incidence rate for the last 3 months from january to march 2019 there were 68 patients and 17 people died. the high mortality rate in severe head injury patients requires an effort to help reduce the mortality rate, namely by determining an accurate prognosis so that the treatment given to severe head injury patients is optimal and maximal (ozoilo, 2012) two recognized measures can predict the prognosis of severe head injury patients with precise and accurate results. according to bordini et al (2010), a rating scale using the full outline of unresponsiveness score (four) is useful for knowing neurological signs in severe head injury patients. the four score can be used to evaluate the level of consciousness in patients with severe head injuries. the advantages of the four score can be used to assess nonverbal responses in patients who are intubated, sedated or in delirium (nair et al, 2017). there are four components that become an assessment of the four score, na mely eye response, motor response, brain stem reflex and respiration, where each component has a score between 0 4 (bordini et al, 2010). according to okasha et al (2014), the four score has advantages compared to gcs because it pr ovides mor e deta iled neur ologica l sta tus information in patients with decreased consciousness or in patients with a vegetative status. in addition to the four score, there is also a brainstem sign score (bss) which is used to assess head-trunk reflexes in patients with decreased consciousness. the brainstem sign score is a neurological status assessment tool that can be used in patients with impaired consciousness. the assessment component in the bss is more complete than the four. bss assessment can be seen from pupil size, pupil response to light, corneal reflex, oculosepha llic r eflex, eye movement, motor attitudes to pain stimuli and breathing patterns. each component in the bss has a different range with a total score of 25 (reginald & adesola, 2010). based on the description above, the studyer is interested in conducting study, namely comparing the full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score in predicting mortality in severe head injury patients at gambiran kediri hospital. methods this study used a cross sectional design. the sampling technique used consecutive sampling. the respondents were 60 people. the subjects in this study were patients with severe head injury (gcs 3-8) without accompanying other diseases (stroke, infection and brain tumor) or non-traumatic injury. all study subjects were assessed four score and bss at the time of admission to the hospital, then the patient was followed up to 7 days of hospitalization whether there was an outcome in the form of death or moving rooms. results information f perct (%) age a) 1 5 3 5 b) 6 12 3 5 c) 13-17 9 15 d) 18 45 18 30 e) 46 55 15 25 f) 56 65 6 10 g) > 66 6 10 total 60 100 gender a) male 42 70 b) women 18 30 total 60 100 profession a) student/student 21 35 b) civil servants 6 10 c) private 33 55 total 60 100 table 1 frequency distribution of severe head injury patients at rsud gambiran kediri 428 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 426–431 from the study conducted, it was found that 60 study subjects met the inclusion criteria. based on table 1, it can be seen that the frequency of severe head injury patients at the gambiran kediri regional hospital in 2019 based on age is the majority aged 18-45 years, namely 18 respondents (30%). the highest frequency of severe head injury patients based on gender was the majority of men, namely 42 respondents (70%). meanwhile, based on occupation, the majority are score output f p or ik95% total die life four score high risk of death ( 9) 9 9 18 0.004 0.500 0.225-1,113 60 low risk of death (> 9) 0 42 42 bss risk of brain stem death (13) 9 9 18 0.004 0.500 0.225-1,113 60 no brain stem death (> 13) 0 42 42 table 2 bivariate analysis between the variable score and mortality outcome in rsud gambiran kediri four = full outline of unresponsiveness; bss = brainstem sign score; or = odd ratio; ik = confidence interval. four score bss total  13 > 13  9 18 0 18 > 9 0 42 42 total 18 42 60 table 3 diagnostic test between the four score and bss four = full outline of unresponsiveness score; bss = brainstem sign score. private workers, namely 33 respondents (55%). table 2 illustrates the bivariate analysis between the four score and bss variables with the respondent’s output by using the chi square test. grouping the four score was less than and more than equal to 9, while for bss it is less than and more than equal to 13. from the chi square test results, the p value is 0.004 for the four score and bss. figure 1 receiver operating curve for the probability of mortality against the total four score (a) and bss (b). auc four 0.912 and bss 0.912. from the diagnostic test, it was found between the four score and bss, the sensitivity was 100%; specificity 82%. an overview of the roc (receiver operating curve) is shown in figure 1. 429prasetyowati, full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score application to ... discussion in the study, it was found that the four score with a value of  9 had a high risk of death, there were 18 respondents (30%) of whom 9 respondents died and 9 respondents lived with a high risk of death. four score > 9 low risk of death, there were 14 respondents alive (70%). this is consistent with wijdick et al. (2005) which states that the four score can determine the outcome of death in hospital with a p value of 0.004. while the bss results showed that bss with a value of  13 stated that there was a risk of brain stem death, there were 18 respondents (30%) with 9 respondents who died and 9 respondents were alive, while there were 42 respondents (70%) who did not have brain stem death. the p value = 0.004 so the br a instem sign scor e wer e used in determining the prognosis of severe head injury patients at gambiran kediri regional hospital. the result between four score and bss, sensitivity 100%; specificity 82%. the results of this study has the same sensitivity level, meaning that there was no difference between the four score and bss in determining the prognosis of patients with severe brain injury (p four score = p bss = 0.004), auc four score = bss = 0.912). according to stead (2009), the four score is a neurological signs rating scale that provides a good assessment of eye movement, motor response, brain stem reflexes, and breath effort in patients on ventilators and patients who experience decreased consciousness. this was supported by the results of the study by matoha (2016) that based on the four score there was high risk of death for 3 people (5.2%) and a low risk of death for 33 people (56.9%). in general, a high four score will produce a good outcome. this scale ignores verbal assessments so that it can still be a pplied to patients who ha ve experienced verbal injury (dewi, 2011). severe head injury patients out of 60 respondents at the time of examination using the four score showed signs of abnormalities in the pupils. some showed different reactions in both eyes. according to andrews (1991 cited in sa str odiningr a t (2006) sta tes tha t anisochores, dissimilar pupil reflexes or unresponsive pupils are caused by compression of the third brain nerve or an injury to the upper brainstem. in motor, an abnormal motor response is found. such as flexor and extensor postures. this is according to the study of jennet & teasdale (1979). this motor response can predict a poor prognosis outcome after severe head injury. the four score can be used to predict mortality or functional outcome after discharge in severe head injury patients. in addition, the four score can be used quickly and easily to assess neurological signs in patients with decreased consciousness. the results of this study are supported by gorji (2016) that in predicting mortality in hospitals with a four score, the receiver operating curve (roc) value is 0.92 (95%, ci. 0.81-0.97) and bss can be used to predict mortality as done by pamungkas (2015). pamungkas (2015) states that the assessment of brain stem death using bss to measure mortality states that respondents with brain stem death (<13) are 66.7% and there is no risk of brain stem death (> 13) of 33.3%. according to study by obiako and ogunniyi (2010) on bss in predicting the final outcome of the prognosis of stroke patients, the bss results were obtained with a value of p = <0.0001. in addition, it is supported by study by obioko & ogunniyi (2010) which states that the accuracy level of the brainstem sign’s score in the calculation of negative predictive value (npv) is 100% in a period of 1 to 28 days, while positive predictive value (ppv) is 90-100% in a period of 7 days. so that the brainstem sign’s score is a score for assessing the mortality of a person with a period of 7 days with a risk of brainstem death with a value of less than 13. according to the researchers, no difference occurred because the components of the four score and bss were the same, namely motor response, brain stem reflexes including pupillary and cornea l reflexes and breathing patterns. the advantage of the four score is that it can be used as a measuring tool in determining prognosis in patients who are intubated or on a ventilator (stead and murthy, 2009). the four score component has a score or a value that states the breath at the speed above the ventilator, which is given a score of 1 (one), but the researchers found 9 respondents who were installed on a ventilator, this will give a minimal result score and it is difficult to use in knowing the difference. four score is faster and easier to use than bss. bss can be used in the er or can be used in patients without a ventilator. 430 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 426–431 conclusion after conducting a study on the comparison of the full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score in determining the prognosis of severe head injury patients, it was known that the four score and bss examination of 60 respondents showed a high risk of death for four score and bss  13, there was a risk of brain stem death. there were 9 people died and 9 people lived with a total of 18 people (30%). four score > 9 low risk of death and bss > 13 there was no brain stem death, there were 42 people alive (70%) so there was no comparison seen from the diagnostic test between four score and bss, sensitivity 100%; specificity 82%; auc four score for the likelihood of death in hospital 0.912 and auc bss 0, suggestion 1. nursing agencies it is hoped that nursing agencies will further develop study and disseminate the latest methods in carrying out examinations to determine the prognosis of severe head injury patients. 2. gambiran kediri regional hospital it is hoped that the four score measuring instrument can be applied in the icu room because it can be used for assessment in patients with a ventilator installed and bss is applied in the er or in patients without a ventilator. 3. further researchers in this study, the number of respondents greatly influenced the results of the study. therefore, it is hoped that it can motivate researchers to further develop study, namely adding longer study time with the aim of getting more respondents. references bordini, a.l., luiz, t.f., fernandez, m., arruda, w.o., teive, h.a.g. (2010). coma scales : a historical review. arq neurosiquiart, 68 (may) : 930 – 7. dewan, m.c., et al . (2019). estimating the global incidence of traumatic brain injury. journal of neurosurgery (130) : 1080-1097 dewi, r, irawan, m, irene y. (2011). perbandingan full outlin e of un responsiven ess score dengan glasgow coma scale dalam menentukan prognostik pasien sakit kritis. sari pediatri, vol. 13 no. 3, 215220. gorji, m.a.h, seyed, h.h, gholipur, a, mohammadpur, r.a. (2016). a comparison of the diagnostic power of the full outline of unresponsiveness scale and the glasgow coma scale in the discharge outcome prediction of patients with traumatic brain injury admitted to the intensive care unit. saudi journal of anesthesia, vol. 8, issue 2, 193 – 197. iavagnilio, c.l. (2011). traumatic brain injury : improving the patient’s outcome demands timely and accurate diagnosis. journal of legal nurse consuling, 22 (3) : 3-9. jennett b, teasdale g, braakman r, et al. (1979). prognosis of patients with severe head injury. neurosurgery, 4 : 282-9. matoha, j, eko, p, maximillian, ch. o. (2016). hubungan antara skala skor four dan ct marshall dengan penilaian gcs pada penderita cedera otak akibat trauma. jurnal biomedik (jbm),8(3), 192-196. murthy tvsd. (2009). a new score to validate coma in emergency department-four score. ijnt;6:59-62. nair, s.s., surendran, a., prabhakar, r.b., christhi, m.m. (2017). comparison between four score and gcs in assessing patients with traumatic head injury : a tertiary centre study. int surg j, 4 (2) : 656 nurhayati, e, achmad, s, sasmiyanto. (2013). pengaruh pemberian infus dingin terhadap penurunan suhu pada pasien cidera otak di rsd dr. soebandi jember. jember: the indonesian journal of health science, 3(2), 161 – 167. obiako, o.r, ogunniyi, a. (2010). the glasgow coma scale and brainstem signs score : which is better of coma outcome in acute stroke. journal of medicine and medical sciences, 1(9), 395 – 400. okasha, a.s., fayed, a.m., saleh, a.s. (2014). the four score predicts mortality, endotracheal intubation and icu length of stay after traumatic brain injury. neurocrit. care, 21 : 496 504 ozoilo, k.n. (2012). measurement of the magnitude of injury : a review of the trauma scoring system. jos j med, 6 (2) : 19 26 pamungkas, didik. (2015). hubungan antara revised trauma score dengan angka mortalitas pada pasien cedera kepala di rsud dr moewardi surakarta. skripsi. naskah di publikasikan. s1 keperawatan sekolahtinggi ilmu kesehatan surakarta: jawa tengah. reginald, o.o., & adesola, o. (2010). the glasgow coma scale and brainstem signs score: which is a better predictor of coma outcome in acute stroke?. semanticscholar. stead lg, wijdicks efm, bhagra a, kashyap r, bellolio mf, nash dl, dkk. (2009). validation of a new coma scale, the four score, in the emergency department. neurocrit care;10:50-4. 431prasetyowati, full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score application to ... turgeon, a. f., lauzier, f., zarychanski, r., et al. (2017). prognostication in critically ill patients with severe traumatic brain injury : the tbi-prognosis multicentre feasibility study. bmj open (7), 1-7. wijdicks, e, bamlet wr. maramatton, b.v, manno,e.m, mcclelland, r.l. (2005). validation of a new coma scale : the four score. american neurological association, 58(4), 585-593. 11sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... 11 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk faktor ketidakpuasan ibu hamil dalam pelayanan asuhan kehamilan info artikel sejarah artikel: diterima, 11/10/2019 disetujui, 10/01/2020 dipublikasi, 05/04/2020 kata kunci: asuhan kehamilan, kualitas pelayanan, kepuasan ibu hamil abstrak pelayanan asuhan kehamilan sebagai strategi untuk menurunkan angka kematian ibu. salah satu masalah penting yang terus dihadapi adalah kurangnya kualitas baik pelayanan antenatal sehingga mempengaruhi kepuasan klien. kepuasan merupakan indikator mutu pelayanan. kepuasan ibu hamil penting untuk perbaikan lebih lanjut dari kualitas perawatan antenatal terfokus dan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang beragam bagi wanita hamil. tujuan dari systematic literature review ini adalah untuk menyimpulkan dan memeriksa literature yang berhubungan kepuasan ibu hamil terhadap kualitas pelayanan dalam asuhan kehamilan dan untuk mengetahui penyebab ketidakpuasan dalam pelayanan asuhan kehamilan. studi apprasial menggunakan program critical appraisal skills program (casp) dan metode sintesis menggunakan modifikasi pico dengan sumber data didapatkan dari pubmed dan proquest terdapat 734 artikel yang di review. kriteria inklusi adalah (1) ibu hamil; (2) pelayanan dalam asuhan kehamilan; (3) kepuasan ibu hamil; (4) teks lengkap; (5) artikel yang diterbitkan dari 2013 hingga 2018; dan (6) jurnal internasional. terdapat 5 artikel yang memenuhi kriteria inklusi. kepuasan ibu hamil terhadap kualitas pelayanan asuhan kehamilan di fasilitas kesehatan dipengaruhi oleh layanan klinik, aksesibilitas klinik dan interaksi dokter. penyebab ketidakpuasan ibu hamil dalam pelayanan asuhan kehamilan diantaranya lamanya waktu menunggu, fasilitas kesehatan dan komunikasi interpersonal. dari hasil 4 artikel yang diulas didapatkan faktor utama yang menyebabkan ketidakpuasan dalam pelayanan asuhan kehamilan adalah lamanya waktu menunggu. perlu pelayanan anc dengan pendekatan hta (health technology assasment) untuk mempercepat pelayanan administrasi dan observasi awal pada ibu hamil dengan mengintegrasikan teknologi rfid (radio frequency identification) dan wsn (wireless sensor network). factors for dissatisfaction of pregnant women in pregnancy obstetric services article information abstract pregnancy care services as a strategy to reduce maternal mortality. one important problem that continues to increase is the good quality of antedwie ayu kartini1, sulistyaningsih2 1,2prodi kebidanan, universitas 'aisyiyah yogyakarta http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p011-023&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 12 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 011–023 email: dwieayukartini06@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p011–023 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/) pendahuluan pelayanan asuhan kehamilan merupakan bagian penting dari pencegahan layanan dan mengurangi resiko komplikasi dengan berbagai intervensi termasuk pendidikan, konseling (nwaeze, enabor, oluwasola, & aimakhu, 2013) skrining, pengobatan, pemantauan dan mempromosikan kesejahteraan ibu dan janin (ejigu, woldie, & kifle, 2013) pelayanan asuhan kehamilan sebagai salah satu strategi untuk menurunkan angka kematian ibu (chemir, alemseged, & workneh, 2014; n.n.a., c., & s., 2012) strategi yang paling penting bagi kematian ibu berkurang adalah untuk memastikan bahwa perempuan memeriksakan kehamilannya dengan kehadiran terampil (villadsen et al., 2014) menurut penelitian tadese ejigu et.al di ethiopia hampir setengah 175 (47,7%) wanita tidak puas dan sebagian besar ibu kehilangan kesempatan untuk menerima skrining (ejigu et al., 2013). penelitian lainnya dari 823 wanita hamil hanya 227 orang (27,6 %) menerima kualitas yang dapat diterima dari layanan asuhan kehamilan (tafere, afework, & yalew, 2018). salah satu masalah penting yang terus dihadapi adalah kurangnya kualitas baik pelayanan antenatal dan mendapatkan kepuasan klien (chemir et al., 2014). mengevaluasi sejauh apa kepuasan ibu hamil dengan pelayanan kesehatan yang relevan secara klinis, karena ibu hamil puas lebih mungkin untuk mematuhi pengobatan, mengambil peran aktif dalam perawatan mereka sendiri untuk terus menggunakan layanan perawatan medis dan merekomendasikan layanan pusat kepada orang lain (chemir et al., 2014; nwaeze et al., 2013). kepuasan ibu hamil adalah persepsi subjectif dan dinamis dari sejauh mana pelayanan kesehatan yang diharapkan dan diterima (gamedze-mshayisa, kuo, liu, & lu, 2018; mateji, milicevic, djikanovic, & vasic, 2014). kepuasan ibu hamil merupakan salah satu ukuran hasil dari kualitas perawatan (creanga, gullo, kuhlmann, msiska, & galavotti, history article: received, 11/10/2019 accepted, 10/01/2020 published, 05/04/2020 keywords: pregnancy care, quality of service, satisfaction of pregnant women natal services that affects client satisfaction. satisfaction is an indicator of service quality. pregnancy satisfaction is important for further improvement of the quality of focused antenatal care and to provide comprehensive health services for pregnant women. the purpose of this, systematic literature review is to conclude and examine the literature relating to the satisfaction of pregnant women with the quality of care in care appraisal studies using the critical appraisal skills program (casp) and synthesis methods using pico with data sources obtained from pubmed and proquest containing 734 articles as reviewed. inclusion criteria are (1) pregnant women; (2) services in pregnancy care; (3) satisfaction of pregnant women; (4) full text; (5) articles published from 2013 to 2018; and (6) international journals. there are 5 articles that meet the inclusion criteria. satisfaction of pregnant women towards the quality of pregnancy care services in health facilities as assessed by clinical services, clinic accessibility and physician interaction. the cause of dissatisfied pregnant women in pregnant care services is waiting for the length of waiting time, health facilities and interpersonal communication. from the results of 4 articles worthy of review about the main factors that cause dissatisfaction in care services need anc assistance by discussing hta (health technology assessment) to improve administrative services and early monitoring of pregnant women by integrating rfid technology (radio frequency identification) and wsn (network wireless sensor). © 2020 jurnal ners dan kebidanan correspondence address: prodi kebidanan, universitas 'aisyiyah yogyakarta p-issn : 2355-052x https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 13sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... 2017; mekonnen, yalew, & anteneh, 2015). adapun bentuk ketidakpuasan ibu hamil yang paling sering diungkapkan dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku petugas antara lain keterlambatan pelayanan, dokter sulit ditemui, kurang komunikatif dan informatif, lamanya proses masuk rawat inap, tutur kata, keacuhan serta ketertiban dan kebersihan di lingkungan rs (chemir et al., 2014). factor resiko yang terjadi jika wanita kurang puas menyebabkan berkurangnya jumlah kunjungan (mortensen et al., 2018; solnes miltenburg, kiritta, bishanga, van roosmalen, & stekelenburg, 2017) mempengaruhi penilaian tentang kualitas layanan yang disediakan, sebagai hasil pengukuran kepuasan pelanggan telah menjadi pentingnya da la m menila i kiner ja system (hildingsson, haines, cross, pallant, & rubertsson, 2013; mortensen et al., 2018). beberapa studi yang dilakukan di anglo-saxon dan negara skandinavia menunjukan tingkat kepuasan dipantau dari kebutuhan dan harapan wanita (floris, irion, bonnet, politis mercier, & de labrusse, 2018). standar tinggi perawatan yang dianggap baik khususnya dinegara berkembang dimana cakupan layanan sebagian besar tidak memadai (nwaeze et al., 2013), kualitas pelayanan kesehatan dipandang sebagai factor yang terkait erat dengan efektivitas, kepatuhan dan kontinuitas perawatan terutama untuk alasan etis (van stenus, boere-boonekamp, kerkhof, & need, 2017). menurut parasuraman er al (1998) terdapat 5 (lima) dimensi atau aspek yang mewakili persepsi ibu hamil terhadap kualitas pelayanan yaitu tangible (berwujud), reliability (keandalan), responsiveness (ketanggapan), assurance (jaminan) dan empathy (empati). terlepas dari kenyataan bahwa ketidakpuasan ibu hamil adalah penting untuk perbaikan lebih lanjut. tujuan dari pengkajian systematic literature review untuk mengetahui penyebab ketidakpuasan dalam pelayanan asuhan kehamilan. bahan dan metode sesuai dengan tujuan dan pertanyaan penelitian, literature yang digunakan pada studi ini didapatkan melalui sistem pencarian yang sistematis (systematic literature search). faktor ketidakpuasan ibu pada pelayanan anc ibu hamil akan di review termasuk cara pengambilan sampel, variabel yang terdapat dalam jurnal yang diambil, dan hasil penelitian. metode pencarian literatur pada studi ini dimulai pada periode tahun 2013 sampai tahun 2018, diidentifikasi menggunakan database elekronik dari pubmed dan proquest pencairan database, scanning, dan screening artikel dilakukan secara mandiri oleh peneliti mengikuti syarat dalam pemenuhan kriteria inklusi. strategi pencarian literatur dengan menggunakan metode pico dan membuat pertanyaan penelitian. tipe inklusi eksklusi tipe penelitian studi kuantitatif tipe responden ibu hamil ibu bersalin, nifas, bbl tipe intervensi pelayanan dalam asuhan kehamilan tipe hasil yang diukur kepuasan ibu hamil lainnya 1) literature tahun 2013-2018 2) jurnal internasional tabel 1 kriteria inklusi & ekslusi pico keterangan p ibu hamil i pelayanan dalam asuhan kehamilan c fasilitas pelayanan, jumlah kunjungan, waktu kunjungan o kepuasan ibu hamil dalam pelayanan tabel 2 pico dalam pencarian artikel teridentifikasi 734 artikel, setelah disaring judul, abstrak, metode penelitian didapatkan 136 artikel untuk diambil dan ditinjau secara independen berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. kemudian dilakukan penyaringan artikel lebih lanjut untuk mencari referensi yang tepat dan lengkap mengenai kualitas terkait kepuasan ibu hamil dalam pelayanan asuhan kehamilan didapatkan 5 artikel untuk dilakukan critical appraisal menggunakan joana briggs institute 14 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 011–023 (jbi) kemudian didapatkan 5 artikel untuk dilakukan review akhir. in cl ud ed el ig ib ili ty sc re en in g id en ti fic at io n artikel yang teridentifikasi melalui pencarian database pubmed n= 523 catatan tambahan yang diidentifikasi melalui sumber lain (proquest) n = 211 hasil setelah automatic duplicated (n = 5 ) penyaringan (n = 729) artikel teks lengkap yang dinilai untuk kelayakan (n =136) artikel teks lengkap yang dinilai untuk kelayakan (n = 14) artikel teks kualitatif lengkap yang direview (n = 5) hasil yang dikeluarkan judul = 401 abstrak = 133 tidak inggris = 11 bukan jurnal = 7 review/systematic review (artikel yang sudah direview) = 41 jumlah = 593 artikel teks lengkap yang dikeluarkan tidak memenuhi kriteria inklusi dikarenakan tidak sesuai dengan topik (kepuasan pasien) artikel teks lengkap yang dikeluarkan karena tidak memenuhi criteria critical appraisal studi kualitatif responden diantaranya ibu bersalin dan ibu nifas (n = 9 ) gambar 1 flow chard sintesa systematic literature review pengumpulan data dan hasil temuan data yang diekstraksi dari artikel systematic literature review, yaitu: gambar 2 kepuasan ibu hamil dalam kualitas pelayanan asuhan kehamilan (adeyinka et al., 2017; chemir et al., 2014; ejigu et al., 2013; nwaeze et al., 2013; onyeajam, xirasagar, khan, hardin, & odutolu, 2018) kepuasan pasien 1. domain kepuasan dalam antenatal care 2. penyebab ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan artikel 1, 2, 3, 4, 5 15sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... gambar tersebut menunjukan hasil penelusuran literature review pada beberapa jurnal kepuasan ibu hamil terhadap pelayanan asuhan kehamilan tabel 3 ekstraksi data dan sintesis hasil yang diulas termuat jurnal yang diambil dalam systematic literature review. no penulis judul tujuan jenis penelitian ukuran peserta/ sampel hasil penelitian ejigu et al. (2013) chemir et al (2014) onyeajam et al (2018) 1 2 3 quality of antenatal care services at public health facilities of bahir-dar special zone, northwest ethiopia satisfaction with focused antenatal care service and associated factors among pregnant women attending focused antenatal care at health centers in jimma town, jimma zone, south west ethiopia; a facility based cross-sectional study triangulated with qualitative study antenatal care satisfaction in a developing country: a crosssectional study from nigeria untuk menilai kualitas pelayanan antenatal di fasilitas kesehatan masyarakat untuk menilai kepuasan dengan layanan perawatan antenatal terfokus dan faktor terkait pada wanita hamil yang terfokus pelayanan antenatal untuk mengidentifikasi faktor-faktor provider dan fasilitasfasilitas yang dapat ditingkatkan untuk kepuasan anc dan pemanfaatanya metode kuantitative dengan pendekatan cross sectional metode kuantitative dengan pendekatan cross sectional metode kuantitative dengan pendekatan cross sectional 396 responden 389 responden 1336 responden  hampir setengah 175 (47,7%) dari wanita studi tidak puas.  waktu menunggu mempengaruhi kepuasan pasien.  ibu hamil yang menghadiri klinik anc ditemukan hanya menerima bagian dari komponen perawatan.  lebih dari separuh responden (60,4%) merasa puas dengan layanan yang mereka terima.  sebagian besar responden (80,7%) merasa puas dengan aspek interpersonal dan 62,2 % merasa puas dengan aspek perawatan kesehatan  49,9% responden tidak puas dengan aspek kualitas teknis dan 61,7% tidak puas dengan aspek lingkungan fisik.  ketidakpuasan. lama menunggu waktu, kepadatan penduduk diklinik selama waktu pagi dan sedikitnya jasa laboratorium adalah kendala/masalah yang terkait dengan ketidakpuasan dalam pelayanan.  dari 1336 ibu, 90% merasa puas dengan anc. kepuasan pasien dikaitkan secara positif dengan layanan responsif (layanan cepat, tidak diselingi, jam klinik yang nyaman dan privasi selama konsultasi, fasilitasi pengobatan (penyedia layanan medis terkait jam klinik yang nyaman dan privasi selama konsultasi, ketersediaan peralatan, empati staf, pengobatan non-diskriminatif, terlepas dari sosioekonomi pasien status, jaminan penyedia layanan (kesopanan dan kepercayaan pasien) dan jumlah pemeriksaan klinis yang diterima. 16 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 011–023 no penulis judul tujuan jenis penelitian ukuran peserta/ sampel hasil penelitian  kepuasan anc di nigeria dapat ditingkatkan dengan meningkatkan daya tanggap terhadap klien, kualitas perawatan klinis, memastikan ketersediaan peralatan, mengoptimalkan akses mudah ke obatobatan, dan memperluas layanan anc gratis.  tiga domain kepuasan diidentifikasi kepuasan dengan layanan klinik, aksesibilitas klinik dan interaksi dokter. kepuasan dengan layanan klinik, aksesibilitas klinik dan interaksi dokter merupakan kontributor penting untuk kepuasan perawatan prenatal.  untuk meningkatkan kepuasan klinik perawatan prenatal pasien harus fokus pada membuat lebih mudah bagi perempuan untuk mencapai klinik, meningkatkan waktu tunggu, dan meningkatkan waktu dengan penyedia.  fasilitas dan air dianggap sebagai tidak memuaskan  lamanya menunggu di klinik predictor ketidakpuasan.  layanan klinik dianggap sebagai yang baik responden signifikan dengan kepuasan adalah keinginan untuk mendaftar di fasiitas yang sama pada kehamilan berikutnya. 4 5 adeyinka et al. (2017) il nwaeze, et.al (2013) predictors of prenatal care satisfaction among pregnant women in american samoa perception and satisfaction with quality of antenatal care services among pregnant women at the university college hospital, ibadan, nigeria untuk mengidentifikasi predictor kepuasan perawatan prenatal di samoa amerika mengevaluasi persepsi klien kualitas pelayanan antenatal di university college hospital (uch),ibadan dan tingkat kepuasan pasien metode kuantitative dengan pendekatan cross sectional metode kuantitative dengan pendekatan cross sectional 165 responden 239 responden hasil penelitian ha sil temua n denga n penca r ia n seca r a sistematis diperoleh artikel yang diterbitkan tahun 2013-2018, penulis dan sumber data yang diambil berasal dari negara amerika (n=1), nigeria (n-2), ethiopia (n=2), pengelompokan hasil temuan artikel terdiri dari 5 artikel pada negara maju dan berkembang (amerika, nigeria dan ethiopia). 5 artikel yang diambil dalam systematic literature review ini adalah jurnal dengan kualitas q1 sebanyak 5 jurnal. pembahasan hasil study systematic literature review didapatkan bahwa pelayanan yang tidak berkualitas mempengaruhi ketidakpuasan ibu hamil dalam pelayanan di fasilitas kesehatan. kualitas pelayanan asuhan kehamilan di fasilitas kesehatan berdasarkan temuan yang didapatkan pada penelitian terdapat tiga domain kepuasan ibu hamil 17sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... no tabel 4 rekapan ketidakpuasan ibu hamil dalam pelayanan asuhan kehamilan di fasilitas kesehatan layanan klinik tekanan darah diukur usia kehamilan diperkirakan tinggi rahim diukur pemeriksaan golongan darah tes vdrl tes hemoglobin tes urine untuk glukosan dan albumin besi/asam folat diberikan denyut jantung janin diukur tetanus privasi ibu hamil waktu menunggu di klinik fasilitas klinik: toilet persediaan air tempat duduk memadai aksesibilitas klinik jarak ke klinik interaksi interpersonal sikap komunikasi/interaksi ketidakpuasan ibu hamil dalam pelayanan asuhan kehamilan di fasilitas kesehatan referensi artikel (nwaeze et al., 2013) (ejigu et al., 2013) (nwaeze et al., 2013) (ejigu et al., 2013) ejigu.et.al 2013 (onyeajam et al., 2018) (nwaeze et al., 2013) (chemir et al., 2014) (adeyinka et al., 2017) (ejigu et al., 2013) (onyeajam et al., 2018) (nwaeze et al., 2013) (ejigu et al., 2013) (adeyinka et al., 2017) (nwaeze et al., 2013) (ejigu et al., 2013) 1 2 3 terhadap kualitas pelayanan asuhan kehamilan di fasilitas kesehatan yaitu layanan klinik, aksesibilitas klinik dan intera ksi dokter ya ng mer upakan kontributor penting untuk kepuasan perawatan prenatal. (adeyinka et al., 2017; chemir et al., 2014; ejigu et al., 2013; nwaeze et al., 2013; onyeajam et al., 2018). layanan klinik mengevaluasi sejauh apa kepuasan ibu hamil dengan pelayanan kesehatan yang relevan secara klinis (chemir et al 2014). wanita membutuhkan dukungan selama kehamilan, informasi mengenai kehamilan, jalur perawatan kehamilan dan skrining (hatherall et al., 2016) menurut penelitian ditemukan bahwa kepuasan keseluruhan dengan layanan perawatan antenatal pada populasi penelitian adalah 60,4% (ejigu et al., 2013) didukung dengan temuan sebuah penelitian yang dilakukan di nigeria (90%) ibu puas dengan layanan perawatan. sebagian besar wanita merasa puas dengan kualitas pelayanan a ntena ta l ya ng mer eka ter ima da n a ka n direkomendasikan (adeyinka et al., 2017; chemir et al., 2014; nwaeze et al., 2013) dan kemungkinan lebih besar menerima cukup prenatal care (liu, chao, jostad-laswell, & duncan, 2017) berbeda hal nya dengan penelitian di ethiopia hampir setengah (47,7%) ibu hamil tidak puas dengan pelayanan yang diberikan (ejigu et al., 2013). perbedaan bisa disebabkan oleh sifat subjektif dari 18 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 011–023 materi pelajaran karena ukuran kepuasan kebutuhan standar dan alat untuk pengukuran yang akurat tetapi sebagian literatur mengukur kepuasan dengan sederhana ya/tidak kategori respon, ibu hamil enggan untuk mengkritik (hildingsson et al., 2013). penelitian lainnya puas dengan layanan yang diberikan oleh staf medis dan keramahan penyedia kesehatan dan tidak puas dengan diakses, waktu tunggu dan kondisi fasilitas kesehatan (mekonnen et al., 2015) tenaga kerja, peralatan dan obat-obatan. (tenkorang, 2016). prediktor kepuasan klien dengan perawatan antenatal untuk menilai hubungan variabel independen yang berbeda (sosio-demografis, struktur dan atribut proses kualitas) dengan variable hasil (kepuasan klien), bivariate dan analisis regresi logistik ganda dilakukan (ejigu et al., 2013) sikap, psikososial, struktural, dan ekonomi (heaman et al., 2014) perawatan kualitas yang buruk tidak akan menerjemahkan untuk hasil kesehatan yang lebih ba ik (hur st, semr a u, pa tna , ga wa nde, & hirschhorn, 2015). tekanan darah dan berat badan seorang ibu hamil harus diukur dalam kunjungan anc dalam rekomendasi who (adeyinka et al., 2017) penelitian menunjukan bahwa tekanan darah dan berat tidak diukur, hal ini membuat identifikasi wanita hamil yang membutuhkan perawatan khusus untuk ditindaklanjuti sesuai dengan manajemen pelayanan lebih dari setengah tidak memberikan test skrining (n.n.a. et al., 2012). who merekomendasikan suplementasi besi rutin untuk semua wanita hamil dan pengukuran hemoglobin hanya pada 32 minggu (kunjungan ketiga) kecuali ada tanda-tanda klinis anemia berat. namun dalam pengukuran hemoglobin penelitian di ethiopia memeriksa konjungtiva anemia dilakukan 113 (30,6%) dan 226 (61,2%) dari wanita hamil, hampir dua pertiga dari perempuan tidak menerima besi/asam folat. meskipun tes hemoglobin hanya disarankan pada 32 minggu, praktek ini masih jarang seperti yang diminta dengan test urine lainnya selama kunjungan pertama tanpa memandang usia kehamilannya (ejigu et al., 2013) penelitian lainnya pengukuran dan tes laboratorium dilakukan selama kunjungan anc kecuali tes penyakit research laboratory (vdrl) dilakukan jika ibu hamil diduga sifilis (ejigu et al., 2013). kepuasan ibu hamil dengan layanan anc dipengaruhi oleh privasi selama konsultasi, hal ini disebabkan karena pada saat konsultasi pintu tidak ditutup (nwaeze et al., 2013) dan kehadiran orang lain di ruang anc selama konsultasi (tafere et al., 2018). secara khusus, proporsi yang signifikan dari klien dilihat dari waktu menunggu. kepuasan secara keseluruhan bermakna dikaitkan dengan waktu tunggu diklinik wanita yang menunggu rata-rata dua jam atau lebih kurang puas dibandingkan wanita yang menunggu kurang dari 30 menit (ejigu et al., 2013). penelitian lain merasa puas karena mereka harus menunggu diatas satu jam sebelum dilihat oleh dokter (kamil & khorshid, 2013). waktu menunggu dan memiliki waktu untuk berkonsultasi adalah alasan penting ibu hamil menghadari pelayanan anc (butler et al., 2015; mcdonald, sword, eryuzlu, & biringer, 2014). keputusan wanita tentang di mana mereka akan pergi menunjukkan bahwa untuk perawatan dipengaruhi oleh jenis interaksi yang mereka miliki dengan penyedia di masa lalu, dan persepsi mereka tentang kualitas pelayanan yang disedia ka n da la m fa silita s (dia mond-smith, sudhinaraset, & montagu, 2016). dimensi kualitas yang berhubungan dengan ketidakpuasan ibu hamil mempenga r uhi keseha ta n da n keseja hter aa n masyarakat (ejigu et al., 2013). fasilitas pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan pada saat pemeriksaan dan pelayanan yang memadai tersedia di klinik. dalam penelitian yang ditemukan tidak adanya jamban bersih dan pasokan air yang tidak memadai, dan kursi tunggu memadai (tafere et al., 2018). studi di holeta mengungkapkan bahwa sebagian besar persepsi wanita mengatakan kualitas pelayanan baik tetapi jika adanya peralatan di klinik dan fasilitas yang memadai diklinik (kisuule et al., 2013). aksebilitas klinik peserta yang tinggal lebih jauh dari pelayanan yang dikunjungi secara signifikan kurang puas dengan aksesibilitas klinik, dan interaksi dokter. bukan penduduk kepuasan 11,7% dibandingkan dengan penduduk asli. waktu yang diperlukan untuk menghadiri pemeriksaan kehamilan menjadi kunci penentu kepuasan antara peserta dalam penelitian seperti waktu yang dihabiskan bepergian ke klinik, waktu tunggu diklinik,jumlah waktu yang dihabiskan dengan dokter mencerminkan kepuasan dengan lokasi klinik, waktu tunggu dan jam buka menjadi skor kepuasan bagi klien (adeyinka et al., 2017). pengguna fasilitas kesehatan swasta puas dengan aksesibilitas dan kondisi fasilitas (tenkorang, 2016). ibu menyadari bahwa membutuhkan layanan anc dan tahu bahwa untuk kesehatan mereka dan 19sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... kesehatan bayi, mereka memerlukan fasilitas namun adanya hambatan seperti waktu dan jarak ke fasilitas kesehatan yang membuat tidak menghadiri pelayanan anc. (fleming, gaines, connor, & quick, 2017). aksesibilitas tergantung tidak hanya pada ketersediaan layanan tetapi juga pada jarak geografi bahwa masalah transportasi mempengaruhi keterlambatan dalam mencari perawatan (gladys reuben, 2015). interaksi interpersonal sikap petugas kesehatan adalah penentu signifikan persepsi ibu hamil dan kepuasan dengan perawatan antenatal dalam penelitian (adeyinka 2014). hubungan penyedia yang baik dengan ibu hamil sebagai komponen yang paling penting dari praktek medis yang baik tidak hanya karena mengindetifikasi masalah dengan cepat dan jelas akan tetapi juga tentang harapan untuk membangun kepercayaan antara dokter dan ibu hamil (adeyinka et al., 2017) perilaku sopan didokumentasikan untuk kepuasan ibu hamil temuan lainnya mengatakan perilaku bidan bisa menginterversi pelayanan berkelanjutan (henshall et al., 2018). sikap terhadap kesehatan ibu berada sekitar dua kali lebih mungkin untuk menghadiri anc dibandingkan dengan mereka dengan sikap buruk (wilunda et al., 2015) informasi dan pendidikan sangat penting untuk memungkinkan mereka untuk belajar untuk diri mereka sendiri, bahwa mereka perlu tahu dan memahami organisasi layanan sehingga mereka bisa mengaksesnya dengan cara yang tepat, bahwa layanan perlu disediakan dengan cara hormat oleh staf yang ditimbulkan kepercayaan dan yang tidak kasar atau kejam, dan perawatan yang harus dipersonalisasi untuk kebutuhan masing-masing, dan penyedia layanan yang empatik dan baik. terutama, wanita ingin profesional kesehatan yang dikombinasikan pengetahuan klinis dan keterampilan dengan kompetensi interpersonal dan budaya (renfrew et al., 2014; solnes miltenburg et al., 2017). penyebab ketidakpuasan dalam pelayanan asuhan kehamilan hasil temuan yang dilakukan penelitian terdapat penyebab ketidakpuasan dalam pelayanan asuhan kehamilan berdasarkan domain kepuasan pasien diantaranya lama waktu menunggu, fasilitas pelayanan dan komunikasi interpersonal (adeyinka et al., 2017; chemir et al., 2014; ejigu et al., 2013; nwaeze et al., 2013; onyeajam et al., 2018). lama waktu menunggu berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan salah satu penyebab ketidakpuasan ibu hamil dalam pelayanan asuhan kehamilan yaitu waktu menunggu (adeyinka et al., 2017; chemir et al., 2014; ejigu et al., 2013; nwaeze et al., 2013). waktu yang diperlukan untuk menghadiri pemeriksaan kehamilan menjadi kunci penentu kepuasan antara peserta dalam penelitian, waktu yang dihabiskan bepergian ke klinik, waktu tunggu di klinik (van der kooy et al., 2017). jumlah waktu yang dihabiskan dengan dokter (bahadoran, fahami, & mohamadirizi, 2014) dan waktu di ambil dari kerja ke pelayanan. aksesibilitas klinik mencerminkan kepuasan dengan lokasi klinik, waktu tunggu dan jam buka, menerima skor kepuasan terendah dari peserta penelitian. jarak antara responden dan klinik yang sering digunakan adalah prediktor kuat dari kepuasan aksebilitas klinik..ibu hamil yang tidak menghadiri semua janji yang dijadwalkan ke pelayanan kurang puas dengan secara keseluruhan di layanan klinik dari pada yang datang sehingga menunjukan bahwa kepuasan dan pema nfaa tan pelaya na n saling ber hubunga n (adeyinka et al., 2017) hamil lebih cenderung tidak senang dengan waktu tunggu dan lebih suka waktu bersama penyedia layanan kesehatan. (gamedzemshayisa et al., 2018). pearson t-test kolerasi menunjukan bahwa jumlah jumlah rata-rata yang dihabiskan waktu untuk berbicara dengan dokter selama kunjungan perawatan antenatal dikaitkan secara positif dengan kepuasan layanan klinik. kunjungan memberikan kesempatan bagi penyediaan perawatan yang dibutuhkan (hodgins & d’agostino, 2014). fasilitas kesehatan pada persediaan, semua fasilitas kesehatan memiliki skala fungsional berat badan, mikroskop, fetoskop dan stetoskop tapi sphygmomanometer tidak tersedia dalam satu fasilitas kesehatan. uristix untuk mendeteksi glukosa dan protein dalam urine, laboratorium penyakit kelamin (vdrl) dan pengukuran hemoglobin yang tersedia hanya dalam dua hari kedepan fasilitas kesehatan masyarakat. penisilin tersedia di semua fasilitas kesehatan tetapi besi sulfat/asam folat ada hanya dalam satu fasilitas (ejigu et al., 2013). penelitian lain mengatakan sebagian besar fasilitas kesehatan melaporkan pembe20 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 011–023 rian lengkap dari pemeriksaan laboratorium. kekurangan pasokan laboratorium dan gangguan listrik yang tantangan besar fasilitas karena kondisi tersebut dapat mempengaruhi hasil kehamilan (desalegn, abay, & taye, 2016). ruang pemeriksaan anc diberikan adanya pedoman pelayanan antenatal dan air untuk mencuci tangan diruang pemeriksaan tidak tersedia. (ejigu et al., 2013). who merekomendasikan suplementasi besi rutin untuk semua wanita hamil dan pengukuran hemoglobin hanya pada 32 minggu (kunjungan ketiga) kecuali ada tanda-tanda klinis anemia berat (ejigu et al., 2013). penyebab ketidakpuasan yang juga ditemukan pada penelitian yaitu tidak adanya jamban bersih, kurangnya pasokan air dan kursi tunggu yang tidak memadai. (adeyinka et al., 2017; chemir et al., 2014) fasilitas dibawah standar (hildingsson et al., 2013) dan tempat kunjungan. hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di holeta, pusat ethiopia mengungkapkan bahwa sebagian besar wanita semua persepsi baik tetapi kurangnya peralatan yang tersedia di klinik (ejigu et al., 2013) yang sebelumnya pada tahun 2010 kementrian ethiopia membuat pelayanan gratis untuk semua perempuan terhadap layanan anc (villadsen et al., 2015) persepsi kualitas yang buruk dari perawatan dapat menyebabkan berkurangnya pemanfaatan layanan. (creanga et al., 2017). komunikasi/interpersonal klien alasan memungkinkan bahwa proporsi yang tinggi dari wanita tidak puas dalam penelitian mungkin terkait dengan kurangnya professional kesehatan yang berkualitas seperti perawat, kurangnya pelatihan dari penyedia dan tidak adanya pedoman anc di fasilitas kesehatan (ejigu et al., 2013) sikap buruk petugas pelayanan dan sedikit perhatiannya ke ibu hamil (okonofua et al., 2017) kemampuan penyedia untuk menginspirasi kepercayaan dalam perawatan klinis,kepuasan klien dengan layanan antenatal dipengaruhi oleh jenis kelamin penyedia hal ini mungkin disebabkan karena hilangnya kebebasan untuk membahas tentang isuisu mereka dengan penyedia laki-laki (dokter laki-laki) (ejigu et al., 2013). kepuasan dengan interaksi dokter adalah terkait dengan pekerjaan, fakta bahwa para wanita yang bekerja kurang puas dibandingkan wanita yang mahasiswa atau pengangguran hal ini mungkin menunjukkan bahwa wanita bekerja memiliki kurang waktu saat berinteraksi (adeyinka et al., 2017) kurangnya konseling (rurangirwa et al 2018). penelitian lain menguatkan hubungan positif komunikasi provider yang efektif dengan kepuasan dengan anc (renfrew et al., 2014). ketidakpuasan bisa disebabkan intepersonal ibu hamil dengan perbedaan latar belakang budaya penyedia dan penerima (chemir et al., 2014) dan juga wanita hamil dengan tingkat pendidikan yang rendah lebih menjadi puas dengan layanan anc daripada mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi (van stenus et al., 2017) hal ini karena wanita dengan tingkat pendidikan tinggi lebih vocal dan mencari infomasi dan cari tahu apa yang diharapkan (chemir et al., 2014). penelitian lain terkait pendidikan ibu hamil terhadap kepuasan ibu hamil dengan kualitas interaksi penyedia, dokter, pertemuan ibu hamil, kualitas informasi yang diterima selama konsultasi (babalola, 2014) informasi tidak baik tentang usia kehamilan yang tepat di mana mereka harus membuat antenatal kunjungan perawatan pertama mereka (kisuule et al., 2013) partisipasi ibu hamil aktif dan tingkat keterlibatan dalam keputusan mengenai perawatan kesehatan. pentingnya aspek interpersonal perawatan dan pendidikan untuk kepuasan ibu (mateji et al., 2014). perbaikan ketersediaan, aksesibilitas, penerimaan, dan kualitas pelayanan kebidanan, dalam suatu sistem kesehatan yang berfungsi yang responsif terhadap kebutuhan dan persyaratan perempuan dalam mendapatkan pelayanan (ten hoopebender et al., 2014) mendedikasikan kebijakan dan sumber daya yang dibutuhkan, dan mempertahankan implementasi untuk mengatasi banyak faktor penyediaan perawatan kesehatan ibu yang digunakan. (koblinsky et al., 2016) pentingnya memastikan kualitas pelayanan di seluruh kontinum perawatan (miltenburg et al., 2017). kesimpulan dari hasil systematic literature riview didapatkan tiga domain kepuasan ibu hamil terhadap kualitas pelayanan asuhan kehamilan di fasilitas kesehatan yaitu layanan klinik (ketersediaan peralatan dan prosedur layanan, privasi, waktu menunggu diklinik dan fasilitas klinik), aksesibilitas klinik dan interaksi interpersonal yang merupakan contributor penting untuk kepuasan perawatan asuhan kehamilan. dari domain penyebab ketidakpuasan dalam pelayanan asuhan kehamilan diantaranya lama waktu menunggu, fasilitas pelayanan dan komunikasi interaksi interpersonal. faktor utama yang 21sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... menyebabkan ketidakpuasan dalam pelayanan kesehatan yaitu waktu menunggu ibu hamil. saran bagi tenaga kesehatan, memiliki sikap yang baik dan komunikasi teraupetik secara interpersonal sehingga terjalin hubungan erat saat memberikan informasi kepada pasien. bagi layanan kesehatan, untuk meningkatkan fasilitas dan tentang pengurangan waktu menunggu denga n pendekata n hta (health technology assasment). pemanfaatan perkembangan teknologi biomedis semakin diperlukan untuk pelayanan kesehatan kepada ibu hamil di rumah sakit. misalnya pendaftaran secara online, membuat jadwal pemeriksaan untuk sebuah sistem untuk mempercepat pelayanan administrasi dan observasi awal pada ibu hamil di rumah sakit dengan mengintegrasikan teknologi rfid (radio frequency identification) dan wsn (wireless sensor network). daftar pustaka adeyinka, o., jukic, a. m., mcgarvey, s. t., muasauhoward, b. t., faiai, m., & hawley, n. l. (2017). predictors of prenatal care satisfaction among pregnant women in american samoa. bmc pregnancy and childbirth, 17(1), 1–14. https:// doi.org/10.1186/s12884-017-1563-6 babalola, s. (2014). women’s education level, antenatal visits and the quality of skilled antenatal care: a study of three african countries. journal of health care for the poor and underserved, 25(1), 161– 179. https://doi.org/10.1353/hpu.2014.0049 bahadoran, p., fahami, f., & mohamadirizi, s. (2014). effect of e-learning on primigravida women2 s satisfaction and awareness concerning prenatal care. journal of education and health promotion. https://doi.org/10.4103/2277-9531.127574 butler, m. m., sheehy, l., kington, m. m., walsh, m. c., brosnan, m. c., murphy, m., … barry, t. (2015). evaluating midwife-led antenatal care: choice, experience, effectiveness, and preparation for pregnancy. midwifery, 31(4), 418–425. https:// doi.org/10.1016/j.midw.2014.12.002 chemir, f., alemseged, f., & workneh, d. (2014). satisfaction with focused antenatal care service and a ssocia ted fa ct or s a mong pregn an t women attending focused antenatal care at health centers in jimma town, jimma zone, south west ethiopia; a facility based cross-sectional study triangulated with qualitative study. bmc research notes, 7(1), 164. https://doi.org/10.1186/1756-0500-7-164 creanga, a. a., gullo, s., kuhlmann, a. k. s., msiska, t. w., & galavotti, c. (2017). is quality of care a key predictor of perinatal health care utilization and patient satisfaction in malawi? bmc pregnancy and childbirth, 17(1), 1–13. https://doi.org/10.1186/ s12884-017-1331-7 desalegn, d. m., abay, s., & taye, b. (2016). the availability and functional status of focused antenatal care laboratory services at public health facilities in addis ababa, ethiopia. bmc research notes, 9(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s13104-0162207-z diamond-smith, n., sudhinaraset, m., & montagu, d. (2016). clinical and perceived quality of care for maternal, neonatal and antenatal care in kenya and namibia: the service provision assessment. reproductive health, 13(1), 1–13. https://doi.org/ 10.1186/s12978-016-0208-y ejigu, t., woldie, m., & kifle, y. (2013). quality of antenatal care services at public health facilities of bahir-dar special zone, northwest ethiopia. bmc health services research, 13(1), 1. https://doi.org/10.1186/ 1472-6963-13-443 fleming, e., gaines, j., connor, k. o., & quick, r. (2017). antenatal care and delivery services in kenya/ ? results of a qualitative inquiry, 28, 153–174. floris, l., irion, o., bonnet, j., politis mercier, m.-p., & de labrusse, c. (2018). comprehensive maternity support and shared care in switzerland: comparison of levels of satisfaction. women and birth, 31(2), 124–133. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/ j.wombi.2017.06.021 gamedze-mshayisa, d. i., kuo, s. c., liu, c. y., & lu, y. y. (2018). factors associated with women’s perception of and satisfaction with quality of intrapartum care practices in swaziland. midwifery, 57, 32–38. https:/ /doi.org/10.1016/j.midw.2017.10.016 gladys reuben. (2015). women’s perceptions of antenatal, delivery, and postpartum services in rural tanzania global health action vol 8, no 1, 1, 1–9. https:// doi.org/10.3402/gha.v8.28567 hatherall, b., morris, j., jamal, f., sweeney, l., wiggins, m., kaur, i., … harden, a. (2016). timing of the initiation of antenatal care: an exploratory qualitative study of women and service providers in east london. midwifery, 36, 1–7. https://doi.org/ 10.1016/j.midw.2016.02.017 heaman, m. i., moffatt, m., elliott, l., sword, w., helewa, m. e., morris, h., … cook, c. (2014). barriers, motivators and facilitators related to prenatal care utilization among inner-city women in winnipeg, canada: a case-control study. bmc pregnancy and childbirth, 14(1), 1–16. https://doi.org/10.1186/ 1471-2393-14-227 henshall, c., taylor, b., goodwin, l., farre, a., jones, m. e., & kenyon, s. (2018). improving the quality and content of midwives’ discussions with low-risk 22 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 011–023 women about their options for place of birth: coproduction and evaluation of an intervention package. midwifery, 59, 118–126. https://doi.org/ 10.1016/j.midw.2018.01.016 hildingsson, i., haines, h., cross, m., pallant, j. f., & rubertsson, c. (2013). women’s satisfaction with antenatal care: comparing women in sweden and australia. women and birth, 26(1), e9–e14. https:// doi.org/10.1016/j.wombi.2012.06.002 hodgins, s., & d’agostino, a. (2014). the qualitycoverage gap in antenatal care: toward better measurement of effective coverage. global health: science and practice, 2(2), 173–181. https://doi.org/ 10.9745/ghsp-d-13-00176 hurst, t. e., semrau, k., patna, m., gawande, a., & hirschhorn, l. r. (2015). demand-side interventions for maternal care: evidence of more use, not better outcomes. bmc pregnancy and childbirth, 15(1). https://doi.org/10.1016/0303-8467(92)90098-n kamil, a., & khorshid, e. (2013). maternal perceptions of antenatal care provision at a tertiary level hospital, riyadh. oman medical journal, 28(1), 33–35. https://doi.org/10.5001/omj.2013.07 kisuule, i., kaye, d. k., najjuka, f., ssematimba, s. k., arinda, a., nakitende, g., & otim, l. (2013). timing and reasons for coming late for the first antenatal care visit by pregnant women at mulago hospital, kampala uganda. bmc pregnancy and childbirth, 13, 1–7. https://doi.org/10.1186/1471-2393-13-121 koblinsky, m., moyer, c. a., calvert, c., campbell, j., campbell, o. m. r., feigl, a. b., … langer, a. (2016). quality maternity care for every woman, everywhere: a call to action. the lancet, 388(10057), 2307–2320. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/s01406736(16)31333-2 liu, r., chao, m. t., jostad-laswell, a., & duncan, l. g. (2017). does centeringpregnancy group prenatal care affect the birth experience of underserved women? a mixed methods analysis. journal of immigrant and minority health, 19(2), 415–422. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1007/s10903016-0371-9 mateji, milicevic, djikanovic, & vasic. (2014). maternal satisfaction with organized perinatal care in serbian public hospitals. bmc pregnancy and childbirth, 14(1). https://doi.org/10.1186/1471-2393-14-14 mcdonald, s. d., sword, w., eryuzlu, l. e., & biringer, a. b. (2014). a qualitative descriptive study of the group prenatal care experience: perceptions of women with low-risk pregnancies and their midwives. bmc pregnancy and childbirth, 14(1), 334. https://doi.org/10.1186/1471-2393-14-334 mekonnen, m. e., yalew, w. a., & anteneh, z. a. (2015). women’s satisfaction with childbirth care in felege hiwot referral hospital, bahir dar city, northwest ethiopia, 2014: cross sectional study womens health. bmc research notes, 8(1), 528. https:// doi.org/10.1186/s13104-015-1494-0 miltenburg, a. s., van der eem, l., nyanza, e. c., van pelt, s., ndaki, p., basinda, n., & sundby, j. (2017). antenatal care and opportunities for quality improvement of service provision in resource limited settings: a mixed methods study. plos one, 12(12), 1–15. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0188279 mortensen, b., lukasse, m., diep, l. m., lieng, m., abuawad, a., suleiman, m., & fosse, e. (2018). can a midwife-led continuity model improve maternal servi ces i n a low-resour ce setti ng? a nonrandomised cluster intervention study in palestine. bmj open, 8(3), e019568. https://doi.org/10.1136/ bmjopen-2017-019568 n.n.a., k., c., c., & s., g. (2012). quality of antenatal care in zambia: a national assessment. bmc pregnancy and childbirth, 12. retrieved from http://www.biomedcentral.com/1471-2393/12/ 151%5cnhttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?t= js&page=reference&d=emed11&news=n&an=2013014785 nwaeze, i. l., enabor, o. o., oluwasola, t. a. o., & aimakhu, c. o. (2013). nigeria 2017 ibadan, 11(1), 22–28. okonofua, f., ogu, r., agholor, k., okike, o., abdussalam, r., gana, m., … galadanci, h. (2017). qualitative assessment of women’s satisfaction with maternal health care in referral hospitals in nigeria. reproductive health, 14(1), 1–8. https://doi.org/ 10.1186/s12978-017-0305-6 onyeajam, d. j., xirasagar, s., khan, m. m., hardin, j. w., & odutolu, o. (2018). antenatal care satisfaction in a developing country: a cross-sectional study from nigeria. bmc public health, 18(1), 1–9. https:/ /doi.org/10.1186/s12889-018-5285-0 renfrew, m. j., mcfadden, a., bastos, m. h., campbell, j., channon, a. a., cheung, n. f., … declercq, e. (2014). midwifery and quality care: findings from a new evidence-informed framework for maternal and newborn care. the lancet, 384(9948), 1129–1145. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(14)60789-3 solnes miltenburg, a., kiritta, r. f., bishanga, t. b., van roosmalen, j., & stekelenburg, j. (2017). assessing emergency obstetric and newborn care: can performance indicators capture health system weaknesses? bmc pregnancy and childbirth, 17(1), 1–9. https://doi.org/10.1186/s12884-017-1282z tafere, t. e., afework, m. f., & yalew, a. w. (2018). antenatal care service quality increases the odds of utilizing institutional delivery in bahir dar city adm inistrat ion, nor th western e thiopia: a prospective follow up study. plos one, 13(2), 1– 14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0192428 ten hoope-bender, p., de bernis, l., campbell, j., downe, s., fauveau, v., fogstad, h., … van lerberghe, w. 23sulistyana, susanti, latihan range of motion untuk perubahan kualitas dan ... (2014). improvement of maternal and newborn health through midwifery. the lancet, 384(9949), 1226– 1235. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(14)609302 tenkorang, e. y. (2016). type of health facility and utilization of antenatal care services among ghanaian women. population research and policy review, 35(5), 631–650. https://doi.org/http:// dx.doi.org/10.1007/s11113-016-9406-0 van der kooy, j., birnie, e., valentine, n. b., da graaf, j. p., denktas, s., steegers, e. a. p., & bonsel, g. j. (2017). quality of perinatal care services from the user’s perspective: a dutch study applies the world health organization’s responsiveness concept. bmc pregnancy and childbirth, 17(1), 327. https:/ /doi.org/10.1186/s12884-017-1464-8 van stenus, c. m. v., boere-boonekamp, m. m., kerkhof, e. f. g. m., & need, a. (2017). client satisfaction and transfers across care levels of women with uncomplicated pregnancies at the onset of labor. midwifery, 48, 11–17. https://doi.org/10.1016/ j.midw.2017.02.007 villadsen, s. f., negussie, d., gebremariam, a., tilahun, a., friis, h., & rasch, v. (2015). antenatal care strengthening for improved quality of care in jimma, ethiopia: an effectiveness study health policies, systems and management. bmc public health, 15(1). https://doi.org/10.1186/s12889-015-1708-3 villadsen, s. f., tersbøl, b. p., negussie, d., gebremariam, a., tilahun, a., friis, h., & rasch, v. (2014). antenatal care strengthening in jimma, ethiopia: a mixed-method needs assessment. journal of environmental and public health, 2014. https:// doi.org/10.1155/2014/945164 wilunda, c., quaglio, g., putoto, g., takahashi, r., calia, f., abebe, d., … atzori, a. (2015). determinants of utilisation of antenatal care and skilled birth attendant at delivery in south west shoa zone, ethiopia: a cross sectional study. reproductive health, 12(1), 74. https://doi.org/10.1186/s12978015-0067-y. untitled 338 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 338–345 the effect of classical music therapy on sleep disorders of children hospitalized at sakinah islamic hospital mojokerto regency jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 11/03/2020 accepted, 11/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: music therapy, sleep disorder, hospitalization article information abstract the general response that occurs when hospitalized children included regression, anxiety separation, apathy, fear, and sleep disorders. one method for improving sleep was music therapy. this research aimed to prove the effect of classical music therapy on sleep disorders at children who have experienced hospitalization at sakinah islamic hospital, mojokerto regency. this research design was pre-experimental with one group pretest-post test design approach. the population at this research were all children who experienced hospitalization at sakinah islamic hospital at mojokerto regency on february 26th-march 21th 2019 as many as 43 children. the sampling technique of this research was purposive sampling. the sample size that met the research criteria were 30 children. the research instrument used sop music therapy and questionnaires. the results of this research suggested that before being given music therapy almost all respondents had lacked sleep needs as many as 23 respondents (76.7%), and after being given music therapy almost entirely had equal sleep needs as many as 26 respondents (86.7%). wilcoxon signed rank test suggested that pvalue = 0,000 or <á (0,05), which meant that there was an effect of music therapy on sleep disorders at children who have been hospitalized at sakinah islamic hospital mojokerto regency. music therapy would provide a relaxing effect where when children like music would stimulate endorphins to provide a sense of calm and easier to sleep. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: triratna83@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p338–345 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 338 tri ratnaningsih , desi arista nursing department, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia it typewritten text 1 it typewritten text 2 it typewritten text 1,2 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p338-345&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p338-345 339ningsih, the effect of classical music therapy on sleep disorders of ... introduction pain is an unpleasant experience for children, often sick and hospitalization is a major crisis that must be faced by children. illness and hospitalization are the main crises for children and families. as a result, the client will give reactions to the crisis he experienced (nursalam et al, 2013). the general response that occurs in hospitalized children includes regression, anxiety separation, apathy, fear, and sleep disturbances (wong, 2012). stressor stress causes children to experience stress, physiologically stress means an increase in the hormone cortisol. high cortisol disrupts the neurotransmitter system that regulates sleep and causes disturbances in sleep patterns (riley, 2016). the higher the cortisol produced the higher the disturbance that occurs in the hippocampal and neocortical systems. the disorder causes memory consolidation to become chaotic so that the rem phase of sleep becomes longer. along rem phase can cause nightmares, sleeplessly, wake up in the middle of the night and wake up early. high cortisol also causes the body to become tense, making it difficult to enter the sleep phase (payne & nadel, 2008). pharmacological therapy has been used to treat sleep disorders, but potential side effects limit longterm interventions so that people use more types of interventions such as music therapy because they can induce a relaxation and disturbance response, which reduces activity in the neuroendocrine and sympathetic nervous system, which results in decreased pain, stress, anxiety and sleep disorders (lafci, 2015). the fact that occurred in the field shows that children who are hospitalized due to hospitalization experience sleep disturbances especially in the first days of admission to the hospital, such as difficulty in starting to sleep, shorter sleep hours than usual, and frequent waking at night. data from the 2013 basic health research shows that in the past year 2.3% of the indonesian population has been hospitalized, while in east java province it is around 3%. based on the age group, children aged 5-14 years were recorded at 1.3% who were hospitalized (ri ministry of health, 2013). profile of mojokerto health office in 2016 the number of inpatient visits in mojokerto regency in 2016 was 5.7%, and the number of inpatient visits at rsi sakinah was 12,138 visits (mojokerto district health office, 2017).more than 2 million children suffer from sleep disorders. children need an average of 9 to 10 hours of sleep each night, and an estimated 30 to 40% of children do not get enough sleep. about 1-3% of children not only snore but also suffer breathing problems during sleep. more than 263,000 children in the us have tonsillectomy every year and sleep apnea is the main reason (cone health, 2012). the results of the anggraeny et al (2014) research in ambarawa hospital can be concluded that most children aged 6-12 years in ambarawa hospital have poor sleep quality before being given music therapy as much as 71.4%. the results of the preliminary research at sakinah mojokerto hospital on december 14, 2018 by interviewing parents of 3 hospitalized patients showed tha t 3 childr en (100%) ha d sleep disturbances, especially in the first days of admission to the hospital, such as difficulty in starting to sleep, 2 children (67, 7%) experience shorter hours of sleep than usual, and 3 children (100%) often wake up at night. factors that influence the quantity and quality of sleep according to them are health status, psychological stress, lifestyle, environment, diet and nutrition, medication, motivation (hidayat, listening to classical music impulses or sound stimuli will be received by the ears of the listener. then the ear starts the listening process. physiologically hearing is the process by which the ear receives sound waves, differentia tes fr equencies a nd sends information on the central nervous system. every sound produced by the sound source or the vibration of the air will be received by the ear. these vibrations are converted into mechanical impulses in the middle ear and converted into electrical impulses in the inner ear which are transmitted through the auditory nerve to the brained auditory cortex. in addition to receiving signals from the thalamus (one part of the brain that functions to receive messages from the senses and continues to the other brain).the amygdala also receives signals from all parts of the limbic cortex (emotions/ behavior) as well as the temporal lobe neocortex (cortex or brain layer that only exists in humans) parietal (midbrain) and occipital (hindbrain) especially in auditory associations and visual association areas. the thalamus also signals to the neocortex (the area of the brain that functions to think or process data and information that enters the brain). in the neocortex, the signal is arranged into objects tha t a re under stood a nd sor ted according to their meaning, so that the brain 340 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 338–345 recognizes each object and the meaning of its presence. t hen the a mygdala signa ls to the hypothalamus and secretes endorphins which provide a calm effect (primadita, 2011). children who are sick and feel pain, then the need for rest and sleep cannot be fulfilled properly so that they can not sleep well. prolonged sleep disturbances will result in changes in the biological sleep cycle, decr ea sed endur ance a nd r educed aca demic performance, irrita bility, depression, lack of concentration, fatigue, which in turn can affect the safety of yourself or mozart others (potter & perry, 2010). efforts can be made to improve the quality of sleep by relaxation before going to bed, avoiding things that can cause stress before going to bed such as watching or reading stories that are tense and thinking about work, avoiding intermittent sleep during the day, avoiding heavy foods and stinging before bed sleep with a room that has good ventilation, sleep with the right position which is sideways right, if you cannot sleep after 30 minutes then you should wake up and do light activities such as listening to music (rafknowledge, 2009). as a non-pharmacology method, music therapy is an easy-to-use, practical, and inexpensive initiative that can be done in nursing practice (sarikaya, na., & oguz, 2016). music therapy is an effective and riskfree approach to induce sleep/sedation in children (wang, q., 2016). based on the background above, the researcher was interested in examining the effect of classical music therapy on sleep disorder of children who had been hospitalized at sakinah hospital mojokerto regency method this research used a pre-experimental type experimental design with a pretest-posttest one group design approach. the population in this r esea r ch wa s a ll childr en who exper ienced hospitalization in the muria sakinah hospital, mojokerto regency on february 26-march 21, 2019, consisting of 43 children. the sampling technique in this research used a purposive sampling technique where the sample selection was by the considerations of the researcher. the considerations were in the form of inclusion and exclusion criteria. the sample used in this research were some children who had been hospitalized in the muria room at sakinah hospital mojokerto regency on 26 february-21 march 2019 which met the inclusion and exclusion criteria of 20 children. the inclusion criteria in this research were hospitalized patients aged 6-12 years, patients who liked music, were willing to be respondents, while the exclusion criteria in this research were patients who exper ienced hea ring loss and impa ired consciousness. the research instrument used a sleep disor der sca le for childr en (sdsc) questionnaire. the classical music used mozart and maestro beethoven music. the statistical test used the wilcoxon signed rank test. result respondents general data 1) sex of the respondent child gender f % man 12 40,0 woman 18 60,0 table 1 frequency distribution of respondents by gender of respondents in sakinah hospital mojokerto regency on february 26-march 21 2019 table 1 showed that the majority of respondents were female, as many as 18 respondents (60%). 2) age of the respondent age of child f % 6 age 3 10,0 7 age 9 30,0 8 age 8 26,7 9 age 7 23,3 10 age 2 6,7 11 age 1 3,3 score 30 100 source: primary data in 2019 table 2 respondent frequency distribution by child age at sakinah hospital mojokerto regency on february 26-march 21 2019 table 2 showed tha t a lmost ha lf of the respondents were 7 years old, 9 respondents (30%). 341ningsih, the effect of classical music therapy on sleep disorders of ... table 6 showed that most respondents break their sleep according to their sleep needs after being given music ther apy, namely 21 respondents (70.0%). cross tabulation of sleep disorders 3) room condition room condition f % using a fan 17 56,7 using ac 13 43,3 do not use both 0 0 score 30 100 source: primary data in 2019 table 3 respondents’ frequency distribution based on room conditi ons in saki nah hospital mojokerto regency on february 26-march 21 2019 table 3 showed that most respondents used indoor fans as many as 17 respondents (56.7%). 4) atmosphere around the room atmosphere around the room f % crowded 7 23,3 quiet 23 76,7 jumlah 30 100 source: primary data in 2019 table 4 distribution of respondents’ frequency based on the atmosphere of the room in sakinah hospital mojokerto regency on 26 february-21 march 2019 table 4 showed that almost all the atmosphere around the respondent’s room was quiet, namely 23 respondents (76.7%). specific data 1) sleep disorders before music therapy table 5 respondents’ frequency distribution based on sleep disorders before music therapy was given at sakinah hospital in mojokerto regency on 26 february-21 march 2019 sleep disorders before given music therapy f % less than sleep needs 25 83,3 more than sleep needs 5 16,7 score 30 100,0 source: primary data in 2019 table 6 frequency distribution of respondents based on disorders of sleep after music therapy was given at sakinah hospital mojokerto regency on february 26-march 21 2019 sleep disorders after given music therapy f % less than sleep needs 5 16,7 as per your sleep needs 21 70,0 more than sleep needs 4 13,3 score 30 100 source: primary data in 2019 table 5 showed that almost all respondents restedtheir sleep less than the need for sleep before being given music therapy, namely 25 respondents (83.3%). 2) sleep disorders after given music therapy sleep disorder pre-test post-test f % f % less than sleep needs 25 83,3 5 16,7 as per your sleep needs 0 0 21 70,0 more than sleep needs 5 16,7 4 13,3 score 30 100,0 30 100 source: primary data in 2019 table 7 sleep disorder before and after given music therapy at sakinah hospital in mojokerto regency on february 26-march 21 2019 342 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 338–345 table 7 showed that almost all (83. 3%) respondents rested their sleep lacking sleep needs before being given music therapy changed to fit their sleep needs after being given music therapy, namely 21 respondents (70%). the wilcoxon signed rank test results showed value = 0,000 or less than  (0.05) so that h1 was accepted and h0 was rejected, which means that there is the influence of music therapy on sleep disturbances to respondents who experienced hospitalization at sakinah hospital mojokerto regency. discussion 1) sleep disorders before music therapy is delivered at sakinah hospital mojokerto regency the results showed that the average quantity of sleep for childr en on the second da y of hospitalization slept for 9.2 hours. based on table 5, it is known that almost all respondents rested their sleep less than the need for sleep before being given music therapy, namely 25 respondents (83.3%), and 5 respondents (16.7%) more than sleep needs. t he gener a l r esponse tha t occur s in r espondents who a r e hospita lized includes regression, anxiety separation, apathy, fear, and sleep disturbances (wong, 2012). stressor stress ca uses r espondents to exper ience str ess, physiologically stress means an increase in the hormone cortisol. high cortisol disrupts the neurotransmitter system that regulates sleep and causes disturbances in sleep patterns (riley, 2016). the higher the cortisol produced the higher the disturbance that occurs in the hippocampal and neocortical systems. the disorder causes memory consolidation to become chaotic so that the rem phase of sleep becomes longer. along rem phase can cause nightmares, sleeplessly, wake up in the middle of the night and wake up early. high cortisol also causes the body to become tense, making it difficult to enter the sleep phase (payne & nadel, 2008). accor ding to r esea r cher s, a lmost a ll respondents who experienced hospitalization will experience sleep disorders especially on the first day of admission to hospital because they feel anxious, afraid, and worried about their illness, especially if they have to get invasive actions such as infusion, sampling blood, drug injections, will make the respondents more afraid and become a separate stressor, as a result it will stimulate the body’s hormonal functions that regulate stress, causing respondents to wake up easily at night and shorten their sleep hours. however, some respondents (5 respondents) had more than 10 hours of sleep so they exceeded the body’s needs, this could be due to the effects of dr ugs fr om the hospita l which could ca use respondents to get sleepy after being given. 2) disorders of sleep after given classical music therapy at rsi sakinah mojokerto regency the results showed that the average quantity of sleep for hospitalized children after being given music therapy for 3 days of sleep for 10.1 hours. based on table 6 it was known that the majority of respondents rested their sleep according to their sleep needs after being given music therapy, namely 21 respondents (70%), 5 respondents (16.7%) less than sleep needs, and 4 respondents (13.3%) more than needed sleep. factors that affect the quantity and quality of sleep a ccor ding to them a r e hea lth sta tus, psychological stress, lifestyle, environment, diet and nutrition, medication, motivation (hidayat, 2014), exercise, caffeine, and alcohol. efforts that can be done to improve the quality of sleep is to relax before bed, if you can not sleep after 30 minutes then you should wake up and do light activities such as listening to music (rafknowledge, 2009). according to researchers, music can be used as therapy if the respondent has difficulty sleeping because music will have a calming effect if the music chosen is the preferred music. here music acts as a media distraction to divert the pain that is felt as a result of nursing interventions such as infusion or injection, and also to divert to other fears of being in the hospital so that the brain that regulates anxiety, fear, and worry will be distracted to be calm, relaxed, so that sleep is not disturbed. 3) the effects of classical music therapy on sleep disorders of respondents hospitalized at sakinah hospital mojokerto regency table 7 showed that almost all (83. 3%) respondents had lacking sleep needs before being given music therapy changed to fit their sleep needs after being given music thera py, namely 21 respondents (70%). the wilcoxon signed rank test 343ningsih, the effect of classical music therapy on sleep disorders of ... results showed value = 0,000 or less than á (0.05) so that h1 was accepted and h0 was rejected, which means that there was an effect of music therapy on sleep disturbances to respondents who experienced hospitalization at sakinah hospital mojokerto regency.music therapy is an effective and risk-free approach to induce sleep/sedation in child respondents (wang, q., 2016). listening to music impulses or sound stimuli will be received by the ears of the listener. then the ear starts the listening process. physiologically hearing is the process by which the ear receives sound waves, differentiates frequencies and sends information on the central nervous system. every sound produced by the sound source or the vibration of the air will be received by the ear. these vibrations are converted into mechanical impulses in the middle ear and converted into electrical impulses in the inner ear which are transmitted through the auditory nerve to the brained auditory cortex. in addition to receiving signals from the thalamus (one part of the brain that functions to receive messages from the senses and continues to the other brain). the amygdala also receives signals from all parts of the limbic cortex (emotions/behavior) as well as the temporal lobe neocortex (cortex or brain layer that only exists in humans) parietal (midbrain) and occipita l (hindbr ain) especia lly in a uditor y associations and visual association areas. the thalamus also signals to the neocortex (the area of the brain that functions to think or process data and information that enters the brain). in the neocortex, the signal is arranged into objects that are understood and sorted according to their meaning, so that the brain recognizes each object and the meaning of its presence. t hen the a mygdala signa ls to the hypothalamus and secretes endorphins which provide a calm effect (primadita, 2011). according to researchers, music therapy, especially the respondents’ favorite music, will have a relaxing effect where respondents like music, the respondents will listen to music with concentration so that the music waves will be transmitted to the brain and affect the workings of the brain to regulate emotions and behavior which are then passed to the the brain that secretes endorphins where these hormones will have the effect of feeling happy and calm, thus inhibiting the production of the hormone cortisol which can disrupt the function of sleep, thus respondents will get sleep according to the needs of the respondent’s school age, which is about 10 hours.4 respondents continued to experience more sleep than needed, this was because the respondents did not have activities while in the hospital so they could sleep many times a day, coupled with the effects of drugs that provide a drowsy effect so that respondents slept more often, and longer. this therapy does not give effect to respondents because it is also influenced by other factors. 5 respondents continued to experience sleep less than needed after being given music, this was because respondents could not focus on the therapy provided when the researchers asked respondents to close their eyes to concentrate and focus on the music provided, respondents did not follow the researchers’ instructions. so the results obtained are not optimal. the factors that influence sleep were the environment. the results of the research in table 3 showed that most respondents used indoor fans as ma ny a s 17 r espondents (56. 7%), a nd 13 respondents (43.3%) used indoor air conditioning. an uncomfor ta ble temper a tur e or poor ventilation can affect one’s sleep. but over time individuals could adapt and were no longer affected by these conditions. comfortable room conditions will make the respondent more asleep because the environment that is too hot or too cold will make the respondent have difficulty sleeping beca use the body’s metabolic function is disrupted so that the work system of the brain that regulates sleep is also disrupted. respondents who did not experience changes in sleep after being given music therapy were caused by 3 respondents who were in a room using ac where the air conditioner could be adjusted according to the conditions desired by respondents and felt most comfortable for respondents so that respondents would easily sleep which caused more sleep than needed. the second environmental factor was the atmosphere around the room. the results of the research in table 4 showed that almost all the atmosphere around the respondent’s room was calm, namely as many as 23 respondents (76.7%), and 6 respondents (30%) there were crowded around the room. the environment could increase or prevent a person from sleeping. in a quiet environment allows one to sleep well. conversely, a noisy, noisy and noisy environment will prevent a person from sleeping. the state of a calm and comfortable 344 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 338–345 envir onment for someone can accelerate the process of sleep (hidayat, 2014). a calm environment will cause the respondent to concentrate more when getting music therapy so that the sound that enters the brain is only the sound of music which gives a calming effect so tha t a lmost a ll r espondents exper ience a n improvement in sleep to suit their needs. however, 3 respondents who slept excessively consisted of 2 respondents who slept in a quiet environment and 1 respondent in a crowded environment. a busy environment when doing music therapy can also interfere with the therapy carried out because the sound of music will blend with the noise in the room which ma kes it difficult for respondents to concentrate. but the crowded environment will not always be 24 hours crowded, there are certain times when the atmosphere is crowded so the respondents can still sleep comfortably, and also the condition of the room using ac so that respondents are easier to sleep so that sleep is more than the body needs. conclusion 1) sleep disorder before being given music therapy to children hospitalized at sakinah hospital mojokerto regency almost all of them are less than sleep needs, which are 23 respondents (76.7%). 2) disorders of sleep after being given music therapy to children hospitalized at sakinah hospital mojokerto regency almost entirely according to sleep needs as ma ny as 26 respondents (86.7%). 3) there was an effect of classical music therapy on sleep disorders of children hospitalized at sakinah hospital mojokerto regency. this was evidenced by the results of the wilcoxon signed rank test with p-value = 0,000 or <á (0.05). suggestions 1) for respondents children are expected to listen to their favorite music with concentration while having difficulty sleeping, reduce napping too long by doing light activities such as watching tv, playing lightly with a family who accompany in the hospital such as playing monopoly, puzzles, and others who do not need heavy activity. 2) for nursing personnel it is expected that health service institutions can consider music therapy to deal with sleep disorders in children who experience hospitalization. 3) for further researchers it is expected that further researchers will research music therapy to overcome sleep disorders using a control group. references anggraeny, fi., alfianti, d., purnomo, s. (2014). pengaruh terapi musik terhadap kualitas tidur anak usia sekolah (6-12 tahun). cone health. (2012). children & sleep problems statistics. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/pmc2266270/ diakses tanggal 13 januari 2019. dinkes kabupaten mojokerto. (2017). profil kesehatan kabupaten mojokerto tahun 2016. hidayat, a. a.a (2014). pengantar kebutuhan dasar manusia. jakarta: salemba medika. kemenkes ri. (2013). hasil riskesdas tahun 2013. jakarta: kementrian kesehatan. lafci, d. (2015). the effect of music on the sleep quality of breast cancer patientsthe effect of music on the sleep quality of breast cancer patients diðdem, 8(3), 633–640 nursalam., susilaningrum., & utami. (2013). asuhan keperawatan bayi dan anak untuk perawat dan bidan. jakarta: salemba medika payne, j.d. & nadel, l. (2008). sleep, dreams and memory consolidation: the role of st ress hormone cortisol. learn mem 11(6): 671-678 potter & perry. (2010). buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik. jakarta: egc. primadita a. (2011). efektivitas inter. efektivitas intervensi terapi musik klasik terhadap stres dalam menyusun skripsi pada mahasiswa psik undip. retrieved from http://eprints.undip.ac.id/ 33143/artikel_efektifitas_intervensi_terapi_ musik_klasik_terhadap_stres_mahasiswa rafknowledge. (2009). insomnia dan gangguan tidur lainnya. jakarta: pt. elex. media komputindo. ratnaningsih, t., peni, t., indatul, s. (2017). buku ajar (teori dan konsep): tumbuh kembang dan stimulasi bayi, toddler, prasekolah, usia sekolah, dan remaja. sidoarjo: indomedia pustaka. riley, t.l. (2016). clinical aspect of sleep and sleep disturbances. new york: elsevier. 345ningsih, the effect of classical music therapy on sleep disorders of ... sarikaya, na., &oguz, s. 2016. (2016). effect of passive music therapy on sleep quality in elderly nursing home residents huzurevinde, 55–60. https:// doi.org/10.5505/phd.2016.05900 wang, q., c. (2016). the effects of music intervention on sleep quality in community-dwelling elderly, (may). https://doi.org/10.1089/acm.2015.0304 wong, d. . (2012). buku ajar keperawatan pediatrik volume 1. jakarta: egc. 181 pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus pada anak pra sekolah (the effect of plasticine play to fine motor development at pre school children) rewinda avin pangestika 1 , erni setiyorini 1 1 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com abstract: preschool children are often referred to as the golden period. during this period of growth and development of the child's intelligence is growing very rapidly, fine and gross motor development, ntelektual, moral, social, emotional and language. the phenomenon of the problem is found in fine motor development of pre-school age children, such as writing / drawing made students still neat, hold objects often fall and finger movements not flexible. the aims of this study was to determine the effect on the development of plasticine play to fine motor on pre-school children. designs in this study was pre-experimental pre-post test design. the population in this study were 85 children in kindergarten al hidayah tawangsari garum. purposive sampling with a sample of 20 children. the data analysis technique t-test. the results showed that the p value (sig 2 tailed) = 0.000, which means playing plasticine influence on the development of fine motor skills of pre-school age children. expected parents and kindergarten teachers actively involved in the stimulation of child development activities to achieve optimal development. keywords: pre school children, fine motor development, plasticine abstrak: anak usia pra sekolah sering disebut dengan istilah golden period. pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak berkembang sangat pesat, perkembangan motorik halus dan kasar, ntelektual, moral, sosial, emosional dan bahasa. fenomena masalah ditemukan pada perkembangan motorik halus anak usia pra sekolah, diantaranya adalah tulisan/ gambar yang dibuat siswa masih belum rapi, memegang benda sering terjatuh dan gerakan jari – jemari yang masih kaku.tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus pada anak pra sekolah. desain dalam penelitian ini adalah pra-eksperimen pre post test design. populasi dalam penelitian ini adalah 85 anak di tk al – hidayah tawangsari garum.teknik sampling purposif dengan jumlah sampel 20 anak. teknik analisis data t-test. hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p value (sig 2 tailed) = 0,000 yang berarti ada pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus anak usia pra sekolah. diharapkan orang tua dan guru-guru tk terlibat aktif dalam kegiatan stimulasi perkembangan anak untuk mencapai perkembangan yang optimal. kata kunci: anak usia pra sekolah, perkembangan motorik halus, plastisin anak usia pra sekolah sering disebut dengan istilah golden period. pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak berkembang sangat pesat, perkembangan motorik halus dan kasar, ntelektual, moral, sosial, emosional dan bahasa. keberhasilan perkembangan anak sesuai dengan usia pada masa ini, akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. salah satu aspek perkembangan anak adalah motorik halus. pertumbuhan adalah perubahan ‎secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi – fungsi fisik, ‎berlangsung secara normal pada diri anak sehat, dalam peredaran waktu tertentu (kartono, 2006). perkembangan motorik halus merupakan kemampuan bergerak berdasarkan mailto:nerserni@gmail.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p169-175 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 182 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.181-188 pengkoordinasian organ – organ tubuh, seperti tangan, mata, saraf (suyadi, 2009). perkembangan motorik halus adalah meningkatnya pengkoordinasian gerak tubuh yang melibatkan kelompok otot dan saraf kecil lainnya (sujiono, 2010). secara teori pada anak usia pra sekolah sudah mampu melakukan gerakan untuk menghasilkan sesuatu. akan tetapi berbagai fenomena masalah ditemukan pada perkembangan motorik halus anak usia pra sekolah, diantaranya adalah tulisan/ gambar yang dibuat siswa masih belum rapi, memegang benda sering terjatuh dan gerakan jari – jemari yang masih kaku. fenomena ini didukung dari penelitian yang dilakukan pada 73 anak usia 3-5 tahun di desa cibanteng, kabupaten bogor, jawa barat. tingkat perkembangan motorik halus (68,5%) anak masih tergolong rendah (solihin dkk, 2013). menurut kemenkes ri (2010) 16% balita mengalami gangguan perkembangan motorik halus, karena mereka tidak dapat mengkoordinasikan gerak tubuhnya. salah satu penyebab perkembangan motorik halus yang kurang optimal karena area motorik halus jarang disentuh untuk peningkatan perkembangan. stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak agar anak tumbuh dan berkembang secara optimal, setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan terus menerus pada setiap kesempatan. stimulasi yang kurang dapat terjadi keterlambatan perkembangan motorik halus karena disebabkan oleh ketidak matangan susunan saraf pusat (andriana, 2011). keterlambatan perkembangan motorik halus anak juga disebabkan oleh sedikitnya rangsangan yang diterima anak baik oleh pengasuh, orang tua atau melalui mainannya. faktor lingkungan serta kepribadian anak juga dapat mempengaruhi keterlambatan dalam perkembangan motorik halus (andriana, 2011). jika anak sampai mengalami keterlambatan motorik halus, dapat mengakibatkan anak tersebut tidak dapat menggambar, menulis, mencoret – coret, bahkan sulit untuk mengkoordinasikan tangan dan mata (suyadi, 2009). bermain merupakan kebutuhan bagi anak karena melalui bermain anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan dirinya (sujiono, 2010). bermain dapat mengembangkan seluruh potensi anak, baik aspek fisik-motorik, kognitif, bahasa, emosi, sosial, berimajinasi, beraktifitas, etika dan moral. salah satu bermain yang dapat aplikasikan untuk mengatasi gangguan perkembangan motorik halus anak adalah bermain plastisin, karena dengan bermain plastisin dapat memacu perkembangan motorik anak yaitu koordinasi mata dan tangan pada anak usia dini tampak adanya peningkatan perkembangan dengan baik (sugiono, 2009). plastisin adalah media yang dapat digunakan untuk pengembangan kemampuan motorik halus anak. plastisin yang bertekstur lunak, sehingga mudah dibentuk menyerupai bentuk benda yang diinginkan. anak suka dengan plastisin karena dengan plastisin anak dapat meremas – remas, menekan, membentuk plastisin menjadi bentuk benda, binatang,orang dan sebagainya, sesuai kreasi dan imajinasi anak (depdikbud, 2007). berdasarkan hasil penelitian wibawani (2012) menunjukkan adanya peningkatan motorik halus anak dengan bermain plastisin di tk widya merti yaitu siklus ii > i masing – masing siklus 2x pertemuan. siklus i tingkat keberhasilannya masih rendah lalu dilakukan dengan siklus ii. kemampuan motorik halus siklus ii meningkat sebesar 43.4% sedangkan siklus i meningkat sebesar 21.4%. hasil penelitian jones (2002) menunjukkan anak yang dibiarkan bermain plastisin selama 25 menit hasil menunjukkan bahwa anak memiliki nilai kreativitas lebih tinggi jika dibandingkan anak tidak bermain plastisin. berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus pada anak usia prasekolah. tujuan dari penelitian ini adalah :1) untuk mengidentifikasi perkembangan motorik halus pada anak usia pra sekolah sebelum bermain plastisin pada anak usia pra sekolah, 2) mengidentifikasi perkembangan motorik halus setelah diberi plastisin pada anak usia pra sekolah. 3) menganalisis pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus pada anak usia pra sekolah. pangestika, setiyorini, pengaruh bermain plastisin.......183 bahan dan metode desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra-eksperimental. dengan desain one group pra-post test design. variabel independen dalam penelitian ini adalah bermain plastisin. variabel dependen dalam penelitian ini adalah perkembangan motorik halus. populasi dalam penelitian ini adalah 85 anak di tk al – hidayah tawangsari garum. sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, sampel sebanyak 20 anak yang memenuhi kriteria inklusi. penelitian dilaksanakan tanggal 10 – 13 juni 2015. tindakan bermain plastisin dilakukan sebanyak 4 kali dalam 4 hari berturut turut, dengan durasi setiap sesi adalah 25 menit. setelah sesi terakhir dilakukan pengukuran post test motorik halus. hasil penelitian data umum data umum responden ini menguraikan tentang distribusi frekuensi responden yang meliputi : distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di tk al hidayah tawangsari garum pada tanggal 10 s.d 13 juni 2015. no jenis kelamin frekuensi prosentase 1 laki-laki 10 50% 2 perempuan 10 50% total 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa karakteristik responden di tk alhidayah tawangsari garum berdasarkan jenis kelamin laki laki sebanyak 10 responden (50%) dan perempuan sebanyak 10 responden (50%). distribusi frekuensi responden berdasarkan urutan anak dalam keluarga tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan urutan anak dalam keluarga pada siswa di tk al hidayah tawangsari garum pada tanggal 10 s.d 13 juni 2015. no urutan frekuensi prosentase ke 1 1 8 40% 2 2 9 45% 3 3 2 10% no urutan ke frekuensi prosentase 4 4 1 5% total 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui urutan anak dalam keluarga pada siswa di tk alhidayah tawangsari garum dalam penelitian ini adalah sebagian besar urutan anak ke 2 sebanyak 9 anak (45%), sebagian kecil urutan anak ke 4 hanya 1 anak (5%). distribusi frekuensi responden berdasarkan jumlah saudara tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan jumlah saudara siswa di tk alhidayah tawangsari juni 2015 no jumlah saudara frekuensi prosentase 1 tunggal 5 25% 2 1 10 50% 3 2 4 20% 4 3 1 5% total 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah saudara pada siswa di tk alhidayah tawangsari garum dalam penelitian ini sebagian besar mempunyai 1 saudara sebanyak 10 siswa (50%), sebagian kecil 3 saudara hanya 1 siswa (5%). distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan orang tua tabel 4 distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan orang tua anak di tk alhidayah tawangsari juni 2015 no pekerjaan frekuensi prosentase 1 swasta 13 65% 2 petani 4 20% 3 bangunan 2 10% 4 mekanik 1 5% total 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pekerjaan orang tua siswa di 184 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.181-188 tk alhidayah tawangsari garum dalam penelitian ini sebagian besar swasta sebanyak 13 orang (65%), sebagian kecil mekanik hanya 1 orang (5%). data khusus data khusus ini menguraikan hasil penelitian sebelum dan setelah responden diberi perlakuan bermain plastisin selama 4 hari meliputi : gerakan jari – jemari pre dan post bermain plastisin tabel 5 gerakan jari – jemari di tk alhidayah tawangsari juni 2015. no gerakan jari – jemari pre post frekuensi prosentase frekuensi prosentase 1. kaku 6 30% 1 5% 2. sedang 13 65% 8 40% 3. lentur dan kuat 1 5% 11 55% total 20 100% 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa gerakan jari – jemari saat pre yang terbesar sedang 13 responden (65%) dan yang terkecil lentur dan kuat 1 responden (5%), sedangkan saat post bermain plastisin terbesar lentur dan kuat 11 responden (55%) dan terkecil kaku 1 responden (5%). kemampuan memegang benda pre dan post bermain plastisin tabel 6 kemampuan memegang benda di tk alhidayah tawangsari juni 2015. no kemampuan memegang benda pre post frekuensi prosentase frekuensi prosentase 1. mampu memegang benda sering terjatuh 2 10% 2. mampu memegang benda kadang-kadang terjatuh 13 65% 13 65% 3. mampu memegang benda tanpa terjatuh 5 25% 7 35% total 20 100% 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kemampuan memegang benda saat pre yang terbesar mampu memegang benda kadang – kadang terjatuh 13 responden (65%) dan terkecil mampu memegang benda sering terjatuh 2 responden (10%), saat post sama dengan pre paling terbesar mampu memegang benda kadang – kadang terjatuh 13 responden (65%) paling kecil mampu memegang benda tanpa terjatuh 7 responden (35%). kemampuan membentuk benda pre dan post bermain plastisin tabel 7 kemampuan membentuk benda di tk alhidayah tawangsari juni 2015. no kemampuan membentuk benda pre post frekuensi prosentase frekuensi prosentase 1. tidak mampu membuat objek dari bahan plastisin 2 10% 1 5% 2. dapat membuat objek dengan bahan plastisin tetapi belum sesuai 12 60% 4 20% 3. dapat membuat objek dengan baik 6 30% 15 75% total 20 100% 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa kemampuan membentuk benda saat pre yang terbesar tidak mampu membuat objek dari bahan plastisin 12 responden (60%) dan terkecil tidak mampu membuat objek dari bahan plastisin 2 responden (10%), sedangkan saat pangestika, setiyorini, pengaruh bermain plastisin.......185 post nilai terbesar dapat membuat objek dengan baik 15 responden (75%) yang terkecil tidak mampu membuat objek dari bahan plastisin 1 responden (5%). koordinasi mata dan tangan pre dan post bermain plastisin tabel 8 koordinasi mata dan tangan di tk alhidayah tawangsari juni 2015. no koordinasi mata dan tangan pre post frekuensi prosentase frekuensi prosentase 1. anak belum dapat membuat objek dari contoh yang diberikan 10 50% 3 15% no koordinasi mata dan tangan pre post frekuensi prosentase frekuensi prosentase 2. anak dapat membuat objek dengan bantuan 4 20% 4 20% 3. anak dapat membuat objek dengan contoh 6 30% 13 65% total 20 100% 20 100% berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa koordinasi mata dan tangan saat pre paling terbesar anak belum dapat membuat objek dari contoh yang diberikan 10 responden (50%) terkecil anak dapat membuat objek dengan bantuan 4 responden (20%), sedangkan saat post terbesar anak dapat membuat objek dengan contoh 13 responden (65%) terkecil anak belum dapat membuat objek dari contoh yang diberikan 3 responden (15%). pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus pada anak usia 5 tahun tabel 9 hasil uji paired sample ttest pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus pada anak usia 5 tahun di tk alhidayah tawangsari 2015. no responden kemampuan motorik skor pre skor post 1 5 9 2 8 10 3 5 11 4 8 7 5 6 10 6 7 11 7 11 12 8 8 11 9 9 11 10 10 10 11 11 10 12 10 12 13 11 11 14 10 12 15 5 9 16 7 9 17 5 6 18 7 12 19 7 11 20 8 7 minimal 5 6 maksimal 11 12 mean 7,9 10,05 kenaikan skor pre post 2,15 uji paired sample ttest = -4.613 p value (sig 2 tailed) = 0,000 berdasarkan tabel 9 hasil uji paired sample ttest ada pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus pada anak usia 5 tahun. dari hasil uji paired sample ttest ( t -4.613) yang artinya t negative berarti nilai mean pre lebih rendah dari pada post, nilai p value (sig 2 tailed) = 0,000 yang artinya 0,000 < 0,05 hipotesis diterima. 186 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.181-188 pembahasan perkembangan motorik halus sebelum bermain plastisin berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan sebelum perlakuan koordinasi mata dan tangan mempunyai nilai 1 paling banyak 10 responden ( 50%) yaitu anak belum dapat membuat objek dari contoh yang diberikan. bermain plastisin dapat memacu perkembangan motorik anak yaitu koordinasi mata dan tangan pada anak usia dini tampak adanya peningkatan perkembangan dengan baik (sugiono, 2009). pada tahap perkembangan awal anak berada tahap sensori motorik, khususnya motorik halus karena perkembangan motorik halus merupakan kemampuan bergerak berdasarkan pengkoordinasian organ – organ tubuh, seperti tangan, mata, saraf dan sebagainya (suyadi, 2009). untuk perkembangan motorik halus serta pertumbuhan otot – otot tubuh diperlukan stimulasi yang terarah yaitu rangsangan stimulasi dengan strategi bermain karena dengan bermain anak akan memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kemampuan dirinya. bermain juga salah satu alat yang dapat dijadikan sebagai salah satu terapi, karena terfokus pada kebutuhan anak untuk mengekspresikan diri melalui penggunaan mainan (sujiono, 2010). kemampuan motorik halus awal pada anak walaupun dalam rentang normalnya, akan tetapi terdapat variasi kemampuan. hal ini dapat disebabkan karena dalam pengasuhan di rumah paparan stimulasi yang didapatkan anak dari orang tua berbedabeda, baik metode, bahan dan frekuensi yang berbeda. hal yang paling penting adalah orang tua mempelajari karakteristik perkembangan anak dan menguasai teknik stimulasi yang harus diberikan sesuai dengan usia anak. selain itu, dalam pendidikan di tk, guru-guru diharapkan mampu mengkombinasikan berbagai metode untuk menstimulasi perkembangan anak. perkembangan motorik halus setelah bermain plastisin perkembangan motorik halus setelah bermain plastisin yang mengalami peningkatan sebanyak 14 anak (70%), penurunan 4 anak (20%), tidak mengalami perubahan 2 siswa (10%). hal ini bisa di pengaruhi beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak yang menyebabkan perbedaan individual antara anak yang satu dan yang lainnya tidak sama sifat dasar genetik (faktor bawaan), keaktifan janin dalam kandungan, kondisi prenatal yang menyenangkan khususnya kondisi ibu dan gizi makanan sang ibu, proses kelahiran, apabila ada kerusakan pada otak akan memperlambat perkembangan motoriknya, kondisi pasca lahir berkaitan dengan kondisi lingkungan sekitar yang dapat menghambat / mempercepat laju perkembangan motoriknya (endang,2007). gerakan motorik halus adalah gerak yang dilakukan hanya melibatkan bagian – bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot – otot kecil,seperti menggunakan jari jemari tangan yang tepat. oleh karena itu gerakan ini tidak membutuhkan tenaga layaknya seperti gerakan motorik kasar, namun gerakan ini sangat membutuhkan kecermatan otot halus. semakin baiknya gerakan motorik halus anak membuat anak semakin berkreasi seperti menggnting kertas menjahit kertas serta memegang alat tulis dan gambar (sujiono,2007). hasil penelitian 4 anak mengalami penurunan dan 2 anak tidak mengalami perubahan. hal ini dapat dipengaruhi karena gerakan motorik halus baru memerlukan pengulangan – pengulangan dan bantuan orang lain, pengulangan itu merupakan bagian dari belajar. setiap pengulangan dalam keterampilan baru, memerlukan konsentrasi untuk melatih koneksitas dan koordinasi gerak dengan indera lain (papalia, 2001). gerakan motorik halus yang dilatihkan melalui stimulasi dengan permainan plastisin, akan memberikan hasil yang optimal apabila melibatkan orang tua. pemberian edukasi teknik permainan dengan membuat benda dari plastisin yang disukai oleh anak dapat meningkatkan minat anak untuk terus berlatih. selain itu, apabila anak berhasil membuat suatu benda maka orang tua ataupun guru yang mendampingi sebaiknya memberikan reward, salah satunya dengan memberikan pujian. pangestika, setiyorini, pengaruh bermain plastisin.......187 pengaruh bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus berdasarkan hasil uji paired sample t test ( t -4.613) nilai p value (sig 2 tailed) = 0,000 yang artinya 0,000 < 0,05. hasil penelitian ini menunjukkan media plastisin berpengaruh terhadap perkembangan motorik halus anak karena pre test lebih rendah dibandingkan dengan post test hal ini sesuai dengan buku yang di keluarkan (depdiknas, 2007) kegiatan yang berhubungan dengan motorik halus anak dilakukan dengan gerakan tangan. hal ini juga didukung oleh murdhani (2014) di tk tulus sejati dengan judul pengaruh media playdough terhadap kemampuan motorik halus dengan hasil u hitung 0,5 lebih kecil dari u tabel 11 sehingga ho ditolak dan ha diterima. jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan media plastisin berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan motorik halus anak. hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian partiyem (2014) yang dalam penelitiannya membuktikan bahwa kegiatan bermain plastisin dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak. keberhasilan stimulasi perkembangan motorik halus pada anak harus melibatkan aktif orang tua dan guru-guru tk. orang tua juga harus menyadari bahwa selain hasil stimulasi, keberhasilan optimalisasi motorik halus juga dipengaruhi oleh kematangan otot dan saraf, sehingga pada anak yang lebih muda kemampuan motorik halus ini tidak dapat disamakan dan perbedaan individual juga mempengaruhi laju perkembangan motorik. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa bermain plastisin berpengaruh terhadap kemampuan motorik halus pada anak usia pra sekolah. saran bagi orang tua dan guru – guru tk untuk dapat memberikan stimulasi perkembangan motorik halus anak sesuai dengan kematangan fisik dan saraf, selain itu metode, frekuensi stimulasi dan reward diberikan kepada anak untuk hasil yang optimal. daftar rujukan adriana, d. 2011. tumbuh kembang dan terapi bermain pada anak. jakarta: salemba medika kemenkes ri. 2010. pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar.jakarta: departemen kesehatan, direktorat jenderal pembinaan kesehatan masyarakat kemenkes ri. 2010. pelayanan stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang anak. jakarta: direktorat bina gizi dan kia. partiyem.2014. meningkatkan kemampuan motorik hals dengan kegiatan bermain plastisin kelompok b paud istiqomah sumber bening kecamatan selupu rejang. skripsi.program sarjana (s1) kependidikan guru dalam jabatan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas bengkulu. sujiono, yuliani nurani dan bambang sujiono. 2010. bermain kreatif berbasis kecerdasan jamak. jakarta: pt indeks. suyadi.2009.permainan edukatif yang mencerdaskan.yogyakarta: power books (ihdina). solihin, rindu dwi malateki; anwar, faisal; sukandar, dadang.2013.kaitan antara status gizi, perkembangan kognitif, dan perkembangan motorik pada anak usia prasekolah (relationship between nutritional status, cognitive development, and motor development in preschool 188 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.181-188 children).jurnal penelitian gizi dan makanan volume 36 nomor 1 tahun 2013. e:\2021\ners agustus\11--jurnal 206 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 206–210 obesity factors on the incidence of joint pain of elderly eny masruroh1, erry setyadhani2 1nursing department, stikes hutama abdi husada tulungagung, indonesia 2health clinic wisnu farma tulungagung , indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 07/07/2021 accepted, 04/08/2021 published, 10/08/2021 keywords: obesity, joint pain, elderly article information abstract aging is a process that will be experienced by humans according to the cycle of growth and development. changes both physically and psychologically often cause disorders and health problems that must be resolved. problems with the physical aspect of the elderly, one of which is a decrease in musculoskeletal function, especially in the joints, often manifest the appearance of joint pain. the presence of joint cartilage damage due to inflammation, as well as an increase in the load on the joints due to excess body weight (obesity) is other factors that often arise. the hip, lumbal, cervical and knee joints are the parts that support the body’s weight, so they experience the most problems. the purpose of this study was to determine the correlation between obesity and the incidence of knee joint pain in the elderly. the design of the study was correlational analytic with a cross sectional approach. the sampling was purposive sampling with 50 respondents as the sample. the instrument used was an observation sheet to measure the respondent’s obesity variable and to determine the presence of joint pain using an interview form. the measurement results were then processed and bivariate analysis was carried out using the chi square test. the results of the research analysis showed the value of p = 0.004 and  = 0.05, this meant that p < 0.05, so there was a correlation between the level of obesity and the occurrence of joint pain. this was because not only age but also increasing body weight cause joint paint. the ability of the knee joint to support the body as a whole was getting heavier due to friction of the joint cartilage. from these studies, it can be concluded that in the elderly, excess body weight can affect to the ability of bones and joints and result in joint pain. the health workers should support the elderly so that the elderly avoid the stress. © 2021 journal of ners and midwifery 206 correspondence address: stikes hutama abdi husada tulungagung – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: enystikesta@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p206–210 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p206-210&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 207masruroh, erry setyadhani, obesity factors on the incidence of joint pain of elderly introduction aging is a part of the human life cycle which is characterized by a decrease in physical and psychological conditions. one of the physical conditions experienced is the musculoskeletal system disorders that are often experienced are in the joints with the most common symptom, namely joint pain (kuniano, 2015). joint pain is a common complaint in the elderly . according to stanley (2012), the causative factor includes the process of degeneration due to increasing age, this condition is caused by damage to joint cartilage which results in thinning of joint cartilage so that the bone surfaces grow close together and are prone to friction joints. although aging is a typical cause of joint pain, another cause is being overweight or obese. obesity is a condition characterized by the accumulation of excess fat tissue (sarafino dkk., 2015). contributing factors include the consumption of fatty and high calorie food, lack of activity, changes in mobility and transportation, less activity, an increasing economic level accompanied by changes in lifestyle and eating patterns. circumstances that occur over a long period of time lead to the accumulation of fat tissue or obesity (ryan et al., 2016).the degree of obesity is determined based on the body mass index (bmi). bmi is a mathematical formula related to adult body fat, and is expressed as body weight in kilograms divided by the square of height in meters (janssen et al., 2002). in obese conditions, the burden will be heavier on the hips and knees. this causes the manifestation of joint pain. in addition, the inflammatory effect caused by the accumulation of fatty substances in the joints. from who data in 2016, there were 39% of the world’s population who were overweight or around 1.9 billion adults over 18 years. in indonesia, the prevalence of obesity in the population increased from 2007 to 2018 at 10.5% to 14.8% in 2013 and 21.8% (riskesdas, 2018). the prevalence of central obesity at the national level for the elderly is 18.8% with details in the age group 55-64 years 23.1%, 65-74 years 18.9%, and >75 years 15.8%. the highest prevalence occurs in the 55-64 year age range (lestari & bintarti, 2019). data in 2018 in east java province, as many as 16% of the population or as much as 1,163,118 residents were obese. the examination is carried out for a period of one year and it is said to be obese if the measurement results of the body mass index (bmi) exceed normal (dinkes jawa timur, 2018). apreliminary study conducted in january 2019 found 1,201 elderly people in 2018. while the data obtained from the poskesdes ketanon village were elderly with obesity as many as 58 people and 34 people who experience knee joint pain. these data indicate that the incidence of knee joint pain in obese elderly in ketanon village is quite high. obesity mainly occurs in the elderly can cause various health problems, such as hypertension, dyslipidemia, diabetes mellitus and heart disease. the existence of cartilage damage in the joints as a degenerative process and also an increase in body weight causes joint pain manifestations. this affects changes in movement activity in the joints, joint stiffness and can cause paralysis. of course this will affect to the fulfillment of daily activities (aspiani, 2014). other effects that follow according to (widyanto, 2017) are such as rheumatic diseases and gout and trauma to the bones. handling that can be done in the elderly to reduce the risk of joint pain caused by excess body weight is to maintain proportional activity and exercise and maintain a balanced diet according to the body’s needs so that this can reduce the load on the joints and knees and maintain bone consistency. . based on the background above, the researchers wanted to examine whether there is a correlation between obesity and the incidence of knee joint pain in the elderly. method the design of the study was a quantitative analytic study with a cross sectional approach. the population was all elderly posyandu members in ketanon tulungagung village who were registered in 2019 using a sample of 50 people with purposive sampling technique. the variables studied were the level of obesity and the incidence of knee joint pain in the elderly. the instrument used are an observation sheet in the form of weight and height measurements to determine bmi and an interview observation sheet. the study was conducted in january – march 2019 on elderly posyandu members in ketanon village. after measuring the variables, they were analyzed using the chi square statistical test. 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 206–210 from table 3 above, it was obtained from all pre-obese respondents, as many as 80% did not experience joint pain, while those who were mildly obese as many as 82% experienced joint pain. from the results of statistical analysis using the chi-square test using = 0.05, the p value = 0.004 where p < 0.05 so h0 is rejected, which means there is a correlation between obesity and the incidence of knee joint pain in the elderly. discussion 1. obesity rate from the table 1, it was found that a total of 50 elderly respondents, almost half of them (24 people or 48%) were mildly obese. according to misnadiarly (2013), the condition of body weight exceeding normal can be categorized as obesity. according to mambodiyanto & susiyadi (2016) increasing age causes changes in the components of the body in the form of reducing bone and muscle mass, increasing lipid mass and decreasing free lipid, this is accompanied by a disproportionate distribution of lipid that accumulates in the abdomen which causes obesity in the elderly. increasing age also affects hormonal aspects so that the risk of obesity can also increase if life activities are reduced. the results of this study are in line with research by mogi dkk., (2014), of 25 respondents, 13 of whom are obese. aging makes the function of body systems decrease. the description includes the cardiovascular and vascular systems, digestive, musculoskeletal, respiratory and other systems. changes in activity that decrease will cause a decrease in muscle mass and the amount of nutrients metabolized into energy. this results in the accumulation of body fat that is disproportionate. lifestyle and unhealthy eating patterns which are also triggered by financial increases also contribute to the increasobesity level frequency percent (%) pra obesity 15 30,0 mild obesity 24 48,0 moderate obesity 11 22,0 total 50 100 table 1. distribution of the frequency of obesity levels in respondents in ketanon village, kedungwaru tulungagung in 2019 joint pain incident frequency percent(%) pain 27 54 no pain 23 46 total 50 100 table 2. distribution of the frequency of knee joint pain in posyandu elderly ketanon kedungwaru tulungagung village in 2019 result 1. univariate analysis a. obesity level obesity level joint pain incident pra obesity 12 80 3 20 15 100 mild obesity 9 37 15 63 24 100 moderate obesity 2 18 9 82 11 100 total 23 46 27 54 50 100 table 3. analysis of obesity levels with the incidence of joint pain from table 1, it can be seen that almost all of the respondents have a mild obesity rate of 48%. b. knee joint pain from table 2, it was found that some respondents experienced joint pain as many as 27 respondents (54%). 2. bivariate analysis no pain pain total f % f % f % 209masruroh, erry setyadhani, obesity factors on the incidence of joint pain of elderly ing prevalence of obesity in the elderly. maintaining a pattern of intake of calories and avoiding fatty and sweet foods and doing effective activities are very important to avoid obesity in the elderly. based on the discussion above, it can be explained that increasing age, decreasing activity, hormonal and changes in body fat metabolism tend to cause body weight to exceed normal or obesity. this is also driven by changes in eating patterns and unhealthy lifestyles along with the increase in the economy. 2. occurrence of joint pain based on table 2, it can be seen that from a total of 50 respondents, most of them experienced knee joint pain ( 27 respondence or 54%). according to brunner & suddarth (2015), pain is related to actual or potential tissue damage that is captured as a sensory and emotional response from the body. pain in the knee can be caused by multiple factors, including genetics, environment, hormones and changes in the reproductive system. joint pain is also associated with one of the signs and symptoms of osteoarthritis, namely the occurrence of cartilage damage in the joints due to a degenerative process. this is in accordance with the theory from (sonjaya et al., 2015) that the 56-65 year age group is the most common group suffering from primary knee osteoarthritis. not only in the knee joint, but also joint pain affect other joints, such as the hip, lumbar and cervical areas. the loss of articular cartilage or joint cartilage will increase with age and the level of activity and body weight increases. this is as a consequence that the joint as a support for the body weight. from this discussion, it can be concluded that joint pain in the elderly can be caused by joint damage due to degenerative processes that cause elasticity and joint movement to be disturbed. 3. analysis of the correlation between obesity levels and the incidence of joint pain from the results of the chi-square test on the correlation between obesity and the incidence of knee joint pain in the elderly in ketanon village, kedungwaru tulungagung, p = 0.004 with 0.05, where p < 0.05 so h0 is rejected and h1 is accepted. this means that there is a correlation between obesity and the incidence of knee joint pain in the elderly. according to sarafino dkk. (2015) obesity is a disorder or disease characterized by excessive accumulation of body fat tissue. people who are obese have an increased load on the joints, especially the hip and knee bones. excessive body weight causes excessive stress on the hips and knees. this causes a high risk of joint pain, especially in the knee area. quote from brunner & suddarth, (2015), degeneration of organs causes age to be vulnerable to the possibility of experiencing obesity. especially when you get older, you will be more likely to experience obesity if you don’t maintain your diet and regulate activities. when it occurs in those who are elderly, obesity can threaten a person’s quality of life. the increase in body weight can also cause an increase in the load on the knee and hip joints and pain manifestations appear. this is also the same as research conducted by pratiwi (2015), excess body weight can lead to an increased risk for the onset of osteoarthritis in the joints with joint pain manifestations. based on the results of research conducted by researchers and the theory that supports this research, the researchers agree that the facts and theories are appropriate, that obesity in the elderly can experience joint pain in the knee. this condition occurs because obese people experience an increase in the load on the joints that support weight so that it can cause symptoms, namely joint pain in the knee. conclusion there is a correlation between obesity and the incidence of joint pain in the elderly where this is caused not only by the age factor, but also due to excess body weight which causes the knee as a supporting joint to wear out. suggestion to reduce joint pain complaints in the elderly is by maintaining proportional activity and exercise and maintaining a balanced diet according to the body’s needs so that this can reduce the load on the joints and knees and maintain bone consistency. refference aspiani, r. y. (2014). buku ajar asuhan keperawatan gerontik (jilid 2). penerbit buku kesehatan. 210 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 206–210 br unner, & sudda rth. (2015). keperawatan medikal bedah ed.12. (12th ed.). egc. dinkes jawa timur. (2018). buku profil kesehatan provinsi jawa timur 2018. janssen, i., heymsfield, s. b., allison, d. b., kotler, d. p., & ross, r. (2002). body mass index and waist circumference independently contribute to the predi ct i on of n on abdomi n a l, a bdom in a l subcutaneous, and visceral fat. american journal of clinical nutrition, 75(4). https://doi.org/10.1093/ ajcn/75.4.683 kuniano, d. (2015). menjaga kesehatan di usia lanjut. jurnal olahraga prestasi, 11(2). lestari, m. w., & bintarti, t. w. (2019). the correlation of nutritional status to uric acid level in community of pondok pesantren al-hidayah, ngawi. medical and health science journal, 3(1). https://doi.org/10.33086/mhsj.v3i1.925 mambodiyanto, & susiyadi. (2016). pengaruh obesitas terhadap osteoartritis lutut pada lansia di kecamatan cilacap utara kabupaten cilacap. sainteks, 13(1). misnadiarly. (2013). osteoporosis pengenalan, faktor risiko, pencegahan, dan pengobatan. permata puri media. mogi, deu, r. p., & angliadi, e. (2014). gambaran kejadian nyeri lutut dengan kecurigaan osteoarhritis lutut pada perawat di poliklinik rawat jalan rsup prof, dr, r, d, kandou manado. jurnal e-clinic (ecl), 2(1). pratiwi, a. i. (2015). artikel review: diagnosis and treatment osteoarthritis. j majority, 4. riskesdas, k. (2018). hasil utama riset kesehata dasar (riskesdas). journal of physics a: mathematical and theoretical, 44(8), 1–200. https://doi.org/ 10.1088/1751-8113/44/8/085201 ryan, d. h., hansen, b. c., & cefalu, w. t. (2016). george a. bray, md: progress in obesitymultidisciplinary research, multidimensional man. dia care diabetes care, 39(9), 1481–1485. sarafino, e. p., smith, t. w., king, d., & delongis, a. (2015). health psychology/ : biopsychosocial interactions. sonjaya, m. r., rukanta, d., & widayanto. (2015). karakteristik pasien osteoarthritis primer di poliklinik ortopedi rumah sakit al-islam bandung tahun 2014. proseding pendidikan dokter, 1(2), 506–512. stanley, m. (2012). buku ajar keperawatan gerontik (gerontological nursing: a health promotion or protection approach). in jakarta: egc. widyanto, f. w. (2017). arthritis gout dan perkembangannya. saintika medika, 10(2). e:\2021\ners april 2021\13-jurn 85nuwa, kiik, the effect of self management education on knowledge and ... the effect of self management education on knowledge and self efficacy of pulmonary tb clients in timor tribal community muhammad saleh nuwa1, stefanus mendes kiik2 1,2department of nursing, stikes maranatha kupang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 08/01/2020 accepted, 03/02/2021 published, 05/04/2021 keywords: self management education, knowledge, self efficacy, pulmonary tb article information abstract background: pulmonary tuberculosis (tb) disease is still the main cause of death among the poor with low knowledge. knowledge and self efficacy are the keys to the successful management of pulmonary tb. objective: the purpose of this study was to investigate the effect of self management education (sme) by emphasizing the five pillars of tb management on knowledge and self efficacy of pulmonary tb clients in the timor tribal community in kupang, indonesia. methods: this quasi-experimental study was conducted on 30 primary pulmonary tuberculosis patients who undergoing treatment for 6 months with self-management educational interventions that had never been obtained before.the research was conducted from january to october 2020 in the working area of the naibonat community health center, kupang regency. the data were collected using a questionnaire on demographic data, knowledge and self efficacy which had been tested for validity and reliability. the data were analyzed by the paired t-test with spss 21. results: the mean score of pre test knowledge and self efficacy of clients with pulmonary tb, respectively, 5.23 ± 1.04 and 4.77 ± 1.07 increased significantly to 6, 33 ± 1.18, and 7.13 ± 0.94 on the post test (p <0.001) with a large difference of increase of 1.10 ± 1.18 for knowledge and 2.37 ± 1.27 for selfefficacy. conclusion and recommendation: giving sme by emphasizing the five pillars of pulmonary tb management increases the knowledge and selfefficacy of pulmonary tb clients in the timor tribal community. the recommendation of this study is that sme interventions can be used as one of the nursing interventions in the public health center in community empowerment based pulmonary tb management. 85 correspondence address: stikes maranatha kupang – ntt, indonesia p-issn : 2355-052x email: musa.nuwa@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p085–093 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p085-093&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p085-093 86 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 85–93 introduction pulmonary tuberculosis (tb) is a disease that attacks the lung parenchyma (who, 2020a). until now, pulmonary tb disease is still the 10th cause of death in the world. it is estimated that 10 million people a r e infected with tuber culosis (t b) worldwide in 2018 which affects 5.7 million men, 3.2 million women, and 1.1 million children with 1.5 million people dying from this disease (who, 2018). eight countries accounted for 87% of the world’s total new tb cases in 2018 with india leading the tally, followed by china, indonesia, the philippines, pakistan, nigeria, bangladesh, and south africa. treatment adherence is a major factor in the failure of the pulmonary tb treatment program (who, 2020 &yakhelef et al., 2020). the prevalence of pulmonary tb in indonesia is 420,994 cases in 2017 (data as of may 17, 2018). based on gender, the number of new tb cases in 2017 in men was 1.4 times greater than in women. based on the tuberculosis prevalence survey, the prevalence in men is 3 times higher than in women. this is probably because men are more exposed to tb risk factors such as smoking and lack of adherence to taking medication. (kemenkes ri, 2018a). based on the data from the global tb report 2020, the prevalence of tb in indonesia is known to be 570,289 cases in 2018 and decreased to 543,784 cases in 2019. this figure is not significant, because many cases of resistant tb are due to nonadherence to taking medication (who, 2020b). the province of east nusa tenggara (ntt) is one of the provinces with high tb cases. based on the results of basic health research (2018), it is known that the number of patients diagnosed with tb is 0.27% of the national figure, namely 0.42% (kemenkes ri, 2018b). kupang is one of the districts with a high incidence of tb in ntt. in 2015, there were 162 cases, decreasing to 31 cases in 2016 and then increasing to 230 cases in 2017 and 461 cases in 2018 (ntt provincial statistics agency, 2020). one of the biggest contributors to the increase in pulmonary tb cases in kupang is the timorese who live in the working area of the naibonat public helath center. in 2017 there were 69 cases and increased to 76 cases in 2018 (puskesmasnaibonat medical record, 2020). based on the results of interviews with the person in charge of the tb program at the naibonat public helath center, it is known that the timorese are a community at risk because they are known for their lack of concern for their health. several things cause this indifference, namely, ignorance, unwillingness, and stubbornness. this condition causes the health education provided to have no impact on increasing knowledge of attitudes and actions in pulmonary tb management. many incidents of multiple drug resistance (mdr) tb are problems that arise due to non-compliance with ta king medica tion. t his ma kes the level of complexity of the tb problem even higher. various efforts have been made to overcome the problem of pulmonary tuberculosis in the working area of the naibonat public health center including directly observed treatment, shortcourse (dots) which has been implemented since 1995, and health education. health officers also activated the role of the public health nurse, a program knock on the door of tb and toss tb (find treat until cured) to reduce the incidence of pulmonary tb, but these efforts have not yielded maximum results. the low awareness of tb clients (self-efficacy) is thought to be the most determining factor in the management of pulmonary tb in the timor tribe community. self-efficacy is defined as an individual’s belief in his or her abilities which is necessary for selfmotivation (moradi, nasiri, jahanshahi, hajiahmadi, 2019 &bahtiar, nursasi, 2019). lack of efficacy is one of the causes of lack of adherence to treatment protocols and negative health behaviors in pulmonary tb clients. self-efficacy can be increased by providing information to clients (ba htia r &nur sa si, 2019) (ma ula , nur sa si, &wiarsih, 2019). according to masyfahani, (2019) pulmonary tuberculosis is a disease that is difficult to overcome even with the dots strategy. this is because the treatment takes a long time, and the sufferers need compliance. handling tb clients apart from its emphasis on trea tment, we need to focus on empowering clients to be actively involved in pulmonary tb care. one effort that can be given is to provide self-management education (sme). sme is a method, guidelines, counseling, and behavioral intervention to increase knowledge and self-efficacy regarding tuberculosis and improve individual and family skills in managing pulmonary tb disease (wei, omar, 2017 &masyfahani, 2019). the effectiveness of sme both in clients with pulmonary tb and in other diseases separately has 87nuwa, kiik, the effect of self management education on knowledge and ... been widely studied. sme can improve the quality of life, medication adherence behavior, seeking medical assistance, blood pressure control and selfefficacy in pulmonary tb clients, obstructive pulmonary disease and hypertension (benzo et al., 2013; wang, lang, xuan, li, & zhang, 2017; masyfahani, 2019; jauhar, nursasi, &wiarsih, 2019; li et al., 2019; moradi et al., 2019) this study aims to determine the effect of sme on knowledge and self-efficacy of pulmonary tb clients in timorese tribal communities in kupang, ntt province by emphasizing the five pillars of pulmonary tb management, namely increasing knowledge, taking medication behavior, fulfilling nutrition, physical activity, and preventing tb disease transmission. methods type of research, population, sample, research setting this research was a quasi-experimental study with a one group pre-test and post-test design without a control group by giving sme intervention to 30 pulmonary tb clients. the first 1-3 months) recorded in the medical records of the naibonat health center with the age of 20-60 years. this design does not involve randomization in assigning subjects to treatment units (boswell, c., & cannon, s..2020) sme intervention was given for 12 weeks in 6 months of research, starting from april-september 2020 with emphasing on the five pillars of pulmonary tb management, namely increasing knowledge, taking medication behavior, fulfilling nutrition, physical activity, and preventing tb disease transmission. ethical clearance and measurement tools this research protocol has passed the ethical test of health research at the health research ethics commission of the buleleng bali college of health sciences with number 081 / sk-kepk-sb / iii / 2020. the measuring instrument used in this study wa s a knowledge questionna ir e about pulmonary tuberculosis and self-efficacy of tb clients which had been tested for validity and reliability by masyfahani, (2019). the knowledge questionnaire used in this study consisted of 10 questions consisting of 1 question about the meaning of pulmonary tuberculosis, 1 question about signs & symptoms of pulmonary tuberculosis, 1 question about pulmonary tb disease examination, 1 question about pulmonary tb treatment, 1 question about side effects. pulmonary tb treatment, 2 questions about tb treatment suppor t, 2 questions a bout pulmona r y t b transmission, 1 question about pulmonary tb prevention. all questions are favorite questions. self-efficacy questionnaire related to the ability to deal with pulmonary tuberculosis which consists of 10 questions using the guttman scale as follows; 1 = sure and 0 = not sure. everything is a favorable question. the highest score is 10 and the lowest is 0. the higher the value, the better self-efficacy, and vice versa. research procedure intervention and data collection was carried out by researchers and 5 nurses whose perceptions had been similar to the research. the sme intervention was given 12 weeks with the following steps step 1, identification. in this step, a pre-test of the client’s knowledge and self-efficacy was carried out using a knowledge a nd self-effica cy questionnaire. besides, clients are identified for the management of pulmonary tb on five pillars, namely related to knowledge, drug ingestion behavior, nutritional fulfillment, physical activity, and prevention of tb disease transmission. this activity is carried out in the first week. step 2, advice. in this step, the problems identified in the previous step are reported to the client a nd the client is infor med a bout t b management in the five pillars, namely knowledge, drug ingestion behavior, physical activity, nutrition and prevention of disease transmission, and positive behavior changes if they have positive behavior related to pulmonary tb. in step 2, individuals are given education on the five pillars. step 2 was carried out at the second and third weeks of the intervention. step 3, consent: a written agreement is made with the client regarding the behavior change objectives and activities required to achieve the goals. therefore, for each problem identified in the first step, an action plan is developed based on the stated objectives. to ensure patient adherence to activities, a list of intended activities is made for each client and the client is asked to provide a written daily report in a notebook, with the help of family members, on involvement in physical activity, 88 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 85–93 nutritional fulfillment, ingestion of drugs and prevention of tb disease transmission. this stage is carried out from week 4 to week 11. step 4, behavioral counseling. in this step, tb clients who are not adherent to ingesting drugs, given activities, nutrition consumed, and disease prevention needs are given counseling according to the findings of each individual. counseling is given if any problems are found in the patient until the completion of the 11-week intervention session. step 5, follow-up activities: at this stage, the patient is followed up once a week regarding drug ingestion behavior, physical activity, nutrition, and prevention of disease transmission. the client was also reminded by telephone call every day in the initial 3 weeks of the intervention, namely weeks 3, 4, and 5. in this session, the patient’s written report in the notebook was also assessed. to ensure compliance with the objectives set and activity plans made. step 6. evaluation: at this stage, an evaluation of the success of the intervention is carried out by providing a post test of the knowledge and selfefficacy of pulmonary tb clients. the post-test uses the same questionnaire during the pre-test. this stage is carried out at week 12. data analysis univariate analysis was used to determine the client’s demographic characteristics (age, gender, and education level). the data are presented in the form of numbers and presentations, while the data of knowledge and self-efficacy are presented in the form of mean counts. a paired t-test was used to answer the objectives of this study. the analysis is said to be significant if the p-value <0.005, which indicates the influence of sme on knowledge and self-efficacy of pulmonary tb clients in timorese tribal communities in ntt province, with the help of ibm software 21. result demographic characteristics a total of 30 pulmonary tuberculosis patients who belong to the timorese people were involved and were able to complete this intervention well. table 1 provides a summary of client demographic data consisting of age, occupational, sex, and education level. table i shows a total of 30 pulmonary tb patients. in general, 56.7% of the respondents were male. most of the tb sufferers were at the age of 56-65 yea r s with the most occupa tions a s housewives. in general, the education level of tb clients is comparable between those who do not go to school and those who have primary school education as much as 26.7% knowledge and self efficacy knowledge and self-efficacy of clients with pulmonary tuberculosis were measured twice, namely before being given sme intervention at the first-week meeting and after being given sme intervention at week 12. the summary can be seen in table 2. table 2 shows the average knowledge and self-efficacy of tb clients before and after being characteristic n percentage (%) 1. gender a. male 17 56.7 b. female 13 43.3 total 30 100 2. age a. 17-25 2 6.7 b. 26-35 8 26.7 c. 36-45 6 20.0 d. 46-55 4 13.3 e. 56-65 10 33.3 total 30 100 3. education a. uneducated 8 26.7 b. preliminary 8 26.7 c. junior high school 7 23.3 d. senior high school 7 23.3 total 30 100 4. occupation a. housewife 13 43.3 b. farmer 10 33.4 c. private workers 4 13.3 d. students 3 10.0 total 30 100 source : primarily data table 1 distribution of age, sex, occupation, and education level of clients with pulmonary tb in timor tribal communities in the work area of the naibonat public health center, kupang, aprilseptember 2020 89nuwa, kiik, the effect of self management education on knowledge and ... variables mean ± sd min-max normality test knowledge pre test 5,23±1,04 3-7 0,104 post test 6,33±1,18 4-9 0,056 self-efficacy pre test 4,77±1,07 3-6 0,096 post test 7,13±0,94 5-9 0,103 source: primarily data table 2 knowledge and self-efficacy of pulmonary tuberculosis clients before and after being given sme in timor tribal communities in the work area of the naibonat public health center, kupang, april-september 2020 given sme, which has a normal data distribution. the results also showed that the average client knowledge and self-efficacy were higher after intervening with sme analysis of the influence of sme on knowledge and self-efficacy analyzes were performed using the paired ttest to see the effects of the sme given over 12 weeks. the results can be seen in table 3 below. table 3 shows that there is a significant change in knowledge and self-efficacy of tb clients after being given sme with a value of p <0.001. this shows that sme can increase the knowledge and self-efficacy of the timorese people who suffer from pulmonary tb. variables (n=30) mean ± sd 95% ci min-max p(value ) knowledge pre test 5,23 ± 1,04 0,66 1,542 0,000 post test 6,33 ± 1,18 deviation 1,100 ± 1,185 t score df (29) = 5,086 self efficacy pre test 4,77 ± 1,07 1,89 2,84 0,000 post test 7,13 ± 0,94 deviation 2,37 ± 1,27 t score df (29)= 10,19 source: primarily data table 3 knowledge analysis and self efficacy before and after being given sme to the community timorese in the work area of the naibonat public health center, kupang, april-september 2020 discussion this study aims to determine the effect of sme on knowledge and self-efficacy of pulmonary tb clients by emphasizing the five pillars of tb management, namely increasing knowledge, taking medication behavior, fulfilling nutrition, physical activity, and preventing tb disease transmission. the results showed that there was an increase in the mean score of knowledge and self-efficacy after being given sme with a p-value <0.05. the research findings show that giving sme increases the knowledge and self-efficacy of clients with pulmonary tb. this finding is in line with two findings in previous studies, namely masyfahani, (2019) and jauhar et al., (2019). masyfahani’s research, (2019) on 30 primary pulmonary tb clients, it was found that sme were able to increase medication compliance behavior and self-efficacy of pulmonary tb clients by giving intervention for 1 month. jauhar, nursasi, &wiarsih, (2019) selfmanagement can improve health care seeking behavior and compliance with pulmonary tuberculosis clients taking medication and correlate with self-efficacy. ja dga l’s r esea r ch, na kha ei-mogha da m, alizadeh-seiouki, zareban, &sharifi-rad, (2015) in iran on providing education to tb clients also 90 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 85–93 improves clients’ knowledge and behavior about pulmonary tb initiatives. another study that is also in line with the results of this study is the research of sitanggang, amin, &sukartini, (2017) on selfcoaching in tb clients where tb clients are given motivational health education and counseling for one month divided by 4 treatment sessions, it is known that health education is in the form of health coaching a ffects the incr ea se in knowledge, attitudes, and actions, and self-efficacy of pulmonary tb clients. in this intervention, a follow-up was also carried out after health education was given to each client. increased knowledge and attitudes experienced by tb clients can change client actions in preventing tb transmission for the better. health education can increase a person’s knowledge through the learning process by changing and influencing human beha vior in incr ea sing a wa r eness a nd selfconfidence so that clients are aware and willing to change their behavior to be healthy (sukartini, kurniawati, &makhfudli, 2020). this research intervention is also in line with putra’s research, (2020) on clients with chronic obstructive pulmonary disease (copd) given by sme through booklet media, it is known that sme incr ea ses client empower ment (knowledge, attitudes, actions, decision-making abilities, and selfefficacy) in 18 clients. copd but not yet effective in reducing copd symptoms this is due to the condition of the disease and comorbid factors experienced by the client. increased knowledge and self-efficacy in timorese people suffering from tb occurs because the sme approach given is carried out in 5 systematic steps and is oriented towards solving target problems carried out following what is felt or occurs in pulmonary tb clients. according to (han & park, 2016) sme can increase knowledge, medication adherence, and self-efficacy and can be developed based on the needs and characteristics of the target population with various cultural backgrounds. in this research, sme is given to the timorese people who have different cultures and values and views about health and the use of health services. the timor tribal community will use health service facilities if they are already suffering from a very serious disease. education carried out with a systematic and gradual approach is the basis of the success of this therapy. providing health education for pulmonary tb clients in this program is followed by individual counseling according to the problems found in the 5 pillars of pulmonary tb management. the goal is that tb clients are allowed to be independently responsible for their disease by being directly involved in the management of tb disease. all client activities related to ingesting drugs, physical activity, fulfilling nutrition, and tb disease prevention behavior are carried out by the client and assisted by their family. in line with this situation, daniali, eslami, &maracy, (2017) explained that sme interventions need to be followed by home visits by health workers. the focus of intervention should really change the client’s medication practice, not just counseling, and providing social support to improve medication adherence. clients must be made a schedule for taking medication and must be given reminders in taking medication and scheduled reports to health workers. scheduled reports were also made by the tb client for each weekly home visit in this study. masyfahani further, (2019) explained that sme is an educational program for clients that aims to increase knowledge and skills in disease control through behavior change to get better clinical results. client education is an important aspect of management programs for clients with chronic diseases, such as diabetes mellitus, hypertension, and pulmonary tuberculosis. education to clients is recommended to be given at the time of diagnosis and continued until the end of treatment. the goal is that patients have good self-management and are responsible for managing their disease (sutandi, 2012; lestari &isnaini, 2018). the sme intervention in this study was given not only once but was continued at follow-up every week. this is done because the treatment and care of pulmonary tb is a long pr ocess that requires str ategies in managing the disease. with the provision of sme, it is hoped that the client’s knowledge can increase to increase self-efficacy which has an impact on his management in the management of pulmonary tb disease. increasing the self-efficacy of pulmonary tb clients in this study is a process that cannot be separated from the client’s understanding of the disease. the point is that the increase in tb client self-efficacy occurs after the client understands about tb management in 5 pillars, namely increased knowledge, drug-taking behavior, the fulfillment of nutrition, physical activity, and prevention of tb disease transmission. 91nuwa, kiik, the effect of self management education on knowledge and ... several factors affect the self-efficacy of clients with chronic diseases such as pulmonary tb besides knowledge. according to alligood, (2014) self-efficacy or self-confidence is a person’s ability to take certain actions that can develop from the learning process, own experiences, and experiences of other people. islamic research, (2018) states that self-efficacy in clients with pulmonary tuberculosis is positively correlated with self-experience, observation of other people, verbal persuasion (infor ma tion a nd emotiona l suppor t), a nd physiological evaluation (the client’s physical and emotional state) affects pulmonary tb clients in undergoing treatment. previous experience in achieving success or achievement is the strongest form of self-efficacy, experience in completing treatment during the intensive phase can form self-efficacy in completing the advanced phase of treatment. various other related experiences will influence subsequent behavior. pulmonary tb clients tend to observe the behavior of other pulmonary tb patients undergoing tr ea tment. the suffer er is a model who has similarities with the client. the failure or success of the model in treatment can affect the level of client self-efficacy. information and emotional support provided optimally can increase the selfefficacy of pulmonary tb clients in demonstrating their ability to undergo treatment (islami, 2018). other factors that are thought to increase the self-efficacy of clients in this study are age and experience of undergoing treatment where clients in this study are clients who are undergoing treatment at the incentive stage with an average age of adults and the elderly. in the incentive stage, clients learn from the experience for advanced treatment, besides that tb clients also learn from the behavior of their fellow tb clients in undergoing treatment. research by weiwei ding, tong li, qiying so, maohua yuan, (2018) regarding self-management in hypertensive clients, it is known that demographic characteristics, namely age are significantly related to self-efficacy and positively correlated with selfmanagement in hypertensive sufferers where the more mature a person is, the better self is. client efficacy and the better self-management of the disease. researchers argue that pulmonary tuberculosis patients in this study have good self-efficacy after ha ving sufficient knowledge thr ough sme interventions and also supporting factors such as age and learning from their own experiences so that they have a direct impact on behavior changes in disease management related to physical activity, fulfillment. nutrition, ingestion of drugs, and preventing tb disease transmission. conclusions this study concluded that the educational selfmanagement program for pulmonary tb clients by emphasizing the five pillars of pulmonary tb management, namely increasing knowledge, taking medication behavior, fulfilling nutrition, physical activity and preventing the transmission of tb disease had a significant positive effect on increasing client knowledge a nd self-effica cy in the management of pulmonary tuberculosis. suggestions the recommendation of this research is that it is hoped that policy makers in both health services and the government, in this case the health office, can design training programs in the management of pulmonary tuberculosis by emphasizing 5 aspects, namely increasing knowledge, taking medication behavior, fulfilling nutrition, physical activity and preventing transmission. tb disease and train all health workers, especially nurses who work in health care centers, on the implementation of the 5 pillars of pulmonary tb management in providing nursing care. this intervention can also be used as a community nur sing inter vention in the management of pulmonary tb references alligood, m. r. (2014). nursing theorist and their work (8th ed.). united states: elsevier. badan pusat statistik provinsi ntt. (2020). jumlah kasus tuberkulosis (tb) menurut kabupaten/kota di provinsi nusa tenggara timur, 2015-2018. retrieved fr om bps provi nsi nt t websi te: ht t ps: / / ntt.bps.go.id/dynamictable/2018/08/31/763/jumlahkasus-tuberkulosis-tb-menurut-kabupaten-kota-diprovinsi-nusa-tenggara-timur-2015-2017.html bahtiar, & nursasi, a. y. (2019). utilization of interactive educational media in improving self efficacy of lung tuberculosis patients/ : systematic literature review. enfermería clínica, 29(july), 101–105. https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.05.006 benzo, r., vickers, k., ernst, d., tucker, s., mcevoy, c., & lorig, k. (2013). development and feasibility of a self-management intervention for chronic 92 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 85–93 obstructive pulmonary disease delivered with motivational interviewing strategies. journal of cardiopulmonary rehabilitation and prevention, 33(2), 113–122. https://doi.org/10.1097/hcr. 0b013e318284ec67 boswell, c., & cannon, s. (2020). introduction to nursing researc h: incorporat ing evide nce based practice (fifth). | burlington, massachusetts: jones & bartlett learning. daniali, s. s., eslami, a. a., & maracy, m. r. (2017). the impact of educational intervention on self-care behaviors in overweight hypertensive women/ : a randomized control trial. arya atheroscler, 13(1). han, y., & park, y. (2016). effects of the hypertension selfmanagement program. asia pacific proceedings of applied science and engineering for better human life, 7, 48–51. islami, n. s. (2018). analisis faktor yang berhubungan dengan self efficacy klien tb paru dalam menjalani pengobatan di puskesmas wilayah kota surabaya. universitas airlangga. jadgal, k. m., nakhaei-moghadam, t., alizadeh-seiouki, h., zareban, i., & sharifi-rad, j. (2015). impact of educational intervention on patients behavior with smear-positive pulmonary tuberculosis/ : a study using the health belief model.materia socio medica, 4 (may), 229–233. https://doi.org/10.5455/ msm.2015.27.229-233 jauhar, m., nursasi, a. y., & wiarsih, w. (2019). evaluation of impact self-management counseling on h ea lt h -seekin g beh a vi or ’s sel f-effi ca cy pulmonary tuberculosis outpatients. enfermeria clinica, 29(2), 482–487. https://doi.org/https:// doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.04.072 kemenkes ri. (2018a). infodatin/ :tuberkulosis. jakarta: pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri. kemenkes ri. (2018b). riskesdas 2018. jakarta: kementerian kesehatan ri badan penelitian dan pengembangan kesehatan. lestari, i. g., & isnaini, n. (2018). pengaruh self management terhadap tekanan darah lansia yang mengalami hipertensi. indonesian journal for health sciences, 02(01), 7–18. li, x., li, t., chen, j., xie, y., an, x., & lv, y. (2019). a wechat-based self-management intervention for community middle-aged and elderly adults with hypertension in guangzhou , china/ : a clusterrandomized controlled trial. environmental research an public health, 16(2002), 1–12. masyfahani, m. a. h. (2019). pengaruh self management education berbasis health promotion model terhadap pemberdayaan klien tuberkulosis. universitas airlangga. maula, m., nursasi, a. y., & wiarsih, w. (2019). the relationship between family ’ s informational support and self-efficacy of pulmonary tuberculosis client. enfermería clínica, (xx), 1–4. https://doi.org/ 10.1016/j.enfcli.2019.04.062 moradi, m., nasiri, m., jahanshahi, m., & hajiahmadi, m. (2019). the effects of a self management program based on the 5 a’s model on self efficacy among older men with hypertension. nursing and midwifery studies, 8, 21–27. https://doi.org/ 10.4103/nms.nms putra, p. w. kusuma. (2020). pengaruh self management educat ion te rhadap pemberdayaan pasi en penyakit paru obstruksi kronik (ppok) di rsud wangaya denpasar. universitas airlangga. rekam medik puskesmas naibonat. (2020). rekam medik puskesmas naibonat maret 2020. kupang: rekam medik puskesmas naibonat. sitanggang, y. a., amin, m., & sukartini, t. (2017). health coaching berbasis health promotion model terhadap peningkatan efikasi diri dan perilaku pencegahan penularan pada pasien tb paru. jurnal penelitian kesehatan suara forikes, viii(4), 172– 179. sukartini, t., kurniawati, s., & makhfudli, m. (2020). the effect of health education through brainstorming and booklet method on behavior in prevention of pulmonary tb transmission. eurasian journal of biosciences, 14, 2697–2702. sutandi, a. (2012). self management education ( dsme ) sebagai metode alternatif dalam perawatan mandiri pasien diabetes. majalah ilmiah widya, (321), 47–52. wang, c., lang, j., xuan, l., li, x., & zhang, l. (2017). the effect of health literacy and self-management efficacy on the healthrelated quality of life of hypertensive patients in a western rural area of china/ : a cross-sectional study. international journal for equity in health, 16(58), 1–11. https:// doi.org/10.1186/s12939-017-0551-9 wei, t., & omar, m. (2017). self-management approaches among hypertensive residents in nursing homes in malaysia. malaysian family physician, 12(3), 8– 17. weiwei ding, tong li, qiying su, maohua yuan, a. lin. (2018). integra tin g fa ctors associ ated wi th hypertensive patients’ self-management using structural equation modeling/ : a cross-sectional study in guangdong, china. patient preference and adherence, 12, 2169–2178. https://doi.org/10.2147/ ppa.s180314 who. (2018). global tuberculosis report 2018. geneva, switzerland: who. who. (2020a). definitions and reporting framework 93nuwa, kiik, the effect of self management education on knowledge and ... for tuberculosis – 2013 revision (updated december 2014 and january 2020). switzerland: who press, world health organization. who. (2020b). global tuberculosis report 2020. ganeva: world health organization. who. (2020c). tuberculosis/ : key facts. retrieved december 10, 2020, from who website: https:// www.who. in t/ news-room / fa ct -sh eets/ deta il / tuberculosis yakhelef, n., audibert, m., ferlazzo, g., sitienei, j., wanjala, s., variane, f., … huerga, h. (2020). costeffectiveness of diagnostic algorithms including lateral-flow urine lipoarabinomannan for hivpositive patients with symptoms of tuberculosis. plos one , 1–17. h tt ps: / /doi. org/10.1371/ journal.pone.0227138. 376 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 376–388 barriers of pmtct (prevention mother to child transmission) program: systematic review miftah chairunnisa1, kanthi devi ayuningtyas2 1departement of midwifery, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 07/09/2020 accepted, 30/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: pmtct program, hiv positive woman, barrier article information abstract hiv infection during pregnancy is a serious problem that requires special attention because the number of case increasing every year. according to unaids data, more than 36.9 million people were living with hiv on 2017. an increase of 1.8 million new cases and 940,000 deaths occurs in the same year. in indonesia especially, there were about 630,000 hiv cases on 2017 and nearly 49,000 new cases reported. this number consists of cases of vertical transmission from mother to child during pregnancy. the government has implemented pmtct (prevention mother to child transmission) program as a solution to reduce the number of hiv cases. nevertheless this program has not been running well due to several barriers regarding to its implementation. this study aimed to provide an understanding of various barriers to pmtct program implementation. a systematic review approach by prisma design was used to study literatures from databases. stigma or discrimination from community and health care, experienced by hiv patients, was major barrier that impede pmtct program. in addition, lack of support from partner or family, depression, economic factors, stigma from health workers, and health workers’ income-workload discrepancy were also significantly affected the implementation. contrary, the active role of health workers to provide counseling and education about hiv/aids among community as well as to client’s families was a success key of pmtct program. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: chmiftah8@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p376–388 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 376 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p376-388&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p376-388 377chairunnisa, ayuningtyas, barriers of pmtct (prevention mother to ... introduction human immunodeficiency virus(hiv) is a kind of ribonucleic acid (rna) virus which can specifica lly a tta ck human immunity, causes aqciured immunodeficiency symndrome (aids). hiv during pregnancy is a serious problem that requires special attention because the numbers of cases increase every year resulting in maternal and neonatal mortality (nimasdan tri, 2019). unaids (united nation program on hiv and aids) stated that in 2017, more than 36.9 million people were living with hiv consisted of 35.1 million adults and 1.8 million children, 1.8 million new hiv cases and 940,000 deaths occurred as its effect. indonesia contributed about 630,000 hiv cases in 2017 consisted of 49,000 new cases and 39,000 death cases (unaids, 2018). hiv / aids contributed to mortality rates at reproductive age in several developing countries. data in indonesia showed that there are 220,000 women aged e” 15 years and 13,000 children, were living with hiv (unaids, 2017). the number of hiv cases will continue to increase along with the increasing of prevalence of women with hiv infection at reproductive age who have possibility to give birth to children with hiv as well. hiv infection occur red on appr oximately 5-10% pregnancy, 10-20% through labor, 10-15% during breastfeed period. the risk of vertical transmission increased by 15-45% when mother’s infection left untrea ted dur ing the per iod of feta l growth (kementeriankesehatan ri, 2015). mother to child hiv transmission which was not quickly treated caused pneumocystis carinii pneumonia (pcp), which is opportunistic infection that often found in hiv positive children. this infection generally occurred at first 3 to 6 months of life, then generate to mycobacterium avium complex (mac) at the age of 5. this infection generated another disease, such as candidiasis esofagus, recurrent bacteria l infections, a nd tuberculosis (lindegren, et.al, 2000). opportunistic infection prevention consisted of prima ry and seconda ry pr evention. pr imar y prevention is preventing infection, while secondary prevention is administering drugs after infection. this prevention can be stopped if there was an increase in cd4+ more than 200 / ml for 3 months (djauzi and djoerban, 2002). indonesia n government has implemented pmtct program as the best solution to prevent mother to child hiv transmission. pmtct expected to reduce the case of hiv positive children, and hiv/aids transmission among repr oductive women as well as cases of hiv positive pregnancy (who, 2009). the targets of the pmtct program are adolescents, childbearing aged women, health cadres, and health workers. health education could be given to youth group and childbearing aged women to increase their knowledge and awareness of hiv and any other stis (sexually transmitted infections) transmission and prevention. also to convince them the benefits of vct (voluntary hiv counseling a nd testing) in r isk gr oups (kementeriankesehatan ri, 2015). pmtct programs implemented since 2005 in a whole country, targeted to 100% pregnant women who checked their pregnancy. the information provided includes: safe motherhood, how to have safe sexual intercourse, prevention and treatment of stis (sexually transmitted infections), the objectives of pmtct program, post-test counseling and further services/ treatment (kementerian kesehatan ri, 2015). based on the result of arv (anti retro viral) follow-up treatment on 2017, as many as 12,000 pr egnant women were register ed to be arv receptor, but there were only 10% of them, approximately 1,239 pregnant women who got those medication. on the other hand, only 12% of hiv positive adult (e” 15 years old) and 23% of hiv positive childr en who got those medica tion obediently. these inobedient on pmtct programs should be underlined and evaluated by variour parties. problems arose on pmtct implementation need to be carefully studied in order to achieve its targets. there were many studies carried out to examine factors related to pmtct implementation, both supporting and impeding factors. in order to provide an outline of those studies, it is important to carry out a systematic review. methods systematic review was conducted to analyzed publications related to the topic. this study used prisma (pr efer r ed repor ting items for systematic reviews & meta-analyzes) design and instrument and also a flowchart based on the 2009 prisma checklist. articles from primary study wer e found in sciencedirect and pub med. keywords used were “hiv positive woman”, 378 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 376–388 “pmtct (prevention mother to child transmission)”, and “barriers or challenges”. 1,452 study were found on the first place based on keywords used. restriction criteria that been used was year of publication. only studies from 2018 to 2020 have been selected to be reviewed. it should be done to find the novelty of those studies that can be analyzed further. the other criteria of restriction used in this study were the ability of those original papers tobe downloaded, while reports and case studies were excluded. based on those criteria, there were 1,452 original articles has been found. the next step was analyzed those articles based on tittles and abstracts. approximately, 1,080 articles were eliminated because those found to be irrelevant which were discussed a bout the r isk fa ctor s for hiv occurrence, the impact on hiv infection and the epidemiology of hiv. as many as 372 relevant articles have been analyzed thoroughly and leaved 18 articles which were met the eligibility standards, while the other 354 articles were discussed the spread of hiv, the impact of hiv on children and pmtct programs related to evaluation, objectives, benefits, and review of pmtct services generally. s c r e e n in g i d e n t if ic at io n el ig ib il it y in c l u d e articles identified through the pub med and science direct pages that have been published for the last 3 years (n = 1,452) article screening by title and abstract (n = 1,452) analyzed articles (n=18) the irrelevant studies (n = 354) included: 180 articles discussing the pmtct program 102 articles discussing the spread of hiv 76 articles discuss the impact of hiv on children relevant research studies (n=372) no multiple articles were analyzed articles will be assessed for eligibility (n = 372) irrelevant research studies (n = 1,080) 379chairunnisa, ayuningtyas, barriers of pmtct (prevention mother to ... results the result barrier s of pmtct program (prevention mother to child transmission) presented in table 1. tabel 1 the researchindicate on barriers to pmtct (prevention mother to child transmission) program name, year of publication and title christina lumbantoruan, michelle kermode, et. all, 2018 understanding women’s uptake and adherence in option b+ for prevention of mother-to-child hiv transmission in papua, indonesia: a qualitative study nishi suryavanshi, vidya mave, et. al, 2018 challenges and opportunities for outreach workers in the prevention of mother to child transmission of hiv (pmtct) program in india melissa h. watt, cody cichowitz, et al, 2018 predictors of postpartum hiv care engagement for women enrolled in the prevention of mother-to-child transmission (pmtct) programs in tanzania euphemia l. sibanda, sarah bernays, et. al, 2018 “well, not me, but other women do not register because...”barriers to seeking antenatal care in the context of prevention of mother-to-child transmission of hiv among zimbabwean women: a mixedmethods study research methode qualitative study qualitative study cohort study number of sample 40 respondents 60 respondents 200 respondents research place indonesia india tanzania reseacrh conclusion the importance of motivating factors that outweigh barriers to pmtct uptake and adherence at five levels of the socio-ecological framework. the adoption of option b + as a policy for pregnant women in papua as a screening for antenatal care has increased the identification of hiv-positive women and their participation in the pmtct program (chistina l. et.all, 2018) overcoming challenges that have been implemented in the pmtct program is to increase patient interaction, access, and retention in care (nishi s. et.all, 2018) the ûndings suggest that care engagement remains a concern in pmtct programs, and must be addressed to realize the goals of pmtct. comprehensive counseling on hiv disclosure, along with community-based stigma reduction programs to provide a supportive environment for people living with hiv, are crucial to address barriers to care engagement and support longterm treatment. women presenting to antenatal care with an established hiv status require support for care engagement during the crucial period surrounding childbirth, particularly those pregnant for the ûrst time (melisa h. et.all, 2018) no 1 2 3 380 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 376–388 4 5 6 7 mixed methods study comparative crosssectional study qualitative study randomized controlled trial 21 respondents 2615 respondents 10 respondents 342 respondents zimbabwe amhara thailand south africa anc uptake is sub-optimal particularly in poor communities where anc fees are levied. we identified additional barriers to anc that are a result of integration of pmtct and anc services. interventions to increase anc uptake in the context of pmtct need to address general anc barriers and those related to the fear of hiv testing. this is important for the success of option b+ and ‘treat all’ initiatives (euphenia l. et. all, 2018) pmtct service utilization was low in the study area. the presence of internal referral system significantly increases pmtct service utilization (berhanu e and belaynew w. et.all, 2018) we found that while discrimination experienced with wlhiv within the reproductive healthcare setting in bangkok is less of an issue now than in previous years, internal stigma and fear of discrimination from the community remained relevant concerns for this population. in addition to describing how these sources of stigma contributed differently to fertility desire among thai hiv-positive women, our study highlighted areas for future interventions.as the national programme moves towards zero discrimination against all plhiv, addressing the effects of community-based and internalised stigma on fertility desire among hiv-positive women is one avenue to reach this goal (natasha m. et.all, 2018) this study examined the longitudinal experience of stigma, and the impact of an enhanced pmtct intervention, including stigma reduction, on stigma outcomes. the intervention, which was administered by trained lay health workers, had a euphemia l. sibanda, sarah bernays, et. al, 2018 “well, not me, but other women do not register because...”barriers to seeking antenatal care in the context of prevention of mother-to-child transmission of hiv among zimbabwean women: a mixedmethods study berhanu elfu feleke and belaynew wasie, 2018challenges of pmtct service utilization in amhara region: a comparative crosssectional study natasha mehta, jennifer ho, et. al, 2018 investigating the role of stigma on fertility desire among hiv positive women in bangkok,thailand: a qualitative study karl peltzer, suat babayigit, et. all, 2018 effect of a multicomponent behavioral pmtct cluster randomized controlled trial on hiv stigma reduction among perinatal hiv positive women in mpumalanga province, south africa 381chairunnisa, ayuningtyas, barriers of pmtct (prevention mother to ... 8 9 abby dicarlo, ruby fayorsey, et.all, 2018 lay health worker experiences administering a multi-level combination intervention to improve pmtct retention dlama nggida rasmussen, holger werner unger, et.all, 2018 political instability and supplyside barriers undermine the potential for high participation in hiv testing for the prevention of mother-to-child transmission in guinea-bissau: a retrospective cross-sectional study qualitative study retrospective crosssectional study 340 respondents 31.443 respondents kenya genia signiûcant eûect on the reduction of hiv related stigma. future interventions to reduce hiv related stigma among perinatal women could build on the stigma reduction components utilised in the intervention and expand them to develop a more comprehensive stigma reduction programme appropriate to the south african context (karl p.et all, 2018) this study assessed the experiences of lay health workers administering a combination of evidence-based interventions to improve retention among hivpositive women initiating pmtct services and their infants in kenya. findings demonstrate the fundamental role lay health workers play in supporting mothers engaged in pmtct services by addressing behavioral, social, and structural factors associated with retention in care. study findings also highlight the need for future interventions to include strategies to ensure privacy and decrease stigma within communities and facilities. this study adds important insight to the small but growing body of research on lay health worker experiences in hiv and pmtct (abby d.et all, 2018) this study reveals that rapid scale-up pmtct hiv testing services is possible even in settings with limited resources and political unease. nevertheless, hiv programmes such as that in guinea-bissau must not only be supported in regards to treatment and testing supplies but also importantly aided in establishing proper management of stocks and backup plans for periods of political and financial instability. while this study did not include specific data on socioeconomic status it shows an important association between marital status and 382 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 376–388 education with reduced testing uptake which must be taken into consideration in the provision of opt out hiv testing. strengthening antenatal counselling and testing and insuring proper registration and documentation of hiv testing could reduce the need for testing at delivery and improve overall care in guinea-bissau (dlama n.et.all, 2019) hiv and aids programmes should pay attention to women’s readiness for interventions. there is need to understand women’s life experiences to ensure informed and targeted programming for pmtct (zibusiso n.et.all, 2019) hiv-infected adolescent mothers expressed a preference for peerled, non-judgmental pmtct support services that bridge communities and facilities to pragmatically address barriers of stigma, poverty, health system complexity, and food insecurity. future research should evaluate implementation and health outcomes for adolescent mentor mother services featuring these and other client-centered attributes, such as provision of livelihood assistance and peer-led psychosocial support (nicole b.et.all, 2019) low-cost interventions, such as the umoyo program, have no impact on increasing hei retention in pmtct and do not reduce the stigma internalized and enforced using gee estimates and t-weighted un-estimated comparison tests. regarding pre support and hiv stigma (sydney c.et.all, 2019) zimbabwe malawi zambia 10 11 12 zibusiso nyati-jokomo, inam chitsike, elizabeth mbizvo, et. all, 2019 if nurses were in our shoes would they breastfeed their own babies?’a qualitative inquiry on challenges faced by breastfeeding mothers on the pmtct program in a rural community in zimbabwe nicole b. carbone, joseph njala, debra j. jackson, et all, 2019"i would love if there was a young woman to encourage us, to ease our anxiety which we would have if we were alone”: adapting the mothers2mothers mentor mother model for adolescent mothers living with hiv in malawi sydney chauwa phiri1, sandra mudhune, margaret l. prust, et al, 2019 impact of the umoyo motherinfant pair model on hiv-positive mothers’ social support, perceived stigma and 12-month retention of their hiv-exposed infants in pmtct care: evidence from a cluster randomized controlled trial in zambia qualitative study qualitative study randomized controlled trial 108 respondents 72 respondents 28 respondents 383chairunnisa, ayuningtyas, barriers of pmtct (prevention mother to ... 13 14 15 maricianah onono,  · tobias odwar, · lisa abuogi, et all, 2019 effects of depression, stigma and intimate partner violence on postpartum women’s adherence and engagement in hiv care in kenya babayemi o. olakunde, daniel a. adeyinka, et.all,2019correlates of antiretroviral coverage for prevention of mother-to-child transmission of hiv in subsaharan africa kamonga m. zacharius, namanya basinda, et.all, 2019low adherence to option b+ antiretroviral therapy among pregnant women and lactating mothers in eastern tanzania qualitative study qualitative study qualitative study 200 respondents 266 respondents 305 respondents kenya africa south africa these cross-sectional results indicate that stigma, depression, and ipv experienced by hivinfected women may impact their adherence to medication and clinic visits, which are critical for pmtct and maternal health. the high prevalence of these issues underscores the importance of developing tailored psychosocial and structural interventions to improve mental health and reduce stigma and ipv to improve adherence and engagement in care within pmtct (maricianah o.et.all, 2019) access to arv drugs by hivinfected pregnant women is essential to the elimination of mother-to-child transmission of hiv. while some countries in subsaharan africa have achieved near-universal arv coverage for pmtct, many still have a huge gap. from our results, stigma appears to be an important factor that inûuences arv coverage for pmtct in sub-saharan africa. thus in eliminating perinatal transmission of hiv, interventions that will address stigma-related barriers to uptake of pmtct services may play a signiûcant role (babayemi o.et.all, 2019) the option b+ adherence level was low and much lower among urban residents as compared to their counterparts in rural areas. the low proportion of good adherence of option b+ for pmtct in eastern tanzania might be signalizing a regression of the pmtct program in eastern tanzania. male partner support, time on art and area of residence were significant predictors of adherence to option b+ treatment. arraying more efforts to enhance male partner support and involvement and focusing on those on treatment for a longer duration in the pmtct program may yield more significant outcome. moreover more efforts 384 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 376–388 16 17 18 to monitor option b+ adherence should be made in urban settings while implementing cohort monitoring and evaluation of the barriers as well as regular viral load measurements (kamonga e.et.all, 2019) most of the barriers to uptake of pmtct were hinged on issues around stigma, sociocultural beliefs and poor organization of health services. the implementation of effective pmtct programs require innovative strategies that leverage improvement of anc uptake as an entry point for pmtct. in addition, ensuring that engagement in care is sustained requires creating a supportive stigma-free environment in the community and spousal support to ensure women can navigate the socio-cultural barriers that limit access to health services. future research that deepens the understanding of social norms for healthcare decision making as well as male involvement in women’s health will be useful to guide health promotion practice (osasuyi d.et.all, 2020) reduced stigma was associated with participation in the intervention, male involvement and condom use, while increased stigma was associated with participation in control conditions, pre-pregnancy hiv diagnosis and alcohol consumption (j.m. abbamontea.et.all, 2020) this study provides evidence that depressive symptoms and lack of social support probably play an important role in managing adherence to arvs during pregnancy and highlights the intersecting role of depressive symptoms, stigma, and social support in outcomes for this population (christina p.et.all, 2020) nigeria south africa south africa osasuyi dirisu, george eluwa, eseoghene adams, et all, 2020 "i think this is the only challenge... the stigma” stakeholder perceptions about barriers to antenatal care (anc) and prevention of mother-tochild transmission (pmtct) uptake in kano state, nigeria j.m. abbamontea,s.ramlaganb,t.k. leed, et all, 2020 stigma interdependence among pregnant hiv-infected couples in a cluster randomized controlled trial from rural south africa christina psaros, phd, jennifer a. smit, phd, ms, nzwakie mosery, bsocsc(soc), et all, 2020 pmtct adherence in pregnant south african women: the role of depression, social support, stigma, and structural barriers to care qualitative study randomized controlled trial qualitative study 200 respondents 201 respondents 200 respondents 385chairunnisa, ayuningtyas, barriers of pmtct (prevention mother to ... table 1 showed the synthesis of the study population based on the research studies or articles reviewed. the research studies obtained were derived from 20 selected studies and the majority were conducted in several countries (indonesia = 1, india = 1, tanzania = 1, zimbabwe = 2, amhara = 1, thailand = 1, south africa = 4, kenya = 2, guinea = 1, malaysia = 1, zambia = 1, africa = 1, nigeria = 1). of the 18 research studies, 11 qualitative studies, 3 rct studies, 1 mixed-method study, 1 comparative cross-sectional study, 1 retrospective cross-sectional, 1 quantitative study, 1 cohort. the eligibility criteria contained in these 20 research studies are the number of samples in the study varied from 10 to 31,443 respondents, research studies were published in the last 3 years (2018-2020) and studies that show vertical hiv transmission and pmtct program problems. based on the research that had been analyzed, most of the barriers were found in patients and health professionals. patients often experienced stigma and discrimination in society. stigma could be categorized into 3 scopes, i.e. internal stigma, in the community, and in health services. several studies revealed the internal stigma in women who often get inappropriate treatment. the disclosure of their hiv status to the partner was not as expected, the majority of client partners did not accept this disclosure. the patient’s feeling of sadness and disrespectness made their condition decrease, this could reduce their viral load. discrimination in the community also madethem feel gloomy, therefore most patiens movedtho the other residence and choosed hospitals that were isolated from the community to made it easier for them to got arv treatment. another stigma in health care was that unfriendly and unfavored treatment has been accepted by patients. health workers who know their status could not maintain client confidentiality, so the clients start to fell reluctant to follow their routine treatment. a study conducted in south afr ica wa s different from other studies, the results of that study revealed that family and partner support for hiv positive clients in rural areas was much better than hiv positive clients in urban areas. these results are also supported by data showed that hiv-positive clients in rural areas carry out arv treatment routinelyaccompanied by their family or partners, but the opposite happens in urban areas. studies in malaysia showed that most young pregnant women with hiv were living alone, and experiencing an economic crisis. they stated that the expenses for medical treatment were much greater than their income. other barriers also existed for health workers or facilitators in the implementation od pmtct program, i.e. the stigma in the community, several health workers frequenly got negative perception. usually, health workers visit clients’ homes to provide information about pmtct program or confirm clients by carrying out routine medical therapy, but to minimize this stigma, health workers prefer to give treatment without direct contact (cellphones) and no longer visit clients. in addition, there was a mismatch between workload and income earned by health workers. discussion in line with the unaids program, 3 zero is zero new infection, zero death related aids and zero discrimination which targets that in 2020 around 90% of people know their hiv status, 90% of people infected with hiv get arv and 90% of people who get arv experience decreasing in their viral load. the success of this program can be done by preventing hiv transmission, increasing access to hiv testing, increasing the consumption of arv / arv treatment, improving the welfare of plha, mitigating the socioeconomic impact of the hiv epidemic on individuals, families and communities to maintain productivity and human resources in indonesia (komisi penanggulangan hiv aids, 2015) the government policy to prevent mother-tochild transmission of hiv is by enforcing the pmtct program. prevention of mother to child transmission (pmtct) is a program to prevent mother-to-child transmission of hiv to reduce the risk rate for babies (who, 2017). according to the ministry of health (2015), efforts to prevent hiv transmission from mother to baby have four pillars/ pr ogr a ms, including: (1) pr eventing hiv transmission to women of reproductive age, (2) preventing unplanned pregnancies in mothers with hiv status, (3) preventing hiv transmission from mother to baby, (4) continuing the vct program which aims to provide moral support, hiv testing services, counseling, therapy for opportunistic infections and arvs (kementerian kesehatan ri, 2015). 386 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 376–388 the government implements a policy that is enforced for health workers called pitc (provider initiated testing and counseling). pitc is one of the hiv testing and counseling services provided by health workers to someone who comes to a health facility as a standard component of medical services (peltzer k, 2015). pitc services have a requirement that is a supportive environment aimed at prevention, treatment, and social support. the implementation of pitc has wider coverage than vct and is able to avoid delays in diagnosis and the suppor t of a dequa te huma n r esour ces, infr a str uctur e, a nd medicines (kementeria n kesehatan ri, 2010) in the provision of programs that have been implemented, health workers are not able to deal with it as a whole. many obstacles often arise in providing information about hiv, offering hiv testing, carrying out hiv testing, delivering test results, post-test counseling, and referral to care units and support from multiple parties if the client gets a positive result (sudrani, 2018). according to green’s theory in priyoto (2014), it is stated that the support of husband or family is one of the factors in the occurrence of behavior change (priyoto, 2014).this explanation is in line with kuncoro (2007) that the support of a husband or partner that is spontaneous has a good impact on clients psychologically (kuncoro, 2007). the majority of studies revealed that clients who did not get social support from their families and partners so tend tounfollow their treatment routinely. disclosure of hiv status to families and partners was the origin of that problem, many women received an inappropriate treatment from their partners. feelings of sadness, gloom and disrespect were the impact of the client’s decline which resulted the decreased of viral load. feelings of sadness could be associated with depression or stress which correlates with arv adherence. this problem was the role of health workers to approach client families in improving pmtct services and efforts to prevent mother-to-child hiv. other barriers that often arise were community stigma and discrimination. stigma arise when people do not understand informations oh hiv completely and correctly(darmoris, 2011), especially regarding to hiv transmission, groups of people at risk of hiv disease, and ways to prevent hiv infection (guma ja, 2011). stigma is one of the biggest problems preventing clients from taking arv treatment. then for people who are at risk of hiv, sometimes they don’t want to do an hiv test because they are afraid to know the fact that they are having hiv (maman s, 2009). this fear experienced by clients has an impact on relationships between families, partners, and society. stigma that occurs in the community can also interfere client social activities (campbell c, 2010). often clients close themselves and are not willing to interact with family, neighbors and friends. society assumes that people with hiv positive status are people who do not deserve to live in that society and are seen as bad people (lestari, 2013). this is in line with several research studies that have revealed that stigma and discrimination can a ffect arv a dher ence. not a few of them discouraged from moving their residence so that the treatment they were undergoing could be carried out properly and routinely. promoting hiv education from millennials and adults by health workers or facilitators is necessary to minimize the occurrence of stigma and discrimination for those with hiv and reduce the risk of hiv transmission, especially from mother to child. economic problems are also one of the barriers to hiv treatment. the treatment administered by the client is quite large to bear (han n.et.all, 2009), the costs include laboratory blood tests a nd opportunistic infection treatment (kumarasamy n.et.all, 2005), many clients have to seek out loans or sell their goods to cover the needs (badahdah am and pedersen de, 2011). this problem also occurs in malaysia, showing that young mothers who are pregnant with hiv status reveal that they cannot receive regular treatment because the income they get from their work does not fully cover their needs for arv treatment. health workers also experienced funding problems. the workload carried out by health workers were monitoring, recording and reporting of hiv cases as well as running programs that ensure client commitment to arv treatment. it is conveyed that the workload and wages earned were incomparable. the heavy workload they bear reduced the number of human resources or the nondistribution of health workers in areas where data collection required. the relationship between those two could reduce morale and performance of health workers to improve pmtct services. 387chairunnisa, ayuningtyas, barriers of pmtct (prevention mother to ... conclusion this review could answered the objectives of the research study regarding the barriers to the pmtct program, as this research was conducted to provide information about the various barriers that often exist in the implementation of pmtct program and provide support for its implementation. the active role of health workers to minimize various obstacles coulsbe implemented by providing early counseling and education among millennials and adults as well as to client families to get social support. suggestion this study does not cover the barriers of the pmtct program as a whole. need to study about distance between the house to the health facility, the knowledge of pregnant women about hiv and hiv testing, the occupation of pregnant women which affects arv adherence and the availability of hiv testing kits and arv drugs. reference abby dicarlo, ruby fayorsey, et.all. (2018). lay health worker experiences administering a multi-level combination intervention to improve pmtct retention. bmc health services research, vol. 18, no. 17 babayemi o. olakunde, daniel a. adeyinka, et.all. (2019). correlates of antiretroviral coverage for prevention of mother-to-child transmission of hiv in subsaharan africa. psychological and socio-medical aspects of aids/ hiv, doi . org/ 10. 1080/ 09540121.2019.1587364 badahdah am, and pedersen de. (2011). “i want to stand on m y own legs” : a qual it at ive st udy of antiretroviral therapy adherence among hivpositive women in egypt, aids care, vol. 23(6):7004 berhanu elfu feleke and belaynew wasie. (2018). challenges of pmtct service utilization in amhara region: a comparative cross-sectional study. ethiop j health sci, vol. 28, no. 6 campbell c, nair y, maimane s, sibiya z. (2010). understanding and challenging hiv/aids stigma. hivan publication., available from: http:// www.lse.ac.uk/collections/socialpsicology/pdf/ challenging_hivaids_stigma.pdf christina lumbantoruan, michelle kermode, et. all. (2013). understanding women’s uptake and adherence in option b+ for prevention of motherto-child hiv transmission in papua, indonesia: a qualitative study. plos one, vol. 13. no. 6 christina psaros, phd, jennifer a. smit, phd, ms, et.all. (2020). pmtct adherence in pregnant south african women: the role of depression, social support, stigma, and structural barriers to care. behavior medicine, vol. xx, hal. 1-11 darmoris. (2011). diskriminasi petugas kesehatan terhadap orang dengan hiv-aids (odha) di rumah sakit provinsi kepulauan bangka belitung. universitas diponogoro djauzi s, djoerban z. (2002). penatalaksanaan hiv/aids di pelayanan kesehatan dasar. jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia dlama nggida rasmussen, holger werner unger, et.all. (2018). political instability and supply-side barriers undermine the potential for high participation in hiv testing for the prevention of mother-tochild transmission in guinea-bissau: a retrospective cross-sectional study. plos one, vol. 13, no. 9 euphemia l. sibanda, sarah bernays, et.all. (2018).”well, not me, but other women do not register because...”barriers to seeking antenatal care in the context of prevention of mother-to-child transmission of hiv among zimbabwean women: a mixed methods study. bmc pregnancy and childbirth, vol. 18, hal. 271 guma ja. (2011). health workes stigmatise hiv and aids patients. south sudan medical journal, vol. 4, no. 3, hal. 92 han n et al. (2009). antiretroviral drug taking in hiv positive among myanmar migrants in central area of thailand. j. health, vol. 23, hal. 33-36 j.m. abbamontea, s. ramlaganb, et.all. (2020). stigma interdependence among pregnant hiv-infected couples in a cluster randomized controlled trial from rural south africa. social science & medicine kamonga m. zacharius, namanya basinda, et.all. (2019). low adherence to option b+ antiretroviral therapy among pregnant women and lactating mothers in eastern tanzania. plos one, vol. 14, no. 2 karl peltzer, suat babayigit, et.all. (2018). effect of a multicomponent behavioural pmtct cluster randomised controlled trial on hiv stigma reduction a mon g per in a t al hiv posi t ive wom en i n mpumalanga province, south africa. journal of social aspects of hiv/aids, vol. 15, no. 1, hal. 8088 kementrian kesehatan ri. (2010). tes dan konseling hiv terintergrasi di sarana kesehatan/pitc. jakarta: kementerian kesehatan ri kementerian kesehatan ri. (2015). pedoman pelaksanaan pencegahan penularan hiv dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. jakarta komisi penanggulangan hiv dan aids. (2015). strategi da n renca n a aksi na si on al 2015-2019 penanggulangan hiv dan aids di indonesia. tersedia pada https://siha.depkes.go.id/portal/ 388 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 376–388 files_upoad/sran_2015_ 2019_final. pdf. diakses juli 2020 kumarasamy n, et all. (2005). barriers and facilitators to antiretroviral medication adherence among patients with hiv in chennai, india : a qualitative study. aids patients care stds. vol. 19, no. 8, hal. 526-37 kuncoro. (2007). dukungan sosial keluarga bagi ibu hamil. bandung: rajawali press lestari trp. 2013). kebijakan pengendalian hiv/aids di denpasar. kesmas: jurnal kesehatan masyarakat nasional, vol. 8, no. 1, hal. 45-48 lindegren ml, steinberg sms, byers rh jr. (2000). epidemiology of hiv/aids in children. pediatr clin north am, vol. 47, hal. 1-20 maman s, abler l. et all. (2009). a comparison of hiv stigma and discrimination in five international sites: the influence of care and treatment resources in high prevalence settings. journal of social science & medicine, vol. 68, no. 12, hal. 2271-8 maricianah onono, tobias odwar, et.all. (2019). effects of depression, stigma and intimate partner violence on postpa r tum wom en ’s adh er en ce a n d engagement in hiv care in kenya. aids and behavior.doi.org/10.1007/s10461-019-02750-y melissa h. watt, cody cichowitz, et.all. (2018). predictors of postpartum hiv care engagement for women enr ol led in prevent i on of m ot her -to-chi l d transmission (pmtct) programs in tanzania, doi: 10.1080/09540121.2018.1550248 natasha mehta, jennifer ho, et.all. (2018). investigating the role of stigma on fertility desire among hiv positive women in bangkok, thailand: a qualitative study, vol. 4, hal. 165-169 nimas ayu ln dan tri yunis mw. (2019). tantangan pelaksanaan program prevention of mother to child transmission (pmtct): a systematic review. jurnal kesehatan vokasional, vol. 4, no. 1 nicole b. carbone, joseph njala, et.all. (2019). “i would love if there was a young woman to encourage us, to ease our anxiety which we would have if we were alone”: adapting the mothers2mothers mentor mother model for adolescent mothers living with hiv in malawi. plos one, vol. 14, no. 6 nishi suryavanshi, vidya mave, et. all. (2018). challenges and opportunities for outreach workers in the prevention of mother to child transmission of hiv (pmtct) program in india. plos one, vol. 13, no. 6 osasuyi dirisu, george eluwa, et.all. (2020). “i think this is the only challenge. . . the stigma” stakeholder perceptions about barriers to antenatal care (anc) and prevention of mother-to-child transmission (pmtct) uptake in kano state, nigeria. plos one, vol.15, no. 4 peltzer karl. (2015). barriers and facilitators associated with hiv testing nuptake in south african health facilities offering hiv counselling and testing. south africa: university of witwatersrand priyoto. (2014). teori sikap & perilaku dalam kesehatan. yogyakarta: nuha medika sanjobo n, frich jc, fretheim a. (2008). barriers and facilitators to patients’ adherence to antiretroviral treatment in zambia: a qualitative study. sahara j, vol. 5, no. 3, hal. 136-43 sudrani, si_i. (2018). provider initiative test and counseling (pitc) sebagai upaya perluasan tes hiv pada populasi khusus. public health symposium. 79 mei. yogyakarta, indonesia sydney chauwa phiri, sandra mudhune, et.all. (2019). impact of the umoyo mother-infant pair model on hiv-positive mothers’ social support, perceived stigma and 12-month retention of their hiv-exposed infants in pmtct care: evidence from a cluster randomized controlled trial in zambia. phiri et al. trials, vol. 20, hal. 505 unaids. (2017). aids info; country factsheets in don esi a 2016. tersedi a pa da : ht t ps: / / aidsinfo.unaids.org/%0d. diakses pada juli 2020 unaids. (2018). global hiv & aids statistics -2018 fact sheet. tersedia pada: httpp://www.unaids.org/en/ resources/fact-sheet. 2018. diakses pada juli 2020 who. (2009) a guide for adaptation and implementation . tersedia pada https://www.who.int/hiv/topics/ treatment/guide_for_adaptation.pdf. diakses pada juli 2020 zibusiso nyati-jokomo, inam chitsike, et.all. (2019). ‘if nurses were in our shoes would they breastfeed their own babies?’ a qualitative inquiry on challenges faced by breastfeeding mothers on the pmtct programme in a rural community in zimbabwe, vol. 19, hal. 91 1 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk student perceptions of skills training program as a mean of preparation for nurse profession program erma wahyu mashfufa1, lilis setyowati2 1,2nursing department, faculty of health science, university of muhammadiyah malang, indonesia article information abstract the nursing profession must be pursued through higher education. practice vehicles, such as hospitals require students to pass a skills test before they can practice. the nursing study program, fikes umm, has implemented a matriculation program for students who will join the nursing profession. this activity has been carried out for a long time and has undergone several method changes to produce more effective outputs. however, there has never been an evaluation of how successful and valuable this program is for students. this type of research is a descriptive study because the researcher only observed student' perceptions skills training programs in preparing to participate in nursing professional education. the population in this study were all students of professional practice nurses wave 20, a total of 50 respondents were taken by total sampling technique. the dundee ready education environment measure (dreem) questionnaire is appropriate for measuring the learning environment. data analysis was carried out descriptively with percentages, tables, mean, and standard deviation. the result has shown that a score the dreem questionnaire 200 value indicates that there is a positive perception of the matriculation learning environment that has been carried out in preparation for entering professional practice, including the expertise of the teacher/facilitator. students' perceptions of the matriculation program for the preparation of professional education are positive. on the other hand, to improve student skills to be more optimal, it is necessary to enhance the skills of facilitators and more supportive facilities and infrastructure. history article: received, 15/10/2021 accepted, 09/12/2021 published, 15/04/2022 keywords: skills training program, nurse profession program © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: university of muhammadiyah malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : erma@umm.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p001-004 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk erma@umm.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p001-004 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2022, page 1-4 introduction health care requires resources in the health sector: health workers (health law no. 36, 2009). efforts to provide health services will be reasonable when the health workers have quality and are professional. one of the health workers required to be professional in carrying out their duties is a nurse (constantia, arneliwati, & utomo, 2017). the nursing profession must be pursued through higher education, namely by attending vocational education (d3 nursing) and the nursing profession program. the nursing professional education curriculum has been set by aipni (indonesian nurses education association). the compiled curriculum focuses more on the student-centered learning process and is oriented to graduates' competencies. the curriculum compiled is a competency-based curriculum, with the hope of producing nurses who know (cognitive), attitudes (psychomotor), and professional skills (aini & mashfufah, 2018). regulations in aipni (association of indonesian nurses professional education institutions) require that students must have attended preclinical practice and passed a skill or skill test (ainec/aipni, 2021). the nursing profession study program (fikes umm) has implemented the nursing profession matriculation program to prepare students to enter the profession. this program has been implemented for a long time. it has undergone several changes in learning methods to improve the quality of students facing practical vehicles. student matriculation activities are taught knowledge and laboratory skills carried out for four weeks. at the end of the activity, a skill test will determine the students' abilities. the nursing study program conducting matriculation activities is that there are also nursing students who are nonalumni, and their graduation year from the nursing undergraduate program is not the same. some have just graduated, but some have graduated one year earlier. so that matriculation activities are needed to equalize perceptions and review their knowledge and skills (mohamed & fashafsheh, 2019). solvik & struksnes (2018) nursing students have different backgrounds. provision of preparation before they practice includes the knowledge and skills needed to improve their abilities when practicing in special health services. on the other hand, providing practice skills to students can improve student skills when caring for patients. in his research, students were divided into small groups consisting of 10-12 students. so far, the implementation of the matriculation program also divides students into small groups (10-12 students), and there is assistance from the lecturer. however, students' perceptions of the effectiveness of this program have never been evaluated. method this type of research is a descriptive study with a cross-sectional design because the research only conducted observations at the end of the nursing profession matriculation activity. the research was conducted at fikes umm in august 2020. the population in this study were all students of professional practice nurses wave 20, and several 52 respondents were taken by total sampling technique. the variable in this study is the perception of student nurses. the instrument used is the dundee ready education environment measure (dreem) questionnaire, an appropriate tool for measuring student perceptions of the learning process, lecturers' perceptions of academic achievement, and perceptions of the learning atmosphere (academic atmosphere) and perceptions of the environment (tejoyuwono, armyanti, & nugraha, 2015). the dreem questionnaire consists of 50 questions containing student perceptions of the learning process-12 numbers (maximum score is 48), perceptions of lecturers-11 numbers (maximum score 44), perceptions of academic achievement-7 numbers (maximum score 28), perceptions of the learning atmosphere (academic atmosphere) -12 numbers (maximum value 48) and perceptions of the social environment-8 numbers (maximum value 32). the assessment was carried out using a linker scale, ranging from agreeing to disagree strongly. a score of 0 was given to disagree strongly, and a score of 4 to agree. according to students ' perceptions, the maximum score for this questionnaire is 200, which indicates an ideal learning environment. the results of the total dreem scores are interpreted as follows: 0-50 (very poor), 51-100 (plentiful of problems), 101-150 (more positive than negative), and 151-200 (excellent) (tejoyuwono et al., 2015). data analysis was done mashfufa, setyowati, student perceptions of skills training program … 3 descriptively with percentages, tables, mean, and standard deviation. in addition, the data will also be displayed in a graph based on each indicator, namely: student perceptions about the learning process, teachers/facilitators, social and social environmental conditions. result the number of respondents involved in this study was 50 students distributed based on male sex as many as 14 people and 36 women. based on the age distribution, most of them were 22 years old. the results of the measurement of the dreem questionnaire that 50 respondents have filled out, the total results obtained are 135.32/200 (0-50 (very poor), 51-100 (plenty of problems), 101-150 (more positive than negative), and 151 the -200 (excellent) value indicates that there is a positive perception of the matriculation learning environment that has been carried out in preparation for entering professional practice, including the expertise of the teacher/facilitator, in this case, the departmental lecturer, perception of self-ability, and a conducive learning environment (vural doğru & zengin aydın, 2020). most of the respondents chose answers in numbers 4 and 3 (strongly agree and agree), which means that the implementation of matriculation learning that has been carried out by the fikes umm nursing professional study program is adequate, only needs to increase the expertise of teachers/facilitators, facilities and infrastructure. the distribution of each parameter will be presented in table 1. table 1: dreem parameter parameters parameters (maximum value) average value interpretation student perceptions of the learning process (48) 35.08 the process is going well and needs to be improved continuously student's perception of the teacher/facilitator (44) 27.54 the teacher/facilitator has the appropriate expertise student perception of achievement (32) 24.36 students actively participate in activities, only a few individuals still need intensive guidance student perceptions of the learning environment (48) 29.44 facilities and infrastructure need to be improved to support activities student perceptions of the social environment (28) 18.9 the campus environment is quite supportive of the learning process total dreem value = 200 135.32 positive value learning source: primary data discussion many factors strongly influence the results of the research that have been obtained. the first is that the matriculation learning process that the study program has carried out continues to improve according to the results of evaluating the success and readiness of students to enter professional programs. the student-centered learning method is still considered the best by the study program so that students are more active in every learning activity that is carried out. the second factor is that the facilitators have been adjusted to their respective expertise. eight experts are involved in the process, namely the essential nursing team, medical-surgical nursing, emergency nursing, maternity nursing, child nursing, psychiatric nursing, management nursing, and community nursing. based on the results of the research, students' perceptions of the facilitators have provided good direction and learning during pbl (problem based learning). pbl is supported by the experience of the facilitators/teachers participating in training to support expertise. in this case, the support for the learning environment, facilities, and infrastructure are adequate. conclusion the perception of professional students about the matriculation program is positive. the implementation of matriculation learning held by the nursing profession program of fikes umm has been adequate. only need to improve the expertise of the facilitator, facilities, and 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2022, page 1-4 infrastructure used when the matriculation program is implemented. suggestion further research is needed using measuring instruments that can directly observe matriculation activities carried out by the nurse's study program. acknowledgment the authors would like to thank to dean of faculty of health science, university of muhammadiyah malang and all the students who participated in this study. reference ainec/aipni. (2021). kurikulum inti pendidikan ners indonesia 2021. aini, n., & mashfufah, e. w. (2018). integrated worksheets sebagai media pembelajaran inovatif untuk meningkatkan kompetensi keperawatan dasar pada mahasiswa profesi ners. jurnal ners dan kebidanan, 263–267. https://doi.org/10.26699/jnk.v5i3.art.p263 constantia, a., arneliwati, & utomo, w. (2017). faktor-faktor internal yang berhubungan dengan motivasi mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan ners di psik universitas riau. jurnal ners indonesia, 8(1), 69–78. mohamed, s. a., & fashafsheh, i. h. (2019). the effect of simulation-based training on nursing students’ communication skill, self-efficacy and clinical competence for nursing practice. open journal of nursing, 09(08), 855–869. https://doi.org/10.4236/ojn.2019.98064 solvik, e., & struksnes, s. (2018). training nursing skills: a quantitative study of nursing students’ experiences before and after clinical practice. nursing research and practice, 2018, 1–9. https://doi.org/10.1155/2018/8984028 tejoyuwono, a. a. t., armyanti, i., & nugraha, r. p. (2015). gambaran evaluasi penilaian mahasiswa program studi pendidikan dokter terhadap lingkungan pembelajarannya. jurnal pendidikan kedokteran indonesia: the indonesian journal of medical education, 4(3), 109. https://doi.org/10.22146/jpki.25279 vural doğru, b., & zengin aydın, l. (2020). the effects of training with simulation on knowledge, skill and anxiety levels of the nursing students in terms of cardiac auscultation: a randomized controlled study. nurse education today, 84(september 2019), 104216. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2019.104216 158 pengetahuan ibu tentang nutrisi pada preschool di tk dharma wanita campurejo kediri (mother knowledge preschool nutrition at tk dharma wanita campurejo kediri) diah asriningrum akbid medika wiyata kediri email: diah.asri.@yahoo.com abstract: preshool is called golden age in child growth.called golden age because there are many importan growth in this periode. mom knowledge about good nutrition for preschool being importan for her to support her child optimal growh. the study purpose was to describe the knowledge of preschool mom about nutrition preshool in campurejo dharma wanita child shool. the study used a descriptive study designe.the study population was all mom thas has 3 6 year of child ages. sample taken by purposive technique with a sample of 20 mom of preschool.the result showed that 50% responden in bad knowledge of preshcool nutrition, 30% was in midle knoledge and 20% responden in good knowledge. to increase off mom preshool nutritio knowledg,ethe goverment can give her same information about preshcool nutrition by formal or non formas class. key ward: preschool, nutrition, mom abstrak: preschool di katakana masa emas dalam pertumbuhan, di sebut golden age , karena banyak hal penting berkembang maksimal pada tahap perkembangan ini. pengetahuan tentang pengaturan dan penyediaan nutrisi yang baik sangat penting di pahami oleh seorang ibu untuk mensupport perkembangan anak.penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengetahuan ibu tentang nutrisi pada preschool di tk dharma wanita campurejo kediri.desain yang di gunakan adalah descriptif. populasi penelitian ini adalah semua ibu preshcool di tk dharma wanita campurejo yang anaknya berusia 3-6 tahun. penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling terhadap 20 responden. penelitian dilakukan pada bulan april tahun 2015. hasil penelitian menunjukkan 50% responden memeiliki pengetahuan kurang tentang nutrisi pada preshcool, 30% memiliki pengetahuan cukup dan 20% responden memiliki pengetahuan baik. untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang nutrisi pada preschool ini diharapkan pengelola tk bekerjasama dengan dinas kesehatan maupun lembaga pendidikan untuk memvasilitasi seminar atau pendidikan kesehatan kepada ibu tentang penyediaan nutrisi pada masa preshool agar anak dapat berkembang optimal pada masa golden age ini. kata kunci: preschool, nutrisi, ibu mailto:diah.asri.@yahoo.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p150-153 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 159 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.158-162 nutrisi berkaitan dengan sifat-sifat makanan yang membangun tubuh yang sehat dan yang meningkatkan kesehatan. anak usia pra sekolah (preeshcool) adalah anak yang berumur 36 tahun.anak usia ini menunjukkan perke,mbangan motorik,verbal dan ketrampilan sosial secara progreshif. pada masa ini anak mulai belajar dan menggali banyak hal(supartini 2004). kelompok usia ini merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat namun kelompok ini merupakan kelompok tersering yang menderita kekurangan gizi (atikah,2010). berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada bulan september 2014 terhadap 3 tk di kota kediri, masih terlihat ibu ibu yang membelikan makanan anaknya di pinggir jalan seperti batagor, cilot dan makanan lain yang mengandung pewarna serta pemanis untuk minumanya, ada pula ibu yang membawakan bekal anaknya dengan menu yang mengandung pengawet dan makanan botol yang juga mengandung pengawet, namun ada juga ibu yang membawakan anaknya bekal untuk makan anaknya di sekolah yang komposisinya cukup baik dan mempunyai nilai gizi, dengan cara masak yang benar. pemberian nutrisi yang tidak benar secara kualitas maupun kuantitas dapat mempengaruhi setatus gizi npada anak, sehingga anak akan menderita kurang gizi.hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) menunjukkan prevalensi gizi kurang tidak mengalami perubahan dari tahun 2007 sampai tahun 2010, yaitu tetap 13,0%. gizi kurang tersebut dipengaruhi berbagai macam keadaan diantaranya yaitu keadaan ekonomi, fisiologi, sosial, politik dan budaya. salah satu penyebab yang secara langsung dapat mempengaruhi kekurangan gizi adalah makanan dan penyakit. faktor-faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pengetahuan, pendidikan dan keterampilan ibu. makin rendah tingkat pengetahuan, pendidikan dan keterampilan ibu makin rendah pola nutrisi yang diberikan, begitu pula sebaliknya sehingga anak menjadi kurang gizi mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia 3-6 tahun. gangguan ini akan menjadi serius bila tidak ditangani secara intensif (masfathin, 2006). upaya menanggulangi masalah gizi kurang pada preeshooladalah ibu memberikan hidangan sehari-hari dengan susunan zat gizi yang seimbang seperti nutrisi yang beraneka ragam makanan yang dapat mencukupi kebutuhan gizi anak usia 3-6 tahun yaitu kebutuhan lengkap akan karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. biasakan anak sarapan atau makan pagi karena sangat penting untuk menunjang aktivitas sehari-hari dan meningkatkan konsentrasi belajar sehingga lebih mudah untuk menerima pelajaran (pitoyo, 2008). berdasarkan latar belakang diatas perlu dilakukan kajian secara ilmiah melalui penelitian: “ pengetahuan ibu tentang pemberian nutrisi pada preeshcool di tk dharma wanita campurejo kediri. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain descriptif, yaitu dengan mendeskripsikan atau menggambarkan fakta fakta secara sistematis dan akurat dari hasil penelitian. populasi penelitian ini adalah semua ibu preshcooldi tk dharma wanita campurejo yang anaknya berusia 3-6 tahun.penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposif sampling terhadap 20 responden yang memenuhi krioteria inklusi, ibu bersedia menjadi responden, dan berada di tk dharma wanita campurejo saat pengisian lembar questioner.variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang nutrisai pada preschool.instrumen yang di gunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar questioner . proses pengumpulan data dilaksanakan bulan april tahun 2015. sebelum penelitian ini di mulai, peneliti memilih anak yang berusia 3-6 tahun, kemudian memilih anak yang ke sekolah diantar oleh ibunya, kemudian ibu di beri penjelasan dan diminta mengisi lembar persetujuan menjadi responden sebelum mengisi questioner. setelah lembar questioner di isi oleh responde, dilakukan analisa data dengan menjumlahkan jawaban dari responden. jawaban yang benar di beri nilai 1 dan yang salah di beri nilai 0..kemudian di prosentase dan disajikan dalam bentuk diagram gambar pada data umum dan dengan tabel distribusi frequensi ada data khusus. hasil penelitian data umum data ini meliputi karakteristik subyek penelitian berdasarkan usia, pendidikan dan pekerjaan. asriningrum, pengetahuan ibu tentang.........160 gambar 1.karakteristik responden berdasarkan usia gambar 2. karakteristik responden berdasarkan pendidikan gambar 3.karakteristik responden berdasarkan pekerjaan data khusus . tabel 1. distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden tentang pemberian nutrisi pada prescool di tk dharma wanita campurejo tahun 2015 no kriteria frekuensi persentase (%) 1 2 3 baik cukup kurang 4 6 10 20 30 50 keterkaitan data umum dengan data khusus tabel 2.tabulasi silang usia dengan pengetahuanresponden tentang pemberian nutrisi padaprescool di tk dharma wanita campurejo tahun 2015 usia pengetahuan total baik cukup kurang ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % <25 th 25-45th >45 th 0 3 1 0% 15% 5% 1 5 0 5% 25% 0% 3 7 0 15% 35% 0% 4 15 1 20% 75% 5% tabel 3 tabulasi silang pendidikan dengan pengetahuan responden tentang pemberian nutrisi pada prescool di tk dharma wanita campurejo tahun 2015 pendidi kan pengetahuan total baik cukup kurang ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % sd smp sma pt 0 0 2 2 0% 0% 10% 10% 0 4 1 1 0% 20% 5% 5% 1 6 2 1 5% 30% 10% 5% 1 10 5 4 5% 50% 25% 20% tabel 4. tabulasi silang pekerjaan dengan pengetahuan tentang pemberian nutrisi pada prescool di tk dharma wanita campurejo tahun 2015 pekerjaan pengetahuan total baik cukup kurang ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ibu rt swasta wiraswasta pns 2 1 0 1 10% 5% 0% 5% 5 1 0 0 25% 5% 0% 0% 7 2 1 0 35% 10% 5% 0% 14 4 1 1 70% 20% 5% 5% pembahasan preschooldi katakana masa emas dalam pertumbuhan, di sebut golden age , karena banyak hal baru dapat berkembang maksimal pada masa ini. pengaturan dan penyediaan nutrisi yang baik sangat penting di pahami oleh seorang ibu untuk mensupport perkembangan anak. berdasarkan tabel 1. hasil penelitian pada 20 responden, didapatkan sebagian besar ibu memiliki pengetahuan kurang tentang nutrisi pada preschool yaitu 10 orang (50%), sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan baik ada 4 orang (20%), dan yang memiliki pengetahuan cukup 6 orang (30%) . ibu yang memiliki pengetahuan kurang tersebut 25% nya berpendidikan sd dan 50% berpendidikan smp. sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan baik separuhnya berpendidikan sma dan separuhnya lagi berpendidikan perguruan 20% (4) 80% (16) 5% (1) < 25 tahun 25 45 tahun > 45 tahun 5% (1) 50% (10)25% (5) 20% (4) sd smp 70% (14) 20% (4) 5% (1) 5% (1) ibu rumah tangga swasta wiraswasta pns 161 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.158-162 tinggi. ini membuktikan bahwa tingginya pendidikan seseorang berhubungan dengan pengetahuan yang dimiliki, dimana semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula pengetahuanya. sesuai dengan pernyataan notoatmojo (2007) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. begitu juga menurut machfoedz (2008) bahwa implikasinya semakin tinggi tingkat pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas, dimana semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan semakin mudah untuk menerima hal-hal yang baru dan mudah menyesuaikan diri dengan hal-hal baru tersebut, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pendidikan rendah punya pengetahuan dan sikap yang lebih baik. sedangkan menurut masfathin (2006) bahwa makin rendah tingkat pengetahuan, pendidikan dan ketrampilan ibu makin rendah pola nutrisi yang diberikan, begitu pula sebaliknya. kurangnya pengetahuan ibu tentang nutrisi pada preschool dapat berdampak anak menjadi rentan terhadap berbagai penyakit, kurang maksimalnya pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, dan intelektual pada emas, sehingga untuk mensukseskan program pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan bangsa yang benar benar cerdas, diperlukan sosialissi terhadap ibu tentang nutrisi pada preschool melalui seminar maupun pendidikan yang difasilitasi oleh pihak pengelola tk secara mandiri maupun bekerjasama dengan dinas kesehatan atau sekolah kesehatan. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar ibu memiliki pengetahuan kurang tentang nutrisi pada preschool yaitu 10 orang (50%), sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan baik ada 4 orang (20%), dan yang memiliki pengetahuan cukup 6 orang (30%). saran diperlukan sosialissi terhadap ibu tentang nutrisi pada preschool melalui seminar maupun pendidikan yang difasilitasi oleh pihak pengelola tk secara mandiri maupun bekerjasama dengan dinas kesehatan atau sekolah kesehatan. di harapkan ibu mengakses ilmu pengetahuan tentang nutrisi pada anaknya melalui media cetak, media elektronik maupun internet agar benar benar dapat mensupport pertumbuhan dan perkembangan anak melalui nutrisi yang di sediakanya. diharapkan pihak sekolah melakukan deteksi tumbuh kembang secara berkala terhadap anak didiknya untuk memantau tumbuh kembang anak dan melakukan stimulasi yang tepat selain mengoptimalkan penyediaan nutrisi guna tumbuh kembang yang sempurna pada masa golden age. daftar rujukan arikunto. s. 2006. prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. jakarta: rineka cipta. adalila. s. 2010. pentingnya pendidikan anak usia dini. http : // sadidadalila. wordpress. com. ( diakses pada 2 januari 2014). almatsier. s. 2009. prinsip dasar ilmu gizi. jakarta: gramedia pustaka utama. aspi. j. 2010. pendidikan anak usia dini di indonesia dan target capaian paud. http: // www. tunasbangsakutk /. (diakses 9 mei 2011). departemen kesehatan republik indonesia. 2005. standar pemantauan pertumbuhan balita. direktorat jenderal bina kesehatan masyarakat, direktorat gizi masyarakat. effendy. 2004. dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. jakarta. egc. hasan. m. 2009. pendidikan anak usia dini (paud). diva press. yogyakarta. hidayat, azis alimul. 2012. metode penelitian kebidanan teknik analisisdata. jakarta: salemba medika. ircham machfoedz ms. 2008. metodologi penelitian. fitramaya.yogyakarta. lian, c.w., et. al. (2007). a qualitative study on malnutrition in children from the perspectives of health workers in tumpat, kelantan. mal j nutr 13 (1) : 19-28, 2007. masfathin. (2006). kisah sedih negara yang seharusnya kucinta. (online) (http://www.masfathin.multiply.com, diakses 25 juni 2008). http://www.masfathin.multiply.com/ asriningrum, pengetahuan ibu tentang.........162 notoadmodjo, s. 2007. konsep perilaku dan perilaku kesehatan. dalam: promosi kesehatan dan ilmu perilaku. rineka cipta, jakarta: 133-151. notoatmodjo, soekidjo. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan . jakarta: salemba medika. notoatmodjo, soekidjo. 2005. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. pitoyo.(2008).tips praktis mengatasi anak susah makan. (http://www.pitoyo.com, diakses 25 januari 2008). proverawati, atikah. 2010. gizi untuk kebidanan. yogyakarta : nuha medika. poerwodarminto. 2003. kamus bahasa indonesia. jakarta: balai pustaka. (riskesdas) riset kesehatan dasar. 2010. laporan nasional riset kesehatan dasar. jakarta. badan penelitian dan pengembangan kesehatan departemen kesehatan republik indonesia. soekirman. (2008). gizi buruk, kemiskinan, dan kkn. diperoleh dari www.pdrc.co.id. (diambil tanggal 16 februari 2009). soekanto, 2002.sosial budaya dasar. jakarta: gravindo persaja. sulistyoningsih. 2011. gizi untuk kesehatan ibu dan anak. jogjakarta. graha ilmu. http: // dr. suparyanto. blogspot. com / 2012/ 02/ konsepdasarmenuseimbang.html. (diakses 20 februari 2012). sudiarti. (2007). departemen gizi dan kesehatan masyarakat fkm ui. siswono. (2006). program untuk balita kurang gizi. diperoleh dari www. republika. co. id. (diakses 23 februari 2009). sugiyono. 2004. metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r&d. bandung : alfabeta : 87. tiran, denise. 2005. kamus saku bidan. edisi 10. jakarta: egc. http://www.pitoyo.com/ e:\2021\ners april 2021\17-jurn 113fadhillah, widyawati, nilasari, the role of health workers in ... the role of health workers in realizing community independence to prevent non-communicable diseases in campurejo community health center, kediri city jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/02/2021 accepted, 30/03/2021 published, 05/04/2021 keywords: health workers, community, noncommunicable diseases (ptm) article information abstract this study aimed to determine the understanding of health care towards social phenomena related to the dominance of non-communicable diseases which were increased in the community and to identify what efforts were made by health workers in preventing non-communicable diseases. the longterm goal of this study was to control the risk factors for ptm in indonesia, especially in campurejo health center, mojoroto district, kediri city. this study used a qualitative method with 72 populations and 10 samples. the data was collected through purposive sampling and in-depth interviews. the study informants were health workers from kediri city health office, health workers at the campurejo health center, community leaders and health cadres. the data analysis used interactive qualitative methods (milles and hebberman) and the instrument was recorder. the results of the study showed the concept of objectivation in opposing the flow of public understanding of ptm could be seen from the results of the socialization conducted by health workers. this new fact could be seen from one of the efforts of health workers in disseminating ptm in society. other forms of socialization that were still general in nature could be seen in a variety of activity formats, for example: early detection, health promotion, counseling, mobile posbindu, and door to door systems. the five micro activities were derived from the grand design of socialization in the perspective of social construction theory as a form of externalization by health workers. 113 correspondence address: akademi kebidanan medika wiyata kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: isfadhillah@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p113–120 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) is fadhillah1, evita widyawati2, nurita nilasari3 1,2,3midwifery department, akademi kebidanan medika wiyata kediri, indonesia © 2021 journal of ners and midwifery https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p113-120 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p113-120&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 114 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 113–120 introduction at this time health workers have a big task in their role towards the prevention of uns transmitting diseases (ptm). infectious diseases (ptm) are one of the leading causes of death in the world. deaths from ptm in 2015 amounted to 17 million people at the age <70 years old. 82% of those deaths were in developing countries. the four main types of ptm causes of death are cardiovascular disease, cancer, chronic respiratory disease, and diabetes mellitus. cardiovascular disease was the leading cause of death from ptm in 2015 at 17.7 million people. deaths from major ptm in addition to cardiovascular disease in 2015 were cancers of 8.8 million people, chronic respiratory diseases of 3 million people, and diabetes mellitus of 1.6 million people (who, 2017). the majority of ptm occurs in lowand middle-income countries. based on who data, ptm was the cause of 68% of deaths in the world in 2012. predicted, ptm will continue to increase (cahya, 2018). ptm risk factors are related to unhealthy behaviors such as smoking, lack of physical activity, diet lack of fruit and vegetables so ptm control and prevention efforts need to change behavior. (ministry of health, 2012). such an unhealthy lifestyle can lead to physiological changes in the body such as high blood pressure, high blood sugar, and high blood fats that have the potential to cause ptm. some community inter ventions conducted through community empowerment in some middle-and lowincome countries show promising results in terms of sustainability or sustainability. mccloskey dj, 2017. health promotion strategies with community empowerment require high participation of the goal so as to have a significant impact on behavior change. this strategy has been applied to hiv primary prevention programs. in indonesia, several agencies have experienced implementing community empowerment in immunization programs, toddler posyandu, elderly posyandu and diarrhea control (dewi, 2013). however, community empowerment is limited to controlling infectious diseases. meanwhile, this study develops the role of health workers in realizing community independence for the prevention of noncommunicable diseases to control the risk factors for ptm in indonesia, especially in the campurejo health center area. where this study aims to understand the social phenomena related to the dominance of non-communicable diseases that occur in the community and to identify what efforts are made by health workers in efforts to prevent non-communicable diseases in the campurejo mojoroto health center, kediri city. materials and methods the method of the study used interactive qualitative methods which aimed to describe and understand a social phenomenon in the community regarding the understanding of health workers towards the dominance of non-communicable diseases which was increasing in the community and to identify what efforts were being made to prevent non-communica ble diseases in the campurejo district health center mojoroto kediri city, in improving public health status. subjects / informants in this study were kediri city health workers, which included health technicians involved in the prevention of non-communicable diseases, kedir i city hea lth office hea lth wor ker s, campurejo regional health center, community and campurejo village health workforce cadres where all informants met inclusion and exclusion criteria, and willingness to become informants by filling out the informed consent form. the sampling technique used in this study wa s pur posive sa mpling technique. the inclusion criteria for this study informant was they are health workers from the kediri city health office, health workers at the campurejo health center, community leaders and health cadres study location and study time in the campurejo community health center, mojoroto district, kediri city and the implementation time starts in july 2020. the data was collected using a semi-structured open ended question interview type thr ough informants who had met the requirements and reached data saturation which was then stored in a voice recorder. the data analysis technique used intera ctive qua lita tive a na lysis (milles a nd haberman). the analysis process was carried out during the study process. in this technique, there were three main components of analysis, namely data reduction, data presentation and drawing conclusions, all of which were focused on study objectives (moleong, 2014). study result hea lth workers’ understa nding of social phenomena dominates non-communicable diseases which are increasing in the community. 115fadhillah, widyawati, nilasari, the role of health workers in ... social reality of non-communicable diseases among the social community, this noncommunicable disease (ptm) has become a historical fact whose existence has become an integral part in their midst. the reason is quite simple, because in general ptm has been known together and has become an everyday fact. with the usual presence of this disease, ptm seems to be a reality that does not need to be worried about its existence. so that the logical consequence, ptm seems to be ignored and considered as the flow of daily life. indeed, they definitively understand that ptm is a disease that is not caused by certain viruses or bacteria and will not spread to others. however, in their opinion and view ptm is solely the result of inappropriate behavior and lifestyle in daily activities (sn: 2020, august 06). beca use it is not automatically contagious, this disease only touches personally and does not relate to the people around you. so that in conclusion, they think that this disease is mediocre. departing from this perception, then this one disease seems to be an everyday reality and is considered a part that does not need more attention. but on the other hand, they know that these types of disea se a r e a mong them. for exa mple, hypertension, diabetes, high blood pressure, heart disease, obesity, cholesterol, stroke, and gout. these diseases are not contagious and cannot be transmitted to others. but in fact, they are as acute as any other infectious disease and even more virulent than infectious diseases. even in a long enough time, the disease will slowly eat away at the sufferer. therefore, they are actually aware of the existence of ptm in their midst, but the problem is realizing it as an important part to pay attention to together such as other infectious and acute diseases. as a result of the lack of serious attention from the community at large, the impact of this ptm finally “attacked” and infected almost all levels of society, especially those of productive age. as a result of the non-spread of these types of diseases, the community then ma kes them a common precaution. the point is they consider ptm as a form of disease that is not chronic, but on the other hand they are reluctant to find out as early as possible. then the next fact, genetic or hereditary fa ctor s become one of the ma in ca uses in determining where the disease is in the eyes of society. generically, it cannot be denied that ptm is heavily influenced by the genetics of the family environment which is part of the “regeneration” of the disease’s continuation. even though in another history, ptm is actually also recognized as a bad impact of improper lifestyle and so on (an: 2020, august 07). non-communicable diseases and educational relation t her e a r e ma ny fa ctor s tha t ca use the emergence of ptm in the community, one of the most dominant is a lifestyle that is away from health values. broadly speaking, the concept of this lifestyle actually represents all the causes of ptm itself. however, it would not be afdal if the derivation ther eof wa s not mentioned in the following narratives. lack of exercise is the main cause of the emergence of ptm in the social environment. as the key to building a healthy environment, exercise is very important in an effort to minimize everything related to ptm in the community (an: 2020, august 07). one more thing that is no less interesting for the development and gr owth of ptm in the community is weak and uncontrollable stress control. the existence of stress in the social environment of modern society seems to be an everyday sight. of course all of this is not without a reason from where it comes, but stress is a negative effect of the development of the current world system network, which all seem to require us to become fast-paced and instant actors (cn: 2020, august 03). in the area of this exception, the level of education has absolutely an effect on the spread of ptm in the community. what is very important actually lies in the meaning of education obtained from health workers coupled with the dangers that haunt them (cn: 2020, august 03). on this basis, then forming a community frame of mind in jointly preventing ptm in the midst of society. the role and response of health workers to non-communicable diseases as a fact that has spread widely among the community, of course this also forms a separate frame of mind for health workers. because after all, the educational background of health workers compared to the general public is certainly very 116 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 113–120 different. so, it is not impossible if the understanding of health workers towards ptm is more credible and trusted than the wider community. with this background, it is quite reasonable if the presence of health workers in responding to all this has a completely different point of view from what the surrounding community other than them think. in the view of health workers, ptm has very dangerous criteria in people’s lives. therefore, it is quite logical for health workers to respond to this disease based on their medical programs by conducting socialization, which in this case takes the form of: a. early detection and regular health checks in the realm of early detection, this is mostly done formally by health workers in the community. for example, this activity is carried out with the elder ly posya ndu by br inging together the community at certain places and events as a medium for conducting free or paid examinations. although on several occasions this program was not very effective because it was not uncommon for these activities to clash with community activities as workers outside their respective homes. so it is important for health workers to reschedule and consider adjustments between activities that have been designed with community activities (an: 2020, august 07). b. mobile posbindu not so far from the activity program above, this activity also moves in anticipating or minimizing the ptm that is so widespread in the community. it’s just that what distinguishes it from the others lies in the mobilization of activities that do not stop in one place and one focus. so that thus; this activity is expected to touch all elements of society, especially within the rt and rw. this effort has become systematic because the steps taken are narrower in scope and reach the lowest level. this posbindu mobile activity was carried out as a more focused step to target all elements of society that so far have not been touched. moreover, clearly this mobile activity moves from one place to another in different environments. in addition to the community, posbindu activities are also carried out on campuses (universities) in the city of kediri. so that the detection and results of the data obtained will be far more accurate than relying solely on formal meetings in the form of ordinary socialization. c. extension the counseling referred to at this point lies in the socialization process that involves many parties in an effort to attract the wider community who are under the health control of the campurejo health center. the extension process carried out by health workers in mobilizing and building independence in the prevention of ptm is to involve the role of influential community leaders in the environment where the target of this activity is carried out. sociologically, the involvement of the role of figures has an important and influential meaning in the social environment of the community as an acceleration step in the dissemination of information to the social community related to ptm. the second approach that is also of concern to health workers in efforts to accelerate the prevention of ptm in the social environment, namely; their involvement in arisan groups as a medium for community association. this method also becomes effective and efficient because health workers do not need to mobilize one by one the social strata of the target community. so by entering this arisan association it makes it easier for health workers to convey messages and values about how to live healthy and in accordance with health procedures. d. health promotion in contrast to the concept of implementation of socialization in extension above, health promotion moves formally in a formal environment. in accordance with the target target, this health promotion is carried out by health workers in a round-the-clock way to those in certain institutions. at school, for example, health workers come to visit students to provide insight about the prevention of ptm, either due to behavior patterns in the school environment or later when they ar e at their respective homes. promotion in this school is carried out because based on the timing and opportunity, they (students) are not many in a free environment like society in general. so it is proper what these health workers do so that information and health values are really spread and known massively by all levels of society, especially those who are still in their early productive age such as the students themselves. the rationa 117fadhillah, widyawati, nilasari, the role of health workers in ... lization is easy enough why students are one of the main targets in an effort to minimize ptm in the social environment. because the future of the nation and society rests on their shoulders, especially with regard to health problems. e . door to door system in the view of the author or studyer, this last step is what best meets the standard needs of the community and health workers in minimizing ptm so that it does not drag on. the reason is, with the format and activities of the door to door system, it will be more effective in responding to all things related to this one disease. of course, with the power to meet each community one by one in a particular envir onment, da ta collection r ega r ding the development of fluctuations will be more controlled than in the previous program. with this step, health wor ker s will a ctua lly ha ve a much better understanding of the real conditions in the field related to ptm, which has been a concern of their duties. the concept of action and practicality from several of the programs and activities above, health workers also have a pretty slick jargon in an effort to influence the style of the community so that they want to jointly build and get used to a healthy lifestyle a nd in a ccor da nce with common expectations, the jargon in question is cerdik cn: 2020, august 03): first, the initial letter of the word smart is “c” which is conceptualized as a periodic health check. second, the letter “e” which means to get rid of cigarette smoke.third, the affiliation of the letter “r” which is an acronym for diligent exercise. fourth, in order on the letter “d” which means a balanced diet. correlated with number three above at this point, dieting can also be done through exercise. the basic essence of the diet itself actually lies in the regularity of the diet and the nutritional content of the food while still paying attention to the quality (not the quantity) of the portions of food we eat. fifth, namely the letter “i” which is described with adequate rest.sixth, as the last letter “k” which is interpreted as controlling stress. new social reality post health promotion on various occasions, the observation of health workers on post-socialization developments can be found sever a l conclusions tha t indica te the symmetrical condition as a result of their work during socializing with the target community. at least the minimal picture they found was in the form of enthusiasm among the people compared to the previous condition which was very difficult to describe concretely (trista: 2020, august 04). at least this is a basic illustration of the level of public awareness in protecting themselves from noncommunicable diseases in the social environment. it is undeniable that such facts in health promotion provide a very promising advantage in efforts to develop a healthy life in the social environment. although in some ways, the efforts and roles carried out by health workers are not always in accordance with expectations. evidence from all of this, for example, will later be discussed separately regarding the coverage of health figures pr ocla imed by hea lth wor ker s tha t a r e not proportional to the facts in the field. but at least with increasing public awareness in an effort to develop themselves in the realm of health, it becomes authentic evidence that the value of health and maintaining oneself to be always healthy is a separate form that needs high appreciation from health workers. for this reason, it is not easy for anyone to change the mindset of society with the blink of an eye without going through massive and systematic efforts. moreover, all of this requires a strong commitment from all elements. expectations and constraints in health promotion in the world of numbers, it is one measure in monitor ing the cover a ge aspect of pr ogra m implementation. likewise, in seeing the role of health workers in creating a healthy society and free from ptm. to measure these, a standard barometer is needed in the analysis of the program which is compared with the results and their relevance in the field. thus, expectations and realities can meet within an evaluation framework of the implementation of the program itself. the initial plan before being executed will be a reference in program implementation, and the final results of a program will be used as feedback in assessing the extent to which the program is running and how effective it is. so in this case the findings of health workers in all programs related to the 118 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 113–120 minimization of ptm were answered only in numbers 30-50 percent. in a sense, the initial program planned and the data in the field are still fifty-fifty. in simpler language, the program plans that are scheduled still touch 50 percent of the community in preventing ptm, because it is still around 50 percent of the initial 100 percent target, it is of course necessary to look at the obstacles and obsta cles that are weak tr igger s for the implementation of the program itself. thus, an internal analysis was found that one of the causes lies in the lack of health facilities to reach all levels of society. at least in this obstacle, all health check facilities are made free (for ptm) so that it can attract the opportunity of the community to be able to have themselves checked out. lack of adequate facilities has turned out to be one of the unexpected obstacles as a form that can reduce the scope of achievements that have been previously targeted (ls: 2020, august 07), and (sn: 2020, august 06). meanwhile, another obstacle that is no less interesting is the coverage that is too broad so that it cannot be reached maximally within 100 percent. therefore, the too broad coverage of the community is also a separate obstacle for the implementation of health promotion among the public (an: 2020, august 07). as an important note, this coverage is also heavily influenced by the pandemic conditions that have hit almost all people in the world, including indonesia. thus, this unsupportive condition eventually becomes a problem in itself for health workers in an effort to socialize the program among the community. the pandemic variable also turned out to be an unexpected obstacle that greatly affected the coverage of program achievements of health workers. campurejo community critical notes findings in the field from some circles reveal that the role played by health workers in efforts to minimize ptm in the community is still focused on the cadres who are under their guidance, and this has not touched much at the community level at the rt level. t his note is impor ta nt to use a s comparative data on what has been claimed by health workers so far who claim to have done everything down to the rt and rw levels and even door to door in every community house, even though all these things ha ve never been felt by the community (ma : 2020, august 14). however, the implicit message from the findings of the community indicates that the role of health workers needs to be maximized or re-optimized according to the scope of future expectations with a target of 100 percent ptm free society. indeed, in one of his admissions, the role of health workers during this pandemic, many of these activities were canceled because they were simply adjusting to the conditions of covid-19, which almost destroyed community programs. therefore, all input and considerations both internally and externally need to be neatly accumulated as material for self-evaluation for future action development. discussion in this sub-chapter of this discussion, the studyer returns to discussing in more detail most of the data presentation previously described. from presenting the existing data, the studyer then provides a theoretical perspective as a reference for reading the data that the studyer has obtained. in this discussion, the theoretical perspective used by the studyer is the social construction theory of peter l. berger and thomas luckmann. the description in this theory clearly shows that the micro or micro scope contained in the social environment of society will never be separated from the three basic concepts that exist in social construction theory, namely; exter na liza tion, interna lization and objectivation (berger, 1994). facts in the field show that the social reality of non-communicable diseases (ptm) is as common as other diseases in general. it’s just that what distinguishes it from other diseases is the perception of the community in constructing ptm in their midst. of course, it becomes clear that ptm construction among the community will receive different treatment with other types of diseases. the reason is simple, what has become a collective agreement in the social environment of society will continue to be symmetrical with values together that it is believed to exist. meanwhile, ptm which is deeply rooted in people’s way of thinking will be difficult to change in a relatively short time. however, it does not rule out that the objectivation of a shared social existence in the community cannot go straight without continuous improvement by the next generation. maybe now the social construction of ptm in the community is so entrenched that its existence cannot be replaced. but as a human being who always has the initiative, he must carry a counter 119fadhillah, widyawati, nilasari, the role of health workers in ... value that can undermine old facts by turning them into new facts which can be completely different. this new fact can be seen from one of the health workers’ efforts to disseminate information about ptm among the community. other forms of socialization that are still general in nature can be seen in a variety of activity formats, for example: early detection, health promotion, counseling, mobile posbindu, and door to door systems. these five micro activities are derived from the grand design of socia liza tion in the per spective of social construction theory as a form of externalization by health workers. the wrong sediment regarding ptm as an ordinary disease and does not need to be minimized in the community must be countered with the new doctrine regarding ptm as a disease that must get attention and treatment by the sufferer himself. the concept of objectivation in opposing the flow of public understanding of ptm can be seen from the results of the socialization conducted by health workers. with a different statement, the results that have an impact on changing people’s behavior about ptm are at least a new form of mutual objectivation among the community about the new meaning of ptm from the results of socialization. in the analysis of social constructions, what hea lth wor ker s get in this context does not necessarily indicate changes in the present. but this long historical cycle requires the rays of a new chapter for generation. although it does not rule out what people have felt today can also be practiced at this very moment. with the aim, it does not require regeneration in the future. a further step that needs to focus on the target for the success of the role of health workers in preventing ptm is to continue to understand the new potential in the social environment as a reference for developing strategies for health workers in the future. it is highly unlikely that one strategy step will be able to answer all challenges at different times. however, it is best how different strategies are used in different situations for the purpose of finding new successes. for this reason, the next task is to continue to innovate in various systems of activities that are planned in the future. for example, is the current cerdik jargon, is it still possible to have relevance for the socialization strategy as a way of changing people’s minds for the next year, two years and three years? of course the answer cannot be explained at this time, but the continuous evaluation of all the programs that have been implemented so far needs to get an in-depth assessment of their affective and efficacy in influencing the community. seeing the fact that the role of health workers in preventing ptm in the community, especially in the campurejo community health center area, can be interpreted from the initial framework of the social reality of ptm in the community continuing to the response of health workers to ptm, then the causes of ptm and then how the role of health workers regarding this one disease and reality only after the role of health workers is evidence of a symmetrical or “minimalist” fit between the program scheduled and the hope of the effectiveness of the program. conclusions based on the study data entitled the role of hea lth wor ker s in rea lizing community independence to prevent non-communicable diseases in the campurejo health center area, kediri city, it can be concluded that incorrect sediment regarding ptm as a disease that is mediocre and does not need to be minimized among the community must be countered with the new doctrine regarding ptm as a disease that must get attention and treatment by the sufferer himself. the concept of objectivation in opposing the flow of public understanding of ptm can be seen from the results of the socialization conducted by health workers. with a different statement, the results that have an impact on changing people’s behavior about ptm are at least a new form of mutual objectivation among the community about the new meaning of ptm from the results of socialization. this new fact can be seen from one of the health workers’ efforts to disseminate information about ptm among the community. other forms of socialization that are still general in nature can be seen in a variety of activity formats, for example: early detection, health promotion, counseling, mobile posbindu, and door to door systems. the five micro activities are derived from the grand design of socialization in the perspective of social construction theory as a form of externalization by health workers. 120 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 113–120 suggestion for respondents/ the community, the results of this study should be used as additional insights and knowledge of community about the importance of realizing community independence to prevent non-communicable diseases. references berger, peter l. (1994). langitsuci; agama sebagai realitas sosial. lp3es. jakarta. ————, peter l & luckmann, thomas. (2013). tafsir sosial atas kenyataan; risalah tentang sosiologi pengetahuan. lp3es. jakarta. cahya adhania, cindy dkk. (2018) prevelensi penyakit tidak menular pada fasilitas kesehatan tingkat pertama di kota bandung tahun2013-2015 .jsk volume 3 nomor 4 universitaspadjajaran bandung. dewi fst, stenlund h, marlinawati vu, oh-man a, weinehall l.(2013). a community interven-tion for behaviour modification: an experi-ence to control cardiovascular diseases in yogyakarta, indonesia. bmc public health.;13(1):1043. kementerian kesehatan republik indonesia. data dan informasi kesehatan penyakit tidak menular. (2012). jakarta: kementerian kesehatan ri; 2012:48. mccloskey dj, mcdonald ma, cook j, ro-berts sh, updegrove s, sampson d, et al. eva-luation of comm un it y-ba sed in ter ven t i on s for non communicable diseases: experiencesn from india and indonesia. pubmed ncbi. (cite 2017mar 29). availablefrom:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/21071458(3). diakses 27 maret 2019 remais j, zeng g, li g, tian l, engelgau m. convergence of non-communicable and infectious diseases in lowand middle-income countries. international journal of epidemiology. 2012;42(1):221-227.(2) 168 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the effect of health education on independent nutrition management of dm patients in tamangapa puskesmas, tamangapa kelurahan, manggala district amriati mutmainna1, indra dewi2 1,2nursing study program, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia article information abstract diabetes mellitus is a metabolic disease that can result in pancreatic beta cells not being able to produce insulin effectively, resulting in a buildup of blood glucose levels. one of the control efforts is health education which aims to increase the knowledge of dm patients about independent nutrition management of dm patients. this study aimed to provide information about the effect of health education on independent nutritional management of dm patients at the tamangapa public health center, tamangapa village, manggala district, makassar city. the method of the study used a quasi-experimental approach with a pre-post test design approach. the population was all patients suffering from diabetes mellitus and the sample was 51 people with total sampling technique. the results of the study showed that there was an effect of health education on independent nutritional management of dm patients at the tamangapa health center, tamangapa village, manggala district, makassar city. when comparing the results of the pre-test with the post-test, there was a considerable change in dm nutrition management knowledge that suggests a large range. therefore, in order to carry out efficient health education, those who suffer from dm cannot be treated in a way that is curative. in order to solve the problems that are causing dm, there has to be an allencompassing strategy. history article: received, 08/04/2021 accepted, 10/08/2022 published, 15/08/2022 keywords: diabetes mellitus, independent nutrition management, health education © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes nani hasanuddin makassar – south sulawesi, indonesia p-issn : 2355-052x email: iin-indradewi@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p168-177 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:iin-indradewi@yahoo.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p168-176 mutmainna, dewi, the effect of health education on independent nutrition management of … 169 introduction diabetes mellitus is a metabolic disease that can result in pancreatic beta cells not being able to produce insulin effectively, resulting in a buildup of blood glucose levels(lamhatul uyun, nungki marlian yuliadarwati, 2019)diabetes mellitus is a metabolic disease that is triggered by the interaction of various factors: genetics, immunology, environment and lifestyle. diabetes mellitus is also a metabolic disease characterized by hyperglycemia that occurs due to defects in insulin secretion, insulin action, or both(sry et al., 2020). diabetes mellitus is a serious problem worldwide because it tends to increase in the future(harsari et al., 2018). diabetes mellitus is a disease that is not contagious but needs to be watched out for because it is a world health problem.(wijaya & putri, 2013). prediabetes is a condition where glucose levels are higher than normal, but do not meet the criteria for diabetes. this condition is very critical, if someone does not make lifestyle modifications and pharmacological therapy, they can get diabetes(soewondo & pramono, 2011). most diabetes melitus type-2 (dmt2) patients have more nutritional status (especially obesity). dmt2 patients with nutritional status are more likely to have higher blood glucose levels than patients with normal nutritional status. t2dm requires good blood glucose control to prevent complications of diabetes melitus (dm). in addition to diet and drug use, nutritional status can affect blood glucose(harsari et al., 2018).according to (poolsup et al., 2017) one of the therapies for dm patients by consuming red dragon fruitproven to be very influential on prediabetes will be in the prevention of diabetes. where the effect on t2dm is not significant but there is a tendency for a greater decrease in blood glucose with higher doses. due to the limited available data and poor quality of clinical evidence, larger, adequately powered, and well-controlled clinical trials are needed to further evaluate the clinical benefits of dragon fruit in these patients. several studies have shown that diet plays a role in the prevention of cardiovascular disease in addition to that diet can protect against diabetes, high fiber intake, high intake of vegetable fats, low intake of trans fatty acids, and moderate alcohol intake, adherence to a rich diet. monounsaturated fatty acids improve lipid profile and glycemic control in diabetics, suggesting that high intakes improve insulin sensitivity.(martínez-gonzález et al., 2008)in addition, several diets are carried out such as intermittent fasting (if)because some people find this diet easier to follow than the traditional calorie restriction (cr) approach. if involves limiting energy intake to 1–3 days/week, and eating freely on days without restriction. alternate day fasting (adf) is a subclass of if, consisting of ''fasting'' (75% energy restriction) alternating ''feeding days''.(barnosky et al., 2014) the study conducted by vegt et al (2001) found that the pre-progression of diabetes to diabetes was 6-10% per year. for patients carrying igt and ifg, the cumulative incidence over a 6year period was 65%, compared with people with normal blood glucose levels. according to the guidelines issued by the european society for cardiology (esc) and the european association for the study of diabetes (easd) 8 2007, prediabetes is associated with several conditions, namely: old age, obesity, central obesity, lack of physical activity, lack of fruit consumption. and vegetables, family history and hypertension. according to the pre-diabetes consensus issued by the american college of endocrinology (ace) med indonesia and the american association of clinical endocrinology (aace) 2 in 2008, risk factors for diabetes and pre-diabetes are: family history, coronary heart disease, overweight and obesity, unhealthy lifestyle and hypertension. every individual who carries pre-diabetes (igt or dppt), is at higher risk of developing diabetes.(soewondo & pramono, 2011) a good diet must be understood by people with diabetes mellitus in setting their daily diet. this pattern includes setting a schedule for people with diabetes millitus which is usually 6 meals per day which is divided into 3 large meals and 3 snacks. a good diet should still be carried out by patients with diabetes mellitus, this is useful for controlling the patient's health, but controlling diet is not a factor that greatly affects the increase in blood sugar, based on this study diet has no effect on blood sugar levels because it was found that there were still patients those with good eating patterns still experienced an increase in sugar levels and those with bad diets did not experience an increase in sugar levels. it can happen where the patient has had a good diet but lacks exercise. aging process, pregnancy, smoking and stress. people with diabetes usually tend to have uncontrolled blood sugar levels. blood sugar levels will increase drastically after consuming foods that contain lots of carbohydrates and/or sugar. therefore, dm sufferers need to maintain dietary regulation in 170 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 168-177 order to control blood sugar levels so that their blood sugar levels remain under control.(sry et al., 2020) international diabetes federation 2015 stated that the estimated number of people with diabetes in indonesia was estimated at 10 million. diabetes mellitus is one of the biggest causes of death in the world and in indonesia. the 2014 sample registration survey data shows that diabetes is the third largest cause of death in indonesia with a percentage of 6.7%, after stroke (21.1%) and coronary heart disease (12.9%).(erni setiyorini, 2017). based on data from riskesdas (2013) the prevalence of diabetes mellitus at the age of 55-64 years is 4.8% and at the age of 65-74 years is 4.2%. this percentage shows that the largest percentage of diabetes mellitus in indonesia is in the elderly.(health research and development agency, 2013)the results of a survey of several urban diseases in jakarta in 2006 showed the prevalence of pre-diabetes was 24.91% consisting of glucose tolerance disorders of 17.90% in urban residents in indonesia of 10.2%. this figure exceeds the total diabetes prevalence of 5.7%. and fasting glucose disorders 7.01%. the three provinces with the highest prevalence of git in indonesia are west papua, west sulawesi and sulawesi, each province receiving a percentage of 21.8%, 17.6% and 7.3%.(soewondo & pramono, 2011)based on non-communicable disease surveillance data in the p2pl field of the south sulawesi provincial health office in 2014, there were 27,470 new diabetes mellitus cases, 66,780 old cases with 747 deaths.makassar city with a population in 2013 of 1,408,072 people, in 2014 increased to 1,429,242 people and statistical data continued to increase in 2015 to 1,449,401 people.(makassar city health office, 2017) diabetes mellitus is also known as a "lifelong disease" because this disease cannot be cured during the patient's lifetime so that people with diabetes have the risk of complications that can increase the risk of death. with a good level of understanding about diabetes mellitus and its complications, it can reduce the incidence of diabetic foot injuries in people with diabetes mellitus. so it is necessary to be provided with education about the prevention and treatment of diabetes mellitus, including the introduction of symptoms of diabetes mellitus, examinations that must be carried out regularly, how to properly care for the feet, regular glycemic control, a balanced diet and doing diabetes exercises. education about the dangers of complications of diabetes mellitus in the form of canker sores on the feet, foot ulcers,(savira & widjaja, 2020)the need forregular and obedient treatment so as to minimize the occurrence of complications that can cause damage to various organs of the body. patient compliance is a behavior carried out by people with type ii diabetes mellitus to carry out their obligations to take medication on time and according to the dose(isnaini & ratnasari, 2018). as a precautionary measure and management can be done in various ways. in people with type i diabetes mellitus, diet and exercise cannot cure or prevent. therefore, it must be treated with insulin, with careful monitoring of blood sugar levels. whereas in type ii diabetes mellitus, diet and physical exercise play a major role in the treatment of type ii diabetes mellitus (smeltzer and bare, 2008). setting a diet like this seems easy, but if it is implemented, it turns out that many people with diabetes mellitus fail. in view of this, officers need to provide technical guidance to patients regarding eating patterns with the right amount, schedule and type with various sample menus along with the size of the number of calories. based on the observations of previous researchers at the tamangapa public health center, tamangapa village, manggala district, makassar city, the researchers found clients with diabetes mellitus patient conditions and during their treatment but were not able to carry out independent nutritional management. reason (1995) previously argued that an individual's lack of information about a health condition is a contributing factor to their failure to address the issue. the same seems to be true in the researched region. in addition, witte et al. (2019) advocate individual behavioral change for this type of health management. this proposal emphasizes the need for a comprehensive instructional strategy to assist patients in managing their daily ingestion. furthermore, isnaini (2018) places a strong emphasis on the need of self-management for those who have diabetes. this requires adopting preventive behaviors in both one's lifestyle and treatment in order to avoid the complications associated with diabetes in the long term. as a result, it is vital to explore the education for individuals on the influence that health education may have on the independent nutritional management of the area that is now the subject of the research. mutmainna, dewi, the effect of health education on independent nutrition management of … 171 method in this study, the researcher used a quasy experiment research design with a pre-post test design approach. the population in this study were all patients with diabetes mellitus (dm) at the tamangapa health center, tamangapa village, manggala district, makassar city 51 patients. based on the population, total sampling was carried out, so the sample was 51. in other words, data were collected from diabetic patients. furthermore, this study includes the total population of treated diabetes patients. in addition, the data collection period for this study was for a duration of two months from march 11 – august 11, 2019. and then, participants diagnosed with type 1 or type 2 diabetes mellitus were included in the study. the primary data in this study were profiles of participants in terms of age, gender, education, occupation, duration of diabetes mellitus, gds test results, nutrition management. in addition, questions for patients with diabetes mellitus used a self-administration nutrition questionnaire for dm patients to assess knowledge about selfadministration of nutrition for dm patients. furthermore, data on blood sugar levels are from using the accu check blood glucose meter. researchers used a randomized plasma glucose test meaning that if participants had 200 mg/dl they were considered to have high blood sugar levels. in addition, researchers used a selfadministered nutrition questionnaire for dm patients to assess knowledge about selfadministered nutrition for dm patients. instructions for filling in by choosing the answer that the patient feels by giving a check list in the column provided and all questions must be answered with one choice. the number of questions in the questionnaire is 20 questions. also, the available answers are “yes”, “no”, and “don't know” answers. the score given to the answer "yes" is given a score of "1". and the total score for the answers "no" and "don't know" is given a score of "0". thus, the respondent should fill it in according to the number of questions that are as many as 20 questions and provide a check list on one of the answers to these questions. selected patients are supplied knowledge about autonomous nutrition management. at the beginning of the process, a patient's level of understanding of their dietary requirements is evaluated. the educational and nutritional care of patients was then adapted to their existing levels of understanding. the instructional content is presented with a concentration on helping comprehend the benefits and drawbacks of engaging in certain consuming behaviors. results this study was conducted with a total of 51 respondents at the tamangapa health center in the even semester of 2019. data collection was carried out from march to august 2019 by interviewing, measuring blood sugar and questionnaires. the results can be reported as follows: 1. univariate analysis a. age table 1: frequency distribution of respondents by age in dm patients at the tamangapa health center, tamangapa village, manggala district makassar city age frequency percentage <45 years old > 45 years old 10 41 19.6 80.4 amount 51 100 primary data sources 2019 based on the results of the study, data obtained that respondents aged over 45 years were 41 people (80.4%), more than those aged under 45 years, more details can be seen in table 1. b. gender table 2: frequency distribution of respondents by gender in dm patients at the tamangapa community health center, tamangapa village manggala district, makassar city gender frequency percentage man woman 10 41 19.6 80.4 172 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 168-177 amount 51 100 primary data sources 2019 based on the results of the study, there were 42 female respondents (80.4%), more data than male respondents. c. education table 3: frequency distribution of respondents based on education in dm patients at tamangapa health center, tamangapa subdistrict, district makassar city education frequency percentage sd junior high school senior high school college 20 15 9 7 39.2 29.4 17.6 13.7 amount 51 100 primary data sources 2019 based on the results of the study, data obtained that respondent had elementary education as many as 20 people (39.2%), more than other levels of education, more details can be seen in table 3. d. profession table 4: frequency distribution of respondents based on occupation of dm patients at tamangapa health center, tamangapa sub-district makassar city profession frequency percentage civil servant private farmer trader other 4 4 5 10 28 7.8 7.8 9.8 19.6 54.9 amount 51 100 primary data sources 2019 based on the results of the study, data on the work of respondents as traders were 10 people (19.6%), more than other types of work. e. long time suffering from dm table 5: frequency distribution of respondents based on length of suffering from dm in dm patients at tamangapa health center, tamangapa village manggala district, makassar city long suffering dm frequency percentage < 4 years >4 years 20 31 39.2 60.8 amount 51 100 primary data sources 2019 based on the results of the study, data on respondents who suffered from dm over 4 years were 31 people (60.8%), more than those who suffered from dm less than 4 years. f. gds test results table 6: frequency distribution of respondents based on gds test results in dm patients at the tamangapa health center, tamangapa village, manggala district, makassar city gds test results frequency percentage normal < 200 (mg/dl) hyperglycemia > 200 (mg/dl) 11 40 21.6 78.4 amount 51 100 primary data sources 2019 mutmainna, dewi, the effect of health education on independent nutrition management of … 173 based on the results of the study, there were 40 people (78.4%) of hyperglycemia gds examination results > 200 (mg/dl), more than normal < 200 (mg/dl), more details can be seen in table 6. g. independent nutrition management table 7: distribution of respondents based on independent nutrition management of dm patients at the tamangapa health center, tamangapa village, manggala district, makassar city nutrition management pretest posttest mean median std min max 9.4 9.0 2,163 4 15 12.51 13.0 1,744 8 17 primary data sources 2019 based on the results of the study, data obtained the average value (mean) score of dm nutrition management knowledge of respondent’s pretest 9.4 and posttest 12.51, thus there is an increase in score which is progress for dm nutrition management. the median value increased from pretest 9 to 13 posttest, meaning that it increased to a higher level. the standard deviation data from the pretest of 2.263 decreased to 1.77, meaning that the spread of the data that had been widen had a low value and a high value became narrowed around the mean value of 12.51 or in other words that the respondents were gathered in the highly knowledgeable group. 2. bivariate analysis table 8: wilcoxon statistics test results pretest-post test asymp. sig. (2-tailed) 0,00 source: primary data processed result the data from this study were not normally distributed, so they could not be tested using the paired sample t test and replaced with the wilcoxon sign rank test and it can be concluded that there is the effect of health education on independent nutritional management of dm patients at the tamangapa public health center, tamangapa village, manggala district, makassar city with a value of = 0.00 (the value was tested using the wilcoxon sign rank test). discussion independent nutrition management of dm patients the amount of glucose that is present in the blood of the patient or respondent should be somewhere in the range of 110 to 179 milligrams per deciliter (mg/dl). this scenario is really helpful for the continuous functioning of the metabolism that is already existing in the human body, so that's something that's definitely something to be thankful for. patients who have high blood sugar will have challenges with their microvascular circulation since the blood cannot flow properly through the capillaries. this will cause the patients to have issues with their overall circulation. it is of considerable advantage because this helps to give oxygen and nutrients to essential sections of the human body. patients have little choice but to exert significant effort in order to keep their blood sugar levels within the normal range, since there is no alternative treatment option available to them. participants in this study who had blood sugar levels that were more than 200 mg/dl were at a larger risk of getting diabetes than those whose fasting blood sugar levels were lower than 200 mg/dl. this is as a result of the fact that each individual who took part in this study had a diagnosis of diabetes. independent nutrition management of patients with dm before being given counseling education is actually moderate. the typical patient comes from a variety of diverse groups in terms of education, age, and other factors, as was discussed above. according to the results of this study, the effect of community health center (puskesmas) plays a role in the education and independent nutritional management of diabetic patients. this is the consequence of standard treatment administered by the puskesmas, according to responders who already have a gds that is below 200 mg/dl. this is defined as the situation. it is essential to maintain this at the same level, and even improve it, in order to allow the patient to revert to their original degree of stability. in the meanwhile, patients whose gds 174 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 168-177 is more than 200 mg/dl should enhance the regularity of their medication and the nutritional care they obtain. patients with a gds of less than 100 mg/dl should not raise either factor. in addition, the patient's willingness to control their health condition need to be reflected in the fact that patients participate in routine nutritional monitoring activities. however, the expense of purchasing foods rich in nutrients continues to be a problem in the majority of health situations (bakr, 2015) particularly in developing nations like indonesia, which is a significant factor in the prevalence of poor dietary patterns (giles & satriawan, 2015). patients' lack of awareness of their own health conditions, such as being obese or not understanding the benefits of fruit content for body health, especially in type 2 diabetes patients, was the cause of the low independent nutrition management in patients, according to senadheera et al. (2016)'s findings. this was the cause of the low independent nutrition management in patients. this was particularly the case with individuals who had previously been identified as having type 2 diabetes. the results of the current study provide credence to those of the earlier research by demonstrating a connection between inadequate nutritional management and factors such as educational background, age, and even gender. due to the predominance of this educational independent nutritional management, it is feasible to realize an optimal glucose level in the patient's body, given the aforementioned premises. in assumption, the current research makes a contribution to the identification of key reasons that impact the nutritional treatment of individuals who have diabetes. the effect of health education on the independent nutrition management of dm patients according to senadheera et al. (2016), the primary explanation for the low levels of autonomous nutrition management that patients demonstrate is the lack of knowledge that patients have about their own health difficulties. this lack of knowledge is the root cause of the low levels of autonomous nutrition management that patients demonstrate. patients are not provided with sufficient information on their own health issues. patients who have been diagnosed with diabetes mellitus may benefit considerably from increased information on the independent nutritional management that may be supplied by health education, as shown by the findings of this study. diabetes patients cannot be cured with treatment; instead, the treatment must focus on helping the patient maintain a lifestyle that is as healthy as is practically possible. even after receiving treatment, the great majority of patients leave the hospital without the knowledge necessary to control their blood sugar and keep it at a normal level. this is despite the fact that the vast majority of patients have diabetes. even people who already have diabetes may benefit from this treatment. they are going to go on with the things that are customary for them and continue eating in the same way that they have been doing up to this point in time. in order to bring about a rise in the patient's blood sugar level, which had reduced as a direct consequence of the treatment that they had had while they were in the hospital. in order to do this, we need to raise the patient's blood sugar level back up. after a patient is discharged from the hospital, it is the responsibility of the medical staff to counsel the patient on how to make adjustments to their way of life, which may include their eating habits, the things they do for fun, and the amount of stress they allow themselves to experience. this is done to ensure that the patient's sugar levels in their blood do not reflect any abnormalities and to ensure that the patient's safety is not compromised. many different approaches to health education have been discussed during the course of this study. these approaches include not just the topic content but also the study hours, media, and delivery techniques to patients as well. it has been shown that increasing patient awareness utilizing these tactics for autonomous dietary management in diabetes patients may be possible. [citation needed] as a consequence of this, it is suggested that individuals with prior experience in healthcare, students, and anybody else who may be interested in the topic take part in the study by utilizing the instrument. this is in accordance with the findings of research carried out by mutmainna (2018), which states that 36 respondents, which accounts for half of the percentage of respondents in 2 hospitals, were found to have low levels of food control, and 13 respondents, which accounts for 18.1 percent, had very high dietary control. this finding is in line with the findings of research carried out by mutmainna (2018). this discovery is in line with the findings of the study conducted by mutmainna, mutmainna, dewi, the effect of health education on independent nutrition management of … 175 therefore it shouldn't come as a surprise (2018). in addition to this, the degree of control over their diets that four of the respondents had been at a high level (5.6 percent of the total). in addition to this explanation, there were a total of 19 respondents who had intermediate diet control. these individuals were selected from the pool of total respondents. this is equivalent to 26.4 percent of the total number of respondents that participated in the poll. the fact that the total average value that was obtained was 4.7342 demonstrates that people who have diabetes mellitus have a low degree of control over their diets, as evidenced by the fact that the value was obtained. in addition, the fact that the value was obtained demonstrates that people with diabetes mellitus are more likely to be overweight. the findings of this study have led researchers to the conclusion that respondents who do not pay a great deal of attention to the quantity of sugar that they consume whenever they eat are examples of individuals who have poor dietary control. they do not place a great deal of attention on the amount of sugar that is present in the food that they put into their bodies on a daily basis, which is another way of saying that they do not worry about developing diabetes. it is the equivalent of being overweight or not appreciating the advantages that fruit content may provide for general body health, particularly for individuals who have type 2 diabetes. conclusion finally, the findings of the current study showed that there is an influence of health education on the independent nutritional management of diabetes patients at the tamangapa health center, which is situated in tamangapa village, manggala district, makassar city. the location of this particular health center can be found in makassar. patients who have diabetes cannot be cured with therapy; instead, the treatment must concentrate on keeping the patient's lifestyle as healthy as is feasible. even after getting treatment, the vast majority of patients leave the hospital without the information required to regulate their blood sugar and maintain it at a normal level. this is true even for those patients who have diabetes. they are going to go on with their typical activities and have their meals in the same manner as they have up to this point. in order to bring about a rise in the patient's blood sugar level, which had decreased as a direct result of the therapy that they got while they were in the hospital. after a patient is released from the hospital, it is the role of the medical team to advise the patient on how to make modifications to their way of life, including their diet, their activities, and their levels of stress. this is done to guarantee that the levels of sugar in the blood do not exhibit any anomalies and the safety of the patient. suggestions it is recommended, for client, to be able to do a diet with the right amount, schedule, and type at home by consulting the number of calories, eating schedule and the right type of food consumed according to the size determined by the nutritionist at the nutrition installation, adding insight by increasing knowledge through mass media or information from the health team who will support appropriate actions to maintain dm patients in good glucose tolerance conditions. in the implementation of health education, appropriate learning media are needed, and the material used in this study has been proven to significantly increase knowledge. acknowledgment i would want to express my gratitude to my supervisors for their assistance in working on my study. funding the author received no grant conducting this study. any operational budget that was used in this study was funded by the author at their own personal cost. conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. refferences a. mutmainna, clv and pm (2018). self-care behaviors of patients diagnosed with diabetes mellitus: a basis for a counseling program. uru international conference on science technology 2018 differential, 129. amiruddin, r., ansar, j., & sidik, d. (2014). diabetic mellitus type 2 in wajo south sulawesi, indonesia. 2(12), 1–8. agency for health research and development. (2013). basic health research (riskesdas) 2013. national report 2013, 1-384. https://doi.org/1 december 2013 bakr, e. s. h. (2015). nutritional assessment of 176 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 168-177 type ii diabetic patients. pakistan journal of nutrition, 14(6), 308-315. balqis saroh mahfudzoh, moch yunus, spr (2019). the relationship between modifiable diabetes mellitus risk factors with type 2 dm incidence at janti public health center malang city. sport science and health, 1(1), 59–71. barnosky, ar, hoddy, kk, unterman, tg, & varady, ka (2014). intermittent fasting vs daily calorie restriction for type 2 diabetes prevention: a review of human findings. translational research, 164(4), 302–311. https://doi.org/10.1016/j.trsl.2014.05.013 makassar city health office. (2017). health profile of south sulawesi province 2016. health media, 1, 347. donald, m., dower, j., coll, jr, baker, p., mukandi, b., & doi, sar (2013). mental health issues decrease diabetes-specific quality of life independent of glycemic control and complications: findings from australia's living with diabetes cohort study. 1–8. erni setiyorini, naw (2017). relationship of long suffering and complications with quality of life in elderly people with diabetes mellitus. national seminar and product title | senaspro 2017, 75–82. giles, j., & satriawan, e. (2015). protecting child nutritional status in the aftermath of a financial crisis: evidence from indonesia. journal of development economics, 114, 97-106. go, f., karaoz, s., & goz, m. (2007). effects of the diabetic patients' perceived social support on their. https://doi.org/10.1111/j.13652702.2005.01472.x haris, m., & megawati, cd (2020). influence of diabetes self management education and support. 2020 international journal of nursing and midwifery science (ijnms), 4(april), 83– 93. harsari, rh, fatmaningrum, w., & prayitno, jh (2018). relationship between nutritional status and blood glucose levels in patients with type 2 diabetes mellitus. indonesian medical ejournal, 6(2), 2–6. https://doi.org/10.23886/ejki.6.8784. isnaini, n. (2018). the effect of dm education and counseling pillars on knowledge and attitudes and blood sugar levels. the 8th university research colloquium 2018 university of muhammadiyah purwokerto, 672–678. isnaini, n., & ratnasari, r. (2018). risk factors affect the incidence of type two diabetes mellitus. journal of midwifery and nursing aisyiyah, 14(1), 59–68. https://doi.org/10.31101/jkk.550 januwati, tmyan (2015). the correlation between physical activity and osteoporosis risk on post menopause women at pkk rt 02 rw 01, komplek kenjeran village, surabaya. 67–72. kistianita, an, & gayatri, rw (2015). analysis of risk factors for type 2 diabetes mellitus in productive age using the who stepwise step 1 (core) approach at kendalkerep public health center, malang city. 1. lamhatul uyun, nungki marlian yuliadarwati, kpu (2019). the effect of brisk wlaking exercise on reducing glucose levels in potentially diabetes mellitus elderly at posyandu rampal celaket. university of muhammadiyah malang, 1(1), 9–26. martínez-gonzález, m. ., de la fuente-arrillaga, c., nunez-cordoba, jm, basterra-gortari, fj, beunza, jj, vazquez, z., benito, s., tortosa, a., & bes-rastrollo, m. (2008). adherence to the mediterranean diet and risk of developing diabetes: prospective cohort study. bmj, 336(7657), 1348–1351. https://doi.org/10.1136/bmj.39561.501007.b e poolsup, n., suksomboon, n., & paw, nj (2017). effect of dragon fruit on glycemic control in prediabetes and type 2 diabetes: a systematic review and meta-analysis. plosone, 1–12. https://doi.org/plosone| https://doi.org/10.1371/journal.pone.018457 7 ramadhan, n., marissa, n., fitria, e., wilya, v., research, b., aceh, b., research, b., ri, kk, sultan, j., muda, i., bintang, b., tgk, l., & no, d. (2018). control of type 2 diabetes mellitus in patients at the jayabaru health center, banda aceh city. 239–246. reason, j. (1995). understanding adverse events: human factors. bmj quality & safety, 4(2), 80-89. savira, m., & widjaja, ss (2020). education of prevention and treatment in diabetes mellitus feet. 3(1), 12–20. senadheera, s. p. a. s., ekanayake, s., & wanigatunge, c. (2016). dietary habits of type 2 diabetes patients: variety and frequency of food intake. journal of nutrition & metabolism. simanjuntak, gv, & simamora, m. (2020). long suffering from type 2 diabetes mellitus as a risk factor for diabetic peripheral neuropathy. holistic journal of health, 14(1), 96–100. https://doi.org/10.33024/hjk.v14i1.1810 soewondo, p., & pramono, la (2011). prevalence, characteristics, and predictors of prediabetes in indonesia. medical journal of mutmainna, dewi, the effect of health education on independent nutrition management of … 177 indonesia, 20(4), 283–294. https://doi.org/10.13181/mji.v20i4.465 sry, a., nababan, v., pinem, mm, mini, y., & purba, th (2020). original article factors affecting the blood sugar content of diabetes mellitus (dm) type ii. 3(1), 23– 31. tiarnida nababan, karmila br kaban, eva latifah nurhayati, rhn (2020). relationship of stress levels to increased blood sugar levels in type ii dm patients at rsu. royal prima medan. priority nursing, 3(1), 39–46. wijaya, as, & putri, ym (2013). kmb 2 medical surgical nursing (adult nursing). de vegt, f., dekker, j. m., jager, a., hienkens, e., kostense, p. j., stehouwer, c. d., ... & heine, r. j. (2001). relation of impaired fasting and postload glucose with incident type 2 diabetes in a dutch population: the hoorn study. jama, 285(16), 2109-2113. winta, ae, setiyorini, e., & wulandari, na (2018). the correlation of blood glucose level and blood pressure of elderly with type 2 diabetes (the correlation of blood glucose level and blood pressure of elderly with type 2 diabetes). nurses and obstetrics, 5(2), 163–171. https://doi.org/10.26699/jnk.v5i2.art.p163 witte, a. k., blankenhagel, k. j., korbel, j. j., & zarnekow, r. (2019). how accurate is accurate enough? an evaluation of commercial fitness trackers for individual health management. e:\ibuk\ners desember 2021\6--j 301agustina, ayuningtyas, noviasari, pathway analysis of behavioral determinants in ... pathway analysis of behavioral determinants in preventing genital infections of santri putri pondok pesantren : application of the integrated behavior model ika agustina1, kanthi devi ayuningtyas2, ita noviasari3 123midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 20/09/2021 accepted, 22/11/2021 published, 15/12/2021 keywords: prevention of genital infection, female students, integrated behavior model, path analysis article information abstract female students who live in islamic boarding schools are a population at risk for genital infections. the practice of personal/vaginal hygiene or menstrual hygiene is a form of maintaining reproductive health by preventing genital infections. some bad behavior related to vaginal hygiene is a trigger factor for female genital infections. this study aimed to examine the factors behind the behavior of preventing genital infection in female students in the islamic boarding school environment. this study was a quantitative study with a cross-sectional design. the population in this study was all female students. determination of the sample in this study was carried out randomly with the number of subjects determined based on the rule-of-thumb sample size for path analysis, namely a minimum of 100 subjects, a minimum of 5 subjects per parameter, and a minimum of 10 subjects per variable. so that a sample of 150 female students was determined. the independent variable in this study was the behavior of preventing genital infection, while the dependent variables was: (1) behavioral intentions, (2) correct knowledge about behavior, (3) perception of the meaning of behavior, (4) environmental barriers, (5) experiential attitudes, (6) instrumental attitudes, (7) injunctive norms, (8) descriptive norms, (9) perceived behavioral control, (10) self-efficacy. this study indicated that infection prevention behavior can be determined by the behavior of female students prevention of genital infection is not influenced by the behavior of environmental barriers. good knowledge and skills did not affect female students in taking measures to prevent genital infections; therefore, it was necessary to develop a more heterogeneous number of respondents and a questionnaire that can be understood by respondents so that an integrated behavioral model can become a reference to change behavior, and use methods that can improve their behavior. © 2021 journal of ners and midwifery 301 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ikapatria45@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p301–308 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p301-308 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p301-308&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 302 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 301–308 introduction east java is the province with the largest number of mukim students in indonesia. in blitar regency in particular, there are 132 islamic boarding schools with a total of 4,208 mukim students (ministry of religion of the republic of indonesia, 2019). as a place to live, a place to study and a place to interact for many students who come from various regions and have different behavioral habits, coupled with less than optimal environmental management, islamic boarding schools become places that are at risk for causing various health problems. one of the health problems that arise among students is genital infection. especially in the female santri community, issues regarding female organs and reproductive health are still often neglected. this is related to the negative public perception of the discussion about these matters. there is an assumption that women should not talk about their femininity to other people, often making female students not getting proper treatment when they are exposed to genital infections.. many female students start living in the pesantren environment before experiencing menarche, so the practice of managing menstruation is only obtained from seniors or their coaches based on environmental habits. menstruation is a natural process, but if the process is not managed properly, it will create humidity in the genital area which increases the risk of germs entering the reproductive tract and triggering infectioni(rizky amelia, irvani dewi and karim, 2013). the practice of personal/ vaginal hygiene or menstrual hygiene is a form of maintaining reproductive health by preventing genital infections. some bad behaviors are related to vaginal hygiene when defecating or urinating, such as perfect cleaning of the genitals (unclean or wrong), using soap when cleaning the vagina, not washing hands before touching the vagina, wearing tight underwear and made from non-absorbent sweat, rarely changing underwear or pads, is a trigger factor for female genital infections(pudiastuti, 2010). a study conducted by sevil, et al in 2013 also revealed the results that the frequency of genital infections was more common in female students who had poor hygiene behavior (sevil et al., 2013). a preliminary study at the al mawaddah islamic islamic boarding school 2 jiwut, nglegok, blitar produced several findings related to genital infections in female students. (1) based on a random survey of 30 female students, 75% stated that they had experienced vaginal itching and/or excessive vaginal discharge, but only 10% had complained to their supervisor and tried to deal with complaints appropriately. (2) there was no health clinics or specially trained officers to provide reproductive health services to female students. (3) the habit of female students wearing sarongs or skirts with double trousers, taking turns using towels or panties, wearing inappropriate sanitary napkins, rarely changing underwear or sanitary napkins during menstruation. (4) there are differences in the level of hygiene behavior in female students. on average, older female students (aliyah level – equivalent to senior high school) had better hygiene behavior than younger female students (tsanawiyah level – equivalent to junior high school). based on these findings, the researcher assumes that hygiene behavior as a form of prevention against genital infections is influenced by many factors. therefore, researchers are interested in conducting research to examine the factors behind the behavior of preventing genital infections in female students in the islamic boarding school environment. through this research, researchers will find the dominant factor so that they can choose the right intervention steps to overcome the problem of female students’ genital infection. method the research to be conducted is a quantitative study with a cross-sectional design. the research will be conducted at the al mawaddah islamic boarding school 2 jiwut, nglegok district, blitar regency. the population in this study were all female students with the source population being female students who had lived for at least 6 months, which were 385 people. determination of the sample in this study was carried out randomly with the number of subjects determined based on the rule-of-thumb sample size for path analysis, namely a minimum of 100 subjects, a minimum of 5 subjects per parameter, and a minimum of 10 subjects per variable. so that a sample of 150 female students was determined. the variables that will be used in this study consist of two types, namely the independent variable and the dependent variable. all research variables come from the constructs that make up the integrated behavior model. the independent variable in this study is the behavior of preventing geni 303agustina, ayuningtyas, noviasari, pathway analysis of behavioral determinants in ... tal infection, while the dependent variables are: (1) behavioral intentions, (2) correct knowledge about behavior, (3) perception of the meaning of behavior, (4) environmental barriers, (5) experiential attitudes, (6) instrumental attitudes, (7) injunctive norms, (8) descriptive norms, (9) perceived behavioral control, (10) self-efficacy. the habit variable is excluded because it has the same meaning with behavior. related to the data analysis method that will be used in this study, the research variables are also divided into two types, namely exogenous variables and endogenous variables. included in the types of exogenous variables are experiential attitudes, instrumental attitudes, injunctive norms, descriptive norms, perceptions of behavioral control, self-efficacy, correct knowledge of behavior, perceptions of the meaning of behavior, and environmental barriers. included in the type of endogenous variable is the behavior of preventing genital infection. the data in this study will be collected using a questionnaire developed by the researcher himself. before the instrument is used to collect data, the researcher will first test the instrument on a population that has the same characteristics as the research subject. it aims to obtain a valid and reliable instrumentthe research data that will be obtained by the researchers will be numerical data with a continuous scale. furthermore, for the purposes of data analysis, the researcher will use the mean or median value of each variable as a cut of point to convert the data into a categorical measurement scale. data analysis will be carried out in three stages (univariate, bivariate, and multivariate) using the stata 13 program. univariate analysis uses descriptive statistical tests to determine the frequency distribution of each variable. meanwhile, to find out the relationship between each independent variable and the dependent variable in the bivariate analysis, the chi-square test with odds ratio and p-value will be used. the last stage of analysis will use the path analysis method to determine the magnitude of the influence of the independent variable on the dependent variable, either directly or indirectly. the size of the relationship used to determine the magnitude of the influence in this analysis is called the path coefficient. it is assumed that the greater the path coefficient, the stronger the relationship between variables or the greater the influence of one variable on other variables. ethical clearance in this study was obtained from the health research ethics commission of the university of muhammadiyah lamongan no. 082/ec/kepk-s2/06/2001 result variable category frekuension % genital infection prevention behavior bad 75 46.88 good 85 53.13 perception of the meaning of behavior bad 76 47.50 good 84 52.50 injunctive norm bad 75 46.88 good 85 53.13 descriptive norm bad 79 49.38 good 81 50.63 subjective attitude (affect) negativ 73 45.63 positiv 87 54.38 instrumental attitude negativ 69 43.13 positiv 91 56.88 self efficacy low 76 47.50 high 84 52.50 behavioral control perception low 75 46.88 high 85 53.13 intention to behave low 56 35.00 high 104 65.00 table 1 variable frequency distribution 304 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 301–308 from the table 1 above, it is explained that the respondents who live in the female islamic boarding school al mawaddah 2, the majority of female students’ genital infection prevention behaviors are good as many as 85 respondents (53.13%), the majority of the perception of the meaning of female students’ behavior is good as many as 84 respondents (52.50%), the majority of the norms injunctive female students as many as 85 respondents (53.13%), the majority of descriptive norms for female students were good as many as 81 respondents (50.63%), the majority of subjective attitudes (affect) of female students were negative as many as 87 respondents (54.38%), the majority of instrumental attitudes of female students were positive as many as 91 respondents (56.88%), the majority of female students’ self-efficacy is high as many as 84 respondents (52.50%), the majority of female students’ behavior control perceptions are 85 respondents (53.13%), the majority of female students’ behavioral intentions are high as much as 104 (65.00%), the majority of female students’ knowledge and skills were low as many as 88 respondents (55.00%), the majority of female students’ environmental barriers were high as many as 91 respondents onden (56.88%). dik_behav binomial logit -1.9 dik_salience binomial logit dik_intent binomial logit -.36 dik_desc_norm binomial logit dik_knows binomial logit dik_inst_att binomial logit dik_affect binomial logit dik_pbc binomial logit dik_self_efc binomial logit dik_ij_norm binomial logit dik_envbar binomial logit 1.5 1.4 .38 .25 -.75 -2.3 1.8 1.1 1.2 1.4 knowledge and skills low 88 55.00 high 72 45.00 environmental barriers low 69 43.13 high 91 56.88 picture 1 path analysis chart 305agustina, ayuningtyas, noviasari, pathway analysis of behavioral determinants in ... the behavior of preventing genital infection is directly and significantly influenced by the perception of the meaning of the behavior and the intention to behave. someone who has a good perception of the meaning of behavior has a log odds of carrying out genital infection prevention behavior of 1.49 units better than someone who has a bad perception of the meaning of behavior (b = 1.49, 95% ci = 0.75 to 2.24, p = <0.001). someone with a high behavioral intention had a log odds of doing a genital infection prevention behavior of 1.39 units better than someone with a low behavioral intention (b= 1.39, 95%ci= 0.60 to 2.18, p= 0.001). genital infection prevention behavior is indirectly influenced by subjective attitudes, instrumental attitudes and injunctive norms, through behavioral intentions. discussion the results of this study indicated that behavior in preventing genital infection with adolescents’ perceptions of the meaning of behavior was 0.0001. this is in line with research from (agustina, murti and demartoto, 2016), that there is a close relationship between perception and behavior to prevent sexually transmitted infections. perceived behavioral control refers to a person’s perception of the difficulty of carrying out the desired behavior, related to the belief that the resources and opportunities needed to realize certain behaviors will be available by reflecting past experiences and anticipation of obstacles and obstacles (ajzen, 1991 dalam mihartinah and coryanata, 2019). an individual’s past experience of a behavior can be influenced by information that can be obtained from others, ajzen explained that a person’s behavior is not only controlled by himself, but also dependen variable independen variable b 95% ci pupper lower limit limit direct effect genital infection prevention behavior  perception of the meaning of behavior 1.49 0.75 2.24 < 0.001 genital infection prevention behavior  behavioral knowledge and skills 0.37 0.58 1.33 0.45 genital infection prevention behavior  intention of behave 1.39 0.60 2.18 0.001 genital infection prevention behavior  environmental barriers 0.25 0.69 1.19 0.61 indirect effect intention to behave  subjective attitude 1.78 0.51 3.05 0.01 intention to behave  instrumental attitude 2.32 4.05 0.60 0.01 intention to behave  injunctive norm 1.39 0.04 2.74 0.04 intention to behave  descriptive norm 0.75 2.21 0.71 0.32 intention to behave  self efficacy 1.18 0.29 2.66 0.12 intention to behave  behavioral control perception 1.08 0.14 2.29 0.08 n observasi = 160 log likelihood = 169.99 df = 45 aic = 363.98 bic = 400.88 table 2 path analysis results 306 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 301–308 requires control. perceived behavioral control has two aspects, namely how much a person has control over the behavior and how a person feels confident about the ability to perform or not perform the behavior. the genital infection prevention behavior carried out by the young women of the pondok is in accordance with the theory of reasoned action model that the existence of such behavior is based on the perception of past experiences. if the youth of the cottage are menstruating, the sanitary napkins used are cloth that can be washed again. perception of behavioral control or also called behavioral control is a person’s feelings about the ease or difficulty of realizing a certain behavior, (ajzen, 2005 in naratama and nurcaya, 2016)). ajzen explains the feelings related to control behavior by distinguishing it from the locus of control or control center proposed by rotter’s. control center relates to a person’s belief that is relatively stable in all situations. perceptions of behavioral control may change depending on the situation and the type of behavior to be performed. the control center is concerned with the individual’s belief that his success in doing anything depends on his efforts. according to fishbein dan ajzen (1975) that in order to understand the area of attitude, it is necessary to distinguish between attitude, belief, behavioral intention and behavior. one form of distinction that has been used for a long time is the classic trilogy between emotion or feeling, cognition and conation. emotions refer to a person’s feelings and evaluation of an object, person, problem, or event. cognition which is knowledge, opinions, beliefs, and experiences about objects. conation is nothing but the intention of behavior. knowledge of something is a representation of the cognitive aspect so that adolescent knowledge related to the prevention of genital infections which in theory has an influence on attitudes towards behavior the results showed that there was no relationship between genital infection prevention behavior with knowledge and behavioral skills. skiner in notoatmodjo (2010), a psychologist, formulated that behavior is a person’s response or reaction to a stimulus (stimulus from outside). but in reality, the stimulus received by the organism is not always able to produce behavior, there are several other factors that play a role in the emergence of behavior, one of which is the intention to behave in a certain way from an individual. intention itself will also not a ppea r without a n influencing deter mina nt (mahyarni, 2013). several studies have shown that the object which is a representation of cognitive factors has been described in tra as one of the factors that can influence behavioral intentions through attitudes (hidayat, 2018). the results of this study indicate that the behavior of preventing genital infection is influenced by the behavioral intentions of female students, explained from the results of data analysis that students with high behavioral intentions have a log odds of carrying out genital infection prevention behavior of 1.39 units better than someone who has low behavioral intentions (b = 1.39, 95%ci= 0.60 to 2.18, p= 0.001). according to papahan, m et all (2021) the theory described from theory of reasoned action (tra) which explains that behavior is the result of intention. the behavior of preventing genital infection is also indirectly influenced by subjective attitudes, instrumental attitudes and injunctive norms, through behavioral intentions. based on the data obtained, female students with subjective attitudes were mostly positive attitudes as many as 87 respondents (54.38%), students with instrumental attitudes were mostly positive attitudes as many as 91 respondents (56.88%) and students had mostly good injunctive norms as many as 85 respondents. (53.13%). it was found that the subjective attitude was obtained p = 0.01, the instrumental attitude was obtained p = 0.01, and the injunctive norm was obtained p = 0.04. respondents have a subjective attitude based on what is experienced during their stay in the islamic boarding school, female students can adjust the place to avoid genital diseases. the instrumental attitude or basic attitude of the santri has been obtained before living in the cottage so that it becomes a good habit. as for the injunctive norms of students, it can be known from how students prevent the occurrence of genital infections in the islamic boarding school environment. the behavior of students in preventing infection includes cleaning the genitals, most of them are good, the underwear used is appropriate, another factor that influences infection prevention behavior is self-efficacy. confidence from students in infection prevention behavior was obtained from the results of the questionnaire, the majority of students with high self-efficacy were 84 respondents (52.50%). with high self-efficacy, students believe that what they do can prevent in 307agustina, ayuningtyas, noviasari, pathway analysis of behavioral determinants in ... fection in the genitals by washing their hands before and after cleaning the genitals, wearing loose underwear that absorbs sweat, and changing sanitary napkins 3-4 times a day. descriptive norm is one of the factors that influence infection prevention, obtained from the results of the questionnaire, most of the students with good descriptive norms were 81 respondents (50.63%). most of the students did the same thing as some of their friends in preventing infection. avoid sharing towels with friends when drying the genitals. in this study the perception of behavioral control is also a factor in preventing infection. most of the students’ behavior control perceptions were high as many as 85 respondents (53.13%). santri who experience genital problems rarely discuss their complaints with other people, they are more confident in expressing what they experience with people they trust, for example parents, trusted cottage companions and health workers who come to the cottage. the results of the research on the prevention of genital infection behavior were not influenced by environmental barriers, explained from the results of data analysis p 0.61. one of the behaviors is influenced by environmental factors. in general, environmental factors are determinants of human behavior. environmental factors will affect when the human has started to enter and interact with the environment. so, the environment is the land for the development of behavior (notoatmodjo, 2010). the environment in islamic boarding schools that is supportive in matters relating to genital infection prevention behavior includes the availability of clean water or water flowing directly from the faucet, the availability of a poskestren (islamic boarding school health post) that can facilitate female students if there are complaints or problems related to the genital area. . as well as the availability of adequate health workers, so that female students feel comfortable to check the complaints they are experiencing. so that environmental barriers do not affect the behavior of preventing genital infections in islamic boarding schools conclusion the results of this study indicate that behavior in preventing genital infection with adolescents’ perceptions of the meaning of behavior is 0.0001, there is no relationship between genital infection prevention behavior with knowledge and behavioral skills. the results of this study indicate that infection prevention behavior can be determined by the behavior of female students prevention of genital infection is not influenced by the behavior of environmental barriers. suggestion good knowledge and skills do not affect female students in taking measures to prevent genital infections, therefore, it is necessary to develop a more heterogeneous number of respondents and a questionnaire that can be understood by respondents so that an integrated behavioral model can be a reference. refference abrori, qurbaniah m. infeksi menular seksual. pontianak: um pontianak pers; 2017 afriyani ld, salafas e. factors influencing menstrual hygiene practice among adolescent girls. siklus [internet]. 2020 [cited 2020 oct 27];9(2). available from: http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/1715808 agustina, s. a., murti, b. and demartoto, a. (2016) ‘penerapan health belief model sebagai upaya pencegahan infeksi menular seksual pada ibu rumah tangga’, media ilmu kesehatan, 5(3), pp. 175–183. doi: 10.30989/mik.v5i3.154. ayuningrum iy, murti b. aplikasi path analysis & struktural equation model dengan stata. surakarta: program studi ilmu kesehatan masyarakat program pascasarjana universitas sebelas maret; 2019 bujawati e, raodhah s, indriyanti i. faktor-faktor yang berhubungan dengan personal hygiene selama menstruasi pada santriwati di pesantren babul khaer kabupaten bulukumba, provinsi sulawesi selatan tahun 2016. hig j kesehat lingkung. 2017;3(1):1–9 chen y, bruning e, rubino j, eder se. role of female intimate hygiene in vulvovaginal health: global hygiene practices and product usage [internet]. vol. 13, women’s health. sage publications ltd; 2017 [cited 2020 oct 27]. p. 58–67. available from: https:/ /pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28934912/ erni gustina, sitti nur djannah. sumber informasi dan pengetahuan tentang menstrual hygiene pada remaja putri. j kesehat masy [internet]. 2015 [cited 2020 oct 27];10(2). available from: http:// garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/305894 hidayat, a. (2018) niat menggunakan teknologi informasi ramah lingkungan dalam perspektif theory of reasoned ac tion. unive rsitas hasanuddin makassar. available at: http:// 308 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 301–308 digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/ d i g i t a l c o l l e c t i o n / m g j i o d z h m t i x n w y 2 z w m 0 m m m w o g i x y wmyyjywzgmyndnkytk3zdg0yq==.pdf. kementerian agama ri. statistik data pondok pesantren [internet]. pangkalan data pondok pesantren. 2019 [cited 2020 oct 28]. available from: https:// ditpdpontren.kemenag.go.id/­pdpp/statistik maharani r, andryani w. faktor yang berhubungan dengan perilaku personal hygiene saat menstruasi pada santriwati di mts pondok pesantren dar el hikmah kota pekanbaru. j kesehat masyarakat, manaj dan adm rumah sakit [internet]. 2018 [cited 2020 oct 27]; 1(1). ava il able fr om : ht tp:/ / garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/801776 mahyarni, m. (2013) ‘theory of reasoned action dan theory of planned behavior (sebuah kajian historis tentang perilaku)’, jurnal elriyasah, 4(1), p. 13. doi: 10.24014/jel.v4i1.17. mihartinah, d. and coryanata, i. (2019) ‘pengaruh sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol perilaku persepsian terhadap niat mahasiswa akuntansi untuk mengambil sertifikasi chartered accountant’, jurnal akuntansi, 8(2), pp. 77–88. doi: 10.33369/j.akuntansi.8.2.77-88. montano de, kasprzyk d. theory of reasoned action, theory of planned behavior, adn the integrated behavioral model. in: glanz k, rimer bk, viswanath k, editors. health behavior and health education: theory, research and practice. fourth edi. united states: jossey-bass; 2008. p. 67–96 naratama, i. and nurcaya, i. (2016) ‘aplikasi theory of reasoned action (tra) dalam menjelaskan niat beli produk hijau di kota denpasar’, none, 5(3), p. 253121. ningrum mac, indriyanti dr. the influence of knowledge, attitude, family support and peer support on the behavior of female teenage menstrual hygiene. public heal perspect j [internet]. 2018 [cited 2020 oct 27];3(2). available from: http:// garuda.­ristekbrin.go.id/documents/detail/964124 pakpahan, m et al. 2021. promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. yayasan kita menulis. pudiastuti rd. pentingnya menjaga organ kewanitaan. jakarta: indeks; 2010. romero herrero d, andreu domingo a. vaginosis bacteriana. enferm infecc microbiol clin [internet]. 2016 jul 1 [cited 2020 oct 27];34:14–8. available from: https://­pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27474242/ rizky amelia m, irvani dewi y, karim d. gambaran perilaku remaja putri menjaga kebersihan organ genitalia dalam mencegah keputihan [internet]. 2013 [cited 2020 oct 28]. available from: https:// repository.unri.ac.id/bitstream/handle/­123456789/ 1880/ ­manuskrip me liza ­rizky.pdf?sequence=1&isallowed=y pudiastuti rd. pentingnya menjaga organ kewanitaan. jakarta: indeks; 2010 sevil s, kevser o, aleattin u, dilek a, tijen n. an evaluation of the relationship between genital hygiene practices, genital infection. gynecol obstet [internet]. 2013;03(06). available from: https:// www.omicsonline.org/an-evaluation-of-the-relationship-between-genital-hygiene-practices-genital-infection-2161-0932.1000187.php?aid=21369 e:\ibuk\ners desember 2021\1--j 271saudah, lestari, lukita, acob, the effectiveness of virgin coconut oil on the decrease of ... the effectiveness of virgin coconut oil on the decrease of blood glucose levels on gestational diabetes mellitus noer saudah1, indah lestari2, catur prasastia dewi lukita3, sahrir sillehu4, joel rey u. acob5 1,2,3nursing department, institute of health science bina sehat mojokerto, indonesia 4nursing department, institute of health science maluku husada seram maluku, indonesia 5faculty of nursing, visayas state university philiphine, philiphine jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 21/08/2021 accepted, 02/12/2021 published, 15/12/2021 keywords: virgin coconut oil, blood glucose level, gestational diabetes mellitus, hypoglyicemic article information abstract gestational diabetes mellitus (gdm) was medical complication that occurs during pregnancy and caused preterm labor. efforts reduce blood glucose levels and improve pancreatic performance must be safe both for mother and fetus. the research aimed to prove vco can reduce blood glucose levels in gdm. the research design was quasi-experimental with one group pre-test and post-test. the research started on march to september 2020. the population was pregnant mother with gdm from two hospitals in mojokerto east java. the sample was 46 respondents with purposive sampling. the treatment given was vco at a dose of 5 ml, 6 times a day and lowcarb diet. the instrument used to measure the fasting blood glucose was glucose stick. the data was analyzed with paired t-test. the result showed blood glucose levels before intervention average of 155.19 mg/dl and after 153.50 mg/dl. the t-test value 14.442 and p value 0.000 which meant that vco and low carb diet was more effective in reducing blood glucose levels on gdm. the administration of vco with a low carb diet is an effort to restrict glucose intake in the body without hypoglycemia. it is safe to use for both mother and fetus as an alternative non-pharmacological therapy on gdm and prevent preterm labor. © 2021 journal of ners and midwifery 271 correspondence address: institute of health science bina sehat mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: noersaudah15@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p271–275 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p271-275 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p271-275&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 272 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 271–275 introduction diabetes mellitus in pregnancy (gestational diabetes mellitus abbreviated as gdm) is a normal pregnancy accompanied by an increase in insulin resistance (pregnant women fail to maintain euglycemia). the risk factors for gdm are a family history of dm, obesity, and glycosuria. this gdm increases the incidence of preeclampsia so that babies are born preterm and neonatal morbidity, for example hypoglycemia, jaundice, polycythemia, and macrosomia (setyorogo et.al., 2013). this happens because gestation diabetes mellitus secretes greater insulin and stimulates the growth of the baby and macrosomia. the frequency of about 3-5% and the risk of the mothers increasing to become dm in the future (setyorogo et.al., 2013). in indonesia, the prevalence of gdm is around 1.9–3.6% and about 40-60 women who have experienced gdm in postpartum follow-up will develop diabetes mellitus or impaired glucose tolerance. incident of gdm increased in pregnant women with risk factors such as increasing body weight during pregnancy >0.5 kg/week, age more than 25 years, history of family dm, gdm history, and ethnicity (soelistijo et.al., 2015). risk factors for women with gdm are women diagnosed with gestational diabetes with 17% -63% of type 2 diabetes within 5-16 years in ethnic groups different (daundasekara et al., 2017). anti-diabetic medicine is drugs work to help enter glucose into cells, so that glucose levels in the blood decreases (setyorogo et.al., 2013). but this mechanism does not repair cell damage in producing insulin and does not help receptors in binding to insulin. the alternative that is conserved in this study is virgin coconut oil (vco). vco is a type of fat that can be consumed by pregnant women with diabetes mellitus which have no impact to fetal growth and development (purnamasari et.al., 2013). vco contains saturated fat from coconuts that can be consumed by people with diabetes mellitus. vco fat will regulate blood glucose levels and improve the work system of the pancreas that supplies insulin in the body. the body will gain energy due to the pancreatic gland being able to convert glucose to energy. in a normal body, insulin functions to convert glucose into energy. vco contains high chain saturated fatty acids (medium chain fatty acids or mcfa), especially lauric acid with a content of between 43 53% of total fatty acids. the presence of mcfa has a dual role, which can induce insulin secretion and improve insulin function. in contrast to other fats, mcfa in vco does not experience deposition during circulation in the bloodstream, but directly to the liver which will soon be converted into 100% energy (kabisch et al., 2018). giving vco with a low carb diet is an attempt to restrict glucose levels in the body. the role of energy sources due to glucose (low carb) restriction will be replaced by vco so that pregnant women with gdm are fulfilled by their caloric needs. vco is proven to be an antidiabetic alternative (iranloye et.al., 2013). the intake of coconut oil will soon be converted into energy and not stored as body fat so that it has a very positive effect on weight loss for people with diabetes mellitus (kabisch et al., 2018). intake of coconut oil is also proven to increase the absorption of minerals ca and mg if there are deficiencies of both minerals in the body, which is a condition that is often encountered in people with diabetes mellitus. calcium supplementation can increase insulin sensitivity in certain populations, while magnesium supplementation can increase insulin secretion and or increase insulin sensitivity and peripheral glucose intake. in addition, vco supplementation can also improve antioxidant status. the aim of this study is to prove that vco and low carb diets can reduce blood glucose levels in gdm. so that it can prevent babies born preterm and can reduce neonatal mortality. method research design used quasi experiments with one group pre-test and post-test design. population were pregnant with gdm from two hospitals in mojokerto east java. there were 46 respondents involved in this research. the sampling technique used purposive sampling. the treatment given was vco at a dose of 5 ml, 6 times a day and lowcarb diet. variable research were vco and blood glucose. the instrument used to measure the fasting blood glucose was glucose stick before and after treatment on day 21th. analysis of data used paired t-test with a 0.05 level of confidence (setiadi, 2013). the willingness of respondents was stated with informed consent and the research had gone through the ethical test from college of health science maluku husada. the time of research is starting from march to september 2020. 273saudah, lestari, lukita, acob, the effectiveness of virgin coconut oil on the decrease of ... based on table 1, it showed, there were 18 respondents (39.2%) age >35 years. statistic data shows there were 28 respondents first pregnancy (60.9%). the statistical data shows that there were 26 respondents (56.6%) whose gestational age between 28 until 31 weeks. based on table 2 mean fasting blood glucose levels before treatment vco and low carb diets is 155.19 mg/dl and mean fasting blood glucose levels after treatment is 151.50 mg/dl. it is mean blood glucose levels after treatment lower than before treatment. based on data analysis in table 3 used paired t-test with value correlation p= 0.000. this means the effect of vco and low carb diets on decrease fasting blood glucose levels in gestational diabetes mellitus. paired t-test shows value p= 0.000 ( 0.05) this means a significant difference between fasting blood glucose levels before and after given vco and low carb diets. combination of vco and low carb diets could decrease blood glucose in pregnant women with diabetes mellitus. characteristic indicator treatment  % age 20-25 years 8 17.4 26-30 years 6 13 31-35 years 14 30.4 >35 years 18 39.2 parity 1th 28 60.9 2th 12 26.1 3th 6 13 age gestation 28-31 weeks 26 56.5 32-35 weeks 20 43.5 36-40 weeks 0 0 total 46 100 resource : primary data, 2020 table 1 the characteristic of respondent based on age, parity and age gestation result the characteristic of responden variable paired samples correlation paired sampel ttest correlation significant t-tes sig. (2-tailed) blood glucose before and after 0.989 0.000 14.224 0.000 table 3 result paired t-test discussion pregnant women over the age of 35 years have a higher risk of developing gestational diabetes due to the influence of pregnancy hormones and risk for preterm labor (saudah et al., 2015). the firstpregnancy at the age of >35 years are at risk of pregnancy disorders example preeclampsi, gestational diabetes or other disorders (joeliantina et al., 2019). statistic data shows there were 28 respondents first pregnancy (60.9%). this shows that the first pregnancy at non-productive age >35 years is very risky to the safety of the mother and fetus. it is very important to increase the knowledge and understanding women reproductive and families about gestational age before 35 years. this can prevent the high rate of pregnancy with diabetes mellitus (tebbani et.al., 2017). there were 26 respondents (56.6%) whose gestational age between 28 until 31 weeks. gestational diabetes mellitus can occur at any gestational age, but usually occurs between 24 and 30 weeks of gestation (purnamasari et.al., 2013; soliman et.al., 2018). examinations variable mean standard deviation blood glucose before treatment 155.19 11.365 blood glucose after treatment 151.50 11.788 table 2 results of descriptive analysis of blood glucose levels before and after given vco and lowcarb diets 274 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 271–275 that must be done to determine the presence of gestational diabetes in pregnant women after fasting 8-14 hours and plasma blood sugar after 2 hours of fasting. diabetes mellitus in pregnancy causes complications in pregnancy and will prevent fetal wellbeing which can lead to preterm labor. besides, it can cause metabolic disorders in the mother’s body. anti-diabetic drugs for a longer period of time may have undesirable effects on both pregnant women and the fetus. in addition, drug dependence will have an impact on the economy. the solution to this problem is in the form of natural anti-diabetic foods with the lowest pain effects and low costs are the most desirable. vco, contains medium chain saturated fatty acids (mcfa), especially lauric acid with a content of between 43-53% of total fatty acids. lifestyle intervention reduced the incidence by 58 percent (95 percent confidence interval, 48 to 66 percent) and metformin by 31 percent (95 percent confidence interval, 17 to 43 percent), as compared with placebo; the lifestyle intervention was more effective than metformin. to prevent one case of diabetes during a period of three years, 6 from 9 persons would have to receive metformin. person changes and treatment with metformin in persons at high risk the intervention lifestyle was more efin this research gestational diabetes mellitus were given vco and low carb. giving vco with a low carb diet is an attempt to restrict glucose levels in the body. the role of energy sources due to glucose (low carb) restriction will be replaced by vco so that gestational diabetes mellitus are fulfilled by their caloric needs. vco is proven to be beside that vco is an antioxidant can increase sensitivity to insulin or vice versa can also reduce insulin resistance and repair damage to pancreatic beta cells with the process of reactive oxygen (ros) in diabetic patients. gestational diabetes has various impacts on the mother and fetus, including increasing the risk of the mother experiencing preterm labor. in addition, large gestational age and macrosomia are often found in infants born to mothers with gestational diabetes. this can be prevented by carrying out various interventions before and during pregnancy. the indicator of the success of prevention is the results of examination of fasting blood glucose levels <91 mg/dl and blood sugar after meals <200 mg/dl (who, 2013). vco is an antioxidant can increase sensitivity to insulin or vice versa can also reduce insulin resistance and repair damage to pancreatic beta cells with the process of reactive oxygen (ros) in diabetic patients (kabisch et al., 2018; stocker et al., 2019). low carb diet is an attempt to restrict glucose levels in the body. the role of energy sources due to glucose (low carb) restriction will be replaced by vco so that pregnant women with diabetes mellitus are fulfilled by their caloric needs (ada, 2015). conclusion vco and a low carb diet is way more effective in reducing blood glucose in gestational diabetes mellitus. low carb diet can restrict glucose intake in the body without hypoglycemia because the role of energy sources were replaced by vco. it is safe to use for both mother and fetus as an alternative non-pharmacological therapy on gdm and prevent preterm labor. suggestion pregnant women who are at risk of diabetes mellitus should maintain a good lifestyle including reducing high-carbohydrate foods so that there is no increase in blood sugar during pregnancy. references american diabetes association (2015) ‘12. management of diabetes in pregnancy’, diabetes care, 38(january), pp. s77–s79. doi: 10.2337/dc15-s015. daundasekara, s. s. et al. (2017) ‘validation of the intuitive eating scale for pregnant women’, appetite, 112, pp. 201–209. doi: 10.1016/j.appet.2017.02.001. iranloye, b., oludare, g. and olubiyi, m. (2013) ‘antidiabetic and antioxidant effects of virgin coconut oil in alloxan induced diabetic male sprague dawley rats’, journal of diabetes mellitus, 03(04), pp. 221– 226. doi: 10.4236/jdm.2013.34034. ji, w.w., yu, d.a., fan, m., you, m., lu, y., li, e.b., xie, n. and yan, s. s. (2017) ‘effects of gw002, a novel recombinant human glucagon-like peptide-1 (glp1) analog fusion protein, on cho recombinant cells and bks-db mice.’, acta diabetologica, 54(7), pp. 685–693. joeliantina, a. et al. (2019) ‘family support for diabetes self-care behavior in t2dm patients who use herbs as a complementary treatment’, medico-legal update, 19(1), pp. 238–243. doi: 10.5958/09741283.2019.00048.3. fective than metformin (iranloye et.al., 2013). an antidiabetic alternative (iranloye et.al., 2013). 275saudah, lestari, lukita, acob, the effectiveness of virgin coconut oil on the decrease of ... kabisch, s. et al. (2018) ‘liver fat scores moderately reflect interventional changes in liver fat content by a low-fat diet but not by a low-carb diet’, nutrients, 10(2). doi: 10.3390/nu10020157. purnamasari, d., waspadji, s., adam, j. m., rudijanto, a., & tahapary, d. (2013) ‘indonesian clinical practice guidelines for diabetes in pregnancy’, journal of the asean federation of endocrine societies, 28(1), pp. 9–9. saudah, n. et al. (2015) ‘model of independency mother in caring for preterm infant based on experiential learning care (elc)’, international journal of evaluation and research in education (ijere), 4(4), p. 200. doi: 10.11591/ijere.v4i4.4512. setiadi (2013) konsep dan praktik penulisan riset keperawatan. 2nd edn. jogjakarta: graha ilmu. setyorogo, s. and trisnawati, s. . (2013) ‘faktor resiko kejadian diabetes melitus tipe ii di puskesmas kecamatan cengkareng jakarta barat tahun 2012’, jurnal ilmiah kesehatan, 5(1), pp. 6–11. soelistijo, s.a., novida, h., rudijanto, a., soewondo, p., suastika, k., manaf, a., sanusi, h., lindarto, d., shahab, a., pramono, b. and langi, y. (2015) ‘konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia’, jakarta: pb perkeni, pp. 1–93. soliman, a.m., lin, t.s., ghafar, n.a. and das, s. (2018) ‘virgin coconut oil and diabetic wound healing: histopathological and biochemical analysis.’, eur. j. anat, pp. 135–144. stocker, r.k., bally, l., nuoffer, j.m. and stanga, z. (2019) ‘ketogenic diet and its evidence-based therapeutic implementation in endocrine diseases’, praxis, 108(8), p. pp.541-553. tebbani, f., oulamara, h. and agli, a. (2017) ‘early weight gain during pregnancy: which women are the most affected?’, international journal of medical science and public health, p. 1. doi: 10.5455/ ijmsph.2017.0208623012017. who (2013) diagnosti c and classi fi cati on of hyperglicemia first detection in pregnancy, who. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 67zuhrina, pengaruh penyuluhan nutrisi pemberian ... 67 pengaruh penyuluhan nutrisi pemberian asam folat alami terhadap peningkatan hemoglobin pada ibu hamil (the effect of the nutrition of natural folat acid the rising of hemoglobin to trimester i and ii pregnant women) nofita zuhrina, laily prima monica stikes patria husada blitar e-mail: icca.monica89@gmail.com abstract: folat acid is needed in forming 1/3 corpuscle. it causes pregnant woman who suffers from lacking of folat acid commonly followed by anemia. folat acid is a vitamine that more needed by pregnant woman. the purpose of this research is to find out if there is effect of natural folat acid counseling to the rising of hemoglobin in trimester i and ii pregnant women. the research design of this study is pre-experimental that uses one shoot case approach. the population of this research are 20 responden of trimester i and ii pregnant women in bpm sumidjah of slorok, using total sampling technique. the instrument of this research is sop sheet, the observation sheet of the rising of hemoglobin after the counseling. after that, it is analyzed using wilcoxon.the result is served in a table from. the rising of hemoglobin is about 70% in which 25% of pregnant women medium anemia has 95% rising of with light category.there was a significant increase in hemoglobin levels in pregnant women. the effect of the nutrition of natural folat acid the rising of hemoglobin that can prevent the risk of maternal and fetal death due to anemia. keywords: pregnant women, hemoglobin, folat acid abstrak: asam folat berperan penting dalam pembentukan satu per tiga sel darah merah. ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat dapat mengalami anemia (anemia defisiensi asam folat). asam folat merupakan vitamin yang kebutuhannya berlipat dua selama kehamilan. tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui adakah pengaruh penyuluhan asam folat alami terhadap peningkatan hemoglobin pada ibu hamil trimester i dan ii. metode: penelitian ini menggunakan desain penelitian pre-eksperimental dengan pendekatan one-shoot case study. populasi dalam penelitian ini semua ibu hamil trimester i dan ii yang ada di bpm sumidjah slorok sebanyak 20 responden dengan teknik total sampling . instrumen dalam penelitian ini adalah melalui lembar sop, lembar observasi kenaikan kadar haemoglobin. kemudian dianalisa dengan uji wilcoxon. hasil: hasil dari peningkatan kadar hemoglobin sebesar 70% di mana sebanyak 25% ibu hamil dengan kategori anemia sedang mengalami peningkatan 95% menjadi kategori anemia ringan. terjadi peningkatan kadar hemoglobin yang signifikan pada ibu hamil. adanya pengaruh penyuluhan manfaat asam folat alami terhadap peningkatan hemoglobin dapat mencegah resiko kematian ibu dan janin karena anemia. kata kunci: ibu hamil, hemoglobin, asam folat masa kehamilan merupakan periode yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak. selama kehamilan kebutuhan gizi ibu meningkat karena terjadi peningkatan beberapa komponen dari jaringan ibu seperti cadangan lemak, darah, dan kelenjar susu, serta komponen janin seperti janin, air ketuban dan plasenta. kebutuhan gizi yang meningkat digunakan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p067-071 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 68 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 67–71 janin bersama-sama dengan perubahan-perubahan yang berhubungan pada struktur dan metabolisme yang terjadi pada ibu. malnutrisi tidak hanya melemahkan fisik dan membahayakan jiwa ibu, tetapi juga mengancam keselamatan janin (wiknjosastro, 2005). gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. terdapat kaitan yang sangat erat antara status gizi dengan konsumsi makanan. tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. bila status gizi ibu normal pada masa sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. dengan kata lain kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil sekitar 24–60% wanita, baik di negara sedang berkembang maupun yang telah maju, mengalami kekurangan asam folat karena kandungan asam folat di dalam makanan mereka sehari-hari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ibu hamil (arisman, 2010:17). asam folat berperan penting dalam pembentukan satu per tiga sel darah merah. itu sebabnya ibu hamil yang mengalami kekurangan asam folat umumnya juga mengalami anemia (anemia defisiensi asam folat). pada ibu yang mengalami anemia karena kurangnya asupan asam folat terlihat pucat dan mudah lelah, berdebar, takikardi, dan sesak nafas. bahkan juga beresiko mengalami persalinan premature, solusio plasenta dan keguguran (arisman, 2010:18). kebutuhan asam folat pada ibu hamil sebesar 600 ug per hari. kebutuhan asam folat tidak hanya pada saat hamil tetapi juga sebelum hamil. tiga bulan sebelum hamil sebaiknya wanita mengkonsumsi asam folat sebanyak 600 ug per hari. cacat tabung saraf janin bisa terbentuk saat kehamilan berusia 2–4 minggu (arisman, 2010:19). menurut who kejadian cacat bawaan fisik di amerika serikat 1,32 per 1000 kelahiran salah satunya kekurangan asam folat. di tingkat nasional, prevalensi anemia masih cukup tinggi. berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (skrt) tahun 2005, menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil 50,9%, ibu nifas 45,1%, remaja putri usia 1014 tahun 57,1% dan pada wanita usia subur (wus) usia 17–45 tahun sebesar 39,5%. sedangkan di jawa timur berdasarkan kajian data anemia tahun 2002, ditemukan 16% wanita usia subur menderita anemia. di blitar penyebab langsung kematian ibu 90% terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan (skrt 2001), akibat perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). penyebab tidak langsung kematian ibu antara lain kurang energi kronis atau kek pada kehamilan (37%) dan anemia pada kehamilan (40%). sedangkan berdasarkan laporan rutin pws tahun 2007, penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (7%) dan lain-lain (33%). hemoglobin merupakan zat warna yang terdapat dalam darah merah yang berguna untuk mengangkut oksigen dan co2 dalam tubuh. hemoglobin adalah ikatan antara protein, garam besi, dan zat warna. kadar hb merupakan parameter yang paling mudah untuk menentukan status anemia. sampel darah yang digunakan biasanya sampel darah tepi, seperti dari jari tangan dan untuk mendapat hasil yang lebih akurat dianjurkan menggunakan sampel darah vena. berdasarkan pengalaman penulis saat melakukan praktek lapangan pada bulan desember 2013 ditemukan fakta bahwa terdapat ibu hamil trimester i dan ii yang mengalami kekurangan kadar hemoglobin sejumlah 3orang. kurangnya kesadaaran akan konsumsi tablet fe serta kurangnya pengetahuan ibu hamil terhadap asam folat alami menjadi faktor utama dari penurunan hemoglobin saat hamil. berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka masalah yang di rumuskan apakah ada pengaruh penyuluhan nutrisi asam folat alami terhadap peningkatan hemoglobin pada ibu hamil trimester i dan ii. tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh penyuluhan asam folat alami terhadap peningkatan hemoglobin pada ibu hamil trimester i dan ii. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi kadar hemoglobin sebelum dilakukan penyuluhan asam folat alami (2) mengidentifikasi kadar hemoglobin sesudah penyuluhan nutrisi asam folat alami (3) menganalisa pengaruh penyuluhan nutrisi pemberian asam folat alami terhadap peningkatan hemoglobin pada ibu hamil trimeser i dan ii. manfaat penelitian secara teoritis hasil penelitian dapat memberikan informasi pada ibu hamil 69zuhrina, pengaruh penyuluhan nutrisi pemberian ... trimester i dan ii tentang asam folat alami untuk peningkatan kadar hemoglobin pada ibu hamil selama kehamilannya dan mengurangi resiko prematuritas, solusio placenta, dan cacat tabung syaraf janin. manfaat penelitian secara praktis bagi responden penelitian ini dapat membantu responden memberikan informasi pada ibu hamil trimester i dan ii tentang asam folat alami agar terhindar dari resiko anemia yang dapat berdampak buruk pada janin dan ibu itu sendiri. manfaat penelitian secara teoritis adalah dapat lebih memahami masalah yang berkaitan dengan pemberian penyuluhan nutrisi asam folat alami sehingga dapat mengurangi terjadinya resiko anemia pada ibu hamil trimester i dan ii. bahan dan metode penelitian desain penelitian ini menggunakan metode rancangan pre-eksperimental. dengan pendekatan one-shoot case study. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu hamil trimester i dan ii yang ada di bpm sumidjah slorok. variabel independen yang digunakan adalah penyuluhan asam folat alami. dan variabel dependen adalah peningkatan hemoglobin hasil penelitian karakteristik responden penyuluhan nutrisi nutrisi asam folat alami folat alami dan hampir seluruh 95% memiliki kadar hemoglobin dalam kategori anemia ringan setelah dilakukan penyuluhan nutrisi asam folat alami. hasil perhitungan dengan menggunakan uji statistik wilcoxon menggunakan spss 17 menunjukkan nilai probabilitas < 0,05, sehingga dapat disimpulkan terjadi peningkatan hemoglobin pada ibu hamil setelah pemberian penyuluhan nutrisi asam folat alami. pembahasan kadar hemoglobin sebelum penyuluhan berdasarkan hasil uji di atas didapatkan jumlah responden yang memiliki kadar hemoglobin kategori normal 10%, anemia ringan 65%, anemia sedang 25%. produksi hemoglobin yang rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: perdarahan, faktor ekonomi, gizi, kelainan darah, dan sebagainya. berdasarkan hasil penelitian didapatkan hampir setengah responden berusia diantara 25–28 tahun (40%). wanita hamil diusia kurang dari usia produktif rentan mengalami komplikasi selama kehamilannya, seperti perdarahan, anemia, sampai abortus. berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden sebanyak (55%) merupakan kehamilan anak ke dua. hal ini sangat berpengaruh pada pengalaman ibu selama kehamilan. di mana pada multi gravida dapat lebih mengatasi keluhan selama kehamilannya berbeda dengan ibu primi gravida yang belum mempunyai pengalaman tentang cara menangani komplikasi selama kehamilan yang meliputi emesis gravidarum dan hyperemesis gravidarum. berdasarkan hasil penelitian didapatkan setenga h da r i responden berpendidikan sekola h tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f  1. umur 21-24 tahun 7 35 25-28 tahun 8 40 29-32 tahun 2 10 33-36 tahun 3 15 2. pendidikan sd 2 10 smp 8 40 sma 10 50 3. gravida primi 45 45 multi 55 55 4. pekerjaan irt 13 65 wiraswasta 1 5 swasta 6 30 berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui bahwa bahwa sebagian besar 65% responden memiliki kadar hemoglobin dalam kategori anemia ringan sebelum dilakukan penyuluhan nutrisi asam tabel 2.kadar hemoglobin sebelum penyuluhan kategori anemia f % normal 2 10% anemia ringan 13 65% anemia sedang 5 25% anemia berat total 20 100% tabel 3. kadar hemoglobin setelah penyuluhan kategori anemia f % normal anemia ringan 19 95% anemia sedang 1 5% anemia berat total 20 100% 70 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 67–71 menengah atas (sma), yaitu sebanyak (50%). hal ini berpengaruh pada sumber informasi yang telah didapat. semakin tiggi tingkat pendidikan, ibu akan semakin mencari informasi tentang kesehatan dirinya dan janin baik melalui media cetak ataupun media lainnya. berdasarkan hasil penelitian didapatkan lebih dari setengah responden tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak (65%). hal ini sangat memungkinkan asupan nutrisi sangat baik. banyaknya kegiatan atau pekerjaan dapat menyebabkan asupan nutrisi yang dikonsumsi berkurang. hemoglobin adalah protein pembawa oksigen di dalam sel darah merah, yang memberi warna merah pada sel darah merah (proverawati, 2011:7). pemberian penyuluhan mengenai manfaat asam folat terhadap peningkatan haemoglobin bertujuan untuk menambah informasi ibu hamil terhadapa besarnya manfaat asam folat selama kehamilan. folat dalam makanana terdapat sebagai. poliglutamat yang terlebih dahulu harus dihidrolisis atau dipecah menjadi bentuk monoglutamat di dalam mukosa usus halus. berfungsi dalam pembentukan dna dan rna. di samping itu folat dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah dan sel darah putih dalam sumsum tulang. (almatsir, 2009:210). folat terdapat dalam bahan makanan teruama dalam sayuran bayam, daging tanpa lemak, biji-bijian, kacang-kacangan, dan jeruk. vitamin c yang ada dalam jeruk menghambat kerusakan folat. peningkatan kadar hemoglobin pada ibu disebabkan karena pemberian penyuluhan nutrisi asam folat alami yang berfungsi meningkatkan kadar hemoglobin pada darah. keadaan ibu dimana emesis dan hyperemesis yang dialami ibu dapat berpengaruh pada kadar hemoglobin karena kedua keadaan ini dapat mempengaruhi asupan nutrisi yang dikonsumsi oleh ibu. sehingga usaha pemberian penyuluhan ini tidak dapat dijadikan satusatunya usaha untuk meningkatkan kadar hemoglobin dalam darah. kadar hemoglobin setelah penyuluhan berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar haemoglobin sebesar 70% di mana sebanyak 25% ibu hamil dengan kategori anemia sedang me-ngalami peningkatan 95% menjadi kategori anemia rinngan. penyuluhan kesehatan adalah penambahan pengetahuan dan kemam-puan seseorang melalui tehnik praktek belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara individu, kelompok maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat. dengan adanya pengaruh yang didapat dari penyuluhan tentang manfaat pemberian asam folat terhadap pening-katan kadar haemoglobin pada ibu hamil trimester i dan ii bisa mencegah resiko kematian pada ibu dan janin karena anemia. keluarga dan peran serta suami diperlukan dalam pemenuhan nutrisi terutama pada ibu yang mengalami emesis atau hyperemesis gravidarum sehingga ibu akan diselimuti perasaan dicintai dan diperhatikan. keadaan tersebut membuat ibu senang, sehingga kemungkinan terjadi mual muntah berlebihan akan berkurang. simpulan dan saran simpulan sebagian besar 65% responden memiliki kadar hemoglobin dalam kategori anemia ringan sebelum dilakukan penyuluhan nutrisi asam folat alami dan hampir seluruh responden 95% memiliki kadar hemoglobin dalam kategori anemia ringan setelah dilakukan penyuluhan nutrisi asam folat alami. ada pengaruh penyuluhan mengenai pemberian asam folat terhadap peningkatan hemoglobin pada ibu hamil trimester i dan ii yang ditandai dengan taraf signifikasi 0,040. saran bagi responden diharapkan pemberian penyuluhan ini bisa menambah pengetahuan tentang nutrisi yang mengandung banyak asam folat yang sangat baik dikonsumsi selama kehamilan terutama kehamilan trimester i dan ii serta dapat mencegah cacat pada janin, anemia pada ibu dan perdarahan setelah persalinan. bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk menambah informasi tentang sumber-sumber asam folat alami dan bisa dilakukan penelitian lebih lanjut misalnya pengaruh asam folat terhadap sistem organ lain selain pada hati dalam proses pembentukan hemoglobin. bagi tempat penelitian diharapkan bagi ibu hamil, kader, dan calon pengantin wanita dapat menginformasikan tentang sumber asam folat alami dan manfaatnya untuk kehamilan pada sanak saudara, tetangga sehingga ibu hamil di wilayah slorok menjalani kehamilan dan persalinan yang sehat. bagi 71zuhrina, pengaruh penyuluhan nutrisi pemberian ... institusi pendidikan untuk institusi pendidikan terkait dapat memberikan ilmu baru tentang cara meningkatkan kadar haemoglobin dalam darah melalui penyuluhan nutrisi asam folat alami. bagi tenaga kesehatan wilayah diharapkan kepada tenaga kesehatan wilayah seperti bidan bisa ikut berperan dalam memperkenalkan dengan cara sosialisasi mengenai sumber sumber nutrisi yang mengandung asam folat alami. daftar rujukan akhmadi, a. 2008. konseling kesehatan remaja: kajian materi diklat teknis fungsional peningkatan kompetensi guru pertama bk mts. yogyakarta: lumbung pustaka uny. budiono, i. 2011. konsistensi penggunaan kondom oleh wanita pekerja seks/pelanggannya, jurnal kesehatan masyarakat/ kemas 7 (2):hal. 89–94. dandona, r., dandona, l., dan gutierrez, j.p. 2005. high risk of hiv in non-brothel based female sex workers in india. bmc public health. india, 5:87. direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan kementrian kesehatan ri 2013, laporan situasi perkembangan hiv/aids di indonesia sampai dengan maret 2013, jakarta. http:// www.spiritia.or.id/stats/statcurr.php? lang=id & gg=1. mei 2013 departemen kesehatan republik indonesia. 2003. kesehatan reproduksi. depkes ri, jakarta. dewi, s. 2008. pengaruh pendidikan kesehatan dalam pencegahan hiv/aids. media ners fakultas kedokteran universitas diponegoro volume 2, nomor 1, mei 2008. semarang. evianty, r. 2008. pengaruh faktor predisposisi, pendukung dan penguat terhadap tindakan psk dalam menggunakan kondom untuk pencegahan hiv/aids di lokalisasi teleju kota pekan baru. tesis. program pascasarjana universitas sumatra utara. medan. hurlock, e. 2008. psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. jakarta: erlangga. kpa provinsi bali, 2012. psk di bali terinfeksi hiv/aids. http://bola.okezone.com. 15 februari 2013. kring, dkk., 2007. abnormal psychology. edisi 10. john wiley & sons, inc. united state of amerika. kurniawan, r. 2011.komunitas peduli penderita hiv/ aids. yayasan aids indonesia. http://www.cafe berita.com. 15 februari 2013. mboi, n. 2013. jumlah remaja paham hiv/aids masih minim. http://wwwrepublika.co.id. 1 agustus 2013. subadara, i.n. 2007. bali tourism watch: keberadaan pekerja seks komersial sebagai dampak negative pariwisata di bali. http://www.subadara. wordpress.com. 13 februari 2013. susilo, h. 2004. faktor-faktor yang mempengaruhi praktik negoisasi penggunaan kondom untuk mencegah ims & hiv/aids pada wps di resosialisasi argorejo kelurahan kalibanteng kulon kecamatan semarang barat kota semarang. tesis. program pasca sarjana universitas diponegoro, semarang. sundberg, norman, d., dan winerbager. 2007. psikologi klinis perkembangan teori, praktik dan penelitian. yogjakarta: pustaka pelajar. tjahayadi, d. 2009. efektivitas penyuluhan terhadap perilaku mencegah penularan hiv dan aids pada psk. badan kependudukan dan keluarga berencana nasional. lampung. wirawan. 2012. penderita hiv/aids di bali mayoritas psk. dinas kesehatan provinsi bali.http://www. waspada.co.id. 18 januari 2013. e:\2021\ners agustus\17--jurnal 242 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 242–246 the correlation of women’s knowledge of shildbearing age (15-49 years) about breast cancer and motivation to do breast self-examination (bse) wiwik muhidayati1 , nur azizah2 , lusi afriyani3 , kartika ria ningrum4 1,2,3study program of midwifery, stikes rajekwesi bojonegoro, indonesia 4midwifery students, stikes rajekwesi bojonegoro, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 27/05/2021 accepted, 02/08/2021 published, 05/08/2021 keywords: women of childbearing age, breast cancer, bse article information abstract regular breast self-examination is a way to detect early signs of problems in the breasts. the purpose of the study was to determine the correlation of womens’ knowledge of childbearing age (15-49 years) about breast cancer and the motivation to carry out breast self-examination (bse) in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency in 2020. the method was correlational analytic with cross sectional approach with a total sample of 85 respondents taken by simple random sampling technique. the data collection instrument used a questionnaire. after the data was collected, the data was processed and analyzed using the spearman rho statistical test. the results of this study indicated that the majority of respondents had good knowledge as much as 26 (81.3%) and had a strong motivation to perform breast self-examination (bse). and after being tested statistically using the spearman rho statistical test with a value of � : 0.05, the value of � : 0.000 < (0.05), which meant there was a correlation between women’s knowledge of childbearing age (15-49 years) about breast cancer and motivation do bse. the conclusion was there was a correlation between women’s knowledge of childbearing age (15-49 years) about breast cancer and motivation to perform breast self-examination (bse). © 2021 journal of ners and midwifery 242 correspondence address: stikes rajekwesi bojonegoro – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: aziezahmaulana@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p242–246 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p242-246&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 243muhidayati, azizah, afriyani, ningrum, the correlation of women’s knowledge of ... introduction breast cancer is the disease most feared by women, the biggest cause of death for women aged 18 to 54 years, women aged 45 years have a 25% higher risk of contracting breast cancer than older women (lee 2008). the highest incidence rates can be found in areas in the united states (reaching above 100/ 100,000, meaning 100 sufferers out of 100,000 people), the american cancer society estimates that by 20 18 , 552,200 americans will die of cancer, and 40,800 or 7 % of them are women with breast cancer, this means 15% of women who died due to breast cancer . the incidence rate of cancer in indonesia (136.2/100,000 population) ranks 8th in southeast asia, while in asia it is 23rd. the highest incidence rate in indonesia for men is lung cancer, which is 19.4 per 100,000 population with an average mortality was 10.9 per 100,000 population, followed by liver cancer at 12.4 per 100,000 population with an average death rate of 7.6 per 100,000 population. while the highest incidence rate for women is breast cancer, which is 42.1 per 100,000 population with an average death rate of 17 per 100,000 population followed by cervical cancer at 23.4 per 100,000 population with an average death rate of 13.9 per 100,000 population. based on riskesdas data, the prevalence of tumor/cancer in indonesia showed an increase from 1.4 per 1000 population in 2013 to 1.79 per 1000 population in 2018. according to data from the east java provincial health office, the prevalence of cancer in women showed an increase from 1. 6 per 1000 population in 2013 to 3.5 per 1000 population in 2018, where in 2019 the number of cervical cancer patients reached 13,078 cases, while breast tumors reached 12,186 cases. breast self-examination is an effort or method of breast examination that is regularly and systematically carried out by the woman herself which is a n integr a l pa r t of the scr eening pr ogr a m or early detection (romauli 2009). the wisest way is for every woman to check her breasts regularly at certain intervals. in this way, even the smallest abnormalities can be found and active steps for treatment can be started as early as possible. in another study it was found that women who have a low level of knowledge and understanding about breast cancer and how to detect it need to be given information about breast cancer and how to detect it, namely breast selfexamination since adolescence (viviyawati t 2014). breast cancer prevention can be done by means of breast self-examination. one of the causes of high mortality due to this disease is due to a lack of awareness to detect existing symptoms, it is necessary to know the symptoms and risk factors that can increase the occurrence of breast cancer, namely: first menstruation at the age of less than 10 years, menopause after 50 years old, never gave birth to a child, gave birth to their first child at 35 years old, never breastfed a child, had had breast surgery due to a benign tumor and hereditary factors (purnomo 2009). based on the above background, the researchers are interested in conducting research on “the correlation between knowledge of women of childbearing age (15-49 years) about breast cancer with the motiva tion to do bse in jeta k village, bojonegoro district, bojonegoro regency in 2020”. method the method used a correlational method with a cross sectional approach, using simple random sampling with a sample of 85 women of childbearing age from a total population of 749 women of childbearing age in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency in 2020. the type of instrument used a questionnaire with open and closed questions about knowledge of breast cancer and motivation to perform breast self-examination (bse). the study was conducted on july 2020 and took place in the jetak village, dander district, bojonegoro regency (aa 2009). result 1. knowledge of women of childbearing age about breast cancer the data above shows that from 85 respondents most of the respondents have good knowledge as many as 32 (37.65) have a strong motivation to do bse. 2. motivating women of childbearing age about doing self-examination the data above shows that from 85 respondents more than some have strong motivation in doing bse, as many as 60 people (70.59%). 244 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 242–246 3. the correlation between knowledge of women of childbearing age about breast cancer with motivation to do selfexamination from table 3, it can be seen that from 85 respondents, most of the respondents have good knowledge as much as 26 (81.3%) and have a strong motivation to do bse. no knowledge of women of childbearing age about breast cancer 1 less 11 12,94 2 enough 42 49,41 3 good 32 37,65 amount 85 100,00 source: primary research data in 2020 table 1. distribution of respondents based on knowledge about breast cancer in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency in 2020 no motivation for women of childbearing age to do bse amount f % 1 weak 3 2,53 2 medium 22 25,88 3 strong 60 70,59 amount 85 100,00 source: primary research data in 2020 table 2. distribution of respondents based on motivation to do bse in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency in 2020 table 3. cross-tabulation of the correlation between knowledge of women of childbearing age about breast cancer with motivation to do bse in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency in 2020 no. knowledge of women of childbearing motivation for women of amount age about breast cancer childbearing age to do bse weak medium strong f % f % f % f % 1 less 3 27,3 8 72,7 0 0,0 11 100 2 enough 0 0,0 8 19,0 34 81,0 42 100 3 good 0 0,0 6 18,8 26 81,3 32 100 amount 3 3,5 22 25,9 60 70,6 85 100 source: primary research data in 2020 discussion 1. women’s knowledge of childbearing age about breast cancer based on the results of research in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency, there were less than 11 people or 12.94% and had sufficient knowledge of 42 people or 49.41% about breast cancer. this knowledge shows that they are less able to think rationally. because breast cancer has a broad scope of reproductive health in women of childbearing age. amount f % 245muhidayati, azizah, afriyani, ningrum, the correlation of women’s knowledge of ... most of the respondents aged 27-30 years who are the adult age group should have mature and rational thinking skills. however, because the education taken by the respondents includes a low level of education and does not provide material about breast cancer and the possibility and lack of desire to seek information about breast cancer, causing limited knowledge of respondents about breast cancer. meanwhile, r espondents who have good knowledge in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency, are because they are active in obtaining breast cancer information either from health workers or through print media, such as magazines. because basically the information is very easy to obtain and received by respondents quickly. women of childbearing age who have good knowledge about breast self-examination (bse) are mostly good. this is due to the educational background of the respondents who are mostly colleges, where respondents have obtained quite good knowledge about breast self-examination (bse) obtained from various sources of information such as mass media, health workers, books, internet, facilities on campus such as library or other (evi heriyanti 2015). health education about breast cancer aims to provide information and or increase knowledge to respondents about the meaning, causes, signs and symptoms, risk factors, prevention, treatment, breast self-examination (bse) with the methods used, namely lectures, questions and answers, and demonstrations. the media used were leaflets and guidelines for breast self-examination (bse) (sari 2016). 2. motivation of women of childbearing age in doing bse research data regarding the motivation of women of childbearing age in doing bse, more than some have a strong motivation in doing bse, as many as 60 people (70.59%). motivation comes from the word motive. motive in english is called motive, which comes from the word motion which means “movement” or something that moves. in a broader sense, motive means stimulation, encouragement, or driving the occurrence of a behavior. motivation is something that encourages, or encourages someone to behave to achieve certain goals (saam 2012). motivation as an inner process or psychological process within a person, is strongly influenced by several factors. these factors include physical factors and mental processes, heredity factors, environment and maturity or age, one’s intrinsic factors (individual traits, education level, past experiences and future desires or expectations), facilities (facilities and infrastructure), situation and conditions and programs and activities (janet, 2009). while breast self-examination (bse) is the development of a woman’s concern for the condition of her own breasts (niswan 2011). motivation arises because of stimulation, where one of the processes is caused by factors from outside the person who influence such as peers (anny rosiana masithoh 2015). more than some respondents in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency have a strong motivation in doing bse, this is probably caused by various factors including personal experience, emotional factors and the influence of others. in addition, one of the signs of secondary development for women is breast growth. with the presence of breast growth which is a sign of a woman’s maturity, the possibility of raising awareness of respondents to maintain breast health in order to avoid breast cancer where now many breast cancers are spreading, and the incidence of breast cancer from several people around them, so to prevent the need for examination own breasts as early as possible, so that women of childbearing age in jetak village have a strong motivation in doing bse. 3. the correlation between women’s knowledge of childbearing age about breast cancer on the motivation to do bse the results of statistical tests show that knowledge of women of childbearing age has a close correlation with high motivation in carrying out bse examinations. breast cancer not only during adolescence is a vulnerable period of human life that is very critical because it is a transitional stage from childhood to adulthood. at this stage, teenagers often do not realize that a stage of development has begun, but what is certain is that every teenager will experience a change both physically, emotionally and socially in women (puji lestari 2020). breast self-examination (bse) is very important as a first step to find out whether you have breast cancer or not. the existence of information 246 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 242–246 about bse and breast cancer motivates women to increase knowledge about the breast area. this is the main basis for increasing knowledge about breast examination. the increasing level of knowledge about breast self-examination will affect the attitude of women to realize the importance of breast self-examination to prevent the risk of breast cancer (evi heriyanti 2015). breast cancer can be prevented by taking the following actions, namely avoiding high-fat foods, from the results of the study, consumption of highfat foods correlates with an increase in breast cancer, maintaining health by consuming fresh fruits and vegetables, giving breast milk to children as long as possible , this can reduce the risk of breast cancer and perform a bse examination every month. there are still many women who do not know or have a low level of awareness about early detection of breast cancer that can be done at home. this provides an opportunity for cancer to grow into an advanced stage and increasingly difficult to cure. the higher the stage, the less likely someone with breast cancer will recover (purnomo 2009). conclusion based on the results of research in jetak village, bojonegoro district, bojonegoro regency in 2020, it shows that knowledge of breast cancer affects the motivation of respondents to do bse. in addition, the influence of family and friends as well as the health education obtained about breast selfexamination and breast cancer in jetak village also affected the respondents’ knowledge. suggestion women of childbearing age need to increase knowledge about reproductive health and carry out regular bse checks through outreach activities carried out by health workers at posyandu and other health services. midwives or health workers must be more active in monitoring and providing health education for women of childbearing age references aa, hidayat. (2009). metodologi penelitian kebidanan dan teknis analisis data. jakarta: salemba medika. anny rosiana masithoh, elisabeth onna montairo. (2015). “motivasi untuk melakukan pemeriksaan payudara sendiri (sadari) sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan tentang kanker payudara padawanita usia subur.” 6(1): 1–11. evi heriyanti, triana arisdiani dan yuni puji wiyastuti. (2015). “hubungan tingkat pengetahuan dan mot ivasi de ngan t indakan pemeriksaan payudara sendiri (sadari) pada remaja putri evi heriyanti * , triana arisdiani, yuni puji widyastuti.” : 143–56. lee, jr. (2008). kanker payudara pencegahan dan pengobatannya. jakarta: daras books. niswan, wa.(2011). lima menit kenali payudara anda. yogyakarta: andi offset. puji lestari. (2020). “pentingnya pemeriksaan payudara sendiri (sadari) sebagai upaya deteksi dini kan ker payudar a . ” indone sian j ournal of community empowerment (ijce): 2657-1161 / 2657-117x,. purnomo, h. (2009). pencegahan & pengobatan pe nyak it yang paling memat ikan. jakart a: jagakarsa. romauli, s. (2009). kesehatan reproduksi buat mahasiswa kebidanan. yogyakarta: mulia medika. saam, z. (2012). psikologi keperawatan. jakarta: pt. rajagrafindo pustaka. sari, eka afrima. (2016). “motivasi mahasiswi keperawatan dalam pemeriksaan payudara sendiri sebagai deteksi dini kanker payudara.” iv(1): 1–9. viviyawati t. (2014). “pengaruh pendidikan kesehatan tentang pemeriksaan ‘’sadari” sebagai deteksi dini kanker payudara dan sikap remaja putri di smk n 1 karanganyar.” e:\ibuk\ners desember 2021\16-368 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 368–372 the correlation of maternal age and the incidence of preeclampsia at aura syifa hospital anggita retnosari1, ira titisari2, eny sendra3 1,2,3midwifery department, health polytechnic ministry of malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 08/10/2021 accepted, 20/12/2021 published, 25/12/2021 keywords: preeclampsia, maternal age, pregnant mother article information abstract preeclampsia is a condition when hypertension and proteinuria occurs after 20 weeks of pregnancy. the exact cause of preeclampsia is currently unknown, but many factors influence the occurrence of preeclampsia, especially the age factor. this study was aimed to determine the correlation between maternal age and the incidence of preeclampsia. this study was analytical survey designed with retrospective study method. from aura syifa hospital, 142 medical records in of pregnant women in 2017 were taken 105 samples by using simple random sampling technique. the result of this study indicated that delivered mothers who were in reproductive age (20-35 years old), 25.8% of them had preeclampsia and 31,1% had severe preeclampsia. the data analyzed by suing chi-square correlation and the result was  (0.00) <  (0.05) which meant that there was a correlation between maternal age and the incidence of preeclampsia. it would be better for couples planning pregnancy in healthy reproductive age for minimize the risk of preeclampsia. © 2021 journal of ners and midwifery 368 correspondence address: stikes adi husada surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: caturia@akper-adihusada.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p368–372 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p368-372&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 369retnosari, titisari, sendra, the correlation of maternal age and the incidence of ... introduction in indonesia, hypertension is a problem that still can be found in primary health services. the prevalence of the incidence is about 25,8% while the target in 2019 is 23,4%. in east java, there were 27% people had hypertension. meanwhile in east java, there were approximately 28% people experiencing hypertension. hypertension is a silent killer which consist of 4 different types, namely chronic hypertension, gestational hypertension, preeclampsia, and eclampsia (kemenkes ri, 2015). preeclampsia is a special condition during pregnancy, where hypertension and proteinuria arise after 20 weeks pregnant mothers who initially have normal blood pressure (lowdermilk et al., 2013). hypertension increases in systolic and diastolic blood pressure  140/90 mmhg and urine protein  + 1 or protein elimination reach 300 mg within 24 hours, since 20 weeks gestational age. the risk factors that can cause hypertension in pregnancy are primigravida,, primiparity, hydatidiform mole, diabetes mellitus, multiple pregnancies, large babies, family history of those who have experienced preeclampsia or eclampsia, kidney disease or indeed have hypertension before becoming pregnant, obesity and unhealthy reproductive age which is before 20 and after 35 years old (prawirohardjo, 2016). in east java, especially kediri district, the highest cause of maternal mortality rate was preeclampsia (33%) and followed by bleeding (30%), infection (25%) and heart attack (17%) in 2016. in kediri district, there is 37 public health center, the highest cases of preeclampsia in 2018 occured in mojo public healt center (3.55%), puhjarak public health center (3.1%), pare and papar public health center (2.6% for both of them) (dinkes kabupaten kediri, 2019). aura syifa hospital is one of referral center hospital in kediri district. from preliminary study there, out of 2090 data of mothers in 2016, there were 3.74% of them diagnosed with preeclampsia and 6.36% with severe preeclampsia. in 2018, the number increased by 6.98% (medical records of aura syifa hospital). method this study was an analytical survey method with a retrospective study design. this study was conducted at the aura syifa hospital in kediri regency on february 28 march 31, 2019. the population was 142 medical records data for women with preeclampsia and heavy preeclampsia. the data were taken by simple random sampling and obtained 105 samples of medical records which met the exclusion and inclusion criteria which was 1)data of mothers with preeclampsia; 2)data of delivered mothers in unhealthy reproductive age and diagnosed with preeclampsia; 3)data of mothers with history of preeclampsia. the data were analyzed by using chi-square statistical test with significance value of 0.05, which was  (0.00) <  (0,05). from this, we can conclude that ho was rejected and ha was accepted, there was correlation between maternal age and the incidence of preeclampsia. this study had obtained ethical clearance with number 068/kepk-polkesma/2019, on march 8, 2019. result based on the data in table 1, most of the respondents (62.9%) who were diagnosed with preeclampsia and severe preeclampsia were in health reproductive age, 20 – 35 years old. ages n percentage (%) < 20 & > 35 39 37,1 20-35 66 62,9 source : primary data aura syifa hospital table 1 distribution of age diagnose n percentage (%) preeclampsia 44 41,9 severe preeclamtion 61 58,1 source : primary data aura syifa hospital table 2 distribution of preeclampsia according to the data shows in table 2, 44 respondents had preeclampsia (41.9%) and 61 respondents who had severe preeclampsia were around 58.1%. from table 3, there were 105 medical records from mothers diagnosed preeclampsia and severe preeclampsia who delivered at aura syifa hospital, in 2017. the number of preeclampsia was higher in unhealthy reproductive age than healthy age. but 370 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 368–372 in the same place, the number of severe preeclampsia is higher in health reproductive age than the unhealthy one which will be explained in discussion. the data was analyzed using chi-square test and the result was obtained that ñ-value of (0.00) < á (0.05), which could be concluded that ha is accepted and ho is rejected, it means there was relation between maternal age with the incidence of preeclampsia. discussion according to table 1, there were still pregnancy in unhealthy reproductive age which was < 20 and 35 years old. some women especially those who are busy working often delay pregnancy until the age of 30 and even for some reason may be due to being late to marry and getting pregnant first at age 35. actually, this condition is not so problematic as long as it’s fit and healthy. however, some studies show that as we get older, there will be some problems in the mother such as complications of preeclampsia, and in infants such as chromosomal abnormalities tha t r esult in ba bies with down syndr ome (rahmatulah & kurniawan, 2019). the occurrence of pregnancy at the age of < 20 years is also a result of early marriage, which still exists in indonesia. this is done to avoid casual sex, escape from poverty, worry about not immediately getting a partner, and cultural environmental factors (puspasari & pawitaningtyas, 2020). in table 2, showed that most of the data (58.1%) mothers diagnosed with severe preeclampsia and the rest were diagnosed with preeclampsia. severe preeclampsia is an increase in maternal blood pressure more than the equal pressure to 160/110 mmhg accompanied by proteinuria +2. the incidence of preeclampsia itself usually occurs after the gestational age when mothers entering the age of the 3rd trimester or more than 20 weeks (american college of obstetrician and gynecologist, 2013). problems arise in preeclampsia and severe preeclampsia that only occurs during pregnancy triggered by abnormal placenta causes the endothelial damage to blood vessels. this damage causes systemic reaction which lead to organ damage in certain degree, and the effect can be seen in mothers and the baby (nursal et al., 2015). preeclampsia is hypertension accompanied by proteinuria and specific syndrome which can cause changes in the organ system including the kidneys (situmorang et al., 2016). preeclampsia usually causes kidney disorders, where there is vasoconstriction in the blood which causes vasoconstriction and reduced the flow inside the kidneys. so the rate of filtration in glomelurus has decreased and caused the increase of creatine and urea level. because the function of the stress is impaired so that we could found protein content in the urine (saraswati & mardiana, 2016). preeclampsia is multisystem disorder with unknown exact etiology which can occur ante, intra also in postpartum. proteinuria is also not always a sign of preeclampsia. preeclampsia without proteinuria also occurs when hypertension is followed by thrombocytopenia, pulmonary edema, visual impairment, impaired liver function, renal insufficiency, and other kidney disorders. (hasanah et al., 2020). therefore, pregnant women need more attention in maintaining health conditions, especially at the age of too young / more than 35 years. from table 3, showed the result of analysis data using chi-square test which obtained p-value 0,000 < 0, 05 so that ha was accepted and ho was rejected. this shows that there is a correlation between age and the incidence of preeclampsia in the aura syifa hospital, kediri regency. the age of less than 20 years, especially teenagers, is classified as a young and immature age both in terms of reproduction and emotional, coupled age pe severe pe total value n % n % < 20 & > 35 yo 17 43.8 22 56.41 100% = 1.000 20-35 yo 27 40.90 39 59.09 100% source : primary data table 3 analysis of the relation between maternal age and the incidence of preeclampsia 371retnosari, titisari, sendra, the correlation of maternal age and the incidence of ... with the sensitive views of the public so that not a few try to hide pregnancy rather than doing examinations to health workers. so that this pregnancy is not monitored properly by health workers and there are no known various risks and disorders that will be faced by this pregnancy. (dielsa, 2020). in terms of physical uterus and pelvis have not grown to adult size, while in terms of the mental mother is not ready to accept the duties and responsibilities as a parent and this can lead to excessive stress (kusumawati & mirawati, 2019). compared to pregnant women at a healthy age, complications experienced by pregnant women aged 35 years and over increased during pregnancy including gestational diabetes, placenta previa, preeclampsia, miscarriage, and others. mothers who have the age of 35 years and above are more worried about the development of their fetus because they know the risk conditions faced, thus leading to prolonged stress conditions.. (singal et al., 2015). if stress occurs prolonged, the body will remain in a psychologically active state with the stress hormone adrenaline and excess cortisol thus paralyzing the mother’s immune system. this results in a 1.5 times increased risk of preeclampsia (hasanah et al., 2020). at the age of over 35 years, women experience deterioration of the reproductive organs, including the uterus so that in the event of pregnancy will also pose a higher risk for the occurrence of preeclampsia (dielsa, 2020). at the age of more than 35 years, there begins to be deterioration of reproductive health in women, so it will be risky for pregnant women, especially for mothers over 35 years of age who are also primigravida. this is because in the first pregnancy there are imperfections in the formation of blocking antibodies to placental antigens, resulting in an unfavorable immune response. (asmana et al., 2016). at the age of 35 years or more, susceptible to various diseases in the form of hypertension and eclampsia. this is because the change in the tissue of the obstetric organ and the birth canal is no longer flexible. in addition, this is also caused by blood pressure that increases with age. so that at the age of 35 years or more can increase the risk of preeclampsia (kusumawati & mirawati, 2019). if you want to have excellent reproductive health should avoid “4 too” where two of them are concerned with the age of the mother. the first t is too young to be pregnant at the age of less than 20 years. the risks that may occur if pregnant at the age of under 20 years include miscarriage, preeclampsia, premature birth baby, low birth weight (bblr). while the second t is too old means pregnant over the age of 35 years. risks that may occur if pregnant at too old age include miscarriage, preeclampsia, severe preeclampsia/ eclampsia, bleeding, low birth weight, and congenital defects (marniati et al., 2016). however, in table 3 it was also shown that mothers of healthy reproductive age (20-35 years) experienced more severe preeclampsia than mothers with high-risk ages. this is because preeclampsia is a multisystem disorder, which can be caused by various conditions, including primipara pregnancy, chronic hypertension, history of thrombophilia, multiple pregnancies, obesity, anemia, and even severe stress (american college of obstetrician and gynecologist, 2013). so there is still the possibility of preeclampsia at a healthy reproductive age, depending on the health condition of each pregnant woman. conclusion maternal age greatly affects the health condition of the mother during pregnancy until postpartum later. mothers younger than 20 years of age or over 35 years are more at risk of preeclampsia. suggestion preeclampsia brings multisystem disorder in mothers. pregnant women who have risky age, better to more often check their pregnancy not only in midwives but also in obstetricians, to prevent complications during pregnancy until postpartum. also for prevention, it’s better for couples planning for pregnancy in healthy age which is 20-35 years old. references american college of obstetrician and gynecologist. (2013). hypertension in pregnancy. american college of obstetrician and gynecologist. asmana, s. k., syahredi, s., & hilbertina, n. (2016). hubungan usia dan paritas dengan kejadian preeklampsia berat di rumah sakit achmad mochtar bukittinggi tahun 2012 2013. jurnal kesehatan andalas, 5(3), 640–646. https://doi.org/10.25077/ jka.v5i3.591 dielsa, m. f. (2020). hubungan usia dan status gravida ibu dengan kejadian preeklampsia di rsi ibnu sina simpang ampek pasaman barat. jurnal bidan 372 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 368–372 komunitas, 3(2), 80–85. https://doi.org/10.33085/ jbk.v3i2.4615 hasanah, m., rahayu, d. e., & rahmawati, r. s. n. (2020). huungan kualitas tidur ibu hamil dengan kejadian preeklampsi di rsud gambiran kota kediri. repository poltekkes kemenkes malang. kemenkes ri. (2015). profil kesehatan indonesia 2014. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profilkesehatan-indonesia-2014.pdf kusumawati, w., & mirawati, i. (2019). hubungan usia ibu bersalin dengan kejadian preeklamsi (di rs aura syifa kabupaten kediri bulan maret tahun 2016). jurnal kebidanan, 7(1), 63–70. https:// doi.org/10.35890/jkdh.v7i1.28 lowdermilk, d., perry, s., & cashion, m. c. (2013). keperawatan maternitas. elsevier. marniati, rahmi, n., & djokosujono, k. (2016). analisis hubungan usia, status gravida dan usia kehamilan dengan pre-eklampsia pada ibu hamil di rumah sakit umum dr. zaionel abidin provinsi aceh. journal of healthcare technology andmedicine, 2(1), 99–109. nursal, d. g. a., tamela, p., & fitrayeni. (2015). faktor risiko kejadian preeklampsia pada ibu hamil di rsup dr. m. djamil padang tahun 2014. jurnal kesehatan masyarakat andalas, 10(1), 38–44. prawirohardjo, s. (2016). ilmu kebidanan (t. rachimhadhi & g. h. wiknjosastro (eds.)). pt. bina pustaka sarwono prawirohardjo. puspasari, h. w., & pawitaningtyas, i. (2020). masalah kesehatan ibu dan anak pada pernikahan usia dini di beberapa etnis indonesia; dampak dan pen cegah an n ya . b ul e ti n pe ne l it i an si ste m kesehatan, 23(4), 275–283. https://doi.org/10.22435/ hsr.v23i4.3672 rahmatulah, i., & kurniawan, n. u. (2019). menjalani kehamilan & persalinan yang sehat. gramedia pustaka utama. saraswati, n., & mardiana, m. (2016). faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil (studi kasus di rsud kabupaten brebes tahun 2014). unnes journal of public health, 5(2), 90–99. https://doi.org/10.15294/ujph.v5i2.1010 singal, n., singal, k. k., goyal, s., & mohindru, r. (2015). pregnancy after 35. bangladesh journal of medical science, 14(3), 228–235. https://doi.org/10.3329/ bjms.v14i3.8496 situmorang, t. h., damantalm, y., januarista, a., & sukri. (2016). faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di poli kia rsu anutapura palu. healthy tadulako journal, 2(1), 34–44. 300 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 300–309 300 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan kanker serviks melalui peningkatan cakupan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (iva) di kelurahan campurejo kecamatan kota kediri info artikel kata kunci: peran; tenaga kesehatan; kanker serviks; iva abstrak pada saat ini tenaga kesehatan mempunyai tugas besar dalam peranannya terhadap penanggulangan kanker cerviks. salah satu masalah utama kesehatan reproduksi perempuan di indonesia adalah kanker serviks. angka kejadian di seluruh dunia mencapai 490.000 kasus kanker cerviks dan mengakibatkan 240.000 kematian tiap tahunnya, dan 80% dari angka itu yaitu sekitar 392.000 terjadi di wilayah asia (soebachman, 2011) menurut data dari indonesia (kemenkes ri) pada tahun 2013, kejadian kanker serviks di indonesia sebesar 0,8%. provinsi yang memiliki estimasi jumlah penderita kanker serviks terbesar adalah provinsi jawa timur dengan estimasi 21.313 kasus (kemenkes ri, 2015). program iva akan mengurangi risiko terkena kanker serviks, dimana ibu-ibu dapat melakukan pemeriksaan iva sebagai upaya pencegahan sejak dini. penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pemahaman tenaga kesehatan di wilayah kota kediri terhadap masalah kanker serviks, serta mengidentifikasi upaya-upaya apa saja yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melakukan pencegahan terhadap kanker serviks melalui peningkatan cakupan pemeriksaan iva di kelurahan campurejo kecamatan mojoroto kota kediri. penelitian ini menggunakan metode kualitatif. analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif interaktif (milles dan haberman). dari hasil penelitian dapat dirangkumkan beberapa faktor yang menyebabkan keberadaan kanker serviks melalui pemahaman petugas kesehatan diantaranya yaitu: kebersihan organ intim, gonta-ganti pasangan, faktor genetik,hubungan seks di luar nikah,pernikahan dini. peran dan strategi tenaga kesehatan dalan pencegahan kanker serviks yaitu melaui promosi penyuluhan, membentuk tim, sosialisasi, lintas sektor, model kampung iva, pemeriksaan gratis. sejarah artikel: diterima, 04/09/2019 disetujui, 04/10/2019 dipublikasi, 02/12/2019 is fadhillah1, wiwen indita2 1,2prodi kebidanan, akademi kebidanan medika wiyata kediri, indonesia http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v6i3.art.p300-309&domain=pdf&date_stamp=2019-12-05 301fadhillah, indita, peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan ... pendahuluan tenaga kesehatan sebagai salah satu unsur di masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan peranannya untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan. harapan masyarakat bila berhadapan dengan tenaga kesehatan adalah dapat memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah kesehatannya baik keluhan yang mendasar sampai hal-hal yang komplikasi. menjadi harapan dan tumpuan masyarakat yang ingin selalu sehat menjadi tugas yang berat bagi seorang tenaga kesehatan. diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang harus terus diasah, diperbarui dan ditingkatkan, agar dapat mengikuti perkembangan dan kemajuan dan ilmu kesehatan yang meluas. pada saat ini tenaga kesehatan mempunyai tugas besar dalam peranannya terhadap penanggulangan kanker  cerviks. peran petugas kesehatan disini adalah memberikan pengetahuan tentang kanker serviks dan pentingnya deteksi dini, serta memberikan motivasi kepada wanita yang sudah menikah untuk melakukan deteksi dini kanker serviks (sundari dan erna, 2018). angka kejadian di seluruh dunia mencapai 490.000 kasus kanker cerviks dan mengakibatkan 240.000 kematian tiap tahunnya, dan 80% dari angka itu yaitu sekitar 392.000 terjadi di wilayah asia (soebachman, 2011). kanker serviks merupakan salah satu masalah utama kesehatan reproduksi pada perempuan di indonesia. menurut data dari indonesia (kemenkes ri) pada tahun 2013, kejadian kanker serviks di indonesia sebesar 0,8%. provinsi yang memiliki estimasi jumlah penderita kanker the relationship between urea level, hemoglobin, and length of hemodialysis with the quality of life of patients with ckd article information keywords: role; health workers; cervical cancer; iva abstract at present health workers have a major task in their role in the treatment of cervical cancer. one of the main problems of women’s reproductive health in indonesia is cervical cancer. the number of events worldwide reaches 490,000 cases of cervical cancer and causes 240,000 deaths each year, and 80% of that number is around 392,000 occurred in the asian region. according to data from indonesia (ministry of health republic of indonesia) in 2013, the incidence of cervical cancer in indonesia amounted to 0.8%. the province that has the largest estimated number of cervical cancer sufferers is east java with an estimated 21,313 cases. the iva program will reduce the risk of cervical cancer, where mothers can carry out iva examinations as an early preventive measure. this study aims to describe the understanding of health workers in the city of kediri on the issue of cervical cancer, and identify any efforts made by health workers to prevent cervical cancer through increasing the scope of iva examination in campurejo village, mojoroto district, kediri city. this study uses a qualitative method. data analysis in this study uses interactive qualitative analysis (milles and haberman). from the results of research can be summarized several factors that cause the presence of cervical cancer through the understanding of health workers including: cleanliness of sex organs, mutually changing partners, genetic factors, sex outside marriage, early marriage. the role and strategy of health workers in cervical cancer prevention through promotion of counseling, forming teams, socialization, cross-sectoral, village iva models, free examinations. © 2019 jurnal ners dan kebidanan history article: received, 04/09/2019 accepted, 04/10/2019 published, 02/12/2019 correspondence address: akademi kebidanan medika wiyata kediri, east java indonesia p-issn : 2355-052x email: e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v6i3.art.p300-309 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) isfadhillah@gmail.com https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p300-309 302 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 300–309 serviks terbesar adalah provinsi jawa timur dengan estimasi 21.313 kasus (kemenkes ri, 2015). jumlah kanker serviks di propinsi jawa timur pada tahun 2012 sebesar 2.940 dan naik pada tahun 2013 sebesar 3.971 orang. kenaikan ini menjadi perhatian kabupaten/kota, khususnya kota kediri untuk mengurangi jumlah kasus baru salah satunya dengan menggalakkan pemeriksaan iva. namun pada kenyataannya sepanjang tahun 2017 sebanyak 132 ribu perempuan di jatim yang seharusnya dapat melakukan pemeriksaan, hingga saat ini baru sekitar 68 ribu perempuan yang melakukan pemeriksaan secara nyata. separuh responden tidak memperoleh informasi mengenai kanker serviks dan deteksi dini kanker serviks metode iva (50%). hal ini karena belum semua masyarakat terutama wus mendapatkan informasi tentang bahaya kanker servik dan tes deteksi dini kanker. kurangnya informasi ini dari puskesmas dan tenaga kesehatan membuat masyarakat kurang memahami dan kurang peduli terhadap bahaya kanker serviks yang dapat dicegah sejak dini. selain itu masyarakat yang tidak faham menjadi mudah takut akan tesnya dan cenderung menghindar untuk melakukan tes (fauza dkk. 2019). oleh karena itulah dalam hal ini diharapkan agar tugas pokok dan fungsi tenaga kesehatan dapat memberikan peranan yang besar dalam upaya pencegahan kanker serviks, khususnya di kelurahan campurejo kecamatan mojoroto kota kediri. pelaksanaan program pencegahan kanker serviks membutuhkan monitoring dan evaluasi di setiap daerah, upaya terpadu harus dilaksanakan mulai dari tatanan bawah. berdasarkan hasil penelitian aprilianingrum, 2017, tenaga kesehatan merupakan sumber daya yang strategis untuk dapat menjalankan perannya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan dengan optimal. dalam kaitannya dengan pencegahan kanker serviks dari hasil penelitian miftahil fauza dkk, 2019 menunjukkan bahwa lebih separuh responden memiliki pengetahuan kurang baik (56,4%) mengenai kanker serviks dan deteksi dini kanker serviks metode iva. separuh responden tidak memperoleh informasi mengenai kanker serviks dan deteksi dini kanker serviks metode iva (50%). hal ini karena belum semua masyarakat terutama wus mendapatkan informasi tentang bahaya kanker servik dan tes deteksi dini kanker. kurangnya informasi ini dari puskesmas dan tenaga kesehatan membuat masyarakat kurang memahami dan kurang peduli terhadap bahaya kanker serviks yang dapat dicegah sejak dini. selain itu masyarakat yang tidak faham menjadi mudah takut akan tesnya dan cenderung menghindar untuk melakukan tes (fauza dkk. 2019), oleh karena itulah dalam hal ini diharapkan agar tugas pokok dan fungsi tenaga kesehatan dapat memberikan peranan yang besar dalam upaya pencegahan kanker serviks, khususnya di kelurahan campurejo kecamatan mojoroto kota kediri. tema sentral pada penelitian ini adalah bahwa kanker serviks merupakan jenis kanker kedua terbanyak yang menyerang perempuan di negara berkembang, sehingga peran tenaga kesehatan mempunyai arti yang penting dalam pencegahan kanker serviks melalui peningkatan cakupan pemeriksaan iva demi terwujudnya peningkatan kesehatan bagi masyarakat terutama bagi kaum perempuan. berdasarka n fenomena ter sebut, maka peneliti  ingin menggali lebih dalam  peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan kanker serviks melalui peningkatan cakupan pemer iksa a n iva di kelur a ha n campur ejo kecamatan mojoroto kota kediri dimana penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan pemahaman tenaga kesehatan di wilayah kota kediri terhadap masalah kanker serviks, serta mengidentifikasi upaya-upaya apa saja yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melakukan pencegahan terhadap kanker serviks melalui peningkatan cakupan pemeriksaan iva di kelurahan campurejo kecamatan mojoroto kota kediri bahan dan metode metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif interaktif dengan jenis penelitian kualitatif melalui pendekatan fenomenologi, dimana dalam penelitian ini sangat erat hubungannya dengan pemahaman tenaga kesehatan terkait dengan bahaya kanker serviks yang harus disosialisakan pada masyarakat sekitar khususnya di kelurahan campurejo kediri, hal ini bertujuan untuk menginterpretasikan tindakan (peranan) social yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sebagai sebuah kegiatan yang bermakna dalam hal ini mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat sekitar yang pada nantinya dapat merekontruksi pemahaman masyarakat yang semakin maju terhadap bahaya kanker serviks, sehingga masyarakat tidak mempunyai keraguan lagi dalam mencegah kanker serviks melalui pemeriksaan iva. kriteria informan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tenaga kesehatan dinas kesehatan kota kediri yang 303fadhillah, indita, peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan ... terdiri dari kepala bagian program, tenaga tekhnis kesehatan yang terlibat dalam pencegahan kanker serviks, bidan pelaksana iva kelurahan campurejo, bidan penanggung jawab iva puskesmas wilayah campurejo, kader dan klien program iva campurejo, serta dosen pendidik yang terlibat dalam program pencegahan kanker serviks di kelurahan campurejo kediri. penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. tempat penelitian di kelurahan campurejo kecamatan mojoroto kota kediri dan waktu pelaksanaan dimulai bulan maret tahun 2019. pengambilkan data pada penelitian ini dengan melakukan wawancara type semi terstruktur open ended question pada informan yang memenuhi persyaratan dan telah mencapai saturasi data dan disimpan dalam voice recorder. analisis data dalam penelitian ini yang digunakan adalah analisis kualitatif interaktif (milles dan haberman). dimana dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak perolehnya lagi data atau informasi baru. aktivitas dalam analisis data ini meliputi reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan. hasil penelitian kanker serviks, pemahaman dan respon tenaga kesehatan/medis. secara umum dapat dinarasikan bahwa kanker serviks merupakan jenis penyakit yang membahayakan bagi wanita yang telah menikah dan pernah melakukan hubungan intim dengan lawan jenisnya. jenis penyakit ini dalam pandangan medis sangat mengerikan dan menakutkan, bahkan tak jarang penyakit ini akan membawa si penderita menuju ajal. dengan alasan dan konsep ini pula, keberadaan kanker serviks di kalangan masyarakat mendapat perhatian serius dari petugas medis pada khususnya dan pemerintah pada umumnya. cukup beralasan kiranya bila dalam sudut pandang medis jenis penyakit ini ditempatkan pada posisi top dari beragam jenis penyakit lainnya dalam merengut nyawa si penderita. perhatian dan kepedulian yang didengungkan oleh para petugas kesehatan dan para ahli di bidangnya kemudian menjurus kepada pemahaman dan pengertian yang dipahami dalam diri mereka. sehingga, dalam hal ini mereka memberikan pehamanan masing-masing terkait dengan kanker serviks yang mulai menyebar di kalangan masyarakat. misalnya, apa yang dikatakan oleh tri ratna pusitasari (wawancara 2019: juli 18), “yaitu kanker yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang mulut rahim, terutama untuk wanita”. demikian pula apa yang diketengahkan oleh tenaga kesehatan yang lain bahwa dalam pandangannya kanker ini telah menjadi upper penyakit yang mematikan bagi kalangan wanita. maka dari itu, penangangan sejak dini dan kesadaran masyarakat menjadi pemicu yang paling urgen untuk dilakukan agar bentuk penyakit yang satu ini mudah dideteksi dan diketahui sejak dini. dan ini menjadi penting mengingat data yang ada bahwa kanker serviks menjadi penyakit nomer satu yang paling banyak memakan korban dan mematikan di indonesia. berkaitan dengan penyakit yang mematikan dan nomer satu dalam menelan korban ini, bapak alfan (wawancara 2019: juli 15), “mengungkapkan bahwa kanker serviks itu salah satu konsen dari kegiatan kami, karena merupakan pembunuh nomer satu untuk ibu-ibu, atau angka kematiannya sangat tinggi”. begitu pula ditimpali oleh mariska puspitasari (wawancara 2019: juli 11), “bahwa ini merupakan kanker pembunuh nomer satu di indonesia”. oleh karena itu, dalam pengamatan para tenaga medis kanker serviks secara fakta dan kenyataan di lapangan termasuk penyakit yang harus mendapatka n perhatian ekstr a serius dari ber bagai kalangan agar supaya penyakit ini tidak menjadi epidemik yang menakutkan bahkan mengerikan di lingkungan sosial masyarakat. bahkan lebih jauh dari itu, dalam penglihatan tenaga medis yang bergerak di bidang kader balita, ibu juwariyah (wawancara 2019: juli 18), menegaskan bahwa kanker serviks tidak hanya menjadi ancaman teratas di indonesia, melainkan pada skop yang lebih luas kanker ini menjadi “penyakit yang mematikan untuk wanita terutama, dan ini nomer satu di dunia”. tentunya kondisi ini semakin memperparah pemahaman tenaga kesehatan terkait dengan keberadaan kanker serviks di kelurahan campurejo bila ditilik dari perspektif global atau dunia, karena masuk akal dan logis bila dianalisis bahwa kondisi global tidak bisa dilepaskan dari cerminan lokal atau lingkup kecil yang membawahinya. dampak lain yang tidak kalah mengernyitkan dahi peneliti dalam proses riset ini yaitu, tentang motivasi hidup yang turut memengaruhi kondisi si penderita bila ia telah benar-benar terjangkit oleh penyakit yang satu ini. “seharusnya penyakit ini 304 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 300–309 dideteksi sejak dini. pasti orang yang terkena penyakit ini motivasi hidupnya menurun, yang kedua penyakit ini sebenarnya kalau dideteksi dari awal bisa disembuhkan. cuma dari masyarakat kurang memahami tentang penyakit ini” (ibu tyas 2019: juli 20). dengan kondisi ini, beralasan kiranya bila respon dan pemahaman yang dikontruks oleh tenaga kesehatan/medis dan yang sederajat dikatakan sangat menakutkan, mengerikan, membahayakan dan mematikan. sehingga, dalam keadaan yang demikian tidak salah dan menjadi sangat wajar bila pihak tenaga medis selalu mewanti-wanti kepada warga masyarakat sekitar (campurejo) atau masyarakat kediri pada umumnya agar selalu waspada dan kontinyu untuk melakukan pemeriksaan dan deteksi dini terkait akan bahaya fatal serta akut untuk jenis penyakit kanker serviks yang mengintai kaula wanita terutama yang sudah menikah dan pernah berhubungan intim. karena kanker serviks ini menjamah kalangan hawa, tentu peran dan status wanita di kalangan kelurga menjadi penentu dalam proses sehat dan tidaknya lingkungan mikro tersebut. paling tidak dalam pandangan ilmu kesehatan peran seorang ibu atau wanita menjadi sangat menentukan kondisi riil dari sistem keluarga. bagaimana tidak, hampir delapan puluh persen peran kekeluargaan berada di pundaknya dan menjadi bagian integral yang tidak terpisahkan dari peran-peran wanita. sehingga, kondisi ini menjadi mustahil akan bisa diambil alih olah kalangan adam dalam menggantikan posisi kaum hawa dalam memerankan tugas-tugas keluarga di lingkungannya. dalam istilah berger hal ini dikenal dengna konsep sosialisasi primer (berger & luckmann, 2013: 178). dalam problem kesehatan ini yang utama dan yang paling urgen adalah menjaga kesehatan organ intim kewanitaan yang dalam hal ini menjadi prioriotas dari gambaran bentuk kebersihan dan kepedulian kaum hawa dalam memobilisasi keadaan lingkungan sehat lainnya bagi lingkungan sekitar. karena paling tidak, pada bagian ini menjadi bagian yang sangat mudah dilaksanakan oleh wanita daripada bagian-bagian yang lain lagi pula tidak banyak memakan waktu. hanya saja. lagi-lagi ini berkaitan dengan awareness si wanita dalam memahamkan dirinya dan lingkungan sekitar berkaitan dengan pola hidup bersih dan sehat bersama keluarga yang lain. dari hasil penelitian dalam bentuk wawancara mendalam dengan subjek penelitian atau informan da pa t dir a ngkumka n beber a pa fa ktor ya ng menyebabkan keberadaan kanker serviks, yaitu: kebersihan organ intim, gonta-ganti pasangan,faktor genetik,hubungan seks di luar nikah,pernikahan dini. peran dan strategi tenaga kesehatan dalan pencegahan kanker serviks langkah dan strategi yang dilakukan oleh petugas keseha tan da lam upaya memberikan penyadaran terhadap masyarakat campurejo dan kota kediri pada umumnya sudah cukup maksimal dan sesuai dengan agenda terbesarnya. walaupun, dalam beberapa titik di sebagian programnya terdapat hambatan yang tak jarang turut memengaruhi jalannya program beserta agenda tersebut. adapun secara umum program, agenda dan strategi yang dicanangkan oleh petugas kesehatan dapat dilihat pada bagan sebagai berikut : petugas kesehatan pemeriksaan gratis iva model kampung iva lintas sektoral tokoh2 agama, tokoh masyarakat, akademisis, dan tenaga medis sosialisasi penyuluhan melaui tenga kesehatan; dinkes kota kediri, puskesmas dan dosen pendidik door to door, rt2, tokoh masyarakat, dan kelurahan. membentuk tim bottom up promosi penyuluhan poace gambar 1 bagan peran tenaga kesehatan dalam pencegahan kanker serviks di kelurahan campurejo kecamatan mojoroto kediri 305fadhillah, indita, peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan ... bagan ini secara rigit menjelaskan kepada pembaca bahwa upaya dan strategi yang dilakukan oleh petugas kesehatan bersifat kontinuitas yang berkelanjutan dari satu titik kepada titik lainnya dan kembali lagi kepada titik semula. singkatnya, program ini berkelanjutan dan terus akan berlanjut. grand design menuju zero kanker serviks kontinuitas program; pencegahan dan penanganan kasus iva atau kanker serviks ini akan menuai hasil yang nyata bila programnya bisa berjalan secara runtun dan berkelanjutan. bagaimana tidak, eksistensi kanker serviks tidak menyerang kaum hawa hanya sekali waktu saja, akan tetapi penyakit ini akan terus mengintai wanita kapan saja, di mana saja dan kepada siapa saja. sehingga oleh karenanya, keberlanjutan program dari waktu ke waktu merupakan langkah antisipatif yang sangat tepat dalam proses pencegahan dan penanganan kanker serviks di kalangan masyarakat. apalagi dalam konteks kanker serviks ini cakupan yang ingin dicapai oleh tenaga kesehatan dan yang sejenisnya lumayan tinggi dan berpengharapan besar. tidak salah kiranya bila cakupan ini tenaga kesehatan menarget dari 80 persen, hingga 100 persen (tri ratna pusitasari, 2019: juli 20). pembinaan kader; langkah ini lebih pas dilakukan bila peneliti mengamati apa yang telah dijelaskan sebelumnya terkait dengan persepesi masyarakat mengenai kanker serviks yang ada selama ini. maka, pembinaan kader di setiap kampung bahkan di setiap keluarga akan menjadi jawaban yang sangat tepat dalam menjawab problematika kanker serviks di tengah-tengan masyarakat. dengan pembinaan kader ini mereka akan menjadi agen-agen pelaku perubahan yang siap mengikis kesalahpahaman masyarakat selama ini atas kanker serviks. terutama berkenaan dengan cara pemeriksaan, dampak penyakit dan konsekuensi yang akan dihadapinya. pembinaan kader ini berfungsi setidaknya sebagai mediator dalam upaya pencegahan dini kanker serviks di kalangan masyarakat yang kesadarannya belum benyak tersentuh, apalagi dalam harapan terjauh mereka bisa memberikan pemahamanan dan pencerahan yang benar di keluarga dan masyarakat pada umumnya. sehingga dengan bagitu, penyebaran informasi tentang kanker serviks di kalangan masyarakat tidak lagi menakutkan dan langsung bisa dilihat buktinya pada diri setiap masing-masing kader yang melakukan pemeriksaan terlebih dahulu (arif ikatati ningtiyas, 2019: juli 16). pemberdayaan model kampung iva; model ini menjadi model puncak dari pembinaan kader, karena pada dasarnya model ini lebih kepada bukti nyata dari aksi sesunggunya dari yang dicanangkan oleh tenaga kesehatan. model kampung ini berorientasi kepada model pencontohan dari bebasnya masyarakat kampung dari dampak kanker serviks yang mulai merajalela di masyarakat. sebagai model percontohan tentu akan banyak menggugah daya sadar masyarakat untuk bisa bersama-sama dengan model kampung ini agar tidak lagi bermasalah dengan organ intimnya oleh serangan kanker serviks. bisa jadi model kampung ini sebagai stimulus dalam upaya memengaruhi masyarakat agar supaya sadar akan pentingnya wanita bebas dari gangguang kanker serviks (bapak alfan, 2019 : juli 15 & mariska puspitasari, 2019: juli 11). integrasi lintas sektor; langkah nyata untuk manifestasi semua unsur di atas adalah dengan melibatkan lintas sektor dari aneka ragam profesi. jadi, problem kanker serviks ini kalau mau ditelisik lebih jauh tidak hanya menjadi tanggungjawab tenaga medis semata, akan tetapi ini menjadi beban bersama di semua lini steakholder dengan saling bahu-membahu untuk bersama-sama mencegah keberadaan kanker serviks ini. konsep lintas sektor ini menjadi sangat penting saat ini karena akibat sifat masyarakat yang kian multikutural dalam ragam sisinya, dan ini menuntut para pemerhati yang peduli akan kanker serviks ini harus menguras pikiran agar ranah ini bisa melibatkan bermacam-macam pelaku yang bisa mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini antipati dengan keberadaan kanker serviks menjadi masyarakat yang sadar diri terhadap keberadaan kanker serviks (ibu linda, 2019: juli 09). zero kanker serviks; ending point da ri semua usaha dan peran tenaga medis dalam pencegahan kanker serviks ini memadat menjadi zero kanker serviks di campurejo khususnya, di indonesia pada umumnya. ini bukan harapan dan mimpi di siang bolong, akan tetapi ini adalah harapan terbesar yang bisa terujud nyata bila semua langkahlangkah dan strategi-strategi yang telah di-planingkan itu benar-benar dijalankan secara konsekuen 306 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 300–309 sesuai dengan kapasitas para tenaga lintas sektoral. harapan ini bukan hanya cerita di atas angin yang tidak bisa dirasakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi fakta zero kanker serviks ini akan dirasakan betul oleh masyarakat bila seluruh kekuatan lintas sektoral, pemberdayaan model kampung iva, pembinaan kader dan kontinutas program yang telah dipatenkan menjadi aksi nyata bersama secara kolosal demi masa depan campurejo dan indonesia (ratna, affan, linda, marisa, ningtiyas, tyas, dan juwariyah, 2019: juli). pembahasan peran petugas kesehatan dalan pencegahan kanker serviks melalui pemeriksaan dini iva dalam konsep penelitian ini mempunyai ragam peran yang mereka bisa lakukan dengan cara sistematis, terukur dan akurat. sistematis terukur di sini dapat dijelaskan dengan konsep teori konstruksi sosial ala berger dan luckmann yang menjadi pisau analisis dari pemabahasan hasil penelitian selama ini. sehingga menjadi konpitibel bila ranah penelitian ini dibaca dengan sudut pandang teori konstruksi sosial sebagaimana dimaksud di atas. peranan petugas kesehatan secara khusus dalam upaya pencegahan penyakit yang paling mematikan ini bisa dijelaskan dari langkah-langkah yang meraka lakukan selama berlangsung di tengahtengah masyarakat. sedikitnya paling tidak terdapat tujuh langkah yang cukup terarah dan pencegahan ini agar masyarakat tidak lagi terkena penyakit kanker serviks khususnya di campurejo dan kota kediri pada umumnya. apa yang dilakukan dalam bentuk manifestasi konkret di lapangan di mana mereka berbaur dengan masyarakat adalah merupakan bentuk nyata dari kepeduliannya terhadap keberadaan masyarakat agar terbebas dari ancaman mematikan dari penyakit kanker serviks yang begitu mengerikan dan menakutkan. dalam bahasa teori konstruksi sosial apa-apa yang dituangkkan dalam bentuk agenda kegiatan dan aksi nyata di lapangan oleh para tenaga medis dan sejawatnya adalah merupakan bentuk dialektika peran dan identitas yang dilakukan oleh tenaga medis bersama-sama masyarakat sasarannya. promosi penyuluhan sebagai bentuk langkah awal yang kemudian menguap dalam langkah eksternalisasi tenaga medis bisa dijelaskan sebagai strategi wahid dalam upaya mengonstruk pemahaman masyarakat terkait dengan keberadaan kanker serviks di tengah-tengah masyarakat. dalam promosi penyuluhan ini tenaga medis dan para koleganya membentuk tim yang secara khusus bergerak dalam penanganan, pencegahan, dan pemeriksaan kanker serviks sedini mungkin di kelurahan campurejo kediri. pembentukan tim dalam penanganan kanker serviks tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk dari eksternalisasi yang para aktor dalam upaya meminimalisasi dan bahkan menghilangkan sama sekali segala bentuk penyakit dan korelasinya dengan kanker serviks. sehingga dengan demikian, promosi kesehatan termasuk dalam strategi memengaruhi masyarakat untuk membangun kesadaran bersama dalam merespon serta awareness dengan ancaman yang mengerikan dari kanker serviks. proses dialektika dalam promosi penyuluhan oleh petugas kesehatan dalam langkah nyata di lingkungan sosial masyarakat yang menjadi sasaran dari program ini yaitu dengan metode dan strategi dari bawah ke atas (bottom up). pengungkapan eksternalisai dengan cara bottom up ini pada dasarnya dilakukan sebagai upaya untuk membentuk opini yang positif berkaitan dengan bahaya yang akut dari kanker serviks yang selama ini banyak mengancam kalangan kaum hawa. pasalnya dengan demikian, cara ini tentunya akan direspon oleh masyarakat tempat di mana program dan strategi ini digelindingkan. mengapa harus bottom up? cara dan strategi ini dipilih karena bertujuan agar program pencegahan dan pemeriksaan dini dan peran petugas kesehatan dapa t ber jala n sesuai dengan ha r apa n yang diidealkan. karena bagaimanapun, konsep bottom up adalah bagian yang tak terpisahkan secara solid dari masyarakat itu sendiri. maka, cukup beralasan kiranya bila langkah ekspresi awal – eksternalisasi (berger, 1994:4-5) oleh tenaga medis da lam penanganan penyakit kanker serviks ini diletakkan pada poin pertama. apapun alasannya, pemahaman masyarakat terhadap kanker serviks tidak akan serta-merta meresap dalam hati sanubarinya tanpa terlebih dahulu diawali dengan stimulasi dari pihak-pihak eksternal yang bertujuan mengonstruk kepedulian masyarakat dengan menghidupkan nilai-nilai positif yang menjadi bagian tak terpisahkan oleh masyarakat. dalam istilah yang sering didengungkan oleh berger bahwa masyarakat adalah kumpulan dari subjektivitas-subjektivitas yang menggumpal menjadi objektivasi yang disepakati bersama dan menjadi bagian nilai-nilai yang juga diamini, dijalankan dan 307fadhillah, indita, peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan ... dijaga bersama(berger, 1994). dalam ranah ini strategi bottom up atau pendekatan dari bawah ke atas dengan melibatkan masyarakat secara utuh adalah cara yang paling tepat dalam mensukseskan agenda terpentingnya untuk menzerokan kanker serviks di masyarakat. setelah melakukan promosi penyuluhan, maka langkah berikutnya yang diambil oleh petugas kesehatan dalam perenannya untuk pencegahan kanker serviks di lingkungan sosial masyarakat adalah sosialisasi. dalam lingkup payung sosialisasi ini, petugas kesehatan mem-break down langkahlangkah konkretnya menjadi beberapa bagian kecil yang secara otomatis akan memudahkan gerak cepat petugas kesehatan dalam upaya pencegahan kanker serviks semakin terkendali di kalangan masyarakat. bentuk sosialisasi di tingkat kelurahan adalah bentuk sosialisasi bagian yang paling luas dalam tingkat desa yang diambil oleh petugas kesehatan dalam pencegagan kanker serviks di masyarakat. sosialisasi ini masih bersifat luas dan banyak melibatkan masyarakat secara keseluruhan di tingkat kelurahan. pada sosialisasi tingkat ini petugas mesti berhadapan dengan ba nyak kalangan dengan beragam profesi, strata sosial, ekonomi dan kelaskelas sosial. maka konsekuensinya, tidak mudah bagi petugas kesehatan dalam sekali waktu dapat memengaruhi secara maksimal keseluruhan masyarakat yang menjadi sasaran sosialisasinya berubah sesuai dengan harapan yang dicanangkan. setelah sosialisasi tingkat kelurahan, langkah kedua adalah sosialisasi di lingkup rukun tangga (rt). sosialisasi pada lingkup ini semakin mengerucut dari pada sosialisasi tingkat pertama yang masih cukup umum dan melibatkan banyak lapisan masyarakat. pada sosialisasi ini ruang geraknya sudah sempit dan lebih mudah terjangkau baik secara geografis maupun jejak pemahaman masyarakat terhadap keberadaan kanker serviks yang dijelaskan oleh petugas kesehatan. pada tingkat sosialisasi ranah ini evaluasi keberhasilan bisa terlihat lebih jelas dan gamblang disebabkan akumulasi sasarannya tidak begitu besar dan masih dalam jangkauan yang relatif mudah. sosialisasi tingkat ketiga adalah pendekatan kepada tokoh-tokoh agama. pada bagian ini petugas kesehatan melakukan langkah “memburu” legitimasi ragam perspektif, dari sudut pandang keagamaan bagi tokoh agama, pemahaman dan ilmu pengetahuan dari tokoh akademisi, kesehatan bagi tokoh yang bergerak dalam ranah kesehatan, dukungan moral dari tokoh berpengaruh lainnya di tingkat kelurahan atau seterusnya serta dukungan material dari tokoh yang bergerak di bidang ekonomi dan bisnis. dukungan dari aneka tokoh ini sebagai landasan patugas dalam upaya memengaruhi masyarakat agar sadar dan menyadari akan bahaya mengerikan dari kanker serviks yang selama ini masih saja dianggap biasa-biasa saja oleh masyarakat, dan bahkan tidak peduli dan dianggap tidak berbahaya. maka, disinilah peran utama para tokoh untuk dilibatkan secara langsung bersama dengan masyarakat lain di mana mereka hidup berdampingan. langkah keempat dan terakhir adalah pendekatan dari rumah ke rumah (door to door). langkah ini termasuk jalan terakhir dan paling dasar yang dilakukan petugas kesehatan dalam upaya pencegahan kanker serviks di lingkungan masyarakat. menyambangi satu rumah ke rumah lainnya adalah skop yang paling kecil dari unsur struktur dan sistem sosial yang ada di lingkungan masyarakat. karena merupakan struktur terkecil dari sistem masyarakat, maka peran keluarga dalam pemahaman terhadap bahaya kanker serviks adalah basis utama dalam membangun kesadaran umum di lingkup sosial masyarakat yang lebih luas. strategi sosialisasi yang digunakan petugas kesehatan dengan segala jenis langkah-langkahnya yang disebutkan di atas, maka dapat dikonseptualisasikan bahwa sosialisasi ini sebagai bagian dari kelanjutan eksternalisasi yang dilakukan sebelumnya. sosialisasi berfungsi sebagai internalisasi, agar semua agenda, rencana, dan program petugas kesehatan yang ditelah diplanningkan sebelumnya bisa masuk dan mengendap secara rapi di benak masyarakat dalam bentuk cara berpikir, pemahaman, sikap, perilaku yang positif terhadap keberadaan kanker serviks di tengah-tengah mereka. ketika keberadaan kanker serviks dapat dipahami dengan benar maka dapat dipastikan penyakit yang mematikan ini akan menjauh dari lingkungan masyarakat. sebab internalisasi nilai-nilai terkait kanker serviks telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari inner voice mereka dan inilah yang disebut oleh teori konstruksi sosial sebagai “darah dan daging” yang melembaga. langkah besar dari petugas kesehatan setelah sosialisasi adalah gerakan lintas sektoral. dalam gerakan ini para petugas kesehatan bersama-sama dengan ragam profesi lintas sektor yang berupa tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, tokoh 308 jurnal ners dan kebidanan, volume 6, nomor 3, desember 2019, hlm. 300–309 kelurahan dan tenaga medis itu sendiri. gerakan ini lebih kepada aksi nyata di lapangan yang dilakukan secara bersama dalam upaya pencegahan secara maksimal berkenaan dengan kanker serviks yang mulai melanda di lingkungan sosial masyarakat. sederhananya, promosi penyuluhan dan sosialisasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya bila tidak dibarengi oleh aktualisasi dari para steackholder dari bermacam-macam profesi ini. aktualisasi ini adalah bentuk penerjemahan dari program yang telah dirumuskan sebelumnya, dan ini juga termasuk wujud dari peran dan identitas yang dimainkan aktor atau masyarakat dalam proses dialektika terusmenerus tanpa henti dalam konsep kontruksi sosial masyarakat. gerakan lintas sektoral ini pada akhirnya merambah pada langkah berikutnya yaitu, “pembangunan” model kampung cantik iva. landasan dari pembanguan kampung iva ini merupakan realisasi dari pelembagaan pemahaman yang positif, penuh kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang bahaya akut dari kanker serviks yang seringkali menjangkiti para wanita. sehingga dengan adanya kampung iva ini dapat menggugah tingkat kesadaran masyarakat lebih dalam dengan selalu berperilaku preventif terhadap penyakit yang satu ini. pelembagaan dan pembangunan model kampung iva adalah objektivasi dari langkah-langkah yang telah dirambah sebelumnya di program pencegahan dalam peran petugas medis guna upaya pencegahan terhadap kanker serviks. objektivasi dalam pemahaman masyarakat terhadap kanker serviks kemudian berbentuk lembaga kampung iva yang di dalamnya berisi perangkat dan piranti sumber-sumber nilai-nilai yang berkorelasi dengan pengetahuan tentang kanker serviks dari segala sudut pandangnya. sehingga fungsi kelembagaan ini menjadi rujukan bagi masyarakat baik secara fisik maupun nonfisik. inilah yang kemudian oleh berger disebut sebagai dialektika yang tidak berkesudahan di lingkungan sosial masyarakat yang berawal dari peran aktor dengan melakukan eksternalisasi tentang kanker serviks dan kemudian eksternalisasi ini diterima oleh masyarakat dalam bentuk internalisasi kepada tiap-tiap individu dalam lingkungan sosial dan pada titik akhir mewujud fakta bersama –terobjektivasiyang diterima secama umum oleh semua masyarakat. penerimaan secara massal oleh masyarakat tentang bahaya kanker serviks dalam keberlangsungan waktunya masyarakat akan terus melakukan penafsiran ulang sesuai dengan realitas sosial yang melingkupinya, hingga kemudian tafsir baru ini menuntut untuk diekspresikan dalam bentuk baru pemahaman tentang kanker serviks dari zaman dan waktu yang berbeda. inilah kemudian teori konstruksi sosial akan terus-menerus berdialektika dengan lingkungan masyarakat sepanjang masa. karena apa yang telah dicapai oleh masyarakat sebelumnya terkait kanker serviks ternyata masih memberi peluang penafsiran (eksternalisasi) baru bagi generasi setelahnya. dengan demikian, peran petugas kesehatan tidak selesai sampai di sini saja karena telah beranggapan sukses membetuk objektivasi pemahaman yang benar di lingkungan sosial masyarakat tentang bahaya kanker serviks, akan tetapi kesuksesan yang telah diraihnya hanya bersifat sementara untuk waktu tertentu saja. artinya ini hanya tentatif dan tidak berlaku selamanya. oleh karenanya, usaha baru, langkah baru, strategi baru dan pendekatan baru menjadi usaha ijtihad yang perlu dihadirkan bagi perkembangan masyarakat dan generasi sesudahnya. maka, peran petugas kesehatan tidak akan pernah menemukan ujung pangkalnya dalam upaya pencegahan kanker serviks di lingkungan sosial masyarakat.1 inilah arti sederhana dari penggunaan teori konstruksi sosial ketika diterapkan dalam suatu kebijakan, peran, dan lain sebagainya dalam menganalisis realitas sosial masyarakat dalam perspektif lingkaran dialektis yang tiada hentinya. karena proposisi teorinya cukup sederhana, yaitu berangkat dari titik awal fakta, menelusuri aneka warna-warni realitas dan kemudian kembali lagi kepada lingkaran titik semula. demikian pula dalam bentuk praktisya, petugas kesehatan dalam menjalankan perannya dimulai dengan promosi kesehatan dilanjutkan dengan sosialisasi dengan ragam bentuknya serta menyelusup ke ranah lintas sektoral yang berlanjut terus ke pembangunan model kampung cantik iva dengan program andalannya pemeriksaan gratis melaui peningkatan cakupan pemeriksaan iva dan dari medan terakhir ini kemudian kembali lagi ke permulaan awal, yaitu promosi kesehatan dan begitu seterusnya. ini artinya program yang dicanangkan oleh petugas kesehatan dalam upaya pencegahan kanker serviks berjalan berkelindan dalam kerangka kontinuitas yang terus-menerus tanpa henti yang tak ada ujung pangkalnya. 309fadhillah, indita, peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan ... kesimpulan berdasarkan data hasil penelitian penulis dengan judul peran petugas kesehatan dalam upaya pencegahan kanker serviks melalui peningkatan cakupan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (iva) di kelurahan campurejo kecamatan kota kediri dapat disimpulkan bahwa peran dan strategi petugas kesehatan di lapangan sangat maksimal dan sistematis. bukti dari semua ini dapat dilihat dari upaya petugas kesehatan dalam membuat dan menyusun aneka program yang integratifinterkoneksi serta berkelanjutan dalam satu tema besar, guna menghasilkan peningkatan cakupan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (iva) di kelurahan campurejo kecamatan kota kediri dalam mencapai pencegahan kanker serviks dalam struktur program tersebut sosialisasi adalah salah satu program inti yang menjadi jalan bagi petugas kesehatan untuk bisa menggugah kesadaran masyarakat terkait dengan keberadaan dan bahaya kanker serviks. aktualisasi sosialisasi ini petugas kesehatan memulai dari tingkat paling bawah; door to door, rukun tangga-rukun tangga, sampai ke tingkat kelurahan. akan tetapi, satu hal ya ng tida k dapat ditinggalka n dalam pr oses sosialisasi ini yaitu; petugas kesehatan melibatkan aneka strata sosial masyarakat yang di dalamnya terdapat para tokoh agama, tokoh masyarakat, para akademisi, dan aparatur desa. sehingga dengan melibatkan para aktor penting tersebut akhirnya bermuara pada pembentukan promotor pemberdayaan model kampung iva di kelurahan campurejo kecamatan kota kediri. pembentukan pranata sosial berupa model kampung iva ini adalah bagian dari usaha integratif dari petugas kesehatan dalam upaya untuk penyadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan dan deteksi dini terhadap kanker serviks dengan melakukan pemeriksaan gratis, cepat dan menjaga asas kerahasiaan dari organ intim kewanitaan. saran dalam bagian ini penulis mempunyai dua saran yang dapat menjadi rekomendasi untuk tindak lanjut berikutnya, yaitu; pertama, program pencegahan kankser serviks yang dilakukan petugas kesehatan dengan melibatkan lintas sektor adalah langkah positif yang perlu terus dilestarikan keberlanjutannya untuk masa-masa yang akan datang. lebih-lebih sistem hubungan yang lebih erat pada lintas sektoral ini perlu ditingkatkan sehingga benar-benar menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam usaha pencegahan kanker serviks di lingkungan masyarakat bersama petugas kesehatan. kedua, penelitian ini mempunyai lingkup yang sangat sempit (kelurahan) dan tidak mungkin bisa digeneralisasikan kepada tahap tingkat yang lebih tinggi. untuk itu, penelitian lanjutan dengan cakupan yang lebih luas, misalnya tingkat mempunyai kabupaten/kota menjadi sangat penting agar supaya permasalahan tentang kanker serviks di tengah-tengah masyarakat lebih beragam dan variasi validitas yang lebih absah dari sekedar penelitian tingkat kelurahan. daftar pustaka apriningrum, nelly & insi f. (2017). “evaluasi input pada program pencegahan kanker serviks dengan pemeriksaan iva di kabupaten karawang”, jurnal bidan “midwife journal” volume 3 no. 02 dalam fi l e: / / / c : / user s/ pe opl e/ d owl oa ds / 23 402 7evaluasi-input-pada-program-pencegahan-kbc9ed494.pdf, diakses 24 agustus 2018. berger, peter l. (1994). langit suci; agama sebagai realitas sosial. lp3es. jakarta. ————-’ peter l & luckmann, thomas.(2013) tafsir sosial atas kenyataan; risalah tentang sosiologi pengetahua. lp3es. jakarta. fauza miftahil dkk.( 2019). “faktor yang berhubungan dengan deteksi dini kanker serviks metode iva di puskesmas kota padang” jurnal promosi kesehatan indonesia vol. 14 / no. 1 universitas andalas kementrian kesehatan ri pusat data dan informasi kesehatan. (2015). stop kanker infodatin-kanker. soebachman, agustina. (2011). awas 7 kanker paling mematikan !. yogyakarta. syura media utama sundari dan erna setiawati.(2018). pengetahuan dan dukungan sosial mempengaruhi perilaku deteksi dini kanker servik metode iva. indonesian journal of midwivery (ijm) vol 1: no 1 universitas ngudi waluyo ungaran. 231khofiyah, edukasi berpengaruh terhadap pemberian stimulasi... 231 edukasi berpengaruh terhadap pemberian stimulasi perkembangan anak usia 12-24 bulan oleh ibu di posyandu desa tambakrejo kabupaten puworejo nidatul khofiyah fakultas kesehatan, universitas ‘aisyiyah of yogyakarta, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 20/10/2019 disetujui, 27/01/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: anak balita, edukasi, perkembangan, stimulasi abstrak pemberian stimulasi merupakan hal penting yang dibutuhan anak dalam masa pertumbuhan danperkembangannya.pemantauanpertumbuhan dan perkembangan anak yang dilaksanakan secara tepat dan terarah menjamin tumbuh kembang anak lebih optimal yang menjadikan anak berkualitas, cerdas, bertanggung jawab dan berdaya guna bagi nusa dan bangsa. tujuan penelitian ini adalah melihat pengaruh edukasi terhadap pemberian stimulasi pada anak usia 12-24 bulan oleh ibu. penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan non-equivalent control group design. sampel penelitian adalah ibu yang memiliki balita usia 12-24 bulan di posyandu desa tambakrejo dengan jumlah sampel 20 responden untuk masing-masing kelompok intervensi dan kelompok kontrol. instrumen dalam penelitian ini menggunakan sap dan booklet untuk panduan pemberian edukasi stimulasi dan kuesioner terstruktur untuk data pemberian stimulasi oleh ibu.analisis menggunakan uji independen t-test. hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada perilaku pemberian stimulasi sebelum dan setelah diberikan intervensi edukasi stimulasi pada ibu.peran kader berpengaruh terhadap pemberian stimulasi oleh ibu kepada anak, sehingga perlu pembinaan untuk kader tentang pemberian stimulasi perkembangan anak yang baik dan terarah melalui pelatihan-pelatihan. history article: received, 20/10/2019 accepted,27/01/2020 published, 05/08/2020 article information abstract the provision of stimulation is an important thing that is needed by children in their growth and development. monitoring the growth and development of children carried out correctly and directed to ensure the development of children is more optimal that makes children of quality, intelligent, responsible and efficient for the homeland and the nation. the purpose of this study was to look at the effectiveness of education on the provision of stimulation of children aged 12-24 months by mothers. this education affected the provision of stimulation of children development aged 12-24 months in posyandu desa tambakrejo kabupaten puworejo jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p231-238&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 232 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 231–238 correspondence address: universitas ‘aisyiyah yogyakartayogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: nidatulkhofiyah@unisayogya.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p231–238 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) keywords: toddler, education, development, stimulation pendahuluan anak sebagai calon generasi penerus bangsa perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah indonesia. kualitas pertumbuhan dan perkembangannya perlu ditingkatkan antara lain dengan mendapatkan gizi yang baik, stimulasi yang memadai serta terjangkaunya pelayanan kesehatan yang berkualitas termasuk deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang. berbagai faktor lingkungan yang dapat menganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak juga perlu dieliminasi (rusmil, 2012). masa yang paling menentukan dalam proses tumbuh kembang seorang anak adalah masa di dalam kandungan ibunya dan kira-kira dua tahun sesudahnya, pada saat mana sel otak sedang tumbuh dan menyempurnakan diri secara pesat sekali untuk kemudian bertambah lambat, sedikit demi sedikit sampai anak berumur lima tahun. para ahli menyebut masa balita sebagai masa emas (golden age) (depkes, 2008). di indonesia, jumlah balita 10% dari jumlah penduduk, di mana prevalensi (rata-rata) gangguan perkembangan bervariasi 12.8% hingga 16% (mayasari, 2015). berdasarkan data tersebut maka stimulasi perkembangan sangat diperlukan berdasarkan penilaian deteksi dini tumbuh kembang (setiyorini & sari, 2015). pada masa balita ini anak memerlukan perhatian dan rangsangan (stimulasi)yang berguna untuk mengembangkan potensinya. pemberian stimulasi merupakan hal penting yang dibutuhan anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. orangtua perlu merangsang dan memberikan stimulasi agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan umurnya (soetjiningsih et al, 2014). kunci keberhasilan pembinaan anak terutama pada masa balita berada di tangan orang tua, karena hampir seluruh waktu anak usia dini ini berada dekat dengan orang tuanya. sebagai pengasuh, pendidik pertama dan utama, orang tua diharapkan mampu mempengaruhi tumbuh kembang anak secara optimal, melalui stimulasi tumbuh kembang, pemenuhan kebutuhan gizi, perawatan dasar termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit, tempat tinggal yang layak, higyene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran jasmani (soetjiningsih et al., 2014). penelitian yang dilakukan di belanda tahun 2010 menunjukkan hasil bahwa peningkatan kecil pada stimulasi perkembangan yang disediakan di pusat-pusat perawatan anak di tahun awal kehidupan dapat mendorong perkembangan kognitif bayi (albers et al., 2010). penelitian lain yang dilakukan di amerika menyebutkan bahwa perkembangan kognitif dan bahasa pada anak-anak yang diberikan stimulasi oleh pengasuh di penitipan anak dengan stimulasi oleh ibu secara eksklusif tidak berbeda secara sistematis (national institute of child health a nd human development ear ly child ca r e research network, 2000). study used quasi-experimental with non-equivalent control group design. the study sample was mothers who had children aged 12-24 months in posyandu tambakrejo village. the sample was 20 respondents for each intervention and control groups. the instruments in this study used sap, booklet and structured questionnaires. the analysis used the independent t-test. the results of this study stated that there were significant differences in the behavior of stimulation before and after the stimulation education intervention was given to the mother. the role of health supporters influences the provision of stimulation by the mother to the child.it is a need to train for health supporter about providing stimulation of good and directed through training. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p231-238 233khofiyah, edukasi berpengaruh terhadap pemberian stimulasi... penelitian yang dilakukan di kota mojokerto tahun 2014 menunjukkan hasil pemberian stimulasi tumbuh kembang pada anak balita oleh ibu pada kelompok yang diberikan edukasi dengan kelompok kontrol mempunyai selisih rerata (7,65), ci (6,818,49), t-value (17,88) dan p-value (0,00) yang berarti bahwa pemberian edukasi pada ibu meningkatkan pemberian stimulasi tumbuh kembang pada anak balita (susanti, 2014). laporan dari dinas kesehatan kabupaten purworejo, cakupan ddtk anak balita 2 kali per tahun di desa tambakrejo masih rendah yaitu 51,7%. berdasarkan observasi dari pelaksanaan posyandu di desa tambakrejo, pelaksanaan deteksi dini perkembangan anak terutama balita belum dilakukan secara rutin tiap pelaksanaan posyandu. hal itu juga menunjukkan bahwa masih banyak anak yang belum terpantau perkembangannya. dari data tersebut menurut keterangan kader posyandu data laporan yang tertulis tidak sesuai dengan fakta di lapangan. lebih lanjut dijelaskan bahwa penilaian deteksi dini tumbuh kembang anak di lapangan tidak menggunakan instrumen yang sebenarnya yaitu kpsp tetapi penilaian hanya dilihat sekilas bahwa anak tampak sehat dan aktif. hal tersebut muncul menjadi masalah karena setiap posyandu di desa tambakrejo memiliki satu atau dua kader yang sudah pernah mengikuti pelatihan sdidtk (stimulasi deteksi dini intervensi tumbuh kembang anak) tetapi pemberian informasi kepada ibu balita terutama untuk stimulasi perkembangan belum terlaksana secara efektif. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi tentang stimulasi perkembangan anak terhadap pemberian stimulasi perkembangan anak usia 12-24 bulan oleh ibu di desa tambakrejo kabupaten purworejo. bahan dan metode penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan non-equivalent control group design. sampel penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita usia 12-24 bulan di posyandu desa tambakrejo kabupaten purworejo tahun 2019 dengan jumlah sampel 20 responden untuk masing-masing kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang didapatkan dari perhitungan rumus lemeshow, et al (1997) dengan menggunakan perbedaan dua rerata dua kelompok pada penelitian lain yang sejenis. intervensi dalam penelitian ini adalah pemberrian edukasi stimulasi perkembangan anak. instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur untuk data karakteristik ibu dan data pemberian stimulasi oleh ibu pada anaknya serta untuk panduan pemberian edukasi tentang stimulasi perkembangan anak menggunakan sap (satuan acara pembelajaran) dan booklet yang merujuk pada buku sdidtk dari kementerian kesehatan. pemberian edukasi dilakukan oleh pakar terkait tumbuh kembang anak (peneliti dan bidan koordinator kia). penelitian sudah lulus uji ethical clearance dari kepk unisa dengan no. 1076/kep-unisa/v/2019. analisis menggunakan uji independen t-test. hasil penelitian analisis univariat karakteristik ibu kelompok intervensi kontrol n % n % tingkat pendidikan ibu tinggi 17 85,0 6 31,5 rendah 3 15,0 13 68,4 status pekerjaan ibu tidak bekerja 11 55,0 14 73,7 bekerja 9 45,0 5 26,3 pola asuh gizi baik 13 65,0 11 57,9 cukup 7 35,0 8 42,1 jumlah anak sedikit 6 30,0 9 47,4 banyak 14 70,0 10 52,6 jenis kelamin anak laki-laki 11 55,0 9 47,4 perempuan 9 45,0 10 52,6 kelompok umur anak 12-15 bulan 9 45,0 9 47,4 15-18 bulan 5 25,0 6 31,6 18-24 bulan 6 30,0 4 21,0 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik responden tabel diatas menunjukkan untuk kelompok intervensi, tingkat pendidikan ibu sebagian besar pendidikan tinggi dengan pendidikan sma-pt (85,0%). status pekerjaan ibu sebagian besar tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga (55,0%). pola asuh gizi tentang pemberian asi dan mp-asi yang diberikan oleh ibu kepada anaknya sebagian besar sudah baik (65,0%). jumlah anak sebagian besar mempunyai lebih dari satu anak (70,0%). jenis 234 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 231–238 berdasarkan uji homogenitas pada tabel 2 diatas menunjukkan variasi setiap data untuk semua variabel sama atau homogen (p>0,05) kecuali untuk variabel tingkat pendidikan ibu (p=,001). tabel 2 menunjukkan pada kelompok intervensi, pemberian stimulasi oleh ibu kepada anaknya sebelum diberikan edukasi tentang stimulasi perkembagan anak mempunyai skor minimal 48,8 dan skor maksimal 85 dengan mean 62,4, sedangkan sesudah kelamin anak sebagian laki-laki (55,0%) dan kelompok umur balita sebagian berada dalam kelompok umur 12-15 bulan (45,0%). sedangkan untuk kelompok kontrol, tingkat pendidikan ibu sebagian besar pendidikan rendah dengan pendidikan sd-smp (68,4%). status pekerjaan ibu sebagian besar tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga (73,7%). pola asuh gizi tentang pemberian asi dan mp-asi yang diberikan oleh ibu kepada anaknya sebagian besar sudah baik (57,9%). jumlah anak sebagian besar mempunyai lebih dari satu anak (52,6%). jenis kelamin anak sebagian besar perempuan (52,6%) dan kelompok umur anak balita sebagian berada dalam kelompok umur 12-15 bulan (47,4%). karakteristik p tingkat pendidikan ibu 0,001 status pekerjaan ibu 0,22 pola asuh gizi 0,65 jumlah anak 0,27 jenis kelamin anak 0,63 tabel 2 homogenitas data kelompok intervensi dan kelompok kontrol intervesi kontrol mean min-max mean min-max sebelum 62,4 48,8-85 63,4 50,0-81,3 sesudah 83,9 61,3-93,8 75,4 56,3-88,8 tabel 3 distribusi pemberian stimulasi perkembangan dan pre test – post test pengetahuan ibu variabel pemberian stimulasi tabel 4 normalitas data pemberian stimulasi p sebelum 0,435 sesudah 0,798 selisih sebelum-sesudah 0,883 variabel intervensi kontrol t diff p mean±sd mean±sd pemberian stimulasi 21,56±1,75 11,97±1,44 4,2 16,89 0,000 tabel 5 analisis independent t-test pemberian pendidikan stimulasi terhadap perubahan pemberian stimulasi oleh ibu diberikan intervensi mempunyai skor minimal 61,3 dan skor maksimal 93,8 dengan mean 83,9. pada kelompok kontrol, pemberian stimulasi oleh ibu kepada anak sebelum pemberian intervensi mempunyai skor minimal 50 dan skor maksimal 81,3 dengan mean 63,4, sedangkan sesudah diberikan intervensi mempunyai skor minimal 56,3 dan skor maksimal 88,8 dengan mean 75,4. tabel 3 menunjukkan pada pemberian stimulasi sebelum, sesudah, dan selisih pemberian stimulasi mempunyai data yang normal (p>0,05). analisis bivariat tabel 4 menunjukkan pada variabel pemberian stimulasi oleh ibu, perbedaan selisih rerata antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah 16,89 dengan t hitung 4,2 dan nilai p sebesar 0,000 (p<0,05). hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada selisih rata-rata skor pemberian stimulasi oleh ibu antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. pembahasan penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian edukasi stimulasi pada ibu terhadap pemberian stimulasi pada anak usia 12-24 bulan di posyandu desa tambakrejo. karakteristik subjek penelitian antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada penelitian ini 235khofiyah, edukasi berpengaruh terhadap pemberian stimulasi... adalah homogen. berdasarkan hasil uji statistik didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada karakteristik pola asuh gizi, jumlah anak, dan pekerjaan ibu antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p>0,05). hal itu menunjukkan bahwa kemampuan awal kedua kelompok adalah sama (tidak jauh berbeda), meskipun untuk karakteristik pendidikan ibu ada perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. jika karakteristik awal kedua kelompok sama, maka apabila terdapat perubahan peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan dapat dipastikan oleh intervensi yang diberikan dan bukan oleh karena faktor lain (kerlinger, 2003). berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa pemberian pendidikan stimulasi kepada ibu memberikan perbedaan yang signifikan terhadap perilaku pemberian stimulasi anak usia 12-24 bulan (p<0,05). anak yang mendapat stimulasi terarah akan lebih cepat berkembang dibanding anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi. peran keluarga dan petugas kesehatan dalam pengasuhan dan pemberian stimulasi juga mempunyai arti yang sangat besar terhadap perkembangan anak selanjutnya (soetjiningsih et al., 2014). hal tersebut didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa pendidikan parenting untuk ibu penting dilakukan terutama kaitannya dengan bagaimana memberikan stimulasi pada anaknya (hastuti, 2010).hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan di turki tahun 2007 tentang pengetahuan ibu terhadap perkembangan anak dengan hasil analisis regresi linear didapatkan p= 0,001 yang berarti secara statistik predictor pengetahuan ibu berhubungan dengan perkembangan anaknya (ertem, et al, 2007). lingkungan keluarga merupakan salah satu lingkungan bagi anak untuk memperoleh stimulasi (dariyo, 2007). hal tersebut juga didukung oleh penelitian albers, et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemberian stimulasi dapat mendorong perkembangan kognitif bayi. hastuti, et al (2010) juga menyatakan bahwa pendidikan parenting untuk ibu tentang bagaimana memberikan stimulasi pada anaknya perlu diberikan karena dengan pemberian stimulasi yang terarah akan dapat mendukung perkembangan anak. hasil penelitian untuk tingkat pendidik ibu menunjukkan bahwa data tidak homogen yaitu pada kelompok intervensi sebagian besar ibu (85%) berpendidikan tinggi dan pada kelompok kontrol sebagian besar ibu berpendidikan rendah (68,4%). tingkatan pendidikan formal merupakan dasar pengetahuan intelektual yang dimiliki seseorang. hal ini berkaitan dengan pengetahuan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuannya untuk menerima informasi sehingga pengetahuannya lebih luas. hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pernyataan guttmann, et al (2004) bahwa pendidikan orang tua yang rendah dapat mempengaruhi anak prasekolah dalam mencapai perkembangan kognitif. begitu juga dengan penelitian yang menyatakan bahwa perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan ibu terkait kemampuan dalam memberikan stimulasi terhadap perkembangan anak (barros et al., 2010). ibu dengan pendidikan rendah cenderung tidak dapat memberikan stimulasi perkembangan yang optimal sehingga anak tidak mampu mencapai perkembangan yang optimal pula.tingkat pendidikan seseorang dapat menggambarkan kemampuannya dalam memahami dan mencerna suatu masalah. dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan ibu yang tinggi dapat menjadi pendukung ibu dalam memberikan stimulasi perkembangan anak sehingga kemampuan anak dapat berkembang secara optimal jika ibu diberikan informasi mengenai stimulasi perkembangan anak yang sesuai.akan tetapi dapat pula disimpulkan bahwa pendidikan ibu yang rendah tidak menjadi penghambat untuk memberikan stimulasi yang terarah pada anaknya dengan informasi yang benar dan tepat dari lingkungan. stimulasi penting untuk dilakukan oleh orang tua dalam pengasuhan anak, hal ini sejalan dengan walker pada tahun 2005 yang juga mengatakan bahwa kemampuan kognitif yang rendah pada anak dapat diperbaiki dengan pemberian stimulasi sejak dini (walker et al., 2005). begitu juga dengan penelitian lainnya tentang perkembangan anak di negara berkembang yang mengindikasikan bahwa salah satu faktor yang berperan dalam pencapaian perkembangan anak yang optimal adalah faktor psikososial. termasuk di dalam faktor psikososial adalah salah satunya faktor pengasuhan meliputi stimulasi kognitif dan peluang anak untuk belajar (walker et al., 2007). penelitian dari meylina, yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang kuat antara pola pengasuhan dengan perkembangan mental dan perkembangan motorik anak baduta (meylina, 2000). hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian ini. dalam hal ini pola pengasuhan termasuk 236 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 231–238 didalamnya pemberian stimulasi pada anak. perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi proses stimulasi anak seperti pekerjaan ibu, sehingga waktu yang dimiliki ibu untuk memberikan stimulasi menjadi kurang. perkembangan merupakan hasil interaksi saling mempengaruhi antara “nature” yaitu yang berarti alam atau sifat dasar (faktor bawaan) dan “nuture” yang berarti pemeliharaan dan pengasuhan (faktor lingkungan). teori lain menyebutkan bahwa lingkungan terbagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam keluarga dan lingkungan luar keluarga yang keduanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan (santrock, 2002). dalam penelitian ini, pendidikan stimulasi diberikan kepada ibu saja sebagai pengasuh utama di keluarga yang nantinya ibu juga yang melakukan stimulasi pada anaknya sedangkan pada kelompok intervensi jumlah ibu yang bekerja lebih besar daripada kelompok kontrol dan tidak menilai bagaimana pola asuh keluarga terhadap lingkungan di luar keluarga terutama pengasuh anak ketika ditinggal ibu bekerja. menurut keterangan kader posyandu menjelaskan bahwa anak-anak pada kelompok intervensi banyak yang dititipkan kepada pengasuh terutama ibu yang bekerja, tetapi beberapa responden juga ada yang tetap menggunakan pengasuh meskipun ibu tidak bekerja. hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan huang, yang mengatakan bahwa ibu-ibu yang berpengetahuan tinggi cenderung menghabiskan waktunya untuk mengajari anak-anak mereka (huang et al., 2005). anak yang mendapat stimulasi terarah akan lebih cepat berkembang dibanding anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi. peran keluarga dan petugas kesehatan dalam pengasuhan dan pemberian stimulasi juga mempunyai arti yang sangat besar terhadap perkembangan anak selanjutnya (soetjiningsih et al., 2014). hasil analisis univariat untuk pekerjaan ibu sebagian besar adalah ibu yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga pada kelompok intervensi (55,0%) maupun kelompok kontrol (73,7%). penelitian yang mendukung menyatakan bahwa pekerjaan ibu berpengaruh negatif terhadap kemampuan kognitif anak pada tahun-tahun pertama, namun tidak menetap dan akan berubah pada saat usia anak lebih tua (ram, 2004). saat memasuki sekolah anak akan bersosialisasi dengan orang lain sehingga kemampuan anak akan bertambah. sedikit berbeda dengan pernyataan notoadmodjo (2012) bahwa masyarakat yang bekerja selalu berupaya untuk tetap sehat agar dapat melakukan aktivitasnya sebagai pekerja. seseorang yang mempunyai pendapatan akan memberikan kontribusi yang besar pada kesejahteraan keluarga. sebaik baik pekerjaan seseorang, semakin besar pula pendapatan dan semakin baik juga kesejahteraan keluarganya. hasil analisis univariat untuk pola asuh gizi meliputi pemberian asi, mp-asi dan penyapihan didapatkan hasil bahwa sebagian besar ibu sudah melakukan pola asuh gizi yang baik pada anaknya pada kelompok intervensi (65,0%) maupun kelompok kontrol (57,9%). hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian tentang pemberian asi terhadap perkembangan anak bahwa pemberian asi memberikan perlindungan terhadap keterlambatan perkembangan motorik kasar dan motorik halus (sacker et al., 2006). penelitian lain memperlihatkan bayi yang mendapat asi ekslusif selama 6 bulan dapat merangkak dan duduk lebih dahulu dibanding mereka yang mendapat makanan pendamping pada usia 4 bulan. anak yang mendapat asi jauh lebih matang, lebih asertif dan memperlihatkan progresifitas yang lebih baik pada skala perkembangan dibanding mereka yang tidak mendapat asi (dewey et al., 2001). pemberian pengasuhan gizi yang baik akan mengubah status gizi anak menjadi lebih baik pula sehingga akan mempengaruhi syaraf-syaraf anak agar berfungsi dengan baik melakukan tugasnya sebagai satu kesatuan keterampilan yang harus dicapai (semba and bloem, 2001). anak-anak menggunakan energi yang besar untuk melakukan aktivitas motoriknya. untuk mendukung pertumbuhan dan aktivitas tersebut, anak memerlukan asupan makanan gizi yang lebih (santrock, 2007). hasil analisis univariat untuk jumlah anak sebagian besar ibu mempunyai anak 2 baik kelompok intervensi (70,0%) maupun kelompok kontrol (52,6%). jumlah anak yang banyak dalam keluarga akan menyebabkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak, apalagi kalau jarak anak terlalu dekat. kebutuhan dasar anak juga tidak terpenuhi. keluarga berencana tetap diperlukan bagi semua golonga n ba ik ka ya ma upun miskin (notoatmodjo, 2012). hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa jumlah anak dalam satu keluarga  2 merupakan prediktor yang berhubungan dengan perkembangan anaknya (ertem et al., 2007). jumlah anak semakin banyak, kemungkinan perkembangan kurang optimal karena 237khofiyah, edukasi berpengaruh terhadap pemberian stimulasi... perhatian dan kasih sayang ibu harus terbagi dan pemberian stimulasi menjadi kurang fokus. kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan rerata peningkatan skor pemberian stimulasi pada anak antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah pemberian edukasi stimulasi perkembangan anak pada ibu.hal tersebut berarti dengan pemberian pendidikan tentang stimulasi perkembangan anak mempengaruhi perilaku pemberian stimulasi perkembangan pada anak oleh ibu menjadi rutin dan terarah. saran berdasarkan hasil penelitian, saran yang dibajukan untuk meningkatkan kesehatan anak balita adalah dengan memberikan edukasi pada ibu-ibu tentang pemberian stimulasi perkembangan anak yang baik dan terarah secara teratur untuk meningkatkan perkembangan anak dengan metode yang mudah dipahami.selain itu memberikan pembinaan untuk kader tentang pemberian stimulasi perkembangan anak yang baik dan terarah melalui pelatihan-pelatihan. daftar pustaka albers, e. m., riksen-walraven, j. m. & de weerth, c. (2010) developmental stimulation in child care centers contributes to young infants’ cognitive development. infant behavior and development, 33 (4): 401-408. barros, a. j. d., matijasevich, a., santos, i. s. & halpern, r. (2010) child development in a birth cohort: effect of child stimulastion is stronger in less educated mothers. internastional journal epidemiology, 39(4): 285. dariyo, a. (2007) psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama, bandung: refika aditama. depkes (2008) deteksi dini dan skrining tumbuh kembang balita, jakarta:depkes ri. dinas kesehatan kabupaten purworejo (2011) profil kesehatan kabupaten purworejo. ertem, i. o., dogan, d. g., bayhan, a., bingoler, b. e., gok, c. g., ozbas, s., haznedaroglu, d. & isikli, s. (2007) moh er ’s kn owl edgeof young chi l d development in a developing country. journal compilation. guttmann, a., to, t., dick, p. t., rosenfield, parkin, p. c., tassoudji, m., vydykhan, t. n., cao, h. & harris, j. k. (2004) risk markers for poor development attainment in young children. arch pediatr adolesc med, 158(643): 49. hastuti, d., alfiasari, chandriyani. (2010). nilai anak, stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak usia 2-5 tahun pada kleuarga rawan pangan di kabupaten banjarnegara jawa tengah. jur. ilm. kel. & kon., januari 2010. huang, k., caughty, m. o., genevro, j. l. & miller, t. l. (2005) maternal knowledge of child development and quality of parenting among white, africanamerican and hispanic mothers. kerlinger, f. n. (2003) asas-asas penelitian behavioral yogyakarta:gadjah mada university press. lemeshow, s., hosmer, d. w., klar, j. & lwanga, s. k. (1997) besar sampel dalam penelitian kesehatan. yogyakarta: gajah mada university. mayasari,k. (2015). gangguan perkembangan anak yang harus diwaspadai. https://www.klikdokter. c o m / r u b r i k / r e a d / 2 7 0 0 0 3 1 / g a n g g u a n perkembangan-anak-yang-harus-diwaspadai. dibuka tanggal 20 agustus 2019. meylina, e. (2000) studi tentang pola pengasuhan anak, status gizi, dan perkembangan anak baduta di desa cibatok 2, kecamatan cibungbulang, kabupaten bogor. ipb. national institute of child health & human development early child care research network (2000) the relation of child care to cognitive and language development. child development, 71(4): 960-980. notoatmodjo, s. (2012) promosi kesehatan dan perilaku kesehatan, jakarta: rineka cipta. ram, b. (2004) the effect of early maternal employment on children’s cognitive outcomes: the canadian experience. the annual meeting of the population association of america. rusmil, k. (2012) pedoman pelaksanaan, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat pelayanan dasar. jakarta: kementerian kesehatan ri. sacker, a., quigely, m. & kelly, y. j. (2006) breastfeeding and developmental delay: findings from the millenium cohort study. pediatrics, 118e682. santrock, j. w. (2002) life span development: perkembangan masa hidup, jakarta:erlangga. santrock, j. w. (2002) life span development: perkembangan masa hidup, jakarta:erlangga. soetjiningsih, ranuh, i. n. & wahab, a. (2014) tumbuh kembang anak edisi 2, jakarta:egc. setiyorini, e., sari, y.k.(2015) pemberdayaan kader dalam aplikasi, sosialisasi ddtk (deteksi dini tumbuh kembang)dan anticipatory guidance di kecamatan wonodadi. jurnal ners dan kebidanan, 2 (3):270275. susanti, i. y. (2014) pengaruh edukasi pada ibu terhadap pemberian stimulasi tumbuh kembang pada anak balita di kota mojokerto. program studi ilmu kesehatan masyarakat, universitas gadjah mada. 238 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 231–238 walker, s. p., chang, s. m., powell, c. a. & granthammcgregor, s. m. (2005) effects of early childhood psych osocia l st i m ul a t ion an d nut r it i ona l supplementation on cognition and education in growth-stunted jamaican children: prospective cohort study. the lancet, 366(9499): 1804-1807. walker, s. p., wachs, t. d., meeks gardner, j., lozoff, b., wasserman, g. a., pollitt, e. & carter, j. a. (2007) child development: risk factors for adverse outcomes in developing countries. the lancet, 369(9556): 145-157. e:\2021\ners agustus\1--jurnal 145rasmita, barriers and supports in empowering parents care for children with cancer barriers and supports in empowering parents care for children with cancer jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 07/07/2021 accepted, 04/08/2021 published, 10/08/2021 keywords: barrier, parent empowerment, child with cancer article information abstract cancer that occurs in children does not only affect children, but also parents. parents experience anxiety, stress, fear of losing their children, and helplessness in caring for their children, so that parents are less than optimal in caring for their children. parent empowerment can increase parents’ knowledge, confidence, and ability to care for their children. previous research found several obstacles to parent empowerment carried out by nurses so that parent empowerment was not optimal in its implementation. knowing barriers and supports in implementation of parent empowerment in caring for children with cancer can support implementation of parent empowerment to be more optimal. the purpose of this study was to explore barriers and supports in parent empowerment in caring for children with cancer based on the nurse’s perception. the design of this study was qualitative research design with a phenomenological approach. the data was collected by indepth interview method using semi-structured interview guidelines on six nurses who were selected by purposive sampling technique. the data analysis was carried out by thematic analysis with the analysis stage according to colaizzi. the results of this study were resulted in four themes, namely parental attitudes, parental characteristics, attitudes of nurses, availability of nurses and facilities. this study concluded that implementation of empowering parents to care for children with cancer became more optimal by knowing the barrier and supports in empowering parents care for children with cancer and nurses could make more effective planning in caring for children with cancer. © 2021 journal of ners and midwifery 145 correspondence address: north sumatera university – north sumatera, indonesia p-issn : 2355-052x email: dinarasmita@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p145–152 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) dina rasmita nursing department, north sumatera university, indonesia https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p145-152 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p145-152&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 146 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 145–152 introduction cancer is a disease with a high mortality rate. every year there are 12 million people worldwide suffer from cancer and 7.6 million of them die (international union against cancer, 2009). each year about 150,000 children are diagnosed with cancer. cancer cases in children are found to be increasing every year and 20% of them die (world health organization, 2014). in 2015, the united states estimated 10,380 new cases of cancer in children aged 0-14 years (national cancer intitute., 2015). children with cancer will be hospitalized and require a long treatment. hospital care is a stressor for children because children have to adapt to unfamiliar environments, medical equipment, and painful treatment procedures (hockenberry & wilson, 2011). cancer does not only affect children, but also parents. parents experience anxiety, stress, fear of lossing their children, and helplessness in caring for children, so that parents are less than optimal in caring for their children (da silva & jacob, 2010) parent are the closest people to children. parent are also a source of strength and support for a sick child. parents as a service center in a child nursing approach will help the nursing service process during hospitalization (macka y and gregory, 2011). parent-focused care (pbb) is the main concept in implementing child nursing practice beca use the existence of childr en ca nnot be separated from the parents (paliadelis et al., 2005). in the application of parent empowerment, parents also receive nursing care and are encouraged to participate actively in the process of care and decision making (abraham and moretz, 2012). one of the basic concepts of family centre care is empowerment. parental empowerment is an effort to improve parental abilities by increasing parental knowledge and skills. attaros (2004) cit panicker (2013) stated that nurses do not only treat children with cancer, but also improve parents ‘ability to increase parents’ knowledge, skills, and confidence in meeting children’s needs and helping children overcome their problems urses who are involved in day-to-day child care play a role in empowering parents by providing opportunities for parents to participate and be involved in child care activities, increase parental skills and confidence to determine the best choice of child treatment (pacniker, 2013). parent empowerment is effectively used to increase knowledge, self-confidence, and the ability of parents to care for children, so that parents will be better prepared to care for children after returning from the hospital (borhani, et al., 2011). parental empowerment can increase parental satisfaction with health services (wacharasin, phaktoop, sananreangsak, 2015). the results of research conducted by hulme (1999) cit panicker (2013) on the empowerment of parents who have children with chronic pain show that parental empowerment can reduce anxiety, fear, fulfill children’s needs, and reduce child care costs. this is supported by the research of (ghazavi, minooei, abdeyazdan, 2015) concerning the effect of parent empowerment programs on improving the quality of life of children with chronic kidney failure show that parent empowerment can improve the quality of life of childr en, both physica lly a nd psychologically. research conducted by (gonya et al., 2015) on the effect of parental empowerment progra ms on length of sta y a nd re-ca re for premature babies in intensive neonatal care units (nicu) showed that parental empowerment in the nicu ca n r educe length of sta y a nd r ehospitalization for preterm infants who are in the nicu, parent become confident , is able to care for her baby at home and make decisions about her baby’s care. several previous studies stated that implementation of parent empowerment still experiences various obstacles so that implementation is not optimal. one of them in research conducted by (panicker, 2013), nurses revealed difficulties in parental empowerment, namely limited time for nurses, la ck of skills of nur ses, a nd lack of facilitating parents to be involved in caring for childr en. knowing ba r r ier s a nd suppor ts implementation of parent empowerment in caring for children with cancer can support implementation of parent empower ment to be mor e optimal. qualitative research with a phenomenological approach was chosen by researchers to explore more deeply about the barriers and support for parent empowerment in caring for children with cancer based on the nurse’s perception. method the design of the sudy was a qualitative study with a phenomenological approach. the method was used because this study was to understand the 147rasmita, barriers and supports in empowering parents care for children with cancer meaning of a phenomenon in depth, explore phenomena directly and describe the phenomena of a number of individuals with their various life experiences related to concepts or phenomena (cresswell, 2014). the research participants were nurses in the kartika ii room dr. sardjito yogyakarta. the technique of taking the participants was by using purposive sampling technique. the sample was selected according to the criteria determined by the researcher and the determination of participants who ha ve str ong infor ma tion a bout the fa cts or phenomena being studied (cresswell, 2014). the participant of this study was nurses who were selected with certain criteria. inclusion criteria of nurse, they are nurses who served for three years or more in the kar tika ii room dr. sardjito yogyakarta, minimum education level of diploma nursing, was willing to be a participant in the interview. researchers used interview guidelines with open-ended questions and semistructured mp4 voice recor ding devices to record interviews between researchers and participants during the interview. interviews were conducted 1-2 times. interviews were conducted for 45-60 minutes. interviews were conducted with nurses when changing nurse shifts in the nurse’s room. the ethical principle carried out in this study was that the researcher provides an explanation of the r esea r ch then the r esea r cher a sks the participants’ willingness to participate in this study and gives the participants the freedom to choose the place and time of the interview (respect for human dignity), the participants are involved in this study of their own accord without an element of coercion (autonomy), participants were given the oppor tunity to sha r e their exper iences of empowering parents in caring for children with cancer (beneficience), maintaining the confidentiality of participant identities and information provided by participants (respect for privacy). qualitative research data analysis was carried out at the time the data collection took place and the data collection was completed within a certain period. the data analysis process in this study uses data analysis steps based on colaizzi (cit. holloway, 2008) including:1) researchers read all transcripts obtained from interviews with parents and nurses to determine the perceptions of parents and nurses about parental empowerment in caring for children with cancer; 2) the researcher reread the transcript repeatedly to get meaningful words about the perceptions of parents and nurses about parental empowerment in caring for children with cancer; 3) the researcher described the meanings of the participant’s statements to formulate the meaning of the statement, so that categories emerge; 4) the researcher read all the categories then classifies the same categories into sub-themes and themes; 5) researchers combined the results of the themes obtained to describe the phenomenon of nurses’ perceptions of barriers and support for parental empowerment in caring for children with cancer completely; 6) the researcher turned a deep explanation of the phenomenon under study into a statement with a complete description or identifies the essence of the nurse’s experience; 7) asked the participants again regarding the findings for the final validation stage. result the number of participants was six nurses who served in the child care room with cancer at dr. sardjito hospital yogyakarta. all participants are women. the last nurse education is diii (diploma) to s1 (sarjana-ners). there are five nurses at the diii (diploma ) educa tion level a nd one undergraduate level. the ages of nurses varied from 31 years to 50 years. four of the nurses were 3140 years old and two were 41-50 years old. the position of nurse varies from associate nurse (pa), there are three people, nurse in charge of duty (pjtj) has one person, and primary nurse (pn) has two people. the nurse participants had clinical work experience varying from four years to 28 years. ther e are five nurses who have work experience for more than five to ten years, more tha n ten yea r s ther e is one per son. t he characteristics of nurse participants can be seen in table 1. this research produces a theme, namely parental attitudes, parental characteristics, nurse attitudes, availability of nurses and facilities. themes, categories, and participant statements can be seen in table 2. the nurse revealed the various barriers and supports experienced by nurses in empowering parents, the first is the parent’s attitude, namely the positive and negative attitude of the parents. the positive attitude of parents, namely the attitude of parents who are cooperative and care about their 148 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 145–152 participants p1 p2 p3 p4 p5 p6 age 39 years old 37 years 50 years 31 years 31 years 41 years gender women women women women women women last education s1 (ners) diii diii diii diii diii position associate associate primary associate nurse in charge primary nurse (pa) nurse (pa) nurse (pn) nurse (pa) of duty (pjtj) nurse (pn) length of work 4 years 9 years 28 years 6 years 10 years 8 years table 1. characteristics of nurse participants table 2. themes, categories, participant statements theme category statement attitude of parents positive attitude p1: “so far, when parents are cooperative, the handling is usually smoother, so if we look at it, nurses, when parents are cooperative, it is comfortable to care for children ... if those who care for their children know, read the protocols and they will ask tomorrow what medication their child is taking” negative attitude p1: “being invited to chat is also uncomfortable .... his face is flat, i don’t ask anything after being asked if someone wants to be asked again instead asking when he will recover when he can come home” p3: there are those who don’t dare, once they are taught, they can’t”” sometimes parents are annoying, for example putting on a nebulizer, sometimes we talk about it, the parents will let go by themselves, their children are fussy, and the parents will take them off by themselves. “p2: “not cooperative, the problem is waiting, visiting, someone will cough”p5: “education for watchers is usually someone who is fussy both of them”p4: “there are parents who don’t have the heart”p6: “in the past, children were still tracking, according to him, the bmp was engineered by doctors and nurses ... sometimes parents were doubtful if they were educated.the science of nurses and doctors whether the nurses, doctors have the correct knowledge... if the infusion is put on later, the mother will choose, i want the same. the nurse’s job is also a lot, it doesn’t have to be the same, which is usually us “p1: “there are also those who refuse chemotherapy ... there are also some who want to seek other alternative treatments.. there are also those who are still denial “ parental characteristics level of education p3: “for those with higher education, they will understand quickly, if they are taught directly”p1: “parents’ knowledge is lacking” “there are one and three, maybe not easy, so we will understand that later we willp5: i will tell the children who can understand there too” age p3: “in terms of age, how many times did the grandmother teach it?” attitude of nurses positive attitude p6: “they talk more with them so they trust us more “ negative attitude p3: “but it’s better if we don’t have parents ... yes, we feel better if the parents’ actions are waiting outside” 149rasmita, barriers and supports in empowering parents care for children with cancer children, making it easier for nurses to involve parents in caring for children. negative attitudes, namely parents who are afraid, parents are also not cooperative in caring for children and obeying the rules of patient watchdogs, the attitude of parents who doubt the science and ability of nurses. the second obstacle and support experienced by nur ses in pa r enta l empower ment is the characteristics of nurses such as parental education level and parental age. the low level of parental education makes it difficult for nurses to provide education to care for children, while the high level of parental education is easier to understand the information provided by the nurse. furthermore, the elderly parents when accompanying children in the hospital make it difficult for nurses to provide child care education. the third barriers and supports experienced by nurses in parent empowerment is the attitude of the nurse. nurses’ positive attitudes such as attention and more frequent communication with parents so as to create a trusting relationship between nurses and parents and make it easier for nurses to work together with parents in caring for children. the negative attitude of nurses, namely nurses feel more comfortable if parents are not involved in child care actions such as infusion. anxiety and the attitude of parents who do not have the heart when nurses take action make nurses uncomfortable at work. the fourth barriers and supports experienced by nurses in parent empowerment is the availability of nurses and facilities. the number of nurses is limited, so nurses cannot monitor parental activities. in addition, educational provision facilities such as the use of media and guidelines in providing education. media used are discharge planning, leaflets, educational sheets, map reviews, guidelines fr om hospita ls such as standard operational procedure to assist nurses in educating parents and patients so that parent find it easier to understand and remember the information provided by nurses. discussion barriers and supports in parent empowerment are parent attitudes, parental characteristics. the nurse revealed that the attitude of parents who were not cooperative, was the attitude of parents who did not dare to take care, denial, doubted the knowledge of nurses and doctors. the nurse revealed that at the initial diagnosis of treatment, it was difficult for parents to cooperate with nurses in providing care because the condition of the parents still did not believe in the child’s disease and even some parents did not believe in the treatment that would be carried out on the child (mackay and gregory, 2011). the nurse also mentioned that the attitude of parents who do not trust doctors and nurses is an obstacle in working with parents in caring for their children. this is in accordance with research conducted by dunloop (2008) which states that parents are often not ready when they find out the diagnosis of a child’s disease, this causes conflict for nurses to work with parents. nurses experience stress and confusion when working with parents in the early stages of diagnosing a child’s illness. the attitude of parents who have not accepted their child’s illness makes it difficult for parents to convey information and cooperate with parents in child care. this is consistent with research conducted by (gibbins and steinhardt, 2012) . the nurse also revealed that parents did not dare to take care of their children such as feeding them through ngt, after the nurse gave education by giving examples to parents and assisting parents in taking care actions, so the nurse did it. the results of this study are also supported by research conducted by panicker (2013) which reveals that parental empowerment will not be carried out if parents are not ready to care for children, so parents cannot follow the process of child care, cannot care for children properly, and ignore suggestions from staff. health. and facilities availability of nurses number of nurses p2: “we have a lack of energy ... we work a little separately, so we need supervision, lots of action, so we focus our minds on the bad ones.” educational provision p1: “there will be nutrition, from the hospital, we will make it with facilities the team”p6: “there is a guide from the hospital... discharge planning ... sheet on patient education about going home, map review “ 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 145–152 the results of this study are in accordance with research conducted by bedells and bevan (2015) which states that parents do not dare to treat children because parents do not have sufficient knowledge. this is also supported by research conducted by (fisher et al., 2011) which states that the lack of parental participation in caring for children is because parents do not get information from nurses. the attitude of cooperative parents is a supporter of empowering parents to care for children with cancer. the nurse revealed that the attitude of parents who pay attention to children, respect doctors and nurses, can accept the child’s disease conditions, make it easier for nurses to work together with parents in caring for children while in the hospital. further mor e, ba rr iers and supporter s in empowering parents are parental characteristics such as education level and parental age. the nurse revealed that the low level of parental education made it difficult for nurses to educate parents. mazor et al. (2013) stated that the adequacy of information provided to patients and parents is influenced by cognitive, patient education level, parents and the duration of time provided by health workers. the results of the study are also supported by research conducted by panicker (2013) whisch sta tes tha t one of the obsta cles to pa renta l empowerment is the low level of education, so parents find it difficult to participate in caring for children. meanwhile, a high level of parental education is a supporter of parental empowerment. a high level of parental education makes it easier to provide education. some nurses revealed that it was easier to provide education to parents with higher education because parents could more easily understand the information conveyed by the nurses. hulme (1999) cit. panicker (2013) stated that the factors that influence the stage of parental participation are the level of education, occupation, socioeconomic status, the condition of the child’s severity, and the mental status of the parents. according to (quinn et al., 2015) providing information with a focus on client education is a way to increase knowledge and promote positive attitudes. fur ther mor e, ba r r ier s a nd suppor ts in empowering parents is the age of the parents. advanced parental age. the nurse revealed that when a child is accompanied by an elderly parent it makes it difficult for the nurse to educate the parents, so the nurse often repeats the information provided. the results of this study are supported by research conducted by wigert et al. (2014) states that parental participation in caring for children is influenced by parental characteristics, including gender, age, and previous experiences of parents when caring for children. the results of this study are also supported by research conducted by (arumsari, emaliyawati, sriati, 2016) which states tha t age is one of the fa ctor s tha t influence communication. barriers and supports of parent empowerment are the attitudes of nurses, such as the attitudes of nurses who are more attentive, often communicating with parents and patients. the nurse revealed that nurses who communicate more frequently with parents and patients make parents not afraid to convey their needs in caring for children. bedells & bevan (2015) state that effective communication can help parents to obtain information about child ca r e pla ns, so tha t pa r ents a r e sure of the information conveyed. research conducted by king & hoppe (2013) stated that communication can build a trusting relationship between parents and staff by sharing duties and responsibilities with parents, so that parents understand their role in child care. furthermore, the attitude of the nurse feels uncomfortable when parents are involved in caring for children. the results of this study, nurses revealed that nurses felt more comfortable if parents were not involved in invasive treatment measures such a s infusion, ngt inser tion, and intra theca l chemotherapy because according to nurses when parents accompany their children, their children are often fussy and parents are often anxious, afraid when the child is done. invasive action, so that the nurse feels less focused when taking action. this is in accordance with the statement of abraham and moretz (2012) which explains that the presence of parents in the room is feared to disturb patients and nurses are less flexible in nursing actions. this is in accordance with research conducted by boztepe (2012) which states that 62, 8% of nurses do not want parents to accompany children during invasive action, 77, 1% of nurses reveal that children’s a nxiety incr ea ses when pa r ents a ccompa ny children, 60% of nurses reveal that the level of anxiety of health workers increases which has an impa ct on the success of the pr ocedur e. furthermore, barriers and supporters of parental empowerment are communication between nurses and parents and patients. 151rasmita, barriers and supports in empowering parents care for children with cancer barriers and supports in parent empowerment are the availability of nurses and facilities such as a limited number of nurses, and educational facilities. the results of this study revealed that the number of nurses was limited and not proportional to the number of patients, causing nur ses to work individually and have to monitor patients with various conditions. the results of this study are consistent with research conducted by coyne et al. (2013) which states that one of the obstacles to parental empowerment is the limited number of staff. this is also supported by mackay and gregory (2011) study of pa r ent-center ed car e ba sed on the perception of child oncology nurses who found the same results which stated that the barrier to parental-focused care was the limited number of nurses. the increasing number of patients does not match the number of nurses, so this causes a high workload for nurses and nurses only focus on completing tasks. this is also supported by research conducted by ªener and karaca (2017) which states that nurses know the expectations of parents, but nurses cannot meet the needs and expectations of parents because of the high workload. furthermore, the obstacle and support in empowering parents to care for children with cancer are educational facilities. educational facilities such as leaflets and discharge planning helped nurses educate parents. the use of media in providing education to patients and parents ca n incr ease patient and parent knowledge. the results of research conducted by (hesham et al., (2016) who noted that the use of media has been shown to save time, increase knowledge, attitudes, reduce parental anxiety, and facilitate interaction with staff. conclusion barriers and supports for parent empowerment, a mong other s, a r e pa r ent a ttitudes, pa r ent characteristics, nurse attitudes, availability of nurses and facilities. however, barr iers to parental empowerment can be overcome by the presence of several supporters so that parental empowerment can be carried out optimally, including cooperative parental attitudes, nurse therapeutic communication, parental education level that affects the provision of education, and the existence of supports facilities in providing education. suggestion based on the results of this study, it is hoped that nurses can carry out parental empowerment more optimally by paying attention to various inhibiting and supports factors in empowering parents to care for children with cancer. future research can examine the barriers and supporters of pa r enta l empower ment fr om the pa r ent perception. references abraham, m., m. j. . (2012). implementing patientand family-centered care: part i-understanding the challenges. pediatr nurs, 38(1), 44–47. https:// pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22474859/ arumsari, d.p., emaliyawati, e., sriati, a. (2016). hambatan komunikasi efektif perawat dengan keluarga pasien dalam perspektif perawat. jurnal pendidikan keperawatan indonesia, 2(2), 104. https://doi.org/10.17509/jpki.v2i2.4745 bedells e, b. a. (2015). roles of nurses and parents caring for hospitalised children. nursing children and young people, 28(2), 24–28. https://doi.org/10.7748/ ncyp.28.2.24.s22 boztepe, h. (2012). pediatric nurse views regarding pa rent al presence duri ng a chi ld’s pai nful procedures]. agri, 24(4), 171–179. https://doi.org/ doi: 10.5505/agri.2012.58561. cresswell, j. w. (2014). qualitative research & research design. pustaka pelajar. da silva f, jacob e, n. (2010). impact of childhood cancer on parents’ relationships: an integrative review. journal of nursing scholarship, 42(3), 250–261. https://doi.org/10.1111/j.1547-5069.2010.01360.x dunloop, s. (2008). the dying child: should we tell the t rut h ? j ournal pe di at ri c nursing . ht t ps: / / pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18686412/ fisher c, lindhorst h,matthews t, munroe d, paulin d, s. d. (2015). nursing staff attitudes and behaviours regarding family presence in the hospital setting. journal of advanced nursing, 64(6), 615–624. https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2008.04828.x ghazavi z, minooei m, abdeyazdan z, g. a. (2015). effect of family empowerment model on quality of life in children with chronic kidney diseases. iranian journal of nursing and midwifery research, 19(4), 371–375. http://www.cancer.gov/research.%0a gonya j, martin e, mcclead r, nelin l, s. e. (2015). empowerment programme for parents of extremely premature infants significantly reduced length of stay and readmission rates. acta paediatrica, 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 145–152 international journal of paediatrics, 103(7), 727– 731. https://doi.org/10.1111/apa.12669 hesham m, mansi y, abdelhamid t, s. r. (2016). impact of a h ea l t h educa t ion t ool on enh a n ci n g communication between health providers and parents of neonates in intensive care in egypt. journal of the chinese medical association, 79(7), 394–399. https://doi.org/10.1016/j.jcma.2016.01.018 hockenberry, m.j., wilson, d. (2011). wong’s nursing care of infants and children 9 th edition. mosby elsevier: philadelphia. holloway, i. (2008). a-z qualitative research in healthcare (2nd ed.). blackwell science. jonathan gibbins, karen steinhardt, h. b. (2012). a systematic review of qualitative studies exploring the experience of parents whose child is diagnosed and treated for cancer. journal of pediatric onc ol ogy nursing . ht t ps: / / pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22907681/ king, a., & hoppe, r. b. (2013). “best practice” for patient-centered communication: a narrative review. journal of graduate medical education, 5(3), 385–393. https://doi.org/10.4300/jgme-d-1300072.1 mackay l and gregory d. (2011). exploring familycentered care among pediatric oncology nurses. journal of pediatric oncology nursing, 28(1), 43– 52. https://doi.org/10.1177/1043454210377179 national cancer intitute. (2015). a snapshot of pediatric cancers international childhoodcancer. http:// www.cancer.gov/research.%0a panicker l. (2013). nurses’ perceptions of parent empowerment in chronic illness. contemporary nurse, 45(2), 3548–3577. https://doi.org/10.5172/ conu.2013.3548 penny paliadelis 1, mary cruickshank, donna wainohu, rhonda winskill, h. s. (2005). implementing familycentred care: an exploration of the beliefs and practices of paediatric nurses. australia advance j ournal nursi ng , 23(1), 31–36. h t t ps: / / pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16496815/ quinn g, mcintyre j, gonzalez l, antonia t, antolino p, w. k. (2015). improving awareness of cancer clinical trials among hispanic patients and families: audience segmentation decisions for a media intervention. journal of health communication, 18(9), 1131– 1147. https://doi.org/10.1080/10810730.2013.768723 ªener, d.k.,karaca, a. (2017). mutual expectations of mothers of hospitalized children and pediatric nurses who provided care: qualitative study. journal of pediatric nursing, xx(xx), 1–7. https:/ / d o i . o r g / h t t p : / / d x . d o i . o r g / 1 0 . 1 0 1 6 / j.pedn.2017.02.004 wacharasin cphaktoop msananreangsak s. (2015). examining the usefulness of a family empowerment program guided by the illness beliefs model for families caring for a child with thalassemia. journal of family nursing, 21(2), 295–321. https:/ /doi.org/10.1177/1074840715585000 wigert, h., dellenmark blom, m., & bry, k. (2014). parents’ experiences of communication with neonatal intensive-care unit staff: an interview study. bmc pediatrics, 14(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/ s12887-014-0304-5 world health organization. (2014). international childhood cancer. http://www.who.int/life-course 151 hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asidi bpm ny. andre kediri (the relationship between educational and mother behavior in providing breast feeding in midwifery clinic ny. andre kediri) latifatun nasihah akademi kebidanan medika wiyata kediri email: lala.nasiha@yahoo.com abstract: mother's milk is needed by a baby for a perfect growth. ironically, in an era of global rapid changes in science and technology, breast-feeding is exclusive often forgotten. knowledge of asi eksklushif very important given to the mother to change the behavior. many factors affect one's understanding of the exclusive breastfeeding. influenced by the level of education of each individual. exclusive ation given to each nursing mothers to strengthen the attitude of the mother in breastfeeding. the aim of this study was to analyze the relationship between education with mother behavior in providing breast feeding to the baby. this study uses a correlative analytic design with cross sectional approach. its population is are all subjects that come midwifery clinic ny. andre kediri, and samples were taken with purposive sampling technique. data collection using questionnaires, and the data collected is presented in the form of a frequency distribution table and analyzed using logistic regression test. the results showed the greatest level of maternal education is secondary (high school) at 53.8%. , and most of that is 73.1% of behavior is not exclusive breastfeeding mothers to their babies. logistic regression analysis showed a p-value = 0.067> 0.05 means that h0 and h1 rejected. the results showed no relationship between level of education and mother's behavior in exclusive breastfeeding. the government should improve the comprehensive and continuous education about the importance of breastfeeding and the benefits of exclusive breastfeeding keywords : education level, behavior, an exclusive breast feeding abstrak: air susu ibu (asi) sangat di butuhkan oleh seorang bayi untuk pertumbuhan yang sempurna. ironisnya dalam era global yang begitu pesat perubahan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini, pemberian asi secara eksklushif sering dilupakan. pengetahuan tentang asi eksklushif sangat penting di diberikan kepada ibu untuk merubah perilaku tersebut. banyak faktor yang mempengaruhi pemahaman seseorang terhadap asi eksklusif tersebut. dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masing masing individu. asi eksklusif di berikan kepada setiap ibu menyusui untuk memperkuat sikap ibu dalam memberikan asi. tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam memberikan asi eksklusif pada bayinya. penelitian ini menggunakan desain analitik korelatif dengan pendekatan cros sectional . populasi nya adalah adalah semua subjek yang mendatangi bpm ny. andre kediri, dan sampel penelitian diambil dengan teknik purposif sampling. pengumpulan data menggunakan kuesioner, dan data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisis menggunakan uji regresi logistik. hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan ibu terbesar adalah menengah (sma) sebesar 53,8%. , dan sebagian besar yaitu 73,1% perilaku ibu tidak memberikan asi eksklusif kepada bayinya . uji regresi logistik menunjukkan nilai p = 0,067 > 0,05 artinya h0 diterima dan h1 di tolak. hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif . pemerintah hendaknya meningkatkan penyuluhan yang komprehensif dan berkesinambungan tentang pentingnya asi dan manfaat asi eksklusif. keyword: tingkat pendidikan , perilaku, asi eksklusif mailto:lala.nasiha@yahoo.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p144-149 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 152 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.151-157 asi eksklusif adalah pemberian asi (air susu ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain, walaupun hanya air putih, sampai bayi berumur 6 bulan (purwanti, 2004: 3). perilaku pemberian asi eksklusif adalah menyusui sesuai kebutuhan bayi tanpa di jadwal atau setiap kali bayi meminta (on demand), memberikan asi hanya sampai usia 6 bulan (kepmenkes ri no.450/menkes/iv/2004). seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. ironisnya, pengetahuan lama yang mendasar seperti pemberian asi eksklusif justru kadang terlupakan. pengetahuan memiliki peranan penting untuk merubah sikap dan perilaku seseorang. tingkat pengetahuan yang kurang tentang asi mengakibatkan perilaku yang kurang baik pada ibu. bayi sering diberi susu botol dari pada disusui ibunya, bahkan sering juga bayi yang baru berusia 1 bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan asi. pemberian air susu ibu (asi) secara eksklusif dapat menyelamatkan lebih dari 30 ribu bayi di indonesia. dalam siaran pers yang dikirim unicef jumlah bayi di indonesia yang mendapatkan asi eksklusif terus menurun. menurut hasil survei demografi kesehatan indonesia (sdki) tahun 2010 menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan asi eksklusif hingga 7,2%. pada saat yang sama, jumlah bayi dibawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7% pada 2002 menjadi 27,9% pada 2010. unicef menyimpulkan cakupan gizi eksklusif enam bulan di indonesia masih jauh dari rata-rata dunia yaitu 38%. survei demografi kesehatan indonesia (sdki) tahun 2010 dari bayi 12.119.244 didapatkan data 95% pernah diberi asi, 44% bayi diberi asi pada hari pertama kelahiran, sisanya sebanyak 51% diberi setelah hari pertama kelahirannya. berikutnya didapatkan data 32% mendapat asi eksklusif 6 bulan, 30% mendapat asi dan makanan tambahan, 18% dan cairan lain, 20% mendapat asi dan juice buah. hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 ibu menyusui di bpm ny. andre kediri melalui wawancara singkat, terdapat 5 orang ibu berpendidikan sd, 2 orang berpendidikan smp, 2 orang sma dan 1 orang perguruan tinggi , yang memberikan asi eksklusif adalah 2 orang ibu yaitu 1 orang berpendidikan sma dan 1 orang berpendidikan perguruan tinggi. sedangkan sisanya 8 orang mengaku telah memberikan makanan tambahan dan susu formula pada bayinya, sebelum usia 6 bulan. cakupan pemberian asi eksklusif dipengaruhi beberapa hal diantaranya belum optimalnya penerapan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui, pemahaman masyarakat, rendahnya pengetahuan dan pendidikan ibu serta keluarga lainnya mengenai manfaat dan cara menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari tenaga kesehatan, faktor sosial budaya, kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja dan gencarnya pemasaran susu formula. sedangkan untuk masalah pemberian asi terkait dengan masih rendahnya pemahaman ibu, keluarga dan masyarakat tentang asi. tidak sedikit ibu yang membuang kolostrum karena dianggap kotor sehingga perlu dibuang. selain itu, kebiasaan memberikan makanan atau minuman secara dini pada sebagian masyarakat juga menjadi pemicu dari kurang berhasilnya pemberian asi eksklusif. ditambah lagi dengan kurangnya rasa percaya diri pada sebagian ibu untuk dapat menyusui bayinya. hal ini mendorong ibu untuk lebih mudah menghentikan pemberian asi. pendidikan seorang ibu yang rendah memungkinkan ia terlambat dalam mengadopsi pengetahuan baru, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan pola pemberian asi. menurut koencoroningrat yang dikutip oleh nursalam pariani (2008) bahwa pendidikan seseorang berpengaruh pada pengetahuan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula pengetahuan yang dimiliki. sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat perkembangan sikap dan perilaku seseorang terhadap nilai baru yang nasihah, hubungan tingkat pendidikan.......153 diperkenalkan sehingga pengetahuan juga kurang. pada penelitian yang diadakan tahun 2000 terbukti bahwa bayi selama 13 minggu pertama sudah mendapatkan makanan tambahan selain asi, memiliki tingkat infeksi pernafasan dan infeksi saluran cerna yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi-bayi lain yang diberi asi saja tanpa makanan tambahan menurunnya tingkat infeksi saluran cerna ini tetap bertahan bahkan sesudah selesai masa pemberian asi dan berlanjut hingga tahun-tahun pertama kehidupan anak. selain itu, bayi yang tidak diberi asi mudah terekna penyakitpenyakit lain yang berhubungan dengan kekebalan tubuh. dan hampir 90% akb yang terjadi di negara berkembang 40% kematian bayi disebabkan oleh diare dan infeksi saluran nafas yang sebenarnya penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian asi secara eksklusif. untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah membuat program-program yang dapat mendukung penggunaan asi eksklusif antara lain dengan membuat pojok asi eksklusif untuk ibu bekerja dan tenaga kesehatan memberikan sosialisasi tentang asi eksklusif serta melakukan edukasi pada ibu yang baru melahirkan. berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan suatu kajian ilmiah melalui penelitian tentang hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif di bpm ny. andre kediri. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah korelasional analitik dengan pendekatan cross sectional. populasinya adalah semua ibu menyusui yang memiliki bayi usia 6-12 bulan yang datang ke bpm ny. andre kediri dari bulan maret sampai bulan april tahun 2015. sampel dipilih dengan mennggunakan teknik purposif sampling. instrumen penelitian menggunakan kuesioner, untuk data khusus dan data umum, secara deskriftif data di tampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. hasil penelitian data umum tabel 1.karakteristik responden berdasarkan usia, pekerjaan, pekerjaan suami, pendapatan tingkat pendidikan ibu yang memiliki bayi 6-12 bulan tabel 2. tingkat pendidikan ibu yang memiliki bayi 6-12 buln di bpm ny. andre kediri bulan maret-april tahun 2015(n=52) no. tingkat pendidikan jumlah prosentase 1. sd dan smp 14 responden 26,9 % 2. sma 28 responden 53,8% 3. perguruan tinggi 10 responden 19,2% tabel 2 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan sma yaitu sebesar 28 responden (53,8%). no usia ibu jumlah prosentase 1. < 20 tahun 8 responden 15,4 % 2. 20-35 tahun 34 responden 65,4% 3. >35 tahun 10 responden 19,2% no pekerjaan ibu jumlah prosentase 1 ibu rumah tangga 33 responden 63,5% 2 tani 2 responden 3,8% 3 swasta 12 responden 23,1% no pekerjaan suami jumlah prosentase 1. tidak bekerja 2 responden 3,8% 2. tani 12 responden 23,1% 3. swasta 27 responden 51,9% 4. pns 5 responden 9,6% no. penghasilan jumlah prosentase 1. > rp.500.000,8 responden 15,4 % 2. rp.500.0001.000.000, 22 responden 42,3% 3. > rp.1000.000,15 responden 28,8% 4. > rp.2000.000,7 responden 13,5% 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.151-157 perilaku ibu dalam pemberian asi tabel 3. perilaku ibu dalam pemberian asi di bpm ny. andre kediri no . perilaku jumlah prosentase 1. memberikan asi eksklusif 14 responden 26,9% 2. tidak memberikan asi ekskusif 38 responden 73,1% jumlah 52 responden 100% tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa bahwa sebagian besar ibu memiliki perilaku tidak memberikan asi eksklusif yaitu sebesar 38 reapoden atau 73,1 %. crostabulasi tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi tabel 4. hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi di bpm ny. andre kediri. kategori perilaku dalam pemberian asi eksklusif total eksklusif tidak eksklusif n % n % n % tingkat pendidikan dasar 2 14,3% 12 85,7% 52 100% menengah 7 25% 21 75% 52 100% tinggi 5 50% 5 50% 52 100% berdasarkan tabel 4 diatas menunjukkan bahwa mereka yang mempunyai tingkat pendidikan rendah berjumlah 14 responden yang memberikan asi eksklusif hanya sebagian kecil yaitu 2 responden (14,3%). sebaliknya ibu yang berpendidikan menengah berjumlah 28 responden yang memberikan asi eksklusif hanya sebagian kecil yaitu 7 responden (25%). sedangkan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi yang berjumlah 10 responden setengahnya membeikan asi eksklusif yaitu 5 responden (50%). berdasarkan hasil analisis uji regresi logistik, menunjukkan dari jumlah sampel 52 ibu menyusui, perilaku ibu yang memberikan asi eksklusif sebanyak 14 responden (26,9%) dan 38 responden (73,1%) tidak memberikan asi eksklusif. output tersebut juga menunjukkan nilai nagelkerke r square sebesar 0,098 artinya variabel tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian asi ekslusif sebesar 9,8% sedangkan nilai p = 0,067 > 0,05 maka ho diterima dan h1 ditolak, artinya tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi ekslusif di bpm ny. andre kediri. pembahasan tingkat pendidikan ibu dalam pemberian asi di bpm ny. andre kediri berdasarkan penelitian yang dilakukan di didapatkan tingkat pendidikan sd dan smp sebanyakbpm ny. andre 14 responden (26,9%), pendidikan sma sebanyak 28 responden (53,8%) dan pendidikan pt sebanyak 10 responden (19,2%). pendidikan akan berpengaruh besar terhadap pengetahuan seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin luas pemahaman dan kemampuan menerima atau megadopsi perilaku baru (notoatmodjo,2003) menurut rachmawati, a (2011) bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, tapi ilmu yang diberikan masih dasar. pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. hampir sama dengan tingkat pendidikan dasar karena masih mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan peserta didik untuk nasihah, hubungan tingkat pendidikan.......155 melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun dalam pendidikan menengah ilmu pengetahuan yang diberikan sudah cukup baik karena sebelumnya sudah memperoleh bekal pengetahuan di tingkat dasar. selain itu pada pendidikan menengah terdapat program kejuruan dengan bidang tertentu yang di siapkan oleh pendidikan untuk mencetak peserta didik agar siap bekerja. pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doctor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. pada pendidikan tinggi diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu tertentu agar lebih profesional. berdasarkan penelitian didapatkan bahwa banyak responden yang mempunyai pendidikan sma. dengan demukian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan responden dalam ketegori cukup baik. perilaku ibu dalam pemberikan asi eksklusif di bpm ny. andre kediri hasil penelitian perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif di bpm ny. andre kediri sebagian besar yaitu 38 responden (73,1%) tidak memberikan asi eksklusif. menurut notoatmodjo (2003) strategi yang digunakan untuk merubah perilaku tersebut juga dikelompokkan menjadi 3 yaitu : 1) menggunakan kekuatan atau kekuasaan atau dorongan. dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang diharapkan. cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggora masyarakat. cara ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran diri sendiri. 2) memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri (bukan karena paksaan). 3) diskusi dan partisipasi. cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua diatas yang dalam memberikan informasi-informasi tentang kesehatan tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah. hal ini berarti bahwa masyarakat tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi juga baru aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi tentang informasi yang dierimanya. dengan demikian maka pengetahuan-pengetahuan kesehatan sebagai dasar perilaku mereka diperoleh secara mantap dan lebih mendalam, dan akhirnya perilaku yang mereka peroleh akan lebih mantap juga, bahkan merupakan referensi perilaku orang lain. sudah barang tentu cara ini akan memakan waktu yang lebih lama dari cara yang kedua tersebut, dan jauh lebih baik dengan cara yang pertama, diskusi dan partisipasi adalah salah satu cara yang baik dalam rangka memberikan informasiinformasi dan peran-peran kesehatan. berdasarkan fakta dan konsep yang mendukung perubahan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif di bpm ny. andre bahwa perilaku ibu yang sebagian besar tidak memberikan asi eksklusif. perilaku reponden yang tidak memberikan asi eksklusif menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mendukung terhadap objek perilaku, dengan indikator banyaknya responden yang menjawab “ya” pada pernyataan-pernyataan negatif, sedangkan sedikit yang memberikan asi eksklusif yang menunjukkan responden mendukung terhadap objek perilaku, dimana ada yang menjawab “tidak” dengan pernyataan-pernyataan negatif. hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif di bpm ny. andre kediri berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif didapatkan hasil tingkat pendididikan sd dan smp yang memberikan asi eksklusif 2 responden 156 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.151-157 (14,3%). sedangkan yang tidak asi eksklusif 12 responden (85,7%). pendidikan sma yang asi eksklusif 7 responden (25%) sedangkan yang tidak eksklusif 21 responden (75%). pendidikan pt yang memberikan asi eksklusif 5 responden (50%) sedangkan yang tidak asi eksklusif 5 responden (50%). hasil pengukuran yang menganalisis hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif yang menggunakan uji regresi logistik dengan teknik penghitungan menggunakan program spss di dapatkan p value = 0,067 > α = 0,05, yang berarti ho diterima h1 ditolak sehingga dapat di baca tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif. dengan demikian hasil tersebut tidak sesuai dengan teori menurut koencoroningrat yang dikutip oleh nursalam pariani (2008) bahwa pendidikan seseorang berpengaruh pada pengetahuan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula pengetahuan yang dimiliki. sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat perkembangan sikap dan perilaku seseorang terhadap nilai baru yang diperkenalkan sehingga pengetahuan juga kurang.oleh pengetahuan ibu, walaupun pengetahuan hanya salah satu penyebab terjadinya perubahan perilaku ibu akan tetapi pengetahuan juga ikut berperanan dalam meningkatkan perilaku ibu dalam pemberian asi eksklusif. menurut notoatmodjo, 2007. perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organis yang bersangkutan. penelitian rogers (1974) dalam notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan sebagai berikut : 1) awareness (kesadaran), yaitu orang menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2) interest yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus atau rangsangan. 3) evaluation yaitu (menimbangnimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya), hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4) trial yaitu orang telah mencoba perilaku baru. 5) adaption yaitu subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. berdasarkan fakta dan konsep diatas terdapat perbedaan antara fakta dan teori. menurut teori jika pendidikan seseorang tinggi maka akan memiliki pengetahuan yang tinggi sehingga ibu akan memberikan asi eksklusif begitu pula sebaliknya jika tingkat pendidikan ibu rendah maka pengetahuan yang dimiliki akan kurang sehingga ibu tidak memberikan asi eksklusif. tapi dari data tabulasi silang dan hasil analisis dengan uji regresi logistik ternyata tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian asi eskslusif. hal tersebut bisa jadi dikarenakan ibu yang berpendidikan tinggi lebih sulit memberikan asi eksklusif pada bayinya dikarenakan ibu harus berada di luar rumah untuk bekerja dan ibu tidak mengetahui cara penyimpanan asi yang benar. selain tingat pendidikan, terdapat faktor lain mengapa ibu tidak memberikan asi eksklusif diantaranya sosial budaya di masyarakat yang beranggapan bahwa memberikan asi saja tidak akan membuat bayinya kenyang dan masih banyaknya ibuibu yang memberikan makanan pada bayinya sebelum usia 6 bulan dengan nasi dan pisang yang dilembutkan. tingkat ekonomi juga salah satu faktor penyebab ibu tidak memberikan asi eksklusif karena jika tingkat penghasilan keluarga tinggi kemungkinan ibu akan memberikan susu formula yang harganya lebih mahal dan beranggapan bahwa susu formula yang mahal memiliki kandungan yang sama dengan asi. pada hal ini peran tenaga kesehatan khususnya bidan dengan melibatkan kader sangat penting untuk merubah perilaku ibu agar ibu dapat memberikan asi ekskluif pada bayinya dengan memberikan informasi-informasi tentang perbedaan kandungan asi dan mpasi, manfaat asi bagi bayi dan cara menyimpanan asi yang aman jika ibu harus bekerja atau meninggalkan bayinya dirumah. jika ibu mengetahui beberapa hal tersebut pola pikir ibu akan berubah sehingga pemberian asi secara eksklusif. simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini adalah bahwa tingkat pendidikan ibu menyusui di di nasihah, hubungan tingkat pendidikan.......157 bpm ny. andre tahun 2015 sebagian besar yaitu 28 ibu (53,8%) berpendidikan sma sebagian besar ibu yang datang di bpm ny. andre yaitu 38 ibu (73,1%) tidak memberikan asi eksklusif kepada bayinya. hasil analisis uji regresi logistik, menunjukkan dari jumlah sampel 52 ibu menyusui, perilaku ibu yang memberikan asi eksklusif sebanyak 14 responden (26,9%) dan 38 responden (73,1%) tidak memberikan asi eksklusif. output tersebut juga menunjukkan nilai nagelkerke r square sebesar 0,098 artinya variabel tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian asi ekslusif sebesar 9,8% sedangkan nilai p = 0,067 > 0,05 maka ho diterima dan h1 ditolak, artinya tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku ibu dalam pemberian a saran diperlukan penelitaian lebih lanjut yang berkaitan dengan faktor faktor yang mempengaruhi pemberian asi kepada bayi secara ekslusif, sehingga promosi melalui berbagai media cetak maupun elektronik, menjadi penting selain promosi dan pendidikan kesehatan secara langsung kepada ibu atau keluatga masing-masing. daftar rujukan a.aziz alimul hidayat,2007. metode penelitian kebidanan tehnik analisa data edisi pertama. jakarta: salemba medika. aleborgot, 2007.”pengetahuan”.(online) (http://wikipedia.org). diakses tanggal 15 november 2014. arikunto,s. 2006. prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. jakarta: rineka cipta. arini.2012. mengapa seorang ibu harus menyusui?. yogyakarta. flash books. aritonang,i. 2003. pemantauan pertumbuhan balita petunjuk praktis menilai status gizi dan kesehatan. yogyakarta: kanicius. azwar,s.2007. sikap manusia teori dan pengukurannya,edisi ke-2. yogyakarta: pustaka pelajar offset. bastian,indra.2006. akuntansi pendidikan. yogyakarta: erlangga. budiarto,e.2001. biostatistik untuk kedokteran dan kesehatan masyarakat. jakarta: egc. cumbley jane, 2003. menyusui, seri panduan praktis keluarga. jakarta: erlangga. depkes ri, 2005. paradigma sehat menju indonesia sehat 2010. jakarta: departemen kesehatan. dwi,w.2006. pengaruh pendidikan kesehatan tentang manajemen laktasi terhadap perubahan perilaku ibu pasca salin dalam memberikan asi eksklusif. http://adln.lib.unair.ac.id/, diperoleh tanggal 12 november 20124 huliana,m.2003. perawatan ibu pasca melahirkan. jakarta: puspa swara. krisnatuti,d & yenrina,r.2002. menyiapkan makanan pendamping asi. jakarta: puspa swara. maulana,heri.d.j.2009. promosi kesehatan. jakarta. egc. http://wikipedia.org/ http://adln.lib.unair.ac.id/ 158 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.151-157 79 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of the open dry treatment to umbilical cord separation time on newborns devira natalia1, eny sendra2, afnani toyibah3, lumastari ajeng wijayanti4, arika indah setyarini5 1,2,3,4,5midwifery department, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract according to east java health profile (2019), the number of neonatal tetanus is 10 cases because of inappropriate treatment. thus, bacteria enter the body and prolong the umbilical cord separation time. who (2010) and ministry of health republic of indonesia (2015) recommend umbilical cord care using an open dry method. this study attempts to identify the correlation of the open dry treatment to umbilical cord separation time according to literary results. literature review was used to analyze the data from three online databases: pubmed, google scholar, and doaj using inclusion-exclusion criteria. the keywords were “umbilical dry cord care,” “day of release of the umbilical cord,” “perawatantali pusat kering terbuka,” and “lama pelepasantali pusat.” the analysis method was compared and contrast. based on 16 articles, the results showed three categories of umbilical cord separation time by using the open dry method. four articles indicated the fast category (< 5 days), other ten as normal (5-7 days), and the other two the slow category (> 7 days). the accurate method for the umbilical cord care is open dry because the separation time is the fastest. however, further research using primary data is needed history article: received, 24/01/2022 accepted, 08/04/2022 published, 25/04/2022 keywords: open dry umbilical cord, umbilical cord care, umbilical cord separation time © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: arikaindahsetyarini@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p079-083 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:arikaindahsetyarini@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p079-083 80 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 79-83 introduction the umbilical cord or umbilical cord is a channel between the fetus and the mother that serves to distribute nutrients to the fetus. the part of the umbilical cord that has been cut requires proper attention and care so that it does not cause infection, namely redness, swelling, discharge, foul smelling, increased temperature, and difficulty breathing. currently, umbilical cord infection has become a cause of morbidity and mortality in neonates. it was found that 500,000 babies died from neonatal tetanus and 460,000 babies died from infection. (liyah, 2013) the world health organization (who) in 2010 stated that 560,000 infant deaths were caused by umbilical cord infections. meanwhile, there are 126,000 infant mortality rates due to umbilical cord infections in southeast asia. 24% to 34%, and the percentage of infant mortality caused by infection is 7.3% the percentage of infections in newborns in indonesia (rakesnas, 2019). data obtained from the 2018 indonesian health profile the infant mortality rate is 23 per 1,000 live births (estimated figures from the provincial bps). the tetanus neonatorum rate increased in 2018 which was 11 cases from 10 cases in 2017. meanwhile, the malang city health profile data in 2018 had an infant mortality rate (imr) of 6.71 per 1000 live births, which means that it is reported in every 1000 births. this may be due to the use of less sterile cord care and cutting equipment. there are 7 babies in umbilical cord care using the traditional way. this is the cause of infection in newborns. the umbilical cord wound is the entry point for the bacterium clostridium tetani which causes tetanus neonatorum. tetanus neonatorum is an extraordinary event that must be treated immediately. efforts made to prevent cases of tetanus neonatorum are taking good care of the umbilical cord. who prohibits the use of alcohol and 10% iodine-povidone in the treatment of the umbilical cord because it can slow the release of the umbilical cord. because 10% iodine-povidone is a bactericidal antimicrobial that can fight grampositive and most gram-negative bacteria so that it can cause allergies. so, who recommends cleaning the umbilical cord using water and soap, then dried and then left open. in general, the umbilical cord will be released on the 5th day to the 8th day. in addition to who, the indonesian ministry of health (2015) mentions that the steps for caring for an open umbilical cord are washing hands with clean water and soap, cleaning the base of the umbilical cord, how to clean it must be slightly lifted slowly, rinse and dry to dry using a cotton stick, then let the cord open center, fold the diaper under the umbilical cord and wash hands. when the umbilical cord has not been detached, the baby should be bathed by just wiping it with warm water so that the umbilical cord remains dry. the results of a survey conducted by researchers in several literature studies showed that the average number of midwives who are members of the indonesian midwives association (ibi) when treating umbilical cords using closed methods, namely with sterile gauze. some literature and research journals mention that open dry umbilical cord treatment is also very effective and more efficient. in addition, the benefits of open dry treatment can reduce waste and can reduce maintenance costs. lack of education in caring for the umbilical cord causes people to continue to use old techniques. this open dry cord treatment method is effective and worth maintaining seeing cases drop from 28 cases in 2018 to 10 in 2019. based on this background, the researcher int ends to conduct a study entitled "the correlation ofdry open umbilical cord care and the length of u mbilical cord detachment in newborns" which ai med to analyze newborn umbilical cord care with the open dry method on the length of the release o f the newborn baby's umbilical cord. method the design used a literature study. the type of literature review used traditional literature review. in this study, three databases were used: pubmed, google scholar, and doaj with inclusion and exclusion criteria. key words were “umbilical dry cord care,” “day of release of the umbilical cord,” “open dry cord care,” and “time of umbilical cord release.” the analytical method used compare and contrast technique. result in 16 journals discussed how to care for dry open umbilical cords in newborns in the research literature. based on the journal, dry open umbilical cord care is the most effective and sa’adah, kurniasari, sandi, arsa, the correlation of drinking coffee and incident of … 81 efficient method. how to care for an open dry umbilical cord in the 2020 mch book, namely: 1) wash hands with soap and clean water 2) do not give anything to the umbilical cord 3) treat the umbilical cord open and dry if it gets dirty or wet, wash it with clean water and soap, then dry it in 16 journals identified the duration of umbilical cord detachment by the dry open method in newborns in the research literature. in 4 journals that discussed the length of the umbilical cord detachment of less than 5 days with the open dry method. in 10 journals, the length of the umbilical cord detachment was 5-7 days with the open dry method. in 2 journals, it was stated that the umbilical cord detachment with the open method was >7 days. category long detachment of the umbilical cord journal total percentage journal researcher <5 days 4 25% 1. wiwid (2020) 90 hours (3 days 18 hours) 2. nor aisyah (2017) day 1-4 as many as 4 babies 3. susianti (2017) day 1-4 as many as 5 babies 4. hassan al-shehri (2019)4,24 days 5-7 days 10 62,5% 1. ruri yuni (2019) 5,8 days 2. fitri yuliana (2017)5-7 days as much as 40% 3. nor asiyah (2017) as many as 15 babies (75%) 4. susianti (2017) 21babies (70%) 5. sukarni (2018) 5,6 days 6. risa pitrianidkk (2017) 6 days 7. ratnakholidati (2019) <6 days by 60% 8. dian puspita reni (2018) 1-7 days 38 babies 9. lindsay mallick (2019) 5-7 days 10. marı´adolores, et al (2020) 6,61 hari >7 days 2 12,5% 1. christèle gras-le guen, et al (2017) 10 days 2. rossana quattrin, dkk (2016) 9.9 days total 16 100% discussion in the literature review there are 16 journals discussing the dry open method of umbilical cord care in newborns. the journal identifies how to care for and the length of time for removing an open dry umbilical cord, namely by cleaning it with soap and water and then drying it until it is completely dry and then leaving it open. four journals added that the dry open umbilical cord treatment method in addition to speeding up the discharge compared to other methods was also proven to prevent neonatal infection. dry open umbilical cord care in the literature review mentions several categories in terms of length of release, namely fast <5 days, normal (5-7 days) and late >7 days. the 16 journals also analyzed the relationship between dry open umbilical cord care and the length of the umbilical cord detachment in newborns. in the study, it was stated that the dry open umbilical cord treatment method was released faster than other methods such as the closed method, 70% alcohol, chlorotic, and topical breast milk. according to marmi 2018, the recommended effort is to keep the wound clean, dry and open. according to lumsden, h, and debbie holmes (2012) the average release time should be completed in 5-15 days, although it could take longer. there have been many studies that have compared how to treat the umbilical cord to prevent an increase in infection, one of which is by leaving the umbilical cord wound open. so based on the research obtained that dry open umbilical cord treatment is the most effective method and should be applied. conclusion the results of the review showed that the average release of umbilical cords by the open dry method consists of several categories in the length of release, namely the fast category <5 days, normal (5-7 days) and slow >7 days. however, research suggests that open dry cord treatment 82 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 79-83 methods are faster to release when compared to other methods such as closed methods, 70% alcohol, clhorodin, and topical breast milk. suggestion it is expected to conduct further research on open dry umbilical cord treatment using primary data so that it can explain the facts that occur about open dry umbilical cord treatment to the length of its release in newborns. acknowledgment the author thanks politeknik kesehatan kemenkes malang, and all parties who supported the completion of the literature review. reference al-shehri, h. (2019). the use of alcohol versus dry care for the umbilical cord in newborns: a systematic review and metaanalysis of randomized and nonrandomized studies. cureus, 11(7). https://doi.org/10.7759/cureus.5103 diakses pada tanggal 8 juli 2020 pukul 08.00 wib asiyah, n. (2017). perawatan tali pusat terbuka sebagai upayapelepasan. i(i), 29–36. diakses pada tanggal 6 juli 2020 pukul 08.00 wib astari, r. y., & nurazizah, d. (2019). perbandingan metode kolostrum dan metode terbuka terhadap lama pelepasan tali pusat pada bayi baru lahir. faletehan health journal, 3(6), 91–98. diakses pada tanggal 6 juli 2020 pukul 08.00 wib bkkbn, bps, & kemenkes ri. (2018). survei demografi dan kesehatan indonesia 2017. diana, s. (2017). model asuhan kebidanan continuity of care. in e-book stikes poltekkesmajapahit.http://103.38.103.27/rep ository/index.php/epol/article/download/8 39/640 diakses pada tanggal 3 juli 2020 pukul 08.00 wib guen, c. g. le, dkk. (2017). dry care versus antiseptics for umbilical cord care: a cluster randomized trial.pediatrics, 139(1). https://doi.org/10.1542/peds.2016-1857 diakses pada tanggal 8 juli 2020 pukul 08.10 wib jamil, siti nurhasiyah, sukma, f., & hamidah. (2017). buku ajar asuhan kebidanan pada neonatus, bayi, balita dan anak pra sekolah. http://elearning.fkkumj.ac.id/pluginfile.php? file=%2f8663%2fcourse%2foverviewfiles %2fasuhan neonatus%2c bayi%2c balita dan anak pra sekolah.pdf&forcedownload=1 diakses pada tanggal 6 juli 2020 pukul 08.10 wib kementerian kesehatan republik indonesia. (2013). buku saku pelayanan kesehatan neonatal esensi. 23–28. kementerian kesehatan republik indonesia. (2020). buku kesehatan ibu dan anak (kia).jakarta: kementerian kesehatan dan jica (japan international cooperation agency) kemenkes ri. (2019). profil kesehatan indonesia 2018 [indonesia health profile 2018]. http://www.depkes.go.id/resources/downloa d/pusdatin/profilkesehatan-indonesia/dataan-informasi_profil-kesehatan-indonesia2018.pdf diakses pada tanggal 15 juli 2020 pukul 10.00 wib kholidati, ratna. (2019). efektifitas perawatan tali pusat dengan tehnik tertutup dan terbuka terhadap penyembuhan luka tali pusat pada bayi baru lahir di rsia fauziyah tulungagung. jurnal ilmu kesehatan. 7(2). 305-401. diakses pada tanggal 6 juli 2020 pukul 10.00 wib leante castellanos, dkk (2019). recommendations for the care of the umbilical cord in the newborn. anales de pediatría (english edition), 90(6), 401.e1401.e5. https://doi.org/10.1016/j.anpede.2019.01.00 9 diakses pada tanggal 8 juli 2020 pukul 09.00 wib liyah, a. (2013) resusitasi neonatal. jakarta: perkumpulan perinatologi indonesia lopez-medina, m. d., dkk. (2020). umbilical cord separation time, predictors and healing complications in newborns with dry care. plos one, 15(1), 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.022720 9 diakses pada tanggal 8 juli 2020 pukul09.00 wib lyngdoh, d., dkk. (2018). effect of topical application of human breast milk versus 4% chlorhexidine versus dry cord care on bacterial colonization and clinical outcomes of umbilical cord in preterm newborns.journal of clinical neonatology, 7(1), 25. https://doi.org/10.4103/jcn.jcn_91_17 diakses pada tanggal 8 juli 2020 pukul 10.00 wib mallick, l., dkk. (2019). trends, determinants, and newborn mortality related to thermal care and umbilical cord care practices in south asia.bmc pediatrics, 19(1), 1–16. https://doi.org/10.1186/s12887-019-1616-2 diakses pada tanggal 10 juli 2020 pukul 8.00 wib sa’adah, kurniasari, sandi, arsa, the correlation of drinking coffee and incident of … 83 marmi, (2018). asuhan neonatus, bayi, balita, dan anak prasekolah. yogyakarta: pustaka pelajar nursalam, kusnanto, dkk (2020). pedoman penyusunan skripsi literature review dan tesis systematic review. 3 desember 2020 pukul 8.00 wib pitria, risa. (2017). umbilical cord care effectiveness closed and open to release cord newborn. jurnal doppler universitas pahlawan tuanku tambusai. 1(2), 58-64. diakses pada tanggal 7 juli 2020 pukul 09.00 wib prawirohardjo, sarwono. (2014). buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonata. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo quattrin, r., dkk. (2016). 70% alcohol versus dry cord care in the umbilical cord care. medicine (united states), 95(14), 1–5. https://doi.org/10.1097/md.0000000000003 207 diakses pada tanggal 9 juli 2020 pukul 10.00 wib reni, d. p., dkk. (2018). perbedaan perawatan tali pusat terbuka dan kasa kering dengan lama pelepasan tali pusat pada bayi baru lahir. placentum: jurnal ilmiah kesehatan dan aplikasinya, 6(2), 7. https://doi.org/10.20961/placentum.v6i2.227 72 diakses pada tanggal 1 agustus 2020 pukul 09.00 wib sondakh, jenny. (2013). asuhan kebidanan persalinan dan bayi baru lahir. jakarta: erlangga sukarni, d., dkk. (2012). perbedaan lama pelepasan tali pusat antara perawatan terbuka dan tertutup pada bayi baru lahir di bidan praktik mandiri soraya kecamatan kemuning palembang, 5(2), 29–36. diakses pada tanggal 2 agustus 2020 pukul 08.00 wib susianti. (2017). hubungan perawatan tali pusat dengan lama lepas tali pusat pada bayi baru lahir di puskemas lakessi kota parepare. jurnal kesehatan lentera acitya. 4(4).37-42. diakses pada tanggal 10 agustus 2020 pukul 8.00 wib trijayanti, w. r., martanti, l. e., & wahyuni, s. (2020). perbedaan perawatan tali pusat tertutup dan terbuka terhadap lama pelepasan tali pusat. midwifery care jorunal, 1(2), 13–23. diakses pada tanggal 10 agustus 2020 pukul 8.00 wib yuliana, f., dkk. (2017). metode perawatan tali pusat terbuka pada bayi di ruang bayi rsud ulin bajarmasin.dinamika kesehatan, 8(1), 19–24. diakses pada tanggal 10 agustus 2020 pukul 09.00 wib e:\2021\ners april 2021\2-jurna 13girianto, mulyasari, the effectiveness of durante hemodialysis packed red cells ... the effectiveness of durante hemodialysis packed red cells (prc) transfusion on hemoglobin levels pria wahyu romadhon girianto1, mega wahyu mulyasari2 1nursing department, stikes karya husada kediri, indonesia 2nursing practitioner, rsud dr. iskak tulungagung, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 07/07/2020 accepted, 11/11/2020 published, 05/04/2021 keywords: chronic renal disease, transfusion, hemoglobin article information abstract renal disease was a chronic disease that the most attacking people in indonesia. damage to this vital organ in the human body greatly affected a person’s health condition, one of which was anemia. this study aimed to determine the effectiveness of durante hemodialysis prc transfusions on hemoglobin levels. the method used was pre-experimental design, with the one group pre-post test design approach. with a sample of 49 patients who underwent regular hemodialysis at rsud dr. iskak tulungagung. data were obtained by direct observation. processed by computerized methods with a statistical t-test, the significance level (á) was 0.05. the study results showed that the hemoglobin levels of the pre-durante hemodialysis prc transfusion patients were 4-5 mg/dl (53.06%), and the hemoglobin levels of the postdurante hemodialysis prc transfusion patients were 6.1-7 mg/dl (34.69%). the results of statistical tests showed that there was an increase in hemoglobin levels in patients who received durante hemodialysis prc transfusion by 1.22 mg/dl because p-value = 0.000 < 0.05 (á) means that there was an effect.it could be concluded that the delivery of durante hemodialysis prc transfusion could help increase hemoglobin levels. this finding was very helpful for chronic renal disease patients undergoing hemodialysis, who have been using erythropoietin preparations because prc transfusions were cheaper and more effective when compared to using erythropoietin preparations. 13 correspondence address: stikes karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: priawahyu88@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p013–018 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p013-018 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p013-018&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 14 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 13–18 introduction all over the world, chronic non-communicable diseases (especially heart and blood vessel disease, hypertension, diabetes mellitus, and chronic renal disease) have become a major threat to public health and health budgets. in most countries, mortality from infectious diseases is expected to decline by 3% in the next decade. on the other hand, chronic disease, which currently accounts for 75% of the total burden of disease in people over the age of 30, will increase by 17%. the cost of treating this chronic disease has reached 80% of the world health budget (yogiantoro, 2013). renal disease is one of the most common diseases affecting people in indonesia. renal disease is a condition in which the number of nephrons in human renals is slowly damaged and decreased. this disease can be caused by diet such as fast food and stamina-enhancing supplements. when the renals have decreased function, the body tries to compensate in an adaptive and maladaptive way, including various abnormal biochemical and physiological complexes. the existence of renal disease affects all organ systems, but the main complica tions are cardiovascular, neurology, hematology, musculoskeletal, and immunology, and all of them get worse as renal function decreases (nurko, 2014). the renal is one of the vital organs in the human body, whose main function is to regulate fluid, electrolytes, and body fluid composition, remove metabolic end products from the blood, produce hormones for the formation of red blood cells, and regulate blood pressure. this organ comes to one pair, and each renal weighs approximately 125 grams, which is located in the lateral position of the lower thoracic vertebrae, 3 cm to the right and left of the midline (callaghan, et all, 2016). the incidence rate of crd is quite high. in the united states, it is estimated that in a year, there are 100-150 new cases of crd for every million population, and in japan with a population of about 127 million people, there are approximately 20,000 people with crd who undergo regular hemodialysis as well as countries in europe. in asia, this number is thought to be slightly lower, presumably due to diet and lifestyle. in indonesia, according to the indonesian nephrology association (perhimpunan nefrologi indonesia, pernefri) in 2012, by researching four major cities, namely jakarta, jogjakarta, surabaya, and bali, there is a ggk rate (degrees 1-5) between 2.6% and 7.5%, so that in indonesia, there are around 60,000 people with crd. this data shows a high incidence rate. the number of new crd patients in indonesia is estimated to be 5000 people each year, which of course not all can undergo regular hemodialysis (suwitra, 2014). ba sed on da ta fr om rsud dr. iska k tulungagung, in june 2019, 56 renal disease patients were undergoing regular hemodialysis therapy. 31 of them needed prc transfusion because they had anemia, with hemoglobin levels < 7 g/dl. of the 31 patients who received prc tr a nsfusions, ther e wer e 20 people whose hemoglobin levels increased significantly, and the others did not. this incident can be influenced by several other factors, for example, the patient’s diet, inadequate hemodialysis process, frequency of reuse of the dialyzer (re-use dialyzer) (suwitra, 2014). the kidney has a very vital function, so it can adversely affect the body’s physiological processes. the most common kidney disorder is chronic renal disease. crd is caused by a decrease in the erythropoietin hormone which plays a role in the formation of red blood cells. as a result of the decrease in the erythropoietin hormone in crd, there is a decrease in hemoglobin levels (brunner, et al., 2014). hemoglobin is one of the blood components contained in red blood cells (erythrocytes). it serves as a carrier of oxygen (o2) and carbon dioxide (co2) in the body. adult’s normal hb levels are 11.5-15.5 g/dl for women, and 13.5-17.5 g/dl for men. if the hemoglobin level in the blood decreases, it will affect the perfusion to the tissues and organs throughout the body. this is commonly referred to as anemia (mehta, et all., 2016). the causes of crd are numerous and vary from region to region. among these causes, the most a r e dia betes mellitus, high blood pr essur e (hypertension), obesity, high cholesterol, kidney and urinary tract infections, kidney stones, obstruction of the urinary tract, high uric acid, congenital disorders, and tumor (suwitra, 2014). t he existence of this disor der ca uses a decrease in kidney function to perform filtration, reabsorption, secretion, and excretion, so that the ability of the kidney to remove metabolic waste substances is reduced, which in turn causes a buildup of toxins from metabolic waste in the body of crd 15girianto, mulyasari, the effectiveness of durante hemodialysis packed red cells ... patients. t he impa ct of the accumulation of metabolic waste substances is the emergence of symptoms such as back pain, bloody or frothy urine, urinating a lot especially at night, swelling (edema) in the face, weakness, pale, dizziness/headache, nausea/decreased appetite, shortness of breath, swelling in the legs, high blood pressure, and anemia (decreased hemoglobin levels) due to impaired pr oduction of the er ythr opoietin hor mone. t her efore, most of the pa tients under going hemodialysis will experience a decrease in their hemoglobin levels and require prc (packed red cells) transfusions. if these metabolic waste substances are allowed to accumulate in the body, it will be fatal to the patient’s health since they can cause poisoning in the blood and cause death. treatment options to replace kidney function include regular hemodialysis. currently, the most widely used is hemodialysis, but hemodialysis will usually cause a reduction in hemoglobin levels in patients due to a small portion of blood left on the bloodline or dialyzer (agustina, 2019). however, this can be minimized by delivering prc transfusions during (durante) the hemodialysis process, or by delivering erythropoietin preparation therapy (epo). this epo preparation therapy is rarely used because of its very expensive price, so the medical team often recommends doing prc transfusions. the choice of prc transfusion therapy has several drawbacks and potential disadvantages including post-transfusion reactions, the risk of transmission of infectious diseases (hepatitis, hiv, malaria), and can increase fluid overload which is limited to patients with renal disease, and prc transfusion ca n only be given in certain cir cumstances. hemoglobin level for patients with chronic renal disease is one of the factors that affect prognosis and has a significant relationship with the patient’s quality of life (ardhilles, 2019). therefore, it is necessary to do further research on the effectiveness of durante hemodialysis prc transfusion in increasing hemoglobin levels in patients with chronic renal disease, considering that this prc transfusion is an alternative solution for patients with chronic renal disease to maintain hemoglobin levels within normal limits. materials and methods the design of this study is a pre-experiment with the one group pre-post test design approach. respondents were patients with chronic renal disease who underwent regular hemodialysis at rsud dr. iskak tulungagung in june 2019 totaling 49 people. the selection of respondents used the purposive sampling technique, with the inclusion cr iter ia of pa tients who under went r egula r hemodialysis, patients who underwent laboratory tests to find out their hemoglobin levels before transfusion, patients who had anemia with hb  7, and hb  8 for patients with impaired heart function, patients who received durante hemodialysis prc transfusion advice, and patients with gcs 456. exclusion criteria were patients with decreased consciousness, intoxicated patients, and patients who underwent cito hemodialysis. the independent variable in this study was durante hemodialysis prc transfusion, and the dependent variable was the hemoglobin level. the data collection process was carried out with a complete blood laboratory examination of the respondent before hemodialysis was carried out as pre-intervention hemoglobin level data, the respondent was given prc transfusion of 350 ml (1 single blood bag) during the hemodialysis process. after undergoing the process of hemodialysis and prc transfusion, respondents were given time to rest for 30 minutes then blood samples were taken for post-intervention hemoglobin level examination. the research data were documented in the observation sheet. the statistical analysis used in this research is the paired t-test, with the ratio data scale to determine the effect of the independent variable on the dependent variable. . study results the research results are presented in the following table 1. based on the data in table 1, it was found that most of the respondents who were female were 31 respondents (63.2%); most of the respondents who aged between 61-70 years were 27 respondents (55%); most of the respondents who underwent hemodia lysis 2x/week wer e 37 r espondents (75.5%); most of the r espondents who ha d undergone hemodialysis for > 2 years were 29 respondents (59.2%), and almost all respondents who had a non-vegetarian diet were 41 respondents (83.7%). 16 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 13–18 based on the data in table 2, it was found that most of the respondents had pre-prc transfusion hb levels of 4-5 mg/dl (53.06%), and most of respondents had hb levels of 6.1-7 mg/dl (34.69%). ba sed on the data in ta ble 3, it can be concluded that there is a difference between the pre-prc transfusion hb levels and post-prc transfusion hb levels in respondents by 1.22 mg/dl. based on table 4 of the statistical analysis result above, we can get a p-value of 0.000 with a correlation coefficient of 0.694. so we can conclude that the p-value <  (0.000 <0.05) then h0 is rejected, which means that there is an effect of durante hemodialysis prc transfusion on the hemoglobin levels in patients undergoing regular hemodialysis. discussion from the results of the study, it is found that most of the respondents who have not received prc transfusions had hemoglobin levels of 4-5 mg/ dl, as many as 26 respondents (53.06%). this indicates that the most of patients undergoing regular hemodialysis have low hemoglobin levels and require transfusions. this is due to damage in the kidney, which affects the four kidney functions, namely filtration, reabsorption, excretion, and secretion. the kidneys have the function of secreting the erythropoietin hormone, which functions to increase the production of red blood cells in the bone marrow (callaghan, 2016). therefore, if there is damage or disturbance to the kidneys, it will also result in kidney function, especially the function of decreasing erythropoietin hormone secretion which results in a decrease in hemoglobin levels in patients with chronic renal failure, and eventually, anemia occurs. this condition is following the statement contained in the book by mansjoer arif, et al, (2013), that one of the symptoms of chronic renal disease in the hematological system is anemia, immune deficiency, and easy bleeding. the presence of bleeding causes anemia in patients with renal failure caused by the deficiency of the erythropoietin hormone (mansjoer, et al, 2013). this anemia condition is also exacerbated by other symptoms of renal disease such as bleeding too easily in renal disease patients, so the risk of anemia in renal disease patients is also getting bigger. therefore, in patients with renal disease, there is a decrease in hemoglobin levels (suwitra, 2014). variable n % gender male 18 36.7 female 31 63.2 age 40-50 years old 8 16.2 51-60 years old 13 26.4 61-70 years old 27 55 71-80 years old 1 2.4 hd interval 1x/week 5 10.2 2x/week 37 75.5 5 days once 7 14.3 hd duration < 6 months 5 10.2 6-12 months 15 30.6 > 2 years 29 59.2 diet vegetarian 8 16.3 non vegetarian 41 83.7 table 1 frequency distribution of respondents based on general data variable n % hb level before intervention 4-5 26 53.06 5.1-6 15 30.62 6.1-7 8 16.32 7.1-8 0 0 hb level after intervention 4-5 6 12.25 5.1-6 14 28.57 6.1-7 17 34.69 7.1-8 12 24.49 table 2 frequency distribution of respondents’ hemoglobin levels before and after receiving durante hemodialysis prc transfusions hb level frequency mean sd pre-transfusion 49 5.18 0.70066 post-transfusion 49 6.4 1.05308 table 3 cross tabulation of pre-transfusion and posttransfusion hb levels n coefficient p-value preand post-transfusion 49 0.694 0.000 hb level table 4 statistical analysis result 17girianto, mulyasari, the effectiveness of durante hemodialysis packed red cells ... based on the results of the study, most of the respondents who had received packed red cells (prc) transfusions experienced an increase in hemoglobin levels to 6.1-7 mg/dl by 17 respondents (34.69%), and a small proportion of their hemoglobin levels were still low, ranging from 4-5 mg/dl by 6 respondents (12.25%). this situation indicates that most of the regular hemodialysis patients who had received packed red cells (prc) transfusions experienced a significant increase in hemoglobin levels. the increase in hemoglobin levels is due to the transfusion given is a concentrated red blood cell concentrate. so that it is expected to increase hemoglobin levels in renal disease patients who have anemia. these concentrated red blood cells are used to increase the number of red blood cells showing symptoms of anemia, and only require additional red blood cell mass, such as in patients with renal disease or malignancy (cancer). the advantage is improved oxygenation and increased levels of erythrocytes (red blood cells) without an increase in volume load, so it is safe if given to renal disease patients who have complications of heart failure. however, deficiency can cause hypervolemia if given in large quantities and for a short time. every 1 unit of concentrated red blood cells (prc) can increase hemoglobin levels by around 1 mg/dl or hematocrit by 3-4% (haroen, 2012). according to haroen (2012), prc transfusion is more widely used to increase hemoglobin levels in renal disease patients who have anemia, due to its minimal side effects, and an affordable price compared to the use of erythropoietin (epo) preparations which are quite expensive and side effects that can aggravate the work of the heart. it is expected that by delivering durante hemodialysis prc transfusions, the hemoglobin levels of patients with renal disease who have anemia can increase, with side effects that can be minimized. so that it will be more effective and efficient, as well as great benefits for the development of patients’ health with renal disease. from the results of data analysis using the t paired t-test statistical test, the value of p value = 0.000 is obtained. this shows that the p value = 0.000 <  = 0.05 which indicates that h0 is failed to be rejected. and the coefficient is positive, this shows that the independent va riable and the dependent variable are directly proportional. patients who receive packed red cells (prc) transfusions during the hemodialysis process will experience an incr ea se in hemoglobin levels. so it can be concluded that there is an effect of prc transfusion on hemoglobin levels in patients undergoing regular hemodialysis. this proves that the delivery of durante hemodialysis prc transfusions can help increase hemoglobin levels in hemodialysis patients who a r e in a nemia . beca use prc conta ins concentrated red blood cells with a high enough concentration. pre-prc transfusion hemoglobin levels in most renal disease patients undergoing regular hemodialysis have decreased. this is due to decreased function of the erythropoietin hormone secretion by the kidneys, as a result of impaired kidney function. this function cannot be replaced by the hemodialysis process, since the dialyzer function is only limited to filtration (price, 2016). prc transfusion is an appropriate therapy given to patients with renal disease due to its effectiveness, and there are no side effects that can aggravate the works of the heart and kidney so it is safe to use. besides, the cost is also affordable, when compar ed to the erythropoietin (epo) preparation which is quite expensive (supandiman, 2016). the hemoglobin level of patients with renal disease is also influenced by many factors, including age, the interval of hemodialysis therapy, length of time undergoing hemodialysis therapy, and patient’s diet. age is a factor that can affect hemoglobin level in patients with renal disease, due to degenerative processes that can result in the decreased systemic function of the body, coupled with interference with kidney function, so that it can exacerbate anemia symptoms that occur in patients with renal disease. the next factor is the interval of the hemodialysis therapy, the determination of this interval depends on the general condition of the patient with renal disease. if the general condition is good, then the patient will be advised to undergo hemodialysis once a week, and if the general condition is weak, the patient will undergo hemodialysis twice a week. this can affect the patients’ hemoglobin levels, because the more often the patients undergo hemodialysis, the more risk of anemia will be if it is not balanced with the things recommended by the medical team. this situation is caused by the hemodia lysis pr ocess which uses a cid a nd bicarbonate as the dialysate. this fluid has an effect that can damage red blood cells so that it will affect the hemoglobin levels of patients undergoing hemodialysis in the long term. therefore, the length 18 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 13–18 of time undergoing hemodialysis therapy also becomes the factor that affects the hemoglobin levels in renal disease patients (ppgii jatim, 2011). the last factor is the patient’s diet. a small percenta ge of hemodialysis pa tients ha ve a vegetarian diet because on average, they also have hyper tension a nd hea r t disea se. la ck of consumption of meat and iron is what ultimately triggers anemia in kidney disease patients. however, it is not absolute that diet affects hemoglobin levels in pa tients undergoing regular hemodialysis. therefore, regular hemodialysis patients who exper ience complica tions in the for m of hypertension or heart disease are recommended not to adopt an absolute vegetarian diet, so that the patients’ hemoglobin levels do not tend to fall (pernefri, 2012). from the discussion above, it can be concluded that the prc transfusion is better, more effective, and more efficient to increase hemoglobin levels in patients with renal disease who have anemia. with various advantages, such as hemoglobin levels can increase significantly, prices are likely to be affordable if compared with other therapies for anemia, side effects that are not harmful to the heart, and there is no risk of hypervolemia if delivered in the correct dosage and manner (pinheiro, 2018). conclusion based on the results of the study and discussion, we can conclude that most renal disease patients who underwent regular hemodialysis (53.06%), had low hemoglobin levels (4-5 mg/dl) before being given packed red cells (prc) transfusions. most of the renal disease patients who underwent regular hemodialysis (34.69%), had hemoglobin levels of 6.1-7 mg/dl after receiving durante hemodialysis packed red cell (prc) transfusions. there is an effect of giving durante hemodialysis packed red cells (prc) transfusions on hemoglobin levels in r ena l disea se pa tients under going r egula r hemodialysis. suggestion for renal disease patients undergoing regular hemodialysis with symptoms of anemia, it is necessary to consider getting transfusions according to the doctor ’s advice so as not to worsen the anemia experienced by the patients. besides, maintaining a diet so that it can help the formation of new red blood cells, so it is expected that anemia does not occur. t he medica l tea m should recommend giving packed red cells (prc) transfusions to patients with renal disease who have anemia because of its proven effectiveness to increase hemoglobin levels, and there are no side effects that can aggravate the kidney and heart. also, the cost is relatively cheap when compared with the delivery of erythropoietin preparations. for other r esea rchers who wa nt to continue this research, confounding variables in this study should be removed, and respondents can be made more homogeneous by adding inclusion criteria so that the research results become more valid. refferences agustina, et all. (2019). penurunan hemoglobin pada penyakit ginjal kronik setelah hemodialisis di rsu “kh” batu. jurnal ners dan kebidanan vol 6 (2). 142-147 ardhiles, et all. (2019). hubungan kadar ureum, hemoglobin, dan lama hemodialisa dengan kualitas hidup penderita pgk. jurnal ners dan kebidanan vol 6 (3). 292-299 brunner, et all. (2014). keperawatan medikal bedah edisi 8 volume 2. jakarta : egc penerbit buku kedokteran callaghan, et all. (2016) .at a glance sistem ginjal edisi 2.jakarta : erlangga haroen. (2012). buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ii edisi v. jakarta : interna publishing mansjoer, dkk. (2013) .kapita selekta kedokteran jilid i. jakarta : media aesculapius mehta, et all. (2016). at a glance hematologi edisi2. jakarta : erlangga nurko, (2014).buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ii edisi v. jakarta : interna publishing pernefri.(2012). konsensus manajemen anemia pada ggk. jakarta : pernefri pinheiro, mateus. (2018). konsensus manajemen anemia pada pasien gagal ginjal kronik. jakarta : pernefri ppgii jatim.(2011). efektifitas pemberian epo dan efektifitas re-use dialiser.surabaya : ppgii jatim price. (2016).patofisiologi (konsep dan klinis prosesproses penyakit) volume 1.jakarta:penerbit buku kedokteran egc.hal.574-593 suwitra, ketut. (2014). buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ii edisi v. jakarta : interna publishing suwitra, ketut. (2014). hidup berkualitas dengan hemodialisis (cuci darah) reguler. bali : udayana university press supandiman, dkk. (2016). buku ajar ilmu penyakit dalam jilid ii edisi v. jakarta : interna publishing yogiantoro, mohammad. (2013). kumpulan resep dokter kita. liberty vol.365,:40-41 12 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of drinking coffee and incident of hypertension in maospati magetan district hamidatus daris sa’adah¹, devy naning kurniasari¹, yudisa diaz lutfi sandi1, sandi alfa wiga arsa2 1nursing department, akademi keperawatan pemerintah kabupaten ngawi, indonesia 2nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract hypertension is a common disease in primary care. hypertension is a cardiovascular disorder marked by elevated blood pressure caused by coffee consumption. coffee is a favorite typical drink in indonesia and is one of the causes of hypertension. this study aimed to analyze the relationship between consumption of coffee habits and the incidence of hypertension in the tanjungsepreh village. the study used a cross-sectional approach. the data collection was obtained by participants filling out a questionnaire. the univariate analysis used descriptive statistics and bivariate analysis used the spearman-rank test. there were 36 respondents with significant results, pvalue = 0.039 and α = 0.05, which meant there was a correlation between consumption coffee habits and hypertension in humans. history article: received, 07/10/2021 accepted, 03/12/2021 published, 15/04/2022 keywords: hypertension, habit of drinking coffee, coffe consumption © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: akademi keperawatan pemerintah kabupaten ngawi – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: yudisadiaz@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p012-017 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:yudisadiaz@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p012-017 sa’adah, kurniasari, sandi, arsa, the correlation of drinking coffee and incident of … 13 introduction currently, many people think that when drinking coffee, the body will feel more relaxed and fresher and can increase the power of thought. drinking too much coffee will indirectly impact health, namely an increase in blood pressure or hypertension. coffee contains caffeine which is helpful for increasing alertness, eliminating sleepiness, and elevating mood (wati, 2018). however, according to (riyanti, silviana and santika, 2020) consuming too much caffeine has adverse effects in the form of abnormal heartbeats, headaches, anxiety, tremors, restlessness, memory loss, insomnia, and causes stomach and digestive disorders. hypertension is a circulatory system disorder characterized by an increase in blood pressure above normal, increasing the risk of heart disease, stroke, and kidney failure (masyudi, 2018). a person can be said to be hypertensive if the measurement results of systolic blood pressure are>140 mmhg and diastolic >90 mmhg (mahmudah et al., 2015). hypertension is often referred to as the silent killer disease so treatment is often too late (sartik, tjekyan and m.zulkarnain, 2017). according to the world health organization (who, 2018) which is summarized in the 2016 global health estimated (ghe), hypertension sufferers reached 63.2% per 100,000 population in the world. riskesdas 2018, the prevalence of hypertension in indonesia is 658,201 people; the highest incidence of hypertension is in west java with 121,153 people. east java ranks second at 105,380 people (kemenkes ri, 2018). the highest number of hypertension sufferers in magetan regency is 79,692 people (dinas kesehatan kabupaten magetan, 2018). factors that can cause hypertension are generally divided into two major groups: factors that cannot be changed, such as heredity (genetics), gender, and age. at the same time, the factors that can be changed are obesity, lack of exercise, excessive salt consumption, coffee consumption habits, smoking, alcohol consumption, stress, and others. (rahmawati and daniyati, 2016). according (utama, sari and ningsih, 2021) in his research, hypertension is influenced by modifiable risk factors such as reducing excessive salt consumption, tobacco and alcohol consumption, obesity, abdominal obesity, stress, and one of them is coffee consumption. in contrast, the risk factors that cannot be modified are family history, age, and gender.. one of the risk factors that can cause hypertension is consuming coffee. coffee can affect blood pressure because it contains polyphenols, potassium, and caffeine. polyphenols and potassium lower blood pressure, while caffeine increases blood pressure. caffeine can stimulate the adrenal glands to release more adrenaline, increasing blood pressure (harianja, nadapdap and anto, 2021). adrenaline works sympathetically, which affects the increase in heart rate and blood pressure. an increase in heart rate will exacerbate atherosclerosis which is able to cover the surface of blood vessels, causing blocked blood flow resulting in lack of blood flow and oxygen. blood vessels will receive blood pressure higher than usual, and if it occurs continuously for a long time will cause hypertension (tri gesela arum et al., 2019). one cup of coffee contains 75-200 mg of caffeine, which can increase blood pressure by 510 mmhg (lestari, netty and widyarni, 2020). the slightest effect of coffee on blood pressure will have an impact on health (kurniawaty, nabila and insan, 2016). based on previous research conducted by (rahmawati and daniyati, 2016) said that there is a very strong relationship between coffee drinking habits and hypertension levels in the work area of the fisheries health center in gresik regency. based on the above phenomenon, it is necessary to promote socialization to the public about consuming coffee with sufficient levels of coffee drinking and drinking coffee so that blood pressure can be controlled. it is also necessary to increase public awareness and make changes in lifestyle for the better (mullo, langi and asrifuddin, 2018). another way that can be done is by consuming fruits and vegetables, which are sources of fiber that can help lower high blood pressure (bertalina, 2016). this study aims to identify the relationship between hypertension and coffee consumption habits. method the type of study used correlational with a cross-sectional design. the study was conducted in tanjungsepreh village, maospati, magetan district in april june 2020. the population in this study was all hypertensive patients in 14 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 tanjungsepreh village. the sample was hypertension sufferers in tanjungsepreh village who met the inclusion and exclusion criteria that had been calculated and obtained as many as 36 respondents. in this study, in determining the sample the researchers used purposive sampling. the inclusion criteria was respondents who can read and write, are willing to be respondents and respondents who have the habit of drinking coffee. the independent variable in this study was the habit of coffee consumption while the dependent variable was hypertension incident. data on coffee drinking habits had been collected by filling out a questionnaire and data on hypertension was collected using a sphygmomanometer. data on coffee drinking habits was an activity of drinking a beverage that comes from coffee grounds mixed with sugar and then brewed with hot water. the measurement of coffee drinking habits had an alternative answer using an ordinal scale. each answer had a value ranging from 1 to 15 for questions ranging from mild to severe. data hypertension showed an increase in blood pressure > 140/90 mmhg. hypertension data was categorized using a nominal scale. result table 1: characteristics of research subjects distribution of respondents by gender in patients with hypertension in tanjungsepreh village no gender respondent percent (%) 1 male 16 44,4 2 female 20 55,5 total 36 100 distribution of respondents based on age in patients with hypertension in tanjungsepreh village no age respondent percent (%) 1 30-40 1 2,8 2 41-50 12 33,3 3 51-60 20 55,6 4 60-70 3 8,3 total 36 100 distribution of respondents based on coffee drinking habits in tanjungsepreh village no coffee drinking habits respondent percent(%) 1 light 1 2,8 2 average 34 94,4 3 heavy 1 2,8 total 36 100 based on the table above shows that the characteristics of the respondents as many as 20 respondents (55.5%) are female and 16 respondents (44.4%) are male. the age of the most respondents at the age of 51-60 years amounted to 20 respondents (55.6%) and at least the age of 30-40 years amounted to 1 respondent (2.8%). it is known that the habit of drinking coffee in tanjungsepreh village has the most moderate coffee drinking habits with a total of 34 respondents (94.4%) and at least 1 respondent (2.8%) with the habit of drinking light coffee. table 2: spearman-rank test results of coffee drinking habits with hypertension incidence in tanjungsepreh village coffee drinking habits hypertension total p value hypertension not hypertension light 0 1 1 0,039 average 32 2 34 sa’adah, kurniasari, sandi, arsa, the correlation of drinking coffee and incident of … 15 heavy 1 0 1 total 33 3 36 the results of the spearman-rank test show the value of = 0.039 and = 0.05. so, h0 is rejected and ha is accepted, which means that there is a relationship between coffee drinking habits and the incidence of hypertension in tanjungsepreh village. discussion in this study, it was found that the respondents had a habit of drinking coffee for more than 25 years. this research is supported by the results of research conducted by (saputra, parjo and nurfianti, 2016) which says that someone who has a habit of drinking coffee for 19 years has a risk of hypertension. the longer a person has the habit of drinking coffee, the body will have a tolerance for caffeine that enters his body. in this study, respondents also had a habit of drinking coffee with the amount of 1-3 cups of coffee per day more at risk of increasing blood pressure. this is in line with research conducted by (kurniawaty, nabila and insan, 2016) that people who have a habit of drinking coffee a day 1-2 cups per day can increase the risk of hypertension by 4.12 times higher than subjects who do not have the habit of drinking coffee. respondents in this study consumed the most types of black or brewed coffee which could increase the risk of hypertension. this is the same as research conducted by (fahmi arwangga, raka astiti asih and sudiarta, 2016) which said that the caffeine content of pure coffee was higher than mixed coffee. the type of coffee can also affect caffeine levels, in indonesia itself the most well-known types of coffee include arabica coffee and robusta coffee. where arabica coffee has a lower caffeine content than robusta coffee (rahmawati, wirasti and rejeki, 2021) based on the results of this study, the results of the spearman-rank calculation were obtained, namely the value of p = 0.039 with <0.05. so h0 is rejected and ha is accepted, which means that there is a relationship between coffee drinking habits and the incidence of hypertension in tanjungsepreh village. this is in line with research conducted by (kurniawaty, nabila and insan, 2016) which says that there is a relationship between the habit of drinking coffee and increasing the risk of hypertension, but it depends on the frequency of daily consumption. another study conducted by (firmansyah and rustam, 2017) said that there was a relationship between coffee consumption and blood pressure in hypertension patients at pembina palembang health center in 2016 (p-value = 0.020). therefore, having the habit of drinking coffee can increase the risk of hypertension, depending on the frequency of drinking coffee. in contrast to the research conducted (wahyuni, yusuf and magga, 2020) with the chi square test, the p value = 1000, greater than 0.05, which means that there is no effect of coffee consumption on blood pressure conducted on students at the muhammadiyah university of parepare. this is because there are several components, namely polyphenols as antioxidants and potassium which lowers blood pressure which can balance the effect on blood pressure. similar to research conducted by (bistara and kartini, 2018) which concluded that there was no relationship between coffee consumption habits and blood pressure in young adults where p = 0.465 with = 0.05. this proves that respondents who have the habit of consuming coffee do not affect blood pressure excessively but cause blood pressure to rise in a short time then return to normal. conclusion the following conclusions can be drawn: there is a relationship between coffee drinking habits and the incidence of hypertension, based on the number of how many respondents drink coffee, how often do they drink coffee and since when do respondents have a habit of drinking coffee and from 36 respondents have a habit of drinking coffee which is classified as moderate as many as 34 respondents or (94.4%). suggestion therefore, researchers provide advice for respondents, it is hoped that respondents understand that having the habit of drinking coffee can increase the risk of hypertension. therefore, it is better to reduce the consumption of drinking coffee in order to reduce the risk of the incidence of hypertension and further 16 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 improve their health. for the nursing academy institution, ngawi regency government, it is hoped that this research can be used to develop knowledge, especially those related to the habit of drinking coffee on the incidence of hypertension. for further researchers, this research is expected to motivate further researchers to develop this research so that it is more perfect and useful for all parties. acknowledgment this study was funded by akademi keperawatan pemerintah kabupaten ngawi. the authors declared that they have mentioned everyone who made a contribution to the work in this study. reference bertalina, b. and muliani, m. (2016) ‘hubungan pola makan, asupan makanan dan obesitas sentral dengan hipertensi di puskesmas rajabasa indah bandar lampung’, jurnal kesehatan, 7(1). doi: 10.26630/jk.v7i1.116. bistara, d. n. and kartini, y. (2018) ‘hubungan kebiasaan mengkonsumsi kopi dengan tekanan darah pada dewasa muda’, jurnal kesehatan vokasional, 3(1). budianto, a. (2017) ‘hubungan perilaku merokok dan minum kopi dengan tekanan darah pada laki laki dewasa di desa kertosuko kecamatan kerucil kabupaten probolinggo’, 2(perilaku merokok dan minum kopi), pp. 71–79. dinas kesehatan kabupaten magetan (2018) ‘profil kesehatan’. eva, r. and siagian, f. (2015) ‘pengaruh minat dan kebiasaan belajar siswa’, 2(20), pp. 122–131. fahmi arwangga, a., raka astiti asih, i. and sudiarta, i. (2016) ‘analisis kandungan kafein pada kopi di desa sesaot narmada menggunakan spektrofotometri uv-vis’, jurnal kimia, 10(1), pp. 110–114. firmansyah, m. r. and rustam (2017) ‘hubungan merokok dan konsumsi kopi dengan tekanan darah pada pasien hipertensi’, pp. 263–268. hamdan, d. and aries sontani (2018) coffe:karena selera tidak dapat diperdebatkan. 1st edn. edited by u. prsetya. jakarta selatan: agromedia pustaka. hardiman, i. (2014) sehat alami dengan herbal. jakarta: gramedia pustaka utama. harianja, b., nadapdap, t. p. and anto (2021) ‘analisis faktor yang memengaruhi kejadian hipertensi pada suku batak di wilayah kerja puskesmas cikampak kabupaten labuhan batu selatan’, jurnal kesehatan masyarakat prima indonesia, 3(1), pp. 7–12. kadita, f. (2017) ‘hubungan konsumsi kopi dan screen-time’. kardiyudiani, n. ketut and susanti, b. a. d. (2019) keperawatan medikl bedah 1. edited by intan kusuma dewi. yogyakarta: pt. pustaka baru. kemenkes ri (2018) ‘kemenkes ri’. kurniasih, e. and rohimah, s. (2015) ‘gambaran peminum kopi pada pasien penderita diabetes mellitus di ruang vi penyakit dalam rsud dr. soekardjo tasikmalaya’, jurnal kesehatan bakti tunas husada: jurnal ilmu-ilmu keperawatan, analis kesehatan dan farmasi, 13(1). doi: 10.36465/jkbth.v13i1.8. kurniawaty, e., nabila, a. and insan, m. (2016) ‘pengaruh kopi terhadap hipertensi the effect of coffee on hypertension’, pp. 2–6. lestari, h. d., netty and widyarni, a. (2020) ‘hubungan kebiasaan merokok dan minum kopi dengan kejadian hipertensi pada lansia di puskesmas pulau tanjung kabupaten tanah bumbu tahun 2020’. mahmudah, s. et al. (2015) ‘hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan sawangan baru’, 7, pp. 43–51. masyudi (2018) ‘mengendalikan hipertensi ( factors associated with elderly behavior in controlling hypertension )’, 3(1), pp. 57–64. doi: 10.30867/action.v3i1. mullo, o. e., langi, f. l. f. g. and asrifuddin, a. (2018) ‘hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja puskesmas paniki bawah kota manado’, 7(5). mulyanto, j. et al. (2014) keperawatan medikal bedah. 8th edn. edited by a. suslia et al. salemba emban patria. notoatmodjo, s. (2010) metodologi penelitian kesehatan. 1st edn. jakarta: rineka cipta. nurarif, a. huda and kusuma, h. (2015) aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan nanda nic-noc. 2nd edn. jogjakarta: mediaction jogja. nursalam (2017) metodologi penelitian ilmu keperawatan: pendekatan praktis. 4th edn. edited by p. p. lestari. jakarta selatan: salemba medika. pradipta, c. (2014) kapita selekta kedokteran. jakarta. puspita, b. and fitriani, a. (2021) ‘peran konsumsi kopi terhadap kejadian hipertensi pada laki-laki usia produktif (18-65 tahun)’, muhammadiyah journal of sa’adah, kurniasari, sandi, arsa, the correlation of drinking coffee and incident of … 17 nutrition and food science (mjnf), 2(1). doi: 10.24853/mjnf.2.1.13-23. rahmawati, a. i., wirasti and rejeki, h. (2021) ‘analisis kadar kafein pada produk bubuk kopi murni yang dihasilkan di kabuapten pekalongan menggunakan metode high performance liquid chromatography (hplc)’, 5(1), pp. 61–78. rahmawati, r. and daniyati, d. (2016) ‘hubungan kebiasaan minum kopi terhadap tingkat hipertensi (correlation habit of drinking coffee to the level of hypertension)’, journal of ners community, 07(november), pp. 149–161. doi: 10.1016/s0011-8524(13)70007-2. riyanti, e., silviana, e. and santika, m. (2020) ‘analisis kandungan kafein pada kopi seduhan warung kopi di kota banda aceh’, lantanida journal, 8(1). doi: 10.22373/lj.v8i1.5759. riyanto, a. (2011) aplikasi metodologi penelitian kesehatan. 1st edn. yogyakarta: nuha medika. saputra, m. u., parjo and nurfianti, a. (2016) ‘gambaran kebiasaan konsumsi kopi dan tekanan darah di jalan gajahmada kota pontianak’. sartik, tjekyan, r. s. and m.zulkarnain (2017) ‘faktor – faktor risiko dan angka kejadian hipertensi pada penduduk palembang’, 8(november), pp. 180–191. siringo-ringo, r. (2018) ‘gambaran kebiasaan minum kopi dan tuak serta merokok pada penderita hipertensi rawat jalan di puskesmas sumbul kecamatan sumbul kabupaten dairi tahun 2017’. sudaryono (2019) metodologi penelitian. 2nd edn. depok: rajagrafindo persada. sugiyono (2012) metode penelitian kuantitatif, kualitatif , dan kombinasi (mixed methods). 3rd edn. edited by sutopo. bandung: alfabeta. sujarweni, w. (2019) the master book of spss pintar mengolah data statistik untuk segala keperluan secara otodidak. edited by s. adams. yogyakarta: startup. sumantri, a. (2011) metodologi penelitian kesehatan. 1st edn. edited by murodi and f. ekayanti. jakarta: prenada media group. suyanto (2011) metodologi dan aplikasinpenelitian keperawatan. 1st edn. yogyakarta: nuha medika. tri gesela arum, y. et al. (2019) ‘higeia journal of public health research and development hipertensi pada penduduk usia produktif (15-64 tahun)’, higeia (journal of public health research and development), 3(3). utama, f., sari, d. m. and ningsih, w. i. f. (2021) ‘deteksi dan analisis faktor risiko hipertensi pada karyawan di lingkungan universitas sriwijaya’, jurnal kesehatan andalas, 10(1). doi: 10.25077/jka.v10i1.1643. wahdah, n. (2011) menaklukan hipertensi dan diabetes. 1st edn. yogyakarta: multipress. wahyuni, i., yusuf, s. and magga, e. (2020) ‘pengaruh konsumsi kopi terhadap tekanan darah dan insomnia pada mahasiswa universitas muhammadiyah parepare’, jurnal ilmiah manusia dan kesehatan, 3(3), pp. 395–402. wijaya, i. n. y. a. and nugraha, n. b. (2018) ‘perancangan aplikasi mobile untuk konsumsi caffeine : studi kasus " kopi joss "’, pp. 117–124. 5 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk early detection of mental disorders and psychosocial problems in students taking online learning during covid-19 pandemic sirli mardianan trishinta1, wahidyanti rahayu hastutiningtyas2, yanti rosdiana3 1,2nursing department, tribhuwana tunggadewi university malang, indonesia article information abstract the online problems impact from online learning faced by students if not handled immediately will lead to the impact of mental disorders and psychosocial problems that are bigger and more serious. the aim of this study was to conduct early detection of mental disorders and psychosocial problems in nursing students who take online clinical practices during the covid-19 pandemic at tribhuwana tunggadewi university, malang. this was descriptive research with a cross-sectional approach. that is, data between the independent and dependent variables collected at the same time. the population in this study was all students at tribhuwana tunggadewi university malang, class of 2016, as many as 276 people. the sampling technique used total sampling technique. this study used chi square analytics to test the hypothesis. thwe result of this study showed that gender was significantly associated with psychological problems (p = 0.038), while gender had no correlation with the use of psychoactive use (p = 0.789), and ptsd (p = 0.551). it concluded that mental disorders and psychosocial problems (i.e., psychological problem, psychoactive use, ptsd and unidentified psychologicaly) were prevalent among nursing students who took online clinical practice at tribhuwana tunggadewi. students’ gender was associated with psychological problems, while had no associated with psychoactive use and ptsd. this study recommends that faculty authority, health professionals, and other professional related to mental health should play an important role for the prevention and earlier recognition of and intervention for psychosocial problems in nursing students who run online clinical practice during the covid-19 pandemic. history article: received, 10/22/2021 accepted, 09/03/2022 published, 15/04/2022 keywords: pandemic, online learning, nursing study © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: tribhuwana tunggadewi university malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: sirli.shinta@unitri.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p005-011 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:sirli.shinta@unitri.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p005-011 6 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 5-11 introduction students are students in an institution, both public and private, who are currently studying. students are people who are officially registered and accepted to take part in the learning process at a university with the age of 17-30 years. students are people who study in tertiary institutions, both universities and institutions or academics, individuals who are register as students in higher education (takwin, 2008). students are classified as late teens aged 17-25 years (depkes ri, 2009) . the covid-19 pandemic has greatly affected all aspects of life also has an impact on the world of education. with the issuance of the circular letter of the minister of education and culture number 36962/mpk.a/hk/2020, it is stated that all teaching and learning activities both at school and on college campuses use online or online as an effort to prevent the development and spread of coronavirus disease (covid-19) (kemendikbud ri, 2020). the most felt impact is the change in the teaching and learning process in the world of education, which face-to-face before and replaced by online. this incident can cause new problems, namely mental disorders and psychosocial disorders. research conducted by uswatun et al (2020) shows that there are many disturbances, ranging from disruption of education. there are students who are confused in dealing with online learning methods, plus the number of tasks that cause the widespread concern and anxiety of students in the midst of the covid-19 pandemic. learning assignments are the main factor causing student stress during the covid-19 pandemic (hasanah et al., 2020). anxiety can be in the form of feelings of worry, feeling uneasy, uncertain or feeling very afraid as a result of a threat or threatening feelings where the real source of the anxiety is not known with certainty (nasir & muhith, 2011). this anxiety is one of the symptoms of mental disorders and psychosocial problems. mental disorder or mental disorder is a condition that is felt and able to affect a person's thoughts, moods and behavior. mental health problems that arise in the midst of the covid-19 pandemic can develop into long-lasting health problems and have the potential to cause a heavy social burden. people with psychiatric problems are people who have physical, mental, social, growth and development problems, and or quality of life at risk of experiencing mental disorders (kementrian kesehatan ri, 2019). psychosocial problems are problems that arise as result of many changes in the order of the environment. psychosocial is a condition that occurs in individuals that includes psychological and social aspects or vice versa (maulana et al., 2019). the number of people with mental disorders in the world continues to increase every year. according to who data (2016), there are about 35 million people affected by depression, 60 million people affected by bipolar disorder, 21 million people affected by schizophrenia, and 47.5 million people affected by dementia. according to the national alliance of mental illness (nami) based on the results of the 2013 united states population census, it estimated that 61.5 million people over the age of 18 have mental disorders, 13.6 million of whom have severe mental disorders such as schizophrenia, bipolar disorder. riskesdas 2018 data shows the prevalence of emotional mental disorders that indicated by symptoms of depression and anxiety for ages 15 years and over reaches around 6.1% of the total population of indonesia. while in east java the rate of emotional mental disorders is 6.8% (balitbangkes, 2018). the problems faced by students if not handled immediately will lead to the impact of mental disorders and psychosocial problems that are bigger and more serious. the results of research conducted by nurjanah (2020) showed that the most complaints were psychological complaints, namely feeling anxious, tense/worried (40%), followed by complaints of neglected daily activities/tasks (37%), loss of appetite (30%), and not sleeping well (30%) (nurjanah, 2020). another study conducted by larasuci nd setiadi (2020) found that the results of research on psychosocial problems that found sequentially from the highest to the lowest were post traumatic distress sydrom (ptsd). as many as 63 respondents (32%), anxiety and depressionas many as 55 respondents (28%), psychotic disorders as many as 42 respondents (21%), and psychoactive substances use, drugs as many as 8 respondents (4%), while as many as 29 respondents (15%) were not indicated to have psychosocial problems or disorders (arini & syarli, 2020). from the research above, it concludes that mental disorders and psychosocial problems can pose greater impact. therefore, action is need to find out mental disorders and psychosocial problems more quickly, to avoid unwanted and life-threatening events by conducting early detection. mental disorders and trishinta, hastutiningtyas, rosdiana, early detection of mental disorders and psychosocial problems … 7 psychosocial problems in nursing students who carry out clinical practices online during the covid-19 pandemic at tribhuwana tunggadewi university, malang the results of a preliminary study conducted on 10 nursing students who underwent online clinical practice showed that students experienced fear, irritability, anxiety, sadness, discomfort and guilt. based on this phenomenon, the researchers are interested in conducting study entitled "early detection of mental disorders and psychosocial problems in nursing students who run online clinical practices during covid-19 pandemic at tribhuwana tunggadewi university, malang" method this study was descriptive research with a cross-sectional approach. that is, data between the independent and dependent variables collected at the same time. the population in this study was all students at tribhuwana tunggadewi university malang, class of 2016, as many as 276 people. the sample used was 276 students at tribhuwana tunggadewi university, malang. the sampling technique used total sampling technique. the independent variable in this study was early detection. the dependent variables in this study were mental disorders and psychosocial problems. this study was conducted at tribhuwana tunggadewi university, malang city. materials and research tools / research instruments this study used the srq (self reporting questionnaire) questionnaire that contains 29 questions. on questions 1-20 experiencing psychological problems, number 21 the use of psychoactive substances, number 25-29 symptoms of post-traumatic distress syndrome (ptsd). the question has an answer of “yes” or “no” by cut off point system. it means that if respondent >6 answers “yes” to the question asked, the respondent has a mental disorder or has one of the complaints from questions 21-29, the answer is “yes” in number 21 is an indication of the use of psychoactive substances, and if you answer "yes" in numbers “25-29 it is a symptom of posttraumatic distress syndrome (ptsd). data collection the data obtained in this study carried out by distributing online questionnaires. data analysis the data collected through the srq-29 questionnairethen assessed according to existing standards. analysis of the data obtained carried out descriptively using spss with chi square analytics. result general data of respondents in this study include gender, age, marriage status, family income, and nation. table 1: distribution of gender, age, employment status, marital status, family income, ethnicity. no characteristics n f 1 gender male 113 41 female 163 59 total 276 100 2 age 18-22 year 181 66 23-27 tyear 95 34 total 276 100 3 marriage status married 276 100 not married 0 0 total 276 100 8 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 5-11 5 family income <3 million rupiah 250 91 >3 million rupiah 26 9 total 276 100 6 nation indonesia 262 95 timor leste 14 5 total 276 100 based on table 1, it shows that most of the students at tribhuwana tunggadewi university malang who took online lectures during covid19 pandemic were female (59%) most of them were 18-22 years old (66%), all of them are student (100%), all students have unmarried status (100%), almost all family income <3 million (91%), and almost all are indonesians (95%). table 2: research results on early detection of mental disorders and psychosocial problems no classification f % 1. psychological problem yes no 97 179 35 65 2. psychoactive use yes no 4 272 1 99 3. ptsd (post trauma stress disorder) syndrome yes no 167 109 61 39 4. unidentified psychological problems 8 3 total 276 100 based on table 2 shows that most respondents do not experience psychological problems (65%), almost all respondents have no problems with the use of psychoactive substances (99%), most respondents experience ptsd problems (61%), and a small proportion of respondents are not identified. interference (3%). table 3: test results analysis of sex correlations with psychological problems, use of psychoactive substances and ptsd variable gender p female male psychological problem yes no 66 97 32 81 0,038 psychoactive use yes no 2 160 1 111 0,789 ptsd (post trauma stress disorder) syndrome yes no 96 66 71 42 0,551 table 3 shows that gender is significantly associated with psychological problems (p = 0.038), while gender has no correlation with the use of psychoactive substances (p = 0.789), and ptsd (p = 0.551). it concluded that mental disorders and psychosocial problems (i.e., psychological problem, psychoactive use, ptsd and unidentified psychologicaly) were prevalent trishinta, hastutiningtyas, rosdiana, early detection of mental disorders and psychosocial problems … 9 among nursing students who run online clinical practice at tribhuwana tunggadewi. students’ gender is associated with psychological problems, while has no associated with psychoactive use and ptsd. discussion characteristics of respondents based on table 1, most of the respondents (59%), female respondents, aged between 18-22 years, mostly (66%). this is in line with handayani's research (2020) which states that in the online learning system during the covid-19 pandemic era, most students from all faculties at tribhuwana tunggadewi university malang took online/online lectures (meri, 2020). the results of this study are in line with the research of pathmanathan and husada (2013), which states that based on age group, the majority of mental disorders are experienced by students aged 19 and 20 years (pathmanathan & husada, 2013). the theory that has been developed states that older people tend to feel negative effects due to the increasing causes of daily stress (o’callaghan, 2014). however, age can also predict a person's way of solving a problem. the more mature a person is, the better their ability to make changes in attitudes, cognitive, and emotions, in order to carry out coping strategies. in other words, students with an older age are able to perform better and more diverse problem solving strategies than people who are younger than them (monteiro et al., 2014) psychosocial problems in students in carrying out online lectures based on table 2 shows most (65%), respondents do not experience psychological problems. based on chaplin and kartono (2019), individual psychosocial behavior based by the attitudes that arise from psychological and social symptoms, which influence each other (chaplin & kartono, 2019). psychosocial is an aspect of dynamic correlation between psychological and social dimensions. suffering and psychological injuries experienced by individuals have a close correlation with the surrounding circumstances or social conditions. psychosocial recovery for individuals and community groups aimed at regaining normal functions so that they remain productive and lead a meaningful life after a traumatic event (iskandar, 2005). factors that cause psychosocial problems in students during the covid-19 pandemic can caused by many things, one of which is the covid-19 pandemic condition that requires all learning processes to be carried out through an online learning system. this learning system requires students to carry out the learning process from home, with emotional support and optimal supervision from the family, so that this can indirectly cause students' anxiety levels (kumari et al., 2020). the considerably such prevalence of mental disorder and psychosocial problems among nursing students who take online learning during covid-19 pandemic suggests the vulnerability of faculty in students. therefore, these findings indicate a need for advanced survey and launch awareness programme for preventing mental disorder and psychosocial problems. correlation of sex with psychological problems based on table 3 the analysis test showed that gender was significantly associated with psychological problems (p=0.038), while gender had no correlation with the use of psychoactive substances (p=0.789), and ptsd (p=0.551). the difference in the prevalence of psychological problems in male and female students is in line with research by rahmayani (2017), on students of the andalas university faculty of medicine, which stated that, by gender, first-year medical students were female (69 ,6%) had a higher level of psychological problems than men (30,4%) (rahmayani et al., 2019). then, this is also in line with research by eva et al. (2015), at a private university in bangladesh, who stated that second and third year medical students, who were female (64%), had a higher prevalence of psychological levels than men (36%) (eva et al., 2015). research limitations the limitation of this study is that it does not consider other factors that may influence psychosocial behavior in students, such as the description of stress levels in the online learning system in the era of the covid-19 pandemic. 10 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 5-11 conclusion most of the students at tribhuwana tunggadewi university malang who took online lectures during the covid-19 pandemic was female (59%), and most was aged 18-22 (66%) the results had shown that most of the respondents did not experience psychological problems (65%), almost all of the respondents had no problems with the use of psychoactive substances (99%), most of responden experienced ptsd problems (61%), and a small portion of the respondents had no identified disorders (3%). the results obtained shown that gender significantly associated with psychological problems (p = 0.038), while gender had no correlation with the use of psychoactive substances (p = 0.789), and ptsd (p = 0.551). suggestion the results of this study are expected to applied by public as information and learning guidelines to add insight and information regarding early detection of mental disorders and psychosocial problems in nursing students who run online clinical practice during the covid-19 pandemic. this study recommends that faculty authority, health professionals, and other professional related to mental health should play an important role for the prevention and earlier recognition of and intervention for psychosocial problems are expected to be used as learning literature and a source of information about early detection of mental disorders and psychosocial problems in nursing students who run online clinical practice during the covid-19 pandemic. acknowledgment we would like to thank all the nursing students who participated in the study. this project received funding from the nursing profession program of faculty of health science tribhuwana tunggadewi university. reference arini, l., & syarli, s. (2020). deteksi dini gangguan jiwa dan masalah psikososial dengan menggunakan self reporting qustioner (srq-29). jurnal keperawatan muhammadiyah, 5(1). balitbangkes, r. i. (2018). laporan nasional riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2018. jakarta: balitbangkes ri. chaplin, j. p., & kartono, k. (2019). kamus lengkap psikologi. depkes ri. (2009). profil kesehatan indonesia 2008. departemen kesehatan republik indonesia. eva, e. o., islam, m. z., mosaddek, a. s. m., rahman, m. f., rozario, r. j., iftekhar, a. f., ahmed, t. s., jahan, i., abubakar, a. r., & dali, w. p. e. w. (2015). prevalence of stress among medical students: a comparative study between public and private medical schools in bangladesh. bmc research notes, 8(1), 1–7. hasanah, u., ludiana, i., & ph, l. (2020). gambaran psikologis mahasiswa dalam proses pembelajaran selama pandemi covid-19. jurnal keperawatan jiwa, 8(3), 299–306. iskandar, d. (2005). dharmawan, dan tim pulih. 2005. prinsip-prinsip dukungan sosial pasca bencana. kemendikbud ri. (2020). surat edaran mendikbud nomor 36962/mpk.a/hk/2020 tentang pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan penyebaran corona virus disease (covid-19). kementerian pendidikan dan kebudayaan republik indonesia. kementrian kesehatan ri. (2019). informasi kementrian kesehatan ri.(2019). situasi kesehatan jiwa di indonesia. infodatin. kumari, a., singh, s. b., mahajan, s., sharma, v., ranjan, r., vohra, p., goel, n., & garima, g. (2020). stress assessment in mbbs first year students before and after stress management training during covid-19 lockdown: a north indian study. studies, 8, 9. maulana, i., suryani, s., sriati, a., sutini, t., widianti, e., rafiah, i., hidayati, n. o., hernawati, t., yosep, i., & hendrawati, h. (2019). penyuluhan kesehatan jiwa untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah kesehatan jiwa di lingkungan sekitarnya. media karya kesehatan, 2(2). meri, h. (2020). gambaran tingkat stres, kecemasan dan depresi pada mahasiswa universitas andalas dalam menghadapi pandemi covid-19. universitas andalas. monteiro, n. m., balogun, s. k., & oratile, k. n. (2014). managing stress: the influence of gender, age and emotion regulation on coping among university students in botswana. international journal of adolescence and youth, 19(2), 153–173. nasir, a., & muhith, a. (2011). dasar-dasar keperawatan jiwa: pengantar dan teori. jakarta: salemba medika. trishinta, hastutiningtyas, rosdiana, early detection of mental disorders and psychosocial problems … 11 nurjanah, s. (2020). emotional mental disorders on clients pandemic covid 19 at quarantine house. jurnal ilmu keperawatan jiwa, 3(3), 329–334. o’callaghan, p. (2014). the relationship of stress to gender, age, academic motivation, student expectations and self-esteem among students. pathmanathan, v. v, & husada, m. s. (2013). gambaran tingkat stres pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas sumatera utara semester ganjil tahun akedemik 2012/2013. e-journal fk usu, 1(1), 1–4. rahmayani, r. d., liza, r. g., & syah, n. a. (2019). gambaran tingkat stres berdasarkan stressor pada mahasiswa kedokteran tahun pertama program studi profesi dokter fakultas kedokteran universitas andalas angkatan 2017. jurnal kesehatan andalas, 8(1), 103–111. takwin, b. (2008). menjadi mahasiswa. bagustakwin. multiply. com. 99 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk analysis of factors related to traffic accidents of adolescents in smk taman siswa mojokerto lutfi wahyuni1, agus haryanto2, faisal ibnu3 1,2,3nursing department, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract the magnitude of the number of accidents by motorbikes affects the number of fatalities in indonesia. traffic accidents recently occur frequently and cause many losses. the magnitude of the number of accidents by motorbikes also affects the number of fatalities in indonesia. traffic accidents can occur due to human factors, vehicle factors, and environmental factors that have a major influence on traffic accidents. this study aimed to analyze the factors related to traffic accidents in adolescents. the design used analytical descriptive research design. the population in this study were all class xi students majoring in the automotive department of smk taman siswa mojokerto. the sample of 146 people was obtained by total sampling. the variables were factors related to traffic accidents in adolescents. the data were collected using primary data from respondents. after the data was collected, the data was processed and continued with descriptive statistical tests with the help of spss version 16.0. in this study, the human factor included the gender of the respondents, mostly male (95.2%), and most of the respondents were 14-16 years old or in the middle adolescent category (90.4%), most of the vehicle factors were complete (61%)., and environmental factors (6.4%). this was due to the lack of youth concern for driving safety on the highway. providing information to adolescents on the causes of accidents can be done to be more vigilant and careful when driving on the highway to minimize the occurrence of accidents history article: received, 05/01/2021 accepted, 25/04/2022 published, 25/04/2022 keywords: traffic accident factors, adolescents, student © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ltf.hidayat@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p099-104 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ltf.hidayat@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p099-104 100 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 099-104 introduction traffic accidents recently happened very often and caused many losses. the result of the traffic accident itself was in the form of damage to public facilities and the emergence of victims so that the victim suffered minor injuries, moderate injuries, serious injuries, and even death. traffic accidents can occur as a result of human factors, one of the most frequent causes of accidents is from humans themselves, for example, the driver loses concentration, fatigue, and drowsiness, the influence of alcohol and drugs, speed exceeds the limit, or reckless, motorized vehicle condition not good and the driver does not understand about traffic rules and motorbike drivers without using standard driving, for example not wearing a helmet, turning off the lights, not obeying traffic rules (margie peden et al.,2016). the fact is that current high school / vocational high school students can drive motorbikes, especially since their children's physical development is currently quite good. however, from a psychological perspective, they are still in the process of searching for their identity. if it is easily provoked by negative things, it is feared that it will trigger sma / smk students to ignore the rules and values in society. lately, it is commonly found that for sma / smk students to drove their motorbikes recklessly, not wearing helmets, not carrying complete documents. driving, and even one motorcycle was ridden by more than two people. according to data from the world health organization, traffic accidents are the main killer of young people aged 10-24 years. the world health organization in its report on road traffic injury prevention, explains that every year around the world around 1.2 million people die from traffic accidents and 50 million others are injured.(margie peden, r. s., david sleet, d. m., adnan a. hyder, e. j., & mathers, 2016). in the global status report on road safety, it is stated that every year, worldwide, more than 1.25 million victims die from traffic accidents, and 50 million people are seriously injured. of this number, 90% occur in developing countries where the number of vehicles is 54% of the number of vehicles registered in the world (world health organization, 2018). in developing countries, traffic accidents are among the top five causes of death in the world.in indonesia, the cause of injury due to motorcycle accidents is in the second rank, showing the highest proportion, namely 67.4% (34,904 people) in the 15-24 year age group, the education level of sma / ma / smk is 63.9%, living in urban areas 42.8% (basic health research, 2013). according to the results of riskesdas in 2018, the number of accidents in east java province has increased from 2013 (8.2%) to (9.2%) in 2018 (basic health research, 2018). in 2014, it was known that 550 incidents caused 797 people to become victims, 134 of them died and 660 survivors, 4 of whom were seriously injured and 656 of them had minor injuries. whereas in 2015 it was known that the number of accidents was 739 traffic accidents that caused 1069 people to become victims, 137 of them died and 932 survivors, 26 of whom had serious injuries and 906 of them had minor injuries, (mojokerto police, 2016). in mojokerto regency for the period january-november 2017, there were 755 accidents (polres mojokerto, 2017). based on the results of the preliminary study at the mojokerto police, the number of accidents for the january 2019-october 2019 period, 774 accidents that caused 1,030 people to become victims, 124 of whom died, 25 people were seriously injured, and 881 of them suffered minor injuries. (polres mojokerto, 2019). the magnitude of the number of accidents by motorbikes also affects the number of victimssoul in indonesia. during 2013, the number of accident victims who died was 26,416 people, meanwhile in 2014 the number of victims who died increased to 28,297 people (dephub, 2015). data on the number of traffic accidents in east java, according to victims, in 2011 were 22,103 cases, this number increased in 2012 to 24,521 cases. the accident cases were also offset by the number of minor injured victims in 2011 as many as 25,108 cases. as explained by korlantas 2017 which states that the factors causing accidents can be divided into 3, namely human factors, vehicle factors, physical environmental factors. factors that can cause an accident are from humans, machines/vehicles, roads, and the environment. human factors are influenced by drivers, passengers, road use, vehicle factors are influenced by non-motorized vehicles, motorized vehicles. the road factor is influenced by the goodness of the road, road facilities, and environmental factors are influenced by weather and geography. wahyuni, haryanto, ibnu, analysis of factors related to traffic accidents … 101 human factors include vehicle drivers who are not careful in controlling their vehicles, drivers who are careless in driving their vehicles, and the physical health of drivers who are less than optimal in driving on the highway resulting in accidents.as much as (79.91%), vehicle factors include vehicle slippage due to bare tires, failed brakes, and damage to other vehicle components resulting in accidents (12.66%). environmental factors include slippery roads due to standing water after rain and the number of schools and factory activities at certain hours that cause congestion and large numbers of workers, school children crossing carelessly, bumpy roads, roads with holes in the street lights that go out causing as many accidents (7, 43%).of the various causes that can cause traffic accidents, the causal factors are dominated by driver negligence such as driving at high speed, motorbike conditions that are not up to standard, riding against the current, turning without turning on the turn signal, carrying more than one person(jasmen manurung, mido ester sitorus, 2019) the convenience offered by the motorbike makes some high school students able to drive it. they even use the motorbike as a means of transportation to go to school. most high school students are children under 17 years of age who have not received a permit to drive a motorized vehicle. given the many problems that arise, based on the above theory the role of nurses is needed, namely as an educator to improvepublic knowledge about the importance of maintaining driving safety and avoiding the factors that can cause accidents. based on the above phenomenon, the researcher is interested in researching the "factors that cause accidents in smk taman siswamojokerto" method the research design used descriptive analysis design. the research variables were factors related to traffic accidents in adolescents such as human factors, vehicle factors and environmental factors. the population was all students of class xi majoring in automotive engineering at smk taman siswa mojokerto with a total of 146 respondents. the sample was 146 atudents taken by total sampling technique. the data was collected using a questionnaire consisting of 20 questions sheet instrument factors related to traffic accidents of adolescents using google form media, data collection was carried out for 2 weeks then analyzed by frequency distribution. result table 1: characteristics of respondents based on human factors human factors criteria f % age 1-13 years 0 0 4-16 years 132 90.4 7-20 years 14 9.5 gender male female 139 7 95.2 4.8 behavior positive negative 67 79 45.8 54.2 total 146 100 based on table 1, it is obtained data that most of the students at smk taman siswa mojokerto class xi majoring in automotive are aged 14-16 years or are included in the middle teen category as many as 132 respondents (90.4%), based on gender shows that almost all respondents are male as many as 139 respondents (95.2%), and based on the negative behavior data obtained were 79 respondents (54.2%). table 2: characteristics of respondents based on vehicle factors (vehicle equipment, vehicle lighting and use of vehicles in accordance with the provisions) vehicle factors f (%) complete 89 61 incomplete 57 39 102 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 099-104 total 146 100 based on table 2 above, shows that 89 respondents (61%) have a complete vehicle condition table 3: characteristics of respondents based on environmental factors (road conditions) environmental factors f (%) good 129 88.4 bad 17 11.6 total 146 100 based on table 3 above, the results obtained are 129 respondents (88.4%) indicating a good environment (road conditions). discussion 1. traffic accidents based on human factors the results of the study show that the data in table 1 shows that almost all of the respondents are male as many as 139 respondents (95.2%) and most of them are middle-aged 132 (90.4%) in a study conducted by dina lusiana, et al (2018) stated that men from a young age are more likely to experience traffic accidents on the road than women because men are more likely to disobey existing regulations, while women are more concerned with existing regulations.(setyowati, d. l., firdaus, a. r., rohmah, n., masyarakat, f. k., & mulawarman, 2018). an accident is an event that can happen to anyone, both male and female because the accident cannot be predicted on who, when, and where it will happen. according to researchers, the frequency of male drivers using vehicles more often than women is due to the higher level of male mobility. this can be proven in a study conducted by deaputrisna, et al. in the city of kupang to 84 respondents, the results showed that (63.1%) were 16 years old. (putrisna, d., gigy, d., setyobudi, a., & tira, 2019). age is one of the risk factors associated with accidents, but age is not an independent risk factor that causes accidents. according to researchers the increasing age of a person the more maturity in behavior. the results showed that data in table 1 obtained data with negative behavior as many as 79 respondents (54.5%). this is supported by akhmad's research in 2015 that there is a relationship between driving behavior and traffic accidents. careless driving behavior can adversely affect traffic accidents. the risky behavior that is often carried out by motorists not only endangers safety for themselves but also other motorists and other road users. based on the results of research conducted by jasmen manurung, it was found that more accidents occurred as a result of human behavior. the research was conducted on online motorcycle taxi drivers as many as 100 respondents (61.0%).(jasmen manurung, mido ester sitorus, 2019). human factors can be the main cause of accidents due to age that is still too young, gender, and behavior that is not positive. apart from being an obstacle in efforts to improve road safety culture, driving safety must be realized starting from the behavior of an individual and being supported by every other road user. 2. causes of accidents based on vehicle factors in this study according to table 2, complete vehicle factor data were obtained from as many as 89 respondents (61%). this is evidenced in research conducted by rakhmani which was conducted on 315 respondents, the results obtained were 20.6% who had accidents caused by vehicle factors (setyowati, d. l., firdaus, a. r., rohmah, n., masyarakat, f. k., & mulawarman, 2018). according to researchers, motorized vehicles as a result of the production of a factory have been designed with a safety factor value to ensure safety for the driver, even though the vehicle should still be maintained in good condition in order to provide security for the driver. a complete vehicle is a vehicle that has the appropriate vehicle equipment, such as mirrors, the condition of the vehicle which is always checked periodically, and an unmodified vehicle that does not comply with the rules. 3. causes of accidents based on environmental factors based on table 3 above, the results obtained are 129 respondents (88.4%) indicating a good wahyuni, haryanto, ibnu, analysis of factors related to traffic accidents … 103 environment (road conditions). environmental factors also contribute to a large number of accidents so that this should be used as a reference to minimize the occurrence of traffic accidents because we cannot predict how the environment around us is, both road and weather conditions. damaged road conditions can cause traffic accidents besides unstable weather factors can also cause accidents, for example when the weather is sunny the driver of the vehicle tends to be more negligent than the rainy weather, when it is raining the vehicle driver tends to be more careful while the weather is sunny and the surroundings are not too crowded, drivers tend to drive their vehicle at high speed and ignore the surrounding signs. based on the results of the analysis, which was carried out at the rtmc ditlantas polda jatim which is included in the load factor as a cause of traffic accidents, is the environment and conditions of damaged roads, holes, geographical slopes, bends, inclines, and derivatives of dangerous roads and street lighting(umi enggarsasi, 2017). according to the researcher, although the percentage is very small, environmental factors also contribute to the number of accidents, so this should still be used as a reference to minimize the occurrence of accidents because we cannot predict how the environment around us will be, whether road or weather conditions. damaged road conditions can cause traffic accidents, besides unstable weather factors can also cause accidents, for example when the weather is sunny the vehicle driver tends to be more negligent than rainy weather, when it rains the vehicle driver tends to be more careful while when the weather is sunny and the surrounding conditions are not too crowded, the driver tends to drive his vehicle at high speed and ignore the surrounding signs. conclusion several factors can influence the incidence of accidents, namely: human factors, vehicle factors, and environmental factors. from the results of research conducted at smk taman siswamojokerto in may-august 2020, the factors causing the highest accidents were human factors with negative behavior, environmental factors based on road conditions, lighting and light and vehicle factors that caused traffic accidents. suggestion it is expected that health workers are able to provide health promotion to individuals who have risk factors for experiencing accidents in order to carry out risk factor management early on and provide appropriate education to overcome the risk of accidents. acknowledgment the author expresses his sincere gratitude to ki. willibrordus widya christanto, s.e as the principal of smk taman siswa mojokerto mojokerto regency who has given permission to researchers to conduct a preliminary study. dr. muhammad sajidin, s.kp, m.kes as head of stikes healthy development ppni mojokerto regency. lecturers and students of stikes bina sehat ppni mojokerto regency who helped in this research. respondents who have taken the time and worked together to provide the data needed by the researcher. reference al-thaifani, a. a., al-rabeei, n. a., & dallak, a. m. (2016). study of the injured persons and the injury pattern in road traffic accident in sana a city , yemen, 2016, 5 annisa hidayati, l. y. h. (2015). analisis risiko kecelakaan lalu lintas berdasar pengetahuan, penggunaan jalur, dan kecepatan berkendaraecepatan, d a n analysis, risk ua, f k m epidemiologi, departemen ua, f k m, (july 2016), 275— 287.https://doi.org/10.20473/jbe.v4i2.2016 .275 hidayat. (2011). metode penelitian dan teknik analisa data. jakarta: salemba medika badan intelejen negara republik indonesia. (2013). kecelakaan lalu lintas kepala kepolisian negara republik indonesia. (2013). berita negara republik indonesia rencana umum nasional keselamatan (runk) jalan. (2011). in rencana umum nasional keselamatan (runk) jalan 2011 2035 jasmen manurung, mido ester sitorus, r. (2019). faktor yang berhubungan dengan perilaku safety riding pengemudi ojek online (gojek) di kota medan sumatera utara, 1 nomor 2, 91—99 margie peden, r. s., david sleet, d. m., adnan a. hyder, e. j., & mathers, and c. (2016). world report on road traffic injury prevention notoadmojo. (2012). metediologi penelitian kesehatan. yogyakarta: rineka cipta nursalam. (2008). konsep dan penerapan 104 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 099-104 metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika nursalam. (2015). metediologi ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika prima, d. w., kurniawan, b., masyarakat, f. k., & diponegoro, u. (2015). faktor-faktor yang berhubungan terhadap perilaku safety riding pada mahasiswa, 3(april), 370—381 putrisna, d., gigy, d., setyobudi, a., & tira, d. s. (2019). faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko kecelakaan lalu lintas pada siswa sma di kota kupang tahun 2019 ( studi kasus pada sman 3 , sman 7 , smkn 2 kota kupang ) fakultas kesehatan masyarakat universitas nusa cendana fakultas kesehatan masyarakat -, 1, 140— 146 riset kesehatan dasar. (2013) riset kesehatan dasar. (2018). hasil utama riskesdas 2018 saryono. (2013). metode penelitian kuatitatif dan kualitatif. yogyakarta: nuha medika setiadi. (2013). konsep dan penulisan riset keperawatan. yogyakarta: nuha medika setyowati, d. l., firdaus, a. r., rohmah, n., masyarakat, f. k., & mulawarman, u. (2018). factor cause of road accidents at senior high school students in samarinda, (march).https://doi.org/10.20473/ijosh.v7i 3.2018.329 sinta e. manopo, grace d. kandou, l. f. s. (2018). kesehatan dan keselamatan kerja yaitu untuk pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja , dengan tujuan agar tenaga kerja memiliki merupakan suatu aspek tenaga kerja yang diatur dalam undang-undang no . 13 tahun ketahanan fisik , daya kerja dan tingkat k, 7(5) sugiyono. (2013). metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. bandung: alpa beta umi enggarsasi, n. k. s. (2017). kajian terhadap faktor-faktor, 22(3), 228—237 world health organization. (2018). global status report on road safety 2018 389astutik, felisitas, factors influence risk of dementia in elderly factors influence risk of dementia in elderly nanik dwi astutik1, sr. felisitas2 1prodi s-i keperawatan, sekolah tinggi ilmu kesehatan panti waluya malang, indonesia 2prodi d-iii keperawatan, sekolah tinggi ilmu kesehatan panti waluya malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 27/04/2020 accepted, 12/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: elderly, factors, dementia article information abstract the population of elderly globally is predicted continue to increase. the number of dementia cases in indonesia reaches 1 million cases with an increase in the average life expectancy of indonesians. who estimated that by 2050 cases of dementia will increase drastically, from currently around 36 million to more than 115 million. in 2011 the number of dementia cases in indonesia showed 1 million people which will increase due to high average life expectancy continue to increase. this caused in the quality of life for the sufferer decrease which potentially became a big problem especially for developing countries that were not ready to handle large amounts of the need for treatment. factors influence the risk of dementia were divided into 3 domain factors cardiovascular risk factors, lifestyle risk factors and other risks. the purpose of this research analyzed factors that affect the risk of dementia among elderly in the elderly posyandu, tajinan puskesmas work area malang district. this research was cross sectional research methods. the sample unit in this research was elderly who actively join elderly posyandu in tajinan puskesmas, malang district. sample count 30 using proportionate stratified random sampling technique the data analysis used spss software with logistics regression analysis tests. the results of this research showed that respondents who had high blood pressure had a chance of 23.9 times higher risk of cognitive problem compared to respondents who had normal blood pressure. this research also employed research articles, reports on research and teaching materials as the reference. the research recommends for elderly to maintain their health status especially blood pressure and emotions to prevent the occurrence of cognitive function/dementia. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes panti waluya malang – east java, malang p-issn : 2355-052x email: nanikd79@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p389–397 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 389 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p389-397&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p389-397 390 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 389–397 introduction dementia was a neurocognitive disease that counts with a decline in intellectual abilities including memory, orientation, language, comprehension, and prediction. (toh etal., 2016). cognitive decline in dementia usually starts with memory or recall deterioration (prince,2013). it is estimated by who that by 2050 dementia cases will increase from the current 36 million to more than 115 million. in 2011 the number of dementia cases in indonesia was 1 million people which will potentially increase due to high increase of average life expectancy. the absence of reporting of dementia incidents is due to the public’s ignorance about factors which caused of dementia and make this became iceberg phenomenon. this results the qua lity of life for sufferer s decrea se which potentially became big problem, especially for developing countries that were not ready to handle the large number of treatment needed. (kemenkes, 2014). the factors that affect risk of dementia were divided into 3 factors cardiovascular risk factors, lifestyle r isk fa ctors a nd other risk fa ctor s. cardiovascular risk factors explain about diabetes, mid-life obesity, mid-life hypertension, and hyperlipidemia; lifestyle risk factors explaining smoking, physical a ctivity, diet, a nd socia l engagement; and other risk factors were level of formal education, depression, and sleep. the risk factors above cause neurotransmitters to be inhibited so that cholinergic and dopaminergic production s also inhibited which causes little acetylcholine production, resulting in deficits in cognitive function (a.robles, b & sampedro, g, 2018). the national strategy objective realize of dementia prevention towards healthy and productive elderly people. one of the seven steps of action for the na tiona l str a tegic objectives wa s the implementation of early detection, diagnosis and holistic management of cognitive problems and dementia. (kemenkes ri, 2015). preliminary data fr om this r esea r ch ca n contr ibute to the development of current global issues related to the increase in dementia in elderly and help realize one of steps in the four th na tiona l str ategy for overcoming dementia, were the implementation of early detection, diagnosis and holistic management of cognitive problems and dementia. this study did not intervene or treat the independent variable to the dependent variable. but to get data on what factors can affect the risk of dementia in the elderly. this data was expected to contribute to government programs. in indonesia, there still few research on dementia, especially the analysis of the factors that influence the risk of dementia. in the research field, there has never been a screening of the risk of dementia in the elderly. the researchers were interested in conducting research with the topic of analyzing factors that affect risk of dementia. methods this research used an analytical research design with a cross sectional research method, that emphasizes the observation of independent and dependent variable in the same time. this research was conducted on the elderly to see the effect of degenerative diseases on the incidence of risk of dementia in the elderly located in the tajinan puskesmas work area malang district. in the early stages, the researcher coordinated a nd ha ndle the per mission a spect with the community health center (puskesmas). the researcher with the puskesmas nurses will met the elderly at the elderly posyandu. from this activity the researchers got data on the elderly, and started distribute the questionnaires. if the data collection did not finish until the posyandu activity over, the researcher contracted a time to come to the elderly’s house. t his r esea r ch wa s conducted fr om september 2019 to february 2020. the population in this research were all elderly who were registered in the posyandu for the elderly in tajinan puskesmas work area, malang district. the sampling technique in this research was the elderly who were actively participating in the elderly posyandu. the independent variables in this research were the factors that affect the risk of dementia in the elderly, while the dependent variable was the risk of dementia in the elderly. the sample in this research with total 30 samples and data was collected in november 2019. the data used in this research were primary data which analyzed using spss 20 for windows. in univariate analysis, all variables were analyzed using descr iptive a na lysis. da ta on the characteristics of respondents include age, gender, marital status, education, occupation, were analyzed 391astutik, felisitas, factors influence risk of dementia in elderly no characteristics total (n) percentage (%) 1 gender a. male 2 6,7 b. female 28 93,3 2 education a. uneducated 3 10,0 b. elementary school 17 56,6 c. junior school 5 16,7 d. high school 5 16,7 3 age (years) a. 45-59 14 46,7 b. 60-74 14 46,7 c. 75-90 2 6,6 4 occupation a. private 2 6,7 b. labor 2 6,7 c. housewife 18 60,0 d. retired 8 26,6 5 marital status a. married 19 63,4 b. widow 11 50 6 vital sign a. normal 18 60,0 b. not normal 12 40,0 7 activity involvement a. active 29 96,7 b. inactive 1 3,3 8 illness a. yes 1 3,3 b. no 29 96,7 9 head injury a. ever 3 10,0 b. never 27 90,0 10 sadness a. yes 4 13,3 b. no 26 86,7 11 sleep difficulty a. yes 18 60,0 b. no 12 40,0 12 independence activity a. yes 1 3,3 b. no 29 96,7 13. commorbidities a. hipertention 11 57,9 b. diabetes mellitus 2 10,5 c. heart disease 6 31,6 14 duration of illness a. < 1year 10 52,6 b. 1-5 years 6 31,6 c. > 5year 3 15,8 table 1 respondent characteristics 392 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 389–397 and presented in the form of a frequency table where the existing scores were calculated and entered in the table in the form of numbers (frequency) and percentage. the bivariate analysis for hypothesis testing used a non-parametric statistical test the bier logistic regression test with spss20 for windows. results based on table 1, showed that most of the respondents were female (93.5%), with total of 28. a total of 14 respondents (46.7%) were between 45 59 years old and 14 respondents (46.7%) were between 60 74 years old. a total of 17 respondents (56.6) had the latest elementary education level and most of the 18 respondents (60%) did not work or were only housewives. a total of 19 respondents (63.4%) were married. most of the respondents, a total of 18 respondents (60%), were examined for normal vital signs, most of the 29 respondents (96. 7%) actively par ticipa ted in community activities. most of the 29 respondents (96.7%) did not smoke, a number of 27 respondents (90%) have never experienced a head injury, most of the respondents a total of 26 respondents (86.7%) were currently not feeling sad, most of the respondents a number of 18 respondents (60%) have sleep difficulty. mostly 29 respondents (96.7)% did not do activities independently. most of the respondents 11 (57.9%) suffered from hypertension / high blood pressure and most of the respondents 10 (52.6%) suffered from the disease experienced for <1 year. distribution of respondents’ cognitive function frequency cognitive function was divided into two categories, were normal and probable cognitive impairment. the results showed that the average cognitive function in the normal category was 29, while in the proba ble categor y of cognitive impairment was 22. in the normal category, the minimum score was 26 and the maximum score was 30. in the probable cognitive impairment category, the minimum score was 21 and the maximum score up to 23. more detailed information can be seen in table 2. variable normal mean probable cognitive impairment mean minimum-maximum minimum-maximum fungsi kognitif 26-30 29 21-23 22 table 2 frequency distribution of cognitive functions normal and probable categories of disorders cognitive frequency distribution of cognitive functions based on independent variables the independent variable frequency distribution consisting of vita l signs, idea l body weight, community activeness, smoking habits, head injury, sadness, sleep difficulty, independent activity, and illness conditions can be seen in table 3. based on the results of the research in table 3, showed that the proportion of respondents with probable cognitive impairment who had abnormal vital signs is 54.5%, while those who had normal vital sign were 5.3%. the proportion of respondents with a probable cognitive impairment who were overweight or obese category was 54.5%, while those who had normal weight category were 22.0%. the proportion of respondents with a probable cognitive impairment who was not active in the community was 50.0%, while those who were active in the community were 21.4%. the proportion of respondents with a probable cognitive impairment who had a smoking habit was 0%, while those who did not smoke were 24.1%. the proportion of respondents with a probable cognitive impairment who experienced a head injury was 66.7%, while those who did not experience a hea d injury wer e 18.5%. the pr opor tion of respondents with a probable cognitive impairment who was sad was 50.0%, while those who were not sad were 19.2%. the proportion of respondents with a pr oba ble cognitive impa ir ment who experienced sleep difficulty was 27.8%, while those who did not sleep difficulty was 16.7%. the proportion of respondents with a probable cognitive impairment who was unable to carry out activities independently was 0%, while those who were able to move independently were 24.1%. the proportion 393astutik, felisitas, factors influence risk of dementia in elderly table 3 frequency distribution of cognitive functions based on independent variables vital signs ideal weight community activity smoking habit head injury sadness sleep difficulty independent activities illness conditions  normal  not normal  normal  overweight/obesity  active  inactive  not smoking  smoking  yes  no  yes  no  yes  no  independent  not independent  no  yes 18 5 14 9 22 1 22 1 22 1 21 2 10 13 22 1 10 13 94,7 45,5 77,8 75,0 78,6 50,0 75,9 100,0 81,5 33,3 80,8 50,0 83,3 72,2 75,9 100,0 90,9 68,4 1 6 4 3 6 1 7 0 5 2 5 2 2 5 7 0 1 6 5,3 54,5 22,2 25,0 21,4 50,0 24,1 0,0 18,5 66,7 19,2 50,0 16,7 27,8 24,1 0,0 9,1 31,6 normal variable probable cognitive impairment n % n % variable n mean sd min-max sistole blood pressure  normal 23 131 16,230 110-166  probable cognitive impairment 7 158 17,920 135-184 diastole blood pressure  normal 23 83 12,064 60-108  probable cognitive impairment 7 92 14,542 70-114 pulse  normal 23 81 5,451 62-89  probable cognitive impairment 7 84 9,013 74-102 rr  normal 23 19 0,668 19-22  probable cognitive impairment 7 20 0,378 20-21 table 4 overview of blood pressure, pulse, and rr in each cognitive function of respondents with a probable cognitive impairment who was illness was 31.6%, while those who were not illness were 9.1%. table 4 showed that the average systolic blood pressure in respondents with cognitive in the probable cognitive impairment category was higher than respondents with normal cognitive category, were 158 mmhg with a standard deviation of 17.920 where the lowest systolic blood pressure was 135 mmhg and the highest was 184 mmhg. the mean of diastolic blood pressure in respondents with cognitive function in the pr oba ble cognitive impairment category was higher than those with normal cognitive function categories, were 92 mmhg with a standard deviation of 14.542 where the lowest diastolic blood pressure was 70 mmhg and the highest was 114 mmhg. the average pulse rate of respondents with cognitive function in the probable category of cognitive impairment was higher than respondents with cognitive function in the normal category, were 84 times per minute with a standard deviation of 9.013 where the lowest pulse was 74 times per minute and the highest was 102 times per minute. average respiration (rr) of respondents with cognitive function in the probable cognitive impairment category was higher than respondents with normal cognitive function, were 20 times per minute with a standard deviation of 0.378 where the lowest rr was 20 times per minute and the highest was 21 times per minute. 394 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 389–397 based on the results of the research in table 5, it can be seen that the proportion of respondents with a probable cognitive impairment has a duration of illness from 1 to 5 years of 50.0%, while the duration of illness less than 1 year was 11.2%. the correlation between the independent variable and the dependent variable bivariate analysis was carried out to determine the correlation of the dependent variable (cognitive function) with nine independent variables consisting of vital sign, ideal weight, community activeness, smoking habits, head injury, feeling sad, sleep difficulty, independent activities, and illness conditions. in this analysis, the statistical test used was simple logistic regression with a significance level of 95%. the results of the analysis were said to be significantly related if the p value was <0.05. variable normal % probable cognitive problem % illness  < 1 year 8 88,8 1 11,2 duration  1-5 years 5 50,0 5 50,0 table 5 overview of illness duration table 6 the correlation between independent variables and cognitive function vital signs ideal weight community activity smoking habit head injury sadness sleep difficulty independent activities illness conditions  normal  not normal  normal  overweight/obesity  active  inactive  not smoking  smoking  yes  no  yes  no  yes  no  independent  not independent  no  yes 94,7 45,5 77,8 75,0 78,6 50,0 75,9 100,0 81,5 33,3 80,8 50,0 83,3 72,2 75,9 100,0 90,9 68,4 5,3 54,5 22,2 25,0 21,4 50,0 24,1 0,0 18,5 66,7 19,2 50,0 16,7 27,8 24,1 0,0 9,1 31,6 normal variable % % probable cognitive impairment pvalue or 95% ci 0,010 0,860 0,382 0,100 0,199 0,485 0,187 21,6 1,1 3,6 1 8,7 4,2 1,9 1 4,6 2,0-223,6 0,2-6,4 1,1-67,6 0,6-117,2 0,4-37,4 0,3-12,0 0,4-44,7 correlation between vital sign and cognitive function the results of the analysis of the correlation between vital sign and cognitive function showed that respondents with abnormal vital sign had a 21.6 times proba bility of exper iencing cognitive impairment (95% ci; 2.0 223.6) compared to respondents who had normal vital sign. 395astutik, felisitas, factors influence risk of dementia in elderly correlation between ideal weight and cognitive function the results of the analysis of the correlation between ideal weight and cognitive function showed that respondents with overweight or obesity had the odds of experiencing 1.1 times probable cognitive impairment (95% ci; 0.2 6.4) than respondents who had normal weight. correlation of activity in society with cognitive function the results of the analysis of the correlation between community activeness and cognitive function showed that respondents who were not active in the community had the odds of experiencing cognitive impairment 3.6 times (95% ci; 1.1 67.6) than respondents who were active in the community. the correlation between smoking habits and cognitive function the results of the analysis of the correlation between smoking habits and cognitive function showed that respondents who smoked had 1 time the probability of experiencing cognitive impairment compared to respondents who did not smoke. the correlation between head injury with cognitive function the results of the analysis of the correlation between head injury and cognitive function showed that respondents who had a head injury had a probability of experiencing a cognitive impairment 8.7 times (95% ci; 0.6 117.2) than those who had no head injury. the correlation between sadness with cognitive function the results of the analysis of the correlation between sadness and cognitive function showed that respondents who experienced sadness had the odds of experiencing cognitive impairment 4.2 times (95% ci; 0.4 37.4) than those who did not experience sadness. sleep difficulty correlation with cognitive function the results of the analysis of the sleep difficulty correlation with cognitive function showed that respondents who experienced sleep difficulty had a 1.9 times probability of experiencing cognitive impairment (95% ci; 0.3 12.0) than those who did not experience sleep difficulty. the correlation between independent activity with cognitive function the results of the analysis of the correlation between independent activity and cognitive function showed that respondents who were unable to carry out activities independently ha d the odds of experiencing probable interference cognitive 1 time than those who were able to move independently. the correlation between illness condition with cognitive function the results of the analysis of the correlation between illness and cognitive function showed that respondents who were in a illness condition had a 4.6 times probability of experiencing cognitive impairment (95% ci; 0.4 44.7) than those who were not in a illness condition. based on the results of the final model of multivariable analysis, it was known that the variable that has a significant correlation with cognitive function is vital sign. meanwhile, the variable head injury, sadness, independent activity, illness condition were confounding variables. vital sign was a variable related to cognitive function after being controlled by head injury variables, sadness, independent activity, and illness condition. this was mean that variable b pvalue or 95% ci not normal vital sign 3,175 0,018 23,9 1,7-335,0 experiencing head injury 2,159 0,246 8,6 00,2-331,8 sadness 1,847 0,254 6,3 00,2-151,5 not independent 0 1 illness 0,467 0,742 1,5 0,0-25,9 table 7 final model of cognitive function determinant 396 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 389–397 after being controlled by a head injury, sadness, independent activity, and illness conditions, respondents who had abnormal vital sign had 23.9 times higher chance of experiencing probable cognitive impairment than respondents who had normal vital sign. discussion elderly health status t he fir st sta ge in modelling to find the determinant factor was the identification of potential covariates which was done by making a logistic regression ana lysis of ea ch covaria te on the dependent variable. covariates with p value <0.25 were covar iate candida tes for entr y into the multivariate model. the p value limitation was 0.25 apart from being based on the p value, considerations according to the scientific substance must be included in the multivariate model, the covariate was still included in the model even though the p value was > 0.25. elderly health which can be a risk factor for dementia, were vital sign examination results, ideal weight, community activeness, smoking habits, never having had a head injury, sadness, sleep difficulty, activity, and illness. after analysing, table 5.5 shows that the variables of ideal weight, activity in society, and sleep difficulty have p value> 0.25. so that only six covariate variables were included in the multivariate model, were the results of vital sign examination, smoking habits, never having had a head injury, sadness, activity, and illness. elderly cognitive function using mmse based on table 1, the frequency distribution of cognitive function in normal and probable categories of cognitive disorders showed that cognitive function was divided into two categories, were normal and probable cognitive disorders. the results showed that the average cognitive function in the normal category was 29, while in the probable category of cognitive impairment was 22. in the normal category, the minimum score was 26 and the maximum value was 30. in the probable cognitive impairment category, the minimum score was 21 and the maximum value 23. this showed that most of the elderly have cognitive function within normal limits, while a small proportion of the elderly have probable cognitive impairment. factors that influence the risk of dementia in the elderly the results of the research showed that the elderly found several factors that affect the cognitive function of the elderly, were vital signs, especially blood pressure, having experienced a injury in the head, sadness, dependence on other people / not independent and were exper iencing a illness condition. from the research results, it was found that from several of these factors, there was one variable / factor that had a significant correlation with cognitive function, were vital signs, especially abnormal blood pressure, where the results of statistical analysis tests obtained a value of 0.018 <0.05. this was mean that respondents who had abnormal (high) blood pressure were 23.9 times more likely to experience probable cognitive impairment than respondents who have blood pressure within normal limits. this was in line with what was stated (buchman, a. s, 2010) that changes in blood pressure were known because of the effects of white matter hyperintensities, intima media thickness and carotid artery atherosclerosis. recent evidence showed hypertension to be the most important factor in the pathological decline in cognitive function. meanwhile, for a sadness, even though the p-value was 0.254> 0.05, which means that emotional sadness was not associated with a significant risk factor for cognitive decline, but in theory it was explained that sadness or anxiety that occurs especially at the end of life of the elderly influenced risk. increase in cortisol and inhibit neurotransmitters in producing cholinergic and dopaminergic which causes a little production of acetylcholine resulting in deficits in cognitive function (bherer, l, 2013) so this can be a concern so that this condition did not last long which can result in changes in mood or mental status elderly who later can lead to a condition of depression which will have a n impact on decr ea sed cognitive function. depr ession in the elder ly ca n cha nge the composition of the brain organs that impact on brain function itself. elongated anxiety and frailty were important factors that cause the elderly to fall into depression. the variable regarding the experience of a injury to the head has a p-value of 0.254> 0.05 which means that the history of a injury on the head was not associated with risk factors for cognitive decline in the elderly, although in theory it was 397astutik, felisitas, factors influence risk of dementia in elderly explained that trauma to the brain can cause the risk of cognitive decline and dementia. . this trauma can cause injury to the part of the brain that functions as memory and recall (hippocampus) but if the head trauma has healed and was supported by other fa ctor s such a s the elder ly being a ctive / independent, not smoking and having good mental status, it can reduce the risk of cognitive decline (clare, l.& woods. b, 2004). conclusion factors that influence dementia in the elderly were the results of vital sign examination, smoking habits, never having had a head injury, sadness, activity, and illness. vital sign examination, especially the blood pressure was a contributing factor in the incidence of dementia in the elderly suggestion the elderly need to maintain their health status, especially blood pressure and emotions to prevent cognitive impairment or dementia. reference a.robles, b & sampedro, g. (2018). new evidence of the relative protective effects of neurodegenerative diseases and cancer against each other. neurologia. doi:10.1016/j.nrleng.2017.01.011 bherer, l., erickson, k., & liu, t. (2013). a review of the effects of physical activity and exercise on cognitive and brain functions in older adults. journal of aging research, 1-8. doi: 10.1155/2013/657508 boyle, p. a., buchman, a. s., wilson, r. s., leurgans, s. e., & bennett, d. a. (2010b). physical frailty is associated with incident mild cognitive impairment in community-based older persons. j am geriatr soc,58(2), 248-255. doi: 10.1111/j.1532 – 5415. 2009.02671.x clare, l., & woods, b. (2004). cognitive training and cognitive rehabilitation for people with early stage alzheimer’s disease: a review neuropsychological rehabilitation. cochrane database syst rev, 14(4), 385-401. kemenkes ri. profil kesehatan indonesia tahun 2014. jakarta: kemenkes ri: 2015 price, s.a wilson, l.m. (2013). patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. edisi vi jakarta: egc. toh, h. m., ghazali, s. e., & subramaniam, p. (2016). review article the acceptability and usefulness of cognitive stimulation therapy for older adults with dementia : a narrative review. international journal of alzheimer’s disease, 1-11. doi: 10.1155/2016/ 5131570 e:\2021\ners april 2021\7-jurna 43handayani, fitrianingtyas, the description of lipid profile on injectable dmpa contraception acceptors in ... ... the description of lipid profile on injectable dmpa contraception acceptors in public health center banjarsengon, jember district ririn handayani1, rizki fitrianingtyas2 1,2departement of nursing, stikes dr. soebandi jember, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 08/11/2020 accepted, 09/11/2020 published, 05/04/2021 keywords: injectable dmpa, lipid profile article information abstract injectable dmpa contraception can cause changes in lipoprotein metabolism. changes in fat metabolism occur because of the hormonal influence of progesterone, causing disruption of the balance of lipid profiles in the body. the change in serum lipid profile (trgliseride, total cholesterol, hdl and ldl) in long-term use of dmpa is a risk factor for atherosclerosis and cardiovascular disease. the purpose of this study was to look at the description of the lipid profile at 3 months injection acceptors. the design of the study was descriptive. the population in this study was 76, the number of samples that met the inclusion and exclusion criteria in this study was 30. examination of the lipid profile was carried out with an enzymatic colorimetric (cholesterol oxidase method / chod pap). the results of lipid profile examination showed that 13.33% had high cholesterol levels, 3.33% had high triglyceride levels, 13.33% had high hdl levels, 20% had high ldl levels and 3.33% have very high ldl levels. the conclusion of this study was long term use of dmpa injection contraception could cause changes in the lipid profile, so it is recommended for acceptors who want to use contraception in the long term to use mkjp as an option so as not to affect the fat profile in the body. 43 correspondence address: stikes dr.soebandi jember– east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: zahraaina12@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p043–048 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p043-048&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p043-048 44 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 43–48 introduction the family planning program (kb) is an effort to regulate birth spacing, determine the ideal distance and age to prepare for childbirth, regulate pregnancy spacing, through promotional activities, care and assistance in accordance with reproductive rights in order to create a quality family (pp ri no. 87 year 2014). the targets in implementing the family planning program are fertile age couples (pus). what is called fertile age couples (pus) is a husband and wife whose wife is between 15 and 49 years old (bkkbn, 2011). the number of active fp participants in 2017 was 63.22%, while those who never used fp was 18.63%. based on the pattern in choosing the type of contraception, the majority of active contraceptives chose injections and pills as contraceptives, even more dominant (more than 80%) compared to other methods; injections (62.77%) and pills (17.24%) (kemenkes ri, 2018). according to data from the family health section, the number of couples of childbearing ages in the jember regency area in 2016 was recorded at 411,230 people. of the total pus, the coverage of new family planning participants was 38,114 or 9.3% and active family planning participants reached 353,403 people (85.9%). while the coverage of family planning participants according to the type / contraceptive used in 2016, the highest percentage of contraceptive use by participants was injection contraceptive at 51.6% and the least used contraceptives were mop (1.1%), vaginal medicine (1,1%) and mow (1.2%) (dinkes, 2017). dmpa (depot medr oxy pr ogester one asetate) injecta ble contraceptives ca n ca use changes in lipoprotein metabolism, an increase in body mass can occur due to different fat profiles under normal conditions. dmpa (depot medroxy progesterone asetate) will increase serum fat so that it will have an impact on weight gain (bakry and abdullah, 2008). similar study also shows the same thing, namely study on the effect of using hormonal contraception on weight gain shows that injection contraceptive use significantly increases the risk of weight gain (yuniastuti, 2011). to improve family planning and reproductive health services, the government established a pkbpk (population, family planning & development program) program.with the target of implementing the population, family planning and family development programs at all regional levels. population and family planning development policies and strategies can be pursued by improving access and quality of family planning services that are evenly distributed in every region and community group and through 8 population development and family planning strategies. one of the 8 strategies states that improving family planning services is carried out by using mkjp to reduce the risk of drop-out and use of non-mkjp by providing continuous information for the sustainability of family planning participation and with indicators of increasing use of mkjp. (hogsi, 2018) yadav (2011), in his study on the effect of longterm use of dmpa on lipid metabolism in 60 women in nepal who had used it for more than 2 years showed that the levels of triglycerides, total cholesterol and low densities lipoprotein (ldl) were higher than non-acceptors, while the levels of high densities lipoprotein (hdl) decreased. because of this, it can be concluded that dmpa can cause changes in lipid metabolism which can increase the risk of cardiovascular disease (heart disease). changes in fat metabolism occur due to the influence of the hormonal progesterone, which causes disruption of the balance of the lipid profile in the body. changes in serum lipid profiles (triglycerides, total cholesterol, hdl and ldl) on long-term use of dmpa are a risk factor for atherosclerosis (fat accumulation in the artery walls) and cardiovascular disease. increased levels of triglycerides, total cholesterol, ldl and decreased hdl and increased excess body weight are the diagnostic criteria for metabolic syndrome that can increase the incidence of type ii and cardiovascular diabetes mellitus. therefore, lipid profile is the best predictor of metabolic syndrome. fr om a preliminar y study that has been conducted by studyers of 10 3 months injection family planning acceptors, 7 of them used injectable contraception for 3 months for more than 3 years. therefore, studyers are interested in knowing the description of the lipid profile of injection users with dmpa (depo medroxy progeserone acetate) in the working area of the banjar sengon community health center, jember regency. methods t his type of study wa s a qua ntita tive descriptive study. the analysis used distribution, frequency and percentage. the variable was the 45handayani, fitrianingtyas, the description of lipid profile on injectable dmpa contraception acceptors in ... ... based on table 1, it can be seen that there are 6 respondents (20%) who accept dmpa injection with a duration of use <1 year, 9 respondents (30%) who use 1-3 years (30%) and those using> 3 years are 15 respondents (50%). based on table 2, it can be seen that the 3 months injection family planning acceptors who have cholesterol levels within the high limit are as many as 4 r espondents (13.33%), there is 1 respondent (3.33%) who has triglyceride levels in the high limit category, while for levels there are 9 hdl respondents (30%) who have low hdl categories and 4 respondents (13.33) who have high hdl categories, for ldl levels that have been checked there are 14 respondents (46.6%) with ldl levels near optimal, 6 respondents (20%) had high ldl levels and 1 respondent (3.33) had high ldl categories. discussion most of the respondents in this study were acceptors of 3-month injection with a duration of more than 3 years of use, as much as 50%. several description of the lipid profile of users who inject dmpa (depo medroxy progeserone acetate). the population in this study was all 3 months injection family planning (dmpa) acceptors at integrated healthcare center alamanda, jumerto village in the working area of the banjar sengon health center, jember regency. the number of samples that met the inclusion and exclusion criteria was 30 respondents. prior to conducting the study, this study has received approval from the ethical clearance of stikes dr. soebandi jember. the data collection process was carried out by taking a sample of the respondent’s blood and then measuring the lipid profile using the enzymatic colorimetric method (chod pap). result no. duration of kb usage amount frequency (%) 1 <1 year 6 20 2 1-3 years 9 30 3 > 3 years 15 50 amount 30 100 table 1 frequency distribution of duration of use of 3-month injectable kb (dmpa) no. checking type amount frequency (%) 1 cholesterol desired < 200 26 86.67 high limit (200-239) 4 13.33 height > 239 0 0.00 2 trigliceride normal < 150 29 96.67 high limit (150-199) 1 3.33 high (200-499) 0 0.00 very high > 500 0 0.00 3 hdl low < 40 9 30.00 height > 60 4 13.33 normal 17 56.67 4 ldl optimal < 100 9 30.00 approaching optimal (100-129) 14 46.67 high limit (130-159) 6 20.00 high (160-189) 1 3.33 very high > 500 0 0 amount 30 100 table 2 lipid profiles of 3-month injection family planning (dmpa) acceptors studies have reported a decrease in total cholesterol (tc), triglyceride (tg), and low-density lipoprotein (ldl-c) cholesterol in dmpa users (yadav, 2011). according to (dilshad et al., 2016) the side effects of excessive progesterone content in the cardiovascular system can cause changes in cholesterol levels. changes in cholesterol levels will increase with age, duration of use of contraception and weight gain. according to studyers, cholesterol levels in respondents varied due to differences in the length of time using contraception. of the 30 r espondents, ther e wer e 4 respondents (13.33%) who had cholesterol levels within the high limit. the results of this study are in accordance with the results of study conducted by wulandari (2019) which states that the longer use of injectable contraceptives for 3 months indicates a tendency for cholesterol levels to be above normal. most of 12 r espondents (48%) ha d nor ma l cholesterol levels and 7 respondents (28%) had cholesterol levels that were above normal for 3 months for 3 months for 3-6 years. while the duration of use of contraception with a usage period of  6 years, as many as 6 respondents (24%) had cholesterol levels above normal. 46 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 43–48 long-ter m and r egular use of injectable contraceptives for 3 months can result in the accumulation and influence of the accumulation of these hormones which can cause fat metabolism to increase (utami, 2015). one of the disadvantages of using dmpa injection contraceptive is that there is a change in serum lipids where cholesterol levels increase in long-term use (saifuddin, 2006). in addition to an increase in cholesterol levels, ther e wa s 1 r espondent (3. 33%) who ha d triglyceride levels in the high limit category. the results of this study are in accordance with the results of study conducted by hartiti (2010) which states that the longer the use of dpma injectable kb, the higher the water content in the blood as indicated by the increase in body weight and the longer using dpma injectable kb the fat levels in the blood are also increased which is indicated by increased levels of triglycerides in the blood. tr iglycerides play a role in risk factor s for atherosclerosis and coronary heart disease (chd) when accompanied by decreased hdl levels. a similar study was also conducted by sanger, et al (2008) regarding the effect of dmpa on the lipid pr ofile showing that triglyceride levels decreased at 1 month after giving dmpa but not significantly, after 3 months of dmpa administration there was a significant decrease in triglyceride levels and at 6, 9, 12 months the triglyceride levels increased again but it was not statistically significant. in this study, the results showed an average increase in triglyceride levels at 6 months after dmpa administration (94.60 mg / dl). so, the studyers concluded that the possible increase in triglyceride levels in this study was also due to the use of 3 months injection contraception for a long period of time. to anticipate some problems related to the side effects of long-term use of dmpa, especially those related to the lipid profile, respondents should be advised to use longterm contraceptive methods as an alternative to delaying pregnancy and routine lipid profile checks on all dmpa acceptors of contraception in the long term are necessary. . many experts argue that the use of dmpa does not cause changes in lipid metabolism, but in fact many studies have found changes in serum lipid profiles (total cholesterol, hdl, ldl, triglycerides) in long-term use of dmpa (sanger, 2008). in this study also found changes in hdl and ldl in the respondents who had been sampled. for hdl levels, it was found that 9 respondents (30%) had low hdl categories and 4 respondents (13.33) who had high hdl categories, while 14 respondents (46.6%) had ldl levels with high hdl levels. category close to optimal, 6 respondents (20%) who had high ldl levels and 1 respondent (3.33) had high ldl categories. based on study conducted by bakry (2009), he examined dmpa acceptors, before contraceptive use and after 1, 6, 7, 12 and 13 months of use, it was found that progestins can induce a decrease in all lipid components by about 30% and tend to increase low density lipoproteins. (ldl), and reduce high density lipoprotein (hdl) by a bout 15%. t hese findings ma y indica te a disadvantage for long-term 3-month injection family planning (dmpa) acceptors. accor ding to the theor y the effect of glucocorticoids on dmpa is to increase lipolysis. lipolysis (hydrolysis) is the process of breaking down triglycerides through diacylglycerols into monoacylglycerols and finally to free fatty acids and glycerol. furthermore, large amounts of free fatty acids are carried to the liver, thereby increasing hepatic triglyceride synthesis and increasing the secretion of very low densities lipoprotein (vldl) by the liver. in a state of insulin resistance, vldl increases in the circulation and will increase ldl because most of the ldl is formed from vldl (botham, km and mayes, 2009). the results of study from fransisca (2020) stated that the ldl level in the dmpa acceptor with a duration of use of more than 3 years was higher than that of the depo medroxyprogesterone acetate acceptor with a duration of use less than 3 years. although it is not statistically significant. the more ldl in the plasma, the less hdl levels.hdl functions to transport free cholesterol from blood vessels and other tissues to the liver and then the liver excretes it through bile so it is also known as cleaning cells. so, it can be concluded that the more ldl increases, the more hdl it clears the cholesterol carried by ldl, causing a decrease in hdl levels in the blood (botham, km and mayes, 2009). a decr ea se in hdl levels in the blood accompanied by an increase in ldl levels can cause dyslipidemia. dyslipidemia is a condition that occurs when the levels of fat in the bloodstream are too high or too low and dyslipidemia is a risk factor for the development of atherosclerosis. 47handayani, fitrianingtyas, the description of lipid profile on injectable dmpa contraception acceptors in ... ... ather oscler osis will r esult in blocka ge a nd accumulation of fat or blood clots (gde ary putra kamajaya, aa wiradewi lestari, 2016). this study was conducted at the time of the covid 19 pandemic, so there is a limitation in this study, which is the minimum number of samples because some respondents refused to become samples due to the covid 19 pandemic and the location of the study was moved to one of the integrated healthcare center which was initially carried out in 1 village due to psbb conditions and an increase in the number of covid 19 cases in the jember district, the public health center limited or minimized contact with patients to minimize the presence of covid 19 transmission by narrowing the study area. conclusion from the results of this study, it was found that 4 months of injection family planning acceptors who had cholesterol levels in the high limit were 4 respondents (13.33%), 1 respondent (3.33%) had triglyceride levels in the high limit category, while hdl levels contained 9 respondents (30%) who have low hdl category and 4 respondents (13.33) who have high hdl category, for ldl levels that have been checked there ar e 14 respondents (46. 6%) with ldl levels nea r optima l, 6 respondents (20%) had high ldl levels and 1 respondent (3.33) had high ldl categories. the variations in the results of examining the lipid profile in this study were influenced by various factors, one of which was the use of 3 months injection contraceptives for a long period of time. suggestion to anticipate some problems related to the side effects of long-term use of dmpa, especially related to the lipid profile, it is better if the related health facilities provide facilities for providing mkjp for respondents and encourage respondents to use long-term contraceptive methods as an alternative to delaying pregnancy and need to do profile checks lipids routinely against all long-ter m dmpa contraceptive acceptors. suggestions for further study are to conduct study on a similar topic with a larger number of samples and provide therapy to overcome changes in lipid profiles as a preventive measure for health workers. references bakry, s and abdullah, a. (2009).effect of depot medroxyprogesteron acetat (dmpa) on body weight and serum lipid profile in adult female rats. th e egypti an journ al of bi ochemist ry a nd moleculer biology, 27, 17–30. bkkbn. (2011). http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/ batasanmdk.aspx botham, km and mayes, p. (2009).metabolisme asilgliserol dan sfingolipid; pengangkutan dan penyimpanan lipid; sintesis, transpor dan ekskresi kolesterol. in b. u. pendit (ed.), biokimia harper (27th ed.). jakarta: buku kedokteran egc. dilshad h, yousuf ri, shoaib mh, jamil s, khatoon h. (2016). cardiovascular disease risk associated with chronic use of depotmedroxy progesterone acetate. am j med sci [internet]. tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1016/j.amjms.2016. 08.007 dinkes.(2017). profil kesehatan kabupaten jember. pemerintah kabupaten jember fransisca, dewi; yanwirasti; anas, eliza.(2020). pengaruh lama pemakaian kontrasepsi epomedroxy progesteron asetat terhadap kadar ldl dan hdl. jurnal endurance : kajian ilmiah problema kesehatan, avalilable online http://ejournal.kopertis10. or.id/index.php/endurance. e-issn 2477-6521 vol 5(1) februari 2020 (91-97) gde ary putra kamajaya, aa wiradewi lestari, i. w. s. y. (2016). hubungan antara profil lipid dan hipertensi pada penderita stroke iskemik.ejurnal medika, 5(11). retrieved from http://ojs.unud.ac.id/index. php/eum hartiti t dan machmudah, (2010) kadar trigliserid pada pemakai dmpa peserta kb di wilayah jatisari, fikkes jurnal keperawatan vol 3 no 2 september 2010: 8287. hogsi.(2018). kebijakan dan strategi program kkbpk dalam meningkatkan pelayanan kesehatan ibu. https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/ 2018.05.07.kaltim.kebijakan_dan_strategi_program__ kkbpk_dalam_peningkatan_kesehatan_ibu_ (diskusi_i_hogsi).pdf kemenkes ri. (2018). riset kesehatan dasar. labdata. litbang.depkes.go.id mia ar, siddiqui ni, islam mn, khan mr. (2005). effects of prolonged use of injectable hormonal contraceptive on serum lipid profile. myemensingh med j. 2005; 14 (1): 19-21 praweti, ni made w; runiari, nengah; ruspawan, i dewa made.(2019). lama pemakaian kontrasepsi suntik depo medroksiprogesteron asetat dengan kadar kolesterol pada akseptor kb. jurnal gema keperawatan vol 12 no 1 juni 2019 saifuddin.(2006). buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. 48 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 43–48 sanger, o.g. (2008). pengaruh suntikan depo medroxy progesteron asetat terhadap profil lipid.indonesian journal of obstetric and gynecology (inajog). inajog.com/index.php/journal/article/view/163 utami, ngesti w; herawati,tutik; saragih, lenni. (2015). lama pemakaian alat kontrasepsi hormonal suntik dmpa dan gangguan kardiovaskuler.jurnal keperawatan terapan, volume 1, no. 1, maret 2015: 25-30 wulandari, pupung c. (2019). gambaran kadar kolesterol pada akseptor kontrasepsi suntik. jaringan laboratorium medis e-issn 2685-8495 vol. 01 no. 02 bulan november tahun 2019. yadav, binod k; dkk.(2011). effects of long-term use of depomedroxyprogesterone acetate on lipid metabolism in nepalese women. korean j lab med 2011;31:95-97 doi 10.3343/kjlm.2011.31.2.95. yuniastuti, tyas a. (2011). pengaruh penggunaan kontrasepsi suntik terhadap berat badan akseptor kb di puskesmas banyudono i kecamatan banyudono kecamatan boyolali. e:\2021\ners agustus\7--jurnal 184 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 184–189 the correlation of mother’s knowledge about breast cancer and sadari attitude on risk age moms mulazimah1, yani ikawati2, merliana klobe3 1,2,3midwifery academy, pgri kediri midwifery academy, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 11/06/2021 accepted, 27/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: knowledge, breast cancer, sadari attitude article information abstract the number of cancer hospitalized patients throughout indonesia increases year by year, as well as the increasing of mortality due to the growth of cancer patient number. in indonesia, it is estimated that 12 out of 100,000 people face breast cancer. there are several factors that cause delays in breast cancer treatment and prevention. eighty percent of sufferers visit a doctor or hospital at an advanced stage. the knowledge factor about breast cancer is an important thing that makes a person determines whether they do early detection or not. early detection of breast cancer in this case is sadari attitude. this research was done to know the correlation of mother’s knowledge levels about breast cancer and sadari attitude at breast cancer risk age moms. this was observational research with cross sectional time approach method. the sample was 80 mothers in badal village, ngadiluwih sub-district, kediri district, east java province. the sampling was selected by quota sampling. respondents with very good knowledge category who did sadari were 26 respondents (32,5%), then respondents with good knowledge category who did sadari were 7 respondents (8,8%), respondents who did as the instruction were 14 respondents (17,5%) and those who did not do sadari were 8 respondents (10%), while in the less good category who did sadari was 1 respondent (1,3%), who did not do sadari 2 respondents (2,5%). the results of the correlation test showed that there was a significant correlation between the level of knowledge about breast cancer and sadari attitude. with the analysis value of chi square (p=0,001 <0,005). © 2021 journal of ners and midwifery 184 correspondence address: akademi keperawatan yatna yuana lebak – banten, indonesia p-issn : 2355-052x email: ekosarma171@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p184–189 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p184-189 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p184-189&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 185mulazimah, ikawati, klobe, the correlation of mother’s knowledge about breast cancer and ... introduction breast cancer is a very serious health problem because the number of sufferers is the highest among cancers in indonesia. breast cancer was also been declared as “the first killer”. breast cancer rate in indonesia reaches 42,1 people per 100 thousand population. breast cancer malignancy in indonesia is the first at ranks. indonesia’s cancer is the eighth in southeast asia and 23rd in asia. in indonesia, the total case of breast cancer is 58,256 cases or 16,7% of the total 348,809 cancer cases with an average death rate of 17 per 100,000 population. however, in several large hospitals it was seen that the frequency of servical cancer is higher than breast cancer (kementerian kesehatan ri, 2017). breast cancer is cancer that accur on breast system. breast cancer is commonly faced by women. men can also get breast cancer, although the probability is smaller with a prevalence of 0,8 per 1,000 population, while for women 3,5 per 1,000 population. the incidence of people with breast carcinoma increases steadily every year from the age of 25 years. the malignancy is rarely found under the age of 25. the highest number is found at the age of 55-64 years (yuli widiyastuti, lucie, yul, n.d.). in east java province, the number of breast cancer sufferers tends to increase each year. the number of data is based on the majority of wowen in the productive age center, namely 20-45 years. on average, those who come for treatment are already at a severe stage, thus reducing the chances of patient to recover (ignatius adiwidjaja, 2018). although the causes of this disease is not known certainty, it is believed that there are some potential that cause it, namely: endocrine factors, environmental factors, and genetic factor. in indonesia, there are several factors that cause the delay in treatment and prevention of breast cancer. 80 % of sufferers visit a doctor or hospital at an advenced stage. other things that are also to be a factor for sufferers are: sufferers are not aware of and do not know about their illness, still believe in traditional medicine, and are afraid of surgery. things as mention above can raise the number and severity of breast cancer sufferers (lubis, 2017). the high morbidity (illness) and mortality (death) caused by the postponement in treatment, because the patient came in an advanced stage. breast cancer patient who came to the oncology surgery section of sanglah central general hospital in 20142016 mostly stage iii and iv were 26,4% (partini, p., 2018). according to harsono, director of dr soetomo hospital. (2017) that 30 percent of cancers can be cured, if it is found and treated early. all types of breast cancer can be prevented, one third of them can be cured if they found at an early stage or an early stage. therefore, the effort to prevent cancer and find cancer at an early stage are impotant efforts, because it can release people from the incidence of cancer, it also reduces the cost of cancer treatment which is relatively expensive. every woman over the age of 20 years is recommended to check her breast by her self (sadari) regularly after menstruation on a certain date every month. with regular sadari, it is hoped that women will be familiar with the normal condition of their own breasts, so that they can find out as early as possible if there are abnormalities in their breasts. life expectancy can increase 85%-95% if the disease is found early (soemitro, m., 2012). the lack of awareness in women to immediately check themselves due to several factors including ignorance, anxiety and fear of finding an abnormalities. while attitudes factors are influenced by knowledge, public attitudes towards health, traditions and beliefs of the community, education level, information and socioeconomic level (purwanto, 2015). knowing this reality, it is known that the mother’s level of knowledge about breast cancer and early detection of breast cancer is very important. if the mother knew that cancer can be detected early, the chances tobe recovered are greater. knowledge factor about breast cancer is an important thing that make someone aware on doing early detection or not. early detection of breast cancer in this case is sadari attitude. method the design of the research was observational research using cross sectional time approach. the data analysis at this reseach used chi square. the sample was 80 women in badal ngadiluwih village, kediri. the sample was selected by quota sampling techinique. result characteristics of respondent based on table 1, it can be seen that most of the respondents (25%) are in the group of 36-40 186 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 184–189 years and a few of the respondents (10%) are aged 55-60. it shows that the age of most respondents is included in the age category of risk of breast cancer. based on table 2. it can be seen that the most of the respondents received high school education (50%) and there are no respondents who do not finish elementary education. with an adequate level of education, respondents are expected to have a very good level of knowledge about breast cancer. based on table 3. above, it can be seen that most of respondents are housewives (31.25%) and a few of respondents have jobs as self employed (16,255%). it is possibe that mother who have job at home will have more opportunities to get informations about breast cancer. based on table 4 above, it can be stated that the most of the respondents knowledge about breast cancer is very good (45%) and 42,5% of respondents knowledge is good and a small percentage of respondents (12,5%) have less knowledge about breast cancer. this shows that the mother’s level of knowledge is quite good because she received education and health counseling from public health center officers. no age sum % 1 30-35 12 15 2 36-40 20 25 3 41-45 13 16,25 4 46-50 14 17,5 5 51-55 13 16,25 6 56-60 8 10 total 80 100 source: primary data 2019 table 1. distribution of age respondents no education level sum % 1 elementary school 2 junior high school 25 31,25 3 senior high school 40 50 4 >senior high school 15 18,75 total 80 100 source: primary data 2019 table 2. distribution of respondents based on education level no employments sum % 1 house wife 25 31,25 2 civil servants 18 22,5 3 private employees 24 30 4 self employed 13 16,25 total 80 100 source: primary data 2019 table 3. distribution of respondents based on employment status respondent knowledge no knowledge sum % 1 very good 34 42,5 2 good 36 45 3 less good 10 12,5 4 not good 0 0 total 80 100 source: primary data 2019 table 4. distribution of respondents based on their knowledge about breast cancer no attitude sum % 1 good 32 40 2 medium 36 45 3 less 12 15 total 80 100 source: primary data 2019 table 5. distribution of respondents based on sadari attitude based on table 5. it can be seen that respondents who have good attitude on sadari is 40%, medium attitude on sadari is 45% and those who did not do sadari is 15% respondents. correlation betwen knowledge and attitude on sadari (special research data) based on table 6. above, it shows that respondents in the very good knowledge category who did sadari is 26 respondents (32,5%), then respondents in the good category who did sadari is 7 respondents (8,8%), who did it with the recommendation is 14 respondents (17,5%) and those who did not do sadari is 8 respondents (10%), while in the less good category is 1 respondents (1,3%), who did not do sadari is 2 respondents (2,5%). 187mulazimah, ikawati, klobe, the correlation of mother’s knowledge about breast cancer and ... from the results of the chi square analysis, it can be seen that the results of p=0,001<0,005, namely 0,004 or in other word ho is rejected, there is a correlation between mother’s knowledge about breast cancer and the attitude on doing sadari for mothers in badal village, ngadiluwih sub distric, kediri distric, east java province. to find out the close correlation between the level of knowledge about breast cancer and attitude on sadari, it can be done by comparing the results of the contingency coefficient, it can be concluded that at the contingency coefficient level of 0,404, there is a moderate level of correlation between the level of knowledge about breast cancer and attitude on sadari. discussion based on results of data collection using questionnaires to respondents, it can be seen that data, frequency and percentages can be used as material for analysis, interpretation or discussion of the results that have been implemented. knowledge level in the category of respondents’ knowledge, most of the respondents had good knowledge, that was 32,5%. the mother’s level of knowledge is very good because they received education and health counseling from public ,health center officers. this knowledge can be obtained in various ways, both traditional and modern (notoatmojo, 2011) and it is influenced by the level of education, information, culture experience, and socio-economics (soekanto, 2015). judging from the education level of the respondents, most of them (50%) were senior high school students and none did not finish elementary school. with an adequate educational background, mothers had the ability to read, possess, and understand knowledge about breast cancer. attitude on doing sadari in the observations made by researchers about the attitude on sadari, it showed that 26 respondents (32,5%) did it with their own awareness, while 19 respondents (23,8%) did it by recommendation, and 2 respondents did not do sadari. it is because of the attitude comes from an impulse in humans (purwanto, 2015) and attitude, according to lauren green is also influenced by predisposing factors, suppor ting factor s and dr iving fa ctor s (notoatmodjo, 2012). the results of the correlation between knowledge and attitude on sadari in badal ngadiluwih village using chi square showed a value of 0,004 so that the p value=001<0,05, so ho was rejected and ha was accepted, statistically there was asignificant retationship between knowledge and attitude on sadari. this is relevant with the theory put forward by (notoatmodjo, 2012) that knowledge or cognitive is a very important domain for the formation of one’s actions. correlation level of knowledge and attitude on sadari. the result of the correlation between knowledge about breast cancer and attitude on sadari in badal kediri village using chi square shows the value of p=001<0,05, so ho is rejected and ha is accepted, so there is a statistically significant correlation between knowledge of breast cancer and attitude on sadari. knowledge level good attitude medium attitude less attitude total very good sum 26 19 3 48 % 32.5 % 23,8 % 3,8 % 60,0 % good sum 7 14 8 29 % 8,8 % 17,5 % 10,0 % 36,3 % less good sum 0 1 2 3 % 0% 1,3% 2,5% 3,8% not good sum 33 34 13 80 % 41.3% 42.5% 16.3% 100 % source: primary data 2019 table 6. the correlation between knowledge and attitude on sadari 188 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 184–189 furhermore, the result shows that the resut of correlation coefficient is 0,404 at a significance of 0,004. this contigency coeficient is in the 0,400 – 0,599 level. so there is a correlation that occurs in the medium category. the moderate correlation category can be interprated that a person,s level of knowledge can influence the behavior to be taken. the results of this study support the theory of healthy lifestyle. healthy lifestyle is basically a person or organization’s response to stimulate related to illness and disease. health care systems, food and environment. the limitation has two elements, response and stimulus or stimulation (notoatmodjo, 2011). furthermore, the behavior itself is driven by the presence of predisposing factors (knowledge, attitudes, beliefs, etc.). supporting factors, which are manifested in the avaibility of physical environment, health or not, and driving factors which are realized in the attitudes and healthy worker’s attitude or other officers who are reference group for community attitude. predisposing factors inckude a person’s level on the knowledge about the disease or the prevention methode. based on green’s theory, knowledge will affect the occurence of healthy attitude. individuals will perform healthy behavior, in this case by doing sadari. they know the dangers of breast cancer if it is not detected aerly. the delaying on breast cancer detection, the greater of risk will be occur. it will encourage individuals in doing sadari. from the description above, it can be said that the knowledge that a person has is one of predisposing factors for the occurence of sadari. several efforts can be made to increase sadari, among athers, through health education using various methodes according to the respondents’s condition. the researcher concluded that the level of mother’s knowledge about breast cancer is significantly related to sadari. it means that the better of the mother’s level of knowledge about breat cancer, the better in doing sadari. conclusion the respondents knowledge about breast cancer has been good catagory, it can be seen that 26 respondents (32,5%) have very good knowledge, 36 respondents (45%) have good knowledge and 10 respondents (12,5%) have less knowledge. the attitude respondents in doing sadari has showed that the most respondents have been very good in doing sadari, it has been 30 respondents (37,5%), 38 respondents have been good in doing sadari, and 12 respondents (15%) have been less good in doing sadari. there has been a significant relations between mother’s knowledge about breast cancer and their attitude in doing sadari, it is showed by p level is < 0,05. suggestion it is important that mothers always do sadari as the earlier step to avoid the negative effcts of breast cancer. because the earlier detection is done, the optimal process of healing and life expectation is increase.but also the cadres of medical as the vanguard are expected to help for informing and socializing health education about the early symptoms of breast cancer and the early steps in healing it. the society is expected to be more active in giving mothers health supervision. especially, the midwifery must support, fasilitate and socialize the cancer symptoms and the early detection. moreover the midwifer must understand the technique and the benefit of sadari. it’s suggested for the future researchers to research more about the rellation between mother’s konowledge level about breast cancer with her sadari attitude at breast cancer risk age moms. refference ignatius adiwidjaja. (2018). implementasi peraturan gubernur jawa timur no. 27 tahun 2016 tentang tarif angkutan penumpang pada dinas perhubungan propinsi jawa timur. jurnal ilmu sosial dan politik, 10(1). https://doi.org/https://doi.org/ 10.33366/jisip.v10i1.2232 kementerian kesehatan ri. (2017). panduan penatalaksanaan kanker payudara. jakarta: national commitee of cancer countermeasures. lubis, u. l. (2017). pengetahuan remaja putri tentang pemeriksaan payudara sendiri (sadari) dengan perilaku sadari. jurnal aisyah: jurnal ilmu kesehatan, 2(1), 81–86. notoatmodjo, s. (2011). ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. (2012). metode penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. partini, p., d. o. (2018). karakteristik kanker payudara usia muda di sub bagian bedah onkologi rsu pusat sanglah tahun 2014-2016. jurnal intisari sains medis, 9(1), 76–79. https://doi.org/https:// doi.org/10.15562/ism.v9i1.163 189mulazimah, ikawati, klobe, the correlation of mother’s knowledge about breast cancer and ... purwanto, h. (2015). panduan penatalaksanaan kanker payudara. jakarta: peraboi. soekanto, s. (2015). sosiologi suatu pengantar. jakarta: rajawali press. soemitro, m., p. (2012). blak-blakan kanker payudara informasi lengkap dan akurat. jakarta: qanita. yuli widiyastuti, lucie, yul, u. s. (n.d.). seledri (apium graveolens l.): tanaman aromatis melawan hipertensi. lipi press. https://doi.org/https:// doi.org/10.14203/press.298. e:\ibuk\ners desember 2021\5--j 295girianto, widayati, agusti, butterfly hug to reduce anxiety on elderly butterfly hug to reduce anxiety on elderly pria wahyu romadhon girianto1, dhina widayati2, syahdila sabrina agusti3 123bachelor nursing program, karya husada institute of health science, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 05/09/2021 accepted, 19/10/2021 published, 15/12/2021 keywords: butterfly hug, elderly, anxiety level article information abstract the problem that often occurs in the elderly is anxiety. anxiety can lead to cognitive impairment, mood disorders, and other emotional disabilities. butterfly hug is a non-pharmacological therapy to reduce anxiety levels. this research aims to determine the effectiveness of the butterfly hug on the level of anxiety in the elderly. the research design was a pre-experimental design with a one-group pre and post test design approach. the research population was 60 people and a sample of 18 respondents was taken by purposive sampling technique. anxiety level instrument using the gai questionnaire. data analysis was used the wilcoxon test. the results of the pre-test showed that half of the respondents (50.0%) experienced severe anxiety, half of the respondents (50.0%) experienced moderate anxiety. the post-test results showed that half of the respondents (50.0%) experienced moderate anxiety and half of the respondents (50.0%) experienced mild anxiety. p-value 0.003 and = 0.05 (0.003 0.05) meaning that there is an influence of the butterfly hug on the level of anxiety in the elderly. the butterfly hug is done by gently clapping hands, which gives a comfortable sensation while breathing. this method can activate lhpa, stimulate the hypothalamus and crh hormone secretion. acth is activated and stimulates the production of serotonin and endorphin hormones which make you feel relaxed and safe, so that anxiety decreases. it is recommended to use the butterfly hug as an alternative to reduce the level of anxiety in the elderly at upt pstw jombang-kediri. © 2021 journal of ners and midwifery 295 correspondence address: karya husada institute of health science – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: priawahyu88@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p295–300 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p295-300 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p295-300&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 296 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 295–300 introduction the elderly are a group of people aged 60 years and over [1]. aging is a process that starts at birth and is commonly experienced by all living things. aging can be seen from three perspectives, namely biological age, psychological age, and social age. everyone will experience the process of aging and old age is the last period of human life. anxiety is one of mental disorder which commonly found among elderly. anxiety disorder in elderly were triggered by various condition such as try to accept their situation and feel resigned, biological degeneration accompanied by various sufferings, such as several diseases, and the realization that everyone will die, so anxiety becomes an important psychological problem for the elderly. anxiety is a state of personality feeling, uncertainty, fear of reality or the perception of threats from actual sources that are not known or known. anxiety is characterized by physical symptoms, including: cold fingers, faster heart rate, cold sweats, headache, decreased appetite, sleeplessness, and chest tightness. symptoms of a mental nature are fear of feeling threatened by danger, unable to focus, uneasy, wanting to run away from reality. factors that influence anxiety are frustration, conflict, threat, environment in the form of social support, education, age, and gender [2]. several factors affect anxiety in the elderly, such as loneliness and other factors. anxiety problems that often occur in the elderly are worries. anxiety can lead to cognitive impairment, mood disorders, and other emotional disabilities [3]. data from the united states census bureau estimates that indonesia will experience the largest increase in elderly people worldwide in 1990-2025, which is 414%. data from the united states population service, the number of the elderly population aged 60 years is estimated at almost 600 million people and is predicted to be 2 billion in 2050. currently, in indonesia, there are 23.9 million people classified as elderly. from data obtained by the ministry of social affairs, 3 million (2.9 million to be exact) of them are displaced. indonesia is the fifth country that has the largest elderly population in the world. in 1990, the number of elderly people was around 12.7 million (6.29 percent) and in 2000 it reached 14.4 million (7.18 percent). in 2020, it is estimated to be 28.8 million people, or 11.34 percent of the total population of indonesia [4]. east java, as one of the provinces in indonesia, has the third highest percentage of elderly people after central java and yogyakarta special region [5]. the percentage of the elderly in east java reached 12.253% of the total population. so every year, the elderly in indonesia experience a significant increase. the increasing number of elderly people requires serious treatment because, naturally, the elderly experience a decline both in terms of physical, biological, and mental health, and this can not be separated from economic, social, and cultural problems, so there is a need for family participation and a social role in handling it. the decline in the function of various organs of the elderly makes them vulnerable to diseases that are acute or chronic. there is a tendency for degenerative diseases, metabolic diseases, psychosocial disorders, and infectious diseases to increase. other problems that often occur in the elderly are loss, poverty, not being accepted/rejected, not yet finding the meaning of life, feeling dependent, helpless, and giving up easily, fear of death, sadness because of the death of others, physical and mental decline, depression, and feelings of sadness [6]. loneliness is a condition that often threatens the lives of the elderly when family members live apart from them, lose a life partner, lose friends, and are powerless to live independently. it is estimated that 15% to 20% of people over the age of 65 have mental disorders. mental disorders that are often found in the elderly are insomnia, stress, depression, anxiety, dementia, and delirium or psychiatry. research conducted by eric j. lenze, md, at the university of pittsburgh school of medicine, shows that anxiety disorders are more common in older people, with 7% of anxiety occurring in older people. in addition, a research published in the american journal of psychiatry found that 10% of adults aged 55-85 years experience anxiety [7]. in the results of heningsih’s research, regarding the description of the level of anxiety in 52 elderly people at panti werdha darma bakti kasih surakarta, it was found that 15% did not experience anxiety, 36.5% mild anxiety, 42.3% moderate anxiety, and 5.8% severe anxiety [8]. based on data obtained by researchers at the tresna werdha jombang social service, kediri, the officer explained that 60.2% of the 60 elderly living in the tresna werdha social service experienced signs of anxi 297girianto, widayati, agusti, butterfly hug to reduce anxiety on elderly ety such as restlessness, worry, irritability and confusion. this is due to economic problems, leaving their spouse/family, having biological children and siblings, but they don’t have much time because they are busy working all day. so far, the routine activities at upt pstw jombang-kediri are praying and there is no special intervention for the elderly who experience anxiety. the butterfly hug is an alternative solution to overcome anxiety in lonely elderly people, it carried out is by crossing both hands on the chest and then clapping both hands like the flapping wings of a butterfly. do it while inhaling slowly and exhaling slowly. the butterfly hug is a method of direct bilateral stimulation (such as eye movement or pressure) to reduce anxiety and calm oneself. this method was developed by therapists lucina artigas and ignacio jarero during their work with survivors of hurricane pauline [7]. generally, people with trauma disorders can experience symptoms again if they remember or experience things that triggered anxiety. to manage these triggers can be done by trying to calm yourself and your mind. the response of the autonomic nervous system to fear and anxiety causes involuntary activities in the body which are included in the self-defense mechanism. physiologically, stressful situations activate the hypothalamus, which in turn activates two main stress pathways, namely the endocrine system (adrenal cortex) and the autonomic nervous system (sympathetic and parasympathetic).  to activate the endocrine system, after the hypothalamus receives a stress or anxiety stimulus, the anterior part of the hypothalamus releases corticotropin releasing hormone (crh), which instructs the anterior pituitary gland to secrete adrenocorticotropin hormone (acth). with the secretion of the hormone acth into the blood, this hormone activates the zona fasciculata of the adrenal cortex to secrete the glucorticoid hormone, namely cortisol. this hormone, cortisol, also plays a role in the negative feedback process that is delivered to the hypothalamus and then the signal is transmitted to the amygdala to strengthen the effect of stress on one’s emotions. in addition, this negative feedback will stimulate the anterior hypothalamus to release thyrotropic releasing hormone (trh) and will instruct the anterior pituitary gland to release thyrotropic hormone (tth). this tth will stimulate the thyroid gland to secrete the hormone thyroxine, which causes changes in blood pressure, pulse rate, increased free fatty acids, and also increased anxiety.  the butterfly hug method was used by many psychiatrists to reduce anxiety, especially for trauma patients. in addition to trauma, anxiety is often experienced by lonely elderly people. because lonely elderly people will usually experience anxiety due to being left by their family and others. so the elderly need action to overcome the anxiety they experience. and the butterfly hug method is an alternative solution to calm the mind by using suggestions that can provide comfort and tranquility for the elderly. this method can be used easily and can be done at anytime by the elderly. method the research design was used a pre-experimental design with a one-group pre and post test design approach. research was done at upt pstw jombang-kediri for 1 week. the sampling technique was used “purposive sampling” or saturated sampling, which was adjusted to the research objectives and selected based on inclusion criteria, namely the elderly who experienced anxiety, the elderly who were willing to participate in the research, the elderly who were not physically disabled, the femae elderly, and the elderly who are 60 years old and over. the sample who met the inclusion criteria, as many as 18 elderly. before treatment, the researcher introduced themselves to respondent in order to build trust and created therapeutic environment. geriatric anxiety inventory (gai) were distributed to respondents to measure anxiety level before intervention. butterfly hug was conducted every 1 week meeting, were held 3 times, and every 1 meeting lasted 30 minutes/until calm. the last stage, researcher evaluating the level of anxiety in the elderly, to know if the level of anxiety decreases or increases after butterfly hug therapy. result the presentation of respondents characteristic data includes age, education history, employment status, marital status, and daily activities. based on table 1, it could be conclude that the age distribution of most respondents (61.1%) aged 66-70 years. distribution of the last education, all 298 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 295–300 based on table 2, it could be conclude that the respondents (50.0%) have a moderate level of anxiety. and half of the respondents (50.0%) have a severe level of anxiety. based on table 3, it could be conclude that the respondents (50.0%) have a moderate level of anxiety. and half of the respondents (50.0%) had a mild level of anxiety. based on table 4, the average pretest was 10.22, while the posttest showed an average of 15.11. the wilcoxon test result obtained p-value 0.003 (0.05) then hypothesis was accepted, so it could be concluded that there was an effect of the butterfly hug method on the level of anxiety in the elderly at upt pstw jombang-kediri. discussion after being given treatment in the form of the butterfly hug method for 1 week with 3 meetings, there was a change in the level of anxiety at upt pstw jombang-kediri. a change was found in all respondents. changes in respondents were proven by the results of the gai questionnaire scores, where the results obtained after being given the butterfly hug method showed half of the respondents (50.0%) experienced moderate anxiety and half of the respondents (50.0%) experienced mild anxiety. differences in respondent characteristics also affect the decrease in anxiety levels. in respondent number 7, there is an increase in gai score by 12 points, while in respondent number 3, there is only an increase in gai score by 2 points. respondent number 7 is more open to the problems experienced, while respondent number 3 is easier to feel annoyed with his friends. the decrease in anxiety in respondents makes respondents more able to adapt to the surrounding environment, variable f % age 60-65 years old 7 38,9 66-70 years old 11 61,1 education elementary school 18 100,0 employment unemployment 18 100,0 marital state married 3 17,7 widow 15 83,3 daily activity stay at room 12 66,7 chat with others 2 11,1 make crafts 4 22,2 table 1 respondents characteristic category f % no anxiety 0 0 mild anxiety 0 0 moderate anxiety 9 50,0 severe anxiety 9 50,0 panic 0 0 total 18 100,0 tabel 2 pretest anxiety level data category f % no anxiety 0 0 mild anxiety 9 50,0 moderate anxiety 9 50,0 severe anxiety 0 0 panic 0 0 total 18 100,0 tabel 3 posttest anxiety level data category pre-test post-test n (%) n (%) no anxiety 0 0 0 0 mild anxiety 0 0 9 50,0 moderate anxiety 9 50,0 9 50,0 severe anxiety 9 50,0 0 0 panik 0 0 0 0 total 18 18 mean 10,22 15,11 wilcoxon test p-value 0.003<0.05 tabel 4 statistical analysis (100%) were at the elementary school level. the distribution of work entirely (100%) was not working. the distribution of marital status was almost entirely (83.3%) widows. the distribution of daily activities mostly (66.7%) sat or stayed in the room. 299girianto, widayati, agusti, butterfly hug to reduce anxiety on elderly actively participate in activities and more able to establish interpersonal relationships. this is in accordance with the results of untari, i & rohmawati research that one of the causes of anxiety is one’s work or activity. too much or too little can cause anxiety [9]. based on the results of data analysis using the wilcoxon test, it is known that p value = 0.003 and = 0.05, so p value 0.003 < 0.05, which means that there is an effect of the butterfly hug method on anxiety levels in the elderly at upt pst w jombang-kediri. in accordance with the functional consequence theory by miller, giving an intervention can change a negative functional consequence into a positive functional consequence [3]. in this research, giving an intervention in the form of the butterfly hug method changed the negative functional consequences of anxiety into positive functional consequences, namely a decrease in anxiety levels. this research is in line with previous research by siti aisyah. in this research, the results obtained a significant effect of the intervention of the butterfly hug method on stress levels, but the application of the butterfly hug method on anxiety still needs to be studied further [10]. the butterfly hug method has advantages in its application. the advantage is that it can be done at any time and place, allowing the elderly to reduce anxiety. as we know, the butterfly hug method is a type of bilateral stimulation, namely the use of external visual, auditory, or tactile stimuli sequentially to help clients process traumatic memories. according to the association for comprehensive energy psychology, this method can also make the heart feel spacious, balance the left and right brain, so that lonely seniors can resolve the intense emotions they are experiencing. most of the respondents admitted that they were comfortable when doing the butterfly hug method. complaints of anxiety and worry that are felt slowly disappear. other respondents showed optimistic thinking or did not tend to think about bad things that would happen in the future. this agrees with the research that the butterfly hug method provides benefits for the formation of a better mood, so that the elderly who regularly participate in activities will always feel comfortable. a comfortable feeling condition makes individuals able to optimize functioning mental processes and also affects the individual’s ability to deal with any problems that could cause stress [10]. in addition, all respondents said they were happy to participate in activities because there were new activities that could provide a feeling of comfort and safety and create a sense of joy and togetherness among the elderly. therefore, the butterfly hug method still plays a role in changing the level of anxiety in the elderly. suardiman argues that when a person is in a state of anxiety and physiological tension, it activates the limbic hypothalamus puitutory adrenal axis (lhpa), which stimulates the hypothalamus and causes the secretion of corticotrophin releasing hormone (crh). this causes the activation of adeno cortico trophin hormone (acth) which stimulates the production of serotonin and endorphins hormones which will make individuals happy, happy, comfortable, sleep better, and keep the mind fresh. in addition to physical activity and exercise, psychological mechanisms will appear. and neurobiology so that antidepressant and anxiolytic effects can occur which can reduce anxiety levels [11]. conclusion there was an effect of the butterfly hug method on the level of anxiety in the elderly at upt pstw jombang-kediri. suggestion suggestion for further researchers, they can develop the same theme with a larger number of samples in order to get maximum results. in addition, it can add a control group as a comparison in the research, so that the research can be more perfect.  references sunaryo. 2016. faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada lanjut usia (lansia) di rw 1, kelurahan ploso, kecamatan tambaksari, kota surabaya (skripsi: universitas airlangga surabaya) stuart & sundeen. 2016. keperawatan psikiatrik : buku saku keperawatan jiwa. edisi 5. jakarta:egc miller, c.a. 2017. nursing for wellness in older adults. usa: lippincot williams & willkins jarero, i.,& artigas, l. 2017. the emdr integrative group treatment protocol: application with adults during ongoing geopolitical crisis. journal of emdr practice and research, 4(4), 148-155. kementrian kesehatan ri. 2017. pusat data dan informasi: analisis lansia di indonesia. jakarta selatan 300 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 295–300 videbeck, sheila l. 2016. psychiatric mental health nursing. jakarta:egc jarero, i. artigas, l. & luber, m. 2018. the emdr protocol for recent critical incidents: application in a disaster mental health continuum of care context. journal of emdr practice and research, 5(3), 8294. heningsih. 2014. gambaran tingkat ansietas pada lansia di panti wredha dharma bhakti kasih surakarta (skripsi : sekolah tinggi ilmu kesehatan kusuma husada) untari, i. & rohmawati, 2014. faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan pada usia pertengahan dalam menghadapi proses menua (aging process). jurnal keperawatan akper 17 karanganyar, 1. aisyah, siti. 2017. pengaruh butterfly hug terhadap penurunan tingkat kecemasan (ansietas) pada lansia di panti werdha hargo dedali surabaya (skripsi:universitas airlangga surabaya) suardiman, s.2017. psikologi usia lanjut. yogyakarta: gajah mada university press. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 55sciora, gambaran tingkat depresi lansia ... 55 gambaran tingkat depresi lansia di panti sosial lanjut usia tulungagung (the discription grade of depression elderly people in blitar society service of elderly at tulungagung) tragara zalzal sciora jurusan keperawatan poltekkes malang e-mail: tragara01@gmail.com abstract: the process of aging is a process of gradual disappearance of the network’s ability to improve. depression is one of the most common disorders in the elderly who need handling holistic and balanced in the physical, mental and social. the research aim was to indentify the grade of depression elderly people in blitar society service of elderly people at tulungagung. the research design used descriptive research. the population of this research was all of elderly at blitar society service of elderly people at tulungagung. the sampel size was 45 elderly (21 men elderly and 24 women elderly) with porposive sampling. the research held on 21 febuary 2014 at blitar society service of elderly people at tulungagung. in this research, data was preserved in descriptive analysis with fequency table and radian diagram by percentage and narration. from the research result got the elderly had no depression amount 17,8%, the next elderly with light depression amount 22,2%, the next elderly with medium depression amount 22,2% and elderly with heavy depression amount 37,8%. from the results of researches are expected to managers elderly people in blitar society service of elderly people at tulungagung. improve services for the prevention of cases of depression in the elderly. keywords: depression, elderly abstrak: usia lanjut dapat dikatakan usia emas. depresi merupakan salah satu gangguan yang paling sering dijumpai pada lansia yang membutuhkan penanganan secara holistic, mental dan sosial. penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat depresi lansia di panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung. desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif, populasinya adalah seluruh penghuni lansia yang berada di panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung. sampel dalam penelitian ini berjumlah 45 lansia, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 21 lansia dan perempuan sebanyak 24 lansia yang dipilih mengunakan teknik purposive sampling. penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 21 febuari sd 16 maret 2014. berdasarkan penelitian di panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung didapatkan 17,8% dengan tingkat depresi normal/tidak ada depresi, 22,2% dengan tingkat depresi ringan, 22,2% dengan tingkat depresi sedang dan 37,8% dengan tingkat depresi berat. diharapkan pengelola panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung untuk meningkatkan pelayanan untuk pencegahan depresi pada lansia. kata kunci: depresi, lanjut usia lanjut usia adalah seseorang yang mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial dan lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang tela mencapai usia 60 tahun keatas baik pria maupun wanita, yang masih aktif dan berkerja ataupun mereka yang tidak berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehinga bergantung kepada orang lain untuk menghidupi dirinya (ineko, 2012). pada lanjut usia terdapat beberapa perubahan pada aspek biologis yaitu adanya perubahan genetik yang mengakibatkan terganggunya metabolisme protein, gangguan metabolisme nucleic acid,dan deoxyribonuclic (dna) acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p055-059 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 56 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 55–59 menurut setiabudhi (1999). perubahan lansia pada aspek fisiologis yang terjadi pada aktivitas seksual pada usia lanjut biasanya berlangsung secara bertahap dan menunjukkan status dasar dari aspek vaskuler, hormonal dan neurogiknya (alexander dan allison (1989) dalam buku darmojo, 2004). menurut santrock (2002) perubahan psikologis pada lansia sejalan dengan perubahan secara fisiologis. masalah psikologis ini pertama kali mengenai sikap lansia terhadap kemunduran fisiknya (disengagement theory) yang berarti adanya penarikan diri dari masyarakat dan dari diri pribadinya satu sama lain. lansia dianggap terlalu lamban dengan daya reaksi yang lambat, kesigapan, dan kecepatan bertindak dan berpikir menurun. perubahan sosial pada lansia umumnya lansia banyak yang melepas partisipasi sosial mereka,walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. menurut hardywinoto dan setiabudhi (2005) tidak semua lanjut usia mengeluh macam-macam dan bila ada keluhan yang dikemukakan individu lanjut usia, perlu diinterprestasikan secara berbeda, karena setiap keluhan tersebut, kendatipun memiliki masalah penyakit yang sama, namun akan muncul secara berbeda tergantung pada kematangan pribadi dan situasi ekonomi lanjut usia masing-masing. dan perubahan pada lansia pada aspek psikologis secara sederhana dapat dikatakan bahwa depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan, suatu perasaan tidak ada harapan lagi. dr. jonatan trisna menyimpulkan bahwa depresi adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh. mulai dari perasaan murung sedikit sampai pada keadaan tak berdaya. depresi adalah gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan afek. disforik (kehilangan kegembiraan/gairah) disertai dengan gejala-gejala lain, seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan. depresi ialah suatu penyakit episodik dimana gejala depresi dapat terjadi sendirian atau disertai oleh mania (penyakit manik-depresi atau bipolar). prevalensi depresi bervariasi pada berbagai peneliti, mungkin sekitar 5% sampai 10% pada populasi orang dewasa atau lansia di amerika utara dan sekitar 1–1,5% pada anak usia sekolah (lumbantobing, 2004). gejala depresi adalah kumpulan dan perilaku dan perasaan yang secara spesifik dapat dikelompokkan sebagai depresi. namun yang perlu diingat, setiap orang mempunyai perbedaan yang mendasar, yang memungkinkan suatu peristiwa atau perilaku dihadapi secara berbeda dan memunculkan reaksi yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. gejala-gejala depresi ini bisa kita lihat dan tiga segi, yaitu gejala dilihat dan segi fisik, psikis, dan sosial. resiko dari depresi yaitu bunuh diri, gangguan dalam hubungan, anoreksia nervosa, obesitas dan perilaku merusak. data prevalensi depresi pada lansia di indonesia di peroleh kejadian sebanyak 76,3% proporsi pasien dengan depresi ringan adalah 44,1%, depresi sedang sebanyak 18% sedangkan depresi berat 3,2%. (lestari, 2011). berdasarkan studi pendahuluhan tanggal 26 desember 2013 di panti sosial lanjut usia di tulungagung dengan wawancara dan observasi dari 5 lansia didapatkan 3 lansia mengatakan merasa tidak berdaya, tidak berharga, merasa tidak bahagia, mengatakan sering gelisah, dan terlihat sering menyendiri, malas melakukan kegiatan. dan 2 lansia mengatakan melakukan senam tiap hari senin, rabu dan jumat selanjutnya selasa mengikuti kerajian dan hari kamis mengikuti siraman rohani. kebanyakan lansia yang tinggal di panti sosial lanjut usia tulungagung ini sudah tidak memiliki keluarga, yang masih memiliki keluarga sejumlah 15 orang tetapi hanya sekitar 8 keluarga lansia yang masih peduli dengan keluarganya yang berada di panti. jumlah kunjungan keluarga setiap bulan hanya 5–7 orang dengan pengunjung yang sama. dari urian saya tarik meneliti tingkat depresi pada lansia di panti sosial lanjut usia tulungagung. rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah tingkat depresi lansia di panti sosial lanjut usia tulungangung. tujuan pada penelitian ini adalah untuk menggambarkan tingkat depresi lansia di panti sosial lanjut usia tulungagung. sedangkan manfaat penelitiannya adalah (1) menambah pengetahuan dan pengalaman tentang tingkat depresi pada lansia, (2) sebagai sumber data penelitian berikutnya, sebagai wawasan dan bacaan untuk mahasiswa politeknik kesehatan kemenkes malang, (3) agar pengurus panti dapat memahami tentang gejala-gejala depresi. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif bertujuan untuk mendiskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa urgen yang terjadi pada masa kini. subyek pada penelitian ini sebanyak 45 lansia, yang dipilih menggunakan purposive sampling dengan kriteria (1) dapat beraktifitas, (2) 57sciora, gambaran tingkat depresi lansia ... bersedia menjadi responden, (3) bias membaca dan menulis. variabel yang dinilai adalah depresi lansia yang memiliki kategori (1) merasa putus asa, (2) meninggalkan kegiatan dan minat (3) merasakan bosan (4)tidak semangat setiap hari (5)perasaan takut (6)merasa tidak berharga (7) merasa gelisah (8) merasa tidak ada harapan. alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner status psikologis (skala depresi geriatrik yesavage, 1983). proses pengumpulan data pada tanggal 21 febuari sd 16 maret 2014 oleh peneliti yang bertempat di upt panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung. sebelumpenelitian ini di mulai peneliti memilih lansia yang mau di ambil data dengan melihat lansia seperti yang sama dengan criteria inklusi. pengambilan data ini dilakukan dengan cara peneliti mendekati lansia satu persatu lansia di masing-masing wisma, membina hubungan baik dengan lansia, dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. selanjutnya, peneliti meminta lansia menandatangani lembar persetujuan, kemudian mengisi instrumen yang di isi oleh peneliti dengan menyakan kepada masing-masing lansia. analisa data dilakukan dengan menjumlah jawaban dari responden, jawaban sesuai kunci mendapat nilai 1, sedangkan jawaban tidak sesui kunci jawaban mendapatkan nilai 0. pengelolaan data dari variabel depresi lansia didapatkan nilai: (1) nilai: 0–5: normal (2) nilai: 6–15: depresi ringan sampai sedang (3) nilai: 16–30: depresi berat. hasil penelitian karakteristik lansia di pslu tulungagung digambarkan pada tabel di 1. berdasarka tabel 1 didapatkan bahwa jenis kelamin yang banyak adalah pada perempuan sejumlah 53% (24 lansia), umur lansia yang banyak pada umur 60–80 sebanyak 60% (27 lansia), lama lansia tinggal di panti yang banyak pada 0–5 tahun sebanyak 65% (29 lansia), alasan lansia tinggal di panti yang banyak adalah yang tidak punya rumah sebanyak 47% (21 lansia), pendidikan lansia yang banyak adalah tidak sekolah sebanyak 46% (21 lansia). banyak lansia yang pekerjaanya lain-lain atau serabutan sebanyak 49% (22 lansia). tingkat depresi lansia di pslu tulungagung digambarkan pada tabel 2. berdasarkan tabel 2 didapatkan 37,8% (17 lansia) yang mengalami depresi berat. pembahasan usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar ia dapat menikmati masa usia emas serta menjadi lanjut usia yang berguna dan bahagia (maryam, 2008). dari usia yang dikatakan usia emas terdapat masalah-masalah yang terkait tentang depresi. depresi adalah kata yang memiliki banyak nuansa arti. sebagian besar di antara kita pernah merasa sedih atau jengkel, menjalani kehidupan yang penuh masalah, merasa kecewa, kehilangan dan frustrasi, yang dengan mudah menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan (lumbantobing, 2004). dari hasil penelitian yang saya lakukan di panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung sejumlah tabel 1. karakteristik lansia di pslu tulungagung, maret 2014 karakteristik keterangan f % jenis kelamin laki laki 21 47 perempuan 24 53 umur 50-60 tahun 7 16 60-80 tahun 27 60 >80 tahun 11 24 lama tinggal di panti 0-5 tahun 5-10 tahun >10 tahun 29 10 6 65 22 13 alasan tinggal di panti tidak punya rumah tidak ada yg merawat tidak ada keluarga lain-lain 21 7 5 12 47 15 11 27 tingkat pendidikan tidak sekolah sd/ sederajat smp/ sederajat sma/ sederajat pt 21 12 3 8 1 46 27 7 18 2 riwayat pekerjaan irt petani swasta pns lain-lain 2 13 6 2 22 5 29 13 4 49 tabel 2. tingkat depresi lansia di pslu no tingkat depresi f % 1 2 3 4 normal 8 17.8 ringan sedang berat 10 10 17 22.2 22.2 37.8 total 45 100 58 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 55–59 45 responden di dapatkan 17,8% dengan tingkat depresi normal atau tidak mengalami depresi, 22,2% dengan tingkat depresi ringan, 22.2% dengan tingkat depresi sedang dan 37,8% dengan tingkat depresi berat. berdasarkan pada hasil penelitian di atas bahwa tingkat depresi lansia banyak yang mengalami depresi berat dibuktikan dengan koesioner yang saya buat untuk mengukur tingkat depresi pada lansia, pertanyaan yang paling banyak di pilih lansia yaitu pada pertanyaan ”sering merasa gelisah dan gugup”. hal merupakan gambaran bahwa lansia mengalami depresi. depresi dapat dipicu oleh kemalangan atau musibah atau kejadian stress, namun kerentanan terhadap depresi ini berbeda-beda (lumbantobing, 2004). dari hasil penelitian di pslu didapatkan yang paling banyak yang di derita oleh lansia adalah depresi berat sebanyak 37,8%. dari hasil wawancara pada lansia didapatkan karena lansia tinggal di panti sehingga segala perasaan dan kegundahannya di pendam oleh lansia sendiri dan tidak mau membagi masalahnya kapada teman yang ada di panti, para lansia juga kurang di perhatikan oleh keluarga dan pihak pengelola kurang mengetahui permasalahan yang dialami pada satu persatu lansia. hal ini yang mengakibatkan terjadinya depresi karena banyaknya masalah yang dihapai sendiri seharusnya para lansia mengutarakan masalahnya kepada teman sebaya agar masalah dapat diatasi bersama-sama. menurut mariyam (2008), keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. dari hasil penelitian yang saya lakukan di panti sosial lanjut usia tulungagung didapatkan lansia yang tidak dirawat oleh sanank keluarga sebanyak 15,6%. dari 17 lansia yang depresi berat terdapat 1 lansia yang mengalami depresi berat dikarenakan peran keluarga yang kurang. hal ini peran keluarga dalam merawat lansia antara lain menjaga atau merawat lansia, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan social ekonomi, serta memberi motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi lansia. dalam hal ini lansia sangat tergantung kepada keluarga atau anaknya dalam memberikan motivasi atau memberikan semangat. menurut maryam (2008) dalam perubahan social pada lansia tentang ekonomi menyatakan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok bagi lansia dan income security. dari hasil penelitian yang saya lakukan di panti sosial lanjut usia tulungagung didapatkan lansia yang pekerjaan lansia yang lalu adalah petani sebanyak 28,9%. dari 17 lansia yang mengalami depresi berat,terdapat 8 lansia yang pekerjaannya yang lalu adalah petani yang mengalami depresi berat. hal yang mengakibatkan seseorang mengalami depresi adalah karena perubahan peran dari yang bekerja menjadi keadaan yang tidak biasa atau melakukan pekerjaan seperti biasa dan tidak bias mendapatkan uang lagi. menurut maryam (2008) dalam perubahan social pada lansia tentang pendidikan menyatakan berkaitan dengan pengentasan buta aksara dan kesempatan untuk tetap belajar sesuai dengan hak asasi manusia. dari hasil penelitian yang saya lakukan di panti sosial lanjut usia tulungagung didapatkan lansia yang berpendidikan tidak sekolah sebanyak 46,7%. dari 17 lansia yang mengalami depresi berat terdapat 10 lansia yang pendidikannya tidak sekolah. hal yang memicu seseorang yang depresi berat karena seseorang yang tidak sekolah cara berpikirnya dalam menghadapi masalah kurang bias tenang dan cepat putus asa. dari hasil wawancara dengan para lansia hal yang memicu lansia untuk tidak sekolah karena pada zaman lansia untuk mendapatkan sekolah yang layak sangat sulit dan biaya yang mahal. menurut lumbantobing, (2004) depresi merupakan salah satu gangguan yang paling sering dijumpai pada lansia. dari hasil penelitian didapatkan 24% (umur lansia> 80 tahun). dari 17 lansia yang mengalami depresi terdapat 6 lansia yang berumur > 80 tahun yang mengalami depresi berat. hal ini diakibatkan karena pada lansia organ saraf banyak mengalami penurunan fungsinya seperti sistem kardiovaskuler, musculoskeletal, gastrointestinal, pendengaran dan penglihatan hal ini disebabkan oleh kerusakan akibat radikal bebas, mutasi somatic, kerusakan system imun tubuh dan mengakibatkan metabolisme. dari hasil penelitian di atas didapatkan banyak lansia yang tingkat depresi berat di akibatkan karena kurang di perhatikan sanak keluarga dan kehilangan orang yang di cintai. masalah di atas dapat diatasi dengan melibatkan lansia didalam kegiatan seharihari, memberikan motivasi, memberikan lomba untuk melatih kerjasama dan kebersamaan antar lansia dan memberikan sanjungan kepada lansia atau riwet atas kemajuan yang di dapatkan. ini yang membuat saya menarik untuk meneliti tentang tingkat depresi pada lansia karena lansia adalah manusia yang unik. 59sciora, gambaran tingkat depresi lansia ... simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian yang telah di lakukan di panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung sejumlah 45 lansia dapat disimpulkan bahwa 17,8% dengan tingkat depresi normal, 22,2% dengan tingkat depresi ringan, 22.2% dengan tingkat depresi sedang dan 37,8% dengan tingkat depresi berat. saran dari hasil penelitian diharapkan pada pengelola panti sosial lanjut usia blitar di tulungagung untuk meningkatkan sarana dan prasarana seperti meningkatkan kebersihan di setiap wisma, dan pemetaan tempat tidur lansia dengan dibuat kamar dengan jumlah penghuni minimal 4 orang agar mengurangi kegaduhan serta diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih mendalam tentang tingkat depresi pada lansia. daftar rujukan darmojo, r.b. 1999. geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). jakarta: penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. lestari, n.d. 2011. kti tentang depresi pada lansia. 130 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 130–134 correspondence address: stikes karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nian.afrian@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi:10.26699/jnk.v7i1.art.p130–134 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 130 jnk jurnal ners dan kebidanan http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk article information sejarah artikel: received, 30/01/2020 accepted, 31/03/2020 published, 05/04/2020 keywords: smoking; health; problem; adult abstract smoking behaviour is a problem that is often found in indonesian society. the number of active smokers in indonesia is increasing from year to year. smoking can cause losses both in terms of socio-economic and health and even death. the aim this research is (1) to assess the prevalence of smoking cigarette among adult in indonesia, and (2) to analizing relationship between health problem and smoking cigarette among adult in indonesia. this is a crosssectional study based on data extracted from the indonesia demographic and health survey, 2017. a household-based survey, implemented in a representative probability sample of more than 47963 households from urban and rural areas in indonesia. this research was analytic correlational study with cross sectional approach. the sample of reserach were 18023 adult aged between 15 and 44 years. relationship between health problem and smoking cigarette among adult in indonesia was assessed by bivariate methods. based on the results of the study found that most smokers have ages, residing in rural areas, secondary level education background, have a very poor wealth index level. the research findings found there is a relationship between age (p=0,001), type of residence (p=0,005), type of education (p=0,000), type of wealth index (p=0,000), and health problem related smoking behavior. the findings indicate that there is a relationship between complaints of short / rapid breath (p=0,001), and dont have relationship with nasal disorders and the presence or absence of cough with smoking behavior. © 2020 jurnal ners dan kebidanan nian afrian nuari prodi keperawatan, stikes karya husada kediri health problem related smoking behaviour among adult in indonesia http://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i1.art.p130-134&domain=pdf&date_stamp=2020-4-05 https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 131nuari, parents perception about adjusment disorder at first day school in ... introduction smoking is a problem that is often found in indonesian society. the number of active smokers in indonesia is increasing from year to year. based on data from riskesdas (2007), it is found that the prevalence of smoking in indonesia continues to increase both in men and women. smoking can cause losses both in terms of socio-economic and health and even death. the prevalence of smoking in women quadrupled from 1.3% in 2001 to 5.2% in 2007 (profil kesehatan indonesia, 2018). based on who data (2013), the prevalence of adults who smoke every day in indonesia is 29%, which ranks first in southeast asia. smoking behavior is often the cause of death in the world and as many as 6 million people have died from smoking (warner, 2015). data on active smokers from the 2017 global adult tobacco survey (gats) found that as many as 67% of men smoke, 2.7% of women smoke, 80.4% of the population who smoke currently smoking only clove cigarettes. data from adolescent passive smokers shows that the prevalence of smoking in 2007 was 3 times in boys and 5 times in girls compared to 1995 (hossain et al., 2017). cigarettes made from tobacco contain 7000 chemicals that are harmful to health, 200 of which are toxic substances (warner, 2015). the chemicals released consist of 85% gas components and particles. among them nicotine, carbon monoxide, tar are some of the thousands of substances in cigarettes. medically smoking can increase the over a ll r isk of dea th by 70% compa r ed to nonsmokers, and smokers die 5-8 years earlier than nonsmokers. inhalation of cigarette smoke causes toxic effects on the upper respiratory tract and lungs. cigarettes also have a role in oxidative stress in the human body. exposure to oxidant chemicals in smoke is associated with decreased levels of endogenous antioxidants in systemic compartments. numerous studies have reported that smoking causes low concentrations of antioxidants in plasma. the 3rd national health and nutrition examination survey (nhanes) and other studies reported that smokers had lower levels of vitamin c, á-carotene, â-carotene, â-cryptoxanthin, melatonin, á-tocopherol, and lutein/zeaxanthin significant (decani et al., 2019). seeing these conditions a survey is needed to identify health problems that arise because of smoking behavior. this becomes the basis of research to see whether there is a relationship of complaints felt by smokers with smoking behavior. the aim this research is (1) to assess the prevalence of smoking cigarette among adult in indonesia, and (2) to analizing relationship between health problem and smoking cigarette among adult in indonesia. method this research was analytic correlational study with cross sectional approach. data for this study were obtained from indonesia demographic and health survey (idhs) that was conducted in 2017. survey implemented by national population and family planning board, statistical indonesia, ministry of health kemenkes, and icf. the 2017 idhs wa s a household-ba sed sur vey. t he research’s sample have 18023 adult aged between 15 and 44. survey was conducted in july 2017 september 2017. the independent variable was smoking behaviour dan the dependent variable was age, type of residence, type of education, type of wealth index, and health problem related smoking behaviour. this research used bivariat statistical analytic with chi square. result variable smoking smoking p-value (yes) ( no) age 15-19 14 572 0,001 20-24 90 3311 21,8761 25-29 121 4980 30-34 95 4298 35-39 73 2930 40-44 39 1253 residence rural 274 9572 0,005 urban 174 7993 7,8328 education level no education 93 491 0,000 primary 153 5395 473,6021 secondary 179 9306 higher 23 2373 wealth index poorest 217 5259 0,000 poorer 79 3510 77,1395 middle 65 3181 richer 54 2956 richest 33 2659 n= 18013 table 1 participant characteristics (sosio economic and demographic) 132 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 130–134 health problem related smoking behavior smoking (yes) smoking ( no) p-value short and rapid breath no 74 3920 0,001 yes 64 1877 13.0252 don’t answer question 1 15 problem in chest/ nose chest 23 638 0,484 nose 27 879 3,4593 both 10 304 other 3 32 don’t answer question 1 24 had cough in last 2 week no 266 11022 0,040 yes 139 5818 6,4225 don’t 6 89 table 2 health problem related smoking behaviour based on demographic and socio-economic is found that as many as 121 respondents aged 25-29 years have smoking habits. based on the domicile of respondents the number of smokers is more in rural areas than urban as many as 274 respondents live in rural areas. based on the level of education obtained the majority of respondents who smoke have a secondary level of education qualification. about the majority of smokers have a wealth index in the poorest category. ba sed on the r esea r ch, the ma jor ity of respondents in this study had the age of 25-29 years and did not smoke. from the results of statistical tests show the rela tionship between age and smoking behavior (p = 0.001). based on the type of residence found that the majority of respondents came from rural areas and did not smoke. the test results found no relationship between type of residence and smoking behavior (p = 0.005). based on level of education, it was found that the majority of non-smokers have secondary level education and there was a relationship between smoking behavior and level of education (p = 0,000). wealth index of respondents has a middle category and has nonsmoking behavior and has a relationship between wealth index and smoking behavior (p = 0,000). based on the results of the study found that there was a relationship between smoking behavior with complaints of fast and short breath (p = 0.001). while the respondents’ complaints, the majority felt complaints in respondents who smoke and there was no relationship between complaints on the nose and chest (p = 0.484). based on the results of the study found that the majority did not have symptoms of coughing 2 weeks in respondents with smoking behaviour. from the results of the study found that there was no relationship between smoking behavior with complaints of cough 2 weeks. discussion relationship age with smoking behaviour based on the results of the study found that the majority of respondents who smoke are aged 25 to 29 years. the results of data analysis have a relationship between the age of smoking and the age of smoking. the age of smoking is not the only factor influencing smoking behavior. smoking behavior is influenced by internal factors (personal characteristics) and external factors (environment). this research is similar with ciftci’s research (2018) which states that there is a relationship between smoking behavior and age ( ciftci, 2018). relationship type of residence with smoking behaviour based on the survey, the majority of smokers live in rural areas. the number of smokers in urban areas is less than in rural areas. the test results found no relationship between type of residence and smoking behaviour. the results of this study are the same as doogan’s research (2017) which stated that based on demographic surveys, smoking behavior is found in rural areas more than in urban areas. this is due to many factors consisting of environmental factors, family support and enjoyment 133nuari, parents perception about adjusment disorder at first day school in ... of each individual, causing smoking addiction. in addition, the importance of treating rural populations as vulnerable populations that need attention about regulations and policies about effective tobbaco health control (doogan, nj et all, 2017). relationship educational background with smoking behaviour when viewed from an educational background, the majority of smokers take secondary level educa tion. level of educa tion r ela ted with knowledge. knowledge related with attitude and behaviour (prayogi, 2017). relationship wealth index with smoking behaviour most respondents have a very poor index. the correlation between smoking and poverty is a public health problem in several countries. studies have shown an association between living in a poor environment and smoking ( wattel, pp, 2009) nicotine addiction can cause additional financial pressure on low-income households ( widome, r et all, 2015). relationship smoking behaviour with complaints of fast and short breath smoking behavior in a person causes several symptoms that can interfere with health. as many as 64 people who smoke experience complaints of shortness of breath and fast. ability to smoke will accelerate the decline in lung function. from the data of the decline in the volume of forced expiration of the first second (vep1) per year in notsmokers by 28.7 ml, former smokers by 38.4 ml, and active smokers amounted to 41.7 ml. other studies reported by sherman c.b show that the decrease in vep1 per year for those who don’t smoke ranges between 20-30 ml, in the former smoker 25-50 ml, and in smokers 25-80 ml per year. cigarettes also contain oxidant toxins that can increase mucosal viscosity in the respiratory tract, there by increasing the risk of pneumonia. relationship smoking behaviour with complaints on the nose and chest based on research respondents’ complaints, the majority felt complaints in respondents who smoke and there was no relationship between complaints on the nose and chest (p = 0.484). cigarette have 200 of which are toxic substances for our health (warner, 2015). that smoking is associated with epithelium cillia which becomes shorter so that it becomes a trigger factor for lung disease (leopold et al., 2009). as many as 27 respondents who smoke have complaints on the nose, while as many as 23 respondents have complaints on the chest. complaints in the chest can be indicated as possible disorders of the lungs or heart. people with smoking behavior is one of the risks that cause death due to heart problems. smoking causes 25% of deaths from coronary heart disease, 80% of cases of chronic respiratory disease, 90% of deaths from lung cancer, and contributes to the development of cancer of the larynx, mouth and pancreas, and cancer lung in passive smokers. smoking only increases the risk of complaints in the nose and chest caused by other factors including inflammation and infection. people with smoking behaviour had lower levels of vitamin c, á-carotene, â-carotene, â-cryptoxanthin, melatonin, á-tocopherol, and lutein / zeaxanthin significant (decani et al., 2019). relationship smoking behaviour with complaints of cough 2 weeks from the results of the study found that there was no relationship between smoking behavior with complaints of cough 2 weeks. cough results from the stimulation of sensory receptors within the respiratory tract, the afferent impulses of which activate the brainstem and higher cortical centers for cough (kanezaki, m et all, 2012). cough complaints for 2 weeks have no relationship with smoking behavior. cough complaints can be caused by other factors such as respiratory infections, influenza and tuberculosis. smoking behaviour is well known to be a risk factor for chronic cough and chronic obstructive pulmonary disease, which are associated with the symptom of cough (rosen, 2006). conclusion t he r esea r ch findings found ther e is a relationship between a ge, type of r esidence, educational background and wealth index with smoking behavior in indonesia. health problems related to smoking behavior that most smokers do not experience complaints of short and rapid breath, ha ve disturbances in the nasal area such as discomfort and for 2 weeks did not experience 134 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 1, april 2020, hlm. 130–134 coughing. from the results of the study also found that there is a relationship between complaints of short / rapid breath, nasal disorders and the presence or absence of cough with smoking behavior. recommendation our role as nurses needs to educate the public about the consequences of smoking behavior and take preventive actions through socialization to stop smoking behaviour. smoking has several negative effects for health. references ciftci, f., ayoz,s., baygul, d,. pýnar, z.,&elif sen, o. (2018). smoking behaviour and age. european respiratory journal 2018 52: pa4539; doi: 10.1183/ 13993003.congress-2018.pa4539 decani, s., baruzzi, e., pradal, g., villani, g., venini, r., & sardella, a. (2019). smoking and health. dental cadmos, 87(1), 1–17. https://doi.org/10.19256/ d.cadmos.01.2019.11 doogans, nj., roberts,m.e. wewers, me, stanton,. keith, d.r,. gaalema d.e., kurti, a.n. et all. (2017). a growing geographic disparity: rural and urban cigarette smoking trends in the united states. prev med. 2017 nov; 104: 79–85. doi: 10.1016/ j.ypmed.2017.03.011 hossain, s., hossain, s., ahmed, f., islam, r., sikder, t., & rahman, a. (2017). prevalence tobacco smoking and factors associated with the initiation of smoking among university students in dhaka, bangladesh. central asian journal of global health, 6(1). https://doi.org/10.5195/cajgh.2017.244 kanezaki.,m., ebihara, s., gui, p., ebihara, t & kohzuki, m,. (2012). effect of cigarette smoking on cough reflex induced by trpv1 and trpa1 stimulations. respiratory medicine. https://doi.org/10.1016/ j.rmed.2011.12.007 leopold, p. l., mahony, m. j. o., lian, x. j., tilley, a. e., harvey, b., & crystal, r. g. (2009). smoking is associated with shortened airway cilia, 4(12). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0008157 prayogi, bisepta. (2017). the correlation of knowledge and self-effication in preventing the spread of pul m on a ry t uberculosis. jurn a l ners da n kebidanan. stikes patria husada blitar http:// jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/233/pdf profil kesehatan indonesia. (2018). provil kesehatan indonesia 2018. https://doi.org/10.1002/qj rosen. (2006). chronic cough due to chronic bronchitis: accp evidence-based clinical practice guidelines. chest journal. volume 129, issue 1, supplement, pages 122s–131s.doi:https://doi.org/10.1378/ chest.129.1_suppl.122s statistics indonesia, badan pusat statistik, bps et al., indonesia demographic andhealth survey 2017, (2017). bps, bkkbn, kemenkes, and icf international, jakarta, indonesia warner, k. e. (2015). smoking and health. in international encyclopedia of the social & behavioral sciences: second edition (pp. 125–131). https://doi.org/ 10.1016/b978-0-08-097086-8.14049-8 wattel, pp. (2009). poverty as a smoking trap. international journal of drug policy, volume 20, issue 3, may 2009, pages 230-236.https://doi.org/10.1016/ j.drugpo.2008.10.001 widome, r,. joseph, an, hammet, p,.ryn, vm. (2015). associations between smoking behaviors and financial stress among low-income smokers. prev med rep. 2015; 2: 911–915. doi : 10.1016/ j.pmedr.2015.10.011 e:\2021\ners april 2021\20-jurn 138 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 138–143 systematic review: the effect of massage effleurage on dysmenorrhea niken bayu argaheni department of midwifery, universitas sebelas maret, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 02/11/2020 accepted, 09/03/2021 published, 05/04/2021 keywords: dysmenorrhea, effects, effleurage, massage article information abstract introduction: in indonesia, the incidence of dysmenorrhea is 64.25% consisting of primary dysmenorrhea amounted to 54.89% and secondary dysmenorrhea of 9.36%. some women experienced menstrual pain or cramps, also known as dysmenorrhea. the purpose of this research was to find out the effect of abdominal massage effleurage on decreasing the pain scale of primary dysmenorrhea. method: systematic review using the database: google scholar. the search results that meet the criteria were then analyzed for articles. result: primary dysmenorrhea pain could be relieved by massage techniques such as abdominal effleurage massage. conclusion: to deal with dysmenorrhea pain, it is advisable for young women not to consume it immediately pharmacological drugs but using massage therapy such as massage effleurage abdomen. 138 correspondence address: stikes bahrul ulum jombang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: bedonku@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p138–143 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p138-143 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p138-143&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 139argaheni, systematic review: the effect of massage effleurage on dysmenorrhea introduction one of the most common disorders during menstruation is dysmenorrhea. dysmenorrhea is pain that is felt in the lower abdomen and occurs before, during or after menstruation. dysmenorrhea is divided into two based on the presence or absence of accompanying abnormalities, namely primary dysmenorrhea, namely pain that occurs during menstruation due to myometrial contraction due to prostaglandin production without any abnormalities in the pelvis and secondary dysmenorrhea, namely pain that is felt with abnormalities in the pelvis (bobak and lowdermilk 2005; kingston 2009; sholihah and azizah 2020). in indonesia, the incidence of dysmenorrhea is 64.25% consisting of primary dysmenor rhea amounted to 54.89% and secondary dysmenorrhea of 9.36% (jama and azis 2020). based on data, it shows that primary dysmenorrhea is experienced by 60-75% of young women. and three quarters of these had dysmenorrhea with mild or moderate intensity. meanwhile, the other quarter experienced dysmenorrhea with severe levels and sometimes rendered the sufferer powerless to endure the pain (umami, lutfiasari, and pradian 2016). pain that is felt during menstruation often causes discomfort to a woman so that it can result in her being unable to carry out her daily activities (reeder and martin 2011). to suppress pain, women simply do compresses warm, regular exercise, and adequate rest. if menstrual pain is felt up interfere with daily activities, usually given non-steroidal antiinflammatory drugs. (andari, fatsiwi nunik; amin, m; purnamasari 2018; jama and azis 2020). t her e a r e sever a l wa ys to dea l with dysmenorrhea pain, with adequate rest, regular exercise (especially walking), massage, yoga and warm compress on the stomach area. pain can also be tr ea ted with va r ious a lter na tives, either pha r ma cologica l a nd non-pha r ma cologica l. pharmacologically can be overcome with analgesic drugs, while non pharmacologically it can be overcome with anticipatory guidance, heat and cold compr ess, tr a nscuta neous electr ica l ner ve stimulation (tens), distraction, relaxation, guided imagination, hypnosis, acupuncture, biological feedba ck, and ma ssage effleur age. massa ge effleurage is one of non-pharmacological method that is considered effective in reducing pain (andanawarih, jannah, and artanti 2020; andari, fatsiwi nunik; amin, m; purnamasari 2018; andria, sudarti, and retnaningsih 2016; jama and azis 2020) one method that can be used to r educe dysmenor r hea pa in is effleur a ge ma ssa ge. effleurage massage is the act of pressing by hand on the soft tissues of the body without causes displacement or changes in joint position. movement in doing effleurage massage include placing both palms on the stomach and simultaneously moved in a circular direction center to the symphysis or can also use one palm with a circular motion or one direction. with effleurage massage, the hypoxia in the tissue will decrease so that the oxygen level in the tissue increases which causes pain to decrease. in addition, effleurage massage can increase the release of endorphins so that the pain threshold increases (alviana 2015; andanawarih, jannah, and ar tanti 2020; apay et a l. 2012; bobak a nd lowdermilk 2005; chayati and na’mah 2019; hikmah, amelia, and ariani 2018; murtiningsih and andani 2018). the purpose of this research is to find out effect of abdominal massage effleurage on decreasing the pain scale of primary dysmenorrhea. methods the research method was systematic review, used eight stages, namely determining questions, determining inclusion and exclusion criteria, literature search, article selection, perform critical appraisal, perform data extraction, data synthesis and map the results findings. the sources of the research derived from the literature through the internet in the form of research results obtained about massage effleurage against dysmenorrhea. the article inclusion criteria used: 1) an article that describes the effect of massage effleurage on dysmenorrhea. 2) published articles have complete sections. 3) published in 2016-2020. the exclusion criteria for articles included: incomplete article composition. the search was carried out using the google scholar database using keywords: “massage, effleurage, dysmenorrhea”. the articles that appear are then sorted so that no articles with the same title are found. then the articles were sorted based on the inclusion and exclusion criteria that had been determined. articles that include abstracts only will be eliminated. so that we get the articles to be analyzed. the articles that have been obtained are then extracted. extraction of articles is based on the author of the article, the year the article was 140 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 138–143 published, the number of sa mples used, the measuring instrument used, the results of the research conducted, and the article database. after getting the article that was reviewed, the writer made a critical appraisal and stage the end is charting the data. filtering and selection of articles using prisma flowchart. search results using the keywords “massage, effleurage, dysmenorrhea” use the electronic google scholar database. search results using these three keywords resulted in 190 articles. then filtering the articles with inclusion and exclusion criteria was obtained 31 articles. selection of the next article by eliminating article duplication with the result of 11 articles. subsequently, article elimination was carried out based on a complete arrangement of 7 articles. records identified through database searching (n = 186) sc re en in g in cl ud ed el ig ib ili ty id en ti fic at io n additional records identified through other sources (n = 4) records after duplicates removed (n = 147) records screened (n = 31) records excluded (n = 116) full-text articles assessed for eligibility (n = 11) full-text articles excluded, with reasons (n = 4) studies included in quantitative synthesis (metaanalysis) (n = 7) picture 1 prisma flow diagram 141argaheni, systematic review: the effect of massage effleurage on dysmenorrhea result fatma jama, asna azis nurul hikmah, coryna rizky amelia, dewi ariani afri za uma mi , dessy lutfiasari, galuh pradian y putr i an da na wa ri h , miftachul jannah, swasti artanti nur rahmawati sholihah, imroatul azizah suwanto, mujtahidatul islamiyah fatsiwi nunik andari, m. amin, yesi purnamasari researcher 2020 2018 2018 2020 2020 2018 2018 16 24 32 15 58 18 119 year n the results showed the value of  = 0.000,where the value of  is smaller than  = 0.05, then ha is accepted and h0 is rejected. so, it can be concluded that there are differences in the results before and after giving the abdominal effleurage massage so that there is effect of abdominal effleurage massage with dysmenorrhea pain scale. the most effective action in reducing the intensity of dysmenorrhea pain is the effleurage massage using rose aromatherapy oil for 15 minutes based on the two way anova test mean value of 3.83 and the significance value for the time variable is 0.015 (significant), the variable type of oil is 0.000 (significant) and the significance figure between the time variable and type of oil is 0.154 (not significant). from the results of this study, it is advisable for young women to apply this method when experiencing dysmenorrhea because it is easy to do so that these teenagers can still carry out their daily activities well. the results showed the  value for effleurage technique 0,000 and to warm compresses 0,001, which means  value <0.005 so that it can be concluded there is a difference between before and after treatment. while mann whitney test results y2-y4 show  value: 0,296 which means  value > 0,005 so that it can conclude there is no difference in the effectiveness of the two treatments. in conclusion this study, effleurage technique and warm compress equally effective, both techniques can be used to reducing the pain of dysmenorrhea. it was found that the significance value (p) is 0.00 using the provision that the degree of error () is 5% or 0.05 so that there is a difference between menstrual pain before effleurage massage and after effleurage massage. in this study, it was found that therewas a decrease in the level of menstrual pain after effleurage massage compared to before effleurage massage, this proves that massage with the effleurage technique can reduce pain. this research showed a significant difference between the intervention groups and the control group was found after the intervention group was given the effleurage massage treatment (p <0.05). the conclusion of this research is effleurage massage has a significant effect on reducing pain in the lower abdomen during menstruation (dysmenorrhea). it is recommended to promote effleurage massage as an alternative to non-pharmacological treatment for female adolescents to reduce pain due to their dysmenorrhea. the results of research showed the mean value of pretest = 3.22 and mean posttest = 2.22, and significant value (2-tailed) = 0.000, where p = 0.000 45 menit dengan p <0,001. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian, bahwa penanganan pasien stemi membutuhkan penanganan yang cepat untuk mencegah terjadinya peningkatan kerusakan otot miokardium yang berdampak pada mortalitas pasien. salah satu faktor yang menentukan dalam sistem pelayanan intrahospital adalah kecepatan tim medis dalam merekam dan menginterpretasi hasil ekg setelah pasien tiba di igd (doorto-ecg < 10menit). faktor ini merupakan salah satu faktor penentu terhadap lama waktu terapi fibrinolitik. saran perlu adanya pelatihan-pelatihan khusus tentang ekg sehingga dapat meningkatkan kemampuan dari setiap anggota tim medis di departemen emergensi dalam menginterpretasi ekg dengan cepat. daftar rujukan ali, j., ahmad, i., faheem, m., irfan, m., gul, a.m., hafizullah, m. 2012. factors associated with delaying of fibrinolytic therapy administration in patients with acute myocardial infarction. khyber med univ j 4(3): 129–132. cotoni, d.a., roe, m.t., li, s., kontos, m.c. 2014. frequency of nonsystem delays in st-elevation myocardial infarction patients undergoing primary percutaneous coronary intervention and implications for door-to-balloon time reporting (from the american heart association mission: lifeline program). am j cardiol 114:24–28. diercks, d.b. 2010. american heart association mission lifeline: developing a stemi regional care system. advancing the standard of care: cardiovascular and neurovascular emergencies. jaya, i.a. 2013. analisis faktor yang berhubungan dengan waktu door to balloon lebih dari 90 menit pada intervensi koroner perkutan primer di pusat jantung nasional harapan kita. magister ilmu keperawatan medikal bedah, fikui. maharaj, r.c., geduld, h., wallis, l.a. 2012. door-toneedle time for administration of fibrinolytics in acute myocardial infarction in cape town. s afr med j 102:241–244. mcnamara, r.l., herrin, j., wang, y., curtis, j.p., bradley, e.h., magid, d.j., rathore, s.s., nallamothu, b.k., peterson, e.d., blaney, m.e., frederick, p., krumholz, h.m. 2007. impact of delay in doorto-needle time on mortality in patients with stsegment elevation myocardial infarction. am j cardiol 100;1227–1232. tabel 2. hasil analisis bivariat antara kecepatan doorto-ecg dengan keterlambatan waktu terapi reperfusi pada pasien stemi di rsup prof.r.d. kandou manado variabel uj i keterlambat an waktu terapi reperfusi kecepatan door-to-ecg pearson r = 0,468 p = 0,028 n = 22 215kerangan, indra dan suharsono, hubungan faktor kecepatan door-to-ecg ... tabriz, a.a., sohrabi, m.r., kiapour, n., yazdani, s. 2012. factors associated with delay in thrombolytic therapy in patients with st-elevation myocardial infarction. j teh univ heart cir 7(2):65-71 zafari, a.m., reddy, s.v., jeroudi, a.m., garas, s.m. 2013. myocardial infarction. dalam http://emedicine. medscape.com/article/155919-overview#a0101 diakses pada tanggal 12 maret 2015 pukul 22.30 wib. e:\ibuk\ners desember 2021\19-386 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 386–392 risk factors of breast cancer based on case-control study in women of child-bearing age (weba) at gambiran hospital kediri jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 15/11/2021 accepted, 21/12/2021 published, 25/12/2021 keywords: breast, risk factor, case-control study article information abstract breast cancer is a type of cancer that starts in the breast tissue and spreads throughout the body. every year more than 185,000 women are diagnosed with breast cancer. this incidence is increasing in developed countries (kemenkes ri, 2015). in indonesia, a high rate of breast cancer, especially in kediri, makes breast cancer the number one position of cancer in women, followed by cervical cancer. based on study by harrianto et al. at dr. cipto mangunkusumo hospital in the journal of public health 8 (2) (2013) 121-126, breast cancer risk factors include a family history of breast cancer patients (15.79%), early menarche (8.77%), nullipara (7.02 %), and long-term use of pills containing estrogen (42.11%). in addition, there are also incidences of breast cancer, namely late menopause, history of breastfeeding, and obesity. from the description above, the purpose of this study was to determine and analyze the risk factors for breast cancer based on a case-control analysis in women at gambiran hospital, kediri. this study used data collection sheets and field studies then processed for hypothesis testing so that the objectives of this study can be carried out. this study indicated a significant correlation between the risk factors for a breast cancer history with a p-value of 0.0000 or 9.837. for women who have families with cancer should be aware of the onset of breast cancer. if they have reached puberty, it is recommended for early detection (screening test) through breast self-examination (bse), iva method, and mammography testing. © 2021 journal of ners and midwifery 386 correspondence address: wiyata medika midwifery academy jombang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nuritanilasari01@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p386–392 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) nurita nilasari bunga kharisma arifiana putri1, eko sri wulaningtyas2 1,2midwifery department, wiyata medika midwifery academy kediri, indonesia https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p386-392&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 387putri, wulaningtyas, risk factors of breast cancer based on case-control study in ... introduction women are pretty susceptible to cancer in themselves, so it becomes a scary thing for women. the term cancer is a disease that refers to an estimated death due to a negative attitude about cancer, accompanied by not knowing medical treatment and the hospital environment. it will cause anxiety for patients who have just been diagnosed with cancer, even when the prognosis is good. however, psychological and physiological effects will cause changes in self-concept, namely self-image, actualization. (saragih, 2010) breast cancer is a global problem and an important international health issue, including the most common malignancy in women in developed countries and second only to cervical cancer in developing countries, also accounting for 29% of all carcinomas diagnosed each year. breast cancer is the leading cause of death among all cancers experienced by women in indonesia. breast cancer is one of the world’s most significant health problems, with a growing number of deaths due to advanced stages of the disease (who, 2014). global cancer observatory data in 2018 shows the incidence of cancer in indonesia (136.2/100,000 population) is at number 8 in southeast asia, while in asia, it is at 23. the most prevalent malignancy among women is breast cancer, with a 42.1 per 100,000 incidence rate and a 17 per 100,000 death rate, followed by cervical cancer, which has a rate of 23.4 per 100,000 and a death rate of 13.9 per 100,000 (kemenkes ri, 2019). based on study by harrianto et al. at dr. cipto mangunkusumo hospital in the journal of public health 8 (2) (2013) 121-126, breast cancer risk factors include a family history of breast cancer patients (15.79%), early menarche (8.77%), nullipara (7.02 %), and long-term use of pills containing estrogen (42.11%). in addition, there are also incidences of breast cancer, namely late menopause, history of breastfeeding, and obesity. primary prevention, such as controlling risk factors and enhancing communication, information, and education, may manage breast cancer. secondary prevention is carried out through early detection of breast cancer, namely breast self-examination (bse) (kemenkes ri, 2015). this study came up with a problem statement: how the risk factors for breast cancer occurrence based on case-control studies in women at gambiran hospital, kediri. this study aims to identify and assess risk variables for breast cancer incidence in women at gambiran hospital in kediri using a case-control analysis. the choice of kediri as the object of study is due to the high incidence of breast cancer in women of child-bearing age. data from the kediri health office shows that, until 2018, cancer patients found in the working area of the puskesmas in kediri were eight people with cervical cancer and 31 people with breast cancer. method this study used the quantitative study method. it is analytical observational with a case-control design. the case-control method could be used to assess the role of the variables studied in this study. it included age, menarche, marital status, age of giving birth to their first child, breastfeeding status, breast cancer history, family history of cancer, hormonal family planning acceptors, and active/passive smoking. the population in this study included all breast cancer patients at gambiran hospital, kediri. the sample in this study was female breast cancer patients who were recorded at gambiran hospital. the complete sampling method was employed in this investigation, with a sample size of 52 cases and 52 controls. a data collecting sheet was utilized in this investigation as an instrument. the data was examined using the chi-square test, and the risk analysis odds ratio (or) (= 0,05) was produced. result a. frequency distribution of respondents based on case and control risk factors for breast cancer in gambiran hospital, kediri variable frequency percent (%) case 52 50 control 52 50 source: secondary data table 1 frequency distribution of respondents based on case and control risk factors for breast cancer in gambiran hospital, kediri 388 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 386–392 d. frequency distribution of respondents’ marital status based on case and control risk factors for breast cancer in gambiran hospital, kediri b. frequency distribution of respondents’ age based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri variable case control total < 20 years old 2 8 10 20-35 years old 16 21 37 >35 years old 34 23 57 total 52 52 104 source: secondary data table 2 frequency distribution of respondents’ age based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri c. distribution of the frequency of menarche of respondents’ risk factors for breast cancer in gambiran hospital, kediri variable case control total < 10 years old 0 0 0 10-15 years old 19 24 43 >15 years old 33 28 61 total 52 52 104 source: secondary data table 3 distribution of the frequency of menarche of respondents’ risk factors for breast cancer in gambiran hospital, kediri variable case control total married 47 34 81 unmarried 5 18 23 total 52 52 104 source: secondary data table 4 frequency distribution of respondents’ marital status based on case and control risk factors for breast cancer in gambiran hospital, kediri e. frequency distribution of the respondent’s child-bearing age based on case and control risk factors for breast cancer in gambiran hospital, kediri variable case control total < 20 years old 12 8 20 20-35 years old 26 15 31 >35 years old 9 10 19 never 5 19 24 total 52 52 104 source: secondary data table 5 the distribution of the frequency of childbearing age of respondents is a risk factor for the incidence of breast cancer in gambiran hospital, kediri f. frequency distribution of breastfeeding status of respondents based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri variable case control total yes 48 24 72 no 5 27 32 total 52 52 104 source: secondary data table 6 distribution of the frequency of breastfeeding status of respondents based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri g. fr equency distr ibution of r espondents’ hormonal family planning acceptors based on case and control risk factors for breast cancer at gambiran hospital, kediri 389putri, wulaningtyas, risk factors of breast cancer based on case-control study in ... variable case control total yes 36 24 40 no 16 28 44 total 52 52 104 source: secondary data table 7. frequency distribution of respondents’ hormonal family planning acceptors based on case and control risk factors for breast cancer at gambiran hospital, kediri h. frequency distribution of respondent’s breast cancer history based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri variable case control total yes 37 7 44 no 15 45 60 total 52 52 104 source: secondary data table 8 frequency distribution of respondent’s breast cancer history based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri i. frequency distribution of respondent’s family history of cancer-based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri variable case control total yes 22 27 49 no 30 25 55 total 52 52 104 source: secondary data table 9 frequency distribution of respondent’s family history of cancer-based on the case and control risk factors for breast cancer incidence in gambiran hospital, kediri j. fr equency distribution of a ctive/pa ssive smokers based on case and control risk factors for breast cancer at gambiran hospital, kediri variable case control total active 4 17 21 passive 48 35 83 total 52 52 104 source: secondary data table 10 frequency distribution of respondents’ active/passive smokers based on case and control risk factors for breast cancer at gambiran hospital, kediri k. frequency distribution of the incidence of breast cancer based on cases and controls in women of child-bearing age at gambiran hospital, kediri variable p-value or 95% ci age 0.882 0.536-1.709 menarche 0.320 0.679-3.263 marital status 0.479 0.281-1.815 age of giving birth to first child 0.779 0.657-1.370 breastfeeding status 0.396 0.622-3.321 hormonal family planning acceptors 0.428 0.622-3.321 history of breast cancer 0.000 3.908-24.757 family history of cancer 0.844 0.500-2.334 active/passive smoker 0.807 0.340-2.314 table 11 frequency distribution of the incidence of breast cancer based on cases and controls in women of child-bearing age at gambiran hospital, kediri 390 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 386–392 discussion a g e in this study, most breast cancers were found at the age of more than 35 years. age is closely related to breast cancer. swart’s survey in the journal of breast cancer risk factors at rsud dr. soedarso pontianak showed that age has a relative risk of > four times in causing breast cancer, and the risk of breast cancer increases with age. menarche the earlier age of the first menstruation is related to the duration of exposure to estrogen and progesterone in women, affecting tissue proliferation, including breast tissue. marital status the article related to breast cancer risk factors in rsud dr. soedarso pontianak, faculty of medicine, tanjungpura university, pontianak by hendri fitoni, stated that marital status does not directly play a role in breast cancer risk. women who are married and have children and breastfeed their children have a lower risk of developing breast cancer. women who have children and breastfeed will experience perfect differentiation in their breasts, thereby reducing the risk of breast cancer age of giving birth to first child another study found that women who had their first kid after 30 had twice the chance of breast cancer than women who had their first child before 30. another study conducted by briit stated that women who gave birth to their first child under the age of 20 had a much lower risk of developing breast cancer than women who did not give birth. however, it is not known for sure the correlation between the number of parity and the incidence of breast cancer. another study stated that the age of first giving birth above 30 years is a risk of breast cancer only in the type of breast cancer with estrogen receptors and progesterone receptors on its cancer cells, which are commonly written as er (+) and pr (+). in contrast, the type of cancer that does not have estrogen receptors or er (-), giving birth to their first child at over 30 years does not increase the risk of breast cancer. in this study, most breast cancer cases occurred at their first child, 20-35 years, where that age was the productive age. breastfeeding status breastfeeding habits are related to the hormonal cycle. immediately after childbirth, the high levels of the hormones estrogen and progesterone during pregnancy will decrease sharply. stations of the hormones estrogen and progesterone will remain low during breastfeeding. reduced levels of estrogen a nd pr ogester one in the blood dur ing breastfeeding will reduce these hormones to the process of tissue proliferation, including breast tissue. hormonal family planning acceptors most hormonal contraceptives contain estrogen and synthetic gestagens, but hormonal contraceptives contain only gestagens. during breast growth, estrogen is the essential hormone in existence. it should be emphasized, however, that too much estrogen is not necessarily a healthy thing. too much estrogen will overwhelm the body and switch off the activity of estrogen receptors. estrogen can cause cancer in 2 ways. the first act as a mitogen stimulates breast tissue to increase cell division (mitosis), resulting in cancer due to cell division errors (mutations). second, specific estrogen meta bolisms also a ct as car cinogens or genotoxins by damaging dna directly, causing cancer cells to form. the effects of estrogen were included in the model. the results show that the presence of extra estrogen increases the risk of developing breast cancer. history of breast cancer the result of statistical tests with chi-square obtained p-value = 0.0000 indicates a correlation between a history of breast cancer and the incidence of breast cancer in wcba at gambiran hospital, kediri, with an or 95% ci = 3.90824,757. it means women of child-bearing age with a history of breast cancer have a risk of 3.9 – 24.7 times more risk of developing breast cancer than women who do not have a history of breast cancer. according to suryani rina, et al.’s study published in the health journal entitled risk factors associated with breast cancer incidence at the regional general hospital dr. h. abdul moeloek lampung province, patients with breast cancer family history is often unaware of their innate or inherited susceptibility to the disease. it is indicated that cancer patients whose parents have had cancer on one 391putri, wulaningtyas, risk factors of breast cancer based on case-control study in ... breast side have a risk of getting cancer for the other breast or high recurrence at the previous cancer site. in the sudirman journal of nursing (the sudirman journal of nursing), volume 4 number 2 the year 2009 by nani desiyani, states that a history of inherited breast cancer is one of the risk factors. the presence of breast cancer carrier factors will increase the development of breast cancer at a young age. there is a genetic correlation between the occurrence of ovarian cancer and breast cancer. the presence of a breast-ovarian cancer gene located on chromosome 17q12-21 (brca1) will strengthen the occurrence of breast and ovarian cancer. brca2 (breast cancer gene two), located on chromosome 13, can also trigger breast cancer. brca1 (breast cancer gene one) is a tumor suppressor gene that plays a role in developing breast and ovarian cancer. although brca1 and brca2 mutations can cause breast cancer, the percentage of incidence is small (harianto, rina, dan hery. 2005). family cancer history in this study, it was found that a family history of cancer has no correlation with the incidence of breast cancer. it follows the opinion of hetty, 2009 in the sudirman journal of nursing (the sudirman journal of nursing), volume 4 number 2 of 2009 by nani desiyani, which states that breast cancer has been linked to specific genes in genetic study. a gene for breast cancer is 60 percent at 50 years old and 85 percent at 70 years old. family history is an essential component in the history of patients who will be screened for breast cancer. there is an increased risk of this malignancy in women whose families have had breast cancer. active/passive smoker to see the effect of smoking on the incidence of breast cancer seen from women as active/passive smokers. women who are active smokers will have a higher level of estrogen hormone metabolism than women who do not smoke. the hormone estrogen affects the process of proliferation of breast tissue. the unlimited expansion will lead to breast cancer. based on study conducted by indrati rini in the journal of risk factors affecting the incidence of women’s breast cancer states that passive smoking has a more significant risk factor for breast cancer than women who smoke. conclusion based on the study, it was found that several risk factors for the incidence of breast cancer. the elements are age, menarche, marital status, age of giving birth to their first child, breastfeeding status, hormonal family planning acceptors, history of breast cancer, family history of cancer, and active/passive smoking. the results showed that the history of breast cancer was strongly associated with the incidence of breast cancer in women of child-bearing age at gambiran hospital, kediri, with a p-value of 0.0000 and an or 9.837 95% ci 3.908-24.757. it means that breast cancer patients have a higher risk of developing breast cancer. the occurrence of breast cancer on the other side of the breast by 9.8 times compared to women who did not have a history of breast cancer. suggestion for women who have families with cancer should be aware of the onset of breast cancer. if they have reached puberty, it is recommended for early detection (screening test) through breast selfexamination (bse), iva method, and mammography testing. references book: angela r. starkweather. (2013). symptom cluster study in women with breast cancer: a comparison of three subgrouping techniques.advance in breast cancer study,2 (4) departemen kesehatan republik indonesia. (2019). pedoman penemuan dan penatalaksanaan kanker tertentu di komunitas. jakarta: depkes departemen kesehatan republik indonesia. (2013). seminar sehari dalam rangka memperingati sehari dalam rangka memperingati hari kanker sedunia. http://depkes.go.id hidayat, a.a. (2019). metode penelitian keperawatan dan analisa data. jakarta: salemba medika gant, f. n., & cunningham, g. f. (2020). dasar-dasar ginekologi & obstetri. jakarta : egc nurcahyo, jalu. (2010). awas bahaya kanker rahim dan kanker payudara. yogyakarta : wahana totalita publisher nursalam. (2009). konsep penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika william f. r. & christoper. (2001). obstetri dan ginekologi. jakarta: widya medika world health organization. (2013). breast cancer risk 392 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 386–392 factors. available from: http://www.who.int/cancer/ detection/breastcancer/en/index.html article in journal: anggorowati, lindra. (2013). faktor resiko kanker payudara wanita. jurnal kesehatan masyarakat universitas negeri semarang anothaisintawee, t., et al. (2013). risk factors of breast cancer: a systematic review and meta-analysis. asia pac j public health, 23 (2) indrati, r., setyawan, h.s., & handojo, d. (2020). faktor faktor re siko yang be rpengaruh terhadap ke jadian kanker payudara. jurnal epidemiologi universitas diponegoro fitoni, hendri. (2012). faktor resiko kanker payudara di rsud dr. soe darso pontianak. fakutas kedokteran universitas tanjungpura pontianak anggarini, dwi wahyuning. (2018). hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara di rsup dr. sardjito yogyakarta. politeknik kesehatan kementerian kesehatan yogyakarta suryani, rina. (2016). faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara di rumah sakit umum daeran dr. h. abdul moeloek provinsi lampung. jurnal kesehatan politeknik kesehatan kementerian kesehatan tanjung karang volume vii nomor 1 nani, desiyani. (2019). analisis fakto-faktor yang berhubungan dengan kejadian kanker payudara di rumah sakit pertamina cilacap. jurnal keperawatan soedirman (the soedirman journal of nursing), volume 4 no. 2. yulianti iin, et.al. (2016). faktor-faktor resiko kanke r payudara. jur n al keseh at a n masyarakat vol. 4 no. 4 326 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 326–331 community attitudes towards people with mental disorders (odgj) in terms of information sources and experiences of meeting odgj in rw 9 kelurahan tanggung, blitar city nawang wulandari1, danang candra2 1nursing departement, stikes patria husada blitar, indonesia 2nurse practitioner, puskesmas uptd kepanjen kidul, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 28/09/2020 accepted, 12/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: attitudes, society, odgj, information sources, experience article information abstract negative knowledge and experience of people with mental disorder (odgj) tend to form negative attitude. many residents still discriminate, such as social isolation. this research aimed to determine people’s attitude towards odgj in terms of meeting experienced and the sources of information they get. this research was observational analytic with cross sectional approach. the population of this research was all households in rw 9 kelurahan tanggung blitar city of 199 households, with a sample size of 120 households taken by purposive sampling technique. attitude data were collected using the community attitudes toward mentally iii (cami iii) questionnaire and analyzed using the spearman rho correlation test. the results of the analysis showed that attitudes of towards odgj in terms of sources of information they have obtained with p value 0,890, and attitudes of households with experience meeting odgj with p value 0,470, p value>0.05 which meant that there was no correlation between attitudes and information sources experience meeting odgj in rw 9 kelurahan tanggung blitar city. based on these results, it is necessary to carry out promotional activities in mental health services to form a positive attitude towards people with odgj. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: wulandarinawang23@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p326–331 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 326 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p326-331&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p326-331 327wulandari, candra, community attitudes towards people with ... introduction people with mental disorders (odgj) are people who exper ience disturba nces in their thoughts, beha vior a nd feelings which a r e manifested in the form of a series of symptoms or meaningful behavior changes, and can cause suffering and obstacles in carrying out their functions as humans. odgj are increasingly separated from their families and communities, they fail to function according to their expected roles, namely as members of the community, as students, workers or partners in the family. in most cases, odgj has decreased slowly and gradually in carrying out its function as an individual. the appearance of symptoms in behavior and decreased individual function often results in odgj being isolated, they often get a negative stigma and even shackle them. based on the results of the 2018 east java riskesdas, the prevalence of households with household members (art) with mental disorders has increased sharply compared to the 2013 riskesdas results, from 1.7 miles per household to 7 miles per household. in the work area of the uptd puskesmas kepanjenkidul itself, based on the 2019 data, there were 135 severe odgj and 192 mild odgj. these odgjs are spread across 7 sub-districts where the most odgjs are in the rw 9 area of kelurahan tanggung, namely 8 people. this figure shows that the number of people with mental disorders in the community is still quite high. there are still many people who think that the appearance of symptoms in odgj is due to inter fer ence by spir its or a demonic cur se (simanjuntak, 2013). they are considered deviant and looked down upon. the community already has a negative opinion and even justifies excluding or isolating them (thong, 2011). asti et al (2016) also stated that some residents still discriminate against odgj such as isolation, violence or bullying. it is this wrong view and judgment of society that can lead to wrong perceptions that have an impact on people’s attitudes in acceptance of odgj (wiharjo, 2014). islamiati et al (2018) in their research stated tha t people ca n a ccept odgj but not their environment. in an effor t to over come menta l hea lth problems, the government has made promotional, preventive, curative and rehabilitative efforts with the puskesmas as the spearhead in the community. a good perception needs to be owned by the community because with a good perception it is hoped that the community can have a good attitude towards odgj (azwar, 2016). the attitude of the community towards odgj will affect how the community interacts, provides support and helps odgj. this is what motivates the author to conduct research on people’s attitudes towards odgj in terms of the experience of meeting odgj and the sources of information obtained at rw 9 kelurahan tanggung, blitar city. materials and methods this type of r esearch was observational analytic with cross sectional research design. this research was conducted at rw 9 kelura han tanggung, blitar city in january 2020. the population in this study was all households in rw 9 kelurahan tanggung in 2019 as many as 199 households. the sample size in this study was 120 households which were taken using purposive sampling technique with the inclusion criteria being the head of the household or household members who were registered and lived in rw 9, tanggung sub-district. the measuring instrument used in this research was the attitude questionnaire from the community attitudes toward mentally iii (cami iii questionnaire) from s.m taylor & j. dear (1981). cami iii was used to assess attitudes towards mental disorders, there are 40 statement pr ovided with four a ttitudes subsca led: authoritarianism, benevolence, social restrictiveness, and community mental health ideology. this instrument had been tested for validity and reability with a cronbach’s alpha value of 0,730. the collected data were analyzed using the spearman rank test correlation test. result variable category f % age (year) 21-30 14 11,7 31-40 19 15,8 41-50 43 35,8 51-59 44 36,7 gender male 55 45,8 female 65 54,2 table 1 frequency distribution of respondent characteristics based on age, gender, marital status, education and family members with odgj in rw 9 kelurahan tanggung, blitar city 328 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 326–331 marital status single 7 5,8 married 82 68,3 widow 16 12,5 widower 15 13,3 level of education sd 16 13,3 smp 27 22,5 smu/smk 65 54,2 pt 12 10,0 family members yes 8 6,7 with odgj nothing 112 93,3 based on table 1, it can be seen that the most respondents were aged 51-59 years as many as 44 people (367%), female gender as many as 65 people (54.2%), with married marital status 82 people (68.3%), for the level of education most high school/ vocational high school 65 people (54.2%) and no family members with odgj as many as 112 people (93.3%). variable category f % experience meet odgj rarely 21 25,8 often 64 53,3 very often 25 20,8 source of information never 15 12,5 about odgj social media 17 14,2 mass media 18 15,0 health workers 31 25,8 health cadres 39 32,5 table 2 distribution of frequency of respondents based on meeting experiences and sources of information about odgj in rw 9 kelurahan tanggung, blitar city attitude f % positive 106 88,3 negatifve 14 11,7 total 120 100 table 3 frequency distribution of respondents’ attitudes towards odgj in rw 9 tanggung kelurahan, blitar city based on table 2, it can be seen that all respondents stated that they had met people with mental disorders (odgj) with the most frequent meetings, namely 53.3% (64 people). 87.5% had received information about people with mental disorders, with the largest source of information being health cadres 32.5% (39 people). based on table 3, it is known that the majority of respondents or 106 people have positive attitudes towards odgj. but there are still respondents who have a negative attitude towards odgj, namely as much as 11.7%. from table 4 it can be seen that most of the respondents who had experience often met odgj and had positive attitudes were 55 people (45.8%). it was also found that 29 people (24.2%) had experience of meeting odgj rarely but had positive attitudes. respondents who have experience of meeting frequently and have negative attitudes are 9 people (7.5%). there were also respondents who rarely met odgj but had negative attitudes as many experience meet odgj attitude towards odgj total positive negative f % f % f % rarely 29 24,2 2 1,7 31 25,8 often 55 45,8 9 7,5 64 53,3 very often 22 18,3 3 2,5 25 20,8 total 106 88,3 14 11,7 120 100 p 0,470 rs -0,067 table 4 respondents’ attitudes towards odgj in terms of their experience of meeting odgj in rw 9 kelurahan tanggung, blitar city 329wulandari, candra, community attitudes towards people with ... based on table 5, it can be seen that most respondents have positive attitudes towards odgj because the information obtained from cadres is 37 people (30. 8%). it wa s a lso found tha t 14 respondents who never received information but had positive attitudes towards odgj (11.7%). there were also 9 respondents (7.5%) who had received information from health workers but still had negative attitudes. the results of the correlation test obtained a p value of 0.890, which means that there was no correlation between the information obtained and people’s attitudes towards odgj. discussion the respondent’s attitude towards odgj was viewed from the experienced of met odgj the results showed that although respondents rarely, often or very often met odgj, they had been positive or negative attitudes towards odgj. based on the results of statistical tests used the spearman rank test, the p value was 0.470 with a correlation coefficient of -0.067 where p >0.05, which meant there was no correlation between the experience of meeting odgj and attitudes. based on the results of the study, it was known that the highest attitude value was in respondents aged 41-50 years where this age was the middle adulthood age range. in the middle adulthood age range a person had maturity in experienced, wise in maked decisions, and tends to like to be involved in social activities so that in behaved towards people with mental disorders, individuals in middle adulthood will tend to be positive. this is in line with the opinion of candra (2017) that one of the characteristics of adult individuals is their moral and spiritual growth. moral and spiritual maturity that encourages a person to love and serve others well. from the research results it was also known that female respondents tend to give negative attitudes towards odgj. according to the author, this happens because women tend to be emotional in addressing a problem or stimulus. symptoms in people with mental disorders provide an unpleasant picture for women, resulting in feelings of fear, disgust, and so on. this image forms the attitude that odgj should be avoided. studies on women from various cultures and countries show that women tend to feel more negative emotions, such as guilt, fear and shame (tsamarah, 2018). all respondents stated that they had met people with mental disorders. walgito (2010 in candra, 2017) suggests that experiences will greatly influence someone in their a ttitude towa rds something. this means tha t if the previous experience about the stimulus is considered pleasant, then someone will tend to be kind and vice versa. based on table 4, respondents who had experience met people with mental disorders could had positive or negative attitudes. researchers argue that the more often individuals meet people with mental disorders, they will behave normally towards odgj. as 2 people (1.7%). the results of the spearman correlation test obtained a p value of 0.470, which means that the respondent’s attitude towards odgj is not related to the experience of meeting odgj. attitude towards odgj total positive negative f % f % f % never 14 11,7 1 0,8 15 12,5 social media 15 12,5 1 0.8 16 13,3 mass media 17 14,2 1 0,8 18 15 health workers 23 19,2 9 7,5 32 26,7 health cadres 37 30,8 2 1,7 39 32,5 total 106 88,3 14 11,7 120 100 p 0,890 rs -0,013 table 5 the respondent’s attitude towards odgj in terms of information sources in rw 9 kelurahan tanggung, blitar city source of information about odgj 330 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 326–331 the attitude of the respondents towards odgj was viewed from the source of information obtained about odgj based on table 5, it was known that both respondents who got information from social media, mass media, health workers and cadres or those who never got the information, all of them had a positive attitude, some also had negative attitudes towards odgj in rw 9 kelurahan tanggung. the statistical test results obtained p value 0.890 where p >0.05, which meant there was no correlation between the attitude shown by the respondent and the source of the information they have obtained. the positive attitude shown by these respondents were reinforced by evidence from the components of the attitude that the researcher examined where the average value of “willful” attitudes were lower, “sympathetic” attitudes were higher, “isolating” attitudes were lower, and “community mental health a wa r eness” higher. t hese r esults could be concluded that the attitude of society towards people with mental disorders in rw 9 tanggung sub-district tends to be positive (taylor, 1981). the low value of the “willful” subscale and the high “sympathetic” value means that the rw 9 community tends not to act arbitrarily, for example to commit physical violence and shackling people with mental disorders, but tend to be sympathetic to them and respect their rights. meanwhile, the values of “isolating” lowed and “having a public health perspective” are high which meant that society still provides space for people with mental disorders to be treated in the community and did not isolate and limit their movement, for example by inviting people with mental disorders who were recovering to get involved in religious activities and community activities and some even employ them. based on the majority of respondents education level was sma/ smk. however, the highest average attitude score were for respondents with the latest tertiary education and the lowest was at pr ima r y school educa tion. t his it could be interpreted that the higher the level of education, the higher the society’s attitude towards people with mental disorders. according to notoatmodjo (2010) education basically involves the behavior of a person or group. education carried out, both formal and informal, focuses on the teaching process with the aim of changing behavior, namely from not knowing to knowing, fr om not under sta nding to understa nding. education a ffects a person’s mindset, the higher a person’s level of education, the ea sier it wa s for that person to r eceive information, including information about people with mental disorders. the attitude value according to marital status shows tha t the a ver a ge r esult of divor ced respondents had a negative attitude tendency. these results are in line with siqueira’s (2016) research which states that divorced individuals will respond to a more negative attitude. divorce causes a person’s happiness and life satisfaction to be low, complaints of many diseases, and becomes more depressive (ben-zur, 2016). with these various problems, often widows / widows will be more likely to show negative effects on a stimulus, especially if the stimulus was not pleasant. respondents who had family members of people with mental disorders had a much higher a ver a ge a ttitude scor e when compa r ed to respondents who did not had family members of people with mental disorders. this positive tendency was a form of family support for family members who had mental disorders. this support was needed by people with mental disorders to achieve the optimal degree of mental health. with the support provided by the family, it makes family members able to function with various abilities and minds so as to improve health and adaptation (friedman, 2010). respondents who ha d never obta ined information about people with mental disorders had a total value below the others. on the other hand, respondents who had obtained information from social media, mass media, health workers, and cadres show that the average exceeds the average of many groups. this means that individuals who get good information about people with mental disorders will tend to respond well too. this was in accordance with the theory that the existenced of new information about something provides a new cognitive foundation for the formation of attitudes towards it. these suggestive messages, if strong enough, will provide an affective basis in assessing something so that a certain attitude is formed (azwar, 2016) conclusion from the research results, it was found that the attitudes of towards odgj in terms of sources of information they had obtained with p value 0,890, and attitudes of households with experience met 331wulandari, candra, community attitudes towards people with ... odgj with p value 0,470, p value>0.05 which meant that a person’s attitude towards odgj were not influenced by the experience of met odgj and the sources of information they got in rw 9 kelurahan tanggung blitar city. suggestion it is hoped that the community will be willing to open up, accept or seek information about odgj. in addition, activities that involve the patient’s family who have a positive attitude are also needed to be able to change people’s attitudes towards a more positive directi. references asti, arnika dwi, sarifudin, sahrul, & agustin, i. m. (2016). publik stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa di kabupaten kebumen. jurnal ilmiah kesehatan keperawatan, 12(3), 176–188. azwar, s. (2016). sikap manusia: teori & pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. ben-zur, h., & michael, k. (2016). loneliness, coping and wellbeing following marital loss and separation: an empirical study. the correlates of loneliness, 184. candra, i. w., harini, i. g. a., & sumirta, i. n. (2017). psikologi landasan keilmuan praktik keperawatan jiwa. yogyakarta: penerbit andi. friedman, m.m., bowden, o., & jones, m. (2010). buku ajar keperawatan keluarga. jakarta: egc. islamiati, r., widianti, e., & suhendar, i. (2018). sikap masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di desa kersamanah kabupaten garut. jurnal keperawatan bsi, 6(2), 195-205. kementerian kesehatan republik indonesia. (2013). laporan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) indonesia tahun 2013. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan kemenkes ri. kementerian kesehatan republik indonesia. (2018). laporan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) indonesia tahun 2018. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan kemenkes ri. notoatmojo, s. (2010). ilmu perilaku manusia. jakarta: rineka cipta. simanjuntak, j. (2013). konseling gangguan jiwa & okultisme membedakan gangguan jiwa dan kerasukan setan. jakarta: pt gramedia pustaka utama. siqueira, s. r. g., abelha, l., lovisi, g. m., sarução, k. r., & yang, l. (2017). attitudes towards the mentally ill: a study with health workers at a university hospital in rio de janeiro. psychiatric quarterly, 88(1), 25-38. taylor, s. m., & dear, m. j. (1981). scaling community attitudes toward the mentally ill. schizophrenia bulletin, 7(2), 225-240. thong, d. (2011). memanusiakan manusia menata jiwa membangun bangsa. jakarta: pt gramedia pustaka utama. tsamarah, zahra g. (2018). tentang perempuan dan emosinya. https://pijarpsikologi.org/tentangperempuan-emosinya/. diakses tanggal 5 februari 2020 pukul 11.05.. 48 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk static and dynamic stretching differences toward knee joint extension in the elderly nian afrian nuari1, andika siswoaribowo2, efa nur aini3 1,2,3nursing department, stikes karya husada kediri, indonesia article information abstract the problem of a decrease in knee joint extension makes it difficult for the elderly to carry out their daily activities. static and dynamic stretching exercises can help to maintain joint range of motion and minimize muscle flexibility loss. the goal of this research was to identify if static and dynamic stretching had different effects on knee joint extension in the elderly. with a pre-experimental research design, this research used a two-group pre-test post-test design. the participants in this research were divided into two groups: static stretching and dynamic stretching, with each group consisting of 18 people recruited by the purposive selection technique. before and after the intervention, a goniometer was utilized to evaluate knee joint extension. to investigate the difference in influence, the independent t-test statistical evaluation was utilized, demonstrating that static and dynamic stretching had different effects on knee joint extension in the elderly. both of these treatments had the ability to influence joint extension. static stretching relaxes the muscles, allowing them to stretch further by moving one leg alternately and retaining the maximal position. dynamic stretching increases joint flexibility by moving both legs simultaneously and slowly. this static and dynamic stretching is necessary for the elderly to avoid a reduction in joint extension during daily activities. history article: received, 10/11/2021 accepted, 30/03/2022 published, 15/04/2022 keywords: static, dynamic stretching, knee joint extension, elderly © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nian.afrian@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p048-057 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:nian.afrian@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p048-057 nuari, siswoaribowo, aini, the correlation of drinking coffee and incident of … 49 introduction the aging process will affect changes in all body systems, one of which changes in the musculoskeletal system. problems with the physical aspect of the elderly, one of which is a decrease in musculoskeletal function, especially in the joints, often manifests the appearance of joint pain (masruroh et al, 2021). these changes include the musculoskeletal system that affects bone density, changes in muscle structure, decreases cartilage function, decreases muscle strength, and decreases muscle and joint flexibility. the elderly who are not aware experience shortening of the body's muscles, one of which is the hamstring muscle. the hamstring muscle is a muscle group in the hip joint (hip joint) located on the back of the thigh that functions as a knee flexion movement, hip extension, as well as external and internal hip rotation movements (kim d et al, 2019). disorders of the joints, is a disease that is often found in the elderly. problems in the joints, especially the knee joints, are a common disease in people from the elderly group. in addition to the age factor, disorders of the knee joint arise because many elderly people cannot control their lifestyle, such as proper physical exercise or doing sports (kurnia, 2015). the incidence of elderly people experiencing joint disorders reaches 73% of the entire population, while in indonesia, according to the indonesian ministry of health (2013), there are 4.1 million elderly or 63% of the entire elderly population who experience joint problems (depkes, 2018). data held by the east java data research and development center (2013), the elderly who experience joint disorders are 67% for the elderly in urban areas and 63% for the elderly in rural areas. the high incidence of joint disorders is due to a decrease in flexibility as a result of lack of physical exercise and exercise habits (puslitbang, 2013). based on preliminary research of the number of elderlies at the elderly posyandu in mlancu village, there were 8 elderly (80%) experiencing joint pain in the knee and 2 elderly (20%) saying they did not experience knee joint pain. the onset of joint pain in the knee, causes the elderly to experience limited movement and physical weakness. due to limited movement and reduced joint use, there is a decrease in knee joint motion extension which affects the elderly who experience knee pain unable to carry out daily activities as usual. there is a problem with knee joint pain in the elderly interfere with joint extension. knee extension is a movement to straighten the knee bones. joint disorders often attack elderly patients in weight-bearing joints, especially the knee joints. the knee joint is the largest joint in the body, located between the upper and lower legs. the movements that occur in the knee joint are flexion and extension, occurring in the sagittal plane of motion with the transverse axis of motion. the process of walking on the knee occurs in two movements, namely flexion and extension, both movements begin with an extension movement before the initial contact phase, followed by flexion of the knee to the opposite leg in the mid stance phase, then continued relaxation of the hamstring muscles during a swing from the stance phase. in the mid to terminal stance phase, in the phase between mid-swing to terminal swing, the hamstrings act by contracting extension to prevent hyperextension of the knee (walker, 2011). decreased joint extension experienced by some elderly. the occurrence of a decrease in joint extension itself, due to pain in the joints caused by immune mechanisms, metabolic factors, genetic factors, environmental factors, and age factors. however, that does not mean that the older you get, everyone will experience joint problems. correct prevention from an early age in the elderly still has to be done so that they can carry out activities without being disturbed. the cause of the decreased of joint extension was due to pain of the joint so that the elderly maintains joint position so as not to feel pain, the elderly limits their movement resulting in joint stiffness so that it is difficult to walk. the pain caused can also interfere with daily activities (nainggolan, 2012). to maintain the range of motion of joints and soft tissues and minimize the loss of muscle flexibility, it is necessary to give stretching exercises in several ways, namely static stretching and dynamic stretching. static stretching is an exercise by stretching, stretching movements in the muscles that are carried out slowly until tension occurs and achieves discomfort in the muscle, then maintains that position for 20 to 30 seconds so as to increase joint extension (walker, 2011). while dynamic stretching is a stretching exercise by moving the body or limbs rhythmically without maintaining the farthest 50 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 48-57 stretching position. dynamic stretching can stimulate the nervous system to progressively increase the space for joint existence and reduce the potential for injury, increase muscle temperature and stretch muscles so that (suharjana, 2013). static and dynamic stretching can increase the speed of nerve signal delivery and regulate body movements, facilitate the process of muscle contraction more quickly and efficiently, and increase joint flexibility so as to minimize friction that occurs due to joint stiffness. however, static stretching and dynamic stretching interventions have different capacities in exercise where static stretching movements in the muscles are carried out slowly until tension occurs while dynamic stretching moves rhythmically without maintaining the stretching position so that it is more effective to increase joint extension (nainggolan, 2012). this research aimed to determine the difference in the effectiveness of static and dynamic stretching on knee joint extension in the elderly. method the pre-experimental design with a twogroup pre-test post-test design approach was the design of this research. this research aimed to compare 2 treatments, one group was given static stretching exercise and one group was given dynamic stretching exercise. this research was conducted on april 20 until may 3, 2020. the sample in this research was taken using a sampling technique using purposive sampling, namely the elderly at the elderly posyandu, mlancu village, kandangan district, a total of 36 people, which were divided into 2 intervention groups. the instrument in this research was the geniometer. geniometer is an instrument that measures angles or allows an object to be rotated to a certain position. the intervention in this research was static and dynamic stretching exercises given 6 times in 2 weeks, with the duration of 15 minutes for 2 weeks. after being given the intervention for 2 weeks, measurement of knee joint extension in both groups was carried out during pre-test and post-test. the data were analyzed using paired t-test and independent test.with a significance level of 0.05. result the results showed that the frequency distribution of respondent based on age, gender, occupation, exercise habit, smoking habit, history of disease, gout. table 1: participant characteristics (sosio economic and demographic) variable f % static streatching group age 65-70 years old 0 0 >70 years old 18 100 gender male 3 16,7 female 15 83,3 occupation farmer 17 94,4 entreprenuer 1 5,6 exercise habits sometimes 6 33,3 never 12 66,7 smoking habits yes 3 16,7 no 15 83,3 history of diseases yes 18 100 no 0 0 gout diseases yes 5 27,8 no 13 72,2 nuari, siswoaribowo, aini, the correlation of drinking coffee and incident of … 51 dynamic streatching group age 65-70 years old 3 16,7 >70 years old 15 83,3 gender male 6 33,3 female 12 66,7 occupation farmer 18 100 entreprenuer 0 0 exercise habits sometimes 8 44,4 never 10 55,6 smoking habits yes 1 5,6 no 17 94,4 history of diseases yes 18 100 no 0 0 gout diseases yes 5 27,8 no 13 72,2 based on table 1, it is known that the general data of the respondents. the first is that the respondents who were given the static tretching intervention found that all respondents (100%) were over70 years. gender almost all (83.3%) have a female gender. for all occupations (94.4%) are farmers. most of the sports history (66.7%) claimed to have never exercised. almost all of the smoking habits (83,8.8%) never smoked. all respondents (100%) had a history of rheumatic disease and most (72.2%) had gout. for general data of respondents who were given dynamic stretching intervention, it was found that almost all respondents (83.3%) were over 70 years. partial genderthe majority (66.7%) were female. for all occupations (100%) are farmers. most of the sports history (55.6%) claimed to have never exercised. all smoking habits (94.4%) never smoked. all respondents (100%) had a history of rheumatic disease and most (72.2%) had gout. after the normality test using shapiro-wilk in each group, namely the static stretching group, a significance value (sig.) was 0.008 and the dynamic stretching group a significance value (sig.) 0,010. the two groups were normally distributed. the homogeneity test obtained a significance value of 0,000. table 2: joint extension tabulation before and after static stretching. pre test post test level f (%) f (%) 10 3 16,7 6 33,3 13 0 0 2 11,1 15 10 55,6 6 33,3 17 0 0 1 5,6 18 3 16,7 3 16,7 20 2 11.1 0 0 mean 15,22 13,72 std.deviation 2,981 3,064 52 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 48-57 the results table 2 showed that before static stretching most of the respondents (55.6%) had a joint extension of 15 degrees, after static stretching almost half of the respondents (33.3%) had a knee joint extension of 15 and 10 degrees. this change in knee extension can be seen from the results of the difference in the mean before and after the intervention, which is 15.22 before the intervention and 13.72 after the intervention. static stretching is a stretching exercise by stretching the muscles slowly until the muscles feel sore. the mechanism of action for static stretching is when the muscles are active. when stretched, the first effect will occur on elastin (actin and myosin), muscle tension increases sharply, sarcomeres lengthen and if done continuously the muscles will adapt and will last for some time (irfan & natalia, 2008). table 3: joint extension tabulation before and after dynamic stretching. pre test post test level f (%) f (%) 0 0 0 7 38,9 10 6 33,3 5 27,8 15 5 27,8 2 11,1 18 1 5,6 0 0 20 6 33,3 4 22,2 mean 15,17 10,61 std.deviation 4,260 6,251 based on table 3, showed before the dynamic stretching almost half of the respondents had a joint extension of 20 and 10 degrees. after dynamic stretching almost half of the respondents (38.9%) had a joint extension of 0 degrees or normal. this change in knee extension can be seen from the results of the difference in mean before and after the intervention, namely 15.17 before the intervention and 10.61 after the intervention. dynamic stretching is a stretching exercise by moving the body rhythmically without maintaining the furthest stretching position (kisner,2014). mechanism of action for dynamic stretching, which is stretching, eating will help fibers or abnormal cross links as elastic components result in stretching of the sarcomere so that stretching will restore elasticity. dynamic stretching where the muscles around the joints are trained with bouncing or repeated movements so that muscle flexibility can increase and the ability of the joints to move optimally, easily, without any obstacles and pain (kisner, 2014). table 4: result of statistical test paired t test pre-post with static stretching p= 0,004 pre-post with dynamic stretching p= 0,000 independent t test statis-dynamic stretching p=0,004 nuari, siswoaribowo, aini, the correlation of drinking coffee and incident of … 53 based on the table 4, the results of the independent t-test statistical test obtained the value of the effect of static stretching (p value=0.004) which means that static stretching has an effect on extension knee joint. while the dynamic stretching (p-value = 0.000) which means that dynamic stretching also affects the extension of the knee joint. meanwhile, the independent t-test showed that there was a difference between knee joint extension in static stretching and dynamic stretching (p= 0,004). the mean of the static stretching group was 13.72 while the dynamic stretching group was 10.61. based on this mean, there is a difference in the average knee joint extension in the elderly between the static and dynamic stretching groups, where the average knee joint extension in the static stretching group is higher than the dynamic stretching group, which means that dynamic stretching is more effective in reducing insomnia levels in the elderly respondents. discussion identification of knee joint extension with static stretching in the elderly the results showed that before static stretching most of the respondents (55.6%) had a joint extension of 15 degrees, after static stretching almost half of the respondents (33.3%) had knee joint extensions of 15 and 10 degrees. this change in knee extension can be seen from the results of the difference in the mean before and after the intervention, namely 15.22 before the intervention and 13.72 after the intervention. this shows that there is a change in the degree of joint extension which means that there is an effect of ststic stretching on the extension of the knee joint in the elderly. the factor of impaired knee joint extension in the elderly is the aging process. aging is a natural process that cannot be avoided, runs continuously, and continuously causes anatomical, physiological, and biochemical changes in the body, so that it will affect the functions and abilities of the body as a whole (maryam, 2012). entering the elderly will experience a physical decline; physical decline will result in a decrease in muscle mass and flexibility. thus, it can affect the ability of the elderly to fulfill their activities. physical decline due to the aging process can be prevented in the elderly by performing various components of exercise. components of exercise in the elderly can be provided with flexibility exercises. in the static stretching exercise, the muscle is stretched for at least seven seconds; this is because the typing of the muscle proprioceptor on the stretched muscle spindle will produce an impulse signal that makes the muscle contract to fight the resistance of the stretch. holding the movement for seven seconds will activate the golgy tendon organ which will further inhibit the reaction of the muscle spindle and provide a relaxing effect so that the muscle can be stretched further (faigenbaum, a., & mcfarland jr, je (2005). with this stretch, also the muscle will be stretched passively the initial elongation occurs in the sarcomere component and the tension increases drastically. when the stretch is released, the sarcomere will return to its initial length before being stretched. this tendency of the muscle to return is called elasticity. meanwhile, when the muscle is actively stretched, the first effect is will occur in elastin (actin and myosin), muscle tension increases sharply, sarcomere lengthens and if done continuously the muscles will adapt and will last for some time (irfan & natalia, 2008). get used to the muscles to change positions to a new position, however this is difficult to do considering that the longer this muscle lengthening state is carried out, the more intense the pain will be. this is in line with the incident when the research was conducted, the elderly complained of pain when withdrawing, moreover they also could not endure the pain they felt for too long. each individual has a different pain limit, that's why the results given from static stretching are also different, but overall the respondents can't stand the pain until the maximum time is given. for this reason, the use of static stretching is considered less than optimal, coupled with other supporting factors. many things can affect the abnormality of joint extension in the elderly, one of which is age (afonso, j et al, 2021). from the results of the research, all (100%) were over 70 years old resulting in a high chance of experiencing abnormal joint extensions. increasing a person's age can affect a person's physical workload. the older a person gets, the elasticity of the blood vessels becomes less good so that blood circulation becomes not smooth and causes a decrease in flexibility and muscle strength. it is this decrease in flexibility that allows for abnormal joint extension changes such as the previously described process. in addition, the decrease in synovial fluid due to the aging process also contributes to the weight of the condition. 54 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 48-57 changes that are not too significant or that do not bring results to a normal stage in knee joint extension in this case zero degrees (0º) make this static stretching intervention less effective in giving its effect on knee joint extension in the elderly, as also explained by the results. sugiarto's research (2017) concluded that there was no significant difference in the effect of the duration of static stretching of the hamstring muscles on increasing knee joint extension in the elderly. it means that the duration of static stretching does not increase the extension of the knee joint in the elderly. this is exacerbated by the characteristics of the respondents, where most (66.7) have never exercised. elderly people who do not exercise to improve their mobility risk deteriorating their physical condition. by not developing mobility through exercise, the muscles' flexibility and joint motion are reduced, resulting in a problem with knee joint extension condition in the elderly. the elderly with good physical mobility will improve their physical balance control, lowering their chance of falling (guccione, 2010). good mobility can be obtained by doing physical exercises that are useful for maintaining good joint function and posture. exercises are carried out in stages, adjusted to the abilities of the elderly. although physical exercise is very much needed by the elderly even though it is useful for their health, most of the elderly still do not do this for their own reasons. besides that, there are still a small proportion (22.2%) of the elderly who still have the habit of smoking. smoking has become a very common and widespread habit in society. the more often a person smokes, the more severe the impact will be felt when stepping on the elderly. the impact on musculoskeletal health is no exception. this habit is very difficult to get rid of because it has become a culture among the people, especially men, even though they know the impact is not good for health, but they cannot escape the culture that they have built since they were young. identification of knee joint extension with dynamic stretching in the elderly from the table above, it can be seen that before dynamic stretching almost half of the respondents had a joint extension of 20 and 10 degrees, after dynamic stretching almost half of the respondents (38.9%) had a joint extension of 0 degrees or normal. this shows the effect of dynamic stretching on knee joint extension in the elderly. active movements that take joints and muscles through their full range of motion are known as dynamic stretching (zhou, wen-sheng et al, 2019) characteristics of respondents who all (100%) have a history of rheumatic diseases triggering effusions and chronic inflammatory processes because the synovium which functions to produce synovial fluid, which is a lubricant in the joints, becomes inflamed. the knee joint has a strong ligamentous structure because it functions as a support for the body, this will also affect the possibility of stiffness in the knee joint (papadopoulos, 2005) which causes abnormal knee joint extension in the elderly due to calcification in the elderly which reduces joint flexibility. decreased joint flexibility and the formation of osteophytes in joint cartilage cause limited joint space. with this, dynamic stretching exercises are carried out because dynamic stretching can affect flexibility. flexibility can be defined as the ability of a joint and muscle, as well as the surrounding joint straps to move freely and comfortably within the expected maximum range of motion (tortora & grabowski, 2003). flexibility is influenced by many factors, one of which is gender. from most of the respondents, the results showed that most of the respondents (66.7%) were female. this is explained by suharjana (2013) that physiologically, women's muscle strength is lower than men's and women's muscle strength is only about two-thirds of men's muscle strength so that men's muscle endurance is higher than women's muscles. the occurrence of the difference between the muscle strength of men and women is also influenced by their activities, men are more likely to do habits or work that uses muscles and bones than women because men are considered to have more strength than women. in addition to gender, there are also other factors that affect flexibility related to the aging process. the aging process will affect changes in all body systems such as affecting the decrease in bone density, changes in muscle structure, decreased cartilage function, decreased muscle strength, and decreased flexibility of muscles and joints themselves. lack of flexibility can lead to slower movement and susceptibility to injury to muscles, ligaments, and other tissues. with age, a person's flexibility will decrease. the best way to increase flexibility is with dynamic stretching nuari, siswoaribowo, aini, the correlation of drinking coffee and incident of … 55 exercises. this is because when performing dynamic stretching exercises, the muscles around the joints are trained with bouncing or repeated movements in seconds so that muscle flexibility is expected to increase. flexibility is the ability of joints to move with full rom (range of motion), easily, without any obstacles and pain (kisner, 2014). therefore, this dynamic stretching intervention is suitable to provide changes to the abnormal knee joint extension in the elderly. the characteristics of respondents who all (100%) work as farmers also have a good effect on increasing physical mobility in the elderly so as to train muscle and joint flexibility. other research shows that the elderly does not have health problems in the musculoskeletal system with a habit of smoking because the majority of respondents are farmers whose daily activities help in training muscle and joint flexibility so that there are no significant complaints in the musculoskeletal system (ibrahim, 2013). analysis of differences between static and dynamic stretching on knee joint extension in the elderly from the results of research on knee joint extension after ststic stretching and dynamic stretching, the results of statistical tests using ttest showed that static stretching had an effect on knee joint extension (p=0,0004) and dynamic stretching also affects knee joint extension (p=0000), while the difference in the magnitude of the effect shows p-value 0.004, this indicates that dynamic stretching is higher than static stretching on knee joint extension in the elderly. static stretching can affect knee joint extension, but changes in knee extension are not as good as the results of dynamic stretching. that is because dynamic stretching is a stretching movement that involves muscles and joints, this stretching movement is carried out slowly and controlled with the base of the movement being the base of the joint. the key and emphasis in this stretch is in how it is done slowly and in a controlled manner. as for what is meant by slow movement, which is done in a smooth way and not stomping. while the controlled movement, meaning that the movement is carried out until it reaches the range of motion of the joints that are subjected to exercise (wiguna, 2012). in addition, dynamic stretching will quickly heat up the body and can eliminate stiffness in the joints. this happens because dynamic stretching is usually done by moving the body or limbs rhythmically (rhythmically) with circular movements or bouncing the limbs. limbs, in such a way that the muscles are trained so that there is an increase in metabolism that makes the body hot and the muscles feel stretched, and the intention is to progressively increase the range of motion of the joints. the goal of dynamic stretching is to maintain and increase the flexibility of joints, tendons, ligaments and muscles. the differences that occur between static and dynamic stretching, especially when carrying out the movement and the targets imposed in the exercise. movement in static stretching after reaching pain (uncomfort) is maintained for some time, while in dynamic stretching it is the opposite, which is actively stretched as wide as the range of motion of the joints being trained. static stretching does not have a significant effect on joint extension because it only relies on muscles and joints to get used to their new conditions and not train them, while the effectiveness of dynamic stretching is more effective because dynamic tretching has more effect on joint flexibility because the movements are repeated slowly. which has a high influence on flexibility (pamungkas, 2016). as research conducted by abbas and sultana (2014) concluded that more active stretching has a greater effect on increasing hamstring flexibility. so it can be concluded that there is a significant difference in increasing hamstring flexibility by using the active method rather than passive stretching (abbas & sultana, 2014). another opinion states that dynamic heating can increase power and performance of muscle strength compared to static heating (shaharuddin et al, 2015) conclusion according to the findings of the research, statistical testing utilizing the paired t test revealed that static stretching had an influence on knee joint extension, and dynamic stretching had an effect as well. both of these treatments have the ability to influence joint extension. there was a difference between static and dynamic stretching when it came to knee joint extension. static and dynamic stretching is required to avoid joint extension reduction during daily activitiesof elderly. 56 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 48-57 suggestion the elderly is expected to perform static and dynamic stretching activities that can be done in their daily lives to help them maintain their knee joint extension. acknowledgment we'd want to thank everyone who took part in this research, especially the elderly and their families, for their time and knowledge. we also like to thank all of the research assistants who helped with the data collecting. finally, i'd want to express my gratitude to stikes karya husada kediri for their support of our research. reference abbas, d. m., & sultana, b. (2014). efficacy of active stretching in improving the hamstring flexibility. int j physiother res, 2(5), 725-32. afonso, j.; ramirez-campillo, r.; moscão, j.; rocha, t.; zacca, r.; martins, a.; milheiro, a.a.; ferreira, j.; sarmento, h.; clemente, f.m. (2021). strength training versus stretching for improving range of motion: a systematic review and meta-analysis. healthcare 2021, 9, 427. https://doi.org/10.3390/healthcare9040427 depkes ri. (2018). profilkesehatan indonesia. jakarta. dalam http://www.depkes.go.id (diaksestanggal 02 desember2019). faigenbaum, a., & mcfarland jr, j. e. (2005). guidelines for implementing a dynamic warm-up for physical education. journal of physical education, recreation & dance, 78(3), 25-28. guccione aa, minor m a. (2010). arthritis.. physical rehabilitation. 5th ed. philadelphia: f.a. davis company, pp: 1066-68 ibrahim, r. c., polii, h., &wungouw, h. (2013). pengaruh latihan peregangan terhadap fleksibilitas lansia. jurnal biomedik vol. 3 no. 1. irfan, m., & natalia. (2008). bedapengaruh auto stretching dengan contract relax and stretching terhadap penambahan panjang otot. jurnal fisioterapi indonesia vol 8 no 1 kementrian kesehatan ri. (2013), profil kesehatan. http://www.depkes.go.id . diakses pada tanggal 2 november 2020 kim d, kim c, seo d, lee b. (2019). comparison of the changes in the range of motion on the knee joint according to the contraction intensity during evjenth-hamberg stretching in healthy subjects: a cross-sectional pilot research. kspm 2019;14:1-11. https://doi.org/10.13066/kspm.2019.14.3.1 kisner c, colby l.a. (2014). therapeutic exercise.philadelpia: f.a. davis company. sixth edition. kurnia, nadia, and yosef purwoko. (2015). perbedaannilai range of motion (rom) sendi ektremitas atas sebelum dan sesudah pelatihan senam lansia menpora pada kelompok lansia kemuning banyumanik, semarang. diss. faculty of medicine maryam. (2012). mengenal usia lanjutdan perawatannya. jakarta: salemba medika masruroh,eny&setyadhani, erry. (2021). obesity factors on the incidence of joint pain of elderly. jurnal ners dan kebidanan stikes patria husada blitar. vol.8, no.2,agustus 2021. https://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/vie w/713 nainggolan, (2012). perancangan sendi lutut (knee join) kaki palsu untuk transfer formal ampute. puplikasi ilmiah no. iii/lppm/2017-01/17-p pamungkas, y. i., hartati, e., &supriyono, m. (2016). efektifitas pemberian stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di unit pelayanan social lanjut usia wening wardoy oungaran. karya ilmiah. papadopoulos, g., siatras, t. h., & kellis, s. (2005). the effect of static and dynamic stretching exercises on the maximal isokinetic strength of the knee extensors and flexors. isokinetics and exercise science, 13(4), 285291. puslitbang. (2013). kebijakan dan manajemen kesehatan: puslitbang sumber daya dan pelayanan kesehatan . ejournal.litbang.depkes.go.id shaharuddin, s. bt s., &mondam, s. (2015). the effectiveness of static and dynamic stretching on hamstring flexibility after 4weeks training to prevent the risk of injuries. malaysian journal of medical and biological research volume 2 no. 3 sugiarto, a., & sari, y. m. (2017). pengaruh durasi static stretching otot hamstring terhadap peningkatan ekstensi sendi lutut pada lanjut usia di posyandu serangan desa blulukan (doctoral dissertation, universitas muhammadiyah surakarta). suharjana, f. (2013). perbedaan pengaruh hasil latihan peregangan statis dan dinamis terhadap kelentukan togok menurut jenis kelami nanak kelas 3 dan 4 sekolahdasar. yogyakarta :jurusanpendidikanolahraga uny tortora & grabowski. (2003). muscle and its peascasean outline primer of basic science and clinical method. year book medical publisher: inc https://doi.org/10.3390/healthcare9040427 http://www.depkes.go.id/ http://www.depkes.go.id/ https://doi.org/10.13066/kspm.2019.14.3.1 https://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/713 https://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/view/713 nuari, siswoaribowo, aini, the correlation of drinking coffee and incident of … 57 walker, b., (2011). ultimate guide to stretching & flexibility: third edition, injury fix, new york, hal 9. wiguna, p. d. a., muliarta, i. m., wibawa, a., adiputra, l. m. i. s. h. (2016). intervensi contract relax stretching direct lebih baik dalam meningkatkan fleksibilitas otot hamstring dibandingkan dengan intervensi contract relax stretching inderect pada mahasiswa program studi fisioterapi fakultas kedokteran universitas udayana. majalah ilmiah fisioterapi indonesia,2. zhou, wen-sheng & lin, jia-huei & chen, shuchen & chien, kuei-yu. (2019). effects of dynamic stretching with different loads on hip joint range of motion in the elderly. journal of sports science & medicine. 18. 5257 . 398 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 398–403 the effectiveness of giving cold compress in pain reduction intensity of perineal wound of postpartum mother maria ulfa1, laily prima monica2 1,2departement of midwifery, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 13/08/2020 accepted, 13/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: cold compress, perineal wound pain, postpartum mothers. article information abstract perineal wound pain is very likely to cause problems for the postpartum mothers. in the process of childbirth often occurs perineal wound, for some cases, it will heal permanently, but if the wound is wide enough can be sutured to the perineum. perineal repair not only giving some benefits, but also can cause pain. one way to deal is by applying non-pharmacological pain management, the way is by giving cold compresses in the form of ice bags, it will result smaller risk. the purpose of this study was to provide cold compress therapy in scars to reduce pain. methods: posttest only control group design. the population in this study was 30 postpartum mothers in kanigoro health centers by using purposive sampling. the sample was 16 respondents. the independent variable was cold compress, while the dependent variable was pain in the perineal wound. the instrument used standart operating prosedure. results: fisher exact probability test shows p = 0.003 (a = 0.05). it could be concluded that giving cold compress could reduce the problem in perineal wound for postpartum mothers in the kanigoro health center area. along with this study, respondents are expected to actively ask questions, learn about problems during and after giving birth, especially not only learn about the technique of giving cold compresses to the perineum, but also about the provided comments. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ulfamaria845@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p398–403 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 398 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p398-403&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p398-403 399ulfa, monica, the effectiveness of giving cold compress in pain reduction intensity of ... introduction puerperium is a period that begins after the placenta comes out and ends when uterine cavity return to their original state (before pregnancy). the puer perium lasts for a bout 6 weeks. in the puerperium period, usually ensue injuries to the birth canal. injuries to the vagina and perineum are generally not extensive and will heal permanently (healing by itself), but if the wound is a large enough, it can be hect to the perineum. (sulistyawati, 2009). pain in perineal wounds greatly interferes with the comfort of the mother which results in difficulty during bowel movements, urination and insomnia. this condition will last for several weeks to one month new, therefore intervention and treatment is needed to reduce the pain. pain management can be done pharmacologically and nonpharmacologically. pharmacological pain management is risky for infants because it enters the circulation of blood vessels in breast while nonpharmacologically is safer to apply because it has less risk, does not cause side effects and also uses physiological processes (yeyeh, 2010). multiple nonpharmacologically ma na gement consist deep br ea th r ela xation techniques, massage stimulating point and cold compr ess ther a phy. deep br ea th r ela xa tion techniques are pain-relieving techniques that provide many the greatest input due to relaxation can maintain components of the sympathetic nervous system in a state homeostatic so as not to increase the increase blood supply (marwati, 2017). massage stimulating point along the spinal cord meridian which is transmitted through large fibers to formatio reticular, thalamus and body systems will release endorphins (cunningham, 2013). however, cold compress therapy is a non pharmacological method to reduce the most appropriate pain for perineal pain due to stimulation with a cold compress has an effect analgesic with slow speed nerve conduction resulting in pain impulses that are reach the brain less. one way to deal with non-pharmacological pain is by giving a cold compress in the form of an ice pack. it is an ice pack that is packaged using an ice bag and filled with ice cubes then wrapped in something clean like a washcloth use or sterile gauze (potter & perry,2006). based on a survey conducted by studyers on 7 february 2019 at bpm sri wahyuni, str.keb jatinom village, kanigoro district, blitar regency, there were 40 postpartum mothers from january 2018 to january 2019, 40 people were born at midwives’ house and 30 were born in the hospital. from the data of postpartum motherss in january 2018 until january 2019 where 60% ofpostpartum motherss get stitches and 40% without stitches. of the 60% of mothers who get 100% of new hecting, they overcome this pain with analgesic drugs, so the studyers wanted to try to do a cold compress to reduce the pain of stitches. given these problems, the studyers were interested in conducting study on “the effectiveness of giving cold compresses to the reduction of perineal wound pain inpostpartum motherss in the working area of kanigoro public health center in blitar district”. the general objective of the study was to determine the effectiveness of giving cold compress to the reduction of perineal wound pain inpostpartum motherss in the working area of kanigoro public health center in blitar district, (1) identifying perineal wound pain inpostpartum mothers which included in the treatment group in the working area of kanigoro public health center in blitar district (2) identifying perineal wound pain inpostpartum mothers including the control group in the working area of kanigoro health center in blitar regency (3) analyzing the administration of cold compresses that aim to reduces perineal wound pain inpostpartum mothers in the working area of kanigoro health center in blitar regency. benefits for respondents are they are be able to improve their a bility a nd ha ving new knowledge in overcoming the problem, especially about reducing pain in perineal wounds. methods t he design of the study used “ pr eexperimental” design. the subject of this study was 16 postpartum mothers, with 8 respondents as the treatment group and 8 respondents as the control group. the subject of this study was selected by purposive sampling by making direct observations on the use of cold compresses and treatment of perineal wounds. the subjects were those who live in the area of kanigoro public health center in blitar district with some criteria (a) postpartum mothers who gave birth in the range 1st to 7th day (b) postpartum mother without complications (c) postpartum mother who could not bear to eat some pr ohibited food (d) postpa rtum mother who consumed analgesic medicine. the exclusion criteria in this study were postpartum mothers who did not get perineal repair. the method was by giving 400 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 398–403 a cold compress in the form of an ice pack. it was an ice pack packaged with an ice bag and filled with ice cubes then wrapped in something clean no postpartum f % 1 < 7 days 16 100 2  7 days 0 0 total 16 100 tabel 1 distribution of characteristic of respondent based on postpartum days results like a washcloth use or sterile gauze. the instrument used sop. the data was analyzed by fisher exact probability test with the level of significance was 0,05. pain category day 2 day 3 day 4 average f % f % f % f % severe 0 0 0 0 0 0 0 0 mild 8 100 8 100 8 100 8 100 tabel 2 distribution of characteristic of respondent based on perineal wound pain in the treatment group pain category day 2 day 3 day 4 average f % f % f % f % severe 6 75 6 75 6 75 6 75 mild 2 25 2 25 2 25 2 25 tabel 3 distribution of characteristic of respondent based on perineal wound pain in the control group no pain category treatment group control group 1 severe 0 6 2 mild 8 2  = 0,003 = 0,05 tabel 4 analysis of pain category of perineal wound pain with the fisher exact probability test all respondents (100%) who received cold compress treatment did not experience pain during mobilization. in the absence of treatment in the respondents, identified the majority (75%) felt severe pain in the suture wound, especially during mobilization. puerperal women who get stitches complain of pain in less than 7 days. 401ulfa, monica, the effectiveness of giving cold compress in pain reduction intensity of ... discussion identification of treatment groups from the results of the study in the treatment group, 100% or 8 respondents were included in the category of mild pain in perineal wounds. in the treatment group after cleaning the hecting area, respondents were given cold compress therapy, whereas in the control group after cleaning the hecting area, respondents were not given cold compr ess ther apy. t he treatment group was observed for 3 days with cold compress therapy. the intensity of pain in the perineal wound after being given a cold compress was reduced. cold compress were provided using a cold liquid with a temperature of 15 c for 5-10 minutes. cold compress were given to get a local effect by using ice bags, ice colar, ice gloves and disposable coolers. giving compresses in cold temperatures will reduce the pain impulses so that slowly able to reduce the intensity of pain in the wound (potter & perry, 2005). giving cold compresses to the perineal wound should only be done within 5-10 minutes in the first 24-48 hours after partum using cold liquid with a temperature of 15 c, because if it is too long then the blood tissue will die and blood supply also decreases as a result of vasoconstriction of blood vessels (koezier, 2009). this is in line with study conducted by khotijah (2011) on the effectiveness of cold compresses on reducing the intensity of pain in fractures. the selected therapy is to use cold compresses, where in the study, she used the control and treatment groups. the treatment groups experienced reduce in pain which was very significant. control group identification in the control group no cold compress therapy was given to the sutured wound, but observation was continued for 3 days as the treatment group. from the results of the study in the control group, it was found that 75% or 6 respondents in the control group were in the category of severe perineal wound pain and 25% were in the category of modera te perinea l wound pain. pa in is a subjective sensory and unpleasant emotional experience based on tissue damage that is felt in where the damage occurs (perry & potter, 2006). there are several factors that can affect the occurrence of pain in suture, such as physiological conditions, psychological conditions and health. the physiological factor in the questions is contraction. muscle movements will cause pain because the muscles of the uterus extend and then shorten. the intensity of pain from opening one to opening ten will increase in height and more often depend to the strength of the contractions and the baby’s pressure on the pelvic structure followed by stretching and even tearing of the lower birth canal. another factor is psychological factors, namely excessive fear and anxiety that will affect the pain. every mother has her own version of labor pain and childbirth. this is because the threshold for pain stimulation is different and very subjective to every person. factors of medical staffs who do not under sta nd la bor pr ocedur es a nd la ck of infrastructure in labor can also affect the intensity of pa in, especia lly pa in in per ineal wounds (andarmoyo, 2013). from the results of the study anugerah et al, (2017) about the effect of giving cold compress ther a py to postoper ative pa in orif (open reduction internal fixation) in fracture patients, states that of the 10 respondents before being given pain intensity therapy at 3.7 (moderate pain) this condition was easy to seen because the respondent looks different when they have been given therapy, their pain intensity decreases to 2.9 (mild pain). respondents were feeling pain when they are resting, when they were moving, but the pain was felt to be very strong when doing the activity. giving cold compresses reduces the intensity of pain in the perineal suture cold compr ess ther a py is a non phar ma cological method to reduce the most appropriate pain for perineal pain due to stimulation with a cold compress has an effect analgesic with slow speed nerve conduction resulting in pain impulses that are reach the brain less. one way to deal with non-pharmacological pain is by giving a cold compress in the form of an ice pack. it is an ice pack that is packaged using an ice bag and filled with ice cubes then wrapped in something clean like a washcloth or sterile ga uze (potter & perry,2006). from the results of observations for 3 days, in the tr ea tment gr oup perineum wound in the postpa r tum mother s in the ca tegor y of inconvenience and in the control group still felt severe and moderate pain on average in the new 402 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 398–403 period 2-4 days. these results proved that the administration of cold compress therapy could reduce perineum pain. in addition, the administration of cold compress therapy could help puerperal women to facilitate early mobilization, due to a decrease in pain in the suture wound. mild. in other hand, the control group tended to be more difficult to experience pain reduction, although there was a small portion (25%) who experience a decrease in pain (moderate pain), this was because of the pain threshold of the postpartum mothers is low. from the statistical results of the fisher exact probability test between the treatment group and the control group it was found that 8 respondents (100%) of the treatment group were in the mild pain category. whereas, 6 respondents (75%) in the contr ol gr oup exper ienced pa in a nd 2 respondents (25%) were in moderate pain category. according to the fisher exact probability test results obtained significance value ñ = 0.003. the level of significance set was at á = 0.05. from these pr ovisions, it could be concluded tha t the administration of cold compress therapy could reduce the pain of perineal wounds of postpartum mothers. pain management can be done pharmacologically and nonpharmacologically. pharmacological pain management is risky for infants because it enters the circulation of blood collected in breast milk while nonpharmacologically is safer to apply because it has a smaller risk, does not cause side effects and uses physiological processes. one way to deal with non-pharmacological pain is by giving a cold compress in the form of an ice pack, it is an ice which packaged using an ice bag filled with ice cubes and wrapped in something clean like a disposable washcloth or sterile gauze (yeyeh, 2010). fr om the r esults of study conducted by maimunah, et al (2011) states that the uses of cold compress therapy was very effective in reducing the intensity of pain in dysmenorrhea, because with the administration of cold compresses there is a shift of pain perception into a dominant cold feeling so that respondents feel more comfortable. t his is a lso in line with the r esults of rahmawati’s (2013) study which stated that of the 20 postpartum motherss with perineal injuries, before being given cold compresses 12 respondents (60%) were included in the moderate category, after being given a cold compress 15 respondents (75%) were included in the lightweight category. so overall, it can be stated that the used of cold compress therapy is very effective in reducing pain intensity, especially pain in perineal wounds inpostpartum motherss. conclusion the results showed that (1) perineal wound pain inpostpartum motherss belonging to the treatment group in the working area of kanigoro health center in blitar, all respondents (100%) experienced mild pain (2) perineal wound pain in postpartum motherss who belong to the control group in the puskesmas work area kanigoro blitar ; 6 respondents (75%) were in the category of severe pain and 2 respondents (25%) experienced moderate pain (3) giving cold compress therapy reduced pain in perineal wounds. suggestion respondents are expected to actively ask questions, learn about problems during and after giving birth, especially not only learn about the technique of giving cold compresses to the perineum, but also about the provided comments. further studyers are advised to study other nonpharmacological techniques to reduce perineal wound pain. to sum, if the pain of the perineal wound is resolved, the process of the puerperium will flowing smoothly. references andarmoyo, sulistyo. (2013). konsep dan manajemen nyeri persalinan. jakarta: ar-ruzz medika anugerah. (2017). pengaruh pemberian terapi kompres dingin terhadap nyeri post operasi orif (open reduction internal fixation) pada pasien fraktur. ejurnal pustaka kesehatan vol 5 no 2 mei 2017 biswan, marwati. (2017). efek metode non farmakologik terhadap intensitas nyeri ibu bersalin kala i. jurnal kesehatan, volume viii, nomor 2, agustus 2017, hlm 282-288 khotijah. (2011). efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pasien fraktur di rindu b rsup. h. adam malik medan (skripsi). medan: universitas sumantera utara koezier & erb. (2009). buku ajar praktik keperawatan klinis. jakarta: egc maimunah, siti. (2017). perbandingan efektifitas kompres hangat dan kompres dingin sebagai terapi non-farmak ol ogi s disme nore pada remaja. medula vol 7 no 5 desember 2017 potter & perry. (2006). fundamental keperawatan: 403ulfa, monica, the effectiveness of giving cold compress in pain reduction intensity of ... konsep,proses dan praktik, edisi keempat, volume 2. jakarta: egc rahmawati. (2013). pengaruh kompres dingin terhadap pengurangan nyeri luka perineum pada ibu nifas di bps siti alfirdaus kingking kab, tuban. jurnal sain med. vol.5 no. 2 desember 2013 rukiyah, yeyeh. (2011). asuhan kebidanan iii (nifas). jakarta: cv.trans info media sulistyawati, ari. (2009). buku ajar asuhan kebidanan pada ibu nifas. yogyakarta: andi offset 116 gaya berpacaran remaja di sekolah menengah atas kota blitar (dating style in adolescent at senior high school of blitar) triana setijaningsih prodi d3 keperawatan blitar jurusan keperawatan, poltekkes kemenkes malang e-mail: jurnal@poltekkes-malang.ac.id abstract: dating is the period between the approaches of the two opposite sex individuals, characterized by mutual personal recognition both strengths and weaknesses of each individual. the purpose of the research is to describe the style of adolescence dating in senior high school blitar. the method in this research uses descriptive design. the population in this research is the students of catholic senior high school blitar, academic year 2013/2014 aged 17-19 years, a great samples taken is as much as 74 students using systematic random sampling technique. data collecting is done proving questionnaires. times data retrieval is performed on 11 to 31 march 2014. data categorized using the formula according sutomo by the cut of point, and explained with statistic techniques mode. the result of this research showed the most demanding style adolescence is intimate as 88%. the amount of any teen dating stle is at most two kinds of style as much as 42%. so that adolescence have a relationship that is based on the style of sincerity, warmth, intimacy between opposite sex to maintain a longstanding love affair. need to do further research on the factors that influence the style of adolescence in dating. keywords: the concept of dating, adolescence abstrak: pacaran merupakan masa pendekatan antar individu dari kedua lawan jenis, ditandai dengan saling pengenalan pribadi baik kekurangan dan kelebihan dari masing-masing individu. tujuan penelitian menggambarkan gaya berpacaran remaja di sekolah menengah atas katolik diponegoro blitar. metode penelitian menggunakan rancangan deskriptif. populasi siswa sekolah menengah atas katolik diponegoro blitar tahun ajaran 2013/2014 berusia 17-19 tahun, besar sampel diambil 74 siswa, menggunakan teknik systematic random sampling. pengumpulan data menggunakan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan tanggal 15 maret 2014. pengkategorian data khusus menggunakan rumus menurut sutomo, dikategorikan dengan cut of point, dan dijelaskan dengan teknik statistika modus. hasil penelitian menunjukkan gaya paling banyak diminati remaja gaya intimate sebanyak 88%. jumlah gaya berpacaran setiap remaja paling banyak adalah dua macam gaya sebanyak 42%. sehingga remaja memiliki gaya berpacaran yang didasari ketulusan, kehangatan, keakraban antar lawan jenis untuk mempertahankan hubungan cinta yang berlangsung lama. perlu dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gaya remaja dalam berpacaran. kata kunci: konsep berpacaran, remaja rasa kasih sayang pada usia remaja merupakan kebutuhan mendasar bagi kesehatan jiwa dan mental remaja. secara fisiologis remaja telah mencapai kematangan organ-organ reproduksi, kematangan organ reproduksi tersebut mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial. remaja berupaya mengembangkan diri, mulai memperhati kan lawan jenis bahkan sebagian telah berpacaran. masa pacaran sebagai pendekatan antar individu dari kedua lawan jenis untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang lain. ada aturan yang dilarang saat berpacaran, salah satunya melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menjerumuskan kepada perzinahan, misalnya: berpelukan, berdua an di tempat sepi, acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p115-119 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 117 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.116-121 berciuman, memegang alat kelamin, berhubungan seksual (santrock, 2003). akhir-akhir ini kebebasan seksual sudah tidak mempedulikan kaidah-kaidah masalah seksualitas dikalangan remaja. pengalaman berpacaran remaja di indonesia cenderung semakin berani dan terbuka. berdasarkan hasil survei demografi dan kesehatan indonesia remaja (sdki-r) tahun 2012: remaja laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah sebanyak 9%, pendapat mengenai hubungan seksual sebelum menikah sebanyak 1% perempuan dan 7% laki-laki boleh melakukan hubungan seksual sebelum menikah. fenomena tersebut semakin marak terjadi di jawa timur, berdasarkan profil kesehatan provinsi jawa timur, 2012. perilaku seks pranikah pada remaja yang meningkat memungkinkan kehamilan yang tidak diinginkan juga terjadi, sehingga akan berisiko untuk aborsi dan terkena infeksi menular seksual (ims) dan sangat berkaitan dengan human immunodeficiency virus (hiv) atau acquired immune deficiency syndrome (aids) dan penyalahgunaan narkoba psikotik dan zat aditif (napza). ditinjau dari cara penularan pada kasus aids dari data laporan surveilans nampak bahwa, faktor risiko yang tertinggi adalah hetero seksual 4.912 kasus (71,19%), didominasi oleh kelompok umur seksual aktif pada usia 15-24 tahun (11,48%). disusul penggunaan narkoba suntik disebut intravena drug user (idu) 20,28% dan homoseksual 4,14% yang selama ini mendominasi. data dari poli peduli kesehatan reproduksi remaja (pkrr) puskesmas sananwetan kota blitar, jumlah siswi tingkat pelajar yang mengalami kejadian kehamilan tidak diinginkan (ktd) pada tahun 2012 sebanyak 3 orang, tahun 2013 mengalami penurunan sebanyak 1 orang, namun sepanjang bulan pebruari 2014 sudah sebanyak 4 orang. angka kejadian tersebut hanya diketahui jika memeriksakan di poli pkrr saja dan kemungkinan masih ada kejadian yang tidak diperiksakan di poli karena alasan tertentu. hasil studi pendahuluan dengan melakukan wawan cara kepada 6 siswa yang rata-rata usianya 17 tahun mengenai berpacaran, ternyata lima siswa telah memiliki pacar dan satu siswa mengaku tidak memiliki pacar karena sudah putus. ketika berpacaran di luar lingkungan sekolah mereka beranggap an bahwa berpelukan, bergandengan tangan, berciuman dengan lawan jenis hal yang wajar dilakukan. hal ini tidak lepas dari gaya berpacaran remaja, karena setiap remaja menunjukkan gaya yang berbeda dalam berinteraksi antar lawan jenis. seperti yang dikembangkan oleh jacob orlofsky (1976) ada lima gaya berpacaran: intim (intimate style) yang mengarah pada gaya berpacaran yang sifatnya menjaga hubungan keakraban, praintim (preintimate style) menunjukkan hubungan yang menawarkan cinta tanpa kewajiban apapun, terstereotipe (stereotyped style) mengarah pada hubungan yang dibentuk karena daya tarik fisiknya saja, gaya intim semu (pseudointimate style) gaya yang mengarah pada perbuatan seks bebas, terisolasi (isolated style) individu tidak dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain (santrock, 2003). pergaulan bebas yang tak terkendali secara normatif dan etika moral antar remaja yang berlainan jenis, akan berakibat adanya hubungan seks bebas yang menimbulkan bermacam penyakit kelamin. secara umum bahwa perempuan lebih berorientasi kuat kepada perhatian dalam suatu hubungan dengan lawan jenis, sementara laki-laki lebih tertarik dengan masalah seksual (santrock, 1998 dalam dariyo, 2004). berdasarkan data tersebut penulis ingin mendalami keadaan gaya berpacaran pada remaja yang terjadi di sekolah menengah atas katolik (smak) diponegoro blitar. berdasarkan latarbelakang diatan diatas peneliti tertarik meneliti “bagaimanakah gaya berpacaran remaja di sekolah menengah atas katolik (smak) diponegoro blitar?”. tujuan penelitian menggambarkan gaya berpacaran remaja di sekolah menengah atas katolik (smak) diponegoro blitar. bahan dan metode peneliti menggunanakan desain penelitian deskriptif, merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif populasi dalam penelitian yang diambil adalah siswa sekolah menengah atas katolik (smak) diponegoro tahun ajaran 2013/2014, yang berusia 17-19 tahun dalam tahap ini remaja sudah dapat mewujudkan perasaan cinta dengan lawan jenis atau telah memiliki pacar, besar populasi sebanyak 297 siswa. sampel nya adalah siswa dari sekolah menengah atas katolik (smak) diponegoro yang berusia 17-19 tahun pada tahun ajaran 2013/2014, jumlah sampel sebanyak 74 siswa dengan tehnik sampling systematic random sampling setijaningsih, gaya pacaran remaja 118 tenpat penelitian dilaksanakan di sekolah menengah atas katolik (smak) diponegoro kota blitar, yang terletak di jl. diponegoro no. 28 blitar. pengambilan data dilakukan tanggal 15 maret 2014 pada jam pelajaran bimbingan konseling, menggunakan instrumen kuesioner . variabel penelitiannya adalah gaya berpacaran remaja. hasil penelitian 1. data umum a) jenis kelamin remaja gambar 1 diagram lingkaran karakteristik remaja berdasarkan jenis kelamin di sma katolik diponegoro blitar, maret 2014 (n=74). b) jumlah pacar remaja gambar 2 diagram lingkaran karakteristik remaja berdasarkan jumlah pacar sekarang di sma katolik diponegoro blitar, maret 2014 (n=74). c) karakteristik remaja berdasarkan usia gambar 3 diagram lingkaran karakteristik remaja berdasarkan usia di sma katolik diponegoro blitar, maret 2014 (n=7 d) remaja yang memberitahukan sudah memiliki pacar gambar 4 diagram lingkaran karakteristik remaja berdasarkan remaja yang membe ritahukan sudah memiliki pacar di sma katolik diponego ro blitar, maret 2014 (n=74). e) alasan berpacaran remaja tabel 1 karakteristik remaja berdasarkan alasan berpacaran di sma katolik diponegoro blitar, maret 2014 (n=74). pilihan alasan berpacaran frekuensi prosentase (%) a perlu menjalin keakraban dengan lawan jenis 46 62 b untuk memilih calon pasangan hidup 13 18 c bereksperimen untuk melakukan hubungan intim dengan pacar 2 3 d tidak ingin dianggap jomblo 3 4 e pilihan a dan b 7 10 f pilihan a dan c 1 1 g pilihan b dan d 1 1 h pilihan a, b dan d 1 1 jumlah 74 100 tabel 2 karakteristik remaja berdasarkan manfaat berpacaran di sma katolik diponegoro blitar, maret 2014 (n=74). pilihan manfaat berpacaran frekuensi prosentase (%) a sebagai motivasi untuk meningka tkan prestasi 44 60 b pacaran dapat menimbulkan dorongan seksual 2 3 c sebagai bentuk hiburan 13 19 d sebagai proses belajar mengenal norma-norma 4 5 e pilihan a dan c 5 6 f pilihan a dan d 4 5 g pilihan c dan d 1 1 30% 70% laki-laki perempuan 93% 7% 1 orang > 1 orang 85% 14% 1% 17 tahun 18 tahun 19 tahun 62% 38% ya tidak 119 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.116-121 h pilihan a, c dan d 1 1 jumlah 74 100 2. data khusus tabel 3 gaya berpacaran di sma katolik diponegoro blitar, maret 2014 (n=74). no. gaya berpacaran jumlah prosent ase 1 intim 88 % 2 pra intim 41 % 3 terstereotipe 30 % 4 intim semu 22 % 5 terisolir 5 % c) jumlah gaya berpacaran setiap remaja gambar 5 diagram batang karakteristik yang menggambarkan jumlah gaya berpacaran yang dimiliki setiap remaja di sma katolik diponegoro blitar, maret 2014 (n=74). pembahasan berdasarkan hasil penelitian, data dari masing-masing gaya berpacaran remaja di sekolah menengah atas katolik diponegoro blitar didapatkan sebanyak 26% (19 remaja) mengarah pada gaya intimate. karakteristik dari gaya ini lebih mendorong individu membentuk hubungan adanya ketulusan, kehangatan, dan keakraban antara satu sama lain, sifatnya terbuka terhadap keberadaan orang lain, dan dapat menerima segala kekurangan pada diri masingmasing lawan jenis pasangan. jenis gaya berpacaran yang dilakukan remaja ini berkaitan karena kebetulan memiliki pacar dalam satu lingkungan sekolah, namun masing-masing dari remaja tersebut tetap harus menjalin hubungan baik dengan teman lawan jenis yang lainnya agar hubungan sosial tetap berjalan dengan baik. menurut paul & white dalam santrock, (2003) tujuan yang diinginkan oleh remaja adalah mengembangkan identitas diri yang matang dan memiliki hubungan yang positif dan dekat dengan orang lain. tahapan ini sesuai dengan tahap perkembangan erikson keenam yang dialami individu selama masa dewasa awal. pada saat ini individu menghadapi tugas perkembangan untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain. erikson menggambarkan intimasi bila seorang remaja membentuk persahabatan yang sehat dan hubungan dekat maka keintiman dengan individu lain akan tercapai, bila tidak maka terjadi isolasi (erikson dalam santrock, 2003). pada fase ini remaja dapat mencari dan menjalin keakraban dengan teman sebaya baik sesama maupun berlawanan jenis dan lebih selektif, karena pada usia sekolah remaja mengharapkan bahwa memiliki pacar juga dapat menjadi penyemangat tersendiri dalam kegiatan belajar di sekolah. hal ini berdasarkan hasil pilihan dari pernyataan remaja sebanyak 62% (46 remaja) memilih bahwa remaja perlu menjalin keakraban dengan lawan jenis, tentunya untuk menghindari agar remaja tidak terisolasi dari dunia sosial, dan sebanyak 60% (44 remaja) memilih bahwa berpacaran sebagai motivasi untuk meningkatkan prestasi. sedangkan pada tahap perkembangan psikososial menurut departemen kesehatan republik indonesia (depkes ri) 2001, dalam tarwoto, dkk, 2010. salah satu tahap perkembangannya yaitu” lebih mampu membuat hubungan dengan lawan jenis yang lebih stabil”, sehingga dampak terhadap remaja mempunyai pasangan yang lebih serius dan banyak menghabiskan waktunya dengan mereka atau dengan lawan jenisnya. sehingga remaja yang memiliki gaya berpacaran intimate memiliki kebutuhan untuk membentuk hubungan yang baik antar individu baik sama atau lain jenis, tetapi tidak menutup kemungkinan jika satu remaja ini memiliki gaya berpacaran selain gaya intimate. secara keseluruhan paling banyak remaja memiliki dua macam gaya berpacaran sebanyak 42% (31 remaja). dua macam gaya berpacaran tersebut masih terdiri dari beberapa gaya diantaranya, intimate dengan praintim sebanyak 18% (13 remaja), intimate dengan terisolasi sebanyak 1% (1 remaja), intimate dengan terstereotipe sebanyak 15% (11 remaja), intimate 32 % 42 % 18 % 4 % 4 % 0 5 10 15 20 25 30 35 satu gaya dua gaya tiga gaya empat gaya tanpa gaya f r e k u e n si jumlah gaya berpacaran setijaningsih, gaya pacaran remaja 120 dengan intim semu sebanyak 7% (5 remaja), dan terakhir praintim dan terisolasi sebanyak 1% (1 remaja). diantara kelima gaya tersebut nilai yang paling banyak adalah gaya intimate dan praintim sebanyak 18% (13 remaja). berdasarkan hasil penelitiaan, individu dengan gaya intim dan praintim lebih sensitif terhadap kebutuhan pasangannya dan lebih terbuka dalam persahabatan dibandingkan individu-individu yang memiliki ketiga gaya keintiman lainnya (orlofsky, marcia, & lesser, 1973 dalam santrock, 2003). gaya praintim yang dipilih remaja karena baik laki-laki dan perempuan cenderung tidak memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual dan tidak ada ikatan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. berdasarkan hasil tabulasi pada masing-masing gaya remaja yang termasuk dalam gaya ini sebanyak 40,5% (30 remaja). remaja beranggapan bahwa sebagian besar setuju jika berhubungan seksual dilakukan setelah menikah. namun mereka mau untuk berkorban tanpa meminta imbalan dari pacarnya. menurut dariyo (2003) masing-masing individu bertekad untuk mempertahankan hubungan, tetapi keduanya tidak ada kemauan untuk melakukan hubungan seksual ataupun menjalin hubungan yang mesra. jenis cinta ini ditemukan pada mereka yang melakukan hubungan cinta tetapi dibatasi oleh wilayah yang berbeda dari tempat tinggalnya. sehingga remaja yang memiliki gaya berpacaran praintim cenderung pada remaja yang menyukai pacaran jarak jauh (berbeda wilayah) dengan pacarnya, hal ini tidak berisiko untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah. gaya berikutnya selain gaya intimate dengan praintim yang diminati remaja adalah intimate dengan terstereotipe, dalam tabulasi masing-masing gaya sebanyak 29,7% (22 remaja) memilih gaya ini. jika dilihat dari karakteristik gaya terstereotipe ini, bahwa remaja memilih pacar juga dilihat karena menarik secara fisik, dan hasil dari pilihan mereka mengungkapkan bahwa remaja bangga dengan penampilan tubuhnya yang dianggap menarik. dalam lingkungan sekolah daya tarik berasal dari fisik ternyata sangat diperlukan remaja dalam menarik minat lawan jenis khususnya remaja putri, terlihat dari cara menggunakan make up yang lebih tebal, cara berpakaian seragam sekolah yang ketat dianggap lebih nyaman, dan remaja yang memiliki daya tarik secara fisik ini cenderung lebih dikenal oleh teman-teman yang lain. menurut friedman, h & schustack (2008) orang yang menarik secara fisik biasanya cenderung lebih gembira, walaupun akan lebih menderita ketika kecantikannya terkikis oleh bertambahnya usia, remaja juga sangat memperhatikan dari daya tarik fisik pasangannya untuk dijadikan seorang pacar. namun ada salah satu gaya berpacaran remaja yang perlu menjadi perhatian, karena gaya ini berisiko remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah yaitu gaya intim semu, berdasarkan data pada masingmasing gaya berpacaran remaja gaya ini diminati sebanyak 22% (16 remaja), diantara pernyataan gaya tersebut perlu dikritisi bahwa remaja memilih melihat film porno dapat meningkatkan gairah seksual dengan pacar, remaja bebas menunjukkan cinta kepada pacar meskipun di depan umum, dan tidak harus menikah setelah melakukan hubungan seksual. menurut (orlofsky, marcia, & lesser, 1973 dalam santrock, 2003), individu mempertahankan suatu ikatan seksual dalam jangka waktu yang lama dengan sedikit atau tanpa kedekatan sama sekali. terjadinya hubungan dua individu berlainan jenis kelamin didasari unsur nafsu biologis (passion) semata. dalam hubungan tersebut, tidak ada unsur keakraban (intimasi) ataupun komitmen untuk mempertahankan hubungannya. setelah kebutuhan biologis (seksual)-nya terpenuhi, mereka tidak ada lagi hubungan pribadi. remaja yang berisiko ini dikhawatirkan bahwa mereka memiliki waktu sedikit untuk melakukan kegiatan yang positif dan banyak memiliki waktu luang, sehingga mereka lebih menyukai untuk melakukan kegiatan yang tidak bermanfaat, misalnya melihat gambar atau film porno untuk sekedar menghabiskan waktu. maka sangat perlu untuk mengoptimalkan waktu belajar remaja baik di sekolah maupun di rumah untuk mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah. faktor lain yang mempengaruhi gaya berpacaran remaja adalah orang tua remaja sendiri mengetahui atau tidak bahwa anaknya telah memiliki pacar atau belum. dari hasil yang didapatkan bahwa 62% (46 remaja) masih mau memberitahukan kepada orang tuanya bahwa telah memiliki pacar. efek terhadap orang tua adalah cenderung cemas terhadap hubungan yang terlalu serius dan terlalu dini. mereka takut sekolah akan terabaikan. dalam hal ini orang tua harus menjelaskan kepada anak kegiatan apa saja yang disetujui dalam berpacaran. misalnya: kegiatan keagamaan, olahraga, pesta yang wajar tidak melibatkan minum-minuman keras, 121 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.116-121 narkoba, pencabulan, dan kegiatan-kegiatan lainnya tetap dalam batas sewajarnya. peneliti berpendapat bahwa dengan orang tua juga turut berperan aktif dalam memantau anaknya yang saat ini dalam tahap remaja agar tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan. pacaran lazimnya orang melakukan hubungan antarindividu yang berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) dan tidak memiliki pertalian darah karena jalinan asmara, keduanya berbeda latar belakangnya, baik sosial, ekonomi, maupun budaya. manakala hubungan antara individu (orang yang berpacaran) dan kelompok (keluarga dan komunitasnya). sehingga dalam pacaran terjadi dua pilihan alternatif, yakni ketika komunikasi dan adaptasi terdapat kesesuaian dan kesepahaman, pacaran antara keduanya akan terus berlanjut. sebaliknya, ketika jalinan komunikasi dan adaptasi tersebut terjadi perbedaan (secara prinsip, misalnya agama), bisa jadi proses pacaran pun akan terhenti. simpulan dan saran simpulan didapatkan data dari kelima macam gaya berpacaran yang ada, gaya paling banyak diminati remaja di sekolah menengah atas katolik diponegoro blitar adalah intimate sebanyak 88%. namun banyak remaja yang memiliki lebih dari satu macam gaya, jumlah gaya berpacaran paling banyak dimiliki adalah dua macam dengan prosentase sebanyak 42%, terdiri dari intimate dengan praintim sebanyak 18%, satu macam gaya sebanyak 32%, tiga gaya sebanyak 18%, ada 4% remaja yang memiliki empat macam gaya, hal ini menunjukkan bahwa remaja tersebut cenderung tidak berisiko pada perilaku seks bebas, namun ada 22% remaja yang mengarah pada gaya intim semu gaya ini berisiko remaja melakukan hubungan seksual di luar nikah bila remaja tersebut tidak memiliki kontrol diri. saran hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk prosse pembelajaran mengenai tahap perkembangan remaja dan gaya berpacaran remaja yang saat ini lagi trend pada siswa usia remaja. menganjurkan setiap siswa wajib mengikuti kegiatan ekstrakulikuler yang sudah ada di sekolah untuk memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan yang bermanfaat sehingga terhindar dari kejadian kehamilan yang tidak diinginkan. daftar rujukan badan penelitian dan pengembangan kese hatan kementrian kesehatan ri.2010.riset kesehatan dasar. 178-262. badan pusat statistik, badan kependudukan dan keluarga beren cana nasional, kementrian kesehatan. 2012. kesehatan reproduksi remaja. survei demografi dan kesehatan indonesia, 116. departemen kesehatan republik indonesia. 2008. pedoman pelaksanaan kegiatan kie . kesehatan reproduksi, 1-22. djiwandono, s. e. 2008. pendidikan seks untuk keluarga. jakarta: pt macanan jaya cemerlang. elfindri, d.2011. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: baduose media. friedman, h. s., & schustack, m. w. 2008. kepribadian. jakarta: erlangga. himawan, anang harris. 2007. bukan salah tuhan mengazab. solo. pt tiga serangkai. kusmiran, e.2012. kesehatan reproduksi remaja dan wanita. jakarta: salemba medika. santrock, john w.2003. adolescence. perkembangan remaja. edisi keenam. jakarta: erlangga tarwoto, d. 2010. kesehatan remaja problem dan solusinya. jakarta: salemba medika. wahyuni, d., & rahmadewi.2011. kajian profil penduduk remaja (10-24 thn). policy brief , 1-4. wasis. 2008. pedoman riset praktis untuk profesi keperawatan. jakarta: egc. widyastuti, d. 2009. kesehatan reproduksi. yogyakarta: fitrimaya. 58 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk dealing with covid-19: between risk and anxiety in students rachmat chusnul choeron1, arie jefry ka’arayeno2 1,2faculty of health, tribhuwana tunggadewi university malang, indonesia article information abstract the covid-19 pandemic has had a serious psychological impact on people around the world, especially those at high risk of contracting covid-19. the purpose of this research was to determine the correlation between risk and student anxiety in dealing with the covid-19 outbreak. the research design used a cross sectional study with a student population of the faculty of health, tribhuwana tunggadewi university, malang. the sample size of 93 respondents was taken by simple random sampling. the data were collected using a questionnaire and the hars scale. the data were analyzed by spearman's test with =0.05. the results showed that students of the faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university had a risk of contracting covid-19 at a median of 3.0 (minimum-maximum = 1-6) and had anxiety at a median of 7.0 (minimum-maximum = 0-27). the results of the statistical test showed that there was a significant correlation between the risk of contracting covid-19 and anxiety in the students of the faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university, malang (p = 0.000; r = 0.360). correct education about covid-19 is very important to be given to the public so that there is no misunderstanding so that it can provide peace. history article: received, 28/09/2021 accepted, 06/04/2022 published, 15/04/2022 keywords: covid-19, anxiety level, risk level © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: tribhuwana tunggadewi university malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ismi51ati@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p058-062 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ismi51ati@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p043-047 choeron, ka’arayeno, dealing with covid-19: between risk and anxiety in students … 59 introduction the covid-19 pandemic has caused various problems or multidimensional crises in society (supartinah & anwar, 2021). one of the most serious problems is anxiety. anxiety does not only affect people of productive age, but also teenagers and young adults such as college students (fitria & ifdil, 2020). anxiety arises as a response to the various possibilities of being exposed to covid-19 (fitria, 2020). the very high mortality rate and the very easy spread of disease cause people to feel worried when interacting with other people, especially with people diagnosed with covid-19 or suspected of having covid-19 (ilpaj & nurwati, 2020). the number of cases of covid-19 from time to time continues to increase sharply. likewise, the death rate also experienced a significant increase. at the end of january 2021, the number of covid-19 cases in the world had reached 100,455,529 cases with a death rate of 2,166,440 cases (who, 2021), while in indonesia in early january 2021 it had reached 110,679 cases (14.46%) with the death rate reached 22,734 cases (2.97%) (satgas covid nasional, 2021). at the same time, east java province was ranked third with the highest number of cases in indonesia, namely 86,361 cases with a death rate reaching 6,009 cases (national task force, 2021) and in malang raya reaching 6,484 cases with a death rate reaching 559 cases (satgas covid kab. malang, 2021). anxiety is a person's response to certain situations that are considered threatening (sadock, et al., 2010). the high morbidity and mortality of covid-19 with very easy transmission is a real threat to the community, causing its own anxiety for the community. especially for people who are in the red zone (vibriyanti, 2020). public anxiety due to the covid-19 pandemic is seen in the emergence of sleep disorders that are very risky for committing suicide, anxiety, shortness of breath, tense muscles, and panic buying and ocd (obsessive compulsive disorder) which interfere with mental health risks (sari, 2020). meanwhile, the anxiety that often arises in students during the covid-19 pandemic is concern for the health of themselves and their families, worried about the failure of their studies, worries about difficult jobs to find, and a lot of college assignments. finally, students tend to be passive in attending lectures, especially when students face several obstacles such as the internet network, the availability of quotas and other technical obstacles (fauziyyah, awinda & besral, 2021). various ways that can be done by the public to overcome anxiety in the midst of the covid-19 pandemic, including by reducing watching television or youtube broadcasts related to the occurrence of covid-19, especially from channels that are not credible, reducing the intensity of reading or listening to news about covid-19, looking for information from official and trusted sources. trying to find news only 1-2 times a day and at a specific time. in addition, looking for information related to efforts to maintain mental health during the pandemic both online and offline (banerjee, 2020). meanwhile, efforts that can be made by students to overcome their anxiety are by doing exercise and regulating rest patterns (fauziyyah, awinda & besral, 2021). method the research design used a cross sectional study with a student population of the faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university, malang. a sample of 93 respondents was taken at random (simple random sampling) that met the criteria. the sample criteria in question are students of the faculty of health sciences who are active, residing in malang. if there are respondents who have experienced covid-19, then they are excluded from the study. data were collected using a questionnaire to explore the risk of contracting covid-19 and the hars scale to explore anxiety. the data scale uses a numerical-numeric scale (risk of getting covid-19 and anxiety). data were analyzed using spearman's test with =0.05. this test was chosen because it did not meet the requirements of the pearson test (data distribution was not normal, p = 0.000 for the risk of contracting covid-19 and p = 0.001 for anxiety). 60 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 58-62 result table 1: general data of respondents characteristics n f (%) age <20 years 20-24 years >24 years 16 64 13 17,20 68,82 13,98 sex male female 30 63 32,26 67,74 program nursing profession of nurse 53 40 56,99 43,01 total 93 100% source: primary data based on the table above, it shows that most of the respondents are between 20-24 years old (68.82%), most of the respondents are female (67.74%) and most of the respondents are from the nursing study program (56.99%). table 2: distribution of the risk of being exposed to covid-19 and respondents' anxiety variable median min-max the risk of getting covid 3,0 1,0-6,0 anxiety 7,0 0,0-27,0 source: primary data based on the table above, it shows that the median value of risk of being exposed to covid19 is 3.0 with a minimum-maximum value of 1.0 6.0, the median value of anxiety is 7.0 with a minimum-maximum value of 0.0 27.0. table 3: bivariate analysis of the risk of getting covid-19 with anxiety anxiety the risk of getting covid r= 0,360 p= 0,000 n=93 source: primary data based on the table above, it shows that there is a significant correlation between the risk of contracting covid-19 and anxiety in students of the faculty of health sciences (p = 0.000) with the strength of the correlation in the weak category (r = 0.360). a positive correlation value indicates that the greater the risk of contracting covid-19, the greater the anxiety. discussion the results of this study indicate that there is a significant correlation between the risk of contracting covid-19 and the anxiety of the students of the faculty of health sciences. the results of this study also show that the risk value of contracting covid-19 and the anxiety of respondents is low. this is supported by the fact that almost all respondents did not experience problems with somatic (muscle), somatic (somatic), cardiovascular, respiratory, gastrointestinal, urogenital, autonomic and behavioral symptoms. only mild symptoms appear in feelings of anxiety, tension, fear, sleep disturbances, impaired intelligence and symptoms of depression. the results of this study are also supported by the results of research conducted by divine, rachma, janastri & karyani (2021) which examined the level of anxiety of students during the covid-19 pandemic where the results were choeron, ka’arayeno, dealing with covid-19: between risk and anxiety in students … 61 obtained that almost half of the respondents did not experience anxiety (normal). anxiety is an unpleasant emotional state in the form of a psychophysiological response that arises in anticipation of an unreal or imaginary danger, usually caused by an intrapsychic conflict that is not directly realized (dorland, 2010). anxiety is also a feeling of fear of something dangerous (sutejo, 2018). meanwhile, covid-19 is a real threat to society today. this is because covid-19 can cause respiratory tract infections, ranging from the common cold to serious diseases such as middle east respiratory syndrome (mers) and severe acute respiratory syndrome (sars). although the number of cases of covid19 is much higher than that of sars and the spread of covid-19 is wider and faster, the death rate of covid-19 is lower than that of sars (ministry of health, 2020). so that covid-19 often causes anxiety for the community. covid-19 is a serious threat to all circles of society regardless of economic status, age, gender or others. the spread that is very easy and difficult to avoid causes the risk of getting covid19 to be higher, especially if there are comorbidities. the risk of being exposed to covid-19 makes people feel worried, afraid and anxious when interacting with people suspected of having covid-19 such as coughs, colds and fever. the level of public anxiety is in line with the high and low risk of being exposed to covid19. the higher a person's risk of contracting covid-19, the higher the anxiety. therefore, the public must comply with government regulations regarding health protocols to minimize the transmission of covid-19, such as staying at home, leaving the house only if there is a very important need, avoiding crowds, maintaining distance, using masks and washing hands with soap or hand sanitizer. this reduces the risk of contracting covid-19. conclusion there is a significant correlation between the risk of contracting covid-19 and anxiety (p=0.000) with the strength of the correlation in the weak category (r=0.360). the higher the risk, the higher the anxiety. suggestion the public must remain vigilant by implementing health protocols as well as possible in order to reduce the risk of contracting covid19. as well students who conduct online lectures to avoid or reduce going out of the house, use masks during interactions with other people, exercise and get enough rest. acknowledgment the authors would like to thank tribhuwana tunggadewi university for providing the opportunity and facilitating the author to conduct this research. refference banerjee d. (2020). the covid-19 outbreak: crucial role the psychiatrists can play. asian journal psychiatri. https://doi.org/10.1016/ j.ajp.2020.102014 dorland wa, newman. 2010. kamus kedokteran dorland edisi 31. jakarta: penerbit buku kedokteran egc. fauziyyah, r., awinda, rc., besral. (2021). dampak pembelajaran jarak jauh terhadap tingkat stress dan kecemasan mahasiswa selama pandemi covid-19. bikfokes, vol. 1(2): hal. 113-124 fitria, l. (2020). cognitive behavior therapy counseling untuk mengatasi anxiety dalam masa pandemi covid-19. alirsyad, 10(1) fitria, l., & ifdil. (2020). kecemasan remaja pada masa pandemi covid-19. jurnal educatio (jurnal pendidikan indonesia), vol. 6 (1), hal: 1-4 ilahi, ad., rachma, v., janastri, w., & karyani, u. (2021). the level of anxiety of students during the covid-19 pandemic: tingkat kecemasan mahasiswa di masa pandemi covid-19. proceding of inter-islamic university conference on psychology, vol. 1 (1): hal. 1-6 ilpaj, sm., & nurwati, n. (2020). analisis pengaruh tingkat kematian akibat covid-19 terhadap kesehatan mental masyarakat di indonesia. jurnal pekerjaan sosial, vol. 3 (1), hal: 16-28 kemkes. (2020). pertanyaan dan jawaban terkait coronavirus disease 19 (covid-19). diakses dari https://covid19.kemkes.go.id/ download/qna_coronavirus_updated_0603 2020.pdf sadock, j.b., & sadock, a.v. (2010). kaplan & sadock buku ajar psikiatri klinis. edisi ke2. egc sari, irda. (2020). analisis dampak pandemi covid-19 terhadap kecemasan masyarakat: literature review. jurnal kesehatan, vol.1 (12), hal: 69-76 satuan tugas penanganan covid-19. (2021). analisis data covid-19 di indonesia. diakses dari www.covid-19.go.id https://doi.org/10.1016/%20j.ajp https://doi.org/10.1016/%20j.ajp https://covid19.kemkes.go.id/ https://covid19.kemkes.go.id/ https://covid19.kemkes.go.id/ https://covid19.kemkes.go.id/ http://www.covid-19.go.id/ 62 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 58-62 satuan tugas penanganan covid-19. (2021). laporan situasi transisi pasca psbb di malang raya. diakses dari www.covid19.jatimprov.go.id supartinah & anwar, ahmad. (2021). pandemi dan krisis multidimensi: studi kasus permasalahan gender di tengah pandemi covid-19. jurnal transformasi global, vol. 8 (1), hal: 30-43 sutejo. (2018). konsep dan praktik asuhan keperawatan kesehatan jiwa: ganguan jiwa dan psikososial. yogyakarta: pt. pustaka baru vebriyanti, deshinta. (2020). kesehatan mental masyarakat: mengelola kecemasan di tengah pandemi covid-19. jurnal kependudukan indonesia, hal: 69-74 who, indonesia. (2021). coronavirus disease 2019 (covid-19). diakses dari www.who.int/indonesia http://www.covid19.jatimprov.go.id/ 68 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the analysis of the influence of information about the covid-19 pandemic on toddlers’ parenting emy sutiyarsih1, narita diatanti2, eli lea wp3 1,2,3nursing department, school of health sciences panti waluya malang, indonesia article information abstract the government's policy in implementing the new normal to prevent the spread of covid-19 has changed all aspects of society, including the family environment. in current conditions, parenting is the most important thing in determining optimal child development (dewi and khotimah, 2020). the conditions of parenting and communication in the family have both positive and negative impacts on children's development. (kuswanti, munadhil, zainal & oktarina, 2020). the aim of this study was to analyze the effect of information about the covid-19 pandemic on toddlers’ parenting. this study was a cross-sectional analytical study. this study used a bivariate data analysis with chi square test. the findings showed that the p-value was (0.0001) < 0.05, so it could be concluded that there was a significant influence between the received information and toddlers’ parenting. therefore, it is necessary to have the right information about the covid-19 pandemic so that mothers can make the right and correct choices about parenting for toddlers. history article: received, 03/02/2022 accepted, 12/04/2022 published, 15/04/2022 keywords: information, covid, parenting, toddlers © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: school of health sciences panti waluya malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: emymlg23@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p068-073 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:emymlg23@yahoo.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p068-073 emy, diatanti, lea, the analysis of the influence of information about the covid-19 … 69 introduction based on the covid-19 dashboard data by the centre for systems science and engineering (csse) at johns hopkins university, the positive cases of covid-19 worldwide were 113 million. in the us, 123 or 5% of covid-19 cases occurred in children as of march 16, 2020 (stephanie et al, 2020). in indonesia, based on the covid-19 distribution map on the covid19.go.id page as of february 15, 2021, there were 1,314,634 positive confirmed cases with the addition of 8,493 new cases and 35,518 deaths. in east java, the prevalence of positive confirmed cases was 122,807 or 10% of the national cases. based on the jatim tanggap covid-19 website, the prevalence in malang regency was 2,309 positive confirmed cases and 5,996 positive confirmed cases in malang city as of 25 february 2021. meanwhile, children in indonesia who were infected with covid-19 as of 10 august 2020 were 3,928 children and 59 death cases for children. that prevalence is the highest case in asia (pranita et al, 2020). the indonesian pediatrician association submitted the data of children’s death due to covid-19 as of july 20, 2020. the data showed that 70% of the children’s death cases from covid-19 were children under the age of 6 which included 2% of children aged 0 to 28 days, 33% aged 29 days to 11 months 29 days, and 25% aged one year to 5 years 11 months 29 days (wuragil & antara, 2020). covid-19 has been declared as a pandemic by the world health organization (who) on march 11, 2020 (who, 2020). thus, every country including indonesia must update the data of confirmed cases. therefore, the information about covid-19 is very easily accepted and accessed by the public, both through printed and electronic media, either fact of hoaxes, so can bring up various responses from the information receivers (faizah, 2020). the response of information can cause disturbances for some people, especially those who have the potential for mental instability so that it can lead to conditions such as anxiety, panic and fear among people from various groups, one of which is a group of mothers who have toddlers. the covid-19 that has spread in indonesia and the government's policy in implementing the new normal to prevent the spread of covid-19 have changed all aspects of society, including the family environment. in current conditions, parenting is the most important thing in determining optimal child development (dewi and khotimah, 2020). according to hurlock (2000), the treatment of parents to children will affect the children’s attitudes and behaviour. the conditions of parenting and communication in the family have both positive and negative impacts on children's development. methods this study was an analytical cross-sectional study. the study was carried out for 1 year starting from february 2021 to february 2022 in pandansari village, poncokusumo district, malang regency. the population in this study was in accordance with predetermined criteria, which was mothers who had children aged under five and were willing to be participants in pandansari village, poncokusumo district, malang regency as many as 150 people. the sampling technique in this study was cluster random sampling. the sample study was mothers with toddler in pandansari village, poncokusumo district, malang regency as many as 109 people. the dependent variable was toddler's parenting, the independent variable was the analysis of influence of information about the covid-19 pandemic. the instrument used a questionnaire that had been tested for validity and reliability which resulted all questions were valid. results the measuring instrument using a questionnaire with 25 question items had been submitted. the validity test results were valid, because the calculated r value (corrected itemtotal correlation) > r table was (0.404). after testing the validity, then the reliability test was conducted. from the reliability test, it was known that the 25 question items that had been tested were valid and declared reliable so that all questions in the questionnaire could be used. 70 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 68-73 1. respondents’ characteristics table 1: frequency distribution based on respondents’ characteristics respondents’ characteristics total n (%) mother’s age ▪ early adolescence (12–16 years old) ▪ late adolescence (17–25 years old) ▪ early adult (26–35 years old) ▪ late adult (36–45 years old) ▪ early elderly (46–55 years old) 0 9 88 11 2 0 8,2 80,0 10,0 1,8 mother’s education ▪ low education ▪ secondary education ▪ higher education 6 97 7 5,5 88,2 6,4 occupation ▪ not working ▪ working 64 46 58,2 41,8 children’s sex ▪ girl ▪ boy 54 56 58,2 41,8 based on the table 1, it showed that based on the mother’s age, the majority of mothers were in the early adult age group (26-35 years old), which was 80%. based on the education, the majority of mothers with secondary education was (88.2%). based on the occupation, most of the mothers did not work, which was 58.2%. meanwhile, based on the children’s sex, most of the toddlers were girls, which was 58.2% compared to 41.8% for boy. 2. information table 2: frequency distribution of received information related to covid 19 variabel information total n (%) information ▪ positive ▪ negative 83 27 75,5 24,5 based on the table 2, it showed that based on the information regarding covid 19, the majority of mothers received positive information, which was 75.5%. 3. toddler’s parenting table 3: frequency distribution of toddler’s parenting toddler’s parenting total n (%) parenting ▪ democratic ▪ permissive ▪ authoritarian 73 26 11 66,4 23,6 10,0 based on the table 3, it showed that based on the parenting applied to toddler, the majority of parents apply democratic parenting, which was 66.4%. emy, diatanti, lea, the analysis of the influence of information about the covid-19 … 71 4. the influence of information about the covid 19 pandemic on toddler’s parenting table 4: the effect of information on toddler’s parenting variable parenting p-value authoritarian (%) permissive (%) democratic (%) information ▪ negative ▪ positive 33,3 2,4 40,7 18,1 25,9 79,5 0,0001 the bivariate analysis in this study used the pearson chi square test. based on the table 4, it showed that the majority of mothers who received positive information applied democratic parenting to their toddlers, which was 79.5%, compared to 18.1% of other with permissive parenting and 2.4% of mother with authoritarian parenting. meanwhile, for mothers who received negative information, the majority applied permissive parenting by 40.7%, followed by authoritarian parenting (33.3%) and democratic parenting (25.9%). in addition, the results of the bi-variable analysis also showed that the p-value was (0.0001) < 0.05, so it could be concluded that there was a significant effect between the received information and the toddler’s parenting. discussions information based on the results of the study, it was found that the majority of mothers received positive information, which was 75.5% when compared to mothers who received negative information, which was 24.5%. positive information of covid-19 pandemic is very necessary for mothers because it can give a positive aura to mothers, especially in providing parenting to their toddlers. this is in accordance with what was revealed by prameswari (2021), that parents must be careful and precise in determining the parenting style to their children because parenting style is the nature of attitudes towards child rearing (tsoi et al., 2018). in addition, age and sex differences also need to be a concerned in determining the parenting style that will be applied, so that the right information about parenting during the covid-19 pandemic is very needed. parenting based on the results of the study, it can be seen that the majority of parents apply democratic parenting, which is 66.4%, when compared to permissive parenting (23.6%) and authoritarian parenting (10%). parenting styles are all forms and processes of interaction that occur between parents and children that can have an influence on the development of the child's personality. the interaction of parents in learning will determine the child’s character later (rakhmawati, 2015). the parenting style chosen by parents, especially mothers, can affect the development of children later. this is in accordance with the study of syahrul and nurhafizah (2021) with the title "analysis of the effect of parenting patterns on social and emotional development of early childhood during the corona virus 19 pandemic" which states that parenting styles on children's emotional abilities during the pandemic are very influential. in addition, according to tang et al (2021), discussion between parents and children about the pandemic is a very important protective factor, because it can highlight the important role of open communication between parents and children when facing stress and crisis. it is important for parents to be the steering wheel on the learning vehicle by providing guidance and information along the way, so that their children stay on track and are not distracted or hindered from reaching their children's intellectual potential. the effect of information about the covid 19 pandemic on toddler’s parenting the results of the analysis showed that mothers who received positive information, majority applied democratic parenting to their toddlers, which was 79.5%, while the mothers who received negative information mostly applied permissive parenting (40.7%). in addition, the results of the bivariable analysis also showed that p-value was 0.0001 < 0.05, so it can be concluded that there is a significant influence between the information received on the toddler’s parenting. 72 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 68-73 marcetti et al (2020) say that parenting is a complex and stressful activity, requiring unusual and prolonged involvement in parenting during the covid-19 pandemic, also the feelings of parents who are emotionally srained and not quite ready to fulfil the demands of parenthood. the covid-19 pandemic situation has changed everything. at this time, the role of parents becomes very important as the main determinant in achieving the child’s success and happiness. parents are the most important source of information about their children’s emotions (tsoi et al., 2018). parents as the closest environment for children, all their attitudes and behavior will become role models for children. this is in accordance with what was stated by hurlock (2011) that the treatment of parents to their children will affect the attitudes and behavior of children. parenting by parents to their children will have a positive or negative impact on children's development. therefore, proper information is needed about the covid-19 pandemic so that mothers can choose the right parenting style for their children during the covid-19 pandemic. conclusions the results showed that the majority of mothers who received positive information applied democratic parenting to their toddlers, which was 79.5%. meanwhile, for mothers who received negative information, the majority applied permissive parenting (40.7%). in addition, the results of the bivariable analysis also show that the p-value was 0.0001 < 0.05 so it can be concluded that there is a significant effect between the received information and the toddler’s parenting. suggestion based on the results of the study, we provide advice for parents to become role models, provide guidance and information throughout their child's life journey, so that their children stay on track and are not disturbed or hindered from achieving their child's intelligence potential. acknowledgment we thank the respondents who have helped in this research, we also thank the head of pandansari village and the for their permission and support in this research. finally, i'd want to express my gratitude to stikes panti waluya malang for their support of our research. references afiyanti, y., rachmawati, i. n. (2014). qualitative research methodology in nursing research. jakarta: pt. raja grafindo persada. antara and wuragil, zacharias. 24 july 2020. tempo: idai data 2712 children in indonesia positive for corona 51 died. https://tekno.tempo.co/read/1368672/dataidai-2-712-anak-di-indonesia-positif-corona51-meninggal/full&view=ok accessed february 26, 2021 at 10.30 wib. dewi, putu a. s.c and khotimah, husnul. (2020). parenting patterns for children during the covid-19 pandemic. seminar nasional sistem informasi. october 20, 2020. 2433-2441. faizah. (2020). article: response to corona. http://iainkendari.ac.id/content/detail/respon _terhadap_corona accessed on 26 february 2021 at 11.30 wib. hurlock, e. b. (2011). developmental psychology: an approach across the life span. jakarta: erlangga jatim tanggap covid-19. 2021. http://infocovid19.jatimprov.go.id/#peta. accessed on 26 february 2021 at 11.00 wib jatim tanggap covid-19. (2021). http://infocovid19.jatimprov.go.id/#peta diakses tanggal 26 februari 2021 pukul 11.00 wib johns hopkins university. (2021). covid-19 dashboard. "covid-19 dashboard by the center for systems science and engineering (csse) at johns hopkins university (jhu)". arcgis. johns hopkins university. accesed on 26 februari 2021 pukul 10.10 wib kuswanti, a., munadhil, m. a., zainal, a. g., & oktarina, s. (2020). management of family communication during the covid-19 pandemic. jurnal sosial dan budaya syar-i 7(8), 707-722 marchetti d, fontanesi l, mazza c, di giandomenico s, roma p, verrocchio mc. (2020). parenting-related exhaustion during the italian covid-19 lockdown. j pediatr psychol ;45(10):1114-1123. doi:10.1093/jpepsy/jsaa093 pranita, ellyvon and dewi, bestari k. (2020). kompas 10/02/2020 "covid-19 infection in indonesian children is the highest in asia, why?" https://www.kompas.com/sains/read/2020/1 0/02/163000323/infection-covid-19-padaanak-indonesia-tertinggi-di-asia-apa-karenahttp://infocovid19.jatimprov.go.id/#peta https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html%23/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6 https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html%23/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6 https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html%23/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6 https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html%23/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6 https://en.wikipedia.org/wiki/arcgis https://en.wikipedia.org/wiki/johns_hopkins_university emy, diatanti, lea, the analysis of the influence of information about the covid-19 … 73 ?page=all. accessed february 26, 2021 at 11.15 wib prameswari jatut yoga, susanti dewi indah. (2021). parenting in facing the development of technology and information in the digital era. jurnal pkm: pengabdian kepada masyarakat vol. 04 no. 04, july-august 2021 p-issn 2614574x, e-issn 2615-4749 p. 336-345 peta sebaran covid-19. (2021). https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19 . accesed on 26 februari 2021 pukul 10.45 wib rakhmawati, istiana. (2015). peran keluarga dalam pengasuhan anak. konseling religi jurnal bimbingan konseling islam, 6(1), 118. doi:http://dx.doi.org/10.21043/kr.v6i1.1037. accesed on 26 februari 2021 pukul 10.55 wib stephanie bialek, cdc; ellen boundy, cdc; virginia bowen, cdc; nancy chow, cdc; amanda cohn, cdc; nicole dowling, cdc; sascha ellington, cdc; ryan gierke, cdc; aron hall, cdc; jessica macneil, cdc; priti patel, cdc; georgina peacock, cdc; tamara pilishvili, cdc; hilda razzaghi, cdc; nia reed, cdc; matthew ritchey, cdc; erin sauber-schatz, cdc. 2020. severe outcomes among patients with coronavirus disease 2019 (covid-19)united states. february 12 – march 16 2020. mmwr morb mortal wkly rep. 2020 mar; 69(12):343–6. https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/ mm6912e2.htm# . accesed on 26 februari 2021 pukul 10.30 wib syahrul, & nurhafizah. (2021). analysis of the effect of parenting patterns on the social and emotional development of early childhood during the corona virus pandemic 19. jurnal basicedu, 5(2), 683– 696. https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i2.792. tang s, xiang m, cheung t, xiang yt.(2021). mental health and its correlates among children and adolescents during covid19 school closure: the importance of parent-child discussion. j affect disord. 2021;279:353-360. doi:10.1016/j.jad.2020.10.016 tsoi ak, wilson s, thikkurissy s. (2018). a study of the relationship of parenting styles, child temperament, and operatory behavior in healthy children. j clin pediatr dent. 2018;42(4):273-278. doi:10.17796/1053-4628-42.4.6 who. (2020). who director general’s opening remarks at the media briefing on covid19. https://www.who.int/directorgeneral/speeches/detail/who-directorgeneral-s-opening-remarks-at-the-mediabriefing-on-covid-19---11-march-2020 . accesed on 26 februari 2021 pukul 10.45 wib. https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19 http://dx.doi.org/10.21043/kr.v6i1.1037 https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/mm6912e2.htm https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/mm6912e2.htm https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i2.792 https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020 https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020 https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020 https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19---11-march-2020 103 pengaruh terapi kompres madu terhadap penyembuhan luka full thicknes skin loss pada tikus putih (rattus norvegicus) (the effect of honey compress therapy toward skin wound healing for full thicknes loss on rattus norvegicus) dina zakiyyatul fuadah 1 , diana rachmania 1 , novita yudik 1 program studi ilmu keperawatan 1 stikes karya husada pare-kediri, jalan soekarno-hatta no 07 email: dinazakiyya_ichsan@yahoo.co.id abstract: wounds require a very effective treatment for example an open wound. honey compress therapy is one method that can be used for wound healing process. the purpose of this study, to determine the effect of therapy on wound healing using honey compress full thicknes skin loss on rattus norvegicus.design for the research is true experiments using posttest design with control group design. samples were 18. sampling using random sampling techniques. the independent variable is the honey compress therapy and the dependent variable is the process of wound healing of full thicknes skin loss. data were analyzed using the mann whitney test (α = 0.05).the results of the statistical test on day 15, p value = 0.004 <α that’s meanthere are significant differences between the treatment group and the control group in wound healing of full thicknes skin loss on rattus norvegicus.honey compress therapy accelerates wound healing process full thicknes skin loss. it is recommended for people can take advantage of pure honey for wound healing due to the composition of honey that can help the healing process. keywords: honey compress therapy, wound healing skin loss full thicknes. abstrak: luka memerlukan perawatan yang sangat efektif misalnya luka terbuka. perawatan terbaik dan optimal dalam penanganan luka terbuka adalah dengan menggunakan bahan-bahan dan metode yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka. banyak sekali metode untuk penyembuhan luka. madu merupakan salah satu metode yang dapat dimanfaatkan untuk proses penyembuhan luka. tujuan dari penelitian ini, untuk mengetahui pengaruh terapi kompres madu terhadap penyembuhan luka full thicknes skin loss pada tikus putih(rattus norvegicus). jenis penelitian adalah true eksperimen menggunakan rancangan post-test with control group design. sampel penelitian adalah 18 tikus putih dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol, teknik sampling menggunakan random sampling. variabel independen adalah pemberian terapi kompres madu dan variabel dependen adalah proses penyembuhan luka full thicknes skin loss. data dianalisis menggunakan uji mann whitney (α ═ 0,05). hasil penelitian dari uji statistik pada hari ke 15 pvalue= 0,004 <α hal ini menunjukkan adanya perbedaan penyembuhan luka full thicknes skin loss pada tikus putih (rattus norvegicus) untuk kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. terapi kompres madu mempercepat proses penyembuhan luka full thicknes skin loss. disarankan masyarakat dapat memanfaatkan madu murni untuk menyembuhan luka karena kata kunci: terapi kompres madu, penyembuhan skin loss full thicknes. seringkali dalam praktek sehari-hari didapatkan luka yang telah terinfeksi atau luka yang luas dengan kehilangan jaringan kulit atau bahkan kedua duanya yang tidak mailto:dinazakiyya_ichsan@yahoo.co.id acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p103-107 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 104 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.103-108 memungkinkan untuk dilakukan penutupan luka secara primer. cara terbaik penanganan luka seperti ini adalah dengan perawatan lukater buka. penutupan luka seperti ini (full thickness open wound) (adams, et al., 2008). infekai pada luka terbuka sangat memerlukan perawatan yang sangat efektif misalnya luka terbuka karena kecelakaan yang jenis penyembuhan luka menggunakan tipe sekunder. perawatan terbaik dan optimal dalam penanganan luka terbuka adalah dengan menggunakan bahan-bahan dan metode yang dapat mempercepat kontraksi luka, mencegah terbentuknya jaringan granulasi yang berlebihan, mencegah pertumbuhan bakteri, mampu mempertahankan ph normal dan sebagai pelembab yang sesuai untuk mempercepat penutupan luka (thomas, 2005). banyak sekali metode untuk penyembuhan luka. salah satunya adalah metode terapi kompres madu terhadap luka kronis yang pernah di teliti oleh gethin, et al., (2008) bahwa madu dapat menurunkan ph dan mengurangi ukuran luka kronis (ulkus vena/arteridan luka dekubitus) dalam waktu 2 minggu secara signifikan. akan tetapi untuk terapi kompres madu pada luka full thickness skin loss pada tikus putih (rattus norvegicus) belum jelas karena belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. terapi menggunakan madu dengan cara di kompres memiliki keunggulan lebih, karena dapat kita pastikan bahwa madu benar-benar menyerap pada lokasi luka. luka akibat operasi merupakan tindakan yang tidak dapat dihin dari resiko terjadi infeksi. infeksi luka operasi (ilo) merupakan salah satu komplikasi pasca bedah. di united states of america (usa) insidensi ilo diperkirakan sebesar 8,5%. angka kejadian ilo di rumah sakit cipto mangunkusumo (rscm) selama tahun 2010 sebesar 13%. di rumah sakit umum daerah (rsud) dr. soetomo surabaya, angka kejadian ilo mencapai 3,31%, bersih terkontaminasi 15,97% dan bedah kotor 51,93%. selain ilo luka lain yang perlu diperhatikan adalah luka kecelakaan. data polda tahun 2012 terdapat 5233 kasus kecelakaan lalu lintas (amar, 2012). proses penyembuhan merupakan proses dari jaringan untuk memulihkan diri dan segera melakukan fungsinya kembali. proses penyembuhan semua luka mempunyai sifat yang sama, dengan variasi tergantung pada lokasi, keparahan, dan luas cedera. sedangkan untuk mencapai tahap kesembuhan ada beberapa fase yang harus dilewati, fase inflamasi, fase proliferasi, maturasi. semua tahap tersebut harus dilewati dengan sempurna dengan rentang waktu relative berbeda tergantung dari kecepatan penyembuhan luka yang dapat dihambat oleh faktor-faktor antara lain; usia, malnutrisi, obesitas, gangguan oksigenasi, merokok, obatobatan, diabetes, radiasi, stress luka, dan masuknya mikroba pathogen pada daerah luka dapat menimbulkan infeksi juga bias menghambat proses penyembuhan (saifuddin, 2006). sehingga perlu dilakukan perawatan dengan baik. perawatannya dengan merawat luka dengan baik jangan sampai terkena infeksi. beberapa penelitian menyebutkan bahwa madu bermanfaat sebagai antiseptik dan antibakteri (mengatasi infeksi pada daerah luka dan memperlancar proses sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka) (suranto, 2007). madu dapat merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya jaringan parut atau bekas luka pada kulit. serta ciri khas madu yang bersifat asam dengan ph 3,2-4, cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang berkembang biak rata-rata pada ph 7,2-7,4. madu berisi glukosa dan enzim yang disebut oksidase glukosa. pada kondisi yang tepat, oksidase glukosa dapat memecah glukosa madu menjadi hydrogen peroksida, zat yang bersif atanti bakteri (suranto, 2007). di indonesia banyak beredar madu palsu saat ini. jaminan keaslian dan kualitas madu yang beredar di pasaran masih belum ada sedangkan kecurigaan tentang madu palsu selalu ada. kandungan sukrosa dalam madu menurut sni 01-3545-2004 adalah maksimal 5% b/b. kandungan glukosa pada madu murni lebih dominan kelihatan dan kandungan sukrosa lebih menonjol pada madu palsu (suranto, 2007). rata-rata komposisinya madu murni adalah 17,1% air; 82,4% karbohidrat total; 0,5% protein, asam amino, vitamin, dan mineral. karbohidrat tersebut utamanya terdiri dari 38,5% fruktosa dan 31% glukosa. sisanya, 12,9% karbohidrat yang terbuat dari maltose, sukrosa, dan gula lain. sebagai karbohidrat, satu sendok makan madu dapat memasok energy sebanyak 64 kalori. fuadah, rachmania, yudik, pengaruh terapi kompres madu......105 madu yang dipakai sebagai penelitian dalam perawatan luka terbuka menggunakan madu murni bukan madu yang sudah diolah, karena kandungan glukosa alami dari nektar yang diolah oleh lebah. di dalam penelitian, peneliti seringkali menggunakan tikus putih (rattus norvegicus) karena merupakan salah satu hewan percobaan yang memiliki struktur anatomi, fisiologi dan histologi organ yang secara sistematis hampir sama dengan organ manusia. berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “pengaruh terapi kompres madu terhadap penyembuhan luka full thickness skin loss pada tikus putih (rattusnorvegicus)” bahan dan metode penelitian ini termasuk jenis penelitian true eksperiment dengan menggunakan rancangan post-test with control group design dengan subyek tikus putih. penelitian dilaksanakan di laboratorium biomedik stikes karya husada kediri. pada kelompok perlakuan diberi perawatan luka menggunakan terapi kompres madu, sedangkan pada kelompok kontrol perawatan luka dilakukan dengan tidak memberikan terapi kompres madu. penyembuhan pada luka dengan full thickness skin loss dinilai dari terbentuknya jaringan granulasi yang diikuti epitelisasi dan kontraksi pada luka sehingga terjadi penutupan luka mulai dari tepi luka. sampel dalam penelitian ini menggunakan tikus putih. tikus putih yang dipergunakan adalah memenuhi criteria sebagai berikut: tikus putih (rattus norvegicus), jantan, umur 3 bulan, berat 200300 gram dan sehat (sheid, 2000). semua hewan coba ditempatkan pada kandang yang terbuat dari bahan yang sama yaitu kandang terbuat dari baskom persegi dengan ukuran 30x25x13cm untuk penutupnya menggunakan kawatber jari-jari yang sudah dipotong sesuai ukuran dan alasnya diberi serabut. selama penelitian hewan coba diberi makanan dan minuman yang sama untuk masing-masing kelompok. selain itu ruangan selalu dalam kondisi kering tidak lembab, lantai berupa ubin sehingga tidak berdebu, kebisingan dari ruangan ini cukup terjaga karena berada dalam area kampus yang terhindar dari kendaraan ataupun pusat keramaian. adaptasi terhadap tikus putih (rattus norvegicus) pada penelitian ini dilakukan selama empat hari (dilakukan pengamatan jika ada tikus yang sakit). seluruh hewan coba kemudian dikelompokkan secara random menjadi 2 kelompok. dimana untuk setiap kelompok terdiri dari 9 tikus putih(rattus norvegicus).dalam penelitian ini variable independen adalah terapi kompres madu. terapi kompres madu dibuat oleh peneliti sesuai dengan ukuran luka.variabel dependen adalah penyembuhan luka full thickness skin loss.perubahan kondisi luka full thickness skin loss yang diamati berdasarkan fase penyembuhan luka yang diobservasi sampai luka menutup. jenis istrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan lembar observasi dengan criteria penyembuhan luka: kategori cepat fase maturasi terjadi ≤ hari ke 20, kategori sedang maturasi terjadi ≥ hari ke 20-29, kategori lambat fase maturasi terjadi ≥ hari ke 30. penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian stikes karya husada kediri dengan nomor surat 003/komite etik penelitian/kh/iv/2015. analisis data untuk pengujian statistik yang digunakan padapenelitian ini adalah menggunakan uji mann-whitney, dengan selang kepercayaan 95% (α: 0,05). untuk perhitungan dengan bantuan computer dengan taraf signifikan 5% (sugiyono, 2006). jika telah didapatkan hasil, kita bandingkan p value dengan α ≤ 0,05 untuk menentukan apakah ada hubungan variable dependen dengan variable independen yang diteliti. hasil penelitian hasil penelitian menunjukkan uji mann whitney pengaruh terapi kompres madu terhadap penyembuhan luka full thicknes skin loss pada tikus putih (rattus norvegicus). pada hari ke 1 sampai dengan 14 nilai pvalue = 0,065 > α = 0,05 hal ini menunjukkan bahwa pada hari ke 1-14 belum ada perbedaan antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. sedangkan pada hari ke 15 pvalue= 0,004 < α = 0,05 hal ini menunjukkan ada perbedaan penyembuhan luka full thicknes skin loss pada tikus putih (rattus norvegucus) untuk kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. 106 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.103-108 diagram 1. proses penyembuhan luka pada kelompok perlakuan berdasarkan diagram di atas, di ketahui pada observasi selama 24 hari untuk kelompok perlakuan dengan jumlah 9 tikus, seluruh tikus (100%) mengalami fase inflamasi yang dimulai pada hari pertama, fase poliferasi di alami sebagian (77,8%) yang di mulai pada hari ke tiga, sedangkan fase maturasi di alami hampir sebagian (33,3%) tikus pada hari ke14. diagram 2. proses penyembuhan luka pada kelompok kontrol berdasarkan diagram di atas, diketahui pada kelompok kontrol berjumlah 9 tikus yang di observasi selama 24 hari, seluruh tikus (100%) mengalami fase inflamasi pada hari pertama, hampir sebagian tikus (33,3%) mengalami fase poliferasi pada hari ke tiga, sedangkan fase maturasi dialami hampir sebagian tikus (22,2%) pada hari ke 20. tabel 1.hasil analisis data uji man whitney pengaruh terapi kompres madu terhadap penyembuhan luka full thickness skin loss pada tikus putih (rattus norvegicus). kelompok n mean rank sum of ranks p value penyembuhan luka hari ke 14 perlakuan kontrol 9 9 11,00 8.00 99.00 72.00 0,065 penyembuhan luka hari ke 15 perlakuan kontrol 9 9 12.50 6.50 112.50 58.50 0,004 pembahasan berdasarkan hasil penelitian diketahui pada kelompok perlakuan yang diberi terapi kompres madu, di observasi sampai luka menutup berlangsung cepat. dimana pada proses penyembuhan luka terdapat beberapa fase yaitu fase inflamasi muncul pada hari pertama pada semua tikus, fase poliferasi muncul pada hari ke tiga pada sebagian tikus, fase maturasi muncul pada hari ke-14 di alami hampir sebagian dari tikus. sedangkan hasil penelitian diketahui pada kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi kompres madu yang di observasi selama 24 hari, proses penyembuhan luka pada kelompok kontrol ini termasuk dalam kategori sedang. pada kelompok kontrol fase inflamasi di alami semua tikus pada hari pertama, fase poliferasi dialami hampir sebagian tikus pada hari ketiga, dan fase maturasi dialami hampir sebagian tikus pada hari ke-20. luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomi secara normal yang diakibatkan oleh proses patologis yang berasal dari internal dan eksternal. madu adalah cairan manis alami berasal dari nektar tumbuhan yang diproduksi oleh lebah madu. lebah madu mengumpulkan nektar madu dari bunga mekar, cairan tumbuhan yang mengalir di dedaunan, atau kadang-kadang dari embun. nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar necteriffer dalam bunga, bentuknya berupa cairan, berasa manis alami dengan aroma yang lembut. beberapa penelitian menyebutkan bahwa madu bermanfaat sebagai antiseptik dan antibakteri (mengatasi infeksi pada daerah luka dan 0 5 10 1 5 9 131721 t ik u s hari proses penyembuhan luka pada kelompok perlakuan fase inflamasi fase poliferasi fase maturasi 0 10 1 5 9 131721 t ik u s hari proses penyembuhan luka pada kelompok kontrol fase inflamasi fase poliferasi fase maturasi 108 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.103-108 memperlancar proses sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka). madu dapat merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya jaringan parut atau bekas luka pada kulit. serta ciri khas madu yang bersifat asam dengan ph 3,2-4, cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang berkembang biak rata-rata pada ph 7,2-7,4. madu berisi glukosa dan enzim yang disebut oksidase glukosa. pada kondisi yang tepat, oksidase glukosa dapat memecah glukosa madu menjadi hidrogen peroksida, zat yang bersifat antibakteri (suranto, 2007). berdasarkan fakta dan teori yang dikemukakan di atas,dapatdisimpulkanbahwa proses penyembuhan luka pada kelompok perlakuan berlangsung cepat karena berdasarkan observasi selama penelitian dari kelompok perlakuan yang diberikan terapi kompres madu, bahwa madu mempunyai efek yang dapat mempercepat dalam proses penyembuhan luka full thicknes skin loss, dimulai fase maturasi pada hari ke 14. kriteria madu yang digunakan madu yang belum diolah atau yang belum tercampur dengan bahan apapun, dalam proses pemeliharaan lebah madu, lebah dipastikan benar-benar mengambil nektar dari bunga di lingkungan skitar bukan diberi cairan seperti air gula/sirup di dekat sarang lebah, karena bisa mempengaruhi kualitas dari madu yang dihasilkan dan dari kwalitas madu yang rendah dapat mempengaruhi dalam proses penyembuhan luka. secara keseluruhan pada saat penelitian tikus baru masuk fase maturasi pada hari ke 17. beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka yang berlangsung pada hari yang berbeda adalah dari tingkah laku tikus seperti plester digaruk-garuk sehingga kompres madu terkadang ada yang terlepas. sedangkan perawatan luka tanpa diberikan perlakuan, mempengaruhi dalam proses penyembuhan luka dimana dapat terjadi penyebaran patogen yang kemungkinan akan terjadi infeksi pada luka. selain itu lingkungan yang tidak mendukung juga dapat mempengaruhi dalam proses penyembuhan. secara fisiologis luka yang tidak diberikan perlakuan juga bisa sembuh karena terdapat imunitas, makanan dan minuman, perawatan kandang yang baik pada tikus yang dapat dijadikan sebagai penunjang. simpulan dan saran hasil penelitian menunjukkan bahwa perawatan luka full thicknes skin loss menggunakan terapi kompres madu pada kelompok perlakuan terjadi fase maturasi dengan kategori cepat diawali pada hari ke 14. perawatan luka full thicknes skin loss tanpa menggunakan terapi kompres madu terjadi fase maturasi dengan kategori sedang diawali pada hari ke 20. luka yang dirawat dengan terapi kompres madu, proses penyembuhan luka berlangsung cepat dari pada yang tidak dirawat dengan terapi kompres madu. hal ini terjadi karena madu dapat merangsang pertumbuhan jaringan baru sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka, mengurangi timbulnya jaringan parut atau bekas luka pada kulit. hasil penelitian ini hendaknya dapat digunakan sebagai tambahan pembelajaran dan dapat dijadikan rekomendasi penelitian selanjutnya, sehingga dapat meningkatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. daftar rujukan adams, c.a., biffl, w.l., cioffi, w.g. 2008. wounds, bites, and stings. in: feliciano, d.v., mattox k.l., moore e.e., editors. trauma. 7th.ed. new york: mcgraw-hill. p. 1029-1048. boy rafliamar.pelaksanaanoperasiketupat. http//www. suarapembaruan. com/ home/pelaksanaan-operasi-ketupat2012-908-tews-korban– kecelakaanlalulintas/23891. gethin gt, cowman s, conroy rm. the impact of manuka honey dressings on the surface ph of chronic wounds. int wound j; 5(2): 185-194. 2008. gunter, c., dhand,r. 2002. the mouse genome. nature 420; doi:10.1038/420509a. harmita, ksunradji. 2005. prosedurperawatantikusputihpadape nelitian. biomed. dep. farmasi f mipa. notoadmodjo, dr. soekidjo. 2005. metodologipenelitiankesehatan. jakarta: rinekacipta. hal 44 nursalam. 2008. konsepdanpenerapanmetodologipene litianilmukeperawatan. ed 2. jakarta: salembamedika. hal 55-97 potter, patricia a. 2005.buku ajaran fundamental keperawatan. vol 2. jakarta: ecg. hal 1853-1861 fuadah, rachmania, yudik, pengaruh terapi kompres madu......109 sastroasmoro, sudigdo. 2002. dasardasarmetodologikeperawatanklinis. jakarta: ecg. hal 33 sheid, a., meuli, m., gassmann, m., wenger, r.h. 2000. genetically modified mouse models in studies on cutaneous wound healing. experimentalphysiology, 85; 687-704. subrahmanyam. topical application of honey for burn wound treatment-an overview, annals of burns and fire disasters, vol. 20, no. 3, pp. 322–333. 2007. sugiyono. 2002. statistikauntukpenelitian. bandung: cv alfabeta. hal 119 suranto, adji. 2007. khasiatdanmanfaatmadu herbal, terapimadu: pt agro media pustaka syaifuddin. 2006. anatomifisiologi. ed 3. jakarta: ecg. hal 310-311, 314-316. suyanto. 2011. metodologidanaplikasipenelitiankep erawatan (yogyakarta: nuha media), hal.45 thomas,s. 2005. introduction to maggot therapy, jan’ available from: url:http://www.larve.com.maggot_m anual. http://www.larve.com.maggot_manual/ http://www.larve.com.maggot_manual/ e:\2021\ners agustus\8--jurnal 190 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 190–195 determinants analysis of the incidence of stunting in children 1-2 years levi tina sari1, nevy norma renityas2, ita noviasari3 1,2,3midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 27/04/2021 accepted, 07/05/2021 published, 05/08/2021 keywords: incidence of stunting, children 1-2 years article information abstract stunting become a serious problem in indonesia because it was associated with increased risk of morbidity and mortality, suboptimal brain development that delayed motor development and mental retardation. in fulfillment of family nutrition required a good knowledge about balanced nutrition. this study was an observational study with case control study design, the sampling technique used purposive sampling so that the respondents obtained were 30 toddlers at 4 posyandu. analysis of the data used for bivariate frequency distribution, while multivariate logistic regression. result: obtained a significant relationship with the incidence of stunting, namely the mother’s education level (: 0.03; 0.621), family economy (: 0.03; or: 0.158), mother’s height (: 0.01: or: 12.045), while the sex of children under five did not have a significant relationship with the incidence of stunting, namely : 0.11>  0.05. the incidence of stunting in children aged 1-2 years is influenced by the mother’s education, height of parents especially mother’s, and family economic status. mothers must know about types of food that have high nutritional value at low prices so that the nutritional adequacy of the family is fulfilled. © 2021 journal of ners and midwifery 190 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: tinasari.levi@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p190–195 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p190-195 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p190-195&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 191sari, renityas, noviasari, determinants analysis of the incidence of stunting in children 1-2 years introduction growth and development in children is influenced by nutritional factors, but if there is malnutrition it will cause several problems, one of which is stunting (bahjuri, 2020). stunting in children can be associated with lack of vitamin and mineral needs, as well as an imbalance between micro and macro nutrients (apriluana and fikawati, 2018). stunting become a serious problem in indonesia because it is associated with increasing risk of morbidity and mortality, suboptimal brain development that delay motor development and mental retardation (unicef, 2013 at mustika and syamsul, 2018) stunting can cause long-term impacts such as disruption of physical, mental, intellectual and cognitive development (murtaza et al., 2018). in 2017, the stunting incidence rate was 29.6% and in 2019 the national stunting incidence rate fell to 27.67%. although there has been a decrease in stunting cases, it is still considered a serious problem in indonesia because the number of stunting cases is still above 20% (teja, 2019). in the district of kediri, east java in 2018 the proportion of the nutritional status is very short and short around 32.81% and for the targets by 2019 approximately 28% (kementrian kesehatan ri, 2018). this is due to poverty, behavior and parenting / feeding that has no nutritional value (anindita, 2012 dalam jihad, imran and ainurafiq, 2016). families, especially mothers, play an important role to support in overcoming the problem of stunting, starting from food preparation, selection of food ingredients, to how food is served, the family’s ability to fulfill it (apriluana and fikawati, 2018). in fulfillment of family nutrition required a good knowledge about balanced nutrition, because of the level of nutrition knowledge a person will influence the attitudes and behavior in determining nutritional balance for families (olsa, sulastri and anas, 2018). according to the world health organization (who) child growth standard, stunting is based on the index of body length compared to age (pb / u) or height for age (tb / u) with a limit (z-score) of less than -2 sd (rambu podu and nuryanto, 2017). stunting assessment indicators using a ratio of height for age will cause chronic nutritional problems. one of the risk factors for stunting recorded by who is the mother’s height. according to research from rahayu, it was stated that mothers who have a short stature of around <150cm, the child born will be at risk of stunting, this is due to physical conditions that will carry the inheritance of genes as carriers of short traits (rahayu, 2012). then the results of the study revealed that mothers with short stature may also have inadequate anatomical and metabolic systems that can affect fetal health, such as lower glucose levels or decreased energy and protein. this condition can cause intrauterine growth restriction were also cast in the short stature in children (manggala et al., 2018). according to research in gunung kidul, central java, that the higher a person’s education level, the greater the family income, so that if family income decreases, food access is disrupted and causes malnutrition, one of which is stunting (ngaisyah, 2015). high income will easily choose healthy and nutritious food menus, if low income allows low in choosing daily menus so they look for cheap and less varied food menus(ibrahim and faramita, 2015). methods this study was an observational study with case control study design. the study was started by measuring the dependent variable, namely the effect, while the independent variable was searched retrospectively. the population of this research is toddlers aged 1-2 years who are in the village area of the village of kandat district of kediri, covering 4 posyandu. the sampling technique used pourposive sampling, which is in accordance with the inclusion criteria, namely parents of toddlers are willing, and are in the place during the research, not in independent isolation. so that we get 30 toddlers. the research was conducted every wednesday and saturday when a toddler posyandu was held for 3 weeks in november 2020 in tegalan village, kediri district.. the independent variable was the toddler stunting one’s state of nutritional status based on height z-score (tb) against age (u) which was located at <-2 sd. then the dependent variable is the gender of the children under five, mother ’s education, mother’s height, and economic status. data analysis was performed used a computer with micr osoft excel a nd spss pr ogr a ms. univariate analysis was conducted to describe the frequency distribution of each research variable. multivariate analysis was carried out to see the relationship between research variables and the inci192 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 190–195 karakteristik  % toddler age 1 year 17 57 2 year 13 43 mother’s age <20 year 12 40 20-25 year 9 30 >25 year 9 30 mother’s job does not work 20 66 trader 5 17 government employees 0 0 private employees 5 17 total 30 100 table 1. frequency distribution of respondent characteristics in 4 posyandu, tegalan village, kediri regency (n=30) tabel 2. karakteristik determinan kejadian stunting characteristics the gender of the toddler man 3 17 10 77 women 15 83 3 23 mother’s education promary school 0 0 0 0 junior high school 5 24 0 0 senior high school 15 71 3 33 collage 1 5 6 67 mother’s height height at risk 20 77 0 0 height not at risk 6 23 4 100 economic status low 21 100 0 0 high 0 0 9 100 dence of stunting. the analysis used was logistic regression statistical test. result the table above shows that 57% of children under 1 year old, 40% <20 years of age under five, and 66% of mothers who do not work or become housewives.. the table above proves that children under five with the incidence of female sex were 83%, education of mothers under five at the high school level / equivalent was 71%, the height of the mother at risk was <145cm as much as 77% and the family economy is at a low level of <1,500,000 / month as many as 21 respondents. the data table shows that the variable that has more influence on the incidence of stunting is gender with a value of 22.618, then the mother’s variabel independen b  or (adjusted) ci 95% the gender of the toddler 3.119 0.11 22.618 0.456-121.738 mother’s education 1.345 0.03 0.261 0.15-4.603 economic status 1.845 0.03 0.158 0.004-6.574 mother’s height 2.489 0.01 12.045 0.506-286.581 table 3. results of multivariate logistic regression analysis for four variables which have a meaningful relationship with the incidence of stunting toddlers with stunting toddlers do not stunting  %  % 193sari, renityas, noviasari, determinants analysis of the incidence of stunting in children 1-2 years height with a value of 12.045. however, gender of children under five did not have a significant relationship with the incidence of stunting with  (0.11) discussion the results showed that children under five with the highest incidence of stunting were female, namely 83%, while those who were not stunted were 23%. male sex who experienced stunting was 17% and those who were not stunted were 77%. it is known that the value of  (0.117)>  (0.05) so that there was no relationship between the incidence of stunting and gender, but the or value was 22,618 so that sex had more likely to be at risk of stunting. this concurs with research from savita and amelia, (2020), that there was no significant relationship between the sex of children under five and the incidence of stunting. added the results of the study which revealed that there was no relationship between sex and stunting (p <0.05).(rukmana et al., 2016). however, research from yemen that there was a significant relationship between the gender of the child with stunting value p = 0.001), the prevalence of stunting in males was higher than in women (al-mansoob and masood, 2018). the results showed that the education of mothers who had children with stunting was 71% at the junior high school level, then there was a significant relationship with the incidence of stunting, namely  (0.03) < (0.05). this was confirmed by the reserched of mataram that there was a significant association between maternal education level with the incidence of stunting and low maternal education 3.313 times higher risk of experienced stunting with high mater nal educa tion (nurmalasar i, anggunan and febriany, 2020) the level of mother’s education had a big influenced on the nutritional status of the family which had an impact on family health, especially for children, because mothers are the main supervisors in food management and have an important role in impr oved the nutr itional sta tus of childr en. (noviyanti, rachmawati and sutejo, 2020). this reinforced by research by vollmer et al., (2017) that mothers with low education did not continue their education even then it will be more at risk to have children with stunting. the incidence of stunting was higher in mothers with low education, which indirectly affects the ability of mothers to choose food menus that have balanced nutritional value and quality at low prices. differences in maternal characteristics in the field of education will affect the nutritional status of children (apriluana and fikawati, 2018). the results showed that the family economy can affect the incidence of stunting, that was 100% of respondents with low economies have children with stunting, and there was a significant relationship between the family economy and the incidence of stunting at  (0.03) < (0.05). this was confirmed by research in yemen that yemeni children who had low income will suffer stunting and had a significant relationship between low economic with the incidence of stunting that  (0.001) <  (0,05) (al-mansoob and masood, 2018). the family economy could cause children with stunting, which was the purchased power that did not hit. this was in accordance with research by beal et al., (2018), who had reviewed articles in indonesia that low economic families can not meet the nutritional adequacy of the family due to low purchased power. the researched from ibrahim and faramita, (2015) states that there is no significant relationship between income levels and the incidence of stunting in children. the absence of a relationship between family income and nutritional status of children under five can be caused indirectly because income does not have a positive effect on nutritional status but through other variables such as food distribution, knowledge and skills of parents (parenting patterns), because income is only a medium for spending needs in. the results showed that the height of the mother at risk, namely <145cm, had a child with stunting and had a significant relationship, namely  (0.01) < (0.05) and the height of the mother who was at risk had a tendency of 12,045 times to be stunted. this is supported by research from fitriahadi, (2018) that mothers who have a short stature category are 68.4% and mothers with not short categories who had stunted children are 17.5%, and had a significant relationship between short maternal height and the incidence of stunting. then the research in minahasa found that groups with short stature, namely <155 cm in mothers, tended to have children with stunting (ratu et al., 2010). added to research in the philippines, india and south africa, brazil that there is a significant relationship between short maternal height (<150cm) and the tendency for children to be stunted at the age of 2 years. (addo et al., 2013). accorded to 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 190–195 naik dan smith (2015) at fitriahadi, (2018), that a woman (mother) who has been stunted since childhood, will experience growth problems included disorders of the reproductive organs, complications in pregnancy that will cause difficulty in childbirth and even perinatal death. one of the factors of short parents will cause the child to become stunted, which was the result of pathological conditions such as growth hormone deficiency, so that it can carry genes in chromosomes that carry short traits, which will increase the chance for the child to be stunted. (rahayu and khairiyati, 2014) conclusion determinants of stunting incidenced among others, mother education level, economic, family and mother’s height had a significant relationship to the occurrence of stunting, but the sex of infants did not had a significant relationship to the incidence of stunting. suggestion the incidence of stunting in children aged 1-2 years is influenced by the choice of food menu for toddlers, and the correct way of processing food. mothers must know about types of food that had high nutritional value at low prices so that the nutritional adequacy of the family is fulfilled. then the puskesmas as the front line regularly provides counseling to prevent stunting as early as possible in toddlers references addo, o. y. et al. (2013) ‘maternal height and child growth patterns’, journal of pediatrics, 163(2), pp. 549554.e1. doi: 10.1016/j.jpeds.2013.02.002. al-mansoob, m. a. k. and masood, m. s. a. (2018) ‘the relationship between stunting and some demographic and socioeconomic factors among yemeni children and adolescents’, advances in public health, 2018, pp. 1–6. doi: 10.1155/2018/ 5619178. apriluana, g. and fikawati, s. (2018) ‘analisis faktorfaktor risiko terhadap kejadian stunting pada balita (0-59 bulan) di negara berkembang dan asia tenggara’, media penelitian dan pengembangan kesehatan, 28(4), pp. 247–256. doi: 10.22435/ mpk.v28i4.472. bahjuri, a. p. (2020) ‘evaluasi program percepatan pencegahan stunting’, (november). available at: https://stunting.go.id/sdm_downloads/evaluasiprogram-percepatan-pencegahan-stunting-pelaksanaan-dan-capaian/. beal, t. et al. (2018) ‘a review of child stunting determinants in indonesia’, maternal and child nutrition, 14(4), pp. 1–10. doi: 10.1111/mcn.12617. fitriahadi, e. (2018) ‘hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 24 -59 bulan’, jurnal kebidanan dan keperawatan aisyiyah, 14(1), pp. 15–24. doi: 10.31101/jkk.545. ibrahim, i. a. and faramita, r. (2015) ‘hubungan faktor sosial ekonomi keluarga dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja puskesmas barombong kota makassar tahun 2014’, al-sihah/ : public health science journal, 7(1), pp. 63–75. available at: http://103.55.216.55/index.php/alsihah/article/view/1978. jihad, j., imran, a. and ainurafiq, a. (2016) ‘stunting, bblr, riwayat asi eksklusif, riwayat usia pemberian asi eksklusif, tinggi badan ibu dan riwayat anemia ibu saat hamil.’ kementrian kesehatan ri (2018) ‘hasil utama riskesdas 2018 provinsi jawa timur’, pp. 1–82. available at: https://dinkes.kedirikab.go.id/konten/uu/22033hasil-riskesdas-jatim-2018.pdf. manggala, a. k. et al. (2018) ‘paediatrica indonesiana’, 58(5), pp. 205–212. musti ka, w. an d syam sul, d. (2018) ‘ana lisis permasalahan status gizi kurang pada balita di puskesmas teupah selatan kabupaten simeuleu’, jurnal kesehatan global, 1(3), p. 127. doi: 10.33085/ jkg.v1i3.3952. ngaisyah, r. d. (2015) ‘hubungan sosial ekonomi dengan kejadian stunting pada balita di desa kanigoro, saptosari gunung kidul’, jurnal medika respati, 10(4), pp. 65–70. noviyanti, l. a., rachmawati, d. a. and sutejo, i. r. (2020) ‘analisis faktor-faktor yang memengaruhi pola pemberian makan balita di puskesmas kencong’, journal of agromedicine and medical sciences, 6(1), pp. 14–18. nurmalasari, y., anggunan, a. and febriany, t. w. (2020) ‘hubungan hubungan tingkat pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada anak usia 6-59 bulantingkat pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada anak usia 6-59 bulan di desa mataram ilir kecamatan seputih sur’, jurnal kebidanan malahayati, 6(2), pp. 205–211. doi: 10.33024/jkm.v6i2.2409. olsa, e. d., sulastri, d. and anas, e. (2018) ‘hubungan sikap dan pengetahuan ibu terhadap kejadian stunting pada anak baru masuk sekolah dasar di kecamanatan nanggalo’, jurnal kesehatan andalas, 6(3), p. 523. doi: 10.25077/jka.v6i3.733. rahayu, a. and khairiyati, l. (2014) ‘risiko pendidikan ibu terhadap kejadian stunting pada anak 6-23 195sari, renityas, noviasari, determinants analysis of the incidence of stunting in children 1-2 years bulan’, penelitian gizi dan makanan (the journal of nutrition and food research), 37(2 dec), pp. 129–136. available at: http://ejournal.litbang.depkes. go.id/index.php/pgm/article/view/4016. rahayu, l. s. (2012) associated of height of parents with changes of stunting status from 6-12 months to 3-4 years. faculty of medicine gadjah mada university. rambu podu, r. and nuryanto (2017) ‘pola asuh pemberian makan pada balita stunting usia 6-12 bulan di sumba nusa tenggara timur’, jurnal of nutrition college, 6, pp. 83–89. ratu, n. c. et al. (2010) ‘usia 24-59 bulan di kecamatan ratahan kabupaten minahasa tenggara pendahuluan gizi merupakan salah satu faktor yang tercapainya keberhasilan yang optimal bagi tumbuh kembang periode emas stunting di indonesia sendiri menurut hasil riset kesehatan dasar me’, jurnal kesmas, 7(8), pp. 1–8. rukmana, e. et al. (2016) ‘faktor risiko stunting pada anak usia 6-24 bulan di kota bogor risk factors stunting in children aged 6-24 months in bogor’, media kesehatan masyarakat indonesia, 12(3), pp. 192–199. available at: https:// journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/ 1081. savita, r. and amelia, f. (2020) ‘hubungan pekerjaan ibu, jenis kelamin, dan pemberian asi eklusif terhadap kejadian stunting pada balita 6-59 bulan di bangka selatan the relationship of maternal employment , gender , and asi eklusif with incident of stunting intoddler aged 6-59 months’, jurnal kesehatan poltekkes kemenkes ri pangkalpinang, 8(1), pp. 6–13. teja, m. (2019) ‘stunting balita indonesia dan penanggulangannya’, pusat penelitian badan keahlian dpr ri, xi(22), pp. 13–18. vollmer, s. et al. (2017) ‘the association of parental education with childhood undernutrition in lowand middle-income countries: comparing the role of paternal and maternal education’, international journal of epidemiology, 46(1), pp. 312–323. doi: 10.1093/ije/dyw133. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 197aminin, mariyani, safitri, hubungan pengetahuan wanita usia subur (wus) ... 197 hubungan pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah di tanjugpinang tahun 2014 (the correlation between knowledge and attitude childbearing age woman about pre marital examination in tanjungpinang at 2014) fidyah aminin, fitri mariyani,tiyara safitri poltekkes kemenkes tanjungpinang email:fidyahaminin@yahoo.com abstract: based on indonesian demographic and health survey in 2008, there were 80,000 newborns died. one possible cause was infection. infections acquired from placenta transplant from mother to fetus can cause congenital abnormalities such as torch infections. this can be prevented by doing premarital examination. this study investigated the relationship between childbearing women’s knowledge about premarital examination and attitude in premarital examination in tanjungpinang in 2014. this was an analytic study with a cross-sectional research design. location was selected in tanjungpinang on june 12 to june 23, 2014. the sampling was done by purposive sampling technique. the sample was 47 people. instrument used was a questionnaire and data collection was done by filling the questionnaire. the obtained data was analyzed with chi-square test. the results showed that, of the 47 respondents, 87.2% had high knowledge with 68.1% having a positive attitude while 12.8% had low knowledge with 31.9% having a negative attitude. the results of the chi-square statistical test obtained a pvalue of 0.009 (p <0.05), then h0 was rejected, meaning that there was a correlation between childbearing women’s knowledge about premarital examination and attitude in premarital examination in tanjungpinang in 2014. it was suggested that the childbearing women expected to undergo premarital examination before marriage. it was recommended to the health clinic laboratory to improve the premarital screening program with promotional efforts. keywords: childbearing women’s knowledge, attitude abstrak: berdasarkan survei demografi dan kesehatan indonesia tahun 2008 menunjukkan terdapat 80.000 bayi baru lahir meninggal dunia. salah satu penyebabnya adalah infeksi. infeksi yang didapatkan dari transplantasi plasenta ibu ke janin bisa menyebabkan kelainan kongenital pada janin salah satunya yaitu infeksi torch. hal ini dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan pranikah. penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah di tanjungpinang tahun 2014. penelitian ini merupakan suatu penelitian analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. lokasi penelitian yang dipilih adalah di tanjungpinang pada tanggal 12 juni–23 juni 2014. pengambilan sampel dilakukan dengan cara teknik purposive sampling. besar sampel yang digunakan adalah 47 orang. instrument yang digunakan adalah angket, pengambilan data dilakukan dengan cara responden mengisi angket. data yang diperoleh di uji menggunakan komputerisasi dengan analisis chi square. hasil penelitian dari 47 responden, wanita usia subur (wus) (87.2%) memiliki pengetahuan tinggi dengan sikap wus (68.1%) memiliki sikap positif, (12.8%) wus memiliki pengetahuan rendah dengan (31.9%) wus memiliki sikap negatif. hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p-value = 0.009 (p<0.05) maka hasilnya adalah h0 ditolak yang berarti ada hubungan antara pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah di tanjungpinang tahun 2014. saran dari peneilitian kepada wanita usia subur (wus) diharapkan wus mampu untuk melakukan pemeriksaan pranikah sebelum acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p197-203 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 197–203 menikah. disarankan kepada laboratorium klinik kesehatan untuk meningkatkan program pemeriksaan pranikah dengan melakukan upaya promosi kata kunci: pengetahuan wanita usia subur (wus), sikap dalam pemeriksaan pranikah pembangunan kesehatan merupakan upaya seluruh potensi bangsa indonesia, bagi masyarakat, swasta maupun pemerintah untuk mencapai tujuan akhirnya yaitu kesejahteraan masyarakat.hal ini juga merupakan tujuan pembangunan milenium atau lebih dikenal dengan istilah millenium development goals (mdgs) yang dicetuskan who (world health organization) pada tahun 2000. indonesia termasuk salah satu dari 189 negara yang menyepakati 8 (delapan) tujuan millenium development goals (mdgs), yang pencapaianya dicanangkan paling lambat pada tahun 2015. indonesia menargetkan pada tahun 2015 angka kematian ibu(aki) diturunkan menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (akb) diturunkan menjadi 170 bayi per 10.000 kelahiran. berdasarkan hasil sdki (survei demografi dan kesehatan indonesia) tahun 2012, ditemukan bahwa sekitar lebih dari 80.000 bayi baru lahir meninggal dunia saat berusia kurang dari sebulan. hampir 43% kematian bayi di bawah usia satu tahun terjadi pada 28 hari pertama kehidupan. lebih dari tiga perempat dari kematian ini disebabkan oleh 3 penyebab utama, yaitu infeksi, kesulitan bernafas saat lahir atau asfiksia, dan komplikasi lahir prematur dan berat badan lahir rendah. infeksi merupakan penyebab kematian terbanyak. salah satu infeksi yang terjadi pada bayi adalah infeksi yang didapat dari transplantasi plasenta ketika ibu hamil atau pada saat persalinan.infeksi yang didapat pada saat kehamilan dapat juga menyebabkan kelainan kongenital pada bayi.salah satu bakteri yang menyebabkan kelainan kongenital ini adalah torch (toxoplasmosis, other, rubella, cytomegalovirus, herpes simpleks virus). data di amerika serikat pada tahun 2006 menyatakan 15%-30% wanita mempunyai antibodi terhadap toxoplasma. menurut sunaryo (2006), infeksi torch di indonesia pada kehamilan menunjukkan prevalensi cukup tinggi, berkisar antara 5,5% sampai 84%. beberapa penelitian di indonesia memperoleh, dari ibu yang menderita toxoplasmosis, sebanyak 56% bayi dapat menderita toxoplasmosis kongenital bila ibu tersebut tidak diberi pengobatan selama kehamilan. infeksi torch oleh cornain dan kawan-kawan (1994) pada 67% wanita kasus infertilitas didapatkan sebanyak 10,3 toxoplasma, 13,8% positif rubella, 13,8% positif infeksi cmv. prevalensi toxoplasmosis di jakarta sebesar 61,6%, bandung 74,5%, surabaya 55,5%, yogyakarta 55,4%, denpasar 23,0%, dan semarang 44,0%. insiden kelainan bawaan di indonesia tahun 2009 berkisar 15 per 1.000 kelahiran. angka kejadian ini akan menjadi 4–5% bila bayi diikuti terus sampai berusia 1 tahun. menurut maryuni tahun 2009, angka kejadian kelainan kongenital dibeberapa rumah sakit di indonesia yaitu rscm jakarta tahun 1975–1979 sebanyak 11,61 per 1.000 kelahiran hidup dan rs pirngadi medan tahun 1977–1980 sebanyak 3,3 per 1.000 kelahiran hidup. infeksi torch sebenarnya dapat dicegah. pencegahan torch ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan pranikah atau yang disebut dengan premarital check up. pemeriksaan sebelum kawin atau sebelum hamil, menjadi semakin penting mengingat arus informasi yang semakin mempengaruhi dunia telah menyebabkan terjadi revolusi masyarakat dalam penilaian hubungan seks pranikah.kita tidak dapat menutup mata dan telinga bahwa masalah pelacuran semakin meningkat yang merupakan matarantai penyebaran penyakit hubungan seks yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas (kesakitan, kecacatan, atau kematian bayi). untuk menghindari terjadi masalah kesakitan, kecacatan rohani dan jasmani, kematian, serta menuju tercapainya well born baby and well health mother sehingga pemeriksaan diri harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. (chandranita, 2009). langkah pemeriksaan sebelum kawin dan sebelum hamil dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.pada pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk mengetahui penyakit yang dapat memengaruhi pernikahan dan kehamilan. pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah lengkap, urine lengkap, pemeriksaan tinja, fungsi organ vital (hati, ginjal), gula darah, dan terhadap virus hepatitis b/ c. selain itu pemeriksaan juga dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit hubungan seksual dengan vdrl, preparat gonnorea, torch (toxoplasmosis, other, rubella, cytomegalovirus, herpes simpleks virus), dan terhadap aids-hiv 199aminin, mariyani, safitri, hubungan pengetahuan wanita usia subur (wus) ... (human immunodeficiency virus).(chandranita, 2009). berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, dapat dilakukan pengobatan dini sehingga kesiapan untuk kawin dan segera hamil dapat ditunjang. langkah menuju well born baby and well health mother memerlukan biaya yang tidak sedikit, serta sangat diperlukan kesiapan mental bila ternyata diketahui adanya penyakit yang dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin. (chandranita, 2009). menurut kesepakatan dalam konferensi internasional kependudukan dan pembangunan, hak-hak reproduksi bertujuan untuk mewujudkan kesehatan bagi individu secara utuh, baik kesehatan jasmani maupun rohani.salah satu hak reproduksi adalah hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi termasuk hak mendapatkan pelayanan pemeriksaan pranikah yang merupakan sekumpulan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan status kesehatan calon pengantin. (widyastuti, 2009). menurut chandranita tahun 2009, dalam upaya menurunkan generasi penerus yang tangguh, sehat rohani dan jasmani, dianjurkan kepada calon pengantin untuk melakukan pemeriksaan diri menjelang perkawinan atau sebelum hamil. berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 21–23 april 2014 di kantor urusan agama (kua) didapatkan data dari 3 kecamatan di tanjungpinang tahun 2013 sebagai berikut: tinggi tersebut, berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 14 april 2014 di klinik laboratorium prodia didapatkan data yang menjelaskan bahwa tidak ada satupun calon pengantin pada tahun 2013 lalu yang melakukan pemeriksaan pranikah. dari data tersebut ditemukan kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang ada. berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul ”hubungan pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah di tanjungpinang pada tahun 2014”. kualitas tidur bayi tidak hanya berpengaruh pada perkembangan fisik, tapi juga sikapnya keesokan hari. bayi yang tidur cukup tanpa sering terbangun akan lebih bugar dan tidak gampang rewel. bayi dikatakan mengalami gangguan tidur jika pada malam hari tidurnya kurang dari 9 jam, terbangun lebih dari 3 kali dan lamanya terbangun lebih dari 1 jam. selama tidur bayi terlihat selalu rewel, menangis dan sulit tidur kembali. (wahyuni, 2008) bayi sekitar umur 3–4 bulan memerlukan waktu untuk tidur kurang lebih 18 jam perhari dan waktu yang tersisa untuk bayi adalah bermain dan melakukan aktifitas yang membuat bayi nyaman, misalnya bercengkrama dengan ibu dan anggota keluarga. tetapi masalah yang dialami ibu lainnya adalah permasalahan bagi bayi yang sulit sekali untuk tidur di malam hari dan jika tidak ditangani dengan serius ada gangguan perilaku, tumbuh kembang serta gangguan otak (ismael, 1994) kualitas dan kuantitas tidur bayi dipengaruhi oleh beberapa faktor. kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya yaitu lingkungan, latihan fisik, nutrisi dan penyakit. mengingat akan pentingnya waktu tidur bagi perkembangan bayi, maka kebutuhan tidurnya harus benar-benar terpenuhi agar tidak berpengaruh buruk terhadap perkembangannya. salah satu cara yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan latihan fisik atau pijatan. bayi yang dipijat akan dapat tidur dengan lelap, sedangkan pada waktu bangun, daya konsentrasinya akan lebih penuh (roesli, 2001). menurut undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2009, pijat bayi merupakan pelayanan kesehatan tradisional yang termasuk dalam jenis keterampilan. pijat bayi ini sesuai dengan permenkes nomor 1109 tahun 2007 dapat dikategorikan tabel 1. data pernikahan tahun 2013 di tanjungpinang sumber: kua bukit bestari tahun 2013, kua kota tanjungpinang tahun 2013, kua tanjungpinang barat tahun 2013, kua tanjungpinang timur tahun 2013. kecamatan dat a p ernikahan presentase tanjungp inang timur 525 pasangan 36,9 % bukit bestari 463 pasangan 32,7 % tanjungp inang barat 308 pasangan 21,7 % kota tanjungp inang 124 pasangan 8,7 % jumlah 1 420 pasangan 100 % pernikahan yang tercatat dengan jumlah yang cukup tinggi tersebut, diharapkan dapat memiliki keturunan yang sehat agar tidak menjadi beban keluarga, masyarakat, dan negara. karena itulah diperlukan pemeriksaan kesehatan sebelum menikah. akan tetapi dari jumlah pernikahan yang cukup 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 197–203 kedalam pengobatan komplementer-alternatif karena sudah diperoleh melalui pendidikan terstruktur yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik. pijat bayi adalah suatu bentuk permainan gerakan pada bayi, untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan serta kemampuan pergerakan bayi secara optimal (sutini, 2008) bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional. penelitian ini dilakukan di kota tanjungpinang pada tanggal 12–23 juni 2014. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur (wus) yang sudah mendaftar di kantor urusan agama (kua) yang akan menikah di tanjungpinang pada bulan mei–juni tahun 2014 berjumlah 67 orang. teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cara non probability samplingpurpossive sampling type dimana peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif, bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian. adapun yang termasuk kriteria dalam penelitian ini adalah: wanita usia subur (wus) yang akan menikah dan bersedia menjadi responden, wanita usia subur (wus) yang baru akan menikah untuk pertama kalinya, responden yang berada di tempat tinggalnya pada saat penelitian, responden yang akan menikah di tanjungpinang. alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket yang dibuat oleh peneliti dan akan dibagikan kepada responden. pertanyaan dan pernyataan yang dibuat bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah di tanjungpinang. total pertanyaan yang diberikan sebanyak 12 soal tentang pengetahuan dan 10 pernyataan tentang sikap. analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap meliputi: univariabel dilakukan dengan statistik deskriptif untuk melihat frekuensi dan distribusi variabel bebas, variabel terikat yang diteliti. tabel frekuensi digunakan untuk melakukan pengkategorian variabel yang dianalisis, biva ria bel dengan mengidentifika si hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. uji statistik yang digunakan adalah chi squaredengan tingkat signifikansi 0,05. hasil penelitian univariat tabel 2. distribusi responden menurut pengetahuan di tanjungpinang tahun 2014 penget ahuan jumlah presentase rendah 6 12.8% tinggi 41 87.2% jumlah 47 100 % berdasarkan tabel 2 di atas, dari 47 responden, sebagian besar wanita usia subur (wus) yang akan menikah (87.2%) berpengetahuan tinggi dan sebagian kecil (12.8%) wus berpengetahuan rendah. tabel 3. distribusi responden menurut sikap di tanjungpinang tahun 2014 sikap jumla h presentase negatif 15 31.9% positif 32 68.1% ju mlah 47 100% berdasarkan tabel 3 di atas, dari 47 responden, sebagian besar wanita usia subur (wus) yang akan menikah (68.1%) bersikap positif dan sebagian kecil (31.9%) wanita usia subur (wus) bersikap negatif. bivariat tabel 4. hubungan pengetahuan wanita usia subur (wus) dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah di tanjungpinang tahun 2014 p-value = 0.009 pengetahu an (wus) sikap wus jumlah negatif positif n % n % n % rendah 5 10.6 1 2.1 6 12.8 tinggi 10 21.3 31 66 4 1 87.2 jumlah 15 31.9 32 68.1 4 7 100 berdasarkan tabel 4 di atas, dapat dilihat pada kelompok pengetahuan rendah, sikap wanita usia subur (wus) yang negatif lebih besar (10.6%) dari sikap wus yang positif (2.1%) dan pada kelompok pengetahuan tinggi, sikap wus yang positif lebih besar (66%) dari sikap wus yang negatif (21.3%). pada penelitian ini hasil uji chi square yang dilakukan secara komputerisasi menggunakan spss versi 16 dengan nilai  (0.05) diperoleh nilai p-value yaitu 0.009 (p<0.05). hal ini menunjukkan bahwa 201aminin, mariyani, safitri, hubungan pengetahuan wanita usia subur (wus) ... h0 ditolak yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah di tanjungpinang tahun 2014. pembahasan pengetahuan berdasarkan tabel 2 menunjukkan dari 47 responden, sebagian besar wanita usia subur (wus) yang akan menikah berpengetahuan tinggi (87.2%) dan sebagian kecil (12.8%) wus berpengetahuan rendah. hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh notoatmodjo (2010) mengenai faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya pengetahuan yaitu informasi, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan umur. menurut notoatmodjo (2010), pendidikan adalah derajat tertinggi jenjang pendidikan yang diselesaikan berdasarkan ijazah yang diterima dari sekolah formal terakhir dengan sertifikat kelulusan. pendidikan merupakan suatu usaha atau pengaruh yang diberikan yang bertujuan untuk proses pendewasaan. pendidikan dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. sehingga semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi pengetahuan orang tersebut. selain pendidikan, umur juga mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. (notoatmodjo, 2010) status pekerjaan seseorang juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan orang tersebut. pekerjaan adalah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang sehingga memperoleh penghasilan. (notoatmodjo, 2010). berbagai macam bidang pekerjaan sesorang akan mempengaruhi pengetahuan orang tersebut. menurut notoatmodjo (2003) dalam rahmayani (2010), sumber informasi adalah asal dari suatu informasi atau data yang diperoleh. sumber informasi ini dikelompokkan dalam 3 golongan yaitu: 1) media informasi dokumenter, 2) sumber kepustakaan, 3) sumber informasi lapangan. adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. dari penelitian tentang umur diperoleh hasil bahwa sebagian besar (89.4%) wanita usia subur (wus) yang akan menikah adalah berusia 20–40 tahun. menurut notoatmodjo (2010) menyebutkan bahwa umur merupakan periode terhadap pola-pola kehidupan yang baru.semakin bertambahnya umur akan mencapai usia reproduktif. berdasarkan hasil penelitian, peneliti berasumsi bahwa tingginya pengetahuan wanita usia subur (wus) dikarenakan lebih dari separuh (87.2%) wus berpendidikan sma. sebagian besar wus (74.5%) telah memiliki pekerjaan, dan sebagian besar wus ( 27.7%) mendapatkan informasi dari media cetak. sedangkan rendahnya pengetahuan wus, (12.8%) disebabkan karena masih ada wus (4.3%) yang berpendidikan sd. peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang maka akan semakin tinggi pula umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan sumber informasi yang didapatkan. begitu juga sebaliknya, semakin rendah tingkat pengetahuan bisa disebabkan karena usia yang masih terlalu muda sehingga pola pikirnya masih belum berkembang, tingkat pendidikan yang rendah, serta kurangnya sumber informasi yang ada. sikap berdasarkan tabel 3 menunjukkan dari 47 responden, mayoritas wanita usia subur (wus) yang akan menikah bersikap positif (68.1%) dan (31.9%) wanita usia subur (wus) bersikap negatif. dalam bagian lain allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu 1) kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek, 2) kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, 3) kecenderungan untuk bertindak.ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap yang utuh. berdasarkan hasil penelitian, peneliti berasumsi sikap positif wanita usia subur (wus) dalam pemeriksaan pranikah dapat dilihat dari hasil angket yang disebarkan kepada responden. berdarakan angket yang berisikan pernyataan tentang sikap responden dalam pemeriksan pranikah, menunjukkan dari 10 pernyataan yang terdiri dari 4 pernyataan afektif, 3 pernyataan kognitif dan 3 pernyataan koanatif, sebagian besar responden menunjukkan sikap positif dalam menjawab pernyataan yang ada. hal ini dapat dilihat bahwa dari 10 pernyataan yang ada responden mampu menjawab 4 pernyataan afektif dengan benar, 2 dari 3 pernyataan kognitif dengan benar dan 2 dari 3 pernyataan koanatif dengan benar. pada angket penelitian tentang sikap 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 197–203 responden tersebut juga ada sebagian kecil responden yang menjawab pernyataan yang menunjukkan sikap negatif responden dalam pemeriksaan pranikah. hal ini dapat dilihat dari 10 pernyataan yang ada responden hanya mampu menjawab benar 2 dari 4 pernyataan afektif, 1 dari 3 pernyataan kognitif, dan 2 dari 3 pernyataan koanatif. hubungan pengetahuan dan sikap berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pada kelompok pengetahuan rendah, sikap wanita usia subur (wus) yang negatif lebih besar (10.6%) dari sikap wus yang positif (2.1%) dan pada kelompok pengetahuan tinggi, sikap wus yang positif lebih besar (66%) dari sikap wus yang negatif (21.3%). hasil uji chi square dengan tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan atau bermakna antara pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah. hasil penelitian ini sejalan dengan pendapatnya green melalui notoatmodjo (2010) yaitu prilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, 1) faktor predisposisi: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, misalnya pemeriksaan pranikah pada wanita usia subur (wus) yang akan menikah diperlukan pengetahuan dan kesadaran wus tersebut tentang manfaat pemeriksaan pranikah. 2) faktor pemungkin: misalnya prilaku pemeriksaan pranikah. wus yang mau melakukan pemeriksaan pranikah tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pemeriksaan pranikah, melainkan wus tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat pemeriksaan pranikah, misalnya laboratorium. 3) faktor penguat: selain perilaku pemeriksaan pranikah, dan kemudahan memperoleh fasilitas pemeriksaan pranikah, juga diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang menganjurkan wus yang akan menikah melakukan pemeriksaan pranikah. selain itu green juga mengemukakan bahwa pengetahuan tinggi sejalan dengan sikap positif seseorang dan sebaliknya, rendahnya pengetahuan maka mempengaruhi orang tersebut untuk bersikap negatif. dalam bagian lain allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yaitu: 1) kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek, 2) kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, 3) kecenderungan untuk bertindak. (notoatmodjo, 2010) wanita usia subur (wus) yang berpengetahuan tinggi menunjukkan sikap yang positif (66%). hal ini sesuai dengan teori yang di kemukakan green dalam notoatmodjo (2010) bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang sejalan dengan sikap positif orang tersebut. peneliti berasumsi bahwa hal ini juga dapat dilihat dari 12 pertanyaan mengenai pengetahuan responden tentang pemeriksaan pranikah, lebih dari separuh responden menjawab benar dan dari 10 pernyataan mengenai sikap, responden mampu menjawab benar 4 pernyataan afektif, 3 pernyataan kognitif dan 2 dari 3 pernyataan koanatif. hal ini menggambarkan sikap positif responden. wanita usia subur (wus) yang berpengetahuan tinggi akan tetapi memiliki sikap negatif (21.3%). hal ini sesuai dengan teori allport dalam notoatmodjo (2010) yang mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh keyakinan terhadap objek. berdasarkan teori tersebut peneliti berasumsi bahwa wus yang berpengetahuan tinggi akan tetapi menunjukkan sikap negatif ini karna wus tersebut tidak mampu mengendalikan emosional atau kepercayaan akan ketakutan terhadap pemeriksaan pranikah dan juga dapat dilihat dari hasil angket yang menunjukkan bahwa dari 10 pernyataan yang ada, responden hanya mampu menjawab benar 2 dari 4 pernyataan afektif, 2 dari 3 pernyataan kognitif dan 1 dari 3 pernyataan koanatif. hal ini menggambarkan sikap negatif responden. wanita usia subur (wus) yang berpengetahuan rendah akan tetapi memiliki sikap positif (2.1%). hal ini sesuai dengan teori allport dalam notoatmodjo (2010) yang mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh keyakinan terhadap objek. berdasarkan teori tersebut peneliti berasumsi bahwa wus yang berpengetahuan rendah akan tetapi menunjukkan sikap positif ini karna wus tersebut mampu mengendalikan emosional atau kepercayaan terhadap objek yang dihadapi dan didukung dari hasil angket yang menunjukkan bahwa dari 12 pertanyaan tentang pengetahuan, responden hanya mampu menjawab benar kurang dari separuh pertanyaan yang ada, akan tetapi dari 10 pernyataan yang ada, responden mampu menjawab benar 3 dari 4 pernyataan afektif, 3 dari 3 pernyataan kognitif dan 2 dari 3 pernyataan koanatif. hal ini menggambarkan sikap positif responden. wanita usia subur (wus) yang berpengetahuan rendah menunjukkan sikap yang negatif (10.6%). hal ini sesuai dengan teori yang di kemukakan green dalam notoatmodjo (2010) bahwa rendahnya 203aminin, mariyani, safitri, hubungan pengetahuan wanita usia subur (wus) ... pengetahuan seseorang sejalan dengan sikap negatif orang tersebut. peneliti berasumsi bahwa hal ini juga dapat dilihat dari 12 pertanyaan mengenai pengetahuan responden tentang pemeriksaan pranikah, responden hanya mampu menjawab benar kurang dari separuh pertanyaan dan dari 10 pernyataan mengenai sikap, responden hanya mampu menjawab benar 2 dari 4 pernyataan afektif, 2 dari 3 pernyataan kognitif dan 1 dari 3 pernyataan koanatif. hal ini menggambarkan sikap negatif responden. berdasarkan hasil penelitian ini peneliti berasumsi bahwa pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah mempengaruhi sikap wus dalam pemeriksaan pranikah, dimana pengetahuan adalah domain terpenting untuk membentuk perilaku seseorang. maka dengan demikian dapat dikatakan tingkat pengetahuan wus tentang pemeriksaan pranikah yang tinggi memungkinkan sikap wus yang positif untuk melakukan pemeriksaan pranikah. berdasarkan survei awal peneliti pada salah satu klinik laboratorium kesehatan di tanjungpinang yang memfasilitasi pemeriksaan pranikah, pada tahun 2013, angka pemeriksaan pranikah masih rendah. peneliti berasumsi bahwa tingginya pengetahuan wus tentang pemeriksaan pranikah yang mempengaruhi sikap wus dalam pemeriksaan pranikah juga dipengaruhi oleh kemauan dari wus tersebut untuk melakukan pemeriksaan pranikah. wus yang berpengetahuan tinggi dan menunjukkan sikap positif tetapi tidak melakukan pemeriksaan pranikah dkarenakan rasa malas untuk melakukan pemeriksan pranikah dan kurangnya dukungan dari pemerintah atau dinas kesehatan terhadap pemeriksaan pranikah. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dikemukakan makadapat disimpullkan bahwa: sebagian besar wanita usia subur (wus) yang akan menikah berpengetahuan tinggi 87.2% dan sebagian kecil 12.8% wus berpengetahuan rendah. mayoritas wanita usia subur (wus) yang akan menikah bersikap positif 68.1% dan terdapat 31.9% wanita usia subur (wus) bersikap negatif. ada hubungan antara pengetahuan wanita usia subur (wus) tentang pemeriksaan pranikah dengan sikap wus dalam pemeriksaan pranikah di mana hasil uji chi square diperoleh nilai p-value=0.009 (p<0.05) dengan h0 ditolak. saran berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian mengenai kualitas tidur bayi, saran yang dapat dipertimbangkan adalah: disarankan kepada laboratorium klinik kesehatan yang berada di tanjungpinang yang menyediakan fasilitas untuk pemeriksaan pranikah diharpkan mampu meningkatkan program pemeriksaan pranikah dengan cara melaksanakan upaya promosi untuk pemeriksaan pranikah. daftar rujukan arikunto, s. 2006. prosedur penelitian. jakarta: rineka cipta. chandranita, dkk. 2009. memahami kesehatan reproduksi wanita.edisi 2.cetakan 1. jakarta: egc. hendra. 2008. promosi kesehatan. yogyakarta: fitamaya. hidayat, a.a. 2007.metode penelitian kebidanan teknik analisis data. jakarta: salemba medika. kantor urusan agama bukit bestari. 2013. data peristiwa nikah, rujuk, dan talak. kantor urusan agama kota tanjungpinang. 2013. data peristiwa nikah, rujuk, dan talak. kantor urusan agama tanjungpinang barat. 2013. data peristiwa nikah, rujuk, dan talak. kantor urusan agama tanjungpinang timur. 2013. data peristiwa nikah, rujuk, dan talak. machfoedz, i. 2008. metodologi penelitian bidang kesehatan, keperawatan dan kebidanan. yogyakarta: fitramaya. notoatmodjo, s. 2010. ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. _________. 2012. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. _________. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. _________. 2010. promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. pramudiarja.perempuan siap nikah.melalui .diakses tanggal [20/04/2014] prodia.pemeriksaan pranikah. melalui .dikses pada tanggal [23/04/2014] rahmayani. 2010.ilmu perilaku dalam promosi kesehatan. yogyakarta: fitramaya. sari. lebih dari 80000 bayi baru lahir di indonesia meninggal dunia tiap tahun.melalui .diakses tanggal [20/04/2014] widyastuti, y. 2009. kesehatan reproduksi. yogyakarta: fitramaya. 109 efektifitas disaster training terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana letusan gunung kelud di kota blitar (the effectiveness of disaster training improving knowledge, attitude and skill nursing disaster for disaster preparedness kelud erruption blitar city) agus khoirul anam¹, sri winarnii 1 , budi susati 1 ¹poltekkes kemenkes malang jurusan keperawatan email : aguskhoirulanam@gmail.com abstract : introduction: disaster preparedness is a series of efforts made to anticipate the disaster through organizing as well as the steps effectively and usefull. identification of factors influencing nursing preparedness is beneficial in the preparation of government programs related to nursing preparedness in disaster management and nurses understand the factors that need to be considered.this study aimed to identify the efectiveness of disaster training to enhance knowledge, attitude and skill nurses in disaster management.methode :this research is pre experimental pretest posttest design . the number of samples is s 30 nurses who were in the disaster-prone region kelud in blitar district and the study was conducted on oktober 16. result of analysis used wilcoxon significancy 0,000 ( p< 0,05 ) that shows the dfference influencing knowledge, attitude and skill nurses after disaster training . discussion: disaster training is very important to improve nursing preparedness in facing disaster. nurse assocation and goverment must be able to give good support for disaster nurse. key words: preparedness, nurse, disaster training. abstrak : kesiapsiagaan bencana merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta langkah-langkah secara berdayaguna dan berhasil guna. disaster training adalah pelatihan tanggap bencana dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta langkah-langkah secara berhasil guna dan berdayaguna.tujuan penelitian ini adalah efektifitas disaster training dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar. penelitian ini adalah penelitian pre experimental pretest posttest design mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan eksperimen yaitu peneliti memberikan perlakuan, dimana observasi dilakukan sebanyak dua kali sebelum dan sesudah eksperimen.jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 30 responden perawat yang berada di kawasan rawan bencana gunung kelud kota blitar yang menjadi anggota ppni kota blitar, dan penelitian dilakukan pada tanggal 16 oktober 2014. hasil analisis menggunakan metode wilcoxon menunjukkan hasil nilai significancy 0,000 ( p< 0,05 ) berarti terdapat perbedaan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang bermakna antara sebelum disaster training dan setelah disaster training.disaster training sangat deperlukan oleh perawat dalam kesiapsiagaan bencana. kegiatan ini perlu mendapat dukungan dan perhatian dari ppni dan dinas kesehatan. kata kunci : kesiapsiagaan, perawat, disaster training . acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p108-114 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 110 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.109-115 indonesia adalah negara rawan bencana dilihat dari aspek geografis, klimatologis dan demogafis. letak geografis indonesia di antara dua benua dan dua samudra menyebabkan indonesia mempunyai potensi bagus dalam perekonomian sekaligus rawan dengan bencana (badan nasional penanggulangan bencana, 2012). indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki gunung api di dunia yaitu 500 gunung api yang tersebar di indonesia dan 129 diantaranya merupakan gunung api aktif, sekitar 70 dari gunung aktif tersebut sering meletus. berdasarkan sebaran zona resiko tinggi yang dispasialkan dalam indeks rasio bencana letusan gunung api di indonesia maka badan nasional penanggulangan bencana telah menyatakan penanggulangan bencana letusan gunung api dalam 5 tahun sejak tahun 2011 diarahkan pada wilayah rawan bencana gunung api diantaranya gunung kelud yang berada di wilayah blitar jawa timur (badan penanggulangan bencana daerah, 2007). perawat sebagai bagian terbesar tenaga kesehatan yang berada di daerah mempunyai peran sangat penting karena perawat sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan. masalah utama dalam kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana menurut penelitian yang dilakukan oleh kija chapman dan paul arbon (2008) adalah pengetahuan perawat masih kurang dalam manajemen bencana meliputi pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana, tanggap bencana dan pemulihan setelah bencana. perawat kurang baik dalam implementasi dan belum ada standarisasi kesiapsiagaan bencana. menurut chapman (2008) menyatakan bahwa 80 % perawat yang menjadi relawan bencana tidak mempunyai pengalaman dalam tanggap bencana serta 23 % perawat hanya pernah mendapatkan pendidikan kesiapsiagaan bencana dasar dan tidak ada pendidikan kelanjutannya. penelitian yang dilakukan fung (2008) menyatakan bahwa sebagian besar perawat ( 97% ) tidak mempunyai persiapan yang baik dalam penanganan bencana. kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya perawat yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta langkah-langkah secara berdayaguna dan berhasil guna. menurut arbon (2006) kesiapsiagaan meliputi institusi kesehatan meliputi puskesmas atau rumah sakit, dukungan dalam peningkatan kompetensi perawat meliputi pelatihan-pelatihan disaster manajemen, adanya kebijakan petunjuk (guidelines) yang jelas sehingga perawat tidak disorientasi dalam penanganan bencana, pengalaman perawat dalam menangani kejadian bencana dan sarana prasarana yang tersedia dalam manajemen bencana. menurut bella (2011) perencanaan yang jelas oleh institusi pelayanan kesehatan, koordinasi antar instansi , dan pendidikan kompetensi yang berkelanjutan mempengaruhi kesiapsiagaan perawat disaster. disaster training adalah pelatihan tanggap bencana dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta langkah-langkah secara berhasil guna dan berdayaguna. berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti melakukan penelitian tentang efektifitas disaster training dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar. bahan dan metode penelitian ini menggunakan pre experimental (pretest posttest design). ciri penelitian ini mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan eksperimen yaitu peneliti memberikan perlakuan, dimana observasi dilakukan sebanyak dua kali sebelum dan sesudah eksperimen. populasi penelitian ini adalah perawat yang bekerja di puskemas kawasan rawan becana gunung kelud di kota blitar. sampel dalam penelitian ini adalah perawat sejumlah 30 responden dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. kriteria : yaitu perawat yang bekerja minimal 1 tahun, bekerja di unit gawat darurat, pendidikan minimal diii keperawatan dan menjadi anggota ppni kota blitar. variabel bebas penelitian ini adalah disaster training dan variabel terikat penelitian ini pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar. kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana gunung kelud dinilai dengan kompetensi perawat disaster (godwin,2007) meliputi : membuat dan memperbarui disaster plan, pengkajian resiko lingkungan, melakukan kegiatan pencegahan bencana, program pendidikan masyarakat, anam, winarnii, susati, efektifitas disaster training.....111 memfasilitasi program pelatihan dan simulasi bencana, mengembangkan data perawat yang siap dalam penanggulangan bencana, melaksanakan evaluasi semua komponen dalam kesiapsiagaan bencana. untuk mengidentifikasi efektifitas disaster training terhadap pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud dilakukan uji wilcoxon dengan menggunakan program spss 17 for window dengan tingkat kemaknaan (p≤ 0,05). hasil penelitian. pelaksanaan penelitian di prodi d iii keperawatan blitar yang dilaksanakan pada tanggal 16 oktober 2014. pelaksanaan penelitian dalam bentuk pelatihan kebencanaan (disaster training). pelatihan ini dalam bentuk pelatihan di dalam gedung dan di luar gedung. pelatihan dalam gedung berbentuk ceramah dan tanya jawab materi disaster plan , mitigasi bencana dan pencegahan bencana. kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana serta pendidikan bencana masyarakat dalam penanggulangan bencana. materi di berikan oleh pakar di bidang bencana dari pmi kota blitar, poltekkes malang dan dinas kesehatan kota blitar. setelah pemberian materi dilanjutkan dengan praktek penanggulangan bencana yang dipandu oleh team ppni kota blitar, pmi dan dinkes kota blitar. tabel 1 : karakteristisk responden bulan oktober 2014. karakteristik frekuensi (%) usia 20-30 tahun 20 67% 31-40 tahun 7 23 % 41-50 tahun 3 10% jabatan responden perawat pelaksana 20 67% pendidik 7 23% manajer 3 10% pendidikan responden spk 0% d3 5 17% div 1 3% s1 24 80% lama bekerja < 10 tahun 20 67% > 10 tahun 10 33% tabel 2 pengalaman pelatihan, pelaksana pelatihan dan menjadi team tanggap bencana bulan oktober 2014. variabel n % pengalaman pelatihan belum pernah satu kali lebih satu kali 25 2 3 83 7 10 pelaksana pelatihan pmi dinkes ppni pemda & jangkar kelud 3 1 0 1 60 20 0 20 menjadi team tanggap bencana belum pernah pernah 26 4 87 13 berdasarkan pengalaman pelatihan 25 responden (83%) belum pernah mengikuti pelatihan tentang penangggulangan bencana dan 2 responden (7%) pernah pelatihan 1 kali. pelaksana pelatihan terbanyak adalah pmi sebanyak 3 kali (60 %). sedangkan berdasarkan keikutsertaan responden menjadi team tanggap bencana sebanyak 26 responden (87%) belum pernah menjadi team bencana. tabel 3 data pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar sebelum dan sesudah mengikuti disaster training. variabel sebelum sesudah p value n % n % 1. pengetahuan kurang 25 83,3 2 6,7 0,000 baik 5 16,7 28 93,3 2. sikap negatif 21 70 0 0 0,000 positif 9 30 30 100 3. ketrampilan kurang 25 83,3 0 0 0,000 baik 5 16,7 30 100 data khusus pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan 112 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.109-115 penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar sebelum dan setelah mengikuti disaster training menunjukkan bahwa pengetahuan terjadi peningkatan dari pengetahuan kurang 25 responden (83,3 % ) menjadi berpengetahuan baik sebesar 28 responden (93,3%). data sikap menunjukkan peningkatan dari sebelum disaster training sebesar 21 responden (70 %) menjadi sikap positif 30 responden (100 %). ketrampilan menunjukkan peningkatan dari sebelum disaster training sebesar 25 responden (83,3%) mempunyai ketrampilan kurang menjadi ketrampilan baik sejumlah 30 rsponden (100 %). tabel 4 uji statistik wilcoxon pengaruh disaster training dalam meningkatkan pengetahuan dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar test statistics b tahusesudah tahusebelum z -4.796 a asymp. sig. (2-tailed) .000 a. based on negative ranks. b. wilcoxon signed ranks test nilai significancy 0,000 ( p< 0,05 ) berarti terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna antara sebelum disaster training dan setelah disaster training. tabel 5 uji statistik wilcoxon pengaruh disaster training dalam meningkatkan sikap dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar test statistics b sikapsesudah sikapsebelum z -4.472 a asymp. sig. (2-tailed) .000 a. based on negative ranks. b. wilcoxon signed ranks test nilai significancy 0,000 ( p< 0,05 ) berarti terdapat perbedaan sikap yang bermakna antara sebelum disaster training dan setelah disaster training. tabel 6 uji statistik wilcoxon pengaruh disaster training dalam meningkatkan ketrampilan dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar test statistics b ketrampsesudah ketrampsebelum z -5.000 a asymp. sig. (2-tailed) .000 a. based on negative ranks. b. wilcoxon signed ranks test nilai significancy 0,000 ( p< 0,05 ) berarti terdapat perbedaan ketrampilan yang bermakna antara sebelum disaster training dan setelah disaster training. pembahasan. efektifitas disaster training dalam meningkatkan pengetahuan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat perubahan pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar sebelum mengikuti disaster training mengalami peningkatan. peningkatan pengetahuan dari pengetahuan kurang 25 responden (83,3 %) menjadi berpengetahuan baik sebesar 28 responden (93,3%). bella magnaye (2011) menyatakan dalam penelitiannya pada 250 perawat di philipina bahwa pengetahuan harus dipersiapkan sebelum kejadian bencana untuk meningkatkan kompetensi perawat saat bencana terjadi. persiapan perawat meliputi training, workshop, seminar tentang keperawatan bencana (disaster nursing). pengetahuan adalah aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia dan dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan training (notoatmodjo, 2010). pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indra yang dimilikinya. penginderaan menghasilkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh intensitas anam, winarnii, susati, efektifitas disaster training.....113 perhatian dan persepsi terhadap obyek. pengetahuan yang dibutuhkan dalam kesiapsiagaan menurut godwin (2007) adalah membuat dan memperbarui disaster plan, pengkajian resiko lingkungan, melakukan kegiatan pencegahan bencana, program pendidikan masyarakat, program pelatihan dan simulasi bencana. salah satu teori perilaku yaitu teori preced-proceed yang dikembangkan oleh lawrence green menekankan analisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan dimana pengetahuan masuk faktor predisposisi (predisposing factor) dalam pembentukan perilaku kesiapsiagaan bencana. pengetahuan perawat tentang penanggulangan bencana gunung kelud akan mendorong perawat untuk berusaha dalam kondisi siapsiaga mengahadapi bencana gunung kelud. international council nurse (2007) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat diantaranya adalah kemampuan kognitif disamping sikap (affective) dan psikomotor (skill) dalam disaster manajemen. pengetahuan perawat tentang penanggulangan bencana sangat penting dalam persiapan penanggulangan bencana. persiapan ini tidak hanya bermanfaat bagi perawat tetapi secara keseluruhan organisasi kesehatan di daerah rawan bencana dengan melakukan disaster training (back, 2011). persiapan melalui disaster training yang dilakukan oleh profesi. selanjutnya pang (2010) menyatakan bahwa pengetahuan mampu mendukung kompetensi perawat dalam disaster manajemen. penelitian stanley (2005) menyataan bahwa perawat merupakan bagian terbesar sebagai pekerja di bidang kesehatan sehingga kurangnya pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana dan ilmu tentang ancaman bencana menjadi hambatan bagi perawat saat melaksanakan tindakan pertolongan kejadian bencana di amerika serikat. lebih lanjut notoatmodjo (2010) menyatakan pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, fasilitas dan sosiobudaya serta pengetahuan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku. data yang didapat dari hasil survei terkait dengan pengalaman mengikut pelatihan penanggulangan bencana mayoritas perawat belum pernah mengikuti pelatihan tersebut sebanyak 25 responden (83%) dan pelatihan terbanyak diselenggarakan oleh pmi, ppni dan pemerintah daerah . sehingga pelatihan sangat diperlukan dalam meningkatkan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana. pengetahuan tentang penanggulangan bencana dapat mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam menanggulangi bencana sehingga diharapkan perawat mampu meningkatkan pengetahuan tentang penanggulangan bencana dengan memahami kompetensi perawat dalam disaster manajemen. selain itu perawat dapat mengikuti pendidikan formal kekhususan tentang penanggulangan bencana atau pelatihan, workshop dan seminar tentang penanggulangan bencana. program peningkatan pengetahuan perawat penting khususnya tentang disaster plan, pengkajian resiko lingkungan, pencegahan bencana, program pendidikan masyarakat, program pelatihan dan simulasi penanggulangan bencana. program peningkatan pengetahuan ini harus didukung dengan kebijakan pemerintah yang tepat. dinas kesehatan daerah seharusnya mampu mendukung kebijakan yang memberikan peluang perawat untuk menambah wawasan dan kompetensi penanggulangan bencana khususnya bencana letusan gunung kelud di kabupaten blitar. efektifitas disaster training dalam meningkatkan sikap perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar berdasar hasil analisis bahwa sikap perawat dalam penanggulangan bencana berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penangggulangan bencana gunung kelud dipengaruhi oleh disaster training. smith (2007), menyatakan dalam penelitiannya bahwa sikap kemauan perawat untuk merespon dalam tanggap bencana dan persiapannya sangat dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. bella magnaye (2011) menyatakan bahwa sikap dalam studinya terhadap 250 perawat sangat diperlukan dalam kesiapsiagaan terutama sikap terhadap perannya saat bencana terjadi, sikap dalam situasi kritis dan menerapkan skill manajemen dalam merawat korban bencana dengan latar belakang budaya dan situasi yang berbeda-beda. sikap sangat penting dalam menunjukkan performa profesional saat bekerjasama dengan team dan anggota team kesehatan pada saat persiapan maupun saat kejadian bencana. sikap terbentuk karena pemberian pelatihan yang berkelanjutan tidak 114 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.109-115 hanya berupa peatihan teori tetapi disertai dengan praktek penanggulangan bencana. sikap perawat menurut phang (2010) sangat mempengaruhi perawat dalam bencana terutama sebagai penolong serta sebagai tenaga yang bekerja dalam sebuah sistem penanggulangan bencana. selain itu sikap dapat mendukung kemauan perawat dalam meningkatkan pengetahuannya tentang penanggulangan bencana. smith (2007), menyatakan bahwa sikap perawat untuk merespon dalam tanggap bencana dan persiapannya sangat dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. sikap perawat terhadap penanggulangan bencana dapat mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana khususnya bencana letusan gunung kelud sehingga sikap perawat untuk merespon dalam tanggap bencana dan persiapannya perlu ditingkatkan. sikap menunjukkan performa profesional saat bekerjasama dengan team dan anggota team kesehatan pada saat persiapan maupun saat kejadian bencana. selain itu sikap dapat mendukung kemauan perawat dalam meningkatkan pengetahuannya tentang penanggulangan bencana. peningkatan sikap perawat dalam penanggulangan bencana dilakukan dengan melibatkan langsung perawat dalam persiapan penanggulangan bencana. diharapkan dengan melibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan penanggulangan bencana serta pelatihan kebencanaan maka sikap perawat diharapkan menjadi lebih baik. selain itu penanaman sikap positif terhadap penanggulangan bencana dapat dilakukan semenjak perawat berada di pendidikan sehingga sedini mungkin mereka memahami arti penting dari penanggulangan bencana serta pemahaman terhadap kompetensi disaster nursing. efektifitas disaster training dalam meningkatkan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar skill atau ketrampilan sangat diperlukan oleh perawat dalam setiap fase penanganan bencana khususnya dalam kesiapsiagaan bencana (polivka, 2008). selain faktor pengetahuan , skill kesiapsiagaan perawat dipengaruhi oleh kurangnya sarana prasarana untuk penanganan korban bencana (jakeway, 2008). peningkatan ketrampilan perawat dapat diupayakan dengan pertemuan dan pelatihan-pelatihan. dengan usaha ini di harapkan perawat semakin paham akan kompetensinya dalam penanganan bencana. pendapat lain dari boyle (2008) menyatakan bahwa dengan mengikuti pelatihan terjadi peningkatan kepercayaan diri perawat dalam penanganan bencana. simpulan dan saran simpulan pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar sebelum mengikuti disaster training adalah kurang . pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar setelah mengikuti disaster training yaitu baik. disaster training efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan perawat dalam kesiapsiagaan penanggulangan bencana gunung kelud di kota blitar. saran berikut ini adalah saran saran yang dapat digunakan untuk memperkuat dan memperbaiki hasil penelitian perawat perlu meningkatkan kesiapsiagaan dalam menanggulangi bencana letusan gunung kelud di kota blitar dengan melaksanakan program-program kebijakan pemerintah serta meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap penangggulangan bencana dengan mengikuti disaster training. penanaman sikap positif terhadap penanggulangan bencana dapat dilakukan semenjak perawat berada di pendidikan sehingga sedini mungkin mereka memahami arti penting dari penanggulangan bencana serta pemahaman terhadap kompetensi disaster nursing. bagi dinas kesehatan dan ppni kota blitar. pemerintah dan ppni diharapkan dapat memberikan informasi yang berkesinambungan serta melakukan upaya peningkatkan pengetahuan dan sikap perawat terhadap penanggulangan bencana secara berkelanjutan. kegiatan berupa pelatihan, seminar, workshop dan program – program yang bersifat berkelanjutan dengan tujuan yang jelas sesuai dengan kompetensi perawat disaster. dengan upaya ini diharapkan menjadikan perawat siap menghadapi berbagai macam jenis bencana yang akan terjadi khususnya bencana anam, winarnii, susati, efektifitas disaster training.....115 gunung berapi. pemerintah kota blitar diharapkan melibatkan perawat secara aktif dalam persiapan penanggulangan bencana. dinas kesehatan kota blitar dan ppni memberikan peluang perawat untuk menambah wawasan dan kompetensi dalam penanggulangan bencana khususnya bencana letusan gunung kelud di kota blitar dengan terbentuknya hipgabi (himpunan perawat gawat darurat dan bencana). daftar rujukan arbon p,chapman.2008. are nurses ready? disaster preparedness in the acute setting. aenj , 135-144. bella magnaye.2011. the role , preparedness and management of nurses during disaster. intenational scientific research journal, 269-294. bnpb.2007. penataan ruang kawasan gunung api. bnpb.2010.rencana nasional penanggulangan bencana. bnpb.2011. perencanaan kontijensi menghadapi bencana. jakarta. bpbd.2007.penanganan daerah rawan bencana gunung kelud kabupaten blitar boyle,c.2006. public health emergencies:nurses recommendationn for effective actions.aaohn journal, 54, 347-353. fung.2008.disaster preparedness among hongkong nurses.journal of advance nursing , 62,698-703. godwinn.2007. disaster nursing emergency preparedness,springer publising company, 4-19. huahua yin, haiyan he, paul arbon.(2011). a survey of the practice of nurses' skills in wenchuan earthquake disaster sites: implication for disaser nursing. journal of anvanced nursing , 2231-2237. icn,2009.icn framework of disaster nursing competencies, who western pacific region. jakeway.2008.the rule of public health nursing in emergency preparedness and response:a position paper the association of state and territorial directors of nursing.public health nursing, 25, 353-361. notoatmodjo s.2010. ilmu perilaku kesehatan. rineka cipta.jakarta. polivka,b.j.2008. public health nursing competencies for public health surge events.public health nursing, 25, 159-165. samantha phang, sunshine ss chan.(2010). develompent and evaluation of an undergraduate training course nurse disaster competency. nursing scholarship , 405-413. stanley.jm.2005, disaster competency development and integration in nursing education, nursing linics of north america ,40(3),453-467. smith,e.2007.emergency healthcare workers wilingness to work during emergencies and disasters, australian journal of emergency medicine,22(2),21-24 213wantini, indrayani, kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri ditinjau dari faktor orang tua 213 kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri ditinjau dari faktor orang tua nonik ayu wantini1, novi indrayani2 1,2faculty of health science, universitas respati yogyakarta, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 29/04/2020 disetujui, 07/07/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: hpv, adolescent, support, attitude, belief abstrak infeksi hpv dan pre kanker serviks (sel-sel abnormal pada leher rahim yang dapat menyebabkan kanker) telah menurun secara signifikan sejak vaksin hpv digunakan.cakupan vaksinasi hpv masih rendah di indonesia.orang tua adalah pemegang tanggung jawab dan kewajiban utama di dalam penjaminan pemenuhan hak dasar anak untuk mendapatkan vaksinasi. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan (sikap, kepercayaan, dukungan orang tua) dengan kesediaan vaksinasi pada remaja putri. jenis penelitian adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. penelitian dilaksanakan di sd muhammadiyah macanan, ngemplak dan smpn 1 berbah, sleman pada mei-juli 2019. jumlah sampel 127 remaja putri beserta orang tuanya dipilih dengan accidental sampling. instrumen kuesioner dan telah dilakukan uji validitas. analisis bivariat dengan uji chi square (dukungan instrumen, emosional, kepercayaan orang tua) dan uji fisher exact (dukungan informasi dan sikap). hasil penelitian menunjukkan 92,9% orang tua tidak memberikan dukungan informasi, 85% tidak memberikan dukungan instrumen, 75,6% memberikan dukungan emosional kepada putrinya terkait vaksinasi. faktor yang berhubungan dengan kesediaan vaksinasi adalah dukungan instrumen (p-value = 0,048). faktor yang menjadi pertimbangan terbanyak orang tua untuk mengijinkan anaknya di vaksinasi adalah keamanan vaksin (81,1%). kesimpulan: ada hubungan dukungan instrumen orang tua dengan kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri. history article: received, 29/04/2020 accepted, 07/07/2020 published, 05/08/2020 keywords: hpv, adolescent, support, attitude, belief article information abstract hpv infections and cervical precancers (abnormal cells on the cervix that can lead to cancer) have dropped significantly since hpv vaccine has been in use. hpv vaccination coverage is still low in indonesia. parents are the main responsibility and obligation in guaranteeing the fulfillment of the child’s basic rights to get a vaccination. the purpose of this study was to determine the related factors (attitudes, beliefs, parental support) with the willingness to participate in hpv vaccination among adolescent girls. this type of the study was analytic survey with cross sectional approach. the study was conducted at sd muhammadiyah macanan, hpv vaccination willingness among adolescent girls in terms of parental factors jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p213-222&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 214 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 213–222 correspondence address: universitas respati yogyakarta, special district of yogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: nonik_respati@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p213–222 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) yang dilakukan di beberapa benua menunjukkan ketiga vaksin aman (who, 2018). dari juni 2006 sampai oktober 2014, 64 negara secara nasional, empat negara secara subnasional, dan 12 negara overseas territories (wilayah seberang laut) telah menerapkan program imunisasi hpv. diperkirakan 118 juta wanita menjadi sasaran melalui program-program ini, tetapi hanya 1% berasal dari negara-negara berpenghasilan rendah atau menengah ke bawah. 47 juta wanita (95% ci 3955 juta) menerima program vaksin lengkap, mewakili cakupan populasi total 1,4% (95% ci 1,1–1,6), dan 59 juta wanita (48–71 juta) telah menerima setidaknya satu dosis, mewakili cakupan total populasi dari 1,7% (1,4–2,1). di daerah yang lebih maju, 33,6% (95% ci 25,9-41,7) perempuan berusia 1020 tahun menerima vaksin penuh, dibandingkan dengan hanya 2,7% (1,8–3,6) perempuan di daerah yang kurang berkembang (bruni et al., 2016). vaksinasi hpv termasuk dalam imunisasi pilihan (imunisasi lain yang tidak termasuk dalam imunisasi program, namun dapat diberikan sesuai dengan kebutuhannya dan pelaksanaannya juga dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. vaksin hpv mempunyai efikasi 96–98% untuk mencegah kanker leher rahim yang disebabkan oleh hpv tipe 16/18. imunisasi vaksin hpv pendahuluan vaksin hpv bekerja sangat baik. dalam 10 tahun setelah vaksin direkomendasikan pada tahun 2006 di amerika serikat, infeksi hpv tipe kuadrivalen menurun 86% pada remaja perempuan berusia 14 hingga 19 tahun dan 71% pada perempuan di usia awal 20-an. penelitian juga telah menunjukkan bahwa semakin sedikit remaja dan dewasa muda yang mengalami kutil kelamin dan kejadian kanker serviks berkurang karena vaksin hpv telah digunakan di amerika serikat. penurunan prevalensi pada tipe vaksin, kutil kelamin, dan pre kanker serviks juga telah diamati di negara lain dengan program vaksinasi hpv (cdc, 2020). tiga vaksin hpv (vaksin bivalen, quadrivalent, dan nonavalent) saat ini dipasarkan di banyak negara seluruh dunia. ketiga vaksin ini sangat efektif dalam mencegah infeksi virus tipe 16 dan 18, yang secara bersama-sama bertanggung jawab atas sekitar 70% kasus kanker serviks secara global. vaksin ini juga sangat efektif dalam mencegah lesi pra kanker serviks yang disebabkan oleh jenis virus ini. vaksin quadrivalen juga sangat efektif dalam mencegah kutil anogenital, penyakit genital umum yang hampir selalu disebabkan oleh infeksi hpv tipe 6 dan 11. nonavalent memberikan perlindungan tambahan terhadap hpv tipe 31, 33, 45, 52, dan 58. data dari uji klinis dan pengawasan awal pasca pemasaran ngemplak and smpn 1 berbah, sleman in may-july 2019. the sample was 127 adolescent girl and their parents selected by accidental sampling. the instrument used questionnaire and already undergone validity test. the bivariate analysis used chi square test (instrument and emotional support, parental trust) and fisher exact test (information support and attitude).the results showed 92.9% of parents did not provide information support, 85% did not provide instrument support, 75.6% provided emotional support to their daughters related to vaccination. factors related to the willingness of vaccinations were instrument support (p-value = 0.048). the factor that was considered by most parents to allow their children to be vaccinated was vaccine safety (81.1%). conclusion: there was a correlation between parental instrument support and hpv vaccination willingness of adolescent girls. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p213-222 215wantini, indrayani, kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri ditinjau dari faktor orang tua diperuntukkan pada anak perempuan sejak usia >9 tahun (peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 12 tahun 2017). kementerian kesehatan saat ini mengedepankan pendekatan keluarga dalam pelaksanaan seluruh program demi mewujudkan indonesia sehat. setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap. imunisasi merupakan investasi yang sangat berharga bagi masa depan anak. pemenuhan hak dasar anak adalah kewajiban orang tua. orang tua adalah pemegang tanggung jawab dan kewajiban pertama dan utama di dalam penjaminan pemenuhannya (rokom, 2017). hasil penelitian di yogyakarta menyatakan kesediaan mendapatkan vaksinasi hpv pada remaja putri masih rendah yaitu 9,9%, dan 78,4% remaja beralasan perlu mendiskusikan dengan orang tua/ wali (arifah et al., 2017). berdasarkan hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga, dukungan keluarga dengan perilaku vaksinasi hpv. perilaku vaksinasi hpv berhubungan dengan pendapatan keluarga (or= 5,32; ci 95% 1,57-18,07; p=0,007), dukungan keluarga (or=6,86; ci 95%1,55-30,36; p=0,011). pendapatan keluarga yang tinggi (  rp 5.000.000) akan meningkatkan perilaku vaksinasi hpv sebesar 5,32 kali daripada pendapatan keluarga yang rendah. dukungan keluarga yang kuat akan meningkatkan perilaku vaksinasi hpv sebesar 6,86 kali daripada dukungan keluarga yang lemah (fitriani et al., 2018). efek samping, perlindungan terhadap kanker serviks, durasi perlindungan, dan biaya adalah faktor yang signifikan ketika ibu membuat keputusan apakah akan memberikan vaksinasi hpv pada anaknya. studi ini menyediakan data tentang bagaimana aspek hpv vaksin dilihat dan dinilai oleh ibu dengan menentukan persepsi mereka terkait teknologi vaksin yang ideal dan terkini(wong et al., 2018). sebuah studi baru dari data survei menemukan bahwa hanya sebagian kecil orang tua memilih untuk tidak mengimunisasi anak-anak mereka terhadap human papillomavirus (hpv) yang ditularkan secara seksual karena kekhawatiran bahwa vaksinasi akan mendorong atau mendukung aktivitas seksual remaja, sebuah alasan yang sering dikutip oleh dokter sebagai penghalang untuk mengadvokasi vaksin ini. penelitian menemukan bahwa untuk anak perempuan, empat alasan utama yang diberikan orang tua untuk tidak melakukan vaksinasi pada anaknya adalah masalah persepsi keamanan, persepsi tentang kurangnya kebutuhan, kurang pengetahuan, tidak ada rekomendasi dokter. (anna, b et al, 2018). studi survey di amerika serikat yang melibatkan peserta dari anggota panel nasional yang ada di as yang tidak dilembagakan, menemukan bahwa hampir seperempat (23%) dari 1501 orang tua dari anak 11 hingga 17 tahun menyelesaikan survei berbasis web antara november 2014 dan januari 2015 berpendapat bahwa vaksin hpv dapat menyebabkan masalah kesehatan yang berkelanjutan dan sekitar sepertiga (32%) berpikir bahwa vaksin hpv didorong untuk bisnis (menghasilkan uang untuk perusahaan tertentu). 32% orang tua mengatakan bahwa mereka tidak memiliki informasi yang cukup tentang vaksin hpv untuk memutuskan apakah akan memvaksinasi anak-anak mereka dan hanya 40% yang setuju vaksin itu efektif dalam mencegah kanker serviks (calo et al., 2016). berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah, program imunisasi hpv belum pernah dilakukan dan tidak pernah ada sosialisasi terkait pentingnya vaksinasi hpv. padahal jumlah penderita kanker serviks di daerah istimewa yogyakarta tertinggi di indonesia. rendahnya kesediaan vaksinasi hpv pada remaja tentunya dapat disebabkan faktor orang tua. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor orang tua (dukungan, sikap, kepercayaan) yang berhubungan dengan kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri sehingga diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat strategi untuk meningkatkan cakupan vaksinasi hpv pada remaja. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan atau desain cross sectional. adapun lokasi penelitian ini adalah sd muhammadiyah macanan, ngemplak dan smpn 1 berbah. waktu penelitian adalah mei sd juli 2019. populasi dalam penelitian ini adalah orang tua siswi dan siswi kelas 4, 5, 7, 8. jumlah sampel adalah 127 orang yang dipilih dengan teknik accidental sampling. teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan metode angket. uji validitas isi telah dilakukan dengan 2 orang ahli di bidang kesehatan reproduksi dan nilai validitas insrumen adalah 0,9 (tinggi) yang artinya instrumen memberikan hasil yang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan. analisis data univariat dan bivariat dengan chi square (variabel dukungan instrumen, dukungan emosional, keperca216 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 213–222 yaan orang tua), fisher exact test (variabel dukungan informasi dan sikap). penelitian ini telah sesuai dengan prinsip-prinsip etik, dinyatakan telah memenuhi persyaratan etik protokol oleh komisi etik penelitian kesehatan, fakultas ilmu kesehatan, universitas respati yogya ka r ta ber da sa r ka n sur a t keter a nga n kelaikan etik no: 082.3/fikes/pl/iv/2019. hasil penelitian tabel 1 definisi operasional variabel definisi operasional pernah/tidaknya orang tua memberikan informasi dan mengantarkan anak mencari informasi terkait vaksinasi hpv kesediaan orang tua membiayai vaksinasi hpv secara mandiri pernah/tidaknya orang tua menenangkan anak ketika anak takut terhadap suntikan vaksin dan mendampingi anak saat vaksinasi. perasaan, pikiran dan kecenderungan orang tua terkait program vaksinasi hpv yang diberikan sejak usia 9 tahun untuk mencegah kanker leher rahim dan diberikan walaupun anak dalam keadaan sehat keyakinan orang tua akan manfaat, keamanan, dan efek samping vaksinasi hpv kesanggupan remaja putri untuk vaksinasi hpv dalam waktu 2 tahun kedepan variabel dukungan informasi dukungan instrumen dukungan emosional sikap orang tua kepercayaan orang tua kesediaan vaksinasi hpv berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa 59,1% orang tua remaja putri pada kategori usia dewasa tengah (41-65 tahun), mayoritas pendidikan menengah (55,1%), 91,3% beragama islam, jumlah anak 2 sebesar 51,2%, 85,8% telah memiliki asuransi kesehatan, dan 59,1% memiliki penghasilan diatas umr sleman (  1.701.000). karakteristik frekuensi % usia 29-40 tahun 52 40,9 41-60 tahun 75 59,1 pendidikan dasar 19 15 menengah 70 55,1 tinggi 38 29,9 agama islam 116 91,3 katolik 8 6,3 kristen 3 2,4 jumlah anak 1 anak 21 16,5 2 anak 65 51,2 3 anak 32 25,2 4-8 anak 9 7,1 penghasilan dibawah umr (< 1.701.000) 52 40,9 diatas umr( 1.701.000) 75 59,1 asuransi kesehatan tidak memiliki 18 14,2 memiliki 109 85,8 total responden 127 100 tabel 1 distribusi frekuensi karakteristik orang tua tabel 2 distribusi frekuensi dukungan, sikap, dan kepercayaan orang tua aspek frekuensi % dukungan informasi tidak mendukung 118 92,9 mendukung 9 7,1 dukungan instrumen tidak mendukung 108 85,0 mendukung 19 15,0 dukungan emosional tidak mendukung 31 24,4 mendukung 96 75,6 sikap negatif 8 6,3 positif 119 93,7 kepercayaan tidak yakin 47 37,0 yakin 80 63,0 total responden 127 100 sumber: data primer berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar orang tua tidak memberikan dukungan informasi (92,9%), dukungan instrumen (85%), sedangkan orang tua yang mendukung secara emosional sejumlah 75,6%. sikap orang tua mayoritas positif (93,7%), dan yakin akan manfaat, keamanan, dan efek samping vaksinasi sebanyak 63%. 217wantini, indrayani, kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri ditinjau dari faktor orang tua berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa pertimbangan orang tua untuk menginjinkan anaknya divaksinasi hpv adalah sebagian besar keamanan vaksin (81,1%). tengah, mayoritas pendidikan menengah (55,1%), 91,3% beragama islam, mayoritas memiliki anak 2 orang (51,2%), 85,8% telah memiliki asuransi kesehatan, dan 59,1% memiliki penghasilan diatas umr sleman. orangtua dengan kategori usia dewasa tengah, tentunya akan sangat berperan dalam menentukan sikap remaja putri dalam penerimaan terhadap vaksinasi hpv. pengalaman hidup yang bertambah menjadi salah satu faktor pendorong bertambahnya kebijaksanaan orang tua dalam mengambil keputusan. hal ini sesuai dengan teori diane, e dkk (2009), tahap perkembangan psikososial pada usia dewasa tengah adalah mengembangkan suatu kepedulian untuk membangun, membimbing, dan mempengaruhi generasi berikutnya. peran orang tua adalah membimbing dan mempengaruhi anaknya untuk melakukan vaksinasi hpv. pendidikan orang tua dalam kategori pendidikan menengah akan sangat membantu dalam kemampuan menerima informasi baru terkait vaksinasi hpv sehingga diharapkan orang tua nantinya akan memberikan dukungan informasi kepada anaknya. hal ini sesuai dengan penelitian yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan ayah ibu berdampak pada pengetahuan hpv siswa sekolah menengah (tang, s.y, et al, 2014) hasil penelitian ini menunjukkan 91,3% orang tua remaja beragama islam, sehingga kehalalan vaksin menjadi penting. hal ini sesuai dengan fatwa majelis ulama indonesia nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi yang menetapkan ketentuan hukum bahwa imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci. hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan 68,5% orang tua mempertimbangkan kehalalan vaksin untuk vaksinasi hpv. 85,8% orang tua menyatakan telah memiliki asuransi kesehatan program jkn (jaminan kesehatan nasional) yang diselenggarakan bpjs (badan penyelenggara jaminan sosial) kesehatan, namun sayangnya sampai saat ini vaksinasi hpv belum ditanggung oleh bpjs. walaupun hanya 34,6% orang tua yang mempertimbangkan biaya vaksinasi ditanggung oleh bpjs. berdasarkan kepmenkes ri nomor hk.02.02/menkes/489/2016, pelaksanaan pemberian imunisasi human papilloma virus (hpv) di provinsi daerah khusus istimewa jakarta aspek frekuensi % keamanan vaksin 103 81,1 gratis/dibiayai pemerintah 89 70,1 kehalalan vaksin 87 68,5 keaslian vaksin 76 59,8 informasi yang jelas dan mudah didapat 63 49,6 kemudahan memperoleh pelayanan vaksin 46 36,2 ditanggung oleh bpjs 44 34,6 diwajibkan sekolah 25 19,7 tabel 3 pertimbangan orang tua terkait vaksinasi hpv kesediaan frekuensi % tidak bersedia vaksinasi hpv 73 57,5 bersedia vaksinasi hpv 54 42,5 total responden 127 100 tabel 4 kesediaan remaja putri untuk vaksinasi hpv berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa 57,5% remaja putri tidak bersedia untuk vaksinasi hpv. aspek p-value keterangan dukungan informasi 0,168 tidak ada hubungan* dukungan instrumen 0,048 ada hubungan dukungan emosional 0,184 tidak ada hubungan sikap 0,137 tidak ada hubungan* kepercayaan 0,454 tidak ada hubungan cat: *uji fisher exact sebagai alternatif uji dikarenakan syarat chi square tidak terpenuhi. tabel 5 kesediaan vaksinasi hpv pada remaja ditinjau dari faktor orang tua berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa faktor orang tua yang berhubungan dengan kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri adalah dukungan instrumen. pembahasan karakteristik orang tua berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa 59,1% orang tua remaja putri pada kategori usia dewasa 218 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 213–222 dan daerah istimewa yogyakarta merupakan tahapan demonstrasi pemberian imunisasi hpv sebagai dasar pengembangan dan introduksi ke dalam program imunisasi nasional. dalam penelitian ini 40,9% penghasilan orang tua dibawah umr, sehingga dirasa sangat sulit untuk mengeluarkan biaya vaksinasi walaupun 51,2% memiliki anak 2. selain itu 70,1% orang tua juga mempertimbangkan untuk memvaksinasi anaknya jika gratis/dibiayai pemerintah. hubungan dukungan orang tua dengan kesediaan remaja untuk vaksinasi hpv berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan antara dukungan instrumen (p-value=0,048), tidak ada hubungan dukungan emosional (p-value= 0,184) dengan kesediaan remaja untuk vaksinasi hpv. sedangkan hasil uji fisher exact menunjukkan tidak ada hubungan antara dukungan informasi (p-value 0,168) dengan kesediaan remaja untuk vaksinasi hpv. dukungan keluarga adalah proses yang terjadi terus menerus disepanjang masa kehidupan manusia. dukungan keluarga berfokus pada interaksi yang berlangsung dalam berbagai hubungan sosial sebagaimana yang dievaluasi oleh individu. dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (friedman, 2013). persetujuan orang tua adalah hal yang sangat penting. masa remaja adalah masa transisi dari anak ke dewasa, salah satu aspek kemampuan kognitif adalah dalam pengambilan keputusan, keputusan yang diambil pada fase awal usia remaja umumnya masih bergantung pada orang tua (santrock, 2013). menurut pandangan peneliti, dukungan orang tua baik dukungan informasi, dukungan emosional, dan dukungan instrumen perlu diberikan untuk meningkatkan kesediaan remaja vaksinasi hpv karena remaja masih sangat bergantung orang tua dalam mengambil keputusan.dukungan informasi dan instrumen orang tua masih rendah, mungkin disebabkan oleh faktor kepercayaan orang tua terkait manfaat, keamanan, dan efek samping vaksin, hanya 63% yang memiliki keyakinan terkait hal tersebut. penelitian ini menunjukkan orang tua yang telah memberikan dukungan informasi dengan berdiskusi atau bersama-sama mencari informasi terkait vaksinasi hpv masih rendah yaitu hanya sebesar 7,1%. hal ini akan berdampak pada kurangnya informasi yang tepat tentang vaksinasi hpv dan tentunya akan berpengaruh pada ijin untuk melakukan vaksinasi hpv. hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya menyebutkan kurang dari setengah (44,9%) bersedia memvaksinasi anak-anak mereka. wanita dengan pengetahuan baik tentang hpv dan kanker serviks lebih bersedia untuk memvaksinasi anak-anak mereka dibandingkan wanita dengan pengetahuan buruk (p <0,001) (adesina, saka, isiaka-lawal, et al., 2018). dalam penelitian ini 40,9% penghasilan orang tua dibawah umr, sehingga dirasa sangat sulit untuk mengeluarkan biaya vaksinasi, walaupun sebagian besar jumlah anak 2 orang (51,2%). berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa dalam populasi berpenghasilan rendah, mayoritas dari 219 orang tua yang disurvei mendukung anaknya (usia di atas 13 tahun) ke dalam program vaksinasi hpv, dukungan untuk vaksinasi tinggi terutama jika dapat diakses secara finansial. (gattegno et al., 2019). hasil penelitian lainnya menunjukan semakin baik persepsi tentang risiko terserang kanker servik yang menyerang diri maupun keluarga, maka semakin tinggi kesediaan orang tua untuk membayar vaksinasi (rp=1,31; 95%ci 1,31– 1,67; p=0,032). semakin baik persepsi tentang manfaat serta keuntungan vaksinasi kanker serviks maka semakin tinggi kesediaan orang tua untuk membayar vaksinasi di kabupaten badung (rp 1,84; 95% ci 1,39– 2,45; p=0,000) (karneli et al., 2013). kesediaan remaja untuk vaksinasi juga pastinya akan mempertimbangkan kemampuan ekonomi orang tua. jika untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan, pendidikan saja susah, apalagi untuk kebutuhan seperti vaksinasi yang tidak masuk program kesehatan yang wajib dilakukan (vaksinasi hpv termasuk dalam imunisasi pilihan). hasil penelitian ini didukung juga dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa sebesar 71,43% responden tidak setuju jika melakukan vaksinasi hpv memerlukan biaya yang mahal. sebesar 76,62% responden masih bergantung pada persetujuan orang tua untuk melakukan vaksinasi. (dethan et al., 2017) hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di surakarta, yang menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan perilaku vaksinasi hpv. dukungan keluarga yang kuat akan meningkatkan perilaku 219wantini, indrayani, kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri ditinjau dari faktor orang tua vaksinasi hpv sebesar 6,86 kali daripada dukungan keluarga yang lemah (fitriani et al., 2018). hal ini juga sesuai dengan penelitian rachmani, yang menyatakan bahwa adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan sikap remaja perempuan dalam melakukan pencegahan kanker serviks melalui vaksinasi hpv (rachmani et al., 2012). hubungan sikap orang tua dengan kesediaan remaja putri untuk vaksinasi hpv berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa hasil uji fisher exact menunjukkan sikap orang tua tidak behubungan dengan kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri (p-value= 0,137). dalam teori perilaku terencana (ajzen, 1991), faktor sentral dari perilaku individu adalah bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh niat individu (behavior intention) terhadap perilaku tertentu tersebut. niat untuk berperilaku dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) sikap (attitude), (2) norma subjektif (subjective norm) dan (3) persepsi kontrol keperilakuan (perceived behavior control). sikap adalah evaluasi atau reaksi perasaan. sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (berkowitz dalam azwar, 2013). menurut pandangan peneliti sikap orang tua yang positif tentang vaksinasi hpv akan menunjang perilaku untuk melakukan vaksinasi hpv kepada anaknya. hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kepedulian akan hpv dilaporkan oleh 55,3% dari 450 orang tua (usia rata-rata 42 tahun, 70,9% perempuan), 85,1% menyatakan kesediaan untuk memvaksinasi anakanak mereka terhadap hpv. analisis dengan regresi logistik menunjukkan bahwa sikap positif terhadap vaksin (or 3,02; 95% ci: 1,34-6,49), dan kekhawatiran tentang efek samping dari vaksin hpv (or 0,60; 95% ci: 0,35-0,99) menjadi faktor prediktor kesediaan orang tua untuk melakukan vaksinasi hpv pada anaknya(ganczak et al., 2018). hasil penelitian sebelumnya menunjukkan dari 470 ibu, 35,1% menyadari pentingnya vaksinasi hpv dan 33,8% mengetahui bahwa vaksin itu tersedia di negaranya. sementara 55,8% ibu meyakini semua anak perempuan harus divaksinasi, sedangkan 19,5% menjawab bahwa hanya anak perempuan yang aktif secara seksual yang boleh vaksinasi (adesina et al, 2018).di antara responden yang menunjukkan sikap negatif, 50% khawatir tentang efek samping vaksinasi. semakin banyak responden yang mengetahui tentang infeksi hpv dan hpv sebagai penyebab kanker serviks, maka akan lebih positif sikap mereka (p = 0,002, p <0,001) (lee et al., 2017). pada penelitian ini diketahui orang tua yang memiliki sikap positif lebih dominan yaitu 93,7%. orang tua yang masih memiliki sikap negatif mungkin disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang vaksin tersebut, sehingga kepercayaan akan manfaat vaksinasi masih kurang. berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa sebesar 93,8% siswi sma menyatakan bahwa anjuran dari orang tua sangat mempengaruhi pengambilan keputusan mereka dalam melakukan vaksinasi (christine & putra, 2013). sikap orang tua yang positif tentunya akan berdampak pada dukungan orang tua kepada anaknya untuk vaksinasi hpv. sikap merupakan perilaku yang tertutup, dan jika sikap orang tua yang positif tersebut tidak ditindaklanjuti dalam bentuk dukungan untuk vaksinasi hpv, maka sikap positif tesebut akan menjadi suatu hal yang sia-sia saja. dalam penelitian ini, sikap orang tua tidak berhubungan dengan kesediaan remaja untuk vaksinasi hpv dikarenakan masih ada pertimbangan lain dari remaja di dalam pengambilan keputusan vaksinasi. seperti dalam penelitian arifah di kota yogyakarta menunjukkan kesediaan mendapat vaksinasi sebesar 9,9%. kehalalan dan keamanan vaksin adalah hal yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan vaksinasi pada remaja (arifah et al., 2017). sebanyak 25% siswi merasa terpaksa untuk vaksinasi hpv, keterpaksaan tersebut didasari beberapa alasan, antara lain: siswi merasa tidak akan terkena kanker serviks pada usianya saat ini karena belum aktif secara seksual, siswi takut apabila vaksinasi tersebut tidak aman, takut efek samping dari vaksinasi, dan merasa belum siap divaksinasi karena masih perlu informasi yang lebih banyak mengenai vaksinasi (christine & putra, 2013). hubungan kepercayaan orang tua dengan kesediaan remaja putri untuk vaksinasi hpv berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa hasil uji chi square menunjukkan kepercayaan orang tua tidak berhubungan dengan kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri (p-value= 0,454). hasil penelitian menunjukkan kepercayaan akan manfaat, keamanan dan efek samping vaksinasi masih cukup rendah (63%). seperti yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya, diketahui 220 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 213–222 bahwa ibu-ibu dari anak perempuan yang divaksinasi khawatir bahwa vaksin akan membuat anak perempuan mereka mandul atau menyebabkan penyakit lain. kekhawatiran akan efek samping yang tidak diketahui, tingkat keamanan yang tidak diketahui, dan ketakutan akan hal itu dikarenakan vaksin belum cukup diteliti (fernández et al., 2014). hasil penelitian juga menunjukkan pertimbangan orang tua untuk menginjinkan anaknya divaksinasi hpv adalah sebagian besar keamanan vaksin (81,1%). vaksin hpv tidak perlu diragukan lagi terkait keamanan, karena tidak ada efek samping serius yang ditimbulkan pasca vaksinasi. sejak lisensi pada tahun 2006, lebih dari 270 juta dosis vaksin hpv telah didistribusikan.global advisory committee on vaccine safety (gacvs) pertama kali meninjau data keselamatan pada tahun 2007, dan kemudian pada tahun 2008, 2009, 2013, 2014, dan 2015. risiko anafilaksis terjadi sekitar 1,7 kasus per juta dosis, dan sinkop (pingsan) ditetapkan sebagai kecemasan umum atau reaksi yang berhubungan dengan stres terhadap injeksi. tidak ada reaksi merugikan lainnya yang telah diidentifikasi dan gacvs menganggap vaksin hpv sangat aman (who, 2017). hasil penelitian sebelumnya menunjukkan di antara alasan menentang vaksinasi pada anak-anak, yang paling sering dikutip oleh ayah adalah kekhawatiran keamanan (67,9%), anak-anak terlalu muda untuk memiliki risiko kanker serviks (44,6%), khawatir tentang efektivitas (39,6%), dan vaksin tidak banyak digunakan (39,3%). ibu merespons dengan cara yang sama, tetapi menunjukkan tingkat respons yang lebih tinggi untuk masing-masing alasan yang dinyatakan terhadap vaksinasi. pengetahuan sebelumnya tentang hpv, kanker serviks, kutil kelamin, dan vaksin hpv meningkatkan secara signifikan penerimaan orang tua atas vaksinasi hpv untuk anak mereka, dan tren peningkatan diamati dalam kaitannya dengan skor pengetahuan (ptrend = 0,003). (zhang et al., 2013). hasil systematic review dan meta analisis menunjukkan bahwa dari 79 studi pada 840.838 orang tua di 15 negara dimasukkan, proporsi orang tua yang memberikan vaksinasi hpv pada a nak mereka adalah 41,5% (kisaran: 0,7%–92,8%), pada anak perempuan (46,5%) dua kali lipat lebih tinggi daripada anak laki-laki (20,3%). dalam meta-analisis dari 62 studi, faktor yang mempengaruhi orang tua untuk memberikan vaksinasi pada anaknya dari yang paling kuat berturut-turut adalah rekomendasi dokter (r = 0,46 (95% ci 0,34 hingga 0,56), keamanan vaksin hpv (r = –0.31 (95% ci –0,41 hingga – 0,16), pemeriksaan rutin untuk pencegahan anak dalam 12 bulan terakhir (r = 0,22 (95% ci 0,11 hingga 0,33) dan kepercayaan orang tua akan manfaat vaksin secara umum (r = 0,19 (95% ci 0,08-0,29). (newman et al., 2018). kepercayaan orang tua tidak berhubungan dengan kesediaan remaja untuk vaksinasi hpv dikarenakan masih ada faktor lain yaitu kepercayaan remaja itu sendiri. seperti dalam penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara persepsi manfaat dengan perilaku vaksinasi hpv. persepsi manfaat yang besar akan meningkatkan perilaku vaksinasi hpv sebesar 6,57 kali daripada persepsi manfaat yang kecil (fitriani et al., 2018). teori health belief model yang dikembangkan oleh rosenstock, i.m. (1974) menyatakan bahwa efektivitas tingkat kepercayaan terhadap strategi yang dirancang untuk mengurangi ancaman suatu penyakit semakin tinggi maka dengan sendirinya akan melakukan tindakan pencegahan tersebut dalam hal ini melakukan vaksinasi hpv untuk pencegahan primer kanker serviks. hasil penelitian (arifah et al., 2017) menyebutkan bahwa pertimbangan remaja untuk vaksinasi hpv kaitannya dengan kepercayaan akan manfaat vaksinasi melindungi dari infeksi hpv dan (24,5%), dan keamanan vaksin (45,9%). selain itu hasil penelitian lain menyebutkan beberapa responden merasa enggan untuk melakukan vaksinasi karena belum pernah berhubungan seksual sehingga merasa tidak ada faktor risiko (sari & syahrul, 2014). penelitian lain juga menyebutkan dari 223 remaja yang disurvei, 33% menyatakan bahwa mereka telah menerima vaksin hpv, 64% tidak menerima vaksin, dan 3% di mana tidak yakin. di antara 143 remaja yang belum divaksinasi, 52% bersedia untuk mendapatkan vaksin hpv, 12% tidak mau, dan 36% tidak yakin. dari 143 remaja yang belum divaksinasi, hanya 4% percaya bahwa mereka berisiko terkena hpv (blumenthal et al., 2012). menurut pandangan peneliti, kepercayaan orang tua terkait vaksinasi hpv dapat menjadi pendorong orang tua dalam memberikan dukungan informasi kepada anaknya, namun untuk kesediaan remaja melakukan vaksinasi hpv sendiri dapat dipengaruhi oleh kepercayaan remaja akan manfaat, efek samping, dan keamanan vaksin hpv. 221wantini, indrayani, kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri ditinjau dari faktor orang tua kesimpulan sebagian besar orang tua tidak memberikan dukungan informasi (92,9%), instrumen (85%), namun memberikan dukungan emosional (75,6%). sikap orang tua mayoritas positif (93,7%), dan yakin akan manfaat, keamanan, dan efek samping vaksinasi sebanyak 63%. kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri masih tergolong rendah. faktor orang tua yang berhubungan dengan kesediaan vaksinasi hpv pada remaja putri adalah dukungan instrumen. pertimbangan orang tua setelah keamanan vaksin untuk melakukan vaksinasi hpv pada anaknya adalah vaksinasi gratis/dibiayai oleh pemerintah sebesar 70,1%, didukung dengan data 40,9% penghasilan orang tua dibawah umr, dan 85,8% orang tua menyatakan telah memiliki asuransi kesehatan program jkn. saran perlu adanya studi lebih lanjut terkait model pendekatan orang tua dalam upaya peningkatan dukungan orang tua untuk vaksinasi hpv pada anaknya. pengetahuan orang tua perlu ditingkatkan kembali terkait manfaat, keamanan dan efek samping vaksin. perlu adanya kebijakan oleh pihak-pihak terkait untuk pengembangan program vaksinasi hpv terutama masalah pembiayaan vaksin sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga kesediaan remaja untuk vaksinasi hpv meningkat. daftar pustaka adesina, k. t., saka, a., isiaka-lawal, s. a., omotayo, o., gobir, a., olarinoye, a. o., & ezeoke, g. g. (2018). knowledge , practice and acceptability of hpv vaccine by mothers of adolescent girls in. sudan journal of medical sciences, 13(1), 33–49. https:// doi.org/10.18502/sjms.v13i1.1687 adesina, k. t., saka, a., lawal, s. a. i., adesiyun, o. o., gobir, a., olarinoye, a. o., & ezeoke, g. g. (2018). parental perception of human papillomavirus vaccination of prepubertal girls in ilorin , nigeria. saudi journal for health sciences, 7(1), 65–70. https://doi.org/10.4103/sjhs.sjhs ajzen, i. (1991). the theory of planned behavior. organizational behavior and human decision process, 50, 179–211. anna b, melinda k, kimberly l, anne f. rositch. (2018). reasons for lack of hpv vaccine initiation in nisteen over time: shifting the focus from gender and sexuality to necessity and safety. journal of adolescent health, 63(5):652.doi: 10.1016/ j.jadohealth.2018.06.024 arifah, k., damayanti, w., & sitaresmi, m. n. (2017). kesediaan mendapat vaksinasi human papilloma virus pada remaja putri di yogyakarta. sari pediatri, 18(6), 430–435. azwa r s (2013). si kap manusia: teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar blumenthal, j., frey, m. k., jr, m. j. w., tchabo, n. e., soren, k., & slomovitz, b. m. (2012). adolescent underst anding and acceptance of the hpv vaccination in an underserved population in new york city. journal of oncology, 1–8. https://doi.org/ 10.1155/2012/904034 bruni, l., diaz, m., barrionuevo-rosas, l., herrero, r., bra y, f. , bosch , f. x. , sa n josé, s. de, & castellsagué, x. (2016). articles global estimates of human papillomavirus vaccination coverage by region and income level/ : a pooled analysis. the lancet global health, 4(july), 453–463. https:// doi.org/10.1016/s2214-109x(16)30099-7 calo, w. a., gilkey, m. b., shah, p. d., moss, j. l., noel, t., hill, c., pilgrim, h., care, h., hill, c., & hill, c. (2016). par en ts’ support for sch ool-en tr y requi rem ent s for hum a n pa pi l l om a vir us vaccination: a national study. cancer epidemiol biomarkers prev, 25(9), 1317–1325. https://doi.org/ 10.1158/1055-9965.epi-15-1159.parents cdc (2020). hpv vaccine safety and effectiveness. internet: https://www.cdc.gov/vaccines/vpd/hpv/ hcp/safety-effectiveness.html. diakses pada 17 maret 2020 christine, a; putra, a. e. (2013). penerimaan vaksinasi kanker serviks pada siswi sma di kabupaten badung tahun 2012. community health, i(2), 54– 64. dethan, c. m., luh, n., & suariyani, p. (2017). pengetahuan dan sikap tentang perilaku vaksinasi hpv pada siswi sma swasta. mkmi, 13(2), 167–175. diane, e, dkk (2009). human development, perkembangan manusia edisi 10. jakarta: salemba humanika fatwa majelis ulama indonesia nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi fernández, m. e., le, y. l., fernández-espada, n., aragon, a. p., & colón-lópez, v. (2014). knowledge , attitudes , and beliefs about human papillomavirus ( hpv ) vaccination among puerto rican mothers and daughters , 2010/ : a qualitative study. preventing chronic disease public health research, practice and policy, 11(e212), 1–8. fitriani, y., mudigdo, a., & andriani, r. b. (2018). health belief model on the determinants of human papil loma vir us vaccin at ion in wom en of reproductive age in surakarta , central java. journal of health promotion and behavior, 3, 16– 26. https://doi.org/htt ps://doi.org/10.26911/ thejhpb.2018.03.01.02 friedman. (2013). keperawatan keluarga. yogyakarta: gosyen publishing 222 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 213–222 ganczak, m., owsianka, b., & korze, m. (2018). factors that predict parental willingness to have their children vaccinated against hpv in a country with low hpv vaccination coverage. international journal of environmental research and public he al th, 15, 1–13. h t tps:/ / doi . or g/10.3390/ ijerph15040645 gattegno, m. v, vertamatti, m. a. f., bednarczyk, r. a., & evans, d. p. (2019). a cross-sectional survey of parental attitudes towards human papillomavirus vaccination exclusion categories in brazil. bmc international health and human rights, 19(6), 1– 9. karneli, n. k., suwiyoga, k., sudibya, a., (2013). kesediaan membayar vaksinasi kanker serviks di sekolah menengah umum kabupaten badung. public health and preventive medicine archive, 1(1), 70–77. kepmenkes ri nomor hk.02.02/menkes/489/2016 tentang pelaksanaan pemberian imunisasi human papilloma virus di provinsi daerah khusus ibu kota jakarta dan daerah istimewa yogyakarta lee, k., chang, k. h., cho, s., park, s., & park, s. t. (2017). attitudes regarding hpv vaccinations of ch il dr en a mon g mot her s wi t h adol escen t daughters in korea. the korean academy of medical sciences, 32, 130–134. newman, p. a., logie, c. h., lacombe-duncan, a., baiden, p., tepjan, s., rubincam, c., doukas, n., & asey, f. (2018). parents ’ uptake of human papillomavirus vaccines for their children/ : a systematic review and metaanalysis of observational studies. bmj open, 1–15. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2017019206 peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 12 tahun 2017 tentang penyelenggaraan imunisasi rachmani, b., shaluhiyah, z., & cahyo, k. (2012). sikap remaja perempuan terhadap pencegahan kanker serviks melalui vaksinasi hpv di kota semarang. media kesehatan masyarakat indonesia, 11(1), 34–41. rokom (2017). peran keluarga sangat dibutuhkan untuk penuhi hak imunisasi bagi anak. internet:http:// sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/ 20170426/ 1620675/ per an -kel ua r ga-san gat dibutuhkan-penuhi-hak-imunisasi-bagi-anak-2/. diakses pada februari 2020 rosenstock, i. m. (1974). the health belief model and preventive health behavior. health education monographs, 2(4), 354–386. https://doi.org/10.1177/ 109019817400200405 santrock, j (2013). life span development: perkembangan masa hidup. jakarta: erlangga sari, a. p., & syahrul, f. (2014). faktor yang berhubungan dengan tindakan vaksinasi hpv pada wanita usia dewasa. jurnal berkala epidemiologi, 2(3), 321– 330. tang, s. y., liu, z. h., li, l., cai, h. l., & wan, y. p. (2014). awar en ess an d kn owl edge a bout h um a n papillomavirus among high school students in china. the journal of reproductive medicine, 59(12), 44–50. who (2017). sa fet y upda te of hpv va cci n es. internet:https://www.who.int/vaccine_safety/ committee/topics/hpv/june_2017/en/ diakses tanggal 1 september 2019 who (2018). human papi ll omavi rus (hpv). internet:https://www. who.int/immuni zation/ diseases/hpv/en/. diakses pada januari 2020. wong, c. k. h., man, k. k. c., ip, p., paed, f., paed, f., kwan, m., paed, f., paed, f., & mcghee, s. m. (2018). mothers ’ preferences and willingness to pay for human papillomavirus vaccination for their daughters/ : a discrete choice experiment in hong kong. value in health, 21(5), 622–629. https:// doi.org/10.1016/j.jval.2017.10.012 zhang, s., pan, x., wang, s., yang, c., & gao, x. (2013). perceptions and acceptability of hpv vaccination among parents of young adolescents/ : a multicenter national survey in china. vaccine, 31(32), 3244– 3249. https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2013.05.046 e:\ibuk\ners desember 2021\18-378 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 378–385 intradialytic complication and associated factors among patients undergoing hemodialysis yeni kartika sari1, ning arti wulandari2, sandi alfa wiga arsa3, iwit ratna ari dewi4 1,2,3nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia 4nursing practitioner, rsk budi rahayu blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/11/2021 accepted, 23/12/2021 published, 26/12/2021 keywords: ckd, intradialytic complication, hemodialysis article information abstract hemodialysis is one of the vital management options for end-stage renal disease (erds) patients. adequate hemodialysis can make a good quality of patient life. hemodialysis patient commonly has experienced intradialytic complications, and it can be life-threatening. esrd patients who are not compliant with fluid and dietary restrictions raised intradialytic weight gain (idwg), and blood pressure leads to intradialytic complications. this study aimed to determine factors associated with intradialytic complications among undergoing hemodialytic patients in blitar. the data analysis used multiple linear regression analysis to ascertain the possible factors that influence intradialytic complications. the sample was 55 hemodialysis patients with intradialytic complications. based on this study, the spearman rank correlation test results, the factor that correlated with intradialytic complications was patient compliance with a sig (2-tailed) value of 0.016 with a correlation coefficient value of -0.26. the correlation coefficient in the results above was negative, namely -0.263 so that the correlation between the two variables was not unidirectional. the higher compliance showed, the lower the intradialytic complications. the odds ratio (or) value between adherence and the occurrence of intradialytic complications was 3,229. that value meant that patients with kidney failure who do not comply with the diet will have a 3-fold risk of intradialytic complications compared to patients with renal failure who comply. this result emphasizes the need for constant motivation and education at frequent intervals to ensure better adherence. © 2021 journal of ners and midwifery 378 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ulfamaria845@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p378–385 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p378-385&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 379sari, wulandari, arsa, dewi, intradialytic complication and associated factors among ... introduction chronic kidney disease (ckd) is one of the health problems in indonesian society, which has an increased incidece of kidney failure with an unfavorable prognosis and high cost. chronic kidney failure (ckd) in indonesia ranks second in terms of financing after heart disease hemodialysis is one of the actions for ckd patients with erds (endstage renal disease). hemodialysis measures are increasing from year to year. in 2017 there was a drastic increase in line with the rise in population participating in the bpjs health or jkn program so that they had full access and financing for hemodialysis. according to the indonesian renal registry, in 2017, there were 77,892 people currently living on regular hemodialysis, while in 2018, hd procedures in indonesia reached 132,142 active patients (increased 70%). one of the big problems that contribute to failure in the hemodialysis process is the problem of non-compliance. patients should follow dietary rules, change lifestyles, take medicines recommended by health care providers and regularly perform hemodialysis therapy. the patient’s non-compliance harms the patient’s health (nita samsyah, 2011). the study results marfuah, n.d, ( 2018.) show that compliance with fluid intake restrictions in hemodialysis patients in the non-adherent category was 43.9% in the obedient class, 19.3%, and the less compliant 36.8%. the impact of non-adherence to fluid restriction is weight gain. bodyweight is the most critical indicator in patients undergoing hemodialysis. significant weight gain in the span of a few days indicates excess fluid in the patient’s body. a study from astuti and endang in 2018 showed that excess fluid could lead to intradialytic complications, which is intradialytic hypertension. intradialytic hypertension is associated with significant interdialytic fluid overload. it is also related to high ultrafiltration during dialysis sessions. sever a l r epor ts ha ve shown tha t intradialytic hypertension is related to hyperactivity of the sympathetic nervous system, impaired endothelial function, and increased cardiac output due to fluid expenditure (ultrafiltration) (wibowo, 2020). another study shows that during 4 hours of hemodialysis, all respondents reported one or more intradialytic complications. the most common complications were hypertension (85.7%), muscle cra mps (55. 4%), na usea (51. 8%), hea da che (46.4%), chest pain (12.5%), fever (8.9%), and hypotension (5.4%), (suparti, 2019). according to daugirdas, j. t., blake, p. g., & ing (2015), complications of hemodialysis include imbalance syndrome, dialysis reactions, hemolysis, air embolism, arrhythmias, cardiac tamponade, seizures, and intr acerebr al hemorr hage. (yunie armiyati, 2009) at pku muhammadiyah hospital yogyakarta from fifty hemodialysis patients showed that 96% of patients experienced intradialytic complications in the form of hypertension (70%), headache (40%), hypotension (26%), muscle cramps (18%), arrhythmia (12%), nausea and vomiting (10%), shortness of breath (10%), fever and chills (2%). the irr.tim (2018)irr in 2018, with a total number of 30554 patients, noted that the most frequent complications during hemodialysis were hypertension (38%), followed by hypotension (15%). the etiology of the two complications above was closely related to the amount of ultrafiltration according to landry, observations during data collection showed that most patients had excess predialysis fluid with an increase in body weight of 3-5 kg. excess predialysis fluid will increase vascular resistance and cardiac pumping. patients with intradialytic hypertension experienced a significant increase in peripheral vascular resistance in the final hours of dialysis(ferdinan et al., 2019). in addition to intradialytic hypertension, other intradialytic complications are nausea and vomiting; the incidence of nausea and vomiting during hemodialysis is a gastrointestinal symptom commonly experienced by clients and an adaptation to clients who have just undergone hemodialysis. many clients experience nausea and vomiting due to changes in blood pressure, ufr that is too fast, anxiety, and overeating during hemodialysis. nausea and vomiting may occur in patients with intradialytic hypotension. the most frequent complication of hemodialysis is intradialytic hypotension, accounting for 20-30% of hemodialysis complications. intradialytic hypotension was a significant clinical problem disturbing the quality of hemodialysis patients because of the symptoms of nausea and cramps (chaidir & putri, 2014). hypotension in diabetic nephropathy patients and the elderly are often dangerous because it can trigger ischemic heart disease and heart rhythm disorders (chaidir & putri, 2014). 380 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 378–385 complications of intradialytic hypotension lead to obstruction of the adequate dose of dialysis (adequate dose of dialysis), where episodes of hypotension cause compartmental effects and produce suboptimal kt/vera. in episodes of intradialytic hypotension, ultrafiltration should discontinue to prevent further blood volume reduction and facilitate refilling blood volume from the interstitial compartment. we treat dialytic hypotension by resetting the dialytic machine by slowing the blood flow rate (chaidir & putri, 2014). in addition, according to kobrin, s.m. & berns, j.s (2007), high ultrafiltration withdrawals can cause cramping. the incidence of muscle cramps at around 24-86%, especially in the first year of hemodialysis. cramping is mainly seen in the lower extremities and rarely occurs in the abdomen, arms, and hands (nasution et al., 2014). low blood volume due to the withdrawal of large amounts of fluid during dialysis, changes in osmolarity, high ultrafiltration, and intracellular or extracellular potassium and calcium balance led to muscle cramps during dialysis (marcel brass, perrine ruby, 2009). muscle cramps can occur near the end of a dialysis session. an uncontrollable increase in the speed of contraction or thinning of the muscle causes muscle cramps and occurs within seconds to minutes, causing pain. intradialytic muscle cramping usually occurs in the lower extremities (padoli & ayunda bella, 2017). based on the results of observations in july 2020 in the hemodialysis room of the budi rahayu catholic hospital (rsk) and the mardi waluya blitar general hospital (rsu) it was obtained that from 40 hemodialysis patients who did not obey to diet and fluid restriction were 25 patients or about 60%, and they often come with shortness of breath (due to excess body fluid volume, namely weight gain exceeding 5% of the patient’s dry body weight and uremic symptoms (nausea, vomiting, and anorexia). moreover, as a result, these patients experience complications, which often occur, namely hypotension and hypertension. fluid restriction and dietary regulation are some of the programs applied to patients with chronic kidney failure to maintain a nutritional state so that the quality of life and rehabilitation to achieve as much as possible, prevent and reduce uremic syndrome, and reduce the risk of diminishing kidney function. after running hemodialysis therapy, the patient is given medication by the doctor. adherence to treatment adherence is the success factor. the success of treatment lies in the facilities or facilities in the hospital, medical personnel skills, and the patient’s lifestyle and medication adherence. the results of therapy will not be optimal without the awareness of the patientpatient to maintain his life, and can also cause therapy failure or complications that are detrimental and fatal (rahma, 2017). non-adherence to patients with chronic kidney failure caused by the thirst felt by the patient, and the patient admitted that he did not comply with the diet recommended by health workers. dietary non-compliance includes fluid and nutritional intake because of boredom with the menu. the family has warned about the diet, but the patient is not obedient to the diet. in addition, patients also do not maintain nutrition and fluid intake shortly after hemodialysis because they feel refreshed after eating and drinking (firmansyah, 2016). method this research was a correlation study with a cross-sectional approach where the dependent and independent variables was observed at one time. the dependent variable in this study was intradialytic complications. at the same time, the independent var iables wer e idwg, blood pr essur e, and intradialysis patient compliance. this research was conducted in the hemodialysis room at two blitar city hospitals, namely rsk budi rahayu and rsud mardi waluyo. the population in this study was hemodialysis patients in both hospitals, as many as 90 patients. the sample was part of the population which met the inclusion criteria of 83 patients. the criteria set was patients who could read and write, patients who routinely did hemodialysis twice a week, and patients who were not in critical condition or had decreased consciousness. the instrument used in this study was a hemodialysis patient compliance questionnaire and observation sheets regarding intradialytic complications, blood pressure, and patient weight. the collected data will be analyzed using spearman rank correlation analysis with a significance value of 0.05. result information obtained that from a total of 83 respondents, most of them aged > 50 years (63.9%), female was 51.8%, high school education/equivalent was 38.6% and 56.6% did not work. 381sari, wulandari, arsa, dewi, intradialytic complication and associated factors among ... no charactheristic f % 1 age < 35 years 4 4,8 35 50 years 26 31,3 > 50 years 53 63,9 2 genders male 40 48,2 female 43 51,8 3 education elementary 7 8,4 junior high 16 19,3 senior high 32 38,6 diploma 7 8,4 bachelor 21 25,3 5 work working 36 43,4 employe 47 56,6 table 1 the charactheristic of respondents no complaint f % 1 no 16 19,3 2 dypsnea 15 18,1 3 nausea 8 9,6 5 headache 15 18,1 6 oedem 22 26,5 7 chest pain 7 8,4 table 2 the respondent’s complaint before dialysis 25 february – 12 marc 2021 based on table 2, information is obtained that the most common complaint experienced by respondents is oedem (26.5%) table 3 correlation between adherence and intradyalitic complications intradialytic complications total  0,05 spearman rho p = 0,016 rs= -0,263 or: 3,229 present no table 4 correlation between idwg and intradialytic complications normal f 11 15 26 idwg % 13 18 31 abnormal f 17 40 57 % 20 48 69 total f 28 57 83 % 33 67 100,0 intradialytic complications total  0,05 spearman rho p = 0,265 present not present obey f 24 20 44 adherence % 54,5 45,5 100,0 not obey f 31 8 39 % 79,5 20,5 100,0 total f 55 28 83 % 66,3 33,7 100,0 382 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 378–385 discussion hemodialysis is a vital management option for end-stage renal disease (erds) patients (irr.tim, 2018), patient can have a good quality of life with adequate hemodialysis. however, complications during dialysis can be life-threatening (alfikrie et al., 2020). hemodialysis can prevent death but cannot cure the disease or restore the patient’spatient’s condition to its original state, causing the patient patient to adhere to hemodialysis therapy. adherence is crucial in the management of esrd patients. who describes adherence as the extent to which a person’s behavior (taking medications, following a recommended diet, and executing lifestyle changes) correspondents with the agreed recommendations of health care providers (who, 2003). idwg and adherence to dietary and fluid restrictions are determinants of intradialytic complications among undergoing hemodialysis patients based on this study, the rank spearman correlation test showed that a factor correlated with intradialytic complications was patient compliance with a sig (2-tailed) value of 0.016 with a correlation coefficient value of -0.26. the correlation coefficient in the results above is negative, namely 0.263 so that the correlation between the two variables is not unidirectional, meaning that the higher the compliance, the lower the intradialytic complications. at the same time, the or value between compliance with the occurrence of intradialytic complications is 3.229, which means that patients with kidney failure who are not compliant with the diet will have a 3-fold risk of intradialytic complications compared to patients with renal failure who are obedient. meanwhile, blood pressure and idwg did not correlate with intradialytic complications, with a sig (2-tailed) value > 0.05. the most common intradialytic complications were time limitation in dealing with excessive dialytic weight gain and achieving a dry weight target on a three-timesweekly schedule, supported by age. elderly ckd patients accompanied by the comorbid disease will increase the risk of dialysis complications (andrew davenport, 2006). this study’s results follow the theory that patients with chronic kidney disease (ckd) in maintaining their quality of life must comply with hemodialysis therapy and its recommendation to limit fluid intake. however, in subsequent hemodialysis therapy, patients often complain of shortness of breath due to increased volume. body fluids (bare, 2002). compliance with therapy in hemodialysis patients is an important thing to note because if the patientpatient does not comply, there will be a buildup of harmful substances from the body due to metabolism in the blood. so that the patientpatient feels pain throughout the body and if this is allowed to cause death (patimah et al., 2015). non-adherence of hemodialysis patients to therapy (diet, fluid restriction, medication, and hemodialysis) is common in patients with end-stage renal disease (esrd) undergoing hemodialysis. the patient must adapt to dietary and fluid restrictions, medications, and renal replacement therapy as routinely administered. the fact shows that the respondents who experienced an increase in body weight between two hemodialysis sessions (idwg) abormal were 17 respondents (20%). of this number of respondents who did not comply, as many as 11 people (13%). according to the theory (wahyuni et al., 2014) regarding the compliance of chronic renal failure patients in maintaining body weight between two dialysis times which states that idwg that exceeds table 5 correlation between blood pressure and intradialytic complications normal f 12 27 39 td % 14,4 32,6 47 ht f 16 28 44 % 19,2 33,8 53 total f 28 55 83 % 33,6 66,4 100 intradialytic complications total  0,05 spearman rho p = 0,591 present not present 383sari, wulandari, arsa, dewi, intradialytic complication and associated factors among ... 5% of dry body weight can cause shortness of breath, pulmonary edema, and peripheral edema. interdialysis weight gain in patients occurs due to non-adherence to therapy and reasonable control of fluid intake. this study on idwg shows a positive coefficient value caused by poor volume control and can harm the cardiovascular system. the initial risk is due to excessive sodium and water content (lolyta et al., 2012). based on field observations, researchers saw that patients who came with mild and moderate idwg could undergo hd safely and comfortably without experiencing complications. on the other hand, in patients with moderate to severe idwg, the majority experienced complications, either showing clinical manifestations or not. the study results obtained pre-hypertensive blood pressure before hd as many as 27 people (32.5%). from this result, 15 respondents obeyed (18.1%). pudiastuti (2011) revealed that an increase in diastolic blood pressure was a more critical factor than an increase in systolic, but now it is known that systolic hypertension in people over 50 years of age represents a greater risk. from this study, the results of pre-hd blood pressure for systolic pressure: 120 139 and diastolic pressure: 80 89 as many as 27 people or 32.5%. according to the joint national committee on prevention, detection, evaluation, and treatment on high blood pressure (jnc vii), classification is included in prehypertension. according to the researchers, because patients routinely take hypertension medication, systolic and diastolic blood pressure tends to be stable. the results showed that from 66.3% (55 respondents) who had complications, 39.8% (33 respondents) experienced an increase in weight (intra dialytic weight gain-idwg) >3. the most common complications are cramps, hypotension, and hypertension. (kamil et al., 2018). mustikasari & noorratri, erika dewi (2017) from the center for kidney disease research in california found that 86% of hemodialysis patients had an interdialytic weight of more than than one 1.5 kg. the addition of idwg values that are too high can cause harmful effects on the body, including hypotension, muscle cramps, shortness of breath, nausea, and vomiting (ulrich moissl, marta arias-guilent,petter wabel, nestor fontsere, montserrat carrera, josé maria campistol, 2013). a high idwg will lead to high ultrafiltration as well. cramps and hypotension are the most common complications. complications of cramps as many as 28 people (33.7%), while for hypotension complications, as many as 20 people (24.1%). several theories state that intradialytic hypotension is the most common complication and complication exper ienced by clients dur ing hemodia lysis (daugirdas et al., 2015). the primary factor causing intradialytic hypotension is a decrease in blood volume. they are beginning hemodialysis, a sudden decrease in blood volume because of blood movement from the intravascular into the dialyzer. the decrease in blood volume triggers the activation of the cardiopressure reflex, causing an increase in parasympathetic nerve activity, decreasing cardiac output and blood pressure. while muscle cramps during hemodialysis because of the low blood volume due to the withdrawal of large amounts of fluid during dialysis, changes in osmolarity, high ultrafiltration, and changes in the balance of potassium and calcium intracellular or extracellularly (ferdinan, d., suwito, j., 2019). according to researchers, the incidence of hypotension and cramps in this study led by the majority of respondents with fluid withdrawal (ufg) > 3 liters or > 10 ml/kg bw/ hour due to weight gain between two hd sessions as well as high > 3 kg. if the ultrafiltration is too high even though it is not following the increase in body weight (increase in body fluids in liters), then the patient will experience symptoms of intradialytic hypotension, cold sweats, dizziness, and yawning, bp can drop to < 90/60 mmhg and can cause muscle cramps. due to a decrease in fluid volume, especially intravenous fluids that are too fast, which will cause a decrease in cardiac output, even though the dialysis time has not been over. to prevent hypotension/ intradialytic cramps, recommended for clients to consume healthy foods and an appropriate diet outside of dialysis time. conclusion based on the study, the rank spearman correlation test showed that the adherence correlated with intradialytic complications with a sig (2-tailed) value of 0.016 with a correlation coefficient value of -0.26. the correlation coefficient in the results above was negative, namely -0.263 so that the correlation between the two variables was not unidirectional, meaning that the higher the compliance, the lower the intradialytic complications. meanwhile, the or value between adherence and the occur384 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 378–385 rence of intradialytic complications was 3,229, which meant that patients with kidney failure who did not comply with the diet had a 3-fold risk of intradialytic complications compared to patients with renal failure who comply. suggestion patients need constant motivation and education at frequent intervals to ensure better adherence. references alfikrie, f., sari, l., & akbar, a. (2020). factors associated with anxiety in patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis: a crossectional study. international journal of nursing, health and medicine, 2(2), 1–6. andrew davenport. (2006). intradialytic complications during hemodialysis. hemodialisys international, 10(2), 162–167. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/ full/10.1111/j.1542-4758.2006.00088.x bare, & s. (2002). buku ajar keperawatan medikal bedah brunner & suddart (a. waluyo (ed.)). egc. chaidir, r., & putri, m. e. (2014). faktor-faktor yang berhubungan dengan intradialisis hipotensi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis. stikes yarsi sumbar bukittinggi. daugirdas, j. t., blake, p. g., & ing, t. s. (2015). handbook of dialysis: fifth edition. in j. t. daugirdas (ed.) handbook of dialysis (fifth edit). daugirdas, j. t., blake, p. g., & ing, t. s. (2015). handbook of dialysis: fifth edition. in j. t. daugirdas (ed.), handbook of dialysis: fifth edition (fifth). ferdinan, d., suwito, j., & p. (2019). faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi intradialitik pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di rsi jemursari surabaya. jurnal kepe rawat an , 22(1), 30– 39. h t t p: / / journal.poltekkesdepkes-sby.ac.id/index.php/kep/ article/view/1487 ferdinan, d., suwito, j., & padoli. (2019). faktorfaktor yang mempengaruhi hipertensi intradialitik pada klien gagal ginjal kronik yang menjalani t e rapi hemodialisis di rsi jemursari surabaya. jurnal keperawatan, xii(1), 30–39. firmansyah, f. (2016). faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan diit pada pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rsud krt setjonegoro wonosob o. se kolah t inggi ilmu kesehatan muhammadiyah gombong. irr.tim. (2018). 10 th report of indonesian renal registry 2017 (pp. 1–40). kamil, i., agustina, r., & wahid, a. (2018). gambaran tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di rsud ulin banjarmasin. dinamika kesehatan, 9(2), 366–377. https:// ojs.dinamikakesehatan.unism.ac.id/index.php/ dksm/article/view/350 lolyta, ismonah, & solechan. (2012). analisis faktor yang mempengaruhi tekanan darah hemodialisis pada klien gagal ginjal kronis. jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan (jikk), 1, 58–70. marcel brass, perrine ruby, s. spengler. (2009). inhibition of imitative behaviour and social cognition. philosophical transactions of the royal society b, 364(1528), 2359–2367. https://www.ncbi.nlm.nih. gov/pmc/articles/pmc2865080/ marfuah, u. (n.d.). hubungan kepatuhan pembatasan asupan cairan dengan kejadian asites pada pasien gagal ginjal kronik yang mnejalani hemodialisis di rs pku muhammadiah unit ii yogyakarta. in 2018. http://digilib.unisayogya. ac.id/3975/ mustikasari, i., & noorratri, erika dewi, s. a. (2017). weight gain pasien hemodialisa di rsud panembahan surakarta. xv(1), 78–85. nasution, a. t., tarigan, r. r., & patrick, j. (2014). komplikasi akut intradialisis. in universitas sumatera utara. nita samsyah. (2011). faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien ckd yang menjalani hemodialisa di rspau dr e snawan antar iksa halim perdana kusuma jakarta [universitas indonesia]. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/ 20281994-t nita syamsiah.pdf padoli, & ayunda bella, r. (2017). kejadian komplikasi intradialisis klien gagal ginjal kronik di ruang instalasi hemodialisis rsud dr. m soewandhi surabaya. jurnal keperawatan indonesia, x, 26– 32. patimah, i., s, s., & nuraeni, a. (2015). pengaruh relaksasi dzikir terhadap tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa. jurnal keperawatan padjadjaran, 3(1), 18–24. https:// doi.org/10.24198/jkp.v3i1.95 pudiastuti, r. d. (2011). cerebrovascular disease. nuha medika. rahma, shela febrianti ainur. (2017). hubungan kepatuhan pembatasan cairan terhadap terjadinya hipervolemia pada pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rsud dr. harjono ponorogo oleh: stikes bhakti husada mulia madiun. sri suparti, h. f. (2019). is there anycorrelation between intradialytic complications and interdialytic weight gain (idwg)? the annals of tropical medicine and public 385sari, wulandari, arsa, dewi, intradialytic complication and associated factors among ... heal th, 11. ht t ps: // www.jour na l . a t mph specialissues.org/uploads/179/6970_pdf.pdf ulrich moissl, marta arias-guilent,petter wabel, nestor fontsere, montserrat carrera, josé maria campistol, f. m. (2013). bioimpedance-guided fluid management in hemodialysis patients. clinical journal of the american society of nephrology, 8(9). https:// pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23949235/ wahyuni1, irwanti2, w., & sofyan indrayana3. (2014). korelasi penambahan berat badan diantara dua waktu dialisis dengan kualitas hidup pasien menjalani hemodialisa. journal ners and midwifery indonesia, 2(2), 51–56. who. (2003). adherence to long-term therapies/ : evidence for action (eduardo sabateì (ed.)). world health organization. https://apps.who.int/iris/ handle/10665/42682 wibowo, h. p. (2020). hubungan inter dialitic weight gains (idwg) dengan terjadinya komplikasi durante hemodialisis pada pasien ginjal kronik. jurnal keperawatan priority, 3(1). https://doi.org/ 10.34012/jukep.v3i1.806 yunie armiyati. (2009). the intradialysis complications on ckd patients during hemodialysis at pku muhammadiyah yogyakarta hospital [universitas indonesia]. https://library.ui.ac.id/detail?id=125548 &lokasi=lokal. 270 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk literature review: the effect of acupressure on menstrual pain in adolescents niken firda1, kiswati2, ira titisari3, finta isti kundarti4 1,2,3,4applied midwifery study program, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract menstrual pain is a condition that bothers most women regardless of age, with the highest percentage being in their teens. menstrual pain is categorized into mild, moderate, severe and very severe pain. women who experience menstrual pain can interfere with their activities ranging from daily activities, school to work. one way to reduce menstrual pain non-pharmacologically is to use acupressure. this study aimed to determine the effect of acupressure on menstrual pain in adolescents. this was a literature review with systematic mapping study (scoping study) design. this study used journals published in the last 5 years. the ten journals used were obtained from the google schoolar, pubmed and sciencedirect databases. the journals obtained had passed the selection based on the year of publication, the suitability of the title with keywords, the feasibility of the journal, the ability to access, duplication and inclusion criteria. the journal was then analyzed using the instrument of presenting the results of a literature review. the most widely used acupressure point was sanyinjiao (sp 6) by pressing or massaging. the intensity of menstrual pain after being given acupressure was decreased, the average pain intensity decreased between before and after being given acupressure starting from a scale of 0.86 to 6.7. the results of the analysis of all journals show p value < a, which meant that there was a significant effect of giving acupressure on decreasing the intensity of menstrual pain in adolescents. giving acupressure by pressing or massaging certain meridians can increase the levels of endorphins that are useful for reducing the intensity of menstrual pain in adolescents. education about proper massage techniques will help reduce the level of pain that occurs during menstruation. history article: received, 15/02/2022 accepted, 30/03/2022 published, 15/08/2022 keywords: acupressure, menstrual pain, adolescents © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : iratitisari@ymail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p270-275 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:iratitisari@ymail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p270-275 firda, kiswati, titisari, kundarti, literature review: the effect of acupressure on menstrual pain in … 271 introduction menstruation is the periodic discharge of blood, mucus, and cellular debris from the uterus with regular cycles. menstruation is a complex process, in which the process involves the involvement of various organs, the endocrine system, reproductive hormones and enzymes (desiyani nani, 2018). menstruation is a normal event that occurs in adolescent girls and women of childbearing age. however, not infrequently in dealing with menstruation, there are many disturbances caused, such as menstrual pain or dysmenorrhea, anxiety disorders, drastic mood swings and vaginal discharge before and after menstruation (eva ellya sibagariang et al., 2010). the results of the 2013 world health organization (who) survey showed that more than 80% of women of childbearing age experienced dysmenorrhea during menstruation, and 67.2% of them occurred in the age group of 13-21 years. based on study conducted by wirawan et al, 2011 in (tyas et al., 2018). primary dysmenorrhea is experienced by 60-75% of young women. in 75% of them experience mild to moderate cramps, while in 25% experience severe pain and make the patient helpless. then, based on gumangsari's study, 2014 in (fitria & haqqattiba’ah, 2020) there are 90% of indonesian women who have experienced menstrual pain or dysmenorrhea. the prevalence of the incidence of menstrual pain in indonesia according to the 2010 occupational environmental journal is quite high, namely 54.98% primary and 9.36% secondary. menstrual pain or dysmenorrhea is a problem that can interfere with the student's learning process so that it affects learning achievement, menstrual pain also interferes with daily activities which has an impact on a person's creativity decline, besides menstrual pain also makes a woman more sensitive due to the disturbing pain she feels. this is evidenced by the study of widjanarko, 2006 in (tyas et al., 2018)71% of 100 women aged 15-30 years who experience menstrual pain, 5.6% of them cannot go to school or cannot work, and found 59, 2% experienced a decline in work productivity. there are several efforts that are used as an alternative to overcome menstrual pain, namely by using pharmacological therapy or drugs and nonpharmacological therapy other than drugs. however, prolonged pharmacological therapy will destabilize the body's immunity due to exposure to chemicals that enter the body, and can cause dependence (tyas et al., 2018). nonpharmacological therapies that can be used include exercise (gymnastics, yoga and physical activity), warm baths or saunas, using hot pots or warm compresses, meditation, horizon therapy, surgical therapy, acupuncture and acupressure (risma a.p. et al., 2020). according to widyaningrum, 2013 in a study conducted by (fitria & haqqattiba'ah, 2020) acupressure is a form of physiotherapy by providing massage and stimulation at certain points on the body (energy flow lines or meridians) to reduce pain. at the time of giving the massage should not be too hard and make the patient feel pain (radyanto iwan widya hartono, 2012). acupressure massage pressure can use fingers or other tools. if using fingers, negative pressure can be adjusted, massage pressure can be done using the tip of the thumb or index finger with a strength of 900 1200 gr/cm2 or the nail color changes from reddish to pale (hilda sulistia alam, 2020). according to hasanah 2014 in (tyas et al., 2018) acupressure therapy can increase endorphins in the brain which naturally can help offer pain relief. acupressure used to reduce menstrual pain has acupoints or the meeting point of the spleen, liver and kidney channels located in the spleen meridian, one of which is the sanyinjiao point which is located four fingers above the inner ankle. in accordance with the explanation above, acupressure is classified as a non-pharmacological therapy without side effects, which can be used as an alternative to reduce menstrual pain or dysmenorrhea. the formulation of the problem in this study is "is there any effect of acupressure on menstrual pain in adolescents?". then the purpose of this study was to explain the effect of acupressure on menstrual pain in adolescents. it is hoped that this study can contribute facts or empirical evidence regarding the effect of acupressure on menstrual pain in adolescents, so that it can add insight to readers, especially teenagers who often experience menstrual pain. method this study was a literature study or literature review with a systematic mapping study design. this study used secondary data from previous official research articles and journals, obtained through protocols and filters 272 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 270-275 in the inclusion criteria, so that the journals used were high quality and in accordance with the research topic. the journals used were obtained from the google schoolar, pubmed and sciencedirect databases. the population in this study were adolescents who experienced menstrual pain, the intervention given to overcome menstrual pain was acupressure, the results of the study were compared with adolescents who experienced menstrual pain without being given acupressure or other treatment, seen from the difference in the intensity of menstrual pain before and after being given acupressure. the study design was an experimental. the journals used as literature sources were obtained in the database using keywords, namely acupressure and menstrual pain or acupressure and menstrual pain. in addition, in searching for sources, researchers also pay attention to inclusion and exclusion criteria. the inclusion criteria used are: a. middle-aged and elderly adolescents who experience menstrual pain, 2016-2020 issue, use one or more of the sanyinjiao, taichong, hegu, and guanyuan acupoints, use indonesian or english, have doi/issn/pmid, and are accessible in full text. table 1 inclusion and eksklusion criteria inclusion criteria exclusion criteria 1) the population is middle and late adolescents who experience dysmenorrhea. 2) issued for the 2016-2020 period. 3) using one or more of the acupoit sanyinjiao, taichong, hegu and guanyuan. 4) use indonesian or english. 5) accompanied by issn or pmid or doi. 6) journals can be accessed in full text. 7) experimental study. 1) the population is teenagers who have congenital diseases. 2) not using the pretest-posttest approach or the experimental-control group in the design. 3) do not use pain intensity calculations other than 0-10 in the scale used. 4) given other interventions besides acupressure. then the review is carried out in several ways, including: looking for similarities (compare), looking for dissimilarities (contrast), providing views (criticizing), comparing (synthesize), and summarizing (summarize). after that the results will be presented in the form of narratives and tables. result the most widely used journals in this study were the 2019 editions, which were 40%, 40% of the journals studied used a quay experimental design. all journals examined the effect of acupressure on menstrual pain. the majority of the journals used used one group pre-test post-test in their design. the most widely used pain scale measurement instrument is the numerical rating scale (nrs), which is 60%. table 2: respondent carasteristic journal amount education age group (teenager) incidence of menstruasl pain (day) 1 30 pt ends 1 and 2 2 221 24 years ends 1 3 3 31 sma middle not mentioned 4 30 sma middle 1 3 5 100 sma middle 1 3 6 30 not mentioned not mentionedd not mentioned 7 35 sma middle 1 8 16 pt ends 1 and 2 9 30 pt ends 1 and 2 10 56 sma middle not mentioned the total of all respondents in the journals studied were 579 respondents. the age group of respondents in the journal 50% are late teens, 40% are middle to late teens who are in high school, and there is 1 journal that does not mention the age group of the respondents. firda, kiswati, titisari, kundarti, literature review: the effect of acupressure on menstrual pain in … 273 in giving acupressure, the majority of the points used are the sanyinjiao point (sp 6) as much as 80% and the most widely used technique is pressing. the duration of acupressure is very diverse, ranging from 1 – 20 minutes. table 3: menstrual pain intensity pain before menstrual pain after menstrual difference intensity category (pain) intensity category (pain) 4,63 sedang 3,23 ringan 1,4 4,9 sedang 3,5 sedang 1,4 5,77 sedang 2,06 ringan 3,71 7,52 berat 3,13 ringan 4,39 8,1 berat 1,4 ringan 6,7 4,73 sedang 2,61 ringan 2,12 3,57 ringan 2,71 ringan 0,86 7,19 berat 2,06 ringan 5,13 4,40 sedang 1,27 ringan 3,13 6,50 sedang 2,67 ringan 3,83 from the results of the study, it was also stated that the average decrease in pain intensity was between before and after being given acupressure. the decrease that occurs starts from a scale of 0.86 to 6.7. discussion a. giving acupressure to adolescents who experience of all the journals studied, 80% of them used or included the sanyinjiao point (sp 6). sanyinjiao point acupressure is very important for reducing menstrual cramps, regulating the menstrual cycle, treating pain, and increasing energy because the strong point moves qi (energy) and xue (blood) (heni setyowati, 2018). giving this acupressure can be done in various ways. according to (heni setyowati, 2018) giving acupressure can be done by pressing, turning, tapping, tapping and pulling on the meridians used. pressing or massaging is the simplest and easiest way to apply. almost anyone can apply pressure or give a massage. according to ali, 2005 in (renityas, 2017), applying pressure or massage to the meridians can stimulate certain points in the body. one of the effects of suppressing acupressure points can increase levels of endorphins which are useful as pain relievers (widyaningrum, 2013). according to researchers, the sanyinjiao point (sp 6) is the most widely used because this point is easily accessible by people who want to do acupressure. people who are using acupressure for the first time can easily find this point to do acupressure when menstrual pain occurs. the majority of menstrual pain experienced at the beginning of menstruation occurs. according to researchers, massaging and pressing is the simplest method and is very commonly used, especially in indonesia. if given instructions to provide stimulation to acupressure points, lay people will have the assumption that stimulation related to pain is to provide massage or pressure. b. the intensity of adolescent menstrual pain before and after being given acupressure the decrease in the intensity of menstrual pain from each journal varies from a scale of 0.86 to a scale of 6.7. this decrease in menstrual pain also occurred in different pain categories according to the respondent's initial pain condition. as many as 50% of journals mentioned a decrease in pain intensity from the moderate category to the mild category and 30% said there was a decrease in the intensity of menstrual pain from the heavy category to the mild category. the highest reduction in pain intensity occurred in research (othman et al., 2019) which was a study that used the sanyinjiao meridian (sp 6). giving acupressure is done 2 times a day at different times, namely at 8 am and 8 pm. the time used in giving acupressure is the majority of the time adolescents are in the study (othman et al., 2019). then the lowest decrease in average pain intensity occurred in a study conducted by (wijayanti & selviana, 2019) which was 0.86. giving acupressure in research (wijayanti & selviana, 2019, was carried out 6 times in 30 minutes with a duration of 30 seconds to 2 minutes. research (wijayanti & selviana, 2019) 274 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 270-275 according to the researchers, the decrease in the intensity of menstrual pain did not occur based on the number of acupressure points used, but based on the duration and how often acupressure was given. the longer and more often the acupressure is given, the greater the effect on decreasing the intensity of pain. the decrease in the intensity of menstrual pain occurs at different levels, this is in accordance with the level of pain experienced by respondents before giving acupressure and the length of time giving acupressure itself. c. the results of the analysis on the effect of acupressure on menstrual pain in adolescents. according to (wong, 2011) acupressure can open blockages or constrictions in the veins, stimulate nerve nodes and affect the glands. the workings of emphasis on acupressure points will instruct the endocrine system to release a number of endorphins according to the body's needs, which are useful as pain killers that the body produces itself. endorphins can affect pain-sensing areas in the brain in a similar way as pain relievers (ridwan & herlina, 2015). this is in line with the statement (sumanto, 2013) that physiologically acupressure can normalize the hypothalamic pituitary ovary (hpo) axis, through the release of peptides (opioids) including beta endorphins in the central and peripheral nervous systems. abnormalities of the pituitary system can inhibit the production of the hormone gnrh which regulates the menstrual cycle and fertility. thus, acupressure can reduce the intensity of menstrual pain. according to researchers, giving acupressure is effective for reducing menstrual pain. this is because giving massage or pressure or massage can increase a sense of comfort and calm. it is also scientifically explained that giving acupressure can stimulate the hypothalamus to secrete endorphins that are useful as natural pain relievers. conclusion the most widely used acupressure point for sufferers of menstrual pain or dysmenorrhea is the sanyinjio point (sp 6). acupressure is generally given at the beginning of menstruation by pressing or massaging techniques. the intensity of menstrual pain decreased after being given acupressure, the decrease in the average pain intensity of all studied journals ranging from 0.86 to 6.7 scales. the longer and more often the acupressure is given, the greater the effect on decreasing the intensity of menstrual pain. giving acupressure can reduce the intensity of menstrual pain because acupressure can stimulate the hypothalamus to secrete endorphins that are useful as pain relievers which can naturally be released by the body itself. significant effect of giving acupressure on decreasing the intensity of menstrual pain in adolescents. suggestion for further researchers: it is hoped that further researchers will use a more homogeneous literature so that the results of the literature review are more accurate and minimize bias. for health workers: it is hoped that acupressure can be an alternative solution for health workers as an intervention used to treat menstrual pain in adolescents. for the community: it is hoped that the community, especially teenagers, can know and apply acupressure in overcoming menstrual pain, so that it can be a solution to the problem of menstrual pain that is often experienced. acknowledgement this study is not sponsored by any party. this study is a literature review so it does not conduct experiments directly on the samples used. therefore, the funds used are relatively small. funding the funds used during the article creation process come from the author without being sponsored by any party. because this article is a literature review, the funding used is limited to finding sources in the form of books or e-books and paid journals. conflicts of interest this study was issued by the midwifery applied study program which is not a major expert in the skill of performing acupressure, therefore, the author admits that there are shortcomings in the article. the author also advises the readers to look for other relevant sources in order to better master the topics related to the article. regarding financial support, this article is fully funded by the author, so the author is not associated with any sponsoring agency. refference desiyani nani. (2018). fisiologi manusia siklus reproduksi wanita. eva ellya sibagariang, pusmaika, r., & rismalinda. (2010). kesehatan reproduksi wanita. cv. trans informasi media. firda, kiswati, titisari, kundarti, literature review: the effect of acupressure on menstrual pain in … 275 heni setyowati. (2018). akupresur untuk kesehatan wanita. unima press. hilda sulistia alam. (2020). upaya mengurangi nyeri persalinan dengan metode akupresur. cv. media sains indonesia. radyanto iwan widya hartono. (2012). akupresur untuk berbagai penyakit. rapha publishing. ridwan, m. & herlina. (2015). metode akupresur untuk mengatasi nyeri haid. 6. risma a.p., anggit i.k., azky jayaninta, jurniati, nisa k., & retno d.a. (2020). akupresur pada remaja untuk mengurangi nyeri haid. wong. (2011). 9 terapi pengobatan terdahsyat. penebar plus. fitria, f., & haqqattiba’ah, a. (2020). pengaruh akupresur dengan teknik tuina terhadap pengurangan nyeri haid (disminore) pada remaja putri. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 7(1), 073– 081. https://doi.org/10.26699/jnk.v7i1.art.p073081. othman, s., aly, s., & mady, m. (2019). effect of acupressure on dysmenorrhea among adolescents. journal of medicine in scientific research, 2(1), 24. https://doi.org/10.4103/jmisr.jmisr_2_19. sumanto. (2013). penurunan nyeri dismenore menggunakan titik akupuntur guanyuan (ren 4), guilai (st 29) dan sanyinjiao (sp 6) pada mahasiswi poltekkes surakarta. 4(1). tyas, j. k., ina, a. a., & tjondronegoro, p. (2018). pengaruh terapi akupresur titik sanyinjiao terhadap skala dismenore. jurnal kesehatan, 7(1), 1. https://doi.org/10.46815/jkanwvol8.v7i1.75. wijayanti, h., & selviana, s. (2019). akupresure sanyinjiao point mampu menurunkan intensitas nyeri dismenorhea primer. jurnal smart kebidanan, 5(2), 70. https://doi.org/10.34310/sjkb.v5i2.196. e:\2021\ners agustus\14--jurnal 221setiawan, hastuti, anthropometric parameters among children under 6 years with stunting anthropometric parameters among children under 6 years with stunting abdul malik setiawan1, apriyani puji hastuti2 1faculty of medicine and health science, maulana malik ibrahim state islamic university of malang, indonesia 2nursing department, institut teknologi sains dan kesehatan rs dr soepraoen malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 09/07/2021 accepted, 19/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: under six years children, anthropometric parameters, stunting article information abstract anthropometric measurement is a quantitative measurement as a nutritional status and can describe composition of the body. stunting is when children have a low height-for-age. there are potential causes of stunting in indonesia, including factor maternal nutritional status, breastfeeding practice, complementary feeding practice, exposure to infection, and related distal determinants such as education, dietary pattern, health care, and water sanitation hygiene. the objective of the research was to assess the association between gender, age and anthropometric parameters (weight-for-age, weightfor-height, body mass index for age) among children-under-six-years with stunting. the research used a cross sectional method which used documentation research of gender, weight, height or length and age reports of 25.158 children under six years. the anthropometric parameters of the children were categorized using weight-for-age (waz), weight-for-height (whz), body mass index for age. this research used spearman rank test and binary logistic regression to analyze association between gender, age, weight-for-age, weight-for-height, body mass index for age, and height or length-for-age. results: there were male 14.027 (55.8%), 2-6 years 15.789 (62.8%), with normal anthropometric parameter (weightfor-age, weight-for-height, and body mass index for age in stunted children. there was no significantly correlation between the children’s gender and height-for-age ( =0.096) and or 0.993 (0.9331.056). furthermore, there was low significantly correlation between age, anthropometric parameter (weight-for-age waz, weight-for-height whz and body mass index for age) with height-for-age ( =0.000). stunted children who had normal nutritional status were 0.469 times more likely to experience stunting. © 2021 journal of ners and midwifery 221 correspondence address: institut teknologi sains dan kesehatan rs dr soepraoen malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ns.apriyani@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p221–227 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p221-227&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 222 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 221–227 introduction stunting is a condition as a result of chronic restriction of a child’s potential growth by the cumulative effects of inadequate intake and poor health conditions that result from poverty. this restricted growth is an important cause of morbidity and mortality in infants and children (chirande et al., 2015). children are classified as stunting if their length or height according to their age is lower than the national standards (permenkes, 2020). according to “the conceptual framework of the determinants of child undernutrition,” “the underlying drivers of malnutrition,” the main causes of nutritional problems in children, including stunting, are low nutritional intake and health status. stunting is one of the nutritional problems in the world nowadays, especially in poor and developing countries (black, pérez-escamilla, & rao, 2015). stunting is a problem because it is associated with an increased risk of illness and death, not optimal brain development, resulting in delayed motor development and mental growth retardation (torlesse, cronin, sebayang, & nandy, 2016). child stunting reduction is the first of goals in the global nutrition targets for 2025 (beal, tumilowicz, sutrisna, izwardy, & neufeld, 2018). early-life stunting is correlated to negative functional outcomes, and growth deficiency in infancy and early childhood is frequently permanent, leading to short stature in adolescence and adulthood. stunting is linked to a higher risk of infant mortality, increased infection vulnerability, and delayed cognitive and psychomotor growth(akombi et al., 2017; mediani, 2020). stunting has long-term effects, such as lower academic performance, decreased workability, and poor pregnancy outcomes. stunting affects approximately one-third of children under five worldwide, with a higher incidence in low-resource countries in subsaharan africa and south asia (pradhan, dhital, & subhani, 2016; sitorus, natalia, purba, mutahar, & fujianti, 2019). according to who, in 2018, more than 20% of children under 5 years of age, namely around 165 million children, were stunted. meanwhile, at the asian level, indonesia is in the fifth rank of the highest stunting prevalence. based on the results of the 2016 basic health research for the national scale, the prevalence of stunted children under five in indonesia is 37.2%, if the stunting problem is still above 20%, so it is a public health problem (sitorus et al., 2019). in ethiopia, evidence indicates that malnutrition affects children as early as the first 12 months of life when development stalls due to inadequate infant feeding practices (mengesha, vatanparast, feng, & petrucka, 2020). identifying the possible determinants of chronic undernutrition is a critical step in reducing the burden of stunting to effectively achieve the accelerated stunting reduction targets (mediani, 2020). there are numerous potential causes of stunting in indonesia, including factor maternal nutritional status, breastfeeding practice, complementary feeding practice, exposure to infection, and related distal determinants such as education, dietary pattern, health care, and water sanitation hygiene (abreha, walelign, & zereyesus, 2020). the research objective was to find out the nutritional status of children who experienced stunting. objective to assess the association between gender, age, weight-for-age (waz), weight-for-height (whz), body mass index-for-age and height-for-age (haz). methods the research used a cross sectional which used documentation research of gender, weight, height or length and age reports of 25.158 children under six years in all of public health center at malang regency 2019. the anthropometric parameters of the children were categorized using weight-for-age (waz), weight-for-height (whz), body mass index for age. this research analysis used spearman rank test to analyze association between gender, age, weight-for-age, weight-for-height, body mass index for age, and height or length-for-age. the measurements of anthropometric parameters (weight and length/ height) in the anthropometric parameter reports were obtained using standardized procedures from the ministry of health. anthropometric parameters z score and the prevalence of stunting and severe stunting based on the who reference values (who, 2009). the anthropometric parameters were defined as the proportion of the children whose length or height-for-age (haz), weight-for-height (whz), weight-for-age (waz), and body mass index (bmi) for age and score more than two standard deviations below the median of population standard (or above the referent median of whz). for calculation of bmi, the following formula was used. bmi = body weight 223setiawan, hastuti, anthropometric parameters among children under 6 years with stunting (kg)/ body height (m2). children’s characteristics included age and gender from children. ethical issues : ethical approval was obtained from health research ethics committee, state polytechnic of health malang, indonesia reg. no 158/kepk-polkesma/2021. all data obtained were anonymized. statistical analysis quantitative parameters are presented as descriptive. statistical a nalysis bivariate using spearman rank test and multivariate analysis using binary logistic regression to analyze association between gender, age, weight-for-age, weight-forheight, body mass index-for-age, and height or length-for-age. all analyses were calculated using spss 26 with p <0.05 and 95% confidence interval result the research used a cross sectional which used documentation research of gender, weight, height or length and age reports of 25.158 children under six years in all of public health center at malang regency, indonesia with 25,158 children under-sixyears. demographic characteristic of stunted children under six years old in malang regency is shown in table 1. the sample consisted of male 14.027 (55.8%) and female 11.131 (44.2%) children under six years. most of the children were of 26 years old and counted as many as 15.789 (62.8%). according to the level of severity based on indicator of anthropometric parameters height-for-age (haz) 17.927 (71.3%) from all children under-six-years were stunted. meanwhile, using other anthropometric parameter: weight-for-age (waz) 17.744 (70.5%), weight-for-height (whz) 16.535 (65.7%) and body mass index-for-age 23.780 (94.5%) of the stunted children was categorized into normal nutritional status. table 2 above shows that cross-tabulation results between gender and age with anthropometric parameters in children who are stunted are primarily male with normal nutritional status. the result of cross-tabulation between gender and stunting showed no correlation between gender and stunting, which was proven by the value of =0.096. meanwhile, the result of cross-tabulation between age and stunting showed a correlation, which was proven by the values of =0.000 and r = 0.085 (very low correlation). the highest number of severe stunting in the age of 6-24 months was 2800 children (11.1%) and categorized stunting in the age of 3672 month are 7304 children (29%). the result of cross-tabulation between anthropometric parameters, weight-for-age (waz), weightforheight (whz) and body mass index-for-age any correlation with the value of =0.000 and majority of children-under-six years with stunting in normal nutritional status. discussion the research showed that there was no correlation between gender and stunting, which was proven by the result of p value =0.096 (p>0.05) and description f (%) gender male 14.027 (55.8) female 11.131 (44.2) age 0 6 month 1.037 (4.1) 6 24 month 8.332 (33.1) 2 – 6 years 15.789 (62.8) anthropometric parameter: height-for-age (haz) stunted 17.927 (71.3) severe stunted 7.231 (28.7) anthropometric parameter: weight-for-age (waz) severely underweight 1.171 (4.7) underweight 5.630 (22.4) normal 17.744 (70.5) risk obesity 613 (2.4) anthropometric parameter: weight-for-height (whz) severely wasted 26 (0.1) wasted 854 (3.4) normal 16.535 (65.7) possible risk of weight 7.743 (30.8) anthropometric parameter: body mass index-for-age severely wasted 15 (0.1) normal 23.780 (94.5) possible risk of overweight1.363 (5.4) (source: secondary data; 2019) table 1. research subject characteristic 224 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 221–227 r=0.010. then, there was no correlation between gender and stunting in children under six with a value of =0.618. accordingly, gender is not a factor that a ffects the incidence of stunting (abewa y, gebremichael, murugan, assefa, & adinew, 2018; hasegawa, ito, & yamauchi, 2017; yaya, odusina, uthman, & bishwajit, 2020). in general boys children were more likely than girls to be lower than standard normal nutritional status (harding, aguayo, & webb, 2018). male children had a significantly higher risk of being stunted and severely stunted than their female counterpart. this gender based health inequality maybe as result of community specific cultures, on other hand females are culturally expected to be less active and stay at home with their mothers near food preparation (akombi et al., 2017). similar research on the description of nutritional status in children, the measurement of nutritional status according to sex in children shows that the frequency of girls who have a good nutritional status is greater than that of boys; it is because growth occurs faster in girls and slower in boys (hasegawa et al., 2017). there are differences in fat tissue in men and women and differences in skinfold thickness between girls and boys, which researchers stated that women are thicker than men. in general, it appears that girls are fatter than boys. the above matters will not only affect body weight and height but also their nutritional status (akombi et al., 2017). stunting is an indicator of longstanding malnutrition. there is linked to maternal nutritional and description bivariate analysis multivariate analysis severely stunted stunted or p value gender male 4091 (16.3) 9936 (39.5) 0.993 0.814 female 3140 (12.3) 7991 (31.8) (0.933 – 1.056)  = 0.096 r = 0.010 age 0-6 month 369 (1.5) 668 (2.7) 1.122 0.015 6-24 month 2800 (11.1) 5532 (22.0) (1.0231.230) 2436 month 1631 (6.5) 4423 (17.6) 3772 month 2431 (9.7) 7304 (29.0) = 0.000 r = 0.085 anthropometric parameters (weight-for-age (waz) severely underweight 852 (3.4) 319 (1.3) 6.018 0.000 underweight 2037 (8.1) 3593 (14.3) (5.640 – 6.421) normal 4165 (16.6) 13579 (54.7) obesity 177 (0.7) 436 (1.7) = 0.000 r = 0.237 weight for height (whz) severely wasted 13 (0.1) 13 (0.1) 0.208 0.000 wasted 199 (0.8) 655 (3.7) (0.193 – 0.223) normal 3727 (14.8) 12808 (50.9) possible risk of weight 3292 (13.1) 7743 (30.8)  = 0.000 r = 0.200 body mass indexfor age severely wasted 1 (0.004) 14 (0.06) 0.122 0.000 normal 6308 (25.07) 17472 (69.4) (0.107 0.141) possible risk of overweight 922 (3.7) 441 (1.8)  = 0.000 r = 0.202 (source: secondary data; 2019) table 2. analysis demographic and anthropometric parameters in stunting children 225setiawan, hastuti, anthropometric parameters among children under 6 years with stunting environment factors and has been described as a form of adaptation to social environment (saleemi, ashraf, mellander, & zaman, 2001). although many studies have been conducted on the anthropometric parameters as nutritional status in children-under-six-years, less information can be found about growth and nutritional status under six years because of this data only from children. among the most important reasons for this lack of information, it is the difficult to interpret anthropometric data in these age groups. it contains the rapid changes in somatic growth, problems of dealing with variations in maturation, and difficulties separating normal variations from those associated with health risks (pradhan et al., 2016). furthermore, the use and interpretation of indicator anthropometric parameters such as height-for-age z scores (hazs) for characterizing growth patterns have been a debated subject (akombi et al., 2017). moreover, it showed that using z scores standard from indonesia ministry of health. the research results show that age is associated with the incidence of stunting with a p-value of 0.000 (p<0.05) and or 1.1 (1.0231.230). children aged 2-6 years are at greater risk of stunting due to the child’s diet used since an early age besides the weaning period at 2 years of age. so that, the child is at risk of nutritional problems, and long-term problems can become stunted. shortterm indicators of nutritional status were weightfor-age waz, and long-term was height-for-age haz. the research results showed if children-undersix years with stunting have normal/good nutritional status, using anthropometric parameter weight-forage (waz), weightfor height (whz) and body mass indexforage. it was because stunting is related to chronic nutritional problems indicators of children based on the height-for-age (haz). nutritional problems for children-under-sixyears can cause severe problems for their health, delay in growth and development, cognitive development. it can be concluded that children under-six years who have low nutritional status can have stunting problems with or 0.122 (0.1070.141) and p value= 0.000 (p>0.05). stunting in children is a chronic impact of macro and micronutrient deficiency, especially during the first 1000 days of life. it can cause the emergence of irreversible disruption in children’s physical development, which causes a decrease in cognitive and motor skills and a decrease in work performance. if the disorders of growth and development in children due to malnutrition do not get intervention early, they will continue into adulthood(akombi et al., 2017; shekar et al., 2017). it is due to nutritional deficiencies, which occur for a long time, and there is a slowdown in growth (chattopadhyay et al., 2019). meanwhile, the growth of weight according to age is acute. it was in a short time which was very sensitive in the environment change. for example, when the family environment prepares adequate nutrition/food intake, body weight will quickly increase or others. this research has some limitations. being a cross sectional research, using documentation research conclusions regarding causal relation could not be drawn. anthropometric parameter has a low sensitivity that occur at the time of measurement. in addition, this research using data from different public health centers that might have differences in measurement technique, measurement tools and personnel that potentially leads to lower accuracy. conclusion in this research it can be concluded that 1. there is no significantly correlation between the childr en’s gender a nd height-for-a ge (=0.096). 2. there is low significant correlation between age and stunting anthropometric parameter based on height-for-age with =0.000, r= 0.085 and or 1.122 (1.0231.230). 3. there is low correlation between anthropometric parameter (weightfor-age waz, weight-for-height whz, and body-mass-index for age) and height-for age incidence of stunting with =0.000 suggestion for mothers who have children-under-six years, especially in infant and children, they can do screening risk of stunting, so it can be prevented by providing intake adequate from quantity and quality of food, macro and micronutrient and maintain the health of children from infectious disease especially in gastrointestinal track infectious so that children can achieve a catch-up grow. then, planning the public strategies can help to control childhood undernutrition according to underlying factors. health promotion about nutritional adequacy, especially responsive feeding, supplemen226 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 221–227 tary feeding, or practical feeding from mother to child, may improve children’s nutritional status who can measure using indicator of anthropometric parameters. parents need to always maintain the health of their children-under-six years and provide a variety of foods with macro and micronutrient. besides, the health public center can further improve the programs that have been implemented for the prevention and management of stunting. a more targeted program in providing interventions to overcome stunting and a proper evaluation should be implemented because there are still many stunted children under six years. refference abeway, s., gebremichael, b., murugan, r., assefa, m., & adin ew, y. m. (2018). stun ti ng a nd i ts determinants among children aged 6-59 months in northern ethiopia: a cross-sectional research. journal of nutrition and metabolism, 2018. https:/ /doi.org/10.1155/2018/1078480 abreha, s. k., walelign, s. z., & zereyesus, y. a. (2020). associations between women’s empowerment and children’s health status in ethiopia. plos one, 15(7), 1–24. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0235825 akombi, b. j., agho, k. e., hall, j. j., merom, d., astellburt, t., & renzaho, a. m. n. (2017). stunting and severe stunting among children under-5 years in nigeria: a multilevel analysis. bmc pediatrics, 17(1), 1–16. https://doi.org/10.1186/s12887-0160770-z beal, t., tumilowicz, a., sutrisna, a., izwardy, d., & neufeld, l. m. (2018). a review of child stunting determinants in indonesia. maternal and child nutrition, 14(4), 1–10. https://doi.org/10.1111/ mcn.12617 black, m. m., pérez-escamilla, r., & rao, s. f. (2015). integrating nutrition and child development interventions: scientific basis, evidence of impact, and implementation considerations. advances in nutrition, 6(6), 852–859. https://doi.org/10.3945/ an.115.010348 chattopadhyay, a., sethi, v., nagargoje, v. p., saraswat, a., surani, n., agarwal, n., … unisa, s. (2019). wash practices and its association with nutritional status of adolescent girls in poverty pockets of eastern india. bmc women’s health, 19(1), 1–13. https://doi.org/10.1186/s12905-019-0787-1 chirande, l., charwe, d., mbwana, h., victor, r., kimboka, s., issaka, a. i., … agho, k. e. (2015). determinants of stunting and severe stunting among under-fives in tanzania: evidence from the 2010 cross-sectional household survey. bmc pediatrics, 15(1), 1–13. https://doi.org/10.1186/s12887-015-0482-9 harding, k. l., aguayo, v. m., & webb, p. (2018). factors associated with wasting among children under five years old in south asia: implications for action. plos one, 13(7), 1–17. https://doi.org/10.1371/ journal.pone.0198749 hasegawa, j., ito, y. m., & yamauchi, t. (2017). development of a screening tool to predict malnutrition among children under two years old in zambia. global health action, 10(1). https:// doi.org/10.1080/16549716.2017.1339981 mediani, h. s. (2020). predictors of stunting among children under five year of age in indonesia: a scoping review. global journal of health science, 12(8), 83. https://doi.org/10.5539/gjhs.v12n8p83 mengesha, h. g., vatanparast, h., feng, c., & petrucka, p. (2020). modeling the predictors of stunting in ethiopia: analysis of 2016 ethiopian demographic health survey data (edhs). bmc nutrition, 6(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s40795-020-00378-z permenkes. (2020). standar antropometri anak. pradhan, p. m. s., dhital, r., & subhani, h. (2016). nutrition interventions for children aged less than 5 years following natural disasters: a systematic review. bmj open, 6(9), e011238. https://doi.org/ 10.1136/bmjopen-2016-011238 saleemi, m. a., ashraf, r. n., mellander, l., & zaman, s. (2001). determinants of stunting at 6, 12, 24 and 60 months and postnatal linear growth in pakistani children. acta paediatrica, international journal of paediatrics, 90(11), 1304–1308. https://doi.org/ 10.1111/j.1651-2227.2001.tb01580.x shekar, m., kakietek, j., d’alimonte, m. r., rogers, h. e., eberwein, j. d., akuoku, j. k., … hecht, r. (2017). reaching the global target to reduce stunting: an investment framework. health policy and planning, 32(5), 657–668. https://doi.org/10.1093/heapol/ czw184 sitorus, r. j., natalia, m., purba, i. g., mutahar, r., & fujianti, p. (2019). the external factors associated with stunting occurrence among 12 – 59 months old toddler. international journal of recent technology and engineering, 8(2 special issue 9), 137–140. https://doi.org/10.35940/ijrte.b1030. 0982s919 torlesse, h., cronin, a. a., sebayang, s. k., & nandy, r. (2016). determinants of stunting in indonesian children: evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. bmc public health, 16(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/ s12889-016-3339-8 who. (2009). who child growth standards. in 227setiawan, hastuti, anthropometric parameters among children under 6 years with stunting developmental medicine & child neurology (vol. 51). https://doi.org/10.1111/j.1469-8749.2009.03503.x yaya, s., odusina, e. k., uthman, o. a., & bishwajit, g. (2020). what does women’s empowerment have to do with malnutrition in sub-saharan africa? evidence from demographic and health surveys from 30 countries. global health research and policy, 5(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s41256019-0129-8. e:\ibuk\ners desember 2021\4--j 290 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 290–294 oxygen saturation (spo2) of covid-19 patients ulfa husnul fata1, lutvi febriana2 1,2nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/06/2021 accepted, 27/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: coronavirus disease (covid-19), oxygen saturation (spo2) article information abstract one of the emergency problems of covid-19 patients is a decrease in oxygen saturation (spo2). factors that affect the decrease in oxygen saturation, age, immune system, and gender. the purpose of this research was to identify oxygen saturation (spo2) in coronavirus disease (covid-19) patients. the research design is descriptive. the population in this study was all covid-19 patients at the aminah blitar islamic hospital starting last month december 2020 to march 2021 totaling 346 and the number of samples was 185. the research instrument used data studies on the medical records of covid-19 patients. the sampling technique used purposive sampling. the statistic test used frequency distribution.the results of this research indicated that from 185 respondents there were 77 (41.4) respondents who did not experience hypoxemia and 108 (58.6) respondents experienced hypoxemia. covid-19 must be watched out for because of its relatively fast transmission, has a mortality rate that cannot be ignored, and there is no definitive therapy yet. a decrease in oxygen saturation (spo2) is an important thing that needs to be considered in covid-19 patients. © 2021 journal of ners and midwifery 290 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ulfaners@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p290–294 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p290-294 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p290-294&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 291fata, febriana, oxygen saturation (spo2) of covid-19 patients introduction in ear ly 2020, there was a new type of coronavirus, severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (sars-cov-2) and the disease was called coronavirus disease 2019 (covid-19). until now, it has been confirmed that the coronavirus disease (covid-19) outbreak has attacked 216 countries or regions in the wor ld, including indonesia(world health organization, 2020). currently, the spread of sars-cov-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) from human to human is the main source of transmission so that the spread becomes more aggressive. transmission of sars-cov-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) from symptomatic patients occurs through droplets released when coughing or sneezing.(setiawan et al., 2020). there are 216 countries infected with covid-19. the first covid-19 case in indonesia was reported on march 2, 2020, with 2 cases. east java province became the highest zone of positive patients, namely the city of surabaya and sidoarjo regency. the clinical symptoms of covid-19 differ in each individual due to the influence of comorbid fa ctor s. most covid-19 patients who ha ve comorbid diseases such as diabetes mellitus, hypertension, and cardiovascular disease are more likely to experience conditions that are easily deter ior a ting a nd even ca use dea th (ye et a l. , 2020).gother symptoms of covid-19 can affect the gastrointestinal system, the olfactory system (ears, nose and throat), the cardiovascular system, and the respiratory system. in the respiratory system, one of the symptoms that often appears is a decrease in oxygen saturation characterized by changes in respiratory frequency, depth or rhythm, breath sounds, cyanosis (in nails, lips, mucous membranes and skin), restlessness, anger, confusion, decreased level of consciousness, shortness of breath. or difficulty breathing (enie noviastari and kusman ibrahim, 2020). the covid-19 virus itself is a virus caused by the sars-cov 2 virus, the sars-cov 2 virus contains an s protein that can cause spikes in cells so that the virus is easy to enter. after entering the cell through rna (ribonucleic acid) it stimulates ace 2 (angiotensin converting enzyme 2) receptors. ace 2 (angiotensin converting enzyme 2) receptor serves to enter the virus into cells. so it affects the immunology of the host itself to decrease and an inflammatory response occurs in the host’s own body. the inflammatory response then causes a cytokine storm that causes spots on the lungs so that the exchange of oxygen (o2) in the lungs is disrupted and there is a decrease in oxygen saturation (spo2). decreased oxygen saturation (spo2) causes body tissues to lose a lot of oxygen so that it can cause death (yuliana, 2020). oxygen saturation is one indicator of oxygenation status. oxygen saturation is a measure of how much oxygen percentage hemoglobin is able to carry (berman, 2016). the normal range for oxygen saturation is >95%-100%, although lower measurements may be normal in some people (aini, 2014). according to berman, snyder, frandsen (2016) &klabunde (2015), the value of oxygen saturation is what percentage of all hemoglobin binding sites occupied by hemoglobin, pulse oximetry is a noninvasive tool that measures the oxygen saturation of arterial blood placed on the fingertips, the mother finger, nose, earlobe or forehead and pulse oximetry can detect hypoxemia before clinical signs and symptoms appear. according to (fadlilah, 2017), a normal spo2 value indicates that perfusion in the tissue is in good condition. good perfusion is characterized by capillary refill time (crt) and is also supported by normal oxygen saturation. based on the results of a preliminary study that was carried out at the aminah blitar hospital, the average number of covid-19 patients treated at aminah hospital from december 2020 to march 2021 was 346, most of them experienced a decrease in oxygen saturation (spo2), with an average age of 346. average 50 years. on january 22, 2021, aminah blitar hospital was designated as one of the referral hospitals for covid-19 in east java, which was previously a buffer hospital. most of the deaths were caused by respiratory failure (sthe respiratory system is unable to carry out its function to distribute oxygen into the blood and organs, then remove carbon dioxide from the blood. this causes the body to lack oxygen as much as 45% and pneumonia (inflammation of the lungs caused by infection) as much as 55%. based on the background of the problem above, the r esea r cher is inter ested in r esea r ching “saturation”.oxygen (spo2) of covid-19 patients”. the formulation of the research problem is how the oxygen saturation (spo2) in covid-19 patients is. the purpose of this study was to identify oxygen saturation (spo2) in coronavirus disease 292 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 290–294 (covid-19) patients at aminah blitar islamic hospital. the theoretical benefit of this research is that it is expected to provide nursing knowledge, especially surgical medical nursing (kmb), as a contribution to science in the form of empirical data on oxygen saturation (spo2) in coronavirus disease (covid-19) patients at aminah blitar islamic hospital. the practical benefits of this research can be used as a basis for health workers in providing education to the public and providing nursing care to covid-19 patients. methods this research was a quantitative research with a descriptive design. the population of was 185 samples at aminah islamic hospital blitar from december 2020 to march 2021. the sampling technique used purposive sampling. the variable in this study was oxygen saturation (spo2) of covid-19 patients. this research did not take patients with comorbidities and spo2 measurements while the patient was still in the emergency unit. the data collection tool in this research was study data (case study) from patient medical records using a check list sheet. the data collection was carried out on june 15-18 june 2021. data analysis used central tendency. result general data 1. distribution of respondents by gender discussion oxygen saturation based on the results of the study, it was found that there were 108 patients with covid-19 who experienced a decrease in spo2 or hypoxemia (58.4%) out of 185 patients. while the normal amounted to 77 respondents (41.6%). oxygen saturation is the percentage of hemoglobin bound to oxygen in the arteries, normal oxygen saturation is between 95 100%. oxygen saturation (so2) in medicine is often referred to as “sats”, to measure the percentage of oxygen bound by hemoglobin in the bloodstream. at low oxygen partial pressures, most of the hemoglobin is deoxygenated, meaning the process of distributing oxygenated blood from arteries to body tissues, normal oxygen saturation is between 95 100%. factors that affect the saturation value are hemoglobin (hb), circulation, activity(astuti & sulistyo, 2019). according to (wang, 2020) the attachment and entry of viruses into host cells is mediated by protein s on the surface of the virus. protein s is the main determinant in infecting the host species as well as the tropical determinant. in sars-cov, protein s itself is a toxin that can cause spikes in cells that are easy for viruses to enter by binding to receptors on host cells, namely the enzyme ace-2 (angiotensin-converting enzyme 2). according to(yuliana, 2020). after successfully entering the cell via rna (ribonucleic acid)subsequent translation of gene replication from the viral rna genome. furthermore, replication and transcription where the synthesis of viral rna through translation and assembly of the viral replication complex. the next stage is the assembly and release of the no gender frequency percentage (%) 1. man 116 62.7 2. woman 69 37.3 total 185 100.0 table 1 distribution of respondents by gender in covid19 patients at rsi aminah blitar table 1. above, it can be seen that male respondents with covid-19 were 116 respondents (62.7%). special data table 2. it is known that the respondents who experienced hypoxemia in covid-19 patients were no spo2 (%) frequency percentage (%) 1. no hypoxemia (95-100%) 77 41.6 2. hypoxemia (<95%) 108 58.4 total 185 100.0 table 2 oxygen saturation (spo2) in covid-19 patients 108 respondents (58.4%). while the normal amounted to 77 respondents (41.6%). 293fata, febriana, oxygen saturation (spo2) of covid-19 patients virus. after transmission occurs, the virus enters the upper respiratory tract and then replicates in upper respiratory epithelial cells (performing its life cycle). after that it spreads to the lower respiratory tract which stimulates ace 2 (angiotensin converting enzyme 2) receptors, especially in the lungs. ace 2 (angiotensin converting enzyme 2) the receptor serves to enter the virus into the cell. so it affects the immunology of the host itself to decrease and an inflammatory response occurs in the host’s body. the inflammatory response then causes a cytokine storm to increase, resulting in a collection of secretions resulting in spots on the lungs, disrupting the exchange of oxygen (o2) in the lungs and decreasing oxygen saturation (spo2). according to(ali et al., 2020), the factors that affect the decrease in oxygen saturation are age, body resistance, and gender. according to (siagian, 2020) the age category of the elderly who are susceptible to covid-19 is not uniform, there are those who state that the elderly aged > 80 years are at high risk of contracting the corona virus (according to chinese researchers), the elderly aged > 50 years (according to the mayor of new york) there are even indonesian researchers stated that people aged 45-65 years were vulnerable to being exposed to the corona virus. according to (malik, 2019) the elderly often experience decreased body resistance. changes in immune function (immune) due to the effects of aging and the presence of immunosense in the elderly cause susceptibility to infection in neutralizing viral infections. according to (hidayati, 2020) male residents and residents aged over 46 years, especially 60 years and over, are vulnerable to covid19. patients with covid-19 in the elderly (46-65 years) 43.2%, of 43.2% in the elderly (46-65 years) 45.7% were male compared to female (39.1 %). according to (fatmah, 2006) men are more susceptible to covid-19. one of them is because the decrease in the number of b cells and t cells in elderly men is greater than women. as a result, the resulting immune response is not too adequate. in addition, testosterone affects the expression of tmprss2, which plays an important role in the process of entering the sars-cov-2 virus into body cells. with age, a person’s immune system is increasingly experiencing dysfunction. as a result, elderly covid-19 patients are increasingly vulnerable to experiencing “cytokine storms” that can cause problems in various organs of the body and trigger respiratory failure. hypoxemia is a condition of decreased oxygen content (o2) in arterial blood. hypoxia is a condition of inadequate supply of o2 to the tissues. hypoxia can be caused by hypoxemia or impaired blood supply to tissues. hypoxemia can be caused by impaired oxygenation, anemia or decreased affinity of hemoglobin (hb) for o2. impaired oxygenation is hypoxemia resulting from low o2 transfer from the lungs to the bloodstream, which is characterized by low o2 partial pressure (pao2 < 80 mmhg) (dewi et al., 2019). partial pressure describes the pressure of a dissolved gas to the total pressure of the gas mixture (such as the pressure of oxygen gas to the total pressure of the gas mixture in the air). the partial pressure of arterial blood oxygen as a marker of oxygenation in arterial blood can be measured from blood gas analysis. hypoxia causes multiple organ damage and if not treated properly can result in death. hypoxia causes an increase in the number of nucleated erythrocytes (eb) through an erythropoietin-mediated mechanism to compensate for the increased oxygen demand. increased erythropoiesis releases immature erythrocytes into the blood circulation(dewi et al., 2019). so the decrease in oxygen saturation (spo2) is very dangerous. conclusion the conclusions in this study were that the number of covid-19 patients who experienced a decrease in spo2 was 108 respondents (58.6%) with normal values of oxygen saturation (95%100%) and hypoxemia (<95%). it was found that patients exposed to covid-19 experienced a decrease in spo2 amounting to 108 patients (58.4%) from 185 patients. while the normal amounted to 77 respondents (41.6%). suggestion health workers are expected to serve as material for educating the public that people exposed to covid-19 are at risk of experiencing a decrease in spo2. further research is expected to become basic data for further research in carrying out research on oxygen saturation (spo2) in patients with covid19 with a larger population. 294 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 290–294 references ali, r. m., tutupoho, r. v., & chalidyanto, d. (2020). no title. 4, 48–55. ayu, g., laksmi, p., & sari, p. (2019). jurnal sains dan kesehatan. 2(4), 548–557. astuti, w., & sulistyo, f. a. (2019). hubungan intensitas tindakan suction dengan perubahan kadar saturasi oksigen pada pasien yang terpasang ventilator di ruang icu rsud kota bogor. jurnal ilmiah wijaya, 11(2), 134–142. dewi, c. j. s., yaswir, r., & desywar, d. (2019). korelasi tekanan parsial oksigen dengan jumlah eritrosit ber inti pada neona tus hipoksemia . jurnal kesehatan andalas, 8(1), 76. https://doi.org/ 10.25077/jka.v8i1.973 enie noviastari, kusman ibrahim, d. an s. r. (2020). dasar-dasar keperawatan (9th ed.). elsevier. francisco, a. r. l. (2018). tinjauan kepustakaan sistem pernapasan universitas udayana. journal of chemical information and modeling, 53(9), 1689– 1699. garcía reyes, l. e. (2013). journal of chemical information and modeling, 53(9), 1689–1699. gede, i. p., & agung, i. g. (2017). terapi oksigen (o 2 ). 2–28. kemenkes ri. (2020a). no title. indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19. notoatmodjo. (2018). metode penelitian kesehatan. rineka cipta. nursala m. (2020). me todologi pe ne lit ian il mu keperawatan (5th ed.). salemba medika. putri, r. n. (2020). indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19. 20(2), 705–709. https://doi.org/ 10.33087/jiubj.v20i2.1010 putu, n., putra, p., listyoko, a. s., & christanto, a. (2020). sebagai prediktor derajat keparahan pasien covid-19 rawat inap. 253–259. setiawan, f., puspitasari, h., sunariani, j., & yudianto, a. (2020). molecular review covid19 from the pathogenesi s a n d tr an sm issi on aspect. j urnal kesehatan lingkungan, 12(1si), 93. https://doi.org/ 10.20473/jkl.v12i1si.2020.93-103 siagian, t. h. (2020). corona dengan discourse network analysis. jurnal kebijakan kesehatan indonesia, 09(02), 98–106. suherlim, d., lubis, l., & permana, h. (2021). korelasi kadar hemoglobin dengan saturasi oksigen pada guru besar universitas padjadjaran. 1(2), 26–29. https://doi.org/10.36675/baj.v1i2.15 susilo, a., rumende, c. m., pitoyo, c. w., santoso, w. d., yulianti, m., sinto, r., singh, g., nainggolan, l., nelwan, e. j., khie, l., widhani, a., wijaya, e., wicaksana, b., maksum, m., annisa, f., jasirwan, o. m., yunihastuti, e., penanganan, t., new, i., … cipto, r. (2020). coronavirus disease 2019/ : tinjauan literatur terkini coronavirus disease 2019/ : review of current literatures. 7(1), 45–67. utama, s. a. (2018). buku ajar keperawatan medikal bedah sistem respirasi. cv budi utama. winarsih, d. s. (2020). characteristics of anosmia cases in covid-19 patients/ : a systematic review. 19– 26. world health organization, 2020. (2020). jurnal sains dan kesehatan. jurnal sains dan kesehatan, 2(4), 548– 557. yuliana, y. (2020). corona virus diseases (covid-19): sebuah tinjauan literatur. wellness and healthy magazine, 2(1), 187–192. https://doi.org/10.30604/ well.95212020 e:\2021\ners agustus\4--jurnal 166 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 166–170 the analysis of complications of tuberculosis sufferers due to history of drug breakup in the area of puskesmas puri mojokerto regency lutfi wahyuni1, inna octavia2, norma cindy erlina3 1,2,3nursing department, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 15/03/2021 accepted, 21/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: early complications, tuberculosis, history of drug breakup article information abstract pulmonary tb disease is one of the priorities of eradication of infectious diseases. early-stage drug breakup occurs if the patient does not take medication 2 months in a row or more before the treatment period is complete. drug breakups result in patients being resistant to oat (anti-tuberculosis drugs) and can lead to complications. this study aimed to analyze the occurrence of complications of tuberculosis sufferers due to a history of drug breakup. the design in this study was correlation analytics with retrospective approach methods. the population in this study was all tb sufferers who had a history of drug breakups and complications. the sampling technique in this study was non-probability sampling with purposive sampling type. the sample was 30 respondents. the instruments were interview for the history of drug breakup and patient treatment cards and observation and status of patient as the instruments of complications. spearman rho test results showed that value = 0.055 or more than á (0.05) which meant there was no correlation between the history of drug breakup with complications of tuberculosis. based on this study, it could be concluded that the complications of tuberculosis that occur not only because of drug breakup factors but can be due to the spread of increasingly widespread germ infections, the immune system of the sufferers who are lacking, tuberculosis concomitant diseases, nutritional status of tuberculosis sufferers, and also knowledge from tb sufferers who lack the awareness to maintain health. © 2021 journal of ners and midwifery 166 correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ltf.hidayat@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p166–170 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p166-170 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p166-170&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 167wahyuni, octavia, erlina, the analysis of complications of tuberculosis sufferers due to history of ... introduction tuberculosis is an infectious disease caused by the germ mycobacterium tuberculosis (indah, 2018). currently, pulmonary tb disease is one of the priorities of eradication of infectious diseases. complete treatment of tuberculosis is carried out for 6 months. during treatment, there are still people with tuberculosis who experience drug breakups or do not routinely take medication. drug breakup is a sufferer who does not take the drug 2 months in a row or more before the treatment period is completed (khamidah, 2016). drug breakup resulted in patients resistance to oat (anti-tuberculosis drugs) that can cause complications of early tuberculosis such as pleural effusion, pleuritis, empyema and further such as severe hemoptysis, collapse of the lobes due to bronchial retraction, bronchitis (dilation of local bronchi), fibrosis (formation of connective tissue in the recovery process or rea kit) in the lungs, pneumotorak (the presence of air in the pleural cavity) spontaneously, spread of infection to other organs such as the brain, bones, joints, kidneys and so on, cardio pulmonary insufficiency (ward, j., leach, 2010). based on health profile data in east java with the number of cases discovery 146 per 100,000 inhabitants with the number two in indonesia after north sumatra, the number of prevalence data in east java complete treatment is still 9.48% of the number of cases discovered in 2018. based on regional health study data of east java province r a nked fifth in indonesia fr om 2013-2018 (riskesdas, 2018). based on the results of a survey from the mojokerto district health office the results of health profile data (2017) the discovery of positive bta cases in mojokerto city as many as 107.46 cases per 100,000 residents. in 2018, new patients with pulmonary tb were found, for patients undergoing complete treatment as much as 81.92%, for patients who broke up treatment as much as 3.92%, while patients who died 14.16%. the survey results from upt puskesmas gayaman obtained data from patients with pulmonary tuberculosis bta (+) year 2019 115 patients. pulmonary tuberculosis is currently transmitted quickly and easily is still a public health problem (who, 2019). factors related to drug breakups are demographic characteristics, socioeconomic, r espondent knowledge, ser vice a ccess (octavianus, suhartono, 2015). the duration of treatment oat (anti-tuberculosis drugs) consisting of isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin will treat patients with severed drugs because treatment should be done 6 months (amin, 2015). drug breakup will result in patient’s resistance to drugs, the spread of tuberculosis infection is increasingly widespread that will form tb billion because the invasion of tb ghon spread of infection occurs to other organs (kimberly, 2011). methods the study design used in this study was analyst correlation with the retrospective approach method. the instruments were, the first instrument used for tuberculosis complications using the patient status observation sheet, the second instrument used a history of drug breakup using interview and tuberculosis treatment card. the data retrieval was conducted door to door in september 2019 – january 2020. before taking the data the researcher explained the purpose of the study and gave a letter of approval to be a respondent and keep the identity of the respondent confidential. general data characteristic criterion f % gender man 17 56,7 women 13 43,3 education primary school 4 13,3 junior high school 15 50,0 senior high school 6 20,0 university 5 16,7 age 18-30 years 5 16,7 31-49 years 12 40,0 50-55 years 13 43,3 work not working 3 10,0 loborer 5 16,7 offcial private 14 46,7 farmer 8 26,7 total 30 100 table 1. general data by gender, education, age and occupation characteristics of respondents by gender most of the respondents were male, numbering 17 respondents. education level most of the respondents are junior high school educated as many as 15 respondents 50%, age respondents mostly 50-55 168 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 166–170 showed that value = 0.055 or more than  (0.05) which means there is no association between tuberculosis complications and a history of drug breakups. discussion complications of tuberculosis in tuberculosis sufferers based on table 1 most respondents experienced advanced complications of tuberculosis as many as 16 respondents (53.3%) suffer from advanced complications. meanwhile, 14 respondents experienced early complications (46.7%). early complications are complications that only spread to the pulmonary concomitants such as pleural effusion, pneumonia, dyspnea, hematite. complications of tuberculosis caused by the reactivation of old tuberculosis scars can occur if a patient has an immune disorder (ward, j., leach, 2010). potential complications caused by malnutrition. this may be a consequence of the patient’s lifestyle, lack of knowlcharacteristic criterion f % complications early 14 46,7 advanced 16 53,3 history of drug intensive 12 40,0 breakups advanced 18 60,0 total 30 100 table 2. characteristics of pulmonary tuberculosis complications and history of drug breakup years 13 respondents or 43.3% most of the respondents worked as private employees as many as 14 respondents (46.7%). special data based on table 2. it is known that most of the respondents experienced advanced complications of tuberculosis as many as 16 respondents (53.3%), while respondents who experienced early complications were as many as 14 respondents (46.7%). history of drug breakup at the intensive stage 12 respondents (40%) and an advanced stage 18 respondents (60%). based on table 3, it is known that respondents who have a history of breaking up intensive drugs with early complications and advanced complications 6 respondents (50%), while respondents who have a history of advanced drug breakups are mostly with advanced complications as many as 10 respondents (55.6%). spearman rho test results table 3. cross tabulation complications of tuberculosis and history of drug breakup complication tbc history of drug breakups early advanced total f % f % f % intensive 6 50,0 6 50,0 12 100 advanced 8 44,4 10 55,6 18 100 total 14 94,4 16 95,6 30 100 pvalue = 0,055 edge about adequate nutrition and its role in health care (dinkes, 2017). factors that can affect complications are the work, age, and education of the sufferer. following the results of this study that the work of respondents are mostly private employees 14 respondents (46.7%), complications caused by heavy work so one of the causes is due to factors of their work activities that are widely exposed to tb. in addition, the work is prone to fatigue. and physical fatigue factors can cause immunity decreases and easily contracted other infections that can cause advanced complications such as pulmonary tb with dm concomitant diseases (junaidi, sori, 2016). dm sufferers experience some immunological decline, and pulmonary physiological disorders in the cleaning process so that tb bacteria can spread easily. any age that can affect complications is the age of the sufferer who is susceptible to the influx of infection. in this study, most of the respondents entered vulnerable adulthood, namely 50-55 years old as many as 13 respondents (43.3%) and male 17 respondents (56.7%). the 169wahyuni, octavia, erlina, the analysis of complications of tuberculosis sufferers due to history of ... male group is most likely to spread tb infection. another possibility is because of the male smoking behavior, physical activity of his work, and often ignore the treatment so that many whose treatments have not been completed but have stopped. the onset of infection that enters the lungs is also a factor in the occurrence of complications causing pulmonary ca, airway obstruction. according to the researchers based on that most respondents experienced advanced complications of tuberculosis as many as 16 respondents (53.3%) suffer from advanced complications such as pulmonary cord, pneumothorax, and cap, hyperglycemia, dm. meanwhile, 14 respondents experienced early complications (46.7%). early complications are complications that only spread to the pulmonary concomitants such as pleural effusion, pneumonia, dyspnea, hematite. so that the complications of advanced tuberculosis are complications that have spread to other organs. the spread of the disease is due to widespread germ infections, most of the respondents were 17 (56.7%) males the majority are about 50-55 years old. this age is included in adults who are susceptible to tb infection. susceptibility to tb germs and other infections due to decreased immunity of the body at a vulnerable age can also cause physiological disorders. by causing tb+dm. in addition, the work of the respondents was mostly private employees 14 respondents (46.7%), complications caused by heavy work so one of the causes is due to factors of their work activities that are widely exposed to tb. therefore the effect of an unhealthy work environment because it works in the factory, or it can also be from less maintaining stamina of the body so that the body’s immune system decreases and facilitates tb germ infection spread more widely such as the occurrence of pulmonary ca, dyspnea, anemia and so on. history of oat drug breakup in tuberculosis patients based on table 2 shows that most have a history of drug breakups at an advanced stage as many as 18 respondents (60%). the advanced stage is the oat treatment stage that lasts 3-6 months. while 12 respondents (40%) others said they had experienced oat treatment at the intensive stage, namely at the beginning of treatment until a period of 2 months. drug breakup is a sufferer who does not take the drug 2 months in a row or more before the treatment period is completed (kemenkes, 2011). factors that can affect the history of drug breakup in people with tuberculosis are gender, education, occupation, and age. in this study, most of the male gender was 17 respondents (56.7%). the male group was the group with the most lung tb in the study. it is also similar to study (2012) that the comparison of male sex with women suffering from tb by 3:2. education for people with tuberculosis in elementary school is as many as 14 respondents (46.7%). education is a factor that affects a person in seeking treatment. the lower the education the lower the information obtained about tuberculosis treatment. the employment status of the respondents was the majority of private employees who were busy working as employees, traders, factory workers industry. according to this researcher showed that 30 respondents who had a history of drug breakup at an advanced stage as many as 18 respondents (60%). the advanced stage is the oat treatment stage that lasts 3-6 months. while 12 respondents (40%) others said they had experienced oat treatment at the intensive stage, namely at the beginning of treatment until a period of 2 months. drug breakups are caused by many factors including gender, age, occupation, and education. most of the respondents were 17 (56.7%) male the majority are about 50-55 years old. this age is in adulthood vulnerable to tb infection. respondent jobs most of the private employees were 14 respondents (46.7%). the respondents’ work that affects is education. education of the majority of primary school respondents (sd) 14 respondents (46.7%). the higher the education the more information or knowledge obtained by sufferers about tuberculosis tr ea tment a nd vice ver sa the lower the respondent’s education, the less knowledge about tb treatment information. treatment has not been completed for 6 months. heavy work will also interfere with the treatment process. the correlation of history of drug breakup and complications of tuberculosis respondents who had a history of breaking up intensive drugs with early complications and advanced complications 6 respondents (50%), while respondents who had a history of breaking up advanced drugs mostly with advanced complications as many as 10 respondents (55.6%). spearman rho test results showed that value = 0.055 or more than  (0.05), so h0 was accepted which means there is no link between a history of drug breakups 170 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 166–170 and tuberculosis complications.complications that will occur bronchiectasis and pulmonary cavitation with secondary fungal infections (myeloma). cranial nervus lesions and obstruction of the renal tract can occur due to the formation of scarring accompanied by healing after tb (ward, j., leach, 2010). according to the researchers, respondents who had a history of breaking up intensive drugs with early complications and advanced complications were 6 respondents (50%), while respondents who had a history of breaking up advanced drugs partially with advanced complications had as many as 10 respondents (55.6%). in this study, most of the male gender was 17 respondents (56.7%). the group of men was the group most suffering from pulmonary tb this study in this study most of the education of elementary school tuberculosis sufferers was as many as 14 respondents (46.7%). education is a factor that affects a person in seeking treatment. employment status of the majority of private employees 14 (46.7%) who are busy working as employees. the spread of infection in pulmonary tb was affected by the spread of germs that spread throughout the body, to the lungs, and even to another organ. conclusion based on the results of the study, it could be concluded that there was no correlation between tuberculosis complications and the history of drug breakups occur not only because of the drug breakup factor but could be due to the spread of increasingly widespread germ infections, the age of respondents, education, work, and also the knowledge of tuberculosis sufferers who lack awareness of maintaining health, doing check-up handling tuberculosis so that sufferers experience many complications. suggestion for health institutions continue to improve the quality of health services, especially regarding the supervision of taking medication (pmo) in patients with pulmonary tuberculosis. by still reminding tb patients about the routine schedule of oat drugs in accordance with the recommendations and monitoring the progress of the recovery of pulmonary tb patients and increasing intensive pulmonary tb care because pulmonary tb is a contagious disease, and always paying attention to the condition of the hospital environment as well as to the transmission and spread of comorbidities other. for family hope for the family of the patient is expected to provide strong family support for tuberculosis sufferers by reminding when taking medicine, delivering check-ups to health services, and reminding controls in health services for respondents maintain the condition of the immune system to avoid various diseases or infections that attack by maintaining a healthy diet by eating lots of vegetables and fruit, getting enough rest, eating nutritious food, being active in sports and avoiding cigarettes and alcohol. to increase the patient’s knowledge, it is better to do health counseling. refferences amin, h. (2015). aplikasi asuhan keperawatan berdiagnosa medis & nanda nic-noc. yogyakarta: graha ilmu. dinkes. (2017). profil kesehatan kabupaten mojokerto 2017. dinas kesehatan kabupaten mojokerto: 155. indah, m. (2018). infodatin pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri, (issn 2442-7659), 1–8. junaidi, sori, & h. (2016). karakteristik penderita tb paru kategori 2 rawat jalan di balai pengobatan penyakit paru-paru (bp4) lubuk alung sumetra barat tahun 2015-juni 2016, (departemen epidemiologi fkm usu), 1–10. kemenkes. (2011). keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 364 menkes sk 2009. jakarta: menteri kesehatan. khamidah. (2016). faktor-faktor yang berhubungan dengan putus berobat pada penderita tb paru bta positif di wilayah kerja puskesmas harapan raya. jurnal kesehatan komunitas, vol.03 no., 88–92. kimberly. (2011). kapita selekta penyakit dengan implikasi keperawatan. jakarta: egc. octavianus, suhartono, & k. (2015). analisis faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian droup out penderita tb paru di puskesmas kota sorong. jurnal manajemen kesehatan indonesia, 228–234. riskesdas. (2018). hasil utama riskesdas kementrian kesehatan badan penelitian dan pengembangan kesehatan. kementerian kesehatan republik indonesia 2018. ward, j., leach, & w. (2010). at a glance. jakarta: egc. who. (2019). global tuberkulosis report. geneva: who. 404 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 404–409 the anxiety of pregnant women in post abortion by reading ayatus syifa and lavender aromatherapy inna sholicha fitriani1, nurhidayati2 1,2faculty of health science, university of muhammadiyah ponorogo, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 02/09/2020 accepted, 11/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: anxiety, reading ayatus syifa,, lavender aromatherapy article information abstract pregnancy and abortion can be a stressor that can increase anxiety. the qur’an is just as a doubt antidote and diseases that are in the chest and it is commonly known as the heart. the lavender one of essential oil which popular and it is widely used in the field of clinical health which especially addressing psychosomatic in gynecology. the purpose of this research was to determine the potential decrease of anxiety on pregnant women in postabortion by reading verses syifa and lavender aromatherapy. the research used experimental design of pre and post test-group with a sample of all pregnant women who had abortion. the total sample was 24 people. the research was conducted in aisyiyah hospital and muhammadiyah hospital of ponorogo in juny august 2018. the data analysis used t and wilcoxon test. the result of data analysis were 0,003 <0,05 and there was comparison between potential decrease of anxiety in pregnant women post abortion by reading verses syifa and giving aromatherapy of lavender. the comparison showed that the potency of decreasing of anxiety in pregnant woman post abortion by reading ayatus syifa and giving aromatherapy of lavender, 38% decreased anxiety level in pregnant woman post abortion because of lavender therapy and 62% was due to other factor. then 89%decreased in anxiety level in pregnant woman post abortion because of reading ayatus syifa and 11% due to other factor. research products can be used as media in the treatment of non pharmacological psikomatic in order to support quality of public health. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: university of muhammadiyah ponorogo – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: innasholicha@umpo.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p404–409 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 404 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p404-409&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p404-409 405fitriani, nurhidayati, the anxiety of pregnant women in post abortion by ... introduction abor tion is a case tha t often occur s in pregnancy, where the termination of pregnancy by certain causes at or before 22 weeks of pregnancy when the fetus is not able to live outside the uterus. abortion cases that occur are divided into two types, namely spontaneous abortion and artificial abortion, and all types of abortion that occur in women have a physical or psychological impact on women who experience(amalia & sayono, 2015). according to who, abortion is a reproductive health problem that needs attention and is a cause of increasing mortality and a source of pressure in women. in the world there are 208 million pregnancies with 41 million experiencing cases of abortion, in developing countries 90% of abortions that occur are 11-13% contributing to an increase in maternal and child mortality.(purwaningrum.ed, 2017). based on e toffol research data, from 742 respondents, 43.4% of women experienced an abortion, of whom 81% had a greater risk of experiencing mental disorders, with 34% of women experiencing abortion, 20.01% experiencing miscarriage and having an impact on anxiety disorder s, 16, 01% have psychiatric disorders, and 75% abstain from alcohol(toffol et al., 2016). pregnancy and abortion can be stressors that can increase anxiety. anxiety is tension, insecurity, and worry that arises because something unpleasant is felt but the source is largely unknown and manifestations of anxiety can result in somatic and psychological changes, being anxious at some level can be considered part of the normal response to overcome the problem daily. however, if this anxiety is excessive and not proportional to the situation will turn into obstacles, and known as obstacles to clinica l pr oblems(fidianty i, 2010) . t he occurrence of abortion during pregnancy is one of the causes of pressure that can increase anxiety in the mother. feelings of loss and social burden due to fetal death have an impact on women who experience more isolation and have an impact on anxiety. the experience of abortion carries the risk of arising dominant emotions to face the next pregnancy. cases of anxiety and emotional distress to some degree can be considered part of a normal response to solving the problem. however, if this anxiety will be unnatural and can be an obstacle because it will become a clinical obstacle (nia ariestha a, 2017). emotional and psychological effects after abortion often occur, women who experience it will come several psychological phases where the most common are anger, feelings of guilt and shame, loss of confidence (nia ariestha a, 2017). women who experience abortion will usually experience sadness, guilt, high anxiety, depression(major b, appelbaum m, beckman l, dutton m, russo n, 2009). in our country, people have assumed that islamic medicine is one alternative used to cure physical and mental illness. alquran is a miracle from allah swt revealed to the prophet muhammad pbuh as a guide for all human beings. lavender is one of the popular essential oils and is widely used in the field of clinical health, especially overcoming psychosomatic problems in gynecology. chu & kemper (2001) explain that one of the clinical benefits of lavender in neuropsychiatry is as a sedative, anticonvulsant, anxiolytic agent, and analgesic. la vender ar omathera py has a psychological therapeutic effect from the aroma inhaled through inhalation of volatile components. the efficacy of lavender aromatherapy has activity through the limbic system, especially in the amygdala and hippocampus. although the cellular mechanism is not yet known with certainty, lavender has properties similar to benzodiazepines and increases the effects of gamma-aminobutyric acid in the amygdala (sh, 2012). in our country the people have considered that islamic medicine is one of the alternatives used to cure physical and mental illnesses. the qur’an is a miracle from allah swt that was revealed to the prophet muha mmad saw as a guide for all mankind. a verse of the qur ’ran that is read repeatedly will have an impact on peace in the heart and mind(mar’ati & chaer, 2017). aromatherapy from lavender is one of the essential oils that can be used as therapy and is very well known and popular in all circles and is commonly used to treat psychomatic problems in gynecology. anxiety disorders are some of the most common psychiatric disorders, with potentially debilitating consequences for an individual’s functioning. ba sed on seconda r y da ta , in 2017, the incidences of abortion in muhammadiyah health charities were 25 cases. according to gunawan & sumadino (2007), the inability to plan and develop goals is one of the situations that can cause stress. stress occurs when the welfare and integrity of a person in one’s life is threatened. abortion is a 406 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 404–409 psychosocial stressor (an event that causes changes in life) that can cause stress in life, is one of the causes of stress. in general, women who experience post-abortion psychiatric disorders show symptoms of post abortion syndrome such as feelings of guilt, low self-esteem, hopelessness, anxiety, insomnia, dreams about their babies, like daydreaming. (ratnaniingtyas, nani d, 2010). existing pharmacotherapy for anxiety disorders is limited by delayed therapeutic effects, dependence, tolerance, and potential for abuse. therefore, complementary or alternative therapies are safe and have been proven from various studies. lanvender oil is a lipophilic and concentrated plant extract that exhibits many medicinal properties, lavender essential oil has anxiolytic benefits which have recently been supported by clinical studies.(malcolm & tallian, 2017a). the purpose of this study was to determine the difference in the potential for reducing anxiety in pregnant women after abortion by reading ayatus syifa and giving lavender aromatherapy. methods this research was experimental research. it used pre and post test-group design. the research was conducted in muhammadiyah hospital and aisyiyah hospital in ponorogo. based on secondary data, in 2017, muhammadiyah health charities had an average of 25 cases. based on this data, the researchers used muhammadiyah hospital & aisyiyah hospital as study sites. the research was conducted from june august 2018. for population, the study took all pregnant women who experienced abortion. then, for samples of this study were all pregnant women who experienced abortions at muhammdiyah hospital and aisyiyah hospital. according to sugiyono (2013), the number of samples for experimental research is between 1020 elements. the population number in this study cannot be determined in the pre-study period so it used an incidental sampling method where when the study took place if there were pregnant women with abortion then she was directly used as a respondent. this research was to measure the comparison of the level of anxiety reduction in after abortion pregnant women by recitation ayatus the syifa verse and the lavender aromatherapy. the research procedure was 1 group (12 samples) read ayatus syifa and 1 group (12 samples) was given lavender aromatherapy. before being given the treatment, the respondent’s level of anxiety was measured, then given therapy based on the therapy group for 2 weeks provided by researchers who have a mam spa training certificate and are accompanied by spa therapists who have worked in the spa for more than 3 years. the treatment group for reading the syifa verses was given the sifa verse & mp3 the ayatus syifa and modules (to make it easier for respondents to read), while the lavender aromatherapy treatment group was given diffuser water & lavender oil. the research used the hars questionnaire instrument to measure variable levels of anxiety uses. results data were analyzed using the wilcoxon test (á = 5%). before the t-test was done, the results of the distribution were tested using shapiro-wilk, all statistical tests used using spss software version 16. result 1. respondents characteristics characteristics of the respondents can be seen in the following table: n minimum maximum sum mean sd age 24 19 36 624.00 26 5.77099 abortion history 24 0 1 4.00 0.1667 0.38069 anc history 24 0 1 21.00 0.8750 0.33783 table 1 respondent characteristics by age, history of abortion, history of anc based on the above table it can be explained that the distribution of respondents based on age, the average age is 26 years, the minimum age is 19 yea r s a nd the ma ximum a ge is 36 yea r s. respondents who had a history of abortion were 4 respondents, while respondents who did anc examination were 21 respondents, and those who did not do anc were 3 respondents. 407fitriani, nurhidayati, the anxiety of pregnant women in post abortion by ... t his r esea r ch wa s used to measur e the comparison of the level of anxiety reduction in after abortion pregnant women by recitation yatus the syifa verse and the lavender aromatherapy. from the analysis of the above data mean values before and after therapy of ayatus syifa recitation was higher, at 1.083 compared than before and after therapy of lavender aromatherapy, at 0.83. from the analysis of the data, it was known that 0.033 <0.05 and 0.00 <0.05 then it was revealed that there was a comparison between the reduction of anxiety in pregnant women after abortion based on recita tion of aya tus syifa with la vender aromatherapy, then if r (correlation) is squared it showed the contribution of lavender therapy and ayatus syifa therapy to change in the decrease in maternal anxiety levels after abortion. the value of 0.617² was 0. 380 equal to 38% decrease in anxiety levels in post-abortion mothers due to lavender therapy and 62% due to other factors. then the value of 0.944² was 0.89 equal to 89% decrease in anxiety levels in post-abortion mothers due to the recitation of ayatus syifa and 11% due to other factor. discussion the results of the research data showed that there was a significant difference in reducing anxiety in post-abortion pregnant women by reading ayat syifa with lavender aromatherapy. then the mean value before and after reading ayatus syifa was lower than before and after lavender aromatherapy treatment. the results of data analysis can be seen that there was a contribution from lavender therapy and ayatus syifa therapy to change in reducing maternal anxiety levels after abortion. then the value of 0.944² was 0.89 which was equal to 89% decrease in anxiety level in post-abortion pregnant women due to reading ayatus syifa therapy and 11% due to other factors. simultaneous verses of the qur’an can reduce anxiety levels. the majority of stimuli from reading the qur’an were dominated by delta waves. the stimulant of the qur’anic verse therapy, namely this ayatus syifa, can stimulate the activation of delta waves in the frontal and central areas on the right and left of the brain. one of the functions of this frontal part become the general intellectual center and source of emotional control, then the function of the brain area that can stimulate this delta wave become the control center of the movement carried out. therefore, giving stimulation through the reading of the syifa verse will provide comfort. and serenity. therapeutic ayatus of the qur’an had a positive effect, because what is heard will be conveyed to the brain to be perceived. then this therapy of the qur’an verses affected the quality of awareness of allah and had an impact on the attitude of submitting to allah swt(julianto v, 2011) in this condition, the brain waves were at a frequency of 7 14 hz, which was a brain state that had maximum energy and was able to reduce stress and anxiety. areas involved in the hearing process of reciting the qur’an include the primary auditory area (areas 41 and 42) and the auditory association area (area 22) located in the temporal lobe. research showed that listening to the sound of qur ’an recita tion (murattal) ca n incr ease calmness. this was evident from a significant increase in delta waves. qur ’an recitation areas that experienced a significant increase occurred in the area of fp1 (left prefrontal), fp2 (right prefrontal), and p4 (right parietal). in the fp1 and fp2 areas, increases were dominant by beta, alpha, and theta waves. in other hand, in p4, the dominant increase was experienced by beta, theta, and delta 2. the differences between reduction of anxiety in pregnant women post abortion on therapy of ayatus syifa recitation and lavender aromatherapy therapy paired differences mean std. d std. error mean 95% confidence interval t df sig. lower upper (2-tailed) pre-post lavender 0.83 0.71774 0.20719 0.37730 1.28936 4.022 11 .002 pre-post ayatus syifa 1.08 0.28868 0.08333 0.89992 1.26675 13.000 11 .000 table 2 statistical tests differences between reduction anxiety in pregnancy women post-abortionon therapy of ayatus syifa recitation and lavender aromatherapy therapy 408 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 404–409 waves. reciting the qur ’an showed there were activities of thinking, activities of thinking that involve emotions and there was an activity of god(julianto v, 2011). in the research, therapy was given on the therapy group for 2 weeks provided. the verses of the qur ’an that were read had a relaxing effect and can reduce anxiety if they were listened to at a 60-70 rhythm regularly. when someone reads a verse of the quran the hearing area is involved were the primary auditory area (area 41 and 42) and area 22 which is in the temporal lobe.(saleh et al., 2018). ba sed on r esea r ch fr om the fa culty of mathematics and sciences (faculty of mathematics and sciences, padjajaran university bandung, andri abdurrahman conducted a comparative research on the murotal verses of the qur’an with classical music for depression reduction therapy, and the quranic verses played by the murotal method have the best relaxing effect compared to listening to classical music. (arief, 2017). the value of 0.617² was 0. 380 which were equal to a 38% decreased in anxiety levels in postabortion pregnant women due to lavender therapy and 62% due to other factors. in this study, it was also strengthened from some of the results of previous studies, where in this study it resulted in a significant comparison of reading the verses of the qur’an, namely a collection of syifa verses with lavender aromatherapy therapy and it can be proven that the verses of the qur’an have the effect of reducing anxiety in post-abortion pregnant women. lavender oil had a pretty good sedative effect and can reduce motor activity by up to 78%, so it was often used for stress management. a few drops of lavender oil can help combat insomnia, improve one’s mood, and provide a relaxing effect. this was also reinforced by the results of a study where lavender aromatherapy was given to 72 haemodilysis patients who were divided into 2 experimental groups and a control group.(bagheri-nesami et al., 2017). lavender is analgesic; for headaches, muscle pain, is antibacterial, antifungal, anti-inflammatory, antiseptic, and sedative. so far there are no known contraindications and no irritation when used on the skin and also does not irritate the mucosa. that smelling lavender will increase the alpha waves in the brain and help to feel relaxed(malcolm & tallian, 2017b). a few drops of lavender oil can help overcome insomnia, improve one’s mood, and provide a relaxing effect. this opinion is also supported by sharma (2009) which stated that lavender was analgesic; for hea da ches, muscle a ches, a re a ntibacterial, antifunga l, a nti-inflamma tory, a ntiseptic, a nd seda tive. so fa r no known contraindications and no irritation if used on the skin and also do not irritate the mucosa. that smelt of lavender would increase alpha waves in the brain and helps to relax (bangun & nur’aeni, 2013) conclusion there was a difference in the potential for decreased anxiety in post-abortion pregnant women by reciting ayatus syifa and giving the aroma of lavender therapy, 38% decrease in anxiety levels in post-abortion pregnant women due to lavender therapy and 62% due to other factors. then an 89% decrease in anxiety levels was in post-abortion pregnant women due to reciting ayatus syifa and 11% due to other factors. recitation of ayatus syifa in the qur ’an had the best level of relaxation compared to other relaxation techniques. suggestion the suggestion that needs to be given is that the researcher needs to develop the results of the analysis by carrying out research in a wider area and the research products can be used as a medium in psychomatic non-pharmacological treatment to support the health status of the community. . refferences amalia, l. m., & sayono. (2015). risk factors incident abortion ( studies in islamic hospital sultan agung semarang ). j. kesehat. masy. indones., 10(1), 23– 29. arief, m. (2017). the sound of al-quran recitation has the best relaxation effect to reduce stress. bagheri-nesami, m., shorofi, s. a., nikkhah, a., & espahbodi, f. (2017). the effects of lavender essen ti al oi l ar om at h er apy on a n xi et y an d depression in haemodialysis patients. pharmaceutical and biomedical research, 3(1), 8–13. https://doi.org/10.18869/acadpub.pbr.3.1.8 bangun, a., & nur’aeni, s. (2013). effect of lavender aromatherapy on pain intensity in postoperative patients at dustira cimahi hospital. jurnal keperawatan soedirman (the soedirman journal of nursing), 8(2), 120–126. fidianty i, n. a. (2010). anxiety in pregnant women post abortion. media medika muda, januari-, 51–54. julianto v. (2011). the effect of reciting holy qur’an 409fitriani, nurhidayati, the anxiety of pregnant women in post abortion by ... toward short-term memory ability analysed trought the changing brain wave. jurnal psikologi, volume 38, 17–29. major b, appelbaum m, beckman l, dutton m, russo n, w. c. (2009). abortion and mental health. american psychologist, 64 no 9, 864–890. malcolm, b. j., & tallian, k. (2017a). essential oil of lavender in anxiety disorders: ready for prime time? mental health clinician, 7(4), 147–155. https:// doi.org/10.9740/mhc.2017.07.147 malcolm, b. j., & tallian, k. (2017b). essential oil of lavender in anxiety disorders: ready for prime time? mental health clinician, 7(4), 147–155. https:// doi.org/10.9740/mhc.2017.07.147 mar’ati, r., & chaer, m. t. (2017). the influence of reading and interpreting the verses of the qu’ran on students’ anxiety.psikohumaniora: journal psikologi, 1(1), 30. https://doi.org/10.21580/ pjpp.v1i1.966 nia ariestha a, m. (2017). anxiety coping strategies for pregnant women with a history of miscarriage, journal ilmiah psikologi terapan, 6(01), 5–9. purwaningrum.e.d, a. i. f. (2017). risk factors for spontaneous abortion. public health research a nd dev e l opme nt , 1(3), 84–94. ht t p: / / journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia ratnaniingtyas, nani d, k. g. (2010). explore the feelings of mothers who experience stress after abortion. the soedirman journal of nursing, 5(2), 105–114. saleh, m. c. i., agustina, d. m., hakim, l., afandi, m., chamalah, e., & wardani, o. p. (2018). murotal influence of the qur’ran on the anxiety of heart patients. kdt, 001(2), 148. https://doi.org/10.1007/ s00423-006-0143-4 sh, u. (2012). the effect of lavender essential oil compared to povidone-iodine on healing of episiotomy wounds of postpartum mother. tesis universitas gajahmada yogyakarta. toffol, e., pohjoranta, e., suhonen, s., hurskainen, r., partonen, t., mentula, m., & heikinheimo, o. (2016). anxiety and quality of life after first-trimester termination of pregnancy: a prospective study. acta obstetricia et gynecologica scandinavica, 95(10), 1171–1180. https://doi.org/10.1111/aogs.12959 e:\2021\ners agustus\10--jurnal 201fatmawati, pradana, the level of knowledge, motivation, and self efficacy of ... the level of knowledge, motivation, and self efficacy of post-stroke patients in lumajang atikah fatmawati1, fendik pradana2 1,2nursing department, sekolah tinggi ilmu kesehatan majapahit, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 04/05/2021 accepted, 07/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: knowledge, motivation, self-efficacy, post-stroke article information abstract post-stroke conditions can be stressful and unpredictable. knowledge, motivation, and self-efficacy are essential to the long-term care of post-stroke patients. this study aimed to analyze the correlation between the level of knowledge, motivation, and self-efficacy of post-stroke patients in lumajang. this study used a cross-sectional design. the population of this study was post-stroke patients in lumajang. the sampling technique used consecutive sampling with the number of samples obtained, namely 55 samples. the variables of this study were the level of knowledge, motivation, and selfefficacy. the data collection was carried out by using a questionnaire. the data analysis was performed by using the spearman rank test. the results showed a correlation between knowledge and motivation with self-efficacy in post-stroke patients, with p-values of 0.004 (r: 0.383) and 0.000 (r: 0.581). a person who had high knowledge and motivation would show positive results in managing his disease; for example, in the stroke concept, the patient will actively participate in the rehabilitation program, treatment program, and schedule visits to health care facilities. © 2021 journal of ners and midwifery 201 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: tinasari.levi@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p201–205 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p201-205 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p201-205&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 201–205 introduction stroke is a chronic disease that needs special attention. stroke can cause severe brain damage, resulting in obstruction of the patient’s mobility to carry out daily activities (irvan, nuraini and gayatri, 2021). according to who, stroke is defined as a focal clinical sign that develops rapidly (sometimes global) brain function disorders, which lasts more than 24 hours or results in death without any other cause than vascular (canavan et al., 2013). poststroke conditions can be stressful and unpredictable. after going through a critical period of stroke, it does not mean that there are no more problems that can arise. some of them are consistency in maintaining physical and psychological health status. in addition, it also requires the ability to regulate from within. this is necessary in order to maintain the continuity of the long-term treatment and rehabilitation process that will be undertaken. stroke is the leading cause of disability in the united states (robinson-smith & pizzi, 2003) and is the number 3 cause of death in the united states (price & wilson, 2006). two-thirds of strokes occur in developing countries. the world health organization (who) in 2012 stated that the death caused by stroke was 6.7 million people. the prevalence of stroke in indonesia increased from 8.3 thousandths in 2007 to 12.1 thousandths in 2013. riskesdas 2018 data shows that the prevalence of stroke in indonesia based on diagnosis by health workers is found to be 7.0 per mile and based on diagnosis by health professionals or symptoms of 12.1 per mile (riskesdas, 2018). self-efficacy can be  defined as  a  person’s belief in exercising control over himself which is manifested in particular actions and describes one’s stability in the face of new situations or stressful conditions (volz et al., 2016). patients who have undergone stroke treatment may begin to show depressive symptoms within a few months of the event as the stroke progresses to a long-term disease (sarkar et al., 2021). in one study, it was stated that three things are considered important in stroke patients, namely problems that may arise afterward, adaptive coping strategies, and effective adaptation responses to solve these problems (dharma & rahayu, 2021). self-efficacy is also closely related to the incidence of post-stroke depression. the incidence of depression will appear at six months after the stroke. the reason could be dissatisfaction with the recovery process and too high expectations (volz, möbus, letsch, & werheid, 2016). if this is not followed up, it will have an impact on the patient’s psychological condition. it is well known that psychological conditions also play a role and affect physical conditions. knowledge and awareness of symptoms, risk factors, and actions taken to reduce the risk of recurrent stroke events should concern post-stroke patients (faiz et al., 2019). this knowledge should be one of the interventions provided in health care facilities and be conveyed in terms that are easy for the patient to understand. with adequate knowledge about stroke, it is expected that post-stroke patient motivation and self-efficacy will also be at optimal levels. motivation is related to efforts to meet needs; the greater the need, the greater the motivation from within a person to do something (donsu, 2017). some previous studies have not identified the correlation between knowledge, motivation, and self-efficacy specifically. this study aims to analyze the correlation between the level of knowledge, motivation, and self-efficacy of poststroke patients in lumajang. method this study used a cross-sectional design. the population of this study was post-stroke patients in lumajang. inclusion criteria in this study were poststroke patients with stable condition and had a stroke for at least 6 months. the sampling technique used was consecutive sampling with the number of samples obtained, namely 55 samples. the variables of this study were the level of knowledge, motivation, and self-efficacy. data collection was carried out using a questionnaire. the knowledge questionnaire consists of 10 statement items that were compiled and modified from the research of reani zulfa (2012). the motivation questionnaire consists of 12 statement items that were compiled and modified from the research of dheanita rusti (2017). the self-efficacy questionnaire consists of 13 statement items from the stroke self-efficacy questionnaire (riazi, aspden and jones, 2014). data analysis was performed using the rank spearman test. result based on table 1, it is found that almost half of the respondents are 56-65 years old (49.1%), most of the respondents are male (58.2%), most of the 203fatmawati, pradana, the level of knowledge, motivation, and self efficacy of ... respondents have primary school education (52.7%), almost all respondents have suffered a stroke for more than one year (83.6%), most respondents had low knowledge (56.4%), most respondents had the moderate motivation (65.5%), and most respondents had moderate self-efficacy (63.6%). based on table 2, the results show a correlation between the level of knowledge and the selfefficacy of post-stroke patients (p-value: 0.004). the strength of the correlation between these two variables is low (r: 0.383). based on table 3, the results show a correlation between motivation and self-efficacy of post-stroke patients (p-value: 0.000). the strength of the correlation between these two variables is moderate (r: 0.581). discussion the results of the analysis of the characteristics of the respondents showed that almost half of the respondents in this study were 56-65 years old. age, as one of the distinct characteristics of people, is an essential variable in epidemiological studies because there are quite a lot of diseases found with various frequency variations caused by age (noor, 2008). in one study, it was stated that the percentage of the age group> 55 years suffered more strokes compared to the 40-55year age group (lestari, 2010). another study also states that stroke tends to occur in older adults (budi, bahar, & sasmita, 2020). the increase in stroke frequency with increasing age is related to the aging process, table 1. respondent characteristic no characteristic frequency percent (%) 1 age 26-35 12 21.8 36-45 6 10.9 46-55 8 14.5 56-65 27 49.1 > 65 2 3.6 2 gender male 32 58.2 female 23 41.8 3 education sd 29 52.7 smp 14 25.5 sma 5 9.1 college 7 12.7 4 duration of stroke <1 year 9 16.4 >1 years 46 83.6 5 knowledge low 31 56.4 high 24 43.6 6 motivation low 6 10.9 moderate 36 65.5 high 13 23.6 7 self-efficacy low 8 14.5 moderate 35 63.6 high 12 21.8 souce: primary data knowledge self-efficacy total low moderate high f % f % f % f % low 8 14.5 19 34.5 4 7.3 31 56.4 high 0 0 16 29.1 8 14.5 24 43.6 total 8 14.5 35 63.6 12 21.8 55 100 p 0.004 < 0.05 r: 0.383 table 2. correlation between knowledge level and self-efficacy in post-stroke patients in which all organs of the body decline in function, including the brain’s blood vessels. blood vessels become inelastic, especially the endothelial part, which experiences thickening at the intima, resulting in a narrower lumen of blood vessels and decreasing cerebral blood flow (kristiyawati, irawaty, & hariyati, 2009). analysis of the characteristics of respondents based on gender shows that most of the respondents are male. however, this is not one of the de204 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 201–205 termining factors that can cause a person to have a stroke. this is because stroke can be caused multifactorial, not only because of gender, including diabetes mellitus, hypercholesterolemia, smoking, alcohol, and heart disease. a person who has one or more risk factors is more likely to have a stroke than ordinary people at some point during his life if these risk factors are not controlled (bethesda stroke, 2012) analysis of the characteristics of respondents based on education level shows that most respondents have a basic level of education, namely sd. the level of education is one of the factors that can affect a person’s knowledge. in this study, there was a correlation between the level of education and knowledge of post-stroke patients (p-value: 0.001; r: 0.433). knowledge is information that someone knows or is aware of. knowledge is not limited to descriptions, hypotheses, concepts, theories, principles, and procedures, which are bayesian probability accurate or useful (taufik, 2010). one study stated that there was a correlation between education and knowledge about stroke (pasaribu, tedjasukmana and gu, 2018). education is needed to obtain information, for example, things that support knowledge to improve the quality of life (taufik, 2010). as a disease that requires long-term care, stroke patients must learn about the disease and the entire range of treatments they will undergo. this is to maintain the continuity of the patient care process. it has been explained that post-stroke patients need knowledge about stroke for the continuity of care; it requires health workers to provide explanations and knowledge about matters related to stroke in post-stroke patients. the education provided must use easy-for post-stroke patients to understand who come from the general public. as a disease with long-term treatment, stroke patients must have good self-efficacy. several things can affect self-efficacy, including knowledge and motivation. in one study, it was stated that there was a statistically significant correlation between knowledge and self-efficacy in the management of pediatric pain (stanley and pollard, 2013). another study states a significant correlation between knowledge and self-efficacy in family caregivers of mental disorders patients (pratama and widodo, 2017). the higher a person’s knowledge, the higher the selfefficacy. apart from knowledge, motivation also has something to do with self-efficacy. one study states a correlation between motivation and self-efficacy (ariani, sitorus and gayatri, 2012). a person who has high motivation will show positive results in managing his disease; for example, in the stroke concept, the patient will actively participate in the rehabilitation program, treatment program and schedule visits to health care facilities. the findings in this study are people with an age range of 56-65 years have moderate motivation with a significant amount. this shows that this age becomes a motivational barrier to be able to live optimally in post-stroke patients. efficacy is a belief and is accompanied by a trust-based ability to exercise control within its limits of function and over events (zakeri, rahmany, & labone, 2016). self-efficacy is a fundamental idea of social cognitive theory. self-efficacy is an individual’s belief in organizing and performing specific tasks needed to achieve expected results (bandura, 1997). by having good self-efficacy, poststroke patients can overcome things or problems that can affect their life. patients become aware of the coping ability to adapt, regulate life after stroke, and control feelings. therefore, it is essential to ensure that post-stroke patients have good knowlmotivation self-efficacy total low moderate high f % f % f % f % low 6 10.9 0 0 0 0 6 10.9 moderate 2 3.6 28 50.9 6 10.9 36 65.6 high 0 0 7 12.7 6 10.9 13 23.6 total 8 14.5 35 63.6 12 21.8 55 100 p 0.000 < 0.05 r: 0.581 table 3. correlation between motivation and self-efficacy in post-stroke patients 205fatmawati, pradana, the level of knowledge, motivation, and self efficacy of ... edge, motivation, and self-efficacy. it is associated with the long-term goal of post-stroke patient care, namely, improving the patient’s quality of life. conclusion the results showed that there was a correlation between knowledge and self-efficacy in poststroke patients. the higher the knowledge, the higher the self-efficacy. other results from this study indicate that there is a correlation between motivation and self-efficacy in post-stroke patients. a person who has high motivation will show positive results in managing his disease; for example, in the stroke concept, the patient will actively participate in the rehabilitation program, treatment program and schedule visits to health care facilities. suggestion post-stroke conditions can be stressful and unpredictable. therefore, the role of nurses must be increased in providing holistic nursing care for post-stroke patients. the general purpose of providing holistic nursing care to post-stroke patients is to help patients regain independence in daily activities. activities that can be carried out include providing health education with interesting and attractive media. the information provided may include concepts about stroke, treatment, and the required rehabilitation process. in addition, nurses also need to ensure that post-stroke patients still have a strong motivation to undergo a series of therapies. this is important to do to maintain the high selfefficacy of post-stroke patients. refference ariani, y., sitorus, r. and gayatri, d. (2012) ‘motivasi dan efikasi diri pasien diabetes melitus tipe 2 dalam asuhan keperawatan’, jurnal keperawatan indonesia, 15(1), pp. 29–38. doi: 10.7454/jki.v15i1.44. bandura, a. (1997). self-efficacy: the excercise of control. new york: w.h freeman and company. bethesda stroke (2012) pengetahuan sekilas tentang str oke. ava i l abl e a t : h t t p: / / www.strokebethesda.com. budi, h., bahar, i., & sasmita, h. (2020). faktor risiko stroke pada usia produktif di rumah sakit stroke nasional (rssn) bukit tinggi. jurnal ppni, 129-140. dharma, k. k., & rahayu, h. (2021). the effective poststroke adaptation behavior model requires a family support system. enfermería clínica. donsu, j. d. (2017). psikologi keperawatan. yogyakarta: pustaka baru press. faiz, k. w. et al. (2019) ‘stroke-related knowledge and lifestyle behavior among stroke survivors’, journal of stroke and cerebrovascular diseases, 28(11), p. 104359. irvan, r. z., nuraini, t. and gayatri, d. (2021) ‘the link between self-efficacy and mobility performance in stroke patients.’, enfermeria clinica, 31 suppl 2, pp. s316–s320. doi: 10.1016/j.enfcli.2020.09.020. kristiyawati, s., irawaty, d., & hariyati, r. (2009). faktor risiko yang berhubungan de-ngan kejadian stroke di rs panti wilasa citarum semarang. jurnal keperawatan dan kebidanan (jikk), 1-7. lestari, n. (2010). pengaruh massage dengan minyak kelapa terhadap pencegahan dekubitus pada pasien stroke di rumah sakit pusat angkatan darat gatot subroto jakarta pusat. jakarta: universitas pembangunan nasional. noor, n. (2008). epidemiologi edisi revisi. jakarta: rineka citra. pasaribu, d. m. r., tedjasukmana, r. and gu, h. j. a. (2018) ‘fa kt or -fa ktor ya n g mem en ga ruh i pengetahuan masyarakat tentang stroke di rt 010 rw 03 kelurahan tanjung duren selatan jakarta barat’, jurnal kedokteran meditek. pratama, b. d. and widodo, a. (2017) ‘hubungan pengetahuan dengan efikasi diri pada caregiver keluarga pasien gangguan jiwa di rsjd dr. rm. soedja r wa di’. un iver si t as muh am m adi ya h surakarta. price, s., & wilson, l. (2006). patofisiologi : konsep klinis proses proses penyakit. jakarta: penerbit buku kedokteran : egc. riazi, a., aspden, t. and jones, f. (2014) ‘stroke selfefficacy questionnaire: a rasch-refined measure of confidence post stroke’, journal of rehabilitation medicine, 46(5), pp. 406–412. robinson-smith, g., & pizzi, e. r. (2003). maximizing stroke recovery using patient self-care self-efficacy. rehabilitation nursing, 48-51. sarkar, a. et al. (2021) ‘post-stroke depression: chaos to exposition’, brain research bulletin, 168, pp. 74– 88. stanley, m. and pollard, d. (2013) ‘relationship between knowledge, attitudes, and self-efficacy of nurses in the management of pediatric pain.’, pediatric nursing, 39(4). taufik, m. (2010). asal-usul pengetahuan dan hakekat pengetahuan. bogor: institut pertanian bogor. volz, m. et al. (2016) ‘the influence of early depressive symptoms, social support and decreasing selfefficacy on depression 6 months post-stroke’, journal of affective disorders, 206, pp. 252–255. zakeri, a., rahmany, r., & labone, e. (2016). teachers’ selfand collective efficacy: the case of novice english language teachers. journal of language teaching and research. e:\2021\ners agustus\12--jurnal 211wahyuningsih, andera, andika, the effect of left lateral position and squatting position on ... the effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd. keb, sampung subdistrict, ponorogo district diyan wahyuningsih1, neta ayu andera2, nisa aprilia andika3 1,2,3nursing department, stikes ganesha husada kediri, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 04/06/2021 accepted, 21/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: labour position, first stage of labor, primigravida article information abstract primigravida women mostly experience prolonged progress of labor due to the stiff birth canal. there are several positions of labor that may accelerate cervix dilatation process including squatting. this study aimed to determine the effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women. this was a pre-experimental study with pre test post test approach. the population was all primigravida women in labor at private practive midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district, taken with an accidental sampling technique which obtained 9 respondents. the independent variable was labour position, while the dependent variable was duration of the active phase of the first stage of labor. the data collection instrument used here was observation sheet. the results were analyzed using paired sample t-test (=0,05). the results showed that before the application of left lateral and squatting positions in vt 1, all 9 respondents (100%) had normal labour progress and after the application of left lateral and squatting positions in vt 2, most respondents (77.8%) had labour progress in short category. the analysis obtained a p-value=0.000 <=0.05. thus, there was an effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women. the combination of squatting and left lateral positions during labour seems to accelerate the progress of the active phase of the first stage of labor with minimal side effects. © 2021 journal of ners and midwifery 211 correspondence address: stikes ganesha husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: wahyuningsihdiyana@gmail.com, netha.andera18@gmail.com, e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p211–216 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) nisaaprilia437@gmail.com https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p211-216&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 212 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 211–216 introdcution the labor process is divided into four stages, at each stage a standard management has been established which aims to overcome complications and reduce the increase in the rates of maternal and infant mortality. however but in reality, one stage of the labor processes. one of which is the first stage of labor, there are still frequent various problems that contribute to the high rate of maternal mortality due to prolonged labor (bahiyatun, 2011) prolonged first stage labor is a labor in which the latent phase lasts more than 8 hours and with an inadequate cervix dilation rate in the active phase. the whole process of the first stage of labor in primigravida lasts about 13 hours(jnpk, 2014). the management of prolonged first stage of labor includes continuing woman-friendly care for woman in labor through a recommendation that a woman should be accompanied by her family and to help the woman to have a comfortable position of labor (rukiyah, 2014) maternal mortality rate (mmr) is an important indicator in determining the degree of public health. based on who data (2017), in indonesia, there are four women in a day who die due to childbirth, or in other words there is one woman in indonesia who dies every six hours. data derived from the asean millennium development goa ls (mdgs) in 2017 showed that the maternal mortality rate in indonesia in 2017 was 305/100,000 live births. this number is three times higher than indonesia’s mdgs target of 102/100,000 live births. the biggest contributor to mmr in indonesia is bleeding (30.3%), hypertension (27.1%), infection (7.3%), prolonged labor (1.8%), abortion (1.6%) and other causes (40.8%). other causes referred to are indirect causes of maternal death such as cancer, kidney disease, heart disease, tuberculosis or other diseases suffered by women ((jnpk, 2014)). labor and delivery can not only be done in supine position, wherein the medical community is familiar with calling it the lithotomy position, but also in various other positions. each position has its advantages or disadvantages, and there is no single good or bad position. in other words, there is no perfect birth position (sumarah, 2013) the left lateral position of labor can be done if the mother is tired, because she can rest easily between two contractions. lateral position can reduce the pressure on the inverior vena cava, thus reducing the possibility of fetal hypoxia because oxygen supply is not interrupted. furthermore, it can provide a relaxed atmosphere for tired women, and can prevent the birth canal laceration (“health profile of east java provice in,” 2018). in addition to the oblique position, there is a squatting position. the advantage of this position is that it makes it easier to give birth to the baby’s head. this position is very useful in helping to lower the lowest part of the fetus when labor runs slow (jnpk, 2014) efforts that can be applied by midwives to prevent the occurrence of prolonged labor which is accompanied with the risk of various complications of labor is to inform the mother that she can choose the most comfortable position of labor(arikunto s, 2014). however, midwives must also pay attention to the level of progress in the first stage of labor that occurs so that if a change in the position of labor is needed, it must be immediately notified to the woman. midwives should provide a comfortable atmosphere and not show hasty expressions, while providing pleasant assurance and other compliments (sumarah, 2013) methods research design is a research strategy in identifying problems before the final planning of data collection and identification of the structure in which the research is conducted (nursalam, 2016). the type of experimental research applied for this study was pre experimental, which was a quasi-research design to find a cause-effect relationship with the involvement of research in manipulating the independent variables. the approach used here was presubject pre-test treatment post-test s o i oi dilation dilation table 1. study design scheme information s : subject (women in the active phase of the first stage of labor) o : progress of labor before the application of left lateral and squat positions i : intervention (left lateral position and squatting position) oi : progress of labor after the application of left lateral and squat positions 213wahyuningsih, andera, andika, the effect of left lateral position and squatting position on ... post test in one group (one-group pre-post test), namely research that reveals a causal relationship by involving one group of subjects. this study was conducted at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district. in the early stage the researcher coordinated with the owner of the private practice midwife regarding permission for conducting the study process. then the researcher together with the midwife collected data on primigravida women. population is the entire object of research or objects to be studied (notoadmodjo s, 2015)the population in this study was all primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district. sample is the part of population selected with certain sampling technique to be able to meet the requirement or represent the population (nursalam, 2016)the samples in this study were some primigr avida women at private pra ctice midwife istikoma h, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district during the study that was conducted in january 2020. to select the samples in this study, the researcher used an accidental sampling technique, namely taking cases or respondents who were available in a predetermined place in accordance with the research context (notoadmodjo s, 2015)the instrument is a tool used by the researcher at the time of research using a certain method(prawiroharjo, 2016). the instrument for collecting data on positions of labor used here was an observation sheet, along with a partograph for collecting data on the period of the first stage of labor. results this chapter presents an overview of the study site and the study results on the effect of the left lateral position and the squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district, which involved 14 respondents. general data 1) characteristics of respondents by age based on table 2, it is known that almost all respondents aged 20-35 years, as many as 8 respondents (88.9%). based on table 3, it was known that most of respondents had senior high school education, as many as 7 respondents (77.8%). 3) characteristics of respondents by occupation no. age frequency percentage (%) 1 <20 years 1 11.1 2 20-35 years 8 88.9 3 >35 years 0 0.0 total 9 100.0 table 2. characteristics of respondents by age at private practice midwife istikomah, amd. keb., sampung subdistrict, ponorogo district januari 2020 2) characteristics of respondents by education no. education frequency percentage (%) 1 elementary school 0 0.0 2 jhs 2 22.2 3 shs 7 77.8 4 higher education 0 0.0 total 9 100.0 table 3. characteristics of respondents by education at private practice midwife istikomah, amd. keb., sampung subdistrict, ponorogo district januari 2020 no. occupation frequency percentage (%) 1 housewife 2 22.2 2 private 3 33.3 3 entrepreneur 4 44.4 4 civil servants 0 0.0 total 9 100.0 table 4. characteristics of respondents by occupation at private practice midwife istikomah, amd. keb., sampung subdistrict, ponorogo district januari 2020 based on table 4, it is known that almost half of respondents worked as entrepreneurs, as many as 4 respondents (44.4%). 214 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 211–216 2) progress of labor at vt 2 progress of labor during the active phase of the first stage of labor at vt 2 after the application of left lateral position and squatting position among primigravida women is presented in the following table. based on table 6, it is known that at vt 2 after the application of left lateral position and squatting position, most of respondents had progress of labor in the short category, as many as 7 respondents (77.8%). no. progress of frequency percentage (%) labor (vt 1) 1 short 0 0.0 2 normal 9 100.0 3 long 0 0.0 total 9 100.0 table 5. progress of labor during the active phase of the first stage of labor at vt 1 before intervention at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district januari 2020 specific data 1) progress of labor at vt 1 progress of labor during the active phase of the first stage of labor at vt 1 before the application of left lateral position and squatting position among primigravida women is presented in the following table. no. progress of frequency percentage (%) labor (vt 2) 1 short 7 77.8 2 normal 0 0.0 3 long 2 22.2 total 9 100.0 table 6. progress of labor during the active phase of the first stage of labor at vt 1 after intervention at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district januari 2020 progress of labor (vt 1) progress of labor (vt 2) total short normal long short frequency 0 0 0 0 % 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% normal frequency 7 0 2 9 % 77.8% 0.0% 22.2% 100.0% long frequency 0 0 0 0 % 0.0% 0.0% 0.0% 0.0% total frequency 7 0 2 9 % 77.8% 0.0% 22.2% 100.0% table 7. cross tabulation on the effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district based on table 5, it is known that before the application of left lateral position and squatting position, all 9 respondents (100.0%) had progress of labor in the normal category. data analysis 1) cross tabulation of the progress of labor 215wahyuningsih, andera, andika, the effect of left lateral position and squatting position on ... cross tabulation of the progress of the active phase of the first of labor at vt 1 and vt 2 among primigravida women at private practice midwife istikoma h, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district is presented in the following table: based on table 7 above, it is known that most of respondents or as many as 7 respondents (77.8%) who initially had the progress of the first stage of labor in the normal category at vt 1, then at vt 2 or after the application of left lateral position and squatting position, it was found that they had progress of labor in the short category. the results of the paired sample t-test analysis obtained a p-value=0.000 <=0.05, so h0 was rejected and h1 was accepted, which indicated that there was an effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district. the mean progress of labor that occurred was 1.37 cm in of the range the lower limit of -1.62 cm and the upper limit of -1.11 cm. discussion cervix dilation and period before the application of left lateral position and squatting position during the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district based on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women described in table 5, it was known that at vt 1 or before the application of left lateral position and squatting position, all respondents or as many as 9 respondents (100.0%) had a normal progress of labor. the first stage of labor (the cervix dilation stage) is characterized by the cervix efficement and dilation starting from regular uterine contractions to complete dilation, and during this period, the woman experiences intermittent pain. the results showed that at vt 1 before the application of left lateral position and squatting position, most of the respondents had normal progress of labor. normal category of the progress of labor was due to all women had the same parity, namely primigravida. primigravida women generally do not have previous experience of labor and delivery, so that they often have cervical stiffness which may cause prolonged active phase of labor which theoretically generally lasts 8 hours(kemenkes, 2014). cervix dilation occurs very slowly until it reaches 3 cm in diameter. cervix dilation and period after the application of left lateral position and squatting position during the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikoma h, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district based on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district as presented in table 6, it was known that at vt 2 or after the application of left lateral position and squatting position, most of the respondents or as many as 7 respondents (77.8%) had progress in the short category(machmudah, 2010). effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district the results of the paired sample t-test analysis obtained a p-value=0.000 <=0.05, so h0 was rejected and h1 was accepted, which indicated that there was an effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., mean mean diference 95% c.i. t p-value lower upper progress of labor at vt 1 0.50 1.37 -1.62 -1.11 -12.362 0.000 progress of labor at vt 2 1.87 table 8. cross tabulation on the effect of left lateral position and squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district januari 2020 216 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 211–216 sampung subdistrict, ponorogo district. as presented in table 8, the mean progress of labor that occurred was 1.37 cm in of the range the lower limit of -1.62 cm and the upper limit of -1.11 cm. the results of the cross tabulation showed that 8 respondents (57.1%) who initially had a duration of the first stage of labor in the long category, then after the appliaction of left lateral and squatting positions, they had a duration of the first stage of labor in the normal category(bahiyatun, 2011). conclusions based on the results of the study on the effect of the left lateral position and the squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida at private practice midwife istikomah, amd.keb. sampung subdistrict, ponorogo district, the authors has formulated several conclusions as follows: characteristic of respondents by age revealed that most of them aged 20-35 years, as many as 8 respondents (88.9%), characteristic of respondents by education revealed that most them had high school education as many as 7 respondents (77.8%), characteristic of respondents by occupation revealed that some respondents were self-employed as many as 4 respondents (44.4%), as many as 9 respondents (100%) performed left lateral position during labor. based on the results of the study it can be seen that most respondents had progress in the short category, as many as 7 respondents (77.8%). there has been evidenced an effect of the left lateral position and the squatting position on the progress of the active phase of the first stage of labor among primigravida women at private practice midwife istikomah, amd.keb., sampung subdistrict, ponorogo district (p-value=0.000 <=0.05) (95% c.i.=1.37 (-1.62-1.11)). sugegstions for the respondents it is expected that women in labor can choose the most comfortable position for labor with a combination of left lateral and squatting positions in subsequent labor which have been evidenced to be the most effective way in accelerating the progress of the active phase of the first stage of labor. for the study site it is expected that the study findings can be an input for midwives to further improve their services in the form of determining or directing the left lateral and squatting positions in childbirth care. however, they must still pay attention to the condition of the woman in labor and the baby(bobak, 2014). for the education institutions it is expected that the study findings can improve learning for students in order to prevent prolonged first stage of labor to be implemented in the community. for further researchers it is expected that the study findings can be used as information or reference material for future researchers to determine the effect of other positions of labor on the acceleration of the progress of the active phase of the first stge of labor, such as the effectiveness of standing position and hands and knees position. references arikunto s. (2014). prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik the 6 revision edition. in pt rineka cipta (ed.). jakarta. bahiyatun. (2011). buku ajar kebidanan asuhan nifas normal. in egc (ed.). jakarta. bobak. (2014). buku ajar keperawatan maternitas. in egc (ed.). jakarta. health profile of east java provice in. (2018). surabaya: ministry of health. jnpk. (2014). asuhan persalinan normal/ : jaringan nasional pelatihan klinikkesehatan reproduksi. kemenkes. (2014). asuhan persalinan normal. in jnpk (ed.). jakarta. machmudah. (2010). pengaruh persalinan dengan komplikasi kemungkinan terjadinya post partum blues. fakultas kedoketran, 2, 2–5. notoadmodjo s. (2015). promosi kesehatan dan ilmu perilaku. in rineka cipta (ed.). jakarta. nursal am . (2016). metodologi pen el it ia n il mu keperawatan. in salemba medika (ed.). jakarta. prawiroharjo, s. (2016). ilmu kebidanan. in pt bina pustaka sarwono (ed.). jakarta. rukiyah. (2014). diktat kuliah asuhan kebidanan. in c. t. informedia (ed.). jakarta. sumarah. (2013). perawatan ibu bersalin. in fitramaya (ed.). yogyakarta. e:\2021\ners april 2021\6-jurna 38 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 38–42 the effectiveness of rosella flowers to the changes of hemoglobin levels of third trimester pregnant women in the area of the ratuagung community health center in 2020 jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 26/06/2020 accepted, 12/11/2020 published, 05/04/2021 keywords: rosella extract, hemoglobin level, pregnant mother, fe tablet article information abstract anemia during pregnancy is one of the most common disorders in pregnant women in indonesia. the government has made efforts to overcome this problem, however, the rate of anemic mothers remains high. rosella (hibiscus sabdariffa) is considered able to increase the hemoglobin levels in pregnant mothers. to analyze the effect of rosella flower on the increase of hemoglobin level in pregnant women receiving fe tablet. this study was a quasy experiment with pretest-posttest control group design conducted in january 2020 in the working area of ratu agung community health center. thirty-two participants were selected using accidental sampling, which assigned in the experiment and control group. all samples were pregnant women in the third trimester and receiving iron tablets. independent t-test and paired t-test were used for data analysis. the paired t-test obtained a p-value of 0.00 (<0.05), indicated that there was an increase of hemoglobin levels in both experiment and control group. the mean increase of hemoglobin levels in the control group was 0.59 gr and in the experiment group was 1.11. the hemoglobin levels in the experiment group were higher than the levels in the control group. the independent t-test obtained a p-value of 0.241 (> 0.05) indicating that there wasn’t a significant difference of mean of hemoglobin levels between the control group and the treatment group. the consumption of rosella combined with fe tablet showed a significant increase of hemoglobin levels compared of pregnant women. therefore, 38 correspondence address: bhakti kencana university bandung – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: antry_arianistikesbk@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p038–042 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) afrina mizawati1, rifi wulandari2 1,2 midwifery department, poltekkes kemenkes bengkulu, indonesia © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p038-042&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p038-042 39mizawati, wulandari, the effectiveness of rosella flowers to the changes of hemoglobin levels of ... introduction according to the world health organization (who) anemia is a nutritional problem that affects millions of people in developing countries and remains a major challenge for human health. the prevalence of anemia is estimated at 9 percent in developed countries, while in developing countries the prevalence is 43 percent. children and women of childbearing age (wus) are the groups most at risk, with an estimated prevalence of anemia in children under five at 47 percent, in pregnant women at 42 percent, and in non-pregnant women aged 15-49 years at 30 percent. who targets to reduce the prevalence of anemia in wus by 50 percent by 2025 (profile of nutritional consumption, wijayanti e, fitriani, 2019). based on the results of the basic health research (riskesdas) in 2018, the prevalence of anemia in pregnant women in indonesia is 48.9%, namely pregnant women with hb levels less than 11.0 grams / dl, with almost the same proportion in urban areas (36,4%) and rural areas (37.8%). although the government has implemented an anemia control program in pregnant women, namely by giving 90 fe tablets to pregnant women during the pregnancy period with the aim of reducing the anemia rate of pregnant women, the incidence of anemia is still high (ministry of health, 2014). bengkulu province health data in 2018 found iron nutrition anemia in pregnant women by 45%. there were 168 cases of iron nutrition anemia in pregnant women in bengkulu city, 2016 as many as 279 cases, in 2017 there were 1,398 cases and in 2018 there were 1,162 cases of iron nutrition anemia in pregnant women, consisting of 20 health centers in bengkulu city. according to the bengkulu city health office the highest incidence of anemia in bengkulu city in 2018 was in the sawah lebar puskesmas, 39.6%, padang serai puskesmas 35.8% and ratu agung health center 23.1% (bengkulu province health center profile, 2018). anemia is a decrease in the blood’s ability to carry oxygen. the result of a decrease in the number of red blood cells or a decrease in the concentration of hemoglobin in the blood circulation, namely the concentration of hemoglobin (hb) <11 g / dl in the first and third trimesters, and <10 g / dl in the second trimester. along with hemodilution that occurs at 24 weeks of age and peaks at 28-32 weeks of gestation, the hb level in the mother ’s body decreases (faridhusin, 2015). anemic pregnant women will increase the risk of abortion, premature birth, lbw, stillbirth, perinatal death, prolonged labor and postpartum hemorrhage. (wirawan, et al, 2015). the iron supplementation program is an effort that has been made by the indonesian government to prevent anemia in pregnancy, which is given in the form of iron ferrous sulfate pills 200 mg daily for 90 days in the third trimester of pregnancy but the rate of anemia in pregnancy is still high. this is because there are several factors that make it easier and inhibit the absorption of iron in the body. consumption of fruits that contain vitamin c plays a very important role in the absorption of iron by increasing the absorption of non-heme by four times. these mechanisms include reducing ferrite to a ferrous form in the stomach that is easily absorbed (wirawan et al. 2015). giving ir on ta blets together with other micronutrients is more effective in increasing iron status compared to providing iron supplementation alone in the form of a single dose. therefore, to increase the absorption of iron in the body it is necessary to provide a combination of vitamin c micronutrients, this is because iron which is effective and efficient is iron in ferrous form so it dissolves easily. vitamin c can change the acidic atmosphere in the stomach by converting ferric into ferrous, which is easily soluble so that it is easily absorbed. one source of vitamin c is rosella flowers (wirawan, et al, 2015). rosella (hibiscus sabdariffa) is one of the easiest growing herbs in many areas. generally, this plant is known to ha ve benefits as a n antihypertensive drug, diabetes, and antimitosis. this plant also has the highest mineral content (fe) and vitamin c among other plants, such as spinach, cassava leaves, and katuk leaves. in 100gr of rosella flower petals, it has 8.98 mg of iron and 244.4 mg of vitamin c (haidar, 2016). the results of research by nisa r (2017) in a study of the effectiveness of roselle extract on changes in hemoglobin levels in pregnant women who consume fe found that there was a significant increase in hemoglobin levels when consuming rosella extract combined with fe tablets compared to consuming fe tablets alone with a p-0 , 00 (<0.05). the results of munawaroh’s (2009) study showed that rosella flower petal extract had an effect on increasing erythrocytes and hemoglobin (hb) levels in the blood of white rats. the optimal dose of rosella to incr ea se the number of 40 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 38–42 erythrocytes and hemoglobin (hb) levels in the blood of white rats was 0.72 g / head / day, followed by doses of 0.36 and 0.18 g / head / day. method the design used in this study is a quasiexperimental using the pre-test and post-test nonequivalent control group approach. this study aims to determine the level of hemoglobin changes in pregnant women who consume fe tablets with rosella flower stew and pregnant women who consume fe without rosella flower stew. the population in this study were third trimester pregnant women at ratuagung public health center for the period of january 2020. the number of samples in the study were 16 people for each group. to anticipate drop out, add 10% of the sample from each group, so each group has 17 respondents so that the total sample size is 34 respondents. the sampling technique in this research is accidental sampling, namely by taking cases or respondents who happen to exist or are available in a place according to the context of the study. t he instr ument in this study wa s a questionnair e sheet, a consent sheet to be a respondent. data analysis was carried out in stages, namely univariate and bivariate analysis. univariate analysis was performed to identify the characteristics of pregnant women and hemoglobin levels of pregnant women befor e a nd a fter tr ea tment in the intervention and control groups. bivariate analysis is used to see the effect of the independent variable on the dependent variable. the analysis in this study used the dependent t test if the data distribution wa s norma l using the willocoxon test if the distribution was not normal. to see changes in the hemoglobin level of pregnant women between the intervention group (pregnant women who consumed roselle flower stew) and the control group (pregnant women who did not consume roselle flower stew), an independent t test was performed if the data distribution was normal or the mann whitney test if the distribution was not normal. results based on table 1, it can be seen that the results of the characteristics of the respondents show that in the group of pregnant women who consume iron, most of them (50%) are high-risk pregnant women, most of them are multiparous (87.5%) and most of the nutritional intake is fulfilled (62.5%). while in the group given rosella flowers, most (93.8%) were pregnant women who were not at high risk, most were multiparous mothers (93.8%) and most of the nutritional intake was fulfilled (62.5%). no. variable group percent fe (n16) percent fe and roselle (n = 16) 1 age < 20 and > 35 years 8 50 1 6.2 20 35 years 8 50 15 93.8 2 parity > 3 2 12.5 1 6.2  3 14 87.5 15 93.8 3 nutritional intake not enough 6 37.5 6 37.5 sufficient 10 62.5 10 62.5 table 1 distribution of frequency characteristics of pregnant women (age, parity and nutritional intake) in ratu agung health center area based on table 2, it is known that in the group of pregnant women before being given rosella flowers the average hb level was 11.33 gr / dl and after being given rosella flowers 12.44 gr / dl. the mean difference between the two groups was 1.11 gr / dl. in the group of pregnant women before being given fe tablets the average hb level was 11.45 gr / dl and after being given fe tablets was 12.04 gr / dl. so that the mean difference between the two groups is 0.59 gr / dl. 41mizawati, wulandari, the effectiveness of rosella flowers to the changes of hemoglobin levels of ... based on table 3, it can be concluded that there is an effect of giving rosella + fe flowers with an average hb level before and after the intervention which can be seen from the statistical test of p = 0.000 with a mean difference of 1.11, this means that the addition of roselle flowers has an effect on increasing hemoglobin levels in pregnant women who consume fe tablets. in the control group that was only given fe tablets, the average results of hb levels before and after the intervention can be seen from the statistical test of p = 0.000 with a mean difference of 0.59, this means that the administration of fe tablets alone has an effect on the increase in hemoglobin levels in pregnant women. hb n min max mean different mean sd intervention group rosella flower + fe tablet before the intervention 16 10 13 11.33 1.11 0.936 after the intervention 16 11 14 12.44 0.940 control group fe tablet only before intervention 16 10 13 11.45 0.59 1,061 after the intervention 16 10 14 12.04 0.923 table 2 average hemoglobin before and after giving rosella flowers to pregnant women who consume fe tablets in the ratu agung health center area in 2020 hb mean different mean n sd p value intervention group rosella flower + fe tablet before the intervention 11.33 1.11 16 0.936 0.000 after the intervention 12.44 16 0.940 control group fe tablet only before intervention 11.45 0.59 16 1,061 0.000 after the intervention 12.04 16 0.923 table 3 differences in hemoglobin before and after roselle flowers in pregnant women in the ratu agung health center area in 2020 group mean different mean n sd p value fe 12.04 0.39 16 0.923 0.241 fe and rosella flowers 12.43 16 0.940 0.241 table 4 the effectiveness of the roselle flower group and the fe group on hemoglobin levels in pregnant women in the ratu agung health center area in 2020 based on table 4, it can be seen that there is no difference hemoglobin levels between pregnant women who consumed fe + rosella flower tablets and pregnant women who took fe tablets only, because the p value in both groups was p = 0.241. this means that both groups are equally effective at increasing hemoglobin levels in pregnant women. discussion judging from the characteristics of respondents in this study most of them were in the age group < 35 years in the intervention group, namely 15 people and in the control group 8 people. in the parity variable, most of them were multiparous mothers, namely in the intervention group there were 15 42 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 38–42 people, while in the control group there were 14 people. variable nutritional intake of most respondents, most of them have adequate nutritional intake. however, it is still found that mothers whose nutritional intake is not sufficient, if viewed from the insufficient nutritional intake, are pregnant women who are anemic.in line with sumiyarsih’s research, et al. (2018) stated that nutritional intake is very influential on the hemoglobin of third trimester pregnant women because each family is expected to be able to meet food needs in sufficient quantities and nutritional quality, pregnant women whose nutritional intake is lacking can result in the mother’s immune system. less so that it can cause disease. the results of this study showed that in the intervention group the average increase in hb levels before treatment was 11.33 gr / dl with a standard deviation of 0.936 and after treatment 12.44 gr / dl with a standard deviation of 0.940. the mean difference before and after treatment is 1.11gr / dl. so it can be concluded that giving rosella flowers which have high vitamin c can help the absorption of fe in pregnant women (haidar, 2016). in the control group the average increase in hb levels before treatment was 11.45 gr / dl with a standard deviation of 1.061 and after treatment 12.04 gr / dl with a standard deviation of 0.923. the mean difference between the two groups was 0.59 gr / dl. so it can be concluded that fe tablets can also increase the hb in pregnant women.in an effort to prevent nutritional anemia in pregnant women, the government provides supplementation with blood booster tablets with a dose of 1 tablet (60 mg of elementa l ir on a nd 0. 25 mg of folic a cid) consecutively for at least 90 days during pregnancy (amalia, ajeng, et al. 2016). this study showed that there was a significant effect of adding roselle flowers to changes in hemoglobin levels in pr egna nt women who consumed fe with a value of p = 0.241 and in the control group there was also a significant effect on changes in hemoglobin levels in pregnant women. this means that statistical tests in both groups are equally effective in increasing hemoglobin levels in pregnant women. but in clinical trials in both groups, the intervention group was more effective by being given additional rosella flowers than given fe tablets alone. conclusions and suggestions from the discussion, it can be concluded that rosella flower is effective in increasing hemoglobin in pregnant women who consume fe tablets. references amalia, ajeng, et al. 2016. diagnosis and management of iron deficiency anemia. majority vol. 5 no.5 pg. 166. asiyah, siti, et al. 2014. comparison of the effects of supplementation with and without vitamin c on hemoglobin levels in pregnant women with 16-32 weeks of pregnancy in keniten village, mojo district, kediri regency. issn 2303-1433. vol.3 no. 1. astuti, sri, et al. 2016. mother’s care in pregnancy. jakarta: erlangga. bengkulu city health office. 2017. health profile of bengkulu city in 2017. bengkulu city: bengkulu city health office. bengkulu city health office. 2018. health profile of bengkulu city in 2018. city of bengkulu: health office of bengkulu city. dewi, vnl, et al. 2014. pregnancy care for midwifery. jakarta: salemba medika. fadlun, f., achmad. 2012. pathological midwifery care. jakarta: salemba medika. fatimah, et al. 2011. the pattern of consumption of pregnant women and its relationship with the incidence of iron deficiency anemia. science and technology. husin, farid. 2015. evidence-based pregnancy care. jakarta: sagung seto. haidar, zahra. 2016. the beautiful rosella. jakarta: edumania. kritiana, pratiwi. 2019. effectiveness of dry rosela tea improving hemoglobin levels in young women in the city of malang nisa, rif’atun, et al, 2017. effect of roselle (hibiscus sabdariffa) on changes in hemoglobin levels in pregnant women with anemia taking iron supplement. issn 2477-4073:. manuaba. 2014. obstetrics and family planning for midwifery education. jakarta: egc. munawaroh, siti. 2009. effect of roselle petal extract on the increase in the number of erythrocytes and hemoglobin levels in anemic white rats. faculty of science and technology, uin malang. prawirohardjo, sarwono. 2016. midwifery science. jakarta: binapustaka. sul i stya n in gsih . 2011. mi dwi fer y resear ch methodology. yogyakarta: graha science. winarti, s. 2010. functional foods. yogyakarta: grahailmu, 137-165. 43 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of stress level and breastmilk production among breastfeeding nurses at panti waluyo hospital malang susmini lecturer of nursing bachelor program, tribhuwana tunggadewi university malang, indonesia article information abstract the nursing profession has important duties in providing professional health services during working on health institution. the demands of professional services resulting a high workload that may increase the stress level of nurses which also have impacts on breastmilk production of breastfeeding nurses. this research aimed to determine the correlation between stress levels and the smooth production of breastmilk of breastfeeding nurses at panti waluya hospital, malang. the research design used pre-experimental with a crosssectional approach. the simple random sampling technique was used to recruit the total sample of 44 respondents. the research was conducted at panti waluya hospital. most of the respondents (63.7%) had moderate stress levels and most of the respondents (61.3%) had non-smooth milk production. the result of the chi-square test showed p-value (0.036) < (0.05) which meant there was a correlation between stress levels and the production of breastmilk for nurses at panti waluya hospital, malang. the nurses who had a moderate stress level would have poor breastmilk production. it is expected to the breastfeeding nurses increasing the milk production by using coping stress management and also practicing additional nutritional intake while working in high workload situation. history article: received, 07/10/2021 accepted, 29/03/2022 published, 15/04/2022 keywords: breastmilk production, nurses, stress level © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: tribhuwana tunggadewi university malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: flowerensia29@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p043-047 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:flowerensia29@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p043-047 44 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 43-47 introduction the hospital is an organization that is engaged in health services that deal with patients every day. the hospital as one of the sub-systems of health services that provide health services includes medical services, medical rehabilitation and care services. these services are carried out through emergency units, outpatient units and inpatient units (amalia, 2016). one of the professions that has an important role in providing health services is a nurse. nurses are providers of health services, where nurses provide services in hospitals 24 hours a day and have constant contact with patients until the patient leaves the hospital. nursing services are a form of professional service from health services, based on nursing knowledge and tips aimed at individuals, families, groups, and communities, both healthy and sick determine the quality of the hospital (nursalam et al., 2018). in addition, nurses have very high duties and responsibilities for the safety of human life. so that the nursing profession has a risk of experiencing stress when working. work stress is a psychological response form of the body caused by pressures; job demands that exceed the ability required. possessed, both in the form of physical or environmental demands and social situations that interfere with the implementation of tasks, which arise from interactions between individuals and their work, and can change normal physical and psychological functions, so that they are considered dangerous and unpleasant (widyasari, 2010).in addition, nurses' work stress can cause a decrease in performance. work stress is a condition that arises from the interaction between humans and work and is characterized by human changes that force them to deviate from their normal functions (luthans et al., 2006). work stress on nurses can cause psychological problems such as nurses who are breastfeeding have an impact on the process of releasing breast milk. optimal growth and development in babies are something that every parent desires, to support optimal growth and development, proper nutrition is needed. breastmilk (asi) is the most important nutrient and even the main food for babies where no other food can compete with it. support for mothers is an important factor that also influences mothers to give exclusive breastfeeding. a mother who has positive thoughts of course will be happy to see her baby. all of this happens when the mother is calm. this calm state is obtained by the mother if there is support from the environment around the mother to give breast milk to her baby. to get support from the mother, the baby will also receive support from three parties, namely husband, family, and health workers (elsanti & isnaini, 2018).as the most important and uncompetitive nutrition, it is certainly a loss if you don't give breast milk to your baby, especially if you prefer or replace it with other products. breast milk production is strongly influenced by psychological factors. when breastfeeding, a mother needs peace of mind and it is best to stay away from feeling depressed (stressed) because it will affect milk production and the baby's comfort while breastfeeding. mothers who are always in a state of anxiety, lack of confidence, feeling depressed may affect breastfeeding their babies (annisa & swastiningsih, 2015). there are two important processes in the formation of breast milk and the process of expulsion of milk. the calm psychological and emotional state of the mother greatly affects milk production. other factors that can affect milk production are stress. mothers often experience difficulties when breastfeeding for the first time or becoming a breastfeeding mother such as fatigue, little breast milk, sore nipples, and trouble sleeping at night, and stress related to a new role, these can be a source of stress for the mother. depressed, uneasy, anxious, sad, and tense, milk production will have a significant effect. if there is anxiety and stress in breastfeeding mothers, there will be a blockade of the oxytocin hormone secretion reflex / let down reflex. if the let down reflex is not perfect, the thirsty baby is dissatisfied. this dissatisfaction is additional anxiety for the mother. this thirsty and dissatisfied baby will try to get enough milk by increasing the strength of his sucking which can often cause sores on the nipples which of course are painful for the mother. which also adds to the stress. with anxiety and stress can interfere with lactation so that it affects milk production because it inhibits the release of mother's milk very slowly. breast milk production is strongly influenced by maternal psychological factors, such as anxiety, lack of confidence, feeling depressed and various forms of emotional calm. the more depressed the mother feels, the less milk is released and inhibits the breastfeeding susmini, the correlation of stress level and breastmilk production among breastfeeding nurses … 45 process in the baby. in addition to stress, the smoothness of breast milk production is also influenced by many factors such as the frequency of breastfeeding, the baby's weight at birth, gestational age at birth, age and parity, stress and acute illness. in addition, the milk production is not smooth. it is suspected that the mother lacks knowledge in understanding the importance of breast care for smooth breastfeeding for the baby. and mothers must know and understand breast milk well because it contains substances needed for baby growth (maimunah & sitorus, 2020). getting exclusive breastfeeding in indonesia is caused by various factors, including the lack of support from various parties, one of which is husband's support. the success of exclusive breastfeeding will be easier if the support from the husband plays a role. breastfeeding requires a stable emotional condition, considering the psychological factors of the mother greatly affect the production of breast milk, husband and wife must understand each other how important support is for mothers who are breastfeeding (puspitasari & sasongko, 2020). exclusive breastfeeding from birth to 6 months of age is important for the survival and optimal growth of infants. the world health (organization, 2001) that all infants should be exclusively breastfed from birth to 6 months of age. exclusive breastfeeding is breastfeeding only until the baby is 6 months old, without additional fluids or other foods other than breast milk (kusumaningrum et al., 2010). based on the results of a preliminary research conducted on may 20, 2021 at panti waluya hospital, malang city, the researchers conducted interviews with 10 people where 10 nurses were breastfeeding. the results of the interview showed that out of 10 nurses who were breastfeeding said they were busy with work and little milk came out. at panti waluya hospital". method this research used correlational analytic design by using cross sectional approach. the population was the whole breastfeeding nurses at the panti waluya hospital which is located at jl. yulius usman malang. the simple random sampling technique was used to recruit the total sample of 44 respondents. questionnaire was used for data collection on july 22, 2021. this research measures the relationship between stress levels and the smooth production of breast milk in nursing nurses at panti waluya hospital, malang. result the research was conducted at the panti waluya hospital which is located at jl. yulius usman malang. general data: the characteristics of respondents in this research including age, latest education, profession, income per month, and number of children which are presented in table 1. based on the distribution table, it shows that most (54.5%) of respondents were aged between 25-30 years old, 79.6% had diploma education, all (100%) working as nurses, most (66%) of the respondents earn 33.5 million, and majority (54.6%) had 2 persons of children. table 1: frequency distribution of respondents based on age, latest education, profession, income per month, and number of children among breastfedding nurses in the panti waluyo hospital in 2021 variabel category f (%) age 25-30 years 24 54,5 31-35 years 17 38,7 36-40 years 3 6,8 latest education diploma 35 79,6 bachelor 9 20,4 profession nurse 44 100 income per month (rp) 2 million 8 18,1 2.5 million 7 15,9 3-3,5 million 29 66 number of children 1 person 2 persons 11 24 25 54,6 46 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 43-47 specific data: specific data in the research presented data on the stress level, smooth breastmilk production and the relationship between breastfeeding nurses stress level with the smooth production of breast milk for nurses at panti waluya hospital, sawahan malang. table 2: results description of stress level and breastmilk production among breastfeeding nurses at panti waluyo hospital, sawahan malang. based on the table below, it shows that most of the breastfeeding nurses (63.7%) experience a moderate stress level, about 10 (22,6%) experience severe stress level. also 6 breastfeeding nurses (13,7%) had low stress level while working and breastfeeding in panti waluyo hospital, malang. tabel 2 also shows that most (61.3%) of the breasfteeding nueses hadpoor breastmilk production. the cross-tabulation results with chisquare test were used to determine the relationship between stress level and smooth breastmilk production among breasfeeding nurses at panti waluyo hospital, sawahan, malang. the decision making may be seen from the level of significance (α) less than 0.05 in the data presented as follows. table 3: results description of smooth breast milk production of nurses at panti waluyo hospital, sawahan malang. based on the table 3, it is known that from the majority of breastfeeding nurses who had moderate levels of stress (63.7%) also had a smooth breastmilk production as many as 17 respondents. those who hadpoorbreastmilk production as many as 27 (61.3%) respondents. the results of the chi -square test obtained pvalue of (0.036) < (0.05) so the null hypothesesis rejected, which means there is a relationship between the level of stress and breastmilk production among breastfeeding nurses at panti waluyo hospital, sawahan, malang. discussion the results showed that most (54.5%) of respondents were aged 25-30 years, almost all (79.6%) had d3 education, all (100%) worked, most (66%) of respondents earned 3-3.5 million, and most (54.6) had 2 children. most of the 28 (63.7%) respondents had a moderate level of stress. research shows that most (61.3%) have non-fluent milk production. the results of the research are in line with the research conducted by puspita ningrum, (2006) it was found that babies who were given formula milk had diarrhea 3 persons 9 20,4 total 44 100 variable category f (%) stress level low 6 13,7 moderate 28 63,7 severe 10 22,6 breastmilk production smooth 17 38,7 poor 27 61,3 total 44 100 stress level breastmilk production smooth poor total chi-square f % f % f p-value low 5 1,4 1 2,3 6 13,6 moderate 10 2,7 18 40,9 28 63,7 severe 2 4,5 8 18,2 10 22,7 total 17 38,6 27 61,4 44 100 susmini, the correlation of stress level and breastmilk production among breastfeeding nurses … 47 more often than babies who were exclusively breastfed. based on the results of research by elsanti et al. (2018), there is a significant relationship between social support and the continuity of exclusive breastfeeding with a significant value of 0.001 <0.05. then there is a significant relationship between the level of stress on the continuity of exclusive breastfeeding with a significant value of 0.028 <0.05. suggestion most of the 28 (63.7%) respondents had a moderate level of stress. the research showed that most of the 27 (61.3%) respondents had poor breast milk production. the results of the chi-square test obtained p-value of (0.036) < (0.05) andthe null hypotheses is rejected, which means there is a relationship between stress levels and the breastmilk production among breastfeeding nurses at panti waluyo hospital, sawahan, malang. acknowledgment we would like to thank the rumah sakit panti waluya malang for allowing this research, and the respondents who have cooperated well and the students who have assisted in data collection. i do not forget to thank stikes patria husada blitar for providing facilities in the publication of our research journal. hopefully this research can be useful for the development of insight and further researchers. reference amalia, r. (2016). hubungan stres dengan kelancaran asi pada ibu menyusui pasca persalinan di rsi a. yani surabaya. journal of health sciences, 9(1). annisa, l., & swastiningsih, n. (2015). dukungan sosial dan dampak yang dirasakan oleh ibu menyusui dari suami. universitas ahmad dahlan. elsanti, d., & isnaini, o. p. (2018). hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres terhadap keberlangsungan pemberian asi ekslusif di wilayah kerja puskesmas kedungbanteng. jurnal ilmu keperawatan maternitas, 1(1), 13–25. kusumaningrum, t., lestari, c. p., & sulistyono, a. (2010). analisis faktor tingkat keberhasilan pemberian asi eksklusif pada ibu menyusui. jurnal ners, 5(1), 55–61. luthans, f., vogelgesang, g. r., & lester, p. b. (2006). developing the psychological capital of resiliency. human resource development review, 5(1), 25–44. maimunah, r., & sitorus, n. y. (2020). hubungan pengetahuan ibu nifas tentang konsumsi nutrisi dan peran suami terhadap kelancaran produksi asi pada ibu menyusui di wilayah kerja puskesmas medan area selatan kota medan tahun 2020. jkm (jurnal kebidanan malahayati), 6(4), 446–452. nursalam, n., fibriansari, r. d., yuwono, s. r., hadi, m., efendi, f., & bushy, a. (2018). development of an empowerment model for burnout syndrome and quality of nursing work life in indonesia. international journal of nursing sciences, 5(4), 390–395. organization, w. h. (2001). report of the expert consultation of the optimal duration of exclusive breastfeeding, geneva, switzerland, 28-30 march 2001. world health organization. puspitasari, l. a., & sasongko, h. p. (2020). hubungan dukungan suami dengan motivasi ibu dalam pemberian asi eksklusif di wilayah kerja puskesmas wonosobo kecamatan srono banyuwangi. jurnal ilmiah kesehatan rustida, 7(1), 33– 44. widyasari, j. k. (2010). hubungan antara kelelahan kerja dengan stres kerja pada perawat di rumah sakit islam yarsis surakarta. 186 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the effect of anxiety level to the menstrual cycle on diii midwifery student at stikes nani hasanuddin makassar dahniar1, indah yun diniaty rosidi2 1,2midwifery department, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia article information abstract adolescence is psychologically a period of transition from childhood to adulthood. menstruation is an important event in the life of a young woman. for this reason, young women need to recognize their bodies, what will happen, so that they are not surprised or frightened when their first menstruation arrives. the menstrual cycle is important as a reproductive function that carries out preparation for conception and pregnancy.the purpose of this study was to determine the effect of anxiety levels on the menstrual cycle in diii midwifery students of stikes nani hasanuddin makassar. this study used quantitative analytic method , with a cross sectional approach . the population in the study of all students of the 2019 batch was 3-7 respondents and the sample used was 37 respondents with a total sampling technique. result: there was no effect of anxiety level and menstrual cycle in diii midwifery students of stikes nani hasanuddin makassar. the large odds ratio (or) on the test results was 0.622, it is most likely that the risk of disruption of the menstrual cycle of diii midwifery students if experiencing severe anxiety was 0.622 times compared to diii midwifery students who only experience moderate anxiety. history article: received, 15/03/2022 accepted, 09/08/2022 published, 15/08/2022 keywords: anxiety, menstrual cycle, teens © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes nani hasanuddin makassar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : indahbo73@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p186-191 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:indahbo73@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p186-191 dahniar, rosidi, the effect of anxiety level to the menstrual cycle on diii midwifery student at stikes … 187 introduction adolescence is the transition from puberty to adulthood. during this period, adolescents experience many changes, both physically, psychologically and socially. individuals are said to have entered adolescence between the ages of 16 or 17 years and ended at the age of 21 years. psychological problems experienced by adolescents, anxiety is one of the most psychological problems experienced by adolescents. in an electronic news report, it was revealed that today's teenagers are more prone to anxiety than teenagers in the previous generation because today's academic demands are more than that of their parents (irianto, 2015). in the world, it is estimated that the youth group is 1.2 billion or 18% of the world's population(who, 2014). according to the 2013 indonesian health profile, the total population of indonesia in 2013 aged 15-19 years was 10,729,820 people and those aged 20-14 years were 10,453,214. according to the regulation of the minister of health of the republic of indonesia number 25 of 2014 adolescents are residents in the age range of 10-19 years in indonesia according to the 2010 population census of 43.5 million or about 18% of the total population(kementerian kesehatan ri, 2014). adolescence is psychologically a period of transition from childhood to adulthood. in adolescence, cognitive maturity occurs, namely the interaction of a perfect brain structure and an increasingly wider social environment that allows adolescents to think abstractly. it is at this age that the characteristics, attitudes and behaviours that are always curious, feel and want to try new things develop. these attitudes and behaviours must be directed or facilitated so that they do not have a negative impact. according to the world health organization (2014), adolescents are residents in the age range 10-19, and adolescence is divided into early adolescence aged 10-13 years, middle adolescence aged 14-16 years and late adolescence aged 17-19 years. according to the regulation of the minister of health of the republic of indonesia number 25 of 2014, adolescents are residents in the age range of 10-18 years and according to the population and family planning agency (bkkbn) the age range of adolescents is 10-24 years and unmarried(kementerian kesehatan ri, 2014) menstruation is an important event in the life of a young woman. for this reason, young women need to recognize their bodies, what will happen, so that they are not surprised or frightened when their first menstruation arrives. the information provided also needs to be considered in stages and depth, so that it is reassuring, makes them comfortable, and in accordance with their level of maturity(sinaga, ernawati; saribanon, nonon; suprihatin; sa’adah, nailus; salamah, ummu; murti, yulia andani; trisnamiati, agusniar; lorita, 2017). badan litbang kesehatan, (2010) the average menarche or first menstruation in women aged 10-15 years in indonesia is (20.0%) with some occurrences earlier at the age of less than 9 years which is not explained how much. preliminary study conducted random interviews with diii midwifery students at stikes nani hasanuddin makassar, namely 5 people about the menstrual cycle with the result that 3 out of 5 students experienced menstrual cycle disorders. in addition, researchers made observations on students while participating in learning in class, it was found that students seemed to complain and were tired because each lecturer gave different assignments and had to collect them on time so that their stress level also increased. based on the background above, the researcher is interested in researching the title of the effect of anxiety levels on the menstrual cycle in diii students in the care of stikes nani hasanuddin makassar. method this study was a quantitative study using cross sectional method to get the effect of anxiety level with menstrual cycle. the study was carried out at the stikes nani hasanuddin makassar campus in september 2021 – january 2022. the population in this study were all d iii midwifery students at stikes nani hasanuddin makassar class of 2019 with 37 respondents. the sampling technique used is a total sampling of 37 respondents. the instrument used a questionnaire in the form of a google form. the dependent variable in this study was the menstrual cycle, where in the questionnaire there were 9 closed questions in describing the menstrual cycle experienced by the respondents. the independent variable studied was the level of anxiety, where the researcher used a manifest anxiety scale questionnaire with a total of 38 questions. furthermore, the study results were analyzed using the fisher extract test and or (odds ratio). 188 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 186-190 result in table 1 we can conclude that none of the responses experienced mild anxiety or no anxiety. there are 24 respondents (64.9%) experiencing moderate anxiety and as many as 13 respondents (35.1%) experiencing severe anxiety. in regular menstrual cycles there are 23 respondents (62.2%) while 14 respondents (37.8%) have irregular menstrual cycles. table 1: frequency distribution n variable frequency percent (%) anxiety level no worry 0 0 mild anxiety 0 0 moderate anxiety 24 64.9 heavy anxiety 13 33.1 menstrual cycle regular 23 62.2 irregular 14 37.8 source: primary data table 2: frequency distribution n anxiety level menstrual cycle total ρ or regular irregular n % n % n % moderate anxiety 14 58.3 10 41.7 24 100 0.766 0.622 heavy anxiety 9 69.2 4 30.8 13 100 total 23 62.2 14 37.8 37 100 source: primary data table above shows that from 37 respondents there were 24 respondents who experienced moderate anxiety including 14 respondents (58.3%) who had regular menstrual cycles and 10 respondents (41.7%) of whom experienced irregular menstrual cycles. the other 13 respondents experienced severe anxiety including 9 respondents (69.2%) had regular menstrual cycles while 4 respondents (30.8%) had irregular menstrual cycles. from the results of spss using the chi-suqare test, the value of = 0.766, so it can be concluded that there is no relationship between anxiety levels and menstrual cycles in diii midwifery students at stikes nani hasanuddin makassar. the large odds ratio (or) on the test results is 0.622, it is most likely that the risk of disruption of the menstrual cycle of diii midwifery students if experiencing severe anxiety is 0.622 times compared to diii midwifery students who only experience moderate anxiety. discussion from the results of the study obtained data as in table 1 about the anxiety level of diii midwifery students of stikes nani hasanuddin makassar who experienced moderate anxiety as many as 24 respondents (64.9%) experienced moderate anxiety and as many as 13 respondents (35.1%) experienced severe anxiety. the condition of the respondents mostly experienced moderate anxiety disorders and severe anxiety, influenced by the late adolescent age factor as a factor in seeking identity resulting in unstable emotional changes, learning assignments on campus and work activities at home, as well as social life activities both with friends and partners, feel unable to face the problems in the life they face, resulting in psychological disorders in adolescents, namely anxiety(yudita et al., 2017). this is in accordance with the theory of anxiety management, characterized by worry, fear, sadness, anxiety in itself as a stressor which can lead to increased anxiety if he cannot control his consciousness and is maladaptive(hawari, 2006). action is needed to overcome this, by means of psychosocial therapy to restore the adaptability so that the person concerned can return to normal functioning in everyday life, both at home, school/campus, at work and in his social environment. dahniar, rosidi, the effect of anxiety level to the menstrual cycle on diii midwifery student at stikes … 189 adolescents as a period that is vulnerable to anxiety, emotionally unstable, then through a religious approach will provide a sense of comfort to the mind and closeness to god, dhikr and prayers delivered will give positive hope. the importance of the role of the family in adolescents who experience all problems with their duties both at home and at school to provide support, therefore the role of the family is quite effective in reducing anxiety, in addition to providing counseling so that the lives of teenagers are more focused and motivated to be more active. better yet, counseling can be done effectively when there is motivation from both parties, between the client (the person receiving the consultation) and the counselor (the person providing the consultation)(imasari, 2017; manurung, 2016; setiyowati & suryaningsih, 2017). therefore, knowledge about anxiety and its treatment needs to be known, in the hope that anxiety disorders can be overcome with the right actions, to overcome anxiety in particular.in adolescents by getting support or motivation both from themselves and from others, as well as getting wider knowledge from school education, especially for counseling teachers must pay attention to their students so that anxiety disorders in adolescents can be overcome. in this study, the results showed that there was no relationship between anxiety levels and menstrual cycles in diii midwifery students at stikes nani hasanuddin makassar. table 4.2 shows that from 37 respondents there were 24 respondents who experienced moderate anxiety including 14 respondents (58.3%) who had regular menstrual cycles and 10 respondents (41.7%) of whom experienced irregular menstrual cycles. the other 13 respondents experienced severe anxiety including 9 respondents (69.2%) had regular menstrual cycles while 4 respondents (30.8%) had irregular menstrual cycles. reproductive health, especially adolescent girls, is closely related to menstruation. where not every teenager has a regular menstrual cycle, this irregular menstrual cycle is influenced by several factors, some of which are age, nutritional intake, hormones and psychological disorders of the respondents. in its influence on the menstrual cycle, anxiety involves the neuroendocrinological system as a system that has a large role in female reproduction. disorders of the menstrual cycle involve integrative regulatory mechanisms that affect biochemical and cellular processes throughout the body, including the brain and psychology. the influence of the brain in hormonal reactions occurs through the hypothalamicpituitary-ovarian pathway which includes multiple effects and feedback control mechanisms(girianto et al., 2021; saputri, 2016). in an anxious state, there is activation of the amygdala in the limbic system. this system will stimulate the release of a hormone from the hypothalamus, namely corticotropic releasing hormone (crh). this hormone will directly inhibit the secretion of hypothalamic gnrh from its production site in the arcuate nucleus. this process probably occurs through increased secretion of endogenous opioids. increased crh will stimulate the release of endorphins and adrenocorticotropic hormone (acth) into the blood. an increase in acth levels will cause an increase in blood cortisol levels. in women with symptoms of hypothalamic amenorrhea, it shows a state of hypercortisolism caused by an increase in crh and acth. these hormones directly and indirectlycauses a decrease in gnrh levels, which in this way causes anxiety to cause menstrual cycle disorders. from the normal menstrual cycle to oligomenorrhea or polymenorrhea. these clinical signs depend on the degree of suppression of gnrh. these symptoms are generally temporary and will usually return to normal if the existing anxiety can be overcome, the length of the menstrual cycle is influenced by age, weight, physical activity, anxiety level, genetics and nutrition(samsulhadi, 2011; silalahi, 2021; wiknjosastro, 2007). the average age of the respondents was around 20 ± 22 years with an average level of anxiety at the level of severe anxiety. the types of activities carried out by respondents include taking part in regular lecture learning activities, internal problems with themselves, doing college assignments, participating in campus organizations and outside campuses, and respondents at this time are final year students who are preparing to face field work practice (pkl) and final project. therefore, knowledge about anxiety and its handling needs to be known, in the hope that anxiety disorders can be overcome with the right actions, to overcome anxiety, especially in adolescents by getting support or motivation from both themselves and from others, and getting wider knowledge from education. schools, especially for 190 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 186-190 guidance and counseling teachers, must pay attention to their students so that anxiety can be overcome in order to maintain reproductive health in adolescents. in this study, the level of anxiety did not fully influence the menstrual cycle in the respondents, this was because some respondents said they had experienced menstrual disorders since the beginning of their menstruation or since the first time they had their period ( menarche ), namely hormonal disorders in the body that resulted in menstrual disorders . as is known, the menstrual cycle is regulated by hormones. there are four hormones responsible for the menstrual cycle, namely estrogen, progesterone, follicle stimulating hormone (fsh), and luteinizing hormone (lh). luteinizing hormone (lh) and follicle stimulating hormone (fsh), which are produced by the pituitary gland, trigger ovulation and stimulate the ovaries to produce estrogen and progesterone. estrogen and progesterone will stimulate the uterus and breast glands to be competent to allow fertilization to occur. if fertilization does not occur, the egg will pass through the uterus, dry out, and leave the body about 2 weeks later through the vagina. since the uterine wall is not needed to support the pregnancy, the lining breaks down and sheds. blood and tissue from the uterine wall (endometrium) combine to form the menstrual flow (heffner, linda j; schust, 2010; manuaba, i.b.g; et al, 2007; sinaga, ernawati; et al, 2017). conclusion there is no relationship between the level of anxiety and the menstrual cycle in diii midwifery students of stikes nani hasanuddin makassar. the large odds ratio (or) on the test results is 0.622, it is most likely that the risk of disruption of the menstrual cycle of diii midwifery students if experiencing severe anxiety is 0.622 times compared to diii midwifery students who only experience moderate anxiety. suggestion the result of this study is that there is no relationship between the level of anxiety and the menstrual cycle in adolescents, due to filtering of bias (exclusion) variables in respondents against the dependent variable is not optimally carried out, so it is hoped that further research should be carried out filtering bias (exclusion) variables, especially on menstrual history. it is hoped that further research can use research methods to analyze more deeply with a wider number of respondents. acknowledgement the authors would like to thank the chairman of stikes nani hasanuddin makassar and the head of diii midwifery study program, stikes nani hasanuddin makassar who have provided support and permission for this research. funding the authors received no financial support for the research and publication of this paper. conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. reference badan litbang kesehatan. (2010). laporan riskesdas 2010. badan litbang kesehatan kementerian kesehatan ri, 78. girianto, p. w. r., widayati, d., & agusti, s. s. (2021). butterfly hug reduce anxiety on elderly. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 8(3), 295–300. https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p295300 hawari, d. (2006). manajemen stress, cemas dan depresi (3rd ed.). balai penerbit fkui. heffner, linda j; schust, d. j. (2010). at a glance sistem reproduksi (kedua). penerbit erlangga. imasari, y. f. (2017). hubungan tingkat kecemasan dengan siklus menstruasi pada remaja putri kelas x dan xi di man 1 kota madiun [stikes bhakti husada mulia madiun]. in stikes bhakti usada mulia madiun. http://dx.doi.org/10.1016/j.encep.2012.03. 001 irianto, k. (2015). kesehatan reproduksi. alfabeta. kementerian kesehatan ri. (2014). profil kesehatan indonesia tahun 2013. manuaba, i.b.g; manuaba, chandranita; manuaba, f. (2007). pengantar kuliah obstetri. egc. manurung, n. (2016). terapi reminiscence, solusi pendekatan sebagai upaya tindakan keperawatan dalam menurunkan kecemasan stress dan depresi (4th ed.). salemba medika. samsulhadi. (2011). haid dan siklusnya (p. anwar, dahniar, rosidi, the effect of anxiety level to the menstrual cycle on diii midwifery student at stikes … 191 m; baziad, a; prabowo (ed.); 3rd ed.). pt bina pustaka sarwono prawirohardjo. saputri, f. a. p. (2016). tingkat kecemasan remaja putri yang mengalami masa pubertas di smp negeri 1 selorejo kabupaten blitar. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 3(3), 298–303. https://doi.org/10.26699/jnk.v3i3.art.p298303 setiyowati, w., & suryaningsih, t. m. (2017). hubungan tingkat kecemasan dengan gangguan siklus menstruasi pada mahasiswi tingkat iii akbid abdi husada semarang. jurnal ilmu kebidanan dan …, 8(2). https://jurnal.stikesbup.ac.id/index.php/jks /article/view/37 silalahi, v. (2021). hubungan tingkat kecemasan dengan siklus menstruasi pada mahasiswi tingkat akhir. jurnal kesehatan mercusuar, 4(2), 1–10. https://doi.org/10.36984/jkm.v4i2.213. sinaga, ernawati; saribanon, nonon; suprihatin; sa’adah, nailus; salamah, ummu; murti, yulia andani; trisnamiati, agusniar; lorita, s. (2017). manajemen kesehatan menstruasi. global one. who. (2014). health for the world’s adolescents: a second chance in the second decade. world health organization departement of noncommunicable disease surveillance. wiknjosastro, h. (2007). ilmu kebidanan. yayasan bina pustaka sarwono prawirohadjo. yudita, n. a., yanis, a., & iryani, d. (2017). hubungan antara stres dengan pola siklus menstruasi mahasiswi fakultas kedokteran universitas andalas. jurnal kesehatan andalas, 6(2), 299. https://doi.org/10.25077/jka.v6i2.695. e:\2021\ners agustus\20--jurnal 263mahardika, yunitasari, rachmawati, the effect of intervention rehabilitation “computer-based cognitive ... the effect of intervention rehabilitation “computer-based cognitive training program” to improve cognitive skills of children with adhd: literature review fitrianti umayroh mahardika1, esti yunitasari2, praba diyan rachmawati3 1,2,3faculty of nursing, airlangga university kampus c surabaya, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 15/01/2021 accepted, 06/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: cognitive training, computer, adhd, child article information abstract attention deficit hyperactivity disorder (adhd) is a medical condition characterized by an inability to concentrate, hyperactivity, and impulsiveness. children with adhd tend to be careless, irritable, difficult to gather, difficult to carry out orders so it is important to treat this condition as early as possible. the purpose of this study was to analyze studies according to computer program-based cognitive rehabilitation interventions to improve the cognitive abilities of children with adhd on empirical studies in the last five years. journals or articles were obtained by searching in databases indexed by scopus, pubmed, science direct, garuda portal using adequate keywords. the quality assessment of the study used inclusion and exclusion criteria. the framework used to conduct the review was picos and the inclusion criteria used english and indonesian journals from 2015 to 2020. the data analysis and tabulation were carried out in articles or journals. title, abstract, full text, and methodology were assessed to determine the eligibility of the article or journal. researchers found 15 journals that match the inclusion and exclusion criteria, and passed the study selection and quality assessment. 7 journals discuss about training-based intervention programs and 8 journals discussed the game or game-based intervention programs. the 15 journals obtained came from four continents, asia, america, australia, and europe. computer-based intervention significantly improved the cognitive abilities of children with adhd such as concentration skills, working memory, and academic learning outcomes. modifications need to be made, among others, to facilitate parents who can not afford compatible facilities and infrastructure. in indonesia, the modifications that are possibly made are the daily training program compared to video games. © 2021 journal of ners and midwifery 263 correspondence address: airlangga university kampus c surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: fitrianti.umayroh.mahardika-20m16@fkp.unair.amc.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p263–269 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p263-269&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 264 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 263–269 introduction attention deficit hyperactivity disorder (adhd) is a medical condition characterized by an inability to focus, hyperactivity, and impulsiveness which are usually more than their friends of the same age (darmawati and nuryani, 2020). amalia in darmawati argues that the characteristics of adhd children tend to be clumsy, irritable, difficult to gather, difficult to carry out orders, often slip up when talking, convoluted, and like to interfere in other people’s conversations (darmawati and nuryani, 2020). this disorder needs to be treated as early as possible to prevent long-term effects as adults. based on this, the development of adhd children is very important to treat immediately so they are able to do activities normally as their peers. without specially-designed assistance, children with adhd will encounter difficulty to learn optimally and develop their potential. adhd is one of the most common psychiatric conditions in children with a prevalence of around 5% (bikic et al., 2018). in the data diagnostic and statistic manual (dsm v), it is stated that the prevalence of adhd children (especially children aged 12 years) ranges from 3-7%. attention deficit hyperactivity disorder ( adhd) in indonesia is quite high as the number reached 26,4 %. adhd children are not unable to learn, but they are not ready to learn because the incidence and hyperactivity/impulsivity of adhd children is more than normal for other children in their peers. d. nass & leventhall in darmawati said that chemical and hormonal imbalances in the brain cause adhd. therefore, children with adhd tend  to be impulsive and difficult to organize planning because a part of the brain has disorders (darmawati and nuryani, 2020). pharmacological treatments are effective for the core symptoms of adhd, but their effect on cognition, especially executive function, is limited so it is important to find out other treatments (bikic et al., 2018). one of the methods used to educate children with adhd is the computer-based cognitive rehabilitation intervention method. first developed by glisky et al in 1986 for memory training, these programs are a popular and accessible form of cognitive rehabilitation intervention and offer highly structured and standardized tasks that improve attention, concentration, memory, and perceptual-motor skills (ko et al., 2020). this computerized program is carried out by therapists who are experts in their fields. to minimize the negative impact that occurs in children with adhd. the devices used in this program are various, such as game consoles, computers, and tablet screens. according to nurwahidin et al. 2016 currently, technology information is growing rapidly, especially internet-based information technology which has a positive impact on many aspects in various fields, so the activities become more effective and efficient (fast and precise) (kausar and sukihananto, 2019). it is very possible to implement the internetbased information technology application of therapy in indonesia such as educational games or training. there are various internet and computer-based interventions that are implemented in indonesia and abroad, but on the other hand, there are not many literature studies that discuss computer-based interventions to reduce cognitive problems in children with cognitive disorders, so a deeper study is needed. children’s responses to a variety of cognitive training methods to find the most effective and feasible interventions to be implemented. based on the phenomenon that has occurred, researchers are interested in conducting literature studies related to the effect of computer-based interventions on the cognitive abilities of children with cognitive impairments. research  method a. literature searching strategy literature searching in english was conducted on a database with high and moderate-quality criteria, that is scopus, pubmed, science direct, and garuda portal. the searching process on scopus was done by entering the keywords, ”cognitive training” or “cognitive therapy ” and “computer” and ”adhd” and ”child” or “teenager” or “toddler”. the results specified in the last five years (2015-2020), open access to data in english. the number of journals after specified was 20 journals. the searching process on pubmed by entering the keywords ”cognitive training” or “cognitive therapy” and “computer” and “adhd” and “child” or “teenager” or “toddler”. the results specified in the publication of the last five years (205-2020), open access to data in english. the number of journals after specified was 59 journals. the searching process in science direct by entering the keywords ”cognitive training” or “ cognitive thera py” and ”compu ter ” and 265mahardika, yunitasari, rachmawati, the effect of intervention rehabilitation “computer-based cognitive ... “adhd” and “child” or “teenager” or “toddler”. the results specified in the publication of the last five years (205-2020), open access to data in english. the number of journals after specified was 25 journals. the searcing process in portal garuda by entering the keyword “cognitive training” or “cognitive therapy” and “computer” and “adhd” and “child” or “teenager” or “toddler”. the results specified in the publication of the last five criteria population intervention comparators outcomes study design and publication type publication years language inclusion adhd’s children intervension based on computer no comparison intervention with computer programs to improve cognitive function in adhd randomized control and trial from 2015 english and indonesian exclusion other than adhd’s children other than intervension based on computer other than intervention with computer programs to improve cognitive function in adhd other than rct (randomized control and trial) until 2020 language other than english and indonesian years (205-2020), open-access data in indonesian. the number of journals after specified was 2 journals. all obtained journals screened for duplicates, titles, abstracts, and full text with an assessment of the quality of currency, relevance, authority, accuracy, and purpose. the researcher found 15 appropriate journals. b . pico method research result no. computer programs result 1. cogmed working memory the combined treatment effect showed the overall pattern of the cwmt control group especially in adolescents with deficit working memory, behavioral regulation problems and global executive deficits as a biggest improvements.cwmt alone increased working memory when perfomances was measured with laboratory assesments of active maintenance of information. behavior regulation and global executive functioning were most improved in the control cwmt. 2. computer assisted cognitive cacr can result in improvements in attention equivalent to those of active stimulant medication. cacr participants, also, showed a trend of better maintenance of gains on sustained attention and response inhibition. computer-assisted cognitive rehabilitation can positively impact practiced efs, such as sustained attention, response inhibition, verbal and visuo-spatial stm (near transfer) as well as unpracticed efs, such as complex nonverbal reasoning (far transfer). 3. cct (computerized cognitive test result showed significantly improved overall tde performance, with the effects being highly significant in the medicated group. group showed post cct improvements in writing and reading. and also, at school the children’s grade showed improvements in math, with a 10 points increase in overall grade. 4. training attention and children in the attention training showed grater improvement in selective attention performance. these improvements were maintained 3 months training (cwmt) rehabilitation (cacr) training) – captains log learning initiative (tali) 266 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 263–269 after training had ceased. therefore as children showed increased in adaptive behaviour skills. 5. attention processing training the data showed that children significantly more pronounced improvement on cognitive test exploring attention, concentration, planning strategies, and visuo-spatial. apt improves in the global cognitive function and individual performance such as concentration, attention, processing speed, working memory and cognitive ability. and also data showed that patients improve their executive functioning, planning strategies, visuo spatial memory, and delayed recall performance. 6. multimedia tutorials programs : the implementation shows that the multimedia tutorial is effective and has a good effect on increasing the scores of adhd children in school. it also shows that children are more interested in reading and remembering material using multimedia tutorials than just using textbook in order to increasing their score significantly. 7. computerized cognitive consists of “catch the ball,” “butterflies,” and “what comes next.” children experienced an increase in the aspect of working memory after the intervention, which previously had a score of 4 during pre-wm increased to 14 post-wm. participants in the cognitive training group improved performance mainly on the working memory nih toolbox, which has similarities between subtests and the tasks involved on cognitive training games. after intervention, indicating that the ability to plan was improved in the intervention group as compared to the control group with a modest efect. 8. ct (cognitive training) game in the active treatment period, 27 of 66 children (41%) showed at least a 30% reduction in parent ratings of adhd symptoms. after intervention the ct group showed greater activation increases in response to increased attention demands in bilateral precuneus, right insula, bilateral associative visual cortex, and angular gyrus, and right middle temporal, precentral, postcentral, superior frontal, and middle frontal gyri. 9. wizard in training nf intervention result on behaviour aspect showing a significant reduction in inattention, hyperactivity, attention problems and aggression. children showed substantial improvement from the early to mid on the trained wm and ic tasks. the nf training tasks did not show across-session improvement according to level of difficulty. 10. xbox kinect exergame interventions have shown that they are able to increase physical activity and motivation. no scientific findings are currently available from studies that have examined the effects of exergaming. 11. open resource game named the results of the pre-test and post-test of the use an open source-based educational game products in measuring visual responses, and initiative responses showed a positive change in value. this proves that the results of open sourced-based educational game products can be used to support learning activities in the adhd (attention deficit hyperactivity disorder) childrens curriculum. 12. sbt (scientific brain traning) we found both sbt and tetris showed positive pre-post intra group beneficial effect on two outcomes of sustained attention with large effect. tetris had a significant effect on spatial wm (working memory) on function regarding attention and working memory training. however sbt was orriginaly designed for adults and seems not to be suitable and interesting for adolescents in the used version. sbt was not well received by children participant, emphasizes the importance of investigating new interventions in feasibility trials before testing them in larger randomized and controlled trials. program (apt) fairy tale remediation training (ccrt) (activate™). “catch the ball,” “butterflies,” and “what comes next.” (neurocognitive function), wm (working memory) and ic game – gcompris exercises and tetris 267mahardika, yunitasari, rachmawati, the effect of intervention rehabilitation “computer-based cognitive ... the studies results will be reviewed from 15 journals were divided into several sections according to the location of their effect on the child’s cognitive system. various computer-based cognitive intervention programs on the working memory ability of adhd children consist of the cogmed robomemo program which is part of the computerized working memory training (cwmt) as a video game trial involving racing robots, this study shows respondents working memory range have been increased (steeger et al., 2019). another program is the ccrt activatetm which consists of six different games toward neurocognitive functions, such as working memory which includes the speed of understanding, attention, and category formation. in the form of a video game that includes a game of grouping objects, completing signs, r emember ing a nd a r r a nging components (rosa et al., 2017). the same aspect of research conducted by (farias et al., 2017) suggests the computerized cognitive training program is component of the captain’s log software system, which was designed for children over 6 years old and adults who show improvement significance in memory, pr oblem-solving, concentr ation, visual and auditory processing, and performance of self-discipline training. while the influence of computer-based cognitive rehabilitation interventions on the attention ability of adhd children consists of apt ( attention processing training ) programs that focus on aspects of continuous, selective attention consisting of a group of tasks as well as verbal and visual instructions starting from training the ability to concentrate on selective and alternative ways, forms of reading text, comprehension, and verbal performances that could impact global cognitive function (simone et al., 2018). the attention and learning initiative (tali) training program is a computerized training program that targets attention skills through four activities delivered on a touch screen tablet. the effect of computer-based cognitive rehabilitation interventions on both aspects of attention and working memory, which consists of a combination program of working memory, inhibitory control, and neurofeedback training in children with ad / hd and subclinical ad / hd. after training, ad / hd symptom severity was reduced in ad / hd and subclinical groups based on interviews with parents (johnstone et al., 2017). another intervention that shows significant improvements is xbox kinect, it is a device that projecting players and their movements on the screen using a camera. adhd children and teens often play video games. therefore, these video games are easy to implement at home and being investigated by a growing number of studies (benzing and schmidt, 2017). there is also a ct game which consists of three games, each with a difficulty level of 80– 150. as a result of active intervention, 27 of 66 children (41%) showed at least a 30% reduction in adhd symptoms (wexler et al., 2020). research conducted by (umroh, adi and ulfa, 2019) multimedia tutorial is an alternative learning media for adhd children. these tutorial multimedia products as valid as a media of learning with the acquisition of the level of validity of subject matter experts by 95, 5 %, from 82.1875% of media experts, and expert practitioners of 92.5%.   discussion the broad outline of the 15 interventions journals was divided into two main bases, that is interventions in the form of a daily training activity program (training program ) and intervention with online educational game media. the intervention training program is a structured training program with material that had made to the child’s preferences. there are 7 intervention interventions from 15 journals included in the base training program including cogmed working memory training (cwmt) for adolescents, pcacr and med, a computer program called computerized cognitive training (cct), training attention and learning initiative (tali) program, computerized rehabilitation called attention processing training program (apt), as well as multimedia tutorials in the form of fairy tales. whereas for programs in the form of base games or games, there are 8 interventions, a computerized cognitive training program called activate which consists of 3-6 games, 3 journals, ct game, and tau training programs, “mindwave” eeg deviced, xbox exergaming kinect, an open source-based educational game called gcompris, and a scientific brain training (sbt) program that contains various games. in a study conducted by (bikic et al., 2018) after randomization, participants in the intervention group received individual user names and passwords via email and used them to access computer games 268 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 263–269 on a secure online web-based platform, which designed for this experiment. there was a big difference after intervention with an increase of 22%. providing educational games is carried out with teacher supervision. (wexler  et al., 2020) showed that game ct was designed by bew and developed and supported as a web-based application. the rest of the study more or less shows the same pattern of interventions to reduce adhd problems. this cannot be separated from the computer-based rehabilitation intervention having the same basis in the application or intervention to children with adhd. then (steeger et al., 2019) stated that the combined treatment effect showed the greatest overall pattern of improvement for the cwmt / bpt treatment control group, compared to the other three groups, in adolescents with wm deficits, behavior regulation problems, and global executive deficits. if it is based on 2 main bases, as training programs and educational games, in general, the improvement in various aspects is almost the same, especially the aspects of attention and memory work. each intervention has its advantages and disadvantages. because basically, it has basic use of intervention, that is computers, internet networks, and software, as well as verbal and visual instructions to be able to complete existing tasks.    research limitations research limitations weaknesses or obstacles faced by researchers when conducting research. the limitation in this literature review research method is most of the types of games are used only by the middle to upper-class economies because they use components or devices that are quite expensive and rarely owned by the wider community.   conclusion t he for ms of computer -ba sed cognitive therapy based on reviewed journals are divided into 2 main bases, namely the form of training programs or training and online and offline educational games. computer-based cognitive rehabilitation interventions have shown increased cognitive abilities in children with adhd. the results of this study indicate that adhd children are more interested in reading, remembering material, and playing with educational themes using multimedia tutorials or computer-based interventions in the form of online and offline educational games rather than just using textbooks. intervention with computers or the internet significantly improves the cognitive abilities of children with adhd, especially positive improvements in learning outcomes. modifications need to be made, among others, to facilitate parents who do not have adequate facilities and infrastructure, which are assembled with tools and tools. in indonesia, the modifications that can be made are the daily training program compared to video games. suggestions the recommendation of this research si that it is hoped the policy makers in both health service and the government, in this case is health office can design and develop training programs by emphasizing various cognitive aspect in children with adhd to facilitate parents who do not have adequate facilities and infrastructure, which are assembled with tools and tools. especially in indonesia, the modifications that can be made are the daily training program. the use of this programs in learning and therapy activities for adhd children should be carried out through careful procedures to reduce the negative impact in the future. references benzing, v. and schmidt, m. 2017. cognitively and physically demanding exergaming to improve executive functions of children with attention deficit hyperactivity disorder: a randomised clinical trial. bmc pediatrics, 17(1), p. 8. doi: 10.1186/s12887-016-07579. bikic, a. et al. 2018. attention and executive functions computer training for attention-deficit/hyperactivity disorder (adhd): results from a randomized, controlled trial. european child and adolescent psychiatry. springer berlin heidelberg, 27(12), pp. 1563–1574. doi: 10.1007/s00787-018-1151-y. darmawati, s. and nuryani. 2020. perkembangan bahasa pragmatik pada anak attention deficit hyperactivity disorder (adhd): kajian neurolinguistik. journal of early childhood education (jece), 2(1), pp. 21–36. doi: 10.15408/jece.v2i1.15403. farias, a. c. et al. 2017. attention–memory training yields behavioral and academic improvements in children diagnosed with attention-deficit hyperactivity disorder comorbid with a learning disorder. neuropsychiatric disease and treatment, 13, pp. 1761–1769. doi: 10.2147/ndt.s136663. johnstone, s. j. et al. 2017. game-based combined cog 269mahardika, yunitasari, rachmawati, the effect of intervention rehabilitation “computer-based cognitive ... nitive and neurofeedback training using focus pocus reduces symptom severity in children with diagnosed ad/hd and subclinical ad/hd. international journal of psychophysiology. elsevier b.v, 116, pp. 32–44. doi: 10.1016/j.ijpsycho.2017.02.015. kausar, l. i. e. and sukihananto. 2019. pemanfaatan teknologi informasi berbasis internet terhadap perkembangan home care di indonesia. dinamika kesehatan jurnal kebidanan dan keperawatan, 10(1), pp. 212–223. ko, e. j. et al. 2020. a tablet computer-based cognitive training program for young children with cognitive impairment: a randomized controlled trial. medicine, 99(12), p. e19549. doi: 10. 1097/ md.0000000000019549. rosa, v. de o. et al. 2017. computerized cognitive training in children and adolescents with attention deficit/hyperactivity disorder as add-on treatment to stimulants: feasibility study and protocol description. trends in psychiatry and psychotherapy. brazil, 39(2), pp. 65–76. doi: 10.1590/2237-6089-20160039. simone, m. et al. 2018. computer-assisted rehabilitation of attention in pediatric multiple sclerosis and adhd patients: a pilot trial. bmc neurology, 18(1). doi: 10.1186/s12883-018-1087-3. steeger, c. m. et al. 2019. combined cognitive and parent training interventions for adolescents with adhd and their mothers: a randomized controlled trial. physiology & behavior, 176(3), pp. 139–148. doi: 10.1016/j.physbeh.2017.03.040. umroh, n. s., adi, e. p. and ulfa, s. 2019. multimedia tutorial untuk menumbuhkan minat baca anak adhd (attention deficit hyperactivity disorder). jkt p, 2(1), pp. 45–52. ava ila ble at : ht tp: // journal2.um.ac.id/index.php/jktp/index. wexler, b. e. et al. 2020. an integrated program of computer-presented and physical cognitive training exercises for children with attention-deficit/hyperactivity disorder. psychological medicine. doi: 10.1017/s0033291720000288. e:\2021\ners april 2021\12-jurn 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 78–84 the effect of sambiloto extract on the expression of  estrogen receptors in ovaries and lust cycle in mice model pcos insulin resistance hanis kusumawati rahayu midwifery departement, stikes husada jombang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/02/2021 accepted, 30/03/2021 published, 05/04/2021 keywords: pcos, insulin resistance, sambiloto, estrus cycle, expression of estrogen receptor  article information abstract infertility was a serious problem in the reproductive period, one of the caused of infertility were common in women of childbearing age group is polycystic ovary syndrome (pcos).sambiloto (andrographis paniculata nees), had been already known contain flavonoid and lactones. the purpose of this research had to determine the effect of various doses of sambiloto extract with the expression of  estrogen receptor and estrus cycle in the mice model of pcos insulin resistance. this research was an animal model experimental laboratory research with a completely randomized design (crd).the results showed that sambiloto extract therapy in treatment group had an improvement estrus cycle compared with control group. positive control group, almost 90% had persistent anestrus condition. in treatment group 1 and 2 in the last vagina smear obtained anestrus condition as much as 60% in diestrus and medestrus phase. whereas treatment groups 3 all experimental animals in a estrus state by proestrus and estrus phase.  estrogen receptor expression had tested by kruskal wallis test for overall treatment, obtained significantly different results (p  0.002) followed by mann whitney, showed that immunoreactive cells score from highest to lowest occurred in each group negative control (kn), p3, p2, p1 and positive control (kp).it could be concluded that sambiloto extract at dose 18mg/kgbb, 36mg/kgbb, and 72mg/kgbb had been given an overview of the differences expression of â estrogen receptor, could change the estrus cycle of female mice models of insulin resistance pcos. 78 correspondence address: stikes husada jombang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: haniskusumawatirahayu@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p078–084 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p078-084&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p078-084 79rahayu, the effect of sambiloto extract on the expression of b estrogen receptors in ... introduction infer tility is a ser ious pr oblem dur ing reproduction, the etiology of infertility is 40% of the incidence is ma le, 40% of the incidence is contributed by female factors, and 10% of the incidence is contributed by both factors, while the rest is unknown (unexplained factor) (kasdu, 2002). one of the most common causes of infertility in the age group of fertile women is polycystic ovary syndrome (pcos), which is an endocrine disorder that occurs in women during reproductive years with a prevalence of 4-12% (sheehan, 2004). pcos is associated with 75% of all anovulatory disorders that cause infertility, 90% of women with oligomenorrhea, more than 90% with hirsutism and more than 80% with persistent acne pcos is also associated with insulin resistance, obesity, metabolic disorders, and infertility. (dunaif a, 1997). the disruption of insulin action causes hyperinsulinemia which increases the secretion of androgens in the ovaries, which is accompanied by abnormal follicle development, which causes ovarian function disorders (dunaif a, 1997). the administmiceion of testosterone propionate (tp) dose of 1 mg / 100 gbb for 14 days will result in a condition that resembles pcos with the characteristics absence of a corpus luteum, shownpolycystic ovaries, hypertecosis in the stroma and atression of granulosa cells. administmiceion of tp for 21 days began to get a state of insulin resistance. tp for 28 days was more significant in the state of insulin resistance. hyperandrogens can affect the insulin resistance index and free fatty acid levels in serum. the longer the exposure to androgens is given, the insulin resistance index and free fatty acid levels will increase (muttaqin et al., 2008). it is believed that insulin resistance and / or insulin’s abnormal response to glucose stimuli are the principal underlying etiologic factors of pcos (legro, 2001; and hopkinson, 1998). according to samsulhadi, 2008 insulin resistance was one of the biggest influences in the pathogenesis of pcos (69%). sambiloto (andrographis paniculata nees) contains andrographolide, which is a diterpenoid glycoside that can be used as a diuretic, antipireutic, analgesic and antiulserogenic yulinah, et al. (2001). the ethanol extract of sambiloto herb had the effect of reducing blood glucose in alloxan-induced diabetic mice at a dose of 2.1 g / kg bw. the results of chemical research, it is known that sambiloto contains saponins, flavonoid, dan tanin (winarto, 2004) one of the functions of giving sambiloto leaf extract is as a diuretic. hoped that it can reduce insulin levels in the blood so insulin resistance does not occur. decreasing androgen levels makes the aromatization process of the androgen hormone converted into estrogen. so that, folliculogenesis can occur and eventually the mices has lust cycle. this research aims to determine the effect of sa mbiloto extr act with va rious doses on the expression of estrogen receptors and the lust cycle in mice with pcos insulin resistance models. methods this type of research is true experimental labomiceory with a completely randomized design method. using female mice (micetus novergicus) age 3month with 100-150 grams of body weight. divided into 5 groups, each group consisting of five experimental animals. to avoid sample shortages due to death during treatment, the sample size of each group was added more two samples, so that the total sample was 35 mices. the variables in this research consisted of independent variables, the dose of sambiloto extract 18mg / kgbw, the dosage of sambiloto extract 36mg / kgbw, the dose of sambiloto extract 72mg / kbbb. and the dependent variableexpression of â estrogen receptors in the ovaries, changes in the lust cycle. result lust cycle the effect of giving sambiloto extract on lust cycle shown in this table 1. based on the result,sambiloto extract as sample therapy shown better improvement lust cycle compare with control group subject. folicular phase on vaginal swab shown proestrus cycle and estrus. than on lutheal phase shown metestrus and diestrus cycle. control group positive almost 90% under persistent anestrous, where at the end of vaginal swab examination 4 experimental animals were in a diestrous condition which was the longest last period in the lust cycle. in this phase, there are many leukocyte cells and towards the final phase of diestrus, there will be a few epithelial cells in the vaginal swab prepamiceions. whereas in treatment group 1, 60% of the first vaginal swabs were in 80 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 78–84 estrous conditions, and the rest were in anestrous conditions. the experimental animals that are still in anestrous condition are waiting for the cycle to rotate again to uniform the cycle to a minimum of proestrus then after being given a testosterone propionate injection, on the second vaginal swab all are in anesthetic condition then after being treated with sambiloto extract dose of 18mg / kgbw for 15 days, still anestrous conditions were obtained as much as 60%, in the diestrus and medestrus phases. medestrus is the phase that occurs after estrus is complete. the vaginal swab showed the presence of leukocytes and some cornified epithelium. diestrus is the longest last period in lust cycle. in this phase, there are many leukocyte cells and towards the final phase of diestrus, there will be a few epithelia l cells in the va gina l swa b prepamiceions. in treatment group 2, before treatment all experimental animals were in anestrous conditions, so that the treatment was started after the cycle returned to estrous conditions (uniformity of the cycle to a minimum of proestrus) and then injection of testosterone propionate for 28 days given and shown the results of the vaginal swabs of the two experimental animals wer e in anestrous conditions. after being treated with sambiloto extract at dose of 36mg / kgbw for 15 days, 60% of the anestrous condition was still obtained, in the diestrus and medestrus phases, where medestrus phase that occurs after the estrus is complete. the vaginal swab showed the presence of leukocytes and some cornified epithelium. diestrus is the longest last period in the lust cycle. in this phase, there are many leukocyte cells and towards the final phase of diestrus, there will be a few epithelial cells in the vaginal swab prepamiceions. in group 3 treatment, before treatment all experimental animals were in anestrous conditions, so that the treatment was started after the cycle turned back to estrous conditions (uniformity of the cycle to minimum table 1 data on vaginal swab results vagina swab repeat kn kp p1 p2 p3 i ii iii i ii iii i ii iii i ii iii i ii iii 1 e d d d d d p m m m d m d m e 2 d e p d d d p d d m d d d m e 3 d d p d d p p d p m d d d d e 4 d e m p d d d m d d m e d d p 5 d d d p d d d m e d d e d d p information: i = before treatment testosteron propionat ii = after treatment testosteron propionat iii = after treatment extract sambiloto fase folikuler/estrus : p = proestrus, e = estrusfase luteal/ anestrus : m= medestrus, d=diestrus figure 2 expression of estrogen (arrow) on immunoreactive cells in all treatment groups, estrogen tended to be expressed on garanulosa cells and some theca cells with varying intensities from negative (slide a), weak (slide b), modemicee (slide c) and strong (slide d) at 1000x magnification. information : l : leukocytes b : basal cell k : cells undergo cornification 81rahayu, the effect of sambiloto extract on the expression of b estrogen receptors in ... proestrus) and then injected with testosterone propionate for 28 days and results the vaginal swabs of the two experimental animals were in anestrous conditions. after being treated with sambiloto extracts at dose of 72mg / kgbw for 15 days, all experimental animals were in estrous conditions with proestrus and estrous phases. the description of each period can be seen in figure 1.  estrogen receptors expression all data were then tested using the kolmogorov smirnov test to determine whether the data was normally distributed or not and the results showed that the data were normally distributed (p> 0.05). the analysis calculation results carried out by the kruskal wallis test on the overall treatment obtained significantly different results (pd”0.002). then from the analysis results a comparison between treatments with the mann whitney test. based on table 2, it can be seen that there are significant differences in the expression of â estrogen receptors between the negative control group and the positive control group (induction of testosterone propionate 1mg / kgbw), treatment 1 (18 mg of sambiloto extract for 15 days). while the positive control group had a significant difference in the expression of  estrogen receptors with treatment group 2 (giving 36 mg of sambiloto extract for 15 days) in treatment group 3 (giving 72 mg of sambiloto extract for 15 days). in group 1treatment (giving 18 mg of sambiloto extract for 15 days) showed a significantly different expression of  estrogen receptors with group 2 treatment (36 mg of sambiloto extract for 15 days) and treatment 3 (72 mg of sambiloto extract for 15 da ys). however, between treatment group 2 (sambiloto extract 36 mg for 15 days) did not show a significant difference in the expression of â estrogen receptors with treatment 3 (sambiloto extract 72 mg for 15 days). for more deta ils, the differences in the expression of  estrogen receptors in each group can be shown in figure 2 below. based on figure 2, the results of this research indicate that the immunoreactive cell scores from the highest to the lowest occurred in the negative control (kn), p3, p2, p1 and positive control (kp) groups, respectively. discussion lust cycle this research shows that hyperandrogenic condition with insulin resistance after being given sambiloto extract for 15 days turned out to change the hyperandrogen condition, which initially stopped the estrous cycle (anestrus) to be running again in the treatment group whereas in the positive control group as a pathological condition the cycle did not run because it was not given extract sambiloto as therapy, so that the mice are still under stress, and show a state of persistent anestrus. the higher therapeutic dose in group treatment is expected to accelemicee the process of improving the condition of insulin resistance so that the estrous cycle can run again. table 1 shows the changes in the phase ofthe estrous cycle that occurred in each individual mice for a period of 43 days represented by 3 vaginal table 2 results the mann-whitney test for estrogen receptor expression kelompok median minimum maksimum mean sd kp 1b 0 2 1.2 ± 0.837 kn 4a 3 6 4.0 ± 1.225 p1 1b 1 2 1.4 ± 0.548 p2 2b 2 4 2.6 ± 0.894 p3 3a 2 4 3.2 ± 0.837 different superscripts in the same column indicate that there are significant differences kn : negative control without treatment k p : positive control with induction of testosterone propionate 1mg / 100gbw p1 : treatment 1 was given 18 mg of sambiloto extract for 15 days p2 : treatment 2 with 36 mg of sambiloto extract for 15 days p3 : treatment 3 was given 72 mg of sambiloto extract for 15 days 82 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 78–84 swa b exa mina tions, the fir st befor e giving testosterone propionate, second examination after giving testosterone propionate for 28 days. this examination is to ensure that the animal’s estrus is in the anestrous phase (medestrus or diestrus phase). then the last vaginal swab examination was carried out after administration of sambiloto extract for 15 days. it hoped that with this therapy, the estrous cycle can occur again in experimental animals with indications that they are in proestrus and estrous phases. it can be seen that negative and positive control groups shown differences, where the negative control group runs normally, while the positive control group cycles cannot return to normal, because they have been given testosterone propionate induction as a model of pcos insulin resistance, so that all experimental animals experience persistent anestrus describing anovulatory condition. increase in testosterone levels will suppress the secretion of shbg by the liver, resulting in increased levels of testosterone and free estradiol (sex active form of steroids hormone is the free form). the increase in estrone and estradiol levels will provide a positive feedback to lh, so that lh levels increase even more. the increase in lh levels stimulates synthesis of a ndr ogens, the incr ea se in the levels of androstenedione is converted by fat / muscle tissue to estrogen. meanwhile, the fsh level remains low but there is still follicle growth until the anthral stage with a ppr oxima tely 8 mm. t her e wa s a n accumulation of small follicles lining in ovary, but never enlarged, and ovulation. this image occurred in positive group control. the group treatment was given sambiloto therapy with various doses, there was a change in the pattern of the estrous cycle after this treatment was actually closely related to the changes occurred in ovaries. the estrous cycle is a repetitive process that describes changes in reproductive hormone levels caused by ovarian activity under of pituitary hormones. changes in reproductive hormone levels, cause structural changes in constituent tissues. where after given sambiloto extract therapy which is thought to have an important role in this case is andographolid and isoflavone, which are phytoestrogens cause antiestrogenic effects when high estrogen concentration senvironment, and vice versa cause estrogenic effects when low estr ogen concentr a tion senvironment. this estrogenic effect can result decreasing androgens. the follicle is able to change androgen dominant environment into estrogen dominant. the growth period of follicle until it reaches maximum development is the proestrus pha se in mice. t he fsh hor mone initia tes development of ovarian follicles and increases number of granulosa cells, in addition, increase number of theca cells is influenced by lh which in tur n ca n incr ea se estr ogen pr oduction a nd progesterone synthesis (brook and marshall, 1995). estrogen  receptor expression er  immunohistochemical examinate female rats ovaries with er â monoclonal antibody showed that micea-micea expression of estrogen receptor  (er ) ovaries of female rats in the group treatment (sambiloto extract) was higher when compared to group control. this research has proven that bitter extract contains compounds similar to estradiol, and administration to female rats caused significant differences to the control group (table 2). furthermore, harris (2007) stated that er  has a sizable role in ovaries, cardiovascular system and brain (wang et al, 2006). phytoestrogens fully a ctat beta estrogen receptors, they have a high affinity for â estrogen receptors (kuiper et al, 1998). after hormone bound with receptor, then biological effect tissue emerge. estrogens can carry out biological actions through extranuclear receptors by interacting directly with other growth factors, namely the egf receptor or through er membrane. furthermore, razandi et al (2003) stated that like estrogen receptors in nucleus, the receptors on plasma membrane will form dimers to action support of rapid signal transduction and can affect physiological functions. non-genomic action will cause increase in genomic action activity or convergent (bjornstrom, 2005) or there is an integration between nongenomic and genomic actions in influencing gene expression (pedram et al., 2002). biological actions of both genomic and non-genomic estrogens can activate factors. another growth, in this case igfi, causes cross-talk between igf-i and estrogen (kato et al, 2000). this means, the stronger erâ expressionthat occurs in group treatment, the more it can activate igf-1 so that there can be an overlap between hormone functions between igf-1 and estrogen. the regulatingmechanism action of hormones at the cellular level can be regulation number of receptors. receptors can be more or less sensitive 83rahayu, the effect of sambiloto extract on the expression of b estrogen receptors in ... to a hormone depending on cell differentiation. cells can even lose their capacity to respond hormones due to loss of cellular differentiation and recovery of membrane receptors. this is what happened to igf-1. when insulin levels are very high, and attach to receptors. receptors and insulin are directly degraded by the lysosomes, resulting in down regulation of insulin receptors. this will reduce receptors number on cells so that high insulin response remains normal. phytoestrogens are natural generally derived from plants, which is estrogen-like subtances (called phytoestrogens or herbal estrogens) (tapan. 2003). phytoestrogens generally contained in bitter plant a r e tr iter penes glycosides a nd isofla vones. increasing the dose,more phytoestrogen content in the blood and tissue of mice. so that on examination through the immunohistochemical method, the results are higher dose, higher  estrogen receptor expression as shown in figure 2. in addition, it is possible that there other factors that may have an effect, this research uses natural ingredients form extracts instead of certain bioactive compounds from the isolation of sambiloto so that, there is a possibility that other compounds in sambiloto extractaffect estrogenic activity, it also affectsestrogen receptors â.expression. conclusion 1. sambiloto extract with doses of 18mg / kgbw, 36mg / kgbw, and 72mg / kgbw had been given to micees, had shown differences â estrogen receptors expression, where the highest to the lowest figures respectively occured in the negative control group (kn), p3, p2, p1 and positive control (kp). 2. sambiloto extract were starting at a dose of 36mg / kgbw, and 72mg / kgbw could improved female mice lust cycle insulin resistance pcos models to re-estrus with the optimum dose in this resear ch is 72mg / kgbw. however, sambiloto extract dose of 18mg / kgbw had not been able to improve this condition. suggestion further research is still needed, regarding other factor s that ma y a ffect the impr ovement of infertility conditions and insulin resistance in addition to the lust cycle and also  estrogen receptors expression. then further research can find the optimum dose without causing negative effects or causing toxicity so that later it can be applied to humans. references bjornstrom l & sjoberg m, 2005. mechanism of estrogen receptor signaling: convergence of genomic and non genomic actions on target genes. molecular endocrinology 3: 1-24. dunaif a. 1997. ‘insulin resistance and polycystic ovary syndrome: mechanism and implication for pathogenesis’. journalendocrine reviews vol 18 no 6 : 744-810 harris ha, 2007. estrogen receptor b: resent lessons from invivo studies. molecular endocrinology 21(1):1-13 hopkinson ze, sattar n, and fleming r. 1998. ‘polycystic ovarian syndrome: the metabolic syndrome comes to gynaecology’.bmj;317: 329-33. kasdu, d. 2002. ‘kiat sukses pasangan memperoleh keturunan’. jakarta : pustaka pembangunan swadaya nusantara kato s, masuhiro y, watanabe m, kobayashi y, takeyama k, endok h, yanagisawa j, 2000. molecular mechanis of a cross-talk between estrogen and growth factor signaling pathways. genes to cell 5: 593-601 kuiper ggjm, lemmen jg, carlsson b, corton cj, safe sh, gustafsson j, 1998. interaction of estrogenic chemicals and phytoestrgens with er-â, j. endrocrinology vol. 139, no. 10: 4252-63 legro rs. 2001. ‘diabetes prevalence and risk factors in polycystic ovary syndrome’.obstetrics and gynecology clinics of north america; 28: 99-109 muttaqin, dwinanto ananda, budi santoso, wdjiati, 2008. pengaruh lama paparan androgen terhadap indeks resistensi insulin dan kadar asam lemak bebas pada serum tikus model sopk. fakultas kedokteran universitas airlangga pedram a, razandi, aid kenhead m, hughes ccw, levin er, 2002. integmiceion of the non genomic and genomic actions of estrogen. j. biol. chem. 277(52):50768-50775 prapanza, e. dan marianto, l.m. 2003. ‘khasiat & manfaat sambiloto: raja pahit penakluk aneka penyakit’. agromedia pustaka. hal: 3–9. sheehan, mt. 2004. ‘polycystic ovarian syndrome: diagnosis and management. clinical medicine & research’. 2(1):13–27. razandi m, pedram a, greene gl, levin er, 1999. cell membrane and nuclear estrogen receptor (ers) originate from a single transcript: studies er á and er â expressed in cho cell. molecular endocrinology 13: 307-319. 84 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 78–84 tapan, e. 2003. ‘simposium sehat dan cantik pra dan pasca-menipause bersama calvonin. available online at www.dokter.web.id/isi.fitoestrogen wang c y, zhang zt, shen p, loggie bwchang ycdeuel tf, 2006. a varian of estrogen receptor her36; tranduct ion of est rogen and antie strogendepe nde nt me mbranini t iat e d mi toge ni c signaling. pnas 103(24): 9063-9068. wi na rt o wp. 2004. ‘sambil ot o: budi daya dan pemanfaatan untuk obat’. penebar swadaya, jakarta hal 1-12 yulinah, e., sukrasno.,dan fitri, a. 2001. ‘aktivitas ekstrak etanol herba sambiloto (andrographis paniculata ness)’. jurusan farmasi fmipa, itb e:\2021\ners agustus\3--jurnal 161monica, ulfa, the correlation of mothers’ satisfaction on antenatal care service by ... the correlation of mothers’ satisfaction on antenatal care service by midwife and motivation to do antenatal care laily prima monica1, maria ulfa2 1,2midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 03/06/2021 accepted, 19/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: satisfaction, motivation, antenatal care article information abstract the problem of maternal mortality and morbidity in indonesia is still become a big problem. in fact, the maternal mortality rate in indonesia is still the highest in asean. the factors above are the direct causes of maternal mortality. the causes of this death can be minimized by antenatal care which monitors the condition of the mother’s pregnancy regularly to predict the risks that may arise so that preventive measures can be taken. the design used correlational research with a cross-sectional approach. the population in this research was all pregnant women aged 20-35 years who did antenatal care at polindes jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar as many as 12 pregnant women. the sampling technique used accidental sampling. the sample was some of the pregnant women aged 20-35 years who did antenatal care at the time of the research as many as 12 pregnant women. results: the result showed 67% was in the category of very satisfied and 75% of pregnant women had high motivation towards antenatal care. there was a correlation between the satisfaction of pregnant women on antenatal care services by midwife and motivation to do antenatal care proven by the results of the spearman rank statistical test which showed the value of sig = 0,000. midwives are expected to maintain and keep the quality of service, especially in providing antenatal care to pregnant women so that the needs of mothers during antenatal care are always satisfied. © 2021 journal of ners and midwifery 161 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: lailyprima07@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p161–165 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p161-165 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p161-165&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 162 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 161–165 introduction the problem of maternal mortality and morbidity is still a big problem in indonesia. the fact, the maternal mortality rate in indonesia is still the highest in asean. the latest data of bps is 253 per 100 thousand live births in 2006, while the human development report 2000 states that the maternal mortality rate in malaysia is far below indonesia, namely 41 per 100 thousand live births, philippines 170 per 100 thousand live births, vietnam 160 thousand per 100 thousand live births. bleeding is the main cause of maternal death in indonesia and the second cause is eclampsia and infection. all of these are responsible for nearly 70% of maternal deaths which are direct causes. the risk of maternal death is also exacerbated by the presence of diseases that pregnant women may suffer, such as tuberculosis, hiv / aids, anemia and malaria. the ministry of health states that the prevalence of anemia in pregnant women is still very high which reach 50%. the factors above are the direct causes of maternal death, but the causes of death can be minimized by antenatal care, which monitors the condition of the mother’s pregnancy regularly, to predict the risks that may arise so that preventive measures can be taken. health monitoring during pregnancy for both normal and emergency situations as well as delivery assistance by trained health personnel play an important role in reducing maternal mortality. the using of service facilities for health checks during pregnancy revealed that more than 83 percent of women had their health check-ups during pregnancy at health care facilities, both public and private. this figure is still lower than the antenatal care coverage target set. (fahrozy, 2017) patient satisfaction is often seen as an important component of health care. hospitality and enjoyment related to health services that are not directly related to clinical can affect patient satisfaction and their availability to return to the health facility for further services. generally, government health service facilities are not used by the community. one of the reasons is that in general the quality of health services provided by government health care facilities is still not or does not meet the expectations of patients and / or the community. one of the most important aspects of antenatal care is fostering a trusting relationship with the mother and her family. if a mother trusts a midwife, she is more likely to return to the same midwife for delivery and delivery of her baby. based on the phenomenon above, the writer wanted to know whether there was a correlation between the satisfaction of pregnant women in antenatal care services by midwives with the motivation to do antenatal care in these midwives. from the problems and survey results, the researchers were interested in conducting a research entitled “the correlation of pregnant women satisfaction in antenatal care services by midwives and motivation to do antenatal care”. the resear ch objective was to determine whether there was a correlation between the satisfaction of pregnant women in antenatal care services by midwives and the motivation to do antenatal care. the benefits of the research were researchers could use this as an explanation and evaluation of the satisfaction of pregnant women with antenatal care by midwives so that they could train to think and work scientifically on a problem. methods this research used a cross sectional correlation research design. the population was 12 pregnant women aged 20-35 years who did antenatal care at the jatinom polindes, kanigoro district, blitar regency. the sampling technique used accidental sampling. the sample of the research was part of pregnant women aged 20-35 years who did antenatal care, obtained 12 pregnant women. the independent variable in this research was the satisfaction of pregnant women during antenatal care. the dependent variable in this research was mother’s motivation to do antenatal care. the instrument used a questionnaire. the data processing methods were editing, coding, tabulating then analyzed with the spearman rank statistical test. result general data table 1. age distribution of respondent no age (years) f % 1 18 – 22 5 41,7 2 23 – 27 4 33,3 3 28 – 32 3 25 total 12 100 163monica, ulfa, the correlation of mothers’ satisfaction on antenatal care service by ... specific data the result of attitude analysis from spearman rank test with p value 0,0000. this meant that there was a correlation between the mothers’ satisfaction in antenatal care services by midwives and the motivation to do antenatal care. discussion mothers’ satisfaction of antenatal care services by midwives the calculation results of all respondents’ answers showed that from 12 respondents, there were 8 respondents (67%) who were very satisfied with the antenatal care services provided by midwives, and 4 respondents (33%) were satisfied. satisfaction is a level of patient feeling that arises as a result of the performance of health services obtained after the patient compares it with what he expects. there are 3 levels of satisfaction, if the appearance is less than expected, the customer is not satisfied. when the appearance is up to expectations, the customer is satisfied. if the appearance exceeds expectations, the customer is very satisfied / happy. besides, satisfaction is also influenced by aspects including: the attitude of the staff or health workers approach to patients, the quality of service received by patients, administrative procedures and the facilities provided.(susilo, 2014) from the 12 respondents who answered the questionnaire, it could be seen that 8 mothers answered very satisfied, this meant that the performance of midwife in providing services was very satisfying or exceeding expectations. this feeling of very satisfied was influenced by the feeling of pregnant women when they first came to the service provider, the attitude of the staff / health workers when they met, for example smiling and greeting in a friendly manner. pregnant women felt comtable 2. numbers of pregnancy distribution of respondent no number of pregnancy f % 1 gravida 1 7 58,3 2 gravida 2 4 33,4 3 gravida > 2 1 8,3 total 12 100 table 3. educational background distribution of respondent no last education f % 1 elementary school 1 8,3 2 junior high school 2 16,7 3 senior high school 7 58,3 4 university 2 16,7 total 12 100 table 4. occupation distribution of respondent no occupation f % 1 housewife 9 75 2 entrepreneur 3 25 total 12 100 table 5. mothers’ satisfaction on antenatal care service by midwives no satisfaction f % 1 very satisfied 8 67 2 satisfied 4 33 total 12 100 table 6. mothers’ motivation to do antenatal care no motivation f % 1 high 9 75 2 fair 3 25 3 low 0 0 total 12 100 table 7. the frequency distribution of mothers’ satisfaction and motivation category % very satisfied % satisfied highly motivated 20 80 fairly motivated 80 20 spearman rank test: p = 0,000 164 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 161–165 fortable with the hospitality given. this also needed to be supported by good quality service, what midwives did to the patients related to the healing process or reduced the complaints felt by pregnant women. it was also important that the facilities provided included the availability of a pleasant waiting area, a comfortable examination area, could maintain patient privacy, so that mothers could freely express their complaints without being disturbed by other patients, midwives’ explanations in providing counseling used language which easy to understand, listened carefully to every complaint uttered by the mother. meanwhile, 4 other respondents answered satisfied, which meant that the midwife’s performance was comparable to or equal to what the expectation of pregnant women was. with good service and in accordance with standards, pregnant women would be satisfied. if the mothers’ was satisfied and would continue to buy and use products or services for the future, mothers would share their feelings and experiences with other customers. an assessment process which was given by mothers could be positive or negative based on the experience they had received. mother’s motivation to do antenatal care from the results of the research, mothers’ motivation to do antenatal care that has been implemented, from 12 respondents showed that 9 respondents were in the category of high motivation (75%) and 3 respondents (25%) were in fair motivation. basically, humans have unique characteristics so that motivating one another does not have to be the same. this is what causes differences in the level of motivation with one another. (imbalo, 2016) types of motivation are divided into two, first is intrinsic motivation; motivation that comes from within humans that is driven by satisfaction and curiosity factors; and the second is extrinsic motivation; namely motivation that comes from outside which is the influence of other people or the environment. extrinsic motivation can be stimulated in the form of praise, gifts. from the results of the research, the motivation that encourages pregnant women to do antenatal care was mostly based on intrinsic motivation, which rose from within the mother herself. mother felt that antenatal care was a need that must be met. pregnant women wanted to give the best for the fetus they were carried, so that mother and the fetus were in good health until the time of delivery arrived. the results of the research above was corroborated by the theory of goal setting theory proposed by john locke (1968) that a person’s behavior is basically influenced by his efforts to achieve a goal. according to him, a specific and difficult goa l ca n lea d to high motiva tion (supartiningsih, 2017) there was a goal that each mother wants to achieve, such as provided the best for the fetus, this was the cause why mothers had high motivation to do antenatal care. the correlation of mothers’ satisfaction on antenatal care service by midwife and motivation to do antenatal care from the results of research and data analysis as in table 4.1 and the results of calculations with the rho spearman formula, it is found that ñ count 0.67 is then compared to the rho spearman criticism price table with a sample size (n) of 12 respondents and a 95% confidence interval. the results of the spearman rank statistical test showed the value of sig = 0,000. this meant that there was a correlation between the mothers’ satisfaction in antenatal care services by midwives and the motivation to do antenatal care. a pure motivation is motivation that is really aware of the importance of a behavior and is felt as a need. each individual has a hierarchy of needs that determines his actions, once the most basic needs are satisfied, the individual will be motivated to achieve the next need. (susilo, 2014) research showed that mothers who felt satisfied / satisfied beyond what was expected would be motivated to do antenatal care. motivation itself is influenced by the urge to act which is based on the needs they feel; the desires and needs of the individual motivate individuals to fulfill them. the need for antenatal care will foster a motivation for mothers because they are aware that this is a need for the fetus that must be fulfilled. if the most basic needs of pregnant women are properly fulfilled and satisfied, then automatically there will be motivation to meet their needs again, namely to visit antenatal care centers. the result above is in line with the reinforcement theory which states that individual behavior will lead to motivation if there are consequences of that behavior. behavior that gives rise to satisfaction will strengthen this behavior so that it tends to 165monica, ulfa, the correlation of mothers’ satisfaction on antenatal care service by ... be repeated, on the other hand, behavior that causes dissatisfaction will weaken the behavior so that it tends to be abandoned. conclusion from the results and data analysis that had been done, the following results were obtained:the satisfaction level of mothers at antenatal care services provided by midwives was in the category of very satisfied with a total of 67%, mothers had high motivation to do antenatal care with a total of 75%, there was a correlation between mothers’ satisfaction at antenatal care services provided by midwives and motivation to do antenatal care. based on the results of the spearman rank statistical test, it showed the value of sig = 0,000. suggestion the suggestions of this research are: midwives are expected to maintain and maintain the quality of service, especially in providing antenatal care to pregnant women so that the needs of mothers for antenatal care are always satisfied and mothers are expected to be able to provide an assessment of the services provided by health workers which can be used as an evaluation of the performance of health workers, especially midwives in an effort to maintain and improve the quality of midwifery services. references fahrozy, a. (2017). hubungan kualitas pelayanan rumah sakit dengan kepuasan pasien pengguna bpjs kesehatan di rumah sakit abdul wahab sjahranie samarinda. 1–2. imbalo, s. . (2016). jaminan mutu layanan kesehatan/ : dasar dasar pengertian dan penerapan (2nd ed.). penerbit buku kedokteran egc. supartiningsih, s. (2017). kualitas pelayanan an kepuasan pasien rumah sakit: kasus pada pasien rawa t jala n. jurnal medicoe ticol egal dan manajemen rumah sakit 10.18196/jmmr.2016, 6(1), 9–15. https://doi.org/10.18196/jmmr.6122 susilo, c. (2014). hubungan pasien rawat inap berstatus bpjs dengan tingkat kepuasan pasien di puskesmas sumbersari kabupaten jember. 34. e:\2021\ners agustus\5--jurnal 171sandi, hidayati, sa’adah, alcohol consumption motivation in adolescents alcohol consumption motivation in adolescents yudisa diaz lutfi sandi¹,lina nurul hidayati2, hamidatus daris sa’adah3 1,2,3nursing department, akademi keperawatan pemerintah kabupaten ngawi, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 08/04/2021 accepted, 12/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: adolescents, alcohol consumption, motivation article information abstract the number of alcoholic drinks that adolescents abuse was due to various reasons. the objective of the study was to explore the motivation of adolescents in consuming alcohol. this study used a qualitative descriptive method. 13 participants were selected according to the inclusion criteria using snowball sampling. the data collection used semi-structured interviews. the data analysis stage in this study used the colaizzi technique. this study consisted 3 main themes and 19 sub-themes; (1) feelings: a) comfortable, b) happiness, c) relieved, d) satisfied; (2) encouragement: a) society, b) curious, c) addictive, d) friend invitation, e) escape, f) solidarity, g) got trouble, h) stimulate activity, i) looking for new experience; (3) achievement: a) got many friends, b) recognized, c) so it looks cool, d) he problem solved, e) able to tell stories, f) healthy in body. the consumption of alcohol in adolescents was based on the will of the adolescent, both from within the individual and from outside the individual which motivated adolescents to consume alcohol with a purpose that the individual believes. alcohol abuse among adolescents is a chronic problem in the government’s efforts to reduce numbers due to the effect of alcoholic drinks. alcoholic drink is a type of drink that has an intoxicating effect, is dependent on nature and causes changes in behavior, perceptions, emotions and cognition for those who consume it. © 2021 journal of ners and midwifery 171 correspondence address: akademi keperawatan pemerintah kabupaten ngawi – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: yudisadiaz@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p171–177 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p171-177 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p171-177&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 172 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 171–177 introduction alcohol abuse among adolescents is a chronic problem in the government’s efforts to reduce numbers due to the effect of alcoholic drinks. alcoholic drink is a type of drink that has an intoxicating effect, is dependent on nature and causes changes in behavior, perceptions, emotions and cognition for those who consume it (prabowo & pratisti, 2017; wijaya, 2016). alcohol consumption in adolescents is based on the domination of curiosity, trying to find pleasure, as a place to escape, a means of relieving the burden of the mind and making many friends (nurjannah, 2018; solina et al., 2019) who in 2018 released europe is the country with the most alcohol consuming population in the world, amounting to 449,304 people out of a total world population of 5,457,686 people(hammer et al., 2018). high alcohol consumption also occurs in indonesia according to data risetkesehatandasar (riskesdas) 2018 north sulawesi is the province with the highest alcohol consumption amounting to 16% (p2ptm kementerian kesehatan republlik indonesia, 2018). based on the results of the survey fr om pusa tpenelitia nda npengemba nga n (puslitbang) tahun 2015 there were 17.93% of adolescents who consumed alcohol from a total population of 11,110 people, of which 14.38% were boys while 3.55% were girls (puslitbang, 2015). in east java, the number of people who consume alcohol is 1.8% of the total population of 127,176 people (p2ptm kementerian kesehatan republlik indonesia, 2018) there are several things behind alcohol consumption in adolescents, one of which is association, when adolescents hang out with friends who consume alcohol they will be invited to consume the drink, supported by curiosity and solidarity, making adolescents continue to consume it and causing addiction (mukrimin et al., 2017; tri et al., 2018). choosing alcohol as an alternative to escape when adolescents are in trouble, the influence of alcohol makes adolescents free to tell stories and can forget the problems they are facing(kevaladandra & nurmala, 2019). professional nursing views humans as unique individuals. this study seeks to understand the human side as a whole, so that the triggers of alcohol consumption in adolescents can be controlled as early as possible. this research aims to study and explore the background of alcohol consumption in adolescents in ngawi district. methods this study uses a qualitative descriptive method with the aim of describe the motivation of adolescents in consuming alcohol. the data was collected by means of in-depth interviews which were recorded through an audio recorder and field notes. sampling of participants in this study using snowball sampling and adjusted to the inclusion criteria that have been previously set. the results of data collection at the end of each participant were analyzed using the colaizzi technique and continued continuously until the last participant with data saturation(colaizzi, 1978). the analysis used nvivo 11 software to avoid missing data and ensure the validity of data reliability. result data collection through depth interviews was carried out with an accumulation of 13 participants 12-19 years in ngawidistrict. in the results of data collection that has been analyzed, with 3 main themes and 19 sub-themes, the details of which are as follows. theme 1: feelings sub-theme: comfortable “ when i was drink, i feels comfort…” (v2-168) “it was make me feel better, it mean comfort for being live”(v5-47) sub tema: happiness “there is just happy, basically consumption alcohol and can behappy with my friends” (v1-102-103) “drink it aim to just happiness, just looking for entertainment.” (v6-66-68) subtema: relieved “….after drinks, relieved feeling came in” (v1-3435) “after i consume it i feel relieved” (v9-115) sub theme: satisfied “i feel satisfied, i am satisfied because there is no burden anymore.” (v8-98-99) theme 2: encouragement sub-theme: society “the habit start with interact in society. curiosity because around here used to be a lot of friends who had been drinking alcohol” (v2-108-109) 173sandi, hidayati, sa’adah, alcohol consumption motivation in adolescents sub theme: curious “i drink alcohol because it started with my curiosity.” (v2-107) “ yes, i’m a lwa ys curious to spontaneously try…”(v7-125) sub-theme: addictive “yes, curious continues spontaneously i tried it and finally became addicted.” (v7-125-126) sub themes: friend invitation “at first i was invited by a friend.” (v2-33) “because of friends, drinking is influenced by friends” (v4-6) sub-theme: escape “in my position at that time, yes, i had no other way to get rid of the thoughts that were always in my mind” (v2-118-119) “just to escape at the bad conditions.” (v13-66) sub-theme: solidarity “can only think of following a friend, the term is a friend there, i’m going there, my friend is here, i’m going” (v13-62-63) sub theme: got trouble “at that time i had a problem, there was a problem and my friend suggested drinking alcohol together. so that the problem can relieve.” (v8-112-114) “if there are problems or dizziness or how to make an outlet.” (v12-9-10) sub themes: stimulate activity “usually for work enthusiasm, school work, doing homework or what.” (v4-26-28) sub themes: looking for new experience “it is like now looking for experience, maybe you can tell the children later if you are married or do not let the children follow.” (v5-59-61) theme 3 :attainmnet sub themes: got many friends “because drinking is usually a lot of drunken friends.” (v11-57-58) sub-theme: recognized “naughty people have lots of friends like this.bad people are feared by people or whatever. maybe that’s where it got friends.” (v10-18-19) sub themes: so it looks cool “i drink like this looks cool.” (v5-22) sub themes: the problem solved “when i drink, i feel relieved, my mind’s burden is gone, yes, all the problems i face are gone, instantly i don’t think about many problems anymore.” (v1246-49) sub themes: able to tell stories “if i drink, i want a lot of stories, i am more open at that time than i didn’t drink.” (v11-141-142) sub themes: healthy in body “if consumed in moderation it is healthy in body.” (v3-38-39) “it feels good in the body well, especially when i wake up in that body it feels like being healthy again.” (v6-17-18) discussion from data collection in research that has been done, alcoholic drinks can provide comfort.this is supported by other studies which state that when a person consumes alcohol rises a feeling of comfort (pratama & muhartono, 2019). various effects that arise after consuming alcohol can be used as a coping. coping in question is emotional-focused coping with the aim of creating comfort, creating calm, avoiding various reactions that arise due to negative emotions so that it becomes a positive reinforcer for adolescents to consume alcohol(cho et al., 2019). the effects are felt, including reducing emotions, creating comfort, making themselves feel better, this is a positive reinforcement for adolescents to consume them. the results of interviews with participants were obtained when someone consuming alcohol will get pleasure. the above is supported by research that the feelings shown when drunk are happy and proud (lia khikmatul maula & yuniastuti, 2017)in other study it is also explain that alcohol consumption can provide enjoyment, comfort, pleasure and serenity (goleman et al., 2019; prabowo & pratisti, 2017). when an individu is drunk, they get pleasure, pride, comfort, enjoyment and serenity. participants felt relieved after consuming alcohol. people will feel relieved if they can tell the problems they are facing (cornilov et al., 2019)adolescents believe talking under the influence of alcohol becomes more freely so that it makes adoles174 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 171–177 cents feel relieved like they don’t have a problem to tell their problems (amalia et al., 2018). by consuming alcohol, adolescents can tell stories freely to solve problems, when they can tell stories freely,adolescents feel relieved and can solve their problems for a moment. in the interview, the participants expressed their satisfaction because they did not have a burden and could solve problems. in research conducted by nurjannah explained that adolescents consume alcohol only for pleasure, satisfaction and enjoyment (nurjannah, 2018). getting satisfaction is one of the reasons adolescents consume alcohol, with it they can solve problems and eliminate the burden they feel. starting from hanging out with friends who consume alcohol, the participants participate in consuming alcoholic drinks. if aadolescent choose bad social relationships, the adolescent will join into negative relationships such as alcohol (tri et al., 2018). social relationship is one of the triggers for adolescents to consume alcohol, if adolescents cannot choose good social relationship,they will enter into associations that are difficult to escape from alcohol. the research data reveals that starting from hanging out with friends who drink alcohol, making adolescents curious and trying it. adolescents have a great sense of curiosity, because in this transitional period adolescents often do everything experimental, including consuming alcohol (goleman et al., 2019). starting from curiosity and wanting to try, adolescents try everything that is experimental, including consuming alcohol participants said that it started from their curiosity to decide to consume alcohol until they became addicted. this statement is in accordance with research when adolescents are accustomed to consuming alcohol and easily get it, then that person will use it alone and without realizing it will gradually become addicted (spear, 2018). curiosity makes adolescents consume alcohol until they are addictive, when adolescents become addicted they look for various ways to consume the drink. participants stated that a friend’s invitation was the reason they consumed alcohol, starting when they gathered with friends and were invited to join, causing participants to spontaneously drink the alcohol. in the study manekthat it was explained that the influence of the environment and the invitation of friends are the reasons for adolescents to consume alcohol, because in this environment it is very easy to get alcohol, plus the association of adolescents ca nnot be sepa r a ted fr om a lcoholic drinks(manek et al., 2019). when hanging out with friends who consume alcohol, adolescents will drink it, this is supported by the ease of getting alcohol in that environment the results of the interview stated that alcohol was chosen as an escape if adolescents had problems and could not solve it. this statement is supported by research that alcohol consumption is used as an outlet for problems, reduces anxiety and calms the mind(agabio et al., 2021; shuai et al., 2020). teens use alcohol as an escape when they can’t solve problem, they think that when they consume alcohol the problem they face will be resolved even for a moment. alcohol is also the main choice for reducing anxiety and calming the mind. participants mentioned their reasons for consuming alcohol to create solidarity with friends. starting from a friend’s invitation and wanting to respect, they are together to consume alcohol. the relationship that is formed between fellow drinkers shows high solidarity, from this relationship can lead to an attitude of solidarity, cooperation and mutual help (karlsson et al., 2020; sandi et al., 2020)solidarity is the reason for adolescents to consume alcohol, because in this association there are social relationships that show solidarity and mutual respect for fellow friends.significant association between socioeconomic status and alcohol consumption (farmer & hanratty, 2012) interview data shows that the participants’ reasons for consuming alcohol were due to problems. when they get into trouble and can’t solve alcohol is used as an alternative to be able to tell stories and solve problems. this is supported by research when adolescents have problems and have a lot of thoughts and cannot solve them, alcohol is chosen to solve the problem. (kevaladandra & nurmala, 2019). when teens have a problem with alcohol is chosen as an alternative to solving a problem, they think that alcohol lightens the mind a little and allows them to tell stories. participants revealed the reasons for consuming alcohol to get enthusiasm, alcoholic drinks were used as encouragement when he was working, in his opinion alcohol had a mild effect on the body that made that sense of enthusiasm appear in him. in a study, it was stated that workers assumed that by consuming alcohol they felt calm, had a spirit of 175sandi, hidayati, sa’adah, alcohol consumption motivation in adolescents work and released pressure in the work environment (goyena & fallis, 2019). individu think that consumes alcohol they will feel calm, have enthusiasm for work and can release pressure on the work environment. when consume alcohol and gives a free feeling to the body. the results of the interview stated that the participants consumed alcohol to seek experiences so that they could share with their children. this is evidenced by research that the reason for consuming alcohol is to seek new experiences, adolescents who know the effects of alcohol and the effects they have felt will not invite others to consume it (goyena and fallis, 2019; johannessen 2020). the reason adolescents consume alcohol is to seek experience, when someone has felt the effects and effects of drinking alcohol, they will not invite other people to consume. participants explained that the reason for consuming alcohol was to make many friends, the more friends who consumed alcohol, the more friends they would get from that environment. in the another study also explained that by consuming alcohol, adolescents will get many friends, with alcoholic drinks they are easier to socialize and their selfconfidence will increase(sandi et al., 2020)after consuming alcohol, adolescents become more confident, and they are easier to get along with, so that adolescents will get lots of friends. participants explained that when they consumed alcohol, they would be recognized and feared by the people around them.foradolescents, recognition from friends and people around them is the most important thing (diananda, 2019). to be recognized by the environment and the people around them, adolescents will do various ways, even though what they are doing is actually wrong, such as consuming alcohol (saputro et al., 2014; wijaya, 2016). adolescents get recognition from people around them is an important thing, they will do various ways to get this recognition, one of which is by consuming alcohol. during the interview, one participant answered the reason he consumed alcohol to make him look cool. this is supported by research which reveals that adolescents consume alcohol to increase their cool impression and look cool and are recognized by their friends (lia khikmatul maula & yuniastuti, 2017). alcohol is consumed to make it look cool and cool and is recognized by friends around it. from the research conducted the reasons for the participants to consume alcohol were so that the existing problems could be resolved. through alcohol they can tell their friends freely. in the study (kevaladandra & nurmala, 2019)it was stated that when adolescents have a problem and cannot solve it, alcohol is chosen as the only way to overcome the problem. for adolescents, alcohol is used as an option to solve problems, by consuming it, adolescents can tell stories freely. the reason the participants consume alcohol is to be able to tell stories freely, because when they are under the influence of alcohol they have no limitations when telling stories. the consumption of alcohol among adolescents is used as a forum so that they can tell their friends freely (kevaladandra & nurmala, 2019). by consuming alcohol, adolescents are free to tell their friends without any restrictions. participants state their reasons for consuming alcohol to get a good sensation in their body,for them when they wake up after consuming alcohol their bodies feel free.in research conducted by manek et al that adolescents consume alcohol to have fun with their friends and create a good sensation in the body(manek et al., 2019). the effect produced after consuming alcohol when you wake up will feel free in the body. conclusion socialization in adolescent being one of the triggers for adolescents to consume alcohol, when adolescents cannot choose good associations they will enter into relationships that cannot be separated from alcohol, supported by curiosity and solidarity to make teens try this. alcoholic drinks can provide comfort, pleasure and satisfaction so that they continue to be consumed, because alcoholic drinks have addictive properties when consumed continuously making adolescents addicted. alcohol is also chosen as an escape when having problems, when under the influence of alcohol it is easier for adolescents to tell stories, this makes adolescents feel relieved because they can solve their problems. adolescent have the achievements they want to aim for when consuming alcohol. alcohol consumption is chosen as a means of getting lots of friends and being recognized in their environment, some adolescents consume alcohol to seek experiences so that they can be shared with others. alco176 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 171–177 hol is also used as an encouragement, the effect produced after waking up makes the body feel good and makes adolescents feel healthy again. suggestion nursing services are advised to participate in reducing the amount of alcohol consumption in adolescents, through promotive, preventive, curative and rehabilitative services, as well as learning more about the handling of alcohol consumption so that it does not increase, and a high degree of health can be achieved. in this research, there are still many things that need to be improved, for further research, it is necessary to develop the existing knowledge so that the existing knowledge can be useful, especially in the field of nursing. refference agabio, r., baldwin, d. s., amaro, h., leggio, l., & sinclair, j. m. a. (2021). the influence of anxiety symptoms on clinical outcomes during baclofen treatment of alcohol use disorder: a systematic review and meta-analysis. in neuroscience and biobehavioral reviews (vol. 125). https://doi.org/ 10.1016/j.neubiorev.2020.12.030 amalia, s., husodo, t., cahyo bagian, k., kesehatan, p., perilaku, i., & kesehatan, f. (2018). identifikasi faktor penyebab perilaku mengkonsumsi minuman beralkohol pada atlet softball universitas “x” kota semarang. jurnal kesehatan masyarakat, 6(2), 179–184. http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm cho, s. bin, su, j., kuo, s. i. c., bucholz, k. k., chan, g., edenberg, h. j., mccutcheon, v. v., schuckit, m. a., kramer, j. r., & dick, d. m. (2019). positive and negative reinforcement are differentially associated with alcohol consumption as a function of alcohol dependence. psychology of addictive behaviors, 33(1), 58–68. https://doi.org/10.1037/adb0000436 colaizzi, p. (1978). psychological research as the phenomenologist views it. oxford university press. cornilov, g. a., ilkevich, k. b., shalomova, e. v., kartushina, i. g., musharatsky, m. l., mashkin, n. a., & altukhov, s. a. (2019). features of alcohol consumption motives and practices by full-time and part-time training students. journal of environmental treatment techniques, 7(3), 438–444. dia n a nda , a. (2019). psi kol ogi rema ja da n permasalahannya. journal istighna, 1(1), 116– 133. https://doi.org/10.33853/istighna.v1i1.20 farmer, s., & hanratty, b. (2012). the relationship between subjective wellbeing, low income and substance use among schoolchildren in the north west of england: a cross-sectional study. journal of public health (united kingdom), 34(4). https:/ /doi.org/10.1093/pubmed/fds022 goleman, d., boyatzis, r., & mckee, a. (2019). penyalahgunaan alkohol dikalangan remaja. journal of chemical information and modeling, 53(9). goyena, r., & fallis, a. . (2019). penggunaan minuman beralkohol. journal of chemical information and modeling, 53(9), 1689–1699. hammer, j. h., parent, m. c., spiker, d. a., & world health organization. (2018). global status report on alcohol and health 2018. in global status report on alcohol (vol. 65, issue 1). h tt ps: //doi .org/10. 1037/ cou0000248 karlsson, d., holmberg, s., & weibull, l. (2020). solidarity or self-interest? public opinion in relation to alcohol policies in sweden. nad nordic studies on alcohol and drugs, 37(2). https://doi.org/ 10.1177/1455072520904644 kevaladandra, z., & nurmala, i. (2019). persepsi kontrol perilaku dalam niat berhenti mengonsumsi minuman beralkohol pada mahasiswa di surabaya. jurnal keperawatan muhammadiyah, 4(1). https:/ /doi.org/10.30651/jkm.v4i1.2071 lia khikmatul maula, & yuniastuti, a. (2017). analisis faktor yang mempengaruhi penyalahgunaan dan adiksi alkohol pada remaja di kabupaten pati. public health perspective journal, 2(2), 168–174. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/phpj manek, l. d., takaeb, a. e. l., & regaletha, t. a. l. (2019). faktor yang berhubungan dengan perilaku mengkonsumsi minuman beralkohol remaja di desa lakanmau kecamatan lasiolat belu. timorese journal of public health, 1(3), 143–149. https:// doi.org/10.35508/tjph.v1i3.2141 mukrimin, hos, j., & juhaepa. (2017). dampak minuman keras di kalangan remaja di desa langara iwawo kecamatan wawoni barat kabupaten konawe kepulauan. journal of chemical information and modeling, 1(1), 81–91. https://media.neliti.com/ media/publications/246919-dampak-minumankeras-di-kalangan-remaja-afe5f98e.pdf nurjannah, b. a.-h. (2018). kebutuhan cinta dan kasih sayang pada remaja peminum alkohol. bf psychology. http://eprints.uad.ac.id/10633/1/ kebutuhan cinta dan kasih sayang pada remaja peminum alkohol.pdf p2ptm kementerian kesehatan republlik indonesia. (2018). hasil utama riskesdas penyakit tidak menular 2018. hasil utama riskesdas penyakit tidak menular, 31–33. prabowo, a. g., & pratisti, w. d. (2017). studi fenomenologis: perilaku agresif pada pecandu alkohol. prosiding temu ilmiah x ikatan psikologi perkembangan indonesia, 1, 256–266. https:// doi.org/978-602-1145-49-4 177sandi, hidayati, sa’adah, alcohol consumption motivation in adolescents pratama, m. r., & muhartono. (2019). dampak mengkonsumsi alkohol terhadap kesehatan lam bung. majorit y, 8(2), 254–258. ht tp: // juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/ article/view/2480/2436 puslitbang. (2015). perilaku berisiko kesehatan pada pelajar smp dan sma di indonesia. in badan litbangkes kementrian kesehatan ri (pp. 1–116). h tt p: // www. wh o.i nt /n cds/ surveil la nce/ gshs/ gshs_2015_indonesia_report_bahasa.pdf?ua=1 sandi, y. d. l., hidayati, l. n., & andarini, e. (2020). motivasi sosial konsumsi alkohol pada remaja. jurnal penelitian keperawatan, 6(2). https:// doi.org/10.32660/jpk.v6i2.484 saputro, f. a. d., hastuti, y. d., & arisdiani, t. (2014). pengaruh peran teman sebaya terhadap perilaku konsumsi alkohol pada remaja putra. jurnal ilmiah permas: jurnal ilmiah stikes kendal, 4(2), 70–81. https://doi.org/10.32583/pskm.4.2.2014.7081 shuai, r., bakou, a. e., hardy, l., & hogarth, l. (2020). ultra-brief breath counting (mindfulness) training promotes recovery from stress-induced alcoholseeking in student drinkers. addictive behaviors, 102. https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2019.106141 solina, s., arisdiani, t., & widiastuti, y. p. (2019). hubungan peran orang tua dengan perilaku konsumsi minuman alkohol pada remaja lakilaki. jurnal keperawatan jiwa, 6(1), 36. https:// doi.org/10.26714/jkj.6.1.2018.36-45 spear, l. p. (2018). effects of adolescent alcohol consumption on the brain and behaviour. in nature reviews neuroscience (vol. 19, issue 4). https:// doi.org/10.1038/nrn.2018.10 tri, l., liana, w., & adolf, l. l. (2018). penyalahgunaan konsumsi alkohol pada minuman keras bagi remaja terhadap kesehatan [stikes surya mitra husada]. https://doi.org/10.31219/osf.io/2j795 wijaya, a. (2016). faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya konsumsi alkohol pada remaja putra di desa keramas kecamatan blahbatuh kabupaten gianyar. jurnal dunia kesehatan, 5(2), 15–23. 255 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the overview of the burnout potential of employee staff during pandemic times at unitri sirli mardianna trishinta1, wahidyanti rahayu hastutiningtyas2, yanti rosdiana3 1,2,3nursing department, tribhuwana tunggadewi university malang, indonesia article information abstract with the covid-19 pandemic, the central government has given policies for all local governments so that the activity process is carried out from home. however, burnout can occur because this is a psychological symptom such as physical, emotional, mental fatigue and depression that can occur in worker. the purpose of the study was to determine the description of the potential for burnout of workers in employee at unitri during the pandemic. the design of the study used a quantitative description. the population of this study were all 35 employee staff at unitri with purposive sampling, in order to obtain a study sample of 18 respondents. the data collection technique used an instrument in the form of a questionnaire. the data analysis method used descriptive test. the results showed that almost all 15 respondents (83.3%) had moderate burnout potential. future researchers are expected to conduct similar research by exploring the determinant factors of the potential for worker burnouts. history article: received, 22/10/2021 accepted, 24/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: administrative staff, burnout potential, covid-19 © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: tribhuwana tunggadewi university malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : sirli.shinta@unitri.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p255-260 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:sirli.shinta@unitri.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p255-260 256 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 255-260 introduction the covid-19 pandemic is one of the most rapidly spreading infectious diseases in various countries, including indonesia. in addition, the covid-19 pandemic has also had an impact on many parties, this situation has penetrated the world of education. with the covid-19 pandemic, the central government has issued a policy for all local governments so that the teaching and learning process in every school and college is carried out online and limited to daily activities. this is done as an effort to break the chain of transmission of covid-19 (amalia & hiola, 2020). the policy of working at home or online during the covid-19 pandemic is one of the right solutions so that the work process continues. but in its implementation, there are obstacles and cause problems. the covid19 pandemic triggers many psychological problems that occur in every work staff such as stress, decreased ability to do routine work, fatigue, a sense of burden with workers, and a sense of boredom (burnout) (anugrahana, 2020). maslach, (2016) revealed that burnout is a psychological symptom such as physical, emotional, mental fatigue and depression that can occur in people who work. and this is a response to chronic emotional tension. burnout is considered as a type of work stress. based on incident data, it shows that burnouts are usually more common in professions that generally lead to service professions, such as doctors, teachers, and other public service workers. however, burnout does not only occur in someone who works as a service provider, burnout is also found in various other jobs, namely in the field of organization and industry. this decline in the quality of work and in both physical and psychological health can be costly—not just for the individual worker, but for everyone affected by that person. based on data obtained by the association of indonesian mental specialists (pdskji), the psychological development of the community during the covid-19 pandemic showed 64.3% of 1,522 respondents experienced anxiety or stress as a result of the pandemic (ananda & apsari, 2020). the potential for work burnout in general is experienced by academic work staff, who have many tasks and responsibilities. completed (christiana, 2020). burnout is a fatigue syndrome, both physically and mentally which includes developing a negative selfconcept, lack of concentration and negative work behavior. this situation makes the atmosphere and commitment to be reduced, performance, and employee performance is not optimal. this also makes workers become stressed, do not want to be involved with their environment. burnout as a psychological syndrome consisting of three dimensions, namely emotional exhaustion, depersonalization and decreased personal achievement (marpaung, 2020). work burnout potential is a complex thing that can be seen from the psychological, mental, physical and behavioral reactions to a job, so that it can harm individuals and organizations. work staff who experience burnout are usually caused by several factors, namely external and internal factors. external factors include work organization conditions such as rules that make a person feel trapped in an unfair system, leadership styles that do not pay attention to employee welfare and job demands and unfavorable working environmental conditions. while internal factors include conditions originating from the individual such as gender, age, self-esteem, education level, years of service and personality characteristics as well as the ability to cope with stress (andriansyah & sahrah, 2014). in addition, other factors that cause a person to experience potential burnout are situational such as task identity, task meaning, skill diversity, autonomy and feedback, job characteristics, and organizational characteristics (orpina & prahara, 2019). the impact of burnout will make a person slowly erode his spirit due to chronic stress in daily work, such as too much pressure, conflict, demands and lack of emotional rewards, recognition and success. burnout can occur when work is felt to be meaningless and full of constant stress but lacks support and rewards. the wfc (work from campus) policy for unitri staff during the pandemic is a policy to continue to provide academic services even during the covid-19 pandemic. this condition has the potential to cause the transmission of covid-19 through the services provided on campus. the task force team in charge of controlling the spread of covid-19 while ensuring that the health protocols are carried out properly by all unitri staff. however, this condition can increase the risk of stress that has the potential to burn out in workers. based on the problems described above, it can be said that it is possible for work stress to occur in workers during the covid-19 pandemic, so it is important to conduct a study with the title trishinta, hastutiningtyas, rosdiana, the overview of the burnout potential of employee staff during … 257 overview of potential burnout of workers in unitary staff during a pandemic in order to overcome work stress problems in employees. worker. method research design this study used quantitative description. the population in this study was all working staff at the otribuwana tunggadewi university malang with a total of 250 people. the sample used was determined using the slovin formula and adjusted to the inclusion and exclusion criteria, the number of samples was 28 people with a significance level of 5% or 0.05. the inclusion criteria are: 1) active staff working at the otribhuwana tunggadewi university malang, 2) willing to be a respondent and willing to fill out an informed consent form. 3) working wfc during the pandemic at least 1 semester exclusion criteria are 1) not willing to be a respondent and refusing to fill out the questionnaire 2) currently on work off. the sampling technique used in this study was purposive sampling. to achieve sampling, each element was selected randomly. the study was conducted at the tribhuwana tunggadewi university malang in june 2021. the instrument used to measure each variable was the maslach burnout inventory (mbi) questionnaire. the steps for data collection in this study were as follows: 1. the researcher writes a research letter at tribhuwana tunggadewi university, malang 2. the researcher submits a research letter to the tribhuwana tunggadewi university malang 3. after obtaining research approval, the researcher began to conduct research 4. researchers distribute questionnaire sheets via google form to respondents 5. collecting data, analyzing data and compiling research results the variable in this study was a description of the potential for burnout. univariate analysis was carried out for each of the variables studied. result characteristics of respondents in this study include age, gender, and last education, marital status, number of dependents of family members, faculty lecturers, committees in the past year, length of service and additional structural positions. the data are presented as follows: table 1: frequency distribution based on characteristics in 2021 variable category f (%) age 25-30 year 4 22,2 31-35 year 7 38,9 35-40 year 3 16,7 41-45 year 1 5,6 46-50 year 1 5,6 >50 year 2 11,1 gender male 9 50,0 female 9 50,0 last education s1 1 5,6 s2 17 94,4 marriage status not married 2 11,1 married 16 88,9 ammount of member family’s burden 0-1 person 5 27,8 2 persons 6 33,3 3-4 persons 7 38,9 faculty nursing 10 55,6 social and political science 1 5,6 engeeneer 1 5,6 education science 3 16,7 agriculture 3 16,7 attend in committee member in last year no 3 16,7 yes 15 83,3 258 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 255-260 length of work 1-3 years 5 27,8 4-6 years 4 22,2 7-10 years 4 22,2 >10 years 5 27,8 additional structural position no 0 0,0 yes 18 100 total 18 100 based on table 1 shows almost half of the respondents 7 respondents (38.9%) aged 31-35 years, half of them 9 (50%) are female and male, almost all 17 (94.4%) have the latest education s2, almost all 16 (88.9%) are married, almost half of the respondents 7 respondents (38.9%) have dependents of 3-4 family members, most of them 10 (55.6%) are lecturers in the faculty of health sciences, almost all 15 ( 83.3%) had a committee history in the last one year, almost half of them 5 (27.8%) had 1-3 years of service and > 10 years, and all 18 (100%) had additional structural positions. burnout potential the results of the study on the description of the burnout potential of workers in unitary staff during the pandemic are presented in the following table. table 2: frequency distribution of worker burnout potential for unitri staff during the 2021 pandemic burnout potential f (%) severe 3 16,7 moderate 15 83,3 low 0 0,0% total 18 100 based on table 2 shows that almost all 15 respondents (83.3%) have moderate burnout potential. discussion an overview of potential worker burnouts in unitri staff during a pandemic the results of this study indicate that almost all respondents, namely workers in the unitri staff, have a moderate category of burnout potential as many as 15 respondents (83.3%). it is known that respondents who have a potential burnout category are influenced by 7 respondents (38.9%) aged 31-35 years, 9 respondents (50%) are male and 9 respondents (50%) are female, 7 respondents (94, 4%) have a master's degree education and 5 respondents (27.8%) with a length of work > 10 years. factors that affect the potential for worker burnouts include age, gender, education and length of work. most of the respondents have a medium potential burnout category because there are influencing factors, namely age, gender, education and length of work. this is in line with andriansyah & sahrah (2014) which states that the factors that influence work staff who experience burnout are usually caused by several factors, namely external and internal factors. external factors include work organization conditions such as rules that make a person feel trapped in an unfair system, leadership styles that do not pay attention to employee welfare and job demands and unfavorable working environmental conditions. while the internal factors that influence the burnout potential include conditions originating from the individual such as gender, age, self-esteem, education level, years of service and personality characteristics as well as the ability to cope with stress (andriansyah & sahrah, 2014). in addition, other factors that cause a person to experience potential burnout are situational such as task identity, task meaning, skill diversity, autonomy and feedback, job characteristics, and organizational characteristics (orpina & prahara, 2019). factors that affect the potential for burnout include the age factor. most of the respondents have the age of 31-35 years because there are factors that influence the age. the age factor also affects the occurrence of burnouts. older worker was less likely to experience burnout relative to younger results of differ from the general tendency to believe that both physical and mental flexibility diminish with age (plantiveau, et al, 2018; teles, et al, 2020). gender factors also affect the potential for burnout. half of respondents 9 (50%) are female and male. previous research has explained these differences based on different coping strategies deployed by men and women in the face of stressful experiences. trishinta, hastutiningtyas, rosdiana, the overview of the burnout potential of employee staff during … 259 these differences may also be due to their work, indicating that gender determinism, which is identified with care and protection, part of the feminine role (teles, et al, 2020). in previous study, it was found that there was a significant relationship between the number of children and somatic burnout; those who had more children reported higher levels of somatic burnout (nejatian, et al, 2021). an increase in the number of children of some married couples increased their conflict rate and their quality of marriage decreased (bulgan, 2018). so, amount of family members who must be taken care had more the amount of time and energy that they spent with their family increased, which may have eventually lead to the burnout. educational factors also affect the potential for burnouts, almost all of the respondents who have burnouts are those who have a master's level of education. this is in line with the results of research by almonacid & calderon (2020) which states that the higher the level of education, the higher the level of burnout experienced because this condition indicates an increase in the workload of workers along with an increase in the level of education. different other faculty, faculty of health science may experience high levels of stress related to teaching expectations, service, research, increased workloads and personal life balance problems. the increasing programs for online learning may also pose problems in that it can be difficult to balance work and personal life since students may be located at various areas and post assignments to faculty by online (owens, 2017). in previous study, workers with more than 30 years of experience reported the lowest levels of perceived stress than the least experience (less than 10 years). however, the results are in line with studies in which workers’ experience has been seen a better use their coping resources, also the confidence and maturity brought by their age and experience (teles, et al, 2020). meanwhile, the experience workers also have organisational stressors. in addition to job stressors with overload duty that come from additional job in structural or join the committee that may be created ambiguity, conflict or exacerbated due to organizational change (day, et al, 2017). this excessive workload will trigger a burnout. conclusion based on the results of study on the description of the burnout potential of employee in unitri staff during the pandemic, it can be concluded that almost all respondents have moderate burnout potential. suggestion for staff or employee is expected to be able to work both from home and on campus without any pressure that can cause unwanted things to happen during the covid-19 pandemic. for further research conducting related research on the determinants of worker burnout potential. acknowledgement this paper and the study behind it would not have been possible without the exceptional support of our team, students of psychiatric department of nurse profession program year 2020/2021, tribhuwana tunggadewi university. we also grateful to all employee in tribhuwana tunggadewi university, who are willing to be respondents in this study, funding this study was supported by the nurse profession program grant year 2020/ 2021. conflicts of interest this study is part of the roadmap research plan of the department of mental health, faculty of health, tribhuwana tunggadewi university. we explained and collected data from respondents on behalf of the research team of the department of mental health, faculty of health sciences to avoid conflicts of interest. refference almonacid nieto, j. m., & calderon espinal, m. a. (2020). teleworking effect on job burnout of higher education administrative personnel in the junín region, peru. international journal of data and network science, 4, 373–380 amalia, l., & hiola, f. (2020). analisis gejala klinis dan peningkatan kekebalan tubuh untuk mencegah penyakit covid-19. jambura journal of health sciences and research, 2(2), 71–76. ananda, s. s., & apsari, n. c. (2020). mengatasi stress pada remaja saat pandemi covid-19 dengan teknik self talk. prosiding penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, 7(2), 248-256. andriansyah, h., & sahrah, a. (2014). hubungan bullying dengan burnout pada karyawan. jurnal psikologi tabularasa, 9(2),137-150. 260 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 255-260 anugrahana, a. (2020). hambatan, solusi dan harapan: pembelajaran daring selama masa pandemi covid-19 oleh guru sekolah dasar. scholaria: jurnal pendidikan dan kebudayaan, 10(3), 282-289. bulgan g, kemer g, çetinkaya yıldız e. (2018). marital satisfaction of turkish individuals: the role of marriage type, duration of marriage, and personality traits. int j hum soc sci. 8(1):88–97. christiana, e. (2020, september). burnout akademik selama pandemi covid 19. in prosiding seminar bimbingan dan konseling (pp. 8-15). day, a., crown, s. n., & ivany, m. (2017). organisational change and employee burnout: the moderating effects of support and job control. safety science, 100, 4-12. marpaung, f. v., wiroko, e. p., & wicaksana, s. (2020). pengaruh iklim organisasi terhadap burnout pada perawat rumah sakit di lebak dalam masa covid-19. jiva: journal of behavior and mental health, 1(2). maslach, c., & leiter, m. p. (2016). burnout. in stress: concepts, cognition, emotion, and behavior (pp. 351-357). academic press. nejatian, m., alami, a., momeniyan, v., delshad noghabi, a., & jafari, a. (2021). investigating the status of marital burnout and related factors in married women referred to health centers. bmc women's health, 21(1), 1-9. orpina, s., & prahara, s. a. (2019). self-efficacy dan burnout akademik pada mahasiswa yang bekerja. indonesian journal of educational counseling, 3(2), 119-130. owens, j. m. (2017). secondary stress in nurse educators. teaching and learning in nursing, 12(3), 214–215 plantiveau, c., dounavi, k., & virués-ortega, j. (2018). high levels of burnout among early-career board-certified behavior analysts with low collegial support in the work environment. european journal of behavior analysis, 19(2), 195-207. teles, r., valle, a., rodríguez, s., piñeiro, i., & regueiro, b. (2020). perceived stress and indicators of burnout in teachers at portuguese higher education institutions (hei). international journal of environmental research and public health, 17(9), 3248. e:\ibuk\ners desember 2021\3--j 284 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 284–289 the impact of reproduction health education using peer mentoring method towards the knowledge level of patients with sexuality transmitted infection yanuar eka pujiastutik1, putri kristyaningsih2 1,2nursing department, faculty of health, institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 30/08/2021 accepted, 19/11/2021 published, 15/12/2021 keywords: health education, peer mentoring methods, knowledge, sexually transmitted infections article information abstract sexuality transmitted infections are often also reffered to as veneral diseases. the spread can be from blood, sperm, or can also be transmitted from mother to fetus during pregnancy and birth, and through the blood and body tissues. in addition, spread can also without sexual intercourse, it can be from the use of syringes repeatedly or alternately, among people, as well as the risk of transmitting infection. the aim of this study was to determine the influence of reproduction health education using peer mentoring method towards the knowledge level of patients with sexuality transmitted infection. the study used one group pretest-posttest design. the data was collected by using a questionnaire. the respondent was selected by using total sampling technique and 27 respondents were obtained. the data was analyzed by using the wilcoxon test. the result of the value = 0,000, which meant value <  ( = 0.05) there was an effect of reproduction health education using peer mentoring method towards the knowledge level of patients with sexuality transmitted infection. for researchers, next expected can be used as information to developed a method of information in other research. © 2021 journal of ners and midwifery 284 correspondence address: institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: yanuar.eka@iik.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p284–289 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p284-289 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p284-289&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 285pujiastutik, kristyaningsih, the impact of reproduction health education using peer mentoring method ... introduction sexuality transmitted infections (sti) also known as sexual disease, is a disesase that was transmitted through unsafe sex. it can spread from blood, sperm, or from mother to fetus during the pregnancy and birth, and also from blood and body tissue, the usage of syringe that alternate in some people. the types of tsi are gonorrhea, syphilis, clamydia trachomatis, genital herpes, vaginal trichomoniasis, chancroid, kandiloma akuminata, hiv and hepatitis b (kemenkes ri, 2013). sti can transmitt from one person to another person by doing the sexual contact. in indonesia, the sti are gonorrhea and syphilis. one of sti that can not be heal yet is hiv / aids. the spreading of hiv can occur by some factors, there are free sex behaviour, decendent of religion value, lifestyle, occupation, and the failure in marriage (sari, 2015). world health organization (who) estimates that about 350 million new sti cases (syphilis, gonorrhea, klamidia, and trikhomonas) occur in the world for every year. in correlation with hiv/ aids infection, on 1995 united states bureau of census conveys, the district with the high sti prevalence, the prevalence of hiv/aids also on the high level and it was found the high risk sex behaviour (noviyani, 2017). from the data, sti clinic visit, it was known that the proportion of sti in district of kediri is high. for the last three years, the incident of sti does not decrease, it is 69,44% on 2011, 62,78% on 2012, and 64,62% on 2013. and it is trend to rise on 2013. the sti diagnoses on district of kediri in 2013 were dominate by servicitis for about 42%, candidiasis for about 10,8%, siphylis for about 4,3% and tricomoniasis for about 3,4% (kediri health departement, 2013). from the earlier study on balowerti public health centre city of kediri, balowerti has been educating patients but not maximally. on december 29th 2019, the amount of patient with sti on october 2019 is 34 cases, and november 2019 is 44 cases, and december 2019 is 2 cases. from that data, it shows the increasing of sti case on balowerti public health centre city of kediri. some factors can cause the increase of sti case, one of them is internal factor. the internal factors consist of that can influence the increase of sti are age when the firs sexual activity, education, less knowledge about the risk of sti, marital status, the sum of sexual partner and the occupation as commercial sex worker (nari, 2015). person who has high risk to contaminated by the sti is person who often change the sexual partner and do the sexual activity without using condom. risky behaviour also can increase the spread of sti, it is by doing unsafe sexual contact with the person who already infected with sti. changes in views on sexuality are thought to have caused a major shift in sexual habits and lifestyles that tend to deviate towards negative habits (najmah, 2016). sexual transmitted infection disease could not be trivial, because it has some effects, there are the damage of reproduction organs, neural damage, transmitted to the fetus while pregnancy, and the worst is it can cause death (herawati, 2007). the government’s effort in overcoming the problem of sexually transmitted infections is to make preventive efforts by providing health education that involves all health workers, especially nurses. nurses are one of the health workers whose job is to provide education to the community. this role is carried out by assisting the client in increasing the level of health knowledge, symptoms of the disease and even the therapy that has been given, so the behaviour can change and the increase of knowledge. but even though the government has made these efforts, the incidence of stis is still increasing (aulia, 2014). health education about health reproductive knowledge must be owned by everyone, one of it is to avoid sexually transmitted infections. sufficient knowledge must also be equipped with self-awareness to protect oneself so as to prevent or at least minimize these risks. as for the things that you can do, among others, always use a condom when having sex, maintain the cleanliness of the sexual organs, and regularly check with the doctor (kpan, 2010). according to notoatmodjo (2012), health education is an effort to improve learning for the community to maintain, maintain and improve their health. health education can also provide knowledge about health activities and actions for health workers and prospective health workers who are still in their education period. the expected result of a health education is an increase in health behavior, or behavior to maintain and improve conducive health. one method that can be used in health education is to use the peer mentoring method. peer mentoring is placing mentees to get mentors from 286 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 284–289 friends in the mentoring group (noorwod, 2010). peer mentoring is someone who has the same job responsibilities as the mentee, but the peer mentor has slightly more experience or is someone one level above the mentee (kim and zabelina, 2011). thus, the mentee is easier to accept the learning process provided by peer mentoring because there is no reluctance or shame to ask questions (grant, 2015). it is hoped that using the peer mentoring method by providing reproductive health education with peer mentoring methods, the level of knowledge of sexually transmitted patients can increase. methods this study used pre-experimental design using one group pretest-posttest design. the study location was carried out in the balowerti health center area of kediri city for 1 month. the respondent was selected by using total sampling technique. there were 27 respondents became the sample. the independent variable in this study was reproductive health education using the peer mentoring method. in obtaining information from respondents, the researchers used a research instrument in the form of a questionnaire containing 20 statements about knowledge of sexually transmitted infections. the results of the validity test showed that the value in the corrected item-total correlation column got a value > r table (0.444), which meant it was valid. while the reliability test on 20 respondents with a cronbach’s alpha value of 0.760 > r table (0.444) so that it was reliable. the data was analyzed by the wilcoxon test. at the implementation stage, the researcher determined one of the respondents to be used as peer mentoring according to the peer mentoring criteria, namely a friend in the mentoring group, someone who was appointed by the mentor variables frequencies percent (%) age: 17-25 years 8 29.6 26-35 years 5 18.5 36-45 years 10 37.0 46-55 years 4 14.8 sex: male 0 0 female 27 100 knowledge level: elementary 2 7.4 junior high school 9 33.3 senior high school 16 59.3 information sources:internet 9 33.3 family 5 18.5 health workers 13 48.1 source : primary data table 1 frequency distribution by age, gender, education level, source of information knowledge level total intervention good enough less n % n % n % n % before 0 0 6 22,2 21 77,8 27 100 after 20 74,1 5 18,5 2 7,4 27 100 source : primary data table 2 frequency distribution of knowledge levels before and after being given reproductive health education using the peer mentoring method as peer mentoring and had more or less experience from the mentee. after being given reproductive health education using the peer mentoring method, it is expected that knowledge about reproductive health in sexually transmitted infection patients can increase to provide reproductive health education to respondents. result the results of the study for 1 month in the balowerti health center area of kediri city, have passed the number ethics decorent 760/pp2m-ke/ april/2020. test obtained data on the characteristics of the respondents as below: 287pujiastutik, kristyaningsih, the impact of reproduction health education using peer mentoring method ... the average level of pre-intervention knowledge was 1.22 while the post-intervention average was 2.67. there is a difference in the average level of knowledge pre-intervention and post-intervention so that there is an increase of 1.45. in the wilcoxon statistical test analysis, it shows the value of value = 0.000, which means < ( = 0.05), then h0 is not accepted and h1 there is an effect of reproductive health education using the peer mentoring method on the knowledge of sexually transmitted infection patients in the balowerti city health center area kediri. discussion a. identification of knowledge of sexually transmitted infection patients about reproductive health prior to reproductive health education using the peer mentoring method based on the research data of respondents aged 36-45 years, most of the last education level is only junior high school, causing the level of knowledge of respondents is still lacking. this is in line with the explanation. dharmawati and wirata (2016) that, there is a relationship between the level of education and the level of knowledge because it cannot be denied that the higher a person’s education, the higher the level of receiving information and the more knowledge one has. on the other hand, if someone has a low level of education, it will hinder the development of a person’s attitude towards receiving information and values that have just been introduced. based on the research, the sources of information about reproductive health that were previously obtained by the respondents were 9 respondents (33.3%) from the internet, 5 respondents (18.5%) from the family, and 13 respondents (48.1%) from the health worker. sources of information greatly affect respondents because good information will provide knowledge to respondents and can change respondents’ attitudes. people who are exposed to sources of information produce increased knowledge when compared to people who are not exposed to sources of information (yusra et al, 2016). according to rohmawati (2011) in taufia (2017) exposure to health information on individuals will encourage health behaviour. to convey information about health and improving the quality of life for the community, information should be obtained from experts and it is necessary to have reliable communicators in the health sector, including health workers, such as nurses, doctors, midwives, and others (prasanti & indriani, 2017 ). the role of health workers is very important because health workers have very high trust in the community and are a visible and competent source of information for clients who want to improve their physical and psychological conditions. health workers provide information and skills and can change people’s behavior to be healthier. this can be done at school, home, clinic or workplace (potter & perry, 2009). b. identification of knowledge of sexually transmitted infection patients about reproductive health after reproductive health education using the peer mentoring method based on data from the results of research conducted, it is known that the level of knowledge possessed by respondents after being given reproductive health education is 20 respondents (74.1%) have good knowledge, 5 respondents (18.5%) have sufficient knowledge and 2 respondents (7, 4%) have less knowledge. the results of the study indicate an increase in the knowledge of the respondents, namely that most of the respondents have good knowledge. this can be seen from the reduced number of respondents with a low level of knowledge, namely as many as 2 respondents (7.4%) the peer mentoring method is to place a mentee to get a mentor who comes from a friend in the mentoring group. peer mentoring is someone who is appointed by the mentor as peer mentoring in providing guidance or learning to friends in the mentoring group. peer mentoring has the same job responsibilities as the mentee, but the peer mentoring has had slightly more experience or someone is one level above the mentee (rhodes, 2011). thus, the mentee is easier to accept the learning process provided by peer mentoring because there is no reluctance or shame to ask questions. in addition, peer mentoring can enhance social ties to the mentee in the learning process that will be carried out. this 288 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 284–289 type of method is also useful for solving a problem (grant, 2015). accor ding to r esea r ch conducted by sulistiyowati (2009) on the analysis of the implementation of peer mentoring in the formation of selfconcept of high school students at the ilna youth center in bogor. the research results obtained that the implementation of peer mentoring can increase knowledge, spirituality, social and psychology for students in developing self-concept (ismail et al., 2015). with the conclusion that the implementation of mentoring is very effective as a method of guidance for adolescents in developing self-concept in increasing knowledge, spirituality, and social and psychology. c. analysis of the effect of reproductive health education using the peer mentoring method on the knowledge of sexually transmitted infection patients in the balowerti health center area of kediri city in this study, the wilcoxon test was used to analyze the observations from the two data before and after the intervention, whether they were different or not. by using the wilcoxon test, this study gives the results of value = 0.000, which means value < ( = 0.05), where h€ is rejected and h1 is accepted so that there is an effect of reproductive health education using the peer mentoring method on the knowledge of infectious infection patients in the area of balowerti health center, kediri city. in addition, the average difference in pre-intervention knowledge levels is 1.22 while the post-intervention average is 2.67. there is a difference in the average level of knowledge pre-intervention and post-intervention so that there is an increase of 1.45. these results are supported by the conclusions of the results of research conducted by sari and oktaviani (2015) with the title the effect of reproductive health education using the peer mentoring method on adolescent knowledge about reproductive health where it can be concluded that there is an effect of reproductive health education with peer mentoring methods on reproductive health knowledge in adolescents. youth of smpn 4 palembayan. this is evidenced by the increase in the average before the intervention was given, which was 16.02 while after the intervention it was 77.43. this means that there is a difference in the average knowledge before and after the intervention, which is 16.41. research conducted by suminar and anisa, 2020 with the title the effect of peer education menstrual health toward students readiness facing early menstruation where it can be concluded that there is differences between the readiness of students before and after menstrual health peer education interventions paired t test results obtained a significance value of 0.003 (p <0.05). conclusions the level of knowledge of respondents before being given reproductive health education using the peer mentoring method, it was found that most of the respondents had a category of poor knowledge, while after being given, it was found that most of the respondents had good knowledge categories and after being tested there was an effect of reproductive health education using the peer mentoring method. for patients with sexually transmitted infections. suggestions for balowerti health center area of kediri city can be used development of peer mentoring as a method of health education to reduce morbidity and mortality. references aulia, e. (2014). peran dan fungsi perawat komunitas sebagai pendidik. juni 6, 2014. diakses dari https:// groups.google.com dharmawati , a. i. g. a. & wirata, i. n. (2016). hubungan tingkat pendidikan, umur, dan masa kerja. jurnal kesehatan gigi, volume 4, p. 2. dinas kesehatan kabupaten kediri. (2013). laporan kejadian infeksi menular seksual. kediri: bidang p2p. grant, c.s. (2015). mentoring: empowering your sucess. in: grant paps, editor. success strategies from women in stem (second edition). san diego: academic press. herawati, y.e. (2007). hubungan antara pengetahuan tentang penyakit menular seksual dan sikap terhadap seks bebas. pada remaja akhir. skripsi (tidak dipublikasikan). semarang: fakultas psikologi universitas kristen soegijapranata. ismail,a.,abdulah,n.,zaedy,ni.,ghani,aa.,omar,n. (2015). mentoring program as an instrument of enhancing mentees’ self-efficacy. acta universitatis danubius. communicatio, vol 9, no 1. 289pujiastutik, kristyaningsih, the impact of reproduction health education using peer mentoring method ... kementrian kesehatan repubik indonesia. (2013). pedoman nasional tes dan konseling hiv dan aids. jakarta: kementrian kesehatan republik indonesia. kim, k.h., & zabelina, d.l. (2011). mentors in: pritzker marr, editor. encyclopedia of creativity (second edition). san diego: academic press. kpan. (2010). strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan hiv dan aids. kpa. depkes ri. najmah. (2016). epidemiologi penyakit menular. jakarta: trans info media. nari, j. (2015). analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ims pada remaja di klinik ims puskesmas rijali dan passo kota ambon. jurnal promosi kesehatan indonesia, vol. 10 / no. 2 : 131143. norwood, a.w. (2010). the lived experience of nurse mentors: mentoring nurses in the proffesion. disertasi. missouri: faculty of the graduate school university of missouri-columbia. notoatmodjo, s. (2010). metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta. notoatmodjo, s. (2015). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. (2015). metodologi penelitian kesehatan. jakarta : rineka cipta. noviyani, d. (2017). perilaku sekszual berisiko infeksi menular seksual (ims) pada kelompok lesbi di kota semarang. journal of health, vol 2 (2) : 122-129. oktaviani, t., dkk. (2015). pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi menggunakan metode mentoring terhadap pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. ners jurnal keperawatan. volume 11, no 1, 41-51. potter & perry. (2009). fundamental keperawatan. edisi 7. jakarta: salemba medika. prasanti, d., fuady, i., & indriani, s.s. (2017). optimalisasi bidan desa dalam penyebaran informasi kesehatan bagi masyarakat di kabupaten bandung. jurnal komunikasi. volume 13, nomor 1 oktober 2018. rhodes, j.e., lowe, sr., & schwartz, seo. (2011). mentor relationships. in: prinstein. editor. encyclopedia of adolescence. san diego: academic press. rohmawati, i. (2011). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku wanita usia subur dalam deteksi dini kanker serviks metode iva di wilayah kerja puskesmas ngawen 1 kabupaten gunung kidul tahun 2011. skripsi. jakarta: fkm ui. sari, k.p., muslim, m.h., & ulfah, s. (2012). kejadian infeksi gonorea pada pekerja seks komersial di lokalisasi pembantuan kecamatan landasan ulin banjarbaru. jurnal buski, vol. 4 (1) : 29-35. sari, y.p., mulyanti, l.d., & oktriani, t. (2015). pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi menggunakan metode mentoring terhadap pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. ners jurnal keperawatan, vol 11, no 1 : 43-50. sulistiyowati, e.e. (2009). analisis pelaksanaan mentoring dalam pembentukan konsep diri pelajar sma pada lembaga ilna youth centre bogor. januari 2, 2019. diaksespada http://ekoendah sulistiyowati.pdf. taufia, d. (2017). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku wanita pasangan usia subur (pus) dalam deteksi dini kanker leher rahim metode iva di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang tahun 2017. 432 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 432–438 peer support for dietary compliance patients with diabetes mellitus jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 19/07/2020 accepted, 03/08/2020 published, 25/12/2020 keywords: peer support, dietary compliance, diabetes mellitus. article information abstract diabetes mellitus is one of chronic disease whose incidence increases. the success of diabetes mellitus treatment is strongly influenced by patient compliance to carry out treatment. the purpose of this study was to determine the effect of peer support on dietary compliance of diabetes mellitus sufferers at randu agung rw x. this study used pre-experiment one-group prepost test design on sample of 28 diabetes mellitus sufferers in randu agung rw x, used purposive sampling technique. the instrument used satuan acara kegiatan (sak), attendance list, and compliance questionnaire of diabetes mellitus with 3j program. the analysis of the data used the mc nemar test. the statistical test results obtained p <0.05 (0.000), it meant h1 was accepted; there was an effect between peer support and dietary compliance in diabetes mellitus sufferers. peer support is a new technique to control the blood sugar levels of people with diabetes by involving peers who have similar diseases to share experiences, provide support, and motivation so that enthusiasm in running their dietary increases. if someone sees other people successfully controlling their blood sugar levels through good dietary compliance, it will foster that person’s enthusiasm to be able to comply with the diabetes mellitus dietary program. the implication of the study results is that providing education with peer support can help other people in similar situations to increase dietary compliance in diabetes mellitus sufferers. © 2020 journal of ners and midwifery email: caturia.sati@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p432–438 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 432 caturia sasti sulistyana departement of nursing, stikes adi husada surabaya, indonesia correspondence address: stikes adi husada surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p432-438&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p432-438 433prasetyowati, full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score application to ... introduction as the times and population increases, the prevalence of degenerative diseases is increasing. degenerative disease is a chronic disease that has a major effect on the quality of life and productivity of a person. chronic disease is related to increasing age or disability with long-term management. one disease that is categorized as a chronic disease is diabetes mellitus (teguh, 2013). the success of diabetes mellitus treatment is greatly influenced by patient compliance to maintain their health. good complia nce ca uses pr ima r y a nd seconda r y treatment to be carried out optimally and health quality to improve. meanwhile, if diabetes mellitus sufferers who do not have self-awareness to comply, it can cause failure in treatment which will affect the decline in health, thereby increasing patient morbidity and mortality (saifunurmazah, 2013). the data from the world health organization (who) in 2011 found that the prevalence of diabetes mellitus sufferers in the world is around 200 million people and is predicted to increase to 366 million people in 2030.data fr om the international diabetes federation (idf) obtained a global prevalence rate of diabetes mellitus sufferers in 2012 amounting to 8.4% of the world’s population and an increase of 382 cases in 2013 (eva rahayu, 2014). the prevalence of diabetes mellitus in indonesia ranks fifth in the world in 2008, which is as much as 8.4 million (bhustan, 2009). data from the east java provincial health office (2011), diabetes mellitus is included in the top ten diseases, which is around 69,018 people from 37 million population. surabaya city occupies the first rank of cities / districts with the highest number of diabetes mellitus sufferers, namely 14,377 people per year (wulandari, 2013). the initial survey of the number of dm sufferers in randu agung rw x sidotopowetan was 30 people. diabetes mellitus is a metabolic disorder character ized by chronic hyper glycemia a nd disor der s of ca r bohydr a te, fa t a nd pr otein metabolism caused by abnormalities in insulin secretion (rahmawati, 2016). the increase in sugar levels in diabetes mellitus sufferers caused by increased stress, obesity, food intake, the amount of physical exercise or exercise, and compliance with therapy. one of the measures to prevent an increase in sugar levels in diabetes mellitus sufferers is dietary regulation. dietary regulation in diabetes mellitus patients according to the indonesian association of endocrinologists (perkeni) is to pay attention to the 3j guidelines, namely the right amount, schedule, and type. the right amount means that the patient needs to calculate the calorie and nutrient requirements according to their nutritional status, not from the value of sugar content. the right type by paying attention / controlling the glycemic index of each food ingredient consumed, controlling the glycemic index can help prevent other complications. right on schedule, eat according to schedule, namely 3 main meals, 2-3 intervals of meals at more frequent intervals, and in moderate portions (nany suryani, 2016). this means that sufferers must have a balanced diet, are not overweight, and exercise regularly (barbara, 2009). the main obstacle in the management of diabetes mellitus is patient saturation in following the dietary for a long time. obedient behavior in diabetes mellitus is influenced by 3 main factors, namely: 1)predisposing factors, which include trust, belief, education, perception, knowledge, 2)enabling factorsincluding health facilities and facilities, and 3) factor of the amplifier(renforcing factors)include examples of the behavior of health workers (notoatmodjo, 2010). therefore, efforts are needed to carry out dietary compliance with diabetes mellitus sufferers, one of which is the method of education and providing support from peers (peer support) who also suffer from diabetes mellitus disease. support from peers (peersupport)is a system of giving and receiving help with the principles of respect, shared responsibility, and mutual agreement about the things that help. smith et al (2011) define peer support as the provision of support from an individual with similar experiences. peer support according to who,is a promising approach for treating diabetes mellitus sufferers because it takes advantage of the ability of diabetes mellitus sufferers to support each other in managing daily life. therefore, peer support will change the behavior of diabetes mellitus sufferers to better comply with their therapy program, especially in obeying the dietary. based on the facts above, researchers are interested in conducting study to identify the influence of peer support on dietary compliance in diabetes mellitus sufferers. methods the study was conducted on february 25march 18, 2020. the design of the study used pre434 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 432–438 experimental with a pre-post test design in one group (one-group pre-post test design). the sample was 28 respondents with diabetes mellitus in randu agung rw x sidotopo wetan surabaya. the independent variable was peer support, and the dependent variable was dietary compliance of diabetes mellitus. the instruments were satuan acara kegiatan (sak), attendance list, and the diabetes mellitus with 3j program of dietary compliance questionnaire. the data analysis used the spss application with the mc nemar statistical test. results general data no characteristics frequency percentage (%) 1. 26 35 years 0 0 2. 36 45 years 3 10.7 3. 46 55 years 9 32.2 4. 56 65 years 16 57, 1 total 28 100 table 1 age no characteristics frequency percentage (%) 1. male 4 14.3 2. female 24 85.7 total 28 100 table 2 gender no characteristics frequency percentage (%) 1. sd 14 50 2. junior 12 42.8 3. high school 2 7.2 4. degree 0 0 total 28 100 table 3 education level table 1 shows that the age of most respondents is 56 65 years old as many as 16 people (57.1%). table 2 shows the sex of the most respondents is female, as many as 24 people (85.7%). table 3 shows the level of primary education is the most respondents as many as 14 people (50%). no characteristics frequency percentage (%) 1. yes 26 92.8 2. no 2 7.2 total 28 100 table 4 family history with dm table 4 shows that 26 respondents had a family history of dm (92.8%). no characteristics frequency percentage (%) 1. < 1 year 1 3.5 2. 1 10 years 23 82.3 3. 11 20 years 3 10.7 4. > 20 years 1 3.5 total 28 100 table 5 years of suffering from diabetes mellitus table 5 shows the respondents with the most length of suffering from diabetes were 1 10 years as many as 23 people (82.3%). special data no characteristics frequency percentage (%) 1. meetings 2x 8 28.5 2. meetings 3x 20 71.5 total 28 100 table 6 shows the number of attendance when given the most respondent intervention is 3x meetings as many as 20 people (71.5%). table 6 frequency of peer support 435prasetyowati, full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score application to ... test statistics mc nemar = 0.000 table 7 shows the highest proportion of dietary compliance beforeintervention peer support (pre) was disobedient as many as 17 people(60.8%) and after intervention peer support (post) was obedient as many as 23 people (82.2%). the results of the mc nemar statistical test showed p <0.05 (0.000) meaning h1 was accepted, it meant there was an effect between peer support on dietary compliance of diabetes mellitus sufferers at randu agung rw x sidotopowetan, kenjeran district, surabaya on february 25-march 18, 2019. discussion table 7 shows respondents’ diet compliance before intervention peer support that the majority of was disobedient as many as 17 people (60.8%), with the characteristics of respondents based on the highest gender were 24 women (85.7 %) and most respondents had a family history of diabetes mellitus as many as 26 people (92.8%). respondents in this study did not comply with the rules of the dm diet because they felt very saturated with the recommended diabetes mellitus dietary settings and were eager to try various foods they wanted. diabetes mellitus is a non-communicable degenerative disease which is a serious problem for public health in indonesia and in the world (susanti, 2018). management that can be done in diabetes mellitus include education, nutrition therapy, physical exercise, and pharmacotherapy (hotma, 2014). dietary patterns in irregular nutritional therapy in today’s society have led to an increase in the number of diabetes mellitus (suiraoka, 2012). the success of diabetes mellitus treatment is greatly influenced by patient compliance to maintain their health. good adher ence ca uses pr ima ry a nd secondary treatment to be carried out optimally and health quality to improve. meanwhile, if diabetes mellitus sufferers do not have self-awareness to obey, it ca n ca use fa ilur e in tr ea tment (saifunurmazah, 2013). compliance is a person’s behavior related to namely a person’s behavior related to health recovery efforts, for example obeying dietary rules and doctor’s recommendations for health recovery. dietary compliance is very important to develop routines (habits) that can help sufferers follow the dietary schedule. the main obstacle in handling diabetes diabetes is patient saturation in following the diet for a long time. the factors that support success for compliance are support, knowledge, and motivation (dita, 2017). the results of study conducted by suci (2015) show that the most sexes who have sufficient dietary compliance are women. the obedience attitude between men and women has differences, namely male patients are less able to comply with the r ecommended diet. ignor a nce of dieta r y recommendations makes many patients not adhere to dietary control. anif’s study (2016) at puskesmasngadiluwih kediri states that a family history of illness can be a detector for people who have a family with diabetes mellitus. people who have a family history of suffering from diabetes mellitus are more at risk than people who do not have a family history of suffering from diabetes mellitus. the occurrence of diabetes mellitus will increase two to six times if a par ent or sibling experiences this disease (anifnurma, 2016). in line with the above theory, the researcher argued that diabetes mellitus could not be cured, but could be controlled by paying attention to the dietary which includes the schedule, amount, and type of food consumed. compliance is needed for diabetes mellitus sufferers to improve their health status. one of the compliance required by diabetes mellitus sufferers is to control the dietary according to the 3j program (type, amount, schedule). even so, the self-awareness of diabetes mellitus sufferers to obey is still lacking, because they feel very bored in running diet in the long term and want to feel free to try various foods. female diabetes mellitus sufferers had high compliance compared to male sufferers. this is because women pay more attention and care about their health. women are more worried and afraid if complications arise from diabetes mellitus disease, no. before freq% after freq% 1. comply 11 39, 23 82.2 2. no comply 17 60.8 5 17.8 total 28 100 28 100 table 7 test results of compliance statistics dietary diabetes mellitus dietary compliance health recovery (health rehabilitation behavior), dietary compliance before intervention peer support 436 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 432–438 so that female diabetes mellitus sufferers are more careful in maintaining their health and really maintaining their diet. even so, in reality there are still female diabetes mellitus sufferers who violate the treatment program such as dietary rules so that their blood sugar levels are not well controlled. this is often due to the saturation factor. diabetes mellitus sufferers who have a family history of diabetes mellitus also have experiences that can be obtained from their families, and have the motivation and support to jointly live a healthy way to control their blood sugar levels. the experience given by the family does not rule out the possibility that it can lead to negative things, such as how to lower blood sugar levels by consuming non-medical herbal medicines. dietary compliance after intervention peer support table 7 shows the compliance of respondents’ diet after intervention peer support was mostly obedient, namely 23 people (82.2%). the characteristics of respondents based on the most age were 56 65 years as many as 16 people (57.1%), the education level of the most respondents was primary school as many as 14 people (50%), the most respondents suffering from diabetes was 1 10 years as many as 23 people (82 , 3%). the results of the mc nemar statistical test showed p <0.05 (0.000) meaning h1 was accepted, it meant there was an effect between peer support on dietary compliance patients withdiabetes mellitus at randu agung rw x sidotopowetan, kenjeran district, surabaya. the results of chandra’s (2017) study obtained a p value = 0.001 (p <0.05) indicating that there is a significant relationship between age and medication compliance in hypertensive patients. a person who experiences increasing age starting from early adulthood, middle adulthood and late adulthood will experience frustration or rejection of his illness so that he will experience an attitude of disobedience to doctor ’s recommendations or medication / therapy given by the doctor / medical team. dita’s study (2017) shows that respondents with low education are more than those with higher education. so it can be concluded that the proportion of diet management compliance in respondents with low education is higher than respondents who have a high educational background. the level of education is closely related to one’s knowledge, because education is a learning process that is able to change one’s behavior to achieve quality of life. the higher a person’s education, the higher the selfawareness in managing the diet. patients who have suffered from diabetes for a long time have a better adaptability in carrying out dietary compliance than patients who have just been diagnosed with diabetes mellitus (gitawati, 2007). the duration of diabetes mellitus illness experienced by a person is related to an increase in the person’s knowledge and experience in carrying out the disease they suffer. the longer people suffer from disease, the better in terms of knowledge and compliance with disease management (isna, 2018). diabetes mellitus management requires active participation from health workers, families, and communities to assist sufferers in an effort to increase compliance with diabetes mellitus disease management in an orderly and controlled manner (tjokroprawiro, 2011). in line with the above theory, the researcher argues that controlling diabetes mellitus requires good and correct management of diabetes mellitus dietary. one of the management of diabetes mellitus can be done by providing nutritional education thr ough planning a good dieta ry. a person’s compliance can be influenced by the level of education and the length of suffering from diabetes mellitusthe lower a person’s education, the more open the person is to receive new information from people he trusts without seeking comparative information. meanwhile, the higher a person’s education level, the higher the level of analysis and understanding. a person with a higher level of education will be more critical and seek as much information as possible to get comparative information if he gets new knowledge from other people. patients with long-suffering diabetes mellitus with a long duration are able to control diabetes mellitus compliance, because they have enough experience to avoid diabetes mellitus complications. this motivates them to be more careful and obedient in carrying out therapy. effect of peer support on dietary compliance in patients with diabetes mellitus table 7 shows tha t complia nce with the respondents’ diet afterintervention peer support (post)was 23 people (82.2%) obedient and 5 (17.8%) non-compliant. the highest number of 437prasetyowati, full outline of unresponsiveness score and brainstem sign score application to ... respondent attendance in the implementation of education using technique peer support was 3x meetings, namely as many as 20 people (71.5%). respondents wer e ver y enthusia stic a bout participating in the intervention because they considered peer support as a new science in adding to the experience of dealing with diabetes mellitus. the results of the mc nemar statistical test showed p<0.05 (0.000), which means h1 is accepted, it means there was an influence between peer support on dietary compliance in diabetes mellitus sufferers. this is in accordance with the theory of behavior change which states that the formation of a person’s actions (dietary compliance) is influenced by knowledge or cognitive (notoatmodjo, 2007). dietary management that is not carried out properly can be caused by the lack of knowledge of respondents on the importance of maintaining a dietary to avoid complications from diabetes mellitus (dita, 2017). peer support is a support system for people who suffer from the same disease.peer support is a system of giving and receiving assistance with the principles of respect, mutual responsibility, and mutual agreement about things that help. study conducted by yuyun (2012) found that peer group support can reduce health behavior problems, reduce depression and have a contribution to improve compliance with diabetes mellitus disease management. the right intervention to increase compliance is to provide information and support from peer groups (peer group support). according to randall (2010) peer group support is a practical place for a group of people, namely diabetes mellitus type 2 sufferers to provide and receive emotional support and exchange information. the peer group(peergroupsupport)to meet the individual needs of patients of type 2 with respect, provide information, increase self-esteem, and provide an identity for people with type 2 diabetes mellitus. patients will be publicly revealed the problem in peer group support this(yuyun, 2012). therefore, peer support will change the behavior of diabetes mellitus sufferers to better comply with their therapy pr ogr a m, especia lly in obeying diet (inez khoirunnisa, 2015). in line with the theory above, the researcher argues that peer support is the support of peers who use their experiences to help others who are in similar situations. this study was conducted once a week for 3 weeks. t he thing tha t ca uses differences in the presence of respondents is because several respondents have their respective control the blood sugar levels of diabetes mellitus sufferers by involving peers who have similar diseases to provide support so that the enthusiasm of diabetes mellitus sufferers in running their diet increases. however, in this study there were still respondents who did not comply after being givenintervention peer support because respondents only attended 2 meetings, while this intervention was scheduled for 3 meetings. this causes the respondent to be unable to receive the material provided by the resource person optimally. peer support can be done through sharing experiences, providing support, motivation, and enthusiasm among diabetes mellitus sufferers because of a sense of the same fate of a struggle. if someone sees other people successfully lead a healthy life and their blood sugar levels are always controlled, it will foster a sense of enthusiasm for that person to be able to comply with the diabetes mellitus treatment program, and lead a healthy life in him too. conclusion the results of statistical test showed p<0.05 (0.000) meant h1 was accepted, it meant there was an effect between peer support a nd dietar y compliance in diabetes mellitus sufferers at randu agung rw x sidotopowetan, kenjeran district, surabaya. suggestion fur ther study should be a ble to dir ect respondents to obey the rules that have been determined by researchers and use a control group so that the study results are more accurate. references anif nurma, v. m. (2016). riwayat penyakit keluarga dengan kejadian diabetes mellitus. jurnal care vol. 4, no 1 , hal 51-57. barbara, t. (2009). diabetes tak bikin lemes. yogyakarta: penerbit paradigma indonesia. bhustan. (2009). epidemiologi penyakit tidak menular. jakarta: pt rineka cipta. candra, d. a. (2017). pengaruh demografi, psikososial, dan lama menderita hipertensi primer terhadap activities. peer support is a new technique to 438 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 432–438 kepatuhan minum obat antihipertensi. jurnal jkft vol 2, hal 14-28. dita, w. (2017). faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam pengelolaan diet pada pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 di kota semarang. jurnal of health education , hal 138145. eva rahayu, r. k. (2014). pengaruh program diabetes self management education berbasis keluarga terhadap kualitas hidup penderita diabetes melitus tipe ii di wilayah puskesmas ii baturaden. jurnal keperawatan soedirman , hal 163-172. gitawati. (2007). pengaruh peer support terhadap harga diri manula. skripsi fakultas keperawatan universitas airlangga surabaya , hal 6-18. hotma , r. (2014). me nc egah diabet es de ngan perubahan gaya hidup. bogor: in media. inez khoirunnisa, l. h. (2015). hubungan antara peer support dengan konsep diri pada remaja putri yang delikuen di pondok remaha inabah xvii di ciamis. prosiding psikologi , hal 108-115. isna, r. (2018). hubungan dukungan keluarga dan tingkat pengetahuan dengan kualitas hidup pasien dm tipe 2 di puskesmas nogosari boyolali. jurnal ilmu keperawatan , hal 1-18. nany suryani, p. s. (2016). diet dan olahraga sebagai upaya pengendalian kadar gula darah pada pasien diabetes tipe 2 di poliklinik penyakit dalam rsud ulin banjarmasin. jurkessia , hal 1-10. notoatmodjo, s. (2007). promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: pt rineka cipta notoatmodjo, s. (2010). metodologi penelitian ilmu kesehatan. jakarta: rineka cipta. nurleli. (2016). hubungan keluarga dengan kepatuhan pa si en dia betes mel li tus dal am men ja la ni pengobatan di blud rsuza banda aceh. idea nursing jurnal vol. vii no. 2 , hal 47–54. saifunurmazah, d. (2013). kepatuhan penderita diabetes melitus dalam menjalani terapi diet dan olahraga. skripsi universitas negeri semarang, hal 1-272. suiraoka, i. (2012). penyakit degeneratif: mengenal, mencegah dan mengurangi faktor risiko 9 penyakit degeneratif. yogyakarta: nuha medika. suci, m. (2015). hubungan tingkat pengetahuan diet diabetes mellitus dengan kepatuhan diet pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di dusun karang tengah yogyakarta. jurnal ilmu keperawatan , hal 3–10. susanti, d. (2018). hubungan pola makan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus. jurnal kesehatan vokasional , hal 29–34. teguh, s. (2013). diabetes : deteksi, pencegahan, pengobatan. yogyakarta: buku pintar. tjokroprawiro. (2011). hidup sehat dan bahagia bersama diabetes: panduan lengkap pola makan untuk penderita diabetes. jakarta: pt gramedia pustaka utama. yuyun, a. b. (2012). kepatuhan pengelolaan diabetes mellitus melalui peer support group di wilayah kerja puskesmas kebonsari surabaya. critical & medical surgical nursing journal vol. 1 no. 1 , hal 61-73. e:\ibuk\ners desember 2021\7--j 309noventi, soleha, nurhasina, the potential of walnut oil with massage effleurage to ... the potential of walnut oil with massage effleurage to prevent grade 1 decubitus wounds of bed rest patients iis noventi1, umdatus soleha2, siti nurhasina3 1,2,3nursing department, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 21/09/2021 accepted, 20/11/2021 published, 15/12/2021 keywords: decubitus, efflurage massage, walnut oil, bed rest patients article information abstract the main problem in decubitus patients is the risk of damage to skin integrity related to factors: immobility, decreased sensory perception, decreased tissue perfusion, decreased nutritional status, friction and pulling force, advanced age, and increased humidity. the decubitus is a problem faced by patients with chronic diseases, weak conditions, and patients who experience paralysis. this study aimed to analyze the potential of walnut oil in preventing grade 1 decubitus wounds of bed rest patients. this study used a quasi-experimental design (pretest-posttest control group). the sample was 20 people, divided into 2 groups; treatment and control. the treatment group received effleurage massage with walnut oil given twice a day for 7 days, while the control group received pressure ulcers prevention treatment according to the sop applied in the hospital. a total of 10 patients who received massage using walnut oil showed a p-value of 0.04 (<0.05), which meant that walnut oil massage was affected significantly in preventing pressure ulcers. in conclusion, decubitus wounds can be prevented by effleurage massage with walnut oil which is given regularly twice a day. © 2021 journal of ners and midwifery 309 correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: iisnoventi@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p309–314 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p309-314 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p209-314&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 310 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 309–314 introduction pressure ulcers or decubitus are serious problems that often occur in patients with impaired mobility, such as stroke patients, spinal injuries, or degenerative diseases. skincare is the key to preventing pressure ulcers in bed rest patients. several things cause pressure ulcers or decubitus; first, lack of mobilization. in accordance with the opinion of corwin (2012), which said that decubitus ulcers can found in people who are treated in bed or have decreased mobilization. the incidence of pressure ulcer is different in the clinical setting, but its incidence rate ranges from 4% to 38% in hospitalization wards and the mortality rate due to pressure ulcers and its associated secondary complications among the elderly is approximately 68% (james j, evans ja, young t, clark m, 2010). the incidence of pressure ulcers in america, canada, and england is 5%-32% (spilsbury, 2015). in korea, especially in the icu, pressur e ulcers have increased from 10. 5%45%(npuap-epuap, 2014). in indonesia, pressure ulcers in patients treated in the icu reach 33%(kim, 2015). in rsud moewardi solo, 38.18% of patients had pressure ulcers (setiawan, 2015).at home health nursing care prisma, it was found that 43% had pressure ulcers. second, the limited facilities and infrastructure in the effort to prevent the occurrence of decubitus wounds. thus, efforts to improve skin health in bed rest patients treated at home are very appropriate, starting with the patient starting the first time after the patient is discharged and requiring total assistance measures in overcoming their needs. there are many problems with bed rest patients: lack of mobilization, lack of alternative preventive measures for skin health, lack of human resources, high workload, and high cost of care. the main causes of pressure ulcers are pressure and tissue tolerance. prolonged pressure is a major cause of pressure ulcers because pressure can cause soft tissue ischemia. pressure ulcers can occur in at least 2 days in bed rest patient (setiani, 2014). efforts to reduce complications, especially pressure ulcers, can be done first in the nurse’s role. first, to overcome low patient safety assurance when being treated, efforts are made to treat preventive measures by carrying out nursing care with quality standards. second, alternative actions are due to the high cost of care and limited infrastructure to take preventive measures, such as the limited number of special beds for bed rest sufferers to prevent action. it is necessary to improve the quality of life in patients on bed rest from various alternative actions. (potter & perry, 2015) states that there are 3 main areas of nursing intervention in the prevention of pressure sores, namely: (first) skin care which includes hygiene care and topical administration, (second) mechanical precautions and surface support which includes the use of bedding, providing therapeutic positions and mattresses and (third) education many studies have mapped the problems of hospitalized patients. (widasari, 2012) found that early prevention of skincare in bed rest patients could prevent pressure ulcers. the skincare, first by keeping the skin clean and dry, using a skin cleanser with a balanced ph. protects skin from exposure to excessive moisture by applying a topical to reduce the risk of pressure damage. the use of skin moisturizers to moisturize dry skin reduces the risk of skin dama ge(epuap, npuap, & pppia, 2014). efforts to maintain or improve elasticity of skin tissue, prevent skin from being dry or excessively moist, and maintainskin hygiene supports maximal pressure ulcer prevention interventions . (potter & perry, 2015) walnut oil can be a solution because it can be used as a natural moisturizer that can be used on all skin types(istia, 2015). the use of skin moisturizers to moisturize dry skin to reduce the risk of skin damage (epuap et al., 2014). according to the register ed nurses association of ontorio in syapitri, siregar, university of north sumatra 19 & (syapitri, siregar, & ginting, 2017) one of the interventions in maintaining skin integrity is by providing moisturizing lubricants such as lotions, creams and low alcohol ointments or using skin protective barriers such as liquid barrier films, transparent films and hydrocolloids at the same time, walnut oil contains elements of antioxidants and omega 3. thus, walnut oil helps skin stay young, healthy, and free from disease. when added to the diet, the antiseptic fatty acids in walnut oil help prevent fungal and bacterial infections or are applied directly to the skin. for open wounds, walnut oil protects wounds from bacteria, dust, and viruses and accelerates wound healing by improving antioxidants, sterols (steroid alcohol), magnesium, and vitamins a, b, c, d, e, and others. walnut are good for skin health because they are 311noventi, soleha, nurhasina, the potential of walnut oil with massage effleurage to ... easily absorbed by the skin and contain vitamin e, vitamin e (tocopherol) can function as a natural antioxidant(hamidah, kusnandar, & gusdinar, 2019). the chemical compounds contained in walnuts are tocopherol, flavonoids, tannins, including folic acid. in addition, walnuts also contain squalene compounds that function to maintain skin moisture, smooth the skin, and protect against radiation effects. mituhu et al. (2011) stated that back massage could change pressure and improve blood circulation in depressed areas to prevent decubitus. this study aimed to analyze the potential of walnut oil in preventing grade 1 decubitus wounds of bed rest patients. method the design used quasi-experimental (pretestposttest control group). the number of samples was 20 people, divided into two groups, namely treatment, and control. the inclusion criteria was patients who had been immobilized for more than two data respondents control groups treatment groups freq % freq % age 20 – 40 years old 1 10 1 10 41 – 60 years old 4 40 3 30 61 – 80 years old 5 50 6 60 weight underweight 2 20 3 30 normal overweight 4 40 2 20 decubitus scores 4 40 5 50 low risk ( > 18) 8 80 9 90 medium risk ( 14-18) 2 20 1 10 high risk ( 10-14) 0 0 0 0 very high risk (<10) 0 0 0 0 souce: primary data table 1 description and frequency based on age, weight, and decubitus scores in the treatment and control groups days, there were no grade 2-4 decubitus wounds. the treatment group received effleurage massage with walnut oil given twice a day for seven days, while the control group received pressure ulcers prevention treatment according to the sop applied from the hospital. the data collection instrument in this study used a questionnaire for the characteristics of the respondents, including age, gender, and weight. the observation sheet is a pressure ulcers risk assessment sheet using the norton scale. the data analysis used univariate and bivariate analysis. the univariate analysis used for data on the percentage of respondents’ characteristics based on age, gender, and the average score distribution on the braden scale, applied paired t-test for comparison of pretest and posttest scores on day 7 of the control group. the exclusion criteria were that the subject had fractures, lesions, and decubitus wounds since being treated from the hospital.    result table 1 shows that in the experimental group, 20% of patients affected by decubitus were 61-80 years old, 30% of whom were 41-60 years old, and 20% were 20-40 years old. in the control group, 30% of patients affected by decubitus were aged 61-80 years, 40% were aged 41-60 years, and 10% were aged 20-40 years. in the control group, 50% were 61 – 80 years old, 40% were 41 – 60 years old, and 10% were 20-40 years old. in the treatment group, 60% were aged 61 – 80 years, 30% were aged 41 – 60 years, and 10% were aged 20 – 40 years. in the control group, 40% of them were obese, 40% of them were normal, and 20% of them were thin. in the treatment group, 50% had fat bodies, and 30% of them had thin bodies, 20% were normal. the above shows that before massaging with walnut oil, the majority, 80% of bedridden patients 312 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 309–314 the results in table 2 can be seen that in the inter vention group pa tients who wer e given efflurage massage with walnut oil, only 1 person (10 %). this incidence was much lower than in the control group who were not given efflurage massage with walnut oil, who experienced pressure sores as many as 9 people (90 %). the results of the chi square test using fisher exact obtained a p-value of 0.003. because the p-value (0.003) < (0.05), it can be concluded that there is a significant effect of massage efflurage with walnut oil on the prevention of pressure sores in bedrest patients. discussion characteristics of subjects subjects in the treatment group and control group were more respondents between 61 80 years involved in this study because many elderly patients were post-mrs with immobilized conditions and were treated at home during the study. so, when the sample selection is made, the chance of the sample being selected becomes more significant for respondents of that age. in addition, respondents classified as elderly at home depend on care, including mobilization, so that the elderly do not move if there is no help from their family. old age has a great potential for pressure ulcers due to skin changes related to age, namely, reduced subcutaneous fat tissue, reduced collagen and elastin tissue, decreased efficiency of capillary collaterals in the skin so that the skin becomes thinner and brittle (zulfa, citra, & nurfadhilah, 2018) in the elderly, the skin experiences a decrease in epidermal thickness, dermal collagen, and tissue elasticity. the skin is more often dry as a result of loss of sebaceous and sweat gland activity. cardiovascular changes result in decreased tissue perfusion. atrophy of muscle and bone structure is the focus of attention. decreased sensory perception and reduced ability to adjust one’s position contribute to prolonged pressure on the skin. therefore, the elderly is more susceptible to pressure ulcers that cause pain and reduce life quality. this study a lso shows the number of r espondents with bodyweight classified as fat from both the treatment and control groups. so, the elderly has difficulty moving independently because older adults are very dependent on their family members to make movements. obese patients are often difficult to treat because of additional weight, and patients breathe not optimally when lying on their side (kim, 2015). in obese people, adipose tissue is more difficult to fuse, which causes fat tissue to lack blood supply to send and affect nutrients to the skin, which, if left for too long, will result in skin discoloration. this study also shows the number of respondents who have a decubitus score with low risk. this score is adjusted to the inclusion criteria are respondents who have not experienced decubitus. subjects in the treatment group received effleurage massage with walnut oil given twice a day for seven days. subjects in this study amounted to 20 people based on the criteria determined by the researcher, each treatment was given two times a day for seven days. meanwhile, the control group was only treated in bed without being given effleurage massage with walnut oil. according to the research of darmaja et al., 2020 giving a massage with oil carried out for of the control group, had a low risk of decubitus (>18), 20% of bedridden patients had a medium risk of decubitus (14-18), and the majority 90% of the bedridden patients in the treatment group had a low risk of decubitus (>18), 10% of the bedridden patients had a medium risk of decubitus (14-18). dekubitus group dikubitus normal skin amount p-value f % f % f % intervention 1 10% 9 90% 10 100% control 6 60% 4 40% 10 100% 0,003 amount 7 35% 13 65% 20 100% souce: primary data tabel 2 comparison of scores before and after (day 1 and day 7) in the control and experimental group 313noventi, soleha, nurhasina, the potential of walnut oil with massage effleurage to ... at least three consecutive days has a positive effect on decubitus wounds. the potential of walnut oil can prevent decubitus wounds of bed rest patients from the study results, it is known that after being given effleurage massage therapy with walnut oil for seven days with twice a day after bathing in the morning and evening in the intervention group, there was a decrease in the risk of decubitus events. furthermore, it was proven on the 7th day that the risk of decubitus events decreased with skin conditions, softer, increased elasticity, and skin colour does not change along with no changes in skin temperature in areas of pressure. thus, although several factors can cause decubitus ulcers, immobility, friction, and decreased patient activity levels, one factor influences the risk of decubitus ulcers. therefore, these factors will affect skin moisture due to pressure, increasing skin maceration, causing the epidermis to be more easily eroded and inhibiting blood flow (kozier, 2010) according to the researcher’s assumption that the physical condition is not stable due to illness, post-treatment from the hospital, age, excess weight, and the risk of diabetes from the results of the decubitus score assessment, no good attention by the family, the nurse who treat. therefore, it will cause the skin integrity to be damaged, and pressure ulcers are common in patients who are on prolonged bed rest. the researchers provided an intervention to prevent pressure ulcers or decubitus with massage effleurage with walnut oil. prevention of pressure ulcers can be done in various ways. heineman (2010) describes the procedure for preventing pressure ulcers by citing the clinical practice guideline of america hea lth of ca re plan resources (ahcpr) that the interventions that can be used to avoid pressure ulcers fall into three categories. another nursing intervention is by using an antidecubitus mattress(rustina, 2016), decubitus can also be prevented by providing adequate nutrition (tianingsih, 2010). when combined with changing positions regularly (every 2-4 hours), giving massage becomes an effective method of preventing pressure ulcers. massage is given gently with small circular motions. the composition of walnut oil consists of triglycerides, fatty acids, and non-glycerides as minor components. minor components of vegetable oil are phospholipids, tocopherols, flavonoids, phenolic components, pigments (carotenoids and chlorophyll), ster ols, fr ee fa tty a cids, diglycer ides, a nd monoglycerides. several minor components are essential for the stability and flavour of walnut (djarkasi, raharjo, noor, & sudarmadji, 2016). for example, the flavonoid content in walnut oil has antioxidant, hepatoprotective, anti-inflammatory, antibacterial and anticancer activity, while some have antiviral activity (kumar & pandey, 2013). in addition, the content of tannins has a cardioprotective effect and functions as a vasodilator. conclusion this study revealed that massage effleurage with walnut oil for seven consecutive days with a time of administration two times a day after bathing in the morning and evening is very effective in preventing the risk of decubitus in patients who are on bed rest. nurses can perform this action on patients treated in the icu who are on bed rest or patients in the ward who are immobilized. suggestion in patients who are bed rest and have a risk of dicubitus, should be prevented by passive mobilization and blood circulation by massage. in addition, depressed skin is treated with skin care using ingredients that can moisturize the skin, one of which is walnut oil. refference djarkasi, . suhartati, raharjo, s., noor, z., & sudarmadji, s. (2016). sifat fisik dan kimia minyak walnut. agritech, 27(4). epuap, npuap, & pppia. (2014). prevention and treatment of pressure ulcers: quick reference guide (2nd editio). cambridge media on behalf. hamidah, kusnandar, & gusdinar. (2019). kajian komposisi kimia, nilai nutrisi da etno farmakologis tanaman genus walnut. fitofarmaka indonesia, 1. istia, ina nur. (2015). pertolongan pertama untuk men ga ta si luka ba ka r. retr ieved fr om www. rancahpost.com website: https://www.rancahpost. com/20151144086/pertolongan-pertama-untukmengatasi-luka-bakar/ kim, e. (2015). comparison of the predictive validity among pressure ulcer risk assesment scales for surgical icu patients. australian journal of advanced nursing, 26(4). retrieved from http:// www.ebscohost.com/uph.edu.com kozier. (2010). buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses dan praktik. jakarta: egc. 314 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 309–314 kumar, s., & pandey, a. (2013). chemistry and biological activities of flavonoids: an overview. the scientific world journal, 1(16). https://doi.org/org/ 10.1155/2013/162750 npuap-epuap. (2014). national pressure ulcer advisory panel-european pressure ulcer advisiory panel. quick reference guide washington dc. potter, p., & perry, a. g. (2015). fundamental of nursing (eight). canada: mosby elsevier. rustina. (2016). pengaruh penggunaan kasur anti dekubitus terhadap derajad dekubitus pada pasien tirah baring di rumah sakit brayat minulya surakarta (stikes kusuma husada surakarta). retrieved from http://www.digilib. stikeskusumahusada.ac.id/download.php setiani, d. (2014). efektivitas massage dengan virgin coconut oil terhadap pencegahan luka tekan di intensive care unit. jurnal husada mahakam, iii(8), 389–442. setiawan. (2015). hubungan tingkat pengetahuan, sikap dengan perilaku perawat dalam upaya pencegahan dekubitus di rumah sakit cakra husada klaten (universitas muhammadiyah surakarta). retrieved from http://etd.eprints.ums. ac.id/908/1/j220060012.pdf spilsbury, k. (2015). pressure ulcers and their treatment and effects on quality of life/ : hospital inpatient perspectives. journal of advanced nursing, 57(5), 494–504. retrieved from http:// www.ebs.cohost.com/uph.edu syapitri, siregar, l. m., & ginting, d. (2017). nigella sativa oil efektif dalam mencegah luka decubitus pada pasien bedrest total. universitas sari mutiara indonesia. tianingsih. (2010). hubungan status nutrisi dengan kejadian dekubitus pada penderita stroke di yayasan stroke sarno klaten (universitas muhammadiyah surakarta). retrieved from http://www. eprints.ums.ac.id/10401/3/j210060084 widasari. (2012). efektivitas terapi topikal terhadap proses penyembuhan luka kronis di asri wound care centre medan. sumatera utara. zulfa, a., citra, & nurfadhilah. (2018). hubungan immobilisasi dan usia pada pasien tirah baring lama dengan kejadian tanda dini dekubitus di ruang rawat inap rs ibnu sina bukittinggi tahun 2017. afiyah, 6(1). e:\2021\ners agustus\13--jurnal 217nurmawati, arsa, wulandari, saparudin, the effect of yacon leaf powder (smallanthus sonchifolius) on ... the effect of yacon leaf powder (smallanthus sonchifolius) on white rats (rattus norvegicus) blood glucose levels with high sugar diet thatit nurmawati1, sandi alfa wiga arsa2, nawang wulandari3, agus saparudin4 1,2,3,4nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/06/2021 accepted, 27/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: glucose levels, high carb diet, rattus norvegicus article information abstract maintaining a lifestyle can reduce the incidence of dm (diabetes mellitus). dm occurs due to insulin disorders so that blood glucose levels increase, which can lead to various complications. the management of blood glucose levels by activating the insulin function can be done by using natural ingredients such as the yakon (smallanthus sonchifolius) plant. yakon leaves contain phenol which can reduce blood glucose. the design of this study was experimental with a pre-posttest approach with control-group design, using male and healthy white rats (rattus norvegicus). rats were divided into 3 groups, treatment dose 1, treatment dose 2 and control. the rats were given a high carbohydrate diet during 9 weeks to make the rats hyperglycemic. in the treatment group, dose 1 was 150 mg/kg bw, dose 2 was 300 mg kg bw, and was given for 3 days. the results showed that the rats in the treatment group dose 1 had decreased in the average blood sugar level of 114.10 mg / dl (p 0.002) and dose 2 was 105.27 mg / dl (p 0.005). this showed that there was an effect of treatments on blood sugar levels. the comparison results showed that there was a significant difference between the dose 1, the dose 2 group and the control (sig. (2-tailed) = 0.001 () = 0.05). there was no significant difference in the treatment group dose 1 and treatment dose 2 (sig. (2-tailed) = 0.693, () = 0.05). yakon leaves can be used alternative to lower to control blood glucose levels in rats receiving a high-carbohydrate diet © 2021 journal of ners and midwifery 217 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: thatitnurmawati4@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p217–220 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p217-270&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 218 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 219–220 introduction lifestyle is closely related to a person’s health status. maintaining a healthy lifestyle can reduce the incidence of various diseases such as diabetes mellitus (dm). dm is a metabolic disease due to insulin disorders. dm is characterized by an increase in blood glucose levels (yahya, 2018). uncontrolled blood glucose levels in the long term can trigger various complications such as damage to the heart, blood vessels, eyes, kidneys, and nerves (oetari, 2019). according to the international federation, approximately 415 million people were suffering diabetes, and this number is expected to exceed 640 million by the year 2040 (idf, 2015). dm conditions can be recognized by the appearance of symptoms such as hunger (polyphagia), thirst (polydipsia), frequent urination (polyuria), drastic weight loss and weakness. in general, dm category is grouped into 2 types, type 1 dm due to genetic factors and type 2 dm caused by an unhealthy lifestyle (who, 2016). giving insulin therapy is able to control blood glucose levels, but insulin therapy by injection causes side effects on the body and requires a fairly high cost. non-pharmacological alternatives have begun to be developed to provide solutions to these problems, natural ingredients or plants become healthy lifestyle choices (hamzah, 2019). herbal medicines from several plants as an alternative treatment for diabetes mellitus include yakon (smallanthus sonchifolius ), gembili (dioscorea esculenta l), and yam (pachyrhizus er osus) tuber s (sa bda , 2018). ya kon pla nt (smallanthus sochifolius) contains protein, lipid, fiber and saccharide, catechone, terpenes, and flavonoids. compared to other plants, the yakon plant has the advantage of not providing a hypoglycemic effect (oktaria, et al 2016). yakon (smallanthus sonchifolius) leaves contain 35% free fructose and 25% bound fructose. this study aimed to determine the powder of yacon leaf (smallanthus sonchifolius) on white rats (rattus norvegicus) blood glucose levels with high sugar diet method the material used was the leaves of the yakon (smallanthus sonchifolius) plant, 3 pieces were selected from the shoots. the animal was male rattus norvegicus white rats aged 2-3 months. high sugar diet (511 pellets, wheat flour, and glucose), husk powder, aquadest. tools used: easy touch blood glucose or glucometer, mouse cage, blender, sonde, digital scale, oven. the yakon leaves powder, colected from the top 3 leaves as much as 200 grams, then washed and drained. the drying process used an oven with a temperature of 100-150o c for 30 minutes and the last step was making the powder by means of a blender. experimental animals after 2 weeks of acclimatization were divided into 3 groups of 6 each. the high-carbohydrate diet (511 pellets, wheat flour, and glucose) given during for 9 weeks to get a hyperglycemic condition. glucose level assessment instrument blood using a blood glucose check tool (gluco dr) by taking blood from the tip of the rat’s tail. the 1st dose of yakon leaf powder was 150 mg/kgbw, the 2nd dose was 300 mg/kgbw/day. the treatment was 1 time every day for 3 consecutive days using a probe. measurement of blood glucose levels was carried out after 24 hours of treatment through the tip of the rat’s tail. blood glucose levels are expressed in mg/dl. data analysis used one way anova to determine the difference between dose 1 treatment, dose 2 treatment and control.    result the average measurement of blood glucose levels of white rats (rattus norvegicus) on a highcarbohydrate diet before and after administration of yakon (smallanthus sonchifolius) leaf powder. variable pre post difference chage control 201,33 201,16 0,17 dose 1 233,33 100,50 122,83 dose 2 260,00 93,17 166,83 souce: primary data table 1. average pre and post blood glucose levels of white rats (rattus norvegicus) after a high-carb diet (mg/dl) table 1. shows the difference in the decrease in blood glucose levels that occurred in the treatment group at dose 1 and dose 2. based on the paired sample test, it showed that the treatment group at dose 1 and dose 2 showed that there was an effect of giving yakon (smallanthus soncifolius) leaf powder. 219nurmawati, arsa, wulandari, saparudin, the effect of yacon leaf powder (smallanthus sonchifolius) on ... statistical test to determine the difference between the control group, treatment group dose 1 and dose 2. based on the table above, it can be seen that there is no difference in blood glucose levels of white rats after administration of yakon leaf powder at treatment dose 1 with dose 2 with p value = 0.693 which means there is no significant difference between dose 1 and dose 2. discussion a significant decrease in blood glucose levels after treatment the powder yakon leaves. the yakon leaf contains more components that lower blood glucose levels including phenolic, cholorogenic, and ferullic which have the ability to repair damaged pancreatic cells (herman, 2008). lachman (2007), shows that yakon leaf (mg/100gr) contains 83.2% water, 2.87% protein, 1.24% lipid, 1.68% fiber, 1.44% saccharides and several minerals. yakon leaf shoots contain fructose glucose which cannot be digested by digestive enzymes but can be fermented by the large intestine (widowati, 2010). the powder of yakon leaves were made by dried using an oven. gumilang (2016) who said that the extract by drying using the oven had the highest inhibitory activity against the -glucosidase enzyme. glucosidase is an enzyme that plays a role in carbohydrate metabolism in the small intestine. the powder form can be completely dissolved in water so as to maximize the absorption process (setiana, 2018). it is suspected that the decrease in blood glucose levels of rats at treatment dose 1 was due to the technical selection of the treatment. in the 2nd dose treatment group, 300 mg/kgbw of yakon leaf powder was shown to have an effect on the blood glucose levels of rats. the results of this study are in line with research by baroni et al. (2008) on the use of leaf extract (smallanthus sonchifolius) at a dose of 400 m/kgbw for 14 days which was proven to reduce 59% blood glucose levels in diabetic rats close to normal glucose levels. the observations in this study showed tha the rats in the dose 2 group experienced a decrease in their consumption of food and drink after receiving treatment for 3 days. widowati (2010) said, the leaves of the yakon plant contain phenol components that have an insulin-like effect, namely to reduce glucose production in hepatocytes by inhibiting the -glucosidase enzyme in the small intestine wall. the glucosidase enzymes such as maltase, isomaltase, glucomaltase and sucrase are associated with the function of hydrolyzing oligosaccharides and disaccharides. the activation of these enzymes can reduce the digestion of complex carbohydrates and their absorption. inhibition of the glucosidase enzyme will help reduce blood glucose levels for patients with type 2 diabetes mellitus (subramanian et al, 2008). the condition of the decrease in blood glucose levels caused the rats to experience changes in their diet. this is in line with the results of jafar’s research (2014) which shows that there is a relationship between diet and a decrease in blood glucose levels. there were differences in blood glucose levels of white rats (rattus norvegicus) between the control group and the treatment group. however, in the treatment group at dose 1 and dose 2, there was no significant difference in the blood glucose levels of white rats a fter being given yakon (smallanthus sonchifolius) leaf powder. the content of flavonoids in insulin plants is able to reduce blood glucose levels because the breakdown of carbohydrates into monosaccharides does not oc95 % confindence variabel n mean std. deviation max min interval mean lower upper control 6 201,17 30,492 230 156 169,17 233,17 dose 1 6 100,50 12,958 120 83 86,90 114,10 dose 2 6 93,17 11,531 106 80 81,07 105,27 control – dose p = 0,001 control – dose 2 p = 0,000 dose 1 – dose 2 p = 0,693 table2. differences in blood glucose levels of white rats (rattus norvegicus) with a high-carbohydrate diet between the control group, treatment dose 1, and dose 2 220 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 219–220 cur so that the intestine does not absorb glucose, so there is a decrease in blood glucose levels (baroni et al, 2008). yakon (smallanthus sonchifolius) leaves contain active ingredients such as proteins, lipids, fiber and saccharides, catechone, terpenes, and flavonoids and do not cause hypoglycemic effects (oktaria, et al 2016). so giving yakon (smallanthus sonchifolius) plant powder can still be an alternative as a control for the blood glucose levels of white rats (rattus norvegicus) with a high-carbohydrate diet. conclusion based on the results of the research that has been done, it can be concluded that: there is an effect of treatment dose 1 (150 mg/kg bw) on blood glucose levels of white rats before and after treatment compared to control. there is an effect of treatment dose 2 (300 mg/kb bw) on blood glucose levels of white rats before and after treatment. there is no difference between treatment dose 1 and dose 2 on the blood levels of white rats suggestion it is necessary to add time for observing the blood glucose levels of white rats after receiving treatment with yakon leaf powder (smallanthus sonchifolius). refference baroni, s., suzuki-kemmelmeier, f., caparroz-assef, s. m., cuman, r. k. n., & bersani-amado, c. a. (2008). effect of crude extracts of leaves of smallanthus sonchifolius (yacon) on glycemia in diabetic rats. revista brasileira de ciencias farmaceuticas/ brazilian journal of pharmaceutical sciences, 44(3), 521–530. https://doi.org/10.1590/s151693322008000300024 federation, international diabetes. (2015). idf diabetes atlas. https://www.diabetesatlas.org/ upload/resources/previous/files/7/idf%25 gumilang, d. p., & yuliana, n. d. (2016). pengaruh met ode pe nge ringan te rhadap a kt i v it as antioksidan dan penghambatan enzim alfa glukosidase temu mangga (curcuma mangga). http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/86671 idris, a. m., jafar, n., & indriasari, r. (2014). pola makan dengan kadar gula darah pasien dm tipe 2. jurnal mkmi, 10(4), 211–218. muhamad sabda, heppy suci wulanningtyas, mariana ondikeleuw, d. (2019). karakterisasi potensi gembili (dioscoreaesculental.) lokal asal papua sebagai alternatif bahan pangan pokok. bul. plasma nutfah, 25 no 1, 25–32. http://ejurnal.litbang.pertanian. go.id/index.php/bpn/article/view/10137/8365 oetari. (2019). khasiat obat tradisional sebagai antioksidan diabetes. yogyakarta. rapha publishing. pahlawan, p. p., & oktaria, d. (2016). pengaruh daun in sul in (sm all ant hus sonchifoli us) sebagai antidiabetik. majority, 5(4), 133. permana et al. (2012). review jurnal/ : formulasi granul effervescent dari berbagai tumbuhan. farmaka, 16(3), 9–17. who global report on diabetes. (2016). global report on diabetes. isbn, 978, 6–86. winangsih*, erma prihastanti*, s. p. (2013). pengaruh metode pengeringan terhadap kualitas simplisia lempuyang wangi (zingiber aromaticum l.). buletin anatomi dan fisiologi, xxi no 1, 19–25. yahya. (2018). no titlehidup sehat dengan diabetes. cetakan 1. solo.metagraf. e:\2021\ners agustus\2--jurnal 153arsa, charunnisa, the correlation of self-regulation theory constructs and ... the correlation of self-regulation theory constructs and the incidence of intradialytic complications during hemodialysis 2midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk keywords: self-regulation, intradialytic complications, hemodialysis. article information abstract hemodialysis is currently applied as a routine treatment that is widely used by patients with chronic kidney failure, though complications still occur during dialysis. self-regulation is a kind of theoretical model that represents the effect of perceived disease on behavior and health-related consequences. there is a process of problem representation, coping and appraisal or assessment of coping success involved in self-regulation. this study aimed to determine the correlation between self-regulation theory constructs and the incidence of intradialytic complications during hemodialysis. this was a descriptive analytic study with cross-sectional design. consecutive sampling resulted in 42 respondents. logistic regression results obtained disease representation variable with timeline (p=0.122; or=0.412) and control (p=0.068; or=0.582) sub-variables; as well as coping variable with problemfocused (p=0.219; or=0.912) and emotion-focused (p=0.036; or=0.3) subvariables. intradialytic complications are complex conditions that involve many factors, but the patient’s psychological adaptation process also deserves to be considered in developing self-regulation among hemodialysis patients. it is necessary to consider the provision of health education based on the constructs of this self-regulation theory, especially on variables/ factors that have a correlation with the incidence of intradialytic complications in order to improve self-management among hemodialysis patients to get a better life. © 2021 journal of ners and midwifery 153 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: sandialfa.wiga@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p153–160 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) sandi alfa wiga arsa1, miftah chairunnisa2 1nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia history article: received, 05/07/2021 accepted, 04/08/2021 published, 15/08/2021 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p153-160&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p153-160 154 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 153–160 introduction hemodialysis is currently applied as a routine treatment that is widely used by patients with chronic kidney failure. however, side effects are frequently encountered during dialysis, which may be due to technical problems, and patient comorbidities. intradialysis complications can be experienced by patients during hemodialysis in the forms of hypotension, muscle cramps, nausea, vomiting, headache, chest pain, fever and chills, hypertension, disequilibrium syndrome, arrhythmia, hemolysis, air embolism and shortness of breath during hemodialysis. heart disease is the most common cause of death for people with dialysis (american kidney fund, 2019). intradialytic complications are often associated with high idwg (interdialytic weight gain) and poor prognosis (gul et al., 2016). the results of therapy will not be optimal without the awareness of the patient to maintain his life, and this can also lead to therapy failure or complications that are detrimental and fatal (endah & supadmi, 2016). based on the results of observations in september 2020 in the hemodialysis unit of mardi maluyo regional general hospital, blitar, it was found that about 60% patients did not comply with the advice given regarding fluid restriction, so that in the further hemodialysis therapy, patients still often came with certain complaints such as shortness of breath, weight gain exceeding 5% of the patient’s dry weight and uremic symptoms (nausea, vomiting, anorexia), which resulted in commonly experienced complications, namely hypotension and hypertension. the main principles in managing chronic diseases such as ckd are patient involvement and acceptance of responsibility for controlling complications with self-care behaviors. self regulation stems from the individual’s efforts to maintain the status quo and return to a ‘normal’ state of health. emotional reactions can appear at any stage. cultural or social differences, for example regarding perception of symptoms or expectations of disease, can lead to different representations and different coping structures. selfregulation actively emphasizes the individual ability and how the individual can operate and reflect on his actions. the concept of self regulation theory can identify the patient’s ability to self-regulate through his ability to recognize the disease (illness cognition) wherein the patient is able to develop constructive coping. this constructive coping will maximize the patient’s potential for self-regulation. a study conducted by chironda et al., (2019) identified information about models and theories of care for the management of patients with ckd (chronic kidney disease) which could improve patient compliance. the advantage of the common sense model (self regulation) theory is sourced from the theory of individuals who act to prevent, treat, cure or adapt to acute or chronic diseases experienced and a good self-regulation process will help individuals to manage the disease and this further improve compliance. self-regulation strategies among hemodialysis patients need to be observed so that appropriate interventions can be planned and eventually, interdialysis complications do not occur since increasing self-control was revealed to decrease morbidity and mortality rates among this vulnerable population (kauric-klein et al., 2017). problem solving process is referred to analysis on the constructs of self-regulation theory. solving health problems is basically no different from solving other problems. there is a process of problem representation, coping and appraisal or assessment of coping success in self-regulation (ogden, 2007). based on the description above, the researchers intended to observe the correlation between self-regulation theory constructs and the incidence of intradialytic complications during hemodialysis. methods this was a descriptive analytic study with a cross-sectional design. the samples were collected using consecutive sampling technique which resulted in 42 respondents. the independent variable in this study was the constructs of self-regulation theory with the instrument of disease representation factor variable developed by the researchers by adapting the illness perception questionnaire (weinman, 2000). furthermore, coping variable was measured using a questionnaire developed by researchers by adapting the ways of coping developed by lazarus and folkman (vitaliano et al., 2016). the appraisal variable was measured using a questionnaire developed by the researcher by adapting the primary appraisal secondary appraisal questionnaire (pasa) (gaab, 2009) which was then modified according to the study objective. the dependent variable was intradialytic complications measured using an observation sheet for complica 155arsa, charunnisa, the correlation of self-regulation theory constructs and ... tions during the hemodialysis process. bivariate analysis used chi-square statistical test which aims to test the difference in proportions. if the bivariate test obtained a p value of < 0.25, then the variable could be included in the multivariate model. multivariate analysis used logistic regression analysis since there was a categorical dependent variable. important variables included in the multivariate model were those with a p value of < 0.05. variables that had an effect on the dependent variable were defined based on each p-value. results no variable n % 1 age 17-25 1 2.38 26-35 3 7.14 36-45 9 21.43 46-55 18 42.86 56-65 9 21.43 > 66 2 4.76 2 gender male 17 40.48 female 25 59.52 3 bp pre hd hypotension 2 4.76 normal 22 52.38 hypertension 18 42.86 4 bp post hd hypotension 3 7.14 normal 21 50.00 hypertension 18 42.86 5 education on hd never 8 19.05 1 time 10 23.81 3 times 9 21.43 >3 times 15 35.71 table 1. demographic data of respondents table 1 presents the number of respondents who underwent hemodialysis at the hemodialysis unit of mardi waluyo regional general hospital, blitar city. the majority of them were aged between 46-55 years or as many as 18 respondents (42.86%). the majority were female or as many as 25 respondents (59.52%). furthermore, 15 respondents (35.71%) ever received information on hemodialysis more than 3 times. before hemodialysis, the majority of respondents had normal blood pressure or as many as 22 respondents (52.38%) and after hemodialysis as many as 21 respondents (50%) had normal blood pressure. table 2 presents the intradialytic complications experienced by the respondents. the most common complications experienced by patients were muscle cramps and headaches, as many a 39 respondents (92.86%) respectively. table 3 presents the results of bivariate selection. not all variables showed a p value of <0.25 as a requirement to be included in the multivariate test. the variables that were included in the logistic regression analysis were those which had a p value of <0.25 in the bivariate analysis. logistic regression results obtained disease representation variable with timeline (p=0.122) and control (p=0.068) sub-variables; as well as coping variable with problem-focused (p=0. 219) and emotion-focused (p=0.036) sub-variables. table 4 presents the test results of several variables, namely timeline (p=0.211), control (p=0.472), problem-focused coping (p=0.908), emotion-focused coping (0.143), which indicated that individually, the four variables had no significant effect on intradialytic complications, however simultaneously, these four variables had an effect on intradialytic complications with a p value = 0.044. thus, it can be concluded that the equation obtained was g(x) = (constant(1.375)) + (timeline(-0.887)) + (control(0.0541)) + (problem-focused (-0.092)) + (emotionfocused (-1.203)) value of independent variable was 1 for severe intradialytic complications and 0 for mild dialytic complications. the table above shows a nagelkerke r square value of 0.222 which meant that the contribution of the four variables, namely timeline, control, problem-focused coping, and emotion-focused coping complication n % hypertension 15 35.71 muscle cramp 39 92.86 nausea 31 73.81 headache 39 92.86 chest pain 3 7.14 itchy 30 71.43 hypotension 23 54.76 table 2. intradialytic complications 156 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 153–160 no variable sub-variable category mild   severe   p value n % n % 1 disease representation identity mild 21 53.8 18 46.2 0.503 severe 1 33.3 2 66.7 cause couldn’t recognize 19 54.3 16 45.7 0.582 could recognize 3 42.9 4 571 timeline negative 13 65 7 35 0.122*) positive 9 40.9 13 59.1 consekuensi negative 13 50 13 50 0.694 positive 9 56.3 7 43.8 control negative 14 66.7 7 33.3 0.068*) positive 8 38.1 13 61.9 2 appraisal first appraisal negative 22 53.7 19 46.3 1 positive 0 0 1 100 second appraisal negative 11 61.1 7 38.9 0.329 positive 11 45.8 13 54.2 3 coping problem-focused negative 14 61.9 8 38.1 0.219*) positive 9 42.9 12 57.1 emotion-focused negative 17 65.4 9 34.6 0.036*) positive 5 31.3 11 68.8 *) p value of < 0.25 table 3. bivariate selection of variables in self-regulation theory with the level of complications experienced by patients during hemodialysis at mardi waluyo general hospital, blitar (n=42). coeff s.e. wald df value p or ci 95% min max disease representation timeline -0.887 0.709 1.562 1 0.211 0.412 0.103 1.655 control -0.541 0.753 0.517 1 0.472 0.582 0.133 2.545 coping problem-focused -0.092 0.795 0.013 1 0.908 0.912 0.192 4.338 emotion-focused -1.203 0.822 2.144 1 0.143 0.300 0.060 1.503 constant 1.375 0.682 4.058 1 0.044 3.954 table 4. variables correlated with intradialytic complications at mardi waluyo general hospital, blitar (n=42) cox & snell r square nagelkerke r square 0.116 0.222 table 5. negelkerke r square value chi-square df sig. 5.791 7 0.564 table 6. the result of the hosmer and lemeshow chisquare test was able to explain the accuracy of 22% and the other 11% was explained by other factors. the table above presents the result of the hosmer and lemeshow chi-square test with a p value of significance of 0.564 (>0.05), then h0 was accepted and the model had sufficiently explained the data (goodness of fit). the table above shows that the prediction accuracy in this study was 69%. 157arsa, charunnisa, the correlation of self-regulation theory constructs and ... discussion this study showed that 45% of patients aged 46-55 years experienced severe complications during the hemodialysis process. the perceived intradialytic complications were muscle cramps (92.86%), headache (92.86%), nausea (73.81%), itching (71.43%), and hypotension (54.76%). 57% of all patients had undergone hemodialysis for more than 3 years. hypotension was found as the most common acute complication (20-50%) of hd followed by muscle cramps (20%), nausea and vomiting (5-15%), dialysis imbalance (10-20%), headache (5%), chest pain (2-5%), itching (5%), fever and chills (<1%), arrhythmias, hypoglycemia, bleeding, blood membrane interactions such as first use syndrome and acute hemolysis (singh et al., 2015). the findings indicate that intradialytic complications may occur among new patients or old patients. in this study, the constructs of self-regulation theory found that 4 subvariables from 2 variables had a relationship with the level of intradialytic complications, namely the timeline and control in the disease representation variable, and problem-focused coping and emotion-focused coping in the coping variable. self regulation stems from the individual’s efforts to maintain the status quo and return to a ‘normal’ state of health. emotional reactions can appear at any stage. cultural or social differences, for example regarding perception of symptoms or expectations of disease, can lead to different representations and different coping structures. self-regulation actively emphasizes the individual ability and how the individual can operate and reflect on his actions (cameron, 2012). this shows that self-regulation theory provides a framework for understanding the factors that can influence how a person perceives the threat of disease and how client beliefs influence client decisions in self-regulating health outcomes. however, not all frameworks/constructs in the theory are related to this study which is only specialized in intradialytic complications. it has been described in table 5 that the contribution of the four variables, namely timeline, control, problem-focused coping, and emotion-focused coping was able to explain the accuracy of 22% and the other 11% was explained by other factors. furthermore, it ha been also revealed that the prediction accuracy in this study was 69%. the order of the sub-variables from strongest to weakest cor rela tion was problem-focused coping (or=0. 912), control (or=0.582), timeline (or=0. 412), a nd emotion-focused coping (or=0.300). the variables that were found to have a correlation with intradialytic complications are described below. the correlation of disease representation (timeline and control) and intradialytic complications disease representation in this study is defined as the perception of a health threatening disease based on sensations and symptoms. perception is built on information received from three sources. the first source of information is generally obtained from previous social conversations or cultural knowledge and the effects of the disease. the second source of information is generated from significant people or authority figures such as nurses and doctors. the third sources of information are obtained from the individual’s previous experience with the disease as well as their current experience with the disease (parfeni et al., 2013). timeline was one of the subvariables in the constructs of selfregulation theory that was proven to have a relationship with the level of intradialytic complications. it has been described in general self-regulation theory that health threats perceived due to chronic condition is associated with poorer psychological well-being, poorer social and role functioning and vitality, and greater psychological distress. although observed predicted intradialytic complication percentage correct mild severe intradialytic complication mild 15 7 68.2 severe 6 14 70 overall percentage 69 table 7. accuracy prediction of the study 158 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 153–160 chronic condition timeline beliefs are usually associated with poorer outcomes, sometimes the opposite is true. this paradox highlights the complexities of self-management and the importance of determining the phenomenological representation of disease in the individual. for example, viewing a long-term condition as acute might lead to delays in treatment (mcandrew et al., 2018). beliefs about the time to development and duration of a disease, the point in time for using a treatment regimen, the time required for cure or control, and the time from disease onset to death when no treatment is initiated are significant factors. so, it cannot be denied that delays or denial of people with a chronic disease such as hemodialysis patients can cause a worse condition, which is reflected in the level of intradialytic complications in the current study. although intradialytic complications are clinical conditions related to the patient’s physical condition, in this study it was shown that the patient’s psychological condition could be a factor in the incidence of intradialytic complications. in this study, control is defined as the client’s perception of the ability to control the condition as part of the hemodialysis problem, indicating a relationship with the level of intradialytic complications. feeling greater control over health threats usually leads to more active self-management, resulting in better outcomes. likewise, feeling greater control over one’s mental health leads to seeking psychotherapy attitude and/or engagement in preventive care to stop mental health problems before they get worse. control belief also has an effect on the type of self-management approach chosen. this is especially important when cultural beliefs about how to control health threats do not match those of mental health providers (mcandrew et al., 2018). based on general data, 35.71% of patients had received education on disease and hemodialysis, this is one thing that can develop the patient’s ability to control the conditions experienced during routine hemodialysis therapy. this is in line with the opinion that action plans are effective in providing action strategies, but are not the same as helping them acquire the skills to plan themselves, or to build management routines automatically (leventhal et al., 2016). the control mechanism in the self regulation theory is related to anticipation and perception of responsiveness to self-medication and expert intervention (nurses and doctors), which further creates a form of control that is appropriate for the conditions experienced. intradialytic complications such as nausea, vomiting, cramps, hypotension, headaches are less likely to occur if the control mechanism in selfregulation is running well, although many other factors outside of these factors can also influence the occurrence of intradialytic complications. the correlation of coping (emotion-focused and problem-focused) and intradialytic complications in this study, sub-variables of emotion-focused and problem-focused involved in the coping variable had a relationship with intradialytic complications. these complications stressed patients out, requiring them to cope. coping mechanisms are broadly categorized into problem-focused and emotion-focused. most hd patients tend to use emotion-oriented coping strategy to deal with stress. emotion-focused strategies have been associated with poor therapeutic outcomes and poor healthrelated quality of life). (ndanu, 2020). coping procedures are cognitive and behavioral actions that are taken (or not taken) to improve health and to prevent, treat (cure or control), and rehabilitate from disease which then forms self-regulation in which the system or mental set of mechanisms describe the self to solve health-medical problems, seek to improve self-health, and overcome the threat of disease, and redefine the problems being faced. muscle cramps, headache were some of the most common intradialytic complications experienced by patients involved in this study. intradialytic events have been reported to have physiological and psychological effects on patients. the majority of hd sessions were discontinued due to complications since certain intra-dialytic complications stressed the patients (ndanu, 2020). the finding in johnson’s study (2017) regarding emotional-focused coping strategy used by the majority of hemodialysis patients revealed that stress during hemodialysis was significantly affected by coping strategies. although individuals undergoing outpatient hemodialysis are susceptible to many psychosocial stressors, many of which are potentially manageable and individuals should be encouraged to cope with manageable stressors. efforts by the health care team to understand the coping strategies applied by patients undergoing hemodialysis are needed. coping strategies are dynamic and change as people/environments change. patients develop dynamic and interactive cognitive and emotional representations of their experiences to understand 159arsa, charunnisa, the correlation of self-regulation theory constructs and ... their illness. they also develop specific representations of each coping procedure or treatment option. guided by their representations, patients develop shortand long-term action plans and use specific coping procedures to manage symptoms and regulate negative emotions (karekla et al., 2019). conclusion the self-regulation model is the most widely used theory to explain and predict adaptation to disease as well as patient behavior and self-management choices. in this study, only 2 variable constructs of self-regulation had a correlation with intradialytic complications. although intradialytic complications are complex conditions that involve many factors, the patient’s psychological adaptation process also deserves to be considered to establish self-regulation among hemodialysis patients. suggestion it is necessary to consider the provision of health education based on the constructs of this selfregulation theory, especially on variables/factors that have a correlation with the incidence of intradialytic complications in order to improve self-management among hemodialysis patients to get a better life. refference american kidney fund. (2019). heart disease & chronic kidney disease ( ckd ). american kidney fund. htt ps:/ /www.kidneyfund. org/ kidn ey-disea se/ chronic-kidney-disease-ckd/complications/heartdisease/ cameron, l. (2012). the self-regulation of health and illness behaviour. in the self-regulation of health and illness behaviour. taylor and francis. https:// doi.org/10.4324/9780203553220 chironda, g., bhengu, b., & manwere, a. (2019). models and theories of care applicable to predicting and improving adherence behaviours among chronic kidney disease (ckd) patients. rwanda journal of medicine and health sciences, 2(1), 48. https:// doi.org/10.4314/rjmhs.v2i1.9 endah, k., & supadmi, w. (2016). kepatuhan penggunaan obat dan kualitas hidup pasie n he modialisa di rs pku muhammadiyah yogyakarta periode maret 2015. jurnal farmasi sains dan komunitas, 13(2), 73–80. gaab, j. (2009). pasa – primary appraisal secondary appraisal (pp. 113–114). psychologisches institut. gul, a., miskulin, d., harford, a., & zager, p. (2016). intradialytic hypotension. current opinion in nephrology and hypertension, 25(6), 545–550. https://doi.org/10.1097/mnh.0000000000000271 johnson, s. (2017). cognitive appraisal of stress and coping of intradialytic events in persons on hemodialysis. cognitive appraisal of stress & coping of intradialytic events in persons on hemodialysis, 57, 1. http://search.ebscohost.com/ l o g i n . a s p x ? d i r e c t = t r u e & a u t h t yp e = i p , sh i b&db= jl h&an= 130408153&si t e= ehost live&scope=site karekla, m., karademas, e. c., & gloster, a. t. (2019). the common sense model of self-regulation and acceptance and commitment therapy: integrating strategies to guide interventions for chronic illness. health psychology review, 13(4), 490–503. https:/ /doi.org/10.1080/17437199.2018.1437550 kauric-klein, z., peters, r. m., & yarandi, h. n. (2017). self-efficacy and blood pressure self-care behaviors in patients on chronic hemodialysis. western journal of nursing research, 39(7), 886– 905. https://doi.org/10.1177/0193945916661322 leventhal, h., phillips, l. a., & burns, e. (2016). the common-sense model of self-regulation (csm): a dynamic framework for understanding illness selfmanagement. journal of behavioral medicine, 39(6), 935–946. https://doi.org/10.1007/s10865-0169782-2 mcandrew, l. m., martin, j. l., friedlander, m. l., shaffer, k., breland, j. y., slotkin, s., & leventhal, h. (2018). the common sense of counseling psychology: introducing the common-sense model of selfregulation. counselling psychology quarterly, 31(4), 497–512. https://doi.org/10.1080/09515070. 2017.1336076 ndanu, l. m. (2020). strategies for coping with stress related to intradialytic events utilized by patients on hemodialysis at the renal unit, kenyatta national hospital. in university of narobi. university of narobi. parfeni, m., nistor, i., & covic, a. (2013). a systematic review regardi ng t he a ssociat ion of i llness perception and survival among end-stage renal disease patients. nephrology dialysis transplantation, 28(10), 2407–2414. https://doi.org/10.1093/ ndt/gft194 singh, r. g. opa., singh, s., rathore, s. s. ing., & choudhary, t. a. la. (2015). spectrum of intradialytic compli ca tions dur in g h em odia lysis a nd i ts management: a single-center experience. saudi journal of kidney diseases and transplantation/ : an official publication of the saudi center for organ transplantation, saudi arabia, 26(1), 168– 172. https://doi.org/10.4103/1319-2442.148771 160 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 153–160 vitaliano, p. p., russo, j., carr, j. e., maiuro, r. d., vitaliano, p. p., russo, j., carr, j. e., maiuro, r. d., vitaliano, p. p., russo, j., carr, j. e., & maiui, r. d. (2016). the way s of coping chec kl ist/ : r ev ision and psychometric properties the ways of coping checklist/ : revision and. 3171(february). https:/ /doi.org/10.1207/s15327906mbr2001 wei n m an , j. (2000). the i l lne ss pe rc e pti on questionnaire. 11, 1–10. 142 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the effectiveness of reflexology massage to the reduction of blood sugar level of elderly with type 2 diabetes mellitus levi tina sari1, wahyu wibisono2, nevy norma renityas3 1,2,3midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract chronic hyperglycemia in clients with diabetes mellitus will cause long-term damage, namely dysfunction or failure of organs such as eyes, kidneys, nerves, heart and blood vessels. therefore, reflexology on the soles of the feet is become one of the complementary therapies that has no side effects. the research design used pre-experimental approach with a one group pretest-posttest design. the data analysis was divided into two, namely univariate analysis by frequency distribution and bivariate analysis by paired sample t-test. the results showed that there was a difference in the points of before and after treatment as much as 36.15 points. there was an effect between reflexology treatment before and after as much as 0.0001 < 0.05. reflexology could respond the hypothalamus, activated the hypothalamuspituitary-adrenal axis, and produced corticotropin releasing factor (crf) hormone which stimulated the pancreas to increase insulin synthesis. one of the receptors on target cells, namely the glucose transporter (glut 4) which functioned to bring glucose into cells and accelerated the use of glucose which resulted in lower blood glucose levels. reflexology can be done by oneself and has no side effects. history article: received, 15/02/2022 accepted, 30/03/2022 published, 15/08/2022 keywords: reflexology massage, diabetes mellitus, blood sugar level, elderly © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : tinasari.levi@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p142-147 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:tinasari.levi@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p142-147 sari, wibisono, renityas, the effectiveness of reflexology massage to the reduction of blood … 143 introduction diabetes mellitus is a group of metabolic diseases characterized by hyperglycemia due to damage to pancreatic beta cells which resulted in incapable of producing insulin (ministry of health of the republic of indonesia, 2020). chronic hyperglycemia of clients with diabetes mellitus will cause long-term damage, namely dysfunction or failure of organs such as eyes, kidneys, nerves, heart and blood vessels (association, 2014). diabetes mellitus is classified into gestational diabetes, type 1 diabetes, and type 2 diabetes. type 2 diabetes mellitus (dmt2) is a group of metabolic diseases with characteristics of hyperglycemia, occurring due to abnormalities in insulin secretion, insulin action or both (decroli, 2019). epidemiological research proves that there is a tendency to increase the incidence of type 2 diabetes mellitus in various parts of the world, both in industrialized and developing countries, including indonesia. type 2 dm covers 90% of all diabetic populations (soelistijo et al., 2019). international diabetes federation (idf) revealed that in 2019, the number of people with dm was 88 million people, and would increase around 115 million people in 2030 and 153 million people in 2045. diabetes mellitus sufferers by gender were 9% women and 19.9% men (nugroho, 2021). the prevalence of diabetes cases of elderly group was >65 years (whiting et al., 2011). the highest prevalence of diabetes mellitus cases in china is 116.4 million people, indonesia is ranked 7th with 10.7 million people, within the scope of the southeast asia region, indonesia is ranked 3rd with a prevalence of 11.3% (ministry of health of the republic of indonesia). 2020). according to riskesdas in 2013-2018, east java was ranked 6th with the most cases of diabetes mellitus of 100 patients (east java provincial health office, 2020). in 2014 around 8.5% of people aged 18 years old were affected by dm. in 2019 dm was the cause of death of around 1.5 million deaths and 48% occurred before the age of 70 years (world health organization, 2021). therefore, there are several methods of treating diabetes mellitus in order to reduce blood sugar levels and even to reduce mortality rate. diabetes treatment methods consist of pharmacological and nonpharmacological treatment. pharmacological methods have side effects, non-adherence of drug consumption resulted in expensive charge. nonpharmacological methods are cheap, have no side effects or the side effects can be minimized. there are several non-pharmacological methods, one of which is reflexology. dm reflexology is a way of treating disease through central nervous points associated with certain body organs (lisanawati, hasneli and hasanah, 2015) reflexology is a way of treating disease by massaging through the central points of nerves associated with organs related to blood sugar levels including the brain, pituitary, pancreas, and liver points (ruhito and mahendra, 2009). reflexology is related to an organ of the body that can be done through the sole of the feet. reflexology is fully functional to eliminate the symptoms and also the cause of the symptoms. reflexology performed on the palms of the hands and feet, especially in problem areas of the organ, will provide stimulation to nerve points associated with the pancreas, these nerve points stimulate the pancreas to produce insulin (lisanawati, hasneli and hasanah, 2015) chanif and khoiriyah (2016) stated that reflexology massage in some certain point of the feet is used to determine the massage area, where the feet are representative of the nerves throughout the body. this foot reflexology technique can stimulate nerve function throughout the body properly and the benefits of the massage will be felt in the body, mind, and spirit. human body consists tissues that lead to all parts of the body which are interconnected with one another. when one of the knot points is pressed, it will relate to certain organs. the nerve point of people with diabetes mellitus is the pancreas point. this point is related to the insulin hormone, which affects blood sugar (glucose) levels in the body (wicaksono, 2011). method the research design used pre-experiment with a one group pretest-posttest design approach. the design aimed to compare the result before and after the treatment. the sample was 40 elderly people aged > 50 years and over. the sampling technique was purposive sampling with the inclusion criteria of voluntary elderly as respondents, not sick and exposed to covid 19. the location of the research was on posyandu of elderly in the village of tegalan-kandat, kediri regency. the research was held in july 2021. the data was collected through the administration of reflexology massage in the sole of the foot area of elderly who had agreed to become respondents. this reflexology was carried out for 3 weeks, 3 times a week assisted by 6 enumerators who had received reflexology training from researchers. the researchers conducted 2 data 144 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 142-147 analysis, namely univariate analysis, namely demographic data in the form of frequency distribution and bivariate analysis through blood sugar level before and after treatment in the form of paired sample t-test. result 1. demographic data table 1: the frequency of demographic of the respondents (n=40) demographic data ∑ % age 50-55 years old 56-60 years old >60 years old 15 18 7 37,5 45 17,5 total 40 100 gender female male 33 7 93 7 total 40 100 workout/ physical exercise routine (daily) occasionally (1-3 times a week) never 10 7 23 25 17.5 62,5 total 40 100 occupation state employee entrepreneur housewife retired 1 2 34 3 2,5 5 85 7,5 total 40 100 history of disease (except dm) hypertension cholesterol uric acid nothing 10 7 10 13 25 17,5 25 32,5 total 40 100 fasting blood sugar level before treatment: normal (100mg/dl) pre-diabetes (101-125mg/dl) diabetes (>126mg/dl) 0 6 34 0 15 85 total 40 100 fasting blood sugar level before treatment: normal (100mg/dl) pre-diabetes (101-125mg/dl) diabetes (>126mg/dl) 22 12 6 55 30 15 total 40 100 2. data bivariat table 2: numerical result of kolmogrov smirnof test(n=40) n mean ks count ks table before treatment 40 144.750 0.0001 0.21503 after treatment 40 108.600 the table above shows that ks count 0.0001>0.21503 which means the data is normally distributed. sari, wibisono, renityas, the effectiveness of reflexology massage to the reduction of blood … 145 tabel 3: numerical result of paired sampel t-test (n=40) n mean t count sig (2-tailed) before treatment 40 144.750 15.136 0.0001 after treatment 40 108.600 the table above shows there is a deviation point before and after treatment up to 36,15 points. there is an effect on the reflexology massage before and after treatment with the result of 0.0001 < 0.05. discussion before treatment the results of the study on fasting blood sugar level of diabetic patients before reflexology were 15% pre-diabetic and 85% diabetic. this was due to several factors. the first factor is gender. women are more affected or vulnerable to diabetes. men and women actually have the risk of developing diabetes mellitus, but women have a greater risk, because women have the opportunity to increase their body mass index as a result of the monthly cycle syndrome (premenstrual syndrome) (rita, 2018). post menopause can make the distribution of body fat easily accumulate due to the hormonal process so that women are at risk of suffering from diabetes mellitus (wahyuni, 2014). according to research by usman et al at the haji makasar hospital, it proved that 69.8% of people with diabetes mellitus were female caused by unhealthy food patterns such as consuming foods that contain fat and high in glucose (usman, rahman and sulaiman, 2020) the results of riskesdas 2007 also showed that the number of dm sufferers in indonesia was increasing with the increasing of age. the age of the respondent was > 50 years, this was in line with research from kekenusa et al, which showed that there was a correlation between age and the incidence of diabetes mellitus (p = 0.000) and the odds ratio value was 7.6. this meant that people aged 45 years had 8 times greater risk of developing diabetes mellitus compared to people aged less than 45 years (kekenusa, ratag and wuwungan, 2018). this was reinforced by research from mildawati et al, showing that 45-65 years of age have diabetes mellitus with complications of peripheral neuropathy so that there was a positive correlation which meant that the older a person was, the higher the risk of developing diabetic peripheral neuropathy (mildawati, diani and wahid, 2019). doing workout or physical exercise also affects the level of insulin in patients with diabetes mellitus, such as regular exercise to help normalize blood sugar levels thereby reducing the need for drugs or insulin (rachmawati, 2010). the decrease of blood sugar levels after exercise is due to the burning of calories in the body which can improve blood circulation so that it can increase the number of receptors on the cell walls where insulin is produced (hastuti and haji, 2017). the results of the study indicated that about 62.5% did not do exercise. according to the observations of the researchers, the exercise was not optimal and there was no routine exercise for the elderly. these phenomena can cause blood sugar levels to increase. after treatment reflexology is a complementary therapy that emphasizes certain body points using hands or other objects such as wood, plastic or rubber. basically, reflexology aims to improve the function of the body's systems, especially the immune and defense systems, so that the body can heal itself, because the body actually has the ability to heal itself (sari, renityas and wibisono, 2014). in this research, the reflexology was carried out for 15-20 minutes on the soles of the feet, it proved that 55% had normal blood sugar levels and 30% had blood sugar in the pre-diabetes category, and there was an increase in points between before and after treatment by 36,11 points, which meat that there was a decrease in blood sugar levels after reflexology, and there was an effect between reflexology treatment before and after that was 0.0001 < 0.05. this result was strengthened by research from musiana which revealed that there was a significant difference between blood sugar before and after treatment (musiana, astuti and dewi, 2017). stress is one of the factors that triggers an increase in blood sugar in dm patients, reflexology has relaxing properties so that it triggers the release of several hormones that contribute to increasing blood sugar levels, namely epinephrine, growth hormone, glucagon, and glucocorticoids. activates glucose-6-phosphate, which is one of the enzymes 146 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 142-147 of carbohydrate metabolism and can respond to the hypothalamus, activates the hypothalamuspituitary-adrenal axis and produces the hormone corticotropin releasing factor (crf) thereby stimulating the pancreas to increase insulin synthesis, one of the receptors on target cells, namely the glucose transporter (glut 4) which is functioned to bring glucose into cells and accelerate the use of glucose so that it lowers blood glucose levels (fitrullah and rousdy, 2017; musiana, astuti and dewi, 2017) muzahidin et al, stated that there was a decrease in blood sugar levels after the reflexology intervention on the soles of the feet for 3 consecutive days with the duration of 15-20 minutes. this was due to the increasing peripheral blood circulation so that oxygen and nutrients in the periphery could help the nerves in the feet to receive stimulation (muzahidin, hartoyo and suryani, 2015). emphasizing on the reflex points in the feet, especially at the pancreas point, the nerve receptors will work and the stimulation will turn into electricity or bioelectricity which will spread to the brain and then to the pancreas, so that insulin hormone production is better and blood sugar levels in the body are balanced. conclusion before the reflexology treatment, 86% had blood sugar levels higher than 126mg/dl, and after the treatment, the respondent's blood sugar levels were 55% in the normal category and 30% in the pre-diabetic. there was an effect between the result of reflexology massage before and after (0.0001 < 0.05). suggestion reflexology on the soles of the feet is a complementary treatment that can be done at home without expensive costs and even without side effects. reflexology can be done at posyandu for the elderly, and posyandu cadres can be taught reflexology to help elderly with diabetes mellitus. acknowledgement we would like to give our big appreciation to stikes patria husada blitar for supporting our research in all aspects. we also would like to thank all of the respondents that participated in this research for their commitment. funding this research was funded by all of the authors collectively and also supported by stikes patria husada blitar. conflicts of interest the authors declare no conflict of interest. other funders than the authors had no role in the design of the study, data collection, data analysis, in the writing of the manuscript, and also in the decision for publication. references association, a. d. (2014) ‘diagnosis and classification of diabetes mellitus’, diabetes care, 37(suppl.1), pp. 81–90. doi: 10.2337/dc14-s081. chanif and khoiriyah (2016) ‘efektivitas terapi pijat refleksi kaki terhadap tekanan darah pada pasien hipertensi’, university research coloquium, pp. 214–221. available at: https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/ handle/11617/7798/mipa dan kesehatan_28.pdf?sequence=1&isall owed=y. decroli, e. (2019) diabetes millitus tipe 2. padang: pusat penerbitan bagian ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas andalas. dinas kesehatan provinsi jawa timur (2020) ‘profil kesehatan provinsi jawa timur 2019’, dinas kesehatan provinsi jawa timur, pp. 1–123. available at: www.dinkesjatengprov.go.id. fauzan, f. n., bayhakki and arnelinawati (2015) ‘efektifitas latihan refleksi kaki dengan menggunakan tempurung kelapa terhadap tekanan darah pada penderita hipertensi primer’, 2(2). available at: https://jom.unri.ac.id/index.php/jompsik/ article/view/8277. fitrullah and rousdy, a. (2017) ‘effectiveness of acupressure at the zusanli (st-36) acupoint as a comfortable treatment for diabetes mellitus: a pilot study in indonesia’, journal of acupuncture and meridian studies, 10(2), pp. 96–103. doi: 10.1016/j.jams.2016.12.003. hastuti, w. and haji, s. (2017) ‘pengaruh senam diabetes terhadap kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe ii di wilayah puskesmas kedungwuni ii kabupaten pekalongan’, jurnal smart keperawatan, 4(1), pp. 57–64. doi: 10.34310/jskp.v4i1.94. kekenusa, j. s., ratag, b. t. and wuwungan, g. (2018) ‘analisis hubungan antara umur dan riwayat keluarga menderita dm dengan kejadian penyakit dalam blu sari, wibisono, renityas, the effectiveness of reflexology massage to the reduction of blood … 147 rsup prof. dr. r.d kondou manado’, dr. rd kandou manado. j kesmas univ sam ratulangi manado, 2(1), pp. 1–6. kementrian kesehatan republik indonesia (2020) ‘tetap produktif, cegah dan atasi diabetes mellitus’, pusat data dan informasi kementrian kesehatan ri. available at: https://pusdatin.kemkes.go.id. lisanawati, r., hasneli, y. and hasanah, o. (2015) ‘perbedaan sensitivitas kaki sebelum dan sesudah dilakukan terapi pijat refleksi pada pasien diabetes melitus ttpe ii’, jurnal online mahasiswa, 2(2), pp. 1402– 1409. mildawati, diani, n. and wahid, a. (2019) ‘hubungan usia, jenis kelamin dan lama menderita diabetes dengan kejadian neuropati perifer diabateik’, caring nursing journal, 3(2), pp. 31–37. musiana, astuti, t. and dewi, r. (2017) ‘efektivitas pijat refleksi terhadap pengendalian kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus’, jurnal ilmiah keperawatan, 11(2), pp. 224–232. available at: http://ejurnal.poltekkestjk.ac.id/index.php/jkep/article/view/576. muzahidin, a., hartoyo, m. and suryani, m. (2015) ‘pengaruh terapi pijat refleksi pada telapak kaki terhadap sensitivitas kaki pada penderita diabetes melitus tipe 2 di puskesmas karangayu semarang’, jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan, 7(2), pp. 1–10. nugroho, a. s. (2021) indeks resiko kejadian penyakit jantung koroner pada pasien diabetes tipe 2. universitas airlangga. available at: http://repository.unair.ac.id/id/eprint/10719 4. rachmawati, o. (2010) hubungan latihan jasmani terhadap kadar glukosa darahpenderita diabetes melitus tipe-2. universitas negri sebelas maret. available at: digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/14247/hu bungan-latihan-jasmani-terhadap-kadarglukosa-darah-penderita-diabetes-melitustipe-2. rita, n. (2018) ‘hubungan jenis kelamin, olah raga dan obesitas dengan kejadian diabetes mellitus pada lansia’, jik jurnal ilmu kesehatan, 2(1), pp. 93–100. doi: 10.33757/jik.v2i1.52. ruhito, f. and mahendra, b. (2009) pijat kaki untuk kesehatan. jakarta: penebar plus. available at: https://books.google.co.id/books?id=b6na dnloetac&pg=pp6&lpg=pp6&dq=mah endra+%26+ruhito,+2009&source=bl&ot s=ncveekjbgs&sig=acfu3u2m6kpts f73buy07mtfwvmjab8sw&hl=en&sa=x&ved=2ahukewiy8fji3 kb0ahul4xmbhv7cbuq6af6bagfeam#v=onepage&q=m ahendra %26 ruhito%2c 200. sari, l. t., renityas, n. n. and wibisono, w. (2014) ‘pengaruh terapi pijat refleksi terhadap penurunan tekanan darah pada lanjut usia dengan hipertensi’, jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 1(3), pp. 200–204. doi: 10.26699/jnk.v1i3.art.p200-204. soelistijo, s. a. et al. (2019) ‘pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 dewasa di indonesia 2019’, perkumpulan endokrinologi indonesia, 4, pp. 1–117. usman, j., rahman, d. and sulaiman, n. (2020) ‘faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes mellitus pada pasien di rsud haji makassar’, jurnal komunitas kesehatan masyarakat, 2, pp. 16–22. wahyuni (2014) faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit diabetes mellitus didaerah perkotaan di indonesia. unkiversitas islam negrisyarif hidyatullah. available at: https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstre am/123456789/2447/1/sri wahyunifkik.pdf. whiting, d. r. et al. (2011) ‘idf diabetes atlas: global estimates of the prevalence of diabetes for 2011 and 2030’, diabetes research and clinical practice, 94(3), pp. 311–321. doi: 10.1016/j.diabres.2011.10.029. wicaksono, r. p. (2011) ‘faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diabetes melitus tipe 2 (studi kasus di poliklinik penyakit dalam rumah sakit dr. kariadi’, journal.fk.undip.ac.id, 2, pp. 1–22. available at: http://eprints.undip.ac.id/37123/. world health organization, w. (2021) ‘diabetes’. available at: https://www.who.int/newsroom/fact-sheets/detail/diabetes. bab 1 173 hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban (relation between exercise and the mortal of hypertention level at poliklinik jantung rsud dr. r koesma tuban) titik sumiatin 1 , yasin wahyurianto 1 , wahyu tri ningsih 1 1 prodi d3 keperawatan poltekkes tuban email: bojoneahsan@yahoo.com abstract : hypertention according who is systolic pulse > 140mmhg and dyastolic pulse >90mmhg which chronicle way. complication of blood vessels is caused by hypertention, it causes coronary hearth attack, infark miokard, stroke, and renal failure (gunawan, 2001). based on early survey on 10 – 14 march 2009 th , there are 14 (25,4%) of 55 patiens are hypertention. goal of research is to know relation between exercise and the mortal of hypertention at poliklinik jantung rsud dr. r koesma tuban. design of research is analytic with cross sectional method. population of research are 56 respondens and sample of research are 48 patient with hypertention. sampling technique used stratified random sampling. instrument to collecting data used questioner and observation, then tested by spearman rank correlation test. result of research is there is connention between the exercise with the mortal hypertention level at poliklinik jantung rsud dr. r koesma tuban. it shown from 48 patient with hypertention. they are average exercise regularly and have low hyperlention level, in percentage 100%. the things give evidence that there is connection between the exercise with the mortal hypertention level. so, h1 is reseived in rank infact (0,000 < 0,05) and ρspearman value = 0,000 significant 0.05. exercise is important for hypertention. because from research, exercise regularly can absorb and make lose chollestrole precipitation in arthery. keywords : exercise, hypertention abstrak : hipertensi menurut who adalah tekanaan sistolik >140 mmhg dan tekanan diastolik > 90 mmhg secara kronik. komplikasi pembuluh darah yang disebabkan hipertensi dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, infark jantung, stroke, dan gagal ginjal (gunawan, 2001). berdasarkan survei awal, pada tanggal 10-14 maret 2009 bahwa 14 (25,4%) dari 55 pasien mengalami hipertensi. berdasarkan uraian diatas masalah penelitian, masih banyak penderita hipertensi. penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi pasien di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban. desain penelitian dalam penelitian ini adalah analitik dengan metode cross sectional. populasi penelitian ini 56 pasien hipertensi dan sampel penelitian ini sebanyak 48 pasien hipertensi. teknik sampling yaitu stratified random sampling. insrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner dan observasi kemudian di uji menggunakan uji korelasi spearman rank. kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban, terlihat dari responden sebanyak 48 pasien hipertensi, responden berolahraga secara teratur dan memiliki tingkat hiperensi ringan dengan persentase sebanyak 22 orang (100%). menyatakan ada hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi diterima pada taraf nyata (0,000 < 0,05) dengan nilai ρ spearman = 0,000 signifikansi 0,05. olahraga penting bagi penderita hipertensi karena menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan endapan kolesterol pada pembuluh nadi. kata kunci: olahraga, tingkat hipertensi hipertensi menurut who adalah tekanaan sistolik >140 mmhg dan tekanan diastolik > 90 mmhg secara kronik. hipertensi adalah salah satu penyebab mailto:bojoneahsan@yahoo.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p164-168 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 174 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm,173-180 kematian nomor satu, secara global. komplikasi pembuluh darah yang disebabkan hipertensi dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, infark (penyumbatan pembuluh darah yang menyebabkan kerusakan jaringan) jantung, stroke, dan gagal ginjal (gunawan, 2001). komplikasi pada organ tubuh menyebabkan angka kematian yang tinggi (depkes, 2007). sedangkan di indonesia hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang perlu diperhatikan oleh dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer karena prevalensinya tinggi dan akibat jangka panjang yang ditimbulkannya. berdasarkan survei awal di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban, pada tanggal 10-14 maret 2009 diperoleh data bahwa 14 (25,4%) dari 55 pasien mengalami tekanan darah tinggi. dari rekapitulasi data puskesmas se-kabupaten tuban tahun 2007 melaporkan bahwa 17,4% penduduk yang berusia 20 44 adalah pasien hipertensi, pada tahun 2008 sampai bulan agustus terdapat 15,6% penduduk yang berusia 20 44 tahun adalah pasien hipertensi. serta menurut data 10 penyakit terbesar di rsud dr. r. koesma tuban tahun 2008, hipertensi menempati tempat kedua dengan jumlah 411 penderita. peningkatan aktivitas fisik berupa olahraga atau latihan jasmani secara teratur, terbukti dapat menurunkan tekanan darah ke tingkat normal dan menurunkan risiko serangan hipertensi 50 persen lebih besar pada seseorang yang aktif berolahraga. satu kali olahraga rata-rata menurunkan tekanan darah lima hingga tujuh mmhg. pengaruh penurunan tekanan darah ini dapat berlangsung sampai 22 jam setelah berolahraga, menurut pakar olahraga fakultas kedokteran universitas indonesia (ui), nora sutarina, di jakarta. mengatakan bahwa aktivitas fisik berupa latihan jasmani secara teratur merupakan intervensi pertama untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi. berbagai penelitian tentang manfaat olahraga untuk mengendalikan berbagai penyakit degeneratif (tidak dapat disembuhkan) dan tidak menular, seperti hipertensi, jantung koroner, diabetes, dan sebagainya, sudah dilakukan di berbagai negara. hasilnya, olahraga secara teratur terbukti bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah lainnya. olahraga secara teratur idealnya dilakukan tiga hingga lima kali seminggu, minimal 30 menit setiap sesi, dengan intensitas sedang. jenis olahraga yang dianjurkan bagi penderita hipertensi adalah olahraga yang sifatnya ringan seperti jalan kaki jogging, bersepeda, dan berenang (suryadhie, 2007). usaha pencegahan juga bermanfaat bagi penderita hipertensi agar penyakitnya tidak lebih parah harus disertai dengan pemakaian obat-obatan yang telah ditentukan oleh dokter. agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi harus diambil tindakan pencegahan yang baik (stop high pressure) antara lain, mengurangi konsumsi lemak, olahraga teratur, makan lauk dan sayuran segar, tidak merokok dan tidak minum alcohol, latihan relaksasi atau meditasi dan berusaha hidup yang positif (gunawan, 2001). berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan masalah penelitian, masih banyak penderita hipertensi di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi pasien di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban. sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah 1) mengidentifikasi karakteristik pasien hipertensi di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban, 2) mengidentifikasi tingkat keparahan hipertensi pasien di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban.3) mengidentifikasi olahraga pasien hipertensi di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban, dan 4) menganalisa hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi pasien di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban. bahan dan metode rancangan penelitian ini adalah analitik. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita hipertensi selama satu bulan di poliklinik jantung rsud dr. r. koesma tuban, sebanyak 56 penderita. sampel yang diambil sejumlah pasien poli jantung rsud dr. r. koesma tuban yang memenuhi kreteria sebagai berikut:bersedia untuk menjadi responden, dan yang menderita hipertensi dan tanpa kontra indikasi terhadap sumiatin, wahyurianto, tri ningsih, hubungan antara olahraga....175 olahraga. besar sampel pada penelitian ini adalah 48 yang diambil dengan cara menggunakan tabel krecjie. teknik sampling dalam penggambilan sampel dalam penelitian ini adalah probability sampling dengan “simple random sampling”. hasil penelitian penelitian ini dilakukan pada bulan juni – juli 2009 di poliklinik jantung rsud dr.r. koesma tuban, pengumpulan data dimulai tanggal 22 juni – juli 2009, penyajian data dibagi menjadi 2 bagian yaitu data umum dan data khusus. data umum meliputi, jenis kelamin penderita, umur penderita, pendidikan penderita, pekerjaan penderita, sedangkan data khusus meliputi, olahraga penderita, tingkat keparahan hipertensi penderita dan hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi. karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin gambar 1 diagram pie distribusi responden berdasarkan jenis kelamin penderita hipertensi di polikliknik jantung rsud dr. r. koesma tuban dari hasil penelitian ini diketahui bahwa jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan sebanyak 26 orang (54,2%). menurut anna palmer dkk (2007), tekanan darah tinggi dapat terjadi pada saat wanita hamil atau sebagai efek samping dari pemakaian obat (misalnya pil kb kombinasi). karakteristik responden berdasarkanusia 0% 62,5% 27,1% 10,4% ≥25 tahun 25-39 tahun 40-59 tahun ≥60 tahun gambar 2 diagram pie distribusi responden berdasarkan usia penderita hipertensi di polikliknik jantung rsud dr. r. koesma tuban dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar usia dari responden berusia antara 40-59 tahun sebanyak 30 orang (62,5%). menurut anna palmer dkk (2007), tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia diperkuat lagi oleh pendapat jafar (2009), semakin berumur maka semakin besar pula kemungkinan menderita hipertensi. ini sering terjadi pada orang yang berumur lebih dari 35 tahun. pria cenderung menderita hipertensi pada usia antara 35 sampai 55 tahun. karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan 45,8% 54,2% laki-laki perempuan 176 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm,173-180 33,3% 47,9% 12,5% 6,3% sd smp sma pt gambar 3 diagram pie distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan penderita hipertensi di polikliknik jantung rsud dr. r. koesma tuban. dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar jenjang pendidikan dari responden merupakan lulusan dari sekolah menengah atas dengan persentase sebanyak 23 orang (47,9%). menurut yb. mantra yang dikutip notoatmodjo (1985) pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperanserta dalam pembangunan kesehatan, dimana semakin tinggi pendidikan maka akan dapat lebih berperan serta dalam pembangunan kesehatan. karakteristik responden berdasarkan pekerjaan 12,5% 8,3% 14,6% 20,8% 39,6% 4,2% pns pensiunan swasta petani nelayan irt gambar 4 diagram pie distribusi responden berdasarkan pekerjaan penderita hipertensi di polikliknik jantung rsud dr. r. koesma tuban dari hasil peneitian ini diketahui bahwa jumlah responden berdasarkan pekerjaan terbanyak adalah pegawai negri sipil yakni sebanyak 19 orang (39,6%). menurut thomas (1996) (nursalam, 2001), pekerjaan adalah kebutuhan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. disisi lain pekerjaan juga dapat memberikan informasi tentang pentingnya mencuci tangan, misalkan pekerjaan yang dekat dengan sumber informasi seperti tv/koran akan banyak memperoleh informasi. identifikasi tingkat keparahan hipertensi responden sumiatin, wahyurianto, tri ningsih, hubungan antara olahraga....177 35,4% 18,8% 45,8% ringan sedang berat gambar 6 diagram pie distribusi responden berdasarkan tingkat keparahan hipertensi di polikliknik jantung rsud dr. r. koesma tuban dari hasil penelitian ini diketahui bahwa jumlah responden yang berdasarkan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban, persentase terbesarnya adalah tingkat hipertensi ringan yakni sebanyak 22 orang (45,8%) sedangkan responden yang memiliki tingkat hipertensi paling sedikit adalah tingkat hipertensi sedang sebanyak 9 orang (18,8%). menurut anna palmer dkk (2007), tingkat keparahan hipertensi dibagi menjadi 3 yaitu; dinyatakan hipertensi ringan bila td 140/90-159/99 mmhg, sedang bila td 160/100-179/109 mmhg dan berat bila td ≥180/110 mmhg. selanjutnya akan mengakibatkan beberapa resiko komplikasi, dengan adanya kerusakan pada; otak, jantung, mata, dan ginjal. identifikasi olahraga responden 45,8% 54,2% teratur tidak teratur gambar 5 diagram pie distribusi responden olahraga penderita hipertensi di polikliknik jantung rsud dr. r. koesma tuban dari hasil penelitian ini diketahui bahwa responden yang melakukan olahraga secara teratur sebanyak 22 orang (45,8%), dan responden yang berolahraga secara tidak teratur sebanyak 26 orang (54,2%). menurut suryadhie (2007), peningkatan aktivitas fisik berupa olahraga atau latihan jasmani secara teratur, terbukti dapat menurunkan tekanan darah ke tingkat normal dan menurunkan risiko serangan hipertensi 50 persen lebih besar pada seseorang yang aktif berolahraga. hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban. 178 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm,173-180 tabel 1. tabulasi silang hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban. olahraga tingkat hipertensi total ringan sedang berat ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % teratur 22 45,8 0 0 0 0 22 45,8 tidak teratur 0 0 9 18,8 17 35,4 26 54,2 total 22 45,8 9 18,8 17 35,4 48 100 berdasarkan tabel di atas, diketahui responden yang berolahraga secara teratur dan memiliki tingkat hiperensi ringan sebanyak 22 orang (45,8%), sedangkan responden yang berolahraga secara tidak teratur dan memiliki tingkat hiperensi sedang adalah sebanyak 9 orang (18,8%) dan sebanyak 17 orang (35,4%) responden berolahraga secara tidak teratur dan memiliki tingkat hiperensi berat. sedangkan dari total responden sebanyak 48 penderita hipertensi, rata-rata responden yang berolahraga secara teratur dan memiliki tingkat hiperensi ringan dengan persentase sebanyak 22 orang (45,8%). setelah diakukan uji korelasi dengan menggunakan uji spearman rank, menyatakan bahwa ada hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi diterima pada taraf nyata (signifikansi 0,05) dengan nilai ρ spearman =0,01 signifikansi 0,000. hal ini menunjukkan bahwa probabilitas di bawah 0,05 (0,000 < 0,05). dengan demikian h0 ditolak dan ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban. pembahasan karakteristik responden pada penelitian ini jenis kelamin responden bisa mempengaruhi tingkat keparahan hipertensi di kehidupan sehari-hari di masyarakat terutama pada wanita yang menggunakan pil kb kombinasi. dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar usia dari responden berusia antara 40-59 tahun sebanyak 30 orang (62,5%). menurut anna palmer dkk (2007), tekanan darah cenderung meningkat seiring bertambahnya usia diperkuat lagi oleh pendapat jafar (2009), semakin berumur maka semakin besar pula kemungkinan menderita hipertensi. ini sering terjadi pada orang yang berumur lebih dari 35 tahun. pria cenderung menderita hipertensi pada usia antara 35 sampai 55 tahun.pada penelitian ini usia responden dapat mempengaruhi tingkat keparahan hipertensi pada kehidupan sehari hari di masyarakat, yakni semakin tua semakin beresiko bertekanan darah tinggi. pada penelitian ini tingkat pendidikan dari responden tidak terlalu mempengaruhi tingkat keparahan hipertensi responden. pada penelitian ini pekerjaan responden tidak terlalu mempengaruhi tingkat keparahan hipertensi responden. tingkat keparahan hipertensi dari hasil penelitian ini diketahui bahwa jumlah responden yang berdasarkan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban, persentase terbesarnya adalah tingkat hipertensi ringan yakni sebanyak 22 orang (45,8%) sedangkan responden yang memiliki tingkat hipertensi paling sedikit adalah tingkat hipertensi sedang sebanyak 9 orang (18,8%). menurut anna palmer dkk (2007), tingkat keparahan hipertensi dibagi menjadi 3 yaitu; dinyatakan hipertensi ringan bila td 140/90159/99 mmhg, sedang bila td 160/100179/109 mmhg dan berat bila td ≥180/110 mmhg. selanjutnya akan mengakibatkan beberapa resiko komplikasi, dengan adanya kerusakan pada; otak, jantung, mata, dan ginjal. kesehatan merupakan aset yang sangat berharga untuk terus dijaga, karena kesehatan sangat erat kaitannya dengan seluruh aktivitas yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam kehidupannya sehari-hari. sedangkan hipertensi sendiri merupakan 9 dari 10 sumiatin, wahyurianto, tri ningsih, hubungan antara olahraga....179 penyakit penyebab kematian di indonesia maka perlu adanya kesadaran tentang pentingnya pencegahan terhadap hipertensi. pola hidup sehat terutama seperti olahraga secara teratur merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan agar tubuh kita terhindar dari penyakit hipertensi. identifikasi olahraga dari hasil penelitian ini diketahui bahwa responden yang melakukan olahraga secara teratur sebanyak 22 orang (45,8%), dan responden yang berolahraga secara tidak teratur sebanyak 26 orang (54,2%). menurut suryadhie (2007), peningkatan aktivitas fisik berupa olahraga atau latihan jasmani secara teratur, terbukti dapat menurunkan tekanan darah ke tingkat normal dan menurunkan risiko serangan hipertensi 50 persen lebih besar pada seseorang yang aktif berolahraga. hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban bedasarkan hasil penelitian setelah dilakukan analisa menggunakan spearman rank correlation dengan taraf signifikansi ά =0,05 (5%) didapatkan hasil ρ = 0,000 ini menunjukkan bahwa probabilitas dibawah 0,05 (0,000 < 0,05) dengan demikian h0 ditolak dan ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban, dengan rata-rata responden berolahraga secara teratur dan memiliki tingkat hipertesi ringan sebanyak 22 0rang (45,8%). karena menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan endapan kolesterol pada pembuluh nadi (gunawan, 2001). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: lebih dari separuh responden sebanyak 26 orang (54,2%), dari 48 responden berjenis kelamin perempuan. sebagian besar responden sebanyak 30 dari 48 orang (62,5%) berusia antara 40-59 tahun. sebagian besar responden sebanyak 23 orang (47,9%) berpendidikan sekolah menengah atas. dan kurang dari separuh responden sebanyak 19 dari 48 responden (39,6%) bekerja sebagai pegawai negri sipil. ada hubungan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban. saran penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara olahraga dengan tingkat keparahan hipertensi di poliklinik jantung rsud dr r. koesma tuban. oleh karena itu, saran dari yang dapat direkomendasikan sebagai berikut: memberi informasi bagi peneliti selanjutnya terutama agar bisa menambah jumlah responden sehingga hasilnya lebih representative. penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan responden tentang olahraga dapat mempengaruhi tingkat keparahan hipertensi. perlu adanya kesadaran untuk melakukan pola hidup sehat terutama berolahraga secara rutin yang telah direkomendasikan, dengan tujuan supaya tingkat hipertensi yang berat bisa menjadi ringan sampai normal. dan mulailah dari sekarang untuk melakukan olahraga secara teratur karena menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat daftar rujukan arief mansjoer dkk.1999. kapita selekta kedokteran (edisi iv), media aeculapisu fkui, jakarta. gaela, diren.2008. resep hidup sehat, prestasi pustaka, jakarta. gunawan, lany.2001. hipertensi tekanan darah tinggi, kanisius, yogyakarta. hutapea, albert.1993. menuju gaya hidup sehat. gramedia pustaka utama, jakarta. jafar 2009. penyebab hipertensi. (online) (penyebab hipertensi abduljafar75@gmail.com). diakses 17 april 2009 newsletter pt askes, september 2007. jejak sehat, hlm. 5. mailto:abduljafar75@gmail.com 180 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm,173-180 notoatmodjo, soekijo .2007. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. rineka cipta. jakarta. notoatmodjo, soekijo 2002. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. rineka cipta. jakarta. nursalam.2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. salemba medika. jakarta. palmer, anna 2007. tekanan darah tinggi. erlangga. jakarta. perry & potter 2005. fundamental keperawatan. egc. jakarta. ramiah, savitri 2007. all you wanted to know about hipertensi. buana ilmu populer. jakarta. santoso 2007. mengapa perlu olahraga. (online), (http://geraksehat.wordpress.com), diakses 19 oktober 2007. sugiono 2006. statistik untuk penelitian. cv.alfabeta. bandung. suryadhi,2007. olahraga turunkan resiko hipertensi. (online), (http://suryadhie.blogspot.com), diakses 12 agustus 2007. suyono, slamet.2001. ilmu penyakit dalam (edisi iii), balai penerbit fkui, jakarta wardoyo.1997. pencegahan penyakit jantung koroner. aneka, solo. wolf ph, 2007. cara mendeteksi dan mencegah tekanan darah tinggi sejak dini, pt bhuana ilmu populer, gramedia, jakarta. http://geraksehat.wordpress.com/ http://suryadhie.blogspot.com/ 74 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of caffeine and fizzy drink consumption and bone mineral density in women fertilizer age in pekanbaru city rini hariani ratih1, yusmaharani2, nurmaliza3 1,2,3nursing department, abdurrab university pekanbaru, indonesia article information abstract osteoporosis is defined as a decrease in bone mass and is characterized by an increased risk of fracture due to bone fragility. prevention of low bone density can be done by optimizing the formation of bone mass at the time of growth, namely the age of 20-35 years. research on osteoporosis in jakarta in 2011 on subjects aged 20-25 years, stated that 6.3% had osteoporosis and 51.1% had osteopenia (pre-osteoporosis). the aim of the study was to identify the correlation of caffeine and soft drinks consumption toward bone mineral density status in women of childbearing age. this study was a quantitative analytic study, with a cross sectional research design. the sample was women of childbearing age who were in the work area of tampan district as many as 399 people. the chi-square test showed the effect of caffeine consumption and soft drinks on the status of bone mineral density in women of childbearing age with a p value of 0.000 < alpha 0.05 with a large or of 24,330 (95% ci: 10,17458.182), meaning that respondents who consumed caffeine and soft drinks were 24 times more likely to suffer from osteoporosis. it is expected for women to avoid risk factors that can cause a decrease in bone mineral density and perform early detection of osteoporosis before the age of 30 years history article: received, 08/02/2022 accepted, 13/04/2022 published, 25/04/2022 keywords: consumption of caffeine, soft drinks, bone mineral density status, women of childbearing age © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: abdurrab university pekanbaru – riau, indonesia p-issn : 2355-052x email: rini.hariani.ratih@univrab.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p074-078 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:rini.hariani.ratih@univrab.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p074-078 ratih, yusmaharani, nurmaliza, the correlation of caffeine and fizzy drink consumption … 75 introduction osteoporosis is defined as a decrease in bone mass and is characterized by an increased risk of fracture due to bone fragility. prevention of low bone density can be done by optimizing the formation of bone mass at the time of growth, namely the age of 20-35 years. lifestyle is one of the important factors for osteoporosis, one of which is the consumption of caffeine and carbonated drinks. 8 research has shown that high intake of caffeine and drinking can affect urinary calcium expenditure if calcium intake is not sufficient than it should be. according to the 2013 basic health research, the behavior of consuming caffeinated drinks 1 times a day in indonesia reached 31.5%.10 another study stated that in early adult male subjects the habit of consuming coffee was 79.38% consuming 1 cup of coffee, 17.53 % consumed 2-3 cups of coffee, and 3.09% consumed coffee >3 cups. based on the results of the white paper research conducted by the indonesian osteoporosis association (perosi) in 2007, the proportion of people with osteoporosis was around 32.3% in women over 50 years old and 28.8% in men. then the data from the hospital information system (sirs) in 2010 showed that about 200 out of 100,000 cases had an incidence of upper thigh fracture at the age of 40 years due to osteoporosis. there are several risk factors that cause osteoporosis in women which are divided into two, including factors that cannot be controlled, namely age, gender, genetics, menopause, race, and factors that can be controlled, namely exercise activity, consumption of caffeine and soda, calcium intake, taking corticosteroid drugs, smoking, body mass index, and drinking alcohol. to prevent osteoporosis, there are several steps that can be taken, namely adequate calcium intake, adequate intake of vitamin d through exposure to the sun in the morning and evening because sunlight will convert pro-vitamin d under the skin into vitamin d, perform physical activity by carrying out stresses on the bones. such as, exercise, walking). in addition, avoid caffeinated drinks, fizzy drinks, alcohol and don't smoke. method the design of the study was correlation, with a cross sectional research approach. the population in this study was women who were in the work area of tampan district, amounting to 101,593 people. the sampling technique used purposive sampling. the sample in this study was women of childbearing age who were in the work area of tampan district as many as 399 people. the data was collected through structured interviews and checklists to determine the respondents' habits of calcium intake, caffeinated and fizzy drinks. after that, the researcher checked the status of bone mineral density using a densitometer. result 1. univariate results table 1: distribution of frequency and percentage based on characteristics of respondents no characteristic frequency percent 1. age (years) 15-19 106 26,57 % 20-40 189 47,36 % >40 104 26,07 % total 399 100% 2. last education primary school junior high school 56 14,03 % senior high school 177 44,37 % college 166 41,60 % 76 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 total 399 100% 3. work student 29 7,27 % college student 122 30,58 % housewife 86 21,55 % work 117 29,32 % no work 45 11,28 % total 399 100 % based on the age characteristics table above, the majority of respondents aged 20-40 years are 189 people (47.36%), the majority of the latest education are high school graduates, namely 11 people (44.37%) and the majority of respondents are working as many as 117 people (29.32 %). table 2: distribution of independent variables in analytical quantitative research on bone mineral density status in women of childbearing age independent variable amount n % consumption of caffeine and soft drinks yes no 333 66 83,5% 16,5% total 399 100 based on the age characteristics table above, the majority of respondents aged 20-40 years are 189 people (47.36%), the majority of the latest education are high school graduates, namely 11 people (44.37%) and the majority of respondents are working as many as 117 people (29.32 %). 2. bivariate results table 3: correlation of independent variables to bone mineral density status in women of childbearing age consumption of caffeine and soft drinks density status bone minerals amount p value osteoporosis no osteoporosis n (%) n (%) n (%) yes no 236 6 (70,9) (9,1) 97 60 (29,1) (90,9) 333 66 100 100 0,00 based on the table. 3 it is known from 333 respondents who consume caffeine and soft drinks, as many as 236 people (70.9) have osteoporosis. from the results of the chi square statistical test, it was concluded that the consumption of caffeine and soft drinks had a p value of 0.000 < alpha 0.05, meaning that it was concluded that there was an influence between the intake of caffeine and soft drinks consumption with the status of bone mineral density. for consumption of caffeine and soft drinks, the p value is 0.000 < alpha 0.05 with a large or of 24.330 (95% ci: 10.174-58.182), meaning that respondents who consume caffeine and soft drinks are at risk of developing osteoporosis 24 times. discussion these results, re dixon, et.,al , (2010) suggest that caffeine activates katp channels in oviduct myosalpinx. since caffeine abolishes slow waves and associated contractions of the myosalpinx, it would have a negative effect on egg transport through the oviduct and may contribute to the documented delayed conception in women consuming caffeinated beverages. from the results of the chi square statistical test, it was concluded that the consumption of caffeine and soft drinks had a p value of 0.000 < alpha 0.05, meaning that it was concluded that there was correlation an influence between the intake of caffeine and soft drinks consumption with the status of bone mineral density. ratih, yusmaharani, nurmaliza, the correlation of caffeine and fizzy drink consumption … 77 osteoporosis cannot be completely cured, nor can bone mass be restored to its original state. what can be done is to reduce risk factors to prevent them early. food regulation has an important role, you should consume foods with balanced nutrition while meeting nutritional needs with elements rich in calcium and low in fat. caffeine consumption of more than two cups per day is associated with lower bone mineral density (dmt). then the impact will be greater in women who lack calcium intake. soft drinks also contain caffeine and phosphorus. therefore, it is necessary to limit drinks containing caffeine, which is no more than 2 cups per day. foods that contain caffeine include coffee, tea, carbonated drinks and chocolate. robusta coffee and arabica coffee are types of coffee that are often consumed in indonesia. robusta coffee has a higher caffeine content than arabica coffee, which is 2% by weight of coffee, while arabica coffee contains 1% of caffeine by weight of coffee. the next highest caffeine content of caffeine is instant coffee and tea around 20-73 mg/100 ml and carbonated drinks which is 9-19 mg/100 ml. in addition to coffee, tea and carbonated drinks, chocolate is also a source of caffeine. whereas 100 grams of chocolate candy contains around 5-20 mg of caffeine. it's never too late to adopt a healthy lifestyle. reducing the consumption of caffeine, soft drinks and alcohol wisely can get better benefits. caffeinated beverages such as coffee and tea can cause bone loss, brittleness and damage. soft drinks contain phosphorus and caffeine. phosphorus will bind calcium and carry calcium out of the bones, while caffeine can increase the excretion of calcium through the urine. to avoid the danger of osteoporosis, you should consume soft drinks along with drinking milk or consuming extra calcium. based on the results of a 2008 study, a bone and calcium biologist conducted by heany and rafferty of the creighton university osteoporosis research center, nebrasca usa, found that drinking caffeinated beverages such as coffee more than three cups per day causes the body to always want to urinate (pee). this causes a lot of calcium to be wasted in the urine. the same study on risk factors for osteoporosis was also conducted by koraag the geriatrics polyclinic of rsup. dr. sardjito yogyakarta in menopausal women who visited the geriatric polyclinic aged 50-80 years, the results showed that consuming coffee was associated with the risk of osteoporosis. high intake of caffeine can increase urinary calcium excretion through a mechanism of decreasing calcium reabsorption in the kidneys, causing a negative calcium balance which will affect bone density. renal reabsorption. research has shown that the intake of caffeine contained in 177.5 ml of coffee can increase the excretion of calcium through the urine as much as 4.6 mg/day. conclusion consumption of caffeine and soft drinks affected the status of bone mineral density, namely the effect of consumption of caffeine and soft drinks on the status of bone mineral density in women of childbearing age with a p value of 0.000 < alpha 0.05. high intake of caffeine and fizzy drinks and balanced with low intake of calcium in women of childbearing age had a negative impact on bone mineral density status. suggestion it is expected for women to avoid risk factors that can cause a decrease in bone mineral density and perform early detection of osteoporosis before the age of 30 years and perform physical activities such as exercising regularly to stimulate bone mass formation and help maintain healthy bones, muscles, and joints. acknowledgment we would like to thank everyone who took part in this study, especially the research respondents, namely women of childbearing age, for the time that has been given so that this research can be carried out. we also thank all research assistants who have assisted in data collection. finally, i would like to thank abdurrab university for its support of our research. 78 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 reference rubenstein david, david wayne, dan john bradley. lecture notes: kedokteran klinis. 2007. p 200. pt gelora aksara pratama yang-hwei tsuang, jui-sheng sun, li-ting chen, samuel chung-kai sun and san-chi chen. direct effects of caffeine on osteoblastic cells metabolism: the possible causal effect of caffeine on the formation of osteoporosis. journal of orthopedic surgery and research. 2006; 1:7 ministry of health ri. basic health research 2013.availableathttp:gizi.depkes.go.id/res ources/download/riske sdas2013.pdf. shanty, meita. 2011. silent killer diseases.yogyakarta: javalitera tandra, hans. 2009. recognizing, overcoming & preventing porous bones. jakarta: gramedia pustaka ri ministry of health. 2015. data and conditions of osteoporosis at mindonesia.mhttp://www.depkes.go.id/r sources/pdf re dixon, sj hwang, fc britton, km sanders and sm ward, inhibitory effect of caffeineon pacemaker activity in theoviduct is mediated bycampregulatedconductances, british journal of pharmacology, volume 163, issue 4 nawrot p, s. jordan, j. eastwood, j. rotstein, a. hugenholtz and m. feeley effects of caffeine on human health. food additives and contaminants. 2003;20(1): 1–30 butt m. s., a. ahmed, m. t. sultan a. imran, m. yasin and m. imran. evaluating the effect of decaffeination on nutritional and antioxidant status of different coffee brands. internet journal of food safety. 2011;13:198-207 adib, muhammad. 2011. practical knowledge of deadly diseases that most often attacks us. yogyakarta: the blue book koraag, meiske elizabeth. 2008. factors associated with advanced osteoporosis in post-menopausal women at geriatric polyclinic rsup dr. sardjito yogyakarta. thesis of the postgraduate study program in public health, gajah mada university, yogyakarta.m(http://etd.ugm.ac.id) m. j. barger-lux and r. p. heaney. caffeine and the calcium economy revisited. osteoporosis international journal. 1995;5(2): 97-102 hallstrom helena, hakan melhus, anders glynn, lars lind, ann-christine syvanen, karl michaelsson. coffee consumption and cyp1a2 genotype in relation to bone mineral density of the proximal femur in elderly men and women: a cohort study. nutrition & metabolism. 2010; 7-12 http://etd.ugm.ac.id/ 18 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk determinants of smoking behavior in adolescents titik sumiatin1, wahyu tri ningsih2, su’udi3, aby yazid al busthomy rofi’i4 1,2,3,4nursing department, health polytechnic of the ministry of health surabaya, indonesia article information abstract smoking behavior, as one of the riskiest behaviors carried out by teenagers, has always been a problem throughout the ages. one of the districts in east java with the highest number of smokers is tuban. this study aimed to determine the dominant factors that influence adolescent smoking behavior. the population of this study was junior high school teens, both smokers and nonsmokers. the design of this study was analytic with a cross-sectional approach. the population was 2,866, and the sample size was 287 using the purposive sampling technique. the independent variables included gender, puberty status, self-esteem, motivation, health status, occupation, economy, environment, friends, family, model/role model. the data collection used a questionnaire prepared by the researcher. the collected data was processed by a logistic regression test. the results showed that the majority of adolescents did not smoke (98.61%), more than half of the adolescents were female (58.89%), the majority had experienced puberty (96.17%), most had negative self-esteem (88.50%), all stated that smoking did not give motivation to be active and not smoke during illness, the majority did not have a side job (97.56%), more than half of parents earn above the minimum wage (53.31%), and the majority stated that the environment did not affect smoking behavior (99.30%), friends did not influence smoking behavior (98.95%), family did not influence smoking behavior (99.65%), and the model/role model did not affect smoking behavior (99.65%). the results of statistical tests showed that all factors had a significance level greater than 0.05, meaning that there was no dominant factor influencing smoking behavior in adolescents. related parties such as schools, health offices, and health education continue to improve education for teenagers about the dangers of smoking history article: received, 28/10/2021 accepted, 09/12/2021 published, 15/04/2022 keywords: adolescents, smoking behavior, health © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: health polytechnic of the ministry of health surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: titiksumiatin1977@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p018-027 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:titiksumiatin1977@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p018-027 sumiatin, ningsih, su’udi, rofi’i, determinants of smoking behavior in adolescents … 19 introduction smoking behavior, as one of the riskiest behaviors carried out by teenagers, has always been a problem throughout the ages. as long as the root cause is still there and supported by various policies that are in favor of the owners of the cigarette industry, then during that time the problem of smoking will always exist. various parties have taken many actions to prevent and improve smoking behavior that poses a health risk, ranging from increasing knowledge through counseling, socialization, and legislation on non-smoking areas, workshops on the dangers of smoking, public service advertisements about the negative impacts of smoking, the formation of a smoke-free organization, and so on. but the facts speak differently. from year to year, the number of smokers has never decreased; it is increasing, including in east java province, including tuban regency. until now, no data explains what factors influence the smoking behavior of people in tuban regency. all age groups engage in smoking behavior. the southeast asia tobacco control alliance (seatca) report, the tobacco control atlas, shows that indonesia has the highest number of smokers in asean, which is 65.19 million people. this figure is equivalent to 34% of the total population of indonesia in 2016 (widowati hari, 2019). in indonesia, the proportion of smokers aged between 10 and 14 years is 30.3%. in east java province, the proportion of smokers aged 10–14 years is 23.91% and that aged 15–19 years is 26.20%. in tuban regency, the percentage of daily smokers at the ages of 10–14 years is 23.99% (riskesdas, 2018). the results of research by sumiatin et al. (2019), regarding the implementation of the pis-pk healthy indonesia program at the sumurgung health center, tuban regency, showed that the indicator that was not good enough to achieve was smoking behavior. the results of research by sumiatin et al. (2021) show that smoking is the riskiest behavior carried out by adolescents in the tuban district among 12 risky behaviors carried out by adolescents. who has set the sustain development goals (sdg's) to be achieved by 2030. these achievements will not be possible without investment in the health and well-being of adolescents (who, 2017). on the other hand, smoking behavior has a direct and indirect impact on health and welfare, namely poor educational attainment, future morbidity and premature death (diseases caused by cigarette consumption), and economic problems due to increasing cigarette prices. the impact on health caused by smoking behavior in adolescents and the importance of adolescent health is an investment to achieve the sdg's 2030 target, requiring efforts to prevent or reduce the effects that will occur. nurses can carry out health promotion through the health promotion model (hpm) theoretical approach to address risky behavior in the community. health promotion encourages lifestyles and behaviors that enable people to maximize their potential through individual, organizational, and community change. hpm combines the perspectives of nursing and behavioral science with the factors that influence health behavior. this model offers a guide for looking at the complex biopsychosocial processes that motivate individuals to engage in behaviors that lead to improved health (pender, murdaugh, & parsons, 2015; who, 2017). the purpose of this study was to determine the dominant factors influencing smoking behavior in adolescents in tuban regency. method the research design used analytic with a cross-sectional approach. the population in this study was 2,866 junior high school students in tuban regency. the sample was some of the teenagers who attended junior high school in tuban regency, as many as 287 teenagers. the inclusion criteria in this study were teenagers who lived in tuban, were cooperative, willing to sign the inform consent, and filled out a questionnaire. the sampling technique used purposive sampling. the independent variables in this study were gender, puberty status, self-esteem, motivation, health status, work, economy, environment, friends, family, models/role models. data was collected using a questionnaire compiled by the research team using the pender model theory approach. the collected data was processed using a logistic regression test. result the characteristics of more than half of the respondents are female (58.89%), more than half are 15 years old (50.17%), the majority are muslim (96.52%), and most have a low bmi (47.04%). 20 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 18-27 table 1: distribution of respondents characteristics characteristics amount n = 287 % gender male female 118 169 41.11 58.89 age 13 years old 14 years old 15 years old 16 years old 35 144 100 8 12.20 50.17 34.84 2.79 relegion islam christian catholic 277 9 1 96.52 3.14 0.35 imt not enough normal more 135 95 57 47.04 33.10 19.86 according to the results of the study, the majority of adolescents did not smoke by 98.61%. table 2: smoking behavior in adolescents smoking behavior amount n = 287 % yes 4 1.39 no 283 98.61 factors that influence smoking behavior in adolescents are as follows: more than half of adolescents are female (58.89%), almost all of them have experienced puberty (96.17%), most have negative self-esteem (88.50%), all of them state that smoking does not motivate activity; they did not smoke during their illness; almost all of them did not have a side job (97.56%), more than half of their parents had income above the minimum wage (53.31%), almost all stated that the environment did not affect smoking behavior (99.30%), their friends did not influence smoking behavior (98.95%), their family did not influence smoking behavior (99.65%), and their model/role model did not influence smoking behavior (99.65%). table 3: factors affecting smoking behavior in adolescents factor amount n = 287 % gender male female 118 169 41.11 58.89 puberty status already not yet 276 11 96.17 3.83 pride positive negative 33 254 11.50 88.50 motivation yes 0 0 sumiatin, ningsih, su’udi, rofi’i, determinants of smoking behavior in adolescents … 21 factor amount n = 287 % no 287 100 health status yes no 0 287 0 100 pofession work not work 7 280 2.44 97.56 economy < umr ≥ umr 134 153 46.69 53.31 environment yes no 2 285 0.70 99.30 friend yes no 3 284 1.05 98.95 family yes no 1 286 0.35 99.65 role model yes no 1 286 0.35 99.65 all factors have a significance > 0.05, so there are no factors that significantly affect smoking behavior in adolescents. table 4: determinants of smoking behavior in adolescents variabel b s.e. wald df sig. exp(b) 95,0% c.i.for exp(b) lower upper gender 16,090 2811,261 ,000 1 ,995 9724377,885 ,000 . puberty -16,063 11409,858 ,000 1 ,999 ,000 ,000 . pride -14,351 5596,719 ,000 1 ,998 ,000 ,000 . proffesion -,159 13875,167 ,000 1 1,000 ,853 ,000 . economy -15,803 3073,102 ,000 1 ,996 ,000 ,000 . environment ,287 56992,160 ,000 1 1,000 1,332 ,000 . friend 41,013 40310,285 ,000 1 ,999 648505600272141820,000 ,000 . family -,027 58043,402 ,000 1 1,000 ,974 ,000 . constant -31,085 43490,844 ,000 1 ,999 ,000 discussion gender factor based on gender, more than half of adolescents are female, and the rest are male. of the four teenagers who smoke, one of them is female. adolescents' intention to engage in risky behavior was influenced by several factors, such as tobacco smoking, drug abuse, and alcohol abuse. risk-taking behavior is always determined by the intention of the perpetrator to do so. in addition, risk behavior is also influenced by gender, 22 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 18-27 education level, and region (sadzaglishvili, 2017). according to maisya & susilowati (2013), men are 8.43 times more likely to engage in risky behavior than women. smoking behavior is currently still dominated by male adolescents, which is related to their assumption of being recognized as male (so & yeo, 2015). in male adolescents, the most common risk behavior is smoking (ekawati et al., 2016). however, it is possible for young girls to engage in this behavior as well. because at this point, gender differences are not really a benchmark for a behavior to be carried out. in various fields, demands for a balance of treatment for men and women always get the spotlight from many groups, so it is not a strange thing if, in behavior, women do the same thing done by men. puberty factor almost all teenagers have experienced puberty. of the four teenagers who smoke, three of them have experienced puberty. according to soetjiningsih and ranuh (2015), the stages of adolescent growth and development are divided into three, namely, early adolescents (10–13 years) (early puberty), midteens (14–17 years) (middle puberty), and late adolescents (17–20 years) (late puberty). signs of early adolescence are cognitively inclined to concrete thinking; in terms of morals, they don't see the long-term consequences of a decision made. according to xi et al. (2013), tobacco use and exposure to regular cigarette smoke have decreased significantly among young adolescents aged 12–15 years in lowand middle-income countries. the inability of early adolescents to see the long-term consequences of their actions makes them so easily influenced by temptation. what he sees is good and comfortable, and what he tends to do. self-esteem factor most adolescents have negative self-esteem. of the four teenagers who smoked, all of them had negative self-esteem. in early adolescence, changes occur in adolescents due to changes in their bodies, awareness of appearance, and attractiveness (soejtiningsih, 2018). adolescents' early smoking initiation is influenced by the desire to be recognized as male, consider oneself thin or average (body image), have an even level of happiness, and have parents who have a secondary education level or lower (so & yeo, 2015). adolescence has distinctive characteristics. their developmental tasks center on overcoming infantile attitudes and behavior patterns and preparing for adulthood. therefore, adolescence is also called a period of transition, change, trouble, identity search, and unrealistic expectations. in the identity search period, adolescents who no longer want to be called children try to display or identify behaviors that become status symbols of adulthood. one of the behaviors of adolescents that emerge is smoking, which they consider a symbol of maturity. this behavior often starts at junior high school age (hurlock, 2004). adolescents, who have negative self-esteem tend to feel unappreciated, unnoticed, belittled, physically lacking, do not like being criticized, and feel pessimistic about the efforts they make. that encourages teenagers to dare to engage in risky behavior in the hope that others will pay more attention to them. job factor most teenagers do not have a side job. of the four teenagers who smoked, all of them did not have a side job other than studying at school. factors related to smoking behavior are gender, age, experience, knowledge, and attitude (wijayanti, dewi, & rifqatussa'adah, 2017). in terms of work, in early adolescence, the majority of teenagers' needs are very dependent on their parents, so it is still unthinkable to have a side job. adolescents feel that their needs are met because their families have a lot of money. economic factor more than half of teenagers have parents whose income is above the minimum wage. three of the four teenagers who smoke come from families with an income above the minimum wage. tobacco use and exposure to secondhand smoke are common among young adolescents aged 12–15 years in lowand middle-income countries. however, there is no relationship between the country's economic condition and the smoking behavior of its population (xi et al., 2013). economically, teenagers who smoke cigarettes come from affluent families, meaning that there are no obstacles for them if they want to smoke, all comes back to the intentions and desires of the teenagers themselves, because many teenagers come from families who cannot smoke. sumiatin, ningsih, su’udi, rofi’i, determinants of smoking behavior in adolescents … 23 friend factor the results showed that almost all teenagers stated that friends did not influence their smoking behavior, but three out of four teenagers who smoked said that friends influenced them to smoke. in early adolescence, adolescents tend to seek same-sex peers to cope with instability. at that time, adolescents were also intensely peevish towards peer involvement and the prevailing culture in peer groups (soetjiningsih, 2018). weisss (in armsden & greenberg, 1987) defines peer attachment as the ability of peers to support and encourage adolescents in increasing assumptions about adolescent growth changes. factors related to smoking behavior include gender, age, experience, knowledge, and attitudes (wijayanti, dewi, & rifqatussa'adah, 2017). gottman et al. (in ormrod, 2009) revealed that friends are generally the same age and sex, but some children and adolescents have friends of the opposite sex. according to gottman and suttles (in ormrod, 2009), friends find activities that can be enjoyed and interpreted together and gain a series of similar experiences that allow the exchange of some perspectives on life. the pattern of interaction in adolescence is spent more with peers. peers play an important role in adolescent development because they separate from their parents and join their peers. teenagers' need to be accepted often makes teens do anything to get into their group. (hurlock, 2004). when teenagers are among their peers, they tend to follow what has been agreed and applied in the group. the condition of instability at the age of teenagers is one of their motivations to find an environment that they consider comfortable and appropriate. if they have found that environment, whatever applies in it, they will follow it. one of them is smoking behavior, which has been so synonymous with teenagers. family factor almost all adolescents stated that their family did not influence them to smoke. three out of four teens who smoke say that their family does not influence their smoking behavior. according to septiana nurul et al. (2016), family integrity affects smoking behavior in adolescents. the more intact a family is, the more intimate the relationship within it will be, so the activities of adolescents with their families tend to be controlled so that they can minimize the chances of adolescents carrying out risky behaviors such as smoking. many teenagers state that their family does not affect their smoking behavior. maybe this is because they are harmonious, warm, caring, and full of love, so teenagers do not need to look for outside activities to fill the void or look for friends to share it with. let alone engage in risky behavior. role model factor the results were interesting because almost all adolescents stated that the role model did not affect their smoking behavior. of the four teenagers who smoked, three of them said the same thing. children whose parents smoke are more likely to become smokers in the future. this situation occurs for two reasons: first, children want to look like their fathers when smoking cigarettes; and second, children are used to cigarette smoke at home. they have become passive smokers when, as teenagers, it is easy to switch to being active smokers (siquera, 2004). the number of adolescents who did not smoke in this study said that the model/role model also did not influence them to participate in smoking behavior. it is possible that they lived in a non-smoking family, or that they had received good knowledge and understood that smoking was not good for health. especially if there are regulations at school that prohibit students from smoking, and they will be penalized if they violate them. environment factor almost all adolescents stated that the environment did not affect their ability to smoke. two out of four teens who smoke say that the environment influences their decision to smoke. environmental factors related to tobacco use include parents, siblings, and peers who smoke. in addition, because of the exposure to cigarette advertisements in the media, parents greatly influence the development of smoking behavior in adolescents. a cohort study of high school students 24 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 18-27 found that the significant predictors of the transition from occasional smoking to regular smoking were parental smoking and family conflict (siquera, 2004). according to wulan (2012), the psychological factor that most plays a role in influencing adolescent smoking is environmental or adolescent context factors, but not a few respondents said they smoked because they saw friends smoking, seeing parents smoking, and seeing siblings smoking. apart from family and peers, the environment has a significant influence on adolescents' behavior. at this time, adolescents feel more comfortable dealing with emotional and psychological instability by being in the environment of their peers. when the peer environment he occupies is smoking, teenagers may follow suit, and it is difficult to reject or avoid. health status factor almost all adolescents stated that being sick or healthy did not affect their smoking behavior. of the four teenagers who smoked, three of them said that their health or illness did not affect their smoking. adolescents, according to santrock (2003), reach a level of health, strength, and energy that will not be achieved again for the rest of their lives. they also think that they are unique and invulnerable, which makes them feel like disease or disorder will not enter their life. many factors influence the behavior of a teenager, including cognitive factors and socio-cultural factors. among these cognitive factors is the problem of health belief. adolescent beliefs about health or illness, feeling immune to various diseases, can obscure adolescent behavior that poses a health risk. so, it is not unusual for teenagers to think that when they are sick, if they want to smoke, they will do it. motivation factor almost all adolescents stated that smoking behavior is not a separate motivation for carrying out an activity. and of the four teenagers who smoked, all of them said that there was no relationship between smoking and the motivation/spirit of doing an activity. that means that, without smoking, teenagers can still carry out activities with enthusiasm. according to soetjiningsih and ranuh (2015), in early adolescence, namely the age of 10–13 years, adolescents are engrossed in body changes, selfawareness of appearance and attractiveness, fantasy, and present orientation. adriansyah and rahmi (2012) stated that factors that affect the morale of early adolescents include less open social interactions and ambiguous parenting styles, which can make them feel bad. adolescents without a specific motivation have focused on how to motivate themselves to complete developmental tasks in the early stages. although no one guarantees that all teenagers will do that. teenagers, in the early stages of their development, are dominated by emotional instability and other things. they need the right and good direction so that they don't go astray. social interaction between adolescents and parents must be more open so that adolescents feel they have a place to exchange ideas. parenting patterns are more assertive, meaning that if a behavior is not good, then say it is not good, and vice versa, if it is good, say it is good, so teenagers are not confused about choosing and deciding. conclusion from the factors of gender, puberty status, self-esteem, motivation, health status, work, economy, environment, friends, family, model/role model, there is no dominant and significant factor influencing smoking behavior in adolescents. suggestion for related parties such as schools, the health office, and health education, they participate in maintaining and continuing to improve education for adolescents about the dangers of smoking so that adolescents do not engage in behaviors that are riskier to their health than the benefits obtained. acknowledgment this research was funded by budget of the health polytechnic of the ministry of health of surabaya in 2021, with the decree number of the director of poltekkes of the ministry of health of surabaya number: hk.01.07/i/8071/2021, july 27, 2021 regarding the health poltekkes independent research protocol ministry of health surabaya. reference aboytes-alvarez, a., olvera-villanueva, g., raygoza, n. p.-, lourdes, m., & jinez, j. (2017). promotion of health in self-efficacy , to reduce tobacco consumption in young sumiatin, ningsih, su’udi, rofi’i, determinants of smoking behavior in adolescents … 25 adults. international journal of tropical disease, 27(2), 1–9. https://doi.org/10.9734/ijtdh/2017/37546 adriansyah , rahhmi., (2012). faktor-faktor yang mempengaruhi moralitas remaja awal. jurnal psikostudio universitas mulawarman. vol 1 no 1 juni 2016, 1-16 armsden, g.c., & greenberg. m.t. (1987). the inventory of parent and peer attachment : individual differences and their relatioship to psychological well-being in adolescence. journal of youth and adolescence. 16 (5), 427-454. agung, i. m. (2012). model perilaku pengendara berisiko pada remaja. jurnal psikologi integratif, 2(2), 35–41. retrieved from http://ejournal.uinsuka.ac.id/isoshum/pi/article/view/232/228 , a. de, & harakeh, z. (2017). the effect of active and passive peer discouragement on adolescent risk taking : an experimental study. journal of research on adolescence, 27(4), 878–889. https://doi.org/10.1111/jora.12320 brooks, f. m., magnusson, j., spencer, n., & morgan, a. (2012). adolescent multiple risk behaviour: an asset approach to the role of family, school and community. journal of public health, 34(suppl 1), i48–i56. https://doi.org/10.1093/pubmed/fds001 duell, n., steinberg, l., icenogle, g., chein, j., chaudhary, n., di, l., … skinner, a. t. (2018). age patterns in risk taking across the world. journal of youth & adolescence, 47, 1052–1072. https://doi.org/10.1007/s10964-017-0752-y ekawati, y. n., psi, s., psi, m., saputra, n. e., psi, s., periantalo, j., … psi, m. (2016). risk behavior on students jambi. jurnal psikologi jambi, 1(1), 19–28. ersin, f., & bahar, z. (2017). effects of nursing interventions planned with the health promotion models on the breast and cervical cancer early detection behaviors of the women. international journal of caring sciences, 10(1), 421–432. retrieved from https://pdfs.semanticscholar.org/6ebf/ fbf474d85f1c1b756975caa4793112288016.p df fidancı, b. e., akbayrak, n., & arslan, f. (2018). assessment of a health promotion model on obese turkish children. the journal of nursing research, 6(december 2017). https://doi.org/10.1097/jnr.0000000000000 238 hale, d. r., fitzgerald-yau, n., & viner, r. m. (2014). a systematic review of effective interventions for reducing multiple health risk behaviors in adolescence wesystematically. american journal of public health, 104(5), 19–41. https://doi.org/10.2105/ajph.2014.301874 hurlock,e. (2004) .psikologi perkembangan. jakarta : pt. gramedia pustaka jaworska, n., & macqueen, g. (2015). adolescence as a unique developmental period. journal of psychiatry & neuroscience, 40(6), 386–386. https://doi.org/10.1503/jpn.150268 khodaveisi, m., omidi, a., farokhi, s., & reza, a. (2017). the effect of pender ’ s health promotion model in improving the nutritional behavior of overweight and obese women. int j community based nurs midwifery, 5(2), 165–174. kipping, r. r., campbell, r. m., macarthur, g. j., gunnell, d. j., & hickman, m. (2012). multiple risk behaviour in adolescence. journal of public health, 34(suppl 1), i1–i2. https://doi.org/10.1093/pubmed/fdr122 kohut, t. (2019). associations between adolescents ’ use of sexually explicit material and risky sexual behavior : a longitudinal assessment. plos one, 14(6), 1–14. retrieved from https://doi.org/10.1371/journal.pone.0218962 liu, l., wang, n., & tian, l. (2019). the parentadolescent relationship and risk-taking behaviors among chinese adolescents : the moderating role of self-control. frontiers in psychology, 10(march), 1–8. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00542 made, n., dewi, p., & ketut, n. (2018). faktor yang berhubungan dengan perilaku beresiko pada remaja. journal center of research publication in midwifery and nursing, 2(1), 25–31. retrieved from http://ejournal.binausadabali.ac.id/index.php/ caring/article/view/34 maisya, i. b., & susilowati, a. (2013). faktor pada remaja muda dan tersedianya media informasi hubungannya dengan perilaku berisiko. jurnal kesehatan reproduksi, 5(3), 1–7. retrieved from google scholar muhtar, r. f., arsyad, d. s., & dwinata, i. (2015). gambaran perilaku berisiko pada siswa sma dan smk negeri di kabupaten sidrap. universitas hasanudin. oktan, v. (2018). an investigation of problematic internet use among adolescents in terms of self-injurious and risk-taking behavior children and youth services review an investigation of problematic internet use among adolescents in terms of self-injurious and risk-taking. children and youth services review, 52(may), 63–67. https://doi.org/10.1016/ j.childyouth.2015.03.009 26 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 18-27 ormrod, j.e. educational psychology developing learners. psikologi pendidikan: membantu siswa tumbuh dan berkembang. wahyu, l., eva, s., airin, y.s., & puji, l. (terj). (2009). jakarta: penerbit erlangga. pender, n. j., murdaugh, c. l., & parsons, m. a. (2015). health promotion model in nursing practice (7th ed.). pearson education. rahmayanti, d., & et al. (2019). faktor yang mempengaruhi perilaku berisiko pada remaja daerah tambang. jurnal keperawatan dan kesehatan, 7(1), 41–47. retrieved from http://dx.doi.org/10.20527/dk.v7i1.5677 richter, m. (2010). risk behaviour in adolescence: patterns, determinants and consequences. germany: vs research sadzaglishvili, s. (2017). adolescent risk taking behaviors: the case of georgia. education science and psychology, 3(45), 143–154. retrieved from http://eresources.perpusnas.go.id:2402/eds/pdfviewe r/pdfviewer?vid= 13&sid=36a54b32-3bfb4930-828c-65ded51dd108%40sessionmgr103 safitri dkk .(2013). faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja. tazkiya journal of psychology. vol 18 no 1 april 2013 santrock, j. w. 2003. adolescence. perkembangan remaja. jakarta : erlangga septian nurul dkk. (2016). family factors affecting smoking behaviour among junior high scholl student. jurnal ilmu keperawatan :4:1 sevinc, s., & argon, g. (2018). application of pender’s health promotıon model to postmyocard.pdf. international journal of caring sciences, 11(1), 409–418. retrieved from http://www.internationaljournalofcaringscien ces.org/ docs/47_sevis_original_11_1.pdf shaheen, a. m., nassar, o. s., amre, h. m., & hamdan-mansour, a. m. (2015). factors affecting health-promoting behaviors of university students in jordan. health, 7(1), 1–8. https://doi.org/10.4236/health.2015.71001 siquera,dkk.(2004).smoking cessation in adolescent: the role of nicotine dependence,stress, and coping methods: archives of pediatrics & adolescent medicine. chicago. http://www.proquest.com/[on-line] so, e. s., & yeo, j. y. (2015). factors associated with early smoking initiation among korean adolescents. asian nursing research, 9(2), 115–119. https://doi.org/10.1016/j.anr.2015.05.002 sultan, d., & yaman, m. (2014). survey for describing students ’ smoking behavior. procedia social and behavioral sciences, 116, 298–302. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.01.211 sumiatin, dkk. (2021). analysis of health behavior of adolescents in tuban, indian journal of forensic medicine & toxicology. apr-jun2021, vol. 15 issue 2, p3604-3609. 6p. soetjiningsih & ig. n. gde ranuh. (2015). tumbuh kembang anak, ed. 2. jakarta: egc. soetjiningsih. (2018) perkembangan anak sejak pembuahan sampai denagn kanak-kanak akhir. cetakan ke 3. kencana thammaraksa, p., powwattana, a., lagampan, s., vatanasomboon, p., & stoddard, s. a. (2019). effects of school-based participation program to prevent multiple risk behaviors in thai male adolescents. pasific rim international journal of nursing research, 23(3), 228–242. retrieved from https://www.tcithaijo.org/index.php/prijnr/article/view/14 5791/136101 thornberry, t. p., krohn, m. d., augustyn, m. b., buchanan, m., greenman, s. j., justice, c., … states, u. (2016). the impact of adolescent risk behavior on partner relationships. advances in life course research, 28, 6–21. https://doi.org/10.1016/j.alcr.2015.04.002.th e thullen, m. j., taliaferro, l. a., & muehlenkamp, j. j. (2015). suicide ideation and attempts among adolescents engaged in risk behaviors : a latent class analysis. journal of research on adolescence, 26(3), 587– 594. https://doi.org/10.1111/jora.12199 ulon, e. r. k., & ndramayu, i. (2010). perilaku berisiko pada remaja di kampung nelayan (studi kasus di desa eretan kulon,indramayu). prosiding snapp2017, 91–98. wang, c., lembeck, p. t., collins, a., & berry, b. (2015). teachers matter : an examination of studentteacher relationships , attitudes toward bullying , and bullying behavior teachers matter : an examination of. journal of applied school psychology, 31, 219–238. https://doi.org/10.1080/15377903.2015.1056 923 who. (2017). global accelerated action for the health of adolescents (aa-ha!): guidance to support country implementation. geneva: world health organization. wijayanti, e., dewi, c., & rifqatussa’adah. (2017). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku merokok pada remaja kampung bojong rawalele, jatimakmur, sumiatin, ningsih, su’udi, rofi’i, determinants of smoking behavior in adolescents … 27 bekasi. global medical and health communica tion, 5(november), 194–198. wulan (2012). faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja. humaniora.vol 2 no 2, oktober 2012. 504-511. https://journal.binus.ac.id/index.php/humani ora/article/view/3355/2737 xi, b., liang, y., liu, y., yan, y., zhao, m., ma, c., & bovet, p. (2013). tobacco use and second-hand smoke exposure in young adolescents aged 12 – 15 years : data from 68 low-income and middle-income countries. the lancet global health, 4(11), e795–e805. https://doi.org/10.1016/s2214109x(16)30187-5 127 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk literature review: quality of life in patients with overactive bladder vitaria wahyu astuti1, ayu ratantri2, sandy kurniajati3 1emergeny nursing and disaster department, stikes rs baptis kediri, indonesia 2nurse in geriatric ward, rs gotong royong surabaya, indonesia 3nursing and psiciatric department, stikes rs baptis kediri, indonesia article information abstract overactive bladder, hereinafter referred to as oab, is a complaint of urgency accompanied by urgency incontinence or without urgency incontinence, which is usually followed by an increase in urinary frequency during the day and nocturia, without infection or other pathology of the bladder. oab can affect the quality of life of sufferers. this study analyzes the relationship between oab and quality of life based on databases such as science direct, elsevier, willey library, sage journal, and google scholar, 2010-2020. the study results show that the prevalence of oab in men and women increases with age and women are at greater risk major have oab. the incidence of oab is most experienced at the age of > 60 years. based on 10 journals, 6 journals stated that there was a relationship between oab and quality of life. the conclusion of this study is that oab can reduce the quality of life in men and women history article: received, 09/10/2021 accepted, 03/12/2021 published, 15/04/2022 keywords: incontinence, overactive bladder, quality of life © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes rs baptis kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: vitariawahyu86@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p127-134 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:vitariawahyu86@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p127-134 128 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 introduction oab according to the international continence society (ics) is the inability to hold urine immediately after the urge to urinate (urinary urgency), with or without bedwetting after the urge to urinate (incontinence), usually accompanied by increased frequency of urination. during the day (day time) or at night (nocturia), with evidence of no infection or other underlying pathological abnormalities. the prevalence of oab increases with age, and in older patients, cognitive deficits, and decreased mobility are more likely to cause urinary incontinence (ismy, 2017). with age, changes in the urinary system result in decreased bladder capacity, irregular and uncontrollable bladder muscle contractions, the bladder is more sensitive to urinary stimulation, causing increased frequency of urination and difficulty holding urine out, this condition is called urination overactive bladder (tamtomo, 2016). various studies conducted in europe and america show that the prevalence of oab in both continents is almost the same, namely approximately 17% of the general population suffers from oab. research conducted by the national overactive bladder evaluation (noble) stated that 37% of oab patients complained of urinary incontinence, also known as wet oab, and 63% were not accompanied by urinary incontinence or dry oab. a study conducted in indonesia showed 4.1% and 1.8% of people from children to the elderly experienced wet oab and dry oab. a survey conducted by the department of internal medicine at ciptomangunkusumo hospital to 208 geriatric populations in jakarta found the incidence of wet oab was 32.3% (pande, m.w & harrina, e, 2015). based on the high incidence of oab, patients must receive appropriate management to reduce the magnitude of the prevalence which can adversely affect the quality of life. changes in the urinary system occur with age due to weakness of the muscles that support the bladder, when the bladder is full, the nervous system sends signals of the urge to urinate and tells that it is time to urinate, but oab sufferers have problems with storage function. bladder. when the bladder contains a small amount of urine, the bladder muscle will suddenly contract and increase pressure in the bladder, resulting in a sudden and frequent urge to urinate, and a frequent urge to urinate at night (hongkong, 2019). oab has an impact on the physiological and psychological health of the sufferer, and this greatly damages the quality of life of the sufferer. patients feel the urge to urinate urgently and urine output against the will, which causes sufferers to experience psychological pressure. events and negative feelings experienced by people with oab cause a decrease in quality of life. the severity of oab has an impact on a person's quality of life, the procedure that can be done to help oab patients improve their quality of life is to consult doctors and psychologists to increase self-confidence. to improve the quality of life the first is to break down the psychological barrier and seek medical help. the second important thing is to develop good habits, for example, drinking enough water, avoiding drinks that can stimulate urine output, exercising the pelvic floor muscles regularly to maintain the ability to control urine output, maintaining body weight (hongkong, 2019). based on the above background, the researcher is interested in examining the relationship between oab and quality of life. methods data sources. articles were obtained through various online databases of international journals such as science direct, elsevier, willey library, sage journal, and google scholar. the data search was carried out by identifying the relevance of the journal using the keywords incontinence, overactive bladder, and quality of life. research inclusion criteria in the form of journals published in 2010-2020; has been published with an open-access journal system; journal manuscripts consist of abstract and full text; english language journal; scopus indexed journal with cross-sectional design; research respondents in the journal are men and women with age > 18 years. respondents in the journals taken as samples were measured the degree of oab to see the prevalence of the occurrence of overactive bladder on quality of life. no specific intervention was given, participants were only asked to fill out the available questions (questionnaires) to assess overactive bladder and quality of life. data selection and analysis. in the data extraction search resulting on science direct obtained 4,728 data, elsevier obtained 2,668 data, willey library obtained 4,107 data, sage journal 459 data and google scholar astuti, ratantri, kurniajati, literature review: quality of life in patients with overactive bladder … 129 obtained 33,000 data. the total data obtained are 44,962 data. the data is identified the possibility of duplication and a review of the abstract is carried out whether it is by the research criteria. after identifying the data, 19 appropriate data were obtained, after that eligibility was carried out, 10 articles that met the criteria were obtained. researchers conducted in-depth identification of articles and articles that could be used (included) totaling 10 articles. figure 1 : diagram of the systematic data searching and extraction result the analysis and selection data based on the criteria inclusion and methodological criteria result in 10 research articles as data for the literature review. all the articles used were published during 2010-2015, more precisely: one was published in 2010, three in 2011, two in 2012, one in 2013, two in 2014, and one in 2015. they were mostly published in international journals indexed on reputable databases such as scopus, pubmed and google scholar. nine of the articles employed quantitative methods with a cross-sectional design survey (n=7), population study (n=2), while one article used retrospective study. demographic characteristics the demographic characteristics of the respondents in each study included data on gender, age, questionnaire and conclusion of research results in each journal (table 1). this study categorizes respondents based on gender (male or female), two articles not including this, while one article responds to only famale and one to only male. based on the age of the respondents over 18 years old. the questionnaires used to measure oab were oab-q, oab-v8, ipss, oabss and then the quality of life was measured by sf, sf-12, ppbc, hads, modified mwlo, qol, eq-5d, developed hrqol, n-qol, i-qol, wpai, and khq. it has been explained in the journal that oab can be experienced by anyone, male or female, mostly due to age, the youngest respondent who experienced oab was 47 years. the prevalence of oab in women is higher than that in men. oab can occur with or without symptoms, the usual symptoms are nocturia and urinary incontinence. science direct (n=4.728) elsevier (n=2.668) willey library (n=4.107) sage journal (n=459) google schoolar (n=33.000) excluded : 44.943 article, because the article did not meet the inclusion criteria article identified from the searching : (n=44.962) exclude : 9 article, because they did meet the methodological criteria id en ti fi c at io n s c r e e ni n g complete articles based on the eligibility test : 19 article e li g ib il it y complete articles based on the eligibility test : 10 article final selection : 10 artikel in c l u d e d 130 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 the quality of life of patients with oab is poor compared to those who do not experience oab, oab affects the quality of life negatively, in general the quality of life of oab respondents without symptoms is better, oab respondents without symptoms are better than oab respondents with symptoms. table 1: demographic characteristics and quality of life patient with overactive bladder author respondents age questionnaire result agulló, e. m., cerdá, j. r., pérez, l. g., rebollo, p., pérez, m., chaves, j., & epicc collaborative study group. (2010). 893 res >50 oab-q, sf, and sf-12 1. patients with ui and oab symptoms had worse scores 2. quality of life of male respondents aged >65 is worse than female respondents coyne, k. s., sexton, c. c., kopp, z. s., ebel‐bitoun, c., milsom, i., & chapple, c. (2011). 5874 res >40 ppbc, oab-q, sf-12, hads, and modified mwlo 1. the prevalence of oab in men is 25.5%, in women 56.2% 2. there is oab without symptoms, oab with bother and oab without brother 3. from the analysis of the aob questionnaire data it is significant to the quality of life lee, k. s., choo, m. s., seo, j. t., oh, s. j., kim, h. g., ng, k., ... & kim, j. c. (2015). 625 res >18 oab-q, i-qol, and eq-5d 1. all respondents experienced oab 2. 68% female respondents 3. the severity of effect is a major contributor to quality of life milsom, i., kaplan, s. a., coyne, k. s., sexton, c. c., & kopp, z. s. (2012). 12.374 res >40 developed hrqol, oabq sf, and hads 1. symptoms of oab are very disturbing 2. 68% female respondents 3. oab affects the quality of life negatively, in general the quality of life of oab respondents without symptoms is better than oab respondents with symptoms sexton, c. c., coyne, k. s., thompson, c., bavendam, t., chen, c. i., & markland, a. (2011). 3.488 res >40 ppbc, hads, and oab 1. oab occurs in 40.4% male respondents and 46.9% female respondents 2. 61% female respondents aged >65 years 3. oab is significantly associated with quality of life sut, h. k., kaplan, p. b., sut, n., & tekbas, 280 res (female) 30-65 oab-v8, oabq, and eq-5d 1. oab incident 38.9% on average occurs at the age astuti, ratantri, kurniajati, literature review: quality of life in patients with overactive bladder … 131 author respondents age questionnaire result s. (2012). of 47 years 2. oab incident significantly occurs in postmenopausal women 3. quality of life of women with oab is worse than women who do not have oab takao, t., tsujimura, a., kiuchi, h., takezawa, k., okuda, h., yamamoto, k., ... & nonomura, n. (2013). 259 res (male) 45-88 ipss, oabss, n-qol, and bii 1. the average male respondent oab occurs at the age of 68 years 2. quality of life of men with oab with ui is lower than oab respondents without ui tang, d. h., colayco, d. c., khalaf, k. m., piercy, j., patel, v., globe, d., & ginsberg, d. (2014). 1.607 res >18 eq-5d, i-qol, oab-q, and wpai 1. the average number of women who experience oab at the age of 60.7 is 77% 2. 71% of women who experience oab with symptoms of ui 3. oab with ui is significantly related to the quality of life wang, y., xu, k., hu, h., zhang, x., wang, x., na, y., & kang, x. (2011). 14.844 res >18 oabss and khq 1. the most common symptom of oab is nocturia. in men 71.5%, 91.5% are respondents who have oab with nocturia 2. quality of life of patients with oab is lower yamanishi, t., fuse, m., yamaguchi, c., uchiyama, t., kamai, t., kurokawa, s., & morita, t. (2014). 2.494 res >40 n-qol, and oabss 1. oab incident 25.1% 2. the average respondent who has oab is 63.2 years 3. oab has a significant effect on the quality of life *res = respondents discussion incident of overactive bladder the aging process goes hand in hand with the loss of the ability of tissues to maintain normal structure and function, the older the age, the greater the decline in anatomy and organ function. anatomical changes due to the aging process occur in all organs including the urinary system organs, especially the bladder where its capacity decreases, causing residual urine after urination and increased irregular bladder muscle contractions, causing frequent urination and difficulty holding urination (tamtomo, 2016). the older a woman is, the more likely she is to suffer from urinary incontinence. women who have had multiple vaginal births, are obese, or have gone through menopause have a higher risk of stress-induced urinary incontinence. the cause 132 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 of urinary incontinence due to stress in women is that after menopause, women produce less estrogen and the soft tissue in the mucous lining of the urinary tract becomes less strong so that the ability to control the urinary tract weakens (hongkong, 2019). this is also evidenced by research conducted (yuliang et al., 2011) that multiple parity and vaginal delivery are risk factors for the occurrence of overactive bladder (oab) in women. postmenopausal women experience thinning of the mucosa accompanied by a decrease in bladder capacity so that they are more vulnerable and sensitive to urine stimulation so that it can cause uncontrolled contractions and this condition is referred to as overactive bladder (tamtomo, 2016). based on research (sut et al., 2012) significantly oab is also caused by systemic disease so that menopause is not an independent risk factor for oab. overactive bladder is a symptom complex that includes urological emergencies with or without incontinence, frequency, nocturia. a common symptom of oab is incontinence but it also does not rule out the possibility of nocturia (yuliang et al., 2011). the international continence society describes overactive bladder is a syndrome with no definite cause, with local abnormalities found during diagnostic evaluation (ismy, 2017), (derek, h et al., 2014) states that oab occurs due to excessive muscle activity. bladder detrusor. overactive bladder (oab) is defined as the presence or absence of urinary urgency, often associated with urinary frequency and nocturia (e martinez et al., 2010). based on the results of the literature study, the incidence of overactive bladder (oab) increases with age and the incidence is most experienced at the age of >60 years and overactive bladder (oab) is at greater risk in women. women who have been pregnant and have given birth experience increased pressure in the abdomen so that it presses on the bladder which results in the inability to control the urge to urinate, besides women who have given birth several times will experience pelvic floor muscle weakness so that the ability to control the urge to urinate very weakly, this makes women more prone to experiencing overactive bladder (oab). quality of life in patients with overactive bladder the overactive bladder (oab) can cause a significant negative impact on physiological and psychological health so that it can reduce the patient's quality of life (hongkong, 2019). although the morbidity of patients with overactive bladder (oab) is not high, their quality of life is very low compared to patients with other diseases (ismy, 2017). overactive bladder (oab) has a negative impact on quality of life, this occurrence is often associated with additional medical comorbidities and has a huge economic impact (ellsworth & pamela, 2010). the impact of oab is evident across generic and condition-specific domains of health-related quality of life (coyne, 2011). according to the world health organization (who) quality of life is an individual's perception of life in terms of the cultural context and value system the individual resides in and is related to living standards, expectations, pleasures, and concerns. it is a complex concept of levels that includes a person's physical health, psychological status, level of freedom, social relationships, and the individual's relationship to environmental characteristics. according to chang and weissman (2008) quality of life has meaning, namely the degree to which a person enjoys the possibilities in his life. this enjoyment has two components, namely experience, satisfaction, ownership, or achievement of several characteristics and these possibilities are the result of each person's opportunities and limitations in life and reflect the interaction of personal factors with the environment (susanto, 2013). according to adam (2006) quality of life is an analytical concept of an individual's ability to get a normal life related to individual perceptions of goals, expectations, standards, and specific attention to life experienced by being influenced by values and culture in the environment the individual is in (nursalam, 2013). the quality of life of patients who have oab makes it worse for the wet/wetting condition, this is the worst aspect of this problem because this condition causes oab patients to limit their daily life due to feelings of shame, anxiety, fear, irritability, frustration, and depression heavy (ismy, 2017). quality of life is decreasing due to a person's low willingness to seek treatment (sexton et al., 2011). oab-q is one of the measuring tools used to measure the severity of symptoms and also the quality of life of patients with overactive bladder (oab). the score is transformed from a 0-100 scale, a higher score indicates a better quality of life so that it is inversely related (groenendijk et astuti, ratantri, kurniajati, literature review: quality of life in patients with overactive bladder … 133 al., 2019). based on literature studies, it turns out that patients with overactive bladder (oab) experience a decrease in quality of life. the higher the score, the better the quality of life and vice versa with a value range of 0-100. in this literature study, it turned out that most researchers used the oab-q sf hrqol questionnaire and all questionnaires used a range of 0-100 with the same interpretation even though the questionnaires were different. patients with overactive bladder (oab) have a worse quality of life than non-oab sufferers. patients with overactive bladder (oab) experience a decrease in quality of life because they often experience an impaired perception of themselves because oab symptoms include urgency, incontinence, and nocturia that burden their lives. quality of life in this study is used to assess a person's emotions, assess a person's ability to meet the demands of normal life activities, and assess the impact of illness that has the potential to reduce the quality of life. how to maintain the quality of life to remain active and productive, a person needs ease of activity, an understanding of the environment, and adequate health services (sadly, 2010). guidelines for treating oab in the elderly are to pay attention to comorbidities and to pay attention to the elderly as vulnerable groups who need help (sexton et al., 2011). the quality of life of a person with oab increases if the patient seeks medical care (sut et al., 2012), while patients who do not seek treatment are reported to have a low quality of life (lloyd et al., 2017). conclusion the incidence of overactive bladder (oab) in men and women increases with age and is at greater risk for women. oab incidence is related to the quality of life. improving the quality of life in patients with oab can be improved through consultation with a doctor to relieve the symptoms that arise. suggestions appropriate management can relieve oab symptoms so that it can improve the quality of life elderly. it’s also important for nurses to knowing nursing interventions that can be given to patients suffering from oab. acknowledgment thank to the research team for their cooperation during preparation of thir journal, and thank to upt-ppm stikes rs baptis kediri for continuing to motivation to publish each research result. reference coyne, k. s. (2011). the impact of overactive bladder on mental health, work productivity and health-related quality of life in the uk and sweden: results from epiluts. bju international, 108(9), 1459–1471. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1464 -410x.2010.10013.x derek, h, t., danielle , c, c., kristin, m, k., piercy, j., patel, v., globe, d., & ginsberg, d. (2014). impact of urinary incontinence on healthcare resource utilization, healthrelated quality of life and productivity in patients with overactive bladder. bju international, 113(3), 484–491. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/bju.12 505 e martinez, a., j r, c., l g, p., & p, r. (2010). impact of urinary incontinence and overactive bladder syndrome on healthrelated quality of life of working middleaged patients and institutionalized elderly patients. actas urológicas españolas (english edition), 34(3), 242–250. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/s2173 -5786(10)70056-1 ellsworth, & pamela. (2010). about overactive bladder. jones and bartlet. groenendijk, i. m., scheepe, j. r., noordhoff, t. c., & blok, b. f. m. (2019). the validation of the dutch oab-q sf: an overactive bladder symptom bother and health-related quality of life short-form questionnaire. neurology and urodynamics, 38(6), 1775– 1782. https://doi.org/https://doi.org/10.1002/nau.2 4074 hongkong, a. u. (2019). selamat tinggal inkontinensia urin. 1–9. https://www21.ha.org.hk/smartpatient/em/ medialibraries/spw/spwmedia/indonesia n-female-urinaryincontinence.pdf?ext=.pdf ismy, j. (2017). penatalaksanaan over active bladder (oab). unsyiah conferences. http://conference.unsyiah.ac.id/asup/ii/pap 134 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 er/view/707 lloyd, s., crawford, g., mcskimming, p., grifi, m., greenwell, t., & ockrim, j. (2017). the impact of age, gender and severity of overactive bladder wet on quality of life, productivity, treatment patterns and satisfaction. journal of clinical urology, 10(6), 1–10. https://doi.org/https://doi.org/10.1177%2f20 51415817710111 nursalam. (2013). metodelogi penelitian ilmu keperawatan. salemba medika. pande, m.w, t., & harrina, e, r. (2015). a survey on the management of overactive bladder by indonesian urologists. medical journal of indonesia, 24(2), 91–96. https://doi.org/https://doi.org/10.13181/mji.v 24i2.1172 sadly, s. (2010). berbeda tetapi setara. kompas media nusantara. sexton, c. c., coyne, k. s., thompson, c., bavendam, t., chen, c.-i., & markland, a. (2011). prevalence and effect on healthrelated quality of life of overactive bladder in older americans: results from the epidemiology of lower urinary tract symptoms study. journal of the american geriatrics society, 59(8), 1465–1470. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1532 -5415.2011.03492.x susanto. (2013). perawatan klien kusta di komunitas. trans info media. sut, h. k., kaplan, p. b., sut, n., & tekbas, s. (2012). the assessment of quality of life in female turkish patients with overactive bladder. international journal of nursing practice, 18(1), 20–27. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/j.1440 -172x.2011.01983.x tamtomo, d. g. (2016). perubahan anatomik organ tubuh pada penuaan. library uns. https://library.uns.ac.id/perubahananatomik-organ-tubuh-pada-penuaan/ yuliang, w., kexin, xu, m. ., hao, h., xiaopeng, z., xiaopeng, w., yaqun, n., & xiaoping, k. (2011). prevalence, risk factors, and impact on health related quality of life of overactive bladder in china. neurology and urodynamics, 30(8), 1448–1455. https://doi.org/https://doi.org/10.1002/nau.2 1072 e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 72 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 72–83 72 interpersonal group therapy terhadap pengetahuan dan perubahan sikap perlindungan diri dari ims pekerja seks komersial jalanan usia 15–18 tahun di denpasar bali (the effect of interpersonal group therapy toward knowledge and attitude of street sexual workers 15–18 years protection from sexual transmitted infection at denpasar bali) levi tina sari stikes patria husada blitar e-mail: viemuaniez@yahoo.com abstract: the province of bali with the largest number of foreign tourists to the 9.73% growth in 2011, became the public and government concern in the case of hiv/aids. denpasar city was ranked to be the first of people with hiv by 1,949 people (kpa province of bali, 2012). the study on the sex tourism in asean is reported by the child wise tourism australia in 2007, indonesia was considered as the destination for sex tourism which involve children and young women. the aim of the study was to analyze the effect of group therapy self-protection knowledge and attitudes of commercial street sex workers aged 15–18 years. method: the design used in this study was pre experimental design with the design of one group pretest post-test design. the sample of this study was 18 people consisting of 3 groups, each group consisting of 6 persons. snowball sampling technique was used to the respondents who met the inclusion criteria. result: statistical test results using paired t test sample showed an increase in knowledge on sti, attitudes of self-protection. knowledge t = 7243 , the attitude of t = 6,803 with table=2:21. discussion: the conclusion of this research showed that there were significant effect of the interpersonal group therapy model with knowledge of sti, attitudes of self-protection against sti to the customer. it was suggested that socialization and coaching on the use of condoms should be increased as well as providing sustainable skills in order to become capital for them not to go back into prostitution. keywords: interpersonal model of group therapy, attitudes, commercial sex workers, sexual transmited infections abstrak: provinsi bali dengan jumlah wisatawan mancanegara terbesar dengan pertumbuhan 9,73% pada tahun 2011, sehingga menjadi perhatian publik dan pemerintah dalam kasus ims khususnya hiv/aids. kota denpasar masih menduduki peringkat pertama dengan jumlah penderita 1.949 orang (kpa provinsi bali, 2012). kajian mengenai wisata seks di asean yang dilaporkan oleh child wise tourism, australia pada tahun 2007, indonesia dianggap sebagai negara tujuan wisata seks yang melibatkan anak dan remaja dalam hal ini wanita. tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis terapi kelompok terhadap pengetahuan dan sikap perlindungan diri dari ims. metode: desain penelitian ini adalah pra-eksperimental one group pra test post test design. sampel penelitian sebanyak 18 orang yang terdiri dari 3 kelompok, masingmasing kelompok terdiri dari 6 orang. tehnik pengambilan sampel snowball sampling pada responden yang memenuhi kriteria inklusi. hasil uji statistik paired sample t-test menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang ims, sikap perlindungan diri terhadap ims. ada pengaruh terapi kelompok dengan model interpersonal dengan pengetahuan tentang ims, sikap perlindungan diri terhadap ims serta perilaku psk terhadap perlindungan diri dalam menghadapi pelanggan. diharapkan adanya sosialisasi dan pembinaan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p072-083 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 73sari, interpersonal group therapy ... tentang penggunaan kondom serta memberikan ketrampilan yang berkesinambungan agar menjadi modal bagi mereka agar tidak kembali menjadi psk. kata kunci: terapi kelompok model interpersonal, sikap, psk, ims perkembangan ims menunjukkan peningkatan yang tinggi, namun pencegahan dan penanggulangan yang efektif belum diketemukan (juliandi, et al., 2004). data bulan januari sampai maret 2013, rasio aids antara pria dan wanita berbanding 2:1. (ditjen pp dan pl kemenkes ri, 2013). data tersebut disebabkan oleh seorang psk (pekerja seks komersial) wanita dapat melayani 6 pria dalam semalam dan psk sangat rentan terhadap ims. (kurniawan, 2011). propinsi bali dengan jumlah wisatawan domestik pada tahun 2012 sebesar 6.063.558 orang, sedangkan jumlah wisatawan mancanegara sebesar 2.892.019 orang, hal ini terlihat wisatawan domestik lebih besar dibandingkan dengan wisatawan mancanegara. menurut isfandiari (2012), hanya 10% dari pelanggan lokal yang menggunakan kondom secara konsisten untuk melindungi dirinya dari resiko penularan ims, sedangkan menurut hutomo (2013), pelanggan psk dari wisatawan mancanegara lebih sering menggunakan kondom. provinsi bali dengan jumlah wisatawan mancanegara terbesar dengan pertumbuhan 9,73% pada tahun 2011, sehingga menjadi perhatian publik dan pemerintah dalam kasus ims khususnya hiv/ aids. kota denpasar masih menduduki peringkat pertama dengan jumlah penderita 1.949 orang (kpa propinsi bali, 2012). kajian mengenai wisata seks di asean yang dilaporkan oleh child wise tourism, australia pada tahun 2007, indonesia dianggap sebagai negara tujuan wisata seks yang melibatkan anak dan remaja dalam hal ini wanita. menurut mboi (2013), menyatakan bahwa pengetahuan ims dikalangan remaja mencapai 20,6% dari yang ditargetkan 85%, sehingga dalam beberapa penelitian menyatakan bahwa pemakaian kondom pada pekerja seks komersial hanya 46,7% dan sekitar 37% yang mengetahui manfaat penggunaan kondom, dikarenakan para psk tersebut mempunyai pengetahuan yang rendah tentang ims, diketemukan sebanyak 53% pekerja seks komersial hanya mendengar nama penyakitnya dan pemahaman yang masih bercampur antara pengetahuan yang benar dengan mitos yang keliru. (susilo, 2004; kentjana, 2009; tjahayadi, 2009). pekerja seks komersial yang berusia 15–18 tahun merupakan psk yang masih berusia remaja, dimana remaja pada masa pertengahan yang sudah dapat mengembangkan kemampuan berfikir abstrak namun masih mencari identitas diri, kemudian dengan tempat bekerja mereka yang tidak terlokalisir sehingga menyulitkan kontrol dalam pendataan angka ims, sehingga psk langsung tersebut cenderung memiliki angka ims yang tinggi (dandona, 2005). pemerintah dan lembaga non pemerintah seharusnya dilakukan upaya penanganan bersifat preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. upaya tersebut meliputi peningkatan sosialisasi penggunaan kondom dikalangan psk, peningkatan kontrol dari psk dalam area kerja dan perubahan kondisi sosial, serta penurunan angka infeksi menular seksual (ims), namun juga belum sepenuhnya efektif, oleh karena itu, dilakukan suatu terapi kelompok dengan metode interpersonal. dimana terapi ini berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran dan pengertian diri sendiri, memperbaiki hubungan interpersonal, serta perubahan pengetahuan dan sikap (yosep, 2007), sehingga diharapkan menjadi metode yang efektif untuk dapat merubah pengetahuan dan sikap psk dalam penggunaan kondom. penerapan terapi kelompok dengan model interpersonal belum pernah di lakukan dan terapi kelompok ini belum pernah di gunakan pada kelompok psk (pekerja seks komersial). sebelumnya, penerapan terapi kelompok dengan metode lain pernah dilakukan seperti terapi kelompok suportif ekspresif pada pasien kanker yang dilakukan melalui penelitian oleh yunitri (2012), dengan hasil terjadi penurunan depresi secara bermakna sebesar 9,15 dengan    0,05. kemudian, terapi kelompok yang dilakukan oleh sofyandi, dkk. (2012), dengan menerapkan terapi kelompok komunitas terhadap self concept pada residen. dengan hasil terjadi peningkatan selfconcept sebesar 19,1%, dan perubahan terbesar pada dimensi internal yaitu pada aspek tingkah laku sebesar 24%. adapun penelitian sebelumnya tentang komunikasi terapeutik secara individu (konseling) yang dilakukan oleh prambudi (2010) yaitu efektifitas komunikasi interpersonal konselor pada penderita hiv/aids, dengan hasil adanya hasil 74 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 72–83 yang bermakna terhadap peningkatan perubahan sikap untuk mendukung kehidupannya. menurut sundberg (2007), perbandingan antara terapi individual dengan terapi kelompok adalah terapi individual lebih mahal dan tidak menimbulkan insight dalam memperbaiki fungsi-fungsi kognitif dan afektif, identifikasi diri serta peningkatan ketrampilan hubungan sosial di masyarakat sehingga terapi kelompok dengan model interpersonal dijadikan model untuk membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi kognitif dan afektif, oleh karena itu diharapkan pekerja seks komersial wanita jalanan usia 15–18 tahun mempunyai suatu prinsip untuk selalu menggunakan kondom dan dapat meningkatkan kesehatan dalam proses pencegahan penularan infeksi menular seksual dan hiv/aids serta mereka juga diharapkan menjadi tentor bagi teman-teman sesama pekerja seks komersial untuk berbagi informasi tentang ims untuk menekan tingkat penularan. tujuan penelittian adalah menganalisis pengaruh terapi kelompok terhadap pengetahuan dan sikap perlindungan diri pekerja seks komersial jalanan usia 15–18 tahun. metode penelitian desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra-eksperimental. dengan desain one group pra test post test design. populasi dalam penelitian ini adalah psk (pekerja seks komersial) usia 15–18 tahun di kecamatan sanur denpasar bali. sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pekerja seks komersial yang berada di sanur denpasar bali yang memiliki kriteria inklusi sebagai berikut: mendapatkan persetujuan dari wali responden, bekerja di daerah kecamatan sanur denpasar, belum pernah bergabung di bawah naungan lsm atau yayasan, responden yang di ”booking” short time. subjek penelitian ini sebanyak 18 responden yang dibagi menjadi 3 kelompok. masingmasing kelompok sebanyak 6 responden. penelitian dilaksanakan 1 minggu 1 sekali selama 5 minggu. variabel bebas dalam penelitian ini adalah terapi kelompok dengan model interpersonal, dan variabel terikat adalah pengetahuan psk jalanan tentang ims dan sikap perlindungan diri terhadap ims. pengukuran pengetahuan tentang ims dan sikap perlindungan diri menggunakan kuesioner yang sudah di uji validitas dan realibilitas. perlakuan yang diberikan adalah terapi kelompok dengan menggunakan metode interpersonal, dimana responden dikumpulkan dan di berikan terapi sebanyak 5 sesi/minggu, setiap sesi berlangsung selama 120 menit diharapkan dapat dapat merubah pengetahuan dan sikap agar terhindar dari ims. sebelum perlakuan pada sesi 1, responden diberikan kuesioner untuk mengetahui pengetahuan dan sikap perlindungan diri sebelum perlakuan, dan pada akhir perlakuan yaitu akhir dari sesi ke-5, responden di berikan kuesioner kembali untuk mengetahui pengetahuan dan sikap perlindungan diri. analisis data menggunakan uji paired sample t-test. variabel pengetahuan tentang ims dan sikap perlindungan diri masing-masing menggunakan distribusi frekuensi untuk mengetahui kenaikan atau penurunan nilai. hasil penelitian karakteristik responden dari hasil kuesioner didapatkan 18 responden yang memiliki beberapa karakteristik seperti usia, pendidikan, lama menjadi psk, pernah mendapatkan informasi tentang ims serta kejelasan tentang informasi tersebut. responden dalam penelitian ini mempunyai alasan atau motivasi untuk menjadi psk adalah ekonomi. responden berasal dari keluarga yang kurang mampu, serta didukung tempat tinggal asli berasal dari beberapa daerah pelosok di luar pulau bali yang notabenenya kepala keluarga atau orang tua mereka bekerja sebagai buruh. tabel 1. distribusi karakteristik responden n o karakteristik responden distribusi frekuensi (%) 1. usia 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 ahun 22 22 34 22 2. pendidikan sd smp sma 11 33 56 3. lama menjadi psk 1 tahun 2 tahun 3 tahun 67 22 11 4. daerah asal psk bl bw sby bm tr 44 28 11 11 6 5. informasi tentang ims teman media massa 50 50 6. kejelasan informasi tidak jelas jelas 18 15 75sari, interpersonal group therapy ... hasil dari tabel di atas terdapat 34% responden yang berusia 17 tahun. sebagian besar responden mempunyai jenjang sma sekitar 56%. 67% responden telah menjadi psk (pekerja seks komersial) selama 1 tahun. daerah asal psk terbanyak di bl sekitar 44%. sekitar 50% responden mendapatkan informasi dari temannya dan 50% responden dari media massa antara lain televisi, radio, buku, koran,dll. 18 responden tidak jelas mendapatkan informasi tentang ims dan hiv/ids, yang dikarenakan oleh tidak adanya media disampaikan oleh 3 responden, dan informasi yang disampaikan tidak berkala, disampaikan oleh 15 responden pengetahuan responden tentang ims tabel 2. distribusi frekuensi tentang pengetahuan terhadap ims sebelum dan sesudah pertanyaan distribusi frekuensi sebelum perlakuan distribusi frekuensi sesudah perlakuan benar salah benar salah 1 bagaimana cara p enularan p enyakit ims dan hiv/aid s ? 39% 61% 100% 0 2 penyakit karena hubungan seksual maupun hiv/aid s dapat d icegah den gan ? 72% 28% 78 % 22% 3 pilihlah p ernyataan yang kalian anggap salah a. tidak memakai kondo m menin gkatkan resiko penularan h iv b . anal seks tidak menularkan penyakit karena hub un gan seksual c. anal seks tidak menyebabkan peularan h iv 56% 44% 72 % 28% 4 pernyataan b erikut yang b enar tentang p enularan h iv a. hiv dapat ditularkan lewat darah, dan berganti-ganti pasangan tanpa kondom b. hiv dapat ditularkan lewat nyamuk 72% 28% 83 % 17% p ert a nya an dist ri bu si fr eku en si seb el u m pe rlaku an distri b usi fr ek ue nsi sesu da h p erlak uan be na r s alah be na r sa la h c . hi v dapat di tul ar kan ji ka be rgan de n g a n tang a n de ngan od ha 5 t e rj adi luka pa d a ku lit di d a la m di va gi na a ta u di m u lut serta r adang salura n pe rnapa san a t as ( batu k-b atu) yan g be rul ang. t e rm asuk p a da stadi um ? 61 % 39 % 83 % 17% 6 apa ya n g sa uda ra ke ta hui tent ang ko ndo m ? 61 % 39 % 1 00% 0 7 b aga ima na c ar a pe ncega h an ter had a p inf eksi m enu la r se ksua l ? 50 % 50 % 1 00% 0 8 b aga ima na c ar a pe ma kai an ko ndo m p r ia ? 61 % 39 % 83 % 17% 9 apa saj a ge jala i nf ek si m e n ula r s eksual pada pri a ? 44 % 56 % 94 % 6 % 1 0 apa saj a ge jala ter ken a hiv ? 61 % 39 % 83 % 17% 1 1 gol on ga n at a u ke lo m pok ya ng be resiko tin ggi m en ul ar k an im s 44 % 56 % 72 % 28% 1 2 f akto rfakt or apa saja y a ng sau da ra ke ta hui tent ang ter jad iny a pe ningk a ta n p m s ? 78 % 22 % 94 % 6 % 1 3 b aga ima na pe ncega h an d ari jeng ge r ayam at au r aja sing a ? 61 % 39 % 72 % 28% 1 4 b aga ima na pe ncega h an hi v/ aid s ? 72 % 28 % 94 % 6 % 1 5 b aga ima na pe ngob atan dari gon or e ya n g soda ra k etahu i ? 50 % 50 % 83 % 17% 1 6 apa ya n g sa uda ra ke ta hui tent ang vc t (vo lunt ary c o unselin g testi ng ) 61 % 39 % 89 % 11% 1 7 apa taha pantaha pan dari vct ? 61 % 39 % 94 % 6 % 1 8 apa ya n g sa uda ra ke ta hui tent ang hi v p a da sta diu m pe rtam a ? 61 % 39 % 1 00% 0 1 9 oba t a n ti re tro vi rus a d al ah 39 % 61 % 94 % 6 % 2 0 s elain be rhu bun gan se k s de nga n k ond o m pr ia . ba gaim ana c ara pe n ce ga han ter had a p im s ? 50 % 50 % 83 % 17% 76 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 72–83 berdasarkan rincian jawaban responden tentang pengetahuan terhadap ims dan hiv/aids terdapat beberapa item pertanyaan yang mendapatkan nilai paling rendah sebelum perlakuan, diantaranya adalah bagaimana cara penularan penyakit ims dan hiv/aids? (39%) dan obat antivirus adalah (39%) serta golongan atau kelompok yang beresiko tinggi menularkan ims? (44%). setelah diberikan perlakuan maka terjadi peningkatan menjadi 100% untuk pertanyaan bagaimana cara penularan penyakit ims dan hiv/aids? dan 94% untuk pertanyaan obat antiviris adalah serta 72% untuk pertanyaan golongan atau kelompok yang beresiko tinggi menularkan ims? sikap pekerja seks komersial berdasarkan rincian jawaban dari responden terdapat beberapa pertanyaan yaitu ”jika saya terkena gonorhea, maka saya tetap menerima tamu namun sperma dikeluarkan di luar (coitus interuptus)” menjawab sangat setuju sebesar 17% dan menjawab setuju sebesar 28%. setelah dilakukan terapi kelompok meningkat menjadi jawaban tidak setuju sebesar 44% dan sangat tidak setuju sebesar 17%. pernyataan tentang jika saya tertular ims (gonorhea, chlamydia, atau sifilis), maka saya akan meminta kepada pelanggan untuk menggunakan kondom sebesar 28% pada poin tidak setuju, namun setelah diberikan perlakuan meningkat menjadi 39% pada poin sangat setuju. dari data tabel 7 membuktikan bahwa sebagian responden mempunyai sikap yang cukup tentang perlindungan diri terhadap ims sebesar 50%. dari data tabel 8 diketahui bahwa responden yang memiliki sikap baik dan cukup terhadap perlindungan diri terhadap ims dan hiv/aids sebesar 50%. menurut dari hasil evaluasi di ketahui bahwa responden yang masih satu tahun bekerja mempunyai pendapat tidak ingin kehilangan pelanggan. berdasarkan tabel 9. terjadi kenaikan rata-rata pada sebelum dan sesudah intervensi sebesar 5 poin. hasil uji didapatkan nilai p <  berarti terdapat perbedaan yang signifikan sikap sebelum dan sesudah. pembahasan karakteristik responden umur responden usia atau umur adalah jumlah hari, bulan dan tahun yang telah dilalui sejak lahir hingga waktu tertentu. umur juga dapat diartikan sebagai satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk baik yang hidup maupun yang mati. tabel 3. distribusi frekuensi kategori pengetahuan sebelum perlakuan dengan menggunakan terapi kelompok interpersonal kategori pengetahuan distribusi f rekuensi (%) jumlah responden baik 17 3 cukup 44 8 kuran g 39 7 total 100 18 dari data di atas menunjukkan bahwa sebelum diberikan perlakuan terapi kelompok selama 5 kali terdapat 44% responden berpengetahuan cukup, dan hanya 17% responden yang berpengetahuan baik. tabel 4. distribusi frekuensi kategori pengetahuan sesudah perlakuan dengan menggunakan terapi kelompok model interpersonal kategori pengetahuan distribusi frekuensi jumlah responden baik 83 15 cukup 17 3 total 100 18 setelah melakukan perlakuan dengn terapi kelompok model interpersonal, didapatkan sebagian besar responden berpengetahuan baik yaitu 83%. berdasarkan tabel 5. terjadi kenaikan rata-rata pada sebelum dan sesudah intervensi sebesar 6 poin. hasil uji didapatkan nilai p <  berarti terdapat pebedaan yang signifikan pengetahuan sebelum dan sesudah. tabel 5. nilai numerik deskriptif dan uji paired t-test dari pengetahuan responden sebelum intervensi dan sesudah intervensi n rata-rata simpangan baku rata-rata ± simpangan baku perbedaan p sebelum perlakuan 18 11,56 2,640 6,000 ± 3,515 < 0,0001 sesudah perlakuan 18 17,56 1,653 77sari, interpersonal group therapy ... tabel 6. distribusi frekuensi tentang sikap perlindungan diri terhadap ims dan hiv/aids sebelum dan sesudah perlakuan no. pernyataan distribusi frekuensi sebelum perlakuan (%) distribusi frekuensi sesudah perla kuan (%) ss s rr ts sts ss s rr ts sts 1 jika tertular infeksi menular seksual, apakah saudara akan segera pergi ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut 22 50 28 0 0 33 44 6 0 0 2 jika ada pelanggan yang meminta anal seks tanpa pengaman , maka saya akan menerima karena tidak ingin kehilangan pelanggan 0 0 39 44 17 6 39 56 0 0 3 jika saya terkena gonorhea, maka saya tetap menerima tamu namun sperma dikeluarkan di luar (coitus interuptus) 17 28 39 22 0 0 0 39 44 17 4 jika saya tertular ims (gonorhea,chlamydia,at au sifilis) maka saya akan meminta kepada pelanggan untuk menggunakan kondom 33 22 17 28 0 39 33 22 0 0 5 jika saya mabuk saat melayani pelang gan , maka saya tidak bisa meminta menggunakan kondom 6 11 22 39 17 22 44 28 6 0 6 apabila saya berhubungan seksual dengan odha , saya akan tertular h iv maksimal 3hr setelah hubungan seksual. 22 44 22 11 0 28 33 39 0 0 7 jika saya terinfeksi hiv, saya tetap dapat menginfeksi pelanggan meskip un memakai kondom 0 28 39 33 0 6 61 33 0 0 8 minum obat antiretrovirus akan menjadi resisten jika kita terputus saat pengobatan 22 50 17 11 0 28 28 44 0 0 tabel 7. distribusi frekuensi kategori sikap sebelum perlakuan dengan menggunakan terapi kelompok model interpersonal kategori distribusi frekuensi (%) j umlah responden baik 17 3 cukup 50 9 kur ang 33 6 total 100 18 tabel 8. distribusi frekuensi kategori sikap sesudah perlakuan dengan menggunakan terapi kelompok model interpersonal kategori distribusi frekuensi (%) jumlah responden baik 50 9 cukup 50 9 kur ang 0 0 tot al 100 18 78 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 72–83 diketahui bahwa usia reproduksi manusia khususnya wanita ditinjau dari aspek biologis adalah ± 12–55 tahun. fase perkembangan dan pertumbuhan pada remaja usia 11–18 tahun (hurlock, 2008), sedangkan usia produktif untuk bekerja adalah 17– 55 tahun. data dari hasil penelitian psk yang berusia 15 tahun sekitar 4 responden, usia 16 tahun sekitar 4 responden, usia 17 tahun sekitar 6 responden dan 18 tahun sekitar 4 responden. secara fisik psk yang berusia 15–18 tahun tidak layak untuk bekerja, namun mereka tidak bisa menolak kepada mucikari karena terlilit hutang, mulai dari hutang transportasi dan hutang perawatan tubuh. beberapa psk juga mempunyai tanggungan keluarga karena rata-rata mereka berasal dari daerah luar bali dan berada pada tingkat ekonomi yang rendah. pendidikan tingkat pendidikan dalam penelitian ini digolongkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, dan tinggi atau tingkat pendidikan 9 tahun (sd s/d smp) dan sma. dari hasil penelitian ini diketahui bahwa sd 2 responden (11%), smp 6 responden (33%) dan sma 10 responden (56%). pendidikan menurut notoadmodjo (2003), adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan kearah yang lebih dewasa atau lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat yang tingkat pendidikan formalnya rendah. pendidikan menurut blum (1974), merupakan faktor kedua terbesar setelah lingkungan yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap seseorang. salah satu ciri pendidikan adalah bahwa perubahan itu terjadi karena usaha sadar dan bukan karena kebetulan atau paksaan (koertion) semata. menurut departemen kesehatan (2007), angka penggunaan kondom yang rendah tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang mengenai ims, bagaimana virus ini ditularkan dan bagaimana pencegahannya, melainkan pada pengetahuan tentang kondom dan kesadaran diri seseorang akan perilaku apa yang terbaik untuk dirinya. responden pada penelitian ini sudah bisa membaca dan menulis sehingga mereka sudah mengetahui beberapa iklan tentang ims, namun mereka belum mempunyai kesadaran akan pentingnya kebersihan dan kesehatan diri seperti pentingnya menggunakan kondom pria, hal ini dikarenakan responden belum mendapatkan bimbingan dari layanan kesehatan reproduksi baik dari pemerintah maupun dari swasta (lsm). lama menjadi psk dalam penelitian ini lama bekerja psk digolongkan menjadi tiga, yaitu 1 tahun, 2 tahun, dan 3 tahun. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1 tahun sebanyak 67%, 2 tahun sekitar 22% dan sisanya 11% sekitar 3 tahun. hasil observasi dan wawancara responden yang bekerja 3 tahun, sudah mengetahui tentang kondom. namun, karena beberapa responden menggunakan kondom lebih dari satu terhadap pelanggan sehingga sering menimbulkan kesalah pahaman pelanggan dan kebanyakan berlaku kasar terhadap responden, oleh karena itu, untuk selanjutnya beberapa responden tidak menggunakan kondom. beberapa responden yang lama bekerja antara 1–2 tahun tidak berani untuk menolak dari kemauan pelanggan karena takut kehilangan pelanggan yang menyebabkan pemasukan berkurang dan tidak dapat membayar hutang kepada mucikari, maka terdapat beberapa responden yang tidak menggunakan kondom. menurut hasil penelitian saat terapi kelompok berlangsung, terdapat beberapa responden yang menggunakan kondom namun mudah sobek hal ini di karenakan kualitas dari kondom dan penggunaan yang tidak benar, selain itu, menurut wirawan (2013), menyatakan bahwa saat ini di bali belum ada peraturan yang tegas berkaitan dengan keharusan menggunakan kondom pada setiap transaksi seksual di kalangan pekerja seks komersial. tabel 9. nilai numerik deskriptif dan uji paired t-test dari sikap responden sebelum intervensi dan sesudah intervensi n rata-rata simpangan baku rata-rata ± simpangan baku perbedaan p sebelum perlakuan 18 26.06 4.544 5,444 ± 1,688 < 0,0001 sesudah perlakuan 18 31.06 2.127 79sari, interpersonal group therapy ... motivasi menjadi psk keputusan subjek menjadi wanita pekerja seks komersial dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi dan faktor lingkungan (subadra, 2007). hasil penelitian terbukti bahwa motivasi responden usia 15–18 tahun menjadi psk adalah semua responden masalah ekonomi. alasan responden pada awalnya ingin menjadi pembantu rumah tangga namun pada akhirnya mereka harus menjadi psk dengan hutang yang banyak kepada germo sehingga mereka harus mengembalikannya, bahkan ada yang secara sadar menjadi psk karena disebabkan oleh ekonomi keluarga yang kurang. awalnya mereka merasa tidak nyaman namun setelah dijalani mereka dapat beradaptasi, bahkan ada yang merasa ketagihan sampai suka dengan salah satu pelanggannya. menurut heimstra & farling dalam jajuli (2010), semakin sering mereka melakukan pekerjaan itu (psk) maka akan terjadi pembiasaan fisik sehingga terjadi pembiasaan psikis yang disebut adaptasi. psk usia 15–18 tahun menurut sarwono (2007), mempunyai khayalan tentang aktivitas seks dan mempunyai perasaan cinta yang mendalam. ditambahkan pemahaman tentang ilmu agama yang rendah sehingga memudahkan mereka menjadi psk. pemerintah provinsi bali dengan dinas sosial saat ini sudah melakukan sosialisasi, penyadaran dan sidak ke cafe remang serta tempat hiburan malam lainnya. namun, menurut wenten (2014), pemerintah provinsi jawa timur telah menutup lokalisasi sehingga terjadi eksodus psk dari jawa timur ke bali yang disulit dikendalikan oleh pemerintah bali. alasan psk ke bali karena bali merupakan tujuan pariwisata dan psk tumbuh subur disana. asal daerah responden data pada hasil penelitian menunjukkan bahwa psk yang berasal dari daerah bl sebanyak 44%, bw 28%, sby dan bm 11%, serta dari tr 6%. data tersebut menunjukkan bahwa seluruh responden berasal dari luar daerah bali. mereka bekerja di bali berawal dari ekonomi dan menginginkan kehidupan yang layak. beberapa responden yang berkeinginan untuk mendapatkan pelanggan, mereka cenderung berpindah tempat kerja, sehingga penghasilan mereka meningkat. hal ini sangat berpotensi untuk mempercepat penyebaran ims. pihak pemerintah bali sudah berupaya untuk mengendalikan masuknya psk ke bali namun, hal ini sangat sulit sekali karena kebanyakan mereka beralasan untuk berwisata di bali. data dari hasil wawancara peneliti saat terapi kelompok berlangsung, pekerja seks komersial sebagian besar beralasan dengan keluarganya untuk bekerja di luar negeri seperti malaysia dan hongkong agar mereka diperbolehkan untuk bekerja. pengetahuan responden berusia 15–18 tahun merupakan masa remaja pertengahan. menurut sarwono (2010), bahwa masa remaja pada tingkat ini sudah dapat mengembangkan kemampuan berpikir, di mana remaja usia menengah pada umumnya mengembangkan kapasitas untuk berfikir abstrak, menikmati kekuatan intelektual dan perhatian pada filosofi, politik, dan masalah sosial. sebelum diberikan perlakuan terapi kelompok selama 5 kali hanya 3 responden yang berpengetahuan baik. hasil tersebut dipengaruhi oleh informasi yang didapatkan sebelum dilakukan terapi kelompok kurang jelas dan tidak bertahap, serta responden mempunyai beberapa opini tentang ims yang salah karena berdasarkan mitos yang berkembang di masyarakat, seperti cara pengobatan keputihan melalui pembasuhan dengan air daun sirih. pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan terhadap suatu objek. hersey & blanchard dalam endah (2003), menyatakan bahwa dalam teori berubah, perubahan yang paling mudah adalah pengetahuan. terapi kelompok dengan model interpersonal memanfaatkan beberapa media seperti modul dan leaflet serta peserta yang saling mendukung merupakan suatu strategi yang memberikan pengaruh primer. anggapan dasar dari terapi kelompok adalah mengembangkan berfikir secara logis dan rasional serta objektif dalam mengambil keputusan untuk hasil yang terbaik. terapi kelompok dengan model interpersonal, untuk intervensi pada kognitifnya bertujuan saling memberikan informasi, gagasan, motivasi dan saran kepada sesama peserta. hasil yang didapat setelah perlakuan dengan terapi kelompok model interpersonal yaitu sebagian besar responden berpengetahuan baik yaitu 83%. pengetahuan yang meningkat setelah dilakukan terapi kelompok secara teori dapat dikaitkan dengan pendidikan. notoadmodjo (2007) berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima atau menyesuaikan dengan hal baru. pendidikan mempengaruhi proses belajar seseorang, maka seseorang dengan pendidikan tinggi akan cenderung lebih mudah memperoleh banyak informasi. sebagian besar pendidikan 80 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 72–83 responden adalah sma. perubahan pengetahuan juga dipengaruhi oleh lingkungan saat terapi kelompok. lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu. terapi kelompok dengan model interpersonal bertujuan untuk pekerja seks komersial dapat mempunyai tambahan atau masukan pengetahuan tentang infeksi menular seksual, sehingga responden dapat mengetahui beberapa hal tentang tentang gejala serta pemakaian kondom yang benar. hasil dari penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan. pengetahuan dalam katagori baik sebesar 83% dan terdapat 17% dalam katagori cukup. menurut hasil penelitian iakmi (2010) di bali yaitu pengetahuan yang cukup tentang ims dan cara pencegahannya belum tentu berimplikasi pada kepatuhan pelaku yaitu pelanggan dan wps untuk secara konsisten memakai kondom. dilihat dari beberapa jawaban responden, beberapa soal yang mempunyai nilai terendah yaitu tentang anal seks tidak menularkan penyakit karena hubungan seksual, dan pencegahan dari jengger ayam atau raja singa, hal ini dikarenakan oleh responden tidak menghiraukan penyakit tersebut karena masih bisa diobati dan responden masih mempercayai mitos yang berlaku di masyarakat. ketidaktahuan responden tentang ims karena informasi yang diterima masih kurang serta beberapa responden merasa bahwa setiap profesi mempunyai resiko dan mereka menerima resiko tersebut. pertanyaan tersebut akan menjadi acuan bagi pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk lebih di fokuskan agar mereka tidak salah pengertian, selain terdapat salah satu responden dengan pendidikan sma termasuk dalam kategori cukup, hal ini disebabkan oleh lama bekerja menjadi psk baru satu tahun dan berasal dari pelosok daerah yang minim akan informasi. pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber seperti, media poster, kerabat dekat, media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, dan sebagainya. pengetahuan dapat membentuk keyakinan tertentu, sehingga seseorang berperilaku sesuai dengan keyakinannya tersebut (istiari, 2000). diperkuat oleh penelitian dari afiatin (2004), bahwa ada signnifikasi antara pengalaman dengan pengetahuan, karena pengalaman telah dialami, direfleksi, dan dikonsep dengan kehidupan sehari-hari (transfer of learning). menurut tabel 5.4 telah terbukti bahwa terdapat pengaruh terapi kelompok dengan tehnik interpersonal terhadap peningkatan pengetahuan, sehingga terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan terapi kelompok dengan tehnik interpersonal. hasil tersebut dapat dipengaruhi oleh usia responden yang masih muda yaitu 15–18 tahun, sehingga informasi yang diterima dapat dengan mudah dipahami, dikarena kan pada usia tersebut kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal hampir tidak terjadi penurunan. menurut abu ahmadi (2001) mengemukakan bahwa memang daya ingat seseorang itu salah satunya dipengaruhi oleh usia. selain itu responden sebelumnya juga telah mendapatkan informasi tentang ims. informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. informasi diperoleh berasal dari teman maupun media massa. media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang maka dapat mempengaruhi pengetahuan mereka. sarana yang disediakan saat terapi kelompok seperti leaflet juga membantu responden untuk memahami tentang ims. hal ini sebanding dengan penelitian dari dewi (2008), bahwa adanya peningkatan pengetahuan yang signifikan kelompok intervensi setelah diberikan pendidikan kesehatan (p value =0,000). peningkatan pengetahuan yang didapatkan melalui metode peer education akan memberikan tambahan informasi tentang hiv/aids. salah satu hasil tabel 5.4 tersebut terlihat terdapat kenaikan dan penurunan pada pengetahuan setelah diberikannya terapi kelompok. menurut pengamatan dari peneliti, kenaikan pengetahuan pada beberapa responden disebabkan karena faktor lamanya menjadi psk sehingga mereka sudah terbiasa dan mengerti tentang ims dan cara pencegahannya, kemudian pendidikan serta informasi yang didapat sebelumnya melalui iklan dan media massa serta berpengaruhnya suasana terapi kelompok dengan teman-teman yang saling mendukung saling bertukar cerita dan pengalaman. pengetahuan responden yang tidak berubah atau menurun, hal ini disebakan oleh beberapa responden kurang pengalaman dan baru menjadi psk, sehingga tidak banyak mendapat informasi. 81sari, interpersonal group therapy ... di lain pihak menurut helweg-larsen dalam kring (2007), mengungkapkan pengetahuan yang sebenarnya dapat menjadi hambatan. hal tersebut ada beberapa kondisi pengetahuan yang mungkin akan menjadi akibat yang negatif. sehingga perlu dilakukan tindakan penyuluhan atau pemberian pengetahuan yang berkala oleh pemerintah daerah setempat dan lsm yang menjangkau psk tidak terorganisir. harapannya bahwa tidak ada perbedaan persepsi pengetahuan pada psk. sikap sikap merupakan tanggapan seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus atau objek. menurut alport (1954) dalam notoadmodjo (2007) sikap mempunyai tiga komponen yang terdiri dari kepercayaan, ide, dan konsep terhadap sesuatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap sesuatu objek, serta kecenderungan untuk bertindak. terapi kelompok dengan model interpersonal diterapkan melalui beberapa tahap. tahap awal terapis dan co terapis serta antar peserta terapi harus saling mengenal dan membina hubungan saling percaya sehingga dapat menimbulkan suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh peserta untuk memperoleh keputusan yang benar dalam pencegahan penularan ims. menurut wright & leahay (1994) merupakan sub kategori yang mendasari ide, pendapat dan asumsi yang dimiliki individu. perubahan pada pengetahuan merupakan perantara perubahan sikap dan perilaku seseorang. terapi kelompok dimana membuat responden untuk saling bercerita tentang pengalaman menjadi seorang psk. sebelum dilakukan terapi kelompok sikap responden dalam perlindungan diri terhadap ims terdapat kategori kurang sebesar 33% atau 6 responden setiap manusia begitu juga responden menpunyai rasa takut terhadap ims sangat besar tetapi belum cukup bagi responden untuk melakukan pencegahan secara maksimal. hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu psk masih usia remaja, dimana mereka tidak mampu menolak keinginan dari pelanggan bahkan jika pelanggan tidak menggunakan kondom, maka responden menurutinya karena tidak ingin kehilangan pelanggan yang akan mengurangi pendapatan mereka. selain itu, lama bekerja juga mempengaruhi sikap, di mana responden ingin mencari nama hingga dikenal di kalangan pelanggan. berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan perilaku yang baik pula (widodo, 2005). dengan adanya pengetahuan tentang ims maka muncullah sikap yang berupa kesadaran dan niat untuk menggunakan kondom. setelah dilakukan perlakuan terapi kelompok dengan model interpersonal sebanyak 5 kali selama 5 minggu di dapatkan hasil sikap yang baik terhadap pencegahan ims sebesar 50% dan sikap yang cukup juga sebesar 50%. sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (sarwono, 1999). menurut gerungan (1991), sikap itu selain dipengaruhi oleh faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu interaksi kelompok dan komunikasi, oleh karena itu, kelompok atau lingkungan sekitar dapat merubah sikap seseorang. hasil dari tabel 7 dan 8 terbukti terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan terapi kelompok dengan tehnik interpersonal, di mana terdapat peningkatan sikap sebelum dan sesudah perlakuan, meskipun terdapat beberapa responden yang tidak mengalami kenaikan. tidak adanya peningkatan tersebut menurut pengamatan peneliti disebabkan oleh responden berkeyakinan jika tidak memakai kondom mereka tidak akan mendapatkan pelanggan, karena mereka belum lama menjadi psk, dan beberapa responden berpendapat jika menjadi psk sudah resiko mereka sehingga mereka akan menerima resiko tertular ims. responden yang mengalami peningkatan sikap dengan berkeyakinan akan menggunakan kondom dalam setiap transaksi dengan pelanggan, dikarenakan responden ingin hidup lebih lama dan tidak ingin menularkan ims ke semua pelanggannya, sehingga mereka akan menjadi psk yang bersih dengan harga yang mahal. hal tersebut karena responden yang sudah berpengalaman dan sudah lama bekerja menjadi psk serta dilihat dari mereka yang berusia 17–18 tahun, di mana usia tersebut sudah terjadi kematangan untuk berpikir dan dapat berpikir secara abstrak (santrock, 2003). terapi kelompok model interpersonal mempunyai peranan dalam merubah sikap seseorang, karena dalam terapi kelompok terdapat sosialisasi serta membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif (purwaningsih, 2010). sikap bisa terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. dalam interaksi terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain terutama selama proses 82 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 72–83 mendapat perlakuan sehingga terjadi hubungan timbal balik yang ikut mempengaruhi sikap masingmasing. dalam interaksi sosial inilah individu bereaksi membentuk pola sikap yang baru sesuai dengan obyek atau informasi yang diterima yakni pencegahan ims. sikap merupakan sesuatu yang dapat dipelajari, tidak dibawa sejak lahir, tidak menetap dan dapat berubah karena kesiapan bertindak didasarkan pada pandangan dan pendapat yang dibentuk oleh nilai dan keyakinan yang dimiliki seseorang (mubarak, 2009). sedangkan dalam notoadmodjo (2003), sikap merupakan reaksi/respon atau kecenderungan seseorang tehadap suatu objek yang diamatinya, sehingga pengetahuan psk yang baik tentang ims saja tidak cukup untuk terbentuknya perilaku pencegahan penularan ims apabila tidak didukung oleh sikap yang baik pula. menurut hasil penelitian budiono (2011) di argorejo semarang yang menunjukkan bahwa sikap wps berpengaruh terhadap praktik penggunaan kondom pada psk maupun pelanggannya (p=0,0001). begitu juga hasil penelitian evianty (2008) menyatakan bahwa sikap berpengaruh terhadap tindakan psk untuk menggunakan kondom (p=0,048). artinya, psk yang mempunyai sikap baik dalam hal perlindungan diri terhadap ims akan mempunyai suatu niat yang kuat untuk dapat mempengaruhi pelanggan dalam penggunaan kondom pada saat berhubungan seksual. sikap untuk menggunakan kondom akan lebih baik jika berawal dari niat, kesadaran sendiri dan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. oleh karena itu harus ada dukungan penuh oleh pemerintah dalam mensosialisasikan pencegahan secara terus-menerus terhadap ims kepada mucikari/germo dan psk dalam penggunaan kondom. simpulan dan saran simpulan ada pengaruh terapi kelompok dengan model interpersonal dengan pengetahuan tentang ims, sikap perlindungan diri terhadap ims serta perilaku psk terhadap perlindungan diri dalam menghadapi pelanggan. saran diharapkan adanya sosialisasi dan pembinaan tentang penggunaan kondom serta memberikan ketrampilan yang berkesinambungan agar menjadi modal bagi mereka agar tidak kembali menjadi psk. daftar rujukan afiatin. t. 2004. pengaruh program kelompok aji dalam peningkatan harga diri, asertivitas, dan pengetahuan mengenai napza untuk prevensi penyalahgunaan napza pada remaja. jurnal psikologi fakultas psikologi universitas gajah mada nomor 1. yogyakarta. akhmadi, a. 2008. konseling kesehatan remaja: kajian materi diklat teknis fungsional peningkatan kompetensi guru pertama bk mts. yogyakarta: lumbung pustaka uny. asean child sex tourism review. 2007. child wise tourism report. http:www.childwise.net. 13 februari 2013. badan koordinasi keluarga berencana nasional. 2012. mitos-mitos seputar pms. http://www.bkkbn. go.id.hqweb/ceria/pengelolaceria/pp3pms.html. 13 februari 2013. budiono, i. 2011. konsistensi penggunaan kondom oleh wanita pekerja seks/pelanggannya, jurnal kesehatan masyarakat/ kemas 7 (2): hal. 89– 94. dandona, r., dandona, l., dan gutierrez, j.p. 2005. high risk of hiv in non-brothel based female sex workers in india. bmc public health. india, 5:87. direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan kementrian kesehatan ri 2013, laporan situasi perkembangan hiv/aids di indonesia sampai dengan maret 2013, jakarta. http:// www.spiritia.or.id/stats/statcurr.php?lang=id &gg=1. mei 2013 departemen kesehatan republik indonesia. 2003. kesehatan reproduksi. depkes ri, jakarta. dewi, s. 2008. pengaruh pendidikan kesehatan dalam pencegahan hiv/aids. media ners fakultas kedokteran universitas diponegoro volume 2, nomor 1, mei 2008. semarang dharma, k.k. 2011. metodologi penelitian keperawatan: panduan melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. jakarta: trans infomedia. evianty, r. 2008. pengaruh faktor predisposisi, pendukung dan penguat terhadap tindakan psk dalam menggunakan kondom untuk pencegahan hiv/aids di lokalisasi teleju kota pekan baru. tesis. program pascasarjana universitas sumatra utara. medan. fitriana, y.l. 2009. studi kasus perilaku wanita pekerja seksual tidak langsung dalam pencegahan ims, hiv dan aids di pub dan karaoke, café, dan diskotek di kota semarang. tesis. semarang: magister promodi kesehatan. universitas diponegoro. holmes, c.b., losina, e., walensky, r.p., yazdanpanah, y., freedberg, k.a. 2003. review of human immunodeficiency virus type 1-related opportunistic 83sari, interpersonal group therapy ... infections in sub-saharan africa. clin. infect. dis. 36 (5):656–662 hukumonline. 2007. menyoroti sisi gelap child trafficking di indramayu. http://hukumonline.com/detail. asp?id=10805&et=fokus. 13 februari 2013. hurlock, e. 2008. psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. jakarta: erlangga. isfandiari, a. 2012. laporan perkembangan pencapaian tujuan pembangunan milenium indonesia. http:/ /www.academia.edu. 20 mei 2013. kpa provinsi bali. 2012. psk di bali terinfeksi hiv/aids. http://bola.okezone.com. 15 februari 2013. kring, dkk. 2007. abnormal psychology. edisi 10. john wiley & sons, inc. united state of amerika. kurniawan, r. 2011.komunitas peduli penderita hiv/ aids. yayasan aids indonesia. http://www. cafeberita.com. 15 februari 2013. mboi, n. 2013. jumlah remaja paham hiv/aids masih minim. http://wwwrepublika.co.id. 1 agustus 2013. mudji jon o. 2005. sa rke m r e produk si sosi al pelacuran. yogyakarta: gadjah mada university press, prambudi, a. 2011. komunikasi interpersonal pada konseling hiv/aids (studi deskriptif keefektivitasan komunikasi interpersonal konselor dengan penderita hiv/aids pada konseling di vct rsud pr of dr ma rgon o soekar djo purwokerto). vol. 6, no.1, fisipol. yogyakarta: universitas muhamadiyah yogyakarta. subadara, i.n. 2007. bali tourism watch: keberadaan pekerja seks komersial sebagai dampak negative pariwisata di bali. http://www.subadara. wordpress.com. 13 februari 2013. susilo, h. 2004. faktor-faktor yang mempengaruhi praktik negoisasi penggunaan kondom untuk mencegah ims & hiv/aids pada wps di resosialisasi argorejo kelurahan kalibanteng kulon kecamatan semarang barat kota semarang. tesis. program pasca sarjana universitas diponegoro, semarang. sundberg, norman, d., dan winerbager. 2007. psikologi kl inis perke mbangan teori, prakt ik dan penelitian. yogjakarta: pustaka pelajar. townsend. 2009. essentials of psychiatric mental health nursing (5th ed). philadelphia: fa. davis company. tjahayadi, d. 2009. efektivitas penyuluhan terhadap perilaku mencegah penularan hiv dan aids pada psk. lampung: badan kependudukan dan keluarga berencana nasional. trisnadi. 2004. dolly hitam putih prostitusi, jakarta: gagas media. unaids. 2001. special session of the general assembly on hiv/aids round table 3 socio-economic impact of the epidemic and the strengthening of national capacities to combat hiv/aids (pdf). 18 januari 2013. wikipedia. 2013. pelacuran. http://id.wikipedia.org/ wiki/pelacuran#pelacur.13 februari 2013. wirawan. 2012.penderita hiv/aids di bali mayoritas psk. dinas kesehatan provinsi bali.http://www. waspada.co.id. 18 januari 2013. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 204 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 204–211 204 gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids wilayah haji ungar rt.001/rw.iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang 2014 (overview of housewife knowledge, about hiv/aids infection sign and symptoms in haji ungar area rt.001/rw.iii tajung ayun sakti village, bukit bestari distric tanjungpinang at 2014) dewi pusparianda, dede dwika wamardhana poltekkeskemenkestanjungpinang email:dewipusparianda@yahoo.co.id abstract: the number hiv incident in tanjungpinang keep rising in 2013, the rising of the incident reach to 244 cases (the rising occurring to 42% in 2012). some groups think the infection of hiv/aids is obtained by prostitute, homosexual, and so on. the infection also obtained by housewife and children. in early research, showed that 3 housewife didn’t know the signs and symptomps of the infection. it’s a basic to do a research ”overview of housewife knowledges about signs and symptomps infection of hiv/aids in district haji ungar rt.001/rw.iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang”. the purpose of this research was to know the overview of housewife knowledge about signs and symptomps of hiv/aids in district haji ungar rt. 001/rw. iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang. the study was done in 12 june 2014. the number of samples of this research was 30 housewives. the sample technique in this research was randomize. the instrument used in this research was questionaire. the result obtained that the housewife knowledges in districk haji ungar rt. 001/rw. iii against the signs of the symptomps infection hiv/aids in district haji ungar rt. 001/rw. iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari was great (86%). housewife knowledges was great, maybe its because of good introduction about that problem. level of education, experience, or good socio-cultural towards it will make housewife can recognize the problems. it was recommended that the housewife could get more knowledge and health expecially about body resistance. housewife also recommended to do health checking in public health services. keywords: house knowledges, signs and symptomps, hiv/aids abstrak: peningkatan angka kejadian hiv di tanjungpinang terus meningkat, pada tahun 2013, peningkatan angka kejadian hiv mencapai 224 kasus (terjadi peningkatan 42% dari tahun 2012). sebagian kelompok berfikir penularan hiv/aids banyak di dapat oleh psk, homoseksual, dan sebagainya. penyebaran hiv/ aids juga di dapat oleh ibu rumah tangga dan anak-anak. dalam penelitian awal, didapat 3 ibu rumah tangga tidak mengetahui tanda dan gejala dari infeksi hiv. hal tersebut mendasari perlunya diadakan penelitian ”gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids wilayah haji ungar rt. 001/rw. iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang”. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids di wilayah haji ungar rt. 001/rw. iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang. desain penelitian ini penelitian deskriptif. penelitian dilakukan di wilayah haji ungar rt. 001/rw. iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang. waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 12 juni 2014. jumlah sampel pada penelitian ini ibu rumah tangga yang berjumlah 30 sampel. teknik sampling dalam penelitian menggunakan teknik simple random sampling. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. hasil penelitian didapat bahwa acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p204-211 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 205pusparianda dan wamardhana, gambaran pengetahuan ibu rumah tangga ... pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt. 001/rw. iii terhadap tanda dan gejala infeksi hiv/ aids di wilayah haji ungar kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari yaitu baik (86%). kesimpulan dan saran: pengetahuan yang dimiliki ibu rumah tangga yaitu baik, dapat dikarenakan pengenalan yang baik terhadap permasalahan tersebut. tingkat pendidikan, pengalaman, ataupun sosial budaya yang baik terhadap permasalahan tersebut akan membuat ibu rumah tangga dapat mengenali masalah tersebut. disarankan kepada ibu rumah tangga untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan kesehatan terutama kesehatan mengenai system kekebalan tubuh. ibu juga disarankan untuk melakukan pengecekan kesehatan di fasilitaskesehatan yang tersedia. kata kunci: pengetahuan ibu rumah tangga, tanda dan gejala, hiv/aids hiv/aids (human immuno deficiency virus/ acquired immune deficiency syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik. obat dan vaksin untuk mengatasi masalah tersebut belum ditemukan, yang dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya di bidang kesehatan tetapi juga di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya dan demografi (depkes ri 2006). kasus aids yang pertama kali sekali muncul di amerika serikat pada bulan mei tahun 1981. virus hiv pertama kali ditemukan di perancis pada tahun 1983 oleh dr. luc montagnier dan menjangkit jutaan pria, wanita, dan anak-anak yang ada di dunia ini. kasus pertama penyakit ini terjadi dikalangan kaum homoseksual (suatu prilaku seksual yang menyimpang dengan sesama jenis, dalam hal ini adalah pria) pria di negara industri tinggi yang kemudian menyebar ke jangkauan yang lebih jauh lagi. epidemi hiv/ aids kini telah meluas dan menjadi masalah internasional, pertambahan kasus yang cepat dan penyebarannya ke berbagai negara telah menimbulkan keresa han dan keprihatinan di seluruh dunia (julianto, 2004). menurut world health organization (who) dilaporkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 3,5 juta orang di asia tenggara hidup dengan hiv/aids. beberapa negara seperti myanmar, nepal dan thailand menunjukkan tren penurunan untuk infeksi baru hiv, hal ini dihubungkan salah satunya dengan diterapkannya program pencegahan hiv/aids melalui program condom use 100 persen (cup). trend kematian yang disebabkan oleh aids antara tahun 2001 sampai 2010 berbeda disetiap bagian negara. di eropa timur dan asia tengah sejumlah orang meninggal karena aids meningkat dari 7.800 menjadi 90.000, di timur tengah dan afrika utara meningkat dari 22.000 menjadi 35.000, di asia timur juga meningkat dari 24.000 menjadi 56.000 (who, progress report 2011). indonesia saat ini mengalami epidemi ganda, yaitu infeksi human immunodeficiency virus hiv dan penggunaan narkoba dengan jarum suntik (sirait, 2006). sejak tahun 1999 penggunaan narkoba dengan jarum suntik telah menjadi pendorong utama peningkatan kasus epidemi hiv/aids di beberapa wilayah di indonesia, termasuk jakarta, jawa barat, dan bali. infeksi hiv/aids menular dari para pengguna narkoba suntik (penasun) kepada mitra mereka yang bukan merupakan pengguna narkoba suntik (non penasun) dan kepada para pekerja seks. hiv/aids dapat menular melalui hubungan seks yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian, transfusi darah dengan orang yang terkena hiv/aids, dan penularan ibu ke bayi yang dikandungnya (depkes, 2006). peningkatan akan kasus penderita hiv di provinsi kepulauan riau terus meningkat, dari tanggal 1 januari 2010 sampai 31 desember 2010 peningkatan kasus hiv mencapai 621 kasus. peningkatan akan angka kejadian hiv terus terjadi dilihat dari tanggal 1 januari 2011 sampai 31 desember 2011 angka kejadian hiv mencapai 704 kasus (terjadi peningkatan 11,8% dari tahun 2010), pada tanggal 1 januari 2012 sampai dengan 31 desember 2012 angka kejadian hiv mencapai 852 kasus (terjadi peningkatan 17,4% dari tahun 2011) (dinkes provinsi kepri, 2012). peningkatan akan angka kejadian hiv di tanjungpinang terus meningkan pada tahun 2010 mencapai 122 kasus, pada tahun 2011 angka kejadian hiv mencapai 133 kasus (terjadi peningkatan 8,2% dari tahun 2010), dan pada tahun 2012 angka kejadian hiv mencapai 130 kasus (terjadi penurunan 2,3% dari tahun 2011), dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan kembali angka kejadian hiv mencapai 224 kasus (terjadi peningkatan 42% dari tahun 2012) (dinkes kota tanjungpinang, 2013). sebagian kelompok berfikir bahwa penularan hiv/aids banyak di dapat oleh kaum lelaki, psk, 206 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 204–211 homoseksual, dan sebagainya. penyebaran hiv/ aids juga di dapat oleh ibu rumah tangga dan anakanak, dalam hal ini ibu rumah tangga yang hanya berprofesi di rumah kemungkinan kurang memahami mengenai hiv/aids, bahkan tidak mengetahui apa yang akan dilakukan jika mengalami gejala aids tersebut. dalam hal ini peneliti melakukan survei awal dengan wawancara kepada 3 ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt. 01/rw. iii untuk mengetahui sejauhmana pemahaman ibu tentang hiv/ aids. setelah dilakukan survei awal tersebut didapat 3 ibu tersebut tidak mengetahui mengenai tanda dan gejala aids serta upaya apa yang akan dilakukannya. dari data awal berikut peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala aids. bahan dan metode desain penelitian ini penelitian deskriptif dalam penelitian ini ingin mengetahui gambaran pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala aids guna untuk menentukan upaya apa yang akan dilakukan jika terdapat tanda dan gejala aids. penelitian ini telah dilaksanakan di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang tahun 2014.penelitian telah dilaksanakan 3 hari, dimulai pada tanggal 12 juni 2014 sampai dengan 14 juni 2014. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang dengan jumlah 59 orang. jumlah sampel pada penelitian ini adalah semua ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di wilayah haji ungar rt.001/ rw.iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang yakni berjumlah 30 orang. teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling. instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat atau analisis deskriftif. analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dari presentasi masing-masing variabel yang diteliti. dari hasil kuisioner pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala aids akan diolah dan jika jawaban responden benar akan diberi skor 1 (satu), sedangkan jika jawaban salah akan diberi skor 0 (nol). kemudian dari nilai tersebut ditentukan skor total pada masing-masing responden dengan rumus: rumus: p = f/(n ) × 100% keterangan: p = persentase f = jumlah jawaban yang benar n = jumlah soal dari persentase di atas, kemudian ditafsirkan ke dalam bentuk data kualitatif dengan menggunakan skala (nursalam, 2008) baik bila hasil: 76100%, cukup bila hasil: 56–75%, kurang bila hasil: < 56% hasil penelitian tabel 1. distribusi frekuensi ibu rumah tangga berdasarkan umur di wilayah haji ungar rt. 001/rw. iii tanjungpinang no umur frekuensi p ersentase (%) 1 23 – 28 3 10% 2 29 – 34 6 20% 3 35 – 40 8 26,7% 4 41 – 46 7 23,3% 5 47 – 52 5 16,7% 6 53 – 58 0 0% 7 59 – 64 1 3,3% jumlah 30 100% berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa distribusi umur ibu rumah tangga kurang dari separuh adalah umur 35–40 tahun sebanyak 8 orang (26,7%). tabel 2. distribusi frekuensi ibu rumah tangga berdasarkan pendidikan di wilayah haji ungar rt. 001/rw. iii tanjungpinang bulan juni 2014 sumber: data primer tahun 2014 no pendidikan terakhir frekuensi p ersentase (%) 1 tidak sekolah 0 0% 2 sd 3 10% 3 smp 7 23,3% 4 sma 18 60% 5 perguruan tinggi 2 6,7% jumlah 30 100% 207pusparianda dan wamardhana, gambaran pengetahuan ibu rumah tangga ... berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh tingkat pendidikan terakhir ibu rumah tangga adalah sma sebanyak 18 orang (60%). sedangkan sebagian kecil pendidikan terakhir ibu rumah tangga adalah tingkat perguruan tinggi sebanyak 2 orang (6,7%). jumlah data di atas adalah rata-rata dari subvariabel tentang pegertian hiv/aids yang terdiri dari 3 pertanyaan. tabel 3. distribusi frekuensi ibu rumah tangga berdasarkan informasi yang diperoleh di wilayah haji ungar rt. 001/rw. iii tanjungpinang sumber: data primer tahun 2014 no informa si yang diperoleh frekuensi persentase (%) 1 t idak ada 0 0% 2 keluarga/t eman 1 3,3% 3 media (elektronik/cetak) 14 46,7% 4 tenaga kesehatan 14 46,7% 5 teman, media, dan t enaga kesehatan 1 3,3% jumlah 30 100% berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa distribusi berdasarkan informasi yang diperoleh kurang dari separuh adalah media dan tenaga kesehatan masing-masing sebanyak 14 orang (46,7%). sedangkan yang paling sedikit adalah informasi yang diperoleh dari keluarga/teman dan keluarga/teman, media, dan tenaga kesehatan, masing-masing sebanyak 1 orang (3,3%). tabel 4. distribusi frekuensi pengetahuanibu rumah tangga tentang pengertian hiv/aids di wilayah haji ungar rt.001/rw. iii tanjungpinang bulan juni 2014 sumber: data primer tahun 2014 berdasarkan tabel 4 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang pengertian hiv/aids yaitu baik (97%). no perta nyaan frekuensi p ersentase (%) 1 hiv adalah virus yang melemahkan... 30 100% 2 hiv adalah penyakit yang tidak dapat... 28 93% 3 aids adalah kumpulan gejala atau infeksi... 29 97% rata-rata 29 97% tabel 5. distribusi frekuensi pengetahuan ibu rumah tangga tentang penularan infeksi hiv/aids di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang bulan juni 2014 no p ertanya an f rekuensi persentase (%) 1 virus h iv lebih mengancam pria... 26 87% 2 bersentuhan tan gan dapat... 29 97% 3 makan bersama tidak dapat... 26 87% 4 berhubungan seksual tanpa menggunakan... 28 93% rata-rata 27 91% berdasarkan tabel 5 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang penularan infeksi hiv/aids yaitu baik (91%). jumlah data diatas adalah rata-rata dari subvariabel tentang penularan infeksi hiv/aids yang terdiri dari 4 pertanyaan. tabel 6 . distribusi frekuensi pengetahuan ibu rumah tanggatentang tanda dan gejala infeksi hiv/ aids di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang bulan juni 2014 sumber: data primer tahun 2014 no pertanyaan frekuensi persentase (%) 1 gejala awal yang tampak... 27 90% 2 tbc ad alah salah satu penyakit... 4 13% 3 gejala demam yang berkepanjangan... 15 50% rata-r ata 15 51% berdasarkan tabel 6 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids yaitu kurang (51%). jumlah data di atas adalah rata-rata dari subvariabel tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids yang terdiri dari 3 pertannyaan. 208 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 204–211 berdasarkan tabel 7 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids yaitu baik (92%). jumlah data di atas adalah rata-rata dari subvariabel tentang upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids yang terdiri dari 3 pertanyaan. tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/ aids wilayah haji ungar rt.001/rw.iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatn bukit bestari tanjungpinang. pembahasan pengetahuan ibu rumah tangga tentang pengertian hiv/aids berdasarkan tabel 4 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang pengertian hiv/aids yaitu baik (97%). baiknya pengetahuan ibu rumah tangga tentang pengertian hiv/aids disebabkan karena faktor tingkat pendidikan dari ibu rumah tangga yang pendidikan terakhirnya adalah tingkat sma berjumlah 18 orang (60%), di mana sesuai dengan salah satu teori menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah tingkat pendidikan. menurut notoadmodjo (2010), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan antara lain adalah tingkat pendidikan yang di mana pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang tabel 7. distribusi frekuensi pengetahuan ibu rumah tangga tentang upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids tanjungpinang bulan juni 2014 sumber: data primer tahun 2014 no pertanyaan frekuensi persentase (%) 1 melakukan tes hiv sebaiknya... 27 90% 2 pergi ke pusat konsultasi aids adalah... 26 87% 3 berterus terang dan memiliki sikap ter buka... 30 100% rata-rata 27 92% berdasarkan tabel 8 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang pencegahan penularan infeksi hiv/aids yaitu baik (99%). jumlah data diatas adalah rata-rata dari subvariabel tentang pencegahan penularan infeksi hiv/ aids yang terdiri dari 3 pertanyaan. berdasarkan tabel 9 didapatkan data bahwa mayoritas pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids wilayah haji ungar rt.001/rw.iii kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari tanjungpinang adalah baik (86%). jumlah data di atas adalah rata-rata dari masingmasing subvariabel tentang pengetahuan ibu rumah tabel 8 . distribusi frekuensi pengetahuan ibu rumah tangga tentang pencegahan penularan infeksi hiv/aids di wilayah haji ungar rt. 01/rw. iii tanjungpinang bulan juni 2014 sumber: data primer tahun 2014 no pertanyaan frekuensi persentase (%) 1 hindari bergonta-ganti pasangan... 30 100% 2 kondom d apat mencegah pen yebaran... 29 97% 3 lebih berhati-hati memilih pasangan... 30 100% rata-rata 30 99% tabel 9. distribusi frekuensi pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/ aids di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang bulan juni 2014 sumber: data primer tahun 2014 no sub v ariabel frekuensi persentase (%) 1 pengertian infeksi hiv /aids 29 97% 2 penularan infeksi hiv /aids 27 91% 3 tanda dan gejala infeksi hiv/aids 15 51% 4 upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids 27 92% 5 pencegahan infeksi hiv /aids 30 99% rata-rata 86% 209pusparianda dan wamardhana, gambaran pengetahuan ibu rumah tangga ... kesehatan. pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan di mana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. pengetahuan ibu rumah tangga tentang penularan infeksi hiv/aids berdasarkan tabel 5 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang penularan infeksi hiv/aids yaitu baik (91%). hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu rumah tangga. pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids berdasarkan tabel 6 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids yaitu kurang (51%). hal ini dapat disebabkan oleh faktor informasi yang didapatkan terbatas, di mana sesuai dengan salah satu teori menyebutkan selain tingkat pendidikan faktor kurangnya informasi dapat mempengaruhi pengetahuan. menurut notoadmodjo (2010), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan antara lain adalah informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. majunya teknologi akan tersedia bermacammacam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. pengetahuan ibu rumah tangga tentang upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids berdasarkan tabel 7 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids yaitu baik (92%). hal ini dapat disebabkan oleh faktor pengalaman dan menjadi kebiasaan dalam menangani suatu penyakit, dimana ibu yang biasanya jika didapat tanda dan gejala dari suatu penyakit, maka ibu langsung memeriksakan tanda dan gejala dari suatu penyakit tersebut. sesuai dengan salah satu teori menyebutkan selain tingkat pendidikan dan informasi, pengalaman juga dapat mempengaruhi pengetahuan. menurut notoadmodjo (2010), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan antara lain adalah pengalaman. pengalaman sebagai sumber penagetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan menifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya. pengetahuan ibu rumah tangga tentang pencegahan penularan infeksi hiv/aids berdasarkan tabel 8 didapatkan data bahwa gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang pencegahan penularan infeksi hiv/aids yaitu baik (99%). hal ini dapat disebabkan oleh faktor sosial budaya di mana bagi ibu mencegah lebih baik dari pada mengobati. sesuai dengan teori, faktor sosial budaya juga dapat mempengaruhi pengetahuan. menurut notoadmodjo (2010), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan adalah faktor sosial budaya yaitu kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan memepengaruhi pengetahuan seseorang. 210 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 204–211 pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang berdasarkan hasil penelitian pada tabel 9 didapatkan data dari 30 responden bahwa pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/ rw.iii terhadap tanda dan gejala infeksi hiv/aids yaitu baik (86%). menurut budiman (2011), pengetahuan adalah pengenalan akan sesuatu, atau apa yang akan dipelajari. hal ini menunjukkan pengetahuan yang dimiliki ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii yaitu baik, dapat dikarenakan pengenalan yang baik terhadap permasalahan tersebut. tingkat pendidikan, pengalaman, ataupun sosial budaya yang baik terhadap permasalahan tersebut akan membuat ibu rumah tangga dapat mengenali masalah tersebut. menurut notoadmodjo (2012), pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekadar menjawab pertanyaan ”what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya. faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan antara lain tingkat pendidikan, informasi, budaya, pengalaman, dan sosial ekonomi. ibu rumah tangga yang berpengetahuan baik karena ibu rumah tangga tersebut memiliki pengetahuan dari pendidikan dan informasi tentang penyakit hiv/aids. sehingga mampu menjawab permasalahan mengenai pengertian hiv/ aids, penularan infeksi hiv/aids, tanda dan gejala infeksi hiv/aids, upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids, serta pencegahan terhadap penularan virus hiv/aids tersebut. menurut notoadmodjo (2010), pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). dengan sendirinya pada waktu penginderaan sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.hal ini menunjukkan pengetahuan yang dimiliki ibu rumah tangga dapat dikarenakan pengenalan ataupun penginder aan yang baik terhadap permasalahan tersebut. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dikemukakan makadapat disimpullkan bahwa: gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang pengertian hiv/aids yaitu baik (97%). hal ini disebabkan karena faktor tingkat pendidikan dari ibu rumah tangga yang terbanyak pendidikan terakhirnya adalah tingkat sma sebanyak 18 orang (60%). gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang penularan infeksi hiv/aids yaitu baik (91%). hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu rumah tangga. gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids yaitu kurang (51%). hal ini dapat disebabkan oleh faktor informasi yang didapatkan terbatas, dimana sesuai dengan salah satu teori menyebutkan selain tingkat pendidikan faktor kurangnya informasi dapat mempengaruhi pengetahuan. gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang upaya yang dilakukan bila mengalami tanda dan gejala aids yaitu baik (92%). hal ini dapat disebabkan oleh faktor pengalaman dan menjadi kebiasaan ibu dalam menangani suatu penyakit. gambaran pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/rw.iii tanjungpinang tentang pencegahan penularan infeksi hiv/aids yaitu baik (99%). hal ini dapat disebabkan oleh faktor sosial budaya dimana bagi ibu mencegah lebih baik dari pada mengobati. dari 30 responden didapat bahwa pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah haji ungar rt.001/ rw.iii terhadap tanda dan gejala infeksi hiv/ aidsdi wilayah haji ungar kelurahan tanjung ayun sakti kecamatan bukit bestari yaitu baik (86%). saran berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian saran yang dapat dipertimbangkan adalah: untuk ibu rumah tangga di wilayah haji ungar sebagai tempat penelitian, hasil penelitian ini disarankan untuk digunakan sebagai bahan kajian untuk meningkatkan pengetahuan guna meningkatkan kesehatan dan mencegah terjadinya penularan infeksi virus hiv/aids. untuk ibu rumah tangga disarankan untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan kesehatan terutama kesehatan mengenai sistem kekebalan tubuh. ibu juga disarankan untuk melakukan pengecekan kesehatan di fasilitas kesehatan yang tersedia. 211pusparianda dan wamardhana, gambaran pengetahuan ibu rumah tangga ... untuk puskesmas, disarankan untuk dapat meningkatkan pengetahuan ibu rumah tangga tentang tanda dan gejala infeksi hiv/aids guna meningkatkan pengetahuan ibu dan mencegah terjadinya penyebaran infeksi virus hiv/aids, serta agar ibu tau mengenai upaya apa yang akan dilakukan bila mengallami tanda dan gejala aids dengan cara promosi kesehatan. untuk penelitian lebih lanjut, penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya bagi penelitian lanjutan yang merupakan pengembangan dari penelitian ini. disarankan untuk dapat meneliti tentang gambaran sikap ibu rumah tangga tentang upaya pencegahan infeksi hiv/aids di rumah tangga. daftar rujukan hidayat, a.a.a. 2008. riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. jakarta: salemba medika. hutapea, r. 2011. aids & pms dan pemerkosaan. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2010. ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. _______. 2012. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. nursalam & dian, k. 2007. asuhan keperawatan pada hiv/aids. edisi1. jakarta: salemba medika. roidatunisa. 2009. ”peran world health organization (who) melalui global programme on aids dalam menangani kasus hiv/aids di indonesia”. [07/01/14]. wicaksana, j.f.p., & kusumawati, y. 2009. ”pengetahuan tentang hiv/aids dan voluntary counseling”. jurnal kedokteran indonesia vol.1/no.2. melalui h t t p: / / el i b. un i kom . a c . i d/ fi l es/ d i sk1/ 3 94/ jbptunikompp-gdl-roidatunis-19690-1-pdfroid8.pdf [07/01/14] widoyono, m.p.h. 2008. penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya. jakarta: penerbit erlangga. e:\ibuk\ners desember 2021\15- 315suprajitno, sri mugianti, questionnaire for children with autism syndrome disorder questionnaire for children with autism syndrome disorder suprajitno1, sri mugianti2 1,2nursing department, poltekkes kemenkes malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 21/09/2021 accepted, 20/11/2021 published, 15/12/2021 keywords: autism syndrome disorder (asd), questionnaire, family support, stimulation, ability article information abstract children with autism syndrome disorder (asd) have a developed mental condition like normal children in general. however, in indonesia there is no instrument to measure the achievement of the development of children with autism syndrome disorder. the purpose of this research resulted in a questionnaire used to measure institutional and family support, parental stimulation abilities, and the ability of children with autism syndrome disorder. the design used exploratory for developing of instruments. experts involved in the development of the instruments were psychologists, occupational therapists, speech therapists, pediatricians, autistic child behavioral therapy practitioners, and the institution of autism center of blitar city. the instrument development began with focus group discussion, instrument preparation, instrument trials, and analysis. the questionnaire trial was conducted on 40 parents and children with asd at the autism center of blitar city. the analysis was conducted sthrugh several steps namely the validity of the content and construct by experts, while the test of validity and reliability of the questionnaire used lisrel 8.50. valid and reliable questionnaires items on the institutional and family support were 21 questions, parents’ ability to stimulate as many as 17 questions, and the ability of children with autism syndrome disorder as many as 17 questions. the resulting questionnaire has a minimum gfi score of 0.88 and a cr of 0.78, so that the questionnaire can be used as a instrument on autism services. © 2021 journal of ners and midwifery 315 correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: suprajitno_skp@poltekkes-malang.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p315–320 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p315-320 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p315-320&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 316 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 315–320 introduction the number of children with autism syndrome disorder (asd) in indonesia has not been well recorded. children with asd in the world in 2014 were 1 in 68 children and increased by 15% to 1 in 59 children in 2018. meanwhile, who predicts 1 in 160 children (dirjen p2 penyakit kemkes ri, 2020). family as the first and the main place for children with autism syndrome disorder (suprajitno, 2017) has a role in knowing health problems and meeting the developmental needs of children. the developmental needs of children with autism syndrome disorder are less able to be met by parents because they do not know the support that needs to be provided, the stimulation skills that need to be had, and the development that the child has been through. the cause of parents does not do developmental stimulation because there was never a measurement tools of the development level of children with autism syndrome disorder. methods the design used exploratory for developing of the questionnaires. the development of question 1 institutional and family support 1 to 4 autism centre support 0.98 0.83 0.74 0.98 5 to 9 the family emotional support 0.92 0.78 0.65 0.92 10 to 15 the family informational support 0.96 0.88 0.83 0.96 16 to 21 the family instrumental support 0.88 0.93 0.91 0.88 2 parental stimulation 1 to 5 the parent stimulation of fine ability motoric ability for children with asd 0.96 0.79 0.67 0.96 6 to 9 the parent stimulation of socialization ability for children with asd 0.94 0.81 0.68 0.94 10 to 17 the parent stimulation of language ability for children with asd 0.75 0.91 0.89 0.75 3 ability of children 1 to 5 the fine motoric ability of children with asd with asd 0.96 0.81 0.72 0.95 6 to 11 the socialization ability of children with asd 0.86 0.85 0.78 0.86 12 to 17 the language ability of children with asd 0.85 0.87 0.81 0.85 gfi = goodness of fit index; asd = autism syndrome disorder table 1 the validity and composite reliability of sub-variable no. questioner number of item sub-variable validity composite reliability alpha cronbach gfi items involved experts, namely psychologists, occupational therapists, speech therapists, pediatricians, autistic child behavioral therapy practitioners, and the institution of autism center of blitar city. the development of the instruments was based on the book of bina anak autis di rumah (foster autistic children at home) (suprajitno & aida, 2017). the instrument development began with focus group discussion, instrument preparation, instrument trials, and analysis. the questionnaire trial was conducted on 40 parents and children with autism syndrome disorder at the autism center in blitar city. the questionnaire trials were conducted three times in june – september 2017. the questionnaire improvement was conducted twice based on the results of the trials that have been analyzed. the analysis was conducted namely the validity of the content and construct by experts, while the test of validity and reliability of the questionnaire using lisrel 8.50. result the confirmatory factor analysis results of questioner are listed in table 1 and questioner for measured (see appendix 1). 317suprajitno, sri mugianti, questionnaire for children with autism syndrome disorder discussion validity and reliability are the two most important and fundamental in the evaluation of measurement instrument or tools (forthofer et al., 2007; frost, 2019; mohaffyza mohamad et al., 2015). analysis of validity used pearson correlation and reliability used cronbach’s alpha (forthofer et al., 2007; frost, 2019). the purpose of testing the validity and reliability is to ensure that the questionnaire used is good for measuring the expected data. confirmatory factor analysis aims to confirm the indicators as a statement of the data collected (brown, 2015; long, 1992; thompson, 2004). the pearson coefficients between 0 and ± 0.30 show low, the coefficients between ± 0.31 and ± 0.70 indicate medium and the coefficients between ± 0.71 and ± 1 point out high relationships (shevlyakov & oja, 2016). meanwhile, the pearson coefficient and reliability if <0.67 show poor, 0.67 to 0.80 indicate fair, 0.81 – 0.90 indicate good, 0.91 – 0.94 indicate very good, and >0.94 indicate excellent (mohaffyza mohamad et al., 2015). the minimum value of validity 0.75 and reliability 0.65 (table 1). so statistically, the validity and reliability of indicators of the questionnaire are in the good – excellent category. the assessment of the question indicators in the questionnaire used confirmatory factor analysis together using lisrel. the aim is to confirm the suitability of the indicators with the theory used. the results of indicator confirmation with theory are seen from gfi results. goodness of fit index (gfi) is an index that describes the level of suitability of the overall model which is calculated from the squared residual of the predicted model compared to the actual data. the gfi value > 0.90 indicates that the tested model has a good fit (brown, 2015; long, 1992; thompson, 2004). even though the lowest gfi value (table 1) is 0.75, theoretically this indicator is needed, so it can still be used as a measurement indicator. the limitations of this instrument are not yet classifying the ability of parents and children with asd in a criterion. conclusion the minimum value of validity and reliability of the questionnaire is 0.75 and 0.65 in both categories so that it can be used to measure institutional and family support, parental stimulation ability, and the ability of children with asd. suggestion questionnaires can be used to assess the support of educational institutions for autistic children, the ability of parents to stimulate, and the ability of children with asd. it is hoped that the questionnaire can be developed as a predictive tool for the ability of children with asd. refference brown, t. a. (2015). confirmatory factor analysis for applied research. in the american statistician (second, vol. 62, issue 1). the guilford press. https:/ /doi.org/10.1198/tas.2008.s98 dirjen p2 penyakit kemkes ri. (2020). hari peduli autisme sedunia/ : pentingnya pendampingan dan edukasi bagi anak gangguan spektrum autisme ditengah pandemi covid-19. http:// p2p.kemkes.go.id/hari-peduli-autisme-seduniapentingnya-pendampingan-dan-edukasi-bagi-anakgangguan-spektrum-autisme-ditengah-pandemicovid-19/ forthofer, r. n., lee, e. s., & hernandez, m. (2007). biostatistics: analysis, and to design, a guide disc ov e ry . el sevi er. h t t p: / / li br a ry. l ol / m ai n / 5eb8824580e860997136da1c7c215afc frost, j. (2019). introduction to statistics. statistics by jim publishing. https://statisticsbyjim.com/basics/ correlations/ long, j. s. (1992). confirmatory factor analysis: a preface to lisrel. quantitative applications in the social sciences. sage publications. mohaffyza mohamad, m., lisa sulaiman, n., chee sern, l., & mohd salleh, k. (2015). measuring the validity and reliability of research instruments. 4th world congress on technical and vocational education and training (woctvet), 5th–6th november 2014, malaysia, 204, 164–171. https://doi.org/ 10.1016/j.sbspro.2015.08.129 shevlyakov, g. l., & oja, h. (2016). robust correlation theory and applications. john wiley & sons, ltd. h t t p : / / l i b r a r y . l o l / m a i n / 0da2cf00e440f37f50cd9d831ed70f53 suprajitno. (2017). effect of family empowerment in enhancing the capabilities of children with autism. belitung nursing journal, 3(5), 533–540. https:// doi.org/10.33546/bnj.113 suprajitno, & aida, r. (2017). bina aktivitas anak autis di rumah/ : panduan bagi orang tua. media nusa crea t ive. h t t p: / / mn cpubl i sh i n g. com/ bookdetail.php?id=000095 thompson, b. (2004). exploratory and confirmatory factor analysis: understanding concepts and applications. in acta geophysica (first, vol. 58, issue 4). american psychological association. 318 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 315–320 appendix 1: questionnaire 1. questionnaire to measure of family perception about the institutional and family support 1 i got an explanation about my child’s education program plan at the autism center 2 i got information from the autism center about my child’s education activities next week 3 i got an explanation of my child’s last ability after being given therapy at autism center 4 i got a chance to ask about my child’s development 5 my family feels responsible for education 6 my family protects the child while at home and playing 7 my family explains to other families that my child’s condition is not a disease 8 my family is encouraging during the upbringing if anyone is sad about the state of the child 9 my family remembers the education program needs to be done according to plan 10 my family provides corrections about the actions that have been done to the child 11 my family is looking for information on how to educate a child 12 my family gives examples of ways to improve the ability of a child 13 my family creates a comfortable environment for a child 14 my family provides a book that matches the child’s condition 15 my family provides information on places of education for a child other than the autism centre 16 my family asked about the educational needs of children 17 my family provided about the educational needs of children 18 my family maintains the educational tools of children 19 my family uses well the educational tools needed by the child 20 my family maintains the educational tools that children need 21 my family is repairing the educational tools of children no. how to fill in: put a check () on the column that you feel best represents your answer. statements that is felt never ever often very often 319suprajitno, sri mugianti, questionnaire for children with autism syndrome disorder 2. questionnaire to measure of the parental stimulation ability how to fill in: put a check () on the column that you feel best represents your answer. 1 crawling under a cloth tunnel 2 manipulating face in front of the mirror 3 touching and holding objects round or box 4 colouring the image using a dye 5 singing a song that his/her favourite 6 lending a favourite toy to the child’s friends 7 following orders given by the child or others 8 engaging other children to play the same 9 imitates or modifies the movements of other children 10 giving simple reading material 11 giving simple calculating materials 12 asking the child to write the name of their parents and sister/brother 13 asking the child to write the name of a playmate or someone familiar 14 asking children to write good free sentences 15 asking the child to sing the child’s song 16 asking the child to imitate the song being heard 17 asking the child to concentrate on watching television no. statements that is felt cannot needs help can skillful 320 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 315–320 1 hand in hand with children or adults for at least 5 minutes 2 imitating the highlighted halos on the wall 3 following the direction of the highlighted light on the wall 4 blowing balloon bubbles made of soapy water 5 concentrates when getting orders until the command is finished 6 sharing toys that are desired by a child’s friend 7 sharing food with children nearby 8 invites other children to follow the game 9 does activities by following the orders of other children who are considered leaders 10 helping other children who carry out activities 11 reports the ability of yourself or another child 12 mentions the names of father, mother, and siblings 13 mentions a friend’s name, of at least 5 people 14 mentions a minimum of 10 consecutive letters 15 mentions a minimum of 8 consecutive numbers 16 writes sentences according to the example 17 reads sentences according to examples 3. questionnaire to measure ability of the children with asd how to fill in: put a check () on the column that you feel best represents your answer. no. statements that is felt cannot needs help skillful e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 84 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 84–91 84 perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paud di desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar (differences in the level of development of children aged 3–4 years who do not follow play activities and the children who following play activities in paud the village district of kanigoro jatinom blitar) rizkianna nur wirian, ika agustina stikes patria husada blitar e-mail: ikapatria45@gmail.com abstract: children in early childhood requires a variety of services and assistance adults, from physical to spiritual needs. the purpose of this study was to determine differences in the level of development of children aged 3–4 years who do not follow play activities and the children who following play activities in paud the village district of kanigoro jatinom blitar. method: this type of research is comparative study with a cross sectional study design. samples were taken using a sampling technique with a purposive sampling. the collection of data by using kpsp, the statistical test using the mann whitney test with spss with significance level  = 0.05. result: the result of the research showed that the development of children aged 3–4 years who following activities almost entirely 17 (89%) age-appropriate development. while that does not follow the activity of 8 paud almost half (42%) doubted its development. statistical test results obtained pvalue = 0.029. in which the service is directed to facilitate growth as a proper foundation for the growth and development of the whole person, so that the child can grow and develop optimally fit values , norms, and expectations of society. keywords: development, play activity, children aged 3–4 years abstrak: anak-anak di usia dini memerlukan berbagai layanan dan orang dewasa bantuan, dari fisik kebutuhan rohani. tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paud di desa kanigoro dari jatinom blitar. metode: jenis penelitian adalah studi banding dengan desain studi cross sectional. sampel diambil dengan menggunakan teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling. pengumpulan data dengan menggunakan kpsp, uji statistik menggunakan uji mann whitney dengan spss dengan tingkat signifikansi  = 0,05. hasil: hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan anak usia 3–4 tahun yang mengikuti kegiatan hampir seluruhnya 17 (89%) yang sesuai dengan usia perkembangan. sementara yang tidak mengikuti aktivitas paud 8 hampir setengah (42%) meragukan perkembangannya. hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.029. di mana layanan ini diarahkan untuk memfasilitasi pertumbuhan sebagai dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal nilai fit, norma, dan harapan masyarakat. kata kunci: perkembangan, aktivitas bermain, anak usia 3–4 tahun perkembangan merupakan bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur sebagai hasil dari proses pematangan. di sini menyangkut adanya acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p084-091 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 85wirian, perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun ... proses diferensi sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. dalam hal ini aspek perkembangan menyangkut motorik halus, motorik kasar, bahasa maupun sosial. anak usia dini (aud) merupakan kelompok usia yang berada dalam proses perkembangan unik, karena proses perkembangannya (tumbuh dan kembang) terjadi bersama dengan golden age (masa peka). golden age merupakan waktu paling tepat untuk memberikan bekal yang kuat kepada anak. pada masa peka, kecepatan perkembangan otak anak selama hidupnya. artinya, golden age merupakan masa yang sangat tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyak-banyaknya. anak-anak pada masa usia dini memerlukan berbagai layanan dan bantuan orang dewasa, dari kebutuhan jasmani sampai rohani. di mana bentuk layanan tersebut diarahkan untuk memfasilitasi pertumbuhan sebagai peletakan dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, sehingga anak dapat tumbuh kembang secara optimal sesuai nilai, norma, serta harapan masyarakat. dalam upaya mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki anak usia dini yang berdasarkan prinsip paud, seharusnya setiap pendidikan anak usia dini (paud) memahami setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan karena segenap upaya yang dilakukannya harus berdasarkan pada tahapan tumbuh kembang anak agar mencapai hasil yang optimal. berdasarkan data di departemen kesehatan ri tahun 2010 jumlah anak usia dini (0–4 tahun) di indonesia mencapai 23 juta, sedangkan pada tahun 2011 mencapai 23.009.874 dan pada tahun 2012 di perkirakan 23.352.721. jumlah tersebut menunjukan jumlah anak usia dini mengalami peningkatan yang signifikan setiap tahunnya dan membutuhkan bimbingan untuk mencapai perkembangan yang optimal. di jawa timur jumlah anak usia 0-6 tahun di perkirakan sekitar 4.708.453, dan sebesar 3.596.988 merupakan siswa paud, di dapatkan angka partisipasi kasar (apk paud) sebesar 76,39%. jumlah balita di kabupaten blitar tahun 2008 diperkirakan sebanyak 15.393 anak, didapatkan 7,696 (50,23%) anak usia dini belum mendapat pendidikan 5% diantaranya mengalami retardasi mental dan kemunduran kecerdasan. berdasarkan fenomena yang ada di paud aisyiah bustanul atfal desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar saat melakukan studi pendahuluan di bulan juli 2014 bahwa perkembangan anak yang mengikuti aktifitas bermain di paud dari 8 anak, 6 (75%) lebih bisa mandiri, disiplin, dan dari segi motorik halus, bahasa dan sosial sudah baik, sedangkan yang tidak mengkuti aktifitas bermain di paud dari 6 anak, 4 (66%) belum mandiri, motorik halus, bahasa dan sosial masih belum baik dan perlu banyak bimbingan dan arahan. hal ini karena aktifitas bermain di paud sudah di atur dan diawasi oleh guru, sedangkan yang tidak mengikuti aktifitas bermain di paud, mereka melakukan aktifitasnya sesuai dengan keinginannya tanpa di program, di atur atau tanpa perhatian khusus dari orang tua. bukti lain dapat dilihat dari peneliti terdahulu tentang motorik anak yang menyatakan sel otak dibentuk berdasarkan stimulasi dari luar. hal ini dibuktikan dengan menilai perkembangan motorik anak terutama usia 3 tahun. anak yang diberi rangsangan dini tentang perkembangan motorik kecerdasan mempunyai 10–20 point lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak pernah mendapatkan stimulasi. banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak. faktor tersebut diantaranya adalah hereditas, genetis, keturunan dan lingkungan (neny, 2005). sumber lain menjelaskan faktor yang mempengaruhi perkembangan anak yaitu faktor dalam (keturunan) dan faktor luar (lingkungan). dalam hal ini paud termasuk faktor lingkungan yakni lingkungan belajar, dimana anak mendapatkan stimulasi dari pendidik maupun temannya. secara konsep, pendidikan usia dini ditujukan kepada anak sejak lahir sampai 6 tahun melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. anak yang mengikuti pendidikan paud akan mendapatkan rangsangan atau stimulasi dari pendidik secara lebih baik sehingga dapat berkembang optimal. untuk itu berbagai upaya dilakukan orang tua, termasuk memasukkan anaknya sejak usia dini ikut program pendidikan yang dikenal dengan paud. melalui sistem ini harapannya anak dapat berkembang lebih baik karena mendapatkan stimulasi dini secara profesional dari pendidik dibandingkan jika anak tinggal di rumah. asumsinya anak yang ikut 86 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 84–91 paud mendapatkan stimulasi dini lebih baik dibandingkan anak yang tinggal di rumah. namun demikian belum tentu perbedaan tersebut bermakna karena memang ada faktor lain yang ikut mempengaruhi perkembangan motorik halus. jika hasilnya benar-benar menjukkan perbedaan yang bermakna, maka strategi paud dapat dipakai sebagai salah satu metode stimulasi dini perkembangan pada anak. berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paud di desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar. rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paud di desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar. tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paudmanfaat teoritis penelitian ini adalah dapat menambah khasanah keilmuan terkait dengan tingkat perkembangan anak yang mengikuti yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain di paud. manfaat praktis penelitian ini adalah dapat menambah dan wawasan tentang kecerdasan anak, serta dapat meningkatkan pengetahuan pemahaman dan pengalaman peneliti dalam memantapkan ilmu yang diterima selama perkuliahan agar penliti menjadi tenaga kesehatan yang aplikasinya profesional baik teori maupun praktek. metode penelitian desain dalam penelitian ini adalah comparative study. dengan pendekatan cross sectional. subyek penelitian ini adalah anak usia 3–4 tahun sebanyak 38 anak (19 anak di paud aisyiah bustanul atfal dan19 anak yang tidak mengikuti paud) yang dilaksanakan pada tanggal 21–23 agustus tahun 2014. subyek penelitian ini dipilih secara purposive sampling. setelah data terkumpul, maka dilakukan analisa data dan selanjutnya dilakukan uji statistik menggunakan uji wilcoxon. hasil penelitian data umum tabel 1. karakteristik responden tingkat perkembangan anak yang mengikuti aktifitas bermain di paud karakteristik f % umur ibu < 20 tahun 20-35 ahun >35 tahun 1 4 3 0 79 21 pendidikan smp smu pend. tingg i 0 14 5 0 74 26 pekerjaan irt wiraswasta peg. swasta pns tani 5 9 1 4 0 26 48 5 21 0 jumlah anak 1 2 3 4 13 4 1 1 69 21 5 5 pengasuhan ibu nenek 2 19 89 11 umur 36-42 bulan 43-48 bulan 11 8 58 42 jenis kelamin laki-laki perempuan 13 6 68 32 data khusus berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden 17 (89 %) perkembangannya sesuai dengan usia. berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden 8 (42%) perkembangannya meragukan. berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden 17 (89%) yang mengikuti aktifitas paud perkembangannya sesuai dengan usia dan sebagian besar responden yang tidak mengikuti aktifitas paud 11 (58%) perkembangannya sesuai dengan usia. 87wirian, perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun ... berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan uji mann whitney didapatkan pvalue = 0,029. karena pvalue (0.029) <  0.05 maka ada perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paud di desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar. pembahasan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang mengikuti aktifitas paud di desa jatinom kanigoro blitar hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden 17 (89%) perkembangannya sesuai dengan usia, dan 2 (11%) dengan perkembangan meragukan. perkembangan merupakan perubahan mental yang berlangsung secara bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap, dan tingkah laku. tumbuh kembang masing masing anak berbeda tergantung faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara perawatan), dan konvergensi yaitu perpaduan antara bakat dan lingkungan (susanto, 2011). kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan anak dibangun berdasakan pada apa yang sebelumnya telah diperolehnya, meskipun terdapat berbagai variasi perkembangan anak sesuai kultur budaya setempat namun secara umum urutan perkembangan tersebut mengikuti pola dan urutan tertentu yang dapat diperkirakan. dengan demikian perkembangan merupakan proses yang berkesinambungan di mana pengalaman belajar dan ketercapaiannya tugas perkembangan pada suatu periode akan mendasari proses perkembangan berikutnya. tabel 2. karakteristik responden tingkat perkembangan anak yang tidak mengikuti aktifitas bermain di paud no karakteristik f % 1 umur ibu < 20 tahun 20-35 ahun >35 tahun 1 15 3 5 79 16 2 pendidikan smp smu pend. tinggi 14 5 74 26 3 pekerjaan irt wiraswasta peg. swasta pns tani 10 6 0 0 3 53 31 0 0 16 4 jumlah anak 1 2 3 4 7 6 3 3 36 32 16 16 5 pengasuhan ibu nenek 15 4 79 21 6 umur 36-42 bulan 43-48 bulan 12 7 63 37 7 jenis kelamin lakilaki perempuan 9 10 48 52 tabel 3. distribusi frekuensi perkembangan anak usia 3–4 tahun yang mengikuti aktifitas paud no perkembangan frekuensi % 1 sesuai 17 89 2 meragukan 2 11 3 penyimpangan 0 0 tabel 4. distribusi frekuensi perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas paud no perkembangan frekuensi % 1 sesuai 11 5 8 2 meragukan 8 4 2 3 penyimpangan 0 0 tabel 5. distribusi frekuensi perbedaan perkembangan anak usia 3–4 tahun yang mengikuti aktifitas paud dan tidak mengikuti aktifitas paud no ak titas paud per ke mb angan s esu ai m erag uka n pe yimpa ngan f % f % f % 1 mengikuti 17 89 2 11 0 0 2 tidak mengikuti 11 58 8 42 0 0 88 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 84–91 pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada keletakan dasar ke beberapa arah sebagai berikut: 1) pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), 2) kecerdasan (daya fikir, daya cipta, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual), 3) sosioemosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, yang disesuaikan dengan keunikan dan tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. sistem lingkungan sosial yang terdiri dari 2 atau lebih sistem mikro seperti interaksi antar keluarga (interfamily interaction), interaksi antar sekolah (interschool interaction), interaksi antar kelompok teman sebaya (peer group interaction). seorang anak yang dapat menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru di sekolah, cenderung akan merasa puas, percaya diri, bangga dan mengembangkan kepribadian yang positif, dibandingkan dengan anak yang gagal dalam menyelesaikan tugas pekerjaan rumah. sistem lingkungan sosial tidak langsung memberi pengaruh perkembangan anak. sistem ini antara lain terdiri dari tempat kerja orang tua, jaringan sosial orang tua (parents social network). seorang ibu yang bekerja yang hanya memperoleh kesempatan cuti dalam waktu singkat, cenderung memberi perhatian terhadap anak-anaknya secara penuh pada hari-hari libur saja. hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang mengikuti aktifitas bermain paud hampir seluruhnya perkembangannya sesuai dengan usia. menurut kartono (2004), bahwa perkembangan motorik kasar anak usia 3–4 tahun yaitu berdiri satu kaki dua detik sampai lima detik dan melompat dengan satu kaki, sedangkan motorik halus yaitu menggoyangkan ibu jari, memilih garis yang lebih panjang, mencontoh lingkaran, mencontoh + dan menggambar orang 3 bagian. perkembangan bahasa yaitu sudah tahu tentang nama-nama binatang, menyebutkan nama benda yang di lihat di buku, mengenal warna, bisa mengulang empat digit angka, bisa mengulang kata dengan empat suku kata dan suka mengulang kata, frasa, suku kata, bunyi. sedangkan perkembangan sosial anak yaitu mengembangkan sikap percaya terhadap orang lain, mengembangkan pemahaman tentang tingkah laku sosial, belajar menyesuaikan perilaku dengan tuntutan lingkungan, belajar memahami pandangan orang lain dan merespon harapan atau pendapat mereka secara selektif dan memiliki pemahaman untuk mengatur diri dan memahami kriteria untuk menilai penampilan atau perilaku sendiri. perkembangannya anak usia 3–4 tahun sudah sesuai dengan usianya, hal ini karena usia 3–4 tahun termasuk usia kelompok bermain, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah untuk menerima segala permainan, dalam hal ini bergantung pada bantuan ibu maupun gurunya. dalam pendidikan paud pada usia 3–4 tahun ini anak sudah di ajarkan melakukan permainan yang bervariasi untuk mencegah kebosanan, memberikan sesuatu yang baru untuk melatih dan merangsang prekembangan anak. anakanak yang mengikuti paud menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal. ibarat jalan masuk menuju pendidikan dasar paud memuluskan jalan masuk pendidikan dasar. konsep bermain sambil belajar sambil bermain pada paud merupakan pondasi yang mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam. komponen yang diakses meliputi seluruh aspek perkembangan anak. di samping itu faktor pendidikan ibu juga berperan penting dalam memberikan arahan dan pola perkembangan anak, di mana pendidikan ibu dengan anak yang tidak mengikuti aktifitas paud sebagian besar 14 (74%) berpendidikan smu. menurut notoatmodjo (2007), tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula pengetahuannya. dengan pendidikan yang sebagian besar sekolah menengah atas maka akses informasi dan pola fikir ibu dalam menerapkan pola asuh dalam mencapai perkembangan anak yang optimal akan lebih mudah tercapai. selain faktor pendidikan, faktor pengasuhan orang tua juga sangat membantu anak dalam mencapai pertumbuhan yang optimal, dimana anak yang mengikuti aktifitas paud hampir seluruhnya 17 (89%) di asuh oleh ibu. menurut harlock (2007), pola asuh yang baik akan menghasilkan karekteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan temannya dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru. pola asuh yang baik membantu anak untuk dapat mengembangkan diri berdasarkan kemampuannya. dengan di asuh oleh ibu maka seorang ibu akan mengikuti perkembangan anak setiap saat, pencapaian dan informasi hasil perkembangan anak di paud akan ditindak lanjuti oleh ibu di rumah, anak akan lebih ekspresif 89wirian, perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun ... dan eksploratif manakala diasuh oleh ibunya, sehingga membuatnya komunikasi antara ibu dan guru paud akan lebih terarah, saling memberikan evaluasi hasil pencapaian perkembangan anak baik di rumah maupun di sekolah paud. sedangkan hasil penelitian sebagian kecil (11%) perkembangan anak meragukan, hali ini karena setiap perkembangan anak antara yang satu dengan yang lainnya memang berbeda. kalau dikaitkan dengan karakteristik responden dimana sebagian besar 11 (58%) berusia 3–4 tahun artinya pada usia tersebut sebagian besar anak masih belum bisa sepenuhnya berinteraksi dengan orang lain sehingga pola perkembangan anak menjadi kurang baik apalagi anak-anak yang seringkali dimanjakan oleh orang tua. dengan anak yang usia 3 tahun ke khawatiran orang tua sangat tinggi bila anak melakukan permainan yang mempunyai resiko jatuh dan orang tua cenderung memarahi, sehingga hal ini akan membuat anak menjadi kurang berkembang dan kurang kreatifitas. selain faktor usia jenis kelamin juga berkonstribusi terhadap perkembangan anak, di mana terdapat 32% anak dengan jenis kelamin perempuan. anak perempuan cenderung lebih kurang berani dalam berinteraksi dengan orang lain, dalam permainan yang jenisnya permainan motorik, sehingga kecenderungan akan lebih lambat dibanding dengan anak laki-laki. anak laki-laki cenderung lebih agresif dan ekspr esif dalam perma inan yang meliba tkan motorik. tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas paud di desa jatinom kanigoro blitar hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengahnya responden 8 (42%) perkembangannya meragukan. perkembangan merupakan perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (yusuf, 2011). kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan anak di bangun berdasakan pada apa yang sebelumnya telah diperolehnya, meskipun terdapat berbagai variasi perkembangan anak sesuai kultur budaya setempat namun secara umum urutan perkembangan tersebut mengikuti pola dan urutan tertentu yang dapat diperkirakan. dengan demikian perkembangan merupakan proses yang berkesinambungan di mana pengalaman belajar dan ketercapaiannya tugas perkembangan pada suatu periode akan mendasari proses perkembangan berikutnya. perkembangan seseorang amat ditentukan oleh faktor lingkungannya. lingkungan memiliki peran besar bagi perubahan yang positif maupun negatif pada individu. hal ini tergantung bagaimana karateristik lingkungan itu sendiri. lingkungan yang baik tentu membawa pengaruh positif bagi individu, sebaliknya lingkungan yang kurang baik, rusak dan buruk cenderung akan memperburuk perkembangan individu. dan faktor lingkungan tersebut bersifat stratifikasi berlapis-lapis dari yang terdekat sampai terjauh, yaitu sebagai suatu sistem mikro (microsystem), sistem meso (mesosystem), sistem ekso (exosystem), sistem makro (macrosystem) dan sistem krono (kronosystem). hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang tidak mengikuti aktifitas bermain paud sebagian besar perkembangannya meragukan. menurut kartono (2004), bahwa perkembangan motorik kasar anak usia 3–4 tahun yaitu berdiri satu kaki dua detik sampai lima detik dan melompat dengan satu kaki, sedangkan motorik halus yaitu menggoyangkan ibu jari, memilih garis yang lebih panjang, mencontoh lingkaran, mencontoh + dan menggambar orang 3 bagian. perkembangan bahasa yaitu sudah tahu tentang nama-nama binatang, menyebutkan nama benda yang dilihat di buku, mengenal warna, bisa mengulang empat digit angka, bisa mengulang kata dengan empat suku kata dan suka mengulang kata, frasa, suku kata, bunyi. sedangkan perkembangan sosial anak yaitu mengembangkan sikap percaya terhadap orang lain, mengembangkan pemahaman tentang tingkah laku sosial, belajar menyesuaikan perilaku dengan tuntutan lingkungan, belajar memahami pandangan orang lain dan merespon harapan atau pendapat mereka secara selektif dan memiliki pemahaman untuk mengatur diri dan memahami kriteria untuk menilai penampilan atau perilaku sendiri. perkembangan anak yang tidak mengikuti aktifitas bermain paud sebagian besar perkembangannya meragukan, hal ini karena anak yang tidak mengikuti aktifitas bermain paud kurang ada stimulasi perkembangan yang memberikan arah dan bimbingan untuk mencapai perkembangan yang optimal. kecenderungan aktifitas yang dikerjakan anak berdasarkan dunianya sendiri tanpa ada program yang terstruktur yang mampu menjembatani 90 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 84–91 anak untuk bermain dan bereksplorasi, akibatnya perkembangan yang berjalan jauh dari apa yang diharapkan untuk menjadi anak yang benar-benar berkualitas. di samping itu faktor pendidikan ibu juga berperan penting dalam memberikan arahan dan pola perkembangan anak, dimana pendidikan ibu dengan anak yang tidak mengikuti aktifitas paud hampir setengahnya 26% berpendidikan smp. menurut notoatmodjo (2007), tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula pengetahuannya. dengan pendidikan smp maka kemampuan ibu untuk menganalisis informasi dan menerapkan pola asuh dalam mencapai perkembangan anak yang optimal akan sulit tercapai, kemampuan mengenal dan evaluasi terhadap perkembangan anak akan sulit terwujud sehingga berakibat pada berbagai macam hambatan pada perkembangan anak. selain faktor pendidikan, faktor pengasuhan orang tua juga sangat membantu anak dalam mencapai pertumbuhan yang optimal, dimana anak yang mengikuti aktifitas paud hampir seluruhnya 79% di asuh oleh ibu. menurut harlock (2007), pola asuh yang baik akan menghasilkan karekteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan temannya dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru. pola asuh yang baik membantu anak untuk dapat mengembangkan diri berdasarkan kemampuannya. walaupun di asuh oleh ibu tetapi karakteristik ibu yang kurang mendukung maka akan sulit mencapai perkembangan yang optimal, karena pada hakikatnya perkembangan anak sangat di pengaruhi oleh factor lingkungan, semakin berkualitas lingkungan yang mendukungnya, maka akan di ikuti oleh perkembangan anak yang lebih baik. semua factor tersebut memberikan konstribusi penting dalam perkembangan anak saat ini. perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas dan yang mengikuti aktifitas paud di desa jatinom kanigoro blitar hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden 17 (89%) yang mengikuti aktifitas paud perkembangannya sesuai dengan usia dan hampir setengahnya responden yang tidak mengikuti aktifitas paud 8 (42%) perkembangannya meragukan. berdasarkan hasil uji statistic dengan menggunakan uji mann whitney didapatkan pvalue = 0,029. karena pvalue (0.029)<  0.05 maka ada perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paud di desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar tahun 2014. pendidikan usia dini merupakan upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak lahir sampai usia 6 tahun yang dilakukan dengan memberi rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut. perkembangan merupakan perubahan mental yang berlangsung secara bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap, dan tingkah laku. tumbuh kembang masing masing anak berbeda tergantung faktor bakat (genetic), lingkungan (gizi dan cara perawatan), dan konvergensi (perpaduan antara bakat dan lingkungan) (susanto, 2011). kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan anak dibangun berdasakan pada apa yang sebelumnya telah diperolehnya, meskipun terdapat berbagai variasi perkembangan anak sesuai kultur budaya setempat namun secara umum urutan perkembangan tersebut mengikuti pola dan urutan tertentu yang dapat diperkirakan. dengan demikian perkembangan merupakan proses yang berkesinambungan dimana pengalaman belajar dan ketercapaiannya tugas perkembangan pada suatu periode akan mendasari proses perkembangan berikutnya. hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun yang tidak mengikuti aktifitas bermain dan yang mengikuti aktifitas bermain paud di desa jatinom kecamatan kanigoro kabupaten blitar tahun 2014. hal ini di sebabkan karena anak yang mengikuti aktifitas bermain paud dititik beratkan pada keletakan dasar ke beberapa arah sebagai berikut: 1) pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), 2) kecerdasan (daya fikir, daya cipta, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual), 3) sosioemosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, yang disesuaikan dengan keunikan dan tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. hal inilah yang membedakan keterarahan anak yang mengikuti dan tidak mengikuti aktifitas paud, tentunya hasil perkembangan 91wirian, perbedaan tingkat perkembangan anak usia 3–4 tahun ... yang di capai anak akan berbeda pula. anak yang tidak mengikuti aktifitas bermain paud kurang ada stimulasi perkembangan yang memberikan arah dan bimbingan untuk mencapai perkembangan yang optimal. kecenderungan aktifitas yang dikerjakan anak berdasarkan dunianya sendiri tanpa ada program yang terstruktur yang mampu menjembatani anak untuk bermain dan bereksplorasi, akibatnya perkembangan yang berjalan jauh dari apa yang diharapkan untuk menjadi anak yang benar-benar berkualitas. simpulan dan saran simpulan hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan anak usia 3–4 tahun yang mengikuti kegiatan hampir seluruhnya 17 (89%) yang sesuai dengan usia perkembangan. sementara yang tidak mengikuti aktivitas paud 8 hampir setengah (42%) meragukan perkembangannya. hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0.029. saran bagi profesi kesehatan khususnya kebidanan hendaknya lebih giat dan aktif dalam memberikan penyuluhan, informasi, dan edukasi tentang deteksi perkembangan anak di lingkungan paud secara berkala yang sesuai kebutuhan. diharapkan pendidikan paud terus mengembangkan variasi permainan dan pembelajaran untuk menstimulasi perkembangan anak sedini mungkin agar anak bisa berkembang secara optimal sehingga bisa menjadi anak yang kerkualitas. daftar rujukan hurl ock. 2007. psik ol ogi pe rk embangan,suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. jakarta: erlangga kartono, k. 2004. psikologi anak. bandung: mondar maju. neny. 2005. perkembangan motorik anak taman kanak-kanak. jakarta: puspa swara. notoatmodjo, s. 2005. metodologi penelitian. jakarta: rineka cipta. susanto, a. 2011. perkembangan anak usia dini. jakarta: kencana prenada media groub. yusuf. 2011. psikologi perkembangan anak dan remaja. bandung: pt remaja rosda karya offset. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 193sumiatun, stress pada kehamilan meningkatkan kadar glukosa ... 193 stress pada kehamilan meningkatkan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii di bps widya husada malang (stress in gestation increase blood glucose of pregnant’s mother in 3rd trimester at bps widya husada malang) sumiatun, eny triwahyuningsih program studi d3 kebidanan, stikes maharani malang email: sumiatunsudemba@gmail.com abstract: a stressful pregnant mother were filled with feeling in giving birth and her responsibility as a mother. besides, the fear of a giving abnormal delivery and die can cause a heavy stress. the purpose of this study was to identify the correlations of stress and an increased blood glucose of pregnant’s mother in third trimester. this research used correlation analytic design, the population consisted of 95 pregnant’s mother in third trimester at bidan praktek swasta ”widya husada”. the sample consisted of 40 respondents which is choosed by purposive sampling. the method of this study was filled scal scale and blood glucose measured. statistic data analysis was conducted by spearman rank and testing t. the result of this study showed that ”thitung 6,47 > ttabel 1,96”, so h1 was acceptable. it means there was a correlation between stress and the increase of blood glucose of a pregnant’s mother in third trimester. findings suggested that a pregnant’s mother who has stress will increase the blood glucose that cause death baby, so a pregnant’s mother must be concern with her physical conditions. keywords: stress, blood glucose of pregnant’s mother in 3rd trimester abstrak: ibu hamil yang mengalami stress dipenuhi oleh pikiran dan perasaan mengenai persalinan dan tanggung jawab sebagai ibu. selain itu, ketakutan akan melahirkan bayi yang tidak normal atau meninggal dunia bisa menyebabkan stress berat. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan stress dengan peningkatan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii. penelitian ini menggunakan desain analtik korelasi, dengan jumlah populasi 95 semua ibu hamil trimester iii di bps ”widya husada”. dengan sampel 40 responden yang diambil secara purposive sampling. metode pengumpulan data dilakukan dengan pengisian skala scal dan pengukuran kadar glukosa. uji statistik yang dipergunakan adalah uji spearman rank kemudian dilanjutkan dengan uji t. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa thitung 6,47 > ttabel 1,96 artinya h1 diterima berarti ada hubungan stress dengan peningkatan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii. dengan demikian, setiap ibu hamil yang mengalami stress akan terjadi peningkatan kadar glukosa yang akan mempengaruhi janin seperti bayi lahir iufd sehingga ibu hamil yang mengalami stress harus benar-benar diperhatikan keadaan fisik dan janinnya. kata kunci: stress, kadar glukosa ibu hamil trimester iii suatu kehamilan dimulai dari adanya ovum dan sperma yang akan mengalami pembuahan yaitu merupakan suatu peristiwa penyatuan antara sel sperma dan sel telur di tuba falopii atau disebut juga konsepsi. hasil konsepsi ini akan tertanam ke dalam endometrium, peristiwa ini disebut nidasi (implantasi). dan hasil konsepsi ini akan berkembang terus di dalam rahim menjadi janin. (sarwono, 2002). pada ibu hamil terjadi perubahan fisik dan emosional serta perubahan sosial dalam keluarga. ibu harus dapat beradaptasi dengan perubahannya dan tentu saja dukungan dari keluarga dan tenaga kesehatan sangat diperlukan terutama untuk mengatasi masalah yang muncul. pada kehamilan trimester iii (6–9 bulan kehamilan), saat ini kehidupan psikologis dan emosional acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p193-196 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 193–196 ibu hamil dipenuhi oleh pikiran dan perasaan mengenai persalinan dan tanggung jawab menjadi ibu. biasanya kecemasan bercampur aduk dengan kekhawatiran mengenai bayi yang akan dilahirkannya, serta mengkhawatirkan anak-anaknya yang lain jika tejadi sesuatu saat melahirkan. (solihah, lutfiatus, 2002). pada tahap ini, ibu hamil juga akan dipenuhi oleh mimpi serta bayangan-bayangan mengenai seperti apakah bayi yang akan lahir ini. kebanyakan ibu hamil dilanda kecemasan tentang apakah bayinya sehat atau tidak. selain itu ketakutan akan melahirkan bayi yang tidak normal atau meninggal dunia bisa menyebabkan stress berat (nolan, mary. 2003) saat ibu hamil tersebut mengalami stres, jalur neural dan neuroendokrin di bawah kontrol hipotalamus akan diaktifkan dalam respon stres. sistem saraf simpatis akan menstimulasi medula kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. aksi hormon tersebut mirip dengan yang ada pada sistem saraf simpatik dan mempunyai efek memperlambat dan memperlama aksinya. epinefrin dan norepinefrin juga menstimulasi sistim saraf dan menghasilkan efek metabolik yang akan meningkatkan kadar glukosa darah dan laju metabolisme. (murray, 2003) dalam studi baru, dr. loeken menemukan bahwa ibu hamil yang mengalami stress akan membatasi pengiriman oksigen ke janin. sehingga mengeluarkan hormon epinefrin dan norepinefrin yang dialirkan ke darah dan juga menstimulasi sistem saraf yang akan meningkatkan kadar glukosa darah. dan ini bisa mempengaruhi kelahiran cacat sekitar 25% dan bayi lahir prematur 36%. (www.analisa daily.com) berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan stres dengan peningkatan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii, karena hal tersebut banyak ditemukan akan tetapi setiap unit pelayanan kesehatan masyarakat belum melaksanakan standar pelayanan dan penatalaksanaan stres pada ibu hamil trimester iii. oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk mencari solusi dalam mengatasi stres pada ibu hamil trimester iii. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain analitik korelasi. penelitian dilakukan di bps widya husada malang dan penelitian ini dilakukan pada bulan april 2010–bulan juli 2010. populasi semua ibu hamil trimester iii di bps widya husada yang diambil rata-rata perbulan dimulai tanggal 18 juli 2010–8 agustus 2010 seluruh ibu hamil trimester iii yang berjumlah 95 responden, pengambilan data dengan menggunakan metode pengamatan. hasil penelitian data umum data ini meliputi karakteristik subyek penelitian berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan, dan paritas responden. tabel 1. karakteristik umur ibu hamil trimester iii di bps widya husada 2010 no u mur frekuensi % 1 <20 th 0 0 2 20-35 t h 39 97,5 3 >35 th 1 2,5 tot al 40 100 tabel 2. karakteristik pendidikan ibu hamil trimester iii di bps widya husada 2010 no pendidikan frekuensi % 1 sd 1 2,5 2 smp 6 15,0 3 sma 28 70,0 4 s1 5 12,5 tota l 40 100 tabel 3. distribusi frekuensi pekerjaan ibu hamil trimester iii di bps widya husada 2010 no pekerjaan frekuensi % 1 irt 21 52,5 2 pns 2 5,0 3 swasta 13 32,5 4 wiraswasta 4 10,0 total 40 100 tabel 4. distribusi frekuensi paritas ibu hamil trimester iii di bps widya husada 2010 no paritas frekuensi % 1 primigravida 24 60,0 2 multigravida 16 40,0 total 40 100 data khusus tingkat stress berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa tingkat stress ibu hamil trimester iii sebanyak 17 orang (42,5%) mengalami stress berat, dan 7 orang (17,5%) yang mengalami stress rendah. 195sumiatun, stress pada kehamilan meningkatkan kadar glukosa ... pembahasan hubungan stress dengan peningkatan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii di bps widya husada dari hasil penelitian yang dilakukan di bps widya husada dapat diketahui bahwa tingkat stress rendah dengan kadar glukosa rendah 71,4% dan tingkat stress sedang dengan kadar glukosa rendah 75%. sedangkan, tingkat stress berat dengan kadar glukosa tinggi 100%. pada data diatas ibu hamil yang mempunyai tingkat stress berat dan terjadi peningkatan kadar glukosa. karena hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yaitu disebabkan oleh stress itu sendiri juga obat-obatan, pengaruh hormon, obesitas dan alkohol sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa. menurut (murray, 2003) munculnya stress (yang disebabkan oleh ketakutan, kegembiraan, perdarahan, dan hipoksia) akan menyebabkan tubuh mengeluarkan hormon epinefrin yang diekskresi oleh medulla adrenal (salah satu dari anatomi ginjal). dengan diekskresikannya epinefrin ini, akan menimbulkan glikogenolisis yang terjadi di hati dan otot. sedangkan di hati, glukosa merupakan produk utama yang menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. menurut (syaifuddin, 2001), bahwa keberadaan hormone epinefrin dalam hepar akan menstimulasi pemecahan glikogen juga melalui penambahan amp. selain di hepar dan di otot, epinefrin juga menunjukkan aksinya di pankreas yang dapat menghalangi pemecahan insulin. berdasarkan kedua sumber tersebut, dapat diketahui bahwa adanya kejadian stres dalam tubuh manusia akan mengaktifkan pelepasan hormone epinefrin yang pada akhirnya berpengaruh pada peningkatan kadar glukosa dalam darah. menurut (solihah, lutfiatus, 2002) pada kehamilan trimester iii (6–9 bulan kehamilan), saat ini kehidupan psikologis dan emosional ibu hamil dipenuhi oleh pikiran dan perasaan mengenai persalinan dan tanggung jawab menjadi ibu. biasanya kecemasan bercampur aduk dengan kekhawatiran mengenai bayi yang akan dilahirkannya, serta mengkhawatirkan anak-anaknya yang lain jika tejadi sesuatu saat melahirkan. menurut (nolan, mary, 2007) pada tahap ini, ibu hamil juga akan dipenuhi oleh mimpi serta bayangan-bayangan mengenai seperti apakah bayi yang akan lahir ini. kebanyakan ibu hamil dilanda kecemasan tentang apakah bayinya sehat atau tidak. selain itu ketakutan akan melahirkan bayi yang tidak normal atau meninggal dunia bisa menyebabkan stress berat. no tingkat stress frekuensi % 1 rendah 7 17,5 2 sedang 16 40,0 3 berat 17 42,5 tota l 40 100 tabel 5. distribusi frekuensi tingkat stress ibu hamil trimester iii di bps widya husada 2010 tabel 6. distribusi frekuensi kadar glukosa ibu hamil trimester iii di bps widya husada 2010 no kadar glukosa frekuensi % 1 rendah 17 42,5 2 normal 6 15,0 3 tinggi 17 42,5 total 40 100 kadar glukosa berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa sebanyak 17 orang (42,5%) mengalami kadar glucosa rendah dan tinggi, sedangkan 6 orang (15,0%) mengalami kadar glukosanya normal. hasil pengukuran tingkat stress dan peningkatan kadar glukosa tabel 7. distribusi frekuensi hasil pengukuran antara stress dengan peningkatan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii di bps widya husada 2010 kad ar glu kosa tin gkat stress n ormal renda h tingg i total f ? f ? f ? f ? rendah 2 28.6 5 71.4 0 0 7 100 sedang 4 25.0 12 75.0 0 0 16 100 berat 0 0 0 0 17 100 17 100     berdasarkan tabel 7 di atas, dapat diketahui bahwa tingkat stress rendah dengan kadar glukosa rendah 71,4%, tingkat stress rendah dengan kadar glukosa normal 28,6% dan tingkat stress sedang dengan kadar glukosa rendah 75%. sedangkan, tingkat stress berat dengan kadar glukosa tinggi 100%. berdasarkan uji spearman rank pada lampiran hasil analisis, maka hasil pengujian dilanjutkan ke penghitungan uji t, diperoleh hasil dengan tingkat signifikasi 5% ( = 0,05) di dapatkan p = 0,000<0,05 dan thitung 6,47 > ttabel 1,96 yang artinya ada hubungan stress dengan peningkatan tingkat kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii di bps widya husada. 196 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 193–196 demikian juga menurut (murray, 2003) saat ibu hamil tersebut mengalami stres, jalur neural dan neuroendokrin di bawah kontrol hipotalamus akan diaktifkan dalam respon stres. sistem saraf simpatis akan menstimulasi medula kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. aksi hormon tersebut mirip dengan yang ada pada sistem saraf simpatik dan mempunyai efek memperlambat dan memperlama aksinya. epinefrin dan norepinefrin juga menstimulasi sistem saraf dan menghasilkan efek metabolik yang akan meningkatkan kadar glukosa darah dan laju metabolisme. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa setiap ibu hamil yang mengalami stress akan terjadi peningkatan kadar glukosa. saran bagi tenaga kesehatan melihat adanya hubungan stress dengan peningkatan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii, maka diharapkan pada petugas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan yang lebih lanjut pada ibu hamil yang periksa. bagi peneliti selanjutnya penelitian ini masih jauh dari sempurna. perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang hubungan stress dengan peningkatan kadar glukosa pada ibu hamil trimester iii, dengan menentukan dan memperhatikan faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi peningkatan kadar glukosa. daftar rujukan arikunto, s. 2006. prosedur penelitian suatu pendekatan praktek edisi revisi vi. jakarta: rineka cipta. budijanto, d., dkk. 2005. metode penelitian. surabaya: unit penelitian dan pengabdian masyarakat poltekes surabaya. fajar, i., dkk. 2008. statistika praktis gizi, kebidanan, keperawatan. politeknik kesehatan depkes malang. manuaba, i.b. 2000. ilmu kebidanan penyakit dalam dan keluarga berencana untuk pendidikan bidan. jakarta: egc. notoatmodjo, s. 2002. metodologi penelitian kesehatan. jakarta:rineka cipta. not oa tm odjo, s. 2005. me todol ogi pene l i ti an kesehatan. edisi revisi. jakarta: rineka cipta. nursalam, p. 2001. pendekatan praktis metodologi riset keperawatan. jakarta: infomedika. nursalam. 2003. konsep dasar penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. oswari. 2002. perawatan ibu hamil dan bayi. jakarta: pawirohardjo. prawiroharjo, s. 2002. buku acuan nasional pelayanan maternal dan neonatal. jakarta: ybpsp. saifuddin, a.b. 2002. buku panduan praktis pelayanan kesehat an mat ernal dan neonatal edisi pertama cetakan pertama. jakarta: ybp-sp. saputra, l. pengantar psikologi edisi ke sebelas jilid satu. batam: interaksa. http://www.analisadaily. com diakses tanggal 16 juni 2010. 261 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk literature review: analysis to reduce maternal mortality indah lestari1, noer saudah2, catur prasastia lukita dewi3 1,2,3faculty of nursing, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract the maternal mortality rate in indonesia is still high. hard efforts are needed so that the sustainable development goals target of 70 per 100,000 live births in 2030 can be achieved. the purpose of the study was to identify aspects related to the trend issue of maternal mortality, the determinants of causes, strategic efforts and the role of family planning in reducing maternal mortality. this literature review described sixteen peer-reviewed journals based on inclusion criteria. the results of the analysis of the literature review found that aspects of findings related to maternal mortality were as follows: trends issue maternal mortality (maternal mortality is more common in developing countries), causative factors (status health (nutrition, comorbidities and maternal complications), reproductive status (age, parity, gestational distance), access to health services and policies/regulations, health behavior (contraception use, socioeconomic)), strategic efforts (maternal and neonatal health management, quality antenatal services, safe delivery and family planning) and family plans (support system (women's status, family and community status)). the review analysis provides directions and patterns of strategic work steps, collaboration of various support systems ranging from the role of individuals, families, communities, health services and the government in ensuring maternal and child health. history article: received, 07/01/2022 accepted, 23/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: causative determinant, maternal mortality, trends issue © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : ns.indah@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p261-269 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ns.indah@yahoo.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p261-269 262 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 261-269 introduction the maternal mortality rate is an indicator of women's welfare, an indicator of the welfare of a nation as well as describing the results of a country's development achievements. information on maternal mortality is useful for the development of maternal health improvement programs, especially safe pregnancy and delivery services, increasing the number of deliveries assisted by health workers, management of the referral system in handling pregnancy complications (hasanbasri, lazuardi, gadjah, yogyakarta, & anak, 2013). based on the results of estimates of maternal mortality from the who, the maternal mortality rate is 210 per 100,000 live births. the maternal mortality rate in developed countries ranges from 16 per 100,000 live births, while in developing countries this rate is almost 15 times higher at around 240 per 100,000 live births. indonesia is one of the countries experiencing an increase in maternal mortality, far from the target of 102 per 100,000 live births. it takes a strong effort from the government to overcome the problem of maternal mortality so that the sustainable development goals (sdgs) target of 70 per 100,000 live births in 2030 can be achieved (callister & edwards, 2017a). many factors have contributed to the increase in maternal mortality in indonesia. in addition to direct causal factors, such as bleeding, hypertension, infection, prolonged labor, and abortion, the main causes of maternal death are also influenced by indirect or intermediate causes. the government has implemented various intervention strategies to reduce maternal mortality, but many factors need to be analyzed further. it is the interest of researchers to obtain a framework for various aspects that affect maternal mortality (king, 2015). the focus of this literature review discusses trends in maternal mortality globally and in indonesia, the determinants of maternal mortality, efforts to reduce maternal mortality and the role of family planning in reducing maternal mortality. method study design literature review on analysis to reduce maternal mortality, in the literature search using the picos format as below. the dimensions analyzed as key variables in this study are trends issue, determinant factors, strategic grands and family planning. table 1: format picos in literature review criteria inklusi eksklusi population group of reproductive mothers who experienced maternal mortality groups of reproductive mothers who are not included in the category of maternal mortality intervention comparation no comparator outcomes analyze the aspects of trends issue, determinant factors, strategic grands and family planning there is no discussion of the analysis outside the specified dimensions study design and publication type quasi-experimental studies, randomized control and trial, systematic review, qualitative research and crosssectional studies. no exclusion publication years post 2015 pre 2015 language indonesia, english languages other than indonesian, english lestari, saudah, dewi, literature review: analysis to reduce maternal mortality … 263 search strategy alternative term for population (p) used “pregnant women of reproductive age” or “post partum mothers of reproductive age” or “mothers using contraception”. researchess did not use alternative terms for intervention (i). alternative terms for the outcome (o), researchers used the aspects of trends issue, determinant factors, strategic grands and family planning. selection criteria the inclusion criteria of this study included 2015-2021 journal collection, quantitative and qualitative researches, using original research and systematic review. although research methods varied, researchers have paid attention to the depth of content aspect, to explore problems from various aspects, so that research problems can be clearly described. the area of journal about the aspects of trends issue, determinant factors, strategic grands and family planning. the exclusion criteria included conference papers, symposia, and discussion papers. database scopus, proquest, pubmed, scient direct. literature review algorithm using prisma flow. the results of the inclusion criteria screening obtained 16 journals. table 2: summary of studies title method (design, sample, variable) results 1. risk factors for maternal death and trends in maternal mortality in lowand middleincome countries: a rospective longitudinal cohort analysis (bauserman et al., 2015) design: prospective longitudinal cohort analysis sample: all pregnancies from 2010 to 2013 among women enrolled in the mnhr variable: pregnancy and the maternal mortality ratio the mnhr identified preventable causes of maternal mortality in diverse settings in lowand middleincome countries. the mnhr can be used to monitor public health strategies and determine their association with reducing maternal mortality. 2. the etiology of maternal mortality in developed countries: a systematic review of literature (rossi & mullin, 2012) design: systematic review of literature sample: twelve articles provided data from 1980 to 2007, in pubmed, embase, medline and reference lists variable: maternal death/mortality, pregnancy death and obstetric/maternity care conditions leading to hemorrhage warrant strict management. the risk of an apparently healthy woman to die during motherhood is 0.22 out of 100,000 livebirths. 3. correlates of maternal mortality in developing countries: an ecological study in 82 countries (girum & wasie, 2017) design: ecological study sample: international data bases of health metrics from 2008 to 2016 using aggregates of health indicator data from who, world bank, undp and unicef data bases for 82 developing countries. variable: the dependent variable was the maternal mortality ratio, while the independent variable was socioeconomic, health care related and morbidity ariables. maternal mortality is correlated with multiples of socio-economic factors, health care system associated factors, disease burden and their complex interactions. therefore, policy and programs targeted to improve maternal health and reduce maternal deaths should consider population dynamics, socioeconomic influence and health system factors that impose a major risk on mothers. 4. global, regional, and national levels and trends in maternal mortality between 1990 and 2015, with scenario-based projections to 2030: a systematic analysis by the un maternal mortality estimation inter-agency group (alkema et al., 2016) design: systematic analysis sample: international data bases of health metrics from 2008 to 2016 using aggregates of health indicator data from who, world bank, undp and unicef data bases for 82 developing countries. variable: the dependent variable was the maternal mortality ratio, while the independent variable was socioeconomic, health care related and morbidity variables. although the rates of reduction that are needed to achieve country-specific sdg targets are ambitious for most high mortality countries, countries that made a concerted effort to reduce maternal mortality between 2000 and 2010 provide inspiration and guidance on how to accomplish the acceleration necessary to substantially reduce preventable maternal deaths. 264 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 261-269 5. trends in texas maternal mortality by maternal age, race/ ethnicity, and cause of death, 20062015 (macdorman, declercq, & thoma, 2018) design: demographic analysis sample: international data bases of health metrics from 2006 to 2015 using aggregates of health indicator data from who variable: the variable was the maternal mortality ratio, into 5-years averages the observed increase in maternal mortality in texas from 20062010 to 20112015 is likely a result of both a true increase in rates and increased overreporting of maternal deaths, as indicated by implausibly high and increasing rates for women aged =40 years and among nonspecific causes of death. efforts are needed to strengthen reporting of death certificate data, and to improve access to quality maternal health care services. 6 trends in maternal mortality in the united states (neggers, 2016) design: analytical study sample: secunder data variable: maternal mortality maternal mortality is higher in the u.s. as compared to many developed countries including europe. this is true in spite of the fact that factors contributing to maternal mortality, such as overweight and obesity, hypertension, type 2 diabetes and increased maternal age at the birth of a child. 7 maternal mortality: a crosssectional study in global health (sajedinejad, majdzadeh, vedadhir, tabatabaei, & mohammad, 2015) design: correlation analysis cross sectional approach sample: secondary data from 2010 in 179 countries variable: maternal mortality education, private sector and trade, and governance were found to be the most important macrostructural factors associated with maternal mortality. employment and labor structure, economic policy and debt, agriculture and food production, private sector infrastructure investment, and health finance were also some other critical factors. 8 strategies to reduce maternal mortality in developed countries (king, 2015) design: review sample: literature variable: maternal mortality data to achieve a reduction within all developed countries there must be coordinated death review activities that investigate every case along with nearmisses. recommendations for changes within the medical system will continue to improve maternal health not only in developed countries but also worldwide. 9 sustainable development goals and the ongoing process of reducing maternal mortality (callister & edwards, 2017b) design: review sample: literature variable: maternal mortality data to reduce maternal mortality: improvement of maternal nutrition during pregnancy; emergency obstetric care and postpartum hemorrhage prevention; expanded prenatal care, including prevention of stillbirth and preterm birth; emergency neonatal resuscitation and immediate newborn care; and detection/management of maternal/newborn infections. 10 governance commitment to reduce maternal mortality. a political determinant beyond the wealth of the countries (ruiz-cantero, guijarro-garvi, rose, martínez-riera, & fernández-sáez, 2019) design: review literature sample: secunder data in 174 countries variable: maternal mortality the six dimensions of governance: government effectiveness, regulatory quality, rule of law, control of corruption, voice and accountability, and political stability and absence of violence. findings were encouraging as maternal mortality in low-income countries with higher government effectiveness and regulatory quality was similar to that of medium-income countries with lower government effectiveness and regulatory quality. to achieve the post-2015 sustainable development goal on preventable maternal mortality—which lestari, saudah, dewi, literature review: analysis to reduce maternal mortality … 265 persists despite economic development. 11 the indonesian approach to reduce maternal mortality (soedarmono, 2017) design: review sample: literature variable: maternal mortality data indonesia has high maternal mortality that mostly due to haemorrhage. the unavailability of blood contributes to maternal mortality. increasing people’s awareness and willingness to donating blood voluntarily is expected to increase blood supply and improve management of postnatal haemorrhage. 12 the impact of family planning on maternal mortality in indonesia: what future contribution can be expected? (utomo et al., 2021) design: decomposition methode sample: data from long series of population censuses and large-scale surveys that are available in few other lowand middle-income countries. variable: family planning and maternal mortality cpr growth rate would have to nearly double the 2000–2017 rate to reach 70% cpr by 2030 and more than triple to reach 75%. achieving the most ambitious target would still leave the maternal mortality ratio at 125 in 2030 without corresponding improvements in maternal health services. although substantial reductions in maternal mortality between 1970 and 2017 can be attributed to contraceptive use and further contributions to the year 2030 are probable, smaller contributions are likely due to the already relatively high cpr and the challenges that must be overcome to move the cpr significantly higher. the ability of indonesia to reach the 2030 sdg maternal mortality target of 70 maternal deaths per 100,000 live births will depend primarily upon health system effectiveness in addressing health risks to women once they are pregnant. 13 the role of birth spacing, family planning services, safe abortion services and post abortion care in reducing deaths in reducing maternal deaths (ganatra, faundes, & coordinator, 2016) design: review sample: literature variable: maternal mortality data access to contraception and the provision of family planning is an essential reproductive health intervention that helps reduce maternal deaths by preventing or delaying pregnancy in women not intending to be pregnant or those at higher risk of morbidity and mortality. the provision of safe abortion is essential to prevent the complications arising from unsafe abortion and the provision of emergency care for complications is essential to avert deaths from those complications. equally important, the provision of contraception and safe abortion go beyond preventing deaths –it is a telling indicator of our ability to respect women’s decisions and ensure that they have access to timely, evidence-based care that protects their health and human rights. 14 scaling up family planning to reduce maternal and child mortality: the potential costs and benefits of modern contraceptive use in south africa (chola, mcgee, tugendhaft, & buchmann, 2015) design: review sample: literature variable: maternal mortality data if cpr increased by 0.68% annually, the number of pregnancies would reduce from 1.3 million in 2014 to one million in 2030. unintended pregnancies, abortions and births decrease by approximately 20%. family planning can avert approximately 7,000 newborn and child and 600 maternal deaths. the total annual costs of providing modern contraception 266 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 261-269 in 2030 are estimated to be us$33 million and the cost per user of modern contraception is us$7 per year. the incremental cost per life year gained is us$40 for children and us$1,000 for mothers. 15 understanding the determinants of maternal mortality: an observational study using the indonesian population census (id, contreras, id, & cornwell, 2019) design: observational study sample: the 2010 indonesian population census identifies 8075 pregnancy-related deaths and 5,866,791 live births. variable: determinan of maternal mortality distance to health clinics and the number of midwives at community health centres and village health posts are not significant contributors, nor is socio-economic status. if the same level of access to doctors and hospitals in lower maternal mortality java-bali was provided to the higher maternal mortality outer islands of indonesia, our model predicts 44 deaths would be averted per 100,000 pregnancies. result the results of the analysis of the literature review found that aspects of findings related to maternal mortality were as follows: trends issue maternal mortality (maternal mortality is more common in developing countries, trends in maternal mortality in developed countries are more related to obesity and complications of hypertension and diabetes), causative factors (status health (nutrition, comorbidities and maternal complications), reproductive status (age, parity, gestational distance), access to health services and policies/regulations, health behavior (contraception use, socioeconomic)), strategic efforts (maternal and neonatal health management, quality antenatal services, safe delivery and family planning) and family plans (support system (women's status, family and community status)). the framework of the review results is described in figure 1 below. figure 1. the framework of the analysis to reduce maternal mortality discussion maternal mortality is more common in low and middle income countries. maternal mortality is correlated with multiples of socio-economic factors, health care system associated factors disease burden and their complex interactions. while in developed countries, factors contributing to maternal mortality, such as overweight and obesity, hypertension, type 2 diabetes and increased maternal age at the birth of a child. according to mcarthy and maine (1992) maternal mortality is influenced by three determinants, namely close determinants, intermediate determinants and far determinants. close determinants are the cause of maternal death, namely pregnancy itself and obstetric disorders in the form of bleeding, infection, eclampsia/preeclampsia, and others. the close lestari, saudah, dewi, literature review: analysis to reduce maternal mortality … 267 determinants are directly influenced by the determinants, namely health status, reproductive status, access to health services, and behavior in using health services. distant determinants are determinants related to demographic and sociocultural factors, namely the status of women in the family and society, the status of the family in society, and the status of society. from close determinants, there are complications that can occur, including bleeding, infection, pre-eclampsia and eclampsia, obstructed labor or prolonged labor and uterine rupture. all of which have an impact not only on pregnancy, childbirth and postpartum, but also the risk of death for the mother and baby. the condition of the three determinants previously described, either directly or indirectly, integratedly must be anticipated in a planned manner since early pregnancy (no title, 2015). most obstetric complications occur at the time of delivery. for this reason, we need professionals who can quickly recognize complications that can threaten the mother's life and at the same time carry out timely treatment to save the mother's life. the maternal mortality rate will be reduced adequately if 15% of births are handled by doctors and 85% are handled by midwives. this ratio is most effective when midwives can manage normal deliveries, and can effectively refer 15% of deliveries with complications to a doctor. indonesia has launched making pregnancy safer (mps) as a public health development strategy towards a healthy indonesia 2010 on october 12, 2000, as part of the safe motherhood program. the purpose of safe motherhood and making pregnancy safer is the same, namely protecting reproductive rights by reducing the burden of illness, disability, and death associated with pregnancy and childbirth that should not have occurred (akanbi & mordi, 2017). safe motherhood is an effort to save women so that pregnancy and childbirth are healthy and safe, as well as giving birth to healthy babies. the goal of safe motherhood efforts is to reduce morbidity and mortality rates for pregnant, maternity and postpartum women, and reduce morbidity and mortality rates for newborns. this effort is mainly aimed at developing countries because 99% of maternal deaths in the world occur in these countries. strategic interventions in safe motherhood efforts are stated as the four pillars of safe motherhood, namely: 1). family planning, which ensures that every person/couple has access to family planning information and services in order to plan the right time for pregnancy, the interval between pregnancies and the number of children; 2). antenatal care, to prevent obstetric complications where possible, and to ensure that complications are detected as early as possible and adequately treated; 3). safe delivery, ensuring that all birth attendants have the knowledge, skills and tools to provide safe and clean assistance, and provide postpartum services to mothers and babies; 4). essential obstetric services, ensuring that obstetric services for high risk and complications are available to pregnant women who need them (soedarmono, 2017). another intervention that also has a contribution is the empowerment of women and communities. empowerment can be interpreted as an effort to increase the community's ability to participate and negotiate. intensive community influences and controls its people for the betterment of life. empowerment can also be interpreted as an effort to provide power or strength to the community. the author tries to provide a solution through an idea, namely intensive community empowerment, which is an intensive effort to make the community more empowered and independent in maintaining their health, where the outcome is expected to be an alternative to reduce maternal mortality (king, 2015). conclusion referring to the results of the review, various aspects of principles related to the reduction of maternal mortality were obtained, both in terms of trends issues, causative factors and risks, existing treatment strategies and the role of family planning. all of them give meaning, the need for collaboration with various support systems in building grand strategies to reduce maternal mortality. the review analysis of how to reduce maternal mortality provides directions and patterns of strategic work steps that can be taken by the role of individuals, families, communities, health services and the government in ensuring maternal and child health. 268 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 261-269 suggestion in reducing maternal mortality, it is very important to empower women and the role of health workers in collaboration with families in a comprehensive manner. acknowledgement the researchers would like to thank stikes bina sehat ppni mojokerto for the support to this study. funding this research was carried out thanks to the role of lppm and the head of stikes bina sehat ppni mojokerto in supporting lecturers' research performance. conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. references akanbi, m., & mordi, r. c. (2017). factors influencing maternal mortality among rural communities in southwestern nigeria. 179– 188. alkema, l., chou, d., hogan, d., zhang, s., moller, a., gemmill, a., … boerma, t. (2016). global , regional , and national levels and trends in maternal mortality between 1990 and 2015 , with scenariobased projections to 2030 : a systematic analysis by the un maternal mortality estimation inter-agency group. the lancet, 387(10017), 462–474. https://doi.org/10.1016/s01406736(15)00838-7 bauserman, m., lokangaka, a., thorsten, v., tshefu, a., goudar, s. s., esamai, f., … bose, c. l. (2015). risk factors for maternal death and trends in maternal mortality in lowand middle-income countries : a prospective longitudinal cohort analysis. 12(suppl 2), 1–9. callaghan, w. m. (2011). overview of maternal mortality in the united states deaths : vital statistics. ysper, 36(1), 2–6. https://doi.org/10.1053/j.semperi.2011.09.00 2 callister, l. c., & edwards, j. e. (2017a). i n f ocus sustainable development goals and the ongoing process of reducing maternal mortality. journal of obstetric, gynecologic, & neonatal nursing, 46(3), e56–e64. https://doi.org/10.1016/j.jogn.2016.10.009 callister, l. c., & edwards, j. e. (2017b). sustainable development goals and the ongoing process of reducing maternal mortality. journal of obstetric, gynecologic, & neonatal nursing, (march), 1–9. https://doi.org/10.1016/j.jogn.2016.10.009 chola, l., mcgee, s., tugendhaft, a., & buchmann, e. (2015). scaling up family planning to reduce maternal and child mortality : the potential costs and benefits of modern contraceptive use in south africa. 1–16. https://doi.org/10.1371/journal.pone.013007 7 ganatra, b., faundes, a., & coordinator, g. (2016). the role of birth spacing, family planning services, safe abortion services and post abortion care in reducing deaths in reducing maternal deaths. best practice & research clinical obstetrics & gynaecology. https://doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2016.07.0 08 girum, t., & wasie, a. (2017). correlates of maternal mortality in developing countries : an ecological study in 82 countries. 1–6. https://doi.org/10.1186/s40748-017-0059-8 hasanbasri, m., lazuardi, l., gadjah, u., yogyakarta, m., & anak, i. (2013). analisis untuk penerapan kebijakan : analisis stakeholder dalam kebijakan program kesehatan ibu dan anak. 02(02), 77– 85. id, l. c., contreras, d., id, s., & cornwell, k. (2019). understanding the determinants of maternal mortality : an observational study using the indonesian population census. 1– 18. king, j. c. (2015). strategies to reduce maternal mortality in developed countries. 117–123. https://doi.org/10.1097/gco.0b013e32835e 1505 macdorman, m. f., declercq, e., & thoma, m. e. (2018). trends in texas maternal mortality by maternal age , race / ethnicity , and cause of death , 20062015. (august 2017). https://doi.org/10.1111/birt.12330 neggers, y. h. (2016). trends in maternal mortality in the united states. reproductive toxicology, 1–5. https://doi.org/10.1016/j.reprotox.2016.04.0 01 no title. (2015). rossi, a. c., & mullin, p. (2012). the etiology of maternal mortality in developed countries : a systematic review of literature. 1499– 1503. https://doi.org/10.1007/s00404-0122301-y lestari, saudah, dewi, literature review: analysis to reduce maternal mortality … 269 ruiz-cantero, m. t., guijarro-garvi, m., rose, d., martínez-riera, j. r., & fernández-sáez, j. (2019). health & place governance commitment to reduce maternal mortality . a political determinant beyond the wealth of the countries. health & place, 57(march), 313–320. https://doi.org/10.1016/j.healthplace.2019.0 5.012 sajedinejad, s., majdzadeh, r., vedadhir, a., tabatabaei, m. g., & mohammad, k. (2015). maternal mortality : a crosssectional study in global health. 1–13. https://doi.org/10.1186/s12992-015-0087-y soedarmono, y. s. m. (2017). the indonesian approach to reduce maternal mortality. 272–280. https://doi.org/10.1111/voxs.12317 utomo, b., sucahya, p. k., romadlona, n. a., robertson, a. s., aryanty, r. i., & magnani, r. j. (2021). the impact of family planning on maternal mortality in indonesia : what future contribution can be expected ? 1–13. 439suprajitno, mugianti, body alteration of patients with tuberculosis who ... body alteration of patients with tuberculosis who get medication at the public health centre suprajitno1, sri mugianti2 1,2nursing departement, poltekkes kemenkes malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 27/10/2020 accepted, 18/12/2020 published, 25/12/2020 keywords: tuberculosis, body alteration, public health centre article information abstract patient with tuberculosis who already experience 6 months of treatment may felt body alteration. the study aimed to illustrate the body alteration of tuberculosis patients who got medication at the public health centre. the design of the study used cross sectional. the sample was 141 tuberculosis patients who got medication at the public health centre in blitar which was selected by simple random sampling. the variables were height, weight, urine color, feeling of bored related to the medication and willingness to stop taking the medication routinely. the data was collected at the patient’s home on august november 2018. the data was collected by instruments of height gauge, weights, and interview form. the data was analyzed descriptively. the results showed that most of the changes were in the physical such as the weight loss, the red urine, and nausea. the patient’s nausea caused a decrease in intake and had an impact on the patient’s weight that went down. it is important for nurses in public health centre to provide medical services and information through health education before the first medication. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: bedonku@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p439–442 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 439 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p439-442&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p439-442 440 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 439–442 introduction eradication of tuberculosis in indonesia has been launched since 2011 (kemenkes ri, 2011), but positive new tuberculosis patients with x-rays and sputum examinations are always there. new patients received intensive medication at the public health centre for a minimum of 6 months and periodically performed sputum examined as an evaluation. patients with tuberculosis during medication at the public health centre are given additional food that aims to maintain nutritional status and increase endurance during medication. tuberculosis patients feel weight losses every time measure their weight before taking medicine at the public health centre. the weight and height are important measure to assess body mass index so that proper nutritional needs can be determined. health worker always record in the patient’s medical record, but never evaluate the physical and emotional alteration. physical alteration and feelings of the patients due to medication also do not get the attention of health workers. alteration that appear, for example thin body and feeling bored of taking medication. the purpose of the study was to illustrate the alteration in the body condition of tuberculosis patients who got medication at the public health centre. methods the design of the study used cross sectional. the sample was 141 tuberculosis patients who received medication at the public health centre in kabupaten and kota blitar which was selected by simple random sampling. the variables were height, weight, urine color, feeling of bored related to the medication and willingness to stop taking the medication. the place of the data collection was at patients’ homes on august – november 2018. the data was collected by instruments collection tools such as height gauges, weights, and interview forms. the data were analyzed descriptively. results the study results are presented at tables 1 and 2. no alteration and feelings of patient f % 1 patient’s perception of body condition: a. very thin 31 21.99 b. thin 99 70.21 c. normal 10 7.09 d. obese 1 0.71 2 bmi category: a. underweight 68 48.22 b. normal 71 50.35 c. overweight 1 0.71 d. obese 1 0.71 table 2 body alteration of tuberculosis patients description age (years) height (cm) weight (kg) bmi chest (cm) waist(cm) minimum 15 141 30 11.02 60 53 maximum 87 177 78 31.64 96 92 average 48.98 159.30 47.38 18.61 75.26 68.83 standard deviation 16.43 7.38 8.49 3.16 7.26 7.24 skewness -0.02 -0.01 0.19 0.33 0.41 0.63 kurtosis -0.71 -0.77 0.67 1.38 0.23 1.51 table 1 characteristics of tuberculosis patients 3 urine color: a. red 116 82.27 b. not red 25 17.73 4 nausea: a. yes 55 39.01 b. no 86 60.99 5 feeling bored the medicine: a. yes boring 16 11.35 b. not boring 12 87.23 c. not filling 32 1.42 6 thinking to stopped of medication: a. yes want to quit 13 9.32 b. do not want to quit 126 89.36 c. not filling 2 1.42 441suprajitno, mugianti, body alteration of patients with tuberculosis who ... discussion the lowest age for tuberculosis patients was 15 years (table 1) and had been living with the family. four patients (2.84%) were adolescents aged 15-18 years and high school education, according to the guidelines of pengendalian tuberkulosis di indonesia (tuberculosis control in indonesia) (usaid, 2017; zhang et al., 2017). the parents of the adolescent patients suffered tuberculosis three years ago and now already cured. this situation illustrates that the transmission easily occurs to family members. however, the prevention of transmission was also easy for families to do because families had five tasks in health, namely recognizing health problems, deciding to choose actions, caring for sick family members, modifying the environment for sick family members, and utilizing health care facilities (suprajitno, 2004). the main task of families who had family members suffering from tb were preventing the transmission, increase the immune by immunization and providing adequate nutrition, creating an environment that can break the chain of transmission, and supporting patient care at the public health centre (ali & katz, 2015; kemenkes ri, 2017). the families task with family members suffering of tuberculosis are to recognize the symptoms of cough if not heal for two weeks, weight loss, night sweats, and reduced appetite (hansson & hansson, 2011). this task was in line with the role of protecting family members, namely preventing and medicating for tuberculosis patients, but family tasks need to be supported by knowledge and attitudes (suprajitno et al., 2015; yermi et al., 2018). the analysis result (table 1) illustrates that the body mass index of tb patients is normally distributed and there is no outliers, but platykurtic, so quantitative analysis can be continued (hansson & hansson, 2011; velasco & verma, 1998). the body mass index of tuberculosis patients is largely in the thin and normal category, according to the patient’s perception of the body’s own condition (table 2) which is feeling very thin, thin, and normal. perceptions about the body condition according to the patient’s feeling that weight decreases. body ma ss index and patient per ceptions of body condition is not a barrier to medicated, although medication failure (death) occurred in patients who have underweight (yen et al., 2016). the interviews results about the nutrition given by the family to patients were quite adequate such as carbohydrates, vegetables, and proteins sourced from eggs, freshwater fish, beef, and chicken. the family statement was supported by the public health centre nurse statement that every month they had been given additional protein meal in the form of canned milk from the public health centre. the purpose of supplementary feeding was to maintain the patient’s immune system during medication. the role of the family to prevent a decreased body mass index and prevent medication failure by providing adequate nutrition (kemenkes ri, 2017; samal, 2017). during tuberculosis medication, the patient’s urine becomes red and feels nauseous (table 2). these changes are the effects of isoniazid (inh), rifampicin (rif), pyrazinamide (pza), ethambutol (mya mbutol) (disea se br a nch, n. d. ). ur ine discoloration and nausea had been realized by patients and families because they (patients and fa milies) a lr ea dy ha d been r eceived hea lth education from the public health centre nurses before medication (suprajitno et al., 2018). they also got of health education about the families efforts to increase the patient’s vitality by giving traditional herbal from the curcuma rhizome, which could increase lymphocytes (dewi et al., 2014) and as bactericidal (yumas, 2016). the family said that patients were also given ginger processed drinks every day to increase vitality. treatment received by tuberculosis patients cause boredom and thinking to stop of medication (table 2). such feelings and thoughts were caused by the medication which around 6-9 months. the patients who were not bored and did not think to stop the medication were larger than who were bored. the interview results from the patients who were bored and thought to stop the medication were patients which must be careful while behaving, for example when eating and drinking in the public area. whereas, patients who were not bored and did not think to stop medication said that the disease needed to be treated and did not spread to people around or colleagues (churchyard et al., 2017; wulandari et al., 2015). conclusion the body alterations which occurred were (1) most of the tuberculosis patient was the thinner body, the red urine, bored, nausea, and (2) a little of tuberculosis patients felt tired of taking medication and thinking of stopping the drugs. 442 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 439–442 suggestion the body alteration and feelings of the patients must become the concern of the public health centre nurses who provide medication. patients must be given health education before the first medication. references ali, a., & katz, d. l. (2015). disease prevention and health promotion: how integrative medicine fits. american journal of preventive medicine, 49(5 suppl 3), s230-40. https://doi.org/10.1016/ j.amepre.2015.07.019 churchyard, g., kim, p., shah, n. s., rustomjee, r., gandhi, n., mathema, b., dowdy, d., kasmar, a., & cardenas, v. (2017). what we know about tuberculosis transmission: an overview. the journal of infectious diseases, 216(suppl_6), s629– s635. https://doi.org/10.1093/infdis/jix362 dewi, m., aries, m., hardinsyah, dwiriani, c. m., & januwati, n. (2014). pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak (curcumaxanthorrhiza.) serta uji klinis pengaruhnya pada sistem imun humoral pa da dewasa obes. jurnal ilmu pert ani an indonesia, 17(3), 166–171. http://journal.ipb.ac.id/ index.php/jipi/article/view/8337 disease branch, c. (n.d.). tuberculosis and you a guide to tuberculosis treatment and services how tb is diagnosed. retrieved january 21, 2019, from www.publichealth.nc.gov hansson, k. n., & hansson, s. (2011). skewness and kur t osi s: im por t a nt par a m et er s i n t h e characterization of dental implant surface roughness—a computer simulation. isrn materials science, 2011, 1–6. https://doi.org/ 10.5402/2011/305312 kemenkes ri. (2011). strategi nasional pengendalian tb di indonsi a 2010-2014 . h t t p: / / w ww. s e a r o. w h o . i n t / i n d o n e s i a / t o p i c s / t b / stranas_tb-2010-2014.pdf kemenkes ri. (2017). terapkan germas dan pendekatan keluarga untuk temukan dan obati kasus tb. http://www.depkes.go.id/article/print/17040300006/ -terapkan-germas-dan-pendekatan-keluarga-untuktemukan-dan-obati-kasus-tb.html samal, j. (2017). family perspectives in the care and support of tuberculosis patients: an indian context. the journal of association of chest physicians, 5(2), 67. https://doi.org/10.4103/2320-8775.202899 suprajitno. (2004). asuhan keperawatan keluarga: aplikasi dalam praktik (monica ester (ed.); 1st e d . ) . e g c . h t t p s : / / b o o k s . g o o g l e . c o . i d / b o o k s ? i d = d p b p u o g t m n k c & p g = p r4 & d q = s u p r a j i t n o & h l = e n & s a = x & v e d = 0 a h u k e w j f 6 d 7 o m _ h f a h w k m i 8 k h r n n b 5 g q 6 aeilzab#v=onepage&q=suprajitno&f=false suprajitno, s., mugianti, s., & sholikhah, u. a. (2015). the family effort to prevention transmission of tuber kul osis. jurnal ne rs dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 2(1), 001–005. https://doi.org/10.26699/jnk.v2i1.art.p001-005 suprajitno, s., sunarno, i., & ardiansah, o. a. (2018). perception of supervisor tahing medicine about the side effect of tuberculosis medication for patients. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 5(1), 058–061. https://doi.org/ 10.26699/jnk.v5i1.art.p058-061 usaid. (2017). pengendalian tuberkulosis di indonesia | u.s. agency for international development. https://www.usaid.gov/id/indonesia/fact-sheets/ r educi n g-m ul ti dr ug-r esi st a n t -t uber culosi sindonesia velasco, f., & verma, s. p. (1998). importance of skewness and kurtosis statistical tests for outlier detection and elimination in evaluation of geochemical reference materials. mathematical geology, 30(1), 109–128. https://doi.org/10.1023/a:1021717522790 wulandari, a. a., nurjazuli, m., & sakundarno, a. (2015). faktor risiko dan potensi penularan tuberkulosis paru di kabupaten kendal , jawa tengah risk factor and potential of transmission of tuberculosis in kendal district, central java. jurnal kesehatan lingkungan indonesia, 14(1), 7–13. https:// ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/article/viewfile/ 10031/7993 yen, y.-f., chuang, p.-h., yen, m.-y., lin, s.-y., chuang, p., yuan, m.-j., ho, b.-l., chou, p., & deng, c.-y. (2016). association of body mass index with tuberculosis mortality: a population-based follow-up study. medicine, 95(1), e2300. https:// doi.org/10.1097/md.0000000000002300 yermi, ardi, m., tahmir, s., & pertiwi, n. (2018). knowledge and attitudes with family role in prevention of pulmonary tuberculosis in maros, indonesia. iop conf. series: journal of physics: conf. series, 1028, 12001. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1028/1/ 012001 yumas, m. (2016). diversifikasi manfaat rimpang temulawak sebagai komponen aktif terhadap bakteri streptococcus mutans pada pembuatan permen kesehatan. jurnal riset teknologi industri, 6(11), 1. https://doi.org/10.26578/jrti.v6i11.1502 zhang, h., li, x., xin, h., li, h., li, m., lu, w., bai, l., wang, x., liu, j., jin, q., & gao, l. (2017). associ at i on of body ma ss in dex wi t h t h e tuberculosis infection: a population-based study among 17796 adults in rural china. scientific reports, 7, 41933. https://doi.org/10.1038/srep41933 e:\2021\ners agustus\16--jurnal 234 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 234–241 the timeliness of baby’s basic immunization in pandemic based on mother’s knowledge about covid-19 dewi taurisiawati rahayu bachelor of midwifery study program, school of health sciences karya husada kediri, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 07/04/2021 accepted, 09/08/2021 published, 10/08/2021 keywords: knowledge, covid-19, immunization, baby, timeliness article information abstract the covid-19 pandemic situation has an impact on the implementation of health services which cause delays in immunization services in health facilities. national data showed a decrease in the basic immunization from 55,2% in 2018 to 53,07% in 2019. meanwhile, east java basic immunization was from 67,02% in 2018 to 61,33% in 2019. the data obtained in blitar districts showed the number of immunization was bcg of 99,27%, polio of 95,57%, measles and mmr of 80,04% and hepatitis b of 98,04%. the purpose of this study was to determine the correlation between mother’s knowledge about covid-19 and the timeliness of basic immunization in infants in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency. the study used analytical observational method with cross sectional study approach. the independent variable was (mother’s knowledge about covid-19) and the dependent variable was the timeliness of basic infant immunization. the study was conducted on 28th august to 20th october 2020. in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency. population of 87 mothers who have babies. the sample was 71 respondents taken by simple random sampling technique. the instrument used a questionnaire. the data analysis used the chi square test with a value of  0.05. results : the results showed that out of 71 respondents, there were 63 (88.7%) categories of good knowledge, the timeliness of the right immunization was 62 (87.3%). meanwhile, 8 (11.3%) respondents with sufficient knowledge and 9 (12.7%) had inappropriate immunization accuracy. while the chi square statistical test obtained p value = 0.001 ( <0.05), and with closeness value og 0.371 or low category.it can be concluded that there was a correlation between the mother’s knowledge of covid-19 and the timeliness of basic immunization in infants in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency. © 2021 journal of ners and midwifery 234 correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: dyah_widodo@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p234–241 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p234-241&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 235rahayu, the timeliness of baby’s basic immunization in pandemic based on mother’s knowledge about covid-19 introduction corona virus is a new virus that can cause mild to severe illness. it is known that the corona virus originated from wuhan-china in december 2019. currently the corona virus is still spreading and research is still continuing. in current conditions, the corona virus is not an epidemic that can be ignored. when viewed from the symptoms, ordinary people would think that it was only limited to ordinary influenza, but for medical analysis this virus is quite dangerous and deadly. currently in 2020, the development of this virus transmission is quite significant because its spread is worldwide and all countries are feeling the impact including indonesia (dashraath et al., 2020). with the increasing number of infected people, the public is very worried about the situation. to anticipate and attempt to break the chain of the corona virus, all regions in indonesia provide policies to limit activities outside the home, such as school activities,work from home, and even worship activities are recommended to be carried out from home. this has become a government policy based on considerations that have been maximally analyzed (omer et al., 2020). due to the government’s policy to limit activities outside the home, it has an impact on delayed health services such as posyandu for infants, elderly and adolescents. when the covid-19 epidemic is in effect with restrictions on leaving the house, it makes parents hesitate and even afraid to leave and can result in low immunization coverage, and as is well known, the coverage of routine immunization in indonesia is less than satisfactory (diharja et al., 2020).the covid-19 pandemic situation has an impact on the implementation of health services, causing the temporary closure or delay of immunization services at posyandu and in several other health facilities(rahayu & askabulaikhah, 2020). national data shows a decrease in the basic immunization from 55,2% in 2018 to 53,07% in 2019. meanwhile, east java is from 67,02% in 2018 to 61,33% in 2019(bps, 2019). from data obtained in blitar districts namely bcg of 99,27%, polio of 95,57%, measles and mmr of 80,04% and hepatitis b of 98,04%. (bps, 2020).colonel ckm dr. achmadyurianto, doctor and director general of disease prevention and control of the ministry of health of the republic of indonesia souece ministry of health in (iswati, 2020), said that indonesia has an immunization coverage target per province of 46.5%. meanwhile, east java alone is only 43% with a population of around 40 million people. in june 2020, all provinces experienced a significant decrease in idl coverage compared to june 2019 (iswati, 2020). some regions made a policy to postpone posyandu. for example, a circular from the mayor of surabaya that was forced to temporarily stop the posyandu toddlers. however, the ministry of health of the republic of indonesia has issued a circular letter to the heads of health offices throughout indonesia with the subject of continuing to seek immunization according to schedule to protect babies and children from pd3i or diseases where vaccines are available to prevent them, including polio, diphtheria, and measles. if many babies do not get complete immunization, they are vulnerable to a widespread pd3i outbreak. to prevent this from happening, the immunization activities are strived to continue by following local government policies, namely byapplycontinuing tophysical distancing and other protocols such as washing hands, wearing masks, applying the principle of a minimum distance of 1 meter coupled with socializing efforts to prevent covid-19(iswati, 2020). because the government strongly recommends that basic immunization be carried out in the midst of this covid-19 pandemic, adults mother’s knowledge of the benefits of immunization and further information about covid 19 is very important to act. according to (notoatmodjo, 2011),knowledge is one of the components that shapes a person’s attitude to action. in this case, especially in order to maximize the coverage of immunization as one of the prevention of disease outbreaks that can be prevented by immunization (pd3i) that could occur. according to the researchers, mothers should still adhere to existing protocols to participate in posyandu activities for infants / immunizations in other places. because epidemics of other diseases can occur if immunization is not carried out. in addition, health workers should also provide direction and education so that mothers / parents can understand how immunization should be carried out during this pandemic. based on the above background, researchers feel it is ver y importa nt to know toddler ’s motherabout the problem of covid which is associated with the timeliness of basic immunizations. toddler mother should be on time in immunizing her baby basic immunizations contribute to determining 236 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 234–241 the future health status of children. in the early days of life, babies are particularly susceptible to dangerous diseases, such as acute respiratory diseases, polio, liver damage, tetanus, measles and many other dangerous diseases. children affected by these diseases have a high risk of death. if not until death, attacks of viruses and diseases will cause prolonged physical and mental suffering and even biases cause disabilities.immunization is the most powerful protection to prevent some dangerous diseases. immunization stimulates the baby’s immunity so that it can protect against some dangerous diseases such as acute respiratory diseases, polio, liver damage, tetanus, measles and many other dangerous diseases.so a study was conducted to determine how the correlation between mother ’s knowledge of covid-19 and the timeliness of basic immunization in infants in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency. method this study used a survey research that was observational analytic with a cross sectional study approach. this study consisted of 2 variables, namely the independent variable and the dependent variable. the independent variable in this study is the mother’s knowledge of covid-19. and the dependent variable is the timeliness of basic immunization in infants. the population in this study were all infant mothers in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency, as many as 87.to obtain samples from the population, the researchers determined the size of the sample using the slovin formulaand obtained a large sample of 71.researchers also set inclusion criteria in this study that are toddlers who do not have serious congenital pain.samples obtained by randomizing using the lottery. the sampling technique used was simple random sampling.the instrument used is a questionnaire that will be distributed to babies’ mothers in the area of tulungrejo village, gandusari district, blitar regency and checking the immunizations that have been obtained using the kia book. this research was conducted on 28th august to 20th october 2020. the place used to conduct research was in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency. data analysis usedchi squaretest. the resea rch procedure was to visit the respondent’s house to the house of the respondent who was accompanied by posyandu cadres in each hamlet. another method is to bring respondents to the ponkesdes. researchers were given permission and assisted by the local midwife to collect some of the respondents at the ponkesdes. during this pandemic, it is indeed difficult to gather a large number of people. however, it has been arranged in such a way as to collect several respondents. posyandu activities also continued during the pandemic. once a month an immunization is held at the ponkesdes. of course, by still adhering to the established health protocols. all information is provided by the midit is not face to face, information is still intertwined. however, cadres do the weighing and measuring ness is that toddlers get immunizations according to schedule in maternal and child health books. mother’s toddler come immediately to posyandu, or the nearest health officer to complete the basic immunizations, namely hepatitis b, bcg, polio, dpt and measles. even if the toddler are coughing, cold or sedentaling, the baby can still be immunized because the baby’s body is able to make immunity, so immunization is still beneficial for the baby. if the complaints increase come to the nearest health officer or doctor to get medicine. babies taking antibiotics can also be immunized and remain beneficial to the baby. result the presentation of the data that will be displayed are general data and special data. general data provides data on age, mother’s education, infant age, infant immunization. meanwhile, special data provides data on mother’s knowledge about covid-19 and the timeliness of immunization. based on the table 1, the researched obtained that from the 71 respondents, almost all of the 67 respondents (94.4%) were vulnerable aged 20-35 years. based on the table 4, it can be seen that from 71 respondents, almost half of the 24 respondents (33.8%) were 4-8 months old and a small proporage frequency(%) < 20 2 (2,8) 20 – 35 67 (94,4) > 35 2 (2,8) total 71 (100) table 1. frequency distribution of mother’s age wife through thegroupwhatsapp. so even though body length by door to door. immunization timeli 237rahayu, the timeliness of baby’s basic immunization in pandemic based on mother’s knowledge about covid-19 education frequency (%) junior high school 24 (33,8) senior high school 31 (43,7) university 8 (11,3) total 71 (100) table 2. frequency distribution oflevel of mother education’s immunization frequency (%) hb 0 7 (9,9) bcg + polio 1 10 (14,1) dpt 1 + polio 2 29 (12,7) dpt 2 + polio 3 13 (18,3) dpt 3 + polio 4 24 (33,8) campak 12 (16,9) total 71 (100) table 3. frequency distribution of infant immunization infant’s age frequency (%) 0 month 7 (9,9) 1 month 7 (9,9) 2 month 8 (11,3) 3 month 13 (18,3) 4-8 month 24 (33,8) 9-12 month 12 (16,9) total 71 (100) table 4. frequency distribution of infant’s age tion of 13 (18.3%) of respondents with a baby age of 3 months. based on the table, the researched obtained that from the 71 respondents, almost half of the 31 respondents (43.7%) had high school education and almost half of 24 (33.8%) with last junior high school education. based on table 3 it can be seen that from 71 of respondents, almost half of 4 (33.8%) respondents with dpt 3 polio 4 immunization. based on the results of the study, it shows that out of 71 respondents, almost all 63 respondents (88.7%) have good knowledge about covid -19 and a small proportion of 8 (11.3%) respondents have sufficient knowledge. knowledge level frequency (%) good 63 (88,7) enough 8 (11,3) less 0 total 71 table 5. frequency distribution of mothers knowledge level accuracy frequency (%) exact 62 (87,3) not correct 9 (12,7) total 71 table 6. frequency distribution of timeliness of infant immunizations knowledge accuracy total exactly not correct f % f % f % good 58 81.7 5 7 63 88.7 sufficient 4 5.6 4 5.6 8 11.3 total 62 87.3 9 12.6 71 100 chi square 0.001 contingency coefficient of 0.371 table 7. crosstabulation between knowledge and timeliness of infant immunizations based on the results of the research above, there were 71 respondents, almost all of 62 (87.3%) had a timeliness in immunizing their babies. and a small proportion of 9 (12.7%) experienced not timely immunization of their babies based on table 7 it can be seen that out of 71 238 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 234–241 respondents, 62 (87,3%) of respondents had the right timing of infant immunization with good knowledge categories of 58 (81,7%) and a small percentage of 9 (12,6%) respondents had inappropriate immunization timelines with good knowledge categories of 5 (7%) and a small proportion of 4 (5,6%) respondents had sufficient knowledge level categories. based on the results of thetestchi square in table 4.3, it shows that the significance value of p = value in chi square p = 0,001 is smaller than a = 0,05. other than that, the closeness value was 0.371 in the low category. it was concluded that ha was accepted and ho was rejected, meaning that there was a correlation between the mother’s knowledge of covid-19 and the timeliness of basic immunization for infants in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency. the level of tightness of the correlation is low because there are other factors that affect the variablesuch as the condition of a sick child, the busyness of the parents, the delay of immunization time due to the pandemic and the other reason. discussion overview of mother knowledge about covid1 9 based on the results of the study, it shows that out of 71 respondents, almost all 63 respondents (88,7%) have good knowledge about covid-19 and a small proportion of 8 (11,3%) respondents have sufficient knowledge. knowledge is the result of knowing, and occurs after people sensing a certain object. sensing occurs through the five human senses, both the senses of sight, hearing, smell, taste, and touch. most of human knowledge is obtained through the eyes and ears.knowledge is important for human. something or human actions to understand the objects their face.according to (kebung, 2017), knowledge is a term used to describe the results of someone’s experience about something. in the act of knowing there are always two main elements, namely, the subject who knows (s) and something that is known or the object of knowledge (o). the two of them are phenomenologically impossible to separate one from the other. therefore, we can say that knowledge is the result of knowing humans. according to notoatmodjo in (wawan & dewi, 2010), a person’s knowledge of an object has a different intensity or level. broadly speaking, it is divided into 6 levels of knowledge, namely: knowledge, understanding, application, analysis, synthesis, and action. corona virus is a group of the order nidoviralesand thefamily coronaviridae. corona virus is a positive single-strain rna virus, encapsulated and nonsegmented. its structure forms a cube with s protein located on its surface. protein s (spike protein) is one of the main viral antigen proteins which is the main structure of writing genes and plays a role in the attachment and entry of viruses in host cells (sarma et al., 2020).the world health organization has named this virus severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (sarscov-2) and the name of the disease as corona virus disease 2019 (covid-19). corona virus disease 2019 (covid-19) is a new virus that emerged at the end of 2019, this virus spreads rapidly almost throughout the world, with this outbreak the indonesian government issued an order to all indonesian citizens to keep their distance, always wear masks and wash their hands because of the virus. this spreads through the air, in this study most of the respondents were aged 20-35 years, which means that some respondents already had a lot of experience and extensive knowledge in caring for babies and were productive about the latest issues or news and especially those related to the health of their children. news about covid-19 is always updated every day through television news, newspapers and the internet. based on general data, there are respondent characteristics related to special data, namely the level of education of almost half of the respondents (43,7%) with the last high school education. according to (kanji et al., 2019) that the higher a person’s education level, the more information he will receive, the higher the level of knowledge. many sources explain covid-19, and all information is received from trusted people such as the hea lth tea m, loca l gover nment a nd centr a l government,based on the covid-19 news delivery channel, researchers can see that there are information media and reliable sources as well as experiences experienced by respondents around, so that respondents’ knowledge about covid-19 is sufficient, this shows that sources, information media and experiences can affect a person’s knowledge. overview of timeliness of infant immunizations based on the results of the research above, there were 71 respondents, almost all of 62 (87,3%) 239rahayu, the timeliness of baby’s basic immunization in pandemic based on mother’s knowledge about covid-19 had a timeliness in immunizing their babies. and a small proportion of 9 (12,7%) experienced not timely immunization of their babies. the ministry of health and idai have compiled a schedule of immunizations for children according to their age. immunization is on an important schedule to ensure the effectiveness of the vaccine. the covid-19 pandemic could trigger another disease pandemic due to the decrease in child immunization rates. when two or more pandemics occur at the same time, there is no unimaginable impact felt by the community.idai advises, if it is to delay immunization of the child, do not miss the recommendation schedule. there is a choice of catch-up immunization, immunization to pursue or complete the delayed immunization. for example, children are late or have not received the measles vaccine when they are 9-12 months old. parents can include the child with measles immunizations in the future(diharja et al., 2020). immunization comes from the word immune, immune or resistant. children who are immunized, means that the child is given immunity to a certain disease. children are immune or resistant to one disease but not necessarily immune to other diseases. immunization is an effort to actively generate or increase a person’s immunity against a disease, so that if one is exposed to the disease, they will not get sick or only experience mild illness (robinson et al., 2018).according to (sumarmi, 2017)behavior is all individual biological manifestations in interacting with the environment, starting from the most visible to the invisible behaviors, from what is felt to the least that is not felt. the results of this study show that the timeliness for immunization is still good. this is contradict previous research conducted by (pujiasih & sulistyoningtyas, 2017)with the title correlation between mother’s work status and timeliness of provision of pentavalent immunization and advanced measles in toddlers at paliyan health center. obtaining results that most of the 71 respondents (71.8%) did not properly carry out pentavalent immunization and advanced measles. based on general data there are characteristics of respondents related to the timeliness of immunization, namely education of almost half of the respondents (43.7%) with last high school education. according to(hikmah, 2018)an educated person will influence knowledge which later affects the person’s behavior, attitudes and values . basic immunization is the injection of certain vaccines into the baby’s body to get immunity and the baby is protected from various viruses and diseases, immunization is given according to the schedule and age of the baby, the accuracy of immunization a baby gets based on the mother or the person who cares for and cares for the baby.in this research the result that almost all respondents have received immunizations correctly, this condition can be seen from the mother’s sufficient knowledge, mothers with sufficient knowledge about the importance of immunization will always bring their children for immunization. mother’s behavior, apart from being influenced by sufficient knowledge, is also influenced by the distance traveled and the role of cadres in a posyandu, the role of cadres who always informs and picks up babies who do not attend this posyandu is a good way for babies to always regularly go to the posyandu and not miss immunizations. the correlation of maternal knowledge about covid-19 to the timeliness of immunization the result of this study concluded that there was a correlation between the mother’s knowledge of covid-19 and the timeliness of basic immunization for infants in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency. the level of tightness of the correlation is low because there are other factors that affect the variable such as the condition of a sick child, the busyness of the parents, the delay of immunization time due to the pandemic and the other. public knowledge about covid-19 is very important so as not to cause an increase in the number of cases of covid-19. immunization is an essential health service that protects individuals who are susceptible to diseases that can be prevented by immunization (pd3i). by providing immunization on time, individuals and communities will remain protected and the likelihood of an outbreak of pd3i will decrease. preventing an outbreak of pd3i not only saves lives but also requires less resources than responding to the outbreak and helps reduce the burden on a health system that is already overwhelmed by the covid-19 pandemic. when making efforts to continue immunization, the state must also take an approach by applying the principle of not causing harm and limiting the transmission of covid-19(omer et al., 2020). 240 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 234–241 immunization services must be continued to prevent pd3i. the approach to continue running immunization services must be carried out with the principle of maintaining physical distance and adjusted to the local health system context, the local pd3i burden, status and possible local covid-19 transmission status. if immunization services are still provided, it is very important to pay attention to infection control measures to prevent transmission of the covid-19 virus when immunization services are provided. during this pandemic, many parents, especially mothers, were afraid to immunize their babies because of worry and anxiety about the transmission of the covid-19 virus. in the context of covid-19, parents can be told that while it is important to provide immunizations on time, national and local government guidelines regarding covid-19 prevention measures must also be followed, including maintaining physical distancing. this means the possibility of temporary disruption of immunization services. therefore, it may be difficult to find immunization services because of physical distancing and the need to reduce crowding at health-care facilities. in such circumstances, it is important to advise parents to seek immunization for their children as soon as immunization services are available (felicia & suarca,2020). based on previous research conducted by (rosdiana et al., 2020)with the title knowledge correlation and family support with timeliness of giving measles immunization in pasirkaliki bandung, the results were (60.47%) had good knowledge, (61.63%) had family support. good timing and timeliness of measles immuniza tion (60.47%). the results of the bivariate analysis result p.value to the variable knowledge0,002, while the variables of family support was obtained p-value 0,0027 then h0 is rejected, which means there is a correlation between knowledge and family support timeliness of measles immunization. so it can be concluded that every immunization officer must provide health education and involve the family in socializing the immunization program so that the target coverage of the health programcan be achieved through the collaboration of health program officers with the community. in the opinion of the researchers, immunization must still be given even though it is currently in the covid-19 pandemic. immunizations can be obtained from integrated service or doctors. however, apart from that, parents must adhere to existing health protocols. the knowledge that parents / mothers have is very important. therefore, especially medical personnel must provide education about this to the baby’s parents. in this study, most of the respondents were 2035 years old and almost half of the respondents were with high school education, in this case the respondents were mature enough to understand the existing issues and had enough experience in caring for babies. especially in fulfilling basic infant immunization, news about corona is always broadcast every day from all sources so that parents understand clearly about the covid-19 pandemic.as in this study, it was found that almost all respondents already had good knowledge, but researchers found problems with respondents with good knowledge, but it was not timely to carry out basic immunizations for babies. after the researcher examined more deeply, the researcher found that there were other factors that became a barrier, namely the existence of parents who could not take their children because they were busy, some said their children were still sick. that’s why researchers found that the accuracy of immunization is not only due to the corona factor or knowledge, but also influencedby the work of the mother and her baby who were sick during the immunization schedule. conclusion the conclusion of this study is that there was a correlation between mother’s knowledge of covid19 and the timeliness of immunization for infants in tulungrejo village, gandusari district, blitar regency.the level of tightness of the correlation is low because there are other factors that affect the variable. suggestion for further researchersbecause this study is weak in relation, the next researchers need to be conducted research that examines other factors that affect the accuracy of the mother immunizing her baby because of the discussion of good maternal knowledge but there are obstacle factors that do not exist posyandu, empty vaccines and the other.for respondents, it can be an input for mothers to increase knowledge about current covid-19, including protocols that must be done in an effort to prevent it and improve adherence to the timeliness of basic immunization for their babies. 241rahayu, the timeliness of baby’s basic immunization in pandemic based on mother’s knowledge about covid-19 refference bps. (2019). persentase anak umur 12-23 bulan yang menerima imunisasi dasar lengkap dengan tingkat kesejahteraan 40% terendah, menurut provinsi (persen ). in badan pusat stat istik. h ttps:// www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/ data/1545/sdgs_1/1 bps. (2020). indo_165_6355711. https://www.bps.go.id/ indikator/indikator/view_data/0000/data/1545/ sdgs_1/1 dashraath, p., jeslyn, w. j. l., karen, l. m. x., min, l. l., sarah, l., biswas, a., choolani, m. a., mattar, c., & lin, s. l. (2020). coronavirus disease 2019 (covid19) pandemic and pregnancy. american journal of obstetrics and gynecology. diharja, n. u., syamsiah, s., & choirunnisa, r. (2020). pengaruh pandemi covid 19 terhadap kunjungan imunisasi di posyandu desa tanjungwangi kecamatan cijambe tahun 2020. asian research of midwifery basic science journal, 1(1), 152–165. felicia, f. v., & suarca, i. k. (2020). pelayanan imunisasi dasar pada bayi di bawah usia 12 bulan dan faktor yang memengaruhi di rsud wangaya kota denpasar selama masa pandemi covid-19. sari pediatri, 22(3), 139–145. hikmah, n. (2018). pengaruh kompetensi guru dan pengetahuan awal siswa terhadap motivasi belajar dan implikasinya terhadap hasil belajar ekonomi siswa. indonesian journal of economic education (ijee), 1(1). iswati, r. s. (2020). analisis hubungan peran petugas kesehatan dengan cakupan imunisasi pada bayi selama pandemi covid-19. jurnal ilmiah pannmed (pharmacist, analyst, nurse, nutrition, midwivery, environment, dentist), 15(3), 531–535. kanji, h., nursalam, n., nawir, m., & suardi, s. (2019). model integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran ilmu pengetahuan sosial di sekolah dasar. jurnal pe ndidika n da sar per khasa: jurnal penelitian pendidikan dasar, 5(2), 104–115. kebung, k. (2017). michel foucault: intelektual spesifik versus intelektual universal. diskursus-jurnal filsafat dan teologi stf driyarkara, 16(2), 138–157. notoatmodjo, s. (2011). kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta, 413. omer, s. b., malani, p., & del rio, c. (2020). the covid19 pandemic in the us: a clinical update. jama, 323(18), 1767–1768. pujiasih, k., & sulistyoningtyas, s. (2017). hubungan status pekerjaan ibu dengan ketepatan waktu pemberian imunisasi pentavalen dan campak lanjutan pada batita di puskesmas paliyan. rahayu, d. t., & askabulaikhah, a. (2020). private community assistance in antenatal care at high risk pregnant women in public health center of jelakombo jombang. jurnal kebidanan midwiferia, 6(1), 14–20. robinson, c. l., romero, j. r., kempe, a., pellegrini, c., & szilagyi, p. (2018). advisory committee on immunization practices recommended immunization schedule for children and adolescents aged 18 years or younger—united states, 2018. morbidity and mortality weekly report, 67(5), 156. rosdiana, e., abdullah, m., & febri, y. (2020). jurnal pengabdian masyarakat (kesehatan) vol. 2 no. 2 oktober 2020 universitas ubudiyah indonesia. pengabdian masyarakat, 2(2), 100–104. sarma, p., shekhar, n., prajapat, m., avti, p., kaur, h., kumar, s., singh, s., kumar, h., prakash, a., & dhibar, d. p. (2020). in -si l i co h om ol ogy assi st ed identification of inhibitor of rna binding against 2019-ncov n-protein (n terminal domain). journal of biomolecular structure and dynamics, 1–9. sumarmi, s. (2017). model sosio ekologi perilaku kesehatan dan pendekatan continuum of care untuk menurunkan angka kematian ibu. the indonesian journal of public health, 12(1), 129– 141. wawan, a., & dewi, m. (2010). teori dan pengukuran pen geta huan , si ka p da n peri la ku m an usia . yogyakarta: nuha medika, 11–18. 288 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk lecturing method and video learning media effectively increases knowledge and motivation on health education wahyu nur pratiwi1, sri wahyuni2, yanuar eka pujiastutik3 1,3bachelor of nursing program, faculty of health, institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri, indonesia 2profession nurse program, faculty of health, institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri, indonesia article information abstract the selection of health education media should be based on target tastes, broad impact, and presented in an attractive manner. health education on breast selfexamination (bse) is generally still carried out using the conventional method, namely face-to-face (ff). this study aimed to determine the effect of health education on bse using the lecture plus animation video demonstration (vbl) on the knowledge and motivation of vocational high school students. there were 80 respondents who were divided into 2 groups, 40 students in the control group with health education provided with direct ff, and the rest with vbl. the level of knowledge and motivation were obtained through a questionnaire and then the wilcoxon signed-rank test was conducted to determine the effect of the intervention on each group, while mann-whitney to find out which group had better knowledge and motivation after receiving the intervention. the results showed that the wilcoxon test in both the control and treatment groups showed p = 0.000 for the knowledge and motivation variables. meanwhile, the mann-whitney test for the knowledge variable showed a p-value = 0.004 with a mean rank of 36.00 for the control group and 45.00 for the treatment group. in the motivational variable, the value of p = 0.003, and the mean rank of 46.13 in the treatment group. this meant that health education with ff methods or through vbl could increase students' knowledge and motivation, but vbl had a greater influence on increasing respondents' knowledge and motivation in doing bse. history article: received, 22/04/2022 accepted, 08/12/2022 published, 15/12/2022 keywords: health education, lecturing method, video learning media, knowledge, motivation © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : wahyu.pratiwi@iik.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p288-295 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:wahyu.pratiwi@iik.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p288-295 pratiwi, wahyuni, pujiastutik, lecturing method and video learning media effectively increases … 289 introduction health education is an effort to influence others to do what is expected by the performer (notoatmodjo, 2012). the selection of health education promotion media should be based on target tastes, broad impact, and presented in an attractive manner (komala et al., 2014). health education on breast self-examination (bse) is generally still carried out using conventional methods with conventional methods, which is faceto-face. health education needs to be adapted to technological developments in order to continue to develop so that it can continue to provide benefits despite facing various challenges in its implementation. health education about bse is important for women, especially young women, to be of productive age and at risk for breast cancer (novasari et al., 2016). bse will be more effective if it is done as early as possible, i.e., on average, when women reach reproductive age, namely 15-49 years (novasari et al, 2016). bse is important for young women to do as early detection of breast cancer considering that the majority of breast cancer patients come to the hospital when they have reached an advanced stage. early detection of breast cancer will be able to provide greater life expectancy because the disease can be treated immediately. health education for adolescents has been widely provided using various media and methods. previous research generally carried out health education using the lecture method using power point media or printed media such as leaflets or flipcharts. other studies use audio-visual media in conveying material. this study aims to find out which one has more influence on the knowledge and motivation of smk students about breast selfexamination (consciousness) between video lectures face to face (ff) and video lectures plus video animation (vbl). methods this was a quasi-experimental research. the subjects was students of class xii vocational high school (smk) pgri ii, kediri. this school consists of 6 majors which is accounting, office administration, marketing, multimedia, catering services, and agribusiness/agriculture. there were 80 female students who participated in this research who were taken from several of these majors. the control group consisted 40 students who were given the video learning of sadari using the lecture method with power point media. the other students were the treatment group where the group was given the sadari learning video which contained lectures and animated videos of sadari. the video was played in front of the class using a projector. pretest data from both groups for both knowledge and motivation variables were obtained using a questionnaire. the knowledge questionnaire consisted 2 aspects, namely the basic concept, as well as the implementation of realization which was manifested in 15 questions. the motivational questionnaire was adapted from the student motivation scale, in which the material for the questionnaire was adjusted according to the purpose of the research conducted. the student motivation scale was designed by andrew. j martin with 9 aspects divided into 2 parts called boosters and guzzlers. boosters reflect adaptive motivation while guzzlers are nonadaptive motivation. boosters consist of self-belief, learning focus, value of schooling, persistence, and planning and monitoring, while guzzlers consist of low control, anxiety, avoidance, and self-sabotage. martin also used 7 answer choices ranging from a scale of 1 (strongly disagree) to a scale of 7 (strongly agree) (martin, 2003)(martin, 2001). this research does not use all the aspects used by martin, but only uses a few aspects, that is self-belief, learning focus, persistence, planning and monitoring, anxiety, and avoidance. the six aspects used are illustrated in 20 statements with 5 answer choices which is strongly disagree, disagree, average, agree, strongly disagree. this was done to make it easier for respondents to understand the available answer choices. the score results obtained were then converted into 5 motivational categories namely very motivated, motivated, unchanged, not motivated, very unmotivated the pre-test data for both levels of knowledge and motivation were obtained through a questionnaire before the subject received an education, then post-test data were obtained on the next day after the education. the data obtained were then tested using the wilcoxon signed-rank and mann-whitney test. the wilcoxon test was conducted to determine whether or not the intervention had an effect on knowledge and motivation after the intervention was given. the wilcoxon test was chosen with reference to the variable data scale which is an ordinal scale. according to suparyanto (2011) data with an 290 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 288-295 ordinal data scale, nominal, not normally distributed, or the number is <30, then it is tested with a non-parametric test (suparyanto, 2011). the mann-whitney test was used to determine whether there was a significant difference in the effect between the control group and the treatment group with the intervention given. results age distribution table 1: age distribution age experimental group control group frequency (n) percentage (%) frequency (n) percentage (%) 15 4 10 5 12.5 16 10 25 10 25 17 20 50 22 55 18 6 15 3 7.5 total 40 100 40 100 table 1 shows the largest percentage of respondents' age was 17 years in both the control group (55%) and the treatment group (50%). exposure to bse information table 2: distribution of exposure to bse information exposure to bse information experimental group control group frequency (n) percentage (%) frequency (n) percentage (%) yes 23 57.5 25 62.5 never 17 42.5 15 37.5 total 40 100 40 100 most of the research subjects had received exposure to information about bse for both control and experimental groups. the information about bse obtained by some respondents generally comes from their schools. distribution of interest in getting education bse table 3: distribution of interest in getting education bse classification of interest experimental group control group frequency (n) percentage (%) frequency (n) percentage (%) interested 38 95 35 87,5 not interested 2 5 5 12,5 total 40 100 40 100 souce: primary data table 3 showed that most of the research subjects in both the control and treatment groups showed an interest in getting health education about bse. knowledge level distribution table 4: knowledge level distribution before health education of bse knowedge level experimental group control group frequency (n) percentage (%) frequency (n) percentage (%) good 8 20 4 10 moderate 24 60 23 57,5 less 8 20 13 32,5 total 40 100 40 100 from table 4 above, we can conclude that mostly students have moderate knowledge level before the bse health education was given on both groups. pratiwi, wahyuni, pujiastutik, lecturing method and video learning media effectively increases … 291 table 5: knowledge level distribution after health education of bse knowedge level experimental group control group frequency (n) percentage (%) frequency (n) percentage (%) good 22 55 13 32,5 moderate 18 45 27 67,5 less 0 0 0 0 total 40 100 40 100 table 5 showed that after the health education, mostly students on experimental group have good knowledge, while the control group mostly have moderate knowledge level. distribution of motivation table 6: distribution of motivation before health education motivation classification experimental group control group frequency (n) percentage (%) frequency (n) percentage (%) very motivated 3 7,5 5 12,5 motivated 32 80 26 65 unchanged 3 7,5 5 12,5 not motivated 2 5 3 7,5 very unmotivated 0 0 1 2,5 total 40 100 40 100 table 7: distribution of motivation after health education motivation classification experimental group control group frequency (n) percentage (%) frequency (n) percentage (%) very motivated 37 92,5 25 62,5 motivated 1 2,5 15 37,5 unchanged 1 2,5 0 0 not motivated 1 2,5 0 0 very unmotivated 0 0 0 0 total 40 100 40 100 we can see from table 6 that on both experimental and control groups students mostly have motivated motivation before the health education. from table 7 there are mostly have very motivated motivation on both experimental and control groups students after being given by the health education. table 8: wilcoxon sign-rank test and mann-whitney variable p value (wilcoxon-signed rank test) mean rank p value (mannwhitney) experimental group control group experimental group control group knowledge 0.000 0.000 45.00 36.00 0.044 motivation 0.000 0.000 46.13 34.88 0.003 discussion age all subjects in this study were teenagers with the largest percentage of participants being 17 years old. teenagers is an age phase where humans experience a lot of changes both physically and psychologically. pieters (2015) states that adolescent is a time to find identity and begin to show their role, in order to get a sense of individual identity. this includes making decisions, taking action, and also maintaining self-respect. so this is often associated with the decisions of a teenager in applying the knowledge they had (pieters et al., 2011). age can affect a person's knowledge, where the older a person gets, the more his catching power and mindset will develop which supports the better one's knowledge (notoatmodjo, 2010). according to papalia and olds, teenagers have a kind of feeling of invulnerability, that is the belief that they are not likely to experience events that 292 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 288-295 endanger themselves, this is a popular quote in explaining risky behavior by teenagers. on the other hand, teenagers are an age range that has a formal operational stage in its cognitive development stage. the formal operational stage is a stage where a person is able to think abstractly. a teenager is able to find alternative answers or explanations about something. teenagers have started to have a mindset as researchers, where they are able to make a plan to achieve a goal in the future (yusuf, 2011). it is important for teenagers to get education about something so that their vulnerability can be controlled by giving them the opportunity to think about their own health in the future. adolescence is also a transitional period between childhood and adulthood and is marked by the physical and social changes of adolescents. one of the physical changes that occur is changes in the breasts (soetjiningsih, 2010). another change experienced by adolescents is social change where their social interaction with the times has resulted in lifestyle changes including increased consumption of unhealthy food (junk food) and the use of gadgets that have the potential to increase the risk of breast cancer. this is due, nutritional imbalance is one of the factors that affect levels of estrogen and estradiol in the body associated with the risk of cancer. education given to adolescents is important in preventing breast cancer as early as possible. adolescents who have received education about awareness are expected to be able to apply awareness and get used to implementing awareness in their lives. exposure to bse information this research showed that most subjects in both the control and experimental groups had received information about bse. information about bse is generally obtained by respondents from schools through school wall magazines, but there are also those who obtain this information through community health service centers in the area where they live. according to m.chaffie, exposure to information about bse is very important because the information has an effect related to changes in attitudes, knowledge, feelings, and behavior of adolescents (elvinaro et al., 2014). the same thing is stated in a study conducted by sugiyanti et al (2013) which said that exposure to sources of information can help adolescents obtain more information than those who have never been exposed to information about bse before. this information can come from the internet, magazines, brochures, and other sources of information. the same thing is stated in a study conducted by sugiyanti et al (2013) which said that exposure to sources of information can help adolescents obtain more information than those who have never been exposed before because the information obtained will affect their knowledge in acting and practicing bse (sugiyanti et al., 2013). subject interest most of the research subjects in both the control and experimental groups showed an interest in obtaining health education about bse. according to hurlock (2013) in anand (2020), interest will grow together with physical and mental development (anand, 2020). adolescence is a stage of human development which is a transitional period between childhood and adulthood which is marked by physical and social changes. one of the physical changes that occur in adolescents is in the breast area. changes in these body parts generate interest in adolescents for information related to their physical bodies that experience these changes. this makes teenagers have a high interest in health education about breast self-examination (bse) . knowledge level distribution before and after health education of bse this study obtained that most subjects of both the experimental and control group had sufficient knowledge, and there were respondents who had less knowledge, before receiving health education. according to irfaniah (2016), the knowledge is quite influenced by several factors including a background as an smk student who incidentally lacks information and previous health education about bse at school (irfaniah, 2015). this is supported by research conducted by savabi esfahani (2017) which shows that 50% of respondents have sufficient knowledge before being given bse health education. it can be concluded that most respondents have sufficient knowledge before bse education is given due to many influencing factors, one of which is a lack of information about breast cancer and bse either through the internet, magazines, brochures, or other mass media (savabiesfahani et al., 2017). students' knowledge after being given education both in the experimental and in the control, group showed an improvement wherein in both groups there was no knowledge in the category of lack of knowledge. in the experimental group, pratiwi, wahyuni, pujiastutik, lecturing method and video learning media effectively increases … 293 most of the respondents had good knowledge after education about bse, while the control group was mostly in the moderate category. the results of the wilcoxon test in both the control and treatment groups showed p = 0.000, which means that health education is given either face-to-face or through video-based learning. meanwhile, the mannwhitney test that was carried out showed the results of p-value = 0.004 with a mean rank for the control group of 36.00 while the treatment group was 45.00. this shows that there is a significant difference in the effect of education on the level of knowledge between the treatment group and the control group. the treatment group showed better knowledge than the control group. according to notoatmodjo (2010), there are various ways that can increase students' knowledge about breast self-examination, one of which is by providing health education (notoatmodjo, 2010). this is in line with research conducted by yie & park (2012) which states that professional breast health education is effective in increasing bse knowledge and practice (myungsun & young, 2012). research conducted by kasih (2014) says that health education is very effective in increasing young women's knowledge about bse, especially if the delivery is supported by a proven effective method, which is lecture plus video demonstration media using video-based learning (kasih, 2016). subjects motivation before and after health education most of the motivation in the control and experimental group before the health education was in the motivated category. however, there were still unmotivated respondents in both groups and very unmotivated respondents in the control group. research conducted by dewanti (2012) found that low knowledge will affect a person's low motivation to perform health behaviors. most of the respondents' motivation before being given health education was in the motivated category because previously many had received exposure to information about bse (dewanti, 2012). sari (2012) who conducted research related to information exposure with the motivation to brush teeth, stated that the lack of children's information exposure about dental and oral health can affect their low knowledge of dental and oral health. this explains that the description of respondents' motivation before being given education is mostly in the motivated category (sari et al., 2012). this can be supported by exposure to information about bse that has been previously obtained so that respondents already have knowledge about bse and this increases students' motivation to do bse. health education given to respondents, both in the control and experimental groups, showed a positive effect. this can be seen from the majority of respondents in both groups who are highly motivated. only 1 respondent in the treatment group is in the unmotivated category and no respondents in the very unmotivated category. wilcoxon test in both the control and treatment groups showed p = 0.000. this means that in both groups, there is a significant increase in respondents' motivation after receiving education about bse. the mann-whitney test showed a p-value = 0.003, and a mean rank of 46.13 in the treatment group. this means that health education with video-based learning has a greater influence on increasing respondents' motivation in doing bse. according to darmawan & zulfa (2013), the health education media used is important in supporting the effectiveness of delivering the information provided. the audiovisual education used in the study proved to be an effective medium in the implementation of health education. audiovisual media with video-based learning is seen as appropriate to the characteristics of adolescents. the health education provided in the form of video-based learning can be considered in more detail by respondents and allows it to be played back through their respective gadgets, making it more attractive and flexible for teenagers (darmawan & zulfa, 2015). conclusion health education using the lecture plus demonstration method with video-based learning media increases knowledge and motivation which is more significant than the face-to-face method for vocational high school students. suggestion the lecture plus demonstration method with video-based learning media can be an option for providing effective health education to students. acknowledgment institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri for giving fund on this research. 294 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 288-295 funding this research was funded by institut ilmu kesehatan bhakti wiyata kediri. conflicts of interest there was no conflict of interest during the research implementation and article arrangement. authors contribution wahyu nur pratiwi, yanuar eka conceived of the presented idea, procedural administration and tabulating the data. sri wahyuni performed the statistical analysis and intepreting data. all authors discussed the results and contributed to the final manuscript. refferences anand, j. (2020). pengaruh minat belajar terhadap hasil belajar siswa (survey pada mata pelajaran produk kreatif dan kewirausahaan kelas xii tata boga di smkn 15 bandung). universitas pasundan. darmawan, d., & zulfa, s. (2015). pengaruh promosi kesehatan terhadap motivasi pasien hipertensi tentang pelaksanaan diet hipertensi di poliklinik penyakit dalam rs rajawali bandung. jurnal pendidikan keperawatan indonesia, 1(1). https://doi.org/https://doi.org/10.17509/jp ki.v1i1.1187 dewanti. (2012). hubungan tingkat pengetahuan tentang kesehatan gigi dengan perilaku perawatan gigi pada anak usia sekolah di sdn pondok cina 4 depok. universitas indonesia. elvinaro, a., komala, l., & siti, k. (2014). komunikasi massa : suatu pengantar (revisi cet). simbiosa rekatama media. irfaniah, r. (2015). pengaruh penyuluhan kesehatan tentang pemeriksaan payudara sendiri (sadari) terhadap tingkat pengetahuan sadari di smp islam haruniyah kota pontianak. pro ners, 3(1). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.26418/ jpn.v3i1.21323 kasih, l. c. (2016). efektifitas peer education pada pengetahuan dan sikap siswa sma dalam pencegahan hiv/aids. jurnal ilmu keperawatan, 4(2). komala, l., novianti, e., & subekti, p. (2014). strategi pemilihan media promosi kesehatan dalam penanggulangan hiv/aids di kabupaten garut. acta diurna, 10(2). martin, a. j. (2001). the student motivation scale: a tool for measuring and enhancing motivation. australian journal of guidance and counselling, 11(1). https://doi.org/10.1017/s1037291100004 301 martin, a. j. (2003). the student motivation scale: further testing of an instrument that measures school students’ motivation. australian journal of education, 47(1), 88–106. https://doi.org/10.1177/00049441030470 0107 myungsun, y., & young, p. e. (2012). no title. journal of advanced nursing, 68(5), 1100–1110. https://doi.org/10.1111/j.13652648.2011.05815.x notoatmodjo, s. (2010). pendidikan dan perilaku kesehatan. rineka cipta. notoatmodjo, s. (2012). promosi kesehatan dan perilaku kesehatan. rineka cipta. novasari, d. h., nugroho, d., & winarni, s. (2016). hubungan pengetahuan, sikap, dan paparan media informasi dengan praktik pemeriksaan payudara sendiri (sadari) pada santriwati pondok pesantren al ishlah tembalang semarang tahun 2016. jurnal kesehatan masyarakat fkm undip, 4(4). pieters, h. z., jariwarti, b., & martih, s. (2011). pengantar psikopatologi untuk keperawatan (1st ed.). kencana. sari, e. k., rachmawati, p. d., & ulfiana, e. (2012). pengaruh pendidikan kesehatan gosok gigi dengan metode permainan simulasi ular tangga terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan aplikasi tindakan gosok gigi anak usia sekolah di sd wilayah paron ngawi. indonesian journal of community health nursing, 1(1). https://doi.org/10.20473/ijchn.v1i1.11902 savabi-esfahani, m., taleghani, f., noroozi, m., & tabatabaeian, m. (2017). role playing for improving women ’ s knowledge of breast cancer screening and performance of breast self-examination. asian pacific journal cancer prevention, 18(9), 2501–2505. https://doi.org/10.22034/apjcp.2017.18. 9.2501 soetjiningsih. (2010). tumbuh kembang remaja dan permasalahannya. sagung seto. sugiyanti, d., widyawati, s. a., & tarmali, a. (2013). beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri (sadari) pada wanita di desa tambak agung kecamatan kaliori kabupaten rembang. stikes ngudi waluyo. suparyanto. (2011). uji statistik non parametris. pratiwi, wahyuni, pujiastutik, lecturing method and video learning media effectively increases … 295 http://drsuparyanto.blogspot.com/2011/09/ujistatistik-non-parametris.html yusuf, s. (2011). psikologi perkembangan anak dan remaja. pt. remaja rosdakarya. e:\2021\ners april 2021\3-jurna 19faidah, muliawati, reduction blood pressureby neck massage therapy using ... reduction blood pressureby neck massage therapy using virgin coconut oil (vco) and dry cupping therapy 2nursing department, stikes wira medika bali, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 13/11/2020 accepted, 18/02/2021 published, 05/04/2021 keywords: neck massage therapy using vco, cupping therapy, hypertension article information abstract hypertension is a non-communicable disease which increases every year, with the increasing incidence of hypertension will have an impact on society, namely a decrease in health status which results in a decrease in the quality of life. management of hypertension can be done with non-pharmacological therapy, one of the non-pharmacological therapies chosen by the community, namely complementary therapy, neck massage therapy using vco and cupping is a complementary therapy that aims to reduce hypertension. the sampling technique used was purposive sampling. the sample in this study 16 respondents were given neck massage therapy with vco and 16 respondents were given dry cupping therapy. the data analysis used was the spearman rank because the data were not normally distributed. before being given neck massage therapy with a mean vco, systolic blood pressure was 156.25, diastolic blood pressure was 87.50 after being given a mean value of 124.38 and diastolic 81.25 with a systolic p value of 0.000 while for diastolic blood pressure of 0.008. whereas in the group given dry cupping therapy systolic blood pressure with a mean of 158.82 and diastole a mean of 90.59, after being given dry cupping therapy, systolic blood pressure was 124.71 while diastole was 78.82 with a systolic p value of 0.000 and diastole of 0.009. the difference in blood pressure in the two interventions for the system p value was 0.968 while for diastole the p value was 0.625, which means there was no difference between the two interventions. so it can be concluded that both neck massage therapy with vco and dry cupping therapy can reduce blood pressure in patients with hypertension. 19 correspondence address: stikes wira medika bali – bali, indonesia p-issn : 2355-052x email: nurulfaidah1208@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p019–025 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery nurul faidah1, ni kadek muliawati2 1rmik departement, stikes wira medika bali, indonesia https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p019-025 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p019-025&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 20 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 19–25 introduction hypertension is a condition where the pressure of blood systolic equal toor more than140 mmhg a nd pr essure of blood dia stolic equa l to or more than 90 mmhg. hypertension  is estimated to cause a 7,5 million deaths or approximately12.8% of total deaths. the prevalence of hypertension in the world  is about  84.749  million  people,or about 64,9% (yoon, sung, margaret, et al, 2015). the incidence of hypertension in indonesia in the elderly reaches 14.435 in habit ants orapproximately 13.2% of the tota l popula tion in indonesia (kesehatan ri, 2013). in 2016, health department of bali province recorded the visits of patients with hypertension as many as 31.166 in habitants.based on the data of basic health research (riskesdas) in the yea r of 2018, the pr eva lence of the hypertension disease in national as many as 34%, while in the province of balias many as 13.2%. hypertension is the number 2 disease in the working area of public health center iii, north denpasar. management of hypertension can be done by non pharmacological  therapy, because  it  will minimize complications such as kidneys and liver damage. one of the non-pharmacological therapies chosen by the community is complementary therapy, neck massage therapy using vco and dry cupping. the effect of neck massage therapywith vcoputs pressure on the cutaneous and subcutaneousarea, releases histamine and has an impact on vasodilation of blood vesselsand increases venous return which can reduce the work of the heart, by decreasingthe work of the heart, the blood pressure will decrease. in addition to massagetherapy, cupping therapy can also reduce hypertension with the cupping therapy method using a pulling device or suction device and a cup that aims to suck theskin and tissue under the skin, so that blood components can collect under the skin,which has an impact on the excretion of substances in the body such as serotonin, histamine, bradykinin, slowreaching substance (srs).fromthe excretion of these substances, the capillaries and arteries expandso that there is an improvement in the microcirculation of blood vessels, which hasan impact on muscle relaxation resulting in vasodilation which can lower blood pressure (hikayati, flora, r, &pur wanto, 2014). ba sed on the a bove phenomenon, researchersare interested in taking the title reduction blood pressure by neck massage therapy using virgin coconut oil (vco) and dry cupping therapy. method t he design in this study wa s a qua siexperimental one group pre and post-test. the number of population in this study was 930 respondents. the sampling technique used was purposive sampling, so that the number of samples wa s deter mined in the study beca use the intervention study with a sample size of 32, 16 respondents were given neck massage therapy and 16 respondents were given dry cupping therapy. the inclusion criteria in this study were patients with ht, the inclusion criteria in this study were patients with ht, the exclusion criteria were dm patients, burns in the back area, cervical fractures. the dependent variables in this study were neck massage therapy using vco and dr y cuppinga nd the independent var ia ble was blood pressure in hypertension.the data collection technique in the study was carried out by measuring blood for the two groups then given neck massage using vco for 2 times a week for 3 weeks. massagetechniquesused were three movements; stroking (sliding), kneeding (massaging), friction (circular movements) in the cervical area, right and left neck, using vco maximum 5 times each movement. meanwhile, dry cupping therapy is given 2 times a week for 2 weeks using a special cup for point cupping, which is done cupping gb 20 (nape), and the entire upper back to lower back, for women, cupping is done for 5-7 minutes, while for men 7-10 minutes. the  tools  used  in  this  study  were  a spigmomanomemeter to measure blood pressure, vco oil and cupping tools. the datawere analyzed a fter da ta nor ma lity test wa s ca r r ied out using wilcoxon because the data were not normally distributed with the criteria if the p value was <0.05, which means that there was an effect of vco and dry cupping massage. for data on differences in the results of the study using mann withney, the data was not normally distributed with the criteria if p value <0.05, this indicates that the therapy is more effective. this research received ethical clearance from the ministry of health denpasar poltekes. 21faidah, muliawati, reduction blood pressureby neck massage therapy using ... based on table 1, the results of the mean value of systolic blood pressure (156, 25) before being given neck massage based on table 1, the result of the mean (mean) systolic blood pressure (156, 25) before neck massage was greater than the mean post-test (124.38) so that it can be concluded that the patients systole after neck massage intervention with vco decreased by 31, 87 points. as for diastolic blood pressure, the mean value (87.50) was greater than the mean post-test (81.25), so it can be concluded that the patients diastole after neck massage intervention with vco decreased by 6.25 points. result blood pressure mean sd min max p value systolic pre 156,25 10,87 140 180 0,000 post 124,38 8,13 110 140 diastolic pre 87,50 8,56 70 100 0,008 post 81,25 7,188 70 90 table 1 blood pressure before and after neck massage using vco at upt kesmas north denpasar iii blood pressure mean sd min max p value systolic pre 158,82 22.04 140 230 0,000 post 124.71 5.15 120 130 diastolic pre 90.59 15.60 70 130 0,009 post 78.82 4.851 70 90 table 2 blood pressure before and after given dry cupping therapy at upt kesmas north denpasar iii based on table 2, the mean value of systole before giving dry cupping therapy (158.82) was greater than the mean after dry cupping therapy was given (124.71), so it can be concluded that the patients systole after cupping intervention decreased by 34.11 points. as for diastolic blood pressure, the mean value before intervention (90.59) was greater than the mean after intervention (78.82), so it can be concluded that the patients diastole after cupping intervention decreased by 11.77 points. group variables n p-value systole neck massage using vco 16 0,968 dry cupping 16 diastole neck massage using vco 16 0,255 dry cupping 16 table 3 differences in systolic and diastolic blood pressure in patients who were given neck massage therapy with vco and dry cupping 22 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 19–25 discussion pre and post blood pressure given neck massage therapy using vco based on table 1, the mean systolic blood pressure for pre neck massage therapy with vco was 156.25 and post neck massage therapy with vco was 124.38 with a p value of 0.000. whereas for diatolic blood pressure pre neck massage therapy with vco was a mean of 87.50 and post neck massage therapy with vco was 81.25 with a p value of 0.008. the results of this study showed that there was an effect of neck massage with vco on blood pressure. the results of this study are in line with the research of eguchi, funakubo, tomoka, et al (2016) which showed that the mean systolic blood pressure after foot massage treatment with aromatic oil was 108.01 mmhg and the mean diastolic blood pressure was 67.03 mmhg.the results of this study are also in line with wijayanto’s (2015) study of the difference in the effect of massage therapy with aromatherapy oil and vco oil on reducing blood pressure. the results showed that the average value of systolic blood pressure after treatment was 145.78 mmhg, while the average value of diastolic blood pressure after treatment was 82.61 mmhg. the mechanism of neck massage with virgin coconut oil (vco) in lowering blood pressure is related to pressure on cutaneous and subcutaneous tissues which causes the release of histamine which in turn produces vasodilators of blood vessels and increases venous return which in turn reduces the work of the heart.the use of vco can help the massage process. vco shows significantly antithrombotic effects compared to ordinary coconut oil. the level of antioxidants contained in vco is higher than sunflower seed oil, which means that vco is effective for improving endothelial cell function (widiayanti, 2015). the vco component itself is in the form of medium chain fatty acids which are commonly called medium chain fa tty acid (mcfa). fatty acids classified as mcfa are easily absorbed into the mitochondria so that it will increase the body’s metabolism. the most mcfa contained in vco are lauric acid. this lauric acid content is proven to be able to overcome many diseases such as heart disease and hypertension (djaelani, 2015). blood pressure after being given neck massage therapy with virgin coconut oil (vco) from the massage or self-massage movement causes the release of acetylcholine and histamine which cause vasodilators in blood vessels and increase venous return, thereby reducing heart performance, besides that the content of virgin coconut oil is an ingredient medium chain fatty acid (mcfa). fatty acids classified as mcfa are easily absorbed into the mitochondria so that it will increase the body’s metabolism. the most mcfa contained in vco are lauric acid. this lauric acid content is proven to be able to overcome many diseases such as heart disease and hypertension. blood pressure pre and post dry cupping therapy based on table 2, the mean systolic blood pressure before intervention was 158.82 after the intervention was given the mean systolic blood pressure was 124.71 with a p value of 0.000. whereas for the diastolic blood pressure was 90.59, after being given intervention the mean blood pressure was 78.82 with a p value of 0.009. this study is in line with research conducted by pratama, rasni, and w (2018) which showed a decrease in blood pressure in the group given dry cupping therapy as indicated by a p value of 0.004.in addition to the above research, research by eliyana, y., nooryanto, m., & poeranto, s. (2019) showed the results after being given dry cupping therapy to pregnant women with pre-eclampsia with a p value the results showed systolic blood pressure in both groups with p value (0.968) >  (0.05), while for diastolic p value (0.255) >  (0.05). so it can be stated that there is no significant difference between neck massage vco intervention with cupping intervention on changes in either systole or diastole. figure 1 neck massage therapy 23faidah, muliawati, reduction blood pressureby neck massage therapy using ... of 0.002, which means that there is an effect of dry cupping therapy intervention. blood pressure increases with age. systolic blood pressure increases before age 50 years and diastolic pressure increases after age 50 years. increased systolic pressure and decreased diastolic pressure is called isolated systolic hypertension (hussain, 2016). isolated systolic hypertension (hst) is the most common hypertension in the elderly. systolic hypertension is caused by arterial stiffness (heart foundation, 2016).arterial stiffness often causes an increase in both systolic a nd dia stolic blood pr essur e (kuswardhani, 2006). dry cupping therapy is done by vacuuming the skin and removing blood. this definition includes two main mechanisms of cupping, namely the process of vacuuming the skin then followed by removing blood from the skin that has been pr eviously vacuumed (ka smui, 2012). according to ayuningtyas (2019), cupping is a type of chinese massage that uses a type of glass or special cup that is placed on the body. cupping is a form of treatment in which the method of suction is done using a special cup. the goal is to help the flow of blood and energy. cupping at one point causes the skin (cutis), subcutaneous tissue (sub cutis), fascia and muscle to be damaged from mast cells or others. this damage causes the release of several substances such as serotonin, histamine, bradykinin, slow reaching substance (srs) and other unknown substances. these substances cause capillary and arteriolar dilation as well as flare reactions in the affected area. capillary dilation can also occur at a site far from the site of cupping, which results in improved microcirculation of blood vessels. as a result, there is a relaxing effect (relaxation) of stiff muscles and due to general vasodilation will stably lower blood pressure (hikayati, flora, r, & purwanto 2014).cupping healing mechanism in hypertension is based on the theory of organ activation, where cupping will activate organs that regulate blood flow such as the liver, kidney and heart so that these organs remain active in regulating blood cir culation so tha t blood pr essur e is maintained. in addition, cupping also tries to balance naturally when there is increased blood pressure. by choosing the right point, cupping can help treat hypertension (almi and al-muqsith 2015). based on the results of the above research on dry cupping therapy hypertension, with this technique there is a breakdown of the skin cells which have an impact on the secretion of substances in the body such a s ser otonin, hista mine, br a dykinin, slowreaching substance (srs). from the excretion of these substances, the capillaries and arteries expand so that there is an improvement in the microcirculation of blood vessels, which has an impact on muscle relaxation resulting in vasodilation which can lower blood pressure. in addition, it will stimulate the activation of other organs such as the liver, kidneys and heart and stimulate the sympathetic nerve (simpatico nervous system) so that it secretes an enzyme that acts as the angiotensin renin system. once the system is calm and reduced in activity, blood pressure will drop. cupping plays a role in reducing the volume of blood flowing in the blood vessels, thereby reducing blood pressure. differences in systolic and diastolic blood pressure in patients who were given neck massage therapy using vco and dry cupping based on table 3, the results of this study indicate that both interventions are effective in lowering blood pressure. the results showed systolic blood pressure in both groups with p value (0.968)>  (0.05), while for diastole p value (0.255)>  (0.05). so it can be stated that there is no significant difference between neck massage vco intervention with cupping intervention on changes in either systole or diastole. the results of this study are in line with research conducted by yoganita, sarifah, and widyastuti (2019) which showed that massage therapy lowers blood pressure with a p value of 0.001. in addition, the effectiveness of neck massage or massage is also effective in reducing pressure, as in research conducted by fitriani (2015) with a p value of 0.000. according to therapeutic theory, massage induces an acceleration of venous blood flow and lymphatic drainage mechanisms, impairs pathological accumulation mechanisms (for example, soft tissue calcification), and passively trains soft tissues. massage movements on the skin, connective tissue, muscle tissue and periosteum will stimulate the receptors located in the area. these impulses are delivered by afferent nerves to the central nervous system, and then the central nervous system provides feedback by releasing aceticolin and histamine through efferent nerve impulses to stimulate the body to act through the vasodilation reflex mechanism of blood vessels, which reduces sympa thetic ner ve a ctivity a nd incr ea ses 24 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 19–25 pa r a sympa thetic ner ve a ctivity. incr ea sed parasympathetic activity causes a decrease in heart rate and pulse rate and results in activation of the relaxation response. meanwhile, a decrease in sympathetic nerve activity increases arteriolar and venous vasodilation, which causes peripheral vascular resistance to decrease, thereby lowering blood pressure (sherwood, 2012). neck massage therapy with virgin coconut oil (vco) fr om the ma ssa ge or self-ma ssa ge movement causes the release of acetylcholine and histamine which results in vasodilators in blood vessels and increases venous return, thereby reducing heart performance, besides that the content of virgin coconut oil is medium chain fatty acid ( mcfa). fatty acids classified as mcfa are easily absorbed into the mitochondria so that it will increase the body’s metabolism. the most mcfa contained in vco are lauric acid. this lauric acid content is proven to be able to overcome many diseases such as heart disease and hypertension. blood pressure after being given cupping therapy also decreased, dry cupping therapy has a stimulating effect.cupping at one point causes the skin (cutis), subcutaneous tissue (sub cutis), fascia and muscle to be damaged from mast cells or others. t his da ma ge ca uses the r elea se of sever a l substances such as serotonin, histamine, bradykinin, slow reaching substance (srs) and other unknown substances. these substances cause capillary and arteriolar dilation as well as flare reactions in the affected area. capillary dilation can also occur at a site far from the site of cupping, which results in improved microcirculation of blood vessels. as a result, there is a relaxing effect (relaxation) of stiff muscles and due to general vasodilation will stably lower blood pr essur e (hika ya ti, flor a , r, &purwa nto 2014). cupping pla ys a r ole in stimulating special receptors associated with contr a ction a nd stretching of blood vessels (baroreceptors) so that blood vessels can respond to various stimuli and increase their sensitivity to factors that cause hypertension (almi and almuqsith 2015). the theory above is in line with the results of the mean systolic blood pressure of 158.82 before intervention and after intervention, the mean systolic blood pressure was 124.71 with a p value of 0.000. whereas for the diastolic blood pressure was 90.59, after being given intervention the mean blood pressure was 78.82 with a p value of 0.009. this research is in line with research conducted by pratama, rasni, and w (2018). in addition to this r esea r ch, r esea r ch conducted by eliya na , nooryanto, and poeranto (2019) also showed a decrease in blood pressure in the group given dry cupping therapy as indicated by a p value of 0.004. dry cupping therapy is effective in reducing blood pressure due to the method of cupping which initially causes damage to the skin cells which results in the release of substances in the body such as serotonin, histamine, bradykinin, and slowreaching substance (srs). from the excretion of these substances, the capillaries and arteries expand so that there is an improvement in the microcirculation of blood vessels, which has an impact on muscle relaxation resulting in vasodilation which can lower blood pressure. in addition, it will stimulate the activation of other organs such as the liver, kidneys and heart and stimulate the sympathetic nerve (simpatico nervous system) so that it secretes an enzyme that acts as the angiotensin renin system. once the system is calm and reduced in activity, blood pressure will drop. cupping plays a role in reducing the volume of blood flowing in the blood vessels, thereby reducing blood pressure. the two interventions above, both neck massage with vco and dry cupping are both effective in lowering blood pressure, the difference is the method and mechanism of lowering blood pressure in patients suffering from hypertension. for neck ma ssage, a pa rt from the ma ssage movement coupled with the vco content which can reduce blood pressure effectively, the content of fatty acids which are classified as mcfa is easily absorbed down to the mitochondria so that it will increase the body’s metabolism. the most mcfa contained in vco are lauric acid. this lauric acid content is proven to be able to overcome many diseases such as heart disease and hypertension. for dry cupping therapy is a technique by pulling the skin with a special glass or cup that from the outset is damaged cells so that it can secrete substances such as histamine, bradykinin which can relax the blood vessels, both capillaries and arteries, which results in a decrease in the patient’s blood pressure. in addition, dry cupping therapy will maximize the work of the organs in the body, one of which is the kidneys and heart, the kidneys will maximize the release of raa which affects the decrease in blood pressure. 25faidah, muliawati, reduction blood pressureby neck massage therapy using ... conclusion the results of the above research indicate that neck massage therapy with vco and dry cupping therapy can reduce blood pressure in hypertension a nd ther e is no differ ence between the two interventions. suggestion the results of this study are expected to be continued by further researchers for dry cupping therapy and neck massage with virgin coconut oil by taking the treatment group without using drugs to see the effects of cupping and neck massage interventions with virgin coconut oil on lowering blood pressure. reference eliyana, y., nooryanto, m., & poeranto, s. (2019). effect of dry cupping therapy on blood pressure in postpartum preeclampsia mothers. jurnal info kesehatan, 17(1), 1–15. https://doi.org/10.31965/ infokes.vol17.iss1.221. pratama, y. b., rasni, h., & w, w. (2018). effect of dry cupping therapy on blood pressure in the elderly with hypertension in pstw jember. the indonesian journal of health science, (september), 94. https:/ /doi.org/10.32528/ijhs.v0i0.1530 hikayati, flora, r, & purwanto, s. (2014). nonpharmacological management of complementary therapy as an effort to overcome and prevent complications in patients with primary hypertension in indralaya mulya village, ogan ilir district. jurnal pengabdian sriwijaya. potter, p. a. & perry, a. g. (2015). fundamental of nursing 1 ed. 7. jakarta: salemba medika . doi:ios3107-49534 samiasih, a. (2013). opportunity of wet cupping to prevent coronary heart disease kb dmpa acceptors (lipid indicators and immune response). setiawan, w. a., yunani & kusyati, e. (2014). proceedings of the ii national conference in central java, 2014, the relationship between the frequency of exercise in the elderly to blood pressure and pulse in elderly hypertension. pros. konf. nas. ii ppni jawa teng. hikayati, flora, r, & purwanto, s. (2014). nonpharmacological management of complementary therapy as an effort to overcome and prevent complications in patients with primary hypertension in indralaya mulya village, ogan ilir district. j. pengabdi. sriwijaya. almi, e. & al-muqsith. (2015).aeffect of cupping therapy on systolic and diastolic blood pressure in patients in healthy clinics, dr. abdurrahman city of medan.2014. samudera. hussain, h. & hussain, h. (2016).frequency of hypertensives isolated systolic hypertension in elderly. 10, 809–813. foundation, n. h. (2016).guideline for the diagnosis and management of hypertension in adults. intari, desi wiwit, puspitasari, l. & oktaviani, sevianisa. (2018).efectivity of swedish massage therapy (smt) in elderly mothers as an effort to manage hypertension at the elderly posyandu. e-journal9, 138–148. yoga n it a , n. e. , sa r i fa h , s. & wi dya stut i , y. (2019).benefits of nape massage with olive oil to reduce headache in hypertension patients. profesi (profesional islam. media publ. penelit. 16-34. 368 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 368–375 utilization of maternity waiting home (mwh) to improve access to health services: systematic literature review indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 16/03/2020 accepted, 03/11/2020 published, 05/12/2020 keywords: utilization, maternity, maternity waiting home article information abstract maternity waiting home (mwh) is a home built in the compound or near to health facilities that provides standard medical and emergency obstetric care services. mwh is considered to be a key strategy to “bridge the geographical gap” in obstetric care between rural areas with poor access to equipped facilities, and urban areas where the services are available. this study aimed to systematically review the utilization of mwh to improve access to health service. the method of finding articles in this study was in the period 2014 to 2018, free full text, human species, and scholarly journals which were then identified using an electronic database from pubmed, proquest and onesearch. three articles were carried out with thematic analysis to identify the main points. factors associated with the utilization of mwh included (1) distance; (2) complication during pregnancy; and (3) income. barrier in the utilization of mwh were (1) inadequate number of room and postpartum bed; (2) lack of water and sanitation facilities; and (3) unavailable electricity. partnership between health workers in rural facilities, stronger role of stakeholders, and a broader health system, were expected to increase the utilization of mwh. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: university of ‘aisyiyah yogyakarta yogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: nurainaramli28@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p368–375 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 368 nuraina1, esitra herfanda2 1student master of midwifery program, faculty of health, universitas ‘aisyiyah yogyakarta, 2lecturer master of midwifery program, faculty of health, universitas ‘aisyiyah yogyakarta, indonesia https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p368-375&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p368-375 369nuraina, herfanda, utilization of maternity waiting home (mwh) to... introduction improving maternal health is one of the top prior ities of the world health organization (who). who works to contribute to reducing maternal mortality by increasing research evidence, providing evidence-based clinical and programmatic guidelines, setting global standards, and providing technical support to member countries. in addition, who advocates for more affordable and effective care, designs training materials and guidelines for health workers, supports countries to implement policies and programs and monitors progress (who, 2018). globally, for 25 years, maternal mortality has decreased by almost 44%. the ratio of maternal deaths in developing countries in 2015 was 239 per 100,000 live births compared to 12 per 100,000 live births in developed countries. the high number of maternal deaths in several regions of the world reflects inequity in access to health services which is related to the gap between rich and poor. almost all maternal deaths (99%) occur in developing countries. more than half of these deaths occur in sub-saharan africa and nearly one third occur in south asia (who, 2018). indonesia is a developing country that is still exper iencing difficulties in reducing mmr (maternal mortality rate). the 2015 indonesian demographic and health survey (idhs) shows that mmr in indonesia stands at 305 deaths per 100,000 live births. efforts to accelerate the reduction of mmr can be done by ensuring that every mother is able to access quality health services, such as health services for pregnant women, delivery assistance by trained health workers in health care facilities, post-natal care for mothers and babies, special care and referrals if complications occur, the ease of getting maternity and maternity leave, and the last is family planning services (ministry of health, 2016). maternal and infant mortality are health problems that greatly affect the quality of community health status, which is an indicator of the success of na tiona l development which is the joint responsibility of the relevant sectors and the health department as the coordinator. that is because the quality of health services is a benchmark of performance in the development of the health sector which has indicators of meeting the minimum service standard (spm) targets in the health sector. the most common causes of maternal death in obstetric complica tions a r e hyper tension in pregnancy (32%), infection (31%), postpartum bleeding (20%), abortion (4%), and others (13%). the high maternal and infant mortality rates require commitment from various related parties, both at national and global levels. commitment to reduce maternal and infant mortality rates globally is contained in the sustainable development goals (sdgs) target, namely in 2030, the maternal mortality rate must be below 70 per 100,000 live births (ministry of health, 2016). the world health organization (who) has r ecommended tha t ever y deliver y should be accompanied by a skilled officer, that is someone trained to manage a normal pregnancy that is able to identify, manage and refer complications. who has recommended the maternity waiting home (mwh) as an intervention to improve maternity care. women who do not have access to skilled care because of the constraints posed by distance, they can benefit from living in a maternity waiting home (mwh) and being closer to a facility that can manage emergency obstetric complications (henry et al., 2017). mwh are places that are near health facilities (hospitals, puskesmas or community health center, poskesdes or rura; health center) and are used as temporary shelter for pregnant women and their companions, while waiting for labor to arrive, or several days after delivery. according to permenkes no. 82 of 2015, a mwh is an effort to bring closer access and prevent delays in handling of pregnant women, maternity, post-partum and newborn babies, especially in areas that have difficult access to health facilities (ministry of health, 2016). the referral chain for mwh is in the form of health facilities, both government health facilities including supporting health centers, health centers, public hospitals, polri / tni hospitals and nongovernment / private health service facilities including posyandu, poskesdes, doctors / private practice midwives, private clinics and hospitals. thus, coverage of deliveries in health service facilities targeted at the ministry of health’s strategic plan for 2015-2019 in the republic of indonesia ministry of health (2015) by 85% is the target of the mwh program. utilization of mwh to improve access to health services can improve the quality of maternal and child health services. in addition this can also contribute to the reduction in maternal mortality 370 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 368–375 rate (mmr) and infant mortality rate (imr). however in reality, mwh has not been used equally, both in indonesia and abroad, especially for residents who live in remote areas with limited service access. methods researcher screened 833 literature reviews from three databases (pubmed, proquest, onesearch) for later review. all articles were selected using quantitative research methodology indexed by scopus with q1 standards where this research was carried out in developing countries. the population in this review ar e pr egnant women who use maternity waiting home (mwh) and pregnant women with complications to find out how pregnant women use mwh to improve access to health services. systematic literature review preparation was adjusted to the steps of systematic literature review, namely, 1) identification of problems, 2) prioritizing problems and questions, 3) creating frameworks, 4) literature searching, 5) choosing articles, 6) conducting critical appraisal, 7) extracting selected paper data, 8) collecting data and making maping to answer questions. problem identification: utilization of maternity waiting home (mwh) to improve access to health services can improve the quality of maternal and child health services which also contribute to reducing maternal mortality rate (mmr) and infant mortality rate (imr). mwh have not been used evenly, both in indonesia and abroad, especially for residents who live in remote areas with limited service access, so the identification of problems that will be used as material for review articles is: birth waiting mwh that has not been properly utilized to improve access to health services. priorities and questions of this systematic literature review specifically want to know: how the mwh is used to improve access to health services? the framework used was pico (population, intervention, comparison, outcome) research questions: how the maternity waiting home (mwh) is used to improve access to health services? element inclusion exclusion population 1. pregnant mothers who utilize mwh 2. pregnant mothers with complication pregnant mothers who live in the city intervention maternity waiting home (mwh) comparison factors and inhibitions of mwh outcome the utilization of mwh table 1 framework pico searching literature used in this study was obtained through a comprehensive search system (comprehensive literature search). searching was done by using the following steps: creating a framework to determine the inclusion and exclusion criteria, determining keywords that match the framework that has been determined, searching using keywords into the pubmed da ta ba se, proquest and onesearch, conducting keyword searches carried out with filters to get results that a r e mor e focused in a ccor da nce with a pr edeter mined framework. t he method of searching articles in this study were articles in the period 2014 to 2018, free full text, human species, and scholarly journals which are then identified using an electr onic da tabase from pubmed, proquest and onesearch. the author used boolean (or and and) as a conjunction to combine keywords in a search. thus the results would be more focused and relevant in pubmed. keywords used: 371nuraina, herfanda, utilization of maternity waiting home (mwh) to... record the findings, and save them in the zotero bibliography storage engine where the data that has been stored is then filtered according to the framework in which in this case inappropriate articles will be issued, record the findings of the number of articles and compile a flow diagram prism. in the selection of articles using 3 databases and reference lists, the number of articles was 833. search string and and utilization maternity waiting home waiting use maternity waiting house shelter role maternal home hut maternal house maternal childbirth table 2 keyword id en ti fi ca ti on f ea si bi lit y in cl ud ed f ilt er in g figure 1search process flow chart the searching result through databases pubmed = 634 proquest = 95 onesearch = 104 total = 833 the result after automatic duplicated (n = 56) complete text articles that fulfill inclusion criteria (n =5) records screenned (n = 777) complete text articles assessed for feasibility (n = 15) reviewed complete text articles (n = 3 ) complete text articles that fulfill inclusion criteria (n = 5 ) complete text articles eliminated because of not fulfilling the inclusion criteria (n = 10 ) complete text articles eliminated based on the result of critical appraisal (n = 2) the elimination results titles = 602 abstracts = 149 non english = 1 review/systematic review = 10 total = 762         372 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 368–375 in a search of 3 databases and reference lists, it was found: pubmed 634 journals, proquest 95 journals and onesearch 104 journals, so that the total articles found were 833. after duplicating , it turns out that there were 56 journals that made the total then 777 articles. after that, the results released from the title 602 journals, 149 abstract journals, not english 1 journals and review / systematic review of 10 journals, obtained 15 articles to be taken and reviewed independently based on inclusion and exclusion criteria. the next step taken was further filtering of the article to find appropriate and complete references regarding the use of the maternity waiting home (mwh) and obtained 5 articles for critical appraisal. the writer filters these articles based on the results of critical appraisal where then obtained 3 quantitative study articles for final review. critical appraisal was used to assess the quality of the article to be used. the tool chosen to assess the quality of articles was joana briggs institute (jbi). in the critical appraisal stage, critical appraisal was assessed on 5 articles. in addition, a journal assessment was also carried out to assess efficiently whether the literature could be used to answer clinical questions and be able to assess the research methodology used in a particular study, so that it could be decided whether the research results were acceptable or not. in this case, the writer made a critical appraisal using a checklist from jbi. in this process, the selected journals were 3 journals based on the writer ’s judgment which noted that the three journals were of good quality and in accordance with the topic. data extraction: extraction was carried out on data from 3 articles to include key criteria, such as research locations, study populations, research objectives, methodologies, a nd significa nt findings or r ecommendations. t he wr iter independently recorded the information and then compared the extracted data. maping: data extracted from systematic literature review articles were organized into several themes. the themes included in the review of this article include: 1. factors that influence pregnant women in utilizing a maternity waiting home (mwh) 2. obsta cles a nd expecta tions of the use maternity waiting home (mwh) today and in the future. the results of a systematic search obtained articles published in 2014-2018 where the writer and data sources taken came from the country of zambia (n = 2), tanzania (n = 1). three articles taken in this systematic literature review are q1 quality journals. all articles use the cross-sectional study method. two journals discuss the factors that influence the utilization of the birth waiting room and one journa l discusses the obsta cles a nd expectations of the current and sustainable use of the maternity waiting home (mwh). results 1. factors that influence pregnant women to use maternity waiting home (mwh) research conducted by (sialubanje et al., 2017) concerning personal and environmental factors related to the use of birth waiting room in rural zambia, the results show that there are significant differences between respondents who have access to mwh and those who do not have access to mwh. this relates to the place of delivery (p = 0.001 <0.05), duration of stay at the health center before delivery (p = 0.04 <0.05) and midwives (p = 0.001 <0.05). likewise, there is no significant relationship between the existence of a mwh and living in a mwh during a previous pregnancy. this finding provides insight into the factors associated with pregnant women utilizing a home waiting for birth, including the distance to a health facility and the history of pregnancy complications reported during anc. research conducted by (fogliati et al., 2017): from mwh that are used to increase equity in rural delivery care have found that in the bivariate analysis, years of education, distance to the hospital and socio economic strata (ses), it is significantly related to living in a mwh. women who have lived in mwh are more likely to be less educated (crude or 0.53, 95% ci 0.34-0.82 for women with 8 years of education compared to 7 years), women whose place of residence is 625 km, or 4.74, 95% ci 3.01-7.46; 26-50km, or 5.20, 95% ci, 3.10-8.74; > 50km, or 5.58, 95% ci, 2.8910.78). socio-economic status, with poor women (quintiles 1-4) more likely to access the birth waiting room than those from the highest quintile (or 1.38.95% ci 1.02-1.88). 373nuraina, herfanda, utilization of maternity waiting home (mwh) to... 2. obstacles and expectations for the use of the maternity waiting home (mwh) for now and sustainably research conducted by (chibuye et al., 2018) about the experiences and expectations of maternity waiting home (mwh) in luapula province, zambia: a mixed method of cross-sectional studies with women, community groups and stakeholders. the findings in this study are: obstacles to mwh ar e the lack of adequate fa cilities, such a s: inadequate rooms, equipment, electricity, water and sanitation facilities, do not guarantee women’s safety a nd there is no provision of food or transportation. expectations from the community for mwh include a partnership between health workers in rural health facilities, a broader health system and the role of stakeholders to continue to be involved and committed that birth waiting room have an important role to reduce maternal and neonatal mortality rates. discussion 1. factors that influence pregnant women to use maternity waiting home (mwh) a. distance t he pr esence of a mwh incr ea ses the utilization of services, especially for women who live far from health facilities (sialubanje et al., 2017). women who are> 50 km away from health facilities use more mwh because they will guarantee more survival for mothers and neonates, compared to women who have direct access to hospitals (fogliati et al., 2017). research conducted in indonesia, namely in south central timor regency, distance is one of the factors why mothers do not use mwh. mothers who live far from health facilities use mwh while mothers who live near health facilities do not use mwh (bakoil, 2017). as we know that the mwh is a facility or place to make it easier for women who are going to give birth to health facilities, especially for mothers who live in rural areas. through the mwh, this will greatly assist the mother in preparing for safe delivery for the mother and the baby to be born. b. complications during pregnancy mothers who are at risk of complications during pregnancy will make use of the mwh. regardless of whether or not there is a mwh, some mothers believe that they are personally at risk of developing pregnancy and childbirth complications. in this case complications during pregnancy are very dangerous for the mother and also the baby to be born. in this study, 80 mothers who experienced complications during pregnancy only 29 mothers who used the mwh while the remaining 51 mothers did not use the mwh (sialubanje et al., 2017). in this study, we can see that although the government has provided facilities to make it easier for women who experience complications during pregnancy to go to a health facility, the reality is that they are not utilized properly.the purpose of the mwh is to increase the coverage of deliveries assisted by health workers and carried out in health care facilities as well as to improve the detection and management of early maternal complications which in turn can play a role in accelerating the reduction of maternal mortality rate (mmr) (ministry of health, 2016). c. economic status maternity waiting home (mwh) are only used by middle-lower income mothers, whereas mothers with upper-middle income do not use birth waiting room even though they live far from health fa cilities a nd these mother s exper ience complications during pregnancy (fogliati et al., 2017). in zambia, the use of mwh is affected by the economic status where mothers do not use mwh due to lack of costs, so that all the needs of mothers while in mwh cannot be fulfilled. (sialubanje et al., 2015). research in indonesia, specifically in west southeast maluku regency, shows that 18.7% of maternal women use mwh and the remaining 81.3% do not use mwh. one of the factors influencing women not to use mwh is economic status (sukoco, 2015). other research in indonesia is research that analyzes factors related to the use of waiting homes by maternity mothers in kupang regency, east nusa tenggara province. this study shows that 31.2% of women use a mwh and 67. 9% of women do not use a mwh. cost availability factors have the strongest influence on utilization of waiting homes in kupang regency, east nusa tenggara province (huru et al, 2014). 2. obstacles and expectations for the use of the maternity waiting home (mwh) for now and sustainably 374 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 368–375 obstacles to the use of mwh are inadequate number of rooms, inadequate number of postpartum beds, unsupported wa ter and sanita tion a nd unsecured electricity sources (chibuye et al., 2018). another obstacle that makes mothers not use mwh is the safety of mothers is not guaranteed, because midwives are not 24 hours in the mwh and also inadequate space.adequate budget in developing mwh is one step in reducing maternal and infant mortality. criteria for mwh (ministry of health, 2016) are as follows: 1. the location is close to the community health center that are capable of delivering childbirth or the regional / central general hospital 2. houses owned by residents or houses built by the village government 3. having a bedroom, kitchen, bathroom, latrine, clean water and ventilation as well as a good lighting (electricity) t he expecta tion is tha t ther e will be a pa rtnership between health workers in rur al facilities, a broader health system, and the role of stakeholders to continue to commit that the mwh is a tool to assist in reducing maternal and neonatal mortality rates with complications. a mwh must pr ovide secur ity a nd pr iva cy, food a nd transportation. the government must budget sufficient funds so that the mwh can be put to good use by pregnant women with complications. maternity waiting home (mwh) are the distance (dista nce of r esidence to hea lth fa cilities), complications during pregnancy and economic status. maternity waiting home (mwh) is a facility or place to make it easier for mothers who are going to give birth to health facilities, especially for mothers who live in rural areas. through the mwh, this will greatly help the mother in preparing for safe delivery for the mother and the baby to be born. obstacles and expectations in the use of maternity waiting home (mwh) for now and sustainably are the number of rooms that are inadequate, the number of postpartum beds that are inadequate, water and sanitation that does not support and unsecured electricity sources. the hope is that there will be a pa rtnership between health workers in rur al facilities, a broader health system, and the role of stakeholders to continue to commit that the mwh is a tool to assist in reducing maternal and neonatal mortality with complications. mwh must provide security and privacy, food and transportation. the government must budget sufficient funds so that the mwh can be put to good use by pregnant women with complications. suggestion it is important to promote maternity waiting home (mwh) so that mothers who experience complications during pregnancy can make use of them, so as to facilitate them in accessing health facilities. the department of health, hospitals and community health centers must collaborate in promoting maternity waiting home (mwh) so as to reduce maternal and neonatal mortality rates. ma ter nity wa iting home (mwh) is a new government program so that not many researchers have conducted research on mwh. therefore, i strongly recommend that research on mwh is carried out to obtain more findings. references bakoil, mareta bakale (2017). development of a model of access to maternity waiting home in childbirth assistance based on the perspective of maternity women in timor tengah selatan district chibuye, p.s., bazant, e.s., wallon, m., rao, n., fruhauf, t (2018). experiences with and expectations of maternity waiting homes in luapula province, zambia: a mixed-methods, cross-sectional study with women, community groups and stakeholders. bmc pregnancy childbirth 18, 42. https://doi.org/ 10.1186/s12884-017-1649-1 fogliati, p., straneo, m., mangi, s., azzimonti, g., kisika, f., putoto, g (2017). a new use for an old tool: maternity waiting homes to improve equity in rural childbirth care. results from a cross-sectional hospital and community survey in tanzania. health policy plan. 32, 1354–1360. https://doi.org/10.1093/ heapol/czx100 henry, e.g., semrau, k., hamer, d.h., vian, t., nambao, m., mataka, k., scott, n.a (2017). the influence of quality maternity waiting homes on utilization of facilities for delivery in rural zambia. reprod. health 14, 68. https://doi.org/10.1186/s12978-017-0328-z huru et al (2014). analysis of factors associated with the use of waiting house by maternal in district of kupang in province of east nusa tenggara. http:// eprints.undip.ac.id/42954/ ministry of health (2016). health workforce development plan for 2011-2015.jakarta conclusion factors that affect the utilization of the 375nuraina, herfanda, utilization of maternity waiting home (mwh) to... ministry of health (2016). indonesian ministry of health data and information center. ministry of health (2016). indonesian health profile in 2016 sialubanje, c., massar, k., hamer, d.h., ruiter, r.a.c (2017). personal and environmental factors associated with the utilisation of maternity waiting homes in rural zambia. bmc pregnancy childbirth 17, 136. https://doi.org/10.1186/s12884-017-1317-5 sialubanje, c., massar, k., van der pijl, m.s.g., kirch, e.m., hamer, d.h., ruiter, r.a.c (2015). improving access to skilled facility-based delivery services: women’s beliefs on facilitators and barriers to the utilisation of maternity waiting homes in rural zambia. reprod. health 12, 61. https://doi.org/ 10.1186/s12978-015-0051-6 sukoco, noor edi widya (2015). utilization of maternity waiting home in adaut health center, selaru district, west southeast maluku regency. center for humanities and health management. jakarta (electronic journal); http://dx.doi.org/10.22435/ bpk.v45i1.6071.65-72 world health organization. intrapartum care for a positive childbirth experience. geneva: world health organization; 2018. e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 60 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 60–66 60 pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids (teenage knowledge and attitude to prevent hiv/aids) priscilla donmiana vidiyanti jurusan keperawatan poltekes kemenkes malang e-mail:priscila_donmianavidiyanti@yahoo.com abstract: teenagers are the vulnerable group of contracting hiv because of changes in the reproductive organs are more mature in adolescents, causing a boost sexual arousal and stronger in her teens. the purpose of this study was to describe the knowledge and attitudes of adolescents in the prevention of hiv/aids. the method used descriptive, a population of this research is all student on second grade of catholic high school students of diponegoro blitar were 219, the samples size was 65 students using systematic random sampling techniques, and use of a questionnaire. the results showed knowledge in the prevention of adolescent hiv/aids some 66% (43 students) had good knowledge. the attitude of young people in the prevention of hiv/aids some 52% (34 students) had a positive attitude, because all student have given health promotion about hiv/aids. recommendations of this study are expected to conduct health promotion officer of health promotion, education materials that expand the knowledge and attitudes of adolescents can develop better and will affect the health status of adolescents. keywords: knowledge, attitude, youth, hiv / aids abstrak: remaja adalah kelompok paling rentang terkena hiv karena perubahan organ-organ reproduksi yang makin matang pada remaja, menyebabkan dorongan dan gairah seksual remaja semakin kuat untuk melakukan hubungan seksual. tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids. metode yang digunakan adalah deskriptif dengan populasi seluruh siswa kelas dua di sekolah menengah atas diponegoro blitar sebanyak 219 siswa, besar sampel pada penelitian ini adalah 65 siswa dengan menggunakan teknik systematic random sampling, instrument pengumpulan data berupa kuesioner. hasil penelitian menunjukkan pengetahuan remaja dalam pencegahan hiv/aids sejumlah 66% (43 orang) memiliki pengetahuan baik. sikap remaja dalam pencegahan hiv/aids sejumlah 52% (34 orang) memiliki sikap positif, karena seluruh siswa telah mendapatkan penyuluhan kesehatan tentang hiv/aids. rekomendasi penelitian ini adalah petugas promosi kesehatan diharapkan melakukan promosi kesehatan, memperluas materi penyuluhan sehingga pengetahuan dan sikap remaja dapat berkembang lebih baik dan akan mempengaruhi derajat kesehatan remaja. kata kunci: pengetahuan, sikap, remaja, hiv/aids acquired immune deficiency syndrome atau aids adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunya sistem kekebalan tubuh manusia yang didapat (bukan karena keturunan), tetapi disebabkan oleh virus yang disebut human immunodeficiency virus atau hiv. sedangkan hiv yaitu sekumpulan jasad renik yang sangat kecil yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia (departemen kesehatan ri, 1997). orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap segala macam penyakit. penyakit ini belum bisa disembuhkan dan penanganan yang ada hanya dapat memperlambat perkembangan virus. virus hiv menular melalui kontak langsung antar lapisan kulit dalam atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung hiv, seperti darah, acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p060-066 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 61vidiyanti, pengetahuan dan sikap remaja dalam ... air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. penularan dapat terjadi melalui hubungan seksual dengan pengidap hiv/aids, ibu pada bayinya, darah dan produk darah yang tercemar hiv/aids, pemakaian alat kesehatan yang tidak seteril, menggunakan jarum suntik secara bergantian. kasus hiv dan aids di indonesia seperti fenomena gunung es. fenomena ”gunung es” dalam kasus hiv dan aids di indonesia menjadi diskusi yang perlu mendapat perhatian. pada tahun 2007, perkembangan situasi epidemi hiv menunjukkan peningkatan yang sangat tajam. jumlah kasus hiv dan aids meningkat terus, dan dilaporkan pada akhir tahun 2007 terdapat 11.141 pasien aids dan 6.066 orang hiv positif. jumlah itu diperkirakan hanya dari 10% dari seluruh orang yang terinfeksi hiv di indonesia (seketariat kpa nasional, 2007). tahun 2011 penderita aids yang berusia 15–19 tahun sebanyak 1069 sedangkan di jawa timur penderita aids sebanyak 4598 dan hiv sebanyak 9950 (ditjen pp & pl kemenkes ri, 2012). di kota blitar kasus hiv dan aids mengalami peningkatan dari tahun 2012 sampai bulan nopember tahun 2013 sebesar 10%. upaya-upaya yang telah dilakukan dinas kesehatan kota blitar antara lain penyuluhan ditingkat sekolah, lintas sektoral dan masyarakat umum, talkshow di media elektronik, fasilitas kondom pada kelompok risti, pengadaan media cetak dan jejaring layanan hiv. survei riskesdas 2010 menunjukkan bahwa kira-kira 42% dari jumlah penduduk usia di atas 15 tahun belum pernah mendengar tetang hiv/ aids (unicef, 2012). tahun 2011 remaja usia 1524 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang hiv dan aids mencapai 70%. bulan maret tahun 2012 mencapai 11,6% dan target mdgs tahun 2014 mencapai 95% (sekretariat kpa nasional, 2012). dari program yang telah dilakukan oleh dinas kesehatan kota blitar belum pernah dilakukan evaluasi prosentase pengetahuan remaja tentang hiv/aids di kota blitar. dari hasil yang didapat penderita hiv di kota blitar paling banyak usia 21–35 tahun, maka perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja, dengan harapan dapat menurunkan angka penderita hiv. pengetahuan memegang peranan penting untuk melakukan pencegahan terhadap hiv dan aids. oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang luas untuk memahami penyakit hiv dan aids. sedangkan pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (notoatmodjo, 2003). sedangkan sikap merupakan reaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan setelah seseorang memiliki pengetahuan. sementara itu, remaja adalah usia paling rentang terkena hiv karena perubahan organ-organ reproduksi yang makin matang pada remaja, menyebabkan dorongan dan gairah seksual remaja semakin kuat dalam dirinya. banyak media massa, media cetak dan media elektronik, seperti internet, televisi, koran atau majalah yang menyampaikan informasi secara bebas kepada masyarakat umum, termasuk remaja. walaupun remaja telah mencapai kematangan kognitif, namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah informasi yang diterima tersebut secara benar. akibatnya perilaku seksual remaja, seringkali tidak terkontrol dengan baik. mereka melakukan pacaran, seks pra nikah atau mengadakan ”pesta seks” dengan pasangannya, yang menyebabkan hamil muda, timbulnya penyakit menular di kalangan remaja termasuk hiv dan aids (agoes, 2004). anak muda sering menyatakan kasih sayang terhadap satu dengan yang lain dalam bentuk: rangkulan, sentuhan-sentuhan emosional, serta rabaan pada bagian-bagian badan yang sesitif. sentuhan serta rabaan ini lambat laun menimbulkan rangsangan. masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan masa dewasa, yakni antara 12–21 tahun. masa remaja merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan. itu sebabnya anak-anak muda mudah terkena pengaruh lingkungan ( willy, 2000). dari studi pendahuluan pada remaja didapatkan remaja beranggapan bahwa gigitan nyamuk, menggunakan alat makan bersama dapat menularkan hiv dan penyakit aids adalah penyakitan kutukan sehingga mereka beranggapan orang yang terinfeksi hiv hendaknya dikarantina. dari paparan perlu diteliti tentang pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids. tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. populasi penelitian adalah siswa-siswi kelas 2 (dua) smak di blitar, dan sampel adalah sejumlah siswasiswi yang diambil dari kelas 2 (dua) smak di blitar 62 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 60–66 pada remaja pertengahan yang sudah mendapatkan penyuluhan tentang hiv/aids. dari hasil perhitungan didapatkan besar sampel 65 siswa. penelitian ini menggunakan metode sytematic random sampling. penelitian ini dilakukan di smak diponegoro kota blitar. pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner. adapun data yang dikumpulkan meliputi data pengetahuan remaja tentang pengertian hiv/aids, gejala hiv/aids, cara penularan hiv/aids, cara pencegahan hiv/ aids, dan sikap remaja terhadap pencegahan hiv/ aids. data yang telah terkumpul, dilakukan editing, coding, kemudian dilakukan tabulasi data. dengan menggunakan komputer. analisa data dilakukan secara deskriptif. hasil penelitian penelitian ini dilakukan terhadap remaja sma di smak diponegoro kota blitar, yang sudah mendapatkan penyuluhan tentang hiv/aids. subyek penelitian terdiri dari 65 remaja dengan usia remaja pertengahan. hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang menjadi subyek penelitian ini berusia remaja pertengahan. jumlah remaja perempuan yaitu sebesar 63% dan remaja laki-laki sebesar 37%. sedangkan remaja yang mempunyai teman menggunakan narkoba yaitu sebesar 11%. tetapi tidak ada remaja yang terpengaruh menggunakan narkoba. berdasarkan tabel 2 di atas tampak bahwa sebagian besar remaja memiliki sikap yang positif terhadap pencegahan hiv aids. tabel 1. tingkat pengetahuan remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids pengetahuan f % baik cukup kurang 43 20 2 66 31 3 total 65 100 berdasarkan tabel 1 di atas tampak bahwa sebagian besar remaja memiliki pengetahuan yang baik tentang pencegahan hiv aids yaitu sebesar 66%. tabel 2. sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/ aids tindakan f % positif negatif 34 31 52 48 total 65 100 tabel 3. tabulasi silang antara pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids p engetahua n sikap total positif negatif baik 25 38% 18 28% 43 66% cukup 9 14% 11 17% 20 31% kurang 0 0% 2 3% 2 3% total 34 52% 31 48% 65 100% berdasarkan tabel 3 di atas tampak bahwa remaja yang mempunyai pengetahuan baik juga memiliki sikap yang baik terhadap pencegahan hiv aids. tabel 4. pengetahuan tentang pengertian hiv/aids pada remaja pertany aan f % human immunodeficiency virus penyebab aids ya t idak 65 0 100 0 aids adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh ya t idak 65 0 100 0 aids tergolong penyakit infeksi menular seksual ya t idak 64 1 98,5 1,5 tabel 5. pengetahuan tentang gejala hiv/aids pada remaja pertany aan f % berat badan menurun leb ih dari 10% dalam 1 bulan termasuk gejala aids ya tidak 52 13 80 20 flu ringan, dan sakit kepala merupakan gejala awal hiv ya tidak 21 44 32,5 67,5 demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan termasuk gejala aid s ya tidak 40 25 61 39 pembahasan berdasarkan hasil penelitian didapatkan data pengetahuan remaja dalam upaya pencegahan hiv/ aids yaitu 66% (43 responden) baik, 31% (20 responden) cukup, dan 3% (2 responden) kurang. sedangkan target mdgs tahun 2014 mencapai 95%, jadi dari hasil penelitian yang sudah di lakukan di sma katolik diponegoro blitar masih di bawah target mdgs. hal ini disebabkan petugas kesehatan 63vidiyanti, pengetahuan dan sikap remaja dalam ... hanya memberikan penyuluhan tentang hiv/aids sebanyak satu kali dalam satu tahun dan cara penyampaianya tidak dilakukan di setiap kelas masingmasing tetapi semua remaja dikumpulkan di dalam audit dengan jumlah 219 remaja hal ini juga akan mempengaruhi daya tangkap pada setiap remaja. selain itu, di lingkungan sekolah juga tidak ada poster atau gambar-gambar yang berisi tentang hiv/aids. adanya hasil pengetahuan dalam kategori yang bervariasi dalam penelitian ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor. pertama adalah oleh faktor umur. penelitian ini dilakukan pada remaja pertengahan. remaja merupakan masa-masa yang kritis pada perkembangan baik secara fisiologis, psikologis dan sosial. pada usia remaja daya ingat seseorang belum mengalami penurunan. hurclok (1998) mengatakan semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja. ahmadi (2004) mengungkapkan bahwa usia merupakan faktor penentu daripada tingkat kemampuan belajar individu. kedua adalah oleh faktor pengalaman. dari studi pendahuluan yang dilakukan didapatkan data bahwa seluruh responden telah mendapatkan penyuluhan tentang hiv/aids oleh petugas kesehatan. dari hasil penelitian didapatkan data remaja yang mempunyai teman menggunakan narkoba yaitu 11% (7 responden). semakin banyak orang memperoleh pengalaman maka pengetahuannya akan semakin baik. sementara itu, pengalaman merupakan guru yang terbaik, pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan (notoadmodjo, 2003). ketiga adalah faktor lingkungan yaitu seluruh kondisi yang ada di sekitar manusia dan pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok (nursalam, 2001), faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan seseorang. penelitian ini dilakukan pada responden yang berpendidikan sma. sistem pendidikan yang berjenjang diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan melalui pola tertentu, sehingga tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuannya. diperlukan kesiapan sistem memori seseorang dalam menyerap, mengelola dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari seseorang tersebut (syah, 2005). sikap merupakan suatu reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi atau objek yang terdiri dari 3 komponen pokok yaitu kognitif, afektif, dan konatif. pengetahuan, berpikir, tabel 6. pengetahuan tentang cara penularan hiv/aids pertanyaan f % hubungan seksual dengan bergonta-ganti pasangan bisa menularkan hiv ya tidak 65 0 100 0 penggunaan jarum suntik secara bersama dap at menularkan hiv ya tidak 63 2 97 3 hiv bisa menular melalui transfusi darah dengan pendonor yang mengidap hiv ya tidak 63 2 97 3 seseorang tertular hiv dengan cara menggunakan alat makan atau minum dengan seseorang yang sudah terinfeksi hiv ya tidak 25 40 39 61 hiv bisa menular melalui gigitan nyamuk ya tidak 23 42 35 65 saya bisa mengetahui seseorang sudah terinfeksi hiv hanya dengan melihatnya ya tidak 7 58 11 89 tabel 7. pengetahuan tentang cara pencegahan hiv/aids pada remaja pertany aan f % dengan saling setia pada pasangan dapat mengurangi risiko tertular hiv y a t idak 60 5 92 8 seseorang mengurangi risiko tertular hiv dengan cara menggunakan kondo m dengan benar setiap kali melakukan seks dengan pasangan yang beresiko y a t idak 43 22 66 34 memakai alat-alat yang menembus darah dan kulit secara steril, dan tidak memakai secara bergantian dapat mencegah tertular hiv y a t idak 60 5 92 8 64 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 60–66 keyakinan dan emosi memegang peranan penting dalam menentukan sikap seseorang (notoadmodjo, 2004). dalam penelitian ini remaja yang memiliki sikap yang positif terhadap hiv/aids sebesar 52% (34 responden), sedangkan remaja yang memiliki sikap yang negatif terhadap hiv/aids sebesar 48% (31 responden). sedangkan siswa yang mempunyai teman menggunakan narkoba dan bersikap positif sebanyak 6% (4 responden) dan bersikap negatif sebanyak 5% (3 responden). remaja yang menggunakan narkoba dengan jarum suntik 0%. sikap positif remaja disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids setelah diberikan penyuluhan kesehatan. hal ini sesuai dengan pendapat notoadmodjo (2004) yang menya takan bahwa faktor pengeta huan merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam penentuan sikap dan merupakan salah satu komponen pokok dari suatu sikap. suatu pengetahuan akan menimbulkan suatu kepercayaan yang merupakan dasar terbentuknya suatu ide untuk mengetahui sifat atau karakteristik umum dari suatu objek sikap. sekali kepercayaan terbentuk maka a ka n menja di dasa r pengeta hua n seseor a ng mengenai apa yang didapat diharapkan dari objek sikap. tabel 8. sikap remaja terhadap pencegahan hiv/aids peryataan f % menurut saya menggunakan kondom pada saat berhubungan sex dapat mencegah penularan hiv/aids. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 12 31 10 12 18.5 47.6 15,4 18.5 menurut saya berganti-ganti pasangan dapat meningkatkan resiko tertular hiv/aids. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 53 9 2 1 81.5 14 3 1.5 menurut saya dengan menggunakan narkoba suntik dapat tertular hiv/aids. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 46 15 3 1 70.9 23 4.6 1.5 menurut saya satu-satunya cara tertular hiv/aids hanya dengan berhubungan sex. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 2 11 44 8 3 17 67.7 12.3 menurut saya pelajar yang terinfeksi hiv tidak boleh terus bersekolah. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 9 4 28 24 14 6 43.1 36.9 menurut saya jika teman saya terinfeksi hiv hendaknya dikucilkan. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 1 1 26 37 1.5 1.5 40 57 menurut saya informasi/penyuluhan tentang hiv/aids harus selalu diberikan kepada siswa. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 53 10 2 0 81.5 15.5 3 0 menurut saya penyakit aids adalah penyakit kutukan. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 3 11 22 29 4.6 17 33.8 44.6 menurut saya tidak akan berteman dengan penderita aids walaupun itu teman dekat saya. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 2 4 37 22 3 6 57.2 33.8 menurut saya bila orang terinfeksi hiv hendaknya dikarantina. sangat setuju setuju tidak setuju sangat tidak setuju 17 25 18 5 26.1 38.5 27.7 7.7 65vidiyanti, pengetahuan dan sikap remaja dalam ... peneliti berpendapat bahwa usia remaja merupakan usia yang rawan karena remaja sering ingin mencoba hal yang baru dan mudah sekali percaya terhadap sesuatu hal yang dianggapnya benar, baik sebenarnya itu benar atau salah. hal ini mungkin yang menyebabkan sikap remaja lebih negatif meskipun sudah pernah mendapat informasi. orang dikatakan memiliki sikap yang negatif terhadap obyek psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable terhadap obyek psikologi (ahmadi, 1999). sikap negatif yaitu sikap yang menunjukkan a ta u memper liha tka n penola ka n a ta u tida k menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku di mana individu itu berada (ahmadi, 1999). menurut azwar (2003) sikap biasanya juga tidak mudah untuk diubah. hal ini menyebabkan timbulnya bentuk perilaku kompensatif apabila terjadi ketidakseimbangan komponen sikap. perilaku kompensatif tersebut dapat berbentuk reaksi yang berlebihan yang searah dengan sikap semula dan secara tidak sadar diperlihatkan individu untuk mempertahankan ego. sikap disini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yakni faktor pengalaman pribadi, orang lain yang dianggap penting, dan media massa. tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis (azwar, 2003). dalam teori fungsional katz dikatakan bahwa manusia mempunyai dorongan dasar ingin tahu untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui individu akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai konsistensi. pertama adalah pengalaman pribadi juga mempengaruhi sikap seseorang. apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataukah sikap negatif (azwar, 2003). tentunya hal ini akan memberikan responden mendapatkan banyak pengalaman yang akan membentuk sikap yang positif. dari hasil penelitian di dapatkan tidak ada siswa yang menggunaka n narkoba ya ng memakai jarum suntik. peneliti berpendapat bahwa pengalaman pribadi yang tidak meninggalkan kesan yang kuat dapat mendorong individu mengarah ke sikap negatif. kedua adalah media massa. menurut azwar (2003) media massa sebagai sarana komunikasi yang memberi pengaruh dalam pembentukan opini seseorang. adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap. dari tabulasi silang antara sikap dan sumber informasi, didapatkan hasil penelitian remaja yang mendapatkan 5 sumber informasi dan bersikap positif sebanyak 13,8% (9 responden). sumber informasi yang banyak di gunakan oleh remaja antara lain internet dan televisi. peneliti beranggapan televisi dan internet sangat mudah didapatkan. di setiap rumah semua orang mempunyai televisi dan informasi tentang hiv/aids dapat dengan mudah diakses di internet. ketiga adalah orang lain di sekitar kita. orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap (azwar, 2003). bagi seorang remaja, persetujuan atau kesesuaian sikap sendiri dengan sikap kelompok sebaya adalah sangat penting untuk menjaga kerjasama dengan teman-teman, untuk menjaga agar ia tidak dianggap asing dan lalu dikucilkan oleh kelompok. dari hasil penelitian didapatkan 11% (7 responden) remaja mempunyai teman yang menggunakan narkoba. dari hasil tabulasi silang antara pengetahuan dengan sikap, peneliti berpendapat bahwa adanya responden yang memilki pengetahuan yang baik dan sikap positif yaitu 38,5% (25 responden) karena seluruh responden telah mendapatkan penyuluhan kesehatan tentang hiv/aids yang dilakukan oleh petugas dari dinas kesehatan, sehingga meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids. dari hasil tabulasi silang antara pengetahuan dengan sikap didapatkan remaja berpengetahuan baik dan bersikap negatif yaitu 28% (18 responden) karena remaja mempunyai kepercayaan yang salah tentang pencegahan hiv/aids. mereka beranggapan bahwa penyakit aids adalah penyakit kutukan dan orang yang terinfeksi hiv hendaknya dikarantina. selain itu mereka juga beranggapan gigitan nyamuk dan menggunakan alat makan bersama dengan seseorang yang sudah terinfeksi hiv akan dapat menularkan hiv dan penyakit aids. peneliti beranggapan hal ini terjadi karena kurangnya konsentrasi remaja dalam mengikuti materi dikarenakan jumlah peserta yang mengikuti penyuluhan terlalu banyak yaitu 219 remaja dan kemampuan setiap remaja dalam menerima materi berbeda-beda 66 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 60–66 sedangkan materi penyuluhan tentang hiv/aids hanya diberikan satu tahun sekali. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa (1) pengetahuan baik sejumlah 66% (43 responden), pengetahuan cukup sejumlah 31% (20 responden), dan pengetahuan kurang sejumlah 3% (2 responden) (2) sikap positif sejumlah 52% (34 responden) dan sikap negatif sejumlah 48% (31 responden) (3) meskipun pengetahuan remaja dalam upaya pencegahan hiv/aids baik tidak selalu diikuti dengan sikap yang positif, karena sikap di pengaruhi oleh berbagai faktor yaitu pengalaman pribadi, orang lain yang di anggap penting, dan media massa. saran saran dari penelitian ini adalah diharapkan kepada dinas kesehatan dapat lebih di tingkatkan kualitas dan kwantitas materi penyuluhan tentang upaya pencegahan hiv/aids sehingga pengetahuan dan sikap remaja dapat berkembang lebih baik dan akan mempengaruhi derajat kesehatan remaja. diharapkan kepada lahan penelitian untuk dapat menambahkan informasi tentang hiv/aids di sekolah, misalnya dengan menambah buku bacaan tentang hiv/aids di perpustakaan sekolah dan bekerjasama dengan pihak pelayanan kesehatan setempat tentang program pendidikan kesehatan khususnya penyuluhan tentang hiv/aids. institusi pendidikan sebagai instansi yang berperan memberikan pembelajaran, diharapkan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai sumbangan informasi atau literatur sehingga dapat bermanfaat bagi orang banyak khususnya untuk pendidikan kesehatan dalam proses kegiatan belajar mengajar. peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan memperluas pembahasan penelitian, yaitu tidak hanya pada pengetahuan dan sikap tetapi dapat dikembangkan lebih lanjut. daftar rujukan ahmadi, a. 1999. psikologi sosial. jakarta: pt rineka cipta. azwar, s. 2003. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka belajar. dariyono, a. 2004. psikologi perkembangan remaja. bogor: ghalia indonesia. departemen kesehatan ri. 1997. buku pegangan penggerak pendidikan kelompok sebaya dalam penanggulangan hiv/aids dan pms lainnya bagi petugas kesehatan. ditjen pp & pl kemenkes ri. 2012. statistik kasus hiv/ aids di indonesia. notoadmodjo, s. 2003. pendidikan dan perilaku kesehatan. jakarta: pt rineka cipta. notoatmodjo, s. 2004. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: pt rineka cipta. nursalam & ninuk, d.k. 2009. asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi. jakarta: salemba medika. sekretariat kpa nasional. 2012. lembar fakta orang muda dan hiv di indonesia. jakarta. syah, m. 2005. psikologi pendidikan dengan pendekatan baru. bandung: pt remaja rosdakarya. unicef indonesia. 2012. ringkasan kajian respon terhadap hiv & aids. jakarta. willis, sofyan, s. 2005. remaja dan masalahnya. bandung: alfabeta. 421matahari, knowledge of sexually transmitted infections (sti’s) and ... knowledge of sexually transmitted infections (sti’s) and hiv/aids among health cadres of ‘aisyiyah ratu matahari reproductive health department, public health faculty, ahmad dahlan university, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 25/08/2020 accepted, 26/10/2020 published, 15/12/2020 keywords: knowledge of stis an d hiv / aids,’aisyiyah health cadres, health education article information abstract hiv / aids education needs to be done to active reproductive women such as housewives who are vulnerable populations. this research aimed to analyze differences in knowledge related to stis and hiv / aids among aisyiyah health cadres in north banguntapan, bantul regency. this research is a preexperimental research design method. the design of this research was one group pretest-posttest. the research sample was selected purposively as many as 31 respondents. this research produced information that there was a mean difference between prior and after knowledge about health education about stds and hiv / aids with a significance value of 0.001 (p-value <0.05) and 95% ci of 0.466 1.728. based on the results of the research it could be concluded that there was an increase of knowledge about sti and hiv / aids in aisyiyah health cadres after getting health education. © 2020 journal of ners and midwifery correspondence address: ahmad dahlan university yogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: ratu.matahari@ikm.uad.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i3.art.p421–425 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) 421 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i3.art.p421-425&domain=pdf&date_stamp=2020-12-05 https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p421-425 422 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 421–425 introduction hiv (human immunodeficiency virus) and aids (acquired immune deficiency syndrome) have become global problems. worldwide, there are 37.9 million people living with hiv / aids, 1.7 million of whom are children, 20% of whom do not know they have the virus (unaids, 2019). hiv / aids in indonesia is an epidemic, this threat can be seen from the increase in cases, especially in high-risk groups in several places in indonesia. in 2018 in indonesia there were 640,000 people living with hiv. pr ojections of hiv a nd aids in indonesia based on sex for hiv cases are 38% women and 62% men, aids 36% women and 64% men. by age 0.8% of the 15-49 year old group worldwide are living with hiv (ditjen pp & pl, 2014; kementerian kesehatan ri, 2018). the data from health office of yogyakarta mentioned that the number of hiv/aids cases among women in 2015 there were 108 cases (classified by vct testing result)(i.h. lende, nugroho, & wantini, 2019). based on data from the bantul health office in 2013, there were 28 hiv sufferers, 22 of them were childbearing age women and of the 15 aids sufferers 12 were women of childbearing age (bantul, 2013). the increasing number of hiv / aids cases in indonesia is influenced by risk factors which can accelerate the spread of hiv / aids such as injection drug use, reluctance of male sex customers to use condoms, high sexually transmitted diseases for street children, and migration and population movement accompanied by a lack of knowledge and prevention information of hiv / aids (kementerian kesehatan ri, 2018; were, were, wamai, hogan, & galarraga, 2020). traditionally, indonesian women have been heavily influenced by social and religious values. islam is the religion of the majority of the population in indonesia, so the influence of islamic teachings greatly affects the attitudes and behavior of indonesian women. these social and religious values ultimately form a label for women that they must uphold ethics and politeness towards their partners, put a high level of trust in their partners so that this greatly affects taboo behavior in using condoms in their sexual life (agnes yeni, songwathana, & perngmark, 2020; handayani, ratnasari, husna, marni, & susanto, 2019; i.h. lende et al., 2019; mahamboro et al., 2020; rahmalia, pohan, wisaksana, & laga, 2020; yuliati, chaerowati, & rochim, 2020). this is an obstacle for muslim women to protect themselves and their husbands from hiv / aids transmission (a. ernawati, nursalam, & vranada, 2020; handayani et al., 2019). the impact of hiv infection on mothers includes: social stigma, discrimination, maternal morbidity and mortality. woman in childbearing age is a n a ctive r epr oductive a ge; this a llows transmission to children during pregnancy or breastfeeding if a mother does not know the prevention of transmission to the child or infant. the existence of stigma in people living with hiv and aids (plwha) which is associated with deviant behavior in the community is one of the causes of hiv and aids transmission (yohana dian natalia, nining tunggal sri sunarti, 2014) and women potentially face many obstacles and harassment when they transmitted by hiv/aids(yuliati et al., 2020). low level of knowledge on prevention and attitudes among housewives towards hiv/aids which resulted increasing number of hiv / aids cases among housewives (muflihah, lestari, margaiana, & atmarina, 2016). prevention is a priority in the response to hiv / aids, this prevention needs to be done through communication, information and education efforts adapted to local culture and religion. paradigm and stigma in society can be changed through the most basic preventive efforts by providing education about hiv and aids (enda mora dalimunthe, 2016). previous studies mentioned that level of knowledge among women can increase the capability of bargaining power to use condom as the hiv/aids prevention activity(mahamboro et al., 2020; sistiarani, 2019). one of the steps in educating the community is through counseling. health education is a health education activity carried out by spreading messages, instilling confidence, so that people are not only aware, know and understand, but also want and can carry out a recommendation that is related to health (fitriani, 2011; rahmalia et al., 2020). hiv / aids education needs to be done for women who are actively reproducing, such as housewives, who are a vulnerable population. hiv / aids education can reduce the number of stigma and discrimination against people living with hiv / aids(najmah, 2019). a research explains that pregnant women who receive education regarding the prevention and transmission of hiv / aids are proven to increase 423matahari, knowledge of sexually transmitted infections (sti’s) and ... their knowledge regarding the prevention of motherto-child transmission of hiv / aids (aprilia nurtika sari, 2017; khadijah & palifiana, 2019; muflihah et al., 2016; sormin & puri, 2019). based on this information, this research was conducted to analyze the differences in knowledge of health cadres of ‘aisyiyah regarding the prevention of sti and hiv/ aids transmission so that they can be used as initia tion materials to promote hiv / aids prevention through strengthening the role of health cadres and religious leaders. methods this research was a pre-experimental design research method. this research design used one group pretest-posttest. the sample of this research was 31 health cadres aisyiyah in banguntapan utara, bantul regency. the instrument used in this research was the 2017 idhs questionnaire about the knowledge of hiv/aids. the selection of the research sample was based on the purposive sampling method. the resear ch sample wa s determined based on the inclusion criteria, namely: (1). aisyiyah’s health cadre in north banguntapan, (2). they become a health cadre for at least 1 year, (3). willing to be research respondents. result the research results are displayed in the following table: table 1 characteristics of respondents characteristic of the respondents freq percentage age childbearing (15-49 tahun) 18 58,06 non childbearing (50-65 tahun) 13 41,94 education senior high school 2 6,45 diploma 3 9,68 undergraduate 25 80,65 master degree 1 3,23 job teacher 28 90,32 family planning cadre 2 6,45 private sector 1 3,23 mean sd 95% ci df sig (2-tiled) t lower upper pair 1 pre-post 1,098 1,720 0,466 1,728 3,551 31 0,001 tabel 2 paired t-test analysis paired differences based on table 1, it can be seen that the most respondents are in the category of age 15 49 years (women in fertile age) 58.06%. the most respondents were respondents with an undergraduate education of 80.65% and the least respondents were respondents with a master degree program level of education as many as 3.23%. the most respondents were respondents who worked as teachers at 90.32% and the least respondents were respondents who worked as private parties at 3.23%. based on table 2, a significance value of 0.001 (p-value <0.05) and a 95% ci of 0.466 1.728 (not past 0) was obtained, it was concluded that there was a mean difference between knowledge before and after being given health education about sti’s and hiv/aids and statistically significant. discussion based on the results of the research, it was found that the majority of respondents (58.06%) were women of childbearing age. a person’s age cor r ela tes with the exper ience of seeking information on an issue. experience looking for a lot of information will strengthen an individual to under sta nd a problem or topic (enda mora dalimunthe, 2016). apart from age, there are several factors related to a person’s level of knowledge, namely education and employment (ima syamrotul muflihah, endang lestari, wulan margiana, 2016; 424 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 3, desember 2020, hlm. 421–425 sormin & puri, 2019). the age of the respondent who is still sexually productive is closely related to the risk of hiv / aids transmission, so it is important to know its progress. it is important for women to understand the development of hiv / aids information to increase their bargaining power with their partners (khadijah & palifiana, 2019). the education level is a formal research carried out with the aim of obtaining information and intellectual maturity in solving a problem (e. ernawati, rahayu, & kurniawan, 2019; rodiyah soekardi, 2018). the results of this research explain that the majority of respondents have completed the undergraduate level as many as 80.65%. a high level of education opens up opportunities for individuals to get more information and intellectual exper ience tha n educa tion a t a lower level (hasanah, 2015). the results of this research also indicate that the majority of respondents work as teachers or educators (90.32%). the teacher is a source of conveying information, so it is expected that more knowledge is possessed than students. work is also linier with individual experiences to interact with the environment so that knowledge will increase(hasanah, 2015; khadijah & palifiana, 2019; rodiyah soekardi, 2018). based on the results of the pre and post tests that had been carried out, it was found that there was a mean difference between knowledge before and after being given health education about stis and hiv/aids and it was statistically significant by (p-value <0.05) and 95% ci of 0.466 1.728 . the results of this research was linear with the results of resea rch conducted on a group of housewives in yogyakarta which explained that there were differences in hiv/aids knowledge a mong housewives a fter being given hea lth education interventions using the lecture method (rodiyah soekardi, 2018)(ima syamrotul muflihah, endang lestari, wulan margiana, 2016). the success of educational activities is strongly influenced by several things including interest, curiosity about something, and the content of the material to be delivered. discussing the topic of hiv / aids is interesting because this disease is a multidimensional disease that is not only related to health but also social, cultural, and religious matters so that it increases the curiosity of students to keep looking for new information related to hiv / aids (e. ernawati et al., 2019; rahmalia et al., 2020; yuliati et al., 2020). ‘aisyiyah as the islamic organization really needs to promote hiv / aids prevention educa tion to ca dres, for exa mple the use of condoms. a research explains that there are several factors that have the potential in negotiating condom use which are still considered taboo among couples, including education, length of marriage,economic independence, social and religious values(a. ernawati et al., 2020; e. ernawati et al., 2019). conclusion based on the results of the analysis, it could be concluded that there were differences of knowledge of stis and hiv/aids in the group of health cadres in north banguntapan, bantul regency. suggestion it should be important if conduct education seminar on reproductive health and hiv/aids regularly to the cadres. refferences agnes yeni, l. n., songwathana, p., & perngmark, p. (2020). a grounded theory research of how muslim wives adapt to their relationships with husbands who are hiv-positive. pacific rim international journal of nursing research, 24(2), 187–201. aprilia nurtika sari, r. s. (2017). perbedaan pengetahuan ibu hamil tentang pencegahan penularan human immunodeficiency virus (hiv) dari ibu ke anak (ppia) sebelum dan sesudah diberi penyuluhan (desa ga m pen g keca m at a n ga m pen grejo kabupaten kediri). jurnal kebidanan dharma husada, 6(2), 94–99. bantul, d. (2013). jumlah kasus hiv , aids , dan syphilis menurut jenis kelamin kabupaten / kota bantul tahun 2013. (2). ditjen pp & pl, k. r. (2014). statistik kasus hiv/aids di indonesia. enda mora dalimunthe, s. a. s. (2016). pengaruh penyuluhan hiv/aids dengan metode ceramah terhadap tingkat pengetahuan siswa sma negeri 4 kota padangsidimpuan tahun 2016. jurnal kesehatan ilmiah indonesia, 11(2), 1–13. ernawati, a., nursalam, a., & vranada, a. (2020). an empathy of family for reducing stigma on people with hiv/aids: a case research in north coastal of central java. indian journal of public health research & development, 11(2), 1512. https:// doi.org/10.37506/v11/i2/2020/ijphrd/195038 ernawati, e., rahayu, s. y., & kurniawan, t. (2019). life experiences of women (housewives) diagnosed hiv – aids in serang. kne life sciences, 2019, 272– 283. https://doi.org/10.18502/kls.v4i13.5250 425matahari, knowledge of sexually transmitted infections (sti’s) and ... fitriani. (2011). promosi kesehatan. yogyakarta: graha ilmu. handayani, s., ratnasari, n. y., husna, p. h., marni, & susanto, t. (2019). quality of life people living with hiv/aids and its characteristic from a vct centre in indonesia. ethiopian journal of health sciences, 29(6), 759–766. https://doi.org/10.4314/ ejhs.v29i6.13 hasanah, a. n. (2015). pengaruh penyuluhan kesehatan tentang hiv/aids terhadap tingkat pengetahuan dalam pencegahan hiv/aids pada remaja kelas xi man 2 yogyakarta (vol. 97). ’aisyiyah yogyakarta. i.h. lende, m. w., nugroho, s. m., & wantini, n. a. (2019). the relationship between pregnant women’s perceptions of family support and the motivation for hiv/aids examination in gedong tengen public health center. yogyakarta city. jurnal ners dan kebidanan indonesia, 6(2), 21. https://doi.org/10.21927/jnki.2018.6(2).21-28 ima syamrotul muflihah, endang lestari, wulan margiana, d. a. (2016). perbedaan pengetahuan ibu rumah tangga sebelum dan sesudah diberi sosialisasi pencegahan hiv/aids di desa sokaraja kulon kecamatan sokaraja kabupaten banyumas. jbidan prada: urnal ilmiah kebidanan, 1(2), 98– 104. kementerian kesehatan ri. (2018). infodatin-hiv-aids2018.pdf. khadijah, s., & palifiana, d. a. (2019). upaya peningkatan pengetahuan tentang hiv / aids pada ibu rumah tangga di dusun sempon cangkringan sleman yogyakarta. jurnal pengabdian “dharma bakti,” 2(1), 54–59. mahamboro, d. b., fauk, n. k., ward, p. r., merry, m. s., siri, t. a., & mwanri, l. (2020). hiv stigma and moral judgement: qualitative exploration of the experiences of hiv stigma and discrimination among married men living with hiv in yogyakarta. international journal of environmental research and public health, 17(2), 1–15. https://doi.org/10.3390/ ijerph17020636 muflihah, i. s., lestari, e., margaiana, w., & atmarina, d. (2016). perbedaan pengetahuan ibu rumah tangga sebelum dan sesudah diberi sosialisasi pencegahan hiv / aids di desa sokaraja kulon kecamatan sokaraja kabupaten menurut data komisi penanggulangan aids nasional ( kpan ), sekitar 1 , 6 juta wanita menikah dengan pri. jurnal ilmu kebidanan, 98– 104. najmah. (2019). my baby deserves love , not hiv enabling hiv-positive indonesian women to access prevention of mother-to-child transmission of hiv. auckland university of technology. rahmalia, a., pohan, m. n., wisaksana, r., & laga, m. (2020). “no good man will ever want me”. how structural social inequality increases women’s vulnerability to hiv transmission: a qualitative research from bandung, indonesia. aids care, 0(0), 1–8. https://doi.org/10.1080/09540121.2020.1801980 rodiyah soekardi, u. m. (2018). efektivitas pendidikan kesehatan tentang hiv-aids pada ibu rumah tangga peserta arisan di perum korpri upn sambiroto purwomartani sleman yogyakarta 2017. jurnal medika respati, 13(1), 8–15. sistiarani, c. (2019). the potential of stigma and gender related local wisdom to conduct region based hiv a nd aids pr even ti on . j urnal ke se hat an masyarakat, 15(1), 109–116. https://doi.org/ 10.15294/kemas.v15i1.12095 sormin, t., & puri, a. (2019). perbedaan pengetahuan da n sikap ibu yang mendapa t pen yul uh an menggunakan media aplikasi android dan yang mendapat penyuluhan menggunakan booklet tentang senam hamil. jurnal kesehatan, 10(3), 438–444. unaids. (2019). infographic global 90-90-90 progress. were, l. p. o., were, e., wamai, r., hogan, j., & galarraga, o. (2020). effects of social health insurance on access and utilization of obstetric health services: results from hiv+ pregnant women in kenya. bmc public health, 20(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/ s12889-020-8186-y yohana dian natalia, nining tunggal sri sunarti, dan i. r. a. (2014). penyuluhan tentang hiv dan aids terhadap sikap remaja pada orang dengan hiv dan aids. jurnal studi pemuda, 3(1), 25–31. yuliati, n., chaerowati, d. l., & rochim, m. (2020). the role of women in community movement to build awa r eness on hiv-aids. 2nd soci al and humaniora research symposium (sores 2019) the, 409(june 2010), 360–364. https://doi.org/ 10.2991/assehr.k.200225.075 112 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk literature review: factors caused an increase the number of early marriage during the covid-19 pandemic ismiati1, fuji khairani2, teguh achmalona3 1,2lecturer, midwifery department, university of qamarul huda badaruddin bagu lombok, indonesia 3lecturer, nursing department, university of qamarul huda badaruddin bagu lombok, indonesia article information abstract early marriage is an issue that is quite hotly discussed at this time, especially during the covid-19 pandemic. the reason is, during the covid-19 pandemic, there was an increase in the number of early marriages which became a serious threat to women's health, dignity and autonomy. this study aimed to determine the factors that cause an increase in early marriage during the covid-19 pandemic. the method a literature review was conducted using the google scholar, pubmed, and science direct databases to search for national and international journals researching early phenomena during the covid-19 pandemic. the results of a review of 6 journals showed that the factors that cause an increase in early marriage during the pandemic are caused by several factors, namely economic problems, free sex, lack of knowledge in children, low awareness and knowledge of parents about the impacts and risks arising from child marriage, both physically and mentally. , mental, social and psychological, cultural and because they believe that marriage is an escape from schoolwork, homework, and the stress and boredom of studying and staying at home during a pandemic.conclusion: from the results of a journal review, it can be concluded that the covid-19 pandemic has impacted many aspects of life and continues to be felt throughout the world. including the increase in marriage during the covid-19 pandemic. to prevent an increase in child marriage, namely the existence of social protection interventions related to social, economic and educational empowerment of adolescents, especially poor youth during the pandemic. and joint efforts are needed involving parents, victims, community leaders, faith-based organizations, governments, international agencies and stakeholders related to preventing early marriage, especially during a pandemic history article: received, 30/01/2021 accepted, 30/03/2022 published, 15/04/2022 keywords: factors caused, increase, early marriage, covid19 pandemic © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: university of qamarul huda badaruddin bagu lombok – west nusa tenggara, indonesia p-issn : 2355-052x email: ismi51ati@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p112-120 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ismi51ati@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p112-120 ismiati, khairani, achmalona, literature review: factors caused an increase the number of early … 113 introduction marriage at a young age is one of the issues that is quite hotly discussed at this time, especially during the covid-19 pandemic. the reason is, during the covid-19 pandemic, the number of early marriages has increased. marriage law number 16 of 2019 article 7 paragraph (1) stipulates that marriage may only be carried out if the man and woman are 19 years old. this means that the state of indonesia has a ban on marriage at the age for men and women before reaching the age of 19 years. this law allows individuals who are in the stage of adolescent development to legally marry as long as their age meets these criteria. as a result, unicef reports that indonesia is one of 8 countries with the largest early marriages in the world (central bureau of statistics, 2020). the number of early marriages every year continues to increase, especially in our country, indonesia, which occurs a lot during the covid-19 pandemic. the covid-19 virus can attack children and adolescents. adolescence is a critical stage of development in which adolescents experience biological, cognitive, psychological, behavioral and social development. exposure to the adverse effects of covid-19 will result in developmental losses in adolescence that can never be recovered so that it will become a health crisis in adolescents (addae, 2021). as reported from katadata.co.id that early marriage has various positive and negative impacts, especially for the woman (the bride and groom) in terms of health such as reproduction and the economy. referring to data from the directorate general of the religious courts agency, there were 34,000 applications for marriage release from january to june 2020. of these, 97% were granted and 60% of those who submitted were children under the age of 18. the number of applications for the release of marriages is much higher than last year's 23,700. the application is caused because one or both of the prospective bride and groom have not entered the age of marriage based on the law in force in this country (bumaeri et al., 2020). the impact of the covid-19 pandemic on many aspects of life continues to be felt around the world. the pandemic has had an impact on the socio-economic, social, cultural, educational and health aspects of people's lives. one of the socioeconomic impacts is early marriage and teenage pregnancy (musa et al., 2021). according to (saputra et al., 2021, p. 19) shows that the number of early marriages during the covid-19 pandemic has increased to 175 people per couple during 2020. the current covid-19 pandemic has brought a new phenomenon in people's lives. although this pandemic has lasted so long and has not gone away, this will not immediately reduce the number of marriages that occur. even the phenomenon of early marriage has also increased (anataysa et al., 2021). the increasing number of early marriages poses a serious threat to women's health, dignity and autonomy. data from “save the children” shows that 2.5 million girls are at risk of marriage by 2025 due to the pandemic. because every year, about 12 million girls get married before their 18th birthday. this is a violation of human rights (paul and mondal, 2021). in addition, the impact of the covid-19 pandemic is estimated to result in an additional 13 million child marriages between 2020 and 2030, as it hinders efforts to end child marriages that would otherwise have been avoided (unfpa-unicef, 2020). the purpose of the preparation of the scoping review is to increase information, knowledge, and insight related to the factors that cause an increase in the number of early marriages during the covid-19 pandemic. method in accordance with the objectives, this study examines article reviews through a systematic literature search method. literature search using pubmed, science direct, gray literature database from 2017 to 2021, qualifying q1. articles screened independently by researchers in accordance with the inclusion conditions and exclusion criteria. search filtering using peos method and make research questions. 114 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 tabel 2.1: framework peos criteria inclution exclution population 1. women who early marriage 2. early marriage under the age of 18 years men who marry early exposure/even factors caused an increase outcame the number of early marriage during the covied-19 pandemic study design qualitative study the inclusion criteria used in this study are journals that examine the phenomenon of early marriage during a pandemic and have the last 5 years of publication, while the exclusion criteria used are journals whose texts are incomplete, duplicate, reviewed and irrelevant to the topic. the search was carried out using the keyword “with the following keywords: “((((((imfact) or (effect))) and (covied-19))) or (pandemics)) and (early marriage)) or (child marriage), qualitative study, early marriage, pandemic period, qualitative. then the article screening was carried out according to the criteria determined by the researcher and in accordance with the research questions. in selecting articles using 3 databases and reference lists, the number of articles was 1430. in searching 3 databases and reference lists, it was found: pubmed 215 journals, science direct 355 journals and google scholar 860 journals, bringing a total of 1430 articles found. after duplication, it turned out that there were 17 journals created a total of 1413 articles. after that, from the results of the release of 1361 journal titles, 7 abstract journals, 5 anonymous, not 5 journals, 13 qualitative studies, and a systematic review of 11 journals, 14 articles were obtained to be taken and reviewed independently based on inclusion and exclusion criteria. the next step is to filter further articles to find appropriate and complete references regarding the factors causing the increase in early marriage during the covid19 pandemic and 10 articles were obtained for critical assessment. the author screened the articles based on the results of the critical assessment which then obtained 6 qualitative study articles for final review. figure 2.1 prisma flow diagram ismiati, khairani, achmalona, literature review: factors caused an increase the number of early … 115 critical assessment is used to assess the quality of the articles to be used. the tool chosen to assess the quality of articles is the joana briggs institute (jbi). in the critical appraisal stage, critical appraisal is assessed on 10 articles. in addition, journal assessment is also carried out to efficiently assess whether the literature can be used to answer clinical questions and can assess the research methodology used in a particular study, so that it can be decided whether the research results are acceptable or not. note, in this case the author performs a critical assessment using the checklist from jbi. in this process, 6 journals were selected based on the author's assessment who noted that the six journals were of good quality and appropriate to the topic. data extraction: extraction was carried out on data from 3 articles by entering key criteria, such as research location, study population, research objectives, methodology, and significant findings or recommendations. the author independently recorded the information and then compared the extracted data. maping: the data extracted from the systematic literature review articles were organized into several themes. the themes included in this article review include: factors causing an increase in early marriage during the covid-19 pandemic. result the findings with a systematic search obtained articles published in 2017-2021, the authors and sources of data taken were from the state of indonesia (n=6). the findings of the article come from developing countries. one article taken in this systematic literature review is indexed by scopus is a journal with q1 quality and the other five articles taken in this systematic literature review are national journals. the method used in all articles in this systematic literature review is the qualitative method. in this systematic literature review is using method snowball sampling, purposive sampling, and descriptive qualitative. details of the review in the form of title, author's name, research method and research results can be seen in table 1. table 2.2: literature findings no title writers (years) methods results 1. covid-19 and the surge of child marriages: a phenomenon in nusa tenggara barat, indonesia (rahiem, 2021) snowball sampling the results of this study indicate that adolescents get married because: 1. they believe that marriage is an escape from schoolwork, homework, stress, boredom of studying and staying at home during a pandemic. 2. customary law that some local customs encourage or permit child marriage 3. lack of understanding of the impact and long-term implications of underage marriage 4. economic problems 5. the influence of the surrounding environment and peers, which encourage early marriage 2. early marriage due to pregnancy out of wedlock during a pandemic: a case study in ngunut village (nikmah, 2021) purposive sampling 1. factors causing an increase in early marriage due to pregnancy out of wedlock during the pandemic are social factors, lack of supervision and interaction with parents, school policy factors, government policy factors, 116 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 and reduced school time. 2. the views of community leaders regarding the increase in early marriage due to pregnancy out of wedlock during the pandemic, there is a need for extra supervision of children, in addition to supervising relationships, also in the use of gadgets. adding positive, contributive activities to children, and requiring greater responsibility to parents, community leaders, and the environment towards children. regarding the policy of distance learning or online learning, it is actually well implemented, but there must be continuous evaluation from the school. the attitude of the school with the existence of this policy requires the school to continue to implement the policy as well as possible, the role of parents in distance learning is to be a supporter of the child. 3. the impact of the covid 19 pandemic on the increase in the number of marriages (case study at kua jekulo, kudus district) (anataysa et al., 2021) descriptive qualitative the results of this study indicate that the increase in the number of marriages in jekulo district was not significant during the covid-19 pandemic, because many javanese people still follow kejawen or according to javanese customs, such as certain days and years that are considered good for getting married. furthermore, the implementation of the wedding reception must follow the health protocols that have been outlined in the kua circular, one of which is limiting invited guests to a maximum of ten people while maintaining physical distancing and maintaining other health protocols. 4. the phenomenon of early marriage during the covid-19 pandemic (saputra et al., 2021) qualitative the results showed that the number of early marriages during the covid-19 pandemic increased to 175 people/couples throughout 2020. the phenomenon of early marriage that occurred during the covid-19 pandemic was due to being married by accident. this sexual relationship is vulnerable to occur among those who have increased from adolescence to adulthood. this form of sexual behavior, generally begins when they (the couple) start dating. ismiati, khairani, achmalona, literature review: factors caused an increase the number of early … 117 5. the phenomenon of underage marriage by society 5.0 (bumaeri et al., 2020) qualitative the results of the study indicate that the factors that support the 5.0 society to carry out underage marriages are between other factors are economic factors and factors tired of learning online, this is because today in an all-digital era like today (the era of disruption 4.0), where people called society 5.0 are worried about their inability to compete through artificial intelligence technology, they are worried the economic fulfillment of today's society is threatened. constraints faced in the practice of underage marriage by society 5.0 are from the physical aspect, from the cognitive aspect, the language aspect, the social aspect, and the emotional aspect, where these five aspects cause disharmony and the integrity of marriage in early childhood. solutions to answer the phenomenon of underage marriage in the community 5.0 is that it can be done through various early prevention by parents, religious leaders, and ormas to socialize about marriage to the community through the integration of appropriate technology with the demands of the times, such as online class training for young people especially those who are under 18 years old. 6. red zone for early marriage in the pandemic season (a case study in malang raya) (subekti and fauziyah, 2021) qualitative method carried out in descriptive analytical way the age of 19 years is a minimum marriage requirement which also exists in indonesian regulations. the consideration, namely to avoid uncontrolled population growth, is the indonesian factor in taking policies. indonesia's control over early marriage is also for social stability. based on the table above, it shows that the number of early marriages during the covid-19 pandemic has increased to reach 175 people/couples throughout 2020. the phenomenon of early marriage that occurred during the covid-19 pandemic was caused by being married by accident (nikmah, 2021; saputra et al., 2021). so that in this case it is necessary to have extra supervision of children, in addition to supervising the association, also in the use of gadgets. adding positive, contributive activities to children, and requiring greater responsibility to parents, community leaders, and the environment towards children. regarding the policy of distance learning or online learning. meanwhile, according to (anataysa et al., 2021) the impact of the covid-19 pandemic on the increase in the number of marriages (a case study at kua jekulo kudus regency) that the increase in the number of marriages in jekulo district was not significant during the covid pandemic. -19, because there are still many javanese people who follow kejawen or according to javanese customs, such as certain days and years that are considered good for getting married. in addition, the factors that cause an increase in the number of early marriages during the covid-19 pandemic are economic factors, the lack of understanding of the impact and long-term implications of underage marriage and the boredom factor of online learning so that they believe that marriage is an escape from work. school, homework, stress, and 118 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 staying at home during the pandemic (anataysa et al., 2021; bumaeri et al., 2020; subekti and fauziyah, 2021). discussion child marriage is a violation of human rights, becoming a dangerous and discriminatory global practice that makes millions of girls lose their childhood. this is one of the main challenges and obstacles to achieving sustainable development goals (clark, 2017). ending the increase in early marriage has been a global concern and momentum for many years. however, the impact of the covid-19 pandemic has affected this progress. most importantly, one of the most damaging effects of this pandemic has been the rise in child marriage around the world (malhotra dan elnakib 2021; world vision 2021; bbc 2020). and it is predicted that over the next decade, there will be another 10 to 13 million girls who are at risk of getting married early due to the pandemic (deane, 2021). the increase in early marriage during this pandemic is caused by several factors, namely economic factors that are influenced by parental education and cultural factors such as the sociocultural conditions of the community who still match their children who are still underage, and also the influence of technology that is so sophisticated that it makes it easier for children to marry. teenagers to watch pornographic videos that cause the desire to have marital relations. these factors then become the cause of teenage pregnancy outside of marriage which encourages early marriage (subekti and fauziyah, 2021). in line with the research conducted by (susilowati and atik, 2021) that the factors that cause an increase in early marriage in the midst of a pandemic include: 1. economic problems, deteriorating economic conditions during the covid-19 pandemic have also contributed to an increase in child marriage. these difficult economic conditions make some parents think that marrying off their children can ease the burden on the family. 2. free sex in adolescents that lead to pregnancy is one factor. that affect child marriage 3. the urge to want to get married because of the lack of knowledge in children plays a role in the occurrence of early marriage 4. low awareness and knowledge of parents on the impacts and risks arising from child marriage, both physically, mentally, socially and psychologically because they still view early marriage as a compulsion due to an accident and can be accepted as a natural process. 5. the culture of marriage at an early age often reflects matchmaking, especially in rural areas. meanwhile, according to (rahiem, 2021) factors causing an increase in early marriage during the pandemic are not only caused by cultural/customary factors, lack of supervision and interaction with parents, economic problems, environmental influences and peers, also because they believe that marriage is an escape from schoolwork, work. home, as well as the stress and boredom of studying and staying at home during the pandemic. in line with research conducted by (susilowati and atik, 2021) that during the pandemic, many learning activities were carried out at home, giving students flexibility in socializing in the surrounding environment, including dating. continued unhealthy courtship, promiscuity which eventually leads to pregnancy out of wedlock. pregnancy out of wedlock which causes parents to be forced to marry off their children even though they are not yet old enough according to the law. based on other research conducted by (mavita and nurlaila fitriani, 2021) that the pandemic has also made them stressed as a result of the policies made including online schools. the stress level of adolescents undergoing online school during the covid-19 pandemic includes 51.7% normal, 48.3% experiencing mild stress. because the age of teenagers who do early marriage is at risk of not being able to adapt well to their new environment and situations, they are at risk of causing stress. symptoms of stress can be a serious health problem that can have a psychological, social and economic impact (rahmawati, m. (2019). the covid-19 pandemic has affected the overall economic condition of the community. economically, people experience difficulties in finding food because of the implementation of various rules and policies that must be implemented (saputra et al., 2021). so it can increase the probability of marriage by as much as 3% in countries where dowry is common (musa et al., 2021). therefore, during this pandemic, all movements are limited, teenagers who always want to find new things by interacting become depressed because the ismiati, khairani, achmalona, literature review: factors caused an increase the number of early … 119 implementation of social distancing and school closures have disrupted the education of around 1.6 billion children worldwide (bbc, 2021). this triggers an increase in early marriage during the pandemic (nikmah, 2021). according to unicef that school closures increase the risk of marriage by 25% per year and 2% of girls will never return to school, bringing the risk of marriage due to school closures and dropping out to 27.5% (musa et al., 2021). the increasing number of underage marriages during the covid-19 pandemic is supported by situations such as young people who do not go to school filling their time by playing with their friends in their village areas. with no learning activities at school, they are busy communicating with their friends. not a few of the friendship communication continued to marriage. one of the marriages carried out is also many who are still underage (subekti and fauziyah, 2021). the covid-19 pandemic has made an already difficult situation for millions of girls worse due to the aftermath of school closures indicating that some of the protective functions of schools will be lost as well as exposing youth to potential social crimes and other health risk behaviors such as increased teenage pregnancy, increased child labour, increased early marriage or increased transactional sex as reported during the ebola crisis (addae, 2021). conclusion the covid-19 pandemic has impacted many aspects of life and continues to be felt around the world. factors causing an increase in early marriage during the pandemic are caused by several factors, namely economic problems, the influence of the surrounding environment and peers (sosial factor), lack of supervision and interaction with parents, the urge to want to get married because of the lack of knowledge in children who play a role in the occurrence of early marriage, culture/customs customs and they believe that marriage is an escape from schoolwork, homework, and the stress and boredom of studying and staying at home during a pandemic. suggestion to prevent an increase in child marriage, namely the existence of social protection interventions related to social, economic and educational empowerment of adolescents, especially poor youth during a pandemic such as socialization of prevention of child marriage and the existence of offers related to alternative activities and support systems for adolescents to cope with stress due to online learning and stay at home, and joint efforts are needed involving parents, victims, community leaders, faith-based organizations, governments, international agencies and stakeholders related to preventing early marriage, especially during a pandemic. acknowledgment thank you to all parties who have helped in the process of preparing this literature review and cannot be mentioned one by one, who have given a lot of advice and input. reference addae, e.a., 2021. covid‐19 pandemic and adolescent health and well‐being in sub‐saharan africa: who cares? int. j. health plann. manage. 36, 219–222. https://doi.org/10.1002/hpm.3059 anataysa, r.m., izzah, f.s.a., aini, r.n., purwanto, m.r., 2021. impact of the covid 19 pandemic on increasing the number of marriages (case study at kua jekulo, kudus regency). thullab j. mhs. studi islam 3, 673–681 bbc. 2020. coronavirus risks ‘greatest surge in child marriages in 25 years’. available online: https://www.bbc.com/news/world54370316 (accessed on 13 october 2020) bumaeri, a.d.a., ahyani, h., hapidin, a., kusnandar, h., 2020. the phenomenon of underage marriage by the community 5.0. mabahits j. huk. kel. islam 1, 59–73 center bureau of statistics of indonesia. (2020). prevention of child marriage acceleration that cannot wait. covid child brides: “my family told me to marry at 14,” 2021. . bbc news clark, h. 2017. what will it take to achieve the sustainable development goals? available online: https://jia.sipa.columbia.edu/achievingsustainable-development-goals (accessed on 13 october 2021). deane, t., 2021. marrying young: limiting the impact of a crisis on the high prevalence of child marriages in niger. laws 10, 61. https://doi.org/10.3390/laws10030061 malhotra, a and shatha, e. 2021. evolution in the evidence base on child marriage 2000– 2019. available online: https: //www.unfpa.org/sites/default/files/resource 120 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 112-120 pdf/child-marriage-evidence-report2021.pdf (accessed on 29 october 2021) mavita, d., nurlaila fitriani. s. kep., m. kep, 2021. the relationship between stress and learning motivation and coping mechanisms in adolescents during the covid-19 pandemic (s1). universitas muhammadiyah surakarta. https://doi.org/10/surat%20pernyataan%20p ublikasi.pdf musa, s.s., odey, g.o., musa, m.k., alhaj, s.m., sunday, b.a., muhammad, s.m., lucero prisno, d.e., 2021. early marriage and teenage pregnancy: the unspoken consequences of covid-19 pandemic in nigeria. public health pract. 2, 100152. https://doi.org/10.1016/j.puhip.2021.100152 nikmah, j., 2021. early marriage due to pregnancy out of wedlock during the pandemic: case study in ngunut village. sakina j. fam. stud. 5 paul, p., mondal, d., 2021. child marriage in india: a human rights violation during the covid-19 pandemic. asia pac. j. public health 33, 162–163. https://doi.org/10.1177/1010539520975292 rahiem, m.d.h., 2021. covid-19 and the surge of child marriages: a phenomenon in nusa tenggara barat, indonesia. child abuse negl. 118, 105168. https://doi.org/10.1016/j.chiabu.2021.10516 8 rahmawati, m. (2019). stress levels and stress indicators in adolescents who do early marriage. jurnal pendidikan keperawatan indonesia (indonesian journal of nursing education). vol.5(1) 25-33. https://ejournal.upi.edu/index.php/jpki/artic le/view/11180 yahoo search results [www document], n.d. url https://search.yahoo.com/search?fr=mcafee &type=e211us714g0&p=rahmawati%2c +m.+(2019).+tingkat+stres+dan+indikator +stres+pada+remaja+yang+melakukan+pe rnikahan+dini.+jurnal+pendidikan+kepera watan+indonesia.+vol.5(1)+2533.+https%3a%2f%2fejournal.upi.edu%2f index.php%2fjpki%2farticle%2fview%2f 11180 (accessed 9.30.21). saputra, b.n.a., wicaksana, y., lestari, e.d., triningtyas, d.a.t., 2021. early marriage phenomenon in the covid-19 pandemic. pros. semin. nas. natalis 41 utp surak. 1, 117–121. https://doi.org/10.36728/semnasutp.v1i01.18 subekti, a., fauziyah, u., 2021. red zone early marriage in the pandemic season (a case study in malang raya). j. hikmatina 3, 289–300 susilowati, e., atik, n.s., 2021. analysis of the relationship of family apgar with students' attitude about children's marriage in smk tarunatama, kab. semarang in the time of the covid-19 pandemic. j. ilm. kesehat. ar-rum salatiga 6, 20–26. https://doi.org/10.36409/jika.v6i1.127 unfpa-unicef. (2020). child marriage in covid-19 contexts: disruptions, alternative approaches and building programme resilience. 1-12. received from https://www.unicef.org/esa/media/7651/file/ child-marriage-in-covid-19-contexts.pdf. (accessed on 30 december 2021) world vision. 2021. breaking the chain empowering girls and communities to end child marriages during covid-19 and beyond. available online: https://www.wvi.org/sites/default/files/202105/breaking%20the%20chain_digital%20% 281%29. pdf (accessed on 30 december 2021) https://www.unicef.org/esa/media/7651/file/child-marriage-in-covid-19-contexts.pdf https://www.unicef.org/esa/media/7651/file/child-marriage-in-covid-19-contexts.pdf https://www.wvi.org/sites/default/files/2021-05/breaking%20the%20chain_digital%20%281%29 https://www.wvi.org/sites/default/files/2021-05/breaking%20the%20chain_digital%20%281%29 https://www.wvi.org/sites/default/files/2021-05/breaking%20the%20chain_digital%20%281%29 e:\2021\ners april 2021\8-jurna 49so’emah, windartik, rahmawati, level of anxiety and community behavior in preventing the ... level of anxiety and community behavior in preventing the covid-19 pandemic in east java eka nur so’emah1, emyk windartik2, ima rahmawati3 department of nursing, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 30/11/2020 accepted, 02/03/2021 published, 05/04/2021 keywords: anxiety, behavior, covid-19 article information abstract corona virus-19 (covid) has been declared a global pandemic. the increase in cases of covid-19 can be prevented by disease prevention behavior in accordance with the protocol that has been established by the government. however, there are still many people who heed the protocol. this condition has an impact on people’s anxiety, coupled with the presence of information that continues to be rolled out on social media and mass media about the development of covid-19. anxiety is increasing with the stigma of the community about covid-19 patients. the purpose of this study was to analyze the level of anxiety and behavior of the community in preventing covid-19 disease in east java. the design of the study was descriptive survey. the sample in this study was people in east java with the sampling techniques by accidental sampling techniques. the data collection used questionnaires using gad-7. scale and behavior questionnaire according to dirjen control and prevention of covid-19 march 2020. the analysis of descriptive statistical test data that was percentile / percentage. the results showed that most people in east java experience minimal anxiety and positive behavior. minimal anxiety occured because most respondents are highly educated and already know about covid-19, this will help solve psychological problems including anxiety. the efforts of health workers are also very much needed to always assist the community in adhering to health protocols by providing sustainable health education. 49 correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto– east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: roifahi@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p049–054 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p049-054&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p049-054 50 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 49–54 introduction coronavirus-19 (covid) has been declared a global pandemic by who (who,2020). corona virus is a zoonotic or virus transmitted between animals and humans. the virus and disease are known to have originated in wuhan city, china since december 2019(bnpb, adisasmito, guru, fkm, & indonesia, 2020). the covid-19 pandemic is incarnating terror for many people to the potential for mass paranoid. the increase in covid-19 can be prevented by disease prevention behavior. however, in the current condition there is still an increase in confirmed cases of covid-19. this incident indicates that the community is still not implementing disease prevention behaviors with health protocols, so the level of anxiety that occurs in the community is still high. psychological and physiological conditions were disrupted due to bombardment with news of the outbreak (widya putri, 2020). the coronavirus pandemic did cause people anxiety. if left untreated, the anxiety could lead to mental and psychiatric disorders (firmansyah, 2020). in 2012, a new type of coronavirus was rediscovered in the middle east named mers-cov (group 2c -coronavirus). the extraordinary events in wuhan are similar to the extraordinary events of sars in guangdong in 2002. both occur in winter. when compared to sars, pneumoni covid19 tends to be lower in terms of mortality. sars death rate reaches 10% and mers 37%. however, currently the infectivity rate of the covid-19 pneumoni virus is known to be at least equivalent or higher than sars-cov. this is demonstrated by its r0, where recent study shows r0 of the sarscov-2 pneumoni virus is 4.08 (indonesia, 2020). as of march 21, 2020, the number of cases of this disease reached 275,469 people spread across 166 countries, including indonesia (kemenkes ri, 2020). in a survey conducted by the american psychiatric association (apa) of more than 1,000 adults in america, it was found that 48 percent of respondents felt anxious they would contract the coronavirus. about 40 percent are worried that they will get seriously ill or die from covid-19, and 62 percent are worried about their family or loved ones being infected. more than a third of respondents (36 percent) said the covid-19 pandemic had a serious impact on their mental health, and 59 percent answered the effects are quite severe on daily life (kompas, 2020). based on data from the ministry of health, covid-19 confirmed data nationally as many as 13,112 people and in mojokerto regency as many as 7 people (dinas komunikasi dan informatika, 2020). this makes people mor e a nxious. worr ied about contracting coronavirus because some positive patients ar e asymptoma tic. the incr ea se in confirmed cases of covid-19 followed by disease prevention behavior that is still poorly applied by the community as an example: maintaining immunity only reached 76.3 percent, frequent hand washing 66.8 percent, work, study and worship at home reached 58.2 percent, avoiding greetings or physical contact, 55.3 percent, trying not to touch the face, 39.5 percent, buying masks, groceries and other goods, 1.5 percent (pranita, 2020). the results of a preliminary study on may 9, 2020 in one of the villages that became a red zone in mojokerto regency with interview techniques for 10 people around the homes of people who were confirmed by covid-19 with otg category (people without symptoms) 100% of people expressed anxiety and claimed to be wary when there were neighbors infected with coronavirus. psychosomatic disorder is a condition when psychological pressure affects physiological function (somatic) negatively to cause symptoms of pain. this can result in dysfunction or damage to physical organs due to the undue activity of the unconscious ner vous system a nd the body’s biochemica l response. when anxious, the amygdala, the center of anxiety in the brain, responds by overactivating the autonomic nervous system. the body is made as if it is facing a threat so that it is always on standby. as a result psychosomatic symptoms appear, heart rate and blood pressure increase, creating pain in the chest (widya putri, 2020). we can distinguish psychosomatic symptoms with symptoms of disappearing, not constant, or moving around. who recommends several measures to minimize anxiety that affects mental state in times of outbreak. first reduce exposure to news about covid-19, as much as possible access reliable news sources, and increase access to positive news and still always apply disease prevention behaviors by always applying health proptocol. the purpose of this study was to analyze the level of anxiety and behavior of the community in the prevention of covid-19 disease in east java. 51so’emah, windartik, rahmawati, level of anxiety and community behavior in preventing the ... methods the design of this study was descriptive survey. the population of this study was the entire covid19 pandemic community in east java province. the sampling technique used accidental sampling techniques. the variables in this study were the level of public criticism of the covid-19 pandemic and community behavior in preventing the covid-19 pandemic. the data collection used questionnaires by gad-7. sca le and  behavior  questionnaire according to dirjen control and prevention of covid-19 march 2020. the analysis of descriptive statistical test data was percentile/ percentage.    result 1. characteristics of people in east java in 2020 based on table 1 showed that the majority of r espondents wer e students a s ma ny a s 482 respondents (58.5%), based on gender data most of the respondents as many as 623 female genders (75.5%), based on the level of education mostly educated s1 as much as 327 (39.7%), and based on information data about covid-19 respondents stated that most had received information of 805 (97.7%) respondents and based on data on the occur r ence of covid-19 in the r esidentia l environment of respondents showed there were 455 respondents (55.2%) incidents. 2. level of public anxiety impact of covid19 pandemic in east java diagram 1 level of public anxiety impact of covid-19 pandemic in east java in 2020 the results showed that the level of anxiety about the impact of the covid-19 pandemic in east java in 2020 experienced the most anxiety at least 397 respondents (48 %). 3. community behavior in the prevention of covid-19 pandemic in east java diagram 2 community behavior in covid-19 prevention in east java in 2020 the results of the analysis showed that the behavior of the community in the prevention of covid19 in east java in 2020 was the most positive behavior of 53% (44 people). no percentage frequency variable 1. job students 482 58.5 student 38 4.6 civil servants 74 9.0 private 98 11.9 health workers 44 5.3 not working 41 5.0 self employed 47 5.7 2. gender male 201 24.4 female 623 75.6 3 education elementary school 3 0.4 junior high school/ 11 1.3 equivalent senior high school / 287 34.8 equivalent bachelor 327 39.7 master 25 3 other 171 20.8 3. information about covid-19 ever 805 97.7 never 19 2.3 4. covid-19 incidents in the respondent’s region not 369 44.8 yes 455 55.2 total respondents 824 100 souce: primary data table 1 characteristics of people in east java in 2020 52 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 49–54 discussion 1. the level of public anxiety about the impact of the covid-19 pandemic in east java each individual has different levels or levels of anxiety in the face of stressors. the results found that the level of public anxiety during covid-19 pendemi experienced a minimum anxiety of 48%. ba sed on these r esults in r espondents who experience minimal anxiety in the face of this pandemic, the government should be active in monitoring public opinions or opinions, because the public tends to worry much more quickly in this time. governments in countries around the world have made various efforts to prevent the spread of the covid-19 virus in order to break the chain of spread of the covid-19 virus, called lockdown and social distancing. health education strategies must be timely at various stages of epidemic development based on analysis of people’s psychological changes a nd r ela ted key informa tion should also be implemented on time. covid-19 not only causes physical health pr oblems but a lso r esults in a number of psychological disorders. the spread of the new coronavirus can have an impact on the mental health of people in va r ious communities (sa la r i, hosseinian-far, jalali, vaisi-raygani, & rasoulpoor, 2020). therefore, it is important to maintain the menta l hea lth of individua ls a nd develop psychological interventions that can improve the mental health of vulnerable groups during the covid19 pandemic. many factors can affect a person’s anxiety level, including from work factors. the majority of respondents were 58.5% of students and 39.7% of undergraduates, one’s education and knowledge could affect the anxiety that was reviewed from the lack of knowledge or information they had about covid-19 during this pandemic. the results of this study also showed that 97.7% of respondents said they had been informed about covid-19. based on the results of the study showed 75.6% of the female gender, this indicates that female respondents have a greater chance of experiencing anxiety compared to male respondents. a person who is female tends to have high anxiety compared to men because women have a more sensitive feeling than men. but that does not close the possibility of happening to men. 2. community behavior in the prevention of covid-19 pandemic in east java ba sed on the r esults showed tha t most respondents had 53% positive behavior. the results are different from previous study that the prevalence of depression in 14 studies with a sample size of 44,531 people as many as 33.7% experienced (salari et al., 2020). psychiatric consequences of sarscov-2 infection can be caused either by the immune response to the virus itself, or by psychological stress such as social isolation, the psychological impact of a severe and potentially fatal new disease, concerns about infecting others, and stigma . the immune response to the corona virus induces the production of cytokines, chemokin, and other local and systematic inflammatory mediators (huang & zhao, 2020). the emergence of covid-19, with its rapid spread, has exacerbated anxiety in the population globally, leading to mental health disorders in individuals. this even raises cases of stereotypes and discrimination (zhong, gelaye, zaslavsky, fann, & rondon, 2015). therefore, it is necessary to examine and recognize the mental state of people in this challenging, destructive and unprecedented time. evidence suggests that individuals may experience symptoms of psychosis, anxiety, trauma, suicidal thoughts, and panic attacks. recent studies have also shown that covid-19 affects mental health outcomes such as anxiety, depression, and post-traumatic stress (lee & lee, 2020). covid19 is new and unexplored, and its rapid transmission, high mortality rate and concerns about the future can be a cause for anxiety. anxiety, when above nor ma l, wea kens the immune system a nd consequently increases the risk of contracting the virus (van bogaert et al., 2016). a person will not experience anxiety if they have good behavior. good behavior can be an effort to prevent the transmission of covid19. health behaviors are influenced by many factors, including knowledge, perception, emotions, motivation, and environment. exploration of public health behavior can be seen from various components, including perceptions of disease susceptibility, perception of obstacles in prevention efforts, perceptions of benefits, the existence of encour a gement, a nd individua l perceptions about the ability to conduct prevention efforts (purnamasari & raharyani, 2020). in this study, showed that as many as 53% of east java people have positi behavior. forms of behavior shown include compliance in using masks when 53so’emah, windartik, rahmawati, level of anxiety and community behavior in preventing the ... outdoors, washing hands with soap or hand sanitizer frequently, avoiding crowds and maintaining social or physical distancing. hand washing is one of the effective ways to kill germs, known covid-19 virus can stick to parts of the body, especially hands that touch objects that have been infected by droplets. it was conveyed by the ministry of health that 75% of covid virus transmission is through saliva splashes (kemenkes ri, 2020). according to the theory of knowledge-attitudebehavior models, knowledge is an essential factor that can influence behavior changes, and individuals can acquire knowledge and skills through the learning process (liu et al, 2016). thus, public knowledge that still needs to be straightened out and negative community behavior can be pursued with learning activities through education by the authorities. in the community, village health forums or the like can take a role in the implementation of activities. conclusion the level of anxiety of people affected by the covid-19 pandemic in east java was mostly minimal anxiety. this was because most respondents were highly educated and had been informed about covid19. one’s knowledge and experience could help solve psychic pr oblems including a nxiety. community behavior in preventing covid-19 pandemic in east java mostly showed positive beha vior. positive behavior occured beca use respondents had been informed about covid-19 so as to increase knowledge. this knowledge could change a person’s behavior. suggestion based on the results of this study, shows that the level of anxiety and behavior of the community in the prevention of pandemic covid 19 in east java is in the category of minimal anxiety and the behavior of the community mostly shows positive behavior. this condition becomes a good potential and strength for the government of east java in this covid-19 ha ndling pr ogr a m. however, prevention and monitoring efforts against the termination of the spread of covid 19 must still be carried out by various parties so that there is no increase in the number of serious cases refferences bnpb, k., adisasmito, w., guru, p. d., fkm, b., & indonesia, u. (2020). gugus tugas percepatan penanganan covid-19 1, 1–39. dinas komunikasi dan informatika. (2020). kabupaten mojokerto tanggap covid-19. retrieved from https:/ /covid19.mojokertokab.go.id/ firmansyah, m. (2020). ancaman psikologis dan imbas cemas akibat covid-19. retrieved from https:// www.alinea.id/gaya-hidup/ancaman-psikologisdan-imbas-cemas-akibat-covid-19-b1zlh9swk huang, y., & zhao, n. (2020). generalized anxiety disorder , depressive symptoms and sleep quality during covid-19 outbreak in china/ : a web-based crosssectional survey. psychiatry study, 288(march), 112954. https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020. 112954 indonesia, d. i. (2020). covid-19 covid-19. kemenkes ri. (2020). pedoman pencegahan dan pengendalian coronavirus desiase (covid-19), 0– 115. retrieved from https://www.kemkes.go.id/ resour ces/downl oad/i nfo-t er ki ni /covid-19 dokumen resmi/2 pedoman pencegahan dan pengendalian coronavirus disease (covid-19).pdf kompas. (2020). tingkat kecemasan akibat wabah virus corona meningkat kompas. retrieved from https:/ /amp.kompas.com/lifestyle/read/2020/03/26/ 112749520/tingkat-kecemasan-akibat-wabah-viruscorona-meningkat lee, s. a., & lee, s. a. (2020). coronavirus anxiety scale/ : a brief mental health screener for covid-19 related anxiety coronavirus anxiety scale/ : a brief mental health screener for covid-19 related anxiety. death studies, 44(7), 393–401. https://doi.org/10.1080/ 07481187.2020.1748481 pranita, e. (2020). serba-serbi corona, ini persepsi dan pengetahuan masyarakat indonesia. kompas.com. retrieved from https://today.line.me/id/pc/article/ s e r ba + s e r bi + c or on a + i n i + p e r s e p s i + d a n + pengetahuan+masyarakat+indonesia-2lymve purnamasari, i., & raharyani, a. e. (2020). tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat kabupaten won osobo ten tang covi d-19. jurnal ilmi ah kesehatan, (mei), 33–42. salari, n., hosseinian-far, a., jalali, r., vaisi-raygani, a., & rasoulpoor, s. (2020). prevalence of stress , anxiety , depression among the general population during the covid-19 pandemic/ : a systematic review and meta-analysis, 1–11. van bogaert, p., peremans, l., diltour, n., van heusden, d., dilles, t., van rompaey, b., & havens, d. s. (2016). staff nurses’ perceptions and experiences about structural empowerment: a qualitative 54 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 49–54 phenomenological study. plos one, 11(4), 1–14. retrieved from http://10.0.5.91/journal.pone.0152654 widya putri, aditya. (2020). ancaman gangguan mental di tengah wabah covid-19 tirto. retrieved from https://tirto.id/ancaman-gangguan-mental-ditengah-wabah-covid-19-ejvi zhong, q., gelaye, b., zaslavsky, a. m., fann, j. r., & rondon, m. b. (2015). diagnostic validity of the generalized anxiety disorder 7 ( gad-7 ) among pregnant women. plos one, 7, 1–17. https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0125096 e:\2021\ners april 2021\16-jurn 107syafitri, mardha, associated factors with hypnobirthing implementation in ... associated factors with hypnobirthing implementation in trimester iii pregnant women at diana panitra clinic medan in 2020 jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/02/2021 accepted, 09/03/2021 published, 05/04/2021 keywords: husband’s support, facility distance, mother ’s interests hypnobirthing implementation article information abstract almost all maternal experienced anxiety and fear during pregnancy, labor, and after childbirth. one of the methods is used to reduce childbirth anxiety namely hypnobirthing. the purpose of this study was to determine the factors associated with the implementation of hypnobirthing in third trimester pregnant women at the diana panitra clinic medan in 2020. the design of this study used an analytic survey with a cross-sectional approach. the population of the study were all 30 third trimester pregnant women, and sample using accidental sampling techniques. the independent variables in this study are knowledge, husband’s support, distance from facilities, and mother’s interest. the instrument used a questionnaire. the data analysis technique used univariate and bivariate analyses. the results showed that there is a relationship implementation of hypnobirthing between knowledge with p-value (sig) = 0.044, husband’s support with p-value (sig) = 0.004, facility distance and p-value (sig) = 0.019, and maternal interest with p-value (sig) = 0.015. the conclusion of this study is that there is a relationship between knowledge, husband’s support, the distance of facilities, and mother’s interest with the implementation of hypnobirthing in trimester iii pregnant women at the diana panitra clinic medan in 2020. and it is hoped that health workers will participate in providing information about the benefits of hypnobirthing during pregnancy. 107 correspondence address: institut kesehatan helvetia medan – north sumatra, indonesia p-issn : 2355-052x email: endryanisafitri@helvetia.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p107–112 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) endryani syafitri1, muthia sari mardha2 1,2midwifery department, institut kesehatan helvetia medan, indonesia © 2021 journal of ners and midwifery https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p107-112 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p107-112&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 108 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 107–112 introduction labor that cannot be handled properly can cause the delivery process to not take place smoothly, so that labor takes a long time. one of the factors a ffecting long la bor is ina dequa te uter ine contractions (his) during the first stage of labor. the first stage of a long labor will cause the mother to experience fatigue and exhaustion. as a result, uterine contractions are increasingly inadequate and in turn, this condition can lead to labor failure. another condition that causes prolonged labor is a psychological condition including the mother ’s perception of pain and anxiety during childbirth.(1) the pain that occurs can affect the mother’s condition in the form of fatigue, fear, worry, causing stress. stress can cause the uterine contractions to weaken and result in a prolonged labor. currently, many new methods are being used to reduce anxiety or worry in dealing with childbirth. one of them is hypnobirthing.(2) hypnobirthing is a new method specifically for pregnant women by doing deep relaxation which aims to prepare for a smooth, comfortable, painless birth process.(2) hypnobirthing was developed based on the belief that with thorough preparation for labor, mothers and their companions can go through a safe, comfortable, and satisfying delivery experience, away from fear and anxiety that cause tension, and pain. hypnobirthing works based on the power of suggestion and visualization to calm the body, guide the mind, and control the breath.(3) through four basic hypnobirthing techniques starting from muscle relaxation, breathing relaxation, mind relaxa tion, visua lization exercises a nd communicating with the fetus that are carried out regularly and concentration can help the body relax so that the body releases endorphins which function as controlling pain and persistent pain and controlling feelings of stress.(4) many third trimester pregnant women who still do not know the term hypnobirthing and not many know hypnobir thing r ela xa tion techniques. knowledge about hypnobirthing in society is also very lacking, especially in the middle to lower class society. there are still many people who still cannot accept the concept of this method, especially people who think hypnosis is a condition that makes people unaware of what they are doing, because hypnosis is often used in crime. the little interest of pregnant women in this hypnobirthing relaxation method is caused by a lack of knowledge and benefits of hypnobirthing both during pregnancy, childbirth and after childbirth.(5) in addition, socialization about hypnobirthing and sources of information obtained by pregnant women either from brochures or articles about hypnobirthing and there are still a few certified health workers who apply this hypnobirthing method. the low knowledge of mothers about the hypnosis method in pregnant and childbirth women has an impact on the mother’s interest which will then affect the mother’s behavior in using the hypnosis method in pregnancy.(6) the support of the husband in pregnancy is needed by the mother. husbands who are always active in finding information, and are always alert in pregnancy can help mothers deal with complaints experienced during pregnancy, so that mothers are interested in participating in positive activities such as the implementation of hypnobirthing classes. so that mothers are active in participating in every positive activity with support from their husbands and support from their families. and also with easy access to health facilities, so it is easier for pregnant women to get information about pregnancy, as well as information about delivery assistance methods, and with easy-to-reach facilities, it’s easier to get immediate treatment in an emergency. if the distance to health facilities is difficult to reach, it can reduce the interest of the mother to have her pregnancy checked.(7) the hypnobirthing method was developed by marie f. mongan, a certified hypnotherapist. since 1959 based on dr. theory grantley dick-read (a british obstetrician who lived in 1890-1959), also known as the father of natural birth in 2002, hypnobirthing was developed in indonesia by lanny kuswandy. hypnobirthing is a relaxation method that is based on the belief that pregnant women exper ience la bor thr ough instinct a nd give suggestions that giving birth is delicious.(8) some countries even have various professional institutions that are active in the education and application of hypnotherapy, for example the american society of clinical hypnosis and the indonesian medical hypnotherapy association. the therapeutic effect of hypnosis has also received recognition from british medical association (bma), american medical association (ama), as well as various australian and indian institutions. 109syafitri, mardha, associated factors with hypnobirthing implementation in ... hypnobirthing success rate is 85%.(9) hypnosis has been recognized by who as an alternative therapy outside the legal sciences of western medicine.(10) in indonesia, hypnobirthing is not widely known by people because of the lack of socialization, especially to hospitals and maternity hospitals. lanny kuswandi, a midwife and dr. tb erwin kusuma, spkj, is the person who developed the hypnobirthing method, training was held for midwives and nurses to learn the hypnobirthing method, but the cost of attending hypnobirthing training which was quite expensive resulted in not all of them being able to attend the tra ining. hypnobir thing has been implemented in several regions, namely malang, makassar, denpasar, north sumatra, surakarta. several studies have shown that hypnosis methods can minimize and even eliminate fear, tension, pain syndrome, and panic during childbirth and the period thereafter so that they do not become postpartum tra uma compa red to other methods such a s aromatherapy, acupuncture, audio-analgesia, and massage.(11) in the area of north sumatra province, the implementation of hypnobirthing has also been carried out by pregnant women and women who give birth such as in medan, tebing tinggi, binjai. as in the research conducted by yulida effendi naustion, and asrul in 2018 with the title of the relationship between maternal perceptions of hypnobirthing with pain reduction in normal delivery mothers at the clinic diana medan with the result there is a relationship between the hypnobirthing method and pain reduction.(12) based on the description, the researcher is interested in conducting a research entitled “factors related to the implementation of hynobirthing in third trimester pregnant women at the diana panitra clinic, medan in 2020”. materials and methods the research design used was an analytical survey, using a cross sectional approach, which is to determine the factors associated with the implementation of hypnobirthing at diana panitra clinic, medan in 2020. this research will be conducted from may to july 2020. the sample in this study used accidental sampling technique, which is sampling accidentally without being planned, with 30 respondents. the variables in this study were knowledge, husband’s support, distance from facilities, and mother’s interest. results and discussion variable hypnobirthing implementation amount p valueready not willing f % f % f % knowledge good 5 50 2 10 7 23,3 enough 3 30 8 40 11 36,7 0,044 less 2 20 10 50 12 40 husband’s support support 8 80 4 20 12 40 does not support 2 20 16 80 18 60 0,004 facility distance far 2 20 14 70 16 53,3 close 8 80 6 30 14 46,7 0,019 mother’s interests interested 7 70 4 20 11 36,7 not interested 3 30 16 80 19 63,3 0,015 table 1 cross tabulation of mother’s knowledge relationship, husband’s support, facility distance, and mother’s interests with the implementation of hypnobirthing in trimester iii pregnant women at diana panitra clinic, medan, 2020 110 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 107–112 knowledge relationship between trimester iii pregnant women and hypnobirthing implementation respondents who have good knowledge but are not willing to implement hypnobirthing, due to a lack of interest from respondents, which is caused by the distance of health facilities far from their place of residence. on the other hand, experience greatly influences a person’s behavior, mothers who have sufficient knowledge about hypnobirthing, but have experience during pregnancy that make them unnecessary to do hypnobirthing during pregnancy, this will influence the mother not to do hypnobirthing during pregnancy, whereas mothers who have less knowledge about hypnobirthing, but are not willing to do hypnobirthing, because mothers still think, hypnosis is a condition that makes humans unaware of what they are doing, because hypnosis is often used in crime. based on the results of the bivariate analysis carried out, the chi-square test results obtained with the value of p (sig) = 0.044 less than 0.05, indicating that there is a relationship between knowledge and the implementation of hypnobirthing at the diana panitra clinic, medan in 2020. knowledge is the result of knowing, and occurs after a person senses a certain object. without knowledge, a person does not have a basis for making decisions and determining action on the problem at hand.(5) in accordance with notoatmodjo’s theory, if someone has a high level of education, that person tends to be more receptive to new information. and conversely, if someone has a basic level of education, that person tends to find it difficult to accept new infor ma tion. knowledge of someone who is obtained from the learning process, apart from being obtained from the use of the senses which has its own value. a person’s knowledge is usually obtained from experience, which comes from various mass media, electronic media, health manuals, media posters, close relatives and so on.(5) so that the researchers assume, the better the knowledge and experience of the mother, about pregnancy and about preparation for the delivery process, the more information will be obtained about pregnancy, and preparation for the delivery process, especially about hypnobirthing in pregnancy, and can also facilitate communication of health workers, if recommend to carry out hypnobirthing. conversely, if the mother has less knowledge about pregnancy, and about preparation for the delivery process, the less infor ma tion the mother will get a bout pregnancy, especially about hypnobirthing in pregnancy. relationship between husband’s support and implementation of hypnobirthing in trimester iii pregnant women the results showed that respondents who did not receive support from their husbands but were willing to implement hypnobirthing because, the form of husband’s support was divided into several, namely: emotional support, instrumental support, information support, and assessment support. some respondents who do not get support from their husbands do not mean they do not get support at all, often respondents only get instrumental support and appraisal support, not accompanied by emotional support and information support. based on the results of the bivariate analysis carried out, the results of the fisher exact test were obtained with a value of p (sig) = 0.004 smaller than 0.005. from the analysis above, it can be concluded that there is a relationship between husband’s support and the implementation of hypnobirthing at diana panitra clinic, medan in 2020. the most important person for a pregnant woman is her husband. a lot of evidence shows that women who are cared for and loved by their partners during pregnancy, will be easier to adjust during pregnancy and fewer complications will occur. (13) a supportive husband is a husband who has great concern for the condition of his pregnant wife, a husband who is always active in any way for the health of the mother and the fetus. husband’s support during pregnancy and childbirth includes calming the wife’s discomfort, paying attention, accompanying the wife to go for examinations, building bonds with the prospective baby, providing advice or decisions, knowledge about pregnancy and about preparation for the delivery process.(14) so that the researchers assume, husband’s support is very important during pregnancy and preparation for the delivery process. because the husband who is closest to the mother, the higher the support from the husband, it will make the mother more enthusiastic about pregnancy and with 111syafitri, mardha, associated factors with hypnobirthing implementation in ... the support of the husband, the husband helps the mother find information about pregnancy and especially about hypnobirthing in pregnancy. relationship between facility distance and implementation of hypnobirthing in pregnant women trimeseter iii t he r esults of this study indica te, tha t respondents who have a far distance from health facilities from their residence, are not willing to carry out hypnobirthing because the distance is so far from their place of residence, making mothers not interested in implementing hypnobirthing, and also because of the distance from health facilities place of residence, making mothers also rarely do classes for pregnant women, this is due to inadequate transportation, and husbands who do not spend much time at home accompanying mothers to visit pregnant women, thus making mothers less informed about pregnancy, especially information about hypnobirthing. this can make it difficult for mothers to accept hypnobirthing as a new method, which is used to reduce anxiety and worry during pregnancy and in preparation for childbirth. based on the results of the bivariate analysis, the results of the fisher’s exact test were obtained, the value of p (sig) = 0.019, smaller than 0.05, from the analysis above, it can be concluded that there is a relationship between facility distance and the implementation of hypnonirthing at diana panitra clinic, medan in 2020. in accordance with the theory, the availability of adequate health facilities at an easily accessible distance will make it easier for pregnant women to frequently check their pregnancies, and to get treatment in an emergency. midwives can provide information or instructions to mothers and their families about the use of health facilities such as maternity homes, polindes, pkm, and other health facilities that are important and safe for pregnancy and childbirth.(15) so the researchers assume, the farther the health facilities are from the place where pregnant women live, and the more difficult it is to access health facilities, the more pregnant women are interested in conducting antenatal care, the less information will be obtained about pregnancy and preparation for the delivery process, in particular. about the benefits of hypnobirthing in pregnancy. the distance from health facilities will make mothers think twice about carrying out antenatal care, because it will take a lot of energy and time for each pregnancy check-up. relationship between maternal interest and the implementation of hypnobirthing in trimester iii pregnant women the results showed that respondents who were not interested in the implementation of hypnobirthing with the category of not willing to carry out hypnobirhing, because of the mother ’s lack of knowledge, and also the information obtained about hypnobirthing relaxation methods in pregnant women was still small, and also because of the distance from the place of residence to far health facilities make mothers less interested in doing hypnobirthing. while respondents who are not interested in implementing hypnobirthing but are willing to implement hypnobirthing, because there is support from their husbands that make mothers willing to implement hypnobirthing from the results of the bivariate analysis, the results of the fisher’s exact test were obtained, the value of p (sig) = 0.015, smaller than 0.05, from the analysis above, it can be concluded that there is a relationship between maternal interest and the implementation of hypnobirthing at diana panitra clinic, medan in 2020. in accordance with the theory, interest in essence is the acceptance of a relationship between oneself and something from outside oneself, the stronger or closer the relationship is, the greater the interest. someone who is interested in something, tends to pay more attention to something that is interested in it, and completely ignores anything else.21 interest is the main motivational tool that can generate excitement in activity, and an important interest in making decisions.(16) according to the researcher’s assumption, the minimum inter est of pr egna nt women in implementing hypnobirthing is caused by the lack of knowledge of pregnant women and the benefits of hypnobirthing both during pregnancy, childbirth, and after childbirth. in addition, socialization about hypnobirthing and sources of information obtained by pregnant women either from brochures or articles about hypnobirting, and there are still few certified health workers who apply this hypnobirthing method. 112 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 107–112 conclusion 1. there is a relationship of knowledge with the implementation of hypnobirthing in pregnant women at the diana panitra clinic, medan in 2020 with a p value (sig) of 0.044. 2. there is a relationship between husband’s support and the implementation of hypnobirthing at the diana panitra clinic, medan in 2020 with a p value (sig) of 0.044. 3. there is a relationship between facility distance and the implementation of hypnobirthing at the diana panitra clinic, medan in 2020 with a p value (sig) of 0.019. 4. there is a relationship between mother’s interes and the implementation of hypnobirthing at the diana panitra clinic, medan in 2020 with a p value (sig) of 0.015. suggestion expected to officers the health clinic is in the clinic to provide information, about the benefits of hypnobirthing during pregnancy and preparation for the delivery process. references andriyani a, sulaeman j md. kelas hypnobirthing sebagai mind-body and interrventions. ilmu kebidanan. 2016;iv. ani t. hubungan minat ibu hamil dengan metode relaksasi hypnobirthing. j penelit kesehat suara forikes. 2016; choiriyah sc, sari k aa. hubungan tingkat pengetahuan dengan minat ibu tentang hypnobirthing dalam mengurangi nyeri persalinan. fak ilmu kesehatan, univ ngudi waluyo. 2016; elisabeth s. perawatan kehamilan dan menyusui anak pertama agar bayi lahir dan tumbuh sehat. 2015. indrayani, m k, moudy e.u. djami, mm.pd mm ke. update asuhan persalinan dan bayi baru lahir. 2016; tersedia pada: ransinfotim.blogspot.com/p/ daftar-harga_28.html jayanti fa. perbedaan keikutsertaan hypnobirthing dengan tingkat kecemasan ibu hamil dalam menghadapi persalinan di kabupaten sidoarjo. j keperawatan muhammadiyah. 2019;8. k a. efektifitas penerapan hypnobirthing dalam menurunkan tingkat kecemasan ibu hamil trimester tiga menjelang persalinan anak pertama di usia dewasa awal. jppp. 2017; lilis surya wati sm. dukungan suami dengan minat ibu hamil dalam pelaksanaan kelas hypnobirthing. j insa cendekia. 2015; nasution ye. hubungan persepsi ibu tentang hypnobirthing dengan pengurangan rasa nyeri pada ibu bersalin normal di klinik diana medan tahun 2018. j ilm kebidanan (scientific j midwifery). 2019; putra sr. cara mudah melahirkan dengan hypnobirt hing. 2016; tersedi a pa da : www. distributorsukabuku.com putri ik. 2017. pengaruh hypnobirthing terhadap nyeri persalinan pada ibu inpartu kala i fase aktif di klinik eka sri wahyuni dan kilinik pratama tanjung tahun 2017. r p. 2015. pengaruh penerapan hypnobirthing terhadap nyeri persalinan normal. kebidanan profesi. rahmawati r, yusriani y if. pengaruh hypnobirthing terhadap intensitas nyeri pada ibu bersalin normal di rsud labuang baji makassar. j ilm kesehat diagnosis. sriwahyuni e, barus a sm. pengaruh teknik relaksasi hypnobirthing terhadap penurunan rasa nyeri kala i persalinan normal pada primipara di rumah sehat kasih bunda kec medan selayang tahun 2019. j penelit kebidanan kespro. 2019; wati ls. dukungan suami dengan minat ibu hamil dalam pelaksanaan kelas hypnobirthing. widatiningsih s dc. praktik terbaik asuhan kehamilan. 2017. 134 hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien hiv/aids (the relationship between family support with depression levels for hiv/aids patients) wiwin martiningsih 1 , fransnedo dhiky kurnia c 1 , sri winarni 1 1 jurusan keperawatan poltekkes malang email: wiwin_martiningsih@yahoo.co.id abstract: aids is a collection of specific clinical conditions that are the end result of infection by hiv. this raises the issue of psychiatric illness, namely depression. depression is what causes the quality of life of patients with hiv / aids become less well. to handle this condition needed social support from family. the purposes of this study were to identify family support and levels of depression, and analyzed the correlation between the two variables. this study used correlative as research design. purposive sampling is used to get samples. the total of study subjects were 34 people who registered in the registration book in january to october 2013, and visited hospitals in cendana polyclinic ngudi waluyo hospital wlingi and included the inclusion criteria. family support data was obtained base of questionnaire and depression levels was obtained by the zung self-rating depression scale questionnaire. data showed that 94,1% respondents got family support well and 97,1% respondent have not depression symptoms. the correlation between family support with depression levels analyzed using spearman's rho test with a significance level of p = 0.000, showed that the correlation between family support for the patient's level of depression of hiv / aids significantly. from this study can be concluded that the respondents with good family support did not experience symptoms of depression. families need to provide support for its members who suffer from hiv / aids in order to prevent depression. keywords: family support, depression, aids. abstrak: aids merupakan suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh hiv. penyakit ini menimbulkan masalah psikiatrik, yaitu depresi. depresi inilah yang menyebabkan kualitas hidup pasien hiv/aids menjadi kurang baik. untuk mengatasinya diperlukan dukungan sosial yang berasal dari keluarga. tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dukungan keluarga dan tingkat depresi, serta menganalisa hubungan antara kedua variabel tersebut. desain penelitian yang digunakan adalah korelatif. teknik dalam mendapatkan sampel menggunakan purposive sampling. jumlah subyek penelitian 34 orang yang terdaftar dalam buku registrasi pada bulan januari-oktober 2013 dan berkunjung di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi yang memenuhi kriteria inklusi. data dukungan keluarga diperolah berdasarkan kuesioner dan data tingkat depresi berdasar the zung self-rating depression scale. diperoleh data bahwa 94,1% responden memiliki dukungan keluarga yang supportif dan 97,1% responden tidak mengalami depresi. hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi diolah menggunakan uji korelasi spearman rho dengan tingkat kemaknaan p ≤ 0,05. didapatkan hasil uji (p = 0,000) menunjukkan bahwa korelasi antara dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pasien hiv/aids bermakna. dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa responden dengan dukungan keluarga baik tidak mengalami gejala depresi. keluarga perlu memberikan dukungan bagi anggotanya yang menderita hiv/aids agar dapat mencegah depresi. kata kunci: dukungan keluarga, depresi, hiv/aids mailto:wiwin_martiningsih@yahoo.co.id acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p130-135 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 135 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm. 134-140 acquired immune deficiency syndrome (aids) adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh hiv. penyakit ini telah menarik perhatian komunitas kesehatan karena menyebabkan destruksi progresif fungsi imun yang menyebabkan berbagai jenis infeksi yang secara umum menyebabkan kematian bagi penderitanya. (price, 2005). jumlah kumulatif hiv dan aids di indonesia pada tahun 2011 yang terlaporkan sebanyak 77.779 orang dengan jumlah kumulatif kasus aids sebanyak 29.879 kasus. dari sekian banyak kasus hiv/aids di indonesia, pada tahun 2011 provinsi jawa timur menduduki posisi tiga besar pervalensi penyakit hiv/aids, dengan jumlah kumulatif kasus hiv sebanyak 9.950 kasus. berdasarkan laporan kasus aids sampai dengan desember 2011, jumlah kumulatif kasus aids sampai dengan tahun 2011 sebanyak 4.598 kasus. (alisjahbana, 2012). jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2010 dengan jumlah kasus aids kumulatif berdasarkan laporan kabupaten/kota tahun 2010 sebanyak 4.069 orang dan pada tahun 2009 sebanyak 3.554 orang (profil kesehatan provinsi jawa timur, 2010). di kabupaten blitar pada tahun 2010 dilaporkan jumlah penderita hiv baru 55 orang, dan 34 orang menderita aids, sementara itu pada tahun 2011 jumlah penderita hiv baru, meningkat menjadi 63 orang dengan jumlah penderita aids bertambah menjadi 62 orang. pada tahun 2012 juga ditemukan penderita yang baru terinfeksi hiv berjumlah 46 dengan jumlah aids sebanyak 52 orang. pada tahun 2013 dihitung dari bulan januari sampai desember dilaporkan bahwa penderita baru hiv berjumlah 27 dengan jumlah penderita aids sebanyak 66 orangb(dinas kesehatan kabupaten blitar, 2013). berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 8 oktober sampai dengan 30 nopember 2013 di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi, didapatkan jumlah kunjungan pasien yang positif hiv pada tahun 2012 sejumlah 124 orang dan pada tahun 2013 dihitung dari bulan januari sampai oktober berjumlah 111 orang. penyakit hiv/aids telah menimbulkan masalah yang cukup luas pada individu yang terinfeksi yakni meliputi masalah fisik, sosial dan emosional. dalam segi sosial pasien hiv/aids menghadapi masalah yang memprihatinkan sebagai dampak dari adanya stigma tarhadap penyakit ini. hal ini disebabkan karena penyakit ini identik dengan perilaku-perilaku tidak bermoral seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan seks sesama jenis (homoseksual), sehingga orang dengan hiv/aids dianggap pantas untuk mendapat hukuman akibat perbuatannya tersebut. selain itu, stigma juga muncul karena pemahaman masyarakat yang kurang terhadap penyakit ini. hiv/aids dianggap sebagai penyakit mematikan yang mudah sekali menular melalui kontak sosial biasa seperti halnya bersalaman dan lain sebagainya. hal ini mengakibatkan pasien hiv/aids dikucilkan dan mendapat perilaku diskriminatif dari masyarakat (purnama & haryanti, 2006 dalam kusuma, 2011). sebagai akibat dari masalah fisik dan sosial pasien hiv/aids akan jatuh dalam kondisi psikiatrik terkait infeksi hiv yaitu depresi. (kaplan, 1994). dalam penelitian kusuma (2011) disimpulkan bahwa pasien hiv/aids yang mengalami depresi berisiko 10,35 kali memiliki kualitas hidup yang kurang baik. untuk mengatasi kondisi depresi tersebut diperlukan penatalaksanaan depresi salah satunya dengan dukungan sosial. (lubis, 2009). pemerintah telah mencanangkan upaya dalam penanggulangan hiv/aids di indonesia dengan meningkatkan prinsip care, support, and treatment. (alisjahbana, 2012). dukungan sosial sangat diperlukan terutama pada pasien hiv yang kondisinya sangat parah, dukungan sosial ini berasal dari orang-orang terdekat seperti suami/istri, orang tua, anak, dan keluarga. (nuralam, 2009). dukungan sosial tersebut dapat berupa dukungan instrumental, informasi, emosional, dan penghargaan yang dapat melindungi dari efek-efek negatif dari stress berat, karena orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres. (friedman, 1998). namun, fakta yang didapat bahwa keluarga pasien hiv/aids di indonesia masih kurang dalam memberikan dukungan sosial, dibuktikan dengan hanya 43,5% bersikap bersedia merawat anggota keluarga yang terinfeksi virus hiv dirumah dan sikap deskriminatif terhadap anggota keluarga yang terinfeksi hiv masih cukup tinggi yaitu sebesar 28,8%. (riset kesehatan dasar, 2010). berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mempelajari hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada pasien hiv/aids, dan tujuan dari penelitian ini adalah: 1) martiningsih, kurnia dan winarni, hubungan dukungan keluarga......136 mengidentifikasi dukungan keluarga pada pasien hiv/aids 2) mengidentifikasi tingkat depresi pada pasien hiv/aids, dan 3) menganalisa hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pada pasien hiv/aids. manfaat penelitian ini adalah: 1) sebagai dasar poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi dalam mengoptimalkan manfaat dari program yang telah ada, 2) sebagai bahan masukan keluarga untuk memberikan dukungan sosial kepada anggota keluarga yang menderita hiv/aids agar dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hidupnya. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian dengan desain korelasional, pengambilan data dilakukan pada bulan pebruari-april 2014. populasi dalam penelitian adalah klien yang sudah terdiagnosa hiv, terdaftar dalam buku register pada bulan januari sampai oktober 2013 di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi. yang berjumlah 111 orang. sampel yang dambil sebanyak 34 orang, dan diambil secara purposive, dengan kriteria: pasien menginformasikan tentang status hivnya kepada keluarga yang tinggal satu rumah, dan kriteria inklusi: 1) pasien yang mengalami ketidaknyamanan fisik yang memberat (seperti nyeri, pusing, atau lainnya) sehingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan penelitian, 2) memutuskan untuk tidak melanjutkan pengisian ataupun tidak mengisi kuesioner secara lengkap. penelitian ini telah mendapatkan ijin dari kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten blitar dan instansi terkait pengelola penyakit hiv aids. pada saat pengumpulan data peneliti dibantu oleh satu petugas poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi yang telah terlatih dan kompeten dalam memberikan konseling bagi pasien hiv. pengumpulan data menggunakan kuesioner dukungan keluarga yang pengkategoriannya berdasar cut of point 75% dari total skor (80) dengan pengelompokan :1) ≥ 60 = supportif, 2) < 60 = non-supportif dan the zung self-rating depression untuk mengidentifikasi tingkat depresi dengan pengkategorian: 1) skor 20-49 = normal, 2) skor 50-59 = depresi ringan, 3) skor 60-69 = depresi sedang, 4) skor > 70 = depresi berat. untuk mengetahui korelasi antara menggunakan uji spearman rho melalui program spss for window 16 dengan p < 0,05. hasil penelitian berdasar hasil penelitian dari 34 responden, usia termuda adalah 21 tahun, tertua 57 tahun, sedangkan hampir separuh responden penghasilan dibawah umr kabupaten blitar. jenis kelamin perempuan (18 responden/53%), pendidikan terbanyak adalah slta (44%) tidak ada yang berpendidikan di pt, dan mayoritas responden bekerja, terdapat 29% responden tidak bekerja kebanyakan adalah pensiunan dan ibu rumah tangga. terdapat 3% responden belum menikah, dan 18 % responden telah bercerai. paling lama responden menderita hiv-aids 5 tahun, dan paling baru didiagnosa sekitar 4 bulan sebelum penelitian ini dilakukan. sedangkan dukungan keluarga secara berturut-turut mulai dari yang terbaik adalah : 1) dukungan instrumental, 2) dukungan emosional, 3) dukungan informasional dan terakhir 4) dukungan penghargaan, yang bisa dilihat pada gambar 1. gambar 1 diagram batang jenis dukungan keluarga pada penderita hivaids, di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi, bulan pebruari-april 2014 (n = 34) untuk derajat depresi penderita hivaids dan hubungannya dengan dukungan yang diberikan keluarga dapat dilihat pada tabel 1, dimana hanya 1 responden yang mengalami depresi, itupun masih ringan karena tidak mendapatkan support dari keluarga, sedangkan 32 responden tidak mengalami depresi karena seluruhnya mendapatkan support dari keluarga. 91% 94% 79% 77% 9% 6% 27% 23% dukungan emosional dukungan instrumental dukungan informasi dukungan penghargaan supportif non supportif 137 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm. 134-140 tabel 1. tabulasi silang dukungan keluarga dengan tingkat depresi penderita hiv/aids, di poli cendana rsud ngudi waluyo, tanggal bulan pebruari-april 2014.(n=34 responden). tingkat depresi dukungan keluarga dukungan keluarga jumlah supportif non supportif normal 32 1 33 depresi ringan 0 1 1 depresi sedang 0 0 0 depresi berat 0 0 0 total 32 2 34 spearman rho (p = 0,000) pembahasan dukungan keluarga pasien hiv/aids pada penelitian ini diketahui distribusi responden berdasarkan dukungan keluarga menunjukkan bahwa paling banyak responden mempersepsikan dukungan keluarganya supportif, yaitu 32 responden (94,1%), sedangkan responden yang mempersepsikan dukungan keluarganya non supportif sebanyak 2 responden (5,9%). hasil ini berbeda dengan penelitian kusuma (2011) yang mayoritas respondennya mempersepsikan dukungan keluarganya non supportif. dukungan ini akan sangat membantu orang dengan hiv/aids (odha) dalam meningkatkan kualitas hidupnya, mengingat saat ini mereka dihadapkan pada beban sosiokultural, seperti stigma sosial yang berhubungan dengan aspek penularan yang dapat menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak fisik dan kontak sosial. meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang dimiliki sebagian besar responden baik, tetapi terdapat dua jenis dukungan keluarga yang belum dapat dikatakan optimal, yaitu dukungan informasi dan dukungan penghargaan. bentuk nyata dari dukungan informasi adalah bagaimana keluarga memberikan nesihat, pengetahuan, dan informasi serta petunjuk terkait masalah yang dialami responden. hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat 15 responden (44%) menganggap keluarga belum mampu memberikan penjelasan mengenai penyakit yang dialami responden. keluarga mungkin tahu bahwa keluarganya menderita hiv/aids, tetapi kemungkinan besar keluarga belum memahami apa itu penyakit hiv/aids, bagaimana penularan penyakit dan prognosa penyakit ini, stigma pada keluarga penderita hiv/aids masih belum bisa dihilangkan. berdasarkan hasil tabulasi silang, apabila dukungan keluarga ditinjau dari status perkawinan responden, didapat hasil bahwa responden yang telah menikah cenderung mempersepsikan dukungan keluarganya baik atau supportif. hal ini sesuai dengan pendapat smet, 1994 dalam nursalam, 2009) bahwa dukungan sosial terutama dalam konteks yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. namun dalam faktanya terdapat enam responden yang memliki status perkawinan belum menikah dan atau berstatus janda/duda/cerai juga mempersepsikan dukungan keluarganya baik, hal ini membuktikan bahwa dukungan keluarga tidak hanya berasal dari kualitas hubungan perkawinan, melainkan dukungan keluarga dapat juga berasal dari hubungan keakraban seperti keluarga inti dan teman yang terjalin dalam suatu kekaraban. sesuai dalam friedman (1998) bahwa selain dari dukungan suami/istri, dukungan sosial keluarga dapat berasal dukungan sosial keluarga internal lain seperti, dukungan yang diberikan oleh saudara kandung atau keluarga inti yang lain. sedangkan apabila dukungan keluarga yang didapat ditinjau dari penghasilan keluarga didapatkan bahwa terdapat 13 responden yang penghasilan keluarganya rendah justru mempersepsikan dukungan yang diberikan keluarganya baik. hal ini bertentangan dengan teori bahwa hal-hal yang berkaitan dengan material, dan bentuk dukungan langsung lainnya merupakan bentuk dukungan instrumental yang dapat mengurangi stres, karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi (lubis, 2009). namun, untuk melihat dukungan keluarga dalam penelitian ini tidaklah hanya memandang komponen dukungan tertentu saja, melainkan harus melihat bahwa komponen dukungan sosial merupakan suatu kesatuan yang utuh. bisa jadi, 13 responden yang berpenghasilan rendah dan mempersepsikan dukungan keluarga yang baik martiningsih, kurnia dan winarni, hubungan dukungan keluarga......138 memiliki dukungan emosional, penghargaan, dan informatif lebih baik daripada dukungan instrumental. dukungan sosial keluarga mengacu pada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan) (friedman, 1998). tingkat depresi pasien hiv/aids dari hasil penelitian didapatkan 33 responden (97,1%) tidak mengalami depresi (normal) dan 1 responden (2,9%) mengalami depresi ringan. hasil mengenai kejadian depresi dalam penelitian ini juga berbeda dengan penelitian kusuma (2011), yaitu lebih dari setengah responden mengalami depresi. depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, perasaan, aktivitas) seseorang yang ditandai dengan pikiran negatif pada diri sendiri, suasana hati menurun kehilangan minat atau motivasi, pikiran lambat serta aktivitas menurun. (keliat, 2011). depresi memiliki faktorfaktor mempengaruhinya, seperti, faktor genetik, susunan kimia otak tubuh, usia, jenis kelamin, gaya hidup, penyakit fisik, penyakit jangka panjang, dan tingkat pendidikan seseorang. (lubis, 2009). dalam penelitian ini berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat depresi dengan usia didapatkan data bahwa hampir semua dari usia terendah hingga paling tinggi tidak mengalami depresi, tetapi hanya ada 1 responden yang mengalami gejala depresi ringan yang berusia 45 tahun. hal ini berbeda dengan teori yang ada, bahwa golongan usia muda yaitu remaja dan orang dewasa lebih banyak mengalami depresi, karena pada usia tersebut terdapat tahap-tahap serta tugas perkembangan yang penting. (lubis, 2009).hal ini terjadi karena sebagian besar responden yang berusia terendah sampai tertinggi telah mendapatkan dukungan keluarga yang baik. sedangkan apabila tingkat depresi responden ditinjau dari jenis kelamin maka didapatkan bahwa hanya ada satu responden berjenis kelamin perempuan yang mengalami depresi ringan. hal ini karena mungkin wanita lebih mudah mengakui adanya depresi daripada pria (lubis, 2009). namun dalam penelitian ini jenis kelamin tidak dapat digunakan sebagai ukuran bahwa laki-laki atau perempuan lebih mudah mengalami depresi atau tidak, karena angka kejadian tidak depresi pada jenis kelamin responden hampir sama, dan jumlah antara lakilaki dan perempuan tidak rata. alasan mengapa responden wanita tersebut mengalami depresi ringan disebabkan keluarganya tidak memberikan dukungan dengan baik. berdasarkan hasil tabulasi silang antara tingkat depresi dengan tingkat pendidikan responden terdapat satu responden dengan tingkat pendidikan sd mengalami depresi. menurut rubin & peyrot (2001), depresi lebih banyak terjadi pada orang yang memiliki pendidikan yang rendah, karena orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan mempunyai kemampuan kognitif yang baik untuk mencari dan memahami informasi mengenai penyakitnya sehingga pasien dapat mengontrol penyakitnya, selain itu pasien dengan tingkat pendidikan tinggi juga lebih dapat untuk mengembangkan mekanisme koping konstruktif dalam menghadapi stressor. rata-rata lama menderita hiv/aids responden di poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi ada 28 bulan atau setara dengan 2 tahun 4 bulan, dengan lama menderita terendah 4 bulan dan terlama 60 bulan atau 5 tahun. apabila dilakukan tabulasi silang antara lama menderita dengan tingkat depresi, maka didapatkan data, sebanyak 21 responden menderita hiv selama 424 bulan serta terdapat satu orang responden dengan lama menderita 24 bulan yang mengalami gejala depresi ringan, dan sisanya lebih dari dua tahun dan tidak mengalami gejala depresi. hiv merupakan penyakit fisik yang dapat menghilangkan kepercayaan diri dan penghargaan diri (self-esteem), juga depresi (lubis, 2009). selain itu, hiv/aids merupakan penyakit jangka panjang yang menyebabkan ketidaknyamanan, ketidakmampuan, ketergantungan, dan ketidakamanan sehingga dapat membuat seseorang cenderung menjadi depresi. orang yang sakit keras menjadi rentan terhadap depresi saat mereka dipaksa dalam posisi dimana mereka tidak berdaya atau karena energi yang mereka perlukan untuk melawan depresi sudah habis untuk penyakit jangka panjang (lubis, 2009). 139 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm. 134-140 hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat depresi pasien hiv/aids hasil uji statistik spearman rho (p=0,000) menunjukkan bahwa korelasi antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien hiv/aids bermakna. pada penelitian ini diketahui distribusi responden yang mempersepsikan dukungan keluarganya supportif dengan tidak memiliki gejala depresi (normal) sebanyak 32 responden, responden yang mempersepsikan dukungan keluarganya non-supportif dengan tidak memiliki tingkat depresi (normal) sebanyak 1 responden, dan responden yang memiliki dukungan keluarga non-supportif dengan tingkat depresi ringan sebanyak 1 responden. menurut gottlieb (1983) dikutip menurut hipotesis penyangga dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan melindungi orang itu dari efek negatif dari stres berat, karena orang-orang dengan dukungan sosial tinggi akan mengubah respon mereka terhadap sumber stres. hal tersebut didukung dengan hipotesis langsung yang berpendapat bahwa, dukungan sosial itu bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan, tidak peduli banyaknya stres yang dialami orangorang. menurut hipotesis ini efek dukungan sosial yang positif akan sebanding dibawah intensitas stres tinggi dan rendah. (nursalam, 2009). beberapa pendapat mengatakan bahwa dukungan sosial terutama dalam konteks yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. (smet, 1994 dalam nursalam, 2009). kegunaan dukungan sosial kelompok: 1) merasa ada orang lain yang juga menderita, sehingga dapat mengurangi rasa isolasi, 2) mempunyai pengalaman menolong orang lain dengan memberikan informasi, nasihat sokongan emosional, 3) dapat memberikan harapan dengan melihat ada pasien yang menjadi sembuh, 4) dapat meniru semangat, optimis, kegigihan sesama pasien melawan penyakitnya, 5) dapat mengeluarkan segala perasaan dan masalah dan merasa didengarkan. berdasarkan teori diatas, wajar saja apabila seseorang yang memiliki dukungan keluarga yang baik tidak akan mengalami kondisi stres, bahkan depresi. karena dukungan keluarga merupakan bagian dari penatalaksanaan depresi, sehingga kondisi stres atau depresi dapat ditekan dengan dukungandukungan yang diberikan oleh keluarga atau orang terdekat. dukungan ini meliputi dukungan emosional, dimana keluarga dapat memberikan kepedulian, dan perhatian kepada anggota keluarga yang mengalami kondisi seperti penyakit hiv/aids, dukungan lain yang dapat diberikan adalah dukungan penghargaan dengan menunjukkan sikap menghargai serta melibatkan penderita dalam mengambil keputusan-keputusan, dukungan instrumenta, dan dukungan informatif yang dapat langsung memecahkan masalah yang dialami penderita hiv/aids. tetapi, ada hal yang menarik dalam penelitian ini bahwa terdapat satu orang responden mempersepsikan keluarganya tidak memberikan dukungan dengan baik namun tidak menunjukkan tanda gejala depresi. apabila ditelaah lebih jauh responden ini memiliki pekerjaan dan penghasilan yang tinggi (diatas umr kota/kabupaten blitar), berpendidikan menengah yaitu sma, hal tersebut dapat meningkatkan koping positif individu untuk menekan pikiran dan perasaan yang menuju kearah stres bahkan depresi. simpulan dan saran simpulan keluarga penderita hiv-aids mayoritas (94,1%) support terhadap keberadaan penderita hiv-aids, dan hampir seluruh penderita hivaids tidak mengalami depresi, hanya 1 orang saja yang mengalami depresi ringan, dan terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pada penderita hiv-aids dengan nila p = 0,000. saran karena hampir seluruh penderita hiv/aids telah mendapatkan dukungan keluarganya dengan baik, hendaknya tetap dipertahankan kualitas dukungan ini dan bagi keluarga yang belum memberikan dukungan yang baik bagi anggota keluarganya yang menderita hiv/aids, hendaknya dapat meningkatkan dukungannya dalam bentuk empati, perhatian, memberikan saran, bantuan material, penghargaan, dan ikut berperan aktif dalam pengobatan anggota keluarganya. bagi petugas poli cendana rsud ngudi waluyo wlingi agar selalu memberikan motivasi serta melibatkan keluarga dalam manajemen pengobatan dan perawatan pasien, supaya keluarga termotivasi untuk senantiasa memberikan dukungan bagi anggota keluarganya yang martiningsih, kurnia dan winarni, hubungan dukungan keluarga......140 menderita hiv/aids. dalam hal ini, anggota keluarga yang paling dekat dengan pasien dapat dilibatkan sebagai seseorang yang membantu pasien untuk menjaga kesehatannya, sehingga pasien dapat mempertahankan dan meningkatkan status kesehatannya. daftar rujukan achjar, komang ayu h. 2010. aplikasi praktis asuhan keperwatan keluarga. jakarta: sagung seto. alisjahbana, armida s, dkk. 2012. laporan pencapaian tujuan pembangunan milenium di indonesia 2011. jakarta: kementrian perencanaan pembangunan nasional/badan perencanaan pembangunan nasional (bappenas). cichocki, mark. 2009. dealing with hiv and depression when sadness takes over. http://aids.about.com/cs/conditions/a/depres sion.htm, diakses tanggal 3 januari 2014. dalami, ernawati, dkk. 2009. asuhan keperawatan jiwa dengan masalah psikososial. jakarta: trans info media. dinas kesehatan kabupaten blitar. 2013. rekapitulasi penderita hiv/aids kabupaten blitar. dinas kesehatan provinsi jawa timur. 2010. profil kesehatan provinsi jawa timur. faugier, jean., hicken, ian. 1996. aids and hiv the nursing response. california: chapman & hall. friedman, marilyn m. 1998. keperawatan keluarga: teori dan praktik. jakarta: egc. kaplan, harold i. 1994. buku saku psikiatrik klinik. binarupa aksara: jakarta. (http://kamuskesehatan.com/arti/depresi/, diakses tanggal 1 nopember, pukul 20.46). keliat, budi anna, dkk. 2011. manajemen kasus gangguan jiwa: cmhn: intermediate course. jakarta: egc. kementrian perencanaan pembangunan nasional/bappenas. 2010. laporan pencapaian tujuan pembangunan milenium indonesia: bappenas. kusuma, heni. 2011. hubungan antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien hiv/aids yang menjalani perawatan di rsupn cipto mangunkusumo jakarta. tesis. jakarta: universitas indonesia. lubis, namora lumongga. 2009. depresi tinjuan psikologis. jakarta: kencana prenada media group. muma, richard d. 1997. hiv manual untuk tenaga kesehatan. jakarta: egc. nursalam dan kurniawati, ninuk dian. 2009. asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi hiv/aids. jakarta: salemba medika. price, sylvia a., wilson, lorraine m. 2005. patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. jakarta: egc. ri, kementrian kesehatan. 2010. riset kesehatan dasar 2010. rubin, r.r., & peyrot, m. 2001. psychological issue & treatments for people with diabetes. journal of clinical psychology. setyowati, sri., murwani, arita. 2008. asuhan keperawatan keluarga konsep dan aplikasi kasus. jogjakarta: mitra cendika press. http://aids.about.com/cs/conditions/a/depression.htm http://aids.about.com/cs/conditions/a/depression.htm http://kamuskesehatan.com/arti/depresi/ 218 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the effect of emotional intelligence on nurse’s communication skill lusia henny mariati1, yohanes jakri2, david djerubu3 1,2,3nursing study program, unika indonesia santu paulus ruteng manggarai, ntt article information abstract practical and good communication is the key to carrying out their roles and functions for nurses. an obstacle in communication is the emotional response on the part of nurses. this study aims to acknowledge the effect of nurses' emotional intelligence – which comprises emotional awareness, emotional control, selfmotivation, empathy, and social skills – on their communication abilities. nurses with high emotional intelligence will give meaning to interpersonal relationships by making people feel at ease. the research method used quantitative with a crosssectional design. the respondent was 96 nurses selected with proportional stratified random sampling method. the data was collected through a questionnaire. the results of multivariate analysis using multiple linear regression analysis statistical tests, obtained the values of ρ = 0.001; r2 = 0.209. based on statistical test values, it can be concluded that nurses' emotional intelligence – comprising emotional awareness, emotional control, self-motivation, empathy, and social skills – significantly influences the communication skills of nurses at ruteng regional general hospital simultaneously. having a higher level of emotional intelligence leads to better communication with patients and a better level of health quality. it is expected that leaders and managers of nursing organizations should develop educational programs aimed at increasing the competencies of nurses in emotion control and communication skills. history article: received, 06/02/2022 accepted, 11/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: emotional intelligence, nurse, communication skills © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: unika indonesia santu paulus ruteng manggarai – east nusa tenggara, indonesia p-issn : 2355-052x email : lusiahenny87@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p218-226 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:lusiahenny87@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p218-226 mariati, jakri, djerubu, the effect of emotional intelligence on nurse’s communication skill … 219 introduction communication is a vital element in nursing in all areas of activity. effective and good communication is the key to carrying out their roles and functions (kourkouta & papathanasiou, 2014). based on research by swansburg, nurses spent most of their time, namely 80% for communicating, 16% for reading, and 4% for writing. the development of communication skills is the key to success for a nurse (suhartini & anisa, 2017). many problems in nursing services can occur due to communication errors. minor errors in conveying information can hinder the client's healing process, and can even worsen the condition of the disease (suryani, 2019) several studies have identified communication as a prerequisite factor in revealing a patient's symptoms, concerns, and problems and therefore communication skills are essential so that patients can adhere to health care, education and promotion, and rehabilitation programs (kourkouta & papathanasiou, 2014). the results of research on patient satisfaction report that there is still a lack of delivery of information to patients causing patients not to get clear information, inappropriate information, and lack of accountability in delivering information (norouzinia et al., 2016). another research shows that communication in nursing is the key to establishing a good therapeutic care relationship and how it is connected with the patient’s satisfaction in the various phases of hospitalization (barilaro et al., 2019) nursing communication helps establish trusting relationships, ensures information is passed and understood and enriches people’s lives. effective communicators not only place active listening as a priority but also exude warmth when talking with others. warmth is felt by others when the communicator is friendly, approachable, and is kind. to exhibit these attributes of warmth, the nurse needs to make sure that the verbal communication and non-verbal communication are parallel (white & grason, 2019). sometimes, good communication can be hampered by obstacles. one of the factors that can hinder communication is the ability to control emotions. countertransference is an emotional response of nurses that can be a barrier to nursing patients' communication (muhith & siyoto, 2018). empathy and emotional intelligence as predictors of a nurses' attitude towards communication, and the cognitive dimension of this attitude is a good predictor of the behavioral dimension of attitudes towards the communication of nurses (giménez-espert & prado-gascó, 2018). emotional intelligence is managing our emotional life with intelligence, maintaining emotional harmony and its expression through know-how, self-awareness, self-control, self-motivation, empathy, and social skills. with this emotional intelligence, a person can put his or her emotions in the right position, make satisfying choices and regulate his or her mood (goleman, 2012). nurses with high emotional intelligence will give meaning to their interpersonal relationships by way of making people feel at ease (hutagalung, 2014). other research results show a significant relationship between emotional intelligence and the communication skills score as well as a strong significant relationship between the four dimensions of emotional intelligence and the total score of communication skills of nurses at the emergency department (raeissi et al., 2019). ruteng regional general hospital, a referral hospital in manggarai, still receives complaints caused by dissatisfaction with its nursing services, particularly in connection with the attitude and friendliness of nurses, with the insufficient control of patients, and several other complaints. according to public opinion, the quite harsh character of the manggarai people is one of the causes of their misperception about the unfriendly attitude of nurses. facing this phenomenon, nurses must acknowledge the dimensions of emotional intelligence to improve their communication skills and ultimately increase their clients’ satisfaction as well as the hospital’s quality. the objective of this research is to acknowledge the effect of emotional intelligence of nurses – which comprises emotional awareness, emotional control, self-motivation, empathy, and social skills – on their communication abilities. method study design this study used the quantitative research method with a cross-sectional approach to acknowledge the relationship between the variables, which were observed and measured at the same time. the data in this study were collected from january to february 2021. the population in 220 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 218-226 this study was all nurses who worked in the public hospital of the ruteng area. the sampling technique used proportionate stratified random sampling. this sampling technique was used by considering that the member population is not homogeneous and proportionally stratified. the strata in question were the level of nurse education, position, and type of treatment room. initial sample calculations used the slovin formula with a degree of error of 5%. then, it was proceed by counting the members of the sample stratified by proportional random sampling using the proportional allocation formula. the result of the calculation showed that the sample was 96 respondents. the data was collected by a questionnaire distributed to nurses in 10 rooms. the questionnaire that was filled out consisted of a questionnaire on emotional intelligence and nurse communication skills. the emotional intelligence questionnaire used was the goleman standard questionnaire with a likert measurement scale with a score of 1 (does not apply) to a score of 5 (always applies). there were 50 statements that assess the five dimensions of emotional intelligence: selfawareness, managing emotions, empathy, selfmotivation, and social skills. ten statements measure each dimension. meanwhile, to measure nurses' communication skills were used a communication skills assessment questionnaire with a likert scale of 1-3. this questionnaire consisted of 40 questions assessing the four components of interpersonal communication skills: sending a clear message, listening, giving and getting feedback, and handling emotional interaction. the results of the validity test of the two questionnaires showed that the value of the r count> r table is 0,444. the reliability test of the emotional intelligence questionnaire showed that the cronbach's alpha value was 0.911, while the communication skills questionnaire had a cronbach's alpha value of 0.735. this showed that the questionnaire was reliable. data analysis the collected data have been edited and coded for further processing. incomplete data were excluded. data analysis was performed using univariate, bivariate, and multivariate methods. bivariate analysis was performed using the pearson correlation test, while multivariate analysis was performed using multiple linear regression. multiple linear regression analysis was carried out to see the effect of the emotional intelligence variable (x) which comprises: self-awareness (x1), managing emotions (x2), motivation oneself (x3), empathy (x4), and social skills (x5), on nurse communication skills (y). the linear regression model used to assess the effect of the two variables is formulated as follows: y= a + b1x1 + b2x2 + b2x3 + b4x 4+ b5x5. before performing the simple regression analysis, a series of classical assumption tests were carried out as a prerequisite for multiple regression tests which comprise: normality, linearity, and heteroscedasticity tests. after performing this assumption test, it was evident that all prerequisites had been met. result demographics data table 1: research respondents’ characteristics (n=96) respondents’ characteristics freq (n) percentage (%) age 26-35 49 51.0 36-45 34 35.4 46-55 13 13.5 sex male 5 5,2 female 91 94,5 length of working <2 years 15 15,6 ≥2 years 81 84,4 education diii 79 82,3 bachelor/ners 17 17,7 employment status mariati, jakri, djerubu, the effect of emotional intelligence on nurse’s communication skill … 221 government employees 73 76 contract 23 24 position nurse manager 7 7,3 primary nurse 6 6,3 associate nurse 83 86,5 work unit pediatric ward 8 8,3 surgical ward 9 9,4 icu 9 9,4 medical ward 12 12,5 neonatal ward 9 9,4 maternity ward 8 8,3 emergency room 12 12,5 vip a 10 10,4 vip b 9 9,4 1st class 10 10,4 total 96 100 resource: primary data 2021 the profile of respondents is depicted in table 1 showed that 96 respondents completed the survey. the respondents’ characteristics were presented based on age, sex, and length of work. based on age, 46 or approximately 51% of respondents were an age ranging from 26-35 (early adult). meanwhile, at least 13 or 13,5% of respondents were in an elderly age range. based on gender, most respondents were female, 91 or 94,5%. meanwhile, 5 or 5,2% were males. based on the length of working, 81 or 84,4% of respondents worked ≥ 2 years. meanwhile, 15 or 15,6% worked <2 years. based on the educational level, the highest number of diii (associate degree) was 79 or 82.3% and ners 17 or 17.7%. based on employment status, the most were civil servants, namely 79 or 82.3%, and 23 or 24% contracts, while based on position status in work units the most were nurses who were running at 86.5% and at least 7.3% in the office. based on the work unit, there are at most 12.5% in two rooms, namely the medical ward and the emergency room. description of emotional intelligence dimension and communication skills table 2: mean distribution dimensions of emotional intelligence (n=96) variable mean sd min-max self-awareness 38,61 4,619 28-48 managing emotions 35,66 4,260 26-47 empathy 37,45 4,294 25-49 self-motivation 38,28 4,518 25-49 social skills 39,99 45,62 28-50 resource: primary data 2021 table 2 showed the dimensions of emotional intelligence, namely self-awareness with a mean value of 38.61 (good category) with a min-max ranges value of 28-48. the dimensions of managing emotions mean 35.66 (good category) with a range of 26-47. empathy with a mean value of 37.45, ranging from 25-49 (good category) as well as the self-motivating dimension with a mean value of 38.28 (good category), ranging from 25-49. social skills dimension with a mean value of 39.99 (good category) range of values 28-50. table 3: mean distribution total value of nurses’ emotional intelligence and communication skills variabel mean sd min-max emotional intelligence 189,99 18,281 146-243 communication skills 66,05 12,604 40-99 222 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 218-226 table 3 showed that the total mean value of emotional intelligence was 189.99 (good category) with a range of scores 146-243. mean total communication skills 66.05 (middle category) with a range of 40-99. table 4. results of bivariate analysis; correlation pearson communication skill self-awareness r=0,370 p=0,000 managing emotions r=0,330 p=0,001 motivating oneself r=0,389 p=0,000 empathy r=0,379 p=0,000 social skill r=0,400 p=0,000 resource: primary data 2021 table 4 shows the results of the bivariate analysis, namely the pearson correlation test. the results of the analysis proved that the five-dimensional variables of emotional intelligence have a significant p-value which qualifies for the multiple linear regression analysis. table 5: results of classical assumption test for linear regression requirements test sig. one-sample kolmogorov-sminorv test unstandardizied residual 0,458 linearity 0,000 heteroscedasticity 0,351 resource: primary data 2021 table 5 shows the results of testing the classical assumptions of linear regression requirements. kolmogorov smirnov one-sample test to assess the normality of the data with a significance of 0.05. the data used is residual data. the significant value is 0.458> 0.05, so the data is said to be normally distributed. linearity test to determine whether the independent variable has a significant linear relationship or not. a good correlation should have a linear relationship between the independent factors and the dependent variable. the results showed a linearity of 0.000 <0.05, meaning that there was a linear relationship between the two variables. the last assumption test is heteroscedasticity to test whether in the regression model there is an inequality of variance from the residual value of one observation to another. the test conducted in the glejser test where the significant value is 0.351> 0.05, the conclusion is that there are no symptoms of heteroscedastic. the results of these three tests indicate that the research data passes to be continued with the linear regression test. table 6: results of multivariate; multiple regression linear step variable coefisien correlation coefficient p step 1 self-awareness managing emotions motivation oneself empathy social skill konstanta 0,315 0,181 0,418 0,294 0,343 6,581 0,115 0,061 0,151 0,100 0,123 0,412 0,653 0,325 0,478 0,442 0,597 step 2 self-awareness motivation oneself empathy social skill konstanta 0,369 0375 0,325 0,437 7,865 0,135 0,136 0,111 0,157 0,309 0,362 0,425 0,267 0,514 mariati, jakri, djerubu, the effect of emotional intelligence on nurse’s communication skill … 223 step 3 self-awareness motivation oneself social skill konstanta 0,488 0,417 0,539 9,873 0,179 0151 0,193 0,151 0,402 0,147 0,140 0,308 step 4 self-awareness social skill konstanta 0,639 0,760 12,277 0,234 0,272 0,032 0,013 0,288 resource: primary data 2021 table 6 shows the results of the multivariate analysis of the linear regression test using the backward method. the analysis results are divided into four steps. in the fourth step, it is known that the variable dimensions of emotional intelligence that have a significant influence on the communication skills of nurses are self-awareness and social skills. the equation obtained is y=12,277 + 0,639 + 0,760, which means that for every one-unit increase in the dimensions of self-awareness and social skills, the communication skills of nurses will also increase by 63.9 and 76 at a constant of 12.277. furthermore, to determine the magnitude of the influence of the independent variables on the dependent variable is to use the coefficient of determination r2 test table 7: coefficient of determination the effect of emotional intelligence (x) on nurses’ communication skills (y) model r r2 1 0,457a 0,209 2 0,455b 0,207 3 0,499c 0,202 4 0,439d 0,193 resource: primary data 2021 a. predictor: (constant), self-awareness, motivation oneself, empathy, managing emotions, social skill b. predictor: (constant), self-awareness, motivation for oneself, empathy, social skill. c. predictor: (constant), self-awareness, motivation for oneself, social skill. d. predictor: (constant), self-awareness, social skill table 7 shows the determination coefficient of the effect of emotional intelligence (x) on nurses' communication skills. the results of this analysis indicate that the dimensions of emotional intelligence affect the nurses’ communication skills with an r2 value (r square) 0.209 (1st model). the r square value (coefficient of determination) is 20,9%, which indicates that the emotional intelligence variable (y) has an effect of 20,9% on nurses’ communication skills variable (x) and 79,1% is influenced by other factors not examined in this study. the results of this statistical test showed that the more positive the emotional intelligence value, the higher nurses’ communication skills are table 8: anova test results (f test) the effect of emotional intelligence (x) on nurses’ communication skills (y) model sum of square df mean square f p regression 3155,652 5 631,13 4,758 0,001 residual 1196,893 94 132.634 resource: primary data 2021 table 8 shows the results of the anova test (f test) and the significance of the emotional intelligence variable (x) on the nurse communication skills variable (y) with a value of f count = 4,758 while f table at α = 0.05 with the degree of numerator 1 and degree of denominator 94 obtained f table 2,31 thus f count > f table and a significance value of 0.001 <α = 0.05. these results indicate that emotional intelligence has a significant positive effect on the communication skills of nurses the regression equation is feasible to use. 224 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 218-226 discussion the research results showed that the dimensions of the emotional intelligence of nurses –which comprises emotional awareness, managing emotions, self-motivation, and social skills – were on average in the category ‘good’. this means that a nurse with good self-awareness can recognize his/her inner state, recognize their own emotions, know their strengths and limitations, and they will be convinced of their abilities and will have positive feelings towards themselves. the inability to observe real feelings makes people fall in the power of feelings so that they are insensitive to real feelings which are bad for problem decision making (goleman, 2009). being self-aware allows nurses to master themselves, the second trait of emotional intelligence. nurses with self-mastery will rarely verbally attack others, make rushed or emotional decisions, stereotype people, or compromise their values (white & grason, 2019) furthermore, managing emotions means dealing with feelings so that feelings can be expressed appropriately, a skill that greatly depends on self-awareness (goleman, 2009). a selfregulated individual can resist emotional impulses. this individual thinks before acting (manna, 2019). people are not motivated by those who lash out, tear down, or disempower others through a lack of self-regulation. this is particularly true when speaking of nurses “eating their young”. often experienced nurses say things that cause the novice nurse to feel incapable of being a professional nurse and thus lessen his/her motivation to learn and grow up in the profession. if a person is open to their own emotions, certainly, he will be skilled at reading other people's feelings (raeissi et al., 2019). the next dimension of emotional intelligence is self-motivation where the average results show a good category. the good category means that nurses with good self-motivating abilities have an internal driving force that allows them to focus on the task at hand and survive to achieve the desired goals (manna, 2019). another emotional intelligence is empathy. empathy is the ability to understand personalities and relate to their feelings. by understanding the personalities of others, an individual is better equipped to act on those behaviors and successfully respond to their needs (manna, 2019). the last dimension is social skills; people who are capable of social relationships are emotionally intelligent. people with good emotional intelligence will be able to build relationships with other people. they can enjoy friendship with sincerity (goleman, 2009) the research results also showed that the mean value of the communication skill of nurses is displayed in the category ‘sufficient’. this category indicates that the area of communication skills needs more consistent attention. the communication skill indicator being used in the evaluation is the interpersonal communication of the nurses which comprises the skill of sending clear messages, listening, giving and receiving feedback, and of handling emotional interactions. the skill of effective interpersonal communication between a health care provider and a patient is one of the most significant factors for improving the patients’ satisfaction, compliance, and overall health (kourkouta & papathanasiou, 2014). when a nurse communicates effectively with kind attention, listens actively, and shows compassion, patients are likely more tended to report their experiences as positive, even at times of distress and ill health. patients who understand the details of their illness and of its treatment as well as those who feel and believe that the provider is concerned about their well-being, often show greater satisfaction with the care received and are more likely to follow their medication therapy (norouzinia et al., 2016) the results of multiple linear regression analysis show that of the five dimensions of emotional intelligence, the dimensions of selfawareness and self-motivation have a significant effect on the communication skills of nurses. emotional intelligence consists of five dimensions that describe different meanings. the positive influence of the dimensions of self-awareness on nurses' communication skills can occur because, with good self-awareness, a person will be able to know the situation within oneself, recognize one's own emotions, know one's strengths, selflimitations, belief in one's abilities and positive feelings towards oneself (goleman, 2009). if we are aware of the existence of these emotions, then we will manage emotions rationally, so that someone will be able to communicate well between individuals. lack of awareness about aspects of yourself will affect the process of communicating with others (rumahorbo, 2019). a positive effect also occurs between the social skill dimensions on nurses' communication mariati, jakri, djerubu, the effect of emotional intelligence on nurse’s communication skill … 225 skills. social skill is the ability to manage, influence, and inspire the emotions of others. emotional intelligence in fostering social relationships is a fundamental skill essential for successful teamwork and leadership. once personalities and needs are identified, strong social skills are needed to develop and maintain a good job. in establishing interpersonal communication, social skills such as listening skills, conflict management, leadership, and collaboration are needed (manna, 2019). nurses who seek to have good relations with others exhibit emotional intelligence and provide a canvas for others to feel cared for. excellent relations must be intentional and not expected to happen organically. nurses must strive to engage with others, not merely tolerate others. engagement fosters communication and allows practicing self-evaluation and selfregulation. when nurses engage with others, they can empathize as needed with others (white & grason, 2019). therefore, emotional intelligence plays an important role and affects the way a person communicates. the communication between nurses and patients will run smoothly and effectively if nurses can manage their emotions. the test results concerning the influence of emotional intelligence on nurses’ communication show that emotional intelligence has a simultaneous and positive effect on their communication skills. the more positive their emotional intelligence value, the higher nurses’ communication skills are. the amount of influence of the emotional intelligence variable on the communication skills of nurses is 20.9%, while the rest is influenced by other factors. this is evident in the total mean value of communication skills in the category ‘sufficient’, while the total mean value of emotional intelligence is in the category ‘good’. the influence of the two variables illustrates that employees with high emotional intelligence are important in interpersonal relationships by making people feel at ease. the reality of feeling at ease in this relationship will avoid emotional tension in the person concerned and makes him or her ability to overcome it. conversely, employees who have low emotional intelligence are more likely to withdraw from social intercourse or social problems, namely by preferring to be alone, lacking enthusiasm, often being anxious, depressed, and aggressive (hutagalung, 2014) the relationship between emotional intelligence and great communication skills impels nurses to be able to implement good communication so that mutually beneficial interactions and cooperation can be established between nurses and patients. as a consequence, advice given by nurses can be accepted and implemented properly by patients. through good therapeutic communication, nurses are more able to meet the patient’s needs due to the effective exchange of information between nurses and clients (raeissi et al., 2019) emotional intelligence is an important factor for patients’ satisfaction. in a study on the correlation between the emotional intelligence of nurses and patient satisfaction, the results show that as the level of emotional intelligence in nurses increases, the satisfaction in patients increases as well. therefore, patient satisfaction is affected by the emotional intelligence level of health care providers (celik, 2017). other studies on the relationship between emotional intelligence and communication skills showed that there is a significant relationship between the two variables in nurses in emergency departments (raeissi et al., 2019); as well as in healthcare staff working at ambulatory clinics in shiraz (amini et al., 2019). conclusion based on this research, it became clear that there is a simultaneous significant influence between emotional intelligence on the communication skills of nurses. suggestion since emotional intelligence has a positive effect on the communication skills of nurses, a hospital manager can enhance emotional intelligence by organizing training sessions and increasing communication skills as a basis for the continuous improvement of hospital services. the leaders and managers of nursing organizations should develop educational programs aimed at increasing the competencies of nurses in emotion control and communication skills. funding special thanks to the sint paul foundation and institution of research and community service of sint pauls catholic university, ruteng, manggarai, for the financial support for this research. 226 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 218-226 conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. reference amini, m., amini, m., nabiee, p., & delavari, s. (2019). the relationship between emotional intelligence and communication skills in healthcare staff. shiraz e medical journal, 20(4), 2018–2020. https://doi.org/10.5812/semj.80275 barilaro, a., conidi, a., sabrina, l., licata, f., marinaro, m., ventura, s., & pagnota, r. (2019). nursing communication as a tool for patient satisfaction; a single hospital survey. the open nursing journal, 13, 220–227. https://doi.org/10,2174/1874434601913010 220 celik, g. o. (2017). the relationship between patient satisfaction and emotional intelligence skills of nurses working in surgical clinics. patient preference and adherence, 11. https://doi.org/10.2147/ppa.s136185 giménez-espert, m. del c., & prado-gascó, v. j. (2018). the role of empathy and emotional intelligence in nurses’ communication attitudes using regression models and fuzzyset qualitative comparative analysis models. journal of clinical nursing, 27(13–14). https://doi.org/10.1111/jocn.14325 goleman, d. (2012). emotional intelligence: why it can matter more than iq. bantam books. hutagalung, i. (2014). pengaruh kecerdasan emosional, komunikasi interpersonal, komitmen organisasi terhadap manajemen stres kerja. interaksi: jurnal ilmu komunikasi, 3(2). https://doi.org/10.14710/interaksi.3.2.103111 kourkouta, l., & papathanasiou, i. (2014). communication in nursing practice. materia socio medica, 26(1). https://doi.org/10.5455/msm.2014.26.65-67 manna, d. r. (2019). the effects of emotional intelligence on communications and relationships. 19(6), 63–67. muhith, a., & siyoto, s. (2018). aplikasi komunikasi terapeutik nursing & health (1st ed.). andi. norouzinia, r., aghabarari, m., shiri, m., mehrdad, k., & samami, e. (2016). communication bariers perceived by nurses and patient. global journal of health science, 8(6), 65–74. https://doi.org/10.5539/gjhs.v8n6p65 raeissi, p., zandian, h., mirzarahimy, t., delavari, s., moghadam, t. z., & rahimi, g. (2019). relationship between communication skills and emotional intelligence among nurses. nursing management, 26(2). https://doi.org/10.7748/nm.2019.e1820 rumahorbo, y. e. d. (2019). komunikasi interpersonal teller dengan nasabah pada bank bri unit kapten muslim. 2, 6–12. suhartini, e., & anisa, n. (2017). pengaruh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap kinerja perawat rumah sakit daerah labuang baji makassar. manajemen ide dan inspirasi minds, 4(1), 16–29. suryani. (2019). komunikasi terapeutik; teori dan praktik. egc. white, d. e., & grason, s. (2019). journal of comprehensive nursing research and care the importance of emotional intelligence in nursing care. journal of comprehensive nursing research and care the, 2581– 3848. https://doi.org/doi.org/10.33790/jcnrc11001 52 https://doi.org/10.5812/semj.80275 https://doi.org/10,2174/1874434601913010220 https://doi.org/10,2174/1874434601913010220 https://doi.org/10.2147/ppa.s136185 https://doi.org/10.1111/jocn.14325 https://doi.org/10.14710/interaksi.3.2.103-111 https://doi.org/10.14710/interaksi.3.2.103-111 https://doi.org/10.5455/msm.2014.26.65-67 https://doi.org/10.5539/gjhs.v8n6p65 https://doi.org/10.7748/nm.2019.e1820 https://doi.org/doi.org/10.33790/jcnrc1100152 https://doi.org/doi.org/10.33790/jcnrc1100152 e:\tita\d\tita\april 15\jurnal 92 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 92–94 92 efektifitas model problem based learning terhadap tingkat partisipasi belajar pada mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan pada program diploma (the effect of model problem based learning to participation level on midwifery course of pregnancy) nevy norma renityas stikes patria husada blitar e-mail: nevy_syai@yahoo.com abstract: midwifery care is pregnancy health education courses in midwifery in order to get the optimal result required an innovative learning models. there are many models of learning one is problem based learning.thus researchers want to analyze the effectiveness of problem based learning in pregnancy on obstetrical care learning diploma program. this research were done in stikes patria husada blitar, on 25 february until march 8 th 2014.methode: the research use kuantitatif approach, true experimental. population and sampel is student in college third semesters. amount of 38 student,divide into 2 groups, choice in random. independent variable problem based learning, dependent variable participation learning.result:the results showed there was a significant influenced beetwen pre n post of leraning participate. keywords: problem based learning, participation learning, pregnancy on obstetrical care abstrak: asuhan kebidanan kehamilan merupakan mata kuliah pendidikan kesehatan dalam hal ini kebidanan agar mendapatkan hasil yang optimal diperlukan model pembelajaran yang inovatif, salah satunya adalah problem based learning. maka dari itu peneliti ingin menganalisa efektifitas. model problem based learning dalam pembelajaran asuhan kebidanan kehamilan pada program diploma. penelitian ini dilakukan di stikes patria husada blitar, yang dilaksanakan pada tanggal 25 februari–8 maret 2013. metode: jenis penelitian ini adalah kuantitatif, true experimental. populasi dan sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa semester iii sejumlah 38 mahasiswa, yang dibagi menjadi 2 kelompok yang dipilih secara random. kelompok problem based learning (perlakuan) 20 orang dibagi menjadi 4 kelompok satu kelompok 5 orang. variabel independent problem based learning, variabel dependent partisipasi belajar. hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara pre dan post test pada hasil partisipasi belajar kata kunci: problem based learning, partisipasi belajar, hasil belajar, asuhan kebidanan kehamilan semakin hari, ragam masalah yang dihadapi seseorang semakin meningkat, dan persaingan untuk memperoleh sesuatu juga semakin ketat. tuntutan dan tantangan di dunia kerja khususnya kesehatan terus berubah. dalam hal ini, perubahan dalam suatu system pendidikan kesehatan harus dilakukan agar kita dapat berubah menjadi lebih baik. dosen disini sangat berperan penting dalam perubahan, salah satu perubahan yang dapat dilakukan oleh dosen yaitu perubahan dalam proses pembelajaran. asuhan kebidanan kehamilan merupakan mata kuliah pendidikan kesehatan dalam hal ini kebidanan. dari mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan mahasiswa di harapkan mendapatkan hasil pembelajaran yang optimal. dosen memiliki peran penting dalam proses pembelajaran. diantaranya dosen harus kreatif dan inovatif dalam proses pembelajaran yang dilakukan. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 1, april 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i1.art.p092-094 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 93renityas, efektifitas model problem based learning ... selama ini, metode yang digunakan dosen dalam proses pembelajaran asuhan kehamilan selain metode konvensional yang berpusat pada dosen juga ada beberapa metode yang berpusat pada mahasiswa diantaranya adalah metode diskusi dalam kelas. metode diskusi ini dilakukan oleh kelompok yang dipresentasikan di depan kelas. stikes patria husada merupakan salah satu institusi kesehatan di kabupaten blitar. berdasarkan pengamatan di kelas, khususnya tingkat 2 semester iii dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang terjadi. permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: masih rendahnya nilai ujian asuhan kebidanan kehamilan, khususnya materi pokok asuhan kehamilan. pada tahun ajaran 2011/2012 batas tuntas untuk nilai asuhan kebidanan kehamilan adalah 75. siswa yang mendapatkan nilai ujian 75 sebanyak 40% dan siswa yang mendapat nilai < 75 sebanyak 60%, kekurang tepatan metode yang dipilih dan diterapkan. dalam pelaksanaan pembelajaran, dosen kurang memperhatikan proses pembelajaran tetapi lebih menekankan pada hasil akhir, kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal dan interaksi antar siswa dalam pembelajaran kurang. model pembelajaran diskusi kelas mungkin bagus untuk mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan. tetapi di sini peneliti mencoba menggunakan model pembelajaran problem based learning yang dalam institusi pendidikan stikes patria husada belum pernah dilakukan. kalau proses belajar mengajar ini berjalan dengan baik partisipasi mahasiswa juga meningkat diharapkan hasil pembelajaran yang menjadi tujuan akhir pembelajaran tercapai dengan maksimal. maka dari itu peneliti sendiri mencoba model pembelajaran yang berbasis masalah yang nantinya dapat diaplikasikan ke dunia nyata khususnya bidang kesehatan dalam hal ini asuhan kebidanan kehamilan. metode penelitian penelitian ini dilakukan di stikes patria husada blitar, yang dilaksanakan pada tanggal 25 februari–8 maret 2014, jenis penelitian ini adalah kuantitatif, true experimental. populasi dan sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa semester iii sejumlah 38 mahasiswa, yang dibagi menjadi 2 kelompok yang dipilih secara random. kelompok diskusi (kontrol) 18 orang, kelompok problem based learning (perlakuan) 20 orang dibagi menjadi 4 kelompok satu kelompok 5 orang. variabel independent problem based learning, variabel dependent partisipasi belajar. hasil penelitian tingkat partisipasi mahasiswa pada model pembelajaran problem based learning (kelompok perlakuan) pada mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan. tabel 1. tingkat par tisipasi belaj ar model problem based learning pada mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan mahasiswa program diploma pada kelompok perlakuan no tingkat pa rtisipasi problem based learning jumlah prosentase 1 baik sekali 9 45% 2 baik 5 25% 3 cukup 4 20% 4 kurang 2 10% 5 kurang sekali total 20 100% dari tabel 1 menunjukkan sembilan orang (45%) memiliki partisipasi baik sekali, dan tidak ada mahasiswa yang memiliki kategori kurang sekali. hal ini menunjukkan bahwa hampir setengahnya partisipasi mahasiswa baik sekali. tingkat partisipasi mahasiswa pada model pembelajaran problem based learning (kelompok kontrol) pada mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan. tabel 2. tingkat partisipasi belajar model problem based learning pada mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan mahasiswa program diploma pada kelompok kontrol no ting kat partisipasi problem based learning jumlah prosentase 1 baik sekali 2 10% 2 baik 4 20% 3 cukup 5 25% 4 kurang 9 45% 5 kurang sekali total 20 100% dari hasil tabel di atas menunjukkan bahwa partisipasi dengan katagori ”kurang” sebanyak 9 responden dari 20 responden. hasil penelitian analisis metode problem based learning terhadap partisipasi belajar sebelum dan sesudah. 94 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 1, april 2015, hlm. 92–94 tabel di atas menunjukkan adanya pengaruh metode problem based learning terhadap partisipasi belajar yaitu p=0,014  0.005. pembahasan problem based learning didasarkan pada adult learning (pembelajaran orang dewasa) yaitu pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar, dalam hal ini memotivasi mahasiswa berpartisipasi dalam pembelajaran (claire, et al., 2001). hasil penelitian menunjukkan bahwa metode problem based learning menunjukkan kualitas penyampaian pendapat dalam mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan memiliki kontribusi penyampaian pendapat yang sangat penting. ini terlihat dari participation chart 20 orang mahasiswa ada 1 orang saja yang ragu dalam penyampaian pendapatnya. banyak hal yang mempengaruhi partisipasi belajar siswa diantaranya adalah konsentrasi mahasiswa. selain itu factor tehnik dari model pembelajaran itu sendiri. dari data penelitian menunjukkan bagaimana proses model pembelajaran yang dilakukan mempengaruhi partisipasi. dalam problem based learning didasarkan pada adult learning (pembelajaran orang dewasa) yaitu aktif dalam memperkaya pengalaman dengan sumber belajar yang banyak, yang berpusat pada mahasiswa, yang mengakibatkan pembelajaran yang mendalam pada mahasiswa sehingga mahasiswa cenderung termotivasi. sehingga meningkatkan partisipasi belajar mahasiswa dalam kerjasama kelompok, mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan, serta mengerjakan tugas/soal. dalam kelompok problem based learning, dibagi menjadi tutor, ketua serta anggota kelompok. dalam hal ini tugas tutor adalah merangsang, memotivasi anggota kelompok untuk berpikir kritis dan memperhatikan bukti. ketua memimpin diskusi dan manajemen waktu.(saptono, 2003; karim, et al., 2007; sudjana, 2004; suradjiono, 2004). keefektifan problem based learning juga ditunjang dengan data missal: responden riski dwi a dari kelompok problem based learning partisipasinya baik sekali (dengan skor 5) dibandingkan dengan st widatul jannah yang memilki partisipasi cukup (dengan skor 3). meskipun ada beberapa data yang menunjukkan veni antikasari dari kelompok problem based learning memilki partisipasi kurang (skor 2) sehingga, model problem based learning lebih efektif dalam peningkatan partisipasi belajar. simpulan dan saran simpulan terdapat perbedaan yang signifikan dengan hasil uji beda (p:0,014) dengan tehnik uji man whitney antara partisipasi belajar mahasiswa menggunakan model problem based learning dengan diskusi kelompok kelas pada mata kuliah asuhan kebidanan kehamilan. di mana model problem based learning tingkat partisipasi belajarnya lebih baik daripada diskusi kelompok kelas maka problem based learning efektif terhadap peningkatan partisipasi belajar mahasiswa. saran dari penelitian yang dilakukan diharapkan penelitian yang ada ini dapat dikembangkan lebih baik lagi untuk mengembangkan model pembelajaran yang ada dan diharapkan dengan pengembangan dari peneliti lain dapat meningkatkan kemampuan para peserta didik dalam proses pembelajaran yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal. dan juga penelitian ini dapat disosialisasikan kepada dosen lain untuk dijadikan pilihan dalam penyampaikan mata kuliah. daftar rujukan claire, m., palmer. 2001. assessing the effectiveness of problem based learning in higher education. cambridge: cambridge university press. saptono, r. 2003. is problem based learning (pbl) a better approach for engginerring education? cafeo-21 (21st conference of the asian federat i on of e nggi ne ri ng organi sat i on). yogyakarta 22–23 oktober 2003. sudjana, d. 2004. model pembelajaran pemecahan masalah. bandung: lembaga penelitian ikip bandung. sudjana, n. 2005. dasar-dasar proses belajar mengajar. bandung: sinar baru algesirdo. suradijono, s.h.r. 2004. problem based learning apa dan bagaimana makalah seminar” penumbuhan inovasi sistem pembelajaran pendekatan problem based learning berbasis ict (informati on & communi c at ion te c hnol ogy )” yogyakarta: 15 mei 2004. tabel 3. hasil numerik pada uji man whitney model pembelajaran n mea n median sd ma n whitney p partisip asi belajar 20 4.05 4.00 1.05 98 .50 0.0 14 92 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk factor predictors of prolonged stress of university students taking online learning dian pitaloka priasmoro1, indari2, m. ridwanul dwiona3, indra susanto4 1,2,3,4nursing department, faculty of health technology science, institute of science and technology of rs dr. soepraoen malang, indonesia article information abstract the covid-19 pandemic has caused changes all aspects of people's lives today, especially in the world of education which requires all elements of education to adapt and continue the rest of the semester with online learning. this condition caused prolonged stress, a condition where there is physical, emotional, and mental fatigue caused by excessive. this research was conducted on april 2021 with the aim of identifying predictors of prolonged stress of students taking online learning. the method used descriptive approach. the data analysis used factor analysis with kmo and bartlett's test methods. the population in this research were all students of nursing study program itsk rs dr. soepraoen malang total 815. the sampling technique used accidental sampling with total sample of 279. the instrument used maslach burnout inventory which distributed online by google forms. the results showed that almost all of the students who experienced mild to moderate prolonged stress were regular students with a total of 252 people (90.3%), low to moderate respondents were unmarried, organizational factors causing prolonged stress were institutional support, more than half of the respondents, 27 people (9,7 %) who felt adequate support from the institution experienced prolonged stress in the mild to moderate category. the dominant factor was student's status as a regular student or assignment or study permit with the significance value was 0.001 <0.05. it is recommended that students actively seek support systems from family and friends as well as educational institutions that are consistent in supporting students history article: received, 13/12/2021 accepted, 25/04/2022 published, 25/04/2022 keywords: stress, online, student © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: institute of science and technology of rs dr. soepraoen malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: dianpitaloka@itsk-soepraoen.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p092-098 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:dianpitaloka@itsk-soepraoen.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p092-098 priasmoro, indari, dwiona, susanto, factor predictors of prolonged stress of university students taking … 93 introduction moore & kolencik, (2020) stated that prolonged stress is excessive and prolonged emotional stress. this condition can be caused by various factors such as daily stress, workload, and learning activities (alimah & swasti, 2016). the covid-19 pandemic has caused changes in all aspects of people's lives today, especially in the world of education which requires all elements of education to adapt and continue the rest of the semester with online learning (herliandry, 2020). based on who data, it was obtained that covid-19 has become a global pandemic with 4,534,0731 confirmed positive cases in 216 countries worldwide (update: 17-05-2020). the corona virus has also been endemic in indonesia from early march to 13 january 2020 there were 1.13 million confirmed positive cases spread across 34 provinces and 415 districts and cities (task force for the acceleration of handling covid-19 indonesia, 2020) the occurrence of the covid-19 pandemic has a different handling time in each country depending on the policies implemented and the government's response to minimize its spread (lee, 2020). various policies have been issued by the indonesian government to reduce the level of spread of the corona virus by imposing social distancing, physical distancing to implementing psbb (large-scale social restrictions) in several areas. the policies issued to limit the spread of covid-19 have an impact on various fields throughout the world, especially education in indonesia (herliandry, 2020). the health impacts caused by covid-19 eventually forced the simultaneous online learning to be held (goldschmidt & msn, 2020). lecturers and students as an important element in teaching are required to make an unprecedented massive migration from traditional face-to-face education to online education or distance education (bao, basilaia & kvavadze, 2020). students can be at risk of experiencing burnout or prolonged stress due to the many tasks and routines of life that are carried out while undergoing lectures (alimah & swasti, 2016). implementation of online learning during the covid-19 pandemic which causes stress and anxiety. prolonged stress that is not treated immediately can lead to induction of glucocorticoid receptors so that plasma glucocorticoid levels are low and cause changes in brain physiology such as hippocampal atrophy. this condition will cause memory and memory disturbances, causing a person to easily forget and not focus (tanaka, et all. 2018). if this happens to students, it can interfere with achievement in both academic and non-academic fields. in addition to having a negative impact on individuals who experience it, the occurrence of stress will also have a negative impact on institutions. the impact depends on the stage of burnout experienced by the individual. this statement is in line with gerber, et al (2013) which states that students who experience burnout can result in symptoms of depression, decreased life satisfaction, and reduced sleep quality. so that it is considered important to identify the predictor factors of prolonged stress in students participating in online learning at itsk rs dr. soepraoen malang. method the research design used factors analized which aimed to explore a phenomenon or social reality, by describing a number of variables related to the problem under study. the researcher wanted to know the predictor factors for prolonged stress of students who took online learning. the research was conducted at itsk rs dr. soepraoen malang in april 2021. the population was all students and the sample was some students. the samples were taken using the accidental sampling method, namely students who were willing to fill out questionnaires that were collected using google form. to maintain research ethics, the researcher gives the respondents the freedom to choose whether they agree or not. the instrument used a questionnaire including a prolonged stress questionnaire, the maslach burnout inventory. the data collected was then analyzed using univariate and multivariate analysis, namely kmo and bartlett's test methods to determine the dominant factor. result in this research, showed data on sociodemographic characteristics include age, gender and semester. 94 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 table 1: frequency distribution of sociodemographic gender f % male 61 21.9 female 218 78.1 age f % young adult (17-21) years 230 82.4 adult >22 years 49 17.6 souce: primary data based on the table above, it is known that more than half of the respondents are female, with a total of 218 people (78.1%), and almost all respondents aged 17-21 years old with a total of 230 people (82.4%). table 2: frequency distribution based on semester min max mean std dev semester 1 6 3.5 1.474 souce: primary data based on the table above, it is known that the minimum respondent is in semester 1 and the maximum is in semester 6 and the average respondent is more than semester 3. table 3: respondent special data predictor factors prolonged stress total low moderate high student status (demografic predictor) regular 104 (37.2%) 143(51.2%) 5 (1.9%) 252 (90.3%) assignment / permits 26 (9.3%) 1 (0.4%) 0 (0%) 27 (9.7%) total 130 (46.5%) 144(51.6%) 5 (1.9%) 279 (100%) marital status (personal predictor) married 24 (8.6%) 0 (0%) 0 (0%0 24 (8.6%) not married 106 (37.9%) 144(51.6%) 5 (1.9%) 255 (91.4%) total 130(46.5%) 144(51.6%) 5(1.9%) 279 (100%) university support (organizational predictor) low 18 (6.4%) 23 (8.2%) 2 (0.8%) 43 (15.4%) moderate 70 (25%) 98 (35%) 3 (1.3%) 171 (61.3%) good 42 (15%) 23 (8.3%) 0 (0%) 65 (23.3%) total 130 (46.4%) 144(51.5%) 5 (2.1%) 279 (100%) table 4: kmo dan bartlett’s test kaiser-meyer-olkin measure of sampling adequacy .459 bartlett's test of sphericity approx. chi-square 23.635 df 6 sig. .001 based on the table above, it is known that the significance value is 0.001 <0.05, so the variables studied can be continued for factor testing. priasmoro, indari, dwiona, susanto, factor predictors of prolonged stress of university students taking … 95 table 5: dominant factors initial extraction marital status 1.000 .713 student status 1.000 .807 university support 1.000 .706 extraction method: principal component analysis. discussion demographic factors as predictors of prolonged stress in table 1 above, it can be seen that almost all of the respondents with the status of regular students as many as 252 people (90.3%) and a small portion as assignments/study permits, as many as 27 people (9.7%) experienced low prolonged stress. according to hirschle & gondim (2020), stress is one of the important psychological responses to study, because stress can occur in every individual in everyday life and this is a factor that can endanger the psychological and physical well-being of individuals. stress is a physiological reaction as an individual reaction to a stressor that may occur due to the individual's perception that the individual has demands in the work environment. in other words, individuals will feel that the demands of the environment will make individuals think and see themselves and the resources they have to deal with these stressors can produce negative reactions, namely the welfare of the individual's soul. based on the facts and theories above, the researcher's opinion is that respondents who experience prolonged stress and are regular students. where it is possible that regular students will feel that their demands as students are heavier than the task/study permit, they must compete in work after graduation. so that it will be a perception or a burden of thought that will continue to be thought about. in addition, regular students will definitely perceive that from the aspect of their resources they have not been fully met compared to assignments/permits. this condition is different from the perception experienced by students on assignments or study permits. because they are used to the rules and pressures in the workplace it may be assumed that the burden experienced during learning from is less heavy than it once felt. personal factors as predictors of prolonged stress based on table 3, it is known that the personal factor that causes prolonged stress is marital status, based on the table it is known that almost half of the 150 respondents (53.7%) who experienced prolonged stress in the low to moderate category were unmarried respondents. and a small proportion of respondents who experienced low prolonged stress as many as 24 people (8.6%) were married. based on this fact, according to the researcher, respondents who are married experience a lower burden, it is possible because someone who is married is possible to share feelings with their partner so that the burden they feel is also lighter. this is different from respondents who are not married, the respondents will feel the burden is borne by themselves, while the characteristics of students may be more inclined to close themselves to tell their parents about problems in online learning for various reasons, such as fear of being scolded and so on. the opinion of this researcher is in line with suhita & subandi (2018) which states that marital status can affect individual satisfaction and psychological well-being, both for the individual himself or for a partner in living life such as: communication, conflict resolution, intimacy, affection, and togetherness. this will make it easier for individuals to go through and deal with stressors that occur in everyday life. organizational factors as predictors of prolonged stress based on table 3, it is known that more than half of the 171 respondents (61.3%) who felt adequate support from the institution experienced prolonged stress in the mild to moderate category. and a small proportion of respondents who felt very high support from the institution amounted to 45 people (15%) experienced only mild prolonged. prolonged stress is a type of stress 96 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 response that often occurs as a result of the demands of a modern lifestyle. during this pandemic, it demands that all aspects of life including education change, the shift to the offline learning system makes all kinds of jobs have an impact on high pressure levels, busy physical conditions, and can make the body experience chronic stress. to face high demands every time the implementation of online learning, individuals need resources, besides those individuals need the involvement of other people and institutions to become the main support system (ratnasari and prasetyo, 2018). respondents perceive the involvement of these institutions as a form of support. according to research data, respondents said that institutional support, such as providing interesting learning media, campus areas that have wifi, was felt to be very supportive of learning activities. based on the facts and theories above, it is in the opinion of the researcher that even though respondents experience high pressure and for a long time, respondents can still tolerate this because respondents can also feel a form of involvement or organizational support in supporting the learning process. dominant factors as predictors of prolonged stress based on table 3 above, it is known that the order of the dominant factors causing prolonged stress seen from the largest extraction value is student status, marital status and institutional support as the last factor. stress is a negative emotional experience, stress occurs due to a combination of various kinds of stimuli, both physiological, biochemical, cognitive, and behavioral. stress is a place of human self due to pressure from the environment that has an impact on our psychological and biological aspects. stress in the long term or prolonged stress needs to be watched out for because the function of body systems that work under pressure to cope with environmental demands can bring psychological and biological changes that can cause disease (khan & khan, 2017). based on the research data in table 3, it is found that demographic factors (student status) are the dominant factors that affect prolonged stress, while based on table 3 it is known that prolonged stress experienced in the mild to moderate category is only 274 people (98.2%). the results of this research may also be influenced by the age of the respondents, based on table 4.2, it is known that almost all of the respondents are young adults (17-21) years old with a total of 230 people (82.4%). in the development of several theories of aging, it is stated that the prediction of the complexity of emotional problems including stress will have a greater chance of being accompanied by increasing age. at a young age, individuals will find it easier to regulate and control various kinds of stressors, including the body's confusion in responding. so it is suggested that in the emotional setting the older age group is expected to blend in with the younger age group (scott et al., 2014). in accordance with this statement, the researcher's opinion is that the long-term stress response experienced by respondents is mostly in the mild category because most of the respondents are young adults, it is assumed that at that age someone still does not have a big responsibility and role in the family so they can still tolerate pressure. due to online learning. this condition may be different for respondents who are older adults who also have other responsibilities in the family, so they will feel heavier pressure. the next influential characteristic is gender, based on table 3 it is known that almost all respondents who experienced moderate prolonged stress were women with a total of 180 people (65%). according to the researchers, it is possible that women tend to have more sensitive feelings and emotional responses so that when they accept different responsibilities such as with online learning, women will tend to perceive more pressure than usual so they are easier to experience long-term stress. the opinion of this researcher is in line with the results of research by calvarese (2015) among students at a university which found that male and female students gave different responses when they were under pressure. overall, women experience higher reactions than men, such as complaining of stress, depression, frustration, and anxiety than men. women also tend to prefer to express the stress they experience than men, such as feeling irritable, speaking in a high tone, or withdrawing from the environment. from the description above, it is very important that apart from looking at the dominant factors causing prolonged stress, as health professionals, we assess the characteristics of the respondents from various aspects, such as age and gender. priasmoro, indari, dwiona, susanto, factor predictors of prolonged stress of university students taking … 97 conclusion from the results of the research and analysis of the discussion in the previous chapter, it can be concluded that the demographic factor causing prolonged stress is student status. almost all of those who experienced mild to moderate prolonged stress were regular students with a total of 252 people (90.3%), personal factor was marital status, it was found that almost half of the respondents, 150 people (53.7%) who experienced prolonged stress in the low to moderate category, were unmarried respondents. the organizational factor causing prolonged stress was institutional support. more than half of the respondents, 171 people (61.3%) felt adequate support from the institution. experienced prolonged stress in the mild to moderate category. the dominant factor is the status of students as regular students or assignments/study permits. suggestion for universities, it is hoped that they can become the main support for students for example by providing guidance and counseling service facilities so that stress does not occur. acknowledgment the author would like to thank to the nursing department, the institutr of science and technology of rs dr. soepraoen for support and funding. researchers also would like to thank all parties involved lecturer and all respondents who participated in this research. reference alimah, s., & swasti, k. g. (2018). gambaran burnout pada mahasiswa keperawatan di purwokerto. jurnal keperawatan soedirman, 11(2), 130. https://doi.org/10.20884/1.jks.2016.11.2.709 anhusadar, l. (2020). persepsi mahasiswa piaud terhadap kuliah online di masa pandemi covid 19. kindergarten: journal of islamic early childhood education, 3(1), 44. https://doi.org/10.24014/kjiece.v3i1.9609 bao, w, et all. (2020). covid-19 and online teaching in higher education : a case study of peking university. march, 113–115. https://doi.org/10.1002/hbe2.191 cahyati, n., & kusumah, r. (2020). peran orang tua dalam menerapkan pembelajaran di rumah saat pandemi covid 19. jurnal golden age, 4(01), 4–6. https://doi.org/10.29408/jga.v4i01.2203 calvarese, m. (2015). the effect of gender on stress factors: an exploratory study among university students. social sciences, 4(4), 1177–1184. https://doi.org/10.3390/socsci4041177 gerber, et al. (2013). burnout and mental health in swiss vocational students: the moderating role of physical activity. journal of reasearch on adolescence, 25(1), 63-74. doi: 10.1007/s10912-009-9093-5 goldschmidt, k., & msn, p. d. (2020). the covid-19 pandemic: technology use to support the wellbeing of children. journal of pediatric nursing, xxxx, 3–5. https://doi.org/10.1016/j.pedn.2020.04.013 gugus tugas percepatan penanganan covid-19 indonesia. (2020). data covid-19 global dan indonesia. https://covid19.go.id/ herliandry, l. d., nurhasanah, n., suban, m. e., & kuswanto, h. (2020). pembelajaran pada masa pandemi covid-19. jtp jurnal teknologi pendidikan, 22(1), 65–70. https://doi.org/10.21009/jtp.v22i1.15286 hirschle, a. l. t., & gondim, s. m. g. (2020). stress and well-being at work: a literature review. ciencia e saude coletiva, 25(7), 2721–2736. https://doi.org/10.1590/141381232020257.27902017 khan, s. a., & khan, r. a. (2017). chronic stress leads to anxiety and depression. ann psychiatry ment health, 5(1), 1091 lee, a. (2020). wuhan novel coronavirus (covid-19): why global control is challenging?. public health, january, 19-21. https://doi.org/10.1016/j/puhe.2020.02.001 moore, christine ; kolencik, j. (2020). acute depression, extreme anxiety, and prolonged stress among covid-19 frontline healthcare workers. psychosociological issue in human resources management, 8(1) nursalam. (2015). metodologi penelitian ilmu keperawatan:pendekatan praktis, ed. 4. jakarta: salemba medika ratnasari, anisa;prasetyo, a. (2018). hubungan antara persepsi dukungan organisasi dengan stres kerja. empati, 6(2), 70–76 saputro, f. b., somantri, m., & nugroho, a. (2017). pengembangan sistem kuliah online universitas diponegoro untuk antar muka mahasiswa pada perangkat bergerak berbasis android. pengembangan sistem kuliah online universitas diponegoro untuk antar muka mahasiswa pada perangkat bergerak berbasis android, 19(1), 15–21. https://doi.org/10.12777/transmisi.19.1.15-21 https://doi.org/10.20884/1.jks.2016.11.2.709 https://doi.org/10.24014/kjiece.v3i1.9609 https://doi.org/10.29408/jga.v4i01.2203 https://doi.org/10.3390/socsci4041177 https://doi.org/10.21009/jtp.v22i1.15286 https://doi.org/10.1590/1413-81232020257.27902017 https://doi.org/10.1590/1413-81232020257.27902017 https://doi.org/10.12777/transmisi.19.1.15-21 98 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 scott, s. b., sliwinski, m. j., mogle, j. a., & almeida, d. m. (2014). age, stress, and emotional complexity: results from two studies of daily experiences. psychology and aging, 29(3), 577–587. https://doi.org/10.1037/a0037282 suhita, a. a., & subandi, s. (2018). peningkatan kesejahteraan psikologis wanita menikah dengan gangguan fertilitas idiopatik melalui terapi narima ing pandum. gadjah mada journal of professional psychology (gamajpp), 4(1), 42. https://doi.org/10.22146/gamajpp.45348 tanaka, k. i., yagi, t., nanba, t., & asanuma, m. (2018). application of single prolonged stress induces post-traumatic stress disorderlike characteristics in mice. acta medica okayama, 72(5), 479–486. https://doi.org/10.18926/amo/56245 e:\2021\ners april 2021\18-jurn 121handayani, yuliyati, zaenudin, azzahra, e-book as educational media ‘aku dan kehamilan sehat-ku’: ... e-book as educational media ‘aku dan kehamilan sehat-ku’: narrative review jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 06/01/2021 accepted, 23/02/2021 published, 05/04/2021 keywords: e-book, pregnancy, discomforts in pregnancy article information abstract technological developments have affected the method of providing education in every field. the development of health education media is very helpful in increasing understanding of healthy living, as the process of pregnancy is a natural process. hormonal changes that cause various kinds of complaints or discomfort will affect the baby if it is not addressed properly. the purpose of this research was to examine the results of research on the use of digital books or electronic books (e-books) in providing information about discomfort in pregnancy.this research used narrative review method, namely examining research articles. the research articles were obtained using the e-book, pregnancy, discomfort keywords in pregnancy from the google scholar, pubmed, scopus and wos databases. there were 30 articles obtained with 19 articles that were in accordance with the research objectives. it can be concluded that that there is a potential to develop ebook media that is modified with multimedia to be used as a media for health education about pregnancy and its discomfort. 121 correspondence address: ‘aisyiyah bandung university – east java, indonesia p-issn : 2355-052x fatiah handayani1, anggie yuliyati2, cindi zaenudin3, syifa azzahra4 1,2,3,4midwifery department, ‘aisyiyah bandung university, indonesia email: fatiah79@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p121–129 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p121-129 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p121-129&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 122 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 121–129 introduction today’s global progress makes everyone get almost part of the access to information they need through the use of the internet and other technology applications, information and communications. the problems of globalization, economic growth, international competition, the cultural environment, health, politics and others are likely to be resolved by the use of ict. technology, information and communication (ict), as conveyed by rusman, et al. (2011) from the results of research (sawitri et al., 2019), is the use of hardware and software, content, a nd computer a nd communica tion infrastructure in the interest of retrieval , collection, processing, storage, dissemination, and presentation of information. information technology is needed to manage information so that the information obtained can be searched easily and accurately, and can be called data when the information has been processed. the data or information obtained can be in the form of writing, voice, images, video and others, and in the same research from sawitri e, et al. (2019), mentioned by darmawan (2012), ict is one of the important ingredients for building the development of modern society. (sawitri et al., 2019). the use of ict in learning in education is cur r ently exper iencing r a pid development. according to munadi (2008) in research (qudsyi, 2015) muhammad, et al (2017), it was written that building a new education system requires physical and non-physical facilities and infrastructure, teaching human resources who have performance and skills as well as new attitudes and equipment with a more complete and more orderly administration (muhammad et al., 2017). based on the opinion in this research, ict must be optimized to support education, for example the use of ict in the form of a digital book or e-book, which is an electronic version of a text that can be read on the screen of a desktop or laptop, pda or other portable devices or hardwires. e-books use a variety of file formats and incorporate other features such as annotations, audio and video and hyperlinks. to support interaction, e-books can also be equipped with comments and communication tools (chat) between readers, and allow readers to add links to outside sources (muhammad et al., 2017). apart from the education sector, the health sector also needs to have human resources who are educated, physically and psychologically healthy and not free from disabilities as the definition of health itself. giving birth to a healthy generation starts with a partner, especially healthy pregnant women. changes in the body’s system caused by hor mones ha ve a n impa ct on physica l a nd psychological changes and ultimately often cause pregnancy complaints or discomfort. knowledge, attitudes and positive behavior in undergoing pregnancy are needed by mothers and their partners so that the pregnancy runs smoothly and gives birth to a healthy generation. the psychological changes that pregnant women may experience are fear and anxiety in facing childbirth, which can cause mental and physical tension so that muscles and joints become unnaturally stiff or mood disorders (wulandari, 2006). the results of the study prove that there is a r ela tionship between materna l physica l and psychologica l rea diness on feta l well-being (rahmawati&wulandari, 2019). a pregnant woman needs adaptations related to changing roles and increasing more attention to prospective new members and ensuring that all are in good health, so that the main concern of a pregnant woman is how to undergo a pregnancy by seeking safe ways (beldon& crozier, 2005) . health workers have a role in providing education, but sometimes they are very busy so they do not have enough time to answer questions related to lifestyle and healthy behavior in pregnant women, including the lack of participation from partners during pregnancy examinations, which is an obstacle for pregnant women to adopt healthy habits (kazemi et al., 2018). based on the above explanation, a pregnant woman needs access to information obtained other than during pregnancy visits to health services. the handbook for pregnant women when carrying out a pregnancy check is a book on maternal and child health (kia) from the government, which is equipped with identity and information starting from pregnancy, childbirth, postpartum period, use of family planning and baby care. according to the district’s data, banyumas found that mch coverage was still below the target, namely 72.34% while the target was 100% (sistentuki et al., 2014). the results of this research also stated that there was a relationship between the function of education and the completeness of filling out the mch books. the 123handayani, yuliyati, zaenudin, azzahra, e-book as educational media ‘aku dan kehamilan sehat-ku’: ... research showed that mothers with good knowledge completed the mch ha ndbook completely compared to mothers with low knowledge. in order to achieve the government’s target in maternal and child health (mch), it is necessary to integrate health services for pregnant women by utilizing the sophistication of ict, one of which is by making e-books that are equipped with not only text and images, but multimedia such as audio, video and other devices facilitating two-way interaction. this statement will be formulated in a problem sta tement, na mely how to use e-books in overcoming discomfort in pregnancy. the purpose of this research was to analyze the results of research relevant to the use of e-books to provide information about pregnancy and pregnancy’s discomfort. the benefits obtained from the results of this research are the basis for further research development, so that it can become a policy of the government or other sectors to cooperate in making e-book products that can be widely utilized. literature review e-book along with technological developments, bookmaking has been combined with electronic tools into a new form of technological development, namely e-books that emphasize interactivity and the integration of media content, namely the combination of text, graphics, animation, sound and video in one device. the use of digital learning resources is considered to be influenced by educators’ perceptions of digital natives. digital learning resources can be defined as anything in digital format that can be used by teachers and students for learning purposes. digital books are flexible digital learning resources to facilitate student learning activities that can be accessed both classically and independently. the characteristics of the digital book are expected to be more engaging, inspiring, interesting, and interactive to be used in interactive learning multimedia development lectures with the availability of various types of media in one learning device. digital technology is believed to be able to increase student r etention a nd lea r ning per sistence (information resource management association, 2012) and can also provide rich content that is more suitable to be applied in the 21st century learning model (maimunah & arumi, 2019). e-books have several advantages including that they do not require large space, can reduce the use of limited space due to their electronic or digital nature, are more flexible and functional, are more economical and efficient than printed books and are easy to be published. e-books can be used in all areas of daily life. discomforts in pregnancy pregnant women will experience many changes that will require them to be mentally and physically ready so that their pregnancy can grow healthy. the readiness that a pregnant woman has will affect her in having a comfortable pregnancy. mothers who are ready for pregnancy will quickly make the decision to seek first aid by reaching health services when experiencing discomfort. the first time a pregnant woman’s visit (k1) to a health service such as a puskesmas is the right way when the mother experiences discomfort. changes in the system in the mother ’s body during pregnancy require adaptation, both physical and psychological. it is not uncommon for mothers to experience discomfort in these changes, so it is necessary to provide prevention and treatment. the discomfort, if not addressed wisely, can trigger anxiety in pregnant women so concrete information is needed about how to deal with discomfort during the pregnancy period (eniyati, 2017). discomforts in pregnancy, according to various references, are nausea, vomiting, constipation, hemorrhoid, heartburn, varicose veins, back pain, fatigue, swelling of the legs, leg cramps, itching, discharge from the vagina, usually vaginal discharge, and bleeding gums. this discomfort can be felt only in the 1st, 2nd or 3rd trimester. use of e-books as a medium for health education midwives are recognized as responsible and accountable professionals, who work as partners for women to provide support, care and advice during pregnancy. care that includes prevention efforts, promotion of normal delivery, detection of complications in mothers and children, and access to medica l a ssista nce or other a ppr opr ia te assistance, as well as carrying out emergency measures. midwives have an important role in counseling and health education, not only for 124 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 121–129 women, but also for families and communities. one of the activities is covering antenatal education. (rahmawati&wulandari, 2019). the use of e-books will solve the problem of information needs of pregnant women. pregnant women who own sma r tphones ca n a ccess information about their pregnancy anytime and anywhere with an attractive appearance so that it is expected to facilitate acceptance of information to be adopted into positive attitudes and behaviors.. materials and method this research used a narrative review method. according to bernardo wm, et al cited by the research (jahan et al., 2016), narrative review is a discussion of an important theoretical topic as an educational tool in medical education. the narrative anwas om. 2016 mark d miller, et al. 2016 (purwaningtias & solikin, 2017) sella m, ali muhtadi. 2017 eniyati dkk. 2017 model buku teks pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi a-multimedia e-book : story of health, filling a gap in enviromental health literacy penerapan aplikasi e-book school pada smk emhata oki sumsel berbasis web pengembangan digital book interaktif untuk mahasiswa teknologi pendidikan sikap ibu hamil dalam menghadapi ketidaknyamanan kehamilan trimester i di puskesmas piyungan bantul yogyakarta analysis of relevant data, documents and literature concepts. research article students of smk emhata oki six college students and 28 media and material experts 30 pregnant women literature review literature review system development using web engineering method r&d research quantitative descriptive with a cross sectional approach utilization of the book model with information and communication technology applications for students health workers had to play an important role in changing patient behavior patterns and influencing public policy improved learning outcomes by using multimedia-based ebooks the alpha test showed that the digital book product was very suitable for field trials 56.7% of mothers had a positive attitude towards pregnancy discomfort and the rest 43.3% had a negative attitude review approach was seen as more formal review approach compared to the systematic review method which requires more accuracy in several a spects needed such a s r esea r ch methods, databases, search terms, inclusion criteria and others. this research was conducted from august to september 2020, with journal searches obtained through a database of national journal providers, namely google scholar and international journals from pubmed, scopus and wos. based on the search results, there were 30 articles by searching words for pregnancy, pregnancy management, pregnancy discomfort, technology, information and communication, e-books. research result result researcher title sample method output 125handayani, yuliyati, zaenudin, azzahra, e-book as educational media ‘aku dan kehamilan sehat-ku’: ... nurly meilinda, 2018. ruddamayanti, 2019. fatoni, dkk. 2018 abdul wahid dan wawan kriswando, 2018. (yikar & nazik, 2018) anita f, et al. 2018 vega ramadhani studi peran media sosial sebagai media penyebaran informasi akademik pada mahasiswa di program studi ilmu komunikasi fisip universitas sriwijaya. pemanfaatan buku digital dalam meningkatkan minat baca pengembangan ebook interaktif mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi (tik) untuk smk kelas x internalisa nilai-nilai toleransi inra umat beragama pada penggunaan e-book (ensiklopedi hukum islam kubuati) di pesantren mahasiswa darul ulum al-fadhal mojosari malang the effect of complaints during pregnancy on quality life the perspectives of pregnant women on health promoting behaviours : an integrative systematic review gambaran kebiasaan ibu hamil dalam mengatasi students using social media as well as users of academic services students of sma negeri 1 teluk gelam. three groups of respondents (1 group beta test and 2 groups of product trials) students of darul ulum al-fadhali mojosari, malang. research article articles in google scholar, web of science, pubmed, scopus, irandoc, sid, magiran, iranmedex, proquest patients who have their quantitative research quantitative research development model training, counseling and evaluation as well as interviews literature review systematic review descriptive with a cross-sectional students preferred to find information using social media rather than directly. there were various types of e-book formats that can be used to develop the reader’s knowledge about some of the benefits, advantages and disadvantages. the mean results of media validation and material test validation results were very good e-books were a choice of millennial santri (students in islamic boarding school) and e-books were considered very effective for internalizing the values of tolerance for differences in islamic law women and families considered physical and psychological problems that occurred during pregnancy as real problems and were sometimes unable to distinguish between health and illness, whereas health workers considered that it is not severe condition there were low and average numbers related to health behavior in pregnant women which can be caused by demographic characteristics, pregnancy and environmental factors. the findings obtained were 60% of patient’s knowledge 126 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 121–129 putri, dkk. 2018 baljeet kaur, dkk 2018 (muhammad et al., 2017) abd. ghofur dan evi aulia rachma, 2019. rebecca et al. 2019 alfiah r dkk. 2019 sudeweli ketidaknyamanan selama kehamilan di rsud. r. syamsudin, sh a descriptife study to access the knowledge of antenatal mother regarding the self management of minor ailiments during pregnancy in selected hospital of jalandhar, punjab india penggunaan digital book berbasis android untuk meningkatkan motivasidan ketrampilan membaca pada pelajaran bahasa arab pemanfaatan media digital terhadap indeks minat baca masyarakat kabupaten lamongan feasibility and acceptability of a midwife-led health education to reduce exposure to biomass smoke among pregnant women in uganda influence of physical and psychological of pregnant women toward health satus of mother and baby knowledge and practices pregnancy checked at rsud r. syamsudin, s.h 100 antenatal mothers who met the inclusion criteria 64 students of grade x of sma bidayatul faizin students aged over 16 years and the public citizen. 12 midwives and 40 other health workers 244 girls accidental sampling pregnant women (n = approach to describe the habits of pregnant women in dealing with discomfort during pregnancy descriptive and quantitative non equivalent control group pre test and post test design descriptive survey with a quantitative approach mix method analytical observations used a cross sectional design descriptive study cross sectional was good and 40% of patient’s knowledge was sufficient and 53.3% was positive in overcoming discomfort and 46.7% was still negative in overcoming discomfort occupational sociodemographic variables had a significant effect on antenatal maternal knowledge. for this reason, pregnant women needed education about minor illnesses during pregnancy so they must prepare information booklets and distribute them. there are differences in the improvement of reading skills between students who use digital books and students who apply printed books interest in reading using electronic media by accessing the internet was found according to age, occupation and education the health education was important for pregnant women.programs provided by midwives were appropriate and acceptable. the implementation of these program potentially reduced exposure to cigarettes with great benefits for the mother, fetus and children throughout their life the variables of physical and psychological in mothers did not have a significant relationship with maternal health with p value 0.369 (p value> 0.05) and the variables of maternal physical and psychological readiness had a significant relationship to fetal welfare with p value 0.018 (p value <0.05) knowledge was significantly associated with ethnicity, 127handayani, yuliyati, zaenudin, azzahra, e-book as educational media ‘aku dan kehamilan sehat-ku’: ... 238) who attended the antenatal clinic (anc), regional health department, batticakia. samples of 50 primigravida pregnant women who experienced mild pregnancy problems at the autenatal clinic hospital. in beni city, suef. pregnant women in the first trimester (20 people) in the work area of the karanganyar community health center, tasikmalaya city. questionnaire by examiners who have been tested and validated the quasiexperimental design begins with a questionnaire through which the researcher conducts interviews with the development of the questionnaire. observation and socialization with the question and answer method religion, monthly opinion, educational level and participant’s participation. it is demonstrated that providing educational sessions to primigravidas significantly reduced the scale of anxiety-related postintervention pregnancy discomfort. media information was needed by pregnant women to be able to increase knowledge so the anxiety in pregnancy can be reduced. regarding self-management of minor aliments among pregnant mothers impact of tailored educational program on primigravida anxiety and knowledge regarding minor discomforts in upper egypt. pendidikan kesehatan ibu hamil tentang ketidaknyamanan pada kehamilan trimester i dan pelaksanaanya koonge sashanika, dkk. 2020 hanan elzeblawy hassan, dkk. 2020 meti fatimah, dkk. 2020 discussion pregnancy as a natural process for women sometimes ca uses pr oblems physica lly, psychologically and even spiritually for pregnant women. discomfort caused by hormonal changes can sometimes be a burden for the mother and family. lack of knowledge about changes in pregnancy and the discomfort it causes can affect the baby being born. as the results of research from yikar, et al (2018), that physical and psychological problems during pregnancy are considered by families to be real problems and cannot distinguish between signs of da nger or signs tha t a r e physiological or normal, while the view of health workers is something that is not serious, so that continuous assessment of pregnant women is needed to maintain well-being during the pregnancy period. research results on the creativity program this student (pkm) showed several relevant research articles about the knowledge, attitudes or responses of pregnant women and their families in dealing with pregnancy discomforts. the level of knowledge of pregnant women were significantly related to ethnicity, religion, monthly income, 128 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 121–129 education level and participant participation (samara et al., 2020) other r esea r ch on the r ela tionship of knowledge and attitudes in pregnancy are written in the study (fitriani et al., 2019), the first pregnant woman who had good knowledge experienced mild anxiety and knew that her pregnancy is a gift, she carried out regular pregnancy checks to keep healthy and avoid complications. furthermore, pregnant women with first pregnancies who had a history of severe anxiety and good knowledge and checked their pregnancy regularly still felt anxiety because they have never seen their family and friends experiencing the same thing with them. various studies that convey the knowledge, attitudes and behavior of pregnant women in dealing with pregnancy discomforts are diverse. providing information is the most basic solution to change someone’s knowledge. the media as a means of providing information has been transformed into various forms as a result of the rapid development of technology. this development must be responded positively by all parties, both government and private and society in general so that they are not left behind with other nations. e books are electronic books that can be used as a learning media. digital books will be easily accessible compared to printed books and are widely available today. the high use of gadgets in the community can be used as a learning media in certain conditions because access to printed books or their utilization is not optimal. purwaningtias, et al (2017) said that the use of modified e-books with multimedia can improve the learning outcomes of vocational students. alpha and beta tests in development research conducted by (mawarni&muhtadi, 2017) showed that digital book products are very feasible for field trials. the strengthening of the theory was obtained from the research of muhammad, et al. (2017) with the results of the difference in increasing reading skills between students who use digital books and students who apply printed books.. the positive impact of using e-books in increasing knowledge in learning can be applied to health education media in pregnancy. demographic, geographic and factors such as education level, age, occupation which sometimes become obstacles to access health services can be reached by using digital media. as the results of fatimah’s research (2020), pregnant women need to be given an education in using media to reduce anxiety. digital books about pregnancy are widely available on the internet, but the author has not found digital books equipped with multimedia, so that this research can be a theoretical suppor t for further research development. conclusions based on the results of the research, it can be concluded that the use of e-books as a medium for pr egna ncy educa tion could be developed by multimedia that was more interactive and interesting to be read so that pregnant women could understand well and behave positively in facing their pregnancy. however, access to technology was sometimes constrained by several conditions so that not all pregnant women could access these conveniences. t her efor e, the r ole of hea lth wor ker s in accompanying pregnant women until delivery and the postpartum period remained important. suggestions contains suggestions from research results are in narrative form, not detailed in points that refer to the research’s objectives. references beldon, a., & crozier, s. (2005). health promotion in pregnancy: the role of the midwife. the journal of the royal society for the promotion of health, 125(5), 216–220. eniyati, e. (2017). sikap ibu hamil dalam menghadapi ketidaknyamanan kehamilan trimester i di puskesmas piyungan bantul yogyakarta. jurnal kesehatan samodra ilmu, 8(1), 55–62. fitriani, f., yarmaliza, y., & farisni, t. n. (2019). the relationship of mother’s knowledge and attitude toward primigravida anxiety in facing maternity. j -ke smas: jurnal fakul t as kese hat an masyarakat (the indonesian journal of public health), 6(1), 21–27. jahan, n., naveed, s., zeshan, m., & tahir, m. a. (2016). how to conduct a systematic review: a narrative literature review. cureus, 8(11). kazemi, a. f., hajian, s., ebrahimi-mameghani, m., & khob, m. k. (2018). the perspectives of pregnant women on heal th -prom ot in g behaviors: an integrative systematic review. international journal of womens health and reproduction sciences, 6(2), 97–105. maimunah, m., & arumi, e. r. (2019). upaya pengembangan bakat kreatifitas bagi siswa smk melalui 129handayani, yuliyati, zaenudin, azzahra, e-book as educational media ‘aku dan kehamilan sehat-ku’: ... pembuatan e-book interaktif. prosiding seminar nasional lppm ump, 584–590. mawarni, s., & muhtadi, a. (2017). pengembangan digital book inter aktif m ata kuliah pengemba ngan multimedia pembelajaran interaktif untuk mahasiswa teknologi pendidikan. jurnal inovasi teknologi pendidikan, 4(1), 84–96. muhammad, m., rahadian, d., & safitri, e. r. (2017). penggunaan digital book berbasis android untuk menin gka tkan mot iva si dan keteram pil an membaca pada pelajaran bahasa arab. pedagogia, 15(2), 170–182. purwaningtias, f., & solikin, i. (2017). penerapan aplikasi e-book school pada smk emhata oki sumsel berbasis web. just it: jurnal sistem informasi, teknologi informasi dan komputer, 8(1), 21–30. qudsyi, h. (2015). program peer education sebagai medi a a l t ernati f pe ndidi k an kese hat an reproduksi remaja di indonesia. rahmawati, a., & wulandari, r. c. l. (2019). influence of physical and psychological of pregnant women toward health status of mother and baby. jurnal kebidanan, 9(2), 148–152. samara, s. k. s. n., mohamed, f. f. h., madushanka, k. m. s., & gnanaselvam, k. (2020). knowledge and practices regarding self-management of minor ailments among pregnant mothers. journal of maternal and child health, 5(3), 303–312. sawitri, e., astiti, m. s., & fitriani, y. (2019). hambatan dan tantangan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi. prosiding seminar nasional program pascasarjana universitas pgri palembang. sistiarani, c., gamelia, e., & sari, d. u. p. (2014). fungsi pemanfaatan buku kia terhadap pengetahuan kesehatan ibu dan anak pada ibu. kesmas: national public health journal, 8(8), 353–358. wulandari, p. y. (2006). efektivitas senam hamil sebagai pelayanan prenatal dalam menurunkan kecemasan menghadapi persalinan pertama. fakultas psikologi universitas airlangga. yikar, s. k., & nazik, e. (2018). the effect of complaints during pregnancy on quality of life. international journal of caring sciences, 11(1), 623. e:\ibuk\ners desember 2021\14- 355suminar, nikmah, sari, wibisono, the corelation of compliance to use ppe (mask) and the event of ... the corelation of compliance to use ppe (mask) and the event of respiratory disorders in workers in bukit kapur jaddih, parseh village, socah district, bangkalan regency ervi suminar1, nurun nikmah2, levi tina sari3, wahyu wibisono4 1,2nursing department, universitas muhammadiyah gresik, indonesia 3,4midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 27/11/2021 accepted, 14/12/2021 published, 15/12/2021 keywords: personal protective equi pment (mask), respiratory disorders, limestone article information abstract the process of limestone mining will resulted in limestone dust on the working environment. this can lead to inhalation of the limestone dust which can cause respiratory problems.the type of the research was analytic with cross sectional design. the population was all workers in bukit kapur jaddih, parseh village, socah district; 52 workers. the sample was 45 workers taken by simple random sampling technique. the independent variable was compliance to use mask protective equipment, while the dependent variable was respiratory disorders. the data was collected by questionnaires and observation physical observation. the data was analyzed using lambda test, with = 0.05.the results of the research showed that workers who did not use ppe (masks) were 35 workers (77.8%), who experienced respiratory problems were 39 workers (86.7%), and 6 workers (13.3%) did not experience respiratory problems. the lambda test results p value of 0.073> (0.05) meant that h0 was accepted and h1 was rejected. the compliance to use personal protective equipment (masks) and the presence of respiratory problems showed no correlation. for this reason, workers must continue to use masks while working to protect themselves from the effects of occupational breathing (lime dust). © 2021 journal of ners and midwifery 355 correspondence address: universitas muhammadiyah gresik – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ervi.suminar@umg.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p355–359 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p355-359 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p355-359&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 356 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 355–359 introduction in the limestone mining process, limestone dust will always arise in the work environment. this results in exposure of workers to dust with different concentrations and sizes which can be inhaled by workers when breathin. lime dust contained in caco3 and silica (sio2) has a health hazard when exposed and inhaled which can cause an increase in the mucosa in the nose and airway system and then cause respiratory tract irritation. lime mining work causes lime dust to have a major effect on the workforce, such as lung function disorders, both acute and chronic. acute lung function disorders such as respiratory tract irritation, increased mucus production, narrowing of the respiratory tract, loss of cilia and mucous membrane cell layers and difficulty breathing (erka and noeroel,2016). data from kemenkes ri (2012) patients with acute respiratory infection at indonesia industrial and mining workers, from 2000-2012 ranged from 20%-100%. from these data, the incidence of acute respiratory infection (ari) in industrial and mining workers has increased every period (santi,2014). one way to prevent the occurrence of ari is by wearing personal protective equipment (ppe) which aims to protect workers from accidents or serious illnesses in the workplace, due to contact with potential chemical, radiological, physical, electronic, mechanical hazards or other potential hazards at workplace. the use of personal protective equipment (ppe) is the final stage of the method of controlling accidents and occupational diseaseas. however, the use of ppe will be very important if technical and administrative control has been carried out optimally, but the potential risk is still relatively high. (wibowo,2010). the working environment of limestone workers in jaddih village has the potential for health problems, because workers are exposed to lime dust every day which can enter the respiratory tract. from the data from a preliminary study on 8 workers in bukit kapur jaddih, socah subdistrict, 5 of them had experienced respiratory problems while working at bukit kapur jaddih. method the type of the research was analytic with a cross sectional design. the population was all workers in bukit kapur jaddih, parseh village, socah district as many as 52 workers. the sample was 45 workers taken by simple random sampling technique. the independent variable was compliance to use ppe (personal protective equipment) masks, while the dependent variable was respiratory disorders. the data was collected by using questionnaires and physical examination observations. result 1. demographic data frequency percentage (%) 1. age 17-25 year 2 4,2 26-35 year 19 42,2 36-45 year 10 22,2 46-55 year 14 31,1 total 45 100.0 2. length of work < 5 tahun 21 46,7  5 tahun 24 53,3 total 45 100.0 3. gender man 41 91,1 woman 4 8,9 total 45 100.0 4. education primary school 35 77,8 junior high school 7 15,6 senior high school 3 6,7 total 45 100.0 table 1 distribution of general data on workers in bukit jaddih, parseh based on table 1. it was found that the most dominant age category was 26-35 years with the highest frequency of 19 workers (42.2%). the category of working years, the most dominant respondent was 5 years with a frequency of 24 workers (53.3%). the category of the most dominant sex was male with a frequency of 41 workers (91.1%). meanwhile, from the education level, the highest education level is elementary school with a frequency of 35 workers (77,8%). 357suminar, nikmah, sari, wibisono, the corelation of compliance to use ppe (mask) and the event of ... table 2 showed that the most of the workers never use a mask with a frequency of 35 workers (77.8%), while the most dominant respiratory disorders was experienced by the workers with a frequency of 39 workers (86.7%). discussion compliance with the use of ppe (masks) based on the results of research conducted in march 2018 it was found that there were 3 workers who always used masks (6.7%), 7 workers who sometimes used masks (15.6%) and 35 workers who did not use masks (77, 8%). the used of ppe (masks) was a protection to prevent and protect workers from the dangers of work accidents and the impact of diseases resulting from the work. in khumaidah 2009 the use of masks by industrial workers whose air contains a lot of dust is an effort to reduce the entry of dust particles into the respiratory tract. by wearing masks, workers are expected to protect themselves from the possibility of respiratory problems due to exposure to air with high levels of dust. however, there is no guarantee that by wearing a mask, a worker in the industry will avoid the possibility of respiratory problems. many factors determine the level of protection from the use of masks, including the type and characteristics of the dust, as well as the filtering ability of the masks used. the habit of using a good mask is a “safe” way for workers in a dusty work environment to protect their health. khumaidah (2009) conducted a study on 44 furniture workers at pt. jati furnindo city, suwawal village, mlonggo district, jepara regency. the results showed that workers who did not use ppe masks had an 8 times higher risk of lung function impairment than workers who used ppe masks. in a study conducted by santi (2014) the results of research conducted on respondents to limestone workers at the lara anduriang tilatang kamang trade business in 2014 showed that there were 2 workers who wore complete ppe (6.7%), and workers who did not using ppe incompletely as many as 28 people (93.3%). this can be interpreted that most of the respondents did not use personal protective equipment (ppe) completely at work. while research conducted in the field, there are still many workers who do not wear masks, with various reasons and different opinions, one of which is uncomfortable when use masks, they are not used to take a masks and feel they do not need to use masks, they have no funds set aside to buy masks while from where they work do not provide personal protective equipment (masks) for free, as has been stipulated in the regulation of the minister of manpower and transmigration number 08 of 2010 concerning ppe. according to the regulation, companies are required to provide ppe free of charge for their workers and workers who enter the field of work must use ppe in accordance with the potential hazards that exist. with this regulation, the company should have complied with it, judging by the long history of mining, at least to prevent workers from being exposed to dust directly. respiratory disorders based on the results of the study, there were 39 workers (86.7%) who experienced respiratory problems from 45 workers. the lime particles are irritant but not carcinogenic. the limestone industry has polluted the air with dust and gases from limestone mining. dust and gases caused by the limestone processing process will be in the work environment, this will result in workers being exposed to lime dust and gases at different concentrations and sizes. the main effects of lime dust on workers are lung disorders, both acute and chronic, disruption of physiological functions, eye irritation, sensory irritation and accumulation of harmful substances in the body. effects on the respiratory tract are irritation of the respiratory usage compliance frequency percentage (%) ppe (masks) constantly 35 6,6 occasionally 7 15,6 never 3 77,8 total 45 100.0 respiratory disorders having trouble 39 86,7 no disturbance 6 13,3 total 45 100.0 table 2 frequency distribution of specific data on workers in bukit kapur jaddih, parseh 2. special data 358 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 355–359 tract, increased production of mucus, narrowing of the respiratory tract, release of cilia and mucous membrane cell layers and difficulty breathing. the accumulation and movement of dust in the airways can cause airway inflammation. this inflammation can cause airway obstruction, which can reduce lung capacity. the impact of continuous exposure to dust can reduce lung function in the form of obstructive. one form of pulmonary abnormalities that are permanent is reduced lung elasticity, which is characterized by a decrease in the vital capacity of the lung (yulaekah et al, 2007). in muttaqin 2012 it is stated that the result of high dust accumulation in the lungs can caused lung abnormalities and damage. disease due to accumulation of dust in the lungs was called pneumoconiosis. disease due to accumulation of dust in the lungs is called pneumoconiosis. some types of dust if inhaled in large enough levels into the lungs will cause a fibrotic reaction, while other dusts have no effect. mining processed in bukit kapur jaddih still used informal regulations or has not been touched and was bound by the laws and regulations that have been set by the government, so that all regulations related to the safety and health of workers are not paid attention to. as has happened so far, no inspection has been carried out by the company for its workers so that it can be seen that the incidence of respiratory disorders in workers is still high, this is also exacerbated by the habit of workers who smoke. the corelation of compliance to use ppe (masks) and respiratory disorders based on research conducted, data obtained from 45 workers, 3 (6.7%) workers always used masks and did not experience respiratory problems as many as 3 people, 7 people (15.6%) sometimes used masks, 6 people experience respiratory problems and 1 more person does not have respiratory problems, and as many as 35 workers (77.8%) have never used it, the results show that 33 people have respiratory problems and 2 more people do not have respiratory problems. from the results of statistical test analysis using the lambda test, a p value of 0.073 > (0.05) was obtained so that h0 was accepted and h1 was rejected, which means that there was no correlation between compliance with the used of ppe (masks) and the incidence of respiratory problems in workers in bukit kapur jaddih. parseh village, socah district. respiratory system disorders are the most dangerous consequences of other disease problems due to work in a dusty work environment. as a result of dust entering the respiratory tract, it can cause disturbances in the form of coughing, sneezing and other disorders. smooth muscle around the airway can be stimulated, causing constriction. this habit usually occurs due to high levels of dust in the workplace. the used of masks when work was very important to protect yourself while do work. the used of masks was very necessary because the location of the workplace has the potential to cause respiratory system disorders if the dust was inhaled continuously for a long period of time (zainuri & rahmalia, 2016). from research conducted by khumaidah (2009) regard the analysis of factors associated with impaired lung function in furniture workers at pt. jati furnindo city, suwawal village, mlonggo district, jepara regency, against 44 respondents, the results showed that there was a correlation between the use of ppe for workers with pulmonary function disorders using statistical analysis of the chi square test obtained p value = 0.002 x2 value = 6.656 and odd ratio = 8.571 (95% ci). = 0.907-80.993). this shows that workers who do not use ppe have an 8.5 times risk of pulmonary function impairment compared to workers who use ppe. meanwhile, the results of the field research where the lambda statistical test has been carried out, there was no significant correlation between compliance with the used of ppe (masks) and the incidence of respiratory disorders, although there were about 39 workers who experience respiratory problems from 45 workers, and there were some workers who say they haven a cough on at night and experiencing respiratory problems only for a few moments, while the researchers conducted research used the cross sectional method which only examined once so that symptoms and signs of respiratory problems may not be found during the examination, there are several factors that workers can also experience respiratory problems such as dust levels. those in the work environment, long working hours, then there were also workers who used masks from t-shirts maybe it could filter the dust in the work environment so that workers were not exposed to dust directly 359suminar, nikmah, sari, wibisono, the corelation of compliance to use ppe (mask) and the event of ... conclusion based on the results of research conducted on 45 workers, it was concluded that the use of ppe (masks) and respiratory system disorders in workers in bukit kapur jaddih, parseh village, never used masks; 35 workers (77.8%). workers who experienced respiratory problems in bukit kapur jaddih, parseh village were 39 workers (86.7%). there was no correlation between the use of ppe (masks) and the incidence of respiratory problems in workers in bukit jaddih, parseh village, socah district. suggestion in this research, several suggestions are given for workers to always use masks even though in this research there was no correlation, as a form of prophylaxis against diseases that would arise due to work. for company owners it is expected to provide personal protective equipment in this case masks for their workers. for health workers is is hoped to be able to deliver health education related to the dangers of lime dust and the importance of using masks for respiratory health in particular. for future researchers, this research is expected to be a reference and can develop this research. references duta, h. (2016). analisis faktor resiko infeksi saluran pernafasan akut pada pekerja lapangan pt. bukit asam (persero) tbk unit pelabuhan tarahan lampung. http://digilib.unila.ac.id/23914/3/ skripsi%20tanpa%20bab%20pembahasan.pdf diakses tanggal 23 desember 2017. erka, d. a., & noeroel, w. (2016).hubungan paparan debu kapur dengan status faal paru. htt ps:/ /e -j ournal .unair.ac. id/ index.php/ijosh/article/view/3800, 61-70. isnaniyanti, f. a., & corie, i. p. (2016).faktor yang berhubungan dengan kasus difteri anak di puskesmas bangkalan tahun 2016. https://e-journal.unair.ac.id/jbe/article/ download/3157/2812 diakses pada tanggal 22 oktober 2017, 26-36. kemenkes, r. (2013). riskesdas 2013 badan penelitian dan pengembangan kesehatan. jakarta.http:// akademikciamik2013.files.wordpress.com/2013/ 02/riskesdas-2013.pdf diakses pada tanggal 22 oktober 2017, 1-306. kementerian kesehatan, r. (2008). profil kesehatan indonesia 2008. http://www.depkes.go.id. khumaidah. (2009). analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel pt. kota jati furnindo desa suwawal kecamatan mlonggo kabupaten jepara. eprints.undip.ac.id/25008/1/ khumaidah.pdf diakses pada tanggal 1 januari 2018. maulani, s. (2014). hubungan paparan debu kapur dengan penurunan fungsi paru pada tenaga kerja pt. putri indah pertiwi, desa pule, . http://eprints.ums.ac.id/ 32306/21/naskah%20publikasi.pdf diakses pada tanggal 22 oktober 2017, 1-10. muttaqin, a. (2012). asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernafasan. jakarta: salemba medika. permenaker. (2010). peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi republik indonesia nomor per.08/men/vii/2010 tentang alat pelindung diri. https://betterwork.org/ in-labourguide/wp-content/uploads/permenaker08-2010-alat_... diakses pada tanggal 13 november 2017, 2-8. sahli, z. &. (2013). hubungan perilaku penggunaan masker dengan gangguan fungsi pada pekerja mebel di kelurahan harapan jaya bandar lampung. https://anzdoc.com/hubungan-perilaku-penggunaan-masker-dengan-gangguan-fungsi-p.html. santi novita, n., yosi s, m. s., & debby ratno kustanto, s. (2014). hubungan pemakaian alat pelindung diri (apd) dengan kejadian ispa pada pekerja batu kapur di usaha dagang lara anduriang tilatang kamang. digilib.stikesprimanusantara.ac.id/ document/20 diakses pada tanggal 25 oktober 2017, 3-8. tabrani, r. (1996). ilmu penyakit paru. jakarta: egc tarwaka. (2008). keselamatan dan kesehatan kerja. surakarta: harapan press. wibowo, a. (2010). faktor faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri di areal pertambangan pt. antam tbk unit bisnis pertambangan emas pongkor kabupaten bogor. ht t p :/ / p e r pu s. f k i k . ui nj k t . a c . i d/ f i l e di gi t a l / ariant o%20wibowo.pdf di akses t anggal 22 oktober 2017. yulaekah, s., adi, s., & nurjazuli. (2007). pajanan debu terhirup dan gangguan fungsi paru pada pekerja industri batu kapur (studi di desa mrisi kecamatan tanggungharjo kabupaten grobogan). zainur, r. &. (2016). pemakaian masker dan gangguan sistem pernafasan pada pekerja usaha meubel di ban da aceh. ht tps:// www. googl e . com/ s e a r c h ? q = p e m a k a i a n + + m a s k e r + d a n + g a n g g u a n + s i s t e m + p e r n a f a s a n + p a d a + p e k e r j a + u s a h a + m e u b e l + d i + b a n d a + a c e h & i e = u t f 8 & o e = u t f 8&client=firefox-b-ab. 227 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of anxiety and behavior of preventing the transmission of the covid-19 virus in pregnant women ratih mega septiasari1, nurya viandika2 1,2midwifery department, malang institute of health technology widya cipta husada, indonesia article information abstract indonesia is being the covid-19 pandemic, where the number of patient deaths has increased. some reports mention side effects on the fetus in the form of preterm delivery, fetal distress but there is no evidence that covid-19 infection can pass the transplacental route to the baby. the purpose of this study was to determine the correlation between the level of anxiety and the behavior of preventing transmission of the covid-19 virus in pregnant women at the jaya kusuma husada clinic, kepanjen malang. this study used descriptive-analytic research with a crosssectional study design. the population was pregnant women at the jaya kusuma husada clinic, kepanjen on january 2021 with a sample of pregnant women using purposive sampling technique with a total of 53 pregnant women as respondents. the independent variable in this study was anxiety. the dependent variable in this study was the behavior of preventing the transmission of the covid-19 virus. data collection techniques using a questionnaire. the results of the spearman rank statistical test obtained a p-value of 0.090 (sig< 0.050), which meant that there was a negative correlation between the level of anxiety and the health behavior of pregnant women in the covid-19 pandemic. the covid-19 pandemic has caused increased anxiety among pregnant women. anxiety about the risk of contracting covid-19 encourages pregnant women to take steps to prevent transmission of covid-19. pregnant women and the public are expected to follow health protocols to prevent the transmission of covid-19 for themselves, their families and the surrounding community. history article: received, 15/02/2022 accepted, 22/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: anxiety, behavior, pregnant women, covid19 pandemic © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: malang institute of health technology widya cipta husada – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : viandika04@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p227-231 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:viandika04@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p227-231 228 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 227-231 introduction on december 12, 2019, a new type of coronavirus was identified in the hubei province of wuhan in china. on february 11, 2020, the international committee named the taxonomy of the virus as severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (sars-cov-2). the disease caused by sars-cov-2 was named covid-19 by the world health organization (who) on january 30, 2020, who declared the covid-19 outbreak a global health emergency and subsequently called it a pandemic on march 11, 2020 (zang, et al, 2020). according to who on april 6, 2020, the number of patients in the world infected with covid-19 cases was 1,278,523. of the 1.2 million positive cases of corona, 69,757 (5.46%) patients have died and 266,732 (20.9%) have recovered. meanwhile in indonesia, the latest data on the number of positive cases of the corona virus (covid-19) still shows an increase of 2,491 cases. the death rate of covid-19 patients also continued to increase, with 209 people (8.39%) and 192 people (7.70%) recovering. this shows that indonesia is still experiencing an increase in the number of deaths and patient recovery rates (nasution, 2021). from the research of durankus, et al (2020) showed that pregnant women experienced higher levels of anxiety and depression than usual. this finding is supported by who which reports that about 10% of pregnant women experience mental disorders, especially depression. in developing countries, the prevalence of this condition is higher, reaching 15.6% during pregnancy and 19.8% after delivery. the unavoidable consequences of such a large pandemic are not only physical but also psychological impacts on vulnerable populations, such as pregnant women. some reports mention side effects on the fetus in the form of preterm delivery, fetal distress but there is no evidence that covid-19 infection can pass the transplacental route to the baby (aziz, et al, 2020). from viandika and ratih 2021 research in malang regency, it shows that 98% of mothers experience anxiety during pregnancy (viandika and ratih, 2021). this shows that anxiety that occurs in pregnant women is still high in malang regency due to this pandemic, governments around the world are implementing measures to prevent further spread of the virus and reduce the number of causes (kajdi, 2020). the existence of government instructions or policies on maintaining physical distance and contact, as well as the mass media which is becoming more frequent in informing about covid-19 also contributes to major changes in the behavior of pregnant women so that feeling under pressure can cause indirect adverse effects on physical health and health. psychology (corbett et al., 2020). anxiety, depression, and stress during pregnancy are serious public health problems and lead to changes in health behavior. health behaviors that must be carried out during this pandemic are to wear masks, wash hands frequently or use hand sanitizers and reduce crowds and maintain distance. therefore, the researchers conducted a study on the correlation between anxiety levels and the behavior of preventing the transmission of the covid-19 virus in pregnant women at the jaya kusuma husada clinic, kepanjen malang. methods this study used descriptive-analytic research (correlational research) with a cross-sectional study design. the population was pregnant women at the jaya kusuma husada clinic, kepanjen on january 2021 with a sample of pregnant women using purposive sampling technique with a total of 53 pregnant women as respondents. the independent variable in this study was anxiety. the dependent variable in this study was the behavior of preventing the transmission of the covid-19 virus. the data collection techniques used a questionnaire which then analyzed by spearman rank. results table 4.1: characteristics of respondents aspect description f % age < 20 years 6 11.3 % ≥ 20 ≤ 35 years 42 79.3 % > 35 years 5 9.4 % parity primigravida 20 38 % multigravida 33 62 % gestational age trimester 1 st 15 28,4 % septiasari, viandika, the correlation of anxiety and behavior of preventing the transmission of the … 229 trimester 2 nd 26 49 % trimester 3 rd 12 22.6 % education primary school 26 49.1% secondary school 27 50.9% hight school 53 100% worker house wife 30 56.6% private 16 30.1% self-employed 7 13.3% government employees 0 0% based on table 4.1 shows that the age characteristics of pregnant women are mostly aged 20 35 years totaling 42 respondents (79.3%). most of the respondents are multigravida totaling 33 respondents (62%). most of the respondents in the second trimester of pregnancy amounted to 26 respondents (49%). most of them have a high school education, amounting to 27 respondents (50.9%). most are housewives totaling 30 respondents (56.6%) table 4.2: level of anxiety no level of anxiety f % 1. no anxiety 1 1,9% 2. mild anxiety 12 22,7% 3. moderate anxiety 22 41,5% 4. severe anxiety 17 32% 5. panic anxiety 1 1,9% total 53 100% based on table 4.2 most of the respondents experienced moderate anxiety 22 respondents (41.5%). table 4.3: behavior no classification f % 1. positive 43 81% 2. negative 10 19% total 53 100% based on table 4.3, most of the health behaviors of pregnant women during the covid-19 pandemic were positive, totaling 43 respondents (81%). table 4.4: correlation between anxiety levels and health behavior of pregnant women during the covid19 pandemic no level of anxiety behavior p positive negative 1. no anxiety 0 0% 1 1,9% 0.090 2. mild anxiety 8 15,1% 4 7,5% 3. moderate anxiety 18 34% 4 7,5% 4. severe anxiety 16 30,2% 1 1,9% 5. panic anxiety 1 1,9% 0 0% total 43 81,2% 10 18,8 100% based on table 4.4, it can be seen that most of the respondents experienced moderate anxiety and positive health behaviors, as many as 18 respondents (34%), while 1 respondent did not experience anxiety with negative behavior (1.9%), 1 respondent was severely anxious with negative behavior. (1.9%) and 1 respondent with panic anxiety with positive behavior (1.9%). the results of the spearman rank statistic test obtained a p-value of 0.090 (sig< 0.050), which means that there is a negative correlation between the level of anxiety and the health behavior of pregnant women in the covid-19 pandemic. 230 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 227-231 discussion research conducted on the anxiety level of pregnant women using the hars questionnaire, of the 53 respondents studied, the results showed that most pregnant women had a level of anxiety about covid-19 in the moderate anxiety category, 22 respondents (41.5%) while those who did not experience anxiety. 1 respondent (1.9%), mild anxiety 12 respondents (22.7%), severe anxiety 17 respondents (32%), and panic anxiety as much as 1 respondent (1.9%). research on behavior using questionnaires with questions about the behavior of preventing the transmission of covid-19 carried out by pregnant women, the results showed that most of the respondents showed positive behavior, 43 respondents (81.2%). the results of the spearman rank statistical test obtained a p-value of 0.090 (sig< 0.050), which means that there is a negative correlation between the level of anxiety and the health behavior of pregnant women during the covid-19 pandemic. this is following the results of research by marshel (2020) which states that there is a significant negative correlation between health anxiety and health behavior in young adults amid the covid-19 pandemic in jakarta. however, this is not in line with the research conducted by devra and immanuel (2020) which stated that there was a significant correlation between students' anxiety levels and students' attitudes due to covid-19. the results of this study are also do not following the theory which explains that a person's anxiety is a source of stimulus for behavior. defense mechanism as a human effort to control awareness of anxiety. for example, if a person has inappropriate thoughts and feelings that increase anxiety, he or she represses those thoughts and feelings. repression is the process of storing inappropriate impulses (isaac, 2005) meaning that the higher the anxiety, the more negative behavior can be generated, and vice versa if the lower the anxiety/not anxiety leads to positive behavior. the covid-19 pandemic has caused increased anxiety among pregnant women. women pay most attention to older relatives, then their children, followed by the unborn. they feel worried about the risk of infection to the baby in the postpartum period (corbett et al., 2020). this anxiety has prompted them to take steps to prevent the spread of covid-19. the existence of government instructions or policies on maintaining physical distance and contact, as well as the mass media which is becoming more frequent in informing about covid-19 also contributed to major changes in the behavior of pregnant women. the results of the study by corbett, et al showed that more than 35% of patients (25/71) isolated themselves to avoid disease. a third (32.4%; 23/71) started staying home from work due to concerns about the virus while one in five patients (19.7%; 14/71) started working from home. nearly half of the women questioned (46.5%; 33/71) changed their primary method of transportation (corbett et al., 2020). the results of this study indicate that pregnant women have carried out positive behaviors in preventing covid-19, namely by diligently washing hands with soap, wearing masks when leaving the house, keeping a distance and avoiding crowds, covering mouths when coughing and sneezing, taking multivitamins, and continuing to do pregnancy tests. conclusion from the results of the study, it can be concluded that there is a negative correlation between the level of anxiety and the health behavior of pregnant women during the covid-19 pandemic. the covid-19 pandemic has caused increased anxiety among pregnant women. anxiety about the risk of contracting covid-19 encourages pregnant women to take steps to prevent transmission of covid-19. suggestion pregnant women and the public are expected to follow health protocols to prevent the transmission of covid-19 for themselves, their families and the surrounding community. health workers, especially midwives, are expected to provide education to pregnant women about prevention and advice during the covid-19 pandemic in order to reduce anxiety and always pay attention to health protocols in providing services, especially health guidelines for pregnant women during the covid-19 pandemic. acknowledgement the authors would like to thank the chancellor of itkm widya cipta husada, head of the midwifery professional education study program, head of research institutes and community service, respondents in this study and all parties who helped in this research. septiasari, viandika, the correlation of anxiety and behavior of preventing the transmission of the … 231 funding this research was funded by the research and community service institute of itkm widya cipta husada. itkm widya cipta husada helps all costs incurred in this research. conflicts of interest the authors in this research have no affiliations with or involvement in any organization or entity with any financial interest or non-financial interest in the subject matter or materials discussed in this manuscript. references corbett, g. a., milne, s. j., hehir, m. p., lindow, s. w., & o’connell, m. p. (2020). health anxıety and behavıoural changes of pregnant women durıng the covıd -19 pandemıc. european journal of obstetrics & gynecology and reproductive biology, 249(january), 96–97. dashraath, p., jing lin jeslyn wong;, mei xian karen lim;, li min lim;, sarah li;, arijit biswas;, mahesh choolani;, citra mattar;, & lin lin su. (2020). coronavirus disease 2019 (covid-19) pandemic and pregnancy. the american journal of obstetrics & gynecology, 222(6), 521– 531. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2020.03.021 durankuş, f., & aksu, e. (2020). effects of the covid-19 pandemic on anxiety and depressive symptoms in pregnant women: a preliminary study. journal of maternalfetal and neonatal medicine, 0(0), 1–7. kajdy, a., feduniw, s., ajdacka, u., modzelewski, j., baranowska, b., sys, d., pokropek, a., pawlicka, p., kaźmierczak, m., rabijewski, m., jasiak, h., lewandowska, r., borowski, d., kwiatkowski, s., & poon, l. c. (2020). risk factors for anxiety and depression among pregnant women during the covid-19 pandemic: a web-based cross-sectional survey. medicine, 99(30), 1–7. marshel, sultan, (2020). hubungan kecemasan kesehatan dan perilaku kesehatanpada dewasa muda ditengah pandemi covid19 di jakarta. repository universitas negeri jakarta http://repository.unj.ac.id/id/eprint/11096 nasution,n.h., hidayah, a., diningsih, a., lubis, e.a., daulay, a.s., hasibuan, a.j., ainun, n., nasution, s. 2021. persepsi sosial masyarakat tentang cov1d-19 dl kota padangsidimpuan. jurnal kesehatan ilmiah indonesia. https://jurnal.unar.ac.id/index.php/health/ar ticle/download/584/440/ septiasari, r.m., viandika, n., (2021). the correlation between covid-19 knowledge and anxiety of pregnant women during covid-19 pandemic. jurnal ilmu kesehatan. https://ojshafshawaty.ac.id/index.php/jikes /article/view/197 suryaatmaja, d.j.c., wulandari, i.s.m. (2020). hubungan tingkat kecemasan terhadap sikap remaja akibat pandemik covid-19. malahayati nursing journal. http://ejurnalmalahayati.ac.id/index.php/m anuju/article/view/3131 viandika, n., septiasari, r.m., (2021). anxiety in pregnant women during pandemic covid19. jurnal keperawatan jiwa (jkj): persatuan perawat nasional indonesia https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkj/a rticle/view/6907 zang, l., wang, m., wang, y., zhu, j., zhang, n., (2020). focus on a 2019-novel coronavirus (sars-cov-2). future microbiol. 2020 may: 10.2217/fmb-20200063. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2020.03.021 http://repository.unj.ac.id/id/eprint/11096 https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkj/article/view/6907 https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkj/article/view/6907 276 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk different effect of cytrus (orange) and lavender aromatherapy towards anxiety level arie jefry ka’arayeno1, rachmat chusnul choeron2, maria irene ngongo3 1,2,3faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university malang, indonesia article information abstract anxiety that occurs continuously, irrationally and increasing in intensity, can interfere with daily activities and become an anxiety disorder. the purpose of the study was to identify differences in the effectiveness of citrus aromatherapy (orange) compared to lavender aromatherapy on anxiety levels in nursing students in dealing with thesis at tribhuwana tunggadewi university, malang. the design of the study used a quasi-experimental design using a two group pre-test-post-test design approach. respondents in this study were nursing students who were undergoing thesis as many as 66 people, from a population of 83 people with simple random sampling technique. the instrument in this study used experimental intervention. analysis using wilcoxon and mann whitney test. the result of this analysis was that citrus aromatherapy (orange) with p-value 0.000 and lavender aromatherapy with p-value 0.000, meant that cytus (orange) aromatherapy and lavender aromatherapy both significantly reduce anxiety levels. however, there was a significant difference between citrus aromatherapy (orange) and lavender aromatherapy on the level of anxiety in students who were working on their thesis at tribhuwana tunggadewi university, malang, which was shown with a p-value of 0.000. it is hoped that further researchers can see or measure which is the most effective between citrus aromatherapy (orange) compared to lavender aromatherapy. history article: received, 04/10/2021 accepted, 15/08/2022 published, 15/12/2022 keywords: citrus aromatherapy, lavender aromatherapy, anxiety level © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: tribhuwana tunggadewi university malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : jefryarie@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p276-287 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:jefryarie@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p276-287 ka’arayeno, choeron, ngongo, different effect of cytrus (orange) and lavender aromatherapy … 277 introduction anxiety is a normal thing experienced by everyone in his life, as a sign of danger that will befall. however, when anxiety occurs continuously, irrationally and its intensity increases, then anxiety can interfere with daily activities and is referred to as an anxiety disorder (adaa, 2014). anxiety can also be experienced by anyone, including experienced by students who are completing their thesis assignments for no apparent reason. students in the world of education, many experiences various kinds of events that might cause anxiety. severe anxiety experienced by students felt unable to do the final task because they felt it was difficult. students find it difficult to understand how to conceptualize and create backgrounds. students prefer to be explained in detail and directed a lot about the final project so that they can focus (khoirunnisa, 2021). anxiety is a manifestation of various mixed emotional processes, which will occur when a person is experiencing various pressures or tensions (stress) such as feelings of frustration and inner conflict (vivi, 2019). anxiety can occur due to the perceived pressures related to the process of working on the thesis. one of the very basic pressures is that the thesis that is being worked on will eventually be tested in front of the examiner lecturer, besides that other factors that can affect student anxiety are due to the time limit in the lecture period (widiarti, 2015). in the process of writing a thesis, many students experience various kinds of obstacles and different psychological responses, anxiety and stress are the most common psychological disorders experienced by students in completing their thesis. a lot of anxiety experienced by students occurs continuously every day. academic pressures and competencies, higher career and educational goals, peer pressure, expectations from parents, and conflicts between parents and children often require the handling of anxiety, stress and adaptive disorders by students (omizo & hutagalung, 2008). thesis is often taken seriously by students for that they prepare themselves both physically and nonphysically so that they avoid failure in the thesis. if they experience failure in the thesis, then they will carry a moral burden such as shame, awkwardness, inferiority and avoid socialization which in the end they will lose their confidence. the feeling of fear of failure can be a burden that causes students to have anxiety in dealing with thesis (lasri & partiwi, 2014). the thesis itself according to the great indonesian language dictionary (2005) is a scientific essay that must be written by students as part of the final requirements for academic education. anxiety can be a warning for individuals so that they can prepare themselves for threats or dangers that will occur. if individuals respond well then anxiety does not interfere with their health, but some people perceive it unnaturally so that it can worsen their condition. the impact that occurs from anxiety is that people usually feel excessive fear of their illness, and an uncertain mood. the prevalence of emotional mental disorders such as anxiety disorders and depression in indonesia was 9.8% of the population aged > 15 years. riskesdas in 2018. based on research conducted by perdana (2011) in the department of nursing, faculty of medicine, universitas brawijaya (fkub) class in 2007 it was found that of the 62 students who became respondents, 48.3% (30 people) had mild anxiety levels, 43.5% (27 people) moderate anxiety levels and 8.1% (5 people) severe anxiety levels. based on research conducted by widiarti in 2015 obtained data on the level of anxiety in final students in the physiotherapy department at the surakarta health polytechnic (0%) with mild anxiety levels, 80% moderate anxiety levels and 20% severe anxiety. and another study by lasri and partiwi in 2014 showed data on anxiety levels that respondents who experienced moderate anxiety were 17 people (56.7%), who experienced mild anxiety levels were 8 people (26.7%) and who did not experience anxiety were 5 people. people (16.7%). according to kliat & et al (2011) anxiety is a feeling of worry as if something bad will happen and feel uncomfortable as if there is a threat accompanied by physical symptoms such as heart palpitations, cold sweats, shaking hands and sleep disturbances. according to lazarus (in maisaroh, 2011) anxiety is a manifestation of various mixed emotional processes, which occur when people are experiencing pressure from feelings of unclear object, inner pressures or mental tension that causes individuals to lose their ability to adjust. anxiety that occurs can be overcome by medical therapy measures used, namely treatment therapy which is usually given to people with anxiety. one of the nursing actions that can be given in order to reduce the level of anxiety is through complementary therapy. complementary therapies are carried out such as deep breathing relaxation therapy, 278 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 270-275 progressive muscle therapy, music therapy, recreational therapy and aromatherapy. the results of research conducted by nova winda setiati, siti sugih and hidayat wijayanegara, in 2019 said that lavender aromatherapy was effective in reducing the anxiety of third trimester pregnant women in preparation for childbirth in the independent practice midwife nurussyifa, buniseuri ciamis district and research conducted by putri & widarti, 2017 said that cytrus orange aromatherapy was able to reduce anxiety in preoperative patients. some types of aromatherapy that have proven beneficial with various side effects are lavender, rosemary, and citrus orange. everyone has different preferences for aromatherapy. the types of aromatherapy that are very diverse make more and more variations in the effects given to each of these types of aromatherapy. some aromatherapy that has been proven to be effective in reducing anxiety is aromatherapy and the most frequently used are lavender, citrus (orange), rose mary, and papermint aromatherapy. one way to reduce anxiety levels is aromatherapy, which means treatment using fragrances that use essential oils in holistic healing to improve health and emotional comfort (dila, putra and arifin, 2017). aromatherapy citrus (orange) aromatherapy derived from natural ingredients that can make a relaxed state, calm the mind, so that it can help reduce insomnia, insomnia is one of the disorders caused by anxiety (putri & widarti, 2017). cytrus (orange) aromatherapy works to stimulate the olfactory nerve cells and affect the limbic system. the limbic system is the center of emotions, feelings, fear, depression, anxiety and other emotions. this aromatherapy then causes various reactions to our feelings that affect our emotions and physical conditions. scientifically, the reaction occurs because the fragrance sends certain signals to the part of the brain that regulates our emotions (hutasoit, 2002). lavender aromatherapy is an alternative plant as a healer, the flowers of this plant produce high-class perfumes of european nobility (jaelani 2009). the benefits of lavender help ease sleep, relieve anxiety, overcome depression, and reduce feelings of tension, muchtar di & moelyono 2015. lavender aromatherapy works by stimulating olfactory nerve cells and influencing the work of the limbic system by increasing positive and relaxed feelings (style, 2006) based on the results of a preliminary study on june 12, 2020 on nursing students at the faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university, malang, there are 7 out of 10 students who feel anxious about the thesis preparation process and the final target, difficulties in writing thesis, 2 people with severe anxiety levels, 4 people with moderate anxiety level and 1 person with mild anxiety level. with symptoms of anxiety, worrying about the final target, difficulty in contacting the supervisor, lack of mastery of research methodology, restlessness, doubt and indecision, sweating a lot, sweaty palms, trembling voice. dizziness, cold and hard to concentrate. from the description of the background above, the researchers are interested in conducting research on the differences in the effectiveness of citrus aromatherapy (orange) with lavender aromatherapy on the anxiety level of nursing students in dealing with theses. method the design of the study used a two group pretest-post-test design. the population in this study were all nursing students who faced thesis at tribhuwana tunggadewi university, totaling 83 people from february 2019 to july 2020 who met the inclusion criteria. the sampling technique used simple random sampling so that the sample of the study was 66 respondents consisting of 33 respondents treated by citrus aromatherapy (orange) and 33 respondents treated by lavender aromatherapy. aromatherapy was given in the form of liquids or essential oils. citrus and lavender aromatherapy were given in one dose, which is 3 to 7 drops or 0.15-0.35 ml. the equipment used an aromatherapy furnace, candles, clean water, citrus and lavender essential oils, matches, and gloves. aromatherapy was given for 15-15 minutes by waiting to be turned on about less than 1 meter from the respondent's body position. before giving therapy, the researcher asked about the patient's allergy history in anticipation.. the inclusion criteria applied were respondents who worked on the thesis of the nursing study program at tribhuwana tunggadewi university, malang. (research time 3 days giving citrus aromatherapy (orange) and 3 days giving lavender aromatherapy), respondents who experienced anxiety, respondents who were adults (21-26 years old) and respondents were students of class 2016. the data collection technique used a hars scale questionnaire sheet. the data analysis method used the wilcoxon and man witney test. ka’arayeno, choeron, ngongo, different effect of cytrus (orange) and lavender aromatherapy … 279 result table 1: frequency distribution based on the characteristics of respondents in the cytrus (orange) aromatherapy group and the lavender aromatherapy group. respondent characteristics cytrus (orange) lavender f % f % gender female male 24 72,2 9 27,3 19 57,6 14 42,4 age 21-23 year 24-26 year 24 72,7 9 27,3 18 54,5 15 45,5 total 33 100 33 100 table 1 shows that most of the respondents in the citrus aromatherapy (orange) and lavender aromatherapy groups were female. most of the respondents in the citrus aromatherapy (orange) and lavender aromatherapy groups were 21-23 years old. table 2: distribution of anxiety levels before and after giving cytrus (orange) aromatherapy to nursing students' anxiety levels in facing thesis. aromatheraphy cytrus (orange) pre post f % f % no worry 0 0 1 3,0 light 9 27,3 15 45,5 currently 7 21,2 9 27,3 heavy 17 51,5 8 24,2 so heavy 0 0 0 0 total 33 100 33 100 based on table 2 shows that most of the respondents had severe anxiety levels before being given citrus aromatherapy (orange) as many as 17 people, and almost half of the respondents after being given citrus aromatherapy (orange), as many as 15 respondents were in the category of mild anxiety. table 3: distribution of anxiety level data before and after giving lavender aromatherapy to nursing students anxiety levels in facing thesis aromatheraphy lavender pre post f % f % no worry 0 0 7 21,2 light 2 6,1 12 36,4 currently 6 18,2 8 24,2 heavy 25 75,8 6 18,2 so heavy 0 0 0 0 total 33 100 33 100 based on table 3 shows that most of the respondents (75.8%) experienced severe anxiety before being given lavender aromatherapy as many as 25 people, and almost half of the respondents (36.4%) experienced mild anxiety after being given lavender aromatherapy as many as 12 respondents. 280 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 270-275 table 4: differences in the effectiveness of cytrus (orange) aromatherapy on anxiety levels in nursing students facing thesis at tribhuwana tunggadewi university. n median p value (min-max) anxiety level pre test 33 30 (17-40) 0,000 anxiety level post test 33 21 (13-36) based on table 4 above, it shows that the p-value is 0.000. because the p-value is smaller than 0.05, it can be concluded that there is a difference between the level of anxiety in nursing students in dealing with theses before and after citrus aromatherapy (orange), so it can be concluded that there is an effectiveness of citrus aromatherapy (orange) on anxiety levels. to students in facing the thesis. while the median value at the pre-test was 30 and the median value at the post-test was 21. this means that this indicates a decrease in the value of the anxiety level of students from before giving citrus aromatherapy (orange) to the value of the anxiety level of students after giving citrus aromatherapy (orange). table 5: differences in the effectiveness of lavender aromatherapy on anxiety levels in nursing students in facing thesis n median p value (min-max) anxiety level pre test 33 31 (20-40) 0,000 anxiety level post test 33 19 (10-34) based on table 5 above, it shows that the p-value is 0.000. because the p-value is smaller than 0.05, it can be concluded that there is a difference between the level of anxiety in nursing students in dealing with theses before and after lavender aromatherapy is carried out, so it can be concluded that there is an effectiveness of lavender aromatherapy on the level of anxiety in students in dealing with theses. while the median value at the pre-test was 31 and the median value at the post-test was 19. this means that this indicates a decrease in the value of students' anxiety levels from before giving lavender aromatherapy to the value of students' anxiety levels after giving lavender aromatherapy. the test results for differences in the effectiveness of citrus aromatherapy (orange) with lavender aromatherapy on anxiety levels in nursing students in dealing with thesis at tribhuwana tunggadewi university are as presented in the following table. table 6: differences in the effectiveness of cytrus (orange) aromatherapy and lavender aromatherapy on anxiety levels in nursing students in facing thesis group n average asymp. sig. (2-tailed) cytrus group 33 36,30 0,000 lavender group 33 30,70 total 66 the results of the analysis presented in the table above prove that the test data obtained a p-value of 0.000. the results of this analysis mean that there is a significant difference between the administration of citrus aromatherapy experiments (orange) and lavender aromatherapy on the level of anxiety in nursing students in dealing with thesis at tribhuwana tunggadewi university. as evidenced by the average value of 36.30 in citrus aromatherapy (orange) and an average value of 30.70 in lavender aromatherapy, this average value means that lavender aromatherapy has a high level of effectiveness in reducing anxiety levels compared to citrus aromatherapy (orange). discussion 1. anxiety levels before and after giving aromatherapy cytrus (orange) based on the results of the study, it was found that most of the respondents before being given citrus aromatherapy (orange) had a category of severe anxiety with symptoms of feelings of anxiety, feeling tense, fearful, experiencing sleep disturbances, intelligence disorders, feelings of depression, digestive (gastrointenstinal) symptoms, autonomic and behavioral symptoms. (attitude) at the time of the interview, while almost half of the ka’arayeno, choeron, ngongo, different effect of cytrus (orange) and lavender aromatherapy … 281 respondents after being given citrus aromatherapy (orange) had a mild anxiety category. aromatherapy odor factors are one of the keys that make changes in anxiety levels, aromatherapy works to stimulate olfactory nerve cells and affect the limbic system. the limbic system is the center of pain, pleasure, anger, fear, depression and various other emotions (fatmawati, 2016). this study is in accordance with research conducted by rujito dwi julianto, siti romadoni, windy astuti cn (2014) with the results of the statistical test of this study showing that there was a significant effect of the use of citrus aromatherapy on anxiety in patients with preoperative major surgery at muhamadiya hospital palembang in 2014 with p value 0.001 at the 95% significance level. this study is also relevant to research according to mega arianti putri, ayu tri widarti (2017) with the results of the statistical test of this study obtained a p-value of 0.000 at the level of significance = 0.05 so that it can be interpreted that there is an effect of citrus (orange) aromatherapy on reducing anxiety. in preoperative patients. respondents' responses when given the treatment respondents felt worried, sweaty, restless, and nervous. respondents feel unable to work on and complete the thesis in the near future. the advantages of giving citrus aromatherapy (orange) respondents feel comfortable and calm when getting aromatherapy, citrus aromatherapy (orange) has a positive impact on what level of anxiety when given by inhalation (inhaled) because the nose or smell has direct contact with the parts of the brain in charge of stimulating the formation of the effects of aromatherapy. giving citrus aromatherapy (orange) is given within 15 minutes from 9-12 hours, for 3 days. based on general data, it is known that the group of respondents who were given citrus aromatherapy (orange/orange) had age characteristics, mostly aged 21-23 years (late adolescence), as many as 24 people (72.7%) and aged 24-26 years as many as 9 people (27.3) at this age the olfactory organs are already working well. according to sustainable in 2015 someone who has an easier age, more easily suffer from stress than adults. older age, will tend to have more experience in dealing with anxiety problems the results of the general data show that the characteristics of respondents based on gender in nursing students at tribhuwana tunggadewi university are mostly female, as many as 24 people (72.7%) and male respondents as many as 9 people (27.3%). from the results of observations where female respondents show more worry, anxiety, nervousness which causes anxiety. sadock in 2009 explained that women experience more severe anxiety due to the role of hormones that can affect emotions so that they are young, anxious and suspicious. some neuroscientists have also found that genes, hormones and phenomena and brain biology affect anxiety in women (zukarnain & novliadi, 2009 in anisa & kk, 2018). citrus (orange) aromatherapy can reduce anxiety levels, this is evidenced by almost most of the respondents having mild anxiety levels after being given citrus (orange) aromatherapy. post-test, which is 21, which means that this indicates a decrease in the value of the student's anxiety level from before giving citrus aromatherapy (orange) to the value of the student's anxiety level after giving cyturs aromatherapy (orange). 2. anxiety levels before and after giving lavender aromatherapy. based on the results of the study, it was found that most of the respondents before being given lavender aromatherapy had a category of severe anxiety with symptoms of feelings of anxiety, feeling tense, fearful, experiencing sleep disorders, intelligence disorders, feelings of depression, digestive (gastrointenstinal) symptoms, autonomic symptoms and behavior (attitudes). at the time of the interview, while almost half of the respondents after being given lavender aromatherapy had a mild anxiety category. factors that cause the emergence of severe anxiety can be caused by the process of writing a thesis, time limits in college, pressure from peers, expectations from parents and academic pressure. lavender aromatherapy is given directly (inhalation). the mechanism through smell is much faster than other routes in dealing with problems such as stress and anxiety (koensoemardiyah, 2009). this is in accordance with research according to arwani, lis sriningsih, rodhi hartono (2013) with the results showing that most respondents before giving lavender aromatherapy experienced severe anxiety (40%), and after giving aromatherapy the most experienced moderate anxiety (42.5%). it was concluded that there was an effect of giving aromatherapy on the patient's anxiety level before 282 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 270-275 surgery with spinal anesthesia at tugu hospital semarang. this study is also relevant to the research according to dewi ratna dila, farhandika putra, rani fitriani arifin (2017) with the results of the study using the wilcoxon signed rank test there is a difference in the pretest value of maternal anxiety preoperative heavy caesarean section as many as 20 (100%) respondents and the postoperative value. anxiety test for preoperative caesarean section mothers with moderate anxiety as many as 16 (80%) respondents, the results obtained p value 0.000 (<0.05). the conclusion of this study is that there is an effect of lavender aromatherapy on reducing anxiety for preoperative caesarean section mothers at the paradise maternity hospital, simpang empat district in 2017. respondents showed anxiety behaviors such as worrying, not calm, nervous and sweating when researchers conducted study, respondents said they had difficulty in doing thesis and were afraid if the target time for graduation was not achieved. the advantages of giving lavender aromatherapy can provide a calming effect and feel comfortable when the respondent inhales aromatherapy. through inhalation of lavender aromatherapy will enter through the nose and provide stimulation to the brain. the results of the study in general data showed that the characteristics of respondents based on age at tribhuwana tunggadewi university nursing students were almost 21-23 years old (late adolescence) before and after giving lavender aromatherapy as many as 18 people (54.5%) and those aged 24-26 as many as 15 people (45.5%). anxiety disorders are more easily experienced by someone who is younger than someone who is older. age is more susceptible to psychological stress and anxiety, due to immature mental and mental readiness and lack of experience (sadock bj & sadock va, 2009). according to satria & kk in 2017 said anxiety is easy for students because students have several demands that they have to fulfill such as graduating on time, lecture assignments that must be completed and the exams they will face at this time experience a high level of anxiety. it can be ascertained that the age ranges between 18-25 years (kartono, 1985, p.133 in satria & kk, 2017). the results of the study in general data are known that the characteristics of respondents based on gender are mostly female as many as 19 people (57.6%) and male respondents as many as 14 people (42.4%). from the observations of researchers, female respondents showed more anxiety, anxiety, nervousness that caused anxiety. this result is in line with research conducted by erawan & kk in 2013 explaining that women experience higher levels of anxiety than men. so it is clear that the role of lavender aromatherapy can reduce anxiety levels, this is evidenced by the majority of respondents having mild anxiety levels after being given lavender aromatherapy, which previously most respondents had severe anxiety levels. the median value at the pre-test was 31 and the median value at the post-test was 19. this means that this indicates a decrease in the value of students' anxiety levels from before giving lavender aromatherapy to the value of students' anxiety levels after giving lavender aromatherapy. 3. differences in the effectiveness of cytrus (orange) aromatherapy and lavender aromatherapy on anxiety levels in nursing students facing thesis at tribhuwana tunggadewi university. the results of the analysis presented in the table above prove that the data test gets a p-value of 0.000. the results of this analysis mean that there is a significant difference between the administration of citrus aromatherapy experiments (orange) and lavender aromatherapy on the level of anxiety in nursing students in dealing with thesis at tribhuwana tunggadewi university. it is proven by the average value of the citrus aromatherapy experimental group (orange) which has an average value of 36.30 while the lavender aromatherapy experimental group has an average value of 30.70. ). aromatherapy is given to improve the health and well-being of the body, mind and soul (dewi ratna dila, farhandika putra and rani fitriani arifin, 2017). aromatherapy has a positive effect because a fresh and fragrant aroma will stimulate sensory and receptors which in turn affect other organs so that it can have a strong effect on emotions and be able to react to stress (primidiati 2003, in arwani, sriningsi & hartono, 2013). while lavender aromatherapy affects the body by stimulating the olfactory nerve cells and affects the limbic system by increasing positive and relaxed feelings. so it can be concluded that from the results of research and existing theories, that there is a difference in the effectiveness of citrus ka’arayeno, choeron, ngongo, different effect of cytrus (orange) and lavender aromatherapy … 283 aromatherapy (orange) with lavender aromatherapy on anxiety levels in nursing students in dealing with thesis at tribhuwana tunggadewi university. aromatherapy cytrus (orange / orange) is one of the anxiolitic or ingredients used to reduce anxiety. this is because aromatherapy citrus (orange) contains linalool. linalool functions as an anixiciolitic or a substance that can reduce anxiety. linalool is one of the aromatherapy that is widely used by inhalation (inhaled) because the nose / smell is in direct contact with the part of the brain that is in charge of stimulating the formation of the effects caused by aromatherapy. aromatherapy cytrus (orange) works to stimulate the olfactory nerves and affect the limbic system. the limbic system is the center of pain, pleasure, anger, fear, depression and many other emotions. the hypothalamus, which acts as a relay and regulator, sends messages to the brain and other body parts. the message received is then converted into action in the form of the release of serotonin and melatonin hormones that cause euphoria, relaxation or sedatives (fatmawati, 2016). the feeling of relaxation produced by citrus (orange) is due to the positive effects of linalool used by inhalation. inhalation is a method introduced in the use of the simplest and fastest aromatherapy method (muchtaridi & moelyono, 2015) inhalation is a method of giving aromatherapy that is inserted from outside the body, and enters the body. inhalation is the same as the olfactory method, which easily stimulates the olfactory during breathing and does not interfere with normal respiratory processes due to inhalation of essential oils. the smell that can be smelled will give you a sense of physical and psychological comfort. lavender aromatherapy is an alternative plant as a healer, the flowers of this plant produce highclass perfumes of european nobility (jaelani, 2009). lavender oil contains linalool to be one of the widely used aromatherapy, by inhalation (inhaled). the main content of lavender flowers is linalool where linalool is the main active ingredient that plays a role in reducing anxiety (dewi, 2013). aromatherapy works gradually to whiten the human senses to smell. this can make emotions and feelings more stable, make thoughts and feelings calmer, and make inhalation able to deal with anxious situations calmly (kasanah, 2005). in this way, it can affect not only the physical but also the emotional level. when you inhale, the scent is captured by receptors in the nose and then provides further information to the area of the brain that controls emotion and memory, which can provide information to the hypothalamus. the limbic system in the brain also produces all instinctive responses and is closely related to the brain that pays attention to the sense of smell (balkam, 2001). conclusion most of the respondents before being given citrus aromatherapy (orange) had a severe category of anxiety, while most of the respondents after being given citrus aromatherapy (orange) had a mild category of anxiety. most of the respondents before being given lavender aromatherapy had a severe category of anxiety, while most of the respondents after being given lavender aromatherapy had a mild category of anxiety. citrus (orange) aromatherapy and lavender aromatherapy both significantly reduced anxiety levels with a p-value of 0.000 for citrus aromatherapy (orange) and lavender aromatherapy with a p-value of 0.000, respectively. however, there is a significant difference between citrus aromatherapy (orange) and lavender aromatherapy on the level of anxiety in students who are working on a thesis at tribhuwana tunggadewi university, malang, indicated by a pvalue of 0.000. suggestion the results of this study can be used as additional nursing knowledge in the nursing student learning process in identifying, knowing and analyzing the effectiveness of citrus aromatherapy (orange) with lavender aromatherapy on the anxiety level of nursing students in dealing with thesis and families in particular in helping to overcome the problem of anxiety levels by giving citrus aromatherapy (orange) with lavender aromatherapy to nursing students in dealing with thesis. in addition, it isapplied by health workers to provide services to students and their families in an effort to measure the difference in the effectiveness of citrus aromatherapy (orange) with lavender aromatherapy on the anxiety level of nursing students in dealing with thesis. the results can be used as information material for the development of further research on complementary aromatherapy, especially citrus aromatherapy (orange) with lavender aromatherapy on anxiety levels in nursing students in dealing with thesis, it is hoped that further researchers can see or measure which is the most effective between citrus aromatherapy (orange) compared to lavender aromatherapy. 284 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 270-275 acknowledgements this study was sourced from the researcher's personal funds and partly supported by research funds from the budget plan of the faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university for the improvement of lecturers' research schemes. part of this work is also supported by the nurse professional education study program in the form of article publishing assistance contributions. in addition, the authors thank the head of the unitri ratancha clinic who has provided input suggestions and facilities provided in the research process. then the authors pay tribute to the board of directors of the faculty of health sciences and the nursing study program at tribhuwana tunggadewi university for their support and research permission for their students for this experiment. funding most of the study finance comes from the researcher's personal funds, then some get assistance with article publication from a grant program held by the nurse professional education study program, faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university. the preparation was carried out by researchers (lecturers) as a team, videlicet two persons who were then assisted by a research assistant. in the research process also with permission from the head of the nursing study program, faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university as the location of the study and the respondents. conflicts of interest the process of the study were assisted by a research assistant to avoid conflicts of interest between researchers and study participants so that researchers do not have direct contact with study participants when collecting anxiety level data. before starting the researcher's activities, they also consolidated with the location of the study, the interest in the topic and the existing phenomenon prompted the researcher to raise the study according to that title. so it can be concluded that every party involved in the study already knows and agrees with this study activity. most financial sources are issued by researchers, while for publication, they receive assistance based on a research publication grant program organized by the nurse professional education study program, faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university. this study received financial and moral support from the institution so that it is hoped that it can overcome the anxiety experienced by students when completing their final assignment. author contribution the main author verifies critical thinking based on the phenomena that occur which are the gap between the spatial ideal and the real events that occur. then the main author starts designing and compiling the research concept framework, determining the theoretical concepts and research hypotheses, compiling articles, conducting analysis, displaying data, carrying out critical revisions of manuscript writing, making final approval of the version to be published is also part of the main author. the co-author criticizes the research design and analysis tests using data processing software, performs data retention, data interpretation and examines the relevance of the theoretical concepts used, provides instruments and examines the suitability of implementation according to standard procedures and research frameworks. the lead author supervised the implementation of the research and conducted explanatory discussions with the co-authors. based on the existing directional hypothesis, the researcher examines the research results to deepen the research discussion. the next accompanying researcher who is a research assistant is more focused on the technical implementation of the research and ensures that each stage of the experiment is in accordance with the established concept. this co-researcher collects data and observes the responses of research participants. in addition to collecting data, he ensures the accuracy of the samples and the validity of the data collected. through the results of this study the research has implications for students to overcome anxiety, contribute to learning and complementary practices in the campus environment as well as to families and even the general public where by giving citrus (orange) aromatherapy with lavender aromatherapy can control the anxiety experienced, especially lavender aromatherapy it turns out that known to provide more significant effectiveness than citrus aromatherapy even though both of them provide benefits for reducing anxiety. refference adaa (anxiety disorders association of america), 2014. anxiety disorder in ka’arayeno, choeron, ngongo, different effect of cytrus (orange) and lavender aromatherapy … 285 women: setting an research agenda. usa:pdf. ade firman, tanto haryanto, esti widiani. perbedaan tingkat kecemasan lansia panti werdha griya asih lawing dan di kelurahan tlogomas malang. nursing news volume 2, nomor 2, 20017. afrianti wahyu widiarti, suhardi. (2015) penurunan kecemasan menghadapi skripsi dengan menggunakan aromaterapi inhalasi. arwani, lis sriningsih dan rodhi hartono pengaruh pemberian aromaterapi terhadap tingkat kecemasaan pasien sebelum operasi dengan anestesi spinal di rs tugu semarang. jurnal keperawatan jiwa, volume 1, no. 2, november 2013: 129-134. balkam, j. 2001. aromaterapi: penuntun praktis untuk pijat minyak atsiri dan aroma. jakarta: cempaka. cut rahmy, 2013. hubungan tingkat kecemasan dengan kelancaran proses persalinan ibu primigravida di rumah sakit ibu dan anak banda aceh. departemen kesehatan ri. 2009. kategori usia. depression and other common mental disorders world health organization.pdf. dewi ratna dila, farhandika putra dan rani fitriani arifin pengaruh aromaterapi lavender terhadap penurunan kecemasaan ibu pre operasi section caesarea di rumah sakit bersalin. vol. 1 no. 2 oktober 2017, 51-56 dewi, (2013). aromaterapi lavender sebagai media relaksasi. bali bagian farmasi fakultas kedokteran. dewi, c.p. 2011. hubungan self efficacy dan dukungan sosial dosen pembimbing dengan motivasi mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi. djumadi akbar, 2015 hubungan antara tingkat kecemasan dengan presentasi akademik mahasiswa di fakultas psikologi universitas muhammadiyah surakarta. dona fitri annisa & ifdil konsep kecemasaan (anxiety) pada lanjut usia (lansia). volume 5, no. 2, juni 2016, 93-99. erawan, wayan, h. opod, cicilia pali (2013). perbedan tingkat kecemasan antara lakilaki dan perempuan pada pre operasi laparotomi di rsup. prof. dr. r.d. kandou manado. erva elli kristanti pengaruh aromaterapi lavender terhadap penurunan derajat kecemasaan pada lansia dipanti werdha st. yoseph kediri. jurnal stikes rs. baptis kediri volume 3, no.2, desember 2010, 94-99 fatmawati, d 2016. ‘pengaruh relaksasi progresif dan aromaterapi lavender terhadap penurunan kecemasaan pada pasien preoperasi dengan spinal anestesi.pdf. fiaka, a.d. (2015). hubungan tingkat kecemasa dengan kejadian insomnia pada lanjut usia diposyandu lansia flamboyant dusun jetis tamantirto kasih banul yogyakarta. skripsi. gali w struart. (2006). buku saku keperawatan jiwa. ahli bahasa: ramona p. kapoh & egi komara yudha. jakarta: ecg gravin, (2003). “assessment of patients ‘anxieti. american journal of critikal care. available from: http;//ajcc.aacnjournal.org. akkses pada tanggal 4 november 2019 hutasoit, aini s. 2002., panduan aromatherapy untuk pemula, gramedia pustaka utama, jakarta. indrati, d. (2009). efektifitas terapi aroma lavender terhadap tingkat nyeri dan kecemasan persalinan kala i di rumah sakit dan klinik bersalin purwokerto. ismanda, s.,supriyatna, a., dan rahayu, n.i. 2013. analisa aktivitas rekreasi terhadap penurunan tingkat stres mahasiswa ilmu keolahragaan ikor, volume 1 nomor 3. jaelani, 2009, aroma terapi, yayasan pustaka obor indonesia, jakarta jeffrey s. nevid, dkk. (2005). psikologi abnormal. edisi kelima. jilid 1. jakarta:erlangga. kapalan h.i, sadock b.j grebb j.a. (2010). sinopsis psikiatrik jilid 2. terjemahan widjaja kusuma. jakarta :binarupa kasanah, noer, 2005. aromaterapi, (online). kbbi (kamus besar bahasa indonesia). (2005). jakarta: pt (persero) penerbitan dan percetakan. keliat, b.a., dkk. 2011. keperawatan kesehatan jiwa komunitas : cmhn (intermediete course). egc : jakarta. khoirunnisa. (2021). tingkat kecemasan mahasiswa terhadap tugas akhir prodi pai di iain palangka raya. institut agama islam negeri palangka raya tahun 1442 h/ 2021 m koensoemardiyah. 2009. a-z aromaterapi untuk kesehatan, kebugaran, dan kecantikan. ed 1. yogyakarta: andi kristanti, erva elli, 2010. “pengaruh aromaterapi lavender terhadap penurunan derajat kecemasan pada lansia di panti wredha st. yoseph kediri”. jurnal stikes baptis kediri. lasri & kartika ratih pratiwi. 2014. hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada mahasiswa yang mengerjakan skripsi di program studi ilmu keperawatan universitas tribhuwana tunggadewi malang. jurnal care, vol. 2, no.2, 2014. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254610/who-msd-mer-2017.2-eng.pdf http://eprints.ums.ac.id/44898/1/naskah%20publikasi.pdf 286 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 270-275 lestari, t. (2015). kumpulan teori untuk kajian pustaka penelitian kesehatan. yogyakarta: nuha medika. linayaningsih, fitria, 2007, kecemasan pada mahasiswa psikologi universitas katolik soegijapranata dalam mengerjakan skripsi, semarang:fakultas psikologi universitas katolik soegikapranata. lisa mutiara anissa, suryani, ristina mirwanti.(2018). tingkat kecemasan mahasiswa keperawatan dalam menghadapi ujian berbasis computer based test. vol 16 no.2, agustus 2018. m. nur ghufron & rini risnawita, s. (2014). teoriteori psikologi. jokjakarta: ar-ruzz media. maisaroh, e. n., & falah, f. 2011. hubungan antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi ujian nasional(un). jurnal proyeksi. maramis, w.f, (2005), catatan ilmu kedokteran jiwa, erlangga, university press maslim, rusdi. 2004. buku saku diagnosis gangguan jiwa. jakarta: ilmu kesehatan jiwa unika atmajaya. mega arianti putri & ayu tri widarti (2017) pengaruh cytrus (orange) aromatherapy terhadap penurunan kecemasan pada pasien pre operasi di rsud kota madiun. muchtaridi & moelyono, 2015, aroma terapi tinjauan aspek kimia medisinal, graha ilmu, yogyakarta. norman, matthew. hamilton anxiety rating scale (har-s). atlanta: psychiatric associates of atlanta, llc, 2005. notoatmodjo, s. (2012). metodelogi penelitian kesehatan (revisi ed.).jakarta: pt. rineka cipta notoatmodjo, soekidjo. 2010 metode penelitian kesehatan. penerbit, rineke cipta, jakarta nova winda setiati, siti sugih dan hidayat wijayanegara. (2019). efektifitas pemberian aromaterapi lavender untuk menurunkan kecemasan ibu hamil trimester iii dalam persiapan menghadapi persalinan di bidan praktek mandiri nurussyifa kecamatan buniseuri ciamis. nursalam. (2011). konsep dan penerapan metodelogi penelitian ilmu keperawatan. jakarta : salemba medika. nursalam. (2013). konsep penerapan metode penelitian ilmu keperawatan. jakarta:salemba medika. nursalam. (2014). manajemen keperawatan aplikasi dalam praktek keperawatan professional, edisi 4. jakarta: salemba medika. nursalam. 2008 pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. salemba medika, jakarta. omizo & hutagalung, (2008) tingkat kecemasan mahasiswa dalam penyelesaian skripsi di fakultas keperawatan universitas sumatera utara. perdana, p. (2011). hubungan tingkat kecemasan dengan motivasi mahasiswa menyusun skripsi di jurusan keperawatan program angkatan 2007 fakultas kedokteran universitas brawijaya. skrpsi. malang:universitasbrawijaya potter, a dan g. perry. (2005). buku ajar fundamental keperawatan : konsep proses dan praktik edisi 4 vol. 1. jakarta: ecg riskesdas.2018-kemenkes kemenkes. rizka, f. (2014). hubungan kesiapan dengan tingkat kecemasan menghadapi real teaching pada mahasiswa div bidan pendidikan anvulle stikes ‘aisyayah yogyakarta’ tahun 2014. skripsi rujito dwi julianto, siti romadoni dan windy astuti cn. pengaruh citrus aromaterapi terhadap ansietas pasien preoperasi bedah mayor di rumah sakit muhammadiyah palembang tahun 2014. jurnal keperawatan sriwijaya, volume 1nomor 1, juli 2014, issn no 23555459. sadock bj, sadock va. kaplan & sadock buku ajar psikiatri klinis (2nd ed). alih bahasa: profitasari, nisa tm. jakarta: egc, 2010; p.230-95. sadock, b. j., & sadock, v. a. (2009). kaplan & sadock's synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry 10th edition. philadelphia: lippincott williams & wilkins satria yudah k, farida halis d. k, esti widiani 2017 hubungan antara tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada mahasiswa yang akan menghadapi ujian akhir semester (uas) di universitas tribhuwana tunggadewi malang. nursing news volume 2, nomor 1, 2017 savitri ramaiah. (2003). kecemasan bagaimana mengatasi penyebabnya. jakarta: pustaka populer obor setiadi, 2007. konsep dan penulisan riset keperawatan. cetakan pertama. graha ilmu: yogyakarta. setiyawan, aris dan eka oktavianto. (2020) efektifitas aromaterapi lavender terhadap tingkat kecemasan menghadapi osce pada mahasiswa keperawatan. jurnal berkala kesehatan, vol 6, no.1, mei 2020:9-13 skripsi, ayu tri widarti, 2017 pengaruh cytrus (orange) aromatherapy terhadap ka’arayeno, choeron, ngongo, different effect of cytrus (orange) and lavender aromatherapy … 287 penurunan kecemasaan pada pasien pre operasi di rsud kota madiun. skripsi, gaude nsia, sinarti lodis, 2017 pengaruh relaksasi nafas dalam terhadap tingkat kecemasaan insersi av. shunt pada pasien hemodialisa di rumah sakit panti nirmala malang. syamsu yusuf. (2009). mental hygine: terapi psikopiritual untuk hidup sehat berkualitas. bandung: maestro takwin, b. 2008. menjadi mahasiswa artikel. triantoro safaria & nofrans eka saputra. (2012). manajemen emosi: sebuah panduan cerdas bagaimana mengelola emosi positif dalam hidup anda. jakarta: bumi aksara. university of maryland medical center (ummc) 2017, what is aromatherapy reference sources (literature) wherever possible is a literature published in the last 10 years preferably is the result of research reports (thesis, thesis and dissertation) and scientific articles in scientific journals / magazines. vivi. (2019. )pengaruh kecemasan mahasiswa fakultas ushuluddin, adab, dan dakwah iain palopo terhadap penyusunan tugas akhir. institut agamaislam negeri (iain) palopo. 130 psikoedukasi untuk meningkatkan dukungan keluarga pada pasien tb paru (psychoeducationto increase support families of pulmonary tb patients) biseptaprayogi stikes patria husada blitar email: bisepta87@gmail.com abstract: tuberculosis (tb) remains a major global health problem. this leads to poor health among millions of people every year and is now ranked second leading cause of death from infectious disease worldwide, after the human immunodeficiency virus (hiv). the objective of this study was to analyze the influence of psycoeducation to support the family inan effort to increase support famillies of patients with pulmonary tuberculosis.methods: this study used quasy experiment pre-post test control group design. total sample was 32 respondents gotten by purposive sampling, divided into experiment and control group. data were analyzed by paired t test, and independent t test with significance value of 0.05. results: independent t test analysis showed there psychoeducation influence family to an increased support famillies (p =0,000) between thetreatment and control groups. discussion: psychoeducation can increased family support. keywords: psychoeducation, family support, pulmonary tb patients abstrak: tb (tuberkulosis) masih merupakan masalah kesehatan utama global. hal ini menyebabkan kesehatan yang buruk di antara jutaan orang setiap tahun dan menjadi peringkat utama kedua penyebab kematian dari penyakit infeksi di seluruh dunia, setelah human immunodeficiency virus (hiv).tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh psikoedukasi terhadap dukungan keluarga pasien tb paru. desain penelitian yang digunakan adalah quasyexperiment pre post test control group design. besar sampel diperoleh 32 responden melalui purposive sampling, terbagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan paired t test,dan independent t test dengan nilai signifikansi 0,05. hasil penelitian menunjukkan bahwa psikoedukasi dapat meningkatkan dukungan keluarga (p=0,000) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. kesimpulan dari penelitian ini terdapat pengaruh psychoeducativefamily therapy terhadap peningkatan pengetahuan pasien dan keluarga, sikap pasien dan keluarga (pmo), dukungan keluarga, kepatuhan, dan kualitas hidup pasien. kata kunci : psikoedukasi,dukungan keluarga, pasien tb paru tuberkulosis (tb) masih merupakan masalah kesehatanutama global. perkiraan terbaru bahwa ada 8,6 juta kasus tb baru di dunia pada tahun 2012 dan 1,3 juta kematian akibat tb (hanya dibawah 1,0 juta diantara orang hiv-negatif dan 0,3 juta terkait kematian hiv-tb). sebagian besar kasus dan kematian tb ini terjadi diantara laki-laki. pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus dan 410.000 kematian tb dikalangan perempuan, serta perkiraan 530.000 kasus dan74.000 kematian pada anak. jumlah kematiantb ini sebenarnya dapat dikurangi dengan program pengobatan jangka pendek obat lini pertama telah tersedia dan dapat menyembuhkan sekitar 90% kasus selama beberapa dekade (who, 2013). indonesia masih menempati urutan ke 4 di dunia untuk jumlah kasus tb setelah india, china, dan afrika selatan. menurut who kecenderungan kasus baru tb paru di indonesia meningkat yaitu pada tahun 2000 terdapat mailto:bisepta87@gmail.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p126-129 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 131 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm.130-133 430.000 kasus tb paru dan pada tahun 2012 terdapat 460.000 kasus baru (who, 2013). pemberantasan tb di indonesia telah dilaksanakan secara nasional sejak tahun 1969 melalui program program pemberantasan tuberkulosis (p2tb) oleh departemen kesehatan, dan sejak tahun 1995 lebih diintensifkan dengan cara pengobatan yang mempergunakan strategi directly observed treatment shortcourse (dots) yang direkomendasikan oleh who. namun pada kenyataan setelah berjalan 9-10 tahun program dots, angka keberhasilan pengobatan masih belum mencapai target yang ditetapkan departemen kesehatan yaitu dapat menyembuhkan 85% dari penderita tb dengan bakteri tahan asam (bta) (+) yang diobati. dari hasil surveillance secara global dilaporkan telah terjadi resistensi kuman tb terhadap obat anti tuberkulosis(oat) pada penderita tb untuk satu jenis oat (dr-tb, drug resistanttb) sebesar 12,6% dan untuk lebih dari 2 jenis oat (mdr-tb, multi drug resistant-tb) sebesar 2,2% (depkes, 2002). di tingkat nasional, provinsi jawa timur merupakan salah satu penyumbang jumlah penemuan penderita tb paru terbanyak kedua di bawah provinsi jawa barat. pada tahun 2012, angka case detection rate (cdr) sebesar 63.03% dengan jumlah kasus baru (positif dan negatif) sebanyak 41.472 penderita dan bta positif baru sebanyak 25.618 kasus. kondisi tersebut masih jauh dari target cdr yang ditetapkan yaitu 70% (dinkes propinsi jawa timur, 2013). data pada dinas kesehatan propinsi jawa timur tahun 2012 menunjukkan hasil pengobatan pasien tb dapat dilihat dari kohort pasien di tahun 2011. angka tersebut dihitung dengan menjumlahkan pasien tb bta positif baru dengan hasil akhir pengobatan sembuh dan pengobatan lengkap dibagi dengan pasien tb bta positif yang diobati pada periode kohort yang sama dan dikalikan 100%. hasil pengobatan di provinsi jawa timur menunjukkan angka yang cukup baik, karena telah mencapai angka keberhasilan pengobatan lebih dari 90%. hanya 9 (sembilan) kabupaten/kota yang belum mencapai angka keberhasilan 90%. target tahun 2014, angka keberhasilan pengobatan 90% dapat dicapai oleh 100% kabupaten/kota (dinkes propinsi jawa timur, 2013). pada tahun 2012 jumlah kasus baru di kota blitar adalah 180 kasus per 100.000 penduduk. angka kematian tb paru di kota blitar adalah 17 orang per 100.000 penduduk. dari 104 penderita tb paru yang diobati, jumlah orang yang sembuh adalah 80 orang, artinya tingkat kesuksesan dalam pengobatan tb paru di kota blitar adalah 80%, sedangkanuntuk target success rateadalah 90%. cure rate di kota blitar mencapai 76,92 % dari target sebesar 85%. data pasiendrop outsebanyak 5 pasien (4,8 %). angka tersebut masih sesuai target yaitu<5% (dinkes provinsi jawa timur, 2013). untuk meningkatkan kedisiplinan dan mencegah pasien tidak patuh dalam program pengobatan perlu dukungan dari keluarga. bentuk dukungan yang diberikan kepada anggota keluarga yang menderita tb paru dalam bentuk psikososial support yang bisa berupa dukungan positif pada setiap aktivitas yang dikerjakan. dengan memberikan informasi pada keluarga tentang penyakit dan menyarankan tentang mekanisme koping yang efektif, program psikoedukasi mengurangi kecenderungan klien untuk kambuh dan mengurangi pengaruh penyakit ini pada keluarga yang lain (townsend, 2009). berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sulistiowati (2012) bahwa psycoeducative family therapy efektif dalam meningkatkan kemampuan keluarga baik secara psikomotor maupun kognitif dalam merawat pasien dengan penyakit tb paru. berdasarkan evidence based practice, psikoedukasi merupakan terapi yang digunakan untuk memberikan informasi pada keluarga untuk meningkatkan ketrampilan mereka dalam merawat anggota keluarga mereka, diharapkan keluarga akan mempunyai koping yang positif terhadap stress dan beban yang dialaminya (goldenberg & goldenberg, 2004). dengan demikian, salah satu alternatif solusi untuk mengoptimalkan dukungan adalah dengan memberikan psikoedukasi. dengan psychoeducative family therapy berarti memfasilitasi struktur lokal sosial (keluarga, kelompok, dan komunitas) yang kemungkinan sudah tidak berfungsi lagi sehingga dapat kembali memberikan support yang efektif kepada orang yang membutuhkan terkait pengalaman hidup yang membuat stress. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah quasy experiment dengan rancangan pre-post test control group design. populasi adalah prayogi, psikoedukasi untuk meningkatkan......132 pasien tb paru dan keluarga (pmo) yang ada di wilayah kota blitar. teknik sampling menggunakan purposive sampling dengan sampel16 responden kelompok perlakuan dan 16 responden kelompok kontrol. variabel independen adalah psikoedukasi, sedangkan variabel dependen adalahdukungan keluarga. instrumen yang digunakan: 1) kuesioner untuk mengumpulkan data demografi meliputi jenis kelamin responden, usia, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, agama, penghasilan, hubungan pasien dengan pmo, jumlah keluarga,dan tipe keluarga, 2) kuesioner untuk mengukur dukungan keluarga. data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan uji statistik paired t test,dan independent t test dengan derajat kemaknaan p≤0,05. hasil penelitian pengaruh psikoedukasi terhadap dukungan keluarga hasil uji statistik pada kelompok perlakuan dengan paired t test p=0,000 yang menunjukkan ada perbedaan dukungan keluarga sebelum dan sesudah perlakuan, pada kelompok kontrol hasil paired t test p=0,164 yang menunjukkan tidak ada perbedaan dukungan keluarga. hasil uji statistik independent t test dari nilai selisih antara sebelum dan sesudah intervensi didapatkan p=0,000 pada kedua kelompok yang menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pada dukungan keluarga antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (lihat tabel 1). tabel 1. pengaruh psychoeducative family therapy terhadap dukungan keluarga perlakuan kontrol selisih∆ pre test post test pre test post test perlakuan kontrol n sd mean 16 3,606 30,75 16 2,391 36,88 16 1,893 23,63 16 1,915 23,75 16 3,344 6,13 16 0,342 0,13 paired t test p=0,000 paired t test p=0,164 independent t test p=0,000 pembahasan pengaruh psychoeducative family therapy terhadap dukungan keluarga sebagian besar responden pada kelompok perlakuan sebanyak 8 responden (50%) sebelum diberikan psychoeducative family therapy memiliki dukungan keluarga yang cukup. responden pada penelitian ini setelah diberikan psychoeducative family therapy menunjukkan ada perbedaan dukungan keluarga yang signifikan pada pasien tb paru kelompok perlakuan. pada sesi pertama ditemukan masalah berupa keluarga kurang memperhatikan pasien. dari 4 komponen dukungan keluarga, sebagian besar keluarga kurang memberikan dukungan secara informasional dan dukungan emosional. dengan psychoeducative family therapy, terutama pada sesi tiga dan empat yaitu manajemen stress keluarga dan manajemen beban kelurga, keluarga dapat membagi tugas apabila salah satu anggota keluarga tidak dapat mengawasi pasien. dengan demikian pasien senantiasa dapat terkontrol. dukungan keluarga dapat bersifat internal seperti dukungan dari suami atau istri atau dukungan dari saudara kandung dan dukungan eksternal misalnya dukungan dari sanak keluarga dan masyarakat. keberadaan dukungan keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosional. pengaruh positif dari dukungan ini akan dapat mudah menyesuaikan terhadap kejadian dalam kehidupan (friedman, 2001). hasil analisis statistik perbedaan dukungan keluarga pada kelompok perlakuan dan kelompok control menunjukkan ada perbedaanyang signifikan pada pasien tb paru.faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dukungan keluarga meliputi beberapa hal antara lain faktor internal. faktor internal merupakan faktor yang muncul dari dirii ndvidu tersebut, yaitu emosi: berkaitan dengan keadaan psikologis seseorang, dalam hal ini terkait dengan dua jenis dukungan keluarga yaitu dukungan emosional dan harga diri, dan faktor pendidikan dan tingkat pengetahuan: berkaitan dengan seberapa besar pengetahuan tentang suatu penyakit. dukungan keluarga mempunyai peran penting bagi kehidupan individu dalam berbagai situasi, salah satu diantaranya dapat meringankan beban individu apabila individu berada dalam situasi yang sulit. house dan kahn, 1985 (dalam astuti, 2000), menyatakan bahwa dukungan keluarga menolong individu mengurangi pengaruh yang merugikan dalam kehidupan, menambah kesehatan fisik, dan individu dapat mempertahankan diri dari pengaruh stressor. 133 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm.130-133 sarason dkk, 1983 (dalam astuti, 2000), dalam penelitiannya menunjukkan hasil bahwa orang-orang yang mendapat dukungan keluarga yang tinggi mengalami hal-hal yang positif dalam kehidupannya, memiliki harga diri yang lebih tinggi dan mempunyai pandangan yang lebih optimis terhadap kehidupannya dari pada orang-orang yang rendah dukungan sosialnya. simpulan dan saran simpulan dukungan keluarga pada pasien tb paru di kota blitar dapat meningkat melalui pemberian psikoedukasi tentang perawatan pasien tb paru, melakukan manajemen stress pada keluarga dan manajemen beban keluarga. saran bagi perawat dapat dijadikan kajian untuk mempertimbangkan pemberian psikoedukasi sebagai alternative solusi dalam mengoptimalkan program pengobatan pada pasien tb paru. bagi keluarga diharapakan untuk bekerjasama dengan tim kesehatan dalam memantau perkembangan kondisi pasien tb paru, dan memberikan dukungan yang optimal kepada anggota keluarga yang menderita tb paru. daftar rujukan balai pengobatan dan pemberantasan penyakit paru (bp4) surabaya. dinas kesehatan propinsi jawa timur.2003.laporan perkembangan pelayanan tahun 20022003. surabaya. dinkes provinsi jawa timur. 2013.profil kesehatan provinsi jawa timur 2012.http://dinkes.jatimprov.go.id/, diakses pada tanggal 16 november 2013 friedman, m. 2001.family nursing: research, theory & practice, fourth edition. stamford: appleton & lange. goldenberg, h. goldenberg, i. 2004. family therapy: an overview, cangage learning. kemenkes ri.2011.pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. jakarta. sulistiowati, ni made dian. 2012. effect of family psyco-education therapy for family capability in caring the family member with mental disorder. proceeding of international nursing conference, the association of indonesian nurse education center (ainec). jawa timur. surabaya. townsend, lisa. groza, victor,. crystal, stephen. 2009. guidelines for psychiatrists providing treatment for foster youth.http://guilfordjournals.com/doi/abs /10.1521/capn.2009.14.5.5?journalcode= capn. diaksespadatanggal 15 november 2013 who.2013.global tubeculosis report 2013.http://www.who.int/en/. diakses pada tanggal 15 november 2013. http://dinkes.jatimprov.go.id/ http://guilfordjournals.com/doi/abs/10.1521/capn.2009.14.5.5?journalcode=capn http://guilfordjournals.com/doi/abs/10.1521/capn.2009.14.5.5?journalcode=capn http://guilfordjournals.com/doi/abs/10.1521/capn.2009.14.5.5?journalcode=capn http://guilfordjournals.com/doi/abs/10.1521/capn.2009.14.5.5?journalcode=capn http://www.who.int/en/ 122 upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat (hypertension patients efforts to maintain healthy lifestyles) sunarti 1 , imam sunarno 1 , alvino 2 1 jurusan keperawatan poltekes kemenkes malang, 2 praktisi keperawatan email: s.kepsunarti@yahoo.co.id abstract: healthy lifestyle is a lifestyle with attention to factors certain factors that affect health, such as diet and exercise. the purpose of this research is to identify how the efforts of patients hypertension to maintain a healthy lifestyle. methods this research uses descriptive design. the population in this research were all patients with hypertension in poly uptd kesehatan kecamatan sukorejo blitar total of 220 people, the number of samples in this study were 33 respondents and using purposive sampling technique. data collection is done by giving questionnaires. time of data collection was conducted on 20 june 2013 to 02 july 2013. the results showed that for 57.6% (19 respondents) had a good effort, 39.4% (13 respondents) had enough attempts, and 3% (1 respondent) had less effort. recommendations from this study are expected to continue to provide health services well and provide health education to the public about healthy lifestyle that should be done for patients with hypertension. keywords: hypertension, healthy lifestyle abstrak: pola hidup sehat adalah suatu gaya hidup dengan memperhatikan faktor – faktor tertentu yang mempengaruhi kesehatan, antara lain makanan dan olah raga. untuk mengidentifikasi bagaimana upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat. metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien hipertensi di poli umum uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar sebanyak 220 orang, jumlah sampel pada penelitian ini adalah 33 responden dan menggunakan teknik purposive sampling. pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner. waktu pengambilan data dilakukan pada tanggal 20 juni 2013 sampai 02 juli 2013. hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 57,6% (94 responden) memiliki upaya baik, 39,4% (13 responden) memiliki upaya cukup, dan sebesar 3% (1 responden) memiliki upaya kurang. rekomendasi dari penelitian ini adalah diharapkan tetap memberikan pelayanan kesehatan dengan baik dan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang pola hidup sehat yang sebaiknya dilakukan untuk penderita hipertensi. kata kunci: hipertensi, pola hidup sehat acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p120-125 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 123 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.122-129 kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat. pola hidup sehat adalah suatu gaya hidup dengan memperhatikan faktor – faktor tertentu yang mempengaruhi kesehatan, antara lain makanan dan olah raga. gaya hidup menurut kotler (2002) dalam proverawati (2012) adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya.gaya hidup sehat adalah segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. berbagai penyakit akan muncul akibat gaya hidup tidak sehat. banyaknya penderita penyakit tidak menular (degeneratif) seperti jantung, tekanan darah tinggi, kanker, stress dan penyakit tidak menular lainnya yang disebabkan karena gaya hidup tidak sehat. (proverawati dan rahmawati 2012: 30).kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tinggi garam, stress, merokok, jarang berolahraga, dan minum – minuman alkohol menjadi pemicu timbulnya penyakit hipertensi. masyarakat sering tidak menyadari bahwa mengkonsumsi makanan secara kontinyu dan berlebihan mengandung kolesterol, junk food, penggunaan bahan penyedap, dan makanan yang diawetkan berpotensi mendatangkan gangguan kesehatan. selain itu, merokok juga merupakan sumber penyakit yang sudah banyak dikenal masyarakat. bahaya merokok ini mengancam perokok pasif maupun perokok aktif. merokok di masyarakat kini sudah menjadi budaya, bagi sebagian orang merupakan alat untuk mendapatkan inspirasi, bahkan bagi dirinya menghentikan merokok akan menjadi malapetaka terhadap kreativitasnya dan bagi para remaja serta pelajar laki – laki merokok sebagai ajang untuk menunjukkan kejantanan mereka. gaya hidup dan pola hidup sehat merupakan hal yang saling berhubungan dan berkaitan. para pakar kesehatan berpendapat bahwa terciptanya pola hidup yang sehat akan bergantung dari gaya atau pola hidup yang dijalani oleh seseorang. gaya hidup individu, yang dicirikan dengan pola perilaku individu, akan memberi dampak pada kesehatan individu dan selanjutnya pada kesehatan orang lain. pola hidup dan pola makan modern yang sekarang ini dianut orang ternyata sangat berpotensi rawan mengganggu kesehatan dan menimbulkan penyakit (irwansyah, 2006). mendapatkan pola hidup yang sehat wajib diikuti oleh penderita hipertensi. dengan melaksanakan pola hidup yang sehat dapat menurunkan tekanan darah, mencegah, atau menunda terjadinya hipertensi, meningkatkan efektivitas obat anti hipertensi, dan menurunkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (cahyono, 2008). hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal, dapat menagkibatkan peningkatan angka mortalitas (ramadhan 2008). penyakit darah tinggi ini dapat mengakibatkan serangan jantung, stroke, gagal ginjal, payah jantung, dan kebutaan. oleh karena itu, untuk mencegah tejadinya peningkatan tekanan darah dan resiko penyakit kardiovaskuler penderita hipertensi harus menerapkan pola hidup sehat (proverawati dan rahmawati 2012). berdasarkan data lancet (2008), jumlah penderita hipertensi di seluruh dunia terus meningkat. di india, misalnya, jumlah penderita hipertensi mencapai 60,4 juta orang pada tahun 2002 dan diperkirakan 107, 3 juta orang pada tahun 2025. di cina, 98,5 juta orang mengalami hipertensi dan bakal jadi 151,7 juta orang pada tahun 2025. di bagian lain di asia, tercatat 38,4 juta penderita hipertensi pada tahun 2000 dan diprediksi akan menjadi 67,4 juta orang pada tahun 2025. prevalensi hipertensi di indonesia pada golongan umur 50 tahun masih 10%, tetapi di atas 60 tahun angka tersebut terus meningkat mencapai 20 – 30% . dari berbagai penelitian melaporkan bahwa 1,3 – 28,6% penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah penderita hipertensi. prevalensi hipertensi pada usia kurang dari 31 tahun 5% usia antara 31 – 44 tahun 8 10% , usia lebih dari 45 tahun sebesar 20%. (nurrahmani, 2012).sebanyak 90% hipertensi yang terjadi tidak diketahui penyebabnya. hipertensi jenis ini disebut hipertensi primer, di mana suatu kondisi terjadinya hipertensi atau tekanan darah tinggi sebagai akibat dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas merupakan pencetus awal timbulnya penyakit darah tinggi. begitu pula seseorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stress tinggi sangat mungkin terkena penyakit darah tinggi, termasuk orang – orang yang kurang olahragajuga bisa mengalami tekanan darah tinggi (muhammadun, 2010). sunarti, sunarno, alvino, upaya penderita hipertensi......124 penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan otot jantung. penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. (muhammadun, 2010). menurut menteri kesehatan upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah hipertensi dan komplikasinya antara lain: 1) mempertahankan berat badan dalam kondisi normal. 2) mengatur pola makan, dengan mengkonsumsi makan rendah garam dan rendah lemak serta perbanyak konsumsi sayur dan buah. 3) melakukan olahraga dengan teratur. 4) mengatasi strees dan emosi, 5) menghentikan kebiasaan merokok, 6) menghindari minuman beralkohol, 7) memeriksa tekanan darah secara berkala (depkes ri, 2012). berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 20 februari 2013, dari hasil wawancara 8 responden yang terdiri dari 7 wanita 1 pria didapatkan hasil 25% responden berupaya secara biologis dengan cara mengurangi penggunaan garam, 25% responden melakukan aktiftas fisik, 100% responden tidak merokok dan minum alkohol, 75% responden berupaya secara sosial dengan cara sering bergaul dan berinteraksi dengan keluarga, teman dan tetangga, 87,5% responden berupaya secara spiritual dengan cara sholat, berdo’a dan mendengarkan ceramah agama, dan 25% responden berupaya secara psikologis dengan cara beristirahat untuk mengurangi stress.dari data yang diperoleh tampak bahwa angka penderita hipertensi yang paling tinggi di wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar. berdasarkan uraian di atas peneliti berminat untuk meneliti upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat di wilayah kerja uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar. berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan :bagaimana upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat?tujuan umum : mengidentifikasi bagaimana upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat.tujuan khusus 1).mengetahui upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara biologis 2).mengetahui upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara psikologis,3).mengetahui upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara sosial.4).mengetahui upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara spiritual.5).mengetahui upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat bahan dan metode penelitian desain yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif.populasi dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi di uptd kesehatan kecamatan sukorejo,yang diambil penderita hipertensi selama 6 bulan terakhir dari bulan september sampai dengan bulan februari 220 penderita. sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah penderita hipertensi dengan kriteria inklusi: 1) pasien hipertensi yang berkunjung ke uptd kesehatan kecamatan sukorejo. 2)penderita yang belum ada komplikasi. 3)yang bersedia diteliti. populasi lebih besar dari 100 maka dapat diambil sampel antara 10-15% atau 20-25% atau lebih,penelitian ini diambil sampel sebanyak 15% dari total populasi, yaitu : 33 penderita penelitian ini menggunakan teknik purposive sample. tempat penelitian di poli umum uptd kesehatan kecamatan sukorejo.kota blitar.waktu pengumpulan data.pengambilan data dilaksanakan tanggal 20 juni – 2 juli 2013penelitian hasil penelitian data umum karakteristik responden berdasarkan umur. gambar 1. karakteristik responden berdasarkan umur, 20 juni 2 juli 2013 (n=33). berdasarkan gambar 1 dapat diketahui bahwa 58% (19 responden) berusia >60 tahun. 42% 58% 40 60 tahun (dewasa madya) >60 tahun (dewasa lanjut) 125 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.122-129 karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin. gambar 2.karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, 20juni2 juli 2013 (n=33). berdasarkan gambar 2diatas dapat diketahui bahwa 67% (22 responden) berjenis kelamin perempuan. karakteristik responden berdasarkan pendidikan saat ini. gambar 3.karakteristik responden berdasarkan pendidikan saat ini, 20 juni 2 juli 2013 (n=33). berdasarkan gambar diatasdapat diketahui bahwa 61% (20 responden) berpendidikan sd. karakteristik responden berdasarkan pekerjaan. gambar 4. karakteristik responden berdasarkan pekerjaan, 20 juni 2 juli 2013 (n=33). berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa 28% (9 responden) bekerja sebagai pedagang. jenis obat gambar 5.karakteristik responden berdasarkan jenis obat antihipertensi, 20 juni 2 juli 2013 (n=33). berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa 82% (27 responden) jenis obat yang didapat captopril. karakteristik responden berdasarkan konsumsi obat anti hipertensi gambar 6.karakteristik responden berdasarkan konsumsi obat antihipertensi, 20 juni 2 juli 2013 (n=33). berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa 100% (33 responden) mengkonsumsi obat anti hipertensi. karakteristik responden berdasarkan lama menderita gambar 7. karakteristik responden berdasarkan lama menderita, 20 juni 2 juli 2013 (n=33). berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa 43% (14 responden) lama menderita hipertensi ≥ 3 tahun. 33% 67% laki laki perempuan 61% 18% 15% 6% sd smp sma pt 12% 28% 9% 24% 9% 18% swasta pedagang pns ibu rumah tangga 82% 18% jenis obat captopril nifedipin 100% 21% 21% 15% 43% <1th 1 tahun sunarti, sunarno, alvino, upaya penderita hipertensi......126 data khusus dalam data khusus ini akan disajikan tentang upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat yang berkunjung ke poli umum uptd kesehatan kecamatan sukorejo secara deskriptif dengan menggunakan diagram batang. upaya penderita hipertensi mempertahankan pola hidup sehat secara biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. gambar 8.upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat (n=33), 20 juni 2 juli 2013.berdasarkan gambar dapat diketahui bahwa upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara biologis 36,4% dalam kategori baik, upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara psikologis 39,4% dalam kategori baik, upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara sosial 75,8% dalam kategori baik, dan upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara spiritual 100% dalam kategori baik. upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat gambar 9. upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat (n=33), 20 juni 2 juli 2013.berdasarkan gambar dapat diketahui bahwa upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat dalam kategori baik, yaitu sebesar 57,6% (19 responden). 0 5 10 15 20 25 30 35 biologis psikologis sosial spiritual upaya baik upaya cukup upaya kurang36,4% (12) 45,5% (15) 18,2% (6) 39,4% (13) 33,3% (11) 27,3% (9) 75,8% (25) 21,2% (7) 3% (1) 100% (33) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat baik cukup kurang 57,6% (19) 39,4% (13) 3% (1) 127 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.122-129 pembahasan berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara biologis sebesar 45.5% (15 responden) dalam kategori cukup. upaya mempertahankan pola hidup sehat secara biologis yang dapat dilakukan oleh penderita hipertensi yaitu dengan pola makan dan penggunaan garam, pola aktifitas fisik/olahraga, menjaga berat badan agar tetap normal, tidak mengkonsumsi alkohol, tidak merokok, dan memeriksakan tekanan darah secara berkala. pada pertanyaan yang ada di kuesioner, didapatkan mayoritas jawaban responden yang salah pada soal nomor dua tentang tidak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak dan pada soal nomor tujuh tentang menghitung kenormalan berat badan. pada soal nomor dua dari 33 responden, hanya sebesar 42,4% (14 responden) yang berupaya tidak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak. dan pada soal nomor tujuh hanya 36,4% (12 responden) yang pernah menghitung kenormalan berat badannya. berdasarkan buku referensi dalam cahyono (2011) dijelaskan dash – eating plan (dietery approaches to stop hypertension eating plan) atau pengaturan pola makan yang bertujuan untuk mengendalikan hipertensi. diet ini pada intinya mengatur pola makan dengan mengurangi asupan natrium dan banyak mengkonsumsi buah – buahan dan sayuran, serealia, biji – bijian, makanan rendah lemak, dan produk susu rendah lemak. makanan yang disarankan adalah makanan yang banyak mengandung kalsium, magnesium, dan kalium. selain itu, pembatasan asupan kalori dan peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen yang terpenting dalam pengaturan berat badan. kedua komponen ini juga penting dalam mempertahankan berat badan setelah terjadi penurunan berat badan. selain itu, perubahan pola aktivitas fisik dan pola makan yang sehat pun harus ditetapkan.berdasarkan hasil wawancara masih banyak responden yang suka dengan masakan yang sudah berkali – kali dihangatkan dan menggunakan bumbu penyedap makanan setiap kali memasak. bumbu penyedap masakan banyak mengandung bahan kimia yang menimbulkan efek tidak baik bagi kesehatan serta masakan yang berkali – kali dihangtkan dapat meningkatkan kadar kolesterol jahat (ldl) dalam darah. bila terlalu banyak ldl, kolesterol akan menumpuk di dinding-dinding arteri dan menyebabkan sumbatan arteri. selain itu, banyak responden yang tidak pernah menghitung berat badan normalnya karena belum mengetahui cara menghitung berat badan idealnya.berdasarkan hasil tabulasi silang anatara upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara biologis dengan karakteristik usia didapatkan hasil, responden yang berusia lebih dari 60 tahun (dewasa lanjut) yang mempunyai upaya baik sebesar 15,2% (5 responden). menurut notoatmodjo (2007) salah faktor internal yang mempengaruhi perilaku yaitu usia.peneliti beranggapan bahwa, pada usia dewasa lanjut banyak mengalami perubahan fisik dan penurunan fungsi tubuh misalnya penglihatan kabur, itu akan mempengaruhi perilaku penderita hipertensi yang berusia lebih dari 60 tahun untuk mempertahankan pola hidup sehat.pada komponen psikologis, upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara psikologis diperoleh data 39,4% ( 13 responden) dalam kategori baik. upaya mempertahankan pola hidup sehat secara psikogis yang dapat dilakukan oleh penderita hipertensi yaitu dengan mengendalikan strees dan emosi. pada pertanyaan yang ada di kuesioner, didapatkan mayoritas jawaban responden yang salah muncul pada soal nomor duabelas tentang melakukan hobi/kegiatan yang disenangi. pada soal nomor dua belas dari 33 responden, hanya sebesar 39,39% (13 responden) yang berupaya melakukan hobi/kegiatan yang disenangi untuk mengurangi stress. menurut junaidi (2010), ketika terjadi stres, hormon epinefrin atau adrenalin akan dilepaskan. adrenalin akan meningkatkan tekanan darah melalui kontraksi arteri (vasokontriksi) dan meningkatkan denyut jantung. stres dapat menjadi faktor utama penyebab hipertensi. itu sebabnya berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi stres, mulai dari teknik relaksasi seperti meditasi, latihan pernapasan dalam, relaksasi otot progresif, dan sebagainya. kegiatan tersebut sangat sederhana tetapi mampu memberikan respon rilek yang dibutuhkan oleh tubuh yang tengah stres, seperti duduk santai, menonton televisi, membaca buku, menyanyikan lagu yang lembut, berbaring santai, berjalan – jalan ke mal atau taman, dan melakukan hobi atau kegiatan yang disenangi misalnya, berkebun, ikut perkumpulan olahraga. sunarti, sunarno, alvino, upaya penderita hipertensi......128 ketika respon relakasi dirasakan oleh tubuh, akan memperlambat detak jantung sehingga denyutan dalam memompa darah ke seluruh tubuh menjadi lebih efektif dan dapat menurunkan tekanan darah. peneliti beranggapan bahwa seorang yang megekspresikan hobinya atau melakukan tindakan yang disenanginya itu akan memberikan perasaan nyaman dan tanpa tekanan yang dapat mempengaruhi kerja jantung. namun, sebagian besar responden tidak melakukan atau megekspresikan hobi, kesenengannya karena tidak ada waktu dan sibuk dalam pekerjaan masing – masing atau tidak adanya teman untuk diajak untuk mengekspresikan hobinya tersebut.pada komponen sosial, upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara sosial diperoleh data 75,8% (25 responden) dalam kategori baik. menurut kowalski (2010), upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara sosial dapat dilakukan dengan menghindari kesepian. kesepian dapat meningkatkan kadar hormon kortisol dan tekanan darah. sebuah studi menunjukkan bahwa isolasi sosial membuat tekanan darah meninggi hingga ke tingkat berbahaya yang dapat berakibat stroke atau serangan jantung. hal tersebut melemahkan sistem peredaran darah sehingga otot jantung bekerja lebih keras dan memicu rusaknya pembuluh darah akibat gangguan peredaran darah (tribun, 2012). peneliti beranggapan, sebagian besar responden mampu berhubungan atau mampu berinteraksi dengan sesama secara baik, namun masih ada responden yang merasa dirinya kesepian karena tinggal dirumah sendiri atau karena telah merasa kehilangan pasangan atau keluarganya.pada komponen spiritual, upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara spiritual diperoleh data 100% (33 responden) dalam kategori baik. menurut notoatmodjo (2007), sehat secara spiritual tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian atau penyembahan terhadap sang pencipta alam, dan seisinya (allah yang maha kuasa). secara mudah spiritual yang sehat dapat dilihat dari praktik keagamaan atau kepercayaannnya, serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma – norma masyarakat.peneliti beranggapaan, walaupun dalam keadaan sakit responden masih dapat menjalankan kegiatan spiritualnya dengan beribadah, berdo’a kepada tuhan dan mendengarkan ceramah – ceramah keagamaan. selain itu, responden juga mempunyai keyakinan bahwa sakit yang dideritanya saat ini tidak akan terjadi komplikasi.berdasarkan hasil penelitian pada empat komponen tersebut, diperoleh data upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat di wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar sebesar 57,6% (19 responden) dalam kategori baik. menurut becker (1979) dalam notoatmodjo (2007) perilaku hidup sehat adalah perilakuperilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. pola hidup sehat adalah suatu gaya hidup dengan memperhatikan faktor – faktor tertentu yang mempengaruhi kesehatan, antara lain makanan dan olah raga. upaya yang sering dilakukan oleh penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat yaitu upaya secara sosial, contohnya dengan bertukar pengalaman dengan teman ketika sakit dan upaya secara spiritual yaitu dengan selalu berdo’a, beribadah, dan mendengarkan ceramah agama baik secara langsung atau secara tidak langsung melalui media elektronik, televisi, radio. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara biologis dengan kriteria cukup, yaitu sebesar 45,5% (15 responden). upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara psikologis dengan kriteria baik, yaitu sebesar 39,4% (13 responden). upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara sosial dengan kriteria baik, yaitu sebesar 75,8% (25 responden). upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara spiritual dengan kategori baik, yaitu sebesar 100% (33 responden). apabila dilihat dari keseluruhannya komponen tersebut upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat di wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar dengan kategori baik sebesar 57,6% (19 responden). upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan perilaku hidup sehat dapat mengontrol dan mencegah terjadinya komplikasi. 129 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.122-129 dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui upaya penderita hipertensi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara biologis dan psikologis masih kurang, sedangkan upaya secara sosial dan spiritual baik. saran bagi pelayanan kesehatan: 1) pihak uptd kesehatan diharapkan untuk meningkatkan penyuluhan kesehatan tentang pola hidup sehat terutama pada komponen biologis dan psikologis.serta memberikan motivasi untuk mempertahankan pola hidup sehat secara sosial dan spiritual kepada penderita hipertensi. 2)pihak uptd kesehatan diharapkan untuk membentuk paguyuban atau kelompok penderita penyakit kronis khususnya hipertensi sebagai wadah untuk mendapatkan informasi dan bertukar pengalaman dengan sesama. bagi institusi pendidikan kesehatan: institusi pendidikan sebagai instansi yang berperan memberikan materi, diharapkan hasil penelitian ini sebagai informasi atau literatur khususnya untuk pendidikan kesehatan.bagi peneliti selanjutnya: diharapkan bagi peneliti selanjutnya segabai data atau bahan untuk di kembangkan penelitian lebih lanjut. daftar rujukan arikunto, suharsimin. 2006. prosedur penelitian suatu pendekatan prakt jakarta : rineka cipta as, muhammadun. 2010. hidup bersama hipertensi. jogjakarta: m-books cahyono, b (eds). 2008. gaya hidup dan penyakit modern.yogyakarta: kanisius irwansyah. 2006. pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan. jakarta : grafindo media pratama junaidi, iskandar. 2010. hipertensi, pengenalan, pencegahan, dan pengobatan. jakarta: pt bhuana ilmu populer notoatmodjo, sukidjo. 2007. promosi kesehatan dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta notoatmodjo, sukidjo. 2010. metodologi penelitian keseatan. jakarta: rineka cipta nurrahmani, ulfa. 2011. stop! hipertensi. yogyakarta: familia nursalam. 2011. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta : salemba medika potter and perry. 2005. buku ajar fundamental keperawatan. jakarta: penerbit buku kedokteran egc proverawati, atikah dan rahmawati, eni. 2012. perilaku hidup bersih dan sehat (phbs). yogyakarta: nuha medika ramadhan, ahmad j. 2008. seberapa sehatkah hidup anda?. jogjakarta: think kowalski, robert e.. terjemahan oleh rani s. ekawati 2010. terapi hipertensi.. bandung: qonita. sutomo, adi heru dkk. 2011. teknik menyusun kti skripsi – tesis – tulisan dalam jurnal bidang kebidanan, keperawatan, dan kesehatan. yogyakarta: fitramaya. depkes ri .2012. masalah hipertensi di indonesia. http://www.depkes.go.id/article/view/1909 /masalah-hipertensi-di-indonesia.html diakses tanggal 22 november 2012 tribun.2012. awas, kesepian perburuk kesehatan anda! http://kaltim.tribunnews.com/ 2012/05 /12/ awas-kesepian-perburukkesehatan-anda diakses tanggal 7 maret 2013. http://kaltim.tribunnews.com/%202012/05%20/12/%20awas-kesepian-perburuk-kesehatan-anda http://kaltim.tribunnews.com/%202012/05%20/12/%20awas-kesepian-perburuk-kesehatan-anda http://kaltim.tribunnews.com/%202012/05%20/12/%20awas-kesepian-perburuk-kesehatan-anda 135 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk a cultural approach (socio demography) in preventing covid-19 disease in the family khairir rizani1, bisepta prayogi2, angga irawan3, taufik hidayat4 1,2nursing department, poltekkes kemenkes banjarmasin, indonesia 3nursing department, universitas sari mulia banjarmasin, indonesia 4nursing department, stikes intan martapura, indonesia article information abstract handling the covid-19 pandemic can be assisted by a cultural approach as disease and culture are two related things, disease is often caused by culture or in other words, disease can occur due to certain cultures that exist in social life. in addition, the disease can have a socio-cultural effect. thus, socio-cultural factors generally affect efforts to control and prevent covid-19 disease. in addition, the involvement of the family in the control and prevention of covid-19 is very important, in addition to controlling the transmission, it also stabilizes the control of the spread of the virus. the aim of this study was to identify the influence of culture on the prevention of covid-19 in the family. this study used an associative analytical design through a transversal approach. the population consisted of all families affected by the covid-19 case in south kalimantan. bivariate data were analyzed with chi-squared and multivariate with multiple logistic regression. there was a relationship between sex, education, marriage, occupation, income and distance from health services with the prevention of covid 19 in the family (ρ <0.05), and there is a shared influence between gender, education, marriage and work on the prevention of covid 19 in the family (ρ <0.05). it is up to the community to redouble its efforts to prevent covid 19 disease in the family, so it is necessary to take a cultural approach to prevent covid 19 in the family. history article: received, 15/03/2022 accepted, 04/07/2022 published, 15/08/2022 keywords: cultural approach, covid-19, family © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes banjarmasin – south kalimantan, indonesia p-issn : 2355-052x email : bisepta87@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p135-141 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:bisepta87@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p135-141 136 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 135-141 introduction covid-19 is still a problem in the world today caused by sars-cov-2 (lin, l. et al., 2020). according to who, the prevalence of covid-19 is estimated on april 20, 2020, to spread to 213 countries. overall, on april 20, 2020, there were 2,285,210 confirmed cases of covid-19 and 155,124 deaths (6.79%) (who, 2020), while in indonesia on march 29, 2020, there were 1,285 cases of covid-19, deaths of 114 people. and recovered 64 people. according to who, effective strategies to control covid-19 that can be implemented are washing hands, applying effective coughing, avoiding direct contact with anyone showing symptoms of respiratory disease such as sneezing and coughing. meanwhile, the strategy implemented in indonesia is implementing social distancing, physical distancing and large-scale social restrictions, but this is considered less successful because there are still additional covid-19 cases in indonesia up to 100 people per day (nurhalimah, 2020). efforts to handle the covid-19 pandemic can be assisted through a cultural approach because disease and culture are two related things, disease is often caused by culture or in other words disease can arise due to certain cultures that exist in social life. in addition, the disease can have a socio-cultural effect. thus, socio-cultural factors generally affect efforts to control and prevent covid-19 disease. a culture is a form of human relationship that sometimes becomes a habit and is difficult to change. culture can affect human behavior in its social relationships. culture and knowledge about illness have a close relationship as a habit and belief that is used as knowledge about health. one form of cultural application in health is traditional medicine which is done when suffering from illness based on values, local wisdom, knowledge and experience. prevention and control of covid-19 should use a cultural approach in society, both modern medical and traditional medicine as well as selfmanagement of health (self-treatment). meanwhile, health prevention and control efforts include: health promotion, preventive measures, treatment and recovery after illness. family involvement in the control and prevention of covid-19 is very important, in addition to controlling transmission, it is also stabilizing control in the spread of the virus. information about culture in the community about covid-19 is still minimal, so it is very important to be able to use it in preventing and controlling covid-19 in the family and community. socio-cultural issues related to the transmission of covid-19 include; family and community habits during prevention which are influenced by knowledge, attitudes, perceptions and beliefs about the transmission of covid-19 (ningsi, & nurjana, 2010). the purpose of the study was to identify the influence of culture (socio-demographic) on the prevention of covid-19 in the family. method the design of this study used associative analytics with a cross sectional approach. this study examined the effect of a cultural approach (sociodemographic) on the prevention of covid-19 in the family. the population was all of the families affected by the covid-19 case in south kalimantan, a total of 11,400 families. the sample was some families affected by the covid-19 case in south kalimantan totaling 570 families this study used a cultural approach (sociodemographic) including age, gender, education, marriage, occupation, income, distance to health services and knowledge. and prevention of covid19 in the family. the data collection method used an online questionnaire. the researcher also conveyed the objectives of the study to the respondents written in the online questionnaire. after the prospective respondent understood and agreed, then they filled in the existing questions. the analysis of the data used univariate analysis, bivariate analysis with chi square and multivariate with multiple logistic regressions. the values were set on p<0,05. result distribution of cultural variables table 1: distribution of cultural variables on the prevention of covid19 in the family research variable frequency (f) percentage (%) prevention of covid 19 in the family enough 245 43 rizani, prayogi, irawan, hidayat, student perceptions of skills training program as a … 137 good 325 57 total 570 100 age early adult < 45 years 447 78,4 mature adult ≥ 45 years 123 21,6 total 570 100 gender male 208 36,5 female 362 63,5 total 570 100 education basic 0 0 middle 324 56,9 higher 246 43,1 total 570 100 marital status not married yet 289 50,7 married 281 49,3 total 570 100 work does not work 259 45,4 work 311 54,6 total 570 100 income under ump 158 27,8 above ump 412 72,2 total 570 100 distance to health services < 5 km (near) 395 69,2 > 5 km (far) 175 30,8 total 570 100 knowledge enough 51 8,9 good 519 91,1 total 570 100 bivariate analysis table 2: bivariate analysis of factors that influence the prevention of covid 19 in the family variabel bebas pencegahan covid 19 or ρ value (0,05) cukup baik total n % n % n % age early adult < 45 years mature adult ≥ 45 years 166 69 37,03 56,52 281 54 62,97 43,48 447 123 100 100 0,452 0,063 total 235 41,23 335 58,77 570 100 gender male female 117 18 56,48 43,11 91 244 43,52 69,89 208 362 100 100 3,010 0,000 total 235 41,23 335 58,77 570 100 education 1,659 0,026 138 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 135-141 middle higher 140 95 43,29 31,51 184 151 56,71 68,49 324 246 100 100 total 235 41,23 335 58,77 570 100 marital status not married yet married 65 170 22,73 54,39 224 111 77,27 45,61 289 281 100 100 0,247 0,000 total 235 41,23 335 58,77 570 100 work does not work work 58 177 22,65 51,59 201 134 77,35 46,41 259 311 100 100 0,275 0,000 total 235 41,23 335 58,77 570 100 income under ump above ump 47 188 29,47 41,67 111 224 70,53 58,73 158 412 100 100 0,585 0,037 total 235 41,23 335 58,77 570 100 distance to health services near far 176 59 44,58 24,29 219 116 55,42 75,71 395 175 100 100 2,506 0,000 total 235 41,23 335 58,77 570 100 knowledge enough good 18 217 35,48 38,61 33 302 64,52 61,39 51 519 100 100 0,875 0,733 total 235 41,23 335 58,77 570 100 multivariate analysis this logistic regression test was carried out in several stages so that independent variables were actually found which together affected the dependent variable. stage 1 table 3: the influence of shared culture on the prevention of covid 19 variable or 95 % ci ρ gender 0,427 0,250 0,730 0,002 education 0,302 0,172 0,527 0,000 marital status 2,835 1,4275,633 0,003 income 1,524 0,848 2,740 0,159 work 2,044 0,980 4,266 0,049 distance 0,660 0,376 1,157 0,147 based on table 3 above, there is a relationship between gender, education, marriage, occupation, income and distance to health services with the prevention of covid 19 in the family. stage 2 table 4: the influence of shared culture on the prevention of covid 19 variabel or 95 % ci ρ gender 0,430 0,254 0,730 0,002 education 0,307 0,177 0,532 0,000 marital status 3,154 1,587 6,270 0,001 work 2,172 1,038 4,547 0,040 rizani, prayogi, irawan, hidayat, student perceptions of skills training program as a … 139 based on the table 4 above, there is a joint influence between gender, education, marital status and work on the prevention of covid 19 in the family. discussion the relationship between age and prevention of covid 19 in the family based on table 2 above, it shows that the prevention of covid-19 disease is better in early adulthood than in late adulthood. the value of = 0.063 means that there is no relationship between age and prevention of covid 19 in the family. the or value = 0.452, which means that elderly adults have a 0.452 time opportunity to behave fairly in preventing covid-19 disease compared to early adulthood. in theory, this result contradicts the theory that older people have better responsibility and accuracy than younger people (nursalam, 2014). so maybe there are other factors that are more closely related to awareness in preventing covid 19. the relationship between gender and prevention of covid 19 in the family based on table 2, there are 69.89% of female respondents and 43.52 % of male respondents doing the prevention of covid 19 in the family well. the value of = 0.000 means that there is a sex relationship with the prevention of covid 19 in the family. the or value = 3.010, which means that female respondents have 3.01 times the opportunity to prevent covid-19 in their families compared to male respondents. so that there are differences in the prevention of covid 19 in the family carried out between male and female respondents. this is in accordance with the results of study which says that there is a relationship between gender and a healthy lifestyle (eko dan sinaga, 2018), and lawrence green's theory which states that one of the predisposing factors for behavior is gender (notoatmodjo, 2010). so, gender that related to a healthy lifestyle can determine good actions to prevent covid 19. the relationship between education level and prevention of covid 19 in the family based on table 2, there are 68.49% of respondents with higher education and 56.71% with secondary education doing the prevention of covid 19 in the family well. the value of = 0.026 means that there is a relationship between education and prevention of covid 19 in the family. the or value = 1.659, which means that respondents with higher education have 1.659 times the opportunity to prevent covid-19 in their families compared to respondents with secondary education. this is in accordance with the results of research which states that there is a relationship between the level of education and prevention of dhf (putri dan naftassa, 2017), this study is in line because dhf and covid 19 both need good prevention to overcome their disease, and study which says that the level of education affects the community when carrying out prevention (gannika dan sembiring, 2020), and lawrence green's theory which states that one of the predisposing factors for behavior is the level of education (notoatmodjo, 2010) the relationship between marital status and prevention of covid 19 in the family based on table 2, there are 77.27% of respondents with unmarried status and 45.61% with married status doing prevention of covid 19 in the family well. the value of = 0.000 means that there is a relationship between marriage and the prevention of covid 19 in the family. the or value = 0.247, which means that respondents with unmarried status have 0.247 times the opportunity to prevent covid19 in their families compared to respondents who are married. this is in accordance with the results of research which says there is a relationship between marital status and behavior for healthy living (adliyani, 2015). thus, marital status is one of the factors in preventing covid-19 behavior the relationship between work status and prevention of covid 19 in the family based on table 2, there are 77.35% of respondents who do not work and 46.41% who work can prevent covid 19 in the family well. value = 0.000 means that there is a relationship between work and prevention of covid 19 in the family. the or value = 0.275 means that respondents who do not work are 0.275 times to prevent covid 19 in their families compared to those who work. this is in accordance with lawrence green's theory which states that one of the predisposing factors for behavior is work (notoatmodjo, 2010). work status is related to income and behavior which will have an impact on meeting the needs for the prevention of covid 19 the relationship between income and prevention of covid 19 in the family 140 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 135-141 based on table 2, there are 70.53% of respondents who earn below the ump and 58.73% of respondents who earn above the ump do the prevention of covid 19 in their families well. the value of = 0.037 means that there is a relationship between income and prevention of covid 19 in the family. the value of or = 0.585 means that respondents with income below the minimum wage have 0.585 times the opportunity to prevent covid 19 in their family compared to respondents who earn above the minimum wage. this is in accordance with research which states that there is a relationship between income and clean and healthy living behavior (roni, ruhmawati, sukandar, 2013). and blum's theory (1974) which states that social, cultural, economic, and political factors influence health behavior, where education and income are social factors of the community (notoatmodjo, 2010). so good income will be able to meet the needs for health and prevention of covid 19. the relationship between distance to health services and prevention of covid 19 in the family based on table 2, there are 75.71% of respondents who are far away from health services and 55.42% of respondents who are close to health services are doing prevention of covid 19 in their families well. the value of = 0.000 means that there is a relationship between distance to health services and prevention of covid 19 in the family. the or value = 2.506 means that respondents who are far away from health services have 2.506 times the opportunity to prevent covid-19 in their families compared to respondents who are close to health services. this is in accordance with lawrence green's theory which states that distance to health facilities is an enabling factor for a person to behave (notoatmodjo, 2010). so, the ease of accessing health services can make it easier to get information about the prevention of covid 19. the relationship between knowledge and prevention of covid 19 in the family. based on table 2, it was found that 64.52% of respondents had sufficient knowledge and 61.39% had good knowledge and were able to prevent covid 19 well. the value of = 0.733 means that there is no relationship between knowledge and prevention of covid 19 in the family. the or value = 0.875 means that respondents with sufficient knowledge have 0.875 times the opportunity to prevent covid-19 in their families compared to those with good knowledge. this result contradicts the theory which explains that one of the predisposing factors for a person to behave is knowledge (notoatmodjo, 2010). maybe there are other factors that make the discrepancy between facts and theory such as obstacles in meeting the needs of preventing covid 19. the influence of shared culture on the prevention of covid 19 based on the table 4, there is a joint influence between gender, education, marital status and work on the prevention of covid 19 in the family. this is in accordance with blum's theory (1974) which states that social, cultural, economic, and political factors influence health behavior, where education and income are social factors of the community (notoatmodjo, 2010). so that, in preventing covid 19, you must pay attention to gender, education, marriage and work status in family. conclusion the majority of covid-19 prevention in the family is good, the age of the respondents is dominated by less than 45 years, the majority of respondents are women, the majority of respondents have secondary education, more respondents are unmarried, more respondents are working, the average respondent's income is above the minimum wage, the distance to the majority of health services is close (less than 5 km), and the majority of respondents' knowledge about covid 19 is good. there is a relationship between gender, education, marriage, employment, income and distance to health services with the prevention of covid 19 in the family. there is a shared influence between gender, education, marriage and work on the prevention of covid 19 in the family. suggestion this study recommends for the community in order to further increase efforts to prevent covid19 in the family. while for researchers, it is by conducting research with other variables such as the role of health workers in preventing covid-19 in the family. acknowledgement the author would like to thank to director of poltekkes kemenkes banjarmasin, the head of the nursing department poltekkes kemenkes banjarmasin, the head of the research and community service center poltekkes kemenkes banjarmasin and all the partisipants in this study. rizani, prayogi, irawan, hidayat, student perceptions of skills training program as a … 141 funding this research was funded by the dipa poltekkes kemenkes banjarmasin. poltekkes kemenkes banjarmasin helps all the costs incurred in this research. conflicts of interest the authors in this research have no affiliations with or involvement in any organization or entity with any financial interest or non financial interest in the subject matter or materials discussed in this manuscript. refference adliyani, zaraz o. n. (2015). pengaruh perilaku individu terhadap hidup sehat. medical journal of lampung university vol 4 no. 7. universitas lampung: lampung eko, s., sinaga, n. (2018). antara jenis kelamin dan sikap dalam gaya hidup sehat mahasiswa. jurnal media informasi poltekkes kemenkes tasikmalaya vol 14 no.1. poltekkes kemenkes tasikmalaya: tasikmalaya gannika, l., sembiring, erika e. (2020). hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku pencegahan coronavirus disease pada masyarakat sulawesi utara. ners jurnal keperawatan vol 16 no.2 universitas andalas: makasar lin, l. et al. (2020) ‘hypothesis for potential pathogenesis of sars-cov-2 infection--a review of immune changes in patients with viral pneumonia.’, emerging microbes & infections. taylor & francis. doi: 10.1080/22221751.2020.1746199 nurhalimah (2020). recovery pariwisata banyuwangi pasca covid 19. jurnal media bina ilmiah jilid 15 terbitan 3 ningsi, n. & nurjana, m. a. (2010). aspek sosial budaya masyarakat berkaitan dengan kejadian malaria di desa sidoan kabupaten parigi moutong sulawesi tengah. media penelitian dan pengembangan kesehatan nursalam (2014). managemen keperawatan; aplikasi dalam praktik keperawatan. jakarta. salemba medika notoatmodjo, s. (2010) ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta putri.r dan naftassa.z (2017). hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat dengan perilaku pencegahan demam berdarah dengue di desa kemiri kecamatan jayakerta karawang. magna medica vol 1 no 4 sulistiyawati, i (2010). hubungan antara pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, dan sikap lansia dengan keaktifan kunjungan ke posyandu lansia. fkm. universitas jember roni t, ruhmawati t, sukandar d (2013). hubungan pendidikan dan penghasilan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. jurnal kesehatan lingkungan indonesia. vol 12 no 1. universitas diponegoro. semarang 108 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the relationship of marital status and the implementation of breast self examination on women of reliable age indah yun diniaty rosidi1, dahniar2 1,2midwifery department, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia article information abstract breast self examination is carried out to reduce breast cancer mortality by finding breast cancer as early as possible and treating it when the size is still small before the cancer metastasizes. the discovery of breast cancer as early as possible that is diagnosed and treated correctly will increase the life expectancy of breast cancer sufferers. the purpose of this study was to determine the relationship between marital status and the implementation of breast self examination in women of childbearing age. this research was a descriptive analytic study with cross sectional and carried out in the working area of bpm hj. rismawati, maros regency, south sulawesi. the sample used 37 respondents, namely women of childbearing age with cluster sampling technique and tested using fisher's exact test . the result of this study showed that there was a significant relationship between marital status and the implementation of the breast self examination. in this study it was also concluded that marital status was not a risk factor for the implementation of the breast self examination (or value 0.47 < 1) or it can be said that unmarried women only had 0.47 times the risk of not doing breast self examination compared to women who had married. it is needed to do further research on the respondents' perceptions, respondents' socio-cultural or community about breast cancer and early detection of breast cancer and respondents' insurance status. history article: received, 02/11/2022 accepted, 25/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: breast cancer, bse, women of childbearing age, marital status © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes nani hasanuddin makassar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : indahbo73@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p108-112 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:indahbo73@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p108-112 rosidi, dahniar, the relationship of marital status and the implementation of breast self … 109 introduction breast tumor is a disease slow growth of breast cells well-defined with a firm, chewy consistency. while breast cancer is a disease of cell growth because new cells grow in the breast that grow abnormally, quickly and uncontrollably with different shapes, characteristics and movements from the original cells, and damage the shape and function of the original organ. many oncologists argue that that any tumor in the breast is considered carcinoma, especially in women high risk. breast carcinoma frequency relatively high, causing a lot of problem for women, not only in developed countries but also in middle countries developing including indonesia (agustina & ulfa, 2014) . world health organization (2021) stated that by the end of 2020, 7.8 million women in the world had breast cancer in the last five years. global burden cancer (globocan) reports that in 2020, the increase in new cases of breast cancer in indonesia reached 65,858 cases, while deaths caused by breast cancer ranked second with 22,430 deaths, and this risk was higher for women (sari, 2015). ; the global cancer observatory, 2021) . breast self examination is carried out to reduce breast cancer mortality by finding breast cancer as early as possible and treating it when the size is still small before the cancer metastasizes. the discovery of breast cancer as early as possible that is diagnosed and treated correctly will increase the life expectancy of breast cancer sufferers. life expectancy for 10 years for the discovery of cancer at stage i is 70% 80%, stage ii is 43%, stage iii is less than 11.2%, and stage iv is 0% (blamey, 2000) . real breast cancer possible to be cured if found at an early stage. if seen of the case fatality rate of breast cancer found in the early stages only 7.2%. the american cancer society (2019) states that if cancer breast found at an early stage the patient's life expectancy reaches 95% or even better. therefore that, it is very important to detect early breast cancer. there are three ways that can be done to detect early breast cancer such as screening breast self (breast self examination), examination clinical breast (sadanis) and mammography. breast self examination is a way the cheapest, easy and simple that each individual can do. however, early detection of breast cancer in women of childbearing age is still relatively low. only about 25-30% of women in indonesia who do breast self examination (ga r dyanti, 2015; ministry of health ri., 2012) . the results of a preliminary study conducted in the working area of bpm hj. rismawati, maros regency, south sulawesi, of 10 female respondents of childbearing age, only 3 respondents did breast self examination and 7 other respondents had never done breast self examination. the low implementation of breast self examination in women of childbearing age is influenced by various factors such as knowledge, attitudes, family support, information, medical history and marital status and traditions. based on this, the researcher wanted to know the relationship between marital status and the implementation of breast self examination in women of childbearing age. methods this research was a descriptive analytic study and used a cross sectional design. this research was carried out in the work area of bpm hj. rismawati, maros regency, south sulawesi. the sample was as many as 37 respondents, namely women of childbearing age taken by cluster sampling technique. the inclusion criteria in this study were women of childbearing age, while the exclusion criteria in this study were breast cancer sufferers and had psychiatric or mental disorders. the instrument used for both variables in this research were questionnaires with closed questions. in this study, researchers used univariate analysis on research results and bivariate analysis using fisher's exact test to determine the relationship between the dependent variable and the independent variable. 110 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 108-112 results table 1: frequency distribution of respondents characteristics (age, parity, education, occupation, family history of breast cancer) marital status and implementation of breast self examination at bpm hj. rismawati in 2022 variable frequency percent (%) age teenagers (12-25 years old) 18 49 adult (26-45 years old) 19 51 parity no children 22 59.5 having children 15 40.5 education tiuggi 29 78 low 8 22 work doesn't work 25 68 working 12 32 family history of breast cancer yes 2 5 not 35 95 marital status not married yet 17 46 marry 20 51 implementation of bse yes 10 27 not 27 73 total 37 100 source: primary data, 2022 table 2: relationship between marital status and implementation of breast self-examination in women of childbearing age at bpm hj. rismawati in 2022 source: primary data, 2022 discussion from the results of the study in table 1, it can be seen that the characteristics of the respondents are mostly adults (26-45 years) as many as 19 respondents (51%) and do not have children as many as 22 respondents (59.5%). most of the respondents have higher education, namely 29 respondents (78%) and as many as 25 respondents (68%) do not have a job and most of the respondents do not have a family history of breast cancer as many as 35 respondents (95%). most of the respondents were married as many as 20 respondents (51) and most of the respondents did not do bse as many as 27 respondents (73%). based on bivariate data using the fisher extract test, it was found that there was a significant relationship between marital status and the implementation of the breast self examination with a value of 0.002 <0.05. the results of this study are marital status implementation of bse total ️ or yes not n % n % n % not married yet 9 52.9 8 47.1 17 100 0.002 0.47 marry 1 5 19 95 20 100 total 10 27 27 73 37 100 rosidi, dahniar, the relationship of marital status and the implementation of breast self … 111 not in line with research conducted by pradnyandari et al., (2022 ) which stated that there was no significant relationship between marital status and breast self-examination behavior because wus already had awareness of breast cancer, but this study is also in line with with research conducted by siboro et al., (2020) stated that marital status has a significant relationship with breast self-examination behavior and women with unmarried status are 1.2 times at risk of not doing breast self-examination compared to married women. this study also concluded that marital status does not have a significant risk seen from the odds ratio (or) 0.47 < 1 or it can be said that unmarried women only have 0.47 times the risk of not doing breast self examination compared to women. who are married. early detection of breast cancer using the breast self examination method is included in preventive measures. the more routine a woman performs the breast self examination, the more delays in carrying out the initial examination of breast cancer to health services will be avoided. compared with women who do not do breast self examination or who rarely do breast self examination have a risk for delayed diagnosis of breast cancer and initial examination to health services. as early as possible, the patient's initial treatment for breast cancer will increase the patient's life expectancy (desanti et al., 2010; gusti ayu resa dyanti & suariyani, 2016) . marital status or marital status, women are not married 50% more likely to develop breast cancer than with a girl who's been marry. marital history is an important component in the patient 's history to be screened for breast cancer. there is an increased risk of this malignancy in women who suffering from breast cancer (siboro et al., 2020) most of the married respondents have had children and have a history of breastfeeding. woman who breastfeeding has a lower risk of developing breast cancer compared to women who not breastfeeding (bugis, 2007) . in a cohort study even showed that mothers who breastfeed for at least one year have a reduced risk of breast cancer by 32% (nurbaya, 2021) . the assumption of researchers in this study concluded that unmarried women have a greater tendency to develop breast cancer than married women. in this study, researchers also found that there was a perception of respondents who were married and assumed that if they were married, there was no need to do a breast self-examination because respondents on average had knowledge about the risk of developing small breast cancer if they were married and had breastfed. conclusion the result of this study revealed that there was a significant relationship between marital status and the implementation of the breast self examination. in this study it was also concluded that marital status is not a risk factor for the implementation of the breast self examination (or value 0.47 < 1) or it could be said that unmarried women only had 0.47 times the risk of not doing breast self examination compared to women who had married. suggestion it is needed to do further research on the respondents' perceptions, respondents' socio-cultural or community about breast cancer and early detection of breast cancer and respondents' insurance status. acknowledgement the researcher is grateful to the parties involved in the research and to the head of stikes nani hasanuddin makassar and the head of the midwifery diii study program of stikes nani hasanuddin makassar who have given permission to carry out this research. funding this study is purely independent research, no research funding from any party. conflicts of interest there are no conflicts of interest during this research. author contributions iydr and dd are both responsible for preparing the research and collecting data as well as writing the reports. as for iydr is also responsible for analyzing data, writing and overseeing the progress of publication manuscripts, while dd is responsible for revising the publication manuscripts. references agustina, i., & ulfa, m. (2014). effect of health education on breast cancer on knowledge and attitudes about breast selfexamination. journal of nurses and 112 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 108-112 midwifery , 1 (3), 225–229. https://doi.org/10.26699/jnk.v1i3.art.p225229. american cancer society. (2019). breast cancer facts & figures 2019-2020. in atlanta (1st ed.). american cancer society. blamey, rw; wilson, arm; patrick, j. (2000). abc of breast diseases: screening for breast cancer. british medical journal , 16 (321). bugis, a. (2007). relationship of breastfeeding risk factors with the event of breast cancer in patients that have been charged at rs.dr. kariadi semarang . diponegoro university. desanti, oi, sunarsih, i., & supriyati. (2010). women's perception at risk of breast cancer about breast self-examination in semarang city, central java. public medicine news , 26 (3), 152–161. dyanti, gar (2015). determinants of delay in breast cancer patients who live in the city of denpasar and badung regency in conducting initial examinations to health services . udayana university. dyanti, gusti ayu resa, & suariyani, nlp (2016). factors of delay in breast cancer patients in conducting initial examination to health services. journal of public health , 11 (2), 276. https://doi.org/10.15294/kemas.v11i2.3742. indonesian ministry of health. (2012). noncommunicable diseases (2012th ed.). data and information center. nurbaya. (2021). breastfeeding counseling (h. syarif (ed.); 1st ed.). syiah kuala university press. pradnyandari, iae, sanjiwani, ia, & astuti, iw (2022). factors associated with conscious behavior in women of childbearing age (wus) in sempidi village, mengwi, badung. coping: community of publishing in nursing , 10 (1), 80. https://doi.org/10.24843/coping.2022.v10.i0 1.p11. sari, rm (2015). the relationship of mother's knowledge with breast cancer early detection efforts through awareness in nglames village, madiun regency. journal of nurses and midwifery , 2 (3), 276–281. https://doi.org/10.26699/jnk.v2i3.art.p276281. siboro, yk, rasyid, z., alhidayati, & syukaisih. (2020). determinant of self-breast examination in women of childbearing age on simpang tiga region pekanbaru. journal of community health , 6 (1), 19–24. the global cancer observatory. (2021). cancer incident in indonesia. international agency for research on cancer , 1 (2). https://gco.iarc.fr/. world health organization. (2021). breast cancer . who. https://www.who.int/cancer/prevention/diag nosis-screening/breast-cancer/en/. e:\ibuk\ners desember 2021\9--j 321rahmawati, naimah, tarsikah, the effect of breastfeeding management training on the understanding of ... the effect of breastfeeding management training on the understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women lovy fiara zuninda rahmawati1, naimah2, tarsikah3 1,2,3midwifery department, state health polytechnic of malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 26/05/2021 accepted, 19/07/2021 published, 15/12/2021 keywords: breastfeeding management traini ng, un derst a ndi n g, e xl usive breastfeeding article information abstract exclusive breast milk is the main food for infants aged 0-6 months. malang city is one of the cities in east java which still has less than optimal coverage of exclusive breastfeeding than the set target. one of the factors that cause mothers not to give exclusive breastfeeding is because the working mother. the purpose of the study was to determine the effect of breastfeeding management training on understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women. the design of the study used a quasi-experimental using one group pre-test – post-test design. the sample was third trimester pregnant women who work and get health services in pandanwangi public health center malang which met the inclusion criteria of 35 people by total sampling technique. breastfeeding management training was conducted in three meetings. most of the pretest results (60%) were in the sufficient category, and almost all of the posttest results (97%) were good. the results of hypothesis testing with the wilcoxon signed rank test, the z value obtained -5.166 with a p value (asymp. sig 2 tailed) of 0.000 (<0.05), proving that there was an effect of breastfeeding management training on understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women at pandanwangi public health center, malang city. © 2021 journal of ners and midwifery 321 correspondence address: politeknik kesehatan kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: lovy.f98@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p321–327 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p321-327 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p321-327&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 322 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 321–327 introduction proper breastfeeding will reduce poverty and hunger. with the level of intelligence and optimal emotional development will affect the readiness of children to go to school. breast milk contains various nutrients that are easily digested and needed in the growth and development process for babies (wiji, 2013). exclusive breastfeeding can be useful as a source of nutrition, increase the baby’s immune system, increase the baby’s intelligence, and increase affection. as for the mother her self, breastfeeding can reduce bleeding after giving birth, accelerate the recovery of the uterus to its original shape, as a method to space pregnancies, reduce the possibility of suffering from cancer (elisabeth & purwoastuti, 2017) exclusive breastfeeding can reduce infant mortality due to infection by 88%. a total of 31.36% of 37.94% of children were sick because they did not get exclusive breastfeeding (ministry of health, 2017). according to (williams & wilkins, 2011) stated the long-term impact for babies who do not get exclusive breastfeeding will experience growth and development disorders such as children in stunting (short), wasting (thin), stunted brain development and cognitive impairment. breastfeeding has many benefits for both mother and baby, but currently there are still many mothers who have not given exclusive breastfeeding. the coverage of exclusive breastfeeding for infants 0-6 months nationally in indonesia is 35.73%, this is still far from the target set, which is 80%. meanwhile, for east java province, exclusive breastfeeding coverage is still lower than the national coverage, which only reaches 34.92% (kemenkes, 2017). based on the results of research conducted by (sulistyowati & siswantara, 2014) stated that of 34 respondents as many as 22 people did not give exclusive breastfeeding because the mother worked and 12 people gave exclusive breastfeeding. this is similar to research conducted by (holy et al., 2018), which said that mothers felt that breast milk was not sufficient for the baby’s needs, so babies were given supplements from an early age. their concern occurs because of a poor understanding of the adequacy of breast milk for babies. the low level of public understanding about exclusive breastfeeding should be a concern. the provision of understanding and techniques of breastfeeding management must be conveyed to the community. breast milk management or what is known as breast milk management is the management of breast milk taken by expressing it from the breast to be stored and later given to the baby (maryunani, 2017). this breastfeeding management technique can be used as a solution in overcoming the failure of exclusive breastfeeding, especially for working mothers, although in the process the mother will give breast milk indirectly to her baby (merdhika et al., 2014) based on research conducted by (merdhika et al., 2014) shows that there is an effect of counseling on exclusive breastfeeding on the knowledge of breastfeeding mothers. however, increasing understanding of exclusive breastfeeding is not always through counseling, but can also be done through training activities. training is a series of activities designed to increase understanding, expertise, change in an individual’s attitude (santoso, 2010). training can also be used for certain skills for today’s needs. thus, it can be concluded that breastfeeding management training is an effort to develop and improve the mother’s ability to understand the management of exclusive breastfeeding in order to increase mother’s awareness of the importance of breastfeeding her child with breast milk properly and correctly, especially for working mothers. malang city is one of the cities in east java which still has less than optimal coverage of exclusive breastfeeding than the set target. in 2018, the number of babies who were exclusively breastfed was 81.67% or 5421 births. this is something that needs to be considered by both the government and health actors because breastfeeding is still not optimal in the city of malang. according to who, there are several factors that cause mothers not to give exclusive breastfeeding, including; insufficient breast milk, fear of changes in breast shape, practicality of formula milk, weight loss with postnatal exercise and the highest is the high number of mothers who have to return to work after giving birth. the factor of mothers who work and look for work has a significant increase from year to year. based on labor force data sourced from the malang city bps in 2017, there were 411,042 working women and an increase in 2018 which was 454,849 people. it is estimated that there will be an increase of 40,000 female workers in 2019 (bps: 2018). therefore, more intensive training on the provision of expressed breast milk to mothers since pregnancy 323rahmawati, naimah, tarsikah, the effect of breastfeeding management training on the understanding of ... is one of the optimal choices for the success of exclusive breastfeeding, especially for working mothers. based on the data above, it can be seen that there is an increase in female workers in malang city, so it is suspected that the increase in female employment opportunities in malang city is inversely proportional to exclusive breastfeeding. the phenomenon of the lack of exclusive breastfeeding is caused by several factors, including inadequate knowledge of mother s a bout exclusive breastfeeding, the circula tion of myths tha t breastfeeding is not good for example breastfeeding will reduce the beauty of the breast, as well as busy working mothers and short maternity leave (roesli, 2004). given the benefits of breastfeeding, namely the baby gets the best nutrients and enzymes needed, the baby gets immune substances as well as protection and warmth through skin contact with his mother, increasing the mother’s sensitivity to the needs of her baby, reducing bleeding. working mothers do not necessarily become an obstacle to give breast milk every day. one effort that can be done is to express breast milk and then store the expressed milk properly so that the benefits are not reduced. methods the study was a quasi experiment using one group pretest posttest design. there was only one experimental group which was given a pretest and posttest and no control group. the respondents were given a pretest before being given training and after being given training, they were given a post test to measure the understanding of milk management. the pretest and posttest were conducted by using a questionnaire. the population in this study was 35 people with a sample size of 35 people. the sampling technique used total sampling. the inclusion criteria were the willingness to be research subjects and pregnant women who attend training for 2 meetings. the exclusion criteria were respondents who did not attend the training twice. the data collection was carried out on february 8 february 29, 2020. the instrument used a questionnaire. the questionnaire was used for understanding breastfeeding was compiled by the researcher and tested the validity of the product moment correlation formula from pearson and reliability in the test instrument with the help of computer software, and analyzed the data with the cronbach alpha reliability value. the location of this study was carried out in puskemas pandanwangi which is on jalan laksda adi sucipto no 315 pandanwangi blimbing district, malang city. result the study results are grouped into two general data and specific data. general data presents the characteristics of respondents including: age, level of education, type of work and gravida. while the specific data presented are the results of the pretest and post-test on the understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women. aspect keterangan f (%) age <20 year 3 9 21-30 year 20 57 31-40 year 12 34 educated primary school 3 9 junior high 6 17 high school 16 46 college 10 29 profession employees 18 51 pns 9 26 wiraswasta 2 6 dll (laborer, maid) 6 17 gravida gravida 1 13 37 gravida 2 14 40 gravida > 2 8 23 table 1 characteristics of respondents on breastfeeding management training at pandanwangi health center, malang city, 2020 based on the table above, it is found that most of the respondents are pregnant women who have an age range of 21-30 years, amounting to 57% and almost half of the education level is high school graduates (46%). the type of work of the respondents is mostly private employees (51%) and almost half of the respondents (40%) are the second pregnancy. after knowing the general data, then special data is presented which includes the results of the pre-test and post-test on the understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women and the analysis of the effect of training on the management of expressed breastfeeding on the 324 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 321–327 from the results of the posttest, the level of understanding of pregnant women after the training in the management of breastmilk was obtained that almost all their understanding was good (97%). based on table 4 it can be seen that prior to the implementation of milk milk management training, the level of understanding of most mothers was in the moderate category (60%) and after being given training there was a significant increase in understanding in the good understanding category, understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women at pandanwangi public health center malang. level of understanding frequency (%) good 10 29 enough 21 60 less 4 11 total 35 100 table 2 le ve l of unde r standing of exc l usi ve breastfeeding before breastfeeding management training from the results of the pre-test, the level of understanding of pregnant women prior to the training in management of dairy milk who was the study respondent, most of them had sufficient understanding (60%). level of understanding frequency (%) good 34 97 enough 1 3 total 35 100 table 3 le ve l of unde r standing of exc l usi ve breastfeeding after breastfeeding management training category total good enough less f % f % f % f % before 10 29 21 60 4 11 35 100 after 34 97 1 3 0 0 35 100 table 4 cross table of the effect of expressed breastfeeding training on the level of understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women at the pre-test and posttest stages namely 34 in the good category respondents or 97% of the total study sample. analysis of the effect of milk milk management training on the study will be tested for normality as a parametric test requirement on the results of the pre test and post test. the results of the normality test using the shapiro-wilk test method obtained p = 0.964 with a significance of 0.309 where p> 0.05. these results indicate that the data is normal and can be continued with a parametric test, namely the wilcoxone test. based on the results of the calculation of the wilcoxon signed rank test, the z value obtained is -5,166 with a p value (asymp. sig 2 tailed) of 0,000 which is less than the critical limit of 0.05. then a decision can be taken to reject h0. this proves that there is an effect of breastfeeding management tr a ining on the under sta nding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women at pandanwangi health center, malang city. discussion the mother’s level of understanding was mostly in the sufficient category (60%) at the beginning of the study and after being given training there was an increase in understanding in the understanding category, namely in the understanding of the good category as many as 34 respondents or 97% of the totalsample. this shows the importance of providing training in increasing understanding, especially the understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women. based on the calculation of the wilcoxon signed rank test, the z value obtained is -5,166 with a p value (asymp. sig 2 325rahmawati, naimah, tarsikah, the effect of breastfeeding management training on the understanding of ... tailed) of 0.000 so it can be concluded that there is an effect of breastfeeding management training on understanding of exclusive breastfeeding in third trimester pregnant women in pandanwangi public health center malang city. this expression breasfeeding management training can efficiently improve mothers’ understanding of exclusive stfeeding. it can be seen from all the mother’s answers to the questionnaire that has been given by the researcher. almost all aspects of both the technique of expressing, the technique of storing, the technique of breastfeeding and the benefits of breastfeeding have the correct answer. this shows that training is effective in increasing mothers’ understanding of exclusive breastfeeding. the training carried out can provide knowledge and understanding to mothers about the importance of exclusive breastfeeding to increase immunity and intelligence. this is in accordance with the results of the service activities of wijayanti, et al (2017) which stated that it was important to incr ea se knowledge a nd under sta nding of breastfeeding for breastfeeding mothers because breast milk is the best food that contains nutrients, enzymes, hormones as well as immunological and anti-infective substances. pregnant women who have received training are expected to be able to provide exclusive breastfeeding to their babies. the period of exclusive breastfeeding is the most sensitive period in a mother’s life, both physically and emotionally. thus, positive support is needed from all parties so that working mothers can feel comfortable and confident for exclusive breastfeeding. mothers who work can express breast milk and store breast milk well and can provide breast milk to babies. pregnant women who work are expected to be able to practice in accordance with the management training of expressing breast milk (expressing, storing and serving it) so that the baby continues to receive exclusive breastfeeding. breastfeeding management training that has been provided by the researchers can increase the understanding of pregnant women about exclusive breastfeeding. the benefits of the breastfeeding management training can increase knowledge and open up participants’ insight about exclusive breastfeeding so that it can be maintained and increase the health status of the community (mother and baby). in addition, it also motivates maternal and infant health care workers, all groups who care a bout infa nt hea lth a nd the impor ta nce of breastfeeding, as well as relevant policy makers to design future actions so that the success rate of exclusive breastfeeding increases both regionally and nationally and improves the quality of life of indonesian people since his early life. breastfeeding management training also increases participants’ understanding of breastfeeding management and also improves participants’ abilities in breastfeeding counseling and communication skills, especially communication in providing community services. this shows that the better the training on expressing breastfeeding followed by the third trimester pregnant women who work, the more skilled and qualified the pregnant women will be in understanding exclusive breastfeeding. this study is in line with the research of (fatwa & darti, 2019) that training through the process of providing knowledge and changing behavior can increase pregnant women’s understanding of exclusive breastfeeding. based on the journal conducted by (santosa et al., 2019) also stated the importance of breastfeeding training because it significantly increases the knowledge of training participants about breastfeeding, proper and correct breastfeeding procedures, and how to manage breastfeeding when mothers have to work. training can motivate mothers to give exclusive breastfeeding and be improved by providing health promotion or counseling widely in the community through various media such as television, radio, magazines, tabloids, newspapers and books on breastfeeding. this is in line with research conducted by (tiruye et al., 2018), that mothers who received training on breastfeeding were better at understanding exclusive breastfeeding than those who did not attend training. giving lectures by expert resource persons and combined with giving demonstrations that can be directly practiced make mothers as training participants able to receive the information conveyed so that mothers understand the importance of exclusive breastfeeding. the process of explaining the knowledge or information that has been given during the training to pregnant women is expected to be translated, interpreted and concluded in the practice of exclusive breastfeeding. the demonstration method is a development strategy by providing a learning experience through the act of seeing and listening followed by imitating the work being demonstrated. this method is also a method used to show a process or the workings of an object related to learning materials (lisa & putri, 2019). 326 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 321–327 lecture and demonstration methods and exercises, this method is a combination of describing teaching materials with demonstration activities and direct training (practice). there are many benefits from the combination of lectures and demonstrations, among others, the teacher is easy to master the class and easy to organize the class, besides that it is easy to prepare and carry out and is more economical in terms of time. in addition, it provides opportunities for teachers to use their experience, knowledge and wisdom. the combination of training methods with lectures and demonstrations can help trainees to listen accurately, critically, and attentively and can stimulate and increase understanding about exclusive breastfeeding. the coach or instructor can emphasize the things that are important so that time and energy can be used as well as possible. mothers as trainees can be more focused on the material so that understanding of the material will increase. the results of slavin’s research (1994) cited in (subrata, 2016), by showing something new in demonstration activities to students will be able to attract the attention of students to pay attention to the lesson and this attention has an important role in the stimulus captured by sensory motor. it is hoped that by having an interest in this activity, it can arouse the motivation and curiosity of mothers about exclusive breastfeeding. mother’s interest in the material provided encourages mothers to be physically and mentally ready to give exclusive breastfeeding to their babies. this is the main focus that the training provided by the right people will give the right results. so that the breastfeeding management training that has been given is very effective in increasing understanding about exclusive breastfeeding for third tr imester pr egna nt women who wor k a t pandanwangi public health center malang city. conclusion the conclusion of this study is that the understanding of pregnant women in the third trimester who work before being given milk milk management training is mostly in the moderate understanding category of 60% of the total mothers studied. the understanding of third trimester pregnant women who work after being given training in the management of breastmilk has a good level of understanding at 97%. breastmilk management training has an effect on increasing understanding of third trimester pregnant women regarding exclusive breastfeeding. increased understanding of breastfeeding management including the benefits of breastfeeding, expressing breastmilk, storing breast milk and giving breastmilk that has been frozen. suggestion suggestions for health workers, namely milking breastfeeding training can be continued by involving certified instructors and collaborating with local village midwives. pandanwangi public health center malang can periodically provide promotions, counseling, and training on breastfeeding in order to increase understanding of exclusive breastfeeding for mothers. reinforcement of breastmilk support group activities can be carried out at integrated health post activities by following the integrated health post flow. suggestions for further researchers the results of this study can be used as comparison and reference material for research, as well as consideration for further deepening further research by focusing on training on breastfeeding management training and understanding of exclusive breastfeeding. as well as linking these variables with different variables and research objects. refferences elisabeth, s., & purwoastuti, e. (2017). asuhan kebidanan persalinan dan bayi baru lahir. in 2017. pustaka baru press. fatwa, i., & darti, n. a. (2019). pemberdayaan wanita: pelatihan dan manjemen laktasi pada ibu bekerja di institusi pendidikan di medan. jurnal riset hesti medan, 4. holy, n., krupp, k., gowda, s., srinivas, v., arun, a., & madhivanan, p. (2018). determinants of exclusive breastfeeding in rural south india. international breastfeeding journal. kemenkes. (2017). menyusui dapat menurunkan angka kematian bayi. kemenkes. lisa, u. f., & putri, m. (2019). pengaruh demonstrasi terhadap keterampilan perawatan payudara pada ibu hamil trimester ketiga di wilayah kerja puskesmas jeulingke kecamatan syiah kuala banda aceh. jurnal penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan. maryunani, a. (2017). asuhan ibu nifas dan asuhan ibu menyusui. in media. merdhika, w. a. r., mardji, & devi, m. (2014). pengaruh penyuluhan asi eksklusif terhadap pengetahuan ibu tentang asi eksklusif dan sikap ibu menyusui 327rahmawati, naimah, tarsikah, the effect of breastfeeding management training on the understanding of ... di kecamatan kanigoro blitar. teknologi dan kejuruan, 37. santosa, q., m, f., m, f., & munafiah. (2019). pelatihan manajemen laktasi untuk ibu hamil dan ibu menyusui: upaya optimalisasi tumbuh kembang anak. jurnal pengabdian pada masyarakat, 4. santoso, b. (2010). skema dan mekanisme pelatihan: panduan penyelenggaraan pelatihan. yayasan terumbu karang indonesia. subrata. (2016). penerapan metode demonstrasi pada materi asam basa garam untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik. jurnal scientia indonesia, 1. sulistyowati, t., & siswantara, p. (2014). perilaku ibu bekerja dalam memberikan asi eksklusif di kelurahan japanan wilayah kerja puskesmas kemlagi mojokerto. jurnal promosi kesehatan universitas airlangga, 2(1). tiruye, g., mestin, f., geda, b., & shiferaw, k. (2018). breastfeeding technique and associated factor among breastfeeding mother in harar city eastern ethiopia. international breastfeeding journal, 13. wiji, r. . (2013). asi dan pedoman ibu menyusui. nuha medika. williams, l., & wilkins. (2011). nursing/ : memahami berbagai macam penyakit. pt. indeks. 205 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of early detection results using self detection application for diabetes (sedab) with haemoglobin a1c (hba1c) levels agus priyanto1, eko dian hadi suprayitno2, andika santo suhirman3 1,2,3nursing department, stikes ganesha husada kediri, indonesia article information abstract the increasing cases of diabetes mellitus significantly from year to year increase the burden on society and the government, because it requires time, cost and technology in handling. this disease can be controlled if the symptoms are detected early. the purpose of this research was to determine the correlation between the results of early detection using self-detection application for diabetes (sedab) with hemoglobin a1c (hba1c) levels. the research was carried out on june 2022. the research was a correlative research with a cross sectional approach. the population was the people of the mojoroto kediri village. the samples were taken with consideration of a minimum sample of 30 respondents with simple random sampling technique. the instrument used to assess the level of symptoms of diabetes mellitus was the sedab application. diabetes mellitus category was assessed through the observation sheet of laboratory examination results hemoglobin a1c (hba1c. the data analysis used the spearman rank test. the test results with the spearman rank test showed a p-value of = 0.000. this meant that there was a correlation between the level of diabetes mellitus symptoms results detection with self detection application for diabetic (sedab) with diabetes mellitus level based on hba1c examination results. it is important for health workers to expand the scope of early detection of diabetes mellitus by promoting independent early detection using an effective and efficient diabetes mellitus early detection instrument, namely the sedab application which easy to access and use. history article: received, 18/07/2022 accepted, 15/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: application, early detection, diabetes miletus, hba1c levels © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes ganesha husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : aguspriyanto@stikesganeshahusada.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p205-210 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:aguspriyanto@stikesganeshahusada.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p205-210 206 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 205-210 introduction globalization and technological advances offer effectiveness and efficiency in various aspects of life. this has an impact on a sedentary life style, overeating and unhealthy (lack of vegetables and fruit, high in sugar, salt and fat and fast food) (sulistyowati, 2017). excessive food intake increases the risk of non-communicable diseases (ptm) including diabetes mellitus. eighty percent of ptm is caused by unhealthy behavior, including: 33.5% of the population lacks physical activity, 95.5% of the population aged over 10 years does not consume fruits and vegetables, 33.8% (riskesdas, 2018). this unhealthy behavior will cause symptoms that can be predicted as symptoms of diabetes mellitus diabetes mellitus is a global health problem. the rate of diabetes mellitus tends to increase in lowand middle-income countries. indonesia is ranked 7th in the world with 10.7 million sufferers and ranked 3rd in southeast asia with a prevalence of 11.3% in 2015 (kemenkes ri, 2020). the prevalence of dm at age 15 years increased from 6.9% to 10.9%. diabetes mellitus is the 3rd highest cause of death in indonesia after hypertension and stroke (riskesdas, 2018). the increase in cases of non-communicable diseases is a big challenge in health development and will significantly increase the burden on the community and the government, because handling it requires time, high costs and high technology. the high cost of care is a burden for individuals and the state related to the economy and the health care system, one of which is the financing of the national health insurance (jkn) (soewondo, ferrario and levenus tahapary, 2013; agustina et al., 2019). the high number of people with diabetes mellitus is caused by the fact that patients are not aware of the early symptoms that appear, including frequent urination (polyuria), frequent thirst (polydipsia) and a lot of eating / easy hunger (polyphagia). in addition, symptoms of blurred vision often appear, tingling in the hands or feet, itching that is often very annoying (pruritus), and weight loss for no apparent reason. for further detection, laboratory tests are needed for blood sugar levels, fasting blood sugar levels and plasma glucose content after 2 hours (directorate of pharmacy bina, 2005 in (sofiana, 2016). examination of hba1c levels is more accurate because it describes the bond of glucose with blood during last 3 months early detection is necessary to prevent chronic complications and can provide prompt and appropriate treatment (kudarti and caturiningsih, 2017). the low knowledge of the community related to attitudes and behavior towards early detection of diabetes. the public's healthy perception of health can inhibit the behavior to check health regularly to health services. early detection of non-communicable diseases (ptm), one of which is dm is one of the health programs of the puskesmas, one of which is posbindu ptm, but the achievements are not optimal. several risk factors that cause dm already exist in the community, without realizing that he has entered the category of pre-diabetes mellitus or has been exposed to diabetes mellitus. the demand for the use of smartphone and internet technology in society continues to increase. with government policies related to preventing the transmission of covid 19, the use of technology in the health sector makes health care workers more effective and efficient. the sedab application is very relevant to use, easy and can detect diabetes, so that health workers can follow up based on the results of detection carried out independently by the community. the purpose of this research was to determine the correlation between the results of early detection using self-detection application for diabetes (sedab) with hemoglobin a1c (hba1c) levels. the existence of a correlation indicates that the application of sedab is effective in predicting the signs and symptoms of diabetes. benefits for the community, the existence of this sedab application can be used as a reference to carry out further examinations to health services. methods this research was correlative research with a cross sectional approach. the population in this research was the people of mojoroto village, kediri city. the sample was taken by simple random sampling technique with the total sample of 30 people. the research was conducted onn june 2022. the instrument used to assess the level of symptoms of diabetes mellitus is the sedab (self detection application of diabetes mellitus) application, an application that can be used for the independent detection of diabetes symptoms by individuals. diabetes mellitus category was priyanto, suprayitno, suhirman, the correlation of early detection results using self detection … 207 assessed through the observation sheet of laboratory examination results for hemoglobin a1c (hba1c) levels. the analysis of the data used the spearman rank test. this test was to determine the correlation between the score of the assessment of the level of symptoms of diabetes mellitus using the sedab application and the level of diabetes mellitus as a result of the observation of hemoglobin a1c (hba1c) levels. the correlation was shown by the higher the score from the sedab application, the higher the hba1c value or vice versa. this research protocol has passed ethics with number:06/phb/kepk/74/06.22 the ethics committee of stikes patria husada blitar. result characteristics of respondents include age, gender, occupation, income, education, family history of diabetes mellitus, people living in the same household as the respondent, sports activities and information about dm. characteristics of research respondents table 1: characteristics of research respondents characteristics frequency % age 25-34 th 35-49 th 50-64 th >65 th 1 10 13 6 3,3 33,3 43,3 20 gender man woman 21 9 70 30 work government employees self-employed farmer retired housewife etc 1 8 4 3 8 6 3,3 26,7 13,3 10 26,7 20 income <1 million 1-2 million 2-4 million >=4 million 5 12 7 6 16,7 40 23,3 20 level of education primary school junior high school senior high school diploma bachelor 7 5 11 1 6 23,3 16,7 36,7 3,3 20 dm family history no family history there is a family history 20 10 66,7 33,3 people living together husband/wife and children husband/wife, children, parents husband and wife child parents/brothers own 10 6 3 2 4 5 33,3 20 10 6,7 13,3 16,7 208 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 205-210 sports (within 1 day) not exercising 15-30 minutes 30-60 minutes >60 minutes 10 8 11 1 33,3 26,7 36,7 3,3 dm information yes not 15 15 50 50 data on the characteristics of respondents aged 50-64 years are 13 people (43.3%), the sex is mostly male, namely 21 people (70%), self-employed and household workers each are 8 people (26.7%), the most income is 1-2 million, namely 12 people (40%), the most education is high school, namely 11 people (36.7%), a family history of dm as many as 20 people (66.7%) do not have a family with dm, people who live in the same house partially with husband/wife and children, namely 10 people (33.3%), sports as many as 11 people (36.7) in a day exercising 30-60 minutes, information about dm each 50% has received information. results of early detection using self detection application for diabetes (sedab) table 2: results of early detection using sedab early detection results frequency % mild symptoms 13 43,3 moderate symptoms 16 53,3 severe symptoms 1 3,3 the results of early detection using the sedab application showed that the majority with moderate symptoms experienced were 16 people (53.3%). hemoglobin a1c (hba1c) levels table 3: levels of hemoglobin a1c (hba1c) hba1c level frequency % normal 16 53,3 pre-diabetes 5 16,7 diabetes 9 30 the highest hba1c levels were in the normal category, namely 16 people (53.3%). spearman rank statistic test results table 4: spearman rank statistic test hba1c total normal <5,7% prediabetes 5,7-6,4% diabetes≥ 6,5% se dab 19-27 severe symptoms 8 0 1 9 10-18 moderate symptoms 0 1 4 5 1-9 mild symptoms 0 0 16 16 amount 8 1 21 30 spearman rank sig. (2-tailed) = 0,000 correlation coefficient =0,825** the results of the statistical test with spearman rank show that there is a correlation between the results of early detection and sedab with the hba1c value with p-value = 0.000 and the correlation coefficient = 0.825** which means the correlation is very strong. discussion statistical test results with spearman rank showed p-value = 0.000 and correlation coefficient = 0.825**. these results indicate a very strong correlation between the results of early detection and sedab with hba1c values. this means that the more symptoms felt by the respondent detected through the sedab application, the higher the patient's hba1c value. in this research, the diagnosis of diabetes was confirmed by conducting an hba1c examination because the results of the hba1c examination showed an average blood sugar level for 3 months. the use of hba1c as a reference for diagnosing priyanto, suprayitno, suhirman, the correlation of early detection results using self detection … 209 diabetes mellitus is considered more accurate when compared to regular blood sugar tests. blood laboratory examination for diagnosis of diabetes and prediabetes with hba1c examination is diabetes if the value: 6.5%, prediabetes 5.7-6.4%, normal < 5.7%. in general, the hba1c test and the blood sugar test have the same function and purpose. both are intended for diabetics and people at risk of developing diabetes. both tests can assess blood sugar levels. the results of the examination are in line, if the hba1c level is high, the blood sugar level will be high. however, there is a slight difference between these two tests. hba1c examination is not affected by changes in blood sugar levels that only occur temporarily, such as after eating sweet foods (bella, 2022). another similar study based on android. an early detection system for diabetes mellitus designed using an android-based forward chaining expert system method also shows that the method is suitable for detecting dm (simanjuntak, irawan and prasasti, 2019). the sedab application can have a positive and beneficial impact on the community because it does not have to incur expensive costs and spend a lot of time detecting dm based on perceived complaints. another study that is not in line is that there is no significant correlation between the results of measurements using kgda examination and dm personal screening (p value – 0.277). the measurement results show the correlation between random blood sugar levels and the results of personal screening dm measurement is p value = 0.277 (gyatri, wardani and katmawanti, 2019). so that the results of this research are more accurate than the research. this detection is a temporary detection that can be used to increase alertness and immediately contact a doctor to obtain a definite diagnosis and medication/therapy early on (inayati and qoriani, 2016). pre-diabetes is a condition in which a person's blood sugar levels are between normal and diabetic levels, higher than normal but not high enough to be classified as type 2 diabetes. pre-diabetes is a risk factor for diabetes, heart attack and stroke. if not controlled properly, pre-diabetes can progress to type 2 diabetes within 5-10 years. however, good diet and exercise settings can prevent or delay the onset of diabetes (inayati and qoriani, 2016). conclusion the results of early detection using the “sedab” application showed that most of the respondents had moderate symptoms of diabetes mellitus as many as 16 respondents or 53.33%. based on the examination of hemoglobin a1c (hba1-c) levels, it showed that most respondents had normal examination results, such as 16 respondents or 53.33% showing symptoms of diabetes mellitus as many as 9 people or 30% and pre-diabetes mellitus as many as 5 respondents or 16 ,66%. the results of the spearman rank test showed that there was a correlation between the level of diabetes mellitus symptoms detected by self detection application for diabetic (sedab) and the level of diabetes mellitus based on the results of the hba1c examination with a p-value of = 0.000. suggestion for patients and families increase self-awareness of the importance of early detection of non-communicable diseases, especially diabetes mellitus by using early detection independently and reporting the results of detection to health workers so that intervention can be carried out as early as possible as a step to return to normal conditions or prevent complications. benefits for the community, the existence of this sedab application can be used as a reference to carry out further examinations to health services. the author hopes that in the future this application can be used as best as possible by health workers as an effective and efficient early detection of diabetes mellitus. for further researchers, they can develop research on diabetes mellitus in the direction of detecting the risk of complications of diabetes mellitus. for health workers the results of this research are expected to be utilized by health workers in increasing the effectiveness and efficiency of early detection programs for non-communicable diseases, especially diabetes mellitus. acknowledgement this research was carried out thanks to the support of the ministry of education and culture and lldikti region 7 east java with a contract number: 095/sp2h/pt/ll7/2022 210 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 205-210 funding this research received funding support from the ministry of education and culture, lldikti region 7 east java and stikes ganesha husada kediri. conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. refference agustina, r. et al. (2019) ‘universal health coverage in indonesia: concept, progress, and challenges’, the lancet, 393(10166), pp. 75–102. doi: 10.1016/s01406736(18)31647-7. bella, a. (2022) pemeriksaan hba1c untuk mendeteksi dan mengontrol diabetes, alodokter.com. gayatri, r. w., wardani, h. e. and katmawanti, s. (2019) ‘hubungan hasil deteksi dini diabetes mellitus menggunakan aplikasi android “dm personal screening” dengan kadar gula darah acak pengunjung puskesmas janti kota malang’, preventia : the indonesian journal of public health, 4(2), p. 116. doi: 10.17977/um044v4i2p116-123. inayati, i. and qoriani, h. f. (2016) ‘sistem pakar deteksi penyakit diabetes melitus(dm) dini berbasis android’, jurnal link, 25(2), pp. 10–15. kemenkes ri (2020) ‘infodatin’. jakarta selatan: kemenkes ri, pp. 1–6. kudarti, w. and caturiningsih (2017) ‘deteksi dini diabetes mellitus pada ibu-ibu pkk sebagai upaya pencegahan kehamilan risiko tinggi’, jurnal abdimas, 21(1), pp. 41–45. riskesdas, k. (2018) hasil utama riset kesehata dasar (riskesdas). doi: 10.1088/17518113/44/8/085201. simanjuntak, l. p., irawan, b. and prasasti, a. l. (2019) ‘deteksi dini penyakit diabetes mellitus menggunakan metode sistem pakar forward chaining berbasis android’, e-proceeding of engeneering, 6(2), pp. 5764–5771. soewondo, p., ferrario, a. and levenus tahapary, d. (2013) ‘challenges in diabetes management in indonesia: a literature review’, globalization and health, 9(63), pp. 1–17. available at: http://www.globalizationandhealth.com/co ntent/9/1/63 (accessed: 8 september 2021). sofiana, r. (2016) sistem deteksi dini diabetes mellitus menggunakan jaringan saraf tiruan backpropagation dengan optimasi adaptive learning rate dan momentum. universitas diponegoro. sulistyowati, l. (2017) ‘kebijakan pengendalian dm di indonesia’, simposium wdd, pp. 121–130. e:\ibuk\ners desember 2021\12- 343harini, juwitasari, level of online learning motivation in ners professional students in ... level of online learning motivation in ners professional students in online learning at university muhammadiyah malang ririn harini1, juwitasari2 1,2nursing department, faculty of health, science university of muhammadiyah malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 21/09/2021 accepted, 20/11/2021 published, 15/12/2021 keywords: covid-19, motivation, nursing professional level, online learning article information abstract background: since the covid-19 pandemic occurred at the end of 2019, the education process which is usually carried out face-to-face must be done through online learning. due to this pandemic condition, it is still difficult for nurse profession level students to adapt. this study was determined the level of learning motivation during online learning at the university of muhammadiyah malang. method: this descriptive analytical study was analyzed by a ibm spss 26 version for windows. the number of respondents as many as 78 students of ners 22 class and ners 23 class was recruited by total sampling from october 2020 january 18, 2021. the level of motivation data was identified by the watsin questionnaire using whatsapp, zoom and google meet online platforms. results: the 19 respondents or about 25% of participants was less than and equal to 19 years old, 22 peoples or about 28% of student nurses aged 20 years, 19 peoples or about 24% of nursing students aged 21 years, and the remaining 18 peoples or about 23% of student aged 22 years and over. the descriptive analysis showed that the average level of motivation of nurse students during online learning was 63,14. conclusion: the level of motivation of nursing students during online learning in hospitals during the covid-19 pandemic was categorized in sufficient level. the further strengthens was the needs of variety online learning model towards nursing professional level during pandemic of covid 19. © 2021 journal of ners and midwifery 343 correspondence address: university of muhammadiyah malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ririn_harini@umm.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p343–347 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p343-347 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p343-347&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 344 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 343–347 introduction since the covid-19 pandemic occurred at the end of 2019, and more than 200 countries around the world have been infected with the spread of the virus. even the death toll has reached more than 2.5 million people. indonesia is one of the most exposed countries covid-19 where the number of victims continues to increase with the spread and transmission of increasingly rapid and widespread, since the who declared covid-19 a global pandemic and the indonesian government designated covid-19 as a non-natural national disaster. in connection with the covid-19 outbreak at the beginning year issued an appeal to carry out learning activities from home (harapan et al., 2020). this is done in order to break the chain of virus spread and maintain the security and safety of students and educators. with this appeal, the process learning is also done from home by utilizing technology and internet media. learning is also done from home by utilizing technology and internet media. several higher education institutions that previously conducted face-to-face learning on their respective campuses, now have to adapt the learning model e-learning or which normal called online learning. learning centered on students who are being carried at this time do not limit student learning to space and time so that nursing students will not have difficulty in carrying out creativity and innovation in developing knowledge and skills of nursing (rahman et al., 2020). the existing learning system should facilitate students and lecturers in the teaching and learning process (taat & francis, 2020). this is also proven by technological developments in jakarta is like providing a wifi area for the public that can be used to find the widest possible information. higher education during the learning from home policy period needs to strengthen learning effectively online, because this learning will be a demand for the world of education in the future pandemic period. university of muhammadiyah malang is one of the universities under the ministry and culture, responding to the application of learning and working from home by issuing several policies set by the rector. the application of learning from home certainly affects the condition of students and lecturers who teach at the university of muhammadiyah malang, including lecturers and students of the nurse profession in university muhammadiyah malang. even though the era of the industrial revolution 4.0 is learning online able to provide attractive and effective services, but in its implementation it has its own challenges. as a nurse candidate, you are not only required to be an expert in treating patients in hospitals, communities and in various health facilities, but you are also required to be able to use a learning system online when providing health education to patients. a number of reitence of course will found in the learning process online, so that students generally have to find their own solutions to the obstacles they face. various obstacles found during the learning process online could take effect to condition psychic students, so that solutions are needed to overcome these obstacles, for example the ability to manage stress they face. this condition is an interesting thing to study considering the learning system online this was the first time that all students had done it simultaneously (jamaluddin et al., 2020). there is the potential for obstacles in the learning process online then various parties must be able to find a solution, so that the projection of learning with the system online in the future can inventoried by university of muhammadiyah malang. because, that study about application learning with online necessary. so it is hoped that the response obtained can describe the process of implementing learning online in the midst of the current covid-19 pandemic and used as basic information for parties related in determine learning policy online, especially at the nur sing pr ofession student, univer sity of muhammadiyah malang. materials and method the research used is descriptive quantitative method with survey technique. the population in this study nursing professional students at the university of muhammadiyah malang, totaling 78 respondents from march 2021 – august 2021. the sampling technique used is accidental purposive sampling. the variable in this study is the learning motivation of nursing professional students at the university of muhammadiyah malang in participating in online learning. in this study, the analyzed are the level of motivation to learn online in nursing profession students which uses a motivation questionnaire with characteristics: age, education level. the results of this 345harini, juwitasari, level of online learning motivation in ners professional students in ... based on table 1, it is explained that of the 78 respondents who were involved in the study, 19 people or around 25% of nursing students were aged less than and equal to 19 years. a total of 22 people or about 28% of student nurses aged 20 years. a total of 19 people or about 24% of nursing students are 21 years old. while the restas many as 18 people or about 23% of student nurses aged 22 years and over. 2. study result based on the results, the level of motivation of nurses students in participating in online learning can be explained by the frequency table following: univariate analysis are presented in tabular form along with the percentage, frequency and mean tested using ibm spss 26 version for windows 2019. result 1. sociodemogr a phic cha r a cter istics of respondent no nurse age frequency n % 1  19 years 19 25 2 20 years 22 28 3 21 years 19 24 4 > 22 years 18 23 total 78 100 table 1 frequency distribution of nurses student’s age no motivation n % 1 low 26 33 2 sufficient 47 60 3 good 5 7 total 78 100 table 2 frequency distribution of nurses motivation it can be explained that there are 26 people or about 33% of student nurses who have low level of motivation regarding online learning while working in the hospital profession. most of the nurses, which is about 47 people or about 60% have a sufficient level of motivation. and the rest are only 5 people or about 7% of the nurses who have a good level of motivation about online learning and its benefits in following the profession in hospitals. this indicates that, although information about online learning for nurses is easily obtained from various sources such as social media, this convenience is not followed by the level of motivation of nurses. this is evidenced by the percentage of nurses who have a good level of motivation regarding online learning during the profession, which is only about 7% and the number of nurses who have sufficient knowledge is 60%. so, it can be concluded that the level of motivation of the nurses is still in the sufficient category. from table 3 above, it is found that the average level of motivation of nurses students in participating in online learning is of 63.14, which indicates that the average level of motivation of nurses is at sufficient level. this strengthens explanation variable mean minimum maximum confidence interval motivation level 63,14 45 85 60,81 – 65,47 table 3 description of the motivation level of nurses student during online learning of picture a. descriptively, the level of motivation of nurse students in participating in online learning in hospitals during the covid 19 pandemic is at a sufficient level. discussion based on the results of data processing using descriptive analysis and supported by computer applications ibm spss 26 version for windows. frequency 346 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 343–347 at this stage the researcher will discuss the results of research that has been carried out by researchers regarding identification of online learning motivation levels for nurse profession students, university of muhammadiyah malang in the sufficient category. this is greatly influenced by the pandemic conditions which require nursing students to follow changes in learning methods from offline to online. learning students who are being carried at this time do not limit student learning to space and time so that nursing students will not have difficulty in carrying out creativity and innovation in developing knowledge and skills of nursing (jackson et al., 2020). the existing learning system should facilitate students and lecturers in the teaching and learning process (suryaman et al., 2020). the application of learning from home certainly affects the condition of students and lecturers who teach at the university of muhammadiyah malang, including lecturers and nursing professional student in the university muhammadiyah malang. even though in the era of industrial revolution 4.0 is learning online able to provide attractive and effective services, but in its implementation it has its own challenges. as a nurse candidate, you are not only required to be an expert in treating patients in hospitals, communities and in various health facilities, but you are also required to be able to use a learning system online when providing health education to patients (al-yateem et al., 2021). actually, students who study while working are very helpful because they don’t need to come to campus to study, they just need to go through the internet. learn through online can be done anytime and anywhere. in addition, it can also overcome limitations costs because online learning is more cost-effective (mumtaz et al., 2021). however, in reality there are many obstacles faced by students, among others, literacy against technology that is still lacking, unable to learn independently and less able to cooperate with friends, a less supportive living environment, negative peer influence and low learning motivation (nartiningrum & nugroho, 2020). learning motivation is a condition that exists in an individual where there is an urge to do something in order to achieve a goal. motivation is a change in energy in a person’s personality which is characterized by the emergence of affective (feelings) and reactions to achieve goals (gaol & sitepu, 2020). this the emergence of motivation is marked by a change in energy in a person that can be realized or not (gelles et al., 2020). a motive is a set that can make individuals perform activities certain goals. thus, motivation is an impulse that can lead to certain behaviors that are directed to the achievement of a certain goal. behavior or actions that showed somebody in effort achieving certain goals is very dependent on motive which he owns. strength or weakness or the spirit of the efforts made by someone to achieve the goal will be determined by the strength and weakness motive that person has. conclusion the level of motivation of nurse students in participating in online learning in hospitals during the covid-19 pandemic is at level enough. whereas appearance motivation for student nurses be marked with changes in the energy in them that can be realized or not, as well as the strength or weakness of the efforts made by someone to achieve the goal will be determined by the strength or weakness motive that person has. in grow motivation learning the role of lecturers is very important so that it can create an atmosphere fun learning for nursing students who are practicing professions in hospitals so as to motivate students to be more active and enthusiastic about learning. suggestion there are a number of suggestions that can be implemented further. first, further research is carried out to adding other variables, what factors can affect learning motivation in nursing professional students in subsequent online learning. second, further research for identify learning effectiveness online in time pandemic on nursing profession students in hospitals with more varied methods. references al-yateem, n., ahmad, a. m., mccreaddie, m., & al hussini, l. b. e. (2021). synthesizing core nursing skills to support behavioural-based interviews for nurses in the uae: a nominal group study. journal of nursing management, 29(5), 953–961. https:// doi.org/10.1111/jonm.13232 gaol, r. l., & sitepu, a. (2020). the influence of used good-based learning media on the value of 347harini, juwitasari, level of online learning motivation in ners professional students in ... chracter education and student’s motivation to study. budapest international research and critics in linguistics and education (birle) journal, 3(4), 1696–1703. h tt ps: // doi .org/ 10.33258/ birle.v3i4.1299 gelles, l. a., lord, s. m., hoople, g. d., chen, d. a., & mejia, j. a. (2020). compassionate flexibility and self-discipline: student adaptation to emergency remote teaching in an integrated engineering energy course during covid-19. education sciences, 10(11), 1–23. h t t ps: / /doi . or g/ 10. 3390/ educsci10110304 harapan, u. p., cahyono, y., fahlevi, m., purwanto, a., asbari, m., mufid, a., agistiawati, e., & suryani, p. (2020). impact of work from home (wfh) on indonesian teachers performance during the covid-19 pandemic/ : an exploratory study. international journal of advanced science and technology, 29(5), 6235–6244. https://www.researchgate.net/ publication/341413246 jackson, d., bradbury-jones, c., baptiste, d., gelling, l., morin, k., neville, s., & smith, g. d. (2020). life in the pandemic: some reflections on nursing in the context of covid-19. journal of clinical nursing, 29(13–14), 2041–2043. https://doi.org/10.1111/ jocn.15257 jamaluddin, d., ratnasih, t., gunawan, h., & paujiah, e. (2020). pembelajaran daring masa pandemik covid19 pada calon guru/ : hambatan, solusi dan proyeksi. karya tulis ilmiah uin sunan gunung djjati bandung, 1–10. http://digilib.uinsgd.ac.id/ 30518/ mumtaz, n., saqulain, g., & mumtaz, n. (2021). online academics in pakistan: covid-19 and beyond. pakistan journal of medical sciences, 37(1), 1–5. https://doi.org/10.12669/pjms.37.1.2894 nartiningrum, n., & nugroho, a. (2020). online learning amidst global pandemic: efl students’ challenges, suggestions, and needed materials. english franca/ : academic journal of english language and education, 4(2), 115. https://doi.org/ 10.29240/ef.v4i2.1494 rahman, m. h., rahaman, m., rakib nayeem, a., uddin, m. b., & zalil, m. a. (2020). purchase intention of halal food among the young university students in malaysia. 10(2), 7–13. https://doi.org/10.46360/ globus.xxxxxxxx suryaman, m., cahyono, y., muliansyah, d., bustani, o., suryani, p., fahlevi, m., pramono, r., purwanto, a., purba, j. t., munthe, a. p., juliana, & harimurti, s. m. (2020). covid-19 pandemic and home online learning system: does it affect the quality of pharmacy school learning? systematic reviews in pharmacy, 11(8), 524–530. https://doi.org/10.31838/ srp.2020.8.74 taat, m. s., & francis, a. (2020). factors influencing the students’ acceptance of e-learning at teacher education institute: an exploratory study in malaysia. international journal of higher education, 9(1), 133–141. https://doi.org/10.5430/ijhe.v9n1p133 e:\ibuk\ners desember 2021\11-334 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 334–342 self care profile of diabetic patient during covid 19 pandemic in manggarai regency, east nusa tenggara lidwina dewiyanti wea1, maria getrida simonb2, aldegonda f.jeharutc3, rosalia padutd4, viktoria k.danue5, v.c agnes bataf6 1,2,3,4,5,6bachelor of nursing, universitas katolik indonesia santu paulus ruteng manggarai, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 10/07/2021 accepted, 02/08/2021 published, 05/08/2021 keywords: diabetes mellitus, pandemic covid19, self care article information abstract diabetes mellitus (dm) is one of the comorbid diseases commonly found on covid-19 infected individuals and causing the most death. in the pandemic era, dm patients are needful to execute the care management by themselves due to the social restriction as a part of transmission control. this study aimed to assess the self-care behavior of dm patients during the covid-19 pandemic era in manggarai regency who still carry out various traditional ceremonies even during the pandemic. this study was a quantitative descriptive study. the data get by the sdsca (the summary of self-care activities) questionnaire developed by the general service administration (gsa) regulatory information service center (risc). this study attended from january to march 2021, with 88 respondents had participated after being recruited using purposive sampling and inclusion criteria. among the 88 respondents, the respondents were most compliant with eating restrictions on sugar-contained food such as cake, chocolate, biscuit, and ice cream diet. respondents did not restrict themself to consume carbohydrate contained foods. self-care behavior is most important to dm patients in the pandemic era due to the social restrictions creating the hesitancy among the patients to come to the health care facilities. moreover, when dm patients are more prone to develop severe symptoms of covid-19. health professionals have to improve the health education to the patients by emphasizing the importance of exercise, diabetic foot care, and routine blood sugar monitoring so that the patients are not only focused on dietary management and medicine. © 2021 journal of ners and midwifery 334 correspondence address: universitas katolik indonesia santu paulus ruteng manggarai p-issn : 2355-052x east nusa tenggara, indonesia e-issn : 2548-3811 email: lidwinawea88@gmail.com doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p334–342 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p334-342 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p334-342&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 335wea, simonb, jeharutc, padutd, danue, bataf, self care profile of diabetic patient during covid 19 pandemic ... introduction diabetes mellitus (dm) is one of significant health issues in every country (fujiwara, 2011). the amount both of type 1 and type 2 diabetes mellitus patient is gradually increasing, reaching approximately 220 million people globally (ali et al, 2012 in (holt, 2014). if this trend continues, in 2030 it is estimately increasing into 366 million people living with diabetes mellitus (wild, et al, 2004 in (holt, 2014)). according to the data from centers for disease control and prevention (cdc), prevalence of type 2 dm in us is around 24 million people, with the estimation of 57 million adults are at risk to suffer from type 2 dm (peterson & virden, 2013). in 2013, the prevalence of diabetes mellitus patient is 382 million people (idf, 2013), with the rate of type 2 dm take the 95% and remaining 5% is type 1 dm (cdc, 2012). a population study conducted by who in 2013 showed that indonesia placed in the 7th of countries with most dm patients with the number of patients around 8,5 million people and it is estimated to rise into 21,257 million people by 2030 (idf, 2013). more than 180 million people lives with dm around the world, this number is predicted to increase twice by 2030 if the dm case management is uncontroled and it would cost directly and indirectly as much as 174 million us dollar annually (sheridan, 2012). diabetes mellitus is defined as progressive chroic disease, a major health issues, not only due to its’ major prevalence but also its’ serious complication to both macrovascular and microvascular (fujiwara, 2011). in december 2019, a newly found virus causing acute respiratory disease emerges. known as sars-cov-2 or coronavirus. this virus firstly found in wuhan, china and spread rapidly across the 150 countries causing more than 10.000 deaths(fadini, g.p, morieri, m.l, et al, 2020). it is already known that dm is the most common comorbid disease to corona virus infected people and causing the mortality to people infected with the virus. person with dm and covid-19 is causing increase number of morbidity and mortality compares to covid-19 infected person without dm (obukhov, a.g, stevens, b.r, prasat, ram, et al, 2020). a study from zhou, fei, et al in 2020 on 191 covid-19 positive patient, obtained that 137 people recovered, 54 deaths. 91 people with comorbidities namely hypertension 58 people (30%), diabetes 36 people (19%) and the remaining 15 people (8%) with coronary heart disease. covid 19 in indonesia is transmitted rapidly. the data from national task force for covid-19 in 22 june 2021 stated that the number of positive confirmed covid-19 in indonesia reaches 2 million cases. the highest number of cases are in dki jakarta province as much as 482.264 (23.9%) cases, and the lowest is east maluku province as much as 4.749 (0.2%) cases. manggarai regency is one of the regencies in east nusa tenggara province. the data from ntt covid-19 task force stated that on july 26, 2021 total confirmed cases is as much as 18.370 cases and in manggarai, as much as 391 confirmed cases in 26 june 2021. until march 23, 2021, there are 16 covid-19 infected deaths in manggarai (florespedia,com, 2021), several of them are with dm as comorbidities, heart disease and hypertension. apart from comorbid diseases, the increase in cases in manggarai who still carry out various traditional ceremonies even during a pandemic, the people of manggarai also consume many types of foods that trigger diabetes mellitus such as rice, pork, palm wine, and smoking. people with dm admit to feel anxious to go to the public health center or hospital during covid-19 pandemic due to the increasing transmission to the unsymptoma tic per son a nd dm being the comorbidity disease that increase complication when infected. thus, the dm patients tend to stay at home during this particular time. dm aqcuires comprehensive caree not only from nurses but also from the patient themselves. “self care” theory by dorothea orem states that self-agency is an individual’s ability to maintain health status including dm patients. plenty of social gathering and traditional rite during pandemic create the extra consideration of care to dm patients on their health status. by identify the self-care profile of dm patients, the further health management could be developed. this study aimed to assess the self-care behavior of dm patients during the covid-19 pandemic era in manggarai regency who still carry out various traditional ceremonies even during a pandemic. methods this study was a descriptive quantitative study. the analysis used descriptive method to describe the numbers resulted in this study. the population 336 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 334–342 in this study was type 2 dm patients in kota public health center, manggarai regency. the sample in this study was 88 respondents. the inclusion criteria was respondent who were willing to participate in the study. exclusion criteria was the dm patients who were unable to do independent daily activity. the instruments used in this study was the sdsca (summary of diabetes self-care activities). the summa r y of dia betes self-ca r e activities (sdsca) questionnaire was the most widely used tool for assessing diabetes self-care activities. the sdsca has been tested in bahasa indonesia based on researcher sugiharto, dkk on 2019, and declared valid and reliable to be used by healthcare providers to assess the self-care activities of patients with t2dm in indonesia in outpatient departments in hospitals or community settings, and it can be used as a research instrument. sdsca questionnaire contained 17 questions covers diet, exercise, foot care, medication and blood sugar level monitoring. the scoring of each items using numeric scale with the period of assessment was on one last week variable classifications n % age early adult (36-45 years old) 13 13.6 late adult (46-55 years old) 23 29.5 elder (56-65 years old) 24 27.3 oldest elder (>65 years old) 28 29.5 gender male 42 47.7 female 46 52.3 education level elementary school 18 20.5 junior high school 42 47.7 senior high school 8 9.1 higher education 20 22.7 occupation civil servant 16 18.2 private employee 6 6.8 enterpreneur 6 6.8 housewife 4 4.5 farmer 26 29.5 retired worker 4 4.5 unemployed 26 29.5 the length of dm diagnosis < 5 years 56 63.6 5 – 10 years 20 22.7 >10 years 12 13.6 complications yes 28 31.8 no 60 68.2 table 1 demographic data (n=88) documented as 0-7 day. the favourable question the scoring of number of days are such as 0=0, 1=1, 2=2, 3=3, 4=4, 5=5, 6=6 dan 7=7 (this scoring applies to the question number 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, and 17) while for unfavourable question, the scoring for number of days are such as 0=7, 1=6, 2=5, 3=4, 4=3, 5=2, 6=1 dan 7=0 (this scoring applies to question number 3 and 11). ethical clearance this study has been an ethical publication by the ethical commission of indonesian catholic university of st. paul ruteng under deputy 1 educational, research, and social services with the ethic clearance no.30/sk-iiia/warek i-02/k/07/ 21. result 1. characteristics of people with diabetes mellitus in manggaray regency 337wea, simonb, jeharutc, padutd, danue, bataf, self care profile of diabetic patient during covid 19 pandemic ... based on table 1, demographic data of respondents, the majority of respondents are >65 years old as much as 14 respondents (29.5%), female as much as 23 respondents (52.3%), education level junior high school as much as 21 respondents (47.7%), majority are not currently employed as much as 13 respondents (29.5%), the length of dm diagnosis <5 years is as much as 28 respondents (63.6%), without complications is as much as 30 respondents (68.2%). 2. distribution based on respondent’s answer to each question items variable classifications n % complication category no complication 66 75.0 stroke 4 4.5 heart disease 6 6.8 hypertension 8 9.1 cataract 2 2.3 renal failure 2 2.3 source : primary data table 2 frequency distribution based on respondent’s answer to each question items 1 diet the average days in the last one month, how many days in the last one week do you plan diet? 2 how many days of last 7 days do you consume fruits and vegetables? 3 how many days in the last 7 days do you consume high fat contain foods (beef, goat meat, pork, fast food) or milk contained product (cheese, creame, yoghurt, margarine)? 4 how many days of the last 7 days do you manage the consumption of carbohydrate contained food no. question days n (%)0 1 2 3 4 5 6 7 n % n % n % n % n % n % n % n % 10 11.4 0 0 2 2.3 10 11.4 4 4.5 8 9.1 2 2.3 52 59.1 88 (100) 0 0 4 4.5 6 6.8 2 2.3 8 9.1 8 9.1 8 9.1 52 59.1 88 (100) 8 9.1 16 18.2 30 34.1 16 18.2 10 11.4 2 2.3 4 4.5 2 2.3 88 (100) 8 9.1 0 0 6 6.8 14 15.9 2 2.3 4 4.5 2 2.3 52 59.1 88 (100) 338 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 334–342 (rice, bread, noodle, corn, cassava)? 5 how many days in the last 7 days you follow the recommended healthy diet? 6 how many days in the last 7 days do you consume sugar contained snacks (cake, biscuit, chocolate, ice cream)? 7 exercise how many days in the last 7 days do you do exercise (doing laundry, brooming, mopping, dry clothes) at least 30 minutes? 8 how many days in the last 7 days do you join specific exercise session (swimming, walking, cycling) beside house chores? 9 foot care how many days in the last 7 days do you check your feet? 10 how many days in the last 7 days do you check the inner of your shoes?? 11 how many days in the last 7 days do you dry the foot finger gaps after washing it? 0 0 0 0 8 9.1 10 11.4 10 11.4 6 6.8 2 2.3 52 59.1 88 (100) 12 13.6 12 13.6 32 36.4 12 13.6 6 6.8 2 2.3 6 6.8 6 6.8 88 (100) 22 25.0 2 2.3 6 6.8 10 11.4 2 2.3 2 2.3 4 4.5 40 45.5 88 (100) 36 40.9 6 6.8 12 13.6 16 18.2 2 2.3 0 0 0 0 16 18.2 88 (100) 16 18.2 6 6.8 16 18.2 4 4.5 8 9.1 10 11.4 0 0 28 31.8 88 (100) 34 38.6 8 9.1 8 9.1 8 9.1 6 6.8 4 4.5 0 0 20 22.7 88 (100) 24 27.3 4 4.5 8 9.1 2 2.3 6 6.8 6 6.8 2 2.3 36 40.9 88 (100) no. question days n (%)0 1 2 3 4 5 6 7 n % n % n % n % n % n % n % n % 339wea, simonb, jeharutc, padutd, danue, bataf, self care profile of diabetic patient during covid 19 pandemic ... no. question days n (%)0 1 2 3 4 5 6 7 n % n % n % n % n % n % n % n % 12 how many days in the last 7 days do you use footwear when go outside the house? 13 how many days in the last 7 days do you do use lotion or apply moisturizer in your feet? 14 medication how many days in the last 7 days do you take the recommended dm medicine? 15 do you use insulin? if yes, in the last 7 days do you use insullin as recommended for you? 16 blood sugar level monitoring how many days in the last 7 days do you check your blood sugar level as recommended by your health health workers? 17 a. if you use insulin, how many days in the last 7 days do you check your blood sugar level ?b. if you do not use insulin, how many times in the last 3 months do you check your blood sugar level routinely? 0 0 2 2.3 0 0 0 0 2 2.3 4 4.5 0 0 80 90.9 88 (100) 20 22.7 2 2.3 6 6.8 8 9.1 6 6.8 6 6.8 0 0 40 45.5 88 (100) 2 2.3 2 2.3 10 11.4 6 6.8 2 2.3 4 4.5 0 0 62 70.5 88 (100) 56 63.6 2 2.3 2 2.3 2 2.3 2 2.3 2 2.3 0 0 22 25.0 88 (100) 10 11.4 36 40.9 12 13.6 12 13.6 0 0 2 2.3 2 4.5 12 13.6 88 (100) 26 25.9 20 22.7 8 9.1 14 15.9 2 2.3 0 0 6 6.8 12 13.6 88 (100) 340 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 334–342 based on table 2 the average days of diet, the majority of respondents consume sugar contains snack such as cake, chocolate, biscuit, ice cream in 2-3 days. on the question about foot care, the average respondent’s answer the lack of foot care, proved by the majority of respondents spent only 2 days of 7 days to conduct feet self-examination, check the inner of shoes, dry the finger gaps and using feet moisturizer. on the question about medication, the average days of respondents answer 2 days to consume medication as recommended bythe physicians. on the question regarding blood sugar level monitoring, respondents infrequently monitor their blood sugar level. the average days of monitoring is 1-2 days of 7 days. discussions 1. diet behavior based on the study result, respondents express the effort to maintain the proper diet. diet-related questions are numbered 1 to 6. questions 1 and 2 show that 52 (59.1%) respondents planned their diet patterns and consumed fruits and vegetables in the last seven days. in question number 3, most respondents, namely 30 (34.1%), consume high-fat foods (beef, mutton, pork, fast food) or dairy products (cheese, cream, yogurt, butter) an average of 3 days out of 7 days. question number 4, and five as many as 52 (59.1%) respondents in the last seven days regulate foods intake containing carbohydrates and have followed a healthy diet. question number 6, the most respondent is 32 (36.4%) respondents consumed foods containing sugar on average only two days out of the last seven days. according to the researcher, this is due to the reason that elderly do not enjoy eating snacks and because of their illness they hesitate to consume sugar contained foods. foods is the vital factor to modify or even increase the blood sugar level. during pandemic, the health worker-patients consultation regarding diet is difficult to be conducted. telenursing can become the pr oper solution to the problem. telenursing is developed to provide the remote nursing care and consultation to the patient due to the pandemic condition that requires mobilization restriction but patient’s care have to be maintained (r,muniyappa & s,gubbi, 2020). 2. exercise behavior in the exercise items, most of the respondents lack exercises such as walking or cycle, because on data from table 2 in question number 8 where 36 (40.9) respondents averaged two days out of the last seven days they did exercise sessions. question number 9, as many as 40 (45.5%) respondents did the physical activity (washing, sweeping, mopping, drying) for at least 30 minutes on average the last seven days. it is assumed that it is due to the common habit of people in ntt, particularly manggarai, taht have less interest in exercise such as walking. even if there are people who enjoys walking, the number is very little. the alvailable exercise center only provides gym facilities unsuitable for elder as the majority of dm patients. a cohort study by hosomi, yukako et al in 2021 that studies the effect of covid-19 pandemic to the life style and blood sugar control in type 1 dm patients showed the 50% decrease of exercise during the pandemic. international diabetes federation recommends the home exercise that can be done by dm patients such as walk up and down stairs 8 times on the minimum 6 stairs, jump rope and light weight lifting with fitness accessores such as rubber band, wirst weight, ankle weight and bag or bucket filled with weights, water filled bottle, or even little backpack filled with varied weight objects. the patient’s self-care ability be affected by internal and external factors from the individual himself known as basic conditioning factors, which include: age, gender, level of development, health status, sociocultural orientation, health care system, family system, lifestyle, factors environmental factors such as physical or biological factors, and the availability and adequacy of resources (alligood, 2014). environment and cultural factors greatly influence people’s behavior. the people of manggarai do not want to exercise outside their homes because they are embarrassed to be seen by neighbors or road users. nurses and patients should be able to know and understand these self-care agency related factors. most of the people think that exercise have to be practiced outside the house such as running or walking, however, currently there are plenty of exercise done at home. italian national association of athletes with diabetes recommends the home exercise equals to one hour of speed walking and burn around 150-200 kcal. this exercise include treadmill, cycling with static cycle, weight training such as push-up, sit-up, squat, deep stationer lunges, and doing joint exercise with yoga or pilates (strollo, felice et al, 2016). 341wea, simonb, jeharutc, padutd, danue, bataf, self care profile of diabetic patient during covid 19 pandemic ... 3. diabetic foot care behavior based on table 2, the question about foot care is numbers 9,10,11,12 and 13. question number 10 is known as 34 (38.6%) respondents do not often check the inside of the shoe averaged one day out of the last seven days. question number 11, it is known that as many as 24 (27.3) respondents do not dry between the fingers, and question number 13, it is known that 20 (22.7%) respondents do not use moisturizer/lotion on the feet. while question number 9 related to checking the condition of the feet and question number 12 related to using footwear when leaving the house, the respondent’s compliance data acquire on average the last seven days. the foot care is the most important preventive measure to foot ulcer and amputation as the long term effect of dm (urbancic, vilma, 2021). guidance to dm patients and diabetic feet during pandemic is to maintain the blood sugar level monitoring routinely, is necessary, obtain a glucometer to do self monitoring at home, have a sufficient hydr a tion, dieta r y ma na gement to pr event hypoglycaemia, always keep the contact number of health care provider and maintain healthy lifestyle by healthy diet and regular exercise at home (kesavan, rajesh et al, 2020). feet examination is aimed for early detection of nerve damage or small injury that might develop into foot ulcer in the long term (mukona, d.m & zvinavashe, m, 2020). the theory of “self care” from dorothea orem is a theory used by nurses to assess independently of patients in maintaining the stability of their health conditions. foot care behavior in respondents who are still low be affected by his knowledge. patients tend to think that it is more important to affect blood sugar control, while foot care is not fundamental. 4. medication behavior questions 14 and 15 relate to medication behavior. based on table 2, question number 14, the data obtained were 62 (70.5%) of respondents dutifully taking the medication recommended by doctors on average the last seven days. question number 16, the data obtained were 56 (63.6%) of respondents do not use insulin recommended by doctors. resear cher a ssumed this is due to the respondent’s habit to assess their health based on personal reasoning. they usually conduct the monitoring if there are symptoms, not conducted regularly and scheduled. this is potentially dangerous to the patient, not only when the blood sugar level rises but also when it decreases. the increasing and decreasing blood sugar level have the equal bad risk. dm patients with covid-19 infection require the attentive care management. the condition of insulin balance is also by adherence to the diet. self-care patients are crucial in using drug therapy and blood sugar control. self-care is an activity and initiative from an individual and carried out by the individual himself in fulfilling and maintaining life, health, and well-being (alligood, 2014). 5. blood sugar monitoring behavior questions related to the respondent’s behavior in controlling blood sugar levels are numbers 16 and 17 (a and b). in question number 16, data obtained as many as 36 (40.9) respondents checked their blood sugar regularly according to the recommendation for an average of 1 day in the last seven days. in question number 17, 26 (25.9%) respondents who used insulin only checked their blood sugar levels on average for one day out of the last seven days. according to the researcher, the behavior of patients who rarely control their blood sugar levels is due to the covid-19 pandemic condition that does not allow respondents to go to the public health center/clinic or hospital for checkups. if the patient has his blood sugar control device, they can control blood sugar in the house at any time needed. the self-control of blood sugar is a crucial key of self-management based on u.s. national standards for diabetes self-management and education practice guidelines (ward, e.f.j., stetson, b.a & mokshagundam, s.p,l, 2015). conclussion the majority of patients included in this study respondents were most compliant with eating restrictions on sugar-contained food such as cake, chocolate, biscuit, and ice cream diet. respondents did not restrict themself to consume carbohydrate contained foods. self-care behaviour is important to dm patient in the pandemic era, due to the social restriction the patient tend to hesitate to come into health care services. moreover, the dm patients are in a higher risk of accelerating worsened condition if exposed to covid-19 infection. besides, the health care worker role is the significant factor to help patient to manage their illness. 342 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 334–342 suggestion the need for further research on the correlation of long suffering of diabetes mellitus and self care behavior. more comprehensive support from health workers in the form of assistance to the community, especially in health education that focuses on exercise, foot care and regular blood sugar monitoring. increase elderly visitation to posyandu or prolanis programme refference alligood, m. r. (2014). nursing theorists and their work. st. louis: elsevier. fadini, g.p, morieri, m.l, et al. (2020). prevalence and impact of diabetes among people infected with sars-cov-2. jurnal endocrinol invest. 43 (6), 867869. doi: 10.1007/s40618-020-01236-2 florespedia.com. (2021). tambah satu, pasien meninggal akibat covid-19 di manggarai jadi 16 orang. https://kumparan.com/florespedia/tambah-satupasien-meninggal-akibat-covid-19-di-manggaraijadi-16-orang-1vojgcphrhd fujiwara, y, et al. (2011). beneficial effects of foot care nursing for people with diabetes mellitus an uncontrolled before and after intervention study. journal of advanced nursing, 67 (9), 1952-1962. doi :10.1111/j.1365-2648.2011.05640.x holt, p. (2014). blood glucose monitoring in diabetes. nursing standard, 28 (7), 52-58. doi: 10.7748/ ns2014.03.28.27.52.e650 hosomi, yukako et al. (2021). the effect of covid 19 pandemic on the lifestyle and glycemic control in patients with type 1 diabetes: a retrospective cohort study. diabetology international. doi: https:// doi.org/10.1007/s13340-021-00507-4 international diabetes federation. (2013). idf diabetes atlas.sixth edition. diambil dari http://www.idf.org kesavan, rajesh et al. 2020. guidance for diabetic foot management during covid 19 pandemic. indian journal of vascular and endovascular surgery. 7 (2), 116-120. doi: 10.4103/ijves.ijves_43_20 mukona, d.m & zvinavashe. (2020). self management of diabetes mellitus during the covid 19 pandemic: recommendations for a resource limited setting. diabetes & metabolic syndrome: clinical research & reviews. 14(6): 1575–1578. doi: 10.1016/ j.dsx.2020.08.022 muniyappa, rangnath & gubbi, sriram. (2020). covid19 pandemic, coronaviruses and diabetes mellitus. american journal of physiology. endocrinology and metabolism. 318: e736–e741, 2020. doi: 10.1152/ ajpendo.00124.2020 obukhov, a.g, stevens, b.r, prasat, ram, et al. (2020). sars-cov-2 infections and ace2: clinical outcomes linked with increased morbidity and mortality in individuals with diabetes. americal diabetes association. 69(9):1875-1886. doi: 10.2337/dbi200019 peterson, j. m., & virden, m. d. (2013). improving diabetic foot care in a nurse-managed safety-net cliinic. journal of the american association of nurse practitioners, 25 (5), 263-271. doi: 10.1111/j.17457599.2012.00786.x sheridan, s. (2012). the need for a comprehensive food care model. nephrology nursing journal, 39 (5), 397400. pmid: 23094341 so’emah, e.k., windartik, e., rahmawati, i. (2021). level of anxiety and community behavior in preventing the covid-19 pandemic in east java. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 8(1), 49-54. doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p049-054 strollo, felice et al. (2016). italian voluntary diabetes and exercise organizations: from social support to nation clinical research. diversity and equality in health and care. 13 (6), 391-393. sugiharto., hsu, y.y., toobert, d.j., wang, s.t. (2019). the validity and reliability of the summnary of diabetes self-care activities questionnaire: an indonesianversion. jurnal injec. 4(1), 25-36. doi: http://dx.doi.org/10.24990/injec.v4i1.229 urbancic, vilma, 2021. diabetic foot care before and during the covid-19 epidemic: what really matters?. american diabates association. doi: https:// doi.org/10.2337/dc20-2650 ward, j.e.f., stetson, b.a & mokshagundam, s.p.l. (2015). patient perspectives on self-monitoring of blood glucose: perceived recommendations, behaviors and barriers in a clinic sample of adults with type 2 diabetes. journal of diabetes & metabolic disorder. 14:43, 1-7. doi: 10.1186/s40200-015-0172-z zhou, fei, et al. (2020). clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients with covid-19 in wuhan, china: a retrospective cohort study. the lancet. 395 (10229), 1054-1062. doi: 10.1016/s01406736(20)30566-3. *) praktisi bidan, **) stikes patria husada blitar 37 pengaruh penyuluhan tentang menstruasi terhadap sikap remaja putri pra menstruasi (the effectiveness of menstruation health promotion to the pre menstrual female adolescents attitude) ita tri sutanti*, laily prima monica** *puskesmas wlingi e-mail: prima.monica@yahoo.com abstract introduction : the extension number of menstrual and reproductive health of adolescents were still low, so that the knowledge about menstrual and reproductive health was less. method : research design was one-group pre-test-post test design. research sample 29 student at mts. ma’arif srengat in blitar regency, its choosed with total sampling. data collected by questionnaire. analysis using chi square. result : the results showed that health education influence pre menstrual adolescents attitude, with asymp, sig 0.16 nd 5.818 square value in the statistical tables. discussion : by holding the health education and behavior change, it was expected that the formation of healthy behaviors in order to achieve optimal health status. keyword : health promotion, menstruation, attitude pendahuluan kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. pengertian sehat disini tidak semata – mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial cultural. program kesehatan reproduksi remaja merupakan upaya untuk membantu remaja agar memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap dan perilaku kehidupan reproduksi sehat dan bertanggungjawab. kesehatan reproduksi ini tidak saja bebas dari penyakit dan kecacatan, namun juga sehat mental dan sosial dari alat, sistem, fungsi serta proses reproduksi. (carey 2001) masalah kesehatan reproduksi remaja menjadi kepedulian nasional karena disadari bahwa remaja dalam hidupnya menghadapi berbagai masalah khusus yang membutuhkan perhatian yang khusus pula. kebutuhan terhadap kesehatan reproduksi remaja sebenarnya merupakan permasalahan dunia, akan tetapi di negara kita hal ini tidak mendapatkan perhatian yang memadai. (kartono 2006) permasalahan kesehatan reproduksi remaja saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian. kesehatan reproduksi remaja tidak hanya masalah seksual saja tetapi juga menyangkut segala aspek tentang reproduksinya, terutama untuk remaja putri yang nantinya menjadi seorang wanita yang bertanggung jawab terhadap keturunannya. (kartono 2006) dalam hidup seorang wanita ia akan mengalami menstruasi dimana pada saat itu tidak kurang dari 400 kali akan mengalami pengelupasan dan regenerasi pada endometriumnya (baziad 2003). darah yang keluar lewat menstruasi seluruhnya tak kurang dari 3 x 4 jumlah total zat besi yang ada pada orang dewasa. menstruasi merupakan pendarahan secara periodic dan siklik dari uterus yang disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium alat reproduksi wanita dipengaruhi oleh sistem hormonal yang kompleks dikarenakan sistem hormonal manusia merupakan sistem lingkaran yang tidak pernah putus selama hidup sampai mencapai mati haid (menopouse). (prawiroharjdo 2005). menstruasi sering membuat remaja cemas, was-was dan kurang percaya diri. remaja putri pada umumnya belajar tentang menstruasi dari ibunya, tapi sayang tidak jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p030-033 mailto:prima.monica@yahoo.com it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh penyuluhan tentang menstruasi terhadap sikap remaja putri pra menstruasi 38 semua ibu memberikan informasi yang memadai kepada putrinya bahkan sebagian enggan membicarakan secara terbuka. menghadapi hal ini menimbulkan kecemasan pada anak, bahkan sering tumbuh keyakinan bahwa menstruasi itu sesuatu yang tidak menyenangkan atau serius. mereka juga mengembangkan sikap negatif tentang menstruasi. ia mungkin merasa malu dan melihatnya sebagai penyakit. khususnya jika ketika mengalaminya ia merasa letih atau terganggu. pandangan negatif tentang menstruasi berlanjut sampai menjelang dewasa. (candranita 2008) di indonesia menurut biro pusat statistik jakarta (2009) kelompok umur 10 19 tahun adalah sekitar 22 % yang terdiri dari 30,2 % remaja laki-laki dan 60,8 % remaja perempuan. dengan demikian remaja putri jumlahnya lebih banyak sehingga perlu perhatian dalam memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif meliputi promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitatif, diharapkan remaja putri memperoleh informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi. data dari badan pusat statistik kota blitar tahun 2009 di indonesia didapatkan sebesar 57,4% dari jumlah keseluruhan sekolah tingkat menengah dan tingkat atas. di jawa timur didapatkan sebesar 29,2% dari jumlah keseluruhan sekolah tingkat menengah dan tingkat atas. di kabupaten dan kota blitar didapatkan sebesar 8,3% dari jumlah keseluruhan tingkat menengah dan tingkat atas. terbukti angka penyuluhan tentang menstruasi dan kesehatan reproduksi di kelompok remaja masih rendah, sehingga pengetahuan remaja tentang pentingnya menstruasi dan kesehatan reproduksi masih kurang. dampak dari remaja yang tidak pernah mendapat informasi tentang menstruasi dan kesehatan reproduksi akan memiliki sikap menarik diri dari lingkungannya, karena remaja-remaja khususnya putri banyak menerima inforrmasi bahwa menstruasi itu mempunyai rasa sakit atau nyeri dan malu apa bila darah menstruasi terlihat dari luar sehingga remaja putri malu beraktifitas. ini akan menambah ketidak nyamanan pada masa menstruasi karena hanya dibayang-bayangi oleh informasi yang salah dari lingkungan dan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 10 remaja putri di mts. ma’arif kelurahan srengat kecamatan srengat kabupaten blitar, didapatkan bahwa 80% tidak mengetahui tentang menstruasi dan 20% mengetahui proses menstruasi beserta keluhan-keluhan yang terjadi pada saat menstruasi. rumusan masalahnya adalah bagaimanakah pengaruh penyuluhan tentang menstruasi terhadap sikap remaja putri pra menstruasi di mts. ma’arif srengat kelurahan srengat kecamatan srengat kabupaten blitar. tujuan umumnya adalah mengetahui pengaruh antara penyuluhan tentang menstruasi dengan sikap remaja putri terhadap pra-menstruasi. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi penyuluhan tentang mestruasi terhadap pramenstruasi, (2) mengidentifikasi sikap remaja putri terhadap pra-menstruasi, (3) menganalisa pengaruh anatara penyuluhan tentang menstruasi dengan sikap remaja putri pra-mentruasi. manfaat penelitian bagi petugas kesehatan adalah dapat digunakan untuk menentukan strategi perencanaan dan pelaksanaan dalam memberikan konseling informasi dan edukasi tentang menstruasi pada remaja putri. manfaat bagi instansi pendidikan adalah sebagai pengembangan ilmu pengetahuan khususnya kesehatan reproduksi mengenai bagaimana cara menghadapi menstruasi oleh remaja putri dan sebagai referensi pendidikan dalam memberikan penyuluhan tentang menstruasi pada remaja. manfaat bagi masyarakat adalah memberi informasi kepada masyarakat tentang menstruasi, sehingga diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan tentang menstruasi terutama bagi remaja putri. bahan dan metode desain penelitian one-group pratest-post test design dengan cara kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi. subyek penelitian ini sebanyak ita tri susanti, laily prima monica jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 39 29 remaja putri siswi mts. ma’arif srengat kelas 1 kelurahan srengat kecamatan srengat kabupaten blitar. subyek penelitian ini dipilih secara total sampling. variabel bebasnya adalah penyuluhan tentang menstruasi dan variabel tergantungnya adalah sikap remaja putri pra menstruasi. data yang terkumpul dalam penelitian hasilnya dibandingkan sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan dengan mengukur sikap remaja putri menggunakan skala likert. skor yang diperoleh diubah menjadi skor t, dan untuk mengetahui pengaruh variable independent dan dependen menggunakan analisis chi kuadrat dengan derajat kemaknaan 0,05. hasil penelitian karakteristik remaja putri mts. ma’arif srengat: tabel 1. karakteristik responden no karakteristik f % 1 umur 12 tahun 5 17 13 tahun 18 62 14 tahun 6 21 2 akses informasi televisi 2 7 radio 8 28 majalah 19 65 3 tempat tinggal srengat 15 52 luar srengat 14 48 tabel 2. sikap responden sebelum dilakukan penyuluhan tentang menstruasi. no sikap f % 1 positif 15 51,7 2 negatif 14 48,3 tabel 3. sikap responden sesudah dilakukan penyuluhan tentang menstruasi no sikap tentang menstruasi f % 1 positif 22 75,9 2 negatif 7 24,1 pengaruh dua variable yaitu antara penyuluhan dengan sikap remaja putri dikategorikan menjadi 2 yaitu sikap positif dan negatif. hasil perhitungan dengan rumus chi square menggunakan spss windows terhadap variabel sikap pre test dan post test remaja putri berdasarkan hasil chi square, menunjukan dari jumlah sample 29 anak, hasil penelitian sebelum penyuluhan yaiitu sikap positif 14 anak dan sikap negative 15 anak. penilaian sesudah penyuluhan yaitu sikap positif 22 anak dan sikap negatif 7 anak. output tersebut menunjukan nilai asymp, sig 0,16 dan nilai square 5,818 pada tabel statistik. pembahasan penyuluhan tentang menstruasi berdasarkan pada penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 22 juni 2010 dengan dilaksanakanya penyuluhan tentang menstruasi para responden menyatakan setuju. ini terbukti para responden mengikuti segala kegiatan saat mengisi kuisioner dan penyuluhan. keberhasilan suatu penyuluhan dapat dipengaruhi oleh faktor penyuluhan, sasaran dan proses dalam penyuluhan. oleh karena itu digunakan metode ceramah yang efektif dalam penyampaian sehinnga responden dapat mengerti dan memahami isi penyuluhan. dengan diadakannya penyuluhan kesehatan diharapkan terjadi perubahan perilaku dan terbentuknya perilaku yang sehat sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. sikap responden terhadap menstruasi dari hasil penelitian didapatkan sikap responden setelah dilakukan penyuluhan tentang menstruasi sebagian mempunyai sikap positif yang lebih besar daripada sikap negatif. sikap responden yang positif menunjukkan bahwa responden mendukung jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh penyuluhan tentang menstruasi terhadap sikap remaja putri pra menstruasi 40 terhadap obyek sikap dengan indikator banyaknya jawaban setuju dan sangat setuju pada pernyataan-pernyataan positif, sedangkan sedikit yang mempunyai sikap negatif yang menunjukkan bahwa responden mendukung terhadap obyek sikap, dimana ada yang setuju dengan pernyataanpernyataan negatif. (azwar 2009) perubahan sikap dapat terjadi perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya pengetahuan, informasi dan pengalaman yang didapatkan. hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh azwar (2009) bahwa pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pendidikan, pengalaman, pengaruh orang lain yang dianggap penting, faktor emosi dan media massa. menurut notoadmodjo (2003) terdapat tiga komponen pokok sikap yang utuh yakni kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek dan yang ketiga adalah kecenderungan untuk bertindak. ketiga komponen sikap ini bersama sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). dalam penentuan sikap utuh ini, pengetahuan, berfikir dan emosi memegang peranan penting. oleh karena itu dengan adanya penelitian ini diharapkan bidan sebagai ujung tombak pertama dapat memberikan informasi dan wawasan yang lebih, khususnya pada remaja tentang kesehatan reproduksi sehingga remaja mampu bersikap berubah ke arah yang lebih positif dalam kehidupan sehari-hari. pengaruh antara penyuluhan tentang sikap berdasarkan hasil analisa data dengan chi square didapatkan ada pengaruh antara penyuluhan dengan sikap, ini menunjukkan bahwa mereka dengan mempunyai sikap yang lebih baik, begitu sebaliknya dengan kurangnya informasi maka remaja akan bersikap yang lebih negatif. dari hasil analisis data dengan chi square, didapatkan nilai signifikansi dengan taraf 0,16 dan ini berarti bila dihitung dan dibandingkan dengan tabel menjadi 2,05 < 5,818 > 2,76. dengan demikian antara penyuluhan dengan sikap remaja putri mempunyai pengaruh yang signifikan. namun ada 7 responden yang masih mempunyai sikap negatif setelah dilakukan penyuluhan, hal ini responden terpengaruh oleh kebaisaan dan adat istiadat yang berlaku disuatu daerah. hasil ini sesuai dangan pendapat azwar (2009) bahwa struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif yang berisikan persepsi atau kepercayaan, komponen efektif yang berhubungan dengan masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. komponen kognitif atau perilaku yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan sikap yang dihadapinya. penyuluhan merupakan suatu usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan (perilaku) mereka dalam merubah sikap yang lebih baik. jadi dapat disimpulkan bahwa penyuluhan kesehatan dapat mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan sikap itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, meskipun berbagai informasi telah didapatkan belum tentu dia akan bersikap positif. dengan didapatkannya pengaruh antara penyuluhan tentang menstruasi dengan sikap remaja putri pra menstruasi diharapkan adanya informasi yang telah diberikan melalui penyuluhan dapat meningkatkan sikap remaja putri lebih positif dalam menghadapi masa menstruasi. remaja putri harus mengetahui gejala-gejala pra menstruasi sehingga diharapkan dapat melalui masa menstruasi dengan sehat. masa awal-awal menstruasi merupakan masa mulai berkembangnya alat reproduksi wanita sehingga dangan adanya penyuluhan tentang kesehatan reproduksi akan terbentuknya remaja-ramaja yang sehat sebagai langkah awal penerus generasi bangsa yang sehat, berguna dan bermutu simpulan dan saran simpulan penilaian sikap pada remaja putri sebelum di berikan penyuluhan tentang menstruasi adalah pada penilaian sikap positif 48,3% dan pada sikap negatif 51,7% sedangkan penilaian sikap pada ita tri susanti, laily prima monica jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 41 remaja putri sesudah di berikan penyuluhan tentang menstruasi adalah pada penilaian sikap positif 75,9% dan pada sikap negatif 24,1%. terdapat pengaruh penyuluhan tentang menstruasi terhadap sikap remaja putri pra menstruasi di mts ma’arif srengat, kabupaten blitar dengan taraf signifikansi 0,16. saran profesi kesehatan khususnya kebidanan hendaknya lebih giat dan aktif dalam memberikan konseling , informasi, dan edukasi tentang kesehatan reproduksi terutama di lingkungan pendidikan secara berkala dan berkesinambungan sesuai kebutuhan dan keadaan. remaja putri, diharapkan lebih aktif lagi dalam meningkatkan pengetahuan dengan informasi tentang kesehatan reproduksi terutama tentang menstruasi baik melalui media massa maupun elektronik sehingga remaja putri dapat menilai dan mengevaluasi kondisinya masingmasing terutama tentang kesehatan reproduksi pada remaja. referensi azwar s 2009, sikap manusia, teori dan pengukurannya, pustaka pelajar, yogyakarta. badziad, a 2003, endokrinologi dan ginekologi edisi ke-2, media aesculapius fakultas kedokteran universitas, jakarta. chandranita, ai 2008, gawat darurat obstetri ginekologi dan obstetri ginekologi sosial untuk profesi bidan, egc, jakarta. carey, cs 2001, obstetri dan ginekologi, widya medika, jakarta. kartono, k 2006, psikologi wanita mengenal gadis remaja dan wanita dewasa. jilid i, mandar maju, bandung. prawirohardjo, s 2005, ilmu kandungan, bina pustaka, jakarta. 204 tiga faktor dominan penyebab kegagalan toilet training pada anak usia 4-6 tahun (three dominant factor that affect the failure of toilet training in children aged 4-6 years) wiwik agustina 1 dan rendi feri sapta 2 1 program studi profesi ners, stikes maharani malang email: ns_wi2k@yahoo.com 2 program studi s1 keperawatan, stikes maharani malang email: rhendy_safta@yahoo.com abstract: toilet training in children is an attempt to train children to be able to control in conduct urinating or defecating. there are many factors that might could affect toilet training in children aged 4-6 years. this study aims to determine the main factors that affect the failure of toilet training in children aged 4-6 years. this research is a descriptive explorative study, with the population are all parents / trustee who have children aged 4-6 years and which stayed or recorded at rw(citizens association) 05 pujiharjo village tirtoyudo subdistrict malang regency a number of 55 respondents, data collection using interviews method. result of the research showed that the biggest factor that affect the failure of toilet training was the mistake in teaching toilet training by 94,5%, inappropriate parenting by 91%, unprepared emotional chidren by 61,8%. the result might happen because the way or uncorrect method of toilet training, resulting in children less understand the importance of urinating and defecating in the bathroom, how to do it and do not follow the stages consistenly, so that the child fails in doing toilet training. the research suggestion for health care at pujiharto village to provide counseling to parents about toilet training. key words : the factors that affect the failure of toilet training, toilet training abstrak: toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar mampu mengontrol buang air kecil dan buang air besar. terdapat banyak faktor yang menyebabkan kegagalan toilet training pada anak usia 4-6 tahun. tujuan penelitian ini untuk mencari tahu faktor-faktor utama yang menyebabkan kegagalan toilet training pada anak usia 4-6 tahun. desain penelitian yang digunakan deskriptif eksploratif, dengan populasi seluruh orang tua/pengasuh anak yang memiliki anak usia 4-6 tahun yang tinggal di rw 05 desa pujiharjo kecamatan tirtoyudo kabupaten malang sebanyak 55 responden, data dikumpulkan menggunakan metode wawancara. hasil penelitian menunjukkan faktor terbesar yang menyebabkan kegagalan toilet training adalah cara mengajarkan toilet training 94,5%, kesiapan emosional 91%, dan pola asuh orang tua 61,8%. hal ini terjadi karena cara mengajarkan toilet training yang kurang tepat, yang mengakibatkan anak kurang memahami pentingnya air kecil dan buang air besar di toilet, bagaimana cara melakan yang benar dan tidak mengajarkan secara terus menerus, jadi anak gagal dalam melakukan toilet training. saran dari penelitian ini agar pemberi pelayanan kesehatan di pujiharjo memberikan konseling kepada orang tua tentang toilet training. kata kunci: faktor penyebab kegagalan toilet training, toilet training acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p188-192 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 205 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.204-208 toilet training merupakan salah satu tugas perkembangan anak pada usia toddler. anak usia toddler harus mampu mengenali rasa untuk mengeluarkan dan menahan eliminasi serta mampu mengkomunikasikan sensasi bak dan bab kepada orangtua (alexandra, 2008; klijn, 2006). toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil atau buang air besar. toilet training secara umum dapat dilaksanakan pada setiap anak yang sudah mulai memasuki fase kemandirian pada anak (keen, 2007; wald, 2009). menurut hidayat (2005) toilet training dapat berlangsung pada fase umur 18 bulan – 3 tahun. toilet training membutuhkan persiapan fisik, psikologis maupun intelektual seorang anak, sehingga anak dapat mengontrol buang air besar dan buang air kecil secara mandiri. dampak paling umum pada kegagalan toilet training adalah apabila orang tua memberi perlakuan atau aturan yang lebih ketat kepada anaknya, maka hasil tersebut dapat mengganggu kepribadian anak sehingga anak akan atau cenderung bersifat retentive yaitu anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. hal ini dapat terjadi karena orang tua akan sering memarahi anak saat bab/bak atau melarang anak bab/bak saat berpergian. sebaliknya, apabila orang tua santai dalam menerapkan toilet training, anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif yaitu anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional dan suka seenaknya dalam melakukan kegiatan seharihari (hidayat, 2005). blum dkk (2003), menyatakan bahwa toilet training yang diajarkan pada sekelompok anak usia kurang dari 24bulan, 68% dapat menyelesaikan sebelum usia 3 tahun. pada kelompok lain yang berusia >24 bulan, hanya 54% yang mampu menyelesaikannya sebelum 3 tahun. sebuah studi di belgia juga menghasilkan pendapat bahwa pelaksanaan toilet training yang lebih dini akan mempercepat tercapainya kemampuan kontrol kemih. menurut warner and paula (2007) bahwa 90% anak usia antara 24-30 bulan telah berhasil belajar menggunakan toilet dengan usia rata-rata antara 27-28 bulan, sedangkan 80% anak tidak mengompol dimalam hari antara usia 30-42 bulan dengan rata-rata usia 33 bulan. menurut penelitian american psychiatric association, dilaporkan bahwa 10 -20% anak usia 5 tahun, 5% anak usia 10 tahun, hampir 2% anak usia 12-14 tahun, dan 1% anak usia 18 tahun masih mengompol, dan jumlah anak laki-laki yang mengompol diketahui lebih banyak dibanding anak perempuan (medicastore, 2008 dalam ekanurul, 2012). studi terbaru merekomendasikan para orang tua untuk mulai mengenalkan toilet training saat anak berusia 27-32 bulan. anak yang baru mulai belajar menggunakan toilet di atas usia 3 tahun cenderung lebih sering mengompol hingga usia sekolah. (kompas. 2010).). toilet training dilakukan pada anak ketika masuk fase kemandirian, pelatihan bab biasanya mulai umur dua sampai tiga tahun, dan pelatihan bak ketika anak pada umur tiga sampai empat tahun. usia satu sampai tiga tahun harus sudah dikenalkan ke toilet, apa itu bak dan bab. jika sudah lewat dari usia tiga tahun, apalagi ketika akan memasuki masa sekolah, namun belum diberi toilet training, itu akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak. dari data yang didapat diketahui bahwa anak usia 4-6 tahun yang seharusnya dapat berhasil dalam melakukan toilet training masih ada anak yang mengalami kegagalan toilet training. studi pendahuluan yang dilakukan di rw 05 desa pujiharjo kecamatan tirtoyudo kabupaten malang dari 10 anak didapatkan 8 anak yang mengalami kegagalan toilet training, diantaranya masih mengompol dan buang air kecil di sembarang tempat. berdasarkan uraian diatas perlu dicari faktor dominan penyebab kegagalan dalam toilet training pada anak usia 4-6 tahun di rw 05 desa pujiharjo kecamatan tirtoyudo kabupaten malang. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain deskriptif eksploratif. penelitian dilakukan di rw 05 desa pujiharjo kecamatan tirtoyudo kabupaten malang dan penelitian ini dilakukan pada bulan desember 2015 -bulan mei 2015. populasi semua orangtua/wali yang memiliki anak usia 4-6 tahun dan tinggal atau agustina dan feri sapta, faktor-faaktor dominan.............206 tercatat di rw 05 desa pujiharjo kecamaan tirtoyudo kabupaten malang sejumlah 55 responden, pengambilan data dengan menggunakan metode wawancara hasil penelitian hasil 1. kesiapan emosional anak tabel 1 kesiapan emosional anak kesiapan emosional frekuensi persentase siap 21 38% belum siap 34 62% berdasarkan tabel 1 sebagian besar yaitu sebesar 62% (34 anak) secara emosional belum siap. 2. pola asuh orang tua tabel 2 pola asuh orang tua pola asuh orang tua frekuensi persentase sesuai 5 9% tidak sesuai 50 91% berdasarkan tabel 2 sebagian besar yaitu hampir seluruhnya 91% (50 anak) pola asuh orang tua tidak sesuai dengan kesiapan anak. 3. cara mengajarkan toilet training tabel 3 cara mengajarkan toilet training cara mengajarkan toilet training frekuensi persentase benar 3 5% salah 52 95% berdasarkan tabel 3 hampir setengahnya yaitu sebesar 95% (52 anak) cara mengajarkan toilet training salah. pembahasan karakteristik responden berdasarkan kesiapan emosional anak berdasarkan gambar 1.1 sebagian besar yaitu sebesar 61% (34 anak) secara emosional belum siap. untuk suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet training ini, sering kali dibutuhkan suatu bentuk reward atau reinforcement yang bisa menunjukkan kalau ada kemajuan yang dilakukan anak. dengan sistem reward yang tepat anak juga bisa melihat sendiri kalau dirinya bisa melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa yang sudah menjadi tuntutan untuknya, sehingga hal ini akan menambah rasa mandiri dan percaya dirinya. orang tua bisa memilih metode peluk cinta dan pujian di depan anggota keluarga yang lain ketika dia berhasil melakukan sesuatu atau mungkin orang tua menggunakan system bintang yang ditempelkan di bagian keberhasilan anak. anak apabila berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum melakukan dengan baik (sugiarti. 2008 dalam kartini, 2013). peneliti berasumsi bahwa anak akan merasa senang apabila mendapatkan reward atau hadiah dari orang tuanya, selain anak merasa senang saat mendapatkan reward atau hadiah, pemberian reward atau hadiah juga memberikan motivasi dan semangat yang tinggi kepada anak untuk melakukan yang lebih baik lagi sehingga anak tidak merasa terbebani dengan tugas yang harus ia capai diusianya yang masih kecil. dalam mengaplikasikan toilet training kendala yang sering ditemui adalah orang tua kurang memberikan pujian dan reward atau hadiah kepada anaknya sehingga anak kurang bersemangat dan merasa terbebani dan anak kurang termotivasi untuk lebih baik lagi dalam melakukan toilet training. akan tetapi jika terlalu sering memberikan reward atau hadiah kepada anak, agar anak tidak terbiasa untuk selalu meminta hadiah jika orang tua menyuruh anaknya melakukan sesuatu. dan selalu tepatilah apabila orang tua menjajikan sesuatu kepada anaknya karena apabila orang tua tidak bisa menepati janjinya maka anak akan merasa kecewa dan tidak mau lagi melakukan perintah dari orang tua. karakteristik responden berdasarkan pola asuh orang tua berdasarkan tabel 2.1 sebagian besar yaitu hampir seluruhnya 91% (50 anak) pola asuh orang tua tidak sesuai dengan kesiapan anak. dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang lebih ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat retentive dimana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak saat buang air besar atau buang air kecil atau melarang anak saat berpergian. bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional dan suka seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari (hidayat, 2005). hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh jayanti, d dan pratiti (2009) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang lebih erat antara pola asuh orang tua terhadap kemandirian toilet training. hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh ustari (2006) yang menyatakan 207 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.204-208 bahwa keberhasilan toilet training pada anak usia 4-6 tahun dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. peneliti berasumsi bahwa kegagalan toilet training pada anak dipengaruhi oleh pola asuh orangtua/wali, orangtua/wali memberikan aturan yang terlalu ketat misalnya orang tua menuntut anaknya untuk bisa melakukannya apabila anak tidak bisa melakukannya dengan baik orang tua memaksakan anaknya agar bisa melakukan pada saat itu juga dan orang tua sering memarahi anaknya sehingga membuat anak bersikap keras kepala dan suka seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari-hari sehingga akan menyebabkan kegagalan toilet training. selain itu pendidikan orang tua atau wali juga berpengaruh terhadap keberhasilan dan kegagalan toilet training toilet training, karena semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya anak dalam melakukan toilet training, begitu juga sebaliknya apabila pendidikan orang tua rendah maka anak bisa dikatakan terlambat dalam melakukan toilet training. peneliti berasumsi kasih sayang dan perhatian yang dimiliki ibu atau wali mempengaruhi kualitas dalam penerapan toilet training dimana ibu yang perhatian akan memantau perkembangan anak, maka berpengaruh lebih cepat dalam melatih anak melakukan toilet training. dengan dukungan dan perhatian ibu atau wali maka anak akan lebih berani atau termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan. karakteristik responden berdasarkan cara mengajarkan toilet training. berdasarkan tabel 3.1 hampir setengahnya yaitu sebesar 95% (52 anak) cara mengajarkan toilet training salah. toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet training pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk kedalam wc anak akan lebih cepat beradaptasi. anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. melakukan secara rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air. anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari, terutama 20 menit setelah bangun tidur dan selesai makan, ini bertujuan agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. anak sesekali enuresis (mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. anak apabila berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum melakukan dengan baik (sugiarti. 2008 dalam kartini, 2013). hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh kresida (2009) yang menyatakan bahwa semakin baik praktik ibu semakin baik juga kemampuan anak dalam toilet training. peneliti berasumsi bahwa cara atau metode pengajaran toilet training yang kurang tepat membuat anak kurang mengerti dan memahami pentingnya buang air kecil dan buang air besar di kamar mandi, anak juga kurang memahami bagaimana cara melakukan toilet training dan tidak mengikuti tahapan secara konsisten, sehingga anak gagal dalam melakukan toilet training, ketrampilan dan kemampuan ibu dalam mengaplikasikan toilet training sangat diperlukan agar anak tidak gagal lagi dalam melakukan toilet training. simpulan dan saran simpulan berdasarkan pada hasil analisis terhadap faktor-faktor penyebab kegagalan toilet training pada anak usia 4-6 tahun di rw 05 desa pujiharjo kecamatan tirtiyudo kabupaten malang, terdapat 3 faktor yang paling dominan yaitu cara mengajarkan toilet training, kesiapan emosional dan pola asuh orang tua saran agar pemberi pelayanan kesehatan di pujiharjo memberikan konseling kepada orang tua tentang toilet training sehingga orang tua dapat mengajarkan toilet training dengan benar. daftar rujukan alexandra, vermandel. 2008. toilet training of healthy young toddlers: randomized trial between a daytime wetting alarm and timed potty training. journal of developmental & behavioral pediatrics, 29(3): 191196. blum, n. j.,dkk. 2003. relationship between age at initiation of toilet training and duration of training. a prospective study of pedtries. ekanuru.l (2012). hubungan pengetahuan, sikap dengan praktek ibu dalam toilet training pada balita diperumahan kini jaya kelurahan kedungmundu kecamatan tembalang semaran. diunduh tanggal 03 oktober 2012 jam 12:48:30 pm hidayat, aziz alimul. 2005. pengantar ilmu keperawatan anak. jakarta: salemba medika jayanti, d & pratiti, b. 2009. perbedaan pola asuh ibu terhadap kemandirian toilet training di desa (paud aisyiyah cabang kasihan bantul) dengan kemandirian toilet training di kota (playgroup nur aini) yogyakart. skripsi universitas muhammadiyah yogyakarta. agustina dan feri sapta, faktor-faaktor dominan.............208 kartini, 2013 faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dlam mengaplikasikan kesiapan pada anak usia 2-4 tahun di desa miruk kecamatan krueng barona jaya kabupaten aceh besar.http://180.241.122.205/doc%20jurnal %20/%20 mauli kartini%20%09.diakses pada tanggal 21 oktober 2013 jam 11:24:42 keen, deb. 2007. toilet training for children with autism: the effects of video modeling. journal of developmental and physical disabilities, 19(4): 291303. klijn, aart j. 2006. home uroflowmetry biofeedback in behavioral training for dysfunctional voiding in schoolagechildren:a randomized controlled study. the journal of urology, 175(6): 2263–2268. ustari. 2006. efektifitas pola asuh orang tua terhadap keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah (4-6 tahun) di tk wahid hasyim malang. skripsi universitas muhammadiyah malang. warner, p&paula, k. 2007. mengajari anak pergi ke toilet. jakarta : arcan wald, ellen r. 2009. bowel habits and toilet training in a diverse population of children. journal of pediatric gastroenterology & nutrition, 48(3): 294– 298. e:\2021\ners agustus\15--jurnal 228 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 228–233 the stress level of elderly who lives with family at home and at nursing home dyah widodo1, ganif djuwadi2 1,2nursing department, poltekkes kemenkes malang, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 05/07/2021 accepted, 21/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: stress, elderly, home, nursing home article information abstract elderly is the last stage of human life. adaptation to loss and limitations in old age is influenced by previous personalities. the presence of people closest to the elderly can affect the level of stress and feelings of worthlessness that lead to depression. the objectives of the study analyzed the differences stress levels in the elderly who received social support from family at home and from peers in the nursing home. the design of the study was comparative study. the population was the elderly who live in nursing home and who live with their families in east java. the sample was 60 people, divided into 2 (two) groups, each group was 30 people taken by purposive samples. the stdy was done on malang raya and tresna werdha social service pandaan nursing home (east java). the study was conducted in 2018. the instruments study used questionnaires. the data analysis used independent sample t-test. the results showed that there was no difference in the psychological condition stress level of the elderly who received social support from family at home and from peers in the nursing home with alpha value 0.053 greater than alpha 0.05. it is expected that families and managers of the nursing home to provide good support to the elderly so that the elderly avoid the stress. © 2021 journal of ners and midwifery 228 correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: dyah_widodo@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p228–233 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p228-233&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 229widodo, djuwadi, the stress level of elderly who lives with family at home and ... introduction elderly is a stage of human life that is the last in the period of life. as stated by hurlock (2011) that elderly or old age is the closing period in a person’s life span, which is a period in which a person has moved away from the previous period that was more pleasant or moved from a time that was full of benefits. the success of development in all fields including development in the health sector is able to boost the quality of human life and the quality of their health. the impact of improving the quality of health is an increase in life expectancy. the projection of the average life expectancy of the indonesian population compared to the world population in 2000 to 2100 shows a slightly higher trend where in 2000 the life expectancy of the indonesian population was 68.1 while the world population was 67.1. meanwhile, in 2100, the life expectancy of the indonesian population is 84.5 and the world’s is 82. 8. t his shows the success of indonesia’s development, but on the one hand increasing the life expectancy is a big challenge in terms of the increasing burden of dependents (depkes ri, 2018). the increase in the elderly population from year to year when compared to other age groups. in 2013 there were 8.9% in indonesia and 13.4% in the world. in 2050 there will be 21.4% in indonesia and 25.3% in the world. in 2100 there will be 41% in indonesia and 35.1% in the world. on the other hand, there is a downward trend for the 0-14 years and 15-59 years age groups. the composition of the elderly population in indonesia in 2012 was 7.59% of the total population, with the number of female elderly population 54% or 10,046,073 people which was higher than men 46% or 8,538,032 people. as the number of elderly people increases, the number of dependents, which is a number that expresses the ratio between the number of unproductive ages (<15 years and >64 years) and the number of pr oductive a ges (15-64 yea r s) increases(depkes ri, 2018). aging is a natural process experienced by human. age development also has an impact on increasing health problems. at this time, humans will experience a process of physical, psychological and social decline that cannot be avoided. this process is a universal picture, where various changes occur in the human body, including mental and social changes at different rates between individuals. at this time a person has experienced various things in his life, faced many problems and challenges and carried out various activities that were beneficial for himself and his environment. along with increasing a ge, psychosocial changes occur in the elderly, including: retirement, feeling or being aware of death (sense of awareness of mortality), changes in way of life, loss in the socio-economic field due to dismissal from office (economic deprivation), family, close friends, social position, residential home, money, greatly affects their sense of security, chronic illness and disability, sensory disturbances, physical disorders, especially related to blood vessel and brain disorders, nutritional disorders due to loss of position, series of losses, namely loss of relationship with friends and family, loss of physical strength and strength, for example: changes in self-image, and changes in self-concept, sex in the elderly also changes and can cause problems (wahjudi nugroho, 2000). adaptation to loss and limitations in old age is influenced by previous personalities. someone who was previously able to adjust and had good social integration was generally more able to adapt in old age. but not infrequently encountered problems of stress and anger mixed with fear due to limited ability. factors that influence mental changes in old age include: physical changes especially the sense organs, general health, education level, heredity and environment. one of the environmental factors is living conditions. in old age, there are elderly people who live together with loved ones, but there are also those who have to live in nursing home. of course, these conditions are very much different from each other and are thought to affect the psychological condition of the elderly. the presence of people closest to the elderly can affect the level of stress and feelings of worthlessness that lead to depression. this elderly psychological condition needs to get comprehensive treatment so that it does not continue to have serious mental health problems. support for the elderly through communication between the elderly and other people needs to be encouraged so that the elderly get friends as consolation, as stated by rakhmat,j (2012) that one of the functions of communication is entertaining, sending entertaining messages so that the communicant enjoys. this can be obtained by the elderly both from the family if they live at home with their fam230 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 228–233 ily and from their peers if the elderly live in a nursing home. based on the description above, it is necessary to conduct study on “differences in the psychological condition of stress levels in the elderly who receive social support from family at home and from peers at nursing home. the purpose of this study was to analyze differences in the psychological condition of stress levels in the elderly who live with their families at home and in nursing home. methods this methodology of the study was a causal comparative study which was a study that compares 2 groups without study intervention, where a different test of stress level variables was carried out in the elderly group who lives at home with their family and the elderly group who lives in a nursing home. the population in this study was the elderly who live in nursing home and who live with their families in east java. the sample was determined by the sample size table from sugiyono (2010), with an alpha of 5%, the sample size is 58 people. furthermore, the sample size was rounded up to 60 people, who were divided into 2 (two) groups, each with 30 people per group. the sample in this study was a part of the population that met the inclusion criteria. the respondents’ inclusion criteria were as follows: 1). age 45 years and over (middle age according to who); 2). lives at home with family in malang raya or in nursing home east java; 3). do not have dementia; 4). not suffering from chronic disease and terminal illness; 5). willing to be a respondent. the sampling technique used purposive sampling, which was done by taking subjects not based on strata, random or regional but based on certain goals (suharsimi arikunto, 2013). the study instrument used to measure stress levels was a questionnaire from the kessler psychological distress scale (gavin andrews,. 2001). study location: malang raya and tresna werdha social service pandaan nursing home (east java), the study was conducted in 2018 the results of the study were processed using descriptive statistics and inferential statistics, independent sample t-test with an alpha of 0.05. this study was conducted by taking into account the ethical principles of study that prioritize the safety and welfare of the respondents. results in the following, data on the results of the study are presented including demographic data, stress male 14 (46,7) 2 (6.7) female 16 (53,3) 28 (93,3) age: middle age (45-59 years old) 26 (86,7) 2 (6,7) elderly (60-74 years old) 3 (10.0) 19 (63,6) old (75-90 years old) 1 (3.3) 8 (26,7) very old ( >90 years old) 0 (0) 1 (3,3) education: no school 0 (0) 12 (40,0) graduated from elementary school 6 (20,1) 8 (26.7) graduated from middle school 7 (23,3) 3 (10,0) graduated from high school 7 (23,3) 5 (16,6) graduated from college 10 (33,3) 2 (6,7) profession: retired 8 (26,7) 1 (3,3) actively working 15 (50,0) 0 (0) does not work 7 (23,3) 29 (96.7) table 1. distribution of demographic data of elderly respondents in east java in 2018 variables the elderly who lived with the elderly who lived in their families n (%) nursing home n (%) gender : 231widodo, djuwadi, the stress level of elderly who lives with family at home and ... table 2. distribution of stress levels of elderly respondents in east java in 2018 variables the elderly who lived with the elderly who lived in their families n (%) nursing home n (%) stress levels: score < 20 (no stress) 17 (56,7) 26 (87,7) score 20-24 (mild stress) 8 (26,7) 3 (10,0) score 25-29 (moderate stress) 3 (10,0) 0 (0) score > 30 (severe stress/mental disorder) 2 (6.6) 1 (3,3) levels and differences in stress levels in the elderly between those living with their families at home and in nursing home for the elderly. 1. respondent demographic data based on table 1, it is known that most of the elderly are women who live with their families (53.3%) and who live in nursing home (93.3%). the age of most of the elderly in the group living in the family is middle age 45-59 years old (86.7%) and most of the elderly in the group living in nursing homes are elderly 60-74 years old (63.6%). the oldest age in the family is 83 years old and in the nursing home is 93 years old. the education level of most of the elderly who living in the family is college graduate (33.3%) and most of the elderly in the group living in nursing homes are not school (40.0%). for work status, most of the elderly living in the family are actively working (50%) and most of the elderly in the group living in nursing home does not working (96.7%) or in other words, their lives have been guaranteed by the nursing home management. 2. stress level based on table 2, it is known that most of the elderly who live with their families are not stressed (56.7%), but in fact there are those who experience severe stress, namely 6.7%, while most of the elderly who live in nursing home do not experience stress (87.6%). 3. differences in psychological conditions of stress levels in elderly who living with family at home and in nursing home the results of the inferential test (difference test) independent sample t-test between stress levels in the elderly who live with their families at home and in the nursing home, obtained a sig-2 tailed value of 0.053 which is greater than alpha 0.05. so there is no significant difference between the level of stress in the elderly who live with their families at home and in nursing home. discussion in the following, a discussion is presented which is the relationship between the results and the literature review. the discussion will be presented in accordance with the study objectives. from the results of the study in table 1, it is known that most of the elderly, both those living with their families and those living in nursing home, do not experience stress. this shows that wherever the elderly live, they feel comfortable. of course all of that is related to social support, both from the family and from the management of the nursing home. sources of family support can be in the form of internal family support, such as support from husband/wife, support from siblings, support from children and support from external families such as support from friends, neighbors, schools, extended family, places of worship, health practitioners friedman (2010). meanwhile, the elderly who live in nursing home must have guaranteed the fulfillment of their daily needs from the nursing home management. all of this gives them a sense of security even though they are far from their family or have no family anymore. in terms of age, most of the elderly in the group who live in the family are middle age which according to the world health organization who (wahjudi nugroho, 2000) is 45-59 years old (86.7%) and most of the elderly in the group who live in nursing home, the age is elderly 60-74 years (63.6%). aging is a natural process. everyone will experience growing old. at this time humans will experience a process of decline both physically, psychologically and socially that cannot be avoided. elderly or old age is the closing period in a person’s 232 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 228–233 life span, which is a period in which a person has moved away from a more pleasant previous period or moved from a time that is full of benefits (hurlock, 2011). in old age, the aging process occurs naturally with increasing age. psychological changes that occur can also be associated with mental accuracy and an effective functional state (maryam, 2018). the results of the inferential test (difference test) independent-t test between the psychological condition of the stress level in the elderly who received social support from family at home and from peers at the nursing home obtained a sig-2 tailed value of 0.053 which was greater than alpha 0.05. the difference in the figures shown is actually very small, but it still shows a conclusion that there is no significant difference between the psychological condition of the stress level in the elderly who receive social support from family at home and from peers at nursing home. general problems that are often experienced by the elderly according to wahjudi nugroho (2000) include being physically weak and helpless, so they have to depend on others, their economic status is very threatened, so it is reasonable to make major changes in their lifestyle, find new friends. to replace a husband or wife who has died, gone away or is disabled. this condition is a stressor for the emergence of stress in the elderly. the cause of this stress is called a stressor (giardino, 2005; in yekti mumpuni & a.w, 2010). stress is the body’s reaction (response) to the environment that can protect us which is also part of the defense system that keeps us alive. stress is a certain reaction that appears in the body that can be caused by various demands, for example when humans face important challenges, when faced with threats, or when we have to try to overcome unrealistic expectations from the environment (nasir, 2009). according to hans selye (don colbert, 2011), there are 3 stages of the stress response, namely: 1) the alarm stage, generally this reaction causes an increase in adrenaline secretion in a short time, which results in a high emotional reaction; 2). resistance stage. at this stage, the body tries to adapt to the negative situation that occurs. the body continues to secrete stress hormones, especially cortisol. cortisol will stimulate the endocrine system in the body. when experiencing stress, the hypothalamus produces crh (cortocothropin releasing hormone). furthermore, the hormone causes the release of another hormone – acth (adrenocorticotropic hormone) by the pituitary gland. acth stimulates the adrenal glands to produce cortisol, which is a steroid hormone that can stimulate the release of fat, sugar, and amino acids into the blood to produce energy; 3). exhaustion stage. at the stage of exhaustion, the body begins to increase the risk of developing chronic diseases. this stage refers to the occurrence of fatigue in the adrenal glands. this adrenal gland exhaustion will usually cause mental, physical, emotional, and organs and systems in the body that experience prolonged stress. stress is a condition that suppresses the individual caused by an imbalance between the abilities possessed and the existing demands. stress is a complex mechanism and produces interrelated responses, both physiological, psychological and behavioral in individuals who experience it. stress is a physiological and psychological reaction that occurs when a person feels an imbalance between the demands faced and his ability to cope with these demands (nasir, 2009). basically, stress is divided into distress (negative) and eustress (positive). stress is said to be positive if every event faced with positive thinking and every incoming stimulus is a valuable lesson and encourages a person to always think and behave how and what to do in order to bring benefits and not disaster. in the eustress condition, it should be realized when the condition of the body and mind is in a balanced state, feeling energetic, adaptable and in a relaxed state (nasir, 2009). as emphasized in webster’s dictionary, stress is a physical, chemical, or emotional factor that can cause tension in the body or mentally and which can act as a factor causing disease. with the condition that the majority are not stressed in elderly respondents, it will be able to reduce the factors that cause disease. the elderly can work optimally according to their age. hopes to stay healthy and productive in old age will come true. conclusions based on the results of study and discussion, it is concluded that: there is no difference in stress levels in the elderly who live with their families at home and in nursing home with a sig-2 tailed value of 0.053 which is greater than an alpha of 0.05. most of the elderly who live with their families are not stressed 233widodo, djuwadi, the stress level of elderly who lives with family at home and ... (56.7%), as well as the elderly who live in nursing home also do not experience stress (87.6%) suggestion it is recommended for families and administrators of nursing home to: continue to provide good support to the elderly so that the elderly avoid severe stress that can interfere with their health. providing activities or always involving the elderly so they don’t feel lonely and bored during their lifetime refferences depkes ri (2018) ‘pusat data dan’, kementerian kese hat an r i , p. 1. avai l a bl e at : ht t ps: / / www.depkes.go.id/article/view/18030500005/ w a s p a d a i p e n i n g k a t a n p e n y a k i t menular.html%0ahttp://www.depkes.go.id/article/ view/17070700004/program-indonesia-sehatdengan-pendekatan-keluarga.html. gavin andrews and tim slade (2001) ‘interpreting scores on the kessler psychological distress scale (k10)’, australian and new zealand journal of public health 2001 vol. 25 no. 6, 25, pp. 494– 497 hurlock, e. b. (2011) ‘psikologi perkembangan/ : suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan edisi kelima’, jakarta/ : erlangga, (edisi 5), pp. 205– 243. maryam, e. and rosidawati (2018) ‘mengenal usia lanjut dan penangannya’. jakarta: salemba medika. nasir, a. and muhith, a. (2009) ‘dasar-dasar keperawatan jiwa: pengantar dan teori’. rakhmat, j. (2012) ‘psikologi komunikasi’. bandung: rosda. sugiyono (2010) ‘statistika untuk penelitian’. bandung: alfabeta. suharsimi arikunto (2013) ‘prosedur penelitian suatu pendekatan praktik’. jakarta: rineka cipta. wahjudi nugroho (2000) ‘keperawatan gerontik.pdf’. jakarta: egc. yekti mumpuni, a. w. (2010) ‘cara jitu mengatasi stres. yogyakarta. andi offset friedman, m. m. and vicky r. bowden, e. 0. j. (2010) ‘buku ajar keperawatan keluarga: riset, teori, & praktik= family nursing: researh, theory and practice’. jakarta: egc . e:\2021\ners agustus\18--jurnal 247ayuningtyas, agustina, noviasari, developing female-genital infection preventive behavior tool (fgipbt) for ... developing female-genital infection preventive behavior tool (fgipbt) for islamic boarding school population based on the integrated behavior model kanthi devi ayuningtyas1, ika agustina2, ita noviasari3 1,2,3midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 30/06/2021 accepted, 27/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: instrument, female-genital infection, islamic boarding-school, preventive behavior, ibm article information abstract female-genital infection in adolescence causes discomfort and may develop into a serious issue. islamic boarding school female students are a population at risk of getting a female-genital infection due to the lack of hygiene practice sum up with the lack of parental control. prevention of female-genital infection through behavioral change is mandatory but the changes in behavior are not an effortless thing. there are underlying constructs that predispose the behavior as described in the integrated behavior model (ibm). dealing with those constructs will facilitate the change of behavior. however, there was no exact tool for assessing construct that determines the female-genital infection preventive behavior, especially for islamic boarding school female-student population. that was the major reason for the female-genital infection preventive behavior tool (fgipbt) development. we generated a tool based on ibm constructs and the indonesian society of dermatology and venereology (insdv) recommendation regarding genital infection preventive behavior. a deductive method of item generation, expert judgments, and internal consistency test involved 143 female-student from 3 different islamic boarding schools was done to generate a valid and reliable tool. total 177 valid items composed on the first phase and two different arrangements of items has subjected the reliability on the second phase. items that were arranged based on behavior items and assessed every ibm construct (type 1) had higher reliability value than items that were arranged based on ibm construct for all behavior items (type 2). assessing different construct for each point of behavior at the same time generate more reliable data than assessing the same construct for all points of behavior. © 2021 journal of ners and midwifery 247 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: kanthideviayuningtyas@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p247–254 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p247-254&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p247-254 248 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 247–254 introduction female-genital infection is a pathological condition that commonly happens during a women’s lifetime. this infection is mostly caused by yeast infection with the common pathogen is candida albicans. nevertheless, some other pathogens such as bacteria viz. gardnerella vaginalis, chlamydia trachomatis, and mycoplasma; protozoan parasite i.e. trichomonas vaginalis (deligeoroglou et al., 2004); even pox virus namely molluscum contagiosum, inflict infection on the genital area (vilano & robbins, 2016). the presence of pathogens in the female sensitive area is not always related to sexually transmitted infection. the female-genital infection known as vulvovaginitis is the most common gynecological complaint among child and adolescent girls (loveless & myint, 2018), yet causes discomfort and elicits serious concern for parents due to its sensitive location. the etiology of vulvovaginitis in the pre-pubertal or sexually inactive adolescent is not specific, possibly associated with hygiene practice (loveless & myint, 2018). infr equently handwashing, do not thoroughly wiping after urinate or bowel movement, wearing tight-fitting synthetic clothing and underwear, also contact with chemicals contain in soap, detergent (zuckerman & romano, 2016), or sanitary pad, lead up to vulvar infection. furthermore, some type of pathogen specifically molluscum contagiosum which is common in children, transmitted skin to skin through sharing of towels or any other bathing items (vilano & robbins, 2016). one of the populations at risk of getting a female-genital infection is female students at islamic boarding schools. these students most likely have poor hygiene practice due to the lack of parental control along with poor knowledge on maintaining female genital organs. lived in a crowded dormitory with limited care from parents or guardians, and not having trusted adults to share their genital problem may let their genital infection unspoken and unhandled. even though female-genital infection in sexually inactive adolescents especially in the islamic boarding school population could be prevented by maintaining good hygiene practice, but first we have to understand factors affecting that behavior. as disclosed by fishbein et al. (2001), understanding why people behave the way they do is the first step to change their behavior. the more we comprehend the variables behind their action, the more likely behavioral intervention program could succeed. however, there were no valid and reliable instruments for assessing female-genital infection preventive behavior and factors affecting that behavior in the islamic boarding school setting. this study aims to develop a valid and reliable instrument for assessing female-genital infection preventive behavior and its determinants, especially for the islamic boarding school population. integrated behavior model (ibm) as published in montaño & kasprzyk (2015) was chosen to be an instrument framework regarding its comprehensive variables to predicting behavior. method fgipbt was developed based on ibm main constructs i.e. attitude toward behavior consists of experiential and instrumental attitude; perceived norm consists of the injunctive and descriptive norm; perceived control and self-efficacy as part of personal agency; knowledge and skill to perform behavior; the salience of the behavior; environmental barrier; intention to perform the behavior; also the habit/ behavior itself. deductive methods were used to identify proper questions that fit into the questionnaire. as reviewed by boateng et al., (2018), the deductive method on item generation could be done through literature review and/or assess the existing scale and indicators. since there was no existing scale on female-genital infection preventive behavior for the islamic boarding school population that developed based on ibm’s construct, we merely used literature review to generate question items. two-phase questionnaire development was conducted in this study. three types of tests were conducted to generate a valid and reliable questionnaire, viz. content-validity test, face-validity test, and reliability test. the content-validity test was the initial test, done by asked judgment from experts for the appropriateness of the items. a panel discussion with reproductive health and health promotion and behavioral science experts was conducted to generate the items pool. the face-validity test was conducted by asked respondents to leave a mark on the item that was difficult to understand or simply left the respond column blank. items with that mark were then revised and re-tested. both of content-validity and face-validity test was administered in the first phase. a list of valid items from 249ayuningtyas, agustina, noviasari, developing female-genital infection preventive behavior tool (fgipbt) for ... this phase was then tested in the second phase to assessed their reliability. two types of items templates were tested in the second phase. the first template arranged questions based on the points of female-genital infection preventive behavior while in the second template, questions were arranged by separating each of the ibm constructs. the reliability test was done by assessing the internal consistency of each scale. as stated by tavakol & dennick (2011) that to ensure validity, the internal consistency of a scale should be subjected before it could be employed in the research. the cronbach’s alpha coefficient was used to evaluate the consistency in every scale. meanwhile, the correlation coefficient was used to check whether each item was quite related to the measured construct. items with a correlation coefficient less than the minimum value were considered to be excluded. there were three groups of the respondent participated in this study. the first group for the first phase test while the second and third groups for the second phase test. as noted above, the first group clarified the face-validity of the tool, after that, the tool’s reliability was acquired from the second and third groups based on two different types of items template. respondents were chosen conveniently. we specified that the respondent must be pubertal female students aged 10-19 years old (refer to world health organization [who] searo (2018) categorization of adolescent) who stayed at least six months in the dormitory, then the dormitory caretakers decided on students who took the test based on the dormitory schedule. informed consent was obtained from all respondents. a paper-based questionnaire was distributed to the selected respondents and collected right away after it was completed. data from the completed questionnaire was then tabulated into a microsoft exel format before being copied and analyzed in version 13 of stata by statacorp. result item generation fgipbt was generated in indonesian. in the first phase, fgipbt contains 36 question items. however, those questions judged by experts had less appropriateness and could not define ibm construct enough. furthermore, a recommendation from the indonesian society of dermatology and venereology (insdv, 2018) on preventing genital infection was used to generate items for behavior and its determinants. there were nine points of preventive behavior on the insdv recommendation that we elaborated into 17 behavior items for the second phase test. items for the other constructs (except knowledge and environmental barrier) were developed based on those behavior items. hence the second phase used developed questionnaire consist of 177 question items. fgipbt has 11 constructs generally based on ibm’s main construct. the entire construct was directly measured with a modification of the bipolar likert scale. score range varied from 1 to 4 or 1 to 3 and reversed for items with negative statements. this small range of the response option was created based on experts’ recommendations to simplify the tool so that it would be more suitable for the targeted subject. two types of tool templates were tested in the second phase. those templates used the same questions in a different order. the type 1 tool that was tested in the second group has 17 sections to assesses the ibm’s construct for each female-genital infection preventive behavior plus 2 sections assessing knowledge and skill to perform the behavior and also the environmental barrier. meanwhile, the type 2 tool that was tested in the third group has 11 sections assessing each ibm’s construct related to entire female-genital infection preventive behavior. insdv recommendation fgipbt behavior item wiping genital thoroughly (1) handwashing before touching genital area; (2) wiping from front area to back when taking bath, (3) after voiding, (4) after a bowel movement, (5) when changing menstrual pad table 1. behavior items generation based on insdv’s recommendation 250 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 247–254 keep the genital area dry (6) dry wiping genital area before putting underwear; (7) change the underwear immediately when feeling moist on the genital area; (8) change the menstrual pad immediately when feeling moist on the genital area avoiding panty-liner used (9) avoiding panty-liner to detain vaginal discharge frequently changing menstrual pad (10) changing menstrual pad every 3-4 hours a day frequently shaving thorough genital area (11) shaving routinely; (12) using private shaving tools avoiding tight-fitting underwear (13) avoiding tight-fitting underwear avoiding insert any (14) avoiding inserting any instrument into the vagina instrument into the vagina ensure sanitary practice (15) using clean water running directly from pipe to wipe while using a public toilet immediately do a check-up (16) discussing any genital issues with a trusted adult; when got a genital issue (17) seeking treatment immediately when having genital issues table 2. construct identification no 1. 2. 3. 4. 5. 6. construct female-genital infection preventive behavior / preventive habit salience of the female-genital preventive behavior subjective (injunctive) norm descriptive norm experiential attitude (affect) instrumental attitude definition certain behavior to prevent female-genital infection the perception that certain behavior is important to do in order to prevent female-genital infection.the key expression used such as “it is important for me to do …” strong opinion about whether most members of the population agree or disagree to a certain femalegenital infection preventive behavior.the key expression used such as “most female students believe that …” strong opinion about whether most members of the population perform or not perform a certain femalegenital infection preventive behavior. the key expression used such as “most female students do …” affective evaluation like a pleasant/ unpleasant or enjoyable/ unenjoyable to perform a certain femalegenital infection preventive behavior. the key expression used such as “i feel comfortable to do …” general evaluation of a certain female-genital infection preventive behavior, like good/ bad or wise/ foolish.the key expression used such as “doing … is a good thing to do.” response opt. always; often; seldom; never strongly relate; relate; unrelated; strongly unrelated strongly agree; agree; disagree; strongly disagree strongly agree; agree; disagree; strongly disagree strongly relate; relate; unrelated; strongly unrelated strongly agree; agree; disagree; strongly disagree 251ayuningtyas, agustina, noviasari, developing female-genital infection preventive behavior tool (fgipbt) for ... 7. 8. 9. 10. 11. self-efficacy perceived behavioral control intention to perform femalegenital preventive behavior knowledge and skill to perform female-genital preventive behavior environmental barrier belief about own ability to perform a certain femalegenital infection preventive behavior.the key expression used such as “i am capable to do …” perceived control over a certain female-genital infection preventive behavior.the key expression used such as “it is easy for me to do …” perceived likelihood to perform a certain femalegenital infection preventive behavior.the key expression used such as “i intend to …” skill to perform a certain female-genital preventive behavior based on the right knowledge. the possible boarding school environment constraint that hinders female-genital preventive behavior. strongly relate; relate; unrelated; strongly unrelated strongly relate; relate; unrelated; strongly unrelated yes; no; doubt strongly relate; relate; unrelated; strongly unrelated strongly agree; agree; disagree; strongly disagree table 3. differences of type 1 and type 2 tools type 1 number of items: 177 number of sections: 19 number of items per section: 9 / 10 / 14 question details (e.g. section 1):(1) i wash my hand before touching my genital area, (2) it is important for me to wash my hand before touching my genital area, (3) most female students believe that wash hands before touching the genital area is a must, (4) most female students wash their hand before touching the genital area, (5) i feel comfortable to wash my hand before touching my genital area, (6) washing my hand before touching genital area is a good thing to do, (7) i am capable to i wash my hand before touching my genital area, (8) it is easy for me to wash my hand before touching my genital area, (9) i intend to always wash my hand before touching my genital area type 2 number of items: 177 number of sections: 11 number of items per section: 17/ 10 / 14 question details (e.g. section 1):(1) i wash my hand before touching my genital area, (2) i use clean water running directly from pipe to wipe, (3) i wipe from front area to back when taking bath, (4) i wipe from the front area to back after voiding, (5) i wipe from front area to back after a bowel movement, (6) i wipe from front area to back when changing the menstrual pad, (7) i dry wipe genital area before putting underwear, (8) i prefer changing underwear frequently to using panty-liner to detain vaginal discharge, (9) i change my underwear immediately when feeling moist on the genital area, (10) i avoid wearing tight-fitting underwear, (11) i shave routinely, (12) i use my personal shaving tool, (13) i change the menstrual pad 3-4 times a day, (14) i change the menstrual pad immediately when i feel moist in the genital area, (15) i avoid inserting any tool inside the vagina, (16) i discuss any genital issue with a trusted adult, (17) i see health provider immediately when i have a genital issue participant three groups with a total of 143 female students who lived in the dormitory were included as respondents in the validity and reliability test for developing fgipbt. every group consisted of 4160 female students from three different islamic boarding schools yet have some common characteristics. this number met the requirement of a 252 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 247–254 minimal subject for measured cronbach’s alpha, as formulated by bujang et al. (2018). the mean age of respondents was 15,1 with a range of 5 years (13-17 years old). the age of menarche varies between 9-15 years old and almost half of respondents (41,28%) got menarche at 12 years old. half of the respondents (52,29%) ever received information regarding reproductive and genital health from various sources. 41 female students in group 1 were asked to give their response on how clear every item in the tool is written. another 42 and 60 female students in the second and third groups respectively, were asked to complete different templates of fgipbt. validity and reliability the type of validity test that was used in fgipbt development was the content and face validity. there were two experts in reproductive health and one expert in health promotion and behavioral science who gave their opinion and content validation on the question items. the next step was the face validity done by asking the islamic boarding school female students’ opinions on how clear the questions were written. unclear question items were modified and corrected two times to be impeccable. each item in every construct of every tool was tested for reliability. item reliable and considered to be valid if its correlation coefficient is greater than the minimum value. the minimum value of the correlation coefficient used in this study was based on the r table critical value for a certain number of samples i.e. 0,26 and 0,21 for the second and third groups respectively. cronbach’s alpha coefficient with an acceptable threshold was 0,70 used to determine the reliability of every construct of the tool. construct type 1 type 2 type 1 type 2 behavior / habit 17 0,45 0,35 0,76 0,49 salience of the behavior 17 0,55 0,46 0,85 0,76 subjective (injunctive) norm 17 0,61 0,45 0,89 0,74 descriptive norm 17 0,59 0,54 0,88 0,84 experiential attitude (affect) 17 0,63 0,51 0,90 0,81 instrumental attitude 17 0,66 0,54 0,91 0,84 self-efficacy 17 0,60 0,54 0,89 0,84 perceived behavioral control 17 0,61 0,51 0,89 0,82 intention to perform behavior 17 0,53 0,37 0,83 0,56 knowledge and skill to perform behavior 14 0,62 0,45 0,87 0,68 environmental barrier 10 0,69 0,56 0,88 0,75 table 4. reliability test total item average of correlation the numbers of items that should be deleted from the tools based on the correlation coefficient were in contrast. there were 2 items from type 1 i.e. intention to wiping the genital area from front to back when taking bath (r = 0,22), and intention to wiping the genital area from front to back when changing menstrual pad (r = 0,26). meanwhile, from type 2 there were 11 items considered to be deleted viz. 4 behavior/ habit items (behavior/ habit on handwashing before touching the genital area, avoiding tight-fitting underwear, using private shaving tools, and discussing any genital issues with a trusted adult), a subjective norm item i.e. subjective norm on avoiding panty-liner to detain vaginal discha r ge, 5 intention items (intention to handwashing before touching genital area, using clean water running directly from pipe to wipe genital area, intention to shaving routinely, and intention to avoiding inserting any instrument into the vagina), and an item from knowledge and skill to perform behavior i.e. wearing tight-fitting underwear. those unacceptable items either from type 1 or type 2 were different. there was no single item that was unacceptable in both types. coefficient (r) cronbach alpha 253ayuningtyas, agustina, noviasari, developing female-genital infection preventive behavior tool (fgipbt) for ... discussion all scales in fgipbt are based on the likert scale, as its purpose to distinguish the attribute of the respondent. krabbe (2017) noted that the likert scale is a type of scale that focuses on the subject, known as subject-centered scaling or subject-centered approach. one’s response on every scale differentiates them from another individual. we made a modification to the likert scale that was used in this tool. usually, the likert scale has odd response categories with the distance between every point of categories assumed to be linear. so, there always be a neutral option on the likert scale. this situation might be unfavorable for data collection, as respondents naturally choose that neutral option when there was a question that was hesitant to be answered. that was the major reason fgipbt mostly used an even number of response categories. we clearly distinguish options as strongly positive, strongly positive, negative, or strongly negative. the only construct in fgipbt that used odd response categories on its item was the intention to perform behavior. this construct has three options in the response column i.e. “yes – no – doubt”. fgipbt also has narrow response categories, mostly 4 points and 3 points for a single construct as mentioned before. this decisiveness due to the characteristics of the targeted population. this tool was developed especially for the islamic boarding school female-student population which is pubertal adolescents who study equally at the middle or senior high school. a board of response categories would be perplexed them and that would affect the accuracy of the response. fgipbt is a tool contain 12-13 pages that could be completed within 45 minutes. as shown in table 3, 2 types of tools consist of different number of sections, rated the reliability in this study. to compute the alpha coefficient as a reliability score of a tool that contains multiple constructs measured at the same time, recommend by nimon et al. (2012) to be done at the construct level rather than on a global test level. based on that recommendation, the reliability test in this study was done for each ibm construct (table 4) despite the items being arranged differently. reliability defines as the ratio between the true score variance of the scale and observed variance which is the true score plus the error score. if the reliability value is 1, means that there was no single error on the measurement. however, it is hard to get perfect reliability in educational and psychological research (nimon et al., 2012). the reliability value of the scale is linear with the reliability of the measurement; it is important to use a high-value reliability scale to produce reliable research. a technique that is frequently used to increasing the reliability value of the scale is increasing the number of items. a scale consist <10 items tend to has a lower reliability value (bolarinwa, 2015). another way to increase the reliability value is by increasing the sample size. as reviewed by nimon et al. (2012), studies that used a small sample size and new instrumentation likely had a reliability value equal to 0,70 or < 0,60. nevertheless, a high score of reliability sometimes means unfavorable. scholtes et al. (2011) noted the upper threshold of the reliability value i.e. 0,95. a reliability value that is higher than that point indicates a high level of item redundancy as it has items that assessing the same aspect of a construct. a contrast reliability value is shown in table 4 from both types of tools. based on the correlation coefficient between every item in every construct, type 1 has a higher average score and less number of deleted items than type 2. the value of cronbach alpha also likely indicated better reliability on type 1. even 3 scales (viz. behavior/ habit, intention to perform behavior, and knowledge and skill to perform behavior) did not meet the reliability criteria i.e. the score of cronbach alpha less than 0,70. practical reasons came up with this condition. as type 2 consists of items that are arranged based on the same construct, it was written in similar opening sentences so respondents tend to read the items carelessly and simply choose the same response as the early items. another problem caused by arranging items based on construct was respondents naturally choose the expected response rather than a response that fit their condition. keszei et al. (2010) noted that random responses from the respondent or their tendency to not giving the true answer caused an error on the measurement because items mostly answered/ responded in one way or the other that decreased the variance. conclusion despite fgipbt did not provide a construct validity test, this tool was rated to be valid for assessing ibm’s construct on female-genital infection preventive behaviors. approval from the experts and items enhancement based on the subject’s 254 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 247–254 response, also the measurement of the tool’s internal consistency made it quite reliable to be used. we highly recommend to used type 1 of fgipbt in order to gain reliable data, with the same number of items it has minimum risk of bias. suggestion regardless of the validity and reliability of this tool, progressive research should be done to improve the expediency of fgipbt. a broad sample size could precede a precise validity measurement such as cfa (confirmatory factor analysis). moreover, this tool could be a reference for further tool development with the complete item generation method through both deductive and inductive methods. last, another way of construct measurement which is indirect measure is worth doing. acknowledgment we gratefully acknowledge the funding from badan riset dan inovasi nasional republik indonesia – brin. references boateng, g. o., neilands, t. b., frongillo, e. a., melgarquiñonez, h. r., & young, s. l. (2018). best practices for developing and validating scales for health, social, and behavioral research: a primer. frontiers in public health, 6. https://doi.org/10.3389/ fpubh.2018.00149 bolarinwa, o. (2015). principles and methods of validity and reliability testing of questionnaires used in social and health science researches. nigerian postgraduate medical journal, 22(4), 195. https:/ /doi.org/10.4103/1117-1936.173959 bujang, m. a., omar, e. d., & baharum, n. a. (2018). a review on sample size determination for cronbach’s alph a test : a si mple guide for researchers. malaysian journal of medical sciences, 25(6), 85– 99. https://doi.org/10.21315/mjms2018.25.6.9 deligeoroglou, e., salakos, n., makrakis, e., chassiakos, d., hassan, e. a., & christopoulos, p. (2004). infections of the lower female genital tract during childhood and adolescence. in clinical and experimental obstetrics and gynecology (vol. 31, issue 3, pp. 175–178). https://europepmc.org/article/ med/15491059 fishbein, m., triandis, h. c., kanfer, f. h., becker, m., middlestadt, s. e., & eichler, a. (2001). factors influencing behavior and behavior change. in a. baum, t. a. reverson, & j. e. singer (eds.), handbook of health psychology (pp. 3–18). lawrence erlbaum associates. insdv. (2018, february 8). 9 cara ini bantu cegah infeksi di area genital | perdoski. https:// perdoski.id/article/detail/576-9-cara-ini-bantucegah-infeksi-di-area-genital keszei, a. p., novak, m., & streiner, d. l. (2010). introduction to health measurement scales. journal of psychosomatic research, 68(4), 319–323. https:/ /doi.org/10.1016/j.jpsychores.2010.01.006 krabbe, p. f. m. (2017). construct and scales. in the measurement of health and health status: concepts, methods, and applications from a multidisciplinary perspective (pp. 67–89). elsevier inc. loveless, m., & myint, o. (2018). vulvovaginitispresentation of more common problems in pediatric and adolescent gynecology. best practice and research: clinical obstetrics and gynaecology, 48, 14–27. https://doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2017. 08.014 montaño, d. e., & kasprzyk, d. (2015). theory of reasoned action, theory of planned behavior, and the integrated behavioral model. in k. glanz, b. k. rimer, & k. viswanath (eds.), health behavior: theory, research, and practice (5th edition). josseybass. nimon, k., zientek, l. r., & henson, r. k. (2012). the assumption of a reliable instrument and other pitfalls to avoid when considering the reliability of data. in frontiers in psychology (vol. 3, issue apr). https:/ /doi.org/10.3389/fpsyg.2012.00102 scholtes, v. a., terwee, c. b., & poolman, r. w. (2011). what makes a measurement instrument valid and reliable? injury, 42(3), 236–240. https://doi.org/ 10.1016/j.injury.2010.11.042 tavakol, m., & dennick, r. (2011). making sense of cronbach’s alpha. in international journal of medical education (vol. 2, pp. 53–55). https:// doi.org/10.5116/ijme.4dfb.8dfd vilano, s. e., & robbins, c. l. (2016). common prepubertal vulvar conditions. current opinion in obstetrics and gynecology, 28(5), 359–365. https://doi.org/ 10.1097/gco.0000000000000309 world health organization [who] -searo. (2018). strategic guidance on accelerating actions for adolescent health in south-east asia region (2018 -2022). https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/ 1 0 6 6 5 / 2 7 4 3 1 2 / 9 7 8 9 2 9 0 2 2 6 4 7 5 eng.pdf?sequence=1&isallowed=y zuckerman, a., & romano, m. (2016). clinical recommendation: vulvovaginitis. journal of pediatric and adolescent gynecology. https:// doi.org/10.1016/j.jpag.2016.08.002 321 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk hematology profile of pregnant women in trimester iii with covid-19 ririn handayani1, ernawati anggareni2, nazmi kamila3 1,2,3midwifery department, universitas dr. soebandi jember, indonesia article information abstract women pregnant classified as vulnerable groups because of changes in body physiology and immune response mechanisms in their bodies. sars-cov-2 infection in pregnancy stimulates an increase in the expression of proinflammatory cytokines, namely il-6, il-12, il-1β, dan ifnγ which can damage lung organs. the purpose of this study was to look at the hematological profile of pregnant women with covid-19, especially in the third trimester as an effort to detect the severity of the infection experienced by the mother. this study was a quantitative descriptive study with a retrospective design using secondary data from medical records. this study was carried out at dr. soebandi hospital jember, medical record data were taken from january to december 2021. the subjects of study were pregnant women in the third trimester with covid-19. the sampling technique total sampling. method of analysis in this study used a frequency distribution. results of the study showed that 100% of pregnant women with covid-19 had symptoms of cough, runny nose, fever and shortness of breath. results of the mother's hematological examination showed an increase in leukocytes (48%) and a decrease in lymphocytes (92%), most of the mothers had anemia (76%), there was a decrease in platelets (8%) and an increase in platelets (20%). in conclusion, they had the same symptoms as patients in general, including cough, runny nose, fever to shortness of breath, an increase in leukocytes and a decrease in lymphocytes, most of the mothers also experience anemia and changes to abnormal maternal platelets occur. history article: received, 03/09/2022 accepted, 12/12/2022 published, 15/12/2022 keywords: women pregnant, covid19, hematology © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas dr. soebandi jember – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ririnhandayani89@uds.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p321-327 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ririnhandayani89@uds.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p321-327 322 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 321-327 introduction covid-19 is a disease that is endemic almost all over the world that is capable of infecting the entire community, especially the category of vulnerable groups. groups categorized as vulnerable include the elderly, pregnant, individuals who suffer from weakness, or who have several chronic conditions such as having diabetes, heart disease, chronic lung disease, cancer, immune disorders, blood clotting problems, or leading to other conditions like sepsis (pradana, 2020). based on data obtained from the indonesian obstetrics and gynecology association (pogi) there were 536 pregnant women exposed to covid-19 in the period april 2020 to april 2021. as many as 3% of them died. similar data has been reported from rsud dr soetomo, surabaya, east java, which stated that 28 pregnant women had died due to exposure to covid-19 in the period july to august 2021 (maharani, 2021). cases of maternal deaths in jember regency in 2020 were recorded as many as 61 cases of death with details of 22 deaths of pregnant women, 9 deaths delivery mothers, and 30 cases of postpartum maternal deaths. it appears that in 2020 maternal mortality has increased compared to 2019, namely from 47 maternal deaths to 61 maternal deaths (profi kesehatan jember, 2020). several cases have been reported, 80% of patients with sars-cov-2 infection are asymptomatic or with mild symptoms, 15% with moderate symptoms and 5% with severe symptoms (rohmah, 2020). pregnant women are a group that is susceptible to health problems, especially infectious diseases due to changes in body physiology and immune response mechanisms in their bodies (nurdianto, 2020). in addition, there is also a change in the body's immunity from the th1 to the th2 direction. where th2 is a producer of cytokines il-4, il-10, il-13, and tgfβ which act as anti-inflammatory (nurdianto, 2019). the shift in the t helper population makes pregnant women more susceptible to infection, including sars-cov-2 infection. sars-cov-2 infection in pregnancy stimulates an increase in the expression of proinflammatory cytokines, namely il-6, il-12, il-1β, dan ifnγ which can damage lung organs. the more dominant th2 shift makes anti-inflammatory cytokines can offset the expression of proinflammatory cytokines such as il-6 which causes severity and death in covid-19 patients (nurdianto et al, 2020). this is the cause of the lower severity of covid-19 in pregnant women (dashraath et al, 2020). laboratory tests such as hematological examinations play an important role in screening patients who have the potential to lead to covid19. theresults of the patient's hematological examination showed a decrease in monocytes and lymphocytes, total leukocytes, an increase in platelets and hemoglobin (hb), an increase in lactate dehydrogenase (ldh), and a decrease in creatinine, fibrinogen and d-dimer (martinelli et al, 2020). hematologic changes such as in leukocytes (lymphocytes, eosinophils, neutrophils) can describe an infectious process or indicate a suspicion of its severity (leticia, 2020). in addition, thrombotic complications in patients with covid-19 are common and contribute to organ failure and death, so it is very important to do examination and monitoring of platelets (manne, 2020). the main target in this study is the group of pregnant women, because the condition of pregnancy is very susceptible to infection. therefore, researchers are interested in looking at the hematological profile of pregnant women with covid-19, especially in the third trimester, in the hope that it can help reduce maternal mortality (mmr) and provide earlier information for further treatment actions that are more appropriate according to the symptoms experienced by the mother pregnant method this research was a quantitative descriptive study with a retrospective study design by using secondary data from medical records. this study was carried out at dr. soebandi hospital jember, medical record data were taken from january 2021 to december 2021. the subjects of the study were pregnant women in the third trimester with covid-19. the sampling technique was purposive sampling. the variable measuring instrument in this study used medical record data. the method of analysis in this study uses a frequency distribution. this study has passed the ethical test from the kepk university dr.soebandi. handayani, anggareni, kamila, hematology profile of pregnant women in trimester iii with … 323 result table 1: frequency distribution of patient by age age count frequency % <20 0 0 20-35 19 79 >35 6 21 total 25 100 source. medical records based on the table above, we can see that most of the patients were in the reproductive age category between 20-35 years as many as 19 patients (79%) table 2: frequency distribution of patients based on symptoms category count frequency % symptomatic 25 100 asymptomatic 0 0 total 25 100 source. medical records from the table above we can see that all patients are symptomatic (100%). symptoms experienced include cough, runny nose, fever to shortness of breath. table 3: hematological profile of third trimester pregnant women with covid-19 hematological profile count frequency % hb (11,7-15,5) normal 6 24 anemia 19 76 leukocytes (3.60011.000) decrease 0 0 increase 12 48 normal 13 52 lymphocytes (25-40%) decrease 23 92 increase 0 0 normal 2 8 platelets (150.000440.000/µl) decrease 2 8 increase 5 20 normal 18 72 source. medical records from the table above, we can see that most pregnant women are anemic. of the 25 patients 19 of them had anemia (76%). judging from the number of leukocytes, there are some pregnant women who experience an increase in the number of leukocytes. of the 25 patients, 13 of them had a normal leukocyte count (52%). most pregnant women experience a decrease in the number of lymphocytes. of 324 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 321-327 the 25 patients, 23 of them had decreased lymphocyte count (92%). for the mother's platelet count decreased and increased. of the 25 patients, 18 of them had a normal platelet count (72%). discussion this study was conducted on third trimester pregnant women with covid-19. data was obtained from hospital medical records from january to december 2021. there were 75 data on pregnant women with covid-19, but 25 patients who met the inclusion criteria were pregnant women in the third trimester with covid-19. of the 25 pregnant women, 19 (79%) were in the category of healthy reproductive age (20 35 years) and 6 (21%) of them were >35 years old. according to siswosudarmo (2016) the age of 20-35 years is a healthy reproductive age where this period is the ideal age for pregnancy and childbirth, while age > 35 years is an old reproductive age where pregnancy and childbirth in this age period are not only high risk to the child but also the mother. maternal and child morbidity and mortality increase sharply at this age period, so it is expected to use steady contraception to be able to delay pregnancy in old reproductive age. sars-cov-2 infection is a disease that is capable of infecting the entire community, especially pregnant women who are classified as vulnerable groups. pregnant women are classified as vulnerable groups because of changes in body physiology and immune response mechanisms in their bodies (nurdianto, 2020). in addition, there is also a change in the body's immunity from the th1 to the th2 direction. where th2 is a producer of cytokines il-4, il-10, il-13, and tgfβ which act as anti-inflammatory (nurdianto, 2019). the shift in the t helper population makes pregnant women more susceptible to infection, including sarscov-2 infection. pregnant women can be exposed to sarscov-2 in the first, second, and third trimesters (pradana, 2020). as gestational age changes, the mechanisms of the adaptive immune response also change. the first trimester is called the proinflammatory stage to support embryo implantation. the second trimester is called the anti-inflammatory stage; this stage is needed to maintain fetal growth and in the last trimester is called the proinflammatory stage because it is close to the time of delivery (mor g, 2017). this mechanism underlies why the most cases of covid-19 in pregnancy are in the final trimester (qiancheng, 2020). the clinical manifestations of covid-19 infection in pregnancy are no different from viral infections in general. symptoms include fever (53%), cough (42%), shortness of breath (12%), headache, and loss of smell or anosmia. more severe symptoms are found in pregnant women who have risk factors such as asian race, dark skin, age over 35 years, obesity, and have comorbid diseases (immune system disorders, diabetes, cancer, and chronic lung disease) (christyani, 2020). this is in line with the results of research conducted by researchers, which found that all pregnant women had symptoms of cough, runny nose, fever to shortness of breath (100%), and there were 6 (21%) pregnant women aged >35 years. the determination of the diagnosis of covid-19 in pregnancy is the same as that of the non-pregnant female population, namely based on clinical and rt-pcr examination as a standard diagnosis and other supporting examinations such as laboratories. laboratory examinations carried out in this study included levels of hb, leukocytes, lymphocytes and platelets. from the results of the examination of hb levels, it was found that most pregnant women were anemic. of the 25 patients 19 of them had anemia (76%) and 6 of them did not have anemia (24%). liu (2020) revealed that the coronavirus disease 2019 (covid-19) can attack hemoglobin in red blood cells through a series of cellular actions, ultimately rendering red blood cells unable to carry oxygen. red blood cells are important oxygen carriers to various cells in the body. inside the red blood cells is a molecule called hemoglobin which contains a heme group. each of these heme groups is a molecular “ring” (porphyrin) that has iron ions or fe ions. the fe ions that help transport oxygen in the bloodstream depend on the degree of oxidation. red blood cells pick up oxygen from the lungs to be transported to other parts of the body. once inside the human host cell, viral rna also encodes a number of non-structural proteins made during the replication process. these proteins are not part of the virus itself handayani, anggareni, kamila, hematology profile of pregnant women in trimester iii with … 325 but help the virus to "hijack" other cellular means to facilitate its survival within the host. this protein is used to hijack red cells and remove iron ions from heme groups (hbb) and replace them with them. this makes hemoglobin unable to transport oxygen. as a result the lungs become stressed and inflamed while other organs are also affected (liu, 2020). from the results of maternal hematological examination, it was found that 12 pregnant women experienced an increase in the number of leukocytes (48%). according to azab (2020) which states that this leukocytosis is closely related to pregnancy where there has been an increase in neutrophils since the second month of pregnancy and this continues to increase along with the progress of pregnancy. the number of lymphocytes decreases in pregnant women. platelet levels are 10% lower at term than before pregnancy. this statement supports the results of the study which found that 23 pregnant women experienced a decrease in the number of lymphocytes (92%) and 2 pregnant women experienced a decrease in platelets (8%). this condition is thought to be due to the effect of dilution and faster destruction of platelets due to injury and damage. this is due to gestational thrombocytopenia (75%), hypertensive disorders (15%-20%), immune processes (3%-4%), and the remaining 1%-2% due to infection and malignancy azab (2020). if correlated with the results of this study; anemia, thrombocytopenia, and leukocytosis in pregnant women are caused by physiological changes in pregnant women and are supported by the accompanying covid-19 infection during pregnancy. huang (2020) showed a correlation between an increase in leukocytes and a decrease in lymphocytes in patients with covid19 infection. huang compared the leukocyte and lymphocyte counts between patients infected with covid-19 with severe and mild symptoms. lymphopenia can be associated with the severity of patients infected with covid19, this is due to the presence of : direct lymphocyte infection causing lymphatic tissue damage, inflammation resulting in lymphocyte apoptosis, or lymphocyte inhibition by metabolic disorders such as lactic acidosis. the results of a similar study were also conveyed by nurinasari (2021) who stated that the covid-19 leukocyte number was lower than in non-covid-19 patients. sars-cov-2 infection can stimulate an immune response in the host, leading to a decrease in lymphocytes and an excessive increase in cytokines in the patient. sars-cov-2 rna and protein, interact with various receptors that activate the antiviral immune response and regulate viral replication and spread within the host in vivo. however, an overactive and overactive immune response will lead to immune damage and subsequent tissue inflammation (jesenak et al., 2020). the results of the examination of 99 cases infected with sars-cov-2 in wuhan, found an increase in total neutrophils (38%), reduced total lymphocytes (35%), an increase in serum il-6 (52%) and an increase in c-reactive protein (84%). an increase in neutrophils and a decrease in lymphocytes is also associated with the severity of the disease and mortality in patients with covid-19 (rosyanti, 2020). conclusion pregnant women are classified as vulnerable groups because of changes in body physiology and immune response mechanisms in their bodies. pregnant women with covid-19, especially in the third trimester, have the same symptoms as patients in general, including cough, runny nose, fever and shortness of breath. the results of the mother's hematological examination showed an increase in leukocytes (48%) and a decrease in lymphocytes (92%), most of the mothers had anemia (76%), there was a decrease in platelets (8%) and an increase in platelets (20%). suggestion suggestions for further research can be developed using the same research method and primary sampling in order to minimize confounding factors. acknowledgement drtpm kemdikbudristek by contract number 064/sp2h/pt/7/2022 688/uds/mou/vi/2022. 326 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 321-327 funding drtpm kemdikbudristek provides funding for this study in full. conflicts of interest there was no conflict of interest in this article. the study process went smoothly both in terms of funding and the proces. authors contribution the research was carried out by 3 researchers, namely ririn handayani as the lead researcher, ernawati anggraeni and nazmi kamila as research members. each researcher has a task that supports the success of the research. chairman prepare research proposals; carrying out the research process starting from the licensing process, land approach, sample collection, data analysis; compile research report, outcome publication is mandatory. member assisting researchers in the process of completing the administration of preparing proposals and research reports as well as assisting in data collection and research processes. refferences azab azab elsayed, jbireal j.m., albasha mohamed umar. (2020). haematological changes during pregnancy: insight into anaemia, leukocytosis, and thrombocytopenia. east african scholars international journal of medical sciences; vol-3, iss-5; 185-192. christyani, fenyta ; padang, astrid fransisca. (2020). transmisi vertikal covid 19 selama kehamilan. cdk-290/ vol. 47 no. 9 th. 2020. http://www.cdkjournal.com/index.php/cd k/article/viewfile/1190/886 dashraath p et al. (2020). coronavirus disease 2019 (covid-19) pandemic and pregnancy. american journal of obstetrics and gynecology, 222(6), 521–531. hafi nurinasari, nurhasan agung prabowo, asih anggraeni, syahrini wisdayanti, sri sulistyowati. (2021). profil laboratorium ibu hamil dengan covid-19 di rumah sakit uns. smedjour, 2021 ; 4 (2) : 83 87 doi: 10.13057/smj.v4i2. 49249 huang, glen., , alex j. kovalic , christopher j. graber. (2020). prognostic value of leukocytosis and lymphopenia for coronavirus disease severity. emerg infectdis.26(8):1839-1841 https://stacks.cdc.gov/view/cdc/91567 jesenak, m., brndiarova, m., urbancikova, i., rennerova, z., vojtkova, j., bobcakova, a., banovcin, p. (2020). immune parameters and covid-19 infection associations with clinical severity and disease prognosis. frontiers in cellular and infection microbiology, 10, 364-364. doi: 10.3389/fcimb.2020.00364 letícia s, toledo do, nogueira ls, carvalho g. (2020). covid-19: review and hematologic impact. clin chim acta. 2020;510(january): 170–6. 7. liu l, zheng y, cai l, wu w, tang s, lu h et al., (2020a). neutrophil tolymphocyte ratio, a critical predictor of disease severity in patients withcovid-19, original article, doi: 10.1111/ijlh.1337, wiley.p. 19 maharani, puan. 2021. tekan angka kematian akibat covid-19. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/3424 0/t/puan+maharani%3a+tekan+angka+k ematian+ibu+hamil+akibat+covid-19 manne bk, denorme f, middleton ea, portier i, rowley jw, stubben c, et al.(2020). platelet gene expression and function in patients with covid19. blood. 2020;136(11):1317–29. martinellia i, ferrazzib e, ciavarella a, errab r, iurlarob e et al. (2020). pulmonary embolism in a young pregnant woman with covid-19. thromb res. 191: 36-37. mor g, aldo p, alvero a. (2017). the unique immunological and microbial aspects of pregnancy. nature rev immunol. 2017;17(8):469-82. https://doi.org/10.1038/nri.2017.64 nurdianto ar, aryati, mohammad gs, mufasirin. (2019). downregulates of icam1 expression in myometrium from pregnant rattus norvegicus infected with tachyzoite of toxoplasma gondii with hyperbaric oxygen therapy. hang tuah medical journal. 2019;17:77–83. nurdianto ar. (2020). studi klinis infeksi covid19 pada kehamilan dengan insulin dependent diabetes mellitus (iddm). jurnal ilmiah kedokteran wijaya kusuma 9(2) : 229-244, september 2020 nurdianto, ar, aryati, suryokusumo mg, mufasirin, suwanti lt et al. (2020). effects of hyperbaric oxygen therapy on il-17, fetal body weight and total fetus in pregnant rattus norvegicus infected with tachyzoite toxoplasma gondii. systematic reviews in pharmacy. 2020; 11(3):628–34. 7. pradana aa, casman c, nur’aini n. (2020). pengaruh kebijakan social distancing pada wabah covid19 terhadap kelompok rentan di indonesia. jurnal kebijakan https://stacks.cdc.gov/view/cdc/91567 https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/34240/t/puan+maharani%3a+tekan+angka+kematian+ibu+hamil+akibat+covid-19 https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/34240/t/puan+maharani%3a+tekan+angka+kematian+ibu+hamil+akibat+covid-19 https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/34240/t/puan+maharani%3a+tekan+angka+kematian+ibu+hamil+akibat+covid-19 https://doi.org/10.1038/nri.2017.64 handayani, anggareni, kamila, hematology profile of pregnant women in trimester iii with … 327 kesehatan indonesia jkki. 2020; 9(2):61– 7. available from: https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article /view/55575 qiancheng, x, jian s, lingling p, lei h, xiaogan j, weihua l. et al. (2020). coronavirus disease 2019 in pregnancy. internat j infect dis. 2020;95:376-83. https://doi. org/10.1016/j.ijid.2020.04.065 rohmah mk, nurdianto ar. (2020). corona virus disease 2019 ( covid-19 ) pada wanita hamil dan bayi : sebuah tinjauan literatur. 2020;7(1a):329–36. 3. rosyanti l, hadi i. (2020). respon imunitas dan badai sitokin severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 literatur review. j kesehat madani med. 2020;11(02): 176201. siswosudarmo, r eo. (2016). obstetri fisiologi. yogyakarta: pustaka cendikia https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article%20/view/55575 https://jurnal.ugm.ac.id/jkki/article%20/view/55575 241 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk multilevel analysis of determinants of stunting incidence in children under 5 years in malaka regency, east nusa tenggara yosefa sarlince atok1, roslin evelina margaretha sormin2, nabilah nurul ilma3 1,2,3midwifery study program, maranatha college of health kupang, indonesia article information abstract stunting is still a global nutritional problem. stunting is a picture of the occurrence of chronic nutritional problems. stunting caused by multiple factors, especially if it occurs in the first 1000 days of birth. malaka regency is one of the regions in ntt that recorded an increase in the percentage of stunting, from the previous 25% to 30% with the number of children experiencing stunting in malaka currently reaching 4,909 people. with this number, malaka is in 11th place with stunting in ntt (malaka district health office, 2020). the purpose of the study was to determine the determinants of stunting in children under five in malaka regency. this study was an observational analytic study. the approach was case-control and used a multilevel model which is one of the analytical techniques to determine the correlation between various variables in health with the stata-13 program. the sampling technique used in this study was stratified random sampling. the method used at the first level was to randomly select 10 villages in the district of malaka, and at the second level to randomly select 25 integrated health care (ihc). eight subjects will be taken from each integrated service post so that the sample was 200 subjects. the data was collected using a questionnaire and height measurement using a microtoise measuring instrument. the results of this study indicated that the factors causing stunting are exclusive breastfeeding (55.5%), basic sanitation (61.5%), parenting (67.5%), and early marriage (32.0%). the results of this study indicated that the causes of stunting based on these variables had a significant difference (p < 0.05). the results of this study showed that parenting, basic sanitation and early marriage were factors that play an important role in the incidence of stunting in malaka regency. there were three main factors that cause stunting in malacca regency, namely parenting, basic sanitation and early marriage. for health workers to conduct socialization and counseling about exclusive breastfeeding, the importance of hygiene practices in daily life including caring for children, maximizing the community-based total sanitation program, and conducting socialization related to the influence of early marriage. history article: received, 24/11/2021 accepted, 08/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: stunting, sanitation, parenting, early marriage © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: maranatha college of health kupang – east nusa tenggara, indonesia p-issn : 2355-052x email : yosefaatok92@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p241-247 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:yosefaatok92@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p241-247 242 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 241-247 introduction stunting is a condition of children who fail to achieve linear growth potential so that their height is less than the height of children their age caused by chronic nutrient intake malnutrition and or chronic or recurrent infectious diseases (who, 2012). another understanding, stunting is the result of chronic malnutrition, often occurs between generations coupled with frequent or recurring diseases. stunting is associated with lower cognitive development and productivity (dewey & begum, 2011). short and very short are nutritional statuses based on the body length index for age (body length /age) or height for age (height/age) which is the equivalent of the terms stunting (short) and severe stunting (very short). a child is categorized as very short if the body length according to age or height according to age is < -3 sd, and is said to be short if it is between -3 sd to < -2 sd (kemenkes ri, 2011). in general, children's nutritional problems are the impact of an imbalance between nutrient intake and output (nutritional imbalance), namely intake that exceeds output or vice versa, in addition to errors in choosing food ingredients to eat (onis & branca, 2016). various problems that can be caused by children who are stunted and other nutritional deficiencies include reducing the possibility of survival, inhibiting optimal health, growth and development. especially in brain development related to cognitive abilities so that it provides long-term effects that will affect the child's life. lack of cognitive ability, easily disturbed health, declining school performance and low income are some of the impacts that can occur, so that sooner or later it will affect the development and development of a nation (unicef, 2013). a study with the research design of the south east asian nutrition survey (seanuts). showed that the nutritional status of stunting and other forms of malnutrition in southeast asia (indonesia, malaysia, thailand, and vietnam), significantly increased the likelihood of children having a nonverbal iq <89. (sandjaja, et al., 2013). studies conducted in western china have also shown the effect of prenatal (low birth weight) and post-natal (stunting and low birth weight) malnutrition on intellectual functioning of early childhood. (li, et al., 2016) method this study was an observational analytic. approach conducted case-control and use of the multilevel model is one analytical technique to determine the correlation between the various variables in the health of the program stata-13. this study had been done with a simple random sampling technique. the sample selection through the division of the population into strata and samples selected randomly in each stratum (murti, 2018). the method used at the first level was to randomly select 10 villages in the district of malaka, and the second level was to randomly select 25 integrated service posts. eight subjects were taken from each integrated service post so that the sample was 200 subjects. this study used a research instrument that had been tested for validity and reliability. each variable (exclusive breastfeeding, parenting, basic sanitation and earlyage marriage) consisted of 20 questions with correct and incorrect answer choices. measurement of height used a microtoise measuring instrument. result table 1: frequency distribution of subjects no variable frequency % 1 stunting -2sd (not stunting) 144 72.0 < -2sd (stunting) 56 28.0 2 exclusive breastfeeding not exclusive 89 44.5 exclusive 111 55.5 3 parenting < mean (less) 65 32.5 mean (good) 135 67.5 4 basic sanitation atok, sormin, ilma, multilevel analysis of determinants of stunting incidence in children under … 243 < mean (less) 77 38.5 mean (good) 123 61.5 5 early-age marriage ≥ 18 years 136 68.0 < 18 years 64 32.0 souce: primary data table 1 shows stunting with exclusive breastfeeding by 55.5% (111 subjects), parenting by 67.5% (135 subjects), households with good sanitation 61.5% (123 subjects), and early marriage by 68.0% (136 subjects). table 2: chi-square test of stunting variable stunting ci 95% variable group no yes or upper lower p value n % n % exclusive breastfeeding not exclusive 47 52.8 42 47.2 0.16 0.08 0.32 <0,001 exclusive 97 87.4 14 12.6 parenting not enough 28 43.1 37 56.9 0.12 0.06 0.24 <0,001 well 116 85.9 19 14.1 basic sanitation not enough 36 46.8 41 53.2 0.12 0.06 0.24 <0,001 well 108 87.8 15 12.2 early-age marriage 18 years old 114 83.8 22 16.2 5.87 3.00 11.4 <0,001 <18 years old 30 46.9 34 53.1 1. there is an effect of exclusive breastfeeding with the incidence of stunting in children under five. exclusively breastfed children were not statistically significant to the risk of stunting (or= 0.16; 95% ci= 0.08 to 0.32; p=<0,001). 2. there is a parenting with the incidence of stunting in children under five. good maternal parenting was statistically significant as a protective factor against the risk of stunting with a strong influence (or= 0.12; 95% ci= 0.06 to 0.24; p <0.001). 3. there is the influence of basic sanitation with the incidence of stunting in baduta. households with basic sanitation both statistically significant protective factor / protection against the risk of the incidence of stunting with the power of a strong influence (or= 0.16; 95% ci= 0.08 to 0.32; p=<0,001). 4. early marriage there is impact with the incidence of stunting. be statistically significant protective factor / protection against the risk of the incidence of stunting with the power of a strong influence (or = 5.87; ci 95% = 3.00 to 11.4; p = <0.001). tabel 3. the result of multilevel analysis fixed effect b ci p lower upper exclusive breastfeeding -1.32 -2.13 -0.50 0.002 parenting -1.54 -2.36 -0.72 0.000 basic sanitation -.32 -2.13 -0.51 0.001 early-age marriage 1.39 0.57 2.20 0.001 random effect health center n observation 200 n group = 25 n average = 8 244 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 241-247 log likelihood = -77.04(not concave) the variables that are considered most affect the growth of children under five years old at the model level 1, includes the main direct variable for the provision of exclusive breastfeeding, parenting, sanitation and early marriage. analysis model resumed at level 2, which in addition includes the model at level 1 is health center. discussion this study shows there are four variables that have a direct effect on the incidence of stunting in children under two years covering exclusive breastfeeding, parenting, basic sanitation and early marriage. exclusive breastfeeding these results indicate a significantly exclusive breastfeeding has a direct impact of stunting. exclusive breastfeeding will reduce stunting in children under five by 1.32 unit (b -1.32, ci 95 % 2.13—0.50, p: 0.002). this study is in line with research of rosita (2015), stating there was statistically significant correlation between exclusive breastfeeding with the incidence of stunting . infants under 6 months of age are exclusively breastfed longer and heavier, are less likely to experience stunting compared to infants who are not exclusively breastfed (kuchenbecker, et al , 2015). toddlers who are exclusively breastfed 5.47 times more likely not to experience stunting compared to children who are not exclusively breastfed (rosita, 2015). promotion of exclusive breastfeeding for a period of 6 months and continuous breastfeeding along with complementary feeding for 24 months, as outlined in the unicef programming guide, are important in preventing stunting among young children (keino et al , 2014). therefore, it has become a necessity for a mother to know the importance of breastfeeding and proper complementary feeding, as well as the need for proper hygienic practices during child care (keino et al, 2014). parenting these results indicate significant influence of parenting style has a direct impact on the incidence of stunting. parenting will reduce stunting in children under five -1.32 unit (b -1.54, ci 95 % 2.36—0.72, p: 0.000). upbringing of children is manifested in several ways such as breastfeeding and complementary feeding, psychosocial stimulation, practice cleanliness / hygiene and environmental sanitation, child care in the form of ill health practice at home and search patterns of health services. habits that are in the form of family feeding practices, hygiene practices, psychosocial stimulation, health care utilization and environmental sanitation has a significant correlation with the occurrence of stunting children aged 24-59 months (bella et al., 2020). likewise, research that has been carried out in the working area of the lamper tengan health center, semarang city, shows that the determination of parenting patterns for parents with stunting shows that the nutritional status of toddlers is mostly not stunted. this is because the role of parents as implementers of parenting has gone very well in carrying out the practice of feeding, psychosocial stimulation and utilization of health services. on the other hand, poor parenting by producing stunting nutritional status can be caused by internal factors such as parental genetic factors which can indirectly affect the nutritional status of toddlers. sanitation the results showed the direct and indirect influence between basic sanitation on the risk of stunting. basic sanitation will reduce stunting in children under five -.32 unit (b, ci 95 % -2.13-0.51 p : 0.001). households that have either direct basic sanitation can reduce the risk of stunting. basic sanitation also indirectly affects the incidence of stunting through maternal hygiene practices and diarrheal diseases. this study is also relevant to the study of solomon, et al., (2018) in north sudan, said the risk of stunting is higher among children living in the household sanitation worse. globally, it is recommended that communitybased interventions such as improving clean water, sanitation and hygiene, and to protect children from diarrheal diseases and malaria, intestinal helminths and environmental causes of subclinical infections become an integral part of a comprehensive framework for action to promote linear growth in children. children and reduce stunting (who, 2014). the results of this study indicate that there is a direct effect of basic sanitation on the incidence of stunting. as far as the search has been carried out, researchers have not found the mechanism for the occurrence of this direct effect, so further atok, sormin, ilma, multilevel analysis of determinants of stunting incidence in children under … 245 research is needed to dig deeper into the direct effect of basic sanitation on the incidence of stunting. early-age marriage the results of this study showed statistically significant early marriage has a direct impact on the incidence of stunting. early marriage will reduce stunting in children under five 1.39 unit (b 1.39, ci 95 % 0.57—2.20, p : 0.001). research is showing a mean age of a mother when she married early at 15.9 years, which according to the law no. 23 year 2002 on protection of children, the average age that is still less than 18 years, so included in the group aged children. according to unicef, there are several factors that influence the incidence of marriage early, namely poverty, perceptions that the marriage can protect children of women, the name of a good family, norms of social, legal religion that allows the practice of early marriage, and the legal system governing marriage is not strong. maternal age should not be too young and not too old. age less than 20 years old or over 35 years, are at high risk for giving birth. manuaba noted that pregnancy under the age of 20 years will be at risk for anemia, impaired fetal development, miscarriage, prematurity or low birth weight, birth disorders, preeclampsia, antepartum hemorrhage. this is in line with research conducted indrasari stating that women with risk age (less than 20 years) had a 4.2 times greater risk for low birth weight occurred (lbw) than mothers who do not have the risk of age. pregnancies in her early teens, when the mother is also still growing will increase the risk of the baby will be stunted. integrated healthcare center (ihc) ihc has a strong contextual effect on stunting, where integrated service post has activities that support increased public health degree, which facilitates monitoring of growth and development of infants who are held monthly affect the nutritional intake during pregnancy (indriani et al., 2018); (sajalia et al., 2018). ihc was held as an activity of, by and for the community, intended as an effort to empower communities to help themselves in achieving health level as high. integrated service post revitalization is successful if it can restore its primary function as an institution of society, especially rural communities to monitor the growth of children. education and training activities in mothers how to weigh and record the weight in kms growth of children and can interpret kms well, is the key to the success of the revitalization of integrated service post. conclusion this study concludes that there are several factors that cause stunting in children under five years old including: level 1 shows that there is a variable influence, namely exclusive breastfeeding, parenting, sanitation and early marriage. the growth model for children under five years at level 2 includes the influence of integrated service post variables. suggestion recommendations from this study are expected for policy makers both in health services to carry out socialization and counseling about exclusive breastfeeding, parenting, sanitation and delaying marriage at an early age. acknowledgment the authors would like to thank the directorate general of strengthening research and development of the ministry of education and culture who has funded this study. funding this study funded by directorate general of strengthening research and development of the ministry of education and culture. conflicts of interest this study used funding sources from research grants to novice lecturers so that conflicts of interest that will affect the researchers' decisions will not occur. the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. refference aguayo, vm, nair, r., badgaiyan, n, & krishna, v. 2016. determinants of stunting and poor linear growth in children under 2 years of age in india: an in-depth analysis of maharashtra’s comprehensive nutrition survey. maternal & child nutrition (2016) pp. 121–140. doi: 10.1111/mcn.12259. bella, f. d., fajar, n. a., & misnaniarti, m. (2020). hubungan pola asuh dengan kejadian stuntingbalita dari keluarga miskin di kota palembang. jurnal gizi indonesia, 8(1), 31.https://doi.org/10.14710/jgi.8.1.3139 cumming o & cairncross s. 2016. can water, 246 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 241-247 sanitation and hygiene help eliminate stunting? current evidence and policy implications. matern child nutr. 12(suppl suppl 1): 91–105. doi: 10.1111/mcn.12258 chirande l, deborah c, hadijah m, rose v,et al. 2015. determinants of stunting and severe stunting among under-fives in tanzania: evidence from the 2010 crosssectional household survey. bmc pediatrics15(1): 165. doi: https://doi.org/10.1186/s128870150482-9 dewey, kg, & begum k. 2011. long-term consequences of stunting in early life. maternal and child nutrition. vol. 7, pp.5– 18. doi:10.1111/j.1740-8709.2011.00349.x dinas kesehatan provinsi ntt. (2018). e-ppgbm provinsi ntt. (tidak dipublikasikan). dorsey jl, manohar s, neupane s, et al. 2017. individual, household, and community level risk factors of stunting in children younger than 5 years: findings from a national surveillance system in nepal. maternal & child nutrition, 14(1), e12434. doi:10.1111/mcn.12434 ellis endang nikmawati, et al. (2010). gap analisis program gizi dan kesehatan di posyandu kabupaten bogor. jurnal pangan dan gizi ipb kabupaten bogor. jurnal pangan dan gizi ipb. johnson-lans s, jones p. child brides in rural india. 2011 kementerian kesehatan ri. 2018. hasil pemantauan status gizi (psg) tahun 2017. jakarta: kemenkes ri. keino s, plasqui g, ettyang g & van den borne b. 2014. determinants of stunting and overweight among young children and adolescents in sub-saharan africa. food nutr bull. vol 35(2):167-78. doi: 10.1177/156482651403500203 kiik, s. m., & nuwa, m. s. (2020). stunting dengan pendekatan framework who. yogyakarta: cv gerbang media aksara. kuchenbecker j, jordan i, reinbott a, herrmann j, jeremias t, et al. 2015. exclusive breastfeeding and its effect on growth of malawian infants: results from a crosssectional study. paediatr int child health. vol. 35(1): 14–23. doi: 10.1179/2046905514y.0000000134 li c, zhu n, zeng l, et al. 2016. effect of prenatal and postnatal malnutrition on intellectual functioning in early school-aged children in rural western china. medicine (2016) 95:31(e4161). doi: http://dx.doi.org/10.1097/ md.0000000000004161. masita, m., biswan, m., & puspita, e. (2018). pola asuh ibu dan status gizi balita. quality : jurnal kesehatan, 12(2), 23–32. https://doi.org/10.36082/qjk.v12i2.44 noeng muhadjir. (2000). kebijakan dan perencanaan sosial. yogyakarta: penerbit rake sarasin. özaltin e, hill k, & subramanian sv. 2010. association of maternal stature with offspring mortality, underweight, and stunting in low to middle income countries. jama. vol 21;303(15):1507-16. doi: 10.1001/jama.2010.450 prendergast aj, rukobo s, chasekwa b, mutasa k, ntozini r, mbuya mnn, et al. 2014. stunting is characterized by chronic inflammation in zimbabwean infants. plos one. vol. 9(2): e86928. doi: https://doi.org/10.1371/journal.pone.00869 28. rahmayana, ibrahim, i. a., & darmayati, d. s. (2014). hubungan pola asuh ibu dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di posyandu asoka ii wilayah pesisir kelurahan barombong kecamatan tamalate kota makassar tahun 2014. public health science journal, 6(2), 424– 436. rosita, d. 2015. faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada balita usia 12-59 bulan di kecamatan godong kabupaten grobogan. tesis. surakarta: universitas sebelas maret sandjaja, poh b.k, rojroonwasinkul, n, et al. 2013. relationship between anthropometric indicators and cognitive performance in southeast asian schoolaged children. british journal of nutrition. vol. 110, issue s3,pp. s57-s64.doi : https://doi.org/10.1017/s00071145130020 79 sajalia, h., dewi, y. l. r., & murti, b. (2018). life course epidemiology on the determinants of stunting in children under five in east lombok, west nusa tenggara. journal of maternal and child health, 03(04), 242– 251. diambil dari https://doi.org/10.26911/thejmch.2018. sarma h, khan j.r, asaduzzaman m, et al. 2017. factors influencing the prevalence of stunting among children aged below five years in bangladesh. food and nutrition bulletin 2017, vol. 38(3) 291301. doi: 10.1177/0379572117710103 sarkar p. determinants and effect of early marriage in bangladesh, 2007. research journal of applied sciences 2009;4(5):178-84. soetjiningsih. 2012. tumbuh kembang anak. buku kedokteran. jakarta: egc. sulaiman aa, bushara so, elmadhoun wm, et al. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5084825/ https://dx.doi.org/10.1111%2fmcn.12258 https://doi.org/10.1177/156482651403500203 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=kuchenbecker%20j%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25005815 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=jordan%20i%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25005815 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=reinbott%20a%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25005815 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=herrmann%20j%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25005815 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=jeremias%20t%5bauthor%5d&cauthor=true&cauthor_uid=25005815 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc4280265/ https://dx.doi.org/10.1179%2f2046905514y.0000000134 atok, sormin, ilma, multilevel analysis of determinants of stunting incidence in children under … 247 2018. prevalence and determinants of undernutrition among children under 5year-old in rural areas: a cross-sectional survey in north sudan. j family med prim care. vol. 7(1): 104–110. doi: 10.4103/jfmpc.jfmpc_73_17 torlesse h, cronin aa, sebayang sk, nandy r. 2016. determinants of stunting in indonesian children: evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. bmc public health. vol. 16:669. doi: https://doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8 undang-undang republik indonesia no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, 23 (2002) utomo id, utomo a. adolescent pregnancy in indonesia: a literature review. australian demographic and social research institute, the australian national university, 2013. unicef. 2013. improving child nutrition the achievable imperative for global progress. new york, united nations children’s fund (unicef). https://www.unicef.org/gambia/improving _child_nutrition_the_achievable_imperati ve_for_global_progress.pdf. diakses pada tanggal 10 november 2021 yudianti, y., & saeni, r. h. (2017). pola asuh dengan kejadian stunting pada balita. jurnal kesehatan manarang, 2(1), 21. ____. 2018. data dan informasi: profil kesehatan indonesia 2017. jakarta: kemenkes ri world health organization (who). 2009. infant and young child feeding: model chapter for textbooks for medical students and allied health professionals. textbooks. switzerland: who press. _____. 2012. nutrition landscape information system (nlis) country profile indicator: interpretation guide. switzerland: who press _____. 2014. global nutrition target 2025 stunting policy brief. who/nmh/nhd/14.3.https://www.who.i nt/nutrition/publications/globaltargets2025 _policybrief_ stunting/en/. diakses pada tanggal 5 oktober 2020 _____. 2018. reducing stunting in children: equity considerations for achieving the global nutrition targets 2025. geneva: who library cataloguing in publication data 16. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5958549/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5958549/ https://dx.doi.org/10.4103%2fjfmpc.jfmpc_73_17 https://doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8 285aminin, dewi, kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe ... 285 kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe di kota tanjungpinang tahun 2017 fidyah aminin1, utami dewi2 1,2nama prodi kebidanan, poltekkes kemenkes tanjungpinang, indonesia info artikel sejarah artikel: diterima, 12/05/2020 disetujui, 24/07/2020 dipublikasi, 05/08/2020 kata kunci: pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, kepatuhan, anemia abstrak sejumlah 40% kematian pada ibu hamil berhubungan dengan anemia. pemerintah indonesia sudah melakukan upaya penanggulangan anemia, diantaranya dengan memberikan tablet fe. ibu hamil yang mendapatkan tablet fe pada tahun 2016 di kota tanjungpinang adalah 89,8%. kejadian anemia pada ibu hamil di kota tanjungpinang pada tahun 2016 adalah sebesar 12,21%. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe. desain penelitian adalah deskriptif analitik cross sectional dengan analisis data chi square. penelitian ini dilakukan di kota tanjungpinang pada bulan juli sampai dengan oktober 2017. populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang mengkonsumsi tablet fe di kota tanjungpinang. jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 56 responden dengan teknik non probability samplingpurpossive sampling type. pengumpulan data melalui kuesioner. hasil penelitian faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe adalah pengetahuan (p=0,025), dan pendidikan (p =0,007). diharapkan menambah bahan bacaan dan media pendidikan kesehatan tentang anemia dan tablet fe untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil serta memberikan pendidikan kesehatan cara mengkonsumsi tablet fe dan efek samping tablet fe ada ibu hamil. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 12/05/2020 accepted, 24/07/2020 published, 05/08/2020 keywords: knowledge, education, compliance, work, anemia article information abstract 40% deaths of pregnant women was associated with anemia. the indonesian government has made efforts to overcome anemia, such as by giving fe tablets . pregnant women who received fe tablets in 2016 in tanjungpinang city were 89.8%. the incidence of anemia in pregnant women in tanjungpinang city in 2016 was 12.21%. the purpose of this study was to determine the factors associated with compliance of pregnant women consuming fe tablets. the sesign used descriptive analytic cross sectional study design with chi square data analysis. this study was conducted in the city of tanjungpinang in july to october 2017. the populathe compliance of pregnant women consuming fe tablets in the city of tanjungpinang in 2017 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v7i2.art.p285-292&domain=pdf&date_stamp=05-08-2020 286 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 285–292 correspondence address: nama poltekkes kemenkes tanjungpinang kepulauan riau, indonesia p-issn : 2355-052x email: fidyahaminin@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v7i2.art.p285–292 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ pendahuluan sejumlah 40% kematian pada ibu hamil berhubungan dengan anemia. di indonesia prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi yakni 37,1% indonesia. di negara berkembang, satu dari dua ibu hamil diperkirakan anemia. anemia menjadi masalah kesehatan berat jika prevalensinya lebih dari 40% dalam suatu wilayah. ibu hamil perlu mendapatkan perhatian khusus, karena ibu hamil merupakan kelompok yang rentan untuk masalah gizi. salah satu masalah gizi yang banyak terjadi pada ibu hamil adalah anemia, yang merupakan masalah gizi makro terbesar dan tersulit diatasi di seluruh dunia. ibu hamil dikatakan mengalami anemia kehamilan apabila kadar hemoglobin (hb) kurang dari 11 gr% (pusdatin, 2016) kekurangan zat besi bisa menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan sel-sel tubuh termasuk sel-sel otak. pada ibu hamil dapat terjadi keguguran, lahir sebelum waktunya, berat badan lahir rendah, perdarahan sebelum dan setelah persalinan. ibu hamil dengan anemia zat besi tidak mampu memenuhi kebutuhan zat besi pada janinnya secara optimal sehingga janin sangat beresiko mengalami gangguan kematangan/ kematuran organ-organ tubuh janin dan terjadinya premature (hani, kusbandriyah, marjati, & yulifah, 2010). upaya penanggulangan anemia telah dilakukan oleh pemerintah namun hasilnya belum optimal, diantaranya dengan memberikan tablet fe pada wanita hamil. pendistribusian tablet fe juga telah dilakukan melalui puskesmas dan posyandu. sebanyak 80,7% perempuan usia 10-59 tahun telah mendapatkan tablet fe, namun masih masih terdapat kejadian anemia pada ibu (aditianti, permanasari, & julianti, 2015) pada tahun 2015 di indonesia ibu hamil yang mendapatkan tablet fe sebesar 85,17%. ini berarti telah mengalami peningkatan meskipun belum optimal. sedangkan di provinsi kepulauan riau ibu hamil yang mendapatkan tablet fe pada tahun 2015 adalah 79,07%. dari informasi tersebut, pencapaian provinsi kepulauan riau masih di bawah pencapaian nasional (pusdatin, 2016). ibu hamil yang mendapatkan tablet fe pada tahun 2016 di kota tanjungpinang adalah 89,8%. kejadian anemia pada ibu hamil di kota tanjungpinang pada tahun 2016 adalah sebesar 12,21% (dinas kesehatan, 2016) melalui program pemberian tablet fe ini diharapkan dapat menurunkan angka kejadian anemia pada ibu hamil di indonesia. namun ternyata hasilnya belum begitu memuaskan, terlihat dari angka prevalensinya yang masih tinggi. menurut penelitian sebelumnya, rendahnya tingkat kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi suplemen besi merupakan salah satu penyebabnya (purwaningsih, muhammad, & artaty, 2006) penyebab utama ketidakberhasilan program pemberian tablet fe dalam rangka pencegahan anemia ibu hamil adalah rendahnya kepatuhan dalam konsumsi tablet fe. berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang hubungan kepatuhan ibu hamil tion in this study was all pregnant women who consumed fe tablets in tanjungpinang city. the sample in this study was 56 respondents used non probability sampling-purpossive sampling technique. the data was collected byquestionnaires. the results of the study related to pregnant women consuming fe tabets were knowledge (p=0,025) and education (p =0,007). it is expected to add reading material and health education media about anemia and fe tablets to increase the knowledge of pregnant women and provide health education on how to consume fe tablets and the side effects of fe tablets for pregnant women. © 2020 jurnal ners dan kebidanan https://doi.org/10.26699/jnk.v7i2.art.p285-292 287aminin, dewi, kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe ... mengkonsumsi tablet fe dengan kejadian anemia di desa pageraji kecamatan cilongok kabupaten banyumas, diketahui bahwa ada hubungan antara kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe dengan kejadian anemia. semakin baik kepatuhan atau keteraturan ibu dalam mengkonsumsi tablet fe maka semakin rendah resiko ibu mengalami anemia. (hidayah & anasari, 2012) keteraturan merupakan kunci utama dalam menunjang keberhasilan program, untuk mencegah anemia pada masa kehamilan. kekurangan zat besi sejak sebelum kehamilan bila tidak diatasi dapat mengakibatkan ibu hamil menderita anemia. kondisi ini dapat meningkatkan risiko kematian pada saat melahirkan, melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah, janin dan ibu mudah terkena infeksi, keguguran, dan meningkatkan risiko bayi lahir prematur. banyak hal yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan ini salah satunya dari faktor pekerjaan, pendidikan dan pengetahuan ibu. faktor bekerja saja belum berperan sebagai timbulnya suatu masalah pada ibu hamil, tetapi kondisi kerja yang dialami ibu yang bekerja dan pengetahuannya akan lebih luas dari pada seseorang yang tidak bekerja, karena dengan bekerja seseorang akan banyak mempunyai informasi, dalam sebuah penelitian dinyatakan ada hubungan antara pekerjaan dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet tambah darah, dimana saat melakukan pekerjaan terjadi interaksi antara sesama penkerja sehingga transfer ilmu dapat pula terjadi sehingga informasi yang didapatkan dapat memberikan stimulus kepatuhan (triveni & okti, 2016). selain pekerjaan faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan adalah pengetahuan dan pendidikan. hal ini sesuai dengan penelitian aditianti (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemberian penyuluhan atau pengetahuan pada ibu hamil dengan anemia dapat meningkatkan kepatuhan minum tablet tambah darah. (aditianti et al., 2015). sedangkan tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya (padila, 2014). berdasarkan studi pendahuluan terhadap 10 ibu hamil dan suaminya di pmb kota tanjungpinang pada tanggal 23 mei 2017 didapatkan hasil sebagian besar (80%) ibu hamil mengkonsumsi tablet fe secara tidak teratur karena lupa serta sibuk bekerja. berdasarkan wawancara dengan pengelola program kesehatan keluarga dinas kesehatan kota tanjungpinang pada tangal 24 mei 2017 didapatkan hasil bahwa belum ada pendampingan khusus bagi ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet fe. oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor pendidikan, pengetahuan dan pekerjaan berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik cross sectional. penelitian ini dilakukan di kota tanjungpinang bulan juli oktober 2017. populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang mengkonsumsi ttd di praktik mandiri bidan kota tanjungpinang. teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan car a non probability sampling-purpossive sampling type dimana peneliti memilih responden berdasarkan pada pertimbangan subjektif, bahwa responden tersebut dapat memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian. adapun yang termasuk kriteria dalam penelitian ini adalah: 1) bersedia menjadi subjek penelitian, 2) tidak sedang sakit selama penelitian, 3) primigravida, 4) trimester 2 dan 3. adapun variabel pada penelitian ini adalah: 1) pekerjaan ibu yaitu: a) bekerja, b) tidak bekerja. 2) pendidikan: a) pendidikan tinggi (akademi, pt), b) pendidikan menengah (slta/smk), 3) pengetahuan: a) kurang (skor benar kurang dai 80), b) baik (skor benar 81 sd 100). 4) kepatuhan: a) patuh (mengkonsumsi 90 tablet fe secara rutin selama 90 hari), b) tidak patuh (mengkonsumsi tablet fe kurang dari 90 hari). berdasarkan perhitungan sample menggunakan aplikasi sample size 2.0 dari who jumlah sampel adalah 56 responden. instrumen yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah kuesioner terstruktur dan telah mendapatkan persetujuan etik dari komisi etik poltekkes jakarta iii no. kepkpkkj3/048/ix/2017. pengambilan data dilakukan oleh peneliti dibantu oleh 4 orang enumerator yang telah diberikan persamaan persepsi dalam penelitian. analisis data menggunakan chi square. 288 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 285–292 tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar (82,1%) pekerjaan ibu adalah tidak bekerja (73,2%) pendidikan ibu adalah pendidikan tinggi. sebagian besar (89,3%) ibu hamil memiliki pengetahuan yang kurang mengenai tablet fe. sebagian besar (89,3%) ibu hamil patuh mengkonsumsi tablet fe. analisis bivariat hubungan pengetahuan ibu dengan kepatuhan ibu mengkonsumsi tablet fe secara diskriptif dapat diketahui bahwa pada kelompok pengetahuan kurang (52%) ibu hamil patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. sedangkan pada kelompok pengetahuan baik semua (100%) ibu hamil patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. berdasarkan perhitungan statistik dapat diketahui bahwa p value = 0,025 berarti ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe. hasil penelitian analisis univariat tabel 1 distribusi frekuensi pekerjaan pendidikan, pengetahuan dan kepatuhan ibu hamil * p value < 0,05 berarti ho ditolak a fisher’s exact test tabel 2 hubungan pengetahuan ibu hamil dengan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe pengetahuan kepatuhan total p value a patuh tidak patuh n % n % n % kurang 26 52 24 48 50 100 0,025 * baik 6 100 0 0 6 100 karakteristik ibu hamil f % pekerjaan ibu bekerja 10 17,9 tidak bekerja 46 82,1 pendidikan ibu pendidikan tinggi 41 73,2 pendidikan menengah 15 26,8 pengetahuan ibu kurang 50 89,3 baik 6 10,7 kepatuhan patuh 50 89,3 tidak patuh 6 10,7 hubungan pendidikan ibu dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe a. * p value < 0,05 berarti ho ditolak b. a chi square tabel 3 hubungan pendidikan ibu dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe pendidikan kepatuhan total p value a patuh tidak patuh n % n % n % tinggi 19 46,3 22 53,7 41 100 0,007 * rendah 13 86,7 2 13,3 15 100 secara diskriptif dapat diketahui bahwa pada kelompok pendidikan tinggi hampir dari separuh (46,3%) ibu hamil patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. sedangkan pada kelompok pendidikan rendah sebagian besar (86,7%) ibu hamil patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. berdasarkan perhitungan statistik dapat diketahui bahwa p value = 0,007 berarti ada hubungan pendidikan dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe. 289aminin, dewi, kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe ... secara diskriptif dapat diketahui bahwa pada kelompok tidak bekerja sebagian besar (70%) ibu hamil patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. sedangkan pada kelompok bekerja lebih dari separuh (54,4%) ibu hamil juga patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. berdasarkan perhitungan statistik dapat diketahui bahwa p value = 0,489 berarti tidak ada hubungan pekerjaan dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe. pembahasan hubungan pengetahuan ibu dengan kepatuhan ibu mengkonsumsi tablet fe berdasarkan perhitungan statistik dapat diketahui bahwa p value = 0,025 berarti ada hubungan pengetahuan dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe. pada kelompok pengetahuan kurang, lebih dari separuh (52%) ibu hamil patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. hal tersebut kemungkinan terjadi karena kesadaran yang dimiliki oleh ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet fe dan adanya dorongan dari tenaga kesehatan dan keluarga untuk mengkonsumsi tablet fe. pemberian tablet fe di pmb diberikan langsung oleh bidan dan saat pemeriksaan kehamilan ibu hamil didampingi oleh keluarga, sehingga memungkinkan adanya dukungan dan motivasi dari keluarga. pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe (aminin & dewi, 2017). hasil ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya bahwa hubungan antara dukungan keluarga dan kepatuhan secara umum dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang merasa menerima motivasi, perhatian dan pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok orang biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis dari pada pasien yang kurang merasa mendapat dukungan keluarga. hal ini memperkuat bahwa dukungan keluarga berpengaruh terhadap ketepatan jadwal yang mengarah pada tercapainya kepatuhan (budhisusetyo, 2012). sedangkan pada kelompok pengetahuan baik semuanya (100%) patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa dari hasil analisis didapatkan ibu hamil memiliki pengetahuan kurang kemungkinan untuk tidak rutin mengkonsumsi tablet sebesar 2,720 kali dibandingkan dengan ibu hamil memiliki pengetahuan baik. tingkat konsumsi tablet pada ibu hamil dipengaruhi oleh pengetahuan mengenai manfaat serta dampak yang ditimbulkan dari masalah anemia. pengetahuan memiliki peran penting dalam menentukan tingkat konsumsi tablet pada ibu hamil karena akan berpengaruh langsung pada sikap ibu hamil untuk mengonsumsi tablet setiap hari (shofiana, widari, & sumarmi, 2018) pengetahuan yang dimiliki oleh ibu hamil memberikan dorongan yang kuat untuk mengkonsumsi tablet fe. jika seseorang mengetahui dan memahami sesuatu maka ia bisa mengambil sikap dan tindakan sesuai dengan apa yang diketahuinya (wawan & dewi, 2011). data hasil penelitian menunjukkan bahwa responden mematuhi dan mengkonsumsi tablet besi karena tahu akan manfaatnya bagi kehamilan. hal ini sesuai hasil wawancara dengan r1, r3, r4, dan r5 yang menyatakan bahwa responden tahu akan manfaat tablet besi. (ratnawati, mursiyam, & sejati, 2008). hubungan pekerjaan ibu dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe a. * p value > 0,05 berarti ho diterima b. a fisher’s exact test tabel 4 hubungan pekerjaan ibu dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe pekerjaan kepatuhan total p value a patuh tidak patuh n % n % n % bekerja 7 70 3 30 10 100 0,437 * tidak bekerja 25 54,4 21 45,6 46 100 290 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 285–292 hubungan pendidikan ibu dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe berdasarkan perhitungan statistik dapat diketahui bahwa p value = 0,007 berarti ada hubungan pendidikan dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe. pada kelompok pendidikan tinggi hampir separuh (46,3%) patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. tingkat pendidikan merupakan faktor yang mendasari pengambilan keputusan (leoni edrin, ariadi, & irawati, 2014) tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya (padila, 2014). begitu pula yang terjadi di tempat penelitian bahwa dengan pendidikan tinggi membuat ibu hamil mengambil keputusan untuk mengkonsumsi tablet fe. selain itu pendidikan tinggi memungkinkan ibu hamil memiliki pengetahuan yang baik mengenai tablet fe, efek samping dari tablet fe dan lain sebagainya. sehingga dengan pengetahuan tersebut membuat ibu hamil memiliki kesadaran untuk mengkonsusmsi tablet fe. pengetahuan gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan salah satunya konsumsi tablet fe (aditianti et al., 2015). penelitian lain juga menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet tambah darah dimana ibu dengan pendidikan rendah hampir dari 5 kali untuk tidak patuh mengkonsumsi tablet tambah darah (ariesta & muthi, 2017). pada kelompok pendidikan tinggi hampir lebih dari separuh (53,7%) ibu hamil tidakpatuh dalam mengkonsumsi tablet fe, hal ini sejalan dengan pendapat bahwa dalam hal pendidikan ibu, bukan berarti jika pendidikan yang tinggi maka akan mengkonsumsi tablet tambah darah secara rutin (shofiana et al., 2018). pada sebagian masyarakat pendidikan tidak dapat mengubah kebiasaan di masyarakat yang telah membudaya. berdasarkan temuan saat penelitian ibu hamil terbiasa mengkonsumsi obat-obatan di pagi hari padahal konsumsi tablet fe di pagi hari dapat meningkatkan efek samping dari konsumsi tablet fe yaitu mual, muntah, pusing dan konstipasi sehingga dengan adanya efek samping tersebut ibu hamil tidak patuh mengkonsumsi tablet fe. hal ini sejalan dengan penelitian bahwa hampir separuh ibu hamil (49,1%) ibu yang tidak patuh mengkonsumsi tablet fe dipengaruhi oleh efek samping yang kurang nyaman dirasakan oleh ibu ketika mengkonsumsi tablet fe, seperti mual, muntah, dan nyeri ulu hati dan konstipasi (hidayah & anasari, 2012) sedangkan pada kelompok pendidikan menengah sebagian besar (86,7%) patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. hal ini karena ibu hamil mendapatkan dukungan dari tenaga kesehatan dan keluarga sehingga memiliki motivasi yang cukup kuat untuk mengkonsumsi tablet fe. keluarga dalam hal ini suami membantu mengingatkan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe, hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa dukungan keluarga meningkatkan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe (ariesta & muthi, 2017). meskipun tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya, dukungan dari orang terdekat mampu meningkatkan motivasi ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet fe (padila, 2014). selain itu apabila ibu hamil memiliki lebih banyak pengalaman serta terkait dengan kesehatan, dan memiliki kematangan jiwa serta emosi dalam mengambil keputusan untuk mengkonsumsi tablet setiap hari. ibu hamil tidak hanya mendapat informasi terkait kehamilan dari bangku sekolah, namun juga dari berbagai sumber salah satunya saat kunjungan kehamilan di puskesmas, kelas ibu hamil ataupun saat posyandu jadi meskipun berpendidikan rendah, ibu hamil patuh mengkonsumsi tablet fe (shofiana et al., 2018). hubungan pekerjaan ibu dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe pada kelompok tidak bekerja sebagian besar (70%) tidak patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. sedangkan pada kelompok bekerja lebih dari separuh (54,4%) juga tidak patuh dalam mengkonsumsi tablet fe. berdasarkan perhitungan statistik dapat diketahui bahwa p value = 0,489 berarti tidak ada hubungan pekerjaan dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe. konsumsi tablet fe dilakukan di luar jam kerja. konsumsi tablet fe dilakukan pada malam hari (arisman, 2010) sehingga ibu tidak bekerja ataupun berstatus bekerja tidak akan menggangu keputusan ibu hamil untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi tablet fe. maka tidak ada hubungan status pekerjaan ibu dengan kepatuhan. menurut penelitian puspita tidak ada hubungan antara status pekerjaan dengan kepatuhan dalam menjalani pengobatan. ibu hamil yang bekerja tetap memiliki kesempatan dan ketersediaan waktu yang sama dengan ibu hamil yang tidak bekerja untuk melakukan pengobatan (puspita, 2016). lingkungan 291aminin, dewi, kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe ... pekerjaan dapat membuat seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. informasi mengenai tablet fe tidak hanya diperoleh dari tempat kerja melainkan dapat diperoleh dari sumber lain. sebagian kecil ibu bekerja yang patuh mengkonsumsi tablet fe dimungkinkan karena pekerjaan merupakan suatu aktivitas sehingga memperoleh penghasilan. ibu hamil yang mempunyai penghasilan berhubungan dengan kemampuan ibu untuk memperoleh pengetahuan tentang tablet besi dan anemia (indri o, endah w, & amareta, 2019) . hal ini terlihat dari kepemilikan smart phone atau media yang dapat digunakan untuk mengakses informasi mengenai tablet fe dan anemia. pekerjaan mengindikasikan status sosial ekonomi seseorang, dalam artian akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi perilaku seseorang salah satunya adalah prilaku patuh mengkonsumsi tablet fe (sri hartatik, 2013). ibu hamil yang tidak bekerja seharusnya memiliki lebih banyak waktu untuk memperhatikan kesehatan dirinya selama masa kehamilan, salah satunya yaitu patuh dalam mengkonsumsi tablet besi (fe) yang dapat mempengaruhi kesehatan diirinya dan bayinya (anggraini, 2018). namun pada penelitian ini ibu hamil tidak bekerja sebagian besar tidak patuh sehingga dinyatakan tidak ada hubungan pekerjaan ibu hamil dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet fe. kesimpulan ada hubungan pengetahuan dan pendidikan ibu hamil dengan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe saran menambah bahan bacaan dan media pendidikan kesehatan tentang anemia dan tablet fe untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil serta memberikan pendidikan kesehatan cara mengkonsumsi tablet fe dan efek samping tablet fe ada ibu hamil daftar pustaka aditianti, permanasari, y., & julianti, e. d. (2015). ). pendampingan minum tablet tambah darah (ttd) dapat meningkatkan kepatuhan konsumsi ttd pada ibu hamil anemia. jurnal penelitian gizi dan makanan, 38(1), 71–78. aminin, f., & dewi, u. (2017). one husband one client package and pregnant woman accompaniment to consume fe tablet in tanjungpinang city in 2017. in healthy family, healthy environment, healthy country and free from violence (pp. 278–281). anggraini, d. d. (2018). faktor predisposisi ibu hamil da n penga r uh n ya t erh a dap kepa t uh a n mengkonsumsi tablet besi (fe) dan anemia pada ibu hamil. strada jurnal ilmiah kesehatan, 7(1), 9–22. https://doi.org/10.30994/sjik.v7i1.141 ariesta, r., & muthi, a. (2017). hubungan karakteristik ibu hamil dengan kepatuhan mengkonsumsi tablet tambah darah. jurnal obstetrika scientika, 4(381–400). arisman. (2010). buku ajar ilmu gizi/ : gizi dalam dasar kehidupan (2nd ed.). jakarta: egc. budhisusetyo, p. y. (2012). hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan diit pada pasen diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di rsud dr soediran mangun sumarso kabupaten wonogiri. universitas muhammadiyah surakarta. dinas kesehatan, d. k. ko. t. (2016). profil kesehatan kota tanjungpinang. tanjungpinang: dinas kesehatan kota tanjungpinang. hani, u., kusbandriyah, m., marjati, m., & yulifah, r. (2010). asuhan kebidanan pada kehamilan fisiologis. jakarta: salemba medika. hidayah, w., & anasari, t. (2012). hubungan kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe dengan kejadian anemia di desa pageraji kecamatan cilongok kabupaten banyumas. jurnal ilmiah kebidanan, 3(2). indri o, a. n., endah w, a., & amareta, d. i. (2019). hubungan faktor predisposisi terhadap kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi dan kadar hemoglobin di puskesmas mangli kabupaten jember. jurnal kesehatan, 5(3), 154–165. https://doi.org/10.25047/j-kes.v5i3.56 leoni edrin, v., ariadi, a., & irawati, l. (2014). gambaran karakteristik ibu hamil pada persalinan pre term di rsup dr.m.djamil padang. jurnal kesehatan andalas, 3(3). padila. (2014). buku ajar keperawatan maternitas. yogyakarta: nuha medika. purwaningsih, muhammad, a., & artaty. (2006). analisa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi. jurnal ilmu keperawatan, 1(2), 72–81. pusdatin, k. (2016). profil kesehatan indonesia. jakarta. puspita, e. (2016). faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pada penderita hipertensi dalam menjalani pengobatan. semarang: universitas negeri semarang. ratnawati, d., mursiyam, & sejati, w. (2008). faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi di desa sokaraja tengah kabupaten banyumas. the soedirman journal of nursing, 3(3). 292 jurnal ners dan kebidanan, volume 7, nomor 2, agustus 2020, hlm. 285–292 shofiana, f. i., widari, d., & sumarmi, s. (2018). pengaruh usia, pendidikan, dan pengetahuan terhadap konsumsi tablet tambah darah pada ibu hamil di puskesmas maron, kabupaten probolinggo. amerta nutrition, 2(4). sri hartatik, t. a. (2013). faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet fe di uptd puskesmas bantur. journal of visual languages & computing, 1, 22–31. triveni, t., & okti, s. (2016). faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi talet fe di poli kebidanan. perintis health jurnal, 3(1). wawan, & dewi. (2011). pengetahuan, sikap dan perilaku. yogyakarta: nuha medika. e:\ibuk\ners desember 2021\17- 373retnosari, titisari, sendra, the correlation of maternal age and the incidence of ... the effect of health education to the active presence of mother to take their toddlers to posyandu maria ulfa1, laily prima monica2 1,2midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 03/11/2021 accepted, 22/12/2021 published, 26/12/2021 keywords: health education, active presence article information abstract the decrease of the active presence of toddlers at the posyandu has become a problem for health workers in monitoring the health and development of infants and toddlers in their working areas. this is due to several reasons, one of which is from the mothers who are lazy and do not know what is the benefits they will get when they are taken to the posyandu. the purpose of this study was to determine the effect of health education to the active presence of mothers to take their toddlers to posyandu. methods: this study used a “pre-experimental” design. the sample was 30 respondents taken by using purposive sampling technique. the independent variable was health education and the dependent variable was active presence of mother to take their toddler to posyandu. the instrument used health education materials and observations on the respondent’s attendance book in the last 8 months. result: the sattistical wilcoxon ranktest showed p value = 0.05. this meant that health education affected the active presence of mothers in bringing their toddlers to join the posyandu at polindes semen, gandusari district. based on the result, it is expected to all mothers to be active in joining posyandu so that they can get education on how to stimulate and check their children’s growth and development. for health workers, the results of this study can be used as an input so that they can improve the provision of counseling during posyandu activities and the target of achieving the presence of infants and toddlers in the areas can be achieved. © 2021 journal of ners and midwifery 373 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ulfamaria845@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p373–377 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p373-377&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 374 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 373–377 introduction in order to reduce the child mortality rate, the government really expects the community participation, one of which is through posyandu activities. posyandu is established with the aim of reducing infants and toddlers mortality rates (utami, et al, 2016). the number of posyandu in east java until the end of 2018 reached 46,733 unit. the coverage (visits) of infants in east java province in 2018 reached 96.6% and there were 22 districts/cities that did not reach the specified target (97%). there were still 6 districts and cities that need to be improved in order to achieve puri strata > 60%. they were sumenep regency, pamekasan regency, bangkalan regency, blitar regency, lumajang regency and surabaya city. the achievement of the presence of infants and toddlers in joining posyandu still did not meet the target so that the health development goal was not aacomplished (east java health office, 2018). posyandu is a form of community-based health effort (ukbm) which is managed and organized from, by, for and with the community in the implementation of health development in order to empower the community and provide convenience to the community in obtaining basic health/basic social services. this is done in order to accelerate the decline in maternal mortality and infant mortality. the low number of visits by toddlers to posyandu can cause various problems. some of the problems that exist are the cases of unmonitored growth and development of children, immunizations that are not on the schedule, the nutritional status of toddlers which is not properly monitored and undetected abnormalities or diseases of toddlers (indonesian ministry of health, 2015). the achievement rate for weighing toddlers in east java in 2017 was 78%. this indicated that the targets of each posyandu area had not been fully achieved. many things cause that problems, one of which was the lack of knowledge and awareness of parents, especially mothers, to take their children to posyandu (east java health office, 2018). the results of the survey on march 1-10 2018 in the working area of pkm gandusari, there were 25 toddlers. each area was divided into several posts for the implementation of posyandu. pos i (70% achieved), post ii (60% achieved), post iii (65% achieved), post iv (70% achieved). the achievement target for each region was still around 60-70% which meant the government target of 100% was unaccomplished. so there needs to be intensive monitoring by pkm gandusari on several posyandu with low achievements. in addition, there is a need for improvements in the management of the implementation of the pkm gandusari related to the separation of immunization implementation. based on those problems, the authors were interested in conducting study on the effect of health education to the active presence of mothers in bringing their toddlers to posyandu in polindes semen, gandusari sub-district, blitar district. the aim was to identify the active presence of mothers before and after the treatment; providing health education. methods this study used a “pre-experimental” design. the subject was 30 respondents selected by purposive sampling with direct observations at the time of providing health education. we gradually visited each posyandu to assess the number of attendance of each posyandu at polindes semen district gandusari kab. blitar on march 2018. this study uses a questionnaire with closed questions to determine the activen presence of mothers to take their toddlers to posyandu. the independent variable was health education and the dependent variable was the activity of mothers to take their toddlers to the posyandu. the data analysis used the wilcoxon signed rank test with the significance level of 0.05. result tabel 1 the frequency distribution of the effect of health education of mothers to take their toddlers to posyandu at polindes semen, gandusari district, kab. blitar on march 2021 no. characteristics f % 1. age 18-26 years old 70 46,7 27-35 years old 30 20 >35 years old 50 33,3 2. educational background elementary school 60 40 junior high school 30 20 senior high school 30 20 university 30 20 3. occupation employed 60 40 housewive 90 60 375retnosari, titisari, sendra, the correlation of maternal age and the incidence of ... after being given health education, most of the respondents (73%) were in the active category. 4. posyandu information yes 60 40 no 90 60 total 150 100 no. characteristics f % tabel 2 the identification of active presence of mother to take their toddlers to posyandu before being given health education at the semen polindes, gandusari district, kab. blitar in march 2018 no category f % 1. inactive 120 80 2. active 30 20 total 150 100 before being given health education, most of the respondents (80%) were in the inactive category. tabel 3 the identification of active presence of mothers to take their toddlers to posyandu after being given health education at the semen polindes, gandusari district, kab. blitar on march 2018 no category f % 1. inactive 40 26,7 2. active 110 73,3 total 150 100 n z value sebelum perlakuan 150 2.828 0.005 sesudah perlakuan = 0,005 = 0,05 tabel 4 the analysis of the effectiveness of health education to the active presence of mothers to take their toddlers to posyandu at polindes semen, gandusari district, kab. blitar in march 2018with wilcoxon signed rank test discussion the active presence of mother to take their toddlers to posyandu before being given health education at the semen polindes, gandusari district, kab. blitar in march 2018 the results of the study showed that the active presence of mothers to take their toddlers before being given health education was mostly (73.3%) in the active category. this was very possible because almost half of the respondents (46.7%) were 18-26 years old. in terms of age, it was clear that the maturity of a mother’s in age affected the understanding of the care patterns, child care, the need for examination and monitoring of the child growth and development and also the stage of learning to adapt in roles changing. from the results of the study, it was also found that 40% of respondents’ educational background was in the elementary school category. low maternal education affected the reception of information so that knowledge about posyandu was hampered or limited. 60% as housewive and 60% had never received information about what posyandu was, what was in posyandu, and what was the importance of bringing their children to posyandu. this was in line with the results of research conducted by cholifah et al., 2017 which showed the factors that toddler visits to posyandu are influenced by good knowledge (86%), positive attitude (89.7%), secondary education (76.3%), unemployed status ( 57.7%), maternal age 35 years (82.5%), routine visits (75.3%). the giving of understanding and knowledge to mothers with elementary education and only as a housewive required more patience and persistence in providing the information compared to mothers with university educational background and employed. the information giver with the condition of the community with various backgrounds should not only focus on health workers, but also with the help of cadres and a direct approach to the family. the result of this study illustrated the activity of active presence of mothers to take their toddlers to posyandu was still low and had not reached the government’s target of 85% (kemenkes ri, 2015). the active presence of mother to take their toddlers to posyandu after being given health education at the semen polindes, gandusari district, kab. blitar in march 2018 the results of the study showed that the active 376 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 373–377 presence of mothers to take their toddlers after being given health education was mostly (73%) in the active category. this was because of the provision of appropriate information, media for providing information which wass fun, clear and easy to understand, providing repeated information, persuasive approaches, affected the pattern of acceptance and understanding of respondents. several factors which affected the success of government programs in increasing maternal visits in bringing their toddlers to the posyandu to ensure the health of children, it was very necessary to pay more attention to the local government, especially health workers. this was in line with the research conducted by endra amaila et al., 2018 which showed that there were factors that affected the visit of mothers to take their toddlers to the posyandu. from 76 mothers, 52.5% were in the category of lack of family support, 86.1% were in the good category and received family support. the chi square statistical test, obtained p value = 0.001. it could be stated that there was a significant correlation between family support and active presence of mother to take their toddlers to posyandu. the role factor of cadres, 51.2% in the category of not getting the attention of cadres, 85.7% in the good category getting the attention of cadres, from the chi square statistical test, obtained p value = 0.002. it could be concluded that there was a significant correlation between the role of cadres on the visit of mothers to take their toddlers to posyandu. for employed mothers, 51.2% were in the poor category, while 87.9% were not in the good category. from the chi square statistical test, it was obtained p value = 0.001. it could be concluded that there was a significant correlation between mother ’s work and mother’s visit to posyandu. . from the results of research conducted by meivy i and jesica y, 2020, the results of the spearman rank statistical test with a probability value (p) = 0.000 with a correlation coefficient value of 0.465 (interval r between 0.26 0.50 is a moderate correlation) which stated that there was a correlation between work and active visits of mothers under five in posyandu activities at posyandu x surabaya, with moderate strength of the correlation. this was due to the most of the mothers who work were constrained by not having free time to take their toddlers to visit the posyandu compared to mothers of toddlers who do not work (sugiyanti, aprilia and suci hati, 2014). the effect of health education to the active presence of mother to take their toddlers to posyandu based on the wilcoxon signed rank statistical test, it was found that p value = 0.05, so that p value < 0.005 which meant there was an effect on the active presence of mothers taking their toddlers to the posyandu before and after being given health education. providing health education with various approaches to mothers was very helpful in understanding the level of mother’s understanding, interest in each activity in the implementation of posyandu. by having a good understanding, the awareness of mothers to be more active in coming to take their children to the posyandu every month was increased. there were so many benefits that could be obtained from the provision of health education, such as changing the mindset of the community, especially mothers who had toddlers, to be even more active in checking the growth and development of childr en every month since in posyandu was not only for weighing but also checking children’s growth and development, providing nutrition to children, giving vitamins, immunization according to stages and providing knowledge to mothers through counseling activities by health workers. this was in line with the results of the research conducted by siti nur, ls, et al which stated that there was a significant correlation between mother’s knowledge towards toddlers and the compliance to visit posyandu in sumberejo village, mranggen district, demak regency (p = 0.000). since the p value was less than 0.05 with an r value of 0.645, it could be stated that there was a strong correlation between one’s knowledge of obedience and the acive presence of a mother to take their toddler to posyandu. in this case, the provision of education greatly affected the pattern of one’s thinking. education was a learning process for individuals to gain knowledge and understanding of something so that it will change the mindset, attitude, behavior for the better (nazri et al., 2016). the increased knowledge of mothers about the importance of taking their toddlers to posyandu needed to be improved. this was the first step in monitoring the growth and development of toddlers so that they got more attention and they will be 377retnosari, titisari, sendra, the correlation of maternal age and the incidence of ... awared to take their toddler to posyandu (mardiana, yusran and erawan, 2016). conclusion the results of the study illustrated that (1) before being given health education, 80% of respondents were in the inactive category (2) after being given health education 73.3% of respondents were in the active category (3) the data analysis using the wilcoxon signed rank test resulted in p value = 0.005 which meant that the provision of health education affected the active presence of mothers to take their toddlers to posyandu. suggestion it is expected to parents, especially the mother, to be more active in finding and searching information related to the growth and development of their toddlers. by joining the posyandu program, children can socialized and communicate with their peers who is good to stimulate the growth and development. references amalia, endra, dkk. 2018. faktor mempengaruhi kunjungan ibu membawa balita ke posyandu kelurahan tanjung pauh tahun 2018. jurnal kesehatan perintis (perintis’s health journal) volume 6 nomor 1 tahun 2019. pp 60-67. dinkes provinsi jawa timur. 2018. buku profil kesehatan. kemenkes ri isnoviana, meivy dan jesica yudit. 2020. hubungan status pekerjaan dengan keaktifan kunjungan ibu dalam posyandu di posyandu x surabaya. jurnal ilmiah kedokteran wijaya kusuma 9(2) : 112-122, september 2020 kementrian kesehatan ri. 2011.pedoman umum pengelolaan posyandu, kementerian kesehatan ri. ______________________. 2013. kader posyandu menuju keluarga sadar gizi. jakarta: kemenkes ri. ______________________. 2015. pedoman teknis pemantauan status gizi. jakarta: kemenkes ri. mardiana, n., yusran, s. and erawan, p. e. m. 2016.peran posyandu dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak di wilayah kerja puskesmas konda kecamatan konda kabupaten konawe selatan tahun 2016. jurnal ilmiah mahasiswa kesehatan masyarakat, 1, no. 4(6), pp. 2–12. nazri, c. et al. 2016. factors influencing mother’s participation in posyandu for improving nutritional status of children under-five in aceh utara district, aceh province, indonesia. bmc public health, 16(1).doi: 10.1186/s12889016-2732-7. nur, siti, dkk. 2012. hubungan pengetahuan ibu balita dengan kepatuhan kunjungan balita ke posyandu di desa sumberejo kecamatan mranggen kabupaten demak. http:jurnal.unimus.ac.id. sugiyanti, r., aprilia, v. and suci hati, f. 2014.kepatuhan kunjungan posyandu dan status gizi balita di posyandu karangbendo banguntapan bantul yogyakarta.jurnal ners dan kebidanan indonesia journal, 2, pp. 141–146. ut am i nwa, adh i kt, adnya n a ims, 2016. pemberdayaan kader desa dan tokoh masyarakat dalam implementasi strategi deteksi dini kasus malnutrisi anak balita di desa bukit karangasem. jurnal udayana mengabdi 1. e:\ibuk\ners desember 2021\13-348 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 348–354 occurrence of nutritional status problems (stunting) in cities and villages in children in kediri maria anita yusiana1, sandy kurniajati2, srinalesti mahanani3, dewi ika sari hp4 1,2,3,4nursing department, stikes rs baptis kediri, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 14/10/2021 accepted, 09/12/2021 published, 15/12/2021 keywords: child, nutritional status, bb/u, tb/ u, village, city article information abstract the current trend of maternal and child health problems is stunting. health development 2015-2019 is focused on decreased in maternal and infant mortality, a decreased in the prevalence of short toddler (stunting). the purpose of the study was compared stunting in the cities and village to children in kediri. the research method used a comparative observation with the population of children in the city of bangsal kediri and dusun bulakdawung, parang kediri village, with a sample of 49 children. sampling using nutritional status based on bb/u and tb/u. data was collected by observing spring and microtoise scales. the analysis used is mann-whitney. nutritional status based on bb/u nutritional problems in the city 13.8% and in the village 5%, nutritional problems tb/u (stunting) in the city 3.4% and in the village 10%. comparison of nutritional status based on bb/u p = 0.34 and tb/u p = 0.362 there is not significant. the main factor in nutritional problems is that the nutrients consumed are not appropriate, both in quality and quantity.the community in parang banyakan village, kediri is a mountainous community, the dominant vegetable protein rather than animal. secondary factors of insufficient nutrition are caused by disruptions in the utilization of nutrients. in kediri city ward, children’s malnutrition problems are not always caused by inadequate nutritional intake, child health factors such as disorders in children that cause nutrition cannot be absorbed by the body, and children experience the frequency of recurrent infections, so the child’s nutrition is not for growth and development but to fight infection. © 2021 journal of ners and midwifery 348 correspondence address: stikes rs baptis kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: yusianamaria@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p348–354 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p348-354 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p348-354&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 349yusiana, kurniajati, mahanani, sari hp, occurrence of nutritional status problems (stunting) in ... introduction health development aims to be able to increase awareness, willpower, and the ability to live a healthy life for everyone in order to realize the highest degree of public health. the framework of thought contains a very deep meaning that every generation must live a healthy life, one of which is the mother and her child. maternal and child health efforts are an effort in the health sector to provide welfare, and as an effort to facilitate the community to form the nation’s next generation. the goal of the maternal and child health program to achieve the ability a healthy life through increasing optimal health status for mothers and children and their families to accelerate the achievement of indonesia’s health development targets. the current trend of maternal and child health problems is stunting. stunting is a growth and development disorder that describes the failure to achieve growth and development potential as a result of poor health and/ or nutritional status. stunting is used as an indicator of chronic malnutrition that describes a child’s history of malnutrition in the long term that stunting shows how the previous nutritional state was. stunting occurs due to nutritional deficiencies (especially protein) that occur repeatedly over a long period of time during the fetus to the first two years of a child’s life. riskesdas mentioned that 35.6% of toddlers in indonesia experience stunting problems, meaning that almost half of our toddlers have a height lower than the standard height of toddlers his age (dirjenkesmas, 2017). based on the results of research the main causes of stunting are nutritional problems in preschool-aged children such as lack of food intake and infectious diseases, maternal behavior in hygiene is still lacking and the home environment is less supportive for the growth of children. nutritional needs for the body is a basic human need that is very important. judging from its usefulness, nutrition is a source of energy for all activities in the body system. sources of nutrients in the body come from within the body itself such as glycogen contained in the muscles and liver or proteins and fats in tissues and other sources that come from outside the body as daily eaten by humans. fulfillment of good nutrition needs in mothers and children can prevent stunting. to get good nutrition requires good knowledge to be able to present a balanced menu and serve hygienically. nutrition is an organic substance that organisms need for the normal functioning of the body’s systems, growth, and maintenance of health. the role of a nurse to prevent stunting can be in the form of meeting good nutritional needs. the action that can be done is to perform health eduction to the community (ri, pedoman gizi seimbang, 2014). the purpose of the study compared the incidence of nutritional problems (stunting) in cities and villages in children in kediri. method the research method used is comparative observation with the population of children in pesantren in bangsal village, kediri city district and bulakdawung hamlet, parang village, banyakan district, kediri regency, with a sample of 49 children consisting of 29 children in the city and 20 in the village. sampling with the same sampling for every child who came at integrated healthcare center toddler in rw ii ward village, and in kindergarten ppk parang satu, the research varied, namely nutritional status based on bb/u and tb/ u. data collection with observers with spring scales and microtoise. statistical analysis using mannwhitney with 0.05. result no variable bangsal village (city) dsn bulakdawung (village) 1 number of children 29 (59,2%) 20 (40,8%) 2 gender:male female 16 (53,2%)13 (44,8%) 8 (40%)12 (60%) 3 average age 2,05 th 5,6 th 4 average weight 11,25 kg 17,4 kg 5 average height 84,5 cm 106,6 cm table 1 comparison of demographic data on the occurrence of nutritional status problems in children at pesantren in bangsal village, kediri district and bulakdawung hamlet, parang village, banyakan district, kediri regency (n = 49) 350 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 348–354 female tend to have a thin bb/u nutritional status (15.4%) compared to male sex (4.3%), and based on the location of the child in the city are bb/u thin usual fat total gender male count 1 22 0 23 % within type gender 4,3% 95,7% ,0% 100,0% female count 4 20 2 26 % within type gender 15,4% 76,9% 7,7% 100,0% total count 5 42 2 49 % within type gender 10,2% 85,7% 4,1% 100,0% location city count 4 24 1 29 % within location 13,8% 82,8% 3,4% 100,0% village count 1 18 1 20 % within location 5,0% 90,0% 5,0% 100,0% total count 5 42 2 49 % within location 10,2% 85,7% 4,1% 100,0% table 2 cross-tabulation of gender and location with bb/u of the incidence of nutritional status problems in toddlers in the village bangsal of pesantren district of kediri city and hamlet bulakdawung village parang district banyakan district kediri (n = 49) more likely to be thin bb/u nutrition status (13.8%) than children in the village (5%). tb/u short/stuting usual total location city count 1 28 29 % within location 3,4% 96,6% 100,0% village count 2 18 20 % within location 10,0% 90,0% 100,0% total count 3 46 49 % within location 6,1% 93,9% 100,0% gender male count 1 22 23 % within gender 4,3% 95,7% 100,0% female count 2 24 26 % within gender 7,7% 92,3% 100,0% total count 3 46 49 % within gender 6,1% 93,9% 100,0% table 3 cross tabulation location and gender with nutritional status tb/u comparison of the incidence of nutritional status problems in toddlers in the village ward of pesantren district of kediri city and hamlet bulakdawung village parang district banyakan kediri (n = 49) comparison of tb/u nutritional ststus based on location that children in the village tend to have short nutritional status (10%) compared to children in the city (3.4%), while by gender tend to girls more short nutritional status (7.7%) than in the elderly aki-male (4.3%). 351yusiana, kurniajati, mahanani, sari hp, occurrence of nutritional status problems (stunting) in ... based on table 4, there is a comparison of bb/ u p = 0.340 where p > then there is no significant difference in the nutritional status of bb/u between children in the city and in the village. the ratio of tb/u p=0.352 where p > then there was no significant difference between the nutritional status of tb/u between children in the city and in the village. discussion nutritional status based on bb/u the results of research conducted in the village of pesantren district of kediri city and bulakdawung village parang village of district banyakan of kediri district showed the problem of thin nutrition in the city 13.8% and in the village 5%. the problem of undernutrition in indonesia in 2017 was 19.6% in toddlers (dirjenkesmas, 2017). one of indonesia’s goals of healthy 2025 is a decrease in the prevalence of undernutrition in toddlers from 26% in 2005 to 9.5% in 2025 (kemenkes, 2009). according to almatsier (almatsier, 2012) there are two factors that affect the utilization of nutrients by the body, namely primary factors and secondary factors. primary factors are food intake factors that can cause insufficient or excessive nutrients and secondary factors are factors that affect the utilization of nutrients in the body. (dirjenkesmas, 2017). in the primary factor, the problem of thin nutrition is caused by the arrangement of food consumed is not right both quality and quantity. in general, the people in the hamlet of bulakdawung village of parang district of banyakan district kediri is a mountain community with a topographic slope of 15-45 degrees, the plan diet is more dominant than the animal diet. factors that cause thin nutrition problems in the village of bangsal district pesantren kediri city and bulakdawung hamlet parang village many districts kediri among others are: first poverty, the community in this research location is a community with a poverty line that includes high with jobs as farmers and farm workers, while the land can only be planted only in the rainy season. the second is knowledge. low knowledge about the importance of nutrients for health. the level of public knowledge is low because many educated people are still in elementary school and access to information on health is very minimal. nutritional status based on tb/u the results of research conducted in the pesa ntren ba ngsal villa ge, kediri city and bulakdawung village, parang banyakan district, kediri, showed that nutritional problems (short/stunting) in the city were 3.4% and in the village 10%. stunting is a condition where a person’s height is shorter than his age (dirjenkesmas, 2017). lengthheight by age (pb-tb/u) indicates achievement of body length relative to age compared to median (line 0). nutritional status of boys aged 0-2 years and 2-5 years with a pb-tb / u index: below -2 sd is called short, below -3 elementary school is called very short (titus et al, 2017). stunted children who show failure increase in height according to the size of friends of the age. short toddler (stunting) is a nutritional status based on the pb / u index or tb / u where in anthropometric standards assessment of child nutritional status, the measurement results are at the threshold (z-score) <-2 sd up to -3 sd (short / stunted) and <-3 sd (very short / severely stunted) (rahmadhita, 2020). the child will look shorter and this will interfere with psychosocial in the child. the size of the child’s height on a proposed and average basis indicates the level of communal nutritional fulfillment. the average height of a person in a period of time will experience an increase along with economic and community welfare, if many children who experience stunting lead to low community welfare. currently indonesia is faced with the problem of stunting (short) which is quite high when compared to other countries, compared to asean countries even the number of stunting indonesia is still classified as the highest. based on the results of psg’s 2016 study, showed that the number of toddlers who are classified as very short by 8.5%, and relatively short by 19.0% (titus, 2017). bb/u tb/u mann-whitney u 261,500 271,000 wilcoxon w 696,500 481,000 z -,954 -,931 asymp. sig. (2-tailed) ,340 ,352 table 4 test comparison of the incidence of nutritional status problems (bb/u and tb/u) in toddlers in the village ward of pesantren district of kediri city and bulakdawung hamlet of parang village banyakan of kediri (n = 49) 352 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 348–354 when compared with the national prevalence of stunting in kindergarten pkk parang i tends to be better, this indicates that health development is starting to show results. factors that cause stunting problems both in the village of bangsal pesantren ward, district of kediri city and hamlet of bulakdawung, parang banyakan village, kediri district among others is first is livelihood. father as the head of the family many who work outside the area and mothers as a household and also make a living in a gr icultur e. t he second is diet. breastfeeding patterns that have not been exclusive, as well as the pattern of giving drinks in bottles as pmt breast milk is not milk but often still sugar water, the animal diet for children is still low. the third is parenting. children who experience malnutrition pr oblems both the village of bangsal pesantren in the city of kediri and the hamlet of bulakdawung, parang village, banyakan sub-district, kediri district both parenting fostered by grandmothers with low education and low socioeconomic as well. comparison of nutritional status issues in cities and villages based on bb/u and tb/u the results of research conducted in the villa ge of ba ngsa l pesa ntr en kedir i city a nd bulakdawung village parang sub-district banyakan, kediri district show bb/u p = 0.34 where p > and tb / u p = 0.352 where p >  so there is no significant difference in the incidence of nutritional problems in children in the city and in the village based on the nutritional status of bb/u and tb/u. it concluded that the problem of nutrition based on bb/u in the city tends to be larger than in the village, and the problem of nutrition based on bb/u in the city tends to be bigger than in the village, and the problem of nutritional status of tb/u in the village tends to be bigger than in the city but there is no significant difference. the primary factor of nutritional problems is caused by the composition of the food consumed is not appropriate, both in quality and quantity. the community in parang banyakan village, kediri is a mountainous community with a topographic slope of 15-45 degrees, a plant-based diet is more dominant than an animal-based diet. secondary factors related to insufficient nutrients are caused by disturbances in the utilization of nutrients. the problem of undernutrition in indonesia in 2017 was 19.6% in toddlers (dirjenkesmas, 2017). one of indonesia’s healthy goals in 2025 is a decrease in the prevalence of undernutrition in toddlers from 26% in 2005 to 9.5% in 2025 (ri, renca na pemba nguna n keseha ta n ja ngka panjang, 2009). the results of preschool-age research on nutritional status are less when compared to the lower national average, but it should be noted that the national average also needs to be compared with the regional average, if seen the prevalence tends to decrease this shows government programs in health development, especially nutrition problems meet the point of success and need to be improved continuously so that health development goals in 2025 can be achieved. according to almatsier (almatsier, 2012) there are two factors that affect the utilization of nutrients by the body, namely primary factors and secondary factors. primary factors are food intake factors that can cause insufficient or excessive nutrients and secondary factors are factors that affect the utilization of nutrients in the body (titus, 2017). in the primary factor is caused by the arrangement of food consumed is not right both quality and quantity. in general, the people in the machete village of banyakan kota kediri district are mountain communities with a topographic slope of 15-45 degrees, the plant-based diet is more dominant than the animal diet. secondary factors related to nutrients are not sufficient needs due to disruptions in the utilization of nutrients. in general, the community in the village of bangsal district pesantren kediri city occurs the problem of malnutrition in children is not always by the intake of less nutrients, the factors of the child’s health condition also need to be examined, whether there are disorders in the child that cause nutrition can not be absorbed by the body, or children increase the frequency of recurrent infections, so that the child’s nutrition is not for growth and development but to fight infections that occur. therefore, further examination of malnourished children in kindergarten pkk parang i needs to be done with examination to public health center banyakan kediri and further examination on malnourished children in bangsal village needs to be done with examination at the health center pesantren i of kediri city. one of the strategies of the 2018 public health program is to accelerate the improvement of community nutrition and community nutrition program 353yusiana, kurniajati, mahanani, sari hp, occurrence of nutritional status problems (stunting) in ... of supplemental feeding to underweight toddlers (dirjenkesmas, 2017). school-age children who are underweight or very thin nutritional status should be reported to the health cadres and forwarded to the health center banyakan and pesantren i in order to get attention and obtain additional nutrition programs through supplemental feeding for school children (pmtas) from health center. the role of the teacher to communicate and bridge children to gain access to nutrition services is needed. stunting is a chronic malnutrition problem caused by insufficient nutritional intake for a long time due to feeding that is not in accordance with nutritional needs. stunting can occur starting the fetus is still in the womb and only seen when the child is two years old (ri, situasi balita pendek, 2016). stunting in preschool-aged children at the location of community service occurs not in the short term, this occurs during the process of care by the family, related to the fulfillment of nutrition from the fetus to the current condition. stunting can occur starting from the fetus is still in the womb and only appears when the child is two years old, and if not balanced with catch-up growth (growing up chasing) resulting in decreased growth, stunting problems are public health problems associated with increased risk of pain, death and barriers to growth both motor and mental. (novery, 2021) stunting is shaped by inadequate growth faltering and catcth up growth that reflects the inability to achieve optimal growth (who, 2014). the health condition of the mother during pregnancy will affect nutrition for fetal development. the cause of stunting is the lack of nutritional intake received by children/babies (dirjenkesmas, 2017). at the age of infants the role of exclusive breastfeeding and the knowledge and skills of the mother is very important in providing nutritional intake after the needs of the child, if there is a failure in nutritional care can cause stunting. this is in line with the results of eko setiawan’s research stating that the level of energy intake, history of the duration of infectious diseases, birth weight, maternal education level and family income level with stunting events (setiawan, 2018), as well as the results of research yuanti and festi that state nutritional status, health problems in children, instant food eating habits, and maternal height related to stunting in toddlers (yuwanti & festi, 2021) the impact of stunting is easily sick, cognitive ability is reduced, risk of diseases related to diet, unbalanced body functions, resulting in economic losses, improper posture as an adult (dirjenkesmas, 2017). in children who experience stunting will tend to easily experience pain, especially infectious pain because of low endurance. diseases such as cough, cold, diarrheal fever will be easily suffered by children. if the child is easily sick, of course, the cost of health in children will increase this will be an additional burden of the family economy. infectious diseases that are high in frequency in children, nutrient intake will be focused on fighting infection so that in the long run the child fails to grow and become shorter than the child. stunting program management there are 3 main pillars: 1. adequate nutrition consumption, 2. proper parenting, 3. access to health services, and environmental health, which are spelled out in 11 activities include: 1. tablets add blood (young women, brides-to-be, and pregnant women), 2. exclusive breastfeeding promotion, 3. promotion of complementary foods 4. micronutrient supplements (taburia) 5. macronutrient supplements (pmt) 6. nutritional management is lacking/bad 7. vit a supplementation 8. promotion of iodine salts 9. clean water, sanitation, and hand washing using soap 10. drug 11. non-cash food assistance (dirjenkesmas, 2017). conclusion the conclusion in this study is that nutrition problems based on bb / u in the city tend to be larger than in the village, and the problem of tb/u nutritional status in the village tends to be greater than in the city but there is no significant difference. suggestion increasing the role of formal (school) and general communities, especially families in overcoming stunting and nutrition problems in children is very important. school can carry out periodic monitoring of nutritional status with a nutritional status measurement program every month and hold additional feeding programs every thursday (in the village of bangsal, pesantren district, kediri city) saturday (bulakdawung village parang district of banyakan kediri district) through self-help parents/ guardians of students. mothers as the main role of 354 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 348–354 foster care in children must have a high awareness that the nutritional status in children is an inventation of the child’s future. mothers need to continue to increase knowledge about the prevention and handling of stuting problems by actively accessing information through both digital and conventional means. references almatsier. (2012). prinsip dasar ilmu gizi. jakarta: gramedia pustaka utama. dirjenkesmas. (2017). pendekatan program kesehatan masyarakat . jakarta: kemenkes ri. indonesia, p. r. (2007). undang-undang republik indonesia nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. jakarta: departemen pekerjaan umum. novery. (2021). upaya pencegahan stunting pada balita menggunakan intervensi pendidikan kesehatan gizi pada ibu hamil. jurnal permas volume 11 nomor 1. rahmadhita, k. (2020). permasalahan stunting dan pencegahannya, jurnal ilmiah kesehatan sandi husada. jiksh, 225-229. ri, k. (2009). rencana pembangunan kesehatan jangka panjang. jakarta: departemen kesehatan. ri, k. (2014). pedoman gizi seimbang. jakarta: kemenkes ri. ri, k. (2016). situasi balita pendek. acm sigapl apl quote quad (pp. 63-76). jakarta: departemen kesehatan ri. setiawan, e. (2018). ). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja puskesmas andalas kecamatan padang timur kota padang tahun 2018. jurnal fk universitas andalas. titus. (2017). bahan ajar gizi, penilaian status gizi. jakarta: kemenkes. who. (2014). childhood stunting: challenges and opportunities. report of a promoting healthy growth and preventing childhood stunting colloquium. geneva: world health organization. yuwanti, & festi. (2021). ), faktor – faktor yang mempengaruhi stunting pada balita di kabupaten grobogan. jurnal keperawatan dan kesehatan masyarakat cendekia utama volume 10 nomor 1. e:\ibuk\ners desember 2021\10-328 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 328–333 control blood sugar levels by brisk walking method sriwahyuni1, junaidin2, jamila kasim3, noviyati hamundu4, sri darmawan5 1nurse study program, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia 2nursing study program, stikes amanah makassar, indonesia 3nursing diplomatiga study program, stikesnani hasanuddin makassar, indonesia 4s1 nursing study program, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia 5nursing diplomatiga study program, stikes nani hasanuddin makassar, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 24/06/2021 accepted, 27/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: brisk walking, blood sugar levels article information abstract diabetes mellitus (dm) is a chronic disease, and specific treatments are needed in order to control blood glucose. in addition to pharmacological therapy, non-pharmacology therapy also takes an important role to control blood glucose levels and should be done regularly. brisk walking is one example of physical activity which included in non-pharmacology therapy and can improve body expenditure. this activity can help dm patient to control their blood glucose level within the normal range. the physical activity of brisk walking, which is one type of exercise that can maintain blood sugar levels within the normal range, especially in people with diabetes mellitus. this study aimed to determine the effect of brisk walking on the blood glucose level of dm patients at tamalenrea health center makassar city. this study adopted a quasy experiment and a one-group pre-post test design. a total of 16 respondents were selected purposively based on the determined criteria. data analysis of the difference of blood sugar level between the treatment and control was carried out by using the spearman correlation test with spss version of 21. the difference was significant with the value of p < 0.05. the results showed that the physical activity of brisk walking could control blood sugar levels. statistical analysis showed that the average blood sugar content was significantly lower in patients practicing brisk walking (blood sugar level <200 mg/dl)(176.06%) than the control (blood sugar level > 200 mg/dl) (218.81%). so it can be concluded that by doing physical activity brisk walking can control blood glucose levels. © 2021 journal of ners and midwifery 328 correspondence address: stikes nani hasanuddin makassar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: sriwahyunicallista@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p328–333 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://doi.org/10.26699/jnk.v8i3.art.p328-333 https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p328-333&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 329sriwahyuni, junaidin, kasim, hamundu, darmawan, control blood sugar levels by brisk walking method introduction diabetes mellitus (dm) includes in the ten noncommunicable diseases that occupy the top rank of most cases and are the diseases with the largest financing burden in indonesia (wahyuningrum et al 2020). according to the world health organization (who) in 2015, 415 million adults suffer from diabetes, a 4-fold increase from 108 million in 2015. 1980s. by 2040 it is estimated that the number will be 642 million. nearly 80% of people with diabetes live in lowand middle-income countries and are the 6th leading cause of death by 2030 (world health organization 2016). who predicts an increase in the number of people with diabetes mellitus in indonesia from 8.4 million in 2000 to around 21.3 million in 2030, this shows an increase in the number of people with diabetes mellitus by 2-3 times in 2034. diabetes mellitus (dm) is a metabolic disease characterized by high blood sugar levels (hyperglycemia) that occurs due to insulin disorders and insulin work disorders or a combination of both. (azitha, aprilia, & ilhami, 2018). diabetes is a chronic disease where blood therapy is needed to be able to check glucose levels properly, in addition to pharmacological therapy that is needed in addition to therapy to control glucose. type 2 diabetes (dmt2) is the most common form of diabetes. t2dm treatment therapy consists of five main components, namely diet regulation, exercise, monitoring of metabolic status, pharmacological therapy, and pharmacological therapy (ali, 2011, rudianto et al 2011). most dmt2 patients have difficulty in self-management regarding physical activity, eating health, drug use, blood glucose monitoring, and stress management (aghili et al 2016). according to the doctor’s perspective, most of the patients who receiving insulin therapy failed to achieve therapy targets caused by lifestyle factors, non-compliance, and about medical expenses not covered by insurance (out-of-pocket costs). among the components of dm therapy, the adoption and maintenance of physical activity is an important focus for blood glucose management and overall health in individuals with diabetes and prediabetes. recommendations and precautions vary depending on individual characteristics and health status. physical activity includes all movements that increase energy use, whereas exercise is planned, structured physical activity. exercise improves blood glucose control in type 2 diabetes, reduces cardiovascular risk factors, contributes to weight loss, and improves wellbeing (chen et al 2015). regular exercise can prevent or delay the development of type 2 diabetes (schellenberg et al 2013). regular exercise also has considerable health benefits for people with type 1 diabetes (eg, improved cardiovascular fitness, muscle strength, insulin sensitivity, etc.) (yardley et al 2014). the challenges associated with blood glucose management vary with the type of diabetes, the type of activity, and the presence of diabetesrelated complications (colberg et al 2010). therefore, recommendations for physical activity and exercise must be tailored to meet the specific needs of each individual. physical activity is defined as any body movement produced by skeletal muscles that requires energy expenditure (chen et al 2015). physical activity is body movement that is produced by muscles and produces energy. physical activity that is done repeatedly can maintain physical and mental health, as well as the quality of life to stay healthy (sakung, et.al 2018). lack of physical activity is a big enough factor for a person to be overweight and weaken the work of vital organs such as the heart, liver, kidneys, and pancreas. lack of physical activity ca n also cause diabetes. (rahmatul fitriani, 2016). physical exercise or exercise in people with diabetes has a very important role. the type of physical exercise recommended for people with diabetes mellitus is brisk walking, which is a type of aerobic exercise that aims to improve health and fitness, especially to improve the function and efficiency of the body’s metabolism so that it will help control blood sugar levels. aerobic exercise involves repeated and continuous movement of large muscle groups (physical activity guidelines advisory committee, 2009). activities such as walking, cycling, jogging, and swimming rely primarily on aerobic energy-producing systems. brisk walking or brisk walking is a type of exercise that can keep blood sugar levels within normal limits. light exercise that can be done is walking for 30 minutes and brisk walking for 20 minutes (suyono et al 2011). according to houmard (2003) brisk walking is one of the sports that is done with a duration of 30-60 minutes, a frequency of 35 times a week and if done regularly will increase insulin work, stimulate glycogen synthesis through increased insulin action and stimulate glucose transport by glucose transporters. glut4 (fenny rosa indah, 2013). brisk walking is a sport that is very easy to do, because it can be done anywhere, especially outside the home and does not cost any330 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 328–333 thing (listyarini & fadilah, 2017). based on data from the tamalanrea community health center makassar city, it shows that the number of visits by people with diabetes mellitus in 2016 was 859 (8.59%) people, increased in 2017 to 897 people, increased again in 2018 to 977 (10%). people, while in january to june 2019 there were 246 people. the results of interviews with implementing nurses at the time of initial data collection showed that most people with diabetes mellitus only gave pharmacological drugs to patients. based on the explanation of the background above, the researcher is interested in conducting a study with the title “the effect of brisk walking of diabetes mellitus patients on control of blood sugar levels in the working area of the tamalanrea health center makassar city”. method this study adopted a quantitative research using the quasy experiment method with one group pre-post test design. the effectiveness of the treatment was assessed by comparing the pre-test and post-test scores. the sampling technique in this study used accidental sampling. the sample in this study was 20 people. this studywas conducted at the puskesmas tamalanrea makassar city from october 8th to november 8th, 2019. a. inclusion criteria 1) patients with diabetes mellitus who seek treatment at the puskesmas tamalanrea makassar city 2) patients aged 30-65 years 3) the patient is conscious 4) patients who are willing to be respondents 5) does not depend on insulin injections 6) patients who are willing to follow the brisk walking 3 times a week within 30 minutes as far as 2 miles b. exclusion criteria 1) patients who do not regularly follow a schedule 2) patients whose body condition does not allow for physical activity 3) people with gestational diabetes data analysis of the difference between the treatment and control was carried out by using the spearman correlation test with spss version of 21. the difference is significant if the value of p < 0.05. the results of table 1 show that of the 16 respondents, 13 respondents (81.3%) have an age of 56-65 years. a total of 10 respondents (62.5%) were female. a total of 7 respondents (43.8%) who have a bachelor’s level education. as many as 16 respondents (100%) married status. a total of 8 respondents (50.0%) have had diabetes mellitus for a long time. result 1. univariate analysis characteristics (n) (%) age 45-55 years 3 18.8 56-65 years 13 81.3 sex man 6 37.5 women 10 62.5 education high school 6 37.5 d3 2 12.5 s1 7 43.8 retired 1 6.3 married status married 16 100 long suffering 1-5 years 8 50.0 6-10 years 6 37.5 11-15 years 1 6.3 16-20 years 1 6.3 table 1 frequency distribution based on demographic characteristics (n = 16) when blood sugar mean min-max brisk walking physical activity pre test 218.81 101-314 brisk walking post test physical activity 176.06 124-251 table 2 characteristics of the distribution of blood sugar respondents during the pre-test and post-test physical activity of brisk walking in table 2, the blood sugar during the pre-test, physical activity of brisk walking, has an average value of 218.81 mg / dl, a minimum blood sugar level of 101 mg / dl is a maximum of 314 mg / dl and a post-test blood sugar level of physical activity of brisk walking has an average value of 176.06 mg. / dl minimum 124 mg / dl and maximal 251 mg / dl. 331sriwahyuni, junaidin, kasim, hamundu, darmawan, control blood sugar levels by brisk walking method based on table 3, the difference in the mean ± std.deviation in brisk walking physical activity is 42.740 ± 67.589. the results of the paired t test obtained a t value of 2.530 and a p value = 0.023 <á = 0.05, so the alternative hypothesis (ha) is accepted and the null hypothesis (h0) is rejected. interpretation is the effect of physical activity of brisk walking with diabetes mellitus sufferers on controlling blood sugar levels while in the working area of puskesmas tamalanrea, makassar city. discussion the results of the study conducted on 16 respondents obtained 11 respondents who have a good activity pattern, because 11 respondents routinely do physical activity brisk walking for 20-30 minutes, and it is carried out 3-5 times a week with a time of 20-30 minutes and a distance of 2. mill. in this study there were 11 respondents with good physical activity with brisk walking and controlled blood sugar levels, where before the respondents did physical activity brisk walking there were 11 respondents whose blood sugar levels were> 200 mg / dl, and there were 5 respondents whose blood sugar levels < 200 mg / dl. however, when respondents do physical activity brisk walking 3-5 times a week with a time of 30 minutes and a distance of 2 miles is good and routine, their blood sugar levels fall bellow 200 mg/dl. when exercising, the body requires extra energy which causes the muscles in the body to absorb glucose which helps lower blood sugar levels in the body. it is known that age is closely related to an increase in blood sugar levels because insulin production begins to decrease, this is an increase in fat levels in the muscles so that it is more difficult for glucose to be used as energy for activities, but when someone does activities regularly and correctly it will help muscle movement. so that it can accelerate blood circulation and by doing activities can reduce blood sugar levels. in this study, there were 5 respondents who had uncontrolled blood sugar levels, did not experience a significant change between before and after physical activity brisk walking with a time of 30 minutes and a distance of 2 miles. by doing good physical activities can reduce the amount of fat and increase tissue metabolism, such as increasing muscle strength, nerves and bones. physical activity brisk walking can also reduce blood pressure and bad cholesterol and increase good cholesterol. meanwhile, there were 4 respondents who had a bad activity pattern where the respondents did not do physical activity properly and correctly with the specified time and distance because the respondent said they did not have enough time to do physical activity brisk walking. thus these 4 respondents were excluded from the studyresults because they did not match the inclusion criteria. this study is in accordance with the research conducted by (listyarini & fadilah, 2017). from the results of the research conducted, the following conclusions were obtained (1) there was an effect of brisk walking on reducing blood glucose levels in diabetes mellitus sufferers. (2) there is a difference in the results of the study between the intervention and non-intervention groups. from the results of this study, it showed that the average value after doing the brisk walking, the blood sugar levels of diabetes mellitus sufferers were able to decrease on average to 184.79 mg / dl, there was a decrease in blood sugar levels by an average of 19.26 mg / dl. although most of them experienced a decrease, there were also those who experienced an increase in blood sugar levels, this was because this was due to the lack of dietary supervision on the respondents. so the conclusion of the study is that there is an effect of brisk walking on reducing blood glucose levels in people with diabetes mellitus. resea r ch r esult (rehma ita , muda tsir, 2018)showed a significant effect on reducing blood sugar levels in patients with type 2 diabetes melli2. bivariate analysis statistical test between variables mean std. deviation t score  brisk walking pre test of physical activity post test of physical activity of brisk walking 42,750 67,589 2,530 0.023 table 3 the effect of physical activity of brisk walking with diabetes mellitus on controlling blood sugar levels 332 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 328–333 tus and walking. by doing good and proper physical activity, regularly can stabilize blood sugar levels. physical exercise has an important role in controlling blood sugar levels. likewise with the research results (yitno & riawan wahyu, 2017)stated that after doing a light walk for 30 minutes from 24 respondents. the results of this study indicate the effect of 30 minutes of walking exercise on reducing blood sugar levels in people with diabetes mellitus. this is proven by walking for 30 minutes can reduce blood sugar levels in people with diabetes mellitus. research conducted fahrunnisa, e, r setyowati (2019)shows that during the pre-test and post-test the average blood sugar level before a leisurely walk was 194.17 mg / dl. while the mean of blood glucose after a leisurely walk was 182.7 mg / dl. this is because during physical activity, brisk walking can cause glucose in the body to be used through the work of the insulin hormone due to the increased sensitivity of insulin receptors in muscles during exercise to produce energy. regular exercise can reduce insulin resistance so that insulin can be used better by the body’s cells and can lower blood sugar levels. likewise with (fauzi, 2013)states that research conducted on moderate walking and high walking shows a decrease in blood sugar levels in diabetes mellitus patients (blood sugar when <250 mg / dl). it can be concluded that there is an effect of moderate and high intensity walking on reducing blood sugar levels in diabetes mellitus patients. exercise, in this case walking with moderate intensity, is more recommended for people with diabetes mellitus. this can lower blood glucose because it can increase muscle glucose compared to the release of hepatic glucose. by doing walking, it is possible to prevent increased insulin resistance, glucose intolerance and obesity. this study is also supported by the research conducted (nurayati & adriani, 2017)which states that there is a relationship between physical activity and fasting blood sugar levels in diabetics. 62.9% of respondents have low activity and as many as 58.0% of respondents have fasting blood sugar levels in the high category. the results of this study show that there is a relationship between physical activity and fasting blood sugar levels in diabetes mellitus sufferers, it is better if diabetes mellitus sufferers can apply physical activity. good and routine such as cycling or walking 3-4 days a week with 20 minutes every day and reducing sitting activity so that fasting blood sugar levels are controlled conclusion there is an effect of physical activity of brisk walking with diabetes mellitus on controlling blood sugar levels in the working area of the puskesmas tamalanrea makassar city with a statistical test, the value of p = 0.023 35 years the health and condition of the uterus is not as good as when the mother is 20-35 years old. >35 years is a non-reproductive age or this age is included in the high risk of pregnancy (depkes, 2010). based on the results of himapid’s research in the working area of the himalate public health center makassar in 2009 showed that antenatal care, maternal age < 20 years or > 35 years and with grand multipara were associated with increased implementation of sc action. concomitant diseases or disorders of pregnancy include placenta previa which causes the placenta to block the birth canal, diabetes, hypertension, high myopia, heart disease, asthma, and fetal position abnormalities. prawirohardjo (2010), work shows the level of welfare and the opportunity to use and receive health services. some of the reasons that underlie the tendency to give birth by cs are increasing in working mothers, because they are very time bound and already have certain schedules such as when to work again (role, 2005). by doing sc, working mothers can arrange a birth schedule that can be adapted to work (pillitteri, 2002). parity is one of the factors that affect cesarean delivery, regardless of whether the fetus is alive or dead at birth. maternal mortality under the age of 20 years (young primily at risk) was 2 to 5 times higher for the occurrence of cs because it affects his causing an increase in cs due to the progress of failed labor and maternal mortality also increases at the age above 30 years (old primi at risk) because old age experiences high pregnancy complications such as maternal mortality, preeclampsia, eclampsia, hypertension and perinatal morbidity and mortality. a woman after giving birth takes two to three years to recover her body and prepare herself for the next delivery and give the wound the opportunity to heal properly. 2000). this is because the shape and function of the reproductive organs have not returned to perfection so that their function will be disrupted in the event of pregnancy and rebirth. the distance between two deliveries that are too close causes an increase in anemia which can cause low birth weight, preterm birth, and stillbirth, which can lead to low birth weight. affect the labor process and infant factors (kusumawati, 2010). pregnancy spacing that is too far is associated with increasing maternal age. this will result in a degenerative process, weakening of the strength of the uterine and pelvic muscle functions which causes inadequate 278 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 276–283 strength so that there are many prolonged labors which result in the need for cs (winkjosastro, 2005). the results of research by wulandari, et al (2018) at elisabeth hospital semarang stated that there was a correlation between maternal age and caesarean section at st. elisabeth semarang where from 24 respondents who had a risky age of 21 people (87.5%) had a sc, this proves that the atrisk age (<25 years/>35 years) is very prone to sc action, this can be caused by age <20 years, the organs that are formed are not yet perfect and are not ready to give birth spontaneously, while at the age of >35 years, organs that help the normal delivery process are weak, and at that age may already have a disease/disorder, so it is very risky to give birth normally. wulandari, et al (2018) also stated that there was a significant correlation between comorbidities and sc action where 80% of respondents who suffered from hypertension had a risk of pre-eclampsia which was an indication for sc. meanwhile, the previous history of cesarean section with sc procedure had a significant correlation, where of the 16 respondents who had a history of sc entirely (100%) underwent cesarean section, this proves that mothers with a previous cesarean history have a high risk of normal delivery, previous cesarean history it is very influential on the current cs action because previous cs actions can cause uterine rupture if the mother gives birth normally which of course can endanger the mother and baby. low transverse uterine incision. research by sihombing, et al (2017) that cesarean delivery is greater for working mothers in the formal sector as private employees and living in cities. one of the reasons that underlie the tendency to choose delivery by caesarean section in big cities is because the majority of mothers have status as workers (sihombing et al., 2017). a worker is bound by his working time so he wants to make the most of his time with his baby. the initial survey was conducted by researchers at the panti waluya hospital in malang which facilitated delivery by caesarean section. data from the medical records of the number of mothers giving birth in january to april 2021 were 55 people, 41 people (75%). based on this phenomenon, the researchers are interested in conducting research with the title “factor analysis of caesarean section at panti waluya hospital malang”. method the design of the study used cross sectional. the population in was all parturition mothers who were in the medical records of panti waluya hospital malang in january-may 2021. the sampling technique used simple radom sampling and obtained 55 samples. the study was carried out at the panti waluya hospital in malang in may 2021. the instrument used was an observation sheet. the data taken came from secondary data, namely the patient’s medical record. the independent variables of this study were maternal age, gestational age, employment status, parity, disease history, income, insurance, education, delivery distance. the dependent variable of this study was caesarean section. after the data was collected, it was then tested with fisher’s exact test to determine whether there was a correlation between each independent and dependent variable. data that has met the significant results of the fisher exact test, then continued with the logistics regression test.    result no characteristics frequency % 1 mothe rs’s age     no risk 44 80 at risk 11 20 quantity 55 100 2 gestational age     premature 13 24 aterm 42 76 quantity 55 100 3 job status     work 43 78 jobless 12 22 quantity 55 100 4 parity status     primipara 20 36 multipara 35 64 quantity 55 100 5 disease history     yes 26 47 no 29 53 quantity 55 100 table 1 distribution of respondents characteristics 279perwiraningtyas, rahmahwati, factor analysis of caesarean section at panti waluya hospital, malang 6 income     < standard 13 24 > standard 42 76 quantity 55 100 7 insurance     yes 46 84 no 9 16 quantity 55 100 8 education base 30 55 advance 25 45 quantity 55 100 9 partus distance     <5 years 14 39 > 5 years 22 61 quantity 36 100 souce: primary data based on table 1. almost all parturition mothers at panti waluya sawahan hospital malang in 2021 in the category of non-risk labor (21-34 years) as many as 44 people (80%), almost all parturition mothers are included in the term category where the gestational age is 38-34. 42 weeks as many as 42 people (76%), almost all parturition mothers had the status as workers as many as 43 people (78%), most parturition mothers had multiparous parity status as many as 35 people (64%), most parturition mothers in the category had no history of disease as many as 29 people (53%), almost all parturition mothers have income > standard as many as 42 people (76%), almost all parturition mothers have insurance as many as 46 people (84%), most parturition mothers in the category of base education as many as 30 people (55%) and most of the parturition mothers had a partus distance >5 years. variabel per salinan p spontan sc mothers’s age no risk 11 33 1,00 at risk 3 8 gestational age premature 2 11 0,477 aterm 12 30 job status work 10 33 0,448 jobless 4 7 parity status primipara 7 13 0,219 multipara 7 28 disease history yes 2 24 0,004 no 12 17 income < standard 5 8 0,218  standard 9 33 insurance yes 10 36 0,210 no 4 5 education base 7 23 0,692 advance 7 18 partus distance < 5 year 12 21 0,023  5 year 2 20 souce: primary data table 2 results of statistical data based on table 2. the results of the bivariate test between the independent and dependent variables showed that age, gestational age, job status, parity, income, insurance and education did not have a significant correlation with delivery (p> 0.200), so they were not included in the logistic regression analysis. meanwhile, disease history and partus distance had a significant correlation with delivery (p0.200) and were eligible for logistic regression test. 280 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 276–283 based on table 3, it was found that disease history and partus distance had a significant correlation with delivery, and the variable that was the determinant of caesarean sectionn was disease history (p = 0.012; or = 8.463). discussion analysis of disease history factors history of disease is one of the factors that can affect the health of the mother before pregnancy or after giving birth, it can be categorized as a history of diseases that are often experienced during pregnancy and are not related to direct obstetric causes. the disease that is often experienced by the mother is not the cause of maternal death, in order to prevent maternal death due to diseases that are often suffered by parturition mothers during the delivery process, it is necessary to perform an cs delivery. the risk of mothers with a history of disease experiencing maternal death is 210.2 times higher than that of mothers without a history of disease (simarmata, 2007). based on the results of the study, it was found that almost 24 people had a history of disease in parturition mothers. this number is more than the 17 respondents who did not have a history of the disease. this proves that the history of the disease is one of the factors that can affect the action of sc in parturition mothers. there are still many mothers during pregnancy and after giving birth who undergo cesarean section because they cannot be separated from an unhealthy lifestyle and do not make pregnancy visits to find out the condition of the fetus or history of comorbidities in the mother. the likelihood of cesarean delivery after an unsuccessful attempt at normal delivery increases in mothers with a history of chronic diseases such as heart disease, asthma, hypertension and diabetes (nurarif and hardhi, 2015). maternal morbidity and mortality with a history of chronic disease increases during pregnancy and childbirth. in relation to parturition mothers who suffer from diabetes, it is possible to have a large baby so that the risk of having to carry out a cesarean delivery and also increase mild heart disease and still be able to give birth vaginally, but mothers with severe heart disease cesarean section is an option because of mild hemodynamic disorders compared to childbirth. vaginally. thus, cs delivery can be taken even though it is at high risk, so it is not possible for parturition mothers to have a normal delivery and it can be planned in advance to perform cs to save the condition of the mother and baby, as well as increase the mother’s knowledge about childbirth as needed (nanna et al, 2014). based on the results of the bivariate test, a history of disease with sc action was obtained, a p value of 0.004 which means that there is a correlation between history of disease and sc action. this is in line with research (prihartanti and ratna, 2018) which shows that there is a significant correlation between history of illness and delivery and also the results of rini wahyuni’s research (2017), there is a correlation between history of illness and maternal caesarean sectionn in pringsewu hospital. a history of illness is defined as a disease that the mother had suffered before pregnancy or childbirth or a disease that arose during pregnancy that was not related to direct obstetric causes, but was exacerbated by the physiological effects of pregnancy so that the mother’s condition worsened. the results of maysaroh’s research (2016) showed that in the case group (mothers who gave birth by caesarean section) the diseases suffered by the mother included hypertension, obesity and diabetes. the most common disease is heart disease. this is because at 34-36 weeks of gestation there is an increase in heart rate and pulse an average of 88 beats per minute. in normal hearts it is not a problem, but in mothers with heart disease, it can cause decompensation cordis (aeni, 2011). in mothers with diabetes, the fetus tends to be larger than normal babies, this situation can lead to difficulties in labor and delivery. although these babies are large, their behavior resembles that of premature babies and variabel koefisien p or (ci) disease history 2,136 0,012 8,463 (1,590 45,054) partus distance -1,742 0,045 0,175 (0,032 ,960) souce: primary data table 3 results of logistics regression test 281perwiraningtyas, rahmahwati, factor analysis of caesarean section at panti waluya hospital, malang cannot withstand the burden of prolonged labor. death during labor and postpartum is common. in addition, a number of babies die in the womb before reaching maturity. because of the danger to the safety of the fetus and because of the high proportion of toxemia in pregnant women with diabetes, it is necessary to terminate the pregnancy prematurely. in primigravida and multipara with long and closed cervix or with poor obstetric history, (oxorn, 2003). mothers with high blood pressure (hypertension) in their condition are not direct factors that cause cesarean delivery, but pregnant women with hypertension have a risk of preeclampsia/eclampsia, where preeclampsia can harm both the mother and the fetus and can cause seizures in the mother and lead to death (dharma et al. ,2005). hypertension in pregnant women will affect the cardiovascular system and tend to narrow blood vessels so that blood flow to the fetus is disrupted, as a result the fetus will stimulate labor. in addition, hypertension will affect the uterus to contract which will cause the workload of labor for hours so it is necessary to do a cesarean delivery (poedjiningsih, 2001). analysis of partus distance factors pregnancy interval is the time interval between two successive pregnancies of a woman. short pregnancy intervals will directly have an effect on the health of women and the fetus they contain. after giving birth, women need 2 to 3 years to recover their bodies and prepare for the next pregnancy and childbirth (rifdiani, 2017). if the distance between pregnancies is too close, it tends to cause damage to the female reproductive system, both physiologically and pathologically, thus giving the possibility of anemia in the mother and even causing death (sawitri et al., 2014). pregnancy interval 2 years (natturini, 2009). the distance between pregnancies of children < 2 years, the uterus and health of the mother have not experienced optimal or perfect recovery. in this pregnancy, it is possible that accompanying disorders may occur. mothers with birth spacing that are too close to the previous pregnancy have a very bad impact because the birth spacing is too close. too close will cause the reproductive organs that should have recovered from the previous delivery, will work extra for the next delivery. this will have a negative impact on the health condition of the mother and baby. a woman after giving birth takes 2 to 3 years to recover her body and prepare herself for the next delivery and give the wound a chance to heal properly. short delivery intervals will increase the risk to mother and child (marisi, 2009). agudelo and bellzan found that the distance between pregnancies or births was too close (<6 months) and too far (>5 years) with a history of poor pregnancy and childbirth before, such as vacuum extraction, forceps and cesarean section, such as third trimester bleeding, premature rupture of membranes, puerperal endometritis and anemia, (aguelo & bellzan, 2000). from the results of the bivariate test, the delivery distance became one of the causes of the sc action. based on the results of this study, a significant value of p = 0.0023 <0.200 was obtained, which means that there is a significant correlation between the distance between parturition and delivery. the results of the logistic regression analysis showed that delivery distance had a significant correlation with cesarean delivery with a significant value (p = 0.045; or = 0.175). this happens because the mother’s reproductive organs have not returned to perfection. meanwhile, the birth distance that is > 5 years too far will also have a bad impact on the condition of the mother and fetus in the next delivery. this is in line with the theory put forward by lubis (2013) that the distance between deliveries <2 years is a risk factor in the process of pregnancy and childbirth so that they have the opportunity to have a cesarean delivery. according to saifuddin et al (2006), states that the best distance between two pregnancies and birth is 2-4 years. the ideal birth interval is 2 years or more because the short birth spacing will cause a mother to not have enough time to recover her body after giving birth. after giving birth, a mother will experience a puerperium or postpartum period to return the internal reproductive organs to their original or normal state. pregnancy spacing is a factor that affects a mother’s fertility problems. women who experience pregnancy again quickly after a previous pregnancy indicate a good fertility of a woman. mothers who gave birth within two years of giving birth to their last one had a greater risk of giving birth to a child with poor survival and ending in death. other studies have found the opposite where the risk of infant death can also occur in infants who have a short birth susceptibility (awang, 2003). 282 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 276–283 starting from 2005 who has been trying to make recommendations for the ideal birth spacing. the distance is in the vulnerable two years between births, this aims to prepare if you want to start a pregnancy while reducing the risks that might occur if you have a subsequent pregnancy. the distance between births of one year or two after giving birth can give mothers enough time to recover from the pregnancy and childbirth that has been carried out, and be able to optimize breastfeeding for the next child (kabano, et.al., 2016). research conducted by rasdiana muhammad et al., 2014 found that the proportion of respondents according to gestational distance, the highest was 46 respondents (52.9%) with a gestational distance of more than 2 years and the lowest was 11 respondents (12.6%) who had a gestational distance of less than 2 years and the remaining 30 respondents ( 34.5%) had never been pregnant. the recommended pregnancy interval is 2-5 years from the last pregnancy. keeping a distance between pregnancies will create a good potential for pregnancy because it gives the mother an opportunity to rest physically (edyanti, 2010). 75 mothers (32.6%) of 215 mothers. in this study, it was shown that there was no correlation between gestational distance and cesarean delivery. a woman after giving birth takes 2 to 3 years to recover her body and prepare herself for the next delivery, and can give the birth wound a chance to heal. short delivery intervals will increase the risk to mother and child (mochtar, 2012). pregnancy with a distance of 2 years or more in mothers often experience complications in childbirth, the possibility that can occur in mothers with arak during delivery will cause bleeding, babies born not enough months before 37 weeks of gestation and babies at low risk of birth <2500 grams. disease history becomes a determining factor of caesarean sectionn maternal morbidity and mortality with a history of chronic disease increases during pregnancy and childbirth. for example, a diabetic mother may have a large baby, so the risk of having a cesarean delivery also increases. mothers with mild heart disease are still possible to give birth vaginally, but in patients with severe heart disease cesarean section is an option because hemodynamic disorders are lighter than vaginal delivery (nanna et al, 2014). according to the 2014 world health organization (who) report, the maternal mortality rate (mmr) in the world is still high at 289,000 people. the high aki occurs due to a history of complications during and after pregnancy and childbirth. the main complications that cause almost 75% of all maternal deaths are: postpartum hemorrhage, infection (usually after delivery), high blood pressure during pregnancy (pre-eclampsia and eclampsia), complications from childbirth, unsafe abortion, the rest are caused by or related with diseases such as malaria, and aids during pregnancy (who, 2016). the results of the study are in line with the opinion expressed by aprina (2013), namely the cause of delivery by cesarean section can be due to problems on the part of the mother and baby. first, the decision of a previously diagnosed caesarean section. the causes include cpd, severe pregnancy poisoning, severe preeclampsia or eclampsia, abnormalities in the position of the baby (breech, latitude), some cases of the cervix being covered by the placenta (placenta previa), twins, pregnancy in elderly mothers, history of caesarean section in previous pregnancies. pregnancy complications are associated with the incidence of cesarean delivery in indonesia. mothers with pregnancy complications are more likely to give birth by cesarean section than mothers without pregnancy complications. a history of illness in pregnant women is very high risk for the safety of the mother and fetus compared to other determinants or nonmedical indications. mothers who have a history of diseases such as severe pre-eclampsia, heart disease, asthma and diabetes should immediately undergo caesarean section, if no caesarean section is performed, maternal and fetal death can occur. caesarean section is generally performed when normal vaginal delivery is not possible or due to medical indications. medical action is only carried out if there are problems in the birth process that can threaten the life of the mother and fetus (judhita, 2009). the history of the disease is very high risk for the safety of the mother and fetus as the results of this study are in accordance with the research of sadiman et al (2009) which states that there is a significant correlation between the history of diseases such as pre-eclampsia and caesarean section delivery. severe pre-eclampsia and eclampsia can cause complications of maternal and fetal death. 283perwiraningtyas, rahmahwati, factor analysis of caesarean section at panti waluya hospital, malang to prevent this, the effort taken is to immediately terminate the pregnancy. to ensure the safety of the mother and fetus, induction and/or through cesarean section are indications for maternal prophylaxis to terminate the pregnancy. from the results of research at dr. hospital. moewardi surakarta is known that the maternal mortality rate due to caesarean section delivery is 34%, the cause is a history of maternal disease, namely severe pre-eclampsia as much as 54%. therefore, mothers who give birth with a history of complicated childbirth, pregnancy complications and delivery complications, have a greater chance of having a cesarean section (sc) delivery compared to other determinants of women giving birth. conclusion in 2021 deliveries by caesarean section at the panti waluya sawahan hospital, malang, amounted to seventy-five percent, higher than the national caesarean section rate. factors that influence the action of caesarean section at the panti waluya hospital in malang are the history of the disease and the spacing of parturition. suggestion routine antenatal care and family planning care are needed, as well as early detection of pregnant women to minimize the possibility of complications during childbirth. reference agudelo, a.c. bellazon, j.m., (2000). maternal morbidity and mortality associated with interpregnancy interval: cross sectional study. british medical journal. vol 321; p:1255-1259. akhmad, s.a. (2008). panduan lengkap kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi. jogjakarta: diglossia media. asamoah, et.al.. (2011). distribution of causes of maternal mortality among different socio-demographic groups in ghana; a descriptive study. bmc public health, 11:159. awang, h. (2003). determinants of waiting tim e to third pregnancy using censored linear regression. journal biosocial science, [e-journal] 35 (1): pp. 59–70. departemen kesehatan ri. (2010). riset kesehatan dasar (riskesdas) 2010.jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. dharma, r., wibowo, n., raranta, h.p.t. (2005). disfungsi endotel pada preeklampsia. makara kesehatan; vol. 9 no. 2, desember 2005: 63-69. edyanti. (2010). faktor pada ibu yang berhubungan dengan kejadian komplikasi kebidanan. jurnal kesehatan mayarakat. http//journal.unair.ac.id. irwan b. (2009). prevalensi dan determinan kejadian anemia pada ibu hamil di perkampungan nelayan (studi kasus di kelurahan mangkang wetan semarang). jurnal kemas,4 (2): 159 – 169. kabano, i.h., annelet, b., pieter, h. (2016). the effect of pregnancy spacing on fetal survival and neonatal mortality in rwanda: a heckman selection analysis. journal of biosocial science. [e-journal] 48 (3): pp. 358–373. lubis, n. l. (2013). psikologi kespro wanita & perkembangan reproduksinya. jakarta: kencana. mochtar,r. (2012). sinopsis obstetri. jakarta: egc. nanna m. (2014). stergiopoulos k. pregnancy complicated by valvular heart disease: an update. j am heart assoc.;3(3):e000712. nurarif .a.h. dan kusuma. h. (2015). aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis & nanda nic-noc. jogjakarta: medication. oxorn, h. (2003). ilmu kebidanan patologi dan fisiologi persalinan human labor and birth. jakarta: yayasan essentia media. patricia, faas fehervary. (2005). caesarean section on demand: influence of personal birth experience and working environment on attitude of german gynaecologists. european journal of obstetrics and gynecology reproductive biology, 122(2):162166. prawirohardjo. (2007). ilmu kandungan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo prawirohardjo.(2010). buku ajar bedah kebidanan. jakarta: penerbit yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. prihartanti, wulandari, & ratna putri maharani, (2018). fa ct or -fa ktor ya n g ber h ubun ga n ti n daka n persalinan sc di rumah sakit santa elisabeth: vol 5 no 2 : semarang. rasdiana, muhammad; faizah, betty rahayuningsih; vinami, yulian. (2014). karakteristik ibu yang mengalami persalinan dengan caesarean section di rumah sakit umum daerah moewardi surakarta. tahun 2014. rifdiani, izfa. (2017). pengaruh paritas, bbl, jarak kehamilan dan riwayat perdarahan terhadap kejadian perdarahan postpartum. sawitri, l, ririn h, dan koni, r. (2014). hubungan jarak kehamilan dengan kejadian hemoragik postpartum. the journal of midwifery. vol. 1 (3): hal. 46–51. who.(2018). provinsial reproductive health and mps profile of indonesia 2001-2006. 53 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk positive correlation of family support and level of anxiety in facing labor devi septiani1, wan anita2, rummy islami zalni3 1,2,3midwifery department, stikes tengku maharatu pekanbaru, indonesia article information abstract anxiety that occurs in pregnant women can be reduced in various ways, one of which is with family support. family support can provide peace, calm, and comfort for pregnant women in undergoing pregnancy in the first, second and third trimesters. the purpose of this study was to determine the correlation between family support and the anxiety level of third trimester pregnant women. this study used a quantitative method with a cross-sectional study design. the population in this study were third trimester pregnant women with purposive sampling technique. the sample in this research is 30 respondents. data was collected using a questionnaire. the results showed that 22 respondents (73.3%) who received family support did not experience anxiety, 8 respondents did not receive family support, namely 7 respondents (23.3%) experienced mild anxiety and 1 respondent (3.3%) experienced severe anxiety . the results of the chi square test showed a p value (0.000 <0.05), it could be concluded that there was a correlation between family support and the level of anxiety in in facing labor in third trimester pregnant women at the ernita midwife independent practice. history article: received, 19/12/2022 accepted, 12/04/2023 published, 25/04/2023 keywords: family support, anxiety, pregnant women © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes tengku maharatu pekanbaru – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : deviseptiani424@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p053-058 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:deviseptiani424@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p053-058 54 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 53-58 introduction pregnancy is a natural and physiological process. a woman with healthy reproductive organs is much more likely to get pregnant if she has menstruated and has sex with a man with healthy reproductive organs. a planned pregnancy brings happiness and hope, but also requires a woman's ability to adapt to the physiological and psychological changes that occur during pregnancy (mandriwati et al, 2016). pregnancy is divided into three monthly periods or trimesters, trimester i is the period from the first week to the 12th week, trimester ii is the period from the 13th week to the 27th week, while trimester iii is the period from the 28th week to the 38-40th week. in the first trimester of pregnancy, emotional lability can occur, namely feelings that change easily in a short time and cannot be predicted, feelings of worry arise if the baby they are carrying is disabled or unhealthy, worries about falling, anxiety about having sex and so on. in the second trimester of pregnancy, pregnant women feel more stable, their ability to regulate themselves is better, the condition of the mother is more pleasant, the mother is used to the physical changes in her body, the fetus is not too big so it does not cause discomfort. mother has started to accept and understand about her pregnancy. cognitively, in the second trimester, mothers tend to need information about the growth and development of the baby and care for their pregnancy (widatiningsih & dewi, 2017). research conducted by febriati & zakiyah (2022) which examined the correlation between family support and adaptation to psychological changes in pregnant women found a correlation between family support and psychological changes in pregnant women at the piyungan health center, bantul yogyakarta. the third trimester of pregnancy is a period of waiting and vigilance because the mother is impatient for the birth of the baby, is afraid of the birth of the baby, and when the baby is not yet born the mother feels anxious that the baby will be born abnormally, and the mother is afraid of pain when giving birth. the older the pregnancy, the stronger the prenatal fear and anxiety. because the attention and thoughts of pregnant women are focused on anxiety facing childbirth. the fear of childbirth is at the top of the list most often experienced by mothers during pregnancy. feelings of fear, anxiety in pregnant women can cause excessive pain during childbirth. the excruciating pain felt by the mother can interfere with labor and result in the length of the labor process (palupi, 2012). one of the causes of the high maternal mortality rate in indonesia is prolonged labour. factors causing prolonged labor include ineffective maternal power or strength, too large a baby, pelvic size that does not match the baby's head and the psychological state of the mother who is not ready for delivery. (videbeck, 2012). other causes of aki are postpartum hemorrhage, pre-eclampsia, eclampsia, infection, abortion and other complications of unsafe delivery. data from the world health organization (who), maternal deaths in 2019 occurred more than 303,000 people worldwide. the results of the 2015 indonesian demographic health survey (sdki), the maternal mortality rate (mmr) in indonesia was recorded at around 305/100,000 live births, a significant decrease compared to the 2012 idhs, namely the maternal mortality rate. around 359/100,000 live births (kemenkes ri, 2015). mmr in the 2020 ministry of health family health program recording shows 4,627 deaths in indonesia, an increase compared to 2019 as many as 4,221 maternal deaths (kemenkes ri, 2020). mmr in 2021 was 180 people, an increase compared to previous years, showing an increase of 39.53% from the number of deaths in 2020, where in 2020 there were 129 people, in 2019 there were 125 people. details of the causes of maternal death in riau are due to covid 66%, bleeding 50%, hypertension in pregnancy 19%, infection 2%, disorders of the circulatory system 8%, metabolic disorders 8%, and others 27% (dinas kesehatan provinsi riau, 2021). this shows that the maternal mortality rate in indonesia is still very high. efforts to reduce maternal mortality are to reduce the anxiety of pregnant women until delivery. anxiety in pregnant women most often occurs at 28 weeks of gestation, or before delivery in the third trimester of pregnancy. data for 2015, the prevalence of anxiety in pregnant women before delivery in indonesia ranges from 10% to 25% (syafrie, 2017). anxiety is an excessive feeling of discomfort, inability to see clearly which results in emotional, psychological symptoms of disturbed individuals in behavior and physique as well as a person's reactions to internal and external stimuli. the causes of third trimester pregnancy anxiety are fear of death, birth trauma, fear of bleeding, and fear of babies born with defects. at the same time, pregnant women fear the birth of a baby and the start of a new stage in life, which is influenced by many septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 55 factors such as age, occupation, education, pregnancy parity and family support. the results of research conducted by febria syafyu sari & wira novriani (2016) at rsud dr. achmad mochtar bukitinggi "regarding family support with anxiety before the third trimester of labor" which shows that (80%) received support from family, and the results of the assessment (53.3%) were mild anxiety, (20%) panicked, (16.7%) moderate anxiety and (10%) severe anxiety. when pregnant women experience anxiety, pregnant women really need family support to reassure and calm them down. given all the difficulties and fears experienced by pregnant women due to childbirth, the support from the family will be very helpful for the peace of the expectant mother. research conducted by friedman (2013) family support is the attitude and actions of family acceptance of family members, in the form of emotional, appraisal, instrumental and informational support. the role of the family is needed by pregnant women when experiencing anxiety in facing childbirth. in order to be able to reassure and calm them, with all the conflicts and anxieties and fears experienced by pregnant women in facing childbirth, family support is very helpful for calming pregnant women. one of the attitudes of family support for pregnant women is family concern to encourage pregnant women to check their pregnancies. the number of maternal deaths in 2021 is 180 people, an increase compared to previous years. this figure shows an increase of 39.53% of the number of deaths in 2020, where in 2020 there were 129 people, in 2019 there were 125 people. the coverage of k1 and k4 visits for pregnant women in 2021 has increased compared to 2020, but has not yet reached the target set at 94% with a k1 coverage of 89.5% and k4 coverage of 87.2%. for the city of pekanbaru, k1 coverage has exceeded the target, namely 95.6%, but k4 coverage with an acquisition score of 89.1% (dinas kesehatan provinsi riau, 2021). preliminary study in november 2021 – march 2022 at pmb (independent practicum midwife) ernita pekanbaru, obtained 20 third trimester pregnant women who made pregnancy visits. from interviews with 5 third trimester pregnant women experiencing anxiety due to lack of family support. the problems found above, the researcher is interested in researching "the correlation between family support and the level of anxiety in facing childbirth in third trimester pregnant women at the ernita midwife independent practice". methods the research design used quantitative with a cross-sectional study design approach. the research was conducted at the ernita midwife independent practice on june 25 – july 30 2022. the sampling technique used a purposive sampling technique. the number of samples used in this study were 30 respondents. the measuring tool used in this study was a questionnaire. the instrument used closed questions and had been tested for validity. in this study, data analysis was carried out using univariate analysis and bivariate analysis. results 1. demographic data table 4.1: frequency distribution of respondents characteristics demographic data  % age 19-29 years old 30-34 years old 35-39 years old 40-45 years old 17 8 3 2 56,7 26,7 10,0 6,7 total 30 100 level of education junior high school senior high school bachelor 4 23 3 13,3 76,7 10,0 total 30 100 56 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 53-58 occupation housewife employee entrepreneur teacher civil servant 18 4 6 1 1 60,0 13,3 20,0 3,3 3,3 total 30 100 parity primigravida multigravida 17 13 56,7 43,3 total 30 100 family support unsupport support 8 22 26,7 73,3 total 30 100 anxiety level no worry mild anxiety heavy anxiety 22 7 1 72,3 23,3 3,3 total 30 100 discussion the results showed that the majority of pregnant women who received family support were 22 respondents (73.3%) and a small proportion who did not receive family support were 22 respondents (73.3%). as many as 8 respondents (26.7%). most of the pregnant women who did not experience anxiety were 22 respondents (73.3%), while 7 respondents (23.3%) experienced mild anxiety and a small proportion of 1 respondent (3.3%) experienced severe anxiety. family support is the attitude and actions of family acceptance in the form of emotional support, instrumental support, appraisal/appreciation support and informational support. family support is a form of interpersonal interaction that involves attitudes, behavior and acceptance by family members so that they feel that someone is paying attention. family support is believed to reduce or moderate the impact on a person's mental health. family support is all support provided by the family to provide physical and psychological comfort to people who are experiencing depression or stress. family support is a process of correlation between the family and its social environment that allows the family to access, support and help family members (friedman, 2013). the results of research that has been conducted by arifin et al., (2015) who examined the correlation between family support and the anxiety of pregnant women facing the delivery process at the budilatama health center, gadung district, buol regency, central sulawesi province. 17 respondents (53.1%) received good support and 15 respondents stated that support was not good (46.9). family support is highly expected by a pregnant woman in facing the birth process because good family support will reduce stressors in the mother so that the delivery process is smoother and faster without causing complications. anxiety is something that describes a state of worry, uncertain anxiety, or an uneasy fear reaction which is sometimes accompanied by various physical complaints. anxiety is an emotional response and individual subjective judgment that is influenced by the subconscious and has not specifically identified the causal factor. the results of a similar study were 20 respondents (57.1%) who did not experience anxiety, 13 respondents (37.1%) experienced moderate anxiety, and no respondents experienced severe anxiety. anxiety is the main factor that increases the fear of childbirth. one study found that as the number of live births increased, so did the fear of giving birth. this situation may be due to the expectant mother's previous negative childbirth experience (erkaya, 2017). the results of this study indicate that pregnant women who get family support are mostly 22 respondents (73.3%) in the category of not experiencing anxiety and while 8 respondents do not septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 57 get family support, 7 respondents (23.3%) experience mild anxiety and 1 respondent ( 3.3%) experienced severe anxiety. the statistical test results obtained a p value of 0.000. so it can be concluded that there is a correlation between family support and the level of anxiety of third trimester pregnant women in ernita midwife independent practice. the results of this study are in line with febria syafyu sari & wira novriani (2016) who have conducted research on family support with anxiety in the third trimester, found that (80%) received support from family and (53.3%) experienced mild anxiety, (20%) experienced panic anxiety, (16.7%) experienced anxiety moderate and (10%). respondents experienced severe anxiety. in the bivariate analysis, it was found that p value = 0.041, there was a correlation between family support and the level of anxiety before the third trimester of labor. the family provides support to the mother before delivery so that the mother feels calm and reduces the anxiety of the mother before delivery. the results of research that has been conducted by sri & hastutik (2022) who examined the analysis of family support with anxiety levels in preparation for childbirth with the results of respondents' anxiety levels in preparation for childbirth, it was found that most of them with moderate, severe and severe levels of anxiety. once in preparation for childbirth each of 7 respondents (25.0%), so it was concluded that most of the respondents who received family support with moderate, severe, very heavy anxiety levels in preparation for childbirth were 7 respondents (25.00%). the researchers' assumptions from the results of research that has been done, the correlation between family support and anxiety levels is very influential in third trimester pregnant women. the existence of family support gives a positive response to pregnant women so they don't experience anxiety. pregnant women who do not get family support are prone to experience anxiety, but if pregnant women have received family support but still experience anxiety, it becomes a problem and further research is needed. conclusion based on the results of the study, it can be concluded that most of the 22 respondents (73.3%) pregnant women who have received family support, 22 pregnant women who have not experienced anxiety (73.3%), and 7 respondents who have experienced mild anxiety. (23.3%), and 1 respondent (3.3%) had experienced severe anxiety. there is a correlation between family support that has been provided with the level of anxiety facing childbirth in third trimester pregnant women at the ernita midwife independent practice. based on the results of statistical tests obtained p value of 0.000. suggestion family support, especially the closest people, is very necessary for pregnant women. forms of support that can be given by taking time and attention for pregnant women during their pregnancy until before delivery so that mothers can live their pregnancy with peace and happiness and away from stress that can harm the mother and the fetus. suggestions for health workers such as midwives, cadres and other health workers as providers of health information to families to be able to always provide counseling about psychological changes in pregnant women to the anxiety that will arise when entering labor and the role of birth attendants in reducing anxiety during childbirth as an effort to increase awareness for families who play an important role in childbirth assistance. acknowledgement we would like to give our big appreciation to stikes tengku maharatu and ernita midwife independent practice for supporting our research in all aspects. we also would like to thank all of the respondents that participated in this research for their commitment. funding this research was funded by all of the authors collectively and also supported by stikestengku maharatu. conflicts of interest the authors declare no conflict of interest. other funders than the authors had no role in the design of the study, data collection, data analysis, in the writing of the manuscript, and also in the decision for publication. author contributions the main author sees the phenomena that occur because of the discrepancy between the spatial ideal and the real events that occur. the main author starts 58 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 53-58 designing and compiling the theoretical framework, the framework determines theoretical concepts and research hypotheses, compiles articles, conducts analysis, displays data, performs critical revisions of manuscript writing, makes final approval of the version to be published. the co-authors made research designs and analytical tests using data processing software, performed data retention, data interpretation and assessed the relevance of the theoretical concepts used, designed research instruments and assessed the suitability of implementation according to standard procedures and research frameworks. the lead author monitored the conduct of the research and discussed with coauthors. based on the hypothesis, the researcher examines the research results to deepen the research discussion. the research associate collected the data and ensured the accuracy of the sample and the validity of the data collected. refferences arifin, a., kundre, r., & rompas, s. (2015). hubungan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu hamil menghadapi proses persalinan di puskesmas budilatama kecamatan gadung kabupaten buol propinsi sulawesi tengah. ejournal keperawatan, 3(volume 3 nomor 2), 1–6. dinas kesehatan provinsi riau. (2019). profil kesehatan. dinas kesehatan provinsi riau. (2021). profil kesehatan provinsi riau tahun 2021 (pp. 1–301). febria syafyu sari, & wira novriani. (2016). dukungan keluarga dengan kecemasan menjelang persalinan trimester iii. jurnal ipteks terapan research, 11, 55–64. febriati, l. d., & zakiyah, z. (2022). hubungan dukungan keluarga dengan adaptasi perubahan psikologi pada ibu hamil. jurnal kebidanan indonesia, 13(1), 1–31. friedman. (2013). buku ajar keperawatan keluarga: riset, teori dan praktek. buku kedokteran egc. kemenkes ri. (2015). profil kesehatan ri 2015. in m. k. dr. drh. didik budijanto, m.kes yudianto, skm, m.si boga hardhana, s.si, mm drg. titi aryati soenardi (ed.), profil kesehatan indonesia tahun 2015. kementerian kesehatan republik indonesia. kemenkes ri. (2020). pencatatan program kesehatan keluarga di kementerian kesehatan republik indonesia pada tahun 2020. in m. boga hardhana, s.si, ms. p. farida sibuea, skm, & m. winne widiantini, skm (eds.), profil kesehatan indonesia. https://doi.org/351.077 ind p mandriwati et al. (2016). asuhan kebidanan kehamilan berbasis kompetensi (3rd ed.). buku kedokteran egc. palupi, f. h. (2012). perbedaan tingkat kecemasan ibu primigravida dengan multigravida dalam menghadapi proses persalinan kala i di rb ngudi saras jaten karanganyar. jurnal maternal, vol 6. sri, n. k. e. p., & hastutik. (2022). analisis dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam persiapan menghadapi persalinan. 6, 9480–9486. syafrie. (2017). gambaran pengetahuan dan kecemasan ibu hamil trimester iii dalam menghadapi persalinan di wilayah kerja puskesmas muara aman kecamatan lebong utara, kabupaten lebong tahun 2016. journal of midwifery, 5(1), 564. videbeck, s. l. (2012). buku ajar keperawatan jiwa (issue renata komalasari, penerjemah). egc. widatiningsih, s., & dewi, c. h. t. (2017). praktik terbaik asuhan kehamilan. trans medika. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 227kurniawati dan ulfa, perbedaan penggunaan daun sirih ... 227 perbedaan penggunaan daun sirih terhadap waktu penyembuhan luka perineum (the differences of the using of betel leaves to the perineum wound recovery) siti lely candra kurniawati1 dan maria ulfa2 1praktisi kebidanan 2stikes patria husada blitar email: ulfamaria845@gmail.com abstract: betel leaves are plants that contain essential oils that consist of bethephenol, chavicol, cavibetol, estrogen, eugenol, and karvarool wherein biochemical substances in a betel leaf (piperbetle linn) has the power to kill bacteria and fungi, also an antioxidant which accelerate the wound healing process. method: the study used true experimental design, post test only control group design. the population in this study was 18 puerperal women in the village ringginanyar. the sampling technique used purposive sampling. the number of sample was 16 puerperal women in the village ringginanyar . this research was conducted on 20 july 2015–02 august 2015. the statistical test used mann whitney u test . result:the results showed that the perineal wound healing time women without treatment with betel leaf the majority (62.5%) experiencing perineal wound healing on day 8, while women do treatment using betel leaves the vast majority (62.5%) experiencing perineal wound healing on day 5. based on the findings of mann whitney u test -test seen that sig value (0.00 ) <  ( 0.05 ) it could be concluded that there were differences in perineal wound healing time between groups used betel leaf and groups that did not use betel leaves . keywords: betel leaf, perineal wound healing abstrak: daun sirih adalah tanaman yang mengandung minyak atsiri yang terdiri dari bethephenol, chavicol, cavibetol, estrogen, eugenol, dan karvarool dimana zat biokomia dalam daun sirih (piperbetle linn) memiliki daya membunuh kuman dan jamur, juga merupakan antioksidan yang mempercepat proses penyembuhan luka. desain penelitian adalah true eksperimental design (desain eksperimen sejati) dengan post test only control group design. populasi dalam penelitian ini adalah 18 ibu nifas di desa ringginanyar. teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. jumlah sampel adalah 16 ibu nifas di desa ringginanyar. penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 juli 2015–02 agustus 2015. uji statistik yang digunakan adalah uji mann-whitney u-test. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa waktu penyembuhan luka perineum ibu yang tidak melakukan perawatan dengan daun sirih sebagian besar (62,5%) mengalami penyembuhan luka perineum pada hari ke-8, sedangkan ibu yang melakukan perawatan menggunakan daun sirih sebagian besar (62,5%) mengalami penyembuhan luka perineum pada hari ke-5. berdasarkan hasil uji mann whitney u-test terlihat bahwa nilai sig (0,00) <  (0,05) maka dapat disimpulkan ada perbedaan waktu penyembuhan luka perineum antara kelompok yang menggunakan daun sirih dan kelompok yang tidak menggunakan daun sirih. kata kunci: daun sirih, penyembuhan luka perineum persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis. banyak wanita mengalami robekan perineum pada saat melahirkan. pada sekitar separuh kasus kasus tersebut, robekan ini amat luas. laserasi ini harus diperbaiki dengan cermat. perlukaan jalan lahir dapat mengakibatkan infeksi pada daerah acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p227-231 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 228 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 227–231 antara lubang vagina dan anus, bagian luar alat kelamin, vagina serta mulut rahim dan biasanya akan timbul gejala seperti: rasa nyeri serta panas pada tempat terinfeksi, kadang-kadang rasa perih muncul bila buang air kecil karena sudah merambat pada saluran kandung kencing dan sering juga disertai demam. (oxorn, 2010). menurut who, pada tahun 2005 tercatat lebih dari 585.000 terjadi kematian ibu saat hamil atau bersalin. sebanyak 11% kematian ibu disebabkan karena infeksi di mana 25–55% dari kasus infeksi ini disebabkan karena infeksi perlukaan pada jalan lahir. infeksi perlukaan jalan lahir ini bisa terjadi karena ibu tidak memperhatikan personal hygiene yang baik, belum mengerti cara perawatan luka perineum yang benar, belum mengerti manfaat dan tujuan dari perawatan luka perineum, serta kurang telaten dalam melakukan perawatan pasca persalinan. kasus infeksi ini disebabkan juga karena infeksi yang terlokalisir di jalan lahir dan penyebab terbanyak dan lebih dari 50% adalah kuman streptococcus anaerob yang sebenarnya tidak patogen dan merupakan penghuni jalan lahir namun karena adanya luka memungkinkan kuman ini untuk menyebabkan infeksi (mochtar, 2005). perawatan luka perineum merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya infeksi perlukaan jalan lahir. perawatan perineum terdiri dari 3 teknik, yaitu teknik dengan memakai antiseptik, tanpa antiseptik dan cara tradisional. namun perawatan luka perineum yang dilakukan oleh masyarakat masih banyak yang menggunakan cara tradisional, salah satunya menggunakan air rebusan daun sirih tersebut untuk cebok supaya luka perineum cepat sembuh dan bau darah yang keluar tidak amis. (agromedia, 2007). pengobatan antibiotik untuk perawatan luka perineum saat ini cenderung dihindari. beberapa antibiotik harus dihindari selama masa laktasi, karena jumlahnya sangat signifikan dan beresiko. hal inilah yang menjadi alasan bidan yang menyarankan ibu nifas untuk menggunakan daun sirih sebagai obat yang mempercepat penyembuhan luka perineum. (fk-ui, 2007) hasil survei didapatkan informasi dari masyarakat bahwa ibu pasca bersalin yang ada jahitan perineumnya ada tradisi cebok menggunakan daun sirih. dan hasil tindak lanjut observasi dengan bidan desa selama 2 minggu dari tanggal 23 januari 2015– 6 februari 2015 didapatkan 9 ibu nifas di mana 7 orang menggunakan daun sirih, dan 2 orang tidak menggunakan daun sirih. berdasarkan kasus tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang ”perbedaan waktu penyembuhan luka perineum dengan penggunaan daun sirih di desa ringinanyar”. bahan dan metode penelitian ini menggunakan metode eksperimen metode eksperimen yang digunakan adalah true eksperimental design (desain eksperimen sejati) dengan post test only control group design. populasi dalam penelitian ini adalah 18 ibu nifas yang ada di desa ringinanyar. sampel dalam penelitian ini adalah 16 ibu nifas yang ada di desa ringinanyar. pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. lokasi penelitian a da la h di desa ringinanyar. penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 20 juli 2015 sampai 02 agustus 2015. terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberi perlakuan dengan menggunakan daun sirih, dan kelompok yang lain dengan tidak menggunakan daun sirih. variabel dependen penelitian ini adalah waktu penyebuhan luka perineum. jenis instrumen observasi terstruktur. alat dan bahan untuk melakukan penelitian ini antara lain: daun sirih, air mendidih, gelas ukur 1 buah, baskom 1 buah, lembar observasi, alat tulis. teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah melakukan observasi proses penyembuhan luka sampai luka mengering pada pagi dan sore hari, dan dengan meng-gunakan sop tentang perawatan perineum. untuk analisa data menggunakan uji mann-whitney u-test sebagai penguji hipotesis. hasil penelitian dari tabel 7 menunjukan bahwa nilai sig (0,00) <  (0,05) dengan demikian h0 ditolak, maka dapat disimpulkan ada perbedaan waktu penyembuhan luka perineum antara kelompok yang menggunakan daun sirih dan kelompok yang tidak menggunakan daun sirih. pembahasan penyembuhan luka perineum pada kelompok yang tidak memakai daun sirih dari hasil penelitian diperoleh data pada kelompok non perlakuan sebagian besar responden (62,5%) sembuh pada hari ke-8. hal ini sedikit berbeda dengan pendapat prawirohardjo (2006) bahwa perlukaan jalan lahir rata-rata akan sembuh dalam 6 sampai 7 hari apabila tidak terjadi infeksi. pada saat penelitian, semua responden tidak mengalami 229kurniawati dan ulfa, perbedaan penggunaan daun sirih ... tanda-tanda infeksi, sehingga membuat peneliti mencari faktor lain yang menjadi penyebab lambatnya luka perineum untuk sembuh. faktor-faktor yang memungkinkan menjadi penyebab adalah paritas setengah responden (50%). dengan banyaknyak paritas kondisi kulit dan jaringan otot proses kembalinya membutuhkan waktu yang lama, sehingga memperpanjang waktu penyembuhan luka. nutrisi yang tidak sesuai dengan gizi seimbang. peneliti sudah berusaha untuk mengontrol asupan nutrisi dengan cara penyuluhan dan konseling, namun peneliti tidak menjamin apakah responden menerapkannya dengan sungguh-sungguh. hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa faktor gizi terutama protein akan sangat mempengaruhi terhadap proses penyembuhan luka pada perineum karena penggantian jaringan sangat membutuhkan protein. personal hygiene yang kurang. peneliti sudah berusaha untuk mengontrol personal hygiene dengan cara penyuluhan tabel 1. karakteristik responden kelompok non perlakuan no karakteristik f % 1 umur < 20 th 20 – 35 th > 35 th 0 7 1 0 8 5,5 1 2,5 2 jumlah anak 1 2 3 3 4 1 3 7,5 50 1 2,5 3 riwayat penyakit menderita d m tidak menderita dm 0 8 0 100 4 mobilisasi dini iya tidak 8 0 100 0 5 tradisi tarak makan tidak tarak makan 0 8 0 100 6 pola nutrisi gizi seimbang gizi tidak seimbang 8 0 100 0 7 pemberian antibiotik iya tidak 8 0 100 0 8 personal hygiene sering ganti pembalut jarang ganti pembalut 8 0 100 0 tabel 2. karakteristik responden kelompok diberikan perlakuan no karakteristik f % 1 umur < 20 th 20 – 35 th > 35 th 0 6 2 0 75 25 2 jumlah anak 1 2 3 3 4 1 37,5 50 12,5 3 riwayat penyakit menderita dm tidak mend erita dm 0 8 0 100 4 mobilisasi dini iya tidak 8 0 100 0 5 t radisi tarak makan tidak tarak makan 0 8 0 100 6 pola nutrisi gizi seimbang gizi tidak seimbang 8 0 100 0 7 pemberian antibiotik iya tidak 8 0 100 0 8 personal hygiene sering ganti pembalut jarang ganti pembalut 8 0 100 0 tabel 3. karakteristik respon-den berdasarkan waktu penyembuhan luka perineum tanpa menggunakan daun sirih tanggal 20 juli 2015–02 agustus 2015 n o. sem buh hari ke f % 1. 7 1 12,5 2. 8 5 62,5 3. 9 2 25 jumlah 8 100 tabel 4. karakteristik responden berdasarkan waktu penyembuhan luka perineum setelah menggunakan daun sirih tanggal 20 juli 2015–02 agustus 2015 no . sembuh hari ke f presentase (%) 1. 4 0 2. 5 5 62,5 3. 6 3 37,5 jumlah 8 100 230 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 227–231 dan konseling, namun peneliti tidak menjamin apakah responden menerapkannya dengan benar. personal hygiene (kebersihan diri) yang kurang dapat memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya benda asing. adanya benda asing, pengelupasan jaringan yang luas akan memperlambat penyembuhan luka. pengetahuan ibu tentang perawatan pasca bersalin juga sangat menentukan lama penyembuhan luka perineum. apabila pengetahuan ibu kurang, terlebih masalah kebersihan maka penyembuhan lukapun akan berlangsung lama. penyembuhan luka perineum pada kelompok yang menggunakan daun sirih dari hasil penelitian diperoleh data pada kelompok perlakuan sebagian besar responden (62,5%) yang sembuh pada hari ke-5. penggunaan daun sirih sebanyak 2x sehari dimaksudkan agar luka perineum lebih sering kontak dengan air rebusan daun sirih. daun sirih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari bethephenol, chavicol, seskulterpen, hidriksivaikal, cavibetol, estrogen, eugenol, dan karvarool di mana zat biokomia dalam daun sirih (piperbetle linn.) memiliki daya membunuh kuman dan jamur, juga merupakan antioksidan yang mempercepat proses penyembuhan luka. faktor-faktor yang memungkinkan menjadi penyebab adalah paritas setengah responden (50%) mempunyai 2 anak. paritas juga mempengaruhi ibu nifas dalam melakukan perawatan perineum. pengalaman adalah guru yang terbaik. karena pengalaman merupakan sumber pengetahuan. apabila seseorang telah melahirkan anak yang kedua kali dan seterusnya umumnya dapat melakukan perawatan perineum dengan baik karena mereka telah memperoleh pengalaman dan informasi pada kelahiran ank sebelumnya. selain itu faktor yang mempengaruhi kesembuhan luka perineum antara lain tradisi. tradisi sangat mempengaruhi penyembuhan luka, di indonesia ramuan peninggalan nenek moyang untuk perawatan pasca bersalin masih banyak digunakan oleh kalangan masyarakat modern. pengetahuan ibu tentang perawatan pasca bersalin juga sangat menentukan lama penyembuhan luka perineum. apabila pengetahuan ibu kurang, terlebih masalah kebersihan maka penyembuhan lukapun akan berlangsung lama. hal ini menunjang kemampuan ibu untuk menyediakan sarana prasarana dalam perawatan perineum misalnya kemampuan ibu dalam menyediakan antiseptik . perbedaan penggunaan daun sirih terhadap waktu penyembuhan luka perineum berdasarkan tabel 4.6 diperoleh data bahwa perbedaan waktu penyembuhan luka perineum antara yang tidak melakukan perawatan dengan daun sirih sebagian besar (62,5%) mengalami penyembuhan luka perineum pada hari ke-8, sedangkan yang melakukan perawatan menggunakan daun sirih sebagian besar (62,5%) mengalami penyembuhan luka perineum pada hari ke-5. dari hasil penelitian berdasarkan lembar observasi, rata-rata kesembuhan luka pada kelompok perlakuan terjadi pada hari ke-5. hal ini dikarenakan kandungan antiseptik pada air rebusan daun sirih. kesembuhan luka perineum terjadi dengan proses cepat dikarenakan ibu nifas menggunakan air rebusan daun sirih untuk cebok 2x/hari setelah mandi. sehingga dapat dikatakan bahwa perawatan perlukaan jalan lahir menggunakan daun sirih dengan cara merebus dan menggunakan airnya untuk cebok atau membersihkan perlukaan jalan lahir dapat mempercepat penyembuhan luka, karena daun sirih mengandung chavicol, dan beberapa senyawa biokimia lain. senyawa biokimia ini meemiliki daya membunuh tabel 5. perbedaan waktu penyembuhan luka perineum antara perawatan dengan menggunakan daun sirih dan tanpa menggunakan daun sirih tanggal 20 juli 2015–02 agustus 2015 sembuh hari ke peraw atan tanpa daun sirih p erawatan dengan daun sirih f % f % 4 0 5 5 62,5 6 3 37,5 7 1 12,5 8 5 62,5 9 2 25 jum lah 8 100 8 100 tabel 7. hasil uji mann whitney u-test (spss) p enyembuhan luka mann-whitney u .000 wilcoxon w 36 .000 z -3.873 asymp. sig. (2 -tailed) .000 exact sig. [2*(1-tailed sig.)] .000a 231kurniawati dan ulfa, perbedaan penggunaan daun sirih ... kuman, jamur dan bakteri 5 kali lipat dari phenol biasa serta mengandung antioksidan. selain itu daun sirih juga merupakan antiseptik alami yang tidak memiliki efek samping sehingga aman untuk digunakan. dengan penggunaan air rebusan daun sirih untuk cebok akan membantu kecepatan proses penyembuhan luka. dari hasil statistik mann whitney u-test menunjukan bahwa nilai sig (0,00) <  (0,05) dengan demikian h0 ditolak, maka dapat disimpulkan ada perbedaan waktu penyembuhan luka perineum antara kelompok yang menggunakan daun sirih dan kelompok yang tidak menggunakan daun sirih. simpulan dan saran simpulan penyembuhan luka perineum pada kelompok non perlakuan sebagian besar responden (62,5%) sembuh pada hari ke-8 sedangkan pada kelompok perlakuan sebagian besar responden (62,5%) sembuh pada hari ke-5. dari hasil analisa dengan uji mann whitney u-test terlihat bahwa nilai sig (0,00) <  (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan waktu penyembuhan luka perineum antara kelompok yang menggunakan daun sirih dan kelompok yang tidak menggunakan daun sirih. artinya responden yang menggunakan daun sirih lebih cepat penyembuhan luka perineumnya dibandingkan dengan responden yang tidak memakai daun sirih. saran mengingat maanfaat daun sirih yang luar biasa, masyarakat diharapkan dapat membudidayakan tanaman sirih sebagai antiseptic yang dapat mempercepat penyembuhan luka perineum. sedangkan untuk tenaga kesehatan diharapkan dapat melakukan sosialisasi penggunaan daun sirih sebagai alternative pilihan jika antiseptic lain tidak tersedia, khususnya bagi bidan yang berada di daerah terpencil sehingga ibu nifas lebih yakin bahwa membasuh perineum dengan menggunakan air rebusan daun sirih juga dapat mempercepat proses penyembuhan luka perineum karena tidak menimbulkan efek samping sehingga aman digunakan serta lebih murah. daftar rujukan agromedia, redaksi, 2007, buku pintar tanaman hias. jakarta: pt agromedia pustaka. fk-ui. 2007. farmakologi dan terapi. jakarta: egc. mochtar, r. 2005. sinopsis obstetri. jakarta: egc. nursalam. 2011. manajemen keperawatan aplikasi dalam prakt ik keperawatan prof esi onal. jakarta: salemba medika. oxorn, h., & forte, w.r. 2010. ilmu kebidanan patologi dan fisiologi persalinan. yogyakarta: yem. prawirohardjo, s. 2009. ilmu kebidanan. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawirohardjo. 18 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk clean and healthy living behavior in the effort to break the chain of transmission of the covid 19 dwi priyantini1, setiadi2, dedi irawandi3 1,2,3nursing department, stikes hang tuah surabaya, indonesia article information abstract the implementation of disease prevention behavior is influenced by the level of health literacy, which consists of several aspects including information, knowledge, understanding, and decision making. health information is an important source related to the covid-19 pandemic, both up-to-date information, prevention of exposure, what to do during isolation, and how to communicate with covid-19 task force officers. the purpose of this study was to determine the correlation between health literacy and a clean, healthy lifestyle among stikes hang tuah surabaya students to break the chain. the research design used analytic observation with a cross-sectional approach. data collection was obtained by participants filling out a questionnaire. data analysis used the spearman rho correlation test with a pvalue of 0.05. the results of the study showed that most of the students' health literacy was in the adequate category, and the students' clean and healthy living behaviors were in the high category. the results of the health literacy analysis was related to clean and healthy living behaviors to break the chain of transmission of the covid-19 pandemic in stikes hang tuah surabaya students. the research implication is that adequate health literacy will improve students' abilities regarding clean and healthy behavior (phbs) to break the chain of transmission of the covid-19 pandemic in stikes hang tuah surabaya students. history article: received, 28/06/2022 accepted, 21/03/2023 published, 30/04/2023 keywords: health literacy, clean and healthy lifestyle (phbs), covid-19 © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes hang tuah surabaya east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : dwipriyantini22@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p018-024 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:dwipriyantini22@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p010-017 priyantini, setiadi, irawandi, early mobilization affected the daily living activity based on … 19 introduction the covid-19 pandemic is still infecting the country of indonesia with a chain of spread that is so fast. transmission of the spread of the corona virus can occur through the air by spreading through droplets, contaminated surfaces, and fecaloral or human waste (alam 2020). one of the various efforts to break the chain of transmission of the corona virus is by implementing a clean and healthy lifestyle (makruf & farhan, 2021). there is an "infodemic" associated with the covid-19 pandemic, where valid and invalid information is so abundant that the ability to access, understand, assess, and apply health information, makes it essential to navigate the covid-19 information environment (i komang agus widiantara, 2020). literacy during the covid-19 pandemic was widely circulated through various media ranging from learning and teaching activities in the world of education, television, cellphones, books, magazines, and also posters installed in various places that can provide health information such as understanding about covid19, prevention of virus transmission, information on the curve of increasing deaths, and recovering from covid-19 in indonesia (sutisna, 2020). there are 548 regular nursing students at stikes hang tuah surabaya, starting from d3 nursing and undergraduate nursing study programs (data from baak stikes hang tuah surabaya). based on interviews with 20 students of the stikes nursing study program, hang tuah surabaya stated that they are fully implemented clean and healthy lifestyle behavior during the covid-19 pandemic. for example, still, often hang out / get together with friends without maintaining a safe distance, do less exercise, play cell phones more often or spend more time playing social media, and often sleep late at night which will reduce endurance. this data shows that there is still a lack of implementation of a clean and healthy lifestyle (phbs) to break the chain of transmission for stikes hang tuah surabaya students during the covid-19 pandemic. changing a person's behavior can be done with health literacy so health literacy is an important variable to empower health in individuals in particular and society in general. health literacy has been recognized as one of the factors of health variables and has become one of the goals of public health development (rohman & nurhayati, 2021). health literacy is a very important thing for every individual to have, especially during the current covid-19 pandemic, supported by the indonesian government's efforts to improve health literacy among the community, including efforts to improve health, disease prevention, treatment, and health restoration (rehabilitative). the role of literacy is very important in finding sources of information, one of which is about health and how to maintain it through clean and healthy living behavior, especially during the current covid-19 pandemic (akhmad & suyadi, 2021). good health literacy will increase a person's level of knowledge about a healthy lifestyle so that individuals, groups, and communities can improve their quality of life during the covid-19 pandemic (linggarjati & parmitasari, 2021). benchmarks in health literacy should not only be understood but needed to be applied in everyday life. therefore, researchers are interested in researching on "the correlation of health literacy with clean and healthy living behaviors to break the chain of transmission in stikes hang tuah surabaya’s students during the covid-19 pandemic period. method the research design used analytic observational with a cross-sectional approach, namely the type of research in which data collection of independent and dependent variables was carried out in one period simultaneously. the population in this study were regular d3 degree nursing students at 1,2,3 degree and s1 levels at 1,2,3,4 at stikes hang tuah surabaya for the 2020/2021 academic year, totaling 584 people. the samples used in this study were regular nursing students d3 degree 1,2,3 and s1 level 1,2,3,4 surabaya who met the sample requirements of 237 people. the sampling technique used probability sampling with a simple random sampling approach. the independent variable of the study was health literacy and the dependent variable was clean and healthy living behavior. the data collection instrument used a structured questionnaire which was developed based on the lattice of the research variable components. the health literacy questionnaire uses a research instrument developed by the hsl-eu consortium, namely the european health literacy survey questionnaire (hls-eu-q) hls-eu-q. the clean and healthy life behavior questionnaire during the pandemic contains clean 20 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 18-24 and healthy life behaviors to measure a student's clean living behavior. the results of the validity and reliability test of the questionnaire was in the expected score range, namely 0.4 to 0.7. the data were analyzed using the spearman rho test with a 95% confidence level, and the significance level of p-value = 0.05 which means that if p-value is 0.05, then h1 is accepted, which means that there is a correlation between health literacy and clean and healthy living behavior (phbs) to break the chain of transmission of covid 19 in stikes hang tuah surabaya students. results 1. health literacy table of characteristics of health literacy for regular nursing students of d3 study program degree 1,2,3 and s1 degree 1,2,3,4 (n = 237) on juni 8, 2021 – juni 10, 2021. health literacy frequency (f) percentage (%) adequate adequate enough inadequate 216 21 0 91.13% 8.87% 0% total 237 100% the table shows that most of the students' health literacy was in the adequate category, amounting to 216 people (91.13%), and the rest in the quite adequate category, as many as 21 people (8.87%). 2. clean and healthy life behavior table of characteristics of clean and healthy life behavior in regular nursing students of d3 and s1 study programs (n = 237) on 08 juni 2021 – 10 juni 2021 clean and healthy life behavior frequency (f) percentage (%) good enough not enough 160 77 0 67.51% 32.49% 0% total 237 100% the table describes the clean and healthy life behavior (phbs) in nursing students, mostly in the high category with 160 people (67.51%) and the rest in the moderate category with 77 people (32.49%). 3. the correlation between health literacy and a clean and healthy lifestyle table of the correlation between health literacy and clean and healthy living behavior to break the chain of transmission of covid 19 in stikes hang tuah surabaya students (n = 237) on 08 juni 2021 – 10 juni 2021. health literacy clean and healthy life behavior total good enough f % f % f % adequate 152 70.37% 64 29.63% 216 100% adequate enough 8 38.09% 13 61.91% 21 100% inadequate 0 0% 0 0% 0 100% total 160 67.51% 77 32.49% 237 100% statistic test spearman’s rho 0.037 (p = 0.05) value r = 0.128 (very weak correlation) the table depicts 216 students who have health literacy in the adequate category as many as 152 (70.37%), have a clean and healthy life behavior (phbs) in the high category (70.37%) and 64 respondents (29.63%) have a clean and healthy lifestyle (phbs) medium category. in terms of health literacy, 21 respondents have a high level of clean and healthy behavior and 8 (38.09%) students and 13 (61.91%) students have moderate clean and healthy behavior. based on the spearman rho statistical test, showed a value (p-value = 0.037), meaning that statistically there was a correlation between health literacy and clean and healthy life behavior in hang tuah stikes students in surabaya. the correlation coefficient value is 0.128, meaning that the correlation between health literacy and clean and healthy life behavior is very weak. priyantini, setiadi, irawandi, early mobilization affected the daily living activity based on … 21 discussion 1. health literacy in students data on student health literacy showed that from 237 students, 216 people (91.13%) have adequate health literacy and 21 (8.87%). these results indicated that most of the students who have health literacy are in the adequate category. the findings of this study explained that students accommodate in meeting the needs of a healthy life. health literacy is the degree of a person's ability to obtain, process, and understand basic health information and services needed to make appropriate health-related decisions. from this concept it can be said that health literacy plays an important role in the health sector so that achieving health literacy is a shared responsibility at the individual and social levels. nursing students are individuals with higher levels of education who have more opportunities to be exposed to health information, both from the curriculum studied, through seminars or training (veddayana et al., 2020). this condition illustrates that an adequate level of health literacy in students comes from access to health information which is the attainment, transition, or acquisition of information with or without going through the media which is a source of liaison between individuals and information (ul haq & sri sadewo, 2021). a person's health literacy is measured on knowledge, attitudes, motivation, behavioral intentions, personal skills, and health-related self-efficacy so that it leads to new knowledge, greater self-efficacy, positive health behaviors, and better health (yojana, 2022). for an individual, health literacy is determined by the level of education, culture, and language, besides that, it also requires communication skills and assessing interactions with others related to health and the ability of the media, market, and government to provide correct health information (moreen toar, 2020). the result of the distribution of the highest score data is the ease with which students find and receive information regarding covid 19. it is easiest for students to access information related to the symptoms of the covid-19 disease because hang tuah stikes surabaya students are health-based students so access to health information is easy to obtain both in teaching and learning activities, seminars, and health posters in the campus environment. this condition supports an adequate level of health literacy in students and showed that the factors that influence health literacy are access to health information which is the achievement, transition, or acquisition of information with or without going through the media which is a source of liaison between individuals, and information if someone does not get access. information, will have an impact on knowledge because of the low literacy they have. the lowest score from the literacy questionnaire answers was student compliance with government policies, namely "i comply with government regulations regarding policies during the covid-19 pandemic". this shows that students are lacking in applying existing health information related to government policies during the covid 19 pandemic. and this condition can support an adequate level of health literacy. one of the government's policies during the covid-19 pandemic is that the implementation of health protocols and the implementation of health protocols must be based on self-awareness even though they already know various knowledge related to health protocols or the covid-19 pandemic, but they have not been able to implement it in daily life (fitri et al., 2020). 2. student's clean and healthy life behavior clean and healthy living behavior (phbs) students were 160 students (67.51%) in the good category and 77 students (32.49%) in the enough category. the research findings can be explained that most of the students have a clean and healthy behavior in the good category. most students have a clean and healthy lifestyle which is a good thing because it can prevent them from being exposed to the coronavirus pandemic. lawrence green explained that a person's health can be influenced by several factors, namely behavioral factors and factors outside of behavior (dewi, 2020). clean and healthy life behavior in stikes hang tuah surabaya students has the highest score, among others, is the behavior of brushing teeth 2-3 times regularly every day. the covid-19 virus is found in the oral and oropharyngeal cavity so dental and oral hygiene is very necessary to maintain overall body health (azizah et al., 2021). in addition to maintaining dental and oral hygiene during the covid-19 pandemic to avoid 22 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 18-24 toothache or dental problems to minimize the transmission of covid 19 in dental practice. this data illustrates that the level of clean and healthy living behavior of students can maintain personal hygiene in dental and oral health during the covid-19 pandemic. the second-highest score for student health behavior was the use of masks. this data is in the questionnaire "i wear a mask when meeting other people and when leaving the house". the availability of infrastructures such as medical masks, government policies, and regulations are one of the factors to increase compliance with health protocols. according to (sianipar et al., 2021) said that infrastructure is all types of work equipment and facilities that function as tools to assist in the implementation of work. so the health protocol will be implemented if there are supporting infrastructure facilities, for example, the availability of clean water for washing hands and masks for activities and others. the lowest score of student health behavior was lack of activity during a pandemic, namely the answer to the questionnaire "i like to lie down rather than do physical activity during school from home" which means that respondents lie down more than doing physical activity during school from home. lack of physical activity in students during school from home does not support good health behavior. research (zata et al., 2020) says that there is a decrease in physical activity in the community due to fear of contracting the covid 19 virus. in actual health, physical activity must be carried out by humans which can be done in and around our homes. 3. the correlation between health literacy and clean and healthy life behavior the results of the spearman's rho statistical test obtained a p-value = 0.037 (p-value 0.05), meaning that there is a correlation between health literacy and clean and healthy life behavior in stikes hang tuah students in surabaya. the findings of this study can be explained that students who have high literacy will be able to carry out clean and healthy life behavior activities. every human being has basic needs, namely the need for health information, the need for disease prevention, and the need for treatment when sick. moreover, supported the pandemic factor to save their lives and their families. in addition to these factors, health workers, in this case, one of them is that student will be encouraged to seek as much information as possible for professional purposes or be prepared if there are questions from the public to ask students about it. health information is one of the needs to make individuals know about health so that individuals can apply clean and healthy living behaviors in everyday life to achieve optimal health degrees. health literacy is an individual's capacity to access, understand, assess and apply information and basic health services to improve health (joint committee on national health education standards). health literacy is assessed by the hlseu-q16 which includes 3 indicator domains spread over 16 question items, namely health care, disease prevention, and health promotion (wahjuni, 2020). conclusion health literacy among stikes hang tuah surabaya’s students has been an adequate category in clean and healthy living behavior to prevent the chain of transmission of covid-19 in stikes hang tuah surabaya. furthermore, they have to applied healthy living behaviors as health promotion as well. suggestion further research is needed using more standardized instrument measurements acknowledgement the author would like to thank the chair of the hang tuah stikes surabaya and students who participate in this study funding research funding comes from internal funds from the stikes hang tuah surabaya campus through research and community service centers which are budgeted annually by each study program. conflicts of interest the research process is assisted by research assistants to avoid conflicts of interest between researchers and respondents, so researchers do not have direct contact with respondents when collecting data. before starting research activities, respondents were also informed about the research location, namely interest in existing topics and phenomena encourage researchers to carry out research according to the topic under study. so it can be concluded that every party involved in the research already knows and agrees with this research. priyantini, setiadi, irawandi, early mobilization affected the daily living activity based on … 23 author contributions dwi priyantini as writer 1 is on duty compiling and designing research designs, collect data, analyze, and create script. setiadi as writer 2 is in charge of helping collect data and help process data. dedi irawandi as writer 3 coordinated and collected data. all authors played an active role and provided input and approved the final manuscript. refference akhmad, c. a., & suyadi. (2021). literasi kesehatan dalam pendidikan islam: studi kasus dampak covid-19 bagi mahasiswa uad. fikroh: jurnal pemikiran dan pendidikan islam, 14(1), 28–42. https://doi.org/10.37812/fikroh.v14i1.1 07. azizah, a. y., erawati, s., & nababan, i. (2021). pengaruh edukasi online terhadap perubahan perilaku menjaga kebersihan gigi pada mulut selama masa pandemi. jurnal ilmiah pannmed (pharmacist, analyst, nurse, nutrition, midwivery, environment, dentist), 16(1), 224–228. https://doi.org/10.36911/pannmed.v16i 1.1056. dewi, e. u. (2020). faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam pencegahan penularan covid-19. jurnal keperawatan, 9(2), 21–25. https://doi.org/10.47560/kep.v9i2.259. fitri, b. m., widyastutik, o., & arfan, i. (2020). penerapan protokol kesehatan era new normal dan risiko covid-19 pada mahasiswa. riset informasi kesehatan, 9(2), 143–153. https://doi.org/10.30644/rik.v9i2.460. i komang agus widiantara. (2020). infodemik covid-19: momentum membangun kepercayaan publik terhadap media mainstream. ilmu komunikasi, 1(1), 67– 81. linggarjati, d., & parmitasari, n. (2021). studi deskriptif literasi mahasiswa terkait covid-19. praxis : jurnal sains, teknologi, masyarakat dan jejaring, 3(2), 113–119. https://doi.org/10.24167/praxis.v3i2.31 47. makruf, a., & farhan, f. s. (2021). perubahan perilaku hidup bersih dan sehat sebelum dan selama pandemi covid-19 pada mahasiswa kedokteran universitas muhammadiyah jakarta. jurnal kesehatan andalas, 10(1), 39. https://doi.org/10.25077/jka.v10i1.1674. moreen toar, j. (2020). faktor yang mempengaruhi literasi kesehatan pada penderita diabetes melitus tipe 2 di kota manado. jurnal keperawatan, 8(2). https://doi.org/10.35790/jkp.v8i2.32327. rohman, a., & nurhayati, f. (2021). hubungan literasi kesehatan dengan pola hidup sehat siswa smp di masa pandemi covid-19. jurnal pendidikan olahraga dan kesehatan, 09(01), 101–106. sianipar, e., ridwan, m., nurwaqiah ibnu, i., guspianto, l., & ode, r. (2021). faktorfaktor yang berhubungan dengan perilaku cuci tangan pakai sabun (ctps) pada mahasiswa universitas jambi selama pandemi covid-19. jurnal kesmas jambi, 5(2), 55–62. https://doi.org/10.22437/jkmj.v5i2.1369 3. sutisna, i. p. g. (2020). gerakan literasi digital pada masa pandemi covid-19. stilistika: jurnal pendidikan bahasa dan seni, 8(2), 268–283. https://doi.org/10.5281/zenodo.3884420. ul haq, n., & sri sadewo, f. (2021). konstruksi sosial tentang literasi kesehatan dalam merespon pandemi covid-19. jurnal pendidikan kesehatan, 10(2), 193–199. https://doi.org/10.31290/jpk.v10i2.2813. veddayana, c., anita, f., rizka, h., & ningrum, p. (2020). meningkatkan literasi masyarakat bangko kanan dalam menghadapi pandemi covid-19. jurnal pengabdian untukmu negeri, 4(2), 231–236. https://doi.org/10.37859/jpumri.v4i2.21 53. wahjuni, s. m. dan e. s. (2020). hubungan literasi kesehatan dengan kualitas hidup mahasiswa fakultas ilmu olahraga universitas negeri surabaya. jurnal pendidikan jasmani, 8(3), 37–42. https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurna l-pendidikan-jasmani/article/view/36932. yojana, y. (2022). gambaran literasi digital tenaga kesehatan peserta pelatihan di bapelkes cikarang kementerian kesehatan ri. edukatif : jurnal ilmu 24 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 18-24 pendidikan, 4(2), 2127–2133. https://doi.org/10.31004/edukatif.v4i2. 2262. zata, j., nurhadi, l., & fatahillah, d. (2020). pengaruh pandemi covid-19 terhadap tingkat aktivitas fisik pada masyarakat komplek pratama, kelurahan medan tembung. jurnal health sains, 1(5), 294– 298. https://doi.org/10.46799/jhs.v1i5.52. e:\2021\ners april 2021\10-jurn 64 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 64–70 causing factors of degenerative disease towards elderly women irwanti gustina1, putri sarah dita2 1,2faculty of nursing and midwifery, binawan university, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 19/01/2020 accepted, 09/03/2021 published, 05/04/2021 keywords: women, elderly, degenerative diseases article information abstract the proportion of the elderly population in indonesia has a positive or negative impact, it is said to be positive if the elderly population is in a healthy, active and productive condition. the elderly become a burden if they have health problems such as degenerative diseases. in this study, the authors looked for the causes of degenerative disease in elderly women. this study used 50 elderly women for sample. this research design used cross sectional, data collection techniques through questionnaires. the results showed that there was a significant correlation between degenerative diseases in the elderly with diet, physical activity, rest patterns, and health care support for the elderly. meanwhile, smoking habit with p-value = 0.283 meant that statistically there was no correlation between smoking habits and degenerative diseases, this was because the proportion of elderly women who smoke and had degenerative diseases was less. the conclusion of the research was the productivity of women in youth and lifestyle had an effect on women’s health in old age. 64 correspondence address: binawan university – dki jakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email: iragustina80 @gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i1.art.p064–070 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) © 2021 journal of ners and midwifery https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i1.art.p064-070&domain=pdf&date_stamp=2021-04-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i1.art.p064-070 65gustina, dita, causing factors of degenerative disease to ... introduction getting old is a natural phenomenon as a result of the aging process.this phenomenon is not a disease, but a natural condition that is universal. the aging process is regressive and includes organobiological, psychological and socio-cultural processes. being old is genetically determined and influenced by a person’s lifestyle (tamher, 2009) glascock and feinman (1981) stanley and beare (2007), analyzed the criteria for elderly from 57 countries around the world and found that the most common elderly criterion was a combination of chronological age with changes in social roles, followed by changes in a person’s functional status. one of the results of health development in indonesia is an increase in life expectancy. by increasing the elderly population it means that the risk group in our society is becoming higher. the increase in the elderly population is not only a phenomenon in indonesia but also a phenomenon in the world (lilik, ma’rifatul, 2011). based on the census of the ri statistical data in 2012 that based on gender, the highest proportion of elderly people is women, thus umur harapan hidup (uhh) of the elderly with female gender is getting higher, whereas according to nugraheni (2005), in the physical condition of the elderly there are severa l health problems along with with decreased body function. this increase in life expectancy (uhh) can result in an epidemiological transition in the health sector due to the increasing number of morbidity due to degenerative diseases. based on the results of survey and sensus nasional (susenas) (2013), the proportion of elderly people based on female gender is 8.2% of 9% of the total population. the problems faced by older people are peculiar. they experience a decrease in their physical condition and psychological problems. the problems experienced by the elderly can certainly be anticipated from an early age if we know what are the factors that trigger degenerative diseases that are often experienced by the elderly. therefore, in this study the authors will examine the correlation between the lifestyle of the elderly a nd the incidence of degener a tive disea ses experienced by the elderly. methods this research is an analytical study with a cross sectional design and data collection methods using a questionnaire or questionnaire, the sampling method with quota sampling technique. the subjects studied were elderly women. the number of samples used was 50 respondents. the independent variables measured were diet, physical activity of the elderly, rest patterns, smoking habits and health care support, while the dependent variable was the elderly with degenerative diseases. the statistical test used is chi-square. the research location is in the area of rw 05, dukuh village, east jakarta.   result 1. the correlation between diet and degenerative diseases in elderly women based on table 1, it can be seen that the elderly who have a history of unhealthy eating patterns have a higher percentage of experiencing degenerative diseases, namely 78.1%, while the elderly who have degenerative diseases and a history of healthy eating patterns are only 33.3%. chi square test results obtained p-value = 0.002, meaning that statistically there is a correlation between diet and degenerative diseases. the analysis results obtained or = 7.1, meaning that the elderly who have a history of unhealthy eating patterns have a 7.1 times higher chance of experiencing degenerative diseases than the elderly with a history of healthy eating patterns. variabel independent kategori degeneratif diseases p-value or degeneratif non degeneratif polamakan (diet) un healthy 25 (78,1%) 6 (21,9%) 0,002 7,1 (1,9 -25,9) healthy 6 (33,3%) 12 (66,7%) table 1 diet and degenerative diseases correlation in elderly women 66 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 64–70 obtained p-value = 0.008, meaning that statistically there is a significant correlation between rest patterns and degenerative diseases. the results of the analysis obtained or = 5.1, meaning that the elderly who have a history of poor resting patterns have a 5.1 times higher chance of experiencing degenerative diseases than the elderly with a history of good resting patterns. 2. the correlation between physical activity and degenerative diseases in elderly women based on table 2, it can be seen that the elderly who have bad physical activity have a higher percentage of experiencing degenerative diseases, namely 75%, while the elderly who have good physical activity are only 44.4% who experience variabel independent kategori degeneratif diseases p-value or degeneratif non degeneratif physical activity not good 24 (75%) 8 (25%) 0,031 3,7 (1,1-12,7) good 8 (44,4%) 10 (55,6%) table 2 physical activity and degenerative diseases correlation in elderly women degenerative diseases. chi square test results obtained p-value = 0.031, meaning that statistically there is a correlation between physical activity and degenerative diseases. the results of the analysis obtained or = 3.7, meaning that the elderly who have bad physical activity have a 3.7 times higher chance of experiencing degenerative diseases than the elderly who have good physical activity. 3. the correlation between rest patterns and degenerative diseases in elderly women based on table 3, it can be seen that the elderly who have a history of a little resting patterns have a higher presentation of degenerative diseases, namely 71.9%, while the elderly who have a history of good resting patterns are only 28.1% who have degenerative diseases. chi square test results variabel independent kategori degeneratif diseases p-value or degeneratif non degeneratif rest patterns noot good 23 (71,9%) 6 (33,3%) 0,008 5,1 (1,4-17,7) good 9 (28,1%) 12 (66,7%) table 3 rest patterns and degenerative diseases correlation in elderly women 4. the correlation between smoking habits and degenerative diseases in elderly women based on table 4, it can be seen that the elderly who do not have a smoking habit have a higher variabel independent kategori degeneratif diseases p-value or degeneratif non degeneratif smoking habits smoke 4 (12,5%) 0 (0%) 0,283 exact 0,8 (0,7-0,9) not smoke 28 (87,5%) 18 (100%) table 4 smoking habits and degenerative disease correlation in elderly women percentage of experiencing degenerative diseases, namely 87.5%, while the elderly who have a smoking habit only 12.5% experience degenerative diseases. the results of the chi square test cannot be used because they do not meet the requirements because 67gustina, dita, causing factors of degenerative disease to ... discussion 1. diet and degenerative diseases correlation in elderly women based on the results of the research of the elderly in rw 05, dukuh village, 62% of the elderly have an unhealthy diet, and as many as 78% of the elderly respondents who have degenerative diseases have an unhealthy diet compared to the elderly who do not have degenerative diseases. diet is a variety of information that provides an overview of the kinds and amounts of foodstuffs eaten by a person each day and is a characteristic of a particular community group. so it can be interpreted that diet is the regulation of the type and amount of food consumed and the frequency of consuming healthy foods. the composition of dishes or daily food menus consisting of various kinds of quality food ingredients in the right amount and proportion can be used by a person to maintain his health and fitness, so that a good diet and eating habits are needed, to meet the nutritional needs of the body. (ayu,2013) conditions that occur in the environment at this time are very vulnerable for respondents to be exposed to free radicals easily if it is not balanced with good nutritional intake, it is feared that it will trigger the emergence of various degenerative diseases. generally, before a person suffers or experiences a degenerative disease, there is a symptom that leads to the disease but it is often overlooked. this collection of symptoms is known as the metabolic syndrome. dr. gerard reaven from stanford university in 1988 called it syndrome x. this metabolic syndrome does not appear suddenly but through a long and slow process, and it is closely related to a person’s lifestyle. this is the end result of an unhealthy diet with high sugar and fat content in food. this is consistent with this study because most of the elder ly who have degenerative diseases still consume and do not limit their intake of fat and sweet foods or drinks. the recommended food ingredients and food ingredients that must be avoided are considered by the elderly in choosing food ingredients as the main ingredient of their menu (fatmah, 2010). the habit of snacking on oily foods such as fried foods or coconut milk foods will also worsen the health conditions of the elderly, especially those with degenerative diseases. in ma intaining the nutr itiona l inta ke we consume, it is also necessary to pay attention to the needs needed by the body. developing countries, e <5 is 50%, then the fisher-exact test is used and obtained p-value = 0.283 meaning that statistically there is no correlation between smoking habits and degenerative diseases. the results of the analysis obtained or = 0.8, meaning that the elderly who have healthy smoking habits have a 0.8 times higher chance of experiencing degenerative diseases than the elderly who do not smoke. 5. the correlation between health care support and degenerative diseases in elderly women based on table 5, it can be seen that the elderly who were not supported by health workers had a higher percentage of experiencing degenerative diseases, namely 87.5%, while the elderly who were supported by health workers were only 12.5% who had degenerative diseases. the results of the chi square test cannot be used because they do not meet the requirements because e <5 is 25%, then the fisher-exact test is used and obtained p-value = 0.007, meaning that statistically there is a correlation between health care support and degenerative disease. the results of the analysis obtained or = 7, meaning that the elderly who did not receive health care support had a 7 times higher chance of experiencing degenerative diseases than the elderly who received health care support. variabel independent kategori degeneratif diseases p-value or degeneratif non degeneratif nakes support not support 28 (87,5%) 9 (50%) 0,007 exact 7 (1,7-28,2) support 4 (12,5%) 9 (50%) table 5 health care support and degenerative diseases correlation in elderly women 68 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 64–70 including indonesia, have experienced excess nutrition which resulted in the high prevalence of degenerative diseases. not to mention the effects caused by a polluted environment, wrong diet and lifestyle which actually stimulates the growth of free radicals that damage our bodies. in this study, the answer to the elderly’s eating frequency was good, the majority ate 3 times a day with full menu answers. it is even deeper when viewed from the type of food consumed, the majority of the elderly do not understand about a balanced healthy menu that is their diet (especially for the elderly who already have degenerative diseases). the habit of consuming fatty foods (coconut milk, sweet drinks, and fried foods) has become a habit in daily consumption even though respondents know that they have degenerative diseases. this type of food should be limited for consumption by the elderly who do not suffer from degenerative diseases or who have degenerative diseases. in our bodies, the reaction between nutrients and free radicals will produce peroxidation which in turn can cause cell damage, which is considered to be one of the causes of various degenerative diseases (handajani, et al, 2010). 2. physical activity and degenerative diseases correlation in elderly women the results of this study showed (68%) the elderly who had bad physical activity habits was higher than the elderly who had good physical activity habits. increasing proportion of elderly people, cause several health problems in the elderly. based on data from the indonesian ministry of health’s center for data and information (2013), the biggest health problem in the elderly is degenerative diseases. it is estimated that in 2050 about 75% of the elderly with degenerative diseases will not be able to do activities. low physical activity can cause independent risk factors for chronic disease and it is estimated that it can cause death globally (who, 2011 and kurnia, 2019). this is in accordance with this study, where the elderly who suffer from diabetes have a low amount of physical activity. previous research conducted by putri (2013) reported that the physical activity of the elderly in mekarwangi village, tanah sareal district, bogor city was classified as moderate. most of the elderly reduce their physical activity because some of them feel that physical activity such as sports is not suitable for their lifestyle, even though some of them are aware of its benefits (lee, arthur, & avis, 2008). in addition, the elderly said that they had experienced a decline in health, so they could no longer do physical activity (baert, gorus, mets, geerts, &bautmans, 2011). according to mersiliyasauliyusta in 2016 in his research on the results of the analysis of the correlation between physical activity levels and cognitive function in the elderly, it was found that respondents with high levels of physical activity had normal cognitive functions. the results of statistical tests obtained p value = 0.000, it can be concluded that there is a correlation between the level of physical activity and cognitive function in the elderly. 3. rest patterns and degenerative diseases correlation in elderly women based on the results of the data, it can be seen that the elderly who have a bad resting pattern is higher (58%) than the elderly who have a good resting pattern. the results of research by albertina madeira, (2019) concerning the correlation between sleep pattern disorders and hypertension in the elder ly showed tha t a lmost a ll (79%) of respondents’ sleep disorders were included in the disturbed category.the results of the bivariate analysis showed p value (0.002) meaning that there was a significant correlation between sleep pattern disorders with hypertension (degenerative) in the elderly at posyandumawar, merjosari village, dinoyo district, malang city. basically the quality of sleep can affect the quality of life and a person’s tension. sleep quality has a positive correlation with quality of life, meaning that the better the quality of sleep, the better the quality of life. conversely, if the quality of sleep has a negative correlation with the level of tension, which means that the better the quality of sleep, the level of tension will decrease. a person with less or too long sleep tends to experience body imbalance which is characterized by frequent illness, sluggishness, lack of enthusiasm, often being sick and can have implications for hypertension due to toxins that interfere with the flow of oxygen in the blood so that it burdens the heart (basit, et. al. 2016). psychic changes that occur in the elderly as a form of anxiety and restlessness in the elderly, will begin to think towards death and think about their 69gustina, dita, causing factors of degenerative disease to ... physical conditions that are much different in their youth, if not resolved will cause stress which can affect physical health and the spiritual health of the elderly. 4. smoking habits and degenerative diseases the correlation in elderly women based on the results of research data, the distribution of respondents according to smoking habits is divided into 2, namely the elderly who have or still smoke and the elderly who do not smoke. smoking behavior is inhaling tobacco smoke which has turned into cigars and then ignited. there are two types of smoking. the first is smoking directly, called active smokers, and the second is those who indirectly smoke cigarettes. but also inhaling cigarette smoke is called passive smoking. various kinds of human behavior in response to the stimulus it receives, one form of human behavior that can be observed is smoking behavior (sukmana, 2008). smoking habits can be a triggering factor for degenerative disease when you are elderly, such as dwiretnaningsih’s 2015 study on smoking behavior with hypertension in the elderly, the results of bivar ia te ana lysis showed tha t ther e wa s a significant correlation between smoking behavior and the incidence of hypertension p (0.000) <0.05. mea nwhile, a ccording to the r esults of the correlation coefficient analysis, it was obtained p 0.481 which means that there is a fairly close correlation between smoking behavior and the incidence of hypertension. 5. health care providers and degenerative diseases correlation in elderly women the results showed that the elderly who were not supported by health workers were higher (87.5%) than the elderly who were not supported by health workers. in rw 05, hamlet village, there are elderly posbindu, according to the informant cadres, it is just not always active because there are not always health workers on duty at the post. according to the world health organization (who) the age limit for the elderly is 60 years and over. elderly blood pressure can be fluctuating and can not be predicted well. sometimes, an elderly person can have low blood pressure and then jump high after only a few moments. hypertension in the elderly will increase the risk of having a stroke in the future. in addition, it also increases the risk of experiencing kidney damage, heart disease, and many other serious health problems if there is no management and monitoring of blood pressure properly. early detection and proper handling of hypertension through routine blood pressure checks at the ptm posbindu a ctivities is a n effor t to pr event complications due to hypertension. posbindu elderly is a puskesmas program with the target being the elderly (60 years and over), besides that it is also aimed at pre-elderly (45-59 years) with the aim of being ready to face old age independently and healthily. elderly services at posbindu include checking of daily activities, weighing, measuring body height, measuring blood pressure, health education, simple laboratory tests (blood sugar levels, uric acid, cholesterol), mental and emotional status checks, simple medication and referral efforts if needed as well as other social activities from other sectors whose activities are car ried out once a month. periodic medica l examinations and health consultations for the elderly are the key to the success of efforts to maintain the health of the elderly, even though they are not sick, the elderly group needs to have their health checked regularly, because with these periodic checks, the condition of the disease can be identified better and if there ar e fa ctors. who a re a t risk ca n be pr evented immedia tely (depkes ri, 2005 dalammeilita, 2017). posbindu services for the elderly as a form of support for health workers in the area where they live can help improve the quality of healthy life for the elderly in the area. conclution 1. variables related to degenerative disease in the elderly womens were diet, physical activity, resting patterns, and health care support, while the variable not related to degenerative disease in the elderly was smoking habits, this was due to the proportion of respondents who had smoked and had degenerative diseases were less. 2. based on the research of the elderly with their habit, the elderly who had poor physical activity, bad diet, less daily activities, resting patterns had a greater percentage of experiencing 70 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 1, april 2021, page 64–70 degenerative diseases than those with good habit. suggestion 1. the need for further research on the correlation of activity patterns in the elderly in other aspects of the risk of degenerative diseases in the elderly. 2. more comprehensive support from health workers in the form of assistance to the community, especially during the climacteric period, to reduce the r isk of developing degenerative diseases. 3. it is necessary to activate the posyandu for the elderly in each rw to monitor the health of the elderly community and to become the smallest forum in the community to foster and prepare for the elderly who are independent, healthy and happy. references albertina madeira. 2019. hubungan gangguan pola tidur dengan hipetensi pada lansia. journal ilmiah keperawatan. vol.4, no.1 tahun 2019. arah kebijakandan optimalisasi tenaga kesehatan menghadapi revolusi industri 4.0 fakultas ilmu kesehatan isbn978-602-0791-41-8. azwar, azrul. 2010. pengantar administrasi kesehatan. tangerang: bianarupa aksara publiser. barnes, d.e. program olahraga diabetes. yogyakarta: citra aji parama; 2011 buletinjendela data daninformasikesehatanlansia, 2013. semester 1. darmojo & martono. 2007. buku ajar geriatri. jakarta : fkui . departemen kesehatan ri. 2002. badan pusat statistik. jakarta. fatmah. 2010. gizilanjutusia. jakarta: erlangga. kemenkes ri. situasilansia di indonesia tahun. 2017 kurniawijaya, aktifitasfisiklansia, fakultas keperaatan universitas airlangga surabaya. https://ejournal. unair.ac.id/mgi/article/view/4388 lee, l.l., arthur, a., & avis, m. (2008). using self-efficacy t h eor yt o devel op i n t er ven t i on s t h a t helpolderoepole over comepsychological barriers t o ph ysi cal a ct i vi t y: a di scussi on pa per. international journal of nursing studies, 45, 1690–1699. lilik ma’rifatul. 2011. keperawatan lanjut usia. yogyakarta : grahailmu. nugraheni, s.d (2005). hubungan antara kecerdasan r uhani ah de ngan k e c e masan me nghadapi kematian pada lanjut usia. jurnal ilmiah psikologi insight tahun, 2 ó7-9 retnaningsih,dwi., perilaku merokok dengan kejadian hipertensi. https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/ psn12012010/article/view/2284 riskesdaslansia, 2013 https://www.kemkes.go.id/ resources/download/general tamher, s & noorkasiani. 2009. kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan. jakarta. penerbit salemba medika. tria auliya maratus sholikhah, prosiding1st seminar nasional dan callfor paper. widuri. 2010. perbedaan kwalitas tidur lansia yang tinggal bersama https://ejournal.almaata.ac.id/ index.php/jnki/article/download/21/20 world health organization (who). global status report on noncommunicable disease. 2010-2011. yusrina, nisa. 2015. gambaran pengetahuan lansia mengenai senam lansia di panti sosial tresna werdha budi pertiwi kota bandung. upibandung. e:\ibuk\ners desember 2021\20- 393calle, aquino, la-riva, systematic review: tele-nursing a universal access to care for oncology patients systematic review: tele-nursing a universal access to care for oncology patients yuli pilar osorio-calle1, katterin joely sebastián-aquino2, mónica elisa meneses-la-riva3 1,2,3departamento de enfermería, instituto nacional de enfermedades neoplásicas, perú jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 11/06/2021 accepted, 19/10/2021 published, 15/12/2021 keywords: tele-nursing, self-care, education and oncology patients article information abstract telenursing is a way of caring for and educating oncology patients to promote self-care management at home. the objective of the study was to analyze the scientific evidence on telenursing in the care of oncology patients. this was a systematic and descriptive review in spanish, portuguese and english which was available in 3 databases: bmc, pubmed and scielo. the articles were selected in english, spanish and portuguese with data from 2010-2020. it was found that tele-nursing, a new form of access to the care service provided by nursing professionals to patients with oncology treatment, including technological tools allow a direct and timely relationship to respond to the detection of adverse events after chemotherapy, promote self-care and control and monitor the patient’s health status at home. conclusions: there is a need to use tele-nursing as an opportunity to care for the patient at home through virtual means by providing relevant information to promote self-care and quality of life. © 2021 journal of ners and midwifery 393 correspondence address: instituto nacional de enfermedades neoplásicas – suquillo, peru p-issn : 2355-052x email: ypilar0210@hotmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p393–400 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p393-400&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 394 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 393–400 introduction cancer is a public health problem that has been increasing in recent times according to the world health organization (who), which reported that more than 138 million new patients are diagnosed with cancer (oms,2014). in this regard, the pan american health organization (paho) indicated that in the countries of the americas and the caribbean cancer is the second leading cause of death, predicting that by 2030, the incidence will be greater than 572,000 cases (ops,2018). in view of this situation, most cancer patients receive the treatment of choice, such as chemotherapy, which is applied in different schemes and constitutes a va riety of antineoplastic dr ugs (oms,2014). these drugs have pharmacological action on the cells that are present in the organism and have an effect on cancer cells or not, causing destruction also of healthy cells, these drugs called cytostatics, have collateral or adverse effects on people, depending on the amount and time of treatment (fundación para la excelencia y la calidad de la oncología, 2015). it should be noted that the adverse effects of chemotherapy that occur in patients are: nausea and vomiting occur in 35 to 80% of patients with cancer, appearing late in a period after 5 days of having received the treatment and in some cases acutely before 24 hours (oms,2014). in fact, the problems that can occur are: alopecia, fatigue and potentially fata l effects such as plateletopenia (vida ll, fernández-ortega et al. 2015) (cancer institute, 2017) causing these symptoms of deterioration of the oncologic patient’s well-being and quality of life (ca r neir o, bezer r a, fr eire, alves, ca rta xo, alencar,2019). indeed, the oncology patient requires professional nursing care where the health condition is monitored, controlled and can be followed up continuously to provide relief and comfort, for which the nursing professional must use all the means of communication in recent decades, such as the different virtual platforms offering medical services and nursing consultations to meet the information needs regarding their health condition. the care approach to oncology patients should provide accompaniment, information support and counseling to reduce post-chemotherapy adverse effects (ca r neir o, bezer r a, fr eire, alves, ca rta xo, alencar,2019). undoubtedly, the follow-up phase is one of the steps that is contributing to make the trajectory of a cancer patient to that of a cancer survivor as less traumatic as possible (graff, blanchard, thariat, racadot & lapeyre, 2019). information and communication technology in the field of health has become a tool for a variety of resources, techniques and processes that are used to store, process and transmit relevant information required by cancer patients to respond to their health problems (carneiro, bezerra, freire, alves, cartaxo, alencar, 2019). likewise, the recent and rapid advances in informatics and telecommunications are showing the production and management of information through codes, texts, images, sounds (garcia, navarro, lópez & rodríguez, 2014). the monitoring of side effects should be integrated into nursing practice as a routine task, because it has been seen that it is essential to have post chemotherapy information collected by telephone, for example, post chemotherapy toxicity, to be attended in a timely manner. when the information is permanent, the patient has access to reach the facilities as soon as possible (breen, ritchie, schofield, et al.,2015). thus, the world health organization (who) points out that telemedicine is increasingly spoken of and emphasizes that it is nothing more than making efficient and economical use of ict information and communication techniques (oms,2014), (bulechek, et al., 2011). furthermore, in relation to the transfer of the patient to the hospital center and provides comfort to receive care in the comfort of your home, therefore, this phase of monitoring is becoming an important alternative nurse patient communication (alcázar y ambrosio, 2020). education accompanied by technology is an important tool for improving the self-care skills of the ambulatory patient, in addition to favoring the ability to learn and modify life habits in the personal and family sphere based on the decisions made by the informed patient (vialart, 2016). according to alcázar y ambrosio (2020), telenursing is a technological support where various virtual platforms can be used, facilitating interaction with patients to carry out follow-up activities that favor the continuity of nursing care in daily practice (heckel, et al,2018). it should be noted that there is resistance on the part of nurses in the use of the virtual environment. (gonzález, ballesteros, crespo de las heras &perez, 2016). the virtual environment is necessary to improve access to health care, favor knowledge of the dis 395calle, aquino, la-riva, systematic review: tele-nursing a universal access to care for oncology patients ease, compliance with treatment, adaptation to the disease; favor self-care, improve satisfaction indicators, quality of life and reduce visits to medical services and health care costs (qiao, tang, zhang, tian, liu, yang, & ye, 2019).) finally, it is important to know and reflect on the incorporation of technology, especially tele-nursing as a new modality to incorporate in the practice of care, education and care management to sustain the accessibility of health services aimed at individuals, family and community. the reviews establish a systematic search guideline of information sources to clarify and understand this phenomenon as an answer to the research question: what are the scientific evidences available on tele-nursing in the care of oncology patients related to the aspects: timely detection of method the research method was a systematic and descriptive review in spanish, portuguese and english available in 3 databases: bmc, pubmed and scielo. the following descriptors were used: “telenursing” and “oncology patient” and their respective synonyms in english and spanish. the boolean operators “or” and “and” were used, as well as the titles and abstracts in the different databases in the years from 2010 to 2020. the articles were then classified according to the inclusion and exclusion criteria that had been determined. this resulted in the articles that were analyzed. articles were excluded when they did not meet the methodological quality or only had an abstract. the extraction of the articles was based on the author of the article, the year of publication of the article, the number of population or samples used, objective, research design and the results obtained in the article. after obtaining the reviewed article, the editor performed a critical appraisal and the final stage is the graphing of the data. filtering and selection of the articles using the prisma flowchart. the search results using these two keywords yielded 1707 articles. the articles were then filtered using the inclusion and exclusion criteria and 1642 articles were obtained. subsequently, articles were eliminated for duplicity, resulting in 65 articles, and finally, the reading of the abstracts was performed, where 57 articles that did not meet the inclusion criteria were eliminated, leaving 8 articles on the base. records identified in pubmed database 778 items, scielo 20 items, bmc 909 items = 1707 records excluded for not having open access or full text in pdf, or elimination of duplicates, for not meeting the objective a total of 1642 articles. eligible articles a total of 8 articles id en tif ic at io n r ev ie w eligible articles by time interval from 2010 to 2020, a total of 65 full-text open access articles. in cl us io n e lig ib ili ty result table 1 scientific evidence on tele-nursing in the care of oncology patients heckel l., fennell k. m., reynolds j., boltong a., botti, m., osborne, r., mihalopoulos, c., chirgwin, j., williams, m., gaskin, c. j., 2018 80 the aim of this singleblind, multi-centre, randomised controlled trial was to test the efficacy of a telephone outcall program to reduce caregiver burden and unmet needs, and improve psychological randomised controlled trial adherence, measured as the recruitment rate, was 96% (80/83) and the dropout rate was 6% (5/80). during the study period, 3/80 (4%) patients relapsed and 5/80 (6%) patients returned to standard follow-up because they required closer medical observation. it was concluded that a shared care follow-up, supported by researcher year n objective design resul 396 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 393–400 2019 2019 2015 2017 2016 ashley, d. m., & livingston, p. qiao s, tang l, zhang w, tian s, liu m, yang l, ye z . frança a.; rodrigues a.; aguiar m.; silva r.; freitas f.; melo g williamson, s., chalmers, k., & beaver, k. kelly, f., carroll, s., carley, m. stacey, d., green, e., ballantyne, b., tarasuk, j., skrutkowski, m., carley, m., chapman, k., kuziemsky, c., 231 61 26 490 119 well-being among cancer caregivers, as well as evaluating the potential impact on patient outcomes. to compare the effectiveness of nurseled telephone calls plus wechat versus telephone calls only for the pain management of outpatients with cancer. to verify the effectiveness of telenursing in the control of nausea and vomiting induced by antineoplastic chemotherapy this study aimed to explore patient views of tfu. the objective of this study was to adapt and evaluate the acceptability of an evidence-informed symptom practice guide (spg) for use by nurses over the telephone for the assessment, triage, and management of patients experiencing dyspnea due to cancer treatment-related cardiotoxicity. this study aimed to build an effective and sustainable approach for implementing the costars protocols for nurses providing telephone based quasiexperimental study randomized clinical trial qualitative study descriptive study comparative case study pros, was a viable alternative to standard follow-up for patients with bcell disease in remission. patients manifest major problems were constipation, nausea, vomiting and dizziness were lower ( p<0.01), while medication adherence ( p<0.05) and satisfaction with pain management were higher ( p<0.01). nurse-led follow-up phone calls combined with wechat significantly reduced opioid-related health problems such as pain intensity, side effects, and medication adherence the monitoring of telephone calls significantly helps in the control of nausea and vomiting in patients receiving chemotherapy treatment on an outpatient basis. all patients found tfu to be a positive experience and all expressed a preference to continue with (telephone follow-up). three main themes emerged from the patient interviews; 1) accessible and convenient care, 2) personalized care, and 3) relationship with the nurse specialist. the study highlights the lack of knowledge tools and clinical practice guidelines available to guide healthcare professionals in assessing, classifying and/or offering self-care strategies to patients with cardiotoxic dyspnea related to cancer treatment. nurses felt more confident with symptom management and using costars protocols ( p <.01). chart audits revealed that protocols used were documented between 11% and 47% of patient calls. training and other interventions improved nurses’ 397calle, aquino, la-riva, systematic review: tele-nursing a universal access to care for oncology patients kolari, e., sabo, b., saucier, a., shaw, t., tardif, l., truant, t., cummings, g. g., & howell, d. kondo, s., shiba, s., udagawa, r., ryushima, y., yano, m., uehara, t., asanabe, m., tamura, k., & hashimoto, j 2015 253 symptom support to cancer patients using a series of case studies to assess adverse effects through a telephone consultation service for cancer patients receiving outpatient chemotherapy. cohort study confidence in using the costars protocols and their acceptance was evident in some documented phone calls. the protocols could be adapted for use by patients and nurses worldwide. the occurrence of grade 2 or worse aes (hazard ratio = 6.58, p <0.001). changes in planned chemotherapy occurred more frequently in cases of male patients (hazard ratio = 2.70, p = 0.02) and in cases of grade 2 or worse aes (hazard ratio = 6.58, p <0.001).they found that ae assessment by ctcae through a telephone consultation service is useful for both patient classification and prediction of severe aes that may change clinical schedules. discussion scientific evidence made visibly and identified the needs of home care, timely detection to reduce post chemotherapy adverse events and therapeutic demands of oncology patients that favor their selfcare, thus requiring personalized advice from nursing professionals through tele-nursing for control and follow-up of the oncology patient’s health condition. this is supported in three categories which are detailed below. timely detection of adverse events after chemotherapy. international studies indicate that the use of the various virtual platforms such as phone calls were useful for the detection of adverse events after chemotherapy (stacey, green, ballantyne, tarasuk, skrutkowski, carley, et al. 2016). in the case of wechat it helped in monitoring post chemotherapy adverse symptoms, in addition to pain management in oncology patients. in addition to maintaining an adequate management of information, it is also very useful for the reduction of nausea and vomiting associated with chemotherapy (kondo. s. et al 2015). it should be noted that the educational process between patient and nursing professionals has a great pillar which is dialogue, where it is possible to exchange doubts, question treatments or self-care management, transform the individual and collective behavior of the patient and family in learning and modification of life habits which allows them to make decisions in favor of their health, all this is carried out in an atmosphere of trust, a basic aspect for this process to work. (benavent., et al., 2012) (bulechek, et al.,2013) likewise, another important pillar is the permanent monitoring of the patient to identify timely information for effective management and even if necessary to reach the hospital fa cilities immediately (alcázar a nd ambrosio,2019). undoubtedly, technology is an indispensable element in communication and the patient has this resource as an opportunity to strengthen health education favoring holistic care to respond to the needs and therapeutic demands. self-care. these are actions that the person assumes in a mature way daily activities to adopt healthy lifestyles to reduce symptoms and discomfort after chemotherapy (li, g., zhang, s., & xu, b,2019) argue that in tele-nursing it was possible to identify and assess the needs and situations faced by the patient during oncological treatment through telephone calls. this tele-care favors the follow-up and control of the specialized nurses, they provided answers to the problems they presented in the consultation and stated that this form of care is a viable option to achieve timely care and satisfaction with the service provided. patient satisfaction is an indicator that benefits adherence to treatment, self-care and ensures continuity of visits to the health facility. heckel, et al. (2018), indicate that tele-nursing is a viable alternative to standard follow-up for cancer patients in remission. 398 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 393–400 it should be noted that continuity of care was an important factor in building a relationship of trust between the patient and the nurse. this platform is innovative and it may be useful for specialized nurses to meet personally with eligible patients to establish a good therapeutic relationship where selfcare is promoted. on the other hand, williamson et al. (2015), expresses that recruitment adherence is rescued which raises awareness and awareness to promote their own self-care being lower the dropout rate so the author considers that the results are encouraging on the confidence and satisfaction of patients. control and follow-up of the oncologic patient’s health condition. most of the published articles show that patients who come to health institutions need information about their self-care at home. the lack of information brings doubts and fears so they require counseling to address their health problems. for control and follow-up activities, nursing professionals need to innovate in care through virtual media which are technological tools where health education is emphasized to achieve control and follow-up of the oncology patient’s health condition in addition to identifying the effects of chemotherapy post-treatment. these activities based on telephone consultations such as tele-nursing increase recruitment and adherence, while reducing abandonment, guaranteeing an improvement in the quality of life of the individuals, as well as their personal wellbeing (heckel, et al., 2018). likewise, in the care provided, the causes of the self-care deficit of the oncology patient during chemother a py tr ea tment wer e ma de visible (frança, rodrigues, aguiar, silva, freitas & melo, 2019). in this sense, telenursing is a positive experience for the patient in their follow-up and control, besides being an accessible and convenient form of care, it reduces the cost of travel to the health institution and the advice is personalized (williamson, chalmers, beaver, 2015). in fact, the use of these new forms of education through telephone follow-up strengthened education, self-care, reduced hospital visits and controlled post-treatment symptoms with chemotherapy (gonzález, ballesteros, crespo de las heras y pérez,2016). the transcendence of caring is a nursing responsibility according to their institutional functions is to follow up patients, in addition, the nurse is interested in knowing more about the disease, trust between the patient-nurse to promote health education and achieve effective communication. this activity requires knowledge and a clinical practice guideline available to health professionals who are required to assess, classify and/or offer self-ca r e str a tegies to ca ncer pa tients (williamson, chalmers & beaver, 2015). the use of protocols demonstrated that telephone calls to identify postchemotherapy patient symptoms. the prior training nurses received in the use of this protocol provided confidence and patient acceptance was evident through documented calls. the protocols could be adapted for use by patients and nurses worldwide (kelly, carroll, carley, dent, shorr, hu, et al., 2017). undoubtedly, specialized nursing care services through the use of virtual environments allow the strengthening of nurse-patient therapeutic relationships and trust to transmit information to help overcome risk situations, self-care deficits and management of existing health problems. it is important to emphasize that timely information reduces uncertainty and provides wellbeing to favor self-care. conclusion the findings found in the systematic review allow us to evidence that the authors of the articles agree that tele-nursing in the daily work of nurses offers advantages and incorporates professional care through their own care, administrative, research and educational functions in a virtual environment that contributes to improve nurse-patient health communication. in addition, targeted health education allows an adequate response to timely detection to reduce post-chemotherapy adverse events, supports self-care and promotes the control and monitoring of the oncology patient’s health status through technological tools. at present, tele-nursing in the face of social isolation has become an answer to continue offering nursing services to support self-care at home, promote quality of life and provide wellbeing in the face of the disease, the implication of not having these means is an obstacle to providing timely and quality care. suggestions it is necessary to implement a care guide to carry out this educational activity through tele-nursing. it is also important to train nurses to achieve skills in the use of virtual platforms. 399calle, aquino, la-riva, systematic review: tele-nursing a universal access to care for oncology patients references alcázar b, and ambrosio l. (2019) tele-enfermería e n pacie nt es crónicos: re visión sistemática. anales sis san navarra; 42( 2 ): 187-197. epub 02-mar-2020. https://dx.doi.org/ 10.23938/assn.0645. benavent, g., ferrer, e., fransisco, j., camaño, r., gomez, c., hernandez, martinez., miralles, m. (2012). difusión avances de enfermería (dae). dialnet. 9193, 343392. https://dialnet.unirioja.es/ servlet/libro?codigo=655756 breen, s., ritchie, d., schofield, p., hsueh, ys, gough, k., santamaria, n., kamateros, r., maguire, r., kearney, n. y aranda, s. ( 2015). el sistema de gestión de síntomas e intervención remota del pacie nt e (prisms): una intervención mediada por telesalud que permite el seguimiento en tiempo real de los efectos secundarios de la quimiote rapia en pacie nt e s con neoplasias hematológicas: protocolo de estudio para un ensayo controlado aleatorizado. trials , 16 , 472. https://doi.org/ 10.1186/s13063-015-0970-0 bulechek, g. butchet, h.,dochterman, j.,wagner, c., (2013). clasific ación de intervenc iones de enfermería. 5ta. ed. españa: elsevier; 2011.p. 23, 509, 546, 590, 594, 699. https://www.academia.edu/ 3 7 3 7 6 1 0 4 / c l a s i f i c a c i o n _ d e _ intervenciones_de_enfermeria_nic cancer institute n. common terminology criteria for adverse events (ctcae) (2017). common terminology criteria for adverse: https:// c t e p . c a n c e r . g o v / p r o t o c o l d e v e l o p m e n t / e l e c t r o n i c _ a p p l i c a t i o n s / d o c s / ctcae_v5_quick_reference_5x7.pdf carneiro a., bezerra a., freire m., alves r., cartaxo f., alencar g. (2019)telenursing for the control of chemotherapy-induced nausea and vomiting: a randomized clinical trial. texto e context enferm;28. http:// dx.doi.org/10.1590/1980-265x-tce-2018-0404 fundación para la excelencia y la calidad de la oncología. (2015) a health report. efectos secundarios de la quimioterapia. madri d. ht tp: // www.fundacioneco.es/wpcontent/uploads/2014/04/ 3.toxicidad_de_quimioterapia.pd frança, a., rodrigues, a.,aguiar, m.,silva, r., freitas, f., & melo, g.,(2019). telenursing for the control of chemotherapy-induced nausea and vomiting: a randomized clinical trial. texto & contexto enfermagem. 28. doi: https://doi.org/10.1590/1980-265x-tce-2018-0404  graff, p., blanchard, p., thariat, j., racadot, s., & lapeyre, m. (2019). surveillance après traitement d’un cancer cervicofacial [post-treatment follow-up of head and neck cancer patients]. cancer radiotherapie : journal de l a soc ie t e f ranc ai se de radi ot he rapi e oncologique, 23(6-7), 576–580. https://doi.org/ 10.1016/j.canrad.2019.06.006 garcía, h., navarro, l., lópez, m. & rodríguez, m. (2014). tecnologías de la información y la comunicación en salud y educación médica. edumecentro, 6(1), 253-265. http:// s c i e l o . s l d . c u / s c i e l o . p h p ? s c r i p t = sci_arttext&pid=s2077-28742014000100018 &lng=es&tlng=es gonzález, m., ballesteros, a. crespo de las heras ,m., & pérez ,a (2016). intervenciones de tele enfermería efectivas en atención primaria: re visión sist emát ica. evidentia. 13(55-56) http://www.index-f.com/ evidentia/n55-56/ev10496r.php heckel, l., fennell, k. m., reynolds, j., boltong, a., botti, m., osborne, r. h., mihalopoulos, c., chirgwin, j., williams, m., gaskin, c. j., ashley, d. m., & livingston, p. m. (2018). efficacy of a telephone outcall program to reduce caregiver burden among caregivers of cance r patie nts [prot ect ]: a randomised controlled trial. bmc cancer, 18(1), 59. https://doi.org/10.1186/s12885-0173961-6. kelly, f., carroll, s.l., carley, m. (2017). symptom practice guide for telephone assessment of patients with cancer treatment-related cardiotoxic dyspnea: adaptat ion and e valuation of acceptability. cardio-oncology. 3, 7 https:// doi.org/10.1186/s40959-017-0026-6 kondo, s., shiba, s., udagawa, r., ryushima, y., yano, m., uehara, t., asanabe, m., tamura, k., & hashimoto, j. (2015). assessment of adverse events via a telephone consultation service for cancer patients receiving ambulatory chemotherapy. bmc research notes, 8, 315. https://doi.org/10.1186/s13104-0151292-8 li, g., zhang, s. x., & xu, b. (2014). effects of nurseled telephone follow-up for discharged pat ie nt s tre ate d wit h chemotherapy. asia-pacific journal of oncology nursing, 1(1), 46–49. https://doi.org/10.4103/ 2347-5625.135820 majem, m., galán, m., pérez, f. j., muñoz, m., chicote, s., soler, g., navarro, m., martínez-villacampa, m., garcía del muro, x., dotor, e., laquente, b., & germà, j. r. (2007). the oncology acute toxicity unit (oatu): an outpatient facility for improving the management of chemotherapy toxicity. clinical & translational oncology : official publication of the 400 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 393–400 federation of spanish oncology societies and of the national cancer institute of mexico, 9(12), 784–788. https://doi.org/10.1007/s12094-007-0140-2 pan american health organization (2018). a health report. breast cancer in the americas. h t t p s : / / w w w. p a h o . o r g / e s / d o c u m e n t o s / epidemiologia-cancer-mama-americas-2018 qiao, s., tang, l., zhang, w., tian, s., liu, m., yang, l., & ye, z. (2019). nurse-led follow-up to outpatients with cancer pain treated with opioids at home-telephone calls plus wechat versus telephone calls only: a quasi-experimental study. patient preference and adherence, 13, 923–931. https://doi.org/ 10.2147/ppa.s203900 stacey, d., green, e., ballantyne, b., tarasuk, j., skrutkowski, m., carley, m., chapman, k., kuziemsky, c., kolari, e., sabo, b., saucier, a., shaw, t., tardif, l., truant, t., cummings, g. g., & howell, d. (2016). implementation of symptom protocols for nurses providing telephone-based cancer symptom management: a comparat ive case study. worldviews on evidence-based nursing, 13(6), 420–431. https://doi.org/10.1111/ wvn.12166 vialart, n. (2016). las tecnologías de la información y las comunicaciones: un desafío para la gestión del cuidado. revista cubana de enfermería, 32(1). doi:  http:// revenfermeria.sld.cu/index.php/enf/article/view/ 649/158 vidall c, fernández-ortega p, cortinovis d, jahn p, amlani b, scotté f. (2015) impact and manage me nt of hemotherapy/radiotherapy-induced nausea and vomiting and the perceptual gap between oncologists/oncology nurses and patients: a cross-sectional multinat ional surve y. support care canc er. 23(11):3297–305. doi: https://doi.org/10.1007/ s00520-015-2750-5 williamson, s., chalmers, k., & beaver, k. (2015). patient experiences of nurse-led telephone follow-up following treatment for colorectal cancer. european journal of oncology nursing : the official journal of european oncology nursing society, 19(3), 237–243. https://doi.org/10.1016/j.ejon.2014.11.006 world health organization. (2014). a report on health . breast cancer: prevention and control. geneva, suiza. http://www.who.int/cancer/ events/breast_cancer_month/es/ world health organization. (2014) a reporto n health. cancer, treatment of cancer.https:// www.who.int/cancer/treatment/es/ 303 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk gadget use duration and its impact on learning motivation and social development of children tri peni1, siti indatul laili2, tri ratnaningsih3 1,2,3nursing departement, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract development in communication technology such as smartphones and the internet are able to easily solve all information needs. however, there are many misuses of the sophistication of these tools by many children. this study aimed to determine the impact of using gadgets on learning motivation and children's social development at islamic elementary school yaabunayya mojokerto. the design of the study used cross-sectional analysis. the population was all students at islamic elementary school yaabunayya with a total of 146 children. the sampling technique used purposive sampling with the inclusion criteria of children in grades two to six who were willing to be researched with the consent of their parents. samples that meet the inclusion criteria were 85 respondents. the instruments used were the motivated strategies for learning questionnaire (mslq) and vineland social maturity scale (vsms). data analysis used the spearman rho test. the results of the analysis found that there was a correlation between the duration of using gadgets and the social development of children with a ρ value (0.013). children who don’t play with gadgets tend to look for playmates who can improve social development. the results of the study there is no correlation between the duration of gadget use and learning motivation in children with a ρ value (0.095). this is because children use gadgets to get lots of interesting lessons on the internet. for this reason, parents are expected to always accompany their children in using gadgets. history article: received, 23/06/2022 accepted, 08/12/2022 published, 15/12/2022 keywords: gadgets, social development, learning motivation © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : peni.ners@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p296-302 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:peni.ners@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p296-302 304 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 303-310 introduction in this modern era, all aspects of life can be solved easily. one of them is in the field of communication technology such as smartphones and the internet. the presence of gadgets has indeed become a major need for children and adults. gadgets are a communication tool and can help make other activities easier (pebriana, 2017). however, many children find the use sophistication of these tools by many children. they use gadgets for useless things, so it takes time to study and is getting lazy to study. they prefer to be alone with their gadgets, so they don't want to interact with their environment. when children start to get addicted to playing with gadgets, children will be too busy playing without caring about their surroundings. (zulfitria, 2018) children who are in the range of 6-12 years essentially undergo developmental tasks in the form of abilities that must be mastered by elementary school children (khaulani, s and irdamurni, 2020). however, many factors decrease children's learning motivation, one of which is influenced by the development of increasingly sophisticated gadgets. so they are increasingly lazy to open books, look for textbooks, and rarely read books (masithoh et al., 2020). likewise, the social development of children in the modern era has decreased due to the habit of children who prefer to spend their time playing with gadgets rather than playing with their friends. social development is the achievement of maturity in social relations which includes the ability to be independent, socialize and interact with the environment (yusuf, 2017) in children who experience social development disorders, it is feared that it can cause children to have difficulty in adjusting to the social environment, children have difficulty in various demands in their groups, are less independent in thinking and behaving, as well as disturbances in the formation of children's selfconcepts. according to the association of indonesian internet service providers (apjii), there are 25.1% of elementary school-age children use the internet. duration of internet use in a day 43.89% use 1-3 hours a day, 29.63% use the internet 4-7 hours a day, and 26.48% use it > 7 hours a day (asosiasi penyelenggara jasa internet indonesia, 2018). the results of the study by istoqomah in semarang showed that the intensity of the use of gadgets by students was included in the good category of 85.92%, the sufficient category was 14.07% and the students' learning motivation was included in the very good category of 8.15%, the good category is 85, 19%, and the sufficient category is 6, 67%. the use of gadgets contributes 23.1% to children's learning motivation (istiqomah, 2019). the results of research by nikmah in surabaya show that the influence of smartphone use and the use of elearning on learning motivation is 44.8%. (nikmah, 2020). damayanti et al in their research found that excessive use of gadgets has a negative impact on aspects of children's physical and psychomotor development, cognitive, social, emotional, moral and language development. (damayanti, ahmad and bara, 2020) students who use gadgets intensely for things that are less related to the academic field such as often playing games, accessing entertainment, and addiction to social media are obstacles to students' learning motivation to achieve achievement. even the development of gadgets that are increasingly attractive and offer modern features can be a special attraction so that children tend to choose to use gadgets over other things such as studying and doing assignments (sobon and mangundap, 2019). gadgets not only affect the mindset or behavior of adults but also affect the behavior of children, especially the development of social interaction. gadget dependence on children is caused by the long duration of using gadgets. playing for a long enough duration and done every day can make children develop antisocial personalities. (witarsa et al., 2018) the main factor that causes the high level of gadget use in children is parents who lend their smartphones and tablets to their children. (sari and nurjanah, 2020) the introduction of children to gadgets usually starts with the wrong way of diversion from parents or family in the hope that the child will not be fussy or stop crying. starting from the wrong diversion, it has indirectly introduced children to gadgets which can later trigger a child's curiosity to be more about gadgets. children cannot adapt to the outside environment and their friends because the features in games or videos are more interesting (wijanarko and setiawati, 2016). efforts that can be made to overcome gadget addiction in children are to limit the length of use of gadgets and provide the right schedule for playing with gadgets. set a gadget-free area in homes such as the dining table, bedroom, and car. teach children about the importance of refraining from playing with gadgets and following existing rules. and set a good example for children not to always peni, laili, ratnaningsih, gadget use duration and its impact on learning motivation and … 305 play with gadgets and take time to play with children. anak. adjusting to the times of gadget use cannot be eliminated. parents can give gadgets to children according to their needs, for example directing children to use gadgets for education for example coloring, puzzles, and others (sunita and mayasari, 2018). based on this background, researchers are interested in researching the impact of using gadgets on learning motivation and children's social development at islamic elementary school yaabunayya, mojokerto regency. method the design of the study used cross-sectional analytic. the population was all students at islamic elementary school yaabunayya with a total of 146 children. the sampling technique used purposive sampling with the inclusion criteria of children in grades two to six who were willing to be researched with the consent of their parents. samples that meet the inclusion criteria were 85 respondents. the independent variable in this study was the use of gadgets in children. the dependent variable was learning motivation in children and social development in children. the instrument used to measure the variable duration of gadget use was a questionnaire, children's learning motivation was used by the motivated strategies for learning questionnaire (mslq) and to measure the social development of children using a social maturity scale questionnaire or vsms (vineland social maturity scale). the data analysis used spearman rho correlation test to test the correlation between the independent variable and the dependent variable. the limit of significance, if the p-value <0.05, the result of a statistical calculation is significant, otherwise if the p-value is > 0.05, the result is not significant. result table 1: distribution of respondents in islamic elementary school yaa bunayya mojokerto based on table 1, shows that almost all of the children live with their parents, namely 82 respondents (96.5%), most of the children are accompanied when studying as many as 70 respondents (82.4%). more than half of children using gadgets are often supervised by their parents, namely 45 respondents (52.9%). most characteristics of respondents frequency percentage children live together parent grandmother/ grandfather 82 3 96,5 3,5 when learning children accompanied independent 70 15 82,4 17,6 parental supervision in using gadgets always often sometimes never 23 45 17 0 27,1 52,9 20 0 duration of using gadgets for entertainment (other than for learning needs) ≤ 2 hours > 2 hours 63 22 74,1 25,9 social development low medium high 20 44 21 23,5 51,8 24,7 motivation to learn low medium high 1 36 48 1,2 42,3 56,5 306 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 303-310 children use gadgets for 2 hours, namely 63 children (74.1%), most of the children's social development is medium, namely, 44 respondents (51.8%), and most children have high learning motivation, 48 respondents (56.5%). table 2: cross-tabulation of the duration of gadget use with children’s social development the results of the cross-tabulation in table 2 show that most children use gadgets for entertainment (other than for learning needs) for ≤ 2 hours and have medium social development, namely 32 respondents (37.6%). the results of the spearman rho correlation test using spss obtained a value of value (0.013) < (0.05) so that ho is rejected and h1 is accepted, which means that there is a correlation between the duration of gadget use and the level of children's social development. table 3: cross-tabulation of the duration of the use of gadgets with children's learning motivation. the results of the cross-tabulation in table 3 show that for most children the duration of using gadgets for entertainment (other than for learning needs) ≤ 2 hours has high learning motivation, namely 33 respondents (38.8%). spearman rho test results show that p-value = 0.095 means that there is no correlation between the length of use of gadgets with learning motivation in children. discussion the correlation between the duration of gadget uses and children's social development the results showed that most of the children lived with their parents as many as 82 children (96.5%). most of the children in a day use gadget for entertainment (excluding learning needs) for ≤ 2 hours, namely 63 respondents (74.1%). the crosstabulation shows that most children using gadgets with a duration of ≤ 2 hours have medium social development, namely 32 respondents (37.6%). the results of the spearman rho correlation test obtained the value of value (0.013) < (0.05), meaning that there is a correlation between the duration of gadget use and the level of social development of children. the results of this study are in line with research by munawar and zuhri at hidayatullah islamic kindergarten semarang, with the value of t count > t table (5.063 > 2.042) with p = 0.000. the results of this study indicate that there is a significant effect of using gadgets on the social development of early childhood, namely the use of gadgets hurts children's social development (munawar and zuhri, 2018). likewise, with the results of research using a systematic literature review by analyzing 7 national journals, it was found that there was a significant influence between the use of gadgets on the social development of children aged 3-5 years. (setiani, 2020) gadgets have both positive and negative impacts. the positive impact of using gadgets facilitates communication, increases knowledge, adds friends, and the emergence of new learning methods, while the negative impact of time is wasted, disturbing health, difficulty concentrating in the real world, elimination interest in playing activities or doing activities. children who use gadgets in overload time from the specified limit make them addicted and less sensitive to the duration use of the gadget social development total low medium high f % f % f % f % ≤ 2 hours 12 14,1 32 37,6 19 22,4 63 74,1 > 2 hours 8 9,4 12 14,1 2 2,4 22 25,9 total 20 23,5 44 51,7 21 24,8 85 100 p value 0,013 duration use of the gadget motivation to learn total low medium high f % f % f % f % ≤ 2 hours 1 1.2 29 34,1 33 38,8 63 74,1 > 2 hours 0 0 7 8,2 15 17,7 22 25,9 total 1 1,2 36 42,3 48 56,5 85 100 p value 0,095 peni, laili, ratnaningsih, gadget use duration and its impact on learning motivation and … 307 surrounding environment. almost all of them are individual and passive in their interactions. they also prefer passive games with their gadgets rather than playing with their peers (damayanti, ahmad, and bara, 2020). this can hinder the social development of children, especially children who are still of school age. social development is the achievement of maturity in social correlations. it can also be said as a learning process to conform to group norms, traditions, and morals (religion). children's social development is strongly influenced by the process of parental treatment or guidance for children in introducing various aspects of social life, or norms of social life and encouraging and providing examples to their children on how to apply these norms in everyday life. one of the factors that influence social development is the use of gadgets. excessive use of gadgets will make children addicted and less sensitive to the surrounding environment. the high social development of children is since in addition to good parenting from parents, teaching from teachers is well received by children so that they can shape children's character in their social life. the results of interviews with teachers at schools said that in addition to learning activities at school, there was also a cooking class and the food was eaten together, at school they were also taught how to share food where if there were children who brought lunch and other friends who didn't have them, they shared with their friends. in addition, children are also taught to be independent in class, for example, children must tidy up each table when they finish studying, and children also tidy up stationery that has been used. this activity will increase children's awareness of their friends and children's social development for the better. development is a change that is progressive, directed, and integrated. social development is obtained from maturity and learning opportunities from various environmental responses to children in various periods of child development. social development is the level of interaction of children with other people, ranging from parents, siblings, and playmates, to society at large. in the process of socializing children with the environment, children need peers, but attention from parents is still needed to monitor who children will hang out with. when children reduce their time playing with gadgets, the better the level of social development. at school-age children are expected to be able to socialize with new environments, get to know the environment outside the home, and will meet their peers. the correlation of the long use of gadgets with children's learning motivation the results of the cross-tabulation in table 3 show that most children using gadgets for entertainment ≤ 2 hours have high learning motivation, namely 33 respondents (38.8%). spearman rho test results show that p-value = 0.095 means that there is no correlation between the length of use of gadgets with learning motivation in children. the results of qualitative study that has been carried out on fifth-graders at sd negeri 2 pringtulis mayong stated that gadgets have positive and negative impacts. from the results of the learning scores of fifth-grade elementary school students during the middle of the semester, it can be seen that eighteen students who use gadgets are included in the pretty good category because many students have an average score above the kkm, which is 70 with a score of 71-86 and only three students get three points. students who score below the kkm are 68-69 (rachman, khb and setianingsih, 2021). research conducted by wulandari where the results show that there is a significant influence between the use of gadgets on the learning motivation of fifth-graders at sd negeri dabin vi, keuntungan district, brebes regency. the existence of an effect is proven from the results of the study, the value of count > t table is 5.055 > 1.976. the correlation value of 0.387 indicates that there is a low correlation between the use of gadgets and learning motivation (wulandari, 2020). the results of the research at medan public elementary schools and private elementary schools in grade 4 children obtained a correlation between the length of playing gadgets on the mental-emotional behavior of elementary school students with a p-value of 0.0001 (p < 0.05) (wahyuni et al., 2019). the use of gadgets that are applied in teaching and learning sessions at schools is mostly to increase student motivation in learning by using a more relaxed and effective method (sandi, journal and 2020, 2021). many people assume that knowledge can not only be obtained from reading books but also through the internet which is easily accessible using gadgets, especially smartphones. 308 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 303-310 people prefer to take advantage of the ease of accessing the internet to find information, news, and new and old knowledge by using gadgets rather than going to look for books or archives in the library (augusta, 2018). high learning motivation that occurs in children who use gadgets > 2 hours a day is because many children can take lessons from what they see on gadgets such as playing games, so children can learn english because most online games use english, and other games are educational, sometimes children also watch youtube to learn something that makes children curious and can't solve it, then children will find out through videos on youtube. the use of gadgets can motivate children to learn because they will look for something they do not understand using gadgets. games in gadgets are also not completely unbeneficial to children, many games are designed to be educational so that they can provide learning for children. using gadgets makes it easier for children to learn because they don't need to open and search in books which takes a long time compared to searching on the internet so children are more motivated to learn even though they often use gadgets. the use of gadgets for recreation as well as for learning from entertainment and videos watched on the internet can get many lessons so that children are more interested in learning by using the internet because they find it easier and faster. conclusion the results showed that there was a correlation between the duration of gadget use and the level of social development in school-age children. the fewer children play with gadgets, the better the level of social development. children who rarely play with gadgets tend to look for friends to play with who can improve their ability to interact with friends around them so that there is an increase in social development. study results in there is no correlation between the length of use of gadgets with learning motivation in school-age children. the longer the child uses the gadget, the lower the learning motivation of the child. this is because the use of gadgets for entertainment and videos watched on the internet can get many lessons so that children are more interested in learning by using the internet and find it easier and faster to access the knowledge needed. suggestion parents are expected to carry out strict supervision of the use of gadgets in their children. using gadgets for learning and limiting the use of gadgets for entertainment to a maximum of 2 hours a day with parental assistance. the schools, it is compared to giving directions so that students make more use of gadgets for learning activities by playing. acknowledgments thank you to the head of stikes bina sehat ppni mojokerto for their support by granting research permits, and to the head of lppm for research funding support. thank you to the head of islamic elementary school yaa bunayya for the permission as a research location and to all students who are willing to be respondents in this study funding this project received funding from lppm stikes bina sehat ppni mojokerto conflicts of interest the authors declared there is no potential conflict of interest in the article. authors contribution tri peni as author 1 carried out the task of compiling and designing research designs, collecting data, analyzing data, and making manuscripts. siti indatul laili as author 2 carried out the task of helping collect data and assist with data processing. tri ratnaningsih as author 3 carried out coordinating and collecting data. all authors read, provide input and approve the final manuscript reference asosiasi penyelenggara jasa internet indonesia (2018) ‘potret zaman now, pengguna & perilaku internet indonesia’, apjii, pp. 1–7. augusta, g. (2018) ‘pengaruh penggunaan smartphone terhadap prestasi belajar mahasiswa melalui motivasi belajar’, skripsi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan universitas sana dharma, p. 109. damayanti, e., ahmad, a. and bara, a. (2020) ‘dampak negatif penggunaan gadget berdasarkan aspek perkembangan anak di sorowako’, martabat: jurnal perempuan dan anak, 4(1), pp. 1–22. doi: 10.21274/martabat.2020.4.1.1-22. peni, laili, ratnaningsih, gadget use duration and its impact on learning motivation and … 309 istiqomah, w. (2019) ‘hubungan intensitas penggunaan gadget dan motivasi belajar dengan hasil belajar ips kelas v sd negeri gugus drupadi kecamatan gunungpati semarang’, skripsi: universitas negeri surabaya, pp. 1–146. khaulani, f., s, n. and irdamurni, i. (2020) ‘fase dan tugas perkembangan anak sekolah dasar’, jurnal ilmiah pendidikan dasar, 7(1), p. 51. doi: 10.30659/pendas.7.1.5159. masithoh, a. r. et al. (2020) ‘the correlation between gadget and learning motivation towards insomnia incident of the nursing students’, 27(icosheet 2019), pp. 284– 287. doi: 10.2991/ahsr.k.200723.071. munawar, m. and zuhri, p. r. a. (2018) ‘the influence of gadgets on early childhood social development in hidayatullah islamic kindergarten school semarang’, indonesian journal of early childhood education studies, 7(2), pp. 125–129. available at: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ijec es. nikmah, c. (2020) ‘pengaruh penggunaan smartphone dan e-learning terhadap motivasi belajar dalam masa pelatihan kerja ( the effect of smart phone use and elearning on learning motivation in on the job training )’, 5(2), pp. 214–233. doi: 10.17509/jpm.v4i2.18008. pebriana, p. h. (2017) ‘analisis penggunaan gadget terhadap kemampuan interaksi sosial pada anak usia dini’, jurnal obsesi : jurnal pendidikan anak usia dini, 1(1), p. 1. doi: 10.31004/obsesi.v1i1.26. rachman, a. s., khb, m. a. and setianingsih, e. s. (2021) ‘an analysis of the use of gadget on students’ learning outcome (case study)’, international journal of elementary education, 4(4), pp. 558–565. available at: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/ij ee/article/view/31917. sandi, r., journal, y. t.-w. of n. and 2020, undefined (2021) ‘hubungan kebiasaan bermain gadget dengan prestasi belajar pada anak usia sekolah’, jurnal.fkm.umi.ac.id, 01(02), pp. 98–104. sari, d. a. and nurjanah, a. l. (2020) ‘hubungan game online dengan perkembangan emosional anak usia 5-6 tahun’, jurnal obsesi : jurnal pendidikan anak usia dini, 4(2), p. 994. doi: 10.31004/obsesi.v4i2.344. setiani, d. (2020) ‘the effect of gadget usage on the social development of children aged 3-5 years: literature review’, strada jurnal ilmiah kesehatan, 9(2), pp. 1732– 1739. doi: 10.30994/sjik.v9i2.526. sobon, k. and mangundap, j. m. (2019) ‘pengaruh penggunaan smartphone terhadap motivasi belajar siswa sekolah dasar di kecamatan mapanget, kota manado’, jurnal inovasi pendidikan dan pembelajaran sekolah dasar, 3(1), pp. 59–61. doi: 10.20885/iustum.vol2.iss4.art7. sunita, i. and mayasari, e. (2018) ‘pengawasan orangtua terhadap dampak penggunaan gadget pada anak’, jurnal endurance, 3(3), p. 510. doi: 10.22216/jen.v3i3.2485. wahyuni, a. s. et al. (2019) ‘the correlation between the duration of playing gadget and mental emotional state of elementary school students’, open access macedonian journal of medical sciences, 7(1), pp. 148– 151. doi: 10.3889/oamjms.2019.037. wijanarko, j. and setiawati, e. (2016) ayah baik ibu baik parenting era digital. happy holy kids. witarsa, r. et al. (2018) ‘pengaruh penggunaan gadget terhadap kemampuan interaksi sosial siswa sekolah dasar’, … jurnal pendidikan sekolah dasar …, pp. 9–20. wulandari, j. i. (2020) ‘pengaruh penggunaan gadget dan kebiasaan belajar terhadap motivasi belajar siswa kelas v sd negeri dabin vi kecamatan ketanggungan kabupaten brebes’, doctoral dissertation, unnes. yusuf, m. (2017) asesmen dan evaluasi pendidikan. jakarta: prenadamedia group. zulfitria, z. (2018) ‘pola asuh orang tua dalam penggunaan smartphone pada anak sekolah dasar’, jurnal holistika, 1(2), pp. 95–102. available at: https://scholar.google.co.id/citations?view_ op=view_citation&hl=id&user=frklsuw 310 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 303-310 aaaaj&citation_for_view=frklsuwaa aaj:9yksn-gcb0ic. *) rsd mardi waluyo blitar, **) stikes patria husada blitar 29 pengaruh orientasi pasien baru terhadap tingkat kepuasan pasien (the effect of new patient orientation to the patient’s satisfaction level) widya dwi pratiwi *) , yeni kartika sari **) rsd mardi waluyo kota blitar e-mail : nurulazkiya05@yahoo.co.id abstract introduction: the rights of the patients can be fulfiled by nurses through orientation by nurses to new patients. the new patient orientation is a agreement between nurses and patients or families in providing nursing care. the agreement is needed to make a good relationship between nurses and patient or their family. the purpose of this study was to explain the effectiveness of the new patient orientation towards the satisfaction level of nursing care in melati room rsd mardi waluyo blitar. method: research design was experimental research with quasy experimental design research sample was 30 new patients at melati room rsd mardi waluyo blitar were devided equally into two group, namely treatment and control groups at may 24 th until may 31 st , 2012, its choosed with concecutive sampling. analysis using mann whitney test. results: the result showed that the level of patient satisfaction on nursing care of treatment groups were 67% satisfied and 33% very satisfied. while the level of patient satisfaction of nursing care of control groups was 80 % satisfied and 20% dissatisfied. there was significant difference in the level of satisfaction of new patients who did and did not the orientation with p-value 0.00. discussion: it is suggested for nurses to pay attention to the patient satisfaction of nursing care by giving orientation to new patients as nursing intervention. key words : new patients, orientation, patients satisfaction pendahuluan pelayanan keperawatan yang bermutu adalah pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa, serta penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. upaya untuk memberikan keperawatan bermutu ini dapat dimulai perawat dari adanya rasa tanggung jawab perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara profesional. asuhan keperawatan ini dimulai dari tahap pra interaksi, orientasi sampai tahap evaluasi. hal ini dimaksudkan bahwa dengan bentuk keperawatan yang komprehensip maka dapat melihat manusia sebagai makhluk holistik yang utuh dan unik. berkaitan dengan hal tersebut, maka kewajiban perawat adalah menghormati hak pasien diantaranya adalah memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit, memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi (nining, 2008). penelitian yang dilakukan oleh susilowati (2008) yang meneliti tentang hubungan pengetahuan perawat tentang standar pelayanan keperawatan dengan pelaksanaan standar operasional prosedur pasien baru di ruang rawat inap rumah sakit dr. oen surakarta mendapatkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang standar pelayanan keperawatan dengan pelaksanaan sop pasien baru, dalam penelitian ini juga diketahui bahwa pelaksanaan perawat terhadap sop orientasi pasien baru relatif rendah yaitu sebanyak 38,1%. hasil penelitian yang dilakukan oleh muhajir, dkk (2007) dengan mengambil lokasi di muara enim menyatakan bahwa ketidakpuasan pasien dengan pelayanan rawat inap sebesar 21 % disebabkan oleh pelayanan dokter, 33 % oleh fasilitas ruangan dan jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p024-029 it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ widya dwi pratiwi, yeni kartika sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 30 prosentase yang paling besar 46% adalah oleh pelayanan perawat. ketidakpuasan pelayanan oleh perawat tersebut diantaranya disebabkan karena perawat tidak memperhatikan kondisi pasien secara berkala dan kurangnya para perawat melakukan komunikasi dengan pasien serta keluarganya. hak-hak pasien yang harus dihormati oleh para perawat telah diatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan uu no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. pasien sebagai konsumen kesehatan memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung jawab seperti penelantaran, pasien juga berhak atas keselamatan, keamanan dan kenyamanan terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya, dengan hak tersebut di atas maka konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan dan kesehatannya. hak-hak pasien ini dapat dipenuhi oleh perawat melalui orientasi yang dilakukan oleh perawat terhadap pasien baru. orientasi pasien baru merupakan kontrak antara perawat dan pasien atau keluarga dimana terdapat kesepakatan antara perawat dengan pasien atau keluarganya dalam memberikan asuhan keperawatan. kontrak ini diperlukan agar hubungan saling percaya antara perawat dan pasien atau keluarga dapat terbina. praktik orientasi dilakukan saat pertama kali pasien datang (24 jam pertama) dan kondisi pasien sudah tenang. orientasi diberikan pada pasien dan didampingi anggota keluarga yang dilakukan di kamar pasien. selanjutnya pasien dan keluarga diberikan informasi yang terkait dengan pasien dan keluarga selama mendapat perawatan di rumah sakit (nining, 2008). beberapa perawat belum mengetahui pentingnya praktik orientasi sebagai salah satu sarana untuk menjalin hubungan yang baik antara perawat dengan pasien dan diharapkan menimbulkan kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. setiap manusia selalu berubah kebutuhan dan kepuasannya, berdasarkan perubahan perilaku yang sangat unik. akibatnya setiap perubahan yang terjadi persepsinya akan selalu berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. tingkat kepuasan dapat dipengaruhi oleh perhatian, latar belakang pendidikan, status ekonomi, budaya, suasana hati. perbedaan tersebut membawa konsekuensi terhadap masalah keperawatan. kepuasan pasien akan mempengaruhi proses penyembuhan pasien. pasien yang kurang puas terhadap pelayanan keperawatan akan kurang kooperatif terhadap tindakan perawat sehingga akan menghambat proses penyembuhan penyakitnya (nursalam, 2008). penyampaian informasi kepada pasien dan keluarganya di rsd mardi waluyo ditetapkan dalam keputusan direktur nomor: 445/235/422.205.4/2011 yang mencakup antara lain: informasi tentang peraturan rumah sakit, informasi tentang hak dan kewajiban pasien, informasi tentang petugas yang merawat, dan informasi tentang persiapan pasien pulang. hasil studi pendahuluan yang dilakukan di rsd mardi waluyo kota blitar dengan melakukan wawancara terhadap 6 orang perawat diketahui bahwa seluruhnya belum melakukan orientasi secara lengkap terhadap pasien yang baru masuk. hal ini berdasarkan pengakuan 1 di antara perawat bersangkutan karena ketidaktahuannya sementara 5 lainnya karena adanya keengganan untuk melakukan orientasi karena dianggap membutuhkan waktu yang lama sedangkan pasien yang dirawat jumlahnya banyak. perawat beranggapan bahwa yang terpenting mereka telah melakukan tindakan keperawatan secara benar dan memberikan pelayanan yang baik jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh orientasi pasien baru terhadap tingkat kepuasan pasien 31 kepada pasien maka hal itu dianggap sudah cukup dan tidak perlu lagi melakukan orientasi kepada pasien baru dengan memperkenalkan diri, membacakan tata tertib rumah sakit apalagi sampai membacakan hak-hak pasien. hasil wawancara dengan 5 orang pasien yang dirawat semuanya menyatakan bahwa saat pertama kali masuk tidak didahuli oleh perawat yang memperkenalkan diri atau memperkenalkan lingkungan rumah sakit. perawat-perawat tersebut hanya melakukan tindakan medis yang diperlukan saja. dari 5 orang paasien tersebut menyatakan walaupun pelayanan keperawatan yang diberikan cukup baik, namun akan lebih baik jika dilakukan orientasi pada setiap pasien baru. berdasarkan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan kajian terhadap pengaruh orientasi perawat kepada pasien baru terhadap kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan. rumusan masalahnya adalah bagaimana pengaruh pelaksanaan orientasi pasien baru terhadap tingkat kepuasan pelayanan keperawatan di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar. tujuan umunya adalah menjelaskan pengaruh pelaksanaan orientasi pasien baru terhadap tingkat kepuasan pelayanan keperawatan di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi karakteristik responden di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar, (2) mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan yang diberikan orientasi pasien baru di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar, (3) mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan yang tidak diberikan orientasi pasien baru di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar, (4) menganalisis perbedaan tingkat kepuasan pasien yang diberikan dan tidak diberikan orientasi pasien baru di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar. manfaat teoritis penelitiannya adalah menambah kajian baru ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan khususnya dibidang manajemen keperawatan, sehingga diharapkan tenaga kesehatan khususnya perawat dapat memberikan pelayanan yang lebih profesional dan dapat menjalankan programnya dalam memberikan asuhan keperawatan, terutama kepada pasien yang baru masuk rumah sakit. sedangkan manfaat praktisnya adalah dapat dijadikan bahan pertimbangan dan data awal sehingga dapat dibuat perencanaan dalam pemberian program orientasi pasien baru, agar meningkatkan kepuasan pengguna jasa rumah sakit. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian pra experimental dengan desain non equivalen control group post test only yang dilakukan dengan membandingkan tingkat kepuasan antara kelompok responden yang diorientasikan dan kelompok responden yang tidak diorientasikan. subyek pada penelitian ini sebanyak 30 orang yang di rawat di ruang melati rsd mardi waluyo blitar, yang dalam kondisi tenang dan tidak sedang dalam observasi ketat. variabel tingkat kepuasan yang dinilai adalah kepuasan pasien pada dimensi assurance (kepercayaan) yang meliputi (1) kesopanan petugas, (2) menjadi orang yang dipercaya, (3) informasi peraturan rumah sakit, (4) informasi hak dan kewajiban pasien, (5) informasi petugas yang merawat, (6) informasi pasien pulang. alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah standar prosedur operasional (spo) orientasi pasien baru yang sudah ditetapkan oleh direktur rsd mardi waluyo kota blitar dan kuisioner kepuasan pasien. cara pengumpulan data dilakukan dengan membagi subyek penelitian menjadi dua kelompok. kelompok pertama diberikan widya dwi pratiwi, yeni kartika sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 32 perlakuan berupa orientasi pasien baru, dan kelompok kedua tidak diberikan orientasi pasien baru. setelah dirawat selama 3 hari seluruh subyek diminta untuk mengisi kuisioner kepuasan pasien. analisis data menggunakan mann whitney dengan derajat kemaknaan p ≤ 0,05 hasil penelitian karakteristik pasien di ruang melati rsd mardi waluyo blitar sebanyak 30 orang seperti dalam tabel 1 di bawah ini tabel 1. karakteristik pasien di ruang melati rsd mardi waluyo blitar mei 2012 no karakteristik frekuensi % 1 jenis kelamin laki – laki 16 53 perempuan 14 47 2 pendidikan sd 1 3 smp 5 17 smu 19 63 d iii 4 13 tabel 1. karakteristik pasien di ruang melati rsd mardi waluyo blitar mei 2012 no karakteristik frekuensi % s 1 1 3 3 usia < 20 tahun 1 3 20 – 30 tahun 5 17 31 – 40 tahun 13 43 > 40 tahun 11 37 4 pekerjaan tidak bekerja 7 23 wiraswasta 10 33 petani 12 40 pegawai swasta 1 3 tabel 2. tingkat kepuasan pasien di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar mei 2012 tingkat kepuasan kelompok kontrol kelompok perlakuan frekuensi % frekuensi % sangat puas 0 0 10 67 puas 12 80 5 80 tidak puas 3 20 0 0 sangat tidak puas 0 0 0 0 total 15 100 15 100 tabel 3 uji mann whitney kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan kelompok n mean rank sum of ranks kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan perlakuan 15 19,00 285,00 kontrol 15 12,00 180,00 mann-whitney u asymp. sig. (2-tailed) .005 pembahasan tingkat kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan yang diberikan orientasi pasien baru berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa 67% responden dalam kategori puas dan 33% responden dalam kategori sangat puas. orientasi adalah melihat atau meninjau supaya kenal atau tahu (purwadarminta, 1999). pasien adalah pemakai jasa jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh orientasi pasien baru terhadap tingkat kepuasan pasien 33 pemeliharaan kesehatan yang mempunyai citra pribadi yang mandiri yang mempunyai pilihan bebas dalam mencari dan memilih bantuan. seorang pasien bukan lagi seorang penerima pelayanan secara pasif, tetapi seorang peserta yang aktif yang bertanggung jawab atas pilihannya dan juga memikul akibat dari pilihannya (carpenito, 2000). orientasi terhadap pasien baru adalah pemberian informasi kepada pasien baru berkaitan dengan proses keperawatan yang akan dilakukan oleh rumah sakit. informasi adalah pesan atau isi berita yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lain dengan harapan orang tersebut mengetahui dan mengerti akan maksud dan tujuan dari isi pesan atau berita yang disampaikan. orientasi terhadap pasien baru merupakan usaha memberikan informasi/sosialisasi kepada pasien dan keluarga tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan selama di rumah sakit (ragusti, 2008). dalam konteks keperawatan orientasi berarti mengenalkan segala sesuatu tentang rumah sakit meliputi lingkungan rumah sakit, tenaga kesehatan, peraturan prosedur dan pasien lain. dalam orientasi, perawat dan pasien bekerja sama untuk menganalisa situasi sehingga mereka dapat mengenali, memperjelas dan menentukan eksistensi sebuah masalah, sehingga pasien dapat mempersiapkan diri dari keadaan cemas kearah kondisi yang lebih konstruktif dalam menghadapi masalahnya. dalam penelitan ini menunjukan bahwa orientasi yang diberikan berpengaruh terhadap kepuasan pasien, karena dengan orientasi kepada pasien baru akan memberikan pengetahuan cang cukup tentang peraturan maupun hak kewajiban bagi pasien maupun rumah sakit. dengan demikian pasien dan keluarga merasa mendapat jaminan selama dirawat di rumah sakit, sehingga dapat meningkatkan kepuasan yang dirasakan. tingkat kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan yang tidak diberikan orientasi pasien baru berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa 80% responden dalam kategori puas dan 20% responden dalam kategori tidak puas. praktik orientasi terhadap pasien baru bertujuan agar pasien dan keluarga memahami tentang peraturan rumah sakit, serta pasien dan keluarga memahami tentang semua fasilitas yang tersedia dan cara penggunaannya (ragusti, 2008). tahapan pertama perawat di saat menerima pasien baru adalah melakukan orientasi, dimana perawat dan pasien bertemu sebagai dua orang asing. pasien dan atau keluarga memiliki “rasa butuh” maka mencari penolong professional. tetapi kebutuhan ini belumlah diidentifikasi atau dimengerti oleh individu-individu yang terlibat. sebagai contoh seorang gadis 16 tahun menelpon komunitas pusat kesehatan jiwa hanya karena ia merasa ”tertekan”. inilah tahap bahwa perawat perlu menolong pasien dan keluarga untuk memahami sesungguhnya apa yang terjadi dengan pasien (bowhuizen, 1986). tahap orientasi secara langsung dipengaruhi oleh sikap pasien dan perawat dalam memberi dan menerima pertolongan secara timbal balik. berkaitan dengan hal ini adalah tahap pertama maka perawat perlu menyadari tindakan pribadinya dengan pasien. budaya, agama, ras, latar belakang pendidikan, pengalaman masa lalu, pemikiran yang berbeda dan harapan antara perawat dan pasien memainkan peran bagaimana tindakan perawat terhadap pasien. faktor-faktor pengaruh yang sama memainkan peran dalam reaksi pasien terhadap perawat (bowhuizen, 1986). orientasi perawat merupakan hal yang sangat penting bahwa perawat bekerjasama dengan pasien dan keluarga untuk menganalisa keadaan, sehingga mereka bersama-sama dapat memahami, menjelaskan dan menyimpulkan masalah yang ada. tahapan orientasi ini widya dwi pratiwi, yeni kartika sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 34 dapat menyebabkan pasien langsung mampu menambah energy dari rasa keragu-raguan memenuhi kebutuhanya untuk lebih berani menghadapi permasalahannya. hubungan telah dibentuk dan berlanjut lebih erat lagi sementara masalah telah identifikasi. sementara pasien dan keluarga berdiskusi dengan perawat keputusan bersama dibuat tentang bentuk bantuan professional apa yang akan dilakukan. perawat yang menjadi sumber yang dapat bekerja dengan pasien dan keluarga. pada tahap orientasi perawat, pasien dan keluarga merencanakan jenis pelayanan apa yang dibutuhkan. pada penelitian menunjukan dengan tidak diberikan orientasi pada pasien baru akan menimbulkan ketidak puasan kepada pasien dan keluarga, oleh karena merasa kurang diperhatikan dan kepastian pelayanan yang akan diberikan. selain itu tanpa orientasi pada pasien baru, keragu-raguan yang ada pada pasien dan keluarga terhadap rumah sakit tidak dapat dihilangkan. perbedaan tingkat kepuasan pasien yang diberikan dan tidak diberikan orientasi pasien baru di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa yang memiliki tingkat kepuasan puas adalah 22 responden, yang terdiri dari 12 responden dari kelompok kontrol dan 10 responden dari kelompok intervensi. sedangankan dalam kategori sangat puas 5 responden seluruhnya berasal dari kelompok intervensi. untuk mengetahui perbedaan tingkat kepuasan pelayanan keperawatan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi digunakan uji statistik mann whitney didapatkan nilai p = 0,005 yang berarti perbedaan tingkat kepuasan pasien baru yang dilakukan orientasi dan tidak dilakukan orientasi rsd mardi waluyo kota blitar. orientasi terhadap pasien baru adalah pemberian informasi kepada pasien baru berkaitan dengan proses keperawatan yang akan dilakukan oleh rumah sakit. informasi adalah pesan atau isi berita yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lain dengan harapan orang tersebut mengetahui dan mengerti akan maksud dan tujuan dari isi pesan atau berita yang disampaikan. orientasi terhadap pasien baru merupakan usaha memberikan informasi/sosialisasi kepada pasien dan keluarga tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pelayanan selama di rumah sakit (ragusti, 2008). tahapan pertama perawat di saat menerima pasien baru adalah melakukan orientasi, dimana perawat dan pasien bertemu sebagai dua orang asing. pasien dan atau keluarga memiliki “rasa butuh” maka mencari penolong professional. tetapi kebutuhan ini belumlah diidentifikasi atau dimengerti oleh individu-individu yang terlibat. sebagai contoh seorang gadis 16 tahun menelpon komunitas pusat kesehatan jiwa hanya karena ia merasa ”tertekan”. inilah tahap bahwa perawat perlu menolong pasien dan keluarga untuk memahami sesungguhnya apa yang terjadi dengan pasien (bowhuizen, 1986). tahap orientasi secara langsung dipengaruhi oleh sikap pasien dan perawat dalam memberi dan menerima pertolongan secara timbal balik. berkaitan dengan hal ini adalah tahap pertama maka perawat perlu menyadari tindakan pribadinya dengan pasien. budaya, agama, ras, latar belakang pendidikan, pengalaman masa lalu, pemikiran yang berbeda dan harapan antara perawat dan pasien memainkan peran bagaimana tindakan perawat terhadap pasien. faktor-faktor pengaruh yang sama memainkan peran dalam reaksi pasien terhadap perawat (bowhuizen, 1986). pasien adalah pemakai jasa pemeliharaan kesehatan yang mempunyai citra pribadi yang mandiri yang mempunyai pilihan bebas dalam mencari dan memilih bantuan. seorang pasien bukan lagi seorang penerima jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh orientasi pasien baru terhadap tingkat kepuasan pasien 35 pelayanan secara pasif, tetapi seorang peserta yang aktif yang bertanggung jawab atas pilihannya dan juga memikul akibat dari pilihannya. orientasi diberikan pada pasien dan didampingi anggota keluarga yang dilakukan di kamar pasien, orientasi dapat diulang kembali minimal setiap dua hari oleh pp atau yang mewakili, terutama tentang daftar nama tim yang sudah diberikan, sekaligus menginformasikan perkembangan kondisi keperawatan pasien dengan mengidentifikasi kebutuhan pasien. pada penelitian ini menunjukan bahwa pasien baru yang diberikan orieantasi memiliki kepuasan yang lebih daripada yang tidak diberikan. hal ini terjadi karena dengan adanya orientasi, maka akan terjadi hubungan saling percaya antara rumah sakit dengan pasien dan keluarga. kepercayaan ini akan meningkatkan kepuasan terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan, dan pada akhirnya juga akan meningkatkan kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan rumah sakit secara umum. simpulan dan saran simpulan karakteristik pasien baru di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar bulan mei 2012 yaitu : 53% berjenis kelamin laki-laki, 64% memiliki latar belakang pendidikan smu, 43% berusia 31-40 tahun, 40% memiliki pekerjaan petani, 47% memiliki penghasilan tiap bulan berkisar antara rp. 1.000.000 – 1.500.000, tingkat kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan yang diberikan orientasi pasien baru di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar pada bulan mei 2012 yaitu 67% dalam kategori puas dan 33% dalam kategori sangat puas. 1 tingkat kepuasan pasien tentang pelayanan keperawatan yang tidak diberikan orientasi pasien baru di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar pada bulan mei yaitu 80% dalam kategori puas dan 20% dalam kategori tidak puas. 2 hasil uji statistik mann whitney didapatkan nilai p = 0,005, karena nilai p kurang dari 0,05 maka berarti ada perbedaan signifikan tingkat kepuasan pasien baru yang dilakukan orientasi dan tidak dilakukan orientasi di ruang melati rsd mardi waluyo kota blitar saran bagi institusi pendidikan, diharapkan hasil penelitian dapat menjadi sumber rujukan, bagi rumah sakit, diharapkan hasil penelitian ini menjadi bahan pertimbangan dan data awal sehingga dapat membuat perencanaan dalam pemberian program orientasi pasien baru, bagi penelitian selanjutnya, dapat dijadikan data awal penelitian yang terkait kepuasan dan program orientasi pasien. pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi faktor yang berpengaruh pada tingkat kepuasan pasien dan program orientasi di rumah sakit referensi aditama, tj 2000, manajemen administrasi rumah sakit, uipress, jakarta. azwar, s 1997, reliabilitas dan validitas, pustaka pelajar, yogyakarta. berry, l & parasuraman 1991, marketing service: competing through quality, maxwell macmillan international, usa. bouwhuizen 1986, ilmu keperawatan (verpleegkunde zv) bagian 1, alih bahasa moelia radja siregar, penerbit buku kedokteran egc, jakarta. ismani, n 2001, etika keperawatan, widya medika, jakarta. lusa, js 2007, hubungan quality assurance dengan kepuasan widya dwi pratiwi, yeni kartika sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 36 pasien rumah sakit, diakses 11 juli 2007, . nining 2008, sistematika model praktik keperawatan profesional (mpkp), diakses pada tanggal 23 januari 2011, . nursalam 2002, manajemen keperawatan aplikasi dalam praktik keperawatan profesional, salemba medika, jakarta. ragusti 2008, orientasi pasien baru: pemberi informasi, diakses pada tanggal 23 januari 2011, . santoso, s 2001, spss versi 10 mengolah data statistik secara profesional, media komputindo, jakarta. siagian, sp 1995, manajemen sumberdaya manusia, bumi aksara, jakarta. stevens, pjm. et al 1999, ilmu keperawatan 2, egc, jakarta. susilowati,t 2008, „hubungan pengetahuan perawat tentang standar pelayanan keperawatan dengan pelaksanaan standar operasional prosedur pasien baru di ruang rawat inap rumah sakit dr. oen surakarta‟, undergraduate thesis, universitas diponegoro, semarang. tjiptono, f 1995, strategi pemasaran, andi offset, yogyakarta. tjiptono, f 2000, perspektif manajemen & pemasaran kontemporer, andi offset, yogyakarta. zainudin, a 2002, dasar – dasar keperawatan profesional, widya medika, jakarta. 34 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk e-learing of health protocols improving school-age children's skills facing offline learning kili astarani1, fidiana kurniawati2 1,2nursing department, stikes rs. baptis kediri, indonesia article information abstract the surge in confirmed cases of covid-19, especially in children aged 6-18 years, on march 3, 2021, showed 9.2% of children in indonesia were exposed to covid-19 virus. this makes the government advises the public to implement health protocols and have clean and healthy living behaviors, especially in terms of washing hands. this study aimed to analyze the effect of e-learning of health protocols on the skills of school-age children facing offline learning at pelita bangsa elementary school, surabaya. the design of the study used pre-experimental using one-group pre-test post-test design method. the population in this study was 59 students at pelita bangsa elementary school in surabaya. there were 59 school-age children met the inclusion criteria using the total sampling technique. the inclusion criteria in this study were children aged 7-12 years, children who came to school during data collection, and children who were willing to be examined. the instrument used a hand washing checklist sheet. the data analysis used wilcoxon. before being given elearning of health protocols the unskilled category in washing hands with soap with a total of 51 respondents (86.4%), there was a significant difference in hand washing skills between before health education with e-learning media and after health education with a significant value of 0.000 (p < 0.05). elearning of health protocols affects the skills of school-age children to face offline learning at pelita bangsa elementary school surabaya history article: received, 11/02/2022 accepted, 23/03/2022 published, 15/04/2022 keywords: e-learning of health protocols, skills, hand washing © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes rs. baptis kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: astaranikili79@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p034-042 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:astaranikili79@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p034-042 kili astarani1, fidiana kurniawati2, e-learing of health protocols improving school-age … 35 introduction at the beginning of 2020, indonesia was shocked by the entry of the covid-19 virus which had previously spread in the huanan market area, wuhan in december 2019. the emergence of the jakarta cluster on february 14, 2020, became the initial cluster for the spread of the covid-19 virus in indonesia. the initial emergence of this cluster occurred when an event was held in the kemang area, south jakarta where it was found that a japanese foreign citizen (wna) who had a domicile in malaysia was confirmed as positive for the covid-19 virus after attending the event (anies, 2020). with the continued increase in confirmed cases of covid-19, especially in children aged 6-18 years, on march 3, 2021, it was found that 9.2% of children throughout indonesia were exposed to the covid-19 virus. this makes the government advise the public to implement health protocols and have clean and healthy lifestyles, especially in terms of washing hands (anies, 2020). there is still a lack of awareness in carrying out clean and healthy living behavior, especially in children, it can be seen from the children's habits when holding objects around them which without realizing it there are various germs or bacteria that can cause disease and also children's penchant for buying food outside and eating it. without washing their hands first (wantiyah et al., 2015). in situations and conditions like this, hand washing behavior in children needs to be improved so that children can avoid various kinds of diseases or viruses, especially the covid-19 virus which is currently spreading and suppresses the increase in the addition of covid-19 cases in children. for the percentage of hand washing according to the results of the 2013 riskesdas, the proportion of those aged 10 years who washed their hands properly was 46.7%. the directorate general of disease control and environmental health of the indonesian ministry of health (2013) stated that only 18.5% of indonesians washed their hands with soap at five important times. (natsir, 2018). for the national average, the proportion of hand washing behavior in east java residents in 2013 who behaved correctly in washing their hands was only 48.1%. based on the results of the pre-research conducted by researchers on 10 children in the pojok village area, precisely in the rt 06 area on 23-24 january 2021 for the proportion of hand washing in children aged 7-12 years, it was found that as many as 50% of children did not know about the method or steps. good and correct hand washing and in the habit of washing hands 60% of children said they only used water without using soap. besides this, 70% of children stated that if their hands were clean, there was no need to wash their hands properly and 60% of children only washed their hands when they wanted to eat. other results obtained by researchers, 80% of children said that when washing their hands, their fingertips and nails did not need to be washed. the health protocol is an effort to be able to prevent the risk of transmission of covid-19, with the implementation of the health protocol, it is intended that people can still carry out their daily activities safely and do not endanger their health or the health of others (suryaningsih & poerwati, 2020). however, in reality, the implementation of health protocols is still not fully implemented by the community, a simple example is washing hands with soap which is an important activity in preventing and controlling infection transmission. (suryaningsih & poerwati, 2020). washing hands is often considered a trivial thing in various elements of society, not only children, teenagers, but also parents. whereas hand washing can contribute to improving health status (wantiyah et al., 2015). various diseases such as diarrhea, ari, typhoid, bird flu, intestinal worms, and also a new virus that is currently endemic, namely covid-19, will emerge if the habit of washing hands with soap is ignored and ignored. (natsir, 2018). seeing the phenomenon that is happening where the world is currently being bothered by an outbreak of a disease, namely corona virus disease 19 or commonly referred to as covid-19. covid-19 is an infectious disease that is transmitted zoonically or between animals and humans. this virus can cause mild to severe symptoms, infection from sarscov-2 in humans can cause symptoms in the form of acute respiratory disorders such as fever, cough, and shortness of breath. and if in cases with severe symptoms this disease can cause pneumonia, acute respiratory syndrome, kidney failure, and also cause death. symptoms of this disease can appear within 2-14 days after exposure (kementerian kesehatan ri, 2020) in (moudy & syakurah, 2020). preventive efforts to prevent an increase in the number of covid-19 cases in various countries have implemented several systems, namely the city lockdown system to suppress the spread of the covid-19 virus, as implemented in wuhan, china, 36 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 34-42 and several cities in italy. however, some other countries do not participate in implementing the lockdown system, only the implementation of physical distancing and wearing masks. in south korea, efforts are being made to do massive tests on people who are vulnerable or at risk of being exposed to this virus. who explains that whatever the local government decides, every community is obliged to be able to participate in preventing the spread of this virus by complying with the recommended health protocols. (anies, 2020). prevention of the spread of covid-19 that has been carried out and introduced by many countries by following who instructions and washing hands is the dominant thing that many do to avoid and break the chain of transmission of various diseases including covid-19 (anies, 2020). this action is taken because basically, the hands are one of the agents that carry pathogenic germs that can be transferred from one person to another. hand washing is very important not only for adults but also for children to avoid infections that can endanger them. therefore it is necessary to educate children to always wash their hands before and after doing activities (setiawan et al., 2017). washing hands is one of the actions contained in the health protocol issued by the who to break the chain of the spread of the covid-19 virus, this must be accustomed from an early age because children at elementary school age will find it easier to instill the value of knowledge will be useful in daily life (mahdalena & handayani, 2019). to provide learning experiences and foster children's interest in improving their health status during this pandemic, it is necessary to provide health education, one of which is by socializing health education using video media. video media is a medium that is often used in research in elementary schools or equivalent for the reason that it is more effective in stimulating understanding and can provoke children's imagination in interpreting messages through video media. the second reason is that videos can be used to explain the flow of activity and processes related to the correct steps for washing hands with soap and the third reason is that videos can be used repeatedly (heru iskandar, 2014). therefore, to improve hand washing skills in school-age children, it can be done by using video media as a tool in stimulating the senses of sight, hearing and other senses so that it will be accepted by respondents more quickly (heru iskandar, 2014). based on the above background, the researcher was interested in researching the effect of e-learning of health protocols on the skills of school-age children facing offline learning at pelita bangsa elementary school, surabaya. method the research design used in this study was pre experiment using the one-group pre-test posttest design method. the population in this study was 59 students at pelita bangsa elementary school in surabaya. there were 59 school-age children met the inclusion criteria using the total sampling technique. the inclusion criteria in this study were children aged 7-12 years, children who came to school during data collection, and children who were willing to be examined. health education in this study used video media through e-learning which contained 11 steps on how to wash hands with soap. collecting data using a handwashing checklist sheet. respondents were asked to wash their hands before and after being given health education. the hand washing steps used sources from (ministry of health of the republic of indonesia, 2020), with an assessment that if the respondent did not do it, the score was 0 (zero) if the respondent did but was not perfect, the score was 1 (one) and if the respondent did it perfectly, the score was 2 (two). respondents were said to be skilled if they had a value range of 12 22, and if the respondent had a value of 0 11 then it was said to be unskilled. the data analysis used is wilcoxon. result table 1: characteristics of respondents at pelita bangsa elementary school surabaya from april 30, 2021, to june 30, 2021 (n=59) no characteristics child data total (%) 1 gender man 30 50.8 woman 29 49.2 total 59 100 kili astarani1, fidiana kurniawati2, e-learing of health protocols improving school-age … 37 no characteristics child data total (%) 2 age 7 years 7 11.9 8 years 7 11.9 9 years 17 28.8 10 years 7 11.9 11 years 14 23.7 12 years 7 11.9 total 59 100 3 kelas class 1 7 11.9 class 2 7 11.9 class 3 17 28.8 class 4 7 11.9 class 5 14 23.7 class 6 7 11.9 total 59 100 table 2: category of hand washing skills with soap before e-learning of health protocols at pelita bangsa elementary school surabaya on april 30, 2021, to june 30, 2021 (n=59) no. hand washing skills with soap f % 1. unskilled 51 86.4 2. skilled 8 13.6 total 59 100.0 table 3: category of hand washing skills with soap after e-learning of health protocols at pelita bangsa elementary school surabaya on 30 april, 2021 to 30 june 2021 (n=59) no hand washing skills with soap f % 1 unskilled 2 3.4 2 skilled 57 96.6 total 59 100.0 table 4: the category of hand washing skills with soap at pelita bangsa elementary school surabaya from april 30, 2021, to june 30, 2021 (n=59) no handwashing skill category with soap f % before after before after 1 unskilled 51 2 86.4 3.4 2 skilled 8 57 13.6 96.6 total 59 59 100 100 statistic test wilcoxon signed rank test p = 0,000 z = -6.498 table 5: wilcoxon statistical test at pelita bangsa elementary school surabaya on 30 april 2021 to 30 june 2021 hand washing skills with soap ranks wilcoxon signed rank test n mean rank sum of ranks child skills before – child skills after negative rank 1 17.50 17.50 positive rank 57 29.71 1693.5 ties 1 total 59 38 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 34-42 test statistics child skills before – child skills after z -6.498b asymp. sig. (2-tailed) .000 discussion school-age children skills in facing offline learning before and after health education using e-learning of health protocols media at pelita bangsa elementary school surabaya based on the results of research related to the skills of school-age children (hand washing skills with soap) facing offline learning, as many as 59 respondents it was known that the results of data recapitulation, before providing health education with e-learning of health protocols, almost all respondents were included in the unskilled category with a total of 51 respondents (86.4%) while after the provision of health education with e-learning of health protocols showed that almost all respondents were in the skilled category with a total of 57 respondents (96.6%). skills are defined as aspects of behavior that are related to the ability to move the body's muscles. however, skills are not only limited by physical aspects, skills are the ability to complete tasks both physically and mentally. come on in the book (subaris, 2016). skills can also be defined as the human ability to perform a task or a job by involving the limbs and equipment that has been provided. skills are personal so that every human being will have a different skill level from one individual to another depending on their knowledge, abilities, and experience. this was in line with proprietary research (wijayati, 2020) which explains that skills are a continuation of individual learning outcomes cognitively in understanding something and affectively or seen from their behavior. measurement of skills can be done in two ways, namely directly and indirectly. direct measurement is a measurement by observing (observation), namely observing an action from the subject in maintaining his health (subaris, 2016). the results of setiawan et al., (2017) explained that the skills seen were skills in washing hands with soap. washing hands with soap is an effort to maintain hand hygiene to prevent or break the chain of disease transmission. we as adults as well as children need to be able to wash our hands in the right way to prevent ourselves or others from various diseases. (setiawan et al., 2017). before being given health education with elearning of health protocols related to proper hand washing with soap, almost all respondents were included in the unskilled category with a total of 51 respondents (86.4%) this was evidenced by the fact that respondents still did not take proper washing steps hands with the right soap. several steps were not taken such as not rubbing the back of the hand and between the fingers, not rubbing the palms and between the fingers in an interlocked position, not rubbing the backs of the fingers against the palms with interlocked fingers, not grasping and washing the mother. fingers in a circular position, did not rub the tips of the fingers into the palms of the hands so that the nails could be exposed to soap, and did not clean the faucet spinner with a disposable cloth/tissue after washing hands. at pelita bangsa elementary school surabaya, there were facilities or hand washing tools to support respondents to be able to practice how to wash their hands in the right steps. according to the researcher, 51 respondents (86.4%) were unskilled because these respondents had not received information about how to wash their hands with soap in the right way even though there was already a brochure containing instructions for washing hands next to the existing sink. this respondent's unskilledness could be caused by several things, starting from the lack of children's curiosity about how to wash their hands in the right way, less exposure of children to hand washing information, lack of habit of reading brochures next to the sink, and habituation in washing hands with soap in the right steps and lack of awareness about clean and healthy behavior. this was in line with what was revealed by chrisnawati, 2018 in her research that in addition to this, there are other things, namely the lack of information provided by health workers regarding phbs, the lack of support from health workers as evidenced by the statement of the principal of sdi darul mu'minin banjarmasin, where phbs health education activities in schools have never been held (mulyadi et al., 2018). in this study, it appeared that respondents already had sufficient knowledge from various sources, both from parents, schools, and hospitals. however, in reality, kili astarani1, fidiana kurniawati2, e-learing of health protocols improving school-age … 39 these respondents have not been able to carry out handwashing with the correct steps according to the 2020 ministry of health manual. at the time of the study, there were still children who washed their hands using only water without using soap. this could be seen in the observation sheet according to the 2020 ministry of health handwashing handbook with soap in step number 2 which required using sufficient soap when washing hands. from the results of interviews conducted by researchers to respondents, it was found that several children had obtained information from various sources including television and their playmates, but were said to be unskilled because they could not remember the steps that had been taught and they forgot a little even though they had been given because it was not repeated every day. the effect of e-learning of health protocols on the skills of school-age children in facing offline learning in school-age children at pelita bangsa elementary school surabaya based on the results of research related to the effect of e-learning of health protocols on the skills of school-age children facing offline learning in school-age children at pelita bangsa elementary school, surabaya, as many as 59 respondents were known for skills after being given health education with video media, almost entirely increased, namely 57 respondents (96, 6%). and a small part of the 2 respondents (3.4%) were still in the unskilled category. in detail, it coulld be explained that almost all of the 59 respondents, namely 57 respondents, experienced an increase from previously unskilled to skilled in washing hands with soap. then a small percentage of 1 respondent was included in the fixed category which can be described as follows as much as 1 respondent before the provision of health education with video media was given into the unskilled category and after the provision of health education with video, media remained in the unskilled category. while 1 other respondent from before giving health education with video media was given into the skilled category then after being given health education with video media remained in the category accompanied by an increase in score with a p-value of 0.000 < 0.05. the health protocol is an effort to be able to prevent the risk of transmission of covid-19, with the implementation of the health protocol, it is intended that people can still carry out their daily activities safely and do not endanger their health or the health of others. (suryaningsih & poerwati, 2020). however, in reality, the implementation of health protocols is still not fully implemented by the community, a simple example is washing hands with soap which is an important activity in preventing and controlling infection transmission. (suryaningsih & poerwati, 2020). one of the things that students are ready to receive offline learning at school is being able to apply health protocols appropriately. prevention of the spread of covid-19 that has been carried out and introduced by many countries by following who instructions and washing hands is the dominant thing that many do to avoid and break the chain of transmission of various diseases including covid19 (anies, 2020). this action was taken because basically, the hands are one of the agents that carry pathogenic germs that can be transferred from one person to another, and this can be done by children. therefore, it is necessary to educate school-age children to always wash their hands before and after doing activities (setiawan et al., 2017). washing hands is one of the actions contained in the health protocol issued by the who to break the chain of the spread of the covid-19 virus, this must be accustomed from an early age because children at elementary school age will find it easier to instill the value of knowledge will be useful in daily life (mahdalena & handayani, 2019). this can support providing learning experiences and without ignoring the principle of improving their health status during a pandemic. washing hands is often considered a trivial thing in various elements of society, not only children, teenagers, but also parents. whereas hand washing can contribute to improving health status (wantiyah et al., 2015). seeing the phenomenon that currently affects all sectors, including in the field of education. the learning process that should be carried out offline / face-to-face, is currently being carried out online to break the chain of corona virus disease 19. the situation of the outbreak of corona virus disease 19 or commonly referred to as covid-19, covid-19 is an infectious disease whose transmission occurs zoonotic or between animals and humans. this virus can cause mild to severe symptoms, infection from sarscov-2 in humans can cause symptoms in the form of acute respiratory disorders such as fever, cough, and shortness of breath. and if in cases with severe symptoms this disease can cause pneumonia, acute 40 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 34-42 respiratory syndrome, kidney failure, and also cause death. symptoms of this disease can appear within 2-14 days after exposure (kementerian kesehatan ri, 2020) (moudy & syakurah, 2020). health education can be defined as a process that is obtained from several experiences that influence both the habits, attitudes, and knowledge of an individual regarding health (induniasih & ratna, 2017). the provision of health education can also be explained as an effort to provide information and skills to individuals and groups related to health (induniasih & ratna, 2017). as support in providing health education, media is needed as a tool to facilitate the presenters in applying the material to be conveyed so that what is the goal in research can be achieved (putra et al., 2020). health education in this study related to how to wash hands with soap in the right way, using possible media, namely video through elearning. e-learning using video has the advantage that students can access it wherever they are and at any time. e-learning with video media was chosen by researchers because it was considered quite interesting and practical to give to children, this was in line with research (heru et al., 2014) which states that the function of using video media modeling is to display more practical hand washing movements. and easy. video media can be used as an alternative to providing health education because it can stimulate several senses in children such as the sense of sight and hearing which makes information given to children more quickly accepted so that the results obtained are more optimal (putra et al., 2020). in this case, the provision of health education on the correct steps for handwashing could be accessed, accepted, studied, and applied to respondents with schoolage levels. the intervention to the respondents, namely the provision of health education through elearning through the video steps for washing hands with soap, influenced this study, as evidenced by the increase in the skill scores before and after the respondents. so that after health education with video media was given, there was an increase in handwashing skills with soap for school-age children at pelita bangsa elementary school, surabaya. the results of this study were in line with research (heru et al., 2014) which states that there is an increase in the ability to wash hands in 4th-grade students, it can be seen from the student's average handwashing ability score which was previously 12.78 after being given video media modeling. to 21.64 means that the handwashing ability score has increased. also in line with proprietary research (qurrotul aeni & warsito, 2015) which said that handwashing skills health counseling activities increased by 73.3%. so, it could be concluded that there was an effect of health education using video media. this research was also in line with research (rachmawati & putr, 2016) the effect of counseling on hand washing with video media on the application of hand washing practices at sdn nogotirto yogyakarta. the study used a one-group pre-test post-test design which resulted in the effect of counseling on hand washing with video media on the application of handwashing practice, namely based on the results of data analysis, the average pre-test value was 52.33 and the average value post-test 58.62 with an average difference of 6.29 and p-value 0.02 <0.05 then ha was accepted and ho was rejected. this means that there is an influence of e-learning of health protocols on the skills of school-age children in facing offline learning, namely the application of hand washing practices. the provision of education using elearning of health protocols video media was good for school-age children because it was interesting for children to be able to understand the messages conveyed easily and to some extent could change the behavior of washing hands with soap. in addition, it could increase children's knowledge about how to wash their hands with soap, as well as recall children's memories if they could not remember well the steps they have previously received from these various sources. this was in line with proprietary research (setiawan et al., 2017) the use of video media is very effective given to school-age children because using video media will increase children's interest in learning and children can absorb the information conveyed by the presenters through images and sounds that can be watched during a few minutes and can be directly followed by students while watching videos related to the lessons delivered. in the results of this study, there were still 2 respondents who were not skilled. the researcher argued that this could be due to the attitude of not paying attention when presenting the video about washing hands, it was proven that the respondent several times turned his attention to his friends who were playing around him so that the respondent did not understand the content of the video presented. this was in line with proprietary research (livana, 2020) which explains that kili astarani1, fidiana kurniawati2, e-learing of health protocols improving school-age … 41 students who have a negative attitude have an opportunity to behave poorly in ctps by 2 times compared to students who have a positive attitude. the researcher argued that the attitudes of respondents in the mesuji regency had not formed behavior because their attitudes were still influenced by external circumstances and conditions when they wanted to do ctps correctly. therefore, health promotion interventions that could be carried out were formulating forms, methods, and health promotion strategies that refered to three psychological domains, namely cognitive changes, affective changes, and psychomotor changes. respondents carried out for the benefit of the health of themselves and their families. skills in washing hands with soap were an indicator of the readiness of school-age students to take offline learning, adjusting government policies in the field of education in response to covid-19 cases. conclusion the skills of school-age children facing offline learning at pelita bangsa elementary school in surabaya before the provision of elearning of health protocols, almost all of the respondents have been in the unskilled category. e-learning of health protocols have affected the skills of school-age children to face offline learning at pelita bangsa elementary school surabaya suggestion based on this research, it is hoped that it can increase knowledge and information regarding the behavior of washing hands with soap through the e-learning of health protocols media and is expected to change the behavior and motivation of elementary school-aged children to be able to wash their hands with soap properly and correctly so that children have readiness in implementing offline learning. acknowledgment i thank god almighty for his grace so that the research activity report with the title "elearning of health protocols improving skills of school-age children facing offline learning". it can be solved in the best way. i hereby express my deepest gratitude to. mrs. selvia david richard, s.kep., ns., m.kep as the head of stikes baptist hospital in kediri who has given permission, opportunities, and facilities to carry out the tri dharma of higher education activities. the principal of sd pelita bangsa surabaya as the principal who has given permission and the opportunity to do community service. all teachers and students of sd pelita bangsa surabaya who participated in this activity. the entire research team at stikes rs. baptist kediri who have participated in the completion of community service reports that i cannot mention one by one. god almighty repays the kindness of all those who have helped, prayed for, provided input, and was enthusiastic in completing this journal. the author realizes that the preparation of this journal still has many shortcomings and weaknesses. therefore, the writer expects corrections in the form of criticism and suggestions that are beneficial. the author hopes that this journal can be useful for readers and nursing. reference anies. (2020). covid 19 : seluk beluk corona virus yang wajib dibaca. arruzz media. heru, i., suhadi, & maryati. (2014). pengaruh modeling media video cuci tangan terhadap kemampuan cuci tangan pada siswa kelas 4 di sd wonosari 02 mangkang semarang. jurnal ilmu keperawatan dan ilmu kebidanan (jkk), 1–8. heru iskandar, dkk. (2014). pengaruh modeling media video cuci tangan terhadap kemampuan cuci tangan pada siswa kelas 4 di sd wonosari 02 mangkang semarang. jurnal ilmu keperawatan dan ilmu kebidanan (jkk), 1–8. induniasih, & ratna, w. (2017). promosi kesehatan pendidikan kesehatan dalam keperawatan (cetakan i). yogyakarta; pustaka baru press. kementerian kesehatan ri. (2020). panduan cuci tangan pakai sabun (ctps). 1–34. livana. (2020). faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku cuci tangan pakai sabun pada siswa sdn di kecamatan simpang pematang kabupaten mesuji provinsi lampung. jurnal ilmu kesehatan indonesia (jik mi), 1(1), 1–11. mahdalena, v., & handayani, l. (2019). sosialisasi gerakan cuci tangan dengan media audio visual sebagai pencegahan covid-19 di paud srikandi. 3(3), 120–129. moudy, j., & syakurah, r. a. (2020). pengetahuan terkait usaha pencegahan coronavirus disease (covid-19) di indonesia. higeia journal of public health research and development, 4(3), 333–346. 42 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 34-42 mulyadi, m. i., warjiman, & chrisnawati. (2018). efektivitas pendidikan kesehatan dengan media video terhadap tingkat pengetahuan perilaku hidup bersih dan sehat. 001. natsir, m. f. (2018). pengaruh penyuluhan ctps terhadap peningkatan pengetahuan siswa sdn 169 bonto parang kabupaten jeneponto. jurnal nasional ilmu kesehatan (jnik), 1, 1–9. putra, a. s., reni, a. h., & zuhrina, a. (2020). buku promosi kesehatan lanjutan dalam teori dan aplikasi. jakarta; prenada media. qurrotul aeni, f. b., & warsito, b. e. (2015). pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode pemutaran video tentang phbs cuci tangan terhadap pengetahuan dan sikap. jurnal keperawatan, volume 7 n(vol 7 no 2 (2015): september), hal 1-5. https://doi.org/https://doi.org/10.32583/keper awatan.7.2.2015.1-5 rachmawati, f., & putr, h. a. (2016). pengaru h penyuluhan tentang cuci tangan dengan media video terhadap p enerapan praktik cuci tangan di sd negeri nogotirto yogyakarta. nasional, 14. setiawan, d. i., asmarani, f. l., & sari, d. r. (2017). pengaruh penyuluhan kesehatan menggunakan media video dan bernyanyi terhadap keterampilan cuci tangan pakai sabun ( ctps ) pada siswa tk pkk indriarini yogyakarta. 4(september), 232– 237. subaris, h. (2016). promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan modal sosial (j. budi (ed.)). yogyakarta; nuha medika. suryaningsih, n. m. a., & poerwati, c. e. (2020). pengenalan protokol kesehatan pada anak usia melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. november, 329–336. wantiyah, purwandari, r., & ardina, a. (2015). hubungan antara perilaku mencuci tangan dengan insiden diare pada anak usia sekolah di kabupaten jember. jurnal keperawatan, 4(2), 122–130. wijayati, f. (2020). penggunaan buku saku sebagai media untuk meningkatkan using of pocket books as media to improve the knowledge and skills of child ’ s handwashing. 15(2), 80–87. https://doi.org/10.36086/jpp.v15i1.556. e:\ibuk\ners desember 2021\15-360 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 360–367 the effect of behavioral therapy with modeling techniques on changes in the adherence of diabetes mellitus patients caturia sasti sulistyana1, rina budi kristiani2 1,2nursing department, stikes adi husada surabaya, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 26/09/2021 accepted, 02/11/2021 published, 15/12/2021 keywords: behavioral therapy, modeling techniques, adherence, diabetes mellitus article information abstract diabetes mellitus (dm) is a disease whose prevalence is not infectious increases with changes in lifestyle. if not managed properly, it will cause various complications that reduce quality of life, increase morbidity and mortality, and harm the economy. the success of dm management is strongly influenced by the patient’s adherence to medication and diet. one of the interventions to improve the adherence of dm sufferers is behavior therapy with modeling techniques. the purpose of this study was to analyze the effect of behavioral therapy with modeling techniques on changes in adherence of dm patients. the design of this study was quasy-experimental with pretest posttest and control group, on a sample of 40 dm patients with consecutive sampling technique. the intervention was carried out in 4 sessions for 2 weeks. the results of the statistical test paired sample t-test and independent sample t-test obtained p <0.5 (0.000), which meant that there was an effect of behavioral therapy with modeling techniques on changes in adherence dm patient. changes in compliance that occurred between before and after the intervention was 16.95 points. modeling technique is behavioral learning through observation of a model who has successfully controlled his illness to emphasize changes in mindset, beliefs, and commitment to a person’s new positive behavior. modeling has an impact not only on imitating, but also adding or subtracting the observed behavior, so that it can be applied to obtain new behavior, leave old negative behavior, and maintain the desired behavior. © 2021 journal of ners and midwifery 360 correspondence address: stikes adi husada surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: caturia@akper-adihusada.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i3.art.p360–367 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i3.art.p360-367&domain=pdf&date_stamp=2021-12-26 361sulistyana, kristiani, the effect of behavioral therapy with modeling techniques on ... introduction diabetes mellitus (dm) is a disease whose prevalence is not infectious increases with changes in lifestyle. the success of dm management is strongly influenced by the patient’s adherence to maintain his health, which includes adherence to a therapeutic regimen in the form of medication and diet (kementerian kesehatan ri, 2019). this disease if not managed properly can cause chronic complications that can increase the blood sugar, reduce quality of life, increase morbidity and mortality, and bring economic losses (abidin, 2018). the world health organization (who) predicts an increase in the number of people with diabetes in indonesia from 8.4 million in 2000 to around 21.3 million in 2030. the prevalence of dm in indonesia ranks fifth in the world in 2008 with a total of 8.4 million(kementerian kesehatan ri, 2020). data from the health office of east java province (2011), dm is included in the 10 most diseases, namely 69,018 people from 37 million population. the city of surabaya ranks first with the highest number of dm sufferers, which is 14,377 people every year (izza, 2019). non-compliance with dm sufferers from year to year tends to increase, which is 50% in developed countries and lower in developing countries (abidin, 2018). the average number of patient visits dm in adi husada’s hospital 10-15 people every day. information of nurses in there that most patients follow the therapy when were hospitalized. the indonesian endocrinology association (perkeni) (2015) explains that the diagnosis of dm can be made if the fasting plasma glucose examination is over 126 mg/dl, plasma glucose examination is over 200 mg/dl, and hba1c is over 6.5%(thomas et al, 2016). the main obstacle in managing dm is the saturation of the patient following treatment and diet for a long time, causing failure of blood glucose control. dm sufferers say they are not too restrictive of their diet because they have taken medication, and consume food freely only at certain times, such as attending weddings or parties, and prefer to avoid the side effects of drugs by not taking them without reporting to the doctor. patients with diabetes will adhere to the therapeutic regiment when they are hospitalized, but when they are at home and carry out their usual routines, the patient returns to his previous lifestyle, ignores diet, and visits the hospital so that the pain gets worse, blood glucose levels are high and are accompanied by complications (abidin, 2018). good glycemic control will minimize the occurrence of long-term complications so that people with diabetes need several management strategies, including control of adherence to drug programs, diet, and physical activity. the american diabetes association (ada) in 2017 recommends weight loss, increased activity physical, counseling, medication, annual monitoring, and cardiovascular screening (american diabetes association, 2017). one of the interventions that can improve the compliance of dm patients is behavioral therapy. behavioral therapy is a behavior therapy with counseling and psychotherapy approaches to change negative or maladaptive behavior into expected or adaptive behavior. rahmah (2019) in her study explains that in this therapy the counselor provides positive treatment and stimulus according to the client’s problem and directs it to problem solving. the stages of behavioral therapy include: 1) assessment, 2) setting goals, 3) applying techniques, 4)  evaluation and termination. one technique of behavioral therapy is modeling (rahmah, 2019). modeling is giving examples based on knowledge and experience so that it can be observed directly or indirectly by clients (pambudi dkk, 2019). modeling is formed through direct (imitation) and indirect (vicarious conditioning) observation (munir, 2018). behavior therapy with this modeling technique has an impact not only on imitating, but also adding or subtracting, strengthening behaviors that have been formed and leaving old negative behaviors so that new behaviors are formed, and maintain the desired behavior through the observed model (bisri dkk, 2018). the results of the nengsih study (2019) showed that participant modeling therapy given to schizophrenia patients could improve adherence to taking medication after 4 sessions were given. the patient learns to behave in increasing adherence to taking medication after being directed and guided by the therapist with the model that has been observed. the modeling technique given in this study refers to changes in cognitive, affective, and individual behavior produced through observation of one or several models (nengsih, 2019). rahmah’s study (2019) also proves that behavioral therapy with modeling techniques carried out for 7 meetings can handle negative thoughts 362 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 360–367 and behaviors due self-efficacy to lowin an employee. the studyer uses a real model of the employee leader who can be observed and has been able to trade well, according to the islamic approach, and has successfully responded to various challenges (rahmah, 2019). behavioral therapy interventions with modeling techniques have specific objectives: 1) obtaining new attitudes through models, 2) reducing fear and anxiety after observing the model, 3) taking new responses or skills and showing them to new behaviors, and 4) motivating to perform something that may already be known or learned. the modeling implementation sessions include: 1) session 1 identifies behaviors that cause maladaptive behavior and provides role models for adaptive behavior, 2) session 2 assists patients in carrying out adaptive behavior, 3) session 3 motivates patients to perform adaptive behavior, 4) session 4 discusses the benefits therapy and adaptive behavior (nengsih, 2019)..  in this case, behavior therapy interventions with modeling techniques can produce new behavior changes that are obedient to the dm therapy regimen (nengsih, 2019). based on the facts above, studyers are interested in conducting study that will prove the effect of behavior therapy with modeling techniques on changes in compliance with dm patients. methods this study was conducted on july 5rd – september 3rd 2021. the study design used was a quasyexperimental with pretest posttest and control group. samples were taken from dm patients undergoing treatment at adi husada’s hospital surabaya, as many as 40 people divided into 20 people in the intervention group and 20 people in the control group, with consecutive sampling technique. the inclusion criteria for this study sample were: 1) type 2 dm patients, 2) age 26-65 years, 3) physically, mentally, cognitively, able to read and write, and willing to be respondents. while the exclusions criteria of this study included: 1) not having a smartphone, 2) dm patients with complications, 3) not participating in the intervention twice. the instrument used a demographic data questionnaire and also used an observation form for examination of temporary blood sugar (gds) with a normal value of < 200 mg/dl, a medication adherence questionnaire with the morisky medication adherence scale (mmas) with cronbach’s alpha 0.608, and a diet compliance questionnaire. perceived dietary adherence questionnaire (pdaq) with cronbach’s alpha 0.78. the adherence score is in the range 0-75, the smaller the score, the lower the compliance (assad et al, 2015). the implementation of the study in the intervention group was given behavioral therapy intervention with modeling techniques as many as 4 sessions for 2 weeks, 30-45 minutes for each meeting and each client. this intervention consists of: 1) session 1 for identifying behaviors that cause noncompliance, 2) session 2 for providing a role model to comply, 3) session 3 for accompaniing patients in carrying out therapy and helping to overcome boredom and side effects of treatment, 4) sessions 4 for motivating the application of obedient behavior, intervention benefits. while the control group received hospital standard education. this study used univariate analysis to calculate the frequency of demographic data and each variable, as well as bivariate analysis used spss statistical test paired sample t-test and independent sample t-test. the hypothesis accepted if the p value <0.05. results general data 1. a g e table 1 shows that there was no difference between the control group and the intervention group, namely most of the respondents in this study were in the 46-55 year age group, namely 12 people (60%) in the control group and 11 people (55%) in the intervention group. 2. gender table 2 shows that there was no difference between the control group and the intervention group, ie most of the respondents in this study were women, namely 14 people (70%) in the controlgroup and 16 people (80%) in the intervention group. 3. education table 3 shows that there was no difference between the control group and the intervention group, i.e. most of the respondents in this study had the last education level of high school/equivalent, namely 13 people (65%) in the control group and 11 people (55%) in the intervention group. 363sulistyana, kristiani, the effect of behavioral therapy with modeling techniques on ... age (years) control group intervention group amount n % n % n % 26-35 years old 2 10 2 10 4 10 36-45 years old 4 20 3 15 7 17,5 46-55 years old 12 60 11 55 23 57,5 56-65 years old 2 10 4 20 6 15 total 20 100 20 100 40 100 source: primary data table 1 distribution of respondents by age gender control group intervention group amount n % n % n % male 6 30 4 20 10 25 female 14 70 16 80 30 75 total 20 100 20 100 40 100 source: primary data table 2 distribution of respondents by gender education control group intervention group amount n % n % n % not in school 0 0 1 5 1 2,5 elementary school/ equivalent 1 5 2 10 3 7,5 junior high school/ equivalent 1 5 1 5 2 5 senior high school/ equivalent 13 65 11 55 24 60 bachelor’s degree/ equivalent 5 25 5 25 10 25 total 20 100 20 100 40 100 source: primary data table 3 distribution of respondents by education occupation control group intervention group amount n % n % n % not working 4 20 3 15 7 17,5 entrepreneur 5 25 5 25 10 25 private 7 35 9 45 16 40 asn/tni/polri 4 20 3 15 7 17,5 total 20 100 20 100 20 100 source: primary data table 4 distribution of respondents by occupation 364 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 360–367 control group intervention group amount n % n % n % < 1 years 3 15 4 20 7 17,5 1-5 years 6 30 5 25 11 27,5 5-10 years 7 35 8 40 15 37,5 > 10 years 4 20 3 15 7 17,5 total 20 100 20 100 40 100 source: primary data table 5 distribution of respondents by old suffers dm tipe 2 old suffers dm tipe 2 control group intervention group amount n % n % n % not in school 0 0 1 5 1 2,5 oral (po) 14 70 16 80 30 75 injektion 6 30 4 20 10 25 total 20 100 20 100 40 100 source: primary data table 6 distribution of respondents by history of dm treatment history of dm treatment 4. occupation table 4 shows that there was no difference between the control group and the intervention group, ie most of the respondents in this study worked as private employees, namely 7 people (35%) in the control group and 9 people (45%) in the intervention group. 5. old suffers dm tipe 2 table 5 shows that there was no difference between the control group and the intervention group, most of the respondents in this study suffered from type 2 dm for 5-10 years namely 7 people (35%) in the control group and 8 people (40%) in the control group. 6. history of dm treatment table 6 shows that there was no difference between the control group and the intervention group, that is, most of the respondents in this study received oral anti-dm treatment, namely 14 people (70%) in the control group and 16 people (80%) in the intervention group. specific data 1. paired t-test analysis of adherence table 7 shows that based on the results of the paired t-test statistical test, the control group and the intervention group both experienced changes in adherence, namely p = 0.03 (p < 0.05) in the control group and p = 0.000 (p < 0, 05) in the intervention group, so it can be concluded that there is a significant change in respondent adherence before and after being given the intervention in both groups. this is also evidenced by the mean 95% ci in both groups that does not involve the number 0, then the results are declared significant. however, the intervention group experienced a greater increase in adherence than the control group, which was indicated by the t-count value of 12.16. 8. independent t-test analisys of adhere nc e table 8 shows that the difference in the average change in adherence before and after being given behavioral therapy with modeling techniques in the control group and the intervention group 365sulistyana, kristiani, the effect of behavioral therapy with modeling techniques on ... was 16.95 points. the results of the statistical independent sample t-test obtained a value of p = 0.00 (p <0.05) so it can be concluded that there is a significant difference in changes in adherence between the control group and the intervention group. discussion the effect of behavioral therapy with modeling techniques on the adherence of diabates mellitus (dm) the results of the measurement of the adherence variable in dm patients in the intervention group showed that all respondents experienced an increase in adherence after being given intervention of behavioral therapy with modeling techniques. paired t-test results showed that the control group and the intervention group had the same change with p=0.03 in the control group and p=0.00. the average there was an increase adherence, but in the control group there was only a slight increase in t count, which was 2.35. meanwhile, in the intervention group, the t-count was greater, which was 12.16. the intervention group received behavioral therapy with modeling techniques for 2 weeks. as many as 4 sessions, which means that behavioral therapy with modeling techniques has an effect on increasing the compliance of dm patients the results of data analysis used independent sample t-test obtained p value = 0.00 (p <0.05), so it can be concluded that there is a significant difference in changes in dm management adherence (diet and medication) between the control group and the intervention group. most of the respondents before being given behavioral therapy with modeling techniques were found to be irregular in taking treatment because they felt that their bodies had no complaints, were afraid to inject dm, or forgot, and neglected their diet because they experienced boredom, the disease did not go away and felt weak if they limited their food. most of the respondents were aged 46-55 years. a young person is at risk of disobedience because when he is suffering from a chronic disease, he will experience internal conflicts when he is declared sick but his body has no complaints so that it causes him not to follow the advice of health workers. however, with increasing age, disease control irregularities can also occur due to boredom undergoing treatment that does not cure, forgetting the control schedule, taking medication, or consuming allowed and prohibited foods. in addition, with increasing age, a person needs and depends on his family to take control to the hospital so that it can often cause delays in control (susanti dan sulistyana, 2020). increased adherence in the intervention group experienced a lot of female respondents. women are more concerned and careful about their health. while men tend to be disobedient because they do more physical activity outside the home than women, so they consume more high-calorie foods to meet the energy expended. this is what can underlie men tend to not care or ignore the recommendations respondent group adherence 95% ci t p* pre (mean ± sd) post (mean ± sd) control group 29,1±10,45 32,25±9,04 -6,72±-0,38 2,35 0,03 intervention group 23,55±11,79 49,6±12,57 -30,53±-21,57 12,16 0,000 source: primary data table 7 the result of paired t-test analysis of adherence adherence control group intervention group mean 95% ci p* (mean ± sd) post (mean ± sd) difference value difference 32,65 ± 9,03 49,6 ± 12,57 16,95 -23,96 : -9,95 0,000 source: primary data table 8 the result of independent t-test analysis of adherence 366 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 3, december 2021, page 360–367 suggested by hea lth wor ker s (susa nti da n sulistyana, 2020). the results showed that the increase in adherence was experienced by many respondents with a high school education level/equivalent. another factor that supports a person’s success in complying with the therapeutic regimen is knowledge. someone who has a good level of knowledge is more likely to be more obedient (susanti dan sulistyana, 2020). education shapes a person’s way of thinking so that it is broader, including understanding the factors that cause illness and maintaining his health. in addition, the higher a person’s education level, the easier it is for that person to access information from various sources (sulistyana, 2020). a mindset person’s will change for the better and wiser with age, in this case the mindset of his health condition. another factor that can affect adherence to dm management is the length of time suffering from dm. the main obstacle in managing dm is patient saturation in following a diet and taking antidm drugs for a long time or for life. someone who undergoes treatment for a long time will be bored and want to feel free to try various foods (sulistyana, 2020). an action that is carried out continuously and monotonously will cause boredom or boredom so that it causes someone to try new things, in this case people who suffer from dm undergoing regular treatment for years can cause the person to become bored because the impact cannot be seen directly. this modeling therapy can be given to patients who experience ineffectiveness of the therapeutic regimen due to non-adherence to a treatment program. in a study conducted by nengsih (2019), modeling therapy conducted on 112 respondents for 4 sessions with a duration of 30-45 minutes/session/client was proven to be effective in increasing patient compliance in carrying out previously nonadherent treatment (nengsih, 2019). while in this study, the modeling technique was carried out in 4 sessions for 2 weeks, containing material related to sharing experiences when sick, providing support, motivation, enthusiasm, and solutions from fellow dm sufferers who have successfully controlled their disease. this modeling technique is given by emphasizing on changing one’s way of thinking (mindset) and behavior because of a sense of compatriots’ fate when suffering from the same disease, so that it can increase the confidence and commitment of other dm sufferers to follow the diet program and dm treatment obediently in order to reach the highest level. optimal health, reduce morbidity and disability, and death due to dm. this is in line with smith’s study (2018), namely modeling or observational learning which emphasizes changes in one’s cognitive and behavioral aspects after observing other people who act according to what they experience. empirically identified modeling can overcome one’s fears and phobias after observing other people who can overcome these fears (smith, 2018). this is also in line with sulistyana’s study (2020) that the experience of peers in similar illness conditions can lead to confidence and enthusiasm for dm sufferers to return to adherence with their health care management. modeling has an impact not only on imitating but also sorting out, adding or subtracting the observed behavior, so that new positive behaviors can be obtained, leaving old negative behaviors, and maintaining the desired behavior. in this case, if someone sees other people of the same age successfully running a healthy lifestyle for dm, it will foster a sense of confidence and enthusiasm so that they can comply with the therapy regimen they are undergoing. furthermore, if you have grown a sense of confidence and enthusiasm, you will get a new attitude and take a response to new behavior. the modeling technique has the effect of strengthening the behavior that has been formed and weakening inappropriate behavior so that new behavior can be formed according to the observed model conclusion the above discussion can be concluded that there was a significant difference in changes in adherence of dm sufferers between the control group and the intervention group, and there was a significant effect behavioral therapy with modeling techniques on changes in adherence of diabetes mellitus patients. suggestion the further studyers can involve other dependent variables in order to analyze the positive effect of behavioral therapy with this modeling technique for people with dm 367sulistyana, kristiani, the effect of behavioral therapy with modeling techniques on ... references abidin, z. (2018). health education dengan pendekatan social media reminder dan audiovisual terhadap kepatuhan dan kadar glukosa darah pasien dm tipe 2 di rumah sakit universitas airlangga surabaya. american diabetes association (ad). (2017). panduan terbaru ada 2017 berfokus pada pendekatan holistik. assad g, sadegian, m, lau r, xu y, contreras d.c, bell r.c, chan, c. . (2015). the reliability and validity of the perceived dietary adherence questionnaire for people with type 2 diabetes. nutrients, 7, 5484– 5496. https://doi.org/10.3390/nu7075231 bisri, m., purwanto, e., japar, m. (2018). the effectiveness of group counselling with modelling technique to improve self-efficacy in senior high school students decision making of study continuation. jurnal bimbingan konseling, 7(1), 17–22. https://doi.org/ 10.15294/jubk.v7il izza, elfa lailatul.. (2019). kepatuhan penderita diabetes mellitus tipe-2 yang menjalani terapi diet ditinjau dari theory of planned behaviour. program studi magister keperawatan. universitas airlangga. kementerian kesehatan ri. (2019). hari diabetes sedunia tahun 2018. kementerian kesehatan ri. (2020). tetap produktif, cegah, dan atasi diabetes melitus. kementerian kesehatan ri. munir, a. (2018). teknik modelling sebagai upaya penanganan untuk mengurangi perilaku adiktif smartphone pada anak di kelurahan teritip, kota balikpapan, kalimantan timur. universitas islam negeri sunan ampel surabaya. nengsih, novida. (2019). pengaruh terapi modeling partisipan terhadap kepatuhan dalam minum obat pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa daerah provinsi jambi tahun 2018. scientia journal, 8(1), 241–247. pa mbudi, a. t., mulawarma n, japar, m. (n .d. ). psychoeducational group with modelling technique to improve career adaptability through career decision self efficacy. jurnal bimbingan konseling, 8(1), 20–31. https://doi.org/10.15294/jubk.v8i1.26617 rahmah, h. s. (2019). behavioral therapy dengan teknik modelling untuk meningkatkan self efficacy rendah pada seorang karyawan di perusahaan faza grafis sidoarjo. universitas islam negeri sunan ampel surabaya. smith, h. (2018). the use of video modelling to reduce fear, and teach appropriate response and safe behaviours in children with autism spectrum disorder wit a fear of dogs (issue august). university of canterbury. sulistyana, c. s. (2020). peer support for dietary compliance patients with diabetes mellitus. 7(3), 432– 438. https://doi.org/10.26699/jnk.v7i3.art.p432 susanti dan sulistyana, caturia sasti. (2020). pengaruh coac hi ng support te rhadap kepat uhan penderita chronic kidney disease ( ckd ). 5(4). thomas, j.j., moring, j.c., harvey, t., hobbs, t., lindi, a. (2016). risk of type 2 diabetes: health care provider perceptions of prevention adherence. applied nursing study. elseviier, 32, 1–6. https://doi.org/ 10.1016/j.apnr.2016.03.002 232 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of knowledge and the attitudes of class vii teenage girls in readiness to face menarche mulazimah1, dhewi nurahmawati2, indri hapsari trishastuti3 1,2,3faculty of health and sciences, nusantara university pgri kediri, indonesia article information abstract menstruation is one of the things that many girls or teenage girls fear. those who are not aware of the occurrence of changes in the body and its reproductive processes, can suppose that menstruation is one of the diseases that occurs on her that affects physical and mental health. it happens to girls who are not given the knowledge and understanding of the correct menstruation, that menstruation is as a normal function. teenage girls who are not ready to face menarche will experience fear, anxiety, surprise, sadness, disappointment, shame, worry and confusion that will arise the desire to reject the physiological process. adolescence feels that menstruation as something cruel and threatening, this can also continue in a more negative direction. teenage girls who are ready to face menarche, will feel happy and proud, because they consider themselves biologically mature. analytical observational research with cross sectional design. the subjects in this research were teenage girls in grade vii of smpn 1 gampeng rejo kediri who were aged 12-14 years and were willing to become respondents, who had not or who had menstruated and wanted to fill out the questionnaires included in the inclusion questionnaire totaling 40 people. most of the 29 respondents (72.5%) had an attitude of accepting criteria to face menarche, namely 2 respondents (5%) with criteria not ready to face menarche, 16 respondents (40%) with criteria of being sufficiently prepared and 11 respondents (27.5%) with ready criteria. the results of the correlation test showed there was a significant correlation between the menarche knowledge and attitudes of class vii teenage girls in menarche readiness. d gets a value of ρvalue = 0.000 < α 0.05. history article: received, 08/06/2022 accepted, 24/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: knowledge, attitude, readiness to face menarche © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: nusantara university pgri kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : mulazimah@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p232-240 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:mulazimah@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p232-240 mulazimah, nurahmawati, trishastuti, the correlation of knowledge and the attitudes of class … 233 introduction menarche is the first menstruation that usually occurs in the age range of 11 – 16 years (suryani and widyasih, 2012). menarche is one of the early signs of other changes such as breast growth, pubic and axillary hair growth, and fat distribution in the hip area. so far, some people feel it is taboo to talk about menstrual problems in early adolescent families, so the problems that often arise are anxiety and fear and are strengthened by the desire of teenage girls to reject these physiological processes (devi octopus melati, 2013). teenage girls who are not ready to face menarche will experience fear, anxiety, surprise, sadness, disappointment, shame, worry and confusion that will arise the desire to reject the physiological process, they will feel menstruation as something cruel and threatening to her, with this situation can also continue in a more negative direction (jayanti et all, 2012). the definition of the first menstruation depends on several factors including the age of the child, the level of psychic development and the environment and education (zein, 2011). teenage girls who are ready to face menarche, will feel happy and proud, because they consider themselves biologically mature (suryani & widyasih, 2012) demographic data shows that adolescents make up the largest population of the world's population. who in one-fifth of the world's population is adolescents aged 10 – 19 years, about 900 million are in developing countries (puspita, 2015). the results of riskesdas show that based on reports of respondents who have experienced menstruation, the average age of menarche in indonesia is 13 years (20%) with an earlier occurrence at the age of less than 9 years. nationally, the average age of menarche 13-14 years occurs in 37.5% of indonesian children and there are also those who are only 8 years old who have started the menstrual cycle but this number is very small (puspita, 2015). in 2013 the number of adolescents in east java province reached 16.01% of the total population of 37,687,622 or as many as 6,035,175 adolescents. in 2016 the number of teenagers in kediri was 9.26% of the total population of 281,978 people. menstruation is one of the things that many girls or teenage girls fear. those who are not aware of the occurrence of changes in the body and its reproductive processes, can suppose that menstruation or menstruation is one of the diseases that occurs on him that affects physical and mental health. it happens to girls who are not given the knowledge and understanding of the correct menstruation, that menstruation is as a normal function (shah m, 2017). based on the previous survey that be done in july at smpn 1 gampengrejo, kediri, it’s known that 5 teenage girls from vii grade students were facing menstruation. they felt clumsy, worried, uncomfortable and afraid. it’s also known that 3 of those students have low knowledge about menarche. based on the interview result between the researcher and the teacher it’s known that there’s never done research about menarche at that school. the role of midwives in efforts to improve reproductive health is to conduct counseling on ways to reduce these complaints in adolescents, by behaving healthy, improving health conditions such as improving nutrition, living in a healthy and calm environment, reducing weight in women with obesity, exercise, and consumption of balanced nutrition. in addition, especially as adolescents, they must also be able to implement healthy living behaviors to maintain reproductive health, because women are life milestones that will give birth to life generations (syaifuddin, et al, 2013). the objective of this research was to know the correlation between knowledge and teenage girls’ attitude of vii grade students on their readiness of facing menarche at smpn i gampengrejo kediri east java. method this was an analytical observational research with cross-sectional time approach method. the research was conducted at smpn 1 gampengrejo kediri, east java. the population of this research was 62 students in grade vii smpn 1 gampengrejo kediri, east java. the research sample was selected using a purposive sampling technique, namely the technique of determining the sample based on certain considerations, namely 40 students of class vii smpn 1 gampengrejo kediri, east java. the sample in this research must meet the inclusion and exclusion criteria. the inclusion criteria in this research were adolescent girls in grade vii smpn 1 gampeng rejo, kediri who were 12-14 years old and willing to be respondents, who had not or who had menstruated and wanted to fill out the questionnaire. the exclusion criteria were seventh grade girls who were >14 years old, <12 years old and who were not present at the time of data collection. the independent variables in this research were 234 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 232-240 knowledge in readiness to face menarche; while the dependent variable in this research is the attitude of teenager girls in readiness to face menarche. the instrument used was a questionnaire. the data collection was carried out by the researcher in july 2021. the researcher asked the respondent's willingness to participate in the research by signing the respondent's consent sheet that had been provided then distributing the questionnaire to the respondent and explaining how to fill in each statement. the data was processed through editing, coding, scoring and tabulating. the data analysis was done through descriptive test (percentage) and spearman's statistical test. result teenager girls' knowledge of class vii in facing menarche table 1: frequency distribution of teenager girls’ knowledge of class vii in facing menarche at smpn 1 gampengrejo kediri knowledge criteria frequency percentage (%) less 12 30 enough 21 52,5 good 7 17,5 total 40 100 source: primary data 2021 based on table 1. it can be explained that from the results of the research of a total of 40 respondents showed that more than half of the respondents 21 respondents (52.5%) had sufficient knowledge of the criteria. teenager girls' attitudes of class vii in facing menarche table 2: frequency distribution of teenager girls of class vii in facing menarche at smpn 1 gampengrejo kediri attitude criteria frequency percentage (%) not accepting 11 27,5 receive 29 72,5 total 40 100 source: primary data 2021 based on table 2. it can be explained that the results of a research of a total of 40 respondents showed that most of the 29 respondents (72.5%) had a receptive attitude. teenager girls' readiness of class vii in facing menarche table 3: frequency distribution of teenager girls' readiness of class vii in facing menarche at smpn 1 gampengrejo kediri. readiness criteria frequency percentage (%) unprepared 10 25 just ready 19 47,5 ready 11 27,5 total 40 100 source: primary data 2021 based on table 3. it can be explained that the results of a research of a total of 40 respondents showed that almost half of the 19 respondents (47.5%) had readiness criteria ready. the correlation of knowledge of teenager girls of class vii and their readiness in facing menarche table 4: cross-tabulation of the correlation of knowledge of teenager girls of class vii and their readiness in facing menarche knowledge criteria menarche criteria total unprepared just ready ready f % f % f % f % less 4 10 7 17,5 1 2,5 12 30 mulazimah, nurahmawati, trishastuti, the correlation of knowledge and the attitudes of class … 235 enough 6 15 12 30 3 7,5 21 52,5 good 0 0 0 0 7 17,5 7 17,5 sum 10 25 19 47,5 11 27,5 40 100 source: primary data 2021 based on table 4. showed that out of 40, more than half of respondents 21 respondents (52.5%) had sufficient knowledge of menarche and ter could 6 respondents (15%) were not ready to face menarche, the criteria were quite ready 12 respondents (30%) and the criteria were ready 3 respondents (7.5%) the correlation between the attitudes of class vii teenager girls and their readiness to face menarche table 5: cross-tabulation of the correlation between the attitudes of class vii teenager girls and their readiness to face menarche attitude criteria menarche criteria total unprepared just ready ready f % f % f % f % not accepting 8 20 3 7,5 0 0 11 27,5 receive 2 5 16 40 11 27,5 29 72,5 sum 10 25 19 47,5 11 27,5 40 100 source: primary data 2021 based on table 5. showed that out of 40 respondents, most of the 29 respondents (72.5%) had an attitude of accepting criteria to face menarche and there were 2 respondents (5%) unprepared to face menarche, the criteria were quite ready 16 respondents (40%) and the criteria were ready 11 respondents (27.5%). the analysis results of the correlation between knowledge of class vii teenager girls and their readiness to face menarche table 6: distribution of spearman’s test analysis results of the correlation between knowledge of class vii teenager girls and their readiness to face menarche knowledge criteria readiness criteria spearman's rho knowledge criteria correlation coefficient 1.000 .498** sig. (2-tailed) . .001 n 40 40 readiness criteria correlation coefficient .498** . 1.000 sig. (2-tailed) .001 . n 40 40 source: primary data 2021 the results of the analysis of the correlation between the knowledge of class vii teenager girls and the readiness to face menarche at smpn 1 gampengrejo using statistical tests using spearman's obtained a value of ρvalue = 0.001< α 0.05 this shows that h1 is accepted. the coeffecient correlation value obtained by (r) 0.498 is included in the category of medium relationship level. the analysis results of the relationship between the attitudes of class vii teenager girls and their readiness to face menarche table 7: distribution of spearman's test analysis results of the relationships between the attitudes of class vii teenager girls and their readiness to face menarche criterion attitude readiness criteria spearman's rho attitude criteria correlation coefficient 1.000 .637** sig. (2-tailed) . .000 n 40 40 readiness criteria correlation coefficient .637** 1.000 sig. (2-tailed) .000 . n 40 40 236 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 232-240 source: primary data 2021 the results of the research analysis on the relationship of attitudes of class vii teenager girls in readiness to face menarche using statistical tests using spearman's obtained a value of ρvalue = 0.000 < α 0.05 this shows that h1 is accepted. the coeffecient correlation value obtained by (r) 0.637 is included in the category of strong relationship levels. results of spearman's test analysis of the relationship of knowledge with their attitudes of teenager girls of class vii and their readiness to face menarche. table 8: distribution of spearman's test analysis of the relationships of knowledge with their attitudes of teenager girls of class vii and their readiness to face menarche criteria for young women's knowledge of menarche criteria for young women's attitudes towards menarche criteria for young women's readiness to face menarche spearman's rho criteria for young women's knowledge of menarche correlation coefficient 1.000 .470** .498** sig. (2-tailed) . .002 .001 n 40 40 40 criteria for young women's attitudes towards menarche correlation coefficient .470** 1.000 .637** sig. (2-tailed) .002 . .000 n 40 40 40 criteria for young women's readiness to face menarche correlation coefficient .498** .637** 1.000 sig. (2-tailed) .001 .000 . n 40 40 40 source: primary data 2021 the results of the research analysis on the relationship of knowledge of attitudes of class vii teenager girls in readiness to face menarche at smpn 1 gampengrejo kediri using statistical tests using spearman's obtained a value of ρvalue = 0.000 < α 0.05. discussion teenager girls' knowledge of class vii in facing menarche based on the results of research on the knowledge of class vii teenager girls about menarche, from the results of the research of a total of 40 respondents, it was shown that more than half of the respondents, they are 21 respondents (52.5%) had sufficient knowledge of the criteria. according to catarina’s research (2013) those who have sufficient knowledge, then they had sufficient readiness in facing menarche. this is because the sources of information are now freely accessible to the village through: print media, electronic media, families and other sources of information. the results of yanti yusuf’s research (2014) showed that respondents with good knowledge are 13 respondents (37,1%), sufficiently knowledgeable 16 respondents (45,7%), and less knowledgeable are 6 respondents (17,1%). this shows that most of respondents are knowledgeable enough because most of information obtained from parents and friends is 19 respondents (54,3%). according to notoatmodjo (2013), knowledge is the result of 'knowing', and this happens after people have made sensing of a certain object. knowledge or cognitive is a very important domain for the formation of one's actions (overs behavior). broadly speaking, it is divided into 6 levels such as know (know) memory memory that has existed before after observing something. notoatmodjo also explains that to know or measure that people know something can use questions. as an indicator, namely understanding (comprehension) an object is not just knowing the object and can correctly interpret the known object. application (application) is that a person who has understood the object in question can apply the known principle. analysis (analysis) is in the form of a person's ability to describe and / or separate, then look for relationships between the components mulazimah, nurahmawati, trishastuti, the correlation of knowledge and the attitudes of class … 237 contained in a problem or known object. synthesis is defined as the ability of a person to summarize a logical relationship of the components of knowledge possessed. evaluation is related to a person's ability to justify or assess a particular object. the knowledge of teenager girls in class vii about menarche for respondents in this research showed that more than half had sufficient knowledge of the criteria, this was because respondents had knowledge about menarche such as the time menarche (first menstruation) was experienced, the normal menstrual cycle, the age of getting menstruation, and respondents understood that menstruation is the culmination of a series of changes that occur in adulthood. furthermore, the researcher explained that the knowledge about menarche that they have is due to the memory of memory that they have obtained through sensing from the information they have obtained so that they have understanding and ability as a component of the knowledge that young women have. however, the knowledge they get has not been maximized and there needs to be an increase in knowledge through the medium of information and experience. the attitudes of class vii teenager girls in their readiness of facing menarche at smpn 1 gampengrejo kediri based on research on the attitudes of class vi i teenager girls in facing menarche, it was found that the results of a research of a total of 40 respondents showed that most of the 29 respondents (72.5%) had an accepting attitude. according to ibrah’s research (2010) overall the attitudes of young women about menarche still show negative criteria. some of the factors that cause the magnitude of attitudes with negative criteria from teenager girls about menarche are influenced by the lack of knowledge from teenager girls about menarche. for this reason, efforts need to be made in forming a supportive attitude about menarche, namely by increasing their knowledge about menarche. attitude is a reaction or response of a person who is still closed to a stimulation or object. the attitude manifestly shows the connotation of the appropriateness of a reaction to a certain stimulus that in everyday life is a reaction of an emotional nature to the social stimulus. attitude is a readiness or willingness to act and is not an exercise of a particular motive (notoadmojo, 2013). furthermore, notoatdmojo explained that from attitudes there are several components that form each other's whole attitudes (total attitud) such as the existence of beliefs (beliefs), ideas and concepts towards an object which is a belief, opinion natau of a person's thoughts towards an object. the existence of emotional life and evaluation of an object which is the assessment (contained in it of emotional factors) of the person towards an object. there is a tendency to act (tend of behave) which is the component that precedes open actions or behaviors. in the researcher's opinion, the presence of attitudes in the face of menarche in this research shows that most respondents had an attitude of acceptance, this was due to the reaction or response that respodents had in assessing the presence of menarche that they experienced as it can be described that the respondents felt happy with the arrival of menstruation for the first time, they prepared themselves with pads before menstruation as a sign of their responses that they were ready to receive menarche, respondents also pay attention to changing pads for example changing pads 3-4 times a day as a sign that they paid attention to the menstruation, it showed that the respondents have as a form of behavior accepting menarche. the readiness of class vii teenager girls in facing menarche at smpn 1 gampengrejo kediri based on research on the readiness of young women, it can be explained that the results of a research of a total of 40 respondents showed that almost half of the 19 respondents (47.5%) had ready criteria readiness. according to research by dedi, s.s (2018) the results of the frequency distribution of young women's readiness to face menarche showed that the readiness of female students in facing menarche in the ready category was 49 respondents (76.6%) and the unprepared category was 15 respondents (23.4%). the preparations owned by the teenagers of nurul ilmi padang private junior high school are in the ready category. the readiness of adolescents in the face of menarche it is a state that indicates that a person is ready both physically and psychologically prepared to prepare for all possibilities, namely with the arrival of the first menstruation for a young woman. readiness is a state of getting ready to prepare something. according to the dictionary of psychology, readiness (readines) is a point of maturity to accept and practicen certain behaviors. 238 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 232-240 readiness is preparedness to respond or react. readiness is the willingness to respond or react (jamies drever in slameto, 2013). further explained according to slameto (2013), readiness is the overall condition of a person that makes him ready to respond in a certain way to a situation. there are research facts as there are almost half of respondents who are prepared to face menarche with ready criteria. this is as a form of respondents to the situation when facing menarche that they experience makes respondents become ready to face menarche, that is, they feel happy and consider it something ordinary, they tend to be prouder of the existence of menarche, they assume that having experienced menarche means that they are an adult. in addition, the form of readiness of respondents was also shown such as not feeling afraid of facing the first menstruation, not being confused and only considering a maturity of themselves as a woman so that they have readiness to be ready in carrying out the fire of menarche. the analysis of the relationship between knowledge and attitudes of class vii teenager girls in facing menarche at smpn 1 gampengrejo kediri the results of the research analysis on the relationship of the level of knowledge of class vii teenager girls with the readiness to face menarche using statistical tests using spearman's obtained a value of ρvalue = 0.001 < α 0.05 this shows that h1 is accepted. the coeffecient correlation value obtained by (r) 0.498 is included in the category of medium relationship level. meanwhile, based on cross-tabulation, it shows that out of 40, more than half of the respondents, 21 respondents (52.5%) have sufficient knowledge of menarche and 6 respondents (15%) are not ready to face menarche, the criteria are quite ready 12 respondents (30%) and the ready criteria are 3 respondents (7.5%). according to shah m, 2017 that menstruation is one of the things that many girls or adolescent girls fear. those who are not aware of the occurrence of changes in the body and its reproductive processes, can suppose that menstruation or menstruation is one of the diseases that occurs on him that affects physical and mental health. the most important event at puberty of girls is the symptoms of menstruation or menstruation, which become a biological sign of sexual maturity. (kartini, 2007 in suryani and widyasih, 2012). teenager girls who do not have knowledge of menstruation can think that menstruation is one of the diseases that occurs in her that affects physical and mental health. it happens to girls who are not given the knowledge and understanding of the correct menstruation, that menstruation is as a normal function. while menarche is the first menstruation that usually occurs in the age range of 11-16 years (suryani and widyasih, 2012). there were respondents who had sufficient knowledge of the criteria for facing menarche quite ready, this can be explained that knowledge had an impact on the readiness to face menarche by as evidenced there was a relationship between the level of knowledge and the attitude of adolescents. it was clarified from the result of a value (r) of 0.498 belonging to the category of moderate relationship level. the results of the research analysis on the relationship of attitudes of class vii teenager girls in readiness to face menarche at smpn 1 gampeng rejo using statistical tests using spearman's obtained a value of ρvalue = 0.000 < α 0.05 this showed that h1 is accepted. the coeffecient correlation value obtained by (r) 0.637 was included in the category of strong relationship levels. meanwhile, based on cross-tabulation, it showed that out of 40 respondents, most of the 29 respondents (72.5%) had an attitude of accepting criteria for facing menarche unprepared 2 respondents (5%), the criteria were quite ready 16 respondents (40%) and the criteria were ready 11 respondents (77.5%). according to ayu and khairani (2011), that readiness to face menarche is a state that indicates that a person is ready to reach physical maturity that is the arrival of the first menstruation (menarche) at the age of eleven to sixteen years which occurs periodically (at a certain time) and is cyclic (repeatedly). it is characterized by a deep understanding of the menstrual process so that it is ready to accept and experience the first menstruation (menarche) as a normal process. in this research, the relationship depicted in cross-tabulation, there were respondents who had an attitude of acceptance there is readiness to face menarche the criteria are quite ready to be clarified by the existence of hasil analysis in this research, namely there is a relationship between the level of knowledge and the attitude of young women in facing menarche deng an level of strong relationships. this is that the attitude of accepting can have an impact on the readiness of the mulazimah, nurahmawati, trishastuti, the correlation of knowledge and the attitudes of class … 239 respondent, that is, the more the respondent has an attitude of accepting menarche, the more prepared to face menarche, and vice versa, the more respondents do not accept menarche, the more unprepared to face menarche. this research is also supported by previous research by leliana (2010), with the title the relationship of young women's knowledge to readiness in facing menarche at sdai-azhar medan shows that good knowledge as many as 53.66% of respondents can affect the readiness of female students in facing menarche, namely as many as 80.49% of respondents so that it can be concluded that someone who is ready to face menarche is based on good knowledge as well. conclusion the results of this research is there was a significant relationship between knowledge and the attitude of adolescent girls in class vii in readiness to face menarche. the value of value = 0.000 < 0.05. suggestion from the results of this research, the reasearcher suggests for teenager girls must have good knowledge and readiness to face menarche. information about menarche is needed to avoid feeling awkward, uncomfortable, anxious and afraid when menstruation comes. with sufficient knowledge and readiness to face menarche, it will have a positive impact, namely understanding, appreciating and accepting menstruation as a sign of a woman's maturity. information can be obtained either through print media, electronic media, family and other sources of information. the reasearcher also suggeseted to the next other researchers to examine the factors of readiness in facing menarche. acknowledgement this research has no sponsor. the costs incurred for this research are 100% incurred by the researcher. the first researcher spent 60%, the second researcher spent 40%. this research was conducted in 2021. the first researcher contact: 081 335 690 258; second researcher contact: 081 330787826; third researcher contact: 0878 9896 5980 funding the cost of this research is borne by the first and second researchers. the first researcher on behalf of: mulazimah; the second researcher on behalf of: dhewi nurahmawati; third researcher on behalf of: indri hapsari trishastuti. the research proposal is done by the first researcher. the research was carried out by the first, second and third researchers. the results of the research, discussion, conclusions and suggestions were carried out by the first, second and third researchers. for publication is the responsibility of the first researcher. conflicts of interest this research is independent research that be done by the lecturer of the d3 midwifery research program at nusantara university, pgri kediri. in this research we did not involve consultants. the dpm of kediri regency and smpn i gampingrejo contributed to providing research permits. the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. refference astutik d, and diyan i., 2014. the relationship between motherhood and adolescent readiness to face menarche in young women at smpn 02 maesan bondowoso. jember: fikes muhammadiyah university of jember ayu and khairani. 2011. the relationship between the mother–child community and readiness to face first menstruation (menarche). aceh: syiah kuala university banda aceh catarina, n.w. 2013. the relationship between adolescent knowledge about menarche and anxiety facing menarche at sd tlogo kasihan and sd mejing ii gamping yogyakarta. yogyakarta: psik stikes general achmad yani. dedi, s.s.2018. the relationship between family support about menstruation and young women's readiness to face menarche at nurul 'ilmi padang sidimpuan private junior high school. north sumatra: faculty of medicine, university of north sumatra. devi, g.m., septi f.n & fikri m. 2013. attitudes of young women aged 12 – 15 years about menarche at smpn bandar kedung mulyo jombang regency. jombang: journal of stikes jombang regency government. 240 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 232-240 ibrah, 2010. overview of knowledge, attitudes and actions about menarche in students of smpn 11 parepare city. makassar: midwifery research program fik aludin state islamic university. irnawati, 2016. factors related to the knowledge of young women class iv, v, vi about menarche at sdn karang kidul ii benjeng district, gresik regency. surabaya: fk unair. jayanti, n. and purwanti s., 2012. description of faktro–faktror that affects the readiness of children in facing menarche at sdn 1 kretek, paguyangan district, brebes regency. scientific journal of obstetrics vol.3, no. 1. purwokerto: ylpp midwifery academy. leliana, 2010. the relationship of young women's knowledge to readiness in facingmenarche at sd al – azhar medan. north sumatra: faculty of nursing, north sumtra university. muhibbin shah, 2017. educational psychologist. bandung: juvenile rosdakarya. notoatmodjo, soekidjo. 2012. health research methodology. jakarta: rineka cipta. puspita, i. f et al, 2015. factors affecting the readiness of young women to face menarche at sdn 02 sukorejo semarang. semarang: abdi husada midwifery academy. riskesdas. 2014. basic health research report. jakarta: health research and development agency of the ministry of health of the republic of indonesia. sari, d.p et al, 2019. factors affecting early menarche in elementary school students of lapadde village, parepare city. scientific journal of human and health vol 2 no. 1 january 2019 slameto. 2013. learning and the factors that influence it. jakarta: rineka cipta. suryani, eko and hesty widyasih. 2012. maternal and child psychology. yogyakarta: fitramaya. shaifuddin, a.b. 2013. practical handbook of contraceptive services. jakarta: ybpsp. ucik, l. 2015. the relationship between anxiety level and attitude in facing menarche in class v students at sd karangnongko subdistrict, klaten regency. yogyakarta: stikesaisyiyah yogyakarta. 40 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation between the history of antenatal care visits during the covid -19 pandemic and stunting incidents ratih mega septiasari1, dian mayasari2, yesika nadya3 1,2,3midwifery department, malang institute of health technology widya cipta husada, indonesia article information abstract stunting occurs due to chronic malnutrition that has been going on for a long time, namely from the time the child is in the womb until the child is 2 years old. limited access to antenatal care is one of the causes of stunting. the covid-19 pandemic has had an impact on health services, including maternal and child health services. the purpose of this study was to analyze the correlation between the history of antenatal care visits during the covid-19 pandemic and the incidence of stunting. this was a quantitative study using an observational case-control research design with a retrospective approach. the population was all mothers who had babies aged 0–12 months in kebonagung village area, pakisaji district, malang regency. the sampling technique used total sampling. the sample was 70 respondents. the data obtained were analyzed using the chi-squared correlation test with a p value of 0.05. the results showed that there was a significant correlation between antenatal care visits during the covid-19 pandemic and the incidence of stunting in the kebonagung village area, pakisaji district, malang regency, with a p value of = 0.000 (p < 0.05). with moderate closeness and a correlation coefficient value of (r) = 0.2352. it is expected that health workers will provide counseling, information, and education to pregnant women about the importance of prenatal checks to prevent stunting. history article: received, 16/04/2022 accepted, 04/04/2023 published, 25/04/2023 keywords: antenatal care, covid-19 pandemic, stunting © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: malang institute of health technology widya cipta husada – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : ratihmega17@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p040-045 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ratihmega17@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p040-045 septiasari, mayasari, nadya, e-booklet media affecting mother's knowledge but not the level of nutrition … 41 introduction the incidence of short toddlers is one of the nutritional problems experienced by toddlers in the world today. in 2017, 22.2%, or around 150.8 million toddlers in the world, were stunted. however, this figure has decreased when compared to the stunting rate in 2000, which was 32.6%. in 2017, more than half of the stunted toddlers in the world came from asia (55%), while more than a third (39%) lived in africa (kemenkes ri, 2018). based on the indonesian nutrition status study (ssgi) in 2021, the prevalence of stunting in indonesia is 24.4%, while the target prevalence of stunting in 2024 is 14%. based on data released by the indonesian toddler nutrition status survey (ssgbi), the target and achievement of stunting prevalence in east java from 2019 to 2021 continue to decline. even though it has not yet reached the annual target, it has recorded a decline from 26.86% in 2019 to 25.64% in 2020 and then to 23.5% in 2021. meanwhile, the prevalence of stunting in malang regency is 25.7% (kemenkes ri, 2021). stunting in children is a form of nutrient deficiency during the first 1000 days of life. this will have an impact on children's physical development, which is irreversible, so that it will cause delays in physical growth, mental development, and children's health status. this can be a predictor of the low quality of a country's human resources (ernawati, 2019). factors causing stunting include maternal factors. one of those included in the maternal factor is antenatal care (anc). antenatal care (anc) is a health service provided by health workers for mothers during pregnancy and carried out in accordance with the service standards set out in the midwifery service standards to detect the risk of complications of pregnancy and childbirth and to maintain the health of the fetus. according to amini (2016) non-standard anc visits were 57.8% more common in stunted toddlers than in nonstunted toddlers. mothers who carry out antenatal care less than three times and do not check their pregnancies with doctors or midwives can be at risk of stunting in their children. regular anc visits can detect early pregnancy risks in a mother and her fetus, especially those related to nutritional problems (heryanto, 2021). in the covid-19 pandemic situation, the government made a policy of limiting almost all routine services; one example is maternal and neonatal health services and other health service facilities. in addition, this epidemiological situation has caused many mothers to be worried, anxious, and afraid to do pregnancy checks at the puskesmas or other health services such as the independent midwife clinic for fear of contracting the corona virus. the low number of antenatal care visits or examinations will result in a lack of knowledge about proper pregnancy care, the risk of early pregnancy not being detected, and complications or comorbidities that are not being detected (ningsih, 2021). based on the description above, the researcher wants to examine "the correlation between the history of antenatal care visits during the covid19 pandemic and the incidence of stunting in the kebonagung village area, pakisaji district, malang. methods this study was a quantitative study using an observational case-control research design with a retrospective approach. the location of the study was rejoyoso hamlet area, kebonagung village, pakisaji district, malang regency. the study was conducted on january 2022. the population was all mothers who had babies aged 0–12 months in the rejoyoso hamlet area, kebonagung village, pakisaji district, malang regency, 70 babies. the sampling technique used in this study was total sampling, so the entire population was used as the research sample, 70 infants. the dependent variable in this study was the incidence of stunting, and the independent variable was the history of anc visits during the covid-19 pandemic. stunting categories and indicators used height for age with a standard z-score value of very short: z-score < -3.0 sd, short: z-score -3.0 sd to zscore < -2.0 sd, normal: z-score -2.0 sd to zscore 2.0 sd. the data collection used observation sheets and maternal and child health (mch) books, by means of home visits for anthropometric measurements and filling out observation sheets about the history of antenatal care visits based on the maternal and child health (mch) book documentation. the data obtained were analyzed by a chi-squared correlation test with a p-value of 0.05 (p value < 0,05). 42 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 40-45 results table 1: characteristics of respondents aspect descrition frequency percent (%) age < 20 years 0 0 ≥ 20 ≤ 35 years 53 76 > 35 years 17 24 parity primigravida 20 29 multigravida 50 71 education primary school 19 27 secondary school 35 50 hight school 16 23 worker house wife 34 49 work 36 51 based on table 1, the majority of respondents aged 20-35 years, namely 53 respondents (76%), the majority of multiparity as many as 45 people (64%), most of the secondary education as many as 35 respondents (50%) and most of the respondents work as many as 36 respondents (51%). table 2: history of antenatal care visits during the covid 19 pandemic no antenatal care visits frequency percent (%) 1. standard 37 53 2. non-standard 33 47 total 70 100 based on table 2, it was found that most of the respondents had a history of antenatal care visits during the covid 19 pandemic according to standards, namely 37 people (53%). table 3: stunting incidents no stunting incidents frequency percent (%) 1. severly stunted 16 23 2. stunted 23 33 3. normal 31 44 total 70 100 based on table 3, it was found that most of them had normal body length (pb)/height (tb) according to age, namely 31 babies (44%). table 4: history antenatal care visits during the covid 19 pandemic with stunting incidents variable categoric history of antenatal care visits during the covid 19 pandemic p (value) standard tidak sesuai standar n % n % stunting a. severly stunted b. stunted c. normal 0 10 27 0 14 38 16 13 4 23 19 6 0,000 * chi square analysis p<α =0,05 from the table it can be seen that 16 infants (23%) aged 0-12 months experienced very short stunting events with a history of non-standard anc visits and 13 infants (19%) aged 0-12 months experienced short stunting events with a history of inappropriate anc visits. standard, the highest proportion was in infants aged 0-12 months experiencing very short stunting events with a history of non-standard anc visits totaling 16 infants (23%) but there were infants aged 0-12 months experiencing short stunting events with a history of anc visits according to standards totaling 10 baby (14%). as for the 27 babies who were not stunted (normal) with a history of standard anc visits and 4 babies who were not stunted (normal) with a history of non-standard anc septiasari, mayasari, nadya, e-booklet media affecting mother's knowledge but not the level of nutrition … 43 visits, the highest proportion was in infants aged 0-12 months who were not stunted (normal). with a history of anc visits according to standards totaling 27 babies (38%), but there are babies aged 0-12 months who are not stunted (normal) with a history of anc visits not according to standards totaling 4 babies (6%). statistical test results obtained p value: < 0.000 (< α: 0.05) so that h0 was rejected and h1 was accepted, that is, there was a correlation between the history of antenatal care visits during the covid 19 pandemic and the incidence of stunting in the kebonagung village area, pakisaji district, malang regency. discussion based on the results of the study, it was found that out of 70 babies aged 0-12 months, 39 babies (56%) were stunted (16 very short and 23 short) in the rejoyoso hamlet area, kebonagung village, pakisaji district, malang regency. the highest proportion was in infants aged 0-12 months experiencing very short stunting events with a history of non-standard anc visits totaling 16 infants (23%) but there were infants aged 0-12 months experiencing short stunting events with a history of anc visits according to standards totaling 10 infants (14%) and not according to standard as many as 13 babies (19%). statistical test results obtained p value: <0.001 <α: 0.05 so that h0 was rejected and h1 was accepted, namely there was a correlation between the history of antenatal care visits during the covid 19 pandemic and the incidence of stunting in the kebonagung village area, pakisaji district, malang regency. the results of this study are in line with research by torlesse, et.al (2016) which shows that mothers who perform anc <4 times during pregnancy have a stunting prevalence in toddlers of 91.9%. pregnant women's health services (anc) are very important for the health of mothers and their wombs where it was found that mothers who had less than four anc visits during pregnancy were more likely to have stunted children at the age of 0–23 months. compared to mothers who had four or more anc visits (torlesse, et al, 2016). high coverage of antenatal care in a population is necessary to optimize maternal health and nutrition, as well as fetal growth and development. evidence from studies of available health services in some lmics shows that a mother attending ≥4 antenatal care (anc) visits with ≥1 visit with a skilled medical professional has been associated with a reduced risk of stunting (vaivada, et al, 2020). the results of this study are also in line with the research of hutasoit et al. (2020), which shows that there is a correlation between antenatal care and the incidence of stunting with a p value of 0.000 (p value 0.05). pregnant women who do not routinely carry out antenatal care will be at 4x the risk of experiencing anemia. anemia in pregnant women is caused by a lack of iron intake during pregnancy. mothers who do not regularly consume fe tablets are 3.46 times more at risk for anemia. anemia in pregnancy can cause a decrease in the flow of oxygen and nutrients to the placental tissue, which will have an impact on the disruption of the nutritional status of the fetus (noor et al., 2022). meanwhile, mothers with anemia have the potential to give birth to babies with low body weight and subsequently have the potential for stunting (hutasoit et al., 2020). rahmi et al. (2016) found that children aged 24–59 months were less likely to be stunted if they weighed between 2.5 and 3.9 kg or 4 kg at birth, compared to children weighing 2.5 kg. the results of another study showed that there was a significant correlation between anc prenatal care and chronic energy deficiency (ced). respondents who had fewer anc pregnancy check-ups were 2.7 times more at risk of suffering from chronic energy deficiency (ced) compared to respondents who had good anc prenatal checkups (fitrianingtyas et al., 2018). if pregnant women are malnourished, then the intake of nutrients consumed will be used to supplement the nutritional deficiencies of the mother. thus, the fetus does not get the nutrients it needs. if the fetus nutrition is not fulfilled, the mother will be at risk of giving birth to a baby with a low birth weight. babies with low birth weight are very at risk of experiencing stunting (qoyyimah et al, 2021). in this covid-19 pandemic situation, there are many restrictions on almost all routine services including maternal and newborn health services. for example, pregnant women are reluctant to go to the puskesmas or other health care facilities for fear of infection, there are suggestions to postpone pregnancy checks and classes for pregnant women, and there is unpreparedness for services in terms of personnel and infrastructure including personal protective equipment. this causes maternal and newborn health services to be one of the services 44 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 40-45 affected, both in terms of access and quality. antenatal care services (anc) in normal pregnancies at least 6x with details of 2x in trimester 1, 1x in trimester 2, and 3x in trimester 3. at least 2x examined by a doctor during visit 1 in trimester 1 and during visit 5 in trimester 3 (wiraswati, 2022). standard anc is necessary because the antenatal phase is an important period for preventing stunting. in this phase, fetal growth occurs and is the optimal period for child development up to the first 1000 days of life. environmental and nutritional factors in this phase will affect fetal growth, brain development, digestive tract, metabolism, and the immune system. nutrient intake is very important to support the first 1000 day phase of life, including amino acids, iron, iodine, calcium, zinc, magnesium and vitamins (saleh, et al, 2021). during anc visits, pregnant women will receive a thorough examination of their pregnancy, receive nutritional counseling, receive folic acid and iron supplements, as well as proper health education. so that all of these can prevent mothers from experiencing anemia, prevent mothers from giving birth prematurely, and prevent small babies and babies from getting adequate nutrition from the womb. thus, it can reduce the incidence of stunting in toddlers (hutasoit et al., 2020). conclusion based on the results of the study, it was concluded that there was a correlation between the history of antenatal care visits during the covid 19 pandemic and the incidence of stunting. in the covid-19 pandemic situation, there were many restrictions on almost all routine services including maternal and newborn health services. pregnant women who do not routinely perform anc are at risk of experiencing anemia and chronic energy deficiency. this has the potential to give birth to babies with low body weight, which then has the potential for stunting. suggestion it is hoped that health workers will strive to guarantee quality antenatal care (integrated anc) even in a covid-19 pandemic situation while maintaining health protocols in an effort to prevent stunting in the first 1000 days of life. acknowledgement the authors would like to thank the chancellor of itkm widya cipta husada, head of the midwifery professional education study program, head of research institutes and community service, respondents in this study and all parties who helped in this research. funding this research was funded by the research and community service institute of itkm widya cipta husada. itkm widya cipta husada helps all costs incurred in this research. conflicts of interest the authors in this research have no affiliations with or involvement in any organization or entity with any financial interest or non financial interest in the subject matter or materials discussed in this manuscript. author contributions author 1 is in charge of coordinating the course of research, participating in research, compiling research reports, and publishing journal articles. authors 2 and 3 participated in research, the preparation of research reports, and journal publications. refferences amini, a. (2016). hubungan kunjungan antenatal care dengan kejadian stunting pada balita usia 12-59 bulan di kabupaten lombok utara provinsi ntb. diakses pada http://digilib.unisayogya.ac.id/2381/1/nas kah%20publikasi.pdf ernawati, n. (2019). kejadian balita stunting di posyandu apel desa jambearjo kecamatan tajinan kabupaten malang. jurnal kesehatan mesencephalon, 5(2), 59-64 fitrianingtyas, i., pertiwi, f.d., rachmania, w. (2018). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kurang energi kronis (kek) pada ibu hamil di puskesmas warung jambu kota bogor. hearty jurnal kesehatan masyarakat, 6 (2) heryanto, m. l. (2021). kunjungan antenatal care dengan kejadian stunting pada anak usia 24-36 bulan. jurnal ilmiah pannmed, 16(1), 1-8 hutasoit, m., utami, k.d., afriyliani, n.f. (2020). kunjungan antenatal care berhubungan dengan kejadian stunting. jurnal http://digilib.unisayogya.ac.id/2381/1/naskah%20publikasi.pdf http://digilib.unisayogya.ac.id/2381/1/naskah%20publikasi.pdf septiasari, mayasari, nadya, e-booklet media affecting mother's knowledge but not the level of nutrition … 45 kesehatan samodra ilmu, 11(1). https://doi.org/10.55426/jksi.v11i1.13 kemenkes ri. (2021). buku saku hasil survei status gizi indonesia (ssgi) tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota tahun 2021. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia kemenkes, ri. (2018). laporan nasional riskesdas 2018. jakarta: badan penelitian dan pengembangan kesehatan. noor, m.s., andrestian, m.d., dina, r.a., ferdina, a.r., dewi, z., hariati, n.w., rachman, p.h., setiawan, m.i., yuana, t.w., khomsan, a. (2018). analysis of socioeconomic, utilization of maternal health services, and toddler’s characteristics as stunting risk factors. matern child nutr. 14(4). doi: 10.1111/mcn.12617 qoyyimah, a.u., wintoro, p.d., hartati, l., chasanah, m. (2021). hubungan riwayat ibu hamil kekurangan energi kronis dengan kejadian stunting pada balita usia 3-5 tahun di puskesmas jatinom klaten. prosiding seminar nasional unimus, volume 4, 2021 rachmi, c. n., agho, k. e., li, m., & baur, l. a. (2016). stunting, underweight and overweight in children aged 2.0–4.9 years in indonesia: prevalence trends and associated risk factors. plos one, 11(5), e0154756 10.1371/journal.pone.0154756. saleh, a., syahrul, s., hadju, v., adriani, i., dan restika, i. (2021). role of maternal in preventing stunting: a systematic review. gac. sanit. 2021;35:s576–s582. doi: 10.1016/j.gaceta. 2021.10.087. torlesse, h., cronin, a.a., sebayang, s.k., nandy, r. (2016). determinants of stunting in indonesian children: evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. bmc public health. 2016;16:1–11. doi: 10.1186/s12889-016-3339-8. vaivada, t., akseer, n., akseer, s., somaskandan, a., stefopulos, m and bhutta, za, (2020). stunting in childhood: an overview of global burden, trends, determinants, and drivers of decline. am j clin nutr. 2020 sep; 112(suppl 2): 777s–791s. doi: 10.1093/ajcn/nqaa159. wiraswati, atun. (2022). pelayanan antenatal care (anc) pada masa pandemi covid-19. kemenkes dirjen yankes. https://doi.org/10.55426/jksi.v11i1.13 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc6175423/ https://doi.org/10.1111%2fmcn.12617 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc7487433/ https://doi.org/10.1093%2fajcn%2fnqaa159 46 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk positif correlation of anxiety and the interest of elderly in visiting health facilities during the covid-19 pandemic pria wahyu romadhon girianto1, dwi setyorini2, sri untaminingtyas3 1,2,3nursing department, stikes karya husada kediri, indonesia article information abstract anxiety about dealing with the infectious nature of covid-19 could influence the elderly to avoid visiting health facilities due to concerns about the rapid transmission of the disease. the impact of decreasing interest in visiting the elderly with comorbidities to health facilities causes repeated recurrences, and they do not get treatment to improve their health. this research aimed to determine the correlation between anxiety and interest in visiting health facilities for the elderly with comorbid diseases during the covid-19 pandemic. the variables in this research were anxiety and interest in visiting health facilities. a questionnaire was used for data collection. the design of this research was a correlation with a cross-sectional approach, a sample of 32 respondents, and a purposive sampling technique. the result showed that most of the respondents (53.1%), 17 respondents, experienced moderate anxiety. most of the respondents (62.5%), 20 respondents, had sufficient interest in visiting. based on the spearman's rank test, a p-value of 0.032 (α = 0,05) was obtained, meaning that there was a correlation between anxiety in comorbid elderly people and interest in visiting health facilities during the covid-19 pandemic with a weak correlation category (r = 0.380). the elderly's anxiety about visiting health facilities during the pandemic could be because the elderly are getting tired of the comorbid disease process they experience; the elderly also feel vulnerable to infection due to information related to covid-19 transmission; the elderly were afraid to die when confirmed with covid-19; the elderly worried about the health of their families and the elderly as well. worried that they have contracted the covid-19 virus. it recommended for respondents not be afraid or anxious about coming to health facilities during the covid-19 pandemic. the elderly could visit health facilities during the covid-19 pandemic safely by always complying with health protocols. history article: received, 16/04/2022 accepted, 04/04/2023 published, 25/04/2023 keywords: anxiety, elderly, health facilities, covid-19 © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : priawahyu88@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p046-052 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:priawahyu88@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p046-052 girianto, setyorini, untaminingtyas, positif correlation of anxiety and the interest of elderly in visiting … 47 introduction covid-19 was an infectious disease caused by severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (sarscov-2) (who, 2020). sars-cov-2 had become a global pandemic that poses a serious global health threat. there were at least two types of coronavirus that were known to cause diseases that could cause severe symptoms, such as middle east respiratory syndrome (mers) and severe acute respiratory syndrome (sars) (who, 2021). patients who were positive for the coronavirus can also have severe and aggravating symptoms if they have a comorbid disease. comorbidities such as heart disease, hypertension, and diabetes mellitus could increase the risk of death for covid-19 patients. the most common risk factors for comorbidities or comorbidities were cases of upper respiratory tract infection (ari) or pneumonia at 18.2%, followed by dm (16.9%) and hypertension (16.2%), (senewe, 2020). this certainly presents worries and anxiety for the elderly with comorbidities. comorbid patient illnesses such as diabetes, heart disease, chronic kidney disease, and obesity are strongly associated with hospitalization and the severity of covid-19. several studies have shown that older age, underlying disease (e.g. hypertension, diabetes, cardiovascular disease, chronic lung disease, chronic kidney disease, and cancer), and presenting symptoms (including fever, cough, diarrhea, and shortness of breath) may be a predictor of the severity of covid-19 patients (sanyaolu, et al., 2020). the mortality rate of covid-19 patients aged 60 years and over is 15.93%. jing yang, et al. (2020) reported that research results found comorbid diseases, namely hypertension 21.1%, diabetes (9.7%), cardiovascular disease or stroke 8.4%, and respiratory disorders 1.5%. if the severity of this covid-19 case with comorbidities is found to be associated with 95% hypertension, 95% respiratory disease, and 95% stroke (yang et.al., 2020). xun li et al., 2020, found in covid-19 patients that age and underlying disease (hypertension, diabetes, heart disease) were the most important risk factors for covid-19 death. older people with underlying medical problems such as cardiovascular disease, diabetes, chronic respiratory disease, and cancer are more at risk of developing serious illnesses and requiring referral for intensive care because of their low immune status (clark et al., 2021). the lowest number of visits reported by rl (report recapitulation) to the ministry of health occurred during july-august 2021 for non-covid patients. the number of visits to health facilities, especially in the non-covid er, decreased by 42%, from an average of 2,099,734 per week during may 2021, to an average of 1,220,211 per week during the second period of the pandemic in july-august 2021. visits decreased for each age group, with the largest proportionate declines in visits by children aged 10 years (72%) and 50–60 years (71%) (jpw, 2020). according to the deputy minister of health, dante harbuwono, there was a significant decrease in er visits nationally, noting that there was a decrease in the number of people visiting the er at puskesmas and hospitals by 83% in july 2021 in east java, which shows that the pandemic has changed the use of the er by the community (bajgain et al., 2021). in addition, visits to the emergency room at the sutojayan health center, blitar regency, as a non-referral covid-19 health center, experienced a decrease in visits in julyseptember by 65%, which occurred in the elderly with comorbid diseases. the rate of decline is due to public anxiety, especially in comorbid patients. an increased level of anxiety is a mental health problem that often occurs during a pandemic, including the ongoing covid-19 pandemic. a person who experiences changes in emotions, if left unchecked and develops, will be pathological. the decrease in patient visits to the hospital emergency room was also due to the fear of being treated in isolation rooms, being afraid of being screened for covid-19, and not understanding the education and motivation given by emergency room staff (ejaz, 2020). based on the results of a preliminary study conducted by researchers on september 15, 2021, in sukorejo village, sutojayan district, blitar regency on 12 comorbid patients, it was found that 10 comorbid patients did not visit health facilities, especially in the emergency room during the covid-19 pandemic, for reasons of fear of being in the hospital. covid-19 was diagnosed by health workers while 2 patients with comorbid diseases were still visiting health facilities such as general practitioners. fear of contracting covid-19 in healthcare settings has caused many people, including comorbid patients, to neglect emergency care. anxiety in the face of the infectious nature of covid-19 may influence patients to avoid visiting 48 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 46-52 health facilities due to concerns surrounding the rapid transmission of the disease. this pandemic further prevents patients from seeking medical care, which can reduce the utilization of er services (hutajalu et al., 2021). the impact of decreasing interest in visiting comorbid patients to health facilities causes repeated recurrences in the patient's comorbid disease, and, of course, the patient does not get the treatment he should get to improve his health status (sugeng, 2020). management and prevention of covid-19 in patients with comorbidities one of them are to often monitor body condition with regular control to a doctor or to a hospital that is not a referral for covid-19 patients when checking in a hospital, always comply with the health protocols that have been submitted by the government. such as wearing a mask, keeping a distance, washing hands, and maintaining a clean environment. then, controlling comorbid well to prevent complications by maintaining a healthy lifestyle and adjusting diet according to comorbid conditions. the purpose of this study was to determine the correlation between anxiety and interest in visiting health services during the covid-19 pandemic. method the research design used a correlational design with the cross-sectional approach. the research was done at sukorejo village, sutojayan district, blitar regency. the sampling technique was used "purposive sampling" or saturated sampling, as 32 respondents were adjusted to the research objectives and selected based on inclusion criteria, elderly who were willing to be respondents in the study, elderly who had comorbid diseases, namely diabetes mellitus, hypertension, and cardiovascular disease, and elderly aged 60 years and over. before treatment, the researcher introduced themselves to the respondent to build trust and created a therapeutic environment. the geriatric anxiety scale (gas) was distributed to respondents to measure anxiety levels, and interest in visiting health facilities questionnaire. rank spearman statistical test (α = 0.05) was used to analyze the correlation between the level of anxiety in the elderly, and interest in visiting health facilities. result the presentation of respondent characteristic data includes age, gender, education, means of transportation, income, occupation, illness, duration of illness, a therapy used, type of therapy, implementation of covid-19 vaccination, information about covid-19, and information media about covid-19. table 1: frequency distribution of respondents' general data characteristics. no respondents characteristics f % 1. age 60 to 65 years old 66 to 70 years old 71 to 75 years old 14 13 5 43.8 40.6 15.6 2. gender male female 14 18 43.8 56.2 3. education uneducated junior high school senior high school college 3 11 16 2 9.4 34.4 50 6.2 3. transportation motor cycle car 27 5 84.4 15.6 4. income (rp) more than 1.000.000 to 2.000.000 more than 2.000.000 to 3.000.000 more than 3.000.000 16 11 5 50 34.4 15.6 girianto, setyorini, untaminingtyas, positif correlation of anxiety and the interest of elderly in visiting … 49 5. profession farmer private pns/tni/polri tradesman 7 14 6 5 21.9 43.8 18.8 15.6 6. illness dm hypertension cardiovascular 14 11 7 43.8 34.4 21.9 7. duration of illness 6 to 10 years old 11 to 15 years old more than 15 years old 24 7 1 75 21.9 3.1 8. routine treatment yes 32 100 9. therapy pharmacology traditional treatment 25 7 78.1 21.9 10. covid-19 vaccine not yet 1st vaccine 2nd vaccine no vaccine 3 14 9 6 9.4 43.8 28.1 18.8 11. covid-19 information ever never 29 3 90.6 9.4 12. covid-19 information media electronic media health provider citizen 18 10 4 56.2 31.2 12.5 total 32 100 based on the result of table 1, showed that almost half of the respondents (43.8%), namely 14 respondents, have age 60 to 65 years old. most of the respondents (56.2%), namely 18 respondents, were female. half of the respondents (50%) are 16 respondents with the latest high school education. almost all respondents (84.4%), namely 27 respondents, use motorcycle transportation. half of the respondents (50%) are 16 respondents with an income of more than 1,000,000 to 2,000,000. almost half of the respondents (43.8%), i.e., 14 respondents, worked as entrepreneurs. almost half of the respondents (43.8%), namely 14 respondents, had dm. most of the respondents (75%), namely 24 respondents, experienced a long illness of 6 to 10 years. overall respondents (100%) are 32 respondents using therapy. almost all respondents (78.1%), namely 25 respondents, used pharmacological therapy. almost half of the respondents (43.8%), namely 14 respondents, carried out the 1st dose of the vaccine. almost all of the respondents (90.6%), namely 29 respondents, had received information about covid-19. most of the respondents (56.2%), namely 18 respondents, received information about covid-19 through electronic media. table 2: correlation analysis of anxiety and interest in visiting health facilities. anxiety interest in visiting health facilities high moderate low f % f % f % light 2 6,2 3 9,4 0 0 moderate 8 25 8 25 1 3,1 severe 0 0 9 28,1 1 3,1 total 10 31,2 20 62,5 2 6,2 spearman’s rank test p value = 0,032 < α = 0.05 r = 0,380 50 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 46-52 based on table 2, was known that most of the respondents (53.1%), experienced moderate anxiety. most of the respondents (62.5%), had sufficient interest in visiting. the result of the spearman's rank test obtained a p value of 0.032 (α = 0.05), meaning that there was a correlation between anxiety in the elderly with comorbid diseases and interest in visiting health facilities during the covid-19 pandemic in sukorejo village, sutojayan district, blitar regency in 2022. the close correlation in this study was 0.380, which means that there was a weak correlation. discussion based on the result of the study, it was known that the spearman's rank test obtained a p-value of 0.032 (α = 0.05), meaning that there was a correlation between anxiety in the elderly with comorbid diseases and interest in visiting health facilities during the covid-19 pandemic in sukorejo village, sutojayan district, blitar regency in 2022. the close correlation in this study was 0.380, which means that there was a weak correlation. policy easing of activities during this pandemic (new normal), activities in health facilities such as the elderly posyandu at puskesmas in several areas have started to be active again, but while still implementing health protocols and posyandu services issued by the government. however, the result of the study showed that all respondents were worried about contracting covid-19 when visiting health services. this needs socialization and education from the village government and local health services. in examination services at health services, the public was aware of the dangers of covid-19 transmission by complying with health protocols by applying a minimum of 3 m (ministry of health ri, 2020). during the covid-19 pandemic, the elderly was one of the groups vulnerable to covid-19 transmission. one of the contributing factors was decreased immunity with age. the anxiety felt by respondents at health facilities during this pandemic if they catch covid-19 from health workers or other visitors. the alvara survey (2020), concluded that during this pandemic the public will experience high panic and anxiety, with anxiety, will affect public behavior, especially health-related behavior. several health behaviors have increased, such as wearing masks, washing hands, and exercising. however, there were also some declining health behaviors, such as being afraid to go to health services, being afraid to seek treatment, or being afraid to leave the house doing the posyandu because they feel anxious if they get infected with covid-19 from health workers or other health service visitors. prolonged anxiety will cause stress so that it interferes with daily activities and causes instability in situations and conditions, one of which was that the elderly are afraid to go to health services (mubin, 2020). based on research conducted by sari & utami (2020) on the study of anxiety level analysis with compliance with posyandu visits during the covid-19 pandemic, it was found that almost half of the respondents were not anxious and obedient in visiting posyandu during the pandemic. almost half of the respondents also experienced mild anxiety. and a small number of respondents experienced severe anxiety. the elderly who are not actively visiting the elderly posyandu will have an impact on their health conditions. they cannot be monitored properly so if they experience a risk of disease due to a decrease in body condition and the aging process, it was feared that it could be fatal (firda & lilisa, 2021). research by livana et al. (2020) showed that the spread of covid-19 was taking place rapidly in indonesia and causing concern, causing feelings of anxiety and fear, which were common responses from humans to the affected environment. the result of the study found that almost the entire community felt anxious to come to health services and almost half of the respondents did not check themselves during the covid-19 pandemic. currently, hospitals were also restricting inpatient and outpatient visits to reduce the transmission of covid-19 infection (adiputra, 2020; chen et al., 2016; irawan & sudarsa, 2020). based on research conducted by santana et al. (2020), there had been a significant decline in the number of hospital services used since the beginning of the covid-19 pandemic, especially outpatient services. outpatient services were one type of health service in hospitals that have an important role in providing health services because they were the gateway to inpatient services and other health services (sinaga, 2018). outpatient services were the main concern of hospitals due to the tendency of the community (elderly) to seek treatment services girianto, setyorini, untaminingtyas, positif correlation of anxiety and the interest of elderly in visiting … 51 that were practical once they come and on the same day receive complete services (one-day care). however, when the covid-19 pandemic broke out, elderly outpatient visits decreased (gugun et al., 2022). therefore, the number of visits to health facilities for the elderly with comorbid diseases tends to decrease during the covid-19 pandemic. the participation of the elderly in ptm posbindu activities during the pandemic has decreased due to excessive perceptions of covid-19 (nova et al., 2021). conclusion anxiety in the elderly with comorbid diseases was related to an interest in visiting health facilities during the covid-19 pandemic with a weak correlation. this means that the more anxious the elderly are, the lower their interest in visiting health facilities, but other factors influence the interest in visiting health facilities for the comorbid elderly, including economic factors, the knowledge factor of the elderly, family support, and the distance between home and health facilities for the elderly. suggestion the next researcher could improve and anticipate all the weaknesses that exist in this study on the dependent variable so that the instrument for the frequency of visits at health facilities uses the document observation method during the covid19 pandemic. the variable of interest in visiting health facilities was influenced by several factors, one of which was the awareness of the elderly about their health. acknowledgement pria w.r. girianto, dwi setyorini, and sri untaminingtyas of the bachelor nursing study program, karya husada kediri institute of health science, prepared this journal article based on the report elderly interest in visits to health facilities during the covid-19 pandemic was related to anxiety. this work has been supported by the bachelor nursing study program at the karya husada kediri institute of health science. funding this work has been funded by bachelor nursing study program under the programme of research, and community service grants 2021. the opinions expressed here in are those of the authors and do not necessarily reflect the views of funding agency. conflicts of interest the authors certify that they have no affiliations with or involvement in any organization or entity with any financial or non-financial interest in the subject matter or materials discussed in this manuscript. this statement is signed by all the authors to indicate agreement that the above information is true and correct. author contributions pria w.r. girianto, dwi setyorini, and sri untaminingtyas contributed to the design and implementation of the research, to the analysis of the results, and to the writing of the manuscript. references adiputra, p. a. t. (2020). dampak pandemi covid19 pada pelayanan pasien kanker di rumah sakit tersier di indonesia: serial kasus. jbn (jurnal bedah nasional), 4(1),29.https://doi.org/10.24843/jbn.202 0.v04.is 01.p07 bajgain, k. t. et al. (2021) ‘prevalence of comorbidities among individuals with covid-19: a rapid review of current literature’, american journal of infection control, 49(2), pp. 238–246. doi: 10.1016/j.ajic.2020.06.213. chen, w., zheng, r., baade, p. d., zhang, s., zeng, h., bray, f., … he, j. (2016). cancer statistics in china, 2015. ca: a cancer journal for clinicians, 66(2), 115–132. https://doi.org/10.3322/caac.21338 clark pangapuli reinhart lumban tobing, imanuel sri mei wulandari. (2021). tingkat kecemasan bagi lansia yang memiliki penyakit penyerta ditengah situasi pandemik covid-19 di kecamatan parongpong, bandung barat. community of publishing in nursing (coping), p-issn 2303-1298, e-issn 2715-1980 ejaz, h. et al. (2020) ‘covid-19 and comorbidities: deleterious impact on infected patients’, journal of infection and public health, 13(12), pp. 1833–1839. doi: 10.1016/j.jiph.2020.07.014. firda hayati, lilisa murni. (2021). faktor faktor 52 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 46-52 yang mempengaruhi kunjungan lansia ke posyandu lansia dimasa new normal covid-19. prosiding seminar kesehatan perintis e-issn: 2622-2256 vol. 4 no. 2 tahun 2021 gugun gunawan ahmada, budimana, setiawatia, yayat suryatia, iin inayaha, andria pragholapati. (2022). kualitas pelayanan terhadap minat pasien dalam memanfaatkan kembali jasa pelayanan rawat jalan rumah sakit di masa pandemi covid 19: literature review. jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan vol.13 no.1 (2022) 1-11 hutajulu, richard surungan, dewi susita, and anis eliyana. (2021). "the effect of digitalization and virtual leadership on organizational innovation during the covid-19 pandemic crisis: a case study in indonesia." the journal of asian finance, economics and business 8.10 (2021): 57-64. irawan, h., & sudarsa, i. w. (2020). penanganan pasien kanker dan risiko infeksi selama wabah covid-19. jbn (jurnal bedah nasional), 4(1), 15. https://doi.org/10.24843/jbn.2020.v04.is 01.p04 jpw, himmels. (2020) ‘covid-19 and risk factors for hospital admission, severe disease and death – a rapid review, 3rd update’, health (san francisco), p. 31. kementerian kesehatan republik indonesia. (2020). peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 9 tahun 2020 tentang pedoman pembatasan sosial berskala besar dalam rangka percepatan penanganan corona virus disease 2019 (covid-19). jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. livana ph, amalia khoerina, edi sofiyan, dewi kurnia ningsih, kandar, titik suerni. (2021). gambaran kecemasan mayarakat dalam berkunjung ke pelayanan kesehatan pada masa pandemi covid-19. jurnal ilmiah kesehatan jiwa volume 2 no 3, hal 121 128, desember 2020 p-issn 2715-6443 e-issn 2721-9429 rsjd dr. amino gondohutomo provinsi jawa tengah mubin and livana ph, (2020). “reduction of family stress level through therapy of psychoeducation of skizofrenia paranoid family,” enferm. clin., vol. 30, pp. 155– 159, mar. (2020). nova susilawati, atikah adyas, achmad djamil. (2021). evaluasi pelaksanaan pos pembinaan terpadu (posbindu) ptm di kabupaten pesisir barat. poltekita: jurnal ilmu kesehatan vol.15 no. 2 agustus 2021: hal. 178-188 p-issn: 1907-459x eissn: 2527-7170 santana, r., sousa, j. s., soares, p., lopes, s., boto, p., & rocha, j. v. (2020). the demand for hospital emergency services: trends during the first month of covid-19 response. portuguese journal of public health, 38(1), 30–36. https://doi.org/10.1159/000507764 sanyaolu, a. et al. (2020) ‘comorbidity and its impact on patients with covid-19’, sn comprehensive clinical medicine, 2(8), pp. 1069–1076. doi: 10.1007/s42399-020003634 senewe, felly. ph. et.al. 2020 hubungan antara komorbid dan perilaku pencegahan terhadap kasus covid-19 di kota bogor tahun 2020. jakarta sinaga, s. e. n. (2018). persepsi pasien terhadap mutu pelayanan rawat jalan di rs misi lebak. jurnal keperawatan komprehensif, 4(1), 41–46. sugeng adji soenarso. (2020). survei markplus masyarakat enggan mengunjungi rumah sakit pada saat pandemi. who. (2020) ‘tatalaksana klinis infeksi saluran pernapasan akut berat ( sari ) suspek penyakit covid-19’, world health organization, 4(13 maret), pp. 1–25. who. (2021) ‘who-convened global study of origins of sars-cov-2: china part (14 january-10 february 2021)’, joint whochina study team report, (february), p. 120. yang, jing. et al. (2020) ‘prevalence of comorbidities and its effects in coronavirus disease 2019 patients: a systematic review and metaanalysis’, international journal of infectious diseases, 94, pp. 91–95. doi: 10.1016/j.ijid.2020.03.017. 141 pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi ibu post partum di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi (the effect of back massage to breastmilk production of post partum mother in cempaka room ngudi waluyo wlingi hospital) sriyati 1 , yeni kartika sari 2 1 praktisi keperawatan, 2 program studi pendidikan ners stikes patria husada blitar, email: kartikasariyeni84@gmail.com abstract: breast milk is an emulsion of fat in the protein solution, laktosa, and inorganic salts secreted by the mamary glands of the mother. the oxytocin hormone is a hormone that affects of lactation process. oxytocin is up to the alveoli of the mammry myoepithelial cell contraction causes surrounding the mammary alveoli and lactiferous ducts. back massage on cervical 5-6 until the bottom of the shoulder blade stimulate endorphins and oxytocin secretion and improves blood circulation breast area. the purpose of research to determine the effect of back massage on milk production an mothers post partum in cempaka’s room ngudi waluyo wlingi hospital november 2014. design quasi experimental research with the design of the control group pre-test post-test design with non random data retrieval with consecutive sampling (1 week) with total 24 population and total sample 20 respondents. analysis data with two different test mean (t test) independent by using paired sample test with h1 is accepted when the value of p < 0,05 and independent sample test h1 is accepted when the value of p < 0,05. and research result paired sample test the showed significant values (p) of 0,000 smaller than alpha 0,05. and there is influence of back massage on milk production before and after treatment. from the reserch result suggested all post partum mothers to do a back massage. keywords: back maasage, breastmilk produktion abstrak : asi adalah emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu. hormon oksitosin adalah hormon yang mempengaruhi proses laktasi. oksitosin yang sampai pada alveoli mamae menyebabkan kontraksi sel mioepitel yang mengelilingi alveolus mamae dan duktus laktiferus. pijat punggung pada cervical 5-6 sampai tulang belikat bagian bawah merangsang pengeluaran hormon endorfin dan oksitosin maupun meningkatkan sirkulasi darah daerah payudara. tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi ibu post partum di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi november 2014. desain penelitian quasi experimental dengan rancangan control group pre-test post-test design dengan pengambilan data secara non random dengan consecutive sampling (1 minggu) dengan jumlah populasi 24 dan besar sampel 20 responden. analisis data dengan uji beda dua mean (t test) independent dengan menggunakan uji paired sample test dengan h1 diterima bila nilai p<0,05 dan uji independent sample test h1 diterima bila nilai p<0,05. dan hasil penelitian pada uji paired sample test menunjukkan nilai signifikan (p) 0,000 lebih kecil dari alpha 0,05, dan ada pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. dari hasil penelitian disarankan semua ibu post partum untuk dilakukan pijat punggung. kata kunci: pijat punggung, produksi asi mailto:kartikasariyeni84@gmail.com acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p136-143 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 142 142 air susu ibu (asi) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayinya (hapsari, 2009). tetapi masih banyak didapatkan ibu post partum pada hari i-iii asi belum keluar sehingga ibu tidak bisa memberikan asi eksklusif kepada bayinya karena ibu akan memberikan susu formula untuk memenuhi kebutuhan bayinya. menurut kementrian kesehatan r.i. (2013) cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan. asi merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung sel darah putih, protein dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi serta asi membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta melindungi terhadap penyakit (kementrian kesehatan r.i. 2013). di indonesia masalah pelaksanaan asi eksklusif masih memprihatinkan. berdasarkan hasil survei demografi dan kesehatan indonesia (sdki) tahun 20052006 didapatkan hasil bahwa pemberian asi eksklusif pada bayi dibawah enam bulan di perkotaan berkisar antara 3%-18%, sedangkan di pedesaan 6%-19%. presentasi ini menurun seiring dengan bertambahnya usia bayi, yaitu 54% pada bayi 2-3 bulan dan 19% pada bayi 4-5 bulan, yang lebih memprihatinkan adalah 13% bayi di bawah dua bulan telah diberikan susu formula dan 30% bayi berusia 2-3 bulan telah diberikan makanan tambahan. berdasarkan kementrian kesehatan r.i. (2013) hasil presentasi pemberian asi eksklusif pada bayi 0-6 bulan di indonesia tahun 2013 sebesar 54%, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 48,6%. presentasi pemberian asi eksklusif tertinggi terdapat di nusa tenggara barat sebesar 79,74% sumatra selatan sebesar 74,49% dan nusa tenggara timur sebesar 74,37%. sedangkan presentasi terendah terdapat di propinsi maluku sebesar 25,21%, jawa barat sebesar 33,65% dan sulawesi utara sebesar 34,67%. data tersebut juga ditunjang dari hasil studi pendahuluan peneliti di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi pada tanggal 23 september 2014 menunjukkan 90% dari 20 ibu post partum belum keluar pada hari i post partum dan 87% dari 16 ibu post partum asi belum keluar secara efektif pada hari ii dan iii post partum sehingga ibu tidak bisa memberikan asi yang cukup untuk bayinya dan memberinya susu formula. keadaan tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya presentase pemberian asi eksklusif di indonesia yaitu di bawah target nasional sebesar 80% (depkes, 2006). hal ini disebabkan oleh pemasaran susu formula yang masih gencar dilakukan untuk bayi 0-6 bulan yang tidak ada masalah medis, masih banyaknya perusahaan yang mempekerjakan perempuan tidak memberi kesempatan bagi ibu untuk melaksanakan pemberian asi eksklusif terbukti dengan tidak tersedianya ruang laktasi dan perangkat pendukungnya, masih banyak tenaga kesehatan ditingkat layanan yang belum peduli atau belum berpihak pada pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan asi eksklusif yaitu masih mendorong untuk memberi susu formula pada bayi 0-6 bulan, masih sangat terbatasnya tenaga konselor asi, belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi dan kampaye terkait pemberian asi dan belum semua rumah sakit melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui (lmkm) kementrian kesehatan r.i.(2013) serta produksi asi sedikit, pembengkakan payudara, puting lecet (bobak, 2004). sebagai dampak tidak diberikannya asi eksklusif ini dapat menimbulkan kep/malnutrisi, berat badan kurang serta meningkatkan resiko dan infeksi pada bayi akibat penurunan imun dan hal ini merupakan penyebab kematian balita. faktor penghambat dalam pemberian asi adalah produksi asi itu sendiri. produksi asi yang kurang dan lambat keluar dapat menyebabkan ibu tidak memberikan asi pada bayinya dengan cukup. selain sriati dan kartika sari, pengaruh pijat punggung......143 143 hormon prolaktin, proses laktasi juga bergantung pada hormon oksitosin, yang dilepas dari hipofise posterior sebagai reaksi terhadap pengisapan puting. oksitosin mempengaruhi sel – sel mioepitel yang mengelilingi alveoli mamae sehingga alveoli berkontraksi dan mengeluarkan air susu yang sudah disekresikan oleh kelenjar mamae (farrer, 2001). reflek oksitosin ini dipengaruhi oleh jiwa ibu. jika ada rasa cemas, stress dan ragu yang terjadi, maka pengeluaran asi bisa jadi akan terhambat (kodrat, 2010). salah satu cara untuk menstimulasi oksitosin adalah dengan pijat punggung. pijat punggung merupakan cara yang mudah untuk dimengerti dan dipahami, praktis untuk dikerjakan, dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melakukannya serta dapat dilakukan oleh siapapun (suami, keluarga, petugas). pijat punggung pada cervical 5-6 sampai setinggi tulang belikat bagian bawah menggunakan ibu jari tangan dengan gerakan melingkar kecil pada kedua sisi tulang punggung selama 2-3 menit (who/unicef, 2008). pijat punggung adalah sebuah teknik akupresur yang telah direkomendasikan oleh pemimpin la leche league international (llli) selama bertahun-tahun. punggung atas adalah titik akupresur digunakan untuk memperlancar proses laktasi. saraf yang mempersarafi payudara berasal dari tulang belakang bagian atas, antara tulang belikat. daerah ini adalah daerah dimana perempuan sering mengalami ketegangan otot. memijat punggung atas dapat merilekskan bahu dan menstimulasi refleks let-down (betts, 2009), sehingga dengan pijat punggung akan membuat produksi asi lancar. pijat punggung ini telah dibuktikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang pengaruh pijat oksitosin pada ibu nifas terhadap pengeluaran asi di kabupaten jember 2014 sejumlah 36 sampel yang menunjukkan rata-rata pengeluaran asi pada ibu nifas yang tidak dilakukan pijat oksitosin sebesar 4,61 hari dan rata-rata pengeluaran asi pada ibu nifas yang dilakukan pijat oksitosin sebesar 11,78 menit dengan hasil perhitungan berdasarkan spss ditemukan p value 0,000 < p a 0,05 (rusdiarti, 2014). penelitian pijat punggung ini juga dilakukan di ruang rawat inap kebidanan dan pediatrik di rumah sakit pendidikan perawatan tersier di pusat india pada juli 2011 – oktober 2012 tentang pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi pada post partum sejumlah 220 sampel yang terbagi dalam 2 kelompok (perlakuan dan kontrol). hasil pada penelitian ini ditunjukkan dalam perbedaan kuantitas tidur bayi, bak, bab, kenaikan berat badan perhari dan didapatkan nilai yang signifikan p < 0,05 (patel umesh, sharad gedam, 2013). dari latar belakang di atas, perlu dibuktikan pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi ibu post partum di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi kabupaten blitar. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental dengan control group pre test post test design. populasinya adalah ibu post partum di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi sejumlah 24 orang. sample yang dipilih ditetapkan dengan metode purposive sampling dan didapatkan 20 orang yang dibagi dalam 2 kelompok, yaitu 10 kelompok perlakuan dan 10 kelompok kontrol. pengumpulan data dilakukan di ruang cempaka rsug ngudi waluyo wlingi mulai tanggal 17-22 juni 2015 dengan melakukan wawancara dengan responden dan melihat serta mengecek produksi asi, responden akan menjawab kuesioner yang ditanyakan oleh peneliti untuk mengetahui karakteristik responden dan mengetahui produksi asi. pengisian kuesioner produksi asi dilakukan oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara dan data klinis yang di dapat dari responden. pada kelompok perlakuan pengisian kuesioner produksi asi dilakukan setelah 2 jam post partum sebelum dilakukan pijat punggung (pre test) dan setelah dilakukan pijat punggung waktu pasien mau pulang 144 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm.141-150 pada hari kedua post partum (post test). pada kelompok kontrol pengisian kuesioner produksi asi dilakukan setelah 2 jam post partum (pre test) dan waktu pasien mau pulang pada hari kedua post partum (post test). untuk menentukan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol peneliti menentukannya secara selang-seling pada responden yang didapat. pada responden pertama oleh peneliti akan dijadikan kelompok perlakuan, selanjutnya respoden kedua akan dijadikan kelompok kontrol dan demikian seterusnya sampai batas waktu yang telah ditentukan. pada kelompok pijat punggung, peneliti menjelaskan kepada ibu segala sesuatu tentang pijat punggung dan prosedur pijat punggung. pijat punggung bisa dilakukan setiap pagi ,siang , sore atau malam hari dengan durasi 2-3 menit dimulai dari setelah 2 jam post partum dengan frekuensi 6 kali selama dirawat di ruang cempaka rsud wlingi.peneliti hanya melakukan pijat punggung sekali untuk selanjutnya pijat punggung akan dilakukan oleh enomerator yaitu mahasiswa akademi kebidanan semester v dan mahasiswa s-i keperawatan semester vii serta suami/keluarga yang sebelumnya telah diajari/dilatih oleh peneliti. evaluasi dilakukan setelah dilakukan pijat punggung 6 kali untuk melihat adakah perubahan produksi asi. pada kelompok kontrol, peneliti menjelaskan tujuan dan maksud tidak dilakukannya pijat punggung, tetapi akan melakukan evaluasi produksi asi waktu pasien mau pulang pada hari kedua, selanjutnya akan melakukan dan mengajari pijat punggung setelah proses penelitian selesai. analisis data menggunakan independent dan paired t-test hasil penelitian secara umum ibu post partum di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi seperti dalam tabel 1 di bawah ini tabel 1 karakteristik ibu post partum di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi juni 2015 (n=20) karakteristik perlakuan kontrol f % f % pendidikan -sd -smp -sms 1 2 7 10 20 70 1 3 6 10 30 60 pekerjaan -bekerja -tidak bekerja 0 10 0 100 0 10 0 100 umur <20 20-30 >30 1 7 2 10 70 20 2 7 1 20 70 10 hasil pre test produksi asi ibu post partum pada kelompok perlakuan digambarkan pada tabel 2 tabel 2 distribusi frekuensi pre test produksi asi ibu post partumterhadap responden kelompok perlakuan di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi bulan juni 2015 kriteria kelompok perlakuan pre test jumlah % baik 0 0 cukup 0 0 kurang 10 100 total 10 100 hasil post test produksi asi ibu post partum pada kelompok perlakuan digambarkan pada tabel 3 tabel 3 distribusi frekuensi post test produksi asi ibu post partumterhadap responden kelompok perlakuan di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi bulan juni 2015 kriteria kelompok perlakuan post test jumlah % baik 0 0 cukup 10 100 kurang 0 0 total 10 100 sriati dan kartika sari, pengaruh pijat punggung......145 145 hasil pre test dan post test produksi asi ibu post partum pada kelompok kontrol digambarkan pada tabel 4 tabel 4 distribusi frekuensi pre test dan post test produksi asi ibu post partum terhadap responden kelompok kontrol di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi bulan juni 2015 kriteria kelompok kontrol pre test post test jumlah % jumlah % baik 0 0 1 10 cukup 0 0 2 20 kurang 10 100 7 70 total 10 100 10 100 analisis pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi ibu post partum dengan menggunakan paired sample t-test digambarkan pada tabel 5 tabel 5 pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi ibu post partumdi ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi bulan juni 2015. kriteria kelompok perlakuan pre test post test jumlah % jumlah % baik 0 0 0 0 cukup 0 0 10 100 kurang 10 100 0 0 total 10 100 10 100 uji paried sample test nilai signifikan (p)= 0,000 analisis perbedaan produksi asi ibu post partum dengan menggunakan independent sample t-test digambarkan pada tabel 6 tabel 6 perbedaan produksi asi ibu post partum(post test) pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi bulan juni 2015 kriteria post test kelompok kontrol kelompok perlakuan jumlah % jumlah % baik 1 10 0 0 cukup 2 20 10 100 kurang 7 70 0 0 total 10 100 10 100 uji independent sample ttest nilai signifikan (p) = 0,032 pembahasan berdasarkan tabel 2 di atas dari 10 responden kelompok perlakuan mayoritas produksi asi pre test dalam kriteria kurang sebanyak 10 (100%). asi pada hari pertama post partum belum keluar, hal ini disebabkan menjelang akhir kehamilan terutama hormon prolaktin memegang peranan untuk membuat kolostrom,namun jumlah kolostrom terbatas karena aktivitas prolaktin dihambat oleh hormon estrogen dan pogesteron yang kadarnya memang tinggi. setelah partus berhubung lepasnya plasenta dan kurang berfungsinya korpus luteum maka estrogen dan progresteron sangat berkurang (soetjiningsih 2001), sehingga hormon prolaktin yang berfungsi memproduksi asi dan oksitosin yang berfungsi dalam pelepasan asi dalam proses laktasi tidak terhambat. akan tetapi asi pada awal post partum mayoritas asi belum keluar hal ini dimungkinkan disebabkan karena belum adanya atau kurangnya rangsangan terhadap hormon yang mempengaruhi proses laktasi yang dapat dilakukan dengan perawatan payudara sejak kehamilan trimester iii(34-36 mg), penyusuan atau isapan bayi pada puting susu dan areola mamae payudara maupun dengan pijat punggung.dengan pijat punggungakan memberikan kenyamanan dan membuat rileks ibu karena pijatpunggung dapat merangsang pengeluaran hormon endorfin serta dapat menstimulasi reflek oksitosin (spatafora, 2009). 146 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm.141-150 berdasarkan tabel 3 pada kelompok perlakuan pijat punggung dari hasil post test 10 (100%) responden produksi asi dalam kriteria cukup.hal ini disebabkan pijat punggung pada cervical 5-6 sampai setinggi tulang belikat bagian bawah menggunakan ibu-ibu jari tangan dengan membuat gerakan melingkar kecil pada kedua sisi tulang punggung selama 2-3 menit (who/unicef, 2008). saat dipijat(rangsangan taktil), saraf punggung akan mengirimkan sinyal ke otak (neuroendokrin) untuk mengeluarkan oksitosin(cooper, bart, 2005) oksitosin yang sampai pada alveoli mamaeakan menyebabkan kontraksi sel–sel khusus (sel mioepitel) yang mengelilingi alveolus mamae dan duktus laktiferus. kontraksi sel– sel khusus ini mendorong asi keluar dari alveolus melalui duktus laktiferus menuju ke sinus laktiferus untuk disimpan.pada saat bayi mengisap putingasi di dalam sinus tertekan dan keluar ke mulut bayi.gerakan asi dari sinus ini dinamakan let down atau pelepasan (bahiyatun, 2009). reflek turunnya susu (let-down reflex) penting dalam menjaga kestabilan produksi asi, tetapi dapat terhalangi apabila ibu mengalami stres, kecemasan atau ketegangan. yang akan meningkatkan epinefrin atau norepinefrin dan akan menghambat transportasi oksitosin (farrer, 2001). dengan pijat punggungakan memberikan kenyamanan dan membuat rileks ibu karena pijatdapat merangsang pengeluaran hormon endorfin serta dapat menstimulasi refleks oksitosin (spatafora, 2009). punggung adalah daerah di mana wanita paling sering mengalami ketegangan.punggung merupakan titik akupresur untuk memperlancar proses laktasi. pijat punggung juga akan meningkatkan sirkulasi darah pada daerah payudara (hormann, 2007) sehingga akan memperlancar pelepasan asi dan produksi asi meningkat. selain pijat punggung juga dimungkinkan disebabkan berdasarkan tabel 1 dari tingkat pendidikan yang tidak rendah mayoritas (70%) berpendidikan smamembuat ibu post partum menyadari dan merasa membutuhkan pentingnya pijat punggung untuk merangsang asi keluar dan produksi asi meningkat. berdasarkan tabel 1 mayoritas (70%) umur yang sudah dewasa (20-30 tahun)menunjukkan kematangan hormonal yang dapat mempengaruhi proses laktasi. hal ini juga dimungkinkan disebabkan karena anak pertama merupakan anak yang di idam-idamkan oleh kedua orang tuanya maupun keluarga, hal ini dilihat dari keceriaan kedua orang tua bayi dan dukungan keluarga untuk segera memberikan asi kepada anaknya dan keinginan serta motivasi ibu post partum dan keluarga untuk mengetahui cara untuk melancarkan produksi asi, hal ini juga dapat dilihat dari semangat ibu post partum untuk dilakukan pijat punggung dan kenyamanan yang dirasakan saat ataupun setelah dilakukan pijat punggung serta semangat keluarga untuk diajari dan mau melakukan pijat punggung. dengan demikian pijat punggung ini bisa dilakukan untuk semua ibu post partum dan dapat dilakukan oleh siapapun termasuk keluarga di rumah / setelah pulang dari rumah sakit yang sebelumnya telah diajari dan dilatih malakukan pijat punggung. berdasarkan tabel 3 dari 10 responden kelompok kontrol didapatkan mayoritas produksi asi pre test dalam kriteria kurang yaitu 10 orang (100%) sedangkan mayoritas produksi asi post test dalam kriteria kurang yaitu sebanyak 7 orang (70%). hal ini disebabkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan pijat punggungyang akan memberikan kenyamanan dan membuat rileks ibu karena pijatpunggung dapat merangsang pengeluaran hormon endorfin serta dapat menstimulasi refleks oksitosinyang berfungsi dalam pelepasan asi dalam proses laktasi (spatafora, 2009), pijat punggung juga akan meningkatkan sirkulasi darah pada daerah payudara (hormann, 2007) sehingga akan memperlancar pelepasan asi dan produksi asi meningkat. sriati dan kartika sari, pengaruh pijat punggung......147 147 dengan tidak dilakukannya pijat punggung akan menghambat dalam pengeluaran asi dan produksi asi meskipun pada dasarnya menurut (suhardjo, 2010) pada keadaan normal sekitar 100 ml tersedia pada hari kedua. dengan demikian agar pelepasan asi lancar dan produksi asi meningkat sangat diperlukan rangsangan atau stimulasi sejak awal post partum tanpa menunggu adanya masalah pengeluaran asi sehingga tidak terjadi permasalahan dalam pengeluaran asi dan produksi asi lancar. sedangkanberdasarkan tabel 3 mayoritas produksi asi post test 2 orang (20%) asi kriteria cukup, 1 orang (10%) asi kriteria baik.hal ini dimungkinkan disebabkan oleh perawatan payudara yang dilakukan oleh ibu post partum sejak kehamilan trimester akhir (usia kehamilan 8 bulan) hal ini merupakan salah satu cara untuk menstimulasi reflek oksitosin menurut who/unicef (2008) agar pengeluaran asi lancar dan frekuensi penyusuan bayi yang dilakukan oleh ibu post partumsebab frekuensi menyusui minimal 8 kali berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar payudara (kodrat, 2010) yang mempengaruhi produksi asi, serta asupan nutrisi yang cukup karena nutrisi dan gizi serta minum 3 liter perhari memegang peranan penting dalam hal menunjang produksi asi yang maksimal (kodrat, 2010). juga berdasarkan tabel 1 mayoritas 60% tingkat pendidikan yang tidak rendah membuat ibu post partum menyadari dan merasa membutuhkan pentingnya asi, berdasarkan tabel 1 mayoritas 70% umur yang sudah dewasa (20-30 tahun) menunjukkan kematangan hormonal yang dapat mempengaruhi proses laktasi sertaberdasarkan tabel 1 mayoritas 100% tidak bekerjanya responden membuat banyak kesempatan untuk melakukan perawatan payudara selama kehamilan. selain itu anak pertama merupakan anak yang di idam-idamkan oleh kedua orang tuanya maupun keluarga, hal ini dilihat dari keceriaan kedua orang tua bayi dan dukungan keluarga untuk segera menyusui anaknya serta dengan rawat gabung membuat ibu mempunyai banyak kesempatan untuk menyusui sehingga dengan ibu memegang bayinya, melihat bayinya dan sentuhan kulit ibu dan anak saat menyusui (who/unicef, 2008) merupakan salah satu cara untuk menstimulasi reflek oksitosin agar pengeluaran asi lancar. dengan demikian disarankan perawatan payudara dapat dilakukan sejak kehamilan trimester akhir usia kehamilan 32-34 minggu, melakukan penyusuan minimal 8 kali/hari, makan makanan yang cukup dan bergisi mengandung 4 sehat 5 sempurna dan seimbang serta minum 3 liter/ hari pada ibu post partumagar pengeluaran asi lancar dan produksi asi meningkat. berdasarkan tabel 4 dan hasil ujipaired sample test menunjukkan nilai signifikan (p) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari alpha 0,05 sehingga h1 diterima. dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada pengaruh produksi asi sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pijat punggung.hal ini disebabkan pijat punggung pada cervical 5-6 sampai setinggi tulang belikat bagian bawah menggunakan ibu-ibu jari tangan dengan membuat gerakan melingkar kecil pada kedua sisi tulang punggung selama 2-3 menit (who/unicef, 2008). saat dipijat(rangsangan taktil), saraf punggung akan mengirimkan sinyal ke otak(neuroendokrin) untuk mengeluarkan oksitosin (cooper, bart, 2005). oksitosin yang sampai pada alveoli mamaeakan menyebabkan kontraksi sel–sel khusus (sel mioepitel) yang mengelilingi alveolus mamae dan duktus laktiferus. kontraksi sel– sel khusus ini mendorong asi keluar dari alveolus melalui duktus laktiferus menuju ke sinus laktiferus untuk disimpan.pada saat bayi mengisap, puting, asi di dalam sinus tertekan dan keluar ke mulut bayi.gerakan asi dari sinus ini dinamakan let down atau pelepasan (bahiyatun, 2009). reflek turunnya susu (let-down reflex) penting dalam menjaga kestabilan produksi asi, tetapi dapat terhalangi apabila ibu mengalami stres, kecemasan atau 148 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm.141-150 ketegangan. yang akan meningkatkan epinefrin atau norepinefrin dan akan menghambat transportasi oksitosin (farrer, 2001). dengan pijat punggungakan memberikan kenyamanan dan membuat rileks ibu karena pijatpunggung dapat merangsang pengeluaran hormon endorfin serta dapat menstimulasi refleks oksitosin (spatafora, 2009). punggung adalah daerah di mana wanita paling sering mengalami ketegangan.punggung merupakan titik akupresur untuk memperlancar proses laktasi. pijat punggung juga akan meningkatkan sirkulasi darah pada daerah payudara (hormann, 2007) sehingga akan memperlancar pelepasan asi dan produksi asi meningkat. selain pijat punggung juga dimungkinkan disebabkan berdasarkan tabel 1 mayoritas 70% tingkat pendidikan yang tidak rendah membuat ibu post partum menyadari dan merasa membutuhkan pentingnya pijat punggung untuk merangsang asi keluar dan produksi asi meningkat. berdasarkan tabel 1 70% umur yang sudah dewasa (20-30 tahun) menunjukkan kematangan hormonal yang dapat mempengaruhi proses laktasi. juga dimungkinkan disebabkan anak pertama merupakan anak yang di idamidamkan oleh kedua orang tuanya maupun keluarga, hal ini dilihat dari keceriaan kedua orang tua bayi dan dukungan keluarga untuk segera memberikan asi kepada anaknya dan keinginan serta motivasi ibu post partum dan keluarga untuk mengetahui cara untuk melancarkan produksi asi, hal ini juga dapat dilihat dari semangat ibu post partum untuk dilakukan pijat punggung dan kenyamanan yang dirasakan saat ataupun setelah dilakukan pijat punggung serta semangat keluarga untuk diajari dan mau melakukan pijat punggung. dengan demikian pijat punggung ini bisa dilakukan untuk semua ibu post partum dan dapat dilakukan oleh siapapun termasuk keluarga di rumah / setelah pulang dari rumah sakit yang sebelumnya telah diajari dan dilatih malakukan pijat punggung. berdasarkan tabel 5 dan hasil uji independentsample t-test menunjukkan nilai signifikan (p) sebesar 0,032 yang lebih kecil dari alpha 0,05 sehingga h1 diterima, dan dapat dikatakan bahwa ada perbedaan produksi asi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.perbedaan yang terjadi pada kelompok kontrol, hal ini disebabkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan pijat punggungyang akan memberikan kenyamanan dan membuat rileks ibu karena pijatpunggung dapat merangsang pengeluaran hormon endorfin serta dapat menstimulasi refleks oksitosinyang berfungsi dalam pelepasan asi dalam proses laktasi (spatafora, 2009),pijat punggung juga akan meningkatkan sirkulasi darah pada daerah payudara (hormann, 2007) sehingga akan memperlancar pelepasan asi dan produksi asi meningkat. dengan tidak dilakukannya pijat punggung akan menghambat dalam pengeluaran asi dan produksi asi meskipun pada dasarnya menurut (suhardjo, 2010) pada keadaan normal sekitar 100 ml tersedia pada hari kedua. adanya produksi asi yang cukup dan baik hal ini dimungkinkan disebabkan karena faktor lain yaitu asupan nutrisi, frekuensi penyusuan, perawatan payudara sejak kehamilan 32-34 minggu, tingkat kecemasan, umur yang sudah dewasa, tingkat pendidikan, pekerjaan, dukungan maupun motivasi ibu dan keluarga serta harapan orang tua terhadap anak, yang mana hal tersebut tidak termasuk (tidak dianalisa) dalam penelitian ini. sedangkan perbedaan yang terjadi pada kelompok perlakuan, hal ini disebabkan karenapada kelompok perlakuan, dengan dilakukan pijat punggung akan memberikan kenyamanan dan membuat rileks ibu karena pijatpunggung dapat merangsang pengeluaran hormon endorfin serta dapat menstimulasi refleks oksitosinyang berfungsi dalam pelepasan asi dalam proses laktasi (spatafora, 2009), pijat punggung juga akan meningkatkan sirkulasi darah pada daerah payudara (hormann, 2007) sehingga akan sriati dan kartika sari, pengaruh pijat punggung......149 149 memperlancar pelepasan asi dan produksi asi meningkat. simpulan dan saran simpulan simpulan hasil penelitian yaitu 1) produksi asi ibu post partum sebelum dilakukan pijat punggung di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi masih dalam criteria kurang (100%) 2) produksi asi ibu post partum setelah dilakukan pijat punggung di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi dalam criteria cukup (100%) 3) produksi asi pada ibu post partum (kelompok kontrol) yang tidak dilakukan pijat punggung di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi masih dalam criteria kurang (70%), produksi asi dalam criteria cukup (20%) dan produksi asi dalam criteria baik (10%) 4) ada pengaruh pijat punggung terhadap produksi asi ibu post partum di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi (nilai p < 0,05) 5) ada perbedaan produksi asi ibu post partum pada kelompok control dan kelompok perlakuan di ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi (nilai p sebesar 0,032). saran saran bagi ruang cempaka rsud ngudi waluyo wlingi agar menerapkan pijat punggung secara rutin bagi semua ibu post partum dengan anak kelahiran hidup. karena dengan dilakukan pijat punggung secara dini diharapkan tidak terjadi permasalahan dalam pengeluaran asi. daftar rujukan bahiyatun .2009. buku ajar kebidanan asuhan nifas normal. jakarta: egc. betts, debra.2009. how to do maternity acupressur. http://www.maternityacupressure.com/i ndexd.html , diakses tanggal 10 september 2014 bobak , l. 2004. keperawatan maternitas. jakarta : egc. cooper , bart. 2005. of the structure of the constituent parts of the breasts. the jefferson digital commons is a service of thomas jefferson university's. depkes .2006. profil kesehatan indonesia. jakarta. farrer, h .2001. perawatan maternitas. jakarta : egc. hapsari, 2009. promosi kesehatan bidang pada bayi. http://safesbidanhaspari.wordpress.com , diakses tanggal 20 september 2014 hormann, elizabeth .2007. breastfeeding an adopted baby and relactation la leche league international book series. usa : la leche league international kodrat, l. 2010. dahsyatnya asi & laktasi untuk kecerdasan buah hati anda. yogyakarta : media baca. soetjiningsih. 2001. asi petunjuk untuk tenaga kesehatan. jakarta: egc. spatafora, denise .2009. better birth: the ultimate guide to childbirth from home births to hospitals. usa : john wiley and sons. suhardjo .2010. pemberian makanan pada bayi dan anak. yogyakarta : kanesius. who/unicef. 2008. breastfeeding counseling a training course : trainer's guide part three, http://www.who.int/nutrition/publicatio ns/ infantfeeding/bf_counselling_trainers_ guide3.pdf, diakses tanggal 10 oktober 2014 kementerian kesehatan r.i. sekretariat jenderal, 2013 profil kesehatan indonesia, jakarta patel umesh, sharad gedam.2013 l.n. medical college, effect of back massage on lactation among postnatal mothers. internasional journal of medical research dan review, janmar, 2013/ vol 1/ issue 1, bhopal india diakses 5 november 2014. rusdiarti, 2014, jurnal pengaruh pijat oksitosin pada ibu nifas terhadap pengeluaran asi di kabupaten jember, jurnal-pengaruh-pijathttp://www.maternityacupressure.com/indexd.html http://www.maternityacupressure.com/indexd.html http://safesbidanhaspari.wordpress.com/ http://safesbidanhaspari.wordpress.com/ http://www.google.co.id/search?hl=id&tbo=p&tbm=bks&q=bibliogroup:%22la+leche+league+international+book+series%22&source=gbs_metadata_r&cad=8 http://www.google.co.id/search?hl=id&tbo=p&tbm=bks&q=bibliogroup:%22la+leche+league+international+book+series%22&source=gbs_metadata_r&cad=8 http://www.google.co.id/search?hl=id&tbo=p&tbm=bks&q=inauthor:%22denise+spatafora%22&source=gbs_metadata_r&cad=7 http://www.who.int/nutrition/publications/%20infantfeeding/bf_counselling_trainers_guide3.pdf http://www.who.int/nutrition/publications/%20infantfeeding/bf_counselling_trainers_guide3.pdf http://www.who.int/nutrition/publications/%20infantfeeding/bf_counselling_trainers_guide3.pdf http://www.who.int/nutrition/publications/%20infantfeeding/bf_counselling_trainers_guide3.pdf http://astinorma10.blogspot.com/2013/12/makalah-anatomi-payudara-dan-fisiologi.html%20diakses%205%20november%202014 150 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2,agustus 2015, hlm.141-150 oksitosin-.html diakses 5 november 2014 e:\2021\ners agustus\19--jurnal 255chairunnisa, rahmawaty, setya, systematic review : immunoglobulin concentration in ... systematic review : immunoglobulin concentration in breast milk as a body defense against sars-cov-2 miftah chairunnisa1, dewi rahmawaty a p2, ananti setya p p3 1midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia 2nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia 3midwifery department, stikes rspad gatot soebrata jakarta, indonesia jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk jnk history article: received, 26/02/2021 accepted, 07/07/2021 published, 05/08/2021 keywords: immunoglobulin, breast milk, sarscov-2 article information abstract the largest cases of pneumonia occurred in wuhan city, hubei province of china in december 2019, which resembles sars-cov as a cause of sars (severe acute respiratory syndrome) virus infection. the number of cases reaches 3.2 million people worldwide, and among them are breastfeeding mothers. although virus transmission occurs through direct contact with infected patients, the number of infants or young children who were infected with covid-19 during breastfeeding was only 10%. there is no scientific evidence for vertical transmission from mother to her baby during pregnancy and breastfeeding. the content of immunoglobulin a (iga), immunoglobulin m (igm), and immunoglobulin g (igg) has a positive impact on the infant’s body. the objective of the study was to determine the immunoglobulin concentration in breast milk against sars cov2. the method used a systematic review approach with the design of preferred reporting items for systematic reviews & meta-analyses (prisma). the result showed laboratory clinical trials, the iga, igg, and igm responses showed good results in the spread of the coronavirus into the baby’s body. iga reactivity has a higher concentration than other cells. in conclusion, covid-19 pandemic made the public worried about their health, including breastfeeding mothers. the role of health workers is needed to provide information related to breastfeeding exclusively to their babies so that they will receive protection against virus entered their bodies. suggestion: it is necessary to develop studies regarding the typical responses that come up from iga, igm, igg and are able to protect infants from covid-19 and vertical transmission between mother and her baby during pregnancy to breastfeeding. © 2021 journal of ners and midwifery 255 correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: chmiftah8@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v8i2.art.p255–262 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://crossmark.crossref.org/dialog/?doi=10.26699/jnk.v8i2.art.p255-262&domain=pdf&date_stamp=2021-08-15 https://doi.org/10.26699/jnk.v8i2.art.p255-262 256 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 255–262 introduction the largest case of pneumonia occurred in wuhan city, hubei province of china in december 2019, which resembles sars-cov as a cause of sars (severe acute respiratory syndrome) virus infection. who (world health organization) stated that on march 11, 2020, there had been a pandemic outbreak known as sars-cov-2. sarscov-2 is the virus that causes covid-19 that occurs in all countries. this incident infected as many as 3.2 million people in the world and more than 220,000 people died (fox et al., 2020). sars-cov and sars-cov-2 have similar characteristics of 76% to 79.5%, but the difference between them is in the symptoms that arise. sarscov sufferers often experience breathing problems or dyspnea, so if this condition is serious it will lead to pneumonia. the mode of transmission of sarscov-2 is through droplets, and when it attacks sufferers, it generally does not cause symptoms (jaimes et al., 2020). during the pandemic, breastfeeding mothers are considered a risk group for transmitting covid19 to their babies. the study states that there is no vertical transmission from mother to her babies during pregnancy until the breastfeeding period. according to the data was obtained, only 10% of babies experience covid-19 due to direct contact and require follow-up. it is mentioned that the pathology of covid-19 does not correlate with the transmission and the spread in large numbers (fox et al., 2020). t he gover nment’s pr ogr a m r ega r ding breastfeeding has been stated in the republic of indonesia government regulation, the number is 33th of 2012. this program is a priority program because of its wide impact on the nutritional and health status of toddlers. this program is also recommended by who (world health organization) and unicef (united nations children’s fund) (nawang swastika rar as, ari suwondo, sri wahyuni, 2016) the high morbidity and mortality rates in children at the beginning of the first month of life are caused by several diseases such as upper and lower respiratory tract infections, gastroenteritis, sepsis, and meningitis. it is also caused by other factors, namely quantitative and qualitative deficiencies contained in the immune component or the immune system. early breastfeeding in the neonatal period is very important because of the susceptibility of the baby’s body to large numbers of microorganisms after birth. an immature baby’s immune system at birth often occurs in premature babies, so it is feared that there will be an increased risk of infection (susi hartati, 2012). therefore, to protect this population from coronavirus infection, it is very important for babies to be given nutritional intake through breast milk, where the contents in colostrum and breast milk include immunoglobulin a, immunoglobulin m and immunoglobulin g have a positive impact on immunity, i.e protecting against the entry of the coronavirus into the mucosa of the respiratory tract, digestive tract, and nervous system. the explanation above has been delivered based on existing research and it is necessary to carry out a comprehensive assessment of the concentration of the immunoglobulin response in breast milk. methods the systematic review was used by searching for as much of the previous studies as possible in accordance with the research theme. the research design and research instrument used prisma (preferred reporting items for systematic reviews & meta-analyzes), which used a flowchart based on the 2009 prisma checklist. the articles obtained from scientdirect and pubmed, with the keywords used were “immunology of breast milk” and “sars-cov-2”. the search for the articles that matched the keywords was 2,203 and articles searched by the year of publication, i.e 2020. the articles used were based on international journals by looking for updated articles that can be analyzed based on inclusion and exclusion criteria. the inclusion criteria in this study were researchers downloading original articles about the concentrations of immunoglobulin in breast milk against sars-cov2 specifically. the method used was in the form of a case-control study, and then the articles analyzed were published in 2020 on an international base. meanwhile, the exclusion criteria were article findings in the form of reports and case studies. the steps taken were downloading articles using existing keywords. the relevant articles found were 3,348 articles. there were 3,348 relevant articles based on the title and abstract as a whole which was divided into two categories, namely the relevant studies totaling 3,084 articles and the irrelevant ones as many as 264 articles. then, the ar 257chairunnisa, rahmawaty, setya, systematic review : immunoglobulin concentration in ... ticles assessed for the eligibility standard, where two articles met the requirements for analysis and 3,082 articles do not meet the eligibility standard requirements. the relevant studies found generally discussed the immunoglobulin response (iga, igm, and igg) to the coronavirus and vertical transmission from mother to her baby, while the unrelated one was discussing the course of the virus that causes pneumonia, detection of examinations (fecal pcr, swab, rapid), health protocols against sars-cov-2 and conditions of pregnant women and nursing mothers during the covid-19 pandemic. id e n t if ic at io n in c l u d e el ig ib il it y s c r e e n in g articles that are identified through the pubmed page and sciencedirect with the year of publication are 2020 which have been published (n = 3,348). no similar articles were analyzed. irrelevant research studies (n = 264) screening of articles by title and abstract (n = 3,348). relevant research studies (n = 3,084) some of the irrelevant studies (n = 3,084) included: 1,354 articles discussing the course of the virus that causes pneumonia. 1,352 articles discussed screening with pcr, stool and blood tests. 327 articles discussing health protocols against antigen testing. 49 articles discussing conditions of pregnancy and breastfeeding during the covid-19 pandemic. articles will be assessed for eligibility standards (n = 3,084) articles analyzed (n = 2) 258 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 255–262 results the results of previous research about “immunoglobulin concentration in breast milk as the body’s defense against sars-cov-2" are presented in table 1. name, year and title evidence of a significant secretory-iga-dominant sars-cov-2 immune response in human milk following recovery from covid-19 alisa fox, jessica marino, fatima amanat, et.all breastmilk; a source of sars-cov-2 specific iga antibodies britt j. van keulen, md, michelle romijn, md, albert bondt, phd, et.all tabel 1. previous research of immunoglobulin-a concentrations in breast milk against the sars-cov-2. research methods prospective case control study prospective case control study samples 15 38 research place new york amsterdam conclusion iga responses have very high concentrations in preventing transmission of the sars-cov-2 virus, relatively. breastmilk from mothers who have recovered from covid-19 contains significant amounts of iga against sarscov-2, both before and after pasteurization. no 1 2 table 1 shows the population synthesis based on the reviewed literature. the research study was obtained from two selected research articles and was conducted in new york with one article and amsterdam with one article. the similarity of the two research studies, i.e the research design is the prospective case-control study. the eligibility criteria contained in the two articles varied from fifteen to thirty-eight respondents. then, research studies were published in the last 1 year, in 2020. the studies found were related to the immunoglobulin-a response to the sars-cov-2 virus. a study conducted in new york showed that there were fifteen breastfeeding respondents who had been exposed to the sars-cov-2 virus, then tested in 3 different laboratories. this testing experiment aimed to see the reactivity of iga, igg, igm and antibody secretory types. the results of the four components assessed showed that iga and secretory antibodies had higher reactivity than the others. the twelve samples, breast milk was shown to have reactivity against iga. four samples showed reactivity to igg and igm, then two samples showed reactivity to igg but not igm. in addition, one sample had igm but not igg reactivity, then one sample also showed reactivity to igg but not iga, igm. the study conducted in amsterdam showed that serum and breast milk samples were tested through neutralization aimed at assessing whether they could reduce the sars-cov-2 virus replica. the neutralization of sars-cov-2 virus in this model was successful for serum samples (13%) and breast milk samples (26%). this is because it has a relatively high level of antibodies, namely igg in serum and iga in breast milk. then, it is carried out by pasteurization test on breast milk, as is done with the standard method approach and high pressure heating on breast milk. the result of using both methods before and after pasteriusasi is that there is no difference in protein and iga levels. discussion the emergence of sars-cov-2 the largest cases of pneumonia occurred in wuhan in 2019. the agent causing the case was identified as betacoronavirus known as sars-cov. coronavirus is an rna that is included in the coronaviridae virus group, the order nidovirales, 259chairunnisa, rahmawaty, setya, systematic review : immunoglobulin concentration in ... where the virus is found in humans, mammals, and birds. the result of this virus is an infection of the respiratory tract, digestive system and nervous system. coronavirus is a large and encased rna that is divided into 4 genes, namely alpha, beta, delta and gamma, where covid beta and allfa are known to infect humans, called the human coronavirus (hcovs). there are four types of hcov such as 229e, nl63, oc43, and hku1 which cause upper respiratory tract infections in adults around 10% to 30%. in addition, two types of endemics that are considered very worrying for human life with a brief increase in the incidence of morbidity and mortality are sars-cov and mers-cov (n. zhu et al., 2020). several studies state that the novel coronavirus (sars-cov-2) is a new virus that has similarities to the sars virus, where the similarities between sars-cov-2 and sars-cov are shown around 76% to 79.5%. this is due to the presence of the same amino acid composition in both viruses, while mers-cov has the same amino acid composition only 40% (jaimes et al., 2020). the molkuler ejikman biological institute announced that the spread of the coronavirus could be through the air in the form of aerosols. this condition has occurred in the hospital due to the use of a ventilator which is a medical procedure, which produces aerosols with small particles so that the distance of the spray is longer. then, the coronavirus can also enter the human lungs through the respiratory tract, intestines through the mouth, and through the eyes (nakayama et al., 2019). transmission of the virus occurs through direct contact with someone who is infected with the virus through droplets or mouth, eye, and nose fluids. the body reacts differently to the virus when the virus enters the lungs causing difficulty breathing or shortness of breath. then, in the intestine it causes diarrhea and in the eyes, it causes conjunctivitis (guan et al., 2020), (lovato & de filippis, 2020). viruses that successfully enter the cells of living things as hosts (host), then will spread and reproduce. this will cause some symptoms experienced by sufferers, or even cause no symptoms. the entry of the corona virus into cells is through an endocytosis mechanism, where the virus is received by a receptor called angiotensin-converting enzyme 2 (ace-2) which is on the surface of the cell and enters the cell (guan et al., 2020). protein s (spike protein) acts as a channel for viruses to enter human target cells, especially in the lungs, where the lung cells are the part that is covered by the epithelium as a protector (jia et al., 2005). protein s will be captured by angiotensin-converting enzyme 2 (ace-2) which is part of the receptor (imai et al., 2005), where ace-2 is an integral membrane composed of glycoproteins and znmetallo peptidase enzymes (breakdown proteins that containing zinc) (tai et al., n.d.). then, the ace receptor has several cells such as lung, kidney and heart cells, generally these cells are more abundant in the lungs (sri sumarmi, 2020). the two receptors have binding power that affects the travel and spread of the coronavirus, where the binding power of ace-2 to protein s in sars-cov-2 is around 10 to 20 times compared to protein s in sarscov (wrapp et al., 2019). this shows that the transmission of covid-19 is faster than sars. in addition, the entry of viruses into cells is influenced by the transmembrane enzyme serine protease-2 (tmprss2) (hoffmann et al., 2020). the corona virus in living cells will respond to other cells, where rna will be released from the nucleocapsid into the cell cytoplasm, then transitioned by the host cell to produce new viruses. the viral replication mechanism in the host cell takes place so fast, that it causes one of the cells to become infected and causes the cell to be damaged. then, the emergence of a new virus will spread in large numbers to attack and host human lung cells. the development of these millions of viruses is accompanied by an attack in the lungs causing t lymphocytes to secrete cytokines that act as defense forces in large numbers. this event is called a cytokine storm or cytokines release syndrome, where the production of pro-inflammatory cytokines is excessive and causes hyperinflammation which increases the permeability of blood vessels and the failure of the body’s organs to work properly (mehta et al., 2020). this condition is possible as a cause of death for people with covid-19 (sri sumarni, 2020). given that the transmission of the corona virus is so fast, breastfeeding mothers are a risk group for exposure to covid-19 because generally they are prone to stress which causes the immune system to decline. research studies in china regarding vertical transmission from mother to fetus that show the transmission of geminal cells or placental blood during pregnancy, childbirth or during the postpa r tum per iod of br ea stfeeding, found no coronavirus in the baby’s body. however, what was 260 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 255–262 found was transmission from mother to baby through direct contact accompanied by the presence of small particles or droplets. reducing the spread and transmission of the corona virus in the body is important to increase the body’s immunity for people with covid-19 and those who are not infected. the strategy is to fulfill the basic principles of increasing immunity to the corona virus (h. zhu et al., n.d.). increasing immunity to fight the entry of the corona virus can be done in several ways including 1) taking vitamins and supplements, 2) exercising regularly is an easy alternative, where exercising can stimulate the performance of antibodies and activate white blood cells to circulate quickly , 3) avoid dehydration which causes the body to feel tired and decreased immunity, 4) avoid stress (amalia et al., 2020). immunoglobulins a, g and m in breast milk breastmilk is a dynamic source of nutrients and bioactive factors for optimal development and growth for babies and children. breast milk is the secretion of human breasts that changes in hormonal, nutritional composition and developing active factors (permanyer et al., n.d.). in breast milk also contains antibodies that have various active pathogens for protection or to increase the body’s resistance to disease. most of the antibodies have a high enough protein content that is secreted in the first days of breastfeeding. during breastfeeding, the immunoglobulin concentration decreases, but the amount of immunoglobulin received by the child does not change (cacho & lawrence, 2017). during the growth period, babies get nutritional intake through breast milk (breast milk), where this intake will determine the survival of the baby in the future. babies who are not maximal in getting breast milk (breast milk) are often susceptible to disease because the formation of immunity in the body is not yet perfect. another aspect can also be seen from the history of exclusive breastfeeding which shows that breastfeeding babies who are not given exclusively will have a 4.47 times greater risk of developing pneumonia (susi hartati, 2012). given the current cases of pneumonia and the sarascov-2 outbreak in the spotlight, because the increase everyday makes breastfeeding mothers worry about giving breast milk to their children. colostrum and breast milk contain several types of immunoglobulins, one of which is secretory iga which has an important role in concentration and biological properties. in addition, iga also plays a role in the defense of mucous membranes and is effective at preventing the entry of microorganisms into the tissue and as an anti-inflammatory. iga concentration contributes to the development and growth of children as much as 80% to 90% of the total immunoglobulin in breast milk and the baby will receive about 0.3 grams/kg/day of protein. this shows that breast milk can be absorbed by the baby’s intestine and will be transferred to the bloodstream by about 10%, where basically the action is local (palmeira & carneiro-sampaio, 2016). iga and igm are related molecules, if iga is decreased, igm acts as the first line of defense that helps ward off foreign antigens from entering the body. however, iga molecules will remain active in the digestive tract of newborns and have an impact on the binding of commensal microorganisms (pathogens, toxins, viruses or other microorganisms) such as lipopolysaccharides, which can prevent adherence and penetration into the epithelium without triggering an inflammatory reaction that can harm the baby (palmeira & carneiro-sampaio, 2016). likewise in babies who get breast milk from their mothers with covid-19, where the molecules in breast milk work their best not to transmit the virus into the baby’s body through vertical transmission through the breastfeeding process. based on immunochemical tests that show iga from breast milk can live in the baby’s stool. this shows that iga is not destroyed by the digestive organs and protects the entire intestinal tract, so that it is able to bind to antigens of enteropathogenic origin. thus, locally produced iga antibodies will promote the inhibition of excessive colonization of microorganisms from mucous membranes, as well as antigen penetration (palmeira & carneirosampaio, 2016). research studies on antigens derived from the coronavirus (covid-19) revealed that when a pcr test was carried out by taking a specimen from the reactive feces of children, it showed that there was a coronavirus in the stool through this test. this is due to the occurrence of virus replicas that can host the digestive system and come out together with feces (tang et al., n.d.). so, in covid-19 reactive children who are getting breast milk, it should still be given to reduce the spread of the virus in the body because living cells from breast milk (iga, igm) are able to help the virus travel so it doesn’t spread around it. 261chairunnisa, rahmawaty, setya, systematic review : immunoglobulin concentration in ... immunoglobulin m is a component that has a second high level after iga which has a concentration of about 2.5 mg / ml. igm plays an important role in protecting the mucosal surface of the baby. then, the next component is immunoglobulin g, where igg plays a role in activating phagocytosis by transferring antigens to lamina propria to activate b-cells which can affect the adaptive response of the baby and have a concentration of about 0.1 mg / ml (10% of serum). igg is the lowest concentration in breast milk. the level of immunoglobulin igg concentration indicates that the formation of the infant’s immune system is due to the development of the infant’s adaptive immunity to produce an increase in the amount of igg (palmeira & carneiro-sampaio, 2016). conclusion the period of the covid-19 pandemic is a condition that is of concern to the wider community, especially for breastfeeding mothers. in connection with breastfeeding during this pandemic, health workers have a role to give education for mothers, their husband, and all of family member to provide nutrition to their babies through the breastfeeding process. the content of breast milk is very good for the baby’s growth and can ward off viruses or other microorganisms that need to be delivered so that the baby does not lose his right to exclusively breastfeed for up to six months or can continue for two years. living cells in breast milk such as iga, igm and igg with their respective roles can increase the body’s immunity in infants and avoid infection or other diseases. then, the vertical transmission between mother and baby is not through plasma cells but through direct contact caused by small particles of fluid through the mouth, eyes and nose. suggestion following up on this discussion, it is necessary to develop a study on the typical response that arises from iga, igm, igg and is able to protect infants from covid-19. then, a study of the correlation of vertical transmission between mother and her baby during pregnancy to breastfeeding, where the study findings are presented. in this systematic review, the mechanism is not specific. so, it is hoped that the large amount of literature that appears can add insight to readers and as recommendations for new knowledge. references amalia, l., irwan, & hiola, f. (2020). analisis kekebalan tubuh untuk mencegah penyakit covid-19. jambura journal, 2(2). cacho, n. t., & lawrence, r. m. (2017). innate immunity and breast milk. innate immunity and breast milk. front. immunol, 8, 584. https://doi.org/10.3389/ fimmu.2017.00584 fox, a., marino, j., amanat, f., krammer, f., hahnholbrook, j., zolla-pazner, s., & powell, r. l. (2020). evidence of a significant secretory-iga-dominant sars-cov-2 immune response in human milk following recovery from covid-19. medrxiv. https:// doi.org/10.1101/2020.05.04.20089995 guan, w., ni, z., hu, y., liang, w., ou, c., he, j., liu, l., shan, h., lei, c., hui, d. s. c., du, b., li, l., zeng, g., yuen, k.-y., chen, r., tang, c., wang, t., chen, p., xiang, j., … zhong, n. (2020). clinical characteristics of coronavirus disease 2019 in china. new england journal of medicine, 382(18), 1708–1720. https://doi.org/10.1056/nejmoa2002032 hoffmann, m., kleine-weber, h., schroeder, s., krüger, n., herrler, t., erichsen, s., schiergens, t. s., herrler, g., wu, n. h., nitsche, a., müller, m. a., drosten, c., & pöhlmann, s. (2020). sars-cov-2 cell entry depends on ace2 and tmprss2 and is blocked by a clinically proven protease inhibitor. cell, 181(2), 271-280.e8. https://doi.org/10.1016/ j.cell.2020.02.052 imai, y., kuba, k., rao, s., huan, y., guo, f., guan, b., yang, p., sarao, r., wada, t., leong-poi, h., crackower, m. a., fukamizu, a., hui, c. c., hein, l., uhlig, s., slutsky, a. s., jiang, c., & penninger, j. m. (2005). angiotensin-converting enzyme 2 protects from severe acute lung failure. nature, 436(7047), 112–116. https://doi.org/10.1038/nature03712 jaimes, j. a., andré, n. m., chappie, j. s., millet, j. k., & whittaker, g. r. (2020). phylogenetic analysis and structural modeling of sars-cov-2 spike protein reveals an evolutionary distinct and proteolytically sensitive activation loop. journal of molecular biology, 432(10), 3309–3325. https://doi.org/ 10.1016/j.jmb.2020.04.009 jia, h. p., look, d. c., shi, l., hickey, m., pewe, l., netland, j., farzan, m., wohlford-lenane, c., perlman, s., & mccray, p. b. (2005). ace2 receptor expression and severe acute respiratory syndrome coronavirus infection depend on differentiation of human airway epithelia. journal of virology, 79(23), 14614– 14621. https://doi.org/10.1128/jvi.79.23.1461414621.2005 lovato, a., & de filippis, c. (2020). clinical presentation of covid-19: a systematic review focusing on upper airway symptoms. ear, nose and throat journal, 99(9), 569–576. https://doi.org/10.1177/ 0145561320920762 262 jurnal ners dan kebidanan, volume 8, issue 2, august 2021, page 255–262 mehta, p., mcauley, d. f., brown, m., sanchez, e., tattersall, r. s., manson, j. j., & across speciality collaboration, h. (2020). covid-19: consider cytokine storm syndromes and immunosuppression. https://doi.org/10.1016/s0140-6736(20)30628-0 nakayama, e. e., hernandez-vargas, e. a., liu, z., sun, c.-b., wang, y.-y., & liu, g.-h. (2019). role of the eye in transmitting human coronavirus: what we know and what we do not know. frontiers in public health | www.frontiersin.org, 1, 155. https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.00155 nawang swastika raras, ari suwondo, sri wahyuni, y. l. (2016). different amount of prolactin hormone before and after acupressure-aromatherapy combination technique in lactation: epidemiologicalclinic study on post partum mother in surakarta district hospital. 4 asian academic society international conference (aasic). palmeira, p., & carneiro-sampaio, m. (2016). immunology of breast milk. revista da associação médica brasileira, 62(6), 584–593. https://doi.org/10.1590/ 1806-9282.62.06.584 permanyer, m., castellote, c., ramírez-santana, c., audí, ‡ c, pérez-cano, f. j., castell, m., lópez-sabater, m. c., & franch, à. (n.d.). maintenance of breast milk immunoglobulin a after high-pressure processing. https://doi.org/10.3168/jds.2009-2643 sri sumarmi. (2020). kerja harmoni zat gizi dalam meningkatkan imunitas tubuh terhadap covid-19: mini review harmonity of nutrients to improve immunity against covid-19: a mini review. amerta nutrition, 4(3), 250–256. https://doi.org/10.20473/ amnt.v4i3.2020.250-256 sri sumarni. (2020). kerja harmoni zat gizi dalam meningkatkan imunitas tubuh terhadap covid-19: mini review. iagikmi & universitas airlangga. https://doi.org/10.2473/amnt.v4i3.2020. 250-256. susi hartati, n. n. dan d. g. (2012). faktor resiko terjadinya pneumonia pada anak balita. jurnal keperawatan indonesia, 15, 13–20. tai, w., he, l., zhang, x., pu, j., voronin, d., jiang, s., zhou, y., & du, l. (n.d.). article characterization of the receptor-binding domain (rbd) of 2019 novel coronavirus: implication for development of rbd protein as a viral attachment inhibitor and vaccine. cellular & molecular immunology. https://doi.org/ 10.1038/s41423-020-0400-4. tang, a., tong, z.-d., wang, h.-l., dai, y.-x., li, k.-f., liu, j.-n., wu, w.-j., yuan, c., yu, m.-l., li, p., & yan, j.-b. (n.d.). detection of novel coronavirus by rt-pcr in stool specimen from asymptomatic chi l d, china . ht t ps: / / doi . or g/ 10. 3201/ eid2606.200301. wrapp, d., wang, n., corbett, k. s., goldsmith, j. a., hsieh, c.-l., abiona, o., graham, b. s., & mclellan, j. s. (2019). cryo-em structure of the 2019-ncov spike in the prefusion conformation. http:// science.sciencemag.org/ zhu, h., wang, l., fang, c., peng, s., zhang, l., chang, g., xia, s., & zhou, w. (n.d.). clinical analysis of 10 neonates born to mothers with 2019-ncov pneumonia. https://doi.org/10.21037/tp.2020.02.06. zhu, n., zhang, d., wang, w., li, x., yang, b., song, j., zhao, x., huang, b., shi, w., lu, r., niu, p., zhan, f., ma, x., wang, d., xu, w., wu, g., gao, g. f., & tan, w. (2020). a novel coronavirus from patients with pneumonia in china, 2019. new england journal of medicine, 382(8), 727–733. https://doi.org/ 10.1056/nejmoa2001017. 105 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk elderly participation in elderly posyandu in relationship with family support wiwis kiswati1, ira titisari2, siti asiyah3 1,2,3nursing department, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract in 2020, there are an estimated 727 million elderly over worldwide. in indonesia, according to the east java health profile, it is stated that the coverage of the elderly who received health services in 2019 was 62.9% of the 5,221,188 elderly (east java provincial health office, 2020) which is very far from the minimum standard for elderly posyandu services, which is 80%. the purpose of this study was to see whether there was a relationship between the involvement of the elderly in the posyandu for the elderly with family support. the elderly posyandu is one of the services for the elderly which includes prevention, improvement, treatment, and healing activities. this study was conducted to see whether there is a relationship between the participation of the elderly in the posyandu for the elderly in relation to support from the family. this writing uses a systematic mapping review design. using the keywords “elderly” and “family support” and “participation in elderly posyandu” or “family support” and “elderly” and “health services”. this writing uses a comparison technique. 10 articles were selected using casp tools and jbi tools. articles were taken from the google scholar database (1 journal), pubmed (2 journals), e-journal (2 journals), garuda (3 journals), and researchgate (2 journals). there is a relationship between the actions of the elderly in attending the posyandu for the elderly with family support, which consists of instrumental assistance, information assistance, assessment assistance, and emotional assistance. from the results of the analysis, it has been found that there is a relationship between the participation of the elderly in the elderly posyandu in relation to family support. we hope that these findings can be used as a basis for analyzing plans to improve health for the elderly history article: received, 14/11/2021 accepted, 04/25/2022 published, 15/04/2022 keywords: elderly participation, family support, elderly posyandu © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: wiwiskiswati01081997@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p105-111 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:wiwiskiswati01081997@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p105-111 106 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 105-111 introduction one of the goals of the 2015–2030 sustainable development goals (sdgs) program is health for all ages in its development strategy, including quality health for the elderly[1]. improved welfare and quality of life in the elderly group can be seen from the increasing life expectancy of the population. the elderly are one of the targets of midwives in community midwifery where one example of health services for the elderly is the elderly posyandu, but not all elderly actively participate in posyandu activities. the village midwife is the coordinator of the posyandu program with a simple routine treatment program[2] is the posyandu program that is run. one of the obstacles for the elderly to get to the posyandu is the lack of family assistance in delivering or reminding them to come. family support is one type of family therapy where health problems can occur and be treated simultaneously[3]. according to the world health organization or who (2014), the elderly population in southeast asia reaches 8% of the population or about 142 million people[4]. indonesia's absolute population is 267 million people, according to the results of the inter-census population survey (supas)[5], and is expected to increase to 269.6 million people by 2019. within fifty years, the number of elderly people in indonesia has doubled fold. (1971-2019), which is 9.7% of the total population or about 25.9 million people. the east java health profile states that the administrative inclusion of the elderly in 2017 was 62.23% of the 4,811,433 elderly[6], in 2018 it was 64.38% of the 5,115,251 elderly[7], and in 2019 the inclusion was reduced to 62.9% of the 5,221[8].188 elderly who are very far from the standard of basic assistance for the old posyandu which is 80%. because the elderly does not use health services at the posyandu for the elderly, it is feared that the health of the elderly will not be monitored effectively, and if they get sick due to a decrease in body condition, it will be fatal and deadly. endangering their lives[9]. this begins with a decrease in the function of body cells, resulting in a decrease in body function and endurance, as well as an increase in disease risk factors. in 2015, the elderly population morbidity rate was 28.62 percent, followed by 27.46 percent in 2016, 27.72 percent in 2017, 26.72 percent in 2018, 25.99 percent in 2019, and 26. .20 percent in 2019. in the posyandu for the elderly, family support is very important because it encourages them to participate in posyandu activities to maintain their health. the elderly will feel very helpful in dealing with their lives when they get social support from their families which will make them feel not alone in their struggles, and there are still other people who pay attention, want to listen. all complaints, sympathize, and empathize with their problems. experienced, and willing to help in solving any problems that may arise[10]. based on the above context, the writer wants to investigate the relationship between family support and parental activities. method this study was conducted to explain the relationship between the participation of the elderly in the elderly posyandu in relation to family support. the type of writing used is literature study. the type and method used by the author is a traditional review. searches were made from internet sites such as pubmed, google schoolar and others that matched the concept to be researched. the selection of journals is carried out by taking into account the peos framework as well as inclusion and exclusion criteria with the years published 2011-2021. search for articles or journals using the keywords “family” and “parents” or “elderly” and “health center” or “health check-up” or “regular check-up”. from the search results, the keyword results obtained as many as 358 journals. then the journal was published due to duplication into 360 journals. then adjusted with the title taken by the author into 20 journals. the journals are then selected according to the abstract and full text so that the final results are 10 journals consisting of 5 international journals and 5 national journals which are then analyzed one by one. the inclusion criteria used are: 1. the writing subjects studied were the elderly aged over 45 years to 6o years and over. 2. exposure to family support for the elderly. 3. the results to be obtained are the relationship between the participation of the elderly in the elderly posyandu in relation to family support. 4. journals used in the last 10 years. 5. journal of english and indonesian. . kiswati, titisari, asiyah, elderly participation in elderly posyandu in relationship … 107 the results of the examination contain a total picture of how to investigate the idea under study. scientists look for similarities (compare), which is a strategy to lead an audit by looking for similarities between several literary works and reaching a conclusion. coordinate the writing to be checked. incorporate the side effects of writing associations into the outline. distinguishing significant problems to be dissected in writing a research literature review. result the journal presented mentions family support for the elderly, elderly participation in health services to check their health, and the relationship between elderly participation in the elderly posyandu in relation to family support. there were 10 journal articles analyzed and all of them used a cross sectional research design. the research instruments used in this study include 4 questionnaire journals, 3 questionnaire and interview journals, and 3 interview journals. the majority of respondents in the journal obtained were 60 years old. table 1: family support no. family support total % researcher and publication year 1. support 20 51,3 daniel, 2019 does not support 19 48,7 2. support 66 100 maria, 2017 does not support 0 0,00 3. support 16 44,4 nia, 2017 does not support 20 55,6 4. support 84 43,3 wenty, 2017 does not support 110 56,7 5. support 78 71,6 ardelia dkk, 2016 does not support 31 28,4 6. support 495 87,1 ziaeefar, 2021 does not support 73 12,9 journal database used in library search: google scholar, sciencedirect, danpubmed (n = 385) duplicate articles issued : (n = 360) articles that match the title : (n = 20) suitable article based on abstract : (n = 17) number of full-text articles that meet the eligibility criteria: (n = 12) articles synthesized and met the critical rating : (n = 10) participants: 161 not focusing on elderly participation exposure: 83 support not from family result: 96 it has nothing to do with family support with elderly participation in health services total issued: 340 108 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 105-111 table 2: types of family support no. support type researcher and publication year 1. economy, transport, treatment, encouragement and care aboagye, 2013 acharya, 2019 daniel, 2019 elizabeth, 2018 nia, 2017 wenty, 2017 ardelia dkk, 2016 2. economy jiang, 2018 3. encouragement and attention ziaeefar, 2021 4. not explained maria, 2017 the participation of the elderly in the posyandu for the elderly was mentioned in four of the ten articles studied. the average number of active elderly is around 8-84, while the average inactive elderly is around 19-110. table 3: the relationship between the participation of the elderly in the elderly posyandu in relation to family support no. relationship between family support and elderly participation in health services amount % researcher and publication year 1. there is a significant relationship 7 70,0 aboagye, 2013 ardelia dkk, 2016 daniel, 2019 maria, 2017 nia, 2017 wenty, 2017 ziaeefar, 2021 2. not explained 3 30,0 jiang, 2018 elizabeth, 2018 acharya, 2019 total 10 100% of the ten journals reviewed, there were 7 journals which stated that there was a significant relationship between family support and the participation of the elderly to participate in the elderly posyandu, while those that did not stated that there were 3 journals. discussion based on the 10 journals that have been collected, all explain the relationship between family support and the participation of the elderly in participating in posyandu activities for the elderly. family support for elderly health from 10 journals, it is stated that support from family members has an influence on the elderly in improving their quality of life. the quality of life of the elderly here includes their physical and psychosocial health. elderly who receives support from their families tend to be happier and willing to improve their health through the use of health services. this is in line with theory[11] which states that several things that have a relationship with the participation of the elderly in participating in posyandu activities for the elderly, one of which is support from the family. where the elderly posyandu is one example of a service that is devoted to the elderly to check their health. in economic support, usually the elderly are retirees or those who are less productive. in almost all countries in asia, the main source income of the elderly comes from the family. kiswati, titisari, asiyah, elderly participation in elderly posyandu in relationship … 109 even though the elderly receive a pension from government and other revenues, but the proportion of the largest is from his family (ogawa 1985). for the elderly living at home with families, it is estimated that economic assistance will be more intensive for elderly. in transportation support, the elderly who do not have transportation rely on family members or other forms of transportation to access health services. public transport is usually unreliable and/or non-existent in many areas. accessibility to healthcare is a problem for the elderly by transportation for geographical distances to health services that cause many obstacles for the elderly. family support is one type of social support. reciprocal interactions between individuals or family members can cause relationship with each other. family support can be in the form of: verbal and nonverbal information or advice, real help, appropriate action given by social intimacy or the feeling that the presence other people have emotional value or have a role in behavior social support recipients. social support from the family is very necessary so that the elderly feel useful life. especially for the elderly living with children, families/children must pay attention and encourage the elderly to be active in activities in the environment so that the elderly can socialize well. families are also expected to pay attention which is more for elderly who live with their families because elderly also want attention, love and care not just material given[25]. of the 10 journals, the support chosen by families varies, such as 7 journals that mention providing support in the form of economics, transportation to health facilities, treatment, encouragement and attention which are journals from [12], [13], [14], [15], [16], [17], and [18] who said that to encourage the elderly to participate in posyandu activities, family support was needed. the assistance can be in the form of mentoring the elderly, always ready to accompany the elderly to the elderly posyandu, reminding the elderly of the posyandu schedule, and trying to help the elderly in overcoming problems. journals[19] which state the provision of economic support, journals[20] which state the provision of emotional support such as encouragement and attention and reminding to take medication. the above is in accordance with the theory[21] of instrumental support including the provision of complete and adequate equipment, as well as the provision of medicines and other necessary items; information support requires the provision of advice, direction, or information; and assessment support requires providing feedback, guidance, and support. problem-solving mediation serves as a source and validator of family identity, as well as providing emotional support, which involves caring, listening to her complaints, sympathizing and empathizing with her concerns, and even offering to help her solve the problem. according to researchers, it is very important to provide family support to the elderly because the elderly is one of the risk groups with decreased organ function so that providing family support will be very meaningful for the elderly. elderly people who receive support from their families also tend to be happier and healthier mentally and physically. elderly participation in participating in elderly posyandu activities of all the journals reviewed, the elderly who are active in participating in the elderly posyandu or health services tend to be fewer when compared to the elderly who are not actively participating in their activities. this is shown from the journal of [14] which of the 30 elderly people there are 13 who are active to the posyandu while the remaining 17 people are not active to the elderly posyandu. the same thing is also stated by research from[22] of 77 there are 9 active elderly people while the remaining 68 are inactive, research from[16] of 36 total elderly there are 16 active people and 20 inactive people, research from[17] from 194 total elderly there are 83 active elderly and 111 inactive elderly, and research from[18] of total 109 elderly people there are 22 active elderly and 87 inactive elderly people. transportation to the posyandu for the elderly, the lack of explanation about the value of attending the posyandu for the elderly, the materials or prices for obtaining services, and social interaction are barriers for the elderly to be inactive, according to the overall results given above. this is in line with the theory[23] which states that the obstacles to implementing posyandu for the elderly are the lack of knowledge about the benefits of posyandu for the elderly, the distance between the elderly's house and the posyandu, lack of family support, and poor attitude of health workers. this will certainly increase if the posyandu area is easily accessible. 110 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 105-111 the interest and encouragement of the elderly to participate in posyandu activities will definitely increase if the posyandu location is easily accessible. according to the researcher, the inactivity of the elderly in participating in the elderly posyandu is caused by the lack of family assistance, both instrumental, informational, evaluation, and emotional support. the elderly will feel more cared for by their families if they receive family support, which will increase their desire to seek health services to improve their health. relationship of elderly participation in elderly posyandu with family support six publications stated that there was a substantial relationship between family support and involvement in the posyandu for the elderly, while the other four stated that they were related but did not explain the relationship. research[24] said that behavior and family support on the use of health services for the elderly showed a significant relationship between family support, which includes informational support, instrumental support, emotional support, and assessment support with the elderly in utilizing health services. according to the researcher, seeing the results which state that there is a relationship between family support and the participation of the elderly in participating in posyandu activities for the elderly, it requires good cooperation from health workers and family members to improve the quality of life and productivity of the elderly. in addition, the family also accompanies the elderly posyandu and provides information about the importance of attending the elderly posyandu in order to improve the health and welfare of the elderly. the limitation in this literature study is that the researchers only analyzed previous research journals so that they could not prove directly to the intended respondents the relationship between family support and the participation of the elderly in attending the elderly posyandu. conclusion based on the results of research published in ten publications related to the issues mentioned above, there is a substantial relationship between family support and the involvement of the elderly in posyandu activities for the elderly. most family support for the health of the elderly is provided in the form of instrumental, informational, assessment, and emotional support, such as the provision of materials and transportation, providing advice and suggestions, providing related information, and providing support and attention, according to the findings of this study. when compared with the elderly who are not active in the elderly posyandu, the involvement of the elderly in the elderly posyandu is still low. furthermore, there is a relationship between family support and the presence of the elderly in the elderly posyandu which has an impact on the physical and psychological health of the elderly. suggestion for further researchers, it can provide data and reflections in additional exploration related to the relationship between family support and the actions of the elderly in attending the posyandu for the elderly. then, it is better if health workers at the puskesmas with posyandu for the elderly can further improve their services and further promote services for the elderly and their families so that the elderly can be more active in participating in the posyandu for the elderly. and for the elderly, it is better to increase participation in participating in the posyandu for the elderly so that the health of the elderly can be monitored, maintained and improved. acknowledgment we would like to thank for the presence of allah swt who has made it easy for us to complete this project. as well as my beloved lecturers and friends from the health polytechnic of the ministry of health of malang who have provided support and direction. and parents who always support the completion of this research. reference kementerian kesehatan rl. rencana strategis kementerian kesehatan tahun 2015-2019. jakarta: kementerian kesehatan rl; 2015. indrawati i. peiaksanaan kegiatan posyandu lansia di desa pudak kabupaten muaro jambi. j psikol jambi. 2017; maria. hubungan dukungan keiuarga dengan motivasi lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu lansia di keiurahan tiogomas kecamatan lowokwaru maiang. nurs ners. 2017; vol 2. omeoo. popuiasi lansia diperkirakan terus kiswati, titisari, asiyah, elderly participation in elderly posyandu in relationship … 111 meningkat hingga tahun 2020. kemkes [lnternet]. 2013; tersedia pada: http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatanp2ptm/aceh/populasi-lansia-diperkirakanterus-meningkat-hingga-tahun-2020 badan pusat statistik. profii penduduk indonesia hasil supas 2015. badan pusat statistik; 2015. dinas kesehatan provinsi jawa timur. profii kesehatan provinsi jawa timur tahun 2017. surabaya: kementerian kesehatan repubiik lndonesia; 2018. dinas kesehatan provinsi jawa timur. profii kesehatan provinsi jawa timur tahun 2018. surabaya: kementerian kesehatan repubiik lndonesia; 2019. dinas kesehatan provinsi jawa timur. profii kesehatan provinsi jawa timur tahun 2019. surabaya: kementerian kesehatan repubiik lndonesia; 2020. devy lna. hubungan dukungan keiuarga dan pengetahuan lansia dengan motivasi mengikuti posyandu lansia. j kebidanan. aprii 2018; vol 4(no 2):60– 4. astuti tf, suwarno. hubungan dukungan keluarga dengan keaktifan lansia mengikuti posyandu lansia di posyandu meiati kiawisan seyegan yogyakarta lntisari. stikes jenderai achmad yani yogyak. 2017; skripsi. sulistio r, suryaningsih ek. hubungan dukungan keiuarga dengan keaktifan lansia daiam mengikuti posyandu lansia di dusun kronggahan i gamping kabupaten sieman. fak iimu kesehat univ aisyiyah. 2017; aboagye e trond tjerbo, otuo serebour agyemang. eideriy demand for famiiybased care and support: evidence from a sociai lntervention strategy. giob j heaith sci. 2013;6(2):94–104. acharya s saruna ghimire, eva m jeffers, eva m jeffers, eva m jeffers. heaith care utiiization and heaith care expenditure of nepaii older aduits. public health. 2019; daniel g netti etaiia br brahmana. hubungan dukungan keluarga dengan keaktifan lansia mengikuti kegiatan posyandu di desa lumban sinaga wiiayah kerja puskesmas lumban sinaga kecamatan pangaribuan kabupaten tapanuii utara tahun 2017. j healthc technol med. 2019;5(1). elizabeth a santos lins, caroia rosas, anita liberaiesso neri. satisfaction with famiiy reiations and support according to eideriy persons caring for eiderly reiatives. rio jan. 2018;21(3):330–41. nia n. hubungan motivasi dan dukungan keiuarga lansia dalam meiakukan kunjungan posyandu lansia di wiiayah kerja puskesmas simpang kawat kota jambi tahun 2017. sci j. 2017;6(2). wenty ia nina rahmadiiiyani, widyawati. famiiiy’s support and its effect ln lncreasing the eiderly visitation to posyandu. icash-a026 [internet]. 2017;(2). tersedia pada: https://publications. inschool.id/ index.php/icash/article/view/145 ardelia g, iiyas h, manurung l. hubungan dukungan keiuarga dengan kunjungan lansia ke posyandu. j keperawatan. 2016; volume xii (no. 2). jiang m guang yang, lvying fang, jin wan, yinghua yang, ying wang. factors associated with heaithcare utiiization among community-dwelling eiderly in shanghai, china. plos one. 2018;12(13):e0207646. ziaeefar h maryam tajvar, mehdi yaseri, aboighasem pourreza. evaiuation of eiderly’s lntegrated heaithcare components in primary heaithcare centers of tehran, lran. j educ health promot. 2021;10:222. harnilawati. konsep dan proses keperawatan keiuarga. suiawesi seiatan: pustaka as salam; 2013. arip ambulan p eka freiestanty, siti nur lathifah, lea masan, eka yorita noberta, joni herman. dukungan keiuarga terhadap keaktifan lansia daiam mengikuti posyandu lansia di puskesmas emparu. e-j [internet]. 2017; tersedia pada: http://ejournal.poitekkes-pontianak.ac.id /index.php/ jvk sunaryo w r, kuhu, mm, sumedi, t, widayanti, e, d, sykriiiah, u, a. asuhan keperawatan gerontik. yogyakarta: cv. andi offset; 2016. hayani fitri h namora lumongga lubis, tukiman. hubungan periiaku lansia dan dukungan keluarga terhadap pemanfaatan posyandu lansia di wiiayah kerja puskesmas darussalam tahun 2012. j usu. 2012; mulyati. dukungan sosial dan ekonomi keluarga terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan lansia di kota bogor. 2012. bogor agricultural institute . e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 276 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 276–281 276 hubungan pengetahuan ibu dengan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari di kelurahan nglames kabupaten madiun (the correlation of knowledge and breast cancer early detection through bse/breast self examination in nglames villages madiun) rika maya sari fakultas ilmu kesehatan, universitas muhammadiyah ponorogo email: rikamaya43@gmail.com abstract: in indonesia, based on data from the global burden of cancer (globocan), breast cancer in women (26 per 100,000), followed by uterus cancer (16 per 100,000). the easiest way and does not require a fee for early detection of breast cancer is the breast self examination (bse). the purpose of study was to analyze the correlation of women knowledge and early detection of breast cancer through the bse. the design was analytic cross sectional study with the sample of 98 mothers in the village nglames madiun district. the data was collected using questionnaires and analyzed with chi square. the results showed most women had the knowledge and efforts of bse well and there was a correlations between women’s knowledge and early detection of breast cancer through the bse with a significance level of p value 0,010 <0,05. the women were expected to enhance the knowledge about early detection of breast cancer and for health centers to improve health education efforts in the community about the importance of early detection of breast cancer. keywords: knowledge, early detection, breast cancer, breast self-examination abstrak: di indonesia, berdasarkan data global burden of cancer (globocan), kanker payudara merupakan kanker terbanyak pada perempuan (26 per 100.000) diikuti kanker rahim (16 per 100.000). cara yang paling mudah dan tidak membutuhkan biaya untuk mendeteksi secara dini kejadian kanker payudara adalah dengan pemeriksaan payudara sendiri.tujuan penelitian adalah untuk menganalisis adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari. desain penelitian adalah analitik cross sectional dengan jumlah sampel 98 ibu di kelurahan nglames kabupaten madiun. pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan teknik analisis data chi square. hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu mempunyai pengetahuan dan melakukan upaya sadari dengan baik serta terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari dengan taraf signifikansi p value 0,010 < 0,05. diharapkan ibu dapat meningkatkan pengetahuan tentang deteksi dini kanker payudara dan bagi puskesmas untuk lebih meningkatkan upaya pendidikan kesehatan pada masyarakat tentang pentingnya deteksi dini kanker payudara. kata kunci: pengetahuan, deteksi dini, kanker payudara, sadari kanker payudara disebut juga sebagai carcinoma mammae yaitu sebuah tumor ganas yang tumbuh dalam jaringan payudara. tumor ini dapat tumbuh dalam kelenjar susu, jaringan lemak, maupun pada jaringan ikat payudara (suryaningsih, 2009). di amerika kanker payudara ini menduduki peringkat tertinggi diantara jenis kanker yang lainnya. dari hasil penelitian membuktikan bahwa kanker di indonesia maupun di amerika serikat memperlihatkan kecenderungan untuk meningkat dari tahun ke tahun (hawari, 2004). acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p276-281 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 277sari, hubungan pengetahuan ibu dengan ... berdasarkan data dari american cancer society, sekitar 1,3 juta wanita terdiagnosis kanker payudara, tiap tahunnya di seluruh dunia kurang lebih 465.000 wanita meninggal karena penyakit ini. (rasjidi, 2009). badan kesehatan dunia (who) memprediksi terjadinya peningkatan angka kejadian kanker dari 11 juta menjadi 27 juta dan kematian akibat kanker 7 menjadi 17 juta. sehingga pada 2030 diperkirakan sekitar 75 juta orang hidup dengan kanker. di tahun sekarang bagi negara berkembang seperti indonesia, dengan angka kejadian 70%, kendati terjadi penurunan angka kematian, angka kejadian terus meningkat termasuk di indonesia, terdeteksi kanker pembunuh no 2. secara keseluruhan hampir 1 juta wanita mengalami kanker payudara setiap tahunnya. kurva angka kejadian meningkat pada usia di atas 30 tahun, dan paling tinggi pada usia 45–56 tahun, kejadian 5-10% kanker disebabkan faktor yang diwariskan, tetapi faktor lain seperti gaya hidup yang buruk juga ikut berperan. di indonesia, berdasarkan data global burden of cancer (globocan), kanker payudara merupakan kanker terbanyak pada perempuan (26 per 100.000) diikuti kanker rahim (16 per 100.000). data sistem informasi rumah sakit (sirs) tahun 2007 menunjukkan kejadian kanker payudara mencapai 21,69% lebih tinggi dari kanker leher rahim yang angkanya 17% (rasjidi, 2009). deteksi dini adalah usaha untuk mengidentifikasi penyakit atau kelainan yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat, benar-benar sehat dengan tampak sehat tetapi sesungguhnya menderita kelainan (rasjidi, 2009). cara yang paling mudah dan tidak membutuhkan biaya untuk mendeteksi secara dini kejadian kanker payudara adalah dengan pemeriksaan payudara sendiri (sadari). menurut kerney dan murray (2006) dalam rasjidi (2009), beberapa penelitian menunjukkan sadari tidak menurunkan angka kematian akibat ka nker pa yuda r a , na mun kombina si a nta r a sadari dan mammografi masih dibutuhkan untuk menurunkan resiko kematian akibat kanker payudara. sadari dapat menemukan tumor atau benjolan payudara pada stadium awal, penemuan awal benjolan dipakai sebagai r ujukan melakukan mammografi untuk mendeteksi kanker. semua wanita di atas usia 20 tahun sebaiknya melakukan sadari setiap bulan dan segera memeriksakan diri ke dokter bila ditemukan benjolan. pemeriksaan sendiri sangat penting dianjurkan kepada masyarakat karena hampir 86% benjolan di payudara ditemukan oleh penderita sendiri. suryaningsih (2009) menyatakan bahwa pemeriksaan payudara sendiri (sadari) merupakan salah satu langkah deteksi dini untuk mencegah terjadinya kanker payudara yang akan lebih efektif dilakukan sedini mungkin ketika wanita mencapai usia reproduksi. strategi yang paling penting dalam memperbaiki kelangsungan hidup adalah masih tetap skrining kanker payudara dan deteksi awal. (www.tempo.co.id). berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 9 dari 10 wanita menemukan adanya benjolan di payudara. adanya kasus kanker payudara sebanyak 9,1% yang terjadi pada usia di bawah yang sebelumnya banyak terjadi pada wanita berusia 35-50 tahun mulai menyerang usia yang lebih muda. hal ini disebabkan karena meningkatnya faktor risiko kanker payudara itu sendiri, sehingga sangat diperlukan deteksi dini untuk menemukan kelainan pada payudara (ramli, 2002). pemasyarakatan kegiatan deteksi dini bagi semua perempuan dimulai sejak wanita usia subur (wus), sebab 85% kelainan di payudara justru pertama kali ditemukan oleh penderita itu sendiri (rasjidi, 2009). wus adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik antara umur 20-45 tahun (suparyanto, 2011). berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan maret 2015 di kelurahan nglames kecamatan madiun kabupaten madiun terhadap 10 wanita menunjukkan bahwa 3 diantaranya tahu tentang kanker payudara dan deteksi dini kanker payudara melalui sadari, 7 wanita tidak tahu tentang kanker payudara dan cara deteksi dini kanker payudara melalui sadari. masyarakat di kelurahan nglames terutama ibuibu belum pernah mendapatkan informasi atau penyuluhan tentang kanker payudara dan deteksi dini kanker payudara (data primer, maret 2015). berdasarkan fenomena di atas yang menunjukkan bahwa masih terdapat wanita yang belum memahami tentang deteksi dini kanker payudara , maka peneliti merumuskan masalah bagaimanakah hubungan pengetahuan ibu dengan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari. 278 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 276–281 bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain analitik dengan pendekatan cros-sectional, yaitu peneliti melakukan pengukuran atau penelitian dalam satu waktu. penelitian ini dilakukan di kelurahan nglames kabupaten madiun. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu di kelurahan nglames kabupaten madiun yang beusia 25–45 tahun dan sudah menikah. yang berjumlah 392 ibu. jumlah sampel sebanyak 98 diambil dengan teknik proportional simple random sampling. variabel independen yaitu pengetahuan dan variabel dependen yaitu upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari. data umum responden dianalisis dengan prosentase. data khusus responden dianalisis menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan antara pengetahuan dengan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari. dikatakan ada hubungan jika tingkat signifikansi (p) < 0,05. hasil penelitian pembahasan berdasarkan tabel 2 terlihat sebagian besar responden (68,4%) memiliki pengetahuan yang baik. hal ini dipengaruhi oleh usia, pendidikan, dan pekerjaan. dilihat dari faktor usia, berdasarkan hasil penelitian dari 67 terdiri dari 31 responden (46,3%) berusia 25–30 tahun, 16 responden (23,9%) berusia 31–35 tahun, 11 responden (16,4%) berusia 36–40 tahun dan 9 responden (13,4%) berusia >40 tahun.yang mempunyai pengetahuan baik adalah usia 25-30 tahun. usia ini masuk dalam kategori masa dewasa dini. di ma na pada usia ini mer upakan usia tabel 1. distribusi frekuensi berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan dan sumber informasi di kelurahan nglames kabupaten madiun juli 2015 (n=98) variabel kategori f rekuensi prosent ase pengetahuan baik 67 68,4 kurang 31 31,6 upaya sad ari melakukan 72 73,5 t idak melakukan 26 26,5 tabel 3. analisis hubungan pengetahuan dengan upaya deteksi dini kanker payuadara melalui sadari di kelurahan nglames kabupaten madiun juli 2015 (n=98) *signifikansi pada  = 0,05 pengeta huan upaya sadari total p value melakukan tida k melakukan n % n % n % baik 58 86,6 9 13,4 67 100,0 0,010 kurang 14 45,2 17 54,8 31 100,0 jumlah 72 73,5 26 26,5 98 100,0 tabel 2. distribusi frekuensi pengetahuan dan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari pada ibu di kelurahan nglames kabupaten madiun juli 2015 (n=98) variabel kategori jumlah (%) umur 25 30 31 35 36 – 40 >40 36 24 16 22 36,7 24,5 16,3 22,5 tingkat pendidikan sd smp sma pt 4 28 48 18 4, 1 28,6 48,9 18,4 pekerjaan tidak bekerja petani/pedagang/buruh pns karyawan swasta 54 14 14 16 55,1 14,3 14,3 16,3 sumber informasi tidak pernah media cetak/elektronik petugas kesehatan teman/saudara 44 27 11 16 44,9 27,6 11,2 16,3 279sari, hubungan pengetahuan ibu dengan ... penyesuaian diri terbaik (hurlock, 1999:296). meskipun pada usia dewasa dini cara berfikir belum matang, akan tetapi mempunyai pengetahuan yang baik, karena pada usia ini mempunyai penyesuaian diri yang terbaik. sehingga banyak informasi yang diperoleh tentang kanker payudara. dari data responden yang berusia 25–30 tahun bekerja sebagai irt dan banyak waktu luang, sehingga informasi yang dimilikipun banyak. biasanya mereka memperoleh informasi dari tv, radio, koran dan lainlain. dilihat dari segi pendidikan, berdasarkan hasil penelitian dari 67 responden terdiri dari 40 responden (59,7%) berpendidikan sma. menurut kuncoroningrat yang dikutip dari nursalam dan pariani (2003) makin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. dimana semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula pengetahuan yang didapat yang mempengaruhi pola pikir dan nalar seseorang. sehingga mempengaruhi perilaku seseorang pula. terbukti dari data 40 responden memiliki pengetahuan baik, karena memiliki pendidikan tinggi yaitu sma sehingga pola pikirnyapun tinggi. dilihat dari faktor pekerjaan, berdasarkan hasil penelitian 67 responden (68,4%) terdiri dari 36 responden (53,7%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga (irt), dan 9 responden (13,4%) bekerja sebagai petani/pedagang/buruh. berdasarkan teori bahwasannya pekerjaan merupakan hal yang menyita waktu. seseorang yang mempunyai pekerjaan yang penting, akan menyebabkan sedikitnya informasi yang didapat. hal ini akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang. pada penelitian ini lebih dari setengahnya diperoleh 36 responden irt berpengetahuan baik, di mana mereka tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga para irt banyak waktu luang seperti membaca koran, melihat tv, berbincangbincang dengan keluarga atau teman dan lain-lain. kemudian ada juga sebanyak 9 responden (13,4%) bekerja sebagai petani/pedagang/buruh di mana mereka beranggapan bahwa waktu adalah uang. sehingga banyak informasi yang diperoleh para irt terutama tentang kanker payudara. dari sumber informasi, berdasarkan penelitian 11 responden (28,9%) terdiri dari media cetak sebanyak 6 responden (15,9%), penyuluhan tenaga kesehatan sebanyak 3 responden (7,7%), dan tidak dapat 2 responden (5,3%). menurut long yang dikutip oleh nursalam (2003) informasi merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi rasa cemas. dari 6 responden informasi dari media cetak, 3 responden da r i penyuluha n tena ga keseha ta n. seseorang yang mendapat informasi akan dapat mempertinggi tingkat pengetahuan terhadap suatu hal. namun ada responden yang tidak mendapatkan informasi tapi mempunyai pengetahuan baik karena seseorang ini berpendidikan tinggi, jadi walaupun tidak mendapatkan informasi tetapi seseorang ini mengetahui dari pengetahuan dan pengalaman. pengetahuan kurang pada ibu tentang kanker payudara berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 31 responden (31,6%) mempunyai pengetahuan kurang. hal ini dipengaruhi oleh usia, pendidikan, sumber informasi dan penghasilan. dilihat dari faktor usia, berdasarkan hasil penelitian dari 31 responden (31,6%) terdiri dari 5 responden (16,1%) berusia 25–30 tahun, 8 responden (25,8%) berusia 31–35 tahun, 5 responden (16,1%) berusia 36–40 tahun dan 13 responden (42%) berusia >40 tahun. menurut notoatmodjo (2003) bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka pengetahuan seseorang akan bertambah pula seiring dengan pengalaman hidup. namun pengetahuan kurang banyak terjadi pada usia >40 tahun sebanyak 13 responden, karena pada usia ini seseorang banyak yang tidak mengetahui tentang berbagai informasi, di mana usia ini menginjak orang tua dan pola pikirannya pun berkurang. sehingga pengetahuan yang diperolehpun kurang. dari segi pendidikan, dari penelitian 31 responden (31,6%) terdiri dari sd sebanyak 3 responden (9,7%) dan pendidikan smp sebanyak 13 responden (42%). semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. sebaliknya pendidikan yang rendah akan menghambat pengetahuan seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (kuncoroningrat yang dikutip dari nursalam dan pariani (2003)). pendidikan smp dikategorikan dalam jenjang pendidikan yang masih rendah, sehingga daya pikir responden untuk menerima informasi atau pengetahuan yang diterima juga rendah sehingga akan sulit menerima informasi yang menyebabkan pengetahuan mereka kurang. dan bahwasannya pada penelitian ini didapatkan responden yang berpendidikan sd dan smp yang mempunyai pengetahuan kurang. 280 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 276–281 dilihat dari sumber informasi, berdasarkan hasil penelitian 31 responden (31,6%) terdiri dari 24 responden (28,9%) tidak mendapat informasi. dengan informasi responden menjadi tahu, hal ini sesuai dengan notoatmodjo (2003) bahwa semakin banyak panca indera yang digunakan manusia untuk menerima semakin banyak dan semakin jelas pengetahuan yang diperoleh. akan tetapi dari 24 responden yang tidak mendapatkan informasi adalah mereka yang berpendidikan sd dan smp. karena rendahnya pendidikan dan pola pikir sehingga keinginan untuk mencari informasi kurang. upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 98 responden sebanyak 72 responden (73,5%) melakukan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari, sedangkan sebanyak 26 responden (26,5%) tidak melakukan upaya deteksi kanker payudara melalui sadari. hal ini dikarenakan bahwa responden memiliki pengetahuan yang baik tentang manfaat deteksi dini kanker payudara melalui sadari sadari adalah upaya yang dilakukan guna mendeteksi dini terjadinya kanker payudara melalui berbagai tahapan yang dilakukan oleh seorang wanita. sadari merupakan suatu hal penting untuk instruksi pada pasien tentang teknik yang benar untuk memeriksa payudara secara mandiri (brunner, 2002). sadari penting untuk dilakukan oleh setiap wanita usia subur untuk mendeteksi adanya kelainan pada payudara. hal ini sebagaimana dinyatakan diananda (2007), bahwa tujuan dilaksanakannya sadari oleh wanita adalah untuk mendeteksi dini terjadinya kanker payudara yang berupa benjolanbenjolan di sekitar payudara. sadari hanya mendeteksi dini terjadinya kanker payudara, tidak mencegah kanker payudara. sebagian wanita berfikir untuk apa melakukan sadari apalagi yang masih berusia dibawah 30 tahun, kebanyakan beranggapan bahwa kasus kanker payudara jarang ditemukan pada usia di bawah 30 tahun. dengan melakukan sadari sejak dini akan membantu deteksi kanker payudara pada stadium dini sehingga kesempatan untuk sembuh lebih besar. analisis data berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 67 responden dengan pengetahuan baik tentang kanker payudara yang melakukan upaya deteksi dini melalui sadari sebanyak 58 orang (59,2%). dari 31 responden dengan pengetahuan kurang tentang kanker payudara yang tidak melakukan sadari sebanyak 17 orang (51,2%). hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,010 yang lebih kecil dari  = 0,05, artinya ha diterima. dengan demikian dapat disimpulkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang kanker payudara dengan upaya deteksi dini melalui sadari pada ibu di kelurahan nglames kabupaten madiun tahun 2015. hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian handayani (2008), yang menyatakan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku para wanita dewasa awal dalam melakukan pemeriksaan payudara sendiri (sadari) di kelurahan kalangan kecamatan pedan klaten (p-value = 0,022). pengetahuan yang baik tentang sadari dan prosedurnya sangat penting dimiliki oleh wanita usia subur (wus) karena tahu tentang sadari dan prosedurnya merupakan salah satu alasan yang menyebabkan wanita usia subur (wus) melakukan sadari. menurut notoatmodjo (2007), perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap dan kepercayan. demikian pula perilaku sadari tidak mungkin dapat terwujud jika seseorang tidak mengetahui sadari dengan baik, apa manfaatnya, bagaimana cara melakukannya dan kapan saat yang tepat untuk melakukannya. sadari penting dilakukan untuk mendeteksi dini adanya kanker payudara, sehingga dapat dilakukan penanganan dengan cepat jika ada tanda atau gejala kanker payudara. kebanyakan kasus kanker payudara di temukan pertama kali pada stadium lanjut. hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat melakukan sadari sangat kurang. berdasarkan fakta bahwa lebih dari 50 % perempuan yang terdiagnosis ka nker tida k pernah mela kukan sadari. hanya 25% sampai 30% wanita yang melakukan pemeriksaan payudara sendiri dengan baik dan teratur setiap bulanya (smeltzer, 2006). simpulan dan saran simpulan sebagian besar responden (68,4%) mempunyai pengetahuan yang baik tentang kanker payudara. terdapat 73,5% dari 98 responden mempunyai efikasi diri yang baik dalam melakukan perawatan kaki. 281sari, hubungan pengetahuan ibu dengan ... terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan upaya deteksi dini kanker payudara melalui sadari dengan tingkat signifikansi (p value) 0,020. saran bagi ibu bagi ibu yang belum melaksanakan sadari dengan baik dan teratur hendaknya menyadari pentingnya sadari da n ber kena n mela kuka n sadari secara rutin untuk menjaga kesehatan payudara dan sebagai deteksi dini kanker payudara. bagi pelayanan keperawatan perawat dapat meningkatkan meningkatkan pengetahuan ibu melalui pendidikan kesehatan yang terstruktur tentang kanker payudara dan deteksi dini kanker payudara melalui sadari. untuk puskesmas nglames perlu dilakukan pendidikan kesehatan tentang kanker payudara dan deteksi dini kanker payudara. bagi penelitian keperawatan penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan penelitian selanjutnya mengenai sadari. beberapa masalah yang dapat diteliti antara lain intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan pengetahuan ibu, pengaruh pendidikan kesehatan dengan suatu modul tertentu terhadap pengetahuan ibu tentang deteksi dini kanker payudara, faktor yang mempengaruhi pengetahuan ibu tentang kanker payudara, dan lain sebagainya dengan menggunakan metode penelitian yang lebih baik. daftar rujukan brunner, s. 2002. keperawatan medikal bedah, alih bahasa, kuncara. volume 8. jakarta: egc. dalimartha, s. 2004. deteksi dini kanker dan simplisia antikanker. jakarta: penebar swadaya. depkes ri. 2003. kesehatan reproduksi remaja (krr) buku saku untuk remaja usia 14–19 tahun. dinas kesehatan kabupaten magetan. hawari, d. 2004. kanker payudara. jakarta: fkui. notoatmodjo. 2003. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta. ______. 2007. kesehatan masyarakat: ilmu & seni. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2003. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu. rasjidi, i. 2009. deteksi dini dan pencegahan kanker pada wanita. jakarta: sagung seto. smeltzer, c., suzanne, bare, g., brenda. 2006. buku ajar keperawatan medikal bedah.alihbahasa: dr. h.y. kuncara. jakarta: egc. suparyanto. 2011. wanita usia subur. http://id.wikipedia. org/wiki/promosikesehatan, (diakses tanggal 15 februari 2015). suryaningsih, & bertania. 2009. kanker payudara. yogyakarta: paradigma indonesia. 10 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk early mobilization affected the daily living activity based on dependence on post patient section caesarian operation arie jefry ka'arayeno1, rachmat chusnul choeron2 1,2faculty of health sciences, tribhuwana tunggadewi university malang, indonesia article information abstract early mobilization is a therapy for the ability of individuals to move freely, easily, and regularly. individuals who have had a caesarean section often feel unable to perform daily activities. the research objective was to determine the effect of early mobilization on daily living activities based on dependence in postoperative caesarean section patients at the east semar district general hospital, maluku. the research design used quasi-experimental methods the population was all patients with post-op section caesarea in the regional general hospital of east seram regency. the sample was all patients with post-op section caesarea. the samples was taken by quota sampling. the data were collected by using a barthel instrument index, an early mobilization sop, leaflets, and observation sheets and analyzed with marginal homogenity test. the results of the study proved that all respondents performed early mobilization, and most respondents experienced the activity daily living category independently in patients with post-operation cesarean sections. the results of the marginal homogeneity test obtained a p value of 0, which means that there was an effect of early mobilization on daily living activities based on dependence on postoperative caesarean section patients at the regional general hospital of east seram regency, maluku. based on the research results, it is necessary for further researchers to measure all the factors that affect the level of dependence on activity for daily living in the post-operation section caesarean. history article: received, 15/01/2022 accepted, 20/03/2023 published, 30/04/2023 keywords: early mobilization, post operation section caesarea, activity daily living © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: tribhuwana tunggadewi university malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : efryarie@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p010-017 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:efryarie@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p010-017 ka'arayeno, rumalutur, early mobilization affected the daily living activity based on … 11 introduction sectio caesarea is a surgery to give birth to a fetus by opening the abdominal wall and the uterine wall (benson & pernol, 2008). after surgery, the mother will feel pain, which results in limited mobilization and disrupted daily living activities. bonding attachments and the early initiation of breastfeeding are hampered due to pain when the mother moves (haniyah, setyawati, sholikhah, 2016). indications for sectio caesarea are cephalopelvic disproportion, fetal distress, placenta previa, history of previous caesarean section, abnormal location, eclampsia, and hypertension (mansjoer et al., 2009). delivery by caesarean section is considered a way to realize a well-born baby and a healthy mother, not only for babies born alive but also for the hope of sustainable growth and development and no complications experienced by the mother (sutrimo, 2012). the pain caused by the surgical wound causes the patient to be afraid to move, and the slight range of motion in the postoperative caesarean section causes the client to depend on the family to carry out daily living activities. the caesarean section not only leaves pain that causes the mother to be afraid to move, but there are several other factors that influence the mother not to do range of motion or to be afraid to move. some of these factors are the level of knowledge, disability, anxiety, fear, frustration due to a loss of control, postpartum depression, pain or discomfort, and loss of self-esteem resulting from changes in body image or body shape (yugistyowati, 2013). the pain felt by the mother due to the surgical wound begins to be felt when the anesthesia has disappeared, basically making the mother afraid to move, which causes the mother's mobilization to decrease (bobak, m. irene et al., 2010). when the mother is lacking in early mobilization so that daily living activities are disrupted and can also make the patient feel uncomfortable, it has a negative effect on the mother and baby. patients who have recently had surgery have a reduced range of motion as a result of the surgical wound and also have a fear of moving (haniyah, s., setyawati, m. b., & sholikah, s. m. (2016). early mobilization is a therapy that is often done. early mobilization has an important role in helping patients do adl. postoperative sc patients who are given early mobilization will have a positive impact and can help in the rehabilitation of the patient to facilitate blood circulation so that the wound healing process is faster and the pain felt by the patient is reduced, with a fast wound healing process that will minimize the incidence of infection in the surgical scar, so that patients can perform adl well (ratmiwasih, utami, and agritubeka, 2017). early mobilization is intended to be carried out in the first 6 hours after the operation, namely by bed rest first, but the patient can still perform early mobilization actions such as moving the foot, lifting the heel, stretching and tensing the calf muscles, and shifting the foot. after the first six hours have passed, for the next six to 10 hours, the patient is advised to tilt to the right and left to avoid the occurrence of thrombosis and thromboembolism. and finally, at 24 hours, the patient is required to be able to sit and walk (ditya, zahari, and afriwandi, 2016). early mobilization measures aim to make the postpartum mother healthier and stronger; early mobilization also facilitates the release of lochia, facilitates blood loss, accelerates the wound healing process, improves gastrointestinal function, and facilitates the release of breast milk (manuba, 2012). in patients who have a lack of early mobilization behavior, it is caused by the low level of knowledge in postpartum mothers, both from the level of education and from the lack of information or cultural beliefs that influence patterns and activities. beliefs that are not in accordance with the principle that patients who have just had surgery are advised not to move because it affects the surgical wound so that the mother can only lie down and do not make early mobilization efforts (sarcinawati, lupita, dion, 2017). researchers are interested in analyzing the effect of early mobilization on daily living activities in patients with post-cesarean section surgery at the general hospital in the eastern part of seram regency, maluku. method this research used a pre-experimental research type with a one-group pre-test and posttest design approach, namely, an experimental design with an experimental design by observing the sample before and after the treatment (nursalam, 2010). the population in this study was all post-operative caesarean section patients in the post-partum general hospital in the eastern part of 12 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 10-17 seram regency. the sample is the object under study and is considered to represent the entire population (notoadmojo, 2010). in this study, the sample was all caesarean section patients from august 1 to 30, 2020, take by using quota sampling. the instrument used to measure each variable was the barthel instrument index; early mobilization sop; leaflets; observation sheets in the research process, researchers provided early mobilization starting from the first 6 hours after surgery with the hand technique, moving the foot, lifting the heel, stretching and tensing the calf muscles, and shifting the foot. tilt to the right and left to avoid thrombosis and thromboembolism. and finally, at the end of 24 hours, the patient was required to be able to sit and walk. and on the next day, early mobilization was carried out according to the sop that had been provided. the researchers measured the level of independence in daily living activities in postoperative caesarean section patients before and after being given therapy. result general data in this study include age, education, occupation, and number of deliveries. the data are presented as follows: table 1: frequency distribution based on characteristics of respondents at the regional general hospital of east seram regency, maluku in 2020. characteristics f (%) age 17-25 years (late teens) 7 23,0 26-35 years (early adulthood) 14 47,0 36-45 years (late adulthood) 9 30,0 education primary school 3 10,0 junior high school 5 16,7 senior high school 10 33,3 college 12 40,0 job lecturer 1 3,3 honorary 4 13,3 housewife 18 60,0 government employees 7 23,3 number of maternal 1 14 46,7 2 13 43,3 3 3 10,0 total 30 100 souce: primary data based on table 1, it shows that most of the respondents in this study were in their early adulthood, almost half of whom had undergraduate education, worked as housewives, and were the first to give birth. meanwhile, the specific data for early mobilization and daily living activities for post-cesarean section patients at the regional general hospital of east seram regency, maluku, are as follows : table 2: frequency distribution based on research variables at the regional general hospital of east seram regency, maluku in 2020. variable f (%) activity daily living (pre-test) independent 0 0,0 mild dependence 0 0,0 moderate dependence 0 0,0 heavy dependence 0 0,0 complete dependency/ total dependence 30 100 ka'arayeno, rumalutur, early mobilization affected the daily living activity based on … 13 continued table 2: frequency distribution based on research variables at the regional general hospital of east seram regency, maluku in 2020. variable f (%) activity daily living (post test) independent 20 66,7 mild dependence 10 33,3 moderate dependence 0 0,0 heavy dependence 0 0,0 complete dependency/ total dependence 0 0,0 total 30 100 based on table 2, all respondents before doing early mobilization were in the category of total dependence, and after doing early mobilization, they were in the category of independent dependence at 66% and light dependence at only a small part. after analysis of the research data using the marginal homogeneity test to determine the effect of early mobilization on daily living activities in patients with postoperative caesarean section, the data are presented as follows: table 3: analysis of the research data using the marginal homogeneity test to determine the effect of early mobilization on daily living activities in patients with postoperative caesarean section, the data are presented as follows: variable f % ɑ pre independent 0 0 0,000 post independent 20 66,7 mild dependence 10 33,3 based on table 3 it is known that of all respondents who did early mobilization experienced an increase in daily living activity to become an independent category in (66.7%) patients with postoperative caesarean section. discussion a caesarean section is an act to give birth to an abdominal baby through an incision in the abdominal wall and interior uterine wall; usually, a transverse lower segment incision is often performed (farrer, 2011). form of childbearing by making a surgical incision through a mother's abdomen (laparotomy) and uterus (hischotomy) to remove one or more babies (dewi, 2007). respondents after post-operative caesarean sections have not been able to do any adl at all because the scar is still wet and the pain is still strong. problems that arise after a laparotomy are pain in the surgical wound, fear, limitations in moving the joints, and the inability to perform daily activities (standing, walking, and ambulation). pain is something that needs to be considered by the patient with regard to the level of independence or the level of dependence of the patient on other people in carrying out daily activities or activities of daily living (adl) (mulyatsih, 2009). factors that influence the respondent's ability to carry out daily living activities in post-caesarean section patients are age and developmental status, physiological health, cognitive function, psychosocial function, stress level, biological rhythm, mental status, and health services. physiological health factors found that most of the respondents (46.7%) had their first delivery or had their first child. patients who have their first child or first delivery will have different physiological responses from respondents who have given birth before because of the level of pain they have experienced before. in the psychology dictionary, independence comes from the word independent," which is defined as a condition in which a person does not depend on other people in making decisions and there is an attitude of self-confidence (chaplin, 2002), and the psychosocial function shows a person's ability to remember something and practice it in life, especially in parenting (hardywinoto, 2007). the age factor was found to be almost half (47.0%) of respondents aged between 26 and 35 years (early adulthood), so that they have good muscle strength, especially doing daily living activities after a caesarean section. physiological health factors such as respondents strong physical condition mean that they can independently carry out daily living activities. cognitive function 14 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 10-17 factors such as respondents having good thinking skills, especially in carrying out daily living activities, are related to the level of education; almost half (40.0%) of respondents have tertiary education (d3 or s1). cognitive function shows a person's process of receiving, organizing, and interpreting sensory stimuli to think and solve problems (hardywinoto, 2007). psychosocial function factors such as respondents feeling happy because they gave birth to a child so that they are eager to carry out daily living activities so that they can be able to take care of children as soon as possible this is related to most (46.7%) respondents experiencing their first birth or having their first child. psychosocial function shows a person's ability to remember something and practice it in life, especially in raising children (hardywinoto, 2007). health service factors such as respondents taking early mobilization actions according to standard operating procedures so that they can accelerate their ability to perform daily living activities and become independent (pujiono, 2009). in this study, the aspects that cause differences in the level of dependence on daily living activities are: 10 respondents experience dependence on other people when taking a bath; this is because the respondents have not been able to take a bath independently. 1 respondent experienced urinary incontinence on the second day after removing the catheter; this resulted in edema in the legs so that the catheter was inserted again and removed on the third day. 2 patients experienced urinary incontinence. and 3 patients experienced continence in defecation, namely difficulty in defecating. this is caused because the hormone progesterone increases during pregnancy and for some time after delivery, which can cause constipation. the results of the study prove that postcesarean section patients who perform early mobilization are able to increase their muscle strength so that they can carry out their daily living activities independently. according to budiarti and marlina (2014), early mobilization measures are carried out after 6 hours post caesarean section surgery, such as moving the legs, lifting heels, stretching, tensing the calf muscles, and shifting the legs; between 6 and 10 hours post caesarean section surgery, it is recommended to tilt to the right and left to prevent thrombosis and thromboembolism. early mobilization measures after 24 hours are lowering the bed slowly, sitting, and walking. research by ditya, zahari, and afriwandi (2016) explains that postoperative caesarean section patients who perform early mobilization have the ability to increase their daily living activities independently; this means that early mobilization plays an important role in increasing muscle strength, accelerating wound healing, and reducing pain. improve physical activity ability. activity in daily living for the mother after the sc procedure is disrupted due to the effects of pain resulting from the incision, which makes the patient afraid to move and inhibits the initiation of early breastfeeding (aprilina, h. d., and s. suparti, 2016). the research of ratmiwasih, utami, and agritubeka (2017) explains that postoperative caesarean section patients who are given early mobilization will have a positive impact and can help in the rehabilitation of patients to facilitate blood circulation so that the wound healing process is faster and the pain felt by the patient is reduced with the healing process. fast wounds will minimize the incidence of infection in surgical scars so that patients can carry out their daily living activities independently. early mobilization is important for post-cesarean section patients for the process of restoring body functions not only to the injured limb but also to the whole body, which will improve daily activities. the more patients move their body members, the more likely it is that the fulfillment of daily activities is faster, and conversely, patients who are afraid to move will experience delayed fulfillment of daily activities (wulansari, ismonah, & shobirun, 2015). but in this study, the researcher did not measure the factors that influence early mobilization, including low knowledge, physical and mental incapacity or weakness, depression, pain or discomfort, and anxiety. conclusion the barthel index is a fairly simple tool for assessing self-care and measuring the daily activity of a person who functions specifically in the application of daily activities and mobility (lueckenotte, 2000). activities of daily living are the basic skills and occupational tasks that everyone must have to care for themselves independently, which a person does on a daily basis with the aim of fulfilling his needs in his role as a person in the family and society. the term adl includes self-care (such as dressing, eating and drinking, toileting, bathing, decorating, also preparing food, using the telephone, writing, managing money, and so on) ka'arayeno, rumalutur, early mobilization affected the daily living activity based on … 15 and mobility (such as rolling in bed, getting up and sitting down, transferring and shifting from bed to chair or from one place to another) (sugiarto, 2005). based on the results of the study, it is known that the daily living activities of all postoperative caesarean section respondents fall into the category of total dependence; this shows that postoperative patients are very minimal in doing activities independently. activity daily living, most of the respondents are in the independent category after being given early mobilization for postoperative caesarean section patients, showing that the impact of early mobilization really helps patients improve their daily living activities so that patients can immediately achieve an increasingly optimal recovery. so it can be concluded by the researchers that there is a significant effect of early mobilization on daily living activities in patients with post-cesarean section surgery at the regional general hospital of east seram regency, maluku, in 2020. besides that, through early mobilization, the uterus will contract properly so that the uterine fundus will harden and form a narrowing of open blood vessels. thus, the risk of abnormal bleeding can be avoided (solehati, 2017). suggestion patients and postoperative health services are expected to carry out early mobilization starting at 6 hours post-operative caesarean section, which aims to increase muscle strength, accelerate wound healing, reduce pain, and improve physical activity abilities. the next researcher can examine other factors that cause an increase in daily living activity (age, physiological health, cognitive function, psychological, etc.) in post-cesarean section surgery, such as the husband's support and knowledge about early mobilization. acknowledgement this research is an implementation of the research roadmap of the faculty of health sciences (fikes) at tribhuwana tunggadewi university (unitri), with the main funding coming from members of the medical surgical nursing department of the faculty of health sciences and partly supported by research funds from the 2022 budget of the faculty of health sciences at tribhuwana tunggadewi university for improvement of the lecturer research scheme. the implementation of this research is also a work programmed by the nurse professional education study program in the form of an article publishing assistance contribution. in this study, the head of the medical surgical nursing laboratory of fikes unitri was assisted in providing simulation instruments for the preparation of the research. in addition, the authors would like to thank the head of the unitri ratancha clinic for providing suggestions and facilities used in the research process. the authors also thank the head of the nurse professional education study program and the dean of the faculty of health sciences at unitri for their support and permission to conduct research during this experiment. funding during the preparation of this research proposal, it was carried out by two people and assisted by one student as a demonstration. the preparation was carried out by researchers (lecturers) as a team from the nursing professional education study program at fikes unitri. in the licensing process, the head of the nursing study program and the dean of fikes unitri have gone through it. funding is shared between the research team and the faculty in the context of implementing the research roadmap. conflicts of interest the research process is assisted by students as an experiment or practice before being carried out on real patients. laboratory staff, in this case the laboratory assistant, assists in preparing ward conditions and providing tools and materials to be used. in this research, in order to avoid conflicts of interest between researchers and research participants, the researchers made research explanation sheets, which were submitted to the participants and explained in detail and openly. participants were given the freedom to accept or refuse their involvement in this study. before starting the activity, the researcher also confirmed the research location and the willingness of the research participants according to the title. each party involved in the research already knew and agreed to this research activity and publication, which received assistance organized by the nursing profession education study program at fikes unitri. this research received financial and moral support from the institution, so it is expected 16 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 10-17 to be useful for the level of mobilization of post-sc patients at the study site. author contributions the main author conducts surveys and literature analysis based on critical thinking and the phenomena that occur. there is a gap between the spatial ideal and the real events that occur, namely, the level of mobilization that is expected is not in accordance with existing theoretical concepts. this was driven by several factors, both from the patient's knowledge and his or her anxiety about the response to pain felt after the sc operation. furthermore, the main author designed and compiled the research concept framework and determined the theoretical concepts and research hypotheses. together with the second author, the team compiled the article, analyzed the research implementation methods, and planned data processing. then, together with the research location, the researcher consolidated and verified the data as well as made a critical revision of the manuscript. after that, the research team carried out the final approval process for the version to be published, which was also part of the work of the main author. meanwhile, the second author criticized the research design and analysis testing using tools, data retention, interpreting data, assessing the relevance of the theoretical concepts used, providing instruments, and assessing the suitability of implementation according to standard procedures and research frameworks. the main author continues to supervise the implementation of the research and conduct explanatory discussions based on directed hypotheses to deepen the research discussion. the results of this study have implications for the implementation of early mobilization carried out in vehicles to overcome the high level of dependence and low adaptability for early mobilization after sc surgery. refference aprilina, h. d dan s. suparti. (2016). kombinasi breast care dan tehnik marmet terhadap produksi asi post seksio caesarea di ruang flamboyan rsud prof. dr. margono soekarjo purwokerto. jurnal ilmiah ilmu – ilmu kesehatan vol. 14., no 2, agustus 2016, hh. 1-9 benson, r & pernoll, m (2008). buku saku obstetric ginekologi, jakarta: egc. bobak, m irene et al. (2010). buku ajar keperawatan maternitas.jakarta : egc. budiarti d, marlina r. (2014). pengaruh mobilisasi dini terhadap lamanya penyembuhan luka post operasi sectio caesar di ruang kalimaya rsud dr. slamet garut tahun 2014. jurnal medika cendikia, 1(2), 1-13. chaplin, j.p. (2008). kamus lengkap psikologi. jakarta: pt rajagrafindo persada. dewi, y (2007) operasi caesar pengantar a sampai z, jakarta: edsan mahkota. ditya, zahari, afriwandi. (2016). hubungan mobilisasi dini dengan proses penyembuhan luka pada pasien pasca laparatomi di bangsal bedah pria dan wanita rsup dr. m. djamil: padang. jurnal kesehatan andalas. 2016; 5(3). farrer, h (2011). perawatan maternitas. jakarta: egc. haniyah, s., setyawati, m. b., & sholikah, s. m. (2016). efektifitas teknik relaksasi genggam jari terhadap nyeri pasca sectio caesarea di rsud ajibarang. 233–239. hardywinoto, setiabudhi. (2007). panduan gerontologi. jakarta: pustaka utama. lueckenotte, a.g. (2010). gerontologic nursing. (2nd ed.). missouri: mosby. mansjoer, a., triyanti, k., savitri, r, wardhani, w. i., & setiowulan, w (2009). kapita selekta kedokteran jilid ii, jakarta: media aesculapius. manuba i.b.g. (2012). kapita selekta penatalaksanaan rutin obstetri ginekologi dan kb. jakarta: egc. mulyatsih.e. (2009). petunjuk perawatan pasien pasca stroke di rumah. jakarta: fkui. notoatmodjo, soekidjo. 2010 metode penelitian kesehatan. penerbit, rineke cipta, jakarta. nursalam. (2010). pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan. salemba medika, jakarta. pujiono. (2009). faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan posyandu lansia di desa jetis kecamatan karangrayung kabupaten grobogan. tidak dipublikasikan. tesis. semarang: program studi magister promosi kesehatan program pascasarjana universitas diponegoro. ratmiwasih, utami, angritubella, (2017). pengaruh promosi kesehatan mobilisasi dini terhadap pelaksanaan mobilisasi dini pada ibu post operasi section caesarea di ka'arayeno, rumalutur, early mobilization affected the daily living activity based on … 17 rspb: pekanbaru. jurnal endurance 2(3) october 2017 (346-353). sarcinawati, lupita, dion (2017). survei mobilisasi dini pada ibu post partum di ruang flamboyan dan sasando rsud. prof. dr. w. z. johannes kupang. solehati dan rustiana. (2017). the effect of benson relaxation on reduction of paint lavel among post caesarean section mother at cibabat hospital, indonesia: egc. sugiarto, a. (2005). hubungan aktivitas sosial, interaksi sosial, dan fungsi keluarga dengan kualitas hidup lanjut usia di wilayah kerja puskesmas denpasar utara kota denpasar. denpasar: universitas udayana. sutrimo, a (2012). pengaruh guided imagery and music (gim) terhadap kecemasan pre operasi section caesarea di rsud banyumas, si keperawatan fk universitas jenderal soedirman purwokerto. wulansari, ismonah, shobirun, 2015. pengaruh ambulasi dini terhadap peningkatan pemenuhan activity daily living (adl) pada pasien post operasi fraktur ekstermitas di rsud: ambarawa. yugistyowati. (2013). pengaruh pendidikan kesehatan masa nifas terhadap kemampuan perawatan mandiri ibu nifas post sectio caesarea (sc) sekolah tinggi ilmu kesehatan alma ata yogyakarta. jnki, vol. 1, no. 3, tahun 2013, 96-100. 154 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of early mobilization and the wound healing process of post sectio caesaria in the maternity room of rsud kabupaten kediri sripina ulandari1, eva nur azizah2, ratna feti wulandari3 1,2nursing practitioner, rsud kabupaten kediri, indonesia 3midwifery department, stikes pamenang kediri, indonesia article information abstract sectio caesarea is an artificial labor where the fetus was born through an incision in the abdominal wall and the uterus’ wall on the condition of the uterus intact and fetal weight above 500 grams. labor by sectio caesarea caused sores and pain. the presence of wounds and pain causing the mother to be lazy or afraid to mobilize. early mobilization is a rehabilitative action that is carried out after the patient is awake from anesthesia and after surgery. this study aimed to analyze the correlation between early post-sectio caesarea mobilization and the wound healing process of post operative sectio cesaria. this study used a cross sectional method and the sample was collected as many as 40 respondents using simple random sampling technique. the research data was taken using a questionnaire and then analyzed using the contingency coefficient test. the results showed that almost all of them as many as 35 respondents (87.0%) did early mobilization. the wound healing process of sectio caesarea was almost entirely in the good category, namely 35 respondents (87.0%). contingency coefficient test results obtained = 5%= 0.05, p<α positive correlation, postpartum mothers often did early mobilization, the better the wound healing. c = 0.611 means a strong correlation level. from the results of these studies, it is necessary to increase the knowledge of post partum mothers about the factors that accelerate the wound healing process of post sectio caesarea. history article: received, 08/02/2022 accepted, 27/07/2022 published, 15/08/2022 keywords: early mobilization, post sectio caesarea, wound healing © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes pamenang kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: regianaia2014@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p154-161 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:regianaia2014@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p154-161 ulandari, azizah, wulandari, the correlation of early mobilization and the wound healing … 155 introduction labor is a process of expulsion of the products of conception (fetus and uri) that can live in the world outside the womb through the birth canal (sulisian, 2019). childbirth is a life experience that can lead to positive and negative potential for the mother's psychology (bryanton, et al., 2008). the experience of labor in primiparous mothers will affect perceptions, responses, needs and support in dealing with childbirth (nurlaela, 2008). delivery baby can be done in two ways, namely vaginal delivery and delivery by cesarean section (sc). vaginal delivery is the discharge of the products of conception through the birth canal that can be performed without the aid of a device (spontaneous delivery) and with the aid of a device (operative obstetrics). delivery sectio caesarea is artificial birth where the fetus was born through an incision in the abdominal wall and the wall of the uterus on the condition of the uterus intact and fetal weight above 500 grams which is often called sectio caesarea (sc) (mitayani, 2011; green, 2012). sectio caesarea (sc) is a risky procedure, the effects are included bleeding, infection, anesthesia, pulmonary embolism, kidney failure due to prolonged hypotension. patients who undergo delivery by sectio caesarea (sc) method usually has various discomforts such as pain from abdominal incision and side effects of anesthesia. the labor process of mothers with sectio caesarea (sc) will also affect the physiological response after giving birth (reeder, 2011). sectio caesarea (sc) is one of the most commonly performed surgical operations in the world. according to the world health organization (who) (2014), 99% maternal deaths due to labor or birth problems occur in developing countries. one of the main indicators of a country's health status is the maternal mortality rate (mmr). who (2012) explained that 16 % sectio caesarea (sc) which exceeds the recommended limit. the sectio caesarea (sc) indicator was 5– 15% for each country (suryati, 2012). surgery performed in an attempt to remove the baby will leave an incision wound condition. according to smeltzer & bare (2002), explaining that the incision was made with a clean cut using a sharp instrument as an example; wounds had made by the surgeon in any surgical procedure, such as in sectio caesarea (sc) sterile wounds (aseptic wounds) were usually closed with sutures after all bleeding vessels have been carefully ligated. as a result of this incision will cause the breakdown of body tissue and make wounds on people who had surgery. early mobilization was a rehabilitative action that is carried out after the patient was awake from anesthesia and after surgery. mobilization was useful to assist in the course of wound healing. mobilization or movement is a person's ability to move freely by using the coordination of the nervous and musculoskeletal systems (sarwono, 2008). early mobilization is a prominent factor in accelerating postoperative recovery and preventing postoperative complications. many benefits can be gained from bed and walking exercises in the early postoperative period. mobilization will be very useful for all body systems, especially the function of the intestines, bladder, circulation and lungs. it also helped prevent the formation of blood clots (thrombosis) in the veins of the legs and helped the mother progress from a sick role dependence to a healthy and independent role, but some patients were reluctant to mobilize early after a few hours of delivery (hamilton, 2005). the concept of early mobilization originally came from early ambulation which is a gradual return to the previous stage of mobilization to prevent complications (roper, 1996). while early mobilization is wisdom to guide the patient out of bed as soon as possible and guide him as soon as possible to walk (soelaiman, 2003). mobilization after sectio caesarea (sc) was a movement, position or activity carried out by the mother after a few hours of giving birth with sectio caesarea (sc) (reeder, 2011). sectio caesarea (sc) continued to increase worldwide, especially in middle and high income countries, and had become a major and controversial public health problem (betran, et al., 2014). according to data from the world health organization (who), the standard for cesarean delivery in the uk from 2008 to 2009, the number of sectio caesarea (sc) increased by 24.6% which in 2004 was around 24.5% and in australia in 2007 there was an increase of 31% which in 2007 was in 1980 was only 21%. meanwhile, in 2014, several other countries, such as australia the incidence of sectio caesarea (sc) was 32%, brazil was 54%, and colombia was 43% (who, 2014). the incidence of sectio caesarea (sc) in indonesia is generally carried out when there are 156 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 154-161 certain medical indications, as an action to end a pregnancy with complications. in addition, sectio caesarea (sc) is also an alternative to childbirth without medical indications because it is considered easier and more comfortable. as much as 25% of the number of births are carried out to mothers who do not have a high risk for normal delivery or other birth complications are by sectio caesarea (sc) (depkes, 2012). data from the world health organization (who) in 2015 for almost 30 years, the rate of delivery by cesarean section was 10% to 15% of all deliveries in developing countries (sherly & erina, 2016). the world health organization (who) sets the standard for sectio caesarea in a country is around 5-15% per 1000 births in the world. the average birth rate by sectio caesarea in a country is 5-15%, in government hospitals it is 11% while in private hospitals it is more than 30% (dwijayanti, 2014). in east java, caesarean section in 2011 amount to 3,401 cases (20%) out of 170,000 total deliveries (east java provincial health office, 2012). meanwhile, for the kediri regency general hospital during 2020, the number of deliveries by sectio caesarea was 1,288 cases (85.47%) out of 1507 total deliveries. based on a preliminary study conducted by researchers that every post sectio caesarean mother must be mobilized gradually but out of 10 post sectio caesarea mothers there are 7 (70%) mothers who did not carry out the early mobilization stage until the end of the 4 stages of mobilization because they felt pain in the post sectio caesarea wound and generally makes the mother lazy to mobilize or move the body for the reason that the stitches come off which results in the stomach becoming bloated and the mother unable to fart, in practice this action is not fully implemented by nurses because some mothers refuse to mobilize, while mothers do mobilization easier to recover and only requires 3 days to be hospitalized. therefore, there is a need for research on "the correlation of post sectio caesarea early mobilization and the process of healing surgical wounds in the maternity room of rsud kediri in 2021 ". methods the research design was cross sectional. the time of this research was from july to september 2021. there were two research variables, namely the independent variable; early mobilization of post sectio caesarea, and dependent variable; the surgical wound healing process. the population was all post partum mothers with sc in the maternity room of rsud kabupaten kediri. the research sample was 40 post partum mothers. the sampling technique used simple random sampling. the instrument used a questionnaire developed by researchers who had tested the validity and reliability. this study used contingency coefficient test for data analysis. result table 1: frequency distribution of respondents by age in the maternity room of rsud kabupaten kediri in 2021 age category frequency (n) percent (%) 16-20 years old 21-25 years old 26-30 years old 31-35 years old 36-40 years old 4 8 13 7 8 10,0 20,0 32,5 17,5 20,5 total 40 100 based on table 1. it shows that from 40 respondents, the age group is 26-30 years old, namely 13 respondents (32.5%). table 2. frequency distribution of respondents by education in the maternity room of rsud kabupaten kediri in 2021 education frequency (n) percent (%) sd smp sma pt 5 6 23 6 12,5 15,0 57,5 15,0 total 40 100 ulandari, azizah, wulandari, the correlation of early mobilization and the wound healing … 157 based on table 2. it shows that of the 40 respondents, most of them were 23 respondents (57.5%) with high school education. table 3. frequency distribution of respondents by occupation in the maternity room of rsud kabupaten kediri in 2021 occupation frequency(n) percent (%) irt karyawan pns 28 10 2 70,0 25,0 5,0 total 40 100 based on table 3. it shows that of the 40 respondents, most of them are 28 respondents (70.0%) as housewives. table 4. frequency distribution of early mobilization for postpartum mothers in the maternity room of rsud kabupaten kediri in 2021 mobilization frequency (n) percent (%) do do not do 35 5 87,0 12,5 total 40 100 based on table 4. shows that almost all of the 40 respondents, namely 35 respondents (87.0%) did early mobilization. table 5. frequency distribution of sectio caesarea wound healing respondents in the maternity room of rsud kabupaten kediri in 2021 wound healing frequency (n) percentage (%) good enough bad 35 5 0 87,0 12,5 0 total 40 100 based on table 5. shows that of the 40 respondents the wound healing process of sectio caesarea is almost entirely in the good category, namely 35 respondents (87.0%). table 6. correlation of early mobilization and post sectio caesarea wound healing in the maternity room of rsud kabupaten kediri in 2021 early mobilization wound healing total contingency coefficient good enough n % f % f % do 34 30,6 1 4,4 35 35,0 c= 0,611 sig (p) = 0,000 do not do 1 4,4 4 0,6 5 5,0 total 35 35,0 5 5,0 40 40,0 based on table 6. it can be seen that respondents who mobilized well early with good wound healing were 34 people (30.6%), whereas, those who had poor early mobilization with good wound healing were 1 person (4.4%). contingency coefficient test results obtained = 5% = 0.05, p <α, then ho is rejected, meaning that there is a correlation between early mobilization and the healing process of post sectio caesarea wounds in rsud kabupaten kediri. positive correlation, postpartum mothers often do early mobilization, the better the wound healing. c = 0.611 means a strong correlation level. discussion early mobilization the results showed that almost all of the 40 respondents, as many as 35 respondents (87.0%) did early mobilization. this showed that almost all respondents understand the importance of the benefits of early mobilization after sectio caesarea surgery. understanding the importance of early mobilization is based on the knowledge of the respondents. good knowledge will affect the 158 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 154-161 mother's attitude in carrying out early mobilization, this is in accordance with the research of citrawati, et al (2021) explained that post sectio caesarean mothers in the dara room of wangaya hospital denpasar have a good level of knowledge about early mobilization and most of them have a good attitude in early mobilization, using the rank spearmen test with p value = 0.000 which shows that there is a correlation between the level of knowledge and the attitude of the mother in early mobilization after sectio caesarean. based on the research conducted, the results showed that the respondents were in the age category 26-30 years, namely 13 respondents (32.5%), most of the respondents, namely 23 respondents (57.5%) had high school education and most of them were 28 respondents (70.0 %) as a housewife. productive age, educated mothers and mothers as housewives are factors that make it easy for mothers to get information about early mobilization and the direction from health workers, namely midwives in the delivery room, causes mothers to understand the importance of early mobilization. there are several factors that influence the implementation of mobilization in postoperative caesarean section mothers. according to susilowati (2015) the factors that influence the implementation of early mobilization in postpartum mothers are working mothers, not following culture, multipara, age and education, while according to citrawati, et al (2021) maternal knowledge about early mobilization is good because all respondents get information related to mobilization. from the midwife, besides the mother's age, most of whom are private employees and have higher education, making it easy to get and receive information from midwives regarding early mobilization. the benefits of mobilizing the postpartum mother are increasing circulation and preventing the risk of venous thrombophlebitis, improving peristalsis and bladder function, preventing constipation, clients feeling better, healthier and stronger, not urinary retention, accelerating uterine involution, facilitating lochia, accelerating optimal return. reproductive organs, avoiding infection and mothers can be taught to care for their babies (susilowati, d. 2015). early mobilization has an important role for postoperative healing, reducing pain and preventing complications, reducing chemical mediator activity and reducing pain nerve transmission to the center (yulisetyaningrum, et al. 2021). mobilization of postpartum mothers post sectio caesarea can be done after 6 hours of surgery is completed according to galagher and mundy in mustakim (2013) in putri, (2019) gradual mobilization can be carried out since 6 hours postoperatively and after day 3 the mother can be expected to walk alone without the help of others. the form of early mobilization that can be done within 24 hours of postpartum mothers after childbirth according to (sulistyawati.a, 2009) in siregar and panggabean, (2018) is to move their hands and feet and body a little, sit in bed using a backrest, can sit, and walk when you can. the results showed that from 40 respondents, 5 respondents (12.5%) did not do early mobilization. the cause of the post sectio caesarea mother not wanting to do early mobilization is the fear that the stitches will come off. this is also supported by the results of siregar and panggabean's research (2018) the reason mothers do not want to do early mobilization is the most important and most obtained from mothers, namely fear of loose stitches and mothers not daring to change position. another study, mustakim (2013) in putri (2019), explained that postoperative clients are reluctant to move because of pain in the wound when moving, feeling weak after surgery, the client is afraid the wound will open or the stitches break so that it can cause bleeding. post sectio caesarean wound healing process based on the results of the study, it was found that from 40 respondents the wound healing process of sectio caesarea was almost entirely in the good category, namely 35 respondents (87.0%). wound healing is the process of replacing and repairing the function of damaged tissue. the post sectio caesarean wound healing process is influenced by several factors. the factor that can hinder the wound healing process is infection. other factors that influence the wound healing process are age, personal hygiene, nutrition, comorbidities and early mobilization. based on the research conducted, it was found that the respondents were in the age category of 26-30 years, namely 13 respondents (32.5%), and almost all of them, namely as many as 35 respondents (87.0%) did early mobilization. the age of the respondents who are in the productive age category affects the fast wound healing. aging can interfere with all stages of wound healing because there are vascular changes that interfere with circulation to the wound area, decreased liver function interferes ulandari, azizah, wulandari, the correlation of early mobilization and the wound healing … 159 with clotting factor synthesis, slow inflammatory response, decreased antibody and lymphocyte formation, less soft collagen tissue, less elastic scar tissue (potter and perry, 2003; 2006). several research results on the factors that influence the wound healing process are research by hamdayani and yazia (2021) explaining that there is a correlation between age, nutritional status and early mobilization with the post sectio caesarean wound healing process. research by nurani et al (2015) age, anemia and comorbidities (diabetes mellitus) are related to the post-sc wound healing process, which is different from the research by sihotang and yulianti (2018) which explained that age is not related to the wound healing process, there is a correlation between anemia and the wound healing process and there is a correlation between anemia and wound healing. effect of early mobilization on the surgical wound healing process the results of this study indicate that respondents who mobilized well early with good wound healing were 34 people (30.6%), whereas, those who had early mobilization were less with good wound healing 1 person (4.4%). contingency coefficient test results obtained = 5% = 0.05, p <α then ho is rejected, meaning that there is a correlation between early mobilization and the healing process of post sectio caesarea wounds in rsud kabupaten kediri. positive correlation, postpartum mothers often do early mobilization, the better the wound healing. c = 0.611 means a strong hub level. research that supports this study is the research of yulisetyaningrum, et al (2021) there is a correlation between early mobilization and wound healing in post-laparotomy patients at dr. loekmonohadi kudus with a value (p=0.000) odd ratio 53.6. wound healing after laparotomy determined full early mobilization of 53 compared to partial mobilization. putri's research (2019) also explained that there was a correlation between early post sc mobilization and the wound healing process at the kendari city hospital in 2019. there was a significant correlation between early mobilization and the surgical wound healing process in the obstetrics room of abdul wahab sjahtanie hospital samarinda (p<0.05 : or = 0.500) (fauziah and fitriana, 2018). there is a correlation between early mobilization and wound healing after sectio caesarea at pku muhammadiyah karanganyar hospital (cahyaningtyas and rahmawati, 2020). the results of this study were supported by previous studies, which the researchers argued that the early mobilization which carried out by mother after sectio caesarea surgery made the wound healing process better even though there are other factors that influence it, but early mobilization can be used as a determining factor to accelerate the process of wound’s healing. mobilization will be very useful for all body systems, especially the function of the intestines, bladder, circulation and lungs. it also helps prevent the formation of blood clots (thrombosis) in the veins of the legs and helps the mother progress from a disease dependent role to a healthy and independent role (hamilton, 2005). early mobilization has an important role for post-surgical healing, reducing pain and preventing complications, reducing chemical mediator activity and reducing pain nerve transmission to the center (yulisetyaningrum, et al 2021). early mobilization that is done well during the recovery period speeds up the wound healing process, reduces hospital stay, reduces costs and can reduce psychological stress. simangunsong, r et al (2018) in their research explained that there was a significant correlation between early mobilization and the post sectio caesarea wound healing process at gmim pancaran kasih hospital, manado (p = 0.001). the percentage of wound healing is that almost all wound healing is fast. respondents who do not mobilize early but have good wound healing, it is possible that there are other factors such as personal hygiene and nutritional status, so it can be assumed that not only early mobilization accelerates the post sectio caesarea wound healing process but there are other factors that affect the wound healing process. this is in accordance with the research of puspitasari et al. (2011) the most dominant factor influencing postoperative sc wound healing at pku muhammadiyah gombong hospital is personal hygiene then nutritional status and the last is dm (diabetes mellitus). the results of another study explained that there was a correlation between the initial mobilization of the mother's wound healing process in the post sectio caesarea inflammatory phase at the pmi bogor hospital with a p value of 0.000. early mobilization is important to help accelerate wound healing after caesarean section, lack of mobilization can hinder recovery after caesarean section (naziyah et al., 2022). 160 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 154-161 implementation of early mobilization is very effective in post-cesarean recovery (ningsih & rahmadhani, 2022). prior ambulation and proper pain controlloed by the right personnel and patient education can improve the mobility of caesarean delivery patients (ganer herman et al., 2020). post-partum mothers need support from their husbands and families, especially mothers who gave birth by sectio caesarea. support from husband and family will motivate mothers to carry out early mobilization after sectio caesarea surgery. then support will help mothers speed up post partum recovery. helping women identify their own needs and expectations around support can reduce symptoms of early postpartum depression but can also improve maternal postpartum recovery (negron et al., 2013) conclusion there is a correlation between early mobilization and the post sectio caesarea wound healing process in maternity room of rsud kabupaten kediri. contingency coefficient test results obtained α= 5%= 0.05, p<α. positive correlation, postpartum mothers often mobilize early, the better the wound healing. c = 0.611 means a strong correlation level. from the results of these studies, it is necessary to increase the knowledge of post partum mothers about the factors that accelerate the wound healing process of post sectio caesarea. for further research, factors that influence the wound healing process of post sectio caesarea can be investigated. suggestion suggetstions for midwives in the hospital is to continue the enthusiastism about providing motivation and encouragement to post sectio caesarea patients to practicing early mobilization because of the great benefits. this study was entirely funded by the kediri district branch of the indonesian midwives association. we would like to thank the rsud kabupaten kediri for facilitating the implementation of this study. acknowledgement we would like to give appreciation to kediri district branch of the indonesian midwives association which provides financial support to conduct research and/or article preparation is kediri district branch of the indonesian midwives association. ibi's role is to provide support for research progress, both in terms of funding, facilitating in the form of licensing administration and consultation funding this study is entirely funded by the kediri district branch of the indonesian midwives association with contract number :107/pcibi/viii/2021 conflicts of interest there was no conflict of interest in this article. the research process went smoothly both in terms of funding and the research proces. references betrán ap, vindevoghel n, souza jp, gülmezoglu am, torloni mr. (2014). a systematic review of the robson classification for caesarean section: what works, doesn't work and how to improve it. plos one 9(6): e97769. https://doi.org/10.1371/journal.pone.009776 9. bryanton, j., gagnon, a., johnston, c. & hatem, m. (2008). predictors of women’s perceptions of the childbirth experience. journal obstetric gynecologic & neonatal nursing, 37 : 24–34. cahyaningtyas, a. dan rahmawati, a. (2020). hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka jahitan pada ibu nifas post operasi sectio caesarea. jurnal ilkes (jurnal ilmu kesehatan). vol 11. no 1. 164172. citrawati, n. rahayu, ni luh dan sari, n, a. (2021). hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap ibu dalam mobilisasi dini pasca sectio cesarean. health care jurnal kesehatan. vol. 10. no 1. 1-7. depkes, r.i. (2012). upaya percepatan penurunan angka kematian ibu. dwijayanti, wening, et.al. (2014). efek aromaterapi lavender inhalasi terhadap insensitas nyeri pasca sevtiio caesaria. medica hospitalia. vol 2 (2) : 120-125. fauziah dan fitriana. (2018). hubungan mobilisasi dini post sectio caesarea (sc) dengan proses penyembuhan luka operasi di ruang kebidanan rsud. abdul wahab sjahranie samarinda. bunda edu-midwifery journal (bemj). 23-27. ganer herman, h., ben zvi, m., tairy, d., kleiner, i., gonen, n., kuper sason, l., bar, j., & kovo, m. (2020). enhancing patient mobility following cesarean-delivery the efficacy of an improved postpartum protocol assessed with pedometers. bmc pregnancy and childbirth, 20(1), 1–8. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0097769 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0097769 ulandari, azizah, wulandari, the correlation of early mobilization and the wound healing … 161 https://doi.org/10.1186/s12884-020-03046-z. green, c.j and j.m. wilkinson. (2012). rencana asuhan keperawatan maternal & bayi baru lahir, egc, jakarta. hamdayani, d dan yazia, v. (2021). faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka pada pasien post sectio caesarea. jurnal ilmiah permas: jurnal ilmiah stikes kendal. vol 11. no.2. hamilton, p. (2005). dasar-dasar keperawatan maternitas, egc, jakarta. mitayani. (2009). asuhan keperawatan maternitas, salemba medika, jakarta. naziyah., wowor, t. j., & dwi, l. (2022). the correlation of early mobilization and wound healing of inflammation phase among post cesarean section women at pmi hospital bogor west java. nursing and health sciences journal (nhsj), 2(2), 99– 103. https://doi.org/10.53713/nhs.v2i2.42. negron, r., martin, a., almog, m., balbierz, a., & howell, e. a. (2013). social support during the postpartum period: mothers’ views on needs, expectations, and mobilization of support. maternal and child health journal, 17(4), 616–623. https://doi.org/10.1007/s10995-012-1037-4. ningsih, n. j. setia, & rahmadhani, w. (2022). the role of early mobilization on wound healing after sectio caesarea. journal of sexual and reproductive health sciences, 1(1), 7. https://doi.org/10.26753/jsrhs.v1i1.698. nurani, d. keintjem, f dan losu, f. (2015). faktorfaktor yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka post sectio caesarea. jidan jurnal ilmiah bidan.vol 3. no. 1. nurlaela, s. (2008). analisis faktor risiko kematian ibu, universitas jenderal soedirman. potter dan perry. (2005). buku ajar fundamental keperawatan : konsep, proses, dan praktik edisi 4, egc, jakarta. prawirohardjo, sarwono. (2008). ilmu kebidanan. edisi ke-4 cetakan i. jakarta: bina pustaka sarwono. profil jawa timur. (2012). profil kesehatan provinsi jawa timur. puspitasari, h. al ummah dan tri sumarsih. (2011). faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka post operasi sectio caesarea (sc). jurnal ilmiah kesehatan keperawatan. vol 7. no. 1. putri, h, a, p. (2019). hubungan mobilisasi dini post operasi sectio caesaria dengan proses penyembuhan luka di ruang nifas rsud kota kendari. skripsi. kementerian kesehatan republik indonesia politeknik kesehatan kendari jurusan kebidanan. reeder, martin, dan koniak-griffin. (2012). keperawatan maternitas kesehatan wanita, bayi dan keluarga edisi 18, egc, jakarta. reeder, s.j., martin, l.l., dan griffin, d.k., (2011). keperawatan maternitas kesehatan wanita, bayi, & keluarga, egc, jakarta. roper, nancy. (1996). prinsip-prinsip keperawat ruang rawat inapan. penerjemah. andry hartono. ed.1, cet.1. sihotang, h dan yulianti, h. (2018). faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka post sectio caesarea. jurnal care.vol 6. no.2. simangunsong, r. rottie, j dan hutauruk, m. (2018). hubungan mobilisasi dini dengan proses penyembuhan luka post sectio caesarea di rsu gmim pancaran kasih manado. jurnal keperawatan (e-kep). vol 6. no 1. siregar, m dan panggabean, h. (2018). hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka post sectio caesarea pada ibu nifas. jurnal reproductive healt. vol 3 no 2. 42-49. smeltzer, s.c & bare, b.g. (2012). keperawatan medikal bedah. jakarta: penerbit. buku kedokteran egc. soelaiman. (2000). mobilisasi dini pasca operasi. http://medica.store.com/mobilisasi/pasca/ope rasi.html. sulisian, mail, e., & rufaida, z. (2019). buku ajar asuhan kebidanan persalinan dan bayi baru lahir. suryati, tati. (2012). analisis lanjut data riskesda 2010, persentase operasi caesaria di indonesia melebihi standart maksimal, apakah sesuai indikasi medis?. pusat teknologi intervensi kesehatan masyarakat, kebijakan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, badan penelitian dan pengembangan kesehatan, kementerian kesehatan ri. susilowati, d. (2015). faktor-faktor yang mempengaruhi ibu nifas dalam pelaksanaan mobilisasi dini. infokes. vol 5. no 2. 85-93. who. (2014). world health statistics. geneva : world health organization. yulisetyaningrum. prihatiningsih, e dan budiani, s. (2021). hubungan mobilisasi dini dengan kesembuhan luka pada pasien pasca laparotomy di rsud dr. loekmonohadi kudus. sekolah tinggi ilmu kesehatan muhammadiyah klaten. http://medica.store.com/mobilisasi/pasca/operasi.html http://medica.store.com/mobilisasi/pasca/operasi.html 92 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk positive effect of chewing gum and early mobilization on intestinal peristalsis daffa basandra putra1, taufan arif2, tri cahyo sepdianto3, maria diah ciptaningtyas4 1,2,3,4nursing department, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract decreased intestinal peristalsis due to anesthesia before laparotomy surgery can result in inhibition of nerve impulses to the intestinal muscles, paralytic ileus can occur and inhibition of the work of the intestine itself. the purpose of this study was to determine the effect of chewing gum and early mobilization on intestinal peristalsis after laparotomy surgery. the research design used a quasi-experimental. the sampling technique used purposive sampling with 32 respondents divided into 2 groups. the treatment group was given an intervention of chewing gum and early mobilization, while the control group was given an intervention according to standard operating hospital procedures, namely tilting right and left and given 2 spoons of drinking after the patient was fully conscious in the room. the independent variables were chewing gum and early mobilization. the dependent variable was intestinal peristaltic. this study used univariate analysis to determine the characteristics of respondents. the bivariate analysis used paired t test and independent t test. the paired t test in the pre-posttest in the control group was 0.000, while the pre-posttest in the treatment group was 0.000. independent t test on the post-test of the treatment group with the post-test of the control group of 0.000. there was an effect of chewing gum and early mobilization intervention on intestinal peristalsis in post laparotomy patients. chewing gum and early mobilization can stimulate hormones in the gastrointestinal system such as gastrin, secretin, gastric inhibitory polypeptide, cholecystokinin, motilin, and enteroglukagon which will increase intestinal peristalsis. history article: received, 14/09/2022 accepted, 15/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: anesthesia, intestinal peristalsis, chewing gum, early mobilization © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : taufanarif.polkesma@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p092-099 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:taufanarif.polkesma@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p092-099 putra, arif, sepdianto, ciptaningtyas, positive effect of chewing gum and early mobilization on … 93 introduction intestinal peristalsis is the movement that results from muscle contractions in the digestive tract to push food towards the stomach (ledari et al., 2016). surgery is an action that uses invasive procedures (arif, fauziyah, et al., 2022). patients who were given anesthesia prior to laparotomy surgery experienced the effects of anesthesia, namely the inhibition of parasympathetic nerve impulses to the intestinal muscles which caused a decrease in intestinal peristalsis (sitepu et al., 2021). this decrease in peristalsis, if not treated immediately, risks causing complications that are dangerous for the patient, one of which is paralytic ileus (mao et al., 2019). it is recorded that in indonesia about 35%-50% of post-operative laparotomy patients experience prolonged or delayed bowel sounds and flatus 24-72 hours after surgery and the incidence of postoperative ileus that cannot be resolved four days after laparotomy surgery is around 50% (kementerian kesehatan ri, 2020). according to the dinas kesehatan (2019), there were 10,503 cases of elective surgery performed during the 2017 period, while in 2018 laparotomy surgery in east java increased by 11,689 patients. based on data from dr. soedomo hospital trenggalek recorded that there were laparotomy surgeries in january-october 2021 as many as 423 patients (rekam medis rsud dr soedomo, 2021). patients who will undergo laparotomy surgery will of course be given anesthesia before the laparotomy operation with the aim that when the surgery is performed the patient does not experience pain (sitepu et al., 2021). general anesthesia can cause complications in postoperative patients such as cardiovascular or circulatory disorders, respiratory disorders, digestive system disorders, impaired liver function and kidney function (arif, roosyidah, et al., 2022). the effect of administration of anesthesia is the inhibition of parasympathetic nerve impulses to the intestinal muscles so that the patient's intestinal peristalsis decreases. in general, the patient's intestinal peristalsis returns to normal approximately 24 hours after surgery (sitepu et al., 2021). seeing this condition, the patient is advised not to eat and drink until the intestinal peristalsis returns to normal for fear of postoperative ileus that threatens the patient's life (damayanti & syara, 2018). signs and symptoms of postoperative ileus are abdominal distension, vomiting, abdominal pain, constipation, absent bowel sounds, dilated small bowel loops with air-fluid boundary (marhamah, 2021). abdominal distension in postoperative laparotomy patients occurs 3 days after surgery due to the effects of anesthesia, narcotics and reduced patient activites (larijani et al., 2016). chewing is the process of mechanically grinding food from large particles into small particles using teeth (hamzah, 2019). chewing gum can stimulate intestinal motility through the fegal cephalic reflex so that it can increase gastrointestinal hormones consisting of gastrin, secretin, gastric inhibitory polypeptide, cholecystokinin, pancreatic peptide, and enteroglucagon which play a role in the function of movement and regulation of digestive system secretions so that salivary and fluid secretion increases. gastrin and neurotensin can increase gastrointestinal mortality (ledari et al., 2016). research on the effectiveness of early mobilization on bowel motility in post-laparotomy patients found that there was a significant difference between the study group and the control group in terms of expulsion of the first flatus with the results of each p-value = 0.032 and p-value = 0.015 (elhamed et al., 2020). in his research, it was stated that early mobilization can accelerate the return of intestinal peristalsis and reduce abdominal distension after laparotomy surgery by increasing abdominal wall tone and restoring gastrointestinal system function. patients are advised to walk in an attempt to treat postoperative ileus as well as to reduce cramping and bloating (elhamed et al., 2020). early mobilization is something that needs to be done in recovering the condition of someone who has just undergone abdominal surgery, especially in terms of patient independence (rahayu & yunarsih, 2019). early mobilization is a series of light movements that are carried out after the patient undergoes surgery which starts in bed until he can get out of bed, walk to the bathroom and get out of the bathroom (rizky et al., 2021). there are several kinds of early mobilization movements to return the range of motion of activities back to normal in postoperative patiens, including flexion, extension, hyperextension, supination, pronation, abduction, adduction, and rotation (rezky et al., 2019). based on the data and literature review above, researchers are interested in conducting research on the combination of chewing gum and early mobilization of intestinal peristalsis in postlaparotomy patients. the majority in hospitals only provide early mobilization interventions and it is still 94 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 92-99 not optimal so it is necessary to look for additional interventions to accelerate the process of increasing intestinal peristalsis. this combination is expected to increase the intervention to provide a better impact. based on the literature review regarding the length of time chewing gum, researchers are interested in updating the length of time chewing gum so that the quality of chewing remains good and the patient does not feel sick, namely by chewing gum for 5 minutes every 2 hours 3 times after 3 hours postoperatively laparotomy surgery, but scientifically this has not been confirmed and analyzed clearly so it is necessary to prove related to the effect of the combination of these two interventions so that the researchers wish to research with the title "the effect of chewing gum and early mobilization of intestinal peristalsis post laparotomy surgery at dr. hospital. soedomo trenggalek” method this research used quasi experimental research design with pretest-posttest control group design. the sampling technique used purposive sampling with 32 respondents divided into 2 groups. the determination of the respondents was based on inclusion criteria, namely: post-operative laparotomy patients, spinal anaesthesia, age 20-60 years. the independent variables of the study were chewing gum and early mobilization. the dependent variable was intestinal peristalsis. test analysis of the data in this research used univariate analysis to determine the characteristics of respondents. the bivariate analysis used paired t test and independent t test to determine the difference in the mean of the 2 unpaired groups. result table 1: frequency distribution of respondents responden characteristics respondent group p value treatment control f % f % age 20-30 3 18.8 2 12.5 0,061 31-40 1 6.3 3 18.8 41-50 6 37.5 4 25.0 51-60 6 37.5 7 43.8 amount (n) 16 100.0 16 100,0 gender male 8 50.0 7 43.8 0,065 female 8 50.0 9 56.3 amount (n) 16 100.0 16 100.0 profession student 3 18.8 2 12.5 0,081 irt 2 12.5 4 25.0 enterpreneur 7 43.8 4 25.0 pns 4 25.0 6 37.5 amount (n) 16 100.0 16 100.0 laparotomy indications appendicitis 6 37.5 4 25.0 0,083 bowel cancer 3 18.8 4 25.0 peritonitis 2 12.5 4 25.0 kolitis ulseratif 3 18.8 2 12.5 ulkus peptikum 2 12.5 2 12.5 amount (n) 16 100.0 16 100.0 bmi 17,0-18,4 1 6.3 2 12.5 0.912 18,5-25,0 8 50.0 11 68.8 25,1-27,0 5 31.3 3 18.8 >27,0 2 12.5 0 0,0 amount (n) 16 100.0 16 100.0 based on table 1 shows that the characteristics of respondents based on age, respondents with the highest frequency are those aged 51-60 years as many as 13 respondents (40.6%). demographic data on the age of respondents from both groups showed a homogeneous data variance with p value = 0.061. characteristics of putra, arif, sepdianto, ciptaningtyas, positive effect of chewing gum and early mobilization on … 95 respondents by gender, respondents with the most female sex with a total of 17 respondents (53.1%). the demographic data of the sex of the respondents in the two groups showed a homogeneous data variance with a p value of 0.065. characteristics of work, mostly as many as 11 respondents (34.4%) with self-employed jobs. the demographic data of the respondents' occupations in both groups showed a homogeneous data variance with a p value of 0.081. characteristics of the indications for laparotomy, the highest number of respondents was appendicitis as many as 10 respondents (31.2%). demographic data for laparotomy indications for both groups showed homogeneous data variance with p value = 0.083. characteristics of bmi (body mass index), the most respondents were respondents with a bmi value of 18.5-25.0 as many as 19 respondents (59.4%). bmi demographic data of both groups have homogeneous data variance with p value = 0.912. table 2: average intestinal peristalsis before and after intervention in control group control group n mean min max median p value paired t test pre-test 16 5.88 0 9 6.00 0,000 post-test 16 10.38 6 13 10.50 table 2 shows that the results obtained in the control group before the intervention was given, the results of the pre-test mean intestinal peristalsis were 5.88 x/minute with a minimum value of 0, a maximum value of 9 and a median of 6.00 while the post-test results of intestinal peristalsis averaged 10.38 x/minute. with a minimum value of 6, a maximum value of 13, and a median of 10.50. after testing the data analysis using the paired t test (α 0.05) in the control group, the results of p = 0.000 were obtained, which means that there was a significant difference between the results of the pre-test and post-test in the control group. table 3: average intestinal peristalsis before and after intervention in the treatment group treatment group n mean min max median p value paired t test pre-test 16 5.44 0 8 6.00 0,000 post-test 16 16.25 9 20 17.00 table 3 shows that in the treatment group before being given the intervention, the results of the pre-test mean intestinal peristalsis were 5.44 x/minute with a minimum value of 0, a maximum value of 8 and a median of 6.00 while the post-test results of the mean intestinal peristalsis were 16.25 x/minute with a minimum value. 9, the maximum value is 20, and the median is 17.00. after testing the data analysis using the paired t test (α 0.05) in the treatment group, the results of p = 0.000 were obtained, which means that there was a significant difference between the results of the pre-test and post-test in the treatment group. table 4: differences in the frequency of intestinal peristalsis in the treatment group and the control group variable 1 variable 2 mean p value independet t test intestinal peristalsis pre-test treatment group intestinal peristalsis pre-test control group 5.44-5.88 0.556 intestinal peristalsis post-test treatment group intestinal peristalsis post-test control group 16.25-10.38 0.000 table 4 shows the results of the independent t test in the pre-test of the treatment group with the pre-test of the control group, p = 0.556, which means that there is no significant difference between the results of the pre-test in the treatment group and the control group. while the results of the independent t test in the post-test of the treatment group and the post-test of the control group, p = 0.000, which means that there is an effect of chewing gum and early mobilization intervention on increasing intestinal peristalsis in post-laparotomy patients. 96 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 92-99 discussion intestinal peristalsis before giving chewing gum intervention and early the results of this study indicate the frequency of peristalsis in the treatment group before being given the intervention, the average intestinal peristalsis was 5.44 x/minute with a minimum value of 0, a maximum value of 8 and a median of 6.00 while in the control group before being given the intervention, the average intestinal peristalsis was 5.88 x/minute with a minimum value 0, the maximum value is 9 and the median is 6.00. intestinal peristalsis is the movement that results from muscle contractions in the digestive tract to push food towards the stomach (ledari et al., 2016). previous research that discussed the anesthetic process stated that the decrease in intestinal peristalsis was caused by inhalation anesthetic agents given when general anesthesia spread throughout the body resulting in inhibition of parasympathetic nerve impulses to the intestinal muscles so that gastrointestinal motility slowed which was characterized by decreased intestinal peristalsis (niu et al., 2021). patients who have undergone laparotomy surgery can experience obstructive ileus if given food intake while the intestinal peristalsis has not recovered (kiik, 2017). as research conducted by andi herman (2019) which showed the results of research on the emergence of intestinal peristalsis before intervention, the treatment group obtained an average intestinal peristalsis frequency of 11.22 x/minute and in the control group the average intestinal peristalsis was 11.31 x/minute. minute. this shows that there is no significant difference in intestinal peristalsis in the intervention group and the control group before being given the intervention. likewise with the research conducted by li shan et al., (2013) which showed p value = 0.176, which means that there was no significant effect between the treatment group before being given the chewing gum intervention and the control group not being given the chewing gum intervention. in this study, the two groups of respondents carried out a matching process. this is summarized in the inclusion and exclusion criteria in the previous chapter, namely: post-operative laparotomy patients (appendicitis, intestinal obstruction, chronic intestinal inflammation, colectomy, colostomy, ileostomy, bowel cancer, peritonitis, small bowel resection), post-operative laparotomy patients with spinal type. anesthesia, patients aged 20-60 years, patients with albumin levels more than 3.5 g/dl, did not experience bleeding, the patient did not experience decreased consciousness, and the patient did not experience severe pain after laparotomy surgery. it can be concluded that the treatment group and control group can be compared based on the inclusion and exclusion criteria. intestinal peristalsis after giving chewing gum intervention and early mobilization the results of this study showed the frequency of intestinal peristalsis after chewing gum and early mobilization in the treatment group was 16 people with an average intestinal peristalsis of 16.25 x/minute with a minimum value of 9, a maximum value of 20, and a median of 17.00 while in the control group there were 16 people. after being given conventional intervention according to the sop at the hospital, the average intestinal peristalsis was 10.38 x/minute with a minimum value of 6, a maximum value of 13, and a median of 10.50. this indicates that the frequency of intestinal peristalsis in the intervention group was higher than the control group. as research conducted by bhatti et al., (2021) that chewing gum and early mobilization have an effect on intestinal peristalsis of postoperative patients with the result of a significant reduction in the duration of postoperative ileus in hospital. it was found that the mean appearance of bowel sounds in the intervention group was 22.8 x/minute with a standard deviation of 1.125 and in the control group it was 13.9 x/minute with a standard deviation of 0.228. this is in line with research conducted by elhamed et al., (2020) regarding the effectiveness of early mobilization and chewing gum in patients after laparotomy surgery. each p value = 0.032 and p value = 0.015. in his research stated that early mobilization and chewing gum can accelerate the return of intestinal peristalsis and reduce abdominal distension after laparotomy surgery by increasing abdominal wall tone and restoring gastrointestinal system function. in contrast to the research conducted by li shan et al., (2013) showed statistical test results with p value = 0.075, which means that there is no significant effect between the treatment groups given the chewing gum intervention and the control group which was not given the chewing gum intervention. the intervention of chewing gum containing xylitol in addition to stimulating the recovery of intestinal peristalsis, the xylitol content in it will increase the effectiveness of chewing gum therapy because this gum has a laxative effect so that it will increase intestinal peristaltic activity which will accelerate the recovery of the gastrointestinal system putra, arif, sepdianto, ciptaningtyas, positive effect of chewing gum and early mobilization on … 97 compared to the control group who did not. treated with chewing gum. in the treatment group there was a difference in the mean of intestinal peristalsis in the post-test results compared to the control group. this is because recovery in the control group only depends on the body's response slowly returning to normal as the effects of the anesthetic decrease. recovery in the control group without chewing gum will appear randomly and slowly starting from the emergence of nerve impulses until there is movement in the intestines which will later help the emergence of bowel sounds. effect of chewing gum and early mobilization on intestinal peristalsis test data analysis using the paired t test (α 0.05) in the pre-test control group with the post-test control group obtained p = 0.000, which means that there is a significant difference between the results of the pretest and post-test in the control group. while the results of the paired t test (α 0.05) in the pre-test of the treatment group and the post-test of the treatment group obtained the same results, namely p = 0.000, which means that there is a significant difference between the results of the pre-test and post-test in the treatment group. the results of the independent t test in the pretest of the treatment group with the pre-test of the control group obtained p value = 0.556, which means that there is no significant difference in the results of the pre-test between the treatment group and the control group. while the results of the independent t test in the post-test of the treatment group and the post-test of the control group, the results obtained a significance value of 0.000 (<0.05), which means that there is a significant difference between the post-test results of the treatment group and the control group so that ha is accepted and it was concluded that in the treatment group there was an effect of chewing gum and early mobilization on intestinal peristalsis after laparotomy surgery. this study is the same as the research conducted by andi herman (2019) on the effect of nursing interventions chewing gum and early mobilization on increasing intestinal peristalsis and flatus at the kendari city hospital in 2019 which obtained research results with an average pre-test score. 11.25 x/minute and a post-test score of 19.08 x/minute in the intervention group while in the control group the pretest score obtained an average of 11.31 x/minute and the post-test 14.22 x/minute. there was a difference between the average frequency of intestinal peristalsis after the intervention group and the control group and there was an effect of chewing gum and early mobilization on postoperative intestinal peristalsis (p value 0.000; a=0.05). chewing this gum can stimulate intestinal motility through the fegal cephalic reflex so that it can increase gastrointestinal hormones consisting of gastrin, secretin, gastric inhibitory polypeptide (gip), cholecystokinin (ccp), motilin, pancreatic peptide (pp), and enteroglucagon which are all plays a role in regulating the function of movement and secretion of the digestive system so that salivary secretion increases as well as pancreatic, gastrin, and neurotensin which can increase gastrointestinal mortality (ledari et al., 2016) . chewing gum can stimulate the abdomen and secretions of gastric and intestinal which will cause the person's desire to eat and drink so as to increase the patient's intestinal peristalsis so as to speed up the recovery process of postoperative ileus. this is in accordance with research conducted by grace. regarding chewing gum on intestinal peristalsis in post operative appendectomy patients, the results of statistical tests with p value = 0.000 were found. according to him, chewing gum can increase intestinal motility which directly activates the cephalic vegal reflex and stimulates the secretion of gastrointestinal hormones indirectly so that it produces saliva and pancreatic juice so that this reaction can encourage nerves and hormones to increase intestinal motility. the mechanism of action of early mobilization in increasing intestinal peristalsis is by stimulating the parasympathetic nerves to the intestinal muscles which results in a wave of intestinal motility, with the increase in the work of the parasympathetic nerves resulting in the release of acetyl choline so that there will be an increase in the conduction of acitive waves along the intestinal wall which can increase motility and increase intestinal peristalsis (damayanti & syara, 2018). patients who receive early mobilization interventions after surgery, the abdominal and pelvic muscles will return to normal as before so that their abdominal muscles become strong and can accelerate healing, besides that early mobilization movements can trigger contraction and relaxation of smooth muscle fibers so that they can stimulate intestinal peristalsis to return to normal (rismawati, 2015). 98 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 92-99 this is in accordance with research conducted by elhamed et al., (2020) regarding the effectiveness of early mobilization on intestinal motility in postlaparotomy patients who were carried out in a hospital in egypt, the results of the statistical test value were p value = 0.015 which means that there is a significant difference between the treatment group and the control group in terms of intestinal motility of post-laparotomy. in this study, apart from chewing xylitol gum, an intervention for early mobilization of the lower extremities was also given. this was given because the respondent to be studied was given spinal anesthesia which would cause organ function from the stomach to the bottom to be disturbed. early lower extremity mobilization exercises include hip movements, knee movements, toe movements, and ankle movements. the results of the study indicate that in the treatment group there is a higher increase in intestinal peristalsis, this indicates that early mobilization exercises can accelerate the return of intestinal peristalsis by triggering contraction and relaxation of the muscles so that they can stimulate intestinal peristalsis to return to normal. many studies have used early mobilization interventions to accelerate the recovery of postoperative intestinal peristalsis. in contrast to early mobilization, the use of chewing gum is still very rarely done. whereas based on the latest theory and review, it was found that the use of chewing gum can help speed up the process of returning to the function of the gastrointestinal system and can prevent complications of postoperative ileus. chewing gum is like fake feeding, where the food is chewed but does not enter the stomach, it can stimulate appetite which can trigger the release of gastrointestinal hormones such as gastrin, neurotensin, and pancreatic polypeptides so that intestinal motility is restored due to the effects of giving anesthesia. conclusion there is a combination effect of chewing gum and early mobilization interventions on increasing intestinal peristalsis in post-laparotomy patients at the dr. soedomo trenggalek. chewing gum can increase gastrointestinal hormones consisting of gastrin, secretin, gastric inhibitory polypeptide (gip), cholecystokinin (ccp), motilin, pancreatic peptide (pp), and enteroglucagon which increase gastrointestinal mortality. meanwhile, early mobilization will stimulate an increase in the work of the parasympathetic nerves and release acetylcholine resulting in an increase in conduction of ascitatory waves along the intestinal wall which will increase intestinal motility and peristalsis. suggestion future research is expected to be able to develop research by adding other interventions in the form of giving warm compresses related to the acceleration of the return of intestinal peristalsis after laparotomy surgery due to the effect of anesthesia. acknowledgement we would like to give our appreciation to poltekkes malang for supporting our research in all aspects. we also would like to thank all of the respondents that participated in this research. funding this research was funded by all of the authors and also supported by poltekkes kemenkes malang. conflict of interest the authors declare no conflict of interest. other funders than the authors had no role in the data collection, data analysis, and also in the writing of the manuscript. author contributions dbp, research concept, research data tabulation, writing a draft manuscript and analysis; ta, wrote and revised the manuscript with support from the other author, team coordination. tcs, performed the statictical analysis and interpreted the data; mdc, verified the method and design of this study. all the authors agreed to the arrangement of authors in this study. we have read and approved the final version of the manuscript. we agreed to be accountable for all aspects of the work. references arif, t., fauziyah, m. n., & astuti, e. s. (2022). pengaruh pemberian edukasi persiapan pre operatif melalui multimedia video terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi elektif. jurnal ilmiah kesehatan media husada, 11(2), 174–181. https://doi.org/10.33475/jikmh.v11i2.331 arif, t., roosyidah, h., shindarti, g. m., & sudjarwo, e. (2022). pengaruh mobilisasi dini terhadap post operative nausea and vomitting pada pasien post operasi dengan general anestesi di rumah sakit ngudi waluyo wlingi. jurnal ilmiah kesehatan media husada, 11(1), 26–33. https://doi.org/10.33475/jikmh.v11i1.288 bhatti, s., malik, y. j., changazi, s. h., rahman, u. putra, arif, sepdianto, ciptaningtyas, positive effect of chewing gum and early mobilization on … 99 a., malik, a. a., butt, u. i., umar, m., farooka, m. w., & ayyaz, m. (2021). role of chewing gum in reducing postoperative ileus after reversal of ileostomy: a randomized controlled trial. world journal of surgery, 45(4), 1066–1070. https://doi.org/10.1007/s00268-020-05897-1 damayanti, g. e., & syara, a. m. (2018). pengaruh mengunyah permen karet terhadap peristaltik usus pasien post appendiktomi. jurnal penelitian keperawatan medik, 1(1), 15–19. https://doi.org/10.36656/jpkm.v1i1.97 dinas kesehatan provinsi jawa timur. (2019). profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2019. dinas kesehatan provinsi jawa timur. elhamed, a. g. a., osman, m. a., mobarak, a. a., & hussien, a. a. (2020). efficacy of chewing gum versus early mobilization on bowel motility for children after abdominal surgery. assiut scientific nursing journal, 8(20), 258–266. hamzah, t. (2019). pengaruh pemberian permen karet terhadap lama waktu menahan rasa haus pasien yang menjalani hemodialisis di rsud dr. m. halussy ambon. pasapua health journal, 1(1), 27–34. herman, a. (2019). pengaruh intervensi keperawatan kombinasi chewing gum dan mobilisasi dini terhadap peningkatan peristaltik usus dan flatus pada pasien post seksio sesarea di rumah sakit kota kendari. jurnal ilmiah keperawatan, 13(1), 101–111. kementerian kesehatan ri. (2020). profil kesehatan indonesia tahun 2019. kementerian kesehatan ri. kiik, s. m. (2017). pengaruh mobilisasi dini terhadap waktu pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca operasi abdomen di ruang icu rsud labuang baji makassar. jurnal kesehatan, 1(1), 13–20. larijani, b., esfahani, m. m., moghimi, m., ardakani, m. r. s., keshavarz, m., kordafshari, g., nazem, e., ranjbar, s. h., kenari, h. m., & zargaran, a. (2016). prevention and treatment of flatulence from a traditional persian medicine perspective. iranian red crescent medical journal, 18(4). https://doi.org/10.5812/ircmj.23664 ledari, f. m., barat, s., delavar, m. a., banihosini, s. z., & khafri, s. (2016). chewing sugar-free gum reduces ileus after cesarean section in nulliparous women: a randomized clinical trial. iranian red crescent medical, 15(4), 330. li, s., liu, y., peng, q., xie, l., wang, j., & qin, x. (2013). chewing gum reduces postoperative ileus following abdominal surgery: a metaanalysis of 17 randomized controlled trials. journal of gastroenterology and hepatology (australia), 28(7), 1122–1132. https://doi.org/10.1111/jgh.12206 mao, h. m., tony, g., & grady, o, g. (2019). prolonged postoperative ileus significantly increases the cost of inpatient stay for patients undergoing elective colorectal surgery. scientific nursing journal diseases of the colon & rectum, 62(5), 631–637. niu, z., gao, x., shi, z., liu, t., wang, m., guo, l., & qi, d. (2021). effect of total intravenous anesthesia or inhalation anesthesia on postoperative quality of recovery in patients undergoing total laparoscopic hysterectomy: a randomized controlled trial. journal of clinical anesthesia, 73(99), 110374. https://doi.org/10.1016/j.jclinane.2021.110374 rahayu, d., & yunarsih, y. (2019). mobilisasi dini pada ibu post op sectio caesarea. jurnal keperawatan, 11(2), 111–118. rekam medis rsud dr soedomo. (2021). jumlah pasien laparotomi bulan januari-oktober. rezky, b., atoy, p., & hadi, i. (2019). penerapan teknik range of motion (rom) pada pasien stroke dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas di rsud kota kendari. poltekkes kemenkes kendari. rismawati, d. (2015). asuhan keperawatan dengan penerapan mobilisasi dini untuk kemandirian pasien post sc di ruang bougenvile rsud kebumen. stikes muhammadiyah gombong. rizky, a. a., inayati, a., & keperawatan dharma wacana metro, a. (2021). appendiktomy di kota metro application of early mobilization on the process of wound healing in patients with appendictomi post operations in the city metro. jurnal cendikia muda, 1(4), 436–444. sitepu, a. l., simarmata, p. c., anggrareni, r. f., & sipayung, s. t. (2021). pengaruh pemberian mobilisasi dini terhadap pemulihan peristaltik usus pada pasien post operasi laparatomi di rumah sakit grandmed lubuk pakam. jurnal keperawatan dan fisioterapi (jkf), 4(1), 57– 63. 63 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk resource factor analysis with performance of ponkesdes nurses in mojokerto district tio nanda saputra1, faisal ibnu2, duwi basuki3 1,2,3master of nursing study program, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract ponkesdes is a pioneer in healthy development and plays an important role in the implementation of the healthy indonesia program. it is critical to examine the performance of nurses to maintain and improve the quality of health services at ponkesdes. the good performance of ponkesdes nurses is a bridge in answer the guarantee of the quality of health services provide to patients both sick and healthy. in this case, the author tried to analyze organizational factors with the performance of ponkesdes. the research method was quantitative. the type of the research was a correlations study and used a correlational cross-sectional design. the population in this study was nurses who worked in ponkesdes. the population in this study was taken from 19 sub-districts. there were 27 puskesmas with 211 ponkesdes nurses. the sampling was carried out using the probability sampling method through a simple random sampling technique, from 211 ponkesdes, we took 170 ponkesdes randomly. the data analysis used univariate (a form of categorical data, which was carried out on careful variables), bivariate (chi-square), and multivariate (regresi logistic tests). the results of the binary logistic regression test obtained a significant value (p = 0.00; = 0.05) which meant that there was a significant correlation between human resources, rewards, leadership, job design, and job structure with the performance of ponkesdes nurses in mojokerto regency. the results of the logistic regression test showed the factor most related to the performance of the ponkesdes nurses in mojokerto regency was leadership with the value of exp (b) = 15.379. the results of the study can be used by ponkesdes nurses in conducting nursing interventions to improve the quality of nursing services through organizational management. history article: received, 10/12/2021 accepted, 11/03/2022 published, 15/04/2022 keywords: resource factors, nurse performance, ponkesdes © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nandha.saputr.tns@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p063-067 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk file:///c:/users/asus/downloads/nandha.saputr.tns@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p063-067 64 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 63-67 introduction the healthy indonesia program with a family approach is a national program in an effort to tackle health problems that are a national priority. these priority health problems include: decreasing maternal and infant mortality, decreasing the prevalence of stunting, communicable disease prevention, and noncommunicable disease prevention (ponkesdes guidelines, 2019). the development of ponkesdes in east java from its initial formation in 2010 to the end of 2020 has increased by 72.3% from the number of polindes. at the end of 2020, there were 3,213 ponkesdes nurses from 4,413 polindes in each kelurahan in 27 cities/districts. from these data, there is an increase in the level of health services in east java, bringing health services closer to the community in the village to the maximum (ferliana, 2020). the results of the monitoring survey and evaluation of the ponkesdes kabupaten mojokerto in 2020 there is a percentage of family visits in the kopipu (door to door counseling) program in mojokerto regency which is 9.35% of the target and a performance assessment is obtained, namely 53.55% of ponkesdes that carry out administration and management, 100% of ponkesdes have been fulfilled. human resources and 62.96% carried out the health service process at the ponkesdes well. in achieving the kopipu program (door-todoor counseling) ponkesdes experienced the first technical obstacles, namely the lack of socialization related to kopipu activities, due to the covid pandemic so that implementation could not be maximized, there were several activities that took place at the same time as the puskesmas such as traching, bias, etc. so that it cannot be done, there is no format for nursing care for patients, non-technical constraints of inadequate infrastructure, the standard salary of ponkesdes officers is still below the 2020 district minimum wage (umk). ponkesdes in mojokerto regency has been implemented since 2010 after the governor's regulation was issued. at the end of 2020 in mojokerto regency, there were 211 ponkesdes nurses from 304 villages (health office of mojokerto regency, 2020). (mahooti, vasli, and asadi 2018) in norway said that family-centered nursing services or family center nursing is one of the most important indicators of high-quality nursing services. the behavior and commitment of organizational members can improve the quality of health services. therefore, family-centered nursing services as an indicator of high-quality nursing services can be improved through increasing organizational membership behavior and organizational commitment among nurses. defines performance as the result of work-related to organizational goals such as quality, efficiency, and other work effectiveness criteria (gibson, 2011). in scientific studies, a concept is needed that can be applied to solve existing problems. improving the performance of ponkesdes nursing is very much-needed for ponkesdes nurses so that there is a development of the quality of health services in the community. in this case, the author tries to analyze the factors that affect the performance of the ponkesdes focusing on organizational factors. method the type of the research was a correlations study which is a study of the correlation between two variables in a situation or group of subjects. this study used a correlational design in the form of a cross-sectional. the sampling technique in this study used probability sampling with a simple random sampling technique. from a total population of 211 ponkesdes nurses’ samples were taken using the slovin formula. the number of the samples in this study was 170 people according to the inclusion criteria and exclusion criteria. the inclusion criteria were nurses who live in ponkesdes in mojokerto regency, had experience in ponkesdes for at least 2 years, ponkesdes nurses who got a regent's decree. the exclusion criteria where the nurse was on leave at the time of the study, the nurse which was on an official trip, and subjects who could not be contacted and could not be found. the questionnaire source used model theory by gibson in research (luluk,2018). the instrument in this study had previously been tested for validity & reliability at the mojokerto district health center on 07-08 august 2021. the questionnaire was given to 20 nurses, all items of the questionnaire statement were analyzed with the pearson product moment correlation test and the crombach alpha test and were declared valid and reliable. before collecting data at ponkesdes in mojokerto regency, this research was conducted saputra, ibnu, basuki, resource factor analysis with performance of ponkesdes nurses … 65 with an ethical review no: 27/kepkrswh/ea/2021. data collection in this study lasted 1 (one) month, from october 01 to october 20, 2021, at 27 mojokerto district health centers. after collecting data, the research results were tested using univariate, bivariate, and multivariate tests with logistic regression. results table 5.1 shows that of the 170 ponkesdes nurse respondents aged 26-45 years, 88.2%. gender is mostly female, namely 68.8%. the education level of most of them is d3 nursing, 61.8%, and 94.1% are married or have family status. the length of work is mostly over 5 (five) years, namely as much as 50.0%, based on the staffing status of the ponkesdes nurses as much as 100%, namely non-asn. table 5.2 nurses have a good perception of organizational factors as a whole 83.4% while the remaining 16.6% of nurses stated that organizational factors were still lacking. organizational factor sub-variables include mostly good human resources (85.3%) rewards (72.4%), leadership (89.4%), job design (84.7%), and the organizational structure is perceived by nurses (72, 7%). table 5.3 shows that on average (78.2) of nurses have good performance and (21.8%) have poor performance. table 5.1: characteristics of respondents based on age, gender, education, length of service as a nurse at the ponkesdes mojokerto regency tabel 5.2: distribution of the performance frequency of ponkesdes nurses in mojokerto regency no. ponkesdes nurse performance n % 1 good 133 78,2 2 not enough 37 21,8 total 170 100 no. characteristics of respondents jumlah n % 1 age < 25 years old 26 – 45 years old > 45 years total 20 150 0 170 11,8 88,2 0 100,0 2 gender female male total 117 53 170 68,8 31,2 100,0 3 education diploma (iii) s1 nursing amount 105 65 170 61,8 38,2 100,0 4 marital status married not married amount 160 10 94,1 5,9 100,0 5 length of work at ponkesdes 5 years > 5 years > 10 years amount 42 85 43 170 24,7 50,0 25,3 100,0 8 employment status non-pns civil servant amount 170 0 170 100,0 0 100,0 66 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 63-67 table 5.3 distribution of human resources factor with performance of ponkesdes nurses in mojokerto regency discussion the analysis of the correlation between human resources and the performance of ponkesdes nurses showed that from 145 respondents who perceive good human resources are good performance as many as 125 (94.0%) compared to 20 (54.1%) poor performance, while from 25 respondents who is perceive human resources are lacking with good performance as many as 8 (6.0%) while those with poor performance are 17 (45.9%). according to (berry, mirabito, and baun n.d. 2010) said in this modern era, organizations compete in the global market. the health sector of a country has a significant influence on the economy and overall health of the nation. there is a growing recognition of the health of nurses in the workplace and their impact on the productivity and effectiveness of nurses which ultimately leads to the performance of health care organizations. the concept of internal services has emerged as one of the most important principles according to (abdullah, ivascu, and riaz 2021) said the attitude and behavior of the nursing staff is very important to determine patient satisfaction and have a competitive advantage for any health care organization. this study is set to investigate the effect of internal service quality (isq) on nurses' job satisfaction, employee commitment, welfare, and job performance in pakistan's healthcare sector. furthermore, this study also examines the mediating role of nurses' welfare in the correlation between job satisfaction and commitment to their job performance. the results of the questionnaire tabulation concluded that ponkesdes nurses in mojokerto regency who were given opportunities such as career development and performance management scored higher than leaders who ensured working conditions and empowered ponkesdes nurses to improve quality. therefore, in improving the performance of ponkesdes nurses in mojokerto regency, the need for human resource development (hr) is to help employees develop personal and organizational skills, knowledge, and abilities. human resource development includes opportunities such as training for ponkesdes nurses, career development in ponkesdes, performance management, mentoring, planning, identification of ponkesdes nurses’ performance, and organizational development. conclusion the results of this study concluded the mojokerto regency ponkesdes nurses had good performance, mojokerto regency ponkesdes nurses had good organizational management, there was a significant correlation between human resources and the performance of mojokerto regency ponkesdes nurses. suggestion suggestions that can be given to the government are the need for policies make ponkesdes a national program, namely one village one nurse (ovon), it is necessary to carry out a strict nurse selection process by providing accurate information about things that should and should not be done as well as rewards and sanction. acknowledgment this research has passed the ethical review no: 27/kepk-rswh/ea/2021. on this occasion, the authors would like to thank you profusely for the support and guidance of the head of the district health office. mojokerto, dr. m. sajidin, s.kp., m. kes as head of ppni health development stikes, dr. noer sauda, s.kep.ns., m.kes as head of study program, dr. faisal ibnu, s.kep.ns., m.kep and dwi basuki, m.kep as supervisors i and ii, dr. abdul muhith, m. tr.kep as the main examiner, respondents, friends of the first batch of the 2019 masters of no. analysis factors responden answer total good not enough n % n % n % 1 human resources 145 85,3 25 14,7 170 100 saputra, ibnu, basuki, resource factor analysis with performance of ponkesdes nurses … 67 nursing study program, and all parties who have helped during the preparation of this thesis. refference abdullah, muhammad ibrahim, larisa ivascu, and amir riaz. 2021. “effects of internal service quality on nurses’ job satisfaction, commitment and performance: mediating role of employee.” (september 2020): 607– 19. berry, leonard l, ann m mirabito, and william b baun. “what's the hard return on employee wellness programs? what's the hard return on employee wellness.” district health office. mojokerto. 2020. “monitoring and evaluation of the basic program of ponkesdes mojokerto regency in 2020.” ferliana, herlin. 2020. “implementation of pis-pk to support the realization of healthy indonesia in east java province.” januarti, luluk fauziyah. 2018. “thesis on the performance model of ponkesdes nurses in an effort to improve family independence in caring for the elderly.” http://repository.unair.ac.id/id/eprint/78563. mahooti, mustafa, parvaneh vasli, and esmail asadi. 2018. “effect of organizational citizenship behavior on family-centered care: mediating role of multiple commitment.” plos one 13(9): 1–18. technical, manual. 2019. “ponkesdes guidelines for technical instructions.” http://repository.unair.ac.id/id/eprint/78563 84 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk factors associated with nutrition of 12-59 months toddlers tunik mindarwati ningsih1, koekoeh hardjito2, triatmi andri yanuarini3 1,2,3midwifery department, poltekkes ministry of health malang, indonesia article information abstract malnutrition is still a problem in developing countries, including indonesia, which ranks 4th with the incidence of malnutrition is still high. toddlers with malnutrition can continue to be malnourished, impaired physical and mental growth and even increase the risk of illness and death. the purpose of this study was to review journals related to factors of malnutrition of children aged 12-59 months in developing countries. the research design was a literature review using a systematic mapping study method. there were 602 articles obtained and the number of articles selected based on inclusion and exclusion criteria was 13 articles. accredited and reputable article database from pubmed, doaj, research gate 1, and sinta were then analyzed using the compare method. there were 16 factors related to undernutrition status in developing countries including the age of children more than 2 years, sex of male toddlers, low birth weight of children, not being given exclusive breastfeeding, inadequate nutritional intake, disease or infection, low maternal education, low fathers education, lack of knowledge of maternal nutrition, inappropriate eating parenting patterns, low family income or wealth index, rural areas, low maternal bmi, maternal age less than 20 years, non-routine anc visits, access to drinking/clean water and poor sanitation. it was found that the dominant factor appeared and had a significant correlation, namely the age of toddlers over 2 years was more at risk of experiencing malnutrition and the factor of low maternal education would further increase the possibility of malnutrition in toddlers. the causes of undernutrition in children under five are very complex where there are many related factors, there are also dominant factors that can also be paid more attention to in order to prevent and minimize the incidence of malnutrition history article: received, 02/02/2021 accepted, 25/04/2022 published, 25/04/2022 keywords: internal factors, external factors, malnutrition, toddlers © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes ministry of health malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: tunik141089@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i1.art.p084-091 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:tunik141089@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i1.art.p084-091 ningsih, hardjito, yanuarini, factors associated with nutrition of 12-59 months toddlers … 85 introduction malnutrition is a condition where every day and within a certain period of time a child’s advice does not meet the needs that should be given to a child with bad advice, its impact can cause the child to have weak body strength so that it is vulnerable to the disease. (septikasari, 2018). according to (rahayu, et al 2018) malnutrition problems can have a serious impact on development and growth will not be optimal or be delayed, easily ill children, motor and cognitive abilities are also low. according to the world health organization (who) there are 3.5 million deaths in children under five which annually reach 25% of children under five, which occur in developing countries and are caused by nutritional problems (malnutrition). in low-income countries, one in 14 children died before the age of 5 (who, 2019) indonesia still has a high incidence of malnutrition in children under five so that it ranks 4th in the world (sidiq, 2019). basic health research in indonesia has recorded the number of under-nutrition and malnutrition of children under five, which is 17.7 in 2018 (ministry of health ri, 2018). the government in the 2015-2019 national medium-term development plan (rpjmn) has set a target to reduce the number of undernourished children under five (windiarto et al., 2018) while the percentage in 2019 is still 17.7% until it is not reached. next for the 2024 target in line with public health policy and action plans for 2020-2024 bad news cases of 7%, that target will certainly require optimal efforts to achieve success (pritasari, 2020). according to riskesdas, east java province, the number of under-fives with malnutrition and malnutrition is 16.8%, this number is still high (riskesdas, 2018). the problem of undernutrition status described in the health profile of the city of kediri there was a slight increase in the number in 2016 namely the number of cases of malnutrition as many as 148 toddlers, previously in 2015 the number of undernourished children under five was 137 (fauzan, 2016) according to research (pratasis et al., 2018) the nutritional status of children under five is directly influenced by the consumption of nutrients and indirectly influenced by several other factors that can influence the problem of undernutrition to date. this is in line with research according to (sukrillah et al, 2012) where nutritional problems are not only influenced by the consumption of nutrients and individual health conditions but are also related to several other factors that are indirectly. according to (sudargo et al., 2018) nutritional problems can be caused by direct factors, indirect factors and can also be influenced by the causes and root causes of nutritional problems. by certain factors. based on the background, phenomena and data above, the researcher aims to conduct further research through a review of journals related to factors related to malnutrition in children aged 12-59 months in developing countries. methods the research method used a literature review design that summarized some relevant literature according to the research theme using the systematic mapping study method. the strategy of data collection sources was to formulate peos for journal searches, then create keywords to search the database for. the literature search was obtained from several sources through databases with good accreditation, namely pubmed, doaj, researchgate and, sinta. the research method used a literature review with a design of systematic mapping study with a systematic literature review method using predetermined stages. the feasibility assessment was adjusted to the peos strategy and inclusion exclusion criteria that had been determined in the selection and selection of the journals. review in this research was carried out by outlining or explaining the results of journal literature reviews from various sources that had been collected starting from the results of the research so that conclusions could be drawn in accordance with the expected research objectives. this identification was done by using a literature review identification method using compare. the researcher's step in conducting a review of the journals that had been collected was by describing the research journal by identifying the author, year of publication, research title, research method, the significance value of the research results in each research journal. after identifying, the researcher examined the similarity of the research results, namely with malnutrition in the same toddler in each research journal, namely by examining the various factors that existed in each journal to see which factors had a correlation with undernutrition and which factors were most dominantly related with malnutrition in 86 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 children under five or which factors appear most often and are in every research journal. next was to see how much significance or how big the value of the correlation from the existing research results from each of the factors in the journal and how often certain factors appear in several journals that had been collected to find out which factor was the most dominant and to find out how much the value was the correlation with undernutrition in children under five of the dominant factors, and summarize the results in the conclusion. result the articles that have been found and collected for this research are thirteen articles. the most widely used research design is the cross-sectional study design, while the others are case-control designs and analytical surveys. respondents in this study were all under-fives who were undernourished based on indicators of body weight compared to age (w/u) or under-fives with problems underweight or underweight because toddlers with underweight were measured based on indicators of bw/u and indicated poor nutritional status. located in several areas of developing countries and poor countries including indonesia, india, ethiopia, bangladesh, nepal, and ghana which until now these countries are still categorized as developing countries according to imf data in 2018. the majority of respondents in the study amounted to more than 50 respondents, with the age included in the study in the range of 12-59 months, the age group in the study was 12-36 months.the gender of the respondents in the study, the majority of children under five were male with an average of more than half, namely (51.42%). the results of the literature obtained were 9 articles discussing factors related to poor nutritional status from both internal and external factors, 3 articles discussing the prevalence or determinants of undernutrition status in toddlers, and 1 article discussing the epidemiology of malnutrition and its determinants in toddlers. the study characteristics used are presented in table 1.1. table 1: study characteristics category n % publication year 2020 4 30.8 2019 6 46.1 2018 1 7.7 2017 2 15.4 total 13 100 overview / factor characteristics mother's education 9 20 father's education 2 4.4 mother's knowledge 4 8.8 parenting 1 2.2 family income 8 17.7 area of residence 1 2.2 mother's bmi 4 8.8 mother's age 2 4.4 anc kunjungan visit 1 2.2 access to drinking/clean water and sanitation 2 4.4 exclusive breastfeeding history 1 2.2 illness/infection (diarrhea, anemia, fever, cough) 1 2.2 nutrient intake (carbohydrates, protein) 1 2.2 gender 3 6.6 child's age 3 6.6 child's birth weight 2 4.4 total 45 100 research design ningsih, hardjito, yanuarini, factors associated with nutrition of 12-59 months toddlers … 87 cross sectional study 9 69.2 case control 2 15.4 analytical survey 2 15.4 total 13 100 research instruments questionnaire 4 30.8 questionnaire and anthropometric measurements (measurement of body weight only or weight and tb) 3 23 primary data and secondary data 1 7.7 anthropometric measurements 1 7.7 secondary data (secondary data in the form of survey data / kms data), anthropometric measurements and questionnaires 4 30.8 total 13 100 statistical analysis & test univariate and bivariate analysis, chi square . test 4 30.8 logistics multinomial regression model univariate analysis descriptive test, bivariate analysis chi square test, and multivariate analysis, logistic regression test. 1 7.7 univariate and bivariate analysis, statistical test with two-sample kolmogorov smirnov . test 1 7.7 analyzes were performed in stata/ic version 15.0, multiple logistics regression test, chi square to assess the significant difference between groups 1 7.7 bivariate and multivariate binary logistic regression 2 15.4 binary logistic regression analysis 1 7.7 ordinal logistic regression analysis 1 7.7 multivariate logistic regression analysis 1 7.7 total 13 100 discussion malnutrition in children under five remains one of the major public health problems in many parts of the world where it is identified as the leading cause of death in children under five. although malnutrition in children under five remains common throughout the world, it is most dominant in developing countries where the largest percentage is in africa and southeast asia.(talukder, 2017). the following is a description of internal factors and external factors related to the problem of undernutrition status or the problem of underweight in toddlers: nutritional intake is a direct factor that affects the fulfillment of nutritional needs in toddlers so that low food consumption can have an impact on the emergence of malnutrition problems.(suzanna et al, 2017)stated that there was a significant correlation between energy intake and the nutritional status of children under five. low food consumption can have an impact on the emergence of malnutrition problems where with low energy intake the child's immune system will decrease so that children are susceptible to infection. gender is related to the incidence of malnutrition in toddlers where boys will have a greater chance or possibility to experience problems with poor nutritional status or weight less than female toddlers due to the activities carried out by male toddlers tend to be more active so that their needs energy is also higher that must be met. previous studies have shown that childhood morbidity is higher in boys than girls(kassie & workie, 2020). the age most vulnerable to experiencing malnutrition problems is over the age of 24 months, if written in vulnerable is the age of 24-47 months and also 48-59 months(tekile et al.2019 ). the age of the child is associated with the incidence of under-nutrition in children under five, with increasing age the risk of malnutrition is also greater, this can be due to the delay in the introduction of additional food to infants and the provision of food with low nutritional quality. exclusive breastfeeding is related with the incidence of malnutrition in toddlers, exclusive breastfeeding can reduce the risk of underweight because breast milk is the best food to meet the growth, development, physical and psychological 88 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 needs of babies. this is in line with the results of research conducted by purba (2017) which shows that there is a significant correlation between exclusive breastfeeding and the nutritional status of toddlers. the same results were also carried out by ngenget (2017) showing a significant correlation between exclusive breastfeeding and the nutritional status of toddlers.(kurnia et al., 2019). low birth weight is associated with a higher likelihood of underweight children under five (boah et al, 2019). birth weight is related to the incidence of malnutrition in toddlers where those who are less are almost 2 times more likely to experience underweight when they are toddlers when compared to children who are born normal or large. disease or infection is an internal factor and is a direct factor related to the incidence of malnutrition in children under five. disease or infection is related to the incidence of malnutrition in toddlers because disease can cause weight loss, this situation is caused by loss of appetite in people with infectious diseases to nutrient intake less than needed. mother's education with the incidence of malnutrition in toddlers, high education facilitates the acceptance of broader insights about nutrition, is easy to accept changes in knowledge, while low education can be a limitation in understanding the nutritional needs of toddlers and slow in dealing with child nutrition problems. in line with previous research that mother's education can affect the quality and amount of food given to children.(suzanna et al, 2017). mother's education is one of the factors to improve the nutritional status of toddlers this is due to the very important role of mothers in terms of food distribution in the family. low maternal education will affect behavior in food selection and food supply (triyanti and hartriyanti, 2012). relating to nutrition in toddlers fathers with formal education will be better informed about proper child feeding and hygiene practices, which contribute positively to preventing childhood malnutrition (kassie & workie, 2020). father's education is related to the incidence of malnutrition in toddlers because fathers with higher education have a significant contribution to family income and the choice of healthy food for their families. family income is related to the incidence of malnutrition in children under five, with a sufficient level of income it will increase the availability of food both in terms of quality and quantity better in the household when compared to the level of less income. supported by previous research, low family income will determine the dishes served by the family, this condition is because with a sufficient level of income it will increase the availability of food in the household when compared to a low income level.(kurnia et al., 2019). parenting patterns are related to the incidence of malnutrition in toddlers, if the parenting pattern in the family is good, of course, the level of food consumption of children will also get better and will ultimately affect the nutritional status of children, but must be supported by knowledge and education of parents, while those who are not good tend to suffer from malnutrition. nutrition because parents pay less attention to children's food intake knowledge of nutrition is related to the incidence of malnutrition in toddlers, sufficient knowledge so that everything related to food, starting from preparation, processing to giving food to children can be done better than mothers who have less knowledge of nutrition. the results of the same study conducted by selvera (2017) knowledge of malnutrition is 65% thus there is a significant correlation between knowledge of nutrition and malnutrition in toddlers(kurnia et al., 2019). maternal age is related to the incidence of malnutrition in children under five, this is related to the age of delaying the first pregnancy, namely mothers who delay having children before the age of 20 years will guarantee safer pregnancies and births and reduce the risk of babies being born with low weight. this is in accordance with previous research which stated that compared to children born before the mother was 20 years old, mothers aged 20-34 years were less likely to experience malnutrition.(kassie & workie, 2020) women in the normal and overweight bmi categories are less likely to have underweight children (boah et al, 2019). maternal bmi is related to the incidence of malnutrition in children under five, maternal nutrition, especially during pregnancy is also an important determinant of malnutrition in children mothers who receive antenatal care services during pregnancy have a lower probability of remaining in the child's poor nutritional statusbecause the mother visits the anc to find out how the fetus is. research supported(talukder, 2017) that mothers who received antenatal care services during pregnancy had a lower probability of remaining in the child's poor nutritional status, compared to mothers who did not receive services. ningsih, hardjito, yanuarini, factors associated with nutrition of 12-59 months toddlers … 89 access to clean drinking water is associated with the incidence of malnutrition in toddlers because clean and safe drinking water can prevent toddlers from experiencing various diseases. according to research(rahmawati et al., 2019) found that, safe sanitation will reduce the 16% chance of under-fives having malnutrition and 7% chance of under-fives having malnutrition. although not significantly, children under five who live in urban areas will reduce the likelihood of having malnutrition because access to health services in urban areas is more complete and adequate. according to research(rahmawati et al., 2019) toddlers living in urban areas will 14% reduce the likelihood of under-fives experiencing malnutrition compared to toddlers living in rural areas researchers have analyzed 16 related to undernutrition status in developing countries after analyzing and juxtaposing various research results from several articles in several developing countries. which is an internal factor where the higher the age of the child will have a greater risk of malnutrition problems related to the increasing nutritional needs to fulfill their needs where the age most vulnerable to experiencing malnutrition problems is over the age of 24 months,thus, according to the researcher's assumption, the child's age is the most dominant internal factor that appears and has a significant correlation to the incidence of malnutrition in toddlers but is not a direct factor and the only one that influences it but also through the intake of nutrients consumed because based on research journals it is stated that the higher at the age of toddlers, more and more nutritional needs must be met. in external factors, maternal education, which is an external factor, is the dominant factor, this can happen because most of the developing countries in the studies that have been analyzed still have problems, namely low education which triggers the emergence of various other problems including malnutrition. it is widely known that socioeconomic status is one of the important determinants of children's welfare and health where education is also a factor that can support economic status. the lower the socioeconomic status, the higher the risk of malnutrition(murarkar et al., 2020). according to the assumption that education is important in determining the nutrition consumed by toddlers, especially a mother who has an important role in matters relating to nutrition in the family where the problems currently being experienced in developing countries are still low levels of education, including in indonesia, education for women is still lower than for men. -man. according to the national profile of indonesian women, the female population aged 15 years and over still has a low average length of schooling, namely the average length of schooling is only about 8.17 years, which has not reached the target that should have an average education of at least 9 years.(hakiki, 2018) conclusion based on the results of the identification and analysis of the 13 journals that had been carried out and the discussion that had been described in the previous chapter, it could be concluded that. there were 16 factors related to under-nutrition in children under five in developing countries, both internal and external, including the age of children over 2 years old, the gender of the toddler being male, low birth weight, not being given exclusive breastfeeding, inadequate nutritional intake. , disease or infection in children which was an internal factor related to the problem of poor nutritional status in toddlers, then from external factors were low maternal education, low father education, lack of knowledge of maternal nutrition, improper eating parenting, family income or low wealth index , rural areas, low maternal bmi, maternal age less than 20 years, no routine anc visits, access to drinking/clean water and poor sanitation. the most dominant factor related to malnutrition was the age of the child which was an internal factor, namely children aged over 2 years were more at risk of experiencing malnutrition and maternal education which was an external factor where high maternal education reduced the risk of toddlers experiencing malnutrition. it could be shown that there were many factors related to the problem of poor nutritional status or the problem of underweight in children under five. for further researchers, the results of this study could be used as material or a source of research data to be used and further research conducted based on other factors and the dominant factor, namely the age of the child and mother's education in this study could be further explored, different variables and also the selection of different places or wider and more varied coverage of the selection of continents such as developing countries in the americas and europe, and australia. suggestion for further researchers, the results of this study can be used as material or a source of research data 90 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 1, april 2022, page 12-17 to be used and further research is carried out based on other factors and the dominant factor, namely the age of the child and mother's education in this study can be further explored, different variables and also the selection of different places or wider and more varied coverage of the selection of continents such as developing countries in the americas and europe, and australia so that the selected countries will be better and more complete that can be compared. for midwifery, this research can be used as a reference for health workers, especially midwives, to find out the description of the existing factors so as to increase cooperation in efforts to deal with malnutrition, especially promotive and preventive efforts in order to improve the nutritional status of children under five who are better and optimally through an approach to the community to pay attention to nutrition. toddlers, especially in accordance with their age and efforts to improve the nutritional health of toddlers through formal and non-formal education. for the community, the public can better understand and be aware of the many related factors, so it is very important to pay attention to toddler nutrition according to the age of the toddler and continue to strive to improve maternal education, both formal and informal, to improve maternal nutrition knowledge, this can be done by collaborating with health workers to utilize better health service facilities so that these factors can be detected early, controlled and repaired and it is hoped that the impact of malnutrition on children under five can also be minimized. acknowledgment we thank the poltekkes kemenkes malang campus 4 in kediri who has helped facilitate and direct this research. we also thank the supervisors for their support and direction in this research. reference boah, m., azupogo, f., amporfro, d. a., & abada, l. a. (2019). the epidemiology of undernutrition and its determinants in children under five years in ghana. plos one,14(7). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0219665 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pm c6668784/ boediarsih, b., aditantri, w. w., & kustriyanti, d. (2019). faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di puskesmas poncol kota semarang. jurnal surya muda : ilmu keperawatan dan ilmu kesehatan, 1(2), 102–110. https://doi.org/10.38102/jsm.v1i2.44 http://ojs.stikesmuhkendal.ac.id/index.php/jsm/articl e/view/44 fauzan, (2016). profil kesehatan kota kediri. dinas kesehatan kota kediri. hakiki, 2018. profil perempuan indonesia. kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dengan badan pusat statistik kementerian kesehatan ri, 2016. pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang anak,. kementerian kesehatan ri, 2020. profil kesehatan indonesia tahun 2019 kementrian kesehatan ri. (2017). buku saku pemantauan status gizi tahun 2017. direktorat gizi masyarakat kementrian kesehatan ri. (2018). riset kesehatan dasar. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kassie, g. w., & workie, d. l. (2020). determinants of under-nutrition among children under five years of age in ethiopia. bmc public health, 20. https://doi.org/10.1186/s12889-020-08539-2 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pm c7099779/ kurnia, j., marlenywati, m., & ridha, a. (2019). faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian gizi buruk dan kurang pada balita (studi kasus di wilayah kerja puskesmas balai berkuak kecamatan simpang hulu kabupaten ketapang). jurnal kesmas (kesehatan masyarakat) khatulistiwa,6(2),61. https://doi.org/10.29406/jkmk.v6i2.1769 http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/jk mk/article/view/1769 murarkar, s., gothankar, j., doke, p., pore, p., lalwani, s., dhumale, g., quraishi, s., patil, r., waghachavare, v., dhobale, r., rasote, k., palkar, s., & malshe, n. (2020). prevalence and determinants of undernutrition among under-five children residing in urban slums and rural area, maharashtra, india: a community-based cross-sectional study. bmc public health, 20(1),1559. https://doi.org/10.1186/s12889-020-09642-0 https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/arti cles/10.1186/s12889-020-09642-0 rahayu, dkk (2018). pangan dan gizi untuk kesehataan dan kesejahteraan masyarakat. bogor: pt penerbit ipb press pritasari, d. k. (2020). arah kebijakan dan rencana aksi program kesehatan masyarakat tahun 2020—2024. kementerian kesehatan republik indonesia. 31 rahayu, dkk (2018). pangan dan gizi untuk kesehataan dan kesejahteraan masyarakat. bogor: pt penerbit ipb press https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc6668784/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc6668784/ http://ojs.stikesmuhkendal.ac.id/index.php/jsm/article/view/44 http://ojs.stikesmuhkendal.ac.id/index.php/jsm/article/view/44 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc7099779/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc7099779/ http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/jkmk/article/view/1769 http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/jkmk/article/view/1769 https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-020-09642-0 https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-020-09642-0 ningsih, hardjito, yanuarini, factors associated with nutrition of 12-59 months toddlers … 91 rahmawati, f. n., mulyaningsih, t., & daerobi, a. (2019). pengaruh karakteristik rumah tangga, keragaman makanan, lingkungan hidup terhadap status gizi balita. media kesehatan masyarakat indonesia, 15(4), 367– 375. https://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/arti cle/view/7929 riskesdas, (2018).hasil utama riskesdas 2018 provisi jawa timur. kementerian kesehatan ri septikasari, m. (2018). status gizi anak dan faktor yang mempengaruhi. yogyakarta: uny press sudargo, t., kusmayanti, n. a., & hidayati, n. l. (2018). defisiensi yodium, zat besi, dan kecerdasan. yogyakarta: ugm press suzanna, s., budiastutik, i., & marlenywati, m. (2017). analisis faktor yang berhubungan dengan status gizi anak usia 6-59 bulan. jurnal vokasi kesehatan, 3(1), 35. https://doi.org/10.30602/jvk.v3i1.103 http://ejournal.poltekkespontianak.ac.id/index.php/jvk/article/view/10 3 talukder, a. (2017). factors associated with malnutrition among under-five children: illustration using bangladesh demographic and health survey, 2014 data. children, 4(10). https://doi.org/10.3390/children4100088 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pm c5664018/ tekile, a. k., woya, a. a., & basha, g. w. (2019). prevalence of malnutrition and associated factors among under-five children in ethiopia: evidence from the 2016 ethiopia demographic and health survey. bmc research notes, 12(1), 391. https://doi.org/10.1186/s13104-019-4444-4 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pm c6624874/ tibebu, n. s., emiru, t. d., tiruneh, c. m., getu, b. d., & azanaw, k. a. (2020). underweight and its associated factors among children 6– 59 months of age in debre tabor town, amhara region of ethiopia, 2019: a community-based cross-sectional study. pediatric health, medicine and therapeutics, volume11, 469–476. https://doi.org/10.2147/phmt.s288071 https://www.dovepress.com/underweight-andits-associated-factors-among-children6ndash59-months--peer-reviewed-articlephmt world health organitation, (2019). wolrd health statistic overview. monitoring health for the sgds windiarto, t., huda, a. y., & dwi, a. s. (2018). profil anak indonesia 2018. kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak (kpppa) https://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/7929 https://journal.unhas.ac.id/index.php/mkmi/article/view/7929 http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id/index.php/jvk/article/view/103 http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id/index.php/jvk/article/view/103 http://ejournal.poltekkes-pontianak.ac.id/index.php/jvk/article/view/103 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5664018/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5664018/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc6624874/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc6624874/ 360 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk anxiety among pregnant women during covid-19 pandemic dina zakiyyatul fuadah nursing department, stikes karya husada kediri, indonesia article information abstract coronavirus disease 2019 (covid-19) is a public health emergency of international concern and poses a threat to the mental health of pregnant women. there were 536 pregnant women exposed to covid-19 in the april 2020-april 2021 period. as many as 20 percent of them died. the purpose of this study was to determine the correlation between social support and anxiety among pregnant women during the covid-19 pandemic in pare district, kediri, east java. the study was conducted from 9 to 21 march 2021. the data collection was on demographic data, anxiety, social support to covid-19 of women with established medical records in the community health center of pare, district. anxiety was assessed by the pregnancy-related anxiety questionnaire-revised (praq-r2) questionnaire, social support was assessed by the social support questionnaire. this study had 37 participants with most of them 20-30 years old. during the period of prevention and control of the epidemic, all the pregnant women adopted protective measures, such as wearing masks, washing hands frequently, and staying at home. the results of social support most pregnant (89.2) were in the high category and anxiety in pregnant the majority (64.9%) in the medium category. analysis using the spearman rank test, the results of p-value = 0.000 (< 0.05). the strength of the correlation between variables was indicated by the value of r = 0.570. pregnant women's anxiety was affected by the readiness of pregnant women to face childbirth, knowledge of pregnant women, and level of education. it is hoped that pregnant women can manage their anxiety during the covid-19 pandemic improving the quality of correlations with husbands and family members. history article: received, 13/04/2022 accepted, 28/12/2022 published, 30/12/2022 keywords: social support, anxiety, pregnant women, covid-19 © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes karya husada kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: dzakiyyaf09@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p360-369 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:dzakiyyaf09@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p360-369 fuadah, anxiety among pregnant women during covid-19 pandemic … 361 introduction indonesia and other countries are currently experiencing a non-natural disaster, namely the presence of a new infectious disease known as covid-19. pregnant women are one of the vulnerable groups at risk of being infected with covid-19 because during pregnancy physiological changes occur which result in a decrease in immune immunity and can cause serious impacts for pregnant women. risk factors for anxiety disorders in pregnant women are also influenced by the covid-19 pandemic. social support is related to the covid-19 pandemic in pregnant women who experience anxiety. in providing social support, the role of families and health workers in pregnant women can reduce anxiety (dwiky, m.t, 2020). currently there is a covid-19 pandemic that has been carried out regarding covid-19 related to pregnancy focusing on the physical effects of the pandemic on infected mothers and their transmission. pregnant women are a group that is prone to psychological disorders including anxiety disorders. increased anxiety in pregnant women is a risk factor that occurs with a pandemic such as (bender et al., 2020). maternal mental health during the covid-19 pandemic can also pose risks to both physical health and psychological health in the short and long term (kotabagi et al., 2020). the national health commission of china (nhc) revealed that from the place where covid19 first met in wuhan-china, it identified 118 pregnant women with covid-19 from 50 hospitals across the city of wuhan from december 8, 2019 to march 20, 2020. based on china's clinical guidance for covid-19 pneumonia diagnosis and treatment, of the 118 cases of covid-19 found, there were 84 (71%) pregnant women whose pcr test results showed a positive sars-cov-2 and 34 (29%) the rest showed an infiltrate on the lungs on a ct scan. this data shows that the number of pregnant women with covid-19 contributed 0.24% of the number of covid-19 cases at that time. as many as 75 (64%) pregnant women with covid-19 are in the third trimester (kurnia., m, r & rahman a., n, 2020). according to research conducted by wang et.al., anxiety symptoms increased above the threshold score based on a previous pre-covid-19 cohort study that assessed symptoms in pregnant women with similar demographic profiles. in a survey conducted on the chinese population, 29% reported experiencing moderate to severe anxiety at the start of the covid-19 outbreak. the psychological impact of the outbreak is a concern for pregnant women with an increase in symptoms of anxiety in the group of pregnant women. using a comparison of anxiety data during pregnancy with meta-analysis, it is generally reported that the prevalence is 18-25% and the prevalence of the us general population is 16%, there is an increase in anxiety (dwiky.m, 2020). in indonesia, information about covid-19 is still very limited, including data on pregnant women who have been confirmed positive for covid-19, but it is not yet conclusive (pradana et al., 2020). the results of a preliminary study conducted on 10 pregnant women showed that 8 people experienced anxiety, 2 people did not experience anxiety, which was carried out by researchers through interviews and sending a general question questionnaire format with google form at bendo health center, 5 respondents in the second trimester, 2 respondents in the third trimester where 8 respondents said they were anxious about childbirth and worried about the condition of the baby. in particular, concerns about pain during contractions and during the delivery process often occur in mothers with their first pregnancy because they do not have childbirth experience. anxiety in pregnant women is also affected by the covid-19 pandemic due to fear of adverse effects on the condition of pregnancy, childbirth, the condition of the baby, and delivery procedures during the covid-19 pandemic. the covid-19 pandemic in risk groups including pregnant women can cause various changes. there are not many reports or literacy reports that report in detail the correlation between pandemic conditions and the implementation of screening for pregnant women can affect the mother's mental state (bender et al., 2020). an increase in the anxiety of pregnant women in the era of the covid-19 pandemic is due to the lack of knowledge of pregnant women about covid-19 and how to prevent it (aritonang, et al, 2020). the symptoms of increased anxiety in this group of high-pregnancy women suggest that the psychological impact of the outbreak is of particular concern to expectant mothers. the covid-19 pandemic has an impact on pregnant women with feelings of concern about something that happens to them and their children, resulting in anxiety disorders. anxiety experienced by pregnant women can reduce the immunity of 362 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 360-369 pregnant women so that they can be more susceptible to infection with covid-19 (aritonang, et al, 2020). the current covid-19 pandemic has increased negative feelings in the form of worrying about being ignored by supportive people, as well as worrying about the separation of the baby after birth and increasing feelings of fear or anxiety in the postpartum period. the results are mixed on the mental health of pregnant women due to this pandemic (dwiky, m.t, 2020). social support is a condition that has benefits for individuals obtained from others who pay attention to, serve and love (darwin, 2014). social support refers to material and spiritual support between individuals so that their social needs can be met (zhang et al., 2020). social support includes subjective and objective support indicating the role of belonging and protection in anxiety during pregnancy (gumusoy et al., 2020). social support plays a role in the mental health of pregnant women in the face of the covid-19 pandemic (ahorsuet al., 2020). social support that can be done such as giving a statement which focuses on the individual, gives an award, gives a positive statement, enthusiasm, attention, and is in the form of psychic and physical (smet, in parama & pande, 2018). this is necessary to deal with situations that cause anxiety more than usual, especially in pregnant women. researchers are interested in examining the correlation between social support and anxiety in pregnant women during the covid-19 pandemic at the bendo health center, pare district. methods this study used a cross-sectional approach, with data measuring the dependent and independent variables only once at a time and no follow-up. the population in this study were pregnant women in the working area of the bendo health center, pare district. the sample in this study was pregnant women during the covid-19 pandemic in the working area of the bendo health center. the inclusion criteria in this study are: 1) pregnant women who carry out examinations at the bendo health center, pare district, 2) pregnant women who are accompanied by their husbands/mothers/brothers/other relatives, 3) pregnant women who are willing to take part in the study and proven by informed consent. the sampling thechnique used purposive sampling with a sample of 37 pregnant women. the independent variable in this study was social support. the instrument used a social support questionnaire that has been tested for validity. the dependent variable in this study was pregnant women. the instrument of this study used a pregnancy-related anxiety questionnaire-revised (praq-r2) questionnaire (huizink. et.al., 2019). data analysis was carried out analytically with the spearman rank correlation test to find out how far the independent variable is related to the dependent variable with a significance level of 0.05, in the statistical test using spss. the preliminary study was conducted on 11-18 january 2021. the study was conducted at the bendo health center, pare district, on 9-17 march 2021. results table 1: characteristics of respondents in bendo health center, pare district, on 9-17 march 2021 characteristics of respondents number percentage age 1. 20-30 years old 2. 30-35 years old 3. > 35 years old 29 5 3 78,4 13,5 8,1 trimester 1. trimester i (1-13 week) 2. trimester ii (14-27 week) 3. trimester iii (28-41 week) 12 9 16 32,4 24,3 43,2 parity 1. first 2. second 3. third 4. fourth/more 19 12 4 2 51,4 32,4 10,8 5,4 fuadah, anxiety among pregnant women during covid-19 pandemic … 363 education 1. elementary school 2. junior high school 3. high school 4. university 3 8 15 11 8,1 21,6 40,5 29,7 have your ever confirmed covid-19? yes no 2 35 5,4 94,6 implementation of the health protocol during the covid-19 (wear mask, hand wash, social distance) yes no 37 0 100,0 0 who takes mother to antenatal care? 1. husband 2. mother 3. family 4. other relatives 22 2 10 3 59,5 5,4 27,0 8,1 feel anxiety during pregnancy check-up during the covid-19 pandemic yes no 32 5 86,5 13,5 mother readiness during childbirth the covid-19 pandemic yes no 37 0 100,0 0 do you know the delivery procedure during the covid-19 pandemic? yes no 30 7 86,5 18,9 correlations (family/friends/relatives) during the covid-19 pandemic good pretty good 32 2 86,5 13,5 where is the meeting place with family/friends/relatives during the covid-19 pandemic? house shop/cafe another place 33 2 2 89,2 5,4 5,4 mother’s sleep pattern during the covid-19 pandemic sleep as usual wake up often hard to sleep 12 16 9 32,4 43,2 24,3 do you know any information about covid-19? yes no 36 1 97,3 2,7 in the neighborhood where there are many confirmed covid-19 yes no 4 33 10,8 89,2 know the anc procedure during the covid-19 pandemic yes no 32 5 86,5 13,5 mother routinely checks anc during the covid-19 pandemic yes no 35 2 86,5 13,5 did you take classes for pregnant women during the covid-19 364 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 360-369 pandemic? yes no 1 36 2,7 97,3 are you bothered by physical activity restrictions during the covid-19 pandemic? yes no 24 13 64,9 35,1 during the covid-19 pandemic, did you experience financial difficulties? yes no 3 34 8,1 91,9 table 2: cross tabulation between social support and anxiety among pregnant the bendo health center, pare district, on 9-17 march 2021 anxiety total severe moderate mild social support medium count 1 3 0 4 % of total 2.7% 8.1% 0% 10.8% high count 7 21 5 33 % of total 18.9% 56.8% 13.5% 89.2% total count 8 24 5 37 % of total 21.6% 64.9% 13.5% 100.0% p value: 0,570 (α > 0,05) based on the study, it shows that most of the social support for pregnant women is in the high category (89.2%). measurement of anxiety in pregnant women, most of the anxiety in pregnant women with the moderate category is 64.9%. based on the results of statistical tests, it shows that there is no correlation between social support and the anxiety of pregnant women during the pandemic discussion identifying social support for pregnant women during the covid-19 pandemic according to sarafino (2013) that social support has several aspects, namely emotional support, assessment support, instrumental support, and information support. social support is basically needed by individuals. the form of social support is in the form of emotional support with a sense of security, love, encouragement, reducing feelings of hopelessness that affect growth and development (zuhrotunida & sudiharto. a, 2017). this is in accordance with study conducted where emotional support is the highest support among other supports (80%). the support provided provides peace of mind for pregnant women, making it easier for them to be in a pregnancy situation. pregnant women feel that the people around them listen to their complaints, understand the circumstances that will experience childbirth, care about the health of pregnant women, and care when pregnant women are sad. social support obtained in life such as this assessment support can be in the form of understanding the condition of pregnant women, providing support for taking medication, giving praise for work results, and appreciating the sacrifices of having conceived. according to zuhrotunida & sudiharto.a (2017) assessment support provides support in the form of support, recognition, appreciation, and attention so that it can lead to self-confidence. from the results of the study support assessment (61%). pregnant women who get good appreciation from people around them increase their self-confidence during pregnancy. positive assessments obtained by pregnant women perceive the changes that occur during pregnancy can be well received. social support that is given directly to individuals in the form of material, energy, facilities is included in the instrumental support that individuals get from their lives from the environment and family such as husbands, parents, friends, friends, which make individuals feel cared fuadah, anxiety among pregnant women during covid-19 pandemic … 365 for (kiswanto,. hm, 2019). from the results of study on instrumental support (73%). it was found that pregnant women were ready to give birth during the covid-19 pandemic (100%), the one who delivers the most pregnancy checkup are their husbands (37.8%). it also makes pregnant women routinely do prenatal check-ups (86.5%). when pregnant women carry out antenatal care at health services, support in the form of delivering routine pregnancy checks is a valuable assistance for pregnant women. social support involves meaningful social correlations, so that it can have a positive influence on the recipient. the social support obtained shows that a person feels loved, valued, cared for, and involved in every communication. social support can be in the form of information support by providing information, advice, and guidance to pregnant women to solve the problems they face (zuhrotunida & sudiharto.a, 2017). from the results of study support information (79%). pregnant women apply health protocols such as wearing masks, washing hands, and maintaining distance (100%), knowing delivery procedures during the covid-19 pandemic (86.5%), knowing information about covid-19 (97.3%) and knowing procedures anc during the covid-19 pandemic (86.5%). information obtained by pregnant women from their husbands/family/friends/medical personnel in the form of information about childbirth, signs of delivery, accompanying consultations with health workers, and recommending pregnancy check-ups. with this information, pregnant women increase their knowledge, insight, and way of thinking. information about pregnancy is very important for pregnant women, this is influenced by the need to improve the welfare of pregnant women. social support is influenced by various aspects that can have a positive impact on pregnant women during the covid-19 pandemic. from the results of the study, the correlation between pregnant women and family/friends/relatives during the covid-19 pandemic was good (86.5%) and having meetings at home (89.2%). the results of previous research conducted by sulistyorini (2007) showed high support (70.4%) (kiswanto, h, m 2019). this is because pregnant women can establish good correlations with people around them using today's sophisticated mass media. so that the mother's social support remains high during the covid-19 pandemic. identifying anxiety in pregnant women during the covid-19 pandemic anxiety is one of the problems experienced by pregnant women during the covid-19 pandemic. anxiety can be in the form of anxiety about childbirth and worry about the baby's condition. the results of the study conducted by pregnant women showed anxiety at the bendo health center, pare district from moderate to severe scale (86.5%). in line with research conducted by diki ry and faria na, the anxiety that occurs in pregnant women during the covid-19 pandemic in baturraden district is from moderate to severe (75%) (ifa, 2020). this is because the mother is too worried about the condition of the pregnancy, the condition of the fetus will be infected by the corona virus disease, the threat of spread and the impact of covid-19. anxiety in pregnant women can be influenced by several factors, including maternal age, gestational age, parity, and level of education. according to janiwarty & pieter (2013), the factors that influence anxiety are usually related to the period of pregnancy, childbirth, and the condition of the baby. anxiety is also influenced by the presence of the hormone’s estrogen, progesterone, and gonadotropins. there are hormonal changes that change the neurotransmitter, a nerve that gives signals to the brain to regulate the emotions of pregnant women. from the results of the study, most of the mothers were 20-30 years old (78.4%), third trimester of pregnancy (43.2), first child parity (51.4%), with an average high school education (40.5%). it was also found that pregnant women aged >35 years experienced severe anxiety (5.4%), third trimester (13.5%), first child parity (13.5%). pregnant women aged >35 years are a group at risk for perinatal death because they are more likely to have miscarriages, stillbirths, or disabilities, and maternal deaths (meyclin, et al, 2013). this is in line with the research conducted by hendri 2019 on third trimester primigravida mothers that the majority experienced moderate to severe anxiety (56.7%) (kiswanto, h. m, 2019). pregnant women in the third trimester with a history of pregnancy with their first child experience increased anxiety, influenced by the upcoming delivery and the first experience of childbirth. a person feels afraid of the pain and danger that arises when carrying out childbirth. this is also influenced by the education of pregnant 366 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 360-369 women because it affects the way of thinking, managing information and making decisions. anxiety of pregnant women can be influenced by the non-participation of pregnant women in government programs that have been implemented. during the covid-19 pandemic, several health facilities provided a class program for pregnant women. from the results of study conducted, most of them did not take classes for pregnant women (97.3%). maternity class activities that are beneficial for pregnant women are facilitated by officers to prepare for a safe and comfortable delivery. classes for pregnant women can increase knowledge, skills, and awareness to improve the health of mothers and babies (fita & astuti, 2020). low participation of pregnant women can increase anxiety in facing childbirth. pregnant women who did not attend classes for pregnant women were not known for certain by the researchers because further studies were not carried out. research by m. chasson, et al in 2020 said that economic status and concerns about the pandemic had an effect on anxiety in pregnant women (ifa, 2020). this is in accordance with research conducted on several pregnant women who experienced financial difficulties during the covid-19 pandemic (8.1%). due to changes in the work experienced by the family, work resulted in some families experiencing unemployment. concerns about the pandemic can be in the form of having been confirmed positive for covid-19 (5.4%) and the surrounding environment (10.8%). research conducted with positive sars-cov-2 test results (12.5%) of feelings of sadness, depression, or hopelessness felt at least half a day in the last 2 weeks (bender, et al., 2020). another study conducted in canada 129 pregnant women who were quarantined experienced stress (31%). during quarantine, pregnant women are not allowed to meet their families. according to who (2020) the spread of the corona virus is very fast and it is easy for individuals to get infected. the condition of the covid-19 pandemic, which cannot be ascertained when it will end, has made mothers experience sleep disturbances by frequently waking up (43.2%). this experience has made pregnant women feel anxious about the consequences of having been confirmed positive for covid-19. because this is what makes pregnant women worry and worry about the safety and the baby. according to poon et al 2020, physical activity is also associated with anxiety levels in pregnant women. the covid-19 pandemic has resulted in the closure of parks, beaches and gyms. so the government issued a policy on maintaining physical distance and contact or social restrictions. this is in accordance with research conducted by pregnant women who feel disturbed by restrictions on physical activity during the covid-19 pandemic (64.9%). pregnant women should do physical activity at home. doing physical activities only at home, of course, affects feelings of pleasure, mood, thoughts, so that pregnant women can still feel anxiety about the condition of the covid-19 pandemic that has not ended. anxiety in pregnant women is also caused by concerns about the covid-19 pandemic (lebel et al, 2020). pregnant women who did prenatal checkups during the covid-19 pandemic felt anxious (86.5%). this is influenced by not knowing the delivery procedure during the covid-19 pandemic (18.9%). this ignorance also creates anxiety in pregnant women. the results of study from putri (2021) which examines the correlation between knowledge and fear of pregnant mothers around pregnancy in the pandemy of covid-19, showed a significant negative correlation of -0.635 between knowledge and anxiety levels of pregnant women ahead of childbirth. this study is in line with research conducted by corbett et al in 2020 which showed that (50.7%) pregnant women often felt anxious about their health during this pandemic. the covid-19 pandemic has limited access to public services, including maternal and neonatal health services, which can make pregnant women feel worried about contracting it and there are recommendations for postponing pregnancy checkups. this is also influenced by childbirth procedures that have changed during the covid19 pandemic. with the delivery procedure that requires a rapid-test examination and using established health protocols, the mother feels excessive anxiety. during the covid-19 pandemic, pregnant women still carry out routine pregnancy checks by complying with the established protocol. in minimizing the transmission of the virus, several efforts have been made, such as providing health services, by telephone consultation to minimize exposure to the coronavirus. fuadah, anxiety among pregnant women during covid-19 pandemic … 367 analyzing the correlation between social support and anxiety in pregnant women during the covid-19 pandemic social support received can make individuals feel calm, cared for, and self-confident. social support in the form of emotional support, appreciation support, instrumental support, informative support (sarafino in winda, 2013). the higher the social support provided, the lower the level of anxiety felt by pregnant women. social support also increases knowledge, self-confidence, confidence in decision-making (sherman, l.e, 2013). this is different from research that has been done where high social support (89.2%) still experience moderate anxiety (64.9%). the reason is that pregnant women are one of the vulnerable groups and are at risk of contracting covid-19. it is also influenced by anxiety factors related to the condition of the welfare of the mother and fetus, a sense of security and comfort during pregnancy. social support during the covid-19 pandemic, according to bender et al., (2020) during this pandemic, the limited activities of pregnant women have an impact on the lack of social and family support. this is different from research where social support with family/friend/friend correlations during the covid-19 pandemic in pregnant women remains good (78.4%). this is influenced by where pregnant women still get social support from the people around them by using the existing mass media. and while doing social activities, pregnant women still hold meetings at home. meeting at home to avoid unwanted crowds in order to quickly break the chain of the spread of covid-19. during the covid-19 pandemic, it's time to support each other. social support is very important in every process of life that is passed. social support can be used as a coping strategy. social support can be obtained from individuals, partners, friends, co-workers, and family. the positive effects of good social support can have a direct impact on health and well-being because of the comfort, sense of having a purpose in life. social support can reduce various forms of stress, improve coping mechanisms and quality of life (hauken, m.a, 2020). social support can reduce the adverse effects of stressful conditions to prevent anxiety problems for individuals. the higher a person's social support obtained by pregnant women, the more positive impact they will have on pregnant women, especially during the covid-19 pandemic. high social support is not enough for pregnant women not to experience anxiety during this covid-19 pandemic. the results of the analysis of social support are emotional support (80%), appraisal support (61%), instrumental support (73%), and informational support (79%). most of the results of the analysis carried out were high social support obtained by pregnant women. many factors make pregnant women continue to experience anxiety, including anxiety during pregnancy check-ups during the covid-19 pandemic (86.5%), having been confirmed by covid-19 (5.4%), not attending classes for pregnant women during the covid-19 pandemic. 19 (97.3%), knowledge of procedures during the covid-19 pandemic (18.9%), and physical activity restrictions (64.9%). this is in line with a study conducted reporting that pregnant women during the covid-19 pandemic experienced anxiety reaching (63-68%). it is also possible that anxiety will still occur due to the increasing number of covid-19 and the speed of transmission, and the death rate that continues to increase. pregnant women need to make adjustments to current conditions. these changes affect physical changes and hormone function can affect the emotional instability of pregnant women. the need for development efforts on dealing with anxiety experienced by pregnant women during the covid-19 pandemic. conclusion this study shows that there is no correlation between social support and maternal anxiety. anxiety still occurs and can be influenced by other factors outside of pregnancy, among others, mothers feel anxious because the number of covid-19 is still increasing and the transmission is so fast, and the death rate continues to increase. for that, pregnant women need to make adjustments to current conditions. these changes affect physical changes and hormone function can affect the emotional instability of pregnant women. the need for development efforts on dealing with anxiety experienced by pregnant women during the covid-19 pandemic such us by several things including participating in hypnobirthing, pregnancy classes, increasing family support (suwetty, 2021; huriatul 2022; daryanti, dkk.,2022). 368 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 360-369 suggestion stress is still felt by pregnant women during the pandemic, as evidenced by the statistically insignificant correlation between social support and stress reduction in pregnant women. the need for development efforts on dealing with anxiety experienced by pregnant women during the covid-19 pandemic such us by several things including participating in hypnobirthing, pregnancy classes. acknowledgement this study was sourced from the researcher's personal funds and partly the researcher's personal funds and partly supported by research funds from the budget plan for the nursing undergraduate study program stikes karya husada kediri for the improvement of lecturer research scheme. in addition, the authors would like to thank all parties from the bendo health center who have provided input advice and facilities provided in the research process. then the author gives appreciation to the chairperson of the undergraduate nursing study program stikes karya husada for his support and research permission. funding most of the research funding comes from researchers' personal funds, then there are those who get article publication assistance from the article publication grant program from the grant program held by the bachelor of nursing study program of stikes karya husada kediri. conflicts of interest there is no conflict of interest in this study project. all components can work well according to their respective duties and can work as a good team. author contributions the lead author verifies critical thinking critical thinking based on the phenomenon that occurs which is the gap between the gap between the ideal space and the real events that occur. then the lead author starts designing and drafting the conceptual framework of the study, determining the theoretical concept and study hypothesis of the research hypothesis, drafting the article, conducting the analysis, displaying the data, making critical revisions to the manuscript writing, making the manuscript writing, making the final approval of the version to be published is also part of the final approval of the version to be published is also part of the lead author. statistical tests are performed by biostatisticians. reference ahorsu, et al. 2020. associations between fear of covid-19, mental health, and preventive behaviours across pregnant women and husbands: an actor-partner interdependence modelling. international journal of mental health and addiction. aritonang, et al. 2020. peningkatan pemahaman kesehatan pada ibu hamil dalam upaya pencegahan covid-19. jurnal solma vol. 09, no. 2, pp. hal.261-269 bender, w. r., et al. (2020). the psychological experience of obstetric patients and health care workers after implementation of universal sars-cov-2 testing. americanjournal of perinatology daryanti, dkk. 2022. mengatasi kecemasan pada ibu hamil selama pandemi covid – 19. jurnal kreatifitas pengabdian kepada mayarakat. volime 5 no 4 april hal 971976. gumussoy, et al. 2020. psychological problem areas of pregnant women diagnosed with abortus imminens as a result of assisted reproductive techniques a comparative study. perspect psychiatric care, 1–9. hauken, m. a. (2020). social support: importance of social support during the coronavirus outbreak. university of bergen, norway. hawari, d. (2020). manajemen stres, cemas, dan depresi. jakarta: gaya baru. hidayat. 2014. metode penelitian keperawatan dan teknik analisis data. jakarta: salemba medika. huizink, a. et al. (2015) ‘adaption of pregnancy anxiety questionnaire–revised for all pregnant women regardless of parity: praq-r2’, archives of women’s mental health, 19. doi:10.1007/s00737-015-05312. huriatul. 2022. the correlation between family support with primary mother’s anxiety in facing giving birth during covid-19 pandemic in kuta alam community health center working area of banda aceh municipality. journal of healthcare technology and medicine vol. 8 no. 2 oktober 2022 universitas ubudiyah indonesia fuadah, anxiety among pregnant women during covid-19 pandemic … 369 ifa n. 2020. faktor yang mempengaruhi kecemasan pada ibu hamil saat pandemi covid-19. vol.4 no.1 hal 25-30 janiwarty & pieter. 2013. pendidikan psikologi untuk bidan. yogyakarta: rapha publishing. jenny j.s.s. 2013. asuhan kebidanan persalinan & bayi baru lahir. jakarta: erlangga kemenkes ri. (2020). info khusus covid-19: situasi terkini. dari: diakses pada tanggal 9 september 2020 kemenkes ri. 2020. pedoman bagi ibu hamil bersalin, nifas, dan bayi baru lahir di era pandemi covid-19. jakarta: direktorat kesehatan keluarga direktorat jenderal kesehatan masyarakat kementerian kesehatan ri, hal. 6-8 kemenkes ri. 2020. pedoman kesehatan jiwa dan psikososial pada pandemi covid-19. jakarta: direktorat pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa dan napza, direktorat jenderal pencegahan dan pengendalian penyakit, kementerian kesehatan ri kiswanto h. m. 2019. hubungan dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan ibu primigravida trimester iii dalam menghadapi proses persalinan di wilayah kerja puskesmas kota matsum medan. jurnal indonesia trust health, vol.2 no.1, agustus 2019 kiswanto, h.m (2019). hubungan dukungan sosial keluarga dengan tingkat kecemasan ibu primigravida trimester iii dalam menghadapi proses persalinan di wilayah kerja puskesmas kota matsum medan. jurnal indonesia trust health vol 2, no 1 agustus 2019 kotabagi, p et al. (2020). anxiety and depression levels among pregnant women with covid-19. acta obstetricia etgynecologica scandinavic. 99(7), 953– 954. kuswanti. (2014). asuhan kehamilan. yogyakarta: pt. pustaka pelajar maharani, t. 2014. hubungan dukungan sosial dan kecemasan dalam menghadapi persalinan pada ibu hamil trimester ketiga. jurnal ilmiah psikologi vol 2, no.7. menteri kesehatan republik indonesia. (2014). peraturan menteri kesehatan no 97 tahun 2014. jakarta meyclin, dkk. (2013). persalinan pada usia >35 tahun di rsu prof.dr. r. d. kandou mando. bagian obstetri dan ginekologi putri, r.d. 2021. the correlation between knowledge with pregnant women pre labor anxiety during the covid 19 pandemic. jkm (jurnal kebidanan malahayati), vol 7, no 3 juli 2021. sherman, l.e. and greenfield, p.m. (2013) ‘forging friendship, soliciting support: a mixed-method examination of message boards for pregnant teens and teen mothers’, computers in human behavior, 29(1), pp. 75–85. doi:https://doi.org/10.1016/j.chb.2012.07.0 18. suwetty, dkk. 2021. cegah ansietas dengan hypnobirthing pada ibu hamil di masa pandemic covid 19 di desa mnelalete kabupaten tts. journal of community engagement in health. vol.4 no.1. mar 2021. page.208-213 usman fr, dkk. 2016. perbedaan tingkat kecemasan ibu hamil menghadapi persalinan dengan kepatuhan anc di puskesmas bahu kota manado. e jurnal keperawatan 4 (1): 1-7. utari r & maria s, 2020. dukungan sosial dan kecerdasan emosional dengan stress di tengah pandemi covid-19 pada masyarakat cempaka jakarta pusat. jurnal ikra-ith humaniora vol 4 no 3, november 2020 world health organization (who). (2020). global surveillance for human infection with novel-coronavirus (2019-ncov). diakses 28 september 2020. zhou, et.al. 2020. the prevalence of psychiatric symptoms of pregnant women during the covid-19 epidemic. translational psychiatry, 10(1), 319. zuhrotunida & sudiharto.a, (2017). hubungan dukungan keluarga dengan kecemasan ibu hamil menghadapi proses persalinan di puskesmas kecamatan mauk kabupaten tangerang. jurnal jfkt: vol 2 no 60-70, 2017. 189 studi fenomenologi : pengalaman keluarga terhadap pemasungan dan lepas pasung pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas bantur kabupaten malang propinsi jawa timur (phenomenological study : family experience on and off deprivation stocks on the mental disorders family experience in the health center area bantur district malang east java) dwi yogyo suswinarto 1 .,sri andarini 2 , retno lestari 2 1 mahasiswa program magister keperawatan fakultas kedokteran universitas brawijaya 2 staf pengajar fakultas kedokteran universitas brawijaya abstract: the confinenment action to the mental disordes suffer is the action done by the society to limited the suffer‟s mobilitas or activities its done based on the hopeless of the family which the medical effort can not made the suffer better than before. the economic burden is not small, additional with stigma from the society and the less optimal of mental health services base on family. society and medical”s crew.the result of this researchplore the family experience towar the confinement and re confinement of the disorder‟s family members in job area of bantur community health service of malang regency, east java province.the research methodology of this thesis use qualitative research (purposive sampling)about 6 sample. the process of data taking used the deep interview with semi structure helping by interview guide and fieldmemorize, its found 7 theme; 1) the cause of mental disorder, 2) the attitude change, 3) the family‟s comment on this situation, 4) the society stigma, 5) confinement re confinement, 6) the confinement release, 7) the suffer family and society recovery.according the family conclusion the cause of disorder mental are pfisic condition and social pressure , and the moment of confinement –free-reconfinement happened of the society coment toward the situation stigma of the society and unoptimally the medical service. the free of confinement happened because of the family readiness,society and medical service and government involment. the rehabilition of the suffer after free from the confinement need the support from the family, society, community health service and related government. keywords : family experience, confinement, reconfinement, mental disorder abstrak: tindakan pasung pada penderita gangguan jiwa merupakan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat untuk membatasi aktivitas atau mobilitas penderita, tindakan pasung dilakukan karena keputus asaan keluarga,dimana upaya pengobatan tidak kunjung memperbaiki kodisi penderita. beban ekonomi yang tidak sedikit, ditambah adanya stigma dari masyarakat serta belum optimalnya pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat. upaya pembebasan pasung merupakan tantangan tersendiri bagi keluarga, masyarakat dan petugas kesehatan..tujuan penelitian untuk mengeksplorasi pengalaman keluarga terhadap pasung dan pelepasan pasung pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. di wilayah kerja puskesmas bantur kabupaten malang jawa timur. penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretif. partisipan yang diambil sesuai dengan maksud penelitian (purposif sampling) sebanyak 6 orang, proses pengambilan data menggunakan wawancara mendalam dengan bantuan panduan wawancara semi terstruktur dan menggunakan catatan lapangan.hasil penelitian ditemukan 7 tema (1) penyebab gangguan jiwa (2) perubahan perilaku (3) tanggapan keluarga atas situasi (4) stigma masyarakat (5) pasung dan re-pasung (6) pelepasan pasung (7) pemulihan penderita, keluarga dan masyarakat. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 2, agustus 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i2.art.p176-187 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 190 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.189-203 kesimpulan menurut keluarga bahwa penyebab dari gangguan jiwa adalah kondisi fisik dan tekanan sosial, kejadian dipasung-lepas-di pasung kembali terjadi oleh karena tanggapan keluarga terhadap situasi, stigma masyarakat dan pelayanan kesehatan yang belum optimal. pelepasan pasung terjadi karena ada kesiapan keluarga, masyarakat dan pelayanan kesehatan serta keterlibatan aparat. pemulihan penderita setelah bebas pasung perlu dukungan keluarga, masyarakat, puskesmas dan dinas terkait. kata kunci : pengalaman keluarga, pasung, pelepasan pasung, gangguan jiwa angka gangguan jiwa semakin hari semakin meningkat, prevalensi di dunia mencapai 516 juta jiwa (who,2015), 1/3 penduduk asia tenggara pernah mengalami neuro psikiatri (yosef & titin, 2014). berdasarkan riskesdas 2013. 0,17% penduduk mengalami gangguan jiwa berat, 0,6% gangguan mental emosional. di propinsi jawa timur gangguan jiwa berat 22% dan gangguan mental emosional 6.5% dari jumlah penduduk. gangguan jiwa disebabkan oleh banyak factor diantaranya factor biologis, sosial, psikologis, genetic fisik dan kimiawi (yosef & titin, 2014) gangguan jiwa dapat berupa depresi, afektif bipolar, demensia, cacat inteletual, gangguan perkembangan dan skizofrenia (who, 2015), sedangkan gejala yang dimunculkan diantaranya kondisi kognisi, perhatian, ingatan, asosiasi, pertimbangan, pikiran, kesadaran, kemauan, afek emosi serta kondisi psikomotor yang terganggu. (kaplan sadock,2010). orang dengan masalah kejiwaan (odmk) dan orang dengan gangguan jiwa (odgj) adalah masalah jiwa menurut uu no. 18 tahun 2014. keluarga merupakan sumber dukungan dan factor kunci bagi kesembuhan penderita gangguan jiwa (vedebeck,2008), menurut keliat & akemat (2006) menyatakan bahwa 25-50% penderita mengalami kekambuhan tanpa terapi keluarga, sedangkan penderita dengan terapi keluarga angka kekambuhan 5-10%. oleh karena itu peran fungsi serta tugas keluarga sangat mempengaruhi kondisi penderita gangguan jiwa (wuryaningsih, dkk, 2013). rendahnya pengetahuan keluarga mengakibatkan 46% penderita gangguan jiwa dibawa ke paranormal atau orang pintar (keliat, dkk, 2012), setelah kronis (± 8,5 tahun) baru dibawa ke pelayanan kesehatan, adanya stigma dimasyarakat, yang menimbulkan beban tersendiri bagi keluarga dan penderita (subandi, 2012). upaya pengobatan yang tidak kunjung sembuh, dan butuh waktu yang lama ditambah dengan pelayanan kesehatan jiwa yang jauh menambah beban pembiayaan bagi keluarga. hal ini mendorong keluarga melakukan penanganan menurut caranya sendiri yaitu dengan melakukan tindakan pemasungan. istilah pasung sebenarnya sama dengan restraint atau seklusi namun pembatasan aktivitas dengan istilah restrain atau seklusi dilakukan oleh tenaga professional sedangkan pasung adalah tindakan restrain atau seklusi yang dilakukan oleh masyarakat (eka malfasari dkk,2014). menurut minas & diatri (2008) menyatakan bahwa pasung (confinenment) merupakan tindakan pembatasan aktivitas penderita gangguan jiwa dengan menggunakan balok kayu/rantai. berbagai bentuk pengekangan fisik ditengah-tengah masyarakat bukan hanya terjadi di indonesia, di negara nigeria (bbc news, 1998), india (bbc news 2001), di negara pakistan (sa’ad at.al, 2001) di cina (guan l, 2015), ditemukan juga di afrika barat (wolfgang b, ). bentuk pasung yang pernah ditemukan puteh, dkk, (2011) pemasangan rantai pada ekstrimitas dan diikat di tempat tidur, pada pohon atau dibawah rumah panggung, atau dibuatkan gubuk tersendiri jauh dari pemukiman. terjadinya pemasungan disebabkan pengetahuan yang rendah, akses pelayanan kesehatan yang jauh, faktor ekonomi, stigma dan budaya (bappeda jatim, 2014). dampak negative pasung diantanya kerusakan fisik, tekanan emosi dan isolasi sosial. pelaksanaan program comunty mental health nursing (cmhn) di puskesmas bantur telah berhasil membebaskan 8 orang dari 9 orang penderita gangguan jiwa yang dipasung. suswinarto, andriani dan lestari, studi fenomenologi..... 191 tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman keluarga terhadap pasung dan pelepasan pasung pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di puskesmas bantur kabupaten malang. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi interpretive, suatu pengalaman terhadap obyek berdasarkan isi dan makna (imalia, 2005, stanford, 2013). sampel (partisipan) diambil dengan tehnik purposive sampling, jumlah partisipan dalam penelitian ini 6 orang, data didapat dengan melakukan wawancara mendalam dengan partisipan dengan bantuan panduan wawancara semi terstruktur selama 60-90 menit, dilakukan perekaman dengan digital voice recorder (dvr) serta bantuan field note untuk mencatat reaksi-reaksi yang ditampilkan oleh partisipan yang tidak bisa terekam. penelitian dilakukan di wilayah kerja puskesmas bantur kabupaten malang, propinsi jawa timur. data yang sudah diperoleh dilakukan transkrip dan dianalisis menggunakan metode collaizzi. uji etik proposal penelitian dilakukan oleh komisi etik penelitian universitas brawijaya malang. hasil penelitian setelah melakukan analisa data ditemukan 7 tema yaitu: 1) penyebab gangguan jiwa 2) perubahan prilaku 3) tanggapan keluarga atas situasi 4) stigma masyarakat 5) pasung dan re-pasung 6) pelepasan pasung 7) pemulihan penderita, keluarga dan masyarakat tema 1. penyebab gangguan jiwa penyebab gangguan jiwa dalam penelitian ini yaitu mengarah pada hal-hal yang menyebabkan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa diantaranya adalah kelainan fisik dan tekanan sosial a. kelainan fisik, merupakan kelainan yang dimaknai keluarga sebagai kondisi fisik sebagai penyebab adanya gangguan jiwa, kelainan fisik diantaranya , bawaan lahir yang di cirikan sebagai sejak kecil tak bisa bicara, dari lahir ada gangguan dan pendiam “…lha itu sejak kecil ada gangguan memang tidak bisa bicara bawaan dari lahir “ (p5) “…itu sejak kecil sakit….jarang-jarang bicara…..dipendam dihati…terus diam „(p3) kelaianan syaraf dimakna keluarga sebagai kurang cerdas dan kejang-kejang yang diungkapkan partisipan sebagai berikut : “..ya…. memang dari kecil kalau kerja bisa tapi lamban,.. kurang cerdas begitu…..(p3) kalau kambuh itu…kejangkejang...terus ( lekne kumat niku bogo-bogo…terus..) (p4) b. tekanan sosial dimaknai keluarga sebagai kondisi yang menyebabkan penderita mengalami gangguan jiwa. yang dibangun dari sub-sub tema bertengkar dengan saudara. ketidak cocokan digambarkan dengan salah paham dengan saudara dan bertengakar dengan tetangga “… dulu pernah salah paham dengan adiknya…….(p1) “…. dulu pernah bertengkar dengan namanya p. w gara-gara pucuk jagungnya di patah-patahkan..” ((p6) kejadian trauma yang menyebabkan penderita mengalami gangguan jiwa, diungkapkan dengan diganggu orang dan adanya peristiwa yang menyakitkan “.. waktu di sumatera rumahnya mengalami kebakaran….terus anaknya lelaki saudaranya itu nakal suka mengganggu …begitu (p4) tema 2. perubahan prilaku perubahan perilaku yang digambarkan oleh keluarga dikarenakan perubahan proses pikir dan perilaku menyimpang. a. perubahan proses pikir, perubahan proses pikir digambarkan oleh keluarga ditandai dengan adanya pikiran berubah, yang diungkapkan sebagai tidak berfikir normal, tidak bisa tidur dan bingung „ …orang itu kalau pikirannya tidak normal…harusnya (tiyang niku lek owah pikirane…kudune…)(p1) “…. tidak tidur-tidur…dia itu pokoknya tidak mau tidur….”(p1) “….. dia itu bingung terus… bogo-bogo (kejang-kejang) (p3) perubahan proses pikir juga ditandai oleh adanya bicara kacau. kondisi ini dibangun 192 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.189-203 dari kategori bicara tidak nyambung, bicara nglantur, berteriak-teriak yang diungkapkan partisipan sebagai berikut : “….. tidak nyambung..disuruh sholat koq jawabnya ..”mak ! jagung kalau ditanam jarang-jarang besar-besar buahnya mak..!” (p1) “……dia itu semua dibicarakan orang banjarejo…..sampai ibu mega yang tidak kenal dibicarakan…” (p2) “ kalau itu sering berteriak-teriak, walaupun saya tidak tahu artinya…sering begitu itu…”(p5) b. perilaku menyimpang ditandai denga perilaku kekerasan dan emosi labil, perilaku kekerasan digambarkan oleh keluarga sebagai keluyuran, merusak barang dan menyakiti orang “… lha bepergian tanpa arah…kemana-mana… sampai di kebun-kebun sana, tidak tahu pulang…..ya, terus, saya dicari… (p3) “…. kalau ada truk padahal di tanjakan itu distop kalau tidak mau berhenti dilempar dengan batu…. “, … kalu marah melempari rumah.., itu dinding bambu itu di patah-patahkan tanah di gali-gali… sampai pernah tempat tidur itu dipatah-patahkan (p5) “…. pernah bapaknya itu .. digigit tangannya sampai keluar darahnya.. (5) selain perilaku kekerasan, perilaku menyimpan ditandai dengan adanya emosi labil yang dimaknai keluarga sebagai mudah marah, memendam perasaan tidak bisa diarahkan : “…. mudah marah….. apa-apa sedikit itu kalau tidak cocok marah….” (p1) “….kalau ada orang membicarakan dia itu menerima, tapi tidak bisa mengutarakan memendam dalam hatinya,…..”(p3) “ …kalau marah-marah itu tidak bisa diarahkan dan kalau dengan saya…. saya ajak sholat tidak mau……”(p1) tema 3 : tanggapan keluarga atas situasi tanggapan keluarga atas situasi yang dimaksudkan adalah tanggapan keluarga dalam melihat kondisi penderita dan upaya yang telah dilakukan keluarga, tanggapan keluarga ini selanjutnya akan mendasari keluarga dalam melakukan tindakan tema tanggapan keluarga atas situasi ini dibangun oleh sub tema perasaan keluarga dan alasan ekonomi. a. perasaan keluarga sub tema perasaan keluarga didukung oleh kecemasan , kecemasan dimaknai keluarga sebagai kuatir, bingung, repot dan pasrah, seperti yang di ungkapkan partisipan sebagai berikut : “.. ya.. saya menerima saja keadaannya memang sudah begitu…..tapi kalau mengamuk terus ngrusak…. perasaan dengan tetangga , ya… yang normal memahami, (p3) “.. saya kuatir jatuh……kalau saya ajak ke pasar, terus kambuh, saya nanti malu…… (p4) “… ya sabar… mau bagaimana, sebenarnya ya.. anak saya… ya koq diberi yang seperti itu,…saya sebenarnya tidak mau diberi anak seperti tu…… biar saya rawat, saya beri makan 3 kali sehari walaupun kalau tidak diberi tak minta.. kan bisa meninggal pak….”( (p5) data selanjutya yang mendukung perasaan keluarga adalah putus asa. putus asa dimaknai keluarga sebagai segala usaha mencari pengobatan kemana-mana yang tidak berhasil menyembuhkan penderita sehingga menimbulkan rasa putus asa : “… saya berusaha cari pengobatan kemana saja agar sembuh…. dari sumber manjing, malang, blitar, bayuwangi…(ke orang pintar) dan kemana-mana, pokoknya tetap saya tidak berhenti dimana saja….pernah saya bawa ke rsj lawang, tapi koq tidak ada hasilnya….. (p2) b. alasan ekonomi, ini berkaitan dengan upaya yang telah dijalan, bagaimana keluarga sudah berusaha dengan berbagai upaya dengan pembiayaan yang tidak sedikit sehingga harta mereka habis hal ini digambarkan partisipan dengan ungkapan menjual apa saja yang dimiliki dan uangkapan tidak kerja suswinarto, andriani dan lestari, studi fenomenologi..... 193 “…. kalau tidak kerja ya bagaimana pak…..kalau harus nunggu dia terus kan tidak punya uang pak…saya itu kerjanya hanya buruh (p1) “ ..sampai saya jualkan sawah,….. berternak sapi dijual…… dijualkan apa saja, sudah habis, untuk mengobatkan (p6) harta benda yang habis menjadikan penderita tidak minum obat yang seharusnya dia minum atau mengalami putus obat, putus obat ini dikarenakan ketidak mampuan membeli obat dan tidak mempunyai biaya untuk control. “ …lha… sudah habis duwite tidak bisa beli obat…. terus mau control jauh…… kan butuh biaya… ya sudah tidak minum obat…. (p6) tema 4 : stigma masyarakan tema ini menggambarkan apa yang dipahami masyarakat tentang gangguan jiwa dari perspektif keluarga. menurut ungkapan keluarga stigma ditandai dengan adanya kepercayaan bahwa gangguan jiwa adalah gangguan roh halus, pasung sebagai syarat dan hari kelahiran tertentu menyebabkan seseorang mendapatkan jatah gangguan hal ini terungkap seperti yang ditutrkan dibawah ini : “… itu yang terakhir rohnya hasan dari arab ikut sama dia…… kan lahirnya senin kliwon..lha kalau senin kliwon itu ada bagiannya….itu katanya (p2) stigma masyarakat yang meningkatkan eban bagi keluarga dan penderita adalah adanya kebiasaan yang tidak mendukung seperti disampaikan oleh partisipan yang dimaknai sebagai diolok-olok dan upaya mengucilkan penderita “ … kalau yang tidak tahu…. orang lemah malah diolok-olok…. (p3) “… tetangga-tetangga memberi tahu disuruh ngikat…. p5). tema 5 : proses pasung dan re-pasung pada tema ini digambarkan proses pemasungan dan pelepasan dan pemsungan kembali yang dilakukan oleh keluarga kembali, adapun sub tema yang mendukung tema ini yaitu : a. pelayanan kesehatan jiwa yang belum optimal, yang dibangun dari program tak dijalankan, program yang tidak dijalankan ini di ungkapkan sebagai pada saat memerlukan obat, obatnya ttidak ada, program yang dianggap tidak pentingdan data yang tidak lengkap “…. saya ke puskesmas sudah tiga kali , saya mengambil obat tidak dapat (p2) “…. ya.. program dipuskesmas itu program kesehtan jiwa tidak penting..mas…. dananya juga ndak ada…. (petkes) kondisi program yang tidak dijalankan diperparah dengan ungkapan bahwa petugas tidak aktif karena tidak memahamiprogram, belum ada peltihan, sehingga tidak ada petugas yang peduli : “…. program ya…ada…tapi kita tidak paham….mau apa……pada waktu itu sekitar sebelum tahun 2010 ya ndak ngerti…. belum pernah ada pelatihan… lha kan sudah seperti itu….. sopo sing gelem peduli (siapa yang mau peduli)…. biar yang penanggung jawab program yo ra…mlaku….(tidak jalan)…(petkes) b. situasi pemasungan, merupakan gambaran bagaimana kedaan-keadaan yang berhubungan dengan pasung itu sendiri dibangun oleh sub-sub tema ; pelaku pasung. model pasung dan penempatan pasung kategori yang menggambarkan ketiga sub tema adalah ; pelaku pasung keluarga sendiri, dibantu tetangga bahkan ada yang dibantu aparat desa, sedangkan model pasung yang diterapkan didalam rumah dengan cara kedua kaki ditempatkan diatara 2 batang pohon yang dibelah dan diberi lobang “dibelok” , dirantai pada tangan atau kakinya, diikatkan di tempat tidur, campuran antara belok dan rantai dan ada yang dikurung dalam ruangan yang terkunci. seperti diungkapkan salah satu partisipan “ .. masalah pemasungan itu ya karena kebijaksanaan saya sendiri….. kan saya tidak enak sama tetangga…..saya taruh dikebun…….saya belok kakinya dengan pohon kayu randu…. saya buatkan 194 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.189-203 pondok…terus ya pernah saya rantai (p2) dari pernyataan partisipan tersebut selain model pasung juga menyatakan tempat dimana penderita ditempatkan saat dipasung, selain jauh dari rumah juga ada yang di tempat kan didalam rumah diantaranya di ruangan dekat dapur, dirantai ditiang, disebelah kandang, atau di sekitar rumah, di samping rumah dibuat buatkan atap atau tenda c. dampak pemasungan menimbulkan ; kerusakan fisik diantaranya; tangan bengkak, merah lecet, luka, ada bekas luka di kedua betis , kaki tidak bisa dibuat jalan, kaku mengecil “ berjalan ngesot…. kakinya kaku “ (p2,p6 selain menimbulkan kerusakan fisik juga terjadi adanya perubahan emosi dan terjadi isolasi sosial d. pelepasan pasung sementara terjadi karena akan dilakukan perawatan diri atau kebersihan diri juga dilihat oleh keluarga bila kondisinya bisa diarahkan, bisa diajak komunikasi dan perilakunya tidak menyimpang; tidak melakukan perilaku kekerasan atau merusak barang-barang “… saya rantai itu sudah 12 tahun…. lha itu sudah sembuh..bisa diajak berbicara… minta dilepas..ya saya janji.. tidak keluyuran… “ iya jawabnya…terus mau mandi. saya lepas 6 bulan kalau tidak salah….(p3) e. pemasungan kembali diakibatkan oleh karena putus obat, penderita tidakminum obat secara teratur, obatnya habis dan tidak melakukan control kembali. penyebab keluarga memasung kembali adalah adanya perilaku yang menyimpang, diantaranya bicara kacau, perilaku tidak terkendali serta membahayakan lingkunga .keluarga memberikan istilah “kumat lagi” :..pernah sebelum bulan puasa itu dilepas satu bulan ya bagus..tidak kemana-mana…tapi kumat lagi …”(p5) “….kalau kambuh..itu kalau tidak minum obat… terus bingung… kejangkejang … saya kuatir jatuh ya saya rantai….”(p4) tema 6 : pelepasan pasung pelepasan pasung terjadi oleh karena adanya a. program lepas pasung, program ini di puskesmas bantur adanya ditandai dengan tersedianya sarana pelayanan kesehatan diantaranya abat kesehatan jiwa yang tersedia, poliklinik kesehatan jiwa telah beroperasi, didukung pula oleh adanya data yang lengkapa serta kegiatan sosialisasi. progam dapat terlaksana oleh karena tenaga kesehatan aktif melaksanakan kegiatan oleh karena telah dilakukan pelatihan petugas cmhn (cominty mental health nursing) dan pelaksanaan kunjungan rumah oleh petugas. „… bapak itu (p.s)… sering kerumah… melihat kondisi istri saya…. kadang obatnya dibawakan kadang dikirim lewat petugas yang…. tempat berobat yang didesa (poskesdes) itu…..(p4) b. kesiapan keluarga mendukung adanya program lepas pasung oleh karena pengetahuan keluarga karena telah dijelaskan sehingga pemahaman keluarga tentang bebas pasung terbentuk,sehingga pada perjalanan selanjutnya keluarga mempunyai keputusan pelepasan pasung kondisi keputusan pasung didukung oleh kondisi penderita yakni penyimpangan perilaku telah menurun dan bisa diarahkan setelah mendapatkan penngobatan dari puskesmas “…ya, obatnya itu saya ambil di puskesmas… sebelum dilepas disuntik dulu, terus itu saya lepas dengan pak s., terus tn s.(kakaknya) diajak berbicara dengan p.s..(p4) c. dukungan masyarakat, dipengaruhi oleh karena pengetahuan masyarakat yang cukup oleh karena adanya sosialisasi kepada masyarakat sekitarnya. yang juga tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat dari unsure intansi terkait serta keterlibatan intansi terkait atau lintas sektoral suswinarto, andriani dan lestari, studi fenomenologi..... 195 “…. waktu lepas itu ya datang banyak…ya pak polisi, koramilnya….pak kepala desa, kamituwo….sudah pokoknya banyak…disini… ya p. s juga….”(p1) tema 7 : pemulihan penderita, keluarga dan masyarakat kelanjutan setelah pelepasan dari pasung perlu adanya pemulihan penderita, keluarga dan masyarakat pemulihan ketiganya diperlukan peran keluarga, pelayanan kesehatan dan peran masyamak : a. peran keluarga didahului oleh perasaan keluarga yang secara langsung bersinggungan dengan penderita, adanya perasaan sabara,pasrah, memahami dan keperluan penderita dipenuhi “…. seharusnya yang sehat menyadari, tidak membentak, harus dihalus…. disabari saja…… dipenuhi kebutuhannya…tidak sampai meminta….. (p3) penerimaan , pemahaman keluarga dilanjutkan oelh keluarga dengan memberikan aktivitas sehari-hari dan aktivitas mandiri, diantarnaya penderita sudah biasa memasak, menyapu, mencari rumput untuk kambing,membersihkan halaman dan perawatan diri aktivitas kemandirian yang dapat merangsang klien mandiri bahkan menghasilkan uang. dengan memberi aktivitas membuat sapu, membuat kerajinan dan diajari mencuci baju sendiri serta aktivitas sosialisasi dilakukan oleh keluarga “…… kegiatanya ya masak, nanti bangun tidur mandi, setelah mandi menyapu, mencuci piring, cuci baju terus istirahat…… masalah ke tetangga jika tidak saya ajak ya belum….. kalau itu dengan tetangga sudah nyambung….. siapa itu sah…. dia tahu…., dia juga buat sapu….. itu buat… kerajinan……‟ saya tidak ikhlas itu kalau dipasung lagi …pokoknya usaha apa saja saya lakukan… supaya sehat waras…” (p2) b. peran pelayanan kesehatan dalam pemulihan penderita keluarga dan masyarakat dengan melakukan upaya meningkatakan pengetahuan masayarakat dengan melakukan kegiatan penyuluhan dan konsultasi. selain itu keteraturan minum obat juga sangat penting, untuk mencegah terjadinya putus obat di puskesmas bantur persediaan obat gratis, pada kondisi tertentu dimana keluarga mengalami kendala transporatsi dan biaya diantarkan oleh petugas kesehatan dengan mendistribusikan obat ke pustu atau poskesdes, sehingga konsumsi obat teratur mencegah terjadinya kekambuhan. selain itu untuk melatih kemandirian penderita dilakukan terapi aktivitaskelompok dan latihan ketrampilan. “…. tidak pernah…… ya itu obatnya diantarkan p.s……”(mboten nate….nggih niku obate diteraken p.bagio) (p6) c. peran masyarakat , peran masyarakat dalam memulihkan kondisi penderita, keluarga dan masyarakat sendiri ditunjukkan dengan adanya dukungan dari tentangga, bentuk dukungan tersebut diantaranya , kepedulian tetangga, adanya anggota masyarakat yang menjadi kader kesehatan jiwa masyarakt yang sekaligus ditunjuk menjadi pmo (pengawas minum obat) bila dibutuhkan diluar anggota keluarga.peran masyarakat yang tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan kedinasan dalam proses pemulihan diperlukan keterlibatan dinas terkait disemua lini khususnya dinas terkait dan keterlibatan aparat dimana penderita gangguan jiwa berdomisili serta melibatkan peserta didik dalam rangka pemulihan kondisi penderita. “….tetangga ya sudah memahami….. kalau lewat mau ke kebun begitu ya menyapa…. ayo sam tidak ke kebun….?” (p3) “……sekarang sudah …kecamatan… kepolisian… koramilnya… kepala desanya…petugas pustunya…..pokoknya saya berdayakan semua termasuk temanteman mahasiswa dari ub dan perguruan 196 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.189-203 tinggi yang lain yang sedang praktik disini…….(pet.kes) pembahasan penelitian ini bertujuan mengungkapkan pengalaman keluarga terhadap pasung dan pelepasan pasung pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di wilayah kerja puskesmas bantur pengalaman keluarga diawali dengan adanya pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa dengan mengungkapkan penyebab dari gangguan jiwa yaitu adanya kelainan fisik yang dimaknaikeluarga sebagai bawaan dari lahir dan kelainan syaraf. hal ini seperti apa yang disampaikan oleh yosef & titin (2014) dan kaplan sadock (2010) yang menyatakan bahwa kelaianan bawaan dapat menimbulkan gangguan beradaptasi demikian juga adanya gangguan syaraf dimasa lalu dapat meninggalkan gejala sisa sehingga mempengaruhi kapasitas seseorang untuk berdapatasi sehingga mengakibatkan seseorang rentan mengalami gangguan jiwa. penyebab gangguan jiwa selanjutnya adalah tekanan sosial yang digambarkan oleh keluarga adanya ketidak cocokan dan kejadian trauma dimasa lalu. kondisi ini sesuai dengan pendapat stuart laraia (2005) yang menyebutkan bahwa semua kejadian, hal atau peristiwa biologis,psikologis dan atau sosial , yang terjadi sepanjang hidup manusia meningkatkan resiko terjadinya gangguan jiwa, didukung oleh yosef & titin (2014) yang menyebutkan bahwa penyebab gangguan jiwa dalah faktor somatic (organobiologik), psikologik (psikoedukatif) dan dan factor sosio budaya (sosio cultural). perubahan prilaku, merupakan kumpulan perilaku yang tidaksebagaimana mestinyaatau tidak sesuai kewajaran yang berlaku dalam lingkungan keluarga atau masyarakat. keluarga memahami bahwa perubhan prilaku ini dikatakan sebagai tanda atau gejala dimana anggota keluarga mengalami gangguan jiwa. perubahan prilaku ditandai dengan perilaku yang menyimpang diantaranya adalah keluyuran, merusak barang, menyakiti orang, mudah marah dan memendam perasaan. kaplan sadock (2010) mengidentifikasi tanda dan gejala adaya gangguan kesadaran, gangguan efek,emosi gangguan motorik gangguan berfikir gangguan daya ingat serta gangguan tilikan dan pertimbangan, didukung oleh pendapat videbeck (2008) yang menyatakan bahwa sehat jiwa ditampakkan dengan hubungan interpersonal yang memuaskan dan koping yang efektif serta konsepdiri yang positif dan adanya kestabilan emosional. tanggapan keluarga atas situasi, dalam menghadapi situasi dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa diliputi perasaan kecemasan dan putus asa. upaya yang dilakukan oleh keluarga baik ke orang pintar/dukun atau ke fasilitas kesehatan dengan biaya yang tidak sedikit serta tidak adanya kesembuhan yang didapat menimbulkan perasaan cemas dan kehabisan biaya. ida tiur m & w. dauly menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat kecemasan dan pengetahuan dalam menghadapi pasien gangguan jiwa, selanjutnya subandi (2012) menyatakan keluarga kaget bingung dan terror , seloiwe es (2006) keluarga mengalami kurangnya sumber daya keuangan dan medis tingkat keluarga danmasyarakat, keliat b.a (2013) keluarga membawa ke pengobatan alternative (paranormal/dukun) setelah kronis baru dibawa ke fasilitas kesehatan.dalam penanganan pasien gangguan jiwa. stigma masyarakat adanya kepercayaan dan kebiasaan yang salah mengakibatkan beban penderita dan keluarga semakin berat, pernyataan “gangguan roh halus, owah pikir, gendeng, lemah mental ,bingung, diolokolok, dikuncilkan ini merupakan bagian dari stigma hal ini sesuai dengan penelitian tyas (2008), pramudji d. dkk (2013), serta collucci e (2013) yang menyebutkan bahwa gangguan jiwa terjadi akibat sebab supranatural, akibat keturunan, kurang kompeten, harus dirawat di rsj serta tidak bisa sembuh. subandi (2012) adanya labeling “ edan, sinting, gendeng, kenter,miring, setrip, ora genep, ora normal, syaraf, vita s (2014) sebutan hilang akal, tidak waras. stigma menjadikan keluarga malu, yang pada akhirnya dilakukan pasung. proses pasung dan re pasung, terjadinya digambarkan pasung oleh karena pelayanan kesehatan yang belum optimal, hal ini dibenarkan oleh petugas kesehatan yang ada. daulima (2014) bahwa kegagalan tindakan pre pasung merupakan alasan suswinarto, andriani dan lestari, studi fenomenologi..... 197 keluarga melakukan pasung, minas & diatri (2008), guan lily at.al (2015) keterbatasan sumber daya kesehatan mengakibatkan penderita gangguan jiwa dipasung.sedangkan pelaksanaan pasung digambarkan oleh keluarga dilakukan sendiri, dibantu tetangga bahkan ada yang karena desakan dari lingkungan sekitar. penelitian tyas (2008), subandi (2012) kemenkes (2014) menyatakan bahwa stigma memicu tindakan pemasungan model pasung dibelok, dirantai, dikurung,dibiarkan dikebun, diikat dengan rantai di tiang atau tempat tidur atau di samping rumah dekat kandang, sedangkan dampak dari pemasungan adalah kelainan fisik, psikologis dan adanya isolasi sosial.apa yang telah dilakukan oleh keluarga sesuai dengan pendapat puteh dkk.(2011) dibuatkan gubuk tersendiri, ditengah sawah, penderita dibelok dan dirantai (noh) diikat dibawah kolong rumah, bbc news (2011) di india dimasukkan gubuk kecil tersenidri diikat dengan tali atau rantai, atau dirantai dibawah pohon, guan lily et al (2015) beberapa dimasukkan ke kandang besi. sedangkan kelainan sebagai dampak pasung apna (2014) bersifat fisik, psikologis maupun sosial,t meehan , et al (2000), cano et al (2011) akibat pasung timbul perasaan negatifdan tidak berdaya. alifiati & titis (2011) secara sosial penderita mengalalami isolasi sosial. pelepasan pasung sementara dilakukan oleh keluarga karena penderita dapat diarahkan dan dapat berkomunikasi dan tidak melakukan tindakan kekerasan. sedangkan pemasungan kembali bisa terjadi karena kekambuhan yang ditandai dengan perubahan perilaku. terutama perilaku kekerasan. pelepasan pasung tanpa dilakukan pasung kembali. program indonesia bebas pasung 2014 dan tersedianya sarana dan prasarana serta tenaga yang telah dilatih cmhn, memotivasi petugas kesehatan untuk melakukan upaya pembebasan pasung. upaya pembebasan pasung dimulai dengan mempersiapkan keluarga dengan memberikan sosialisasi agar keluarga bekerjasama untuk melepaskan pasung dan bersedia merawat, pasien post pasung. sosialisasi dilakukan juga kepada masayarakat sekitarnya petugas kesehatan dibantu oleh kader kesehatan jiwa masyarakat. pemulihan kondisi penderita dilakukan medikasi dengan terapi injeksi 1 bulan 1 kali dan pemberian obat oral sampai kondisi klien tenang dan kondusif. setelah penderita kondusif, keluarga menerima pelepasan pasung selanjutnya melibatkan masyarakat dan intansi terkait dalam rangka menghilangkan dan menekan adanya stigma pada keluarga dan penderita. ( dinkes prop. jatim, 2014) pelepasan penderita dari pemasungan bukanlah langkah terakhir untuk mengembalikan keadaan penderita namun perlu dilanjutkan dengan upaya pemulihan penderita, keluarga dan masyarakat. peran keluarga sangat sentral dalam proses pemulihan penderita. keluarga diaharapkan membantu penderita untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan melakukan aktivitas mandiri yang berangsur angsur penderita dapat produktif. keberlangsungan minum obat diperlukan pengawas minum obat (pmo) baik dari keluarga sendiri maupun oleh kader kesehatan jiwa. pemulihan penderita juga harus didukung oleh masyatrakat dan petugas kesehatan. pemulihan keluarga memerlukan peran pendampingan dari masyarakat terutama kader kesehatan jiwa dan tokohtokoh masyarakat, serta bimbingan dari tenaga kesehatan. upaya pemulihan keluarga termasuk juga pemulihan masyarakat dimana keluarga dan masyarakat diharapkan memiliki pengetahuan yang baik tentang gangguan jiwa. proses selanjutnya keluarga dan masyarakat memiliki kemampuan melakukan perawatan terhadap penderita dan stigma yang berkembang didalam masyarakat tentang keluarga dan penderita gangguan jiwa dapat diminimalisir. sesuai dengan amanat(uu no 18 tahun 2014, pasal 84) disana dinyatakan bahwa masyarakat dapat berperan dalam upaya kesehatan jiwa. jika semua pihak mempunyai pengetahuan yang benar dan kesadaran yang tinggi, pemasungan tidak akan terjadi lagi. oleh karena keluarga dan masyarakat menyadari dan memahami bahwa pemasungan, penelantaran dan kekerasan atau tindakan lainnya yang melanggar hak azasi odmk atau odgj dipidana sesuai dengan ketentuan perudang-undangan yang berlaku (uu.no 18, th. 2014, pasal 84). 198 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.189-203 pemasungan dan pelepasan pasung terjadi diawali dengan adanya penyebab gangguan jiwa yang terjadi oleh karena hubungan keluarga, masyarakat dengan penderita atau kondisi dalam diri penderita sendiri, penyebab ini akan menimbulkan perubahan perilaku penderita kondisi ini akan direspon oleh keluarga dan masyarakt dengan melakukan tindakan sesuai dengan apa yang mereka anggap benar, sehingga terjadi tindakan pasung dan re-pasung oleh keluarga dan masyarakat. kesadaran, pengetahuan dan pemahaman yang baik akan memotivasi pelepasan pasung. setelah pelepasan pasung perlu tindakan pemulihan baik penderita , keluarga maupun masyarakat sendiri. (digambarkan bagan dibawah ini) keterkaitan antar tema implikasi keperawatan implikasi praktik dalam penelitian ini dapat menjadi dasar bagi perawat untuk memperdalam konsep-konsep tentang gangguan jiwa, kejadian pemasungan serta prosedur operasional pencegahan pemasungan dan pelepasan pasung. penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan community mental health nursing (cmhn). implikasi teori pada penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memperdalam khasanah keilmuan sehubungan dengan temuan-temuan dari pengalaman keluarga terkait dengan kejadian pemasungan dan pelepasan pasung pada pasien gangguan jiwa di indonesia pada umumnya, dan khususnya di kabupaten malang dan propinsi jawa timur. bagi institusi pendidikan keperawatan diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan kurikulum mata ajar keperawatan jiwa pada mahasiswa diii, s1 dan s2. untuk penelitian selanjutnya penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya tentang upaya tanggapan kelurarga atas situasi penyebab gangguan jiwa pelepasan pasung pemulihan penderita, keluarga & masyarakat perubahan prilaku pasung dan re pasung stigma masyarakat suswinarto, andriani dan lestari, studi fenomenologi..... 199 pemulihan penderita gangguan jiwa yang telah dibebaskan dari pemasungan. keterbatasan penelitian penelitian ini memusatkan pada pengalaman kejadian pemasungan dan lepas pasung pada penderita gangguan jiwa, didalamnya terkait pemulihan penderita, keluarga dan masyarakat. peneliti tidak menggali lebih dalam terkait dengan hal ini, sehingga keterbatasan dalam penelitian ini tidak ditemukan jawaban tentang metode-metode pemulihan, efektifitas metode yng digunakan, kebutuhan waktu kegiatan pemulihan dengan metode yng digunakan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pemulihan yang diinginkan. simpulan dan saran simpulan pengalaman keluarga terhadap pemasungan dan pelepasan pasung pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. dapat disimpulkan keluarga memahami bahwa penyebab gangguan jiwa adalah kondisi fisik dan tekanan sosial. sedangkan gejalagejala yang ditampakkan oleh penderita gangguan jiwa diantaranya; perubahan proses pikir dan perilaku yang menyimpang. pengalaman keluarga terhadap tindakan pasung meliputi perasaan keluarga terhadap perubahan prilaku penderita, alasan ekonomi, pelayanan kesehatan yang belum optimal, situasi pemasungan, adanya dampak pemasungan, adanya fenomena pasung-lepaspasung kembali pengalaman keluarga terhadap pelepasan pasung digambarkan dengan adanya pelayanan kesehatan jiwa yang optimal, kesiapan keluarga serta kesiapan masyarakat pengalaman keluarga tentang peran keluarga dan masyarakat setelah penderita dibebaskan dari pasung adalah upaya pemulihan aktivitas sehari-hari, aktivitas kemandirian serta sosialisasi, semunya didukung oleh pelayanan kesehatan dan intansi terkait didalamnya termasuk aparat dimana keluarga dengan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa berdomisili. saran bagi keluarga dan masyarakat untuk terus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. bagi puskesmas secara umum untuk meningkatkan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitative. secara khusus melakukan pendekatan persuasive pada keluarga yang masih melakukan pasung sampai saat ini. bagi.jajaran dinas kesehatan uapaya yang dilakukan di puskesmas bantur dapat diterapkan di tempat lain. bagi dinas terkait untuk berperan aktif dalam mendukung proses pemcegahan, pelepasan pasung dan proses rehabilitasi penderita gangguan jiwa. bagi institusi pendidikan untuk memasukkan program cmhn dalam kurukulum pendidikan. bagi peneliti selanjutnya perlu diteliti metode rehabilitatif yang efektif bagi penderita post pasung atau penderita gangguan jiwa dalam perspektif budaya. daftar rujukan arikunto, s, 2002. prosedur penelitian, suatu pendekatan praktek,edisi v, jakarta, rhineka cipta alifiati fitrikasari & titis hediati, 2011, penilaian fungsi pribadi dan sosial sebelum dan sesudah mendapat pengobatan pada penderita gangguan jiwa, jurnal mmi volume 45 issue, 1 . apna, 2014, postion statement on the use seclusion and restraint and te seclusion and restraint standards of practice, http://www.apna.org/14a/pages/index.c fm? pageid=3728#sthash.wicf4 weu.dpuf, diakses 23 april 2015 badan penelitian dan pengembangan kesehatan 2007, riset kesehatan dasar (riskesdas 2007), kementrian kesehatan republik indonesia, jakarta badan penelitian dan pengembangan kesehatan 2013, riset kesehatan dasar (riskesdas 2013), kementrian kesehatan republik indonesia, jakarta badan pengembangan dan pembinaan bahasa, 2014 kamus besar bahasa indonesia (kbbi), kemendikbud (pusat bahasa) jakarta ,balai pustaka bapeda jatim, 2014, profile propinsi jawa timur, tidak dipublikasikan http://www.apna.org/14a/pages/index.cfm http://www.apna.org/14a/pages/index.cfm 200 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.189-203 bbc, news. 1998. 10 april, shackled day and night in nigeria, http://news bbc.co,uk/2/h/south_ asia, diakses 27 juni 2015 bbc, news. 2001, 7 agustus l, chaining ban qfter india asylum fire, http://news bbc.co,uk/2/h/south._ asia/ 1477186.stm, diakses 27 juni 2015 cano n, bover l, ganier c, michel a, belzaux r, chabanenes jm, samuelin jc, harle jr, 2011, patiens‟ perception of seclusion in psychiatry : ethical perspectives, abstract journal, enchephal, pmid:216000332 (pubmed-the index for medline) 37. suppl 1:s4-10. corrigan p.w . (2004), how stigma interferses with mental health care, american psychological association. 59 (7) : 614-625. diunduh 6 agustus 2015 colluci e. 2013, breaking the chains, human right violents againts people with mental illness, thesis faculty of humanties, school of social science, grenada center for visual anthropology, university of manchester. dirbinkeswa, dirjen bina upaya kesehatan (2012) ´keputusan menteri kesehatan tentang pedoman pelayanan kesehatan jiwa komunitas, kemenkes ri creswell,j.w. 2003. qualitative inquiry and research design: choosing among 5 th ed. thounsands oaks: sage publication, inc daulima, novi h. c, 2014, penerapan model upaya preventif tindakan pasung di indonesia, direrectorate of research and public service universitas indonesia, jakarta dinas kesehatan lamongan , 2015, pemasungan ods adalah melanggar ham,http://lamongankab.go. id/instansi/diskes/pemasungan-odsadalah-pelanggaran-ham/,diakses 22 april2015. diskes jatim, 2012, profil kesehatan, dinas kesehatan, provinsi jawa timur dinas kesehatan propinsi jawa timur (2014) pedoman pembebasan pasien pasung eka malfasari, budi anna keliat, novi helena c.d, 2014, analisis legal aspek dan kebijakan restrains, seklusi dan pasung pada pasien gangguan jiwa, tesis fik ui, tidak dipublikasikan. friedman, m.m, 2010, buku ajar keperawatan keluarga; riset,teori & praktik; alih , ed 5, jakarta egc ghada abu shoha, 2010, employment of colaizi‟s strategy in descriptive phenomenology : a reflection of a resarcher, european scientific journal november edition vol. 8, no.27 issn: 1857 – 7881 (print) e issn 1857 7431 guan lily, jin liu, xia min wu, dafang chen, xun wang, ning ma, yan wang, byron baik, hong ma, xin yu and mary-jobaik, 2015, unlocking patiens with mental disorder who were in restraints at home: a national followup study of china‟s new public mental health initiatives, plos, one journal, 2015; 10 (4) : e0121425 hawari d, 2003, pendekatan holistic pada gangguan jiwa skizofrenia, balai penerbit universitas indonesia, jakarta. holstein j.a, & jaber f. gubrium, 2019, qualitatif research : fenomenologi, etnometodologi dan praktik interpretif, pustaka pelajar, yogyakarta ian neary, 2002, humant rights in japan, south korea, taiwan. 11 news fetter lane, ec4p4ee, by routledge, simultan published in the usa and canada29 west 35th street, new york.. p.146-148 ida tiur m.s & wardiyah daulay (2008) hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa dirumah sakit jiwa propinsi sumatera utara medan,laporan penelitian, jurnal keperawatan rufaidah sumatera utara, vol.2 no.1, mei 2006, diakses 25 mei 2015 imalia dewi asih, 2005, fenomenologi husserl : sebuah cara “ kembali ke fenomena, jurnal keperawatan indonesia vo. 9 no. 2 : 75-80 kaakinen j. rowe at. all 2010, family health care nursing,theory, practice anda http://news/ http://news/ suswinarto, andriani dan lestari, studi fenomenologi..... 201 research 4 th ed., f.a. davis company, philadelphia kaplan & sadock, 2010. sinopsi psikiatri, ilmu pengetahuan prilaku psikiatri klinis, bina aksara, jakarta keliat, budi .a, 2005, pemberdayaan klien dan keluarga dalam keperawatan dengan perilaku kekerasan di rumah sakit jiwa pusat bogor; disertasi,jakarta ,fkm ui keliat, budi .a & akemat, 2006, model praktik keperawatan professional jiwa ,jakarta, egc keliat, budi a, akemat, susanti h, 2011, keperawatan kesehatan jiwa komunitas chmn basic, jakarta , egc keliat, b.a, riasmiani m, & daulima n.h.c, 2012. the effetivness of the implementation of community mental health nursing model toward the life skill of patiens with mental disorder and their family in jakarta,depok : directorate of research and public service universitas indonesia, keliat, b.a. 2013,kontribusi keperawatan kesehatan jiwa dalam meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa di indonesia, pidato pada upacara pengukuhan sebagai guru besar tetapdalam bidang keperawatan, fik. ui keliat, .b.a, 2015, keperawatan kesehatan jiwa masyarakat (perkesmas plus jiwa), makalah seminar di kabupaten gresik,tidak dipublikasikan kemenkes, 2014, stop stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa (odgj), dipublikasikan jumat 10 nopember 2014. http://www.depkes.go.id/article/view/ 201410270011, diakses 14 april 2015 kembaren, 2013, menghapus pasung bagi pasien gangguan jiwa http://www.lahargokembaren. com/2013/08/menghapus-pasungbagi-pasien-gangguan.html, diakses 14 april 2015 lit bangkes, 1995, survey kesehatan rumah tangga, (skrt) dep.kes.ri, jakarta maleong. l, 2010, metodologi penelitian kualitatif, edisi revisi, rosdakarya, bandung mauvundla t.r,att, all (2009), care given experience in mentally illness : a perspective from rural community in south africa.international journal of mental health nursing , 18 (5) 357367, diunduh 7 aguatus 2015 minas, h & diatri, h ,2008, pasung : physical restraint and confinenment of the mental in the community, international journal ofmental health system, 2 (8),1-6 diunduh 25 mei 2015 mohr, w. k. (2006). psychiatric mental health nursing. (6 th ed.). philadelphia: lipincott williams wilkins. muslim, 2007, etika dan pendekatan penelitian dalam filsafat ilmu komunikasi (sebuah tinjauan konseptual dan praktikal), jurnal komunikologi, vol. 4. no. 2: 82-91, miler, j & elisabeth p, 2012 reclaiming lost decades: the role of state behavioral health agencies in accelerating the integration of behavioral healthcare and primary care to improve the health of people with serious mental illness first report in the cornerstones for behavioral healthcare resource series national association of state mental health program directors (nasmhpd), alxandria, virginia, diakses 25 mei 2015 nmhccf, 2012, ending seclusion and restraint in australian mental nursalam, 2008, konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan, pedoman skripsi, tesis dan instrumen penelitian keperawatan, jakarta, salemba medika. psep, 2012. modul 13d :mental health care: seclusion and restraint: when all else fails,the patient safety education programcanada puteh, i martoenis & minas, 2011, aceh free pasung : releasing the mentally ill from physical restraint, international journal of mental health system 2011,5, hal 10 http://www.depkes.go.id/article/view/201410270011 http://www.depkes.go.id/article/view/201410270011 202 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 2, agustus 2015, hlm.189-203 poter p.a, & perry a.g,2005, fundamental of nursing ; concepps, process and practice,(4 th .ed) phliadelphia; mosby years book-inc polit, d.f & beck c.t, 2004, nursing research : principles and methods 7 th ed.philadelphia, lippincott & wiklkins poerwandari, e.k. 2005. pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. (ed-3), jakarta: perfecta lpsps. fakultas psikologi ui. pramujiwati d, budi ana keliat, ice yuli wardani, 2013, pemberdayaan keluarga dan kader kesehatan dalam penanganan pasien harga diri rendah kronik dengan pendekatan model precede l green di rw 06,07 dan 10 tanah baru bogor utara, jurnal keperawatan vol 1, no 2: 170-177 puskesmas bantur, 2015, laporan bulanan program kesehatan jiwa, tidak dipublikasikan sa”ad, b. malik, iram z, bokharey, 2001, breaking the chains, bjpsych. 25(7)273-275 shives l.r, 2003, basic concepts of psychiatric-mental health nursing. third edition.jb lippincott company. philadelphia simanjuntak i.t.m & wardiyah d, 2006, hubungan pengetahuan keluarga dengan tingkat kecemasan dalam menghadapi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa di rumah sakit jiwa medan,propinsi sumatera utara, jurnal keperawatan rufaidah sumatera utara, vol 2 no. 1 sobur, alex, 2010, psikologi umum, pustaka setia, jakarta speziale h.j. s. & carpenter d.r, 2007, qualitatif research in nursing : advancing the humanistic imperative fifth edition , wolters kluwer health | lippincott williams & wilkins. philadhelpia stommel manfred & celia e. willis, 2004, clinical research, concepts and principle for advanced practice nursing, philadhelpia lippincott william & wilkins. subandi, 2012, ngemong, dimensi keluarga pasien psikotik dijawa, jurnal psikologi, universitas gadjah mada volume 35, no. 1: 62-79 subandi, 2012, tt. kaget, bingung dan teror : dimensi psikokultural dalam pengalaman psikotik, jurnal fakultas psikologi universitas gadjah mada, volume, 34, no. 1 :40-54 sugiyono, 2011, metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan r & d,cetakan 14, bandung alfabeta. sulistiawati , 2005, konsep keperawatan kesehatan jiwa, jakarta, egc. stuart, g,w & laraia (2005), principle and practice of psychiatric nursing (8 th ed)misouri:mosby,inc stuart g.w (2009), principle and practice of psychiatric nursing (9 th ed)misouri:mosby,inc t. meehan, vermeer c, windsor c, 2000, patients‟ perceptions of srclusion : a qualitatif investigation, abstracts, journal,j.adv nurs. 31(2) : 370-7 . www.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/10672 095, diakses 14 mei 2015 tyas, trihayuning, 2008, pasung : family experience of dealing with “the deviant” in bireuen,nanggroe aceh darussalam indonesia, thesis, amsterdaammaster‟s in medical anthropology social and behavioral science university of amsterdam. townsend, c. m. (2008) essentials of psychiatric mental health nursing,4 th ed.philadelphia : f.a. davis company undang-undang ri, nomor 18 tahun 2014, tentang kesehatan jiwa, presiden republik indonesia, jakarta vardiansyah, dani, 2008, filsafat ilmukomunikasi: suatu pengantar, jakarta, indek. weis. m.g, jadhav, s.raguman.r,vounotsu,p.& litlewood,r. (2001).psychatric stigma across culture : local validation in bangalore and london. anthropology and medecine, journal 8 (1),71-87. wuryaningsih, achir yni s.h, novy helena c.d, studi fenomenologi : pengalaman keluarga mencegah kekambuhan prilaku kekerasan pasien pasca hospitalisasi, jurnal keperawatan jiwa, vol. 1 no. 2, november 2013 : 178185, diakses 15 april 2015 http://www.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/10672095 http://www.ncbi.nim.nih.gov/pubmed/10672095 suswinarto, andriani dan lestari, studi fenomenologi..... 203 wulandari a, 2011, persepsi perawat terhadap pelibatan keluarga dalam perawatan anak di rumah sakit pmi bogor, tesis, fik. ui, tidak dipublikasikan who, 2010, international statistical classification of diseases and related health problems 10th revision volume 2 instruction manual 2010 edition, http://www.who.int/ classifications/ icd/ icd10volume2_en_2010.pdf, diakses 27 juni 2015 yosep i & titin sutini, 2014, buku ajar keperawatan jiwa, refika bandung aditama. videbeck, sheila l, 2008, buku ajar keperawatan jiwa, jakarta, egc. viramita s dkk. (2014) stigma sosial keluarga miskin dari pasien gangguan jiwa, jurnal ecopsy, vol. 1, no. 3, agustus 2014 di unduh 6 agustus 2015 zenobia c,y. cang, yuen-ling fung and wai tong chien, 2013, brcketing in phenomenologi : only undertaken the data collection and analisis proses ?,the hongkong polytecnic university, kkowloon, hongkong, the qualitative report, vol. 18 no. 59 ; 1-9 http : //www. unite or sight. org/mental.health/ module 1 , diakses 06 agustus 2015 http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/1702 50/1/9789240694439_eng.pdf?ua=1&u a=1, who, health statitic, 2015, diakses 13 mei 2015 http://www.wolfgang – bauer.info/page/reportagenik/ketermenc hen=e.hatml, chain people, diakses 27 juni 2015 …………….2013, fenomenologi, standford encyclopedia of philosophy, http://plato/stanford.edu/ entreis/phenomenologi/, diakses tanggal 27 juni 2015 http://www.who.int/ http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/170250/1/9789240694439_eng.pdf?ua=1&ua=1 http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/170250/1/9789240694439_eng.pdf?ua=1&ua=1 http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/170250/1/9789240694439_eng.pdf?ua=1&ua=1 http://plato/stanford.edu/ e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 222 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 222–226 222 gaya hidup sehat lansia (elderly healthy lifestyle) nizar argyatiyasa1, suprajitno2, wiwin martiningsih3 1praktisi keperawatan 2,3jurusan keperawatan, poltekkes kemenkes malang email:bedonku@yahoo.co.id abstract: elderly experience physical changes, mental changes, psychosocial changes that would affect the elderly healthy lifestyle. the method used descriptive design. the population in this research were the elderly who were registered in the territory uptd posyandu health sukorejo blitar city in 1493 as the elderly, and the samples taken were 94 elderly using quota sampling technique. the data was collected by interview based on a questionnaire. the data collection was conducted on 18 may until 18 june 2014. the results showed that the healthy lifestyle in the posyandu of elderly in region uptd healt sukorejo blitar city was good 72.3% (68 elderly). according to the indonesia republic healthy deepartement (1997) in udayana psychology of journal (2013), defines a healthy lifestyle attempt to implement good practice in creating a healthy lifestyle and avoid bad habits that can affect health. researchers found elderly efforts in maintaining the health status most of the elderly was optimal, it indicates that the elderly realize the importance of creating a healthy lifestyle. keywords: effort, elderly, elderly posyandu abstrak: lansia mengalami perubahan fisik, perubahan mental, perubahan psikososial yang akan berpengaruh pada gaya hidup sehat lansia. metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah adalah lansia yang terdaftar di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan sukorejo kota blitar sebanyak 1493 lansia, dan sampel yang diambil adalah 94 lansia. menggunakan teknik kuota sampling. pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berdasarkan kuesioner. waktu pengumpulan data dilakukan pada 18 mei–18 juni 2014. hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup sehat lansia di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar adalah baik yaitu 72,3% (68 lansia) menurut depkes ri (1997) dalam jurnal psikologi udayana (2013), mengartikan gaya hidup sehat sebagai segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup sehat dan menghindari kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. peneliti berpendapat bahwa upaya lansia dalam mempertahankan status kesehatannya sebagian besar sudah optimal, hal ini menunjukkan bahwa lansia menyadari pentingnya menciptakan hidup sehat. kata kunci: upaya, lansia, posyandu lansia menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan di dalam kehidupan manusia. proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi di mulai sejak permulaan kehidupan. menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak proporsional (nugroho,2008). berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang kesehatan dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat membuat pengetahuan lebih baik dan perubahan gaya hidup. hal ini terbukti dari umur harapan hidup yang semula umur 65 tahun sekarang menjadi umur 70 tahun. semakin cepat seseorang mengubah pola acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p222-226 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 223argyatiyasa, suprajitno, dan martiningsih, gaya hidup sehat lansia ... hidupnya yang tidak baik menjadi baik, maka semakin cepat pula perubahan dirasakan. seseorang yang menganut pola hidup sehat pada usia muda tidak akan merasakan perubahan-perubahan besar saat ia berusia 50-an, ia akan merasa seperti saat berusia 30-an atau bahkan 20-an. tetapi jika seseorang baru merubah pola hidupnya menjadi pola hidup sehat di usia 50-an tidaklah terlambat asalkan menjalani diet yang sehat dan olahraga yang teratur. menjadi prima di usia senja bukanlah hal yang sulit, cara yang dapat dilakukan para lansia agar tetap sehat salah satunya melakukan gaya hidup sehat. ahli-ahli kesehatan sekarang menggambarkan gaya hidup sehat sebagai salah satu faktor penting yang mempengaruhi kesehatan, yang dapat dilihat dari: 1) kebiasaan merokok, 2)kebiasaan minum alkohol dan obat-obatan, 3) kebiasaan makan, 4) kebiasaan latihan dan kesehatan jasmani, 5) kontrol terjadinya stress, dan 6) menjaga keamanan diri. upaya pemeliharaan kesehatan tidak akan berhasil jika tidak ada perubahan sikap mental dan perilaku. dari sekian banyak dan beragam penyakit terkini, sumber akarnya adalah gaya hidup yang keliru. bila menjalankan gaya hidup yang sehat dan benar, akan terhindar dari penyakit. hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah melakukan gaya hidup sehat penyakit darah tinggi dapat berkurang 55%, stroke dan jantung koroner dapat berkurang 75%, diabetes dapat berkurang 50%, tumor dapat berkurang 35%, usia rata-rata dapat diperpanjang 10 tahun ke atas dari rata-rata usia harapan hidup manusia indonesia. data yang diperoleh dari tiga uptd kesehatan kota blitar pada tahun 2014, sebanyak 1493 lansia terdaftar di uptd kesehatan sukorejo kota blitar, 1045 lansia terdaftar di uptd kesehatan sananwetan kota blitar, dan 1015 terdaftar di uptd kesehatan kepanjen kidul kota blitar. dari tiga uptd kesehatan kota blitar lansia terbanyak ada di uptd kesehatan sukorejo kota blitar. unit pelaksanaan teknis daerah kesehatan puskesmas sukorejo kota blitar mempunyai 14 posyandu lansia yaitu posyandu kundiharjo dengan jumlah anggota 124 lansia, posyandu ismoyo 1 berjumlah 103 lansia, posyandu ismoyo 2 berjumlah 74 lansia, posyandu pandu dewanata berjumlah 98 lansia, posyandu tunas bungur 126 lansia, posyandu srikandi 73 lansia, posyandu resi bismo 112 lansia, posyandu bakung mandiri 100, posyandu bismo 196, posyandu sewu negoro 84, posyandu ngudi serasi 121 lansia, posyandu abiyasa 91 lansia, posyandu ngudi waras 114 lansia, dan posyandu ngudi waras 2 berjumlah 77 lansia. hasil studi pendahuluan tanggal 10 september 2014 di jl. srigading kota blitar bahwa lansia kurang mengetahui gaya hidup sehat. hal ini dibuktikan dari wawancara langsung pada 5 lansia, 2 orang lansia mengatakan tidak pernah berolahraga dan sering mengkonsumsi makanan bersantan dan asin, 1 orang lansia perokok aktif, dan 2 orang belum mengetahui manfaat hidup sehat. berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ”gaya hidup sehat lansia”. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain deskriptif, sampelnya adalah lansia yang hadir di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan sukorejo kota blitar pada tahun 2015 sejumlah 94 lansia dengan kriteria inklusi lansia yang berusia e”60 tahun, bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial, mampu melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan sehari hari, mendapat dukungan sosial dari keluarga dan masyarakat. penelitian ini menggunakan metode quota sampling. alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan instumen penelitian yang terdiri dari kuesioner dan lembar observasi, kuesioner yang digunakan adalah kuesioner baku yang telah dimodifikasi penelti dan telah diuji validitasnya. hasil penelitian data umum tabel 1. kunjungan responden di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar (n=94) mei 2015 no kategori jumlah prosentas e (%) rutin 80 85.1 2 tidak rutin 14 14.9 jumlah 94 100 tabel 2. lingkaran kegiatan sosial lansia di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar (n=94) mei 2015 no kategori jumlah prosentase (%) 1 aktif 72 76.6 2 tidak aktif 22 23.4 jumlah 94 100 224 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 222–226 data khusus pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup sehat lansia di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar adalah baik yaitu 72,3% (68 lansia). hasil ini diperoleh berdasarkan jawaban responden dari kuesioner peneliti tentang upaya lansia dalam mempertahankan status kesehatannya yang mencakup 6 indikator. namun dalam hasil penelitian masih terdapat 23,4% (22 lansia) termasuk kategori cukup, dan 4,4% (4 lansia) termasuk kategori kurang. departemen kesehatan republik indonesia (1997) dalam jurnal psikologi udayana (2013), mengartikan gaya hidup sehat sebagai segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup sehat dan menghindari kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. peneliti berpendapat bahwa upaya lansia dalam mempertahankan status kesehatannya sebagian besar sudah optimal yang dapat dilihat dari sebagian besar lansia rutin datang ke posyandu lansia, hal ini menunjukkan bahwa lansia menyadari pentingnya menciptakan hidup sehat, namun masih ada 22 lansia yang masuk kategori cukup dan 4 lansia masuk kategori kurang kemungkinan disebabkan karena kurangnya upaya lansia dalam mempertahankan status kesehatannya, peneliti juga berpendapat bahwa lansia kurang dalam memotivasi diri dalam meningkatkan status kesehatannya, faktor lain adalah dukungan keluarga yang kurang sehingga kebanyakan lansia berpikir bahwa tidak terlalu diperhatikan sehingga lansia kurang mau berupaya untuk status kesehatannya sendiri. menurut hasil penelitian, jumlah lansia yang tinggal sendiri di rumah ada 9% (8 lansia), hasil ini menguatkan opini peneliti bahwa lansia yang tinggal sendiri di rumah kurang motivasi dari diri maupun orang lain. berdasarkan hasil penelitian gaya hidup sehat lansia mayoritas jawaban lansia benar sebanyak 45,7% (43 lansia) pada pernyataan tentang kegiatan fisik secara teratur dan cukup. menurut syafrudin, dkk (2011) banyak para lansia yang tidak sadar akan pentingnya aktifitas fisik masa menopause, banyak dari mereka juga tidak mengetahui bagaimana cara melakukannya dengan baik dan benar. aktifitas fisik masa menopause cukup di lakukan dua kali seminggu dan dalam waktu sekitar kurang lebih 20-30 menit. menurut bkkbn (2012) manfaat olahraga bagi lansia adalah untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit dan pemulihan dari sakit. peneliti beranggapan bahwa pada usia lanjut olahraga tidak harus selalu dilakukan seminggu dua tabel 3. kategori gaya hidup sehat lansia di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar, mei 2015 (n=94) no kategori jumlah p rosentase (%) 1 baik 68 7 2,3 2 cukup 22 2 3,4 3 kurang 4 4 .4 jumlah 100 1 00 tabel 4. kuesioner gaya hidup sehat lansia di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar, mei 2015 (n=94) no indikator rata2 persentase yg bany ak dilakukan 1 tidak merokok dan tidak minum alkohol serta obat-obatan terlarang 84,6% 2 pengendalian atau manejemen stres 81,8% 3 istirahat yang cu kup 78% 4 makan dengan menu seimbang 67,7% 5 kegiatan fisik secara teratur dan cukup 59,22% 6 menjaga keamanan diri 58,2% tabel 5. tabulasi silang gaya hidup sehat lansia dengan kerutinan kunjungan di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar, mei 2015 (n=94) kunjungan posyandu lansia kategori gaya hidup sehat lansia baik cukup kura ng rutin 68,1% (64 lansia) 16% (15 lansia) 1,1% (1 lansia) tidak rutin 4,3% (4 lansia) 7,4% (7 lansia) 3,3% (3 lansia) tabel 6. tabulasi silang gaya hidup sehat lansia dengan kegiatan sosial di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar, mei 2015 (n=94) kegiatan sosial kategori gaya hidup sehat lansia baik cukup kurang aktif kegiatan sosial 59,6% (56 lansia) 14,9% (14 lansia) 2,1% (2 lansia) tidak aktif kegiatan sosial 12,8% (12 lansia) 8,5 % (8 lansia) 2,1% (2 lansia) 225argyatiyasa, suprajitno, dan martiningsih, gaya hidup sehat lansia ... kali, tetapi melakukan aktivitas sehari-hari seperti menyapu, mengepel, mencangkul dan berkebun secara teratur dapat diartikan bahwa lansia sudah melakukan olahraga. peneliti beranggapan bahwa lansia berpikir untuk melakukan olahraga harus melakukan aktivitas fisik yang berat, tidak menganggap kegiatan seperti berjalan kaki, dan melakukan aktivitas di dalam rumah yang sebenarnya sudah merupakan olah raga bagi lansia. berdasarkan hasil penelitian gaya hidup sehat lansia jawaban lansia benar sebanyak 60,6% (57 lansia) pada pernyataan mengenai menjaga keamanan diri. menurut nugroho (2008) penyebab kecelakaan pada lanjut usia yaitu fleksibilitas kaki yang berkurang, fungsi pengindraan dan pendengaran menurun, pencahayaan yang berkurang, lantai licin dan tidak rata. peneliti beranggapan lansia tidak menyadari pentingnya upaya pencegahan terjadinya kecelakaan padahal lansia telah mengalami penurunan fungsi tubuh di mana seharusnya lansia menggunakan alat pengaman seperti tongkat dan kacamata yang dapat membantu aktivitas sehari-hari. sehingga lansia mengabaikan pentingnya keselamatan lansia, 39,4% (37 lansia) sebagian tidak memakai kaca mata padahal lansia mengalami penurunan fungsi pengelihatan dan sebagian lagi tidak memakai tongkat untuk melakukan aktivitas. peneliti berasumsi bahwa lansia tidak menggunakan alat untuk meningkatkan keselamatannya karena lansia menganggap bahwa keadaannya sekarang masih bisa ditoleransi selama lansia tidak terancam keselamatannya. berdasarkan hasil penelitian gaya hidup sehat lansia jawaban lansia benar sebanyak 100% (94 lansia) pada pernyataan mengenai tidak mengkonsumsi alkohol. seseorang yang sering mengkonsumsi alkohol akan rentan mengalami sirosis atau pengerasan liver. dan, hal ini sama saja dengan mempercepat kematian atau memperpendek usia. peneliti merekomendasikan, untuk meningkatkan gaya hidup sehat lansia ini hendaknya dipertahankan dengan cara pemberian penyuluhan kesehatan di posyandu lansia. usia lanjut rentan terhadap berbagai masalah penyakit, salah satunya adalah akibat mengkonsumsi alkohol, sehingga perilaku atau kebiasaan hidup sehat lansia yang tidak mengkonsumsi alkohol ini perlu diapresiasi agar lansia lebih semangat untuk mempertahankan status kesehatan dan gaya hidup yang sehat. hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden kunjungan posyandu lansia mayoritas responden rutin datang ke posyandu memiliki kategori gaya hidup sehat baik 68,1% (64 lansia). posyandu lansia merupakan suatu wadah untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pembinaan pada kelompok usia lanjut di suatu wilayah, dalam rangka untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat pada umumnya dan khususnya pada kelompok usia lanjut. didirikannya posyandu lansia salah satunya bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan status kesehatan lansia melalui pemeriksaan rutin setiap bulan. peneliti berasumsi bahwa lansia yang datang ke posyandu secara rutin dapat mengetahui status kesehatannya karena di posyandu lansia dilakukan penimbangan, pengukuran tinggi badan, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan gula darah, asam urat, pengobatan oleh tim medis dan penyuluhan kesehatan sehingga lansia dapat berupaya menjaga status kesehatannya secara optimal. setiap bulan status kesehatan seseorang terutama lansia mudah berubah, sehingga dengan adanya posyandu dan keaktifan lansia untuk datang ke posyandu menjadikan lansia untuk lebih mengutamakan kesehatannya, karena pemeriksaan setiap bulan yang membantu lansia untuk mengetahui status kesehatannya dan membuat lansia semakin sadar akan kesehatan dirinya terlebih dalam memasuki masa tua di mana penyakit sering menyerang dan mengalami penurunan kesehatan baik fisik, menatal, spiritual. sebagian besar lansia telah memahami pentingnya posyandu lansia. hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden kegiatan sosial memiliki kategori gaya hidup sehat baik 59,6% (56 lansia). menurut lemon et al, 1972, dalam subekti, 2012, menyatakan bahwa orang tua yang aktif secara sosial lebih cenderung menyesuaikan diri terhadap penuaan dengan baik sedangkan menurut nugroho (2008) kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuannya bersosialisasi. hal ini sesuai dengan hasil penelitian mayoritas responden mengikuti kegiatan sosial memiliki gaya hidup sehat baik, pada dasarnya masa tua bukan berarti berhenti dari aktivitas sosial, bahkan dalam salah satu tugas perkembangan lansia menyatakan bahwa usia lanjut menjalin hubungan sosial dengan kelompoknya dan menjalankan tugas sosialnya di masyarakat selain itu sehat tidak hanya dinilai dari fisiknya saja, tetapi juga sehat secara sosial. peneliti beranggapan bahwa aktifitas sosial pada masa usia lanjut lebih mengutamakan untuk berinteraksi dengan banyak orang, 226 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 222–226 lansia lebih banyak memiliki waktu luang untuk mengikuti kegiatan sosial dimana lansia dapat bertemu dengan sebaya atau banyak orang yang membuat lansia tidak merasa sendiri dan menjadi salah satu rekreasi mental bagi lansia agar tidak depresi. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gaya hidup sehat lansia di posyandu lansia wilayah uptd kesehatan kecamatan sukorejo kota blitar adalah sebanyak 72,3% atau 68 lansia masuk dalam kategori baik, sisanya 23,4% atau 22 lansia masuk dalam kategori cukup, dan 4,3% atau 4 lansia masuk dalam kategori gaya hidup sehat kurang. saran bagi tempat penelitian diharapkan lebih memberikan motivasi bagi lansia untuk mengikuti kegiatan olahraga yang diadakan posyandu dan juga perlu diadakannya penyuluhan mengenai keamanan pada lansia. hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan gaya hidup sehat lansia kususnya pada indikator kegiatan fisik secara teratur dan cukup serta indikator menjaga keamanan diri. dari hasil penelitian ini di harapkan untuk peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih spesifik dari 6 indikator gaya hidup sehat lansia. daftar rujukan bkkbn. 2012. pembinaan kesehatan fisik bagi lansia. jakarta: direktorat bina kesehatan keluarga lansia dan rentan badan kependudukan dan keluarga berencana nasional (diakses 9 oktober 2014). nugroho, w. 2008. ke perawatan geronti k dan geriatrik. jakarta: egc. syafrudin, damayani, a.d., & delmaifanis. 2011. himpunan penyuluhan kesehatan pada remaja, keluarga, lansia, dan masyarakat. jakarta: trans info media. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 8 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 8–12 8 hubungan tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi (the correlation of body fat thickness and menstrual cycle length) annif munjidah universitas nahdlatul ulama surabaya email: annifmunjidah@unusa.ac.id abstract: factors affecting the menstrual cycle in women are: age, psychological, physical (heredity, nutritional status, and environment) and drugs. so far, the study on the menstrual cycle is only seen from the factors of nutritional status through the upper arm circumference and bmi (body mass index). this situation encouraged researchers to conduct a study on the menstrual cycle length from nutritional factors as seen from body fat thickness.this study aims to analyze the correlation of body fat thickness and menstrual cycle length on the students. the study used an observational analytic with cross sectional approach. the population was all of the students in the first level of diii midwifery department of nursing and midwifery faculty of unusa who had regular menstrual cycles and do not take antidepressant drugs/contraceptive device. the sample was mostly students using simple random sampling. the total of the sample was 72 people. the test analysis was done by a moment product (alpha 0.05). the result of the study showed that p value is 0,039 < 0,05. there was a correlation between the body fat thickness and menstrual cycle length of the first level students of diii midwifery department of nursing and midwifery faculty of unusa. the conclusion of this study was the thicker of the student’s body fat the longer their menstrual cycles. for the health workers, they can provide counseling on female adolescents about reproductive health especially menstruation and the risk of fat in the body. keywords: body fat thickness, menstrual cycle length abstrak: faktor yang mempengaruhi siklus menstruasi pada wanita adalah: usia, psikologi, fisik (hereditas, status gizi, dan lingkungan) dan obat-obatan. sejauh ini penelitian tentang siklus menstruasi hanya dilihat dari faktor status gizi melalui lingkar lengan atas dan imt (indeks massa tubuh). hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang panjang siklus menstruasi dari faktor gizi yang dilihat dari tebal lemak tubuh. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi pada mahasiswa. penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. populasinya semua mahasiswa tingkat i prodi d iii kebidanan fkk unusa yang memiliki siklus menstruasi teratur dan tidak mengkonsumsi obat anti depresan/kb. sampel nya adalah sebagian mahasiswa dengan simple random sampling. besar sampel 72 orang. uji analisis dengan produk moment (alpha 0,05). hasil penelitian menunjukkan nilai p 0,039 <  0,05. ada hubungan antara tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fkk unusa. simpulan dari penelitian ini semakin mahasiswa memiliki tebal lemak tubuh maka siklus menstruasi semakin panjang. bagi tenaga kesehatan dapat memberikan konseling pada remaja putri tentang kesehatan reproduksi khususnya menstruasi dan resiko lemak pada tubuh. kata kunci: tebal lemak tubuh, panjang siklus menstruasi setiap bulan secara teratur seorang wanita mengeluarkan darah dari alat kandungannya kejadian ini disebut menstruasi. menurut wiknjosastro (2002) menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus yang disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. peristiwa menstruasi ini acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p008-012 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 9munjidah, hubungan tebal lemak tubuh ... merupakan hasil kerja sama antara hipotalamus, hipofisis, alat reproduksi ovarium dan uterus (hypotalamus pituitary ovarial axis). hasil dari perwujudan kerja sama sistem ini yang pertama kali ditandai dengan terjadinya menarch (menstruasi pertama kali) yaitu pada usia 12–13 tahun. karena menarch hanya dipengaruhi oleh hormon estrogen saja sehingga menstruasi pada periode ini terjadi secara tidak teratur sampai mencapai umur 18 tahun, setelah itu siklus menstruasi seharusnya sudah teratur. menurut eny kusmiran (2011) siklus menstruasi merupakan waktu sejak hari pertama haid sampai datangnya haid periode berikutnya. sedangkan panjang siklus haid adalah jarak antara tanggal mulainya haid yang lalu sampai mulanya haid berikutnya. panjang siklus haid yang normal atau dianggap sebagai siklus klasik adalah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas. menurut wiknjosastro (2002) menyebutkan siklus wanita yang teratur dengan interval 26– 32 hari. perbedaan panjang siklus menstruasi seorang wanita merupakan salah satu masalah yang sering muncul, diantaranya yaitu sulitnya menentukan tafsiran persalinan yang tepat pada ibu hamil, dan juga menimbulkan kekhawatiran terhadap diri seorang wanita karena menstruasinya datang tidak tepat waktu. ada beberapa faktor yang mempengaruhi siklus menstruasi diantaranya faktor usia, stres, obat-obatan yang dikonsumsi dan status gizi (cunningham, 2006). hal tersebut didukung oleh arisman (2010) yang menyebutkan bahwa gangguan haid juga dapat ditimbulkan oleh masalah gangguan gizi. ali baziad (2003) mengemukakan wanita yang memiliki berat badan lebih sering mengalami gangguan pada fungsi ovarium. pada wanita gemuk menunjukkan aktivitas kelenjar supraadrenal yang berlebihan, yang ditandai dengan meningkatnya produksi hormon testosteron, androstendion serta peningkatan rasio estron/estradiol yang nantinya akan berpengaruh terhadap proses hormonal siklus menstruasi. jaringan lemak tubuh juga dapat mempengaruhi estrogen dalam tubuh, karena sel-sel granulose dan jaringan lemak tersebut dapat mengaromatisasi androgen agar menjadi estrogen. menurut supariasa (2009) status gizi seseorang dapat diukur salah satunya dengan mengukur tebal lemak tubuh. menurut mary e. barasi (2010) pengukuran antropometri dapat dilakukan melalui pengukuran indeks masa tubuh (imt), lingkar bagian tubuh, dan ketebalan lipatan kulit. melalui pengukuran tebal lemak tubuh kita dapat memperkirakan jumlah total lemak dalam tubuh seseorang yaitu dengan mengukur pada 4 bagian tubuh diantaranya bagian bisep, trisep, supskapular, dan suprailiaka (muchtadi: 2009) hampir semua aspek dalam penelitian gizi berpotensi memiliki kelemahan, namun beberapa dapat dihilangkan melalui proses perencanaan dan desain studi secara teliti melalui pengukuran yang dilakukan berulang kali (barasi, 2010). sejauh ini penelitian tentang panjang siklus haid di prodi diii kebidanan fkk unusa hanya sebatas faktor gizi yang dilihat dari lingkar tubuh dan indeks masa tubuh (imt), untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang panjang siklus haid dari faktor gizi khususnya dari tebal lemak tubuh. dari data diatas timbul pertanyaan bagi peneliti tentang bagaimana siklus menstruasi yang terjadi pada wanita yang memiliki status gizi lebih ataupun kurang yang dihitung melalui pengukuran tebal lemak tubuh. berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antar tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi pada mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fakultas keperawatan dan kebidanan fkk) unusa. bahan dan metode penelitian ini menggunakan desain analitik observasional dengan pendekatan cross sectional dengan meneliti hubungan antara lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi. panjang siklus menstruasi yang diambil adalah siklus menstruasi yang teratur minimal 6 bulan kebelakang dan kemudian melakukan pengukuran tebal lemak tubuh dengan menggunakan skinfold kalliper. populasi yang digunakan adalah semua mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fkk unusa yang mempunyai siklus menstruasi teratur dan tidak mengkonsumsi obat anti depresan/kb sebesar 88 orang dan sampel yang digunakan adalah sebagian mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fkk unusa yang mempunyai siklus menstruasi teratur dan tidak mengkonsumsi obat anti depresan/kb dengan besar sampel 72 orang menggunakan simple random sampling. pengumpulan data secara langsung menggunakan insrumen lembar kuesioner tentang siklus menstruasi yang berisi catatan tanggal haid dalam waktu 3 bulan terakhir. sedangkan untuk variabel tebal lemak peneliti melakukan pengukuran secara langsung yang kemudian dimasukkan ke dalam rumus. 10 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 8–12 pelaksanaan penelitian ini dilakukan di prodi diii kebidanan fkk unusa. sedangkan waktu pelaksanaannya dilakukan pada bulan september 2014 s.d maret 2015. uji statistik yang dipilih untuk mengetahui hubungan tebal lemak tubuh dengan siklus menstruasi yaitu menggunakan uji korelasi product moment dengan menggunakan bantuan komputer melalui program spss 17. hasil penelitian kebidanan fakultas keperawatan kebidanan unusa. pembahasan tebal lemak tubuh berdasarkan tabel 4 didapatkan hasil bahwa rata-rata responden mempunyai tebal lemak tubuh 29,79%. dari 72 responden didapatkan tebal lemak paling kecil yaitu 17,65% dan paling tebal 50,42%. tebal lemak tubuh atau body fat (bf) merupakan hasil perhitungan persentase dari hasil penjumlahan tebal lemak tubuh yang selanjutnya dimasukkan ke dalam rumus. persentase nilai mean lemak tubuh 29,79% mengandung arti bahwa rata-rata responden masuk dalam ketegori fat atau gemuk. sedangkan nilai persentase minimal yang didapat sebesar 17,65% mengandung arti bahwa masih ada responden yang masuk dalam kategori normal. dan hasil persentase paling tinggi sebesar 50,42% mengandung arti bahwa ada responden yang masuk kategori obesitas. hal tersebut sesuai dengan teori etty indriyati (2010) bahwa pengukuran tebal lemak bawah kulit biasanya digunakan untuk memperkirakan jumlah lemak dalam tubuh. sedangkan menurut achmad djaeni (2012) lemak dapat diukur secara absolut (dalam kg) dan secara relatif (%) terhadap berat tubuh total. jumlah lemak tubuh sangat bervariasi ditentukan oleh jenis kelamin dan umur. ketebalan lipatan kulit adalah suatu pengukuran kandungan lemak tubuh karena sekitar separuh dari cadangan lemak tubuh total terdapat langsung di bawah kulit. pengukuran tebal lipatan kulit merupakan salah satu metode penting untuk menentukan komposisi tubuh serta presentase lemak tubuh dan tubuh untuk menentukan status gizi cara antropometri (sirajuddin, 2011) sedangkan dari tabel 4 ada sebagian responden yang mempunyai body fat (%bf) gemuk dan obesitas hal tersebut menandakan bahwa status gizi responden berlebih, usia responden yang masih remaja memiliki aktivitas yang sedang sampai ringan, dengan pola makan yang gemar mengkonsumsi makanan berlemak menjadikan lemak mudah tertimbun. menurut andriani wirjatmadi (2012) penyebab kegemukan dikarenakan faktor: aktivitas fisik, konsumsi makanan atau lemak yang tinggi, genetis, sosial ekonomi, hormonal, dan kemampuan tubuh tabel 1. distribusi frekuensi usia mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fakultas keperawatan no usia f (%) 1 < 18 2 2,8 2 >18 70 97,2 total 72 100 tabel 2. distribusi frekuensi lama haid responden di prodi d-iii kebidanan fakultas keperawatan kebidanan unusa no lama haid f (%) 1 < 6 hari 1 1,4 2 6-8 hari 64 88,9 total 72 10 0 tabel 3. distribusi frekuensi panjang siklus menstruasi responden di prodi d-iii kebidanan fakultas keperawatan kebidanan unusa no siklus f (%) 1 pendek 0 0 2 normal 57 79,2 3 panjang 15 20,8 total 72 100,0 tabel 4. hasil analisis panjang siklus menstruasi dengan tebal lemak tubuh va riabel me an me dian sd min mak p siklus t ebal le mak 30,6 29,7 31,0 29,0 3,4 6,1 23 17,6 39 50,4 0,039 data di atas menunjukkan bahwa rata-rata siklus menstruasi pada mahasiswa 30,64 dengan siklus terpendek 23 hari dan terpanjang 39 hari. sedangkan pada tebal lemak tubuh rata-rata mahasiswa mempunyai tebal lemak 29,79 dengan rincian tebal lemak paling kecil 17,65 dan paling besar 50,42. berdasarkan hasil uji statistik menggunakan korelasi produk moment didapatkan nilai p 0,039 <  0,05. maka ho ditolak artinya ada hubungan antara tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi pada mahasiswa tingkat i prodi d-iii 11munjidah, hubungan tebal lemak tubuh ... panjang siklus menstruasi berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4 ratarata responden mempunyai panjang siklus menstruasi 31 hari. dengan siklus terpendek 23 hari dan siklus terpanjang 39 hari. siklus menstruasi pada seorang wanita bisa berbeda-beda. beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap panjang siklus menstruasi, menurut bobak (2005) diantaranya usia wanita, faktor psikis dan faktor fisik, sedangkan menurut erna francin (2005) faktor lain yang mempengaruhi diantaranya faktor status gizi, dan menurut adele (2012) obat-obatan juga dapat mempengaruhi panjang siklus menstruasi. berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1 hampir seluruh responden (97,2%) berusia > 18 tahun. usia ini merupakan usia yang sudah menunjukkan siklus menstruasi yang teratur atau reguler atau sudah memasuki usia reproduksi yaitu antara 18–40 tahun berbeda dengan wanita yang berusia di bawah 18 tahun yang siklus menstruasinya masih belum teratur sehingga sulit untuk dilakukan pengkajian siklus menstruasi yang tepat dikarnakan belum matangnya organ-organ reproduksi sehingga kemungkinan siklus menstruasinya unovulatorik, sedangakan pada wanita berusia di atas 40 tahun cenderung memiliki siklus menstruasi yang anovulasi dikarnakan semakin sedikitnya jumlah folikel yang ada dalam ovarium sehingga mengganggu siklus menstruasi (winkjosastro, 2002). hubungan antara tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai p 0,039 <  0.05 artinya ada hubungan antara tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi pada mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fkk unusa. pada wanita dengan tebal lemak tubuh memiliki potensi lebih besar untuk mempunyai panjang siklus haid yang lebih lama. dengan analisis bahwa lebih panjangnya siklus menstruasi diakibatkan jumlah estrogen yang meningkat dalam darah akibat meningkatnya jumlah lemak tubuh. seperti yang diketahui siklus menstruasi mekanismenya tergantung oleh hormon estrogen. saat awal siklus menstruasi berlangsung kadar estrogen dan progesteron menurun sehingga akan mengirimkan sinyal kepada hipotalamus untuk mensekresi gnrh yang akan menghasilkan hormon fsh dan mematangkan follikel de graaf ini yang disebut feedback negatif. sedangkan jika jumlah estrogen yang ada dalam darah tinggi pada awal siklus menstruasi tentunya efek feedback negatif ini tidak terjadi atau terjadi keterlambatan menunggu hingga kadar estrogen menurun sehingga siklus menstruasi yang terjadi akan lebih panjang lailiyana (2010) menyebutkan bahwa kondisi kegemukan berkaitan dengan proses perubahan androgen menjadi estrogen. hipotalamus merangsang peningkatan sekresi hormon lh serta terjadi hiperandrogenisme. mekanisme yang lain adalah gangguan pematangan follikel akibat peningkatan lh dan kadar testosteron yang rendah. hal ini sejalan dengan teori i mayer brenna (2006) bahwa seseorang dengan tebal lemak tubuh akan mengganggu fungsi fisiologis hipotalamus tinggi rendahnya estrogen dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar androgen dalam tubuh, karena androgen merupakan hormon yang diperlukan oleh tubuh (suprarenal, ovarium) untuk menghasilkan estrogen. enzim yang diperlukan untuk mengubah androgen menjadi estrogen adalah aromatase dan jaringan yang memiliki kemampuan untuk mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulose dan jaringan lemak. peningkatan kadar androgen dalam darah akan mengganggu fungsi hipotalamus dan menekan gnrh. akibatnya adalah terganggunya perkembangan seksual, dan terjadinya penekanan langsung terhadap gonadotropin baik pada tingkat hipotalamus maupun hipofisis. dalam hal ini lh lebih jelas dipengaruhi dari pada fsh. ini berarti bahwa peningkatan androgen yang beredar dalam darah akan mengganggu keserasian antara hipotalamus, hipofisis dan ovarium. hal tersebut diatas sesuai dengan teori ali baziad (2013) yang mengemukakan bahwa kekurangan/kelebihan jaringan lemak akan mempermudah terjadinya gangguan metabolisme hormone seks. wanita yang memiliki jaringan lemak terlalu banyak tidak hanya kelebihan androgen tetapi juga kelebihan estrogen terutama estron/estradiol. wanita kegemukan dengan siklus menstruasi normal kadar testosteronnya lebih rendah daripada yang mengalami amenore. pada wanita dengan diit rendah lemak panjang siklus menstruasinya meningkat rata-rata 1,3 hari, lama menstruasi meningkar rata-rata 0,5 hari dan fase follikuler meningkat ratarata 0,9 hari (lailiyana, 2010) demikian juga menurut erna francin (2007) bahwa secara khusus jumlah wanita yang anovulasi akan meningkat bila berat badannya meningkat. 12 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 8–12 mekanisme lain adalah gangguan pematangan follokel akibat peningkatan lh dan kadar testosteron yang rendah. seberapa gemuk yang akan menyebabkan siklus anovulasi tidak diketahui secara pasti, yang jelas bahwa diet dan berat badan sangat mempengaruhi fungsi menstruasi. sedangkan asupan tinggi lemak berpengaruh terhadap kadar hormon steroid, dibuktikan diet rendah lemak memperpanjang siklus, hari menstruasi serta memperpanjang lamanya fase folikuler (erna francin, 2007). simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dari 72 responden mengenai hubungan tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi pada mahasiswa tingkat i di prodi d-iii kebidanan fkk unusa dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fkk unusa rata-rata gemuk (fat), mahasiswa tingkat i prodi d-iii, kebidanan fkk unusa rata-rata memiliki siklus menstruasi teratur, ada hubungan antara tebal lemak tubuh dengan panjang siklus menstruasi mahasiswa tingkat i prodi d-iii kebidanan fkk unusa. saran bagi tenaga medis diharapkan penelitian ini sebagai tambahan wawasan dalam mengetahui panjang siklus menstruasi berdasarkan tebal lemak tubuh sehingga dapat memberikan asuhan mengenai status gizi yang benar untuk kesehatan reproduksi. daftar rujukan adele. 2012. buku saku perawatan kesehatan ibu dan anak. jakarta: egc. arisman. 2010. buku ajar ilmu gizi: gizi dalam daur kehidupan. jakarta: egc. barasi, mary e. 2010. at a glance ilmu gizi. jakarta: erlangga. baziad, a. 2013. pemeriksaan dan penanganan amenorea. editor endrokrinologi ginekologi. jakarta: cipta karsa. bobak, i.m., lowdermilk, d.l., jensen, m.d. 2005. buku ajar keperawatan maternitas (maternity nursing) edisi 4. maria a wijayarti dan peter anugrah (penerjemah). 2005. jakarta: egc. brenna, i., mayer, h. 2006. at a glance nutrisi. jakarta: egc. cunningham. 2006. obstetri william. edisi 21 volume 1. jakarta: egc. djaeni, a.s. 2012. ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi cetakan x. jakarta: dian rakyat. francin, e., dkk. 2007. gizi dalam kesehatan reproduksi. jakarta: egc. indriati, e. 2010. antropometri untuk kedokteran, keperawatan, gizi, dan olahraga. yogyakarta: pt citra aji parama. kusmiran, e. 2011. kesehatan reproduksi remaja dan wanita. jakarta: salemba medika. lailiyana, dkk. 2010. buku ajar gizi kesehatan reproduksi. jakarta: egc. muchtadi, d. 2009. pengantar ilmu gizi. bandung: alfabeta. sirajuddin, s. 2011. penuntun praktikum penilaian status gizi secara biokimia dan antropometri. makassar: laboratorium terpada fakultas kesehatan masyarakat universitas hasanuddin. supariasa, i.n. 2009. penilaian status gizi. jakarta: egc. wiknjosastro, h. 2009. ilmu kebidanan. edisi iii. cetakan vi. jakarta: ybpsp. wirjatmadi, a. 2012. peranan gizi dalam siklus kehidupan. jakarta: kencana prenada media group. 311 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk positive correlation of hypertension and cognitive function of elderly nanik dwi astutik1, felisitas a sri s2, ifa pannya sakti3 1,2,3nursing department, stikes panti waluya malang, indonesia article information abstract biological changes in the elderly are one of the triggers for the emergence of hypertension which can cause changes in cognitive function. the purpose was to analyze the correlation between hypertension and cognitive function in the elderly. the design was correlation descriptive research design with the cross-sectional approach. the sampling technique was purposive sampling, the number of samples of respondents was 56 people. the research was conducted at integrated healthcare center elderly, malang city. the instrument used to while the cognitive function in the elderly uses the mmse. analysis used the spearman rank test with an alpha value of 0.05 (95% ci). the results showed that there was a significant correlation between hypertension and cognitive function in the elderly (r=0.532 and p=0.000). the direction of the correlation is positive, meaning that the more severe hypertension suffered by the elderly, the more severe they will tend to experience more severe cognitive function impairments. based on the results of this study, it is recommended for people with hypertension do blood pressure screening and undergo hypertension treatment regularly. this is very important so that prevention and treatment can be carried out earlier to prevent more severe cognitive impairment. history article: received, 02/08/2022 accepted, 09/12/2022 published, 15/12/2022 keywords: cognitive function, hypertension, elderly © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes panti waluya malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: nanikd79@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p311-320 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:nanikd79@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p311-320 312 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 311-320 introduction hypertension is characterized by an increase in systolic blood pressure 140 mmhg and/or diastolic blood pressure 90 mmhg which persists at a certain time. symptoms that usually appear in people with hypertension are headache/heaviness in the neck, vertigo, heart palpitations, fatigue, blurred vision, ringing in the ears, and nosebleeds.(ismaya, kusumawati and murti, 2017). the development of lifestyle causes an increase in the incidence of hypertension in the community. fifty percent of the elderly (aged 60 years) suffer from hypertension, which contributes to an increase in the mortality rate of the elderly per year. one of the complications of hypertension in the central nervous system besides stroke can also cause a decrease in cognitive function(sari et al., 2019). cognitive function is a human mental process that includes attention, perception, thought processes, knowledge, and memory. approximately 75% of the human brain is a cognitive area. changes in cognitive function that occur in the elderly are reduced intellectual function abilities, reduced efficiency of nerve transmission in the brain which results in slowing down of information processing and a lot of information is lost during transmission, reduced ability to absorb new information and retrieve information from existing memories, and the ability to remember events. the past is better than the ability to remember recent events.(ismaya, kusumawati and murti, 2017) chronic hypertension will make the smooth muscle cells of the brain's blood vessels proliferate. this proliferation causes the lumen to become narrower and the walls of the blood vessels to become thicker so that the nutrients carried by the blood to the brain tissue are also disrupted. neuron cells in the brain will experience ischemia if not treated immediately. when ischemia occurs, the ion pump that requires atp will not function so sodium and calcium ions will be trapped in neuronal cells. sodium will attract h2o into the cell so that it becomes edema. calcium will activate glutamate and become a cytotoxic substance for cells. the sodium and calcium will eventually make the neuron cells die and cause impaired cognitive function.(ismaya, kusumawati and murti, 2017) impaired cognitive function is a serious health problem that can cause psychological, and socioeconomic impacts in the form of social isolation and financial difficulties, motor retardation, aggravating other symptoms and can reduce the quality of life. mathur and moschis explain that a person's cognitive changes are due to the biological changes they experience and are generally associated with the aging process (full moon, 2018). several previous studies have revealed that long-term hypertension can cause a decrease in cognitive function that interferes with the patient's quality of life. preliminary studies in the research area show that screening for cognitive function in the elderly with hypertension has never been carried out. based on the above background, the researchers are interested in researching the topic of the correlation between hypertension and cognitive function in the elderly. methods this study used a correlation descriptive research design with a cross-sectional approach, which was a type of research that emphasizes the timing of measurement or observation of free and bound variable data carried out at the same time. this research was conducted on the elderly at the posyandu for the elderly of gadingkasri village, puskesmas working area with malang city from may to july 2022. the population in this study was all elderly people who were registered in the posyandu (integrated health service) for the elderly of gadingkasri village, puskesmas working area with malang city, totaling 96 people. the samples in this study were elderly people who had hypertension who were taken using purposive sampling techniques of 56 people. the independent (free) variable in this study is a hypertensive disease while the dependent (bound) variable is the cognitive function of the elderly. the instrument in this study used a questionnaire to obtain general data on respondents and an mmse (mini mental status exam) questionnaire with modifications in indonesian to identify cognitive aspects and mental functions of respondents and take respondents' blood pressure measurements using a tension meter device. data collection techniques go through the preparation and sample determination stages. data processing is carried out by editing, coding, scoring, and tabulating. data analysis is carried out by entering data into the spss program. data analysis includes a univariate analysis where all variables are analyzed using software-assisted descriptive analysis and bivariate analysis to see the correlation between hypertension disease and the cognitive function of the elderly. the statistical test used is the astutik, sri s, sakti, positive correlation of hypertension and cognitive function of elderly … 313 spearman rank test, with an alpha value of 0.05 (ci 95%). results the results of the frequency distribution recapitulation collected from the questionnaire on the demographic characteristics of the respondents can be seen in the following table. table 1: respondent's demographic frequency distribution demographic data frequency percentage (%) gender man 10 17.9 woman 46 82 age 60-69 yrs 42 75 70-79 yrs 11 19.6 80-89 yrs 3 5.4 education sd 33 58.9 junior high school 17 30.4 senior high school 6 10.7 work housewives 42 75.0 retired 7 12.5 self-employed 7 12.5 marital status not married 1 1.8 marry 50 89.3 widow 5 8.9 religion islam 50 89.3 christian 6 10.7 long suffering less than 1 year 1 1.8 1 to 5 years 46 82.1 6 to 10 years 8 14.3 more than 10 years 1 1.8 medication history not yet 1 1.8 seldom 1 1.8 routine 54 96.4 other diseases (comorbid) none 40 71.4 diabetes 8 14.3 joint pain 3 5.4 heart 3 5.4 stomach 2 3.6 table 2: frequency distribution of degrees of hypertension systolic pressure (mmhg) diastolic pressure (mmhg) hypertension frequency percentage (%) 140 – 159 90 – 99 mild 30 53.6% 160 – 179 100 – 109 moderate 23 41.1% >180 110 severe 3 5.3% amount 56 100.0% source: processed primary data (2022) based on the results of a study of 56 elderly people in the elderly posyandu of gadingkasri village, puskesmas working area with malang city, data was obtained that as many as 30 people (53.6%) had mild hypertension. this sentence should be in the method. 314 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 311-320 table 3: frequency distribution of elderly cognitive functions elderly cognitive functions frequency percentage (%) no cognitive impairment 5 8.9% there is moderate cognitive impairment 41 73.2% there is severe cognitive impairment 10 17.9% total 56 100% source: processed primary data (2022) based on the results of research on 56 elderly people at the posyandu for the elderly, gadingkasri village, the working area of the bareng health center, malang city, it is known that the most elderly (73.2%) elderly experience moderate cognitive impairment. cross-tabulation of the correlation of hypertensive disease with the cognitive function of the elderly cognitive function total no cognitive impairment there is moderate cognitive impairment there is severe cognitive impairment hypertension mild 4 80.0% 26 63.4% 0 .0% 30 53.6% moderate 1 20.0% 15 36.6% 7 70.0% 23 41.1% severe 0 .0% 0 .0% 3 30.0% 3 5.4% total 5 100.0% 41 100.0% 10 100.0% 56 100.0% in the results of the crosstabs above, it can be seen that there is a clear tendency where the more severe hypertension suffered by the elderly, the more likely they are to experience more severe cognitive function disorders, and vice versa. spearman correlation test results table spearman correlation coefficient p-value the correlation between hypertension and cognitive function in the elderly 0.532 0.000 based on the results of statistical tests to determine the correlation between hypertension and the cognitive function of the elderly, the spearman correlation coefficient value is 0.532 with a p-value or significance of 0.000 which is smaller than alpha 0.05 (reject ho), so it can be concluded that there is a significant correlation between hypertension and the cognitive function of the elderly in the elderly posyandu, gadingkasri village, working area of the bareng health center, malang city. the direction of the correlation is positive, meaning that the more severe hypertension suffered by the elderly, will cause them to tend to experience more severe cognitive function disorders. and vice versa, the milder hypertension suffered by the elderly. discussion this study found 10 respondents (17.9%) elderly men and 46 respondents (82.1%) elderly women. the results of this study are in line with research conducted by wahyuniarti, et al., (2017) which examined the correlation between hypertension and cognitive decline in the elderly, with a case-control study that used a sample of 63 hypertension and non-hypertension elderly people aged 60-74 years the elderly posyandu, gadingkasri village, working area of the bareng health center, malang city, found that as many as 76% of the sample who experienced decreased cognitive function were female, where this number was more than the male elderly sample. based on data from the 2014 national socio-economic survey (susenas), the number of elderly women is greater than that of men, namely 10.77 million elderly astutik, sri s, sakti, positive correlation of hypertension and cognitive function of elderly … 315 women compared to 9.47 million elderly men. the results of the 2014 population census that the proportion of elderly women is higher than the proportion of elderly men, both in urban and rural areas (bps, 2015). therefore, the risk of hypertension in women increases after the decrease in the hormone estrogen during menopause. decreased estrogen will reduce high-density lipoprotein levels and increase low-density lipoprotein levels affecting the process of atherosclerosis formation and causing hypertension. the results of this study found that 75.0% of the elderly who became the research sample were aged between 60-69 years, which included the category of young elderly. the results of this study are also in line with the research conducted by wahyuniarti, et al., (2017) which found that 62% of the elderly with hypertension were aged between 60-69 years. in addition, it is also in line with the research results of akbar, et al. (2020) who examined the characteristics of hypertension in the elderly in buku village, and found that out of 50 samples of elderly people, there were 92% aged between 60-74 years (elderly). based on research (novitaningtyas 2014) confirms that the older you get, the riskier someone has of hypertension. hypertension will increase with age more than 60 years according to data from the research and development agency, the ministry of health of the republic of indonesia (2019) which reached 63.8%. at the age of 60-64 years, there is an increase in the risk of hypertension by 2.18 times, aged 65-69 years by 2.45 times, and age >70 years by 2.97 times. this happens because at that age the large arteries lose their flexibility and become stiff because of that blood at each heartbeat is forced to pass through narrower blood vessels than usual and causes blood pressure to rise (novitaningtyas 2014). then for the education level of the respondents, it can be seen that there are 33 elderly people (58.9%) with elementary education, 30.4% of seniors with junior high school education, and 10.7% of the elderly with high school education. the results of this study are in line with research conducted by taraghi et al., (2016) at the mazandaran university teaching hospital, iran where the highest level of subject education is in elementary school. this study is not in line with the research conducted by taufik (2014) which examined the effect of hypertension on cognitive function disorders and divided the level of education into basic education level of 5 (10.29%) subjects, secondary education level of 24 (49%) subjects and higher education level as many as 20 (40.8%) subjects, with the most subjects coming from higher education level. these results are in line with the research of vadilokias et.al. (2012) which states that higher education (>12 years) makes the subjects in their study have good cognitive performance in the verbal and non-verbal fields during repeated tests for one year compared to the lower education level group (< 12 years old). the results of this study indicate that cognitive impairment occurs in individuals with an education level of more than 12 years. the higher the education, it will increase the density of synapses in the brain and reduce complaints of cognitive impairment. dementia rarely occurs in people with a high level of education, because of this (kazman, 2013). 12 years) made the subjects in his study have better cognitive performance in verbal and non-verbal areas during repeated tests for one year compared to the lower educational level group (<12 years). the results of this study indicate that there is a slowing of cognitive impairment in individuals with an education level of more than 12 years. the higher the education, it will increase the density of synapses in the brain and reduce complaints of cognitive impairment. dementia rarely occurs in people with a high level of education, because of this (kazman, 2013). 12 years) made the subjects in his study have better cognitive performance in verbal and non-verbal areas during repeated tests for one year compared to the lower educational level group (<12 years). the results of this study indicate that cognitive impairment occurs in individuals with an education level of more than 12 years. the higher the education, it will increase the density of synapses in the brain and reduce complaints of cognitive impairment. dementia rarely occurs in people with a high level of education, because of this (kazman, 2013). the results of this study indicate that cognitive impairment occurs in individuals with an education level of more than 12 years. the higher the education, it will increase the density of synapses in the brain and reduce complaints of cognitive impairment. dementia rarely occurs in people with a high level of education, because of this (kazman, 2013). the results of this study indicate that cognitive 316 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 311-320 impairment occurs in individuals with an education level of more than 12 years. the higher the education, it will increase the density of synapses in the brain and reduce complaints of cognitive impairment. dementia rarely occurs in people with a high level of education, because of this (kazman, 2013). hypertension is a condition where there is an increase in blood pressure that gives symptoms to a target organ such as stroke for the brain, coronary heart disease for the heart blood vessels, and right ventricular hypertrophy for the heart muscle. (candra, 2018). hypertension can occur when blood pressure is greater than the walls of the arteries and blood vessels themselves (who, 2019). an uncontrolled increase in hypertension will cause serious liver and heart problems (mayo clinic, 2018). in this study, it was found that 53.6% of the elderly had mild hypertension, 41.1% of the elderly had moderate hypertension, and 5.4% of the elderly had severe hypertension. this is explained by handayani (2020) that the risk of high blood pressure (hypertension) will increase with age. approximately 2 out of 3 people over the age of 75 years are estimated to have hypertension. blood pressure is measured based on the ability of blood to press against the walls of the heart, namely systolic blood pressure (when the heart pumps blood) and diastolic blood pressure (when the heart relaxes). the elderly are generally considered to have normal blood pressure if the systolic is below 120 and the diastolic is less than 80, or the numbers are stated as 120/80, while a person is said to have hypertension if they have a systolic/diastolic above 130/80. however, please note that blood pressure tends to vary over time, depending on age, activities undertaken, food and drink consumed, and the time of measurement. activities undertaken, food and beverages consumed, and measurement time. generally in the elderly, blood pressure is classified as high if it is more than 140/90 mmhg. things that happen to the body if hypertension occurs in the elderly are severe headaches, dizziness, blurred vision, nausea, ringing in the ears, irregular heartbeat, confusion, fatigue, chest pain, difficulty breathing, blood in the urine, and a pounding sensation in the chest. neck, or ears. hypertension in the elderly is associated with the aging process that occurs in the body. as a person gets older, blood pressure also increases. although the aging process is something natural, the elderly with hypertension are still at risk of developing more serious disease complications. such as stroke, kidney damage, heart disease, blindness, diabetes, and other dangerous diseases. impaired cognitive function is a serious problem for the elderly because it causes a decrease in performance on cognitive tasks, especially when making decisions due to delays in processing, working memory, and executive cognitive function. according to strub et al, cognitive function is a conscious mental activity such as thinking, learning, remembering, and using language. cognitive function is also the ability of attention, memory, problem-solving, judgment, and executive abilities (planning, assessing, monitoring, and evaluating). (sibarani rmh, 2014). measurement of cognitive function in this study using the mini-mental state examination (mmse) was originally developed for dementia screening but is now widely used for measuring cognitive function in general. in this study, it was found that 73.2% of the elderly had moderate cognitive impairment. this is explained by sabarini (2015) that old age is vulnerable to many changes, both physically and psychologically. these changes can be slow or fast. changes that occur can affect some activities that are routinely carried out. an example of one is the activity of body organs such as the performance of muscles, the brain, and so on. mental changes experienced by the elderly include changes in personality, memory, and intelligence changes. these changes can occur due to changes in intelligence, as well as decreased memory, such as memory in everyday life, where long-term memory does not change too much, but short-term memory has decreased. that's why old age is synonymous with senility or forgetting everything. in addition, the role of the right brain declines faster than the left brain. this results in impaired alertness function as well as attention from the elderly. cognitive decline in the elderly also depends on age and gender, especially in women, because in women there is a role for endogenous sex hormones in changes in cognitive function and the function of estrogen receptors in the brain that play a role in learning and memory functions. this results in impaired alertness function as well as attention from the elderly. cognitive decline in the elderly also depends on age and gender, especially in women, because in women there is a role for endogenous sex hormones in changes in cognitive function and the function of estrogen receptors in the brain that play a role in astutik, sri s, sakti, positive correlation of hypertension and cognitive function of elderly … 317 learning and memory functions. this results in impaired alertness function as well as attention from the elderly. cognitive decline in the elderly also depends on age and gender, especially in women, because in women there is a role for endogenous sex hormones in changes in cognitive function and the function of estrogen receptors in the brain that play a role in learning and memory functions. some examples of cognitive changes in the elderly include the aging process due to brain performance, where there are changes in the brain associated with age. every year there is a decrease in volume in each area of the frontal lobe as well as the temporal lobe. this is the volume of the brain accompanied by a decline in cognitive function. then the influence of the age factor, where with increasing age a person becomes more and more changes in body systems and organs, one of which is a decrease in function. in this case, the influence on cognitive function is decreased intellectual ability, the ability of the brain's nerve transmission to be slow, and loss of memory as well as existing information. next is memory or memory, namely the decline in memory which is one of the cognitive functions. long-term memory did not change much, but short-term memory decreased. followed by a decrease in intellectual function, where iq is one of the intellectual functions that can decrease in terms of remembering, solving problems, and response speed is also not focused. changes in other cognitive functions, namely the ability to learn can also decrease, due to a decrease in the function of several organs of the body. this is why it is recommended that the elderly do a lot of practice and therapy in improving learning abilities even though it takes time. understanding ability in the elderly can also decrease, this is one of the cognitive changes in the elderly who are starting to decline. like focus and memory that begin to slacken. difficult to solve problems, terms of solving problems, the elderly also have rather difficult doing that. this is because the organ system function declines with age. decision-making is also very slow because cognitively the role is starting to decline and decrease. changes in self-motivation, both cognitive and affective motivation in obtaining something large enough. however, this motivation often lacks support due to physical and psychological conditions. based on the results of the cross table shows that the more severe hypertension is suffered by the elderly, then it will cause they tend to experience more severe cognitive function disorders as well. on the other hand, mild hypertension suffered by the elderly will cause them to tend not to experience significant cognitive function disorders. where this is also supported by the results of the spearman correlation test which shows that there is a significant correlation between hypertension and cognitive function of the elderly in the elderly posyandu, gadingkasri village, bareng health center, malang city, with a positive correlation coefficient of 0.532 with a p-value of 0.000 ( p<0.05). the results of this study are in line with the research of matthew et al. (2017) based on data analysis using the chi-square test, p-value = 0.007, and found significant results between hypertension and impaired cognitive function in the elderly. decreased cognitive function is an important problem in the elderly, where hypertension will increase the risk of cognitive dysfunction by 7.59 times compared to those without hypertension. brain microvascular disorders are thought to play a role in the incidence of vascular cognitive impairment. microvascular disorders such as hypertension, diabetes mellitus, and inflammation. one of the complications of hypertension in the central nervous system is a decrease in cognitive function, which functions as a memory if allowed to cause dementia (vascular cognitive impairment). hypertensive patients with moderate to severe cognitive impairment have problems with attention and calculations found in the mmse, such as subtracting the number 100 by 7 or asking the word "world" to be spelled backward. this is also related to the factor of low education. in the elderly who received higher education early in life, more synapses were formed and increased vascularization in the brain, so their cognitive abilities were better. higher education tends to seek information on the understanding of the treatment and complications of hypertension. the results of this study are also in line with research conducted by taraghi et al., (2016) which found a significant correlation between cognitive function and hypertension (p = 0.039) (taraghi et al., 2016). several sources state that hypertension has a significant effect on cardiovascular function, and cerebral structural 318 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 311-320 integrity and is associated with cognitive decline. the main explanation for how hypertension has a detrimental effect on cognitive function is that hypertension increases cardiovascular disease. several longitudinal studies have shown a positive correlation between hypertension and impaired cognitive function. this effect is associated with stroke and is strongly correlated with individuals who do not take antihypertensive drugs (taraghi et al., 2016). the difference in risk could be because high systolic blood pressure in middle age increases the risk of atherosclerosis, increases the number of white matter ischemic lesions, and increases the risk of atherosclerosis. conclusion based on the results of the study, it can be seen that most of the elderly in the posyandu for the elderly, gadingkasri village, working area of the bareng health center, malang city have blood pressure or hypertension which is classified as mild, namely systolic between 140-159 mmhg and diastolic between 90-99 mmhg (53.6%). based on the results of the study, it can be seen that most of the elderly in the posyandu for the elderly, gadingkasri village, working area of the bareng health center, malang city have moderate cognitive impairment (73.2%%). the results of the spearman correlation test showed that there was a significant correlation between hypertension and the cognitive function of the elderly at the elderly posyandu, gadingkasri village, working area of the bareng health center, malang city (r=0.532 and p=0.000). the direction of the correlation is positive, meaning that the more severe hypertension suffered by the elderly, will cause them to tend to experience more severe cognitive function disorders and vice versa. suggestion based on the results of this study, it is recommended for people with hypertension do blood pressure screening and undergo hypertension treatment regularly. this is very important so that prevention and treatment can be carried out earlier to prevent more severe cognitive impairment. in addition, it is also necessary to pay more attention to lifestyle, food intake, and also physical activity to reduce the risk of increased blood pressure which will result in the risk of developing complications such as coronary heart disease, and heart failure. acknowledgement all praise be to god for giving his mercy and grace so that the author can complete the lecturer's research report with the title "the correlation between hypertension disease and the cognitive function of the elderly in the posyandu of the elderly in gading kasri village, puskesmas work area with malang city. in the preparation for this lecturer's research, researchers have received a lot of guidance, motivation, and assistance from various parties. therefore, the researcher would like to thank mr. wibowo, s.kep.ns., m.biomed as the head of the college of health sciences at panti waluya malang, head of puskesmas bareng malang city who has provided opportunities and assistance in the implementation of this research, head of the elderly posyandu of gading kasri village, the working area of the malang city health center who has provided opportunities in the implementation of this research and all parties who have been involved in the implementation of research activities .ini. funding we are grateful for the funding of our research process from the college of health sciences panti waluya malang conflicts of interest contains the statement of all possible conflicts of interest in the manuscript, including financial, consultant, institutional, and other correlations that might lead to bias or a conflict of interest. if there is no conflict of interest, this should also be explicitly stated. all sources of funding should be acknowledged in the manuscript. all relevant conflicts of interest and sources of funding should be included in the manuscript with the heading "conflicts of interest". we guarantee that the article is the original work of the author. we guarantee that the article has not received prior publication and is not to be published elsewhere. on behalf of all co-authors, the appropriate author shall be solely responsible for such submissions. the study has not been submitted for publication nor has it been published in whole or in part elsewhere. all the authors listed on the title page have contributed significantly to the work, have read the manuscript, proved the validity and legitimacy of the data and its interpretation, and approved its submission to the journal ners and midwifery patria husada. all authors agree that the astutik, sri s, sakti, positive correlation of hypertension and cognitive function of elderly … 319 list of authors is correct in its content and order and there is no modification. authors contribution the contribution of the chief researcher in this study is to divide the tasks in the implementation of the research, coordinate with members in the collection and analysis of research data, coordinate data processing and analysis, coordinate the implementation of ethical tests, seminars and publication of research results. meanwhile, research members contribute to collecting and recapitulating research data, analyzing data and compiling research reports and assisting in the publication of research results through journals. references akbar, fredy, hamdan nur, umi indar h. 2020. characteristics of hypertension in the elderly in buku village, yppp wonomulyo nursing academy. jwk: vol 5, no 2, year 2020 (issn: 2548-4702). arshinta, l (2018). the correlation between hypertension with decreased cognitive function at samalantan public health center, west kalimantan. callosum neurology journal: volume 1, numbers 2: 41-46. arneud, slb & douglas, pm (2016). the stress response paradox: fighting degeneration at the cost of cancer. the febs journal, 283(22), 40474055.doi:10.1111/febs.13764. a. robles, b & sampedro, g. (2018). new evidence of the relative protective effects of neurodegenerative diseases and cancer against each other. neurology. doi:10.1016/j.nrleng.2017.01.011 bherer, l., erickson, k., & liu, t. (2013). a review of the effects of physical activity and exercise on cognitive and brain functions in older adults. journal of aging research, 18. doi:10.1155/2013/657508. indonesian central statistics agency, 2021 population projection 2010-2035 central bureau of statistics, 2015. statistics of the elderly population 2014 results of the national socio-economic survey. jakarta: central bureau of statistics. boyle, pa, buchman, as, barnes, ll, & bennett, da (2010a). effect of a purpose in life on risk of incident alzheimer's disease and mild cognitive impairment in communitydwelling older persons. arch gene psychiatry, 67(3), 304-310. doi:10.1001/archgenpsychiatry.2009.208 darmojo, rb. 2009. the theory of the aging process. in: martono h, pranarka k (editor). textbook boedhi-darmojo geriatrics (elderly health sciences) 4th edition pages 1-13. jakarta: publishing center of the department of internal medicine, faculty of medicine, university of indonesia. goode, b., & booth, g. dementia care. london: british library. greenwood, pm, & parasuraman, r. (2012). nurturing the older brain & mind. retrieved from http://www.buulib.com. grinspun, d. (2016). delirium, dementia, and depression in older adults: assessment and care. retrieved fromhttp://www.buulib.com handayani, vv 2020. this is the reason elderly vulnerable to hypertension. article. halodoc.com hendershott, tr, zhu, d., llanes, s., & poston, ki (2017). domain-specific accuracy of the montreal cognitive assessment subsections in parkinson's disease. parkinsonism relat disord, 38, 31-34. doi: 10.1016/j.parkreldis.2017.02.008 julianti, r. and budiono a. 2008. dementia. pekanbaru: university of riau. katzman, r. 2013. education and the prevalence of dementia and alzheimer's disease. neurologist. 43. pp:13-20. indonesian ministry of health. guidelines for the assessment of elderly health programs for health workers. jakarta: ministry of health of the republic of indonesia; 2010. matthew dimas reza dana ismaya, ratna kusumawati, bhisma murti. 2017. the correlation between hypertension and cognitive function disorders in the elderly at the elderly posyandu fostered by the community health center in nektoran, surakarta. faculty of medicine, eleven march university. surakarta. novitaningtyas, tri. 2014. “correlation of characteristics (age, gender, education level) and physical activity with blood pressure in the elderly in makamhaji village, kartasura district, sukoharjo regency 39 (1): 1– 15.https://doi.org/10.4324/97813158531 78. taraghi, z., ahmad, aak, mahshid, f., jamshid, y., ali, m., seied, kb, 2016. cognitive impairment among elderly patients with chronic heart failure and related factors. iran j psychiatry behavior sci. vol 10 taufik, es, 2014. effect of hypertension on cognitive function in the elderly. http://www.buulib.com/ http://www.buulib.com/ https://doi.org/10.4324/97813158531%2078 https://doi.org/10.4324/97813158531%2078 320 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 311-320 semarang, indonesia, diponegoro university. thesis. young medika media journal. tuppen, j. (2012). the benefits of groups that provide cognitive stimulation for people with dementia. nursing older people, 24(10), 20-24. vadikolias k., tsiakiri-vatamidis a, tripsianis g, et al. 2012. mild cognitive impairment: effect of education on the verbal and nonverbal tasks performance decline. brain and behavior. 2(ince 2001), pp:620-827 wahyuniarti, anisa, moch bahrudin, and fathiyah safithri. 2017. the correlation between hypertension and cognitive decline in the elderly. article. faculty of medicine, university of muhammadiyah malang. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 1nuari, quality work life dan kepuasan kerja perawat ... 1 quality work life dan kepuasan kerja perawat dirumah sakit amelia pare (quality of work life and job satisfaction of nurses in amelia hospital pare) nian afrian nuari program studi s1 ilmu keperawatan, stikes karya husada kediri email: nian.afrian@yahoo.co.id abstract: job satisfaction is a feeling of love or satisfied of the work that is experienced by the individual. this has an impact on the sustainability of the health services and hospital operation. therefore, the management of the hospital is supposed to power our quality of work life (qwl) in order to avoid a decrease in job satisfaction which will has impact on the performance and results. the purpose of this research was to identify the correlation of quality of work life with job satisfaction of nurses in amelia hospital pare. the research method was correlational study with purposive sampling and sample of 30 respondents. the intruments used questionnaires then analyzed by spearman rho test. based on the results, the majority (60%) 18 respondents had a quality of work life and job satisfaction in category of very good, almost half (30%) 9 respondents had a quality of work life and job satisfaction in category of good and a small number (10%) 3 respondents had a quality of work life in category quite good. the results of the research obtained p value = 0,007, á = 0,05, and cc = 0,479, h1 was accepted. this means that there was a correlation between quality of work life with job satisfaction of nurses in amelia hospital pare with average correlation level. it was expected to achieve optimal health and performance or satisfactory work in the hospital. it was also expected to apply and pay attention to quality of work life to increase job satisfaction of nurses, so the purpose of the nurses and the hospital will be achieved. keywords: quality, work, life, job, satisfaction, nurses abstrak: kepuasan kerja merupakan suatu perasaan suka atau puas terhadap pekerjaan yang dialami oleh individu . hal ini berdampak pada pelayanan kesehatan serta keberlangsungan operasional rumah sakit, oleh karena itu manajemen rumah sakit sudah seharusnya memberdayakan sistem quality of work life (qwl) agar tidak terjadi penurunan kepuasan kerja yang mampu berdampak pada penurunan kinerja dan hasil kerja. tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan quality of work life dengan kepuasan kerja perawat di rs amelia pare. metode penelitian yang digunakan adalah studi korelasional dengan teknik purposive sampling dan jumlah sampel 30 responden. alat ukur yang digunakan kuesioner dan dianalisis dengan uji statistik spearman rho. berdasarkan hasil penelitian didapatkan sebagian besar (60%) yaitu 18 responden memiliki quality of work life dan kepuasan kerja sangat baik, hampir sebagian (30%) yaitu 9 responden memiliki quality of work life dan kepuasan kerja yang baik dan sebagian kecil (10%) yaitu 3 responden memiliki quality of work life cukup baik. hasil analisis dengan uji spearman rho didapat p value = 0,007, : 0,05, dan cc = 0,479, h1 diterima. hal ini berarti ada hubungan antara quality of work life dengan kepuasan kerja di rs amelia pare dengan kekuatan hubungan sedang. diharapkan untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal serta kinerja yang baik atau hasil kerja yang memuaskan maka diharapkan rumah sakit menerapkan dan memperhatikan quality of work life untuk meningkatkan kepauasan kerja dari perawat, sehingga tujuan dari perawat dan rumah sakit akan tercapai. kata kunci: quality, work, life, kepuasan, kerja, perawat acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p001-007 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 2 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 1–7 dewasa ini tujuan individu untuk bekerja tidak hanya untuk mencari uang saja, melainkan untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti kebutuhan untuk dihargai, membentuk keterikatan sosial serta merasa kompeten dalam kehidupan pekerjaan. kualitas kehidupan kerja atau quality of work life (qwl) merupakan isu menarik yang menjadi tantangan bagi organisasi dalam penataan lingkungan kerjanya. salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja serta meningkatkan kualitas output melalui partisipasi serta keterlibatan (involvement) karyawan dalam proses pengambilan keputusan dan untuk memenuhi kebutuhan para karyawan adalah dengan penerapan kualitas kehidupan kerja atau quality of work life (siagian, 2004). pada era kompetensi global seperti kondisi saat ini, rumah sakit agar meningkatkan strategi mereka dalam upaya peningkatan produktivitas pegawai, mereka harus dapat menciptakan suasana kerja di mana pegawai atau karyawan merasakan keterlibatan mereka terhadap instansi misalnya partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan dalam pekerjaan mereka, rasa aman terhadap lingkungan kerja, komunikasi yang baik antar pegawai maupun atasan, karir yang berkembang dan memiliki rasa bangga terhadap pekerjaan. quality of work life bukan merupakan hal yang baru. banyak perusahaan-perusahaan yang telah menciptakan dan menerapkan quality of work life yang baik di dalam organisasinya untuk mengatasi krisis produktivitas (brooks & anderson, 2005). quality of work life juga menjadi isu penting dalam organisasi kesehatan. rumah sakit sebagai suatu organisasi yang kompleks, padat modal dan padat teknologi, memerlukan biaya yang tinggi untuk memenuhi tuntutan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, sehingga rumah sakit harus selalu meningkatkan produktivitasnya serta dapat memunculkan dan meningkatkan kepuasan kerja perawat agar peningkatan pelayanan kesehatan dapat terkendali dengan baik. kepedulian terhadap kondisi perawat, menumbuhkan loyalitas untuk meningkatkan kualitas pelayanan. kualitas pelayanan kerja dipengaruhi oleh quality of work life yang merupakan elemen penting dalam pelayanan bidang kesehatan (brooks & clarke, 2010). berdasarkan data yang telah di ambil dari studi pendahuluan di rs amelia pare memiliki jumlah perawat tetap yaitu 86 orang dari 8 ruangan. dari data wawancara bersama 5 perawat dari 3 ruangan didapat data bahwa dari 9 komponen quality of work life baru 70% pelaksanaannya serta yang dirasakan, dan ada beberapa komponen dari quality of work life. quality of work life yang kurang baik mempunyai dampak mengakibatkan perawat yang keluar dari pekerjaan. hal ini bisa dipengaruhi motivasi kerja dan kepuasan yang dimiliki perawat. motivasi pada dasarnya adalah melakukan penyesuaian kebutuhan organisasi dengan kebutuhan karyawan, penyesuaian kegiatan yang dimiliki oleh organisasi dengan kegiatan karyawan serta penyesuaian tujuan yang dimiliki oleh organisasi dengan tujuan karyawan (azwar, 2003). namun demikian, untuk menumbuhkan motivasi kerja perawat, tidak semudah yang diperkirakan. permasalahannya adalah, pimpinan yang mendorong seorang perawat bekerja sangat bervariasi dan berbeda kapabilitasnya satu dengan lainnya. hal ini dapat dilihat dalam satu unit keperawatan, ada perawat yang rajin dan tekun dalam bekerja, sangat produktif dan mempunyai kemampuan tinggi dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam memberikan asuhan keperawatan. sebaliknya ada perawat yang malas, dan kurang memiliki semangat dan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja rendah. untuk mengatasi per masalahan tersebut, seorang manajer keperawatan harus memiliki kemampuan dan keterampilan tentang teknik-teknik motivasi untuk dapat menggerakan perawat melaksanakan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawabnya dalam melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. dengan demikian upaya-upaya yang dilakukan manajer keperawatan akan dapat meningkatkan motivasi kerja perawat dengan indikator-indikator meningkatnya produktifitas, semangat kerja disiplin dan prestasi kerja perawat. pimpinan merupakan faktor penting manajemen yang memegang peran strategis dalam kelangsungan pelayanan keperawatan dirumah sakit. seorang pemimpin dituntut untuk selalu membuat suasana kehidupan kerja yang baik sehingga mampu meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja perawat. peningkatan kinerja dan kepuasan kerja akan meningkatkan daya saing terhadap kompetitif perumahsakitan saat ini (mangkunegara, 2004). untuk memotivasi karyawan, atasan harus mengetahui motif dan motivasi yang diinginkan karyawan. orang mau bekerja adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan yang disadari (conscious needs) maupun kebutuhan yang tidak disadari (unconscious needs), berbentuk materi atau non materi, kebutuhan fisik atau rohani. 3nuari, quality work life dan kepuasan kerja perawat ... berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang quality of work life dengan kepuasan kerja perawat di rs amelia pare. tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi quality of work life perawat, 2) mengidentifikasi kepuasan kerja perawat. 3) menganalisis hubungan quality of work life dengan kepuasan kerja perawat di rs amelia pare bahan dan metode jenis penelitian adalah penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional. populasi yang diteliti adalah semua perawat dirumah sakit amelia pare. sampel diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling dengan 30 responden. variabel penelitian adalah quality of work life dengan kepuasan kerja perawat. data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. pengumpulan data dilakukan selama 1 bulan pada bulan mei 2014. analisis data dilakukan dengan uji statistik spermean rho dengan signifikansi 0,05 (dahlan, s, 2011). hasil penelitian data umum data umum responden ini terdiri dari: distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin berdasarkan data di atas didapatkan bahwa sebagian besar (60%) yaitu 18 responden berusia 25–30 tahun dan 10 orang (33,3%) berusia 31–35 tahun sedangkan sebagian kecil (6,7%) yaitu 2 responden berusia 36–40 tahun. distribusi frekuensi responden berdasarkan lama kerja tabel 1. distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di rs amelia pare no jenis kelamin frekuensi prosentase (%) 1 laki-laki 17 56,7 2 perempuan 13 43,3 total 30 1 00 berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa laki-laki dan perempuan menunjukkan sebagian besar (56,7%) yaitu 17 responden berjenis kelamin perempuan dan sebagian kecil (43,3%) yaitu 13 responden berjenis kelamin laki-laki. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia tabel 2. distribusi frekuensi responden berdasarkan usia di rs amelia pare no usia frekuensi prosentase (%) 1 25-30 tahun 18 60 2 31-35 tahun 10 3 3,3 3 36-40 tahun 2 6,7 total 30 100 tabel 3. distribusi frekuensi responden berdasarkan lama kerja di rs amelia pare no la ma kerja frekuensi prosentase (%) 1 < 3 tahun 4 1 3,3 2 3-4 tahun 12 40 3 5-6 tahun 9 30 4 >6 tahun 5 1 6,7 total 30 100 berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa hampir setengahnya (40%) yaitu 12 responden bekerja dalam jenjang 3–4 tahun, sebagian kecil (30%) yaitu 9 responden bekerja dalam jenjang 5– 6 tahun, (16,7%) yaitu 5 responden bekerja dalam jenjang 6 tahun dan (13,3%) yaitu 4 responden bekerja dalam jenjang 3 tahun. distribusi frekuensi responden berdasarkan status pernikahan tabel 4. distribusi frekuensi responden berdasarkan status pernikahan di rs amelia pare no status pernikahan frekuensi prosentase (%) 1 menikah 27 90 2 belum menikah 3 10 total 30 100 berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa hampir seluruhnya (90%) yaitu 27 responden memiliki status sudah menikah dan sebagian kecil (10%) yaitu 3 responden memiliki status belum menikah distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan tabel 5. distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di rs amelia pare no pendidikan frekuensi prosentase (%) 1 d3 kep 28 9 3,7 2 s1 kep 2 6,7 total 30 100 4 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 1–7 berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa pendidikan terakhir perawat rs amelia hampir seluruhnya (93,7%) yaitu 28 responden dalam jenjang pendidikan d3 keperawatan dan sebagian kecil (6,7%) yaitu 2 responden dalam jenjang pendidikan s1 keperawatan. distribusi frekuensi responden berdasarkan status ketenagaan berdasarkan tabel di atas kepuasan kerja yang dimiliki perawat rs amelia pare hampir seluruhnya (93%) yaitu 28 responden memiliki kepuasan kerja yang tinggi dan sebagian kecil (6,6%) yaitu 2 responden memiliki kepuasan kerja sedang. analisis data data kemudian dianalisis dengan uji spearman rho didapatkan nilai p value = 0,007, : 0,05, dan cc = 0,479, h1 diterima. hal ini berarti ada hubungan antara quality of work life dengan kepuasan kerja perawat di rs amelia pare dengan tingkat kekuatan sedang. pembahasan quality work of life berdasarkan hasil penelitian tentang qwl didapatkan data hasil penelitian sebagian besar (60%) perawat memiliki qwl yang baik. qwl yang dimaksud adalah kemampuan menghasilkan barang atau jasa yang dipasarkan dan cara memberikan pelayanan yang terus menerus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen, sehingga barang atau jasa yang dihasilkan mampu bersaing dan berhasil merebut pasar (usman, 2009:22). berdasarkan karakteristik jenis kelamin responden menunjukkan sebagian besar (56,7%) yaitu 17 responden berjenis kelamin perempuan dan sebagian kecil (43,3%) yaitu 13 responden berjenis kelamin laki-laki. konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. dengan demikian peran penting dari kualitas kerja adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik (luthans, dalam usman, 2009:22). dilihat dari jenis kelamin terdapat jumlah wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki. sebenarnya baik lakilaki atau perempuan mereka memiliki qwl yang baik semuanya dan merasa memiliki kulaitas kerja yang baik. berdasarkan karakteristik usia responden sebagian besar (46,7%) yaitu 28 responden berusia 25– 30 tahun dan 31–35 tahun sedangkan sebagian kecil (6,7%) yaitu 2 responden berusia 36–40 tahun. didapatkan banyak perawat yang berusia masih relative muda sehingga semangat yang ada didalam diri perawat masih sangat besar sehingga kulitas kerja yang dihasilkan menjadi baik. menurut hari purnomo (2014), terdapat hubungan antra usia tabel 6. distribusi frekuensi responden berdasarkan status ketenagaan di rs amelia pare no status ketena gaan frekuensi prosentase (%) 1 tenaga tetap 30 100 2 tenaga honorer 0 0 total 30 100 berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa seluruhnya (100%) yaitu 30 responden adalah perawat tetap. data khusus distribusi frekuensi responden berdasarkan quality work of life tabel 7. distribusi frekuensi responden berdasarkan quality work of life di rs amelia pare no qwl frekuensi p rosentase (%) 1 sangat baik 1 8 60 2 baik 9 30 3 cu kup baik 3 10 4 kurang 0 0 tot al 3 0 100 berdasarkan tabel di atas quality of work life pada perawat rs amelia pare sebagian besar (60%) yaitu 18 responden sangat baik, hampir sebagian (30%) yaitu 9 responden baik, sebagian kecil (10%) yaitu 3 responden cukup baik. distribusi frekuensi responden berdasarkan kepuasan kerja tabel 8. distribusi frekuensi responden berdasarkan kepuasan kerja di rs amelia pare no kepuasan kerja frekuensi prosentase (%) 1 tinggi 28 93 2 sedang 2 6,7 3 rendah 0 0 total 30 100 5nuari, quality work life dan kepuasan kerja perawat ... dengn qwl perawat. usia seorang perawat akan memberikan gambaran kesiapan mental dalam melakukan pelayanan keperawatan. seiring dengan bertambahnya usia pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil dalam kesiapan memberikan pelayanan keperawatan. berdasarkan karakteristik lama kerja responden menunjukkan bahwa hampir setengahnya (40%) yaitu 12 responden bekerja dalam jenjang 3–4 tahun, sebagian kecil (30%) yaitu 9 responden bekerja dalam jenjang 5–6 tahun, (16,7%) yaitu 5 responden bekerja dalam jenjang 6 tahun dan (13,3%) yaitu 4 responden bekerja dalam jenjang 3 tahun. secara umum quality of work life mencakup aktivitasaktivitas yang ada di dalam perusahaan, yang diarahkan untuk meningkatkan suatu kondisi kehidupan kerja yang dapat membangkitkan semangat para pekerja dalam melaksanakan tugas mencapai sasaran perusahaan. menurut (pasmore, dalam usman, 2009:23), kondisi-kondisi dimaksud adalah keamanan dan kesehatan, keadilan, pilihan-pilihan individu, partisipasi dalam pengambilan keputusan, kesempatan untuk berkembang, pekerjaanpekerjaan yang berarti (menantang), kemampuan mengendalikan waktu kerja dan tempat, perlindungan dari perlakuan tidak adil, dan kesempatan memuaskan kebutuhan sosial. adanya tunjangan seperti kesehatan dan fasilitas lainnya sudah didapatkan dengan baik maka akan memicu perawat ,untuk bekerja lebih maksimal lagi dan hasil yang didapatkan menunjukkan qwl perawat seluruhnya baik. individu yang nyaman dalam pekerjaannya akan lebih bertahan lama dalam bekerja ditempat tersebut sehingga dapat menghindari terjadinya intention to quit. berdasarkan karakteristik status pernikahan responden menunjukkan bahwa hampir seluruhnya (90%) yaitu 27 responden meiliki status sudah menikah dan sebagian kecil (10%) yaitu 3 responden memiliki status belum menikah. menurut cascio (2003:171), quality of work life karyawan merupakan salah satu tujuan penting dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pegawai. cascio (2003:17) mengatakan bahwa quality of work life dapat didefinisikan sebagai persepsi karyawan tentang kesejahteraan mental dan fisiknya ketika bekerja. ada dua pandangan mengenai maksud dari quality of work life. pertama, quality of work life adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengayaan penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman). sementara yang kedua, quality of work life adalah persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, mereka merasa puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia. karena rata-rata sudah menikah sehingga mereka para perawat cenderung meningkatkan qwl untuk mendapatkan fasilitas dan tunjangan yang memadai untuk kehidupan keluarga. ketika seorang perawat memiliki qwl yang baik maka atasan akan mengapresiasikannya dengan baik pula seperti diberikan penghargaan, namun ketika qwl nya kurang maka jabatan yang di terima sekarang bisa saja hilang atau di pindahkan sehingga jika demikian dapat mempengaruhi kondisi keluarga dari perawat itu sendiri. berdasarkan karakteristik pendidikan terakhir menunjukkan bahwa pendidikan terakhir reponden hampir seluruhnya (93,7%) yaitu 28 responden dalam jenjang pendidikan d3 keperawatan dan sebagian kecil (6,7%) yaitu 2 responden dalam jenjang pendidikan s1 keperawatan. pengembangan karir (career development), contohnya dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan, evaluasi kinerja dan promosi. pendidikan d3 keperawatan merupakan suatu jenjang pendidkan advokasi yang beorientasi pada pelayanan sehingga qwl dari perawat itu menjadi baik karena memang di cetak untuk ke pelayanan. quality of work life merupakan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, kerabatnya dan organisasi yang mengarah pada pertumbuhan dan keuntungan organisasi. perasaan yang baik terhadap pekerjaannya berarti karyawan merasa senang melakukan pekerjaan yang akan mengarah pada lingkungan pekerjaan yang produktif. berdasarkan karakteristik status ketenagaan menunjukkan bahwa seluruhnya (100%) yaitu 30 responden adalah perawat tetap. secara umum quality of work life mencakup aktivitas-aktivitas yang ada di dalam perusahaan, yang diarahkan untuk meningkatkan suatu kondisi kehidupan kerja yang dapat membangkitkan semangat para pekerja dalam melaksanakan tugas mencapai sasaran perusahaan. ruangan yang dapat mendukung dan memadai sarana dan prasarana yang ada untuk melakukan perawatan pada pasien atau dapat meningkatkan qwl. hal ini didukung semua perawat merupakan tenaga tetap di mana dalam satu ruangan terdapat banyak perawat yang harus bekerjasama untuk memberikan pelayanan yang optimal, sehingga seluruhnya perawat memiliki qwl yang baik. sehingga di dapatkan qwl perawat sebagian besar (60%) yaitu 18 responden sangat baik. 6 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 1–7 berdasarkan hasil analisis dari jawaban responden bahwa yang memiliki tingkat keeratan terhadap quality of work life adalah sebagian besar (77,3%) komponen keterlibatan karyawan, (76,4%) komponen penyelesaian masalah dan (73,%) komponen kompensasi yang seimbang di mana ketiga komponen tersebut masuk dalam kategori cukup baik. kepuasan kerja berdasarkan hasil penelitian didapatkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja perawat di rs amelia pare tergolong tinggi (93%). kepuasan kerja menggambarkan kesukaaan atau ketidaksukaan perawat terhadap pekerjaanya (mathew, 2013). bila terdapat perawat yang memiliki kepuasan kerja yang rendah diduga perwat memiliki rasa ketida ksuka an da lam bekerja. ketida ksuka a n individu terha da p peker ja a n berda mpa k a danya nia t untuk meninggalkan pekerjaan (mutukrisnhan, 2011). berdasarkan karakteristik jenis kelamin responden menunjukkan sebagian besar (56,7%) yaitu 17 responden berjenis kelamin perempuan dan sebagian kecil (43,3%) yaitu 13 responden berjenis kelamin laki-laki. istilah walaupun dilihat dari jenis kelamin terdapat jumlah wanita lebih banyak di bandingkan laki-laki, sebenarnya baik laki-laki atau perempuan mereka sama-sama memiliki kepuasan kerja yang baik. berdasarkan karakteristik usia responden sebagian besar (46,7%) yaitu 28 responden berusia 25– 30 tahun dan 31–35 tahun sedangkan sebagian kecil (6,7%) yaitu 2 responden berusia 36–40 tahun. didapatkan cukup banyak perawat yang berusia masih relatif muda sehingga semangat serta motivasi yang ada di dalam diri perawat tersebut masih tinggi akan tetapi relatif kurang dalam hal pengalaman, namun kenyamanan lingkungan saat bekerja membuat kepuasan kerja meningkat. berdasarkan karakteristik lama kerja responden menunjukkan bahwa hampir setengahnya (40%) yaitu 12 responden bekerja dalam jenjang 3–4 tahun, sebagian kecil (30%) yaitu 9 responden bekerja dalam jenjang 5–6 tahun, (16,7%) yaitu 5 responden bekerja dalam jenjang 6 tahun dan (13,3%) yaitu 4 responden bekerja dalam jenjang 3 tahun. teori menurut herzberg (as‘ad, 2006), dikatan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang yaitu faktor motivasi yang disebut juga satisfaction atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan atau dissatisfaction atau ekstrinsic motivation. oleh karena itu seorang perawat dengan motivasi yang tinggi ia harus mengetahui terlebih dahulu apa kebutuhan-kebutuhan yang akan dicapainya lalu setelah itu akan menghasilkan sebuah kinerja yang baik serta menghasil suatu hal yang diinginkannya. dari lama bekerjanya perawat dapat diambil kesimpulan makin lama ia bekerja dengan motivasi kerja yang baik maka ia pun akan memperolah hasil yang baik pula dari hasil kerjanya dan kepuasan kerjanya meningkat. berdasarkan karakteristik pendidikan terakhir menunjukkan bahwa pendidikan terakhir reponden hampir seluruhnya (93,7%) yaitu 28 responden dalam jenjang pendidikan d3 keperawatan. pendidikan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam bertindak dan mempengaruhi tingkat intrinsic motivation atau kepuasan yang dimiliki seseorang perawat. motivasi juga bisa datang dari luar individu, misalnya saja dukungan verbal dan non verbal yang diberikan oleh teman dekat atau keakraban sosial dimana tempat seseorang melakukan kegiatan bekerja maupun kegiatan sehari-harinya. perasaan yang baik terhadap pekerjaannya berarti karyawan merasa senang melakukan pekerjaan yang akan mengarah pada lingkungan pekerjaan yang produktif. berdasarkan karakteristik status ketenagaan menunjukkan bahwa seluruhnya (100%) yaitu 30 responden adalah tenaga tetap ruangan yang dapat mendukung dan memadai sarana dan prasarana, kekompakan tim sejawat, memiliki komunikasi serta jalinan hubungan yang erat mampu menumbuhkan serta meningkatkan motivasi kerja yang baik. hubungan quality work of life dengan kepuasan kerja perawat berdasarkan hasil tabulasi silang didapatkan sebagian besar kualitas kehidupan kerja (quality of work life) perawat di rs amelia pare adalah sangat baik dan sebagian kecil adalah baik lalu dari kepuasan kerjanya didapatkan hampir keseluruhan kepuasaan tinggi. kemudian setelah dilakukan penghitungan dengan menggunakan uji spearman rho didapatkan nilai p value = 0,007, : 0,05, dan cc = 0,479, h1 diterima. hal ini berarti ada hubungan antara kualitas kehidupan kerja (quality of work life) dengan kepuasan kerja perawat di rs amelia pare dengan kategori hubungan sedang. berdasarkan data kuesioner komponen quality of work life yang dihubungkan dengan keepuasan kerja didapat adanya suatu keeratan atau pengaruh yang cukup besar terhadap kepuasani kerja perawat, 7nuari, quality work life dan kepuasan kerja perawat ... salah satu komponennya sebagian besar (77,3%) komponen keterlibatan karyawan, (76,4%) komponen penyelesaian masalah dan (73,%) komponen kompensasi yang seimbang. dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa quality of work life memiliki hubungan yang cukup besar terhadap kepuasan kerja perawat baik laki-laki maupun perempuan karena kualitas kehidupan kerja yang baik merupakan sebuah tonggak di mana kepuasan kerja dapat terbentuk dengan baik untuk meningkatkan suatu kinerja dalam pelayanan kesehatan yang optimal. sehingga kepuasan kerja tentu sangat bergantung pada kualitas kehidupan kerja yang dimiliki oleh perawat, dengan terpenuhinya kualitas kehidupan kerja seorang perawat maka ia akan termotivasi untuk mencapai apa yang di inginkannya serta membantu rumah sakit dalam mencapai tujuannya. simpulan dan saran simpulan berdasarkan penelitian di atas didapatkan kesimpulan bahwa quality of work life perawat di rs amelia pare dinyatakan sangat baik, sedangkan kepuasan kerja yang dimiliki perawat di rs amelia pare dinyatakan tinggi. dari hasil analisis data didapatkan hubungan yang signifikan antara quality of work life dengan kepuasan kerja perawat di rs amelia pare dengan kategori sedang. kepuasan kerja sangat bergantung pada kualitas kehidupan kerja yang dimiliki oleh perawat, dengan terpenuhinya kualitas kehidupan kerja seorang perawat maka ia akan termotivasi untuk mencapai apa yang di inginkannya serta membantu rumah sakit dalam mencapai tujuannya. saran untuk meningkatkan kepuasan kerja perawat, hal yang perlu diperhatikan adalah komponen keterlibatan karyawan, kompensasi yang seimbang, penyelesaian masalah. hal ini dikarenakan, ketiga aspek tersebut memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap kepuasan kerja perawat di rs amelia pare. akan tetapi komponen kualitas kehidupan kerja seperti komunikasi, keterlibatan karyawan, fasilitas yang tersedia, keselamatan lingkungan kerja, dan rasa aman terhadap pekerjaan pun harus diperhatikan pula. perawat dan manajemen rumah sakit perlu bekerjasama mewujudkan quality of work life agar mampu meningkatkan mutu layanan keperawatan kepada masyarakat dan kepuasan kerja perawat menjadi lebih meningkat. daftar rujukan as‘ad. 2006. seri ilmu sumber daya manusia: psikologi industri. cetakan kesebelas. yogyakarta: liberty. azwar, s. 2003. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. brooks,b.a., anderson, m.a. 2005. defining quality of nursing work life. nursing economics,23 nov, 319–326. cascio, w. 2003. managing human resources: productivity, quality of work life, profit (6th ed.) new york: mcgraw-hill. clarke, p.n., & brooks, b. 2010. quality of nursing worklife. nursing science quartely, 23 (4), 301– 305. mangkunegara,a.a, anwar parabu. 2001. quality of life and work in europe. university of gothenburg sweden: palgrave macmillan. mathew, m.n.a. 2013. effect of stress on job satisfaction among nurses in central kerala. journal of business and management,7(2),47. muthukrishnan, n., et al. 2011. factors driving occupational stress of employees working in hospital in dehradun. international journal of research in it & management.61:77. purnomo, h. 2012. rekomendasi pengembangan qwl (quality of work life) berdasarkan pengaruh qwl terhadap kepuasan kerja perwata di rumah sakit kusta sumberglagah pacet mojokerto. jurnal administrasi kebijakan kesehatan, vol. 10, n0. 3, sept-des 2012:129–136 siagian, s. 2004. teori motivasi dan aplikasinya. jakarta: rineka cipta. usman, j. 2009. pengaruh quality of work life terhadap semangat kerja di pertamina eksplorasi dan produksi rantau. tesis. jakarta: program pascasarjana universitas terbuka. 192 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of high-risk age on women of reproductive age and post partum bleeding case laily prima monica1, ulfa husnul fata2 1midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia 2nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract during the post partum there are physiological changes such as uterine involution and lochia expenditure. excess lochea discharge to more than 500 cc after delivery is called postpartum hemorrhage. the purpose of this study was to analyze the correlation of high-risk age and the incidence of postpartum hemorrhage in the maternity room of syuhada haji hospital, blitar city. the type of the study was analytic with a cross sectional approach. the population was all postpartum mothers who gave birth in the maternity room of syuhada haji hospital, blitar city on january – december 2018. the poplation was 672 respondents and the sample was 97. the sample was taken systematically by random sampling. the measuring instrument used documentation guidelines. the study was carried out by chi-square test. it was obtained that x2 count (0.00) was less than á (0.05), then h0 was rejected and h1 was accepted. in conclusion there was a correlation between highrisk age and postpartum hemorrhage incidence. it is expected that the research area will pay more attention in the handling and care of pregnant women of reproductive age so that at the age that is slightly at risk for the occurrence of postpartum hemorrhage, they will not experience postpartum hemorrhage. and women of high-risk age should be able to give birth at hospital in order to reduce complications. history article: received, 20/07/2022 accepted, 10/08/2022 published, 15/08/2022 keywords: high-risk age, postpartum hemmorhage © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : lailyprima07@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p192-195 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:lailyprima07@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p192-195 monica, fata, the correlation of high-risk age on women of reproductive age and post partum … 193 introduction the puerperium or post partum period is the period that begins after the birth of the placenta and ends when the uterus returns to its pre-pregnancy state. at this time there are physiological changes such as uterine involution and lochia expenditure. if the discharge of this lochia is excessive to more than 500 cc after delivery, it is called postpartum hemorrhage. it is estimated that 60% of maternal deaths due to pregnancy occur after delivery and 50% of postpartum deaths occur within the first 24 hours. the main cause of maternal mortality is bleeding (nugroho, 2017) post partum bleeding is triggered by several factors like age; age less than 20 years and more than 35 years. however, it is undeniable that at the age of 20-35 years, postpartum hemorrhage can occur because of other factors besides the age factor, namely a bad history in previous deliveries (fitirana., nurwiandani, 2018) women under 20 years old or more than 35 years old who give birth have a risk factor to postpartum hemorrhage that can lead to maternal death. as mentioned above, at that age, the possibility of postpartum complications, especially bleeding, will be greater. women under 20 years old are vulnerable because the reproductive organs or organs are not ready to accept pregnancy and childbirth. reproductive organ that are not ready, including internal organs such as the vaginal canal, pubic lips, urethral opening and perineum (the boundary between the vaginal canal and anus) are not ready to work to support childbirth. then in women who are more than 35 years old, the condition of their reproductive organs is inversely proportional to those under 20 years. at this age, women experience aging, their organs begin to loosen and stiffen. with conditions like this, there is a regression or setback so that it is very influential on the acceptance of pregnancy and the process of giving birth. (ayuningtyas, 2019) based on the preliminary study conducted in maternity room of syuhada haji hospital, blitar city, on january 1 february 28 2018, it was found that the total number of patients experiencing primary postpartum hemorrhage was 3 people in the age of 20-35 years. based on the data obtained and the theories behind it, the researchers wanted to examine the comparison of the incidence of postpartum hemorrhage and women of high-risk age. the purpose of this study was to compare the occurrence of post partum bleeding in and high-risk age at syuhada haji hospital in the period of january december 2018. the specific purposes were, 1) identifying women of high-risk age, 2) identifying the occurrence of postpartum hemorrhage. 3) analyzing the correlation between high-risk age and the incidence of post partum bleeding at syuhada haji hospital. the benefit of this study was to provide information about the correlation of the occurrence of postpartum hemorrhage and high-risk age for further improvement of the health services. method the method of the study used a correlational design with case control approach. the sampel was all post partum patients who had been treated at syuhada haji hospital for the january – december 2018 period who met the inclusion criteria, determined by a systematic random sampling technique. the sample was 97 respondents. the measuring instrument used in the study was the documentation guidelines. the guidelines in this study contained data about age and the occurrence of primary postpartum hemorrhage which were filled in according to medical record data at syuhada haji hospital in the period of january december. the data analysis used chi square to determine the correlation between 2 variables in the form of nominal data using a contingency table of 2 x 2 rows (columns). result table 1: the frequency distribution of age of post partum no age of post partum women f (%) 1 2 high-risk age (<20years old) high-risk age (>35years old) 32 65 33 67 total 97 100 194 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 192-195 table 2: the frequency distribution of post partum hemorrhage case no case f (%) 1 post partum hemmorrhage 29 29,9 2 post partum without hemmorrhage 68 70,1 total 97 100 table 3: cross tabulation of high-risk age and post partum hemmorrhage incidence age hemmorrhage without hemmorrhage total n % n % n % <20 years old 13 13,4 16 16,6 29 29,9 >35 years old 16 16,4 52 53,6 68 70,1 29 29,8 68 70,2 97 100 discussion the incidence of post partum hemmorhage on high-risk age women from research conducted on july 13-20 2019 at the medical record section of the syuhada haji hospital in blitar city found that post partum bleeding occurred, women of high-risk age, in the category of less than 20 years old and more than 35 years old. as much as 32 people (32.9%) of women of reproductive age had given birth at the syuhada haji hospital in blitar city. the case of bleeding was found due to retained placenta and vaginal rupture. this was supported by hazmi, 2015, which stated that women who are less than 20 years old, their reproductive organs or organs are not ready to accept pregnancy and childbirth. the reproductive organs that are not ready include internal organs such as the vaginal canal, pubic lips, urethral opening and perineum (the boundary between the vaginal canal and anus) which are not ready to work to support childbirth. in all cases, all women aged > 35 years who experienced postpartum hemorrhage were caused by retained placenta with a history of grandemultipara. the percentage of post partum bleeding at that age with a history of grandemultipara was very large, this showed the more of the age at risk, the more at risk of experiencing postpartum hemorrhage. women at age more than 35 years are women who are classified as having a high risk for pregnancy and childbirth. at > 35 years, various diseases and complications in pregnancy and childbirth are increasing markedly. in women with the age more than 30 the uterus does not contract as fast as in younger women after delivery. older women also increase complications during pregnancy, childbirth and the puerperium, such as high blood pressure or diabetes, bleeding due to placenta previa or disruption of uterine contractions. (baktiyani et al., 2012) as women getting older, the function of the reproductive organs also decreases. the function of the reproductive organs, especially the uterus, is that the uterine muscles must contract maximally shortly after the birth of the placenta to prevent bleeding. in addition, an increase in the number of degenerative diseases in pregnancy with old age such as pre-eclampsia, hypertension, diabetes mellitus will increase the risk of complications during childbirth (nugroho, 2017). pregnancy at a young age has a higher risk, organ function and egg maturation that has not been maximized has the potential to experience premature labor, placenta previa, abortion, preeclampsia, these conditions are also at a greater risk of bleeding (baktiyani et al., 2012). this high rate of incidence could have been caused by other factors, for example by the history of pregnancy and the handling of delivery in the mother who gave birth was not in accordance with the apn, especially the handling of mak iii, so that the maternal age between 35 years in fact still shows a high number. the correlation of high-risk age and the incidence of post partum hemmorrhage in order to find out the correlation between age and bleeding, a chi-square test was carried out to obtain x² count = 0.00 with = 0.05 then x2 count less than (0.00 < 0.05) which means x2 count is less than then h0 is rejected and h1 is accepted meaning that there is a correlation between highrisk age and postpartum hemorrhage. based on table 3 of 105 respondents in the age group < (0.05), which means h1 is accepted, it means that there is a correlation between maternal age and the incidence of postpartum hemorrhage. this is in accordance with the theory that one of the monica, fata, the correlation of high-risk age on women of reproductive age and post partum … 195 predisposing factors for postpartum hemorrhage is the mother's age at giving birth. the comparison of the occurrence of postpartum hemorrhage and postpartum without hemorrhage at reproductive age with high-risk age showed both experiencing postpartum hemorrhage. this showed that postpartum hemorrhage did not always occur in women of high-risk age. it is also found that some of women of reproductive age experience postpartum hemorrhage (baktiyani et al., 2012) at this reproductive age moment, it was found bleeding that occurred due to retained placenta with a history of grandemultipara and at high-risk age, bleeding that occurred due to retained placenta and vaginal rupture at high-risk age <20 years and retained placenta with a history of grandemultipara at high-risk age> 35 years old. this showed that the factors that cause postpartum hemorrhage were not only caused by age, but also other causes that had been found, including retained placenta with a history of grandemultipara and vaginal rupture. conclusion almost half of the respondents or 41 women (42.3%) was on high-risk age. from 97 respondents, more than half or 54 women (55.5%) experienced postpartum hemorrhage. 41 respondents in the high-risk age group showed 32 people (32.9%) experienced postpartum hemorrhage, from the 22 respondents in the nonhigh-risk age group, most of the respondents or 34 women (35.2%) did not experience postpartum hemorrhage. chi-square was obtained x² count = 0.00 with = 0.05 then x2 count less than (0.00 < 0.05) which meant x2 count was less than 0.05 meant h0 was rejected and h1 was accepted meaning there was a correlation between high-risk age and post partum haemorrhage incidence suggestion from the results of the research obtained, the researchers hope that the research area pays more attention to the handling and care of pregnant women of reproductive age so that at the age that is slightly at risk for the occurrence of postpartum hemorrhage, they do not experience postpartum hemorrhage. women of high-risk age should be able to give birth in hospital to reduce complications. hospitals should be able to maintain or even further improve the quality of services, both in terms of administrative services, outpatient and inpatient medical services. improving public health programs such as counseling and early detection of risky pregnancies and deliveries. acknowledgement we would like to give our big appreciation to stikes patria husada blitar for supporting our research in all aspects. we also would like to thank to syuhada haji hospital and all of the respondents that participated in this research. funding this research was funded by all of the authors collectively and also supported by stikes patria husada blitar. conflicts of interest the authors declare no conflict of interest. other funders than the authors had no role in the design of the study, data collection, data analysis, in the writing of the manuscript, and also in the decision for publication. references ayuningtyas, i. f. (2019). kebidanan komplementer terapi komplementer dalam kebidanan. pt pustaka baru. baktiyani, s. c. w., ;meirani, r., & khasanah, u. (2012). hubungan antara partus lama dengan kejadian perdarahan pospartum dini di kamar bersalin rumah sakit umum dr. saiful anwar malang. majalah kesehatan fkub, 3(4), 190–195. fitirana., nurwiandani, w. (2018). asuhan persalinan konsep persalinan secara komprhensif dalam asuhan kebidanan pt pustaka baru. nugroho, t. (2017). patologi kebidanan. nuha medika. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 216 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 216–221 216 gambaran disfungsi seksual pada pasien diabetes melitus tipe ii di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar (the description of sexual dysfunction in patients of type ii diabetes mellitus in poly disease in mardi hospital waluyo city blitar) sukma puji rahayu1, tri cahyo sepdianto2, arif mulyadi3 1praktisi keperawatan 2,3jurusan keperawatan, poltekkes kemenkes malang email:sukmapuji98@gmail.com abstract: chronic complications of diabetes mellitus was the most common autonomic neuropathy resulted in sexual dysfunction. the aim of research was to described the sexual dysfunction in patients with type 2 diabetes mellitus at poli penyakit dalam mardi waluyo hospital blitar. the research method used descriptive design. the population in this study were patients with type 2 diabetes mellitus who visited in poli penyakit dalam in mardi waluyo hospital blitar in april as many as 856 people, and a sample of 86 people were taken using purposive sampling technique. collecting data used the fsfi questionnaire for womens and iief for mens. these results indicate that the majority of patients with type 2 diabetes mellitus sexual dysfunction. in patients 75% of women experience sexual dysfunction. at 74% of men with erectile dysfunction, 88% experienced orgasm dysfunction, 85% experienced sexual desire dysfunction, 86% experienced a satisfying sexual dysfunction, 89% overall satisfaction dysfunction. the suggestion in this research was expected fsfi and iief questionnaire could be used as a tool to monitor the presence of sexual dysfunction in blitar. keywords: sexual dysfunction, type 2 diabetes mellitus abstrak: komplikasi kronis diabetes mellitus yang paling sering dijumpai adalah neuropati otonom yang mengakibatkan disfungsi seksual.tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan disfungsi seksual pada pasien diabetes melitus tipe 2 di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar.metode penelitian menggunakan rancangan deskriptif. populasi dalam penelitian ini adalah pasien diabetes mellitus tipe 2 yang berkunjung di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar dalam bulan april sebanyak 856 orang, dan sampel sebanyak 86 orang diambil menggunakan teknik purposive sampling. pengumpulan data menggunakan kuesioner fsfi pada perempuan dan iief pada laki-laki.hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien diabetes mellitus tipe 2 mengalami disfungsi seksual.pada pasien perempuan 75% mengalami disfungsi seksual. pada laki-laki 74% mengalami disfungsi ereksi, 88% mengalami disfungsi orgasme, 85% mengalami disfungsi hasrat seksual, 86% mengalami disfungsi kepuasan hubungan seksual, 89% mengalami disfungsi keseluruhan kepuasan. rekomendasi dari penelitian ini diharapakan alat ukur kuesioner fsfi dan iief dapat digunakan sebagai alat untuk memantau adanya disfungsi seksual di kota blitar. kata kunci: disfungsi seksual, diabetes melitus tipe 2 diabetes melitus merupakan penyakit vaskuler yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah. menur ut smeltzer (2001), diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah atau hiperglikemia. angka kejadian diabetes di dunia dari acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p216-221 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 217rahayu, sepdianto dan mulyadi, gambaran disfungsi seksual ... tahun ke tahun mengalami peningkatan, contohnya saja di amerika data dari cdc pada tahun 2010 25,8 juta orang 8,3% dari populasi memiliki diabetes; 1,9 juta merupakan kasus baru. pada tahun 2012 29.100.000 orang atau 9,3% dari populasi memiliki diabetes. international diabetes federation (idf) menyatakan bahwa lebih dari 371 juta orang di dunia yang berumur 20–79 tahun mengidap diabetes, sedangkan indonesia merupakan negara urutan ke7 dengan prevalensi diabetes tertinggi, di bawah china, india, usa, brazil, rusia dan mexico. kementrian kesehatan republik indonesia memperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi diabetes melitus (dm) di indonesia mencapai 21,3 juta orang (diabetes care, 2004). berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013, diperoleh bahwa prevalensi dm yang terdiagnosis dokter adalah sebesar 2,1% berdasarkan diagnosis dokter prevalensi dm meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. peningkatan angka prevalensi tersebut diakibatkan oleh gaya hidup yang kurang sehat, terutama pada diabetes melitus tipe 2. menurut depkes ri peningkatan terjadi akibat bertambahnya populasi penduduk usia lanjut dan perubahan gaya hidup, mulai dari pola makan/jenis makanan yang dikonsumsi sampai berkurangnya kegiatan jasmani. hal ini terjadi terutama pada kelompok usia dewasa ke atas pada seluruh status sosial-ekonomi. diabetes melitus terdiri dari dua tipe yaitu tipe pertama dm yang disebabkan keturunan dan tipe kedua disebabkan life style atau gaya hidup. secara umum, hampir 80% prevalensi diabetes melitus adalah dm tipe 2. ini berarti gaya hidup/life style yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi dm (depkes ri, 2009). dampak dari diabetes itu sendiri dapat menimbulkan beberapa komplikasi, menurut smeltzer (2001), komplikasi jangka panjang diabetes dapat menyerang semua sistem organ dalam tubuh. kategori komplikasi kronis diabetes yang lazim digunakan adalah: penyakit makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler, dan neuropati. dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah polineuropati sensorik dan neuropati otonom. manifestasi klinik dari neuropati otonom mengakibatkan berbagai disfungsi yang mengenai hampir seluruh sistem organ tubuh, salah satunya adalah disfungsi seksual. disfungsi seksual adalah masalah sindrom seksual baru yang terjadi di sebagian besar penduduk. sebuah survei, asia pacific sexual health an overall wellness (apshow) telah dilakukan terhadap 3.957 orang yang aktif secara seksual terdiri dari 2.016 laki-laki dan 1.941 perempuan. survei yang meliputi 13 negara, termasuk indonesia, memberikan hasil sebagai berikut: (1) 57% laki-laki dan 64% perempuan merasa tidak puas secara seksual; (2) kepuasan seksual sangat berhubungan dengan kepuasan hidup secara keseluruhan (kualitas hidup); (3) bagi laki-laki dan perempuan, kepuasan terhadap kualitas ereksi berhubungan erat dengan kepuasan seksual (pangkahila, 2014). hasil penelitian ziaeirad, dkk., tahun 2010 menunjukkan bahwa angka kejadian disfungsi seksual pada pasien diabetes adalah tinggi baik pada perempuan maupun lakilaki. dari 200 pasien (100 laki-laki dan 100 perempuan), 165 (82,5%) mengalami setidaknya satu disfungsi seksual. tahun 2002 erol, dkk dalam miocic, j (2008) membandingkan 120 wanita dengan diabetes tipe 2 dan 60 wanita sehat, hasilnya 77% mengalami penurunan libido, 62,5% melaporkan masalah gairah, 37,5% kekeringan vagina, 41,6% mengalami ketidaknyamanan vagina, dan 49% mempunyai masalah dengan orgasme. penelitian goyal, dkk., tahun 2013 pada 348 pasien laki-laki dengan diabetes tipe 2 menemukan hasil bahwa 22,8% dengan fungsi ereksi normal, 77,2% mengalami disfungsi ereksi. pada dsmiv (diagnostic and statistic manual verion iv) dari american phychiatric assocation, dan icd-10 (international classification of disease) dari who, disfungsi seksual perempuan ini dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat/keinginan seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksua l (sexual pain disorder). seda ngka n disfungsi seksual pada laki-laki menurut pangkahila (2014) diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu gangguan dorongan seksual, disfungsi ereksi, gangguan ejakulasi, dan gangguan orgasme. gambaran kejadian disfungsi seksual ini akan berdampak kompleks pada kehidupan pasien diabetes baik secara fisik maupun psikis. pria yang mengalami disfungsi ereksi misalnya, hampir pasti akan mengalami perasaan kecewa, jengkel, marah, rendah diri, stress dan malu. lebih jauh dapat muncul reaksi lain, seperti menyalahkan istri sebagai penyebab, menjauhi istri agar tidak melakukan hubungan seksual, mencoba hubungan seksual dengan perempuan lain, dan mengobati dengan 218 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 216–221 cara yang salah. di pihak lain pasangan juga mengalami perasaan kecewa, tidak puas, jengkel, marah. demikian juga perempuan yang mengalami disfungsi seksual, akan mengalami perasaan kecewa, tidak puas, jengkel, merasa bersalah tidak dapat melayani suami, dan takut suami melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain. lebih jauh dapat timbul gejala psikosomatik, seperti sulit tidur, sakit kepala, dan mudah marah. ada hubungan sebab akibat antara disfungsi seksual pria dan disfungsi sesksual perempuan pasangannya. artinya disfungsi sesksual yang dialami pihak pria dapat mengakibatkan disfungsi seksual pada perempuan pasangannya, dan sebaliknya. pada akhirnya akibat tersebut akan menghambat dan menurunkan kualitas hidup, baik secara fisik maupun psikis (pangkahila, 2014). di indonesia masalah ini sering diabaikan dari segi diagnostik, meskipun dapat mempengaruhi kehidupan pasien dm baik secara fisik maupun psikis. disamping karena kejadian ini jarang dikeluhkan pasien, keadaan ini juga sulit dinilai secara diagnostik. hal ini terkait juga dengan faktor budaya, terutama hambatan akibat rasa malu untuk mengungkapkannya. penelitian tentang disfungsi seksual pada pasien diabetes juga masih relatif sedikit. selama ini kebutuhan seksual, pendidikan seks, pengkajian mengenai tanda awal, dan pengelolaan masalah seksual belum diperhatikan dalam intervensi pasien diabetes. di rumah sakit mardi waluyo contohnya kurang dilakukan pengkajian mengenai seksualitas dan juga skrining mengenai disfungsi seksual pada pasien dm. kebutuhan seksual sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia yang ke tiga menurut maslow dan juga bentuk dari keseluruhan asuhan keperawatan secara holistik (biopsikososiospiritual) belum tersentuh oleh perawat sehingga belum dapat disusun intervensi yang sesuai. dari hasil survei di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, jumlah pasien dm mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. tahun 2011 tercatat 1770 orang, tahun 2012 sebanyak 1626 orang, pada tahun 2013 sebanyak 2003 orang, tahun 2014 hingga bulan november sebanyak 2364 orang. pasien dm yang mengalami dm tipe 2 sebanyak 2356 orang. bahan dan metode desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien dm tipe 2 yang melakukan kontrol di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar pada bulan april sejumlah 86 orang, dengan kriteria inklusi: pasien dm tipe 2 laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, jika pasien dm tipe 2 perempuan, belum menopause. alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan instrumen berupa kuesioner yang terdiri dari 2 kuesioner. hasil penelitian karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 tabel 1. jenis kelamin pasien di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=86) jenis kelamin jum lah presentase ( %) peremp uan 20 23 laki-laki 66 77 total 86 100 tabel 2. usia pasien di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=86) usia pasien jumlah p resentase (%) < 30 th 2 2 30 th-39 th 5 6 40 th-49 th 19 22 50 th-59 th 32 37 =60 th 28 33 total 86 100 tabel 3. lama menderita diabetes melitus di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=86) lama menderita diabetes melitus jumlah presentase (%) <1 th 11 13 1-4 tahun 14 16 5-9 tahun 15 18 10-14 tahun 21 24 = 15 tahun 25 29 total 86 100 pembahasan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sejak bulan mei-juni 2015 terhadap 86 responden bertempat di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo blitar diperoleh hasil sebagai berikut. 219rahayu, sepdianto dan mulyadi, gambaran disfungsi seksual ... dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada pasien perempuan memiliki fungsi seksual buruk dengan jumlah terbanyak yaitu sebanyak 40% (8 pasien) dari total pasien, sedangkan fungsi seksual tabel 4. kebiasaan olahraga pasien di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=86) kebiasaan olahraga jumlah presentase (%) teratur 36 4 2 tidak teratur 50 5 8 total 86 100 tabel 5. kebiasaan merokok pasien di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=86) kebiasaan meroko k jumlah presentase (%) merokok 39 45 tidak merokok 47 55 total 86 100 tabel 6. kebiasaan diet dm pasien di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=86) kebiasa an diet dm pasien jumla h presentase (%) memiliki kebiasaan d iit d m 20 23 t id ak memiliki kebiasaan diit dm 66 77 total 86 10 0 tabel 7. kebiasaan pasien mengkonsumsi obat dm di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=86) kebiasaan meng konsumsi obat dm jum lah presentase (%) mengkonsumsi obat dm sesuai dengan yang disarankan 80 93 tidak mengkonsumsi obat dm sesuai dengan yang disarankan 6 7 total 86 100 tabel 8. fungsi seksual pasien perempuan di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=20) fungsi seksual jumlah presentase ( %) baik 5 25 buruk 8 40 sedang 7 35 total 20 100 tabel 9. fungsi reksi pasien laki-laki di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=66) fungsi ereksi jumlah presentase (%) tidak terjadi disfungsi 17 26 terjadi disf ungsi 49 74 total 66 100 tabel 10. fungsi orgasme pasien laki-laki di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota fungsi orgasme jumlah presentase (%) tidak terjadi d isfungsi 8 12 terjadi d isfungsi 58 88 total 66 100 tabel 11. fungsi hasrat seksual pasien laki-laki di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo fungsi hasrat seksual jumlah presentase (%) tidak terjadi disfungsi 10 15 t erjad i disfungsi 56 85 total 66 100 tabel 13. fungsi keseluruhan kepuasan seksual pasien laki-laki di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=66) tabel 12. fungsi kepuasan hubungan seksual pasien laki-laki di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar, mei 2015 (n=66). fungsi kepuasan hubungan seksual j umlah p resentase (%) puas 9 14 tidak puas 57 86 total 66 100 fung si keseluruhan kepuasan seksual jumlah presentase (%) puas 7 11 t idak puas 59 89 total 66 100 220 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 216–221 sedang sebanyak 35% (7 pasien) dan fungsi seksual baik 25% (5 pasien). sama halnya dengan laki-laki, pada setiap fungsi seksual mengalami disfungsi mulai dari fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat seksual, kepuasan hubungan seksual dan keseluruhan kepuasan. keluhan impotensi terjadi pada penderita yang sudah berusia lanjut dengan penyakit diabetes yang sudah berlangsung lama. memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran. pasien yang mengalami disfungsi mayoritas adalah lansia, peneliti berpendapat disfungsi seksual yang terjadi diakibatkan oleh proses penuaan. berdasarkan hasil penelitian usia pasien perempuan terbanyak adalah pada rentang usia 50–59 tahun, sedangkan usia pasien laki-laki terbanyak 60 tahun. dari tabulasi silang antara usia dengan fungsi seksual diketahui bahwa usia sebanyak 25% (5 pasien) memiliki fungsi seksual buruk. pada lakilaki sebanyak 36,3% (24 pasien) mengalami disfungsi ereksi; 40,9% (27 pasien) mengalami orgasme; 42,4% (28 pasien) mengalami disfungsi hasrat seksual; 40,9% (27 pasien) mengalami ketidakpuasan hubungan seksual; dan sebanyak 42,4% (28 pasien) mengalami ketidakpuasan secara keseluruhan. diabetes merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh berbagai hal, usia merupakan salah satu faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi untuk terjadinya diabetes mellitus, risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia (perkeni, 2011). dari hasil yang didapat usia dapat mempengaruhi terjadinya penyakit diabetes mellitus dan semakin tua penderita diabetes mellitus maka kemungkinan terjadi komplikasi yang salah satunya adalah disfungsi seksual semakin tinggi. lamanya menderita diabetes mellitus pada pasien perempuan didapatkan terbanyak 10–14 tahun dan pada tabel silang fungsi seksual dengan maka diketahui jumlah pasien yang mengalami fungsi seksual buruk semakin banyak ditemukan pada pasien yang menderita diabetes semakin lama; fungsi seksual buruk 25% (5 pasien) pada pasien antara 10-14 tahun. sedangkan pada laki-laki lamanya menderita diabetes mellitus pada pasien laki-laki terbanyak adalah lebih dari atau sama dengan 15 tahun. dari hasil tabulasi silang, diketahui 28,8% (19 pasien) mengalami disfungsi ereksi; 37,9% (25 pasien) mengalami disfungsi orgasme; 34,8% (23 pasien) mengalami disfungsi hasrat seksual; 36,4% (24 pasien) mengalami ketidakpuasan hubungan seksual; 36,4% (24 pasien) mengalami ketidakpuasan secara keseluruhan. hal ini seperti yang dikemukakan seorang ahli bahwa prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan lamanya menderita diabetes mellitus. semakin lama menderita diabetes mellitus maka kemugkinan terjadinya komplikasi diabetes semakin tinggi termasuk diantaranya neuropati diabetik yang merupakan salah satu faktor terjadinya disfungsi seksual. hal ini kemungkinan diakibatkan oleh perilaku hidup yang kurang sehat sehingga menyebabkan naik turunnya gula darah yang tidak terkontrol. secara teori dikatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya disfungsi seksual baik pada perempuan maupun laki-laki adalah pola hidup yang tidak sehat antara lain adalah tidak adanya aktivitas olahraga secara teratur (pangkahila, 2014). corwin (2009) pada bukunya mengungkapkan bahwa olahraga terbukti dapat meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel sehingga kadar glukosa turun. hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar pasien tidak memiliki kebiasaan olahraga secara teratur. dari tabel silang antara aktivitas olahraga dengan fungsi seksual perempuan diketahui bahwa pasien mengalami fungsi seksual buruk sebanyak 40% (8 pasien) tidak memiliki kebiasaan olahraga, pada pasien laki-laki sebanyak 48,5% (32 pasien) tidak melakukan aktivitas olahraga secara teratur mengalami disfungsi ereksi; sedangkan pada fungsi orgasme, fungsi hasrat seksual, fungsi kepuasan hubungan seksual, dan fungsi keseluruhan kepuasan mengalami disfungsi dengan jumlah yang sama yaitu sebanyak 53% (35 pasien). semua pasien perempuan tidak memiliki riwayat atau kebiasaan mengkonsumsi rokok yaitu sebanyak 40% (8 pasien) memiliki fungsi seksual buruk. mayoritas pasien laki-laki memiliki kebiasaan merokok yaitu sebesar 50% (33 pasien) mengalami disfungsi ereksi; pada fungsi orgasme, kepuasan hubungan seksual, dan keseluruhan kepuasan terjadi disfungsi dengan jumlah yang sama yaitu 33,3% (22 pasien) dan sebanyak 31,8% (21 pasien) terjadi disfungsi hasrat seksual. menurut pangkahila (2014) disfungsi seksual dapat disebabkan oleh faktor fisik yang salah satunya adalah faktor pembuluh darah yang dipengaruhi oleh merokok. hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke vagina maupun penis yang dapat menimbulkan disfungsi seksual. peneliti berpendapat selain komplikasi diabetes mellitus, faktor gaya hidup yang tidak benar yaitu merokok dapat mempengaruhi fungsi seksual hingga menyebabkan disfungsi seksual. pada pasien 221rahayu, sepdianto dan mulyadi, gambaran disfungsi seksual ... perempuan semua pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, namun memiliki fungsi seksual buruk dimungkinkan karena faktor lain yang mempengaruhinya, seperti pengelolaan diabetes. diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes. dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pada sebagian besar pasien perempuan dan laki-laki tidak melakukan diit diabetes mellitus sesuai dengan yang disarankan, yaitu 60% (66 pasien) dari jumah total pasien. pada perempuan sebanyak 40% (8 pasien) mengalami fungsi seksual buruk dan tidak melakukan diit diabetes mellitus sesuai dengan yang disarankan. pada pasien laki-laki terjadi disfungsi ereksi dengan jumlah 45,5% (30 pasien) tidak melakukan diit diabetes sesuai dengan yang disarankan; fungsi orgasme, fungsi kepuasan hubungan seksual, dan fungsi keseluruhan kepuasan mengalami disfungsi dengan jumlah 54,5% (36 pasien); fungsi hasrat seksual mengalami disfungsi dengan jumlah 53% (35 pasien). peneliti berpendapat bahwa penatalaksanaan diabetes yang salah satunya adalah diit memegang peranan yang penting dalam pengendalian gula darah, dimana asupan kalori yang berlebihan dapat menyebabkan meningkatnya kadar gula darah dan jika hal ini terus menerus terjadi maka kemungkinan besar akan terjadi pula komplikasi vaskuler dan neuropati perifer yang dapat menyebabkan disfungsi seksual. pada karakteristik pasien berdasarkan kebiasaan berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat dm sesuai dengan yang disarankan didapatkan pasien yang mengkonsumsi obat dm sesuai dengan yang disarankan lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang tidak. pasien perempuan yang mengkonsumsi obat dm sesuai dengan yang disarankan sebanyak 25% (5 pasien) memiliki fungsi seksual buruk. pada laki-laki yang mengkonsumsi obat dm sesuai dengan yang disarankan adalah sebanyak 71,2% (47 pasien) mengalami disfungsi ereksi; disfungsi orgasme 84,8% (56 pasien); disungsi hasrat seksual 81,8% (54 pasien); disfungsi kepuasan hubungan seksual 83,3% (55 pasien); disfungsi keseluruhan kepuasan 86,4% (57 pasien). peneliti berpendapat bahwa keberhasilan penatalaksanaan diabetes mellitus tidak hanya dilakukan dengan obat atau insulin saja, tetapi juga meliputi faktor lain seperti perencanaan diit yang benar dan aktivitas olahraga yang teratur, dimana kedua hal ini dapat mempengaruhi naiknya kadar gula darah. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa 75% pasien diabetes mellitus tipe 2 perempuan mengalami disfungsi seksual (40% fungsi seksual buruk dan 35% fungsi seksual sedang). sedangkan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang berjenis kelamin laki-laki 74% mengalami disfungsi ereksi, 88% mengalami disfungsi orgasme, 85% mengalami disfungsi hasrat seksual, 86% mengalami disfungsi kepuasan hubungan seksual dan 89% mengalami disfungsi keseluruhan kepuasan. berdasarkan hasil tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa mayoritas pasien diabetes mellitus tipe 2 baik yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar mengalami disfungsi seksual. saran diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan data tentang disfungsi seksual pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di poli penyakit dalam rsud mardi waluyo kota blitar dan alat ukur kuesioner fsfi dan iief dapat digunakan sebagai alat ukur untuk memantau terjadinya disfungsi seksual, sehingga dapat segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat. diharapkan penelitian ini dapat menjadi data dasar bagi peneliti selanjutnya untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan faktorfaktor yang mempengaruhi penurunan fungsi seksual kaitannya dengan pelaksanaan gaya hidup sehat. daftar rujukan corwin, e.j. 2009. patofisiologi: buku saku. jakarta: egc. depkes ri. 2009. diabetes melitus penyebab kematian nomor 6 di dunia. artikel. (online),(http://www. depkes.go.id/article/view/2383/diabetes-melituspenyebab-kematian-nomor-6-di-dunia-kemenkestawarkan-solusi-cerdik-melalui-posbindu.html, diakses tanggal 30 oktober 20014). depkes ri. 2009. prevalensi diabetes melitus di indonesi mencapai 213 juta orang. artikel. (online), (http://www.depkes.go.id/article/view/414/ tahun2030-prevalensi-diabetes-melitus-di-indonesiamencapai-213-juta-orang.html#sthash.8yoc w6rd.dpuf, diakses tanggal 30 oktober 2014). pangkahila, w. 2014. seks dan kualitas hidup. jakarta: pt kompas media nusantara. perkeni. 2011. petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetesmelitus. jakarta: fkui: 2–35. 178 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the effect of aloe vera extract on blood glucose levels in streptozotocin-induced rats taufan arif1, joko pitoyo2, eddi sudjarwo3 1,2,3department of nursing, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract aloevera can protect and restore the function of damaged pancreatic beta cells. the content of aloe vera can work like insulin, and lower blood glucose even though all beta cells have degenerated. the aim of the study was to find out the effect of aloe vera extract on the regulation of blood glucose levels in rats induced by streptozotocin. the study was true experimental randomized pre-post test control group design. the sampling technique used simple random sampling consisting of 20 wistar strain rats divided into 4 groups, namely the placebo control group, treatment group with a dose of 250 mg/dl, a dose of 350 mg/dl, and a dose of 1000 mg/dl. rats were given stz injection on day 8 after acclimatization. the independent variable was aloe vera extract. the dependent variable was blood glucose levels. the intervention of giving aloe vera extract was given for 9 days. data were analyzed by paired t test and anova. the results showed that there was an effect of aloe vera extract at a dose of 350 mg/kgbw on blood glucose levels with a paired t test of 0.022. the anova results showed that aloe vera extract at a dose of 350 mg/kgbw had the highest effectiveness with a p value of 0.05. the chromium, alprogen, and flavonoid in aloe vera will improve the beta function of the pancreas in producing the hormone insulin. damage to the islets of langerhans cells in the pancreas will be inhibited and restore the sensitivity of the insulin receptor cells.methods that are attractive to high school students and carried out consistently. history article: received, 16/12/2021 accepted, 03/08/2022 published, 15/08/2022 keywords: aloevera, diabetes mellitus, blood glucose, stz © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : taufanarif.polkesma@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p178-185 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:taufanarif.polkesma@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p178-185 arif, pitoyo, sudjarwo, the effect of aloe vera extract on blood glucose levels streptozotocin … 179 introduction diabetes mellitus (dm) is also known as the great imitator because it causes damage to the body's organs as a whole, both anatomically and functionally (aini et al., 2011). dm is a metabolic disorder disease that is chronic and complex with the characteristics of hyperglycemia arising from absolute or relative insulin deficiency (aveonita, 2015; pradono, 2011; sugandha & lestari, 2015). type 2 diabetes hyperglycemia is caused by cellular insensitivity to insulin. in addition, insulin secretion defects occur, namely the inability of the pancreas to produce sufficient insulin to maintain normal plasma glucose (arif et al., 2020; corwin, 2009). many complications can occur due to hyperglycemia such as hypertension, neuropathy, coronary heart disease, nephropathy, and gangrene (aveonita, 2015). in hyperglycemic conditions, glucose will undergo a non-enzymatic glycosylation reaction spontaneously with hemoglobin to form glycated hemoglobin. glucose can be oxidized before binding to hemoglobin as well as glucose after binding to hemoglobin will be oxidized and produce reactive oxygen species (ros). ros will increase the expression of tumor necrosis factor (tnfα) which causes insulin resistance through decreased autophosphorylation of insulin receptors, changes in insulin receptor substrate (irs) to inhibitors of receptor tyrosine kinase activity, decreased insulin-sensitive glucose transporter (glut-4), alter the function of cells, and increase the circulation of fatty acids. the antioxidant activity of aloe vera extract increases glucose tolerance by preventing blood glucose oxidation, reducing the potential of enzymes that play a role in the transfer of phosphate groups on glucose which is the initial stage of the glycosylation process and improving oxidative stress (pertiwi & rahayuningsih, 2012). successful treatment of dm patients takes a long time because dm is a chronic disease that will last a lifetime and is very complex (aini et al., 2011; arif, 2018). monitoring the status of blood glucose levels on a regular basis in dm patients is the core of treatment (kotwal & pandit, 2012). the success of dm treatment can also be done in several ways, such as controlling blood glucose levels, physical activity, diet, weight loss, blood pressure/lipid management, and others. all of these activities are also to prevent micro-vascular and macro-vascular diseases (sucharita et al., 2018; wasir et al., 2018). adequate control of glucose levels will reduce the risk of complications caused by diabetes mellitus (kotwal & pandit, 2012). who predicts an increase in the number of patients in 2000 from 8.4 million to around 21.3 million in 2030 (sugandha & lestari, 2015). hospital annual report 2012 (as of may 31, 2013), the most cases of disease were outpatients at type b hospitals, totaling 24 hospitals, the most cases being degenerative diseases, namely hypertension (112,583 cases) and diabetes mellitus (102,399 cases). the two most common diseases in outpatients at type c hospitals are hypertension (42,212 cases) and diabetes mellitus (35,028 cases) (healthoffice, 2015). about 15% of dm patients in the course of their disease will experience complications of diabetic foot wounds and the risk of lower extremity amputation is 15-46 times higher in dm patients compared to people who do not suffer from dm (yumizone, 2008). fifty to 75% lower extremity amputations are performed in patients with diabetes. as many as 50% of amputation cases are estimated to be preventable if patients are taught preventive measures to care for their feet and practice them every day (maryunani, 2015). who estimates that more than 80% of the population still relies on traditional medicine. in fact, many drugs now mimic some or all of the natural molecular structure of plants. ethnopharmacology has developed the use of medicinal plants for the therapy of diabetes mellitus because it is low cost, easy to obtain, and has few side effects (aini et al., 2011). one of the traditional medicines that continues to be developed until now is antidiabetic drugs (pradono, 2011). medicinal plants are a source of raw materials for drugs in hyperglycemic cases. there are many types of medicinal plant species in the world which are thought to contain antihyperglycemic compounds. one type of medicinal plant that is believed to lower blood glucose levels is aloe vera (aveonita, 2015; pradono, 2011). it is thought that giving aloe vera can protect and restore the function of damaged pancreatic beta cells. then the content of aloe vera can also work like insulin, and lower blood glucose levels even though all pancreatic beta cells have degenerated (aveonita, 2015). aloe vera contains chemicals that are hypoglycemic, namely chromium and alprogen (aveonita, 2015; muliawan, 2019). it is suspected that this chromium functions to stimulate insulin secretion by pancreatic beta cells. this chromium will help insulin work by helping receptor cells to bind to the insulin hormone (aveonita, 2015). chromium can increase serotonin which plays a role in increasing the use of glucose by muscles, and a new study shows serotonin has an effect on insulin secretion. another effect of chromium is to improve insulin resistance by binding to insulin receptors, then chromium will increase the activity of tyrosine kinase, irs-1 (insulin receptor substrate-1). this condition will increase glut 4 activity in binding glucose to be used as energy (muliawan, 2019). 180 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 178-185 antioxidants are substances that the body needs to neutralize free radicals and prevent the damage caused by free radicals to normal cells. people with diabetes are very easy to experience oxidative stress and continue to cause complications of diabetes. the role of flavonoids in this case is to influence the continuous damage to the islets of langerhans cells in the pancreas so that pancreatic beta cells can regenerate and secrete insulin back into the blood and can restore the sensitivity of the insulin receptor cells by closing and inhibiting k+ channels in the blood. beta cells that stimulate insulin secretion. this condition causes a decrease in blood glucose levels (nahar & sarker, 2009). diabetes mellitus is a metabolic disorder that interferes with glucose metabolism and has a negative impact on lipid and protein metabolism. this disorder is associated with an increased risk of heart disease. in diabetic patients, the risk of heart disease is 4-5 times greater than in non-diabetic patients. lipid dysfunction such as increased levels of total cholesterol (tc), low density lipoprotein cholesterol (ldl), triglycerides (tg) and decreased high density lipoprotein cholesterol (hdl) are important risk factors for diabetics. therefore, monitoring of lipid disturbances in these patients is important (hosseini et al., 2020). in previous studies, flavonoids are thought to have antidiabetic effects. flavonoids are found in aloe vera which are thought to have an antidiabetic effect, but the mechanism of reducing blood glucose levels in the administration of aloe vera extract is not yet clear. method the study method was pure experiment (true experiment). the strategy used is the pre-post test control group design system. the experiment was carried out using streptozotocin-induced rats which were divided into 4 groups, namely a negative control group for diabetes mellitus with a placebo, treatment group 1 with a dose of aloe vera extract 250 mg/kgbw, treatment group 2 with a dose of aloe vera extract 350 mg/kgbw, treatment group 3 with a dose of aloe vera extract 1000 mg/kgbw. the population in this study were wistar rats. the number of samples was 20 rats which were divided into 4 groups. the inclusion criteria of the study included 2-3 months of age, male sex, body weight between 150-250 grams, healthy condition characterized by active movement, smooth, shiny and clean fur, thick fur and no significant hair loss, sturdy body not thin, no mucus, pus or blood from the eyes or ears, not too much saliva, no diarrhea and calm breathing. the exclusion criteria for this study included inactive rat movement, rats did not want to eat and drink, rats died during the study, rats had infected wounds which were marked by the presence of pus, excessive exudate before acclimatization, rats had wounds that could be due to bites, or other sharp objects before acclimatization. the independent variable of this study was aloe vera extract, while the dependent variable of this study was blood glucose levels. the animals used were wistar rats, male, healthy and have normal activities, 2-3 months old, body weight between 150-250 grams. the experimental animals were obtained from the animal experiment shop at the address for perum bumi, mondoroko raya, block g02-54 singosari, malang regency. the rats used will be subject to animal health checks at the malang city food and agriculture security service. the aloe vera extract material came from batu city, malang, east java and then brought to materia medica batu for the maceration process of aloe vera extract. streptozotocin injection was carried out on day 8 after the rats had completed the acclimatization for 7 days. calculation of the dose of streptozotocin in study rats used a dose of 45 mg/kgbw which was injected intraperitoneally. this streptozotocin injection will be carried out by a professional laboratory officer at the experimental animal research laboratory. if the rat's body weight is 200 grams, the calculation of the streptozotocin dose is 200 grams/1000 grams x 45mg, which is 9 mg. streptozotocin will be dissolved in 0.1 m citrate buffer ph 4.5 because streptozotocin is insoluble in water. the concentration of stz made was 22.5 mg/ml. the citrate buffer itself is made from a mixture of citric acid and sodium citrate, then aquabides are added. the mixture was homogenized for 5 minutes, and after homogenizing the mixture was added streptozotocin and homogenized again, then injected intraperitoneally into rat. citrate buffer volume = 9 mg stz divided by 22.5 mg/ml = 0.4 ml. the study was conducted at the experimental animal research laboratory of poltekkes kemenkes malang in june – september 2021. the rat will be divided into 4 groups where each group consists of 7 rats. but in its implementation, there are 8 dead rats. rats that have just come to the laboratory will be adapted to the new environment for 7 days. rats that have adapted will be injected with streptozotocin on the 8th day so that the rat become diabetic (random blood glucose levels > 200 mg/dl). on the 10th day accompanied by measurements of random blood glucose and cholesterol rats (pretest) on the 10th day. if it has not become dm then streptozotocin will be reinjected. on the 11th day treatment was given in the form of aloe vera extract until the 19th day, then random blood glucose and cholesterol measurements were taken in rats (posttest) on the 19th day. the data analysis technique used paired ttest to determine the differences in the pre and post arif, pitoyo, sudjarwo, the effect of aloe vera extract on blood glucose levels streptozotocin … 181 groups and continued with the independent samples t-test test to test different groups, using a 95% confidence interval or 5% error rate. in addition, multivariate analysis will be carried out using the anova test. in this study, the data analyzed were data from the dependent variable, namely blood glucose levels. result table 1: characteristics of rat body weight after streptozotocin induction rat weight control group treatment group 1 treatment group 2 treatment group 3 mean 195 165 200 177 median 202 162 187 177 min 165 155 165 160 max 225 180 250 195 total 6 4 6 4 table 1 describes the body weight characteristics of streptozotocin-induced rats, the average weight is 165200 grams. the smallest body weight was in treatment group 1, which was 155 grams, while the highest body weight in group 2 was 250 grams. the number of rats in this study were 20 rats. table 2: characteristics of streptozotocin-induced rat blood sugar before intervention blood sugar before intervention control group treatment group 1 treatment group 2 treatment group 3 mean 437 458 423 431 median 440 486 444 472 min 350 368 208 265 max 537 494 600 515 total 6 4 6 4 table 2 it can be illustrated that the smallest average blood glucose level before the intervention was in treatment group 2, which was 423 mg/dl, while the highest blood glucose level was in group 1, which was 458 mg/dl. the lowest blood glucose level was in treatment group 2, which was 208 mg/dl, while the highest blood glucose level was in group 2, which was 600 mg/dl. table 3: characteristics of streptozotocin-induced rat blood sugar after intervention blood sugar after intervention control group treatment group 1 treatment group 2 treatment group 3 mean 464 409 291 382 median 450 403 281 432 min 323 379 132 189 max 616 452 454 477 total 6 4 6 4 table 3 it can be illustrated that the smallest average blood glucose level after the intervention was in the treatment group 2, which was 291 mg/dl, while the highest blood glucose level was in the control group, which was 464 mg/dl. the lowest blood glucose level was found in treatment group 2, namely 132 mg/dl, while the highest blood glucose level was in the control group, which was 616 mg/dl. table 4: results of paired t test of blood glucose levels in streptozotocin-induced rats variable paired t test t df sig. (2-tailed) pre-test and post test control group -.783 5 .469 pre-test and post test in treatment group 1 1.596 3 .209 pre-test and post test in treatment group 2 3.276 5 .022 pre-test and post test in treatment group 2 .459 3 .677 table 4 it can be illustrated that the results of the analysis test between the variables of blood glucose levels before and after being given intervention in treatment group 2 showed a p value of 0.022 which means that there was an effect of aloe vera extract at a dose of 350 mg/kgbw on blood glucose levels in rats induced by streptozotocin. the control group, treatment group 1 and treatment group 2 did not have a significant difference between before and after the intervention was given. table 5: results of anova test on blood glucose levels in streptozotocin-induced rats after intervention variable variable anova homogeneity test between groups control group treatment group 1 0.85 p value levane test = 0.154 sig. = 0.078 treatment group 2 0.05 182 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 178-185 treatment group 3 0.64 treatment group 1 control group 0.85 treatment group 2 0.34 treatment group 3 0.98 treatment group 2 control group 0.05 treatment group 1 0.34 treatment group 3 0.55 treatment group 3 control group 0.64 treatment group 1 0.98 treatment group 2 0.55 table 5 shows the significance level of the levene test of 0.078 > 0.05, which means that the four blood glucose groups are the same or homogeneous. the test results of the four groups also had the same average blood glucose as evidenced by a significance value of 0.154 > 0.05. the significance of anova results showed that treatment group 2 had the most effective effect in reducing blood glucose levels in rats induced by streptozotocin as evidenced by p value 0.05. discussion dm is a chronic metabolic disorder disease characterized by hyperglycemia arising from absolute or relative insulin deficiency (aveonita, 2015; pradono, 2011). type 2 diabetes hyperglycemia is caused by cellular insensitivity to insulin. in addition, insulin secretion defects occur, namely the inability of the pancreas to produce sufficient insulin to maintain normal plasma glucose (corwin, 2009). many complications can occur due to hyperglycemia such as hypertension, neuropathy, coronary heart disease, nephropathy, and gangren (aveonita, 2015). in hyperglycemic conditions, glucose will undergo a non-enzymatic glycosylation reaction spontaneously with hemoglobin to form glycated hemoglobin. glucose can be oxidized before binding to hemoglobin as well as glucose after binding to hemoglobin will be oxidized and produce reactive oxygen species (ros). ros will increase the expression of tumor necrosis factor (tnfα) which causes insulin resistance through decreased autophosphorylation of insulin receptors, changes in insulin receptor substrate (irs) to inhibitors of receptor tyrosine kinase activity, decreased insulin-sensitive glucose transporter (glut-4), alter the function of cells, and increase the circulation of fatty acids. the antioxidant activity of aloe vera extract increases glucose tolerance by preventing blood glucose oxidation, reducing the potential of enzymes that play a role in the transfer of phosphate groups on glucose which is the initial stage of the glycosylation process and improving oxidative stress (pertiwi & rahayuningsih, 2012). the hormone insulin produced by pancreatic beta cells is the key in opening the entrance of glucose in the blood to the cells. this insulin hormone will deliver glucose in the blood so that it can enter the nucleus in the cell with the help of glut 4 which is on the cell membrane. the next process, glucose in the cells will be metabolized into atp. if the insulin hormone is not produced or the amount of insulin hormone in the blood is small, then the glucose in the blood is unable to enter the cells so that it will continue to be in the bloodstream, resulting in a state of hyperglycemia (aveonita, 2015). treatment management in diabetes mellitus consists of non-pharmacological management and pharmacological therapy. non-pharmacological management can be weight control, diet, and physical activity therapy. pharmacological management can be in the form of insulin therapy and oral hypoglycemic drugs. people with type 2 diabetes mellitus, the pancreas still produces sufficient amounts of insulin, but the insulin cannot work optimally to bring glucose into the cells due to high cholesterol and triglyceride levels in obese people (arif, 2020). one of the traditional medicines that continues to be developed until now is antidiabetic drugs (pradono, 2011). medicinal plants are a source of raw materials for drugs in hyperglycemic cases. there are many types of medicinal plant species in the world which are thought to contain antihyperglycemic compounds. one type of medicinal plant that is believed to lower blood glucose levels is aloe vera (aveonita, 2015; pradono, 2011). it is thought that giving aloe vera can protect and restore the function of damaged pancreatic beta cells. then the content of aloe vera can also work like insulin, and lower blood glucose levels even though all pancreatic beta cells have degenerated (aveonita, 2015). aloe vera contains chemicals that are hypoglycemic, namely chromium and alprogen (aveonita, 2015; muliawan, 2019). it is suspected that this chromium functions to stimulate insulin secretion by pancreatic beta cells. this chromium will help insulin work by helping receptor cells to bind to the insulin hormone (aveonita, 2015). chromium can increase serotonin which plays a role in increasing the use of glucose by muscles, and a new study shows serotonin has an effect on insulin secretion. another effect of chromium is to improve insulin resistance by binding to insulin receptors, then chromium will increase the activity of tyrosine kinase, irs-1 (insulin receptor substrate-1). this condition will increase glut 4 arif, pitoyo, sudjarwo, the effect of aloe vera extract on blood glucose levels streptozotocin … 183 activity in binding glucose to be used as energy (muliawan, 2019). in a previous study, giving aloe vera for 14 days was shown to reduce hyperglycemic conditions. in the treatment group there was a decrease in gdp levels by 20.38±14.7 (18.92%) mg/dl, while in the control group it was 0.38±11.12 mg/dl. statistical tests showed differences in the decrease in gdp levels between the treatment group and the control group. there was a significant decrease in gdp levels of 20.38 mg/dl after giving 150 grams of aloe vera juice for 14 days (pertiwi & rahayuningsih, 2012). putriningtyas' research (2013) explains the effect of boiled water from the tubers of the ant nest plant (myrmecodia pendens) in regulating blood glucose levels, which is thought to be due to the content of tannins, tocopherols, and flavonoids. the function of flavonoids for the human body is as an antioxidant (putriningtyas, 2013). antioxidants are substances that the body needs to neutralize free radicals and prevent the damage caused by free radicals to normal cells. the role of flavonoids in this case is to influence the continuous damage to the islets of langerhans cells in the pancreas so that pancreatic beta cells can regenerate and secrete insulin back into the blood and can restore the sensitivity of the insulin receptor cells by closing and inhibiting k+ channels in the blood. beta cells that stimulate insulin secretion. this condition causes a decrease in blood glucose levels (nahar & sarker, 2009). previous research also explained that there was an effect of giving aloe vera extract on decreasing blood glucose levels. doses of 250mg/kgbw have a better effect on lowering blood glucose levels. provision of aloe vera extract which has active substances that are thought to be useful as antidiabetics, namely acemannan, anthraquinone and phytosterol. these active substances are thought to have an effect in lowering blood glucose by increasing glut4. glut4 located in cell membranes will capture sugar from outside and bring glucose into muscle cells, where skeletal muscle is the largest human organ that is sensitive to insulin, which accounts for 85% of the whole body's glucose uptake and plays an important role in maintaining systemic glucose hemostasis (wanadiatri, 2018). previous studies have shown that moderately high doses of aloe vera (200 mg/kgbw and 300mg/kgbw, respectively) help in reducing blood glucose levels and show a marked reduction in blood glucose levels. high doses of aloe vera show a rapid hypoglycemic effect, so further investigations are needed to confirm the bad or good effects of high doses (agrawal & ghosh, 2016). in this study, there were 3 doses given to streptozotocin-induced rats, namely a dose of 250 mg/kgbw, a dose of 350 mg/kgbw, and a dose of 1000 mg/kgbw. one of the doses that gave the greatest effect was rats who were given a dose of 350 mg/kgbw. this is in accordance with wanadiatri’s research (2018) which explains that in his research on rats given ethanolic extract of aloe vera at a dose of 350 mg/kgbw can reduce blood glucose levels. in addition, the 350 mg/kgbw dose grup showed a significant difference to the normal control group (p<0.05) (wanadiatri, 2018). this is evidenced by the results of multivariate analysis through the anova test which shows the p value of the 350 mg/dl dose has the smallest significance value (p<0.05) compared to the control group. in this study, administration of aloe vera extract to rats induced by streptozotocin was proven to improve blood glucose levels. this can happen because of the large number of chemical compounds in aloe vera that have an antihyperglycemic function such as chromium, and alprogens. flavonoids, saponins, chromium, alprogens, acemannan, anthraquinones, phytosterols are a class of natural compounds that have many health benefits and are an important part of the human diet. this chemical compound will improve the beta function of the pancreas in producing the hormone insulin. damage to the islets of langerhans cells in the pancreas will be inhibited and can regenerate so that insulin secretion returns to normal into the blood and can restore the sensitivity of the insulin receptor cells by closing and inhibiting k+ channels in beta cells which stimulate insulin secretion. conclusion there was an effect of aloe vera extract at a dose of 350 mg/kgbw on blood glucose levels in streptozotocin-induced rats. aloe vera extract at a dose of 350 mg/kgbw has the highest effectiveness compared to a dose of 250 mg/kgbw and 1000 mg/kgbw. suggestion for further researchers, it is expected to examine the use of aloe vera extract at a dose of 350 mg/kgbw with different administration times, namely 1 x / day, 2 x / day, and 3 x / day. acknowledgement the authors would like to thank the director, the head of the nursing department, and the head of the research center poltekkes kemenkes malang, and and everyone who participated in this study. funding this research was funded by the dipa of poltekkes kemenkes malang, and the poltekkes 184 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 178-185 kemenkes malang have provided the financial assistance needed in this research. conflicts of interest the authors in this research have no affiliations with or involvement in any organization about any financial interest or non financial interest, conflicts of interest in the manuscript, and other relationships that might lead to a conflict of interest. refference agrawal, s., & ghosh, p. (2016). combined efficacy of aloe vera and turmeric on lipid profile of streptozotocin induced albino rats. european journal of pharmaceutical and medical research, 3(9), 388–394. aini, n., fatmaningrum, w., & yusuf, a. (2011). upaya meningkatkan perilaku diabetes mellitus dengan pendekatan teori model behavioral ... jurnal ners, 6(1 april 2011), 1–10. https://www.academia.edu/download/5110 2050/ipi18236.pdf arif, t. (2018). pengaruh senam kaki diabetes terhadap capilary refill time perifer klien diabetes mellitus di puskesmas dinoyo malang. jurnal keperawatan terapan, 4(2), 74–82. ojs.poltekkesmalang.ac.id arif, t. (2020). peningkatan vaskularisasi perifer dan pengontrolan glukosa klien diabetes mellitus melalui senam kaki. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 7(1), 082–088. https://doi.org/10.26699/jnk.v7i1.art.p082088 arif, t., sudjarwo, e., kesehatan, p., & malang, k. (2020). hubungan kadar glukosa dengan tingkat diabetic foot ulcers berdasarkan bates-jensen wound assessment-tools. jurnal ilmiah media husada, 9(2), 60–66. https://ojs.widyagamahusada.ac.id aveonita, r. a. r. (2015). effect of aloe vera in lowering blood glucose levels on diabetes melitus. jurnal majority, 4(2), 104. corwin, e. j. (2009). buku saku patofisiologi 3 edisi revisi. egc. healthoffice. (2015). profil kesehatan provinsi jawa timur tahun 2014. www.depkes.go.id/resources/download/pr ofil/profil_kes_provinsi_2012/15_ profil_kes.prov.jawatimur_2012.pdf hosseini, a., khoshsovt, f., ahmadi, m., azarbayjani, m. a., salehi, o., & farkhaie, f. (2020). effects of aloe vera and swimming training on lipid profile of streptozotocin induced diabetic rats. nutrition and food sciences research, 7(1), 9–16. https://doi.org/10.29252/nfsr.7.1.9 kotwal, n., & pandit, a. (2012). variability of capillary blood glucose monitoring measured on home glucose monitoring devices. indian journal of endocrinology and metabolism, 16(april), 4–7. https://doi.org/10.4103/2230-8210.104052 maryunani, a. (2015). perawatan luka modern terkini dan terlengkap: sebagai bentuk tindakan keperawatan mandiri (pertama). in media. muliawan, i. k. d. i. (2019). efek pemberian kombinasi jus aloe vera dan glibenklamid terhadap penurunan kadar glukosa darah pada model tikus diabetes yang diinduksi dengan streptozotosin dan nikotinamid. intisari sains medis, 10(2), 527–531. https://doi.org/10.15562/ism.v10i2.532 nahar, l., & sarker, s. d. (2009). kimia untuk mahasiswa farmasi. pustaka belajar. pertiwi, p. s., & rahayuningsih, h. m. (2012). pengaruh pemberian jus lidah buaya terhadap kadar glukosa darah puasa pada wanita prediabetes. journal of nutrition college, 1(1), 107–114. https://doi.org/10.14710/jnc.v1i1.408 pradono, a. s. (2011). pengaruh pemberian decocta daun lidah buaya ( aloe vera l . ) terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus wistar yag diberi beban glukosa [universitas diponegoro]. https://www.google.com/search?q=peng aruh+pemberian+decocta+dau n+lidah+buaya+%28+aloe+vera+l +.+%29+terhadap+penurunan+k adar+glukosa+darah+tikus+ wistar+yag+diberi+beban+glu kosa&safe=strict&client=firefox-bd&biw=1366&bih=654&sxsrf=alekk03 ov_nr12kcdc1tdv4div putriningtyas, i. f. n. (2013). pengaruh pemberian air rebusan umbi tanaman sarang semut (myrmecodia pendens) terhadap regulasi kadar glukosa darah pada mencit (mus musculus) yang diinduksi streptozotocin. universitas airlangga. sucharita, s., ashwini, v., prabhu, j. s., avadhany, s. t., ayyar, v., & bantwal, g. (2018). the role of circulating microrna in the regulation of beta cell function and insulin resistance among indians with type 2 diabetes. indian journal of endocrinology and metabolism, 22(6), 2– 5. https://doi.org/10.4103/ijem.ijem sugandha, p. u., & lestari, a. w. (2015). gambaran pengendalian kadar gula arif, pitoyo, sudjarwo, the effect of aloe vera extract on blood glucose levels streptozotocin … 185 darah dan hba1c pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang dirawat di rsup sanglah periode januari-mei 2014. ejurnal medika udayana, 4(1), 1–8. https://doi.org/10.1016/j.concog.2016.02.0 06 wanadiatri, h. (2018). pengaruh ekstrak etanol lidah buaya (aloe vera) terhadap glukosa darah tikus hiperglikemia terinduksi streptozotocin. jurnal biosains pascasarjana, 20(1), 33. https://doi.org/10.20473/jbp.v20i1.2018.3 3-41 wasir, j. s., mithal, a., agarwal, p., & mittal, a. (2018). once weekly dulaglutide therapy in type 2 diabetic subjects , real ‑ world evidence from a tertiary care diabetes center in. indian journal of endocrinology and metabolism, 22(6), 2– 8. https://doi.org/10.4103/ijem.ijem. 189 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk quality of life of patients with chronic kidney disease esterlita ayu putri apriliani1, oda debora2, elizabeth yun yun vinsur3 1,2,3nursing department, stikes panti waluya malang, indonesia article information abstract chronic kidney disease results in decreased kidney function in filtering metabolic waste so patients must receive replacement therapy for kidney function, one of which is hemodialysis. hemodialysis therapy aims to achieve optimal health and a better quality of life. this study aimed to determine the correlation between compliance to hemodialysis therapy and the quality of life of chronic kidney disease patients. the type of the research was a descriptive correlation with a cross-sectional design. the sample was 106 respondents taken by a purposive sampling technique. the statistical test used spss statistics 29 with spearman correlation test. the results showed that there was no significant correlation between compliance with the quality of life of chronic kidney disease patients. the quality of life tends to be good in the majority of hemodialysis patients because there is positive family, social and environmental support so that patients feel that hemodialysis therapy is not a burden. the quality of life is influenced by 4 components, namely physical, psychological, social, and environmental. compliance is included in one of the physical components where there are several other components and factors that can support the improvement of the quality of life of hemodialysis patients besides compliance. history article: received, 19/07/2023 accepted, 28/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: hemodialysis, chronic kidney disease, compliance, quality of life © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes panti waluya malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: esterlitaayu08@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p189-195 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:esterlitaayu08@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p189-195 190 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 189-195 introduction kidney failure is a medical condition that causes impaired excretion of metabolic waste and can cause fluid-electrolyte and acid-base imbalances in the patient's body (lemone et al., 2016). chronic kidney disease has many different causes, but the most frequent etiology are diabetes mellitus (50%) and hypertension (25%). other causes include glomerulonephritis, cystic kidney disease, and urological disease (lewis et al., 2014). the global prevalence of chronic kidney disease is more than 10% of the general population worldwide, with around 843.6 million sufferers (kovesdy, 2022). the incidence of chronic kidney disease in indonesia is 0.38% (713,783 people) and 19.33% (2,850 people) undergoing hemodialysis therapy (national riskesdas, 2018). east java province is ranked 9th with a percentage of 0.29% (75,490 people) suffering from chronic kidney disease and 23.14% (224 people) undergoing hemodialysis therapy. panti waluya sawahan malang hospital is one of the hospitals in malang city that has a hemodialysis unit with chronic kidney disease rates from december 2022 to january 2023 of 137 chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis therapy. one of the replacement therapy for kidney function is hemodialysis. the purpose of hemodialysis therapy is not to cure but to replace damaged kidney function so that it can reduce the risk of death and improve the patient's quality of life (kusniawati, 2018). hemodialysis therapy is carried out with 2 to 3 times therapy programs in one week and lasts throughout the patient's life. compliance is an important component in carrying out hemodialysis therapy. compliance can be influenced by several things, such as level of knowledge and level of education, behavior, age, gender, economy, environment, work, support and encouragement from family and those closest to them (susantri et al., 2022). the problem of compliance is one aspect that has a major influence on the contribution of hemodialysis failure (alisa & wulandari, 2019). non-compliance in undergoing hemodialysis therapy has an impact on other aspects, both physical, social and psychological so that it can affect quality of life (sitanggang et al., 2021). quality of life can be interpreted as a sense of wellbeing which includes aspects of happiness, as well as one's life satisfaction (wahyuni et al., 2018). the possibility of decreasing the quality of life of patients with chronic kidney disease is not only caused by the condition of the disease but also the treatment and therapy that will be carried out. therefore routine hemodialysis can cause fatigue, causing noncompliance in carrying out hemodialysis therapy and resulting in a decrease in quality of life. based on the results of a preliminary study by researcher at panti waluya sawahan hospital in malang, through interview with several hemodialysis patients and obtained data that patients who routinely perform hemodialysis do not feel any complaints after hemodialysis so that they can carry out daily activities without obstacles. other data shows that even though patients routinely under hemodialysis therapy, sometimes they still experience complaints such as weakness, fatigue, and sleep disturbances which cause patients feel stressed and hopeless. this was particular concern because even though there have been many studies on the correlation between compliance with quality of life, there are still results that high compliance does not affect a person's quality of life so it can have an impact on his life. based on the above phenomena, researchers are interested in conducting research related to compliance to hemodialysis therapy and the quality of life of chronic kidney disease patients. this study aims to determine the correlation between compliance with hemodialysis therapy and the quality of life of chronic kidney disease patients at panti waluya sawahan hospital, malang. methods this research was correlational descriptive study with a cross-sectional design. the researcher identified a correlation between compliance to hemodialysis therapy and the quality of life of chronic kidney disease patients. this research was conducted at the hemodialysis unit of panti waluya sawahan hospital malang on april 5-18 2023. the population consisted of 137 patients. the sample was 106 respondents taken by a purposive sampling technique. the purposive sampling technique is a technique for selecting samples among the population according to the criteria desired by the researcher, so that the selected sample can represent the characteristics of the population (nursalam, 2017). the inclusion criteria for this study were patients who were willing to become respondents, had signed informed consent, were not involved in similar studies, were at least 18 years old, had composmentis awareness with glasgow coma scale 456, were able to communicate, read and write. the exclusion criteria of this study were patients with apriliani, debora, vinsur, quality of life of patients with chronic kidney disease … 191 decreased consciousness, unstable ttv, disorientation, patients who were dying, and patients with organic mental disorders. the instruments used in this study were the end stage renal disease compliance questionnaire (esrd-aq) to measure compliance with hemodialysis therapy and kidney disease quality of life sf-36 (kdqol sf-36) to measure the quality of life of patients with chronic kidney disease. the esrd-aq and kdqol sf-36 instruments are questionnaires translated from english into indonesian. both instruments in this study were tested for validity with a p-value <0.05 and a cronbach alpha esrd-aq value of 0.762 and cronbach alpha kdqol sf-36 0.977 > 0.60 so that it was concluded that all question items were reliable. univariate analysis was used to describe the demographic data of the respondents. bivariate analysis used the spearman correlation test. results the results of this study explain the correlation between compliance with hemodialysis therapy and the quality of life of chronic kidney disease patients at panti waluya sawahan malang hospital, supported by the general characteristics of the respondents including age, gender, marital status, last education, occupation, length of time undergoing hemodialysis therapy, coming together, care support, financing status, medical history, and hemodialysis program. tabel 1: frequency distribution of respondent characteristics in the hemodialysis unit of panti waluya sawahan hospital, malang kategori n % age less than 44 45 to 59 60 to 74 75 to 90 more than 90 28 46 28 2 2 26.4 43.4 26.4 1.9 1.9 gender male female 42 64 38.6 60.4 marital status married not married widow 95 5 6 89.6 4.7 5.7 last education elementary school junior high school senior high school college no school 23 18 36 27 2 21.7 17 34 25.5 1.9 work self-employed civil servant/police/soldier did not work other 5 3 77 21 4.7 2.8 72.6 19.8 long period of hemodialysis less than 3 years more than 3 years 67 39 63.2 36.8 come together family alone 85 21 80.2 19.8 treatment support cared by family home alone 104 2 98.1 1.9 financing status bpjs (social security agency) independent 106 0 100 0 disease history diabetes mellitus hypertension hypertension & diabetes mellitus 5 94 7 4.7 88.7 6.6 hemodialysis programs twice a week three times a week 70 36 66 34 table 1 shows that out of 106 respondents, the majority of respondents were in the age range of 45 to 59 years (26.4%), female (60.4%), with the last education senior high school (34%), respondents did not work (72.6%) and underwent hemodialysis < 3 years (63.2%). as many as 80.2% of respondents came to the 192 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 189-195 hemodialysis unit accompanied by family/relatives and 98.1% of respondents received treatment support from family/relatives. for all respondents (100%) the financing of hemodialysis therapy was borne by bpjs, respondents with a history of hypertension (88.7%), and the majority of hemodialysis programs 2 times in 1 week (66%). tabel 2: compliance outcome category and quality of life kategori n % compliance adhered not adhered 103 3 97,2 2,8 quality of life poor moderate good very good excellent 0 33 73 0 0 0 31,1 68,9 0 0 table 2 shows that 97.2% of respondents adhered to hemodialysis therapy, 68.9% had a good quality of life and 31.1% had a moderate quality of life. there is no data on the poor, very good, and excellent quality of life in patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis therapy. discussion the results of this study showed that 97.2% of respondents obeyed and 2.8% of respondents did not comply. compliance shows that the respondent always comes for hemodialysis therapy according to the schedule determined by the health worker at the hemodialysis unit. not only that, compliance is also marked by not accelerating the hemodialysis time where the entire course of hemodialysis therapy is carried out according to the rules that apply in the hemodialysis unit. for patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis therapy, compliance is the most important aspect of life because the result of non-compliance is to worsen their condition resulting in the accumulation of harmful substances in the body (unga et al., 2019). in this study, the number of female respondents (60.4%) was more than the male respondents. the characteristics of a person in making decisions can be influenced by gender. when interviewed, the majority of female respondents answered out loud with positive answers. they said coming to the hospital for hemodialysis therapy was considered like a picnic because they had years of experience in undergoing hemodialysis therapy and the mindset that was instilled in the respondents included positive and adaptive feelings so that they could increase compliance in carrying out hemodialysis. it is different when the researcher conducts interviews with male respondents who tend to give answers that are resigned to the situation. female respondents also said that individual experience of gender roles and functions related to life expectancy can influence individuals in behaving well for themselves and others (putri & afandi, 2022). the majority of respondents are in the age range of 45-49 years (43.4%). adults are believed to have good minds and have the right to make choices about their lives. respondents who underwent hemodialysis therapy where they chose to comply came to under hemodialysis therapy with the reason of prioritizing their health. this is a decision taken because of careful consideration and more life experience where the age factor is very influential. someone with an adult age tends to be able to maintain and improve compliance to the therapy program given (idarahyuni et al., 2019). the education level of the most respondents is senior high school (34%) and university (25.5%). when individuals are exposed to health information both from health workers and from other people, it will encourage these individuals to take appropriate actions, including complying with hemodialysis therapy. high education can shape a person's mindset to understand the factors related to the disease so that it is expected to increase compliance in undergoing hemodialysis therapy (putri & afandi, 2022). based on interview data, respondents said there was no reason not to come for hemodialysis therapy because the majority of respondents (72.6%) did not work. respondents know that their condition cannot be forced to carry out all activities without restrictions and feel that their health is more important so they choose not to work. someone who doesn't work has more time to pay attention to their health so they are more obedient in limiting fluids and coming for hemodialysis therapy compared to those who are still working and have a lot of busyness so they care less about their health (siagian et al., 2021). apriliani, debora, vinsur, quality of life of patients with chronic kidney disease … 193 most of the respondents (63.2%) underwent hemodialysis therapy for less than 3 years. it takes time for a person to identify beliefs related to the disease and the treatment to follow that can help the patient provide an adaptive response. therefore, the longer a person undergoes hemodialysis therapy, the more adaptive his coping mechanism will be so that it can increase compliance in undergoing hemodialysis therapy. the longer the patient undergoes hemodialysis therapy, the more obedient the patient is because he has reached the acceptance phase and feels the benefits of hemodialysis therapy for his body (fitriani et al., 2020). all respondents (100%) the financing for hemodialysis therapy is borne by bpjs. therefore, respondents said they did not need to worry about financing while undergoing hemodialysis therapy, thus encouraging them to come regularly for hemodialysis therapy. sources of financing for undergoing hemodialysis therapy can affect the patient's coping mechanism because having health insurance can reduce the financial burden that must be borne by the patient. this is what causes the stressor burden experienced by patients and their families to decrease resulting in an increase or compliance in undergoing hemodialysis therapy (chayati & destyanto, 2021). most of the respondents (80.2%) came with family/relatives and received treatment support from family/relatives (98.1%). someone who is or lives in a supportive environment usually has a better condition. there are various problems that arise as a result of the hemodialysis therapy process where these problems can affect compliance in undergoing hemodialysis therapy. family support is an important factor because family interaction and care make respondents enthusiastic about undergoing hemodialysis therapy, conversely if someone does not get support from the family they will feel like they are a burden on the family thereby increasing stressors and potentially becoming disobedient in undergoing hemodialysis therapy (inayati et al., 2020). family support can reduce the negative impact on individual health and with family support there is an increase in the confidence of chronic kidney disease patients in undergoing hemodialysis therapy so that the chances of patients to maintain their health conditions are also higher (dewi et al., 2022). respondents with a good quality of life were 73 people (68.9%) and as many as 33 people (31.1%) had a moderate quality of life. there is no data on respondents with poor, very good, and very good quality of life in chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis therapy. quality of life can be influenced by perceptions where positive selfperceptions can improve quality of life for the better, conversely if negative self-perceptions can reduce or worsen one's quality of life. quality of life also has a subjective meaning, namely the extent to which a person feels satisfaction or dissatisfaction with important aspects of his life (puspasari et al., 2018). the hemodialysis program for the majority of respondents (66%) was carried out twice in 1 week. when meeting other patients who have the same disease, there will be a feeling of wanting to always be together and a positive atmosphere is created, namely being mutually supportive. support from other people also tends to have a good influence and can convey various feelings that are experienced. not only that, having the same schedule and meeting the same people will make them closer and able to tell each other stories that they may not necessarily be able to tell their families. improving the quality of life for the better can come from within adaptive patients with good psychological adaptation. this is one of the uses of adaptation coping mechanisms by patients undergoing hemodialysis therapy by increasing the range of stimuli so that they can respond positively or adaptively (mait et al., 2021). social support from patients to fellow patients undergoing hemodialysis therapy will lead to confidence in recovery and can improve the quality of life in a better direction (damayantie et al., 2022). based on the results of the study it was found that there was no significant correlation between compliance with quality of life of chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis therapy at the panti waluya sawahan hospital malang. according to respondents, hemodialysis therapy has become an important part of life that they have to live without thinking about what will happen in the future so they feel that hemodialysis therapy is not a burden. they believe that hemodialysis therapy will help them get optimal health. this is a positive acceptance of stress on stressors where respondents are at the stage of acceptance of disease and therapy so that there will be an increase in a better quality of life (mait et al., 2021). 194 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 189-195 conclusion based on the results of the study it can be concluded that there is no significant correlation between compliance with hemodialysis therapy and the quality of life of chronic kidney disease patients in the hemodialysis unit of panti waluya sawahan hospital, malang. assessment of the quality of life of patients with chronic kidney disease is not only determined by compliance to hemodialysis therapy, but can also be influenced by several factors, both internal and external factors. suggestion based on this research, it is necessary to know the factors that support and influence compliance to hemodialysis therapy with the quality of life of chronic kidney disease patients. acknowledgement the author would like to thank the waluya sawahan panti hospital in malang and the nurses in the hemodialysis unit who were willing to help the writer during the research process. the author also thanks the respondents who are willing to take the time to participate in the research and answer questions on the questionnaire. the author would like to thank the supervisor who provided direction and motivation during the writing of this article. conflicts of interest in this study, researchers are not involved in any organization or entity that has non-financial or financial interests. however, in this study to avoid conflicts of interest between researchers and research participants, the researchers explained in detail the purpose and process of the research and provided explanation sheets and informed consent sheets to the respondents. researchers give freedom to respondents to refuse or be willing to be involved in research. author contributions the main author conducted a survey and analysis of the literature related to the phenomenon that occurred. next, develop theoretical concepts and research conceptual frameworks through the preparation of thesis proposals submitted to the second and third authors. the main author made improvements to the inputs given to make the research method clear. the primary author makes ethical licensing arrangements. after obtaining research ethics permission, the second author and third author helped arrange correspondence with the hospital agency for research permission. research permission has been obtained. the lead author carried out admissions to hospitals and hemodialysis units. after obtaining research permission from the hospital agency, the main researcher conducted research in the hemodialysis unit. data collection was completed, and the lead author compiled a research report. the second and third authors oversee the research process and help provide input for the perfection of the research report. refferences alisa, f., & wulandari, c. (2019). faktorfaktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien penyakit ginjal kronik (pgk) yang menjalani hemodialisa di rsup dr. m. djamil padang. jurnal kesehatan mercusuar, 2(2). https://doi.org/10.36984/jkm.v2i2.63 chayati, n., & destyanto, a. (2021). mekanisme koping dengan kualitas hidup: studi korelasi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa di rs pku muhammadiyah yogyakarta. journal of innovation research and knowledge, 1(2). damayantie, n., rusmimpong, mashudi, & ditiaharman, r. (2022). analisis faktor kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. jurnal keperawatan silampari, 6(1), 585–592. dewi, a., suwanti, i., & fibriana, l. (2022). hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien hemodialisis selama masa pandemi covid-19. jurnal pengembangan ilmu dan praktik kesehatan, 1(1). fitriani, d., pratiwi, r. d., saputra, r., & haningrum, k. s. (2020). hubungan lama menjalani terapi hemodialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik di ruang hemodialisa rumah sakit dr sitanala tangerang. edu dharma journal: jurnal penelitian dan pengabdian masyarakat, 4(1), 70. https://doi.org/10.52031/edj.v4i1.44 idarahyuni, erna, l. s., & haryanto, e. (2019). kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis (ggk) yang menjalani terapi hemodialisis di unit hemodialisa rsau dr. m. salamun bandung. jurnal ilmiah jka (jurnal kesehatan aeromedika), 5(1), apriliani, debora, vinsur, quality of life of patients with chronic kidney disease … 195 17–23. https://doi.org/10.58550/jka.v5i1.17 inayati, a., hasanah, u., & maryuni, s. (2020). dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di rsud ahmad yani metro. jurnal wacana kesehatan, 5(2), 588. https://doi.org/10.52822/jwk.v5i2.153 kovesdy, c. p. (2022). epidemiology of chronic kidney disease: an update 2022. kidney international supplements, 12(1), 7–11. https://doi.org/10.1016/j.kisu.2021.11.003 kusniawati. (2018). hubungan kepatuhan menjalani hemodialisis dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rumah sakit umum kabupaten tangerang. jurnal medikes (media informasi kesehatan), 5(2), 206–233. https://doi.org/10.36743/medikes.v5i2.61 lemone, p., burke, k, m., & bauldoff, g. (2016). buku ajar keperawatan medikal bedah vol 3 (5th ed., pp. 1062–1074). penerbit buku kedokteran: egc, jakarta. lewis, s. l., dirksen, s. r., heitkemper, m. m., & bucher, l. (2014). medical-surgical nursing assessment and management of clinical problems (m. m. harding (ed.); 9th ed.). elsevier. mait, g., nurmansyah, m., & bidjuni, h. (2021). gambaran adaptasi fisiologis dan psikologis pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di kota manado. jurnal keperawatan, 9(2), 1. https://doi.org/10.35790/jkp.v9i2.36775 nursalam. (2017). metodologi penelitian ilmu keperawatan: pendekatan praktis (4th ed.). salemba medika. puspasari, s., nggobe, i. w., ppni, s., & barat, j. (2018). hubungan kepatuhan menjalani terapi hemodialisa dengan kualitas hidup pasien di unit hemodialisa rsud cibabat – cimahi. 12(3), 154–159. putri, p., & afandi, a. (2022). eksplorasi kepatuhan menjalani hemodialisa pasien gagal ginjal kronik. jurnal keperawatan, 11(2). riskesdas nasional. (2018). laporan riskesdas nasional. in kementerian kesehatan ri. badan penelitian dan pengembangan kesehatan (balitbangkes). siagian, y., alit, d., & suraidah. (2021). analisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pembatasan asupan cairan pasien hemodialisa. jurnal menara medika, 4(1). sitanggang, t. w., anggraini, d., & utami, w. w. (2021). hubungan antara kepatuhan pasien menjalani terapi hemodialisa dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis di ruang hemodialisa rs. medika bsd tahun 2020 the correlation between obedience hemodialysis therapy with the quality of life patients with ch. medikes (media informasi kesehatan), 8(1), 129–136. susantri, w., bayhakki, & woferst, r. (2022). hubungan kepatuhan menjalani terapi hemodialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik di masa pandemi covid-19. journal of holistic nursing and health science, 5(2), 216–225. unga, h. o., sahmad, wahyuni, o., & astowin, b. (2019). hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien gagal ginjal kronik dalam menjalani terapi hemodialisa di sulawesi tenggara. jurnal keperawatan, 2(3), 17–25. https://stikeskskendari.e-journal.id/jk wahyuni, p., miro, s., & kurniawan, e. (2018). hubungan lama menjalani hemodialisa dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik dengan diabetes melitus di rsup dr. m djamil padang. jurnal kesehatan andalas, 7(4). 217 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk monitoring mean arterial preasur (map) in traumatic brain injury patients during the initial 60 minutes of manitol 20% sandi alfa wiga arsa1, anita rahmawati2, thatit nurmawati3, heni rohmawati4 1,2,3,4nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract the effect of manitol 20% on changes in blood pressure after traumatic brain injury is unknown. the purpose of this study was to analyze the differences in blood pressure before and after the administration of 20% mannitol in traumatic brain injury patients at the intensive care unit. this study was a quasi experimental research which uses a pre-post test without control one group design, a method used in observational analytic techniques. the population of this study was all traumatic brain injury patients who were given a manitol infusion of 20% 100ml. the sample was 12 respondents taken by consecutive sampling technique. with a significance threshold of p 0.05, the test was performed using the paired t test on systolic and map data and the post hoc wilcoxon test on diastolic data. decreasing blood pressure 15 minutes after administration of 20% mannitol occurs because half live mannitol which lowers blood pressure and responds to decreased blood pressure autoregulation, at 30 minutes resulting in decreased intra-cranial pressure, improves cerebral perfusion and brain autoregulation that affects systemic blood pressure 60 changes in blood pressure may be due to diuresis effects. during the administration of mannitol there is a change in blood pressure that needs to be monitored. history article: received, 22/06/2023 accepted, 09/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: manitol 20%, traumatic brain injury, blood pressure, map © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : sandialfa.alfa6@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p217-224 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:sandialfa.alfa6@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p217-224 218 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 217-224 introduction traumatic head injury is an event that allows damage to the brain that can cause disability and even death. direct effects of trauma to the brain include contusions, cerebral hemorrhage, and axon injuries, which can cause tissue death, as well as biochemical processes that begin with trauma or ischemia that cause cell death (galgano et al., 2017). contusions, cerebral hemorrhages, and axon injuries may all result in tissue death in brain trauma, as well as causing cell death through biochemical processes that begin with trauma or ischemia. brain injury can result in an increase in intracranial pressure (icp) which then aggravates the patient's condition (de rosa et al., 2022). direct effects of trauma to the brain include contusions, cerebral hemorrhage, and axon injuries, which can cause tissue death, as well as biochemical processes that begin with trauma or ischemia that cause cell death (crupi et al., 2020). mannitol is used to control raised intracranial pressure in two situations. the use of mannitol in the first condition, namely by administering a single dose aims to provide a short-term effect so that diagnostic procedures (ct-scans) and interventions (mass evacuation of intracranial lesions) can be performed. in both situations mannitol is used as long-term therapy in cases of increased intracranial pressure (marchesini et al., 2023). mannitol has been used widely and is recommended in brain injury guidelines, however, there are some adverse effects associated with mannitol administration, namely hypovolemia and hypotension (bisri, 2013). tbi incidence, mortality, and mechanisms in europe. a wide range of rates of incidence and mortality were reported.for all ages, all tbi severity studies, the lowest reported crude incidence rate was 47.3 per 100,000 population per year; the highest was 849 per 100,000 population per year. the reported crude mortality rates ranged from 3.3 to 28.10 per 100,000 population per year (brazinova et al., 2021). approximately 3,500 patients with traumatic brain injury are treated in intensive care units (icu), with a mortality rate of 23% in severe traumatic head injuries who have been resuscitated (bisri, 2013). based on data from the republic of indonesia health research and development agency, the prevalence of traumatic brain injury in people in indonesia is 7.5%, with the highest order of causes of injuries being falls, land traffic accidents and injuries with sharp/blunt objects. in 2013 there was an increase in the prevalence of injuries to 8.2%, with the most common causes of injury being falls 40.9%, motorcycle accidents (40.6%), injuries from sharp/blunt objects 7.3%, other land transportation 7.1% and fell 2.5% (badan penelitian dan pengembangan kesehatan, 2013). in a study comparing 20% mannitol and 3% hypertonic saline on intracranial pressure and systemic hemodynamics, the results of both mannitol and hypertoni saline at equiosmolar concentrations in a study conducted by yusuf hisam & rahardjo, (2015), there was no significant difference in changes in mean arterial pressure (tar) for the group of subjects receiving mannitol solution, within the first 5 minutes of measurement. although several studies have found that the use of 20% mannitol does not cause significant hemodynamic changes, the effect of 20% mannitol on changes in blood pressure after administration of 20% mannitol at 15, 30 and 60 minutes is not clearly known. the dose of mannitol is 0.25 grams to 1 gram per kg body weight. mannitol will cause excessive fluid diuresis resulting in fluid and electrolyte disturbances.this situation will cause hypovolemia and also hypotension which can interfere with hemodynamics thereby reducing brain perfusion which will exacerbate the condition of the traumatic brain injury itself (b. h. batubara et al., 2016). another complication of using mannitol is the depletion of intravascular volume, hypotension, hyperkalemia and the possibility of increased intracranial rebound (tenny et al., 2022). high map blood pressure at the time of admission to the hospital can be used as an independent predictor. the greater the systolic blood pressure, the stronger the association with a poor outcome. arterial blood pressure is the most practical sign and the most meaningful in predicting poor outcomes (haryuni, 2017). research conducted by (junaedi et al., (2016) showed that hypovolemic shock with map <60 mmhg had greater mortality or could be used as a marker of hemodynamic changes, especially in the compensatory stage of shock and was a predictor of death. mannitol is an osmotic diuretic which is currently effectively used to reduce intracranial pressure (brain edema) in various conditions. considering that mannitol has side effects and toxicity, its administration must be closely monitored for responses that arise during administration of mannitol, including changes in the patient's blood pressure. the nurse is responsible for monitoring the client's response to mannitol therapy. based on the above background, researchers are interested in conducting research on a comparison of arsa, rahmawati, nurmawati, rohmawati, monitoring mean arterial preasur (map) in traumatic brain … 219 blood pressure and mean arterial pressure (map) before and after administration of 20% mannitol in traumatic brain injury patients in the intensive care unit. method the research design was experimental research using quasi-experimental research, pre-post test without control one group design, while the data collection method for this research used observational analysis techniques or analytic observation. the independent variable in this study was the administration of 20% mannitol in traumatic brain injury patients. the dependent variable in this study was map (mean arterial pressure) after administration of 20% mannitol in traumatic brain injury patients. the sample in this study was all traumatic brain injury patients in the intensive care unit at mardi waluyo regional hospital, blitar city, who were given 20% 100ml mannitol infusion in a 1-month data collection period. there are criteria for sample selection in this study, inclusion criteria: age 16-65 years, exclusion criteria: a) patients with diabetes insipidus, b) patients with impaired kidney function, c) patients with hormonal system disorders, d) patients on therapy inotropic, e) patients on antihypertensive therapy, f) patients receiving diuresis therapy, obtained a sample of 12 respondents using consecutive sampling technique. the instruments used in administering 20% mannitol were: sop for administering 20% mannitol therapy, sop for using an infusion pump, and a terumo te 331 infusion pump, while instruments for assessing blood pressure were in the form of sop for using a bedside monitor, a bedside monitor for the brand/type of carescape. monitor b650, and patient observation sheet. the pre-data collection process was carried out by measuring blood pressure and then calculating map before being given 20% mannitol fluid, after the patient received 20% intravenous mannitol fluid with a dose of 100 ml in 15 minutes blood pressure measurement and map calculation were carried out, both 30 minutes and 60 minutes . the test used is the paired t test with a degree of significance determined by p <0.05. results table 1: general data of respondents variable n % age less than 30 30 to 40 41 to 50 51 to 60 more than 60 total 3 2 1 2 4 12 25 17 8 17 33 100 sex male female total 9 3 12 75 25 100 tbi clasification mild moderate severe total 3 4 5 12 25 33 42 100 based on the table above, it is known that the age distribution is mostly over 60 years old with 4 respondents (33%). the sex distribution with the most number of respondents is male with 9 (75%) and it is known that the smallest percentage is 25% for female respondents. the highest frequency distribution is respondents with severe brain injury with a frequency of 5 respondents (42%) while the smallest percentage is respondents with mild brain injury with a percentage of 25% (3 respondents). 220 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 217-224 table 2: results of blood pressure and map before and after administration of 20% mannitol var min max mean median sd map t0 t1 t2 t3 79 72 73 69 130 122 120 114 100.25 92.91 93.25 85.50 95.50 86.50 88.50 81.00 18.02 18.02 16.53 15.76 the table above shows that at t0 to t1 (15 minutes after treatment) the average map was 92.9 mmhg. this shows that at 15 minutes after administration of 20% mannitol the blood pressure is in the normal blood pressure range. tabel 3: statistical test results var mean std. deviation p value paired t test map t0 –t1 7.33333 2.74138 0.000 t0 –t2 7.00000 2.52262 0.000 t0 –t3 14.75000 3.79294 0.000 the p value on the paired t test on map t0 with t1, t2, t3 obtained a p value <0.05. discussion the age distribution is mostly over 60 years old with 4 respondents (33%), age is a strong factor in influencing the prognosis of a disease, according to research conducted by cindy & afni, (2017) found that the risk of tbi (severe brain injury) occurred at an older age (51,.3 years). older age is associated with a person's physiological condition which becomes a consideration in determining the efficiency of treatment, especially if the tbi patient's condition is accompanied by comorbidities, due to a lack of physiological reserves. the most common gender is male with 9 (75%) respondents. similar to the study by hartoyo et al. (2012), in which males made up the bulk of the patients, this study similarly revealed that men with tbi had a greater fatality rate than women.. klasifikasi cidera kepala yang paling banyak adalah responden dengan cedera otak berat dengan frekuensi 5 responden (42%). the condition of patients with tbi is assessed using glascow coma scale (gcs) value of 8, where the patient's condition requires stricter monitoring, related to clinical conditions that can change quickly, gcs is also one of the instruments in scoring head trauma. research conducted by putra et al., (2016), showed that gcs, age and systolic blood pressure were calculated to determine the gap score with the conclusion that there was a relationship between the gap score and mortality in head injury patients. in brain injury there are differences regarding the timing of the severity or magnitude of the autoregulation disturbance. many experiments have been carried out but the results are not the same, the time when the autoregulation disorder occurs can take several seconds, several minutes and several hours. the severity of the autoregulation disorder depends on the severity of the brain injury. the finding that icp tolerability may depend on cerebral autoregulation status, autoregulation status or individual icp thresholds derived from autoregulation status seems to predict better outcome than fixed icp level (åkerlund et al., 2020). the ability of cerebral blood arteries to regulate their lumens so that blood flow to the brain does not alter significantly even while systemic arterial blood pressure varies is referred to as autoregulation. this cerebral autoregulation capability can nevertheless maintain a systemic blood pressure of up to 50 mm hg without disrupting local blood flow. vasodilation and vasospasm are in equilibrium under normal conditions. an autoregulation dysfunction caused by brain injury disturbs this balance. subarachnoid hemorrhage (sah) is complicated by two major lifethreatening complications, namely cerebral vasospasm/delayed cerebral ischemia (dci) and early brain injury (ebi), whose prognosis does not improve over time. the sympathetic nervous system (sn) is important for the regulation of cardiovascular function and is intimately associated with cerebral vessels and regulation of cerebral blood flow and cerebrovascular function, thus, excessive activation of the sn leads to a rapid breakdown of homeostasis in the brain. in the hyperacute phase, patients with arsa, rahmawati, nurmawati, rohmawati, monitoring mean arterial preasur (map) in traumatic brain … 221 sah can develop a lethal state thought to be related to arrhythmia-associated sn (catecholamine surge) activation, neurogenic pulmonary edema, and irreversible injury to the hypothalamus and brainstem (hasegawa et al., 2022). primary and secondary brain injury causes increased vascular permeability, cerebral edema and increased intracranial pressure. traumatic brain injury is often accompanied by brain edema associated with structural damage or water and electrolyte balance disturbances induced by the primary or secondary injury. brain edema results in an increase in intracranial pressure which will aggravate the patient's condition. a close association between various forms of cardiac arrhythmias and brainstem lesions caused due to transtentorial herniation have been identified. in a setting of brainstem ischemia or raised icp; respiratory arrest, bradycardia and a rise in blood pressure are registered the moment ischemia reached the lower pons.further advance of the ischemic front into the lower medulla oblongata lead to an abrupt change from bradycardia to tachycardia. in intraoperative settings, the stimulation of the floor of the fourth ventricle during posterior fossa surgeries can result in bradyarrhythmias and the stimulation of the periventricular zone causes tachyarrythmias and hypertension (lionel, 2019). intra-cranial pressure (icp / intra cranial pressure) will affect cerebral perfusion pressure (cpp / cerebral perfusion pressure). cpp can be calculated as the difference between the mean arterial pressure (map) and icp (cpp = map-icp).if there is an increase in icp, there will be a decrease in cpp, the body will try to compensate so that brain perfusion does not decrease by increasing map, if map rises, systolic and diastolic pressure, of course, will also increase.the increase in intracranial pressure will reduce cerebral perfusion pressure, this decrease in cerebral perfusion will activate ischemia reflexes resulting in vasoconstriction and increase arterial pressure. in normal renal function, after a single intravenous dose, half of mannitol lives in circulating plasma for 15 minute. cerebral perfusion is closely related to intracranial pressure and map. this is ensured by brain autoregulation where the ability of blood vessels in the brain to constrict or dilate to maintain a stable blood flow to cerebral perfusion. physiologically the work of mannitol is to increase plasma osmolarity and draw normal fluid from within the brain cells with low osmolarity to the intravascular one with higher osmolarity, to reduce brain edema and reduce intracranial pressure, as well as increase cerebral perfusion. the brain will respond with autoregulation trying to make systemic blood pressure within the normal range (suasti, 2021). the mean systolic blood pressure at t2 (30 minutes after treatment) was 129 mmhg, the average diastolic blood pressure was 75.9, and the average map was 93.2 mmhg. based on these results, the blood pressure at t2 is within the normal range. additionally, the systolic mean and mean map on t2 are a little bit higher than on t1. this demonstrates that the systolic blood pressure rises after 30 minutes. mannitol will have an osmotic effect when given. this means that the difference in osmotic gradient between the brain and blood will move fluid from the intracellular to the intravascular. this will have a real impact on cardiac output if there is an increase in vascular volume. blood pressure may rise as a result of this increase in volume. mannitol's primary effect on the brain is a rapid increase in plasma volume, resulting in a decrease in blood viscosity, an increase in cbf, an increase in microcirculation perfusion, and an increase in oxygen delivery to the brain. systemic blood volume will increase as a result of the plasma volume increase. resulting in an increase in blood pressure and cardiac output. (büyükkaragöz & bakkaloğlu, 2023). the traumatic brain injury patients who received 20% mannitol had the lowest average systolic blood pressure at t3, which was 115.5 mmhg, the lowest average diastolic blood pressure at t3, which was 70.5 mmhg, and the lowest average map at t3 was 85.5 mmhg, according to the statistical results. based on these data, it can be concluded that the greatest reduction in blood pressure occurred at t3 (60 minutes after treatment) following administration of 20% mannitol. within 30 to 60 minutes of administration, mannitol is eliminated through glomerular filtration. when compared to t1 and t2, this results in the greatest reduction in blood pressure and a diuresis effect after 60 minutes. according to c. a. batubara, (2018), mannitol will cause excessive fluid diuresis, resulting in fluid and electrolyte disturbances, hypovolemia and hypotension, which can disrupt hemodynamics. these findings are consistent with these findings. at 15 minutes in this study there was a difference in blood pressure before administration of 20% mannitol. blood pressure after administration of 20% mannitol at 15 minutes was lower than before administration of 20% mannitol. 222 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 217-224 this is because in brain injured patients blood pressure tends to be above normal. after administration of 20% mannitol there was a decrease in blood pressure because the half live of mannitol is 15 minutes which will lower blood pressure and respond to brain autoregulation. manitol can reduce intracranial pressure by 26% or more within 5 minutes (laksono et al., 2017). in the 30th minute the results of the paired t test concluded that there was a significant difference (p <0.05) in blood pressure before and after administration of 20% mannitol in the 30th minute. the dynamics of map after administration of 20% mannitol showed that the map value was labile and had a tendency to decrease, from 0 to 120 minutes in moderate brain injury patients(patil & gupta, 2019). administering mannitol also reduces intracranial pressure through an osmotic mechanism that occurs more slowly (15 to 30 minutes) associated with the gradual movement of water content from the parenchyma into the blood circulation. changes in blood pressure in the 30th minute are probably caused by the effect of mannitol which results in a decrease in intracranial pressure, improves cerebral perfusion and brain autoregulation which affects systemic blood pressure (schizodimos et al., 2020). to remove metabolic wastes and maintain a steady supply of oxygen and nutrients to brain tissue, autoregulation is necessary. arterioles expand and contract rapidly in response to changes in pressure. when arterial blood pressure decreases or brain metabolism increases, cerebral vascular dilation occurs. blood flow to the brain will be directly related to systemic blood pressure if this normal response is disrupted (hall & hall, 2020). at the 60th minute the test results concluded that there was a significant difference (p<0.05) in blood pressure before and after administration of 20% mannitol at 60 minutes.changes in blood pressure occur due to the effect of osmotic diuresis where there is an increase in extravasation due to differences in osmotic pressure in the blood plasma which results in stimulation of the kidney glomeruli resulting in an increase in the amount of urine. the volume of the blood decreases when there is an increase in the amount of urine. diminished blood volume brings about a reduction in pre-load which brings about a lessening in pulse. according to b. h. batubara et al., (2016), the group given mannitol had 20% more urine volume than the group given hypertonic sodium lactate after one hour. systolic blood pressure was 25.5 mm hg, diastolic blood pressure was 11 mm hg, and mean arterial pressure (map) was 14.75 mm hg at 60 minutes after mannitol administration. decreased icp, decreased blood pressure, and an increased amount of urine. conclution patients with traumatic brain damage often had greater blood pressure before administering 20% mannitol. the highest systolic pressure was 170 mmhg, the highest diastolic pressure was 112 mmhg, and the highest map was 130 mmhg prior to mannitol administration. all respondents (100%) experienced a decrease in blood pressure after receiving 20% mannitol. 60 minutes after administering mannitol, the average systolic blood pressure dropped by 115.6 mmhg, the average diastolic blood pressure dropped by 70.5 mmhg, and the average map blood pressure dropped by 85.5 mmhg. at 15, 30, and 60 minutes, the blood pressure before and after the administration of 20% mannitol differed significantly (p 0.05). suggestion the effects of mannitol administration on traumatic brain injury patients' urine production, intracranial pressure, and blood plasma osmolarity can be monitored or analyzed, or additional hemodynamic variables can be added to this research. acknowledgement blitar city government, which has granted research permits at the mardi waluyo regional hospital, and the head of stikes patria husada blitar for giving us the opportunity to conduct this research. funding thanks to head of stikes patria husada blitar, head of blitar city bakesbangpol service, director of mardi waluyo hospital blitar city and all respondents. conflicts of interest all authors declare no conflict of interest. author contributions sa as a contributor of ideas, data analysis, preparation of manuscripts, and publications. tn, ar, and as developers of research methods carried out, data collection, data editing, and manuscript preparation. hr has the role of data collection, data editing, data analysis, and manuscript preparation. arsa, rahmawati, nurmawati, rohmawati, monitoring mean arterial preasur (map) in traumatic brain … 223 references åkerlund, c. a., donnelly, j., zeiler, f. a., helbok, r., holst, a., cabeleira, m., güiza, f., meyfroidt, g., czosnyka, m., smielewski, p., stocchetti, n., ercole, a., & nelson, d. w. (2020). impact of duration and magnitude of raised intracranial pressure on outcome after severe traumatic brain injury: a center-tbi high-resolution group study. plos one, 15(12), e0243427. https://doi.org/10.1371/journal.pone.02434 27 badan penelitian dan pengembangan kesehatan. (2013). riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013. in laporan nasional 2013. batubara, b. h., umar, n., & mursin, c. m. (2016). perbandingan osmolaritas plasma setelah pemberian manitol 20% 3 ml/kgbb dengan natrium laktat hipertonik 3 ml/kgbb pada pasien cedera otak traumatik ringan-sedang. jurnal anestesi perioperatif, 4(17), 154–161. batubara, c. a. (2018). non operative management of cerebral abscess. iop conference series: earth and environmental science, 125(1). https://doi.org/10.1088/17551315/125/1/012199 bisri, d. y. (2013). mannitol untuk hipertensi intrakranial pada cedera otak traumatik: apakah masih diperlukan? jurnal neuroanestesi indonesia, 2(3), 177–187. brazinova, a., rehorcikova, v., taylor, m. s., buckova, v., majdan, m., psota, m., peeters, w., feigin, v., theadom, a., holkovic, l., & synnot, a. (2021). epidemiology of traumatic brain injury in europe: a living systematic review. journal of neurotrauma, 38(10), 1411– 1440. https://doi.org/10.1089/neu.2015.4126 büyükkaragöz, b., & bakkaloğlu, s. a. (2023). serum osmolality and hyperosmolar states. pediatric nephrology, 38(4), 1013–1025. https://doi.org/10.1007/s00467-022-056681 cindy, a., & afni, n. (2017). analisis faktor faktor yang mempengaruhi mortalitas dalam 12 jam perawatan pasien cedera otak berat. institute of health science kusuma husada surakarta. crupi, r., cordaro, m., cuzzocrea, s., & impellizzeri, d. (2020). management of traumatic brain injury: from present to future. antioxidants, 9(4), 1–17. https://doi.org/10.3390/antiox9040297 de rosa, s., cattin, l., ricciardi, l., & scerrati, a. (2022). brain swelling in traumatic brain injury. diagnosis and treatment of traumatic brain injury: the neuroscience of traumatic brain injury, 191–203. https://doi.org/10.1016/b978-0-12823347-4.00041-5 galgano, m., toshkezi, g., qiu, x., russell, t., chin, l., & zhao, l.-r. (2017). traumatic brain injury. cell transplantation, 26(7), 1118–1130. https://doi.org/10.1177/096368971771410 2 hall, j. e., & hall, m. e. (2020). guyton and hall textbook of medical physiology e-book. elsevier health sciences. hartoyo, m., raharjo, s. s., & budiyati. (2012). predictor ’ s factors of mortality of patients suffering from severe head injury in emergency department at general hospital tugurejo semarang prediktor mortalitas penderita cedera kepala berat di instalasi gawat darurat rsu tugurejo semarang mugi hartoyo. jurnal riset, 175–182. haryuni, s. (2017). mean arterial preasure (map) berhubungan dengan kejadian mortalitas pada pasien stroke perdarahan intraserebral. jurnal care, 5(1), 123–129. hasegawa, y., uchikawa, h., kajiwara, s., & morioka, m. (2022). central sympathetic nerve activation in subarachnoid hemorrhage. journal of neurochemistry, 160(1), 34–50. https://doi.org/10.1111/jnc.15511 junaedi, sargowo, j., & nasution, t. h. (2016). shock index (si) dn mean arterial pressure (map) sebagai prediktor kematian pada pasien syok hipovolemik di rsud gunung jati cirebon. jurnal kesehatan hesti wira sakti, 4(january 2015), 45–59. https://jurnal.poltekkessoepraoen.ac.id/index.php/hws/article/vie w/141 laksono, h. b., suarjaya, i. p. p., rahardjo, s., & bisri, t. (2017). tatalaksana anestesi pada prosedur minimal invasive neurosurgery: kasus perdarahan intraserebral traumatika. jurnal neuroanestesi indonesia, 5(2), 104–112. https://doi.org/10.24244/jni.vol5no2.112. 224 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 217-224 lionel, k. r. (2019). head rules over the heart: cardiac manifestations of cerebral disorders. indian journal of critical care medicine, 23(7), 329–335. https://doi.org/10.5005/jp-journals-1007123208. marchesini, n., fernández londoño, l. l., boaro, a., kuhn, i., griswold, d., sala, f., & rubiano, a. m. (2023). hyperosmolar therapies for neurological deterioration in mild and moderate traumatic brain injury: a scoping review. brain injury, 1–9. https://doi.org/10.1080/02699052.2023.21 91010. patil, h., & gupta, r. (2019). a comparative study of bolus dose of hypertonic saline, mannitol, and mannitol plus glycerol combination in patients with severe traumatic brain injury. world neurosurgery, 125, e221–e228. https://doi.org/10.1016/j.wneu.2019.01.05 1. putra, d. s. e., indra, m. r., sargowo, d., & fathoni, m. (2016). nilai skor glasgow coma scale, age, systolic blood pressure (gap score) dan saturasi oksigen sebagai predikator mortalitas pasien cidera kepala di rumah sakit saiful anwar malang. jurnal hesti wira sakti, 4(2), 13–28. schizodimos, t., soulountsi, v., iasonidou, c., & kapravelos, n. (2020). an overview of management of intracranial hypertension in the intensive care unit. journal of anesthesia, 34(5), 741–757. https://doi.org/10.1007/s00540-020-027957. suasti, n. w. l. (2021). regulation and intervention of intracranial pressure. bioscientia medicina : journal of biomedicine and translational research, 5(10), 1194–1200. https://doi.org/10.32539/bsm.v5i10.421. tenny, s., patel, r., & thorell, w. (2022). mannitol. statpearls. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/nbk 470392/. yusuf hisam, m., & rahardjo, s. (2015). perbandingan pemberian mannitol 20 % dosis 0.5g/kgbb dengan natrium laktat hipertonik dosis 1.5 ml/kgbb terhadap efek relaksasi otak pada pasien cedera otak traumatik yang dilakukan kraniotomi. jurnal komplikasi anestesi, 3(1), 27–36. 202 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk feeding complementary foods with complete menu correlated with babies weight annif munjidah1, elisa eka rukmana2, fauziyatun nisa3, esty puji rahayu4, aida husnil khotimah5 1,2,3,4,5faculty nursing and midwifery, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia article information abstract most children who experience failure to thrive are due to the practice of giving complementary food to breast milk with an incomplete menu, so one way to overcome this is to provide complementary food to complete menus of breast milk. this study aimed to analyze the correlation between the provision of complete menus of complementary feeding and changes in the weight of infants aged 6-12 months. this study was analytical research used a cross sectional design. this study had been conducted to 40 infants aged 6-12 months. the sample was 37 respondents. probability sampling method with simple random sampling technique had been used as the sampling technique. this study had conducted in midwifery independent practice in surabaya. the data collection was obtained from weighing the baby's weight, filling in the previous weight by looking at the kms and using a complete menu complementary feeding pattern questionnaire. the data analysis used the chi square statistical test. there was a correlation between the provision of complete menu complementary foods and infant weight gain. it is hoped that health workers can increase information related to the provision of appropriate complementary food according to the needs of infants. history article: received, 06/04/2023 accepted, 25/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: menu, complementary foods, weight © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: annifmunjidah@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p202-209 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:annifmunjidah@unusa.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p202-209 munjidah, rukmana, nisa, rahayu, khotimah, feeding complementary foods with complete menu … 203 introduction healthy baby will experience normal growth and development in accordance with standard growth physically in general and fit stages development in accordance with her age. disturbances in growth showed through low weight and loss z-scores according to the bb/u index. growth disturbances is a very common occurrence that happens in the first year of a toddler's life. the incidence of growth failure in the first year of a toddler's life will have a negative impact on both physical and mental growth in the next toddler's life (nugroho, 2016). growth failure, also called failure to thrive or faltering growth, is a nutritional disorder in which a child does not reach the weight for their age. growth, especially in terms of length and weight gain in infants, needs to be considered because disturbed growth will result in high rates of faltering growth in infants. the high prevalence of faltering growth (> 30%) mostly occurs in countries in asia and africa, one of which is in indonesia. the prevalence of growth failure in indonesia itself, based on the 2018 riskesdas data, is 30.8% (putri, 2018). based on the 2021 indonesian nutritional status study (ssgi) conducted by the health research and development agency (balitbangkes). the ministry of health, in collaboration with the central statistics agency (bps), obtained the percentage underweight (underweight and very underweight) in toddlers was 17%. meanwhile, based on data from the electronic community-based nutrition recording and reporting application (e-ppbgm) through the 2021 nutrition surveillance, 1.2% were found to be underweight and 6.1% underweight. infants under two years that have very less weight is 1.2% and infants under two years that have very underweight 5.2% (kemenkes ri., 2021). based on data from the health profile of the republic of indonesia, east java province itself, in 2019 and 2020 the data for weighing was less effective because there were most of the areas affected by covid-19 during the pandemic, for this reason the data has taken in 2021, found that toddlers who have very underweight 1.4% and underweight 5.5% (kemenkes ri., 2021). in surabaya city, based on data from the surabaya city health profile, in 2019, toddlers with underweight were 8.22%, and skinny toddlers (bb/tb) were 3.81%. (dinas kesehatan kota surabaya, 2019). based on the results of a preliminary survey that has conducted by researchers in october 2022 at the practice of independent midwives emmy nuryanti s.st., bd surabaya, it was found that out of 40 babies, 35 of them received complementary food for breast milk with a complete menu and 5 babies did not receive complementary food for breast milk complete menu and of the 40 babies 4 of them have decreased baby weight or are on the yellow line on the growth curve. based on study by wilujeng et al (2017) stated that the factors that influence the weight of children aged 6-24 months are the initial age and the type of complementary food given to breast milk. children who receive the wrong type of complementary feeding will experience abnormal weight with a possible risk of occurrence of 13.9 times that of children who receive a complete menu of complementary feeding. the provision of complementary food for asi must also pay attention to the nutritional needs of children. complementary food for breast milk must include all the nutrients needed, giving priority to providing complementary food for breast milk from locally made food ingredients because it is more diverse in both texture and taste (septikasari, 2018). the process of growth and development can take place optimally influenced by several factors, including hereditary factors and environmental factors from environmental factors there are prenatal environmental factors and post-natal environmental factors, in the post-natal environment there are nutritional factors, culture, family socioeconomic status, climate or weather, the position of the child in the family, health status, hormones, stimulation (marmi, 2014) and factors in providing complete menu complementary food containing macronutrients and micronutrients (idai, 2015). the most important thing for the growth of infants and children is nutrition as a foundation for the growth of a healthy body which in turn will support healthy development. nutrition is especially important in the first year of a baby's life. in infancy, totally dependent on caregivers for nutrition. in the long term, faltering growth can affect body composition, brain development, and the metabolic program of the child. so that growth monitoring needs to be carried out regularly for early detection of the risk of failure to thrive (putri, 2018). one strategy to increase the weight of infants aged 6-12 months is to provide complete menus of complementary foods which contain macronutrients and micronutrients. who states several things that must be considered in providing complementary food to breast milk, including frequency, number of doses, 204 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 202-209 texture, and type. the texture of the food must be adjusted to the condition and age of the baby so that it can be digested easily and there is no weight loss or failure to grow (faltering growth). this effort aims to enable indonesian children to grow and develop optimally and maximally, accompanied by emotional, social and physical abilities that are ready to learn, and able to innovate and compete at the global level. based on this description, the researchers were interested in knowing the correlation between the provision of complete menus of complementary feeding to changes in the weight of infants aged 6-12 months at the independent midwife practice in surabaya. methods observational analytics study was used as a type of this research. this study used cross sectional design. the population in this study were all infants aged 6-12 months, amounting to 40. the sample in this study was a portion of the population of 38 respondents. the sample size of 38 respondents with probability sampling technique. the probability sampling technique used the simple random sampling system, which is a sampling technique from a population that has the same opportunity to be a respondent regardless of strata or level (nursalam dan pariani, 2013). the data collection instrument used in this study was a questionnaire and health cards (kms). the data collection was obtained from weighing the baby's weight, filling in the previous weight by looking at kms and using a complete menu complementary feeding pattern questionnaire with questions covering the content of carbohydrates, animal or vegetable protein, fat, and vitamins in one portion of food called complementary feeding. full menu. the data obtained was analyzed, where to find out there was a correlation between the complete menu complementary food variables and changes in body weight. data processing using the chi square test. results 1. general data a. characteristics of respondents based on age according to abeshu et al (2016) the proper age to receive complementary food for breastfeeding is between 6-23 months, at which age the child has reached the general developmental stage (chewing, swallowing, digestion and secretion) which allows the child to be given food other than exclusive breastfeeding. table 1: distribution of the respondents’ frequency by their age age (months) frequency percentage (%) 6-8 16 43,3 9-11 20 54 12-23 1 2,7 total 37 100 source: primary data, 2023 table 1 shows that out of 37 respondents, the majority (54%) of respondents were aged 9-11 months. b. characteristics of respondents based on gender purwaningrum (2012) stated that gender also influences infant/toddler food (energy) intake. toddlers with male sex get more energy intake than female toddlers (purwaningrum & wardani 2012 dikutip dalam ulfa, 2019). table 2: distribution of respondents’ frequency based on sex. source: primary data, 2023 based on table 2, it shows that of the 37 respondents, the majority (54%) of the respondents were male. sex frequency percentage % male 20 54 female 17 46 total 37 100 munjidah, rukmana, nisa, rahayu, khotimah, feeding complementary foods with complete menu … 205 2. specific data a. characteristics of respondents based on body weight according to soetjiningsih (2017) berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting, yang dipakai pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan bayi pada semua kelompok umur. tabel 3: distribusi frekuensi responden berdasarkan berat badan. weight frequency percentage (%) good 22 59,4 less 15 40,6 total 37 100 source: primary and secondary data, 2023 table 3 shows that out of 37 respondents, 59.4% of respondents had good weight. b. characteristics of respondents based on feeding complementary food with complete menu according to the indonesian ministry of health (2015) makanan pendamping asi atau yang disingkat sebagai makanan pendamping asi adalah makanan complementary food for asi or abbreviated as complementary food for asi is food and drink that contains nutrients, given to infants or children aged 6-24 months to meet nutritional needs other than breast milk. according to idai (2015) complementary foods that contain energy, protein, fat and micronutrients that can meet the macronutrient and micronutrient needs of infants according to their age are called complete menu complementary foods. table 4: distribution of respondents’ frequency based on the type of complete menu of complementary foods types of complementary foods frequency percentage (%) complete menu 21 56,8 incomplete menu 16 43,2 total 37 100 source: primary data, 2023 based on table 4, it shows that of the 37 respondents, the majority (56.8%) of respondents provided a complete menu of complementary foods. c. cross tabulation cross-tabulation of the correlation between giving complete menu complementary foods to changes in body weight in infants aged 6-12 months. table 5: distribution of the respondents’ frequency based on the correlation between the provision of complete menus of complementary feeding to changes in the weight of infants aged 6-12 months. mp asi weight changes good less total n % n % n % complete menu 15 71,4 6 28,6 21 100 incomplete menu 6 37,5 10 62,5 16 100 total 21 16 37 100 source: primary data and secondary data, 2023 based on table 5, it shows that of the 21 respondents with a complete menu of complementary foods, most (71.4%) of respondents experienced good weight changes, of the 16 respondents with incomplete menus of complementary foods, most (62.5%) of respondents experienced changes underweight or constant weight. the results of statistical tests using the chi-square statistical test found that the significance value of p was 0.039 <0.05, so there was a significant correlation between the provision of complete menus of complementary 206 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 202-209 food to the weight gain of infants aged 6-12 months at the practice of the independent midwife emmy nuryanti surabaya. discussion 1. provision of complete menu complementary foods based on the results of study that was conducted on 37 respondents at the independent midwife practice emmy nuryanti surabaya, it showed that the majority (56.8%) provided complementary food to breast milk with a complete menu. this complete menu category is if the food provided contains macronutrients (carbohydrates, protein and fat) and micronutrients (vitamins and minerals) in one serving. most mothers have provided complementary food for asi with a complete menu. this is very good; the nutritional needs of children will be met so that the growth and development of children becomes optimal. the mother's habit of giving complementary food to breast milk with a complete menu at the study site was motivated by the mother's knowledge obtained from social media, health education by cadres and midwives. based on the recommendation of the indonesian pediatrician association (2015) regarding the provision of complementary food for breast milk which includes the quality and quantity of food. the quality of complementary food for breast milk is assessed from the completeness of food consumption, namely macronutrients and micronutrients, while sufficient quantity of food will result in good nutritional status. this is in line with the results of nanda's research (2019) which found that there was a correlation between the behavior of giving complementary feeding and the nutritional status of infants aged 6-24 months at the integrated healthcare center in bandung, mojokerto on 4-11 may 2019. there was a correlation between the behavior of providing complementary feeding and the nutritional status of infants aged 6 -24 months in integrated healthcare center in bandung, mojokerto. data on the age of children shows that the majority (54%) of respondents are aged 9-11 months. the most common complementary food for breastfeeding at the study site was found at the age of 9-11 months, this is because for infants aged 6-8 months, mothers provide fortified complementary food for breast-feeding and a single menu, that is rice porridge. age can also be used as a benchmark by mothers to determine the texture of complementary foods, including at the age of 6 months the types of pureed and thick foods, at the age of 9 months are soft foods, at the ages of 10-24 solid foods. complementary food for breastfeeding is given because the child's need for nutrition for growth cannot be fulfilled only by giving breast milk, but if it is given early it can result in diarrhea or constipation, this is because the digestive ability of children who have not received additional food other than breast milk (mufida, dkk, 2015). meanwhile, in terms of gender, it was found that most of the data (54%) of the respondents were male. even though in theory complementary feeding is not affected by gender, in general the male sex will require more energy than the female. because the activity of boys usually moves more actively than girls, so the energy they need is different between boys and girls. according to the theory of meryana & wijatmadi (2012), the energy which person needs depends on several factors including gender, in general men need more energy than women. at the age of children, more energy is needed than other age groups because at this age the body needs it for body growth. like physical activity, the heavier the activity carried out by a person, the more energy will be required (meryana & wijatmadi 2012 quoted in lestari 2019) the type of menu is no different from that of girls but mothers can provide more complementary foods to breast milk. 2. baby's weight the results showed that the majority (59.4%) of respondents aged 9-11 months had a good change in weight. the results of the researchers concluded that the high change in body weight was categorized as good if the change in body weight was increased. changes in body weight can be seen from the growth chart on the card for health (kms) in the previous month compared to the current body weight so that changes in body weight can be seen at this time. according to the theory of astriana & suryani (2017), one of the most important indicators in assessing growth in infants is to assess the baby's weight. based on the results of study that was conducted on 37 respondents at emmy surabaya's independent midwife practice, most (54%) of the respondents were aged 9-11 months, and almost half (43.3%) of the respondents were aged 6-8 months and a small proportion of respondents (2,7%) of respondents aged 12 months. measurement of baby's weight is used as a benchmark for a child's growth status, namely through a comparison of weight for age and weight munjidah, rukmana, nisa, rahayu, khotimah, feeding complementary foods with complete menu … 207 for height. this measurement is carried out once a month, midwives or cadres can enter the data into the health card (kms). measurement results and data interpretation can be conveyed to the mother. according to sugiharti's theory (2016), one of the manifestations of growth is body weight. at the age of 6-12 months is a period of very fast growth, so it is necessary to maintain the baby's weight according to age. meanwhile, according to soetjiningsih's theory (2017), body weight is the most important anthropometric measure, which is used at every opportunity to check the health of babies in all age groups. 3. the correlation between giving full menu solids and weight changes the results of the chi square statistical test showed a significance p value of 0.039 <0.05, which means that there is a correlation between the provision of complete menu complementary feeding to the weight gain of infants aged 6-12 months at the practice of independent midwives emmy surabaya. this shows that the provision of complete menu complementary food to infants is a factor that influences changes in body weight. providing a complete menu of complementary foods containing macronutrients (carbohydrates, proteins and fats) and micronutrients (vitamins and minerals) in one serving of food can increase body weight. according to evidence based on the introduction of complementary feeding, that a complete menu can meet the nutritional needs of infants, complementary feeding of complete menus can also meet the daily caloric energy needs of infants (santri et al, 2014). the results of el hadji's study energy intake is greater from ready-made foods that contain complete nutrition than from a diet of foods containing only milk, this high energy intake in the ready-made foods group is likely related to the high energy density. (el hadji at al, 2003) solid foods do not simply replace infant formula but increase energy intake. time of introduction of solid food has little influence on infant growth (veite grote, 2011). besides that delay in providing a complete menu will cause children to tend to like certain tastes and are picky about food, thus causing the child not to get enough nutrition (idai, 2015). delaying introduction of complementary foods are associated with lower odds of rapid infant weight gain (wood at al, 2021) on the other hand, children who receive various and natural complementary foods will choose healthy foods with a balanced menu in the future to meet their nutritional needs (idai, 2015). therefore, it is necessary to emphasize proper feeding of infants and children by providing appropriate complementary foods according to who and unicef recommendations (idai, 2015). recommendations for providing complementary feeding according to idai (2015), unbalanced food consumption has the risk of causing certain macronutrient or micronutrient deficiencies if the problem is not handled properly, the child can experience failure to thrive. whereas according to theory soetjiningsih (2019), that there is a correlation between giving complementary food to breast milk and the nutritional status of children aged 6-24 months at posyandu. children's nutritional needs include macronutrient needs including: carbohydrates, proteins and fats in large quantities, while micronutrients including vitamins and minerals are needed in smaller amounts. both of these nutrients are equally needed by children. and this can be fulfilled through the provision of complete menu complementary foods. this is supported by widaryanti's research (2019), which shows that most babies who experience stunting have a background of inappropriate complementary feeding. other research data shows that almost half (28.6%) of respondents who provide complete menus of complementary food to breast milk experience less weight changes. according to the researchers, one of the factors in providing complete menu complementary feeding that affects changes in body weight was less weight change, according to researchers because changes in body weight can be directly influenced by food intake such as provision of complete menu complementary feeding and infectious diseases. so that if the child has been given complementary food, a complete menu that is appropriate, namely there are macronutrients and micronutrients, they are still experiencing weight loss, it could be an infectious disease that plays a role in the baby experiencing a decrease in body weight. unicef (1999) in ghinanda (2022), stated that there are two factors that affect nutritional status and infant growth, namely nutritional intake and the presence of infectious diseases. these two factors have a synergistic correlation where lack of nutrients can cause low body resistance so that it is susceptible to infection, conversely infectious diseases can cause malnutrition. on the results of ghinanda's research (2022), that feeding patterns have a close correlation 208 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 202-209 with the nutritional status of toddlers. in the opinion of widaryanti (2019), proper and good provision of complementary food for breastfeeding is so that the nutritional needs of children are met so that failure to thrive does not occur. the complementary food given to breast milk must also be varied, given gradually from mashed, mushy forms until you become accustomed to family food. in his research showed that babies who are stunted do not get the right complementary food for breast milk. other data from the results of the study also showed the opposite, that almost half (37.5%) of respondents who received complementary food for breast milk did not experience a complete change in weight or gain. if seen from the distribution of questionnaires, most mothers give babies formula milk, it is this formula milk that is possibly the cause of weight gain in some babies who do not get complementary foods with incomplete menus. conclusion the result of this study found that there was a correlation between the provision of complete menu complementary foods with changes in baby's weight. suggestion it is hoped that workers in the health sector especially in the practice of independent midwives can improve the programs that have been implemented and provide assistance to mothers during complementary feeding. acknowledgement additionally, we would like to express our gratitude to everyone who participated in the study and was ready to share their insights. we also want to thank the reviewer profusely for their insightful criticisms and observations. funding this study was not funded by any institution and research grant, but using independent funds. conflicts of interest the authors declared there was no conflict of interest during the process until the publishing of the study. author contributions all authors have contributed to this study process, including conception and design, analysis and interpretation of the data, drafting of the article, critical revision of the article for important intellectual content, final approval of the article, collection and assembly of data. refferences astriana, & suryani, i. l. (2017). pengaruh pijat bayi terhadap peningkatan berat badan pada bayi di bps masnoni teluk betung utara kota bandar lampung. the journal of holistic healthcare), 11(2), 72–76. abeshu, m.a., adish, a., haki, g.d., lellisa, a., geleta, b. (2016). assessment of caregiver’s knowledge, complementary feeding practices, and adequacy of nutrient intake from. dinas kesehatan kota surabaya. (2019). profil kesehatan kota surabaya https://dinkes.surabaya.go.id/portalv2/doku men/profil%20kesehatan%20kota%20sura baya%202019.pdf di akses pada tanggal 14 oktober 2022. idai. (2015). rekomendasi praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi dan batita di indonesia untuk mencegah malnutrisi. ukk nutrisi dan penyakit metabolik, ikatan dokter anak indonesia. https://doi.org/10.1017/cbo978110741532 4.004. el hadji issakha diop, nicole idohou dossou, marie madeleine ndour, andré briend, salimata wade comparison of the efficacy of a solid ready-to-use food and a liquid, milk-based diet for the rehabilitation of severely malnourished children: a randomized trial the american journal of clinical nutrition, volume 78, issue 2, august 2003, pages 302– 307, https://doi.org/10.1093/ajcn/78.2.302. ghinanda, s. r., mauliza, & khairunnisa, c. (2022). hubungan pola penerapan feeding rules dengan status gizi balita 6-24 bulan di puskesmas banda sakti kota lhokseumawe. jurnal pendidikan tambusai, volume 6 n(1), 2583–2588. kemenkes ri. (2021). profil kesehatan indo-nesia. in pusdatin.kemenkes.go.id. lestari, y. d. (2019). hubungan pemberian makanan pendamping asi dengan status gizi anak usia 6-24 bulan (posyandu lapangan desa pulo lor kabupaten jombang). paper knowledge . toward a media history of documents, 7(2), 107–115. marmi. (2014). asuhan kebidanan pada masa https://dinkes.surabaya.go.id/portalv2/dokumen/profil%20kesehatan%20kota%20surabaya%202019.pdf https://dinkes.surabaya.go.id/portalv2/dokumen/profil%20kesehatan%20kota%20surabaya%202019.pdf https://dinkes.surabaya.go.id/portalv2/dokumen/profil%20kesehatan%20kota%20surabaya%202019.pdf javascript:; javascript:; javascript:; javascript:; javascript:; javascript:; javascript:; https://doi.org/10.1093/ajcn/78.2.302 munjidah, rukmana, nisa, rahayu, khotimah, feeding complementary foods with complete menu … 209 antenatal. yogjakarta: pustaka belajar. mufida, l., widyaningsih, t. d., maligan, j.m. 2015. prinsip dasar makanan pendamping air susu ibu (mp-asi) untuk bayi 6-24 bulan:kajian pustaka. jurnal pangan dan agroindustri vol. 3 no 4:p 1646-1651. nugroho, a. (2016). determinan growth faltering (guncangan pertumbuhan) pada bayi umur 2-12 bulan yang lahir dengan berat badan normal. jurnal kesehatan, 7(1), 9. https://doi.org/10.26630/jk.v7i1.113. nursalam & pariani. (2013). pendekatan praktis metodologi riset keperawatan. cv. agung seto. jakarta putri, m. r. (2018). jurnal bidan komunitas. hubungan pola asuh orangtua dengan status gizi pada balita di wilayah kerja puskesmas bulang kota batam, i(2), 99– 106. sugiharti, rosi. k .(2016). pengaruh frekuensi pijat bayi terhadap pertumbuhan (berat badan) bayi usia 1-3 bulan di desa karangsari dan purbadana. jurnal ilmiah kebidanan, vol. 7 no. 1 edisi juni 2016, hlm. 41-52. santri, a., idriansari, a., & girsang, melvia, b. factors that influence growth and development of toddler children (1-3 years) with a history of low birth weight babies. jurnal ilmu kesehatan masyarakat, 5(1), 63–70, (2014). https://media.neliti.com/media/publications/ 57991-id-the-factors-affecting-growth-anddevelop.pdf. septikasari, m. (2018). status gizi anak dan faktor yang mempengaruhi. yogyakarta: uny press. soetjiningsih., ranuh, ig.n gde. (2017). tumbuh kembang anak, edisi 2. jakarta: egc. veite grote at al. 2011. the introduction of solid food and growth in the first 2 y of life in formulafed children: analysis of data from a european cohort study the american journal of clinical nutrition, volume 94, issue suppl_6, december 2011, pages 1785s– 1793s, https://doi.org/10.3945/ajcn.110.000 810. wilujeng, saptaning, catur, sariati, yuseva, ranthy, pratiwi, (2017). faktor yang mempengaruhi makanan pendamping asi terhadap berat badan anak usia 6-24 bulan. majalah kesehatan fkub. 4:2 (90). widaryanti, r. (2019). makanan pendamping asi menurunkan kejadian stunting pada balita kabupaten sleman. jurnal ilmiah kesehatan ar-rum salatiga. pissn : 2528-3685 eissn : 2598-3857 vol.3 no 2 edisi 2019. http://www.e-journal.arrum.ac.id/index.php/jika/article/view/35/6 5 di akses tanggal 14 februari 2023. wood, charles t.,witt whitney, skinner, asheley, yin hsiang, rothman russell at al (2021). effect of breastfeeding, formula feeding and complementary feeding on rapid weight gain in fisrt year of life. academic pediatric 0103-2021, volume 21, issue 2 pages 288-296. https://media.neliti.com/media/publications/57991-id-the-factors-affecting-growth-and-develop.pdf https://media.neliti.com/media/publications/57991-id-the-factors-affecting-growth-and-develop.pdf https://media.neliti.com/media/publications/57991-id-the-factors-affecting-growth-and-develop.pdf https://doi.org/10.3945/ajcn.110.000810 https://doi.org/10.3945/ajcn.110.000810 http://www.e-journal.ar-rum.ac.id/index.php/jika/article/view/35/65 http://www.e-journal.ar-rum.ac.id/index.php/jika/article/view/35/65 http://www.e-journal.ar-rum.ac.id/index.php/jika/article/view/35/65 177 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the adherence of low salt diet of elderly with hypertension ulfa husnul fata1, ayu rahmawati2, wahyu wibisono3, raden roro dewi rahmawati aktyani putri4 1,2,3,4nursing education study program, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract the problem of elderly hypertension is very complex, especially the problem of a low-salt diet. non-adherence of the diet will have a negative impact on the elderly and cause many complications. this was a descriptive study which aimed to observe the adherence of low-salt diet in elderly with hypertension. the population in this study was elderly with hypertension at the srikandi elderly posyandu and brontoseno elderly posyandu in the working area of sananwetan health center, gedog village, sananwetan district, blitar city as many as 60 people. the sample in this study was 50 people. the sampling technique used simple random sampling. the instruments used respondent characteristics questionnaire and a low-salt diet adherence questionnaire that the researchers made themselves based on references. the general data in this study was gender, marital status, last education, length of time suffering from hypertension and routine internal pressure control. the specific data in this study was the adherence diet of elderly with hypertension. the results of this study indicated that almost half of the respondents as many as 46% (23 respondents) were in the category of less compliant with the low-salt diet and a small proportion of the respondents were compliant with the low-salt diet, 14% (7 respondents). based on the results of this study, more in-depth interventions are still needed, especially to increase adherence to a low-salt diet in elderly hypertension. history article: received, 17/07/2023 accepted, 31/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: adherence, low salt diet, hypertension, elderly © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: ulfaners@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p177-181 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ulfaners@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p177-181 178 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 177-181 introduction hypertension is a major public health problem worldwide because of its increasing prevalence. the increased incidence of hypertension contributes to morbidity and mortality because hypertension is well known and is the most common risk factor for cardiovascular and cerebrovascular disease (farapti, et al., 2020). the lifetime risk for hypertension for middle-aged and elderly individuals has a prevalence of 90% and the prevalence of hypertension continues to increase with age (shim et al., 2020). elderly hypertension is a health problem that causes other serious cardiovascular problems. the world health organization (who) reports that hypertension is a high-risk condition that causes death from stroke and coronary heart disease. usually, people think that hypertension is a common disease and cannot be treated quickly, especially in this day and age where economic needs are increasing and the difficulty of finding a job affects an unhealthy life and especially poor eating patterns without knowing the right diet (devi & putri, 2021). elderly health problems in the family are very complex, one of which is hypertension. hypertension and its complications (hemorrhagic stroke) deserve attention because it is the highest cause of death in indonesia. hypertension is still quite high and even tends to increase along with lifestyle and patient non-adherence with hypertension diet, because most people still think that hypertension is an ordinary disease and not dangerous (veronika et al., 2017). the incidence of hypertension according to data from the world health organization (who) in 2011 recorded 1 billion people, with two-thirds of them living in developing countries with low and moderate incomes. hypertension will continue to increase the larger the population which can lead to an increase in the burden of health costs (inakii et al., 2021). indonesia is in the list of countries with the highest prevalence of hypertension in the world, along with myanmar, india, sri lanka, bhutan, thailand, nepal and the maldives. the prevalence of hypertension will continue to increase, and it is predicted that by 2025 as many as 29% of adults in the world will have an attack (devi & putri, 2021). data from riskesdas balitbangkes (2018) states that hypertension in indonesia is a health problem with a high prevalence of 34.1%. the population of blitar city in 2018 with an age range of 15-59 years was 91,000 people with a hypertension prevalence of 30.3%. in 2019 the prevalence of hypertension rose to 40.7%. based on the preliminary study that has been carried out, data obtained in sananwetan district is the sub-district with the highest number of hypertension sufferers in blitar city, namely 17,184 cases in 2021 (mutaqqin et al., 2021). an unbalanced diet is one way to reduce hypertension. food factors (dietary adherence) are important things to note in people with hypertension. diet adherence with hypertension sufferers found respondents in the non-adherent diet category, namely 56.7% and respondents who adhered to the diet, namely 43.3% (nita & oktavia, 2018). a study conducted by yuliana, anestia, handayani, & fitria, 2014 on hypertension sufferers showed that as many as 65% of respondents were disobedient in implementing a low-salt diet and as many as 35% were compliant in implementing a low-salt diet (putri, 2022). this hypertension does not only have an impact on the physical but also has an impact on the psyche, where someone who suffers from hypertension will feel anxious, and cannot control their emotions. when the individual's psychology is low, there is a serious threat, most of which are forms of depression and anxiety related to hypertension. when a person has negative feelings in the body, the body will produce hormones that can increase blood pressure, this increase in blood pressure will trigger complications of the disease and can have an impact on a low quality of life (inakii et al., 2021). medication and diet are necessary to control blood pressure. patients need to be given an understanding that drugs cannot cure hypertension, because hypertension cannot be cured, but can be controlled by changing lifestyles and adhering to diets (low salt diet, caffeine diet, saturated fat food diet, doing sports, reducing weight, not smoking or drinking alcohol and increasing consumption of fruits and vegetables and taking medication as directed). adherence in undergoing a diet for patients becomes a problem in itself when the rules must be followed by patients regularly and for a very long time. long-term adherence to meal plans is also a major challenge for hypertensive patients, if patients do not adhere to a hypertensive diet it will increase morbidity and mortality rates as well as complications from other diseases. patients with hypertension should comply with the hypertension diet in order to prevent further complications. patients with hypertension must continue to follow the hypertension diet every day regardless of the presence or absence of illness and symptoms. this is intended so that the blood pressure condition of fata, rahmawati, wibisono, putri, the adherence of low salt diet of elderly with hypertension … 179 people with hypertension remains stable so that they can avoid hypertension and its complications (devi & putri, 2021). there is still a high number of cases of hypertension in sananwetan district, it is necessary to conduct research related to hypertension. preliminary studies and interviews conducted by researchers at the elderly posyandu in gedog village, sananwetan district, blitar city obtained data that 10 elderly people said they still consumed fried foods, salted fish and salted eggs. it is difficult for the elderly to maintain their diet because they have been used to it since they were young. based on the description above, researchers are interested in conducting research with the title low salt diet adherence in elderly hypertension at the elderly posyandu, gedog village, sananwetan district, blitar city. the results of this study are expected to be a reference in the management of elderly hypertension, especially those related to a low-salt diet. this study is also useful as input considering the high non-adherence to a low-salt diet in elderly with hypertension in gedog village, sananwetan district, blitar city. methods this was a descriptive study that describes adherence to a low-salt diet in elderly with hypertension. the population in this study were elderly with hypertension at the srikandi elderly posyandu and brontoseno elderly posyandu in the working area of the sananwetan health center, gedog village, sananwetan district, blitar city as many as 60 people. the sample of the study was based on the formula for calculating the number of samples, with the total of 50 people. the sampling technique used simple random sampling. the inclusion criteria in this study were (1) the elderly who became respondents, (2) the elderly who took the pre and post tests, (3) the elderly who took part in educational counseling and lectures until they were finished. the instruments used respondent characteristics questionnaire and a low-salt diet adherence questionnaire made by the researchers themselves based on references. this study was conducted from april to may 2023. result table 1: frequency distribution of respondents by gender, last education, marital status, length of suffering from hypertension, routine blood pressure control in elderly hypertension in the work area of the sananwetan health center, gedog village, sananwetan district, blitar city, may 2023. variable frequency percentage education no school 1 2 elementary school 27 54 junior high school 8 16 senior high school 8 16 academy/college 6 12 total 50 100 long suffering from hypertension < 1 year 9 18 > 1 years 41 82 total 50 100 routine blood pressure control routine 43 86 not a routine 7 14 total 50 100 based on table 1 shows that most of the respondents with elementary school education level, namely 54% (27 respondents). the frequency of respondents based on the duration of suffering from hypertension was that almost all respondents had hypertension for more than 1 year, namely 82% (41 respondents) and almost all respondents had routine blood pressure control, namely 86% (43 respondents). 180 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 177-181 table 2: distribusi frekukensi berdasarkan kepatuhan diet rendah garam pada lansia hipertensi di wilayah kerja puskesmas sananwetan, kelurahan gedog, kecamatan sananwetan, kota blitar no kepatuhan diet rendah garam frequency precentage (%) 1 less obedient 23 46 2 just comply 20 40 3 complied 7 14 total 50 100 table 2 shows that almost half of the respondents were less compliant with the low-salt diet, namely 46% (23 respondents) and a small proportion of the respondents adhered to the low-salt diet, 14% (7 respondents). discussion table 2 shows that almost half of the respondents were less compliant with the low-salt diet, namely 46% (23 respondents). the results showed that almost all respondents had suffered from hypertension for more than 1 year. in general, respondents did not comply with the hypertension diet. this can be influenced by the knowledge or attitudes of people with hypertension themselves. lack of knowledge due to lack of information obtained by sufferers, both from health workers and print or electronic media. the negative attitude factor that often arises is due to boredom and the unfamiliarity of hypertension sufferers to follow a hypertension diet, which is caused by the respondent's own culture which has been inherent since birth so it is very difficult to get rid of (nita & oktavia, 2018). researchers just assumed that the longer they suffer from hypertension by administering a low-salt diet for a long time, of course, it will cause a feeling of saturation in the elderly. this is what causes many elderly people to be disobedient to having a low salt diet. factors that influence patient adherence to the diet include education level, knowledge level, income level, ease of access to health facilities and the availability of health insurance that relieves patients in paying for medical expenses. often respondents have not completely reduced salt consumption and are still quite frequent to consume fast food because it is practical and tastes more delicious if the respondent consumes food with a limited amount of salt intake (wahyudi et al., 2020). the results showed that more than half of the respondents had elementary school education, namely 54% (27 respondents). hypertension sufferers with low levels of education (not attending school/elementary school) tend to be more common than hypertensive sufferers with secondary/higher education. the results of kharisyanti fika's research, (2017) showed that there was a significant relationship between education level and hypertension. hypertension sufferers with a low level of education (not in school/elementary school) tend to be more common than those with secondary education or higher education. this is also in line with research conducted by sugiharto et al, (2018) education level can affect a person's ability and knowledge in implementing healthy lifestyle behaviors, especially hypertension. because the elderly are senile, they forget that salt can trigger hypertension. according to the researchers' assumptions, there is a relationship between the knowledge of the elderly and a low-salt diet on hypertension. research results and theories that support so that the lack of knowledge about diet in the elderly can be caused, among other things, by a decline in the ability to digest the information received (nita & oktavia, 2018). conclusion respondents with low adherence to the low salt diet were 46% (23%) and the number of respondents with good adherence was 14% (7 respondents). suggestion 1. suggestion for educational institutions this research is expected to be used as a reference in making study materials, especially gerontology and community courses. 2. suggestion for public health center this research can be used as input for the puskesmas to be more intense in managing the elderly posyandu, especially in paying attention to diet for the elderly. 3. suggestion for elderly posyandu the results of this study can be used as input for cadres that there are problems in the elderly, especially the problem of a low-salt diet. 4. suggestions for further research the results of this study can be used as a basis for further research related to dietary patterns in elderly hypertensives. fata, rahmawati, wibisono, putri, the adherence of low salt diet of elderly with hypertension … 181 acknowleggement 1. thanks to stikes patria husada blitar for providing support in carrying out this research. 2. thank you to the sananwetan health center in blitar city for giving permission to carry out this research. 3. thank you to all the elderly at the srikandi elderly posyandu and the elderly posyandu of gedog village, sananwetan district, blitar city, who have agreed to be respondents in this study. 4. thank you to the enumerators who have helped in carrying out the research. 5. thanks to all parties who have helped in the implementation of this research. funding funding for this research activity comes from the researcher's personal funds. conflict of interest the authors have no conflict of interest in publishing the article. author contributions all authors fully contribute to research activities starting from drafting activities, tabulating data management, writing drafts of manuscripts and analysis. each author makes a positive contribution to this activity from start to finish, including publishing articles in this journal. refference devi, h. m., & putri, r. s. m. (2021). peningkatan pengetahuan dan kepatuhan diet hipertensi melalui pendidikan kesehatan di posyandu lansia tlogosuryo kota malang. jurnal akademika baiturrahim jambi, 10(2), 432. https://doi.org/10.36565/jab.v10i2.399. inakii, m., soelistyoningsih, d., & jayanti, n. d. (2021). hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet rendah garam pada penderita hipertensi sistolik. media husada journal of nursing science, 2(3), 132–140. https://doi.org/10.33475/mhjns.v2i3.62. mutaqqin, z., arts, t. m., & hadi, l. (2021). jimkesmas jimkesmas. jurnal ilmiah mahasiswa kesehatan masyarakat, 6(2), 56–67. nita, y., & oktavia, d. (2018). hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan diet pasien hipertensi di puskesmas payung sekaki pekanbaru. jurnal ilmu kesehatan, 6(1), 90–97. putri, a. e. (2022). hubungan kalium, persentase lemak tubuh, dan kepatuhan diet rendah garam. indonesian journal of health development, 4(1), 27–34. https://doi.org/10.52021/ijhd.v4i1.59. shim, j. s., heo, j. e., & kim, h. c. (2020). factors associated with dietary adherence to the guidelines for prevention and treatment of hypertension among korean adults with and without hypertension. clinical hypertension, 26(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s40885-020-00138y. veronika, n., nuraeni, a., & supriyono, m. (2017). efektivitas pelaksanaan pendampingan oleh kader dalam pengaturan diet rendah garam terhadap kestabilan tekanan darah lansia dengan hipertensi di kelurahan purwoyoso semarang. jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan (jikk), iii(1), 46–53. http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index. php/jikk/article/view/551/550. wahyudi, w. t., herlianita, r., & pagis, d. (2020). dukungan keluarga, kepatuhan dan pemahaman pasien terhadap diet rendah garam pada pasien dengan hipertensi. holistik jurnal kesehatan, 14(1), 110–117. https://doi.org/10.33024/hjk.v14i1.1843. 121 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk factors triggering anxiety for pregnant women during the covid 19 pandemic triatmi andri yanuarini1, shinta kristianti2, finta isti kundarti3 moh. ali mansur4, sumy dwi antono5 1,2,3department of midwifery, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract covid-19 infection is more common in expectant mothers. than people who are not expecting. this causes pregnant women to experience anxiety and even depression if they are not treated immediately. the pandemic caused by covid-19 can psychologically cause increased levels of tension and anxiety brought on by worry about spreading disease and its effects. the objective of the study was to identify the triggering factors for anxiety in during the covid-19 epidemic, expectant mothers. the design of the study was cross-sectional research design. the sample included several expecting mothers in mojoroto district, kediri city as many as 67 respondents. the data collection used questionnaire. the data analysis used ordinal regression. the results showed the p-value of pregnancy complications (0.034), limited food ingredients (0.047), history of depression (0.000), environment (0.001), loss of caregiver (0.000) which meant these variables affected the occurrence of anxiety during the covid-19 epidemic in expecting mothers. covid-19 increased the risk of complications in expecting mothers, besides that social restrictions also caused limited food ingredients, difficulty getting caregivers. this caused pregnant women to experience depression. the covid pandemic had also caused many deaths and generating worry in expectant mothers. the conclusion is that the triggering factors for pregnancy-related stress and the covid-19 epidemic pregnancy complications, limited food ingredients, a history of depression, anxiety about the environment and anxiety about losing a caregiver. history article: received, 14/03/2023 accepted, 25/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: covid-19, anxiety factors, pregnant women © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : fintaistikundarti@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p121-130 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:fintaistikundarti@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p121-130 122 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 121-130 introduction who reported confirmed cases of coronavirus disease 2019 (covid-19) until july 22, 2020, amounting to 14,971,036 cases with 618,017 deaths worldwide (case fatality/cfr 4.1%). this disease affects all groups, including pregnant women. pregnant women, as a population, can be more susceptible to infection, with high morbidity and mortality rates (aziz, 2020). based on data on positive confirmed cases of women there were 15,735 persons in the us in august 2020, which is 0.3% of the total population positive verified instances) (rohmah & nurdianto, 2020). 13.7% of pregnant women are more likely to contract covid19 infection, according to data from the indonesian obstetrics and gynecology association (pogi) in jakarta than non-pregnant individuals (aziz, 2020; rohmah & nurdianto, 2020). this causes pregnant women to experience anxiety and even depression if not treated immediately. the covid-19 pandemic can psychologically lead to increased levels of anxiety and stress brought on by fear of transmission and the effects thereof. during the covid-19 pandemic, anxiety and depression were prevalent in pregnant women at 64.5% and 56.3%, respectively (puertas-gonzalez et al., 2021). the frequency of anxiety among expectant mothers is 36.77%: 25.34% with mild anxiety, 10.09% with moderate anxiety, and 1.35% with severe anxiety (e. et al., 2021). women who are expecting are more susceptible to these psychological effects. (bps kota kediri, 2020). during pregnancy, covid-19 possesses an important impact on the results of prenatal and neonatal care. since april 2020, the indonesian government has launched mental health psychology services (sejiwa), that offers a hotline. similarly, the indonesian psychological association (himpsi) provides licensed psychologists and support with the increase number volunteers, as well as strengthening the ability to these employees of a both regional and national level. sejiwa was the first to provide assistance with mental health for the people of indonesia while covid-19 was in the air. this service provided guidance for women impact of covid-19, including female victims of domestic violence, women in emergency situations and special conditions (such as pregnant women), female migrant workers, and women with disabilities. one week after its inauguration, public complaints regarding sejiwa's services were relatively low, with approximately 344 complaints from 2,978 calls received through 119 ext. 8, with a transfer call ratio of 11.55 percent. the covid-19 outbreak of the coronavirus disease that originated a pandemic that started in china threatening worldwide health, therefore encouraging research aimed at early detection, prevention, and treatment of the disease (tyastuti, 2016). according to a study on anxiety in pregnant women in the majoroto district, 13 pregnant women (52%) experienced anxiety in the very severe category, 1 pregnant woman (4%) in the severe category, 3 pregnant women (12%) in the moderate category, 3 pregnant women (12%) in the mild category, and 5 pregnant women (20%) in the normal category. this prompted researchers to analyze the factors contributing to anxiety in pregnant women, as previous research failed to identify these factors. therefore, this study aimed to assessing anxiety in pregnant women and identify triggers for during the covid-19 epidemic, anxiety. methods the design of the study was analytic with cross sectional design. this study was taken place in mojoroto district, kediri city. this study was conducted on february-august 2022. the group under examination was all expecting mothers in mojoroto district, kediri city with the sum of 80 expecting mothers. the sample in this studywere some pregnant women in mojoroto district, kediri city. the sample size obtained with the slovin formula was 67 respondents. the sampling technique used a cluster random sampling mechanism, a technique for determining samples from populations by grouping through region. before conducting the study, an ethical test is carried out first, if ethically approval has been obtained then the research will be carried out. prior to the research, the researcher arranged for a research permit to the relevant agency, if he had obtained permission, then approached the respondent to obtain informed consent. data regarding factors that influence anxiety are collected online using the questionnaire facility. after the data has been gathered, data verification is carried out first after collecting reliable data, the data tabulation procedure is carried out according to each research variable. the instrument used a questionnaire on the variables that affect anxiety. identification of pregnant women's anxiety using dass. the validity of the questionnaire was tested by product moment correlation and the reliability test was carried out by yanuarini, kristianti, kundarti mansur, antono, factors triggering anxiety for pregnant women … 123 cronbach's alpha coefficient technique. the data collection process was carried out in collaboration with the cadres. the cadres help to coordinate and gather pregnant women who take part in the research. processing and analysis of data the first stage was carried out descriptive analysis first, then bivariate analysis was carried out using the spearman rho test, then to find out the factors that influence anxiety were tested with the ordinal regression. spss 19 is the testing software. results table 1: age group age group amount n % 16 – 20 6 8,9 21–25 12 17,9 26 – 30 20 29,9 31–35 13 19.5 36–40 14 20,9 > 40 2 2,9 total 67 100 based on table 1 above, that the most age group is in the position of productive adults. table 2: pregnancy trimesters pregnancy trimesters amount n % i (one) 17 25,4 ii (two) 22 32,8 iii (three) 28 41.8 total 67 100 based on table 2 above, that the most pregnancy trimesters are in the third trimester of pregnancy. table 3: pregnancy complications complications amount n % anemia 4 6 preeclampsia 0 0 concomitant diseases 1 1.5 other 1 1.5 there isn't any 61 91 total 67 100 based on table 3 above, that most pregnant women do not experience pregnancy complications. 124 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 121-130 table 4: occupational groups work amount n % irt 45 67,2 private sector employee 10 14,9 self-employed 7 10,4 freelancer 1 1.5 teacher 4 6 total 67 100 based on table 4 above, that most pregnant women work as housewives. table 5: limited food materials work amount n % yes 3 4,5 no 64 95.5 total 67 100 based on table 5 above, that the most limited food ingredients are not experiencing food shortages. table 6: efforts to prevent covid-19 in health services efforts to prevent covid-19 in health services amount n % yes 19 28,4 no 48 71.6 total 67 100 based on table 6 above, the most anxious feelings of pregnant women about efforts to stop covid-19 in health services are that they do not experience anxiety. table 7: history of depression of expectant mothers amount n % yes 3 4,5 no 64 95.5 total 67 100 based on table 7 above, most pregnant women do not have a history of depression. table 8: environments with high covid cases an environment with high covid cases amount n % yes 33 49 no 34 51 total 67 100 based on table 8 above, that the feeling of being in an environment where covid cases are high is mostly not experiencing anxiety. yanuarini, kristianti, kundarti mansur, antono, factors triggering anxiety for pregnant women … 125 table 9: lost caregiver lost nanny amount n % yes 14 21 no 53 79 total 67 100 based on table 9 above, that the feelings of anxiety of pregnant women when they lose a caregiver are mostly not experiencing anxiety. table 10: statistical test results factors affecting pregnant women's anxiety during a pandemic variable β p-values information pregnancy complications 0.932 0.034 significant scarcity of food -6,470 0.047 significant history of depression 28,706 0.000 significant an environment with high covid cases 2,720 0.001 significant lost caregiver 25,739 0.000 significant note: ordinal regression test to stop covid-19 table 10, the results of the ordinal regression statistical test, the variables of pregnancy complications, food scarcity, history of depression, anxiety about the environment and anxiety about losing caregivers have a p-value of less than α (0.000) which means they have an influence on the occurrence of anxiety for pregnant ladies in the year 19 of the covid epidemic. discussion pregnancy complications women who underwent surgical procedures while covid-19 was in the air while covid-19 was in the air are reported to have experienced symptoms of depression. these psychological effects are further exacerbated by a pre-existing medical condition.abdul latif et al., 2022). significant covid-19 infection in significant covid-19 infection or in sub-optimal health conditions is one of the growing concerns, besides fear of procedure-related complications and fear of post-hospital covid-19 infection being the cause. (abdul latif et al ., 2022). vomiting, in particular, has been shown can raise the risk of perinatal distress. women who have experienced extreme vomiting are more prone to psychiatric disorders such as depression and anxiety. because vomiting can act in response physiologically to excessive pregnancy-related stress and vomiting symptoms may both be higher susceptible to covid-19. increased risk of more serious illness in people with ongoing medical issues. pregnant people with ongoing medical issues. pregnant conditions are more afraid of covid-19 than healthy people (giesbrecht et al., 2020). covid-19 anxiety even after taking anxiety into account, remained a strong predictor, depression includes more pertinent factors. this shows that covid-19 anxiety is a factor in negative birth results (giesbrecht et al., 2020). age at conception is linked favorably with anxiety and depressive symptoms. consequently, the most common complications pregnancy, including pre-eclampsia pregnant women's diabetes, are thought to occur late in pregnancy and contribute to a weakened immune system. in addition, a decrease in inherent immune system response in expectant mothers increases the mother's exposure to covid-19 infection, causing higher pregnancy death, which can cause mother angst and depressive symptoms. (luong et al., 2021).pregnant women who experience vomiting and are considered vulnerable to sars-cov-2 infection experience increased birth anxiety. (cui et al., 2021). pregnant women with chronic health problems are more afraid of covid-19 than healthy people (giesbrecht et al., 2020). limited food ingredients the results showed that food limitations are one of the factors that can cause anxiety. individuals eating shortages had an increased likelihood of having levels of depression and anxiety levels ranged from low to severe (mild: 32% vs. 23%, moderate: 15% vs. 7%, severe: 10% vs. 2%), respectively. food insecurity while covid 19 was in the air was reported to have a more than 5 times the chance of major depression. the significant link 126 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 121-130 between psychological discomfort and food hardship has significant implications for clinical guidelines and public health policies related not only to public health emergencies, but also to pregnancy in general.in addition to nutritional health, tackling food insecurity can also have a substantial effect on pregnant women's mental health. not all people affected by food insecurity are entitled to government assistance types of government feeding programs like food banks and nutrition education programs. (avalos et al., 2022). limited food ingredients often cause pregnancy-related anxiety during covid-19. anxiety occurs because they are worried that the food ingredients will run out while the money to buy food is not enough due to social restrictions. in addition, the durability of food ingredients is also a problem in itself, most food ingredients are not able to last long, causing anxiety if they are damaged but replacements are not yet available. food safety, and nutrition issues the covid-19 situation, which poses a major threat to has limited access too wholesome food. a healthy diet throughout covid-19 outbreak is less inclined to develop anxiety and depression compared to a similar or less wholesome diet. (luong et al., 2021). restrictions during covid-19 had a significant impact financial and social effect on affected families, namely experiencing economic difficulties and mental health problems. this impact worsens the family's condition in meeting food needs. policies are needed in the form of support in terms of family income (hannah bryson et al, 2021) history of depression women who came forward having a mental health history conditions were more susceptible to exhibiting signs of anxiety and stress during pregnancy a pandemic pregnancy. this is consistent with other studies looking at predicting higher pregnant women's anxiety and post-traumatic stress disorder levels. (awad-sirhan et al., 2022). pregnant women with a history of psychiatric illness have been shown to be at increased risk of moderate or severe symptoms of general anxiety (ilska et al., 2022). having a current or previous mental illness is a risk factor for pregnancy anxiety. in addition, worldwide general population research have found that a history of current or earlier mental disorders is associated with adverse mental health effects with covid-19 (benke et al., 2020; luo et al., 2020; vindegaard & benros, 2020 ). woman under 40 years old gender, in touch with someone infected with covid, history of psychiatry, performing a health a nurse or other professional who has been following the covid-19 news for more than 3 hours per day increases the likelihood of experiencing depression, anxiety, and sleep issues. many of these elements work via neuroinflammatory mechanisms in reaction to tension. in addition, mental health patients frequently denied access to medical care, which continues to be a major issue (kassaeva et al., 2022). pregnant and postpartum women who report issues with mental health, present or past are more inclined to experience anxiety. as well as, women who reported more stressful life events outside of pandemics and worse social health problems during pregnancy were more likely to report increased depression (lequertier et al., 2022). reduced education level and a history of prior to the covid19 pandemic, pre-existing anxiety has been identified as a predictor of mild to severe anxiety symptoms. (morris et al., 2022). environment most pregnant women experience increased pregnancy anxiety during the pandemic. respondents stated such pregnancy given the epidemiological scenario at the moment contributed to an increase in sensation of dread (kicia et al., 2018). the covid-19 pandemic's challenging epidemiological state, the associated constraints, as well as shifting socioeconomic changes, can also increase in the number of perinatal mothers developing psychological issues (ahmad & vismara, 2021; brooks et al., 2020).regions that encountered a sharp rise in cases, lockdowns and restrictions on maternity due to and maternity care the outbreak of the second wave of covid reported an increase in depression three to four times (lequertier et al., 2022). an anxiety or depression history is connected with an increase in symptoms of moderate to extreme phobia (morris et al., 2022). lockdownhas forced most the trend of staying at home by women less outings, enhancement workload at home, and caring as the sick, which contribute from psychological stress (abdul latif et al., 2022). individuals with positive contact with covid-19 (whether among friends, relatives, or family) report higher levels out of fear. potentially higher risk of catching the illness from coming into contact with an a sick individual. concern about the state of their social and economic contacts who have covid-19 contract can contribute as well this yanuarini, kristianti, kundarti mansur, antono, factors triggering anxiety for pregnant women … 127 concern. an american study discovered that levels of fear of the northeastern states, which are relatively near to the maritime provinces, had the highest covid-19 levels of canada (fitzpatrick k et al., 2020). the study's authors suggest that the region's higher fear of covid-19 may be related to higher case numbers. labor patients find being constant changes highly upsetting in limitations and regulations. our research findings, pluswithour clinical knowledge, suggests that the worry of negative health effects associated with covid-19 is simply a portion of the issue with pregnant women, adding to apprehensions about being pregnant during a pandemic (giesbrecht et al., 2020). restrictions on parent visits in newborn intensive care unit may make parents feel more stressed during this extraordinary health care emergency (grumi et al., 2021). social restrictions that apply wherever can be a significant issue that causes psychological anguish, because social assistance is very important in reducing the harmful consequences of anxiety and stress (iwanowicz-palus et al., 2022). personal protective measures and the government's policies regarding the precautions are designated as danger elements; the quick authorities' response to a change in situations, on the other hand, is a preventative element (kassaeva et al., 2022). living in victoria, australia is connected with a four to five times increased likelihood of despair. although the model regulated for the exposure to pandemics (regional number of cases/deaths, and duration) and many another covid-19-related goal difficulties, victoria observed a sharp rise in instances and additional lockdowns and restrictions on pregnancy care because the third wave of epidemic right before administrative a survey. the additional difficulties the difficulties victorian women faced, as demonstrated here, may serve as these experiences (lequertier et al., 2022). pregnant australian women report increased loneliness and diminished autonomy related to their maternity care experience as a result of restrictions on health services, which can aggravate the suffering women went through during this time of extreme vulnerability (wilson et al., 2022). at the peak when asked about the covid-19 pandemic-era stay-athome lockdown in the united states, at least two in five (43.3%) responders in a sample of pregnant americans who are women experienced depression and/or anxiety were at least 2.5 times as common than they were before the pandemic. in among expectant mothers (liu et al., 2021). anxious to lose a caregiver prenatal sadness and/or anxiety symptoms that were more severe were linked self-reports with covid-19, jobs that increase covid-19 risk and distress due to pregnancy care adjustments, job loss, childcare difficulties, and food insecurity (avalos et al. , 2022). changes in parenting were also significantly associated with an increased likelihood of anxiety and sadness. similar results from other studies of expectant women during the covid-19 pandemic have been published, underscoring the significance of public health policies in providing financial choices for assistance and child care, particularly during times of crisis (avalos et al., 2022). during the perinatal period, social assistance for moms reportedly declined during the covid-19 the pandemic, and this was related to worse mental health. (judy zhou et al, 2021). other research has also stated that parents experience increased anxiety around pregnancy, birth, worrying concerning their emotional health and mental well-being, and physical health. increased anxiety also occurs due to reduced provision of health services, loss of social and familial support. although only a small percentage of respondents mentioned some favorable effects from the lockdown, like increased family ties, numerous respondents claimed to feel alone, neglected and overpowering. this is of course related to the development and socialization of their babies.alexandra rhodes, et al, 2020). conclusion based on the study's findings, the main triggers for anxiety in pregnant women at the time of covid19 pandemic were a history of depression and loss of caregivers. meanwhile, pregnancy complications, limited food ingredients, and anxiety about the environment with high cases of covid-19 are additional trigger factors. suggestions regional coverage needs to be expanded within the scope of the city or district so that the results can be used for decision making in the city or district. variables that trigger anxiety are still lacking, so it needs to be examined by involving other variables. modeling analysis will be better at describing interactions between variables in triggering anxiety in pregnant women. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?size=100&term=rhodes+a&cauthor_id=33264100 128 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 121-130 acknowledgement financial support in this study was provided by the poltekkes of the ministry of health malang with a research contract no hk.03.01/1/0953/2022 dated february 7, 2022 concerning research on health worker development. funding financial support is provided by poltekkes kemenkes malang starting from the preparation of proposals to reporting research results including research outputs. conflicts of interest the authors declare no potential conflict of interest author contributions the main researcher plays a role in preparing proposals and reporting results. other researchers play a role in data collection, data analysis, preparation of the output of the study, and assisting the main researcher in the preparation of the final report. reference abdul latif, ni, mohamed ismail, na, loh, sye, nur azurah, ag, midin, m., shah, sa, & kalok, a. (2022). psychological distress and covid-19 related anxiety among malaysian women during the covid-19 pandemic. international journal of environmental research and public health, 19(8), 1–13. https://doi.org/10.3390/ijerph19084590 ahmad, m., & vismara, l. (2021). the psychological impact of covid-19 pandemic on women's mental health during pregnancy: a rapid evidence review. international journal of environmental research and public health, 18(13). https://doi.org/10.3390/ijerph18137112 avalos, la, nance, n., badon, se, young-wolff, k., ames, j., zhu, y., hedderson, mm, ferrara, a., zerbo, o., greenberg, m., & croen, l.a. (2022). associations of covid-19-related health, healthcare and economic factors with prenatal depression and anxiety. international journal of public health, 67(may), 1–10. https://doi.org/10.3389/ijph.2022.1604433 awad-sirhan, n., simó-teufel, s., molina-muñoz, y., cajiao-nieto, j., & izquierdo-puchol, mt (2022). factors associated with prenatal stress and anxiety in pregnant women during covid-19 in spain. enfermeria clinica, 32, s5–s13. https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2021.10.00 6 aziz, m.a. (2020). recommendations for handling corona virus infection (covid-19) in maternal (pregnancy, maternity and postpartum). in management of corona virus infection in maternal (vol. 1, issue 3). benke, c., autenrieth, l., asselmann, e., & panéfarré, ca (2020). lockdown, quarantine measures, and social distancing: associations with depression, anxiety and distress at the beginning of the covid-19 pandemic among adults from germany. psychiatry research [revista en internet] 2020 [accesso 2 de mayo de 2021]; 293(20. psychiatry res., 293(january), 113462. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /pmc7500345/pdf/main.pdf bps city of kediri. (2020). number of pregnant women visiting k1, visiting k4, chronic energy deficiency (kek), and receiving iron (fe) tablets in kediri city, 2012‒ 2019. central bureau of statistics for the city of kediri. brooks, sk, webster, rk, smith, le, woodland, l., wessely, s., greenberg, n., & rubin, gj (2020). the psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. ssrn electronic journal, january. https://doi.org/10.2139/ssrn.3532534 bryson h, mensah f, price a, gold l, mudiyanselage sb , kenny b, dakin p, bruce t, noble k, kemp l, goldfeldi s. (2021). clinical, financial and social impacts of covid-19 and their associations with mental health for mothers and children experiencing adversity in australia. plos one.2021 sep 13;16(9):e0257357https://pubmed.ncbi.nl m.nih.gov/34516564/ cui, c., zhai, l., sznajder, kk, wang, j., sun, x., wang, x., zhang, w., yang, f., & yang, x. (2021). prenatal anxiety and the associated factors among chinese pregnant women during the covid-19 pandemic——a smartphone questionnaire survey study. bmc psychiatry, 21(1), 1–10. yanuarini, kristianti, kundarti mansur, antono, factors triggering anxiety for pregnant women … 129 https://doi.org/10.1186/s12888-02103624-1 e., jk, atkinson, l., bennett, t., jack, sm, & gonzales, a. (2021). covid-19 and mental health during pregnancy: the importance of cognitive appraisal and social support. journal of affective disorders, 1161–1169. fitzpatrick k, harris c, & drawve g. (2020). fear of covid-19 and the mental health consequences in america. psychological trauma: theory, research, practice, and policy [revista en internet] 2020 [accesso 14 de febrero de 2021]; 12:1-5. psychological trauma: theory, research, practice, and policy, 12, 17–21. https://content.apa.org/fulltext/202038568-001.pdf giesbrecht, gf, rojas, l., patel, s., kuret, v., & mackinnon, al (2020). fear of covid19, mental health, and pregnancy outcomes in the pregnancy during the covid-19 pandemic study fear of covid-19 and pregnancy outcomes. journal of affective disorders, 299(january), 483–491. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jad .2021.12.057 grumi, s., provenzi, l., accorsi, p., biasucci, g., cavallini, a., decembrino, l., falcone, r., fazzi, em, gardella, b., giacchero, r., guerini , p., grossi, e., magnani, ml, mariani, em, nacinovich, r., pantaleo, d., pisoni, c., prefumo, f., sabatini, c., … borgatti, r. (2021) . depression and anxiety in mothers who were pregnant during the covid-19 outbreak in northern italy: the role of pandemicrelated emotional stress and perceived social support. frontiers in psychiatry, 12(september), 1–9. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2021.716488 ilska, m., brandt-salmeri, a., kołodziej-zaleska, a., preis, h., rehbein, e., & lobel, m. (2022). anxiety among pregnant women during the first wave of the covid-19 pandemic in poland. scientific reports, 12(1), 10–17. https://doi.org/10.1038/s41598-02212275-5 iwanowicz-palus, g., mróz, m., korda, a., marcewicz, a., & palus, a. (2022). perinatal anxiety among women during the covid-19 pandemic—a crosssectional study. international journal of environmental research and public health, 19(5). https://doi.org/10.3390/ijerph19052603 kassaeva, p., belova, e., shashina, e., shcherbakov, d., makarova, v., ershov, b., sukhov, v., zabroda, n., sriraam, n., mitrokhin, o., & zhernov, y. (2022). anxiety, depression, and other emotional disorders during the covid-19 pandemic: a narrative review of the risk factors and risk groups. encyclopedia, 2(2), 912–927. https://doi.org/10.3390/encyclopedia20200 60 kicia, m., iwanowicz-palus, g., korżyńska–piętas, m., skurzak, a., krysa, j., & szlendak, b. (2018). the selection of strategies for coping with stress at midwife and nurse's work. journal of education, health and sport., 8(3), 312–320. lequertier, b., mclean, ma, kildea, s., king, s., keedle, h., gao, y., boyle, ja, agho, k., & dahlen, hg (2022). perinatal depression in australian women during the covid19 pandemic: the birth in the time of covid-19 (bittoc) study. international journal of environmental research and public health, 19(9), 1–17. https://doi.org/10.3390/ijerph19095062 liu, j., hung, p., alberg, aj, hair, ni, whitaker, km, simon, j., & taylor, sk (2021). mental health among pregnant women with covid-19 related stressors and worries in the united states. birth, 48, 470–479. luo, m., guo, l., yu, m., jiang, w., & wang, h. (2020). since january 2020 elsevier has created a covid-19 resource center with free information in english and mandarin on the novel coronavirus covid-19 . the covid-19 resource center is hosted on elsevier connect , the company's public news and information. psychiatry research, 291(january). luong, tc, pham, ttm, nguyen, mh, do, aq, pham, lv, nguyen, hc, nguyen, hc, ha, th, dao, hk, trinh, mv, do, tv, nguyen, hq, nguyen, ttp, tran, cq, tran, kv, duong, tt, pham, hx, do, tt, nguyen, pb, … duong, t. van. (2021). fear, anxiety and depression among pregnant women during the covid-19 pandemic: impacts of healthy eating behavior and health literacy. annals of medicine, 53(1), 130 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 121-130 2120–2131. https://doi.org/10.1080/07853890.2021.20 01044 morris, jr, jaswa, e., kaing, a., hariton, e., andrusier, m., aliaga, k., davis, m., cedars, mi, & huddleston, hg (2022). early pregnancy anxiety during the covid-19 pandemic: preliminary findings from the ucsf aspire study. bmc pregnancy and childbirth, 22(1), 1–12. https://doi.org/10.1186/s12884-02204595-1 özdin, s., & bayrak özdin, ş. (2020). levels and predictors of anxiety, depression and health anxiety during the covid-19 pandemic in turkish society: the importance of gender. international journal of social psychiatry, 66(5), 504–511. https://doi.org/10.1177/002076402092705 1 puertas-gonzalez, ja, romero-gonzalez, b., mariño-narvaez, c., cruz-martinez, m., & peralta-ramirez, mi (2021). la cognitivaconductual therapy como amortiguadora de los efectos psicológicos negativos del confinamiento por la covid-19 en mujeres embarazadas. salud publica, 95(12), 10. rohmah, mk, & nurdianto, ar (2020). corona virus disease 2019 (covid-19) in pregnant women and infants: a literature review. medica hospitalia, 7(1a), 329–336. rhodes a,khireddine s,smithad.experiences, attitudes, and needs of users of a pregnancy and parenting app (baby buddy) during the covid-19 pandemic: mixed methods study. jmir mhealth uhealth. 2020 dec 9;8(12):e23157. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/3326410 0/ sianipar, k. (2018). factors affecting the level of anxiety of pregnant women in facing primigravida labor processes in independent practice midwives, bosar maligas district, simalungun regency. journal of reproductive health, 3(1), 10– 21. sukaedah, e., & fadilah, l. (2016). correlation between education level and husband's support with levels of anxiety in primigravida trimester iii mothers. journal of medicine (health information media), 3(april), 56–62. tyastuti, s. (2016). pregnancy midwifery care. ministry of health of the republic of indonesia. vindegaard, n., & benros, me (2020). since january 2020 elsevier has created a covid-19 resource center with free information in english and mandarin on the novel coronavirus covid-19 . the covid-19 resource center is hosted on elsevier connect , the company's public news and information. brain, behavior, and immunity, 89(january), 531–542. wilson, an, sweet, l., vasilenski, v., hauck, y., wynter, k., kuliukas, l., szabo, ra, homer, cse, & bradifield, z. (2022). australian women's experiences of receiving maternity care during the covid19 pandemic: a cross-sectional national survey. birth, 49, 30–39. zhoua j, havens kl, starnes cp, pickeringc ta, brito nh, hendrixe cl, thomasone me, vatalaroe tc, smith ba. (2021). changes in social support of pregnant and postnatal mothers during the covid-19 pandemic. midwifery. dec;103:103162. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/3464903 4/. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?size=100&term=rhodes+a&cauthor_id=33264100 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?size=100&term=kheireddine+s&cauthor_id=33264100 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?size=100&term=smith+ad&cauthor_id=33264100 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34649034/ https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34649034/ 265 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the analysis of exclusive breastfeeding towards the stunting cases khafifa luthfia1, rahajeng siti nur rahmawati2, eny sendra3, susanti pratamaningtyas4 1,2midwifery department, poltekkes ministry of health malang, indonesia article information abstract stunting is a condition in which a child experiences developmental delays so that their height does not match their age, due to health problems during pregnancy, illness during infancy, and long-term lack of nutrition. one of the reasons for stunting is eating unbalanced, including exclusive breastfeeding as a baby. the impact of stunting besides growth, also causes minor illnesses, impaired brain development and intelligence, in the long term it can cause decreased mental capacity, decreased immune system so that it becomes weak easily, obesity, diabetes, stroke, heart and blood vessel disease, and old age disability. the aim of this research was to analyze the history of exclusive breastfeeding for the incidence of stunting. the research design was a quantitative correlation retrospective cohort approach. a population of 100 people with a sample of 50 people was taken by using the simple random sampling technique. the research used microtoice to measure the child's height was confirmed in table z-score and interview sheets for exclusive breastfeeding data. analysis using fisher exact showed that there was a correlation between a history of exclusive breastfeeding and the incidence of stunting. based on this research, further information was needed on how to prevent stunting regarding the importance of clean and healthy life, especially for family members who smoke, because smoking had a negative impact on stunted toddler growth hormones. history article: received, 10/07/2023 accepted, 31/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: exclusive breastfeeding, stunting © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes ministry of health malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : khafifa_p17321193035@poltekkes-malang.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:khafifa_p17321193035@poltekkes-malang.ac.id 266 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 265-271 introduction stunting is a condition in which a child experiences developmental delays due to prolonged malnutrition, resulting in a height that is disproportionate to their age. stunting is a significant threat to indonesia's human resources because it not only hinders development but also makes children vulnerable to disease and causes disturbances in brain development and intelligence (ministry of health ri, 2018). the global stunting rate reached 22.2% in 2017, or around 150.8 million children under the age of five. this figure has decreased when compared to the stunting rate of 32.6% in 2000. 55% of the world's short toddlers are in asia (ri ministry of health, 2018). the 2019 indonesian nutrition status survey (ssgi) revealed that 27.7% of indonesian children were stunted. in 2021, the stunting percentage decreases to 24.4%. the percentage of stunting children in east java province had the acute and chronic categories was 26.2 percent in 2019 and 23.5 percent in 2021. the world health organization (who) stated that stunting can be categorized as a chronic public health problem if its prevalence exceeds 20%. as a result, the problem of stunting in indonesia was still a chronic problem (ri ministry of health, 2021). stunting in rural areas is higher than in the center of kediri. the stunting rate in kediri city is 15.7%, while in kediri regency is 18% (ministry of health ri, 2021). one of the areas in kediri regency that has got the most cases of stunting is keniten village. out of 493 toddlers, 14 of them are stunted. exclusive breastfeeding counseling, guidance on food for pregnant women, provision of tt for pregnant women, imd, provision of infant and child feeding (iycf), environmental sanitation improvement programs, and provision of micronutrients are some of the efforts made in east java to reduce stunting rates and improve nutrition in 1.000 first day of life (hpk) (east java health office, 2021). latifah et al., 2020, according to their research, unbalanced food intake was one of the factors causing stunting in toddlers. unequal feeding considering that breastfeeding was limited, exclusive breastfeeding had a fat, starch, mineral, and phosphorus content that suits the child's needs so that retention by the child's body will be encouraged, especially in the ability of bone development. because exclusive breastfeeding contains high levels of antibodies and calcium, it can reduce the risk of stunting. the effects of stunting in the short term can slow down mental health, knowledge, inhibited actual development, and metabolic problems in the body, and the effects of stunting in the long term can cause a decrease in mental capacity and learning achievement, reduced endurance so that you are very weak, and at high risk of causing diabetes, obesity, heart and blood vessel disease, cancer, stroke, and disability in old age (ri ministry of villages, 2017). the phenomenon of stunting can cause huge losses in child development, so the researchers decided to take the investigation of stunting in keniten village as the core area because there are stunting cases in keniten village and to figure out from a history of exclusive breastfeeding. method a quantitative correlation research design with a retrospective cohort approach was used in this type of research. the variable that was measured retrospectively was the history of exclusive breastfeeding, and the variable that had an effect in the past was the variable of stunting. this research was conducted from 8 to 10 february 2023. the research location was in keniten village, mojo, kediri. the population in this research were toddlers aged 24-37 months with a sample of 50 small children. the instruments microtoice to calculate the height were then confirmed with tablez-score, and interview sheets were used to view the history of exclusive breastfeeding. sampling technique using random (probability), sampling with technique simple random sampling (simple random sampling), followed by a statistical test using fisher exact. result general data and special data are the two types of data presented. the description of the research area, the age of the children under five, gender, phbs, and the age of the mother were included in the general data. specific data presents the incidence of stunting and a history of exclusive breastfeeding. the sub-districts in kediri regency include 26 subdistricts namely, mojo, semen, ngadiluwih, kras, ringinrejo, kandat, wates, ngancar, plosoklaten, gurah, puncu, kepung, kandangan, pare, badas, kunjang, plemahan, purwoasri, papar, plafon, kayenkidul, gampengrejo, ngasem, mostly, grogol and tarokan. keniten village is in the mojo district, kediri regency. with an area of 6.81 km2 with a population of 6773 people from 2021. the mojo health center is the closest health facility to kenitan village. the working staff are midwives, doctors, nurses, and other health workers. there are 30 cadres in keniten village to help midwives implement the posyandu program. luthfia, rahmawati, sendra, pratamaningtyas, the analysis of exclusive breastfeeding towards the stunting … 267 1) toddler table 1: frequency distribution of toddler age (month) frequency percentage 24 10 20% 25 1 2% 26 3 6% 27 2 4% 28 3 6% 29 3 6% 32 1 2% 33 1 2% 34 1 2% 35 2 4% 36 13 26% 37 10 20% total 50 100% table 1 showed that 26% toddlers were 36 months old. 2) gender table 2: frequency distribution of gender gender frequency percentage male 22 44% female 28 56% total 50 100% table 2 showed that half of the respondents was female (56%). 3) phbs table 3: frequency distribution of healthy and clean behavior phbs frequency percentage smoker 23 46% non-smoker 27 54% total 50 100% table 3 showed that 46% respondents were active smokers. 4) the age of mother table 4: frequency distribution of mother age age frequency percentage 19 1 2% 21 1 2% 22 4 8% 24 1 2% 25 2 4% 26 2 4% 27 2 4% 28 1 2% 30 3 6% 31 6 12% 32 2 4% 268 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 265-271 according table 4, frequency distribution of maternal age, it can be seen that maternal age is classified as few the age of 31 years with a presentage 12%. b. specific data 1) stunting cases table 5: frequency distribution of stunting cases case frequency percentage stunting 7 14% non-stunting 43 86% total 50 100% table 5 presented the data about the number of stunting cases (14%). 2) the history of exclusive breastfeeding table 6: frequency distribution of exclusive breastfeeding breastfeeding frequency percentage exclusive breastfeeding 42 84% non-exclusive breastfeeding 8 16% total 50 100% table 6 reported that almost all respondents had the history of exclusive breastfeeding (84%). discussion fifty people participated in the research entitled "analysis of the history of exclusive breastfeeding for stunting in toddlers age 24-37 months in keniten village, mojo district, kediri regency, east java". a. stunting cases the results of the research showed that in keniten village there were several stunting cases. out of the 50 (fifty) toddlers, 7 (seven) were stunted. out of the 7 (seven) toddlers who experienced stunting (the frequency distribution of stunting events was shown in table 5, 4 (four) of them were due to inadequate nutritional fulfillment because toddlers chose certain foods they liked, such as light snacks, eating rice, only 3-4 spoons, did not want vegetables at all, and because the family's ability to meet primary needs was lacking so that resources were not fulfilled which are family limitations which can result in unfulfilled food adequacy. the ministry of health stated in 2022 that stunting in infants was influenced by the size of the salary, a large salary makes it easier to get access to education and welfare, so that children's food intake can be better. mother's age during pregnancy was another factor that contributes to stunting, and clean and healthy behavior (phbs). according to table 4 (frequency distribution of maternal age) there were mothers under 20 years of age. maternal age at the time of diagnosis of pregnancy had a significant impact on the course of pregnancy. complications during pregnancy are more likely if the mother is younger or older during her pregnancy. pregnant women under the age of 20 are at risk of having red blood cell deficiency or anemia, impaired growth and development of the fetus, miscarriage or abortion, prematurity or low birth weight, birth defects, preeclampsia or pregnancy poisoning, and age frequency percentage 33 1 2% 34 6 12% 35 4 8% 36 2 4% 37 5 10% 39 2 4% 40 2 4% 41 2 4% 42 1 2% total 50 100% luthfia, rahmawati, sendra, pratamaningtyas, the analysis of exclusive breastfeeding towards the stunting … 269 antepartum bleeding, she will get early prenatal care (early prenatal care) less. low birth weight babies (lbw) related to teenage pregnancy and infant mortality will be caused by mothers who receive inadequate care. the majority of teenage girls who are pregnant and have a bmi lower than normal (underweight) are at risk of giving birth to lbw babies. concern about body shape during adolescence and lack of nutrition education are thought to be the root causes of low bmi in teenage pregnancy. one of the factors contributing to stunting in infants was the low maternal weight gain during pregnancy, which increased the number of premature babies (vivatkusol, y, 2017 in nurhidayati's study1 et al., 2020). according to wanimbo in 2020 concerning "correlation between maternal characteristics and baduta stunting incidents (7-24 months)", namely maternal age was related to stunting incidents because the mother's age affects the parenting style of the mother, one of which was the provision of food, (widyaningsih et al., 2018). provision of adequate nutrition begins when the fetus is in the womb, because adequate nutrition during pregnancy affects the development and growth of the fetus, if the mother lacks energy for a long time during pregnancy it will result in lbw. inadequate nutrition lasts a long time if it is continued after the baby is born it will result in malnutrition, if nutritional improvements in toddlers with malnutrition fail the incidence of illness will also increase, one of which is stunting. from the results of this research, researchers obtained family data that influenced the cases of stunting, namely phbs (clean and healthy lifestyle). in the sampling process, several houses found indications of a lack of phbs, namely almost half of the respondent's families smoked (table 4 distribution of family phbs frequency). as a result of unhealthy habits such as smoking and unhygienic feeding, higher morbidity rates could be caused by a lack of awareness regarding a clean and healthy lifestyle. children who lived with exposure to cigarette smoke which contains carbon monoxide and benzene and other dangerous active ingredients cause a decrease in the number of red blood cells and damage bone marrow cells so they are susceptible to disease. a decrease in the number of red blood cells resulted in a decrease in the amount of growth hormone and oxygen distributed throughout the body, especially in the glandular tissue. red platelets transported oxygen and supplements throughout the body (sari, 2020 in zubaidi's 2021). children who are exposed to cigarette smoke have a direct impact on their growth because cigarette smoke can affect blood vessels and spread to tissues and affect the absorption of nutrients so they experience disturbances in children, namely slowing growth and development in children. b. history of exclusive breastfeeding the results of the research table 6 (frequency distribution of exclusive breastfeeding) from 50 (fifty) respondents who gave exclusive breastfeeding there were 42 (forty-two) people or 84% and those who did not give exclusive breastfeeding were 8 (eight) people with a percentage of 16%. in the research, it was found that the majority of mothers under five gave exclusive breastfeeding (table 4.6 distribution of the frequency of exclusive breastfeeding). this was in accordance with rahmawati's research in 2013 in handayani et al., 2019 which said that under the age of 20 years were seen as still not really ready mentally and intellectually in supervising pregnancy, childbirth, and breastfeed a child with exclusive breastfeeding, at the age of 35 years or older is considered dangerous on the grounds that the actual organs of conception and the mother's strength are infinitely reduced without stopping, moreover, it can increase difficulties during pregnancy, childbirth, and the puerperium and present inherent risks to the child. the success of exclusive breastfeeding is influenced by age-related breastfeeding techniques because breast milk is the main food for babies less than 6 months old, so it plays a major role in fulfilling baby nutrition. when breast milk is not sufficient, there will be an imbalance of nutrients in the baby which can affect the nutritional status of the baby. c. correlation between the history of exclusive breastfeeding and stunting based on the results of a research of 50 (fifty) respondents, with a total of 42 (forty-two) respondents giving exclusive breastfeeding 1 (one) of them was stunted and 41 (forty-one) were normal, 8 (eight) respondents did not give exclusive breastfeeding 6 (six) of them were stunted and 2 (two) of them were normal. results of analysis of the history of exclusive breastfeeding in stunting events in keniten village, analysis probabilitas fisher exact indicated that p was less than the error rate, so h0 was rejected. moreover, the computer program 270 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 265-271 shows similar results, to precise values 0.000, meaning that there was a correlation between the history of exclusive breastfeeding and the incidence of stunting in keniten village. this was in accordance with fitri and ernita's research in 2019 concerning the correlation of exclusive breastfeeding and early mp-asi with stunting incidence in toddlers. the p value 0.000 indicated that there was a significant correlation between exclusive breastfeeding and stunting. the same findings were also addressed for latifah's research in 2020 and until 2020 regarding the correlation between exclusive breastfeeding and stunting in toddlers aged 1 to 5 years. with p value 0.000, the hypothesis that h0 was rejected indicated that there was a significant correlation between exclusive breastfeeding and stunting. according to the theory that breastfeeding in the past and nutrition during the growth period until toddlers had an effect on the incidence of stunting. conclusion based on research conducted in kenitan village, mojo kediri, the target of toddlers aged 24-37 months with a total of 50 respondents, on 8-10 february 2023, the conclusion was as followed: very few toddlers experience stunting, almost all mothers of toddlers gave exclusive breastfeeding to their toddlers and there was a correlation between the history of exclusive breastfeeding and the incidence of stunting. suggestion mothers and their families can learn about the importance of a clean and healthy life through counseling, counseling, or leaflets distributed by health workers in the health service center nearby, especially regarding family members who smoke because it has a huge impact on toddlers which results in stunted growth hormones in toddlers. for future researchers, it is expected that they can conduct research using other methods and types of research, especially subjective examinations, namely qualitative research to find out more about the correlation between exclusive breastfeeding and the incidence of stunting. acknowledgement my appreciation goes to god all-powerful for his gift all so the report on research exercises is entitled” the analysis of exclusive breastfeeding towards the stunting cases” can be settled as well as could be expected. i thusly offer my most profound thanks to: 1) director, head of midwifery division, head of study program and manager, midwifery department, poltekkes ministry of health malang, who have been offered the chance to set up this latest report, 2) the top of the magic people group wellbeing center, kediri regime, who has offered consent and the chance to direct wellbeing research, 3)all frameworks and individuals of the keniten town, magic area, kediri rule who partook in this action. funding the research entitled analysis of the history of exclusive breastfeeding for stunting cases in toddlers age 24 to 37 months in keniten village, mojo district, kediri regency, east java" is a personal research so funding is not related to sponsors or other parties. pure funding is carried out personally by researchers. conflict of interest the autors declares that there are no conflicts of interest in this research. author contribution in this research, the author as a correspondent who is responsible for the research process from conception to publication by writing articles that have been adapted to journal guidelines. reference alision, b., & dkk. (2018). a review of child stunting determinants in indonesia. maternal and child nutrition, 14(4). https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/ mcn.12617. fitri, l., & ernita. (2019). hubungan pemberian asi eksklusif dan mp asi dini dengan kejadian stunting pada balita. jurnal ilmu kebidanan, 8(1), 19– 24.https://jurnal.ikta.ac.id/kebidanan/article/ view/112. handayani, s., kapota, w. n., & oktavianto, e. (2019). hubungan status asi eksklusif dengan kejadian stunting pada batita usia 24-36 bulan di desa watugajah kabupaten gunungkidul. medika respati :jurnalilmiahkesehatan,14(4),287. https://medika.respati.ac.idindex.php/medik a/article/view/226. heuvel, meta van den.2019. metabolomics, stunting and neurodevelopment.ebiomedicine 44 (2019) 10-11. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/mcn.12617 https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/mcn.12617 https://jurnal.ikta.ac.id/kebidanan/article/view/112 https://jurnal.ikta.ac.id/kebidanan/article/view/112 https://medika.respati.ac.idindex.php/medika/article/view/226 https://medika.respati.ac.idindex.php/medika/article/view/226 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc6606741/ luthfia, rahmawati, sendra, pratamaningtyas, the analysis of exclusive breastfeeding towards the stunting … 271 pmc6606741/. ibrahim, a et all.2021. soil transmitted helminthiasis and stunting among school-aged children in ibadan: prevalence and risk factors. parasitology and parasitic infections / international journal of infectious diseases 101(s1) (2021)419–436. https://www.ijidonline.com/article/s12019712(20)31830-0/fulltext. latifah, a. m. et al. (2020). hubungan pemberian asi eksklusif dengan kejadian stunting pada balita 1-5 tahun.healthsciencesjournal,4(1),142.http s://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/hs j/article/view/131. leroy, jef l and edward a fronggillo.2019. perspective: what does stunting really mean? a critical review of the evidence. adv nutr 2019;0:1–9. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/s2 161831322003982?via%3dihub mc.donald, j. h. (2009). handbook of biological statistics. in 15th aiaa/ceas aeroacoustics conference (30th aiaa aeroacoustics conference). muslim, azdayanti et all. 2021. nutritional status, hemoglobin level and their associations with soil-transmitted helminth infections between negritos (indigenous) from the inland jungle village and resettlement at town peripheries. https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/j ournal.pone.0245377 nurhidayati1, t., rosiana, e., & rozikhan. (2020). usia ibu saat hamil dan kejadian stunting pada anak usia 1-3 tahun. the journal of the japan society for respiratory endoscopy, 37(3), 343.https://ejournal.poltekkessmg.ac.id/ojs/index.php/micajo/article/view /6491. papier, keren et all.2014. childhood malnutrition and parasitic. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc6606741/ https://www.ijidonline.com/article/s1201-9712(20)31830-0/fulltext https://www.ijidonline.com/article/s1201-9712(20)31830-0/fulltext https://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/hsj/article/view/131 https://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/hsj/article/view/131 https://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/hsj/article/view/131 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/s2161831322003982?via%3dihub https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/s2161831322003982?via%3dihub https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0245377 https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0245377 https://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/micajo/article/view/6491 https://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/micajo/article/view/6491 https://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/micajo/article/view/6491 182 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk health education on knowledge of breastfeeding mothers about the benefits of katuk leaves affected the improvement of breast milk production ita noviasari midwifery department, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract katuk leaves play a role in the prolactin reflex and stimulate the alveoli to produce breast milk, because they contain polyphenyls and steroids. it also stimulates the hormone oxytocin so that it stimulates the release of breast milk. katuk leaves also contain several aliphatic compounds. katuk leaves which can increase milk production, are thought to originate from the hormonal effects of sterol chemical compounds that are estrogenic. the type of the research was quasy experimtal design with pre-test and post-test approach. the sample was breastfeeding mothers with babies less than 2 months old. the sample was 30 respondents which were taken by the total sampling technique. the research instrument used questionnaires and leaflets. the statistical test used the shapiro wilk test with the spss 16.0 program. 50% of respondents had sufficient knowledge and 93.3% of respondents had good knowledge regarding the benefits of katuk leaves in increasing milk production. there was an effect of health education on mother's knowledge about the benefits of katuk leaves to increase milk production. history article: received, 06/07/2023 accepted, 01/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: health education, katuk leaves, breastfeeding © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : noviasariita@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p182-188 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:noviasariita@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p182-188 ita noviasari, health education on knowledge of breastfeeding mothers about the benefits of katuk … 183 introduction breastfeeding babies has many benefits. breast milk contains antibodies that can help babies become resistant to disease and boost the baby's immune system. in addition, the hormone contained in breast milk has a feeling of drowsiness and a sense of comfort so that it can help calm the baby so that he falls asleep after feeding. in addition, the benefits for mothers who breastfeed are to help reduce the mother's weight after giving birth, help the uterus quickly return to its original size and prevent bleeding (umboh et al., 2013). besides understanding the importance of breastfeeding for both mother and baby, there are various obstacles that are commonly encountered related to breastfeeding. for example, less milk production, correct lactation management, relactation, nipple abnormalities, swollen breast problems, blisters or abnormalities in the baby. even though formula milk is made so that its nutritional components are similar to breast milk, breast milk is still the right choice for both mother and baby (umboh et al., 2013). insufficient milk production is the most common inhibiting factor that causes mothers to stop breastfeeding. one of the efforts to increase milk production is by using katuk leaves (sauropus androgynous). katuk leaves contain important nutrients, namely protein, vitamin c, vitamin d, calcium, folic acid. katuk leaves contain polyphenols and steroids, which play a role in the prolactin reflex and stimulate the alveoli to produce breast milk, also stimulate the hormone oxytocin to stimulate milk production, as well as contain several aliphatic compounds (rosdianah & s, 2021). in the riskesdas report, breastfeeding patterns are grouped into three categories, namely exclusive breastfeeding, predominant breastfeeding and breastfeeding according to the who definition. factors that influence breast milk production are anatomical and physiological factors, anatomical factors including the shape of the nipple, psychological factors including baby sucking, rest, nutrition, medicines or ingredients from plants (saraung et al., 2021). the impact for breastfeeding mothers, if there is not enough breastfeeding for the baby, namely breast engorgement, mastitis and abscesses. meanwhile, in infants the impact that occurs is susceptibility to infection, diarrhea, prone to allergies, and decreased immune system. the thing that is done to help increase milk production in mothers is to recommend consuming katuk leaves by using it in a mixture of clear vegetables, boiled vegetables or mixed with steamed rice (dolang et al., 2021). based on the description in the background above, the formulation of the research problem is "is there any effect of health education on mother's knowledge about the benefits of katuk leaves to increase milk production?". the general objective of this study was to determine the effect of health education on mother's knowledge about the benefits of katuk leaves in increasing milk production. meanwhile, the specific objectives were (1) to identify mother's knowledge before giving health education on the benefits of katuk leaves, (2) to identify mother's knowledge after giving health education on the benefits of katuk leaves, (3) to analyze mother's knowledge before and after giving health education on the benefits of moringa leaves. the results of this study are expected to be a source of knowledge and a separate strategy for respondents in the knowledge gained from research on the effect of giving katuk leaves on increasing milk production. methods the design of the study was quasy experimental with one group pretest posttest approach. this design contained a pre-test before treatment and a post-test after treatment. the sample was 30 breastfeeding mothers who had babies less than 2 months old. the sampling technique used total sampling, which was a population in the research area where the number of samples taken was the same as the population. the number of the samples was 30 respondents from the entire population. the independent variable in this study is health education on the benefits of katuk leaves. the dependent variable in this study was mother's knowledge about the benefits of katuk leaves for increasing milk production. the instrument is a tool used to collect research data based on concepts, constructs, and variables (masturah & anggita, 2018). this study used questionnaires and leaflets. the researcher gave a questionnaire before the education was carried out. within 3 minutes the researcher asked the mother to collect the questionnaires. then, the researchers distributed leaflets. the next step was the researchers conducted health education to the 184 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 182-188 respondents about the benefits of katuk leaves to increase milk production. after that, researchers redistributed the questionnaire after education. in this study, the data analysis used to test the normality of the data was using the shapiro-wilk test. results from the research that has been done, the following data is obtained: 1. general data a. characteristics by age table 4.1 age distribution with a total of 30 respondents. no age frequency precentage 1 ≤ 20 years 2 7% 2 20-35 years 23 76,6% 3 ≥35 years 5 16,4% total 30 100% source: secondary data (2022) based on table 4.1 it shows that most of the respondents (76.6%) are aged between 20-35 years. b. characteristics of respondents based on education table 4.2 distribution of education with a total of 30 respondents. no education frequency precentage 1 elementary school graduate 4 13% 2 middle school graduate 3 10% 3 high school graduate 18 60% 4 academic/ college 5 17% total 30 100% source: secondary data (2022) based on table 4.2 shows that most of the respondents (60%) have high school education. c. characteristics of respondents based on work table 4.3: distribution of work with a total of 30 respondents. no occupation frequency persentage 1 housewife 20 67% 2 farmer 1 3% 3 laborer 4 self employed 7 23% 5 government employees 2 7% total 30 100% source: secondary data (2022) based on table 4.3 it shows that most of the respondents (67%) have housewife jobs. 2. special data a. health education pretest results on mother's knowledge table 4.1 pretest no the influence of health education about the benefits of katuk leaves frequency percentage 1 not enough 14 46,6% 2 enough 15 50% 3 good 1 3,4% total 30 100% based on table 4.1 it shows that half of the respondents have sufficient knowledge (50%) regarding the benefits of katuk leaves. ita noviasari, health education on knowledge of breastfeeding mothers about the benefits of katuk … 185 b. health education post test results on mother's knowledge table 4.2 post test no the influence of health education about the benefits of katuk leaves frequency percentage 1 not enough 0 0% 2 enough 2 6,66% 3 good 28 93,3% total 30 100% based on table 4.2 it shows that almost all respondents have good knowledge (93.3%) regarding the benefits of katuk leaves. c. the effect of health education about the benefits of katuk leaves on increasing milk production table 4.3 comparison of respondents' knowledge about the benefits of katuk leaves on increasing milk production before and after being given health education in jatinom hamlet, kanigoro district. no the influence of health education about the benefits of katuk leaves prior to health education after health education 1 not enough 46,6% 0% enough 50% 6,66% 3 good 3,4% 93,3% total 100% 100% shapiro wilk p value: 0.000 based on table 4.3, it shows that there was an increase in the percentage of the influence of health education, the increase was due to the large number of respondents, most of whom (60%) had high school education, and were given health education about the benefits of katuk leaves before being given health education, respondents with good knowledge were only 3.4 % and rose to 93.3% after being given health education. and the results of the respondent's knowledge research are categorized as good. based on the shapiro wilk statistical test, it was found that p value = 0.000, so that p value = 0.000 < α = 0.05, which means that it shows the influence of health education about the benefits of katuk leaves on increasing milk production. discussion 1. knowledge of respondents before being given health education on the benefits of katuk leaves to respondents. based on research conducted in jatinom hamlet before being given health education about the benefits of katuk leaves to increase the weight of children aged 1-3 years, it was found that 46.6% had knowledge related to the benefits of moringa leaves in the less category. the current condition of the community is very lack of knowledge about the benefits of katuk leaves. katuk leaves themselves have a content that is good enough to increase milk production. in this modern era, there are many types of food that can be obtained by the community, so the popularity of katuk leaves among the public is not known. based on the questionnaires distributed, the majority (67%) of the respondents had jobs as irt. it is possible that the respondent has less knowledge due to the activities of the mother who is only at home, so that the mother does not get information that the respondent can get through colleagues / where the mother works. based on research conducted by juliastuti states that work is a factor that influences knowledge (juliastuti, 2019). judging from the type of work that often interacts with other people, they have more knowledge when compared to people who do not interact with other people. learning experiences at work that are developed to provide professional knowledge and skills as well as learning experiences at work will be able to develop the ability to make decisions which are the integration of scientific and ethical reasoning. atuk plants that grow a lot around their homes tend to be ignored by some people because they are considered old food and less modern. it is this view that makes katuk plants begin to be 186 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 182-188 abandoned by the community and tend to be considered old-fashioned plants that are ancient and not modern. 2. knowledge of respondents after health education on the benefits of katuk leaves before health education was carried out on respondents based on research conducted in jatinom hamlet before being given health education about the benefits of katuk leaves for increasing breast milk production, it was found that 93.3% had high knowledge after being given education. this result increased from before being given health education, namely from 3.4%. whereas for mothers who had less knowledge, which was originally 46.6%, there were no respondents who had less knowledge. providing health education to respondents using leaflets is a fairly effective way to increase knowledge of respondents. in addition, the availability of katuk leaves which are easy to find around the respondents makes respondents more interested in utilizing them, the health education provided to respondents and the leaflets provided make respondents have sufficient knowledge to utilize katuk leaves. this is due to the fact that most of the respondents, 76.6%, are aged 20-35 years so that with a mature age, the respondents can receive health education that has been given well received. according to juliastuti states that age affects the comprehension and mindset of a person as they get older they will develop more, their comprehension and mindset so that the knowledge obtained is getting better.(juliastuti, 2019). in line with research conducted by soka dkk that according to researchers, health education media in the form of leaflets can affect the level of knowledge (soka et al., 2010) this is because there is information that supports the utilization of katuk leaves. this is supported by theory what notoadmodjo conveyed is that knowledge can be obtained from other information such as counseling, radio, tv, internet etc. this information can be used as a provision for mothers to care for their toddlers in everyday life. can be interpreted as a person's point of view after gaining knowledge either directly or indirectly. providing formal and informal information can increase knowledge (notoadmodjo, 2011). providing leaflet media is one of the provision of non-formal information that is often used in health education. leaflet media can be obtained easily and effectively used as information media. as information media, images or photos must be selected or used in accordance with the stated purpose, (purimahua et al., 2020) based on this research, leaflet media is effective for increasing knowledge. 3. the effect of health education about the benefits of katuk leaves on increasing milk production. shapiro wilk's results show a p value = 0.000 so that a p value = 0.000 0.05) for the pre-test and 0.230 (>0.05) for the post-test. statistical analysis using a t-test at a 95% confidence level and α = 0.05 revealed a p-value of 0.000 (<0.05), indicating the influence of lemon aromatherapy on emesis gravidarum in pregnant women during the first trimester at klinik bidan rosita, desa pasar senin, jambi province in 2020. the study also showed a decrease in the level of emesis gravidarum, where out of 15 participants, one experienced mild emesis gravidarum with a score of 6 reduced to 3, 13 participants had their moderate emesis gravid arum scores of 7-12 reduced to mild emesis gravid arum scores of ≤6, and one participant maintained a moderate level of emesis gravidarum. in the study by septiwiyarsi et al. (2022), the intervention involved placing a solution of 2-3 drops of lemon aromatherapy on a tissue and placing it on the respondent's chest. this process was performed for approximately 20 minutes, replacing the tissue every 10 minutes. the paired t-test resulted in a p-value of 0.000 when compared to α = 0.05, indicating that the p-value < α, leading to the acceptance of the alternative hypothesis (ha) and the rejection of the null hypothesis (ho). rika yusnia et al. (2023) conducted a study where the application of lemon aromatherapy for 5 minutes over 4 days resulted in a decrease in puqe-24 scores, shifting from the category of moderate nausea and vomiting to mild. mathoriyah et al (2019) administered 2 drops of lemon essential oil to a tissue, which the respondents inhaled for 3 breaths each time they felt nauseous. this intervention was performed three times a day for 4 days. the average severity of nausea and vomiting before the administration of lemon aromatherapy was 286 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 280-287 8.7, while the average severity after administration was 6.4. the study showed an influence of lemon aromatherapy on emesis gravidarum in pregnant women during the first trimester at puskesmas wonogiri, with a p-value of 0.000. nurulicha et al. (2019) conducted an intervention involving inhalation aromatherapy with lemon for four consecutive days, performed by each respondent in their own homes. the procedure involved placing 23 drops of lemon essential oil on a tissue or cotton ball, inhaling the aromatherapy for three breaths, and repeating the process after 5-10 minutes if the mother still experienced nausea and vomiting. this was done until nausea and vomiting were no longer experienced in the morning. out of the 10 reviewed journals, 5 of them described the equipment, materials, and required duration of the interventions. one journal only mentioned the duration of the study, while 4 journals did not specify the equipment, materials, and time required for implementation. from the review of 10 journals, it was found that 5 journals described the equipment such as a small towel, tissue, or cotton, and then the materials needed such as 2-5 drops of lemon essential oil aromatherapy, and the required time which is 5-10 minutes for 4 days 1 week, 1 journal only mentioned the duration of the study, and 4 journals did not specify the equipment, materials, and implementation time. therefore, the author assumes that the administration of 2-3 drops of lemon aromatherapy for 5 minutes, once a day, for one week, is effective in reducing the frequency of nausea and vomiting in first-trimester pregnant women. conclusion when given lemon aromatherapy, nausea and vomiting cannot be completely resolved because giving lemon aromatherapy is one of the preventive measures, but based on the results of a review of giving lemon aromatherapy as much as 2-3 drops for 5 minutes which is done once a day in one week effectively reduces the frequency of nausea vomiting in first first-trimester women. suggestion with the literature review that has been done, it is hoped that this can be information and reference for the learning process and material that can be the basis for further research by trying various other aromatherapies to be more varied which are equally effective in reducing the frequency of nausea and vomiting in first-trimester pregnant women so that better results can be obtaine. acknowledgement the author would like to express the utmost gratitude to bunda auni midwifery academy for their full support throughout the process of writing this literature review. special thanks are also extended to the supervisor for providing valuable input that has enhanced the quality of this writing. funding all authors collectively funded this research and supported by bunda auni midwifery academy. conflicts of interest the author declares no conflict of interest. other than the authors, no external funders are involved in the manuscript writing and publication decision. author contributions author 1 was responsible for coordinating the progress of writing, participating in the research implementation, and publishing the journal article. authors 2, 3 and 4 contributed to the compilation of the report and journal publication. refferences fitria, a., prawita, a. a., & yana, s. (2021). pengaruh aromaterapi lemon terhadap emesis gravidarum trimester i. jurnal bidancerdas,3(3),96–102. https://doi.org/10.33860/jbc.v3i3.445 ginting, a. k., & melinda, f. (2022). mengurangi emesis gravidarum pada ibu hamil trimester 1 the effect of giving lemon aromatherapy in reducing emesis gravidarum in the 1 st trimester of pregnancy. 13(02), 170–176. kresna wati, p., dewi susanti, v., & br karo, m. (2021). pengaruh aromaterapi lemon mual muntah pada ibu hamil trimester 1 di klinik paramitra the effect of lemon aromatherapy, nausea and vomiting on trimester i pregnant women in paramitra clinic. placentum jurnal ilmiah kesehatan dan aplikasinya, 9(2), 2021. kusuma wardani, p., mukhlis, h., & pratami, r. (2019). pengaruh essensial lemon terhadap emesis gravidarum pada pada ibu trimester i di kecamatan natar kabupaten lampung selatan. wellness and healthy magazine, 1(2),131–138. https://wellness.journalpress.id/wellness/arti cle/view/v1i218wh. diakses 26 april 2021 mudarris, julaila, muthitulsalimah, rahmadi, lemon aromatherapy affected the emesis gravidarum in first … 287 mathoriyah;, l. (2019). pengaruh akupresur dengan aromaterapi lemon terhadap emesi gravidarum pada ibu hamil trimesteri. 18–25. http://123.231.148.147:8908/index.php?p=s how_detail&id=19691&keywords= nurulicha, & aisyah, s. (2019). the influence of lemon inhalation on reduction of. journal kesehatan indra husada, 8(1), 157–165. putri, r. d., astriana, a., natalia, d. a., & sari, n. e. (2022). giving aromatherapy combination of lemon and peppermint affects the intensity of nausea and vomiting in pregnant women in trimester i. jurnal kebidanan malahayati, 8(2), 306– 315. https://doi.org/10.33024/jkm.v8i2.4892 putri, y., & situmorang, r. b. (2020). efektifitas pemberian aromaterapi lemon terhadap penurunan frekuensi emesis gravidarum pada ibu hamil trimester i di bpm indra iswari, sst, skm, mm kota bengkulu. journal of midwifery, 8(1),44–50. https://doi.org/10.37676/jm.v8i1.1044 santi, d. s. (2013). pengaruh aromaterapi blended peppermint dan ginger oil terhadap rasa mual pada ibu hamil trimester satu di puskesmas rengel kabupaten tuban. jurnal sains medika, 5(2),52–55. https://www.kopertis7.go.id/uploadjurnal/d wi_rukma_santi_stikes_nu_tuban.pdf somoyani, n. k. (2018). literature review: terapi komplementer untuk mengurangi mual muntah pada masa kehamilan. jurnal ilmiah kebidanan, 8(1), 10–17. widatiningsih, s., sukini, t., kebidanan, p., poltekkes, m., & semarang, k. (2019). efektivitas aromaterapi lemon untuk mengatasi emesis gravidarum pendahuluan. 9–16. yusnia, r., kesumadewi, t., dewi, n. r., dharma, a. k., & metro, w. (2023). penerapan inhalasi aromaterapi lemon terhadap mual dan muntah (emesis gravidarum) pada ibu hamil trimester i di wilayah kerja puskesmas ganjar agung kota metro tahun 2022 implementation of of inhalation of lemon aromatherapy on nausea and vomiting (emesis. jurnal cendikia muda, 3(4), 2023. justina 2020. (2020). pengaruh pemberian aroma terapi lemon elektrik terhadap mual dan muntah pada ibu hamil trimester i. maternal child health care, 2(1), 1–10. http://www.kopertis7.go.id/uploadjurnal/d http://www.kopertis7.go.id/uploadjurnal/d 100 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk tripod position and pursed lip breathing on respiration rate in copd patients lutfi wahyuni1, catur prasastia lukita dewi2 1,2nursing department, universitas bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract many people with copd develop emphysema and chronic bronchitis. both conditions cause obstruction of airflow in the respiratory system and cause an increase in the frequency of external respiration. one of the non-pharmacological management is tripod position and pursed lip breathing. this study aimed to determine the effect of giving a tripod position and pursed lip breathing on respiration rate in copd patients. the design of this study used a one group pretest-post test design. the population in this study were all copd patients at bangil hospital, pasuruan in june 2021. the sampling technique of this study was consecutive sampling, the sample was obtained by 25 respondents. the instrument used observation and sop. the results showed that the average respiration rate before giving the combination of tripod position and pursed lip breathing was 28.8x/minute, and the average value of respiration rate after giving the tripod position and pursed lip breathing was 23.2x/minute. wilcoxon test results value = 0.000 on respiration rate before and after the combination of tripod position and pursed lip breathing, which means that tripod position and pursed lip breathing are proven to be effective on respiration rate in copd patients. tripod position and pursed lip breathing will loosen the chest cavity, provide positive pressure on the lungs so that air can go in and out more smoothly and reduce shortness of breath. history article: received, 22/11/2022 accepted, 24/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: copd, respiration rate, pursed lip breathing, tripod position © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : caturdewi86@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p100-107 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:caturdewi86@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p100-107 wahyuni, dewi, tripod position and pursed lip breathing on respiration rate in copd … 101 introduction chronic obstructive pulmonary disease (copd), can have a wide impact if not treated immediately. copd patients will experience dyspnea (shortness of breath) due to airway obstruction due to inflammation which causes alveolar hypoventilation and weakened bronchial walls and alveolar damage (fernandez, 2018). the action taken is the provision of non-pharmacological therapy, namely breathing exercises and positioning. breathing exercises, namely, deep breathing exercises, diaphragmatic breathing exercises, for positioning exercises include the semi-fowler position (roberts, schreuder, watson, & stern, 2017). giving the body position with a tripod position will affect the strength of the inspiratory muscles and can reduce dyspnea because this position helps improve lung function (suyanti, 2016). in addition to body position, breathing exercises also affect the respiration rate of copd patients. one of the independent therapies that can be given is pursed lip breathing. pursed lip breathing (plb) is recommended to help a person control their breathing. this breathing is indicated because it can create a resistance to the air coming out of the lungs, which then increases the pressure on the bronchi (main airways of air) and further minimizes the collapse of the narrower airways, which is a major problem in people with copd (pamungkas et al., 2016). chronic obstructive pulmonary disease (copd) is a major global public health problem because of its high prevalence, morbidity and mortality (handa et al., 2018). copd is mostly caused by smoking and long-term exposure to chemical irritants. it is characterized by progressive, partially reversible airflow obstruction and pulmonary hyperinflation with significant extrapulmonary (systemic) manifestations. the most common forms of copd are emphysema and chronic bronchitis. many people with copd experience both conditions. emphysema slowly destroys the air sacs in the lungs, which interferes with the flow of air out while, bronchitis causes inflammation and narrowing of the bronchial tubes, which allows mucus to build up. both of these conditions cause obstruction of air flow in the respiratory system and cause breathing problems (prasad, 2020). copd patients will experience shortness of breath so that they experience an increase in the frequency of external respiration (pamungkas et al., 2016). the results of the study (cabral et al., 2015) at clementino fraga filho university hospital rio de janeiro showed that copd patients at rest had an average rr of 19x/minute, whereas after using pursed lip breathing it became 15x/minute, during activity the rr was 33x /minute, whereas after using pursed lip breathing it becomes 32x/minute. this is also supported by research (roberts et al., 2017) in london which showed that after the first pursed lip breathing, the rr of copd patients decreased by an average of 7x/minute (between 1-13x/minute) while after being taught for a long period of time. for a long time (6-24 months), the rr of copd patients decreased by an average of 8x/minute (between 316x/minute). this shows that by using pursed lip breathing, the rr of copd patients has decreased. the results of the study (susilowati et al., 2019) the respiratory rate before the treatment was carried out on the patient's average breathing on the tripod position was 33.18x/minute, while the average breathing after the treatment was carried out the average breathing of the patient on the tripod position was 29.47x /minute. research conducted by sri suyanti in 2016 showed that there was an effect of tripod position on respiratory frequency in copd patients (suyanti, 2016). based on a preliminary study, there were approximately 4 patients with a doctor's diagnosis of copd who came to the er at bangil hospital on november 22 – november 30, 2020. the results of interviews with copd patients found that 4 people (100%) experienced shortness of breath and breathed quickly (rr > 20 times/minute) to reduce the feeling of shortness of breath, the patient only relies on drugs from the doctor, does not make other non-pharmacological efforts to reduce the frequency of his breath. in general, the positioning of patients in the er at bangil hospital in dyspnea conditions is only done in an upright sitting position (high fowler position), and half sitting (semi-fowler position), but never using a tripod position and pursed lip breathing is also not done. after that the patient is monitored rr with a bedsite monitor. method the design of the study was a pre-experimental type of experimental research with a one group pretest-post test design approach, namely experiments carried out in only one group without a comparison group (control). this model already uses a pretest (pretest) so that the magnitude of the effect (posttest) from the experiment can be known with 102 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 100-107 certainty (notoatmodjo, 2016). the population in this study was all copd patients at bangil hospital pasuruan in june 2021. the sampling technique in this study was consecutive sampling. in consecutive sampling, sampling is carried out based on research criteria within a certain time so that the number of samples is met (hidayat, 2015). the sample used in this study was 25 people of copd patients at bangil hospital, pasuruan. the independent variable was giving tripod position and pursed lip breathing, while the dependent variable was respiration rate. the instruments in this study were observation sheets for respiration rate and sop tripod position and pursed lip breathing. results 1. general data characteristics of respondents based on cramine, age and comorbidities table 1: frequency distribution by gender, age and comorbidities characteristics of respondents frequency presentase (%) gender male 22 88.0 female 3 12.0 age 36 – 45 years 4 16.0 46 – 55 years 11 44.0 56 – 65 years 10 40.0 co-morbidities dm 13 52.0 hypertension 1 4.0 there isn't any 11 44.0 total 25 100 table 1 shows that all respondents experienced a decrease in respiration rate after giving a combination of tripod position and pursed lip breathing (negative ranks). the results of the normality test show that the p value of the data <0.05 means that the data distribution is not normal, so the statistical test used is the wilcoxon test. wilcoxon test results showed value = 0.000 in respiration rate before and after giving a combination of tripod position and pursed lip breathing, this proves that giving a combination of tripod position and pursed lip breathing proved effective on respiration rate in copd patients at bangil hospital. 2. special data 1. respiration rate before giving the combination of tripod position and pursed lip breathing table 2: descriptive statistics of respiration rate before giving the combination of tripod position and pursed lip breathing n minimum maximum mean std deviation pretest rr 25 26 32 28,80 1,915 pretest spo2 25 90 94 92,04 1,338 based on table 2, it shows that the average respiration rate before the combination of tripod position and pursed lip breathing was 28.8x/minute with the highest value of 32x/minute and the lowest of 26x/minute and the standard deviation of 1,915, while the average oxygen saturation was 1,915. 92.04% with the highest value of 94% and the lowest value of 90% and a standard deviation of 1.338. 2. respiration rate after giving the combination of tripod position and pursed lip breathing table 3: descriptive statistics of respiration rate after giving the combination of tripod position and pursed lip breathing n minimum maximum mean std deviasion posttest rr 25 20 26 23,20 1,633 posttest spo2 25 93 97 95,32 1,282 table 3 shows that the average respiration rate after giving a combination of tripod position and pursed lip breathing is 23.2x/minute with the highest value 26x/minute and the lowest 20x/minute and standard deviation of wahyuni, dewi, tripod position and pursed lip breathing on respiration rate in copd … 103 1,633, while the average oxygen saturation is 95 .32% with the highest value of 97% and the lowest value of 93% and the standard deviation of 1.282. 3. effect of tripod position and pursed lip breathing combination on changes in respiration rate table 4: effect of tripod position and pursed lip breathing combination on respiration rate n mean rank sum of ranks posttest rr – negative ranks 25 a 13.00 325.00 pretest rr positive ranks 0b .00 .00 ties 0c total 25 a. posttest rr < pretest rr b. posttest rr > pretest rr c. posttest rr = pretest rr table 4. shows that all respondents experienced a decrease in respiration rate after giving a combination of tripod position and pursed lip breathing (negative ranks). the results of the normality test show that the p value of the data <0.05 means that the data distribution is not normal, so the statistical test used is the wilcoxon test. wilcoxon test results showed value = 0.000 in respiration rate before and after giving a combination of tripod position and pursed lip breathing, this proves that giving a combination of tripod position and pursed lip breathing proved effective on respiration rate in copd patients at bangil hospital. discussion respiration rate before giving tripod position and pursed lip breathing combination at bangil hospital the results in table 2 show that the average respiration rate before the combination of tripod position and pursed lip breathing was 28.8x/minute with the highest value 32x/minute and the lowest 26x/minute and a standard deviation of 1,915. factors that affect the speed of respiratory frequency are age where the older you get, the intensity of breathing will decrease, gender, where women's breathing tends to be faster than men's breathing, body temperature where the higher the body temperature (fever) the respiratory frequency will be faster and body position, activity (giovani, 2019). according to (tarwoto et al., 2015) many factors affect respiratory function, for example those related to the ability to expand the lungs and diaphragm, the ability to transport or perfusion. according to the researchers, the high respiration rate that is classified as tachypnea in copd patients is caused by obstruction and restriction of the lungs so that it is difficult for air to enter the lungs due to narrowing of the airways, and when air enters the lungs, it will be difficult to expel due to decreased lung expansion. therefore, copd patients will try to meet their oxygen needs by increasing the respiratory rate. respiratory rate after giving tripod position and pursed lip breathing combination at bangil hospital the results of the study in table 3 show that the average respiration rate before giving the combination of tripod position and pursed lip breathing was 23.2x/minute with the highest value being 26x/minute and the lowest being 20x/minute and a standard deviation of 1.633. giving the body a tripod position will affect inspiratory muscle strength and can reduce dyspnea because this position helps improve lung function (suyanti, 2016). in addition to body position, breathing exercises also affect the respiration rate of copd patients. one of the independent therapies that can be given is pursed lip breathing. pursed lip breathing (plb) is recommended to help someone control their breathing. this breathing is indicated because it can create a resistance to the air coming out of the lungs, which then increases the pressure on the bronchi (the main airways) and further minimizes the collapse of narrower airways, which is a major problem in copd sufferers (soeroto & suryadinata, 2014). researchers do not use categories in the respiration rate variable, because if you use categories, the effect of decreasing frequency will not be seen, because the reduction in respiration rate. 104 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 100-107 effect of tripod position and pursed lip breathing combination on respiration rate in copd patients the results in table 3 show that all respondents experienced a decrease in respiration rate after giving a combination of tripod position and pursed lip breathing (negative ranks). the results of the normality test show that the p value of the data <0.05 means that the data distribution is not normal, so the statistical test used is the wilcoxon test. wilcoxon test results showed value = 0.000 in respiration rate before and after the combination of tripod position and pursed lip breathing, which means that the combination of tripod position and pursed lipbreathing proved effective on respiration rate in copd patients at bangil hospital. these results are in accordance with research conducted (roberts et al., 2017) in london which showed that after the first pursed lip breathing, the rr of copd patients decreased by an average of 7x/minute (between 1-13x/minute) while after being taught in for a long period of time (6-24 months), the rr of copd patients decreased by an average of 8x/minute (between 3-16x/minute). this shows that by using pursed lip breathing, the rr of copd patients has decreased. this result is also supported by research studie (susilowati et al., 2019) the respiratory rate before the treatment is carried out on the patient's average breathing on a tripod position, which is 33.18x/minute, while the average breathing after treatment is the patient's average breathing on a tripod. position is 29.47x/minute. the tripod position increases intra-abdominal pressure and decreases pressure on the diaphragm against the abdominal cavity during inspiration, with the shoulder supported by muscles (such as the pectoralis major and minor muscles) contributing significantly to rib development. rib development with arms and head supported contributes to inspiration. the activity of the scalene and strenocleidomastoid muscles increased significantly in the forward leaning position with the arm supported on the thigh or arm supported by the head compared to the neutral position. several mechanisms that can be explained from these results are restriction of diaphragm movement, increasing intra-abdominal pressure by bringing the bones closer together the ribs to the pelvis and this increased abdominal pressure make it difficult for the diaphragm to push the abdomen backward during inspiration, with the return of muscle activity to strength maintained by the hands supported by the face/head and arms supported by the thighs and stabilization of the hands and arms of the sternum, clavicle and ribs. the ribs can be pulled up by the scalene and sternocleidomastoid muscles (kim et al., 2015). pursed lip breathing can create a resistance to air coming out of the lungs, which then increases the pressure on the bronchi (main air passages) and further minimizes the collapse of the narrower airways (pamungkas et al., 2016). through this technique, the air that comes out will be blocked by both lips, which causes more positive pressure in the oral cavity. this positive pressure will spread into the narrowed airway and is useful for maintaining the airway to remain open. with the opening of the airway, air can exit easily through the narrowed airway and easily affects the strength of the respiratory muscles to reduce shortness of breath so that the frequency of breathing decreases (isnainy & tias, 2020). all respondents experienced a decrease in respiration rate between 4-6x/minute. there is no respondent who does not experience a decrease in respiration rate so that the combination of tripod position and pursed lip breathing is effective in reducing copd patients. this is because the two measures, namely tripod position and pursed lip breathing, are nonpharmacological methods to increase lung expansion, so that when combined, the effect will be stronger. this difference in the decrease in respiration rate can be caused by differences in the accuracy of respondents when doing pursed lip breathing, respondents who can do it correctly will get better results in lowering the respiration rate. conclusion respiration rate in copd patients at bangil hospital the average respiration rate before giving tripod position and pursed lip breathing was 28.8x/minute and after giving a combination of tripod position and pursed lip breathing was 23.2x/minute. wilcoxon test results showed value = 0.000 in respiration rate before and after administration of a combination of tripod position and pursed lip breathing which proved effective for copd patients. tripod position and pursed lip breathing will loosen the chest cavity, provide positive pressure on the lungs so that air can go in and out more smoothly and reduce shortness of breath. wahyuni, dewi, tripod position and pursed lip breathing on respiration rate in copd … 105 suggestions combination of tripod position and pursed lip breathing for copd patients can be routinely done 3 times a day to stabilize the breathing rate of copd patients. making the combination of tripod position and pursed lip breathing as one of the adjuvant therapies to reduce respiration rate for patients with respiratory system disorders. carrying out research development related to copd disease and can be beneficial for the development of nursing knowledge such as the influence of other non-pharmacological methods to reduce respiration rate in copd patients. acknowledgement the researcher would like to thank profusely to: director of bangil hospital who has given permission to researchers to conduct preliminary studies and research. dr. ivan rovian as chancellor of the regency ppni healthy bina university who provided opportunities for researchers. nurse friends in the emergency room at bangil hospital who assisted in this research funding funding for this research was obtained from the institute for research and community service (lppm) stikes bina sehat ppni mojokerto. as a 2022 funding internal grant conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. author contributions in this study the first author as a correspondence author who is responsible for the research process to publication by writing articles that have been adjusted to journal guidelines. the second author assisted in the research process and data analysis. the third author helps research in the data collection process. refference a.wisman, b., mardhiyah, r., & tenda, e. d. (2015). pendekatan diagnostik dan tatalaksana penyakit paru obstruktif kronik gold d: sebuah laporan kasus. indonesian journal of chest, 2 no.4, 180–190. ajay handa, sahajal dhooria, inderpaul singh sehgal, & ritesh agarwal. (2018). primary cavitary sarcoidosis: a case report, systematic review, and proposal of new diagnostic criteria. lung india, 35(1), 41–46. https://doi.org/10.4103/lungindia.lungind ia arikunto suharsimi. (2013). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta, p. 172. retrieved from http://r2kn.litbang.kemkes.go.id:8080/ha ndle/123456789/62880 asmadi. (2018). teknik prosedural keperawatan konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. jakarta: salemba medika. bakhtiar, a., & amran, w. s. (2019). faal paru statis. jurnal respirasi, 2(3), 91. https://doi.org/10.20473/jr.v2i.3.2016.91-98 berman, a., snyder, s. j., & frandsen, g. (2016). kozier and erb’s fundamentals of nursing concepts, process, and practice (tenth edit). jakarta: egc. bhatt, s. p., guleria, r., luqman-arafath, t. k., gupta, a. k., mohan, a., nanda, s., & stoltzfus, j. c. (2019). effect of tripod position on objective parameters of respiratory function in stable chronic obstructive pulmonary disease. the indian journal of chest diseases & allied sciences, 51(2), 83–85. https://doi.org/10.1378/chest.132.4_mee tingabstracts.610b bozarth, a. l., covey, a., gohar, a., & salzman, g. (2014). chronic obstructive pulmonary disease: clinical review and update on consensus guidelines. hospital practice (1995), 42(1), 79–91. https://doi.org/10.3810/hp.2014.02.1095 cabral, l. f., d’elia, t. d. c., marins, d. d. s., zin, w. a., & guimarães, f. s. (2015). pursed lip breathing improves exercise tolerance in copd: a randomized crossover study. european journal of physical and rehabilitation medicine, 51(1), 79–88. 106 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 100-107 retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24 691248 curtis, k., ramsden, c., shaban, r., fry, m., & considine, j. (2019). emergency and trauma care for nurses and paramedics. chatswood: elsevier australia. ealias, j., & babu, b. (2016). effectiveness of pursed lip breathing exercise on selected physiological parameters among copd patients. international journal of science and research (ijsr), 5(5), 19–22. https://doi.org/10.21275/v5i5.nov16321 0 fernandez, g. j. (2018). tinjauan kepustakaan sistem pernapasan. journal of chemical information and modeling, 53(9), 1689– 1699. retrieved from http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/20418/1/ 1267ef1a6941f10cd436af892efd71b1.pdf giovani, p. s. (2019). rumus pocket biologi. jakarta: grasindo. hidayat, a. a. (2014). metode penelitian keperawatan dan tenik analisis data. jakarta: salemba medika. hidayati, a. n., akbar, m. i. a., & rosyid, a. n. (2018). gawat darurat medis dan bedah. surabaya: universitas airlangga press. muttaqin, a. (2015). buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan sistem pernafasan. jakarta: salemba medika. notoatmodjo, s. (2016). metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. isnainy, u. c. a. s., & tias, s. a. (2020). pengaruh posisi condong kedepan dan terapi pursed lips breathing terhadap derajat sesak napas penderita penyakit paru obstruktif kronik (ppok). holistik jurnal kesehatan, 13(4), 389–395. https://doi.org/10.33024/hjk.v13i4.1670 kim, k. s., byun, m. k., lee, w. h., cynn, h. s., kwon, o. y., & yi, c. h. (2016). effects of breathing maneuver and sitting posture on muscle activity in inspiratory accessory muscles in patients with chronic obstructive pulmonary disease. multidisciplinary respiratory medicine, 7(1), 1–6. https://doi.org/10.1186/20496958-7-9 pdpi. (2015). chronic obstructive pulmonary disease (copd). pedoman diagnosis & penatalaksanaan di indonesia. ratnaningtyassih, arif, s., & pamungkas. (2016). efektifitas pursed lip breathing dan deep breathing terhadap penurunan frekuensi pernapasan pada pasien ppok di rsud ambarawa. jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan (jikk), 5(1), 1–7. rehatta, m. (2015). pedoman keterampilan medik 1. surabaya: universitas airlangga press. roberts, s. e., schreuder, f. m., watson, t., & stern, m. (2017). do copd patients taught pursed lips breathing (plb) for dyspnoea management continue to use the technique long-term? a mixed methodological study. physiotherapy (united kingdom), 103(4), 465–470. https://doi.org/10.1016/j.physio.2016.05. 006 setiadi. (2015). konsep dan praktik penulisan riset keperawatan (edisi 2). jakarta: graha ilmu. smeltzer, s. . (2016). buku saku ilmu keperawatan medikal bedah. egc. smeltzer, s., & bare, b. (2015). keperawatan medikal bedah brunner & suddarth. jakarta: egc. soeroto, a. y., & suryadinata, h. (2014). penyakit paru obstruktif kronik. ina j chest crit and emerg med \ vol. 1, no. 2 \ june august 2014, 1(2), 83–84. sugiyono. (2016). metode penelitian kuantitatif dan kualitatif r & d. alfabeta. susilowati, agustin, w. r., & kanita, m. w. (2019). perbedaan tripod position dan respiratory muscle exercises terhadap frekuensi pernapasan dan saturasi oksigen pada pasien ppok di ruang igd rsud dr soediran mangun sumarso wonogiri. jurnal keperawatan universitas kusuma husada surakarta, 31, 1–15. suyanti, s. (2016). pengaruh tripod position terhadap frekuensi pernafasan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (ppok) di rsud dr. soediran mangun sumarso. pengaruh tripod position terhadap frekuensi pernafasan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (ppok) di rsud dr. soediran mangun sumarso. tarwoto, aryani, r., & wartonah. (2015). anatomi dan fisiologi untuk mahasiswa keperawatan. jakarta: trans info media. wahyuni, dewi, tripod position and pursed lip breathing on respiration rate in copd … 107 uyainah, a. (2014). update knowledge in respirology. indonesian journal of chest, 1, 35–38. vestbo, j., hurd, s. s., agustí, a. g., jones, p. w., vogelmeier, c., anzueto, a., … rodriguez-roisin, r. (2013). global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease gold executive summary. american journal of respiratory and critical care medicine, 187(4), 347–365. https://doi.org/10.1164/rccm.2012040596pp. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 232 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 232–236 232 pengaruh massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala 1 fase aktif (the effectiveness of lumbal massage to the decrease of maternal pain intensity in the active phase in stage 1) vitri verin1, laily prima monica2 1praktisi kebidanan 2stikes patria husada blitar email: laily_prima@yahoo.com abstract: the lumbar massage can decrease pain intensity in the childbirth, because it can helping medical patient feel fresh, relax and comfortable. method: this research used pre experimental design with ” one group pratestpost test design. the population of the research was the medical patient at the first period phase active in the region of puskesmas slumbung kec.gandusari kab.blitar. this statistical test using wilcoxon and spss for windows. result: the result of the experiment showed there was an effect of the lumbar massage to the decrease of the pain intensity of medical patient at the first period phase. based on the table of 4.6 showed that there was reduction percentage intensity pain childbirth before an after give lumbar massase, it was serious pain from 87,5% to be 25%. there was a reduction in pain intensity in childbirth to be medium intensity pain 75%. it showed the reduction from high to low. based on statistical test wlicoxon signed rank test was obtained p value = 0.008, so the p value = 0,008 < = 0.05, indicated an effect of lumbar massage to the decrease of maternal pain intensity in the first stage of the active phase. result: with the lumbar massage expected to be an alternative to reduce pain during childbirth. keywords: massase lumbar, pain intensity decrease abstrak: terjadinya stress dalam persalinan timbul rasa nyeri saat persalinan ,ini menunjukkan semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami seseorang. perlakuan massase lumbal akan mengurangi intensitas nyeri persalinan karena dapat membantu ibu merasa lebih segar,rileks dan nyaman. design penelitian ini menggunakan pre eksperimental design dengan rancangan one group pratest-pos test design. populasinya adalah ibu bersalin kala 1 fase aktif di wilayah puskesmas slumbung kecamatan gandusari kab.blitar. uji statistik ini menggunakan wilcoxon. hasil penelitian didapatkan ada pengaruh massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala 1 fase aktif. berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan adanya penurunan prosentase intensitas nyeri persalinan sebelum dan setelah diberikan massase lumbal yaitu dari nyeri berat dari 87,5% menjadi 25%. ada penurunan intensitas nyeri persalinan menjadi intensitas nyeri sedang sebanyak 75%. hal ini menunjukkan adanya penurunan dari skala nyeri yang lebih tinggi menjadi skala nyeri yang lebih rendah. berdasarkan uji statistik wlicoxon signed rank test didapatkan p value = 0,008, sehingga p value = 0,008 <  = 0,05 yang berarti menunjukkan adanya pengaruh perlakuan massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala i fase aktif. kata kunci: massase lumbal,penurunan intensitas nyeri persalinan adalah proses alamiah dimana terjadi dilatasi serviks, lahirnya bayi dan plasenta dari rahim ibu. kala i persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan serviks hingga mencapai pembukaan lengkap. kebutuhan seorang wanita dalam proses persalinan adalah pemenuhan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p232-236 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 233verin dan monica, pengaruh massase lumbal ... kebutuhan fisik, kehadiran seorang pendamping secara terus-menerus, keringanan dari rasa sakit, penerimaan atas sikap dan perilakunya, pemberian informasi tentang kemajuan proses persalinan dan hasil persalinannya. bidan diharapkan dapat memberikan asuhan persalinan kala i sehingga ibu merasa nyaman dan proses persalinan berjalan dengan lancar. nyeri saat persalinan merupakan kondisi fisiologi yang secara umum dialami oleh hampir semua ibu bersalin.penanganan nyeri persalinan merupakan hal yang sangat penting, salah satunya dengan tekhnik non farmakologi dan tekhnik massase perlu diperkenalkan sebagai salah satu metode non farmakologi baru untuk mengurangi nyeri saat persalinan dan mengurangi jumlah operasi caesar yang banyak digunakan ibu muda untuk menghindari rasa takut dan kecemasan yang disebabkan persalinan normal yang dirasakan akan bertambah kuat. puncak nyeri terjadi pada fase aktif dimana pembukaan lengkap sampai 10 cm. rasa nyeri pada persalinan muncul akibat respons psikis dan reflek fisik. nyeri akan berdampak pada peningkatan aktifitas system saraf simpatik yang dapat mengakibatkan gerakan tangan dan ketegangan otot akibat rasa cemas dan rasa.takut dapat memperberat persepsi ibu terhadap nyeri selama persalinan. stress merupakan salah satu penyebab terjadi partus lama. terjadinya stress dalam persalinan adalah timbulnya rasa nyeri selama persalinan menurut penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami seseorang maka akan dapat memperburuk kondisi nyeri yang dialami. massase akan membantu ibu menjadi rileks dengan cara menyentuh atau mengusap bagian tubuh ibu. pemijatan secara lembut akan membantu ibu merasa lebih segar, rileks dan nyaman selama persalinan. sebuah penelitian menyebutkan ibu yang dipijat 20 menit setiap jam selama tahapan persalinan akan lebih bebas dari rasa sakit. hal itu terjadi karena pijat merangsang tubuh melepaskan senyawa endhorphin yang merupakan pereda sakit alami. menurut survey pada bulan januari 2015 di polindes semen menunjukkan bahwa 10 pasien mengalami nyeri hebat 75%,mengalami nyeri sedang 20% dan mengalami nyeri ringan 5%. bahan dan metode dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian pre eksperimental design dengan rancangan one-group pratest-postest design. populasi dari penelitian ini adalah ibu bersalin kala 1 fase aktif di puskesmas kec. gandusari kab. blitar. teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel. untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. teknik sampling yang dipakai dalam penelitian ini adalah accidental sampling di mana peneliti mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. sampel merupakan bagian populasi yang akan di teliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang di miliki oleh populasi. sampel penelitian ini adalah ibu bersalin sebanyak 8 ibu di puskesmas slumbung kec. gandusari kab.blitar. dalam penelitian ini, instrument yang digunakan adalah check-list sebagai sop dan lembar observasi untuk mengetahui pengaruh intervensi yang dilakukun. metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi. penelitian ini menggunakan uji statistic wilcoxon sign rank test dengan bantuan program spss. hasil penelitian tabel 1. karakteristik responden n o umur f % 1 = 20 tahun 2 25 2 21-25 tahun 1 12,5 3 26-30 tahun 3 37,5 4 > 30 tahun 2 25 jumlah 8 100 tabel 2. karakteristik ibu bersalin berdasarkan pendidikan terakhir no p endidikan f % 1 sd 0 0 2 smp 4 50 3 sma 3 37,5 4 pt 1 12,5 jumlah 8 100 tabel 3. karakteristik ibu bersalin berdasarkan parietas no pekerjaan f % 1 irt 7 87,5 2 swasta 0 0 3 guru 1 12,5 jumlah 8 100 234 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 232–236 pembahasan intensitas nyeri persalinan pada ibu bersalin kala i sebelum perlakuan massase lumbal berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan di puskesmas slumbung kecamatan gandusari kabupaten blitar menunjukkan hampir seluruhnya ibu bersalin mengalami nyeri berat sebelum perlakuan massase lumbal, hampir seluruhnya mempunyai prosentase sebesar 87,5%. nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. nyeri persalinan merupakan pengalaman subjektif tentang sensasi fisik yang terkait dengan kontraksi uterus dilatasi dan penipisan serviks serta penurunan janin selama persalinan. respon fisiologi terhadap nyeri meliputi peningkatan tekanan darah, denyut nadi, pernafasa, keringat, diameter pupil, dan ketegangan otot (arifin, 2008). beberapa hal yang dapat menyebabkan nyeri persalinan pada skala berat ini adalah kondisi fisiologi, kondisi psikologis dan tenaga kesehatan. berdasarkan hasil penelitian didapatkan hampir setengah ibu bersalin berusia 26–30 tahun. faktor fisiologi yang dimaksud adalah kontraksi. gerakan otot ini menimbulkan rasa nyeri karena saat itu otototot rahim memanjang dan kemudian memendek. intensitas rasa nyeri dari pembukaan sampai pembukaan sepuluh akan bertambah tinggi dan semakin sering sebanding dengan kekuatan kontraksi dan tekanan bayi terhadap struktur panggul diikuti regangan bahkan perobekan jalan lahir bagian bawah. usia ibu sebenarnya merupakan usia yang ideal untuk melakukan persalinan. namun, ibu masih belum memiliki kesiapan dalam menghadapi kontraksi otot rahim dalam persalinan sehingga menyebabkan intensitas nyeri yang berat. ibu merasakan nyeri yang berasal dari bagian bawah abdomen dan menyebar ke daerah lumbal punggung dan menurun ke paha. ibu biasanya mengalami nyeri hanya selama kontraksi dan bebas rasa nyeri pada interval antar kontraksi. hasil penelitian menunjukkan hampir seluruhnya ibu bersalin adalah ibu rumah tangga. faktor lain adalah faktor psikologis yaitu rasa takut dan cemas yang berlebihan akan mempengaruhi rasa nyeri ini. setiap ibu mempunyai versi sendiri-sendiri tentang nyeri persalinan dan melahirkan. hal ini karena ambang batas rangsang nyeri setiap orang berlainan dan subyektif sekali. (andarmoyo, 2013). ibu rumah tangga memiliki waktu yang lebih luang dalam mempersiapkan persalinan. namun, sebagai manusia tentunya akan merasakan rasa takut dan cemas terhadap proses pembedahan. kecemasan, kelelahan, kehabisan tenaga dan kekhawatiran ibu, seluruhnya menyatu sehingga dapat memperberat nyeri fisik yang sudah ada. begitu nyeri persepsi semakin intens, kecemasan ibu meningkat semakin berat. faktor tenaga kesehatan yang kurang memahami prosedur persalinan dan kurangnya sarana prasarana dalam persalinan juga dapat mempengaruhi intensitas nyeri persalinan. tenaga kesehatan harus mampu memberikan komunikasi dan pelayanan yang baik kepada ibu saat persalinan berlangsung. selain itu, tingkat nyeri selama persalinan dapat meningkat jika wanita tersebut gelisah dan takut serta pengetahuan tentang proses persalinan sedikit. tabel 4. intensitas nyeri persalinan pada ibu bersalin kala i sebelum perlakuan massase lumbal no skala nyeri f % 1 tidak nyeri 0 0 2 nyeri ringan 0 0 3 nyeri sedang 0 0 4 nyeri berat 7 87,5 5 nyeri sangat berat 1 12,5 jumlah 8 100 tabel 5. intensitas nyeri persalinan pada ibu bersalin kala i sesudah perlakuan massase lumbal no skala nyeri f pro sentase 1 nyeri 0 0 2 ringan 0 0 3 sedang 6 75 4 berat 2 25 5 sangat berat 0 0 jumlah 100 tabel 6. pengaruh perlakuan massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala i fase aktif skala nyeri % skala nyeri % skala nyeri setelah tidak nyeri 0 0 nyeri ringan 0 0 nyeri sedang 0 75 nyeri berat 87,5 25 nyeri sangat berat 12,5 0 wilcoxon signed rank test: p value = 0,008 235verin dan monica, pengaruh massase lumbal ... intensitas nyeri persalinan pada ibu bersalin kala i setelah perlakuan massase lumbal berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan di puskesmas slumbung kecamatan gandusari kabupaten blitar menunjukkan sebagian besar ibu bersalin mengalami nyeri sedang setelah perlakuan massase lumbal dengan rata-rata skala nyeri persalinan sebesar 75%. intensitas nyeri setelah perlakuan massase lumbal mengalami penurunan. massase lumbal adalah melakukan tekanan tangan pada jaringan lunak biasanya otot tendon atau ligamentum tanpa menyebabkan gerakan atau perubahan. posisi sendiri untuk meredakan nyeri menghasilkan relaksasi atau memperbaiki sirkulasi (mander, 2003). pemijatan secara lembut akan membantu ibu merasa lebih segar, rileks dan nyaman selama persalinan. hal itu terjadi karena pijat merangsang tubuh melepaskan senyawa endhorphin yang merupakan pereda sakit alami. tekanan yang diberikan tergantung pada tingkat kenyamanan ibu, yang dapat diharapkan untuk mengubah tingkat nyeri, seiring dengan kemajuan proses persalinan. massase akan menimbulkan suatu pengaruh fisiologis dan mekanis yaitu mendatangkan suatu relaksasi atau rasa sakit yang berkurang akibat adanya pembengkakan (haematome). selain itu massase juga menimbulkan pengaruh secara psikologi yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri atau self confidence. respon wanita terhadap sentuhan dalam persalinan tidak dapat diprediksi dan sangat bervariasi. bidan harus memahami bahwa tidak ada cara yang jelas untuk mengetahui bagaimana seorang ibu akan menjawab, sehingga perlu menggunakan sejumlah teknik dan strategi yang berbeda. hal ini akan mampu menurunkan kecemasan dan relaksasi pada ibu saat bersalin. meskipun demikian, teknik massase lumbal belum mampu menurunkan nyeri menjadi tidak ada rasa nyeri sebab persalinan masih terus berlangsung. untuk mengurangi rasa nyeri yang berlebih teknik pijat yang digunakan untuk pemanasan otot sebelum persalinan dapat berfungsi untuk mengendurkan otot, mengurangi asam laktat dan mengendalikan nyeri. latihan peregangan juga dapat meningkatkan sirkulasi dan mengurangi ketegangan otot. dengan melakukan gerakan berirama membentuk pola angka delapan juga dapat memberikan efek mengurangi nyeri persalinan. pengaruh perlakuan massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala i fase aktif berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan prosentase intensitas nyeri persalinan sebelum dan setelah diberikan massase lumbal yaitu dari nyeri berat dari 87,5% menjadi 25% dan ada penurunan intensitas nyeri persalinan menjadi intensitas nyeri sedang sebanyak 75%. hal ini menunjukkan adanya penurunan dari skala nyeri yang lebih tinggi menjadi skala nyeri yang lebih rendah. berdasarkan uji statistik wlicoxon signed rank test didapatkan p value = 0,008, sehingga p value = 0,008 <  = 0,05 yang berarti menunjukkan adanya pengaruh perlakuan massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala i fase aktif. hal ini mengindikasikan perlakuan massase lumbal dapat menurunkan intensitas nyeri dan membantu ibu lebih nyaman dalam persalinan. sensasi nyeri dihantar melalui jalur saraf sensoris menuju ke otak dan hanya sejumlah sensasi atau pesan tertentu dapat dapat dihantar melalui jalur saraf ini pada saat pada saat bersamaan. dengan memakai tekhnik ditraksi seperti pijatan dan musik, jalur saraf untuk persepsi nyeri dihambat atau dikurangi. distraktor ini dianggap bekerja menutup pintu hipotesis di medula spinalis, sehingga menghambat sinyal nyeri mencapai otak. rangsang nyeri kemudian menghilang. (bobak, 2005:254). relaksasi penting untuk mempromosikan kemajuan persalinan; banyak tindakan dilakukan untuk kenyamanan ibu dan coping strategies selama persalinan untuk memastikan bahwa ibu yang melahirkan tetap tenang dan terkendali. dengan memberikan pendidikan kepada ibu tentang upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh ibu dan keluarga agar persalinan dapat berlangsung secara normal. koping ibu terhadap nyeri persalinan akan lebih baik, karena menjadi pusat dalam asuhan dengan memperoleh support dari semua pendamping persalinannya. simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut: intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif sebelum perlakuan massase lumbal pada skala nyeri berat sebesar 236 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 232–236 87,5% di puskesmas slumbung, intensitas nyeri persalinan kala i fase aktif setelah perlakuan massase lumbal pada skala nyeri sedang sebesar 75% di puskesmas slumbung, ada pengaruh perlakuan massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala i fase aktif dengan p value = 0,008 <  = 0,05 yang berarti menunjukkan adanya pengaruh perlakuan massase lumbal terhadap penurunan intensitas nyeri pada ibu bersalin kala i fase aktif. saran bagi tempat penelitian: memberikan pelayanan kesehatan dengan semaksimal mungkin yaitu memberikan pelayanan antenatal care hingga persalinan khususnya dalam komunikasi dan pemberian massase lumbal pada persalinan. bagi ibu dan keluarga: keluarga dapat memberikan pendampingan kepada ibu saat persalinan untuk mengurangi tingkat kecemasan pada ibu sehingga rasa nyeri dapat berkurang. daftar rujukan andarmoyo, s., dan suharti. 2013. persalinan tanpa rasa nyeri berlebihan. jogjakarta: ar-ruzz media. bobak, dkk. 2005. buku ajar keperawatan maternitas ed. 4. jakarta: egc. mander, r. 2008. nyeri persalinan. jakarta: egc. arifin. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. jakarta: salemba medika. *) praktisi bidan, **) stikes patria husada blitar 42 pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun (the effect of age distance of birth to the sibling responses in 2-4 years old children) noviari triwijayanti* ) , levi tina sari** ) stikes patria husada blitar e-mail: viemuaniez@yahoo.com abstract introduction : sibling response is competition in order to get love and care of one or both parents. the birth distance of a child is an important factor in the emergence of sibling response, because short spacing births of child tends to rise sibling negatif response. the puspose of this study was to identify the effect of age distance of birth to the sibling responses in 2-4 years old children. method : research design wascross sectional. research sample was 26 respondent at bps mutiah bendo village ponggok district of blitar, at july 9 th to july 20, 2012, its choosed with tota sampling. data collected by using a structured interview and observation statements in the questionnaire. analysis using t-test, with ≤0.05 significant level. result :the result showed that most of the respondents gave negativ responses for the short spacing of births, with p = 0,023. discussion : there was an effect of space of birth with the sibling responses in children age of 2 – 4 years by 61,5% of the respondents, and sibling negative response in children age of 2 – 4 years by 71,4 % of the respondents. key words : distance ages birth, sibling child’s response pendahuluan pada dasarnya anak yang satu dengan lainnya berbeda ketika dilahirkan, meskipun mereka merupakan saudara kandung. sibling adalah adikberadik, adik kakak (beberapa orang) yang mempunyai hubungan kekeluargaan (karena seayah atau seayah dan seibu) atau bersaudara. respon sibling anak adalah suatu reaksi yang dilakukan oleh saudara laki-laki atau perempuan dengan saudara atau dalam kelahiran seorang bayi. terjadinya respon sibling dapat diakibatkan karena beberapa faktor antara lain faktor internal yaitu faktor yang tumbuh dan berkembang dalam diri anak itu sendiri seperti temperamen, ambisi anak mengalahkan orang lain dan faktor eksternal yaitu faktor yang disebabkan karena orang tua yang salah dalam mendidik anaknya, seperti sikap membanding-bandingkan dari orang tua kepada anak (woolfson, 2004). respon sibling biasanya muncul ketika selisih usia saudara kandung terlalu dekat dan kehadiran adik dianggap menyita waktu dan perhatian terlalu banyak. jarak usia yang lazim memicu munculnya respon sibling adalah jarak usia antara 2-4 tahun kemudian muncul kembali pada usia 812 tahun. pada umumnya respon sibling negatif lebih sering terjadi pada anak yang berjenis kelamin sama dan khususnya perempuan (woolfson, 2004). pada umumnya anak berusia 2-4 tahun merasa dirinya paling penting. dia menganggap dirinya adalah pusat perhatian dan kemarahannya sering meluap saat dia tahu bahwa dia tidak menjadi pusat perhatian. bayangan akan kehadiran bayi baru akan mengganggu kestabilan emosinya dan memicu rasa cemburu dengan kedatangan adiknya. seorang kakak akan menganggap adiknya adalah seseorang yang sangat jurnal ners dan kebidanan volume 1, no. 1, maret 2014 doi: 10.26699/jnk.v1i1.art.p034-040 mailto:viemuaniez@yahoo.com it typewritten text © 2014 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ noviary triwijayanti, levi tina sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 43 menganggu keberadaanya. orang tua seharusnya lebih memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. upaya untuk mengatasi respon sibling ini antara lain mengikutsertakan anak dengan memperbolehkan anak untuk ambil bagian pada setiap persiapan calon adiknya. membuat perencanaan sehingga kehadiran seorang adik merubah kehidupan kakak seminimal mungkin mendorong kakak untuk membantu adik. respon sibling biasa terjadi pada anak berusia 2-4 tahun apalagi jarak usia kelahiran dengan adiknya terlalu dekat karena ia mengangap bahwa perhatian orang tuanya akan berkurang karena kelahiran adiknya (woolfson, 2004). data di indonesia menunjukan 36% kelahiran memiliki jarak yang kurang dari 3 tahun dan 15% yang memiliki jarak kelahiran kurang dari 24 bulan. dan setiap tahun di indonesia 600 wanita mengalami kegagalan kb (soemarjati, 2004). hampir 75% anak mengalami reaksi sibling negatif, reaksi yang sering di tampakkan adalah secara langsung yaitu biasanya berupa perilaku agresif seperti memukul, mencubit, atau pura-pura sakit bahkan menendang. reaksi lainnya adalah yang sulit dikenali yaitu reaksi yang tidak langsung misalnya, munculnya kenakalan, rewel, mengompol atau purapura sakit untuk mendapatkan perhatian orang tuanya (thompson, 2003). data dinas kesehatan kabupaten blitar, pada tahun 2011 jumlah ibu hamil sampai k4 sebesar 1180 bumil dimana 505 (42,8%) merupakan kehamilan multipara. sedangkan disurvey pada tanggal 18 april 2011 di beberapa daerah ponggok telah diperoleh data ada 8 ibu yang mempunyai anak balita dengan adik yang masih bayi, 5 ibu (62,5%) diantaranya mengaku bahwa tingkah laku anaknya berubah saat kelahiran adiknya misalnya kemunduran tingkah laku ke tahap sebelumnya seperti mengompol, minum susu dengan botol, anti sosial, melawan, cengeng, penolakan, biasanya ia akan menularkan kasih sayang bukan pada ibunya melainkan pada ayah atau neneknya. menurut observasi yang dilakukan selama ini, orang tua menanggapi respon sibling tidak mau tahu, pasrah dan masa bodoh, padahal respon sibling apabila tidak ditangani lebih lawal akan berpengaruh pada masa pubertasnya. menurut yani widyastuti, dkk (2009), masa pubertas adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. seiring dengan perkembangan anak peran orang tua sangat penting dan dibutuhkan karena orang tua merupakan kunci dalam munculnya respon sibling negatif dan berperan memperkecil munculnya hal tersebut. beberapa peran yang dapat dilakukan adalah memberikan kasih sayang dan cinta yang adil bagi anak (setiowati, 2008). tanggapan atau respon anak yang dihubungkan dengan jarak usia kelahiran menurut penulis sangat menarik untuk diteliti dan ditelaah lebih lanjut. penulis ingin meneliti pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun di bps mutiah desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar tahun 2012. berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan penelitian adakah pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun di bps mutiah desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar tahun 2012. tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun di bps mutiah desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar tahun 2012. sedangkan tujuan khususnya adalah (1) mengidentifikasi jarak usia kelahiran anak usia 2-4 tahun, (2) mengidentifikasi respon sibling pada anak usia 2-4 tahun, (3) menganalisa pengaruh jarak usia kelahiran dengan jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 24 tahun 44 terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun. manfaat penelitian secara teoritis adalah penelitian ini dapat menjadi acuan referensi bahwa jarak kelahiran akan mempengaruhi psikologi anak yang disebut dengan respon sibling. sedangkan manfaat praktis dalam penelitian ini yaitu diharapkan dapat menjadi masukan dan memberi informasi yang benar tentang sibling rivalry (persaingan antara saudara kandung) bagi para ibu, keluarga dan masyarakat sehingga dapat meminimalisasi terjadinya sibling rivalry dengan meningkatkan kesiapan untuk menghadapinya dan dapat mengantisipasi timbulnya sibling rivalry bagi para orang tua maupun calon orang tua. serta bahan pertimbangan/acuan untuk pengambilan kebijakan dalam mengikuti program kb (keluarga berencana). bahan dan metode desain penelitiannya cross sectional. subyek penelitian sebanyak 26 orang yang memiliki anak usia 2-4 tahun. subyek penelitian ini dipilih secara total sampling, dengan melakukan observasi langsung kepada anak serta proses wawancara kepada orang tua atau pengasuh anak tersebut, subyek penelitian berada atau di wilayang bps muntiah kecamatan ponggok kabupaten blitar. variabel penelitian ini terdiri dari jarak kelahiran serta respon sibling pada anak usia 2-4 tahun. analisa data menggunakan t test dengan tingkat kemaknaan 0,05 hasil penelitian hasil penelitian sebagai berikut: tabel. 1. karakteristik responden di bps muntiah ponggok blitar bulan juli 2012 no. karakteristik subyek f % 1. usia anak : 2 tahun 3 tahun 4 tahun 7 15 4 26,9 57,7 15,4 2. berdasarkan urutan kelahiran pertama kedua 18 8 69 31 tabel. 1. karakteristik responden di bps muntiah ponggok blitar bulan juli 2012 no. karakteristik subyek f % 3 berdasarkan jumlah anak dua tiga empat 1 17 8 3,8 65,4 30,8 4. berdasarkan pengasuh orang tua nenek 22 4 84,6 15,4 usia anak terbanyak adalah 2 tahun dan terbanyak merupakan anak pertama tabel.2.karakteristik responden berdasarkan jarak kelahiran dan respon sibling di bps muntiah ponggok blitar bulan juli 2012 karakteristik berdasarkan jarak kelahiran karakteristik berdasarkan respon sibling usia f % respon sibling f % 2 tahun 3 11,5 positif 7 26,9 3 tahun 16 61,5 negatif 19 73,1 4 tahun 7 26,9 noviary triwijayanti, levi tina sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 45 tabel 3. analisis t-test pengaruh jarak kelahiran dengan respon sibling bulan juli 2012 levene’s test for quality of variance t-test for equality of means 95% confidence interval of difference jarak usia kelahiran equal variant assumed equal variant not assumed f sig. t df 24 (2tailed) mean difference std error lower upper 2.924 .100 -2.428 24 .023 -.60150 .24772 1.11278 -.09023 -1.966 7.838 .86 -.60150 .30600 1.30989 .10668 dari data tabel 3, menunjukkan bahwa selisih poin antara jarak usia kelahiran dengan respon sibling sebesar 0,6 poin. kemudian, thitung 2.428 > ttabel 2,069 dengan tingkat kemaknaan 0,05 sehingga terjadi perbedaan antara jarak kehamilan dengan respon sibling. pembahasan jarak usia kelahiran anak usia 2-4 tahun. jarak usia kelahiran mempengaruhi hubungan antar anak. menurut woolfson (2004), bila jarak usia jauh, keuntungannya adalah kecemburuan biasanya tidak ada karena tahapan perkembangan mereka begitu jauh terpisah. hubungan mereka biasanya ditandai dengan kepedulian dan minat yang sungguhsungguh terhadap satu sama lain. sedangkan kerugian adalah jarak mereka begitu jauh sehinga mereka tidak bisa membangun suatu persahabatan yang sering berkembang. sedangkan bila jarak usia kecil (misalnya antara 1-2 tahun) dan keduanya bertumbuh, dinamika hubungan mereka berubah. ada berbagai keuntungan antara lain mereka bisa pergi keluar bersama, mereka bisa memiliki temanteman yang sama, ada peluang baik bagi mereka untuk bisa menjadi sahabat yang sangat dekat.sedangkan kerugiannya antara lain, mereka mungkin bersaing satu sama lain , mereka mungkin merasa terhambat oleh satu sama lain , mereka mungkin membenci satu sama lain , anak yang lebih tua mungkin merasa bahwa dia selalu di harapkan untuk selalu bertanggung jawab terhadap adiknya bila mereka berada di luar. berdasarkan hasil penelitian meunjukkan bahwa jarak usia kelahiran terbanyak adalah 3 tahun sebesar 61,5 % , 4 tahun 26,9 % , 2 tahun 11,5 % , ini terbukti bahwa jarak usia kelahiran kurang dari lima tahun lebih banyak dan cenderung akan terjadi respon sibling lebih besar pada anak. kedekatan usia mereka dapat berarti mereka merasa bahwa mereka tidak pernah bisa menjauh satu sama lain. mereka bisa membenci satu sama lain , anak yang lebih tua mungkin merasa bahwa dia selalu di harapkan untuk selalu bertanggung jawab terhadap adiknya bila mereka berada di luar. dengan jarak usia 3 tahun faktor persaingan bisa lebih besar dari pada jarak yang usia terpaut lima tahun, ( thompson, 2004). kepribadian seorang anak banyak berkembang selama 5 tahun pertama. berbagai ketegangan dan tekanan dalam hubungan antar saudara berubah disaat, anak-anak tumbuh. persaingan antar saudara diungkapkan secara berbeda, tergantung pada usia dan tahapan perkembangan anak (woolfson, 2004). perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun merupakan usia yang paling mengancam terutama bila kakak masih sangat muda dan belum memahami situasi . pada umumnya anak berusia 2-4 tahun merasa dirinya paling penting. dia menganggap dirinya adalah pusat perhatian dan kemarahannya sering meluap saat dia tahu bahwa dia tidak menjadi pusat perhatian. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa usia paling banyak adalah pada usia 3 tahun sebesar 57,7 % , pada anak berusia 2 tahun 26,9 % dan pada 4 tahun sebesar 15,4 %. hal ini terbukti akan berdampak mengakibatkan respon sibling yang besar pada anak. karena pada usia ini bayangan akan kehadiran bayi baru akan mengganggu kestabilan emosinya dan memicu rasa cemburu terhadap kedatangan adik. di usia ini juga , anak akan memiliki pendapatnya sendiri, apa yang dia suka dan apa yang tidak dia suka. dia tidak mau orang mencampuri rencananya. karena itu, dia merasa adiknya sangat mengganggu dan mengancamnya. urutan kelahiran sibling (anak) merupakan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi anak dalam jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 24 tahun 46 terjadinya respon sibling. anak pertama mendapatkan perhatian orang tua sepenuhnya, hingga sampai kelahiran anak berikutnya.perhatian yang tidak terbagi dari kedua orang tua selama tahun-tahun pertama (thompson, 2004). hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa paling banyak pada urutan kelahiran anak pertama sebanyak 69,2 % . anak kedua sebanyak 30,8% anak ke tiga sebanyak 0 %.responden paling banyak pada urutan kelahiran anak pertama. jadi anak pertama cenderung menjadi anak yang paling cerdas di dalam keluarganya.dia mencapai prestasi tertinggi dalam pendidikan dan biasanya cenderung sangat serius. sedangkan anak kedua cenderung santai dan anak ketiga cenderung percaya diri dan mampu menangani berbagai kecemasan sendiri tanpa meminta bantuan. dia juga tahu bagaimana mengambil manfaat terbesar dari suatu keadaan di tempat dia berada. sehingga respon sibling negatif lebih banyak terjadi pada anak urutan kelahiran pertama. berdasarkan hasil penelitian jumlah saudara kandung terbanyak adalah 3 orang sebesar 65,4 % , 4 orang sebesar 30,8 %, sedangkan 2 orang sebesar 3,8 %. menurut peneliti jumlah saudara kandung lebih dari 2 orang cenderung mengalami respon sibling lebih besar apalagi jika jarak usia kelahiran mereka terlalu dekat. berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keinginan orang tua terhadap jenis kelamin anak menginginkan jenis kelamin perempuan. anak perempuan cenderung lebih sayang terhadap orang tuanya dari pada anak lakilaki. selain itu anak perempuan mempunyai jiwa penyayang dan tanggung jawab dari pada anak laki laki. respon sibling anak usia 2-4 tahun sibling rivalry adalah kompetisi antara saudara kandung untuk mendapatkan cinta kasih dan perhatian dari satu atau kedua orang tuanya atau untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih. bila salah satu anak tidak mendapatkan respon orang tua atau perlakuan yang berbeda antara saudaranya maka akan timbul kecemburuan yang berunjung pada perselisihan (suherni, 2009). menurut lasnsky (2003), respon sibling dibagi menjadi dua yaitu positif dan negative. respon positif bentuk dari respon positif yang di berikan anak adalah merasa senang dan bahagia karena mendapat teman baru, bercerita pada orang lain tentang adiknya, memeluk bayi, mengambilkan pakaian atau popok untuk bayi, anak mau berbagi kasih sayang, tempat, mainan, sering bercanda dengan bayi ataupun membantu tugas– tugas kecil yang bisa di lakukan, marah jika dalam pandangan anak jika dalam pandangan anak adik di rasa akan merasa terganggu, dan bersikap senang seperti biasanya (samalin, 2003). dari hasil penelitian dari 26 responden yang di teliti hanya ada 7 ( 26,9) responden yang mengalami sibling positif. respon positif ini terjadi jika orang tuanya memberikan perhatian penuh pada anaknya . menurut hasil peneliti di dapatkan bahwa respon sibling positif dapat terbentuk jika orang tuanya memberikan kasih sayang yang penuh pada masingmasing anak, tidak membedabedakan anak yang satu dengan anak yang lainnya. memberikan perhatian dan pengertian tentang adik baru yang akan menjadi bagian dari keluarganya sebelum adiknya lahir. sehingga ia tahu dan bisa mempersiapkan diri dengan kehadiran adiknya tersebut di dalam keluarganya dan ia tidak merasa cemburu pada adiknya. respon negative menurut hurlock dalam setiowati (2008). respon negative ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. bersifat langsung dimunculkan dalam bentuk perilaku agresif mengarah kefisik seperti usaha yang dapat diterima secara sosial untuk mengalahkan saingannya. anak biasanya mengekspresikan dengan berbagai macam cara antara lain yaitu anak menjadi suka memukul, mudah marah, mudah kaget, melukai adik, tiba-tiba suka menggigit, mencakar, menendang atau melempar barang, juga didapati perubahan pola makan dan tidur. penolakan anak terhadap bayi baru lahir dapat juga berupa noviary triwijayanti, levi tina sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 47 mengganggu ataupun melarang ibu saat sedang menyusui bayi, mengucapkan kata benci kepada bayi. sedangkan yang bersifat bersifat tidak langsung, dimunculkan dalam reaksi regresi (kembali keperilaku lama) yang lebih halus sehingga sulit untuk dikenali yaitu anak seperti menghisap ibu jari, ingin menghisap dot, ingin makan dari botol, suka ngompol, menjadi manja/rewel, berekspresi memandangi adiknya dengan tajam, acuh tak acuh terhadap adik, sebal terhadap adik, pura-pura sakit, merasa sedih bahkan suka menangis, menjadi pendiam dan nakal (setyawati, 2007). dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 26 responden yang mengalami respon sibling negative sebesar 19 (73,1 %). dari hasil observasi yang peneliti lakukan , responden sering melempar barang terhadap adiknya, menggigit bahkan mencakar adiknya ada juga responden yang kembali keperilaku lama misalnya ia meminum susu melalui dot, masih sering ngompol, menghisap ibu jari, memandangi adiknya dengan tajam, suka menangis jika ibu menyusui adiknya atau mengajak adiknya bermain. perilaku orang tua dalam melerai anaknya yang bertengkar dengan cara melerainya dan memarahi kakaknya ,dengan demikian akan menambah dari sikap / perilaku negative dari anak tersebut. ada berbagai faktor yang berperan dalam kejadian respon sibling negatif yaitu : adanya keinginan anak untuk menggambarkan siapa dirinya, bakat, aktifitas, dan minat. mereka ingin menunjukkan bahwa mereka berbeda dari saudara kandungnya. perhatian, disiplin, dan kemampuan reaksi orang tua yang berkurang terhadap dirinya. adanya anggapan bahwa kedatangan adik baru merupakan ancaman bagi mereka.tahap perkembangan dari anak itu sendiri dihubungkan dengan perhatian orang tua yang terbagi serta bagaimana mereka mendapat perhatian itu dengan adil satu dengan yang lain.kekurang pahaman dari anak bagaimana cara mendapatkan perhatian dari saudara kandungnya sehingga mereka menggunakan perkelahian untuk mendapatkan perhatiannya. perlakuan orang tua terhadap anak. kurangnya peran dari orang tua untuk memberikan penjelasan bahwa perkelahian bukan salah satu cara yang baik yang bisa diterima untuk menyelesaikan masalah. tidak adanya waktu yang cukup dari orang tua untuk bersama-sama dengan anak. bagaimana orang tua memperlakukan anak dan bereaksi terhadap persaingan yang terjadi. sehingga dari semua factor yang ada tersebut bisa menjadikan respon negatif pada anak. menurut (thompson , 2004) respon negative ini apabila terjadi terus menerus akan mengakibatkan anak menjadi pribadi yang temperamen, egois , acuh tak acuh pada adiknya bahkan pada orang tuanya sendiri , menarik diri bahkan yang lebih menakutkan lagi adalah permusuhan antara dua saudara kandung tersebut bahkan sampai kedua orang tuanya meninggal. berdasarkan hasil penelitian pola asuh terbanyak di didik oleh orang tua sendiri dengan presentase % 84,6 , nenek 15,4 % dan pembantu 0 % , hal ini bisa mempengaruhi kepribadian pada anak jika jumlah saudara banyak dan diasuh oleh orang tua sendiri , secara tidak langsung kasih sayangnya akan terbagi sehingga anak bisa bersikap iri hati / cemburu satu sama lain. apalagi jika orang tuanya membedakan antara anak yang satu dengan yang lain terlebih jika cara mengasuh orang tua terhadap anaknya otoriter. anak tersebut dipaksa untuk mengikuti perhatian orang tuanya sehinga dia akan cenderung menjadi anak yang temperamen, minder, ketakutan / bahkan menarik diri dari keluarganya atau temantemannya. jika diasuh oleh neneknya rasa cemburu antara anak juga besar terjadi.karena dia merasa cemburu karena tidak di asuh oleh orang tuanya sendiri melainkan di asuh oleh neneknya dan akan timbul kepribadian yang temperamen dan egois pada diri anak tersebut. respon sibling yang negatif tidak akan terjadi apabila sibling merasa dihargai oleh orang tuanya, maka mereka tidak akan merasa terancam dengan kehadiran anak lain dalam keluarga. jenis kelamin antar anak merupakan faktor internal yang mempengaruhi perkembangan respon jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 24 tahun 48 sibling pada diri seorang anak. menurut (woolfson, 2004) pada umumnya respon sibling negatif lebih sering terjadi pada anak yang berjenis kelamin sama dan khususnya perempuan. jika jenis kelamin berbeda antar anak maka akan bereaksi berbeda, hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebagian responden menunjukkan respon negatif dengan jenis kelamin yang sama. jadi respon sibling negatif lebih tinggi pada pasangan kakak beradik dengan jenis kelamin yang sama di bandingkan dengan kakak beradik dengan jenis kelamin berbeda (setiawati dan zulkaida,2007). sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan jenis kelamin saudara sekandung perempuan semua sebesar 53,8 % , laki-laki semua sebesar 15,4 % , sedangkan laki-laki dan perempuan sebesar 30,8 %.pada kakak beradik dengan jenis kelamin yang sama, respon sibling negatif cenderung tinggi pada pasangan kakak beradik perempuan . hal ini di sebabkan oleh faktor budaya yang lebih memacu anak perempuan untuk bersaing. berdasarkan hasil penelitian jumlah saudara kandung terbanyak adalah 3 orang sebesar 65,4 % , 4 orang sebesar 30,8 %, sedangkan 2 orang sebesar 3,8 %. menurut peneliti jumlah saudara kandung lebih dari 2 orang cenderung mengalami respon sibling lebih besar apalagi jika jarak usia kelahiran mereka terlalu dekat. pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun respon sibling pada anak usia 2-4 tahun di bps mutia’ah desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar di dapatkan bahwa respon sibling terbesar menunjukkan respon negative sebesar 19 (73,1 %) sedangkan respon positif sebesar 7 ( 26,9 %) responden . dari hasil analisis menggunakan software spss 16 dengan uji t – test dengan α = 0,05 di dapatkan bahwa ρ value = 0,023. sehingga dapat di simpulkan bahwa terdapat pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun di bps muti’ah, desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar. respon sibling negative ini di sebabkan karena tidak adanya waktu yang cukup dari orang tua untuk bersamasama dengan anak, adanya keinginan anak untuk menggambarkan siapa dirinya, bakat, aktifitas, dan minat. mereka ingin menunjukkan bahwa mereka berbeda dari saudara kandungnya. adanya anggapan bahwa kedatangan adik baru merupakan ancaman bagi mereka, perhatian, disiplin, dan kemampuan reaksi orang tua yang berkurang terhadap dirinya. sehingga terjadilah respon negatif dari diri anak tersebut dan kepribadian anak akan terganggu ketika ia dewasa misalnya ia akan menjadi pribadi yang temperamen , egois, menarik diri dari keluarga bahkan dari pergaulan, suka mencuri bahkan akan terjadi permusuhan sampai orang tuanya meninggal. simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini adalah jarak usia kelahiran anak di bps mutiah desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar tahun 2012 sebanyak 61,5% (15 responden) adalah 3 tahun, respon sibling pada anak usia 2-4 tahun di bps mutiah desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar tahun 2012 sebanyak 71,4% (17 responden) adalah egative, ada pengaruh jarak usia kelahiran dengan terjadinya respon sibling pada anak usia 2-4 tahun di bps mutiah desa bendo kecamatan ponggok kabupaten blitar tahun 2012 dengan ρ value = 0,023 (kurang dari α = 0,05). saran saran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut bagi tempat penelitian: petugas kesehatan hendaknya lebih sering memberikan perhatian, konseling atau penyuluhan terhadap keluarga yang memiliki jarak kelahiran dekat dengan tentang cara meminimalkan terjadinya respon negatif pada sibling sehingga kemungkinan terjadinya sibling rivalry bisa dihindari, bagi orang tua atau pengasuh, bagi para orang tua ataupun pengasuh di harapkan noviary triwijayanti, levi tina sari jurnal ners dan kebidanan, volume 1, no. 1, maret 2014 49 dapat meminimalisasi terjadinya sibling rivalry dengan meningkatkan kesiapan untuk menghadapinya dan dapat mengantisipasi timbulnya sibling rivalry bagi para orang tua maupun calon orang tua. serta bahan pertimbangan/acuan untuk pengambilan kebijakan dalam mengikuti program kb (keluarga berencana ). dengan berkb maka jarak usia kelahiran dapat terencana sehingga meminimalkan terjadinya respon sibling pada anak. dengan jarak usia kelahiran yang jauh / terpaut minimal 5 tahun maka respon sibling biasanya tidak akan terjadi karena tahapan perkembangan mereka begitu jauh terpisah. hubungan mereka biasanya ditandai dengan kepedulian dan minat yang sungguh-sungguh terhadap satu sama lain. referensi hurlock, eb 2006, perkembangan anak, erlangga, jakarta. lansky, v 2003, tips praktis untuk orang tua (1500 untuk mengasuh balita), arcan, jakarta. mansur, h 2009, psikologi ibu dan anak untuk kebidanan, salemba medika, jakarta. mulyadi, s 2003, membantu anak balita mengelola amrahnya, erlangga, jakarta. priyatna, n 2006, tata laksana ibu dan bayi paska melahirkan prestasi pustakaraya, jakarta. samalin 2003, 123 sayang semuanya, kaifa, bandung. setiowati, or 2008, mengapa mereka cemburu, kabar indonesia. suherni 2009, perawatan masa nifas, fitramaya, yogyakarta. thompson, j 2003, toddle care, erlangga jakarta. widyastuti, dkk 2009, kesehatan reproduksi, fitramaya, yogyakarta woolfon, cr 2004, persaingan saudara kandung, erlangga, jakarta. richard, c 2005, mengapa anakku begitu, erlangga, jakarta 148 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk analysis of anemia incidence determinants among female students at islamic boarding school al hidayah 2 bangkalan dini setiarsih1, rizki nurmalya kardina2, andreas putro ragil santoso3, ahmad miftahul kaunain4, halimatul afifah5 1,2,4,5nutrition s1 study program, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia 3diploma (iv) of medical laboratory technology study program, universitas nahdlatul ulama surabaya, indonesia article information abstract the incidence of anemia is common in adolescent girls. anemia causes decreased learning achievement due to lack of concentration. this research aimed to analyze the determinant factors associated with the incidence of anemia in female students at islamic boarding school al hidayah 2 bangkalan. the research was observational analytic, a cross sectional design. the population was female students at islamic boarding school al hidayah 2 and the sample size was 72 people. the independent variables include menstrual patterns, sleep patterns, consumption patterns of food sources of iron and nutritional status. the dependent variable was anemia status. data collection on menstrual patterns and sleep patterns used a questionnaire, consumption patterns with the food frequency questionnaire and anemia status by testing hemoglobin levels. analysis of the data by contingency coefficient test. the results showed that 27.8% of subjects experienced menorrhagia, 54.2% had poor sleep patterns, 58.3% had good food consumption patterns, 25.0% had underweight nutritional status, and 13.9% subjects experienced anemia. correlation tests showed that the menstrual pattern was significantly related to anemia status (p=0.048). sleep pattern (p=0.776), food consumption pattern (p=0.908) and nutritional status (p=0.462) were not significantly correlated with the incidence of anemia. menstrual pattern is the most influential factor of anemia incidence. the longer of menstrual period will cause the greater the chance of the subject experiencing anemia. history article: received, 07/06/2022 accepted, 14/07/2022 published, 15/08/2022 keywords: anemia, menstrual pattern, sleep pattern, female student © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas nahdlatul ulama surabaya – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : dinisetiarsih@unusa.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p148-153 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:dinisetiarsih@unusa.ac.id file:///c:/users/asus/downloads/10.26699/jnk.v9i2.art.p148-153 setiarsih, kardina, santoso, kaunain, afifah, analysis of anemia incidence determinants among female students … 149 introduction the 61st nutrition day in 2021 is commemorated with the theme "healthy adolescents free of anemia: balanced nutrition, healthy teens, strong indonesia". this theme was chosen because the incidence of anemia is still high. the 2018 basic health research (riskesdas) shows 3-4 out of 10 indonesian teenagers suffer from anemia (kemkes ri, 2021). the incidence of anemia is more often found in adolescent girls than boys. in adolescent girls, weight gain and the onset of menstruation means that the need for iron is much greater than before puberty. the increase in muscle mass and blood volume during growth spurts increases the need for iron to build red blood cells, and increases the oxygen-carrying capacity of the blood, as well as the protein myoglobin in muscles (lau, 2012). this condition is in accordance with the results of research conducted in china in 2003– 2010. the results showed that from 283 elementary school students in china, the incidence of anemia was more common in adolescent girls than boys (luo, 2010). several studies have been conducted in various islamic boarding schools on the incidence of anemia. among these studies were conducted at the darussalam islamic boarding school in bogor. from 84 students, it was known that 38.1% of students had mild anemia, while 20.2% had moderate anemia (ekayanti, rimbawan, & kusumawati, 2020). in another study at the manba'ul hikam islamic boarding school in sidoarjo, it was found that 65.4% of female students were anemic (fitria & puspita, 2020). meanwhile, a study at the thawalib islamic boarding school sriwijaya palembang showed 30% of students had symptoms of anemia because the hemoglobin level was less than normal (sabrina, zanaria, diba, & hestiningsih, 2020). another study was conducted in a rural area of south india. in this research, the sample taken was young women aged 10-19 years with 314 respondents. the results showed that the factors associated with the incidence of iron deficiency anemia were low socioeconomic status and underweight adolescents assessed from body mass index (bmi) (siddharam, venketesh, & thejeshwari h l, 2011). based on this background, this research was conducted with the aim of analyzing the determinant factors associated with the incidence of anemia in female students at pondok pesantren al hidayah 2 bangkalan. the determinant factors include menstrual patterns, sleep patterns, consumption patterns of iron sources and nutritional status. method this research was analytic observational research with a cross-sectional approach. the research was conducted at the al hidayah 2 islamic boarding school bangkalan in september 2021. the population was female students of the al hidayah 2 islamic boarding school bangkalan with a sample size of 72 peoples. sampling technique with purposive sampling. the data collected in this research included data on menstrual patterns, sleep patterns, consumption patterns of food sources of iron, data on weight and height to calculate bmi/nutritional status, and data on hemoglobin (hb) levels to determine anemia status. menstrual pattern and sleep pattern data were taken using a structured interview technique using a questionnaire instrument containing written questions. data on food consumption patterns of iron sources were obtained with the food frequency questionnaire (ffq) instrument. data on weight and height were collected by measuring weight with a scale and height with a microtoise. data on hb levels were collected through capillary blood sampling which was then checked using an hb checker (easy touch gchb blood multi function monitoring system). statistical tests were conducted to analyze the relationship between menstrual patterns and the incidence of anemia, eating patterns with the incidence of anemia, sleeping patterns with the incidence of anemia and nutritional status with the incidence of anemia by using the correlative hypothesis test (contingency coefficient). 150 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 148-153 results table 1: characteristics of research subjects variabel mean ± sd age (years) 14,61 ± 1,66 weight (kg) 50,27 ± 12,01 height (m) 1,52 ± 0,06 body mass index 21,72 ± 4,62 iron source food consumption score 71,53 ± 24,65 sleep time (hours) 7,40 ± 1,46 hemoglobin level (g/dl) 13,26 ± 1,68 the characteristics of the research subjects are presented in table 1. an overview of the determinants and anemia status of the research subjects can be seen in table 2. meanwhile, the results of the correlation test between variables can be seen in table 3. table 2: frequency distribution of determinant factors and nutritional status of research subjects variabel n % menstrual pattern hipomenorea normal menorrhagia 1 51 20 1,4 70,8 27,8 sleep pattern not enough enough 39 33 54,2 45,8 food consumption patterns of iron sources not enough well 30 42 41,7 58,3 nutritional status underweight normal overweight obesity 18 32 9 13 25,0 44,4 12,5 18,1 anemia status anemia no anemia 10 62 13,9 86,1 the results of statistical tests showed that the menstrual pattern was significantly correlated with anemia status. the percentage of subjects with anemia and menorrhagia was seen to be greater than that of subjects who were not anemic. this shows that subjects who experience menorrhagia tend to be at risk for anemia. menorrhagia is a condition in which a person experiences menstruation for more than 8 days or a large volume of blood with an indicator of changing pads 5-6 times per day (prawirohardjo, 2014). table 3: contingency coefficient correlation test results between determinant factors and the incidence of anemia determinant factor anemia status p anemia n (%) non-anemia n (%) menstrual pattern hipomenorea normal menorrhagia 0 (0,0) 4 (40,0) 6 (60,0) 1 (1,6) 47 (75,8) 14 (22,6) 0,048* sleep pattern not enough enough 5 (50,0) 5 (50,0) 34 (54,8) 28 (45,2) 0,776 food consumption patterns of iron sources not enough well 4 (40,0) 6 (60,0) 26 (41,9) 36 (58,1) 0,908 setiarsih, kardina, santoso, kaunain, afifah, analysis of anemia incidence determinants among female students … 151 nutritional status underweight normal overweight obesity 4 (40,0) 4 (40,0) 0 (0,0) 2 (20,0) 14 (22,6) 28 (45,2) 9 (14,5) 11 (17,7) 0,462 *signifikan p < α (0,05) excessive menstruation in adolescent girls is a driving factor for anemia(andriani & wirjatmadi, 2012a). the large volume of blood that comes out will cause more iron to be lost compared to subjects with normal menstrual patterns. and the advanced stage of iron deficiency is indicated by low blood hemoglobin levels (andriani & wirjatmadi, 2012b). discussion the results of this research indicate that there is an effect of menstrual pattern on anemia status, and this is statistically significant (0.048). based on data from table 1, it shows that most of the subjects experienced normal menstruation (70.8%), which means that students experienced menstruation for 57 days with a normal amount of blood that came out as much as 30-70 milliliters per day. the blood that comes out during menstruation certainly affects the subject's hb level, which decreases during menstruation. if this happens continuously every month without any additional foods that contain lots of iron or iron supplements, then of course this can increase the risk of anemia. several other studies have also showna significant relationship between menstrual patterns and the incidence of anemia (adiyani, heriyani, & rosida, 2020; astuti & kulsum, 2020). in a study at smpn 18 banjarmasin, menstrual patterns were translated into menstrual cycles, length of menstruation and volume of menstrual blood. menstrual cycle and length showed a significant relationship with the incidence of anemia. meanwhile, menstrual blood volume did not show a significant relationship with the incidence of anemia (ansari, m h, farida heriyani, 2020). sleep patterns of research subjects with parameters of sleep duration were not significantly associated with the incidence of anemia. several previous studies also showed that there was no significant relationship between sleep patterns or sleep duration with the incidence of anemia (indah, 2017; musrah & widyawati, 2019). in this study, the sleep pattern parameter used was only the length of sleep. meanwhile, there are several other parameters such as sleep efficiency, sleep start time, sleep disturbances, drug use habits and activities that can interfere with sleep that can affect sleep quality (rompas et al., 2013). several studies show a significant relationship between sleep patterns and the incidence of anemia (fitria & puspita, 2020; rompas et al., 2013). therefore, the length of sleep alone is considered inadequate to measure sleep quality. the pattern of consumption of food sources of iron did not show a significant relationship with the incidence of anemia. the pattern of consumption of food sources of iron was assessed with the food frequency questionnaire (ffq) instrument. the parameters used are the type and frequency of consumption of food sources of iron during the last month. the results of the research showed that the majority of subjects had good consumption patterns, namely various types and high frequency. however, the weakness of this method is that it cannot assess the amount of food consumed so it cannot describe the actual nutritional intake (sirajuddin, surmita, & astuti, 2018). therefore, although most of the research subjects had consumed a variety of ironrich foods, the adequacy of the amount of iron intake could not be assessed. in the nutritional status variable, the percentage of anemic subjects with underweight status was greater than non-anemic subjects with underweight status. however, the nutritional status of the subjects did not show a significant relationship with the incidence of anemia. the nutritional status category in this research was obtained from the anthropometric assessment method (weight and height) which was influenced by the intake of macronutrients as an energy source. the weakness of this method is that it is unable to detect deficiencies of certain nutrients such as zinc and iron (supariasa, 2016). whereas iron intake will provide a more significant relationship with the incidence of anemia than energy intake (indartanti & kartini, 2014). the results of this research are in line with 152 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 148-153 the results of previous studies on the female adolescent population in yogyakarta (judha, 2020), in banjarmasin (adiyani et al., 2020), and in semarang (indartanti & kartini, 2014). conclusion the determinant factor that is significantly correlated with the incidence of anemia is menstrual pattern. the longer the menstrual period and the greater the volume of menstrual blood (menorrhagia), the greater the chance of the subject experiencing anemia. sleep patterns, dietary consumption patterns of iron sources and nutritional status were not significantly correlated with the incidence of anemia in research subjects. suggestion examination of hemoglobin levels in adolescent girls should be done regularly to prevent anemia. subsequent studies on the pattern of consumption of food sources of iron should use quantitative methods so that actual iron intake can be assessed. further studies on sleep patterns should use various parameters so that sleep patterns can be assessed comprehensively. acknowledgment thank you to universitas nahdlatul ulama surabaya as the funding provider for this research through the unusa lppm research grant program. thank you to the caretakers of the al hidayah 2 islamic boarding school bangkalan for their willingness to serve as a research site. funding this research was entirely funded by universitas nahdlatul ulama surabaya. conflicts of interest authors declare that no conflicts of interest in this research. references adiyani, k., heriyani, f., & rosida, l. (2020). hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada remaja putri di sma pgri 4 banjarmasin. homeostasis, 1, 1–7. retrieved from http://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/hms/ article/view/459 andriani, m., & wirjatmadi, b. (2012a). pengantar gizi masyarakat. jakarta: kencana prenada media group. andriani, m., & wirjatmadi, b. (2012b). peranan gizi dalam siklus kehidupan. jakarta: kencana prenada media group. ansari, m h, farida heriyani, d. m. s. n. (2020). hubungan pola menstruasi dengan kejadian anemia pada remaja putri di smpn 18 banjarmasin. homeostasis, d, 209–216. retrieved from https://ppjp.ulm.ac.id/journals/index.php/hms /article/view/2264 astuti, d., & kulsum, u. (2020). pola mesntruasi dengan terjadinya anemia pada remaja putri. jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan, 11(2), 314. https://doi.org/10.26751/jikk.v11i2.832 ekayanti, i., rimbawan, r., & kusumawati, d. (2020). faktor risiko anemia pada santri putri di pondok pesantren darussalam bogor. media gizi indonesia, 15(2), 79. https://doi.org/10.20473/mgi.v15i2.79-87 fitria, l., & puspita, i. d. (2020). anemia is associated with dietary and sleep quality in indonesian adolescent girls: a cross-sectional study. al-sihah: the public health science journal, 12(2), 136. https://doi.org/10.24252/al-sihah.v12i2.15443 indah, a. s. (2017). hubungan pola tidur terhadap kejadian anemia pada remaja putri sma di kabupaten bantul. universitas alma ata yogyakarta. indartanti, d., & kartini, a. (2014). hubungan status gizi dengan anemia pada remaja putri. journal of nutrition college, 3(2), 310–316. https://doi.org/10.14710/jnc.v3i2.5438 judha, m. (2020). relationship of anemia incidence with nutritional status experienced in adolescents in yogyakarta area. majalah ilmu keperawatan dan kesehatan indonesia (mikki), 09(02), 109–114. retrieved from http://jurnal.stikeswirahusada.ac.id/mikki/arti cle/view/303 kemkes ri. (2021). panduan kegiatan hari gizi nasional. jakarta: kementerian kesehatan ri. lau, k. (2012). program pencegahan dan penyembuhan skoliosis untuk anda: kesehatan dai tangan anda (indonesian edition). california: createspace. luo, r. (2010). alarmingly high anemia prevalence in western china. retrieved from www.reapchina.org musrah, a. s., & widyawati. (2019). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri factors that are related to the event of anemia in adolescent adolescents. jurnal ilmiah sesebanua, 3(2), 69–77. retrieved from http://www.ejournal.polnustar.ac.id/jis/article/view/291 prawirohardjo, s. (2014). ilmu kebidanan. jakarta: pt bina pustaka sarwono prawirohardjo. setiarsih, kardina, santoso, kaunain, afifah, analysis of anemia incidence determinants among female students … 153 rompas, a. b., tangka, j., rotti, j., studi, p., keperawatan, i., kedokteran, f., & sam, u. (2013). pasien penyaki t ginjal kronik di poli ginjal dan hipertensi blu rsup. eiournal keperawatan, 1(1), 1–6. sabrina, t., zanaria, r., diba, m. f., & hestiningsih, t. (2020). pencegahan penyakit anemia pada remaja dengan pemeriksaan hemoglobin awal pada santri pondok pesantren thawalib sriwijaya palembang. jurnal pengabdian dharma wacana, 1(3), 116–121. https://doi.org/10.37295/jpdw.v1i3.32 siddharam, s. m., venketesh, g. m., & thejeshwari h l. (2011). a study of anemia among adolescent girls in rural area of hassan district, karnataka, south india. int j biol med res, 2(4), 922–924. sirajuddin, surmita, & astuti, t. (2018). bahan ajar gizi: survey konsumsi pangan. jakarta: kementerian kesehatan ri. supariasa. (2016). penilaian status gizi. jakarta: egc. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 270 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 270–275 270 pemberdayaan kader dalam aplikasi, sosialisasi ddtk (deteksi dini tumbuh kembang) dan anticipatory guidance di kecamatan wonodadi (cadres empowerment in the application, socialization early detection of development children and anticipatory guidance in wonodadi district) erni setiyorini, yeni kartika sari program studi pendidikan, ners stikes patria husada blitar email: nerserni@gmail.com abstract: in indonesia, the number of infants reach 10% of the population, in which the prevalence of development disorder 12,8%–16% and we need to screening development of children. the mortality of childrens high due to accident, poisoning and trauma recorded 7,3% and one of top five lead child deaths in 1992. based on interviews with some kader posyandu, we know that the kader had never received training related to early detection growth and development and anticipatory guidance in children. the purpose of this science and technology activity for society was to empower kader in the application, the socialization of children’s early detection growing and development method for this activity was to team up with 2 partners i.e. midwife of kebonagung village with number of kader of 25 people and the midwife of wonodadi village with number of cadres of as many as 30 people. the method of this activity was to provide a pre test training before, children’s early detection growth and development with method of lecture, discussion, simulation and applications of valuation ddtk in kindergarten, mentoring and evaluation of training activities and the activities of the posyandu. the results of the evaluation of the training process showed improved knowledge on average level of good on both of kader and partner, most cadres is skilled, whereas the evaluation of the activities of mentoring at posyandu activities, most of posyandu already documenting the measurement of height, weight, nutritional status, while for childrens’s early detection growing and development with developmental screening assessment card but not complete. in order for the assessment, documentation, socialization of childrens’s early detection growing and development activities and anticipatory guidance fluently, then the expected partner, the councilor and head of the clinic wonodadi made a commitment in the monitoring activities. keywords: early detection growth and development, anticipatory guidance, cadres, children abstrak: di indonesia, jumlah balita 10% dari jumlah penduduk, di mana prevalensi gangguan perkembangan 12,8% s/d 16% , sehingga dianjurkan melakukan skrining tumbuh kembang pada setiap anak, sedangkan angka kematian anak akibat kecelakaan, keracunan dan trauma tercatat 7,3 % dan merupakan salah satu dari lima penyebab kematian anak tertinggi pada tahun 1992. dari hasil wawancara dengan beberapa kader posyandu diketahui bahwa kader belum pernah mendapatkan pelatihan terkait dengan ddtk dan anticipatory guidance. tujuan kegiatan ipteks bagi masyarakat ini adalah untuk memberdayakan kader dalam aplikasi, sosialisasi deteksi dini tumbuh kembang anak metode ipteks bagi masyarakat ini adalah dengan bekerjasama dengan 2 orang mitra yaitu bidan desa kebonagung dengan jumlah kader 25 orang dan bidan desa wonodadi dengan jumlah kader sebanyak 30 orang . metode kegiatan ini adalah dengan memberikan pre test terlebih dahulu, pelatihan ddtk dengan metode ceramah, diskusi, simulasi dan aplikasi penilaian ddtk di tk, pendampingan dan evaluasi kegiatan pelatihan dan kegiatan posyandu. hasil evaluasi proses pelatihan menunjukkan peningkatan pengetahuan sebagian besar baik pada kader kedua mitra, keterampilan sebagian besar kader terampil sedangkan evaluasi kegiatan pendampingan pada kegiatan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p270-275 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 271setiyorini dan sari, pemberdayaan kader dalam ... posyandu, sebagian besar posyandu sudah mendokumentasikan pengukuran tinggi badan, berat badan, status nutrisi, sedangkan untuk ddtk dengan kpsp terdokuemntasi tapi tidak lengkap. agar kegiatan penilaian dan dokumentasi penilaian ddtk dan sosialisasi anticipatory guidance dapat berjalan lancar, maka diharapkan mitra, perangkat desa dan kepala puskesmas wonodadi membuat komitmen dalam pemantauan kegiatan. kata kunci: ddtk, anticipatory guidance, kader, anak posyandu adalah wadah pemeliharaan kesehatan yang dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibimbing petugas kesehatan (perawat), (departemen kesehatan ri, 2006). salah satu kegiatan pokok posyandu adalah kesehatan ibu dan anak. pelayanan minimal diberikan kepada anak meluputi penimbangan, pertumbuhan, pemberian makanan pendamping asi dan vitamin a, pemberian pmt, memantau atau melakukan pelayanan imunisasi dan tanda-tanda lumpuh layu, memantau kejadian ispa dan diare, serta melakukan rujukan bila perlu. dalam kegiatan posyandu peran serta dan keikutsertaan kader posyandu sangat penting dalam mewujudkan dan meningkatkan pembangunan kesehatan masyarakat desa. world health organization (1995) menyebutkan bahwa kader posyandu merupakan bagian dari sebuah sistem kesehatan sehingga mereka harus dibina, dituntun serta didukung oleh para pembimbing yang lebih terampil dan berpengalaman. hal ini didukung oleh azwar (1996) bahwa keterampilan petugas posyandu merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam sistem pelayanan di posyandu, karena dengan pelayanan kader yang terampil akan mendapat respon positif dari ibuibu balita sehingga terkesan ramah, baik, pelayanannya teratur hal ini yang mendorong ibu-ibu rajin ke posyandu. di indonesia, jumlah balita 10% dari jumlah penduduk, di mana prevalensi (rata-rata) gangguan perkembangan bervariasi 12.8% s/d 16% sehingga dianjurkan melakukan observasi/skrining tumbuh kembang pada setiap anak (afif, 2012). periode perkembangan bayi dan anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan ini menentukan perkembangan selanjutnya. roesli (2009) dalam penelitiannya didapatkan bahwa balita mengalami gangguan motorik kasar sebanyak 31,2%, motorik halus 14,3%, sedangkan yang mengalami gangguan bahasa 19,1% dan yang mengalami gangguan personal sosial 11,5%.pada periode perkembangan ini sangat diperlukan pemantauan untuk mendeteksi dini penyimpangan perkembangan anak sejak dini, sehingga upaya pencegahan, upaya stimulasi dan upaya penyembuhan serta upaya pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas. di indonesia tahun 1992 angka kematian anak akibat kecelakaan, keracunan dan trauma tercatat 7,3 % dan merupakan salah satu dari lima penyebab kematian anak tertinggi. data dari markas besar kepolisian republik indonesia (mabes polri) tahun 2009 adalah sebesar 8.601 anak (8,8%) mengalami kecelakaan lalu lintas jalan raya. data riset kesehatan dasar (riskesdas) departemen kesehatan (2007) sebesar 19,2% sedangkan. kecelakaan menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak (promkes). oleh karena itu, orang tua juga perlu dibekali dengan panduan memberikan keamanan pada anak berupa anticipatory guidance. sehingga mereka dapat mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan pada anak. anticipatory guidance adalah komponen kunci dari perawatan primer pediatrik yang merupakan bimbingan antisipatif yang optimal responsif terhadap kebutuhan individu anak-anak dan orang tua. tujuannya adalah memberikan bimbingan kepada orang tua dan mengurangi cedera pada anak-anak. dengan pedoman bimbingan pencegahan cedera yang tepat dan merupakan upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. di desa wonodadi memiliki 6 posyandu dengan kader sebanyak 30 orang dan desa kebonagung memiliki 5 posyandu dengan kader sebanyak 25 orang. pendidikan rata-ratanya adalah 60% smp dan 40% sma. kegiatan yang pernah diikuti oleh kader adalah pelatihan tentang pemantauan gizi pada balita, kegiatan inovatif dan pemberantasan sarang nyamuk. langkah awal dari kegiatan ibm adalah pengumpulan informasi tentang kader melalui diskusi dengan mitra 1 dan mitra 2, dan pengamatan secara langsung kegiatan kader posyandu pada kegiatan posyandu di desa wonodadi dan desa kebonagung, kecamatan wonodad. hasil temuan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan dalam posyandu balita hanya meliputi 5 meja, anak ditimbang dan 272 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 270–275 diukur berat badan tetapi tidak dilakukan interpretasi antropometri termasuk kategori kurus, normal atau gemuk. di posyandu juga tidak dilakukan penilaian tumbuh kembang anak untuk mengetahui apakah perkembangannya sesuai, meragukan atau menyimpang. selain itu, pada kegiatan posyandu belum pernah dilakukan penyuluhan oleh kader posyandu. masalah yang dihadapi adalah bahwa kader posyandu di bawah binaan mitra: (1) belum mengetahui pedoman penilaian ddtk dan anticipatory guidance. (2) belum mengetahui teknik promosi kesehatan yang tepat. (3) belum tersedianya kartu pemantauan perkembangan anak. (4) belum mengetahui teknik dokumentasi dan interpretasi hasil pemeriksaan ddtk. (5) belum mengetahui format dokumentasi penilaian ddtk untuk pelaporan. hal ini dikarenakan sebagian besar kader posyandu belum pernah mendapatkan pelatihan terkait dengan kompetensi tersebut. menyadari permasalahan tersebut, maka sangat penting dilakukan upaya dalam peningkatan kemampuan kader posyandu dalam penilaian tumbuh kembang anak dan anticipatory guidance dalam kehidupan seharihari agar dalam kegiatan posyandu, kader dapat mengajarkan kepada ibu keterampilan tersebut. sehingga melalui kegiatan ini tercapainya tujuan, yaitu anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan terhindar dari kejadian buruk yang dapat diantisipasi melalui anticipatory guidance pada anak sesuai tahap tumbuh kembangnya. tujuan dari kegiatan ibm ini adalah: (1) kader posyandu mengetahui tentang teori ddtk dan anticipatory guidance. (2) kader posyandu dapat mengaplikasikan ddtk (3) kader posyandu dapat melakukan sosialisasi tentang ddtk dan anticipatory guidance kepada ibu-ibu. (4) kader posyandu dapat memotivasi ibu untuk memeriksa ddtk pada anaknya. (5) kader posyandu dapat mendokumentasikan dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan ddtk. (6) kader posyandu dapat melaksanakan pemeriksaan ddtk pada kegiatan posyandu. bahan dan metode dalam pelatihan ini akan dilakukan pendekatan belajar dengan pembelajaran teori dan praktik langsung ke lahan. ra ncangan bentuk kegiatan, operasional dan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan. bentuk kegiatan yang dilakukan adalah (1) sosialisasi rencana kegiatan ibm kepada kepala puskesmas, bidan dan perawat di puskesmas. (2) koordinasi tim ibm dan mitra dalam persiapan kegiatan pelatihan. (3) pengumpulan bahan media pembelajaran. (4) pembuatan modul dan kartu pemantauan perkembangan anak (5) belanja bahan (6) penyusunan jadwal kegiatan pelatihan (7) penyusunan jadwal kegiatan pelatihan secara langsung di lapangan. (8) pelaksanaan pelatihan (9) pelaksanaan praktik lapangan (10) pendampingan kader pada kegiatan posyandu dalam pemantauan tumbuh kembang anak. (11) pendampingan penyuluhan pada kader posyandu (12) observasi keterampilan kader (13) observasi motivasi ibu dalam memeriksa tumbuh kembang anak (14) observasi kader dalam sosialisasi ddtk dan anticipatory guidance (15) observasi pelaksanaan ddtk pada kegiatan posyandu (16) observasi laporan hasil pemantauan perkembangan anak. hasil kegiatan ipteks bagi masyarakat tabel 1. distribusi frekuensi karakteristik kader posyandu de sa k ebonagung dan de sa wonodadi karakteristik responden desa keboagung desa wonodadi f % f % usia 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun >50 tahun 5 10 6 4 20 40 24 16 8 12 5 5 26,6 40 16,6 16,6 jenis kelamin perempuan 25 100 30 100 pendidikan sd smp sma diii sarjana 2 6 10 2 5 8 24 40 8 20 5 13 5 2 5 16,6 43,3 16,6 6,6 16,6 berdasarkan informasi yang pernah d idengar tentang ddtk dan anticipatory guid ance belu m pernah 25 100 30 100 berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa karakteristik kader posyandu di desa kebonagung terbanyak berusia 31–40 tahun yaitu 40%, jenis kelamin 100% perempuan, pendidikan terbanyak sma 40% dan semua belum pernah mendapatkan 273setiyorini dan sari, pemberdayaan kader dalam ... informasi tentang ddtk dan anticipatory guidance. sedangkan di desa wonodadi kader posyandu terbanyak berusia 31–40 tahun yaitu 40%, 100% perempuan dan pendidikan terbanyak smp yaitu 43,3%. pelaksanaan penyampaian materi, pelaksanaan praktik penilaian tumbuh kembang anak (ddtk) dan evaluasi teknis kegiatan yang sudah dilaksanakan meliputi persiapan yaitu belanja bahan dan menyiapkan media, penyampaian materi pada kader di desa kebonagung dilaksanakan tanggal 7–26 mei 2015, praktik di tk tunas bangsa dalam aplikasi ddtk pada tanggal 28 mei–11 juni 2015. sedangkan di desa wonodadi, penyampaian materi dilaksanakan pada tanggal 2 juli–4 agustus 2015 dan aplikasi ke tk abunajja pada tanggal 5–7 agustus 2015. pada setiap penyampaian materi didahului dengan pre test dan setelah kegiatan praktik dilakukan post test. kegiatan pendampingan penilaian ddtk di desa kebona gung dan wonoda di dilaksana kan 10 agustus–17 agustus 2015, sedangkan pendampingan penyuluhan dilaksanakan tanggal 7 september– 14 september 2015. evaluasi dilaksanakan tanggal 12–19 oktober 2015. evaluasi kehadiran pada saat kegiatan pelatihan pada kedua mitra adalah 100%. kepuasan dan tingkat kemandirian mitra hasil evaluasi kepuasan menunjukkan bahwa mitra dan kader posyandu sangat puas dengan kegiatan ini. kegiatan ini memberikan pengetahuan dan pengalaman nyata pada kader. bekal ilmu yang telah mereka kuasai dapat diterapkan, baik dalam penilaian ataupun sebagai bahan penyuluhan kepada ibu balita. terjadi peningkatan pengetahuan pada kader posyandu. untuk kemandirian dalam pelaksanaan dokumentasi di setiap posyandu perlu adanya pemantauan yang intensif. sebagaimana kita ketahui bahwa kader merupakan tenaga sukarela dengan beban kerja yang berat, sehingga setiap ada perubahan baru yang akan menambah beban kinerja kader, maka sangat sulit diharapkan keajegannya dan perlu pemantauan yang melibatkan pengambil kebijakan. kendala penilaian ddtk dengan kpsp masih menemui kendala yaitu: ibu yang membawa balita terburu-buru, jumlah kader yang aktif masih kurang sehingga tidak mampu melayani semua pengunjung. solusi solusi yang diberikan oleh tim ibm yaitu dengan membuatkan leaflet agar dapat dibaca ibu dan metabel 2. distribusi tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah dilaksanakan pelatihan ddtk dan anticipatory guidance pengetahu an des a kebonagung desa wonodadi pre post pre post f % f % f % f % baik cukup kurang 0 5 20 0 2 0 8 0 15 10 0 60 40 0 0 12 18 0 40 60 22 6 2 73 20 6 uji wilcoxon signed rank test p value=0, 000 berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa ada pengaruh pemberian pelatihan terhadap kemampuan kognitif kader. tabel 3. distribusi frekuensi keterampilan dalam menentukan status nutrisi dan penilaian ddtk dengan menggunakan kpsp ketera mpilan desa kebonagung desa wono dadi f % f % t erampil cukup terampil kurang terampil 15 8 2 6 0 3 2 8 24 2 4 80 6,6 13,3 berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa keterampilan kader dalam penilaian status nutrisi dan ddtk dengan kpsp yang terbanyak adalah terampil, kader desa kebonagung 60% dan kader desa wonodadi 80%. tabel 4. distribusi frekuensi evaluasi pelaksanaan dan dokumentasi hasil penilaian status nutrisi dan ddtk dengan kpsp di posyandu dokumentasi posyandu desa kebonagung po syandu desa wono dadi f % f % terdokumentasi op timal terdokumentasi tidak lengkap tid ak terdokumentasi 1 4 0 2 0 8 0 0 2 4 0 33,3 66,6 0 berdasarkan tabel 4 sebagian terdokumentasi tidak lengkap, hal ini disebabkan oleh kendala yang ditemukan pada saat pelaksanaan posyandu. 274 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 270–275 motivasi untuk memeriksakan anak dan berkonsultasi tentang tumbuh kembang anak dan anticipatory guidance yang sesuai usia anak dengan kader. luaran kegiatan luaran dari kegiatan ibm ini adalah media interaktif tentang ddtk dan anticipatory guidance, modul tentang ddtk dan anticipatory guidance, ttg berupa sop (standart operating procedure) ddtk, kartu pemantauan perkembangan anak usia 3 – 72 bulan, publikasi ilmiah pada jurnal lokal yang memiliki issn dan seminar hasil kegiatan di puskesmas wonodadi. pembahasan pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan terhadap suatu objek. hersey & blanchard, 1997 dalam endah, 2003 menyatakan bahwa dalam teori berubah perubahan yang paling mudah adalah pengetahuan. strategi yang menekankan pada pengetahuan dan pendalaman pengetahuan adalah strategi perubahan akademis yang memberikan pengaruh primer. anggapan dasarnya adalah logis dan rasional, objektif bahwa keputusan yang didasarkan pada yang dianjurkan adalah jalan terbaik untuk diikuti. pengetahuan yang meningkat setelah dilakukan intervensi secara teori dapat dikaitkan dengan pendidikan. notoatmodjo (2007) berpendapat bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima atau menyesuaikan dengan hal baru. pendidikan mempengaruhi proses belajar seseorang, maka seseorang dengan pendidikan tinggi akan cenderung lebih mudah memperoleh banyak informasi. sebagian kader yang terbanyak adalah smp dan sma, semakin banyak informasi yang didapatkan semakin banyak pengetahuan yang diperoleh. pendidikan rendah bukan berarti mutlak berpengatahuan rendah, karena pengetahuan tidak multak diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh dari pendidikan non formal, salah satunya dengan melalui pendidikan kesehatan, paparan informasi dari berbagai media. pengalaman, usia, kepercayaan, persepsi individu juga mempengaruhi pengetahuan seseorang. semakin tua umur seseorang, pengalamannya akan semakin banyak dan mempengaruhi daya tangkap dan pola pikirnya. erfandi (2009) berpendapat bahwa pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena ada pemahaman-pemahaman baru. peningkatan pengetahuan pada keluarga dapat dipengaruhi karena setiap anggota keluarga selalu berinteraksi dengan orang lain, sehingga dimungkinkan melalui interaksi tersebut keluarga mendapatkan pemahaman-pemahaman baru. gagne (1988) dalam information processing learning theory berpendapat bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. pemrosesan informasi melalui interaksi antara kondisi internal dan kondisi ekster nal individu. untuk mengingat sesuatu manusia harus melakukan 3 hal yaitu mendapatkan informasi, menyimpannya da n mengeluar kan kembali. nasrun (2007) menyatakan bahwa ingatan seseorang dipengaruhi oleh tingkat perhatian, minat, daya konsentrasi, emosi dan kelelahan. hal ini sejalan dengan jensen & markowitz (2002) bahwa kinerja ingatan secara keseluruhan bisa berada dalam retang kondisi baik ataupun buruk, tergantung pada keadaan fisik dan emosi. beberapa faktor turut berkontribusi terhadap kinerja kader posyandu, terutama terhadap program kerja yang baru. dari hasil pemantauan dokumentasi hasil penilaian ddtk dengan kpsp sebagian besar posyandu sudah mendokumentasikan tetapi kurang lengkap. hal ini dapat dipengaruhi oleh kendala yang ditemukan saat kegiatan posyandu. simpulan dan saran simpulan pelaksanaan pelatihan deteksi tumbuh kembang anak dan anticipatory guidance di desa kebonagung dan desa wonodadi berjalan dengan baik dan lancar. hasil evaluasi pengetahuan, kader desa kebonagung sebagian besar baik 60%, dan desa wonodadi sebagian besar baik 73%. kepuasan kedua mitra puas 100%, keterampilan dalam penilaian status gizi dan ddtk dengan kpsp kader di desa kebonagung sebagian besar terampil 60% dan di desa wonodadi terampil 80%, sedangkan untuk dokumentasi sebagian besar sudah didokumentasikan tetapi masih kurang lengkap. saran perlu memberikan motivasi dan memfasilitasi kader posyandu sehingga kader memiliki komitmen yang kuat untuk terus melanjutkan kegiatan penilaian 275setiyorini dan sari, pemberdayaan kader dalam ... tumbuh kembang anak dan mengajarkannya kepada orang tua balita. perlunya kerjasama dengan kepala puskesmas wonodadi untuk memantau hasil kegiatan penilaian tumbuh kembang anak dan memberikan tanggungjawab kepada mitra untuk melaporkan hasil penilaian tumbuh kembang anak di wilayah kerjanya. daftar rujukan departemen kesehatan ri. 2006, buku kader posyandu dalam usaha perbaikan gizi keluarga. jakarta. departemen kesehatan ri. azwar, a. 1996. menjaga mutu pelayanan kesehatan. pustaka sinar harapan. suyanto, m. 2004, analisis & desain aplikasi multimedia untuk pemasaran, yogyakarta: andi. mufida, a. 2012. http://w-afif-mufida-fk12.web. unair. ac.id/artikel_detail-68538-info%20kesehatandeteksi%2 0dini% 20 gangguan% 20 tumbuh%20kembang.html. diakses tanggal 2 april 2014. roesli, u. 2009. mengenal asi eksklusif. seri satu: trubus agriwidya. badan penelitian dan pengembangan kesehatan. riset kesehatan dasar (riskesdas), 2007. kementrian kesehatan republik indonesia. notoatmodjo, s. 2003. ilmu kesehatan masyarakat prinsip-prinsip dasar. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2003. promosi dan ilmu perilaku. jakarta: rineka cipta. notoatmodjo, s. 2007. ilmu kesehatan masyarakat. jakarta: rineka cipta. 144 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk systematic review: the relationship of spouses’ support and postpartum depression sinta effelia agatra1, ira titisari2, indah rahmaningtyas3, finta isti kundarti4 1,2,3,4midwifery department, health polytechnic of the ministry of health of malang, indonesia article information abstract postpartum depression is a mental health problem experienced by mothers at 4 weeks after giving birth which is characterized by feelings of sadness, decreased mood, feelings of failure or guilt, and even suicidal ideation, one of which is due to lack of husband support. to analyze the incidence of postpartum depression, the provision of husband support, and the relationship between providing husband support to the incidence of postpartum depression. this study used a systematic review design by tracing journal articles through the database like as proquest, garuda portal, pubmed, and science direct with the publication year from january 2012 january 2022 and discussing husband support and the incidence of postpartum depression, and using indonesian and english. the keywords used in national journal were "husband's support" and "postpartum depression" or "postpartum depression", for international journal articles used "spousal support" or "partner support" or "husband's support" and "postpartum depression. the results showed that 10 journal articles met the inclusion criteria with all journal articles stating that there was a relationship between husband support and the incidence of postpartum depression. most postpartum mothers do not experience postpartum depression and receive husband's support. there was a relationship between providing husband's support and the incidence of postpartum depression, where the higher the husband's support, the lower postpartum depression that occurs in postpartum mothers. the results of the study found 10 journal articles that met the inclusion criteria with all journal articles stating that there was a relationship between the provision of husband support and the incidence of postpartum depression. history article: received, 07/09/2022 accepted, 25/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: postpartum depression, husband's support © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: health polytechnic of the ministry of health of malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : iratitisari22@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p144-153 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:iratitisari22@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p144-153 mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 145 introduction postpartum depression is a mental health condition that affects women four weeks after giving birth and is marked by erratic emotional changes, loss of interest in daily activities, major weight changes, and memory loss. if the mother is unable to cope, it can also trigger suicide thoughts (nasri et al., 2018). postpartum depression can occur due to changes in hormone levels after childbirth, where after the birth of the placenta the levels of the hormones estrogen, progesterone, and hcg decrease drastically in the first 2 weeks. a rapid fall in progesterone levels is hypothesized to be the cause of postpartum depression. one of the consistent biological findings in mood disorders is dysregulation of the hypothalamic-pituitaryadrenocortical (hpa) axis, which undergoes significant changes in the first week following delivery. events of rapid estrogen decline can cause an increase in receptor sensitivity dopamine, which causes postpartum psychotic episodes in women with bipolar disorder. after delivery, the number of crh receptors in the hypothalamus declines, which results in a diminished response to adrenocorticotropic hormone (acth) and a diminished release of cortisol (sunarti, 2013). postpartum depression can be caused by various factors such as economic status, social support, education, occupation, number of births, mode of delivery, hormonal, psychosocial and physical status of the postnatal mother (arimurti et al., 2020). research conducted (r. kusuma, 2019) shows that the prevalence of postpartum depression worldwide is 20%, while the prevalence of postpartum depression in asia is between 15-20%. the incidence of postpartum depression in indonesia in 2018 according to (who, 2018) shows a percentage of 22.4% and in 2019 the incidence of postpartum depression in indonesia ranged from 2.5% 22.3% (nurbaeti et al., 2019). the incidence of postpartum depression in asia in 2020 shows a fairly high percentage of around 26% 85%, while in indonesia the incidence of postpartum depression ranges from 50% 70% (da silva tanganhito et al., 2020). the high prevalence of postpartum depression is certainly contrary to the target of sdgs (sustainable development goals) goal 3 which contains the goal of reducing the mmr below 70/100,000 births by 2030 and reducing 1/3 cases of birth deaths due to non-communicable diseases through measures to prevent and treat and promote mental health and well-being. postpartum depression can have an adverse effect on mother and baby where it can affect interactions between baby and mother. mothers who pay less attention to their children will not give a positive response to their children, mothers who cannot provide optimal care for children can have an impact on children's health and hygiene that are not optimal, mothers who are not enthusiastic about breastfeeding can also cause impaired child development. mothers with postpartum depression can also experience sleep disorders, eating disorders, decreased appetite, feelings of depression, and other feelings of sadness that reduce the quality of life of mothers affected by postpartum depression (gelaye et al., 2016). the incidence of postpartum depression can arise from various things such as the lack of social support from loved ones such as family and partners which is one of the triggering factors for postpartum depression in postpartum mothers (ramaya, 2021). husband support can be provided in several forms. first, there is emotional support, which can give the effect of inner calm and feelings of pleasure in the wife so that she is more easily adjusted to caring for her baby. second, there is appreciation support expressed through respect and appreciation for the wife to increase her self-esteem. next, there is instrumental support which is material assistance. finally, there is informative support, which includes positive advice and suggestions. the existence of husband support will contribute significantly to postpartum women in dealing with the stress that arises (sumantri & budiyani, 2015). support itself is an information or response given by others which indicates that the recipient of support is someone who is loved, appreciated, cared for, and always involved in any situation and is dependent on each other (king, 2012). the low level of support for postpartum mothers can affect the occurrence of postpartum depression, when women take on new roles as mothers where they need complex adaptations to adapt physically and emotionally to their new lifestyle and role as mothers. much needed, especially in terms of providing support. the low provision of husband support for postpartum mothers will certainly have a negative impact on both postpartum mothers and babies, due to the fact that if many family members help during pregnancy, childbirth and postpartum it will reduce the burden on the mother to a certain 146 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 144-153 extent (p. d. kusuma, 2017). the right treatment in reducing the prevalence of postpartum depression is to approach and explain the risk of postpartum depression to postpartum mothers or their families, if not managed properly (wahyuningsih, 2018). prevention of postpartum depression symptoms can be prevented to a minimum by early detection of postpartum depression. the management of postpartum depression in postpartum mothers requires special and maximum handling from various parties, both partners, families, and health workers (sari, 2020). considering the backdrop described above as well as the existence of numerous research that examine the connection between providing spouse support and the occurrence of postpartum depression. therefore, conducting research as a systematic review is appealing to researchers. the husband's support is related to the prevalence of postpartum depression, according to a systematic analysis of the literature that was conducted using sources from reputable national and international journals that were published between january 2012 and january 2022. method the researcher employs a research design in this investigation is a systematic review, often referred to as a systematic literature review (slr), is a process for compiling, analyzing, integrating, and presenting data from multiple research studies on a specific research problem or topic in order to achieve a high degree of understanding. comparable to typical literature assessments, but more thorough (delgado-rodríguez & sillero-arenas, 2018). the first step in gathering this literature is identifying the study's topic, which is "the relationship of offering husband's support to the incidence of postpartum depression," and the second is formulating peos, which stands for population: postpartum mothers, exposure: postpartum depression, and outcome: the relationship: the impact of husband's support on the incidence of postpartum depression and the study design that was determined was crosssectional, case control, and cohort. the third step is to create keywords to search for national journal articles using the keywords “husband support” and “postpartum depression” or “post-partum depression”. whereas, the use of keywords in the search for international journal articles in this study in the form of "spousal support" or "partner support" or "husband's support" and "postpartum depression" the fourth step is to search for articles using databases such as proquest, portal garuda, pubmed, and science direct with the year of publication from january 2012 january 2022. the fifth step is to determine the inclusion and exclusion criteria, namely articles discussing postpartum depression and husband's support, having a population of postpartum mothers, speaking indonesian and english. then the sixth step is to document the search results in a prism flowchart with the final results as many as 10 journal articles that match the criteria. and science direct with the publication year from january 2012 – january 2022. the fifth step is to determine the inclusion and exclusion criteria, namely articles discussing postpartum depression and husband support, having a population of postpartum mothers, speaking indonesian and english. then the sixth step is to document the search results in a prism flowchart with the final results as many as 10 journal articles that match the criteria. and science direct with the publication year from january 2012 – january 2022. the fifth step is to determine the inclusion and exclusion criteria. the inclusion criteria were the article is about husband’s support and postpartum depression, the article should be available in indonesian and english, and the population should be postpartum mothers. the exclusion criteria were the articles which cant’t be full texted-accessed, the journal without issn or doi, the article which is not then the sixth step is to document the search results in a prism flowchart with the final results as many as 10 journal articles that match the criteria. picture 1. prism flowchart mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 147 in this study, researchers will analyze the results of systematic reviews of journals from various sources that have been gathered beginning with the study's findings in order to develop conclusions that are consistent with the established research objectives. the identification process of systematic review is used to identify journal articles, which include finding similarities (compare), finding differences (contrast), presenting perspectives (criticizing), comparison (synthesize), and summarizing (summarize). the most important aspect of conducting a systematic review in this research is comparing concepts, theories, and hypotheses with literature sources and reading as much literature as possible results literature review results data and conclusions from various journal articles are collected and presented in the form of tables and narratives that describe the presentation in tabular form. study characteristics table 1: study characteristics category n % publication year 2021 3 30 2020 2 20 2019 1 10 2018 0 0 2017 2 20 2016 0 0 2015 1 10 2014 0 0 2013 1 10 2012 0 0 total 10 100% postpartum depression instrument edinburgh postnatal depression scale (epds) 9 90 beck depression inventory (bdi) 1 10 total 10 100% husband support instrument questionnaire 9 93.3 interview 1 6.7 total 10 100% research design case control 1 10 cohort 1 10 cross sectional 8 80 total 10 100% based on the results of the search for journal articles, it was found 10 journal articles that met the inclusion criteria and showed a relationship between husband's support and the incidence of postpartum depression based on the search results of journal articles using keywords. of the 10 journal articles found, there was 1 journal article published in 2013; 1 journal article published in 2015; 2 journal articles published in 2017; 1 journal article published in 2019; 2 journal articles published in 2020; and 3 research journal articles published in 2021. based on the use of the instrument in the research on the incidence of postpartum depression, of the 10 journal articles analyzed, it was found that as many as 9 journal articles used the edinburgh postnatal depression scale (epds) instrument, while for 1 research article used the back depression inventory research instrument as an instrument in measuring postpartum depression. 148 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 144-153 measuring the level of husband's support from 10 journal articles that have been analyzed as many as 9 journal articles using a questionnaire instrument, then there is 1 research journal article that uses an interview instrument to collect husband's support data. of the 10 journal articles analyzed, the majority of the research conducted using a cross-sectional design, namely 8 journal articles, then 1 journal article using a case-study research design and 1 journal article using a cohort research design. research with cross-sectional design is widely used because it has several advantages, such as the ability to study many factors at once, low cost, and the ability to be completed in a short time. characteristics of respondents table 2: characteristics of respondents based on number of respondents, age of respondents, education, occupation, and level of parity category f % number of respondents <100 2 20 101 – 200 2 20 >200 6 60 amount 10 100% respondent age <20 1 0 20-35 9 90 >35 0 0 not mentioned 0 0 amount 10 100% education base 3 30 intermediate 3 30 tall 1 10 not mentioned 3 30 amount 10 100% work housewife 6 60 private employees 2 20 civil servant 0 0 not mentioned 2 20 amount 10 100% parity rate 2 4 40 2 4 40 not mentioned 2 20 amount 10 100% based on 10 journal articles that have been analyzed, the average number of respondents who participated in the study ranged from >200 respondents (60%) with an average age of 20-35 years (90%), the average journal article stated that respondents had a basic education level and medium, in addition there are journal articles that do not mention the level of respondents (30%), the average respondent's occupation is as a housewife (irt) (60%), while for the parity level the average respondent is primiparous and multiparous mothers ( 40%). discussion incidence of postpartum depression according to (janiwarty b, 2013) postpartum depression is a feeling disorder experienced by mothers after giving birth where mothers feel sadness, loss of energy, difficulty concentrating, feelings of guilt and worthlessness. in addition, mothers cry easily, easily despair, are useless in their mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 149 lives, always feel sad, have suicidal ideation, anxiety, and excessive worry about the health of themselves and their babies. based on the results of the analysis of 10 journal articles, there were 9 journal articles which showed that postpartum mothers did not experience postpartum depression with a percentage of 46.4% 91.3% and the remaining 1 journal article showed that postpartum mothers who experienced postpartum depression had the percentage of 53.6%. postpartum mothers who do not experience postpartum depression according to the results of the study (tolongan et al., 2019) because the mother is able to adjust after giving birth, understand the situation after giving birth and not allow herself to be in a bad situation, and often share stories both with other people and her husband so as to make the coping mechanism in postpartum mothers work well. this is in line with research conducted by (rahmandani, 2010) where mothers who have good coping strategies can be caused by mothers always looking for calm, joking, laughing, and diverting attention to other forms of behavior or activities that minimize depression, so that it is very helpful for mothers to undergo physiological and psychological adjustments during the postpartum period. useful in minimizing the occurrence of postpartum depression. meanwhile, the incidence of postpartum depression in postpartum mothers according to the results of the study (eslahi et al., 2021) this is due to the absence of life satisfaction such as environmental conditions that have a negative influence and the existence of stressful life events that make the mother unhappy and burdened. life satisfaction in postpartum mothers according to (moreno maldonado et al., 2020) can be used as a measure of the possibility of postpartum psychological disorders, where life satisfaction can be a protective factor against the negative effects of stressful life events. study (tolongan et al., 2019), also mentioned that postpartum mothers who experience postpartum depression due to pressure problems that make mothers think they are not capable, mothers often believe they cannot take care of their babies and mothers often injure themselves, problems after giving birth make mothers unable to care for babies. postpartum depression causes the mother to lose interest and skills in her baby, cannot identify the baby's needs, refuses to breastfeed her baby, even wants to hurt herself and her baby (nasri et al., 2018) the incidence of postpartum depression is not caused by one factor alone, but can occur from various factors such as a history of previous psychological problems which can be in the form of postpartum blues that occur for a long time and are not immediately resolved so that it can have an impact on the occurrence of postpartum depression. in addition, the change in the role of a mother where the mother cannot adjust herself to baby-rearing activities can make the mother unable to rest enough to recover after giving birth. lack of rest can lead to fatigue, both physically and emotionally, and ultimately trigger postpartum depression. husband's support husband's support is a form of verbal and nonverbal communication in the form of guidance, assistance, or appropriate behavior in the mother's environment after giving birth (friedman & bowden, 2010). based on the results of the analysis of 10 journal articles, there were 6 journal articles which showed that postpartum mothers received husband's support with a percentage of 60% 97.1% and the remaining 4 journal articles showed that postpartum mothers who did not receive husband's support had a percentage of 2.9% 80.8%. the form of husband's support that can be given to postpartum mothers according to (tolongan et al., 2019) it can be a husband who takes care of his wife after giving birth, provides good postpartum care, is always there for the mother after giving birth, and motivates the mother to be a good mother for her baby. in line with (fitriani, 2011) which states that the support that husbands can give to postpartum mothers can be in the form of providing protection and tranquility, providing empathy, trust and attention to their husbands, all of which can affect the emotional calm of postpartum mothers, thus making them feel more valued, comfortable, safe, and loved. meanwhile, the lack of husband's support for postpartum mothers in the study (tolongan et al., 2019) can be described by the act of not paying special attention, the husband let the mother do the work and take care of the baby alone, and the husband did not provide motivation and support, thus making the mother worried about her ability to care for the baby or carry out her role as a mother. in research conducted by (yuliawan, 2014) stated that the lack of husband's support will affect the mother's 150 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 144-153 health, because the husband is the closest person to the mother and must be aware of changes in her partner, this can cause pressure on the mother so that it leads to unfavorable behavior such as not wanting to eat and not paying attention to her health. low husband support in research (alit armini et al., 2017), due to the rules in the ile boleng culture where the position of men and women are not the same, the husband is only in charge of earning a living, not allowed to do housework such as cooking, washing, from these cultural rules cause the husband's lack of attention in devoting affection to his wife. in research (febriana, 2017) explained that culture affects the level of husband support for postpartum mothers, where the culture still influences the customs, rules, and norms in people's lives that regulate husband and wife relationships such as the position between men and women, and includes what obligations must be borne in that culture. the husband is the closest person to the mother who has the responsibility to ensure the health of the mother and is obliged to provide optimal support continuously during pregnancy until delivery. husband's support is very important for a wife, with husband's support it can affect the mother's health both physiologically and psychologically. lack of husband's support can cause pressure on the mother, resulting in unfavorable behavior such as not wanting to eat and not paying attention to her health. the support provided by the husband can be in the form of spending time together, providing motivation and praise, thinking about physical and mental health by creating a comfortable and relaxed atmosphere, and paying attention to changes in the mother during pregnancy and childbirth. relationship of husband's support to postpartum depression the analysis of the 10 journal articles revealed that there is a significant correlation between the incidence of postpartum depression and the availability of husband support. accordingly, the higher the level of husband support, the lower the risk of postpartum depression in postpartum mothers, and the opposite is true if the husband does not provide support. in postpartum mothers, it may raise the risk of postpartum depression. the main source of support for women in the postpartum period is their partners, according to a study result (kızılırmak et al., 2021), and the correlation between perceived husband support and postpartum depression has shown that providing more husband support results in a lower risk of postpartum depression. this is consistent with study (alasoom & koura, 2014), which found that 42.9% of women who did not receive partner support had a high risk for postpartum depression whereas 14.7% of women who did were at low risk. husband's support has a significant influence on the occurrence of depression in postpartum mothers. this is because after the postpartum mother goes through labor, the mother will experience hormonal changes such as a drastic decrease in the hormones estrogen, progesterone, hcg and also endorphins where these hormonal changes can affect the emotional stability of postpartum mothers. the husband is the first person who is crucial in preserving the mother's physical and mental health by offering support to the mother after giving birth. the support given by the husband during the postpartum period can make the mother feel happy and happy with her new role as a mother. the feeling of happiness and pleasure that postpartum mothers get with the provision of husband support can certainly increase the production of endorphins in the mother's body (asmayanti, 2017). study (urbayatun, 2012), stated that women who did not get adequate support from their husbands were more likely to feel worthless and uncared for by their husbands and families, thus making women who did not receive support from their husbands during the postpartum period more likely to experience feelings of depression. so that it can be interpreted that the provision of husband's support can affect the mother's daily life and play an important role in the occurrence of postpartum depression in postpartum mothers. management of mothers with postpartum depression can be done with pharmacological and non-pharmacological therapy based on the severity and symptoms experienced by the patient. mother, including the mother's ability to care for and interact with the baby. if only mild symptoms occur, then intervention can be done social services in the form of increased support for mothers such as support from family, peers, and counseling from health practitioners. support that can be given is in the form of emotional support such as providing protection, calm, and a sense of security to the mother (sari, 2020). when it comes to postpartum depression, formal psychotherapy with a psychiatrist is an option for those with moderate to severe symptoms or for those with mild symptoms who are not responding to psychosocial intervention. examples of these mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 151 therapies include cognitive behavioral therapy (cbt) and interpersonal therapy (ipt). currently, the husband can help the mother with instrumental support in the form of meeting her financial needs, informational support in the form of assisting her in finding treatment information, and reward support in the form of praising and encouraging the mother (sari, 2020). changes in postpartum women both physiologically and psychologically can make postpartum women feel depressed and cannot live it well, if this happens for a long time it can result in postpartum depression. the husband's support can help postpartum mothers to undergo these changes well. the support provided can give strength to postpartum mothers so that postpartum mothers are more prepared, happy, and have high confidence to be able to complete the changes during the postpartum period so that postpartum mothers can avoid postpartum depression. research limitations the limitation of this study is that there are several journal articles studied that do not explain the incidence of postpartum depression based on its severity, such as non-depression, mild depression, moderate depression, and major depression, making it difficult for researchers to analyze the incidence of depression in postpartum mothers. conclusion it is possible to draw the following conclusions from the identification, analysis, and discussion outcomes of the 10 journal articles discussed in the preceding chapter such as according to the findings of researchers' examination of scientific articles, the majority of postpartum women do not experience postpartum depression.the majority of spouses assist their postpartum partners, and there is a connection between providing husband support and the likelihood of postpartum depression; the more support a husband provides, the less likely it is that a woman would experience postpartum depression after giving birth, and the reverse is also true. suggestion further researchers are expected to enable other academics field of study to carry out study on the numerous factors that influence the occurrence of postpartum depression. it is hoped that relevant agencies and health workers can provide health information to prevent and overcome postpartum depression, as well as provide health services, especially postpartum maternal care, and carry out health promotion efforts in the form of public education about postpartum depression, emphasizing the importance of husband's support. moreover, it is hoped that the general public can gain knowledge and insight about postpartum depression, so that it can help reduce the prevalence of postpartum depression. acknowledgement we thank health polytechnic ministry of malang for giving permission to this research and gave full support until it was done. funding this research was funded by the first author and the publication fee was funded by second author. conflicts of interest there’s no conflict of interest in this research. author contributions this research was done by the first actor, and the second and third author became advisor during the process and also did the publication. refference alasoom, l., & koura, m. (2014). predictors of postpartum depression in the eastern province capital of saudi arabia. journal of family medicine and primary care, 3(2). https://doi.org/10.4103/2249-4863.137654 alit armini, n. k., tristiana, r. d., & ose tokan, a. (2017). husband’s support is needed to prevent postpartum depression. advances in health sciences research, 3. https://doi.org/10.2991/inc-17.2017.7 arimurti, i. s., pratiwi, r. d., & ramadhina, a. r. (2020). studi literatur faktor faktor yang mempengaruhi kejadian depresi postpartum. edu dharma journal: jurnal penelitian dan pengabdian masyarakat, 4(2). https://doi.org/10.52031/edj.v4i2.53 asmayanti. (2017). hubungan dukungan suami dengan kejadian depresi postpartum di rsud panembahan senopati bantul yogyakarta [stikes jenderal achmad yani yogyakarta]. http://repository.unjaya.ac.id/2119/ 152 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 144-153 da silva tanganhito, d., bick, d., & chang, y. s. (2020). breastfeeding experiences and perspectives among women with postnatal depression: a qualitative evidence synthesis. women and birth, 33(3). https://doi.org/10.1016/j.wombi.2019.05.0 12 delgado-rodríguez, m., & sillero-arenas, m. (2018). systematic review and metaanalysis. medicina intensiva, 42(7), 444– 453. https://doi.org/10.1016/j.medin.2017.10. 003 eslahi, z., bahrami, n., allen, k. a., & alimoradi, z. (2021). spouse’s social support in the postpartum period, predictors and its relationship with postpartum depression in a sample of iranian primiparous women. international journal of gynecology and obstetrics, 154(1). https://doi.org/10.1002/ijgo.13488 febriana, w. e. (2017). hubungan dukungan suami dalam prespektif budaya madura dengan adaptasi psikologis ibu hamil dalam menghadapi persalinan di kecamatan kendit situbondo. universitas muhammadiyah jember. fitriani, i. k. (2011). dukungan keluarga terhadap pelaksanaan pemeriksaan kesehatan pranikah sebagai upaya pembentukan keharmonisan keluarga: studi di desa sangen, kecamatan geger, kabupaten madiun etheses of maulana malik ibrahim state islamic university [universitas islam negeri maulana malik ibrahim malang]. http://etheses.uin-malang.ac.id/1426/ friedman, m. m., & bowden, r. v. (2010). buku ajar keperawatan keluarga : riset, teori, dan praktek. edisi ke-5. jakarta: egc. in egc (5th ed., vol. 66, issue 2011). egc. http://r2kn.litbang.kemkes.go.id:8080/xml ui/handle/123456789/77595 gelaye, b., rondon, m. b., araya, r., & williams, m. a. (2016). epidemiology of maternal depression, risk factors, and child outcomes in low-income and middle-income countries. in the lancet psychiatry (vol. 3, issue 10). https://doi.org/10.1016/s22150366(16)30284-x janiwarty b. (2013). pendidikan psikologi untuk bidan suatu teori dan terapannya. jurnal kesehatan, january. king, p. a. l. (2012). replicability of structural models of the edinburgh postnatal depression scale (epds) in a community sample of postpartum african american women with low socioeconomic status. archives of women’s mental health, 15(2). https://doi.org/10.1007/s00737-012-0260-8 kızılırmak, a., calpbinici, p., tabakan, g., & kartal, b. (2021). correlation between postpartum depression and spousal support and factors affecting postpartum depression. health care for women international, 42(12). https://doi.org/10.1080/07399332.2020.17 64562 kusuma, p. d. (2017). karakteristik penyebab terjadinya depresi postpartum pada primipara dan multipara. in jurnal keperawatan notokusumo: vol. v (issue 1). kusuma, r. (2019). karakteristik ibu yang mengalami depresi pospartum. jurnal ilmiah universitas baiturrahim jambi, 19(1), 99–103. https://doi.org/10.33087/jiubj.v19i1.571 moreno maldonado, c., jiménez iglesias, a., camacho, i., rivera, f., moreno, c., & matos, m. g. (2020). factors associated with life satisfaction of adolescents living with employed and unemployed parents in spain and portugal: a person focused approach. children and youth services review, 110. https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2019.1 04740 nasri, z., wibowo, a., & ghozali, e. w. (2018). faktor determinan depresi postpartum di kabupaten lombok timur. buletin penelitian sistem kesehatan, 20(3), 89–95. https://doi.org/10.22435/hsr.v20i3.6137. 89-95 nurbaeti, i., achir, y., & hamid, s. (2019). analisis hubungan antara karakteristik ibu, kondisi bayi baru lahir, dukungan sosial dan kepuasan perkawinan dengan depresi postpartum di rsab harapan rita jakarta, agustus 2002 [universitas indonesia]. https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=72174 rahmandani, a. (2010). strategi penanggulangan (coping) pada ibu yang mengalami postpartum blues di rumah sakit umum daerah kota semarang. jurnal psikologi undip, 5(1). ramaya, d. f. (2021). literatur riview: hubungan dukungan sosial terhadap kejadian depresi pada ibu postpartum [universitas mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 153 andalas]. http://scholar.unand.ac.id/74047/ sari, r. a. (2020). literature review: depresi postpartum. jurnal kesehatan, 11(1). https://doi.org/10.26630/jk.v11i1.1586 sumantri, r.a., budiyani, k. (2015). dukungan suami dan depresi pasca melahirkan. insight, vol.17 no.1, februari 2015, 29-38. sunarti. (2013). asuhan kehamilan (1st ed.). in media. https://opac.perpusnas.go.id/detailopac.as px?id=991081 tolongan, c., korompis, g. e. ., & hutauruk, m. (2019). dukungan suami dengan kejadian depresi pasca melahirkan. jurnal keperawatan, 7(2). https://doi.org/10.35790/jkp.v7i2.24453 urbayatun, s. (2012). dukungan social dan kecenderungan depresi postpartum pada ibu primipara di daerah gempa bantul. in humanitas (jurnal psikologi indonesia) (vol. 7, issue 2). wahyuningsih, p. (2018). bahan ajar kebidanan asuhan kebidanan nifas dan menyusui. jakarta. kementrian kesehatan ri. who. (2018). panduan kesehatan dalam kebidanan. who. yuliawan, d. (2014). pengaruh dukungan suami terhadap kesejahteraan ibu nifas di wilayah kerja puskesmas kecamatan miri kabupaten sragen. universitas muhammadiyah surakarta. 379 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk determinants factors of pre-eclampsia incidence sri rahayu1, endah kamila mas’udah2, lisa purbawaning wulandari3 1,2,3midwifery department, health polytechnic of malang, indonesia article information abstract maternal mortality rate (mmr) is one indicator in describing the welfare of society in a country. mmr in indonesia in 2020 has increased compared to 2019. in 2019, mmr in east java province reached 89.81 per 100,000 live births. this figure will increase in 2020 to 98.39 per 100,000 live births. an important issue in malang regency related to maternal and child health is the high mmr. preeclampsia is the 3rd largest case along with cases of infection and postpartum bleeding. the purpose of this research was to see a description of the determinants associated with the incidence of preeclampsia and to find the most dominant determinants causing preeclampsia in kanjuruhan hospital, malang regency. the type of the research was descriptive with a documentation study approach from the medical records of rsud kanjuruhan malang. the analysis technique used descriptive analysis. the results of the research showed that the age data of most of the pregnant women were in high risk age (more than 35 years) as many as 28 mothers (56%), the distance between pregnancies in pregnant women with preeclampsia was mostly more than 2 years (64%), the highest parity of women with preeclampsia was multipara (68%), most of the women had never had an abortion (72%) and the gestational age of most women with preeclampsia was term (76%). factors that determine the incidence of preeclampsia are age, gestation interval, parity and gestational age. further research is needed to determine other factors that cause preeclampsia. history article: received, 27/07/2022 accepted, 29/12/2022 published, 30/12/2022 keywords: pregnant mother, preeclampsia, determinant factor © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: health polytechnic of malang east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : lisa_purbawaning@poltekkes-malang.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p379-386 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:lisa_purbawaning@poltekkes-malang.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p379-386 380 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 379-386 introduction maternal mortality rate (mmr) is one indicator in describing the welfare of society in a country. maternal death according to who is death during pregnancy or within 42 days after termination of pregnancy, due to all causes related to or aggravated by pregnancy or its management, but not due to accident/injury. the number of maternal deaths compiled from the recording of family health programs at the ministry of health in 2020 shows 4,627 deaths in indonesia. this number shows an increase compared to 2019 of 4,221 deaths. based on the causes, the majority of maternal deaths in 2020 were caused by bleeding as many as 1,330 cases, hypertension in pregnancy as many as 1,110 cases, and disorders of the circulatory system as many as 230 cases (kementrian kesehatan ri, 2021). in 2019, the maternal mortality rate in east java province reached 89.81 per 100,000 live births. this figure will increase in 2020 to 98.39 per 100,000 live births. the three highest causes of maternal death in east java in 2020 were hypertension in pregnancy, which was 26.90% or 152 people, bleeding was 21.59% or 122 people, and other causes, namely 37.17% or 210 people. other causes fell because some of them entered the criteria for causing metabolic disorders, and some of them entered the criteria for blood circulation disorders. efforts to reduce maternal mortality due to hypertension in pregnancy and bleeding continue to be carried out and be alert to other causes (dinas kesehatan provinsi jawa timur, 2021). preeclampsia is a specific multi-systemic disorder in pregnancy characterized by the onset of hypertension and proteinuria after 20 weeks of gestation (a. setyawati et al., 2018). handling of pregnant women with preeclampsia must be done quickly and appropriately, because preeclampsia can cause serious complications for the mother and fetus. the cause of preeclampsia is not known with certainty, but there are determinant factors associated with preeclampsia, including age, gestational age, parity, history of abortion and gestational age. in addition to being at risk during pregnancy, preeclampsia also greatly affects the fetus and baby born, the high incidence of preeclampsia in indonesia also greatly affects the condition of the fetus and perinatal. the incidence of severe preeclampsia and eclampsia causes maternal mortality in the range of 1.5% to 25%, while infant mortality is between 45% to 50%. malang regency is the second largest regency and is the regency with the largest population in east java with the capital city located in kepanjen. important issues in malang regency related to maternal and child health, one of which is the high mmr and imr as well as nutritional problems. in 2017, obstetric complications occurred as much as 43.89% and postpartum complications were recorded at 52.94%. this complication contributed to the death rate of 9 people in 2017. preeclampsia was the 3rd largest case along with cases of infection and postpartum bleeding. the number of occurrences of preeclampsia in kanjuruhan kepanjen hospital, malang regency itself in 2015 reached 219 events and increased to 292 events in 2016. seeing these conditions, all health workers and all levels of society need to be alert to the signs of preeclampsia symptoms that appear, this can be attempted by looking for the determinant factors that have the most influence on the incidence of preeclampsia so that appropriate anticipation and treatment can be given early. the purpose of this research was to identify the determinants associated with the incidence of preeclampsia and to find the most dominant determinants causing preeclampsia in kanjuruhan hospital, malang regency. method the type of research is descriptive with a documentation study approach from the medical records of rsud kanjuruhan malang. the data taken were the medical records of patients diagnosed with preeclampsia from september to december 2021 in a total of 50 medical records. the data obtained was then tabulated and analyzed. the analysis technique used descriptive analysis. the analysis was used to describe the data obtained from the patient's medical records regarding the determinants of preeclampsia (age, gestational distance, parity, history of abortion and gestational age) with a frequency distribution. the author used a descriptive method because it was appropriate to describe the phenomenon being studied. this research has gone through an ethical test from the health research ethics committee of kanjuruhan hospital and obtained a certificate of ethics eligibility with the number 072.1/ea.kepk021/35.07.208/2021 rahayu, mas’udah, wulandari, determinants factors of pre-eclampsia incidence … 381 results characteristics of respondents characteristics of research respondents are described based on education, occupation and religion. the following characteristics of respondents are presented in table 1. table 1: characteristics of respondents characteristics frequency percent (%) a education 1 did not finish sd/equivalent 15 30 2 sd/ equivalent 8 16 3 middle school/equivalent 13 26 4 high school/equivalent 13 26 5 college 1 2 total 50 100 b profession 1 private 39 78 2 civil servant 0 0 3 trader 1 2 4 farmer 0 0 5 teacher 0 0 6 doesn't work 10 20 total 50 100 c religion 1 islam 50 100 2 hindu 0 0 3 budha 0 0 4 kristen 0 0 5 katolik 0 0 6 kong hu cu 0 0 total 50 100 source: primary data, 2021 based on table 1 of the characteristics of the respondents above, it can be concluded that the majority of respondents have an education not graduated from elementary school/equivalent (30%). most of the respondents have private jobs (78%), and all respondents are muslim (100%). determinant factors of preeclampsia table 2 determinant factors of preeclampsia determinant factor frequency percent (%) a respondent age 1 <20 2 4 2 20-35 22 44 3 >35 28 56 total 50 100 b pregnancy distance 1 <2 year 18 36 2 >2 year 32 64 382 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 379-386 determinant factor frequency percent (%) total 50 100 c parity 1 nullipara 1 2 2 primipara 12 24 3 multipara 34 68 4 grandemultipara 3 6 total 50 100 d abortion history 1 once 14 28 2 never 36 72 total 50 100 e usia kehamilan 1 prematur 12 24 2 aterm 38 76 3 serotinus 0 0 total 50 100 source: primary data, 2021 based on the research data in table 2 of the determinant factors of preeclampsia, it was found that the majority of pregnant women with preeclampsia were more than 35 years old (56%), with most of the pregnancy intervals being more than 2 years (60%). the majority of pregnant women with preeclampsia were multiparous (68%) and had never had an abortion (72%). most of the pregnant women gave birth at term (78%). complications of preeclampsia in mother and newborn table 3: complications of preeclampsia in mothers and newborns characteristics frequency percentage a type of delivery 1 sectio caesaria 38 76 2 vaginal 12 24 total 50 100 b penyulit persalinan 1 prematurity 12 24 2 precipitatus 1 2 3 bleeding 5 10 4 iufd 3 6 5 iugr 3 6 6 no complications 26 52 total 50 100 c kondisi bayi baru lahir 1 asphyxia 28 56 2 lbw 24 48 3 disabled/died baby 5 10 4 normal 19 38 source: primary data, 2021 rahayu, mas’udah, wulandari, determinants factors of pre-eclampsia incidence … 383 discussion preeclampsia is a specific multi-systemic disorder in pregnancy characterized by the onset of hypertension and proteinuria after 20 weeks of gestation (a. setyawati et al., 2018). handling of pregnant women with preeclampsia must be done quickly and appropriately, because preeclampsia can cause serious complications for the mother and fetus. the cause of preeclampsia is not known with certainty, but there are determinant factors associated with preeclampsia. age is one of the determinants of the incidence of preeclampsia in pregnant women. based on the results of research conducted on pregnant women with preeclampsia at kanjuruhan hospital, the age of most of the pregnant women is high risk age (more than 35 years) as many as 28 mothers (56%). this is in line with several previous studies, that there is a relationship between age and the incidence of preeclampsia (hutabarat et al., 2016; legawati & utama, 2017; mother, 2020). pregnant women with a high risk age, namely less than 20 years and more than 35 years have a 2 times effect on the incidence of preeclampsia/eclampsia compared to reproductive age (fatmawati et al., 2017). the risk of preeclampsia increases with increasing age of pregnant women. research conducted at dr. rsup. m. djamil padang by denantika showed the results that there was a 5 times increased risk of experiencing preeclampsia in pregnant women with high risk age compared to pregnant women at low risk age (denantika et al., 2015). mothers who are too young (<20 years old) have a uterus that is not mature enough to give birth so they are prone to preeclampsia. pregnant women with the age of more than 35 years are classified as too old to give birth, especially in primitua and are at high risk of experiencing preeclampsia (santoso & kurniati, 2018). pregnant women with a high risk age, both too young and too old, need more assistance to detect complications in pregnancy and childbirth, especially preeclampsia. based on the results of the research, the distance between pregnant women with preeclampsia was mostly more than 2 years (64%). pregnancy spacing is one of the risk factors for preeclampsia. research conducted by meidini, et al (2020) showed that gestational distance had a significant relationship with the incidence of preeclampsia. pregnant women with a gestational distance of >5 years have a 5.465 times greater risk than pregnant women with a gestational distance of less or equal to 5 years (rahmah, meidini ch, 2020). several studies also suggest that there is a relationship between gestational distance and the incidence of preeclampsia in pregnant women (widiastuti et al., 2019; yuliani & hastuti, 2019). cormick et al (2016) conducted a study on gestational spacing and stated that when compared with 2-4 years of gestation, shorter gestational intervals (<2 years) were not associated with an increased risk of recurrent preeclampsia, but longer gestational intervals (>4 years). years) appears to increase the risk of preeclampsia (cormick et al., 2016). this shows that pregnancy is too far apart or more than 2 years to be one of the factors that increase the risk of preeclampsia. the results showed that the highest parity in mothers with preeclampsia was multipara (68%). parity is a determinant factor for the occurrence of preeclampsia. research conducted by yenny, et al (2021) shows that there is a relationship between parity and the incidence of preeclampsia (aulya et al., 2021). parity is one of the most common causes for pregnant women to experience preeclampsia. the younger a person's pregnancy (primipara) or the more someone gives birth (grandemultipara) the greater the chance that the pregnant woman will experience preeclampsia. this is due to the fact that women who are pregnant for the first time and at a young age are more prone to developing preeclampsia due to the immaturity of the reproductive organs to get pregnant, while women who have repeatedly experienced childbirth are more likely to have weak body and health conditions so that they are likely to get preeclampsia. larger (prawirohardjo, 2014). a literature review conducted by setyawati (2021) also confirms this. of the 10 journals reviewed by the authors, all of them stated that there was a parity relationship with the incidence of preeclampsia in pregnant women (r. setyawati, 2021). abortion history obtained in this research, most of the mothers had never experienced an abortion (72%) while 14 (28%). research conducted by yuni retnowati stated that there was no significant relationship between a history of abortion and the incidence of preeclampsia (retnowati, 2021). this is corroborated by several previous studies which stated that there was no relationship between a 384 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 379-386 history of abortion and the incidence of preeclampsia (gustri et al., 2016). this happens because mothers who have a history of previous abortions tend to pay attention to the health conditions of themselves and the fetus they contain with antenatal care to health services. based on the results of the research, it is known that the gestational age of the majority of mothers with preeclampsia is term (76%). research conducted by ayatullah harun et al at the sheikh yusuf hospital gowa showed that there was a relationship between gestational age and the incidence of preeclampsia (harun et al., 2019). in line with this research, marniati et al (2016) stated in their research that there was a relationship between gestational age and the incidence of preeclampsia with an or value of 4,429, which means that mothers whose gestational age is in the third trimester have 4,429 times the risk of experiencing pre-eclampsia compared to mothers whose gestational age is in the second trimester (marniati et al., 2019). gestational age is also a factor that can cause a mother to suffer from preeclampsia. gestational age is divided into three trimesters, namely the first trimester of gestational age 0 to 13 weeks, the second trimester 14 to 28 weeks and the third trimester 29 to 40 weeks. considered vulnerable to the occurrence of severe pre-eclampsia is the third trimester of pregnancy (prawirohardjo, 2014) according to hasmawati (2012), the incidence of pre-eclampsia in the second trimester of pregnancy can occur and have the same opportunities as pregnancy in the third trimester. therefore, early detection is very important for pregnant women with regular and quality antenatal care (hasmawati, 2012). the most dominant determinant factor influencing this research is the respondent's age. because of the age of respondents who are at high risk of experiencing preeclampsia as much as 56% and have a 5-fold risk compared to pregnant women with a low-risk age. coupled with the education level of pregnant women with preeclampsia, most of whom did not finish elementary school/equivalent (30%), it is very important to use a humanistic approach to the mother to detect preeclampsia early and prevent complications in the mother and the fetus she contains. conclusion the results of the research conducted on 50 pregnant women with preeclampsia at kanjuruhan hospital, malang regency, found that the determinants of the incidence of preeclampsia were age, pregnancy distance, parity and gestational age. suggestion it is necessary to conduct further research on other determinant factors that influence the incidence of preeclampsia. it is very important to develop a tool for self-screening of preeclampsia that is easy for pregnant women. acknowledgement our deepest gratitude are given to director of health polytechnic of the health ministry of malang and director of kanjuruhan hospital so that this research can be carried out properly. funding this research was fully funded by dipa poltekkes, ministry of health, malang. conflicts of interest the authors in this research do not have affiliation with or involvement in any organization or entities with financial or non-financial interests’ interest in the subject matter or material discussed in this script. author contributions the main author has thoughts based on the phenomenon of the still high incidence of preeclampsia pregnancies. then the main author compiled a conceptual framework based on theory, determined the research design and designed a data collection plan. author members discuss research plans, develop instruments and perform data collection and data analysis. after the data analysis was completed, the main author together with coauthors conducted discussions, compile articles, and conduct discussions based on the theory and results of previous research. the main author makes the final approval of the article to be published. author member 1 as the corresponding author compiles journal manuscripts, submits journals and revises articles according to reviewer input. refferences aulya, y., silawati, v., & safitri, w. (2021). analisis preeklampsia ibu hamil pada masa pandemi covid-19 di puskesmas sepatan kabupaten tangerang tahun 2021. jurnal rahayu, mas’udah, wulandari, determinants factors of pre-eclampsia incidence … 385 akademika baiturrahim jambi, 10(2), 375– 384. http://jab.stikba.ac.id/index.php/jab/article/ view/387 cormick, g., betrán, a. p., ciapponi, a., hall, d. r., & hofmeyr, g. j. (2016). interpregnancy interval and risk of recurrent pre-eclampsia: systematic review and metaanalysis. reproductive health, 13(1), 1–10. https://reproductive-healthjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186 /s12978-016-0197-x denantika, o., serudji, j., & revilla, g. (2015). hubungan status gravida dan usia ibu terhadap kejadian preeklampsia di rsup dr. m. djamil padang tahun 2012-2013. jurnal kesehatan andalas, 4(1). http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/ar ticle/view/224 dinas kesehatan provinsi jawa timur. (2021). profil kesehatan provinsi jawa timur 2020. in dinas kesehatan provinsi jawa timur. www.dinkesjatengprov.go.id fatmawati, l., sulistyono, a., & notobroto, h. b. (2017). pengaruh status kesehatan ibu terhadap derajat preeklampsia/eklampsia di kabupaten gresik. buletin penelitian sistem kesehatan, 20(2), 52–58. https://repository.unair.ac.id/99895/ gustri, y., sitorus, r. j., & utama, f. (2016). determinan kejadian preeklampsia pada ibu hamil di rsup dr. mohammad hoesin palembang. jurnal ilmu kesehatan masyarakat, 7(3), 209–217. http://ejournal.fkm.unsri.ac.id/index.php/jik m/article/view/192 harun, a., anita, a., & putri, n. b. (2019). faktor yang berhubungan terhadap kejadian preeklampsia di rsud syekh yusuf gowa tahun 2019. jurnal kesehatan delima pelamonia, 3(1), 35–41. http://ojs.iikpelamonia.ac.id/index.php/deli ma/article/view/131 hasmawati, d. (2012). faktor-faktor yang berhubungandengan kejadian pre eklmapsi pada kehamilan di rsud embung fatimah kota batam. batam: universitas batam. jurnal fk unand. hutabarat, r. a., suparman, e., & wagey, f. (2016). karakteristik pasien dengan preeklampsia di rsup prof. dr. rd kandou manado. eclinic, 4(1), 31–35. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclin ic/article/view/10936 kementrian kesehatan ri. (2021). profil kesehatan indonesia 2020. in kementrian kesehatan republik indonesia. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/do wnload/pusdatin/profil-kesehatanindonesia/profil-kesehatan-indonesiatahun-2020.pdf legawati, l., & utama, n. r. (2017). analisis faktor risiko kejadian preeklampsia berat di rsud rujukan kabupaten dan provinsi kalimantan tengah. jurnal surya medika (jsm), 3(1), 19–37. http://journal.umpalangkaraya.ac.id/index.p hp/jsm/article/view/210 marniati, m., rahmi, n., & djokosujono, k. (2019). analisis hubungan usia, status gravida dan usia kehamilan dengan pre-eklampsia pada ibu hamil di rumah sakit umum dr. zaionel abidin provinsi aceh tahun. journal of healthcare technology and medicine, 2(1), 99–109. http://jurnal.uui.ac.id/index.php/jhtm/arti cle/view/353 mother, i. n. p. (2020). analisa determinan yang berhubungan dengan preeklampsia berat pada ibu hamil. jurnal smart kebidanan, 7(1), 41–46. https://scholar.archive.org/work/aqaiegyytf cppo5nq5wgabazn4/access/wayback/http:// stikesyahoedsmg.ac.id/ojs/index.php/sjkb/a rticle/download/298/pdf prawirohardjo, s. (2014). ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo. in jakarta: pt. bina pustaka sarwono prawirohardjo. rahmah, meidini ch, r. d. s. n. z. (2020). hubungan umur, paritas, dan jarak kehamilan dengan kejadian preeklampsia di rsud panembahan senopati bantul. universitas gadjah mada. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/de tail/184464 retnowati, y. (2021). the determinants of preeclampsia in pregnant women of tarakan. international journal of science, technology & management, 2(5), 1808– 1811. 386 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 379-386 https://ijstm.inarah.co.id/index.php/ijstm/ar ticle/download/350/306 santoso, s., & kurniati, a. (2018). faktor risiko preeklampsia ibu bersalin di rsud wonosari tahun 2017 risk factors preeclampsia on intrapartum mothers at rsud wonosari in 2017. poltekkes kemenkes yogyakarta. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1462/ setyawati, a., widiasih, r., & ermiati, e. (2018). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian preeklampsia di indonesia. jurnal perawat indonesia, 2(1), 32–40. http://journal.ppnijateng.org/index.php/jpi/a rticle/view/38 setyawati, r. (2021). literature review hubungan paritas dengan kejadian preeklampsia pada ibu hamil. stikes insan cendekia medika jombang. http://repo.stikesicmejbg.ac.id/5856/ widiastuti, y. p., rimawati, u., & istioningsih, i. (2019). indeks massa tubuh (imt), jarak kehamilan dan riwayat hipertensi mempengaruhi kejadian preeklampsia. jurnal ilmu keperawatan maternitas, 2(2), 6–22. https://www.journal.ppnijateng.org/index.p hp/jikm/article/view/377 yuliani, d. r., & hastuti, p. (2019). hubungan jarak kehamilan dengan tekanan darah ibu hamil preeklampsia. jurnal sains kebidanan, 1(1), 7–11. https://ejournal.poltekkessmg.ac.id/ojs/index.php/jsk/article/view/5 436. 84 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk analysis of factors affecting the motivation of elderly to follow the covid19 vaccine in bedoro sragen village tri susilowati1, erika dewi noorratri2 1,2nursing department, universitas 'aisyiyah surakarta, indonesia article information abstract the covid-19 disease caused by the sars-cov 2 virus has worried the world. who (world health organization) declared covid-19 a pandemic so that who implemented a world health emergency status. more than 800 thousand people in indonesia have been infected with covid 19 and the number who have died was over 25 thousand people. central java provincial government data showed that the number of positive confirmed cases of covid-19 in sragen regency was 2,694. data compiled from the sragen district health office, there were 775,774 vaccination targets in the sragen area, including 118,893 elderly people. as for the elderly target group, 49,987 people or 42.01% have been successfully vaccinated. to analyze the factors that influence the motivation of the elderly in participating in the covid-19 vaccine in the bedoro subdistrict, sambungmacan, sragen. the method used in this research was an analytic survey with a cross sectional approach. the results showed that most of the respondents' education level was in the basic education category, namely 67 (50.4%). most of the respondents' knowledge was in the sufficient knowledge category, namely 113 (85%). most of the respondents' perceptions were in the category of sufficient perception, namely 114 (85.7%). most of the family support was in the adequate family support category, namely 112 (84.2%). most of the motivation was in the category of moderate motivation, namely 111 (83.5%). the factor that most influences the elderly to take the covid 19 vaccination was family support ((exp(b): 2,488). family support was the factor that most influences the elderly to take the covid 19 vaccination. history article: received, 01/02/2023 accepted, 17/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: motivation’s factors, elderly, vaccination © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas 'aisyiyah surakarta – central java, indonesia p-issn : 2355-052x email : nonik_respati@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p084-091 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:nonik_respati@yahoo.co.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p075-083 susilowati, noorratri, analysis of factors affecting the motivation of elderly to follow the … 85 introduction the covid-19 disease caused by the sarscov 2 virus has worried the world. who (world health organization) declared covid-19 a pandemic so that who implemented a world health emergency status. since february 2020, cases have continued to increase in indonesia (elgaputra et al., 2020). more than 800 thousand people in indonesia have been infected with covid 19 and the number who have died was over 25 thousand people (anastasia, 2021). data from the central java provincial government showed that the number of positive confirmed cases of covid-19 in the sukoharjo regency health office was 76, sragen regency health office was 2,694, klaten regency health office was 353, karanganyar regency health office was 2,125, boyolali regency health office was 1,801, wonogiri regency health office was 1,833. meanwhile, the city of solo (surakarta) continued to increase with cumulative cases of almost touching 7,000 cases. to be precise, there were 6,955 solo residents who have been confirmed positive for corona (pemprof jateng, 2021). in order to prevent the wider spread of the virus, various efforts have been made by the government. the ministry of health issued guidelines for prevention and control of coronavirus disease (covid-19), circular letter number hk.02.01/menkes/2020 concerning self-isolation protocols in handling coronavirus disease (covid-19), the decision of the ministry of health number hk 01.07/menkes/182/2020 concerning the examination network for the testing laboratory for coronavirus disease (covid-19), as well as decree of the minister of health of the republic of indonesia number hk.01.07/menkes/169/2020 concerning the establishment of referral hospitals for the management of certain emerging infectious diseases. various protocols have also been issued, such as area and public transportation protocols, educational institution area protocols, health protocols, public communication protocols, protocols for entering indonesian territory (airports, ports, plbdn) (puslitbang sumber daya & pelayanan kesehatan, 2021). the struggle against the covid-19 pandemic is not over. until the end of april 2021, covid-19 has infected at least 1.69 million people in indonesia. even so, we deserved to be optimistic considering the daily cases which were starting to show a decline entering march 2021. this very positive trend was influenced by the government's decision to implement the community-based micro ppkm (implementation of restrictions on community activities) policy at the smallest level. this decision turned out to have a positive impact because it directly involved the community in handling the covid-19 pandemic. but a reduction in daily cases alone is not enough. indonesia must be able to control the spread of covid-19 so that the daily positivity rate drops below 5%. currently, the daily positivity rate in indonesia fluctuates in the range of 10-12%. with the transmission that continues to this day, public awareness in implementing health protocols and supporting vaccination programs must be maintained (satgas penanganan covid 19, 2021). the government has declared covid-19 a nonnatural national disaster through presidential decree number 12 of 2020. the chairperson of the pb idi covid-19 vaccination advocacy team emphasized the importance of elderly community groups to get vaccinated immediately. the seriousness of covid19 was corroborated by the fact that the highest death rate, or risk of death, occurs in elderly patients. so it was very important that this group get the vaccine immediately. there shouldn't be any doubts about receiving vaccinations that are already available for the elderly, unless they were currently sick or if they have had covid-19 before or simply cannot receive vaccines due to medical conditions (satgas penanganan covid 19, 2021). the covid-19 task force said that 10.7 percent of positive confirmed cases of covid-19 attacked the elderly or people aged 60 years and over. in fact, this age group recorded 48.8 percent of cases of patients who died from covid-19. the elderly were also the age group with the largest number of deaths compared to other age groups. of the total 37,154 covid-19 patients who died in indonesia as of march 2021, 18,131 were elderly. this means that the elderly need special attention in order to be protected from the various risks of covid-19. one way was to maintain daily nutrition and administer vaccines for the elderly (satgas penanganan covid 19, 2020). the covid-19 vaccination program for the category of elderly over 60 years old was started by the government on 8 of february, 2021, and can be carried out in health facilities, both in health centers and hospitals owned by the government and private companies. vaccination for the elderly was a followup to the issuance of an emergency use 86 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 86 authorization (eua) from the food and drug supervisory agency (bpom) for the vaccine (satgas penanganan covid 19, 2021). currently the government was running a vaccination program for the elderly. the elderly in indonesia currently reached 28.7 million people or 10.6 percent of the total population, but only 21.5 million people were targeted to receive vaccinations during this covid-19 vaccination program for the elderly. giving vaccines to the elderly must be done carefully and go through a rigorous screening process before the doctor decides to give approval for vaccination (satgas penanganan covid 19, 2021). the vaccination rate for the elderly in indonesia in february 2022 was vaccine dose 1 of 74.39%, vaccine dose 2 of 51.98% and vaccine dose 3 of 5.53% (ministry of health ri, 2022). vaccination coverage in sragen regency was in the top 10 in central java with a percentage of around 32%. vaccination coverage was also one of the indicators of lowering the level of community activity restrictions (ppkm). the coverage of vaccination doses for dropping from ppkm level 3 to 2 was as much as 50% of vaccination dose 1 and 40% of vaccination for the elderly (miyos, 2022). based on data collected from the sragen district health office, there were 775,774 vaccination targets in the sragen area, including 118,893 elderly people. vaccination coverage in general has reached 388,369 people, or 50.06%. as for the elderly target group, 49,987 people or 42.01% have been successfully vaccinated (mega, 2022). however, the achievement of vaccination of the elderly has not reached the target of 100%. to be able to achieve more targets, there needs to be encouragement or motivation for the elderly and families with the elderly to take part in the covid 19 vaccination program. motivating the elderly to take part in vaccinations is a form of affection and protects against covid-19 the motivation of the elderly and family will be stronger because it is influenced by needs, expectations and interests, family drives, the environment and also the media (utami, 2015). factors that influence the motivation of the elderly and family come from intrinsic and extrinsic factors. intrinsic factors are factors that arise from within oneself, namely knowledge, age, perception, expectations, needs, education while extrinsic factors consist of work, cultural status and environment (fauzi, 2015). a preliminary study conducted in february 2022 with midwife at the bedoro village obtained the result that midwife had taken part in data collection for the second time and only got 80 people, seeing that the potential was still over 2,000 people who had not been recorded, the midwife said that so far there had been a lack of socialization vaccination. while interviews with the village head of bedoro obtained data that during data collection many were afraid of being vaccinated because there was information about post-vaccination reactions. the village head understands that there were still citizen who didn't want to take part in the covid-19 vaccination because they were afraid. based on these data, the researchers were interested in conducting research related to the factors that influence the elderly in participating in the covid 19 vaccination in the bedoro village. methods the design of this research was analytic research. the method used in this study was an analytic survey with a cross sectional approach. the population that would be used in this study was all the elderly in the bedoro village as many as 1329 people. while the sample to be taken as research respondents was 10% of the total population, namely as many as 133 elderly (more than 60 years old). inclusion criteria; active elderly. and the elderly who still have families. exclusion criteria: sick elderly and elderly who were not willing to be respondents. the measuring instrument used in this study was a questionnaire with a closed list of questions. research instruments on respondents' identity include gender and age. research questionnaire about education level, knowledge, perception, family support and motivation of the elderly following the covid 19 vaccination. this research was conducted in the bedoro subdistrict, sambungmacan district, sragen. this research was conducted for 4 (four) months, from april to july 2022. univariate analysis was carried out on each variable from the results of the study to determine the distribution, frequency and percentage of each variable studied. bivariate analysis was carried out to determine the most influential variable, using the logistic regression analysis test, with a level of significance α = 0.05 or a confidence level of 95%. susilowati, noorratri, analysis of factors affecting the motivation of elderly to follow the … 87 results 1. gender the frequency distribution of respondents' gender can be seen in the table below:e table 1: frequency distribution of respondents' gender in the bedoro village, sragen, june 2022 no level of education f (%) 1 male 46 34,6 2 female 87 65,4 amount 133 100 table 1 shows that most of the respondents are female, namely 87 (65.4%) and the least are male , namely 46 respondents (34.6%). 2. age the frequency distribution of respondents’ age can be seen in the table below:e table 2: frequency distribution of respondents’ age in the bedoro village, sragen, june 2022 no level of education f (%) 1 young old (60-69 years old) 69 51.9 2 middle age old (70-79 years old) 38 28.6 3 old-old (80-89 years old) 19 14.3 4 very old-old (≥90 years old) 7 5.3 amount 133 100 table 2 shows that most of the respondents are young old (60-69 years old), namely 69 (51.9%) and the least are very old-old (≥90 years old) , namely 7 respondents (5.3%). 3. education level the frequency distribution of respondents' educational level can be seen in the table below:e table 3: frequency distribution of respondents' education levels in the bedoro village, sragen, june 2022 no level of education f (%) 1 basic 67 50,4 2 intermediate 47 35,3 3 high 19 14,3 amount 133 100 table 3 shows that most of the respondents have basic education, namely 67 (50.4%) and the least are in the higher education category, namely 19 respondents (14.3%). 4. knowledge the frequency distribution of student washing hands can be seen in the table below: table 4: frequency distribution of respondents' knowledge in the bedoro village, sragen in june 2022 no knowledge f (%) 1 well 20 15 2 sufficient 113 85 3 not sufficient 0 0 amount 133 100 table 4 shows that most of the respondents' knowledge is in the sufficient category, namely 113 (85%). 88 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 86 5. perception the frequency distribution of students keeping their distance can be seen in the table below: table 5: frequency distribution of respondents' perceptions in the bedoro village, sragen in june 2022 no perception f (%) 1 well 19 14.3 2 sufficient 114 85.7 3 not sufficient 0 0 amount 133 100 table 5 shows that most of the respondents' perceptions are in the sufficient category, namely 114 (85.7%). 6. family support the distribution of the frequency of students staying away from the crowd can be seen in the table below: table 6: frequency distribution of respondents' family support in the bedoro village, sragen in june 2022 no family support f (%) 1 well 21 15.8 2 sufficient 112 84.2 3 not sufficient 0 0 amount 133 100 table 6 shows that some of the respondents' family support is in the sufficient category, namely 112 (84.2%). 7. motivation the distribution of student frequencies limiting mobilization and interaction can be seen in the table below: table 7: frequency distribution of respondents' motivation in the bedoro village, sragen in june 2022 no motivation f (%) 1 strong 22 16.5 2 medium 111 83.5 3 weak 0 0 amount 133 100 table 7 shows that most of the respondents' motivation is in the medium category, namely 111 (83.5%). 8. factors affecting older people's motivation in taking the covid-19 vaccine an analysis of the factors that influence the motivation of the elderly in taking the covid-19 vaccine can be seen in the table below: table 8: analysis of factors that influence the motivation of the elderly in taking the covid-19 vaccine in the bedoro village, sragen in june 2022. table 8 shows that all variables have a significance value above 0.05. it can be said that there is no correlation between the independent variables (education, knowledge, perceptions, family support) with the motivation of the elderly to take vaccinations. the largest odds ratio value is in the family support variable. it can be concluded that family support has 2.488 times more influence on the motivation of the elderly to take the covid 19 vaccination. no variable sig exp(b) 1 level of education .059 2.080 2 knowledge .888 1.094 3 perception .835 .864 4 family support .117 2.488 susilowati, noorratri, analysis of factors affecting the motivation of elderly to follow the … 89 discussion 1. education level the results showed that most of the respondents' education level was in the basic category. a study shows that the education level of the elderly in ngablak hamlet was still relatively low, this can be influenced by economic and environmental factors where the majority of the elderly in ancient times did not prioritize education, while the education level of the elderly affects the knowledge of the elderly themselves because most of the elderly with this level of education those who are low tend to have low knowledge (fitriani & riniasih, 2021) the elderly in this study had a basic level of education. however, this is not in line with the research because the elderly in this study have an intermediate level of knowledge. this can be due to family support in providing information and encouragement to the elderly so that the elderly knows more about the covid 19 vaccine information. 2. knowledge the results showed that most of the respondents' knowledge was in the sufficient category. the results of research conducted by fitriani and riniasih (2021) show that there was no effect of health education about the covid-19 vaccine on the motivation of the elderly. from the results of the health education that had been given there are still many respondents who did not know about the benefits, impacts and risks of not having the vaccine so that there are still respondents who were not motivated to vaccinate. the level of knowledge of respondents about the covid 19 vaccination was still in the sufficient category even though socialization has been given. this is possible because the education of the residents is at the middle level and the atmosphere is not comfortable due to the stressor of the covid case which allows the information received to be less than optimal. 3. perception the results showed that most of the respondents’ perceptions were in the sufficient category. in a study, it was found that there were still quite a number of respondents who thought that the covid 19 vaccine in circulation was unsafe, contained poison and could cause someone to become infected with the corona virus and even cause death, so the effectiveness of the vaccine was still in doubt. based on the respondent's statement, this information can be trusted because it was very much discussed in the community and there had been a lot of evidence spread on social media. this creates fear and lead to refusal to get vaccinated (virgiana et al., 2021). the results of interviews with the head of bedoro village obtained data that during data collection many were afraid of being vaccinated because there was information about post-vaccination reactions. in addition, there is an opinion from the community that if you are old, you should not need to be vaccinated because the elderly are already weak. 4. family support the results showed that most of the respondents' family support was in the sufficient category. a study showed that most families agreed or supported, namely 70 respondents and only 54 of them took the second dose of vaccination and 16 of them did not take the second dose of vaccination. in this study, it was stated that there were several factors that influenced family support including the level of knowledge, cultural background, and practices in the family so that there was a lack of encouragement from family members to be able to accept and participate in vaccinations to completion (hutomo et al., 2021). this is in accordance with this research that the family does not fully support the elderly following the covid 19 vaccination, namely only in the middle category. many factors cause families to not support the elderly in taking vaccinations, such as the busyness of family members and family members who sometimes go far away to migrate. 5. motivation the results showed that most of the respondents' motivation was in the medium category. things that need to be studied in a person's motivation include encouragement from within oneself (intrinsic factors) and the environment (extrinsic factors) which greatly influence motivation. intrinsic factors of motivation need to be supported by extrinsic factors (fauzi, 2015). encouragement from family members, environment and health workers can increase the motivation of the elderly to be able to take part in the co-19 vaccination program. factors that affect motivation are needs, encouragement and expectations. the results of research conducted by dewi and salim (2017) show that the percentage of most respondents agrees with 4 statements included in the need factor, namely mothers bringing babies to bring babies to get vaccines because they are needed by babies, mothers 90 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 86 need immunizations that are able to fight diseases in babies , to get vaccines because babies need health protection and giving vaccines is one of the basic needs (dewi & salim, 2017). elderly people come to health services because they have a need and want to get the covid 19 vaccine so they have immunity to fight the covid 19 disease. even though not yet 100% of the elderly follow the covid 19 vaccination. 6. analysis of factors that influence the motivation of the elderly in taking the covid-19 vaccine the factor that most influences the elderly to participate in the covid 19 vaccination was family support. research conducted by utami (2014) showed that family support and mother's motivation in getting complete basic immunization for infants aged 0-12 months in west nyabakan village in 2015, the mother group had a very close relationship. this is consistent with the results of this study that the variable that influences motivation, namely family support, has the closest relationship (utami, 2015). family support can come from various components such as instrumental support such as escorting the elderly to take the covid-19 vaccination so that the elderly are more enthusiastic and motivated to take the vaccination. conclusion 1. most of the respondents' educational level has been in the basic education category. 2. most of the respondents' knowledge has been in the category of sufficient knowledge. 3. most of the respondents' perceptions has been in the category of sufficient perceptions. 4. most of the family support in the family support category has been sufficient. 5. most of the motivation in the category has been medium motivation. 6. the factor that most influenced the elderly to take the covid 19 vaccination has been family support. suggestion 1. it is better if the puskesmas or kelurahan can provide facilities for the elderly who want to take part in the covid 19 vaccination. 2. health workers should be able to provide counseling about covid-19 vaccination so that the elderly understands more about covid-19 vaccination. 3. the family should always provide support to the elderly to take part in the covid 19 vaccination. acknowledgement alhamdulillah, praise and gratitude we pray to allah swt for the pleasure that has been given. shalawat and greetings may always be devoted to the prophet muhammad, the lord of the prophet muhammad saw. we would like to thank the campus for financially supporting this research and the community of bedoro village, sambungmaca, sragen for their cooperation in carrying out community service activities. funding this research was funded by the university of 'aisyiyah surakarta. this research is research using internal grants. conflicts of interest the financial source for this research is from internal university grants. if there is a shortage of funds during the implementation of the research it is the independent responsibility of the researcher. during the research process starting from permits, preliminary studies, research data collection, everything went smoothly without any problems. this research activity was supported by the village administration and the community. author contributions tri susilowati is as chief researcher and chief author of articles. in charge of coordinating the course of research and journal publishing. erika dewi noorratri is as a member of the researcher and member of the article compiler. tasked with assisting the course of research and journal publishing. refferences anastasia. (2021). mau pandemi usai? ketahui pentingnya gerakan 5m covid-19. https://www.klikdokter.com/infosehat/read/3644583/mau-pandemi-usaiketahuipentingnya-gerakan-5m-covid-19 dewi, r., & salim, h. (2017). faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi ibu dalam memberi vaksin imunisasi dasar lengkap pada bayi usia 0 1 tahun di puskesmas pertiwi kota makassar. media farmasi, xiii(2), 111–116. elgaputra, r. r., adhi sakti, e. y., widyandri, d. b., azhari, a. r., renatta, c., rainasya, k., madani, k. s., gitawangi, s. v., faradita, f., pradyanti, s. a., & musta’ina, s. (2020). implementasi sosialisasi covid-19 dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan di kota jakarta. jurnal layanan masyarakat susilowati, noorratri, analysis of factors affecting the motivation of elderly to follow the … 91 (journal of public services), 4(2), 423. https://doi.org/10.20473/jlm.v4i2.2020.423433 fitriani, o., & riniasih, w. (2021). pengaruh pendidikan kesehatan pada lansia tentang vaksin covid-19 terhadap motivasi lansia mengikuti vaksinasi covid-19 di dusun ngablak desa ngraji kecamatan purwodadi kabupaten grobogan. tahun, 6(2), 2775– 1163. http://ejournal.annurpurwodadi.ac.id/index. php/tscd3kep/issue/archive hutomo, w. m. p., marayate, w. s., & rahman, i. (2021). hubungan dukungan keluarga terhadap keikutsertaan vaksinasi covid-19 dosis kedua di kelurahan malawei. nursing inside community, 4, 1–6. lila fauzi. (2015). faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi motivasi perawat dalam penanganan pasien cedera kepala di instalasi gawat darurat rsud karangayar. http://stikeskusumahusada.ac.id/digilib/dow nload.php?id=1330 mega. (2022). vaksinasi di sragen lampaui 50 persen. https://jatengprov.go.id/beritadaerah/vaksin asi-di-sragen-lampaui-50-persen miyos. (2022). cakupan vaksinasi covid – 19 kabupaten sragen. https://www.sragenkab.go.id/berita2410.html. pemprof jateng. (2021). statistik kasus covid-19 jawa tengah. https://corona.jatengprov.go.id/data puslitbang sumber daya & pelayanan kesehatan. (2021). kesiapan daerah dalam penanganan pandemi covid-19. kemkes.go.id satgas penanganan covid 19. (2021). pengendalian covid 19 dengan 3m, 3t, vaksinasi, disiplin, kompak dan konsisten. satgas penanganan covid 19. (2020). pedoman perubahan perilaku penanganan covid 19. bnpb. utami, r. (2015). hubungan dukungan keluarga dengan motivasi ibu dalam mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada bayi usia 012 bulan di desa nyabakan barat. jurnal kesehatan “wiraraja medika,” 44–52. virgiana, munawwir, a., & demak, i. p. k. (2021). persepsi masyarakat terhadap vaksinasi covid-19 di area kerja puskesmas donggala. preventif: jurnal kesehatan masyarakat, 12 no 2. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 237niswatun dan agustina, pengaruh pendidikan kesehatan terhadap ... 237 pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan perawatan payudara pada ibu hamil trimester iii (the effectiveness of health education in the ability of the breast care for pregnant woman in 3rd trimester) niswatun1, ika agustina2 1praktisi kebidanan 2stikes patria husada blitar email: ikapatria45@gmail.com abstract: good treatment of breast after both during pregnancy and maternity,will keep the form of breast and will also affect the breastmilk. method: the design was pre experimental. the population in this research were 20 pregnant woman trimester iii in the polindes village kecamatan kanigoro kabupaten blitar. samples in this research were 15 pregnant women trimester iii in the polindes village brass kecamatan kanigoro kabupaten blitar. the sampling technique used purposive sampling. the research were conducted on 4–7 april 2015 in polindes village kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. this statiscal test used wilcoxon rank test using spss for window. result: the result showed that 80% of respondents were not enough to do breast care in before the treatment and 80% of respondents can do breast care after the treatment. based on wilcoxon statistical test, the value was 0,000. this showed that there was an effect of education and health care of the mother breast ability in polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. discussion: it was suggested for pregnant women on third trimester will be able to perform breast care with the correct methods and techniques, since breast care is very important for the preparation breastfeeding at birth. keywords: health education, breast threatment abstrak: merawat payudara baik selama masa kehamilan maupun setelah bersalin, akan menjaga bentuk payudara juga akan mempengaruhi asi. metode: desain penelitian pra-eksperimental. populasi dalam penelitian ini adalah 20 ibu hamil trimester iii di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. sampel pada penelitian ini adalah 15 ibu hamil trimester iii di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. dilakukan penelitian pada tanggal 9–15 april 2015 di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. uji statistic ini menggunakan wilcoxon sing rank test dan dibantu menggunakan spss for window. hasil: penelitian didapatkan bahwa 80% responden kurang mampu dalam melakukan perawatan payudara sebelum dilakukan pendidikan kesehatan, setelah di berikan pendidikan kesehatan menjadi mampu sebanyak 80%. ada perubahan kemampuan responden dari kurang mampu menjadi mampu sebanyak 80%. berdasarkan uji statistik wilcoxon didapatkan nilai sign = 0,000. hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan ibu dalam perawatan payudara di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. diskusi: disarankan pada ibu hamil trimester iii akan mampu melakukan perawatan payudara dengan metode dan tekhnik yang benar, karena perawatan payudara sangat penting untuk persiapan menyusui saat bayi lahir. kata kunci: pendidikan kesehatan, perawatan payudara acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p237-241 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 238 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 237–241 pada awal kehamilan perempuan akan merasakan payudaranya menjadi lunak. setelah bulan kedua payudara akan bertambah ukuran vena-vena di bawah kulit akan lebih terlibat. puting payudara akan lebih besar, kehitaman, dan tegak. setelah bulan ke tiga suatu cairan yang berwarna kekuningan yang disebut kolostrum dapat keluar. keberhasilan menyusui bukan suatu yang datang dengan sendirinnya, tetapi merupakan keterampilan yang perlu diajarkan agar ibu berhasil menyusui, perlu dilakukan berbagai kegiatan antenatal, intranatal dan post natal (sarwono, 2010:179). di indonesia, pemberian asi belum membudaya pada masyarakat termasuk dikalangan ibu bekerja. ibu yang berhasil memberi secara asi eksklusif tercatat sebesar 61,5% pada tahun 2010. sementara di jawa timur ibu yang memberi asi sebesar 61,52% pada tahun 2011. kota surabaya berada di bawah rerata tersebut, yakni sebesar 26,88% (pusat data informasi kementrian kesehatan republik indonisia, 2012). menurut analisis kementrian kesehatan tahun 2012, berbagai factor yang turut menghambat keberhasilan pemberian asi antara lain karena tenaga konselor menyusui yang terbatas, kegiatan edukasi dan kammpanye terkait pemberian asi yang belum optimal, ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi informasi dan edukasi (kie) tentang asi. (jurnal ners, fakultas keperawatan universitas airlangga, 2013). setelah peneliti melakukan survey awal di polindes kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 4–7 februari 2015, terdapat 20 ibu hamil yang melakukan antenatal care 5 ibu hamil dengan puting susu tenggelam, 10 ibu hamil dengan payudara tampak kotor dan 5 ibu hamil dengan kolostrum belum keluar pada trimester iii. sebelum melakukan survey peneliti mendapatkan informasi dari bidan setempat bahwa bidan sudah pernah memberikan konseling tentang perawatan payudara disetiap pelaksanaannya dalam antenatal care, tetapi masih banyak ibu hamil yang tidak melakukan perawatan payudara pada kehamilannya, semua itu dikerenakan kurangnnya kesadaran arti penting tentang perawatan payudara pada kehamilannya, semua itu dikarenakan kurangnya kesadaran arti penting tentang perawatan payuadara. dari masalah dan hasil survey tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan perawatan payudara pada ibu hamil trimester iii di polindes kuningan kecamatan kanigoro kabupataen blitar”. tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan perawatan payudara ibu hamil trimester iii di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. manfaat penelitian bagi peneliti dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan pendidikan kesehatan terhadap perawatan payudara. bagi institusi pendidikan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam kegiatan perkuliahan dan mengembangkan program penelitian untuk menggali dan memotivasi daya pikir ilmiah terhadap perawatan payudara. bagi profesi hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan serta menambah pengetahuan dan pemahaman tentang perawatan payudara selama kehamilan. bagi responden bagi ibu hamil diharapkan agar ibu hamil dapat melakukan perawatan payudara selama kehamilan sebagai persiapan untuk laktasi. bahan dan metode metode penelitian ini menggunakan pendekatan pra-eksperimental dengan pendekatan (onegroup pra-post test design). populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil trimester iii di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. sampel penelitian di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 15 ibu hamil trimester iii. variabel independent dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan tentang perawatan payudara. variabel dependent dalam penelitian ini adalah kemampuan perawatan payudara. penelitian dilakukan tanggal 9–15 april 2015 di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. dalam penelitian ini, instrument yang digunakan adalah check-list untuk mengetahui pengaruh intervensi yang dilakukan. metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi. metode pengolahan data yang di lakukan adalah editing, coding, tabulating selanjutnya di analisa menggunakan uji statistic wilcoxon sign rank test digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel yang berkolerasi, bila data nya berbentuk ordinal. misalnnya dalam suatu eksperimen. 239niswatun dan agustina, pengaruh pendidikan kesehatan terhadap ... hasil penelitian data umum pembahasan sesuai dengan tabel 5 menunjukan 80% responden kurang mampu dalam perawatan payudara sebelum dilakukan pendidikan kesehatan. keberhasilan proses menyusui sangat ditentukan oleh struktur puting susu dan areola (daerah sekitar puting susu yang berpigmentasi lebih). pada puting susu dan areola mammae terdapat ujung-ujung saraf sensori yang mendukung proses reflex waktu menyusui. puting susu mengandung otot polos yang dapat berkontraksi saat rangsangan menyusui muncul. secara normal, bentuk puting susu muncul harus menonjol keluar, tetapi kadang-kadang dijumpai puting susu yang datar (flat nipples) dan masuk ke dalam (inverted nipples). kondisi puting susu seperti ini dapat menyebabkan kegagalan menyusui. pada kondisi ini, seorang ibu harus memperoleh perawatan payudara sebelum masa laktasi dimulai. sebagai informasi, disekitar ujung puting susu terdapa t 15–25 mua r a lobus (duktus laktiferus ) (huliana, 2004:82). berdasarkan hasil penelitian ada beberapa factor yang mempengaruhi ibu kurang mampu dalam melakukan perwatan payudara, antara lain, sebanyak 60% ibu hamil merupakan gravid 1, di mana pada kehamilan pertama ini masih banyak ibu hamil yang belum mengerti tentang perawatan tabel 1. umur ibu di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 9 juni 2015 umur (tahun) f % 18 – 22 5 33.3 23 – 27 6 40 28 – 32 3 20 33 – 37 1 6.7 15 100 tabel 2. jumlah kehamilan ibu di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 9 juni 2015 no jumlah keha milan f % 1 gravida 1 9 60 2 gravida 2 5 33.4 3 gravida > 2 1 6.7 jumlah 15 100 tabel 3. tamatan pendidikan terakhir ibu di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 9 juni 2015 no tamat pendidika n f % 1 tamat sd 3 20 2 tamat sltp 8 53.4 3 tamat slta 3 20 4 tamat perguruan tinggi 1 6.6 jumlah 15 100 tabel 4 .jenis pekerjaan ibu di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 9 juni 2015 no pekerj aan f % 1 irt 14 93.3 2 pegawai swasta 1 6.7 jumlah 15 100 data khusus tabel 5. kemampuan ibu dalam merawat payudara sebelum pendidikan kesehatan di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 9 juni 2015 no kemampuan f % 1 mampu 0 0 2 cu kup mampu 3 20 3 kurang mampu 12 80 jumlah 15 100 tabel 6. kemampuan ibu dalam merawat payudara sesudah pendidikan kesehatan di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 9 juni 2015 no kemampuan f % 1 mampu 12 80 2 cu kup mampu 3 20 3 kurang mampu 0 0 jumlah 15 100 tabel 7. distribusi frekuensi kemampuan ibu dalam merawat payudara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar pada tanggal 9 juni 2015 kategori kemampuan % kem ampuan pre test % kema mpuan post test mampu 0 80 cukup mampu 20 20 kuran g mamp u 80 0 wilcoxon sign rank test: p = 0,000 240 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 237–241 payudara serta arti penting melakukan perawatan selama kehamilan, dikarenakan ini adalah pengalaman pertamannya, dari sebanyak 53,4% ibu dengan tamatan sltp, menunjukan bahwa status pendidikan sangat berpengaruh terhadap penerimaan, keterampilan ibu sebelum di berikan pendidikan kesehatan, adanya kurang mampu ibu dalam perawatan payudara ini diakibatkan oleh jumah kehamilan dan pendidikan. dengan adanya beberapa langkah yang belum dilakukan oleh ibu dapat menyebabkan produksi asi tidak optimal, sebab salah satu upaya agar produksi asi pada saat menyusui lancar, ibu hamil di anjurkan untuk merawat payudaranya dengan metode dan teknik yang benar. (huliana, 2004:84). sesuai dengan tebel 6 menunjukan 80% responden mampu dalam perawatan payudara sesudah dilakukan pendidikan kesehatan. pendidikan kesehatan didefinisikan sebagai usaha atau kegiatan untuk membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan perilaku mereka untuk mencapai tingkat kesehatannya secara optimal. (notoatmodjo, 2011:112). adanya peningkatan kemampuan ibu dalam melakukan perawatan payudara ini diakibatkan dilakukannya pendidikan kesehatan kepada ibu. pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk mengajak ibu agar dapat meningkatkan kesehatannya secara mandiri. pendidikan kesehatan juga sebagai suatu proses, di mana proses tersebut mempunyai masukan (input) dan keluaran (output). di dalam suatu proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainnya tujuan pendidikan yakni perubahan perilaku di pengaruhi oleh banyak factor, faktor-faktor yang mempengaruhi suatu proses pendidikan di samping masukannya sendiri juga metode materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang melakukannya, dan alatalat bantu/alat peraga pendidikan. (notoatmodjo, 2003:103). pendidikan kesehatan pada penelitian ini dilakukan dengan metode ceramah dan praktek sesuai dengan sop perawatan payudara. beberapa peningkatkan kemampuan perawatan payudara yang dimiliki ibu antara lain beberapa langkah yang harus dilakukan oleh ibu dalam perawatan payudara adalah mencuci tangan 7 langkah dan mengeringkan dengan menggunakan handuk yang bersih dan kering, menempatkan dalam posisi yang nyaman, mengompres puting susu dan sekitarnya dengan menempelkan kapas dan waslap bersih yang di basahi minyak kelapa lebih kurang selama 3 menit, mengulas minyak kelapa atau sabun pada ke dua tangan telapak tangan menggosok-gosok pada buah dada di mulai dari tangan ke atas, ke samping dan akhirnya kebawah. lakukan kira-kira 25 kali. melakukan gerakan menggenggam pada tangan kanan ibu yang telah berminyak atau bersabun, sekarang tinju kanan (punggung jari-jari menghadap buah dada dengan arh pangkal sampai ke ujung puting ). (oswari, 2004: 49) pendidikan kesehatan itu juga proses belajar pada individu, kelompok atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri menjadi mampu. (notoatmodjo, 2011: 112) berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa 80% responden kurang mampu dalam merawat payudara sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dan menjadi 80% responden mampu dalam merawat payudara setelah dilakukan pendidikan kesehatan tentang perawatan payudara. ada perubahan kemampuan responden dari kurang mampu menjadi mampu sebanyak 80%. faktor yang mempengaruhi kemampuan ibu adalah setelah di berikannya pendidikan kesehatan oleh pendidik kesehatan dengan cara di berikan penyuluhan, penerapan serta tindakan yang di lakukan oleh ibu hamil pada trimester iii. hasil uji statistik wilcoxon menunjukkan nilai sig = 0,000. hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan ibu dalam perawatan payudara di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. hal ini mengindikasikan pendidikan kesehatan mampu meningkatkan kemampuan ibu dalam merawat payudara untuk memberikan makanan yang baik bagi bayi mereka. pendidikan kesehatan dalam asuhan kehamilan, menurut notoadmodjo (2003) adalah upaya yang direncanakan untuk memegaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. (notoatmodjo, 2011: 111) pendidikan kesehatan yang baik adalah dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok, atau individu dapat memperoleh pengetahahuan tentang kesehatan yang lebih baik dan diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunnya. (notoatmodjo, 2011:120) 241niswatun dan agustina, pengaruh pendidikan kesehatan terhadap ... simpulan dan saran simpulan dari hasil penelitian dan analisa data yang telah dilakukan di dapatkan hasil sebagai berikut: kemampuan ibu dalam perawatan payudara sebelum diberikan pendidikan kesehatan sebanyak (80%) responden kurang mampu dalam melakukan perawatan payudara, kemampuan ibu dalam perawatan payudara setelah di berikan pendidikan kesehatan sebanyak (80%) responden mampu dalam melakukan perawatan payudara, dari hasil analisa menggunakan uji wilcoxon sing rank test di dapatkan hasil p value = 0,000 menunjukan bahwa pendidikan kesehatan berpengaruh terhadap kemampuan perawatan payudara pada ibu hamil trimester iii di polindes desa kuningan kecamatan kanigoro kabupaten blitar. saran saran-saran dalam penelitian ini adalah: bagi tempat penelitian: memberikan motivasi epada ibu untuk selalu melakukan perawatan payudara di rumah sehingga produksi asi akan lebih baik dan bayi anak mendapatkan makanan yang terbaik dari ibu, bagi ibu: melakukan perawatan payudara sesuai sop dan sesuai dengan praktik pada saat pendidikan berlangsung di rumah, bagi institusi kesehatan: mendesain selebaran atau leaflet yang menarik khususnya leaflet tentang perawatan payudara sehingga dapat dibawa pulang oleh ibu untuk dapat dibaca dan dipraktikkan di rumah, bagi peneliti selanjutnya: diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi penelitian selanjutnya sehingga penelitian dalam bidang kebidanan dapat semakin berkembang. daftar rujukan huliana, m. 2004. panduan menjalani kehamilan sehat. jakarta: puspa swara. jur nal ners, fakul tas ke perawat an uni versit as airlangga, 11 maret 2015. notoatmodjo, s. 2011. kesehatan masyarakat. jakarta: pt rineka cipta sulistyawati, a. 2011. asuhan kebidanan pada masa kehamilan. jakarta: salemba medika. prawirohardjo, s. 2010. ilmu kebidanan. jakarta: pt bina pustaka oswari, e. 2004. perawatan ibu hamil dan bayi. jakarta: pustaka sianar harapan. 196 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the relation of sleep quality in pregnant mothers with the incidence of preeclampsia miftahul hasanah1, dwi estuning rahayu2, rahajeng siti nur rahmawati3 1,2,3midwifery department, poltekkes kemenkes malang kediri, indonesia article information abstract the main focus in pathogenesis of disease is the state of wakefulness with little attention regarding the state of sleep. whereas, sleep is active condition where metabolism, memory consolidation, tissue restoration and homeostatic balance are maintained. bad sleep quality had impact on human health, especially caused some complications in pregnancy. this study was aimed to know the relation of sleep quality in pregnant mother with the incidence of preeclampsia in gambiran hospital kediri. analytical survey method with cross sectional study was performed on 30 respondents who complied inclusion and exclusion criteria. the pittsburgh sleep quality index (psqi) was used in determined sleep quality. the result of chi square test with α = 0.05 and df = 1 was clarified that the score of χ2count (8.56) > χ2table (3.841) which meant h0 was rejected and ha was accepted. based on the result, there was relation of sleep quality in pregnant mothers with the incidence of preeclampsia in gambiran hospital kediri. history article: received, 04/07/2022 accepted, 16/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: sleep quality, pregnancy, preeclampsia © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : miftahuhasanah@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p196-204 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:miftahuhasanah@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p196-204 hasanah, rahayu, rahmawati, the relation of sleep quality in pregnant mothers with … 197 introduction sleep is not merely the state of not waking. sleep is active condition where metabolism, memory consolidation, tissue restoration and homeostatic balance are maintained. yet, to date, the main focus in pathogenesis of disease is the state of wakefulness with little attention regarding the state of sleep. bad sleep quality is related to the increase of stress factor while short sleep duration is related to the incidence of diabetes, obesity, preeclampsia, iugr and preterm birth (okun, 2019). sleep disturbance in pregnancy remain unfamiliar due to lack of studies and particular impacts about it. the lack of awareness by health workers about the impacts of sleep disturbance become one of risk factor that can be disadvantage state to women and neonates in maternity health nursing which not assessing related symptoms. whereas, this thing could become one of the determent step which there is some medical treatment for sleep disturbance. nowdays literatures showed that sleep disturbance during pregnancy is related to bad pregnancy outcomes for mothers and babies. there is relation between mothers’ sleep quality with some primary risk factors that caused stillbirth such as obesity, preeclampsia, diabetes gestasional, iugr, inconvenience and excessive labor pain, preterm birth, caesar, postpartum depression (hassan zaky, 2015). pregnancy related to bad sleep continuity. sleep continuity can be measured by scoring sleep latency, number of awakening and total minutes spent awake and sleep during night. bad sleep quality and continuity, the lack of sleep duration and sleep disordered breathing are related to the augmentation of inflammatory response by incrised circulating concentrations of the proinflammatory cytokines interleukin-6 (il-6), tumor necrosis factor-α (tnf-α), c-reactive protein (okun, 2019). sleep disturbance including bad sleep quality that occured in early preganancy has bad impact on placenta implantation which lead to the incidence of preeclampsia. wilsonet (2010) and qiu et al (2015) also reported that short sleep duration along with snoring are lead to increase of proinflammatory cytokines and oxidative stress markers which promotes endothelial damage and metabolic derangements ultimately leading to pregnancy induced hypertension and potentiality the state of preeclampsia (hassan zaky, 2015). preeclampsia is defined as a pregnancyspecific syndrome that can hit any organ system. although preeclampsia is more than just simple gestational hypertension plus proteinuria, the emergence of proteinuria remains as important objective diagnostic criterion (cunningham et al., 2016). also, special condition during pregnancy where hypertension and proteinuria arise after 20 weeks of pregnancy in mothers who initially have normal blood pressure (lowdermilk et al., 2013). preeclampsia become the biggest reason about the incidence of iatrogenic condition and has been known as the risk factor of cardiovascular and metabolic disease in women life and her baby. preeclampsia is multisystem disorder with unknown exact etiology. preeclampsia diagnosed by clinical representation and laboratorium analysis. there is no efisien pervention and screening yet, the given therapy is also symptomatic, meanwhile give birth still become the only causal therapy (mirkovic et al., 2018). it’s an acute pregnancy complications and can occur ante, intra and also in postpartum (prawirohardjo, 2016). world health organization (who) reported that everyday there is 810 women died due to pregnancy and labor at least. 94% of them happened in developing countries. and 75% are caused by bleeding, infection, abortion, preeclampsia and eclampsia. preeclampsia itself must be detected and handled seriously before eclampsia or another serious complication happen (world health organization, 2019). data from health ministry of east java showed that preeclampsia become the first cause of mothers mortality. the increase of preeclampsia state is happen in stages from 2009 till 2012, showed the decreased number in 2013 but the number increased in 2014 until 2016 attained 30,90% or 165 mothers (dinkes provinsi jawa timur, 2018). according to the preliminary study from health ministry of kediri showed the number of preeclampsia that occured in 2017, 3 cases in mrican region, 11 cases in sukorame region, 9 cases in campurejo region, 13 cases in balowerti region, 7 cases in kota utara region, 7 cases in kota selatan region, 4 cases in ngletih region, 2 cases in pesantren 1 region and 23 cases in 198 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 196-204 pesantren 2 region (health ministry of kediri, 2017). another result of implementary study from aura syifa hospital kediri regency showed the number of preeclampsia in 2018, 8,5% in april, 1,12% in may, then the number increased 6,47% in june, 1,31% in july, 15,34% in august and 21,96% in september (polyclinic obgyn register aura syifa hospital kediri regency, 2018). meanwhile, the data from gambiran hospital kediri (which known as referral hospital in kediri) showed the increased number of preeclampsia in 2018, from zero incidence in january to 13,37% in may, 6,30% in july, 10,2% in august, 9,4% in september, 13% in october, 9,85% in november and reached the higgest number 21,34% in december. this data showed that preeclampsia is one of the main problem that mothers face during pregnancy (polyclinic obgyn register gambiran hospital kediri, 2018). method analytic survey with cross sectional study was used as the research method. normal pregnant and preeclamptic pregnant mothers who controlled their pregnancy in polyclinic obgyn and maternity room gambiran hospital around july until august 2019 became the population in this study. from 32 populations, 30 samples were determined by issac and michael formula then 15 normal pregnancy and 15 preeclamptic pregnancy were chosen by consecutive sampling technique. the pittsburgh sleep quality index (psqi) quitionairre was used for assessted sleep quality in early pregnancy. the independent variable was sleeping quality and the dependent variable was the incidence of preeclampsia. the data was analyzed by chi square. this study had obtained ethical clearance with number reg.no.:381/kepk-polkesma/2019. result table 1: distribution of age, family type and mothers activity data type total normal preeclampsia n % n % age (years old) < 23 0 0,0 0 0,0 23 – 26 7 46,7 3 20,0 27 – 30 7 46,7 6 40,0 31 – 34 1 6,7 6 40,0 ≥ 35 0 0,0 0 0,0 total 15 100,0 15 100,0 family type nuclear 10 66,7 4 26,7 extended 5 33,3 11 73,3 total 15 100,0 15 100,0 activity working 6 40,0 8 53,3 housewife 9 60,0 7 46,7 total 15 100,0 15 100,0 source: primary data of the study table 1 showed from 15 mothers with preeclampsia, 20% of them had age range 23 – 26 years old, almost half of them (40%) 27 – 30 years old and 31 – 34 years old. there were no mothers who aged < 23 years old and 35 ye ars old. other than that, most of them came from extended family type (73,3%) and working mother (53,3%). hasanah, rahayu, rahmawati, the relation of sleep quality in pregnant mothers with … 199 table 2: past medical history of mothers and family disease normal preeclampsia n % n % asthma 3 20 2 13,3 cancer 0 0 3 20 cardiovascular 1 6,7 4 26,7 anemia 1 6,7 3 20 preeeclampsia (first-degree relatives) 0 0 1 6,7 sine 2 13,3 0 0 renal 0 0 2 13,3 nothing 8 53,3 0 0 total 15 100 15 100 source: primary data of the study table 2 showed that mothers with preeclampsia, almost half of them had 26,67% cardiovascular disorder, 20% anemia, 13,33% kidney disorder and 6,67% with preeclampsia in her first-degree relatives. table 3: distribution of sleep quality variabel independent (sleep quality) total percentage (%) good ( < 5) 14 46,66 bad ( ≥ 5) 16 53,33 source: primary data of the study table 3 showed that showed almost half of the samples (46,66%) had good sleep quality and most of them (53,33%) had bad sleep quality. according to attachment 1, distribution of sleep disturbance’s frequency that occurred in pregnant mothers, showed that most of normal pregnant mothers (60%) did not need time to sleep in 30 minutes or more. otherwise, most of mothers with preeclampsia (60%) had it at least 3 times or more in a week. almost half of the samples (46.7%) awaked in middle of the night at least 3 times or more in a week. most of mothers with preeclampsia (60%) needed to go to toilet. almost half of the samples (86%) had comfort breathing, just small percentage of them (46.7%) who had coughing and snoring. some of them (66.7%) also didn’t feel any cold nor hot in their sleep (80%). other than that, almost half of them (46.7%) had bad dream. most of the samples (93.3%) didn’t feel any pain. also, most of them (66.7%) didn’t get any sleep disturbance during their day. another data about the distribution of sleep quality in pregnant mothers according 7 components of psqi showed that most of the sample (53,3%) had a very good sleep quality subjectively. the other components’ scoring showed almost of them (60%) had very good sleep latency but almost half of mothers with preeclampsia (40%) had bad sleep latency and most of the samples (60%) had very short sleep duration, almost all of them (93,3%) had very low sleep efficiency and most of them (73,3%) had sleep disturbance at least 1-2 times in a week. despite all of it, all of the samples (100%) never consumed any sleep medicine and almost of them (46,7%) had no daytime dysfunction. table 4: distribution of the incidence of preeclampsia variabel dependent (the incidence of preeclampsia) total percentage (%) normal 15 50% preeclampsia 15 50% source: primary data of the study table 4. showed that half of the samples were 15 normal pregnant mothers and the other half were 15 pregnant mother with preeclampsia. 200 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 196-204 table 5: cross tabulation of the relation of sleep quality in pregnant mothers with the incidence of preeclampsia in gambiran hospital sleep quality the incidence of preeclampsia total α value χ2count value normal preeclampsia n % n % good 11 73,3 3 20 15 0,05 8,56 bad 4 26,7 12 80 15 total 14 100 16 100 30 source: primary data of the study table 5 showed that there were 15 normal pregnant mothers, almost of them had good sleep quality (73.3%) and the rest (26,7%) had bad sleep quality. meanwhile, from 15 pregnant mothers with preeclampsia, just some of the (20%) had good sleep quality and most of them (80%) had bad sleep quality. the result of chi square showed the value of χ2count = 8,56. according to chi square values tabulation, if df = 1 and α=0,05, the value of χ2table = 3,841. the comparation result was 3,841 < 8,56 showed that h0 was rejected and ha was accepted. it meant there was relation of sleep quality in pregnant mothers with the incidence of preeclampsia in gambiran hospital kediri. discussion sleep quality in pregnant mothers based on data in attachment, most of normal pregnant mothers (60%) did not need time to sleep in 30 minutes or more. otherwise, most of mothers with preeclampsia (60%) had it at least 3 times or more in a week. almost half of the samples (46,7%) awaked in middle of the night at least 3 times or more in a week. most of mothers with preeclampsia (60%) needed to go to toilet. almost half of the samples (86%) had comfort breathing, just small percentage of them (46,7%) who had coughing and snoring. some of them (66,7%) also didn’t feel any cold nor hot in their sleep (80%). other than that, almost half of them (46,7%) had bad dream. most of the samples (93,3%) didn’t feel any pain. also most of them (66,7%) didn’t get any sleep disturbance during their day. other than that, there was some of them who experienced sleep disturbance with various frequency. sleep is important for mental balance, emotions, memory and adaptation also play a role in learning (uliyah & hidayat, 2015). sleep quality is a condition where sleep performed by an individual produces fitness and freshness when awakened. the process of sleep and conditions when sleep that takes place optimally describes the high quality of sleep of a person (nashori & wulandari, 2017). in a study by zaky, 2015 told that 78% women ecperienced serious sleep disturbances during pregnancy eventhough they never had it before. because of it, many of them who have poor sleep quality during pregnancy (hassan zaky, 2015). explained that progesterone hormone’s production will continue to increase along with the gestational age. high level progesterone can caused drowsiness. progesterone also have muscle relaxation effect, including bladder muscle. that is the reason pregnant women will wake up in the middle of night to go to toilet. other than that, mothers also will experienced snoring because of the increase of weigh (sukorini, 2017). not only caused by the increase of weight, snoring also caused by progesterone. when progesterone level increase, there will be vacuum effect in the upper airway where the muslce relaxed by the effect of high progesterone level. it will be the risk factor of upper airway collaps (saaresranta et al., 2015). high level progesteron which produced continuosly during pregnancy will give signal to brain to decrease level of canbondioxide in blood. the outcome is pregnant mothers breath unconfortably, faster than usual for discard more carbondioxide. it also can be caused by the size of uterus which getting bigger giving limitation in thoracic cavity when the lungs expand. other than that, because of the amount of blood pumped increases, the line of airway will also receive more blood than before and it caused edema. pregnant mothers sometimes experience having nasal congestion and feels stuffy especially in eustachius pipe. this can affect mothers’ tone and quality of voice and make them breathing unconformtably (mittelmark, 2019). hasanah, rahayu, rahmawati, the relation of sleep quality in pregnant mothers with … 201 progesteron known as muscle relaxating. study by vink, joy, et all bucked this statement where given estrogen in the form β estradiol and progesterone to pregnant mothers then assessed the effect on cervical smooth muscle cell contractility. the result was progesterone weaken intracellular calsium level. whereas, calcium is needed in muscle contraction process (vink et al., 2019). disruption of hormonal function in pregnant mothers can cause insomnia symptom where mothers have short sleep duration. this disturbance also caused by the feeling of uneasy, anxiety or mental burden. sometime, sleep disturbances that occurs in pregnant mothers have unclear cause but lead to psychological condition. pregnant mothers will experience verbal and memory disruption, unclear articulation, hard to focus, motoricdisruption, hard to find decision and impulsive emotion (sihombing, 2020). another study said that the state of snoring is caused by edema pharynx, nasal obstruction, rhinitis, weight gain influeced by the increase of estrogen level during pregnancy (kordi et al., 2017). the joints and ligaments in the woman’s pelvis loosen and become more flexible. this change helps make room for the enlarging uterus. as the result, pregnant mothers will have backache which is normal, caused by the spine curves more to balance the weight od the enlarging uterus. during pregnancy, the volume of blood increases by 30-50% than before. it causes heart works harder pumps blood especially to uterus so that mothers feel tired easily and body temperature rises (mittelmark, 2019). the data that showed in this study is related with theories and the past studies which pregnant mothers have bad sleep quality that caused by sleep disturbances, excessice drowsiness, go to toilet in the middle of night and snoring. most of the samples also experinced bad dreams and short sleep duration. it match withthe theory, sleep disturbances can be caused by uneasy feeling, anxiety which lead to mothers’ physiological condition. part of the sample had no sleep disturbance. probably it caused by mothers daily activity that can distract the symptom. beside that, most of them said didn’t feel too cold nor hot during sleep which probably caused by the use of fan or air conditioner. mothers can choose loose clothing to wear when sleeping, rest their legs in a higher position to the left. this can ease the work of the mother’s heart (mittelmark, 2019). the provision of classical music therapy was also proven to make pregnant women feel more relaxed and comfortable so that they can increase sleep duration, also will looks fitter than ever and doesn’t get tired easily (dirgahayu et al., 2015). another journal, suggested mothers do yoga gymnastics performed in the second and third trimesters. yoga can improve the sleep quality of pregnant women by reducing the frequency of waking up at night, not dreaming short because of the comfortable and calm sleep. the calm and gentle yoga movement also allows mother to flex the joints, strengthen the body, prevent back pain, train breathing and reduce anxiety levels (irianto, 2018). thus pregnant mothers can reduce excessive physical activity and get enough sleep. mothers can use therapeutic aromas to make sleep more relaxing. the incidence of preeclampsia from primary data, there was 30 pregnant mothers become respondents, half of them had preeclampsia (50%), and the rest of them were in normal condition. in preeclampsia mothers, almost hal of them (26,67%) had cardiovascular history, 20% had anemia, 13,33% had renal disease and 6,67% had preeclampsia history in the first-stage relatives. from 15 preeclampsia mothers, just little part of them (20%) was 23-26 years old, 40% was 2734 years old. beside that, most of them came from extended family type (73,3%) and working mothers (53,3%). according to acog 2013, risk factors of preeclampsia are primipare pregnancy, chronic hypertension, chronic renal disease, trombophilia history, multiple pregnancy, obesity, past preeclampsia history or in the first-degree relatives (parents and siblings), diabetes type i/ii and age more than 40 years old (american college of obstetrician and gynecologist, 2013). pregnant mothers with anemia have bigger risk to preeclampsia than who have no anemia. it caused by the lack of micronutrient which lead to lack of antioxidant level. the lack of calcium level, magnesium and zinc also contribute in developing preeclampsia (ali et al., 2011). 202 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 196-204 mothers who ever had preeclampsia before likely to have chronic hypertensive carrier gene. childern from preeclamptic pregnancies may appear physically the same as childern from normotensive pregnancies. but there appears to be small but significant difference in their blood pressure and bmi measurements (preeclampsia foundation, 2012). pathophysiology of preeclampsia is similiar to insulin resistance, endotel disfunction, atherosclerosis and inflammation. mothers who had insulin resistance before the pregnancy or having higher level of it take coadjuvant role in developing the incidence of preeclampsia. also vascular damage which marked by the increase of chronic inflammation level, atherogenic condition and prothombotic process which can influence vascularitation system and normal placentation (aulia et al., 2019). stress assessment was done by stress scale on 40 working mothers and 40 housewife. working mothers likely had higher stress level than housewife mothers. it caused by the bad division of time and demands that come from their job (apreviadizy & puspitacandri, 2014). also explained in other study that stress is one of preeclampsia risk factor. if stress happens continuously, even when take a rest, body will stay active psychologically with exessive stress hormone adrenaline and cortisol level which weaken immune system of the body. it contributes 1,5 times higher risk to preeclampsia (khayati & veftisia, 2018). the data from this study is related with the theories and studies before which mothers with anemia can lead to the incidence of preeclampsia. beside it, gene and renal disease history also become one of risk factor of preeclampsia. in terms of age in this study, mothers who less than 35 years old already having preeclampsia. it can caused by high stress level on working mothers and they who have extended family type. mothers who in risk factors suggested to have counseling with health workers in preparing their pregnancy and also check up continuoisly. beside that, health workers should put more concern about early detectionon pregnant mothers or in giving counseling so that can decrease the incidence of preeclampsia. analysis of the relation of sleep quality in pregnant mothers with the incidence of preeclampsia according to analysis result towards the data, showed that most of normal preganant mothers (73,3%) had good sleep quality and the rest of it (26,7%) had bad sleep quality. meanwhile, only 20% mothers with preeclmapsia had good sleep quality and most of them (80%) had bad sleep quality. based in the result of chi square test with α=0,05 and df=1, χ2count (8,65) > χ2table (3,841) which means ha accepted and h0 rejected. it can be told that there is relation of sleep quality in pregnant mothers with the incidence of preeclampsia in gambiran hospital kediri. in study review by okun et all 2009, explained that in experimental studies, the increase of inflammatory cytokines such as tnfα, disrupt trophoblast implantation. in remodeling of the spiral arteries to increase placental perfusion need good and normal trophoblast invasion. failed remodeling of these vessels associated with reduced trophoblast invasion which found in preeclampsia pathophysiology. also reported that pregnant mothers experienced the increased frequency of sleep disturbances, wake up in the middle of night (okun, 2019). in a study by kordi et all, sleep quality assessment was suggested after 22 weeks of pregnancy. but it’s better to do before 20 weeks of pregnancy, during vessels remodeling so that can prevent failured remodeling also decrease proinflammatory sytokines level (kordi et al., 2017). studies review by balserak pien 2010 in googley 2018, explained that bad sleep quality or short sleep duration contribute in the increase of inflammation. continuous bad sleep quality will be associated increased protein c-reactive level, even in health woman. beside that, higher tumor necrosis factor-α (tnf-α) circulation level was found in mothers with subjective sleep disorder during third trimester. short sleep duration and low sleep eficiency, which usually found in patient with sleep disordered breathing (sdb), will be associated with the increased level of interleukin-6 (il-6) but not with tnf-α in the middle and last of pregnancy. increased inflammation end up with bad pregnancy outcomes. increased il-6, protein c-reactive and leukocyte level also reported in patient with preeclampsia. need to know that sdb hasanah, rahayu, rahmawati, the relation of sleep quality in pregnant mothers with … 203 or sleep disordered breathing is common sleep disturbance among pregnant mothers which characterized by repeated episodes of partial or complete upper airway obstruction during sleep and can lead to siruption of normal breathing ventilation, intermittent hypoxemia and arousals from sleep (gooley et al., 2018). decreased sleep duration associated with intravascular inflammation is primary effect which lead to preeclampsia. bad seel quality during pregnancy is associated by higher inflammatory cytokines serum level and chemokines such as tnf-α, il-6, il-8 and others which also found in patient with preeclampsia (romero & badr, 2014). in a study by kordi et all 2017, 20% preeclamptic pregnancies and 12% non preeclamptic pregnancies reported snoring. also explained that snoring in pregnant mothers can be associated with preeclampsia (kordi et al., 2017). in a study by zaky 2015, there was 16,1% mothers had moderate sleep quality, 19,2% mothers had bad sleep quality. explained that mothers with bad sleep quality have significant risk preeclampsia than those who have good sleep quality (hassan zaky, 2015). the analysis result in this study is equal with the past theories and studies, where mothers with preeclampsia have bad sleep quality in early pregnancy and worsen along with the gestational age which is caused by higher inflammatory cytokines level. sleep quality assessment in mothers is needed, especially in the beginning of pregnancy for decrease the risk of preeclampsia or other complications which caused by bad sleep quality. health workers must educate mothers in preparing their pregnancy about how to correct or maintain good sleep quality and what nutrient should be consumed to prevent pregnancy complications happen. conclusion in this study, several risk factors from preeclampsia were found which were indirectly showed how complex the pathophysiological is. sleep disorders experienced by pregnant women must be treated immediately to prevent an increase levels of inflammatory cytokinins that can cause pregnancy's complications, including preeclampsia. suggestion sleep quality assessment should be done at least twice to know the change of sleep quality then and now to strengthen analysis. researcher can observes body mass index and stress level of the samples also the impact on immune system which involves the increase of adrenaline and cortisol level, both of them is included in the risk factor of preeclampsia. also it’s better to find what kind of immune that influenced by the state of stress. researcher also suggested to look for the relation between stress in psychological level or cell level with sleep quality and the incidence of preeclampsia. acknowledgement we are grateful to gambiran hospital kediri, especially the midwives in poly ob/gyn and ldr room for granting permission to collect the data. also, we thank poltekkes kemenkes malang for provided facilities which support the implementation of the study. funding this study was funded by the researchers. conflicts of interest there is no conflict of interest in this study. refferences ali, a. a., rayis, d. a., abdallah, t. m., elbashir, m. i., & adam, i. (2011). severe anemia is associated with a higher risk for preeclampsia and poor perinatal outcomes in kassala hospital, eastern sudan. bmc research notes, 4, 311. https://doi.org/10.1186/1756-0500-4-311 american college of obstetrician and gynecologist. (2013). hypertension in pregnancy. american college of obstetrician and gynecologist. apreviadizy, p., & puspitacandri, a. (2014). perbedaan stres ditinjau dari ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. jurnal psikologi tabularasa, 9(1), 58–65. aulia, d., rodiani, & graharti, r. (2019). relationship between diabetes mellitus with the incidence of preeclampsia in rsud dr . h . abdul moeloek lampung on the period. medula, 8(2), 180–186. cunningham, f. g., leveno, k. j., bloom, s. l., hauth, rouse, & spong, c. y. (2016). obstetri william (23rd ed.). egc. dinkes provinsi jawa timur. (2018). profil kesehatan provinsi jawa timurtahun 2017. 204 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 196-204 dirgahayu, i., jamiyanti, a., & sadiah, d. (2015). pengaruh terapi musik klasik terhadap kualitas tidur pada ibu hamil trimester iii di desa margahayu wilayah kerja puskesmas leuwigoong kabupaten garut tahun 2015. stikes bhakti kencana bandung, 1–20. gooley, j. j., mohapatra, l., & twan, d. c. k. (2018). the role of sleep duration and sleep disordered breathing in gestational diabetes mellitus. neurobiology of sleep and circadian rhythms, 4, 34–43. https://doi.org/10.1016/j.nbscr.2017.11.001 hassan zaky, n. (2015). the relationship between quality of sleep during pregnancy and birth outcome among primiparae. iosr journal of nursing and health science, 4(5), 90–101. https://doi.org/10.9790/1959045190101 irianto, g. p. (2018). pengaruh senam yoga terhadap pola tidur pada ibu hamil trimester ii dan iii di desa grogol wilayah kerja puskesmas cukir kecamatan diwek kabupaten jombang. repository stik insan cendekia medika. khayati, y. n., & veftisia, v. (2018). hubungan stress dan pekerjaan dengan preeklampsia di wilayah kabupaten semarang. indonesian journal of midwifery (ijm), 1(1). https://doi.org/10.35473/ijm.v1i1.38 kordi, m., vahed, r., rezaeitalab, f., & mazloum, s. r. (2017). the relationship between snoring and preeclampsia : a case-control study. journal of sleep sciences, 2(3), 75– 80. lowdermilk, d., perry, s., & cashion, m. c. (2013). keperawatan maternitas. elsevier. mirkovic, l., nejkovic, l., & micic, j. (2018). a new pathophysiological concept and new classification of pre-eclampsia. vojnosanitetski pregled, 75(1), 83–94. https://doi.org/10.2298/vsp1604212301m mittelmark, r. a. (2019). physical changes during pregnancy. msd manual. https://www.msdmanuals.com/home/women -s-health-issues/normal-pregnancy/physicalchanges-during-pregnancy nashori, f., & wulandari, e. d. (2017). psikologi tidur : dari kualitas tidur hingga insomnia. universitas islam indonesia. okun, m. l. (2019). sleep disturbances and modulations in inflammation: implications for pregnancy health. social and personality psychology compass, 13(5), e12451. https://doi.org/10.1111/spc3.12451 prawirohardjo, s. (2016). ilmu kebidanan (t. rachimhadhi & g. h. wiknjosastro (eds.)). pt. bina pustaka sarwono prawirohardjo. preeclampsia foundation. (2012). what could the genetics of preeclampsia mean for me and my childern’s health. preeclampsia foundation. http://www.preeclampsia.org/research/144research-news/239-what-could-the-geneticsof-preeclampsia-mean-for-me-and-mychilderns-heart-health romero, r., & badr, m. s. (2014). a role for sleep disorders in pregnancy complications: challenges and opportunities. american journal of obstetrics and gynecology, 210(1), 3–11. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2013.11.020 saaresranta, t., anttalainen, u., & polo, o. (2015). sleep disordered breathing: is it different for females? erj open research, 1(2). https://doi.org/10.1183/23120541.000632015 sihombing, d. s. (2020). kualitas tidur dan aktivitas ibu hamil trimester iii. repository universitas sumatera utara. sukorini, m. u. (2017). hubungan gangguan kenyamanan fisik dan penyakit dengan kualitas tidur ibu hamil trimester iii. the indonesian journal of public health, 12(1), 1. https://doi.org/10.20473/ijph.v12i1.2017.112 uliyah, m., & hidayat, a. a. (2015). keterampilan dasar praktik klinik kebidanan. salemba medika. vink, j., dahal, s., li, h., mourad, m., ndubisi, c., myers, k., kitajewski, j., sheetz, m., wapner, r., & gallos, g. (2019). 557: progesterone decreases human cervical smooth muscle cell contractility. american journal of obstetrics and gynecology, 220(1), s372. https://doi.org/10.1016/j.ajog.2018.11.579 world health organization. (2019). maternal mortality. world health organization. https://www.who.int/news-room/factsheets/detail/maternal-mortality. 138 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator dian mitra d.s1, achir yani s hamid2, syamsul firdaus3 1,2,3faculty of nursing and health sciences, universitas muhammadiyah banjarmasin, indonesia article information abstract changes in work patterns during a pandemic will certainly impact changes in the work habits of nurses who must be able to adapt to any work situation in the field, especially for nurses vaccinated with the covid-19 vaccine. more than 11 billion people in the world have received a dose of the covid-19 vaccine. data for receiving the covid-19 vaccine in indonesia is 208,265,720 people. achievements in the implementation of vaccination in palangka raya city reached 223,414 people with the first phase vaccine distribution of 264,173 people, the second phase amounted to 228,457 people, and the third phase vaccine reached 88,282 people. amost 80% of nurses experienced mental health problems, namely stress during the covid-19 pandemic. the increased workload can affect the physical and psychological health of nurses. based on the analysis of the data, the nurse's self-management ability is needed to deal with any job demands or workload that is obtained while being a covid-19 vaccinator. this study aimed to explore self-management experiences among nurses as covid-19 vaccine providers. the study used a qualitative research method with a phenomenological approach with in-depth interviews with 11 participants who served in five areas of the city of palangka raya and were selected based on purposive sampling inclusion criteria. the results of qualitative analysis of thematic data using the colaizzi technique found seven themes, four of which were very relevant to self-management, namely: 1) professional attitude in discrediting tasks; 2) coping strategy; 3) job satisfaction and altruism; 4) teamwork atmosphere; and three additional themes, namely: 5) factors that cause work stress; 6) workload of nurses as stressors; and 7) holistic response experienced by vaccination. history article: received, 07/02/2022 accepted, 04/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: self-management, covid-19 vaccine vaccination, nurse © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas muhammadiyah banjarmasin – south kalimantan, indonesia p-issn : 2355-052x email: diansilalahi86@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p138-143 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:diansilalahi86@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p138-143 mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 139 introduction corona virus disease 2019 was the first to spread in the city of wuhan, china at the end of 2019 (okada pilailuk, 2020). this virus has spread so massively that almost all countries have reported finding cases of covid-19, including indonesia, where the first case occurred in early march 2020. more than 450 million cases based on data from the task force for handling covid-19, the united central executive board as of june 5, 2022, there were 9,725 confirmed nurses for covid-19, 510 suspects, 1,656 close contacts, 228 probable, 4,503 recovered and 717 died. the development of a safe and effective covid-19 vaccine is an important step in the global effort to end the pandemic by realizing herd immunity so that people can return to their normal activities (elisabeth barnby, mark reynolds, & jenny gordon, 2021). more than 11 billion people in the world have received a dose of the covid-19 vaccine. the covid-19 vaccine program in indonesia began on january 13 2021 with the issuance of the decree of the minister of health of the republic of indonesia no. hk. 01.07/menkes/4638/2021 concerning technical guidelines for the implementation of vaccination in the context of mitigating the 2019 corona virus disease (covid-19) pandemic, the scope of which is planning needs, targets, funding, distribution, and management of vaccines and logistics, implementation of services, cooperation, recording and reporting, communication strategy, monitoring and management of adverse events after covid-19 vaccination, as well as monitoring and evaluation. at the beginning of the implementation, many challenges were faced by health workers who also played a role in educating the public to trust the government's vaccine program. in the mass vaccination program in the early stages of implementation, nurses experienced an increase in workload while serving as vaccinators. according to a survey (icn, 2020), almost 80% of nurses experienced mental health problems, namely stress during the covid-19 pandemic due to workload and work situations. when on duty, nurses get a workload that exceeds their abilities, so they cannot fulfill or complete it, which results in work stress for nurses (musdalifah & dirdjo, 2021). (mulfiyanti, muis, & rivai, 2018) said work stress is a tension that causes physical and psychological imbalances, thought processes, and emotions as well as the condition of an employee. according to (wijaya c., 2017) there are several factors that can cause work stress, namely the physical environment, role conflicts, multiple roles, workload, task characteristics, and causes of interpersonal and organizational stress. this is in line with (budiyanto, 2019) in his research which said that most sources of stress are due to the workload of nurses, patient care problems, conflicts with other staff, and career development. according to (rahman, susilo, & dewantoro, 2022) self-management is a procedure in which individuals regulate their own behavior to plan, focus attention, and evaluate the activities carried out, in which there is psychological strength that gives direction to individuals to make decisions and determine their choices and determine effective ways to achieve goals but still do not violate ethical principles to prioritize the interests of vaccine recipients and every decision and action taken does not harm them. if nurses have low self-management skills regarding the workload they get, the negative impact that has the potential to occur is increased stress levels. increased stress levels can reduce the productivity and performance of nurses. this condition can be dangerous and threaten the safety of vaccine recipients. self-management is one aspect that supports motivation so that someone will continue to work. there are facts in the field that show that nurses have not been able to demonstrate good selfmanagement in dealing with work stress due to the increased workload for nurses. based on this phenomenon, researchers feel the need to dig in-depth and comprehensively using a qualitative study with a phenomenological approach regarding the experience of self-management of nurses as covid-19 vaccinators at the palangkaraya city health center. methods this study used a qualitative research method with a phenomenological approach that aimed to explore existing phenomena so that an overall picture is obtained of how the nurse's self-management experience as a covid-19 vaccinator is obtained. participants in this study were selected using purposive sampling, with eleven participants who met the research inclusion criteria including having training certification as a vaccinator, being a vaccinator nurse who served for one year, having good communication skills, being willing to share 140 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 138-143 their experiences, having program holders/no, family status/ not married, varies in age and serves in five areas of the city of palangka raya. the research was conducted on november 7 – december 12 2022 using in-depth interviews and the results of thematic analysis of qualitative data were carried out using the colaizzi technique, namely collecting data from interviews in the form of primary data and secondary data. the second stage was reading the verbatim transcript repeatedly so that the researcher found the meaning of the data that was significant. the third stage was determining the categories. the last stage was writing a research report. results the results of this study were presented in two parts, namely general information about the characteristics of the participants according to the demographic data of the participants and a description of the results of the research which presented the themes that emerged from the research obtained from the participant's point of view about the selfmanagement experience of nurses as co-19 vaccinators. the participants in this study were nurses who served as vaccinators for the covid-19 vaccine in five puskesmas in the working area of the palangka raya city health service with a total of 11 people, consisting of 2 male participants and 9 female participants. the age of the participants varied with the youngest being 35 years and the oldest being 51 years. each participant is given a code that describes the serial number of the researcher, where p1 and up to p11 are used. this research was conducted using in-depth interviews and saturation was obtained from 10 participants. in order to ensure data saturation and increase data variation, the researcher added one participant, namely p11. based on the results of data analysis from 11 participants through in-depth interviews in this qualitative study, the researchers concluded that there were several themes obtained. the themes are professional attitude in carrying out duties, coping strategies, job satisfaction and altruism, teamwork atmosphere, factors that cause stress at work, nurse's workload as a stressor, holistic responses experienced by vaccinations discussion 1) characteristics of participants the characteristics of the eleven participants in this study were quite diverse, ranging from differences in age, education level, length of work, gender, and position/skill. based on the results of interviews, researchers assume that age, length of work, and gender are factors that influence individual abilities in self-management. the self-management ability possessed by each individual is different. based on research (anjarsari & sofiani, 2019) says that one of the factors that influence self-management is physical and psychological health. the results of the study, participants aged > 40 years with work experience > 20 years responded to problems calmly and wiser in making decisions while on duty, although they still felt stress due to workload, participants had minimal stress levels by expressing passive assessment as a coping strategy to deal with stress. according to (sunar, 2012) in his research said that there is an influence of biological factors, namely gender, on employee productivity. there were two male participants and nine female participants. male participants tend to show relaxed behavior and emotional characteristics towards pressures and problems while on duty, in contrast to female participants who tend to get stressed more quickly and change their mood when facing problems. 2) professional attitude in carrying out duties as a covid-19 vaccinator. according to research (nengsih, 2022) explaining the quality of nursing services in guaranteeing and providing nursing care requires a professional attitude. the results of the study showed that the responses from all participants showed a professional attitude towards the task given as a co19 vaccinator. participants have a sense of responsibility for setting goals (goal setting) and completing assignments, even though participants get additional overtime and high workloads, it is not uncommon for covid-19 vaccinators to receive verbally unpleasant treatment from society and a discrepancy between workload and rewards received, participants will continue to carry out their duties as a co-19 vaccinator wholeheartedly in accordance with predetermined standard operating procedures. 3) coping strategy according to (batbual, 2021) said several aspects of self-management abilities, namely one of them is self-control, individuals who have the ability to control themselves will be able to manage destructive emotions and impulses effectively. individuals who have this ability will be able to manage well the various impulses and emotions that suppress the individual. nurses need coping strategies as a way to control themselves against the stressors they face while working. the coping strategies used can help nurses reduce anxiety and psychological mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 141 impact. in the participants who were interviewed, participants revealed that coping with work stress was done by responding to stress by carrying out positive activities such as exercising and eating healthy foods. in addition, the most important thing for participants to overcome stress is to get support from their nuclear family, participants said that while on duty, the nuclear family played the most role in helping with all activities that they could not handle. 4) job satisfaction and altruism according to (wijaya c., 2017) job satisfaction can be defined as a positive feeling about work which is the result of an evaluation of its characteristics. participants in this study also said that the job satisfaction felt by participants was due to several things including satisfaction with the honorarium received, a sense of pride in being able to play a role in the co-19 vaccine program and the awards received. participants thought that the additional honorarium made them feel grateful because the honorarium was outside of the monthly salary they received. participants said that their sincerity in helping the community at that time was really based on a sense of concern for recovering quickly from the pandemic situation when viewed from the workload accepted and the job demands of the participants said they could not. however, because of a belief in and responsibility for the task, as well as positive reinforcement, the participants continue to serve the community and have a sense of satisfaction with the tasks performed. 5) working atmosphere of the vaccinator nurse team one aspect of self-management is how to manage relationships among individuals. close dependence on fellow individuals makes a constant strength, this is what is needed in maintaining teamwork to create a comfortable working atmosphere. the results of this study found that the working atmosphere between individuals in the team is still well established, a comfortable work environment atmosphere can coordinate in the division and implementation of tasks to run smoothly. not a few participants also said that misunderstandings could still occur between team members and other puskesmas members regarding the distribution of honorarium and workload that was not evenly distributed, but this was commonplace, considering the situation while on duty as a co-19 vaccinator, all teams had their own stress levels. -each of which ended up triggering problems within the team. related to this problem, participants used selfmanagement techniques, namely mastery of stimuli (stimulus control) to be able to modify the work environment so that existing problems can be resolved. 6) factors causing work stress in nurses vaccinating covid-19 vaccines according to badri (2020), there is a demand for professional ideal nurses who experience stress every day due to role conflicts with co-workers, discrimination, high workload, and dealing with patients and the patient's family. stress in the work environment is unavoidable, but work stress can be reduced or managed. this requires individual skills or expertise to manage themselves, if work stress is managed properly, it can be a driving force and increase work intensity, whereas if it is not managed properly work stress will cause problems that have a negative impact on individuals, vaccine recipients, and the workplace. 7) workload of covid-19 vaccine vaccination nurses according to (damayanti, 2019) said that managing and managing time as well as possible is very important in self-management, this is to achieve goals and objectives so that they can work efficiently and effectively. the results of this study indicate an increase in workload because some participants are not able to manage time well. the existence of unfinished tasks in the work environment requires participants to continue their work at home, which results in additional time to complete the existing tasks. participants need to use self-management techniques, namely self-monitoring to observe and record everything about themselves in interacting with the environment and apply self contracting selfmanagement techniques so that they can control the causes of problems that result in consequences with an increased workload. 8) the holistic response experienced by nurses who vaccinate the covid-19 vaccine the results of research from (almomani, et al., 2022) said that at the beginning of the pandemic, nurses experienced many challenges which resulted in a lack of certainty, psychological and physical stress, and social stigmatization. according to (batbual, 2021) says that there are four aspects that a 142 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 138-143 person must have in order to be able to maintain, maintain, and manage himself, one of which is the health aspect, physical and psychological conditions that can influence a person in directing activities. several participants in this study also said the impact of work stress experienced when carrying out their duties as a vaccinator, namely feeling physical complaints such as fatigue, headaches, decreased immune system, and other symptoms of illness. in addition, some participants also felt psychological responses from the impact of work stress such as emotions, fear, anxiety, and worry. health is a factor that influences one's self-management. conclusion based on the results of the study, four themes were found that were relevant to the self-management of nurses as covid-19 vaccinators, namely a professional attitude in carrying out tasks, coping strategies, job satisfaction and altruism, and a teamwork atmosphere. the researcher concluded that these four themes were the integration of aspects of self-management. in addition to the four themes related to self-management of vaccinating nurses, the researchers also determined three additional themes, namely factors causing stress, workload, and holistic responses. these three additional themes were trigger factors and responses that were obtained when participants lack the ability to manage themselves well. suggestion suggestions from this study is given to service management at the puskesmas to consider and pay attention to every workload that nurses have so that nurses no longer have excessive workloads. in addition, leaders pay attention to the development of their employees by holding training that builds better human resources in puskesmas and provides nurses with what is rightfully theirs. for the development of nursing science, further research should be carried out regarding the themes that have been obtained in this study in various variables. acknowledgement we would like to acknowledge the nurses as covid-19 vaccinators who take part in this research. funding stikes eka harap foundation as my place of work is the main funder of this research. conflicts of interest there are no conflicts of interest to declare in this study. author contributions the main researcher plays a role in preparing proposals, collecting data, and reporting results. other researchers play a role in data analysis, preparation of study results, and assisting the main researcher in preparing the final report. references almomani, m. h., khater, w. a., akhu-zaheya, l. m., alloubani, a., alashram, s. a., azab, m., & al-malawi, a. k. (2022). nurses’ experience of caring for patients with covid-19: a qualitative study. journals.sagepub.com, 1-7. doi:10.1177/21582440221144982. badri, i. a. (2020). hubungan beban kerja dan lingkungan kerja. jurnal human care e-issn:2528-66510; volume 5; no.1(february 2020):379-390, 1-12. batbual, b. (2021). self manajement untuk meningkatkan kinerja bidan. jawa barat: cv. adanu abimata. budiyanto. (2019). faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja perawat pelaksana di ruang rawat inap rumah sakit umum bethesda gmim tomohon. jurnal kesmas, vol. 8 no. 3, april 2019 , 3-8. damayanti, e. (2019). manajemen diri mahasiswa yang aktif berorganisasi. retrieved from http://eprints.ums.ac.id/72335/2/. elisabeth barnby, d. c.-b.-b., mark reynolds, d. r., & jenny gordon, b. r. (2021). reaching hers immunity during the sars-co v-2 pandemic: what school nurse need to know. sage journals, 1-5. icn. (2020, mei 3). international council of nurses. retrieved from www.icn.com. moleong, l. j. (2017). metode penelitian kualitatif. bandung: pt. remaja. mulfiyanti, d., muis, m., & rivai, f. (2018). hubungan stres kerja dan beban kerja dengan kelelahan kerja pada perawat di rsudtenriawaru kelas b kabupaten bone . jurnal kesehatan masyarakat maritim, 16. musdalifah, m., & dirdjo, m. m. (2021). hubungan antara beban kerjadengan stres kerja mitra d.s, hamid, firdaus, nurse self-management experience as a covid-19 vaccinator … 143 perawat di rumah sakit: studi literature review. borneo student research, 1-6. nengsih, c. m. (2022, desember). sikap dalam dilema etik dan sikap profesional perawat terhadap kualitas pelayanan. jurnal keperawatan silampari volume 6, nomor 1, desember 2022 e-issn: 2581-1975 p-issn: 2597-7482 . doi https://doi.org/10.31539/jks.v6. okada pilailuk, b. r. (2020). early transmission patterns of coronavirus disease 2019 (covid-19) in travelers from wuhan to thailand, january. euro surveill, 1-5. rahman, w. a., susilo, a. t., & dewantoro, a. (2022). pengembangan modul manajemen diri untuk meningkatkan keterampilan manajemen waktu siswa sma. jurnal psikoedukasi dan konseling e issn: 25804545 (online), 1-2. wijaya, c. (2017). perilaku organisasi. medan: lembaga peduli pengembangan pendidikan indonesia (lpppi). wijaya, k. s. (2019). pengaruh stres kerja terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening pada badan pusat statistik kabupaten blitar. jurnal muara ilmu sosial, humaniora, dan seni , 1-7. 69 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk determinant factors related to family utilization of health services bisepta prayogi1, khairir rizani2, ferry fadli fratama3 1,2,3nursing department, poltekkes kemenkes banjarmasin, indonesia article information abstract health is one of the important elements in human life, so the utilization of health services is an important factor in determining health. the utilization of health services has been recommended by the world health organization (who) as a primary health concept. however, many people do not take advantage of existing healthcare facilities. the purpose of this research was to determine the factors related to the utilization of health services by families. the research method used an analytic observational research design/analytic survey with a cross-sectional approach. the sampling technique used simple random sampling with a total sample of 61 respondents. bivariate analysis to determine the relationship of each factor was the chi-square test. the results showed that there was no relationship between age and family utilization of health services (p>0.05), there was a relationship between education level and family utilization of health services (p<0.05), there was no relationship between employment status and health service utilization by the family (p>0.05), and there was no relationship between distance (access) and utilization of health services by the family (p>0.05). in this way, families can take advantage of the nearest health service when they are sick so they can find out what disease they are suffering from and get the correct treatment/care. history article: received, 02/03/2023 accepted, 13/04/2023 published, 25/04/2023 keywords: health services, family, family health nursing © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes banjarmasin – south kalimantan, indonesia p-issn : 2355-052x email : biseptaprayogi11@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p069-074 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:biseptaprayogi11@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p059-068 70 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 introduction the utilization of health services is an important determinant of health, which has relevance as a public health and development issue in low-income countries. the use of health services has been recommended by the world health organization (who) as a basic primary health concept for the most vulnerable and underprivileged populations. dan has suggested that health should be universally accessible without barriers based on affordability, physical accessibility, or acceptance of services. thus, increasing the use of health services is the main target in various developing countries (karman, sakka, a & saptaputra, s. k. (2018). utilization of health services is very important for the community to maintain, improve, prevent, and cure disease as well as restore the health of individuals or families at the puskesmas, including medical services and public health services such as health promotion, environmental health, maternal and child health/kb, efforts to improve nutrition, eradication of communicable diseases and treatment (noviana s, 2013). the utilization of health services at the puskesmas level has several influencing factors, namely consumer factors in the form of education, livelihoods, knowledge, and patient perceptions; organizational factors in the form of availability of resources, affordability of service locations, and social access; as well as service provider factors including the behaviour of health workers (dever, 1984). in the results of environmental health research in the study program center for excellence in science and technology, poltekkes, ministry of health, banjarmasin, which was carried out in december 2021, it was found that most respondents bought over-the-counter drugs and the rest bought herbal medicine when they experienced health problems before being taken to health services. the closest health service location is the puskesmas with mostly 2-5 km from home, the education of the respondents was mostly high school, and the occupation of the respondents was mostly housewives. the results of gita nirmala sari's research (2015) state that there was a relationship between education and the use of antenatal services. research by noviana s (2013) states that there was no relationship between age and occupation in the utilization of health services. meanwhile, debra s's research (2015) states that there was a significant relationship between access to services and utilization of health services. based on the above background, the research team was interested in further researching the factors related to the utilization of health services by families in the martapura river basin area, antasan senor village and kampung melayu village, martapura district, banjar regency. this research aimed to determine the factors associated with the utilization of health services by families. method the research method used an analytic observational research design/analytic survey with a cross-sectional approach. the sampling technique used simple random sampling with a total sample of 61 respondents. bivariate analysis to determine the relationship of each factor used the chi-square test. this research used determinant factors (age, education, employment, and access) and utilization of health services by family. the data collection method used a questionnaire. after the prospective respondent understood and agreed, then they filled in the existing questions. the analysis of the data used univariate analysis, and bivariate analysis with chi-square. the values were set at p<0,05. result distribution of determinant factors table 1: distribution of determinant factors variables on the utilization of health services by families. research variable frequency (f) percentage (%) utilization of health services utilise 5 8,2 not utilizing 56 91,8 total 61 100 age early adult < 45 years 37 60,7 mature adult ≥ 45 years 24 39,3 septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 71 total 61 100 education higher 3 4,9 middle 37 60,7 basic 21 34,4 total 61 100 work work 28 45,9 does not work 33 54,1 total 61 100 distance to health services < 5 km (near) 56 91,8 > 5 km (far) 5 8,2 total 61 100 bivariate analysis table 2: bivariate analysis of factors that influence the prevention of covid 19 in the family. independent variables utilization of health services ρ value (0,05) not utilizing utilise total n % n % n % age early adult < 45 years mature adult ≥ 45 years 34 22 91,9 91,7 3 2 8,1 8,3 37 24 100 100 1,000 total 56 91,8 5 58,77 61 100 education higher middle basic 0 35 21 0 94,6 100 3 2 0 100 5,4 0 3 37 21 100 100 100 0,000 total 56 91,8 5 8,2 61 100 work does not work. work 31 25 93,9 89,3 2 3 6,1 10,7 33 28 100 100 0,653 total 56 91,8 5 8,2 61 100 distance to health services near far 51 5 91,1 100 5 0 8,9 0 56 5 100 100 1,000 total 56 91.8 5 8,2 61 100 discussion the relationship between age and the utilization of health services by families. based on table 2 above showed that the utilization of health services is more balanced in late adulthood and early adulthood. further analysis obtained a value of ρ = 1.000 which means there was no relationship between age and utilization of health services by families. this fact showed that age was not the only factor that influences a person's behaviour, in this case, age was not related to the use of health services because people tend to deal with their health problems first and then take them to a health facility if the problem is not resolved, this was supported by the majority of families that buy overthe-counter medicines or herbs when they have health problems (sick), this does not depend on age. age is one of the individual characteristics that can facilitate or underlie the occurrence of certain behaviours. through the course of growing older, a person will adapt his life behaviour to his environment besides being natural, also developing 72 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 instinctive behaviour. adulthood starts at the age of 18 years. currently, a person experiences a change in determining a new lifestyle, new responsibilities and new commitments including deciding to use or not to use health services when he was sick. in theory, these results contradict the theory which explains that in general, someone who is older will be more responsible and more thorough in all things compared to someone younger. this happens because older people have experience and are generally able to make decisions (nursalam, 2014). this research was in line with the research of noviana s (2013) which states that there was no relationship between age and utilization of health services. the relationship between education level and the utilization of health services by families. based on table 2 above, it showed that the higher the level of education, the more utilization of health services. further analysis obtained a value of ρ = 0.000 which means there was a relationship between the level of education and the utilization of health services by families. when someone has a high level of education, they can better understand and know the benefits and needs that are considered important, such as the need for health services that can be guaranteed by paying health insurance contributions so that the level of a person's desire to pay these contributions will increase. the results of this research are following the results of research by gita nirmala sari (2015) which states that there was a relationship between education and the use of antenatal care. research muh. ryman napirah (2016) also mentions that there was a relationship between education level and utilization of health services, as well as research by nena mardiana (2022), states that education level has a significant relationship with the utilization of health services, and research by abdul syarifain (2017) states that education and income are factors associated with the utilization of health services. the relationship between work status and the utilization of health services by families. based on table 2 above, it showed that the utilization of health services was more balanced among respondents who work and who do not work, there are equally who did not use it. further analysis obtained a value of ρ = 0.653 which means there was no relationship between employment status and utilization of health services by the family. occupation is a consumer socio-economic factor that plays a role in influencing individuals in health services. occupation is one of the supporting factors that influence a person in utilizing health services. someone who works has a higher tendency to take advantage of health services compared to someone who doesn't work. facts in the field, more than half of the respondents were unemployed, contradicting existing theories. work was not the only thing that influences a person's behaviour, in this case, work was not related to the use of health services because people tend to deal with their health problems first and then take them to a health facility if the problem was not resolved, this was supported by the majority of families buying over-the-counter drugs or herbal medicine when they experience health problems (sick), this does not depend on their work. this research was following the results of jimmy tampi's research (2015) which states that work was not related to the utilization of health services. the relationship between distance to health services and the utilization of health services by families. based on table 2 above, it showed that the utilization of health services was almost balanced in respondents who are near and far, the majority do not use it. further analysis obtained a value of ρ = 1.000, which means that there was no relationship between distance (access) and utilization of health services by families. facts in the field found that most respondents have a close distance between their homes and places of health services, but they tend not to take advantage of health services. distance was not the only thing that influences a person's behaviour, in this case, the distance was not related to utilization of health services because people tend to overcome problems. their health first and then takes them to a health facility if the problem was not resolved. this was supported by most of the families buying over-thecounter medicines or herbs when they have health problems (illness), this does not depend on distance. the results of this research are different from research conducted by muhammad andika sasmita saputra (2021) which states that there was a significant relationship between the distance of residence and the utilization of health services. in this research, the absence of a relationship between distance and utilization of health services could be caused by the fact that people will visit the puskesmas when their illness does not go away, septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 73 people prefer to get treatment from midwives or paramedics or only buy medicines at stalls around their homes when they are sick. new people will visit the health centre when the medicine they get at the stall or the midwife is not effective so even though the distance where they live is close to health services, they are not yet interested in taking advantage of health services. conclusion the characteristics of the respondents were dominated by the behaviour of families who did not utilize health services, the age of most respondents was early adulthood, the education level of the majority was secondary education, most respondents did not work as large and the distance of health services from the majority of homes was close. there was a relationship between education level with the utilization of health services by families. there was no relationship between age, work status, and distance to health services with the utilization of health services by families. suggestion this research recommends families be able to take advantage of the nearest health service when sick so that they can know the disease they are suffering from and get the right treatment/care. while for researchers, it is by conducting research with other variables such as knowledge, perceptions of health workers and health service infrastructure. funding this research was funded by the dipa poltekkes kemenkes banjarmasin. poltekkes kemenkes banjarmasin helps with all the costs incurred in this research. conflicts of interest the authors in this research have no affiliations with or involvement in any organization or entity with any financial interest or nonfinancial interest in the subject matter or materials discussed in this manuscript. acknowledgement the author would like to thank the director of poltekkes kemenkes banjarmasin, the head of the nursing department of poltekkes kemenkes banjarmasin, the head of the research and community service centre poltekkes kemenkes banjarmasin and all the participants in this research. author contributions the main author verifies critical thinking based on the phenomena in the family community. then the main author starts designing and compiling the conceptual framework of the research, determining the research hypotheses, compiling articles, conducting analysis, displaying data, carrying out critical revisions of manuscript writing, and making final approval of the version to be published also part of the main author. the co-author criticizes the research design and analysis tests using data processing software, and data interpretation and examines the relevance of the theoretical concepts used, provides instruments, and examines the suitability of implementation according to standard procedures and research frameworks. the third author supervised the implementation of the research and conducted explanatory discussions with the coauthors. based on the existing directional hypothesis, the researcher examines the research results to deepen the research discussion. reference abdul syarifain, adisti a. rumayar, chreisye k.f mandagi, 2017. hubungan antara pendidikan dan pendapatan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pasien bpjs di wilayah kerja puskesmas sario kota manado, jurnal kesehatan masyarakat universitas sam ratulangi, vol.6 no 4. agus citra dermawan & santun setiawati 2008, penuntun praktis asuhan keperawatan keluarga edisi 2. jakarta: trans info media. azwar, a 2010, program menjaga mutu pelayanan kesehatan, yayasan penerbit idi, jakarta. bailon, s.g. & maglaya, a. 1989, perawatan kesehatan keluarga: suatu pendekatan proses (terjemahan), pusdiknakes, jakarta. davi, m 2016, ‘faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfataan pelayanan kesehatan puskesmas cibeureum studi pada keluarga miskin penerima jaminan kesehatan di kecamatan cibeureum kota tasikmalaya’. debra, s 2015, ‘faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan pada peserta bpjs kesehatan di puskesmas paniki bawah kecamatan mapanget kota manado’, jikmu, vol 5 no 2. depkes, ri 2009, undang-undang republik indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, jakarta. 74 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 dever, a. 1984, epidemiology of health services utilization. aspen system corporation, rockville, maryland. friedman, m. 2010. buku ajar keperawatan keluarga: riset, teori, dan praktek. edisi ke-5. jakarta: egc gita nirmala sari 2015, ‘faktor pendidikan, pengetahuan, paritas, dukungan keluarga, dan penghasilan keluarga, yang berhubungan dengan pelayanan antenatal. jurnal ilmu dan teknologi kesehatan, vol 2 no 2. harmoko. 2012. asuhan keperawatan keluarga. penerbit: pustaka pelajar. yogyakarta. jimmy tampi, adisti a. rumayar, ardiansa a.t tucunan, 2015. hubungan antara pendidikan, pendapatan dan pekerjaan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di rumah sakit umum daerah manembonembo bitung 2015. jurnal kesehatan masyarakat universitas sam ratulangi, vol.5 no 1. karman, sakka, a., & saptaputra, s. k 2018, faktorfaktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat pesisir di desa bungin permai kecamatan tinanggea kabupaten konawe selatan tahun 2016’. jurnal kesmas, vol.7, no.5. muhammad andika sasmita saputra, roziah, 2021. hubungan jarak tempat tinggal dan pengetahuan masyarakat dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. jurnal kesehatan terapan vol 8 no 1. muh. ryman napirah, abd. rahman, agustina tony. 2016 faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di wilayah kerja puskesmas tambarana kecamatan poso pesisir utara kabupaten poso, jurnal pengembangan kota, vol 4 no 1. noviana, s 2013, faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di rsud lakipadada kabupaten tana toraja. jurnal administrasi dan kebijakan kesehatan indonesia, vol. 2, no. 3. nena mardiana, indira chotimah, eny dwimawati, 2022. faktor-faktor pemanfaatan pelayanan kesehatan di puskesmas parung selama masa pandemi covid-19. jurnal promotor (jurnal mahasiswa kesehatan masyarakat) vol.5 no 1. razak amran 2007, permintaan pelayanan kesehatan masyarakat pesisir. makasar. stanhope dan lancaster. 1997. community health nursing promoting health of. aggregates, families, and individuals. mosby inc. saint louis. 296 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk virtual assistance improves diet compliance of hypertension patients dhina widayati1, pria wahyu romadhon girianto2, markus mete3 1,2,3bachelor nursing program, karya husada institute of health science kediri, indonesia article information abstract changes in lifestyle that are far from healthy living behavior are currently in line with the increase in hypertension which requires compliance efforts in drug consumption and diabetes management. lack of knowledge is one of the factors of non-compliance in the management of hypertension. mentoring is one way to increase knowledge. knowing the effect of virtual mentoring on hypertension diet on dietary compliance of hypertension sufferers is the goal in this study. the design of the study was pre-experimental. a sample of 28 respondents was obtained by purposive sampling technique. the results of the study before being given virtual assistance showed most of the respondents (53.6%) had adequate hypertension diet compliance, while after virtual assistance showed almost all respondents (89.3%) complied in the implementation of the hypertension diet. the results of the wilcoxon test analysis showed p: 0.000 and: 0.05, indicating that virtual assistance had an effect on dietary compliance with hypertension sufferers. virtual assistance makes communication between patients and health workers more intense, both in the process of transferring information and controlling. virtual mentoring interventions can be used as a method of heath education for health workers to improve dietary compliance with hypertension sufferers. history article: received, 10/06/2022 accepted, 06/12/2022 published, 15/12/2022 keywords: virtual asssistance, hypertension, dietary, compliance © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: karya husada institute of health science kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : budinawida@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p296-302 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:budinawida@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p296-302 widayati, girianto, mete, virtual assistance improves diet compliance of hypertension patients … 297 introduction one of the degenerative diseases in cardiovascular system disorders, namely hypertension, can be a silent killer if it does not get proper treatment (fitria, ;, & candrasari, 2010). management of hypertension can be done through hypertension management which includes several components, namely: antihypertensive drugs, diet management, exercise and stress management (setyawan, 2017). the implementation of hypertension management is carried out on an ongoing basis because blood pressure can change at any time. therefore, compliance is required in its implementation (triwibowo, frilasari, & dewi, 2016). one component that sufferers often neglect is related to diet management (dhina widayati & nuari, 2020). currently, there are still many hypertensive patients who do not comply with the hypertension diet. this failure is closely related to the lack of knowledge about the hypertension diet (devi & putri, 2021).many sufferers still consume fatty foods, vegetables that contain salt and lack of exercise. who data (2017) states 70% of known hypertension sufferers. of these, 25% of them received good treatment. it is predicted that the prevalence of hypertension will increase by 60% in 2025 with the number of sufferers reaching 1.56 billion people worldwide (who, 2017). based on the results of riskesdas 2018, the prevalence of the population with high blood pressure in east java province by 36.3%. the prevalence increases with increasing age. when compared with riskesdas 2013 (26.4%), the prevalence of high blood pressure has increased significantly. estimated number of hypertensive patients aged 15 years in java province east around 11,008,334 population, with the proportion of men 48.83% and women 51.17%. of these, hypertension sufferers who receive health by 35.60% or 3,919,489 population. the results of a preliminary study conducted in sambirejo village in february 2021, 60% of hypertensive patients did not comply with the hypertension diet. hypertension can be caused by several factors, namely: age, family history of hypertension, gender, obesity, lack of exercise, stress and high-salt foods. other factors that trigger hypertension are: smoking and alcohol consumption (amalia, 2018). in the elderly, with the aging process that occurs, there will be changes in the cardiovascular system, namely a decrease in the elasticity of blood vessels which can result in an increase in blood pressure. hypertension can develop into a more serious disease in the cardiovascular system itself, namely coronary heart disease or other organs such as stroke, kidney failure to cognitive disease(suprayitno & huzaimah, 2020). management of hypertension involves several components, namely medication, diet management, exercise and stress management (mapagerang & alimin, 2018). in the management process, maintenance is needed which takes place over a period of time (wulandari & widayati, 2020). this is because an individual's blood pressure can fluctuate. therefore, it is necessary to comply with hypertension treatment. this includes adherence to dietary management (d widayati, 2020). the dietary factor is an important thing to consider in people with hypertension because this component looks simple but we do it every day. in order to prevent further complications, people with hypertension should adhere to a hypertension diet every day regardless of the presence or absence of pain and symptoms that arise (novian, 2013). this is intended so that the blood pressure of people with hypertension remains stable so that they can avoid hypertension and its complications (kurniawati, 2016). there are several factors that influence the behavior of hypertension sufferers in controlling blood pressure, one of which is knowledge(yanti, yuliza, & saluluplup, 2019). knowledge greatly affects hypertensive patients in hypertension management, including in this case related to dietary compliance. one of the efforts that can be done to increase compliance is through education (dhina widayati, 2020) in connection with the current pandemic situation which requires physical restrictions and social distancing, it is necessary to develop online (virtual) based health education services, one method of mentoring and monitoring can be done by utilizing technological developments such as the use of the web or with communication media in the form of video calls (afrian nuari & widayati, 2021). this service can be in the form of consultation or assistance. assistance that is carried out remotely using the help of information technology can enable the delivery of messages and information more easily, quickly and cheaply. this method is considered more effective and efficient. both in terms of time, financing and understanding of patients. virtual assistance really needs to be 298 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 296-302 done, especially regarding diet problems for hypertensive patients. this virtual assistance is expected to be a medium for health workers and patients to consult directly about the patient's dietary problems, besides that health workers can also directly monitor the health development of the hypertensive patient. the purpose of this study was to determine the effect of virtual mentoring about dietary hypertension on diet compliance in hypertensive patients. method the design used in this study was preexperimental involving 28 hypertensive patients as respondents which obtained through purposive sampling with inclusion criteria: hypertensive patients who have gadgets and exclusion criteria: (1) hypertensive patients who have visual and hearing impairments, (2) patients with hypertension with severe criteria (feeling complaints due to increased blood pressure). the independent variable was virtual assistance which was given 3 times a week for 2 weeks (6 times) with the duration of each meeting for 30 minutes via whatsapp media. the dependent variable was dietary compliance which was measured by using a questionnaire. the study was conducted in sambirejo hamlet, sambirejo village, pare district, kediri regency in june 2021. data were analized by wilcoxon sign rank test with α 0,05. result hypertension diet compliance before virtual assistance table 1: frequency distribution of hypertension diet compliance before virtual assistance compliance n % less 12 42,9 quite 15 53,6 good 1 3,5 total 28 100 based on table 1, it shows that before being given virtual assistance, most of the respondents (53.6%) namely 15 respondents had hypertension diet compliance in the quite category. hypertension diet compliance after virtual assistance table 2: frequency distribution of hypertension diet adherence after virtual assistance compliance n % less 0 0 quite 3 10,7 good 25 89,3 total 28 100 based on table 2 shows that after virtual assistance, almost all respondents (89.3%) namely 25 respondents had adherence to the hypertension diet in the good category. the effect of virtual assistance on hypertension diet compliance table 3: distribution of the frequency of dietary compliance in patients with hypertension before and after virtual mentoring. pre test post test less quite good total f % f % f % f % less 0 0 3 10,7 9 12,2 12 42,9 quite 0 0 0 0 15 53,6 15 53,6 good 0 0 0 0 1 3,5 1 3,5 total 0 0 3 10,7 25 89,3 28 100 p-value = 0,000 α = 0,05 based on table 3 it is known that before being given virtual assistance, it is known that most of the respondents (53.6%) had adequate adherence to a hypertension diet, while after virtual assistance, almost all respondents (89.3%) had good compliance. widayati, girianto, mete, virtual assistance improves diet compliance of hypertension patients … 299 based on the results of data analysis using the wilcoxon test, it was found that p value: 0.001 which showed that there was an effect of virtual assistance on hypertension diet on dietary compliance in hypertension sufferers in sambirejo hamlet, sambirejo village, pare district, kediri regency. discussion identify hypertension diet compliance before virtual assistance about hypertension diet based on the results of the study, it was known that before being given virtual assistance, most of the respondents (53.6%) namely 15 respondents had adequate hypertension diet compliance. compliance comes from the word obedient which means obeying an order or rule, and discipline which means obedience to do something that is recommended for him (nuari et al., 2018). compliance with hypertension sufferers in this case is related to the management of hypertension related to the regularity of taking medication, regularly following the recommended diet and changing a healthy lifestyle with rest patterns, physical exercise or exercise patterns and stress management (dewanto, munir, & djuari, 2017). there are several factors that influence changes in individual behavior to become obedient to the treatment program, namely age, educational history, length of suffering (adliyani, 2015). based on the general data of respondents, it is known that most of the respondents (53.6%) are 3140 years old. one of the factors that influence the compliance of hypertension patients is age (rohani & ardenny, 2019). a person's compliance depends on age where at the age of 31 to 40 years the individual already has a broader insight so that a person can do what is good for himself, including adherence to a diet (anisa & bahri, 2017). according to the researcher's assumptions in terms of the level of compliance in performing a hypertension diet, the older a person gets, the better his mental development process is, but at certain ages, the increase in the mental development process is not as fast as when he was in his teens, thus it can be concluded that the age factor will affect the level of compliance of a person who will experience a peak at certain ages and will decrease the ability to accept or remember something along with advancing age. based on the general data of respondents, it is known that almost half of the respondents (32.1%) have a history of junior and senior high school education. according to (notoatmojo, 2018) it is stated that the level of education affects a person's knowledge, this statement is in accordance with (efendi & larasati, 2017) in his research, namely there is a significant relationship between age, education, and compliance, the results of the analysis of the level of education with compliance obtained a p value of 0.002. according to researchers, the history of education affects a person in interpreting something. individuals with a high educational history will be able to understand more about the development of knowledge and easily receive information about new values in knowledge and vice versa if someone has low knowledge it will be very difficult to accept new things or new sciences and not always have obedience (dhina widayati & lestari, 2015) based on the general data of respondents, it is known that most of the respondents (53.6%) suffer from hypertension for 1-2 years. the saturation factor of hypertension sufferers who undergo diet and the cure rate achieved is not as expected can also be a factor in non-compliance. in general, patients who have long suffered from hypertension but have not yet achieved maximum recovery can cause boredom with the diets that have been carried out so far. this results in these patients tend to be disobedient (anisa & bahri, 2017). another study that supports the results of this study is the research conducted by (rohani & ardenny, 2019) which shows that patients who have experienced a disease for one to five years tend to be more obedient to the process of taking drugs and recommendations given by doctors because of their great curiosity. and the desire to recover is great, while patients who have experienced the disease for more than five years have a tendency to have poorer adherence to taking medication and adherence to doctor's recommendations. this is due to more patient experiences, where patients who have complied with the treatment process but the results obtained are not satisfactory, so that patients tend to surrender and do not comply with the treatment process being undertaken (dhina widayati & nuari, 2017). according to the researcher, one of the factors that influence adherence is the length of time suffering from the disease. the longer a person suffers from hypertension, the patient will feel bored with the dietary rules that must be applied every day so that the respondent will eat the food he likes even though it is against the dietary rules. 300 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 296-302 based on the results of the identification of each component of hypertension diet compliance, among others: regulating diet, reducing salt consumption and eating lots of fruits and vegetables. based on these components, hypertension sufferers are still often violated, namely it is difficult to reduce salt consumption. patients with hypertension assume that it is not delicious to eat without any salty foods (dhina widayati, ariningsih, & taukhid, 2021). this is shown from the results of the questionnaire where respondents still like to consume foods that contain salt. identification of hypertension diet compliance after virtual mentoring about hypertension diet based on the results of the study, it showed that after virtual assistance, almost all respondents (89.3%) namely 25 respondents obeyed the hypertension diet. hypertension can be avoided by avoiding risk factors and preventing them with various efforts, namely implementing a healthy lifestyle by doing regular physical activity, getting enough sleep, relaxing and relaxing the mind, avoiding caffeine, cigarettes, alcohol and stress then adopting a healthy diet by avoiding reducing foods that contain high fat, high calories, oily, cholesterol, coconut milk, excessive salt (dewanto et al., 2017). obedience is a term that leads or refers to participation in problem solving and decision making about behavior change, the change is an act that is carried out voluntarily known as adherence (adliyani, 2015). it must be remembered that adherence is a multidimensional phenomenon that is determined by five interrelated dimensions, namely patient factors, therapy factors, health system factors, environmental factors and socio-economic factors (dhina widayati, hayati, & chotijah, 2018). all factors are important factors in influencing compliance so that no influence is stronger than other factors. the high incidence of hypertension recurrence correlates with the low rate of adherence to the hypertension diet. this is what underlies the need for intervention modifications to increase the rate of adherence to a hypertension diet in hypertensive patients (fitria et al., 2010). in this study, a modification of the intervention to increase compliance through education was carried out in the form of virtual assistance. according to researchers, people with hypertension must continue to carry out a hypertension diet every day regardless of the presence or absence of pain and symptoms. the purpose of the hypertension diet is to control the blood pressure of people with hypertension to remain stable or blood pressure to be normal so that it can avoid hypertension and prevent complications, especially the heart and blood vessels that can cause death. according to researchers, various strategies have been tried to increase compliance, namely the support of health professionals (azizah, widayati, & rachmania, 2017). health professional support is needed to improve compliance, the simplest example is the existence of communication techniques. communication plays an important role because good communication provided by health professionals, whether doctors or nurses, can instill obedience in patients (azizah et al., 2017). health professionals who can convince the patient's family to support the improvement of the patient's health can reduce non-compliance (wulandari & widayati, 2020). analysis of the effect of virtual mentoring on hypertension diet compliance based on the results of the study, it was known that before being given virtual assistance, it was known that most of the respondents (53.6%) had a fairly compliant hypertension diet. based on the results of data analysis using the wilcoxon test, the results of the sig (2-tailed) value p: 0.000 and the error level (): 0.05, so p< so h0 is rejected and h1 is accepted, meaning that there is an effect of virtual mentoring on hypertension diet on dietary compliance in patients with hypertension in sambirejo hamlet, sambirejo village, pare district, kediri regency. mentoring is how to help someone find what they want from the position where they are now, by exploring what resources are needed, the mental attitude that must be built, and suitable techniques in applying them so that they will experience increased compliance due to the treatment given (dhina widayati, nuari, & setyono, 2018). providing information and education through virtual assistance is one of the efforts to empower the community in compliance with the hypertension diet at home. in addition to yourself, this information is also expected to be conveyed to other people and family members. widayati, girianto, mete, virtual assistance improves diet compliance of hypertension patients … 301 this study is also supported by the results of (suprayitno & huzaimah, 2020)’s research with the title the effect of mentoring hypertension diet behavior on dietary compliance in hypertension sufferers in sanggrahan village. from the results of the analysis test, it is known that the analysis of the distribution of pre-test and post-test dietary compliance in the mentoring group obtained a value = 0.003 then value <0.05 so it can be said that the hypertensive dietary behavior mentoring variable has an influence on dietary compliance in hypertensive patients. conclusion hypertension diet assistance can virtually increase the compliance of hypertensive patients on a hypertension diet. suggestion virtual assistance can be used as a method in delivering health information and controlling diet compliance in patients with hypertension. funding nursing study program of stikes karya husada kediri was the funder of this study. all of cost of the study were supported by nursing study program of stikes karya husada kediri . conflicts of interest there is no conflict of interest in this study project. all components can work well according to their respective duties and can work as a good team. authors contribution in this study the first author as a correspondence author who is responsible for the research process to publication by writing articles that have been adjusted to journal guidelines. the second author assisted in the research process and data analysis. the third author helps research in the data collection process. refference adliyani, z. o. n. (2015). pengaruh perilaku individu terhadap hidup sehat. perubahan perilaku dan konsep diri remaja yang sulit bergaul setelah menjalani pelatihan keterampilan sosial, 4(7), 109–114. afrian nuari, n., & widayati, d. (2021). peningkatan self management penyakit gasritis melalui gastroeduweb pada remaja. the indonesian journal of health science, 13(2), 141–151. https://doi.org/10.32528/ijhs.v13i2.5826 amalia, r. n. (2018). quasi experiment pre-post test one group . anisa & bahri. (2017). faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan. 6(1), 56–65. azizah, a., widayati, d., & rachmania, d. (2017). diacharge planning mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan. journals of ners community, 8(1), 53–63. devi, h. m., & putri, r. s. m. (2021). peningkatan pengetahuan dan kepatuhan diet hipertensi melalui pendidikan kesehatan di posyandu lansia tlogosuryo kota malang. jurnal akademika baiturrahim jambi, 10(2), 432. https://doi.org/10.36565/jab.v10i2.399 dewanto, r. r., munir, r. s., & djuari, l. (2017). manajemen penderita hipertensi di puskesmas pacar keling 18-31 mei 2015. juxta: jurnal ilmiah mahasiswa kedokteran universitas airlangga, 9(1), 54–59. efendi, h., & larasati, t. (2017). dukungan keluarga dalam manajemen penyakit hipertensi. jurnal majority, 6(1), 34–40. fitria, d., ; w., & candrasari, a. (2010). pengaruh pendidikan tentang hipertensi terhadap perubahan pengetahuan dan sikap lansia di desa makamhaji kartasura sukoharjo. biomedika , 2(2), 54–62. retrieved from https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/bits tream/handle/11617/1042/biomedika_vol.2 _no.2_3_domas fitria widyasari.pdf?sequence=1&isallowed=y kurniawati, w. w. (2016). pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kepatuhan diet pada penderita hipertensi. the indonesian journal of health science, 7(1), 1–7. mapagerang, r., & alimin, m. (2018). hipertensi dengan kontrol diet rendah garam. jikp(jurnal ilmiah kesehatan pencerah), 7(1), 1–8. notoatmojo, s. (2018). promosi kesehatan : teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. novian, a. (2013). kepatuhan diit pasien hipertensi. jurnal kesehatan masyarakat, 9(1), 100– 105. nuari, n. a., halim, p., badruddin, s., maulamin, 302 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 296-302 t., setiawan, m. i., widayati, d., … abdullah, d. (2018). caring of disabilities deaf mute patient with talking devices application based on mobile. international journal of engineering and technology(uae), 7(3.6 special issue 6), 432–437. https://doi.org/10.14419/ijet.v7i3.6.17488 rohani, r., & ardenny, a. (2019). analisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan diet penderita diabetes melitus. jurnal proteksi kesehatan, 7(2), 61–67. https://doi.org/10.36929/jpk.v7i2.132 setyawan, a. b. (2017). hubungan antara tingkat stres dan kecemasan dengan kejadian hipertensi pada lansia di klinik islamic center samarinda. jurnal ilmu kesehatan, 5(1), 1–8. suprayitno, e., & huzaimah, n. (2020). pendampingan lansia dalam pencegahan komplikasi hipertensi. selaparang jurnal pengabdian masyarakat berkemajuan, 4(1), 518. https://doi.org/10.31764/jpmb.v4i1.3001 triwibowo, h., frilasari, h., & dewi, i. r. (2016). hubungan kepatuhan diet hipertensi dengan tekanan darah pada pasien hipertensi di poli penyakit dalam rsud prof . dr . soekandar mojokerto * heri triwibowo , ** heni frilasari , *** indah rachma dewi akper bina sehat ppni mojokerto. jurnal keperawatan, 5(1), 1–6. who. (2017). penyakit tidak menular. widayati, d. (2020). ). edukasi managemen diabetes berbasis kelompok sebaya sebagai upaya meningkatkan kepatuhan diet dan perawatan mandiri penderita diabetes. the indonesian journal of health science, 12(2), 137–146. widayati, dhina. (2020). edukasi managemen diabetes berbasis kelompok sebaya sebagai upaya meningkatkan kepatuhan diet dan perawatan mandiri penderita diabetes mellitus dhina. 12(2), 137–146. widayati, dhina, ariningsih, s., & taukhid, m. (2021). saline solution oral hygiene dalam meningkatkan nafsu makan pasien anoreksia. the indonesian journal of health science, 13(1), 1–11. https://doi.org/10.32528/ijhs.v13i1.4902 widayati, dhina, hayati, f., & chotijah, n. (2018). family acceptance dan tingkat stres pasien hiv. jurnal keperawatan respati yogyakarta, 5(7), 364–369. widayati, dhina, & lestari, n. (2015). peningkatan kualitas hidup pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa melalui psychological intervention di unit hemodialisa rsud gambiran. jurnal ilmu kesehatan, 3(2), 6– 11. widayati, dhina, & nuari, n. a. (2017). pengembangan model health participative masyarakat (hepar) dalam peningkatan phbs dan pengendalian vektor dbd. jurnal penelitian keperawatan, 3(2), 131– 140. widayati, dhina, & nuari, n. a. (2020). kreasiki gymnastics in reducing the stress level of diabetes mellitus patients. jurnal info kesehatan, 18(1), 18–27. https://doi.org/10.31965/infokes.vol18.iss1. 295 widayati, dhina, nuari, n. a., & setyono, j. (2018). peningkatan motivasi dan penerimaan keluarga dalam merawat pasien ggk dengan terapi hemodialisa melalui supportive educative group therapy. jurnal kesehatan, 9(2), 295. https://doi.org/10.26630/jk.v9i2.830 wulandari, o., & widayati, d. (2020). pemberdayaan keluarga dalam menurunkan tingkat kecemasan pasien ggk dengan hemodialisa. care : jurnal ilmiah ilmu kesehatan, 8(3), 326. https://doi.org/10.33366/jc.v8i3.1806 yanti, m., yuliza, w. t., & saluluplup, m. l. (2019). pengetahuan , sikap dan pengalaman yang berhubungan dengan perilaku pencegahan hiv / aids pada wanita pekerja seks. jurnal ilmu kesehatan, 4(1), 65–71. https://doi.org/10.33757/jik.v4i1.277.g121. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 18 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 18–23 18 hubungan pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri (the correlation of knowledge on breast cancer and the behaviour of breast self examination of adolescents) laily prima monica stikes patria husada blitar email: laily_prima@yahoo.com abstract: breast cancer is an important health problem. the frequency of breast carcinoma in developed countries was the highest by a ratio of 5: 3 compared with breast carcinoma in developing countries. in indonesia, breast self examination become the trending topic but still canot take public attention so that the behaviour of breast self examination only be done by small number of people. the study investigated the correlation between knowledge on breast cancer and the behaviour of breast self examination of adolescent’s. this was an analytic study with a cross-sectional research design. the location was selected in blitar. the sampling was done by proportional sampling technique. the sample was 52 students. the instrument used analyzed chi-square test. the result showed that from the 52 respondents, 1.9% of respondents had good knowledge and good behavior on breast self-examination, 3.85% of the respondents had good knowledge and enough behaviour on breast self-examination, 25% of respondents had good knowledge and less behaviour on breast self-examination, 3.85% of respondents good knowledge and not good behaviour on breast self-examination. through the data analysis obtained x2> x2 table, this means that there was a significant correlation between the knowledge of young women about breast cancer and breast self-examination behavior. knowledge of young women is influenced by internal and external factors that can cause changes in a person’s behavior. keywords: knowledge, behavior, breast self-examination abstrak: kanker payudara merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. frekuensi karsinoma payudara di negara maju merupakan yang terbanyak dengan rasio 5:3 dibandingkan dengan karsinoma payudara di negara berkembang. di indonesia, pemeriksaan payudara sendiri banyak dibahas sebagai wacana namun kurang mendapat perhatian dari masyarakat, sehingga perilaku pemeriksaan payudara sendiri hanya sebagian kecil dilakukan oleh para wanita atau remaja putri. tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri. peneliti menggunakan desain korelasi dengan populasi dalam penelitian ini adalah siswi kelas 1 dan 2 smk pgri 2 blitar sejumlah 61 orang, dengan teknik proporsi sampling diperoleh sampel sebanyak 52 orang. untuk menentukan keeratan hubungan atau korelasi antarvariabel tersebut, peneliti menggunakan koefisien kontingensi, yang mempunyai kaitan erat dengan chi kuadrat. berdasarkan hasil penelitian dari 52 responden, didapatkan 1.9% responden yang berpengetahuan baik tentang kanker payudara dan berperilaku baik mengenai pemeriksaan payudara sendiri, 3.85% responden yang berpengetahuan baik dan berperilaku cukup, 25% responden yang berpengetahuan baik dan berperilaku kurang, 3.85% responden berpengetahuan baik dan berperilaku tidak baik. kata kunci: pengetahuan, perilaku, pemeriksaan payudara sendiri acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p018-023 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 19monica, hubungan pengetahuan remaja putri ... tumor payudara adalah suatu penyakit pertumbuhan sel payudara secara perlahan yang berbatas tegas dengan konsistensi padat kenyal. sedangkan kanker payudara adalah suatu penyakit pertumbuhan sel karena di dalam payudara tumbuh sel-sel baru yang tumbuh abnormal, cepat dan tidak terkendali dengan bentuk, sifat dan gerakan yang berbeda dari sel asalnya, serta merusak bentuk dan fungsi organ asalnya. banyak pakar onkolog berpendapat bahwa setiap tumor pada payudara dianggap karsinoma terutama pada wanita golongan resiko tinggi. frekuensi karsinoma payudara relatif tinggi sehingga menimbulkan banyak masalah bagi kaum wanita, tidak hanya di negara maju tapi juga di negara sedang berkembang termasuk indonesia. (dalimartha, 2004:3) masa remaja merupakan suatu periode rentan kehidupan manusia yang sangat kritis karena merupakan tahap transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. pada tahap ini sering kali remaja tidak menyadari bahwa suatu tahap perkembangan sudah dimulai, namun yang pasti setiap remaja akan mengalami suatu perubahan baik fisik, emosional maupun sosial (hurlock, 2003:25). pada masa remaja berlangsung proses-proses perubahan fisik maupun perubahan biologis yang dalam perkembangan selanjutnya berada dibawah kontrol hormon-hormon khusus. pada wanita, hormon-hormon ini bertanggung jawab atas permulaan proses ovulasi dan menstruasi, juga pertumbuhan payudara. membiasakan mengamati payudara sendiri merupakan bagian dari kesadaran akan tubuh wanita. seorang remaja putri dapat melakukan pemeriksaan payudara sendiri yaitu upaya untuk menetapka n ada nya tumor atau tida k dalam payudara yang dilakukan dengan perabaan pada saat ma ndi dengan menggunakan ja ri-ja ri ta ngan sehingga dapat menentukan benjolan pada lekukan halus payudaranya. jalan yang paling bijaksana adalah memeriksa payudara secara teratur pada selang waktu tertentu. dengan cara ini, kelainan yang terkecil sekalipun dapat ditemukan dan langkah-langkah aktif untuk pengobatan dapat dimulai sedini mungkin. kanker payudara merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. frekuensi karsinoma payudara di negara maju merupakan yang terbanyak dengan rasio 5:3 dibandingkan dengan karsinoma payudara di negara berkembang. di negara maju, insiden karsinoma payudara pada wanita mencapai angka 87 per 100.000 wanita dengan angka kematian sekitar 27 per 100.000 wanita. di amerika diperkirakan ada 181.600 penderita kanker payudara dan 44.191 orang meninggal pada tahun yang sama. angka insiden tertinggi dapat ditemukan pada beberapa daerah di amerika serikat yaitu mencapai angka di atas 100 per 100.000 wanita. untuk asia, insiden kanker payudara berkisar antara 10–20 per 100.000 wanita, contohnya pada daerah tertentu di jepang mencapai 17,6 per 100.000 wanita dan di china mencapai 9,5 per 100.000 wanita (darmais, 2003:2). sementara di indonesia, 10 dari 100.000 perempuan menderita kanker payudara, terbanyak kedua setelah kanker mulut rahim. di indonesia, pemeriksaan payudara sendiri banyak dibahas sebagai wacana namun kurang mendapat perhatian dari masyarakat, sehingga perilaku pemeriksaan payudara sendiri hanya sebagian kecil dilakukan oleh para wanita atau remaja putri. sebagian besar (65–80%) penderita kanker payudara berkonsultasi pada dokter dalam kondisi tumor stadium lanjut dengan berbagai komplikasinya antara lain tumor melengket pada kulit atau jaringan di bawahnya. selain itu, data mengenai kanker payudara di mana tidak sampai 15% kasus datang pada stadium awal dikarenakan penderita tidak mampu mendeteksi secara dini pertumbuhan kanker payudara tersebut (darmais, 2003.12). penelitian ini dirasa penting mengingat pada masa remaja merupakan masa pematangan organ reproduksi sekunder khususnya payudara. di mana pada masa remaja dapat terjadi pertumbuhanpertumbuhan sel-sel abnormal yang harus dideteksi sedini mungkin untuk mencegah terjadinya kematian akibat keterlambatan pendiagnosaan adanya kanker payudara. studi pendahuluan dilakukan di smk negeri pgri 2 blitar karena lebih representatif mengingat jumlah siswi lebih banyak daripada jumlah siswa, selain itu dari seluruh smk di blitar, ternyata hanya di smk pgri 2 blitar yang pernah diadakan sosialisasi tentang kanker sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan pengetahuan tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri. dari data studi pendahuluan, 8 dari 10 remaja putri tidak tahu mengenai kanker payudara dan tidak pernah melakukan pemeriksaan payudara sendiri. berdasar uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri di smk pgri 2 blitar. 20 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 18–23 bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah analitik korelasional sedangkan pendekatan yang digunakan adalah cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah semua remaja putri siswi kelas 1 dan 2 smk pgri 2 blitar sejumlah 61 siswa. sampel dalam penelitian ini adalah 52 remaja putri smk pgri 2 blitar yang termasuk kedalam kriteria inklusi. pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah teknik proportional sampling, yaitu pengambilan sampel sesuai dengan perkiraan atau estimasi proporsi-proporsi. (hidayat, 2007) variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang kanker payudara dan perilaku pemeriksaan payudara sendiri. instrument penelitian menggunakan kuisioner. setelah responden menyatakan setuju, yang ditunjukkan dengan pengisian informed consent, kemudian peneliti memberikan penjelasan pada responden tentang penelitian yang akan dilakukan. data yang telah diperoleh kemudian dilakukan pengolahan data editing, scoring. analisis data menggunaka chi square. hasil penelitian pembahasan pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara sesuai gambar 5 mengenai pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara di smk pgri 2 tabel 1. distribusi karakteristik responden berdasarkan usia n o usia (tahun) f (%) 1 2 3 <15 15-17 >17 1 40 11 1 ,9 76,9 21,2 jumlah 52 100 tabel 2. distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan no pendidikan f (%) 1 smp 36 69,2 2 mt s 16 30,8 jumlah 52 10 0 tabel 4. distribusi karakteristik responden berdasarkan asal informasi no asal informasi f (%) 1 cetak 10 30,3 2 elektronik 10 30,3 3 t enaga k esh 3 9,1 4 teman/saudara 10 30,3 jumlah 52 10 0 tabel 5. distribusi frekuensi pengetahuan tentang kanker payudara no pengetahuan f (%) 1 baik 18 34 ,6 2 cukup 24 46 ,2 3 kuran g 10 19 ,2 jumlah 52 100 tabel 6. distribusi frekuensi perilaku pemeriksaan payudara sendiri no perilaku f (%) 1 baik 1 1,9 2 cukup 9 17,3 3 kurang 22 42,3 4 t idak baik 20 38,5 jumlah 52 10 0 tabel 3. distribusi karakteristik responden berdasarkan informasi n o informasi f (%) 1 per nah 33 63,5 2 t idak pernah 19 36,5 jumlah 52 100,0 tabel 7. tabulasi silang pengetahuan tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri pengetahuan perilaku jumlah % ba ik % cukup % kurang % tida k baik % baik 1 1.9% 2 3.85% 13 25% 2 3.85% 18 35% cukup 6 11.5% 8 15.3% 10 19.2% 24 46% kurang 1 1.9% 1 1.9% 8 15.2% 10 19% jumlah 1 1.9% 9 17.3% 22 42.3% 20 38.5% 52 1 00% 21monica, hubungan pengetahuan remaja putri ... blitar, dari 52 responden terdapat 18 remaja putri (35%) berpengetahuan baik, 24 remaja putri (46%) berpengetahuan cukup dan 10 remaja putri (19%) berpengetahuan kurang. menurut notoatmodjo, 2005 pengetahuan (knowledge) merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. dari 35% reponden yang berpengetahuan baik sebagian besar menyatakan bahwa seseorang remaja perlu mengetahui tentang kanker payudara. tingginya pengetahuan siswa kelas 1 dan 2 smk pgri 2 blitar disebabkan oleh faktor usia dimana semakin tinggi usia seseorang, semakin tinggi pula pengetahuannya, serta faktor pendidikan di mana semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuannya. di samping 2 faktor tersebut, para siswi yang berpengetahuan baik sudah pernah mendapat informasi mengenai kanker payudara dan mereka memperoleh informasi mengenai kanker payudara melalui media elektronik atau media cetak, misalnya televisi, internet atau majalah. hal ini sesuai dengan anggapan notoa tmodjo (2005) ba hwa semua konsep, pengetahuan, dan ide kita bersumber dari apa yang ditangkap melalui dan dengan panca indera kita. akal budi kita hanya bisa mengetahui sesuatu karena mendapat informasi yang diperoleh melalui panca indera. pengetahuan sangat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu umur dan intelegensi, serta faktor eksternal yaitu pendidikan, pengalaman dan lingkungan. disini nampak jelas bahwa lingkungan (media massa dan media elektronik) sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. dari 46% responden yang berpengetahuan cukup sebagian besar menyatakan bahwa pengetahuan tentang kanker payudara diperoleh pula dari media cetak dan elektronik karena di dalam kurikulum pendidikan memang tidak diajarkan. prosentase responden yang berpengetahuan cukup cenderung lebih banyak daripada responden yang berpengetahuan baik dan juga kurang dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor usia, pendidikan dan juga informasi, karena hampir seluruh siswi yang berpengetahuan cukup berusia 15 sampai dengan 17 tahun, dikarenakan pada usia ini remaja putri sudah matang secara emosional sehingga proses penerimaan pengetahuan juga dapat berlangsung secara maksimal. adanya perbedaan persepsi atau penerimaan pengertian yang berbeda-beda dari setiap individu dikarenakan terdapat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, antara lain umur, inteligensia, pendidikan, pengalaman, dan lingkungan. maka seorang remaja putri harus sering mendapat informasi-informasi penting seputar kanker payudara, dengan bahasa yang mudah dipahami dan dapat ditangkap dengan baik. jika informasi mengenai kanker payudara ini dimasukkan dalam salah satu kurikulum pendidikan, tentu pengetahuan dari remaja putri juga akan meningkat. informasi-informasi tersebut sangat mudah tersebar dan diterima remaja dengan cepat karena sebaian besar waktunya dihabiskan untuk melihat televisi atau membaca koran. kondisi di atas sesuai dengan penjelasan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah adanya informasi. seseorang yang mempunyai pengetahuan berarti ia memang mempunyai data atau informasi yang akurat melebihi orang lain atau ketika orang lain tidak memiliki informasi seperti yang dimilikinya. perilaku remaja putri tentang pemeriksaan payudara sendiri dari diagram 4.6 mengenai perilaku remaja putri tentang pemeriksaan payudara sendiri di smk pgri 2 blitar diperoleh 1 remaja putri (2%) berperilaku baik, 9 remaja putri (17%) berperilaku cukup, 22 remaja putri (42%) berperilaku kurang dan 20 remaja putri (39 %) berperilaku tidak baik. dari 2% responden yang mempunyai perilaku baik menyatakan bahwa mereka melakukan pemeriksaan payudara setiap hari. di mana perilaku sendiri bisa muncul setelah mendapatkan pengetahuan yang akan merubah sikap seseorang sehingga menghasilkan sebuah perubahan perilaku. perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak disadari oleh pengetahuan (notoatmodjo. 2005:121). dari 2% responden yang berpengetahuan baik berusia > 17 tahun, dimana semakin tinggi usia seseorang, semakin banyak pengetahuan yang diterima sehingga semakin baik pula pengadopsian sebuah perilaku. sebanyak 17% responden yang mempunyai perilaku cukup, sebagian besar menyatakan bahwa mereka rutin melakukan pemeriksaan payudara seminggu sekali. sebagian besar siswi kelas 1 dan 2 yang mempunyai perilaku baik terhadap pemeriksaan payudara sendiri disebabkan karena adanya pengetahuan yang baik pula mengenai kanker payudara. menurut notoatmodjo (2005), sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia harus tahu terlebih 22 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 18–23 dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya. dari 17% responden yang berperilaku cukup, seluruhnya pernah mendapat informasi mengenai kanker payudara, namun proses pengadopsian perilaku itu sendiri harus melewati perbagai proses yaitu diantaranya berfikir dan motif. sedangkan 42% responden yang memiliki pengetahuan kurang menyatakan bahwa mereka tidak rutin melakukan pemeriksaan payudara. mereka melakukan pemeriksaan payudara minimal 6 bulan sekali. hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai kanker payudara sehingga kesadaran akan pemeriksaan payudara sendiri juga kurang. sedangkan dari 39% responden yang memilki perilaku tidak baik menyatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan pemeriksaan payudara. remaja yang mempunyai perilaku tidak baik terhadap pemeriksaan payudara sendiri disebabkan karena faktor kurangnya pengetahuan mengenai kanker payudara sehingga para remaja putri tidak mengerti mengenai tanda gejala dan juga bahaya kanker payudara yang menyebabkan remaja putri kurang perhatian terhadap adanya perubahan-perubahan terhadap payudara mereka. hubungan pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri data yang didapatkan dari hasil penelitian sekitar 52 siswi di smk pgri 2 adalah terdapat 1.9% responden yang berpengetahuan baik tentang kanker payudara dan berperilaku baik mengenai pemeriksaan payudara sendiri, 3.85% responden yang berpengetahuan baik dan berperilaku cukup, 25% responden yang berpengetahuan baik dan berperilaku kurang, 3.85% responden berpengetahuan baik dan berperilaku tidak baik. serta 11.54% responden berperilaku cukup berperilaku cukup, 15.38% responden berpengetahuan cukup dan berperilaku kurang, 19.23% responden berpengetahuan cukup dan berperilaku tidak baik, 1.9% responden berpengetahuan kurang dan berperilaku cukup, 1.19% responden berpengetahuan kurang dan berperilaku kurang serta 15.38% responden yang berpengetahuan kurang dan berperilaku tidak baik. hal ini menunjukkan bahwa perilaku remaja putri kelas 1 dan 2 ada hubungannya dengan pengetahuannya akan kanker payudara. menurut notoatmodjo, 2003 faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain faktor yang berasal dari dalam individu. dalam hal ini individu menerima, menolak dan memilih segala sesuatu yang datang dari luar serta menentukan mana yang akan diterima dan mana yang tidak. kemudian faktor dari luar individu, berupa stimulus yang bersifat langsung misalnya individu dengan individu. dapat juga stimulus yang bersifat tidak langsung misalnya melalui perantara seperti alat komunikasi dan media masa baik elektronik maupun non elektronik . proses penerimaan pengetahuan yang dipengaruhi oleh faktor usia, pendidikan, informasi dan juga sumber informasi akan menghasilkan pengetahuan dengan berbagai kategori diantaranya baik, cukup dan kurang. dari pengetahuan tersebut, akan muncul proses pengamatan, berfikir, motif sampai menapai tahap aplikasi yaitu tahap perubahan perilaku yang diperoleh setelah mendapatkan sebuah informasi. namun, kategori pengetahuan dan perilaku tidak bisa dijadikan sebuah patokan karena dalam proses penerimaan pengetahuan dan perubahan perilaku terdapat faktor-faktor perancu yang tidak ada dalam pembahasan. dari hasil perhitungan statistik, didapatkan nilai asymp.sig sebesar 0.000 dengan nilai chi square sebesar 44.917 dengan derajad kebebasan 3. dengan menggunakan bantuan tabel chi square, didapatkan bahwa nilai chi square hitung lebih besar dari chi square tabel. hal ini menunjukkan bahwa hasil adanya hubungan antara pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri simpulan dan saran simpulan pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara cenderung cukup yaitu sekitar 46%. perilaku remaja putri tentang pemeriksaan payudara sendiri cenderung kurang yaitu sekitar 42%. ada hubungan antara pengetahuan remaja putri tentang kanker payudara dengan perilaku pemeriksaan payudara sendiri di smk pgri 2 blitar. saran bagi institusi pendidikan diharapkan mahasiswa dapat meningkatkan kemampuan dalam memberikan penyuluhan mengenai kanker payudara maupun pemeriksaan payudara sendiri terhadap masyarakat secara optimal, dan pada akhirnya tujuan dari penyuluhan kesehatan dapat tercapai. 23monica, hubungan pengetahuan remaja putri ... daftar rujukan azis, a.h. 2007. metode penelitian dan analisis data. jakarta: salemba medika. setiawan, d. 2004. deteksi dini kanker dan simplisia anti kanker. jakarta: panebar swadaya. soekidjo, n. 2005.metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 32 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 32–36 32 pengaruh mobilisasi dini dan pijat oksitosin terhadap involusi uteri pada ibu post partum (the effectiveness of early mobilization and oxytocin massage on the uterine involution post partum mothers) yunik windarti dan nur zuwariah program studi diii kebidanan universitas nahdlatul ulama surabaya email: yunikwinda@unusa.ac.id abstract: one of the successful factors of uterine involution of postpartum mother is by doing early mobilization and oxytocin massage, but in fact, there are still a lot of reluctant postpartum mothers who did not do it. this research aims to analyze the influence of early mobilization and oxytocin massage on the uterine involution post partum mothers. experimental analytical research was used with quasi experimental design “after only with control quasi-experimental design”. the population was all 30 people of 2 hour to 7 day postpartum mothers in bpm kusmawati, the large sample was divided into two groups: 15 treatment and 15 control groups taken with “purposive sampling” technique. the independent variable was early mobilization and oxytocin massage, while the dependent variable was uterine involution. data were analyzed by using multiple logistic regression and wald test. the result showed that most of the postpartum mothers who did not do the early mobilization (70.6%) had abnormal uterine involution with or = 13,200 (95% ci: 2.112 82.500), and most of them who did oxytocin massage almost entirely (80%) had normal uterine involution with or = 11,000 (95% ci: 1.998 to 60.572). the conclusion of this research was the postpartum mother did not do early mobilization and oxytocin massage would cause in the uterine involution process running more and more badly. health employees were expected to be more focus on monitoring the condition of postpartum mother and do oxytocin massage to assist uterine involution process. keywords: early mobilization, oxytocin massage, uteri involution abstrak: faktor keberhasilan involusi uteri ibu nifas salah satunya dengan melakukan mobilisasi dini dan pijat oksitosin tetapi kenyataannya, banyak ibu nifas yang masih enggan dan tidak melakukanya. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh mobilisasi dini dan pijat oksitosin terhadap involusi uteri pada ibu post partum. penelitian analitik eksperimental dengan desain eksperimental quasi “after only with control quasi experimental design”. populasinya semua ibu nifas 2 jam post partum sampai 7 hari post partum di bpm kusmawati sebesar 30 orang, besar sampel terbagi dua kelompok yaitu 15 kelompok perlakuan dan 15 kelompok kontrol diambil dengan tehnik “purposive sampling”. variabel independent mobilisasi dini dan pijat oksitosin, variabel dependent involusi uteri. data dianalisa menggunakan regresi logistik ganda dan uji wald. hasil penelitian menunjukkan ibu post partum yang tidak mobilisasi dini sebagian besar (70,6%) mengalami involusi uteri abnormal dengan nilai or = 13,200 (95%ci : 2,112 – 82,500), dan ibu post partum yang dilakukan pijat oksitosin hampir seluruhnya (80%) mengalami involusi uteri normal dengan or = 11,000 (95%ci : 1,998 – 60,572). simpulan dari penelitian ini semakin tidak melakukan mobilisasi dini dan pijat oksitosin, maka proses involusi uteri akan semakin berjalan tidak baik. bagi tenaga kesehatan diharapkan lebih fokus memantau kondisi ibu post partum dan melakukan pijat oksitosin untuk membantu proses involusi uteri. kata kunci: mobilisasi dini, pijat oksitosin, dan involusi uteri acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p032-036 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 33windarti dan zuwariah, pengaruh mobilisasi dini ... perempuan merupakan makluk ciptaan tuhan yang penuh dengan kemuliaan karena mampu untuk hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang, meskipun kelangsungan hidup menja di ta ruhan ketika melaksanakan kewajibannya. oleh karena itu, pencegahan dalam hal menurunkan angka kematian ibu menjadi fokus utama baik dari pemerintah dan masyarakat maupun instansi terkait. berdasarkan sumber data sdki , 1994, 2002/2003, 2007, mdgs dan bappenas, trend aki di indonesia secara nasional dari tahun 1994 sampai dengan 2007 mengalami penurunan yang signifikan, yaitu angka kematian ibu (aki) per 100.000 kelahiran hidup menurun secara bertahap, dari 390 (1994) menjadi 334 (1997), 307 (2003), dan 228 (2007). pada tahun 2012 aki melonjak menjadi 359 tidak jauh berbeda dengan 22 tahun yang lalu. data ini menunjukkan bahwa banyak hal yang harus dievaluasi dan dilakukan perbaikan untuk menurunkan aki. keberhasilan seorang ibu nifas melalui masamasa setelah bersalin sebenarnya salah satu kunci pokoknya adalah dari ibu nifas itu sendiri. ibu nifas harus melakukan mobilisasi dini dimana dia mulai menggerakkan anggota badannya, tetapi banyak ibu yang merasa masih takut dan rasa lelah yang menyebabkan ibu nifas masing enggan untuk bergerak (anggraini, 2010). keberhasilan melalui masa nifas tidak hanya dari mobilisasi saja, tetapi juga bisa dari tindakan pijat oksitosin yang dilakukan petugas ataupun keluarga mereka. kenyataannya di bpm kusmawati masih banyak ditemukan ibu nifas yang belum mendapat tindakan pijat oksitosin itu baik dari petugas maupun keluarga mereka. mobilisasi dini dan tindakan pijat oksitosin ini berkaitan dengan kontraksi uterus yang mana dapat membantu mempercepat involusi uteri. pijat oksitosin dilakukan dengan memijat tulang belakang ibu nifas yang dapat mempercepat saraf parasimpatis merangsang hipofise posterior untuk mengeluarkan oksitosin. kadar oksitosin yang meningkat ini jelas sangat berperan dalam proses involusi. proses involusi akan berjalan dengan bagus jika kontraksi uterus kuat sehingga harus dilakukan tindakan untuk memperbaiki kontraksi uterus (suherni, 2009). bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah analitik eksperimental dengan desain eksperimental quasi “after only with control quasi experimental design”. populasi sumber dalam penelitian ini semua ibu nifas 2 jam post partum sampai 7 hari post partum sebesar 30 orang, terbagi menjadi dua kelompok yaitu 15 ibu dengan pijat oksitosin dan 15 ibu tidak di pijat oksitosin. tehnik sampling dilakukan secara probability sampling dengan teknik purposive sampling, diterapkan kriteria retriksi yaitu kriteria inklusi dan ekslusi. data dianalisis dengan menggunakan uji statistik wald dengan menggunakan spss versi 16 secara multivariat menggunakan analisis regresi logistik ganda. pengaruh dari variabel dependen dengan variabel independen ditunjukkan oleh nilai odds ratio (or) atau eksponen (b), hasilnya ditunjukan oleh nilai p. penelitian ini dilaksanakan di bidan praktek mandiri kusmawati surabaya. bpm kusmawati berada pada daerah yang padat penduduk yaitu beralamat di jalan pandegiling iv no 12 surabaya. waktu penelitian pada bulan januari dan februari 2015. bpm ini memiliki 4 bidan yang sudah lulus dan mempunyai kualifikasi yang baik sebagai seorang bidan, mempunyai kamar bersalin, kamar nifas, kamar periksa. bpm ini melayani pemeriksaan kehamilan, persalinan, pemeriksaan ibu nifas, pemeriksaan bayi dan balita, pelayanan kb, dan kesehatan reproduksi remaja. bpm ini bisa dijangkau dengan alat transportasi sepeda dan becak karena berada pada daerah tengah yang padat penduduk. tabel 1. distribusi frekuensi responden menurut umur ibu no usia (tahun) f (%) 1 2 3 < 21 2135 > 35 3 23 4 10,0 76,7 13,3 jumlah 30 100 tabel 3. distribusi responden berdasarkan mobilisasi dini tabel 2. distribusi responden berdasarkan gravida ibu no gravida f (%) 1 1 11 36,6 2 2 12 40,0 3 3 3 10,0 4 4 2 6,7 5 5 2 6,7 jumlah 30 10 0 no mobilisasi dini f (%) 1 ya 17 56,7 2 tidak 13 43,3 jumlah 30 100,0 34 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 32–36 hasil penelitian tabel 6 menunjukkan bahwa dari 17 responden, yang tidak melakukan mobilisasi dini sebagian besar (70,6%) mengalami involusi uteri abnormal, dan 13 responden yang melakukan mobilisasi dini hampir seluruhnya (84,6%) mengalami involusi uteri normal. tabel 8 menunjukkan secara parsial terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap involusi uteri (p = 0,043), sedangkan variabel pijat oksitosin tidak berpengaruh terhadap involusi uteri. hasil analisis didapatkan nilai or dari variabel mobilisasi dini adalah 7,277 (95%ci : 1,072–55,717) berarti ibu yang tidak melakukan mobilisasi dini beresiko mengalami involusi uteri abnormal 7,277 kali dibandingkan ibu yang melakukan mobilisasi dini. pembahasan pengaruh mobilisasi dini terhadap involusi uteri hasil analisis bivariat pengaruh mobilisasi dini terhadap involusi uteri menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dengan nilai p = 0,008. pada tabel 6 diketahui dari 17 ibu post partum yang tidak melakukan mobilisasi dini sebagian besar (70,6%) mengalami involusi uteri abnormal. dari 13 ibu post partum, hampir seluruhnya (84,6%) mengalami involusi uteri yang normal. hasil ini menunjukkan bahwa seorang ibu nifas membutukan mobilisasi dini untuk bisa segera memulihkan kondisi tubuhnya seperti sebelum hamil. hasil penelitian juga menunjukkan, dari 13 ibu post partum ada sebagian kecil (15,4%) ibu post partum yang melakukan mobilisasi dini, tetapi proses involusi uterusnya abnormal. dari 17 ibu post partum sebagian kecil (29,4%) responden terjadi proses involusi uteri normal meskipun tidak melakukan mobilisasi dini. hasil ini bisa dikarenakan faktorfaktor lain yang berpengaruh. diketahui selain mobilisasi dini, proses involusi uteri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diantaranya senam nifas, menyusui dini, gizi, psikologis, usia, dan paritas, di mana kesemuanya itu saling berpengaruh satu sama lain (ambarwati, 2010). ibu yang tidak melakukan mobilisasi dini beresiko mengalami involusi uteri abnormal sebanyak tabel 4. distribusi responden berdasarkan pijat oksitosin no pijat oksitosin f (%) 1 ya 15 50 2 tidak 15 50 jumlah 30 10 0 tabel 5. distribusi responden berdasarkan involusi uteri no invo lusi uteri f (%) 1 a bnormal 14 46,7 2 normal 16 53,3 jumlah 30 10 0 tabel 6. tabulasi silang pengaruh mobilisasi dini terhadap involusi uteri ibu post partum mobilisasi dini involu si uteri jumlah abnor mal n (%) normal n (%) n (%) tidak 12 (70,6) 5 (29,4) 17 (100) ya 2 (15,4) 11 (84,6) 13 (100) jumlah 14 (46,7) 16 (53,3) 30 (100) p = 0, 008 or = 13,200 (95%ci : 2,112 – 82, 500) tabel 7 menunjukkan bahwa dari 15 responden yang tidak melakukan pijat oksitosin sebagian besar (73,3%) mengalami involusi uteri abnormal, dan 15 responden yang melakukan pijat oksitosin hampir seluruhnya (80%) mengalami involusi uteri normal. variabel wald or interval keyakinan 95% nilai p batas bawah batas atas konstanta 4,800 0, 215 0,028 mobilisasi dini 4,115 7, 727 1,072 55,71 0,043 pijat oksitosin 3,699 6, 277 0,963 40,91 0,056 n observasi -2 log likelihood nagelkerke r square 30 27, 929 0,485 tabel 8. uji regresi logistic tabel 7. tabulasi silang pengaruh pijat oksitosin terhadap involusi uteri ibu post partum pijat oksitosin involusi uteri jumlah abno rmal n (%) norm al n (%) n (%) tidak 11 (73,3) 4 (26,7 ) 15 (100) ya 3 (20,0) 12 (80,0 ) 15 (100) jumlah 14 (46,7) 16 (53,3 ) 30 (100) p = 0,010 or = 11 ( 95%ci : 1,998 – 60,572) 35windarti dan zuwariah, pengaruh mobilisasi dini ... 13,2 kali dibanding ibu yang melakukan mobilisasi dini. berdasarkan hasil tersebut, menurut peneliti ibu post partum sebaiknya melakukan mobilisasi dini karena mempunyai pengaruh yang baik terhadap proses penyembuhan dan proses pemulihan kesehatan seperti sebelum hamil. oleh sebab itu sangat penting pula diperhatikan pengawasan terhadap tinggi fundus uteri. melakukan aktivitas fisik akan memberi pangaruh yang baik terhadap peredaran darah, di mana peredaran darah sangat diperlukan untuk memulihkan kesehatan. pada seorang wanita pasca salin biasa ditemui adanya lochea dalam jumlah yang sedikit sewaktu ia berbaring, dan jumlahnya meningkat sewaktu ia berdiri. karena lochea lancar sehingga mempengaruhi proses pengecilan rahin atau involusi uteri. di samping itu involusi uteri juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, lingkungan dan perilaku dimana dapat menunjang untuk mempercepat proses involusi uteri (saleha, 2009). pengaruh pijat oksitosin terhadap involusi uteri hasil analisis bivariat pengaruh pijat oksitosin terhadap involusi uteri menunjukkan ada pengaruh yang signifikan dengan nilai p = 0,010. hasil analisis lebih lanjut pada ibu yang dilakukan pijat oksitosin (kelompok eksperimen) didapatkan hasil 12 (80%) dari 15 orang, mengalami involusi uterus normal. artinya tinggi fundus uteri, kontraksi uterus, dan posisinya dalam batas normal atau baik. hasil ini sesuai dengan teori yang diungkapkan prawirohardjo (2010) pada hari pertama ibu post partum tinggi fundus uterus kira-kira satu jari bawah pusat (1 cm). pada hari kelima post partum uterus menjadi 1/3 jarak antara symphisis ke pusat. dan hari ke 10 fundus sukar diraba di atas symphisis. pendapat lain yang senada adalah dari manuaba (2010), menuliskan tinggi fundus uterus menurun 1 cm di bawah pusat tiap hari pasca melahirkan. secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) hingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. hasil analisis multivariat secara simultan (kecocokan) didapatkan nilai signifikan antara variabel independen (mobilisasi dini dan pijat oksitosin) dengan variabel dependen (involusi uteri) berarti variabel faktor risiko memenuhi syarat uji simultan (kecocokan model). dalam pengujian secara parsial dengan menggunakan uji wald, menunjukkan variabel mobilisasi dini yang berpengaruh terhadap involusi uteri, sedangkan variabel pijat oksitosin tidak berpengaruh terhadap involusi uteri. berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat simpulkan secara bivariat masing-masing variabel independen berpengaruh terhadap involusi uteri. namun secara multivariat untuk uji kecocokan model semua variabel dependen layak untuk diikutkan model multivariat, dan pada analisis parsial variabel mobilisasi dini yang berpengaruh terhadap involusi uteri. variabel mobilisasi dini secara parsial berpengaruh terhadap involusi uteri, adalah karena ibu yang tidak melakukan mobilisasi dini beresiko mengalami involusi uteri abnormal. variabel pijat oksitosin secara parsial tidak berpengaruh terhadap involusi uteri, dalam penelitian ini rata-rata responden yang dilakukan pijat oksitosin dan involusi uteri abnormal. ketidaksignifikan pengaruh pijat oksitosin dengan involusi uteri karena ibu yang melakukan pijat oksitosin tidak diikuti dengan kenaikan involusi uteri normal secara signifikan (berarti). keadaan tersebut dapat dilihat pada persebaran kategori responden penelitian pada pijat oksitosin dan involusi uteri. dari hasil kategorisasi kedua variabel, dapat dilihat bahwa ada ketidaksinkronan persebaran kategori antara pijat oksitosin dengan involusi uteri. pada variabel involusi uteri persebaran kategori responden adalah banyak yang terjadi, dengan maksud semakin tinggi sifat golongan involusi uteri, maka jumlah respondennya semakin tinggi (banyak). begitu pula sebaliknya semakin rendah sifat golongan involusi uteri, maka semakin rendah (sedikit) pula responden yang mewakili. hal itu berbeda dengan persebaran kategori pijat oksitosin responden yang cenderung acak tidak berarturan. berdasarkan hasil tersebut akhirnya tidak dapat diprediksi pengaruh pijat oksitosin terhadap involusi uteri yang ditunjukkan oleh responden, bersifat negatif ataukah positif. padahal seharusnya semakin tidak dilakukan pijat oksitosin, maka semakin tinggi pula involusi uteri abnormal ya ng ditunjukkan da n begitu pula sebaliknya. simpulan dan saran simpulan terdapat pengaruh secara signifikan antara mobilisasi dini terhadap involusi uteri ibu post partum. terdapat pengaruh secara signifikan antara pijat oksitosin terhadap involusi uteri ibu post partum. 36 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 32–36 saran bagi institusi pendidikan: mengingat pentingnya pantauan ibu post partum, hendaknya setiap institusi pendidikan memperdalam bekal pada mahasiswanya untuk memantau kondisi ibu post partum khususnya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan tentang pijat oksitosin. bagi peneliti selanjutnya : penelitian lebih lanjut tentang mobilisasi dini, pijat oksitosin, dan involusi uteri dalam khasanah yang lebih luas atau faktor lain yang mungkin signifikan berpengaruh perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dengan meminimalkan faktor perancu lainnya. bagi institusi pelayanan: ibu post partum yang telah memenuhi kriteria, sebaiknya dilakukan pijat oksitosin untuk membantu proses involusi uteri berjalan dengn baik dan tenaga kesehatan selalu memotivasi para pasiennya untuk mau melaksanakan mobilisasi dini. daftar rujukan ambarwati, e., & wulandari, d. 2010. asuhan kebidanan nifas. yogyakarta: nuha medika. anggraini, y. 2010. asuhan kebidanan masa nifas. yogyakarta: pustaka rihana. manuaba, i.b.g. 2010. ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan kb untuk pendidikan bidan edisi 2. jakarta: egc. prawirohardjo, s. 2010. ilmu kebidanan, jakarta: bina pustaka sarwono prawirohardjo. saleha, s. 2009. asuhan kebidanan pada masa nifas. jakarta : salemba medika suherni. 2009. perawatan masa nifas. yogyakarta: fitramaya ______. 2004. 50 tahun ikatan bidan indonesia bidan menyongsong masa depan. jakarta: pp ibi. ______. 2014. angka kematian ibu melahirkan. (online) (http: storage.jak.stik.ac.id, diakses tanggal 20 oktober 2014) 254 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk efficacy of balanced nutrition comic as a learning medium in nutrition education intervention for primary school-age children in sampang district moh. ari wibowo1, heni adhianata2 1indonesian language education study program, stkip pgri sampang, indonesia 2kuliner and patiseri academic, ottimmo internasional surabaya, indonesia article information abstract indonesian skipping breakfast is common among school-age children. several studies have revealed the importance of breakfast and its positive effects on health and productivity, especially for school-aged children. schools are the most efficient place for health education targeting dietary or other health-related changes in school-age children. balanced nutrition education can teach and demonstrate the importance of breakfast, healthy consumption and a balanced diet for the health of school-age children. the purpose of this study was to provide a balanced nutrition education intervention for elementary school-aged children in sampang regency as an effort to improve the quality of nutrition knowledge and practices of children. nutrition education interventions are carried out using comic compiled based on balanced nutrition guidelines in indonesia. a quasy-experiment using pretest-posttest and control group and descriptive design were used in this research. a structured questionnaire which comprised of personal/demographic information, nutrition knowledge, attitude towards nutrition and nutritional practices was conducted to 75 students. the average score of nutrition knowledge from both the control and intervention group was still below 50%. nutrition education intervention using nutrition balanced comic was significantly increase nutrition kowledge and nutritonal practices of students, 75.73 ± 10.33 and 52.31 ± 10.61 respectively. nutrition education through balanced nutrition comics provides new knowledge in a more interesting way for students. fun learning conditions will make student more attentive and able to capture applicative value from the messages conveyed, so that students’ nutrition practices are also higher compared to before the intervention. history article: received, 22/05/2023 accepted, 14/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: nutritional knowledge, nutrition practices, balanced nutrition comic © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: bina sehat university of ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : heniadhianata@ottimmo.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p254-259 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:heniadhianata@ottimmo.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p254-259 wibowo, adhianata, efficacy of balanced nutrition comic as a learning medium in nutrition … 255 introduction children skipping breakfast is common among schools and teenagers. based on the study, it was revealed that around 16.9%-59% of elementary school age children in several big cities did not eat breakfast. in addition to the high frequency of skipping breakfast among children and adolescents, the quality of breakfast is also a concern related to the nutritional quality of breakfast which may not meet the daily recommendations. based on the 2010 riskesdas survey, out of 35,000 children aged 6-12 years, 44.6% consumed breakfast with low nutritional quality. therefore, improving breakfast habits and the quality of breakfast for school-age children in indonesia needs serious attention when it comes to the role of breakfast in providing daily nutritional intake. based on the 2010 riskesdas survey, out of 35,000 children aged 6-12 years old, 44.6% consumed breakfast with low nutritional quality. therefore, improving breakfast habits and the quality of breakfast nutritional intake in school-age children in indonesia needs serious attention regarding the role of breakfast in providing balanced daily nutritional intake. several studies have revealed the importance of breakfast and its positive effects on health and productivity, especially for school-aged children. breakfast is also considered as one of the most important determinants of health. behaviorally, many studies have focused mainly on food intake and body mass index (sönmez & betul, 2021). consumption of breakfast has a positive effect on the intelligence of children and adolencents, besides that it also has an effect on increasing cognitive perfomanced. meanwhile, skipping breakfast is associated with an increased risk of degenerative diseases such as diabetes mellitus type 2 (adolphus et al., 2015; edefonti et al., 2014). the habit of delaying and skipping breakfast for elementary school age students is highly discouraged due to the growth period at school age. malnutrition children can adversely affect children’s growth and also can even cause stunting. data from the basic health research 2018 report shows that the prevalence of stunting and underweight in children aged 5-12 years is 30.7% and 11.2% respectively. east java province is included in the province with high of stunting rate above the average, which is 12.2%. this implies that malnutrition is a problem among schoolage children. childhood is a critical period in growth and development, so consumption habits are something that must be considered (sekiyama et al., 2018; zulkarnain et al., 2021). the school breakfast (sbp) has been widely implemented in many countries as a form of approach to promoting healthy breakfast consumption and improving breakfast practices, nutritional status, and school performance on the quality of children’s nutritional intake (sekiyama et al., 2018). in 2014, the ministry of health of the republic of indonesia established balanced nutrition guidelines which also included the promotion of breakfast as one of the ten messages to achieve a balances nutritional status. nutrition education program is considered to be an effective approach to overcome unhealthy breakfast behaviour in children and adolescents. balanced nutrition education can help children to obtain information and influence then to make healthier choices and lead to healthier eating habits. it is reported that nutrition education in effective in improving the knowledge, attitudes and practices of school-age children when applied with a behaviourfocused approach. schools are the most efficient place for health education targeting dietary or other health-related changes in school-age children. balanced nutrition education can teach and demonstrate the importance of breakfast, healthy consumption and a balanced diet for the health of school-age children. an efficient school-based nutrition education program must be carried out comprehensively, namely not only targeting knowledge but also skills and several factors such as support from parents and teachers to help achieve optimal results (sekiyama et al., 2018; sinaga et al., 2021). the purpose of this study was to provide a balanced nutrition education intervention for elementary school-aged children in sampang regency as an effort to improve the quality of nutrition knowledge and practices of children. nutrition education interventions are carried out using comic compiled based on balanced nutrition guidelines in indonesia. methods this research was conducted at elementary school located in sampang, east java, indonesia from july until october 2022. a quasy-experiment using pretest-posttest and control group and descriptive design were used in this research. the subjects in this study were elementary students in grade iii, iv, v and vi. demographic data of students includes gender, age and mother’s knowledge. meanwhile, data on nutritional knowledge and attitudes towards nutrition were compiled based on balanced nutrition guidelines, namely based on the 4 pillars of balanced nutrition cone and my-plate. the inclusion criteria of this study 256 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 254-259 were elementary school students with grades iii-vi; in a good health; 9-12 years old; willing and obtaining permission from parents to be a respondent. the exclusion criteria of this study were students who had certain health problems. a structured questionnaire which comprised of personal/demographic information includes gender, age and mother’s knowledge. nutrition knowledge questionnaire was prepared based on the balanced nutrition guideline in indonesia. the questionnaire consisted of 30 closed-ended question as follows: 10 questions for nutrition knowledge, 10 questions for attitude towards nutrition, and 10 question for nutritional practices. for the score, nominal and ordinal data scale was used for personal information data and sop in the kitchen. linkert scale point (1-5) was used to describe children knowledge, attitude towards nutrition and nutrition practices. the data from this study were analysed using inferential statistics analysis for hypothesis testing. the relationship between level of education and knowledge, attitude towards nutritional, nutritional practices were analysed using chi square analysis in spss version 26.0. result table 1 shows the data of gender distribution of respondent. the data in table 1 shows that 45.3% respondents are male students and 54% are female students. the control group consisted of 36 students, and the intervention group consisted of 39 students. table 1: gender distribution of children gender control (n=36) intervention (n=39) total n % n % n % male 16 44.5 18 46.2 34 45.3 female 20 55.5 21 53.8 41 54.7 total 36 100 39 100 75 100 table 2: distribution of mother’s educational level level of education control (n=36) intervention (n=39) n % n % grade i 6 16.7 7 17.9 grade ii 12 33.3 14 35.9 grade iii 16 44.4 17 43.6 college 2 5.6 1 2.6 total 36 100 39 100 based on preliminary data on indicators of students’ nurtitional knowledge, the average score of nutrition knowledge from both the control and intervention group was still below 50% (table 2). table 3: students nutrition knowledge knowledge pretest posttest control mean ± sd 46.18 ± 10.53 47.18 ± 10.16 intervention mean ± sd 48.82 ± 11.07 75.73 ± 10.33 table 3 presents the nutritional knowledge scores of students in both the control group and the intervention group, before and after giving nutritional education materials using balanced nutritional comic messages. there was a significant increase in the nutritional knowledge score in the intervention group with the average score of students’ nutritional knowledge rising to 75.73; whereas there was no significant difference between the initial and final scores of students’ nutritional knowledge in the control group. wibowo, adhianata, efficacy of balanced nutrition comic as a learning medium in nutrition … 257 table 4: students nutritional practices practices pretest posttest control mean ± sd 41.61 ± 10.31 41.18 ± 10.22 intervention mean ± sd 40.42 ± 11.74 52.31 ± 10.61 students’ nutrition practices are presented in table 4. it can be seen that in the intervention group there was an increase in the average score of students’ nutrition practices from 40.42 to 52.31. there was almost no significant increase in the average score of nutrition practices in the control group. discussion based on the data collection that has been carried out, it was found that the age range of students as research subjects is with the median characteristics of the subject’s age being 10 years, with the lowest age being 9 years anf the highest age being 12 years. elementary school-age children (6-12 years) are an age group that still experienceing growth and development and requires adequate and appropriate nurtitional needs to suppport growth and development. however, nowadays children have ban eating habits so that many nutritional needs cannot be met optimally. inappropriate intake of nutrients during childhood can cause various problems and have an impact on learning achievement (martony, 2019; moza et al., 2019). based on data distribution of mothers’ education levels, it was found that the highest level of mothers’ education was high school (grade iii), both for the control group and the intervention group. meanwhile, the education level of the subjects’ mothers at the tertiary level was only 5.6% for the control group; and 2.6% for the intervention group. mother’s level of education is considered to be one of the factors that influenced children’s health. mothers with a better level of knowledge will influence parenting patters, consumption patterns and even children’s nutritional status (abuya et al., 2012; widiyanto & laia, 2021). the majority of the respondent’s mother had a high schools level of education which they felt was quite good. however, this might be different if the data is collected from elementary schools in different locations. the pretest was carreid out at the beginning before students were given nutrition education intervntion in the form of balanced nutrition message comics. similar to the level of mother’s nutritional knowledge, children’s understanding of healthy lifestyles and the nutritional quality of food also has an impact on consumption patterns and food intake. it is just that the role of the mother is needed as a companion in determining the choice of healthy consumption patterns carried out by children. the role of mother’s nutritional knowledge and parenting style greatly influences children’s understanding of healthy living and nutritional status. the basis of a good understanding of the mother will provide parenting and a good understanding of the children’s nutritional knowledge and behaviour (kadir, 2019; nurma yuneta et al., 2019). educational materials for intervention using balanced nutrition comics are based on balanced nutrition guidelines of the ministry of health of the republic of indonesia. comics are packaged as attractively as possible using simple language and communicative images. this is done to attract students’ interest in studying nutritional material provided through comics. the intervention education materials in comic about balanced nutrition is based on baanced nutrition guidelines (four pillars of balanced nutrition and myplate). comic was packaged as attractively as possible with simple language and communicative images. this is done to attract students’ interest in learning nutrition material through comic. the nutrition education intervention will be carried out using an experiential learning model where students are invited to imagine thorugh comic with the same storyline as students’ daily activities both at school and home related to eating patterns and healthy living. nutrition education intervention is carried out using an experiential learning approach model (an experiencebased approach), where students are invited to imagine with the material of comics that already contain storylines that describe students; daily activities both at school and at home related to eating patterns and healthy living. the experiential learning model is considered to be effectively implemented in order to increase students’ curiosity and encourage children to be involved and actively participate in learning activities (barida, 2018; martony, 2019). based on the data obtained, it can be concluded that nutritional education intervention using balanced nutrition comic messages is effective and can improve nutritional knowledge and nutritional practices of 258 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 254-259 elementary school students. learning media using illustrated comic significantly can improve student learning outcomes that fall into the medium criteria, increase student activity and get positive responses from students. the use of interactive comic has also been shown to be able to increase knowledge about health, nutrition and the benefits of sport for children, and can motivate children and parents to adopt a healthy lifestyle (amresh et al., 2015; nurmayanti et al., 2020). messages transmitted to children through pictorial media have an impact on children’s perceptions of food and their food choices. the animated characters that appear in these media are easily recognize by children, not even a few of these animated characters represent their favourite characters (nurmayanti et al., 2020; tzoutzou et al., 2019). the effectiveness of instructional media intervention in the form of comic is inseparable from the form of delivery that is easily accepted by children. comic are an interactive learning solution that can be used during a pandemic to increase student interest and focus in learning. more than that, interactive learning media using comic can also improve students’ cognitive learning outcomes, so they are effectively used as a choice of intervention media with the aim of changing students’ behaviour (ambaryani & airlanda, 2017; tri mulyati et al., 2021). conclusions nutrition education intervention with balanced nutrition guideline materials can improve nutrition knowledge and nutrition practices of elementary school students in sampang district. balanced nutrition comic is an effective nutritional education medium in helping to improve the healthy lifestyle of elementary school-age children through increasing knowledge and practices of children nutrition. balanced nutrition comic can be developed as an alternative effective learning media for elementary school students with an interactive approach that is liked by children. suggestion the importance of inserting balanced nutrition material into student subjects as a basic learning materials in implementing a healthy lifestyle and improving the quality of children’s nutrition in areas with a high prevalence of stunting. acknowledgements the author would like to thank the headmaster of sdn 1 pangongsean, sampang for approving the research permit. we also acknowledge all the teachers for facilitating us in this research. to cooperation of all students involved is also appreciated. funding this research was funded by ministry of education, culture, research and technology by lecturer grant for 2022. conflicts of interest the authors in this research have no conflicts with any researchers or organization in the materials and subjects discussed in this manuscript. author contribution the first author is responsible for coordinating the entire research process up to the writing of article manuscript. the second author is in charge of data collection, data processing and manuscript writing. references abuya, b. a., ciera, j., & kimani-murage, e. (2012). effect of mother’s education on child’s nutritional status in the slums of nairobi. bmc pediatrics, 12(1998). https://doi.org/10.1186/1471-2431-12-80. adolphus, k., lawton, c. l., & dye, l. (2015). the effects of breakfast on behavior and academic performance in children and adolescents. prenatal and childhood nutrition: evaluating the neurocognitive connections, august, 289–319. https://doi.org/10.3389/fnhum.2013.00425. ambaryani, & airlanda, g. s. (2017). pengembangan media komik untuk efektivitas dan meningkatkan hasil belajar kognitif materi perubahan lingkungan fisik. jurnal pendidikan surya edukasi (jpse), 3, 66–74. amresh, a., sinha, m., birr, r., & salla, r. (2015). interactive cause and effect comic-book storytelling for improving nutrition outcomes in children. proceedings of the 5th international conference on digital health, june, 9–14. https://doi.org/10.1145/2750511.2750533. barida, m. (2018). model experiential learning dalam pembelajaran untuk meningkatkan keaktifan bertanya mahasiswa. jurnal fokus konseling, 4(2), 153. https://doi.org/10.26638/jfk.409.2099. wibowo, adhianata, efficacy of balanced nutrition comic as a learning medium in nutrition … 259 edefonti, v., rosato, v., parpinel, m., nebbia, g., fiorica, l., fossali, e., ferraroni, m., decarli, a., & agostoni, c. (2014). the effect of breakfast composition and energy contribution on cognitive and academic performance: a systematic review. american journal of clinical nutrition, 100(2), 626– 656. https://doi.org/10.3945/ajcn.114.083683. kadir, s. (2019). the role of mother knowledge and parenting culture in determining the toddler nutrition status. jhe: journal of health education, 4(2), 95–101. martony, o. (2019). the influence of balanced nutrition extension through poster media on the improvement of knowledge and change attitude. international journal of science and society, 1(1), 98–106. https://doi.org/10.54783/ijsoc.v1i1.153. moza, s. m., aroni, h., & setiabudi, s. i. (2019). the influence of counseling by using comic media as a learning media to improve knowledge of balanced nutrition message (pgs) on fourth grade students. jurnal pendidikan kesehatan, 8(1), 93–102. nurma yuneta, a. e., hardiningsih, h., & yunita, f. a. (2019). hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi balita di kelurahan wonorejo kabupaten karanganyar. placentum: jurnal ilmiah kesehatan dan aplikasinya, 7(1), 8. https://doi.org/10.13057/placentum.v7i1.263 90. nurmayanti, r., komalyna, i. n. t., & razak, s. i. s. m. (2020). effect of balanced diet education with media comic on modification of eating behavior in adolescents at middle school, malang. the 7th international conference on public health, 70–74. https://doi.org/10.26911/the7thicph.02.37. sekiyama, m., kawakami, t., nurdiani, r., roosita, k., rimbawan, r., murayama, n., ishida, h., & nozue, m. (2018). school feeding programs in indonesia. the japanese journal of nutrition and dietetics, 76(supplement), s86–s97. https://doi.org/10.5264/eiyogakuzashi.76.s8 6. sinaga, h. t., achmad, n., alza, y., & sitanggang, b. (2021). improving the performance of children school meal using meal report at kindergarten school in indonesia: a quasiexperimental study. open access macedonian journal of medical sciences, 9(2), 974–979. https://doi.org/10.3889/oamjms.2021.7111. sönmez, s., & betul, i. (2021). nutritional preferences of preschool children for breakfast. imedpub journals, s4(1), 1–6. tri mulyati, rida fironika, k., & ulia, n. (2021). pembelajaran interaktif melalui media komik sebagai solusi pembelajaran di masa pandemi. pedagogi: jurnal penelitian pendidikan, 8(1), 28–39. https://doi.org/10.25134/pedagogi.v8i1.4054 . tzoutzou, m., bathrellou, e., & matalas, a. l. (2019). food consumption and related messages in animated comic series addressed to children and adolescents. public health nutrition, 22(8), 1367–1375. https://doi.org/10.1017/s136898001900033 8. widiyanto, j., & laia, f. s. (2021). mother knowledge of nutrition and effect on nutritional status of children in community health center. hospital management studies journal (homes journal, 2(1), 2746–8798. zulkarnain, f. w., agustina, t. s. a., putri, d. h., busthomi, i., & sonia, f. (2021). penyuluhan gizi pada anak untuk pencegahan stunting di kampung tenggher, kabupaten sampang. jurnal kreativitas dan inovasi (jurnal kreanova), 1(3), 97–103. https://doi.org/10.24034/kreanova.v1i3.5006 . 328 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk range of motion spherical grip affected the upper extremity muscle strength in post stroke patients lutfi wahyuni1, siti kotijah2, catur prasastia lukita dewi3 1,2,3,4nursing department, universitas bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract stroke is a medical emergency. post-stroke patients generally experience muscle weakness in the limbs, postural disturbances and muscle atrophy. the purpose of this study was to prove the effect of rom spherical grip exercise on post-stroke patients. the type of the study was pre-experimental with one group pre-test-post-test design. the independent variable was range of motion (rom) spherical grip. the dependent variable was the degree of upper extremity muscle strength in post-stroke infarct patients who had hemiparesi. the sampling technique used a consecutive sampling technique. the sample was 33 respondents. the data were taken by measuring the muscle strength before and after being given the intervention. the instrument used an observation sheet for assessing muscle strength and manual muscle testing (mmt) physical examinations in post-stroke patients. the results of this study showed that most of the muscle strength before giving the spherical grip rom exercise was poor (there was movement but could not fight gravity) as many as 14 respondents (42.4%). after the intervention of the spherical grip rom exercise, the muscle strength was mostly fair (can move against gravity) as many as 19 respondents (57.6%). there is an increase in upper extremity muscle strength before and after being given rom spherical grip exercise in post-stroke patients who experience hemiparesis. this showed that the spherical grip could improve the tone of those who experience weakness and if done continuously could increase muscle strength in post-stroke patients. it is hoped that with this research spherical grip exercises can be used as one of the treatments for stroke patients who experience decreased upper extremity muscle strength and collaborate with physiotherapy also assisted by taking drugs according to doctor's advice. history article: received, 19/09/2022 accepted, 08/12/2022 published, 15/12/2022 keywords: range of motion, spherical grip, muscle strength © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : ltf.hidayat@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p328-334 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ltf.hidayat@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p328-334 wahyuni, kotijah, dewi, range of motion spherical grip affected the upper extremity … 329 introduction stroke is a condition that occurs when the blood supply to the brain is reduced due to a blockage (ischemic stroke) or rupture of a blood vessel (hemorrhagic stroke). this makes the veins or blood flowing to all parts of the muscle not drained to all parts of the muscle not being drained. if the right side of the body cannot be moved, it means that the left muscle has a problem and vice versa (anggraini, septiyanti, & dahrizal, 2018). poststroke patients generally experience muscle weakness in the limbs, postural disturbances and muscle atrophy. muscle atrophy causes decreased activity in the joints so that the joints lose synovial fluid and cause joint stiffness (anita, pongantug, ada, & hingkam, 2018). with the high prevalence of stroke in indonesia, rehabilitation is seen as important in treatment interventions for stroke patients. in non-hemorrhagic stroke patients after an attack that results in sensory and motor disturbances, including balance disorders, muscle weakness, and motor control disorders resulting in loss of coordination in the body (nurtanti & ningrum, 2018). according to who 2016 in 2015, as many as 6, 24 million people died from stroke. 53% had hemorrhagic stroke and the remaining 46% had ischemic stroke. the prevalence of stroke in indonesia in 2018 was 10.9% and has increased by 3.9% in the last five years (sultradewi kesuma, krismashogi dharmawan, & fatmawati, 2019). indonesia also has the second highest stroke burden after mongolia, which is 3,382.2/100,000 people based on dalys (disability-adjusted lifeyear). approximately 15 million people suffer a first stroke each year, with a third of these cases or about 6.6 million resulting in death (3.5 million women and 3.1 million men). stroke is a bigger problem in low-income countries than in high-income countries. more than 81% of deaths from stroke occur in low-income countries, the percentage of premature deaths due to stroke rises to 94% in people under the age of 70 years (world health organization, 2016). based on a preliminary study conducted in october 2021, it was found that 55 clients underwent exercise therapy in the medical rehab poly room at prof dr. soekandar mojosari mojokerto experienced the most paralysis in the upper extremities and underwent therapy for 3 months but had not yet recovered or had not shown an increase in muscle strength and a significant increase in range of motion, because the client was not regular or obedient to the prescribed therapy schedule. based on an interview with the head of the medical rehab polyclinic, it is known that every week there are 10 to 15 post-stroke patients visiting, each visit is 1x/week and 2x/week who undergo physiotherapy at the medical rehabilitation clinic. factors that cause stroke include non-reversible factors such as gender and age, reversible factors such as hypertension, heart disease, high cholesterol, diabetes mellitus, polycythemia, emotional stress, and lifestyle factors, for example. smoking, drinking alcohol, illegal drugs, unhealthy activities (nanda, 2013). efforts to treat stroke patients start from acute phase management to rehabilitation. one of the rehabilitations that can be given to stroke patients is range of motion exercises or what is often called range of motion (rom) (mustika sari, yuliano, & perintis padang, 2019). rom is an exercise used to maintain or improve the level of perfection of the ability to move joints normally and completely to increase muscle mass and muscle tone. there are three types of range of motion (rom), namely active rom, passive rom and active-assistive rom. range of mation (rom) has the benefit of maintaining or increasing muscle strength and muscle flexibility, maintaining cardio respiratory function, maintaining flexibility of each joint, and preventing contractures or stiffness in joints (colik, 2018). method the research design used is pre-experimental with one group pretest and posttest design. the population in this study were 33 people of all poststroke patients who experienced paralysis of the left/right upper extremities at rehabilitation room rsud prof. dr. soekandar in 2021. in this study, the sampling technique used consecutive sampling with a sampling technique where data collection was limited by a certain period of time (nursalam, 2013). the study was conducted for 4 weeks. the instrument in this study used an observation sheet about data collection procedures by measuring rom / joint range of motion of stroke patients in the upper extremity joints. the muscle strength were manually measured by using a classic scale of 0, 1, 2,3, 4 and 5. 330 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 228-234 result table 1: characteristics of respondents based on general data post stroke patients in rehabilitation room rsud prof. dr. soekandar in october 2021 general data frequency (%) gender female 18 54.5 male 15 45.5 age 25 years 0 0 26-30 years 0 0 31-45 years 10 30.3 >45 years 23 69.7 total 33 100 based on table 1, shows that the characteristics of respondents based on gender, most of the respondents were female as many as 18 respondents (54.5%) and male respondents as many as 15 respondents (45.5%). when viewed from the age characteristics of the respondents, namely 31-45 years as many as 10 respondents (30.3%). age >45 years as many as 23 respondents (69.7%). table 2: characteristics of respondents based on the respondent's muscle strength before and after giving rom exercises using spherical grib in stroke patients in rehabilitation room rsud prof. dr. soekandar in october 2021 no criteria muscle strength before after f % f % 1 zero 5 15.2 0 0 2 trace 8 24.2 0 0 3 poor 14 42.4 8 24.2 4 fair 6 18.2 19 57.6 5 good 0 0 6 18.2 total 33 100 33 100 based on table 2, the results obtained before giving the spherical grib rom exercise as many as 5 respondents (15.2%) had zero muscle strength (no muscle movement at all), as many as 8 respondents (24.2%) had trace muscle strength (there were contractions on palpation but no visible movement), as many as 14 respondents (42.4%) had poor muscle strength (there was movement but could not fight gravity), and 6 respondents (18.2%) had fair muscle strength (can move against gravity) while after giving spherical rom exercises grib as many as 8 respondents (24.2%) who have poor muscle strength (can move and can fight light obstacles), 19 respondents (57.6%) have fair muscle strength (can move against gravity), and 6 respondents (18.2%) ) who have good muscle strength (can move and can fight light obstacles). these data indicate that the intervention of giving spherical grib rom exercise has been shown to have an effect on increasing muscle strength in post-stroke patients. discussion 1. respondents' muscle strength before being given spherical grib rom exercises in post stroke infarction patients who experience hemiparese based on table 2, it shows that the results of the study before giving rom spherical grib exercises as many as 5 respondents (15.2%) had zero muscle strength (no muscle movement at all), as many as 8 respondents (24.2%) had trace muscle strength (there was contraction during palpation but no visible movement), as many as 14 respondents (42.4%) have poor muscle strength (there is movement but cannot fight gravity), and 6 respondents (18.2%) have fair muscle strength (can move against gravity). wahyuni, kotijah, dewi, range of motion spherical grip affected the upper extremity … 331 muscle strength is one of the most important elements as a foundation for heavier training preparations, when viewed physiologically muscle strength is the release of energy originating in the neuromuscular system through muscle contraction. the greater the voltage, the greater the power generated. weaknesses in the body movement system in stroke patients will affect muscle contractions. reduced muscle contractions are caused by reduced blood supply to the brain which causes reduced oxygen supply to the brain (enny m, 2015). the muscle strength of the respondents in this study showed that before being given rom spherical grip exercises, 5 respondents had zero muscle strength (no muscle movement at all). disease so that they receive less attention related to the condition of the respondent. in trace muscle strength (there is a contraction when palpated but no visible movement) by 8 respondents, this occurs because of the lack of mobilization of the respondents and lack of physical exercise, especially in the upper extremities so that the muscles become stiff and difficult to move. in poor muscle strength as many as 14 respondents and fair muscle strength as many as 6 respondents, this happened due to lack of activity in approximately one month after the stroke which is one of the causes of decreased ability of stroke patients and lack of family support to train respondents so they can perform a wide range of motion. 2. respondents' muscle strength after being given spherical grip rom exercises in stroke infarction patients who experience hemiparese based on table 2, it shows that the results of the study after giving rom spherical grib exercises were as many as 8 respondents (24.2%) who had poor muscle strength (can move and can fight light obstacles), as many as 19 respondents (57.6%) who had muscle strength fair (can move against gravity), and 6 respondents (18.2%) who have good muscle strength (can move and can fight light obstacles). these data show that the intervention of giving rom spherical grib exercises increased muscle strength. changes in increased muscle strength occur because it has been given exercise. exercises can be done using rom (range of mation) exercises or known as range of motion. range of motion is a joint motion exercise that allows active muscle contraction and movement. the form of the rom (range of mation) exercise is functional hand exercises (power grip), power grip consists of spherical grip. spherical grip is a functional hand exercise by gripping a round object (cholik, 2018). this exercise is carried out in 3 stages, namely opening the hand, closing the fingers to grip the object and adjusting the grip strength and the muscles that are influential in this case are the abductors and adductors of the fingers, in addition to the flexors of the fingers. based on the reviews above, to help recover the upper arm and upper extremity, techniques are needed to stimulate the hands, such as spherical grip exercises (ira, 2021). the results of this study are in line with research conducted by the results of the study (purqoti, 2020) showed that the majority of respondents were >60 years old (60%), were male (50%) and female (50%), and all of them had suffered a stroke non hemorrhagic. prior to rom therapy, the patient's degree of muscle strength was in the category of degrees 0 to degree 2, and after rom therapy, the patient's degree of muscle strength was included in the category of degrees 2 to degree 4. there was a difference (increase) in the degree of patient's muscle strength before and after rom therapy with p value = 0.000<0.05. rom therapy is stated to be effective in increasing the limb muscle strength of stroke patients. the increase in muscle strength is influenced by several factors, while the factors that affect muscle strength are gender and age (purqoti, 2020). regarding the gender factor, it was found that the majority of respondents were female, as many as 18 respondents (54.5%). gender is one of the factors that affect muscle strength. women have a stronger relationship with increasing muscle strength than men. according to laubach (1976) in (utomo, 2010). the results of the comparison of male and female muscle strength in the extremities of female muscle strength averaged 71.9% of male muscle strength. male muscle strength after puberty is influenced by the hormone testosterone which has an anabolic effect, one of which is important in maintaining muscle mass. based on the research above, the increase in muscle strength in women also greatly affects joint flexibility. women's joints are more flexible than men's because their bones are smaller and they also have fewer muscles than men. in the next factor, namely age, it was found that the 332 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 228-234 majority of respondents were >45 years old, as many as 23 respondents (69.7%). as you get older, muscle strength will gradually decrease. after the age of 30 years, humans will lose approximately 35% of total muscle tissue per decade. a decrease in muscle function and strength will result in a decrease in the ability to maintain body balance, resistance to movement and changes in body posture (susanti, 2019). based on the results of the study that there were 8 out of 33 respondents, some of whom had experienced a decrease in muscle strength, making it difficult to do rom exercises. this happened because he had suffered a stroke for years and had never even done any rom exercises so that he experienced stiffness. it's actually normal for a decrease in muscle strength. this happens because with increasing age a person will also be followed by a decrease in body tissues which causes a decrease in the ability of muscles and other organ functions. decreased ability to perform activities caused by the gradual shrinkage of body tissue. at the age of> 45 years with increasing age, degeneration that occurs scientifically can also cause a decrease in muscle strength. the duration of training can affect the results obtained. the duration of the exercise depends on the patient's condition. good exercise therapy is exercise that doesn't melt, the duration is not too long but with as many repetitions as possible. exercise repeatedly with as much quality as possible. repetitive, focused movements can establish new connections between motor systems and activate spinal motor neurons is the basis of recovery in stroke patients. if this movement is done regularly, there will be an increase in muscle strength (andarwati, 2013). the results of this study indicate that rom (range of mation) exercises using spherical grip really help balance the use of muscles that still have normal function, help maintain, build strength and help maintain rom in affecting the limbs in preventing muscle contractures and disability. doing spherical grip exercise (range of mation) regularly 2 times a day in the morning and evening with 10 minutes given for 3 days, can increase independence in stroke patients. this is because almost all of them move the fingers in a flexed position so that they can grip an object. when gripped the metacarpophalangeal and interphalangeal joints move freely. so that the many joints and muscles that work can increase muscle strength. 3. analysis of the effect of muscle strength before and after given spherical grip rom (range of mation) exercise in stroke infarction patients who have hemiparese the results of the analysis showed that after giving spherical grip rom (range of mation) exercises there was an increase in muscle strength in stroke patients. this can be shown through the results of statistical tests using the wilcoxon signed rank test. the results of the wilcoxon signed rank test show data that  = 0.000 and  = 0.05 so that <  then h0 is rejected and h1 is accepted, so there is an effect of spherical grip rom (range of mation) exercise on increasing muscle strength in post stroke infarction patients who experience hemiparese in the rehabilitation poly of prof. hospital. dr soekandar mojosari. the above opinion is supported by soeparman (2004, in (ira, 2021). which states that movement exercises, especially range of motion using spherical grip for post stroke sufferers can increase patient independence. this is because with motion exercises the muscles will mobilize. muscle mobilization can prevent muscle stiffness, improve blood circulation, and increase muscle mass. if this is done regularly, the muscle tolerance for movement will increase. strength can be described as the ability of the muscles to withstand weight both external and internal loads. muscle strength is closely related to the neuromuscular system, namely how much the nervous system is able to activate the muscles to contract. so that the more muscle fibers that are activated, the greater the strength generated by these muscles. this involves muscle function, especially that of the flexor digitorum profindus. the sublimis flexor digitorum and interosseous muscles are helpful when greater muscle strength is required. the interosseous muscles are important for providing metacarphalangeal flexion as well as traction and rotation of the phalanges to conform to objects. the flexor polisus longus will be equally active, then there will be contractions of these muscles and increase muscle strength. rom exercises can stimulate neuromuscular and muscular chemical activity. stimulation via neuromuscular will increase the stimulation of the nerve fibers of the limb muscles, especially the parasympathetic nerves, which stimulate the muscles, especially the smooth muscles of the limb, to increase. smooth muscle of the extremities contains active filaments and interacts with one wahyuni, kotijah, dewi, range of motion spherical grip affected the upper extremity … 333 another. the interaction process is activated by calcium ions and adeno diphosphate (atp), then broken down into adeno diphosphate (adp) to provide energy for muscle contraction in the extremities (lesmana, 2012). spherical grip exercise is a form of exercise by gripping a round object such as a ball in the palm of the hand which aims to support the recovery of movement abilities and hand function. doing this program regularly will help the process of hand motor development. in addition to increasing muscle strength in stroke patients, they also stated that there was no stiffness in the muscles after rom (range of mation) spherical grip exercises (ira et al., 2021). increasing muscle strength using spherical grip exercises is very influential because almost all of them move their fingers in a flexion position so that they can grip an object. when gripped the metacarphalangeal and interpalangeal joints move freely. the number of joints and muscles that work is one of the factors in increasing muscle strength. in addition to the many joints and muscles that work, the increase in muscle strength in the spherical grip also has an effect due to the force or load used to contract, so that when the muscles contract and generate tension, it requires power or strength. when doing spherical grip exercises that use more joints or muscles, the energy required will be greater, the contractions that occur are more maximal and can increase muscle strength. conclusion the results showed that there was an effect of spherical grip rom (range of mation) exercises on increasing muscle strength in post-infarction stroke patients who experienced hemiparesis at the rehabilitation polyclinic at prof. hospital. dr. soekandar mojosari. movement exercises, especially range of motion using spherical grip for post stroke patients can increase muscle strength. this is because almost all of them move the fingers in a flexed position so that they can grip an object. the number of joints and muscles that work is one factor in increasing muscle strength. suggestion 1. for respondents it is hoped that after being given spherical grip rom exercises, respondents are asked to continue rom exercises themselves at home to increase muscle strength in post-stroke patients. 2. for health workers it is hoped that this research can be used as additional knowledge about muscle strength training in stroke patients who experience decreased muscle strength, especially in the upper extremities 3. for further researchers it is hoped that future researchers can use other types of range of motion to increase muscle strength in post-stroke patients. acknowledgment 1. dr. muhammad sajidin, s.kp.m.kes as the chairperson of the ppni mojokerto health development stikes who gave researchers the opportunity to conduct research 2. lasiyati yuswo yani as chair of the ppni health development stikes lppm who has given the research permit 3. nurses and physiotherapy at the rehabilitation poly hospital rsud prof. dr. soekandar mojosari. 4. respondents in the rehabilitation poly hospital rsud prof. dr. soekandar mojosari funding funding for this research was obtained from the institute for research and community service (lppm) stikes bina sehat ppni mojokerto. according to assignment letter no iv.a/27/lppm.kl/viii/2021 as a 2022 internal research funding grant conflict of interest that there is no conflict of interest in the funding of this research. research funds were obtained from the 2022 internal grant from the institute for research and community service (lppm) stikes bina sehat ppni mojokerto. authors contribution in this study the first author as a correspondence author who is responsible for the research process to publication by writing articles that have been adjusted to journal guidelines. the second author assisted in the research process and data analysis. the third author helps research in the data collection process. reference 334 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 228-234 anggraini, g. d., septiyanti, & dahrizal. (2018). range of motion ( rom ) spherical grip dapat meningkatkan kekuatan artikel history, 6(1). anita, f., pongantug, h., ada, p. v., & hingkam, v. (2018). pengaruh latihan range of motion terhadap rentang gerak sendi ekstremitas atas pada pasiepasca stroke di makassar. journal of islamic nursing, 3(1), 97–99. colik . (2018). perawatan cidera kepala dan stroke. unmuh press (vol. 01). enny, m. (2015). petunjuk perawatan pasca stroke di rumah pdf. mustika sari, l., yuliano, a., & perintis padang, stik. (2019). hubungan pengetahuan dan sikap keluarga terhadap kemampuandeteksi dini serangan stroke iskemik akut padapenanganan pre hopsital ; jurnal kesehatan perintis (perintis’s. health journal, 6. nurtanti, s., & ningrum, w. (2018). efektiffitas range of motion (rom) aktif terhadap peningkatan kekuatan otot pada penderita stroke. jurnal keperawatan gsh, 7(1), 14–18. purqoti, d. n. sukma. (2020). jurnal kesehatan midwinerslion. kesehatan midwierslion, 3(1), 23–32. sultradewi kesuma, n. m. t., krismashogi dharmawan, d., & fatmawati, h. (2019). gambaran faktor risiko dan tingkat risiko stroke iskemik berdasarkan stroke risk scorecard di rsud klungkung. intisari sains medis, 10(3), 720–729. https://doi.org/10.15562/ism.v10i3.397 susanti, w. (2019). pengaruh range of motion ( rom ) ekstremitas atas dengan bola karet terhadap kekuatan otot pada pasien stroke. ira, r., ratna dewi, a., sumirah, budiono (2021). grip exercises, 207–215. https://doi.org/10.1109/seaa.2008.36. 25 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk herbal rujak soup accelerates uterine involution on postpartum mothers mariati1, afrina mizawati2, ferly yorenza3 1,2,3midwifery department, poltekkes kemenkes bengkulu, indonesia article information abstract according to the world health organization (who) in 2021, the highest mothers’ mortality rate cases occurred in africa with 525 deaths per 100,000 live births and the lowest was in europe with 13 deaths per 100,000 live births. the most common cause of mothers mortality rate in indonesia in 2019 was caused by several cases such as bleeding (30.32%). uterine atony occurs due to failure of uterine contractions to control bleeding after delivery, causing uterine subinvolution. this process is known as uterine involution. the herbal composition of rujak soup is useful for preventing blood clots due to a compound called gingerol in ginger. the type of research used in this study was a quasi-experiment with a two-group posttest design. the population in this study was postpartum mothers from the first day to the tenth day of postpartum at pmb f bengkulu city as many as 117 people with a sample of 30 respondents. the statistical test used was the independent t-test. the results of this study indicate that the average acceleration of uterine involution on the seventh day is known that in the herbal soup rujak group is 4.73 and the uterine involution acceleration in the palm juice group is 5.40 with a mean difference between the herbal kuah rujak group and the date palm juice group. 0.67. there was an effect between the group of herbal ingredients of rujak sauce and the palm juice group on the tfu on day 7 with a p value = 0.038 and a mean difference of 0.67. this proves that the herbal rujak soup accelerates uterine involution more. it is hoped that the pmb of the telaga dewa working area will continue to promote complementary medicine with herbal ingredients to reduce the use of chemical drugs and help deal with problems during the postpartum period. history article: received, 16/04/2022 accepted, 04/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: herbal rujak soup, uterus involution © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes bengkulu bengkulu, indonesia p-issn : 2355-052x email : afrinamizawati@poltekkesbengkulu.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p025-031 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:afrinamizawati@poltekkesbengkulu.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p018-024 26 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 25-31 introduction according to the world health organization (who) in 2021, the highest mothers’ mortality rate cases occurred in the african region at 525 deaths per 100,000 live births and the lowest was in the european region at 13 deaths per 100,000 live births (who, 2021). the most common causes of mothers’ mortality rate in indonesia in 2019 were caused by several cases, such as bleeding (30.32%), hypertension in pregnancy (25.25%), infection (4.90%), circulatory system disorders such as anemia, hypertension (4 74%), metabolic disorders such as constipation, excessive nausea and vomiting (3.72%) and others (31.06). postpartum postpartum (pps) is caused by 70% uterine atony, 20% trauma, and 10% abnormal placenta (pogi, 2016). uterine atony refers to the corpus uteri myometrial cells inadequate contraction in response to endogenous oxytocin that is released in the course of delivery. it leads to postpartum hemorrhage as delivery of the placenta leaves disrupted spiral arteries which are uniquely void of musculature and dependent on contractions to mechanically squeeze them into a hemostatic state. uterine atony is a principal cause of postpartum hemorrhage, an obstetric emergency. globally, this is one of the top 5 causes of maternal mortality. (gill p, et al 2023). the process of involution is the return of the uterus to its pre-pregnancy state after childbirth. the normal involution process is characterized by the height of the uterine fundus being half the center of the symphysis in the first week. the process of uterine involution includes the effects of oxytocin, autolysis, and tissue atrophy. (deussen ar, et al 2020). prevention of involution starts from the third stage of labor, namely after the baby is born, palpate the fundus to ensure a single fetus, inject oxytocin and make sure the placenta is complete, and continue with the fourth stage. involution can be medical (injections, massage, mobilization and drugs) and non-medical (traditional) with herbal drinks (jamu) and date palm juice. dates juice contains a hormone similar to the hormone oxytocin, which is a hormone produced by neurohypophysis (zubova tv, et al 2021). herbal drinks (jamu) were popularized by the people of ternate as rojak sauce. the herbal soup rujak comes from processed lemongrass, ginger, galangal, turmeric, jaewa acid, palm sugar, coriander and pepper plants (nurkila and rosida 2013). composition the herb rujak rujak is useful for preventing blood clots due to the presence of a compound called gingerol in ginger. gingerol is a compound that can prevent blood clots and turn into anticoagulants. selenium in palm sugar can relieve cramps and pain during menstruation. in addition, brown sugar prevents the occurrence of blood clots, so as to prevent infection and sub-involution on days 1-10 of the puerperium, in line with the research of nurkila and rosida (2015) there is an effect of herbal rujak soup on the process of postpartum stinging which is felt by other postpartum mothers. discharge of puerperal blood or lochia such as blood more smoothly out, odorless puerperal blood, no abdominal pain and other benefits to the body. dates are a fruit that is rich in benefits. dates with various contents that are useful in the body's metabolic processes are very beneficial for health if consumed properly. saryono et al. (2016) stated that dates can prevent anemia, help the involution process and improve milk quality. the herb used during the postpartum period is known for generations as rujak spice which consists of 8 medicinal plants namely ginger, turmeric, betel leaf, bay leaf, tamarind, lemongrass, pepper and brown sugar/palm (muti'ah, 2014). this herb is believed by the community to reduce post-partum pain and almost all women use rujak spices during the puerperium (ani and kusumawati, 2018). the most important benefits felt by mothers regarding the effect of the herbal rujak soup on the postpartum period were the discharge of postpartum blood or lochia more smoothly, odorless puerperal blood, no abdominal pain and other benefits to the body. then the research of nurkila and rosida (2013) explained that the benefits of rujak herbs that were felt by postpartum mothers, one of which was that there was no abdominal pain. during the puerperium there will be physiological changes, one of which will involute the uterus so that postpartum mothers often complain of abdominal pain (laili, 2019). ginger and turmeric are plants used in ruja seasoning. postpartum mothers start consuming rujak herbs for 7-14 days during the puerperium and are consumed 2 times a day. the herbal content of the rujak seasoning used in the rujak spice concoction contains active compounds that can produce an analgesic effect. for example, the plants used in the rujak seasoning, namely ginger, lemongrass, turmeric, betel leaf, bay leaf, pepper and tamarind, contain anthocyanins that can act as analgesics. yorenza, mariati, mizawati, irawandi, herbal rujak soup accelerates uterine involution on postpartum … 27 in a study conducted by anita (2020), postpartum mothers who consumed traditional rujak spices experienced a 31.70% decrease in uterine diameter compared to postpartum mothers who did not consume these herbal medicines. based on the results of an initial survey conducted at the pmb in the telaga dewa community health center, bengkulu city, data on the number of postpartum mothers from january-december 2020 was obtained at pmb f as many as 117 people, pmb o 96 people and at pmb m 19 people. preliminary study conducted at pmb f, postpartum mothers only mobilize and exercise postpartum to accelerate the involution process, there is no complementary therapy applied to all postpartum women regarding the benefits of giving rujak herbs to accelerate the process of involution in postpartum mothers with a high average involution. occurred for 10 days. based on the data above, the authors conducted a case study because there were still many mothers who did not know that the involution process could be accelerated by using rujak herbs, so the authors were interested in conducting a case study entitled "the effectiveness of rujak rujak herbals on the acceleration of uterine involution in postpartum mothers in the independent practice of midwives in bengkulu city in 2022”. methods the type of the research was quantitative research. the design used in this study was a quasiexperimental design, namely by looking at the acceleration of uterine involution in postpartum mothers from the first to the 10th day. using the observation sheet. the design used in this study was a two-group post test design. the population in this study were all postpartum mothers from the first day to the tenth day of postpartum at pmb f bengkulu city as many as 117 people. the sample in this study were postpartum mothers in the bengkulu city midwife independent practice. the sample was divided into two groups, namely 15 samples in the intervention group and 15 samples in the control group, with a total sample of 30 samples this study used bivariate analysis which is processed using computerization. bivariate analysis was used to see the effect of the independent variable on the independent variable. the analysis in this study to see the difference in the acceleration of uterine involution between postpartum mothers who were given herbal rujak soup and the group of postpartum mothers who were given sari kurma was performed with the independent t test if the data distribution was normal or the man whitney test if the distribution was not normal. result table 1: frequency distribution of age, parity, imd history of post partum mothers in the independent practice of the telaga dewa midwife, bengkulu city. variabel herbal rujak soup sari kurma n % n % usia < 20 tahun dan > 35 tahun 20 – 35 tahun 1 14 6,7 93.3 3 12 20 80 paritas grandemultipara primipara/ multipara 4 11 26,7 73.3 5 10 33.3 66.7 riwayat imd ya tidak 5 10 33,3 66,7 7 8 46,7 53,3 source: primer table 1 shows that, the age category of respondents 20-35 years was 14 people (93.3%), and in the date palm juice group, respondents aged 20-35 years were 12 people (80%). from the table, it shows that in the herbal soup group, there are 11 people (73.3%) who have primipara/multipara parity and in the palm juice group there are 10 people (66.7%) who have primipara/multipara parity. based on the table above, it is also known that in the herbal rujak soup group there were 5 people (33.5%) who did not do imd and in the palm juice group there were 7 people (46.7%) who did not do imd. 28 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 25-31 table 2: average acceleration of uterine involution in post partum mothers in the independent practice of the telaga dewa midwife in bengkulu city. kelompok intervensi n max min mean beda mean standar deviasi herbal rujak soup h3 15 11 9 9.67 0,73 0.724 sari kurma h3 15 11 9 10.40 0,632 herbal rujak soup h7 15 6 4 4.73 0,67 0,828 sari kurma h7 15 7 4 5.40 0,799 source: primer from table 2 it is known that the average value of uterine involution acceleration on the third day in the herbal soup rujak group is 9.67 and the acceleration of uterine involution in the palm juice group is 10.40 with a mean difference between the herbal soup and dates group of 0.73. the average acceleration of uterine involution on the seventh day is known to be 4.73 in the herbal soup rujak group and the uterine involution acceleration in the palm juice group is 5.40 with a mean difference between the rujak herbal group and the date palm juice group of 0.67. table 3: the effect of rujak and sari kurma herbs on the acceleration of uterine involution. intervensi n mean beda mean z p tfu h3 sari kurma 15 9.67 0,73 -2.618 0.009 herbal rujak 15 10.40 tfu h7 sari kurma 15 4.73 0,67 -2.079 0.038 herbal rujak 15 5.40 the results of the bivariate analysis in table 4.5 above show that there is an effect between the group of herbal ingredients of rujak sauce and the palm juice group on tfu on day 3 with p value = 0.009 and a mean difference of 9.67. while tfu on day 7 with a p value = 0.038 and a mean difference of 0.67 this proves that the herbal soup rujak accelerates uterine involution. table 4: the relationship of external variables to the acceleration of uterine involution. source type iii sum of squares df mean square f sig. corrected model 8.319a 3 2.773 5.322 .005 intercept 329.486 1 329.486 632.335 .000 perlakuan_kontrol .494 1 .494 .948 .339 usia 4.280 1 4.280 8.215 .008 perlakuan_kontrol * usia .024 1 .024 .047 .830 error 13.548 26 .521 total 792.000 30 corrected total 21.867 29 table 4 obtained from multivariate analysis shows that together it turns out that the intervention of rujak herbal sauce, date palm juice and age affect uterine involution by 0.38%. yorenza, mariati, mizawati, irawandi, herbal rujak soup accelerates uterine involution on postpartum … 29 discussion the results showed that the age category of respondents 20-35 years was 14 people (93.3%), and in the date palm juice group, respondents aged 20-35 years were 12 people (80%). the results of this study illustrate that the average post partum mother has a productive age which minimizes the risk of complications in post partum mothers including antonia uteri. the results of this study also showed that in the rujak soup herbal group there were 11 people (73.3%) who had primipara/multipara parity and in the palm juice group there were 10 people (66.7%) had primipara/multipara parity. the results of this study illustrate that post partum mothers have ideal parity in having children which have a positive impact on the pregnancy process. however, there are still mothers who have grandemultipara parity which can have an impact on the reproductive system, one of which can inhibit the return of uterine involution. based on the table above, it is also known that in the herbal rujak soup group there were 5 people (33.5%) who did not do imd and in the palm juice group there were 7 people (46.7%) who did not do imd. the results of this study indicate that the average mother does imd although there are still many mothers who do not do imd, this can happen because of some problems that imd cannot do. there are still many mothers who do not do imd, this can be a problem in the process of uterine involution which by doing imd can respond to hormones that can accelerate the process of uterine involution. based on the table above, it is also known that in the herbal rujak soup group there were 5 people (33.5%) who did not do imd and in the palm juice group there were 7 people (46.7%) who did not do imd. the results of this study indicate that the average mother does imd although there are still many mothers who do not do imd, this can happen because of some problems that imd cannot do. there are still many mothers who do not do imd, this can be a problem in the process of uterine involution which by doing imd can respond to hormones that can accelerate the process of uterine involution. according to kautsar (2011), many factors can influence the involution process including breastfeeding, early mobilization, nutritional status, pariety and age. one of the factors that influence uterine involution is age and parity. mothers who are older are much affected by the aging process. undergo changes in metabolism, this will inhibit uterine involution, mothers with high parity, the process of involution becomes slower, because the more often they are pregnant, the uterus will often experience stretch. the results showed that the average value of acceleration of uterine involution on the third day in the herbal rujak soup group was 9.67 and the acceleration of uterine involution in the palm juice group was 10.40 with a mean difference between the herbal soup and dates group of 0.73. the average acceleration of uterine involution on the seventh day is known to be 4.73 in the herbal soup rujak group and the uterine involution acceleration in the palm juice group is 5.40 with a mean difference between the rujak herbal group and the date palm juice group of 0.67/ the results of this study illustrate that postpartum mothers who are given the intervention of rujak herbal sauce will experience accelerated uterine involution faster than post partum mothers who are given the intervention of date palm juice. the puerperium lasts for approximately 6 weeks. this period the mother requires certain actions that can speed up the involution process. uterine involution involves reorganization and exfoliation of the decidua/endometrium and exfoliation of the placental attachment site characterized by a decrease in size and weight as well as a change in the location of the uterus as indicated by the color and number of lochia. if there is failure of uterine involution to return to a non-pregnant state, it will cause sub-involution. the most common causes of uterine sub involution are retained placental fragments, infection, and late postpartum haemorrhage (maritalia, 2014). the results of this study found that there was an effect between the group of herbal ingredients of rujak sauce and the palm juice group on tfu on day 3 with p value = 0.009 and the mean difference was 9.67. while the tfu on day 7 with a p value = 0.038 and a mean difference of 0.67. this proves that the herbal soup rujak accelerates uterine involution more than giving date palm juice. the results of this study are in accordance with the research research of nurkila, s. rosida hi.s, (2015) with the title the experience of consuming rujak rujak herbs in postpartum mothers in the ternate city region. the results of the study found that the most important benefits felt by the mother was the effect of herbal rujak soup on the postpartum period, namely postpartum blood loss or lochia such as blood flowing more smoothly, odorless 30 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 25-31 postpartum blood, no abdominal pain and other benefits to the body. the results of this study are in line with research conducted by anita (2020), postpartum mothers who consumed traditional rujak spices experienced a decrease in uterine diameter by 31.70% compared to postpartum mothers who did not consume these herbal medicines. based on the multivariate analysis, it was shown that together, the intervention of rujak herbal sauce, date palm juice and age affected uterine involution (0.38%). the results of this study explain that together from the 2 variables analyzed for the intervention of herbal rujak sauce and palm juice which are supported with age, it will accelerate uterine involution. the presence of this slight influence can occur due to other factors where in addition to these four factors there are still many factors that can affect uterine involution in postpartum women, such as maternal parity where in this study many mothers who were respondents had primiparous and multiparous parity. the process of uterine involution is strongly influenced by the age of the mother at delivery. the age of 20-30 years is an ideal age for a good involution process to occur. this is due to because of the elasticity factor of the uterine muscles, considering that mothers who are over 35 years old have reduced muscle elasticity. in addition, the action of mobilization causes circulation improvement, makes deep breathing and stimulates normal gastrointestinal function again. with early mobilization, uterine contractions will be good so that the uterine fundus is hard, so the risk of abnormal bleeding can be avoided, because contractions constrict open blood vessels (elisabeth siwi, 2017). conclusion based on the results of the research conducted, conclusions were drawn, in the group of rujak herbal soups in the age category of respondents 20-35 years as many as 14 people (93.3%), and in the palm juice group respondents aged 20-35 years as many as 12 people (80%). in the herbal soup group, there were 11 people (73.3%) who had parity of primipara/multipara and in the palm juice group there were 10 people (66.7%) who had parity of grandemultipara. in the herbal soup rujak group there were 5 people (33.5%) who did not have imd and in the palm juice group there were 7 people (46.7%) who did not do imd. the average acceleration of uterine involution on the seventh day is known to be 4.73 in the herbal soup rujak group and the uterine involution acceleration in the palm juice group is 5.40 with a mean difference between the rujak herbal group and the date palm juice group of 0.67. there was an effect between the group of herbal ingredients of rujak sauce and the palm juice group on the tfu on day 7 with a p value = 0.038 and a mean difference of 0.67. this proves that the herbal soup rujak accelerates uterine involution more. taken together, it turned out that the intervention of rujak herbal sauce, date palm juice and age affected uterine involution by (0.38%). suggestion give herbal rujak soup to every postpartum woman to accelerates uterine involution will be the best solution to this case. acknowledgement this research was conducted between the research team and the enumerators so thank you to the director, head of the midwifery department, lecturer and the enumerator at the bengkulu ministry of health polytechnic. funding the research is independently funded by the research team. conflicts of interest the authors declares that there are no conflicts of interest in this research. author contributions the research team was divided into 3 people where ferly played a role in data collection and data analysis, afrina mizawati played a role in mmothers mortality rateng research results and mariati in mmothers mortality rateng discussions. refference aritonang, j. dan simanjuntak, y.t.o. 2021. buku ajar asuhan kebidanan pada masa nifas. yogyakarta: deepublish publisher. astutik yuli reni. 2019. asuhan kebidanan masa nifas dan menyusui. jakarta: cv trans info media. ciselia, d dan oktari, v, 2021. asuhan kebidanan masa nifas. surabaya: cv. jakad media publishing. yorenza, mariati, mizawati, irawandi, herbal rujak soup accelerates uterine involution on postpartum … 31 dewi, y.v.a. 2020. buku ajar asuhan kebidanan 3. bandung: cv. media sains indonesia. deussen ar, ashwood p, martis r, stewart f, grzeskowiak le. relief of pain due to uterine cramping/involution after birth. cochrane database syst rev. 2020 oct 20;10(10):cd004908. doi: 10.1002/14651858.cd004908.pub3. pmid: 33078388; pmcid: pmc8094397 dinas kesehatan provinsi bengkulu. 2020. profil kesehatan provinsi bengkulu tahun 2019. bengkulu: dinas kesehatan kota bengkulu. ______________ kota bengkulu. 2020. profil kesehatan kota bengkulu tahun 2017. bengkulu: dinas kesehatan kota bengkulu. evizal, rusdi. 2013. tanaman rempah dan fitofarmaka. bandar lampung: lembaga penelitian universitas lampung. f wardhina, f fakhriyah, r rusdiana. 2020. perilaku penggunaan obat tradisional pada ibu nifas di desa sungai kitano kecamatan martapura timur kabupaten banjar. jurnal kesehatan indonesia 9 (1), 68-75, 2019. gill p, patel a, van hook jw. uterine atony. statpearls [internet]. 2023 [dikutip 28 maret 2023]; tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29630290/ khairani, l., komariah, m., dan mardiah, w. 2012. pengaruh pijak oksitosin terhadap involusi uterus pada ibu post partum di ruang post partum kelas iii rshs bandung. jurnal fakultas ilmu keperawatan universitas padjadjaran. kementrian kesehatan ri. 2021. profil kesehatan indonesia 2020. jakarta: kementerian kesehatan ri. kementerian , 2020. survey konsumsi pangan. jakarta: pusat pendidikan sumber daya manusia kesehatan. korompis, m., purwandari, a., dan tombokan, s. 2019. pemanfaatan jahe merah dan daun katuk terhadap involusi uteri, produksi asi pada ibu pasca salin di kabupaten minahasa. jurnal poltekkes kemenkes manado. kurniati, c.h. dan azizah, a.n. 2021. identifikasi pemanfaatan obat herbal pada ibu nifas. jurnal ilmiah bidan 8(2): 59-65. notoadmodjo, s. 2018. metodelogi penelitian kesehatan. jakarta: pt rineka cipta. putri, m.t., aditama, d.s., dan diyanty, d. 2019. efektivitas aromaterapi sereh dengan teknik relaksasi genggam jari terhadap penurunan nyeri pasca sectio caesarea. jurnal wellness and healthy magazine 1(2), 267-276. rini, s dan kumala, f.d. 2017. panduan asuhan nifas dan evidence based practice. yogyakarta: deepublish. sari erlin. 2020. perbedaan efektivitas lama penyembuhan luka perineum pada ibu nifas menggunakan air rebusan daun binahong dengan air rebusan daun jambu biji di praktik mandiri bidan wilayah kerja puskesmas pujokerto. poltekkes tanjungkarang: lampung. sinulingga, e.r. 2018. efektivitias ekstrak sereh terhadap penyembuhan mukosa oral pada tikus putih. skripsi fakultas kedokteran. universitas sumatera utara. suaib, nurkila ; sahara, rosida hi. 2015. pengalaman pengkonsumsian herbal kuah rujak pada ibu nifas di wilayah kota ternate. jurnal kesehatan vol 8 no 01 (2015): jurnal kesehatan poltekkes ternate, november 2015. sukma, febi dkk. 2017. asuhan kebidanan pada masa nifas. jakarta: fakultas kedokteran dan kesehatan universitas muhammadiah jakarta. sulfiandi, dkk. 2021. asuhan kebidanan pada masa nifas. jakarta: yayasan kita menulis. tonasih dan sari, v.m, 2020. asuhan kebidanan masa nifas dan menyusui (edisi covid19). yogyakarta: penerbit k-media. who. 2021. world health statistic. geneva: who press. zubova tv, pleshkov va, smolovskaya ov, mironov an, korobeynikova ln. the use of carotene-containing preparation in cows for the prevention of postpartum complications. vet world. 2021;14(5):1059–66. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 242 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 242–247 242 perilaku hidup bersih dan sehat santri di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an (clean and healthy behavior of santri in pondok pesantren mambau’us syafa’atil quran) rizka ihromatuz zuhriya praktisi keperawatan email:rizkaihromatus@gmail.com abstract: the clean and healthy life behavior is an effort to create a condition for individuals, families, groups, and communities as an attempt to apply a healthy way of life in order to preserve, maintain and improve health. the purpose of this study was to determine the clean and healthy living behavior in the boarding school students. methods: the study design used descriptive design. the study population was all students in pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an; 80 students. the sample was 80 using the total population technique, as well as uses the instrument in the form of a questionnaire designed by the researcher. the results showed a clean and healthy life behavior of students by 31.25% in either category, 42.5% adequate, and 26.25% less. clean and healthy living behaviors (phbs) students were already in good category since they always wash hands before eating and after defecation and no students who have used drugs, while phbs students who in category of lack that were measured to avoid the transmission of diseases. it was expected for boarding school caretaker made routine health and hygiene control for the students to reduce the risk of transmission of the disease. keywords: behavior, phbs, pupils abstrak: perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat sebagai suatu upaya menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara, dan meningkatkan kesehatan. tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku hidup bersih dan sehat santri di pondok pesantren. metode : desain penelitian menggunakan rancangan deskriptif. populasi penelitian ini adalah seluruh santri yang ada di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an kota blitar sebanyak 80 santri. jumlah sampel yang sebanyak 80 dengan menggunakan teknik total populasi, serta menggunakan instrument berupa kuesioner yang dibuat oleh peneliti. hasil penelitian menunjukkan perilaku hidup bersih dan sehat santri sebesar 31,25% dalam kategori baik, 42,5% cukup, dan 26,25% kurang. perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) santri yang sudah baik yaitu, selalu mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar serta tidak ada santri yang pernah menggunakan narkoba, sementara phbs santri yang kurang yakni tindakan menghindari penularan penyakit. diharapkan pengasuh pondok pesantren rutin mengontrol kebersihan dan kesehatan santri untuk mengurangi risiko penularan penyakit. kata kunci: perilaku, phbs, santri perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) di tatanan pesantren merupakan perpaduan dari tatanan institusi pendidikan dan tatanan rumah tangga yang bertujuan untuk membudayakan phbs bagi santri, pendidik dan pengelola pesantren agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah kesehatan di lingkungan pesantren dan sekitarnya. kebanyakan pondok pesantren di indonesia memiliki masalah yang begitu klasik yaitu tentang kesehatan santri dan masalah terhadap penyakit. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p242-247 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 243zuhriya, perilaku hidup bersih dan sehat ... masalah kesehatan dan penyakit di pesantren sangat jarang mendapat perhatian dengan baik dari warga pesantren itu sendiri maupun masyarakat dan juga pemerintah. salah satu penyebab buruknya kualitas kehidupan santri pondok pesantren di indonesia karena pondok pesantren memiliki perilaku yang sederhana sesuai dengan tradisi dan sub-kultur yang berkembang sejak awalnya berdirinya pesantren, ditambah juga dengan fasilitas kebanyakan pondok pesantren yang kurang untuk menunjang kehidupan sehari-hari termasuk juga fasilitas kesehatannya (ikhwanudin, 2010). kesehatan merupakan salah satu anugerah allah swt yang penting bagi kehidupan, kesehatan harus dijaga dan masyarakat harus dilindungi dari berbagai ancaman penyakit dan masalah kesehatan lainnya. kesehatan perlu ditingkatkan dan diperjuangkan oleh semua orang, ka rena masalah kesehatan bukan hanya menjadi persoalan jajaran kesehatan semata, namun juga tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat termasuk pesantren. phbs adalah upaya untuk mensejahterakan keseha ta n dengan mela kukan eduka si untuk mewujudkan pengetahuan, sikap, perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi phbs di tatanan pondok pesantren. perilaku hidup bersih dan sehat adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat, dengan membangun jalur komunikasi, memberikan informasi dan melakukan edukasi, untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan pimpinan (advocacy), bina suasana (social support), dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) sebagai suatu upaya untuk membantu masyarakat mengenali dan mengatasi masalahnya sendiri, dalam tatanan masing-masing, agar dapat menerapkan cara-cara hidup sehat, dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan. phbs sema kin ma r a k dipr omosika n di masyarakat akhir-akhir ini seiring dengan cepatnya perkembangan penyakit, maka masalah penyakit akibat rendahnya angka pelaksanaan phbs cenderung akan semakin kompleks. namun survei kegiatan phbs masih sangat berfokus pada phbs di tatanan rumah tangga, sementara phbs di tatanan pondok pesantren kurang diutamakan, sedangkan pondok pesantren merupakan salah satu kelompok khusus yang memiliki risiko penularan penyakit karena di tatanan ini fasilitas-fasilitas yang ada penggunaannya digunakan bersama-sama sehingga sangat rentan terjadinya penularan penyakit. hasil studi pendahuluan tanggal 6 november 2014 di pondok pesantren darul huda putri adalah lingkungan pondok tidak beraturan, baju diletakkan di seluruh sudut kamar pondok pesantren. hasil wawancara pada 9 orang santri, didapatkan 9 santri pernah mengalami penyakit kulit, 6 diantaranya sedang mengalami penyakit kulit, 3 santri mandi 1x sehari, 4 santri sering bertukar pakaian dengan temannya, 5 santri mengganti pakaian 2 hari sekali, 2 santri mengganti pakaian lebih dari 3 hari. kegiatan piket pondok pesantren dilakukan setiap hari dengan masing-masing individu mendapatkan jadwal piket kebersihan sebanyak 1 hari per minggu, lingkungan pondok hanya dibersihkan 1x dalam sehari dikarenakan banyak aktivitas yang dilakukan oleh para santri, santri dominan belajar di sma. keadaa n ser upa juga tampa k di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur ’an, terihat handuk yang diletakkan saling bertumpuk tidak pada tempatnya, barang-barang santri kebanyakan berserakan dan tidak tertata dengan rapi di ruang tengah, banyak baju yang digantung di dalam kamar, lantai kamar kotor, dan sampah plastik yang berserakan tidak pada tempatnya. berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik melakukan penelitian tetang ” perilaku hidup bersih dan sehat santri di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an kota blitar”. bahan dan metode desain penelitian yang digunakan adalah korelasional analitik dengan pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah santri yang ada di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an kota blitar. sampel dalam penelitian ini adalah santri yang ada di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an kota blitar yang berjumlah 80 santri. teknik sampling yang digunakan adalah total population, yaitu dengan mengambil semua anggota populasi menjadi sampel. penelitian ini dilakukan di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an kota blitar, jalan letda markawi rt 3 rw 2 ngegong kota blitar. penelitian dilaksanakan pada bulan maret 2015. penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data berupa kuesioner yang dikembangkan peneliti berdasarkan konsep tentang perilaku hidup bersih dan sehat dan perilaku kesehatan. kuesioner terdiri dari data umum yang berjumlah 7 dan data khusus berjumlah 37. 244 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 242–247 setelah data terkumpul, kemudian diberi skor dengan jawaban ”ya” diberi skor 1 dan ”tidak” diberi skor 0. setelah itu skor dijumlah kemudian dihitung dengan menggunakan prosentase dan selanjutnya diolah dan dikategorikan. hasil penelitian karakteristik responden penyuluhan nutrisi nutrisi asam folat alami. karakteristik responden penelitian dilaksanakan di di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar. data karakteristik responden terdiri dari usia ibu, agama ibu, pendidikan terakhir ibu, pekerjaan ibu, suku ibu, informasi yang diperoleh ibu tentang pemenuhan gizi seimbang dan sumber informasi tentang pemenuhan gizi seimbang. hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu yang memiliki balita di posyandu mayang kelurahan sukorejo kecamatan sukorejo kota blitar berumur 30-39 tahun yaitu sebanyak 60,5% (23 ibu), setengah dari total ibu yang memiliki balita memiliki pendidikan terakhir sma yaitu sebanyak 50% (19 ibu), ibu yang memiliki balita yang tidak bekerja sebanyak 42,1% (16 ibu), suku bangsa ibu yang memiliki balita seluruhnya adalah suku jawa, ibu yang memiliki balita yang sudah pernah mendapatkan informasi tentang gizi seimbang lebih dari setengah yaitu 63,2% (24 ibu), dan ibu yang memiliki balita paling banyak mendapatkan informasi kesehatan dari petugas kesehatan yaitu sebanyak 44,7% (17 ibu). berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 80 santri, 48 santri (60%) berjenis kelamin laki-laki. 7 santri laki-laki (8,8%) berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kategori baik, 20 santri laki-laki (25%) berperilaku cukup dan 21 santri laki-laki (26,3%) berperilaku kurang, sedangkan dari 32 santri (40%) berjenis kelamin perempuan, 18 santri (22,5%) berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kategori baik, 14 santri (17,5%) dalam kategori cukup dan tidak ada santri yang berjenis kelamin perempuan dalam kategori kurang. hal yang kurang dari santri laki-laki dalam indikator perilaku tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba dibuktikan dengan sebagian besar santri laki-laki adalah seorang perokok aktif, selanjutnya hal yang kurang dari santri laki-laki dalam indikator kebersihan perorangan dan perilaku atau gaya hidup positif dibuktikan dengan lebih dari 1 bulan tidak mencuci sprei, tidak pernah menjemur tempat tidur, sering menggunakan baju milik teman, dan sering berpindah tempat tidur. peneliti berpendapat bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari dimana perilaku hidup bersih dan sehat laki-laki dapat dilihat dari asrama yang dihuni oleh mereka. secara kasat mata keadaan asrama santri perempuan lebih tertata rapi dibandingkan dengan santri laki-laki. keinginan untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama, tetapi laki-laki lebih banyak menunda melakukan sesuatu untuk berperilaku dan menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. pendidikan formal maupun informal berfokus pada proses belajar mengajar, dengan tujuan agar terjadi perubahan perilaku, yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak dapat menjadi dapat. semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh, semakin baik pula perilakunya, misalnya individu yang berpendidikan slta perilakunya akan berbeda dengan yang berpendidikan sltp (sunaryo, 2004:11). berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 80 santri, 25 santri berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kategori baik diantaranya adalah: 1 santri (1,2%) dari 2 santri berpendidikan terakhir perguruan tinggi, 13 santri (16,2%) dari 15 santri berpendidikan terakhir sma/ma, 7 santri (8,8%) dari 30 santri berpendidikan terakhir smp/mts, 4 santri (5%) dari 27 santri berpendidikan terakhir sd/mi dan dari 6 santri yang tidak tamat sd/tidak sekolah tidak ada yang masuk dalam kategori baik. no kategori jumlah prosentase (%) 1 baik 25 3 1,25% 2 cukup 34 42,5% 3 kurang 21 2 6,25% jumlah 80 1 00% tabel 1. kategori perilaku hidup bersih dan sehat santri pembahasan perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara melakukan pekerjaan sehari-hari. pria berperilaku atas dasar pertimbangan rasional kadang berfikir jangka pendek, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional atau perasaan yang kebanyakan berfikir jangka panjang (sunaryo, 2004:9). 245zuhriya, perilaku hidup bersih dan sehat ... peneliti berpendapat bahwa individu yang berpendidikan lebih tinggi dapat berperilaku lebih baik dari pada yang berpendidikan yang lebih rendah. di dalam institusi pendidikan mulai dari pendidikan dasar, menengah pertama, menengah atas, sampai perguruan tinggi pasti diajarkan secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan perilaku hidup bersih dan sehat. secara langsung, misalnya ada salah satu bab mata pelajaran yang membahas tentang kebersihan, siswa diajarkan materi tentang kebersihan lingkungan bagaimana cara mengelola sampah agar tidak menyebabkan banjir dan sarang nyamuk, sehingga secara teori siswa mampu untuk memahaminya. selanjutnya secara tidak langsung, misalnya ada siswa yang membuang sampah sembarangan padahal sudah ada larangan pada posterposter yang ditempel di seluruh area intitusi pendidikan, kemudian siswa tersebut dipanggil oleh gurunya dan mendapatkan sanksi yang membuat siswa tersebut menjadi jera. sama halnya dengan pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang karena semakin tinggi pendidikan yang ditempuh semakin banyak pula pengalaman yang didapatkan, sehingga dapat membentuk karakter dari seseorang untuk bisa berperilaku lebih baik. kebudayaan diartikan sebagai kesenian, adatistiadat atau peradaban manusia dan hasil kebudayaan tersebut akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri. semakin lama individu berinteraksi dengan lingkungannya semakin melekat kebudayaan dan adat istiadat lingkungan tersebut yang mempengaruhi perilaku individu (sunaryo, 2004:12). menurut green (dalam notoatmodjo, 2005:59) faktorfaktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya. berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 80 santri, didapatkan 46 santri yang tinggal di pondok pesantren >1 tahun, 14 santri berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kategori baik, 19 santri diantaranya termasuk dalam kategori berperilaku cukup dan 13 santri termasuk dalam kategori berperilaku kurang. perilaku atau gaya hidup positif yang masih kurang dibuktikan dengan santri yang tinggal lebih lama di pondok pesantren mempunyai kebiasaankebiasaan yang seharusnya dihilangkan dari lingkungan pondok/asrama misalnya, sebagian besar santri yang sedang/pernah mengalami gatal-gatal mempunyai kebiasaan tidur berpindah-pindah tempat, mandi tidak dibedakan dengan santri yang tidak mengalami gatal-gatal, tidak adanya kebiasaan untuk menjemur tempat tidur, dan tidak terbiasa mencuci sprei 1 bulan sekali. peneliti berpendapat bahwa kebiasaan seharihari akan lebih melekat pada seorang individu yang selalu dilakukan pada jangka waktu yang lama. begitu pula kebiasaan di pondok pesantren sangat mempengaruhi perilaku santri untuk hidup bersih dan sehat. dimulai dari kebiasaan saling meminjam baju, tidur berpindah-pindah, tidak memahami cara penularan penyakit dengan benar, dan sebagainya yang membuat penyakit yang selalu ada di pondok pesantren tanpa bisa memutus tali penularan penyakit tersebut. rasa kekeluargaan dan kebersamaan santri yang tanpa mereka sadari dapat menyebabkan penularan penyakit di pondok pesantren tidak bisa dengan mudah diubah tanpa melalui proses sesuai dengan teori perilaku hidup bersih dan sehat yang memerlukan kerja sama antar santri dan pengelola pondok pesantren, karena kebudayaan atau kebiasaan yang dilakukan sudah membentuk karakter dari setiap individu. seharusnya semakin lama tinggal di dalam pondok pesantren semakin banyak pengalaman yang didapatkan, sehingga mereka dapat memilah-milah perilaku mana yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. menurut who (dalam notoatmodjo, 2005:62), adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dipercayai (personal references) di dalam masyarakat, maka perubahan perilaku masyarakat tergantung dari perilaku acuan (referensi) yang pada umumnya adalah para tokoh masyarakat setempat. berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 80 santri, 31 santri (38,8%) mendapatkan informasi tentang phbs dari pengasuh pondok pesantren. 15 santri (18,8%) berperilaku baik, 12 santri (15%) berperilaku cukup dan 4 santri (5%) berperilaku kurang. kebersihan lingkungan sudah berjalan dengan baik dibuktikan dengan sebagian besar santri sudah melakukan piket harian maupun mingguan secara rutin yakni, membersihkan pondok dan lingkungan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, rutin membersihkan tempat wudhu 1 minggu sekali, rutin menguras kamar mandi 1 minggu sekali, dan tidak terlihat sampah yang menumpuk di sekitar pondok dan lingkungan dikarenakan ada sanksi bagi santri yang ketahuan dengan sengaja membuang sampah tidak pada tempatnya serta bagi santri yang tidak menjalankan piket sesuai dengan jadwal yang ditentukan akan dikenakan sanksi berupa piket 2 kali dalam minggu depannya. 246 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 242–247 peneliti berpendapat bahwa informasi dan ilmu akan lebih bisa dipahami dan dilakukan individu yang diberikan oleh seseorang yang lebih tua dan menjadi panutan sehari-hari. segala informasi yang didapatkan dari orang yang dipercaya pasti lebih melekat di dalam fikiran dan akan membentuk karakter dari seseorang. di dalam pondok pesantren salah seorang yang dipercaya oleh para santri adalah pengasuh pondok (kyai). pengasuh pondok menginformasikan kepada para santri untuk melakukan kerja bakti setiap hari minggu agar lingkungan pondok tetap bersih dan mengurangi terjadinya penyakit dan penularannya. sebagai seorang santri pasti melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, sehingga menjadi suatu kebiasaan untuk melakukan kerja bakti setiap minggu bagi individu yang mempunyai kesadaran dan perilaku yang baik. adanya faktor pemungkin yang mempengaruhi terbentuknya perilaku adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya puskesmas, posyandu, rumah sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan bergizi, uang, dan sebagainya menurut green (dalam notoatmodjo, 2005:59). berdasarkan hasil penelitian bahwa dari 80 santri, didapatkan dari 67 santri (67%) yang menilai sarana dan prasarana phbs di pondok pesantren sudah baik, 23 santri (28,8%) berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kategori baik, 32 santri (40%) berperilaku cukup dan 12 santri (12%) berperilaku kurang. perilaku atau gaya hidup positif dipandang dari segi kesehatan terhadap sarana dan prasarana untuk berwudhu masih kurang dibuktikan dengan penggunaan bak penampungan air yang besar dan digunakan secara bersama-sama, begitu juga ada salah satu tempat wudhu yang masih melewati air menggenang setelah berwudhu yang sebenarnya dapat menularkan penyakit kulit yang sedang diderita santri maupun orang lain. peneliti berpendapat bahwa berperilaku hidup bersih dan sehat bisa ditingkatkan karena adanya sa r ana da n pr a sa r a na ya ng lebih memada i. dipandang dari segi kesehatan penggunaan air yang menggenang yang dilewati setelah berwudhu itu sangat memicu penularan penyakit kulit, sebaliknya jika dipandang dari segi agama penggunaan air semacam itu untuk menghilangkan hadast kecil yang berada di sekitar tempat wudhu atau kamar mandi. sarana dan prasarana di dalam pondok pesantren yang baik sangat mendukung dan mempermudah terjadinya perilaku hidup bersih dan sehat santri di dalam pondok pesantren seperti, menguras kamar mandi, membersihkan tempat wudhu, membersihkan lingkungan pondok pesantren secara rutin. tetapi sebaliknya jika sarana dan prasarana yang ada kurang, maka akan menghambat terjadinya perilaku hidup bersih dan sehat sehingga tercipta lingkungan yang kurang nyaman, kotor, dan sebagainya, misalnya, jika sudah ada niatan untuk membersihkan ruangan, tetapi tidak ada sapu di ruangan tersebut terpaksa hanya mengambil sampah yang bisa diambil tanpa dapat membersihkan debu yang ada dengan menggunakan sapu. salah satu penyebab dari kejadian skabies adalah pakaian yang kurang bersih dan saling bertukar pakaian dengan teman satu kamar. hal itulah yang tidak diperhatikan serius oleh pimpinan pondok pesantren dan santri itu sendiri. para santri dapat menghindari penyakit skabies dengan menjaga kebersihan pakaiannya. dengan rajin mencuci dan menjemur pakaian sampai kering di bawah terik matahari dan jangan menggunakan pakaian yang belum kering atau lembab. biasakan mencuci sedikit tapi sering. penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung seperti berjabat tangan maupun kontak tak langsung melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk dan pakaian. bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. siregar (dalam khrishna 2015), penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan dan lingkungan yang kurang baik oleh sebab itu untuk mencegah penyebaran penyakit ini dapat dilakukan dengan cara: mandi secara teratur dengan menggunakan sabun; mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut yang dipakai penderita dengan air panas (setidaknya temperatur air harus mencapai 60 derajat untuk bisa membunuh kuman ini) atau menyeterikanya juga dapat membunuh kuman-kuman skabies; menjemur kasur dan bantal minimal 1 bulan sekali di bawah terik matahari; menjaga kebersihan rumah dan ventilasi yang terang agar cahaya matahari yang mengandung ultraviolet dapat masuk dan membunuh kuman ini; tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain; hindari kontak dengan orangorang atau kain serta pakaian yang dicurigai terinfeksi tungau scabies. berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 santri, 7 santri sedang mengalami skabies, 5 diantaranya tidak mengetahui bagaimana cara penularan skabies. dari kuesioner yang diisi oleh santri menunjukkan 27 santri pernah menggunakan baju milik 247zuhriya, perilaku hidup bersih dan sehat ... teman, 39 santri pernah menggunakan handuk milik teman, 75 santri pernah menggunakan sikat gigi milik teman, 54 santri mencuci sprei lebih dari 1 bulan sekali, 53 santri tidak pernah menjemur tempat tidur, sebagian besar santri yang bukan pelajar sering menggunakan tempat tidur milik temannya untuk mengahafal al-qur’an atau hanya sekedar berbincang dengan teman lainnya, serta tidak terdapatnya genting kaca pada kamar mandi santri yang bisa membuat sinar ultraviolet dari matahari langsung mengenai air di bak penampungan air yang dapat membunuh kuman yang ada di dalam air. peneliti berpendapat bahwa perilaku hidup bersih dan sehat seharusnya diterapkan di pondok pesantren karena hidup di lingkungan orang banyak sangatlah rentan untuk terjadinya penularan skabies atau penyakit yang lainnya. penyakit skabies sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama di suatu tempat tanpa melakukan perilaku hidup bersih dan sehat. apabila kesadaran santri tentang perilaku hidup bersih dan sehat tidak ditingkatkan, tidak menutup kemungkinan jika penderita skabies di pondok pesantr en akan meningkat. simpulan dan saran simpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti menyimpulkan bahwa dari 80 santri di pondok pesantren mamba’us syafa’atil qur’an kota blitar didapatkan sebanyak 42,5% (34 santri) berperilaku hidup bersih dan sehat dalam kategori cukup. perilaku hidup bersih dan sehat santri yang sudah baik antara lain: mandi 2 kali sehari, tidak pernah menggunakan baju teman, terbiasa mencuci tangan sebelum makan, selalu mencuci tangan menggunakan sabun setelah bab, tidak pernah mengonsumsi minuman keras, tidak menggunakan narkoba, berobat ke puskesmas atau dokter ketika sakit, rutin membersihkan pondok dan lingkungan sesuai dengan jadwal yang ditentukan perilaku hidup bersih dan sehat santri yang kurang baik dilakukan di pondok pesantren antara lain: pernah meminjam sikat gigi milik teman, jarang mengonsumsi buah-buahan setiap hari, berpindahpindah tempat tidur, mencuci sprei lebih dari 1 bulan sekali, tidak pernah menjemur tempat tidur, saat santri mengalami gatal-gatal mandi di kamar mandi yang sama dengan teman yang tidak mengalami gatal-gatal dan tidur dalam tempat tidur yang sama bersama teman yang tidak mengalami gatal-gatal. saran sesuai dengan kesimpulan yang telah dikemukakan, peneliti ingin memberikan saran kepada: bagi pengasuh pondok pesantren: diharapkan bisa mempertahankan perilaku hidup bersih dan sehat santri yang sudah baik dan meningkatkan perilaku santri yang sebagian besar masih cukup dan berperilaku kurang dengan cara rutin mengontrol kebersihan asrama, menghimbau santri untuk rutin menjemur tempat tidur dan tidak bergantian dalam menggunakan alat tenun, memasang genting kaca pada kamar mandi, bagi pemegang program promkes di uptd kesehatan kecamatan sananwetan: pemantau dan mengevaluasi pelaksanaan perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) santri di pondok pesantren secara komprehensif dengan cara dilakukan lomba kebersihan antar pondok pesantren terutama untuk mengurangi angka penularan skabies yang sangat besar kemungkinannya ditularkan dari masing-masing santri yang tinggal menetap di pondok pesantren, bagi peneliti selanjutnya: jika ingin melanjutkan penelitian ini diharapkan untuk mengolah kembali instrumen karena pada penelitian ini instrumen dibuat sendiri oleh peneliti yang belum di uji validitas dan reabilitasnya. diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai informasi untuk meneliti faktor yang menghambat santri untuk berperilaku hidup bersih dan sehat di lingkungan pondok pesanten. daftar rujukan dinas kesehatan provinsi jawa timur. 2001. buku pedoman pelaksanaan phbs bagi pengelola program di wilayah kabupaten/kota. surabaya: dinas kesehatan propinsi jawa timur. ikhwanudin, a. perilaku kesehatan santri: (studi deskriptif perilaku pemeliharaan kesehatan, pencarian dan penggunaan sistem kesehatan dan perilaku kesehatan lingkungan di pondok pesantren assalafi al fithrah, surabaya). jurnal sosial dan politik: 3-4. krishna. 2015. mengenali keluhan anda: informasi kesehatan umum untuk pasien, edisi 2. jakarta: informasi medika. notoatmodjo, s. 2005. kesehatan masyarakan: ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. sunaryo. 2004. psikologi untuk keperawatan. jakarta: egc. the relationship of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth at kunir primary health centre melynda mauludiya1, sunanto2, tutik hidayati3 1department of midwifery, institute of health science hafshawaty pesantren zainul hasan probolinggo. indonesia 2department of midwifery, institute of health science hafshawaty pesantren zainul hasan probolinggo. indonesia 3department of midwifery, institute of health science hafshawaty pesantren zainul hasan probolinggo. indonesia abstract first-time mothers would have psychological changes experience such as high anxiety. to reduce anxiety during childbirth was the presence of a family, such as a husband was very important. the presence of the husband would have a positive influence on the mother's physical readiness. the goal was to know the relationship of husband's attendant with primigravida's anxiety at the first childbirth at health primary care centre kunir residence. the research design used a quantitative design that was correlation analytic, with approach cross sectional. the samples was had 36 respondents. the sampling technique used simple random sampling. statistical technique was correlation chi square test. the results of the study obtained 36 respondents there were 29 respondents (80,55%), accompanied by a husband, with a mild level of anxiety there were 16 respondents (44,44%), moderate anxiety was 13 respondents (36,11%), and 7 (19,44%) respondents that not accompanied by a husband has a severe level of anxiety. in correlation chi square, the relationship of husband's attendant with primigravida mother's anxiety in the first childbirth has a significance value (ρ) which was 0.00 less than the value of α= 5% (ρ = 0.05), so that it meaning there was relationship of husband's attendant with primigravida mother's anxiety in the first childbirth. keywords husband's attendant, anxiety level, and childbirth introduction pregnancy brings various physical and psychological changes, so that a calm physical and psychological condition is needed so that the process of pregnancy and childbirth can run well. for primigravida is a first experience, a pregnant woman who is waiting for the process of giving birth or giving birth to a baby into the world. childbirth is a process in which a woman gives birth to a baby that begins with regular uterine contractions and peaks at the time of expulsion of the baby until the expulsion of the placenta and its membranes where this labor process will last for 12 to 14 hours (kurniarum, 2016). in the first stage of childbirth, many problems occur to mothers who are about to give birth, such as difficulty sleeping, fear, loneliness, stress, anger, tiredness, disappointment, feelings of hopelessness, especially anxiety about childbirth (murray and gayle, 2013). maternal mothers have excessive emotions that cause high anxiety, a situation where mothers always think about bad things that might happen. based word healt organization 2015, there was pregnant women who experience anxiety 99% occurred in developing countries. depkes ri (2016) states that in 2016 there were 107 million (28,7%) people in indonesia pregnant women experienced anxiety in the face of childbirth. research conducted by primigravida 22,5% experiencing mild anxiety, 30% moderate anxiety, 27,5% seriously worried, and 20% experiencing severe anxiety (sarifah, 2017). research conducted in surabaya, java timur2016 as much as (41,7%) mother experiencing anxiety before childbirth. this showed that primigravidas who experience childbirth had a greater risk of experiencing anxiety compared to multigravida who was had previous childbirth experience (tamala, 2020). reducing anxiety during childbirth was the presence of a companion, such as a husband. the presence of a second person could provide comfort during childbirth. the presence of a birth attendant could have a positive effect on childbirth, which could reduce morbidity, reduce pain, shorten labor, and reduce the rate of cesarean childbirth (marmi, 2016). methods the research design used a quantitative research design with the type of correlational analytic research. research with a research approach cross sectional. the population were of all primigravida who examined and had an estimated childbirthin july to august 2022, at health primary care centre kunir residence as many as 40 people. data collection used a questionnaire. determine whether there was a relationship or not used the chi square test with a significance level of ≤ 0.05. results 1. general data table 5.1 frequency distribution of respondents based on maternal age at health primary care centre kunir residence no age characteristics frequency percentage(%) 1 < 20year 4 11,11 2 20-35year 32 88,89 3 > 35year 0 0 total 36 100 source: primary data table 5.1 data obtain that from 36 respondents it can be seen that most of the respondents are aged 20-35 years with a total of 32 respondents (88.89%) table 5.2 frequency distribution of respondents based on maternal last education at health primary care centre kunir residence no education characteristics frequency percentage(%) 1 (sd, smp) 15 41,67 2 (sma) 18 50 3 university 3 8,33 total 36 100 source: primary data table 5.2 from 36 respondents it can be seen that most of the respondents are educated (sma or senior high school) with a total of 18 respondents (50%). table 5.3 frequency distribution of respondents based on maternal workat health primary care centre kunir residence no job characteristics frequency percentage(%) 1 housewife 32 88,89 2 employee 1 2,78 3 teacher 2 5,55 4 cadre 1 2,78 5 total 36 100 source: primary data table 5.3 from 36 respondents it can be seen that most of the respondents in this study were housewives with a total of 32 respondents (88.89%). 2. special data table 5.4 frequency distribution of husband's assistance in maternity at health primary care centre kunir residence husband's companion frequency (f) percentage (%) yes 29 80,55 no 7 19,44 amount 36 100 source: primary data table 5.4 from 36 respondents, it can be seen that most of the mothers gave birth with their husband's companions as many as 29 people (80.55%), and primigravida without husband's assistance as many as 7 people (19.44%). table 5.5 frequency distribution of anxiety levels of primigravida mothers in facing the childbirth process at health primary care centre kunir residence anxiety level frequency (f) percentage (%) light 16 44,44 currently 13 36.11 heavy 7 19,44 amount 36 100 source: primary data table 5.5 from 36 respondents, it can be seen that the anxiety of primigravida mothers in facing the childbirth process mostly experienced mild anxiety levels, 16 people (44.44%), moderate anxiety, 13 people (36.11%), and 7 people (19.44%) experienced anxiety. heavy. table 5.6 statistical test results the relationship of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth at health primary care centre kunir residence mother's anxiety level total p-value light currently heavy husband's companion companion f 16 13 0 29 0,00 % 44,44 36,11 0 80,55 without companion f 0 0 7 7 % 0 0 19,44 19,44 f 16 13 7 36 total % 44,44 36,11 19,44 100 source: primary data based table 5.6 the results of the cross tabulation of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth process showed that of 29 respondents (80.55%) accompanied by their husbands with mild anxiety levels 16 respondents (44.44%), and moderate anxiety 13 respondents (36.11%) ). meanwhile, 7 respondents (19.44%) without being accompanied by their husbands experienced severe anxiety levels. discussion 1. husband's companion in maternity table 5.4 from 36 respondents, it can be seen that most of the mothers gave birth with their husband's companions as many as 29 people (80.55%), and primigravida without husband's assistance as many as 7 people (19.44%). a husband's companion was a husband who accompanies or accompanies his wife in the birth process (bobak, dkk, at marmi, 2016). mothers who were about to give birth are quite a difficult period so they needed the support and assistance of their husbands in the process of giving birth until they give birth safely and comfortably (siti, 2016). the presence of a birth attendant could have a positive effect on childbirth, could reduce morbidity, reduce pain, shorten childbirth, and reduce the rate of cesarean childbirth. the presence of a birth attendant could provide a sense of comfort, enthusiasm, emotional support, and could encourage the mother (jannah, 2017). maryunani 2015, the role of the birth attendant, namely the birth attendant, could help the mother divert attention from the pain that had started to appear, the birth attendant could remind the mother to drink every few hours and urinated every two hours, when pain or contractions arise, the birth attendant could invite the mother to talk while giving praise if the mother passes every contraction that occurs, the birth attendant could help the mother change body position when it starts to look stressed or tired, and the birth attendant could provide a gentle massage on the back of the mother's leg or shoulder. many respondents were accompanied by their husbands during the childbirth process. it showed that the presence of good husband assistance could affect the process of giving birth to his wife. 2. primigravida anxiety levels in facing the childbirth process the process mostly experienced mild anxiety levels, 16 people (44.44%), moderate anxiety, 13 people (36.11%), and 7 people (19.44%) experienced heavy anxiety. solehati & cecep, 2015 states that anxiety was a mood disorder characterized by feelings of deep and ongoing fear, no disturbance in assessing reality, personality was still intact, and behavior was disturbed but was still within normal limits. hawari, 2013 anxiety was a mood disorder characterized by feelings of deep and ongoing of fear, not experienced disturbances in assessing reality, personality was still intact; behavior could be disturbed but was still within normal limits. anxiety experienced by mothers during childbirth, mothers felt excessive pain. fear would hinder the birth process because when the human body gets a fear signal, the body would activate the alert and defense center. as a result, the uterus would get a little blood flow so that it blocked the birth process and caused pain and caused the childbirth time to be longer. mother would become more tired, lose strength, the opening would take longer. feelings of fear during the labor process could affect the flow and smooth opening, so that it could interfere with the childbirth process (mairida, 2018). maternal anxiety levels were at the level of mild, moderate, and severe anxiety.the emergence of anxiety with mothers experiencing pregnancy for the first time and early in the face of childbirth, there was lack of knowledge and information about the birth process. 3. analysis the relationship of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth based table 5.6 the results of the cross tabulation of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth process showed that of 29 respondents (80.55%) accompanied by their husbands with mild anxiety levels 16 respondents (44.44%), and moderate anxiety 13 respondents (36.11%) ). meanwhile, 7 respondents (19.44%) without being accompanied by their husbands experienced severe anxiety levels. the relationship of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth significance value (p) that was 0, 00 ≤ α = 5% (p = 0,05). the calculated p value with the help of spss 16 analysis software with chi square analysis showed the results of asymp significant = 0.00 so that it had a research significance value with a degree of confidence 5%, p = 0.05 greater than the research p-count, it could be interpreted that h0 is rejected or h1 is accepted. this statement was equivalent to the meaning that there were the relationship of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth. the research calculated p value = .000 in the attachment of the chi square test there was no negative sign (-), so it can be interpreted that the relationship between variables was positive. this meant that the way to reduce primigravida anxiety in the face of childbirth was by assisting husbands who could provide love, feelings of security and comfort, and share the burden during childbirth. based on research conducted by nurpratiwi and anggaresi 2018 at general hospital yarsi pontianak that was, it was known that between the husband's mentoring variable and the mother's anxiety level variable facing childbirth, the significance value was 0.038 (α<0.05), which meant that there was a relationship between husband's accompany and maternal anxiety facing childbirth. the presence of a companion during the work process could have a positive influence on the mother, with the presence of a husband companion, the mother could share the pain and the husband could calm pain to the wife and provided motivation to be stronger in the delivery process (nurpratiwi and anggaresi, 2018). mothers who were accompanied by their husbands during childbirth would have a very positive impact on the mother's psychology because the husband's companion, the mother could communicate and shared the pain and the husband could provide calm and comfort to his wife by holding his wife's hand, teaching deep breath relaxation when feeling pain and provided motivation as well as giving attention to the wife so that the wife was stronger in undergoing during the childbirth process. conclusion husbands with primigravida anxiety levels had a significance value (ρ) which is 0.00 less than the value of = 5% (ρ = 0.05) so it meant that there were relationship of husband's attendant with primigravida’s anxiety in the first childbirth at health primary care centre kunir residence. suggestion this research would expected to increase the active role of husband companion in the childbirth process so that mothers are more comfortable and calm in facing the childbirth process. acknowledgement no sponsors/funding and funding for research was borne personally by the author. funding funding for research was borne personally by the author conflicts of interest there was no conflict of interest because this project build no sponsors/funding, and written for the lecture requirements to become a bachelor of midwifery. refferences kyle and carman. 2014. essentials of pediatric nursing.wolters kluwer health/lippincott williams &wilkins :philadelphia. marmi, k,r.2015. asuhan neonatus, bayi, balita dan anak pra sekolah. pustaka pelajar: yogyakarta notoadmodjo, soekidjo.2012. metode penelitian kesehatan. rineka cipta: jakarta.nursalam. 2011. metodologi penelitian ilmukeperawatan edisi 4.salemba medika: jakarta.potter & perry. 2012. fundamental of nursing. e book. riyanto, agus.2011. aplikasimetodologi penelitian kesehatan. nuha medika:yogyakarta. roesli, utami. 2013. pedoman pijat bayi prematur dan bayiusia 0-3 bulan. trubus agriwidya: jakarta. slater.2018.gently stroking babies befoe medical prosedur may reduce pain processing.science daily. sugiyono. 2011. metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r& d cetakan ke 14. alfabeta: bandung swarjana, i ketut. 2012. metodologi penelitian kesehatan. andi office: surabaya. triani, effa. 2016. penggunaan analgesia nonfarmakologis saat tindakan invasif minor padaneonatus. ikatan dokter anak indonesia abdillah, dwi laksono. 2016. efektifitas terapi sentuhan terhadap nyeri pada bayi paska eksisi teratoma sakrak oksigeal di rsupn cipto mangunkusumo. jurnal keperawatan. evawanna, diah. 2018. pengaruh terapi sentuh terhadap peningkatan suhu tubuh pada bayi lahir normal. jurnal keperawatan. ningsih, nf. 2017. pengaruh terapisentuhterhadapsuhutubuhpadabayiprematur. jurnal keperawatan. nurhayati indah. 2020. perbedaan efektifitas terapi sentuhan dan perawatan metode kangguru terhadap peningkatan suhu tubuh bayi berat lahir rendah di rsd idaman kota banjarbaru. jurnal keperawatan. nuryanto, agus. 2019. pengaruh healing touch terhadap skala nyeri pada pasien post operasi orif dibangsal rawat inap rs orthopedi dr soeharso surakarta .skripsi program studi sarjana keperawatan stikes kusuma husada surakarta. pujiati, asih. 2016. pengaruh terapi sentuhan terhadap penurunan suhu tubuh padabayi usia 2-12 bulan di puskesmas lebdosari semarang. jurnal keperawatan. septiana, nenty. 2021. aplikasi model konservasi levine pada pada neonatus dengan nyeri akut. jurnal keperawatan. sposito, n rossato. 2017.assesment and management of pain in newborn hospitalized in a neonatal intensive care unit. a cross sectional study revista latino de enferma gom 25, e32931. susilawati. 2018. pengaruh metode kangguru untuk mengurangi nyeri penyuntikan intra muscular imunisasi hb0 pada neonatus di wilayah kerja puskesmas ngambur kabupaten pesisir barat. jurnal kebidanan vol 4, no 2, april 2018 : 79-83. witt at al. 2016. a guide to pain assesment and management in the neonatale. publise online march 12 doi 10.1007/s40138-016-0089y: italian 231 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the experience of covid-19 survivors in relieving symptoms of anosmia amelia diah agustin1, sri mugianti2, wiwin martiningsih3 1,2,3departement of nursing, politeknik kesehatan kemenkes malang, indonesia article information abstract the high stigma of the community and public compliance in implementing health protocols can hamper the reduction of covid-19 cases. one of the symptoms of covid-19 is anosmia. the purpose of this study was to find out the experiences of survivors of covid-19 to relieve symptoms of anosmia. the data collection method in this case study is through in-depth interviews. data collection was carried out on january 10 2022-february 10 2022. the research design used a qualitative case study with 9 participants from sumberjo village who experienced symptoms of anosmia during covid-19. data collection tools use mobile phones and stationery. the sampling technique used is snowball. the results showed that all participants tried to eliminate the symptoms of anosmia. four themes were found regarding the experiences of covid-19 survivors in relieving anosmia symptoms, theme 1) efforts made to relieve anosmia symptoms were phbs, use of pharmacological and nonpharmacological drugs, and olfactory training. theme 2) the feelings felt when confirmed are still enthusiastic, afraid, anxious, and worried. theme 3) environmental responses to confirmed covid-19 patients, including positive responses, are support systems in the family and environment, and negative responses are social stigma. theme 4) symptoms of anosmia if confirmed with covid-19 are respiratory tract disorders, muscle stiffness, thermoregulation, sleep disturbance, and fatigue. to relieve the symptoms of mia in the form of nasal irrigation with 0.9% nacl solution, it is necessary to carry out tests at a later date, even though there are already researchers in several hospitals. history article: received, 12/04/2023 accepted, 08/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: experience of survivors, anosmia, covid-19 © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: politeknik kesehatan kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : sri_mugianti@poltekkes-malang.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p231-238 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:sri_mugianti@poltekkes-malang.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p231-238 232 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 232-238 introduction society is an association that lives together in which there are open systems and closed systems. during the covid 19 pandemic, the community did not implement recommendations to reduce activities outside the home to prevent an increase in covid 19 cases. the community always closed themselves by not wanting to listen to suggestions from the village or input from other individuals. with the emergence of social stigma that says that covid 19 is just a hoax, and only to scare people to stay at home. therefore, people who have been exposed to information also do not want to share information with others. this lack of information will also have an impact on the rest of society. in december 2019, the covid-19 outbreak originated in wuhan, china, and quickly spread around the world, causing a global pandemic. in indonesia, on august 11, 2021, according to news reports, 3,780,071 people were confirmed, 426,170 people were treated, 3,211,078 people recovered, and 112,198 people died. there were 342,852 confirmed cases of covid-19 in east java, 41,176 people were treated, 277,995 people recovered, and 23,513 people died. in blitar regency, it was recorded on the website of the blitar regency health office that there were 291 positive cases of covid19, 198 people recovered, 78 people were monitored, and 15 people died, bringing the accumulated cases to 8,869 people. in sumberjo village, in the last year there was data at the village office of 31 cases, 2 people died. common symptoms reported by patients with covid-19 infection include fever, dry cough, shortness of breath (dyspnea), myalgia, malaise, chills, confusion, headache, sore throat, rhinorrhea, chest pain, diarrhea, nausea/vomiting, conjunctival conjunctiva. , nasal congestion, sputum production, and hemoptysis. additionally, several studies have reported olfactory dysfunction and hypogeusia as common symptoms of covid-19. however, some patients with covid-19 do not show typical respiratory symptoms, such as fever and cough, whereas, at the time of diagnosis, some infected patients only show neurological symptoms as initial symptoms. the problems that exist in society are the lack of knowledge in the family, the lack of technological progress, the social stigma against covid 19, the community underestimating things that will have a bad impact on their families, and the lack of community compliance in implementing health protocols. some people have been exposed to symptoms of covid-19 but have not self-isolated. this behavior will have an impact on the people around them, both those who have implemented health protocols. in a research journal, symptoms of anosmia can be prevented by olfactory training consisting of repeated and intentional inhalation of scents including lemon, rose, clove, and eucalyptus have been shown to improve symptomatic dysfunction. corticosteroids and intranasal administration have been proposed for the treatment of postinfectious anosmia. in the absence of demonstrable inflammatory disease observed by endoscopy or imaging, treatment with corticosteroids is unlikely to be beneficial. in infected cases, corticosteroid treatment can manage the early stages of the disease and prevent inflammation of the olfactory system. to increase the impact of anosmia symptoms on covid-19, people use 0.9% nacl as nasal irrigation to reduce anosmia symptoms. in addition, people use olfactory training by using strong scents such as the aroma of eucalyptus oil, coffee, roses, etc. people also boost their immunity by eating nutritious foods, and some are using corticosteroids under doctors’ advice. this study uses the case study method because researchers want to dig deeper and more in-depth information about the subject under study. researchers can obtain information that will become data comprehensively so as not to leave any remaining information. from these data will be obtained facts or reality. case studies are also a more effective way of demonstrating the relationship between researcher and participant. from the explanation above, researchers want to examine the experience of survivors of covid-19 in eliminating the symptoms of a lack of smell(kiay et al., 2021). method the design of this study was qualitative with nine participants who were taken purposively with the snowball method, namely the technique of taking data sources that were initially small in number and then became larger, this was because small data sources could not provide satisfactory data, while the desired inclusion criteria is1) subjects selected according to people or residents who have experienced symptoms of anosmia in covid-19 in sumberjo village, 2) subjects who can explain their experiences when experiencing symptoms of anosmia in covid-19 in sumberjo village, 3) subjects who are willing in this case become a participant or sign an informed consent. the time required during the interview was 20-30 minutes, taking place in sumberjo village. the instrument used in this agustin, mugianti, martiningsih, the experience of covid-19 survivors in relieving symptoms of anosmia … 233 research was an interview sheet developed by the researcher according to the desired objectives, the media used was a recording device. the data collection used interviews, which were followed by making field notes to record participants' responses during the interview. documentation studies were also conducted to validate the participant's medical history. after the interviews were completed, transcripts were made of the interviewed data, followed by qualitative data analysis through the stages of 1) data collection, 2) data reduction, 3) data presentation, and 4) conclusions or verification. results results research in the form of interview transcripts that researchers make are then categorized according to the keywords that have been presented in the following tables and schemes: table 1: results of interviews with the experiences of covid-19 sufferers regarding symptoms of anosmia in sumberjo village in 2022 symptoms of anosmia at the time confirmed covid-19 disturbance channel breathing on breathing system cough anosmia 1st nerve olfactory bitter in the mouth swallowing pain flavor flu dizzy lower breathing system weak breath cranial nerves muscle stiffness v trigeminal thermoregulation fever constant fever varies disturbance can't sleep fulfillment muscle stiffness need sleep fatigue weak the feeling when the symptoms appear on covid-19 spirit positive think positively look after yourself afraid negative negative thinking nerve to v physical state worry trigeminal feel no comfortable digestion support system strong husband child environmental response in patients confirmed covid-19 negative feedback stigma closed less information positive response family support system strong care and babysitting attempts to relieve symptoms anosmia on confirmation covid-19 curative self drug nonpharmacological drug pharmacology phbs immunity social media trends olfactory training resources relatives training how to do this action inhalation topical oral look after yourself 234 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 232-238 each theme obtained from the research results will be explained as follows: 1. symptoms of anosmia when confirmed by covid-19 this specific objective consists of themes, sub-themes, and categories which include: a. upper respiratory tract disorders 1) cough: 5 out of 9 participants stated that the symptoms experienced during covid-19 were coughing “dry cough” 2) olfactory nerve anosmia 1: 9 participants stated that the symptoms experienced during covid-19 were anosmia "can't smell the ax oil just hot" 3) bitter in the mouth: 2 out of 9 participants stated that the symptoms experienced during covid-19 were bitter in the mouth “bitter mouth” 4) swallowing pain: 2 out of 9 participants stated that the symptoms experienced during covid-19 were swallowing pain "makes swallowing a bit painful" 5) gustatory: 1 in 9 participants stated that the symptoms experienced during covid-19 were gustatory or loss of taste “food has no taste” 6) flu: 3 out of 9 participants stated that the symptoms experienced during covid-19 were flu "flu for 2 days as well initially” 7) dizziness: 5 out of 9 participants stated that the symptom experienced during covid-19 was dizziness "feeling dizzy that time of the week” b. disorders of the lower respiratory tract 1) shortness of breath: 1 in 9 participants stated that the symptom experienced during covid-19 was shortness of breath “when the breath, in the chest, is weak” c. muscle stiffness: 1 in 9 participants stated that the symptom experienced during covid-19 was muscle stiffness “when yawning, the chin area feels narrow” d. fever varies 1) constant fever: 6 out of 9 participants stated that their symptoms during covid-19 were persistent fever "at first my body was hot "it's been 2 days like typhoid fever symptoms outside, but it's cold" e. disorders of meeting the need for sleep 1) can't sleep: 2 out of 9 participants stated that the symptom experienced during covid-19 was unable to sleep “10sleepless day” f. fatigue 1) weaknesses: 3 out of 9 participants stated that the symptoms experienced during covid-19 were weaknesses "body limp, suddenly lay down 2. feelings when symptoms appear in covid-19 this specific objective consists of themes, sub-themes, and categories which include: a. spirit 1) positive thinking: 3 out of 9 participants stated that the feeling when symptoms appeared on covid-19 was positive thinking "not afraid and have the spirit to get well soon" 2) take care of yourself: 1 in 9 participants stated that when symptoms appear in covid-19, they take care of themselves "i always drink from my bottle" b. fear 1) negative thoughts: 1 in 9 participants stated that feelings, when symptoms appeared on covid-19, were negative thoughts "i'm afraid ma'am, i'll be told later if i get symptoms, i'm already positive for covid-19" c.v of the trigeminal nerve 1) anxiety: 4 out of 9 participants stated that the feeling when symptoms of covid-19 appeared was anxiety agustin, mugianti, martiningsih, the experience of covid-19 survivors in relieving symptoms of anosmia … 235 “at first i was scared, but because many neighbors are like that, i think positively” 2) feelings of discomfort: 2 out of 9 participants stated that when covid-19 symptoms appear, it is a feeling of discomfort "make walking around feeling a little nervous" 3) digestion: 5 out of 9 participants stated that the feelings when symptoms of covid-19 occurred in the digestive tract “appetite decreased, but still forced to eat " d. support system 1) strong: 2 out of 9 participants stated that the feeling when symptoms appeared in covid-19 was strong "enough of me and my husband, feeling no panic" 3. environmental response to confirmed covid-19 patients this specific objective consists of themes, sub-themes, and categories which include: a. negative feedback 1) self-closure: 4 out of 9 participants stated that the environment's response to confirmed covid-19 patients was self-closing “do not dare to interact, silent” 2) lack of information: 1 out of 9 participants stated that the environmental response to confirmed covid-19 patients was a lack of information "people don't know i have symptoms" b. positive response 1) family: 9 participants stated that the environment's response to confirmed covid-19 patients came from the family "stay at home until you get better then come out" “my own family supports me, try to think positively” 2) strong: 1 in 9 participants stated that the environmental response to confirmed covid-19 patients was strong "comparison of illness and stigma is more severe than society's stigma" 3) caring and nurturing: 2 out of 9 participants stated that the environment's response to confirmed covid-19 patients was caring and nurturing "if i buy a side dish, i leave it to my neighbor and i will replace the money" 4. efforts to eliminate symptoms of anosmia when confirmed by covid-19 a. curative 1) non-pharmacological drugs: 7 out of 9 participants stated that efforts to relieve symptoms of anosmia when confirmed with covid-19 were non-pharmacological drugs "take nstm herbs from nasa" "every day 1 meal of crushed garlic and eaten with bananas" 2) pharmacological drugs: 7 out of 9 participants stated that efforts to relieve anosmia symptoms when confirmed with covid-19 were pharmacological drugs. b. phbs 1) immunity: 6 out of 9 participants stated that the effort to get rid of anosmia symptoms when confirmed with covid-19 was immunity “drink warm water every day” “sunbathe in the back of the house using a pillow” 2) social media trends: 1 out of 9 participants stated that the effort to get rid of anosmia symptoms when confirmed covid-19 was bear brand milk “consume bear brand milk” c. olfactory training 1) training source: 4 out of 9 participants stated that efforts to get rid of anosmia symptoms when confirmed with covid-19 came from relatives "my friend said after taking a shower i wash my nose with non-iodized salt which is usually used in cows" "my sister said with nasal irrigation with nacl 2 times a day" 2) inhalation: 4 out of 9 participants stated that efforts to relieve anosmia symptoms when confirmed with covid-19 were inhalation “inhaling ax oil even though it has no aroma and only causes a hot effect” 3) topical: 2 out of 9 participants stated that efforts to relieve symptoms of anosmia when confirmed covid-19 were topical 236 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 232-238 "drop it directly in the nose, back and forth" 4) oral: 5 out of 9 participants stated that efforts to relieve symptoms of anosmia when it was confirmed that covid-19 was oral "if the water is warm i always drink it every day" 5) take care of yourself: 3 out of 9 participants stated that the effort to get rid of anosmia symptoms when confirmed with covid-19 was by taking care of yourself "the sleeping position is different from the face, ma'am, i told you not to get close" discussion results of the research above show that efforts to relieve anosmia symptoms when confirmed with covid-19 are curative with pharmacological and non-pharmacological drugs, phbs with immunity, social media trends, and olfactory, inhalation, topical, oral, and self-defense training. this came under our recent posthoc analysis of secondary data from the edinburgh and lothians viral intervention study (elvis) trial showing that hypertonic saline irrigation and gargling (hsnig) reduced the duration of coronavirus upper respiratory tract infection (hsnig). urti) on average two and a half days. as such, it may offer a potentially safe, effective, and scalable intervention for those with covid-19 disease after severe acute respiratory syndrome betacoronavirus infection with covid19. (sheikh et al., 2020). the efforts of the participants are strengthened by the journal(whitcroft et al., 2016) which recommends smell training with rose, and eucalyptus for 20 seconds each, twice daily for at least 3 months as a treatment for persistent anosmia associated with covid-19. jamu nstm is the most complete mineral supplement containing natural, pure, balanced, and ionic mineral elements (macro and micro) so that they are easily absorbed by the body and play a very important role in nerve function (bio-electric). nasa's main trace mineral content has succeeded in curing various degenerative diseases suffered by millions of people around the world, including allergies, insomnia, heart disease, cancer, cataracts, etc. however, this nstm herbal medicine is not included in eliminating anosmia. maintaining personal health can be interpreted as routine activities that are always carried out by everyone, such as bathing, brushing teeth, dressing, and cleaning hair(fitri & qismullah, 2021). taking supplements that can strengthen the immune system, such as vitamin c (sodium ascorbate), vitamin b3 (nicotinamide), vitamin b5 (dexpanthenol), vitamin b6 (pyridoxine hcl), vitamin e (alpha-tocopheryl), zinc picolinate, and sodium selenite, can boost immunity. improve the performance of the immune system and fight infections caused by viruses and bacteria, including coronavirus infections. matter this will increase the production of vitamin d and the immune system(isnaini et al., 2022). with the level of exposure to the coronavirus, the people of sumberjo village are very aware of the need to maintain a clean and healthy lifestyle (phbs) and comply with health protocols such as using hand sanitizers, washing hands properly and properly, and using masks. when leaving the house and actively participating in vaccinations. given by the local government to prevent and reduce the number of sufferers of covid-19. expertugm nutrition, rahadyana muslichah, s.gz., m.sc. emphasized that bear milk cannot treat covid-19. the reason is, until now there has been no research that proves that milk can treat this new coronavirus. drinking milk is one option that can be consumed for additional intake. mainly from holistic foods, namely carbohydrates, protein, vegetables, and fruit, if milk alone does not have complete nutritional content. this was reinforced by the participants consuming bear milk because social media said bear milk could prevent covid-19. jamu or traditional medicine is a substance derived from nutritious plants(abidin & indriani, 2021). people usually use herbal medicine to prevent, cure, and treat diseases. the shift in society to traditional or herbal medicine is due to lower prices, ingredients that are easier to obtain if grown by themselves, and generally one plant has more than one pharmacological effect making it useful for the treatment of degenerative and metabolic diseases.(ningsih da et al, 2021). results of the research above show the feeling when the symptoms of covid-19 appear. be enthusiastic with positive thoughts and take care of yourself. fear of negative thoughts. 5th trigeminal nerve with anxiety, discomfort, and digestion. and the support system from husband and children. this is by the journal theory(aditya, 2020)that anosmia can affect the patient's sense of depression, due to the loss of the ability to smell his favorite scent. so that it will also have an impact on less or even loss of appetite which can later lead to malnutrition if agustin, mugianti, martiningsih, the experience of covid-19 survivors in relieving symptoms of anosmia … 237 prolonged. people with symptoms of covid-19 are required to maintain the level of immunity in their bodies to remain in stable condition and also consume nutritious food. results of the research above show that the environment's response to confirmed covid-19 patients is a negative stigma by self-closure, and lack of information. positive impact with caring and nurturing and support systems. this corresponds to the journal(ilpaj & nurwati, 2020)namely the lack of public awareness, the public still does not know what should and should not be done to prevent this coronavirus. the solution or way to deal with poor health is to build good relationships (support systems) with family and friends, with busy work from home going on at home, and take time to communicate with family, friends, and co-workers via telephone or video call. gail w. stuart(annisa, 2016) classifies anxiety in behavioral, cognitive, and affective responses, among others, agitated behavior, physical tension, tremors, startled reactions, fast speech, lack of coordination, injury-prone, withdrawal from interpersonal relationships, inhibition, escape from problems, avoidance, hyperventilation, and extreme alertness. the results of the research above show that the symptoms of anosmia are confirmed when covid19 is confirmed. upper respiratory tract disorders include cough, anosmia, bitter taste in the mouth, painful swallowing, gustatory, flu, and dizziness. the lower respiratory tract is weak breath. the 5th trigeminal cranial nerve includes muscle rigidity. thermoregulation with constant fever. sleep disturbance and fatigue. this was reinforced by participants who experienced symptoms of neuralgia muscle stiffness in the maxilla and mandible areas. a study in wuhan also showed that among patients with peripheral nervous system symptoms, the most common complaints were hypogeusia and hyposmia. other peripheral nervous system symptoms include visual function deficits and neuralgia. some patients exhibit fatigue, muscle aches, and elevated levels of muscle enzymes,(liu et al., 2020). matter this is by the theory from the journal that the symptoms of covid-19 include acute respiratory disorders such as fever, dry cough, and shortness of breath. the average covid-19 case has an incubation period of 5-6 days and the longest incubation period is up to 14 days. other symptoms that are present but are less common and may be experienced by some patients include aches and pains, loss of taste and smell (anosmia), nasal congestion, headache, conjunctivitis, sore throat, and diarrhea. similar to other upper respiratory viral infections, such as the common cold, loss of smell is a common symptom in covid-19 patients. however, sudden, severe, and isolated loss of smell and/or taste can occur in asymptomatic covid-19 patients. these symptoms are mild and appear gradually. (kiay et al., 2021). in addition to the signs and symptoms above, some respondents experienced symptoms of fatigue(gori et al., 2020). for the elderly (elderly) with a history of previous illnesses such as high blood pressure, heart and lung problems, diabetes, and cancer, , the risk is greater(samuel & riyanto wreksoatmodjo, 2021). conclusion efforts to eliminate symptoms of anosmia when covid-19 is confirmed are by using preventive medicine, family medicine, phbs, olfactory training, herbs, over-the-counter drugs, prescription drugs, medicinal preparations, herbs, lifestyle, social media trends, and taking care of yourself. the feeling when you have symptoms of covid-19 is to always think positively with the belief that you can return to health. and always take care of yourself so that other family members are not infected. the community's response to confirmed covid-19 patients is an environment that is less supportive in comparison to the stigma and symptoms they feel. self-isolation is the best option. in addition, there was concern for participants who had confirmed covid-19. symptoms of anosmia, when confirmed by covid-19 in nine participants, were coughing, anosmia, bitter taste in the mouth, painful swallowing, tastelessness, flu, dizziness, shortness of breath, stiff muscles, and continuous fever. suggestion for the people of sumberjo village, rules are enforced which oblige the community to prepare a place to wash their hands, provide masks, and always keep their distance. what must be reduced in the environment is the strong stigma in society. and more to increase concern for fellow citizens who are around us, both those who are experiencing difficulties and when they are happy. the public must also sort out social media and news that will provide efforts to reduce the symptoms of covid19 or other health problems. things that are good for the environment, for example, planting medicinal herbs and spices to keep them alive. 238 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 232-238 for researchers who wish to continue research, it is better to develop interview and observation guidelines from this study, so that the participants' answers can lead to detailed objectives and obtain factual information in the community. acknowledgment we would like to give the greatest appreciation to d3 of the blitar nursing study program, health polytechnic of the ministry of health of malang who has supported our research in all aspects. we would also like to thank all the respondents who participated in this study for their commitment. funding this study was funded independently by the researchers. conflict of interest the authors declare no conflict of interest in this study. author contributions the main author was responsible for designing and compiling the theoretical framework, data collection, and analysis, and the co-authors were responsible for writing the manuscript, helping with data analysis, and publishing. reference abidin, z., & indriani, n. (2021). herbal jamu to increase body immunity during the covid-19 pandemic. journal of community empowerment learning (jp2m), 2(2), 106. https://doi.org/10.33474/jp2m.v2i2.10549. aditya, dmn (2020). anosmia in covid-19: a neurobiological study. keluwih: journal of health and medicine, 2(1), 50–55. https://doi.org/10.24123/kesdok.v2i1.3098. annisa, df (2016). the concept of anxiety (anxiety) in the elderly (elderly). 5(2). fitri, k., & qismullah, fi (2021). analysis of the behavior of the people of lamgeu-eu village in facing the corona virus pandemic (covid-19) and tips for maintaining the body's immunity. journal of research and community service, 1(1), 24–33. gori, a., leone, f., loffredo, l., cnicola, bl, castro, g. de, spalice, a., & duse, m. (2020). anosmia associated with covid-19: the olfactory pathway hypothesis and early intervention. september, 1–10. ilpaj, sm, & nurwati, n. (2020). analysis of the effect of death rates due to covid-19 on the mental health of people in indonesia. focus: journal of social work, 3(1), 16. https://doi.org/10.24198/focus.v3i1.28123. isnaini, pg, nuriah, n., zulaika, a., siregar, nmrs, azizy, oa, rizky, ra, & meilani, m. (2022). analysis of mental health in improving body immunity to face covid-19 kota kisaran barat, asahan regency, north sumatra. journal of innovative research, 2(1), 1–4. https://doi.org/10.54082/jupin.27. kiay, m., pelealu, ocp, & mengko, sk (2021). anosmia in coronavirus disease 2019 (covid-19). journal of biomedics : jbm, 13(2), 167–174. https://doi.org/10.35790/jbm.13.2.2021.3182 7. liu, k., pan, m., xiao, z., & xu, x. (2020). neurological manifestations of the coronavirus (sars-cov-2) pandemic 20192020. journal of neurology, neurosurgery and psychiatry, 91(6), 669–670. https://doi.org/10.1136/jnnp-2020-323177 ningsih da et al. (2021). effect of lactation massage demonstration on smooth breastfeeding. the 4th conference on innovation and application of science and technology (ciastech 2021), ciastech, 615–620. samuel, i., & riyanto wreksoatmodjo, b. (2021). anosmia in covid-19. mirror of medicine, 48(1), 25–30. http://103.13.36.125/index.php/cdk/article/v iew/1260 sheikh, a., ramalingam, s., norrie, j., ward, e., & graham, c. (2020). hypertonic saline nasal irrigation and gargling for suspected or confirmed covid-19 : pragmatic web-based bayesian adaptive randomized controlled trial (elvis covid-19) v . 4. 1–6. whitcroft, kl, merkonidis, c., cuevas, m., haehner, a., philpott, c., & hummel, t. (2016). intranasal sodium citrate solution improves olfaction in post-viral hyposmia. rhinology, 54(4), 368–373. https://doi.org/10.4193/rhino16.054. 161 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk ludo disaster alert educational game as a disaster preparedness education strategy fidiana kurniawati1, vitaria wahyu astuti2 1,2nursing department, stikes rs. baptis kediri, indonesia article information abstract children are one of the most vulnerable groups at risk of being affected by a disaster because they are triggered by a limited understanding of the risks around them, which results in a lack of preparedness in dealing with disasters. disaster preparedness is needed within the scope of the education unit so that from an early age, the community, especially children. the design of educational media with games is an effective way of educating children learning about disasters. the aim was to analyze the effect of the ludo disaster alert educational game as a disaster preparedness education strategy at setonorejo 1 kras elementary school. the research design used pre-experimental with one group pre-test post-test design method. the population was 20 students of setonorejo 1 kras elementary school who met the inclusion criteria using a total sampling technique. the inclusion criteria were children aged 89 years, children who came to school during data collection and children who were willing to be examined. the data analysis used wilcoxon. before being given the educational game of ludo disaster alert, students were in the almost prepared category (40%), and after the educational game of ludo disaster alert there was an increase in preparedness with 55% of respondents having the very prepared category. there was a significant difference between before and after the educational game ludo disaster alert with a significance value of 0.000 (p <0.05). ludo disaster alert educational game has an effect on student disaster preparedness at setonorejo 1 kras elementary school. history article: received, 04/04/2023 accepted, 24/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: ludo disaster alert game, disaster preparedness, elementary school © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes rs. baptis kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : fidianakurniawati@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p161-168 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:fidianakurniawati@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p161-168 162 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 161-168 introduction indonesia is a country that is often hit by disasters where there are two types of disasters that often hit, namely geological and hydrometeorological disasters. the hydrometeorological flood disaster is the disaster that has caused the greatest loss to the people of indonesia, both material and immaterial losses (anies, 2020). disaster is a phenomenon that occurs because the components of a trigger, threat, and vulnerability work together systematically, causing risk (wantiyah et al., 2015). the disaster management model is known as the disaster management cycle which consists of three phases, namely the pre-disaster phase, the phase when a disaster occurs, and the post-disaster phase. preparedness is a series of pre-disaster activities carried out to anticipate disasters through organizing and through appropriate and efficient steps (undp, 2012). disasters are a serious threat to human life, and effective risk planning often depends on the participation of communities and various groups of people (lin et al., 2013). some education is given to the community to increase the level of community preparedness by providing disaster knowledge to change their behavior. education and training have long been recognized as the most effective way of intervention at the level of individual knowledge and awareness of disasters and age is an important factor in learning. many of these interventions focus on children and youth (nazdik & mohammadi, 2018). indonesia is a country with various types of disasters, which of course often cause fatalities. children are one of the most vulnerable groups affected by natural disasters. children are vulnerable because they are still physically and mentally growing and are still dependent on adults. in the early phases of their life, children learn from those closest to them, such as parents in the family environment and educators in the school environment) so it is important to provide children's knowledge in their development (yanti & mukminin, 2019). data from the ministry of education and culture states that 75% of a total of 355,270 school/madrasah buildings in indonesia are located in areas with moderate to high risk. this risk level can increase because many school/madrasa buildings in indonesia are old, lack of maintenance and not a few have been built without regard to building standards. the education system in indonesia is the fourth largest according to the world bank in 2014, consisting of 50 million students, 4 million teachers and 355,000 schools throughout indonesia. an example of an earthquake that damaged schools as happened in bener meriah, central aceh in 2013 with a magnitude of 6.1 on the richter scale, resulted in 262 schools being damaged. one example of damaged schools, the earthquake in west sumatra (2007 and 2009) damaged 2,800 schools, the earthquake in tasikmalaya (2009) damaged 35 schools, the earthquake in mentawai (2010) damaged 7 schools, and the earthquake in north lombok (2013) damaged 30 schools (anies, 2020) bnpb in 2019 recorded 133 educational facilities including school buildings damaged by the disaster. based on bpbd kediri, kediri regency with risk of experiencing several natural disasters such as floods, landslides, water accidents, volcanic eruptions and tornadoes. on january 18, 2022 at 12.00 wib, the mojosari area, kras district, kediri regency, experienced heavy rain conditions followed by a tornado which caused damage to several residential areas, and trees fell. children are one of the vulnerable groups most at risk of being affected by disasters because they are triggered by factors of limited understanding of the risks around them, which results in no preparedness in dealing with disasters (natsir, 2018). many schoolage children become victims both during school hours and outside school hours. disasters that occur during this productive time not only cause casualties but also damage school buildings. knowledge about disasters and disaster risk reduction is important to be given early on to provide understanding and direction for steps that must be taken when a threat occurs in the vicinity to reduce disaster risk (indriasari, 2017). disaster preparedness is needed within the scope of the education unit so that from an early age, the community, especially children, can recognize and cooperate in efforts to mitigate natural disasters. preparedness is an activity to anticipate disasters through appropriate organization in accordance with ri law no. 24 of 2007. disaster preparedness education can be carried out early through disaster preparedness programs in schools so that children know how to save themselves when a disaster occurs. (rismayanthi, 2019) disaster preparedness education can begin with elementary school-age children because, according to (melissa et al., 2014)), for children aged 7-12 years, the world of children cannot be separated from games. basically, elementary school-age children are in the developmental phase of concrete or real thinking, like to play, always imitate others, habits that arise as a result of the activities they often do. by playing, children not only get pleasure, but children kurniawati, astuti, ludo disaster alert educational game as a disaster preparedness education strategy … 163 also learn something. the design of educational media in the form of games is an effective and efficient way of educating children about learning about self-protection in the face of disasters. this is supported by research results which state that the game method can be considered as a new approach to promoting behavior in disaster risk management in children (moradian & nazdik, 2019).the media needed to play and be interesting for the children's segment is board game media. ludo game is a board game that is played by four players. this game consists of pawns, dice, and a checkered board contained therein. in this study, the ludo game was modified by providing pictures and writing or information regarding natural disaster preparedness. based on the description above, the researcher is interested in conducting research on "educational game of ludo disaster alert as a disaster preparedness education strategy at setonorejo 1 kras elementary school". methods the research design used in this study was the pre-experiment using the one group pre-test post-test design method. the population in this research was 20 students at setonorejo 1 kras elementary school. there were 20 school-age children taken as the sampe by using the total sampling technique. the inclusion criteria in this study were children aged 8-9 years old, children who came to school during data collection and children who were willing to be examined. health education in this study used the ludo disaster alert game media in which there are several boxes of pictures of natural disasters and there were various questions related to disaster. the retrieval of the data used a checklist sheet for each group which was then scored. in the first meeting, respondents were measured for disaster preparedness, then the respondents were given education related to natural disasters in class. in the next meeting, 4 groups were formed to play ludo disaster alert. the flow of the game was according to the steps for playing ludo, the respondent took turns throwing the dice and then walking according to the number of the dice that came out. if it stops at the box with a picture of a natural disaster, the respondent must answer the disaster question. the material and questions about the disaster are adjusted to the source (bnpb, 2018), with an assessment if the respondent is unable to answer then a score of 0 (zero), if the respondent is able to answer then a score of 1 (one). respondents were categorized to be skilled if they had a range of values of 80-100 in the category of very prepared preparedness, 65-79 in the category of prepared, 55-64 in the category of almost prepared, 40-54 in the category of less prepared and 0-39 in the category not prepared. the data analysis used wilcoxon. results table 1: characteristic of respondents at setonorejo 1 kras elementary school in june 2022 (n=20) no characteristic total precentage (%) a. data of respondents 1 gender boy 9 45 girl 11 55 total 20 100 2 age 7 years old 0 0 8 years old 13 65 9 years old 7 35 10 years old 0 0 total 20 100 3 grade grade 1 0 0 grade 2 20 100 grade 3 0 0 grade 4 0 0 grade 5 0 0 grade 6 0 0 total 20 100 164 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 161-168 no characteristic total precentage (%) a. data of respondents 4 disaster knowledge before done 18 90 not yet 2 10 total 20 100 5 disaster information nothing 2 10 book 1 5 teacher at school 2 10 youtube 6 30 social media 6 30 television 3 15 total 20 100 6 kelas grade 1 0 0 grade 2 20 100 grade 3 0 0 grade 4 0 0 grade 5 0 0 grade 6 0 0 total 20 100 table 2: ludo disaster alert educational game as a disaster preparedness education strategy at setonorejo 1 kras elementary school in june 2022 (n=20) no disaster preparedness frequency percentage (%) before after before after 1 not prepared yet 1 0 5 0 2 less prepared 5 0 25 0 3 almost prepared 8 2 40 10 4 prepared 6 7 30 35 5 very prepared 0 11 0 55 total 20 20 100 100 statistic test wilcoxon signed rank test p = 0,000 z = -4,028 table 4: wilcoxon statistic test of ludo disaster alert educational game as a disaster preparedness education strategy at setonorejo 1 kras elementary school in june 2022 disaster preparedness ranks wilcoxon signed rank test n mean rank sum of ranks preparedness before preparedness after negative rank 0a 0 0 positive rank 20b 10,50 210,00 ties 0c 0 0 total 20 test statistics prepareness after – preparedness before z -4,028b asymp. sig. (2-tailed) .000 kurniawati, astuti, ludo disaster alert educational game as a disaster preparedness education strategy … 165 discussions disaster alert before and after ludo game media disaster preparedness at setonorejo 1 kras elementary school in june 2022 based on the results of disaster preparedness research on school students as many as 20 respondents. before providing education with the ludo disaster game, most of the respondents were included in the almost prepared category (40%), while after the disaster ludo game, it was found that more than 50% of the respondents were in the very prepared category (55%). the study of the level of preparedness of the school community used a framework developed by lipi in collaboration with unesco/isdr in 2006. there were five parameters used in assessing the level of preparedness of the community in disaster preparedness, namely knowledge and attitudes about disaster risk, policies and guidelines, emergency response plans, disaster warning system and resource mobilization (lipi-unesco/isdr, 2006) (faqih & ferianto, 2021). the aim of disaster preparedness is to prevent absolute threats such as earthquakes and volcanic eruptions. however, there are many ways or actions that can be taken to reduce the possibility of a threat or reduce the consequences of a threat. the next goal is to reduce community vulnerability. if the community has prepared themselves, it will be easier to carry out rescue actions when a disaster occurs. good preparation will help the community to take appropriate and timely actions. communities that have been hit by a disaster can prepare themselves by carrying out preparedness such as making evacuation plans, rescue and receiving disaster preparedness training. preparedness also functions to reduce the consequences of a threat; people need to have preparations so they can act quickly in the event of a disaster. how to give natural disaster warnings, signs of natural disasters, and how to save yourself needs to be understood as an effort to provide disaster preparedness education. the preparedness of teachers and students is obtained through various training, workshops or lectures as well as the provision of preparedness materials in schools that can be accessed by all components of the school community. it is also urgently needed to prepare and improve the capacity of disaster preparedness groups, including disaster warning groups, first aid groups, evacuation and rescue groups and logistics groups needed by the school community. individuals and households, government, and the school community are the main stakeholders who are spearheading efforts to increase disaster preparedness in the community. the results of this study are in line with the results of (indriasari, 2017) to determine the effect of earthquake disaster preparedness training on the preparedness of elementary school children in dealing with disasters showing that after being given treatment there is an increase in disaster preparedness. before being given disaster preparedness health education with the ludo disaster game, most of the respondents were in the almost prepared category (40%). this is evidenced by the fact that respondents still did not answer correctly regarding policy indicators and guidelines and resource mobilization. respondents revealed that they had only heard of disasters, but had never experienced pleasant disaster management and simulation before. this was also shown by the results of the respondents not all answering that they obtained information from the school, the majority got disaster information from youtube and social media. respondents after the intervention in the form of a disaster alert ludo game showed 55% had preparedness. in principle, respondents were quite capable of answering questions related to their knowledge and attitudes about disaster risk, emergency response plans, and disaster warning systems. questions about natural disaster games include cases of volcanic eruptions, floods, tsunamis, earthquakes, and tornadoes. respondents were able to distinguish between natural disasters and non-natural disasters, signs of natural disasters, causes of natural disasters, contact people and places for disaster emergency response, what were important items that need to be carried during a disaster, characteristics of safe shelters/evacuations. in addition, respondents could explain what media were for a disaster warning system, how to respond to an appropriate disaster. ludo educational game as a strategy for disaster preparedness education at setonorejo 1 kras elementary school for disaster preparedness at setonorejo 1 kras elementary school it was known that 55% of respondents' preparedness had increased to very prepared, 35% of respondents were in the prepared category and 10% were in the almost prepared category. all respondents had positive/increased changes related to disaster preparedness as(indriasari, 2017) indicated by an increase in the disaster preparedness score, with a p value of 0.000 <0.05. children are one of the vulnerable groups most at risk of being affected by disasters because they are 166 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 161-168 triggered by factors of limited understanding of the risks around them, which results in no preparedness in dealing with disasters (indriasari, 2017). preparedness efforts are given through game media because according to melissa et al., (2014), in children aged 7-12 years, the world of children cannot be separated from games. by playing, children not only get pleasure, but children also learn something. the design of educational media in the games is an effective and efficient way of educating children about learning about self-protection in the face of an earthquake disaster. based on the results of research by (catedrilla et al., 2021), preparedness is a powerful weapon for mitigating disaster risk. through game development it becomes important in disseminating information to the public to increase awareness in disasters and increase preparedness during disasters. preparedness efforts to make it easier for children to understand disaster risk reduction require methods and techniques that can make children interested. the technique or method put forward is by playing. games as a medium that enhances children's cognitive development. games allow children to practice the competencies and skills needed in a relaxed and fun way. learning media in the form of games, children can understand disaster mitigation through learning while playing. games can be used to train children's motor development and increase understanding and increase children's responses in disaster risk reduction efforts (heru et al., 2014). according to (melissa et al., 2014), an interesting and necessary media for the children's segment is board game media. boardgames can not only help provide children with information but can also be used as tutorials for children and direct practice regarding actions children can take when a disaster occurs. the purpose of board games is as a game tool that also functions as an effective learning medium. this is because through board games children will not be bored and do not feel they are learning because they feel they are playing. the board game board has a concept using a blend of themes and calculations. board games for children usually put more emphasis on interaction between players and easy rules. board games that are often found are ludo, chess, checkers, checkers, etc. ludo game is a board game that is played by four players. in the ludo game the players have to set a strategy to compete in running the four pawns using the dice value to reach the goal to win the game. ludo is a complex game and has various strategic aspects to play. the special areas on the ludo board are usually colored yellow, green, red and blue. each player gets four pawns according to the color chosen. the ludo board is square in shape with the path following a clockwise direction, in the middle there is a colored column which is the player's "house" column, at the end of the colored column there is a triangular column, that is the finish of this game. ludo is a german board game in the form of cross and circle game, similar to the indian game pachisi, the american game parcheesi and the english game ludo. this traditional game uses a board and can be played by two to four people. each player will compete to be the fastest from the base to the center of the board which is the game's final goal (marhadi, 2019). games can create fun conditions for children, and ludo game techniques can be developed to assist children's mastery of developmental aspects, especially in knowledge and ability development materials (schmitt et al., 2018). the class is divided into four groups, and there are representatives. each player takes turns rolling the dice and proceeds based on the number that appears on the dice. when stopping at a certain number, the player must answer the questions asked about the disaster. players can answer with the help of their groupmates. the game continues until the player reaches the finish line. in this study, respondents were given education with the media game ludo on disaster alert which contained pictures, material or information related to earthquake disasters. the results of this study indicated that all respondents had positive changes/increases in their disaster preparedness which was indicated by an increase in the disaster preparedness score. this shows that children who are in elementary school are also effectively given material about disasters and how to protect themselves in the face of disasters in order to increase preparedness in the event of a disaster while at school or elsewhere. after being given the ludo disaster alert game, there was an increase in preparedness in dealing with disasters with the result that 55% had the very prepared category, and 35% of the respondents had the prepared category. this research shows that the provision of education by giving a game will make it easy for children to accept the material given because usually the provision of education is more often given by lecture and question and answer methods which make children quickly get bored listening to the material provided. the results of this research are also supported by the results of kusumawati, (2018) and rismayanthi, (2019). the results of the analysis with the wilcoxon test obtained ρ-value = 0.000 200 mg/dl. whereas 4 elderly who experienced moderate anxiety with blood sugar levels > 160 mg/dl and 2 elderly experienced mild anxiety with blood sugar levels of 93 mg/dl. based on the description above, the researcher wanted to identify the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in the elderly. the general objective of this study was to determine the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in the elderly. while the specific objectives of this study were to identify the anxiety level of the elderly, identify blood sugar levels in the elderly and analyze the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in the elderly. method this study was a quantitative research using a correlation research design with a cross sectional approach. the population in this study was 111 elderly people at the brontoseno and puntodewo elderly kelurahan gedog sananwetan, blitar city. listianasari, wulandari, anugrah, the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in … 249 the sampling technique in this study was purposive sampling with a sample size of 87 respondents using the slovin formula. data collection was carried out on march 16, 2023 using the geriatric anxiety scale (gas) questionnaire and measuring blood sugar levels. data analysis in this study used univariate and bivariate, statistical tests were carried out using pearson correlation with a degree of significance α>0,05. results univariate analysis. table 1: the distribution of respondents characteristics characteristics amount frequency (f) percentage (%) age 45-59 6 6,9 60-69 54 62,1 70-79 23 26,4 >80 4 4,6 gender male 35 40,2 female 52 59,8 education elementary school 12 13,8 junior high school 13 14,9 senior high school 30 34,5 bachelor 32 36,8 work unemployed 30 34,5 private 6 6,9 entrepreneur 10 11,5 tni/polri 1 1,1 retired employees 40 46 characteristics of respondents in this study is 62.1% (54) of respondents aged 60-69 years, 26,4% (23) of respondents aged 70-79 years, 6,9% (6) of respondents aged 45-59 years and 4,6% (4) of respondents aged >80 years. based on gender 59.8% (52) of female respondents and 40.2% (35) of male respondents. based of educations 36.8% (32) of respondents have a bachelor's degree , 34,5% (30) ) of respondents have a senior high school and based of work 46.0% (40) of respondents are retired civil servants. table 2: the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in the elderly anxiety levels blood sugar levels anxiety levels pearson correlation 1 .858 sig. (2-tailed) .000 n 87 87 blood glucose levels pearson correlation .858 1 sig. (2-tailed) .000 n 87 87 correlation test results p value = 0.000, which means there is a relationship between anxiety levels and blood sugar levels, and the correlation coefficient is 0.858, which means that the degree of closeness is very strong where the higher the level of anxiety, the higher the blood sugar level. discussion anxiety level in the elderly the results of research conducted at the brontoseno and puntodewo elderly posyandu in the gedog village, it was found that the average anxiety experienced by the elderly was 27.91, whereas if grouped based on the classification value of the elderly who experienced anxiety, the majority aged 60-69 years were 54 (62.1%) respondent. according to (kurniawan, 2018), the elderly are very 250 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 247-252 susceptible to emotional disturbances so that as they get older they are more likely to experience anxiety or emotional disorders in their lives. factors that influence anxiety are age, stressor, environment, gender and education. from the results of the data, it was found that 16 respondents experienced a moderate level of anxiety and 6 respondents experienced a moderate level of anxiety, while 18 respondents experienced a moderate level of female anxiety and 9 respondents experienced a severe level of anxiety.. females have a higher level of anxiety than males because women's psychology is more influenced by hormones, these hormones help control the body's reaction to stress, namely corticotropin releasing hormone (crh) which helps stimulate the release of adrenocorticotropic hormone (acth). the acth hormone is found in the adrenal cortex and helps stimulate the release of cortisol which has a role and increases during anxiety disorders which stimulates gluconeogenesis in the liver which results in an increase in blood sugar levels (nafiah, 2020). researchers argue that, someone who is experiencing anxiety every time there is a problem cannot tell his family it will cause a person to experience high stress to cause anxiety. age factor is also very influential on the process of occurrence of anxiety in a person. as someone gets older, their emotional status will increase which is caused by several factors of physiological changes (kurniawan, 2018). anxiety can be expressed through physiological responses, in which the body responds by activating the autonomic nervous system (sympathetic and parasympathetic). the sympathetic nervous system will minimize the body's response, while the parasympathetic nervous system will activate the body's response. anxiety is a subjective feeling regarding mental tension which is disturbing as a general reaction to the inability to overcome a problem or a lack of security (fikriana, 2018). blood sugar levels in the elderly the results of research conducted at the brontoseno and puntodewo elderly posyandu in gedog village showed that the average blood sugar level experienced by elderly respondents was 141.94. blood sugar level is the amount of glucose content in blood plasma. factors that affect blood sugar levels are stress, physical activity, consumption of carbohydrates and consumption of dietary fiber (shoufika, 2018). the increase in blood sugar levels is caused by organ systems that have aged with age, decreased physical activity which causes biological decline, consuming lots of foods that contain high glucose, irregular eating patterns and not accompanied by regular exercise so that the process of carbohydrate metabolism is disrupted and results in a lack of the insulin hormone produced (hutagalung, 2019). in a study conducted by (ekasari & dhanny, 2022), it was found that more of the research subjects experienced severe levels of stress with uncontrolled blood glucose levels. the high level of stress on the subject can be caused because the subject is old. the subject is still burdened with thoughts about children, decreased physical ability and also workload so that it affects the subject's emotions. when a person experiences excessive stressors it will cause anxiety. in theory, anxiety can cause a physiological response, namely the hypothalamus-pituitary will release the hormone acth, where this hormone will stimulate or trigger the adrenal glands to release hormones (epinephrine) and glucocorticoids (cortisol) which will cause an increase in the hormones cortisol and epinephrine in the blood. the increase in these hormones will result in the process of gluconeogenesis and glycogenolysis to increase the energy needed by the body when experiencing anxiety. blood sugar levels are sugars found in the blood that come from carbohydrates in food and can be stored in the form of glycogen in the liver and skeletal muscles (suryati, 2021). the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in the elderly the results of the study found that there was a significant correlation between anxiety levels and blood sugar levels. these results indicate a correlation coefficient with a very strong correlation between anxiety levels and blood sugar levels. this study aimed to see the relationship between anxiety levels and increased blood sugar levels, as has been explained that an increase in the hormones cortisol and epinephrine can cause increased gluconeogenesis and glycogenolysis so that blood sugar levels increase. as we get older, the functions of organs in the body will decrease, but not only decrease in organ function. mental decline also occurs with age which can result in feelings of sadness, changes in sleep patterns, decreased appetite, decreased concentration and fatigue which can cause worry. increasing age also focuses more on one thing in detail and creates listianasari, wulandari, anugrah, the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in … 251 bad impulses and results in bad perceptions as well, this can cause threats and anxiety to someone (nafiah, 2020). from the results of research conducted by (ludiana, 2017), it was explained that anxiety has been shown to be related to blood sugar levels. from the results of his research towards a positive correlation with the strength of the relationship is very strong, meaning that the higher the anxiety score, the blood sugar level will increase. this happens because of worry so that it will cause anxiety which causes activation of the hypothalamus pituitary adrenal (hpa) axis and the sympathetic nervous system (syspathetic-adrenalmedullary axis). hpa-axis activation by stress, anxiety, depression and impaired cognition causes an increase in the release of stimular hormone concentrations, namely corticotropin-releasing hormone, which stimulates the synthesis and secretion of glucocorticoids from the hypothalamus. glucocorticoids themselves function as regulators of glucose synthesis in the adrenal cortex. corticotropin-releasing hormone acts on the anterior pituitary gland, and releases adrenocorticotropin hormone (corticotropin), a hormone that stimulates the adrenal cortex or stimulates the secretion of glucocorticoids which activates the convection of proteins into glucose through the gluconeogenesis pathway in the liver. the results of this study are also in accordance with research conducted by (wijayanto & widya, 2019), in lampung using 81 respondents in the study it was found that there was a relationship between anxiety and blood sugar levels. anxiety stems from the perception of uncontrollable events. sustained anxiety will cause stimulation of the autonomic nervous system which causes involuntary activity in the body including the body's defense mechanisms, and changes in vital signs. according to research (purba, 2019), a significant relationship was found between anxiety levels and increased blood sugar levels. the results of his research were that most of the respondents who experienced moderate anxiety had blood sugar levels > 200 mg/dl. anxiety can affect blood sugar levels and insulin metabolism by increasing cortisol, which has an impact on eating habits, weight gain and diabetes. anxiety is one of the causes of an increase in the hormone cortisol, epinephrine. the physiological responses involved in anxiety disorders can affect the action of the hypothalamus and pituitary which have an impact on endocrine functions such as increasing cortisol levels which have an impact on the excretory function of insulin, and can stimulate gluconeogenesis and inhibition of glucose absorption, thus triggering an increase in blood sugar levels. the hormones epinephrine and norepinephrine also have an important role in increasing blood sugar levels. epinephrine, also known as adrenaline, works as a neurotransmitter. the transfer of signals between neurons and body cells is regulated by noradrenergic neurons and acts as a neurotransmitter in the central and sympathetic nervous systems. elevated norepinephrine levels are associated with anxiety, stress, high blood pressure and hyperactivity. the release of adrenaline and noradrenaline increases heart rate and respiration. this leads to inhibition of insulin excretion thereby causing an increase in blood sugar levels. (nafiah, 2020). according to the researchers, the results of this study indicate that the higher the anxiety level of the elderly, the higher the blood sugar level, conversely, the lower the anxiety level, the lower the blood sugar level. this is because in someone who experiences anxiety it will cause various changes that occur in the body, one of which is the process of gluconeogenesis, namely the breakdown of glucogen into glucose into the blood. conclusion based on the results of the study, the anxiety level showed an average of 27.91 included in moderate anxiety and blood sugar levels showed an average of 141.94 included in normal blood sugar levels. there is a relationship between anxiety levels and blood sugar levels in the elderly at posyandu lansia brontoseno and puntodewo, gedog sananwetan village, blitar city with a p value of 0.000 (p <0.05). suggestion it is hoped that the elderly can control their anxiety by telling their families if there are problems, they face so they don't burden their minds, and also so that the elderly behaves in a healthy life by doing daily physical activities. in addition, the elderly also needs social support, both from their families and their environment. acknowledgement we thank to the head of the sananwetan public health center, the nurse for the elderly program and 252 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 247-252 the cadres of the brontoseno elderly integrated service center who have helped carry out this research. funding the authors received no specific funding for this research. it is funded by the reseachers all by themselves. conflicts of interest the authors declare that they have no conflict of interest. author contributions in this research, the main author is in charge of collecting data assisted by a third author, while the second author is the corresponding author. references adawiyah, s. r., anwar, s., & nurhayati, n. (2022). tingkat kecemasan pada lansia yang dilakukan terapi teknik relaksasi otot progresif dan terapi reminiscence. jurnal kesehatan, 13(1), 150. https://doi.org/10.26630/jk.v13i1.2871. badan pusat statistik. (2022). bps provinsi jawa timur (statistics jawa timur). https://jatim.bps.go.id/indicator/12/379/1/pe rsentase-penduduk-lansia.html. ekasari, e., & dhanny, d. r. (2022). faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah penderita diabetes melitus tipe ii usia 4665 tahun di kabupaten wakatobi. journal of nutrition college, 11(2), 154–162. https://doi.org/10.14710/jnc.v11i2.32881. fikriana, r. (2018). the relationship between anxiety and hypertension in the elderly. 2(1), 368–371. https://doi.org/10.5220/0007514303680371. husna, f., & ariningtyas, n. (2019). tingkat kecemasan lansia berdasarkan depression anxiety stress scale 42 (dass 42) di posyandu lansia mekar raharja dusun lemah dadi bangunjiwo, kasihan bantul. jurnal kesehatan samodra ilmu, 10(1), 36– 44. hutagalung, s. s. (2019). gambaran kadar gula darah pada lansia di puskesmas teluk nibung kota tanjungbalai. jeharu, a. f., hepilita, y., & fredi daar, g. (2021). literatur review : hubungan kecemasan dengan kadar gula darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. 48 jwk, 6(1), 2548–4702. jiwintarum, y., fauzi, i., diarti, m. w., & santika, i. n. (2019). penurunan kadar gula darah antara yang melakukan senam jantung sehat dan jalan kaki. jurnal kesehatan prima, 13(1), 1. https://doi.org/10.32807/jkp.v13i1.192. kemendagri. (2022). ini wilayah dengan penduduk lansia terbanyak pada 2021. 6–9. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/ 2022/05/30/ini-wilayah-dengan-penduduklansia-terbanyak-pada-2021. kurniawan, i. (2018). hubungan kecemasan dengan kejadian hipertensi pada lansia. https://repo.stikesicmejbg.ac.id/1487/1/143210102 indra kurniawan skripsi.pdf. kusnandar, v. b. (2022). ada 30 juta penduduk lansia di indonesia pada 2021. databoks, 2045. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/ 2022/05/30/ada-30-juta-penduduk-lansiadi-indonesia-pada-2021. ludiana, l. (2017). hubungan kecemasan dengan kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus di wilayah kerja puskesmas sumbersari bantul kec. metro selatan kota metro. jurnal wacana kesehatan, 2(1), 5. https://doi.org/10.52822/jwk.v2i1.39. nafiah, r. w. (2020). hubungan antara gangguan ansietas terhadap peningkatan kdg sewaktu pada pasien gangguan ansietas yang berobat jalan di rsu madani medan. purba, m. m. (2019). hubungan tingkat kecemasan dengan peningkatan kadar gula darah klien diabetes melitus. iv. ratnawati, e. (2017). asuhan keperawtan gerontik (edisi 1). shoufika, f. (2018). hubungan faktor perilaku pengendalian diabetes melitus tipe 2 dengan kadar gula darah lansia di posbindu wilayah kerja puskesmas patihan [stikes bhakti husada mulia madiun]. in spectrochimica acta part a: molecular and biomolecular spectroscopy. http://ec.europa.eu/energy/res/legislation/do c/biofuels/2006_05_05_consultation_en.pdf %0ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.saa.2017.10 .076%0ahttps://doi.org/10.1016/j.biortech. 2018.07.087%0ahttps://doi.org/10.1016/j.f uel.2017.11.042%0ahttps://doi.org/10.1016 /j. listianasari, wulandari, anugrah, the relationship between anxiety levels and blood sugar levels in … 253 suryati, i. (2021). buku keperawatan latihan efektif untuk pasien diabetes mellitus berbasis ha... google books. deepublish. https://www.google.co.id/books/edition/bu ku_keperawatan_latihan_efektif_untuk_p /5bu3eaaaqbaj?hl=id&gbpv=1&dq=bu ku+keperawatan+latihan+efektif+untuk+pa sien+diabetes+mellitus+berbasis+hasil+pen elitian&pg=pr5&printsec=frontcover. wardani, e. m., nugroho, r. f., & setiyowati, e. (2022). pemeriksaan dan perawatan kaki dengan spa kaki diabetik bagi penderita diabetes mellitus di kabupaten bondowoso. indonesia berdaya, 3(3), 393– 402. https://doi.org/10.47679/ib.2022234. wijayanto, t., & widya, w. (2019). hubungan kecemasan dengan kadar gula darah pada pasien diabetes melitus. jurnal kesehatan panca bhakti lampung, 7(2), 78. https://doi.org/10.47218/jkpbl.v7i2.70. 195 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk determinants of notification factors for spouses of people with hiv-aids (plwha) arif wicaksono1, arief andriyanto2 1,2faculty of health sciences, bina sehat university of ppni mojokerto, indonesia article information abstract a person with reactive hiv status does not always feel the need to inform their partner about their status, therefore the government is seeking a program to open their hiv status through partner notification. the application of partner notifications in reality still did not meet the expectations. the aim was to analyze the determinants of notification of spouses of people with hiv-aids (plwha) in care, support, and treatment services in mojokerto city. the research design was analytic with a crosssectional approach. a sample of 92 plwha was taken based on purposive sampling. the research instrument used the partner notification checklist from the ministry of health of the republic of indonesia. test data analysis using multiple linear regression: anova. the results of the research showed that factors related to the notification of plhiv partners include; age (0.02), education (0.02), and occupation (0.01) significantly (<0.05). it was found that the application of partner notification was poorly practiced. some of the patient’s reasons were unwilling to provide information about their partner, feel embarrased, did not want the partner to know about their hiv-aids status. history article: received, 02/07/2023 accepted, 28/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: hiv-aids, partner notification, plwha © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: bina sehat university of ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : arief030691@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p196-201 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:arief030691@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p196-201 196 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 196-201 introduction human immunodeficiency virus (hiv) and acquired immunodeficiency syndrome (aids) are global health problems in both developed and developing countries because they are highly contagious (farhana, n.d. & ariyanti, 2019). partners of patients with hiv are the people most vulnerable to infection. there are still many people who do not know about their partner's hiv status (guerra-ordoñez et al., 2017). a person with reactive hiv status does not always feel obliged to inform their partner about their status, therefore the government is seeking a program to open their hiv status through partner notification (mahathir et al., 2020). this program has not been able to run properly because people living with hiv-aids (plwha) do not have the courage or do not know how to do it properly and correctly (kemenkes ri, 2020b). the phenomenon that occurs in mojokerto city is the low number of hiv and aids patients who are willing to do partner notification even though it has been offered by hiv and aids service workers. the number of hiv cases reported from 2005 to 2019 has increased every years (riskesdas, 2018). the cumulative number of hiv cases reported up to march 2021 was 6762 people. the highest percentage of plhiv found in the period january march 2021 was in the age group 25-49 years (71.3%), followed by the age group 20-24 years (16.3%), and the age group ≥ 50 years (7.9%). data based on gender shows the percentage of plwha found in males is 69% and in females is 31% with a ratio of males and females. the percentage of plhha found in the period january march 2021 based on risk factors for homosexuality is 27.2%; heterosexual 13.0%; and the use of alternating syringes 0.5%. the percentage of risk factors is not known to be large (50.4%). the percentage of people living with hiv found reported in the fsw population group was 2.4%; msm 26.3%; transgender 0.9%; injecting drug users 0.5%; wbp 0.7%; pregnant women 20.9%; tb patients 11.5%; and sti patients 0.8% (direktur jenderal p2p, 2021). data at the pdp clinic on 23 may 2022 found that the number of hiv and aids patients in mojokerto city was 367 people. the number of index patients who were offered partner notifications this month was 39 people, the number of index patients who were offered couple notifications this month and received partner notification offers were 19 people, the number of index tests given by index patients to be referred for hiv testing this month were 26 people, the number of index tests referred for hiv testing this month and 8 people carrying out hiv tests, the number of index tests referred for hiv testing this month and carrying out hiv tests with positive test results were 5 people, the number of index tests were already plhiv when referred for 3 people tested for hiv this month, the number of index tests who failed to contact or refused to take an hiv test when referred for hiv testing this month was 3 people, the number of index tests just started arv treatment this month was 5 people. factors that influence the application of partner notifications in preventing the transmission of hiv and aids to plwha partners include the relationship between patients and their partners, communication and patient-staff relations, staff skills, policies, notifications to casual couples – difficult to identify, some groups from key populations may be do not want to reveal to their partner (kemenkes ri, 2018). partner notification is done voluntarily where health workers ask patients to disclose their hiv and aids status to sexual partners or partners who inject drug users in the hope that patients can bring their partners to also be tested for hiv and provide access to treatment if the test results are positive (unika, 2016). the impact of the application of partner notifications carried out by health workers is that the information provided is correct, accurate, inexpensive, more acceptable for certain groups of patients, but creates a risk of damage to the relationship between patients and their partners, risks of getting violence, difficult for partners to accept (mahathir et al., 2020). partner notifications are carried out through the referral method with a contract, so it is likely that the officer will notify the patient's partner, but the delay in notification carries the risk of losing the opportunity. partner notifications also allow violence to occur due to disclosure of their hiv status (kemenkes ri, 2020b). previous research has shown that partner notification can increase the uptake of hiv testing (dalal et al., 2017). assisted partner notification improved partner testing and diagnosis of hivpositive partners, with few reports of harm. who strongly recommends voluntary assisted hiv partner notification services to be offered as part of a comprehensive package of testing and care (laar et al., 2018). efforts that can be made to improve the application of notifications for plwha partners are to apply the principle of confidentiality in running the program, and the results of the examination may only be disclosed to the person concerned, the family if the person concerned is incompetent, the health worker wicaksono, andriyanto, determinants of notification factors for spouses of people with hiv-aids … 197 who handles it, sexual partners and other parties in the legislation (fradianto et al., 2023). spouse notifications can also be made using whatsapp media so there is no need to meet face to face with health workers (kemenkes ri, 2020a). the aim is to analyze the determinants of notification of spouses of people with hiv-aids (plwha) in care, support, and treatment services in mojokerto city. methods the type of the research was analytic, with a cross-sectional approach. the independent variables in this research were partner notification factors (age, gender, education, occupation, type of referral, length of time diagnosed), and the dependent variable was plwha partner notification. a sample of 92 plwha was taken by purposive sampling. the instrument used a checklist to measure the application of partner notifications from the assessment of the ministry of health of the republic of indonesia. the researcher collected the data in the following steps: 1) selected research subjects according to the inclusion criteria, 2) provided research information as clearly as possible to research subjects, 3) asked for respondents' consent to become research subjects, 4) filled out questionnaires to all respondents, 5) analyzing data from the results of distributing questionnaires. bivariate analysis used pearson, and multivariate analysis with multiple linear regression tests to correlate simultaneously several dependent variables with independent variables by following a number of modeling assumptions. to find out the assumption of linearity, it can be seen from the anova test (overall f test) if the results are significant (p value <0.05) then the model is linear. results based on table 1, the majority of respondents' characteristics were age 26-35 years, male gender, junior and senior high school education, private employment, multiple referral types, old diagnosed 3.84 years. table 1: the characteristics of respondents (n = 92) characteristics of respondents respondents (n = 92) p-value f % age < 17 years 17-25 years 26-35 years 36-45 years 46-55 years > 55 years 3 15 30 29 9 6 3,3 16,3 32,6 31,5 9,8 6,5 0,02* gender man women 0,13 education elementary intermediate high (college) 51 27 14 55,4 29,3 15,2 0,02* work doesn't work private self-employed asn student odd 14 32 22 5 5 14 15,2 34,8 23,9 5,4 5,4 15,2 0,01* referral type there isn't any patient referrals officer referrals contract reference double reference 4 30 22 4 32 4,3 32,6 23,9 4,3 34,8 0,39 old diagnosed mean + sd 3,84 + 3,490 0,31 source: primary data 198 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 196-201 table 2: plwha spouse notifications plwha spouse notifications respondents (n = 92) f % very good good enough bad very bad 11 2 19 38 22 12,0 2,2 20,7 41,3 23,9 source: primary data discussion the results showed that almost half of the patients implemented bad partner notifications. the results in cameroon on partner notifications show that overall, 18,730 index couples who agreed to receive partner notifications identified 21,057 contact pairs as having been notified and tested. of these contact pairs, 12,867 (61%) knew they were exposed to hiv, 9,202 (44%) of all contact pairs and who were notified (dalal et al., 2017). partner notifications carried out by patients are considered good because patients have implemented partner notifications to prevent wider transmission of hiv and also help their partners to get hiv care, support and treatment services (molton et al., 2016). although there are still many found that the implementation of partner notification is very bad, this is because patients are not willing to provide information about their partners so they cannot get referrals to conduct hiv tests for their partners (laar et al., 2018). this can be caused by the patient's feeling of shame or the desire of the partner who does not want people to know that he has hiv-aids (grodensky et al., 2015). based on training indicators and the implementation of partner notifications to officers, that some health workers have received training and implemented partner notifications. the strategic steps that have been determined to increase the number of hiv and aids case detection include setting fast track targets for each province/district/city; strengthening existing health human resources through various training and workshops (kemenkes ri, 2020c). respondents have received training and implemented partner notifications properly. in this indicator, patients are taught about partner notification in accordance with the couple notification technical instructions, patients are given partner notification technical instructions, and patients understand the partner notification referral method, however, there are still some patients who are willing to give consent and name the spouse/child and have networking/relationship with the community to strengthen partner notifications (andriyanto et al., 2022; mahathir et al., 2020). based on the index case pair notification indicator in pdp, an average score of 1.7 was obtained, which means that the majority of respondents did not properly apply the index case pair notification in pdp. targets who are entitled to offer community-based couple notifications are index case partners (odhiv) who are at least 18 years old, either those who just know their hiv status or have known their hiv status for a long time, even though the index case is already undergoing arv treatment or not (gunawan et al., 2019). notification of index case pairs has been implemented properly. patients have been offered partner notifications when new patients enter the pdp service for the first time, but this tends to be done for new patients so that old patients feel that only a portion is offered for partner notifications (mahathir et al., 2020). the patient has received an explanation about the method of notification of the partner chosen by the patient and its confidentiality and is willing to report the name of the partner then the patient gets protection from the officer for violence from the partner whose name is mentioned. based on the partner tracking and testing indicators, an average indicator score of 1.7 was obtained, which means that most respondents did not carry out partner tracking and hiv testing properly. the main activity of the couples notification and counseling service is contact tracing. contact tracing of partners can be done by calling sexual partners (wives, husbands or girlfriends) who suffer from hiv to the clinic, tracing friends or groups sharing drug needles who suffer from hiv, who are in the same environment as the sufferer. they were given group counseling regarding their hiv exposure and the possibility of them being infected with hiv (kemenkes ri, 2020b). partner tracking and partner testing have also been carried out well. patients understand and follow the procedures for the referral method. patients are understood and followed, although some still understand and follow the wicaksono, andriyanto, determinants of notification factors for spouses of people with hiv-aids … 199 procedures for the contract referral method (dalal et al., 2017). the patient already understands and follows the procedure for the health worker's referral method, understands and follows the procedure for the multiple referral method, understands and follows the procedure for the community referral method, but only a portion of the spouses/children who are detected hiv positive will enter pdp services including referrals out of service. all respondents have received prevention packages and routine hiv tests depending on the risks identified. nearly half of patients aged 26-35 years. spouse notification is offered to all plwha aged over 18 years or for medical indications who have just been diagnosed with hiv, whether or not they have entered treatment, all plhiv aged more than 18 years or for medical indications, both those who have just entered treatment or are continuing patients who fulfill one of the following criteria: one of the following conditions: vl status is not yet suppressed or unknown (kemenkes ri, 2020c). in accordance with this theory, only a small proportion of patients are aged <17 years, but there are some patients aged <17 years who are offered to perform partner notifications so that they can be detected early. most of the patients have secondary education (sma). education affects the learning process, the higher a person's education, the easier it is for that person to receive information. with higher education, a person will tend to get information, both from other people and from the mass media. the more information that comes in, the more knowledge is gained about health. knowledge is very closely related to education where it is hoped that higher education will also broaden knowledge. however, it should be emphasized that someone with low education does not necessarily mean that they have low knowledge. increased knowledge is not absolutely obtained in formal education, but can also be obtained in non-formal education (chewe & khunou, 2023). respondent education is related to the respondent's ability to receive counseling, because pdp services are tasked with providing counseling for patients, so that highly educated patients will find it easier to understand the importance of patient notifications to prevent transmission of hiv and aids. nearly half of the patients work privately. companies with high employee mobility which results in them being away from their families and tend to engage in high-risk sexual behavior. finally, the implementation of the vct at work program in companies so that it is easier for companies to find out the condition of their employees compared to other workers who are not part of a large organization (pramitasari & aryani, 2018). private workers are at high risk of contracting hiv aids because of their high mobility, so it is important to implement partner notifications to reveal the identity of sexual partners who are at risk of spreading hiv and aids transmission (kemenkes ri, 2020b). partner notifications are not only recommendations from one party, the patient or a health worker, this is because referrals from patients and health workers are jointly needed to make hiv patients aware. conclusion the results of the research showed that factors related to the notification of plhiv partners include; age, education, and occupation. it was found that the application of partner notification was poorly practiced. some of the patient’s reasons were unwilling to provide information about their partner, feel embarrased, did not want the partner to know about their hiv-aids status. suggestion families are expected to provide support in being able to carry out proper care for plwha, such as delivering medication, reminding them to always maintain sexual behavior by using condoms, accompanying patients when counseling pdp service workers and encouraging patients to notify partners. future researchers are expected to conduct further research with other variables that can be related to partner notifications or interventions that can make plwha aware of implementing partner notifications. acknowledgement thank you to the chancellor of bina sehat university of ppni mojokerto who has provided an internal research grant for the 2022-2023 funding years. funding this research was an internal grant from bina sehat ppni university, mojokerto conflicts of interest there is no conflict of interest during the process until the publication of this research. 200 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 196-201 author contributions arif wicaksono (aw): research proposals, research instruments, data analysis, literature review/analysis; references. arief andriyanto (aa): research ideas, research proposals, research instruments, data analysis, research results, literature review/analysis; manuscript writing; references refferences andriyanto, a., rofi’ah, i., bahtiar, b., wicaksono, a., zakiyah, a., yulianti, i., & merbawani, r. (2022). the effectiveness of social support management of diabetes on glucose control of type 2 diabetes mellitus patients: quasi-experiments. open access macedonian journal of medical sciences, 10(g), 223–227. https://doi.org/10.3889/oamjms.2022.8598 chewe, v. m., & khunou, s. h. (2023). midwives’ views regarding tuberculosis screening amongst hiv/aids positive pregnant women, south africa. journal of ners and midwifery, 10(1), 1–9. https://doi.org/https://doi.org/10.26699/jnk. v10i1.art.p001-009 dalal, s., johnson, c., fonner, v., kennedy, c. e., siegfried, n., figueroa, c., & baggaley, r. (2017). improving hiv test uptake and case finding with assisted partner notification services. aids, 31(13), 1867–1876. https://doi.org/10.1097/qad.00000000000 01555 direktur jenderal p2p. (2021). laporan perkembangan hiv aids & penyakit lnfeksi menular seksual (pims) triwulan i tahun 2021. kementerian kesehatan ri, 4247608(021), 613–614. farhana, n.d. & ariyanti, f. (2019). “studi fenomenologi perilaku pencegahan penularan hiv oleh pasangan serodiskordan di kabupaten pamekasan.” journal of religion and public health, 1(1), 13–19. fradianto, i., andriyanto, a., yuniarti, e. v., & prameswari, v. e. (2023). differences in glucose control of diabetic patients with family care support interventions. malaysian journal of nursing, 14(03), 110– 115. https://doi.org/10.31674/mjn.2023.v14i03.0 13 grodensky, c. a., golin, c. e., mamo, m., dennis, a. c., abernethy, m. g., & patterson, k. b. (2015). ‘“ i should know better ”’: the roles of relationships , spirituality , disclosure , stigma , and shame for older women living with hiv seeking support in the south. journal of the association of nurses in aids care, 26(1), 12–23. https://doi.org/10.1016/j.jana.2014.01.005 guerra-ordoñez, j. a., benavides-torres, r. a., onofre-rodríguez, d. j., márquez-vega, m. a., guerra-rodríguez, g. m., & wall, k. m. (2017). self-efficacy and coping as correlates of migrant safe sexual behavior to prevent hiv. journal of the association of nurses in aids care, 28(5), 761–769. https://doi.org/10.1016/j.jana.2017.05.008 gunawan, j., aungsuroch, y., & fisher, m. l. (2019). competence-based human resource management in nursing: a literature review. nursing forum, 54(1), 91–101. https://doi.org/10.1111/nuf.12302 kemenkes ri. (2018). modul inti hiv aids. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. kemenkes ri. (2020a). kurikulum pelatihan bagi pelatih (tot) layanan tes hiv. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. kemenkes ri. (2020b). modul inti-4 notifikasi pasangan (pp. 1–10). jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. kemenkes ri. (2020c). notifikasi pasangan dan anak. jakarta: kementerian kesehatan republik indonesia. laar, a. k., debruin, d. a., & craddock, s. (2018). partner notification in the context of hiv: an interest-analysis. aids research and therapy, 12(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12981-015-0057-8 mahathir, m., wiarsih, w., & permatasari, h. (2020). how do people living with hiv acquire hiv related information: a qualitative evaluation of jakarta setting. jurnal ners, 15(2), 126–134. https://doi.org/10.20473/jn.v15i2.19432 molton, j. s., pang, y., wang, z., qiu, b., wu, p., rahman-shepherd, a., ooi, w. t., & paton, n. i. (2016). prospective single-arm interventional pilot study to assess a smartphone-based system for measuring and supporting adherence to medication. bmj open, 6(12). https://doi.org/10.1136/bmjopen-2016014194. pramitasari, r., & aryani, l. (2018). prevalensi kasus aids pada pekerja di kota semarang wicaksono, andriyanto, determinants of notification factors for spouses of people with hiv-aids … 201 analisis data sekunder. j. kesehat. masy. indones, 13(1), 13–17. riskesdas. (2018). riset kesehatan dasar tahun 2018 kementerian kesehatan [basic health research 2018 ministry of health]. https://www.kemkes.go.id/resources/downl oad/info-terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf. unika, p. p. h. a. u. a. (2016). laporan kajian lapangan faktor risiko dan perlindungan penularan hiv pada pasangan tetap heteroseksual di indonesia. 101, 1–16. 210 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk comorbidity and fatality among covid patients: a hospital basedretrospective cohort study yeni kartika sari1, thatit nurmawati2, joko ivnu santoso3 1,2nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia 3nursing practitioner, rsud ngudi waluyo wlingi, indonesia article information abstract people with comorbid diseases have a high risk of contracting covid-19, because the immune system has decreased, thus increasing the risk of transmission of covid19 and even potentially increasing the risk of fatality. this study aimed to determine the comorbidity and mortality among covid-19 confirmed cases during may to september, 2021. the study was a retrospective cohort with secondary data from the covid-19 with in hospital report from may to september, 2021, with a total sample of 178. we extracted demographic and clinical data, including hospital outcomes (discharge or death). the result of the research showed that the respondents separated in to two groups, half of them are patients with comorbidity (89 patients) and the rest are patients non comorbidity. from 89 patients with comorbidity, 62 % were died and 38 % were discharged. the most comorbidites were 67,4% diabetes mellitus, 33% hypertension. the fatality rate of covid-19 patients was 34% devided to 61,8% were comorbidity patients and 5,5% were non comorbidity. the comorbidity related to fatality rate of covid-19 patient’s (p=0.000). it is important for society to avoid and control comorbid factors of covid-19. history article: received, 06/07/2023 accepted, 09/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: covid-19, comorbidity, fatality © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : kartikasariyeni84@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p210-216 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:kartikasariyeni84@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p210-216 sari, nurmawati, santoso, comorbidity and fatality among covid patients: a hospital based … 211 introduction who declared coronavirus disease (covid19) a pandemic in march 2020. the increase in the number of covid-19 cases occurred quickly and spread between countries. indonesia is one of country in southeast asia that has contracted covid-19. whitch announced cases of covid-19 on march 2, 2020, where 2 indonesians were confirmed to covid-19 (kemenkes, 2020). covid-19 is an infectious disease caused by severe acute respiratory syndrome coronavirus-2 (sars-cov-2). this virus can infect anyone and cause symptoms of varying degrees of severity. the elderly and people with comorbid diseases have a higher risk of contracting covid-19. because the immune system in the elderly and people with comorbid diseases has decreased, thus increasing the risk of transmission of covid-19 and even potentially increasing the risk of death (kemenkes, 2020). comorbids that often accompany covid-19 patients are immunocompromised, heart disease, liver disease, diabetes, asthma, hypertension, chronic obstructive pulmonary disease (copd), tuberculosis (tb), human immunodeficiency virus (hiv), kidney disease, post-stroke, cancer, and other chronic diseases (kemenkes, 2020). research in china shows the mortality rate for patients with confirmed covid-19 who have comorbidities, namely hypertension 9.5%, diabetes 7.4%, chronic obstructive pulmonary disease (copd) 7%, cardiovascular disease 7.3%, liver disease 2.4%, obesity 13%, kidney disease 0.7%, and malignancy 2%. other data from italy shows the death rate of covid-19 infection with hypertension 73.8%, diabetes 35.5%, copd 13.7%, cardiovascular disease 42.5%, liver disease 3.7%, obesity 8.5%, kidney disease 20.2%, and malignancy 5%, (ejaz et al., 2020). diabetes is one of the main causes of morbidity and mortality worldwide (hussain et al., 2020). patients with diabetes mellitus tend to be susceptible to infection because of the impaired ability of phagocytic cells. diabetic patients experience increased ace-2 receptors so they can increase the risk or exacerbate covid-19 infection (karya et al., 2021a). sars-cov-2 uses ace-2 as a receptor to enter cells. ace-2 is expressed not only in type i and ii alveolar epithelial cells in the lung and upper respiratory tract, but also in several other locations such as the heart, endothelium, renal tubular epithelium, intestinal epithelium, and pancreas. the s-glycoprotein on the surface of sars-cov-2 binds to ace-2 and causes formation changes. this allows proteolysis by host cell proteases (tmprss2 and furin) resulting in virion internalization (singh et al., 2020). furin is a type 1 membrane-bound protease which has high expression in diabetic patients. entry of the virus into the cell triggers an inflammatory response by recruiting helper t cells that produce interferon-g. disorganized immune response with increased ace-2 receptors and furin expression leads to higher levels of pulmonary inflammation and can lower insulin levels. this causes recruitment of other inflammatory cells leading to a cytokine storm that can lead to organ damage and multi-organ failure (singh et al., 2020). viral load, dysregulated immune response, cytokine storm, alveolar dysfunction, endothelial dysfunction and coagulopathy are specific factors responsible for the increased risk and severity of sars cov-2 infection in diabetes (erener, 2020). individuals with hypertension have a high number of ace-2 receptors, which makes it easier for the corona virus to spread in the body (drew and adisasmita, 2020). ace-2 was identified as a target receptor for sars-cov-2. ace-2 is a multifunctional protein that is a specific functional receptor for sars-cov-2 and is the start of covid19 infection (rahayu et al., 2021). its main physiological role includes the enzymatic conversion of angiotensin (ang) ii to ang-(1-7) and ang 1 to ang (1-9), which is a cardiovascular protective peptide (nabila, 2021). the vascular system, electrolyte balance and blood pressure are regulated by ace-2 (wulandari et al., 2021). ace-2 binds to the s-protein of sars cov-2 so that the virus can enter cells and replicate. ace-2 receptors are abundant in the cardiovascular system, nasopharynx, and lungs. in cases of comorbid hypertension there is increased expression of ace-2 receptors making them more susceptible to covid-19 infection, especially treatment with angiotensin ii receptor blockers (arbs) and angiotensin-converting enzyme inhibitors (acei) (shi et al., 2020). the binding of sars-cov-2 to ace-2 results in reduced expression of ace-2 on the cell surface, thus blocking the ability of cells to degrade angiotensin ii to become angiotensin. disruption of angiotensin production causes the vasodilator effect to not be maximized so that it disrupts blood pressure homeostasis, causes vasoconstriction of blood 212 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 210-216 vessels which will worsen the condition of covid19 patients with comorbid hypertension (alfad et al., 2020). patients with comorbid hypertension will experience dysregulation of the body's immune system, namely high lymphocyte count, cd8+ t dysfunction so that the body's response to viral infection is ineffective. this situation will increase the production of cytokines causing storms, microcirculatory ischemia which eventually results in organ failure (kamyshnyi et al., 2020). methods the study was a retrospective cohort using secondary data from the covid-19’s in hospital report from may to september, 2021. the population in this study was 178 covid-19 patients, both accompanied by comorbidities and not. meanwhile, the sample in this study was all 178 the entire population. the instrument used in this study was an assessment sheet to summarize data taken from patient’s medical records. the data was collected by taking the necessary data from the patient's medical record were age, gender, obesity, family history, and fatality records of covid-19 patients. we extracted demographic and clinical data, including hospital outcomes (discharge or death). results table 1: the characteristic of respondents. died discharged f % f % comorbidity 55 61,8 34 38,2 non comorbidity 5 5,6 84 94,4 total 60 33,7 118 66,3 p value .000 comorbidity non comorbidity f % f % d dimer normal 20 22.5 42 47.2 abnormal 69 77.5 47 52.8 weight obese 5 5.6 1 1.2 non obese 84 94.4 88 98.8 gender male 43 48.3 48 53.9 female 46 51.7 41 46.1 age 16-25 5 5.6 26-35 1 1.1 13 14.6 36-45 6 6.7 15 16.9 46-55 28 31.5 23 25.8 56-65 29 32.6 20 22.5 >65 25 28.1 13 14.6 the result showed that from 89 patients with comorbidity, 62 % were died and 38 % were discharged. the most comorbidites were 67,4% diabetes mellitus, 33% hypertension. the comorbidity related to fatality rate of covid-19 patient’s (p=0.000). 62% of patients with comorbidities died. the high fatality rate in this study was related to age, body weight, and d-dimer (p=0,000). 38% respondents in this study had a younger age and normal d-dimer levels. discussion the results showed that from the 89 covid-19 patients with comorbidities, 61,8% were died and 38,2% discharged. the commorbidities seperated in to two groups are 67% were diabetic, and 33% were hypertension. diabetes occupies the most common comorbid found in covid-19 patients ini madura and the second position as the most common comorbidity in covid-19 patients in indonesia, (karyono and wicaksana, 2020). even the non sari, nurmawati, santoso, comorbidity and fatality among covid patients: a hospital based … 213 comorbidity patient from this research, 5,6% of them was died, and the rest are discharged (94,4%). it was found that the age of covid-19 patients with the most comorbidities was in the 56-65 year age group of 32.6% (29 respondents). age more than 45 years is one of the risks of developing diabetes, (perkeni, 2021). as age increases, glucose intolerance will increase (masruroh, 2018). so risk of developing type ii diabetes mellitus will increase from the age of 45 and over. as people get older, they will experience progressive shrinkage of pancreatic β cells. when the hormone is so little to produced its causes glucose levels to rise. the world health organization also states that after a person reaches the age of 40, blood glucose levels rise 1-2 mg% per year during fasting and will increase by around 5.6 13 mg% 2 hours after eating. it can be concluded that age is the main factor in the increase in the prevalence of type ii diabetes and impaired glucose tolerance (fanani, 2020). age is a factor that cannot be avoided or modified. a person aged 40 years begins to experience physiological and metabolic decline, including a decrease in the body's metabolic processes in the pancreas organ, which triggers insulin resistance which can affect blood glucose levels. the research showed that covid-19 patients with comorbidities (94.4% /84 respondents) were not obese. in diabetics there is a problem in the working effect of insulin in the metabolism of sugar into imperfect cells so that blood sugar remains high. this situation can be toxic and cause a feeling of weakness and unwell as well as cause complications and other metabolic disorders. if the body is unable to get enough energy from sugar, the body will process other substances to be converted into energy such as fat. the use or destruction of fat and protein causes weight loss (rias, 2017). the mortality of covid19 patients with comorbidities was 61.8% (55 respondents). comorbid is a condition where the patient already has a pre-existing disease, is chronic in nature and will aggravate the course of the covid-19 disease. immune factors in comorbid patients diseases have decreased. this condition could increases the risk of transmission of covid19 and has the potential to experience clinical deterioration, thereby increasing the risk of death (kemenkes, 2020). covid-19 patients with comorbidities have a higher death rate compared to patients without comorbidities (ejaz et al., 2020). comorbid diabetes and heart disease in covid-19 patients can be a risk factor for death in this study because p < 0.05. diabetic patients have a 2 times greater risk of developing a more severe or critical illness that requires treatment in an intensive care unit. on hospitalization, patients with diabetes are three times at risk of dying from covid-19 (longato et al., 2020; wang, 2020). the 33% of comorbidities are hypertention patients and 77,5% are having d-dimer abnormality. hypertension increases the risk 2.2 and even 3,17 times for covid-19 death (lippi et al., 2020); (shi et al., 2020). d-dimer is a product of fibrin degradation that occurs due to the conversion of fibrinogen to fibrin mediated by thrombin, fibrin reticulation mediated by factor xiii and fibrin degradation by plasmin. d-dimer levels depend on the process of coagulation and activation of fibrinolysis. d-dimer levels have a high sensitivity for thromboembolic disease, but have a low specificity because d-dimer is also found to be elevated in other conditions such as sepsis and ards. changes in coagulation in the form of increased d-dimer levels were found in patients with covid 19 infection (long et al., 2020). patients with diabetes and hypertension comorbidities are vulnerable to sars-cov-2 infection due to decreased immune factors in co-morbid patients, which has the potential to experience clinical deterioration and increase the risk of death. in addition, in patients infected with covid-19 there is hypercoagulability characterized by increased ddimer levels and is often found in covid-19 patients who experience clinical deterioration. hypercoagulable occurs in covid-19 patients with severe symptoms due to a hyperinflammatory response (bastug et al., 2020). increased d-dimer in covid-19 patients is associated with abnormal immune mechanisms, increased disease severity and increased mortality. d-dimer measurement can be performed as an early marker of disease worsening and an increased risk of death (li et al., 2020). the d-dimer in patients who died from covid-19 was up to 9 times higher than in patients who recovered (zhou et al., 2020) data were analyzed using chi square with a p value of .000 (<0.005), means that there is a relationship between comorbidities and the death of covid-19 patients. this data is supported by research which shows that 88% of deaths in sarscov-2 positive patients are caused by a history of comorbidities. patients with diabetes mellitus tend to 214 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 210-216 be susceptible to infection because of the impaired ability of phagocytic cells. diabetes mellitus patients experience an increase in ace-2 receptors so that this situation can exacerbate covid-19 infection. covid-19 patients with comorbid diabetes in conditions of uncontrolled hyperglycemia have a higher risk of death because chronic hyperglycemia causes impaired immune response due to decreased mobilization of polymorphonuclear leukocytes, chemotaxis, cytokine secretion, and inhibition of tnf alpha on t cells (karya et al., 2021b). the vascular system, electrolyte balance and blood pressure are regulated by ace-2 (wulandari, 2020). angiotensin-converting enzyme-2 (ace-2) binds to the s-protein of sars cov-2 so that the virus can enter cells and replicate. ace-2 receptors are abundant in the cardiovascular system, nasopharynx, and lungs. in cases of comorbid hypertension there is increased expression of ace-2 receptors making them more susceptible to covid19 infection, especially treatment with angiotensin ii receptor blockers (arbs) and angiotensinconverting enzyme inhibitors (acei) (shi et al., 2020) covid-19 patients with diabetes and hypertension comorbidities experience an increase in angiotensin-converting enzyme 2 (ace2) receptors. sars-cov-2 enters human cells through binding to the ace-2 receptor. this situation makes covid-19 patients with comorbidities more susceptible to further organ failure which will increase complications and death. the binding of sars-cov-2 to ace-2 results in reduced expression of ace-2 on the cell surface, thus blocking the ability of cells to degrade angiotensin ii to become angiotensin. disruption of angiotensin production causes the vasodilator effect to not be maximized so that it disrupts blood pressure homeostasis, causes vasoconstriction of blood vessels which will worsen the condition of covid-19 patients with comorbid hypertension (alfad et al., 2020). patients with comorbid hypertension will experience dysregulation of the body's immune system, namely high lymphocyte count, cd8+ t dysfunction so that the body's response to viral infection is ineffective. this situation will increase the production of cytokines causing storms, microcirculatory ischemia which eventually results in organ failure (kamyshnyi et al., 2020). conclusion we found that mortality was associated with comorbidity (pre-existing hypertention and diabetes), higher age, heavier weight and abnormal d-dimer. suggestion comorbidity in covid-19 patients must be controlled as much as possible to prevent severity and fatality. acknowledgement author thanks to the head of stikes patria husada blitar and the director of the hospital which the data were collected. funding research funding is carried out independently without involvement from sponsors. conflicts of interest all authors stated that there was no conflict of interest during the research and publication. author contributions yeni kartika sari: corresponding author, research analysis, references. thatit nurmawati: research ideas, research proposal, research instruments, references. joko ivnu susanto: research ideas, research proposal, research instruments, references. refferences alfad, h., saftarina, f., kurniawan, b., 2020. dampak infeksi sars-cov-2 terhadap penderita hipertensi. j. major. 9, 181–185. bastug, a., bodur, h., erdogan, s., gokcinar, d., kazancioglu, s., kosovali, b.d., ozbay, b.o., gok, g., turan, i.o., yilmaz, g., gonen, c.c., yilmaz, f.m., 2020. clinical and laboratory features of covid-19: predictors of severe prognosis. int. immunopharmacol. 88, 106950. https://doi.org/10.1016/j.intimp.2020.1069 50. drew, c., adisasmita, a.c., 2020. gejala dan komorbid yang memengaruhi mortalitas pasien positif covid-19 di jakarta timur, maret-september 2020 | tarumanagara medical journal [www document]. url https://journal.untar.ac.id/index.php/tmj/arti cle/view/11742 (accessed 7.5.23). ejaz, h., alsrhani, a., zafar, a., javed, h., junaid, k., abdalla, a.e., abosalif, k.o.a., ahmed, z., younas, s., 2020. covid-19 and comorbidities: deleterious impact on sari, nurmawati, santoso, comorbidity and fatality among covid patients: a hospital based … 215 infected patients. j. infect. public health 13, 1833–1839. https://doi.org/10.1016/j.jiph.2020.07.014. erener, s., 2020. diabetes, infection risk and covid-19 pubmed [www document]. url https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32585364 / (accessed 7.5.23). fanani, a., 2020. hubungan faktor risiko dengan kejadian diabetes mellitus. julnal keperawatan 12, 371– 378. https://doi.org/doi.org/https://doi.org/10.32 583/keperawatan.v12i3.763. hussain, a., bhowmik, b., do vale moreira, n.c., 2020. covid-19 and diabetes: knowledge in progress. diabetes res. clin. pract. 162, 108142. https://doi.org/10.1016/j.diabres.2020.1081 42. kamyshnyi, a., krynytska, i., matskevych, v., marushchak, m., lushchak, o., 2020. arterial hypertension as a risk comorbidity associated with covid-19 pathology. int. j. hypertens. 2020, 8019360. https://doi.org/10.1155/2020/8019360. karya, k.w.s., suwidnya, i.m., wijaya, b.s., 2021a. hubungan penyakit komorbiditas terhadap derajat klinis covid-19. intisari sains medis 12, 708–717. https://doi.org/10.15562/ism.v12i2.1143. karya, k.w.s., suwidnya, i.m., wijaya, b.s., 2021b. hubungan penyakit komorbiditas terhadap derajat klinis covid-19. intisari sains medis 12, 708–717. https://doi.org/10.15562/ism.v12i2.1143. karyono, d.r., wicaksana, a.l., 2020. current prevalence, characteristics, and comorbidities of patients with covid-19 in indonesia. j. community empower. health 3, 77–84. https://doi.org/10.22146/jcoemph.57325. kemenkes, 2020. pedoman pencegahan dan pengendalian covid-19 [www document]. url https://covid19.kemkes.go.id/protokolcovid-19/kmk-no-hk-01-07-menkes-4132020-ttg-pedoman-pencegahan-danpengendalian-covid-19/ (accessed 7.5.23). li, j., liu, z., wu, g., yi, m., chen, y., li, k., xu, x., xiao, l., wu, q., chen, j., wu, x., 2020. d-dimer as a prognostic indicator in critically ill patients hospitalized with covid-19 in leishenshan hospital, wuhan, china. front. pharmacol. 11, 600592. https://doi.org/10.3389/fphar.2020.600592. lippi, g., wong, j., henry, b.m., 2020. hypertension in patients with coronavirus disease 2019 (covid-19): a pooled analysis. pol. arch. intern. med. 130, 304– 309. https://doi.org/10.20452/pamw.15272. long, h., nie, l., xiang, x., li, h., zhang, x., fu, x., ren, h., liu, w., wang, q., wu, q., 2020. d-dimer and prothrombin time are the significant indicators of severe covid-19 and poor prognosis. biomed res. int. 2020, 6159720. https://doi.org/10.1155/2020/6159720. longato, e., fadini, g.p., sparacino, g., gubian, l., di camillo, b., 2020. prediction of cardiovascular complications in diabetes from pharmacy administrative claims. pp. 315–320. https://doi.org/10.1109/melecon48756.2 020.9140600. masruroh, 2018. hubungan umur dan status gizi dengan kadar gula darah penderita diabetes melitus tipe ii. j. ilmu kesehat. masy. 6, 153–163. nabila, t., 2021. skripsi literature review : hipertensi sebagai komorbid pada pasien covid-19. perkeni, 2021. pedoman pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2021. perkeni. rahayu, l.a.d., admiyanti, j.c., khalda, y.i., 2021. hypertension, diabetes mellitus, and obesity as the main comorbidity factors of mortality in covid-19 patients: a literature review | jimki: jurnal ilmiah mahasiswa kedokteran indonesia [www document]. url https://bapinismki.e-journal.id/jimki/article/view/342 (accessed 7.5.23). rias, y.a., 2017. hubungan antara berat badan dengan kadar gula darah acak pada tikus diabetes mellitus. j. wiyata 4, 72– 77. shi, q., zhang, xiaoyi, jiang, f., zhang, xuanzhe, hu, n., bimu, c., feng, j., yan, s., guan, y., xu, d., he, g., chen, c., xiong, x., liu, l., li, h., tao, j., peng, z., wang, w., 2020. clinical characteristics and risk factors for mortality of covid-19 patients with diabetes in wuhan, china: a two-center, retrospective study. diabetes care 43, 1382–1391. https://doi.org/10.2337/dc200598. singh, a.k., gupta, r., ghosh, a., misra, a., 2020. diabetes in covid-19: prevalence, pathophysiology, prognosis and practical 216 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 210-216 considerations. diabetes metab. syndr. 14, 303–310. https://doi.org/10.1016/j.dsx.2020.04.004. wang, 2020. clinical course and outcome of 107 patients infected with the novel coronavirus, sars-cov-2, discharged from two hospitals in wuhan, china. bmc 24. https://doi.org/10.1186/s13054-020-028956 wulandari, e.w., ronoatmodjo, s., salama, n., 2021. hubungan komorbid hipertensi dengan kematian pada kasus konfirmasi covid-19 di dki jakarta, maret-agustus 2020. j. ilmu kesehat. masy. 10, 287–298. https://doi.org/10.33221/jikm.v10i04.1026. zhou, f., yu, t., du, r., fan, g., liu, y., liu, z., xiang, j., wang, y., song, b., gu, x., guan, l., wei, y., li, h., wu, x., xu, j., tu, s., zhang, y., chen, h., cao, b., 2020. clinical course and risk factors for mortality of adult inpatients with covid-19 in wuhan, china: a retrospective cohort study. lancet lond. engl. 395, 1054–1062. https://doi.org/10.1016/s01406736(20)30566-3. 416 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk complementary therapy of tui na massage affected the increase of children’s appetite lida khalimatus sadiya1, veryudha eka prameswari2, noer saudah3 1,2,3nursing department, bina sehat ppni university mojokerto, indonesia article information abstract nutritional status is an indicator in determining a children’s health status. massage is one of the therapies complementary that many parents choose to avoid malnutrition. touch therapy (massage) can have positive physical effects, including weight gain. tui na massage is a more specific massage technique to overcome feeding difficulties in toddlers by improving blood circulation in the spleen and digestion. the purpose of this study was to measure the extent to which tui na massage complementary therapy increased children's appetite. this research used a literature review design. the data used secondary data obtained from the results of research that had been carried out by previous researchers whose research journals had been published which were relevant to the topic, from 2015 to 2021, were accessed in full text by 16 journals according to the formulation of the problem and research objectives, and 6 the journal given the tui na massage. the results showed that there was an effect of tui na massage on weight gain. tui na massage was effective in increasing a toddler's weight. there was an effect of massage on increasing the appetite of toddlers aged 1 year. based on the results of the above study, the children’s appetite and weight after being given the tui na massage treatment, the average growth rate of weight gain increased and the appetite increased above the average of babies who did not get massage treatment. history article: received, 16/02/2022 accepted, 27/12/2022 published, 30/12/2022 keywords: tui na massage, children, appetite © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: bina sehat ppni university mojokerto east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: lidarafi2@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p416-422 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:lidarafi2@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i3.art.p401-406 sadiya, prameswari, saudah, effect of complementary therapy on increase in child's appetite … 417 introduction the growth and development of children are very dependent on the fulfillment of nutrition. the family has an important role in determining the nutritional status of school-age children, as well as the family's ability to fulfilment family health duties in fulfilling school-age children's nutrition. the family consists of two or more people who are dependent on each other in terms of emotional, physical and economic (maria & setiawan, 2016). efforts to reduce and prevent nutritional problems in toddlers from pregnancy to toddlerhood include administration of fe 90 tablets during pregnancy, vitamin a 2x/year, pmt, routine weighing, and stimulation of growth and development. (soetjiningsih, 2010). growth stimulation that is currently being widely used is baby massage. baby massage which is starting to be done a lot to increase a children’s appetite and can increase a children’s weight is tui na massage. tui na massage is a more specific massage technique to overcome feeding difficulties in toddlers by increasing blood circulation in the spleen and digestion, through a modification of acupuncture without needles, this technique uses an emphasis on the body's meridian points or energy flow lines so that it is relatively easier to do compared to acupuncture (sukanta, 2010). the results of ceria i, 2019 concerning the effect of giving tui na massage on the weight of toddlers carried out on toddlers aged 1-5 years at posyandu karangnongko, by purposive sampling obtained 30 samples of toddlers. the results showed that there was a significant effect of giving tui na massage on the weight of children under five before and after tui na massage. tui na massage can increase toddler's weight significantly. the most common cause of eating difficulties in toddlers is impaired spleen and digestive function. so that food that enters the stomach is not digested immediately, which results in stagnation of food in the digestive tract, complaints that parents convey about this problem are that children often vomit, feel nauseous when fed, and the stomach feels full, thereby reducing appetite or even no appetite at all (halimatus saidah, 2020) today, experts have been able to scientifically prove what has long been known to humans, namely touch and massage therapy for babies, which have many benefits for the physiological changes of babies, especially when done by the baby's mother herself. the mother is the closest parent to the baby, and the mother's massage to the baby is a gentle stroking of affection. the mother's skin is the skin that the baby first recognizes (aminati, 2013). based on the 2018 riskesdas, the prevalence of malnutrition in indonesia is 17.7% and stunting is 30.8%. research on preschool children aged 4-6 years in jakarta found a prevalence of eating difficulties of 33.6%, 44.5% of them suffered from mild to moderate malnutrition, and 79% had lasted more than three months (judarwanto, 2007). malnutrition can hurt health, especially the growth and development of children. some of the problems that often occur are eating difficulties in toddlers which can cause growth and development disorders, including a decreased immune system, sleep disturbances, balance and coordination disorders, also children become aggressive, impulsive, and stunting. stunting occurs due to malnutrition and disease. (merryana indriani, 2016). complementary medicine is now widely used as an alternative therapy option. complementary medicine is non-conventional medicine that aims to improve the degree of public health, through promotive, preventive, curative, and rehabilitative efforts obtained through structured education with high quality, safety, and effectiveness based on biomedical science according to the regulation of the minister of health of the republic of indonesia, no.1109/ menkes/per/ix/2007. massage is one of the complementary therapies that many parents choose. according to kenny (2014), massage by professionals can achieve positive health and wellbeing (physical, functional, and psychological outcomes) for the body. according to roesli (2013), touch therapy (massage) can have positive physical effects, including weight gain. tui na massage is a more specific massage technique to overcome feeding difficulties in toddlers by improving blood circulation in the spleen and digestion (sukanta, 2010). the touch of a mother's massage is a form of communication that can also build closeness between parents and their children. children who are massaged with happy feelings will get the maximum benefits of massage. (munjida a, 2015) and maria d, 2016 proving that tui na massage which is routinely performed by parents can be a stimulation that can have an impact on increasing appetite in toddlers that weight will increase. gao l's research (2018) used a metaanalysis method to evaluate the effect of massage therapy (massage or tui na or manipulation) with the results of massage therapy being significantly better than pharmacotherapy in treating anorexia in children. 418 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 416-422 this makes it important to build closeness between parents and children by giving children a touch to increase appetite with complementary tui na massage therapy in achieving optimal growth and development of the nation's generation. the purpose of this study was to measure the extent to which tui na massage complementary therapy increased children's appetite. methods this research was a literature review. the data used in this research was secondary data obtained not from direct observation, but from the results of research that has been conducted by previous researchers whose research journals have been published. secondary data sources in the form of journals and articles relevant to the topic were carried out using a database that uses google scholar and ncbi pubmed, starting from 2015 to 2021 which was accessed in full text in pdf format. the data extraction used in reviewing articles was all research results in articles that were match by the researchers' goals, namely ensuring the quality of health services in the future not only through clinical skills but also interpersonal skills that will support health. the data used secondary data obtained from the results of research that has been carried out by previous researchers whose research journals have been published that are relevant to the topic, from 2015 to 2021 which were accessed in full text by 16 journals according to the formulation of the problem and research objectives and 6 the journal given the tui na massage. result table 1: problem analysis no author title result 1 resty noflidaputri, vittria meilinda, yeni hidayat the effectiveness of tui na massage in increasing body weight for toddlers in the working area of the buo lintau health center the population in this study were all toddlers in the lintau health center work area buo of tanah datar regency totals 24 toddlers. sampling was done by purposive sampling with a total of 10 toddlers. collecting research data using observation sheets. statistical test using the wilcoxon test shows that the average frequency of toddler weight before the tui na massage is 8.79 and the average frequency of toddler weight after tui na massage is 8.87 with a value p=0.002. there is the effectiveness of deep tui na massage increase appetite in toddlers. 2 yuni mutia siska the effect of tui na massage on weight gain in toddlers in aisyiyah early childhood education the population in this study was 160 toddlers in aisyiyah paud and tumaninah yassin metro center paud. the sample of this research were 33 toddlers. the sampling technique used purposive sampling. retrieval of data using a questionnaire by weighing the toddler's weight, interviews and observations with checklists and observation sadiya, prameswari, saudah, effect of complementary therapy on increase in child's appetite … 419 sheets. univariate analysis using the average formula, bivariate analysis using wilcoxon. based on research conducted, the average body weight before the tui na massage was 14.79 and after the tui na massage the average body weight was 15.09, with a p-value of 0.000. there is an effect of tui na massage on weight gain. 3 titik wijayanti, ardiani sulistiani the effectiveness of tui na massage on weight gains to boys aged 1-2 years this research is a quasiexperimental study with a onegroup pretest-posttest design with tui na massage treatment. samples were taken using a purposive technique that met the criteria for toddlers with underweight, and the number of samples was 20 toddlers. the method used in data collection is observation and data analysis using the paired t test, with a ρvalue (0.000) < α (0.05). tui na massage is effective in increasing toddler weight. 4 happy marthalena simanungkalit the effect of massage on the level of difficulty eating to 1 year age the research design used the one-group pretest posttest design method. the study population was toddlers in the working area of the baamang ii health center. sample with a total of 15 respondents. data analysis used the wilcoxon test. the p-value = 0.000 < 0.05 is obtained. there is an effect of massage on increasing the appetite of toddlers aged 1 year. 5 yostika yulitasari tui na acupressure applications to increase the application of total children the results of the case studies that have been carried out on an. a and an. h with the problem of nursing nutritional imbalances less than body requirements related to inadequate dietary intake, it can be concluded that the application of tui na acupressure to increase appetite in toddlers has proven effective in treating children's problems with lack of appetite. 420 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 416-422 6 lusianah meinawati the effect of tui na massage on picky eater in children age 1 to 5 years at bpm lilis suryawati jombang the population in the study of toddlers aged 1-5 years in the working area of the lilis suryawati midwife practice totaled 286 toddlers. sampling used a consecutive sampling method with a total sample of 50 respondents with a ratio of 1: 1 where 25 toddlers were the treatment group, and 25 groups were given multivitamins. the wilcoxon statistical test results obtained a p-value of 0.000. there is an effect of tui na massage on increasing appetite in toddlers aged 1 5 years. discussion child growth is closely related to the problem of changes in the number, size or dimensions of the level of cells, organs and individuals, which are usually measured by weight (grams, pounds, kilograms), length (cm, meters), bone age and metabolic balance or retention. body calcium and nitrogen. the growth and development of children is very dependent on the fulfillment of nutrition. some of the problems that often occur are eating difficulties in toddlers which can cause growth and development disorders, including: decreased immune system, sleep disturbances, balance and coordination disorders, also children become aggressive, impulsive and stunting. stunting occurs due to malnutrition and disease. nutritional status is an indicator in determining a children’s health status. good nutritional status can help the process of growth and development of children to reach optimal maturity (nurlina, 2012). the process of growth and development in toddlers occurs so quickly that it requires sufficient calories. toddlers need both micro and macro nutrients which are used for the process of optimizing perfect growth and development. fulfillment of nutrients must be balanced with optimal body absorption, and one effort that can stimulate the absorption of nutrients in the body is through massage intervention. (roesli, 2013). toddlers aged 1 to 5 years when they have not been introduced to various food menus will experience difficulty eating. the condition of difficulty eating occurs due to the increasing age of children and their increased activities such as playing and running, so they sometimes become lazy to eat. massage in toddlers is a healthy behavior that greatly contributes to increasing physical and mental growth and development. as a form of touch therapy, routine massage for toddlers will provide a sense of comfort, relaxation, and blood circulation so that it can maximize the function of organs such as the digestive organs, whereby massage will increase intestinal motility and will improve the absorption of nutrients by the body and increase appetite. (judarwanto, 2016). the most common cause of eating difficulties in toddlers is impaired spleen and digestive function. so that food that enters the stomach is not digested immediately, which results in stagnation of food in the digestive tract, complaints that parents convey about this problem are that children often vomit, feel nauseous when fed, and the stomach feels full, thereby reducing appetite or even no appetite at all. very. the family has an important role in determining the nutritional status of schoolage children, as well as the family's ability to fulfill family health duties in fulfilling school-age children's nutrition. the family consists of two or more people who are dependent on each other in terms of emotional, physical and economic (maria. d, 2016). children whose eating patterns are disrupted have an impact on their health so they are susceptible to disease and growth and development disorders. efforts to overcome difficulties can be done using pharmacology and non-pharmacology. one way to prevent this is by doing complementary tui na massage therapy for children. tui na massage can give children a sense of security and comfort. tui na massage is a more specific massage technique for overcoming feeding difficulties in toddlers by improving blood sadiya, prameswari, saudah, effect of complementary therapy on increase in child's appetite … 421 circulation in the spleen and digestion, through a modification of acupuncture without needles, this technique uses an emphasis on the body's meridian points or energy flow lines so that it is relatively easier to do compared to acupuncture. the tui na massage method is safe to do, the child will feel relaxed, the appetite will increase, and the fulfillment and absorption of nutrients in the children’s body can be maximized (sukanta, 2010). based on the results of the article review, tui na massage must be done by either parents or a therapist. given the benefits of tui na massage, it can increase appetite in toddlers so that there is an increase in toddlers' weight. tui na massage is one of the non-pharmacological alternatives that can be applied to increase appetite in toddlers so that the fulfillment of toddler nutrition is fulfilled. giving tui na massage can also be applied and studied by health workers and mothers at home who have toddlers because tui na massage is done with an emphasis technique on certain parts without using tools so that it can facilitate giving this massage treatment. in addition to increasing appetite in toddlers, tui na massage can also improve blood circulation in the spleen and digestive system of toddlers (sukanta, 2010). the importance of parental involvement in solving children's problems so that children's appetite increases and does not force children to finish their food. it is hoped that health workers on the day of the posyandu can educate mothers of toddlers about how to do tui na massage so that mothers of toddlers can practice it themselves at home. conclusion based on research results. it can be concluded that tui na massage complementary therapy can increase children's appetite, tui na massage complementary therapy is very effective for parents, tui na massage complementary therapy which is done regularly can increase children's weight, tui na massage complementary therapy can increase appetite children aged 6 months – 12 years suggestion involving parents in doing tui na massage regularly can be a stimulus to increase appetite and parental closeness to toddlers so that weight will increase. acknowledgement this research was funded by the researcher's and was partly supported by an internal research grant from the university of bina sehat ppni mojokerto for the improvement of the lecturer research scheme. thanks to dr. ivan rovian, m.kp as plt. chancellor of the bina sehat university of ppni mojokerto who has permitted to conduct research. funding the source of funding comes from the researcher's funds and partly gets research funding from internal grants at bina sehat university ppni mojokerto. conflict of interest the authors declared there was no conflict of interest in this study project. all components can work well according to their respective duties and can work as a good team. author contributions author lida halimatus sa’diyah contribute in generating ideas/concepts, designing, analyzing, and/or interpreting data. author veryudha contribute in the revision of writing and noer saudah was final approval for publication. refferences aminati, d. (2013). pijat dan senam untuk bayi dan balita. yogyakarta: brilliant books. andriani, m., wirjatmadi, b.( 2016). pengantar gizi masyarakat. jakarta : kencana. darmawan, a. c. (2019). pedoman praktis tumbuh kembang anak (bayu nugraha, ed.; 1st ed.). ipb press. gao l, jia ch, ma ss, wu t. pediatric massage for the treatment of anorexia in children: a meta-analysis. world j tradit chin med 2018;4:96104. darmawan, a. c. (2019). pedoman praktis tumbuh kembang anak (bayu nugraha, ed.; 1st ed.). ipb press. gao l, jia ch, ma ss, wu t. pediatric massage for the treatment of anorexia in children: a meta-analysis. world j tradit chin med 2018;4:96104. halimatus saidah, rahma k. (2020). keajaiban pijat tui na (a. c, ed.; 1st ed.). samudra biru. judarwanto, widodo. 2007. gangguan pencernaan penyebab utama kesulitan makan pada anak. merryana indriani, b. w. (2016). pengantar gizi masyarakat (y. rendy, ed.; 4th ed.). kencana. munjida a. (2015). efektifitas pijat tui na dalam mengatasi kesulitan makan pada balita di rw 02 kelurahan wonokromo surabaya. journal of health sciences, 8 no 2, 436. 422 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 3, december 2022, page 416-422 https://doi.org/https://doi.org/10.33086/jhs. v8i2.204. nurlinda, a.(2012) gizi dalam siklus daur kehidupan seri baduta, yogyakarta, cv. andi offset. kementerian kesehatan badan penelitian dan pengembangan kesehatan. hasil utama riset kesehatan dasar 2018. kementerian kesehatan ri. kenny, c., w. (2014). the effectiveness of massage therapy a summary of evidence-based research. maria, d. (2016). modifikasi tindakan : pijat tui na dan coaching pada keluarga menurunkan status resiko gizi kurang anak usia sekolah. jurnal keperawatan respati yogyakarta volume 3, no 2. marimbi, h (2010), tumbuh kembang status gizi dan imunisasi dasar pada balita, edisi i, yogyakarta : nuha medika. meinawati, l. (2021). pengaruh tui na massage terhadap picky eater pada balita usia 1 sd 5 tahun di bpm lilis suryawati jombang. jurnal insan cendekia, 8(1), 110. munjidah, a. (2015). efektifitas pijat tui na dalam mengatasi kesulitan makan pada balita di rw 02 kelurahan wonokromo surabaya. jurnal ilmiah kesehatan, vol. 8, no. 2, agustus 2015, nurlinda a.(2012). gizi dalam siklus daur kehidupan.yogyakarta, cv. andi offset. peraturan menteri kesehatan ri, no 1109/menkes/per/ix/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan roesli u, (2013), pedoman pijat bayi. trubus agriwidya, jakarta. irva, (2014) pengaruh terapi pijat terhadap peningkatan berat badan bayi. jom psik vol i no 2. simanungkalit, h. m. (2019). pengaruh pijat terhadap tingkat kesulitan makan balita usia 1 tahun. media informasi, 15(2), 96100. sukanta, p. okta. (2010). pijat akupresur untuk kesehatan. penebar plus. jakarta. wijayanti titik, (2019). efektifitas pijat tui na terhadap kenaikan berat badan balita usia 1 – 2 tahun. jurnal kebidanan indonesia, 60–65. yulitasari, y. (2020). aplikasi akupresur tui na untuk meningkatkan nafsu makan anak balita (doctoral dissertation, diploma, universitas muhammadiyah magelang. 131 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk lowering blood pressure of hypertension through benson relaxation dewiyuliana nursing department, academy of nursing kesdam iskandar muda banda aceh, indonesia article information abstract hypertension is a chronic non-communicable disease, the cases of which are increasing every years. hypertension is caused by heredity, age, food and unhealthy lifestyle. the consequences of hypertension include heart disease, stroke, myocardial infarction, atherosclerosis, kidney failure and other diseases. one of the effective and easy non-pharmacological treatments for lowering blood pressure is using benson relaxation. benson's relaxation is a concentration of relaxation by harmonizing blood pressure so that it reduces the work of the sympathetic and initial sympathetic nerves to affect heart rate, pulse, respiration and activities that use the workload of the heart. this study aimed to analyze the effect of benson relaxation in reducing blood pressure in hypertensive patients. this study was a preexperimental research with a pretest and posttest design approach. the population in this study was hypertensive patients with a sample of 18 respondents selected by purposive sampling with the criteria of being willing to become respondents and participating in benson relaxation activities for 2 weeks. the hypothesis testing used the t test (paired sample test). the results of the pre post systole study obtained p = 0.000 and pre post diastole p = 0.007 indicating that benson relaxation is done regularly and is effective in reducing blood pressure in people with hypertension. it is hoped that people and families with hypertension can apply benson in reducing and controlling blood pressure. history article: received, 03/12/2022 accepted, 08/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: benson relaxation, hypertension, blood pressure © 2023 journal of ners and midwifery 🖂correspondence address: academy of nursing kesdam iskandar muda banda aceh – aceh, indonesia p-issn : 2355-052x email : dewiyuliana3210@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p131-137 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:dewiyuliana3210@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p131-137 132 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 131-137 introduction cases of hypertension are increasing every year. (world health organization, 2022) for 2021 estimates that there are 1.28 billion adults aged 3079 years worldwide suffering from hypertension, two out of them suffer from hypertension in low and middle-income countries. as many as 46% of adults know they suffer from hypertension. (kementerian kesehatan republik indonesia, 2018) in 2013 stated that hypertension cases in indonesia reached 31.7%. mentioned that the highest prevalence of hypertension in indonesia was in the south kalimantan area of 44.1%, more women suffer from hypertension in indonesia with a percentage of 36.9% compared to men. cases of hypertension are highest in rural areas compared to urban areas and the average hypertension occurs in patients who have not or have not attended school with a percentage of 51.6%. (riskesdas, 2013) the prevalence of hypertension cases in aceh is 30.9% nationally. the prevalence of high blood pressure in women is higher than in men. the prevalence of women is 32.9% while men are only 28.7%. likewise, the prevalence in urban areas is slightly higher, 31.7% compared to 30.2% in rural areas. prevalence will increase with increasing age. the high cases of hypertension have an impact on the high mortality rate in the world (christensen, 2023). hypertension is caused by both controllable and uncontrollable factors. factors that can be controlled include obesity, smoking habits, consuming excess alcohol and caffeine, consuming excess salt, stress and hormonal balance while factors that cannot be controlled consist of age, sex and heredity (yanita, 2022). the problem that often arises in people with hypertension is stroke, which is caused by high blood pressure circulating in the brain or due to an embolus that is detached from a brain vessel. in addition, myocardial infarction can also occur if the coronary arteries experience atherosclerosis so that they cannot supply enough oxygen to the myocardium. a thrombus is formed thereby blocking the flow of blood through the vessel. hypertension causes kidney failure due to progressive damage to glomerular capillaries due to high blood pressure (ardiansyah, 2012). the higher a person's blood pressure, the higher the risk of heart disease, kidney failure and stroke. symptoms felt by patients include difficulty carrying out daily activities, neck stiffness, neck and back feeling heavy so that it can affect balance and make it difficult to carry out activities (ministry of health, 2019). management of hypertension can be done pharmacologically and non-pharmacologically (yulanda & lisiswanti, 2017). pharmacological treatment is given to hypertensive patients who are already showing symptoms. hypertensive patients who require lifelong medication are a consideration for doctors to pay attention to the working effects of drugs and the consequences that arise in the future (kandarini, 2017). pharmacological treatment has side effects for the category of diuretics, alpha blockers, calcium channel blockers, ace inhibitors and angiotensin receptor blockers. besides that treatment for people with hypertension in a long time will experience boredom in taking drugs (glenys & riska, 2017). treatment of hypertension using drugs requires a long time, this causes the patient to feel hopeless, so that the treatment of hypertension becomes incomplete (hastuti et al., 2017) the results of a literature review that has been carried out by (ainurrafiq et al., 2019) show that non-pharmacological treatment can reduce or control blood pressure and can be used as an alternative treatment and is an efficient intervention. several types of non-pharmacological therapy in lowering or controlling blood pressure include medication on the mind and body, meditation biofeedback, hypnosis, home care, aromatherapy, relaxation, acupressure from chinese herbal medicine, juice therapy, herbal therapy, massage, yoga, breathing and relaxation (jain & ritu, 2011). benson relaxation therapy is a relaxation technique for focusing attention (solehati & rustina, 2015). benson relaxation affects heart rate, pulse, respiration and activities that use the workload of the heart (teimouri et al., 2019). benson relaxation regulatory center in the hypothalamus. regulation of blood pressure through the alignment of blood pressure, reducing the work of the sympathetic and parasympathetic nerves (benson & mz., 1975). the benson relaxation technique begins with a deep breathing relaxation technique. benson relaxation uses four elements including supplication, positioning the patient with hypertension comfortably and safely, saying soothing words repeatedly and focusing on the words spoken (ibrahim et al., 2019). benson relaxation has the benefit of improving sleep quality in pediatric patients with acute lymphoblastic leukemia (zupanec et al., 2017), improving stress levels in nurses (sajadi et al., 2017), reducing anxiety levels in the elderly (d dewiyuliana, lowering blood pressure of hypertension through benson relaxation … 133 novitasari & aryana , 2013) and lower blood pressure in patients with hypertension (wartonah et al., 2022). the results of research conducted by (yulendasari & djamaludin, 2021) found that benson relaxation was effective in reducing blood pressure in hypertensive patients with a difference in systolic blood pressure between the intervention group and the control group of 8.063 (p-value 0.000). the same research showing that benson relaxation has an effect on blood pressure in hypertensive patients with an average (mean) of 84.07(atmojo et al., 2019). the results of the analysis test obtained a value of p = 0.000. the results of a survey that researchers found in blang krueng village showed that hypertension sufferers did not know benzon relaxation in lowering blood pressure. based on the phenomenon above, researchers are interested in conducting research on the relationship of benson relaxation in lowering blood pressure in hypertension patients in blang krueng village. methods this study was a pre experimental study with a one-group pretest and post-test design approach. the respondents involved in this study were 18 respondents who experienced hypertension. the sampling technique used non-probability sampling with purposive sampling technique. this research was carried out from 30 october to 6 november 2022 in blang krueng village, baitussalam district, aceh besar district. the data analysis used by the researcher was univariate and bivariate. univariate analysis was used to look at the characteristics of respondents. bivariate analysis using paired t test to see the effect of benson's relaxation in reduce blood pressure in hypertension patients. this study obtained an ethical permit from uppm akper kesdam iskandar muda banda aceh with the number 55/uppm/vi/2022. results table 1: characteristics of the subjects distribution of responden by gender in patient with hypertension in blang krueng village no gender respondent percentage (%) 1 2 a. male b. female 5 13 27,8 72,8 distribution of responden by age in patient with hypertension in blang krueng village 1 2 3 a. 26-35 b. 36 45 c. > 46 2 5 11 11,1 27,8 61,1 distribution of responden by education in patient with hypertension in blang krueng village 1 2 3 4 a. primary school b. junior high school c. senior high school d. college 2 5 7 4 11,1 27,8 38,9 22,2 source : primary data based on table 1, it shows that the most dominant respondents were women with a percentage of 72.8%, the most age was > 46 years with a total of 11 respondents and the most senior high school education was 38.9%. table 2: table of distribution of systolic and diastolic blood pressure (n=18) no blood pressure before benson relaxation blood pressure after benson relaxation sistole f % diastole f % sistole f % diastole f % 1 ≤ 120 0 0 ≤ 80 0 0 ≤ 120 1 5,5 ≤ 80 1 5,5 2 121-139 4 22,2 8189 11 61,1 121-139 11 61,1 8189 12 66,7 3 140-159 11 61,1 90-99 4 22,2 140-159 5 27,9 90-99 5 27,8 4 ≥ 160 3 16,7 ≥ 100 3 16,7 ≥ 160 1 5,5 ≥ 100 0 0 134 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 131-137 based on table 2, it shows that the majority of respondents' systolic blood pressure is at most between 140159, 11 respondents with a percentage of 61.1%, after relaxation of benson the systolic blood pressure is mostly between 121-139.11 respondents or as much as 61.1%. meanwhile, the diastolic blood pressure before and after benson relaxation was at most between 81-89, 61.1% before benson relaxation and 66.7% after giving benson relaxation. table 3: benson relaxation effectiveness in lowering blood pressure of hypertention no mean n std.deviation t sig (2-tailed) pre-post sistole 11,111 18 9,47994 4,973 ,000 pre–post diastole 8,05556 18 8,05556 3,070 ,007 based on table 3 it can be seen that the results of statistical tests carried out using the paired t-test for systolic blood pressure showed that the results were p = 0.000 and for diastolic blood pressure they showed p = 0.005, thus it can be concluded that the p value is 0.05 ( p 46 tahun yaitu 14 orang responden atau 35%, selanjutnya usia 16–25 tahun sebanyak 7 orang responden atau 17,5% dan usia 26–31 tahun sejumlah 4 orang responden atau 10%. tabel 4. distribusi frekuensi karakteristik responden berdasar pekerjaan di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi periode desember 2014 no pekerjaan jumlah prosentase 1 sw asta 15 37,5 % 2 petani 15 37,5 % 3 pn s 3 7,5 % 4 buruh 3 7,5 % 5 dagang 2 5 % 6 prt 1 2,5 % 7 pensiunan 1 2,5 % total 40 100 % dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden sebagian besar bekerja sebagai petani dan swasta yaitu masing-masing sebanyak 15 orang responden atau sekitar 37,5%, kemudian pns dan buruh masing-masing sebanyak 3 orang responden atau sekitar 7,5%, dagang sebanyak 2 responden atau sekitar 5% dan selanjutnya prt dan pensiunan masing-masing sebanyak 1 orang atau sekitar 2,5%. tabel 5. distribusi frekuensi karakteristik responden berdasar pendidikan di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi periode desember 2014 no umur jumlah prosentase 1 sd 18 45 % 2 smp 8 20 % 3 sma 14 35 % 4 s-1 4 10 % total 40 100 % tabel 6. distribusi frekuensi karakteristik responden berdasar lama menderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi periode desember 2014 no lama menderita tb paru jumlah prosentase 1 baru 14 35 % 2 lama 26 65 % total 40 100 % dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari keseluruhan responden sebanyak 26 orang atau (65%) adalah penderita tb lama dan sebanyak 14 orang atau (35%), adalah penderita tb baru. tabel 7. distribusi frekuensi pencahayaan rumah penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi periode desember 2014 no pencahayaan jumlah prosentase 1 baik 31 77,5 % 2 tidak baik 9 22,5 % total 40 100 % dari tabel di atas bisa dilihat bahwa dari 40 responden, sebanyak 31 responden atau sekitar 77,5% mempunyai pencahayaan rumah yang baik dan sebanyak 9 orang responden atau sekitar 22,5% mempunyai pencahayaan rumah yang tidak baik. tabel 8. di stri busi frek ue nsi ve nti lasi rumah penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo periode desember 2014 no ventilasi jumlah prosentase 1 baik 7 17,5 % 2 tidak baik 33 82,5 % total 40 100 % dari tabel di atas bisa dilihat bahwa dari 40 responden, sebanyak 7 responden atau sekitar 17,5% mempunyai ventilasi rumah yang baik dan sebanyak 33 orang responden atau sekitar 82,5% mempunyai ventilasi rumah yang tidak baik 252 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 248–254 dari tabel di atas bisa dilihat bahwa dari 40 responden, sebanyak 4 responden atau sekitar 10% mempunyai kepadatan penguni rumah yang baik dan sebanyak 36 orang responden atau sekitar 90% mempunyai kepadatan penghuni rumah yang tidak baik. pembahasan gambaran lingkungan fisik penderita tb paru berdasarkan hasil penelitian pencahayaan rumah penderita tb paru didapatkan hasil sebagai berikut, sebanyak 31 responden atau sekitar 77,5% mempunyai pencahayaan rumah yang baik dan 9 responden atau sekitar 22,7% mempunyai pencahayaan rumah yang tidak baik. gambaran lingkungan fisik pencahayaan rumah dinilai dari ada tidaknya genting kaca atau jendela yang memberikan peluang sinar matahari bisa masuk kedalam ruangan di dalam rumah. menurut pandangan peneliti, dari hasil tersebut dapat diketahui bila gambaran pencahayaan rumah penderita tb paru di poli paru di rsu ”ngudi waluyo” wlingi adalah cukup baik, pencahayaan yang terlalu rendah akan berpengaruh terhadap proses akomodasi mata yang terlalu tinggi, sehingga akan berakibat pada kerusakan retina pada mata, selain itu sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tb paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi kedalam rumah. cahaya matahari masuk kedalam rumah melalui jendela atau genting kaca. diutamakan sinar matahari pagi mengandung ultraviolet yang dapat mematikan kuman. selain itu peneliti berpendapat bahwa mayoritas responden berdomisili di pedesaan yang jarak rumah satu dengan yang lain masih cukup jauh sehingga sinar matahari bisa bebas masuk kedalam rumah, dibandingkan dengan rumah diperkotaan yang jaraknya berdekatan. berdasarkan hasil penelitian tentang ventilasi rumah penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi didapatkan hasil sebagai berikut, sebanyak 7 responden atau 17,5% mempunyai ventilasi rumah yang baik dan 33 responden atau sekitar 82,5% mempunyai ventilasi yang tidak baik. gambaran ventilasi ruangan dinilai dari kepemilikan jendela atau angin-angin yang mampu mengalirkan udara dari dalam ruangan ke luar atau sebaliknya dengan luas kurang lebih 10% dari luas ruangan. menurut pandangan peneliti, dari hasil tersebut dapat diketahui bila gambaran ventilasi rumah penderita tb paru di poli paru di rsu ”ngudi waluyo” wlingi adalah tidak baik. lubang ventilasi sebagai tempat keluar masuknya udara menjaga aliran udara tabel 9. distribusi frekuensi kepadatan penghuni rumah penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi periode desember 2014 no kepadatan penghuni jumlah prosent ase 1 baik 4 1 0 % 2 tidak baik 36 9 0 % total 40 100 % tabel 10. distr ibusi fr ek ue nsi lantai rumah penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi periode desember 2014 no lantai rumah jumlah prosentase 1 baik 36 90 % 2 tidak baik 4 10 % total 40 100 % dari tabel diatas bisa dilihat bahwa dari 40 responden, sebanyak 36 responden atau sekitar 90% mempunyai lantai rumah yang baik dan sebanyak 4 orang responden atau sekitar 10% mempunyai lantai rumah yang tidak baik. tabel 11. distribusi frekuensi status gizi penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi periode desember 2014 no status gizi jumlah p rosentase 1 kurus 24 60 % 2 normal 13 32,5 % 3 gemuk 3 7,5 % total 40 1 00 % dari tabel di atas bisa dilihat bahwa dari 40 responden, sebanyak 24 responden atau sekitar 60% mempunyai status gizi yang menurut skala bmi masuk kategori kurus, sebanyak 13 orang responden atau sekitar 32,5% mempunyai status gizi yang menurut skala bmi masuk kategori normal dan sebanyak 3 responden atau sekitar 7,5% mempunyai status gizi yang menurut skala bmi masuk kategori gemuk. 253sulistyowati, gambaran lingkungan fisika dan status gizi ... di dalam rumah tersebut tetap segar. luas ventilasi rumah yang tidak memenuhi standart kesehatan akan mengakibatkan kekurangan konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembapan ruangan karena terjadinya proses penguapan. tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin membahayakan kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh bakteri seperti oleh penderita tb paru atau berbagai zat kimia dan organik. berdasarkan hasil penelitian untuk kepadatan penghuni rumah penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi didapatkan hasil sebanyak 4 responden atau sekitar 10% mempunyai kepadatan penghuni rumah yang baik dan sebanyak 36 responden atau 90% mempunyai kepadatan rumah yang tidak baik. gambaran kepadatan penghuni rumah penderita tb paru dinilai dari banyaknya penghuni rumah dan ketersediaan ruangan dalam menampung penghuni terutama ruang tidur. luas ruang tidur adalah 8 m2 dan tidak digunakan tidur lebih 2 orang dalam satu ruangan. menurut pandangan peneliti, dari hasil tersebut dapat diketahui bila gambaran kepadatan penghuni rumah penderita tb paru di poli paru di rsu ”ngudi waluyo” wlingi adalah tidak baik. luas lantai bangunan berdasarkan standar rumah sehat harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. luas yang tidak sesuai menyebabkan anggota keluarga yang terinfeksi kuman tuberkulosis mudah menularkan kepada anggota keluarga yang lain karena satu orang penderita tb paru dapat menularkan rata-rata kepada dua sampai tiga orang yang tinggal serumah. semakin padat penghuni rumah maka semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. karena jumlah penghuni yang semakin banyak berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga uap air dan suhu udaranya. dengan meningkatnya kadar co2 di udara dalam rumah maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi mycobacterium tuberculosis. berdasarkan hasil penelian untuk gambaran lantai rumah penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi didapatkan hasil, sebanyak 36 responden atau 90% mempunyai lantai rumah yang baik dan sebanyak 4 responden atau 10% mempunyai lantai rumah tidak baik. gambaran lantai rumah penderita tb paru dinilai dari bahan baku pembuatnya dan ketahanan terhadap air (kedap air) serta kemampuan dalam mempengaruhi kelembapan rumah. menurut pandangan peneliti, dari hasil tersebut dapat diketahui bila gambaran keadaan lantai rumah penderita tb paru di poli paru di rsu ”ngudi waluyo” wlingi adalah baik. hal ini mungkin disebabkan karena peningkatan kesadaran masyarakat akan pentinggnya lantai rumah yang memenuhi syarat. jenis lantai tanah mempunyai peran terhadap proses kejadian tb paru, melalui kelembapan dalam ruangan. lantai tanah cenderung menimbulkan kelembapan pada musim hujan dan pada musim panas lantai menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi kesehatan penghuninya. gambaran status gizi penderita tb paru berdasarkan hasil penelitian status gizi penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi didapatkan hasil, sebanyak 24 responden atau 60% mempunyai status gizi yang menurut skala bmi masuk kategori kurus, sebanyak 13 responden atau 32,5% termasuk kategori normal dan sebanyak 3 responden atau 7,5% mempunyai status gizi dalam kategori gemuk. gambaran status gizi penderita tb paru dinilai dari berat badan dalam kilogram dibandingkan atau dibagi dengan tinggi badan dalam meter dikalikan tinggi badan dalam meter, atau biasa disebut body mass indeks (bmi). menurut pandangan peneliti, dari hasil tersebut dapat diketahui bila gambaran status gizi penderita tb paru di poli paru di rsu ”ngudi waluyo” wlingi adalah tidak baik hal ini ditunjukkan sebanyak 60% responden hasil pengukuran bminya masuk dalam kategori kurus atau bisa disebut tidak baik, hal ini mungkin disebabkan karena adanya infeksi dapat mengakibatkan gangguan gizi dengan mempengaruhi nafsu makan, hilangnya makanan karena dimuntahkan, gangguan absorbs dan proses lainnya. asupan yang tidak adekuat menimbulkan pemakaian cadangan energi yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dan mengakibatkan penurunan berat badan dan kelainan biokimia tubuh terhadap infeksi menjadi progresif yang meperlambat penyembuhan tb paru, dikarenakan daya tahan tubuh menurun. 254 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 248–254 simpulan dan saran simpulan gambaran lingkungan fisik penderita tb di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi dalam komponen pencahayaan rumah dan lantai rumah adalah masuk dalam kategori baik, gambaran lingkungan fisik penderita tb di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi dalam komponen ventilasi rumah dan kepadatan penghuni rumah masuk dalam kategori tidak baik, gambaran status gizi penderita tb paru di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi masuk dalam kategori tidak baik, karena sebagian besar penderita tb paru yang berobat di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi nilai bmi nya masuk dalam kategori kurus. saran berdasar hasil penelitian, maka dapat diajukan saran-saran sebagi berikut : bagi peneliti selanjutnya: untuk peneliti selanjutnya yang menggunakan tema penelitian ini disarankan untuk memastikan dahulu data-data tentang penderita tb paru dan lebih mempertimbangkan waktu, sebaiknya memastikan isi pertanyaan kuesioner telah mencakup pertanyaan yang luas dan dalam mengenai data yang akan diambil dalam penelitian, sehingga tidak terjadi pengambilan data ulang dikemudian hari, penelitian inp perlu dilanjutkan dengan meneliti faktor-faktor lainnya seperti faktor pengetahuan dan perilaku yang mungkin mempengaruhi kejadian tb paru. bagi perawat dan institusi pelayanan: perlu dilakukan penyuluhan kesehatan masyarakat khususnya penderita tb paru yang berobat di poli paru rsu ngudi waluyo wlingi secara berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terutama mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan tb paru. terutama tentang ventilasi dan kepadatan penghuni rumah, serta masalah gizi bagi penderita tb paru. bagi penderita tb paru: penderita tb paru perlu meningkatkan pengetahuannya dengan cara selalu mencari informasi tentang faktor-faktor yang mempecepat penularan tb paru, diantaranya dengan menciptakan lingkungan rumah agar menjadi tempat tinggal yang sehat dengan memperbaiki keadaan lingkungan rumah dan meningkatkan status gizi yang menjadi faktor risiko terjadinya tb paru, meningkatkan perilaku hidup sehat yang menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan seperti membuka jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, dan membersihkan rumah, sehingga rumah menjadi tempat tinggal yang sehat serta tidak menjadi tempat berkembang biaknya kuman mycobacterium tuberculosis. juga dengan meningkatkan konsumsi makanan yang bergizi sehingga daya tahan tubuh meningkat. daftar rujukan ari kun to, s. 2010. prosedur pene li t ian suat u pendekatan praktik. jakarta: rineka cipta. chandra, r.k. 2010. nutrition and immunity. the american journal of clinical nutrition. depkes ri. 2008. pedoman nasional penanggulangan tuberculosis, edisi 2 cetakan ke-12, jakarta, depkes ri. depkes ri. 2008. standart internasional untuk pelayanan tuberculosis, jakarta, depkes ri. depkes ri. 2008, diagnosis dan tatalaksana tuberculosis anak, jakarta, depkes ri. forum koordinasi jaringan informasi pangan dan gizi. 2010. info pangan dan gizi, media penyalur informasi pangan dan gizi. jakarta : kementerian kesehatan republik indonesia. george, p., john, j.h. 2009, kesehatan masyarakat administrasi dan praktik. jakarta: egc. hidayat, a.a. 2009. metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data. jakarta: salemba. i dewa nyoman, dkk. 2001,penilaian status gizi. jakarta: egc. kemenkes ri, 2012, pelatihan tatalaksana tb bagi pengelola program tb di fasilitas pelayanan kesehatan, jakarta, kemenkes ri. notoatmojo, s. 2010. metodologi penelitian kesehatan. jakarta: rineka cipta. notoatmojo, s. 2007. kesehatan masyarakat ilmu dan seni. jakarta: rineka cipta. nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi ilmu keperawatan (pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan). jakarta: salemba medika. soemirat, j. 2000, epidemiologi lingkungan. yogjakarta: gajahmada university press. supariasa idn, bachyar, & ibnu. 2002. penilaian status gizi. jakarta : penerbit buku kedokteran. who. 2014, global tb report, www.who.int/tb/..../ global_report. di download tanggal 13 oktober 2014. widoyono. 2005, penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasan, semarang: erlangga. yoga, a., tjandra. 2006, tuberculosis, rokok dan perempuan. jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran universitas indonesia. 59 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk positif correlation of hormonal contraception and the occurrence of leucorrhoea mirza aulia cahyani1, ira titisari2, lumastari ajeng wijayanti3 1,2,3midwifery department, poltekkes ministry of health malang, indonesia article information abstract hormonal contraceptives contain estrogen and progesterone. prolonged use causes a higher dose of the estrogen and progesterone hormones that can cause leucorrhoea or vaginal discharge. analyzing and reviewing articles related to the relation between the use of hormonal contraceptive methods with the leucorrhoea occurrence. the literature review method used a systematic mapping study design. literature sources were obtained from the google scholar, pubmed, and proquest databases with 6 years of publication. the literature collection strategy using peos was then selected to produce 10 articles that matched the research criteria. of 10 articles that examined the type of hormonal family planning (kb) that were mostly used were 3 articles with injectable kb, 2 articles on pill kb, 2 articles on kb implants, and 3 articles that did not mention the type. there were 3 articles describe that both <1 year and >1 year duration of the usage can cause vaginal discharge. there were 7 articles with analytical tests, 4 articles (57%) stated that there was a relation between the use of hormonal contraceptive methods and the occurrence of vaginal discharge, while 3 articles (43%) stated that there was no relation between the use of hormonal contraceptive methods and the occurrence of vaginal discharge. there were 3 articles that did a descriptive analysis, it was found that contraceptive users who experienced vaginal discharge were more than 35%. the use of hormonal contraception can cause physiological vaginal discharge since the hormones progesterone and estrogen change the flora and ph of the vagina, besides that vaginal discharge occurs because personal hygiene is not correct. history article: received, 28/06/2022 accepted, 10/04/2023 published, 25/04/2023 keywords: hormonal contraception, duration of the usage, leucorrhoea © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes tengku maharatu pekanbaru – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : mirzaauliacahyani103098@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p059-068 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:mirzaauliacahyani103098@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p059-068 60 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 introduction family planning is one of the efforts that can be done by a married couple which aims to determine the number of children and the range of children that they desired. efforts that married couples can do are by using contraceptives (fauziah, 2020). types of contraception can be divided into two ways; the first, using contraception devices, and the second is contraception without using tools. contraceptive devices with tools are further divided into two types according to how they work, namely hormonal contraceptives and non-hormonal contraceptives. hormonal contraception is one of the contraceptives that use a device. examples of contraceptives that use tools include pills, injections, and implants (astuti et al., 2019). the use of hormonal contraceptives in the current era is a woman's choice, since it is considered to have a very effective performance. hormonal contraceptives are contraceptives that use base materials containing estrogen and progesterone preparations (hastuti, 2015). the use of contraceptives is a double-edged thing, because apart from being a necessity, it can also cause side effects (handayani, 2021). the side effect of the hormonal contraceptive method that causes discomfort to the acceptor is a vaginal discharge (imelda & nurbaiti, 2018). the way hormonal contraception works is to thicken cervical mucus until the vaginal discharge occurs (sari et al., 2015). vaginal discharge is a condition where there is fluid other than blood in the vagina. physiological vaginal discharge that occurs in hormonal contraceptive users can increase by 50% when compared to women of childbearing age who do not use contraceptives. vaginal discharge can also occur if the acceptor uses hormonal contraception for a long time, this happens because prolonged use of hormonal contraception can reduce the natural resistance of the portia wall, so it can cause excessive vaginal discharge (fatmawati et al., 2020). the problem that causes the physiological vaginal discharge to become pathological vaginal discharge is due to hormonal contraceptive acceptors who do not maintain cleanliness in the vaginal area. pathological vaginal discharge can occur due to the presence of the hormone progesterone and the hormone estrogen in hormonal contraceptives, thereby changing the flora and ph of the vagina so that it becomes easier for fungi to thrive in the vagina and can cause pathological vaginal discharge (fatmawati et al., 2020). pathological vaginal discharge can affect women and can occur at any age in approximately 50% (hidayati et al., 2020). according to who in 2016 as stated on the research conducted by (kustanti, 2017), that there are approximately 75% of women worldwide experience vaginal discharge, this vaginal discharge must occur once in a lifetime and approximately 45% of women worldwide will experience vaginal discharge twice or may occur more than twice. meanwhile, in countries in the european continent that experience vaginal discharge, approximately 25%. women of childbearing age in indonesia have the potential to experience vaginal discharge for around 90%, this is because indonesia is a country with a tropical climate, which causes yeast to grow very easily. based on statistical data (bkkbn, 2014) in research by (hidayah et al., 2021) 45% of women of childbearing age in east java experience vaginal discharge. from the data above, it can be concluded that the incidence of vaginal discharge in women in the world, europe, and indonesia is still quite high (handayani, 2021). based on the research conducted by (rahayu et al., 2015) that the use of contraceptives containing hormones is associated with the occurrence of vaginal discharge in women of childbearing age. it was found that there were 24 respondents (80%) of hormonal family planning acceptors who experienced a physiological vaginal discharge, and respondent who experience pathological vaginal discharge were 6 respondents (20%). the impact that occurs from the occurrence of pathological types of vaginal discharge that lasts for a long time will cause a germ that causes infection in the area traversed. the area traversed is starting from the mouth of the bladder which then goes to the lips of the genitals to the uterus and continues to the fallopian tubes, so that it can cause pelvic inflammatory disease and the most dangerous impact is that it can cause infertility or not being able to have children (azizah & dewi, 2020). the potential for pathological vaginal discharge is can be anticipated by increasing knowledge and understanding of vaginal discharge properly and correctly. it is necessary to do prevention so that vaginal discharge does not get worse and does not endanger the health of hormonal contraceptive acceptors (shadine, 2009). pathological vagina discharge can be prevented by implementing a clean and healthy lifestyle such as keeping the genitals clean, how to wash hands before cleaning the genitals, performing vulvar hygiene from front to back and drying using a dry tissue with septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 61 one wipe, avoiding wearing tight underwear (abrori et al., 2017). method in this study, the researcher used a literature review research type with a systematic mapping study design. this study used secondary data taken from previous official research articles and journals. the articles and research journals used by the researcher are those published in the last 6 years, namely in publications from 2016 to 2021. the sources of literature used were obtained from three databases; the google scholar dataset, pubmed, and proquest. the literature research step was first, determine the topic in this study "the relation between the use of hormonal contraceptive methods with the occurrence of leucorrhoea". second, formulate peos namely population of contraceptive acceptors, exposure to hormonal contraceptive use, outcome of vaginal discharge, cross sectional and observational study design. the third is to make keywords for the national articles search “hormonal contraception and leucorrhoea on acceptors”, “impact of hormonal contraceptives and leucorrhoea on acceptors”. to search for international articles, the keywords are "hormonal contraceptives and leucorrhoea", "the effect of hormonal contraception and leucorrhoea". the fourth is to search the literature in the database. the fifth is to determine the inclusion criteria and exclusion criteria, namely the title of the article according to the research theme, the article can be viewed full-text access, articles have doi or issn, and articles use indonesian and english. the last is to document search results in a prism flow chart with the final journal articles that will be used in this study as many as 10 articles. in this research, the researcher described the research journal articles that had been obtained by starting from identifying the author, year of publication of the article, title of the research, purpose of research, methods used, significant value of research results in each research journal. after identifying, the researcher then conducted a study by looking for similarities and looking for differences in articles, including types of hormonal contraceptives, duration of the usage of hormonal contraceptives, the incidence of vaginal discharge in users of hormonal contraceptives. then, the researcher described the results of the analysis of journal articles about the relation between the use of hormonal contraceptive method with the occurrence of vaginal discharge. so that at the end of the study, research can concluded a summary of the relation between the use of hormonal contraceptive methods and the occurrence of vaginal discharge result research characteristics based on the results of a literature research from several databases, the research found 10 articles for this research. journal articles that researcher get were from google scholar, pubmed, and proquest. the researcher found 8 national articles and 2 international articles. all journal articles were indexed by doi and/or issn. tabel 1: research characteristic category n % year of publication 2016 1 10 2017 3 30 2018 1 10 2019 3 30 2020 1 10 2021 1 10 total 10 100 data based google scholar 8 80 pubmed 1 10 62 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 proquest 1 10 total 10 100 research design prospective observational study 1 10 cross sectional study 9 90 total 10 100 country indonesia 8 80 pakistan 1 10 egypt 1 10 total 10 100 based on the table above, it can be seen that the most widely used articles are those published in 2019 and 2017 with 3 articles (30%). the majority of data based using google scholar up to 8 articles (80%). the research design in the articles use the most is the cross sectional study as many as 9 articles (90%). the majority of the articles use came from indonesia as many as 8 articles (80%). respondent characteristic all articles studied were hormonal contraceptive acceptors with the following characteristics: tabel 2: respondent characteristic category n % group of age 20-35 years 8 80 >35 years 1 10 no description 1 10 total 10 100 number of respondents above 100 3 30 below 100 7 70 total 10 100 duration of the usage < 1 year 2 20 > 1 year 1 10 not mentioned 7 60 total 10 100 types of the contraception inject 3 30 pill 2 20 implant 2 20 hormonal contraception 3 30 total 10 100 the age of the respondents in the 10 research articles used is the majority at the age of 20-35 years as many as 8 articles (80%). the number of respondents in the articles used the majority less than 100 respondents as many as 7 articles (70%). the duration of the usage of hormonal contraception less than 1 year is 2 articles (20%), over 1 year is 1 article (10%), and the duration of the usage is not stated in detail in 7 articles (70%). the use of injectable hormonal contraception is 3 articles (30%), pill type is 2 articles (20%), implant type is 2 articles (20%) and articles containing hormonal contraceptive use without mentioning the type are 3 articles (30%). discussion hormonal contraception types the results of ten articles studied were using various types of hormonal contraceptives. the types of hormonal contraceptives used are injections, pills, and implants. these three types of hormonal septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 63 contraceptives contain progesterone and estrogen hormones, yet, the hormone levels of each type of hormonal contraception are different (armerinayanti & lestari, 2018). the use of hormonal contraceptives is currently very widely used by women of childbearing age because it is considered one of the most effective and reversible contraceptives in preventing pregnancy (sulistyawati, 2018). in accordance with the literature review that had been carried out, it was known that the use of hormonal contraception with the injection type was the most preferred, with a total of 3 articles (30%). hormonal contraceptives with injection types in indonesia itself are very widely used by women of childbearing age because this type of injection can work effectively, the use of injections is very practical and the price is also relatively cheap and safe for women of childbearing age (marmi, 2018). this is in accordance with the research conducted by (afianti & budiarso, n.d.) that injectable contraceptives are widely used since they are cheap and are believed to have high convenience and effectiveness. the second choice of the hormonal contraception used is the hormonal contraception in the pill type with a total of 2 articles (20%). the use of contraception pills is choosen because if you want to stop using it, your fertility will return immediately when compared to other types of hormonal contraceptives (setiyaningrum, 2016). this is in accordance with a research conducted by (rezk et al., 2017) that of the 430 respondents in his research, most of the 236 respondents (55%) used combined oral contraceptives rather than using iud contraception, as many as 194 respondents (45%). the third choice of the hormonal contraception used is implant-type with a total of 2 articles (20%). the use of contraceptive implants is an option because implants are a long-term method of hormonal contraception. meanwhile, 3 articles (30%) did not include the type of hormonal contraception. based on the description above, the result of this study showed that there are three types of hormonal contraception that are frequently used, starting from injectable contraceptives, pills and implants. all of these types use base materials that contain the hormone progesterone and the hormone estrogen. starting from pills, injectable contraceptives, and implants, they all have different ways of working and have their own advantages and disadvantages. the duration of hormonal contraception usage in accordance with the result of a literature review from10 articles, it is known that the use of hormonal contraception is divided into three categories; 7 articles that did not clearly state the duration of hormonal contraception usage. there were 3 articles describing the duration of hormonal contraception usage; 1 article describing the duration of the usage < 1 year, 1 article describing the duration of the usage < 1 year and > 1 year, and 1 article describing the duration of the usage > 3 years and < 3 years. the use of hormonal contraception is currently very widely used by women of childbearing age for a long time because it is considered to be working effectively, very practice, and the cost is relatively cheap and safe when used by women of childbearing age (putri, 2019). according to (setyoningsih, 2020) the duration of the hormonal contraceptiion usage can affect the occurrence of side effects that can be experienced by the acceptor. the longer of the usage, the greater the chance of experiencing side effects that arise in contraceptive acceptors. from the various descriptions above, researchers can conclude that the use of hormonal contraceptives from the injection type, pill type and implant type for a long period of time can cause the amount of the hormone progesterone and estrogen in hormonal contraceptives to be higher. so that, there will be an imbalance between hormones in the female body. leucorrhoea occurrence the results of the ten articles studied, 8 articles (80%) showed the number of presentations of vaginal discharge but did not describe the type of vaginal discharge, including 45.6% (fatmawati et al., 2020), 30,5% (farahdiba, 2017), 84% (priyanti & syalfina, 2017), 72,2% (sulistyawati, 2018), 39,4% (putri, 2019), 71,8% (riza et al., 2019), 100% (purnamasari & hidayanti, 2019), dan 43,6% (afianti & budiarso, n.d.). there are 2 articles (20%) describing the type of vaginal discharge, namely 35.2% with pathological vaginal discharge (setyoningsih, 2020), and 20,3% with physiological and pathological vaginal discharge(rezk et al., 2017). 64 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 from the number of presentations, it can be concluded that the occurrence of vaginal discharge was mostly experienced by acceptors, namely more than 20% experienced vaginal discharge. otherwise, if it is averaged, the acceptors experienced vaginal discharge was 54.6%. vaginal discharge is one of the things that women often feel or complain about during their lives, starting from their teenage years, during their reproductive years and during menopause (salamah et al., 2020). vaginal discharge can be classified into two types; vaginal discharge with a physiological type and vaginal discharge with a pathological type (nanur et al., 2019). physiological type of vaginal discharge is a vaginal discharge that can occur before menstruation and after menstruation. moreover, vaginal discharge can occur due to sexual stimulation. the characteristics of physiological type of vaginal discharge are having a clear color, no odor and no itching, pain and burning sensation (shadine, 2009). while the pathological type of vaginal discharge usually occurs because it is caused by several infection of the genital organs things, which occurs due to poor vulvar hygiene behavior, excessive use of vaginal cleaning fluid, using powder or perfumed soap in the vaginal area. the characteristics of pathological vaginal discharge are discharge in large quantities, choosing a color (example: yellow/green/grey or milky) and there is itching, pain and burning sensation (purnasari, 2018). physiological type of vaginal discharge that is not treated promptly and correctly will become a pathological type of vaginal discharge that can cause complications such as pelvic inflammatory disease and can cause infertility due to damage and blockage of the fallopian tubes (shadine, 2009). leucorrhoea can be prevented or overcome by the acceptor taking care of the cleanliness of his genitals, using feminine cleansing soap but with soap that does not disturb the ph balance of the vagina, rinsing the vagina in the right way, starting from the front to the back, using underwear that easily absorbs sweat, and always change sanitary napkins during the menstruation (hangganingrum & ariandini, 2020). the description above explained the importance for a woman to be able to know and understand the incidence of vaginal discharge, considering that there are two categories that have the potential to occur in women, normal and abnormal vaginal discharge. it is necessary to understand well about the symptoms and how to overcome them, especially women of childbearing age. the relation between the use of hormonal contraception methods with the leucorrhoea occurrence based on the 10 articles reviewed, there were 7 articles using analytical tests, 4 articles (57%) saying there was a relationship between the use of hormonal contraceptive methods and the incidence of vaginal discharge, while 3 articles (43%) said there was no relationship between the use of hormonal contraceptive methods and the incidence of vaginal discharge. there are 3 articles that did a descriptive analysis, it was found that users of hormonal contraceptive methods who experienced vaginal discharge were more than 35%. the result of the research conducted by (purnamasari & hidayanti, 2019) explained that based on statistical tests with chi squares, a p value of 0.037 was obtained at a significant level of 5%, which means that there is a relation between the use of contraceptives and the occurrence of vaginal discharge in women of childbearing age. research conducted by (priyanti & syalfina, 2017) explained that (p-value = 0.010; pr = 10,000; 95% ci = 1.732-57.722) which means that there is an effect of using hormonal contraceptive methods on the occurrence of vaginal discharge, and stated that the use of hormonal contraceptive methods causes 10x the risk of increasing the occurrence of vaginal discharge in women aged fertile compared to those using non-hormonal contraceptives. research conducted by (putri, 2019) explained that the use of depo progesterone injection contraception can cause users to experience side effects of vaginal discharge. this is also in accordance with research conducted by (syahlani et al., 2013) that based on the results of the analysis using the chi-square test with a confidence level of p< α this means that ho = rejected, ha accepted, meaning that there is a relationship between the use of hormonal contraceptives and the incidence of vaginal discharge in the work area of pekauman health center, banjarmasin city. this is also in line with research conducted by (kusuma, 2016) explained that based on statistical tests with chisquare showed that there was a relationship between the use of contraceptive methods (p = 0.0098) with the occurrence of subjective complaints, namely vaginal discharge. vaginal discharge is a side effect that occur due to excess progesterone and estrogen hormones that septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 65 happen based on the use of hormonal contraceptives (priyanti & syalfina, 2017). this is in accordance with a research by (ishtiaq et al., 2016) who explained that the use of hormonal contraceptives causes side effects of vaginal discharge. in addition, the use of contraception for a long period of time or for a long time will cause an increase in the dose content of the hormone progesterone and the hormone estrogen to be higher in the body of women who use hormonal contraceptives and this is what can cause women of childbearing age, especially acceptors of hormonal contraception experiencing vaginal discharge (farahdiba, 2017). on the research that have been conducted by (farahdiba, 2017) explained that there is a relationship between the duration of use of oral and injectable hormonal contraceptives with the incidence of vaginal discharge, which obtained a p value = 0,021 < α = 0,05 and a p value = 0,044 < α = 0,05 while the implant type of hormonal contraception did not show a long relation of the implant-type contraceptives usage with the incidence of vaginal discharge with a value of p = 0,700 < α = 0,05. research conducted by (setyoningsih, 2020) explained that the long use of dmpa contraception causes the acceptor to experience side effects, namely vaginal discharge, this is in accordance with the research by (rezk et al., 2017) which used a prospective observational design, found that out of 236 women using combined oral contraceptives with a duration of 6 weeks experiencing vaginal discharge, as many as 58 women experienced vaginal discharge for 6 months, 48 women experienced vaginal discharge for 6 months, and 42 women experienced vaginal discharge for 12 months. the decrease in the occurrence of vaginal discharge in combined oral contraceptive users can be affected by correct personal hygiene. vaginal discharge can occur due to the effects of hormonal contraception, those which containing the hormone progesterone and estrogen hormones that change the flora and ph of the vagina, thereby causing the yeast to thrive in the vagina and cause vaginal discharge to occur. apart from the influence of high levels of progesterone and estrogen hormones, vaginal discharge can also occur due to a lack of proper personal hygiene in women of childbearing age carried out by contraceptive acceptors (setyoningsih, 2020). there are three articles stated that there is no relation between the incidence of vaginal discharge and the use of hormonal contraception. first is research conducted by (sulistyawati, 2018) data analysis showed p= 0.351 that the use of contraceptives, both hormonal and non-hormonal types, has no relation with the occurrence of vaginal discharge. further research conducted by (riza et al., 2019) data analysis showed that p=0,808 this means that there is no relation between the use of contraceptives and the occurrence of vaginal discharge and p=0,000 this means that there is a relation between personal hygiene and the occurrence of vaginal discharge. moreover, research conducted by (afianti & budiarso, n.d.) which data analysis showed that p value = 0.129 this means that there is no relation between the use of injectable hormonal contraceptives and the occurrence of vaginal discharge in family planning acceptors at clinic x, cisauk district. the description above then can be concluded that the use of hormonal contraceptives and the duration of the hormonal contraceptives usage can cause side effects, namely the occurrence of vaginal discharge. this can happen because the base materials for hormonal contraception are drugs that contain estrogen and progesterone preparations, so if they are used for a long time, it will cause an increase in the hormone progesterone and estrogen hormone in the body of women of childbearing age who use hormonal contraceptives, thus causing the occurrence of vaginal discharge. the vaginal discharge that occurs is the effect of the content of the hormone progesterone and the hormone estrogen which changes the flora and ph of the vagina, causing yeast to easily grow in the vagina. conclusion based on the result of a review that has been carried out by the researcher, it is found that hormonal contraceptives are contraceptives in which the hormones estrogen and progesterone are contained. the types of hormonal contraception found in this study were injections, pills, and implants. the duration of using hormonal contraceptives in a period of less than 1 year and more than 1 year can both cause side effects, namely the occurrence of vaginal discharge. the occurrence of physiological vaginal discharge experienced by hormonal contraceptive acceptors is more than 20% or if it was averaged is around 54.26%. it can be said 66 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 that the occurrence of vaginal discharge in users of hormonal contraceptives is still high.so, from the result of the review that had been carried out by researcher, it could be concluded that most of the articles described a relation between the use of hormonal contraceptive methods and the occurrence of vaginal discharge. vaginal discharge is not only due to the use of contraception, but can also be caused by the acceptor's personal hygiene being not appropriate or correct. suggestion 1. for profession for health workers, especially midwives, it is hoped that they can provide counseling to women who use contraception to increase knowledge and understanding about leucorrhoea properly and correctly 2. for women using contraseption women who use hormonal contraception can keep the vaginal area clean with good personal hygiene. 3. for the next researcher the results of this study in the future can be used as a source of data, additional knowledge, references and a review of the literature that discusses the relationship between the use of hormonal contraceptive methods and vaginal discharge. acknowledgement we would like to thank everyone who was directly or indirectly involved in this research. funding the research had no external funding. it is fully funded by the authors. conflicts of interest the authors declare there is no conflict of interest in the research. author contributions in this research the first author acts as a correspondent who is responsible for the research process up to publication by writing articles that have been adapted to journal guidelines. the second author assisted in data collection and data processing. the third author assisted in the research process and assisted in translation. reference abrori, hernawan, a. d., & ermulyad. (2017). faktor yang berhubungan dengan kejadian keputihan patologis siswi sman 1 simpang hilir kabupaten kayong utara. unnes journal of public health, 6(1), 1– 11. https://doi.org/10.15294/ujph.v6i1.1410 7 afianti, s. r., & budiarso, l. s. (n.d.). ebers papyrus hubungan kontrasepsi hormonal suntik dengan keputihan pada akseptor kb di klinik x kecamatan cisauk oleh : ebers papyrus, 27(2), 57–65. armerinayanti, n. w., & lestari, d. p. o. (2018). risiko kandidiasis serviks pada wanita usia subur akseptor kontrasepsi hormonal. wmj (warmadewa medical journal), 3(1), 22. https://doi.org/10.22225/wmj.3.1.640.22 -27 astuti, s., latifah, n. s., & marina, m. (2019). penyuluhan kesehatan alat kontrasepsi keluarga berencana dusun umbul pelem desa kurungan nyawa kecamatan gedong tataan pesawaran tahun 2019. jurnal perak malahayati ( pengabdian kepada masyarakat), 1–4. https://doi.org/https://doi.org/10.33024/ .v1i1.1513 azizah, f. m., & dewi, n. r. (2020). pengaruh pemberian ocimum basilicum ( daun kemangi ) terhadap kejadian keputihan patologis pada wanita usia subur di puskesmas kraksaan kabupaten probolinggo: the effect of ocimum bacilicum (kemangi leaves) to cure leucorrhoeain childbearing age women, in. jurnal ilmiah kebidanan (scientific journal of midwifery), 6(2), 125–134. https://doi.org/10.33023/jikeb.v6i2.614 farahdiba, i. (2017). hubungan lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian keputihan pada akseptor keluarga berencana di puskesmas batua makassar. jurnal kesehatan delima pelamonia, 1(1), 65–70. https://doi.org/10.37337/jkdp.v1i1.31 fatmawati, z., rustanti, e., & fatmawati, i. (2020). ekstrak rebusan annona muricata l sebagai anti leuchorea pada akseptor kontrasepsi hormonal di pmb ny n desa pulodegang kec. tembelang kab. jombang. hospital majapahit, 12(2), 134– septiani, anita, zalni, positive correlation of family support and level of anxiety in facing … 67 142. http://ejournal.stikesmajapahit.ac.id/inde x.php/hm/article/view/657/663 fauziah, f. (2020). buku ajar praktik asuhan pelayanan keluarga berencana (kb). pena persada, 1–112. https://doi.org/10.31237/osf.io/n9w3k handayani, r. (2021). hubungan vulva hygiene dan penggunan kb dengan keputihan pada wanita usia subur. jurnal keperawatan priority, 4(1), 50–59. hangganingrum, l. p., & ariandini, s. (2020). hubungan kejadian keputihan dengan servisitis pada wanita usia subur. jurnal ilmiah kebidanan indonesia, 9(4), 180– 184. https://doi.org/10.33221/jiki.v9i04.420 hastuti, d. d. (2015). hubungan pengetahuan tentang kb suntik 3 bulan dengan ketepatan jadwal penyuntikan ulang pada akseptor kb di bps ny. dini melani condong catur sleman yogyakarta tahun 2015. stikes ‘aisyiyah yogyakarta, 2015, 1– 13. hidayah, a., sari, w. a., & peu, y. a. (2021). hubungan penggunaan sabun pembersih kewanitaan dengan kejadian keputihan pada wanita usia subur di rw 06 desa kletek kecamatan taman kabupaten sidoarjo. stikes husada jombang, 13(1), 122–131. hidayati, t., hanifah, i., hastiyani, l., hafshawaty, s., & zainul, p. (2020). effectiveness of granting of sirsak leaf extract ( annova muricata linn ) on the event of pathological derivity in subur aged woman stikes hafshawaty pesantren zainul hasan ekstrak daun sirsak , keputihan , wanita usia subur jurnalilmiahkebidanan ( scie. jurnalilmiahkebidanan (scientific journal of midwifery), 6(december 2016), 135– 142. https://doi.org/10.33023/jikeb.v6i2.613 imelda, f., & nurbaiti. (2018). countermeasures against cervical cancer through detection of fluor albus characteristic in women at medan, north sumatera. journal of saintech transfer, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.32734/jst.v1i1.240 ishtiaq, a., khaliq-ur-rehman, & balouch, y. (2016). the frequency of different contraceptives uses and their side effects in clients visiting family planning center, bvh bahawalpur. medical forum monthly, 27(11), 75–77. kustanti, c. (2017). pengaruh pemberian air rebusan daun sirih hijau terhadap kejadian keputihan. jurnal keperawatan notokusumo, 5, 7. kusuma, n. (2016). hubungan antara metode dan lama pemakaian dengan keluhan kesehatan subyektif pada akseptor. jurnal berkala epidemiologi, 4(2), 164–175. https://doi.org/10.20473/jbe.v4i2.2016.1 64 marmi. (2018). buku ajar pelayanan kb (cetakan ii). pustaka pelajar. nanur, f. n., lumi, v. y. a., & mudah, f. v. (2019). gambaran pengetahuan wanita usia subur tentang flour albus di dusun sere kelurahan tanah rata. prodi d iii kebidanan fikp unika st. paulus ruteng, 5(10), 43–48. priyanti, s., & syalfina, a. d. (2017). alat kontrasepsi dan aktivitas seksual sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keputihan. jurnal berkala epidemiologi, 5(3), 371–382. https://doi.org/10.20473/jbe.v5i3.2017. purnamasari, i. a., & hidayanti, a. n. (2019). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keputihan pada wanita usia subur (wus) di kecamatan banjarejo kota madiun. stikes bhakti husada mulia, 13. https://doi.org/10.7868/s0207352813080 064 purnasari, e. b. (2018). hubungan antara perilaku hygiene genetalia dengan kejadian keputihan patologis. in jurnal biometrika dan kependudukan (vol. 7, issue 1, p. 20). https://doi.org/10.20473/jbk.v7i1.2018.2 0-28 putri, y. (2019). ketidakteraturan siklus haid, berat badan dan flour albus terhadap akseptor depoprogesteron untuk melanjutkan suntik. journal of midwifery, 7(1), 40–51. https://doi.org/10.37676/jm.v7i1.769 rahayu, r. p., damayanti, f. n., & purwanti, i. a. (2015). faktor-faktor yang berhubungan dengan keputihan pada wanita usia subur (wus) di rt 04 rw 03 kelurahan rowosari 68 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 59-68 semarang. universitas muhammadiyah semarang, 2–7. rezk, m., sayyed, t., masood, a., & dawood, r. (2017). risk of bacterial vaginosis, trichomonas vaginalis and candida albicans infection among new users of combined hormonal contraception vs lng-ius. european journal of contraception and reproductive health care, 22(5), 344–348. https://doi.org/10.1080/13625187.2017.1 365835 riza, y., qariati, n. i., & asrinawaty, a. (2019). hubungan personal hygiene dan penggunaan kontrasepsi dengan kejadian keputihan pada wanita usia subur (wus). mppki (media publikasi promosi kesehatan indonesia): the indonesian journal of health promotion, 2(2), 69–74. https://doi.org/10.31934/mppki.v2i2.559 salamah, u., kusumo, d. w., & mulyana, d. n. (2020). faktor perilaku meningkatkan resiko keputihan. jurnal kebidanan, 9(1), 7. https://doi.org/10.26714/jk.9.1.2020.714 sari, h. f., kusumawati, y., & wijayanti, a. c. (2015). hubungan penggunaan dan lama penggunaan jenis kontrasepsi hormonal dengan kejadian keputihan pada akseptor keluarga berencana di wilayah kerja puskesmas kartasura sukoharjo. fik ums, 18. setiyaningrum, e. (2016). pelayanan keluarga berencana. cv. trans info media. setyoningsih, f. y. (2020). efek samping akseptor kb suntik depo medroksi progesteron asetat (dmpa) di bpm fitri hayati. jurnal kebidanan malahayati, 6(3), 298–304. https://doi.org/10.33024/jkm.v6i3.2743 shadine, m. (2009). penyakit wanita. keen books. sulistyawati, a. (2018). hubungan jenis alat kontrasepsi dengan gangguan kesehatan reproduksi. jurnal kesehatan madani medika, 9(2), 6–11. syahlani, a., sogi, d., & redjeki, s. (2013). hubungan penggunaan kontrasepsi hormonal dan pengetahuan ibu tentang perawatan organ reproduksi dengan kejadian keputihan di wilayah kerja puskesmas pekauman banjarmasin. dinamika kesehatan, 12(12), 101–111. 288 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk literature review: the support needs of the nurse mentors in their mentoring role sisinyana hannah khunou1, kholofelo lorraine matlhaba2 1,2department of health studies, university of south africa, south africa article information abstract in order to develop effective mentoring programme, it is important to identify the needs of the nurse mentors. a lot has been documented about the needs of the nurse mentees, however, there is a dearth of recent literature finding the support needs of the nurse mentors. the aim of this integrative review was to synthesize the literature on the support needs of the nurse mentors in their mentoring role. the search was steered across cumulative index to nursing and allied health literature; direct of open access journals; google scholar, pubmed/medline, science direct, and scopus, in order to identify challenges and support that need to provide to the nurse mentors in their mentoring role. the medical subject headings according to national library of medicine was used to search for the key concepts. key search concepts were entered into the query box on the main pubmed page and searched. the search details page was check to determine how pubmed processed the search. the same concepts were used on the database to search for the articles which were included in this review. seven subthemes, twenty categories were identified and classified into two main themes: challenges to effective mentoring; support needed by the nurse mentors. the review identifies challenges faced by nurse mentors and concludes that they need support. this study suggests that policy makers should make a concerted effort by availing resources for mentoring role. workshops to equip mentors and collaboration between different stakeholders might help to enhance the support of the nurse mentors. future research should analyse collaboration in support of the nurse mentors in their mentoring role. history article: received, 25/03/2023 accepted, 17/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: mentoring role, mentorship, nurse mentors, support needs © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: university of south africa south africa, south africa p-issn : 2355-052x email : khunosh@unisa.ac.za e-issn : 2548-3811 doi: this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:khunosh@unisa.ac.za khunou, matlhaba, literature review: the support needs of the nurse mentors in their … 289 introduction transition from being a student to practice as a newly qualified nurse, has been proven to be a nerveracking experience journey (duchscher, 2009; chen et al., 2021). to that effect, studies has recommended mentorship and support of the newly qualified nurse in order to alleviate the transitional shock (chen et al., 2021). mentorship is described as a reciprocally valuable relationship between a more experienced person (mentor) and a less experienced person (protégé/mentee), where the primary focus is professional development of the mentee (scott & smith, 2008). notably, without the mentor, it would be impossible to ensure adequate and effective mentoring and support of the newly qualified nurse as a mentee. indeed, mentors form a crucial aspect in the mentoring of the newly qualified nurses. hence, it is important to consider their support needs in persuing the mentoring role. mentoring has benefits to the mentor and the mentee. some of the mentor‘s benefits entail recognition, career and psychological developments (khunou, 2018; lapointe & vandenberghe, 2017). the benefits of mentoring for the mentees include skills and knowledge development, being a competent prosperous professional, collaboration and professional visibility (cross et al., 2019). in order to realise these positive outcomes, there should be an effective reciprocal mutual relationship between the mentor and the mentee (moran and banks, 2016). even though the relation is mutual, the mentor shoulders the most responsibility by taking the lead and directing the complete mentoring process (hale, 2018). the valuable contribution of the nurse mentor is well documented. in support, moran and banks (2016) revealed that mentors form a crucial aspect in the supervision and mentoring of novice nurses. pivotal responsibilities include the teaching and learning of students as well as the assessment of the students’ competency (moran & banks, 2016). it is also emphasised that mentors, play an essential role in retaining of the newly qualified nurses. besides skills development, zhang et al. (2019) reiterate that mentors also provide psychological support thus enhance job satisfaction amongst the novice nurses. it is apparent that the mentor is the cornerstone of the mentoring process. mentors need to be motivated and supported in order to be committed in the mentoring of the novices. according to roseghini and olson (2015), mentors who are competent, knowledgeable and motivated are likely to provide a positive mentoring and feedback. it is further revealed that there is the need for the organization to support and acknowledge the mentor’s role (wissemann et al., 2022). it is clear from the literature that the mentors need to be adequately supported. in order for the nurse mentor to be supported, it is imperative to get a clear evidence to understand their support needs. the purpose of this review was to synthesize the evidence available on the support needs of the nurse mentors in mentoring role. the review aimed to address the following research question: “what are the challenges and the support needed by the nurse mentors in their mentoring role?” mentoring plays an important role in the transition from students to graduate nurses whether in form of formal or informal relationship between the experienced nurses as the mentors and novice nurses as mentees. dirks (2021), suggest that mentoring relationships in critical care provide the ongoing interactions, coaching, teaching, and role modelling to facilitate the nurses' progression into the profession. in agreement, voss et al. (2022) suggest that the collaborative knowledge sharing between the mentor and mentee fosters better support, resilience, increased motivation, and overall job satisfaction. therefore, experienced nurses as mentors are needed to provide guidance as well as sharing their clinical experiences with the intention to assist the novice nurses gain confidence in their professional roles as well as assisting them to adapt to the working environment. however, it is evident that nurse mentors find it challenging to execute their roles due to multiple factors including lack of support (wissemann et al., 2022; oluchina & gitonga 2016; ntho et al., 2020). therefore, this review aimed to provide evidence on the support needs of the nurse mentors in mentoring role from the existing literature and to make recommendations. method an integrative literature was used to address the question on support needs of the nurse mentors in their mentoring role. integrative review determines current knowledge about a specific topic because it is carried out to identify, analyse and synthesize results of independent studies on the same subject (whittemore & knafl, 2005). the justifications fundamental to the selection of this approach were as follows: 1) this approach allowed the consolidation of different research findings which applied various designs and methodologies to establish the gaps on the support of mentors in the mentoring role; 2) the methodical appraisal and 290 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 288-301 blend of the vast literature enhanced the review rigor (whittemore & knafl, 2005). the support needs of the nurse mentor in the mentoring role are multidimensional, therefore an integrative literature review was the most suitable method to contemplate the existing evidence. the research question underpinning this integrative review was: what are the support needs of the nurse mentors in the mentoring role? this integrative review encompassed research articles published between 2013 and 2023. the search focused on the following electronic databases: google scholar, medline cumulative index to nursing and allied health literature (cinahl), education resources information center (eric), psychinfo, science direct, pub med and ebscohost.the medical subject headings (mesh) according to national library of medicine was used to search for the key concepts as illustrated in table 1 below. key search concepts were entered into the query box on the main pubmed page and searched. the search details page was check to determine how pubmed processed the search. the same concepts were used on the database to search for the articles which were included in this review. table 1: search strategy steps search terms 1 "mentor”; mentors”; “mentorship”; preceptor”; “supervision” 2 "need”; health services needs and demand"needs 3 “mentoring”; “coaching”; “preceptorship”; “supervision”; “clinical supervision”; 4 “mentor’s experiences”; “attitudes”; “perspectives”; “view”; “perceptions”; “feelings”; “opinions” 5 “role” 6 1 and 2 and 3 and 4 and 5 inclusion and exclusion criteria were further applied to make sure that appropriate and relevant articles were reviewed. studies were included if they met the following criteria: (a) scholarly works published in peer-reviewed journals; (b) written in english; (c) timeframe between 2013 and 2023 (d) study participants were nurse managers/ registered nurses; (e) inclusion of search term or keywords. any research work and articles involving other nurses and other health care professionals were excluded. furthermore, the exclusion applied to pilot studies reports, literature reviews, and editorial letters, as well as conference reports. the most relevant articles were determined with the application of the preferred reporting items for systematic reviews and meta-analysis (prisma). this process resulted in 16 articles, which met the criteria for review inclusion (fig. 1 and table 2). figure 1. prisma flow diagram of integrative review (adapted from moher et al, 2009) articles identified from databases (n =980) duplicate articles removed (n =300) ineligible articles (n = 500) articles screened by title and abstracts (n = 180) articles excluded (n =110) full text articles assessed for eligibility (n = 70) articles excluded because of the exclusion criteria (n = 54 studies included in review (n = 16) id e n ti fi c a ti o n s c r e e n in g in c lu d e d khunou, matlhaba, literature review: the support needs of the nurse mentors in their … 291 critical appraisal the critical appraisal skills programme checklist (casp) was used to critically appraise the quantitative, qualitative and mixed method studies (casp, 2018). the two authors collaborated in reading, reaffirmation, proof reading and evaluation of the reserved articles. the extensive reading of the articles sought to assure the quality of the articles and ensure that they met the inclusion criteria. simultaneously, this process included adequate data extraction as per critical appraisal skills programme methodological assessment tools (casp, 2018). the quality and rigor of the articles was based on the author(s), year, country, title, and methods sample and data quality. the quality of the study was scored as a = high quality; b = good quality and c = low quality. table 2 illustrate the casp for quantitative and mixed method studies and the qualitative studies respectively. from this 16 studies that met the quality appraisal criteria were retained: qualitative (n = 8); mixed method (n = 5); quantitative (n = 3) studies. data analysis in the data analysis stage, data were organised, categorized and summarised into an incorporated conclusion about the research problem under study (whittemore & knafl, 2005). in this review, a matrix was developed that outlined (1) the characteristics of the study population; (2) challenges to effective mentoring; 3) support needed by the nurse mentors. content from the articles were then extracted populating the matrix. the results were then integrated and analysed using a constant comparative method to organise and categorise the data. review presentation stage at this stage, data is presented elucidating the specifics from each data source in support of the final conclusions from the review (whittemore & knafl, 2005). in this review, studies were synthesized under the following subheadings: 1) author; 2) year of publication; 3) country, 4) study design, 5) study sample and 6) findings (table 2). final summary of the findings is then presented in themes; sub-themes and categories for better clarity of the support needs of the nurse mentors in the mentoring role.as illustrated in table 3. 292 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 288-301 table 2: characteristics of studies including the quality (a = high quality; b = good quality; c = low quality) no author/s; year; country; title methods sample size quality appraisal results 1. bennett & mcgowan (2014) uk assessment matters—mentors need support in their role qualitative nurse mentors (n =35). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) changing roles and responsibilities, time to mentor. 2. broadbent et al. (2014)(australia) supporting bachelor of nursing students within the clinical environment: perspectives of preceptors mixed method nurse mentors (n =34). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) lack of a qualification in preceptoring resource provision and communication concerning. difficult to manage time and resolve role conflict. 3. chan et al. (2019) (hong kong) understanding the needs of nurse preceptors in acute hospital care setting: a mixed-method study sequential mixed method approach nurse mentors (n =10 –qual; 260 – quan). aim ,objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) training on critical thinking, prioritising, teaching techniques, conflict management. tension with their dual roles and strained relationships with co-workers 4. fernandez et al. (2018) (australia) exploring the experiences of neophyte nurse mentors: a qualitative study. qualitative nurse mentors (n =6). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) readiness for mentoring, ;venturing into the unknown, frustrations of mentoring; reciprocal professional relationship. 5. frankenberger et al. (2021)(usa) experience of burnout among paediatric inpatient nurse preceptors. qualitative nurse preceptors (n =8). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) feeling the responsibility” reflected the cognitive stain of precepting. “an obligation to the role 6. jokelainen et al. (2013) (uk) finnish and british mentors' conceptions of facilitating nursing students' placement learning and professional development. qualitative nurse mentors (n = 39). aim, objectives described; methods suitable; results consistent; implications described quality=high (a) mentors are required to have effective communication and evaluation skills, should therefore be supported through mandatory mentor preparation programmes. khunou, matlhaba, literature review: the support needs of the nurse mentors in their … 293 no author/s; year; country; title methods sample size quality appraisal results 7. kramer et al. (2021) (usa) the art of nurse mentoring: a framework of support qualitative nurse mentors (n =42). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) barriers: time, patients/patience, competition, knowledge deficit regarding mentor verses preceptor roles, lack of incentives, receptiveness 8. macey et al. (2021) (australia) icu nurse preceptors’ perceptions of benefits, rewards, supports and commitment to the preceptor role: a mixedmethods study mixed-method design preceptors (n =113). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) supports as barriers and enablers to successful preceptorship were discussed in terms of peer and leadership support, role preparation, role conflict 9. maclaren (2018) (uk) supporting nurse mentor development: an exploration of developmental constellations in nursing mentorship practice qualitative nurse mentors (n =3) aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) findings suggest that dyadic forms of supervisory mentorship may not offer the range of skills and attributes that developing mentors require. 10. mcintosh et al. (2013)(uk) mentors' perceptions and experiences of supporting student nurses in practice mixed-method approach nurse mentors (n =61) aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) mentors need to be supported with clinical skills, integrating into the team. mentors were aware of their roles and responsibilities in supporting students 11. mikkonen et al. (2021) (uk) mentors' competence in mentoring nursing students in clinical practice: detecting profiles to enhance mentoring practices. quantitative nurse mentors (n =1604). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) significantly different values (p < .001) across all seven areas of mentoring competence. 12. mubeezi et al. (2017) (uganda) mentoring student nurses in uganda: a phenomenological study of mentors’ perceptions of their own knowledge and skills qualitative research method nurse mentors (n =5). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) the paper reports on the nature of the relationship between mentor and students, the teaching approaches used and the challenges of the role. 294 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 288-301 no author/s; year; country; title methods sample size quality appraisal results 13. panzavecchia et al. (2014) (uk) are preceptors adequately prepared for their role in supporting newly qualified staff? qualitative preceptors (n =30). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) lack of preparation for their role, expectations of limitations and difficulties associated with being a preceptor. 14. rooke (2014) (uk) an evaluation of nursing and midwifery sign off mentors, new mentors and nurse lecturers' understanding of the sign off mentor role quantitative nurse mentors (n=114). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) introduction of sign off mentors positively; offering a more robust mechanism for ensuring students were competent, and offered an increased level of support for students 15. staykova et al. (2013) (usa) empowering nursing preceptors to mentoring undergraduate senior students in acute care settings mixed method study preceptors (n =28). . aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) the mentorship experience for preceptors would be enhanced by incorporating the needs and preferences of the preceptors into their training and resource materials. 16. tuomikoski et al. (2018) (uk) the competence of nurse mentors in mentoring students in clinical practice–a cross-sectional study quantitative nurse mentors (n = 576). aim , objectives described methods suitable results consistent implications described quality=high (a) reflection during mentoring and identifying a student's need for mentoring the highest, whereas studentcentred evaluation and supporting a student's learning process were rated lowest. khunou, matlhaba, literature review: the support needs of the nurse mentors in their … 295 results sixteen (16) studies published between the years 2013 to 2023 met the inclusion criteria, which entailed qualitative (n=8), quantitative (n =3), and mixed methods (n =5) as indicated in table 2. the qualitative studies were exploratory and descriptive in nature (bennett & mcgowan, 2014; fernandez et al., 2018, frankenberger et al., 2021, jokelainen et al., 2013;kramer et al., 2021; mubeezi & gidman, 2017; panzavecchia & pearce, 2014). the studies which applied the mixed method design were as follows: (broadbent et al., 2014; chan et al., 2019; macey et al., 2021; mcintosh et al., 2014; staykova et al., 2013). quantitative studies applied the cross-sectional descriptive designs and included: (mikkonen et al., 2022; rooke, 2014; tuomikoski et al., 2018). these results are depicted in table 3. thirteen out of the sixteen reviewed studies, revealed that mentors were faced with numerous challenges in their mentoring roles (bennett & mcgowan, 2014; broadbent et al., 2014; chan et al., 2019; clark & casey, 2016; frankenberger et al., 2021, jokelainen et al., 2013; kramer et al., 2021; macey et al., 2021; mikkonen et al., 2022; mubeezi & gidman, 2017; panzavecchia & pearce, 2014; tuomikoski et al., 2018; rooke 2014). this theme is supported by the following subthemes, namely: knowledge gap, inadequate support, undefined roles and organisational challenges. the reviewed studies highlighted that the nurse mentors need to be supported specifically with regard to these important aspects: 1) conducive mentoring environment; 2) capacity building regarding the mentoring role; 3) adequate support for the mentoring role (chan et al., 2019, jokelainen et al., 2013; kramer et al., 2021; macey et al., 2021; mcintosh et al., 2014; mikkonen et al., 2022; rooke, 2014). overwhelmingly, the support of the nurse mentor has been posited by seven studies (chan et al., 2019; kramer et al., 2021; maclaren 2018; macey et al., 2021; mcintosh et al., 2014; mikkonen et al., 2022; mubeezi & gidman, 2017). recognition and clarity of the role were highlighted as an important strategy to support the nurse mentors (chan et al., 2019; maclaren 2018; mikkonen et al., 2022). table 3 depicts the themes, subthemes and categories identified from the reviewed articles. table 3: themes, subthemes and categories of the integrative review themes subthemes categories 1. challenges to effective mentoring knowledge gap • lack of knowledge and skills • inadequate preparedness for the role • lack of confidence • challenges in assessment inadequate support • lack of managerial support • poor interpersonal relationships • ineffective communication undefined roles • lack of recognition • role confusion organisational challenges • shortage of resources and mentors • inadequate time • work overload 2. support needed by the nurse mentors conducive mentoring environment • adequate mentoring resources • collaboration between the stakeholders • availability of mentoring guidelines capacity building regarding the mentoring role • training and development • adequate mentoring preparation adequate support of the mentor • recognition and clarity of the role • protected time for mentoring • managerial and peer support 296 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 288-301 discussion the purpose of this integrative literature review was to synthesize the evidence available on the support needs of the nurse mentors in mentoring role. the sixteen reviewed studies revealed the two main themes, namely: 1) challenges to effective mentoring; 2) support needed by the nurse mentors (table 3). challenges to effective mentoring nurse mentors are expected to impart their valuable information and experience to the least knowledgeable novice nurses. it is concerning to note that the majority of the reviewed studies, highlighted the knowledge gap amongst the nurse mentors (bennett & mcgowan, 2014; chan et al., 2019; fernandez et al., 2018; jokelainen et al., 2013; mcintosh et al., 2014; tuomikoski et al., 2018). undeniably, this lack of knowledge is demonstrated by unpreparedness for the mentoring role, lack of skills and confidence to mentor and assess the mentees (bennett & mcgowan, 2014; maclaren, 2018; mubeezi & gidman, 2017). inadequate preparedness and knowledge was perceived as more challenging and exacerbated by lack of managerial support (panzavecchia & pearce, 2014). it is clear that this resulted in more frustrations as it meant that the nurse mentors had no option but to blunder around their novices .furthermore, the lack of confidence in assessment was highlighted as a concerning issue amongst the mentors (bennett & mcgowan, 2014; rooke, 2014). notably, the lack of knowledge amongst the nurse mentors could be attributed to the advancements on nursing curricula. therefore, it is imperative that the nurse mentors should undergo some orientation and workshops in order to keep them in par with the new nursing education developments (bennett & mcgowan, 2014; khunou, 2019). mentoring the novice nurse has been found to result in a range of mixed feelings, dismay and frustrations, which necessitate the need for adequate support (hunt et al., 2016). in this literature review, it came out clear from the eight studies (broadbent et al., 2014; chan et al., 2019; maclaren, 2018; macey et al., 2021, mcintosh et al., 2014; mubeezi & gidman, 2017; panzavecchia & pearce, 2014; rooke, 2014), that the nurse mentors were not supported in their mentoring role. this was perceived as a challenge in that there was ineffective communication and lack of support from the managers (chan et al., 2019; maclaren, 2018). the lack of support resulted in the whole mentoring responsibility shouldered by the nurse mentors and this was frustrating. in this regard, the mentors were blamed for the unsatisfactory performance and poor progress of the mentees (chan et al., 2019). this type of resentment could result in the inadequate mentoring of the mentees and ultimate abandonment of the whole mentorship by the mentors. the nurse managers should demonstrate the support by monitoring the outcome and mediating between the mentoring pair when a need arise (goodyear & goodyear, 2018). five of the studies, (broadbent et al., 2014; chan et al., 2019; frankenberger et al., 2021; macey et al., 2021; rooke, 2014) revealed the undefined nurse mentors’ roles as a huge challenge. most of the studies indicated a thin line between the lack of recognition and role confusion (chan et al., 2019; macey et al., 2021; rooke, 2014). in this instance, the nurse mentors cited role confusion in terms of having to make a choice between ward routine and the needs of the mentees (rooke, 2014). an expectation that mentoring should be combined with other nursing activities, result in role confusion and a lot of pressure amongst the nurse mentors (panzavecchia & pearce, 2014). the lack of recognition of the mentoring role can be perceived as the lack of support. furthermore, lack of mentoring incentives was perceived as lack of recognition of the role. recognition can be demonstrated by rewarding the nurse mentors with proper remuneration, continuing educational opportunities and career advancements (oluchina & gitonga, 2016). notably, by recognising and appreciating the role played by the nurse mentors, can assist to motivate them to keep on doing the good work of socialising the nurse mentees into the nursing profession. nurse mentors requires adequate and efficient organisational non-human and human resources, in order to participate and provide successful mentoring. however, the findings of the current review, revealed otherwise. shortage of resources, time and work load are identified as factors which hindered nurse mentors to effectively perform their role (broadbent et al., 2014; chan et al., 2019; frankenberger et al., 2021; kramer et al 2021; macey et al., 2021; mubeezi & gidman, 2017). agreeably, adequate time is required by the mentor to effectively teach and provide both developmental and psychological support to the mentee. (bennett & mcgowan 2014; rooke, 2014). furthermore, lack of time has been associated with workload and shortage of resources (panzavecchia & pearce, 2014; khunou, matlhaba, literature review: the support needs of the nurse mentors in their … 297 khunou, 2023). the assertion is that inadequate time coupled with lack of resources and workload make it impossible for the nurse mentors to give it all when mentoring a novice nurse. support needed by the nurse mentors to ensure effective mentoring role, several strategies are urgently needed to support the nurse mentors. based on the results of this integrative literature review, there is a need to provide adequate support to the mentors table 3 clearly illustrate the challenges which hinder the smooth mentoring role of the nurse mentors. to that effect, the studies advocated for the need of a conducive mentoring environment characterised by adequate mentoring resources, collaboration between the stakeholders and availability of mentoring guidelines (jokelainen et al., 2013; kramer et al., 2021; mcintosh et al., 2014). the nurse mentors, should be provided with a favourable conducive environment which has enough and efficient resources (broadbent et al., 2014). another study pointed out that inadequacy of mentoring environment impact negatively on the mentoring outcomes (foolchand & maritz, 2020). there is a need to ensure that the nurse mentor is provided with resources such as equipment which will be used for facilitation and demonstration of skills, technology for adequate record keeping. furthermore, the organization should provide policies and guidelines to help mentees to familiarize with the new working environment (panzavecchia & pearce, 2014; fong et al., 2021). in order to be effective, mentoring programs must be created with clear guidelines, established criteria, prescribed education, training, and supportive components (kramer et al., 2021; goodyear & goodyear, 2018). additionally, collaboration between the stakeholders has been identified as an essential component of the conducive mentoring environment (mcintosh et al., 2014; tuomikoski et al., 2018). in view of the challenges stipulated in this study, collaboration has the potential to benefit the mentoring partners especially with sharing of resources and exchange of information (rakhudu et al., 2016). importantly, collaborating with the nurse educators is likely to address the nurse mentors’ knowledge gap especially with regard to assessments and curriculum issues. in case of the shortage of resources, other team members might support the mentees during the unavailability of the nurse mentor (mikkonen et al., 2022; tuomikoski et al., 2018). in order for the nurse mentors to effectively equip the novice nurses, they need to be more knowledgeable and empowered. the results in table 3, revealed that the nurse mentors have inadequate knowledge and skills. as a result, this literature review recommended the capacity building for the nurse mentors (broadbent et al., 2014; chan et al., 2019; frankenberger et al., 2021; maclaren, 2018; tuomikoski et al., 2018; rooke, 2014; staykova et al., 2013). these considerations suggest that nurse mentors need to be educated on student support, learning process and conducting reflection during mentoring (maclaren, 2018; mikkonen et al., 2022, tuomikoski et al., 2018). in addition, the nurse mentors need to be trained on different teaching strategies as they are expected to be innovative and skilled in empowering their mentees (chan et al., 2019).unsurprisingly, the five studies (bennett & mcgowan, 2014; fernandez et al., 2018; macey et al., 2021; mikkonen et al., 2022; staykova et al., 2013) unanimously suggested that the nurse mentors should be adequately prepared for the mentoring role. this could be related to the fact that some nurse mentors felt oblivious with the mentoring expectations (fernandez et al., 2018). the submission is that mentees with prepared mentors have constant and effective routines as compared to those with unprepared mentors (weimer, 2021). consistently, other studies maintains that the nurse mentors should be recognised by providing them with developmental opportunities, promotions and incentives (oluchina & gitonga, 2016). the support of the mentors could also be demonstrated by acknowledging their mentoring role by providing them with ample time to mentor the mentees. the notion is that mentors should be provided with protected time mentoring in a manner that they are recused from other pressures and responsibilities (rooke, 2014; clark & casey, 2016). study limitations the authors acknowledge limitations pertaining to this integrative review. limitations associated with inconsistent search terminology and indexing problems may yield only about 50% of eligible studies (whittemore & knafl, 2005). furthermore, conducting an integrative review may relate to potential biases as a result of including only published works, utilizing non-exhaustive search methods due to resource restrictions, or having only a single reviewer. other limitations may be from the employed search strategy used or the inability to generalize review findings (toronto & remington, 298 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 288-301 2020). even though this is the possible limitation, the authors attempted consistently to use the correct key terms. furthermore, the inclusion and exclusion criteria was critically applied to ensure that only relevant studies are included. in addition, a thorough description of the systematic steps taken during the literature search to avert the biasness. even though the two authors worked hand in hand to search the literature, co-checked it for relevancy searched literature, there might be some befitting studies omitted. the review included studies published between 2013 and 2023, of which majority were excluded based on the fact that they did not meet all the inclusion criteria. majority of the studies included the student nurses as mentees. this suggest a gap in literature review on the support needs of mentors as perceived by the student nurses and mentees. therefore, the findings of this study cannot be generalised but might inform mentoring guidelines development for nurse managers and researchers. conclusions based on this literature review, it can be concluded that the nurse mentors have challenges in their mentoring role. inadequate knowledge hinders the nurse mentors to effectively perform their mentoring role. furthermore, lack of support from peers and managers, characterised by poor communication and interpersonal relationship clearly made it difficult for the nurse mentors to nurture the nurse mentees. shortage of resources and lack of time, created lot of mentoring missed opportunities to effectively perform the mentor role. particularly, the nurse mentors did not have enough time to focus on meeting the needs of the mentees. in order to alleviate these challenges, several studies suggested support that should be provided to the nurse mentors. a conducive mentoring environment should be created so that the resources are allocated for mentoring purposes. it can be concluded that by providing adequate support to the nurse mentors, all the mentoring challenges will be averted. suggestions • overall, the findings of this study suggest that the nurse managers and policy makers, should as matter of urgency, develop guidelines and policies which will clearly clarify the mentoring roles of the nurse mentors • the nursing education institutions should be involved in the support and workshop of the nurse mentors to keep them abreast with the new curriculum developments, teaching and assessment strategies. • in order to motivate the nurse mentors the mentoring role should be recognising by some incentives be it financial or promotional opportunities. • future research should analyse the collaboration in support of the nurse mentors in their mentoring role. acknowledgement the authors would like to acknowledge the authors of sources cited and applied in this study. funding the authors declare that the authors did not receive financial support to conduct the research and/or preparation of the article. conflicts of interest the authors declare that they have no financial or personal relationships that may have inappropriately influenced them in writing this article. author contributions shk conceptualised the study and searched for the relevant literature. confirmation and validation of the methods was carried out by the klm. both authors analysed the data and contributed to the finalisation and proof reading of the manuscript. references bennett, m., & mcgowan, b. (2014). assessment matters—mentors need support in their role. british journal of nursing, 23(9), 454458. https://doi.org/10.12968/bjon.2014.23.9.45 4 broadbent, m., moxham, l., sander, t., walker, s., & dwyer, t. (2014). supporting bachelor of nursing students within the clinical environment: perspectives of preceptors. nurse education in practice, 14(4), 403-409. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2013.12.003 casp c (2018) casp qualitative checklist. critical appraisal skills programme. available on http s://casp-uk.net/wpcontent/uploads/2018/01/caspqualitative-checklist-2018. pdf accessed 2023/02/18 https://doi.org/10.12968/bjon.2014.23.9.454 https://doi.org/10.12968/bjon.2014.23.9.454 https://doi.org/10.1016/j.nepr.2013.12.003 khunou, matlhaba, literature review: the support needs of the nurse mentors in their … 299 chan, h. y., so, w. k., aboo, g., sham, a. s., fung, g. s., law, w. s., ... & chair, s. y. (2019). understanding the needs of nurse preceptors in acute hospital care setting: a mixed-method study. nurse education in practice, 38, 112-119. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2019.06.013 chen, f., liu, y., wang, x., & dong, h. (2021). transition shock, preceptor support and nursing competency among newly graduated registered nurses: a crosssectional study. nurse education today, 102, 104891. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2021.104891 clark, l., & casey, d. (2016). support for mentors—an exploration of the issues. british journal of nursing, 25(20), 1095-1100. https://doi.org/10.12968/bjon.2016.25.20.1 095 cross, m., lee, s., bridgman, h., thapa, d. k., cleary, m., & kornhaber, r. (2019). benefits, barriers and enablers of mentoring female health academics: an integrative review. plos one, 14(4), e0215319. https://doi.org/10.1371/journal.pone.02153 19 dirks, j. l. (2021). alternative approaches to mentoring. critical care nurse, 41(1), e9e16. https://doi.org/10.4037/ccn2021789 duchscher, j. e. b. (2009). transition shock: the initial stage of role adaptation for newly graduated registered nurses. journal of advanced nursing, 65(5), 1103-1113. https://doi.org/10.1111/j.13652648.2008.04898.x fernandez, r., sheppard-law, s., curtis, s., bancroft, j., & smith, w. (2018). exploring the experiences of neophyte nurse mentors: a qualitative study. nurse education in practice, 29, 76-81. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2017.11.011 foolchand, d., & maritz, j. e. (2020). experience of nurses regarding the clinical mentoring of student nurses in resource-limited settings. health sa gesondheid, 25. https://doi.org/10.4102/hsag.v25i0.1434 fong, t. s., hassan, z., kasa, m., balang, r. v., & abdullah, s. m. (2021). exploring mentoring skills to assist new nurses: mentors’ and mentees’ perspectives. journal hrmars, 11(14), 124-141. doi:10.6007/ijarbss/v11i14/8534 frankenberger, w. d., roberts, k. e., hutchins, l., & froh, e. b. (2021). experience of burnout among pediatric inpatient nurse preceptors. nurse education today, 100, 104862. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2021.104862 goodyear, c., & goodyear, m. (2018). supporting successful mentoring. nursing management, 49(4), 49-53. doi: 10.1097/01.numa.0000531173.00718.06 hale, r. (2018, july). conceptualizing the mentoring relationship: an appraisal of evidence. in nursing forum (vol. 53, no. 3, pp. 333338). https://doi.org/10.1111/nuf.12259 hunt, l. a., mcgee, p., gutteridge, r., & hughes, m. (2016). failing securely: the processes and support which underpin english nurse mentors' assessment decisions regarding under-performing students. nurse education today, 39, 79-86. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2016.01.011 jokelainen, m., jamookeeah, d., tossavainen, k., & turunen, h. (2013). finnish and british mentors' conceptions of facilitating nursing students' placement learning and professional development. nurse education in practice, 13(1), 61-67. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2012.07.008 kalpazidou schmidt, e., & faber, s. t. (2016). benefits of peer mentoring to mentors, female mentees and higher education institutions. mentoring & tutoring: partnership in learning, 24(2), 137-157. https://doi.org/10.1080/13611267.2016.11 70560 khunou, s. h. (2018). nurse managers’ perception of mentoring community service nurses in north west province, south africa. african journal of biomedical research, 21(3), 237-244. https://www.ajol.info/index.php/ajbr/articl e/view/181572 khunou, s. h. (2019). community service nurses’ experiences regarding mentoring in south africa. afr j nurs midwifery, 21(1), 1-6. https://journals.co.za/doi/abs/10.25159/252 0-5293/4267 khunou, s. h. (2023). mentoring community service nurses in public health settings: guidelines for nurse managers. health sa gesondheid, 28, 1883. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2019.06.013 https://doi.org/10.1016/j.nedt.2021.104891 https://doi.org/10.12968/bjon.2016.25.20.1095 https://doi.org/10.12968/bjon.2016.25.20.1095 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0215319 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0215319 https://doi.org/10.4037/ccn2021789 https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2008.04898.x https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2008.04898.x https://doi.org/10.1016/j.nepr.2017.11.011 https://doi.org/10.4102/hsag.v25i0.1434 https://doi.org/10.1016/j.nedt.2021.104862 https://doi.org/10.1111/nuf.12259 https://doi.org/10.1016/j.nedt.2016.01.011 https://doi.org/10.1016/j.nepr.2012.07.008 https://doi.org/10.1080/13611267.2016.1170560 https://doi.org/10.1080/13611267.2016.1170560 https://www.ajol.info/index.php/ajbr/article/view/181572 https://www.ajol.info/index.php/ajbr/article/view/181572 https://journals.co.za/doi/abs/10.25159/2520-5293/4267 https://journals.co.za/doi/abs/10.25159/2520-5293/4267 300 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 288-301 https://journals.co.za/doi/full/10.4102/hsag .v28i0.1883 kramer, d. s., mccue, v. y., butler, e., prentiss, a. s., ojeda, m. m., tugg, k. k., ... & bonet, s. (2021). the art of nurse mentoring: a framework of support. nursing & health sciences research journal, 4(1), 16-25. https://doi.org/10.55481/2578-3750.1097 lapointe, é., & vandenberghe, c. (2017). supervisory mentoring and employee affective commitment and turnover: the critical role of contextual factors. journal of vocational behavior, 98, 98-107. https://doi.org/10.1016/j.jvb.2016.10.004 macey, a., green, c., & jarden, r. j. (2021). icu nurse preceptors’ perceptions of benefits, rewards, supports and commitment to the preceptor role: a mixed-methods study. nurse education in practice, 51, 102995. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2021.102995 maclaren, j. a. (2018). supporting nurse mentor development: an exploration of developmental constellations in nursing mentorship practice. nurse education in practice, 28, 66-75. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2017.09.014 matlhaba, k. l., & khunou, s. h. (2022). transition of graduate nurses from student to practice during the covid-19 pandemic: integrative review. international journal of africa nursing sciences, 100501. https://doi.org/10.1016/j.ijans.2022.10050 1. mcintosh, a., gidman, j., & smith, d. (2014). mentors' perceptions and experiences of supporting student nurses in practice. international journal of nursing practice, 20(4), 360-365. https://doi.org/10.1111/ijn.12163. mikkonen, k., tomietto, m., tuomikoski, a. m., miha kaučič, b., riklikiene, o., vizcaya‐ moreno, f., ... & kääriäinen, m. (2022). mentors' competence in mentoring nursing students in clinical practice: detecting profiles to enhance mentoring practices. nursing open, 9(1), 593-603. https://doi.org/10.1002/nop2.1103. moher, d., liberati, a. & tetzlaff, j. (2009) preferred reporting items for systematic reviews and meta-analyses: the prisma statement, plos medicine 6(2009):1–6. https://doi.org/10.3736/jcim20090918. moran, m., & banks, d. (2016). an exploration of the value of the role of the mentor and mentoring in midwifery. nurse education today, 40, 52-56. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2016.02.010 mubeezi, m. p., & gidman, j. (2017). mentoring student nurses in uganda: a phenomenological study of mentors’ perceptions of their own knowledge and skills. nurse education in practice, 26, 96101. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2017.07.010 national library of medicine. searching pubmed with mesh. available at: https://med.mercer.edu/library/pubmedme sh.pdf (accessed 2023/07/06) ntho, t. a., pienaar, a. j., & sehularo, l. a. (2020). peer-mentees’ challenges in an undergraduate peer-group clinical mentoring programme in a nursing education institution. health sa gesondheid, 25. https://doi.org/10.4102/hsag.v25i0.1435. oluchina, s., & gitonga, l. k. (2016). factors hindering formal and informal nursing mentorship programs in kenyan public universities. am j health res, 4, 23-29. doi: 10.11648/j.ajhr.20160402.12 panzavecchia, l., & pearce, r. (2014). are preceptors adequately prepared for their role in supporting newly qualified staff?. nurse education today, 34(7), 11191124. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2014.03.001. rakhudu, m. a., davhana-maselesele, m., & useh, u. (2016). concept analysis of collaboration in implementing problembased learning in nursing education. curationis, 39(1), 1-13. https://hdl.handle.net/10520/ejc195860. rooke, n. (2014). an evaluation of nursing and midwifery sign off mentors, new mentors and nurse lecturers' understanding of the sign off mentor role. nurse education in practice, 14(1), 43-48. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2013.04.015. roseghini, m., & olson, s. (2015). what do midwives think about midwifery supervision?. british journal of midwifery, 23(9), 660-665. https://doi.org/10.12968/bjom.2015.23.9.6 60. https://journals.co.za/doi/full/10.4102/hsag.v28i0.1883 https://journals.co.za/doi/full/10.4102/hsag.v28i0.1883 https://doi.org/10.55481/2578-3750.1097 https://doi.org/10.1016/j.jvb.2016.10.004 https://doi.org/10.1016/j.nepr.2021.102995 https://doi.org/10.1016/j.nepr.2017.09.014 https://doi.org/10.1016/j.ijans.2022.100501 https://doi.org/10.1016/j.ijans.2022.100501 https://doi.org/10.1111/ijn.12163 https://doi.org/10.1002/nop2.1103 https://doi.org/10.3736/jcim20090918 https://doi.org/10.1016/j.nedt.2016.02.010 https://doi.org/10.1016/j.nepr.2017.07.010 https://med.mercer.edu/library/pubmedmesh.pdf https://med.mercer.edu/library/pubmedmesh.pdf https://doi.org/10.4102/hsag.v25i0.1435 https://doi.org/10.1016/j.nedt.2014.03.001 https://hdl.handle.net/10520/ejc195860 https://doi.org/10.1016/j.nepr.2013.04.015 https://doi.org/10.12968/bjom.2015.23.9.660 https://doi.org/10.12968/bjom.2015.23.9.660 khunou, matlhaba, literature review: the support needs of the nurse mentors in their … 301 scott, e. s., & smith, s. d. (2008). group mentoring: a transition-to-work strategy. journal for nurses in professional development, 24(5), 232-238. doi: 10.1097/01.nnd.0000320691.24135.72. staykova, m. p., huson, c., & pennington, d. (2013). empowering nursing preceptors to mentoring undergraduate senior students in acute care settings. journal of professional nursing, 29(5), e32-e36. https://doi.org/10.1016/j.profnurs.2013.06. 003. the joanna briggs institute (producer). (2017). the joanna briggs institute critical appraisal tools for use of in jbi systematic review. checklist for cross-sectional studies. available online: https://jbi.global/sites/default/files/201905/jbi_critical_appraisal checklist_for_analytical_cross_sectional _studies2017_0.pdf (accessed on 18 february 2023). the joanna briggs institute (producer). (2017). the joanna briggs institute critical appraisal tools for use of in jbi systematic review. checklist for qualitative research. available online:https://jbi.global/sites/default/files/2 019-06/jbi_critical_appraisal checklist_for_qualitative_research2017.d ocx (accessed on 18 february 2023). thompson, j. r., bradley, v. j., buntinx, w. h., schalock, r. l., shogren, k. a., snell, m. e., ... & yeager, m. h. (2009). conceptualizing supports and the support needs of people with intellectual disability. intellectual and developmental disabilities, 47(2), 135-146. https://doi.org/10.1352/1934-955647.2.135. toronto, c. e., & remington, r. (eds.). (2020). a step-by-step guide to conducting an integrative review (pp. 1-9). cham: springer international publishing. https://wayf.springernature.com/?redirect_ uri=https%3a%2f%2flink.springer.com% 2fbook%2f10.1007%2f978-3-03037504-1. tourigny, l., & pulich, m. (2005). a critical examination of formal and informal mentoring among nurses. the health care manager, 24(1), 68-76. https://journals.lww.com/healthcaremanag erjournal/toc/2005/01000 tuomikoski, a. m., ruotsalainen, h., mikkonen, k., miettunen, j., & kääriäinen, m. (2018). the competence of nurse mentors in mentoring students in clinical practice–a cross-sectional study. nurse education today, 71, 78-83. https://doi.org/10.1016/j.nedt.2018.09.008. voss, j. g., alfes, c. m., clark, a., lilly, k. d., & moore, s. (2022). why mentoring matters for new graduates transitioning to practice: implications for nurse leaders. nurse leader, 20(4), 399-403. https://doi.org/10.1016/j.mnl.2022.01.003. weimer, k. r. (2021). mentor identification, selection, preparation, and development: a literature review. update: applications of research in music education, 39(3), 2028. https://doi.org/10.1177/875512332096513 8. whittemore, r., & knafl, k. (2005). the integrative review: updated methodology. journal of advanced nursing, 52(5), 546-553. https://doi.org/10.1111/j.13652648.2005.03621.x. wissemann, k., bloxsome, d., de leo, a., & bayes, s. (2022). what are the benefits and challenges of mentoring in midwifery? an integrative review. women's health, 18, 17455057221110141. https://doi.org/10.1177/174550572211101 41. zhang, y. p., huang, x., xu, s. y., xu, c. j., feng, x. q., & jin, j. f. (2019). can a one-on-one mentorship program reduce the turnover rate of new graduate nurses in china? a longitudinal study. nurse education in practice, 40, 102616. https://doi.org/10.1016/j.nepr.2019.08.010. https://doi.org/10.1016/j.profnurs.2013.06.003 https://doi.org/10.1016/j.profnurs.2013.06.003 https://jbi.global/sites/default/files/2019-05/jbi_critical_appraisal https://jbi.global/sites/default/files/2019-05/jbi_critical_appraisal https://jbi.global/sites/default/files/2019-06/jbi_critical_appraisal https://jbi.global/sites/default/files/2019-06/jbi_critical_appraisal https://doi.org/10.1352/1934-9556-47.2.135 https://doi.org/10.1352/1934-9556-47.2.135 https://wayf.springernature.com/?redirect_uri=https%3a%2f%2flink.springer.com%2fbook%2f10.1007%2f978-3-030-37504-1 https://wayf.springernature.com/?redirect_uri=https%3a%2f%2flink.springer.com%2fbook%2f10.1007%2f978-3-030-37504-1 https://wayf.springernature.com/?redirect_uri=https%3a%2f%2flink.springer.com%2fbook%2f10.1007%2f978-3-030-37504-1 https://wayf.springernature.com/?redirect_uri=https%3a%2f%2flink.springer.com%2fbook%2f10.1007%2f978-3-030-37504-1 https://journals.lww.com/healthcaremanagerjournal/toc/2005/01000 https://journals.lww.com/healthcaremanagerjournal/toc/2005/01000 https://doi.org/10.1016/j.nedt.2018.09.008 https://doi.org/10.1016/j.mnl.2022.01.003 https://doi.org/10.1177/8755123320965138 https://doi.org/10.1177/8755123320965138 https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2005.03621.x https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2005.03621.x https://doi.org/10.1177/17455057221110141 https://doi.org/10.1177/17455057221110141 1 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk midwives’ views regarding tuberculosis screening amongst hiv/aids positive pregnant women, south africa violet manonyana chewe1, sisinyana hannah khunou2 1advanced midwife, limpopo capricorn health district, south africa 2department of health, university of south africa pretoria, south africa article information abstract tuberculosis (tb) infections is classified as one of the non-pregnancy related infections (npri) which cause maternal mortality. therefore, it was important for the researcher to explore the challenges faced by midwives regarding tb screening as it is the most leading complication in human immunodeficiency virus (hiv) infected pregnant women. to that effect, several strategies for tb screening during pregnancy have been introduced and implemented thus far. screening of tb during antenatal care helps to enhance early detection, exclusion and treatment of the infection in pregnant women who are hiv positive. the study used qualitative descriptive research design. the population included all midwives aged 30 to 48 years, who were working at primary health (phc) clinics in kganya local area, capricorn district, limpopo province in south africa. nonprobability purposive sampling technique was employed to select ten midwives. data were collected through in-depth individual semi -structured interviews with ten midwives. data analysis was accomplished, using the manual thematic analysis according to tesch’s method of data analysis. finally the main themes were extracted. two themes emerged from the study, namely: challenges regarding tb screening; measures that can enhance tb screening. it is important that the department of health should pay attention to challenges faced by midwives to ensure adequate tb screening amongst hiv positive pregnant women. capacitating both midwives and the community with knowledge regarding tb screening during pregnancy can be beneficial to the health of the pregnant women and their unborn babies. history article: received, 28/07/2022 accepted, 01/02/2023 published, 20/03/2023 keywords: midwives, pregnant women, tuberculosis screening © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: university of south africa pretoria, south africa p-issn : 2355-052x email : khunosh@unisa.ac.za e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p001-009 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:khunosh@unisa.ac.za https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p001-009 2 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 1 9 introduction tuberculosis is the most popular respiratory infection ranking above hiv globally (world health organisation ,2019). the hiv increases the chance of tb infection in pregnancy, hence hiv infection complicated by tb is the first indirect cause of maternal mortality (south africa, 2018). as a result, there is a high risk for progression from latent to active tb in hiv pregnant women (mckenna, frick, lee, namutamba, smit, theunissen, vandevelde, madoori, snow and seaworth ,2017). diagnosis of tb during pregnancy is usually a challenge in south africa (sa) as tb screening statistics in pregnancy are usually not reported (mnqayi, 2016). tuberculosis screening during antenatal care can assist with early diagnosis and prompt management to reduce maternal mortality due to hiv/tb co-infection. so far, several tb screening methods have been introduced. according to gebreegziabiher, adane and abebe,2017), the most common method which is used in sa is the four-part strategy symptombased intensified case finding as recommended by world health organisation (who). in an effort to reduce tb transmission to the entire population, the who (2018) further introduced the sustainable development goals (sdgs) which was also adopted by sa. furthermore, sa introduced 90-90-90 strategy in 2014 to fast-track targets called as the end-tb strategy (malaza, smith, mdaka, haynes, and shezi, 2016.) the endtb strategy aimed to achieve 90% tb screening in key population, 90 % of those diagnosed with tb to be started on treatment and lastly 90% of those initiated to complete their treatment. in that regard, it is imperative to investigate common structural barriers to implementation of integrated antenatal care, of which tb screening is included (fowks, draper, hellard and stoove ,2016). tb infection is ranked the third among causes of maternal death in sa, the first being obstetric haemorrhage followed by hypertension (south africa, 2016). it is further stated that tb screening and initiation of tb preventive therapy to hiv positive pregnant women can reduce maternal mortality (south africa, 2016). from maternal and mortality meetings which the researcher attend more often at the local hospital, most maternal mortality is due to hiv/tb co-infection. anecdotal suggests that hiv positive pregnant women are not properly screened for tb infection. the researcher observed that in most maternity case records, patients’ files and ante-natal registers there is no record of tb screening of pregnant women in limpopo capricorn district. of great concern, in the year 2016 capricorn district had 38 maternal deaths of which 10.5 (37.7%) were due to hiv complicated by tb (limpopo department of health 2017). with this leading maternal killer being non-pregnancy related infections, there was a dearth of literature regarding challenges faced by midwives regarding tb screening among hiv positive pregnant women in the setting. several studies were conducted in limpopo province, with limited focus on tb screening amongst hiv positive pregnant women (tshililo, mangenanetshikweta, nemathaga and maluleke, 2019; mulondo, khoza and maputle, 2015; lekhuleni, kgole and mbombi, 2015). views of the midwives regarding tb screening amongst hiv positive pregnant women, has not been adequately studied in limpopo province. thus, a qualitative paradigm is employed for this research as the study intends to explore challenges regarding tb screening of hiv positive pregnant based on the views of the midwives in naturalistic and interpretive domains. methods a qualitative exploratory descriptive design was espoused for this study. exploration of views is important because there are multiple subjective meanings and understandings about certain objects or things in a certain social setting of the world in which humans live. the study espoused purposive sampling technique to select the participants. the inclusion criteria entailed midwives with more than five years’ experience, working at the research setting and trained on the following: prevention of mother to child transmission (pmtct), hiv and tb management. anonymity and confidentiality was ensured by naming participants as p1 to p10. ethics committee approval (reference number: hshdc/934/2019) was obtained from research ethics committee, university of south africa, together with permissions from limpopo department of health ethics committee (reference number lp-202001015). permission was also sought from the clinic operational managers. information sheets were given to the participants before the interview date and all clarity seeking questions were answered by the researcher. participants who were willing to fata, safiani, monica, ulfa, wibisono, self management of type 2 diabetes mellitus patients at … 3 take part in the study signed an informed consent form before the commencement of an interview. semi structured individual digital interviews were conducted from december 2020 to june 2021.the participants were recruited individually through telephones. the contact details of participants were provided by the clinic managers. the location of interviews was capricon district of limpopo province, kganya local area which render both phc and maternity health services. the setting was selected because of high incidents of maternal deaths related to tb amongst hiv positive pregnant women. the researcher secured an appointment for dates, times suitable and convenient for the participants. the digital interview methods such as zoom and teams were used because the face-to-face interactions were prohibited due to covid-19 regulations. these interviews were conducted during the working period at the most convenient periods of the midwives. regardless of the method chosen, all participants permitted the interview to be recorded. the average time for the interview was one hour. data was analysed using the eight steps of tesch method of data analysis as follows: manual analysis of data was done, and data collected was reduced to codes following the rate of occurrence of concepts utilized in the actual transcriptions. topics with the same meaning were grouped. the topics which belonged alone were grouped separately from others. themes, categories, and sub-categories surfaced from the coded data in which initial data analysis was carried out (green and thorogood, 2018). analysis of data was done by the researcher with no predetermined theoretical coding structure. the researcher and the co-coder met thereafter to reach an agreement on the themes, categories, and sub-categories both reached. results data saturation was realized after interviewing ten midwives, with ages ranging from 30 to 48 years. their experience of working with hiv positive pregnant women ranged from 6 to 17 years. all midwives were trained with the following: pmtct, hiv and tb management. nine out of ten participants were females and one was a male. table1 illustrate participants’ demographic information. table 1: socio-demographic characteristics of the participants participant age gender academic qualifications short course experience in years p1 37 female registered midwife pmtct; tb;hiv 10 p2 35 female registered midwife pmtct; tb;hiv 06 p3 43 male registered accoucher pmtct; tb;hiv 12 p4 45 female registered midwife pmtct; tb;hiv 09 p5 35 female registered midwife pmtct; tb;hiv 10 p6 33 female registered midwife pmtct; tb;hiv 07 p7 34 female registered midwife pmtct; tb;hiv 07 p8 48 female registered midwife pmtct; tb;hiv 17 p9 40 female registered midwife pmtct; tb;hiv 11 p10 30 female registered midwife pmtct, tb, hiv 06 this study yielded two themes, namely challenges to tb screening and measures that can enhance tb screening. themes, categories, and participants’ testimonials can be seen in table 2. the midwives revealed several challenges regarding tb screening amongst hiv positive pregnant women. the concern was supported by four categories namely: shortage of midwives and work overload; inadequate knowledge amongst some midwives regarding tb screening; midwives’ attitude towards tb screening; late presentation of pregnant women at the facility. these challenges are briefly described. the first challenge was identified as shortage of midwives. it is apparent that shortage of midwives leads to increased workload which hinders provision of quality care to pregnant women. consequently, midwives will have no option but to rush all activities as much as possible and omit important activities such as history taking which forms an important aspect of tb screening. in this kind of situation, the midwives would be overwhelmed to thoroughly follow all the guidelines including tb screening amongst hiv positive pregnant women. during the interviews it was evident that some midwives were not empowered with regard to tb screening and management of hiv positive pregnant women. the participants blamed lack of development opportunities 4 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 1 9 such as workshops and trainings. notably, lack of knowledge regarding the guidelines amounts to incompetence in tb screening amongst hiv positive pregnant women. the attitude of midwives surfaced as the third challenge that hinders screening of tb among pregnant women who are also hiv positive. participants revealed that some midwives classified tb as a procedure for lower category nurses. it is apparent that midwives with negative attitude, end up not screening tb amongst hiv positive just because they do not like it. early antenatal clinic attendance ensures a healthy pregnancy because it provides the pregnant woman with an opportunity for prompt screening, health education, treatment of minor disorders and referral for further management. however, it was revealed in this study that hiv positive pregnant women missed opportunities of being screened for tb due to non –clinic attendance. in this instance pregnant women would report to the clinic in the second stage of labour or when they are already having dire tb complications. from the study findings, participants suggested several measures, which can be employed to enhance tb screening during antenatal care: capacity building for midwives; reliable tb screening tools; consistent health education and campaigns. capacity building for midwives is important in equipping them with knowledge and skills especially with regard to guidelines and procedures. furthermore, workshops can assist to empower the midwives, enhance their confidence and competency in screening pregnant women. participants’ responses show how in-service education to all midwives can assist with tb screening of hiv positive pregnant women. well-functioning reliable tools and equipments are required in order to ensure quality screening for tb amongst hiv positive pregnant women. participants alluded that screening tools should be made available so that it can be easier for the midwives to screen the women for tb. effectiveness of all health care programmes depend on health education and behavioral change. this can be achieved through increased awareness and robust social mobilization. it was suggested by the participants that campaigns should be conducted to educated members of the community communities about tb infection. table 2: themes, categories, and participants’ testimonials themes categories participants’ testimonials 1. challenges regarding tb screening shortage of midwives and work overload p2: “sometimes we have like three nurses on duty, which is two professional nurses and one ena (enrolled nursing assistant),… so, we just…we just don’t even ask, we don’t even have time to ask them about tb symptoms or anything. we are just…we are just short… there is just a shortage of staff. i can say that.” inadequate knowledge p1: “most of the professional nurses are not trained for tb management. so… they attend pregnant women not having experience in all the programs like tb management, prevention of mother to child transmission (pmtct), so it might contribute to losing some of pregnant women”. midwives’ attitude towards tb screening p6:“yes, another one is that most of our midwives don’t want to collect the sputum, they say collecting the sputum is for juniors…so we miss women because, when they come to the midwife in the consulting room, the midwife has that attitude of collecting the sputum ...” late presentation of pregnant women at the facility p1 :“yes… another thing is those women that come to the clinic with head-on perineum., when you investigated you find that they are not booked for anc, she just comes, and deliver. so, i think …it also affects the tb screening even if one is hiv positive they come here when they are wasted, with more complications and then there is nothing that is working for them.” fata, safiani, monica, ulfa, wibisono, self management of type 2 diabetes mellitus patients at … 5 2. measures that can enhance tb screening capacity building for midwives p10: “at phc level we have many… many programs, like tb management they have to go for training for longer days. so… is important for department to train midwives in tb issues”. reliable tb screening tools p7:“i think if we can have screening tools, making copies, and each pregnant woman, we give it to them, so that even if when they are at home, they will be able to screen themselves, if i am having the night sweats i must come to the clinic.” consistent health education and campaigns. p5:“i think we should conduct more awareness through door to door campaigns and let the community know about importance of tb screening for pregnant women…, and also through health education”. discussions this study aimed to explore and describe tb screening amongst hiv positive pregnant women from the viewpoint of the midwives. all in all, two main themes were revealed which include: (1) challenges regarding tb screening; (2) measures that can enhance tb screening. this study showed that challenges such as shortage of midwives; midwives ’inadequate knowledge towards tb management; midwives’ attitude towards tb screening and late presentation of pregnant women at the facility, hindered tb screening amongst hiv positive pregnant women. the study also revealed capacity building for midwives; reliable tb screening tools and health education and campaigns as measures which could enhance tb screening amongst hiv positive pregnant women. the current study revealed dire shortage of midwives. in this kind of situation, the midwives would be overwhelmed to thoroughly follow all the guidelines including tb screening amongst hiv positive pregnant women. few midwives resulted in inadequacies and omissions regarding history taking which forms an important aspect of tb screening. dire shortage of midwives, resulted in delegation of midwifery duties to lower nursing categories, thus further lowering the standard of care and screening of tb amongst hiv positive pregnant women. shortage of nurses and other human resources in the health care system seems to be a problem for most countries, including south africa (jiyane ,2021; matlala and lumadi, 2019). in support, who (2012) and haskins, phakathi, grant and horwood (2014) highlighted that, programme implementation is affected and restricted by an increased workload of health workers. midwives play an important role in delivery of quality care including early detection of tb amongst pregnant women. in that regard, insufficient number of midwives will not be able to provide expected standard care to pregnant women (olakunde, adeyinka, olawepo, pharr, ozigbu, wakdok, oladele and ezeanolue,2019; kieft, der bouwer and francke,2014). this is established by the study participants who highlighted that few midwives were not coping with workload as a result they sometimes prioritized the long queues and omitted tb screening in pregnant women. furthermore, work overload has been related to pressure and stress which might contribute to impoliteness towards patients (abdollahzadeh, asghari and vahidi, 2017). it was apparent from the present study that sufficient midwives are needed for the provision of tb screening in hiv positive pregnant women. during the interviews, it was noted that some midwives lacked knowledge regarding screening of tb for hiv positive pregnant women. in this regard, the participants blamed lack of development opportunities such as workshops and trainings. the knowledge gap amount to skills inadequacy, which result in the midwives missing important aspects of screening. it is therefore crucial that midwives who provide antenatal care at primary health facilities be trained on tb infection in pregnancy. consistently, de schacht, mutaquiha and faria (2019) revealed that tb screening in pregnancy is still neglected due to midwives’ lack knowledge. christian, smith and hompashe (2018) emphasised that the midwives should be knowledgeable with regard to early diagnosis and prompt initiation of tb treatment amongst hiv positive pregnant women. the quality of antenatal care depends on the knowledge the midwives possess regarding tb in pregnancy. accordingly, knowledge that is possessed by the midwives has a notable impact on 6 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 1 9 the quality of nursing care they provide (sithole and khunou, 2016; oyira, ella and usochukwu, 2016). it is notable that, if midwives are empowered, they will be in good standing to adequately follow the guidelines and educate pregnant women regarding the importance of tb screening. in addition, the findings of the present study highlighted that midwives displayed negative attitude pertaining to screening of tb in pregnant women who are positive for hiv. participants lamented with concern that other midwives shunned away from screening of tb of pregnant women with the perception that it should be done by lower category nurses. this kind of attitude, could be related to lack of knowledge amongst other midwives. similarly, the negative attitude among midwives were also found in other studies (banakhar, 2018; negussie and oliksa, 2020). furthermore, attitude and eagerness of midwives has bearing on performance and commitment towards ensuring quality patient care (banakhar, 2018). in contrast, deressa and zeru (2019) identified high motivation and attitude among midwives in their workplace. it is imperative that midwives should display a positive attitude towards their patient. according to mannava, durrant, and fisher (2015), midwives who have a positive attitude are likely to attract patients to return to the health facility. patients need empathy, understanding, support and acknowledgment from health care providers. the findings from this study further revealed that pregnant woman reported very late at health facilities, despite the fact that they should present at the antenatal clinic before 20 weeks of gestation, (south africa, 2016). late presentation resulted in the midwives omitting tb screening. literature has identified numerous factors which contribute to late presentation for antenatal care (christian et al, 2018; mannava, durrant and fisher et al, 2015). christian, et al (2018), sithole and khunou (2016) cited the use of traditional healers by pregnant women instead of seeking maternity care services. the hiv status has also influenced pregnant women to report late at antenatal clinic. in this instance, stigma associated with hiv infection may be the reason for pregnant women to present late for antenatal care. according to dramowski, wates, schaaf, zenhäusern, and bekker (2019) women present late at public health facilities due to lack of knowledge and poor and socioeconomic status. sithole and khunou (2016), also cited health facility related barriers as some of the factors that contributed towards late presentation to facilities by pregnant women. notably, lack of trust in health facilities by pregnant women prevent them from seeking health care services. therefore, robust measures such as education need to be put in place so that pregnant women understand the importance of early antenatal clinic attendance. provision for in-service training and workshops regarding tb screening in pregnancy were also highlighted by participants. according to mallick, winter and wang (2016), tb training in pregnancy is mostly disregarded among midwives. in that regard chaghari, saffari, ebadi and ameryoun (2017) emphasised that the midwives’ professional capability and expertise need to be capacitated through tutelage. keeping the midwives updated through workshops, would assist to keep them informed with regard to new developments pertaining to tb screening of hiv positive pregnant women. lastly health education is highlighted by participants as a corner stone to healthy pregnancy. the findings of this study revealed that campaigns and health education can be used to empower the community about significance of tb screening during ante-natal care. the study findings further revealed that early detection and diagnosis of tb in hiv positive pregnant women, can be enhanced through accurate tb screening tools. according to vinkeles melchers, van elsland, lange (2013), limited equipment and inadequate therapeutic information systems lead to inaccurate diagnostic algorithms and deficiency of tb control programmes. it is therefore, crucial from the study findings that midwives should always be provided with accurate tb screening tool to avoid missing screening tb to hiv positive pregnant women. lastly health education is highlighted by participants as a corner stone to healthy pregnancy. the findings of this study revealed that campaigns and health education can be used to empower the community about significance of tb screening during ante-natal care. evidently, health education helps to increase the level of awareness and empower the women to be more accountable (vinkeles melchers et al ,2013). furthermore, health education program should address specific cultural stigma (burrowes, holcombe, jara, carter and smith, 2017) health education is critical in educating the community at large and when it comes to the importance of screening of tb in pregnancy. the study was limited one district of fata, safiani, monica, ulfa, wibisono, self management of type 2 diabetes mellitus patients at … 7 limpopo province, south africa. therefore, the results cannot be generalised to other provinces. conclusion the study concludes that midwives face numerous challenges as expressed and voiced, which impact negatively on screening of tb among pregnant who are hiv positive women in limpopo province. suggestions therefore, it is recommended that midwives should be developed regarding tb issues in pregnancy, audit maternal health records regularly to identify gaps and lastly off duties to cover busy days. furthermore, more midwives need to be trained to curb the issue of shortage. there should be filling of vacant posts in order to ensure adequate number of midwives who will render quality midwifery care and proper tb screening of pregnant women. given that the study was confined to one local area of limpopo province the study can be extended other provinces of south africa to get a broader understanding of the phenomenon. acknowledgment the researchers would like to appreciate the university of south africa for granting permission to conduct the study. from the bottom of my heart, we should like to thank the department of health limpopo province, capricorn district by allowing the study to take place in their health facilities. the researchers would also like to thank the midwives who amidst their busy schedules spared some time to participate in the study in order to contribute the much valuable data. funding the study was not funded conflict of interest authors declare that no conflicts of interest in this research. author contribution vmc was responsible for conceptualisation of the study, data collection and analysis and writing the manuscript. shk was responsible for supervising the study, writing and revising the manuscript. references abdollahzadeh, f., asghari, e., vahidi, m. (2017). how to prevent workplace incivility? nurses’ perspective. iranian journal of nursing and midwifery research. 2017; 22(2):157-163. https://www.ncbi.nlm.nih.gov banakhar, m.a. (2018). nurses ‘motivation and factors affecting it: a scoping review. international journal of nursing and clinical practices. 2018, 5 (277): 1-11. https://www.researchgate.net/publication/3 25496003_nurses. bluestone, j., johnson, p., judith, f. j., carr, c., alderman, j.,& bontempo, j. (2013). effective in-service training design and delivery: evidence from an integrative literature review. biomedical centra1. human resources for health 2013, 11:51. https://www.semanticscholar.org. burrowes, s., holcombe, s. j., jara, d., carter, d., & smith, k. (2017). midwives’ and patients’ perspectives on disrespect and abuse during labor and delivery care in ethiopia: a qualitative study. bmc pregnancy and childbirth, 17(1), 1-14. http//: doi 10.1186/s12884-017-1442-1. chaghari, m., saffari, m., ebadi, a., & ameryoun, a. (2017). empowering education: new model for in-service training of nursing staff. journal of advances in medical education and professionalism, 5, 26-32. from: https://www,cbi.nim.nih.gov. christian, s.c., smith, a., hompashe, d. (2018). measuring quality gaps in tb screening in south africa using standardised patient analysis. international journal of environmental research and public health. 15,729:1-10. https://www.academia.edu. deressa, a.t., & zeru, g. (2019). work motivation and its effects on organizational performance: the case of nurses in hawassa public and private hospitals: mixed method study approach. biomed central , 12:213. p1-6. https://www.semanticscholar.org/paper. de schacht, c., mutaquiha, c., faria, f., castro, g.m., manaca, n., manhiça, i., & cowan, j.f. (2019).barriers to access and adherence to tuberculosis services as perceived by patients: a qualitative study in mozambique. plos one. 14(7):1-11. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ https://www.researchgate.net/publication/325496003_nurses https://www.researchgate.net/publication/325496003_nurses https://www.semanticscholar.org/ https://www,cbi.nim.nih.gov/ https://www.academia.edu/ https://www.semanticscholar.org/paper https://www.researchgate.net/profile/ivan-manhica-2 8 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 1 9 https://doi.org/10.1371/journal.pone.02194 70. dramowski, a., wates, m. a., schaaf, h. s., zenhäusern, j., & bekker, a. (2019). tuberculosis transmission in a hospitalised neonate: need for optimised tuberculosis screening of pregnant and postpartum women. south african medical journal, 109 (5):310-313. https://doi:10.7196/samj.2019.v109i5.13 789. fowks, f.j. i., draper, b.l., hellard, m., & stoove, m. (2016). achieving development goals for hiv, tuberculosis and malaria in subsaharan africa through integrated antenatal care: barriers and challenges. biomed central medicine, 14:202. https://bmcmedicine.biomedcentral.com/ar ticles/10.1186/s12916-016-07539. gebreegziabiher, d., adane, k., & abebe, m. (2017). a survey on undiagnosed active pulmonary tuberculosis among pregnant mothers in mekelle and surrounding district in tigray, ethiopia. the international journal of mycobacteriology.vol 6 (1): https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28317804 . getahun, h., kittikraisak, w., heilig, c. m., corbett, e. l., ayles, h., cain, k. p., ... & varma, j. k. (2011). development of a standardized screening rule for tuberculosis in people living with hiv in resource-constrained settings: individual participant data meta-analysis of observational studies. plosmedicine, 8(1):1-14, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /pmc3022524/pdf/pmed.10003. green, j., thorogood, n. (2018). qualitative methods for health research. 4th edition. london: sage. haskins, l., phakathi, s., grant, m., & horwood, c. (2014). attitudes of nurses towards patient care at a rural district hospital in the kwazulu natal province of south africa. africa journal of nursing and midwifery. 16 (1): 31–43. https://www.researchgate.net . jiyane, m.p. (2021). experiences of professional nurses on the shortage of resources in a tertiary hospital in tshwane district. ma dissertation. pretoria: unisa. kieft, r.a.m.m., der bouwer, b.b.j.m, francke, a.l & delmoij, d.m.j. (2014). how nurses and their work environment affect patient experiences of the quality of care: a qualitative study. biomed central health services research. 14(1):249; 1-10. https://www.researchgate.net. lekhuleni, m. e., kgole, j. c., & mbombi, m. o. (2015). knowledge of student nurses in nurse initiated and management of antiretroviral therapy at the university of limpopo, south africa: tb, hiv/aids and other diseases. african journal for physical health education, recreation and dance, 21(sup-1), 53-61. https://hdl.handle.net/10520/ejc183575. limpopo department of health. (2017). district health plan 2016/2017. capricorn district. https://provincialgovernment.co.za/depart ment_annual/562/2017-limpopo-healthannual-report.pdf. malaza, a., smith, j., mdaka, n., haynes, r & shezi, s. (2016). the 90-90-90 copendium, an introduction to 90-9090 in south africa. volume 1. https://sahivsoc.org. mallick, l., winter, r., wang, w., & yourkavitch, j. (2016). integration of infectious disease services with antenatal care services at health facilities in kenya, malawi and tanzania. dhs analytical studies 62. united states agency for international development. p1-88. https://www.semanticscholar.org/paper/g hi. mannava, p.k., durrant, k., fisher, j., chersich, s.,& luchters, s.m. (2015). attitudes and behaviours of maternal health care providers in interactions with clients: a systematic review. globalization and health, 11:36 http://doi10.1186/s12992015-0117-9. matlala, m.s. & lumadi, t.g. (2019). perceptions of midwives on shortage and retention of staff at a public hospital in tshwane district. curationis 42(1) https://doi.org/10.4102/curationis.v42i1.19 52. mckenna, l., frick, m., lee, c., namutamba, d., smit, l., theunissen, m., vandevelde, w., mandoore, s., snow, k & seaworth, b. (2017). a community perspective on inclusion of pregnant women in https://doi.org/10.1371/journal.pone.0219470 https://doi.org/10.1371/journal.pone.0219470 https://doi:10.7196/samj.2019.v109i5.13789 https://doi:10.7196/samj.2019.v109i5.13789 https://bmcmedicine.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12916-016-07539 https://bmcmedicine.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12916-016-07539 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28317804 https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28317804 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc3022524/pdf/pmed.10003 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc3022524/pdf/pmed.10003 https://www.researchgate.net/ https://www.researchgate.net/ https://hdl.handle.net/10520/ejc183575 https://provincialgovernment.co.za/department_annual/562/2017-limpopo-health-annual-report.pdf https://provincialgovernment.co.za/department_annual/562/2017-limpopo-health-annual-report.pdf https://provincialgovernment.co.za/department_annual/562/2017-limpopo-health-annual-report.pdf https://sahivsoc.org/ https://www.semanticscholar.org/paper/ghi https://www.semanticscholar.org/paper/ghi http://doi10.1186/s12992-015-0117-9 http://doi10.1186/s12992-015-0117-9 fata, safiani, monica, ulfa, wibisono, self management of type 2 diabetes mellitus patients at … 9 tuberculosis drug trials. clinical infectious disease,65 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles /pmc5849125/. mnqayi, s. o. (2016). tuberculosis screening for pregnant women living with hiv in uthungulu district, in 2011/2012 (doctoral dissertation). mulondo, s.a., khoza, l.b. &maputle, s.m. (2015). risk factors and complications associated with tuberculosis in pregnancy and neonates in limpopo province, south africa. journal of human ecology. 2015;51(1-2):128–137. https://doi.org/10.1 080/09709274.2015.11906903. negussie, b.b., & oliksa, g.b. (2020). factors influence nurses’ job motivation at governmental health institutions of jimma town, south-west ethiopia. international journal of africa nursing sciences. 13; 100253. https://www.researchgate.net/publication/3 45969223. olakunde, b.o., adeyinka, d.a., olawepo, j.o., pharr, j.r., ozigbu, c.e., wakdok, s., oladele, t & ezeanolue, e.e. (2019). towards the elimination of mother-tochild transmission of hiv in nigeria: a health system perspective of the achievements and challenges. international health. (11): 240-249. https://academic.oup.com/inthealth/article/ 11/4/240/5480911 oyira, e.j., ella, r.e., usochukwu, e.c., & akpan, i.p.(2016). knowledge practice and outcome of quality nursing care among nurses in university of calabar teaching hospital. journal of education and training studies. 4 (11):179-193. https://www.researchgate.net sithole, p.m., & khunou, s.h. (2016). factors contributing to missed opportunities in the prevention of mother to child transmission programme in the sub-district of ngaka modiri molema, northwest province, south africa. african journal for physical activity and health sciences volume 22(3:1):667-678. https://www.semanticscholar.org/paper/fa ctors south africa. national department of health. (2016). guidelines for maternity care in south africa: a manual for clinics, community health centres and district hospitals. pretoria: government printers. https://www.knowledgehub.org.za/elibrary /guidelines-maternity-care-south-africa2016. south africa. national department of health. (2018).saving mothers report 2017 seventh reports on to the confidential inquiry into maternal deaths in south africa. pretoria: government printers. https://www.gov.za/documents/savingmothers-report-confidential-enquiriesmaternal-deaths-south-africa. tshililo, a.r., mangena-netshikweta, l., nemathaga, l.h. &maluleke, m. (2019). challenges of primary healthcare nurses regarding the integration of hiv and aids services into primary healthcare in vhembe district of limpopo province, south africa. curationis 42(1), https://doi. org/10.4102/curationis. v42i1.1849. vinkeles melchers, n.v., van elsland, s.l., lange, j. m., borgdorff, m. w., & van den hombergh, j. (2013). state of affairs of tuberculosis in prison facilities: a systematic review of screening practices and recommendations for best tb control. plos one, 8(1), | http://www.plosone.org. world health organization. (2012). who policy on collaborative tb/hiv activities: guidelines for national programmes and other stakeholders. https://pesquisa.bvsalud.org/portal/resourc e/pt/who-44789. world health organisation. (2018). global tuberculosis report. geneva: who. from: http://www.who.int/tb. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5849125/ https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5849125/ https://doi.org/10.1%20080/09709274.2015.11906903 https://doi.org/10.1%20080/09709274.2015.11906903 https://www.researchgate.net/publication/345969223 https://www.researchgate.net/publication/345969223 https://academic.oup.com/inthealth/article/11/4/240/5480911 https://academic.oup.com/inthealth/article/11/4/240/5480911 https://www.researchgate.net/ https://www.semanticscholar.org/paper/factors https://www.semanticscholar.org/paper/factors https://www.knowledgehub.org.za/elibrary/guidelines-maternity-care-south-africa-2016 https://www.knowledgehub.org.za/elibrary/guidelines-maternity-care-south-africa-2016 https://www.knowledgehub.org.za/elibrary/guidelines-maternity-care-south-africa-2016 https://www.gov.za/documents/saving-mothers-report-confidential-enquiries-maternal-deaths-south-africa https://www.gov.za/documents/saving-mothers-report-confidential-enquiries-maternal-deaths-south-africa https://www.gov.za/documents/saving-mothers-report-confidential-enquiries-maternal-deaths-south-africa http://www.plosone.org/ https://pesquisa.bvsalud.org/portal/resource/pt/who-44789 https://pesquisa.bvsalud.org/portal/resource/pt/who-44789 http://www.who.int/tb 162 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior of students in septembro unamet 4th high school dili, timor leste maximiano oqui1, ning arti wulandari2, tonílio de fátima dos santos3, ana do rosário de jesus leite4, rr. dewi putri5 1,3,4nursing department, national timor lorosa’e university, timor leste 2,5nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract most adults who are dependent on nicotine start smoking in their teens. timor-leste is the country with the highest smoking rate in the world. every year, more than 700 people in timor-leste are killed by tobacco-related diseases. tobacco-related diseases are the fourth leading cause of death. assessment to find out knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior. this research design uses crosssectional in high school with sample 122 student. data collection was carried out by quetionare. in this research the researchers conducted an assessment of knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior. this study said out of 122 respondents, it was found that 59.8% had poor knowledge, 27.0% had normal knowledge and 13.1% and out of 122 respondents, 86.6% smoked and 48.3% of them had poor knowledge. the results of statistical tests showed that there was a relationship between knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior in high school students. solution to overcome the problem of knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior is the provision of health education about the impact of smoking using methods that are attractive to high school students and carried out consistently. history article: received, 16/07/2021 accepted, 09/08/2022 published, 15/08/2022 keywords: knowledge, behavior, smoking © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: national timor lorosa’e university – east timor, timor-leste p-issn : 2355-052x email : ningarti83@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p162-167 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ningarti83@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p162-167 oqui, wulandari, santos, leite, putri, knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior … 163 introduction tobacco use, especially smoking, has the highest mortality rate in america. most adults who are dependent on nicotine start smoking in their teens (brooke l et al., 2017). smoking behavior has become a lifestyle for teenagers today. smoking is a behavior that can cause harm to individual and community health, because cigarettes are one of the addictive substances that must be avoided (kurniasih h, widjanarko b, 2016). cigarettes have three main components, namely nicotine which causes addiction, tar which is carcinogenic and carbon monoxide whose activity is very strong on hemoglobin so that oxygen levels in the blood are reduced and other chemicals that are harmful to the body (nur, 2021). timor-leste is the country with the highest smoking rate in the world. every year, more than 700 people in timor-leste are killed by tobaccorelated diseases. tobacco-related diseases are the fourth leading cause of death. in 2020, the prevalence of tobacco users by smoking was 60.7% adult men and 9.4% adult women and among young people aged 13-15 years around 42% boys and 21% girls (act-tl, 2021). factors that influence smoking behavior include the influence of friends, personality factors and the influence of advertising (nur, 2021). other factors that influence smoking behavior include age 20-24 years with an or value of 2.8, work status (or: 2.24), education level (or: 1.93), getting information from magazines (or: 0.78) and from video access (1.28). based on the results of these studies, it can be concluded that most of the teenage boy’s smoke. cigarette advertising in radio and magazines, lower income and education increase the risk of smoking (ferry et al., 2019). based on the results of research, it is said that no environmental factors, work, family, friends and role models have an effect on smoking behavior, so that related parties such as schools and the health office continue to improve education for adolescents about the dangers of smoking (titik et al., 2022). knowledge is a predisposing factor that influences a person's behavior, those with high knowledge are expected to behave positively (muhammad et al., 2013). based on the results of the study, it was found that 650 women aged more than 5 years, who have good knowledge about the impact of smoking have a tendency to behave positively towards cigarettes (ali et al., 2020). sociodemographic and lifestyle factors play an important role in determining smoking behavior in tobacco use in timor-leste (lung & yong, 2022). lifestyle is influenced by knowledge and seen from behavior. the government of timor leste has tried to educate about the dangers of smoking but in septembro 4 high school unamet dili it has not been carried out optimally, therefore it is necessary to do an assessment to find out knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior in unamet dili high school septembro 4 high school unamet dili students. method this research design uses crosssectional. data collection was carried out by quetionare. in this research the researchers conducted an assessment of knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior of students. the sample of this study amounted to 122 which were taken by random sampling from 167 students in septembro 4 high school unamet dili. result data characteristics of respondents. table 1: distribution of respondents characteristics characteristics amount gender male 68 55.7 female 54 44.3 source of information television 14 11.5 health education 70 57.4 never get informations 38 31.1 164 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 162-167 characteristics of respondents in this study 55.7% were male and 44.3% were female. of the 122 respondents, 31.1% had never been exposed to information about the dangers of smoking, 68.9% had received information about smoking, 11.5% from television and 57.4% from health education. table 2: knowledge about the dangers of smoking knowledge about the dangers of smoking amount n = 287 % not enough 73 59.8 normal 33 27.0 more 16 13.1 research result of on 122 respondents, 59.8% had poor knowledge, 57.3% had received information from health education and 2.5% never received information, while 13.1% who had good knowledge had received health education about the dangers of smoking. 27.0% have normal knowledge, 15.6% never get information and 11.4% get information from television. table 3: smoking behavior factor amount n = 122 % smoking behavior yes 106 86.9 no 16 13.1 more than half of senior high school students at unamet dili smoked (86.9%) and 51.6% were male and 35.3% female. of the students who smoked (86.9%) almost all (88.5%) had received information about the dangers of smoking, 48% of them from health education and 27.8% from television. of the students who smoked, more than half (59.8%) had poor knowledge. table 4: the relationship of knowledge about the dangers of smoking with smoking behavior. smoking behavior knowledge about the dangers of smoking not enough normal more yes 59 31 16 analysis no 14 2 0 p value (0.000) the results of statistical tests showed that there was a relationship between knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior in high school students at septembro 4 high school unamet dili (p value: 0.00). discussion based on table 2 of 122 respondents, it was found that 59.8% had poor knowledge, 27.0% had normal knowledge and 13.1% had good knowledge. knowledge is closely related to values in life. smoking is part of the life style of the people of timor leste, because timor leste is the highest tobacco-producing country, so most types of cigarettes consumed are tobacco. knowledge about the impact of tobacco consumption on health can be realized in a long process. someone who has never received information about the dangers of smoking and is supported by people who are around smokers, tends to form low knowledge about the dangers of smoking. this is because knowledge is the result of knowing what happens after someone performs the sensing process of a particular object. the process of sensing comes from sight, hearing, smell, taste and touch. a person will gain insight effectively through sight and hearing (maretalinia et al., 2021). of the 59.8% who have poor knowledge 2.5% have never received information about the dangers of smoking and 57.3% have received information from health education, while 2.7% who have normal knowledge 15.6% of them have never received knowledge about the dangers of smoking and 11.4% get information from television. the results of this study indicate that 59.8% of respondents who have oqui, wulandari, santos, leite, putri, knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior … 165 less knowledge, more than half (36%) are female. the results of the study do not support the results of the study (rabeya, 2021). gender is significantly associated with the average knowledge of the health effects of smoking. men have a significantly higher average level of knowledge than women. factors that influence knowledge are not only information but also experience. the government of timor leste has tried to educate about the dangers of smoking, but in septembro 4 high school unamet dili it has not been carried out optimally. health education about the dangers of smoking to senior high school students has not been done consistently. in addition, several factors that can affect health promotion include education level, socio-economic and cultural level (notoatmodjo, 2014). the culture of smoking is very attached to the people of timor leste, this has also resulted in the unsuccessful efforts to provide health education about the dangers of smoking by the timor leste government. in addition, it is also necessary to examine the compatibility between the methods used in providing education and the target. knowledge about the dangers of smoking to various health conditions varies widely. knowledge was associated with demographic characteristics and exposure to anti-tobacco information, as well as smoking health and nicotine dependence. public health would benefit from health education targeting segments of the population that lack knowledge about the health effects of smoking (sarah & christhoper, 2022). description of the level of knowledge of the dangers of smoking for health in adolescents aged 15-20 years in south tangerang. these results indicate a tendency that low knowledge will shape adolescent behavior to smoke, conversely, high knowledge is more likely to have non-smoking behavior (ismayatun & mustaqim, 2022). so, it is necessary to modify the implementation of health education about the dangers of smoking septembro 4 high school unamet dili in order to increase knowledge. furthermore, it is necessary to change the image of adolescents about smoking if their knowledge has increased to reduce smoking behavior in adolescents (mochamad et al., 2019). smoking behavior the results of this study said that out of 122 respondents, 86.6% smoked and 48.3% of them had poor knowledge. most of the respondents who smoked, the cigarette they consumed was tobacco. the results of statistical tests showed that there was a relationship between knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior in high school students at unamet dilli (p value: 0.00). the results of this study are in accordance with the results of research conducted by (maretalinia et al., 2021) that knowledge and behavior are significantly related to tobacco use. furthermore, based on multivariable results, behavior was the largest influence (aor= 4.25, 95% ci (1.93 – 9.36)) and was followed by knowledge (aor= 2.46, 95% ci (1.00 – 6.04)). the main reasons for smoking in adolescents in saudi arabia are having smoking friends (78.2%), family neglect (45.5%), having smoking parents (41.8%), family problems (37.3%), pleasure, and have relatives who smoke (ali, 2018). perceptions that support smoking behavior include smoking makes a person more confident, looks like someone who is cooler, makes friends easily, can relieve stress and symbolizes one's virility and maturity (mochamad et al., 2019). other factors that are significantly related to current smoking behavior are marital status, gender, age, and area of residence (ameraah et al., 2021). this septembro 4 high school unamet dili student comes from various regions, both urban and rural areas, so it can be concluded that regional origin does not guarantee student behavior in consuming cigarettes. the results of research in indonesia show that most teenagers and young men in rural indonesia smoke tobacco (ferry et al., 2019) all respondents in this study were teenagers. the crisis of psychosocial aspects in adolescents is an identity crisis that clashes with confusion. the crisis of this psychosocial aspect occurs because adolescents are in an effort to find their identity which is accompanied by a mismatch between psychological and social development. to cope with the pressure caused by the crisis, teenagers do smoke behavior as a way to cope or just try something new in order to find their identity. internal factors that can motivate and make teenagers choose to smoke are personality factors. on the personality factor, the individual tries to smoke for reasons of curiosity. external factors of parents are people who influence the emergence of smoking behavior from the family environment. teenagers who see their parents smoking will make them feel like trying what their parents did. in addition, the influence of friends with smoking 166 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 162-167 behavior in adolescents. the stronger the influence of friends, the more male teenagers become active smoking behavior (yunus & eveline, 2019). in this study 86.6% smoked, it can be concluded that the influence of peers in the septembro 4 high school unamet dili environment is very large on smoking behavior. smoking behavior in women has become a debate about its ethics in certain societies which eventually raises various assumptions. smoking is considered not something that is normally done by women, because women who smoke are considered a characteristic that will distinguish them from other women who do not smoke. the results of another study found that 98.1% of adolescents who did not smoke more than half of adolescents were female (58.89%) (titik et al., 2022). but not in this study of 86.6% who smoked 51.6% men and 35% women. along with the development of an increasingly modern society, smoking is no longer a taboo in people's lives. the level of need for a modern lifestyle, makes community members, especially women, to try new things in their lives. in this case, of course, there are many factors that cause women to finally choose to consume cigarettes. based on a phenomenological study of women smoking in the campus environment, the results showed that the student smoked because when he smoked, he could be more confident and make it easier to solve a problem. this woman interprets cigarettes as first, cigarettes as a friendship relationship because cigarettes can lighten the atmosphere when doing social activities. second, smoking as a necessity. smoking can no longer be abandoned because it has become an addiction. third, smoking as a lifestyle, because living in urban areas so smoking is no longer a taboo thing to do. a meaning to cigarettes for women cannot be separated from the "because of motive" before the "in order to motive" which is the cause of women smoking and the purpose of why they become smokers (fauzi, 2020). conclusion there is a significant relationship between knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior of high school students at septembro 4 high school unamet dili. the not enaugh knowledge about the dangers of smoking, the higher student's behavior in smoking. suggestion solution to overcome the problem of knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior is the provision of health education about the impact of smoking using methods that are attractive to high school students and carried out consistently. in addition, the government of timor leste must commit to implementing the convention for tobacco control (fctc). acknowledgement we thank the high school of september 4 high school unamet dili for facilitating our research and all students who are willing to be respondents’ cooperation. funding the authors received no specific funding for this work. conflicts of interest the authors declare that they have no conflict of interest. refferences act-tl, a. c. t. t. leste. (2021). higher tobacco taxes for a healthier timor leste policy to actions 2021. ministerio da saude. https://theunion.org/sites/default/files/202108/timor-leste tax policy paper july 2021.pdf ali, m., azin, a., s, m., theamour, a., chalak h, m., & d, s. (2020). factors associated with knowledge, attitudes and practices of hookah smoking cessation among southern iranian women during the covid19 pandemic: a cross-sectional study. journal of subtance us, 27(4). https://www.tandfonline.com/journals/ijsu20 ameraah, m. n. q., micheal, k. b., mustapha, i., & mohammed, k. a.-h. (2021). socioeconomic determinants of smoking in the kingdom of saudi arabia. international journal of enviromental recearch and public health, 12(11). brooke l, b., melodi, d., & pallav, p. (2017). college anti-smoking policies and student smoking behavior: a review of the literature. tobacco indusced disease, 15(11). https://link.springer.com/article/10.1186/s129 71-017-0117-z#article-info fauzi, m. r. a. (2020). the smoking students: phenomenology study of female smokers in thecampus. jurnal sosiologi dialektika, 15(1). https://www.e oqui, wulandari, santos, leite, putri, knowledge about the dangers of smoking and smoking behavior … 167 journal.unair.ac.id/dialektika/article/vie w/19385 ferry, e., fitriana, n. a., eka, m., linlin, l., & sonya, r. (2019). determinants of smoking behavior among young males in rural indonesia. international journal of adolescent medicine and health, 33(5). https://www.degruyter.com/journal/key/ijamh /html ismayatun, j., & mustaqim, m. (2022). pengetahuan bahaya merokok bagi kesehatan pada remaja usia 15-20 tahun di tangerang selatan. journal of public health innovation, 2(2). kurniasih h, widjanarko b, i. r. (2016). pengetahuan dan sikap mahasiswa tentang upaya penerapan kawasan tanpa rokok (ktr) di fakultas teknik universitas diponegoro semarang. jurnal kesehatan masyarakat, 4(3). https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/a rticle/view/13707 lung, w. f., & yong, k. c. (2022). faktor sosiodemografi dan gaya hidup memainkan peran penting dalam menentukan penggunaan tembakau. journal of substance of us, 27(4). https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.108 0/14659891.2021.1952491 maretalinia, m., elvy, j., suyitno, s., aris, y., & dyah, s. (2021). association of smoking related to knowledge, attitude, and practice (kap) with tobacco use in community health center working area of sungai durian, sintang regency, west kalimantan province. bulentin penelitian sistem kesehatan, 24(1). http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.p hp/hsr/article/view/3544 mochamad, i. n., yuyun, u., miftahcul, j., agung, t. s., & didin, n. h. (2019). knowledge, attitude and practice of cigarette smoking among senior secondary school students in depok, indonesia. international journal of adolescent medicine and health, 33(2). https://www.degruyter.com/document/doi/10. 1515/ijamh-2018-0124/html muhammad, r., m, t. r., & m, s. (2013). smoking behavior at junior high school. jurnal kesehatan masyarakat nasional, 7(11). http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/vie w/363/362 notoatmodjo. (2014). ilmu perikau kesehatan. rineka cipta. nur, f. (2021). hubungan antara pengetahuan tentang dampak merokok dengan perilaku merokok di desa sidapura. politehnik harapan bersama kota tegal. rabeya, s. (2021). factors associated with knowledge about the health effects of exposure to secondhand smoke among youth in bangladesh. international journal of community medicine and public health, 8(7). https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/757841 71/5089-with-cover-pagev2.pdf?expires=1657961963&signature=x mgevkybhsb1xqiztzt1v1gpxinhu~px5fgmx~h too~koqvsotkg~dht38bvz2mdb7dquazpa428n1s4xvp6q18bnxjih xzn9m23fwpqawovwf9mdag~14zkoo c0wqwlbu5o-e1ni2hlzh-n9tuhi6caklivw4ev9th6zy1n29cjazmh6rbi 1gpzirig9wvzn~jvhdelbtjcm96dviff6d ~c9t3ul4egxe~npwhwkvbnnv4v4ncynf94v1s7eoqli~mexep qlro24p~5s6vrneanhoageunj0tioqwarji bmaan5mrbjf4e-c7uihefle-csxzbsebxuoiixw__&key-pairid=apkajlohf5ggslrbv4za sarah, m. d., & christhoper, w. (2022). beliefs about the health effects of smoking among adults in the united states. sage journals, 49(3). https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177 /10901981211004136 titik, s., wahyu, t. ningsih, su’udi, s., & bustomi, r. abi y. a. b. (2022). determinants of smoking behavior in adolescents. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 9(1). http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/article/vie w/773 yunus, e., & eveline, m. (2019). fenomena merokok pada anak usia remaja: studi kualitatif. kablat journal of nursing, 1(1). http://ejournal.unklab.ac.id/index.php/kjn/arti cle/view/385/406 154 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk reduction of jitanti ptm questionnaire: principal component factor analysis suprajitno1, sri mugianti2, bastianus doddy riyadi3, juin hadi suyitno4, puguh yudho trisnanto5 1,2department of nursing, poltekkes kemenkes malang, indonesia 3,4department of nutrition, poltekkes kemenkes malang, indonesia 5department of medical record and health information, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract 69 questions in the jitanti ptm application with the logo, can be employed to measure an individual's risk of suffering from non-communicable diseases. the 69 questions in the app can tire the user's eyes, as can the app user's comments. the objective of the study was to reduce questions in order to be more effective. the research design used cross-sectional. the sample who volunteered to fill out the jitanti ptm application were 324 people using simple random sampling. the inclusion criteria was people who were living in blitar raya who have a risk of suffering from non-communicable diseases, and frequently consuming fast food and drinks. the data collection was administered from april to june 2022. the data analysis was then performed to calculate validity using pearson product moment, reliability by administering cronbach's , and factor loading employing principal component factor analysis. the software for calculations utilized spss. the validity test values obtained were between 0.234 – 0.708 which was greater than r table at = 0.05 and degrees of freedom > 300 = 0.113, meaning the questions met the validity requirements. the reliability test scores obtained were between 0.783 – 0.907 which met the minimum reliability requirements of 0.7. based on the eigenvalue, which is more than 1.0, 19 new questions can be generated (7 for knowledge, 7 for attitude, and 5 for action). reducing the number of questions in the jitanti ptm application can reduce user visual fatigue and speed up charging time, thereby reducing the accommodation power of vision. history article: received, 02/02/2023 accepted, 17/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: reduction, questions, jitanti ptm, factor analysis © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email: suprajitno_skp@poltekkes-malang.ac.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p154-160 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:suprajitno_skp@poltekkes-malang.ac.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p154-160 suprajitno, mugianti, riyadi, suyitno, trisnanto, reduction of jitanti ptm questionnaire: principal … 155 introduction questions are an essential attribute in the questionnaire administered to describe a variable that is expected. questions describe the sub variables to be measured, where questions can be utilized if they possess good validity and reliability values. questionnaires that describe variables can be answered directly by users in paper format or electronic format, both of which have their own advantages and disadvantages. the choice of how to fill is based on the expected goals. questionnaires that were answered in paper format tended not to be completed immediately due to the long filling time. however, answering electronic or digital format questionnaires can be visually tiring as it requires visual accommodation. research on students in south africa revealed that employing an ipad (a digital device) can stimulate more accommodation, and require vision correction (devenier et al., 2021). this condition illustrates that digitization affects the accommodation power of vision. one of the android applications, which is jitanti ptm with the logo used to a healthy a person's risk of suffering from non-communicable diseases based on cerdik behavior (periodic health checks, stopping smoking, being diligent in physical activity, a balanced and healthy diet, adequate rest, and managing stress). the application contains 69 questions consisting of 20 questions of knowledge, 29 questions of attitude, and 20 questions of action (suprajitno & mugianti, 2020). the verbal responses of android application users were "... the number of questions is too much.", "... many questions are similar and repetitive.", "the sentence is too long.", and "it takes more than 15 minutes to fill out the questionnaire". the number of good digital questions in a questionnaire is 25-30 questions with a maximum filling time of 30 minutes (sharma, 2022). therefore, for the effectiveness of filling in the application, it is necessary to reduce the number of questions in jitanti ptm, so as not to tire eyesight. methods the design employed was cross-sectional. there were 324 respondents selected by simple random sampling and volunteers, with the criteria being people who were residing in blitar raya who have a risk of suffering from non-communicable diseases and frequently consuming fast food and drinks. the data collection was conducted from april to june 2022. the data was collected by filling out a questionnaire in the jitanti ptm application with the logo (poltekkes-kemenkesmalang, 2022). the validity analysis employed the pearson product moment, the reliability administered cronbach's , and the question reduction used principal component factor analysis with spss software. this research had been declared ethically feasible by the health research ethics committee of poltekkes kemenkes malang number: 305 / kepk-polkesma / 2022 dated january 19, 2022. results the reliability value of the knowledge, attitude, and action questionnaire was calculated using cronbach's alpha, and the validity value was calculated using pearson product moment. meanwhile, the value of r table at  = 0.05 and degrees of freedom > 300 = 0.113 (n.n., 2022). the reliability and validity values of the questionnaire are presented in table 1. table 1: the value of the reliability and validity of the knowledge, attitude, and action questionnaire no questionnaire number of items minimum r value maximum r value cronbach’s alpha 1 knowledge 20 0.234 0.557 0.783 2 attitude 29 0.347 0.708 0.907 3 action 20 0.383 0.558 0.828 principal component analysis for knowledge, attitude, and action questionnaires was described by employing kaiser-meyer-olkin (kmo) and bartlett's test, principal component extraction method in accordance with eigenvalue > 1, and varimax rotation. the results of the principal component factor analysis are demonstrated in table 2. 156 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 154-160 table 2: the analysis result of the principal components of the knowledge, attitude, and action questionnaires no. test value knowledge attitude action 1 test value: kaiser-meyer-olkin (kmo) bartlett's chi-square test significance 0.778 1034.175 0.000 0.904 3130.149 0.000 0.816 1431.414 0.000 2 varimax extraction loading factor values: minimum maximum 0.314 0.716 0.429 0.689 0.312 0.708 the eigenvalue results using the principal component analysis for the knowledge, attitude, and action questionnaires with varimax extraction are illustrated in table 3. table 3: eigenvalue of the principal component analysis for the knowledge, attitude, and action questionnaires component knowledge attitude action eigen value % variance cumulati ve % eige n value % variance cumulati ve % eigen value % variance cumulati ve % 1 4.016 20.082 20.082 8.531 29.418 29.418 4.875 24.377 24.377 2 1.730 8.648 28.730 1.800 6.205 35.623 1.681 8.404 32.782 3 1.344 6.718 35.448 1.450 5.001 40.625 1.446 7.230 40.012 4 1.191 5.955 41.403 1.249 4.308 44.933 1.244 6.220 46.232 5 1.094 5.469 46.872 1.222 4.212 49.145 1.097 5.486 51.718 6 1.037 5.187 52.059 1.147 3.955 53.100 0.948 4.740 56.458 7 1.003 5.013 57.072 1.066 3.678 56.778 0.942 4.712 61.170 8 0.939 4.695 61.767 0.985 3.395 60.173 0.883 4.414 65.584 based on the loading factor value for each new question (factor), grouping questions are demonstrated in table 4. table 4: grouping of new questions in accordance with the value of the principal component analysis factor loading questioner new question question (q) number (loading factor value) knowledge question 1 question 2 question 3 question 4 question 5 question 6 question 7 q 13 (0.714), q 12 (0.659), & q 16 (0.489) q 10 (0.721), q 9 (0.716), q 5 (0.454), & q 7 (0.442) q 3 (0.733) & q 2 (0.510) q 4 (0.743), q 6 (0.692), & q 8 (0.436) q 1 (0.771), q 17 (0.625), & q 18 (0.529) q 20 (0.646) & q 19 (0.599) q 11 (0.678), q 14 (0.633), & q 15 (0.435) attitude question 1 question 2 question 3 question 4 question 5 question 6 question 7 q 2 (0.698), q 4 (0.632), q 11 (0.586), q 1 (0.523), q 3 (0.505), q 10 (0.496), & q 13 (0.465) q 17 (0.684), q 16 (0.680), q 15 (0.673), q 18 (0.635), & q 20 (0.390) q 7 (0.748), q 9 (0.685), q 6 (0.675), q 8 (0.599) & q 5 (0.537) q 27 (0.714), q 29 (0.596), & q 26 (0.507) q 24 (0.719), q 23 (0.719), & q 21 (0.626) q 12 (0.670), q 28 (0.604), q 25 (0.582), & q 19 (0.471) q 22 (0.669) & q 14 (0.515) suprajitno, mugianti, riyadi, suyitno, trisnanto, reduction of jitanti ptm questionnaire: principal … 157 questioner new question question (q) number (loading factor value) actions question 1 question 2 question 3 question 4 question 5 q 17 (0.634), q 18 (0.583), q 15 (0.577), q 13 (0.562), q 11 (0.536), & q 12 (0.412) q 20 (0.669), q 6 (0.617), q 19 (0.570), q 16 (0.456), q 7 (0.452), & q 14 (0.382) q 1 (0.773) & q 2 (0.763) q 4 (0.746), q 5 (0.737), & q 3 (509) q 10 (0.817), q 9 (0.751), & q 8 (0.476) discussion the use of an application does not only consider the results of the contents, but also needs to consider the verbal response of the application user. application users are like consumers, they also act as promoters for other users, thus, verbal responses need to be a concern for jitanti ptm android application developers. one study elaborated that the consumer's verbal response as an anchor to promote an item to other potential consumers (phillips, 2013). thus, the verbal responses obtained by researchers need to be a concern for simplifying the questionnaire, hence, it is simple but does not reduce the expected goals. increasing users of the jitanti ptm application requires some concern regarding the intake provided by users. efforts were performed to reduce the questions in the questionnaire so as not to cause user fatigue through factor analysis. in theory, the objectives of factor analysis are (1) reducing the number of variables, (2) identifying the structure or relationship between variables, (3) evaluating the construct validity of the instrument, (4) identifying multicollinearity, and (5) utilizing it to prove the theory (härdle & simar, 2019; mindrila, 2017; watkins, 2021; williams et al., 2010). there are two identified factor analyzes, which are exploratory and confirmatory factor analysis. in order to obtain good analysis results, a principal component factor analysis is conducted. five stages (see figure 1 below) cited by william et al. (williams et al., 2010) as a principal component factor analysis protocol for decision making. some of the textbooks cited by comrey and lee (comrey & lee, 1992) provide guidance on sample size in factor analysis, encompassing 100 is insufficient, 200 is sufficient, 300 is good, 500 is very good, and 1000 or more is tremendously very good (williams et al., 2010). the sample size for this factor analysis for the reduction of the jitanti ptm question was 324 respondents, thus, it was in the good category for analysis. analysis that can provide information. 1. is the data suitable for factor analysis? 2. how will the factors be extracted? 3. what criteria will assist in determining factor 4. selection or rotational method 5. interpretation and labelling figure 1. the 5-step exploratory factor analysis protocol (source: william et al., 2010) 158 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 154-160 question reduction was administered by taking into account the results of the validity and reliability tests using spss. the validity test originates from the pearson product moment correlation value, the minimum r count value of the knowledge questionnaire was 0.234, the attitude was 0.347, and the action was 0.383 (table 1). the calculated r value (table 1) is at least greater than the r table at  = 0.05 and df > 300 of 0.113 (n.n., 2022), hence, the knowledge, attitude, and action questionnaires are declared valid. the reliability test employed cronbach's , the reliability test value of the knowledge questionnaire was 0.783, the attitude was 0.907, and the action was 0.828 (table 1). the cronbach alpha value of the questionnaire (table 1) is between 0.783 – 0.907. in order for a questionnaire to be declared reliable it needs to be greater than 0.70 (griethuijsen et al., 2014; taber, 2017) as this indicates that the cronbach alpha value qualifies as a reliable questionnaire. reliability and validity (mohajan, 2017) are required for a questionnaire. reliability was employed to evaluate questions used at different times for the same individual or the equivalence of sets of questions from the same questionnaire. the reliability coefficient ranges from 0.00 to 1.00. a high reliability coefficient indicates a high level of reliability of the questionnaire (kimberlin & winterstein, 2008). validity is frequently defined as the extent to which an instrument measures what it is intended to measure. validity requires an instrument to be reliable, but an instrument to be reliable without validity (kimberlin & winterstein, 2008). the reliability of a questionnaire can be studied through interval consistency and interrater reliability. meanwhile, the validity of a questionnaire incorporates construct validity, content validity, and criteria-related validity. the kaiser-meyer-olkin (kmo) value is a test value to test the strength of the partial correlation between variables. kmo values close to 1.0 are considered ideal while values less than 0.5 are unacceptable (analysisinn, 2020; nkansah, 2018; reddy & kulshrestha, 2019). the kmo value of the knowledge, attitude, and action questionnaire (table 2) is more than 0.5, implying that it is possible to reduce the number of questions. meanwhile, the kmo value category (table 2), the knowledge questionnaire is 0.778 in the medium category, the attitude questionnaire is 0.904 in the very good category, and the action questionnaire is 0.816 in the good category (reddy & kulshrestha, 2019). the test results indicate that the questions in the questionnaire have a relationship with one another, thus the number of questions can be reduced (simplified). the kmo value is supported by the significance value of barlett's test from the sphericity questionnaire of knowledge, attitudes, and actions of 0.000 which is less than  which is set at 0.05. based on kmo and barlett's test values, it is followed by analysis of the principal component factors. factor analysis extraction method utilizing varimax spss. the consideration of using varimax is that it can produce a loading factor as a solution for simple structures in real data sets (komalasari, 2015; weide & beauducel, 2019), and produce a component that does not change when the component is rotated (acal et al., 2020). the value of the loading factor by employing the varimax extraction of the knowledge questionnaire is 0.314 – 0.716, attitude is 0.429 – 0.689, and action is 0.312 – 0.718 (table 2). the loading factor resulting from varimax extraction can be accepted as a new forming factor if it has a minimum value of 0.3 (field, 2018; samuels, 2017). eigenvalue greater than 1.0 is administered as a determinant in formulating the common factor of the questionnaire (komalasari, 2015). the eigenvalue of more than 1.0 of the components indicates the number of statistically suggested reductions in the number of questions (table 3), resulting in 7 components for the knowledge questionnaire, 7 components for the attitude questionnaire, and 5 components for the action questionnaire. the components that are generated based on the eigenvalue also describe the cumulative variance of each questionnaire. it means that (1) the knowledge questionnaire can be summarized into 7 new questions with a cumulative variance of 57.072%, (2) the attitude questionnaire can be summarized into 7 new questions with a cumulative variance of 56.778%, and (3) the action questionnaire can be summarized into 5 new questions with a cumulative variance of 51,718%. the cumulative variance describes the number of questions that need to be maintained in a questionnaire based on the eigenvalue and elaborates the spread of the data obtained if a questionnaire with the number of questions is employed (o’brien, 2007). grouping the number of questions based on the value of the loading factor resulted in 7 new knowledge questions, 7 new attitude questions, and 5 new action questions (table 4). statistically, from the results of the principal component factor analysis, the number of new questions for the jitanti ptm application resulted in 19 questions. new questions prepared based on merging questions are in the appendix. such a number of questions can be categorized as ideal for a digital application so as not to be tiring (devenier et al., 2021). if suprajitno, mugianti, riyadi, suyitno, trisnanto, reduction of jitanti ptm questionnaire: principal … 159 there is no reading fatigue through digital screens, it can lead to pleasure in utilizing the application, which is expected to be a promoter for other users of the application. conclusion reducing the questions of a questionnaire in a digital application can reduce user visual fatigue, but does not eliminate the meaning of the questions. the reduction method can use the principal component factor analysis by taking into account the eigenvalue. questions about the jitanti ptm application with the logo based on eigenvalue factor analysis, resulted in 19 new questions (7 for knowledge, 7 for attitudes, and 5 for attached actions) derived from 69 existing questions with a cumulative variance of around 57%. suggestion the android application of jitanti ptm can be used by the community for early detection of individual risks of suffering from noncommunicable diseases. acknowledgement thanks to director of poltekkes kemenkes malang, kepala dinas kesehatan kota blitar as an application user in their work area, and all respondents. funding the funding of this research comes from a grant from the indonesian ministry of health through poltekkes kemenkes malang. conflicts of interest all authors declare no conflict of interest. author contributions sp as a contributor of ideas, data analysis, preparation of manuscripts, and publications. sm, bdr, and jhs as developers of research methods carried out, data collection, data editing, and manuscript preparation. pyt has the role of data collection, data editing, data analysis, and manuscript preparation. refferences acal, c., aguilera, a. m., & escabias, m. (2020). new modeling approaches based on varimax rotation of functional principal components. stochastic statistics and modeling, 8(11: 2085), 15. https://doi.org/10.3390/math8112085 analysis-inn. (2020, 9 may 2020). kmo and bartlett’s test of sphericity. analysis inn. retrieved 29 november from https://www.analysisinn.com/post/kmoand-bartlett-s-test-of-sphericity/ comrey, a. l., & lee, h. b. (1992). a first course in factor analysis (2nd ed.). lawrence erlbaum associates, inc., publishers. http://library.lol/main/f28c0f19d73b6c 3f47dae6ce7928c931 devenier, m., hansraj, r., & rasengane, t. a. (2021). the response of the accommodation system to digital and print images. african vision and eye health, 80(1), 5. https://avehjournal.org/index.php/aveh/art icle/view/662/1686 field, a. (2018). discovering statistics using ibm spss statistics (5th ed.). sage publication ltd. http://library.lol/main/6d9bab4ca6ed1 409cd04dde97c0d8959 griethuijsen, r. a. l. f. v., eijck, m. w. v., haste, h., brok, p. j. d., skinner, n. c., mansour, n., gencer, a. s., & boujaoude, s. (2014). global patterns in students’ views of science and interest in science. research in science education, 45, 23. https://doi.org/10.1007/s11165-014-94386 härdle, w. k., & simar, l. (2019). applied multivariate statistical analysis (fifth edition ed.). springer. https://doi.org/10.1007/978-3-030-260064 kimberlin, c. l., & winterstein, a. g. (2008). validity and reliability of measurement instruments used in research. american journal of health-system pharmacy, 65(23), 9. https://doi.org/10.2146/ajhp070364 komalasari, d. (2015). rotasi varimax dan median hirarki cluster pada program raskin di kabupaten lombok barat. jurnal matematika, 5(1), 12. https://doi.org/10.24843/jmat.2015.v05. i01.p55 https://doi.org/10.3390/math8112085 https://www.analysisinn.com/post/kmo-and-bartlett-s-test-of-sphericity/ https://www.analysisinn.com/post/kmo-and-bartlett-s-test-of-sphericity/ http://library.lol/main/f28c0f19d73b6c3f47dae6ce7928c931 http://library.lol/main/f28c0f19d73b6c3f47dae6ce7928c931 https://avehjournal.org/index.php/aveh/article/view/662/1686 https://avehjournal.org/index.php/aveh/article/view/662/1686 http://library.lol/main/6d9bab4ca6ed1409cd04dde97c0d8959 http://library.lol/main/6d9bab4ca6ed1409cd04dde97c0d8959 https://doi.org/10.1007/s11165-014-9438-6 https://doi.org/10.1007/s11165-014-9438-6 https://doi.org/10.1007/978-3-030-26006-4 https://doi.org/10.1007/978-3-030-26006-4 https://doi.org/10.2146/ajhp070364 https://doi.org/10.24843/jmat.2015.v05.i01.p55 https://doi.org/10.24843/jmat.2015.v05.i01.p55 160 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 154-160 mindrila, d. (2017). exploratory factor analysis: application in school improvement research (d. mindrila, ed.). vova science publihers. http://library.lol/main/b0724dab1ad73 4d50c85989d1c820a36 mohajan, h. k. (2017). two criteria for good measurements in research: validity and reliability. annals of spiru haret university, 17(3), 32. https://mpra.ub.unimuenchen.de/83458/1/mpra_paper_834 58.pdf n.n. (2022). table of critical values: pearson correlation. https://www.statisticssolutions.com/freeresources/directory-of-statisticalanalyses/pearsons-correlationcoefficient/table-of-critical-valuespearson-correlation/ nkansah, b. k. (2018). on the kaiser-meierolkin’s measure of sampling adequacy. mathematical theory and modelling, 8(7), 25. https://iiste.org/journals/index.php/mtm/ article/view/44386/45790 o’brien, k. (2007). factor analysis: an overview in the field of measurement. university of toronto. retrieved 29 december from https://ihpme.utoronto.ca/wpcontent/uploads/2021/10/factoranalysis-paper-ptcanada-2007.pdf phillips, b. j. (2013). the impact of verbal anchoring on consumer response to image ads. journal of advertising, 29(1), 11. https://doi.org/10.1080/00913367.2000.1 0673600 poltekkes-kemenkes-malang. (2022). jitanti ptm. in suprajitno, s. mugianti, & p. y. trisnanto (eds.), (pp. android version 5). blitar: https://play.google.com/store/apps/details ?id=org.apxdev.jitantiptm. reddy, l. s., & kulshrestha, p. (2019). performing the kmo and bartlett’s test for factors estimating the warehouse efficiency, inventory and customer contentment for e-retail supply chain. international journal for research in engineering application & management, 5(9), 15. https://doi.org/10.35291/24549150.2019.0531 samuels, p. (2017). advice on exploratory factor analysis. in b. c. university (ed.), (pp. 7). london uk: centers of acdemic success. sharma, h. (2022). how short or long should be a questionnaire for any research? researchers dilemma in deciding the appropriate questionnaire length. saudi journal of anaesthesia, 16(1), 4. https://doi.org/10.4103/sja.sja_163_21 suprajitno, & mugianti, s. (2020). cerdik behavior as a risk factor for individuals with non-communicable diseases. systematic reviews in pharmacy, 11(10), 350-360. https://www.sysrevpharm.org/abstract/cer dik-behavior-as-a-risk-factor-forindividuals-with-noncommunicablediseases-66252.html taber, k. s. (2017). the use of cronbach’s alpha when developing and reporting research instruments in science education. research in science education, 48(2018), 24. https://doi.org/10.1007/s11165-016-96022 watkins, m. w. (2021). a step-by-step guide to exploratory factor analysis with spss. routledge. http://www.routledge.com/978036771031 6 weide, a. c., & beauducel, a. (2019). varimax rotation based on gradient projection is a feasible alternative to spss. quantitative psychology and measurement, 10, 14. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00645 williams, b., onsman, a., & brown, t. (2010). exploratory factor analysis: a five-step guide for novices. journal of emergency primary health care (jephc), 8(3), 13. https://typeset.io/pdf/exploratory-factoranalysis-a-five-step-guide-for-novices4w1voztx0i.pdf. http://library.lol/main/b0724dab1ad734d50c85989d1c820a36 http://library.lol/main/b0724dab1ad734d50c85989d1c820a36 https://mpra.ub.uni-muenchen.de/83458/1/mpra_paper_83458.pdf https://mpra.ub.uni-muenchen.de/83458/1/mpra_paper_83458.pdf https://mpra.ub.uni-muenchen.de/83458/1/mpra_paper_83458.pdf https://www.statisticssolutions.com/free-resources/directory-of-statistical-analyses/pearsons-correlation-coefficient/table-of-critical-values-pearson-correlation/ https://www.statisticssolutions.com/free-resources/directory-of-statistical-analyses/pearsons-correlation-coefficient/table-of-critical-values-pearson-correlation/ https://www.statisticssolutions.com/free-resources/directory-of-statistical-analyses/pearsons-correlation-coefficient/table-of-critical-values-pearson-correlation/ https://www.statisticssolutions.com/free-resources/directory-of-statistical-analyses/pearsons-correlation-coefficient/table-of-critical-values-pearson-correlation/ https://www.statisticssolutions.com/free-resources/directory-of-statistical-analyses/pearsons-correlation-coefficient/table-of-critical-values-pearson-correlation/ https://iiste.org/journals/index.php/mtm/article/view/44386/45790 https://iiste.org/journals/index.php/mtm/article/view/44386/45790 https://ihpme.utoronto.ca/wp-content/uploads/2021/10/factor-analysis-paper-ptcanada-2007.pdf https://ihpme.utoronto.ca/wp-content/uploads/2021/10/factor-analysis-paper-ptcanada-2007.pdf https://ihpme.utoronto.ca/wp-content/uploads/2021/10/factor-analysis-paper-ptcanada-2007.pdf https://doi.org/10.1080/00913367.2000.10673600 https://doi.org/10.1080/00913367.2000.10673600 https://play.google.com/store/apps/details?id=org.apxdev.jitantiptm https://play.google.com/store/apps/details?id=org.apxdev.jitantiptm https://doi.org/10.35291/2454-9150.2019.0531 https://doi.org/10.35291/2454-9150.2019.0531 https://doi.org/10.4103/sja.sja_163_21 https://www.sysrevpharm.org/abstract/cerdik-behavior-as-a-risk-factor-for-individuals-with-noncommunicable-diseases-66252.html https://www.sysrevpharm.org/abstract/cerdik-behavior-as-a-risk-factor-for-individuals-with-noncommunicable-diseases-66252.html https://www.sysrevpharm.org/abstract/cerdik-behavior-as-a-risk-factor-for-individuals-with-noncommunicable-diseases-66252.html https://www.sysrevpharm.org/abstract/cerdik-behavior-as-a-risk-factor-for-individuals-with-noncommunicable-diseases-66252.html https://doi.org/10.1007/s11165-016-9602-2 https://doi.org/10.1007/s11165-016-9602-2 http://www.routledge.com/9780367710316 http://www.routledge.com/9780367710316 https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.00645 https://typeset.io/pdf/exploratory-factor-analysis-a-five-step-guide-for-novices-4w1voztx0i.pdf https://typeset.io/pdf/exploratory-factor-analysis-a-five-step-guide-for-novices-4w1voztx0i.pdf https://typeset.io/pdf/exploratory-factor-analysis-a-five-step-guide-for-novices-4w1voztx0i.pdf 260 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk spiritual emotional freedom technique (seft) as an effort to improve mood swing premenstruation syndrome indah lestari faculty of nursing, university of bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract towards or during the menstrual cycle there are changes in the balance of various hormones such as endorphins, serotonin, and other hormones that determine mood. mood swings, commonly known as premenstrual syndrome, fluctuate involving alternating feelings of happiness, sadness, anger, and depression, which are often known as mood swings. this condition can be minimized with non-pharmacological therapy, one of which is seft (spiritual emotional freedom technique). the purpose of this study was to prove the effect of seft (spiritual emotional freedom technique) therapy in improving the mood of premenstrual swing syndrome at darussalam islamic boarding school. the design of the study was a pre-experimental one-group pretest-posttest approach. the population was all female students who experienced premenstrual syndrome mood swings at darussalam islamic boarding school with a total of 232 respondents. a sample of 186 respondents, was selected by random sampling technique. the instruments in the study were standard seft therapy procedures and the fdms (four dimension mood scale). history article: received, 22/05/2023 accepted, 17/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: mood swings, syndrom pre-mesntruasi, seft © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: university of bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : ns.indah@yahoo.com e-issn : 2548-3811 doi: this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ns.indah@yahoo.com lestari, spiritual emotional freedom technique (seft) as an effort to improve mood … 261 introduction premenstrual syndrome is a collection of unpleasant symptoms, both physical and psychological, experienced by women before their menstrual period. one of the symptoms that appear is mood disorders, which can be in the form of feelings of depression, irritability, emotional lability, crying quickly, anxiety, confusion, wanting to be alone, decreased concentration, insomnia, increased desire to rest, and changes in sexual desire. this condition is known as mood swings. prevalence of premenstrual syndrome in indonesia, obtained as many as 40% of indonesia is found to be 40% of women, and as many as 2-10% experience severe symptoms. the results of fidora & yuliani's research (2020) experienced moderate premenstrual syndrome (94.3%), and (3.7%) experienced severe premenstrual syndrome (ifazatul nurlatifah, 2016). pradana (2018) in tumapel village of 62 young women who experienced mild premenstrual syndrome 4.8%, moderate 61.3%, and severe 33.9%. the results of interviews with 6 students at islamic boarding schools complain that they often feel irritable, depressed, anxious, and depressed, headaches, tight breasts, and back pain. the hormone estrogen is associated with mood swings. changes in estrogen levels before menstruation will affect the work of serotonin, which is a chemical compound in the brain that is responsible for regulating moods and emotions. mood changes can hinder daily activities, and interfere with learning concentration, and the social environment. women who are experiencing menstruation are often less able to regulate their emotions. spiritual emotional freedom technique (seft) is a complementary therapy in the mindbody therapy category, providing interventions with various techniques to facilitate thinking capacities that affect physical, psychological, and bodily functions (puspita et al., 2018a). using the index finger and middle finger tap lightly on some of the body's meridian points. in addition, by involving god in the process of psychological energy. the benefits of spiritual emotional freedom technique therapy can overcome various problems of emotional disturbances such as phobias, trauma, depression, anxiety, stress, difficulty sleeping, irritability, and nervousness. with the spiritual emotional freedom technique (seft), emotional and physical problems experienced by a person will be easily overcome. this is because the spiritual emotional freedom technique (seft) places more emphasis on elements of spirituality (prayer) and the body's energy system using the tapping method. at certain points on the body. in addition to the body's energy system, there are also relaxation methods involving the patient's belief factor which is believed to reduce the complaints that are felt (puspita et al., 2018b). based on the above studies, researchers are interested in proving the effectiveness of seft in improving mood swings premenstrual syndrome resulted in a p-value = 0.001, which means that seft therapy is proven to improve mood swings syndrome. giving seft therapy can have a relaxing effect thereby reducing mood swings during pre-menstruation methods this study used pre-experimental design research, one group pretest-posttest approach. in this study, the population was all female students who experienced premenstrual mood swings at darussalam islamic boarding school, a total of 232 students, with a sample of 186 people, taken by simple random sampling. the independent variable was the spiritual emotional freedom technique (seft), and the dependent variable was premenstrual mood swings syndrome. seft used a standard procedure by applying 3 techniques, namely the set-up, the tune-in, and tapping, while mood swings used the fdms (four dimension mood scale) questionnaire sheet which consists of 4 dimensions: positive energy, tiredness, negative activation, and relaxation. analysis using the wilcoxon sign rank test. results the results showed that the characteristics of the respondents were mostly 13-15 years old, junior high and normal menstrual cycles, as shown in table 1 below. 262 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 260-264 table 1: frequency distribution of respondent characteristics based on age, education and menstrual cycles on female students at darussalam islamic boarding school no characteristics responden frequency percentage 1 age 13-15 years 123 66.1 16-19 years 63 33.9 total 186 100% 2 education levels junior high school 128 66.9 senior high school 58 33.1 total 186 100% 3 menstrual cycle 28 days 95 51 <28 days 86 46.2 >28 days 5 3.8 total 186 100% source: primary data table 2 below shows a significant difference in premenstrual syndrome mood swings after being given seft therapy. based on the analysis results, with p-value = 0.001, it can be concluded that seft can improve premenstrual syndrome mood swings. table 2: differences in mood swings of respondents before and after being given seft no mood swings level pre test post test f % f % 1 very good 0 0 81 43.5 2 good 0 0 96 51.6 3 fairly good 26 13.9 5 2.7 4 less good 145 77.9 3 1.6 5 not good/bad 15 8.2 1 0.6 total 186 100% 186 100% p-value = 0,001 discussion mood swings often appear before menstruation. this is natural, but it can also interfere with social aspects. adolescence also contributes, hence the need for diversion and control in a positive way. seft (spiritual emotional freedom technique) is a technique that uses psychology and spiritual knowledge with prayer in overcoming one's negative emotions. this therapy deals directly with the disruption of the energy system in eliminating negative emotions by re-integrating energy into one's body (ainsworth et al., 2022). seft is a mixing technique of body energy and spiritual healing using tapping on energy points in the body. this therapy can work like an acupuncture technique that seeks to stimulate energy points in the body's energy pathways. the difference with acupuncture is that it uses spiritual therapy which is very safe, easy, fast, and simple because it only uses tapping (khalidatul khair anwar et al., n.d., 2019). zuyina (2019), seft therapy can generate vital hippocampal (memory center) impulses to coordinate all things absorbed by the senses) to produce gaba (gama amino batyric acid) which controls emotional response and inhibits acetylcholine, serotonin and neurotransmitters that produce cortisol secretion, resulting in homeostasis (balance) and repair the disrupted neurotransmitter system, and bring up optimism and positive thoughts. the mechanism of the spiritual emotional freedom technique (seft) in influencing psychological responses by stimulating the body's meridian points. the spiritual emotional freedom technique (seft) uses the fingertips to do light tapping (tapping) on the body's meridian lestari, spiritual emotional freedom technique (seft) as an effort to improve mood … 263 points. tapping (tapping) on the meridian points will send kinetic energy to the energy system and release obstacles that block the flow of energy. so that it brings relaxation and pain will decrease, later the mood will improve. the tapping points in seft therapy are points that represent organs in the body, so that when tapping there will be an increase in the process of traveling neurotransmitter signals which downregulates the hypothalamic-pitutiaryadrenal axis (hpa axis) thereby reducing the production of stress hormones. namely cortisol (alawy et al., 2022). rodrigues (2012) explained that pressure on the body's meridian points will stimulate the body to release endorphins and monoamines, two compounds that function to control feelings. pain and induce relaxation. emphasis on the body's meridian points aims to stimulate the body's organs that are sick or experiencing disorders. in the hands, some nerves become points of relaxation. the relaxed point on the hand will transmit a kind of shock wave heading to the current brain. these waves will be received by the brain and forwarded to the affected organ. when the meridian points are pressed, the waves that propagate will destroy the blockage so that the blood flow returns smoothly. if the energy in the meridians runs smoothly, it means that the body is in a comfortable condition (zakiyyah, n.d.). in addition, seft therapy involves god in this psychological energy process, making seft experience an amplifying effect so that the spectrum of problems that can be overcome is much wider, including physical, psychological, emotional, self-success, heart happiness and pave the way to personal greatness. this is because seft places more emphasis on the elements of spirituality (prayer) and the body's energy system by using the tapping method at certain points on the body. in addition to the body's energy system, there are also relaxation methods involving the patient's belief factors that can reduce pain and improve mood (sastra, 2016). seft can perceive the source of the client's stress and respond with coping stress. when a positive stress response can be managed properly, the body's response to stress will be more positive (zaka & mahmood, n.d.). from the results of the study, researchers can say that the seft therapy can be used as a sustainable alternative. besides being cheap, it has no impact, because it is more inclined to the spiritual aspect, it is also safe to apply to anyone. when our thoughts are positive, good energy will flow, which will improve mood. conclusion mood swings are a normal condition for women before menstruation, but they can also be very annoying. it takes effort to be able to improve one's mood. the results showed that seft therapy can improve mood swings premenstrual syndrome. looking at the p-value results, in general seft therapy can be applied to women with mood swings. the results will be better if we can be more focused and full of confidence. suggestion seft can be used as a complementary therapy in treating mood swings that often occur in premenstrual syndrome. acknowledgement the researchers would like to thank darussalam islamic boarding school for the support to this study. thanks to the research respondents, for their positive contributions. to the chairman of lppm for supporting researchers. funding this research was carried out thanks to the role of lppm in supporting lecturers' research performance. conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. author contribution the author contributed in the whole process of the research such as, the development of ideas, developers of research methods, data collection, data analysis, preparation of manuscripts, and publications. refferences ainsworth, a. j., peven, k., bamford, r., zhaunova, l., salimgaraev, r., prentice, c., wickham, a., croft, j., ponzo, s., & babayev, s. (2022). global menstrual cycle symptomatology. medrxiv, 2022.10.20.22280407. 264 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 260-264 https://doi.org/10.1101/2022.10.20.22280 407 alawy, a., rizki, a., yusro, m., & muhid, a. (2022). efektivitas seft (spiritual emotional freedom technique) untuk mengurangi ketergantungan obat pada lansia. jurnal ilmu kesehatan bhakti husada: health sciences journal, 13(02), 116–125. https://doi.org/10.34305/jikbh.v13i02.515 ifazatul nurlatifah, a. (2016). spiritual emotional freedom technique (seft) sebagai terapi dalam konseling. jurnal madaniyah, 2. khalidatul khair anwar, k., kebidanan, j., & kemenkes kendari, p. (n.d.) (2019). terapi spiritual emotional freedom technique (seft) efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan wanita pre-menopause. puspita, e., jurusan, d., poltekkes, k., & jakarta, k. (2018a). pengaruh spiritual emotional freedom technique (seft) terhadap penurunan dismenore primer pada remaja putri. in quality jurnal kesehatan (vol. 1, issue 1). puspita, e., jurusan, d., poltekkes, k., & jakarta, k. (2018b). pengaruh spiritual emotional freedom technique (seft) terhadap penurunan dismenore primer pada remaja putri. in quality jurnal kesehatan (vol. 1, issue 1). sastra, lenni. (2016). pengaruh terapi emotional freedom technique (eft) terhadap penurunan skala nyeri dismenorea pada remaja. jurnal ipteks terapan, 8(1). https://doi.org/10.22216/jit.2014.v8i1.451 . zaka, m., & mahmood, k. t. (n.d.). premenstrual syndrome-a review. zakiyyah, m. (n.d.). pengaruh terapi spiritual emosional freedom technique (seft) terhadap penanganan nyeri dismenorea. https://doi.org/10.1101/2022.10.20.22280407 https://doi.org/10.1101/2022.10.20.22280407 https://doi.org/10.34305/jikbh.v13i02.515 https://doi.org/10.22216/jit.2014.v8i1.451 https://doi.org/10.22216/jit.2014.v8i1.451 211 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the correlation of long term hemodialysis and inter dyalisis weight gain (idwg) in ckd patients lutfi wahyuni1, chaterina janes pratiwi2, agus haryanto3, rudi hariono4 1,2,3,4nursing department, stikes bina sehat ppni mojokerto, indonesia article information abstract ckd patients have kidney damage and their function is replaced using hemodialysis. an indicator of the success of hemodialysis patients in managing fluids is control weight gain, known as interdialytic weight gain (idwg). the purpose of this study was to determine the correlation of long term hemodialysis and inter dyalisis weight gain (idwg) in ckd patients. correlation analytic research design with a cross-sectional approach. the population in this study were all patients undergoing hemodialysis at rsu dr. soeroto ngawi. sampling technique consecutive sampling. the sample in this study amounted to 42 people. the research instrument used an observation sheet. data analysis using spearman rho test. the results showed that most of the respondents underwent hemodialysis < 12 months, namely 26 people (62%), for hemodialysis 3-4 hours, 42 respondents (100%), and most of the respondents experienced idwg which could not be tolerated, namely 30 people (71.5%). the results of the spearman rho test showed that p-value = 0.000 so that h1 was accepted, meaning that there was a correlation between the length of time undergoing hemodialysis and duration of hd with interdyalitic weight gain (idwg) at dr. soeroto ngawi general hospital, meaning that the longer you undergo hemodialysis, the lower the idwg value or the more tolerated the idwg value. it is expected that patient seek as much information as possible from health workers, especially regarding fluid restriction diets and related to increasing idwg so that fluid intake is more controlled, trying to control food and drinks so that fluid intake is maintained and idwg can be tolerated. history article: received, 18/07/2022 accepted, 15/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: ckd, hemodialysis, durante, idwg © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes bina sehat ppni mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : ltf.hidayat@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p211-217 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:ltf.hidayat@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p211-217 212 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 211-217 introduction chronic kidney disease (ckd) is currently one of the most common diseases and is a concern in the world, including in indonesia. the number of patients with this disease is very large and tends to increase from year to year (sari, 2017). the length of time a person undergoes hemodialysis affects the level of knowledge about fluid restriction and intradialysis weight control, adherence to fluid restrictions which will affect idwg. the longer the patient undergoes hemodialysis therapy, the more knowledge will be gained and can have a positive attitude towards fluid diet compliance. durante hd affects fluid withdrawal in ckd patients so that it will affect body weight after hemodialysis and have an impact on idwg. durante and the length of time ckd patients undergo hemodialysis will often be exposed to the side effects of hemodialysis both acute and chronic and interdialytic weight gain is one of these effects. the longer you undergo hd, the lower or smaller your idwg (priska & herlina, 2019). the progressive irreversible decline in kidney function when the kidneys are unable to maintain metabolic, fluid, and electrolyte balance which causes uremia and azotemia (bayhakki, 2013). ckd patients have kidney damage and their function is repulsing hemodialysis. hemodialysis is carried out to remove metabolic wastes or certain toxins from the human blood circulation (bayhakki & hasneli, 2017). an indicator of the success of hd patients in managing fluids to control weight gain, is known as interdialytic weight gain (idwg) (silaen et al., 2020). idwg is a basis for knowing the amount of fluid that enters during the interdialytic period (siregar, 2020). the longer the patient undergoes hemodialysis, the more often he is exposed to the side effects of hemodialysis both acute and chronic and idwg is one of these effects (irma mustikasari, noorratri, & surakarta, 2017). the results of a systematic review and metaanalysis conducted by hill et al, 2016, obtained a global prevalence of ckd of 13.4% (kemenkes ri, 2017). the results of the basic health research (riskesdas) in 2018, the prevalence of kidney failure in indonesia was 0.8% (kemenkes ri, 2019). the incidence of ckd in east java is 4,828 patients (15,65%). the length of hemodialysis in indonesia in 2018 was < 3 hours as much as 1%, 34 hours 39%, and > 4 hours as much as 60% (tim, 2018). ckd patients require their patients to replace kidney function with hemodialysis. one of the impacts is the occurrence of idgw (bayhakki, 2013). the results of the study (bayhakki & hasneli, 2017) showed that about 60% to 80% of hemodialysis patients died due to an excessive increase in idwg, the longest duration of hemodialysis was under two years, and as many as 20 respondents or 58.8%. based on idwg data, the highest number was idgw < 3 kg, namely 73,.5% and 2.9% had idwg > 3 kg. the results of the study (juliardi et al., 2020) showed that 50% of hemodialysis patients had idwg 3%, and 50% 50% of hemodialysis patients had idwg > 3%. prevention efforts that can be done in ckd patients undergoing hd therapy can be in the form of maintaining fluid intake, reducing high sodium consumption, eating a high-fiber diet, and living a healthy life limitation of fluid intake in patients undergoing hd therapy is so that patients can carry out normal activities, maintain fluid-electrolyte balance and keep the accumulation of metabolic waste products from being excessive (hanum, nurchayati, & hasneli, 2015). measurement and assessment of fluid volume excess that occurs can be done by monitoring fluid intake and output and weighing. fluid intake and output must be monitored properlregularlyis. weighing is done periodically and at the same time every day (gomes et al., 2020). assessment of indicators of increased fluid overload should also be performed (improved pulse quality, increased jugular venous distention, crackles on auscultation of the lung and increased peripheral edema). monitoring the presence of signs of fluid accumulation in the body can provide a warning to patients to further suppress the dedesiredto as prevent complaints of shortness of breath and disturbances in sleep/rest patterns, and others (siregar, 2020). method this research design uses correlation analytics with the crocross-sectionalproach. the population in this study were all patients undergoing hemodialysis at rsu dr. soeroto ngawi in september 2021 as many as 42 people. the sampling technique of this research is consecutive sampling. the research instrument used an hd durduranteservation sheet and the length of undergoing hemodialysis was categorized as < 12 months, 12-24 months, and > 24 months, while idwg was obtained by measuring i, namely post hemodialysis weight (bb i), taking measurement ii, wahyuni, pratiwi, haryanto, hariono, the correlation of long term hemodialysis and inter dyalisis … 213 weight the next pre hemodialysis body (bb ii), calculate the difference (measurement iimeasurement i) divided by measurement ii and then multiplied by 100% as follows: the idwg criteria are divided into 2, namely tolerable, if the increase in body weight is 3% of the dry weight and cannot be be toleratef the increase in body weight is > 3% of the dry weight (siregar, 2020). data analysis using spearman rho test. result 1. characteristics of respondents table 1: frequency distribution of respondents' characteristics at rsu dr. soeroto ngawi characteristics frequency (%) age ≤ 45 years 9 21.4 > 45 years 33 78.6 gender male 24 57.1 female 18 42.9 education senior junior school 10 23.8 senior high school 32 76.2 total 42 100 table 1 shows that almost all respondents aged > 45 years, namely 33 people (78.6%). characteristics of respondents based on gender showed that most of the respondents were male, namely 24 people (57.1%). characteristics of respondents based on education shows that almost all respondents have higher education (high school, college), namely 32 people (76.2%). 2. special data table 2: frequency distribution of respondents based on variables at rsu dr. soeroto ngawi variable frequency (%) long undergoing hemodialysis < 12 months 26 62 12-24 months 7 16.6 > 24 months 9 21.4 durante hemodialysis < 3 o'clock 0 0 3-4 o'clock 42 100 > 4 o'clock 0 0 idwg tolerable 12 28.5 intolerable 30 71.5 total 42 100 table 2 shows that most of the respondents underwent hemodialysis < 12 months, namely 24 people (57.2%). characteristics of respondents based on hemodialysis duration showed that all respondents underwent hemodialysis with a duration of 3-4 hours or to be precise 4 hours, namely 42 people (100%). characteristics based on idwg showed that most of the respondents experienced an intolerable idwg, namely 30 people (71.4%). 214 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 211-217 table 3: tabulation of the correlation of long undergoing hemodialysis with interdyalitic weight gain (idwg) at rsu dr. soeroto ngawi in may 2021 long undergoing hemodialysis idwg total tolerable intolerable f % f % f % < 12 months 1 4,2 23 95,8 24 100 12-24 months 2 22,2 7 77,8 9 100 > 24 months 9 100 0 0 9 100 total 12 28,6 30 71,4 42 100 spearman rho test that p value = 0.000 with a significant degree of 95% and a correlation coefficient of 0.754 table 3 shows that almost all respondents who underwent hemodialysis <12 months had an intolerable idwg, namely 23 of 24 respondents (95.8%) and almost all respondents who underwent hemodialysis for 12-24 months had an intolerable idwg, namely 7 of 9 respondents (77.8%), and all respondents who underwent hemodialysis > 24 months had a tolerable idwg, namely 9 out of 9 respondents (100%). the results of the spearman rho test analysis show that p value = 0.000** with a significant degree of 95% and a correlation coefficient of 0.754 is negative so that h1 is accepted so that there is a strong negative correlation between lthe ength of hemodialysis and interdyalitic weight gain (idwg) at. dr soeroto general hospital. ngawi, which means that the longer you undergo hemodialysis, the lower the idwg value or the more tolerable the idwg value will be. discussion 1. long undergoing hemodialysis table 2 shows that most of the respondents underwent hemodialyfor sis < 12 months, namely 24 people (57.2%) and underwent hemodialysis for 12-24 months and > 24 months, namely 9 people (21.4%). the high number of years undergoing hemodialysis also shows that most hemodialysis patiecane to survive for a long time even though their kidneys are not functioning properly and various health problems due to kidney damage are experienced (bayhakki & hasneli, 2018). the survival ability of ckd patients undergoing hemodialysis is influenced by various factors, such as the severity of the disease experienced, the condition of various body systems that are disturbed by toxins due to ckd, regulation of fluid and food inta to adherence to the hemodialysis schedule (wijayanti, isro'in, & purwanti, 2017). the theory above shows that the duration of hemodialysis in ckd patients varies in length, depending on the severity of the disease, regulation of fluid and food intake, and adherence to hemodialysis. if ckd patients can regulate fluid and food intake and regularly undergo hemodialysis, hemodialysis can last for years, because until now there is no effective drug that can cure chronic kidney failure, so this disease is classified as a chronic disease that can last for years. years in the pati ent. based on table 4.5 shows that all respondents underwent hemodialysis with a duration of 3-4 hours or to be precise 4 hours, namely 42 people (100%). according to pernefri (2003) the time or duration of hemodialysis is adjusted to individual needs. each hemodialysis is carried out 4-5 hours with a frequency of 2 times a week. nkf (2001) mentions hemodialysis is ideally carried out 10hours/week with a qb of 200-300 ml/min. meanwhile, according to corwin (2000) hemodialysis takes 3-4 hours and is done 3 times a week. at the end of the interval, 2 – 3 days between hemodialysis, salt, water, and ph balance is no longer normal again. hemodialysis plays a role in causing anemia because some red blood cells are damaged in the hemodialysis process. in this study, all respondents were given hemodialysis with a scheduled duration of 3-4 hours, in emergency conditions they were not included in this study so the duration of hemodialysis respondents was 3-4 hours. several other things can affect how long a ckd patient takes to undergo hemodialysis. based on general data of respondents with hemodialysis duration <12 months, most of them aged >45 years as many as 19 respondents (45.2%), male sex as 17 respondents (40.5%), highly educated as many as 18 respondents (42.9%). most of the respondents are adults, so there is an opportunity to be more obedient to fluid and sodium restrictions that ckd patients must do to survive on hemodialysis longer (irma mustikasari et al., 2017). while clinically men have a risk of experiencing chronic kidney failure 2 times greater than women. this is possible wahyuni, pratiwi, haryanto, hariono, the correlation of long term hemodialysis and inter dyalisis … 215 because women pay more attention to health and maintain a healthy lifestyle than men so that men are more susceptible to chronic kidney failure than women. women are more compliant than men in fluid regulation because women are better able to take care of themselves and can regulate fluid regulation (bayhakki & hasneli, 2018). the level of education is often associated with knowledge, where someone with higher education is assumed to be easier to absorb information (irma mustikasari et al., 2017). the length of time a patient undergoes hemodialysis can be influenced by age, individuals who are mostly adults they tend to be more obedient to implementing a ckd treatment program. in this case, it's a boy. more about this source textsource text required additional translation information. if you are at greater risk of ckd to be able to undergo hemodialysis for a long time and survive, then ckd patients must be able to control their food and fluid intake. the higher a person's education, the more likely they are to be able to survive, including hemodialysis, because individuals with higher education will know what can and cannot be consumed by ckd patients to survive longer, thus the length of time undergoing hemodialysis will also be longer. 2. interdyalitic weight gain (idwg) table 2 shows that the majority of respondents experienced idwg which could not be tolerated, namely 30 people (71.4%), while those that could be tolerated were 12 people (28.6%). idwg is influenced by compliance, gender, age, fluid intake, thirst, self-efficacy, duration of hemodialysis, and stress (rizani, marlinda, & suryani, 2019a). hd patients, even though they are hypervolemic, often experience excessive thirst which is one of the stimuli for the sensation of thirst. responding to thirst normally is by drinking, but ckd patients are not allowed to respond in a normal way to the thirst they feel, so fluid restriction must be carriedout, because fluid intake will cause an increase in idwg above the patient's renal tolerance limit (istanti, 2014). respondents whose idwg could not be tolerated because their weight before the next hemodialysis increased >3% compared to their body weight after the previous hemodialysis or more than 1.5 kg. respondents whose idwg can be tolerated because the increase does not exceed 3% so that the body can still achieve fluid balance. respondents with idwg intolerawere nce mostly aged > 45 years as many as 25 respondents (59.5%) and male sex as many as 19 respondents (45.2%). age can affect idwg due to decreased thirst sensation caused by the aging process and the presence of cerebral dysfunction and decreased osmoreceptor sensitivity. this reduces fluid intake thereby reducintradialyticysis weight gain (priska & herlina, 2019). meanwhile, in hemodialysis patients, the weight gain between the two times of dialysis in men was higher than in women. men have a different body composition from women where there is more muscle tissue in men than women who have more fat tissue (irma mustikasari et al., 2017). physiologically, the elderly will experience a decrease in body functions including the sensation of thirst, so that they can control the fluid that enters the kidneys. from the experience and maturity of the soul, as well as in terms of public trust, someone who is more mature is trusbyfrom people who are not yet mature. where age is one of the factors that affect the maturity of thinking patterns in digesting information. the more mature persoages age, the more critical thinking in dealing with a problem, including regulating fluid intake. meanwhile, men generally have a higher idwg than women because physiologically men's body fluids are more than women's and men's body fluids bind more easily than women who have more fat because fat doesn't bind water. 3. long-term correlation with hemodialysis with interdyalitic weight gain (idwg) table 3 shows that almost all respondents who underwent hemodialysis <12 months had an intolerable idwg, namely 23 of 24 respondents (95.8%) and almost all respondents who underwent hemodialysis for 12-24 months had an intolerable idwg, namely 7 of 9 respondents (77.8%), and all respondents who underwent hemodialysis > 24 months had a tolerable idwg, namely 9 out of 9 respondents (100%). the results of the spearman rho test analysis show that p value = 0.000** with a significance degree of 95% and a correlation coefficient of 0.754 is negative so that h1 is accepted so that there is a strong negative correlation between length of hemodialysis and interdyalitic weight gain (idwg) at dr soeroto general hospital. ngawi, which means that the longer you undergo hemodialysis, the lower the idwg value or the more tolerable the idwg value will be. in line with the research of sulistini, sari, and hamid (2013) where they found there was a 216 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 211-217 correlation between the length of time undergoing hemodialysis and idwg. the longer the patient undergoes hemodialysis therapy, the more knowledge will be gained and can have a positive attitude towards fluid diet compliance. the longer ckd patients undergo hemodialysis, the more often they are exposed to side effects of hemodialysis both acute and chronic and interdialytic weight gain is one of these effects (irma mustikasari et al., 2017). the longer you have hd, the lower or smaller your idwg (priska & herlina, 2019). each patient takes a different amount of time to improve his knowledge and attitude. the longer the patient undergoes hemodialysis therapy, the more knowledge he gains and can have a positive attitude towards fluid diet compliance, so that the longer he undergoes hemodialysis, the patient is already familiar with fluid diet settings. this causes idwg at a tolerable level. for patients who have been undergoing hemodialysis for a long time but still experience idwg which cannot be tolerated due to many factors that affect idwg. the length of time undergoing hemodialysis was not a determining factor for idwg values. this is because the duration of hemodialysis in patients varies, which also affects the idwg of different patients. the length of time a person undergoes hemodialysis affects the level of knowledge about fluid restriction and intradialytic weight control, and adherence to fluid restrictions which will affect idwg. the duration of hemodialysis is only one of many other factors that affect idwg. conclusion based on the results of the study, it can be concluded that there is a correlation between the duration of hemodialysis and interdyalitic weight gain (idwg) a.t dr. soeroto ngawi general hospital, meaning that the longer the hemodialysis period, the lower the idwg value or the more tolerable the idwg value. this is because the longer undergoing hemodialysis, the more knowledge about what hemodialysis patients must undergo including dietary compliance, fluid restriction, and compliance in undergoing hemodialysis so that idwg can be limited. suggestion 1. for hemodialysis patients seek as much information as possible from health workers, especially regarding fluid restriction diets and related to increasing idwg so that fluid intake is more controlled, trying to control food and drinks so that fluid intake is maintained and idwg can be tolerated. motivating patients to fluid compliance so that dietary compliance is controlled, trying to control food and drinks so that fluid intake is maintained, and idwg. 2. share the research place provide education about fluid and food diets for hemodialysis patients using booklets or leaflets so that patients are easier to manage their diet. 3. for further researchers develop research on other factors that affect interdyalitic weight gain (idwg) for example providing information through videos, books, or leaflets so that it is more useful for the development of nursing science. acknowledgement thanks to dr. agus priyambodo, m. kes as director of rsu dr. soeroto ngawi who has permitted researchers to conduct research. sunarto, s.kep. ns as the head of the hemodialysis room at rsu dr. soeroto ngawi has given permission to researchers to conduct research. dr. m. sajidin, s.kp, m.kes as head of stikes healthy development ppni mojokerto regency. nursing department team and students who have helped with this research. funding funding for this research was obtained from the institute for research and community service (lppm) stikes bina sehat ppni mojokerto. as a 2021 funding internal grant. conflicts of interest the author declares that there are no conflicts of interest with the topic or any associated objects upon the publication of this study. refference bayhakki. (2013). seri asuhan keperawatan klien gagal ginjal kronik. egc. bayhakki, b., & hasneli, y. (2017). hubungan lama menjalani hemodialisis dengan inter-dialytic weight gain ( idwg ) pada pasien hemodialisis. jurnal keperawatan padjadjaran, 5(3), 242–248. bayhakki, b., & hasneli, y. (2018). hubungan lama menjalani hemodialisis dengan inter-dialytic weight gain (idwg) pada pasien hemodialisis. jurnal keperawatan padjadjaran, 5(3), 242–248. wahyuni, pratiwi, haryanto, hariono, the correlation of long term hemodialysis and inter dyalisis … 217 https://doi.org/10.24198/jkp.v5i3.646 gomes, a. r. m., campos, d., saleiro, c., lopes, j. g., sousa, j. p., puga, l., … goncalves, l. (2020). coronary artery disease , acute coronary syndromes , acute cardiac care – acute coronary syndromes – epidemiology , prognosis , outcome global longitudinal strain and chronic kidney disease prognostic impact on acute coronary syndrome esc congress 2020 – . 66(september), 2020. hanum, r., nurchayati, s., & hasneli, y. (2015). pengaruh pendidikan kesehatan secara individual tentang pembatasan asupan cairan terhadap pengetahuan tentang pembatasan cairan dan idwg (interdialytic weight gain) pada pasien hemodialisis. jom, 2(2). juliardi, f., febriantoni, dewi, j., katiti, hasibuan, m. a., & tiarnida. (2020). peningkatan idwg berhubungan dengan kejadian hipotensi pada pasien hemodialisis. jurnal penelitian perawat profesional, 2(3), 235–242. retrieved from http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com /index.php/jppp/article/download/125/102 / kemenkes ri. (2017). infodatin ginjal. kemenkes ri. (2019). hasil utama riskesdas 2018. jakarta. mustikasari, irma, noorratri, e. d., & surakarta, s. a. (2017). faktor-faktor yang mempengaruhi nilai interdialytic weight gain pasien hemodialisa di rsud panembahan senopati bantuk. gaster, xv(1). priska, n. p., & herlina, s. (2019). efikasi efikasi diri pembatasan cairan terhadap intradialytic weight gain pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa rsud pasar minggu. jurnal ilmiah ilmu keperawatan indonesia, 9(02), 601–608. https://doi.org/10.33221/jiiki.v9i02.226 rizani, k., marlinda, e., & suryani, m. (2019a). hubungan dukungan keluarga tentang batasan cairan dengan peningkatan idwg pada pasien ggk yang menjalani hemodialisis. jurnal citra keperawatan, 7(1), 1–9. retrieved from http://www.ejurnalcitrakeperawatan.com/index.php/jck/artic le/view/99 sari, d. k. (2017). hubungan lama menjalani terapi hemodialisis dengan kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik di instalasi hemodialisis rsud abdul moeloek. medikal bedah. silaen, h., tarihoran, y., taufik, m., & hasibuan, d. (2020). pengaruh edukasi pembatasan cairan terhadap pencapian dry weight pada pasien hemodialisis. 3(2), 78–84. siregar, c. t. (2020). buku ajar manajemen komplikasi pasien hemodialisa. sleman: deepublish. tim, i. (2018). 11th report of indonesian renal registry 2017. wijayanti, w., isro’in, l., & purwanti, l. e. (2017). analisis perilaku pasien hemodialisis dalam pengontrolan cairan tubuh. indonesian journal for health sciences, 1(1), 10. https://doi.org/10.24269/ijhs.v1i1.371 e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 37sugeng, kejadian depresi pada lansia ... 37 kejadian depresi pada lansia di posyandu lansia rw i pagesangan surabaya (depression of elderly in posyandu lansia of rw i pagesangan surabaya) ika larasati sugeng program studi s1 keperawatan, stikes abi surabaya email: larasati_23@yahoo.com abstract: depression in elderly is a problem wich commonly following defect of health status in elderly. elderly failure of role change, health status, and loss has to be aware. since it will be the trigger of depression toward elderly. the aim of this study was to indentify the depression case in elderly in posyandu lansia of rw i pagesangan surabaya. the research was descriptive study, with 60 elderly as samples which joined as member of its program. the results showed 29 people (48.3%) were not depressed, 22 people (36.7%) were light depressed, and 9 people (15%) were mid depressed. several elderly said that no one of their family care of them anymore. so they feel lonely and useless. the elderly who can adapted well to their changes of role, phycis, psychological, and environment would be able to solve their stress and would not be on the depression situation. the correlation of stress and depression was involved by social supports which could be used by the elderly to maintain face the stressors. keywords: elderly, depression, adaptation abstrak: depresi pada lansia merupakan masalah yang umumnya menyertai kemunduran kesehatan fisik lansia. kegagalan lansia dalam beradaptasi terhadap hal perubahan peran, kesehatan, atau perasaan kehilangan merupakan hal harus diwaspadai, oleh karena kapasitasnya dalam pencetus keadaan depresi pada lansia. tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran kejadian depresi pada lansia di posyandu lansia rw 1 pagesangan surabaya. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan jumlah sampel 60 orang lansia yang mengikuti posyandu lansia rw 1 pagesangan surabaya. hasil yang didapatkan dalam penelitian ini, adalah 29 lansia (48,3%) tidak mengalami depresi, 22 lansia (36,7%) mengalami depresi ringan dan 9 orang (15%) mengalami depresi sedang. lansia mengatakan sudah tidak dianggap lagi oleh keluarganya. sehingga mereka merasa kesepian dan tidak berharga. lansia yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya, baik fisik, peran, mental dan lingkungan akan dapat mengatasi keadaan stresnya sehingga tidak terjadi depresi. hubungan stres dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan sosial yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor. kata kunci: depresi, adaptasi, lansia depresi pada lansia merupakan masalah yang umumnya menyertai kemunduran kesehatan fisik lansia (hana s. & hana i., 2009). gejala yang nampak pada lansia dengan depresi salah satunya adalah penurunan daya konsentrasi (siti m. dkk., 2008). beberapa gangguan fisik seperti diabetes melitus, hipertensi, asma, rematik osteoporosis dan lain sebagainya banyak ditemukan semakin memperberat keadaan depresi pada lansia. pada lansia wanita, ketidakstabilan hormonal pada keadaan menopause dapat menjadi faktor pencetus terjadinya depresi. kegagalan lansia dalam beradaptasi terhadap hal perubahan peran, kesehatan, atau perasaan kehilangan merupakan hal harus diwaspadai, oleh karena kapasitasnya dalam pencetus keadaan depresi pada lansia. acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p037-041 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 38 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 37–41 ayu f (2011) menyebutkan bahwa proporsi depresi pada lansia di komunitas adalah sebesar 60%, yaitu sebesar 40% mengalami depresi ringan dan 20% adalah depresi sedang. pp no. 32 tahun 1979 pasal 3 ayat 2 tentang pemberitahuan pegawai negeri sipil yang diubah menjadi pp no. 65 tahun 2008 memuat batas usia pension untuk pegawai negeri sipil (pns) adalah 65 tahun. ketetapan lain terkait usia pensiun adalah pp no. 32 tahun 1980 dan uu no. 14 tahun 2004 tentang batas usia pensiun guru besar, lektor kepala, lektor serta dosen juga disebutkan 65 tahun. hendry i (2013) menyebutkan bahwa 80% lansia dengan depresi dapat disembuhkan dan menikmati hidup mereka bila menjalani pengobatan dengan benar. seiring bertambahnya usia, maka degenerasi tidak dapat dihindari, sehingga terjadi penurunan fungsi pada aspek fisik lansia yang menjadi landasan penetapan usia pensiun bagi beberapa profesi dan pegawai lainnya. lansia dengan tingkat depresi tinggi akan mengalami proses degenerasi lebih cepat dibanding lansia yang tidak depresi. hal ini yang akhirnya memperburuk kesehatan dan kemampuan kognitif lansia, sehingga mudah sakit dan lebih banyak demensia. sehingga kualitas hidup lansia memburuk. keadaan depresi secara umum ditandai dengan suasana perasaan yang murung, kehilangan minat terhadap berbagai jenis kegiatan yang sebelumnya disukai, serta perasaan hilang semangat, lesu dan perasaan tidak berdaya. pada pasien usia lanjut (usia) gejala-gejala depresi sering kali tidak khas, tampilan yang paling yang paling umum adalah keluhan-keluhan somatis, kehilangan selera makan, dan gangguan pola tidur (dharmono dan nasrun, 2008) menurut ppdgj-111 (maslim, 1997 dalam azizah, 2011), tingkatan depresi ada berdasarkan gejala-gejalanya yaitu: depresi ringan, gejalanya: kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan menurunya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang kurang, harga diri dan kepercayaan diri yang kurang, lamanya gejala tersebut berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan. depresi sedang, gejalanya: kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang kurang, harga diri dan kepercayaan diri yang kurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, lamanya gejala tersebut berlangsung minimal sekitar 2 minggu, mengatasi kesulitan untuk meneruskan kegiatan sosial pekerjaan dan urusan rumah tangga. depresi berat, gejalanya: mood depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang kurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri, tidur terganggu, disertai waham, halusinasi, lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu seseorang lansia yang mengalami depresi kebanyakan menyangkal adanya mood depresi. yang terlihat adalah gejala hilangnya tenaga, hilangnya rasa senang, tidak bisa tidur atau keluhan rasa sakit dan nyeri. sebagai petunjuk kearah depresi hatihati jika dijumpai rasa lelah yang terus-menerus bahkan sewaktu beristirahat dan hilangnya rasa senang yang biasanya lansia nikmati (misalnya dikunjungi oleh cucunya, bertamasya dan sebagainya) atau mulai menarik diri dari kegiatan dan interaksi sosial. gambaran klinis depresi pada lansia (dibandingkan dengan pasien yang lebih muda), adalah yang lebih menonjolkan gejala somatiknya di samping mengeluh tentang gangguan memori dan umumnya kurang mau mencari bantuan psikiater karena tak dapat menerima penjelasan yang bersifat psikologis untuk gangguan depresi yang lansia alami (dharmono dan nasrun, 2008) depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seorang terhadap lingkungannya. bahan dan metode penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan mengetahui gambaran kejadian lansia di posyandu lansia di rw 1 pagesangan surabaya. peneliti melakukan penelitian pada lansia untuk diketahui kejadian depresi pada lansia. populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang mengikuti poyandu lansia di rw i pagesangan surabaya. sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan berdasarkan jumlah populasi, yaitu sebagian lansia yang mengikuti posyandu lansia di rw 1 pagesangan surabaya. 39sugeng, kejadian depresi pada lansia ... besarnya sampel yang berperan dalam penelitian ini adalah keseluruhan lansia di posyandu lansia rw i pagesangan surabaya. penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel secara total sampling yaitu sehingga semua lansia yang mengikuti posyandu lansia diambil sebagai sampel. instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner beck depression scale (beck, 1972) untuk mengetahui tingkat depresi lansia pada saat pengambilan data. lokasi penelitian ini dilaksanakan adalah di posyandu lansia di rw i pagesangan surabaya. penelitian mulai dilaksanakan pada bulan juli hingga september 2013. pengambilan data penelitian ini dimulai dari pengajuan surat permohonan ijin melakukan penelitian dari sekolah tinggi artha bodhi iswara surabaya yang ditujukan kepada kelurahan pagesangan surabaya. surat permohonan ijin tersebut diberikan jawaban oleh kelurahan pagesangan surabaya. setelah surat persetujuan diterima, maka pengambilan data mulai dilakukan di posyandu lansia rw i pagesangan surabaya. calon responden diberikan penjelasan, mengenai penelitian, sebelum pengambilan data. responden mengisi lembar persetujuan menjadi responden dan informed consent, apabila responden bersedia. penelitian dilakukan pada lansia usia 65–85 tahun. lansia diidentifikasi tingkat depresinya dengan menggunakan beck depression scale (beck, 1972). hasil penelitian jumlah keseluruhan anggota posyandu lansia rw 1 pagesangan surabaya adalah 60 orang, yang terbagi berdasarkan tabel berikut. berdasarkan tabel distribusi kejadian depresi lansia di posyandu lansia di rw i pagesangan surabaya didapatkan bahwa sebanyak 29 lansia (48,3%) tidak mengalami depresi, 22 lansia (36,7%) mengalami depresi ringan dan 9 orang (15%) mengalami depresi sedang. lansia laki-laki yang mengalami depresi ringan sebanyak 4 orang (8,9%), depresi sedang sebanyak 2 orang (4,44%) dan sisanya 9 orang (20%) tidak mengalami depresi. lansia perempuan yang mengalami depresi ringan adalah sebanyak 20 orang (33,3%), depresi sedang 18 orang (36,7%), dan sisanya tidak mengalami depresi. pembahasan depresi merupakan suatu keadaan yang dialami individu akibat adanya stresor yang dialami secara berkepanjangan. depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan, yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, tidak ada gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (hawari, 2011). gangguan depresi dapat menurunkan kualitas pekerjaan dan hidup penderitanya. ia dapat pula mencetuskan, memperlambat penyembuhan atau memperberat penyakit fisik. depresi dapat terjadi pada lansia disebabkan karena lansia merasa terasing dari keluarganya dan merasa kesepian (astuti, 2010). sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa di posyandu lansia di rw i pagesangan surabaya di dapatkan bahwa sebanyak 22 lansia (36,7%) mengalami depresi ringan dan 9 orang (15%) mengalami depresi sedang. hal ini dikarenakan banyak lansia yang masih belum mamapu memahami dan menerima perubahan peran individu menjadi lansia. sehingga seringkali lansia mengeluh dan merasakan kesepian akibat kurang komunikasi dengan anggota keluarga yang lain. tabel 1. distribusi anggota posyandu lansia rw i pagesangan no jenis kelamin jumlah (%) 1 laki-laki 15 (25%) 2 perempuan 45 (75%) jumlah keseluruhan 60 (100%) lansia yang terdaftar mengikuti posyandu lansia di rw i pagesangan yaitu sebanyak 45 orang, dengan jumlah laki-laki 25% dan perempuan 45%. tabel 2. distribusi kejadian depresi lansia di posyandu lansia rw i pagesangan surabaya jenis kelamin tingkat depresi tidak depresi (%) depresi ring an (%) depresi sedang (%) jumlah (%) laki-laki 9 (15%) 4 (6,7%) 2 (3 ,3%) 15 (25%) perempuan 20 (33,3% ) 18 (30%) 7 (11,7%) 30 (75%) 29 (48,3% ) 22 (36,7%) 9 (15%) 60 (100%) 40 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 37–41 bedasarkan informasi yang didapat dalam wawancara pada saat pengumpulan data, 4 lansia mengatakan sudah tidak dianggap lagi oleh keluarganya. sehingga mereka merasa kesepian dan tidak berharga. sebanyak 2 orang lansia sempat terbersit perasaan ingin bunuh diri karena merasa beban hidupnya terlalu berat, namun tidak ada yang mau mendengarkan keluh kesahnya, kemudian akhirnya memilih untuk menghindari interaksi dengan lingkungan dan menyendiri. seperti tertuang dalam coyne, et al. (1981) yang dikutip oleh samiun (2016) bahwa strategi adaptasi yang digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi pasif seperti menghindar, menolak, dan lain-lain. model konsep diri menggambarkan adanya hubungan antara konsep diri itu sendiri dengan keadaan fisik dan psikologis seseorang (daniels, 2004). kecemasan, perasaan bersalah dan distress merupakan respon-respon yang terjadi pada keadaan fisik maupun emosional seseorang. peplau dan perlman (dalam brehm, et al., 2002) individu yang memandang kesepian secara ekternal dan stabil menganggap hanya karena keadaan lingkunganlah yang menyebabkannya merasa kesepian. sedangkan individu yang memandang kesepian secara ekternal dan tidak stabil berharap semua dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga memungkinkan untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut. hasil penelitian menunjukkan ada kelompok lansia yang tidak mengalami depresi, yaitu sebanyak 29 lansia (48,3%) tidak mengalami depresi. hyman (2001) menyebutkan bahwa depresi adalah bentuk kegagalan adaptasi seseorang. seseorang yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya, baik fisik, peran, mental dan lingkungan akan dapat mengatasi keadaan stresnya sehingga tidak terjadi depresi. penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan sering mengakibatkan depresi. hubungan stres dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan sosial yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor. ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (billings, et al., 1989; samiun, 2006). adaptasi merupakan karakter yang diturunkan dan murni didapat dari faktor keturunan yang dimiliki manusia sebagai fungsi alami atas seleksi alam, karena individu dengan karakter tersebut akan lebih berthana dibandingkan yang tidak memiliki karakter tersebut (durbin, 2013). lansia dengan adaptasi yang baik akan menjadi lansia yang sehat dan minim mengalami gangguan kesehatan. karena faktor psikologis juga sangat berpengaruh terhadap keadaan fisik seseorang, yang mana kortisol tidak dihasilkan sehingga tubuh tidak mengalami stresor fisik. simpulan dan saran simpulan berdasarkan data dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lansia tidak mengalami depresi, dan dari yang mengalami depresi sebagian besar adalah depresi ringan. saran teoritis: diharapkan penelitian ini dapat menambah perkembangan ilmu dan fenomena pada bidang keperawatan gerontik. praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi dinas & instansi terkait kesehatan lansia agar diperoleh kesehatan lansia yang optimal. daftar rujukan astuti, v.w. 2010. hibungan dukungan keluarga dengan ti ngk at de pre si pada lansi adi posyandu sejahtera gbi setia bakti kediri. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ stikes/article/view/18398. (online). diakes 7 januari 2013. ayu, f.s.w. 2011. (penelitian) kejadian dan tingkat depresi pada lanjut usia : studi perbandingan di panti wreda dan komunitas. program studi pendidikan sarjana kedokteran, fk undip. az izah , l. m. 2011. ke perawat an lanjut usi a. yogyakarta: graha ilmu beck, aaron, t., & alford, brad, a. 2009. depression: causes and treatment. pensylvania: university of pensylvania press. brehm, s., et al. 2002. intimate relationship. new york: mc. graw hill. darmono dan nasrum. 2008. pedoman pengelolahan kesehatan pasien geriatrik untuk dokter dan perawat. edisi 1. jakarta: fkui. davision. 2010. psikologis abnormal. ed 9. jakarta: rajawali pers. durbin, e. 2013. the physic 101 series: depression 101. new york: springer publishing company. hana, s., & hana, i. 2009. memahami krisis lanjut usia: uraian medis dan pedagogis-pastoral. jakarta: gunung mulia. 41sugeng, kejadian depresi pada lansia ... hawari, d. 2011. manajemen stres, cemas, dan depresi. jakarta: balai penerbit fkui. hyman, steven, e. 2001. the science of mental health. oxon: routledge. ibrahim. 2004. manik gangguan alam perasaan depresi. jakarta: dua as-as dua. maryam, r.s., dkk. 2008. mengenal usia lanjut dan keperawatannya. jakarta: salemba medika. mauk, kristen, l. 2010. gerontological nursing: competencies for care, 2nd ed. sudbury: jones and bartlett publishers. nursalam. 2008. konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan (pedoman skripsi, tesis, dan intrumen penelitian keperawatan). jakarta: salemba medika. pujiastuti, s.s. 2003. fisioterapi pada lansia. jakarta: egc. samiun, y. 2006. kesehatan mental. jilid 2. yogyakarta : kanisius siti maryam, mia fatma e., rosidawati, ahmad jubaedi, irwan batubara. 2008. mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta : salemba medika yustinus semium. 2006. kesehatan mental 2. yogyakarta: 2006 zattle, robert d. 2007. act for depression. oakland: new harbinger publications. 75 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk factors related to women's quality of life in the climacteric period nonik ayu wantini1, lenna maydianasari2, jacoba nugrahaningtyas wahjunung utami3 1,2,3faculty of health sciences, universitas respati yogyakarta, indonesia article information abstract quality of life is satisfaction on the physical, psychological, social, and environmental aspects in the climacteric period. climacterium is the period of life from decreased activity to the end of ovarian function, which has an impact on the occurrence of climacteric syndrome. the purpose of this study was to determine the factors associated with the quality of life of women during the climacteric period. this research method was an analytical survey, with a cross-sectional design. the research was conducted in august 2022 at padukuhan karangnongko, tirtomartani, kalasan, sleman. a sample of 90 people was selected by proportional random sampling. the research instrument used the whoqol-bref questionnaire, data analysis used kendall tau. factors that are not related to women's quality of life include age, education, occupation, parity, history of chronic disease, history of breast and cervical cancer screening. factors related to women's quality of life are health insurance (p-value = 0.005) and physical activity (p-value = 0.036). health insurance should be prepared early, and regular physical activity can improve the quality of life for women during the climacteric period. history article: received, 18/02/2023 accepted, 17/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: quality of life, health insurance, physical activity © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: universitas respati yogyakarta – special region of yogyakarta, indonesia p-issn : 2355-052x email : nonik_respati@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p075-083 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:nonik_respati@yahoo.co.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p069-074 76 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 75-83 introduction menopause is one of the stages in a woman's life cycle which is a sign of the end of the reproductive period. hormonal changes during menopause can have an impact on physical, emotional, mental, and social well-being. symptoms that occur during and after menopause vary quite a bit in women. some experience mild symptoms, but some are severe enough to interfere with daily activities and quality of life (who, 2022). the results of previous study show that menopause has a negative impact on quality of life and is statistically significant. some of the accompanying symptoms experienced by menopausal women due to decreased hormone levels and aging, which of course affect the quality of life (chintya et al., 2019). the number of postmenopausal women in the world continues to grow. by 2021, women aged 50 and over make up 26 percent of all women and girls worldwide. that's 22% more than 10 years ago (united nations, 2021). women also live longer. globally, a woman who turns 60 in 2019, has an expectation of living to the next 21 years (united nations, 2019). the popular belief in society is that menopause causes physical and psychological problems. problems that arise in women are in almost all domains, both vasomotor, psychosocial, physical and sexual. most women around the world experience this problem so it can't be ignored. improving the quality of life is a challenge that needs to be faced today (karmakar et al., 2017). during the climacteric period, women experience several physical and mental changes that affect their health and reduce their quality of life. most postmenopausal women complain of fatigue, decreased stamina, changes in appearance, skin texture or color, muscle and joint pain, memory loss, and sexual complaints. apart from that some women suffer from anxiety and depression (karma et al., 2018). menopausal status, educational level, crowding and body mass indexes, marital status, smoking and alcohol intake were among the factors that were significantly associated with the frequency and the severity of menopause related symptoms (el hajj et al., 2020). previous studies have shown that the prevalence and severity of menopausal symptoms and reduced quality of life are significantly higher in postmenopausal women than in premenopausal women. menopausal symptoms largely affect the quality of life of preand postmenopausal women (rathnayake et al., 2019). who defines quality of life as a person's perception of their position in life in terms of the culture, value systems in which they live and in relation to their goals, expectations, standards and concerns. it is an integral part of a person's physical health, psychological state, level of independence, social and environmental relations, and personal beliefs. this definition has the view that quality of life is a subjective assessment in a cultural, social, environmental context, and cannot be equated with the terms health status, life satisfaction, or mental well-being (who, 2012). women's quality of life increases with healthy living behaviors and decreases with menopause, and is indirectly influenced by self-efficacy and social support (ermawati, 2018). based on the results of previous studies, factors related to the quality of life of perimenopausal women include the severity of depression, selfreported health conditions, occurrence of menopausal symptoms, level of education, and marital status (kanadys et al., 2016). in addition, exercise also affects the quality of life of menopausal women who live in rural areas, none of the 22 women who exercise regularly have severe complaints of menopausal symptoms (a. n. sari & istighosah, 2019). sociodemographic variables such as the woman's age, marital status, education level, last menstrual period and menstrual cycle are statistically significant on the quality of life of peri and postmenopausal women (koirala & manandhar, 2018). the results of a preliminary study at padukuhan karangnongko, tirtomartani, kalasan showed that 4 out of 5 respondents had a moderate quality of life, even though climacteric complaints/syndromes were in the mild category (40%) and even very mild (60%). complaints experienced included vasomotor (40% hot flushes and sweating), psychosocial (80% felt skills decreased and decreased than usual), physical (80% felt tired/weak quickly, 80% felt reduced physical ability, 80% decreased stamina), 60% felt less energetic), sexual (20% experienced changes in sexual desire, vaginal dryness, and avoided intercourse). although there are many studies on quality of life, research on factors related to quality of life in climacteric women in sleman is still not conclusive. this study aims to identify factors related to the quality of life of climacteric women in terms of sociodemographic factors and health risk factors. wantini, maydianasari, utami, factors related to women's quality of life in the climacteric … 77 methods this type of research is an analytic survey with a cross sectional approach. the research was conducted in august 2022. the sample of this research was women aged 40-60 years who were married and their husbands lived in the padukuhan karangnongko, tirtomartani village, kalasan, sleman, diy, totaling 90 people, who were selected by proportional random sampling technique. the inclusion criteria in this study were not currently on hormone replacement therapy, experiencing at least 1 complaint during the climacteric period. the independent variables in this study include sociodemographic factors and health risk factors. sociodemographic factors consist of age, education, occupation, parity, and health insurance. health risk factors include history of chronic disease, history of breast cancer screening, history of cervical cancer screening and physical activity. the dependent variable in this study is quality of life. research data collection was carried out by 6 research enumerators. the enumerator researchers had previous apperceptions related to research objectives, research instruments and data collection techniques. data collection techniques by visiting selected samples to their homes. this method was chosen because it is not possible to collect respondents at one time. the door to door method will also provide full opportunity for respondents to answer questions more freely. the instrument used to measure quality of life is the whoqol-bref which is a summary of the whoqol-100 consisting of 26 questions. to assess the quality of life, there are 4 domains that are combined, including the physical, psychological, social and environmental domains. data were analyzed using the kendall tau test. this research has gone through an ethical due diligence test and is declared to have fulfilled the ethical principles number: 096.3/fikes/pl/vii/2022. results table 1: respondent characteristics no variable frequency percent (%) 1. age < 45 years old 28 31.1 45-60 years old 62 68.9 2. parity nullipara 5 5.6 primipara 13 14.4 multipara 71 78.9 grandemultipara 1 1.1 3. level of education basic education 29 32.2 middle education 43 47.8 higher education 18 20.0 4. job status housewife 65 72.2 work 25 27.8 5. health insurance don’t have health insurance 19 21.1 have health insurance 71 78.9 6. history of chronic disease don’t have history 55 61.1 have history 35 38.9 7. physical activity (sport habits) never 25 27.8 seldom 44 48.9 often 21 23.3 continued table 1: respondent characteristics 78 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 75-83 no variable frequency percent (%) 8. history of via/pap smear test never 76 84.4 ever 14 15.6 9. history of clinical breast examination (cbe) never 82 91.1 ever 8 8.9 10. menopausal status menopausal transition 51 56.7 post menopausal 39 43.3 total respondents 90 100 source: primary data based on table 1 it is known that most climacteric women are in the age range of 40-50 years (58.9%), multiparous (78.9%), secondary education (47.8%), housewives (72.2%) , have health insurance (78.9%), no history of chronic disease (61.1%), rarely exercise (48.9%), have never had an via/pap smear test in the last 3 years (84.4%), have not have had cbe in the last 3 years (91.1%), and are in the menopausal transition stage (56.7%). table 2: quality of life no variable frequency percent (%) 1 bad 3 3.3 2 moderate 62 68.9 3 good 22 24.4 4 very good 3 3.3 total respondents 90 100.0 based on table 2, it is known that most climacteric women have a moderate quality of life (68.9%). table 3: quality of life in each domain no domain very bad bad moderate good very good total respondents f % f % f % f % f % f % 1 physical 0 0 23 25.6 55 61.1 12 13.3 0 0 90 100 2 psychological 1 1.1 2 2.2 63 70 22 24.4 2 2.2 90 100 3 social 0 0 1 1.1 61 67.8 20 22.2 8 8.9 90 100 4 environment 0 0 4 4.4 50 55.6 29 32.2 7 7.8 90 100 based on table 3, it is known that the majority of the quality of life for climacteric women in each domain is moderate, but the highest is in the psychological domain (70%). in addition, it can be seen that in the poor/bad quality of life, climacteric women have the highest percentage in the physical domain (25.6%). table 4: relationship between sociodemographic factors and quality of life no variable kendal tau (p-value) 1 age 0.690 2 parity 0.051 3 level of education 0.083 4 job status 0.082 5 health insurance 0.005 wantini, maydianasari, utami, factors related to women's quality of life in the climacteric … 79 table 5: relationship between health insurance and quality of life no health insurance quality of life very bad bad moderate good very good total respondents f % f % f % f % f % f % 1 don’t have health insurance 0 0 0 0 18 94.7 1 5.3 0 0 19 100 2 have health insurance 0 0 3 4.2 44 62 21 29.6 3 4.2 71 100 based on tables 4 and 5, it is known that from sociodemographic factors, there is only 1 variable related to quality of life, namely health insurance ownership (p-value = 0.005). in the group of women who do not have health insurance, only 5.3% have a good quality of life, while in the group that has health insurance, 29.6% have a good quality of life. table 6: relationship between health risk factors and quality of life no variable kendal tau (p-value) 1. history of chronic disease 0.068 2 physical activity (sport habits) 0.036 3 history of via/pap smear test 0.419 4 history of clinical breast examination (cbe) 0.359 5 menopausal status 0.534 table 7: relationship between health insurance and quality of life no physical activity (sport habits) quality of life very bad bad moderate good very good total respondents f % f % f % f % f % f % 1 never 0 0 2 8.0 19 76.0 4 16.0 0 0 25 100 2 seldom 0 0 2 2.3 30 68.2 10 22.7 3 6.8 44 100 3 often 0 0 0 0 13 61.9 8 38.1 0 0 21 100 based on tables 6 and 7, it is known that from health risk factors, there is only 1 variable related to quality of life, namely physical activity (p-value = 0.036). in the group of women who never exercised, only 16% had a good quality of life, while in the group who rarely exercised, 22.7% had a good quality of life. in the group that often exercised, 38.1% had a good quality of life. this shows that physical activity improves the quality of life. discussion 1. respondents characteristic based on the results of the study, it was found that women aged > 45 years (68.9%) and had menopause were 36 people (40%), while women aged < 45 years (31.1%) were only 3 people (3.3%) who had menopause. this is in accordance with what was conveyed by (who, 2022) where the regularity and length of menstrual cycles varies throughout a woman's reproduction, but the normal age of natural menopause for women worldwide is 45-55 years. the majority of climacteric women in this study were multiparous (> 2 children). the results of previous studies showed that the majority of mothers had multipara parity, namely 22 people (68.8%) and a small number had nulliparous parity, namely 1 person (3.1%). from the results of the analysis it can be concluded that on average a menopausal woman has 2-4 children. there is a significant relationship between parity and age at menopause. mothers who have never given birth enter menopause earlier (early menopause) because menstruating women who do not experience fertilization cause ovarian follicles to degrade or decrease in number (nurdianti et al., 2018). most climacteric women (47.8%) have middle education, and 20% have higher education. the results of previous studies indicate that there is a relationship between education and attitudes towards menopause. a person's education influences the way of thinking which ultimately determines the person's 80 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 75-83 attitude to be positive in the life he lives (estiani & dhuhana, 2015). women with low education increase the risk of anxiety at menopause compared to higher education (setiyani & ayu, 2019). when viewed from employment status, it is known that most women (72.2%) are housewives/not working, and only 27.8% are still actively working. the results of previous studies stated that working women are very vulnerable to experiencing work stress. there is a significant relationship between work stress and the onset of menopause. if work stress increases, the onset of menopause is faster/earlier (arditya et al., 2017). 78.9% of menopausal women already have national health insurance (nhi), but there are still 21.1% who don't have it yet. the results of previous studies stated that the implementation of national health insurance in indonesia is still considered very bad, nhi activities are only curative and rehabilitative, not yet preventive and promotive. this might be the cause of women not having nhi (mustikasari, 2021). judging from the history of chronic disease, the majority (61.1%) of climacteric women did not have chronic disease. only 38.9% had chronic disease. the most chronic disease is hypertension (18.8%), diabetes mellitus (7.7%). before menopause, women are protected from cardiovascular disease because they have the hormone estrogen which plays a role in increasing high-density lipoprotein (hdl). high hdl is a protective factor that prevents atherosclerosis. during premenopause, levels of the hormone estrogen begin to decline with age (riyadina, 2019). late menopause was significantly and positively related to diabetes (or = 1.611, 95% ci: 1.142, 2.274) (fu et al., 2016). physical activity such as regular exercise should be done regularly during the climacteric period to increase endurance. this study found that only 23.3% of women regularly exercise at least three times a week. the results of previous studies showed that there was a difference in the decrease in menopausal symptoms before and after muscle and bone strength training. age-appropriate physical activity with a frequency of three times a week and a duration of 30 minutes each exercise must be done and continued (simangunsong & wahyuni, 2020). this is also in line with previous research which showed that 86% of respondents without menopausal symptoms regularly exercised at least once a week, while only 1% of respondents with menopausal symptoms regularly exercised. exercise has many benefits and relieves many of the discomforts experienced during menopause. not exercising regularly affects the physical and mental adjustments of menopausal women, so that menopausal women experience discomfort due to a decrease in the hormone estrogen (widjayanti, 2021). menopausal women are at risk of experiencing reproductive health problems including breast cancer and cervical cancer. routine screening is very important and recommended to do. in this study, it was shown that 84.4% had not done an via/pap smear and 91.1% had not done a clinical breast examination in the last 3 years. this is in accordance with previous studies, namely as many as 92.3% of women of reproductive age did not take an via test in the last 3 years (wantini & indrayani, 2019). 90% of women have not had a clinical breast exam in the last 3 years (wantini & indrayani, 2018). the factors related to early detection of cervical cancer are knowledge, attitude, access to information, and husband's support. the most dominant factor influencing women's participation in early detection is husband's support (or = 46.69) (fauza et al., 2019). the results of other studies show that a person's lack of knowledge about breast cancer and cbe examinations can lead to a lack of interest in carrying out cbe examinations (nurhayati et al., 2019). 2. quality of life the quality of life of postmenopausal women is the satisfaction of menopausal women with the physical, psychological, social and environmental aspects of their lives. quality of life is divided into four domains, namely the physical, psychological, social and environmental domains (who, 2012). quality of life in this study is included in the moderate category in each domain. the results of this study are not in line with previous research which showed that the majority of menopausal women respondents in the wonosari village, semarang, as many as 41 respondents (53.2%) had a good quality of life (a. s. sari & susilawati, 2021). the quality of life in this study based on the environmental domain has the highest percentage of good quality of life compared to the domain, which is 32.2%. environment related to freedom, security, opportunity to obtain information, participation/opportunity for recreation, home environment. meanwhile, the poor quality of life is mostly found in the physical domain, namely 25.6%. physical changes/physical complaints related to menopause can certainly interfere with daily activities, mobility, discomfort, rest/sleep, work wantini, maydianasari, utami, factors related to women's quality of life in the climacteric … 81 capacity, including drug dependence and medical treatment so that the quality of life decreases. if menopause is associated with the dimensions of quality of life, it is clear that the quality of life has decreased. this is because during the menopause phase all these dimensions change. this phase occurs gradually due to decreased ovarian function. therefore, entering the age of 40 to 50 years is a scary thing for women. psychologically, this worry can originate from the thought that one will become unhealthy, unfit and not beautiful. this condition is not pleasant for women (marettih, 2012). factors related to the quality of life of women in this study are health insurance ownership and physical activity. this is consistent with research which states that subjective quality of life tends to be better in postmenopausal women who do regular exercise (putri et al., 2014). the results of the analysis of previous studies show that there is a significant relationship between exercise and the quality of life of postmenopausal women living in rural areas. as many as 22 out of 50 women (44%) who exercise regularly, none of them have serious complaints about the symptoms of menopause they are facing (a. n. sari & istighosah, 2019). exercise is effective in relieving menopausal symptoms. nearly half of the participants (45.4%) had low levels of physical activity, which correlated significantly and inversely with the menqol subdomains including vasomotor, psychosocial, physical and sexual (el hajj et al., 2020). ownership of health insurance in this study was above 75%, meaning that many people are aware of the importance of having health insurance. ownership of health insurance is also significantly related to quality of life. the results of previous studies also show the same thing, where most have national health insurance. health insurance also significantly influences the overall quality of life domain. health insurance will facilitate access to health services when there is a decline in health status and continuous health monitoring, especially for those with chronic diseases (sinaga et al., 2022). the results of other studies also show that the health status of elderly people who have health insurance is better than those who do not have health insurance (gu et al., 2017). conclusion the quality of life for women during the climacteric period is in the moderate category and factors related to the quality of life are health insurance and physical activity/sports. women's quality of life will improve if women have health insurance and exercise regularly. suggestion efforts are needed to improve the quality of life of women during the climacteric period by increasing regular physical activity/exercise at least 3x/week and having national health insurance in order to obtain protection benefits in meeting basic health needs. future research is suggested to develop efforts to improve the quality of life of women during the climacteric period. acknowledgement this research activity was carried out thanks to the support from universitas respati yogyakarta with research contract number no. 01/pen/hibah.int/pppm/vi/2022. we also thank all climacteric women who have supported by being willing to become research respondents. funding this research was fully funded by an internal grant from pppm universitas respati yogyakarta conflicts of interest the data collection process in this study was carried out by enumerators, so there was no conflict of interest between the researchers and the respondents. all respondents had previously conveyed the aims and objectives of the research, and were consciously willing to become respondents. research funding and publications are fully provided by pppm universitas respati yogyakarta as grants for lecturer research activities, and there is no conflict of interest from any party. author contributions nonik ayu wantini was responsible for conceptualizing research, monitoring research implementation, processing data, writing research articles, and writing correspondence. lenna maydianasari was responsible for apperception to research enumerators, input of research data, writing and revising manuscripts. jacoba nugrahaningtyas wahjunung utami was responsible in writing and revising the manuscript. refferences arditya, c., riyadi, s., & mashuri, y. a. (2017). hubungan antara stres kerja dan awitan menopause pada guru wanita di sma 82 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 75-83 negeri surakarta. nexus kedokteran komunitas, 6(2), 66–71. chintya, s. a., budihastuti, u. r., & adriani, r. b. (2019). effect of menopause on quality of life: path analysis from ponorogo east jawa. indonesian journal of medicine, 4(2), 155–164. https://doi.org/10.26911/theijmed.2019.04.0 2.09 el hajj, a., wardy, n., haidar, s., bourgi, d., el haddad, m., el chammas, d., el osta, n., khabbaz, l. r., & papazian, t. (2020). menopausal symptoms, physical activity level and quality of life of women living in the mediterranean region. plos one, 15(3), 1–16. https://doi.org/10.1371/journal.pone.023051 5 ermawati, d. h. (2018). menopause and biopsychosocial factors associated with quality of life in women in surakarta, central java. journal of maternal and child health, 03(02), 119–127. https://doi.org/10.26911/thejmch.2018.03.0 2.04 estiani, m., & dhuhana, c. (2015). hubungan pendidikan dan pengetahuan wanita pramenopause terhadap sikap menghadapi menopause di desa sekar jaya kabupaten ogan komering ulu. keperawatan sriwijaya, 2(2), 101–107. fauza, m., aprianti, & azrimaidalisa. (2019). faktor yang berhubungan dengan deteksi dini kanker serviks metode iva di puskesmas kota padang. jurnal promosi kesehatan indonesia, 14(1), 68–80. https://doi.org/10.14710/jpki.14.1.68-80 fu, y., yu, y., wang, s., kanu, j. s., you, y., liu, y., zhang, y., liu, y., li, b., tao, y., & kou, c. (2016). menopausal age and chronic diseases in elderly women: a crosssectional study in northeast china. international journal of environmental research and public health, 13(10), 1–11. https://doi.org/10.3390/ijerph13100936 gu, l., feng, h., & jin, j. (2017). effects of medical insurance on the health status and life satisfaction of the elderly. iran journal of public health, 46(9), 1193–1203. kanadys, k., wiktor-stoma, a., lewicka, m., sulima, m., & wiktor, h. (2016). predictors of the quality of life of women in perimenopausal period. annals of agricultural and environmental medicine, 23(4), 641– 648. https://doi.org/10.5604/12321966.1226860 karma, d. d., saini, d. s., & singh, d. s. (2018). quality of life among post-menopausal women in rural area of punjab. journal of medical science and clinical research, 6(1), 32471–32477. https://doi.org/10.18535/jmscr/v6i1.168 karmakar, n., majumdar, s., dasgupta, a., & das, s. (2017). quality of life among menopausal women: a community-based study in a rural area of west bengal. journal of mid-life health, 8(1), 21–27. https://doi.org/10.4103/jmh.jmh_78_16 koirala, s., & manandhar, n. (2018). quality of life of peri and postmenopausal women attending outpatient department of obstretics and gynecology of a tertiary care hospital. journal of nepal health research council, 16(1), 32–35. https://doi.org/10.3126/jnhrc.v16i1.19360 marettih, a. k. e. (2012). kualitas hidup perempuan manopause. marwah: jurnal perempuan, agama dan jender, 11(2). http://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/marwah/article/viewf ile/506/486 mustikasari, a. p. (2021). bpjs kesehatan memberikan jaminan kesehatan terhadap pasien atau masyarakat. yustitiabelen, 7(2), 146–154. https://doi.org/10.36563/yustitiabelen.v7i2. 304 nurdianti, n., sukmawati, & luthfiyati, y. (2018). hubungan jumlah paritas dengan usia menopause di padukuhan cangkringan, desa argomulyo, kecamatan cangkringan, kabupaten sleman, diy. jurnal keperawatan respati yogyakarta, 5(1), 282–286. https://doi.org/10.25077/jka.v5i2.529 nurhayati, s., suwarni, l., & widyastutik, o. (2019). faktor-faktor yang berhubungan dengan pemeriksaan payudara klinis (sadanis) pada wus di puskesmas alianyang pontianak. jumantik: jurnal mahasiswa dan penelitian kesehatan, 6(1), 16–29. putri, d. i., wati, d. m., & ariyanto, y. (2014). kualitas hidup wanita menopause (quality of life among menopausal women). jurnal pustaka kesehatan, 2(1), 167–174. https://doi.org/10.20473/jbk.v7i1.2018.6777 rathnayake, n., lenora, j., alwis, g., & lekamwasam, s. (2019). prevalence and severity of menopausal symptoms and the quality of life in middle-aged women: a study from sri lanka. nursing research and practice, 2019, 1–9. https://doi.org/10.1155/2019/2081507 riyadina, w. (2019). hipertensi pada wanita menopause. in f. suhendra & t. d. aprianita (eds.), nucl. phys. (vol. 13, issue 1). lipi press. sari, a. n., & istighosah, n. (2019). hubungan wantini, maydianasari, utami, factors related to women's quality of life in the climacteric … 83 olahraga, kopi dan merokok dengan kualitas hidup wanita menopause yang tinggal di wilayah pedesaan. jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery), 6(3), 326–332. https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p326332 sari, a. s., & susilawati, d. (2021). hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup wanita menopause di kelurahan wonosari kecamatan ngaliyan semarang. avicenna : journal of health research, 4(2), 13–20. setiyani, h., & ayu, s. m. (2019). hubungan tingkat pendidikan, pendapatan dan dukungan keluarga dengan kecemasan pada wanita menopause di desa jobohan, bokoharjo, sleman 2016. medika respati : jurnal ilmiah kesehatan, 14(2), 105–116. https://doi.org/10.35842/mr.v14i2.179 simangunsong, d. e., & wahyuni, t. s. (2020). penurunan keluhan menopause dengan latihan kekuatan otot, tulang dan sendi (ottusen). jurnal kesehatan manarang, 6(1), 1–7. https://doi.org/10.33490/jkm.v6i1.175 sinaga, m. r. e., simanjuntak, s. r., & locsin, r. c. (2022). factors affecting the quality of life of older people during the covid-19 pandemic. nurse media journal of nursing, 12(2), 185–195. https://doi.org/10.14710/nmjn.v12i2.45101 united nations, d. of e. and s. a. (2019). world population ageing 2019. in world population ageing 2019.https://www.un.org/en/development/d esa/population/publications/pdf/ageing/wor ldpopulationageing2019-highlights.pdf united nations, d. of e. and s. a. (2021). world population prospects. https://population.un.org/wpp/download/st andard/population/ wantini, n. a., & indrayani, n. (2018). deteksi dini kanker payudara dan pemeriksaan payudara klinis (sadanis) pada wanita usia subur di puskesmas kalasan, sleman, diy. jurnal kebidanan indonesia, 9(2), 14–23. wantini, n. a., & indrayani, n. (2019). deteksi dini kanker serviks dengan inspeksi visual asam asetat (iva). jurnal ners dan kebidanan, 6(1), 27–34. https://doi.org/10.26699/jnk.v6i1.art.p027 who. (2012). programme on mental health "whoqol user manual. department of mental health, world health organization,. https://doi.org/10.4091/iken1991.9.1_123 who. (2022). menopause. https://www.who.int/news-room/factsheets/detail/menopause widjayanti, y. (2021). status gizi, aktivitas fisik dan keluhan menopause. jurnal keperawatan muhammadiyah, 6(1), 68–75. 272 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the relationship of knowledge and the selection of long-acting contraceptive methods tatik dwiyani1, raisyah ansakawirus2, mutiara ayu muthitulsalimah3, agus rahmadi4 1,2,3diploma iii study program in midwifery, akademi kebidanan bunda auni bogor, indonesia 4faculty of medicine, universitas muhammadiyah prof. dr. hamka jakarta, indonesia article information abstract the participation or involvement of birth control program acceptors in selecting and using longacting contraceptive methods (lacms) in indonesia still needs to be higher. the factors contributing to the minimal participation of kb acceptors in the selection or use of lacms include the low level of knowledge among acceptors regarding the use of lacms. the objective of the study was to explain the relationship between kb acceptors' knowledge and the selection of lacms. this literature review used a systematic literature review of 10 articles related to the topic, which have been screened. ten journals that had been selected say that all agree that there is a relationship between knowledge and lacms. according to the researcher and the data obtained, it could be concluded that there was a match between the researcher's literature review results and current theory, as well as previous research results. history article: received, 30/06/2023 accepted, 11/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: knowledge, birth control program, longacting contraceptive methods (lacms) © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: akademi kebidanan bunda auni bogor – west java, indonesia p-issn : 2355-052x email : tatikdwi94@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:tatikdwi94@gmail.com dwiyani, ansakawirus, muthitulsalimah, rahmadi, the relationship of knowledge and the selection of … 273 introduction population, as the basic capital and the dominant development factor, must be the central point in sustainable development. a large population with low quality and rapid growth will slow the achievement of ideal conditions between the quantity and quality of the population and the carrying capacity and capacity of the environment. the main problem faced by indonesia in the population sector is population growth which is still high. one of the government's efforts to control the population is reproductive health for all, as stated in the sustainable development goals (sdgs) goal 3, which is to foster a healthy life and improve the welfare of the population at all ages with indicators of increasing the contraceptive prevalence rate (cpr). one way to enhance cpr is by implementing a birth control program program. birth control program, or what is more familiarly known as birth control program, is a national scale program to reduce birth rates and control population growth in a country. the population problem in indonesia is very complex and requires comprehensive handling. a large population with high population growth, low quality, and uneven distribution (ministry of home affairs, 2010: 12). for this reason, efforts to control population numbers are needed, one of which is through the birth control program (kb) program, which began in 1968. one of the government's efforts to control the population is implementing the birth control program (kb) program for couples of reproductive age (pus). in this regard, the national population and birth control program agency (bkkbn) has prioritized increasing long-term birth control program participation in recent years. birth control program in indonesia is a movement to form healthy and prosperous families by limiting births which was proclaimed in 1970 to improve the welfare of mothers and children to realize the norms of happy and prosperous small families (nkkbs), which are the basis for learning a prosperous society by controlling births while guaranteeing controlled population growth. through the birth control program program, indonesia won an award from the united nations as a country that ruled the population growth rate from 4.6% in 1970 to 2.6% in 1990. however, the birth control program program was once forgotten and is no longer a priority in national development. as a result, the population increased rapidly, even more so before the reform era. to create quality families, the main goal is to control population growth and increase the quality of small families, as indicated by the increasing use of rational, effective, and efficient contraceptive methods, namely the (lacms) long-term contraceptive method. based on this background, the researcher reviewed the relationship between knowledge and the selection of lacms methods this literature review method used a literature review study. the aim was to analyze several related research conducted by researchers by collecting books or magazines that discuss the issue as well as the purpose of the literature review "relationships, knowledge, birth control program programs, mkjp. research on writing scientific papers used the literature review method by collecting and analyzing ten journals from various sources in databases such as pubmed, science direct, and google scholar (and others) using the keywords knowledge, selection of kb, and mkjp. the journals was taken from 2015-2022 results the total number of studies which met this literature review's inclusion criteria was ten, as described in table 1. the longest publication time of the journals reviewed was 2015, and the latest in 2022, of the ten journals that have been selected say that all agree that there is a relationship between knowledge and long-term contraceptive methods. 274 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 272-279 no author / year title population and sample type of reserch result 1 (maria t. e. et al.,2019) the relationship between the level of knowledge of birth control program acceptors and the role of health workers with an interest in using long-term contraceptive methods (mkjp) all pus using active birth control program in 2017 in the village. naunu, fatuleu district, kupang regency, with 327 participants. a sample of 77 people was taken using a simple random sampling technique. this study uses an analytic survey design with a cross-sectional approach. respondent s were highly interested in contraceptio n (76.6%) and generally used the mkjp type of contraceptio n (72.73%). most respondents have good knowledge about contraceptio n (55.8%) and a negative attitude (55.8%). 2 (la hamiru ane, 2020) factors affecting the low use of longterm contraceptive methods (mkjp) in batauga district, south buton regency couples of reproductive age (pus) who used kb in the watauga subdistrict 140 people. sampling was done using a simple random sampling technique: as many as 58 people. this type of research is explanatory research, which explains the relationship between the independent and dependent variables through hypothesis testing and uses a cross-sectional approach. based on the results of this study, the long term contraception method (mkjp) is a very effective contraceptive, covers a long duration, and works for up to 10 years. 3 (laras tsany nur mahmuda h, et al., 2015) analysis of factors related to the method of choosing long-term contraceptio n (mkjp) for female birth control program acceptors in banyubiru district, semarang regency allfemale birth control program acceptors in banyubir u district, semaran g regency, namely 840 people. sampling was done using a simple random sampling technique , namely, as many as 104 people this type of research is explanatory research, which explains the relationship between the independen t and dependent variables through hypothesis testing and uses a crosssectional approach. bivariate analysis shows a relationship between knowledge and mkjp selection (sig = 0.001). based on the risk estimate test, the prevalence ratio (pr) value was 1.912. 4 (milda hastuty, afiah, 2018) factors influencing the behavior of birth control programacceptors towards mkjp selection in the working area of the mining health center all birth control program acceptors who came to visit health facilities in the working area of the mining health center in 2017, namely 269 people, with a total sample of 161 birth control program acceptors this research method uses a cross sectional study approach. based on the results of this study, the long term contraception method (mkjp) is a very effective contraceptive, covers a long duration, and works for up to 10 years. 5 (rismawat i et al.,2018) factors influencing pus women on the selection of contracepti ve methods long term (mkjp) atthe major umar damanik health center, south tanjungbala i district, tanjungbalai city namely 840 people. sampling was done using a simple random sampling technique , namely, as many as 104 people. this type of analytic survey research with a crosssectional study approach bivariate analysis shows a relationship between knowledge and mkjp selection (sig = 0.001). based on the risk estimate test, the prevalence ratio (pr) value was 1.912. dwiyani, ansakawirus, muthitulsalimah, rahmadi, the relationship of knowledge and the selection of … 275 no author / year title population and sample type of reserch result 6 . (safitri, 2020) mother's knowledge and husband's support related to the use of long-term contraceptive methods (mkjp) all family plannin g accepto rs who came to visit health facilitie s in the working area of the mining health center in 2017, namely 269 people, with a total sample of 161 family planning accepto this research is quantitative research with a crosssectional design. the results of the chi-square statistical test obtained a pvalue <0.05, namely 0.027, which means that there is a significant relationship between the knowledge and behavior of birth control program acceptors on the selection of mkjp. with a por value = 2.135 7 . (iryani yuni yastutik, 2022) mother's knowledge and husband's support related to the use of long-term contraceptive methods (mkjp) all pus female mothers were 1,984 people, and samples taken by accidental sampling were 95 people. the research method used in this study is observation al analytics with a casecontrol design approach. the chi-square test results show that the significant value of the probability of knowledge is sig-p = 0.000 or <α-value = 0.05. this proves that knowledge influences the selection of mkjp 8. (idaria sidabukke,e t al. , 2020) factors that influence the selection of mkjp and nonmkjp at the pusdiklat al islam hospital h.mawardi krian sidoarjo fifty-five people, all pus acceptors of birth control program at al-islam hospital h.m mawardi sidoarjo. the type of research used is an analytic survey with a cross sectional approach. the study showed a relationship between the mother's knowledge and the husband's support using mkjp, with a p-value of the mother's knowledge = 0.036 and the husband's support pvalue = 0.000. 9. (yocki yuanti, 2018) the relationship between knowledge and quality of birth control program services with the selection of long-term contraceptive methods (mkjp) at the kesuma bangsa clinic, perbaungan district all acceptors using birth control program at the kesuma bangsa clinic, perbaungan district, from january to december 2019, totaled 132 people and a sample of 57 people. the research design used is quantitative analytical with a crosssectional approach method. the results showed that a p-value = 0.013 was obtained. 10 (sri setiasih, et al., 2016) long-term contraceptive methods (mkjp) in the harjamukti subdistrict, cimanggis, depok fertile age couples (wives) in kel. harjamukti cimanggis depok, while the sample used amounted to 171 respondents. the sampling technique uses random cluster sampling this study uses quantitative and qualitative methods with a crosssectional approach. respondents with good knowledge chose the long term contraception method (mkjp), with a proportion of 51.9%. the chi-square statistical test shows that the knowledge variable has a value of p<0.05 276 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 272-279 discussion according to notoatmodjo's 2007 theory, knowledge results from knowing, which occurs after people sense a certain object. sensing occurs through the human senses: sight, hearing, smell, taste, and touch. most of human knowledge is obtained through the eyes and ears. factors that influence the level of expertise are education, information or mass media, social, cultural, economic, and environmental experience, and age. a total of 5 literature out of 10 mentions little about the factors that influence knowledge, namely the research of maria t. e. koba et al. 2019, rismawati et al. 2018, safitri 2020, idaria et al. 2020, and sri setiasih et al. 2016. in accordance with maria t. e. koba et al.'s research in 2019, that knowledge can be influenced by factors such as education, work, age, environment, and culture. knowledge can also be formed based on personal experience, where personal experience is a way to acquire knowledge and a reference for acting in health. knowledge of birth control program birth control is a prerequisite for using the right contraceptive method effectively and efficiently. however, as explained in research by rismawati et al. in 2020, the factors that influence knowledge are not only obtained due to a high level of education but can also be affected by a person's activeness in seeking information. one's ability can be obtained from activities, such as routine counseling about contraceptives. in line with safitri's 2021 research, idaria sidabukke et al. 2020 and sri setiasih 2016 that the factors that influence a person's high level of knowledge, apart from being due to a high level of education, can also be affected by a person's desire and activity in seeking information. one's knowledge can be obtained from participating in an activity such as counseling about contraceptives. according to bertrand's theory in 1980, one of the factors that underlies a person's decision to use contraception is knowledge. good knowledge of contraceptive methods will foster positive behavior toward these methods and result in a desire to use them a total of 10 pieces of literature 10 discussed the knowledge variable with the use of lacms, which obtained the result that there was a relationship between knowledge and the use of mkjp, namely research by maria t. e. etc. 2020, laras tsany nur mahmudah et al. 2015, milda hastuty et al. 2018, rismawati et al. 2018, safitri 2020 , iryani yuni yastutik 2022, idaria sidabukke et al 2020, yocki yuanti 2018, sri setiasih et al 2016. in maria t. e. koba et al.'s research in 2019, researchers found that there was a relationship between knowledge and interest in using long-term contraceptive methods. the study results explained that most of the respondents in naunu village understood lacms well. respondents with a good level of knowledge have a high interest in using long-term contraception compared to respondents with a reasonable or low level of expertise. and it is also explained in the research of la hamiru ane 2020, laras tsany nur mahmudah et al. 2015, milda hastuty et al. 2018, rismawati et al. 2018, safitri 2020, iryani yuni yastutik 2022, idaria sidabukke et al. 2020, yocki yuanti 2018, sri setiasih et al. 2016. it was revealed that the common use of lacms shows that a lack of knowledge influences the low participation in the use of mkjp. in addition, the ability of non-mkjp user respondents is mostly less knowledgeable than the level of understanding of lacms user respondents. so because of that, the level of expertise greatly influences a person in choosing the type of contraception to be used. the researcher found that based on some of the research literature that was conducted, a large number of studies explained that there was a correlation between knowledge and the use of lacms. based on the results of the analysis that has been carried out, from all the literature that was synthesized and discussed the knowledge variable, there were ten which concluded in the view of the researchers that there was a significant relationship between knowledge and the use of lacms. this was caused due to the need for knowledge of birth control program acceptors about lacms, both deficiencies, and advantages; besides that, the respondents' low knowledge illustrates limited knowledge about the use of lacms, making it difficult to determine which long-term contraceptive method to choose. conclusion conclusion based on the results of the analysis and discussion in the literature review that has been carried out by researchers regarding the relationship between the level of knowledge and the choice of long-term contraception (lacms), the researchers draw the following conclusions: that mothers with low knowledge tend to use less lacms, and mothers with more knowledge higher levels tend to use lacms more, because knowledge will help mothers in making wise choices for birth control program. suggestion the author hopes to research then you can go deeper into the review of the relationship between knowledge and the choice of long-term contraceptive dwiyani, ansakawirus, muthitulsalimah, rahmadi, the relationship of knowledge and the selection of … 277 methods with more complete and broader journal sources, as well as more literature studies that can be done. acknowledgement we want to express our utmost gratitude to akademi kebidanan bunda auni for their invaluable support throughout our research. we would also like to extend our appreciation to our research supervisors, who provided valuable input and suggestions to enhance the quality of this study funding this research was funded collectively by all the authors and supported by akademi kebidanan bunda auni bogor. conflicts of interest the authors declare no conflict of interest. other funders than the authors had no role in the design of the study, data collection, data analysis, in the writing of the manuscript, and also in the decision for publication. author contributions author 1 is responsible for coordinating the research progress, participating in the research implementation, compiling the research report, and publishing the journal article. authors 2 and 3 participate in the research, contribute to the compilation of the research report, and participate in the journal refferences adib, m.h, ‘filsafat ilmu : ontologi, epistomologi, aksiologi dan logika ilmu pengetahuan’, 201 1, http://ailis.lib.unair.ac.id/opac/det ailopac?id=49506 affandi, buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi (jakarta: bina pustaka sarwono prawirohardjo, 2014) ane, la hamiru, faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pengguna metode kontrasepsi jangka panjang (mkjp) di kecamatan batauga kabupaten buton selatan’, kybernan: jurnal studi kepemerintahan, https://doi.org/10.35326/kybernan.v3i2.818 anggraini, m. y., pelayanan keluarga berencana (yogyakarta: srohima pres, 2012) anisak, ‘hubungan antara pengetahuan peserta kb tentang kontrasepsi iud dan keikutsertaan kontrasepsi iud di klinik/ rb syifa’un naas sidoarjo”’, skripi, universitas airlangga, 2010, http://repository.unair.ac.id/id/eprint/186 99 apriliani, izza mahdiana, noir primadona purba, lantun paradhita dewanti, heti herawati, and ibnu faizal, ‘open access open access’, citizen-based marine debris collection training: study case in pangandaran, 2.1 (2021), 56–61 asih dan oesman, faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (jakarta: puslitbang kb dan kesehatan reproduksi badan koordinasi keluarga berencana nasional;, 2019). http://kin.perpusnas.go.id/displaydata.as px?pid=971&pregioncode=bkkbn&pcl ie ntid=616 bappenas, ‘proyeksi penduduk indonesia 20102035’, unfpa, 2013 bazaid, a, kontrasepsi hormonal (jakarta: yasasan bina pustaka, 2002) bertrand, jane t, ‘audiene researh for improving birth control program ommuniation program’, 1980 bkkbn., arah kebijakan dan strategi program kependudukan dan kb tahun 2011 (jakarta: badan kependudukan dan keluarga berencana nasiona, 2011) ———, ‘buku saku bagi tugas lapangan program kb lapangan’, 2014 ———, profil kependudukan dan pembangunan di indonesia (jakarta, 2013) bkkbn, ‘bkkbn jatim’, 2018 ———, pedoman kebijakan teknis kb dan kespro (jakarta: kantor menteri negara kependudukan., 2006) ———, ‘rencana strategis pembangunan kependudukan dan keluarga berencana’, 2014 desak, nilausmawati, ‘studi operasional peningkatan pemakaian kontrasepsi iud di http://ailis.lib.unair.ac.id/opac/detailhttp://ailis.lib.unair.ac.id/opac/detailhttp://repository.unair.ac.id/id/eprint/18699 http://repository.unair.ac.id/id/eprint/18699 http://kin.perpusnas.go.id/displaydata.aspx http://kin.perpusnas.go.id/displaydata.aspx 278 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 272-279 provinsi bali’, pusat penelitian kependudukan dan pengembangan sumber daya manusia universitas udayana, 2012 dhilon, dhini anggraini, and rofika azni, ‘page 15 jurnal doppler universitas pahlawan tuanku tambusai’, jurnal doppler universitas pahlawan tuanku tambusai, 2.1 (2018), 15–22 dppkbpmd, ‘program keluarga berenana (kb) dinas pengendalian penduduk kb masyarakat & desa kabupaten bantul’, 2020 edi sutrisno, manajemen sumber daya manusia.(jakarta: kencana prenada media grup, 2014) faktor, analisis, yang berhubungan, dengan kekambuhan, and t b paru, ‘unnes journal of public health’, 3.1 (2014), 1–10 hanafi hartanto, kb dan kontrsepsi (jakarta: pustaka sinar harapan, 2004) handayani, s, pelayanan keluarga berenana.(yogyakarta: pustaka rihamah, 2010) hartanto, h, kb dan kontrasepsi (jakarta: sinar harapan, 2004) hidayati, e., kesehatan perempuan dan perencanaan keluarga (jakarta: fakultas kedokteran dan kesehatan universitas muhammadiyah jakarta, 2017) jannah, nurul dan sri., kesehatan reproduksi & keluarga berencana (jakarta: egc., 2019) kemenkes, buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan (jakarta: who country officer for indonesia, 2013) kependudukan, direktorat, evaluasi pelayanan kb bagi masyarakat miskin ( keluarga prasejahtera / kps dan keluarga sejahtera-i / ks-i) (jakarta: bappenas, 2010) koba, maria t. e., frans g. mado, and yoseph kenjam, ‘hubungan tingkat pengetahuan akseptor keluarga berencana dan peran tenaga kesehatan dengan minat penggunaan kontrasepsi jangka panjang (mkjp)’, media kesehatan masyarakat, 1.1 (2019), 1–7, https://doi.org/10.35508/mkm.v1i1.1515 kusumawati a, kurnianto j, fitrianingsih d.,gambaran pengetahuan ibu multipara tentang metode kontrasepsi iud di desa sidaharja wilayah kerja puskesmas jatibogor.’, tegal : d iii kebidanan politeknik harapan bersama;, 2013, http://dx.doi.org/10.30591/siklus.v4i2.279 marikar a, kundre r, bataha y, ‘faktor-faktor yang berhubungan dengan minat ibu terhadap penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim(akdr)’, e-journal keperawatan;, 2015, https://doi.org/10.35790/jkp.v3i2.9948 matahari, r utami, f p, & sugiharti, s, buku ajar keluarga berencana (jakarta: pustaka ilmu, 2018) misrina, misrina, and fidiani fidiani, ‘faktor yang berhubungan dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (mkjp) di desa teupin raya peusangan siblah krueng kabupaten bireuen tahun 2018’, journal of healthcare technology and medicine, 4.2 (2018), 176, https://doi.org/10.33143/jhtm.v4i2.215 mulyani, n. s., & rinawati, m., keluarga berencana dan alat kontrasepsi (yogyakarta: nuha medika., 2013) notoatmodjo, s, promosi kesehata dan prilaku, 2010 ———, promosi kesehatan dan prilaku kesehatan (jakarta: pt rineka cipta, 2021) notoatmodjo, soeidjo, ilmu prilaku kesehatan.(jakarta: rineka cipta, 2007) pinem, saroha., kesehatan reproduksi dan kontrasepsi. jakarta: trans info media. (jakarta: trans info media., 2019) ridyah, s.i, ‘faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan’, 2020, http://dx.doi.org/10.30872/mul.%20dent. % 20j.v2i1.6492 rusmini, purwandani, s, pelayanan dan kesehatan reprodusi (jakarta: cv, trans info media, 2017) safitri, safitri, ‘pengetahuan ibu dan dukungan suami berhubungan dengan pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (mkjp)’, jurnal akademika baiturrahim jambi, 10.1 (2021), 47, http://dx.doi.org/10.36565/jab.v10i1.269 saifuddin, buku panduan praktis http://dx.doi.org/10.30591/siklus.v4i2.279 dwiyani, ansakawirus, muthitulsalimah, rahmadi, the relationship of knowledge and the selection of … 279 pelayanan kontrasepsi. (jakarta: pt. bina pustaka sarwono prawihardjo;, 2011) sari, e. i., ‘faktor-faktor yang berhubungan dengan rendahnya minat ibu terhadap pemilihan mkjp di bps sri romdhati semin gunung kidul’, naskah publikasi universitas aisyiyah yogyakarta, 2016, http://dx.doi.org/10.35329/jkesmas.v5i1.30 8 setiasih, sri, bagoes widjanarko, and tinuk istiarti, ‘analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang (mkip) pada wanita pasangan usia subur (pus) di kabupaten kendal tahun 2013’, jurnal promosi kesehatan indonesia, 11.2 (2016),32, https://doi.org/10.14710/jpki.11.2.32-46 sidoarjo, krian, ‘1 , 2 ’, iii (2022) student, m tech, rahul richa kumar, r eviewers c omments, ajit prajapati, tracka blockchain, a i ml, and others, ‘faktor prediposisi rendahnya minat ibu terhadap penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (mkjp) di puskesmas karanganyar kota semarang’, frontiers in neuroscience, 14.1 (2021), 1–13, http://repository.unissula.ac.id/id/eprint/23 8 84 surtiretna, nine, bimbingan seks suami istri : pandangan islam dan medis (bandung: remaja rosdakarya, 2001) tekesnos, jurnal, vol no, idaria sidabukke, julia mahdalena siahaan, program studi kebidanan, fakultas pendidikan vokasi, and others, ‘hubungan pengetahuan dan kualitas pelayanan kb dengan pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang ( mkjp ) di klinik kesuma bangsa keamatan perbaungan tahun 2020, https://doi.org/10.11648/j.sjph.20150301.3 3 yuanti, yocki, ‘pemilihan metode kontrasepsi jangka panjang (mkjp) di kel. harjamukti cimanggis depok’, jurnal ilmiah kesehatan dan kebidanan, vii.2 (2018), 1–7 yuliati. i. f, ‘peramalan dan analisis hubungan faktor penggerakan lini’, jurnal keluarga berencana, 6.02 (2022), 35–48, https://doi.org/10.37306/kkb.v6i2.80 yulizawati, detty iryani, lusiana el sinta, aldina ayunada i., ‘asuhan kebidanan keluarga berencana’, 2019. http://dx.doi.org/10.35329/jkesmas.v5i1.30 http://repository.unissula.ac.id/id/eprint/238 http://repository.unissula.ac.id/id/eprint/238 239 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the description of future bride nutritional status included incidence of anemia, chronic energy deficiency (ced), and nutritional status based on body mass index nonik ayu wantini1, lenna maydianasari2, agnes savitri agni3 1,2,3faculty of health sciences, universitas respati yogyakarta, indonesia article information abstract currently, indonesia is still facing reproductive health problems which are marked by the high maternal mortality rate (mmr) and infant mortality rate (imr). the low status of public health, especially women's health, is influenced by various factors. one of the factors is nutritional status. comprehensive intervention through the continuum of care approach is important to be carried out more upstream, namely during the preconception period (future bride). examination of the nutritional status of the bride aims to detect early problems of underweight, overweight and micronutrient deficiencies (anemia). optimal nutritional status before pregnancy is a form of readiness for a healthy pregnancy. the purpose of this study was to describe nutritional status (incidence of anemia, chronic energy deficiency (ced), and nutritional status based on body mass index). the method of the study was descriptive quantitative. the sample for this study was 76 brides-to-be who visited the berbah health center for the period august-october 2022, and were selected by purposive sampling. the data obtained was secondary data obtained from medical records. the results showed that 61.8% of women’s health status was poor (one of the 3 nutritional status indicators was not in the normal category). incidence of anemia 28.9%, chronic energy deficiency 15.8%, overweight and obesity 22.4%, very thin and thin 34.2%. conclusion: the prevalence of problems with the nutritional status of the bride is still high. further studies related to the causes of nutritional problems in future brides are needed. history article: received, 10/03/2023 accepted, 08/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: nutritional status, future bride © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes panti waluya malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : nonik_respati@yahoo.co.id e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p239-246 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:nonik_respati@yahoo.co.id https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p239-246 240 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 239-246 introduction preconception care is part of the continuum of care. the preconception phase will have an impact on the next phase, namely pregnancy, childbirth, puerperium and the intermediate period. some literature shows that some maternal risk factors begin in childhood and adolescence. malnourished adolescents and low body height are risk factors for obstetric intervention. this has contributed to an increase in maternal and infant mortality (y. wulandari & agus safutri, 2017). the results showed that around 92% of children born to short mothers (<150 cm) were included in the “stunted” and “severely stunted” toddler groups. there is a positive correlation between short mothers and stunted toddlers with a p-value of 0.038. in the sambas community, mothers with short stature tend to have short offspring (tilawaty et al., 2020). therefore it is necessary to have interventions that begin in adolescence (distal intervention) and continue throughout the reproductive age of women (proximal intervention). one of the advantages of preconception care is to improve a woman’s nutrition during pregnancy, especially overcoming obesity, problems related to nutritional deficiencies and micronutrient deficiencies (y. wulandari & agussafutri, 2017). nutritional problems in women that still need to get attention and work hard to improve include chronic energy deficiency (ced), anemia, underweight and obesity. based on the 2018 basic health research it is known that the prevalence of ced in women of childbearing age 15-49 years (nonpregnant) in indonesia is 14.5%, and the special region of yogyakarta is ranked 7th with a prevalence of 19.1 %. the prevalence of ced in indonesia is based on age characteristics from the highest to the lowest, including 15-19 years (36.3%), 20-24 years (23.3%), 25-29 years (13.5%). the prevalence of anemia in the age group of 15-24 years was 32%, and 25-34 years was 15.1%. the nutritional status of adult women (age > 18 years) based on body mass index (bmi), it is known that the prevalence of wasting in the age range 19-29 years includes 19 years (19%), 20-24 years (14.2%), 25 -29 years (7.5%). while the prevalence of obesity includes 19 years (10.6%), 2024 years (15.1%), and 25-29 years (24.7%) (tim riskesdas, 2019). ced is a condition in which a person experiences a long-term or chronic lack of nutrition (calories and protein). ced can be assessed by an upper arm circumference <23.5 cm. malnutrition in pregnant women can increase the risk of anemia in the mother and fetus, bleeding during childbirth, miscarriage, susceptible to infectious diseases, low birth weight babies (lbw), stillbirths, congenital abnormalities in the fetus (kementerian kesehatan republik indonesia, 2021). variables associated with chronic energy deficiency in young women are diet (meal frequency and variety of food), food intake (energy, protein, fat, iron), body image, body mass index. most young women with eating patterns that are not in accordance with balanced nutrition guidelines, iron deficiency, and negative body image experience ced. young women with good energy, protein and fat intake mostly do not experience ced (ardi, 2021). upper arm circumference (lila) < 23.5 cm, inadequate intake of protein and iron results in low hemoglobin levels (anemia). anemia before conception can increase the risk of miscarriage, premature birth, bleeding, death of the mother and baby (dieny et al., 2019). in addition to anemia, the condition of obesity also needs attention. it is important to support overweight and obese women to lose weight before becoming pregnant (rees, 2014). obesity is a high obstetric risk because it can increase the risk of maternal and fetal morbidity and mortality. complications that can occur in pregnant women with obesity are an increased risk of hypertension, gestational diabetes, spontaneous abortion and postpartum hemorrhage. in the fetus it can increase the risk of stillbirth in the antepartum period, intrapartum complications such as shoulder dystocia, macrosomia and increase the risk of fetal defects such as neural tube defects, spina bifida, congenital heart disease and omphalocele (natalia et al., 2020). examination of the nutritional status of the bride is one of the pre-pregnancy health services aimed at screening the health of the bride to prepare for a healthy, safe pregnancy and childbirth and to have a healthy baby based on the regulation of the minister of health of the republic of indonesia number 21 of 2021. these health services are carried out using promotive, preventive, curative and rehabilitative approaches that are carried out in an integrated and sustainable manner (kementerian kesehatan ri, 2021). berbah health center is one of the health centers in the sleman district which has implemented interprofessional collaboration in premarital services. the collaboration includes the collaboration of the maternal and child health polyclinic, general polyclinic, nutrition polyclinic, psychology polyclinic, dental polyclinic and laboratories. health workers who are responsible for premarital services consist of midwives, general practitioners, nutrition officers, psychologists, dentists and laboratory wantini, maydianasari, agni, the description of future bride nutritional status included incidence of … 241 workers. examination of nutritional status carried out at the berbah health center included checking hb levels, lila, and measuring bmi. the importance of pre-marital nutrition preparation made researchers interested in seeing an overview of the prevalence of nutritional problems for prospective brides at the berbah health center. methods this study was a quantitative descriptive survey research that aimed to describe the prevalence of ced, anemia, and nutritional status based on bmi. the sample of the study was 76 prospective brides who visited for integrated health checks at the berbah health center for the period august to october 2022. the sample for this study was selected using a purposive sample and the completeness of the data in the examination record book was the inclusion criteria in this study. no exclusion criteria were defined in this study. univariate data analysis by calculating the percentage of each variable based on predetermined categories. results table 1: characteristics of respondents variable frequency percent (%) age high risk 11 14.5 reproduction age 65 85.5 pregnancy status pregnant 6 7.9 not pregnant 70 92.1 height < 145 cm 3 3.9 ≥ 145 cm 73 96.1 total 76 100 source: secondary data based on table 1, it is known that most of the prospective brides are of healthy reproductive age (85.5%), not currently pregnant (92.1%), and height ≥ 145 cm (96.1%). table 2: nutritional status variable frequency percent (%) body mass index severely underweight (<17) 2 2.6 underweight (17-<18.5) 6 7.9 normal (18.5-25.0) 42 55.3 overweight (>25-27) 9 11.8 obesitas (>27) 17 22.4 anemia not anemia (hb ≥ 12 gr/dl) 54 71.1 anemia (hb < 12 gr/dl) 22 28.9 upper arm circumference not ced (≥ 23.5 cm) 64 84.2 ced (< 23.5 cm) 12 15.8 health status poorly 47 61.8 good 29 38.2 total 76 100 source: secondary data based on table 2 it is known that most of the prospective brides are in the normal category (55.3%) based on body mass index, 71.1% are not anemic and 84.2% are not ced. if the three indicators of nutritional status are combined, it can be concluded that only 38.2% of the prospective brides who have good health status. the good 242 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 239-246 health status referred to in the study is that the three indicators must be in good (normal) condition. if there is one indicator that is not normal, then the health status is categorized as poor. discussion 1. characteristics of respondents the results of this study indicate that most women decide to marry at a healthy reproductive age (20-35 years). this fulfills the marriage age limit for women, namely 19 years based on the law of the republic of indonesia number 16 of 2019 concerning marriage. the age limit is considered physically and spiritually mature to be able to enter into a marriage in order to fulfill the purpose marry well without ending in divorce, have healthy and quality offspring (undang-undang republik indonesia no 16 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, 2019) there are still 11 women who are married at a risky age (<20 years) as many as 2 people and 9 people aged > 35 years. the results of previous research indicated that factors associated with early marriage in young women were premarital pregnancy, family income, knowledge, culture of early marriage, and peer influence in early marriage (nurhikmah et al., 2021). in this study, it was found that 1 woman aged <20 years was in premarital pregnancy. understanding regarding the ideal age for marriage needs to be given as early as possible to prevent child marriage. interventions related to maturing the age of marriage in rural areas need to be increased for youth through family planning field extension/fpfe (angraini et al., 2021). the psychological impacts that arise from premarital pregnancy include fear, anger, stress, depression, worry, feeling unprepared to be a mother (p. wulandari et al., 2019). the results of previous studies indicate that there are several psychological impacts on adolescents, starting from pregnancy, childbirth, until parting with a partner, namely feelings of anxiety, shame, stress and feelings of uncertainty in life. these different effects are influenced by internal and external factors. such conditions are difficult to face and accept, especially for young women who become perpetrators of pregnancies outside of marriage. however, there are teenagers who can survive thanks to their ability to accept themselves and their circumstances, and have the support of their families and loved ones (tjolly & soetjiningsih, 2023). in table 1, it can be seen that there were 6 women who experienced premarital pregnancy and 1 person in their teens. based on the results of previous studies, it can be concluded that the incidence of teenage premarital pregnancies in sumedang regency is 40.5% of all teenage pregnancies. factors related to teenage pregnancy are age at pregnancy, frequency of courtship, parenting style, parents' marital integrity and exposure to friends. parenting style has the highest or, namely or = 2.90 (95% ci = 1.55-5.42). respondents with bad parenting styles will experience premarital pregnancies 2.90 times compared to respondents with good parenting styles after controlling for other variables (omarsari & djuwita, 2008). the results of other studies also show that factors related to premarital pregnancy include age, pubertal age, and information exposure (kirana et al., 2014). based on the height of the woman, there are still 3 people who have a height <145 cm. this shows obstetrically high-risk women. previous studies have shown that 6.5 million premature and/or small-term births in low-middle-income countries each year can be attributed to short maternal stature. reducing this burden requires primary prevention of birth in small gestation, promotion of postnatal growth from early childhood, and further intervention in late childhood and adolescence (kozuki et al., 2015). the results of a literature study conducted by previous researchers also said that there was a relationship between maternal height and the birth process where mothers who had a height of less than 145 cm with or without a large fetal weight were not advised to have a normal delivery because according to the literature mothers who had less height of 145 have a narrow pelvis so there is concern that there will be cephalopelvic disproportion which will make labor take longer (humaera et al., 2018). 2. nutritional status a. body mass index the results showed that some women had normal nutritional status (55.3%). however, the prevalence of obesity dominates the nutritional problems of the bride namely 22.4%, followed by overweight (11.8%), underweight (7.9%) and severely underweight (2.6%). the prevalence of obesity has exceeded the prevalence of obesity in diy based on 2018 basic health research data (badan penelitian dan pengembangan kesehatan, 2019). women of childbearing age who are obese have the opportunity to experience the risk of infertility. although obesity is not the sole risk factor for infertility, promotive and preventive efforts are wantini, maydianasari, agni, the description of future bride nutritional status included incidence of … 243 needed to increase knowledge and understanding of reproductive health for women, especially those planning their pregnancy. physical activity, a balanced diet, healthy lifestyle and periodic checkups are efforts to treat infertility caused by excess body weight and obesity (jamhariyah et al., 2022). the results of the previous study showed a similar thing, namely in 46 respondents of couples of childbearing age who were diagnosed with primary infertility, 14 mothers (42.42%) were obese and diagnosed with secondary infertility, 19 mothers (57.58%) were obese. there is a relationship between obesity and the incidence of infertility in couples of childbearing age (susilawati & restia, 2019). overweight and obesity are risk factors for polycystic ovary syndrome (pcos). according to data sources, it is estimated that 38-88% of women with pcos are overweight. obesity can increase androgen levels, which can exacerbate pcos. where androgen secretion in the ovaries of women with pcos is excessive compared to normal women. according to several research studies, polycyclic ovarian syndrome can be prevented by modifying lifestyle, namely reducing body weight and belly fat by reducing calorie intake and exercising. this is proven to be able to reduce androgen levels, reduce insulin resistance so that it is hoped that it can return the frequency and amplitude of lh to normal so that the menstrual cycle can walk normally so that it is expected to reduce the risk of infertility in pcos (anisya et al., 2019). obese women must lose 5-10% body weight, adequate exercise and adequate nutritional intake, especially folic acid before pregnancy. during pregnancy, obese women should have a suitable weight gain (phupong, 2022). not only obesity will affect fertility, malnutrition will also affect fertility. poor nutritional status (bmi below 18.5) can reduce a woman's fertility by causing hormonal imbalances that affect ovulation and the chances of getting pregnant. compared to women in the normal bmi range, less nourished women are more likely to take longer to become pregnant. this is consistent with previous research which showed that women with an abnormal body mass index have a higher risk of infertility than women with a normal body mass index. a high risk of infertility has been found in both overweight and underweight women (halimah et al., 2018). b. anemia the prevalence of anemia in prospective brides is 28.9%. this shows anemia is still a problem that needs attention. one form of anemia intervention at the berbah health center is supplementation of 400 mcg of folic acid and 60 mg of fe tablets for prospective brides who have anemia. in previous studies it was also found that the prevalence of anemia during preconception was high. this indicates that many women will enter pregnancy with less iron reserves and will increase the growth retardation of the fetus. therefore, joint efforts are needed including iron supplementation, folic acid and nutritional counseling to improve anemia status before conception so that fetal growth is optimal and the baby is born healthy (msemo et al., 2018). in this study it was found that 4 out of 6 pregnant brides had anemia. this is due to the increasing need for the mother's body for iron, along with increasing gestational age. when pregnant women experience anemia, the blood does not have enough healthy red blood cells to carry oxygen to the mother's body tissues and also the fetus. previous studies found a high prevalence of anemia in pregnant women. low socioeconomic status, multigravida and late visits to the antenatal clinic are significantly associated with anemia in pregnancy. therefore, awareness and education programs should be launched to make people aware about the complications of anemia during pregnancy and how to prevent it (sinha et al., 2021). based on the results of a literature review conducted by previous researchers from 15 national and international journals, there are 19 statistically significant variables which are risk factors for anemia in pregnant women. these variables are age, ethnicity, education, parity, adherence to taking fe tablets, economic status, nutritional status, trimester of pregnancy, gestational spacing, anc frequency, living in rural areas, income, number of family members, food insecurity, diet, current clinical disease, parasitic infections, not using contraception,and body mass index (azmi & puspitasari, 2022). if we look at this study based on age, it is known that as many as 36.4% of women at high risk have anemia. of the 22 people who were anemic, 50% had abnormal bmi. the results of previous studies suggest that severe iron deficiency has a significant effect on fertility, and may be an important factor in unexplained infertility (li et al., 2014). anemia and 244 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 239-246 folic acid deficiency are known to cause secondary infertility. anemia as a cause of infertility has only been seen in cases of malabsorption syndrome in developed countries. however, in developing country communities with weak economies, anemia of food deficiency is still a cause of infertility. deficiencies of iron and folic acid can certainly interfere with reproduction and contribute to problems with ovulation disorders, cell division disorders, and implantation disorders. apart from causing infertility, folic acid deficiency can also cause an increased risk of miscarriage (singh et al., 2006). c. chronic energy deficiency chronic energy deficiency (ced) is a condition when a person experiences a defiencency of malnutrition that lasts for years (chronic) causing health problems. in this study, the prevalence of ced was 15.8%. this prevalence is higher than the national prevalence (14.5%). the results of previous studies obtained 46% preconception of women of childbearing age or the prospective bride experincing ced where the measurement results of the upper arm circumference are <23.5 cm. ced occurs due to low intake of energy and protein in the long term (utami et al., 2022). this is in line with previous research which found that ced in prospective brides was 48.5%. adequate energy intake can prevent chronic energy deficiency in the prospective bride. food consumption is one of the main factors determining a person's nutritional status (safira anani et al., 2022). knowledge of nutrition, physical activity, energy intake, protein intake, and fat intake are significantly related to ced in prospective brides (mahmudah et al., 2022). prospective brides who want to get pregnant immediately after marriage must meet several conditions worthy of becoming pregnant, one of which is nutritional status. ideally the upper arm circumference ≥ 23.5 cm. if the upper arm circumference is < 23.5 cm, it is best to postpone pregnancy first. if a woman is pregnant with the condition of ced, it increases the risk of bleeding during childbirth, miscarriage, susceptible to infectious diseases, low birth weight babies (lbw), stillbirths, and congenital abnormalities in the fetus (direktorat jenderal kesehatan masyarakat kementerian kesehatan ri, 2021). the results of other studies state that the prevalence of ced is higher in pregnant women with low income, poor nutritional status, low access to food and poor adherence to consumption of fe tablets. it is suggested to improve food security at the family level by providing information to women at the preconception stage through counseling, flip charts and posters (mukaddas et al., 2021). in this study it was also known that the prospective bride and groom who came to visit received counseling services as needed by utilizing the media of the reproductive health flip sheets of the prospective bride. conclusion the conclusion of this study is that 61.8% of the prospective bride have poor health status when viewed from the fulfillment of the 3 nutritional status indicators. prevalence of anemia 28.9%, chronic energy deficiency 15.8%, overweight and obesity 22.4%, severely underweight and underweight 34.2%. suggestion there needs to be a more in-depth study related to the causes of the high nutritional problems of prospective brides at the berbah health center. there needs to be a more in-depth study related to the causes of the high nutritional problems of prospective brides at the berbah health center. efforts to improve the nutritional status of the prospective brides need to get more attention by monitoring the nutritional status periodically, adjusting the diet by a nutritionist, providing vitamin and mineral supplements as needed. acknowledgement this activity was carried out thanks to the support from respati yogyakarta university with contract number no. 01/pkm/hibah.int/pppm/vi/2022. we also thank the berbah health center for helping during the activity process. funding these activities and publications were funded by pppm respati university yogyakarta through an internal grant conflicts of interest the data collection process is carried out by enumerators. funding and publication are fully provided by pppm unriyo and there is no conflict of interest from any party. author contributions nonik ayu wantini was responsible for conceptualizing research, monitoring research implementation, processing data, writing research wantini, maydianasari, agni, the description of future bride nutritional status included incidence of … 245 articles, and writing correspondence. lenna maydianasari was responsible for input of research data, writing and revising manuscripts. agnes savitri agni was responsible in writing and revising the manuscript. references angraini, w., amrullah, h., febriawati, h., & yanuarti, r. (2021). faktor pendukung pendewasaaan usia perkawinan. jurnal bidan cerdas, 3(4), 159–167. https://doi.org/10.33860/jbc.v3i4.535. anisya, v., puspitasari, r. d., hanriko, r., & graharti, r. (2019). policystic ovary syndrom: resiko infertilitas yang dapat dicegah melalui penurunan berat badan pada wanita obesitas. medula, 9(2), 257–265. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/m edula/article/view/2380. ardi, a. ’izza. (2021). faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kurang energi kronis (kek) pada remaja putri. media gizi kesmas, 10(2), 320–328. https://doi.org/10.20473/mgk.v10i2.2021.320328 azmi, u., & puspitasari, y. (2022). literature review : risk factors of anemia in pregnancy women. literature review: risk factors of anemia in pregnancy women, 6(1), 244–256. https://jqph.org/index.php/jqph/article/view/4 28. badan penelitian dan pengembangan kesehatan. (2019). laporan provinsi di yogyakarta riskesdas 2018. lembaga penerbit badan penelitian dan pengambangan kesehatan. http://journal.umsurabaya.ac.id/index.php/jkm/article/view/22 03. dieny, f. f., jauharany, f. f., fitranti, d. y., tsani, a. f. a., rahadiyanti, a., kurniawati, d. m., & wijayanti, h. s. (2019). kualitas diet, kurang energi kronis (kek), dan anemia pada pengantin wanita di kabupaten semarang. jurnal gizi indonesia, 8(1), 1–10. https://doi.org/10.14710/jgi.8.1.1-10. direktorat jenderal kesehatan masyarakat kementerian kesehatan ri. (2021). buku saku merencanakan kehamilan sehat. kementerian kesehatan ri. halimah, a. n., winarni, s., & dharminto. (2018). paparan rokok, status gizi, beban kerja dan infeksi organ reproduksi pada wanita dengan masalah fertilitas rsi sultan agung semarang. jurnal kesehatan masyarakat (ejournal), 6(5), 202–208. humaera, g., puspitasari, r. d., & prabowo, a. y. (2018). hubungan tinggi badan ibu dengan proses persalinan. medula, 8(april), 44–48. jamhariyah, dian, d., & sasmito, l. (2022). obesitas dengan kejadian infertilitas pada wanita usia subur. healthy : jurnal inovasi riset ilmu kesehatan, 1(2), 121–131. https://doi.org/10.51878/healthy.v1i2.1246. kementerian kesehatan ri. (2021). peraturan menteri kesehatan nomor 21 tahun 2021 tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, masa hamil, persalinan, dan masa sesudah melahirkan, pelayanan kontrasepsi, dan pelayanan kesehatan seksual (pp. 1–184). kementrian kesehatan republik indonesia. (2021). lembar balik merencanakan kehamilan sehat (pp. 1–78). kirana, r., barkinah, t., & darmayanti. (2014). faktor-faktor yang berhubungan dengan kehamilan pranikah calon pengantin di wilayah kerja puskesmas di kota banjarmasin tahun 2013. jurnal skala kesehatan, 5(1). kozuki, n., katz, j., lee, a. c. c., vogel, j. p., silveira, m. f., sania, a., stevens, g. a., cousens, s., caulfield, l. e., christian, p., huybregts, l., roberfroid, d., schmiegelow, c., adair, l. s., barros, f. c., cowan, m., fawzi, w., kolsteren, p., merialdi, m., … black, r. e. (2015). short maternal stature increases risk of small for-gestational-age and preterm births in low and middle-income countries: individual participant data metaanalysis and population attributable fraction. the journal of nutrition, 145(11), 2542–2550. https://doi.org/10.3945/jn.115.216374. li, y. q., cao, x. x., bai, b., zhang, j. n., wang, m. q., & zhang, y. h. (2014). severe iron deficiency is associated with a reduced conception rate in female rats. in gynecologic and obstetric investigation (vol. 77, issue 1, pp. 19–23). https://doi.org/10.1159/000355112. mahmudah, a., masrikhiyah, r., & rahmawati, y. d. (2022). hubungan pengetahuan gizi, aktivitas fisik, dan asupan makanan dengan kejadian kek pada calon pengantin di wilayah kerja kua tarub. jurnal ilmiah gizi dan kesehatan (jigk), 4(1), 27–35. msemo, o. a., bygbjerg, i. c., møller, s. l., nielsen, b. b., ødum, l., perslev, k., lusingu, j. p. a., kavishe, r. a., minja, d. t. r., & schmiegelow, c. (2018). prevalence and risk factors of preconception anemia: a community based cross sectional study of rural women of reproductive age in northeastern tanzania. plos one, 13(12), 1– 18. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0208413. 246 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 239-246 mukaddas, h., salma, w. o., & cristian b, i. m. (2021). factors related to chronic energy deficiency in pregnant mothers in the konawe district, indonesia. journal of research development in nursing and midwifery, 18(2), 18–20. https://doi.org/10.29252/jgbfnm.18. natalia, j. r., rodiani, & zulfadli. (2020). pengaruh obesitas dalam kehamilan terhadap berat badan janin. medula, 10(3), 539–544. http://www.journalofmedula.com/index.php/m edula/article/view/134. nurhikmah, carolin, b. t., & lubis, r. (2021). faktor-faktor yang berhubungan dengan pernikahan usia dini pada remaja putri. jurnal kebidanan, 7(1), 17–24. https://doi.org/10.33024/jkm.v7i1.3110. omarsari, s. d., & djuwita, r. (2008). kehamilan pranikah remaja di kabupaten sumedang. kesmas: jurnal kesehatan masyarakat nasional vol 3 no 2, 3(2), 57–64. https://doi.org/10.21109/kesmas.v3i2.230. phupong, v. (2022). preconception care for obese women. thai journal of obstetrics and gynaecology, 30(5), 294–301. https://doi.org/10.14456/tjog.2022.35. rees, g. (2014). section 2: preconception and pregnancy. in manual of dietetic practice. https://books.google.com/books?hl=en&lr=&i d=izebdwaaqbaj&oi=fnd&pg=pa88&dq= performance+preconception&ots=nfgu_bwd fr&sig=x9zmufbcgyofmq7z2k6ekqse3a4 . safira anani, s., wahyu ningtyias, f., & sulistyani. (2022). hubungan tingkat konsumsi dan pengetahuan gizi dengan kejadian kurang energi kronis (kek) pada calon pengantin di kecamatan camplong. media gizi kesmas, 11(1), 8–13. singh, p., singh, s., singh, r., & raghuvanshi, r. (2006). anaemia as a cause of infertility: focus on management of anaemia as first line management of infertility. the internet journal of gynecology and obstetrics, 8(1). https://doi.org/10.5580/24a5. sinha, a., adhikary, m., p.phukan, j., kedia, s., & sinha, t. (2021). a study on anemia and its risk factors among pregnant women attending antenatal clinic of rural medical college of west bengal. journal of family medicine and primary care, 10, 1327–1331. https://doi.org/10.4103/jfmpc.jfmpc. susilawati, d., & restia, v. (2019). hubungan obesitas dan siklus menstruasi dengan kejadian infertilitas pada pasangan usia subur di klinik dr. hj putri sri lasmini spog (k) periode janari sd juli tahun 2017. jurnal kesehatan mercusuar, 2(1), 1–8. https://doi.org/10.36984/jkm.v2i1.20. tilawaty, a., lulianthy, e., & astuti, p. (2020). pentingnya nutrisi wanita masa prakonsepsi untuk status gizi anak di masa mendatang. jurnal vokasi kesehatan, 6(2), 62–67. https://doi.org/10.30602/jvk.v6i2.455 tim riskesdas. (2019). laporan nasional riskesdas 2018. in laporan nasional riskesdas 2018. http://www.yankes.kemkes.go.id/assets/downl oads/pmk no. 57 tahun 2013 tentang ptrm.pdf. tjolly, a. y., & soetjiningsih, c. h. (2023). dampak psikologis remaja yang hamil diluar pernikahan. innovative: journal of social science research, 3(2), 224–237. https://jinnovative.org/index.php/innovative%0adam pak. undang-undang republik indonesia no 16 tahun 2019 tentang perubahan atas undangundang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. (2019). https://peraturan.bpk.go.id/home/details/1227 40/uu-no-16-tahun-2019. utami, n., usman, umar, f., & rusman, a. d. p. (2022). deteksi dini risiko stunting pada wanita usia subur pra konsepsi di kota parepare. ai gizzai: public health nutrition journal, iii(1), 22–32. wulandari, p., fihastutik, p., & arifianto, a. (2019). pengalaman psikologis kehamilan pranikah pada usia remaja di kelurahan purwosari kecamatan mijen. journal of holistic nursing science, 6(2), 64–73. https://doi.org/10.31603/nursing.v6i2.2649. wulandari, y., & agussafutri, w. d. (2017). preconception care sebagai strategi menurunkan angka kematian ibu di indonesia. jurnal kesehatan kusuma husada, 139–143. https://doi.org/10.34035/jk.v8i2.232. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 28 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 28–31 28 hubungan antara status gizi dan status ekonomi dengan kejadian menarche (the correlation nutritional status and economic status with menarche) uliyatul laili dan fanty a’in noer malitasari program studi diii kebidanan universitas nahdlatul ulama surabaya email: uliyatul.laili@yahoo.com abstract: menarche is the first menstruation occurs in someone women, and usually occurs at age 11– 13 years. incident of menarche in adolescents is influenced by several factors, such as nutritional status, economic, genetic, and environmental. this study aimed to analyze the correlation of nutritional status and economic status with the incidence of menarche. this study used an analytical method with cross sectional prospective design. the sampling used stratified random sampling technique. the independent variable was the nutritional status and economic status, while the dependent variable was the incidence of menarche. the data were analyzed using chi square.the results showed an association between nutritional status and the incidence of menarche with significant value 0.000<, and also there was a correlation between economic status with the incidence of menarche with significant value 0.002 < , by significant value it was known that nutritional status was more dominant factor than economic status on the incidence of menarche. conclusions from this research was getting better nutritional status and economic status possessed child would affect the occurrence of menarche in children. keywords: nutritional status, economic status, incidence of menarche abstrak: menarche adalah haid yang pertama kali terjadi pada seseorang wanita, dan biasanya terjadi pada usia 11–13 tahun. kejadian menarche pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah status gizi, ekonomi, genetik, dan lingkungan. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara status gizi dan status ekonomi dengan kejadian menarche. penelitian ini menggunakan metode analitik dengan rancang bangun cross sectional prospective. pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. variabel independent adalah status gizi dan status ekonomi, sedangkan variabel dependent adalah kejadian menarche. data dianalisis dengan menggunakan uji chi square. hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian menarche dengan nilai signifikansi 0,000 < , dan juga terdapat hubungan antara status ekonomi dengan kejadian menarche dengan nilai signifikansi 0,002 < , berdasarkan nila signikan tersebut dapat diketahui bahwa faktor status gizi lebih dominan dibandingkan status ekonomi terhadap kejadian menarche. simpulan dari penelitian ini adalah semakin baik status gizi dan status ekonomi yang dimiliki seorang anak akan mempengaruhi kejadian menarche pada anak tersebut. kata kunci: status gizi, status ekonomi, kejadian menarche lebih dari setengah abad ini rata-rata kejadian menarche mengalami perubahan dari usia 17 tahun menjadi 13 tahun, secara normal menstruasi awal terjadi pada usia 11–13 tahun (kartono, 2006). menarche adalah haid yang pertama kali terjadi (rustam, 1998). faktor-faktor yang mempengaruhi menarche antara lain keturunan, lingkungan dan status gizi (sarwono, 2007). status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan tubuh dalam bentuk variabel tertentu (supariasa, dkk., 2001). penelitian burhanuddin (2007) menemukan bahwa dari 400 orang pelajar putri bugis kota dan desa di sulawesi selatan yang sudah menarche berusia antara 10 tahun sampai 15 tahun. hal ini meliputi kelompok acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p028-031 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 29laili dan malitasari, hubungan antara status gizi ... kota 200 orang dengan usia rata-rata 12 tahun dan kelompok desa 200 orang dengan usia rata-rata 13 tahun pada pelajar putri bugis. disimpulkan bahwa ditemukan perbedaan berat badan, status gizi, status sosial ekonomi dan aktivitas fisik responden terhadap pencapaian usia menarche pada pelajar putri bugis kota dan desa di sulawesi selatan. faktor lain yang dianggap berhubungan yaitu faktor sosial ekonomi. keadaan sosial ekonomi berhubungan dengan kemampuan daya beli keluarga, baik itu daya beli makanan maupun dalam hal pemenuhan kebutuhan material seorang gadis remaja. dalam menggambarkan peningkatan kesehatan umum, terutama peningkatan nutrisi dianggap sebagai faktor kesehatan umum yang terpenting, dan waktu pubertas tergantung pada pencapaian berat badan kritis. pada remaja putri yang mengalami obesitas sedang, menarche terjadi lebih awal dan perjalanan pubertas menjadi lebih. banyak diuraikan di beberapa literatur tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian menarche yang terdiri dari status gizi, genetik, lingkungan dan perkembangan teknologi, yang menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian menarche. maka perlu diketahui sejauh mana pengaruh status gizi tersebut terhadap kejadian menarche. faktor lain yang juga banyak diteliti yaitu faktor status sosial ekonomi, penelitian yang dilakukan pacarada mengungkapkan status sosial ekonomi yang lebih tinggi berkaitan dengan kejadian menarche yang lebih cepat. dalam melihat masalah di atas petugas kesehatan dapat memasyarakatkan pedoman umum gizi seimbang (pugs) dan kiat cara memilih makanan sehat, serta pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi remaja perlu diberikan sedini mungkin, dimana sasarannya adalah orang tua dan remaja yang bekerjasama dengan guru dari pihak sekolah. bahan dan metode jenis penelitian ini menggunakan metode analitik yang mana rancangan penelitian disusun untuk menganalisa, menjelaskan suatu hubungan, menguji berdasarkan teori yang ada. rancang bangun yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional prospective yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independent (status gizi dan status ekonomi) dan variabel dependent (kejadian menarche) hanya satu kali dalam waktu yang sama, akan tetapi pengukuran dilakukan selama 3 kali. sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua siswi sdn wonokromo yang sudah mengalami menarche dalam 2 bulan terakhir. penganbilan sampel menggunakan teknik stratified random sampling. data dianalisis dengan menggunakan uji statistic chi square dengan menggunakan spss dengan tingkat signifikansi 0,05. hasil penelitian tabel 1. distribusi frekuensi responden berdasarkan kejadian menarche no kejadian menarche f rekuensi (%) 1 sudah menarche 23 39,7 2 belum menarche 35 60,3 jumlah 58 100 tabel 5. tabulasi silang antara status gizi dengan kejadian menarche tabel 2. distribusi frekuensi berdasarkan status gizi responden no status gizi f rekuensi (%) 1 gizi kurang 29 50 2 gizi baik 15 43,1 3 gizi lebih 4 6,9 jumlah 58 100 tabel 3. distribusi frekuensi berdasarkan status ekonomi responden n o status ekonomi frekuensi (%) 1 status eko nomi rendah 30 51,7 2 status eko nomi tinggi 28 48,3 jumlah 58 100 tabel 4. tabulasi silang antara status gizi dengan status ekonomi no sta tus gizi status ekonomi jumlah rendah tinggi n % n % n % 1 gizi kurang 19 65,5 10 34,5 29 100 2 gizi ba ik 9 36 16 64 25 100 3 gizi lebih 2 50 2 50 4 100 j umlah 30 28 58 no status gizi kejadian menarche jum lah sudah belum n % n % n % 1 gizi kurang 2 6,9 27 9 3,1 29 100 2 gizi baik 18 72 7 28 25 100 3 gizi lebih 3 75 1 25 4 100 jumlah 23 35 58 30 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 28–31 pembahasan hubungan antara status gizi dengan status ekonomi berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa 29 responden berstatus gizi kurang, sebagian besar siswa yaitu sebanyak 19 responden dengan status ekonomi rendah. dari analisis dengan uji chi square dengan tingkat kemaknaan  =0,05 menunjukkan nilai signifikansi 0,096 >  sehingga h0 diterima berarti tidak ada hubungan antara status gizi dengan status ekonomi di sdn i wonokromo. status gizi dikatakan baik apabila nutrisi yang diperlukan baik protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin digunakan oleh tubuh sesuai kebutuhan. pada anak dengan status gizi kurang dapat dilihat pola konsumsi makanan yang tidak dapat memenuhi kecukupan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. asupan gizi yang diperoleh anak sangat mempengaruhi proses perkembangan fisik. asupan gizi yang diperoleh anak adalah untuk memenuhi kebutuhan perkembangan anak. pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut juga berperan dalam kematangan seks anak (arisman, 2009). hubungan antara status gizi dengan kejadian menarche dari tabel 5.5 menunjukkan hasil tabulasi silang dapat dilihat bahwa dari 29 responden dengan status gizi kurang, sebagian besar siswa yaitu sebanyak 27 responden (93,1)% belum mengalami menarche. dari 25 responden dengan status gizi baik, sebagian besar siswa yaitu sebanyak 18 responden (72%) sudah mengalami menarche. sedangkan dari 4 responden dengan status gizi lebih, sebagian besar yaitu sebanyak 3 responden (75%) sudah mengalami mengalami menarche. dari hasil tabel diatas kemudian dilakukan analisis dengan uji dengan tingkat kemaknaan  =0,05 menunjukkan nilai signifikansi 0,000 <  sehingga h0 ditolak berarti ada hubungan antara status gizi dengan kejadian menarche di sdn i wonokromo. keadaan tubuh anak dengan status gizi yang baik dapat mempengaruhi terjadinya menarche. sesuai kemajuan zaman saat ini, proses pertumbuhan fisik pada anak usia sd yang akan memasuki masa pubertas mengalami percepatan. faktor yang mempengaruhi adalah pola makan yang baik dan jenis bahan pangan yang dikonsumsi. sehingga asupan nutrisi pada tubuh dapat dipenuhi dengan tercukupinya zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. asupan nutrisi yang berlebihan dan ditunjang dengan gaya hidup anak menyebabkan obesitas. usia menarche pada remaja putri yang mengalami obesitas sedang biasanya terjadi lebih awal . secara langsung mempercepat pula perjalanan pubertas seorang anak. pola kebiasaan dan gaya hidup seharihari pada anak yang ditunjang dengan tersedianya fasilitas yang memadai di lingkungan sekitarnya dapat mempengaruhi psikologi anak (kartono, 2006). hubungan antara status ekonomi dengan kejadian menarche dari tabel 6 menunjukkan bahwa hasil tabulasi silang dapat dilihat bahwa dari 30 responden dengan status ekonomi rendah, sebagian besar siswa yaitu sebanyak 24 responden (80%) belum mengalami menarche. sedangkan dari 28 responden dengan status ekonomi tinggi, sebagian besar siswa yaitu sebanyak 17 responden (60,7%) sudah mengalami menarche. dari hasil tabel di atas kemudian dilakukan analisis dengan uji dengan tingkat kemaknaan  = 0,05 menunjukkan nilai signifikansi 0,002 <  sehingga h0 ditolak berarti ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian menarche di sdn i wonokromo. faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian menarche pada remaja sangat bervariasi, diantaranya adalah faktor lingkungan, status gizi dipengaruhi oleh status ekonomi serta faktor keturunan dan hormonal. hasil analisis yang dilakukan oleh peneliti sesuai dengan penelitian yang dilakukan pacarada mengungkapkan status sosial ekonomi yang lebih tinggi berkaitan dengan kejadian menarche yang lebih cepat (pacarada, 2008). penelitian yang lain juga menunjukkan menarche dari anak yang berasal dari sosial ekonomi tinggi mendapat usia menarche lebih muda dibanding anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah. hal ini dikarenakan pendapatan orangtua yang lebih tinggi meningkatkan daya beli keluarga baik itu daya beli makanan maupun akses ke pelayanan kesehatan. (agustin id, 2010). status ekonomi menunjukkan kemampuan sebuah keluarga dalam memenuhi kebutuhan, baik yang meliputi kebutuhan dasar seperti nutrisi dan pelayanan kesehatan. pada tabel 6. tabulasi silang antara status ekonomi dengan kejadian menarche no status ekonomi kejadian menarche jumlah sudah belum n % n % n % 1 rendah 6 20 24 80 30 100 2 tinggi 17 60,7 11 39,3 28 100 jumlah 23 35 58 31laili dan malitasari, hubungan antara status gizi ... penelitian ini, keluarga yang memiliki status ekonomi tinggi sebagian besar adalah keluarga yang kedua orang tuanya memiliki pekerjaan, sedangkan sebagian besar orang tua responden yang berstatus ekonomi rendah yang bekerja hanya salah satu dari orang tuanya da nada juga yang memang karena orang tua responden adalah single parent. simpulan dan saran simpulan berdasarkan penelitian yang dilakukan di sdn i wonokromo dapat disimpulkan: tidak ada hubungan antara status gizi dengan status ekonomi siswi di sdn i wonokromo. ada hubungan antara status gizi dengan kejadian menarche di sdn i wonokromo. ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian menarche di sdn i wonokromo. saran bagi tempat penelitian khususnya bagi petugas uks agar meningkatkan pemberian penyuluhan kepada remaja putri tentang kejadian menarche (menstruasi yang pertama kali terjadi) dan meningkatkan mutu kesehatan khusnya pada status gizi serta cara memilih dan mengkonsumsi makanan yang bergizi dimulai sejak dini dan memantau pertumbuhan siswi karena akan memasuki masa pubertas yang ditandai dengan datangnya menarche (menstruasi yang pertama kali terjadi). daftar rujukan agustin, i.d. 2010. hubungan antara status gizi, aktivitas fisik dan tingkat sosial ekonomi terhadap kejadian menarche pada remaja putri di smpn 17. depok: universitas indonesia. arisman. 2009. gizi dalam daur kehidupan. jakarta: egc. kartono, k. 2006. psikologi wanita 1. bandung: mandar maju. mochtar, r. 1998. sinopsis obstetri, jilid i. jakarta: egc. pacarada, m., lulaj, s., kongjeli, g., obertinca, b. 2008 impact of socio economic factors on onset of menarche in kosovar girls. jccm [online] [diunduh pada sabtu, 26 februari 2011 jam 13.00 wib]; 3(10): 541–7. prawirohardjo, s. 2007. ilmu kandungan. jakarta: ybpsp. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 24 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 24–27 24 hubungan kebiasaan sarapan, status gizi dengan prestasi belajar siswa (the correlation of breakfast habits, nutritional status and students achievement) nur masruroh dan ratna ariesta dwi andriani program studi diii kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya email: nurmasruroh@yahoo.com abstract: the habit of having breakfast is important because the duration between the dinner and breakfast is very long, consequently the sugar levels which is a source of energy in the body decreased. the efforts to improve the quality of human resources should be done early, systematic and continuous. the achievement of elementary school students are supported by the provision of optimal nutrition. this study aimed to analyze the correlation of breakfast habits, nutritional status and academic achievement of elementary school students. this study used a quantitative descriptive design. the approach used cross sectional. the sample used all students totaling 180 students. the sampling technique used in this study was total sampling technique. the independent variable was the morning eating habits and nutritional status of elementary school students. the dependent variable was the learning achievement of elementary school students. the statistical test used in logistic regression. chi-square test results in table omnibus test of model coefficients equal to 89.737 with a significant level of less than 5% is 0.000, which means the morning eating habits and nutritional status had a significant correlation to student achievement in elementary school. keywords: breakfast, nutritional status, academic achievement abstrak: kebiasaan makan sarapan penting karena jarak antara makan malam dengan sarapan sangat panjang, akibatnya kadar gula yang merupakan sumber energi dalam tubuh menurun. upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. prestasi siswa sd yang didukung oleh penyediaan nutrisi yang optimal. penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kebiasaan sarapan dan status gizi dan prestasi akademik pada siswa sekolah dasar. penelitian ini menggunakan desain deskriptif kuantitatif. pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua siswa dari sdn wonokromo yang berjumlah 180 siswa. teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik total sampling. variabel dalam penelitian ini, variabel independen adalah pagi kebiasaan makan dan status gizi siswa sd. variabel dependen adalah prestasi belajar siswa sekolah dasar. uji statistik yang digunakan adalah regresi logistik. hasil uji chi-square di uji omnibus tabel koefisien model yang sama dengan 89,737 dengan tingkat signifikan kurang dari 5% adalah 0,000, yang berarti kebiasaan makan pagi dan status gizi secara bersama-sama ada hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik siswa di sekolah dasar. kata kunci: sarapan, status gizi, prestasi akademik visi indonesia sehat 2015 bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dalam kesehatan termasuk gizi. undang undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 1 ayat 141 menyatakan bahwa upaya per baika n gizi ma sya r a ka t ditujuka n untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat. (andriani, 2012:2). usia anak sekolah merupakan investasi bangsa karena mereka adalah generasi penerus yang akan menentukan kualitas bangsa dimasa yang akan datang. upaya peningkatan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p024-027 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 25masruroh dan andriani, hubungan kebiasaan sarapan ... kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis, dan berkesinambungan. proses tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal diantaranya ditentukan oleh pemberian makanan yang tepat secara kualitas dan kuantitas. (sundari, 2012:3). prestasi belajar merupakan hasil dari proses belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru. untuk melihat prestasi belajar maka perlu dilakukan pengukuran terhadap siswa yang bersangkutan. pengukuran yang berkaitan dengan prestasi belajar adalah proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (saidin, 2005:3). banyak intervensi yang telah dilakukan pada beberapa tahun terakhir ini yang bertujuan meningkatkan kemampuan siswa, terutama bagi mereka yang kurang gizi. di antara intervensi tersebut, program pemberian makan pagi (sarapan) di sekolah sering dianggap sebagai intervensi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi pendidikan di sekolah-sekolah miskin di negara berkembang. (sundari, 2012:7) prestasi akademik berperan penting dalam membangun kepribadian anak usia sekolah. dengan prestasi akademik yang baik akan terbangun rasa percaya diri (industry) pada anak. sebaliknya, bila prestasi akademiknya buruk, akan timbul rasa rendah diri (inferiority) pada anak. prestasi akademik dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari dalam atau pun luar. motivasi belajar dan potensi akademik adalah dua dari beberapa faktor dalam diri yang dapat mempengaruhi prestasi akademik. dalam pengembangannya, motivasi dan potensi membutuhkan stimulus dari lingkungan (orang tua dan sekolah) agar bisa mencapai hasil yang optimal. prestasi belajar adalah suatu proses sehingga dipengaruhi oleh banyak faktor. terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yaitu faktor internal, eksternal, dan pendekatan belajar. faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri sendiri yang meliputi faktor fisiologis dan psikologis. faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa yang meliputi faktor lingkungan sosial dan lingkungan non sosial (sinaga, 2012:6) stimulus yang diberikan orang tua, diterapkan melalui pola asuh belajar di rumah dan pemberian asupan gizi makanan yang optimal, sedangkan stimulus dari sekolah diwujudkan melalui situasi dan kondisi lingkungan pembelajaran. (lamid, 2009:4). bahan dan metode penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kuantitatif. pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan cross sectional. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa sekola h da sa r neger i wonokr omo i surabaya. sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa sekolah dasar negeri wonokromo i kelas 4, 5 dan 6 yang berjumlah 180 siswa. pertimbangan mengambil kelas 4,5 dan 6 ( usia 10–12 tahun) adalah pada usia tersesbut anak sudah dapat berkomunikasi, bekerja sama dan baca tulis dengan baik. teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik total sampling. terdapat 3 variabel yang terlibat dalam penelitian ini, sebagai variabel bebas adalah kebiasaan makan pagi dan status gizi siswa sekolah dasar (10–12 tahun). sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah prestasi belajar siswa sekolah dasar (10–12 tahun). uji statistik yang digunakan disini adalah logistic regression. hasil penelitian tabel 1. jenis kelamin responden kelas laki laki perempuan f % 4 5 6 17 12 19 17 25 17 34 37 36 31,7 34,6 33,7 jumlah 48 59 107 100 tabel 2. status gizi responden kelas normal kurang gemuk f % 4 5 6 10 19 17 23 16 17 1 2 2 34 37 36 31,7 34,6 33,7 jumlah 46 56 5 107 100 tabel 3. kebiasaan makan pagi responden k elas ya tidak f % 4 5 6 28 25 26 6 12 10 3 4 3 7 3 6 31,7 34,6 33,7 jumla h 79 28 107 100 tabel 4. prestasi belajar responden kelas baik cu ku p kurang f % 4 5 6 8 1 6 1 4 29 21 22 0 0 0 34 37 36 31,7 34,6 33,7 jumlah 3 8 72 0 107 100 26 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 24–27 pembahasan status gizi siswa berdasarkan tabel 1.4 terlihat bahwa dari 107 responden, 39,3% atau sebanyak 48 siswa memiliki status gizi normal, 56 siswa atau 56,4% memiliki gizi kurang dan sisanya yaitu sebanyak 5 siswa atau 4,3% memiliki status gizi lebih. status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat zat gizi dalam tubuh. data riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang pada anak 5-12 tahun adalah sebesar 11,2% anak sekolah biasanya banyak memiliki aktivitas bermain yang menguras banyak tenaga, dengan terjadi ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan keluar, akibatnya tubuh anak menjadi kurus. untuk mengatasinya harus mengontrol waktu bermain anak sehingga anak memiliki waktu istirahat cukup. (lamid, 2009) kelompok anak sekolah pada umumnya mempunyai kondisi gizi yang lebih baik daripada kelompok balita,karena kelompok umur sekolah mudah dijangkau oleh berbagai upaya perbaikan gizi yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh kelompok swasta. meskipun demikian masih terdapat berbagai kondisi gizi anak sekolah yang tidak memuaskan,misal berat badan yang kurang, anemia defisiensi fe, defisiensi vitamin c dan daerah-daerah tertentu juga defisiensi iodium (saidin, 2005:12) kebiasaan makan pagi responden dari tabel 1.3 terlihat bahwa sebanyak 79 responden atau 76% memiliki kebiasaan makan pagi setiap hari dengan jenis makanan seperti nasi, mie, roti, lontong dan gorengan. sedangkan sebanyak 28 responden atau 24% tidak mempunyai kebiasaan makan pagi setiap hari, mereka hanya makan pagi disaat tertentu saja seperti jika hari tersebut ada pelajaran olahraga. sarapan pagi merupakan suatu kebiasaan mengkonsumsi makanan tertentu secara rutin setiap pagi. merupakan aktivitas penting dalam rangka memenuhi kebutuhan energi segala aktivitas di sekolah. sarapan pagi sering ditinggalkan oleh anak-anak karena waktu persiapan yang terlalu pendek dengan aktifitas yang banyak (lamid, 2009: 9). prestasi belajar dari tabel 1.5 dapat dilihat bahwa sebanyak 38 reponden atau 34,6% memiliki prestasi belajar yang baik. sebanyak 72 responden atau 67,4% memiliki prestasi belajar yang cukup. dari total 107 responden tidak ada yang memiliki prestasi belajar kurang. prestasi belajar adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada siswa (fahmi, 2006:17). status gizi dan prestasi belajar dari hasil uji analisis menggunakan chi square didapatkan hasil siginifikan kurang dari 0,0005 yang artinya status gizi tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar. kebiasaan makan pagi dan prestasi belajar dari hasil uji analisis menggunakan chi square didapatkan hasil siginifikan kurang dari 0,0005% yang artinya kebiasaan makan pagi tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar. hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian lamidi 2009 yang menyatakan bahwa kebiasaan sarapan pagi pada siwa sd akan berpengaruh pada prestasi belajarnya. kebiasaan makan pagi, status gizi dan prestasi belajar dari hasil uji serentak menggunakan chi square didapatkan hasil bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh kebiasaan makan pagi dan status gizi responden dengan p= 0,0003. hal ini sesuai dengan penelitian sukati 2005 bahwa kebiasaan sarapan dan status gizi berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa sd. sejalan juga dengan penelitian sinaga 2012 yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa sd adalah kebiasaan sarapan dan status gizi siswa sd tersebut. sehingga untuk tabel 5. tabel silang status gizi dan prestasi belajar prestasi belajar status gizi n k g f % baik cukup 15 22 19 46 3 2 37 70 34,6 65,4 jumlah 10 7 100 tabel 6. tabel silang prestasi belajar dan kebiasaan makan pagi prestasi belajar status gizi ya tidak f % baik cukup 15 22 19 46 37 70 34,6 65,4 jumlah 37 65 107 10 0 27masruroh dan andriani, hubungan kebiasaan sarapan ... mendukung prestasi belajar siswa yang diperlukan adalah kesinambungan antara kebiasaan rutin makan pagi dan status gizi yang baik. simpulan dan saran simpulan kebiasaan makan pagi tidak berhubungan dengan prestasi belajar siswa sd kelas 4, 5 dan 6. hal ini sesuai dengan hasil analisis data yaitu uji wald dikarenakan tingkat signifikan (sig) kurang dari 5%. status gizi tidak berhubungan dengan prestasi belajar siswa sd kelas 4, 5 dan 6. hal ini sesuai dengan hasil analisis data yaitu uji wald dikarenakan tingkat signifikan (sig) kurang dari 5%. kebiasaan makan pagi dan status gizi berhubungan dengan prestasi siswa sd kelas 4,5 dan 6 berdasa rkan ha sil uji chi-square pada ta bel omnibus test of model coefficients adalah sebesar 89,737 dengan tingkat signifikan kurang dari 5% yaitu 0,000 yang berarti kebiasaan makan pagi dan status gizi secara simultan/serentak/bersama-sama berpengaruh/ada hubungan signifikan terhadap prestasi belajar siswa di sekolah dasar. saran bagi orangtua diharapkan dapat membiasakan pada anak untuk melakukan kegiatan makan pagi setiap hari sehingga diharapkan dapat meningkatkan status gizi anak. bagi pendidik diharapkan dapat memberi motivasi pada anak didiknya untuk melakukan kebiasaan makan pagi setiap hari. daftar rujukan adriani, m., wirjatmadi, b. 2012. peranan gizi dalam siklus kehidupan. jakarta: kharisma putra utama. fahmi, a. 2006. prestasi belajar yang rendah ditinjau dari intelegensi dan atribusi: studi kasus siswa sd. fenomena. ghozali, i. 2001. aplikasi analisis multivariate dengan program spss. semarang: universitas diponegoro. lamid, a., arnelia, s., puspitasari, d.s. 2009. status gizi dan kesehatan murid murip empat sekolah dasar di bengkulu. saidin, m., muhem’iyantiningsih, ridwan, e., ihsan, n., lamid, a., sukati, et al. 2005. efektifitas penambahan vitamin a dan zat besi pada garam yodium terhadap status gizi dan konsentrasi belajar anak sekolah dasar. pgm. sinaga, t., koesharto, c.m., sulaeman, a., setiawan, b. 2012. kualitas sarapan menu sepinggan, daya terima, tingkat kesukaan dan status gizi siswa sekolah dasar. teknologi dan kejuruan. sukati, saidin, m. 2005. buletin penelitian kesehatan. sundari, n. 2012. perbandingan prestasi belajar antara siswa sd unggulan dan non unggulan. jurnal pendidikan dasar. 248 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk self-care behavior and associated factors in the elderly with hypertension rr dewi rahmawaty aktyani putri1, wimar anugrah romadhon2, tri ratna kolopaking3 1,2,3nursing department, stikes patria husada blitar, indonesia article information abstract hypertension is one of the main risk factors for life-threatening cardiovascular disease and is often called the silent killer. the results of basic health research in 2018 suffered from hypertension were the most in the elderly aged 55 to 64 years (55.2%). hypertension in the elderly is a chronic disease that requires disease care management including regular blood pressure control and self-care behavior programs to prevent further complications. this study aims to determine the factors related to self-care behavior in hypertensive elderly in the integrated health care center of elderly, srikandi, turi sub district, community health centers of sukorejo, sukorejo district, blitar. the method used in this study was an analytical descriptive study with a cross-sectional approach conducted on 38 hypertensive elderly people. the study was conducted from january to february 2022. analysis data using multiple linear regression analysis to ascertain the possible factors that influence self-care behavior. based on this study, the rank spearman correlation test results, the factor that correlated with self-care behavior was level of education and time living with diagnosed hypertension with a sig (2-tailed) value of 0.008; 0,000 with a correlation coefficient was positive, the value of 0.427; 0.605. so that the relationship between the two variables was unidirectional. this study recommends that community nurses must understand the factors that influence self-care behavior in hypertensive clients in the community so that they are able to provide appropriate nursing care. history article: received, 19/07/2022 accepted, 25/08/2022 published, 25/08/2022 keywords: self-care behaviour, elderly, hypertension © 2022 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes patria husada blitar – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : dewi.putri0326@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: 10.26699/jnk.v9i2.art.p248-254 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:dewi.putri0326@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v9i2.art.p248-254 putri, romadhon, self-care behavior and associated factors in the elderly with hypertension … 249 introduction an elderly person is someone who has reached the age of 60 years and above. aging is a natural process of slowly losing the ability of body organ tissues to maintain normal body functions characterized by the emergence of several changes as a result of the aging process, including physical, mental, spiritual, and psychosocial changes (who, 2019) cit (lutfiana & margiyati, 2021) health problems of the elderly in indonesia are experienced by many elderly, one of which is high blood pressure (hypertension) (ministry of health of the republic of indonesia, 2019) (ministry of health, 2019). hypertension is one of the degenerative diseases that need to be watched out for. hypertension is often referred to as the silent killer, because it is a deadly disease, without being accompanied by its characteristic symptoms before entering a phase of complications (manangkot & suindrayasa, 2020). data from riskesdas (2018) cit (hidayat & agnesia, 2021) shows the prevalence of hypertension in the population aged 18 years by 34.1%, aged 31-44 years (31.6%), aged 45-54 years (45.3%), aged 55-64 years (55.2%). from the data, it is said that the prevalence of hypertension in indonesia is 31.7%, which means that almost 1 in 3 people aged 18 years and over suffer from hypertension. hypertension in the elderly is a chronic disease that requires disease care management including regular blood pressure control and self-care behavior programs to prevent further complications such as stroke which is the largest cause of death for the elderly in indonesia around 1.6% (mulyati et al., 2015). self-care behavior in hypertensive patients is a form of positive client efforts to optimize the health of the client, control and manage the signs and symptoms that appear, prevent complications, and minimize disturbances that arise in body functions (winata et al., 2018). self-care behavior in the elderly with hypertension consists of several components, namely the use of drugs, a low-salt diet, physical activity, smoking, weight management, and coffee consumption (salami et al., 2017). in a study conducted by (salami et al., 2017) that the elderly with hypertension had good self-care behavior as much as 63% and 37% with poor self-care behavior. self-care behavior of hypertensive patients who are still low due to non-compliance with self-care behavior can have a bad impact on the health experienced by people with hypertension (manuntung, 2018). a preliminary study conducted by researchers by interviewing village health workers in the integrated health care center for the elderly in turi sub dzistrict, sukorejo district, found that there were 38 hypertensive elderly who actively came to the integrated health care center, 11 elderly (22%) still used medicines regularly, 12 elderly (25%) who participated morning exercise 3 times a week approximately, and those who still smoked as many as 29 people (60%), 25 people (52%) were obese and nearly 30 people (62%) were still drinking coffee. self-care behavior plays a very important role in carrying out chronic disease management activities, coping management, and managing conditions caused by chronic disease (lee et al., 2010). selfcare behavior that is carried out effectively is useful for increasing patient satisfaction in living life, reducing treatment costs, increasing selfconfidence, patient independence, and improving patient quality of life. the factors that influence the success of self-care behavior, namely the level of education and time living with diagnosed hypertension (bhandari and kim, 2016; hanieh et al, 2019). long time being diagnosed with the disease raises awareness of hypertension that the elderly consider hypertension as a serious disease that must be watched out for so that it becomes an important element in the elderly's readiness to carry out good self-care. method this research was a correlation study with a cross-sectional approach where the dependent and independent variables observe at one time. the dependent variable in this study was self-care behavior. at the same time, the independent variables were level of education, body mass index (bmi), and time living with diagnosed hypertension. the components of hypertension's self-care behavior measured were drug use, physical activity and physical exercise, low-salt diet, weight management, smoking habits, and coffee consumption. the study was conducted in the integrated health care center of the elderly, srikandi, turi sub district, and community health centers of sukorejo, the working area from january to february 2022. the sample was hypertension sufferers who met the inclusion and exclusion criteria that had been calculated and obtained by as many as 38 respondents. this study used purposive sampling technique to determine the sample. the inclusion criteria were respondents who 60 years 250 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 248-254 old and over, could read and write, and elderly who were had good cognitive. the instrument used in this study was a h-scale questionnaire modification. the collected data will be analyzed using spearman rank correlation analysis with a significance value of 0.05. result table 1: distribution of respondent characteristic no characteristic frequency (f) precentage (%) 1. gender male 18 47.4 female 20 52.6 total 38 100 2. level of education primary education 18 47.4 secondary and further education 20 52.6 total 38 100 3. body mass index (bmi) normal (18,5-24,9) 21 55.3 obesity (>24,9) 17 44.7 total 38 100 4. time living with diagnosed hypertension short duration (1 to 5 years) 20 52.6 intermediate duration (6 to 10 years) 9 23.7 long duration (more than 10 years) 9 23.7 total 38 100 5. self-care behavior high 3 7.9 moderate 17 44.7 low 18 47.4 total 38 100 table 1 shows that most of the respondents are female (52.6%), most of the respondents have secondary and further education (52.6%), almost all respondents have normal bmi (55.3%), 52.6% of respondents have a short duration (1 to 5 years) of time living with diagnosed hypertension, and most of the respondents have low self-care behavior (47.4%). table 2: relationship between level of education and self-care behaviour level of education self-care behavior total p-value high moderate low n % n % n % n % 0.008 primary education 0 0.00 1 2.6 17 44.7 18 47.4 secondary and further education 3 7.9 16 42.1 1 2.6 20 52.6 total 3 7.9 17 44.7 18 47.4 38 100 based on table 2, the results show a correlation between the level of education and the self-care behavior of respondents (p-value: 0.008). the strength of the correlation between these two variables is low (r: 0.427). putri, romadhon, self-care behavior and associated factors in the elderly with hypertension … 251 table 3: relationship between body mass index (bmi) and self-care behaviour body mass index (bmi) self-care behavior total p-value high moderate low n % n % n % n % 0.810 normal 1 2.6 10 26.3 10 26.3 21 53.3 obesity 2 5.3 7 18.4 8 21.1 17 44.7 total 3 7.9 17 44.7 18 47.4 38 100 table 3 explained that there is no correlation between body mass index (bmi) and self-care behavior (p > α). table 4: relationship between time living with diagnosed hypertension and self-care behaviour time living with diagnosed hypertension self-care behavior total p-value high moderate low n % n % n % n % 0.000 short duration 0 0.00 6 15.8 14 36.8 20 52.6 intermediate duration 0 0.00 5 13.2 4 10.5 9 23.7 long duration 3 7.9 6 15.8 0 0.00 9 23.7 total 3 7.9 17 44.7 18 47.4 38 100 table 4 shows α = 5% = 0.05, p< α which means ho is rejected, meaning that there is a correlation between time living with diagnosed hypertension and self-care behavior is shown with (p-value = 0.000) p<0.05 and correlation coefficient r = 0.605 which means there is a moderate level of correlation. discussion self-care behaviour is a treatment that uses a combination intervention of biological, psychological and social techniques to maximize the functioning of the self-care regulatory process used as a preventive strategy so that selfmanagement is interpreted as daily individual tasks that must be taken to control or reduce the impact of disease on physical health status with the collaboration and guidance of doctors and other health care service providers (manuntung, 2015). based on table 1, it shows that most of the elderly are male, 20 (52.6%) respondents. researchers argue that women are prone to hypertension due to the role of the hormone estrogen. women at the age of more than 50 years begin to enter menopause, so there will be a sharp decrease in the hormone estrogen. this can cause arterial blood vessels to stiffen, as well as damage the cell layer of the vascular wall (endotyl), so that it can trigger plaque formation and activate body systems that can increase blood pressure. the same opinion was conveyed by r. lima, m. wofford, and j. f. reckelhoff (2012) cit (astuti et al., 2021) who said that when women are over 60 years old, the risk of hypertension also increases. this is related to the condition of the esterogen hormone postmenopause. in this study, it was found that the self-care behavior of hypertensive elderly was on average in the less category, namely 18 respondents (47.4%), in the sufficient category as many as 17 respondents (44.7%), and in the good category as many as 3 respondents (7.9%). this shows that there are still many hypertensive elderly who are lacking in self-care independently. five of the six components of self-care behavior that are still lacking in hypertensive elderly include components of drug use, physical exercise, smoking, weight management, and consuming coffee. in the components of drug use, 28 respondents (73.7%) were found who did not take high blood pressure medications, did not take medication at the same time, and did not take medications according to the prescribed amount. meanwhile, 10 respondents (26.3%) had taken high blood pressure medication, taken medication at the same time, and took medication according to the amount prescribed. this is due to the lack of information about adherence to the regular taking of the drug. most respondents only take medicine if there are complaints of dizziness, or stiff nape so they take the medicine not every day. in the low-salt diet component, the average respondent has done well, namely, only 4 respondents (7.9%) have not done a low-salt diet properly. most of the respondents still 252 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 248-254 like to eat cassava chips and processed products, eat instant food and add salt to food. meanwhile, as many as 35 respondents (92.1%) have been on a low-salt diet such as limiting eating chips, eating vegetables and fruits, not eating preserved foods, and not adding salt when eating. in this section, the average respondent considered that a low-salt diet was only limited to the use of salt consumption, and preservatives containing sodium were considered not to affect the respondent's blood pressure. this is in line with a study in china that states that the elderly with hypertension who are less able to carry out self-care behavior tend to experience an increase in blood pressure and causing complications and death. lack of attention to selfcare behavior in the elderly with hypertension is the main cause of failure to improve their quality of life (romadhon, haryanto, et al., 2020). untreated hypertension can damage organs such as the heart, brain, kidneys, and eyes, and can cause premature death, causing lifelong inability to carry out activities (who, 2005). the management of hypertension is necessary to prevent the continuity and damage to the target organs for a long time so as to reduce pain and death. based on this study, the spearman rank correlation test showed that the factors related to self-care behavior were the level of education and time living with diagnosed hypertension with a sig (2-tailed) value of 0.008; 0.000 and the value of the correlation coefficient (ro calculate) of 0.427; 0.605. self-care behavior in hypertensive clients is influenced by several factors, namely family support, self-efficacy, personal factors, and spirituality. personal factors that influence self-care behavior are socioeconomic status, education, knowledge, age increase, and perception of disease (romadhon, aridamayanti, et al., 2020). from this study, it was found that time living with diagnosed hypertension has an effect on selfcare behavior in the elderly with hypertension. time living with diagnosed hypertension was significantly associated with self-management behavior. time living with diagnosed hypertension is able to initiate and maintain healthy behavior changes while overcoming obstacles. barriers perceived by the patient need to be considered when designing interventions based on the duration of diagnosis. the most important prerequisite for behavior change is time living with diagnosed hypertension. time living with diagnosed hypertension refers to a person's confidence in carrying out certain activities, including the confidence to carry out activities when obstacles arise (jung & lee, 2017). time living with diagnosed hypertension describes a belief in one's own abilities or is a person's belief that he or she can master a situation and produce a positive outcome. the longer the patient is diagnosed with hypertension, the easier it will be for individuals to solve problems in difficult circumstances. patients who believe that they are capable of performing certain behaviors when they have been diagnosed with certain diseases for a long time are already accustomed to performing self-care behaviors. meanwhile, newly diagnosed patients tend not to perform these behaviors or avoid them (hu et al., 2015). according to the opinion of the researcher, the duration of being diagnosed with the disease becomes one of confidence to carry out certain behaviors to achieve specific goals and develop confidence in the individual's ability to perform the behavior and to overcome obstacles to achieving these goals. the desired outcome is a person's belief that they will achieve positive health outcomes resulting from specific behavior. conclusion we found that the self-care behavior level of hypertensive patients, in general, is an inadequate level of education, and time living with diagnosed hypertension was associated with self-care behavior. based on this study, the rank spearman correlation test showed the factor that correlated with self-care behavior was level of education and time living with diagnosed hypertension with a sig (2-tailed) value of 0.008; 0,000 with a correlation coefficient value of 0.427; 0.605. the correlation coefficient in the results above is positive so the relationship between the two variables is unidirectional. suggestion the advice that can be given to elderly program holders at community health centers is to increase awareness of the elderly in self-care behavior by maximizing health counseling activities using the elderly health book and socialization to regional nurses that the elderly health book is not only used to monitor the health of the elderly but also for education about the health of the elderly. then, the advice that can be given to the health office is that it is expected to putri, romadhon, self-care behavior and associated factors in the elderly with hypertension … 253 allocate a budget for the procurement of the elderly health book as a means of implementing self-care behavior health education. in addition, for the elderly so that their health of the elderly can be monitored, maintained, and improved. finally, it is hoped that further researchers can examine other factors that affect self-care behavior, such as smoking habits in hypertensive elderly. acknowledgment we would like to thank the integrated health care center for the elderly, srikandi, turi sub district, community health centers of sukorejo for allowing this research, the respondents who have cooperated well, and the students who have assisted in data collection. i do not forget to thank stikes patria husada blitar for providing facilities for the publication of our research journal. hopefully, this research can be useful for the development of insight and further research. funding this research did not receive any specific grant from funding agencies in the public, commercial, or not-for-profit sectors. conflict of interest no potential conflict of interest was reported by the authors. reference astuti, v. w., tasman, t., & amri, l. f. (2021). prevalensi dan analisis faktor risiko hipertensi di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang. bimiki (berkala ilmiah mahasiswa ilmu keperawatan indonesia), 9(1). https://doi.org/10.53345/bimiki.v9i1.185 bhandari, p., & kim, m. (2016). self-care behaviors of nepalese adults with type 2 diabetes: a mixed methods analysis. nursing research, 65(3), 202–214. https://doi.org/10.1097/nnr.00000000000 00153 hanieh gholamnejad, ali darvishpoor-kakhki, fazlollah ahmadi, c. r. (2019). self_actualization: self_care outcomes among elderly patients with hypertension. iranian journal of nursing and midwifery research, 24(3), 206–207. hidayat, r., & agnesia, y. (2021). faktor risiko hipertensi pada masyarakat di desa pulau jambu uptd blud kecamatan kuok kabupaten kampar. jurnal ners, 5(1). hu, h. h., li, g., & arao, t. (2015). the association of family social support, depression, anxiety and self-efficacy with specific hypertension self-care behaviours in chinese local community. journal of human hypertension, 29(3), 198–203. https://doi.org/10.1038/jhh.2014.58 jung, h., & lee, j. e. (2017). the impact of community-based ehealth selfmanagement intervention among elderly living alone with hypertension. journal of telemedicine and telecare, 23(1). https://doi.org/10.1177/1357633x1562146 7 lee, j. e., han, h. r., song, h., kim, j., kim, k. b., ryu, j. p., & kim, m. t. (2010). correlates of self-care behaviors for managing hypertension among korean americans: a questionnaire survey. international journal of nursing studies, 47(4), 411–417. https://doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2009.09.0 11 lutfiana, d. a., & margiyati. (2021). semarang application of dry cupping therapy in reducing blood pressure in the. 6(2). https://jurnal.stikeskesdam4dip.ac.id/index .php/sisthana/article/view/79 manangkot, m. v., & suindrayasa, i. m. (2020). gambaran self care behaviour pada pasien hipertensi di puskesmas wilayah kota denpasar. coping: community of publishing in nursing, 8(4), 410. https://doi.org/10.24843/coping.2020.v08.i 04.p09 manuntung. (2015). pengaruh cognitive behavioral therapy (cbt) terhadap self efficacy dan self care behavior pada pasien hipertensi. mutiara medika: jurnal kedokteran dan kesehatan, 15(1). manuntung, a.-. (2018). hubungan keyakinan diri dan aktivitas perawatan mandiri pasien hipertensi di wilayah kerja puskesmas pahandut kota palangka raya. jurnal ilmu kesehatan, 7(1), 199. https://doi.org/10.32831/jik.v7i1.181 mulyati, l., yetti, k., & sukmarini, l. (2015). analisis faktor yang memengaruhi self management behaviour pada pasien hipertensi. jurnal keperawatan padjadjaran, 1(2). https://doi.org/10.24198/jkp.v1i2.59 romadhon, w. a., aridamayanti, b. g., syanif, a. h., & sari, g. m. (2020). faktor-faktor yang mempengaruhi self-care behavior pada klien dengan hipertensi di komunitas. jurnal penelitian kesehatan “suara forikes” (journal of health research “forikes voice”), 11, 37. https://doi.org/10.33846/sf11nk206 254 journal of ners and midwifery, volume 9, issue 2, august 2022, page 248-254 romadhon, w. a., haryanto, j., makhfudli, m., & hadisuyatmana, s. (2020). hubungan antara self efficacy dan self care behavior pada lansia dengan hipertensi. jurnal penelitian kesehatan “suara forikes” (journal of health research “forikes voice”), 11(4). https://doi.org/10.33846/sf11414 salami, s., dewi, i. p., & sajodin, s. (2017). implementasi fungsi keluarga dan self care behavior lansia hipertensi di wilayah kerja puskesmas cijagra lama bandung. jurnal keperawatan’ …. winata, i. g., asyrofi, a., & nurwijayanti, a. m. (2018). faktor-faktor yang berhubungan dengan self care pada orang dewasa yang mengalami hipertensi di puskesmas kendal 01 kabupaten kendal. jurnal manajemen asuhan keperawatan, 2(2), 1– 8. https://doi.org/10.33655/mak.v2i2.33 e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 255nurbadriyah, calgary family asessment model (cfam) ... 255 calgary family asessment model (cfam) keluarga tentang penanganan pertama food borne disease anak (calgary family assessment model (cfam) family first treatment of food borne disease to children) wiwit dwi nurbadriyah stikes kepanjen pemkab malang email: wiwit.dn@gmail.com abstract: food borne disease (fbd) is a disease through consumption of contaminated food. the problem is that, school children are vulnerable to fbd because of household food contamination. this indicates the family as a food handler hygiene mainly the mother who prepare the food needed to be improved. most common fbd is diarrhea, one of the danger is that the child’s body fluids are expelled out through the stool this can cause dehydration or even death. family plays very important role in the handling of fbd first before being taken to the health service. this can be known through family studies approach cfam (calgary family assessment model). the design of this study was descriptive eksplorative with a sample of 35 respondents; the 4th graders and their parents (17 persons) and 5th graders and their parents (18) in jatirejoyoso kepanjen elemetary school through purposive sampling technique. the data taken were demographic and cfam consists of the structural assessment components, development as well as family function. the family in first handling of food borne disease largely was not routine (71.4%). ways of solving the problems mostly by the head of the family (74.3%). responsible care for sick children mostly (57.2%) by only one parent (father / mother). follow up during sick mostly made an effort (curative) as much as 85.7%. family belief the majority (80%) considered that the first treatment at home was not needed because it could be taken directly to the health service. health workers are expected to provide guidance for families through health volunteers on first handling practices of fbd. while schools are expected to perform optimization of uks (school health unit) program to provide health education about the prevention and first treatment of fbd toward the school community. keywords: family asessment calgary, first handling, foodborne disease abstrak: food borne disease (fbd) adalah penyakit melalui konsumsi makanan terkontaminasi. masalah yang terjadi, fbd rentan menyerang anak sekolah karena kontaminasi makanan rumah tangga. hal ini mengindikasikan hygiene keluarga sebagai food handler utama (ibu) yang menyiapkan makanan masih perlu peningkatan. fbd terbanyak adalah diare, salah satu bahayanya adalah cairan tubuh anak keluar melalui tinja dan dapat menyebabkan dehidrasi bahkan kematian. peran keluarga sangat penting dalam penanganan pertama fbd sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan. hal ini bisa diketahui melalui pendekatan pengkajian keluarga cfam (calgary family asessment model). rancangan penelitian deskriptif eksploratif design dengan sampel 35 responden yaitu orangtua beserta siswa kelas 4 (17 orang) dan 5 (18 orang) di sdn. jatirejoyoso kepanjen melalui teknik sampling purposive. data yang diambil yaitu demografi dan cfam terdiri dari komponen pengkajian structural, perkembangan serta fungsional keluarga. hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dalam penanganan pertama fbd sebagian besar tidak rutin (71.4%). cara pemecahan masalah sebagian besar oleh kepala keluarga (74.3%). penanggungjawab merawat anak sakit sebagian besar (57.2%) oleh salah satu orangtua saja (ayah/ibu).tindak lanjut saat sakit sebagian besar melakukan upaya pengobatan (kuratif) sebanyak 85.7%. keyakinan keluarga sebagian besar (80%) menganggap bahwa penanganan pertama di rumah tidak diperlukan karena bisa langsung dibawa ke pelayanan kesehatan. tenaga kesehatan diharapkan melakukan pendampingan kepada keluarga melalui kader kesehatan tentang praktek penanganan pertama fbd. sedangkan sekolah diharapkan melakukan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p255-262 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 256 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 255–262 pengoptimalan program uks untuk memberikan pendidikan kesehatan tentang pencegahan dan penanganan pertama fbd kepada komunitas sekolah. kata kunci: pengkajian keluarga calgary, penanganan pertama, penyakit bawaan makanan food borne disease adalah penyakit bawaan makanan yang disebabkan oleh agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi. serangan akut paling banyak disebabkan oleh mikroba dan parasit (who, 2005). penyakit diare adalah contoh penyakit paling sering ditularkan melalui makanan dan minuman. masalah yang terjadi saat ini adalah food borne disease rentan menyerang anak sekolah. salah satu penyebab karena kurang kebersihan diri dan sanitasi lingkungan (barakki, et al., 2005). data bpom ri tahun 2001–2009 menunjukan penyebab terbanyak food borne disease karena kontaminasi makanan rumah tangga sebanyak 38,68% (infopom, 2010). data tersebut mengindikasikan bahwa praktek hygiene dan sanitasi oleh keluarga sebagai food handler utama (ibu) yang menangani dan menyiapkan makanan pada anak usia sekolah masih perlu peningkatan (widoyono, 2011; suci, 2009). salah satu bahaya food borne disease pada diare, anak banyak mengeluarkan tinja cair, bercampur darah dan lendir kadang disertai muntah. sehingga menyebabkan cairan tubuh terkuras keluar melalui tinja dan dapat menyebabkan dehidrasi bahkan kematian (widoyono, 2011). namun sampai saat ini penanganan pertama food borne disease melalui pendekatan pengkajian keluarga masih belum jelas. di indonesia food borne disease terbanyak adalah diare, hingga saat ini diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. hasil riskesdas (2013) menunjukan prevalensi diare sekitar 7% dan angka kejadian di jawa timur lebih tinggi dari ratarata nasional yaitu 7,4%. kejadian diare anak usia sekolah menempati urutan terbanyak setelah bayi dan lansia yaitu sebesar 6,2%. data kemenkes ri (2012) menunjukan angka kesakitan diare masih tinggi, meskipun ada penurunan yaitu 423/1.000 penduduk pada tahun 2006 menurun menjadi 411/ 1.000 penduduk pada tahun 2010. angka cfr (case fatality rate) diare selama tahun 2011-2012 meningkat, yaitu 0,40% menjadi 1,45%. data dinas kesehatan kabupaten malang tahun 2014 kejadian diare usia 5–14 tahun sebanyak 21,8% dan yang mengalami dehidrasi sedang dan berat sekitar 14%. hal ini menunjukan bahwa food borne disease rentan terjadi pada anak usia sekolah. jika hal ini tidak dilakukan penanganan pertama secara tepat, akan berdampak negatif bagi status kesehatan anak usia sekolah. anak akan sering ijin sakit dan hal ini sangat berpengaruh dalam prestasi belajar yang dicapai (solikhah, 2012). hasil studi pendahuluan didapatkan angka kesakitan berdasarkan absensi semester ganjil (juli–desember 2014) didapatkan: 0,2% pada anak kelas v. sedangkan wawancara pada 4 keluarga didapatkan 25% ibu memberikan minum lebih banyak, 50% memberikan obat diare yang dijual bebas, 25% memberikan terapi tradisional berupa pijat dan jamu. penanganan pertama food borne disease dalam sangat penting. hal ini disebabkan keluarga merupakan unit terkecil dalam pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan dalam penanganan masalah kesehatan anak (puspitasari, 2006). anak berada di sekolah paling lama 8 jam/ hari, selebihnya akan kembali ke rumah atau keluarga. anak usia 10–12 tahun sudah dapat bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan menjaga kesehatan diri nya tapi masih perlu peningkatan untuk melakukanya, keterlibatan keluarga sangat diharapkan dalam hal ini (wong, 2009). pada permasalahan anak sekolah dalam penanganan pertama food borne disease perlu dilakukan pengkajian menyeluruh pada sistem dan sub sistem yang mempengaruhi anak termasuk unit keluarga, pengkajian tidak hanya pada individu namun lebih pada interaksi dalam keluarga. cfam (calgary family asessment model) dipilih sebagai pendekatan dalam penelitian ini karena lebih rinci dalam melakukan pengkajian keluarga dengan anak sekolah. cfam terdiri dari komponen struktural tentang gambaran kondisi internal keluarga, komponen developmental (perkembangan) tentang hubungan eksternal keluarga seperti keterlibatan keluarga besar da n system ya ng lebih luas (tetangga, lingkungan, petugas kesehatan setempat), dan komponen fungsional tentang kebiasaan sehari-hari keluarga. cfam tidak hanya pada individu namun interaksi individu dalam keluarga, sehingga dapat diambil kesimpulan dari informasi yang saling terkait dan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam 257nurbadriyah, calgary family asessment model (cfam) ... menentukan intervensi yang tepat bagi keluarga (wright dan leahay, 2009). bahan dan metode pada penelitian ini sampel yang diambil adalah sebagian orang tua yang memiliki anak usia sekolah kelas iv dan v. alasan dipilih kelas iv dan v karena rentang usia sekolah 10–12 tahun: 1). menurut teori perkembangan moral kohlberg (1968) anak sudah masuk dalam tahap moral (konvensional) dimana kesadaran diri anak sudah mulai tumbuh sehingga kontrol perilaku sudah didapat dari dalam diri anak, anak juga mulai peduli akan pemeliharaan dan pengharapan keluarga. 2). berdasarkan teori perkembangan kognitif sudah masuk tahap konkrit operasional, anak usia sekolah sudah mampu memahami masalah konkrit, dapat memahami alasan dan mulai berpikir rasional. dalam penelitian ini tidak dipilih kelas vi karena anak sudah masuk ke tahap perkembangan formal operasional (sudah mampu berpikir rasional lebih baik dibandingkan tahap sebelumnya) serta kelas vi dalam persiapan ujian sehingga dikhawatirkan mengurangi keleluasaan peneliti dalam mencari waktu yang tepat untuk proses penelitian. 3) fase middle childhood, anak usia sekolah 10–12 tahun sudah mampu membangun perilaku yang sehat dan pencapaian kemandirian, sehingga penanganan pertama food borne disease bisa diukur. penentuan sampel berdasar kriteria inklusi: keluarga inti, anak tinggal bersama orangtua, keluarga yang dapat membaca menulis, bersedia berpartisipasi dalam penelitian, ibu sebagai food handler utama, anak pernah menderita food borne disease. sedangkan kriteria eksklusi: terdapat keterbatasan baik fisik atau mental yang dapat mengganggu penelitian (contoh: buta, gangguan pendengaran (tuli), dan dimensia. dalam penelitian ini jumlah sampel adalah 35 orang mahasiswa dengan rincian sebagai berikut: jumlah siswa kelas iv sebanyak 17 orang dan kelas v sebanyak 18 orang. teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini secara purposive sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh peneliti. instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) kuisioner data demografi. data demografi terdiri dari data orang tua (ayah dan ibu) dan data anak, data orang tua meliputi: nama, jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan. data anak meliputi nama anak, usia, 2) kuisioner pengkajian keluarga calgary (cfam). pengkajian struktural terdiri dari suku, tipe keluarga, jumlah anggota keluarga, agama, penghasilan. pengkajian perkembangan keluarga meliputi tahap perkembangan keluarga, hubungan antar anggota keluarga, hubungan keluarga dengan system luar, lingkungan rumah yang berhubungan dengan food borne disease. pengkajian fungsional meliputi activity daily living (adl) keluarga dalam penanganan pertama food borne disease, cara pemecahan masalah, penanggung jawab anak sakit, keyakinan kondisi anak, pola komunikasi antar anggota keluarga, pengambil keputusan dalam keluarga hasil penelitian data umum menunjukkan bahwa sebagian besar usia 30–39 tahun, ayah sebanyak 15 orang (42.9%) dan ibu sebanyak 24 orang (68.1%). pendidikan terakhir ayah dan ibu sebagian besar adalah smp sebanyak 19orang (54.3%) dan 17 orang (48.7%). pekerjaan sebagian besar adalah swasta untuk ayah dan ibu sebanyak 25 orang (71.5%) dan 15 orang (42.9%). sebagian besar responden pernah mendapat informasi (94.3%), sumber informasi dari petugas kesehatan (saat berobat ke pelayanan kesehatan) tentang pengangan penyakit food borne disease (diare). petugas kesehatan yang menjadi sumber informasi tidak ada yang melakukan kunjungan rumah. sumber informasi dari kegiatan lain berupa pkk tentang informasi pembuatan larutan gula garam jika terjadi diare. data umum anak menunjukkan bahwa sebagian besar anak usia sekolah yaitu usia 11–12 tahun sebanyak 19 orang (54.3%). klasv sebanyak 18 orang (51.4%) dengan jenis kelamin sebagian besar adalah laki-laki sebanyak 21 orang (60%). pengkajian keluarga calgary komponen struktural hasil menunjukkan hasil pengkajian komponen struktural yang terdiri dari: jumlah anggota keluarga inti, jenis kelamin, urutan posisi anak, batasan keluarga, keluarga besar, sistem lebih luas, agama, penghasilan. jumlah anggota keluarga inti sebagian besar  4 orang (ayah, ibu, anak) sebanyak 27 orang (77.1%). jenis kelamin: tidak ada perbedaan jenis kelamin anak terhadap dalam priritas penanganan pertama food borne disease, sebagian besar 258 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 255–262 berjenis kelamin laki-laki (60%). urutan posisi anak ke-1 atau ke-2 sebanyak 27 orang (77.1%). batasan keluarga dan keluarga besar berupa ada atau tidaknya aturan dalam melakukan penanganan pertama food borne disease, didapatkan sebagian besar (71.4%) tidak ada aturan. maksudnya adalah tidak ada prosedur penanganan pertama yang harus dilakukan oleh keluarga di rumah jika anak mengalami food borne disease. dukungan keluarga besar dalam bentuk mengingatkan, memberi contoh langsung, menegur jika tidak melakukan penanganan pertama. dukungan keluarga besar dari kakek, nenek, paman dan saudara yang lain. sistem lebih luas sebanyak 30 orang (85.7%) sudah ada aturan penanganan pertama food borne disease dari tokoh masyarakat tentang pelatihan pembuatan larutan gula garam secara umum pada kegiatan pkk rt/rw. pengkajian keluarga calgary komponen perkembangan komponen perkembangan terdiri dari: hubungan anggota keluarga (ayah-ibu, ayah-anak, ibuanak, anak dengan anak), hubungan keluarga dengan lingkungan (sekolah, lingkungan kerja, tetangga, keluarga besar). responden merupakan keluarga tahap perkembangan ke3 (keluarga dengan anak muda), yaitu menerima anggota baru dalam sistem, dimana didalamnya ada anak yang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan (anak sekolah). hubungan ayah-ibu, ibu-anak dan anak dengan anak semuanya sangat erat (100%), ayah-anak sebagian besar tidak erat (57.1%). hubungan antar anggota keluarga merupakan ikatan kasih sayang melalui kebersamaan dalam keluarga. indikator dilihat dari kegiatan makan bersama, rekreasi bersama, momen komunikasi yang terbuka. hubungan ayah/ibu ke anak ini merupakan kekuatan keluarga dalam memberikan support (motivasi) antar anggota keluarga dalam penanganan pertama food borne disease. hubungan keluarga dengan lingkungan merupakan keterikatan keluarga dengan lingkungan luar seperti sekolah, tempat kerja dan keluarga besar didapatkan hubungan yang baik (100%), hubungan keluarga dengan tetangga sebagian besar sangat baik (85.7%). ketersediaan sarana dalam penanganan pertama food borne disease didapatkan pelayanan kesehatan terdekat seperti ponkesdes (pondok kesehatan kerja) sebanyak 100%, fasilitas penyuluhan kader tentang pembuatan oralit (51.4%) dan penyuluhan tentang menilai dehidrasi/kekurangan cairan dan penanganan pertama di rumah (88.5%). pengkajian keluarga calgary komponen fungsional komponen fungsional merupakan pengkajian fungsi keluarga yang merujuk pada akivitas kehidupan sehari-hari, terdiri dari aktivitas rutin, pemecahan masalah, penanggungjawab dalam merawat anak, tindak lanjut jika sakit, keyakinan/kepercayaan keluarga. activity daily living atau aktivitas rutin/ kebiasan dalam 1 bulan terakhir oleh keluarga dalam penanganan pertama food borne disease sebagian besar tidak dilakukan sebanyak 25 orang (71.4%). aktivitas penanganan pertama terdiri dari 3 kegiatan yaitu: pencegahan dehidrasi (kurang cairan) dilakukan dengan minum lebih banyak, penanganan dehidrasi dilakukan sebelum membawa ke pelayanan kesehatan, dan penanganan dehidrasi dalam bentuk pemberian makanan yang sesuai. cara pemecahan masalah merupakan kemampuan keluarga untuk memecahkan masalah sendiri dengan efektif. idealnya pemecahan masalah dilakukan melalui musyawarah oleh semua anggota keluarga inti, bukan hanya oleh kepala keluarga. hasil pengkajian fungsional didapatkan ebagian besar pemecahan masalah ditentukan oleh kepala keluarga sebanyak 26 orang (74.3%). penanggungjawab merawat anak sakit merupakan pembentukan peran anggota keluarga. tugas merawat anak merupakan tanggungjawab orangtua dan bukan kewajiban salah satu orangtua saja (ibu). hasil pengkajian pada sub komponen tugas merawat anak sebagian besar oleh salah satu orangtua saja (ayah/ibu) sebanyak 20 orang (57.2%). tindak lanjut terhadap penanganan food borne disease merupaka n kegiatan ya ng dila kukan keluarga melalui upaya pengobatan (kuratif) dan penanganan pertama (preventif) agar tidak terjangkit atau terkena kembali penyakit tersebut. upaya yang dilakukan sebaiknya berupa tindakan preventif sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan, namun hasil pengkajian didapatkan data sebagian besar melakukan upaya pengobatan (kuratif) dengan langsung membawa anak berobat ke pelayanan jika sakit tanpa dilakukan upaya penanganan pertama di rumah sebanyak 85.7%. keyakinan merupakan sesuatu yang mendasari keluarga dalam melakukan penanganan pertama penyakit. sebagian besar responden (80%) menganggap bahwa food borne 259nurbadriyah, calgary family asessment model (cfam) ... disease bukan merupakan tidak berbahaya dan tidak seberat penyakit lain seperti stroke atau kanker, padahal bahaya food borne disease jika tidak tertangani dengan baik bisa menyebabkan dehidrasi dan kematian. pembahasan calgary family asessment model komponen struktural tentang penanganan pertama food borne disease ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pengkajian keluarga dengan melalui kunjungan rumah. menurut mubarak (2007) dimensi sasaran kepada individu, kelompok, dan masyarakat luas. pengkajian keluarga cfam melalui kunjungan rumah termasuk metode langsung ke individu, umumnya dengan berhadapan langsung sehingga instrumen yang diberikan peneliti bisa berfokus pada masing-masing keluarga. hal ini memungkinkan responden akan lebih fokus mengisi instrumen yang diberikan dan lebih leluasa bertanya jika ada hal yang belum dimengerti. cfam dilakukan sebanyak 1 sesi dengan waktu 50 menit. hasil pengkajian cfam berdasarkan data umum keluarga didapatkan sebagian besar responden sudah pernah mendapat informasi sebelumnya, sumber informasi dari berbagai media, televisi, petugas kesehatan, teman/kegiatan lain. media merupakan metode pendidikan massa untuk memberikan pesan kepada masyarakat, bersifat umum dan bertujuan menggugah kesadaran masyarakat. hasil yang dicapai dalam komunikasi massa adalah sekedar tahu (awareness), jika berulang bisa mencapai minat (interest) dalam keadaan tertentu bisa mencapai adopsi (maulana, 2013; sudiharto, 2012). usia juga mempengaruhi hasil pengkajian struktural keluarga. sebagian besar usia ayah dan ibu adalah 30–39 tahun. usia tersebut termasuk usia dewasa dimana seseorang akan bertanggungjawab menjalankan perannya. kedewasaan merupakan faktor internal individu yang mempengaruhi proses belajar. semakin dewasa seseorang pengalamanya semakin banyak dan mempengaruhi pola pikirnya. selain faktor individu, ada faktor sosial seperti pekerjaan. sebagian besar responden bekerja swasta. peningkatan pengetahuan pada keluarga dapat dipengaruhi lingkungan sosial karena setiap anggota keluarga selalu berinteraksi dengan oranglain sehingga dimungkinkan mendapatkan pemahaman baru (taufik, 2007). pengkajian keluarga calgary untuk intervensi kognitif tujuanya adalah untuk memberikan informasi, gagasan dan saran kepada keluarga sebagai target asuhan keperawatan keluarga (wright & leahay (2009). pengetahuan dalam penanganan pertama food borne disease ini didahului persepsi positif keluarga tentang keyakinan/kepercayaan bahwa pengkajian cfam mempunyai manfaat dalam peningkatan perilaku kesehatan keluarga. hal ini bisa dicapai melalui upaya bhsp (bina hubungan saling percaya) pada tahap awal (engagement) sehingga keluarga bisa mengisi data yang sebenarnya pada instrumen yang diberikan. pengetahuan tentang penanganan pertama food borne disease akan membuat keluarga mengerti sehingga termotivasi untuk berusaha melakukan penanganan pertama tersebut. perubahan dalam keluarga pada domain kognitif menurut teori calgary akan mempengaruhi pada domain yang lainnya, yaitu psikomotor atau ketrampilan dalam penanganan pertama food borne disease. komponen structural pada pengkajian keluarga cfam responden juga bisa dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal individu. faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga (kondisi sosial ekonomi, hubungan kurang harmonis), lingkungan sekitar (pengaruh teman, organisasi), dan instrumental (kondisi tempat dan waktu). sedangkan faktor internal adalah psikologis dan fisiologis seperti tingkat perhatian, minat, daya konsentrasi, emosi dan kelelahan (maulana, 2013). pada aplikasi pengisisan instrumen cfam terdapat beberapa hal yang dapat mengganggu keluarga dalam mengisi instrumen penanganan pertama food borne disease diantaranya adalah anak yang masih kecil rewel dan keluarga dalam kondisi lelah. pengkajian kebudayaan terdapat pada cfam (calgary family assessment model) komponen struktural yaitu batasan keluarga, keluarga besar dan sistem yang lebih luas. batasan berupa ada atau tidaknya aturan dalam melakukan penanganan pertama food borne disease, didapatkan sebagian besar tidak ada aturan. maksudnya adalah tidak ada pemberian support/dukungan dalam melakukan penanganan pertama food borne disease. dukungan kelua rga besa r dala m bentuk menginga tka n, memberi contoh langsung, menegur jika tidak mau melakukan penanga na n pertama food borne disease. dukungan keluarga besar dari kakek, nenek, paman dan saudara yang lain. sedangkan aturan dalam sistem yang lebih luas sudah ada, 260 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 255–262 namun hanya secara umum dilingkungan rt/rw berupa penyuluhan dari kader pkk terkait pembuatan oralit. aturan yang longgar inilah memungkinkan terbentuknya hasil cfam yang tidak mendukung, dalam penanganan pertama food borne disease (azwar, 2010). calgary family asessment model komponen perkembangan tentang penanganan pertama food borne disease wright &leahay (2009) menyebutkan bahwa tindakan penanganan pertama food borne disease bisa diperantarai oleh pengetahuan. selain itu juga dipengaruhi lingkungan dan kebudayaan dimana seseorang dibesarkan (azwar, 2010). pengkajian calgary (cfam) pada komponen perkembangan (developmental) menunjukkan tentang hubungan responden dengan lingkungan dan hubungan antar anggota keluarga. hubungan antar anggota keluarga merupakan ikatan kasih sayang melalui kebersamaan dalam keluarga melalui kegiatan yang dilakukan bersama dan komunikasi yang terbuka. interaksi ini merupakan kekuatan keluarga dalam memberikan support (motivasi) antar anggota keluarga dalam melakukan penanganan pertama food borne disease. sedangkan hubungan keluarga dengan lingkungan luar seperti sekolah, tempat kerja dan keluarga besar didapatkan hubungan yang baik, hubungan keluarga dengan tetangga sebagian besar sangat baik. interaksi yang baik ini dimungkinkan muncul hasil cfam komponen yang mendukung penanganan pertama food borne disease. calgary family asessment model komponen fungsional tentang penanganan pertama food borne disease per ila ku penanga n per ta ma food borne disease bisa dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap. hal ini disebut sebagai predisposing factor (faktor pemudah) terjadinya perilaku. pengetahuan yang sudah baik akan memunculkan respon berupa sikap positif. sikap positif akan tercermin dalam tindakan individu dalam menerapkan penanganan pertama food borne disease. hal ini berarti pengetahuan dan sikap merupakan dasar membentuk perilaku, namun pengetahuan dan sikap yang baik belum menjamin baik pula praktik yang dilaksanakan keluarga. sikap bisa menjadi tindakan nyata diperlukan kondisi yang memungkinkan seperti fasilitas dan faktor dukungan keluarga (azwar, 2010). fasilitas sarana dilingkungan hampir semua sudah ada penyuluhan tentang pembuatan oralit dari kader pkk, namun penyuluhan tentang penilaian derajat dehidrasi masih belum ada. hal inilah yang dimungkinkan hasil pengkajian fungsional cfam tentang tindakan penanganan pertama food borne disease sebagian besar kurang. hasil pengkajian calgary pada komponen fungsional merupakan pengkajian fungsi keluarga yang merujuk pada akivitas kehidupan sehari-hari terdiri dari aktivitas rutin, pemecahan masalah, penanggungjawab dalam merawat anak, tindak lanjut jika sakit, keyakinan/kepercayaan keluarga. activity daily living atau aktivitas rutin/kebiasan dalam keluarga dalam penanganan pertama food borne disease sebagian besar tidak dilakukan secara rutin dalam 1 bulan terakhir. aktivitas rutin terdiri dari 3 kegiatan yaitu pencegahan dehidrasi (kurang cairan) dilakukan dengan minum lebih banyak, penilaian dehidrasi dilakukan sebelum membawa ke pelayanan kesehatan dan penangana dehidrasi diperlukan dalam bentuk pemberian makanan yang sesuai. cara pemecahan masalah merupakan kemampuan keluarga untuk memecahkan masalah sendiri dengan efektif. sebagian besar didapatkan pembuatan keputusan keluarga oleh kepala keluarga. idealnya pemecahan masalah dilakukan melalui musyawarah oleh semua anggota keluarga inti, bukan hanya oleh kepala keluarga (wright & leahay, 2009). penanggungjawab merawat anak sakit merupakan pembentukan peran anggota keluarga. tugas merawat anak merupakan tanggungjawab orangtua dan bukan kewajiban salah satu orangtua saja (ibu). hasil pengkajian pada sub komponen tugas merawat anak sakit sebagian besar oleh salah satu orangtua saja. selain itu tahap perkembangan keluarga dengan anak muda. tugas perkembangan keluarga adalah pengaturan jarak anak, memandirikan anak, tugas finansial dan memantapkan hubungan dengan keluarga besar. pada tahap ini sistem lebih kompleks dibandingkan tahap sebelumnya, sehingga orangtua biasanya mempunyai area kekuasaan dan pembagian tugas sendiri. ibu bertugas mengurus anak dan rumah sedangkan ayah bekerja. tindak lanjut terhadap penangan food borne disease merupaka n kegiatan ya ng dila kukan keluarga melalui upaya pengobatan (kuratif) dan penanganan pertama sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan agar tidak jatuh ke kondidi yang lebih 261nurbadriyah, calgary family asessment model (cfam) ... parah. upaya yang dilakukan sebaiknya berupa tindakan penanganan pertama di rumah lebih dulu sebelum dibawa ke pelayanan kesehatan, namun hasil pengkajian didapatkan data sebagian besar melakukan upaya pengobatan (kuratif) dengan membawa anak berobat ke pelayanan kesehatan langsung jika sakit. upaya kuratif saja tidak dapat mengurangi angka kesakitan secara significan. upaya penanganan pertama merupakan usaha agar tidak jatuh ke tahap yang lebih buruk (kholid, 2012). keyakinan merupakan sesuatu yang mendasari keluarga dalam melakukan penanganan pertama penyakit. sebagian besar responden menganggap bahwa penyakit bawaan makanan bukan merupakan masalah besar, karena penyakit tersebut tidak seberat penyakit lain seperti stroke atau kanker. keyakinan tersebut menyebabkan persepsi bahwa dampak food borne disease tidak berbahaya sehingga tidak perlu dilakukan upaya penanganan pertama. keyakinan merupakan hal yang mendasar untuk merubah perilaku, karena perubahan yang didasari kesadaran dari dalam individu akan lebih bertahan lama daripada perubahan yang disebabkan dari luar. penanganan pertama food borne disease termasuk perilaku kesehatan. salah satu faktor perilaku kesehatan sulit berubah adalah motivasi seseorang, bagaimana persepsinya terhadap ancaman sebuah penyakit sehingga memunculkan nilai dari perilaku penanganan pertama, dalam hal ini adalah penanganan pertama food borne disease (taufik, 2007). selain itu juga bisa dipengaruhi faktor psikologis dan fisiologis seperti tingkat perhatian, minat, daya konsentrasi, emosi dan kelelahan (maulana, 2013). pada pengkajian cfam terdapat beberapa hal yang dapat mengganggu tingkat konsentrasi keluarga dalam pengisian instrumen penanganan pertama food borne disease diantaranya adalah anak yang masih kecil rewel dan keluarga dalam kondisi lelah. kondisi ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pengisian informasi oleh responden, sehingga hasil penelitian kurang sesuai dengan harapan yang diinginkan. hasil pengkajian cfam masing-masing keluarga harapanya bisa diteruskan dengan intervensi cfim (calgary family intervention model) sehingga strategi intervensi yang berbeda sesuai hasil pengkajian perlu disiapkan. simpulan dan saran simpulan cfam keluarga tentang penanganan pertama food borne disease pada komponen struktural dipengaruhi oleh batasan keluarga, keluarga besar dan sistem yang lebih luas. cfam keluarga tentang penanganan pertama food borne disease pada komponen perkembangan dipengaruhi oleh hubungan anggota keluarga, hubungan dengan lingkungan, sarana di lingkungan. cfam keluarga tentang penanganan pertama food borne disease pada komponen fungsional merupakan komponen yang paling berpengaruh karena merujuk pada akivitas kehidupan sehari-hari, terdiri dari aktivitas rutin, pemecahan masalah, penanggungjawab dalam merawat anak, tindak lanjut saat sakit, keyakinan keluarga. keluarga dalam penanganan pertama food borne disease sebagian besar tidak rutin (71.4%). cara pemecahan masalah sebagian besar oleh kepala keluarga (74.3%). penanggungjawab merawat anak sakit sebagian besar (57.2%) oleh salah satu orangtua saja (ayah/ibu). tindak lanjut saat sakit sebagian besar melakukan upaya pengobatan (kuratif) sebanyak 85.7%. keyakinan keluarga sebagian besar (80%) menganggap bahwa penanganan pertama di rumah tidak diperlukan karena bisa langsung dibawa ke pelayanan kesehatan. saran keluarga dengan anak usia sekolah diharapkan meningkatkan pemahaman tentang penanganan pertama food borne disease dengan aktif bertanya pada petugas atau kader kesehatan setempat, mencari informasi secara mandiri melalui televisi, internet dan media lain. tenaga kesehatan melakukan pendampingan kepada keluarga melalui kader kesehatan tentang praktek penanganan pertama food borne disease. penelitian selanjutnya tentang pemberian intervensi cfim (calgary family intervention model) diterapkan pada keluarga dalam penanganan pertama food borne disease sesuai hasil pengkajian masing-masing keluarga. daftar rujukan azwar, s.2010. sikap manusia, teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar. 262 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 255–262 barakki, n., et al. 2005. food borne disease. haramaya university, usaid in collaboration wiyh the ethiopia public health training initiative, the carter center, the ethiopia ministry of health and education. module. ethiopia. bpom. 2010. info pom badan pengawas obat dan makanan republik indonesia volume xi, no 3.mei-juni 2010, issn 1829-9334. kholid, a. 2015. promosi kesehatan dengan pendekatan teori perilaku, media dan aplikasinya. jakarta: raja grafindo persada. maulana, h. 2013. promosi kesehatan. jakarta: egc. puspitasari, h. 2006. pengaruh sosial ekonomi, dukungan keluarga terhadap kenakalan remaja di kota bogor. disertasi institut pertanian bogor (karya tidak dipublikasikan) riskesdas. 2013. riset kesehatan dasar. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementrian kesehatan ri: jakarta. solikhah, h. 2013. gambaran perilaku hidup bersih dan sehat tentang food borne disease pada anak usia sekolah di sdn babat jerawat i kecamatan pakal kota surabaya. suci, e.s.t. 2009.gambaran perilaku jajan murid sekolah dasar di jakarta. jurnal psikobuana-jurnal ilmiah psikologi, vol 1, no.1, 29-38. universitas katolik atma jaya jakarta, issn 2085-1242. taufik, m. 2007. prinsip-prinsip promosi kesehatan dalam bidang keperawatan. jakarta: infomedika. who. 2009. diarrhoea :why children are still dying and what can be done.unicef. who. 2005. penyakit bawaan makanan; fokus pendidikan kesehatan. jakarta: egc. widoyono. 2011. penyakit tropis epidemiologi, penularan, penanganan pertama dan pemberantasannya. edisi 2. jakarta: erlangga. wong, d.l. 2009. buku ajar keperawatan pediatric edisi 6. jakarta: pt indeks. wright, m., and leahey, m. 2009. nurses and families a guide to family assessment and intervention, second edition, ta. davis company, philadelphia. e:\tita\d\tita\april 16\jurnal 13munjidah, analisis dukungan suami terhadap ... 13 analisis dukungan suami terhadap jumlah anak ideal (the analysis of husband’s support to the ideal number of children) hinda novianty program studi diii kebidanan, universitas nahdlatul ulama surabaya email: hinda@unusa.ac.id abstract: having two children is enough is a manifestation of one of the criteria of quality family for the program of ideal number of children. therefore, the purpose of this study was to know the description of the husband’s support to the ideal number of children in rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo. the design of study was descriptive done by using cross sectional approach. the population involved all of the husbands in fertile age, totally 83 people, in which 38 respondents were taken as the samples by using simple random sampling technique. the variable of study was the husband’s support to the ideal number of children. the instrument used to collect the data was a questionnaire. the data processing was done by editing, scoring, coding, and tabulating. moreover, the data analysis was done by using descriptive statistics, and presented in percentage form. the result of study showed that among 38 respondents, most of them, totally 60.5% showed a good support on the program of ideal number of children, whereas nearly half of them, totally 39.5% showed a bad support. the conclusion of study was that the husbands have supported the ideal number of children. hence, they should keep on supporting it and ask the others to give support too. the health institutions should also play their roles actively to succeed the program of quality family 2015. keywords: husband’s support, ideal number of children abstrak: memiliki 2 anak cukup merupakan perwujudan salah satu kriteria keluarga berkualitas dalam program jumlah anak ideal. faktanya masih banyak keluarga yang memiliki jumlah anak tidak ideal. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dukungan suami terhadap jumlah anak ideal di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo. desain penelitian ini adalah diskriptif dengan pendekatan cross sectional. populasinya adalah adalah seluruh suami pasangan usia subur sebesar 83 orang, besar sampel 38 orang, diambil dengan teknik simple random sampling. variabel penelitian ini adalah dukungan suami terhadap jumlah anak ideal. instrumen penelitian menggunakan kuesioner. pengolahan data dengan cara editing, scoring, coding, dan tabulating. analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dan disajikan dalam bentuk persentase. hasil penelitian menunjukan dari 38 responden menunjukkan dukungan suami terhadap jumlah anak ideal sebagian besar (60,5%) responden adalah baik dan hampir sebagian (39,5%) responden adalah kurang baik. simpulan dari penelitian ini bahwa suami sudah mendukung dengan baik terhadap jumlah anak ideal. untuk itu diharapkan suami dapat mempertahankan dan mengajak suami yang kurang mendukung dalam program jumlah anak ideal dan juga didukung oleh pihak institusi kesehatan untuk ikut berperan aktif dalam keberhasilan program keluarga berkualitas tahun 2015. kata kunci: dukungan suami, jumlah anak ideal memasuki awal tahun pertama pembangunan jangka panjang tahap ii, pembangunan keluarga berencana nasional ditujukan terutama untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. keluarga sebagai kelompok sumberdaya manusia terkecil yang mempunyai ikatan batiniyah dan lahiriyah. dimana merupakan pengembangan sasaran dalam mengupayakan terwujudnya visi nasional program pemerintah acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 3, no. 1, april 2016 doi: 10.26699/jnk.v3i1.art.p013-017 it typewritten text © 2016 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/ 14 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 13–17 2 anak cukup yang kini telah diubah visinya menjadi keluarga berkualitas tahun 2015. keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis da n berta nggung jawab kepa da tuhan yme (syaifuddin, 2003). berdasarkan visi keluarga berkualitas tahun 2015, program kb nasional mempunyai kontribusi penting dalam upaya meningkatkan kualitas penduduk terutama pada pelaksanaan jumlah anak ideal. pelaksanaan program jumlah anak ideal sebagai pelaksanaan program keluarga berencana nasional dapat dilihat pada pelaksanaan program kehamilan harus merupakan kehamilan yang diinginkan. untuk mewujudkan peran kunci tersebut, keluarga berencana merupakan upaya pelayanan kesehatan yang preventif yang paling dasar dan utama (syaifuddin, 2003). pengukuran jumlah anak berdasarkan jumlah anak ideal yaitu: kurang (< 2 anak), ideal (2 anak), banyak (> 2 anak). dukungan suami merupakan suatu dukungan, bantuan maupun perhatian yang diberikan oleh suami kepada istri dalam bentuk dukungan emosional, dukungan instrumental dan dukungan informasi. untuk menunjukkan tindakan menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi memungkinkan, sehingga semakin nyata perbuatan seseorang semakin baik juga tindakan seseorang (notoatmodjo, 2010). pada faktanya masih banyak suami sangat sulit melaksanakan program pelaksanaan jumlah anak ideal sebagai perwujudan visi nasional program pemerintah dengan memiliki jumlah anak tidak ideal yang disebabkan masih banyaknya masyarakat beranggapan banyak anak banyak rejeki, setiap kehamilan merupakan anugrah, walau terdapat kesulitan dari segi ekonomi semua akan mendapatkan bantuan dari tuhan yang maha esa, selain itu anggapan dari segi agama tidak memperbolehkan mengikuti kb sebagai realita pelaksanaan jumlah anak ideal. berdasarkan data sdki 2012 keinginan membatasi kelahiran meningkat secara cepat sejalan dengan banyaknya anak lahir hidup, 84% wanita yang tidak mempunyai anak ingin mempunyai anak lagi dibandingkan dengan 7% wanita dengan dua anak. di sisi lain, proporsi wanita yang tidak ingin mempunyai anak lagi meningkat 11% pada wanita yang mempunyai satu anak menjadi 58% pada wanita yang mempunyai dua anak, dan 80% atau lebih pada wanita yang mempunyai lima orang anak atau lebih. berdasarkan hasil studi pendahuluan di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo, dari 5 orang suami yang diwawancara, menjawab menginginkan jumlah anak lebih dari 2. dengan demikian pelaksanaan visi pemerintah keluarga berkualitas pada pelaksanaan program jumlah anak ideal berdasarkan dukungan suami dengan memiliki 2 anak cukup masih kurang. program keluarga berkualitas tahun 2015 dapat terlaksana dengan baik apabila masyarakat dapat melaksanakan salah satu indikator dari visi program keluarga berkualitas yaitu mewujudkan program jumlah anak ideal, sebagai realitas program jumlah 2 anak cukup. keikutsertaan masyarakat dalam menyukseskan pelaksanaan program jumlah anak ideal salah satunya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan penilaian dan penghargaan (achmadi, 2008). dukungan suami pada program jumlah anak ideal yang tidak terlaksana akan memberikan dampak terjadinya ledakan penduduk yang tidak optimal, serta kualitas anak yang tidak sesuai dengan harapan, yang akhirnya pelaksanaan visi program keluarga berkualitas tahun 2015 tidak terlaksana. selain itu dampak bagi ibu yang terlalu sering melahirkan yaitu gangguan pada kehamilan seperti keguguran, anemia, plasenta previa, pre-eklampsia, dan eklampsia, penghambat proses persalinan seperti gangguan kekuatan kontraksi, kelainan letak, dan posisi jalan lahir, dan juga perdarahan pasca persalinan maupun prolapsus uteri. oleh karena itu dukungan suami terhadap program jumlah anak ideal terutama pada segi sikap dan keyakinan sangat diharapkan agar terciptanya dan terlaksananya dengan baik program keluarga berkualitas tahun 2015 agar terwujud kesejahteraan masyarakat dan bernegara, dan berjalan sesuai yang diharapkan pemerintah. salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan dalam mengatasi permasalahan dukungan suami terhadap program jumlah anak ideal adalah provider kesehatan terutama pada bidan, serta dokter yang diharapkan dapat membantu keluarga pada khususnya suami dalam mendapatkan pelayanan konseling baik tentang kontrasepsi di tempat pelayanan (klinik kb). oleh karena itu bidan dan petugas kesehatan lain harus memiliki keterampilan komunikasi yang lebih baik agar dalam menyampaikan informasi tentang program keluarga berkualitas baik pada istri maupun suami pada usia subur melalui konseling dapat diterima dengan baik 15munjidah, analisis dukungan suami terhadap ... sesuai dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman para suami. tujuan penelitian ini adalah menganalisis dukungan suami terhadap jumlah anak ideal di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo. bahan dan metode jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif sedangkan pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, yaitu suatu penelitian di mana dukungan suami terhadap jumlah anak ideal di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo yang diobservasi sekaligus berdasarkan keadaan pada saat itu. populasi dalam penelitian ini adalah seluruh suami pada pasangan usia subur di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo sebesar 83 suami yang teridentifikasikan pada jumlah kk. sampel dalam penelitian ini adalah sebagian suami pada pasangan usia subur di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo sebesar 38 suami yang teridentifikasikan pada jumlah kk. pada penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah probability sampling dengan teknik simple random sampling. pengambilan sampel berdasarkan pada secara acak sebanyak 38 orang suami pada pasangan usia subur. penelitian ini dilakukan pada november 2014. variabel dalam penelitian ini adalah dukungan suami terhadap jumlah kehamilan ideal. instrument penelitian menggunakan data kartu keluarga dan kuisioner. setelah responden menyatakan setuju, yang ditunjukkan dengan pengisian informed consent, kemudian peneliti memberikan penjelasan pada responden tentang penelitian yang akan dilakukan. data yang telah diperoleh kemudian dilakukan pengolahan data editing, scoring. pengolahan data yang digunakan dengan cara pemberian skor dimana setiap jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban yang salah diberi skor 0. yang kemudian diolah berdasarkan rumus skala perilaku yaitu: perilaku baik, jika suami mendukung pada jumlah anak ideal dengan nilai t skor yang diperoleh responden dari kuesioner >t mean. perilaku kurang baik, jika suami tidak mendukung pada jumlah anak ideal dengan nilai t skor yang diperoleh responden dari kuesioner < t mean (azwar, 2007). hasil penelitian tabel 1. distribusi karakteristik responden berdasarkan usia di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo no usia (tahun) f (%) 1 2 3 2 0 – 30 3 1 – 39 4 0 13 18 7 34,2 47,4 18,4 jumlah 38 100 tabel 2. distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo no pendidikan f (%) 1 dasar 5 13,2 2 menengah 25 65,8 3 t inggi 8 21 jumlah 38 10 0 tabel 3. distribusi karakteristik responden berdasarkan pekerjaan di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo no pekerjaan f (%) 1 buruh 11 28,9 2 swasta 19 50 3 pns 8 21,1 jumlah 38 100,0 tabel 4. distribusi karakteristik responden berdasarkan dukungan suami terhadap jumlah anak ideal di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo no dukungan suami f (%) 1 baik 23 60,5 2 kurang 15 39,5 jumlah 38 10 0 pembahasan hasil penelitian pada tabel 5.5 dukungan suami pada jumlah anak ideal sebagian besar (60,5%) responden adalah baik. sesuai pernyataan pada kuesioner, dari 38 responden hampir seluruh (92%) suami mendukung istri untuk ikut serta dalam berkb dengan memberikan persetujuan kepada istri untuk ikut serta dalam berkb. dalam mengetahui pelaksanaan program keluarga berkualitas, hampir seluruh (92%) suami ikut membantu istri untuk mengurus anak sehari-hari dan seluruhnya (100%) mengutamakan kesehatan dan pendidikan anak. 16 jurnal ners dan kebidanan, volume 3, nomor 1, april 2016, hlm. 13–17 hal ini menunjukkan bahwa suami mendukung dalam melaksanakan program jumlah anak ideal karena suami lebih mengutamakan kualitas dari anak itu sendiri dan juga kesehatan istri lebih diperhatikan, sehingga visi program keluarga berkualitas tahun 2015 dapat terlaksana. menurut pendapat mardiya (2014) keluarga berkualitas seharusnya dapat mengerti sepenuhnya bahwa pendidikan dalam keluarga sangat penting diperhatikan untuk mencapai keluarga yang berkualitas tinggi. dukungan adalah dorongan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu (kartono, 2003). menurut notoatmodjo (2010), untuk menunjukkan tindakan menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi memungkinkan, sehingga semakin nyata perbuatan seseorang semakin baik juga tindakan seseorang. dukungan suami yang baik pada jumlah anak ideal dipengaruhi oleh faktor usia terlihat pada tabel 5.1 hampir sebagian (47,4%) responden adalah usia 31–39 tahun (masa konsolidasi). hal ini dapat diartikan pada masa konsolidasi (31–39 tahun) merupakan masa dimana seseorang memasuki dunia pernikahan dan membina bahtera rumah tangga. dengan semakin matang usia suami dalam penikahan maka suami akan lebih siap dalam hal sosial, psikologis, dan ekonomis, sehingga lebih bersikap bijaksana dalam memberi keputusan maupun dukungan. menurut papalia, old, dan feldman (2009) masa usia menikah adalah usia dewasa awal yaitu antara 20 hingga 40 tahun. pernikahan juga merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anakanak (papalia & old, 2009). faktor pendidikan juga akan mempengaruhi dukungan suami pada jumlah anak ideal, hal ini sesuai pada tabel 5.2 pendidikan responden didapatkan sebagian besar (65.8%) pendidikan menengah (sma dan yang sederajat). sikap suami terhadap dukungan program jumlah anak ideal memberikan pandangan tersendiri terutama pada tingkat pendidikan suami. semakin tinggi tingkat pendidikan akan mempengaruhi sikap dan perilaku suami menjadi perilaku positif artinya suami mendukung untuk menentukan jumlah anak ideal dalam keluarganya sesuai dengan program pemerintah yang ada. menurut siswanto (2008) semakin rendah tingkat pendidikan suami akan mempengaruhi cara berpikir dan suami akan kesulitan dalam mencari informasi dan juga untuk mengambil keputusan secara efektif. pekerjaan juga dapat mempengaruhi sikap seseorang terutama mengenai jumlah anak ideal. berdasarkan tabel 5.3 jenis pekerjaan responden sebagian (50%) adalah swasta dan mayoritas sebagai karyawan pabrik. pekerjaan juga sangat berpengaruh dalam dukungan suami untuk melaksanakan program jumlah anak ideal. pekerjaan suami merupakan aktifitas yang harus dikerjakan untuk menafkahi keluarga, tetapi walaupun sibuk karena pekerjaan diharapkan suami dapat meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan istri dalam melaksanakan program jumlah anak ideal sebagai salah satu indikator dari visi program keluarga berkualitas tahun 2015. pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilaksanakan untuk menunjang kehidupan keluarga. menurut siswanto (2008) menyatakan bahwa bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu, bekerja akan mempunyai pengaruh terhadap kegiatan kehidupan keluarga. simpulan dan saran simpulan simpulan dalam penelitian ini adalah suami di rt 9 rw iii plipir sekardangan sidoarjo sebagian besar mempunyai dukungan baik pada program jumlah anak ideal. saran bagi tenaga kesehatan diharapkan untuk berusaha lebih aktif dalam melaksanakan program kesehatan seperti penyuluhan pada setiap wilayah secara rutin agar meningkatnya respon masyrakat khususnya pada pelaksanaan visi dalam mewujudkan program jumlah anak ideal secara nasional. daftar rujukan achmadi. 2008. artikel kesehatan keluarga: dukungan keluarga. http://www.rajawarna.com diakses tanggal 8 mei 2014 jam 19.00 wib. azwar, dr saifudin. 2007. sikap manusia teori dan pengukurannya. yogyakarta; pustaka pelajar. kartono, k. 2003. psikologi wanita. jakarta: gramedia. mardiya. 2014. artikel: mewujudkan sdm berkualitas melalui keluarga. http://www.kulonprogo.go.id diakses tanggal 1 oktober 2014 jam 20.00 wib. notoatmodjo, s. 2010. ilmu perilaku kesehatan. jakarta: rineka cipta. papalia, diane, e., and olds, sally, w. 2009. human development. third edition. new york: mc graw hill book company. 17munjidah, analisis dukungan suami terhadap ... siswanto. 2008. pria bertanggung jawab dalam kb dan kesehatan reproduksi. jakarta: bkkbn. syaifuddin, a. 2003. panduan praktis pelayanan kontrasepsi. jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawihardjo: remaja rosdakarya. e:\tita\d\tita\des 15\jurnal bl 263wulandari, fanani dan prayogi, peningkatan dan pelayanan ... 263 peningkatan pelayanan paud melalui pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit kepada guru paud di wilayah blitar (improving the services early childhood education teachers through first aid training at babies and sick children to early childhood education teachers in blitar area) ning arti wulandari1, zaenal fanani2, bisepta prayogi3 1,3program studi pendidikan ners, stikes patria husada blitar 2program studi d3 kebidanan, stikes patria husada blitar email: ningarti83@gmail.com abstract: first aid treatment is given to the person who got the accident or sudden pain that comes before getting help from medical personnel (haryanto, 2013). the culture of women working in the public sphere encourages moms to find a replacement for his role in a while to nurture and educate her child for working moms (ariani, 2013). infant and preschool child had an accident prone (short and gray, 2009). some of the things that encourages authors to perform community services through first aid training in infants and the sick children to early childhood education teachers. the partners in this activity was pgtk yaa bunayya kalipang lodoyo;10 people and all of the early childhood education teacher aba 2 add up to 17 people. the method of this activity was to do a pre test, applications training through lectures and demonstrations continued with the post test and evaluation skills. after it was done an evaluation of the satisfaction of caregivers against first aid on sick children conducted by the teacher. the results were of 80 71% caregivers said satisfied with the first aid on babies and sick children, 71% of teachers have a good skill in providing first aid on babies and sick children. based on statistical tests with wilcoxone signed rank test p = 0.000 showed any change of teacher knowledge about first aid on babies and sick children. therefore, health and education should be create a new program in providing health services especially in early childhood education level. keywords: early childhood education teacher, first aid, baby and sick children abstrak: pertolongan pertama adalah perawatan yang diberikan kepada orang yang mendapat kecelakaan atau sakit yang tiba-tiba datang sebelum mendapatkan pertolongan dari tenaga medis (haryanto, 2013). budaya wanita bekerja di ranah publik mendorong ibu untuk mencari pengganti perannya secara sementara untuk mengasuh dan mendidik anaknya selama ibu bekerja (ariani, 2013). bayi dan anak prasekolah rentan mengalami kecelakaan (short dan gray, 2009). beberapa hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat melalui pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit kepada guru paud. mitra dalam kegiatan ini pgtk yaa bunayya kalipang lodoyo sebanyak 10 orang dan seluruh guru paud aba 2 yang berjumlah 17 orang. metode kegiatan ini adalah dengan melakukan pre test, aplikasi pelatihan melalui ceramah dan demonstrasi dilanjutkan dengan post test dan evaluasi skill. setelah itu dilakukan evaluasi kepuasan wali murid terhadap pelayanan pertolongan pertama pada anak sakit yang dilakukan oleh guru. dari kegiatan ini mendapatkan hasil antara lain, dari 80 wali murid 71% mengatakan puas terhadap pelayanan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit, 71% guru mempunyai keterampilan yang baik dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. berdasarkan uji statistik dengan wilcoxone signed rank test p=0,000 menunjukan adanya perubahan pengetahuan guru tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. oleh sebab itu hendaknya dinas pendidikan dan acer typewritten text jurnal ners dan kebidanan, volume 2, no. 3, desember 2015 doi: 10.26699/jnk.v2i3.art.p263-269 it typewritten text © 2015 jurnal ners dan kebidanan it typewritten text this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk/about/submissions#copyrightnotice 264 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 263–269 kesehatan untuk membuat program baru dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya di tingkat pendidikan paud. kata kunci: guru paud, pertolongan pertama, bayi dan anak sakit masyarakat lebih mengenal pertolongan pertama hanya terkait dengan masalah kecelakaan semata, pemahaman ini mungkin dikarenakan kecelakaan merupakan salah satu yang banyak terjadi di masyarakat, sehingga masyarakat lebih mengenal bahwa pertolongan pertama merupakan pencegahan angka kematian akibat tidak mendapatkan penanganan yang seharusnya ketika terjadi kecelakaan. pertolongan pertama (pp) adalah perawatan pertama yang diberikan kepada orang yang mendapat kecelakaan atau sakit yang tiba-tiba datang sebelum menda pa tka n per tolongan da ri tenaga medis (haryanto, 2013). proses pertolongan pertama merupakan tindakan awal, untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih fatal pada sebuah peristiwa. diharapkan dengan adanya pertolongan pertama, dapat menyelamatkan kondisi seseorang dari hal yang tidak diinginkan. bayi dan balita sangat rentan terhadap kecelakaan dan penyakit.hal ini disebabkan oleh karena imunitas mereka yang masih rendah. bayi dan anak prasekolah rentan mengalami kecelakaan karena perkembangan kemampuan motorik, rasa ingin tahu yang besar khususnya pada balita, seringkali membawa mereka pada bahaya yang tidak mereka sadari (short dan gray, 2009), masa globalisasi sekarang ini, yang lebih mengarah pada bidang ekonomi. penampilan perempuan yang berbeda dalam hal status dan peran serta fungsinya sebagai penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak. lahirnya budaya wanita bekerja di ranah publik dan atau berkegiatan di luar rumah menjadi warna kehidupan wanita saat ini. sehingga fenomena tersebut mendorong ibu-ibu untuk mencari pengganti perannya secara sementara untuk mengasuh serta mendidik anaknya selama ibu tersebut bekerja (ariani, 2013). di blitar sudah banyak ibu-ibu yang bekerja setengah hari, misalkan profesi guru, perawat, dokter, karyawan pabrik dan sebagainya. mereka lebih memilih untuk memasukkan anak-anaknya yang masih balita ke sekolah paud (pendidikan anak usia dini) dari pada di asuh oleh pembantu di rumah. menurut mereka sekolah paud merupakan sarana yang tepat untuk anaknya selama mereka bekerja, selain mengasuh guru paud juga melakukan stimulasi tumbuh kembang anak sekaligus menyiapkan anak ke jenjang pendidikan selanjutnya. menurut ngastiyah (2005) beberapa faktor yang dapat memepengaruhi tingkat tercapainya pertumbuhan dan perkembangan anak faktor genetik, perilaku dan lingkungan bio-psiko-sosial. sekolah paud di blitar pada umumnya melakukan pengasuhan dan pendidikan anak selama 8–7 jam (mulai jam 07.00 sampai dengan 14.00). berdasarkan uu no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional khusus nya bab 1, pasal 1 butir ke 14 menyatakan pengertian dari pendidikan anak usia dini (paud) adalah ” suatu upaya pembinaan yang di tujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut” pendidikan anak usia dini terdiri dari jalur formal, non formal dan informal. jalur formal terdiri dari taman kanak-kanak (tk), ra atau bentuk lain sederajatnya. sedangkan jalur non formal terdiri dari kelompok bermain, tempat penitipan anak dan bentuk lain yang sederajat dan jalur informal pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, misalkan sekolah minggu dan paud (tempat pendidikan alquran) (gutama, 2012). begitu juga pada anak yang aktif pasti senang melakukan aktivitas, melompat dan memanjat, sehingga anak-anak juga sering mengalami luka memar atau luka berdarah akibat terjatuh.sehingga tindakan yang utama adalah mencegah anak tidak mengalami kecelakaan. namun, kadang kala ada saja hal-hal yang tidak bisa kita hindarkan terjadi. sering kita temui di rumah sakit maupun puskesmas ibu/bapak guru paud maupun baby sister di tempat penitipan anak membawa anak didiknya yang mengalami sakit maupun luka akibat jatuh dengan panik. dengan durasi waktu mengasuh dan mendidik anak selama ± 7-8 jam tidak menutup kemungkinan bagi guru paud akan menemukan kejadian sakit maupun kecelakaan/jatuh pada anak didiknya. sehingga sangat penting bagi guru paud untuk mempunyai keterampilan khusus dalam memberikan pertolongan pertama merupakan tindakan awal, untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih fatal. 265wulandari, fanani dan prayogi, peningkatan dan pelayanan ... pgtk yaa bunayaa kalipang berada 16 km dari kampus stikes patria husada blitar, mempunyai 9 pengajar dan 1 kepala sekolah, namun kepala sekolah tidak hanya berperan sebagai sekolah tetapi juga membantu langsung dalam kegiatan belajar mengajar mengingat jumlah siswa 107. kualifikasi pendidikan guru di pgtk tersebut beragam antara lain s1 paud 2 orang, s1 pendidikan islam 4 orang dan s1 pendidikan 1 orang sisanya masih sma dan diploma. sebagian guru di pgtk tersebut relative masih muda dan 50% belum mempunyai anak sehingga untuk menangani anak sakit belum mempunyai pengalaman, sedangkan 50% yang mempunyai anak sudah mempunyai pengalaman namun terbatas pengalaman mereka dalam merawat anaknya. 2 orang guru di pgtk yaa bunayaa kalipang pernah mengikuti pelatihan deteksi dini tumbuh kembang yang diadakan oleh dinas pendidikan namun belum di sosialisasikan ke guru yang lain karena keterbatasan pengetahuan yang didapat. pgtk yaa bunayaa kalipang sudah berdiri sejak 2013 mempunyai jam mengajar ± 7 jam perhari. 80% dari orang tua siswa adalah pekerja kantoran seperti guru, perawat, karyawan toko dan sebagainya. menurut kepala sekolah selain mendidik pgtk ini juga tempat menitipkan anak selama orang tuanya bekerja, sehingga sering ditemukan walaupun anaknya sakit tetap saja masuk sekolah dengan dibawakan obat-obatanya. tak jarang pula di temukan anak yang pagi sehat menjelang siang kesehatannya menurun dengan munculnya demam, diare, mimisan dan bahkan muntah hal ini memerlukan keterampilan khusus bagi seorang guru paud untuk meningkatkan mutu layanan tidak hanya mendidik tetapi juga menjaga kesehatan siswanya tidak pernah mereka dapatkan saat menenpuh pendidikan formal. pgtk yaa bunayaa kalipang sangat tepat untuk diberikan pelatihan pertolongan pertama pada anak sakit selain mempunyai tenaga guru yang muda mempunyai motivasi yang tinggi dalam meningkatkan pelayanan untuk bersaing dengan sekolah-sekolah paud yang lain, juga mempunyai anak didik yang cukup banyak. kelompok mitra dua yaitu paud aba 2. paud aba 2 berada di tengah kota blitar, mempunyai 6 pengajar dan 1 kepala sekolah, namun kepala sekolah tidak hanya berperan sebagai sekolah tetapi juga membantu langsung dalam kegiatan belajar mengajar mengingat jumlah anak asuh 25, dengan usia 2–3 tahun 60% dan < 2 tahun 40% . kualifikasi pendidikan pengasuh di paud tersebut beragam antara lain diploma 2 orang, dan sisanya sma. pengasuh paud tersebut masih muda dan belum menikah. pengasuh paud hanya pernah dilatih pemeriksaan tumbuh kembang oleh yayasan guna mengisi laporan pertumbuhan dan perkembangan anak.paud aba 2 ini telah berdiri selama 2 tahun. waktu 2 tahun tersebut merupakan waktu yang singkat untuk belajar mengasuh anak, ditambah keluar masuknya pengasuh ini akan sangat mempengaruhi pelayanan. langkah awal dari kegiatan ini adalah melakukan survey ke lokasi dan melakukan wawancara dengan kepala sekolah dan beberapa guru serta pengasuh. hasil wawancara yang didapat adalah sebagai berikut; di pgtk yaa bunayaa kalipang selama ini jika mendapatkan anak mimisan selama ini hanya diberi gulungan daun sirih yang di masukkan ke hidung dan si anak di minta menghadap atas terus supaya darahnya tidak keluar. dan di pgtk yaa bunayaa maupun paud aba jika menemukan kasus jatuh yang mengakibatkan luka dan hal tersebut hampir terjadi setiap hari, kalau luka gores biasanya hanya di beri betadine saja, tapi kalau luka tersebut robek sehingga darah yang keluar banyak yang sering mereka alami adalah panic dan langsung menggendong si anak ke pelayanan kesehatan terdekat. jika anak panas, muntah, gatal-gatal mereka hanya mamberikan minyak kayu putih saja. karena kelompok mitra belum mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam pertolongan pertama pada kecelakaan. hal itu karena para guru dan pengasuh masih belum mempunyai keterampilan yang baik tentang pertolongan pertama pada anak sakit baik trauma maupun non trauma. oleh sebab itu kami ingin melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat melalui pelatihan pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit kepada guru paud di wilayah blitar guna meningkatkan pelayanan paud. bahan dan metode sasaran kegiatan ini adalah guru paud yang berjumlah 17 orang, yang terdiri dari seluruh guru paud di pgtk yaa bunayya kalipang lodoyo sebanyak 10 orang dan seluruh guru paud aba 2 kota blitar sebanyak 7 orang. metode kegiatan ini adalah dengan melakukan pre test terlebih dahulu kepada guru paud untuk mengidentifikasi sejauh mana pengetahuan para guru paud dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak 266 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 263–269 sakit. kemudian dilanjutkan dengan memberikan pelatihan dengan metode ceramah dan juga demonstrasi. adapun materi yang telah diberikan antara lain pertolongan pertama pada bayi dan anak demam, mimisan, diare, muntah dan gatal-gatal, pertolongan pertama pada bayi dan anak kecelakaan dan keracunan, pertolongan pertama pada bayi dan anak tersedak dan cara memberikan minuman yang tepat pada bayi supaya tidak tersedak. setelah pemberian materi selesai, kami melakukan post test untuk mengetahui pengetahuan dan skill para guru dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. evaluasi pengetahuan dilakukan dengan menggunakan kuesioner, sedangkan evaluasi skill mengunakan ceklist. kegiatan pelatihan ini dilakukan mulai bulan april sampai dengan bulan agustus 2015. hasil pre test dan post test pengetahuan dianalisa menggunakan wilcoxon signed rank test. setelah satu bulan kegiatan pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit kepada guru paud tersebut berakhir, kami melakukan evaluasi kepuasan wali murid terhadap penanganan pertama pada anak sakit yang telah dilakukan oleh guru. penilaian kepuasan wali murid dilaksanakan mulai tanggal 19 sampai dengan 31 oktober 2015 dengan accidental sampling. dari populasi 120 wali murid didapatkan sampel sejumlah 80. kepuasan wali murid dinilai dengan menggunakan kuesioner. hasil kegiatan ipteks bagi masyarakat hasil berdasarkan tabel 1 didapatkan guru paud aba 2 kota blitar 100% berjenis kelamin perempuan, 71% berusia 21–30 tahun, 71% berpendidikan sma, dan 86% belum pernah mendapatkan informasi tentang pertolongan pada bayi dan anak sakit. sedangkan 90% guru pgtk yaa bunayya berjenis kelamin perempuan, 50% berusia antara 31–40 tahun, 80% berpendidikan terakhir sarjana dan 100% belum pernah mendapatkan informasi tentang pertolongan pada bayi dan anak sakit. tabel 2 menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan guru sebelum dan sesudah di beri pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. tabel 3 menunjukkan bahwa 71% dari 17 guru mempunyai kemampuan skill yang baik. berdasarkan tabel 4 menunjukkan ba hwa sebagian 57% wali murid dari siswa paud puas terhadap pelayanan guru dalam memberikan pertolongan pertama pada anak sakit. tabel 1. distribusi frekuensi karakteristik guru di pgtk yaa bunayya kalipang sutojayan dan paud aba 2 kota blitar karakteristik respo nden yaa bunayya aba 2 f % f % usia 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 3 5 2 30 50 20 5 2 0 71 29 0 jenis kelamin laki-laki perempuan 1 9 10 90 0 7 0 100 pendidikan sma diii sarjana 1 1 8 10 10 80 5 2 0 71 29 0 berdasarka n informasi yang pernah didapat tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit pernah belu m pernah 0 10 0 100 1 6 14 86 tabel 2. analisa hasil perbedaan pengetahuan guru tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit pengetahuan yaa bunayya aba 2 pre post pre post f % f % f % f % sangat baik baik tidak baik 0 6 4 0 60 40 9 1 0 90 10 0 0 4 3 0 57 43 3 4 0 43 57 0 uji wilcoxone signed rank test p=0,000 tabel 3. distribusi frekuensi kemampuan skill guru dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit kemampuan skill yaa bunayya aba 2 total f % f % f % sangat bai k baik tidak baik 2 7 1 20 70 10 2 5 0 29 71 0 4 12 1 24 71 5 tabel 4. distribusi frekuensi kepuasan wali murid terhadap kemampuan guru dalam memberikan pertolongan pertama pada anak sakit. kepua san frekuensi prosentase (%) sangat puas puas 23 57 29 71 tota l 80 100 267wulandari, fanani dan prayogi, peningkatan dan pelayanan ... pembahasan pengetahuan guru tentang pertolongan pertama pada anak sakit berdasarkan hasil uji wilcoxone signed rank didapatkan p=0,00. karena nilai p < 0,05 dapat disimpulkan bahwa ada perubahan pengetahuan guru setelah menikuti pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. peningkatan pengetahuann guru tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit sesuai dengan tujuan dari kegiatan ini. pengetahuan seseorang menurut notoadmodjo (2010) dapat dipengaruhi oleh beberapa factor eksternal yaitu, pendidikan, informasi dan pengalaman. hasil dari kegiatan ini telah menjawab teori tersebut. pada tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 17 guru yang mengikuti pelatihan ini, hanya 1 orang yang sebelumnya pernah mendapatkan informasi tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. pada tabel 2 menunjukan bahwa dari hasil pre test tidak ada guru yang memiliki pengetahuan sangat baik tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. setelah dilakukan pelatihan didapatkan 12 guru dari 17 mempunyai pengetahuan sangat baik. ini menunjukan bahwa kegiatan pelatihan pertolongan pertama pada anak sakit ini merupakan pendidikan non formal yang diikuti oleh para guru. tehnik da n media da la m menya mpa ikan sebuah informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang (anwar, 2007). tehnik yang digunakan dalam memberikan pelatihan ini juga dapat mempengaruhi adanya peningkatan pengetahuan guru tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. pelatihan ini dilakukan mulai bulan april sampai dengan agustus sebanyak 28 kali pertemuan. sebelum materi inti, kami memberikan materi dasar berupa anatomi tubuh manusia dan konsep tentang pertolongan pertama dan perlindungan diri yang benar dalam memberikan pertolongan pertama. kemudian dilanjutkan dengan materi inti antara lain pertolongan pertama pada bayi dan anak demam, mimisan, diare, muntah dan gatalgatal, pertolongan pertama pada bayi dan anak kecelakaan dan keracunan, pertolongan pertama pada bayi dan anak tersedak dan cara memberikan minuman yang tepat pada bayi supaya tidak tersedak. tehnik dalam pelatihan ini selain ceramah diikuti dengan demonstrasi. demonstrasi terlebih dahuluhu dilakukan oleh pelatih dan kemudian diikuti oleh masing-masing peserta secara bergantian. selain itu media dalam melakukan demonstrasi juga mempengaruhi peningkatan pengetahuan para guru. media yang kami gunakan untuk melakukan demonstrasi pada keterampilan pertolongan pertama pada bayi dan anak demam, mimisan, diare, muntah dan gatal-gatal, pertolongan pertama pada bayi dan anak, pertolongan pertama pada bayi dan anak tersedak dan cara memberikan minuman yang tepat pada bayi supaya tidak tersedak adalah phantom bayi yang standart untuk melakukan pelatihan. sedangkan khusus untuk pertolongan pertama pada bayi dan anak yang mengalami kecelakaan kami menggunakan klien standart (anak yang berusia pre school). untuk memberikan gambaran luka yang akan dirawat kami melakukan modifikasi dengan menempelkan lilin mainan yang diberi cat cair serta beberapa make up kepada klien standart. dari upaya memberikan gambaran yang mendekati kenyataan yang telah kami lakukan menghasilkan nilai skill para peserta yang ada pada tabel 3. pada tabel 3. dapat dilihat bahwa 71% dari 17 guru mempunyai kemampuan skill yang baik. berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa peserta yang berumur lebih dari 30 tahun sebanyak 53% dari 17 orang. sesuai dengan teori notoadmodjo (2010) dapat dipengaruhi oleh beberapa factor eksternal yang salah satunya adalah pengalaman. semakin banyak usia seseorang maka pengalamannya akan semakin banyak pula. menurut notoatmodjo (2010) bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima atau menyesuaikan dengan hal yang baru. karena pendidikan mempengaruhi proses belajar sehingga dengan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi akan cenderung memperoleh lebih banyak informasi baik dari orang lain maupun dari media masa. hal ini sesuai dengan tabel 2. di pgtk yaa bunayya kalipang sutojayan 80% dari 10 orang guru mempunyai pendidikan terakhir sarjana, dan yang memiliki pengetahuan sangat baik tentang pertolongan pertama pada anak sakit sebanyak 90% dari 10 guru. sedangkan di paud aba 2 kota blitar yang mempunyai pendidikan terakhir sma sebanyak 71% dari 7 orang dan yang memiliki pengetahuan sangat baik setelah dilakukan pelatihan sebanyak 43% dari 7 orang. hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah menerima informasi yang diberikan. berdasarkan tabel 1 yang mengatakan bahwa 94% peserta belum pernah mendapatkan informasi tentang pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit sebelum pelatihan ini. dan belum adanya 268 jurnal ners dan kebidanan, volume 2, nomor 3, desember 2015, hlm. 263–269 program yang mengarah pada pembinaan program pelayanan kesehatan khususnya di tingkat sekolah paud, seperti halnya program uks. uks dilaksanakan mulai di tingkat sekolah dasar (kementrian dan kebudayaan, 2012). kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini mempunyai banyak manfaat khususnya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di tingkat sekolah paud. berdasarkan hasil dari kegiatan ini kami sangat berharap kepada dinas kesehatan dan dinas pendidikan setempat untuk membuat sebuah kebijakan baru dalam peningkatan pelayanan di tingkat sekolah paud. salah satu luaran dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah buku ajar bagi ibu dan kader balita dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. kepuasan wali murid terhadap tindakan guru dalam memberikan pertolongan pertama pada anak sakit berdasarkan tabel 3 didapatkan bahwa dari 80 wali murid yang mengisi kuesioner, 71% mengatakan puas dan 29% mengatakan sangat puas terhadap tindakan guru dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. menurut irawan (2002) kepuasan dicapai apabila persepsi konsumen sama atau lebih dari yang diharapkan. konsumen merasa puas apabila harapannya terpenuhi atau sangat puas jika harapan konsumen terpenuhi. berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa harapan wali murid terhadap tindakan guru dalam memberikan pertolongan pertama pada anak sakit telah terpenuhi dan bahkan terlampaui. kepuasan wali murid yang dievaluasi dalam kegiatan ini adalah kepuasan dalam kualitas pelayanan. paud adalah sebuah unit pelayanan yang bekerja di bidang jasa. hal ini sesuai dengan teori zeithaml dan bitner (1996) dalam irawan (2002) yang mengatakan bahwa perusahaan yang bergerak dibidang jasa sangat bergantung pada kualitas jasa yang diberikan. kualitas pelayanan memiliki lima dimensi yaitu, keandalan (reliability), responsif (responsiveness), keyakinan (assurance), berwujud (tangibles), dan empati (empathy). zeithaml dan bitner (1996) dalam irawan (2002) juga mengatakan bahwa kepuasan dalam kualitas pelayanan sangat bergantung pada tiga hal, yaitu sistem, teknologi dan manusia. kepuasan wali murid yang tinggi ini didukung dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dalam meningkatkan sumberdaya manusia dan peningkatan sistem, serta dukungan sarana dan prasarana dalam melakukan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. peningkatan sumberdaya manusia melalui pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit yang diberikan guru, sedangkan peningkatan sistem dengan terbentuknya sop (standart operating procedure) dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit di tingkat sekolah paud. kami juga telah membantu tersediannya sarana dan prasarana dalam melakukan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. simpulan dan saran simpulan hasil uji statistik dengan wilcoxon signed rank test didapatkan nilai p=0,000, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya perubahan pengetahuan guru pgtk yaa bunayya kalipang dan paud aba 2 kota blitar setelah mengikuti pelatihan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit berdasarkan evaluasi kemampuan skill guru pgtk yaa bunayya kalipang dan paud aba 2 kota blitar didapatkan 71% dari 17 mempunyai kemampuan skill baik dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. berdasarkan evaluasi kepuasan wali murid dari 80 wali murid yang mengisi kuesioner, 71% mengatakan puas dan 29% mengatakan sangat puas terhadap tindakan guru dalam memberikan pertolongan pertama pada bayi dan anak sakit. saran saran untuk dinas pendidikan dan kesehatan untuk membuat program baru dalam memberikan pelayanan kesehatan khususnya di tingkat pendidikan paud. daftar rujukan azwar, s. 2007 sikap manusia, teori dan pengukurannya. yogyakarta: pustaka pelajar haryanto, rudy (2013) pertolongan pertama. http:// r udi h a rya n to8. bl ogspot . com/ 2013/ 03/ 1pertolongan-pertama.html dibuka tanggal 23 april 2014. haryanto, r. 2013. pertolongan pertama. http:// r udi h a rya n to8. bl ogspot . com/ 2013/ 03/ 1pertolongan-pertama.html dibuka tanggal 23 april 2014. ira wan. 2002. 10 pri nsip kepuasan pel anggan, paradigma baru merebut hati pelanggan untuk 269wulandari, fanani dan prayogi, peningkatan dan pelayanan ... memenangkan persaingan. jakarta: pt elex media komputindo. ngastiyah. 2005. perawatan anak sakit. jakarta: egc. notoatmodjo, s. 2010. promosi kesehatan teori dan aplikasi. jakarta: rineka cipta. nur, i.a. 2013. taman penitipan anak sebagai agen sosial. universitas sebelas maret. psikologi. http:// www.academia.edu/4526580/taman_ penitipan_ anak_sebagai_agen_sosialisasi. dibuka tanggal 23 april 2014. kementrian pendidikan dan kebudayaan. 2012. pedoman pembinaan dan pengembangan usaha kesehatan sekolah. http://www.scribd.com/doc/ 141185942/pedoman-uks#scribd pmi. 2009. pedoman pertolongan pertama. pt avatar arkam publising. rapi, mujahidah (2012) pendidikan anak usia dini. http://www.google.com url?sa= t&rct=j&q= & esrc=s&source=web &cd=2&ved=0c dmqfjab &url=http% 3a%2f%2fsulsel.kem enag. go. id%2ffile%2ffile%2fartike ltulisan%2foklv138 3112871.pdf&e i=h5hmu4gnpkfziaf_ gocqdq &usg=afqjcngk7zdgxr4fofvfjjftnssenzida &sig2 = p27z_ 3yxrv wuuzbdd9zrvw & bvm =bv.64764171,d.agc dibuka tanggal 23 april 2014. short, g., dan dodge. 2012. sinopsis pediatri. bandung: binarupa aksara. 225 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk religious music therapy affected the blood pressure changes in elderly with hypertension henry sudiyanto1, siti rachma2, dian irawati3, fikri nur hamzah4 1,2,3,4nursing department, stikes majapahit mojokerto, indonesia article information abstract hypertension or high blood pressure is a non-communicable disease most suffered elderly. it is characterized by increasing the pressure of blood vessels. music therapy is one of non-pharmacological management on hypertension so it can be controlled to improve quality of life the patient.the study aimed to analyze the effect of religious music therapy on blood pressure changes in elderly with hypertension. the design of the study was quasy experiment with a pre-post test approach. the sample was 25 respondents as taken by purposive sampling and carried out at unit pelayanan teknis (upt) pesanggrahan penyandang masalah kesejahteraan sosial (pmks) mojopahit mojokerto. the data was analyzed by paired t-test. the results showed there was an effect of religious music therapy on reducing blood pressure in hypertensive elderly at upt pesanggrahan pmks mojopahit. when music therapy was heard, the brain will produce endorphins that relieves anxiety and tension, so it decrease blood pressure. the recommendation of this study is religious music therapy can be chosen as non-pharmacological management to control elderly’s blood pressure. history article: received, 22/06/2023 accepted, 09/08/2023 published, 30/08/2023 keywords: hypertension, music therapy, elderly © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes majapahit mojokerto – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : dianmengajar11@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p225-230 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:dianmengajar11@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p225-230 226 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 225-230 introduction hypertension or high blood pressure is a condition in which a person experiences an increase in blood pressure that exceeds normal. this disease is categorized as the silent disease because the patient does not know he has hypertension before checking his blood pressure (triana et al., 2019). hypertension is an important risk factor for cardiovascular disease, especially coronary heart disease, congestive heart decompensation and stroke (sari & rekawati, 2019). hypertension cases in indonesia are estimated to increase by 83% in 2025. in indonesia, the number of elderly people suffering from hypertension is estimated at 15 million people but only 4% are controlled hypertensio(junaidi, 2015)n, the prevalence is 6-15% in elderly people, 15% of them are unaware as hypertension sufferers so they tend to become severe hypertension because they are not aware of and do not know the risk factors and 90% are essential hypertension, currently degenerative and cardiovascular diseases are already a public health problem in indonesia (junaidi, 2015). based on data from the indonesian ministry of health (kemenkes ri, 2012), hypertension is one of the diseases with the highest number of outpatient cases, namely 80,615 cases. ri ministry of health data, 2016 prevalence in east java indonesia has increased from 7.6% in 2013 to 9.6% in 2016. data from the ministry of home affairs, provincial observation unit. the results of this study show that the prevalence of hypertension in java is 41.9%, with a range in each province of 36.6% -47.7%. the prevalence in urban areas is 39.9% (37.0%-45.8%) and in rural areas 44.1% (36.2%51.7%). according to halim (2015) at the cengkareng hospital and tarakan hospital jakarta, pharmacological therapy, for example catopril, obtained data of 54.63% at low doses and 45.37% at high doses, and from the results of halim's research that 22% of 50 patients who received taking catopril has a dry cough. hypertension is a disease that has a very close relationship with the elderly. this occurs due to physiological changes that occur such as a decrease in the body's immune response, heart valves to thicken and become stiff, decreased cardiac contractility, reduced elasticity of blood vessels, and lack of effectiveness of peripheral blood vessels for oxygenation. these changes cause an increase in vascular resistance so that the elderly tend to be more susceptible to hypertension (halim et al., 2015). the elderly are often affected by hypertension caused by stiffness in the arteries so that blood pressure tends to increase and with increasing age the elderly also experience an unhealthy lifestyle by consuming foods that contain lots of salt . to lower blood pressure, you can do it with music therapy where the working principle is to listen to music according to the wishes of the elderly for 15-30 minutes and do 2 therapies a week. based on study that listening to music can reduce anxiety and stress so that the body experiences relaxation, which results in a decrease in blood pressure and heart rate, especially in the elderly. from the description above, the writer can conclude that the previous findings showed the effect of music on reducing blood pressure in the elderly(sari & rekawati, 2019). prevention of hypertension, generally done by changing lifestyles such as reducing weight in the elderly who are obese, adjusting the food diet, regular exercise and reducing stress. this series is a non-pharmacological treatment. dietary adjustments and regular exercise have generally been shown to reduce blood pressure. but there are other non-pharmacological methods that can reduce blood pressure, namely by using music, but the use of music as a non-pharmacological treatment in terms of lowering blood pressure is still in its development stage (junaidi, 2015). methods this study was a pre experimental research with a one group pre-test and post-test design. the population in this study were all hypertensive elderly, totaling 33 respondents at upt pesanggrahan pmks mojopahit mojokerto. 25 elderly chosen as sample and taken by purposive sampling. the instrument of this study were religious music (syi’ir tanpo wathon) digital spignomanometer, observation sheet. the duration of religious music therapy is 12 minutes and it is given 2 times a week on sundays and tuesdays. blood pressure was measured before and after giving music therapy. then the data were analyzed using the paired sample t test. sudiyanto, rachma, irawati, hamzah, religious music therapy affected the blood pressure changes in … 227 results general data of this study include respondent’s characteristic (age, ender, education, and history of hypertension). table 1: frequency distribution of respondent’s characteristics characteristics category n % age (years) 55-65 years 66-74 years >75 years 10 8 7 40.0 32.0 28.0 gender male female 6 19 24.0 76.0 education no education basic education (elementary, junior high, high school) 13 12 52.0 48.0 history of hypertension 1-5 year 6-10 year 14 11 56 44 source: primary data based on table 1, it showed that most of respondents were 55-65 years old, most of them were female, had no education, and had 1-5 years of hypertension history. table 2: sistole’s pretest and posttest min max mean sd p-value pretest posttest pretest-posttest 140 130 175 170 156.12 149.9 6.2 12.40 11.23 4.84 0.000 based on table 2, it showed that average systole before being given music therapy is 156.12 mmhg and after being given is 149.9 mmhg. and result of paired sample t-test showed p-value of 0.000. table 3: diastole’s pretest and posttest min max mean sd p-value pretest posttest pretest-posttest 90 80 108 95 95.76 89.40 6.36 6.46 4.98 4.84 0.000 based on table 3, it showed that average diastole before being given music therapy is 95.76 mmhg and after being given is 89.40 mmhg. and result of paired sample t-test showed p-value of 0.000. discussion the result showed the average systolic blood pressure before being given music therapy is 156.12 and average diastolic blood pressure before being given music therapy is. 95.76. hypertension or high blood pressure is a condition in which a person experiences an increase in blood pressure above normal or chronic (for a long time). hypertension is a disorder that is difficult for our own body to know. the only way to know hypertension is to measure our blood pressure regularly (muttaqin, 2009) . hypertension in the elderly is usually caused by a loss of elasticity in the blood vessels due to age, besides that, stress can also cause an increase in blood pressure in the elderly. stress is the body's nonspecific response to any demands made on it. there are several types of diseases related to stress experienced by a person, including hypertension (maryam, 2018). bantas and gayatri’s research in 2019 described that hypertension is commonly experienced by those over the age of 60, both men and women. in elderly men, hypertension can occur through the androgen mechanism, via its effect on the production of vasoconstrictors. meanwhile, hypertension in women increases during the postmenopausal period, decreased estradiol synthesis induces changes in blood pressure. in addition, what is thought to be the trigger for the increased incidence of hypertension during menopause is the activating of renin-angiotensin-system (ras) and obesity. (bantas, 2019). the incidence of hypertension at upt pesanggrahan pmks mojopahit mojokerto, was caused by the fact that most respondents felt lonely 228 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 225-230 because they lived far from family and family also rarely or even almost never visited or visited so that respondents felt depressed, and this feeling continued continuously so that the respondent's blood pressure became higher. it was in line with previous study in yogyakarta which stated that the elderly who live alone or who have separated from their partners have a higher risk of hypertension. they have poor social support, poor diet, stress, and depression from being alone (defianna et al., 2021). in addition, due to the age factor of the respondents who are entering the elderly, where this age is very susceptible to disease due to gradual physical, mental, social decline, physiological changes and decreased cognitive function in the elderly accompanied by health problems that cause high degenerative diseases, one of which is hypertension (muttaqin, 2009). the result showed the average systolic blood pressure after being given music therapy ia 149.9 mmhg and average diastolic blood pressure after being given music therapy is 89.40. music therapy is known that musical stimulation is able to activate the limbic system associated with emotion. when the limbic system is activated, the brain relaxes, this condition triggers a decrease in blood pressure. in music therapy, music can also stimulate the body to produce nitric oxide (no) molecules. this molecule acts on vascular tone which can reduce blood pressure (natalina, 2013). according to researchers on the elderly who were at upt pesanggrahan pmks mojopahit mojokerto, it was concluded that blood pressure in the elderly who were given music therapy had decreased compared to before being given music therapy. this shows that music given by researchers to the elderly can actually relieve stress so that the blood pressure of the elderly decreases. the results of the paired sample t test on systolic and diastolic blood pressure showed p value of 0.000 (α 0.05). the results of this research were in accordance with the results of research conducted by marlinda et.al in 2021 which explains that giving music therapy can reduce blood pressure. marlinda's research was carried out by giving classical music therapy and giving it a significant reduction in blood pressure (marlinda et al., 2021). the same study was also conducted by marti et.al in 2019. in this study the treatment group was given javanese classical music therapy (langgam jawa) and the results showed a significant decreased in systolic and diastolic blood pressure between the experiment group and the control group (marti et al., 2020). music therapy had an effect on blood pressure changes. music affects perception in 3 ways: first by distraction, namely diverting thoughts and concentrating on pleasant things, secondly by relaxation, music causes breathing to be more relaxed and lowers heart rate, thirdly by creating a sense of comfort, music can reduce cortisol levels which increase in when stressed, music also stimulates the release of endorphins, which are body hormones that give a feeling of pleasure and comfort (bustami, 2018). cao and zang in 2023 explained music is an adjuvant therapy for hypertension. listening to music can reduce blood pressure and heart rate, reduce anxiety and stress, also improve sleep quality for people with hypertension (cao & zhang, 2023) music therapy can provide a feeling of comfort and relaxation, the feeling of comfort that is felt helps respondents to reduce anxiety, excessive stress so that it can affect the occurrence of vasodilation of blood vessels and lower the respondent's blood pressure (aden et al., 2022). music therapy has many benefits, not only in terms of pressure, music therapy can also reduce stress, depression and reduce pain. such as the stress experienced by the elderly due to the situation and conditions of the orphanage that are not the same as their homes. music therapy is the right therapy to prevent reducing blood pressure, besides that the technique is very easy to do and affordable to reduce blood pressure (winarto et al., 2021). the explanation above revealed that music therapy can reduce blood pressure through several mechanisms. first, the sound waves produced by classical music will affect the brain. increase the excitability of the nervous system and increase the secretion of the hormone acetylcholine. secondly, music can distract patients from their pain and problems, reduce the excitability of the parasympathetic nerves, regulate the endocrine system to reduce the secretion of renin angiotensin ii. additionaly, the music wave affect on the brain, adjusts the functional state of the cortex, relieves anxiety, thereby causing changes in physiological and psychological states (cao & zhang, 2023). so music therapy can be used as an alternative nonpharmacological therapy that is cheap and easy for people with hypertension, especially the elderly. conclusion the conclusion of this study was an significant effect of music therapy on blood pressure changes in elderly with hypertension (p < 0.05). suggestion religious music therapy has contribution on controlling of blood pressure of elderly with sudiyanto, rachma, irawati, hamzah, religious music therapy affected the blood pressure changes in … 229 hypertension. it suggestion to improve multdiciplinary are of hypertension patients by using religious music therapy as non-medical therapy. acknowledgement this study was an implementation of research roadmap of sekolah tinggi ilmu kesehatan majapahit. meanwhile, the funding came from the researchers and partly supported by sekolah tinggi ilmu kesehatan majapahit. in addition, author would like thank to head of sekolah tinggi ilmu kesehatan majapahit, head of upt pesanggrahan pmks mojopahit mojokerto, and all respondents of this study. funding this study was jointly funded by researchers and sekolah tinggi ilmu kesehatan majapahit. conflicts of interest the author declares there is no conflict of interest in this research, funding, and publication. author contributions the main author conducts surveys and literature analysis based on critical thinking and the phenomena that occur. furthermore, the main author also designed research framework and determined the theoretical concepts and research hypotheses. together with the other author, the team compiled the article, analyzed the research implementation methods, and planned data processing. after that, all authors carried out the final approval process for the version to be published, which was also part of the work of the main author. meanwhile, the second author criticized the research design and analysis testing using tools, data retention, interpreting data, assessing the relevance of the theoretical concepts used, providing instruments, and assessing the suitability of implementation according to standard procedures and research frameworks. refferences aden, c., mansyah, b., & berthiana .t. (2022). the influence of classical music therapy to decrease blood pressure of patients with hypertension in the elderly. international journal of health and pharmaceutical, 2(2), 233–239. bantas, k. (2019). gender and hypertension (data analysis of the indonesia basic health research 2007). jurnal epidemiologi kesehatan indonesia, 3(1). https://doi.org/10.7454/epidkes.v3i1.3142. bustami. (2018). relaxed music can reduce blood pressure in hypertension patients . international journal of scientific & technology research, 7(3), 171–173. cao, m., & zhang, z. (2023). adjuvant music therapy for patients with hypertension: a metaanalysis and systematic review. bmc complementary medicine and therapies, 23(1), 110–120. https://doi.org/10.1186/s12906-023-039296. defianna, s. r., santosa, a., probandari, a., & dewi, f. s. t. (2021). gender differences in prevalence and risk factors for hypertension among adult populations: a cross-sectional study in indonesia. international journal of environmental research and public health, 18(12), 6259. https://doi.org/10.3390/ijerph18126259. halim, m. c., andrajati, r., & supardi, s. (2015). risiko penggunaan acei terhadap kejadian batuk kering pada pasien hipertensi di rsud cengkareng dan rsud tarakan dki jakarta. jurnal kefarmasian indonesia, 5(2), 113–122. junaidi, i. (2015). hipertensi pengenalan, pencegahan, dan pengobatan. jakarta. bhuana ilmu populer. kemenkes ri. (2012). infodatin hipertensi. marlinda, r., apriyeni, e., & setiawan, d. (2021). mozart classical music therapy lowering blood pressure in patients with hypertension. proceedings of the 2nd syedza saintika international conference on nursing, midwifery, medical laboratory technology, public health, and health information management (sesicnimph 2021), 364–370. marti, e., estri, a. k., & rahayu, m. h. (2020). the effect of java langgam music therapy as adjuvant therapy towards changes blood pressure in hypertension patients in puskesmas depok ii sleman yogyakarta. jurnal ners dan kebidanan indonesia, 7(2), 86. https://doi.org/10.7454/epidkes.v3i1.3142 https://doi.org/10.1186/s12906-023-03929-6 https://doi.org/10.1186/s12906-023-03929-6 https://doi.org/10.3390/ijerph18126259 230 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 225-230 https://doi.org/10.21927/jnki.2019.7(2).8695. maryam, r. s. (2018). mengenal usia lanjut dan perawatannya. salemba medika. muttaqin, a. (2009). pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler (e. nurachmach, ed.). salemba medika. natalina, d. (2013). terapi musik bidang keperawatan. mitra wacana media. sari, n. l. p. d. y., & rekawati, e. (2019). the effect of traditional music therapy on blood pressure among elderly with hypertension: a literature review. in international journal of nursing and health services (ijnhs) (vol. 2, issue 2). triana, n., hanifah, & novaria. (2019). the effect of music therapy on blood pressure in hypertensive patients treated at sobirin lubuk linggau hospital. jurnal sains kesehatan, 26(1), 17–25. winarto, a., kusnanto, & harmayetty. (2021). the music therapy effect on lowering blood pressure in elderly with hypertension: a systematic review. jurnal ilmiah kesehatan, 10(1), 1108–1118. https://doi.org/10.21927/jnki.2019.7(2).86-95 https://doi.org/10.21927/jnki.2019.7(2).86-95 32 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk the effect of full use of e-booklet media on mother's knowledge and its relationship with the level of nutrition consumption of elementary school children who experience excess nutrition maulida febri rahmata1, bastianus doddy riyadi2, juin hadi suyitno3, suprajitno4 1undergraduate study program of applied nutrition and dietetics, poltekkes kemenkes malang, indonesia 2,3department of nutrition, poltekkes kemenkes malang, indonesia 4department of nursing, poltekkes kemenkes malang, indonesia article information abstract the prevalence of overweight and obesity among children has become a global epidemic. the causes of obesity are multifactorial. changes in lifestyle that lead to westernization and sedentary result in changes in eating patterns in children. the objective of this study was to determine the differences in maternal nutritional knowledge before and after counseling on balanced nutrition using e-booklets and their correlation to the consumption level of elementary school children who experience excess nutrition. the research design used was a pre-experimental onegroup pretest-posttest design. a sample of 31 mothers and children who are experiencing excess nutrition from sdn 1 and 2 sambirejo, trenggalek regency was selected by purposive sampling. data analysis employed the paired sample ttest and chi-square test. there was an increase in the average score of mothers' knowledge from 69.03 to 77.41 with a p-value = 0.003 with = 0.05. however, there was no correlation between a mother's knowledge and intake of energy, carbohydrates, protein, and fat. nutrition counseling using e-booklet media can increase mothers' knowledge but it is not related to the intake of elementary school children who have more nutrition. history article: received, 28/03/2023 accepted, 06/04/2023 published, 30/04/2023 keywords: excess nutrition, knowledge, e-booklet © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: poltekkes kemenkes malang – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : juinhadi@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p032-039 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:juinhadi@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i1.art.p032-039 rahmata, riyadi, hadisuyitno, suprajitno, the effect of full use of e-booklet media on mother's … 33 introduction the prevalence of overweight and obesity has increased sharply worldwide. the who has even stated that overnutrition is a global epidemic problem, thus, overnutrition is already a health problem that must be addressed immediately. overnutrition problems occur in all age groups, including school-age children. the prevalence of overnutrition (fat) as measured by body mass index compared to age in children aged 6-12 years in the 2018 riskesdas increased from 18.8% in 2013 to 20% in 2018 (kemkes ri, 2018). trenggalek district health office data for 2021, the prevalence of nutrition among school children has increased from the previous year, from 5.3% to 7.5%, which is 5% in the obese category and 2.5% in the obese category. the results of a preliminary study in may 2021 in school children in grades 2-5 at sdn 1 and 2 sambirejo, the prevalence of undernutrition was 12%, good nutrition was 60.5%, excess nutrition was 14.9%, and obesity was 12.4%. furthermore, the school has never received counseling about balanced nutrition so school children's knowledge about balanced nutrition is limited and mothers only do not have knowledge about balanced nutrition guidelines. being overweight and obese in children can cause various health problems that are detrimental to the quality of life, for instance, impaired growth of the legs, sleep disorders, sleep apnea, and other respiratory disorders (kemkes ri, 2012). nutritional problems are more of a multifactorial disease caused by the interaction of internal and external factors. children's diet is a trigger for overweight and obesity. obesity prevention efforts need to be performed holistically by involving the family. the method to promote it is to do nutrition counseling to mothers of school children (dwiriani et al., 2009). a mother’s behavior has a tremendously important role in the nutritional status of her child because most of the decision-making in terms of food supply in the household is done by the mother. the e-booklet media is a good learning medium to overcome learning problems that are conducted by mothers because e-booklets are easy to carry and can be studied anytime and anywhere. research by setyawati and herlambang on 2015 showed that the knowledge of mothers who were treated using booklet media experienced an increase in knowledge from the first to the fourth month after treatment (setyawati & herlambang, 2015). the objective of this study was to determine the effect of e-booklet media on mothers’ knowledge and its correlation with the level of nutritional consumption of elementary school children who experience excess nutrition. method this type of research is quantitative research with a pre-experimental research design. this research was conducted using a one-group pretestposttest design. data collection was administered in july to august 2021 at sdn 1 and 2 sambirejo, trenggalek regency. the sample of this research was 31 mothers and children of elementary school grades 2 to 5 who were selected by purposive sampling. mother's knowledge data was obtained using a knowledge questionnaire at the time before and after counseling using e-booklet media, while the level of child nutrition consumption used a 2x24-hour food recall form. data analysis used the paired sample t-test and chi-square test from spss. result table 1: mothers’s charactersitic of school children who experience excess nutrition no. characteristic f % 1 age category: • 26 to 35 years old • 36 to 45 years old • 46 to 55 years old 17 9 5 54.8 29.1 16.1 2 education: • basic (elementary and junior high school) • senior high school • high school 14 12 5 45.1 38.7 16.2 34 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 32-39 continued table 1: mothers’s charactersitic of school children who experience excess nutrition. characteristics of mothers and children, knowledge of mothers, categories of child nutritional intake, and cross-tabulations between mothers’ knowledge and children's nutritional intake are presented in the table below. mothers who have working status (occupation) (table 1) can add to the income of the family. the higher the level of income, the higher the ability of households to access food (mangkoeto, 2009). table 2: characteristics of school children in grades 2-5 who experience excess nutrition no. characteristic f % 1 gender: • male • female 21 10 67.7 33.3 2 age: • 7 to 9 years old • 10 to 11 years old 22 9 70.9 29.1 3 nutrition status: • overweight • obesity 19 12 61.3 38.7 the prevalence of nutritional status is more common in boys than girls (dewi & sidiartha, 2013), because boys consume more energy and protein than girls (arisman, 2004). table 3: categories of mother's knowledge before and after being given counseling using e-booklet media knowledge sd min max p-value pre-test 69.03 11.9 53.3 93 0.003 post-test 77.41 17.5 33.3 100.0 based on the results of the t-test analysis (table 3), elaborates an increase in the average knowledge and pvalue = 0.003, which can be interpreted that counseling using e-booklet media affects mothers’ knowledge. table 4: consumption categories of elementary school children who experience excess nutrition consumption category intake type good moderate less f % f % f % energy 12 38.7 12 38.7 7 22.6 proteins 7 22.6 4 12.9 20 64.5 fat 10 32.3 10 32.3 11 35.4 carbohydrate 10 32.3 16 51.6 5 16.1 based on table 4, what needs to be of concern to mothers of children who are experiencing excess nutrition is that more than half of the children lack protein intake, and one-third lack fat intake. no. characteristic f % 3 occupation: • entrepreneur • petani • teacher • civil servant • housewife 8 5 2 7 9 25.9 16.2 6.4 22.5 29.0 rahmata, riyadi, hadisuyitno, suprajitno, the effect of full use of e-booklet media on mother's … 35 table 5: the results of the 2testst on the correlation between mother's knowledge and the consumption category of children who experience excess nutrition mother’s knowledge intake type and category good moderate less total p-value f % f % f % f % energy: 0.45 • good 1 25 9 37.5 2 66,6 12 38.7 • moderate 1 25 10 41.6 1 33,3 12 38.7 • less 2 50 5 20.8 0 0,0 7 22.6 carbohydrate: 0.57 • good 0 0 8 33.3 2 66,6 10 32.3 • moderate 3 75 12 50.1 1 33,3 16 51.6 • less 1 25 4 16.6 0 0,0 5 16.1 protein: 0.71 • good 0 0 7 29.2 0 0,0 7 22.6 • moderate 1 75 2 8.3 1 33,3 4 12.9 • less 3 25 15 62.5 2 66,6 20 64.5 fat: 0.71 • good 0 0 9 37.5 1 33,3 10 32.2 • moderate 1 75 8 33.3 1 33,3 10 32.2 • less 3 25 7 29.1 1 33,3 11 35.4 the results of the chi-square test in table 5 illustrate that the mother's knowledge has no correlation with the level of consumption of children who are experiencing excess nutrition, which is demonstrated that the pvalue 0.05. discussion a. mother’s knowledge knowledge is the result of knowing and this occurs after people do sensing (eyes, ears, nose, etc.) an object (notoatmodjo, 2012). the increase in knowledge before and after the intervention was due to the compliance of the respondents in listening to and understanding the material both in the counseling videos and in the booklets provided. the increase in knowledge is due to the learning process by the respondent and occurs due to an increase in the subject's sensitivity or readiness for the test given to the respondent. increasing knowledge itself is influenced by several factors, encompassing education, personal experience or other people, the mass media, and the environment (notoatmodjo, 2012). b. differences in mother's knowledge about nutrition before and after counseling using ebooklet media the mother’s knowledge increased after being given counseling through booklet media and counseling videos. the booklet media delivered through the whatsapp application makes it easier for mothers to access it anywhere without being bound by time and requiring a lot of fees/internet quota. according to rahartri and research by coleman & o'connor, regarding whatsapp focuses on the educational benefits of instant messaging/instant messenger application (ima) and strategies that have been used in the health sector (coleman & o’connor, 2019; rahartri, 2019). besides that, the delivery of counseling through youtube videos can also make it easier for respondents to increase their sensitivity in absorbing material. the counseling video explains the material contained in the booklet so that if there are things that are not understood in the booklet, they can be explained again through the counseling video. video counseling is also a type of audiovisual media that relies on the senses of hearing and sight. this media can increase the mother's interest in learning because the mother can both listen and see pictures (asyhar, 2011). nutrition education such as counseling using the media plays an important role in increasing knowledge. before the counseling was performed, there was still a lack of knowledge while after the counseling the respondents with less knowledge decreased. it proves that e-booklet media is one of the media that can increase mothers’ knowledge about balanced nutrition in addition to other media. apart from the media factor, the increase in knowledge of mothers is also due to the obedience of mothers in participating in counseling from start 36 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 32-39 to finish online. to the opinion of astinah, et al, knowledge can increase by enriching the repertoire of knowledge through reading both through mass media and electric media (internet), hence, even without going through formal education one's knowledge can experience an increase (astinah et al., 2013). this research is by the research of liestyawati in boyolali district, knowledge of under-aged mothers about feeding infants and children (iycf) before being given counseling using booklet media was 74.5% and experiencing an increase in knowledge after counseling was 87.2 % (liestyawati, 2018). this research is not to pratiwi & puspitasari's research which elaborates that there is no significant increase in the difference in knowledge scores in the control group and the experimental group (p=0.114). statistically, there is no effectiveness in the use of booklet media on knowledge (pratiwi & puspitasari, 2017). c. child consumption the consumption of overnourished elementary school children at sdn 1 and 2 sambirejo illustrates that most children have good or poor energy consumption. it is because mothers are implementing a diet for children by reducing carbohydrate sources which are the biggest energy contributors. the application of diet in children depends on the mother's knowledge. the level of education is associated with one's knowledge. thus, as stated by apriadji, that the level of education also determines whether or not it is easy for someone to absorb and understand the nutritional knowledge they acquire (apriaji, 2000). however, this theory is inconsistent with the results of this study in which the average nutritional child with good energy consumption is discovered in mothers with junior education levels. meanwhile, the consumption of protein and fat for most children is more. consumption is more revealed in children with mothers who have jobs. there are differences in the formation of eating habits for children when their mother is a housewife and also a breadwinner. working mothers, part of their time will be consumed, so their role in preparing food has to be carried out by someone else. the same goes for feeding children. it can affect the nutritional status of children (suharsa & sahnaz, 2016). d. correlation between mother's knowledge level and child consumption 1) children's energy and carbohydrate consumption levels nutritional knowledge is something that is understood about food about optimal health (hardinsyah, 2016). knowledge of nutrition can be influenced by several things, one of which is education about nutrition. the majority of mothers with sufficient levels of knowledge have children with low levels of energy and carbohydrate consumption, while the majority of mothers with less knowledge have children with good levels of energy and carbohydrate consumption. this is due to the mother's experience regarding diet. the majority of children reduced the portion of rice at every meal because their mother told them to. according to the results of interviews with mothers, reducing the portion of rice can accelerate children's weight loss. it is due to the experience of mothers who have lost weight by eating less rice or even without rice. the opinion of worthington is that each individual has his assessment of the type and number of certain foods for various reasons (worthington-roberts & williams, 2000). like someone does not like to eat rice because rice can gain weight. according to anzarkusuma, one of the factors that greatly influences children's eating habits is experiences (anzarkusuma et al., 2014). in addition, there are still children with higher levels of consumption than mothers with a good level of knowledge. it is due to environmental factors, especially the family environment, in which mothers are used to buying high-energy snacks for children because mothers are accustomed to buying groceries and snacks for children at mobile vegetable sellers in their home environment. it has become a mother's habit almost every day. based on the results of a 2x24-hour food recall, the energy consumption level for children could be higher because on average children often consume high-energy foods such as milk, cakes, and various processed flours with a frequency more than recommended. according to arifin, family environmental factors have a significant influence on a person's consumption pattern (arifin, 2015). nutritional knowledge has an important role in forming one's eating habits, as this will influence one's choice of type and amount of food consumed (harper et al. 1985). this research is to hariyani's research that there is no correlation between the level of caregiver knowledge of nutrition and the level of energy consumption (p-value = 0.843) in toddlers in the rahmata, riyadi, hadisuyitno, suprajitno, the effect of full use of e-booklet media on mother's … 37 undaan area, kudus regency. meanwhile, according to indrawati, et al, there is no correlation between the level of caregiver knowledge of nutrition and the level of energy consumption (surijati et al., 2021). 2) child protein consumption rate the mother's level of knowledge before the counseling was good, then after the nutrition counseling the level of knowledge increased. however, along with increasing knowledge, mothers have not been able to apply balanced nutrition guidelines to their children. mother's habit is one of the factors that cause causes children to consume too much protein. thus, it takes a long time to change the habits or behavior of the mother to apply a balanced diet to children. apart from that, it can also be assumed that the frequency of nutrition counseling is only once, thus, it has not been able to change the feeding habits of more malnourished children properly. another factor that influences children's consumption level, especially protein, is the economic factor/purchasing power. most mothers with a good level of knowledge have children with more protein consumption, this is because the child's mother has a working status that supports purchasing power in meeting children's food needs. purchasing power depends on the income level of each respondent. mothers who work on average always provide food that is easy to process for children due to busy work. foods that are frequently served are foods high in energy and protein with fast processing such as fried chicken, fried eggs, and nuggets, which have high energy and protein content. meanwhile, mothers with sufficient and insufficient levels of knowledge can also have more protein consumption due to the mother's working status so mothers prepare foods that are diverse and contain high protein without regard to the amount of food intake of children in a day. according to santika, et al., children from the high ses (socio-economic status) group are more likely to consume a variety of foods and receive adequate nutrition than the lower ses group. the high economic status of the mother can make it easier for the mother to regulate the child's diet, and other family members are more likely to meet the nutritional needs of the child (surijati et al., 2021). the results of this study are by the research in which the results of statistical tests stated that there was no correlation between the level of caregiver nutrition knowledge and the level of toddler protein consumption in the indian health center, kudus regency, with a significant value of 0.843 (p> 0.05). it is possibly caused by the economic factors of the toddler's family in which the toddler's mother works, thereby increasing the purchasing power of the family, particularly the purchasing power of formula milk. 3) child fat consumption rate mothers with a good level of knowledge have children with more fat consumption. while mothers with less knowledge have children with more fat consumption. hence, it can be concluded that the level of the mother's knowledge does not determine the child's fat intake because, before the nutrition counseling, the mother's knowledge tended to be good and increased after the nutrition counseling was performed but could not change the mother's feeding habits so that the fat intake tended to be higher. likewise with energy and protein consumption, mothers with a good level of knowledge do not guarantee that they will provide good intake to their children, it is due to the mothers' habits in selecting food ingredients and feeding their children which are still not appropriate. based on the results of a 2x24-hour food recall, most children still frequently consume foods that are processed by fryings, such as fried chicken, fried eggs, fried sepals, nuggets, fried rice, and other sweet pastries. these foods contribute a large intake of fat and calories to children. another factor causing the tendency for high fat intake to occur in overweight children is the economic factor. mothers with good and poor levels of knowledge are mostly workers. the high economic status of the mother can make it easier for the mother to regulate the child's diet, and also children who are entrusted to the grandmother or other family members are more likely to fulfill the nutrition according to the child's needs. mothers who work directly can add to the income of the family. the level of income can affect the type and amount of food consumed. increased income has an effect on increased household consumption such as high-fat foods and meat consumption (who, 2000). this research is to the results of research by sa'adah, et al, that there is no correlation between the level of knowledge about food sources of fat with the level of fat consumption in the sample (p>0.05) (laeni sa’adah et al., 2018). the effect of knowledge on food consumption is not frequently directly proportional, meaning that the higher the 38 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 1, april 2023, page 32-39 level of knowledge, the better the consumption of food. it is because even though the person has high knowledge, it is not certain that the person is willing to practice, besides that factors such as access to food and other factors can influence consumption (laeni sa’adah et al., 2018). conclusion counseling about nutrition using e-booklet media can increase the knowledge of mothers who have children who experience excess nutrition. however, the mother's knowledge is not related to the intake of children who experience excess nutrition. suggestion the e-booklet media can be used as educational material for parents and children by schools, especially the school health business unit so that schools recognize and prevent excess nutrition from an early age. acknowledgement authors thank to the director of poltekkes kemenkes malang and research respondents who have participated. funding research funding is carried out independently without involvement from sponsors. conflicts of interest all authors stated that there was no conflict of interest with any party during the research and publication. author contributions the contribution of each author, namely mfr as a literature searcher, compiling literature, collecting data, compiling manuscripts; bdr as compiling research designs, collecting data, analyzing data, and compiling manuscripts; jh for compiling research designs, collecting data, and compiling manuscripts, and s for compiling research designs, collecting data, analyzing data, and compiling manuscripts. reference anzarkusuma, i. s., mulyani, e. y., jus’at, i., & angkasa, d. (2014). status gizi berdasarkan pola makan anak sekolah dasar di kecamatan rajeg tangerang (nutritional status based on primary school student’s dietary intake in rajeg district tangerang city). indonesian journal of human nutrition, 1(2), 135. www.ijhn.ub.ac.id apriaji, w. h. (2000). gizi keluarga: seri kesejahteraan keluarga. pt penebar swadaya. arifin, z. (2015). gambaran pola makan anak usia 3-5 tahun dengan gizi kurang di pondok bersalin tri sakti balong tani kecamatan jabon –sidoarjo. jurnal kebidanan midwiferia, 1(1), 16–29. https://doi.org/10.21070/mid.v1i1.345 arisman. (2004). gizi dalam daur kehidupan. egc. astinah, a., hasbullah, s., & muzakkir. (2013). faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu pada pemberian imunisasi dasar di posyandu teratai 11b di wilayah kerja puskesmas tamamaung makassar. jurnal ilmiah kesehatan diagnosis, 2(6). http://ejournal.stikesnh.ac.id/index.php/jik d/article/view/477 asyhar, r. (2011). kreatif mengembangkan media pembelajaran. gaung persada press. coleman, e., & o’connor, e. (2019). the role of whatsapp® in medical education; a scoping review and instructional design model. bmc medical education, 19(1). https://doi.org/10.1186/s12909-019-17068 dewi, m. r., & sidiartha, i. g. l. (2013). prevalence and risk factors of obesity in primary school in urban and rural areas. medicina, 44(1). https://ojs.unud.ac.id/index.php/medicin a/article/view/6832 dwiriani, c. m., damayanti, e., kustiyah, l., & birawan, d. (2009). pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas sekolah dasar menuju perilaku gizi seimbang di kota bogor [laporan akhir penelitian]. institut pertanian bogor. hardinsyah. (2016). ilmu gizi teori dan aplikasi : sejarah dan masa depan ilmu gizi. egc. kemkes ri. (2012). pedoman pencegahan dan penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah. kemneterian kesehatan ri. kemkes ri. (2018). hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) 2018. badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian ri. rahmata, riyadi, hadisuyitno, suprajitno, the effect of full use of e-booklet media on mother's … 39 laeni sa’adah, w., cahyaningrum, a., sulendri, n. k. s., & luthfiyah, f. (2018). hubungan pengetahuan tentang bahan makanan sumber lemak dengan tingkat konsumsi lemak dan kadar kolesterol total pasien hiperkolesterolemia anggota persatuan diabetisi (persadia) mataram. jurnal gizi prima (prime nutrition journal), 3(1), 35–42. https://doi.org/10.32807/jgp.v3i1.106 liestyawati, l. (2018). pengaruh penyuluhan dengan media booklet terhadap pengetahuan dan sikap ibu baduta tentang pemberian makan bayi dan anak (pmba) di desa kemusu kecamatan kemusu kabupaten boyolali. universitas muhammadiyah surakarta. mangkoeto, r. r. (2009). analisis pengaruh food coping strategy terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani di kabupaten lebak banten. institut pertanian bogor. notoatmodjo, s. (2012). promosi kesehatan dan ilmu perilaku. rineka cipta. pratiwi, y. f., & puspitasari, d. i. (2017). efektivitas penggunaan media booklet terhadap pengetahuan gizi seimbang pada ibu balita gizi kurang di kelurahan semanggi kecamatan pasar kliwon kota surakarta. jurnal kesehatan, 10(1), 58–67. https://doi.org/10.23917/jk.v10i1.5493 rahartri. (2019). “whatsapp” media komunikasi efektif masa kini (studi kasus pada layanan jasa informasi ilmiah di kawasan puspiptek. visi pustaka: buletin jaringan informasi antar perpustakaan, 21(2), 147–156. https://doi.org/10.37014/visipustaka. v21i2.552 setyawati, v. a. v., & herlambang, b. a. (2015). model edukasi gizi berbasis e-booklet untuk meningkatkan pengetahuan gizi ibu balita. jurnal informatika upgris, 1(1). https://doi.org/10.26877/jiu.v1i1 suharsa, h., & sahnaz. (2016). status gizi lebih dan faktor-faktor lain yang berhubungan pada siswa sekolah dasar islam tirtayasa kelas iv dan v di kota serang tahun 2014. jurnal lingkar widyaiswara, 3(1), 53–76. www.juliwi.com surijati, k. a., hapsari, p. w., & rubai, w. l. (2021). faktor-faktor yang mempengaruhi pola makan siswa sekolah dasar di kabupaten banyumas. nutriology : jurnal pangan,gizi,kesehatan, 2(1), 95–100. https://doi.org/10.30812/nutriology. v2i1.1242 who. (2000). obesity : preventing and managing the global epidemic : report of a who consultation. https://apps.who.int/iris/handle/10665/423 30 worthington-roberts, b., & williams, s. (2000). nutrition throughout the life cycle (4th ed.). mcgraw-hill science. 169 jnk jurnal ners dan kebidanan (journal of ners and midwifery) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk communication using the storytelling improves knowledge in implementing health protocols for children kili astarani1, srinalesti mahanani2, maria anita yusiana3 1,2,3nursing department, stikes rs. baptis kediri, indonesia article information abstract the continuous increase in confirmed cases of covid-19, especially in children aged 6–18, has prompted the government to provide advice to the public on how to implement health protocols and have clean and healthy living habits, especially in terms of implementing health protocols. one of the approaches that can be taken to provide knowledge to children is by communicating using storytelling. by storytelling or telling stories about implementing health protocols, children can better accept and digest what is given. the purpose of this study was to analyze the effect of communication using the storytelling method on knowledge of implementing school-aged children's health protocols at sd kalipang 4 grogol, kediri district. the design of the study used pre-experiment with one-group pretest-post-test design method. the population of this study was school-age children at sd kalipang 4 grogol, kediri regency, with a total of 26 students. the independent variable was storytelling on the application of the health protocol, and the dependent variable was knowledge of the implementation of the health protocol. the sampling technique used total sampling. by using a knowledge questionnaire about implementing health protocols. the data analysis used the wilcoxon statistical test to analyze the effect of communication using the storytelling method on knowledge of implementing health protocols. communication using the storytelling method affects school-age children's knowledge about implementing health protocols at sd kalipang 4 grogol, kediri, with a significance value of 0.000 (p=0.05). history article: received, 06/04/2023 accepted, 25/07/2023 published, 30/08/2023 keywords: storytelling, health protocol, school-age children © 2023 journal of ners and midwifery correspondence address: stikes rs. baptis kediri – east java, indonesia p-issn : 2355-052x email : astaranikili79@gmail.com e-issn : 2548-3811 doi: https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p169-176 this is an open access article under the cc by-sa license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) http://jnk.phb.ac.id/index.php/jnk mailto:astaranikili79@gmail.com https://doi.org/10.26699/jnk.v10i2.art.p169-176 170 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 169-176 introduction coronavirus is a virus that has shocked the world community and has had an impact on all aspects, including aspects of health and education. the problem is that this virus has managed to infect thousands of millions of people globally in a very short time (lai et al., 2020). even humans who do not show symptoms of being infected with the coronavirus can spread it to other humans (saputra & putra, 2020). the continued surge in confirmed cases of covid-19, especially in children aged 6–18, has prompted the government to provide advice to the public on implementing health protocols and having clean and healthy living habits, especially in terms of washing hands (anies, 2020). there is still a lack of public awareness about implementing health protocols, especially for children, as can be seen by the fact that children do not wear masks. in situations and conditions like this, the implementation of health protocols for children needs to be improved so that children can avoid various kinds of diseases or viruses, especially the covid-19 virus, which is currently spreading and suppressing the increasing number of covid-19 cases in children (kementrian kesehatan ri no 32 tahun, 2017). according to the coverage of 6.com data as of march 28, 2022, there were an additional 2,798 people who tested positive for covid 19. the cumulative total so far in indonesia is 6,001,751 people who have been confirmed positively infected with the coronavirus, which causes covid-19. based on the results of pre-research conducted by researchers at sd kalipang 4 grogol, kediri, it was found that 100.5 children did not wear masks at school and did learn at school. children said that they were not used to using masks and washing their hands. the health protocol is an effort to prevent the risk of transmission of covid-19, with the implementation of the health protocol aimed at ensuring that people can carry out their daily activities safely and not endanger their own health or the health of others (suryaningsih & poerwati, 2020). however, in reality, the implementation of health protocols cannot be fully implemented by the community. a simple example is washing hands with soap, which is an important activity in preventing and controlling the transmission of infections, one of which is covid-19 (suryaningsih & poerwati, 2020). covid-19 can cause symptoms in the form of acute respiratory disorders such as fever, cough, and shortness of breath (who, 2020). and in cases with severe symptoms, this disease can cause pneumonia, acute respiratory syndrome, kidney failure, and even death. symptoms of this disease can appear within 2– 14 days after exposure (moudy & syakurah, 2020). anticipating an increase in the spread and number of infections, people, including children, are urged to follow health protocols during the coronavirus pandemic (kemendikbud et al., 2020). one form of the protocol is maintaining cleanliness and not making direct contact with patients positive for the coronavirus, using a face protective mask when traveling or outside the home, maintaining cleanliness by washing hands or using a hand sanitizer, and implementing social distancing by keeping a distance of 1 meter and covering your mouth when coughing or sneezing using the arm (saputro et al., 2020). some examples of these health protocols are certainly very necessary for the community to implement during the coronavirus pandemic. even social distancing protocols such as self-isolation have been announced by the government through circular letter number h.k.02.01/menkes/202/2020. in addition to avoiding coronavirus infection, the process of suppressing the spread and infection of the virus can be carried out. one of the approaches that can be taken to provide knowledge to children is by communicating using storytelling (haryadi & ulumuddin, 2018). by storytelling or telling stories about implementing health protocols, children can better accept and digest what is given. according to (khairoes & taufina, 2019), the steps for storytelling are: students adjusting their sitting position; students paying attention to the teacher; students being motivated to listen to stories; children being allowed to give story titles; starting storytelling; and, after storytelling is finished, children giving a conclusion of the contents of the story. the teacher completes the conclusion of the story from the students (dahlan & umrah, 2013). based on this, the researcher is interested in researching the effect of communication using the storytelling method on knowledge of the implementation of school-age children's health protocols at sd kalipang 4 grogol, kediri. method the design of the study was pre-experiment with one-group pretest-post-test design method. the population in this study was students at sd kalipang 4 grogol, kediri regency, with a total of 26 students. 26 school-age children which met the inclusion criteria using the total sampling technique. the inclusion criteria in this study were children aged 7– 12 years, children who came to school during data collection, and children who were willing to be examined. the method used storytelling about the implementation of the health protocol, in which there are seven ways to implement the protocol. the data collection used a questionnaire to find out students' knowledge before and after being given storytelling about implementing the health protocol. the respondents were asked to fill out a questionnaire sheet that had been provided by the researcher before and after being given stories about implementing the health protocol. as for the assessment of positive questions (favorable), if the respondent answered yes, then it was scored 1, and if the answer was no, it was astarani, mahanani, yusiana, communication using the storytelling improves knowledge in implementing … 171 scored 0. vice versa, in negative questions (unfavorable), if the respondent answered yes, then it was scored 0, and if the answer was no, it was scored 1. respondents are said to have good knowledge if they have a knowledge score of 76–100%, sufficient knowledge if they have a knowledge score of 56– 75%, and knowledge is lacking if they have a knowledge score of 56%. the statistical analysis used was wilcoxon. result table 1: characteristics of respondents at sd kalipang 4 grogol, kediri regency from march 20, 2022 to april 28, 2022 (n=26) no characteristics total percentage (%) a. child data 1 gender man 15 57,7 woman 11 42,3 total 26 100 2 age 7 years 2 7,7 8 years 5 19,2 9 years 4 15,4 10 years 8 30,8 11 years 5 19,2 12 years 2 7,7 total 26 100 3 previous health protocol information already got the information 22 84,6 no information yet 4 15,4 total 26 100 4 origin of information on previous health protocols television 14 53,8 handphone 1 3,8 school 4 15,4 health center and hospital 3 11,5 there isn't any 4 15,4 total 26 100 b. parents’ data 1 parents’ occupation labor 14 53,8 housewife 11 42,3 entrepreneur 1 3,8 total 26 100 2 parents’ educational background no school 7 26,9 elementary school 11 42,3 junior high school 3 11,5 senior high school 5 19,2 total 26 100 table 2: knowledge of the implementation of the health protocol for school-age children before communication using the storytelling method at sd kalipang 4 grogol, kediri from march 28, 2022 to april 28, 2022 (n=26). no. knowledge of the implementation of child health protocols total percentage (%) 1. good 1 3,8% 2. enough 22 84,6% 3. not enough 3 11,5% total 26 100.0% 172 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 169-176 table 3: knowledge of the implementation of health protocols by children after communication using the storytelling method at sd kalipang 4 grogol, kediri regency from march 28, 2022 to april,28 2022 (n=26). no. knowledge of the implementation of child health protocols total percentage (%) 1. good 21 80,8% 2. enough 5 19,2% 3. not enough 0 0% total 26 100.0% table 4: the effect of storytelling communication methods on knowledge of the implementation of health protocols by children at sd kalipang 4 grogol, kediri regency on march 28, 2022 to april 28, 2022 (n=26). no knowledge of the implementation of child health protocols total percentage before after before after 1 good 1 21 3,8% 80,8% 2 enough 22 5 84,6% 19,2% 3 not enough 3 0 11,5% 0% total 26 26 100% 100% statistic test wilcoxon signed rank test p = 0,000 z = -4,390 table 5: wilcoxon statistical test regarding the effect of storytelling communication methods on knowledge of the implementation of health protocols by children at sd kalipang 4 grogol, kediri regency on march 28 2022 to april 28 2022 (n=26). knowledge of the implementation of child health protocols ranks wilcoxon signed rank test n mean rank sum of ranks knowledge of the implementation health protocol by children before –after negative rank 0 0,00 0,00 positive rank 25 13,00 325,00 ties 1 total 26 test statistics knowledge of the implementation health protocol by children before – after z -4,390b asymp. sig. (2-tailed) .000 discussion knowledge of the implementation of health protocols by children based on the results of research related to knowledge about implementing school-age children's health protocols before being given communication using the storytelling method, almost all respondents had sufficient knowledge, with a total of 22 respondents (84.6%) and only 1 respondent (3.8%) having sufficient knowledge. good about implementing health protocols. after being given communication using the storytelling method, almost all respondents were in the good category, with a total of 21 respondents (80.8%), 5 respondents (19.2%) having sufficient knowledge, and no one having insufficient knowledge about implementing health protocols. knowledge is defined as the result of knowing and occurs after a person senses certain objects, according to notoadmojo, 2007 (natsir, 2018). knowledge is the result of remembering something, including recalling events that have been experienced either intentionally or unintentionally, and this occurs after people make contact with or experience a certain object (moudy & syakurah, 2020). according to subaris (s the result of knowing and occurs after a person senses certain objects, according to notoadmojo, 2007 (natsir, 2018). knowledge is the result of remembering something, including recalling events that have been experienced either intentionally or unintentionally, and this occurs after people make contact with or experience a certain object (moudy & syakurah, 2020). according to (subaris, 2016), the factors that influence knowledge are education, information/mass media, social, cultural, economic, environment, experience, and age. education affects the learning process; the higher a person's education, the easier it is for that person to receive information. information can also be obtained through the media, including various types of mass media that can influence public knowledge such as television, radio, newspapers, magazines, the internet, and others astarani, mahanani, yusiana, communication using the storytelling improves knowledge in implementing … 173 (hanafi, oldhi, siska mayang sari, 2019). information obtained from both formal and nonformal education can have an immediate and shortterm impact, resulting in a change or increase in knowledge. the environment affected the process of entering knowledge into individuals who are in that environment. both in the physical environment, biology, and society age affects a person's perception and mindset. as you get older, your comprehension and mindset also develop, so the knowledge you gain gets better (johan et al., 2018). knowledge is the basis for individuals to act. individual behavior can reflect one's knowledge. one can acquire knowledge by sharing various kinds of scientific or traditional ways, such as culture, experience, norms, etc. the knowledge that is good for individuals, especially in health issues, will have an impact on a person's actions or behavior in maintaining good health for himself and the surrounding environment. knowledge is defined as human knowledge obtained through the perception of stimuli using the senses. perception results in the storage of information in the memory system to be processed and given meaning before the information is used (retrieved) when needed. one can gain knowledge by optimizing perceptual abilities and attention and managing the storage of information in an orderly manner (kusumaningtyas, 2016). the effect of storytelling communication methods on knowledge of the implementation of health protocols by children based on the results of the study, there was a comparison of knowledge about implementing health protocols before and after communication using the storytelling method. 25 respondents had better knowledge than before giving communication using the storytelling method, and 1 respondent remained. the test statistics section shows the results of the wilcoxon test, with a significance value of 0.000 (p 0.05), communication can be defined as the process of sending and receiving messages between two or more people with the aim that the message can be conveyed and understood so that it can change the behavior of the person receiving the message (trianingsih, 2016). one method of communication that can be used with school-age children is the storytelling method (oktiawati et al., 2015). the storytelling method, or storytelling technique, is a method that can be used by someone by reading to share stories and experiences and at the same time provide advice to children (maryunani, 2013). storytelling can introduce children to moral and social values. according to (a. susanti & safitri, 2017), storytelling is considered effective in providing education to children. first, stories are more memorable than advice, so in general, stories are recorded much stronger in a child's memory. second, through storytelling, children are taught to take lessons or the essence of the story. through stories with themes that are very entertaining and interesting according to the needs and abilities of children, we can encourage children to observe, listen, and imagine what they catch without paying attention to things around them. storytelling is an alternative method for delivering health education to school-age children. storytelling is also an effective way to develop children's cognitive (knowledge), affective (feeling), social, and conative (understanding) aspects. storytelling has an energy that can drive motivation and the will to change in a person. therefore, storytelling is an effective solution for delivering health education to school-age children (kusumaningtyas, 2016). the benefits of the storytelling method include giving fun, excitement, and enjoyment; developing children's imaginations; providing new experiences and developing children's insights; getting a good understanding of themselves and others around them; providing new experiences, including life problems that exist in the child's environment; and teaching children to speak in a fun style and add to their vocabulary and language, according to asfandiar in kusumaningtyas (and at the same time provide advice to children. storytelling can introduce children to moral and social values. according to (f. susanti, 2014), storytelling is considered effective in providing education to children. first, stories are more memorable than advice, so in general, stories are recorded much stronger in a child's memory. second, through storytelling, children are taught to take lessons or the essence of the story. through stories with themes that are very entertaining and interesting according to the needs and abilities of children, we can encourage children to observe, listen, and imagine what they catch without paying attention to things around them. storytelling is an alternative method for delivering health education to school-age children. storytelling is also an effective way to develop children's cognitive (knowledge), affective (feeling), social, and conative (understanding) aspects. storytelling has an energy that can drive motivation and the will to change in a person. therefore, storytelling is an effective solution for delivering health education to school-age children (kusumaningtyas, 2016). the benefits of the storytelling method include giving fun, excitement, and enjoyment; developing children's imaginations; providing new experiences and developing children's insights; getting a good understanding of themselves and others around them; providing new experiences, including life problems that exist in the child's environment; and teaching children to speak in a fun style and add to their vocabulary and language, according to asfandiar in (kusumaningtyas, 2016). the health protocol is an effort to prevent the risk of transmission of covid-19, with the implementation of the health protocol aimed at school-age children still being able to carry out their daily activities safely and not endangering their health 174 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 169-176 or the health of others (suryaningsih & poerwati, 2020). the implementation of health protocol still cannot be fully implemented by the community, especially for school-age children who are currently applying offline learning (listina et al., 2020). a simple example is the use of masks that are not applied correctly in their use; children are still not able to practice how to wash their hands properly in preventing and controlling the transmission of infections; and when sick, children still have the habit of gathering and playing with their peers (suryaningsih & poerwati, 2020). the intervention given to respondents, namely communicating using the storytelling method about implementing health protocols for school-age children at sd kalipang 4 grogol, kediri regency, had an effective influence on this study; it was proven that there was an increase in knowledge before and after being given the intervention. the results of the study found that 25 respondents had better knowledge than before they received communication using the storytelling method. according to the researchers, this is because the storytelling method can extraordinarily affect a person's mind and psychology. humans have an extraordinary memory, and childhood is the right time to provide health education from an early age, especially in terms of implementing health protocols. through storytelling with the theme "implementation of health protocols," children are more enthusiastic about paying attention, listening to, and imagining the stories given. this is in line with research (kusumaningtyas, 2016), which states that there is an influence of the peer education model with the storytelling method on increasing elementary school students' knowledge in choosing snacks, with the result that the p-value difference in knowledge scores between the experimental and control groups is 0.001. the use of communication with the storytelling method is effective for school children because it is interesting for them to be able to understand the messages conveyed easily, and it can more or less increase children's knowledge about the implementation of health protocols that must continue to be applied and also recall children's memories if they cannot remember what should be done to prevent transmission of covid-19. after being given the intervention, the knowledge of school-age children at sd kalipang 4 grogol, kediri regency, in the tofu domain was that 22 children (85%) knew that health protocols were not carried out when they were sick but were an attempt to prevent them from getting sick, so they had to pay attention and do it continuously. continuously. 22 children (85%) also knew that using masks was intended so that children would not get infected or transmit disease to other people and the surrounding environment. in the understanding domain, 24 children (92%) understood that the use of masks should not be shared, even if it was with the family. 25 children (96%) understood that when a child feels pain, it is necessary to immediately inform the parentss so that they can receive further treatment. in the application domain, 25 children (96%) can apply masks, starting from the nose and ending below the mouth. 25 children (96%) were able to apply the correct way to dispose of tissues after being used for coughing or sneezing, and as many as 19 children (73%) were able to wash their hands properly according to the steps given. knowledge of implementing health protocols is an indicator of school-age students' readiness to take part in offline learning, and adjusting government policies in the education sector in response to the covid-19 case before being given communication using the storytelling method, almost all respondents had sufficient knowledge, with a total of 22 respondents (84.6%) and only 1 respondent (3.8%) having good knowledge about implementing health protocols. this is evidenced by the large number of respondents who did not know about implementing health protocols, namely, 20 respondents (77%) who answered that health protocols were only carried out when they were sick, 22 respondents (85%) who did not understand that masks had to be worn when they talked to other people, and 19 respondents (73%) who did not wear them at school or when playing with friends. in the application domain, it was found that 18 respondents (69%) were still doing school activities and playing with friends when they had coughs and colds. health protocols must still be implemented in a pandemic situation like this because they function to prevent the spread of coronavirus infection to the wider community. moreover, for school-age children who have not received the covid-19 vaccine, it is very necessary to take preventive measures by implementing the correct health protocol. with sufficient or not good knowledge possessed by school-age children at sd kalipang 4 grogol, kediri regency, it is necessary to conduct educational efforts for school-age children regarding the application of health protocols, including the use of appropriate and correct masks, covering their mouths when coughing and sneezing in crowds, especially when they are at school or playing with friends, getting enough rest if the body temperature is 38°c or more, and coughs and colds. one of the preventive ways is to carry out health promotion activities carried out through socialization, education, and the use of various information media to provide understanding regarding the dangers and transmission of covid-19 (kemenkes, 2020). after being given communication using the storytelling method, almost all respondents were in the good category, with a total of 21 respondents (80.8%), 5 respondents (19.2%) having sufficient knowledge, and none having insufficient knowledge about implementing health protocols. storytelling is a communication method that can be done for children by speaking, telling stories, or giving astarani, mahanani, yusiana, communication using the storytelling improves knowledge in implementing … 175 explanations verbally. it aims to develop children's cognitive (knowledge), affective (feeling), social, and conative (experience) aspects. storytelling has an energy that can drive motivation and the will to change in a person. therefore, storytelling is an effective solution for delivering health education to school-age children (soemanadi et al., 2015). after health education was carried out using communication using the storytelling method, children could better understand what health protocols were, as evidenced by the fact that some 25 respondents (96%) were able to use masks correctly, namely, from the nose to the bottom of the mouth; 26 respondents (100%) were able to wash their hands properly according to steps from the ministry of health; and 22 respondents (85%) chose to stay at home when they were sick. good knowledge from school-age children at sd kalipang 4 grogol, kediri regency, after communicating with the storytelling method, will have an impact on children's behavior in maintaining health for both themselves and other people, as well as the surrounding environment. school-age children's knowledge of the implementation of health protocols can be obtained through their perceptions of communication using the storytelling method using their sensory organs. the results of the perceptions that school-age children have in the form of information stored in the memory system are to be processed and given meaning, and then this information is used when needed. conclusion knowledge of school-age children regarding the implementation of health protocols before being given communication using the storytelling method, almost all respondents knew the sufficient category. communication using the storytelling method affected the knowledge of school-age children about implementing health protocols at sd kalipang 4 grogol, kediri. suggestion the importance of changing behavior and motivating children to be able to implement health protocols properly and correctly, so that school-age children have safety and comfort when implementing offline learning. acknowledgement my gratitude goes to god almighty for his gift so that the report on research activities is entitled "the influence of communication using the storytelling method on knowledge of the implementation of school-age children's health protocols at sd kalipang 4 grogol, kediri ". can be resolved as well as possible. i hereby express my deepest gratitude to: 1. chairman of the stikes rs baptis kediri, has given permission, opportunities, and facilities to carry out tri darma higher education activities. 2. principal of sd kalipang 4 grogol, kediri regency as the principal who has given permission and the opportunity to conduct health research. 3. all teachers and students of sd kalipang 4 grogol, kediri regency who participated in this activity. 4. the entire research team at stikes rs. baptis kediri who has participated in completing the research report that i cannot mention one by one. 5. god almighty repays the kindness of all parties who have helped, prayed for, provided input, and encouraged me in completing this journal. the author realizes that the preparation of this journal still has many shortcomings and weaknesses. therefore, the author expects corrections in the form of constructive criticism and suggestions. the author hopes that this journal can be useful for readers and nurses. funding on this occasion, the researchers would like to express their gratitude for the financial support that has been given both from each researcher and the stikes rs baptiskediri, so that starting from the beginning of research until the publication of this journal, everything can be completed properly. hopefully what has been given can benefit many people, especially readers and those in the world of nursing. conflict of interest in the compilation of research up to journal publication conducted by researchers, there are no "conflicts of interest." everything went well because there was good cooperation between researchers and support providers, namely the stikes rs. baptiskediri author contribution in this research, the first author acts as a correspondent who is responsible for the research process from conception to publication by writing articles that have been adapted to journal guidelines. the second author assisted in the data collection, in this case, literature search and data analysis. the third author also assisted in data collection, the research process, and translation. reference anies. (2020). covid 19 : seluk beluk corona virus yang wajib dibaca. arruzz media. dahlan, a. k., & umrah. (2013). ajaran ketrampilan dasar praktik kebidanan. malang: inti media. hanafi, oldhi, siska mayang sari, a. h. (2019). faktor – faktor yang berhubungan dengan 176 journal of ners and midwifery, volume 10, issue 2, august 2023, page 169-176 keterampilan. jurnal ners indonesia, 9(2), hal 171-173. haryadi, t., & ulumuddin, d. i. i. (2018). penanaman nilai dan moral pada anak sekolah dasar dengan pendekatan storytelling melalui media komunikasi visual. andharupa: jurnal desain komunikasi visual & multimedia, 2(01), 56–72. https://doi.org/10.33633/andharupa.v2i01.101 8 johan, h., reni, d. p., noorbaya, s., kebidanan, a., & mahakam, m. (2018). pengaruh penyuluhan media audio visual video terhadap perilaku cuci tangan pakai sabun pada siswa kelas iii di sdn 027 samarinda. iv(6), 352–360. kemendikbud, agama, k., kesehatan, k., & negeri, k. dalam. (2020). panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran dan tahun akademik baru di masa pandemi corona virus disease (covid-19). https://doi.org/10.31227/osf.io/xj8ev kemenkes. (2020). pedoman kesiapan menghadapi covid-19. pedoman kesiapan menghadapi covid-19, 0–115. kementrian kesehatan ri no 32 tahun. (2017). standart baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan air untuk keperluan sanitasi, kolam renang, solus per aqua dan pemandian umum, p.21. https://doi.org/10.1117/12.5281193) khairoes, d., & taufina, t. (2019). penerapan storytelling untuk meningkatkan keterampilan berbicara di sekolah dasar. jurnal basicedu, 3(4), 1038–1046. https://doi.org/10.31004/basicedu.v3i4.220 kusumaningtyas, e. (2016). pengaruh model peer education dengan metode storytelling terhadap peningkatan pengetahuan pemilihan makanan jajanan info artikel. jhe journal of health education, 1(1), 14–20. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealth edu/ lai, c. c., shih, t. p., ko, w. c., tang, h. j., & hsueh, p. r. (2020). severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (sars-cov-2) and coronavirus disease-2019 (covid-19): the epidemic and the challenges. in international journal of antimicrobial agents (vol. 55, issue 3, p. 105924). elsevier b.v. https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2020.105 924 listina, o., solikhati, d. i. k., & fatmah, i. s. (2020). edukasi corona virus desease 19 (covid-19) melalui penyebaran poster kepada masyarakat kecamatan slawi kabupaten tegal. jabi: jurnal abdimas bhakti indonesia, 1(2), 10–10. http://ojs.stikesbhamadaslawi.ac.id/index.php/ jabi/article/view/210 maryunani, a. (2013). perilaku hidup bersih dan sehat (phbs) (t. ismail (ed.)). jakarta; tim. moudy, j., & syakurah, r. a. (2020). pengetahuan terkait usaha pencegahan coronavirus disease (covid-19) di indonesia. higeia journal of public health research and development, 4(3), 333–346. natsir, m. f. (2018). pengaruh penyuluhan ctps terhadap peningkatan pengetahuan siswa sdn 169 bonto parang kabupaten jeneponto. jurnal nasional ilmu kesehatan (jnik), 1, 1– 9. oktiawati, a., dewi, r. c., & saputri, l. d. (2015). teori & konsep tumbuh kembang bayi, toodler, anak, dan usia remaja (cetakan i). yogyakarta; nuha medika. saputra, c., & putra, i. d. (2020). pemberdayaan penanggulangan covid-19 bagi petugas kesehatan. jces (journal of character education society), 3(2), 311–319. saputro, a. a., saputra, y. d., & prasetyo, g. b. (2020). analisis dampak covid-19 terhadap kesadaran masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan. 3(2), 81–92. soemanadi, m., og, s., arumdati, s., rad, s., soeratman, e., sp, p., jack, z., pd, s., og, s., dwipoyono, b., gynecologist, s. o. g., rad, s., radiology, d., sp, b., surgery, k. b. d. d., tehuteru, e. s., sp, a., oncologist, m. h. a. p., soeratman, e., … biomed, m. (2015). penerapan storytelling sebagai intervensi untuk menurunkan derajat stres pada anak leukemia. 9(4). subaris, h. (2016). promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan modal sosial (j. budi (ed.)). yogyakarta; nuha medika. suryaningsih, n. m. a., & poerwati, c. e. (2020). pengenalan protokol kesehatan pada anak usia melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. november, 329–336. susanti, a., & safitri, h. (2017). pengaruh story telling terhadap tingkat kecemasan anak prasekolah yang menjalani hospitalisasi di rsup dr.m.djamil padang tahun 2017. jik jurnal ilmu kesehatan, 1(1), 44–50. https://doi.org/10.33757/jik.v1i1.26 susanti, f. (2014). pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan storytelling dan permainan ular tangga terhadap tingkat pengetahuan mencuci tangan pakai sabun di tk al hidayah ajung kabupaten jember. 2014. trianingsih, r. (2016). pengantar praktik mendidik anak usia sekolah dasar. 3(2), 197–211. who. (2020). clinical management of covid-19.